Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Jumat, 10 Desember 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 13

Sambungan ...

Bagian ke 13: Di Luar Dugaan
Trannng! Suara benturan senjata yang amat nyaring.
Tui Hong mundur tiga langkah, sedangkan pihak lawan justru terpental lima langkah, bahkan
-------------------------------------- Halaman 34 – 35 hilang ---------------------------------------
Begitu melihat kemunculan Ouw Yang Seng Tek, Pengemis Tua Tongkat Sakti itu, Bun Fang pun segera menjura hormat.
"Ternyata Ouw Yang cian pwe! Kalau kami tahu cian pwe berada di sini, kami berlima tidak berani…..."
"Bun Fang! Engkau jangan bermuka-muka di hadapanku!" tandas pengemis tua. "Aku ingin bertanya, engkau harus menjawab dengan jujur!"
"Silakan cian pwe bertanya, Bun Fang pasti menjawab dengan jujur." Lo toa itu tidak berani macam-macam di hadapan pengemis tua, sebab kalau ia macam-macam, nyawanya pasti melayang.
"Engkau masih tahu diri." Pengemis tua manggut-manggut. "Apakah engkau dan Hek Siau Liong punya dendam?"
"Sama sekali tidak."
"Kalau begitu, kenapa kalian ingin membunuhnya?"
"Kami cuma melaksanakan perintah."
"Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening. "Perintah dari siapa?"
"Toan Beng Thong," jawab Bun Fang memberitahukan. "Pemilik Rumah makan Si Hai di kota Ling Ni."
"Bun Fang!" Pengemis tua melotot, kelihatannya ia kurang percaya. "Engkau berkata sesungguhnya?"
"Harap lo cian pwe percaya, Bun Fang sama sekali tidak bohong," sahut Bun Fang sungguh-sungguh.
Tapi pengemis tua malah tertawa dingin, dan menatap Bun Fang tajam.
"Thi sui pho Toan Beng Thong itu memang tergolong orang berkepandaian tinggi dalam bu lim, namun dibandingkan dengan kalian berlima, dia masih kalah jauh. Nah, bagaimana mungkin kalian berlima akan menuruti perintahnya?"

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 12

Sambungan ...


Bagian ke 12: Berkelebat Sinar Pedang
"Aku tidak berani menjawab?"
Huai Hong tertawa nyaring.
"Aku harus menjawab apa?"
"Tuan muda kalian itu tergolong orang penting dalam bu lim?" sahut orang itu parau.
"Jawabanku tetap seperti tadi."
"Bagaimana jawabanmu tadi, Bocah?"
"Engkau tidak berderajat untuk mengetahuinya."
"Oh?" Orang itu tertawa dingin. "Orang macam apa yang berderajat tahu tentang diri tuan muda kalian itu? Cobalah engkau beritahukan!"
"Percuma aku beritahukan, sebab kalau aku beritahukan, nyalimu pasti langsung pecah!"
"Nyaliku nyali harimau, tidak akan pecah! Nah, Bocah! Katakanlah!"
"Kalau begitu…..." Suara Huai Hong mengalun nyaring menusuk telinga. "Baiklah, aku akan mengatakannya!

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 11

Sambungan ...

Bagian ke 11: Tetua Perkumpulan Pengemis
Se Pit Han segera bangkit berdiri, lalu menjura memberi hormat pada pengemis tua itu.
"Paman pengemis, aku memang Pit Han!"
"Haah?!" pengemis tua terbelalak, kemudian tertawa gelak. "Ha ha ha! Engkau berdandan demikian, Paman tidak mengenalimu lagi!"
Apa maksudnya berdandan demikian? Tentunya mengandung suatu arti. Pit Han mengerti, tapi Siau Liong tidak mengerti sama sekali. Lagi pula ia tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka.
"Ha ha ha!" Pengemis tua masih terus tertawa. Setelah itu mengarah pada Siau Liong, sekaligus bertanya pada Se Khi. "Keparat Se, siapa saudara kecil itu? Kok tidak diperkenalkan padaku?"
"Pengemis bau, dia Tuan Muda Hek, teman baru tuan muda." Se Khi memberitahukan.
"Oh?" Sepasang mata pengemis tua terus berkedip-kedip mengarah pada Se Pit Han, itu membuat Se Pit Han tersipu. Mengherankan, kenapa Se Pit Han tersipu?

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 10

Sambungan ...

Bagian ke 10: Menyambut Serangan
Betapa gembiranya Pat Kiam itu. Mata mereka berbinar-binar saking girangnya mendengar kabar tersebut. Sejak mereka lulus belajar ilmu pedang. sama sekali tidak pernah bertarung dengan lawan, maka malam ini…...
"Tapi aku harus mengingatkan kalian." ujar Se Pit Han serius. "Orang yang akan ke mari malam ini, kepandaiannya cukup tinggi. Kalau tidak terpaksa, janganlah kalian sembarangan melukainya! Mengerti kalian?"
"Kami mengerti," sahut mereka serentak dengan hormat.
"Bagus!" Se Pit Han manggut-manggut, kemudian bertanya pada Se Khi, "Sudah waktu apa sekarang?"
"Sudah lewat jam dua malam," jawab Se Khi memberitahukan dengan sikap hormat.
"Ng!" Se Pit Han mengangguk perlahan, lalu mengarah pada Huai Hong. "Kalau perhitunganku tidak salah, sekitar jam empat subuh pihak lawan akan ke mari. Sekarang masih ada waktu, sebaiknya kalian beristirahat."
"Ya," sahut Huai Hong sambil menjura, kemudian bertanya, "Maaf, Tuan Muda! Mohon tanya siapa lawan kita itu?"

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 9

Sambungan no 8, bagian sembilan ....

Bagian ke 9: Pelangi Seakan Dalam Khayalan
"Tuan Muda, mohon maaf Se Khi bertanya lagi," ujar Se Khi setelah berpikir sejenak. "Kini orang tua itu berada di mana?"
Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. Ia sama sekali tidak mau berterus terang, khawatir jati dirinya akan ketahuan.
"Orang tua itu tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka aku pun tidak tahu ia berada di mana sekarang."
Se Khi diam.
Melihat Se Khi diam, Se Pit Han memandang Siau Liong sambil tersenyum.
"Saudara Hek, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu pantas atau tidak mengatakannya."
"Jangan sungkan-sungkan, Saudara Se! Silakan katakan!"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum lembut. "Apa yang akan kukatakan, mungkin akan menusuk perasaanmu. Maka kuharap engkau tidak akan gusar."

Rabu, 08 Desember 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 8

Sambungan ...

Bagian ke 8: Pesan Wasiat Leluhur
Air muka Siau Liong berubah lagi. Ia sungguh terkejut akan ucapan Se Pit Han, sekaligus menatapnya dengan tajam.
"Saudara Se, maksudmu ada orang ingin mencelakaiku secara diam-diam?"
"Itu sih tidak."
"Kalau begitu, apa maksud saudara?"
"Saudara Hek." Se Pit Han tersenyum. "Ketika pedangmu membunuh kedua orang itu, ada orang lain bersembunyi di balik pohon."
"Oh?" Siau Liong terperanjat. "Orang itu juga ingin membunuhku?"
"Tidak salah." Se Pit Han manggut-manggut. "Itu karena engkau turun tangan terlampau sadis."
"Oh?" Siau Liong menarik nafas panjang. "Lalu kenapa orang itu tidak jadi membunuhku?"
"Karena engkau sendiri pun tidak tahu akan kehebatan sejurus pedang itu, juga tidak mau membunuh si Kurus yang ingin mati itu. Bahkan engkau pun memberikannya kuda dan seratus tael perak, itu pertanda engkau berhati bajik dan berbudi luhur. Oleh karena itu, orang tersebut pun berubah pikirannya tidak jadi membunuhmu."
"Oh?" Mata Siau Liong bersinar aneh. "Kok Saudara tahu tentang itu?"
"Karena pada waktu itu, aku juga bersembunyi di balik pohon yang lain." Se Pit Han memberitahukan.
"Jadi…... Saudara kenal orang itu?" tanya Siau Liong agak terbelalak.
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Aku memang kenal orang itu."
"Siapa orang itu?"
"Juga orang yang akan menemuiku di sini."
"Tidak sudikah Saudara memberitahukan namanya?"
"Setelah bertemu nanti, aku pasti memperkenalkannya padamu." Se Pit Han tersenyum, kemudian tanyanya, "Ketika memasuki rumah makan ini, engkau melihat pemiliknya?"
"Aku tidak mengenalnya." Siau Liong menggelengkan kepala. "Orang yang duduk di tempat kasir itu, aku yakin dia bukan pemilik rumah makan ini."
"Memang bukan dia. Sebab dia tidak akan begitu cepat pulang." Se Pit Han memberitahukan dengan wajah serius.
"Oh?" Siau Liong tercengang. "Tahukah saudara dia ke mana?"
"Tentu tahu."
"Dia pergi berbuat apa?"
"Mengejar orang."
Siau Liong tersentak, air mukanya pun tampak tegang.
"Mengejar siapa?"
Se Pit Han tidak segera menjawab, melainkan cuma tersenyum-senyum, berselang sesaat, barulah membuka mulut.
"Kenapa engkau tampak tegang?" tanyanya.
"Itu menyangkut mati hidupnya seseorang, bagaimana aku tidak tegang?" sahut Siau Liong sambil mengerutkan sepasang alisnya.
"Engkau kira dia pergi mengejar Si Kurus?" Se Pit Han tersenyum.
"Apakah bukan?" Diam-diam Siau Liong menarik nafas lega.
"Memang bukan." Se Pit Han tersenyum lagi. "Dia pergi mengejar orang yang ada janji denganku."
"Oh? Mereka berdua punya dendam?"
"Mereka berdua tidak pernah bertemu, bagaimana punya dendam?"
"Kalau begitu, kenapa dia pergi mengejar orang itu?"
"Karena......" Se Pit Han serius. "Orang itu menyamar engkau, sengaja memperlihatkan dirinya agar pemilik rumah makan ini mengejarnya."
"Kenapa dia mau menyamar diriku? Apa alasannya?" tanya Siau Liong heran.
"Alasannya…..." Se Pit Han tersenyum-senyum. "Demi menolong orang."
"Menolong siapa?"
"Menolongmu." Se Pit Han memberitahukan. "Sekaligus menolong si Kurus pula. Engkau mengerti?"
Siau Liong tentu mengerti, orang itu bermaksud baik. Namun ia tidak kenal orang itu. Kenapa orang itu justru menolongnya? Apakah orang itu mempunyai tujuan tertentu di balik kebaikan tersebut? Apa tujuannya? Siau Liong terus berpikir, sedangkan Se Pit Han pun terus menatapnya dengan penuh perhatian.
"Saudara Hek, apa yang sedang engkau pikirkan?" tanya Se Pit Han.
"Ti..... tidak. Aku tidak berpikir apa-apa," jawab Siau Liong sambil menggelengkan kepala.
"Tidak?" Se Pit Han menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu, kenapa engkau melamun?"
"Aku memikirkan teman Saudara itu. Dia menyamar diriku, tentunya usianya belum begitu tua bahkan juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Ya, kan?"
"Ilmu silatnya memang tinggi, tapi usianya terpaut jauh dengan usiamu."
"Oh?" Siau Liong tertegun. "Usianya sudah tua sekali?"
"Berapa usiamu sekarang, Saudara Hek?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Lima belas, berapa usiamu?"
"Tujuh betas."
"Lalu berapa usia orang itu?"
"Usianya lima kali usiamu."
"Apa?!" Siau Liong terperangah. "Usia orang itu sudah tujuh puluh lima?"
"Engkau tidak percaya?"
"Aku percaya, tapi…..."
"Kenapa?"
"Aku merasa heran, bagaimana orang yang berusia tujuh puluh lima dapat menyamar diriku? Itu….. itu sungguh tak masuk akal."
"Saudara Hek, pernahkah engkau dengar, dalam Rimba Persilatan, terdapat seorang tua yang punya julukan Ceng Pian Kui Bing (Setan Seribu Muka)?"
"Pernah." Siau Liong manggut-manggut. "Orang tua itu memang ahli merias wajah. Dalam sekejap ia mampu merias wajah yang berlainan."
"Betul."
"Apakah dia Ceng Pian Kui Bing?"
"Bukan." Se Pit Han menggelengkan kepala dan melanjutkan, "Dalam sekejap Ceng Pian Kui Bing memang mampu merubah wajahnya menjadi beberapa rupa, tapi itu bukan dengan cara merias wajahnya."
"Oh?" Siau Liong tampak bingung.
"Dia memakai kedok kulit manusia." Se Pit Han memberitahukan.
"Kalau begitu, orang tua yang menyamar diriku, juga memakai kedok kulit manusia?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk, kemudian menatapnya tajam seraya bertanya, "Saudara Hek, barusan engkau sedang memikirkan persoalan ini?"
Sungguh lihay Se Pit Han. Walau sudah membicarakan lain, akhirnya tetap kembali pada pokok pembicaraan.
"Jadi Saudara masih tidak percaya padaku?"
"Aku memang kurang percaya, maka…..." Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Saudara Hek, jadi teman haruslah jujur. Kalau punya kesulitan untuk membuka mulut pada orang lain, itu masih bisa dimaklumi. Tapi seandainya….."
Walau Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya, Siau Liong sudah tahu apa kelanjutan ucapan itu, maka wajahnya tampak kemerah-merahan.
"Saudara Se, bolehkah aku mohon tanya beberapa persoalan?"
"Silakan tanya, Saudara Hek!"
"Maaf!" ucap Siau Liong dan bertanya, "Apakah saudara Se seorang bu lim?"
"Boleh dibilang ya, boleh juga dibilang tidak."
"Eh?" Siau Liong melongo. "Aku tidak mengerti, mohon dijelaskan!"
"Keluargaku memang terhitung keluarga bu lim, namun ratusan tahun hingga kini, tiada salah satu anggota keluarga menginjak ke dalam bu lim, bahkan tidak mau tahu tentang urusan bu lim."
"Oh?" Siau Liong terbelalak. "Lalu bagaimana selanjutnya? Saudara Se juga tidak berniat terjun ke dalam bu lim?"
"Itu pesan wasiat leluhur, maka semua keturunan dilarang terjun ke bu lim, juga tidak boleh tahu menahu tentang urusan itu. Tentunya aku tidak boleh melanggar pesan wasiat itu."
"Seandainya ada orang bu lim, cari gara-gara dengan Saudara, apakah Saudara akan tinggal diam?"
"Itu sudah lain," sahut Se Pit Han.
"Saudara Se." Siau Liong tersenyum. "Aku bertanya lagi, orang tua yang menyamar diriku, apakah teman atau masih terhitung anggota keluarga Saudara?"
"Dia jongos tua tiga turunan keluargaku."
"Kalau begitu, orang tua itu terhitung anggota keluarga Saudara?"
Se Pit Han berotak cerdas, ia sudah tahu maksud tujuan pertanyaan Siau Liong, maka ia pun tersenyum.
"Walau dia terhitung salah seorang anggota keluargaku, di luar pesan wasiat leluhur. Oleh karena itu, dia boleh bergerak dalam bu lim.
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Kalau begitu, dia menyamar diriku itu rencana Saudara?"
"Benar." Se Pit Han mengangguk. "Itu memang rencanaku."
"Saudara Se." Siau Liong menatapnya. "Kenapa engkau mau turut campur dalam urusan itu?"
"Apakah aku tidak harus turut campur?" tanya Se Pit Han.
"Aku justru tidak mengerti, kenapa Saudara mau turut campur?" sahut Siau Liong sambil menatapnya tajam.
"Jadi......" Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Engkau bercuriga aku punya maksud tujuan tertentu?"
Siau Liong tertawa ringan mendadak.
"Aku sudah berkata jujur, maka Saudara jangan mencurigaiku lagi!" ujarnya.
Se Pit Han tertegun, ia menatap Siau Liong dengan mata terbeliak.
"Apakah engkau berkata secara jujur?" Se Pit Han tampak bingung.
"Bukankah Saudara ingin tahu apa yang kupikirkan tadi'?" sahut Siau Liong sambil tersenyum-senyum.
"Eh?" Mulut Se Pit Han ternganga lebar. "Kapan engkau menjawab pertanyaanku tadi secara jujur?"
"Barusan."
"Barusan?" Se Pit Han bertambah bingung, ia menatap Siau Liong dengan mata terbelalak lebar.
"Bukankah barusan Saudara sendiri telah mewakiliku menjawab pertanyaan itu?" Siau Liong tersenyum lagi.
"Apa?!" Se Pit Han mengerutkan sepasang alisnya. "Barusan aku mewakilimu menjawab pertanyaan itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Maksudmu….." Se Pit Han manggut-manggut, kelihatannya ia telah menyadari suatu hal.
Pada waktu bersamaan, mendadak muncul seorang pemuda berbaju hitam menghampiri Se Pit Han. Begitu melihat pemuda tersebut, Se Pit Han langsung diam, sedangkan pemuda berbaju hitam itu memberi hormat padanya.
"Menghadap pada Kong Cu (Tuan muda)!" ucap pemuda berbaju hitam sambil menjura dengan badan membungkuk.
"Tidak usah berlaku hormat!" sahut Se Pit Han sambil tersenyum. "Cepatlah engkau memberi hormat pada Tuan Muda Hek!"
Pemuda berbaju hitam segera memberi hormat pada Siau Liong. Ia membungkukkan badannya sambil menjura.
"Se Khi memberi hormat pada Kong Cu!" ucapnya.
"Tidak usah memberi hormat. Namaku Siau Liong, cukup panggil namaku saja," sahut Siau Liong sekaligus membalas memberi hormat pada pemuda berbaju hitam itu.
"Se Khi!" Se Pit Han tersenyum. "Duduklah!"
"Se Khi tidak berani," ujar pemuda berbaju hitam. "Se Khi berdiri saja."
Se Pit Han mengerutkan kening, lalu tegasnya.
"Kita berada di luar, bukan di dalam rumah. Engkau harus duduk, Tuan Muda Hek ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu."
"Ya." Se Khi memberi hormat lagi, kemudian duduk.
"Se Khi." Se Pit Han tersenyum. "Bagaimana dengan tugasmu itu."
"Sesuai dengan rencana Tuan Muda," jawab Se Khi hormat.
"Ceritakanlah!"
"Ya." Se Khi mengangguk. "Se Khi memancingnya keluar sampai belasan li. Setelah tiba di tanah perkuburan, barulah Se Khi menghadapinya. Semula Se Khi mengira dia memiliki ilmu silat tinggi, tidak tahunya......" Se Khi tertawa dan melanjutkan, "Kepandaiannya sangat rendah. Tidak sampai tiga jurus, Se Khi telah menotok jalan darahnya sehingga dia terkulai."
Betapa terkejutnya Siau Liong mendengar keterangan Se Khi. Walau ia tidak tahu berapa tinggi kepandaian Thi Sui Phoa Toan Beng Thong, orang tersebut pernah menggetarkan kang ouw, itu pertanda memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun justru roboh di tangan Se Khi dalam tiga jurus. Dapat dibayangkan, betapa tingginya kepandaian Se Khi.
"Se Khi." Se Pit Han tersenyum. "Jalan darah apa yang engkau totok?"
"Jalan darah tidur."
"Dengan jurus apa engkau menotoknya?"
"Dengan jurus yang biasa." Se Khi memberitahukan. "Satu jam kemudian dia akan mendusin sendiri."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut.
Pada waktu bersamaan, mendadak Siau Liong bangkit berdiri, lalu menjura pada Se Pit Han.
"Maaf! Aku mau mohon diri!" ujarnya.
Se Pit Han tertegun kemudian tanyanya heran.
"Saudara Hek, engkau mau ke mana?"
"Aku sudah merasa capek, ingin segera beristirahat di rumah penginapan," jawab Siau Liong memberitahukan.
"Saudara Hek." Se Pit Han menatapnya tajam. "Benarkah engkau ingin beristirahat di rumah penginapan?"
"Benar." Siau Liong mengangguk. "Aku sungguh sudah capek."
Walau mulut berkata demikian, Siau Liong merasa tidak enak dalam hati dan membatin. Maaf Saudara, aku telah berdusta!
Se Pit Han juga bangkit berdiri.
"Kalau begitu, mari kita pergi cari rumah penginapan!" ujarnya lembut sambil tersenyum.
Ini sungguh di luar dugaan Siau Liong, tidak heran kalau ia tertegun.
"Saudara ingin bersamaku pergi cari rumah penginapan?"
"Kenapa?" Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Tidak boleh ya? Engkau sebal padaku?"
"Eeeh?" Siau Liong melongo. "Bagaimana mungkin aku sebal padamu, saudara Se?"
"Kalau begitu, kenapa engkau tampak tidak senang kuikuti?" tanya Se Pit Han dingin.
"Aku bukan tidak senang, melainkan..... melainkan…..." Siau Liong tidak melanjutkan ucapannya. Karena gugup wajahnya menjadi kemerah-merahan.
"Duduklah, saudara Hek," Se Pit Han tersenyum.
Apa boleh buat, Siau Liong terpaksa duduk kembali.
Se Pit Han menatapnya, kemudian tersenyum lagi.
"Saudara Hek, engkau mau ke mana? Jujurlah!"
Mendadak Siau Liong tersenyum getir, kemudian menarik nafas panjang.
"Saudara Se, engkau sudah tahu kok masih bertanya?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han serius. "Beritahukan padaku, mau apa engkau pergi mencarinya?"
"Aku ingin bertanya padanya, siapa yang memerintah dia untuk membunuhku."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau pikir dia akan memberitahukan padamu?"
"Dia tidak mau beritahukan juga harus beritahukan." sahut Siau Liong yakin.
"Engkau akan mengancamnya dengan nyawanya itu?" tanya Se Pit Han sambil menatapnya dalam-dalam.
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku memang bermaksud begitu."
"Engkau pikir dia bisa diancam?"
"Kenapa tidak?"
"Engkau percaya kepandaianmu lebih tinggi dari dia?"
"Kalau bertarung, aku memang bukan lawannya." Siau Liong memberitahukan secara jujur. "Akan tetapi, kini dia…..."
"Dia masih tertidur lantaran jalan darah tidurnya tertotok?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Maka aku akan menotok lumpuh dirinya, barulah membuka jalan darah tidurnya, agar dia mendusin."
"Cara itu memang baik, namun…..." Se Pit Han tersenyum. "Dari sini ke sana, saudara telah memperhitungkan waktunya?"
Siau Liong tertegun, kemudian menjura pada Se Pit Han.
"Terimakasih atas petunjuk Saudara, aku memang ceroboh," ujarnya dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Ohya!" Se Pit Han menatapnya. "Engkau masih ingin bertanya apa padanya?"
"Tentang Bun Jiu Kiong," jawab Siau Liong jujur. "Bun Jiu Kiong itu berada di mana?"
Sepasang mata Se Pit Han menyorot aneh, lalu tanyanya dengan suara dalam.
"Mau apa engkau menanyakan tentang Bun Jiu Kiong?"
"Aku ingin berkunjung ke sana."
"Berkunjung ke sana?" Wajah Se Pit Han langsung berubah dingin. "Ingin berlemah lembut di Bun Jiu Kiong itu?"
Wajah Siau Liong memerah, dan cepat-cepat menggelengkan kepala.
"Jangan salah paham, Saudara Se! Aku tidak bermaksud begitu."
"Hm!" dengus Se Pit Han dingin. "Lalu bermaksud apa?"
"Kalau benar Bun Jiu Kiong itu merupakan tempat yang bukan-bukan, maka aku ingin menghancurkannya."
"Oooh!" Wajah Se Pit Han kembali seperti biasa. "Engkau punya kekuatan itu?"
"Aku memang tidak punya kekuatan itu, tapi…..."
"Bukankah masih ada aku dan Se Khi? Ya, kan?"
"Saudara Se......" Siau Liong menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tidak berniat minta bantuan kalian berdua."
"Jadi......" Se Pit Han menatapnya dingin. "Engkau ingin pergi seorang diri?"
"Apakah tidak boleh?"
"Aku tanya, berdasarkan apa engkau ke sana? Kepandaian atau keberanian?"
"Tidak berdasarkan apa pun." sahut Siau Liong dan menambahkan dengan nada tegas, "Hanya berdasarkan Bu Lim Cia Khi (Keadilan rimba persilatan)."
Se Pit Han menatapnya kagum, namun sepasang matanya justru menyorot dingin.
"Tidak salah. Berdasarkan keadilan rimba persilatan, tentunya akan menggemparkan rimba persilatan pula. Tapi…..."
"Kenapa?"
"Saudara Hek, tahukah engkau siapa yang ingin menegakkan keadilan rimba persilatan, dia harus memiliki kepandaian tinggi, barulah dapat melaksanakannya."
"Aku mengerti itu, namun….. aku percaya diri."
Betapa angkuhnya ucapan Siau Liong, siapa yang mendengar pasti tidak senang, bahkan mungkin akan mentertawakannya.
Akan tetapi, Se Pit Han justru tidak, sebaliknya ia malah menatap Siau Liong dengan kagum.
"Saudara yang baik, aku memang tidak salah melihat dirimu. Meskipun ucapanmu itu agak angkuh, aku tetap kagum padamu. Tapi engkau tahu kepandaianmu masih rendah, seharusnya engkau giat belajar kepandaian yang tinggi, carilah bu lim ko ciu (orang berkepandaian tinggi rimba persilatan) untuk belajar kepandaian yang tinggi."
Siau Liong diam, tak menyahut.
Mendadak Se Pit Han teringat sesuatu.
"Saudara Hek, aku masih belum tahu siapa suhu (guru) mu. Bolehkah engkau memberitahukan?"
"Siaute tidak punya guru."
"Kalau begitu, kepandaianmu berasal dari keluarga?"
Siau Liong mengangguk.
"Tuan Muda Hek." sela Se Khi mendadak. "Bolehkah Se Khi mengajukan satu pertanyaan?"
"Boleh. Silakan!"
"Apakah sejurus pedang itu juga berasal dari keluarga?" Ternyata ini yang ditanyakan Se Khi.
Siau Liong menggelengkan kepala.
"Bukan, melainkan Bu Beng Lo jin yang mengajar padaku."
"Tuan Muda tidak tahu nama orang tua itu?" tanya Se Khi heran.
"Kalau aku tahu, tentunya tidak akan menyebutnya Bu Beng Lo jin lagi."
"Emmh!" Se Khi manggut-manggut. "Ohya, apakah nama jurus pedang itu?"
"Sudah berkali-kali aku bertanya pada orang tua itu, tapi dia tidak mau beritahukan, hanya bilang kelak aku akan mengetahuinya."
"Cuma sejurus saja?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Memang cuma sejurus."
"Se Khi," tanya Se Pit Han mendadak. "Engkau kenal jurus pedang itu?"
"Se Khi cuma mendengar," jawab Se Khi hormat. "Namun kini belum berani memastikan."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut.
Se Khi mengarah pada Siau Liong seraya bertanya.
"Orang tua itu tidak mengajarkan ilmu lain pada Tuan Muda?"
Tergerak hati Siau Liong, namun ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak," jawabnya.
Siau Liong berdusta. Ia memang harus berdusta demi menutupi jati dirinya.
Se Khi memakai kedok kulit manusia, maka orang lain tidak dapat melihat bagaimana air mukanya. Namun sepasang matanya penuh diliputi keheranan, pertanda ia sedang memikirkan sesuatu.
*
* *

Minggu, 05 Desember 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 7

Sambungan ...

Bagian ke 7: Rumah Makan Empat Lautan
Kini Siau Liong sudah mengerti, apa sebabnya Si Kurus ingin mati, bahkan tahu tentang Bun Jiu Kiong. Sungguh lihay atasan tersebut memperalat pada bawahan dengan imbalan berupa gadis cantik. Bawahan mana yang tidak akan tergiur dan mati-matian melaksanakan perintah atasan itu? Kelemahan kaum lelaki memang terletak di situ, maka atasan tersebut memikat para bawahan dengan cara itu.
"Tahukah engkau di mana Istana Lemah Lembut itu?" tanya Siau Liong mendadak.
Si Kurus menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, bahkan yang pernah ke sana pun tidak tahu di mana letak Bun Jiu Kiong itu." jawabnya jujur.
"Kok begitu?"
"Karena Bun Jiu Kiong itu berada di tempat yang rahasia. Siapa yang ke sana, harus di tutup matanya dengan kain, ada orang mengantar ke tempat itu. Keluar pun begitu, mata harus di tutup juga. Maka siapa pun yang pernah ke Bun Jiu Kiong itu, sama sekali tidak tahu tempatnya."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut. Ia percaya akan apa yang dikatakan Si Kurus, kemudian mengalihkan pembicaraan. "Walau engkau tidak bisa pulang ke sana, menurutku, engkau pun tidak perlu mati."
"Itu tidak mungkin." Si Kurus tertawa sedih. "Apakah siau hiap punya akal untuk mengatasinya?"
Siau Liong mengangguk.
"Aku punya akal."
Sepasang mata Si Kurus tampak berbinar.
"Bagaimana akal siau hiap?" tanyanya penuh harap.
"Sekarang aku bertanya dulu, apakah engkau mau pulang ke sana?"
"Maksud siau hiaup......" Si Kurus dapat menduganya. "Menyuruhku jangan pulang ke sana?"
"Betul." Siau Liong tersenyum. "Engkau boleh pergi begitu saja."
Si Kurus tersenyum getir, dan tampak putus asa.
"Aku bisa ke mana?"
Siau Liong mengerutkan kening.
"Bumi begitu luas, tentunya engkau dapat menyembunyikan diri," ujarnya.
"Tidak salah kata siau hiap, tapi…..." Si Kurus menarik nafas panjang, sesaat baru melanjutkan ucapannya. "Kalau aku bisa kabur, tentunya tidak mau mati dan sudah kabur."
"Jadi..... engkau tidak bisa kabur?"
"Kini lenganku telah putus, dan masih dalam keadaan terluka. Lagi pula aku pun tidak punya uang, tenagaku juga telah berkurang karena terluka. Dengan sepasang kakiku ini, dapat kabur berapa jauh? Tidak sampai tiga puluh li, Toan Beng Thong pasti menyuruh orang untuk mengejarku, dan begitu tertangkap, aku pasti dihukum mati."
Apa yang dikatakan Si Kurus memang masuk akal. Maka Siau Liong mengerutkan kening sambil berpikir, setelah itu, ia pun mengambil suatu keputusan.
"Karena secara tidak sengaja aku telah membunuh kedua saudara angkatmu, itu membuat aku merasa tidak enak hati. Oleh karena itu, kuda yang kutunggangi itu, kuberikan padamu. Aku bawa ratusan tael perak, kita bagi dua, jadi engkau bisa pergi sejauh-jauhnya."
Usai berkata begitu, Siau Liong segera membuka buntalan bajunya. Diambilnya seratus lima puluh tael perak dan diberikannya kepada Si Kurus.
"Cepatlah engkau naik ke punggung kuda! Mengenai mayat kedua saudara angkatmu itu, aku akan menyuruh penduduk sini untuk menguburnya."
Ini sungguh di luar dugaan Si Kurus. Ia sama sekali tidak menyangka Siau Liong begitu baik hati. Betapa gembira hatinya dan terharu.
"Kalau begitu, bagaimana dengan siau hiap bukankah harus berjalan kaki?"
Siau Liong tersenyum lembut.
"Itu tidak apa-apa. Dari sini ke kota Ling Ni sudah tidak begitu jauh, malam ini aku bisa sampai di sana dan membeli seekor kuda."
"Haah?" Si Kurus terbelalak. "Siau hiap mau ke kota Ling Ni?"
"Ya. Aku mau ke Rumah makan Si Hai untuk menemui Toan Beng Thong. Aku mau memberitahukan kepadanya bahwa aku telah membunuh kalian.
"Siau Hiap!" Si Kurus terkejut bukan main. "Sebaliknya Siau hiap jangan ke sana."
"Aku tahu maksud baikmu." Siau Liong tersenyum. "Engkau takut aku mengantar diri ke mulut harimau, kan?"
"Betul." Si Kurus mengangguk. "Siau Hiap harus tahu, selain Toan Beng Thong di rumah makan itu masih ada yang lain yang memiliki ilmu silat tinggi. Kalau Siau Hiap ke sana, itu amat membahayakan."
Siau Liong tidak merasa gentar, ia cuma tersenyum hambar.
"Terima kasih atas peringatanmu! Namun engkau boleh berlega hati, aku tidak akan bertindak ceroboh."
"Tapi......"
"Sampai jumpa!" ucap Siau Liong sambil menjura, kemudian mendadak ia melompat pergi dengan ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap ia telah hilang dari pandangan Si Kurus.
"Dalam bu lim (rimba persilatan) akan muncul seorang pendekar budiman." gumam si Kurus, lalu melompat ke atas punggung kuda.
*
* *
Hari sudah malam. Di kota Ling Ni telah muncul seorang pemuda ganteng. Ia mengenakan baju hitam, dan tangannya menjinjing sebuah buntalan baju.
Siapa pemuda itu? Tidak lain Siau Liong. Ia melangkah perlahan menuju rumah makan Si Hai. Di dalam rumah makan itu telah penuh para tamu. Para pelayan sibuk melayani tamu yang memesan makanan dan minuman.
Tidak heran, ketika Siau Liong memasuki rumah makan itu, tiada seorang pelayan pun meladeninya.
Siau Liong menengok ke sana ke mari, tiada meja yang kosong. Akhirnya matanya mengarah ke sebuah meja. Di situ tampak seorang pemuda berbaju ungu duduk seorang diri.
Pemuda itu ganteng bukan main. Siau Liong sudah ganteng, namun masih kalah ganteng dibandingkan dengan pemuda itu. Walau pemuda itu duduk seorang diri, di atas meja justru tersedia dua buah cangkir, itu pertanda dia sedang menunggu temannya.
Tampak seorang pelayan mendekati Siau Liong dengan sikap hormat sambil tersenyum.
"Maaf, kong cu ya (Tuan terpelajar), semua tempat telah penuh…..."
Sebelum pelayan itu menyelesaikan ucapannya, pemuda baju ungu itu bangkit berdiri, lalu menjura pada Siau Liong.
"Semua tempat duduk di rumah makan ini telah penuh, kalau Saudara tidak merasa enggan, silakan duduk bersama di sini! Bagaimana?"
Ucapan tersebut membuat pelayan itu sangat girang. Ia segera menyahut dengan wajah berseri.
"Ini sungguh baik sekali! Silakan Tuan duduk di sini saja!"
Siau Liong manggut-manggut, lalu memandang pemuda berbaju ungu itu seraya berkata dengan sopan.
"Bukankah Saudara sedang menunggu teman? Itu rasanya kurang leluasa."
Pemuda berbaju ungu menggeleng kepala, kemudian tersenyum.
"Tidak apa-apa. Waktu yang dijanjikan, telah lewat, temanku mungkin ada urusan, dia tidak akan ke mari. Aku duduk seorang diri, bagaimana kalau kita bersama sambil mengobrol? Saudara, mari silakan duduk!"
Ucapan pemuda berbaju ungu itu sangat sopan dan ramah, Siau Liong merasa tidak enak apabila menolaknya.
"Terima kasih atas kebaikan saudara!" Siau Liong menjura. "Kalau begitu, aku akan duduk di sini."
"Jangan sungkan-sungkan!" Pemuda berbaju ungu tersenyum lembut.
Mereka lalu duduk. Pemuda berbaju ungu segera menjulurkan tangannya untuk mengambil botol arak.
Ketika melihat tangan pemuda berbaju ungu itu, Siau Liong tertegun dan membatin. Sungguh halus, mulus dan indah tangannya!
Tidak salah, pemuda berbaju ungu itu memiliki tangan yang amat halus, mulus dan indah, terutama jari tangannya, lebih indah dari jari tangan anak gadis.
Karena melihat Siau Liong sedang menatap tangannya, seketika juga wajah pemuda berbaju ungu itu tampak kemerah-merahan. Mengherankan sekali kan?
"Saudara," ujar pemuda berbaju ungu sambil menuang arak ke dalam cangkir Siau Liong. "Aku menghormatimu dengan secangkir arak ini."
"Terima kasih! Seharusnya aku yang harus menghormati saudara dengan secangkir arak." Siau Liong mengangkat minuman itu dengan sikap menghormat pada pemuda berbaju ungu. "Mari kita minum!"
"Terima kasih!" sahut pemuda berbaju ungu sambil tersenyum lembut.
Usai meneguk arak itu, pemuda berbaju ungu menaruh cangkirnya.
"Bolehkah aku tahu nama saudara?" tanyanya.
"Aku bernama Hek Siau Liong. Selanjutnya aku mohon saudara banyak-banyak memberi petunjuk."
"Oooh!" Pemuda berhaju ungu manggut-manggut. "Saudara jangan terlampau merendah diri!"
"Ohya, bolehkah aku tahu nama saudara?"
"Namaku Se Pit Han."
"Ternyata Saudara Se. Aku merasa senang sekali hari ini bisa berkenalan dengan saudara.
"Oh, ya?" Se Pit Han tersenyum lembut.
"Aku berkata sesungguhnya. Saudara Se memang pemuda yang baik hati, sopan dan ramah tamah…..."
"Sudah! Sudahlah!" Se Pit Han menggoyang-goyangkan tangannya.
"Saudara Hek, engkau memang pandai berbicara, aku percaya engkau berkata sesungguhnya."
Apa yang diucapkan Se Pit Han, membuat dua orang pemuda yang duduk tak jauh dari tempat itu tersenyum aneh. Kedua pemuda itu mengenakan baju hijau.
Siapa kedua pemuda berbaju hijau itu? Kenapa ucapan Se Pit Han membuat mereka berdua tersenyum aneh?
Selain mereka berdua, orang lain tidak akan mengetahuinya. Tidaklah demikian. Seharusnya masih ada seseorang yang tahu. Orang tersebut tidak lain Se Pit Han sendiri. Akan tetapi, saat ini Se Pit Han sedang menatap Siau Liong dengan penuh perhatian, sama sekali tidak melihat kedua pemuda baju hijau itu tersenyum aneh. Seandainya Se Pit Han melihat, dia pasti…..
Siau Liong tersenyum-senyum, kemudian mendadak mengalihkan pembicaraan.
"Logat saudara Se kedengarannya bukan orang utara. Di mana kampung halaman Saudara Se?"
"Kampung halamanku di Lam Hai."
Hati Siau Liong tersentak, namun sepasang matanya berbinar-binar.
"Saudara Se berasal dari Lam Hai?" tanyanya penuh perhatian.
Se Pit Han manggut-manggut sambil tersenyum, lalu tanyanya dengan wajah tampak heran.
"Kenapa Saudara Hek tersentak? Adakah suatu urusan?"
Siau Liong bersikap tenang, ia menggeleng-geleng kepala.
"Tidak ada urusan apa-apa."
"Saudara Hek," ujar Se Pit Han sambil menatapnya. "Engkau sudi berteman denganku?"
"Saudara Se, engkau baik, sopan dan ramah tamah….."
"Jangan bicara itu!" tandas Se Pit Han dingin. "Engkau cukup menjawab pertanyaanku. Engkau sudi berteman denganku?"
"Tentu," jawab Siau Liong cepat.
Seketika itu juga wajah Se Pit Han berseri dan suaranya pun berubah lembut.
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak mau berkata sesungguhnya?"
Pertanyaan itu membuat Siau Liong melongo, ia memandang Se Pit Han dengan heran.
"Mana aku tidak berkata sesungguhnya?"
Mendadak Se Pit Han tertawa dingin.
"Begitu menyinggung Lam Hai, air mukamu langsung berubah. Itu pertanda di dalam benakmu terdapat suatu urusan, tetapi justru bilang tidak ada urusan apa-apa. Apakah ini engkau berkata sesungguhnya?"
"Ini…..." Siau Liong tergagap.
"Bagaimana?" Sepasang alis Se Pit Han terangkat.
Aku......" ujar Siau Liong perlahan. "Aku memang sedang menuju Lam Hai."
"Oh?" Se Pit Han menatapnya dalam-dalam. "Ada urusan apa engkau pergi ke Lam Hai?"
"Bolehkah sementara ini Saudara tidak menanyakan tentang itu?" Siau Liong mengerutkan kening.
"Mengapa? Engkau punya kesulitan untuk memberitahukan?" Se Pit Han tampak penasaran.
Siau Liong mengangguk.
"Benar. Maka aku mohon maaf padamu."
"Karena engkau punya kesulitan, aku tidak akan bertanya lagi," ujar Se Pit Han, lalu mengalihkan pembicaraan bernada teguran. "Saudara Hek, engkau sungguh berani!"
"Lho, kenapa?" Siau Liong bingung. "Kenapa saudara mengatakan begitu?"
Tiba-tiba wajah Se Pit Han berubah, ia menatap Siau Liong serius seraya berkata dengan suara rendah.
"Saudara Hek, engkau sungguh tidak mengerti atau sengaja berpura-pura?"
"Aku sama sekali tidak tahu maksud Saudara, maka tidak berpura-pura." Siau Liong tampak sungguh-sungguh.
Se Pit Han percaya, bahwa Siau Liong tidak berpura-pura, wajahnya berseri lagi.
"Saudara Hek, aku bertanya padamu, tahukah engkau tempat apa ini?"
"Si Hai Ciu Lau."
"Tahukah siapa pemilik rumah makan ini?" tanya Se Pit Han merendahkan suaranya.
"Tahu," jawab Siau Liong dan tersentak dalam hati.
"Kalau tahu, kenapa masih menempuh bahaya untuk ke mari?" tanya Se Pit Han bernada dingin.
"Eh? Saudara Se…..." Air muka Siau Liong berubah, bahkan matanya pun terbelalak lebar.
"Apa yang kumaksudkan, engkau sudah paham?" tanya Se Pit Han dingin.
Siau Liong berlaku tenang, ia manggut-manggut.
"Aku paham. Namun masih ada yang kurang kupahami. Sudikah saudara menjelaskan?"
"Apa yang tidak engkau pahami?" Se Pit Han menatapnya. "Beritahukanlah!"
"Saudara kok tahu urusan ini?"
"Saudara Hek," jawab Se Pit Han mengejutkan. "Engkau nyaris mati! Tahu?"
*
* *