Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 27 September 2010

Hina Kelana - Chin Yung - Bagian 17

Bab 17. Laki-laki Boleh Mengapa Wanita Tak Boleh?


"Aku sendiri sih tidak tahu, tapi ada seorang lain yang mengetahui," kata Fifi. "Orang itu terluka parah, jiwanya dalam bahaya. Jika Cici mau menolongnya dengan Thian-hiang-toan-siok-ko, tentu Cici juga akan diberi tahu di mana beradanya jenazah Lenghou-toako."

"Kau sendiri tidak tahu?" Gi-lim menegas.

"Tidak, jika aku Kik Fi-yan mengetahui di mana beradanya jenazah Lenghou-toako, biarlah besok juga aku akan ditubles belasan kali oleh pedang Ih Jong-hay."
"Tempat yang akan kita datangi juga bukanlah tempat yang baik."Dalam keadaan gelap dia toh takkan tahu siapa kau, kenapa mesti takut? Nah inilah cangkirnya, hati-hati, jangan sampai tumpah."

Dengan hati-hati Gi-lim menerima cangkir teh itu. Untuk sejenak ia menjadi ragu-ragu. Pikirnya, "Suhu sering mengajar padaku untuk mengutamakan welas asih kepada sesamanya, menolong jiwa seorang laksana membuat candi tujuh tingkat. Seumpama orang ini tidak tahu di mana beradanya jenazah Lenghou-toako, namun karena lukanya yang sangat parah ini, betapa pun aku harus menolongnya."

Perlahan-lahan ia lantas menjulurkan tangan, lebih dulu menyentuh dahi orang itu, lalu menurun dan menjejalkan ketiga biji pil "Pek-in-him-tah-wan", obat penyembuh luka dalam, ke dalam mulut orang itu.

Rupanya orang itu masih punya daya rasa, ia membuka mulut dan telan obat itu. Ketika Gi-lim mencekoki dia dengan beberapa cegukan teh, samar-samar ia seperti bersuara mengucapkan "terima kasih".

"Kesatria ini, mestinya aku tidak boleh mengganggu seorang yang terluka parah," demikian Gi-lim berkata pula. "Cuma terpaksa aku harus buru-buru tanya suatu urusan padamu. Ada seorang pendekar bernama Lenghou Tiong, dia telah dibunuh orang dan jenazahnya ...."

"O, kau ... kau tanya Lenghou Tiong ...." terdengar orang itu menyela dengan suara lemah.

"Benar!" kata Gi-lim. "Apakah tuan mengetahui di mana beradanya jenazah kesatria Lenghou Tiong itu?"
"Jena ... jenazah apa?" terdengar orang itu seperti menggumam dengan samar-samar.

"Ya, apakah engkau mengetahui jenazahnya Lenghou Tiong?" Gi-lim mengulangi.

Orang itu samar-samar mengucapkan apa-apa, tapi suaranya sangat perlahan sehingga tak jelas. Gi-lim mengulangi pertanyaannya lagi dan mendekatkan telinganya ke mulut orang itu. Tapi didengarnya napas orang itu agak memburu, agaknya ingin mengatakan sesuatu, tapi sukar diucapkan.

Tiba-tiba Gi-lim teringat tentang obat yang baru saja diminumkan itu, khasiatnya memang sangat cepat dan keras bekerjanya. Setelah minum obat sering kali si sakit akan tak sadarkan diri sampai setengah harian. Dalam keadaan demikian sudah tentu sukar untuk dimintai keterangan.

Dasar hati Gi-lim memang welas asih, perlahan-lahan ia menghela napas dan menyingkir dari tempat tidur itu dan berduduk di atas kursi yang berada di depan ranjang. Katanya, "Biarlah dia mengaso dulu, nanti kutanya dia lagi."

"Apakah jiwa orang ini tidak berbahaya, Cici?" tanya Fifi.

"Semoga demikian adanya," ujar Gi-lim. "Hanya luka di dadanya itu yang sangat parah. Fifi, sebenarnya siapakah dia ini?"

Fifi tidak menjawab. Sejenak kemudian dia malah berkata, "Kata kakekku, kau masih belum dapat kesampingkan segala urusan kehidupan manusia, sukar untuk menjadi Nikoh yang baik."

Gi-lim terheran-heran. Tanyanya, "Kakekmu kenal padaku? Dari mana ... dari mana beliau mengetahui tentang diriku?"

"Di atas Cui-sian-lau kemarin, kakek bersama aku telah menyaksikan kalian berkelahi dengan Dian Pek-kong," jawab Fifi.

"O, jadi yang bersama kau kemarin itu adalah kakekmu?" Gi-lim menegas.

"Benar," sahut Fifi. "Kemarin kami telah menyamar, sebab itulah keparat Dian Pek-kong tidak kenal kami. Dia paling takut kepada kakek, jika tahu kakekku berada di situ tentu siang-siang dia sudah lari sipat kuping."

Mendengar itu, diam-diam Gi-lim membatin, jika waktu itu kakeknya tampil ke muka tentu Dian Pek-kong akan kabur ketakutan dan Lenghou-toako tentu tidak akan terbunuh. Tapi dasar perangainya memang halus, rasa penyesalannya kepada orang lain itu betapa pun sukar diucapkan olehnya.

Tapi Fifi lantas berkata, "Dalam hatimu tentu kau menyalahkan kakek mengapa kemarin tak mau menggebah lari Dian Pek-kong sehingga mengakibatkan Lenghou-toakomu dibunuh oleh musuh, bukan?"

Gi-lim tidak dapat berdusta, perasaannya menjadi pilu, katanya dengan terguguk-guguk, "Akulah yang bersalah. Jika kemarin aku tidak cuci kaki segala di kali, tentu takkan dipergoki Dian Pek-kong dan tentu pula takkan menimbulkan urusan sejauh ini, mana aku berani menyesali kakekmu?"

"Itulah paling baik jika kau tidak menyesali kakek, biasanya dia paling tidak suka disalahkan orang," kata Fifi. "Menurut kakek, beliau ingin tahu sampai seberapa jahatnya Dian Pek-kong itu, ingin diketahuinya apakah Dian Pek-kong akan main akal bulus jika tak dapat menang dari lawannya."

Sampai di sini mendadak ia tertawa dan menyambung lagi, "Hihi, Lenghou-toakomu itu pun sangat pintar putar lidah, dia bilang kalau berkelahi sambil berduduk adalah jago nomor dua di dunia ini. Kakekku merasa tertarik dan rada-rada percaya, bahkan menyangka dia benar-benar telah menciptakan sejenis ilmu pedang yang dilatihnya di waktu berak dan yakin Dian Pek-kong pasti bukan tandingannya. Tak tahunya, hihihi!"

Dalam kegelapan Gi-lim tak bisa melihat wajah anak dara itu, tapi dapat dibayangkan dara cilik itu tentu sangat geli dan gembira. Sebaliknya perasaan Gi-lim sendiri bertambah pedih.

"Kemudian Dian Pek-kong telah melarikan diri dan kakek menganggapnya sebagai orang yang tak dapat dipercaya, sudah berjanji bila kalah dia harus menyembah dan mengangkat kau sebagai guru, mana boleh main belit dan kabur begitu saja?" demikian Fifi menyambung.

"Ah, Lenghou-toako juga cuma menang dengan akal saja, kan bukan kemenangan yang sungguh-sungguh," ujar Gi-lim.

"Engkau benar-benar seorang baik, Cici," kata Fifi. "Begitu jahatnya Dian Pek-kong, tapi kau malah membelanya. Sesudah Lenghou-toakomu ditusuk mati oleh orang, kau telah membawa jenazahnya dan berjalan tanpa arah tujuan. Kakek bilang, 'Nikoh cilik ini mudah jatuh cinta, kematian Lenghou Tiong bisa membuatnya menjadi gila.
Marilah kita mencoba mengikuti dia.'

"Maka kami lantas mengikuti dari belakang. Tertampak kau merasa berat untuk melepaskan jenazah yang kau pondong. Kakek berkata pula, 'Lihatlah Fifi, jika Lenghou Tiong itu tidak mati, rasanya tidak boleh tidak Nikoh cilik itu harus piara rambut kembali dan menjadi bininya.'"

Muka Gi-lim menjadi merah jengah, untunglah dalam kegelapan keadaannya itu tak kelihatan.

Sebaliknya Fifi mendadak tanya pula, "Cici, apa yang dikatakan kakek itu betul atau tidak?"

"Ai, aku hanya merasa tidak enak karena telah mengakibatkan kematian orang, sungguh aku berharap aku sendirilah yang mati dan bukanlah dia," demikian jawab Gi-lim. "Jika Buddha mahakasih dapat membuat aku mati untuk menggantikan Lenghou-toako, biarpun masuk neraka juga aku ... aku rela."

Ucapan itu dengan nada yang sungguh-sungguh dan mengharukan. Pada saat itulah orang di atas ranjang itu mendadak merintih perlahan.

"Dia ... dia sudah siuman," seru Gi-lim dengan girang. "Fifi, coba kau tanya dia, apakah keadaannya sudah baikan atau tidak?"

"Kenapa aku yang disuruh tanya, apakah kau sendiri tidak bisa?" ujar Fifi.

Gi-lim ragu-ragu sejenak, akhirnya ia mendekati ranjang pula dan menanya dari balik kelambu, "Kesatria ini, apakah engkau ...." belum selesai ucapannya, terdengar orang itu telah merintih pula.
Hal ini membuat Gi-lim merasa tidak enak untuk mengganggu orang yang sedang menderita. Ia tertegun sejenak dan mendengar napas orang itu telah tenang kembali, agaknya merintihnya tadi karena pengaruh bekerjanya obat dan sekarang sudah terpulas pula.

Tiba-tiba Fifi bertanya dengan suara perlahan, "Cici, sebab apa kau rela mati bagi Lenghou Tiong? Apakah kau benar-benar suka padanya?"

"Tidak, tidak!" sahut Gi-lim. "Aku adalah orang beragama yang telah meninggalkan hidup kekeluargaan, janganlah kau mengucapkan kata-kata yang menodai Buddha itu. Selamanya aku tak kenal kepada Lenghou-toako, tapi dia telah mati lantaran menolong diriku, sungguh ... sungguh aku merasa sangat menyesalkan kemalangannya."

"Dan asal dia dapat hidup kembali, maka segala apa pun kau bersedia untuk melakukan baginya?" tanya Fifi.

"Betul, biarpun aku mati seribu kali juga takkan menyesal," sahut Gi-lim.

Mendadak Fifi berseru dengan suara keras sambil tertawa, "Nah, dengarkanlah Lenghou-toako, Enci Gi-lim sendiri telah menyatakan ...."

"Kau berkelakar apa ini?" sela Gi-lim dengan gusar.

Namun Fifi tak peduli, ia meneruskan seruannya, "Dia telah menyatakan asal kau tidak mati, maka segala apa pun dia akan melakukannya bagimu."

Karena kedengarannya seruan Fifi itu seperti sungguh-sungguh dan bukan bergurau, seketika Gi-lim merasa gugup dan berdebar-debar jantungnya.

Pada saat itulah mendadak pandangan Gi-lim terasa silau, kiranya Fifi telah menyalakan api lilin. Kelambu lalu disingkap dan Gi-lim digapai agar mendekati.

Dengan ragu-ragu Gi-lim melangkah maju. Tapi mendadak telinganya terasa mendengung, pandangan menjadi gelap, ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir saja jatuh kelengar.

"Aku memang sudah menduga kau akan terperanjat," kata Fifi dengan tertawa. "Coba lihat Cici, siapakah dia ini?"

"Dia ... jadi dia tidak ... tidak mati?" seru Gi-lim dengan suara lemah dan agak gemetar sambil memegangi lengan Fifi.

Kiranya orang yang berbaring di atas ranjang dengan mata tertutup dan bermuka lonjong, alis lentik dan bibir tipis itu tak lain tak bukan adalah Lenghou Tiong yang telah menolongnya di Cui-sian-lau itu.

"Ya, dia sekarang belum mati, tapi kalau obatmu tidak manjur tentu ia akan lantas mati," kata Fifi dengan tersenyum.
"Tidak, dia takkan mati, pasti takkan mati," seru Gi-lim cepat. Saking kejut dan girangnya mendadak ia menjadi menangis.

"He, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?" ujar Fifi dengan heran.

Kedua kaki Gi-lim terasa lemas, ia tidak tahan lagi dan terkulai di depan tempat tidur sambil menangis terguguk-guguk. Katanya, "O, sungguh aku sangat girang. Fifi, aku harus berterima kasih padamu. Kiranya ... kiranya kau yang telah menyelamatkan Lenghou-toako."

"Engkau sendirilah yang menolong dia, dari mana aku mampu menyelamatkan dia, aku toh tidak punya obat apa-apa," sahut Fifi.

Tiba-tiba Gi-lim sadar, perlahan-lahan ia berbangkit dan menarik tangan Fifi, katanya, "Ya, aku tahu kakekmu yang telah menolong dia, kakekmu yang menolong dia!"

Pada saat itu juga sekonyong-konyong terdengar di tempat yang tinggi di luar kamar ada orang berseru, "Gi-lim! Gi-lim!"

Itulah suaranya Ting-yat Suthay. Keruan Gi-lim terkejut, segera ia bermaksud menjawab. Tapi Fifi sudah lantas bertindak, api lilin ditiup padam, mulut Gi-lim juga lantas didekap olehnya sambil berbisik, "Ssst, jangan bersuara. Ingat, tempat apakah ini?"

Sesaat Gi-lim jadi bingung. Ia tahu dirinya berada di rumah pelacuran, keadaannya serbasalah. Namun jelas didengarnya suara panggilan sang guru dan dirinya tidak menjawab, hal ini sungguh tidak pernah terjadi selama hidupnya ini.
Dalam pada itu terdengar Ting-yat berteriak lagi, "Dian Pek-kong, lekas keluar! Kau harus lepaskan Gi-lim!"

Maka terdengar suara bergelak tertawa Dian Pek-kong di kamar depan sana. Sesudah tertawa, lalu berkata, "Apakah yang datang adalah Ting-yat Suthay dari Pek-hun-am, Hing-san-pay? Seharusnya Wanpwe keluar memberi salam hormat, cuma di sampingku sekarang ada beberapa teman yang cantik-cantik dan ayu-ayu sehingga aku tidak sempat keluar. Maka bolehlah kita tak perlu saling membikin repot. Hahahaha!"

Menyusul terdengar pula suara terkikik-kikik dan terkekek-kekek beberapa wanita yang genit, terang mereka adalah perempuan-perempuan pelacur di rumah "P" itu. Bahkan ada di antaranya lantas mengeluarkan kata-kata yang kotor dan cabul.

Apa yang dilakukan Dian Pek-kong dan pelacur-pelacur itu makin menjadi-jadi, rupanya mereka sengaja hendak membikin marah Ting-yat.

Keruan Ting-yat menjadi murka. Ia membentak, "Dian Pek-kong, jika kau tidak lantas menggelinding keluar, aku akan cincang tubuhmu hingga hancur luluh."

"Hahaha! Kalau aku menggelinding keluar akan kau bunuh, jika tidak keluar juga akan kau cincang hingga hancur luluh. Jika begitu, hahaha, lebih baik aku mengeram di dalam kamar dengan temanku yang manis-manis ini saja," demikian Dian Pek-kong berolok-olok dengan tertawa. "Ting-yat Suthay, tempat seperti ini tidaklah pantas didatangi oleh orang beragama seperti kau, ada lebih baik kau lekas pulang saja. Muridmu itu tidak berada di sini, dia adalah seorang Nikoh cilik yang alim dan taat kepada agamanya, mana mungkin dia datang ke sini? Hahaha, sungguh heran bin ajaib!"

Ting-yat tambah murka. Teriaknya kepada anak buahnya, "Bakar, bakar saja sarang anjingnya ini! Coba lihat apakah dia akan menggelinding keluar atau tidak?"

"Ting-yat Suthay," kata Dian Pek-kong dengan tertawa. "Tempat ini bernama 'Kun-giok-ih' (rumah bunga rampai kemala) dan sangat terkenal di kota Heng-san ini. Jika kau membakarnya, sebentar saja di dunia Kangouw pasti akan tersiar cerita tentang Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay telah membakar rumah pelesir yang terkenal di daerah provinsi Oulam ini dan tentu setiap orang akan bertanya-tanya, orang beragama tinggi sebagai Ting-yat Suthay mengapa bisa mendatangi tempat demikian? Apakah berita begini akan baik bagi kehormatan Hing-san-pay kalian? Biarlah kukatakan terus terang padamu, aku Dian Pek-kong selamanya tidak takut kepada langit tidak gentar terhadap bumi, tapi sekarang justru jeri kepada muridmu itu saja. Bila melihat dia, untuk menyingkir saja aku khawatir tidak sempat, masa aku berani lagi membikin susah padanya?"

Ting-yat pikir apa yang dikatakan Dian Pek-kong ada benarnya juga. Tapi menurut laporan muridnya yang kembali tadi, dengan jelas Gi-lim terlihat masuk ke rumah ini, bahkan muridnya itu pun kena dilukai oleh Dian Pek-kong, masa laporannya itu palsu? Meskipun demikian dia toh tak bisa berbuat apa-apa. Saking mendongkolnya ia telah menginjak-injak hancur genting rumah. 

Kamis, 23 September 2010

Hina Kelana - Chin Yung Bagian 16

Bab 16. Senjata Makan Tuan, Cui-sim-ciang Makan Jing-sia-pay


Para hadirin melihat umur dara cilik itu paling-paling baru 12-13 tahun saja, berbaju hijau pupus, kulit badannya putih bersih, raut mukanya bulat telur, cantik menyenangkan. Maka timbul seketika rasa simpatik semua orang. Beberapa orang di antaranya yang berangasan sudah lantas berteriak-teriak, "Hajar hidung kerbau itu!"

"Ya, mampuskan Tosu kerdil itu!"

Keadaan Ih Jong-hay jadi serbasulit. Ia tahu dirinya telah menimbulkan kemarahan umum, ia menjadi kuncup dan tak berani membantah. Terpaksa ia membujuk si dara cilik lagi, "Adik kecil, maaf ya! Coba kulihat tanganmu apakah terluka?" Lalu ia bermaksud memeriksa tangan dara cilik itu.

Hina Kelana - Chin Yung Bagian 15

Bab 15. Si Gadis Cilik Berbaju Hijau


"Akal bulus apa?" semprot Ting-yat Suthay dengan gusar. "Seorang jantan boleh adu kecerdikan dan tidak perlu adu kekuatan. Selama ini juga tidak pernah terlihat di dalam Jing-sia-pay kalian ada seorang kesatria muda budiman seperti dia?"

Semula dia menyalahkan Lenghou Tiong, tapi sesudah mendengar cerita Gi-lim bahwa yang telah membela kehormatan Hing-san-pay mereka tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri, ia menjadi merasa terima kasih malah.

Kembali Ih Jong-hay mendengus, "Hm, hebat benar kesatria muda tukang merangkak."

Hina Kelana - Chin Yung Bagian 14

Bab 14. Ilmu Pedang Kakus Ciptaan Lenghou Tiong


Sampai di sini ia pandang Te-coat Tojin, lalu menyambung pula, "Dan Supek dari Thay-san-pay ini lantas melompat ke depan Dian Pek-kong sambil membentak, pedangnya menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Sudah tentu ilmu pedang Supek ini sangat hebat, tapi Dian Pek-kong tidak berdiri lagi, ia hanya duduk di kursinya sambil cabut golok dan menangkis setiap serangan. Supek ini telah menyerang belasan kali dan Dian Pek-kong juga menangkis belasan kali, selama itu dia tetap duduk saja tanpa berbangkit."

Air muka Thian-bun Tojin tampak membesi, katanya, "Sute, apakah ilmu silat bangsat itu benar-benar begitu lihai?"

Mendadak Te-coat menarik napas panjang, wajahnya yang pucat sekarang tambah putih seperti mayat. Perlahan-lahan ia berpaling ke arah lain.

Semua orang tahu itu adalah jawaban secara diam-diam yang mengakui ilmu silat Dian Pek-kong memang lihai.
Maka pandangan semua orang lantas berpindah lagi kepada Gi-lim untuk mendengarkan ceritanya lebih lanjut.

"Saat itulah Lenghou-toako lantas putar pedangnya dan menusuk ke arah Dian Pek-kong," demikian Gi-lim menyambung. "Cepat Dian Pek-kong menangkis dengan goloknya, dia tergeliat dan akhirnya berdirilah."

"Apakah kau tidak salah omong?" ujar Ting-yat. "Masakah belasan kali serangan Te-coat Totiang tak mampu memaksa dia berdiri, sebaliknya hanya sekali serangan Lenghou Tiong saja sudah membuatnya berbangkit?"

"Untuk itu Dian Pek-kong telah memberi penjelasan," jawab Gi-lim. "Dia bilang, 'Lenghou-heng, aku anggap kau sebagai sahabat, kau menyerang aku dengan senjata, jika aku tetap berduduk saja berarti memandang hina padamu. Meski ilmu silatku lebih tinggi daripadamu, tapi hatiku menghormati kau sebagai seorang kesatria sejati. Sebab itulah tak peduli menang atau kalah aku akan berdiri untuk menyambut seranganmu. Lain halnya terhadap hidung kerbau ini.'

"Lenghou-toako mendengus sekali, katanya, 'Terima kasih atas pujianmu!'

"Sret-sret-sret, beruntun-runtun ia terus menyerang lagi tiga kali. Suhu, tiga kali serangan itu benar-benar sangat lihai, sinar pedang telah membungkus rapat tubuh Dian Pek-kong …."

"Itu adalah karya kebanggaan Gak-loji yang disebut 'Tiang-kang-sam-tiap-lang' (gelombang ombak susun tiga)," kata Ting-yat. "Kabarnya serangan kedua lebih kuat daripada serangan pertama dan serangan ketiga tambah kuat lagi daripada serangan kedua. Dan cara bagaimana Dian Pek-kong itu mematahkan serangan-serangan itu?"

Para hadirin juga tahu serangan berantai ilmu pedang Hoa-san-pay yang disebut "Tiang-kang-sam-tiap-lang" itu sangat hebat, maka mereka pun ingin tahu cara bagaimana Dian Pek-kong mematahkan serangan lihai itu.

Terdengar Gi-lim menyambung lagi, "Setiap kali Dian Pek-kong menangkis, tiap kali pula dia mundur satu tindak, berturut-turut ia mundur tiga tindak, lalu berseru memuji, 'Bagus! Ilmu pedang bagus!'

"Tiba-tiba ia berpaling kepada Te-coat Susiok dan bertanya, 'Hidung kerbau, kenapa kau tidak ikut mengerubut maju?' Kiranya pada waktu Lenghou-toako mengeluarkan serangan lihai tadi, Te-coat Susiok hanya berdiri di samping saja tanpa membantu.

"Dengan mencemoohkan Te-coat Susiok menjawab, 'Huh, Thay-san-pay adalah kaum jantan sejati, masakah sudi bergabung dengan kaum bajingan tengik dan cabul sebagai kalian?'

"Aku menjadi tidak tahan dan berseru, 'Te-coat Susiok, janganlah engkau salah sangka terhadap Lenghou-suheng, dia adalah seorang baik!'

"Tapi Te-coat Susiok menjengek, 'Dia adalah orang baik? Hehe, ya, memang orang baik, orang paling baik dari begundalnya Dian Pek-kong yang kotor dan hina ini!'

"Sekonyong-konyong terdengar Te-coat Susiok menjerit sekali, kedua tangannya mendekap dadanya sendiri, air mukanya meringis aneh. Sedangkan Dian Pek-kong lantas menyimpan kembali goloknya dan berkata, 'Duduklah, silakan duduk, marilah minum!'

"Kulihat dari celah-celah jari Te-coat Susiok yang menutupi dada itu merembes keluar darah segar, entah dengan cara bagaimana dadanya telah kena dilukai Dian Pek-kong. Serangan itu benar-benar aneh dan secepat kilat sampai-sampai aku tidak tahu kapan terjadinya. Saking ketakutan aku hanya mampu berseru, 'Jang ... jangan membunuhnya!'

"Dengan cengar-cengir Dian Pek-kong berkata, 'Baik, si jelita bilang jangan membunuhnya, tentu aku takkan membunuhnya!'

"Segera Te-coat Susiok lari pergi dari restoran itu sambil menahan lukanya. Mestinya Lenghou-toako hendak menyusul dan menolong Te-coat Susiok, tapi Dian Pek-kong telah berkata, 'Lenghou-heng, lebih baik duduklah dan minum saja. Hidung kerbau itu terlalu angkuh, biarpun mati juga takkan terima pertolonganmu, buat apa kau mesti mencari malu sendiri?'

"Lenghou-toako tersenyum getir saja sambil geleng-geleng kepala, beruntun-runtun ia minum arak beberapa mangkuk lagi.

"Kemudian Dian Pek-kong berkata pula, 'Imam hidung kerbau itu juga terhitung jago kelas satu di dalam Thay-san-pay mereka, bacokan golokku tadi tidak lambat, tapi dia ternyata sempat mengkeret mundur beberapa senti sehingga dia tidak sampai mati. Jago silat di dunia ini yang mampu terhindar dari kematian seranganku ini barulah dia orang satu-satunya. Bagus, bagus, ilmu silat Thay-san-pay ternyata masih boleh juga. Tapi bagimu, Lenghou-heng, karena hidung kerbau itu tidak jadi mati, tentu kesukaranmu di kemudian hari akan tambah banyak.'

"Lenghou-toako menjawab dengan tertawa, 'Selama hidupku setiap hari selalu menghadapi kesukaran, pusing apa? Hayolah minum, silakan minum! Dian-heng, jika seranganmu ditujukan padaku tentu aku tidak mampu mengelakkan diri.'

"Dian Pek-kong berkata, 'Ya, tadi aku memang bertangan ringan padamu sebagai balas kebaikanmu semalam tidak membunuh aku di dalam gua sana.'

"Mendengar itu, aku menjadi heran sekali. Jika demikian, jadi pertarungan sengit di dalam gua semalam itu bukannya Dian Pek-kong yang menang, sebaliknya Lenghou-toako yang telah mengampuni jiwanya malah."

Mendengar sampai di sini, air muka semua orang mengunjuk rasa kurang senang pula. Mereka anggap Lenghou Tiong tidak pantas bergaul dan main sungkan-sungkan terhadap maling cabul yang terkutuk sebagai Dian Pek-kong itu.

Lalu Gi-lim melanjutkan, "Lenghou-toako telah berkata, 'Pertarungan di dalam gua semalam aku sudah berbuat sepenuh tenaga, tapi apa mau dikata, kepandaianku memang kalah tinggi, masakah aku berani mengaku telah bermurah hati padamu?'

"Dian Pek-kong bergelak tertawa, katanya, 'Tatkala itu kau dan Nikoh cilik ini bersembunyi di dalam gua, Nikoh cilik ini mengeluarkan suara sehingga ketahuan, sebaliknya kau menahan napas sehingga aku sama sekali tidak menduga kau juga bersembunyi di situ. Waktu aku memegang Nikoh ini dan akan melanggar kesuciannya, dalam keadaan begitu bila kau menunggu lagi sejenak, di kala aku sedang lupa daratan lalu kau menyerang, tentu dengan gampang kau dapat membinasakan aku. Kau toh bukan anak kecil, Lenghou-heng, masakah kau tidak tahu seluk-beluk orang hidup? Tapi aku tahu kau adalah seorang laki-laki sejati, seorang kesatria tulen yang tidak sudi menyerang orang secara menggelap. Sebab itulah, hehe, pedangmu hanya menusuk perlahan saja di atas pundakku.'

"Tapi Lenghou-toako menjawab, 'Tidak, waktu itu aku tidak dapat menunggu lagi sehingga Nikoh cilik ini dinodai olehmu. Biarlah kukatakan padamu, walaupun merasa sial bila melihat Nikoh, tapi Hing-san-pay jelek-jelek adalah satu di antara Ngo-gak-kiam-pay kami, kau berani main gila kepada kami, sudah tentu aku tak dapat tinggal diam.'

"'Walaupun begitu, bila tusukan pedangmu itu didorong lagi dua-tiga senti ke depan, tentu lenganku ini sudah tamat riwayatnya. Tapi mengapa tusukanmu yang sudah mengenai sasarannya mendadak ditarik kembali?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Sebagai murid Hoa-san-pay mana boleh aku menyerang orang secara pengecut? Lebih dulu kau telah menebas luka bahuku, maka aku pun balas melukai pundakmu. Kita sama-sama tidak utang. Jika mesti bertempur lagi kita pun tak perlu sungkan-sungkan lagi.'

"'Hahaha, bagus! Aku ingin bersahabat dengan kau. Marilah, mari, kita habiskan semangkuk arak ini,' jawab Dian Pek-kong dengan terbahak-bahak. Lenghou-toako berkata, 'Ilmu silatku kalah kuat daripada kau, tapi kekuatan minum arak, kaulah yang kalah dariku.'

"Dian Pek-kong menjawab, 'Kekuatan minum arak aku kalah? Juga belum tentu. Hayolah kita coba-coba bertanding. Marilah kita minum 16 mangkuk bersama!'

"Mendadak Lenghou-toako mengerut kening, katanya, 'Dian-heng, kukira engkau adalah seorang adil, makanya aku mau berlomba minum dengan kau, siapa tahu tidak begitu halnya, sungguh sangat mengecewakan aku.'

"Dian Pek-kong meliriknya dan bertanya, 'Mengapa aku kurang adil?'

"'Habis kau kan tahu aku paling jemu kepada Nikoh, bila melihat Nikoh tentu badanku menjadi tidak enak, seleraku menjadi muak, cara bagaimana lagi dapat berlomba minum dengan kau?' demikian sahut Lenghou-toako.

"Dian Pek-kong terbahak-bahak, katanya, 'Ya, Lenghou-heng, aku tahu dengan segala daya upayamu kau ingin menolong Nikoh cilik ini. Akan tetapi dasar aku Dian Pek-kong memang suka pada perempuan melebihi jiwanya sendiri, sekali aku sudah penujui Nikoh cilik jelita ini tidak nanti kulepaskan dia lagi. Apabila kau ingin aku melepaskan dia juga boleh, tapi ada satu syarat!'

"Jawab Lenghou-toako, 'Baik, coba katakan. Naik gunung berapi atau masuk ke laut mendidih, jika aku Lenghou Tiong mengerut kening sedikit saja bukanlah laki-laki sejati.'

"Dengan tertawa, Dian Pek-kong menuang dua mangkuk arak lalu berkata, 'Silakan minum dulu, akan kukatakan padamu.'

"Tanpa pikir lagi Lenghou-toako lantas angkat mangkuk itu, sekali tenggak ia habiskan isinya dan memperlihatkan mangkuk yang kosong sambil berkata, 'Habis!'

"Segera Dian Pek-kong juga menghabiskan semangkuk arak, kemudian berkata, 'Lenghou-heng, bila aku sudah anggap kau sebagai sahabat, maka kita harus tunduk kepada hukum Kangouw. Istri kawan tidak boleh digoda. Asal kau menyanggupi akan mengawini Nikoh cilik ini .…'" bercerita sampai di sini air muka Gi-lim menjadi merah jengah, suaranya makin lirih sampai akhirnya tidak kedengaran lagi.

"Ngaco-belo! Makin omong makin kotor!" teriak Ting-yat sambil gebrak meja. "Lalu bagaimana?"

Dengan suara perlahan Gi-lim menutur pula, "Dian Pek-kong itu masih mengoceh terus, dengan cengar-cengir ia berkata, 'Seorang laki-laki sejati sekali omong harus bisa pegang janji. Asal kau menyanggupi akan menikahi dia sebagai istri, segera juga aku akan membebaskan dia, bahkan aku akan memberi hormat dan minta maaf padanya. Selain jalan ini jangan lagi mengharap.'

"Lenghou-toako menyemprotnya, 'Cis, memangnya kau ingin membikin aku sial selama hidup? Sudahlah, urusan ini jangan dibicarakan lagi.'

"Tapi keparat Dian Pek-kong itu masih terus mengoceh tak keruan, katanya Nikoh kalau piara rambut tentu bukan Nikoh lagi dan macam-macam omongan gila lainnya. Aku menutup telinga sendiri tidak sudi mendengarkan. 'Tutup mulut!' bentak Lenghou-toako. 'Jika kau sembarangan mengoceh lagi seketika ini juga aku bisa mati kaku. Kau tidak mau membebaskan dia, bolehlah kita bertempur lagi mati-matian. Dian-heng, sesungguhnya kalau bertempur dengan berdiri aku memang bukan tandinganmu, tapi kalau bertempur sambil berduduk kau pasti bukan lawanku.'"

Tadi semua orang telah mendengar cerita Gi-lim tentang Dian Pek-kong menangkis belasan kali serangan Te-coat Tojin tanpa berbangkit dari tempat duduknya, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian bertempur Dian Pek-kong sambil berduduk itu. Tapi sekarang Lenghou Tiong berani mengatakan kepandaian Dian Pek-kong kalah tinggi daripadanya, terang ucapan ini hanya untuk membuat marah lawan saja.

"Ya, terhadap bangsat keparat cabul begitu memang harus memancingnya supaya murka, habis itu barulah mencari kesempatan untuk membinasakan dia," kata Ho Sam-jit.

"Akan tetapi Dian Pek-kong itu ternyata tidak marah atas tantangan Lenghou-toako itu," tutur Gi-lim lebih lanjut. "Dengan tertawa dia berkata, 'Lenghou-heng, yang kukagumi adalah jiwa kesatria dan keberanianmu, tapi bukanlah ilmu silatmu.'

"Kontan Lenghou-toako menjawab, 'Dan yang kukagumi adalah ilmu golokmu dengan berdiri dan bukan ilmu golok yang dimainkan sambil berduduk.'

"Dian Pek-kong terbahak-bahak, jawabnya, 'Dalam hal ini rupanya kau tidak tahu bahwa dahulu aku pernah sakit lumpuh, lebih dari dua tahun aku terpaksa berlatih ilmu golok sambil berduduk. Maka bertempur sambil berduduk adalah kemahiranku yang khas. Ini sudah terbukti dalam pertarunganku dengan Tojin hidung kerbau tadi. Maka dari itu Lenghou-heng, dalam hal kepandaian bertempur sambil berduduk sudah terang kau bukan tandinganku.'

"Tapi Lenghou-toako lantas mendebat, 'Dian-heng, rupanya kau pun tidak tahu. Kau cuma dua tahun saja berlatih ilmu golokmu sambil berduduk lantaran kena penyakit lumpuh, terang ilmu pedangku sambil berduduk jauh lebih lihai daripadamu, sebab setiap hari aku senantiasa berlatih sambil berduduk.'"

Bercerita sampai di sini, sorot mata semua orang lantas beralih ke arah Lo Tek-nau dengan maksud ingin tahu apa yang dikatakan oleh Lenghou Tiong itu apakah memang sungguh-sungguh, mereka tidak tahu apakah di dalam ilmu silat Hoa-san-pay memang betul ada cara latihan sambil berduduk.

Maka dengan tertawa Lo Tek-nau telah menjawab, "Toasuko hanya membohongi dia saja, golongan kami tiada terdapat kepandaian cara demikian."

"Ya, Dian Pek-kong juga merasa heran," sambung Gi-lim. "Katanya, 'Apakah betul demikian? Wah, rupanya pengetahuanku yang dangkal dan kurang luas pengalamanku. Aku menjadi ingin sekali belajar kenal dengan ilmu pedang Hoa-san-pay ... eh, apakah namanya?'

"Lenghou-toako menjawab dengan tertawa, 'Ilmu pedang ini bukan ajaran guruku, tapi adalah ciptaanku sendiri.'

"Mendengar itu, seketika air muka Dian Pek-kong berubah, katanya, 'O, kiranya demikian. Bakat Lenghou-heng yang tinggi sungguh sangat mengagumkan.'"

Semua orang dapat mengerti sebab apa air muka Dian Pek-kong berubah. Maklumlah, untuk menciptakan sejurus ilmu pukulan atau ilmu pedang bukanlah soal mudah di dunia persilatan. Kalau bukan ilmu silatnya sudah kelewat tinggi dan mempunyai bakat serta pengetahuan yang luas, tidaklah mungkin dapat menciptakan sendiri ilmu silat baru.

Maka diam-diam Lo Tek-nau juga heran, pikirnya, "Kiranya Toasuko telah berhasil menciptakan ilmu pedang baru, mengapa dia tidak lapor kepada Suhu? Apa barangkali dia merasa sirik karena telah dihajar oleh Suhu gara-gara percekcokannya dengan orang-orang Jing-sia-pay, lalu ingin keluar dari Hoa-san-pay untuk berdiri sendiri?"

Dalam pada itu terdengar Gi-lim telah melanjutkan, "Tatkala itu Lenghou-toako hanya tertawa saja, katanya, 'Haha, ilmu pedangku ini berbau busuk, apanya yang perlu dikagumkan?'

"Dian Pek-kong menjadi heran, ia tanya, 'Mengapa kau bilang berbau busuk?'

"Aku sendiri juga terheran-heran atas keterangan Lenghou-toako itu. Ilmu pedang hanya dibedakan antara bagus dan tidak, masakah pakai bau harum dan bau busuk segala?

"Kudengar Lenghou-toako telah menjawab, 'Biarlah kuceritakan terus terang padamu, Dian-heng. Terciptanya ilmu pedangku ini adalah demikian jalannya: Setiap pagi hari aku tentu masuk kakus, di kala berduduk di tempat buangan kotoran selalu aku diganggu oleh lalat yang terbang kian kemari dan menjemukan. Saking isengnya aku lantas membawa pedang untuk menyampuk dan menusuk kawanan lalat yang mengganggu itu. Semula memang sukar untuk menusuk lalat-lalat itu, tapi lama-kelamaan menjadi jitu, setiap kali menusuk tentu kena sasarannya, lambat laun timbul juga ilhamku untuk menggubah gerakan menusuk lalat dengan pedang itu dalam sejurus Kiam-hoat. Karena di waktu memainkan ilmu pedang itu selalu duduk di dalam kakus, bukankah baunya menjadi rada-rada busuk?'

"Mendengar uraian Lenghou-toako itu, saking gelinya, aku sampai tertawa. Kuanggap Lenghou-toako itu benar-benar sangat jenaka, di dunia ini masakah ada orang berlatih ilmu pedang cara demikian? Sebaliknya air muka Dian Pek-kong berubah kurang senang, katanya, 'Lenghou-heng, aku anggap kau sebagai seorang sahabat, tapi dengan ucapanmu itu tidakkah terlalu menghina diriku? Masakah kau anggap aku Dian Pek-kong sebagai lalat-lalat di dalam kakus itu? Bagus, biarlah sekarang juga aku akan belajar kenal dengan ilmu yang ... yang ....'"

Mendengar sampai di sini, diam-diam semua orang manggut-manggut mengakui kecerdikan Lenghou Tiong. Hendaklah maklum bahwa pertandingan antara jago silat kelas wahid paling pantang marah, sekali marah berarti sudah kalah beberapa bagian. Sekarang Lenghou Tiong sengaja mengarang kata-kata yang menghina dan Dian Pek-kong benar-benar telah dibikin marah, ini berarti langkah pertama Lenghou Tiong sudah berhasil. Dian Pek-kong sudah masuk ke perangkapnya.

"Kemudian bagaimana?" segera Ting-yat tanya.

"Lenghou-toako masih tetap tertawa saja," tutur Gi-lim. "Katanya, 'Tidak, tidak ada maksud Cayhe ingin menghina Dian-heng. Di waktu melatih ilmu pedangku ini sesungguhnya hanya terdorong oleh rasa iseng saja, sekali-kali tiada maksud tujuan akan digunakan untuk bertempur dengan orang. Maka dari itu harap Dian-heng jangan salah paham, betapa pun kurang ajarnya Cayhe juga tak berani menyamakan Dian-heng dengan lalat di kakus.'

"Aku tambah geli mendengar Lenghou-toako menekankan nadanya pada menyamakan Dian-heng dengan lalat di kakus, tanpa merasa aku tertawa pula. Keruan Dian Pek-kong tambah gusar, segera ia cabut goloknya dan ditaruh di atas meja. Katanya, 'Baik, kita boleh coba-coba bertanding sambil berduduk.'

"Melihat sorot mata Dian Pek-kong memancarkan sinar beringas aku jadi khawatir. Terang kini Dian Pek-kong sudah tidak kenal ampun lagi dan akan membunuh Lenghou-toako.

"Tapi Lenghou-toako tetap tenang-tenang saja, katanya dengan tertawa, 'Kita bertanding sambil berduduk, terang kau kalah mahir daripadaku dan pasti bukan tandinganku. Hari ini Lenghou Tiong baru saja mendapatkan seorang sahabat sebagai Dian-heng, buat apa mesti saling cekcok pula? Lagi pula Lenghou Tiong adalah seorang laki-laki sejati, tidak nanti aku sudi mengakali kawannya sendiri dengan kepandaian yang paling diandalkannya!'

"Dian Pek-kong menjawab, 'Tidak, pertandingan ini berlangsung dengan sukarela dan tak dapat dianggap kau mengakali aku.'

"Lenghou-toako menegas, 'Jika demikian, jadi Dian-heng berkeras ingin bertanding?'

"'Ya, harus bertanding!' jawab Dian Pek-kong. 'Bertanding sambil berduduk?' Lenghou-toako menegas pula. 'Betul, bertanding sambil berduduk,' jawab Dian Pek-kong.

"'Baik, jika demikian, kita harus menentukan suatu peraturan, siapa yang berdiri sebelum menang atau kalah diketahui dianggap kalah,' kata Lenghou-toako.

"'Akur! Siapa yang berdiri lebih dulu dianggap kalah!'

"Lalu Lenghou-toako berkata pula, 'Dan bagaimana bagi yang kalah?'

"'Terserah padamu bagaimana baiknya?' jawab Dian Pek-kong. Kata Lenghou-toako, 'Tunggu sebentar, biar kupikir dulu. Ah, adalah! Pertama, siapa yang kalah selanjutnya tidak boleh bersikap kurang ajar kepada Nikoh cilik ini, bila melihat dia harus memberi hormat dan menyapa, 'Siausuhu, Tecu Dian Pek-kong menyampaikan salam bakti.'

"Dian Pek-kong menyemprot, 'Cis, dari mana kau mengetahui aku yang akan kalah? Jika kau yang kalah lantas bagaimana?'

"Dengan tertawa Lenghou-toako menjawab, 'Sama juga, pendek kata siapa saja yang kalah harus ganti perguruan dan mengangkat Nikoh cilik ini sebagai guru, menjadi cucu murid Ting-yat Losuthay dari Hing-san-pay!'

"Coba Suhu, ucapan Lenghou-toako itu sangat lucu bukan? Mereka berdua akan bertanding, masakah kalau kalah harus menjadi murid Hing-san-pay? Padahal aku mana boleh menerima mereka sebagai murid?"

Sampai di sini, wajah Gi-lim yang sejak tadi muram durja itu lantas menampilkan senyuman manis sehingga makin menambah kecantikannya.

"Ucapan orang Kangouw begitu buat apa kau anggap sungguh-sungguh? Lenghou Tiong hanya sengaja membuat marah Dian Pek-kong saja," kata Ting-yat Suthay. "Kemudian bagaimana?"

"Dian Pek-kong menjadi ragu-ragu mendengar ucapan Lenghou-toako yang tegas dan pasti itu. Aku menduga dia mulai khawatir jangan-jangan kepandaian main pedang sambil berduduk Lenghou-toako benar-benar luar biasa. Karena itu Lenghou-toako telah membikin panas lagi hatinya, 'Jika kau sudah pasti tidak ingin menjadi murid Hing-san-pay, maka bolehlah kita batalkan pertandingan ini.'

"Dian Pek-kong menjadi marah, sahutnya, 'Baiklah, kita tetapkan demikian, siapa yang kalah harus mengangkat Nikoh cilik ini sebagai guru.'

"Tapi aku lantas berseru, 'Tidak, aku tidak ingin menerima kalian sebagai murid. Kepandaianku rendah, pula Suhuku juga tidak akan mengizinkan. Setiap orang Hing-san-pay kami adalah Nikoh, mana boleh ... mana boleh ....'

"Mendadak Lenghou-toako memutus ucapanku, 'Aku berunding sendiri dengan Dian-heng, mau tidak mau kau harus menurut, kau tidak ada hak buat ikut campur.'

"Lalu ia berpaling kepada Dian Pek-kong dan melanjutkan, 'Kedua, siapa yang kalah harus segera ayun senjata atas diri sendiri dan menjadi Thaykam.'

"Sungguh aku tidak paham, Suhu, entah apa maksudnya ayun senjata atas diri sendiri dan menjadi Thaykam?"

Karena pertanyaan Gi-lim ini, seketika tertawalah semua orang. Thaykam adalah dayang raja yang sudah dikebiri. Ayun senjata atas diri sendiri dan menjadi Thaykam berarti mengebiri dirinya sendiri.

Ting-yat ikut geli juga atas kepolosan muridnya yang hijau itu. Jawabnya, "Kata-kata itu adalah ucapan kasar kaum bajingan, tidak perlu kau cari tahu."

"O, kiranya adalah kata-kata kasar," tukas Gi-lim. "Tapi demi mendengar ucapan itu, Dian Pek-kong lantas melirik Lenghou-toako, katanya, 'Lenghou-heng, apakah kau betul-betul sudah yakin akan menang?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Sudah tentu! Jika bertempur sambil berdiri, di seluruh dunia ini aku terhitung jago nomor 39, tapi kalau bertempur sambil berduduk, aku adalah tokoh nomor dua!'

"Dian Pek-kong tampak terheran-heran mendengar keterangan itu, ia tanya, 'Bertempur sambil berduduk kau adalah tokoh nomor dua? Lalu siapa itu yang nomor satu?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Yang nomor satu ialah Mo-kau Kaucu (ketua Mo-kau) Tonghong Put-pay!'"

Mendengar nama "Mo-kau Kaucu Tonghong Put-pay" itu, seketika air muka semua orang berubah.

Gi-lim merasakan juga keadaan yang tegang itu, ia merasa heran dan takut pula sebab mengira ucapannya salah. Ia coba tanya, "Suhu, apakah aku salah omong?"

"Tak perlu kau sebut nama itu lagi," sahut Ting-yat. "Lalu bagaimana kata Dian Pek-kong?"

"Waktu itu Dian Pek-kong hanya manggut-manggut saja," tutur Gi-lim pula. "Katanya, 'Ya, kau bilang Tonghong-kaucu yang nomor satu, ini dapat aku setujui. Tapi Lenghou-heng mengaku nomor dua, hal ini rasanya terlalu sombong dan membual belaka. Memangnya kau dapat melebihi gurumu sendiri?'

"'Aku kan bilang bertempur sambil berduduk. Kalau bertempur dengan berdiri, Suhuku adalah nomor enam, sedangkan aku cuma nomor 39, sudah tentu aku selisih sangat jauh dengan beliau,' demikian jawab Lenghou-toako.

"Dian Pek-kong angguk-angguk, katanya, 'O, kiranya begitu! Lalu jika bertempur sambil berdiri aku terhitung nomor berapa? Siapa sih yang menentukan urut-urutan nomor ini?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Sebenarnya ini merupakan suatu rahasia besar.
Tapi kita berdua rupanya sangat cocok satu sama lain, biarlah kuceritakan pada Dian-heng, tapi jangan sekali-kali kau ceritakan lagi kepada orang lain. Kalau tidak tentu akan mengakibatkan pergolakan besar dalam dunia persilatan. Tiga bulan yang lalu, kelima guru besar Ngo-gak-kiam-pay kami telah berkumpul di Hoa-san untuk membicarakan tokoh-tokoh terkemuka Bu-lim pada zaman ini, pada waktu itulah telah ditentukan urut-urutan jago-jago silat di seluruh jagat. Dian-heng, terus terang saja kukatakan padamu, kelima guru besar kami telah memaki kelakuanmu yang tidak ada harganya sepeser pun, tapi mengenai ilmu silatmu masih boleh juga, dalam hal bertempur sambil berdiri, kau dapat dihitung nomor 14 di dunia ini.'"

"Lenghou Tiong omong kosong, bilakah terjadi pertemuan demikian?" seru Thian-bun dan Ting-yat berbareng.

"Kiranya Lenghou-toako sengaja membohongi dia," kata Gi-lim. "Makanya Dian Pek-kong juga ragu-ragu, setengah percaya, setengah tidak, katanya, 'Hahaha, aku Dian Pek-kong dapat dihitung nomor 14 di antara para Ciangbunjin Ngo-gak-kiam-pay dan para tokoh Bu-lim yang lain, sungguh bahagialah aku. Dan waktu itu, Lenghou-heng apakah juga telah pertunjukkan ilmu pedang kakus yang berbau busuk itu di depan kelima guru besar kalian? Kalau tidak masakah beliau-beliau itu meluluskan gelarmu sebagai jago nomor dua di dunia ini?'

"Dengan tertawa Lenghou-toako menjawab, 'Ilmu pedang kakus itu adalah tidak pantas dipertunjukkan di depan umum, apalagi di depan kelima guru besar kami. Aku memainkannya jika aku merasa kebelet dan cepat-cepat pergi ke kakus, dengan sendirinya gaya permainan ilmu pedang ini sangatlah menertawakan. Aku pernah tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkemuka dari Mo-kau, mereka menganggap ilmu pedangku ini tiada tandingannya kecuali Tonghong-kaucu mereka. Cuma saja, Dian-heng, ilmu pedangku ini meski lihai, tapi kecuali kugunakan menusuk lalat di waktu berak sesungguhnya tiada gunanya lagi. Coba kau pikir, bila benar-benar aku bergebrak dengan orang, siapa yang mau bertanding dengan aku sambil berduduk? Memang kau sekarang sudah berjanji akan bertanding dengan aku sambil berduduk. Tapi bila nanti kau sudah kalah, tentu dari malu kau akan menjadi gusar dan mendadak berbangkit untuk menyerang diriku. Padahal kau adalah jago nomor 14 jika bertempur sambil berdiri, tentu saja dengan gampang kau dapat membunuh aku yang cuma nomor 39 ini. Jadi, jago nomor 14 bagimu adalah tulen, tapi jago nomor 2 bagiku sebenarnya percuma saja.'

"Dian Pek-kong lantas mendengus dan berkata, 'Lenghou-heng, mulutmu ini memang pintar putar lidah. Dari mana kau tahu pasti aku akan kalah jika bertempur dengan kau sambil berduduk dan dari mana mengetahui pula aku akan malu berubah menjadi gusar, lalu berbangkit dan membunuh kau?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Dian-heng, jika kau berjanji takkan membunuh aku bilamana kau nanti kalah, maka syarat menjadi Thaykam tadi bolehlah dihapuskan supaya kau tidak sampai putus keturunan. Nah, tidak perlu banyak omong lagi, marilah mulai!"

"Habis berkata ia terus jungkirkan meja bersama mangkuk dan poci arak sehingga mencelat, maka berhadapanlah kedua orang sekarang sambil berduduk, yang satu bergolok dan yang lain menghunus pedang. Kata Lenghou-toako pula, 'Silakan mulai! Siapa yang berbangkit lebih dulu, pantat siapa yang lebih dulu meninggalkan kursi, dianggap kalah.'

"'Baik, ingin kulihat siapa yang lebih dulu berbangkit!' sahut Dian Pek-kong.

"Baru saja mereka hendak mulai bergebrak, sekilas Dian Pek-kong memandang ke arahku, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, 'Lenghou-heng, aku menyerah padamu saja. Kiranya kau memang sengaja hendak membuat gara-gara padaku. Sekarang kita bertempur sambil berduduk dan tidak boleh meninggalkan kursi, jangan-jangan kau telah menyembunyikan pembantu, atau Nikoh cilik ini nanti akan mengganggu aku dari belakang sehingga terpaksa aku akan berbangkit.'

"Tapi Lenghou-toako juga terbahak-bahak, jawabnya, 'Aku tidak perlu dibantu oleh siapa-siapa, bila ada yang membantu, anggaplah aku yang kalah. Eh, Nikoh cilik, kau mengharapkan aku menang atau kalah?'

"Aku menjawab, 'Sudah tentu mengharapkan kau menang. Kau adalah jago nomor dua di dunia ini bila bertempur sambil berduduk, kau pasti takkan kalah.'

"'Baik, jika begitu lekas enyah! Makin cepat makin baik, makin jauh makin bagus. Tanpa bertempur juga aku sudah kalah bila seorang wanita gundul macammu selalu berdiri di depanku,' demikian kata Lenghou-toako, dan tanpa menunggu Dian Pek-kong bersuara lagi, kontan ia mendahului menusuk.

"Cepat Dian Pek-kong menangkis dan balas menyerang satu kali, katanya dengan tertawa, 'Lenghou-heng, sungguh aku sangat kagum kepada tipu akalmu yang hendak menyelamatkan Nikoh cilik ini. Lenghou-heng, kau benar-benar seorang pencinta besar. Cuma risiko ini juga teramat besar bagimu.'

"Pada waktu itu barulah aku tahu bahwa sebabnya Lenghou-toako berulang-ulang menegaskan siapa yang berdiri lebih dulu dianggap kalah adalah supaya aku ada kesempatan untuk melarikan diri. Jika Dian Pek-kong tidak mau dianggap kalah, dengan sendirinya ia tidak boleh meninggalkan kursinya dan dengan sendirinya tak dapat menangkap aku lagi."

Semua orang ikut merasa gegetun atas usaha Lenghou Tiong yang ingin menolong Gi-lim itu. Dalam keadaan ilmu silatnya kalah tinggi memang tiada jalan lain kecuali adu tipu daya.

"Tentang 'cinta' apa segala selanjutnya jangan kau sebut-sebut lagi dan tidak boleh kau pikirkan," kata Ting-yat. "Lalu bagaimana, waktu itu seharusnya kau dapat melarikan diri. Kalau tidak, sesudah Lenghou Tiong dibunuh oleh Dian Pek-kong, tentu kau akan dibekuk pula olehnya."

"Ya, Lenghou-toako berulang-ulang juga mendesak pula, terpaksa aku menyembah padanya dan berkata, 'Banyak terima kasih atas pertolongan Lenghou-suheng!'

"Habis itu aku lantas hendak turun ke bawah loteng. Tapi baru saja sampai di ujung tangga, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan Dian Pek-kong, 'Kena!'

"Waktu aku menoleh, dua titik darah menciprat di atas mukaku. Kiranya pundak Lenghou-toako telah terluka.

"Terdengar Dian Pek-kong bertanya dengan tertawa, 'Bagaimana? Jago ilmu pedang nomor dua di dunia ini kukira juga biasa saja!'

"Lenghou-toako menjawab, 'Nanti dulu! Nikoh cilik itu belum pergi, sudah tentu aku tak dapat menangkan kau. Rupanya aku sudah ditakdirkan sial begini.'

"Kupikir Lenghou-toako jemu kepada Nikoh, jika aku tetap tinggal di situ jangan-jangan akan benar-benar membikin celaka dia, terpaksa aku lekas-lekas turun dari loteng restoran itu. Sampai di bawah, kudengar suara benturan senjata di atas loteng bertambah ramai, mendadak Dian Pek-kong membentak pula, 'Kena!'

"Keruan aku terperanjat, kupikir Lenghou-toako tentu terluka lagi. Tapi aku tak berani naik ke atas loteng, terpaksa mencari jalan di luar dan memanjat ke atas atap restoran itu, aku mendekam di atas genting dan mengintip ke bawah melalui jendela. Kulihat Lenghou-toako masih terus bertempur dengan tangkas walaupun badannya sudah berlumuran darah, sebaliknya Dian Pek-kong sama sekali tidak terluka.

"Setelah bertempur sekian lamanya lagi, kembali Dian Pek-kong membentak, 'Kena!'

"Tahu-tahu lengan kiri Lenghou-toako telah terbacok. Tapi Dian Pek-kong lantas tarik kembali goloknya, katanya dengan tertawa, 'Lenghou-heng, seranganku ini sengaja kulakukan dengan setengah-setengah saja.'

"Lenghou-toako menjawab dengan tertawa, 'Sudah tentu aku tahu. Jika kau membacok sedikit lebih keras tentu lenganku ini sudah berpisah dengan tubuhku!'
"Coba Suhu, dalam keadaan demikian dia masih tertawa-tawa malah.
"Lalu Dian Pek-kong bertanya, 'Dan pertempuran ini apakah perlu diteruskan?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Sudah tentu diteruskan. Aku toh belum sampai berdiri.' Kata Dian Pek-kong, 'Aku menganjurkan sebaiknya kau mengaku kalah dan berdiri saja. Apa yang sudah kita janjikan boleh dianggap gugur saja, kau tidak perlu mengangkat Nikoh cilik itu sebagai guru.' Tapi Lenghou-toako menjawab, 'Tidak, laki-laki sejati, sekali sudah berjanji mana boleh ditarik kembali?'

"Dian Pek-kong berkata, 'Sudah banyak aku melihat laki-laki pemberani di dunia ini, tapi orang seperti Lenghou-heng ini baru hari ini aku melihatnya.
Baiklah, anggap saja kita seri, marilah kita sudahi pertandingan ini.'

"Tapi Lenghou-toako memandangnya sambil tertawa-tawa tanpa menjawab. Darah menetes dari berbagai lukanya. Dian Pek-kong lantas menyimpan goloknya dan baru saja hendak berbangkit, mendadak teringat olehnya, bila meninggalkan kursinya akan berarti kalah, maka tubuhnya baru menggeliat sedikit saja ia lantas berduduk tegak lagi sehingga tidak sampai meninggalkan kursinya. 'Dian-heng, cerdik sekali kau ini!' kata Lenghou-toako dengan tertawa."
Mendengar sampai di sini, tanpa merasa semua orang menarik napas panjang dan merasa sayang bagi Lenghou-Tiong.

Lalu Gi-lim menyambung lagi, "Segera Dian Pek-kong mengangkat goloknya lagi dan berkata, 'Aku akan main dengan cepat, jika terlambat mungkin aku tak dapat menyusul dan membekuk Nikoh cilik itu.'

"Mendengar diriku akan diuber pula, aku menjadi gemetar ketakutan, tapi khawatir pula kalau-kalau Lenghou-toako akan mengalami cedera apa-apa. Aku jadi bingung. Tiba-tiba timbul pikiranku bahwa sebabnya Lenghou-toako bertempur mati-matian dengan dia adalah lantaran ingin menolong diriku. Jalan satu-satunya asal aku bunuh diri di depan mereka barulah Lenghou-toako akan terhindar dari kematian.

"Segera aku bersiap-siap untuk melompat ke dalam loteng restoran itu, tapi mendadak kulihat Lenghou-toako sempoyongan, tubuhnya berikut kursinya terperosot roboh ke samping, tapi kedua tangannya menahan di lantai sambil merangkak-rangkak sehingga kursi itu tetap menindih di atas bokongnya. Rupanya lukanya cukup parah sehingga sukar untuk berdiri kembali. Dian Pek-kong sangat senang, dengan tertawa ia bertanya, 'Bagaimana? Kalau bertempur sambil duduk adalah jago nomor dua, kalau sambil merangkak jago nomor berapa?'

"Sambil bicara tanpa merasa ia terus berbangkit.

"Mendadak Lenghou-toako bergelak tertawa dan berkata, 'Hahahaha! Kau sudah kalah!'

"Dian Pek-kong menjawab, 'Kau yang kalah sampai jatuh terperosot, masakah masih menuduh aku yang kalah?'
"Sambil tengkurap di atas lantai, Lenghou-toako menjawab, 'Coba katakan, bagaimana perjanjian kita?'

"'Kita berjanji bertempur sambil berduduk, siapa yang berdiri lebih dulu, yang pantatnya meninggalkan kursi lebih dulu, dianggap ka ... ka ....' berkata sampai di sini, Dian Pek-kong tidak dapat meneruskan lagi. Sambil menuding Lenghou-toako ia pun sadar bahwa dirinya telah tertipu. Dia sudah berdiri lebih dulu, sebaliknya Lenghou-toako masih belum berbangkit, pantatnya juga belum pernah berpisah dengan kursinya, walaupun keadaan Lenghou-toako rada runyam, tapi sesuai dengan perjanjian, terang dia yang keluar sebagai pemenang."
Mendengar sampai di sini, serentak semua orang bertepuk tangan dan tertawa puas. Hanya Ih Jong-hay saja yang mendengus, katanya, "Huh, hanya bajingan tengik saja yang sudi main akal bulus dengan maling cabul sebagai Dian Pek-kong itu, sungguh membikin malu kaum Beng-bun-cing-pay saja."

Hina Kelana - Chin Yung Bagian 13

Bab 13. Asal Judi Tentu Kalah


"Untung juga udara mendung, keadaan gelap gulita, dia tak dapat melihat kami. Tapi mungkin dia pun menduga kami pasti masih sembunyi di sekitar situ, maka dia masih terus membacok dan menebas tak berhenti-henti. Suatu kali pedangnya menyambar lewat di atas kepalaku, wah, hampir-hampir saja aku terluka, sungguh sangat berbahaya. Sesudah menebas kian kemari tanpa hasil, bangsat itu masih terus mencaci maki dan mencari ke sebelah sana.

"Sekonyong-konyong ada benda cair hangat menetes di atas mukaku, berbareng aku lantas mengendus bau anyirnya darah. Aku terkejut dan bertanya dengan suara perlahan, 'Apakah engkau terluka?'

"Tapi cepat ia mendekap mulutku sambil berbisik, 'Ssst, aku tak apa-apa, jangan bersuara.'

"Selang sejenak suara Dian Pek-kong semakin menjauh, lalu dia membuka tangannya. Aku merasa darah yang menetes di mukaku itu semakin banyak, tanyaku khawatir, 'Apakah lukamu parah? Darah harus dibikin pampat dulu. Aku membawa obat luka.'

"Tapi kembali dia mendekap mulutku sambil mendesis supaya aku jangan bersuara. Pada saat itulah mendadak Dian Pek-kong berlari kembali sambil menghardik, 'Hahaha! Kiranya sembunyi di sini. Hayo lekas keluar, aku sudah melihat tempat sembunyi kalian!'

"Mendengar tempat sembunyi kami telah dilihat Dian Pek-kong, diam-diam aku mengeluh," demikian Gi-lim melanjutkan, "segera aku bermaksud berdiri, cuma kakiku tak bisa bergerak sama sekali .…"

"Kau tertipu, Dian Pek-kong hanya menggertak kalian, sebenarnya dia tidak melihat apa-apa," kata Ting-yat Suthay.

"Memang betul," kata Gi-lim. "Waktu itu Suhu tidak berada di sana, mengapa bisa tahu persis?"

"Itu terlalu gampang untuk ditebak," kata Ting-yat. "Jika dia betul-betul melihat kalian, buat apa dia bergembar-gembor, dia dapat mendekati kalian dan sekali tebas binasakan Lenghou Tiong saja kan beres. Rupanya bocah Lenghou Tiong itu pun masih hijau."

"Tidak, Lenghou-toako juga dapat menerka maksud Dian Pek-kong itu, cepat dia tekap mulutku agar tidak bersuara," tutur Gi-lim. "Sesudah berkaok-kaok sekian lamanya dan tidak mendengar suara apa-apa, Dian Pek-kong memotong dan membabati rumput lagi untuk mencari ke lain tempat. Setelah pergi jauh, kemudian Lenghou-toako berbisik padaku, 'Sumoay, asal kita dapat tahan lagi setengah jam, sesudah Hiat-tomu yang tertutuk lancar kembali jalan darahnya tentu dapat aku dapat menolong dirimu. Cuma sebentar lagi keparat Dian Pek-kong itu pasti akan putar kembali dan tentu kita akan diketemukan.
Terpaksa kita harus mengambil risiko, biarlah kita sembunyi ke dalam gua saja."
Mendengar sampai di sini, serentak Bun-siansing, Ho Sam-jit dan Lau Cing-hong berseru berbareng, "Bagus! Tabah dan cerdik!"

"Tapi aku menjadi takut demi mendengar akan masuk ke dalam gua lagi," tutur Gi-lim pula. "Namun tatkala itu aku sudah sangat kagum kepada Lenghou-toako, jika begitu keinginannya, kuyakin pasti benar. Maka aku lantas menyatakan setuju. Segera aku dipondongnya dan menyusup ke dalam gua. Sesudah aku diletakkan di atas tanah, aku berkata, 'Di bajuku ada Thian-hiang-toan-siok-ko, obat luka yang sangat mujarab, silakan ... silakan ambil untuk dibubuhkan pada lukamu.'

"Tapi Lenghou-toako mengatakan kurang leluasa, tapi akan menunggu setelah aku dapat bergerak barulah mau terima obatku. Lalu dia memotong ujung baju sendiri untuk membalut lukanya.

"Baru sekarang aku tahu bahwa demi untuk melindungi diriku, pada waktu sembunyi di semak-semak alang-alang tadi golok Dian Pek-kong telah kena menebas di bahunya, tapi dia tetap tidak bergerak dan tidak bersuara walaupun rasa sakitnya pasti bukan buatan. Syukurlah dalam keadaan gelap Dian Pek-kong tidak memergoki kami. Sungguh aku merasa sedih dan tidak paham mengapa dia bilang tidak leluasa mengambil obatku .…"

"Hm, jika begitu, jadi Lenghou Tiong adalah kesatria dan laki-laki sejati," jengek Ting-yat Suthay.

Sepasang mata Gi-lim yang besar dan bening itu memancarkan perasaan heran, katanya, "Ya, Lenghou-toako sudah tentu seorang baik pilihan. Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa menghiraukan keselamatan sendiri sudi tampil ke muka untuk menolong diriku."

"Meski kau tidak pernah kenal dia, tapi bukan mustahil sudah lama dia telah kenal wajahmu, kalau tidak masakan dia mau berbuat begitu?" ujar Ih Jong-hay dengan dingin. Di balik kata-katanya itu seakan-akan menuduh sebabnya Lenghou Tiong mau menolong Gi-lim adalah lantaran kesengsem pada muka Gi-lim yang sangat cantik itu.

"Tidak, Lenghou-toako mengatakan selamanya tak pernah melihat diriku," kata Gi-lim. "Lenghou-toako pasti tidak berdusta padaku, pasti tidak!"

Mendengar jawaban Gi-lim yang tegas dan pasti itu, mau tak mau semua orang percaya juga terhadap keyakinan Nikoh jelita yang suci bersih itu.

Ih Jong-hay juga membatin, "Perbuatan Lenghou Tiong yang gila-gilaan itu besar kemungkinan sengaja hendak menempur Dian Pek-kong agar namanya bisa berkumandang di dunia persilatan."

Dalam pada itu Gi-lim telah melanjutkan, "Sesudah Lenghou-toako membalut luka, dia lantas menolong aku pula dengan mengurut Koh-cing-hiat dan Goan-tiau-hiat di tubuhku. Tidak lama kemudian terdengarlah suara gemeresak rumput dibabat di luar gua itu berjangkit pula, makin lama makin dekat. Nyata Dian Pek-kong masih terus mencari kami dan sekarang telah kembali lagi di depan gua. Kudengar dia melangkah masuk ke dalam gua dan duduk mengaso di mulut gua tanpa bersuara.

"Hatiku berdebar-debar, sedapat mungkin aku menahan napas. Sekonyong-konyong Koh-cing-hiat di bahuku terasa sakit mendadak, karena secara mendadak sehingga aku meringis dan menghela napas.
Tapi sedikit suara ini saja sudah membikin keadaan menjadi runyam. Dian Pek-kong lantas bergelak tertawa dan melompat bangun, segera dia mendekati aku. Lenghou-toako tetap meringkuk di samping tanpa bergerak sedikit pun.

"Dengan tertawa Dian Pek-kong berkata, 'Haha, kiranya kau masih sembunyi di sini, domba cilik!'

"Berbareng tangannya lantas hendak meraih tubuhku. Tapi mendadak terdengar suara 'cret' satu kali, dia telah kena ditusuk oleh pedang Lenghou-toako. Cuma sayang tusukan itu tidak mengenai tempatnya yang berbahaya sehingga Dian Pek-kong sempat melompat mundur terus melolos golok yang terselip di pinggangnya. Dalam kegelapan segera dia balas membacok Lenghou-toako. Maka terdengarlah suara 'trang' yang nyaring, kedua orang lantas bertempur."

"Berapa babak Lenghou Tiong menempur Dian Pek-kong itu?" mendadak Thian-bun Tojin menyela.

"Entahlah, dalam keadaan bingung Tecu juga tidak tahu mereka telah bertempur berapa lamanya," sahut Gi-lim. "Kudengar Dian Pek-kong tertawa dan berseru, 'Aha, kau adalah orang Hoa-san-pay! Hoa-san-kiam-hoat bukanlah tandinganku. Siapa namamu?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, baik Hoa-san-pay atau keempat golongan lain, semuanya adalah musuhmu maling cabul ini ...'

"Belum habis ucapannya, Dian Pek-kong sudah lantas menerjang maju pula. Kiranya dia sengaja memancing Lenghou-toako bersuara agar tahu persis tempatnya, lalu menyerangnya.

"Setelah saling gebrak beberapa jurus lagi, mendadak Lenghou-toako menjerit kesakitan, rupanya dia terluka lagi. Terdengar Dian Pek-kong mengejeknya dengan tertawa, 'Sedari tadi sudah kukatakan Hoa-san-kiam-hoat bukanlah tandinganku, sekalipun gurumu Gak-loji datang sendiri juga tak mampu melawan aku.'

"Namun Lenghou-toako tidak gubris padanya.

"Waktu aku merasa kesakitan tadi kiranya disebabkan Koh-cing-hiat yang tertutuk telah lancar kembali. Sekarang Goan-tiau-hiat juga terasa sakit, tapi perlahan-lahan aku lantas dapat bergerak, aku merangkak bangun dan bermaksud mencari pedangku yang patah itu. Rupanya mendengar suaraku, dengan girang Lenghou-toako berseru, 'He, kau sudah dapat bergerak. Lekas lari, lekas!'

"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Suheng dari Hoa-san-pay, biarlah aku membantu kau melabrak penjahat itu!'

"Dia berkata, 'Tidak, kau lekas lari saja, kekuatan kita berdua juga bukan tandingannya.'

"Dengan tertawa Dian Pek-kong ikut menimbrung, 'Asal kau tahu saja! Makanya buat apa kau mengorbankan jiwa percuma? Eh, aku kagum juga pada jiwamu yang gagah perwira ini. Siapakah namamu?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Jika kau secara hormat tanya namaku tentu akan kuberi tahukan. Tapi kau tanya secara kasar begini, tidak sudi aku menggubris.'

"Habis itu Lenghou-toako lantas berseru pula kepadaku, 'Sumoay, lekas lari ke Heng-san, kawan-kawan kita telah berkumpul semua di sana, rasanya bangsat ini tidak berani mencarimu ke sana.'

"Tapi aku menjawab, 'Jika aku sudah pergi, lalu dia membunuh kau, lantas bagaimana?'

"Lenghou-toako berkata, 'Tidak, dia tak mampu membunuh aku! Aku akan merintangi dia, mengapa tidak lekas pergi? Hayo, lekas! Aduh!'

"Kiranya sedikit lengah saja kembali Lenghou-toako terluka pula. Dia menjadi khawatir dan gelisah, segera ia berteriak lagi, 'Hayolah, lekas lari! Kalau tidak lekas pergi akan kumaki kau!'

"Dalam pada itu aku sudah menemukan pedang patah, aku berseru, 'Biarlah kita berdua mengeroyoknya.'

"Sebaliknya Dian Pek-kong malah tertawa mengejek, 'Bagus! Biarlah hari ini Dian Pek-kong seorang diri menempur Hoa-san-pay dan Hing-san-pay!'

"Rupanya Lenghou-toako menjadi marah benar-benar, dia memaki diriku, 'He, Nikoh cilik yang tidak tahu urusan, kau sudah linglung barangkali? Kalau tidak lekas pergi, lain kali bila bertemu lagi tentu aku tempeleng kau!'

"Keparat Dian Pek-kong itu lantas menertawakan diriku lagi, 'Rupanya Nikoh cilik ini merasa berat berpisah dengan aku!'

"Lenghou-toako tambah gelisah, dia berteriak padaku, 'Apakah kau benar-benar tidak pergi?'

"Aku menjawab, 'Tidak!'

"Mendadak Lenghou-toako mengomel, 'Dasar Ting-sian si Nikoh tua itu sudah pikun, makanya mempunyai murid linglung sebagai kau ini.'

"Aku lantas berkata, 'Ting-sian Supek bukanlah guruku.'

"'Hah, jadi kau masih tetap tidak mau pergi? Biarlah kumaki Ting-yat yang tua pikun itu .…'"

Mendadak muka Ting-yat bersungut menahan marah.

Cepat Gi-lim berkata, "Suhu, harap engkau jangan gusar. Maksud Lenghou-toako itu adalah demi kebaikanku dan tidak sungguh-sungguh memaki padamu. Aku telah menjawabnya, 'Aku sendirilah yang linglung dan bukan lantaran Suhuku.'

"Pada saat itulah mendadak Dian Pek-kong menubruk ke tempatku dan menutuk. Dalam keadaan gelap aku putar pedang patah menebas dan membacok serabutan, dengan demikian barulah dia terpaksa mundur.

"Kemudian Lenghou-toako berkata pula padaku, 'Lekas lari! Kalau tidak aku akan memaki gurumu, apakah kau tidak takut?'

"Aku menjawab, 'Engkau jangan memaki, marilah kita lari bersama saja!'

"Tapi Lenghou-toako berkata, 'Kau berada di sini hanya mengganggu aku saja sehingga aku tidak leluasa memainkan Hoa-san-kiam-hoatku yang paling lihai. Tapi bila kau sudah pergi, pasti akan dapat membinasakan bangsat keparat ini.'

"Tiba-tiba Dian Pek-kong bergelak tertawa, katanya, 'Kasih sayangmu kepada Nikoh cilik ini boleh juga, cuma sayang namamu siapa saja dia tidak mengetahui.'

"Kupikir apa yang dikatakan jahanam itu ada benarnya juga, segera aku bertanya, 'Suheng dari Hoa-san-pay itu, siapakah namamu? Akan kupergi lapor kepada Suhu di kota Heng-san bahwa engkau yang telah menyelamatkan jiwaku.'

"'Ya, lekas pergi, lekas! Mengapa ceriwis tidak habis-habis. Aku she Lo bernama Tek-nau!'"

Mendengar sampai di sini, Lo Tek-nau melengak. Ia tidak habis paham sebab apa Toasuko memalsukan namanya.

Sedangkan Bun-siansing telah berkata sambil manggut-manggut, "Lenghou Tiong itu berbuat bajik tapi tidak menonjolkan namanya yang asli, ini benar-benar perbuatan seorang kesatria tulen dari kaum kita."

Sebaliknya Lo Tek-nau berpikir, "Watak Toasuko biasanya memang sangat aneh dan banyak tipu akalnya, dia tentu mempunyai maksud tujuan tertentu dengan menggunakan namaku. Cuma sayang, tokoh muda yang berkepandaian tinggi sebagai dia mesti tewas di tangan Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay yang jahat ini."

Ting-yat Suthay lantas melotot kepada Lo Tek-nau dan bertanya, "He, apakah orang yang memaki aku sudah tua dan pikun dalam gua itu adalah kau ini?"

Melihat sikap Ting-yat yang galak itu, cepat Tek-nau memberi hormat dan menjawab, "Tidak, mana Tecu berani!"

Dengan tersenyum Lau Cing-hong ikut berkata, "Ting-yat Suthay, memang beralasan juga Lenghou Tiong sengaja memalsukan nama Sutenya. Kita tahu Lo-hiantit ini berguru dalam keadaan sudah mahir ilmu silat, tingkatannya meski rendah, tapi usianya sudah lanjut, jenggotnya saja sudah sepanjang itu, dia pantas menjadi kakeknya Gi-lim Sutit."

Mendengar penjelasan itu barulah Ting-yat sadar. Kiranya Lenghou Tiong sengaja hendak membela kehormatan Gi-lim. Dalam keadaan gelap gulita bercampur di dalam gua itu dan tidak saling mengenal muka, bila kemudian Gi-lim dapat meloloskan diri dan mengatakan kepada orang lain bahwa penolongnya itu adalah Lo Tek-nau dari Hoa-san-pay yang sudah kakek-kakek, maka orang lain tentu takkan mencemoohkannya, dengan demikian nama baik Gi-lim dapat dibersihkan, begitu pula kehormatan Hing-san-pay.

"Ehm, boleh juga pikiran bocah itu," kata Ting-yat kemudian dengan tersenyum puas. "Lalu bagaimana, Gi-lim?"

"Waktu itu aku masih tetap tidak mau pergi," tutur Gi-lim. Aku berkata, 'Lo-toako, Ngo-gak-kiam-pay kita adalah senapas dan sehaluan, kau mengalami bahaya lantaran hendak menolong aku, mana boleh aku melarikan diri malah? Jika Suhu mengetahui perbuatanku yang pengecut ini tentu aku akan dibunuhnya.'"

"Bagus! Tepat sekali ucapanmu!" seru Ting-yat memuji. "Kaum persilatan kita memang harus mengutamakan setia kawan sesama orang Kangouw, tak peduli laki-laki atau perempuan, sama saja halnya."

"Akan tetapi Lenghou-toako terus mencaci maki diriku," sambung Gi-lim. "Dia bilang, 'Nikoh cilik keparat, persetan kau! Kau di sini hanya membikin repot padaku saja sehingga aku tidak dapat mengeluarkan Hoa-san-kiam-hoat yang tiada tandingannya di dunia ini. Rupanya jiwaku yang tua ini sudah ditakdirkan harus mati di tangan Dian Pek-kong ini. Dasar sial, aku Lo Tek-nau hari ini ketemu Nikoh, bahkan seorang Nikoh cilik celaka sehingga ilmu pedangku yang mahasakti tak dapat kumainkan. Sudahlah, aku terima nasib saja. Dian Pek-kong, boleh kau binasakan aku!'"

Diam-diam semua orang geli melihat Gi-lim yang cantik jelita itu menirukan kata-kata kasar yang diucapkan Lenghou Tiong itu.

Terdengar Gi-lim melanjutkan pula, "Sudah tentu aku tahu dia tidak sungguh-sungguh memaki diriku, tapi mengingat kepandaianku yang rendah memang tidak sanggup membantu dia, beradanya diriku di dalam gua situ hanya merintangi dia sehingga Hua-san-kiam-hoat yang hebat itu sukar dikembangkan ...."

"Hm, bocah itu ngaco-belo belaka, Hoa-san-kiam-hoat paling-paling juga cuma begitu saja, masakah bilang tiada tandingannya di dunia ini?" jengek Ting-yat.

"Suhu, dia hanya untuk menakut-nakuti Dian Pek-kong saja supaya mundur teratur," kata Gi-lim. "Karena dia memaki semakin hebat, terpaksa aku berkata, 'Baiklah, Lo-toako, aku akan pergi, sampai bertemu pula!'

"Tapi dia masih memaki padaku, 'Ya, lekas enyah kau Nikoh busuk, lekas enyah! Setiap kali melihat Nikoh, bila judi pasti kalah. Selamanya aku tidak pernah melihat kau, selanjutnya juga takkan melihat kau. Selama hidupku paling gemar berjudi, buat apa melihat kau lagi?'"

Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja dan berteriak, "Anak keparat itu seharusnya kau tusuk dia sehingga tembus! Lalu kau pergi atau tidak?"

"Khawatir membikin dia marah, terpaksa aku pergi dari situ," sahut Gi-lim. "Begitu keluar gua aku lantas mendengar suara benturan senjata bertambah gencar di dalam gua. Kupikir kalau Dian Pek-kong yang menang, tentu dia akan mengejar dan menangkap aku lagi. Jika Lo-toako itu yang menang, bila dia keluar dan melihat aku, jangan-jangan akan membikin sial dia, asal berjudi pasti kalah. Sebab itulah aku lantas lari secepatnya dengan maksud menyusul Suhu dan minta engkau pergi membinasakan keparat Dian Pek-kong itu."

Sampai di sini mendadak Gi-lim tanya kepada Ting-yat, "Suhu, kemudian Lenghou-toako telah tewas, apakah disebabkan ... disebabkan dia melihat aku sehingga sial baginya?"

"Apa yang dikatakan bila melihat Nikoh tentu kalah judi hanya ngaco-belo belaka," kata Ting-yat dengan gusar. "Bukankah di sini banyak sekali orang melihat kita, masakah mereka semua juga sial dan akan celaka?"

Semua orang merasa geli atas tanya jawab Ting-yat dan Gi-lim itu, tapi tiada seorang pun yang berani tertawa.

"Begitulah, aku lantas berlari-lari," demikian Gi-lim menyambung ceritanya, "ketika fajar menyingsing, tertampaklah kota Heng-san, hatiku menjadi tenteram, kupikir besar kemungkinan akan dapat menemukan Suhu di dalam kota. Siapa duga pada saat itu juga tahu-tahu Dian Pek-kong telah menyusul tiba.

"Melihat dia, kakiku jadi lemas, tiada seberapa langkah saja aku berlari sudah kena dibekuk olehnya. Kupikir dia dapat kejar diriku, maka Lo-toako dari Hoa-san-pay itu tentu sudah terbunuh olehnya di dalam gua. Sungguh aku merasa sangat sedih.

"Karena melihat banyak orang berlalu-lalang di jalan raya, rupanya Dian Pek-kong tidak berani berlaku kasar padaku, dia hanya mengancam padaku, 'Kau harus ikut padaku bila tidak ingin aku main tangan menggerayangi tubuhmu. Jika kau berkepala batu dan membangkang, tentu aku akan membelejeti pakaianmu agar ditonton oleh orang banyak.'
"Keruan aku ketakutan, terpaksa aku menurut saja dan ikut dia ke dalam kota. Sampai di depan restoran Cui-sian-lau itu, dia berkata pula, 'Siausuhu, kau adalah bidadari yang turun dari kahyangan. Di sini adalah Cui-sian-lau (restoran pemabuk dewa), marilah kita masuk ke sana dan minum sampai mabuk.'

"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Cut-keh-lang tidak boleh minum arak, ini pun adalah peraturan Pek-hun-am kami.'

"Tapi dia memaksa, katanya, 'Ah, memang Pek-hun-am kalian ada-ada saja peraturan apa segala? Sebentar malah aku akan suruh kau melanggar segala pantangan. Tiap-tiap peraturan pertapaan hanya untuk menipu orang saja. Suhumu ... Suhumu .…'" Sampai di sini ia melirik sekejap kepada sang guru dan tidak berani melanjutkan.

"Ocehan keparat itu tentu tidak genah, tak perlu kau katakan, ceritakan saja kejadian selanjutnya." ujar Ting-yat.

"Baik," sahut Gi-lim. "Kemudian aku berkata, 'Kau jangan sembarangan omong, Suhuku tidak pernah minum arak dan makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi.'"

Mendengar ini, tak tahan lagi semua orang bergelak tertawa. Walaupun Gi-lim tidak menguraikan apa yang dikatakan Dian Pek-kong tadi, tapi dari jawabnya yang diulangi itu dapatlah diketahui bahwa Dian Pek-kong telah menuduh Ting-yat suka minum arak dan makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi.

Keruan wajah Ting-yat menjadi guram, katanya di dalam hati, "Gi-lim benar-benar bocah yang tulus dan polos, sama sekali belum bisa berpikir."

Dalam pada itu Gi-lim telah menyambung, "Mendadak bangsat itu mencengkeram bajuku dan berkata, 'Hayo ikut ke dalam restoran dan mengiringi aku makan minum, kalau tidak segera kurobek bajumu!'
"Karena tak berdaya, terpaksa aku menurut saja. Segera bangsat itu pesan daharan dan arak. Dia benar-benar sangat busuk, sudah tahu aku hanya makan sayur saja, tapi yang dia pesan justru daging melulu, ada daging babi, daging sapi, daging ayam segala. Dia mengancam bila aku tak mau makan, segera pakaianku akan dibelejeti olehnya di depan umum.

"Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang pemuda, pedang tergantung di pinggangnya, wajahnya tampak pucat, badannya berlumuran darah, datang-datang lantas duduk satu meja dengan kami. Tanpa bicara dia lantas angkat arak bagianku dan sekali tenggak habislah isinya. Dia lalu menuang arak sendiri dan habiskan semangkuk pula. Ketika mangkuk ketiga sudah dituang, dia angkat mangkuk dan berkata kepada Dian Pek-kong, 'Silakan!'
Begitu pula dia ucapkan padaku. Lalu dia menghabiskan pula araknya.
"Mendengar suaranya itu, seketika hatiku berdebar-debar, aku bergirang dan terkejut pula. Kiranya dia adalah orang yang telah menolong aku di dalam gua itu. Syukurlah dia tidak dibunuh oleh Dian Pek-kong, hanya badannya berlumuran darah, terang lukanya tidak ringan karena berusaha menolong diriku.

"Dian Pek-kong telah mengamat-amati dia dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, kemudian berkata, 'Kiranya kau!'

"'Ya, aku!' sahut orang itu. Dian Pek-kong mengacungkan jari jempolnya dan memuji, 'Lelaki hebat!' Kontan orang itu pun balas memuji dengan mengacungkan jari jempolnya, 'Ilmu golok hebat!'

"Lalu kedua orang bergelak tertawa dan sama-sama mengangkat mangkuk arak dan habiskan isinya.

"Aku menjadi heran sekali. Semalam mereka baru saja berkelahi mati-matian, mengapa sekarang berubah menjadi kawan baik? Terdengar Dian Pek-kong berkata pula, 'Kau bukan Lo Tek-nau. Orang she Lo itu adalah seorang tua bangka, masakah segagah dan setampan kau?'

"Orang itu tertawa, sahutnya, 'Aku memang bukan Lo Tek-nau.'

"Mendadak Dian Pek-kong menepuk meja dan berseru, 'Aha, kau adalah Lenghou Tiong dari Hoa-san. Sudah lama kudengar murid pertama Hoa-san-pay adalah seorang kesatria muda yang berani berbuat dan berani bertanggung jawab, adalah seorang tokoh muda kelas wahid di dunia Kangouw pada zaman ini.'

"Pada saat itulah Lenghou-toako lantas mengaku, jawabnya dengan tertawa, 'Ah, kau terlalu memuji. Lenghou Tiong adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu. Sungguh menertawakan saja.'

"Tapi Dian Pek-kong berkata, 'Tidak berkelahi tidak saling kenal. Marilah kita berkawan saja. Andaikan Lenghou-heng penujui Nikoh cilik jelita ini tentu Cayhe akan mengalah dan menyerahkannya padamu.
Mementingkan perempuan dan melupakan sahabat bukanlah sifat kaum kita.'"

Wajah Ting-yat tampak merengut, berulang-ulang ia memaki, "Kurang ajar! Kurang ajar!"

Mendadak Gi-lim menangis, katanya pula, "Suhu, tiba-tiba Lenghou-toako mencaci maki lagi padaku. Katanya, 'Dian-heng, Nikoh cilik ini mukanya pucat seperti mayat, setiap hari makannya sayur dan tahu melulu, betapa pun cantiknya juga tak berguna. Apalagi aku paling muak terhadap kaum Nikoh, bila melihatnya lantas marah, kalau bisa sungguh aku ingin membunuh habis setiap Nikoh di dunia ini.'
"Dengan tertawa Dian Pek-kong bertanya, 'Apakah sebabnya itu?'

"Maka Lenghou-toako menjawab, 'Sesungguhnya dalam hidupku ini hanya ada suatu kegemaran yaitu gemar berjudi. Asal sudah pegang dadu dan kartu, maka aku menjadi lupa daratan sampai jiwanya sendiri pun tak ingat lagi. Akan tetapi bila melihat Nikoh, maka celakalah aku, hari itu aku tak boleh lagi berjudi, setiap kali judi pasti kalah. Hal ini sudah kucoba berkali-kali dan setiap kali memang begitu. Bukan saja aku, bahkan para Sute dari Hoa-san-pay kami juga begitu. Sebab itulah bila anak murid Hoa-san-pay kami bertemu dengan para Supek, Susiok, Suci dan Sumoay dari Hing-san-pay, meski lahirnya kami ramah tamah dan menghormat, tapi di dalam batin kami menganggap sial.'"

Sampai di sini, Ting-yat tidak tahan lagi marahnya, "plok", kontan ia tampar Lo Tek-nau sekali. Karena tamparannya cepat dan keras, sukarlah bagi Lo Tek-nau untuk menghindar. Seketika ia merasa kepalanya puyeng hampir-hampir saja roboh pingsan.

Dengan tertawa, Lau Cing-hong lantas berkata, "Buat apa Suthay mesti marah? Sebabnya Lenghou Tiong sembarangan mengoceh adalah karena ingin menolong muridmu. Mengapa kau anggap sungguh-sungguh ocehannya itu?"

"Ya, sebenarnya Lenghou-toako sangat baik," kata Gi-lim dengan terguguk-guguk. "Cuma ... cuma saja ucapannya agak kasar. Suhu menjadi marah, aku tidak berani menceritakan lagi."

"Ceritakan saja! Ceritakan seterang-terangnya," ujar Ting-yat. "Aku ingin tahu dia sembarangan omong karena bermaksud baik atau jahat. Jika dia adalah pemuda bangor dan berkelakuan bajingan, biarlah aku akan bikin perhitungan dengan Gak-loji."

"Baiklah," sahut Gi-lim. "Kemudian Lenghou-toako berkata pula, 'Dian-heng, orang belajar ilmu silat seperti kita ini selama hidup selalu bergulat di ujung senjata. Walaupun ilmu silat lebih tinggi akan lebih beruntung, tapi hakikatnya juga tergantung pada nasib. Betul tidak katamu? Jangankan Nikoh cilik yang kurus kecil seperti ini, bobotnya paling-paling hanya belasan kati saja, sekalipun betul-betul bidadari turun dari kahyangan juga aku Lenghou Tiong takkan terpikat padanya. Manusia betapa pun lebih mementingkan jiwa, mementingkan perempuan dan mengentengkan kawan adalah tidak boleh, sebaliknya mementingkan perempuan dan mengentengkan jiwa juga tolol.
Maka dari itu, tentang Nikoh cilik ini janganlah sekali-kali disentuh.'

"Tapi dengan tertawa Dian Pek-kong membantah, 'Lenghou-heng, kukira kau adalah seorang jantan yang tidak takut pada langit dan tidak gentar pada bumi, mengapa terhadap seorang Nikoh menjadi begitu ketakutan?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Maklumlah, asal melihat Nikoh tentu aku akan sial, karena pengalaman sudah banyak, mau tak mau aku harus percaya. Coba pikirkan, kemarin aku masih segar bugar, melihat muka Nikoh cilik ini saja tidak, tapi semalam aku cuma mendengar suaranya saja lantas menderita luka parah kena dibacok oleh golokmu, bahkan jiwaku hampir-hampir melayang.
Apa namanya ini kalau bukan sial?'

"Dian Pek-kong terbahak-bahak, katanya, 'Ya, benar juga.'

"Lalu Lenghou-toako berkata pula, 'Makanya, Dian-heng, kita kaum laki-laki sejati biarlah minum arak saja sepuas-puasnya, lebih baik kau suruh Nikoh cilik ini lekas enyah saja. Aku ingin menasihati kau setulus hatiku, janganlah sekali-kali kau menyentuh dia bila kau tidak ingin sial dan celaka selama hidupmu, kecuali kalau kau sendiri pun ingin menjadi Hwesio. Wah, 'tiga racun dunia' ini masakah kau tidak lekas menghindarinya?'

"Dengan heran Dian Pek-kong bertanya, 'Apa itu 'tiga racun dunia' yang kau katakan?'

"Lenghou-toako mengunjuk rasa heran, jawabnya, 'Aneh, masakah tiga racun dunia saja kau tidak tahu? Tiga racun dunia itu adalah Nikoh, warangan dan ular. Di antara tiga racun dunia itu Nikoh adalah racun pertama pula. Masakah kau tidak takut?'"

Sampai di sini kembali Ting-yat naik darah pula, ia menggebrak meja sambil memaki, "Keparat, ocehan omong kosong belaka!"

Karena sudah merasakan tempelengan Nikoh tua itu, Lo Tek-nau menjadi waswas dan menyingkir agak jauh.

Lau Cing-hong lantas berkata, "Biarpun bermaksud baik, tapi mulut Lenghou-hiantit memang juga agak lancang. Cuma kalau dipikir kembali, menghadapi bangsat besar sebagai Dian Pek-kong itu kalau tidak mengobral ocehan tentu akan sukar menipu dia supaya dia mau percaya."

"Lau-supek, apakah engkau kira ucapan-ucapan Lenghou-toako itu sengaja dikarang untuk menipu bangsat she Dian itu?" tanya Gi-lim.

"Sudah tentu begitulah," sahut Lau Cing-hong. "Masakah di antara orang-orang Ngo-gak-kiam-pay kita ada yang berani begitu kurang ajar dan iseng mengucapkan kata-kata kasar demikian. Padahal besok lusa adalah hari perayaanku, betapa pun aku harus mencari hari baik dan suasana bahagia. Jika kita benar-benar menaruh sirik terhadap kalian, mengapa dengan hormat aku malah mengundang Ting-yat Suthay dan kalian hadir ke sini?"

Mendengar ucapan Lau Cing-hong ini barulah air muka Ting-yat berubah agak tenang kembali, tapi dia masih menjengek dan memaki, "Mulut kotor anak keparat itu entah ajaran manusia rendah yang mana?"

Demikian di balik ucapannya ini dia sengaja memaki gurunya Lenghou Tiong, yaitu ketua Hoa-san-pay.

"Suthay janganlah marah," ujar Lau Cing-hong. "Sesungguhnya ilmu silat keparat Dian Pek-kong itu sangat lihai. Karena ingin menolong Gi-lim Sutit dan kepandaian sendiri tak mampu menandingi musuh, terpaksa Lenghou-sutit mengarang kata-kata yang tak genah untuk menipu bangsat itu."

"Apakah dengan demikian Dian Pek-kong lantas membebaskan kau?" tanya Ting-yat kepada Gi-lim.

"Tidak," sahut Gi-lim sambil menggeleng. "Tatkala mana Dian Pek-kong tampak rada ragu-ragu, dia memandang sekejap padaku, lalu berkata, 'Banyak terima kasih atas nasihat Lenghou-heng, cuma tentang Nikoh cilik ini, toh kita sudah telanjur melihatnya, maka biarkan dia menemani kita di sini saja.'

"Lenghou-toako berkata, 'Tambah lama melihat dia tambah sial, tambah sial!'

"Pada saat itulah mendadak seorang pemuda yang duduk di meja sebelah melolos pedang dan melompat ke depan Dian Pek-kong sambil membentak, 'Jadi kau ... kau inilah Dian Pek-kong?'

"Keparat she Dian itu menjawab, 'Ada apa?'

"'Akan kubunuh kau maling cabul ini!' seru pemuda itu terus menyerang. Dari jurus ilmu pedangnya dapatlah diketahui dia adalah orang Thay-san-pay. Dia adalah Suheng ini," sampai di sini ia lantas tunjuk jenazah yang menggeletak di atas daun pintu itu. Lalu melanjutkan, "Tapi Dian Pek-kong itu tidaklah berdiri, dia dapat mengegos serangan Suheng ini dan berkata, 'Eh, Lenghou-heng, orang ini dari Thay-san-pay, kau membantu dia atau tidak?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, sudah tentu akan kubantu!'

"'Baik, biarpun kalian Hoa-san, Hing-san dan Thay-san-pay bergabung juga bukan tandinganku,' kata Dian Pek-kong. 'Bukan tandinganmu juga akan kulakukan,' ujar Lenghou-toako sambil melolos pedangnya. Dalam pada itu si pemuda tadi sudah serang beberapa kali pada Dian Pek-kong, tapi semuanya dapat dihindarkan olehnya. Pemuda itu malah meludahi Lenghou-toako, dampratnya, 'Di dalam Ngo-gak-kiam-pay kami masakah terdapat maling cabul sebagai kau?' Habis berkata pedangnya malah terus menusuk ke arah Lenghou-toako.

"Namun Lenghou-toako sempat melompat ke samping, berbareng pedangnya lantas menusuk punggung Dian Pek-kong. Waktu itu aku pun sudah siap dengan pedangku yang sudah patah dan serentak mengerubut maju. Tapi bangsat she Dian itu benar-benar sangat lihai, tubuhnya hanya bergerak sedikit saja tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang golok, katanya dengan tertawa, 'Duduk, duduklah, mari minum lagi!'

"Habis berkata ia lantas simpan kembali goloknya. Sebaliknya Suheng dari Thay-san-pay itu entah kapan dadanya telah terkena goloknya, darah tampak menyembur keluar, matanya mendelik kepada Dian Pek-kong, badannya bergoyang-goyang, lalu roboh terkapar." "Untung juga udara mendung, keadaan gelap gulita, dia tak dapat melihat kami. Tapi mungkin dia pun menduga kami pasti masih sembunyi di sekitar situ, maka dia masih terus membacok dan menebas tak berhenti-henti. Suatu kali pedangnya menyambar lewat di atas kepalaku, wah, hampir-hampir saja aku terluka, sungguh sangat berbahaya. Sesudah menebas kian kemari tanpa hasil, bangsat itu masih terus mencaci maki dan mencari ke sebelah sana.

"Sekonyong-konyong ada benda cair hangat menetes di atas mukaku, berbareng aku lantas mengendus bau anyirnya darah. Aku terkejut dan bertanya dengan suara perlahan, 'Apakah engkau terluka?'

"Tapi cepat ia mendekap mulutku sambil berbisik, 'Ssst, aku tak apa-apa, jangan bersuara.'

"Selang sejenak suara Dian Pek-kong semakin menjauh, lalu dia membuka tangannya. Aku merasa darah yang menetes di mukaku itu semakin banyak, tanyaku khawatir, 'Apakah lukamu parah? Darah harus dibikin pampat dulu. Aku membawa obat luka.'

"Tapi kembali dia mendekap mulutku sambil mendesis supaya aku jangan bersuara. Pada saat itulah mendadak Dian Pek-kong berlari kembali sambil menghardik, 'Hahaha! Kiranya sembunyi di sini. Hayo lekas keluar, aku sudah melihat tempat sembunyi kalian!'

"Mendengar tempat sembunyi kami telah dilihat Dian Pek-kong, diam-diam aku mengeluh," demikian Gi-lim melanjutkan, "segera aku bermaksud berdiri, cuma kakiku tak bisa bergerak sama sekali .…"

"Kau tertipu, Dian Pek-kong hanya menggertak kalian, sebenarnya dia tidak melihat apa-apa," kata Ting-yat Suthay.

"Memang betul," kata Gi-lim. "Waktu itu Suhu tidak berada di sana, mengapa bisa tahu persis?"

"Itu terlalu gampang untuk ditebak," kata Ting-yat. "Jika dia betul-betul melihat kalian, buat apa dia bergembar-gembor, dia dapat mendekati kalian dan sekali tebas binasakan Lenghou Tiong saja kan beres. Rupanya bocah Lenghou Tiong itu pun masih hijau."

"Tidak, Lenghou-toako juga dapat menerka maksud Dian Pek-kong itu, cepat dia tekap mulutku agar tidak bersuara," tutur Gi-lim. "Sesudah berkaok-kaok sekian lamanya dan tidak mendengar suara apa-apa, Dian Pek-kong memotong dan membabati rumput lagi untuk mencari ke lain tempat. Setelah pergi jauh, kemudian Lenghou-toako berbisik padaku, 'Sumoay, asal kita dapat tahan lagi setengah jam, sesudah Hiat-tomu yang tertutuk lancar kembali jalan darahnya tentu dapat aku dapat menolong dirimu. Cuma sebentar lagi keparat Dian Pek-kong itu pasti akan putar kembali dan tentu kita akan diketemukan.
Terpaksa kita harus mengambil risiko, biarlah kita sembunyi ke dalam gua saja."
Mendengar sampai di sini, serentak Bun-siansing, Ho Sam-jit dan Lau Cing-hong berseru berbareng, "Bagus! Tabah dan cerdik!"

"Tapi aku menjadi takut demi mendengar akan masuk ke dalam gua lagi," tutur Gi-lim pula. "Namun tatkala itu aku sudah sangat kagum kepada Lenghou-toako, jika begitu keinginannya, kuyakin pasti benar. Maka aku lantas menyatakan setuju. Segera aku dipondongnya dan menyusup ke dalam gua. Sesudah aku diletakkan di atas tanah, aku berkata, 'Di bajuku ada Thian-hiang-toan-siok-ko, obat luka yang sangat mujarab, silakan ... silakan ambil untuk dibubuhkan pada lukamu.'

"Tapi Lenghou-toako mengatakan kurang leluasa, tapi akan menunggu setelah aku dapat bergerak barulah mau terima obatku. Lalu dia memotong ujung baju sendiri untuk membalut lukanya.

"Baru sekarang aku tahu bahwa demi untuk melindungi diriku, pada waktu sembunyi di semak-semak alang-alang tadi golok Dian Pek-kong telah kena menebas di bahunya, tapi dia tetap tidak bergerak dan tidak bersuara walaupun rasa sakitnya pasti bukan buatan. Syukurlah dalam keadaan gelap Dian Pek-kong tidak memergoki kami. Sungguh aku merasa sedih dan tidak paham mengapa dia bilang tidak leluasa mengambil obatku .…"

"Hm, jika begitu, jadi Lenghou Tiong adalah kesatria dan laki-laki sejati," jengek Ting-yat Suthay.

Sepasang mata Gi-lim yang besar dan bening itu memancarkan perasaan heran, katanya, "Ya, Lenghou-toako sudah tentu seorang baik pilihan. Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa menghiraukan keselamatan sendiri sudi tampil ke muka untuk menolong diriku."

"Meski kau tidak pernah kenal dia, tapi bukan mustahil sudah lama dia telah kenal wajahmu, kalau tidak masakan dia mau berbuat begitu?" ujar Ih Jong-hay dengan dingin. Di balik kata-katanya itu seakan-akan menuduh sebabnya Lenghou Tiong mau menolong Gi-lim adalah lantaran kesengsem pada muka Gi-lim yang sangat cantik itu.

"Tidak, Lenghou-toako mengatakan selamanya tak pernah melihat diriku," kata Gi-lim. "Lenghou-toako pasti tidak berdusta padaku, pasti tidak!"

Mendengar jawaban Gi-lim yang tegas dan pasti itu, mau tak mau semua orang percaya juga terhadap keyakinan Nikoh jelita yang suci bersih itu.

Ih Jong-hay juga membatin, "Perbuatan Lenghou Tiong yang gila-gilaan itu besar kemungkinan sengaja hendak menempur Dian Pek-kong agar namanya bisa berkumandang di dunia persilatan."

Dalam pada itu Gi-lim telah melanjutkan, "Sesudah Lenghou-toako membalut luka, dia lantas menolong aku pula dengan mengurut Koh-cing-hiat dan Goan-tiau-hiat di tubuhku. Tidak lama kemudian terdengarlah suara gemeresak rumput dibabat di luar gua itu berjangkit pula, makin lama makin dekat. Nyata Dian Pek-kong masih terus mencari kami dan sekarang telah kembali lagi di depan gua. Kudengar dia melangkah masuk ke dalam gua dan duduk mengaso di mulut gua tanpa bersuara.

"Hatiku berdebar-debar, sedapat mungkin aku menahan napas. Sekonyong-konyong Koh-cing-hiat di bahuku terasa sakit mendadak, karena secara mendadak sehingga aku meringis dan menghela napas.
Tapi sedikit suara ini saja sudah membikin keadaan menjadi runyam. Dian Pek-kong lantas bergelak tertawa dan melompat bangun, segera dia mendekati aku. Lenghou-toako tetap meringkuk di samping tanpa bergerak sedikit pun.

"Dengan tertawa Dian Pek-kong berkata, 'Haha, kiranya kau masih sembunyi di sini, domba cilik!'

"Berbareng tangannya lantas hendak meraih tubuhku. Tapi mendadak terdengar suara 'cret' satu kali, dia telah kena ditusuk oleh pedang Lenghou-toako. Cuma sayang tusukan itu tidak mengenai tempatnya yang berbahaya sehingga Dian Pek-kong sempat melompat mundur terus melolos golok yang terselip di pinggangnya. Dalam kegelapan segera dia balas membacok Lenghou-toako. Maka terdengarlah suara 'trang' yang nyaring, kedua orang lantas bertempur."

"Berapa babak Lenghou Tiong menempur Dian Pek-kong itu?" mendadak Thian-bun Tojin menyela.

"Entahlah, dalam keadaan bingung Tecu juga tidak tahu mereka telah bertempur berapa lamanya," sahut Gi-lim. "Kudengar Dian Pek-kong tertawa dan berseru, 'Aha, kau adalah orang Hoa-san-pay! Hoa-san-kiam-hoat bukanlah tandinganku. Siapa namamu?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, baik Hoa-san-pay atau keempat golongan lain, semuanya adalah musuhmu maling cabul ini ...'

"Belum habis ucapannya, Dian Pek-kong sudah lantas menerjang maju pula. Kiranya dia sengaja memancing Lenghou-toako bersuara agar tahu persis tempatnya, lalu menyerangnya.

"Setelah saling gebrak beberapa jurus lagi, mendadak Lenghou-toako menjerit kesakitan, rupanya dia terluka lagi. Terdengar Dian Pek-kong mengejeknya dengan tertawa, 'Sedari tadi sudah kukatakan Hoa-san-kiam-hoat bukanlah tandinganku, sekalipun gurumu Gak-loji datang sendiri juga tak mampu melawan aku.'

"Namun Lenghou-toako tidak gubris padanya.

"Waktu aku merasa kesakitan tadi kiranya disebabkan Koh-cing-hiat yang tertutuk telah lancar kembali. Sekarang Goan-tiau-hiat juga terasa sakit, tapi perlahan-lahan aku lantas dapat bergerak, aku merangkak bangun dan bermaksud mencari pedangku yang patah itu. Rupanya mendengar suaraku, dengan girang Lenghou-toako berseru, 'He, kau sudah dapat bergerak. Lekas lari, lekas!'

"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Suheng dari Hoa-san-pay, biarlah aku membantu kau melabrak penjahat itu!'

"Dia berkata, 'Tidak, kau lekas lari saja, kekuatan kita berdua juga bukan tandingannya.'

"Dengan tertawa Dian Pek-kong ikut menimbrung, 'Asal kau tahu saja! Makanya buat apa kau mengorbankan jiwa percuma? Eh, aku kagum juga pada jiwamu yang gagah perwira ini. Siapakah namamu?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Jika kau secara hormat tanya namaku tentu akan kuberi tahukan. Tapi kau tanya secara kasar begini, tidak sudi aku menggubris.'

"Habis itu Lenghou-toako lantas berseru pula kepadaku, 'Sumoay, lekas lari ke Heng-san, kawan-kawan kita telah berkumpul semua di sana, rasanya bangsat ini tidak berani mencarimu ke sana.'

"Tapi aku menjawab, 'Jika aku sudah pergi, lalu dia membunuh kau, lantas bagaimana?'

"Lenghou-toako berkata, 'Tidak, dia tak mampu membunuh aku! Aku akan merintangi dia, mengapa tidak lekas pergi? Hayo, lekas! Aduh!'

"Kiranya sedikit lengah saja kembali Lenghou-toako terluka pula. Dia menjadi khawatir dan gelisah, segera ia berteriak lagi, 'Hayolah, lekas lari! Kalau tidak lekas pergi akan kumaki kau!'

"Dalam pada itu aku sudah menemukan pedang patah, aku berseru, 'Biarlah kita berdua mengeroyoknya.'

"Sebaliknya Dian Pek-kong malah tertawa mengejek, 'Bagus! Biarlah hari ini Dian Pek-kong seorang diri menempur Hoa-san-pay dan Hing-san-pay!'

"Rupanya Lenghou-toako menjadi marah benar-benar, dia memaki diriku, 'He, Nikoh cilik yang tidak tahu urusan, kau sudah linglung barangkali? Kalau tidak lekas pergi, lain kali bila bertemu lagi tentu aku tempeleng kau!'

"Keparat Dian Pek-kong itu lantas menertawakan diriku lagi, 'Rupanya Nikoh cilik ini merasa berat berpisah dengan aku!'

"Lenghou-toako tambah gelisah, dia berteriak padaku, 'Apakah kau benar-benar tidak pergi?'

"Aku menjawab, 'Tidak!'

"Mendadak Lenghou-toako mengomel, 'Dasar Ting-sian si Nikoh tua itu sudah pikun, makanya mempunyai murid linglung sebagai kau ini.'

"Aku lantas berkata, 'Ting-sian Supek bukanlah guruku.'

"'Hah, jadi kau masih tetap tidak mau pergi? Biarlah kumaki Ting-yat yang tua pikun itu .…'"

Mendadak muka Ting-yat bersungut menahan marah.

Cepat Gi-lim berkata, "Suhu, harap engkau jangan gusar. Maksud Lenghou-toako itu adalah demi kebaikanku dan tidak sungguh-sungguh memaki padamu. Aku telah menjawabnya, 'Aku sendirilah yang linglung dan bukan lantaran Suhuku.'

"Pada saat itulah mendadak Dian Pek-kong menubruk ke tempatku dan menutuk. Dalam keadaan gelap aku putar pedang patah menebas dan membacok serabutan, dengan demikian barulah dia terpaksa mundur.

"Kemudian Lenghou-toako berkata pula padaku, 'Lekas lari! Kalau tidak aku akan memaki gurumu, apakah kau tidak takut?'

"Aku menjawab, 'Engkau jangan memaki, marilah kita lari bersama saja!'

"Tapi Lenghou-toako berkata, 'Kau berada di sini hanya mengganggu aku saja sehingga aku tidak leluasa memainkan Hoa-san-kiam-hoatku yang paling lihai. Tapi bila kau sudah pergi, pasti akan dapat membinasakan bangsat keparat ini.'

"Tiba-tiba Dian Pek-kong bergelak tertawa, katanya, 'Kasih sayangmu kepada Nikoh cilik ini boleh juga, cuma sayang namamu siapa saja dia tidak mengetahui.'

"Kupikir apa yang dikatakan jahanam itu ada benarnya juga, segera aku bertanya, 'Suheng dari Hoa-san-pay itu, siapakah namamu? Akan kupergi lapor kepada Suhu di kota Heng-san bahwa engkau yang telah menyelamatkan jiwaku.'

"'Ya, lekas pergi, lekas! Mengapa ceriwis tidak habis-habis. Aku she Lo bernama Tek-nau!'"

Mendengar sampai di sini, Lo Tek-nau melengak. Ia tidak habis paham sebab apa Toasuko memalsukan namanya.

Sedangkan Bun-siansing telah berkata sambil manggut-manggut, "Lenghou Tiong itu berbuat bajik tapi tidak menonjolkan namanya yang asli, ini benar-benar perbuatan seorang kesatria tulen dari kaum kita."

Sebaliknya Lo Tek-nau berpikir, "Watak Toasuko biasanya memang sangat aneh dan banyak tipu akalnya, dia tentu mempunyai maksud tujuan tertentu dengan menggunakan namaku. Cuma sayang, tokoh muda yang berkepandaian tinggi sebagai dia mesti tewas di tangan Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay yang jahat ini."

Ting-yat Suthay lantas melotot kepada Lo Tek-nau dan bertanya, "He, apakah orang yang memaki aku sudah tua dan pikun dalam gua itu adalah kau ini?"

Melihat sikap Ting-yat yang galak itu, cepat Tek-nau memberi hormat dan menjawab, "Tidak, mana Tecu berani!"

Dengan tersenyum Lau Cing-hong ikut berkata, "Ting-yat Suthay, memang beralasan juga Lenghou Tiong sengaja memalsukan nama Sutenya. Kita tahu Lo-hiantit ini berguru dalam keadaan sudah mahir ilmu silat, tingkatannya meski rendah, tapi usianya sudah lanjut, jenggotnya saja sudah sepanjang itu, dia pantas menjadi kakeknya Gi-lim Sutit."

Mendengar penjelasan itu barulah Ting-yat sadar. Kiranya Lenghou Tiong sengaja hendak membela kehormatan Gi-lim. Dalam keadaan gelap gulita bercampur di dalam gua itu dan tidak saling mengenal muka, bila kemudian Gi-lim dapat meloloskan diri dan mengatakan kepada orang lain bahwa penolongnya itu adalah Lo Tek-nau dari Hoa-san-pay yang sudah kakek-kakek, maka orang lain tentu takkan mencemoohkannya, dengan demikian nama baik Gi-lim dapat dibersihkan, begitu pula kehormatan Hing-san-pay.

"Ehm, boleh juga pikiran bocah itu," kata Ting-yat kemudian dengan tersenyum puas. "Lalu bagaimana, Gi-lim?"

"Waktu itu aku masih tetap tidak mau pergi," tutur Gi-lim. Aku berkata, 'Lo-toako, Ngo-gak-kiam-pay kita adalah senapas dan sehaluan, kau mengalami bahaya lantaran hendak menolong aku, mana boleh aku melarikan diri malah? Jika Suhu mengetahui perbuatanku yang pengecut ini tentu aku akan dibunuhnya.'"

"Bagus! Tepat sekali ucapanmu!" seru Ting-yat memuji. "Kaum persilatan kita memang harus mengutamakan setia kawan sesama orang Kangouw, tak peduli laki-laki atau perempuan, sama saja halnya."

"Akan tetapi Lenghou-toako terus mencaci maki diriku," sambung Gi-lim. "Dia bilang, 'Nikoh cilik keparat, persetan kau! Kau di sini hanya membikin repot padaku saja sehingga aku tidak dapat mengeluarkan Hoa-san-kiam-hoat yang tiada tandingannya di dunia ini. Rupanya jiwaku yang tua ini sudah ditakdirkan harus mati di tangan Dian Pek-kong ini. Dasar sial, aku Lo Tek-nau hari ini ketemu Nikoh, bahkan seorang Nikoh cilik celaka sehingga ilmu pedangku yang mahasakti tak dapat kumainkan. Sudahlah, aku terima nasib saja. Dian Pek-kong, boleh kau binasakan aku!'"

Diam-diam semua orang geli melihat Gi-lim yang cantik jelita itu menirukan kata-kata kasar yang diucapkan Lenghou Tiong itu.

Terdengar Gi-lim melanjutkan pula, "Sudah tentu aku tahu dia tidak sungguh-sungguh memaki diriku, tapi mengingat kepandaianku yang rendah memang tidak sanggup membantu dia, beradanya diriku di dalam gua situ hanya merintangi dia sehingga Hua-san-kiam-hoat yang hebat itu sukar dikembangkan ...."

"Hm, bocah itu ngaco-belo belaka, Hoa-san-kiam-hoat paling-paling juga cuma begitu saja, masakah bilang tiada tandingannya di dunia ini?" jengek Ting-yat.

"Suhu, dia hanya untuk menakut-nakuti Dian Pek-kong saja supaya mundur teratur," kata Gi-lim. "Karena dia memaki semakin hebat, terpaksa aku berkata, 'Baiklah, Lo-toako, aku akan pergi, sampai bertemu pula!'

"Tapi dia masih memaki padaku, 'Ya, lekas enyah kau Nikoh busuk, lekas enyah! Setiap kali melihat Nikoh, bila judi pasti kalah. Selamanya aku tidak pernah melihat kau, selanjutnya juga takkan melihat kau. Selama hidupku paling gemar berjudi, buat apa melihat kau lagi?'"

Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja dan berteriak, "Anak keparat itu seharusnya kau tusuk dia sehingga tembus! Lalu kau pergi atau tidak?"

"Khawatir membikin dia marah, terpaksa aku pergi dari situ," sahut Gi-lim. "Begitu keluar gua aku lantas mendengar suara benturan senjata bertambah gencar di dalam gua. Kupikir kalau Dian Pek-kong yang menang, tentu dia akan mengejar dan menangkap aku lagi. Jika Lo-toako itu yang menang, bila dia keluar dan melihat aku, jangan-jangan akan membikin sial dia, asal berjudi pasti kalah. Sebab itulah aku lantas lari secepatnya dengan maksud menyusul Suhu dan minta engkau pergi membinasakan keparat Dian Pek-kong itu."

Sampai di sini mendadak Gi-lim tanya kepada Ting-yat, "Suhu, kemudian Lenghou-toako telah tewas, apakah disebabkan ... disebabkan dia melihat aku sehingga sial baginya?"

"Apa yang dikatakan bila melihat Nikoh tentu kalah judi hanya ngaco-belo belaka," kata Ting-yat dengan gusar. "Bukankah di sini banyak sekali orang melihat kita, masakah mereka semua juga sial dan akan celaka?"

Semua orang merasa geli atas tanya jawab Ting-yat dan Gi-lim itu, tapi tiada seorang pun yang berani tertawa.

"Begitulah, aku lantas berlari-lari," demikian Gi-lim menyambung ceritanya, "ketika fajar menyingsing, tertampaklah kota Heng-san, hatiku menjadi tenteram, kupikir besar kemungkinan akan dapat menemukan Suhu di dalam kota. Siapa duga pada saat itu juga tahu-tahu Dian Pek-kong telah menyusul tiba.

"Melihat dia, kakiku jadi lemas, tiada seberapa langkah saja aku berlari sudah kena dibekuk olehnya. Kupikir dia dapat kejar diriku, maka Lo-toako dari Hoa-san-pay itu tentu sudah terbunuh olehnya di dalam gua. Sungguh aku merasa sangat sedih.

"Karena melihat banyak orang berlalu-lalang di jalan raya, rupanya Dian Pek-kong tidak berani berlaku kasar padaku, dia hanya mengancam padaku, 'Kau harus ikut padaku bila tidak ingin aku main tangan menggerayangi tubuhmu. Jika kau berkepala batu dan membangkang, tentu aku akan membelejeti pakaianmu agar ditonton oleh orang banyak.'
"Keruan aku ketakutan, terpaksa aku menurut saja dan ikut dia ke dalam kota. Sampai di depan restoran Cui-sian-lau itu, dia berkata pula, 'Siausuhu, kau adalah bidadari yang turun dari kahyangan. Di sini adalah Cui-sian-lau (restoran pemabuk dewa), marilah kita masuk ke sana dan minum sampai mabuk.'

"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Cut-keh-lang tidak boleh minum arak, ini pun adalah peraturan Pek-hun-am kami.'

"Tapi dia memaksa, katanya, 'Ah, memang Pek-hun-am kalian ada-ada saja peraturan apa segala? Sebentar malah aku akan suruh kau melanggar segala pantangan. Tiap-tiap peraturan pertapaan hanya untuk menipu orang saja. Suhumu ... Suhumu .…'" Sampai di sini ia melirik sekejap kepada sang guru dan tidak berani melanjutkan.

"Ocehan keparat itu tentu tidak genah, tak perlu kau katakan, ceritakan saja kejadian selanjutnya." ujar Ting-yat.

"Baik," sahut Gi-lim. "Kemudian aku berkata, 'Kau jangan sembarangan omong, Suhuku tidak pernah minum arak dan makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi.'"

Mendengar ini, tak tahan lagi semua orang bergelak tertawa. Walaupun Gi-lim tidak menguraikan apa yang dikatakan Dian Pek-kong tadi, tapi dari jawabnya yang diulangi itu dapatlah diketahui bahwa Dian Pek-kong telah menuduh Ting-yat suka minum arak dan makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi.

Keruan wajah Ting-yat menjadi guram, katanya di dalam hati, "Gi-lim benar-benar bocah yang tulus dan polos, sama sekali belum bisa berpikir."

Dalam pada itu Gi-lim telah menyambung, "Mendadak bangsat itu mencengkeram bajuku dan berkata, 'Hayo ikut ke dalam restoran dan mengiringi aku makan minum, kalau tidak segera kurobek bajumu!'
"Karena tak berdaya, terpaksa aku menurut saja. Segera bangsat itu pesan daharan dan arak. Dia benar-benar sangat busuk, sudah tahu aku hanya makan sayur saja, tapi yang dia pesan justru daging melulu, ada daging babi, daging sapi, daging ayam segala. Dia mengancam bila aku tak mau makan, segera pakaianku akan dibelejeti olehnya di depan umum.

"Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang pemuda, pedang tergantung di pinggangnya, wajahnya tampak pucat, badannya berlumuran darah, datang-datang lantas duduk satu meja dengan kami. Tanpa bicara dia lantas angkat arak bagianku dan sekali tenggak habislah isinya. Dia lalu menuang arak sendiri dan habiskan semangkuk pula. Ketika mangkuk ketiga sudah dituang, dia angkat mangkuk dan berkata kepada Dian Pek-kong, 'Silakan!'
Begitu pula dia ucapkan padaku. Lalu dia menghabiskan pula araknya.
"Mendengar suaranya itu, seketika hatiku berdebar-debar, aku bergirang dan terkejut pula. Kiranya dia adalah orang yang telah menolong aku di dalam gua itu. Syukurlah dia tidak dibunuh oleh Dian Pek-kong, hanya badannya berlumuran darah, terang lukanya tidak ringan karena berusaha menolong diriku.

"Dian Pek-kong telah mengamat-amati dia dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, kemudian berkata, 'Kiranya kau!'

"'Ya, aku!' sahut orang itu. Dian Pek-kong mengacungkan jari jempolnya dan memuji, 'Lelaki hebat!' Kontan orang itu pun balas memuji dengan mengacungkan jari jempolnya, 'Ilmu golok hebat!'

"Lalu kedua orang bergelak tertawa dan sama-sama mengangkat mangkuk arak dan habiskan isinya.

"Aku menjadi heran sekali. Semalam mereka baru saja berkelahi mati-matian, mengapa sekarang berubah menjadi kawan baik? Terdengar Dian Pek-kong berkata pula, 'Kau bukan Lo Tek-nau. Orang she Lo itu adalah seorang tua bangka, masakah segagah dan setampan kau?'

"Orang itu tertawa, sahutnya, 'Aku memang bukan Lo Tek-nau.'

"Mendadak Dian Pek-kong menepuk meja dan berseru, 'Aha, kau adalah Lenghou Tiong dari Hoa-san. Sudah lama kudengar murid pertama Hoa-san-pay adalah seorang kesatria muda yang berani berbuat dan berani bertanggung jawab, adalah seorang tokoh muda kelas wahid di dunia Kangouw pada zaman ini.'

"Pada saat itulah Lenghou-toako lantas mengaku, jawabnya dengan tertawa, 'Ah, kau terlalu memuji. Lenghou Tiong adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu. Sungguh menertawakan saja.'

"Tapi Dian Pek-kong berkata, 'Tidak berkelahi tidak saling kenal. Marilah kita berkawan saja. Andaikan Lenghou-heng penujui Nikoh cilik jelita ini tentu Cayhe akan mengalah dan menyerahkannya padamu.
Mementingkan perempuan dan melupakan sahabat bukanlah sifat kaum kita.'"

Wajah Ting-yat tampak merengut, berulang-ulang ia memaki, "Kurang ajar! Kurang ajar!"

Mendadak Gi-lim menangis, katanya pula, "Suhu, tiba-tiba Lenghou-toako mencaci maki lagi padaku. Katanya, 'Dian-heng, Nikoh cilik ini mukanya pucat seperti mayat, setiap hari makannya sayur dan tahu melulu, betapa pun cantiknya juga tak berguna. Apalagi aku paling muak terhadap kaum Nikoh, bila melihatnya lantas marah, kalau bisa sungguh aku ingin membunuh habis setiap Nikoh di dunia ini.'
"Dengan tertawa Dian Pek-kong bertanya, 'Apakah sebabnya itu?'

"Maka Lenghou-toako menjawab, 'Sesungguhnya dalam hidupku ini hanya ada suatu kegemaran yaitu gemar berjudi. Asal sudah pegang dadu dan kartu, maka aku menjadi lupa daratan sampai jiwanya sendiri pun tak ingat lagi. Akan tetapi bila melihat Nikoh, maka celakalah aku, hari itu aku tak boleh lagi berjudi, setiap kali judi pasti kalah. Hal ini sudah kucoba berkali-kali dan setiap kali memang begitu. Bukan saja aku, bahkan para Sute dari Hoa-san-pay kami juga begitu. Sebab itulah bila anak murid Hoa-san-pay kami bertemu dengan para Supek, Susiok, Suci dan Sumoay dari Hing-san-pay, meski lahirnya kami ramah tamah dan menghormat, tapi di dalam batin kami menganggap sial.'"

Sampai di sini, Ting-yat tidak tahan lagi marahnya, "plok", kontan ia tampar Lo Tek-nau sekali. Karena tamparannya cepat dan keras, sukarlah bagi Lo Tek-nau untuk menghindar. Seketika ia merasa kepalanya puyeng hampir-hampir saja roboh pingsan.

Dengan tertawa, Lau Cing-hong lantas berkata, "Buat apa Suthay mesti marah? Sebabnya Lenghou Tiong sembarangan mengoceh adalah karena ingin menolong muridmu. Mengapa kau anggap sungguh-sungguh ocehannya itu?"

"Ya, sebenarnya Lenghou-toako sangat baik," kata Gi-lim dengan terguguk-guguk. "Cuma ... cuma saja ucapannya agak kasar. Suhu menjadi marah, aku tidak berani menceritakan lagi."

"Ceritakan saja! Ceritakan seterang-terangnya," ujar Ting-yat. "Aku ingin tahu dia sembarangan omong karena bermaksud baik atau jahat. Jika dia adalah pemuda bangor dan berkelakuan bajingan, biarlah aku akan bikin perhitungan dengan Gak-loji."

"Baiklah," sahut Gi-lim. "Kemudian Lenghou-toako berkata pula, 'Dian-heng, orang belajar ilmu silat seperti kita ini selama hidup selalu bergulat di ujung senjata. Walaupun ilmu silat lebih tinggi akan lebih beruntung, tapi hakikatnya juga tergantung pada nasib. Betul tidak katamu? Jangankan Nikoh cilik yang kurus kecil seperti ini, bobotnya paling-paling hanya belasan kati saja, sekalipun betul-betul bidadari turun dari kahyangan juga aku Lenghou Tiong takkan terpikat padanya. Manusia betapa pun lebih mementingkan jiwa, mementingkan perempuan dan mengentengkan kawan adalah tidak boleh, sebaliknya mementingkan perempuan dan mengentengkan jiwa juga tolol.
Maka dari itu, tentang Nikoh cilik ini janganlah sekali-kali disentuh.'

"Tapi dengan tertawa Dian Pek-kong membantah, 'Lenghou-heng, kukira kau adalah seorang jantan yang tidak takut pada langit dan tidak gentar pada bumi, mengapa terhadap seorang Nikoh menjadi begitu ketakutan?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Maklumlah, asal melihat Nikoh tentu aku akan sial, karena pengalaman sudah banyak, mau tak mau aku harus percaya. Coba pikirkan, kemarin aku masih segar bugar, melihat muka Nikoh cilik ini saja tidak, tapi semalam aku cuma mendengar suaranya saja lantas menderita luka parah kena dibacok oleh golokmu, bahkan jiwaku hampir-hampir melayang.
Apa namanya ini kalau bukan sial?'

"Dian Pek-kong terbahak-bahak, katanya, 'Ya, benar juga.'

"Lalu Lenghou-toako berkata pula, 'Makanya, Dian-heng, kita kaum laki-laki sejati biarlah minum arak saja sepuas-puasnya, lebih baik kau suruh Nikoh cilik ini lekas enyah saja. Aku ingin menasihati kau setulus hatiku, janganlah sekali-kali kau menyentuh dia bila kau tidak ingin sial dan celaka selama hidupmu, kecuali kalau kau sendiri pun ingin menjadi Hwesio. Wah, 'tiga racun dunia' ini masakah kau tidak lekas menghindarinya?'

"Dengan heran Dian Pek-kong bertanya, 'Apa itu 'tiga racun dunia' yang kau katakan?'

"Lenghou-toako mengunjuk rasa heran, jawabnya, 'Aneh, masakah tiga racun dunia saja kau tidak tahu? Tiga racun dunia itu adalah Nikoh, warangan dan ular. Di antara tiga racun dunia itu Nikoh adalah racun pertama pula. Masakah kau tidak takut?'"

Sampai di sini kembali Ting-yat naik darah pula, ia menggebrak meja sambil memaki, "Keparat, ocehan omong kosong belaka!"

Karena sudah merasakan tempelengan Nikoh tua itu, Lo Tek-nau menjadi waswas dan menyingkir agak jauh.

Lau Cing-hong lantas berkata, "Biarpun bermaksud baik, tapi mulut Lenghou-hiantit memang juga agak lancang. Cuma kalau dipikir kembali, menghadapi bangsat besar sebagai Dian Pek-kong itu kalau tidak mengobral ocehan tentu akan sukar menipu dia supaya dia mau percaya."

"Lau-supek, apakah engkau kira ucapan-ucapan Lenghou-toako itu sengaja dikarang untuk menipu bangsat she Dian itu?" tanya Gi-lim.

"Sudah tentu begitulah," sahut Lau Cing-hong. "Masakah di antara orang-orang Ngo-gak-kiam-pay kita ada yang berani begitu kurang ajar dan iseng mengucapkan kata-kata kasar demikian. Padahal besok lusa adalah hari perayaanku, betapa pun aku harus mencari hari baik dan suasana bahagia. Jika kita benar-benar menaruh sirik terhadap kalian, mengapa dengan hormat aku malah mengundang Ting-yat Suthay dan kalian hadir ke sini?"

Mendengar ucapan Lau Cing-hong ini barulah air muka Ting-yat berubah agak tenang kembali, tapi dia masih menjengek dan memaki, "Mulut kotor anak keparat itu entah ajaran manusia rendah yang mana?"

Demikian di balik ucapannya ini dia sengaja memaki gurunya Lenghou Tiong, yaitu ketua Hoa-san-pay.

"Suthay janganlah marah," ujar Lau Cing-hong. "Sesungguhnya ilmu silat keparat Dian Pek-kong itu sangat lihai. Karena ingin menolong Gi-lim Sutit dan kepandaian sendiri tak mampu menandingi musuh, terpaksa Lenghou-sutit mengarang kata-kata yang tak genah untuk menipu bangsat itu."

"Apakah dengan demikian Dian Pek-kong lantas membebaskan kau?" tanya Ting-yat kepada Gi-lim.

"Tidak," sahut Gi-lim sambil menggeleng. "Tatkala mana Dian Pek-kong tampak rada ragu-ragu, dia memandang sekejap padaku, lalu berkata, 'Banyak terima kasih atas nasihat Lenghou-heng, cuma tentang Nikoh cilik ini, toh kita sudah telanjur melihatnya, maka biarkan dia menemani kita di sini saja.'

"Lenghou-toako berkata, 'Tambah lama melihat dia tambah sial, tambah sial!'

"Pada saat itulah mendadak seorang pemuda yang duduk di meja sebelah melolos pedang dan melompat ke depan Dian Pek-kong sambil membentak, 'Jadi kau ... kau inilah Dian Pek-kong?'

"Keparat she Dian itu menjawab, 'Ada apa?'

"'Akan kubunuh kau maling cabul ini!' seru pemuda itu terus menyerang. Dari jurus ilmu pedangnya dapatlah diketahui dia adalah orang Thay-san-pay. Dia adalah Suheng ini," sampai di sini ia lantas tunjuk jenazah yang menggeletak di atas daun pintu itu. Lalu melanjutkan, "Tapi Dian Pek-kong itu tidaklah berdiri, dia dapat mengegos serangan Suheng ini dan berkata, 'Eh, Lenghou-heng, orang ini dari Thay-san-pay, kau membantu dia atau tidak?'

"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, sudah tentu akan kubantu!'

"'Baik, biarpun kalian Hoa-san, Hing-san dan Thay-san-pay bergabung juga bukan tandinganku,' kata Dian Pek-kong. 'Bukan tandinganmu juga akan kulakukan,' ujar Lenghou-toako sambil melolos pedangnya. Dalam pada itu si pemuda tadi sudah serang beberapa kali pada Dian Pek-kong, tapi semuanya dapat dihindarkan olehnya. Pemuda itu malah meludahi Lenghou-toako, dampratnya, 'Di dalam Ngo-gak-kiam-pay kami masakah terdapat maling cabul sebagai kau?' Habis berkata pedangnya malah terus menusuk ke arah Lenghou-toako.

"Namun Lenghou-toako sempat melompat ke samping, berbareng pedangnya lantas menusuk punggung Dian Pek-kong. Waktu itu aku pun sudah siap dengan pedangku yang sudah patah dan serentak mengerubut maju. Tapi bangsat she Dian itu benar-benar sangat lihai, tubuhnya hanya bergerak sedikit saja tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang golok, katanya dengan tertawa, 'Duduk, duduklah, mari minum lagi!'

"Habis berkata ia lantas simpan kembali goloknya. Sebaliknya Suheng dari Thay-san-pay itu entah kapan dadanya telah terkena goloknya, darah tampak menyembur keluar, matanya mendelik kepada Dian Pek-kong, badannya bergoyang-goyang, lalu roboh terkapar."