Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Rabu, 27 Oktober 2010

Ringkasan Cersil Panji Sakti

PANJI SAKTI (JIT GOAT SENG SIM KI)
Panji Hati Suci Matahari Bulan)
Karya: Khu Lung

RINGKASAN
Suatu kejadian telah menggemparkan bu lim (Rimba persilatan), yakni musnahnya CIOK LAU SAN CUNG (Perkampungan Loteng Batu). Seluruh penghuni perkampungan itu terbunuh, termasuk majikan perkampungan yang tidak lain adalah pasangan pendekar Pek Mang Ciu dan isterinya.
Namun tidak tampak mayat Pek Giok Liong, yaitu putra satu-satunya pasangan pendekar tersebut. Apakah Pek Giok Liong dapat meloloskan diri? Tiada seorang bu lim pun yang mengetahuinya.
Tak lama kemudian, muncul seorang pemuda berpakaian kumal. Siapa pemuda itu? Tidak lain Pek Giok Liong. Ternyata dia dapat meloloskan diri.
Pek Giok Liong menuju ke Lam Hai (Laut Selatan). Dalam perjalanan, dia sering dikejar orang-orang yang tak dikenalnya, sekaligus ingin membunuhnya pula.
Siapa yang membantai Ciok Lau San Cung? Itu merupakan kejadian misterius. Dan siapa pula yang mengejar Pek Giok Liong dengan maksud membunuhnya? Apakah Pek Giok Liong bisa tiba dengan selamat di Lam Hai? Bertujuan apa dia ke Lam Hai, dan siapa yang menolongnya?
Pek Giok Liong memperoleh sebuah Jit Goat (Gwe) Seng Sim Ki (Panji Hati Suci Matahari Bulan). Apa kegunaan panji itu dan siapa yang memberinya?
Dapatkah Pek Giok Liong mempelajari kepandaian tinggi untuk membalas dendam berdarah kedua orang tuanya? Siapa pembunuh-pembunuh kedua orang tuanya, dan apa pula yang akan terjadi atas dirinya?

Kamis, 21 Oktober 2010

Hina Kelana - Chin Yung - Bagian 141-Tamat

sambungan

Bab 141. Yim Ngo-heng Mati, Pertikaian pun Berhenti

Ketika para anggota Tiau-yang-sin-kau mendengar ucapan sang kaucu mendadak berhenti setengah-setengah, suaranya juga kedengaran serak, semua orang menjadi kaget dan sama mendongak, maka terlihatlah kulit muka sang kaucu berkerut-kerut, tampaknya sangat kesakitan, menyusul tubuh sang kaucu menggeliat terus roboh terjungkal.

“Kaucu!” Hiang Bun-thian berseru kaget.

“Ayah!” Ing-ing pun berseru khawatir. Keduanya sama-sama memburu maju dan sempat menahan tubuh Yim Ngo-heng yang roboh itu.

Tapi tubuh Yim Ngo-heng hanya berkelojotan beberapa kali saja, lalu berhenti bernapas.

Itulah nasib manusia pada umumnya, apakah dia seorang pahlawan atau nabi sekalipun, baik seorang penjahat besar maupun orang alim, akhirnya toh meninggal dunia juga.

Sementara itu Lenghou Tiong yang turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk, sampai lewat tengah malam barulah dia sadar kembali. Sesudah sadar, baru diketahui dirinya sudah berada di tengah ladang luas, para murid Hing-san-pay sama berduduk di kejauhan untuk menjaganya. Teringat seterusnya mungkin tiada harapan buat berjumpa kembali dengan Ing-ing, berdukalah hati Lenghou Tiong.

Hina Kelana - Chin Yung - Bagian 120-140

sambungan

Bab 120. Matinya Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong

Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur, tampaknya seperti Lim Peng-ci melompat ke sana dan mengadang di depan kuda Bok Ko-hong, tapi segera pemuda itu kelihatan sedang kebas-kebas kipasnya dan duduk tenang di tempatnya seperti tidak pernah meninggalkan bangkunya.

Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Bok Ko-hong menggertak agar kudanya cepat lari.

Namun bagi tokoh-tokoh kelas wahid seperti Lenghou Tiong, Ing-ing dan Ih Jong-hay, dengan jelas mereka dapat melihat Lim Peng-ci telah menjulur tangannya mencolok dua kali kepada kuda Bok Ko-hong, tentu ada apa-apa yang telah dikerjainya.

Benar juga, baru saja Bok Ko-hong melarikan kudanya beberapa langkah, sekonyong-konyong kuda itu menubruk cagak gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk itu menjadi ambruk.

Cepat Ih Jong-hay melompat keluar gubuk, sedangkan kepala Lenghou Tiong dan Lim Peng-ci penuh teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Gi-lim membersihkan rumput-rumput yang menutup kepala Lenghou Tiong itu.

Dengan mata melotot Lim Peng-ci menatap Bok Ko-hong, tertampak orang bungkuk itu ragu-ragu sejenak, lalu melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Segera kudanya berlari lagi ke depan, tapi segera kepala menumbuk batang pohon, terdengar kuda itu meringkik panjang dan roboh terkapar dengan kepala penuh darah.

Begitu aneh kelakuan kuda itu, terang disebabkan kedua matanya sudah buta dan dengan sendirinya karena dikerjai Peng-ci dengan kecepatan luar biasa tadi.

Hina Kelana - Chin Yung - Bagian 101-119

sambungan

Bab 101. Lenghou Tiong Mengetuai Kaum Nikoh

Setelah membedakan arah, Lenghou Tiong terus menuju ke Siau-lim-si lagi. Menjelang magrib tibalah di tempat tujuan. Ia menyatakan maksud kedatangannya kepada hwesio penyambut tamu dan mohon dibolehkan mengusung jenazah Ting-sian dan Ting-yat Suthay pulang ke Hing-san.

Setelah dilaporkan, kemudian hwesio penyambut tamu memberitahukan, “Menurut Hongtiang, jenazah kedua suthay sudah diperabukan dan sekarang sedang dilakukan sembahyangan oleh segenap penghuni biara ini. Tentang abu jenazah kedua suthay selekasnya akan kami antar ke Hing-san.”

Lenghou Tiong anggap keterangan itu memang beralasan, ia minta diperbolehkan memberi hormat kepada abu kedua suthay, habis itu baru mohon diri karena Hong-ting Taysu toh tidak mau menemuinya.

Sampai di bawah gunung salju masih belum juga reda, malamnya ia mengendon pada rumah seorang petani. Besoknya ia terus menuju ke utara. Di suatu kota kecil ia membeli seekor kuda, sementara itu cuaca sudah terang.

Karena lengan kiri masih terasa kaku, maka perjalanannya rada terganggu, setiap hari hanya ditempuh beberapa puluh li saja lantas mencari tempat penginapan. 
Ia menurutkan ajaran Yim Ngo-heng untuk melancarkan jalan darah lengannya. Sepuluh hari kemudian urat nadi lengannya telah lancar kembali.

Hina Kelana - Chin Yung Bagian 90 - 100

sambungan

Bab 90. Pat-kwa-kiam-tin Bu-tong-pay Dibikin Kocar-kacir oleh Lenghou Tiong

Karena orang-orang yang berkumpul ini terdiri dari berbagai golongan dan lapisan, tapi semuanya adalah manusia-manusia yang suka cari gara-gara. Mereka menjadi kegirangan dan bersorak-sorai mendengar perintah Lenghou Tiong itu.

Besok paginya, kembali ada beberapa puluh orang Kangouw yang datang menggabungkan diri. Lenghou Tiong memberi tugas kepada Coh Jian-jiu, Keh Bu-si, dan Lo Thau-cu untuk membikin panji-panji yang diperlukan serta membeli tambur dan sebagainya.

Menjelang tengah hari Coh Jian-jiu bertiga sudah menyelesaikan tugasnya, berpuluh panji putih dengan macam-macam semboyan yang tertulis di atasnya telah disiapkan. Hanya tambur yang kurang, cuma dua buah saja yang dapat dibeli.

“Marilah kita lantas berangkat, kota-kota yang kita lalui sepanjang perjalanan dapat kita singgahi untuk membeli lagi alat-alat yang kita perlukan,” kata Lenghou Tiong.

Semua orang bersorak mengiakan. Segera ada yang mulai membunyikan tambur, lalu berangkatlah mereka menuju ke utara dengan berbaris.

Lenghou Tiong sudah pernah menyaksikan anak murid Hing-san-pay disergap musuh di atas Sian-he-nia, maka sekarang ia lantas mengatur, tujuh kelompok diberi tugas tertentu. Dua kelompok di depan sebagai pelopor jalan, dua kelompok menjaga sayap kiri, dan dua kelompok menjaga sayap kanan. Satu kelompok lagi sebagai bala bantuan di belakang, selebihnya ikut dalam pasukan induk. Selain itu kelompok Sin-oh-pang dari Hansui diberi tugas sebagai kurir yang kian-kemari menyampaikan berita.

Sin-oh-pang adalah gerombolan orang-orang Kangouw setempat, wilayah pengaruhnya cukup luas, maka segala kabar berita yang penting dapat diketahui mereka dengan cepat.

Begitulah semua orang sama kagum dan tunduk melihat cara mengatur Lenghou Tiong yang rapi itu.

Selama beberapa hari dalam perjalanan, berturut-turut bergabung pula kelompok-kelompok dari berbagai tempat. Suatu hari sampailah mereka di kaki gunung Bu-tong-san.

“Lenghou-kongcu, kita harus melalui Bu-tong-san, apakah kita harus menghentikan suara tambur dan menggulung panji atau tetap lalu secara terang-terangan begini?” Coh Jian-jiu minta petunjuk kepada Lenghou Tiong.

Jawab Lenghou Tiong, “Bu-tong-pay adalah aliran persilatan nomor dua di dunia persilatan, pengaruh dan wibawanya cuma di bawah Siau-lim-pay saja. Kepergian kita buat menyambut Seng-koh ini sedapat mungkin menghindari percekcokan dengan Siau-lim-pay, dengan sendirinya lebih baik pula kalau kita pun tidak bersengketa dengan Bu-tong-pay. Maka sebaiknya kita mengitar ke jurusan lain saja sebagai tanda penghormatan dan keseganan kita terhadap Tiong-hi Totiang, itu ketua Bu-tong-pay yang hebat. Demikianlah pendapatku, entah bagaimana pikiran Saudara-saudara?”

“Apa yang dirasakan baik oleh Lenghou-kongcu, sudah tentu kami hanya menurut saja,” kata Lo Thau-cu. “Memangnya tujuan kita hanya menyambut pulang Seng-koh dan tidak ingin menimbulkan perkara lain dan menambah musuh. Apa gunanya kita terhambat oleh urusan yang berlawanan dengan maksud tujuan kita sekalipun Bu-tong-pay dapat kita tumpas umpamanya?”

“Benar, harap siarkan perintahku agar menggulung panji-panji dan menghentikan bunyi tambur, kita membelok dulu ke arah timur untuk kemudian mengitar lagi ke utara,” kata Lenghou Tiong.

Begitulah rombongan mereka lantas mengarah ke timur. Kira-kira beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba dua anggota Sin-oh-pang datang memberi lapor, “Di selat gunung belasan li sana telah menunggu beberapa ratus tosu, mereka mengaku dari Bu-tong-pay dan minta bicara dengan Bengcu.”

Seketika jago-jago di samping Lenghou Tiong menjadi gusar, mereka sama mengomel, “Kurang ajar benar kawanan tosu Bu-tong-pay itu!
Kita menghargai mereka, sebaliknya mereka mengira kita takut kepada mereka. Kurang ajar, benar-benar minta diajar!”

“Coba kita maju ke sana untuk melihat apa maksud tujuan mereka,” ujar Lenghou Tiong.
Segera ia mendahului melarikan kudanya ke depan dan mencapai selat gunung sana.

Ketika melihat datangnya Lenghou Tiong, kedua kelompok yang menjadi pelopor, yaitu Hong-bwe-pang dan Jing-liong-pang, sama bersorak-sorai.

Lenghou Tiong melompat turun dari kudanya, ia berlari maju dengan cepat, dilihatnya di ujung selat gunung situ berbaris beberapa puluh tojin berjubah hijau, semuanya bersenjata pedang, jalan lewat telah dirintangi mereka.

Hina Kelana - Chin Yung Bagian 61 - 90

Sambungan ....

Bab 61. Si Kakek Berjubah Putih

Samar-samar Lenghou Tiong merasakan firasat yang tidak enak, dengan tangan gemetar ia membuka sampul surat itu dan dibaca. Ia benar-benar tidak percaya apa yang tertulis pada surat itu. Ia coba mengulangi baca lagi sekali seketika ia merasa seakan-akan langit berputar putar dan bumi terbalik, “bluk”, ia jatuh tak sadarkan diri.

Ketika siuman kembali ia merasa tubuhnya berada dalam pangkuan Hong-sing Taysu. Saking sedihnya menangislah Lenghou Tiong tersedu-sedan.

“Sebab apakah Lenghou-siauhiap merasa susah, apakah gurumu mengalami sesuatu?” tanya Hong-sing.

“Silakan Taysu membacanya,” kata Lenghou Tiong terguguk-guguk sambil menyodorkan surat itu.

Ketika Hong-sing membaca surat itu, isinya tertulis:

Diaturkan kepada yang terhormat ketua Siau-lim-si.
Selama menjabat ketua Hoa-san, teramat jarang mengaturkan salam hormat, mohon maaf.
Perihal murid murtad kami Lenghou Tiong, perangainya jelek, kelakuannya buruk, berulang-ulang melanggar larangan, paling akhir bahkan bergaul dengan orang jahat dan berkomplot dengan kaum iblis. Put-kun telah berusaha mendidiknya, tapi tidak berhasil. Untuk menegakkan kebesaran Bu-lim, sekarang murid murtad tersebut bukan lagi murid kami. Jika terjadi lagi perkomplotannya dengan kaum iblis dan merugikan kawan Kangouw umumnya, maka diharapkan kawan-kawan sekalian bangkit membinasakannya bersama. Tulisan singkat ini tidak mencerminkan seluruh maksud kami, mohon Taysu maklum adanya.

Isi surat juga sangat di luar dugaan Hong-sing Taysu, ia menjadi bingung dan tidak tahu cara bara bagaimana harus menghibur Lenghou Tiong. Setelah mengembalikan surat itu kepada Hong-ting, ketika melihat Lenghou Tiong masih menangis sedih, lalu katanya, “Siauhiap, pergaulanmu dengan orang-orang Hek-bok-keh itu memang tidak patut.”

Hong-ting juga berkata, “Saat ini para ketua dari berbagai aliran cing-pay tentu juga sudah menerima surat gurumu ini dan telah memberi petunjuk kepada anak murid masing-masing. Sekalipun kau tidak terluka, begitu kau keluar dari sini, setiap langkahmu akan selalu merupakan rintangan bagimu. Para murid golongan cing-pay akan menganggap dirimu sebagai musuh mereka.”

Lenghou Tiong melengak, teringat olehnya kata-kata yang diucapkan Ing-ing di tepi sungai kecil tempo hari. Memang benar, saat ini bukan saja setiap orang dari kalangan sia-pay ingin membunuhnya, bahkan orang-orang dari cing-pay juga menganggapnya sebagai musuh. Dunia selebar ini terasa tiada tempat berpijak lagi baginya.

Teringat pula budi kebaikan guru dan ibu-gurunya yang telah mendidiknya sejak kecil mirip ayah-bunda kandung sendiri, tapi dirinya yang sembrono tingkah lakunya sehingga dipecat dari perguruan. Dapat diduga kepedihan gurunya waktu menulis surat ini mungkin lebih hebat daripada dirinya sekarang.

Begitulah Lenghou Tiong merasa sedih dan malu pula, sungguh ingin sekali kepalanya ditumbukkan dinding dan biar mati saja.
Dengan air mata meleleh samar-samar dilihatnya wajah Hong-ting dan Hong-sing Taysu sama menampilkan rasa kasihan padanya. Tiba-tiba Lenghou Tiong teringat ketika di kota Heng-san dulu waktu Lau Cing-hong hendak cuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia persilatan, soalnya dia bergaul dengan gembong Mo-kau Kik Yang, akhirnya jiwanya melayang di tangan jago-jago Ko-san-pay.

Dari peristiwa itu dapat diketahui bahwa antara cing-pay dan sia-pay tak mungkin hidup bersama, sampai-sampai tokoh masam Lau Cing-hong juga tak terhindar dari kematian lantaran bergaul dengan kaum sia-pay, apalagi dirinya yang tidak punya sandaran apa-apa, lebih-lebih sesudah terjadi keonaran besar yang diperbuat kawanan iblis sia-pay di Ngo-pah-kang.

Terdengar Hong-ting berkata dengan perlahan, “Lautan derita tak bertepi, berpaling kembali ada gili-gili. Sekalipun penjahat yang tak terampunkan, asalkan mau sadar dan bertekad memperbaiki, maka pintu Buddha akan selalu terbuka baginya. Usiamu masih muda, kau baru kejeblos dan salah bergaul dengan orang jahat, masakah seterusnya tiada jalan bagimu untuk memperbaiki? Hubunganmu dengan Hoa-san-pay sekarang sudah putus sama sekali, selanjutnya boleh masuk Siau-lim-pay kami, perbaikilah semua kesalahan yang lalu dan jadilah manusia baru. Dengan begini kiranya orang Bu-lim juga tiada yang dapat membikin susah padamu.”

Diam-diam Lenghou Tiong berpikir dirinya sedang menghadapi jalan buntu, jika sekarang mau berlindung di bawah pengaruh Siau-lim-pay, bukan saja akan mendapatkan lwekang yang tinggi dan jiwa sendiri dapat diselamatkan, bahkan dengan nama kebesaran Siau-lim-pay, terang tiada seorang Kangouw pun berani cari perkara pada murid Hong-ting Taysu.

Namun pada saat itu juga mendadak timbul wataknya yang kepala batu, katanya dalam hati, “Seorang laki-laki sejati tidak mampu berdikari di atas bumi ini dan mesti merendahkan diri mohon perlindungan kepada golongan lain, terhitung orang gagah macam apakah ini? Sekalipun beribu orang Kangouw ingin membunuh aku, biarkan mereka membunuh saja. Suhu tidak sudi padaku lagi dan memecat aku dari Hoa-san-pay, apa alangannya jika selanjutnya aku pergi-datang sendirian dengan bebas?”

Terpikir demikian, seketika darahnya bergolak dan mulut terasa dahaga, ingin rasanya minum arak sepuas-puasnya dan tak terhiraukan lagi akan mati atau hidup. Bahkan bayangan Gak Leng-sian yang biasanya senantiasa terbayang sekarang juga tak terpikirkan lagi.

Ia berbangkit dan menjura beberapa kali kepada Hong-ting berdua, lalu berkata dengan suara lantang, “Wanpwe tidak disukai perguruan lagi, tapi juga malu untuk masuk perguruan lain. Welas asih kedua Taysu sungguh tak terhingga terima kasih Wanpwe, biarlah Wanpwe mohon diri saja sekarang.”

Hong-ting melengak melihat kepala batu pemuda yang tak gentar mati itu. Segera Hong-sing berkata, “Siauhiap, persoalan ini menyangkut mati-hidupmu, hendaknya kau pikir masak-masak dan jangan keburu nafsu.”

Namun Lenghou Tiong tidak bicara pula, ia putar tubuh dan keluar dari kamar itu, dadanya penuh rasa penasaran, tapi langkahnya sangat cepat dan enteng, dengan tindakan lebar ia keluar dari Siau-lim-si. Anak murid Siau-lim-si sama heran melihatnya, tapi juga tidak merintangi kepergiannya.

Keluar dari kuil agung itu, Lenghou Tiong menengadah dan tertawa panjang, suara tawa yang penuh rasa pedih dan duka. Pikirnya, “Setiap orang cing-pay sekarang sama anggap aku sebagai musuh, orang-orang sia-pay juga bertekad akan membunuh aku. Besar kemungkinan hidupku ini takkan melampaui hari ini. Lihat saja siapakah yang akan mencabut nyawaku ini.”

Ia coba meraba baju sendiri, ternyata sakunya tak beruang, pedang pun sudah tidak punya, bahkan kecapi hadiah Ing-ing pun entah hilang di mana, ia benar-benar dalam keadaan rudin tak miliki apa-apa. Tanpa khawatirkan apa pun segera ia turun dari pegunungan itu.

Menjelang petang, cukup jauh ia meninggalkan Siau-lim-si, badan terasa penat dan perut sangat lapar. Ia pikir ke mana mencari sedikit barang makanan.

Tiba-tiba terdengar suara tindakan orang ramai, tujuh-delapan orang tampak lari mendatang dari sebelah barat sana. Pakaian orang-orang itu sama ringkas kencang dari membawa senjata, lari mereka sangat tergesa-gesa.

“Apakah kalian hendak membunuh aku? Jika begitu silakan saja supaya aku tidak perlu repot-repot mencari makanan segala?” demikian pikirnya.

Maka ia lantas berdiri bertolak pinggang di tengah jalan dan berseru, “Ini dia Lenghou Tiong berada di sini. Yang ingin membunuh aku lekas beri tahukan dulu namanya!”

Siapa duga sesampai di depannya orang-orang itu hanya memandang sekejap saja padanya, lalu lewat di sebelahnya.

“Orang ini tentu orang gila!” demikian kata seorang di antaranya.

“Ya, jangan gubris dia, supaya tidak bikin runyam urusan penting kita,” kata seorang pula.

“Benar, jika keparat itu sampai kabur tentu bisa celaka,” tambah lagi orang ketiga. Dan hanya sekejap saja beberapa orang itu sudah menghilang di kejauhan.

Baru sekarang Lenghou Tiong mengetahui bahwa orang-orang itu sedang mengejar seorang lain. Baru saja rombongan tadi menghilang, tiba-tiba terdengar pula dari arah barat tadi berkumandang suara derapan kaki kuda yang riuh. Lima penunggang kuda tampak membalap tiba dan lalu di sampingnya.

Kira-kira belasan meter jauhnya, sekonyong-konyong seorang penunggang kuda itu memutar balik, penunggangnya adalah seorang wanita setengah umur, tanyanya kepada Lenghou Tiong, “Numpang tanya, apakah Anda melihat seorang kakek berjubah putih? Kakek itu bertubuh tinggi kurus dan membawa sebatang golok melengkung.”

“Tidak,” sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng.

Wanita itu tidak tanya lebih jauh, segera ia putar kembali kudanya terus menyusul kawan-kawannya.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Apa barangkali mereka sedang mengejar dan hendak menangkap kakek berjubah putih yang mereka tanya itu?
Aku lagi iseng, coba aku ikut ke sana untuk melihat keramaian.”
Segera ia putar haluan dan menyusul ke jurusan orang-orang tadi.

Tidak seberapa lama, kembali dari belakang ada belasan orang berlari datang lagi. Orang ini semuanya adalah laki-laki kekar dan berbaju hijau, tiap-tiap orang bersenjatakan dua batang badik mengilap. Dari seragam pakaian dan senjata mereka terang mereka adalah orang-orang dari suatu perguruan.

Ketika melihat Lenghou Tiong, seumur 50-an tahun berpaling dan bertanya, “Eh, adik cilik, apakah kau lihat seorang kakek berjubah putih? Badannya tinggi kurus dan membawa golok melengkung?”

“Tidak, tidak melihat orang begitu,” jawab Lenghou Tiong.

Tidak lama kemudian, sampailah di suatu persimpangan tiga, terdengar pula suara kelening kuda bergema dari barat daya sana, tiga penunggang tampak mendatang dengan cepat. Kuda-kuda itu semuanya sangat gagah, penunggangnya adalah pemuda berumur 20-an.

Sambil mengacungkan cambuknya, pemuda yang paling depan menegur Lenghou Tiong, “He, numpang tanya apakah kau lihat seorang ....”

“Seorang tua berjubah putih, berbadan tinggi kurus dan membawa senjata golok melengkung bukan?” demikian Lenghou Tiong menyambung.

Keruan ketiga pemuda itu menjadi girang, berbareng mereka berkata, “Benar! Di manakah dia?”

Tapi Lenghou Tiong lantas angkat bahu sambil menghela napas, jawabnya, “Entah, aku tidak melihatnya.”

Pemuda pertama kali menjadi gusar, bentaknya, “Kurang ajar! Jadi kau sengaja mempermainkan kami saja? Jika tidak melihatnya dari mana kau tahu orang tua itu?”

“Apakah tidak melihatnya lantas tidak boleh tahu?” sahut Lenghou Tiong tersenyum.

Pemuda itu angkat cambuknya hendak menyabat kepala Lenghou Tiong, tapi seorang kawannya telah mencegahnya, “Jite, jangan bikin onar! Marilah kita lekas susul ke sana.”

Pemuda pertama tadi mendengus sambil membunyikan cambuknya di udara, lalu melarikan kudanya ke jurusan semula.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Tampaknya orang-orang itu adalah jago-jago silat semua, beramai-ramai mereka mengejar seorang kakek, entah apa sebabnya?
Hal ini sungguh menarik, biarlah aku ikut pergi ke sana untuk melihat ramai-ramai. Tapi kalau mereka tahu aku adalah Lenghou Tiong tentu aku akan dibunuhnya seketika.”

Terpikir demikian ia menjadi rada takut. Tapi lantas terpikir pula, “Saat ini baik dari cing-pay maupun dari sia-pay sama-sama ingin membunuh aku, walaupun aku dapat main sembunyi-sembunyi dan dapat menunda masa hidup ini untuk beberapa lama, tapi akhirnya toh sukar terhindar dari kematian. Lalu apa artinya toh sukar tertunda sehari-dua hari? Kan lebih baik terserah keadaan saja, coba ajalku ini akan tamat di tangan siapa?”

Begitulah segera ia menyusul ke arah kepulan debu yang dijangkitkan oleh ketiga penunggang kuda tadi.

Untuk selanjutnya ada beberapa kelompok orang lagi yang sama menanyakan padanya tentang si kakek jubah putih, Lenghou Tiong menjadi heran, pengejar-pengejar itu tidak mengetahui di mana beradanya si kakek, yang mereka tempuh adalah satu jurusan yang sama, hal ini benar-benar aneh.

Setelah beberapa li jauhnya, sesudah menyusuri sebuah hutan cemara, tiba-tiba di depan terbentang sebuah dataran yang lapang, di situlah berkerumun banyak orang sedikitnya ada enam-tujuh ratus orang, tanah datar itu sungguh sangat luas sehingga beberapa ratus orang itu hanya mengambil sebagian kecil tanah lapang itu. Sebuah jalan besar lurus menembus ke tengah-tengah kerumunan orang-orang itu, segera Lenghou Tiong melangkah ke sana mengikuti jalan itu.

Sesudah dekat, terlihat di tengah-tengah kerumunan orang-orang itu ada sebuah gardu kecil.
Orang-orang itu hanya mengepung di sekitar gardu itu dari jarak beberapa meter jauhnya dan tidak berani mendekat.

Gardu itu sebenarnya digunakan untuk istirahat bagi kaum pelancong yang lalu di situ, bangunannya sederhana dan rada buruk. Ketika Lenghou Tiong lebih mendekat lagi dilihatnya di tengah gardu itu ternyata ada seorang kakek berjubah putih, kakek itu seorang diri dan duduk menyanding sebuah meja dan sedang minum arak. Apakah kakek itu membawa golok melengkung atau tidak seketika sukar diketahui. Biarpun berduduk tapi tingginya hampir menyamai berdirinya orang biasa, jelas menandakan perawakan si kakek pasti sangat tinggi.

Walaupun dikepung orang sebanyak itu, tapi si kakek tampaknya tenang-tenang saja dan minum arak seenaknya, mau tak mau timbul rasa kagumnya Lenghou Tiong, terasa kesatria-kesatria yang pernah dijumpainya selama hidup ini tiada seorang pun yang segagah seberani si kakek.

Perlahan-lahan ia melangkah maju dan menyusup di tengah orang banyak. Orang-orang itu semuanya sedang memandang si kakek jubah putih dengan mata tak berkedip sehingga kedatangan Lenghou Tiong itu tidak menimbulkan perhatian mereka.

Ketika Lenghou Tiong mengamat-amati si kakek, dilihat jenggotnya yang panjang jarang-jarang itu sudah memutih dan terjulai di depan dada, tangannya memegang cawan arak, matanya memandang jauh ke ujung langit sana, sedikit pun tidak ambil pusing terhadap beberapa ratus orang yang mengepung di sekitarnya itu. Waktu memerhatikan pinggangnya, nyata di situ tergantung sebuah golok panjang berbentuk melengkung.

Sudah tentu Lenghou Tiong tidak tahu nama dan asal usul si kakek, juga tidak tahu mengapa dia bermusuhan dengan orang Bu-lim sebanyak itu, lebih-lebih tidak tahu apakah si kakek dari golongan cing-pay atau sia-pay, soalnya cuma kagum kepada sikapnya yang gagah berani sehingga timbul rasa simpatinya yang senasib.

Segera ia melangkah maju dan menyapa, “Locianpwe, kau sendirian tanpa teman, tentu merasa kesepian, biar aku mengiringimu minum arak.”

Tanpa diundang ia lantas masuk ke gardu itu, setelah memberi hormat lalu ia duduk di sebelah sana.

Kakek itu berpaling, sorot matanya yang tajam mengawasi Lenghou Tiong dari muka sampai ke ujung kaki. Terlihat pemuda yang tak dikenal ini tidak membawa senjata, wajahnya rada pucat. Ia rada heran, tapi ia pun tidak menjawab melainkan cuma mendengus saja.

Lenghou Tiong lantas angkat poci arak, lebih dulu ia menuangi cawan di depan si kakek, lalu menuang pula sebuah cawan yang lain.

“Mari!” ajaknya, arak secawan penuh itu terus ditenggak habis sekaligus.

Arak itu sangat keras, mulut serasa disayat-sayat dan laksana api membakar perut. “Ehmm, arak bagus!” demikian puji Lenghou Tiong.

“He, bocah itu!” mendadak seorang laki-laki di luar gardu sana membentak dengan nada kasar. “Lekas keluar dari situ. Kami hendak mengadu jiwa dengan Hiang-lothau, jangan kau mengacau dan mengalang-alangi di situ.”

“Aku minum arak sendiri bersama Hiang-locianpwe, alangan apa mengenai urusanmu?” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. Segera ia menuang secawan lagi dan ditenggak habis pula. Sambil mengacungkan ibu jari ia memuji, “Arak bagus!”

Tiba-tiba dari sebelah kiri sana seorang berseru, “Hei, lekas enyah bocah itu, jangan kau bikin jiwamu melayang percuma di sini. Atas perintah Tonghong-kaucu kami hendak menangkap pemberontak Hiang Bun-thian itu, jika orang luar berani ikut mengacau tentu akan kami bikin dia mati tak terkubur.”

Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah datangnya suara, kiranya pembicara itu adalah seorang laki-laki kurus kecil dan bermuka kuning. Di sebelah laki-laki kurus kecil itu berdiri dua-tiga ratus orang berbaju seragam hijau, ada laki-laki dan ada perempuan, ada hwesio dan juga ada orang biasa. Baju mereka hijau seragam, hanya ikat pinggang mereka yang beraneka warna dan berbeda-beda. Ikat pinggang laki-laki kurus kecil itu berwarna kuning, di antara dua-tiga ratus orang itu hanya dia sendiri yang pakai ikat pinggang kuning.

Lenghou Tiong jadi teringat kepada Kik Yang, itu gembong Mo-kau yang dilihatnya di luar kota Heng-san dahulu, baju yang dipakai Kik Yang juga berwarna hijau, kalau tidak salah ikat pinggangnya juga berwarna kuning. Sekarang laki-laki kurus kecil ini menyatakan hendak menangkap pemberontak atas perintah Tonghong-kaucu, jika demikian orang-orang itu terang adalah anggota Mo-kau setingkat dengan Kik Yang sama-sama tianglo (tertua) dari agama sesat itu.

“Arak bagus!” demikian kembali ia menenggak habis secawan arak. Lalu katanya kepada si kakek berjubah putih yang bernama Hiang Bun-thian itu, “Hiang-locianpwe, Cayhe telah minum tiga cawan arakmu, banyak terima kasih!”

Pada saat itulah mendadak di sebelah timur sana ada orang berteriak, “Bocah itu adalah murid Hoa-san-pay yang dipecat, namanya Lenghou Tiong!”

Lenghou Tiong coba memerhatikan siapa yang bicara itu, kiranya adalah murid Jing-sia-pay yang bernama Kau Jin-hong. Sekarang dengan jelas dapat dilihatnya bahwa di sekitar Kau Jin-hong masih banyak pula jago-jago Ngo-gak-kiam-pay.

“Hei, Lenghou Tiong,” terdengar seorang tosu di antaranya berseru, “gurumu mengatakan kau berkomplot dengan kaum iblis, nyatanya memang benar. Kedua tangan Hiang Bun-thian itu berlumuran darah kaum kesatria dan pendekar, apa yang kau lakukan bersama dia? Jika kau tidak lekas menyingkir, sebentar orang banyak akan mencencangmu hingga hancur luluh.”
“Yang bicara itu Susiok dari Thay-san-pay bukan?” tanya Lenghou Tiong. “Cayhe selamanya tidak kenal Hiang-locianpwe ini. Tapi kalian berjumlah beberapa ratus orang dan mengepung dia sendirian, terhitung perbuatan macam apakah ini? Sejak kapan lagi jago Ngo-gak-kiam-pay bersatu dengan orang Mo-kau? Cing-pay dan sia-pay sekarang telah bersatu menghadapi Hiang-locianpwe sendiri, apakah hal ini takkan ditertawai oleh setiap kesatria di dunia ini?”

Tosu itu menjadi gusar, jawabnya, “Bilakah kami bersatu dengan orang Mo-kau untuk menangkap anggota murtad mereka? Kita hanya ingin menuntut balas bagi kawan-kawan kita yang terbunuh oleh bangsat keparat ini.
Masing-masing mengerjakan kepentingannya sendiri, satu dan lain tiada sangkut paut.”

“Bagus, bagus, bagus, jika begitu, asalkan kalian bertempur satu lawan satu, maka aku akan menyaksikan keramaian ini sambil duduk minum arak di sini,” ujar Lenghou Tiong tertawa.

“Kau ini kutu macam apa?” bentak Kau Jin-hong. “Ayolah beramai-ramai binasakan dulu bocah ini, kemudian baru bikin perhitungan dengan bangsat she Hiang itu.”

Dengan tertawa Lenghou Tiong berkata, “Untuk membinasakan aku Lenghou Tiong seorang kenapa mesti pakai maju beramai-ramai segala? Silakan Kau-heng maju sendiri saja dan beres!”

Dahulu Kau Jin-hong pernah ditendang terjungkal ke bawah loteng restoran di kota Heng-san, ia tahu kepandaian sendiri masih kalah jauh maka sekarang ia pun tidak berani maju, ia tidak tahu bahwa tenaga dalam Lenghou Tiong sudah punah. Sedangkan kawan-kawannya rupanya jeri terhadap kelihatan Hiang Bun-thian sehingga tidak berani menyerbu ke dalam gardu itu.

“Orang she Hiang,” demikian terdengar laki-laki kurus kecil dari Mo-kau tadi berteriak, “urusan sudah begini, jika kau tahu gelagat, lebih baik ikut saja dengan kami untuk menghadap Kaucu dan mohon keringanan keputusannya. Kau pun terhitung jago agama kita, apakah perlu kita harus bertempur mati-matian sehingga ditertawai orang luar?”

Hiang Bun-thian tidak menjawab, ia hanya menjengek sambil angkat cawan arak dan diminum seceguk. Berbareng itu terdengarlah suara gemerencingnya logam.

Lenghou Tiong dapat melihat jelas di antara kedua tangan orang tua itu ternyata terikat oleh seutas rantai besi. Keruan ia sangat heran, “Kiranya dia baru melarikan diri dari kurungan sehingga rantai tangannya belum sempat dihilangkan.”

Seketika rasa simpatinya timbul lebih meluap, pikirnya, “Orang tua ini sudah tidak mampu melawan, biarlah aku membantu dia menahan musuh-musuhnya dan masa bodoh jiwaku jika mesti melayang di sini.”

Dengan ketetapan pikiran itu segera ia berdiri, sambil bertolak pinggang ia berseru lantang, “Hiang-locianpwe ini masih terantai, mana dia bisa bertempur dengan kalian? Aku sudah minum tiga cawan araknya yang enak, apa boleh buat terpaksa aku membantu dia melawan musuh-musuhnya. Nah, siapa saja yang mengganggu orang she Hiang harus membunuh dulu Lenghou Tiong ini!”

Melihat kelakuan Lenghou Tiong yang angin-anginan dan seperti orang sinting itu, tanpa sebab terus tampil ke muka untuk membelanya, keruan Hiang Bun-thian sangat heran dan tertarik, dengan suara perlahan ia tanya, “Nak, kenapa kau membantu aku?”

“Melihat ketidakadilan angkat golok membantu,” sahut Lenghou Tiong singkat.

“Mana golokmu?” ujar Hiang Bun-thian.

“Aku memakai pedang,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma sayang tidak ada pedang.”

“Bagaimana ilmu pedangmu?” tanya Hiang Bun-thian. “Kau adalah murid Hoa-san-pay, kukira ilmu pedangmu juga cuma begitu-begitu saja.”

“Memang cuma begitu-begitu saja, apalagi sekarang aku terluka dalam, tenaga sudah punah, lebih-lebih tak keruan lagi,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Kau ini benar-benar aneh,” ujar Hiang Bun-thian. “Tapi baiklah, akan kucarikan sebilah pedang bagimu.”

Mendadak bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Hiang Bun-thian sudah menerjang ke tengah-tengah kerumunan orang itu. Dalam sekejap tertampaklah sinar senjata yang menyilaukan mata, berpuluh macam senjata memapak kedatangannya, tahu-tahu Hiang Bun-thian menyusup ke samping dan menubruk ke arah si tosu dari Thay-san-pay tadi.

Kontan pedang si tosu menusuk, tapi Hiang Bun-thian berkelit ke belakangnya, sikut kiri terus menyodok, “bluk”, dengan tepat punggung si tosu kena disodok. Waktu tangan Hiang Bun-thian terangkat, pedang si tosu kena dibelit oleh rantainya berbareng kaki lantas menggenjot, seperti anak panah terlepas dari busurnya ia melayang kembali ke dalam gardu tadi.

Beberapa gerakan itu terjadi dengan cepat luar biasa, baru saja para jago cing-pay berniat mengejar, namun sudah terlambat. Seorang laki-laki paling cepat memburunya, ia sempat menyusul sampai dua-tiga meter di luar gardu, goloknya diangkat terus membacok.

Namun punggung Hiang Bun-thian seolah-olah ada matanya, tanpa menoleh sebelah kakinya terus mendepak ke belakang, dengan telak dada penyerang itu kena didepak. Orang itu menjerit dan mencelat, saking keras goloknya tadi membacok sehingga sebelah kaki sendiri sampai terkutung oleh senjatanya sendiri.

Sedangkan tosu Thay-san-pay tadi seperti orang mabuk arak, ia terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terkapar, darah segar tiada hentinya mengucur keluar dari mulutnya.

Pada saat itulah terdengar anggota Mo-kau sama bersorak gemuruh, berpuluh orang sama berteriak, “Hebat benar kepandaian Hiang-yusu.”

Hiang Bun-thian tampak tersenyum, ia angkat kedua tangannya sebagai tanda terima kasih atas pujian anggota-anggota Mo-kau itu. Waktu ia ayun tangannya, “cret”, pedang yang terbelit di rantainya itu menancap di atas meja.

“Nah, pakailah?” katanya.

Alangkah kagum Lenghou Tiong, katanya di dalam hati, “Orang ini menerjang musuh seakan-akan memasuki daerah tak berpenduduk, ternyata dia memiliki kepandaian yang benar-benar luar biasa.”

Ia tidak mencabut pedang yang menancap di atas meja itu, tapi katanya, “Ilmu silat Hiang-locianpwe sedemikian hebat, rasanya Wanpwe tidak perlu ikut-ikut lagi.”

Lalu ia memberi salam hormat dan berkata pula, “Aku mohon diri saja.”

Tapi sebelum Hiang Bun-thian bersuara, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, tiga batang pedang tahu-tahu menyambar ke dalam gardu.
Kiranya adalah murid Jing-sia-pay, Kau Jin-hong bertiga telah menyerang berbareng.

Ketiga pedang itu semuanya mengancam tubuh Lenghou Tiong, yang satu mengarah punggungnya dan yang dua menusuk kanan kiri pinggang bagian belakang. Jaraknya tidak lebih dari belasan senti saja.

“Berlututlah Lenghou Tiong!” bentak Kau Jin-hong, berbareng itu ujung pedangnya terus mendesak maju sehingga menempel kulit daging Lenghou Tiong.

“Biarpun mati juga tidak sudi mati di tangan murid Jing-sia-pay yang pengecut seperti kalian ini,” demikian pikir Lenghou Tiong. Ia tahu dirinya sudah terkurung di bawah ancaman ujung pedang lawan, asal putar tubuh segera ujung pedang yang satu akan menancap di dada dan kedua pedang yang lain menusuk ke dalam perutnya.

Mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Baiklah, berlutut juga boleh!”

Sebelah kaki kanan sedikit bertekuk seperti hendak berlutut, tapi secepat kilat tangan kanan terus menyambar pedang yang menancap di atas meja tadi dan berbareng diputar ke belakang.

Tanpa ampun lagi tiga tangan ketiga murid Jing-sia-pay itu terkurung sebatas pergelangan dan jatuh ke lantai dengan masih mencengkeram pedang.

Muka Kau Jin-hong bertiga pucat bagai mayat, mereka tidak pernah membayangkan bisa terjadi demikian. Setelah tertegun sejenak barulah mereka melompat mundur. Seorang di antaranya adalah anak murid Jing-sia-pay yang masih sangat muda, umurnya paling-paling baru 16-17 tahun, saking kesakitannya dia sampai menangis dan menjerit-jerit.

Lenghou Tiong merasa menyesal, katanya, “Maaf adik cilik, kau sendirilah yang lebih dulu bermaksud membunuh aku!”

“Kiam-hoat bagus!” terdengar Hiang Bun-thian bersorak memuji. Lalu katanya pula, “Pedangnya kurang kuat, tenaga dalamnya terlalu lemah!”

“Bukan saja tenaga dalam lemah, pada hakikatnya memang tidak bertenaga dalam lagi,” ujar Lenghou Tiong tertawa.

Bab 62. Kesaktian “Tokko-kiam-hoat”

Pada saat itulah sekonyong-konyong Hiang Bun-thian membentak-bentak, menyusul terdengar suara gemerencing rantai, kiranya dua orang laki-laki baju hijau telah menerjang ke dalam gardu dan menyerang Hiang Bun-thian.

Kedua orang ini menggunakan senjata yang aneh, yang satu memakai sepasang tameng, semuanya merupakan senjata yang berat.
Waktu berbentur dengar rantai terbitlah suara nyaring disertai letikan lelatu api.

Beberapa kali Hiang Bun-thian hendak menyelinap ke belakang orang yang bersenjata tongkat itu, tapi ilmu silat orang itu sangat tinggi, ia bertahan dengan sangat rapat, kedua tangan Hiang Bun-thian sendiri masih terikat oleh rantai sehingga gerak-geriknya kurang leluasa.

Mendadak terdengar pula suara bentakan ramai, kembali dua orang Mo-kau menerjang ke dalam gardu. Kedua orang ini sama-sama memakai godam bersegi delapan, begitu maju mereka terus memukul dan mengetuk serabutan. Dengan demikian si pemakai tongkat tadi dari bertahan sekarang sempat balas menyerang.

Namun dengan amat gesit Hiang Bun-thian masih terus menyelinap kian kemari di antara empat musuh, cuma sukar juga untuk merobohkan salah seorang lawannya. Setiap kali bila rantainya digunakan menyabat salah seorang musuh, segera tiga orang yang lain menubruk maju dengan berani mati.
Kira-kira belasan jurus kemudian, laki-laki kurus kecil tadi berseru, “Delapan tombak maju semua!”

Segera ada delapan laki-laki baju hijau dan bertombak menerjang maju dari empat jurusan gardu, setiap jurusan diperkuat dengan dua batang tombak yang panjang dan besar, dengan cepat mereka menghujani tusukan ke arah Hiang Bun-thian.

“Sobat cilik, lekas pergi saja!” seru Hiang Bun-thian kepada Lenghou Tiong.

Belum lenyap suaranya, mendadak kedelapan tombak telah menyambar sekaligus ke tubuhnya, tidak peduli dia berkelit ke jurusan maka pasti tubuh akan tertusuk oleh ujung tombak. Lebih celaka lagi pada saat yang sama kedua orang yang bersenjata godam astakona (segi delapan) juga telah menghantam kepalanya, bahkan pemakai tongkat juga lantas menyabet dari bagian bawah dan tameng besi tahu-tahu juga mengepruk mukanya. Benar-benar segala penjuru terancam oleh senjata musuh.

Hendaklah maklum bahwa kedudukan Hiang Bun-thian dalam Mo-kau adalah sangat tinggi, betapa tinggi ilmu silatnya juga bukan rahasia lagi. Orang-orang Mo-kau itu mendapat perintah untuk menangkapnya, namun mereka tahu kepandaian mereka masih selisih jauh dibanding Hiang Bun-thian, adalah mahasulit untuk menangkapnya bila tidak lebih dulu melukainya. Dan bisa melukainya betapa pun harus main kerubut.

Sebab itulah maka sekaligus 12 jago Mo-kau pilihan lantas maju berbareng dan sama-sama mengeluarkan segenap tenaga mereka tanpa kenal ampun, sebab mereka insaf adalah teramat berbahaya bertempur dengan Hiang Bun-thian, tertunda lebih lama sedetik berarti setindak lebih mendekati pintu neraka bagi mereka.

Melihat cara pengeroyokan yang tidak pantas itu dan tampaknya sukar bagi Hiang Bun-thian untuk meloloskan diri, Lenghou Tiong lantas berteriak, “Sungguh tidak tahu malu!”

Pada saat itu mendadak Hiang Bun-thian berputar tubuh dengan amat cepat, rantai di tangannya terus berputar seperti kitiran sehingga senjata musuh terbentur dan menerbitkan suara gemerantang nyaring.
Begitu cepat Hiang Bun-thian berputar laksana gasingan sampai pandangan lawan serasa kabur. Maka terdengarlah suara “trang-treng” dua kali, kedua tameng besi musuh terbentur oleh rantainya, tameng-tameng itu terlepas dari cekalan dan mencelat keluar gardu. Kini Hiang Bun-thian tidak ambil pusing lagi kepada jurus-jurus serangan musuh, ia masih terus berputar semakin cepat sehingga delapan tombak musuh terguncang ke samping.

“Perlambat serangan dan bertahan rapat habiskan tenaganya!” tetua Mo-kau yang kurus kecil tadi berseru.

Kedelapan pemakai tombak tadi sama mengiakan sambil melangkah mundur setindak dan berdiri tegak dengan tombak siap di tangan. Pertempuran cara demikian pasti akan berakhir dengan tenaga Hiang Bun-thian terkuras dan bila ada kesempatan segera mereka menyerang pula dengan tombaknya.

Dalam keadaan demikian, penonton yang sedikit berpengalaman saja segera akan dapat menarik kesimpulan bahwa betapa pun tinggi ilmu silat Hiang Bun-thian juga tidak mungkin berputar terus tanpa berhenti. Pertempuran cara demikian pasti akan berakhir dengan Hiang Bun-thian kehabisan tenaga dan tiada jalan lain kecuali diringkus oleh musuh.

Mendadak terdengar Hiang Bun-thian bergelak tertawa, tubuh mendak ke bawah dan rantainya menyabat, kontan mengenai pinggang seorang yang bersenjata godam tadi, orang itu menjerit, godamnya menghantam balik dan mengenai batok kepalanya sendiri, seketika kepalanya pecah dan otak berhamburan.

Kedelapan orang bersenjata tombak itu rupanya sudah terlatih masak sekali, sekaligus tombak mereka menusuk Hiang Bun-thian dari berbagai penjuru.

Hiang Bun-thian sempat menangkis dua batang tombak itu, tapi tombak-tombak itu benar-benar sangat lihai, enam tombak yang lain laksana ular hidup saja berbareng mengancam iganya.

“Mati aku?” diam-diam Hiang Bun-thian mengeluh. Dalam keadaan begitu, biarpun tombak yang satu sempat dihindarkan toh tombak kedua, ketiga atau keempat juga sukar dielakkan, apalagi enam tombak mengancam sekaligus.

Sekilas Lenghou Tiong juga menyaksikan keadaan Hiang Bun-thian yang menghadapi jalan buntu itu. Tiba-tiba benaknya terkilas pula jurus keempat dari “Tokko-kiu-kiam” ajaran Hong Jing-yang yang disebut “jurus penghancur tombak” itu. Maka tanpa pikir panjang lagi segera ia turun tangan, pedang menyambar ke depan, terdengarlah suara mendering nyaring panjang, delapan batang tombak jatuh semua ke lantai dan menerbitkan suara gemerantang yang keras satu kali, maka dapatlah diketahui bahwa kedelapan batang tombak itu jatuhnya seperti bersamaan waktunya.

Padahal pedang Lenghou Tiong sekali tusuk mengarah pergelangan tangan delapan orang, dengan sendirinya terjadi secara berturut-turut, soalnya gerakannya teramat cepat sehingga jatuhnya kedelapan tombak secara susul-menyusul itu hampir-hampir sukar dibedakan.

Sekali Lenghou Tiong sudah turun tangan maka sukar dihentikan lagi, segera jurus kelima yang disebut “Boh-pian-sik” (jurus penghancur ruyung) kembali dilontarkan pula. “Boh-pian-sik” ini gerak perubahannya teramat luas, pendeknya segala senjata misalnya ruyung baja, godam, boan-koan-pit, tongkat, cundrik, kapak, dan senjata-senjata pendek sebangsanya akan dapat dipatahkan semua oleh jurus ini.

Maka tanpa ampun lagi, di tengah berkelebatnya sinar pedang tahu-tahu sepasang tongkat, sepasang godam telah jatuh semua. Dari ke-12 jago Mo-kau yang menyerbu ke dalam gardu itu, terkecuali seorang telah dibunuh oleh Hiang Bun-thian dan seorang senjata tamengnya terlepas dari tangan, selebihnya sepuluh orang pergelangan tangan masing-masing tertusuk oleh pedang Lenghou Tiong, senjata mereka terlepas dari cekalan. Sambil menjerit takut beramai-ramai ke-11 orang itu lantas lari kembali ke barisan mereka tadi.

Serentak para kesatria dari golongan cing-pay lantas memuji, “Kiam-hoat bagus! Cepat amat gerakannya! Baru hari ini kita menyaksikan Hoa-san-kiam-hoat yang hebat!”

Di sebelah sana Mo-kau-tianglo yang kurus kecil tadi telah memberikan komando singkat lagi dan segera ada lima orang menyerbu ke dalam gardu.

Seorang wanita setengah umur bersenjata sepasang golok yang diputar bagai kitiran terus menerjang ke arah Lenghou Tiong, sedangkan empat orang laki-laki yang lain lantas mengerubut Hiang Bun-thian.

Serangan golok si wanita setengah umur itu sangat cepat sehingga Lenghou Tiong tidak sempat melihat orang macam apakah keempat laki-laki yang mengeroyok Hiang Bun-thian dan senjata macam apa yang mereka gunakan. Yang jelas golok-golok wanita itu menyerang dengan cepat secara bergantian, bila golok sebelah kanan menyerang maka golok sebelah kiri dipakai menjaga diri dengan rapat dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian jadi setiap jurus serangan si wanita sekaligus juga berarti menjaga diri dengan ketat.

Pada umumnya kelemahan dalam pertarungan yang sering tampak ialah waktu menyerang pihak sendiri biasanya lantas terlihat lubang sehingga digunakan oleh musuh dengan baik.

Ilmu golok wanita ini benar-benar suatu kepandaian yang jarang terlibat di dunia persilatan, dia dapat menjaga diri dengan rapat, serangannya juga sangat cepat dan ganas. “Sret-sret-sret-sret” empat kali, karena tidak jelas akan cara serangan lawan, terpaksa Lenghou Tiong mundur empat tindak berturut-turut.

Pada saat itulah terdengar suara menderu angin kencang seperti ada orang pedang menempur Hiang Bun-thian dengan senjata lemas. Di tengah segala kerepotannya Lenghou Tiong coba melirik ke sana, dilihatnya dua orang bersenjata gandin berantai dan dua orang menggunakan ruyung lemas, dengan sengit lagi melawan rantai besi yang diayun-ayunkan Hiang Bun-thian.

Rantai besi yang menggandengkan kedua gandin orang itu cukup panjang, beberapa kali gandinnya melayang lewat di atas kepala Lenghou Tiong. Baru beberapa jurus saja lantas terdengar Hiang Bun-thian mengumpat maki, sebaliknya seorang laki-laki bersenjata gandin berantai itu berkata, “Maaf, Hiang-yusu!”

Kiranya sebelah gandin berantai itu telah berbelitan dengan rantai di tangan Hiang Bun-thian. Dalam sekejap itulah ketiga orang kawannya tidak sia-siakan kesempatan baik itu, tiga macam senjata berbareng menyambar ke tubuh Hiang Bun-thian.

Ketika Hiang Bun-thian mengerahkan tenaga dan menarik sekuatnya sambil menggertak, kontan orang yang bersenjata gandin itu kena diseret mentah-mentah ke badannya, maka kedua ruyung lemas dan sebuah gandin yang menyambar tiba tadi semuanya mengenai punggung orang itu.

Pada saat itu pula pedang Lenghou Tiong juga menusuk dan tepat mengenai pergelangan tangan si wanita setengah umur, tapi yang terdengar adalah suara “creng” yang nyaring, pedang orang malah menebas dari samping.

Lenghou Tiong terperanjat, tapi segera ia paham duduknya perkara, tentu wanita itu memakai bebat baja pelindung pergelangan tangan sehingga pedang tidak mempan melukainya. Sambil berkelit secepat kilat pedangnya menyungkit ke atas pula, “sret” sekali ini dengan tepat “koh-cing-hiat” di bahu kiri wanita itu tertusuk.

Wanita itu terkejut, namun dia sangat gagah berani, meski bahu kiri terluka toh golok sebelah kanan masih membacok lagi. Ketika pedang Lenghou Tiong berkelebat, kembali bahu kanan wanita itu tertusuk pula. Kedua bahunya terluka semua pada hiat-to yang sama, ia tidak sanggup memegang senjata lagi, sekuatnya ia menimpuk ke arah Lenghou Tiong, cuma sayang kedua tangan sudah tak bertenaga sehingga sepasang goloknya jatuh setengah jalan.

Baru saja Lenghou Tiong mengalahkan wanita itu, menyusul seorang tojin dari kalangan cing-pay melompat maju dengan pedang terhunus, katanya, dengan wajah masam, “Kukira Hoa-san-pay tidak pasti mempunyai kiam-hoat iblis semacam ini!”

Sekali pandang Lenghou Tiong lantas tahu tojin ini adalah angkatan tua dari Thay-san-pay, mungkin karena dia merasa penasaran lantaran salah seorang golongannya dibinasakan Hiang Bun-thian tadi, maka sekarang ia hendak menebus kekalahannya itu.

Walaupun Lenghou Tiong telah dipecat oleh gurunya, tapi sejak kecil ia sudah bernaung di Hoa-san-pay, Ngo-gak-kiam-pay terjalin seranting dan senapas, maka demi melihat angkatan tua Thay-san-pay itu mau tak mau timbul rasa hormatnya.

Lenghou Tiong putar balik ujung tangannya ke arah bawah, lalu memberi hormat dan menjawab, “Tecu tidak berani melawan Supek dari Thay-san-pay.”

Tojin itu bergelar Song-it, adalah saudara satu angkatan dengan Te-coat, Thian-bun dan tojin yang lain, hanya saja tidak sama guru.

Dengan nada dingin ia berkata, “Ilmu pedang apakah yang kau mainkan itu?”

“Ilmu pedang yang Tecu mainkan ini ajaran Locianpwe dari perguruan Hoa-san sendiri,” jawab Lenghou Tiong.

“Hm, omong kosong, entah di mana kau telah mengangkat guru pada kaum iblis,” jengek Song-it. “Lihat pedang!”

Berbareng itu pedangnya terus menusuk ke dada Lenghou Tiong dengan mengeluarkan suara mendengung. Melulu serangan ini saja sekaligus beberapa hiat-to di dada Lenghou Tiong sudah terkurung semua, tak peduli cara bagaimana dia berkelit tentu salah satu tempat akan tertusuk. Jurus serangan ini disebut “Jit-sing-lok-khong” (tujuh bintang runtuh di langit), termasuk suatu jurus inti ilmu pedang Thay-san-pay paling lihai.

Dengan serangan ini lawan hanya dapat menghindar bilamana memiliki ginkang yang mahatinggi dengan berjumpalitan ke belakang sejauh beberapa meter, untuk itu diperlukan mengenal jurus serangan ini ketika baru saja pedang musuh mulai bergerak, sesudah berjumpalitan serangan lain akan datang beruntun dengan ganas.

Karena sudah menyaksikan ilmu pedang Lenghou Tiong sangat lihai, Song-it Tojin khawatir didahului lebih dulu, maka begitu maju segera menggunakan jurus “Jit-sing-lok-khong” itu.

Lenghou Tiong juga terkejut ketika sinar pedang lawan berkelebat dan tahu-tahu beberapa tempat di dada sendiri terancam. Sekonyong-konyong teringat olehnya jurus serupa yang pernah dilihatnya pada ukiran dinding dalam gua puncak Hoa-san dahulu, tatkala itu dirinya juga pernah mempelajari jurus ini untuk digunakan melawan Dian Pek-kong, cuma saja pelajarannya dahulu masih mentah sehingga tidak dapat mencapai kemenangan yang diharapkan. Namun permainan jurus ini sudah hafal baginya, maka tanpa pikir lagi segera pedangnya membarengi menusuk perut Song-it Tojin.

Serangan Lenghou Tiong ini persis menirukan ukiran dinding yang dilihatnya, yaitu cara gembong Mo-kau mematahkan ilmu pedang Thay-san-pay. Caranya sepintas pandang mirip mengajak gugur bersama musuh, tapi sebenarnya tidak, sebab jurus “Jit-sing-lok-khong” dari Thay-san-pay itu terbagi dalam dua tingkat, pertama gerak pedangnya mengancam tujuh hiat-to di dada musuh, tatkala musuh terkejut dan menjadi gugup, menyusul pedang lantas menusuk salah satu hiat-to yang dipilih.
Tapi meski hiat-to musuh yang terancam itu tujuh tempat, tapi untuk membinasakannya cukup satu tusukan saja pada satu hiat-to itu.

Lantaran serangan itu terbagi dalam dua tingkat sehingga kelihatan jurus ini dapat ditemukan titik kelemahannya oleh gembong Mo-kau, yaitu ketika serangan tingkat pertama dilontarkan, berbareng perut penyerang itu balas diserang, dengan demikian jurus “Jit-sing-lok-khong” dapat dipatahkan dan tamat riwayatnya.

Dan benar juga, Lenghou Tiong menusukkan pedangnya, sungguh kaget Song-it Tojin tidak kepalang, ia menjerit keras disangkanya perut sendiri sudah tembus oleh pedang lawan.

Sebagai seorang tokoh Thay-san-pay, begitu melihat gerak pedang Lenghou Tiong yang hebat dan tak terelakkan itu, ia menduga perut sendiri pasti sukar terhindar dilubangi. Di tengah pertempuran ia pun tidak bisa merasakan sakit, pikirannya menjadi kacau dan mengira diri sendiri sudah mati, kontan ia roboh terjungkal.

Padahal ketika ujung pedang Lenghou Tiong hampir mengenai perutnya segera ia tahan sekuatnya, ia pikir lawan adalah tokoh angkatan lebih tua dari Thay-san-pay yang tiada permusuhan apa-apa dengan dirinya, buat apa mesti membunuhnya? Siapa tahu saking cemasnya Song-it Tojin sendiri sampai jatuh pingsan.

Melihat robohnya Song-it, anak murid Thay-san-pay mengira jago mereka telah dicelakai oleh Lenghou Tiong, beramai-ramai mereka lantas mencaci maki, segera ada lima orang tojin muda memburu maju. Mereka ini adalah murid Song-it, saking bernafsu hendak menuntut balas pedang mereka terus menyerang secara membadai ke arah tubuh Lenghou Tiong.

Namun hanya sekali bergerak saja, dengan satu jurus ilmu pedang “Tokko-kiam-hoat” pergelangan tangan kelima tojin muda itu sudah kena ditusuk oleh ujung pedang Lenghou Tiong, pedang lawan jatuh semua dan menerbitkan suara nyaring.

Untuk sejenak kelima tojin muda itu sampai tertegun, tapi mereka lantas melompat mundur. Dalam pada itu terlihat Song-it Tojin telah bangkit dengan sempoyongan dan berteriak-teriak seperti orang gila, sungguh kejut dan khawatir sekali anak muridnya.

Sesudah berteriak-teriak beberapa kali, tubuh Song-it Tojin tampak sempoyongan, lalu jatuh terkulai lagi.
Lekas-lekas dua muridnya memburu maju untuk membangunkan dia dan diseret mundur.

Para kesatria menjadi kebat-kebit, semua menyaksikan Lenghou Tiong hanya menggunakan setengah jurus saja seketika seorang tokoh terkemuka Thay-san-pay dirobohkan dalam keadaan entah mati atau hidup, maka untuk sementara mereka menjadi kuncup.

Sementara itu orang-orang yang mengeroyok Hiang Bun-thian sudah berganti beberapa orang baru. Dua laki-laki berpedang adalah jago Heng-san-pay, gerak pedang mereka sangat cepat dan selalu mengincar lubang di tengah putaran rantai Hiang Bun-thian.

Seorang lagi bersenjata golok dan tameng, jelas adalah jago Mo-kau. Dengan berlindung di balik tamengnya orang ini bergelindingan mendekati Hiang Bun-thian, lalu goloknya menebas kaki lawannya.
Meski rantai Hiang Bun-thian beberapa kali menghantam tameng, tapi tak bisa melukainya. Sebaliknya golok yang selalu menyambar dari balik tamengnya itulah yang sangat berbahaya.

Dari samping Lenghou Tiong dapat melihat kerapatan penjagaan tameng orang itu, tapi pada waktu menyerang mau tak mau lantas kelihatan lubang kelemahannya, yaitu kedua lengannya dengan mudah dapat dipatahkan.

Hendaklah maklum bahwa letak kelihaian “Tokko-kiu-kiam” adalah pada ketajaman mengenai titik kelemahan musuh, lalu dengan cara yang tidak mungkin dihindarkan lawan untuk menyerang titik kelemahan itu sehingga cukup hanya sekali serang saja lantas menang.

Ia lihat rantai yang diputar Hiang Bun-thian itu sebenarnya cukup diturunkan ke bawah terus disabetkan melalui lubang di bawah tameng musuh, namun kesempatan bagus dan sungguh sayang sekali tidak digunakan oleh Hiang Bun-thian.

Tengah Lenghou Tiong mengikuti pertarungan sengit itu, sekonyong-konyong terdengar di belakangnya ada orang membentak, “Kau inginkan jiwamu tidak bocah!”
Meski suara itu tidak terlalu keras, tapi jaraknya jelas sangat dekat, barangkali cuma belasan senti di tepi telinganya.

Dalam kagetnya cepat Lenghou Tiong membalik tubuh, tahu-tahu ia berhadapan muka dengan muka bersama satu orang. Hidung kedua orang hampir-hampir saling cium. Selagi ia hendak menghindar, tahu-tahu kedua telapak tangan orang itu sudah menahan di dadanya, terdengar orang itu berkata dengan nada dingin, “Sekali tenaga tanganku dikerahkan, seketika tulang rusukmu akan patah semua.”

Lenghou Tiong tahu apa yang diucapkan orang itu bukan bualan belaka. Maka ia lantas berdiri tegak dan tidak berani bergerak. Jantungnya serasa ikut berhenti berdetak.

Kedua mata orang itu menatap Lenghou Tiong dengan tajam, cuma disebabkan jaraknya terlalu dekat sehingga Lenghou Tiong sukar melihat wajahnya malah. Hanya sinar mata orang itu tampak mengilat berwibawa, diam-diam ia membatin, “Kiranya aku akan mati di tangan orang seperti ini!”

Teringat kematiannya akhirnya akan menjadi kenyataan, tiba-tiba hatinya menjadi lapang malah.

Semula orang itu melihat sinar mata Lenghou Tiong menampilkan rasa kaget dan khawatir, tapi dalam sekejap saja lantas timbul sikapnya yang tidak gentar dan tak acuh, sekalipun tokoh Bu-lim terkemuka juga jarang yang mampu menguasai diri menghadapi detik-detik kematian demikian.

Tanpa terasa timbul juga rasa kagum orang itu. Sambil tertawa orang itu lantas berkata, “Aku berhasil menyergap dirimu dari belakang sekalipun aku membunuhmu tentu kau tidak tunduk.”

Habis berkata ia terus tarik kembali kedua tangannya dan mundur beberapa tindak.

Baru sekarang Lenghou Tiong dapat melihat jelas orang itu, potongannya pendek gemuk, kulit mukanya bengkak kekuning-kuningan, usianya kira-kira baru 50-an, kedua tangannya yang gemuk itu sudah kecil lagi tebal, yang satu terangkat agak tinggi dan yang lain rada rendah dalam sikap “Tay-ko-yang-jiu” yang lihai.

“Kiranya adalah Locianpwe dari Ko-san-pay,” kata Lenghou Tiong dengan tersenyum. “Mohon tanya siapakah nama Locianpwe yang terhormat, mengapa berlaku murah hati padaku?”

“Aku Lim Ho,” jawab orang itu. Sejenak kemudian ia menyambung lagi, “Ilmu pedangmu sangat tinggi, tapi pengalamanmu di medan tempur ternyata sangat kurang!”

“Memang benar,” kata Lenghou Tiong. “Cepat amat gerakan Lim-supek tadi.”

“Panggilan Supek tidak berani kuterima,” sahut Lim Ho, menyusul tangan kiri diangkat dan tangan kanan lantas memotong ke depan.

Bentuk lahirnya Lim Ho memang jelek, tapi sekali ia mulai memukul, seketika seluruh badannya penuh kekuatan dan gayanya sangat indah.

“Pukulan bagus,” Lenghou Tiong memuji ketika melihat kehebatan serangan lawan. Pedang lantas menyungkit ke atas. Karena dia belum melihat titik kelemahan Lim Ho, maka gerakan ini lebih banyak merupakan pancingan dan bertahan daripada serangan.

Tokko-kiu-kiam, sembilan jurus ilmu pedang ciptaan Tokko, benar-benar luar biasa lihainya. Sejak sekaligus membutakan 15 orang di kelenteng bobrok tempo hari belum pernah mengambil sikap bertahan. Tapi kini saking rapatnya ilmu pukulan Lim Ho itu sehingga dia terpaksa mesti menjaga diri saja, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat ciang-hoat (ilmu pukulan dengan telapak tangan) jago Ko-san-pay itu.

Tapi dengan menyungkit ke atas tak peduli pukulan Lim Ho menyerang ke bagian mana, telapak tangannya akan dengan sendirinya dipapak oleh ujung pedang. Karena itu baru setengah jalan segera Lim Ho menarik tangannya kembali tangannya dan melompat mundur sambil berseru, “Kiam-hoat bagus!”

“Ah, terlalu memuji!” sahut Lenghou Tiong.

Setelah termenung sejenak, mendadak Lim Ho membentak, “Awas!”

Berbareng kedua tangannya lantas menolak ke depan, suatu arus tenaga mahadahsyat lantas membanjir.

“Celaka!” Lenghou Tiong. Dalam keadaan tenaga sudah punah, hanya berkat ilmu pedangnya yang bagus dapatlah ia mengalahkan musuh. Sekarang Lim Ho menghantamnya dengan pukulan kuat, jaraknya teramat dekat pula sehingga sukar ditangkis dengan pedang. Baru saja bermaksud mengelak, namun terasa hawa dingin telah menyerang tubuhnya sehingga membuatnya menggigil.

Kiranya tenaga pukulan kedua tangan Lim Ho itu tidak sama satu sama lain, yang satu positif dan yang lain negatif, panas dan dingin. Lim Ho berjuluk “Thi-im-yang-jiu”, tenaga pukulan im dan yang itu adalah kepandaian yang paling diagulkannya.

Ketika Lenghou Tiong tertegun sejenak saja menyusul suatu arus hawa panas sudah menyambar tiba pula sehingga napasnya serasa sesak, tubuh pun terhuyung-huyung.

Pukulan tenaga im dan yang itu sebenarnya tidak kenal ampun bagi sasarannya, meski tenaga dalam Lenghou Tiong sudah punah, namun hawa murni dalam tubuhnya masih penuh dan banyak ragamnya, ada hawa murni dari Tho-kok-lak-sian, ada hawa murni Put-kay Hwesio, ketika di Siau-lim-si mendapat tambahan lagi hawa murni Hong-sing Taysu, setiap hawa murni itu sangat kuat.

Sebab itulah ketika tenaga pukulan panas dingin itu mengenai tubuh Lenghou Tiong, dengan sendirinya hawa murni yang tertimbun dalam tubuhnya itu memberi reaksi sehingga isi perutnya tidak sampai terluka. Cuma hawa murni berbeda daripada tenaga dalam yang dapat digunakan pula untuk menyerang musuh, sebab itulah badannya tergetar beberapa kali dan rasanya sangat menderita.

Khawatir kalau Lim Ho menyusulkan pukulan lagi, cepat-cepat Lenghou Tiong keluar dari gardu itu, lalu pedang cepat menusuk.

Setelah berhasil dengan pukulannya, Lim Ho menyangka Lenghou Tiong sekalipun tidak mati juga terluka parah dan akan roboh, siapa duga pemuda itu masih dalam keadaan aman sentosa, bahkan sinar pedang berkelebat, ujung pedang Lenghou Tiong mengacung telapak tangannya lagi. Dengan rasa heran dan waswas Lim Ho pentang kedua tangannya, yang satu menabok ke muka Lenghou Tiong dan yang lain memukul perutnya.

Tapi baru saja tenaga pukulannya dikerahkan sekonyong-konyong ia merasa kesakitan luar biasa, ternyata kedua telapak tangannya atau sepasang telapak tangannya sendiri yang menghantam ujung pedang orang.

Sambil menjerit keras-keras sekuatnya Lim Ho mencabut kedua tangannya terus melompat mundur, lalu melarikan diri secepat terbang.

Lenghou Tiong merasa menyesal, serunya, “Maaf!”

Apa yang digunakan tadi adalah salah satu jurus sakti dari Tokko-kiu-kiam yang disebut “Boh-ciang-sik” (cara mematahkan pukulan tangan), jurus ini belum pernah tampak lagi di dunia Kangouw sejak penciptanya wafat, yaitu Tokko Kiu-pay.

Mendadak terdengar suara gedubrakan ramai, waktu Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya ada tujuh-delapan laki-laki sedang mengerubut Hiang Bun-thian. Tenaga pukulan dua orang di antaranya sangat dahsyat sehingga tiang gardu dan genting emper ikut terhantam jatuh berserakan.

Pada saat itulah ada tiga orang kakek bersenjata mengepung Lenghou Tiong dari tiga jurusan. Seorang di antaranya memakai sepasang boan-koan-pit yang mengilap, seseorang lagi menggunakan golok dan orang ketiga bertangan kosong, hanya memakai sarung tangan.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Suhu pernah pesan padaku harus hati-hati menghadapi lawan yang memakai sarung tangan, sebab lawan demikian biasanya suka menggunakan senjata rahasia beracun.”

Lenghou Tiong tidak sempat banyak berpikir karena sepasang boan-koan-pit musuh sudah segera mengancam hiat-to di kanan kiri iganya sedangkan golok besar yang lain juga menebas diri samping.

Diam-diam Lenghou Tiong mendongkol pada lawan-lawan itu, selamanya tidak kenal dan tiada permusuhan, tapi serangan mereka ternyata begini ganas, begitu maju lantas menyerang dengan cara mematikan tanpa kenal ampun.

Segera pedangnya menyabet miring menyerempet batang kepala musuh, menyusul lantas ke atas. Kontan empat jari lawan yang bergolok itu tertebas putus, sedangkan sepasang boan-koan-pit musuh yang lain juga tersungkit mencelat ke udara.

Ia khawatir orang yang bersarung tangan itu menghamburkan senjata rahasia berbisa, sebab ia merasa dirinya belum menguasai jurus “Boh-gi-sik” (mematahkan serangan senjata rahasia), jika dihujani macam-macam senjata rahasia berbisa tentu akan kerepotan, sebab itulah pedangnya segera menusuk pula ke tengah telapak tangan kanan orang itu.

Akan tetapi aneh sekali, ujung pedang sudah mengenai sasarannya dengan tepat, namun tidak dapat masuk. Keruan Lenghou Tiong terkejut. Dalam pada itu dengan cepat orang itu telah membalik tangannya, mata pedang yang tajam itu dipegang olehnya dengan kencang. Baru sekarang Lenghou Tiong sadar sarung tangan orang itu tentu terbuat dari benang emas. Ia coba menarik sekuatnya, tapi sukar terlepas.

Waktu sebelah tangan orang itu terhantam, “blang”, dengan tepat dada Lenghou Tiong terpukul sehingga tubuhnya mencelat. Belum lagi dia jatuh ke tanah sudah ada beberapa orang memburu ke arahnya hendak mencencangnya.

“Bagus, kebetulan!” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

Tapi belum lenyap suara tertawanya, sekonyong-konyong pinggangnya terasa kencang dililit sesuatu, seutas rantai besi telah menyambar tiba dan tubuhnya lantas terbawa melayang ke udara.

Orang yang menyelamatkan jiwanya kiranya adalah gembong Mo-kau Hiang Bun-thian. Dalam keadaan kepepet karena dikejar dan dikerubut oleh jago Mo-kau dan pihak cing-pay, mendadak tampil ke muka seorang pemuda yang tidak takut mati untuk membelanya, dengan sendirinya Hiang Bun-thian merasa sangat berterima kasih dan anggap dia sebagai teman sejati.

Dengan pengalaman dan kepandaian Hiang Bun-thian yang tinggi, begitu menyaksikan cara Lenghou Tiong menghalau musuh tadi segera ia tahu meski ilmu pedang Lenghou Tiong sangat tinggi, tapi tenaga dalamnya teramat kurang, pengalaman tempur juga sedikit, bila mesti menghadapi lawan sebegitu banyak akhirnya pemuda itu tentu akan terbunuh.

Sebab itulah sembari bertempur senantiasa ia memerhatikan keadaannya Lenghou Tiong, begitu melihat pedangnya kena digenggam lawan dan dada terkena pukulan, seketika ia mengayun rantainya untuk membelit tubuh pemuda yang terus dibawa lari

Karena menggunakan ginkang yang tinggi, maka lari Hiang Bun-thian ini laksana terbang, hanya dalam sekejap saja sudah meninggalkan musuh sejauh beberapa puluh meter.

Dari belakang ada beberapa puluh orang telah memburunya, beberapa orang di antaranya malahan berteriak-teriak, “Thian-ong Locu melarikan diri! Aha, Thian-ong Locu melarikan diri!”

Hiang Bun-thian menjadi gusar, mendadak ia berhenti lari dan putar balik seakan-akan hendak menerjang para pengejarnya. Keruan para pengejar itu terkejut dan serentak berhenti. Ada di antaranya seorang terlalu bernafsu larinya dan tidak sempat mengerem, ia masih terus menyelonong ke arah Hiang Bun-thian, keruan celaka baginya, sekali Hiang Bun-thian angkat kakinya, kontan orang itu ditendang mencelat kembali ke tengah gerombolan kawan-kawannya.

Waktu Hiang Bun-thian memeriksa Lenghou Tiong, tampak mulut pemuda itu masih mengucurkan darah. Ia hanya menjengek perlahan, lalu putar tubuh dan lari lagi.

Segera orang-orang tadi mengejar pula, tapi sekarang mereka sudah kapok, tiada seorang pun berani menguber terlalu dekat sehingga jarak mereka makin lama makin jauh dari Hiang Bun-thian.

Kiranya julukan Hiang Bun-thian disebut “Thian-ong Locu” (si Nenek Raja Langit), perangainya angkuh dan tinggi hati, selama hidupnya tidak pernah melarikan diri meski ia pernah juga dikalahkan orang dalam pertandingan, jadi dia mempunyai sifat yang pantang menyerah.

Dengan ginkang yang sangat tinggi itu mestinya tidak sulit bagi Hiang Bun-thian untuk mengelak kejaran jago-jago cing-pay dan orang-orang Mo-kau, tapi dia justru tidak sudi menyembunyikan diri sehingga ditertawai musuh, akhirnya dia terkepung di tengah gardu itu. Sekarang demi keselamatan Lenghou Tiong untuk pertama kalinya ia melarikan diri, maka rasa dongkol dan kesalnya sungguh tidak kepalang.

Sembari lari diam-diam ia pun menimbang-nimbang sendiri, “Jika aku sendirian tentu aku akan melabrak kawanan kura-kura itu dengan mati-matian, betapa pun pasti akan kubunuh beberapa puluh orang untuk melampiaskan rasa dongkolku, soal aku akan hidup atau mati aku tidak ambil pusing. Tapi sekarang muncul pemuda yang selamanya tak kukenal ini, dia telah sudi korban jiwa bagiku, teman simpatik begini ke mana lagi dapat kucari? Demi teman baik biarlah aku melarikan diri dan melanggar kebiasaanku, ini namanya setia kawan lebih utama, terpaksa aku harus menekan perasaanku. Yang penting sekarang cara bagaimana aku dapat mengelakkan uberan kawanan kura-kura itu.”

Bab 63. Gip-sing-tay-hoat = Ilmu Mengisap Bintang

Setelah berlari-lari pula, tiba-tiba ia ingat suatu tempat yang baik, ia menjadi girang. Tapi lantas terpikir olehnya, “Untuk pergi ke sana jaraknya terlalu jauh, entah aku kuat lari sampai di sana atau tidak? Tapi tidak menjadi soal. Jika aku tidak kuat, kawanan kura-kura itu lebih-lebih tidak kuat.”

Ia menengadah memandang sang surya dan membedakan arah, segera ia membelok dan melintasi sawah ladang terus lari ke jurusan timur laut sana.
Kira-kira belasan li jauhnya, kembali ia sampai di jalan besar. Tiba-tiba ada tiga penunggang kuda membalap lewat di sebelahnya.

“Persetan!” maki Hiang Bun-thian, segera ia menyusul dengan cepat.

Sampai di belakang kuda itu, sekali loncat ke udara, sekali tendang ia depak seorang penunggang itu hingga terjungkal, menyusul ia lantas hinggap di punggung kuda rampasan itu. Ia taruh Lenghou Tiong di atas pelana, waktu rantainya diayun ke depan, kedua penunggang kuda yang lain dihantam jatuh semua.

Ketiga orang itu adalah rakyat jelata dan bukan orang persilatan, mereka hanya sial ketemu malaikat maut dan tanpa sebab jiwa mereka telah melayang.

Meski penunggangnya sudah jatuh, tapi kedua ekor kuda itu masih terus lari ke depan, segera Hiang Bun-thian ayun rantainya untuk membelit tali kendali.

Rantai besinya seakan-akan benda hidup saja dalam permainan Hiang Bun-thian sehingga dia seakan-akan memiliki lengan yang mahapanjang. Namun diam-diam Lenghou Tiong merasa gegetun juga menyaksikan cara Hiang Bun-thian sembarangan membunuh orang tak berdosa.

Sebaliknya Hiang Bun-thian tampak sangat senang dan bersemangat setelah berhasil merampas tiga ekor kuda, ia menengadah dan bergelak tertawa. Katanya demikian, “Adik cilik, kawanan celurut itu tidak mampu menyusul kita lagi.”

Lenghou Tiong tersenyum hambar, sahutnya, “Hari ini tidak mampu, jangan-jangan besok akan dapat menyusul kita.”

“Persetan, biar mereka menyusul kemari dan akan kubunuh bersih mereka,” demikian Hiang Bun-thian mengumpat.

Ia larikan kuda itu dengan cepat, belasan li kemudian ia membelok ke suatu jalan pegunungan yang menuju ke arah timur laut, lereng gunung semakin tinggi dan akhirnya jalan itu tak bisa dilalui kuda lagi.

“Kau lapar tidak?” Hiang Bun-thian.

“Apakah kau membekal ransum?” sahut Lenghou Tiong.

“Tidak bawa apa-apa, kita minum darah kuda,” kata Hiang Bun-thian sambil melompat turun. Ketika kelima jarinya menusuk bagian leher kuda seketika leher kuda itu bolong dan darah mengucur dengan derasnya.

Kuda itu meringkik kesakitan, mestinya hendak berjingkrak berdiri dengan kaki belakang, tapi dengan sebelah tangan Hiang Bun-thian telah menahan punggung kuda laksana gunung beratnya, sedikit pun kuda itu tidak dapat berkutik.

Mulut Hiang Bun-thian lantas mencucup darah yang mengalir dari lubang leher kuda, setelah minum beberapa ceguk, lalu katanya kepada Lenghou Tiong, “Minumlah!”

Sudah tentu Lenghou Tiong merasa muak dan ngeri.

“Jika tidak minum darah kuda dari mana ada tenaga untuk bertempur lagi?” kata Hiang Bun-thian.

“Masih mau bertempur lagi?” Lenghou Tiong menegas.

“Apakah kau takut?”

Seketika timbul jiwa Lenghou Tiong yang tidak takut mati, ia tertawa dan balas tanya, “Kau kira aku takut atau tidak?”

Habis itu tanpa pikir lagi ia pun mencucup darah kuda itu dengan mulutnya. Ia merasa darah kuda itu seakan-akan membanjir sendiri ke dalam kerongkongannya dan segera terhirup ke dalam perut.

Mula-mula darah kuda itu memang terang anyir baunya, tapi sesudah menghirup beberapa ceguk bau anyir pun tidak terasa lagi. Lenghou Tiong terus minum sampai perutnya terasa kembung barulah berhenti.

Menyusul Hiang Bun-thian lantas menghirup lagi darah kuda itu sekenyang-kenyangnya, akhirnya kuda itulah yang tidak tahan dan roboh terkulai. Sekali ayun kakinya Hiang Bun-thian mendepak kuda itu ke dalam jurang.

Melengak juga Lenghou Tiong menyaksikan hal itu. Badan kuda itu sedikitnya ada enam-tujuh ratus kati, tapi sekali depak sekenanya saja Hiang Bun-thian menendang kuda itu ke dalam jurang. Menyusul Hiang Bun-thian menendang kuda kedua ke dalam jurang, sekali putar tubuh tangannya memukul, “cret”, seperti golok tajamnya sebelah kaki belakang kuda ketiga itu kena dipotong oleh telapak tangannya. Menyusul kaki kuda yang sebelah dipotongnya lagi.

Kuda itu meringkik ngeri, Hiang Bun-thian menambahi sekali tendang dan terjungkal juga kuda itu ke dalam jurang sambil mengumandangkan suara ringkik yang panjang menyeramkan.
“Sebelah paha kuda ini untukmu,” kata Hiang Bun-thian kemudian. “Makanlah secara hemat dan cukup untuk ransum selama sepuluh hari.”

Baru sekarang Lenghou Tiong paham maksud Hiang Bun-thian memotong paha kuda, kiranya hendak digunakan sebagai makanan, jadi perbuatannya ini tidak dapat digolongkan kejam. Segera ia menurut dan ambil sebelah paha kuda itu.

Lenghou Tiong ikut dari belakang ketika melihat Hiang Bun-thian berjalan menuju ke atas lereng gunung sambil membawa paha kudanya.

Hiang Bun-thian sengaja memperlambat langkahnya agar dapat diikuti Lenghou Tiong, tapi lantaran tenaga dalam Lenghou Tiong sudah punah, belum ada setengah li jauhnya dia sudah ketinggalan jauh di belakang.
Waktu ia memburu sekuatnya, napasnya lantas megap-megap dan pucat.

“Adik cilik,” kata Hiang Bun-thian, “kau ini memang aneh, begitu lemah kau punya tenaga dalam, tapi sedikit pun kau tidak cedera meski terkena pukulan Thi-im-yang-jiu yang dahsyat dari keparat Ko-san-pay tadi. Sungguh aku tidak habis mengerti keadaan dirimu.”

“Ah, masa? Justru aku merasa isi perutku terguncang jungkir balik tak keruan, entah berapa puluh macam luka dalam yang telah kuderita. Memangnya aku pun merasa heran mengapa sampai saat ini aku belum mampus. Tapi bukan mustahil setiap detik aku bisa roboh untuk tidak bangun lagi.”

“Jika begitu marilah kita mengaso dulu,” ujar Hiang Bun-thian.

Sebenarnya Lenghou Tiong bermaksud menerangkan tentang jiwa sendiri yang tinggal menunggu ajal dan minta dia menyelamatkan diri sendiri saja. Tapi lantas terpikir pula bahwa orang she Hiang ini sangat gagah perwira, dia pasti tidak mau meninggalkan dirinya untuk mencari selamat sendiri. Mungkin bila ditemukan pikiran itu malahan akan dianggap menghinanya.

Dalam pada itu Hiang Bun-thian sudah mengambil tempat duduk di tepi jalan, katanya pula, “Adik cilik, cara bagaimana kau bisa kehilangan tenaga dalam?”

Lenghou Tiong tersenyum, katanya, “Kejadian ini terlalu menggelikan kalau diceritakan.”

Lalu ia pun menuturkan pengalamannya sejak terluka, tentang Tho-kok-lak-sian hendak menyembuhkan lukanya, tapi malah tak keruan jadinya, kemudian Put-kay Hwesio mencurahkan dua macam hawa murni lagi sehingga membikin keadaannya tambah runyam.

Hiang Bun-thian terbahak-bahak geli mendengar cerita aneh itu, sebegitu keras suara tertawanya sehingga menggeletar lembah pegunungan itu. Katanya, “Kejadian aneh demikian baru untuk pertama kalinya kudengar sekarang. Hahahaha!”

Di tengah gema suara tawanya itu tiba-tiba dari jauh berkumandang bentaknya seorang, “Hiang-yusu, tidak mungkin engkau bisa lolos. Lebih baik ikut kami saja menghadap Kaucu!”

Namun Hiang Bun-thian tidak ambil pusing, ia tetap bergelak tertawa. Katanya, “Haha, sungguh menggelikan, Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio benar-benar orang-orang tolol nomor satu di dunia ini!”

Dan setelah tertawa beberapa kali mendadak air mukanya menjadi guram, ia memaki, “Bedebah, kawanan kura-kura itu sudah menyusul tiba pula!”

Segera ia pondong Lenghou Tiong terus dibawa lari secepatnya tanpa memikirkan paha kuda yang ketinggalan itu.

Begitu cepat cara lari Hiang Bun-thian sehingga Lenghou Tiong merasa dirinya seperti dibawa melayang di udara, keadaan sekitarnya menjadi putih remang-remang, rupanya mereka telah menyusup ke tengah-tengah kabut yang tebal.

“Sungguh sangat kebetulan,” diam-diam Lenghou Tiong berpikir. “Dalam keadaan demikian, beberapa ratus pengejar itu pasti tidak mampu mengerubut ke atas gunung ini, asal mereka satu per satu menerjang kemari, tentu aku dan Hiang-siansing ini sanggup membereskan mereka.”

Akan tetapi suara kawanan pengejar di belakang itu makin lama juga semakin dekat, jelas ginkang para pengejar itu pun sangat tinggi sekalipun masih kalah bila dibandingkan dengan Hiang Bun-thian. Namun Hiang Bun-thian memondong tubuh seorang dan sudah berlari sekian lamanya, mau tak mau larinya mulai kendur dan lambat.

Berlari sampai di suatu tempat pengkolan, di situlah Hiang Bun-thian menurunkan Lenghou Tiong, pesannya dengan suara tertahan, “Diam saja jangan bersuara.”

Begitulah mereka berdua berdiri mepet dinding gunung, sebentar kemudian lantas terdengar suara tindakan kaki orang banyak yang menyusul tiba.

Dua di antara pengejar itu lari paling cepat, di tengah kabut tebal itu mereka tidak tahu bahwa Hiang Bun-thian berdua sudah berhenti dan berdiri mepet dinding batu di situ, mereka baru mengetahui ketika sudah berada di depan Hiang Bun-thian.

Dalam kagetnya cepat mereka bermaksud putar balik, namun sudah terlambat, kedua telapak tangan Hiang Bun-thian telah menyodok ke depan, tepat lagi ganas. Tanpa bersuara sedikit pun kedua orang itu terbanting jatuh ke dalam jurang. Lewat agak lama baru terdengar dua kali suara “blak-bluk” di dasar jurang.

“Waktu kedua orang itu terjerumus ke dalam jurang sedikit pun mereka tidak mengeluarkan suara. Ya, tentu mereka sudah mampus lebih dulu terkena pukulan Hiang-siansing sebelum tergelincir ke jurang,” demikian pikir Lenghou Tiong.

“Hehehe,” Hiang Bun-thian tertawa mengejek. “Kedua bangsat itu biasanya suka berlagak, katanya ‘Tiam-jong-siang-kiam’, hawa pedang ke langit segala. Hehe, sesudah jatuh mampus di dalam jurang baru benar-benar bau bangkai mereka akan tersebar ke langit.”

Lenghou Tiong juga pernah mendengar nama “Tiam-jong-siang-kiam” (Dua Pedang dari Tiam-jong-san) yang tersohor karena ilmu pedangnya yang hebat. Siapa duga sekarang kedua jago terkenal itu telah binasa di dalam jurang tanpa mengetahui sebab musababnya, bahkan muka si pembunuh pun tidak sempat lihat.

“Dari sini ke Sian-jiu-kiap (Selat Dewa Sedih) masih ada belasan li jauhnya, setiba di mulut selat itu kita tak perlu gentar lagi kepada kawanan bangsat itu,” kata Hiang Bun-thian sembari memondong kembali Lenghou Tiong terus dibawa lari dengan cepat.

Sementara itu terdengar pula suara tindakan orang lari, kembali ada beberapa orang menyusul tiba lagi. Sekarang jalan pegunungan itu tidak bertepi jurang lagi sehingga Hiang Bun-thian tidak dapat menggunakan akal lama dengan main sembunyi mepet dinding dan menyergap musuh, terpaksa ia harus lari sekuatnya.

“Berrr”, terdengar sebuah senjata rahasia menyambar tiba dengan membawa suara desir yang keras, terang bobot senjata rahasia itu cukup berat.

Hiang Bun-thian menurunkan Lenghou Tiong ke tanah dan cepat membalik tubuh dan menangkap senjata rahasia itu, lalu memaki, “Keparat she Ho, untuk apa kau pun ikut-ikut menangguk dalam air keruh ini?”

Di tengah kabut tebal sana berkumandang suara seorang, “Kau membahayakan dunia persilatan, setiap orang boleh membunuh. Ini, terima lagi sebuah borku!”

Menyusul terdengar suara “barr-berr” yang ramai. Dia bilang sebuah bor, tapi yang dihamburkan sedikitnya ada tujuh-delapan buah.

Mendengar suara desir senjata rahasia yang keras dan lihai itu, diam-diam Lenghou Tiong bersedih, pikirnya, “Meski ilmu pedang ajaran Hong-thaysusiokco itu dapat mematahkan segala macam senjata rahasia, tapi hui-cui (bor terbang) yang disambitkan orang ini membawa tenaga sedemikian kuat, sekalipun pedangku dapat menyampuknya, tapi aku tidak bertenaga lagi, tentu pedangku akan patah terbentur.”

Dilihatnya Hiang Bun-thian telah pasang kuda-kuda dengan sikap rada tegang, tidak lagi acuh tak acuh seperti waktu dikepung orang banyak di tengah gardu. Ketika bor itu menyambar sampai di depannya lantas lenyap tanpa suara, mungkin telah ditangkapnya semua.

Sekonyong-konyong suara mendering menggema entah betapa banyak bor tajam ditaburkan sekaligus.

Lenghou Tiong kenal cara itu disebut “Boan-thian-hoa-uh” (Hujan Gerimis Memenuhi Langit), cara menghamburkan senjata rahasia demikian biasanya senjatanya rahasia yang digunakan adalah sebangsa kim-ci-piau (mata uang), thi-lian-ci (biji teratai besi), dan sebagainya yang berbentuk kecil. Tapi bor yang disambitkan orang ini dari suara mendesingnya itu dapat diduga setiap bijinya mempunyai bobot setengah atau satu kati beratnya, pada hakikatnya sukar dihamburkan sekaligus berpuluh biji berbareng.

Lantaran mendengar suara mendesing keras dan mengkhawatirkan sambaran bor tajam musuh itu dengan sendirinya Lenghou Tiong mendekam di atas tanah. Tapi lantas terdengar suara jeritan Hiang Bun-thian, rupanya terluka.

Keruan Lenghou Tiong terkejut, cepat ia melompat maju untuk mengadang di depannya dan bertanya dengan khawatir, “Hiang-siansing, apakah engkau terluka?”

“Aku ... aku tidak sang ... tidak sanggup lagi .... Lekas ... lekas lari saja!” demikian jawab Hiang Bun-thian dengan terputus-putus.

“Tidak, mati atau hidup kita tetap bersama, tidak nanti Lenghou Tiong meninggalkanmu untuk menyelamatkan diri sendiri,” seru Lenghou Tiong.

Maka terdengarlah sorak gembira kawanan pengejar itu, “Hura! Hiang Bun-thian sudah terluka! Hiang Bun-thian sudah terkena bor terbang!”

Di tengah kabut tebal itu remang-remang kelihatan belasan sosok bayangan orang telah mendesak maju dan semakin mendekat. Pada saat itulah sekonyong-konyong Lenghou Tiong merasa serangkum angin keras melayang lewat di sisinya, terdengar Hiang Bun-thian bergelak tertawa, berbareng belasan orang di depannya beruntun-runtun roboh.

Kiranya tadi Hiang Bun-thian telah menangkap belasan buah hui-cui musuh dan pura-pura jatuh terluka untuk membikin lengah musuh lalu dengan cara “Boan-thian-hoa-uh” ia balas menaburkan hui-cui yang ditangkapnya itu.

Sebenarnya musuh pun tergolong jago kelas wahid yang berpengalaman dan mestinya tidak mudah masuk perangkapnya. Tapi pertama, mereka terganggu oleh kabut yang tebal. Kedua, suara Lenghou Tiong yang khawatir dan cemas tadi meyakinkan mereka bahwa Hiang Bun-thian benar-benar terluka, maka mereka menjadi tidak sangsi. Ketiga, mereka tidak menyangka bahwa Hiang Bun-thian juga mahir menaburkan senjata rahasia dengan cara “Boan-thian-hoa-uh”, sebab itulah belasan orang yang maju paling depan itu kena dimakan semua oleh hui-cui yang berat itu.

Habis itu segera Hiang Bun-thian memondong Lenghou Tiong dan dibawa lari lagi.

“Adik cilik, hebat sekali jiwa setia kawanmu,” pujinya terhadap sikap Lenghou Tiong yang tidak sudi melarikan diri tadi.

Biasanya Hiang Bun-thian tidak sembarangan memuji orang. Tapi sekarang pujian itu tercetus dari mulutnya, terang dia telah menganggap Lenghou Tiong sebagai teman yang paling karib.

Setelah lari dua-tiga li lagi, lambat laun musuh yang mengejar sudah mendekat lagi. Kembali terdengar suara mendesing-desing tiada hentinya. Tapi Hiang Bun-thian selalu dapat menghindarkan sambaran senjata rahasia itu dengan berkelit ke sana dan mengegos ke sini. Namun larinya menjadi semakin lambat juga.

Kira-kira berlari beberapa puluh meter lagi jauhnya, kembali ia menurunkan Lenghou Tiong katanya, “Biar aku pura-pura mati sekali lagi.”

“Tentunya mereka sudah kapok, masakah mau masuk perangkapmu pula?” demikian Lenghou Tiong membatin, cuma tidak diucapkannya.

Tak terduga Hiang Bun-thian mendadak menggertak keras-keras satu kali dan terus menerjang ke tengah musuh. Terdengar suara gedebukan beberapa kali, lalu Hiang Bun-thian berlari balik, tapi punggungnya sudah memanggul satu orang.

Kedua tangan orang itu telah diringkus oleh rantai yang masih mengikat pergelangan tangannya, dalam keadaan demikian ia memanggul tawanannya itu.
Habis itu ia memondong kembali Lenghou Tiong terus lari pula ke depan. Katanya dengan tertawa, “Sekarang kita sudah mempunyai tameng penadah senjata rahasia!”

Keruan tawanannya berteriak-teriak, “Jangan lepas senjata rahasia! Jangan main senjata rahasia!”

Namun pengejar-pengejar itu tidak menggubris, senjata rahasia masih terus menyambar tiba tanpa berhenti.

“Aduuh!” sekonyong-konyong orang itu menjerit. Rupanya punggungnya terkena sebuah am-gi atau senjata rahasia kawan sendiri.

Dengan memanggul tameng hidup dan memondong pula Lenghou Tiong, Hiang Bun-thian masih dapat lari dengan sangat cepat.

Terdengar tawanan di punggung itu mencaci maki sekeras-kerasnya, “Ong It-jong, maknya disontik! Kau tidak pikirkan teman lagi, sudah tahu aku .... Aduh! Ini panah kecil, bangsat Yong Hu-yan, kau siluman rase ini, kau sengaja hendak membunuh aku ya?”

Begitulah orang itu sebentar menjerit dan lain saat mencaci maki, makin lama makin lemah suaranya sampai akhirnya satu kata pun tidak bersuara lagi.

“Haha, tameng hidup telah berubah menjadi tameng mati,” kata Hiang Bun-thian dengan tertawa.
Karena tidak perlu khawatir lagi akan serangan am-gi musuh, dia terus lari dengan cepat. Setelah membelok dua pengkolan lagi, akhirnya ia berkata, “Sampailah sekarang!”

Ia menghela napas lega, lalu bergelak tertawa, tertawa gembira. Maklumlah cuma belasan li saja ia harus mencapai tempat yang aman ini, padahal keadaannya tadi sesungguhnya sangat berbahaya. Jika dia cuma sendirian tidak menjadi soal, tapi dia membawa Lenghou Tiong yang dianggapnya berjiwa kesatria, seorang pemuda yang belum pernah ditemuinya, maka apa pun juga ia harus menyelamatkannya. Dan dapatlah ia merasa lega karena sekarang mereka sudah mencapai tempat tujuannya.

Waktu Lenghou memandang ke depan, mau tak mau ia merasa khawatir. Kiranya di depan situ terbentang balok batu yang sempit yang menghubungkan tepi tebing sebelah sana dan di bawah adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya.

Balok batu itu hanya terlihat sepanjang tiga-empat meter saja, lebih ke sana lagi sudah tertutup oleh kabut awan yang tebal sehingga sukar diketahui di mana letak ujungnya.

“Adik cilik,” kata Hiang Bun-thian dengan suara tertahan, “di tengah kabut tebal sana adalah jala tali besi melulu, kau jangan sembarangan jalan ke sana.”

Lenghou Tiong mengiakan. Dalam hati ia tambah khawatir, “Balok batu yang sempit dan jurang yang dalam ini sudah luar biasa bahayanya disambung lagi dengan jala tali besi saja, dengan kekuatan sekarang jelas sukar melihat ke sana.”

Dalam pada itu dari pinggang “tameng mati” Hiang Bun-thian telah melolos sebatang pedang dan diberikan kepada Lenghou Tiong, lalu “tameng” itu ditegakkan di depan sebagai aling-aling, rantai yang membelit di tangan “tameng mati” itu dilepaskan, kemudian dengan tameng itu ia menantikan datangnya musuh.

Hanya sebentar saja ia menunggu, rombongan pertama pengejar sudah tiba. Melihat keadaan setempat yang berbahaya dan tampaknya Hiang Bun-thian sudah siap tempur, seketika mereka tidak berani mendesak maju.

Tidak lama kemudian, musuh yang datang sudah semakin banyak, mereka menggerombol di tempat rada jauh dengan mencaci maki, menyusul segala macam am-gi lantas dihamburkan pula. Namun Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong bersembunyi di belakang “tameng” dengan aman, tiada satu pun senjata rahasia itu mengenai mereka.

Sekonyong-konyong seorang menggerung keras, suaranya menggeletar, seorang thauto (hwesio piara rambut) kasar memutar sebatang tongkat besar menerjang ke arah balok batu. Tongkatnya yang besar sedikitnya ratusan kati beratnya, begitu mendekat tongkat lantas menyerampang pinggang Hiang Bun-thian.

Tapi dengan mendak ke bawah tongkat itu menyambar lewat di atas kepala Hiang Bun-thian menyusul Hiang Bun-thian lantas mengayun rantainya untuk menyabet kaki lawan.

Rupanya thauto itu terlalu nafsu mengayun tongkatnya sehingga seketika sukar ditarik kembali untuk menangkis, terpaksa ia meloncat ke atas untuk menghindar.

Tak terduga rantai Hiang Bun-thian berputar dengan cepat terus membelit pergelangan kaki kanannya, berbareng disendal sehingga thauto itu tidak sanggup menguasai tubuhnya lagi dan terjerumus ke depan dan tanpa ampun lagi jatuh ke dalam jurang.

Dalam pada itu sekali sendal dan dikendurkan, rantai Hiang Bun-thian sudah terlepas dari kaki sasarannya. Yang terdengar hanya suara jerit ngeri thauto kasar itu berkumandang dari bawah jurang sehingga membuat orang mengirik, tanpa terasa kawannya sama mundur beberapa tindak seakan-akan takut dilempar ke dalam jurang oleh Hiang Bun-thian.

Setelah saling bertahan rada lama tiba-tiba ada dua orang tampil ke muka lagi. Seorang bersenjata sepasang tombak pendek dan yang lain adalah seorang hwesio pakai tongkat berujung tajam bentuk sabit. Kedua orang itu menerjang maju bersama, sepasang tombak pendek dari atas bawah terus menusuk muka dan perut Hiang Bun-thian, sebaliknya tongkat sabit si hwesio menyodok iga kirinya.

Tiga buah senjata itu cukup berat bobotnya disertai dengan tenaga dalam yang kuat pula maka serangan mereka boleh dikata sangat hebat. Rupanya mereka telah meninjau dengan baik keadaan tempat situ, serangan mereka akan memaksa Hiang Bun-thian mau tak mau harus melangkah ke samping serta menangkis dengan rantainya.

Benar juga, segera Hiang Bun-thian mengayun rantainya “trang-trang-trang” tiga kali senjata lawan itu terbentur minggir semua dengan memercikkan lelatu api. Terdengar sorak-sorai orang banyak menyaksikan pertarungan keras lawan keras itu.

Setelah senjata mereka terbentur minggir menyusul kedua orang itu lantas menyerang maju pula. “Trang-trang-trang”, kembali empat buah senjata saling beradu. Laki-laki itu dan si hwesio tampak tergeliat, sebaliknya Hiang Bun-thian masih berdiri tegak kuat.

Tanpa memberi kesempatan bernapas kepada musuh, sambil menggertak rantai Hiang Bun-thian lantas menyabet pula, ketika kedua orang menangkis dengan senjata masing-masing, maka terdengar lagi suara mendering nyaring. Hwesio itu menyerang sekeras-kerasnya, tongkat sabitnya terlepas dari cekalan dan darah segar terpancur dari mulutnya. Sebaliknya laki-laki itu masih mengangkat kedua tombaknya menusuk ke arah Hiang Bun-thian.

Ternyata Hiang Bun-thian tidak berkelit juga tidak menghindar, ia berdiri tegak membiarkan tusukan itu, bahkan disambut dengan bergelak tertawa. Ketika kedua tombak musuh kira-kira belasan senti sebelum mengenai dadanya sekonyong-konyong tombak mendelong ke bawah menyertai jatuhnya kedua tombaknya, laki-laki itu pun roboh terkapar untuk tidak pernah bangun lagi. Nyata ia telah tergetar mati oleh tenaga Hiang Bun-thian tadi.

Keruan para pengejar yang berkumpul di sebelah sana saling pandang dengan ketakutan dan tiada seorang pun berani maju lagi.

“Adik cilik biar kita main tahan dengan mereka, boleh kau duduk mengaso saja,” kata Hiang Bun-thian kepada Lenghou Tiong. Lalu ia sendiri duduk berpangku lutut dan memandang ke langit tanpa mengambil pusing terhadap kawanan musuh.

Sejenak kemudian mendadak seorang berseru lantang, “Iblis yang takabur, kau berani memandang enteng kesatria sejagat!”

Menyusul empat tojin tampak melangkah maju ke depan Hiang Bun-thian dengan menjinjing pedang. Tiba-tiba pedang mereka diacungkan serentak dan membentak, “Berdiri untuk bertempur!”
“Hehe, memangnya orang she Hiang bersalah apa terhadap Bu-tong-pay kalian?” jengek Hiang Bun-thian.

Rupanya tojin itu adalah jago Bu-tong-pay. Seorang di antaranya lantas menjawab, “Iblis jahat agama sesat membahayakan Bu-lim, kaum alim kita harus bangkit menumpasnya.”

“Merdu sekali kata-kata iblis jahat agama sesat membahayakan Bu-lim dan harus dibasmi, jika begitu di belakang kalian ada lebih separuh anggota Mo-kau, kenapa kalian tidak menumpasnya?” jawab Hiang Bun-thian tertawa.

“Gembongnya harus ditumpas lebih dulu!” sahut tojin itu.

Hiang Bun-thian masih tetap duduk berpangku lutut dan menengadah ke langit, katanya pula dengan acuh tak acuh, “O, kiranya demikian. Benar, benar!”

Pada saat lain mendadak ia menggertak keras-keras sambil meloncat bangun, rantainya bagaikan ular hidup terus menyabet kaki keempat tojin itu.

Serangan mendadak itu datangnya terlalu cepat, untung keempat tojin itu adalah jago pilihan Bu-tong-pay, pada saat bahaya pedang tiga orang di antaranya lantas menegak ke samping untuk menahan sambaran rantai musuh.
Tojin yang berdiri paling ujung sana segera balas menusuk dengan pedang ke leher Hiang Bun-thian.

Terdengar suara mendering nyaring, tiga batang pedang menyerang tiga kali lagi sehingga Hiang Bun-thian rada kerepotan. Kesempatan itu digunakan oleh ketiga tojin tadi untuk mundur mengganti pedang, lalu menerjang maju pula.

Ilmu pedang Bu-tong-pay memang terkenal “dengan halus melawan keras”, semakin kuat musuhnya pertahanan mereka pun semakin tangguh. Kerja sama keempat pedang tojin itu menjadi seperti suatu barisan pedang yang rapat, pada waktu menyerang sasaran-sasaran yang mereka incar tidak pernah meninggalkan tempat mematikan di tubuh Hiang Bun-thian.

Sebaliknya ketika Hiang Bun-thian putar rantainya, terpaksa kedua tangannya harus bergerak semua sebab rantai itu mengikat pergelangan kedua tangannya, dalam keadaan demikian terang gerak-geriknya kurang leluasa dan kurang gesit.
Maka lama-kelamaan bukan mustahil dia akan dikalahkan oleh pedang jago Bu-tong-pay yang lihai itu.

Setelah mengikuti sebentar pertarungan itu, dapat juga Lenghou Tiong melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu. Ia tidak tinggal diam, ia melangkah maju dari sisi kanan Hiang Bun-thian, pedang terus menusuk iga salah seorang tojin.

Serangan Lenghou Tiong itu dilakukan dengan aneh dan tak terduga sehingga sukar bagi tojin itu untuk menghindar, “sret”, dengan tepat iganya tertusuk.

Tapi sekilas terlintas suatu pikiran dalam benak Lenghou Tiong, “Bu-tong-pay dihormati setiap orang Kangouw. Meski aku harus membantu Hiang-siansing, tapi juga jangan mencelakai jiwa tosu ini.”
Maka ketika ujung pedang baru masuk ke dalam kulit lawan, dengan cepat ia hendak menarik kembali pedangnya.

Tojin itu keburu mengatupkan lengannya, ternyata dia tidak pikirkan sakit atau tidak, tapi pedang Lenghou Tiong itu dikempit sekuatnya. Maka waktu Lenghou Tiong menarik kembali pedangnya, tanpa ampun lagi iga dan lengan tojin itu tergores luka panjang.

Sedikit merandek itulah pedang tojin yang lain telah menyambar tiba dan tepat membentur pedang Lenghou Tiong. Tangan Lenghou Tiong terasa kesemutan, ia bermaksud melepaskan pedangnya, tapi lantas teringat sekali kehilangan senjata tentu keadaan tambah berbahaya. Maka sekuatnya ia genggam pedang, terasa suatu arus tenaga mengalir datang melalui pedang dan menyerang nadi jantung dengan keras.

Tosu pertama yang iganya tertusuk pedang itu mestinya lukanya tidak parah, tapi ketika dia mengempit pedang Lenghou Tiong tadi, lengannya tergores luka yang cukup dalam sehingga tulang lengan kelihatan, darah terus mancur dengan derasnya, dia sudah tidak mampu bertempur lagi. Adapun dua tojin yang lain saat itu sudah berada di belakang Lenghou Tiong dan sedang mengerubut Hiang Bun-thian dengan sengit.

Ilmu pedang kedua tojin itu sangat bagus dan dapat kerja sama dengan rapat. Setiap beberapa gebrakan selalu Hiang Bun-thian terdesak mundur selangkah, ketika belasan langkah mundur ke belakang, sementara itu mereka sudah hampir menghilang ke tengah kabut yang tebal. Tapi kedua tosu itu masih terus menyerang.

Tiba-tiba ada orang berteriak dari gerombolan para kesatria sana, “Awas, ke sana lagi adalah Tiat-soh-kio (Jembatan Tali Besi)!”

Akan tetapi sudah terlambat, baru tersebut nama “Tiat-soh-kio”, berbareng terdengarlah jerit ngeri kedua tosu tadi, tubuh mereka menyelonong ke depan menghilang di tengah kabut. Agaknya tanpa kuasa lagi mereka kena diseret ke sana oleh Hiang Bun-thian. Jerit ngeri mereka makin menurun ke bawah dengan cepat dan dalam sekejap saja sudah tidak terdengar lagi

Hiang Bun-thian terbahak-bahak dan muncul kembali dari balik kabut tebal sana. Ketika dilihatnya Lenghou Tiong sedang sempoyongan hampir roboh, ia menjadi kaget.

Kiranya tojin Bu-tong-pay itu pun menyadari bahwa dalam hal kebagusan ilmu pedang sekali-kali dirinya bukan tandingan Lenghou Tiong, hal ini telah disaksikannya ketika pemuda itu berturut-turut melukai beberapa orang dengan Tokko-kiu-kiam yang lihai di gardu itu.
Tapi ia pun dapat melihat akan kelemahan Lenghou Tiong, yaitu tenaga dalamnya sangat lemah. Sebab itulah di antara mereka berempat sebenarnya sudah ada sepakat akan berusaha mengadu lwekang bilamana terpaksa harus bertempur dengan Lenghou Tiong.

Begitulah maka ketika pedangnya menempel pedang Lenghou Tiong segera ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyerang. Jangankan tenaga dalam Lenghou Tiong sekarang sudah punah, biarpun dalam keadaan biasa juga latihannya memang masih cetek dan bukan tandingan jago Bu-tong-pay yang sudah terlatih berpuluh tahun lamanya itu.

Untung hawa murni dalam tubuhnya sangat penuh, meski tidak kuat balas menyerang namun untuk sementara juga tidak sampai tergetar binasa oleh lwekang musuh. Hanya saja hawa murni dalam tubuh itu tidak dapat dikuasai, darah juga bergolak dengan hebat maka sampai mata berkunang-kunang dan pikiran kacau.

Pada saat itulah tiba-tiba terasa “tay-cui-hiat” bagian punggung tersalur oleh suatu arus hawa panas, daya tekanan musuh lantas terasa ringan semangat Lenghou Tiong terbangkit, ia tahu Hiang Bun-thian sedang membantunya dengan lwekang yang tinggi.

Tapi segera dapat dirasakan bahwa tenaga dalam Hiang Bun-thian ini tidak terlalu kuat, juga bukan digunakan untuk melawan tenaga musuh, tapi jelas sedang menarik tenaga serangan musuh menuju ke bawah, dari lengan menuju ke pinggang, lalu menjulur ke bagian kaki terus lenyap ke bawah tanah.

Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, selamanya tak terbayang olehnya bahwa di dalam ilmu lwekang ternyata ada semacam kepandaian yang aneh dan spesial begini, betapa pun besar kekuatan lwekang musuh dapat dipunahkan dengan menggunakan tenaga dalam yang ringan.

Rupanya tojin itu pun mengetahui gelagat tidak menguntungkan, mendadak ia membentak sambil melompat mundur, “Gip-sing-tay-hoat! Gip-sing-tay-hoat!”

Mendengar nama Gip-sing-tay-hoat” (Ilmu Iblis Pengisap Bintang) itu, seketika air muka orang banyak berubah ketakutan. Sebaliknya jago-jago yang berusia muda malah tidak begitu pusing terhadap ilmu yang disebut itu, hal itu bukannya mereka pemberani melainkan pada hakikatnya mereka tidak kenal apa itu “Gip-sing-tay-hoat” segala.

Hiang Bun-thian tertawa, katanya, “Ya, memang benar ini adalah Gip-sing-tay-hoat. Siapa yang berminat merasakannya boleh coba maju sini!”

Tiba-tiba Mo-kau-tianglo yang berikat pinggang warna kuning itu berkata dengan suara serak, “Agaknya Hiang-yusu telah bersekongkol dengan ... dengan Gip-sing-lokoay (Iblis Tua Pengisap Bintang), marilah kita pulang memberi lapor kepada Kaucu dan terserah keputusan beliau.”

Bab 64. Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong Mengangkat Saudara

Para anggota Mo-kau mengiakan serentak, lalu putar tubuh dan melangkah pergi, jumlah mereka yang beberapa ratus orang itu seketika bubar separuh lebih.

Sedangkan orang-orang dari cing-pay itu tampak bisik-bisik saling berunding sejenak, lalu mereka pun membubarkan diri berturut-turut.
Sampai akhirnya yang tinggal di situ hanya tinggal belasan orang saja. Terdengar seorang di antaranya berseru lantang, “Hiang-yusu dan Lenghou Tiong, kalian telah berkomplot dengan Gip-sing-lokoay, kalian telah kejeblos semakin dalam. Untuk selanjutnya kawan Bu-lim tidak perlu banyak pikir tentang cara layak untuk menghadapi kalian. Hal ini adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Bila terjadi sesuatu nanti kalian jangan menyesal.”

“Bilakah orang she Hiang pernah merasa menyesal terhadap segala apa yang pernah diperbuatnya?” sahut Hiang Bun-thian tertawa. “Padahal cara kalian beberapa ratus orang mengerubut kami berdua ini apakah terhitung cara yang layak? Hehe, sungguh menggelikan, sungguh menertawakan!”

Sejenak kemudian, ketika Hiang Bun-thian mendengarkan dengan cermat, ia tahu semua musuh benar-benar sudah pergi jauh. Dengan suara perlahan ia berkata kepada Lenghou Tiong, “Kawanan bangsat itu pasti akan kembali lagi.
Hiang Bun-thian sudah lari satu kali bila lari lagi satu kali juga lari namanya, biarlah kita sembunyi saja sekalian. Adik cilik, bertiaraplah di punggungku!”

Melihat Hiang Bun-thian berkata dengan sungguh-sungguh, Lenghou Tiong juga tidak banyak tanya lagi, segera ia menurut dan menggandul di punggungnya. Tapi sekali ini bukan lagi Hiang Bun-thian membawanya lari sebaliknya terus berjongkok, sebelah kaki perlahan menjulur ke bawah jurang malah.

Selagi Lenghou Tiong terperanjat, dilihatnya Hiang Bun-thian telah mengayun rantainya dan tepat melilit pada suatu batang pohon yang tumbuh menonjol dari dinding karang. Setelah ditarik dan dicoba daya tahannya cukup kuat untuk menahan bobot orang, habis itu barulah perlahan Hiang Bun-thian melorot ke bawah sehingga tubuh mereka tergantung di tengah udara.

Sesudah Hiang Bun-thian mengayun tubuh beberapa kali dan menemukan tempat berpijak, kemudian tangan menyendal untuk melepaskan rantainya. Ketika rantai itu merosot ke bawah, pada saat itu pula kedua tangan Hiang Bun-thian sedikit menahan dinding batu sekadar memperlambat daya turun tubuhnya, dalam pada itu rantainya diayunkan ke samping untuk mencantol pada sepotong batu karang yang mencuat keluar, dengan demikian tubuh mereka berdua lantas melorot belasan meter lagi ke bawah.

Dengan cara begitulah seterusnya mereka melorot ke bawah jurang. Terkadang dinding karang itu tiada pepohonan, juga tiada batu karang yang mencuat, maka Hiang Bun-thian lantas menggunakan cara paling berbahaya, ia menempel di dinding karang dan membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah sampai belasan meter jauhnya makin melorot makin cepat, tapi bila menemukan sedikit tempat yang bisa bertahan segera ia keluarkan ilmu saktinya entah dengan pukulan entah dengan depakan, untuk memperlambat daya turunnya itu.

Keruan Lenghou Tiong kebat-kebit dan khawatir, ia merasa cara melorot demikian benar-benar sangat berbahaya tidak kurang bahayanya daripada pertempuran sengit tadi.

Tapi dasarnya dia juga pemberani, ia pikir pengalaman yang aneh dan luar biasa ini kalau tidak menemukan orang kosen semacam Hiang Bun-thian betapa pun sukar dialaminya. Sebab itulah ketika kedua kaki Hiang Bun-thian sudah menginjak dasar jurang lamat-lamat ia menjadi kecewa malah mengapa jurang itu tidak beberapa ratus meter lebih dalam lagi.

Waktu dia menengadah, terlihat di atas awan putih belaka, balok batu itu sudah berwujud satu jalur hitam yang amat halus.
“Hiang-siansing ....” baru Lenghou Tiong hendak bicara mendadak Hiang Bun-thian mendekap mulutnya sambil menuding ke atas.

Segera Lenghou Tiong paham bahwa musuh yang telah pergi itu tentu datang kembali. Waktu ia memandang ke atas namun tiada satu bayangan pun tampak.

Hiang Bun-thian pasang kuping di dinding karang itu, selang sebentar baru berkata dengan tersenyum, “Kawanan mayat itu sekarang benar-benar sudah pergi semua.”

“Mayat?” Lenghou Tiong menegas dengan heran.

“Ya, mayat,” sahut Hiang Bun-thian. “Dalam waktu tiga tahun ke-678 orang itu akan menjadi mayat semua. Hm, selama hidup hanya Thian-ong Locu Hiang Bun-thian yang menguber orang dan tidak pernah dikejar orang, tapi sekali ini Locu telah melanggar kebiasaan itu, jika aku tidak membunuh mereka satu demi satu ke mana lagi mukaku ini harus ditaruh? Baik orang cing-pay maupun anggota Mo-kau yang ikut mengepung di sekitar gardu itu berjumlah 709 orang, kita sudah membunuh 31 orang sisanya masih 678 orang.”

“Betul 678 orang? Cara bagaimana engkau bisa mengenal mereka dengan jelas?” tanya Lenghou Tiong. “Dan dalam tiga tahun masakah engkau dapat membunuh orang sebanyak itu?”

“Apa susahnya?” jawab Hiang Bun-thian. “Asal aku bekuk kepalanya masakah buntutnya takkan terpegang? Di antara 678 orang itu sekarang kuingat betul 532 orang di antaranya, sisanya seratus lebih kelak tentu dapat kucari.”

Sungguh tidak kepalang heran Lenghou Tiong. Ketika di gardu itu tampaknya Hiang Bun-thian hanya acuh tak acuh saja, tapi setiap musuh ternyata sudah diingatnya dengan baik. Jelas bukan saja ilmu silatnya luar biasa, bahkan daya ingatnya juga lain daripada yang lain.

“Hiang-siansing,” kata Lenghou Tiong kemudian, “dalam tiga tahun engkau akan membunuh orang sebanyak itu, apakah perbuatan demikian tidak terlalu kejam? Seorang diri engkau telah membunuh beberapa puluh di antara mereka, nama kebesaranmu tentu sudah berkumandang ke seluruh dunia. Kukira orang-orang begitu tidak perlu dipikir lagi.”

“Hm, untung kau membantu aku, kalau tidak saat ini Hiang Bun-thian sudah dicacah mereka hingga hancur luluh. Bila sakit hati ini tidak kubalas, cara bagaimana aku dapat menjadi manusia lagi?”

Sampai di sini ia melototi Lenghou Tiong sejenak, lalu menyambung pula, “Kau adalah murid golongan cing-pay, sebaliknya orang she Hiang adalah iblis sia-pay, kita tidak sama golongan. Kau telah menolong jiwaku, budi ini tentu saja kuingat dengan baik. Tapi kalau kau lantas hendak menyuruh aku jangan begini dan jangan begitu, hm, tidak nanti aku mau menurut. Pendek kata ke-678 orang itu tetap harus kubunuh.”

Lenghou Tiong bergerak tertawa katanya, “Hiang-siansing, hanya secara kebetulan saja aku bertemu denganmu dan bersama melabrak kawanan pengeroyok itu, jika aku tidak sampai mati saja sudah untung masakah Hiang-siansing bilang aku menolong jiwamu segala? Hah, benar-benar ... benar-benar ....”

“Benar-benar ngaco-belo bukan?” sambung Hiang Bun-thian.

“Wanpwe tidak berani menganggap menolong jiwamu inilah yang tidak tepat.”

“Apa yang pernah dikatakan orang she Hiang selamanya tak pernah kujilat kembali. Sekali aku mengatakan kau telah menolong jiwaku maka tetap aku utang budi padamu.”

Lenghou Tiong tahu tabiat Hiang Bun-thian sangat kepala batu maka ia hanya tertawa saja tanpa mendebatnya pula.

“Apakah kau tahu sebab apa kawanan anjing itu sudah pergi lalu datang kembali?” tanya Hiang Bun-thian.

“Wanpwe justru ingin mohon keterangan,” sahut Lenghou Tiong.

“Ah, kau selalu sebut wanpwe, cianpwe, siansing apa segala, aku merasa bosan,” ujar Hiang Bun-thian. “Aku adalah Kong-beng-sucia dari Mo-kau, orang seagama sama memanggil aku Hiang-yusu. Tapi kau bukan anggota Mo-kau kami maka tidak dapat memanggil demikian padaku. Sudahlah kau panggil aku Hiang-heng (kakak) saja dan aku panggil adik padamu.”

“Ah, Wanpwe tidak berani,” sahut Lenghou Tiong.

“Kembali Wanpwe lagi,” bentak Hiang Bun-thian dengan gusar. “Baiklah, tentu kau pandang hina padaku lantaran aku adalah orang Mo-kau. Kau telah menyelamatkan jiwaku padahal jiwaku ini bukan soal bagiku. Sebaliknya kau menghina aku, untuk ini marilah kita coba berkelahi dulu.”

“Berkelahi sih tidak perlu, jika Hiang-heng suka ya Siaute akan menurut saja memanggil demikian padamu,” jawab Lenghou Tiong.

Diam-diam ia berpikir dengan Dian Pek-kong saja yang merupakan penjahat besar juga pernah mengikat persahabatan karib apa artinya sekarang jika bertambah seorang Hiang Bun-thian? Lagi pula orang ini sangat gagah perwira boleh dikata seorang jantan sejati, justru tokoh demikianlah yang paling kusukai.

Karena itu segera ia memberi hormat, katanya “Hiang-heng, terimalah hormat adik ini.”

“Hahahaha!” Hiang Bun-thian tertawa. “Di seluruh dunia hanya dikau seorang saja yang berkakak-adik denganku. Nah, ingatlah dengan baik adikku!”

Biasanya kalau dua orang mengangkat saudara, maka sedikitnya harus bersumpah dan mengadakan sedikit upacara. Tapi dasar mereka berdua memang orang yang tidak kenal ikatan adat segala. Yang penting mereka merasa cocok satu sama yang lain, sekali bilang saudara, maka jadilah saudara.

Sejak kecil Hiang Bun-thian sudah biasa pergi-datang sendirian dengan bebas, sekarang dia mengangkat seorang adik, sudah tentu hatinya sangat gembira. Katanya kemudian, “Sayang di sini tidak ada arak, kalau ada entah betapa puasnya bila kita minum sepuluh atau seratus cawan.”

“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Saat ini kerongkongan adik sudah merasa gatal. Sekali kakak menyebut arak aku tambah mengiler lagi.”

“Kawanan kura-kura itu belum terlalu jauh perginya, rasanya kita terpaksa harus mengeram di sini untuk dua-tiga hari lagi,” kata Hiang Bun-thian sambil menuding ke atas. “Adik cilik, ketika si hidung kerbau (istilah olok-olok kaum tosu) itu menyerangmu dengan lwekang, aku pun membantu dengan tenaga dalam, apa yang kau rasakan tatkala itu?”

“Rasanya kakak seperti menarik tenaga tojin itu ke bawah,” sahut Lenghou Tiong.

“Tepat,” seru Hiang Bun-thian dengan senang sambil tepuk paha. “Agaknya kau memang sangat cerdas. Kepandaianku ini adalah ciptaanku sendiri secara tidak sengaja dan tiada seorang Bu-lim pun yang mengetahui. Aku telah memberi nama ilmuku ini sebagai ‘Gip-kang-cip-te-siau-hoat’ (Ilmu Kecil Mengisap Tenaga ke Dalam Tanah).

“Sebenarnya kepandaianku ini laksana si kerdil dibandingkan raksasa jika diukur dengan ‘Gip-sing-tay-hoat’ (Ilmu Besar Pengisap Bintang) yang sangat ditakuti oleh setiap orang Bu-lim itu,” tutur Hiang Bun-thian pula. “Sebab itulah aku memberi nama ‘siau-hoat’ (ilmu kecil) saja. Kepandaianku ini sebenarnya cuma permainan akal saja, dengan cara menarik tenaga lawan dan disalurkan ke dalam tanah supaya tenaga musuh itu tidak mampu mencelakai kita. Tapi hasilnya juga tiada manfaatnya bagi kita sendiri. Pula ilmu ini hanya dapat digunakan tatkala musuh menyerang dan tidak dapat digunakan untuk menyerang musuh.

“Soalnya ketika musuh merasakan tenaga dalam yang dia kerahkan merembes keluar dan lenyap, tentu saja dia kaget dan takut. Tapi selang tidak lama tenaganya juga akan pulih kembali. Dari itu kuduga sesudah hidung kerbau Bu-tong-pay itu pulih tenaganya, segera ia akan mengetahui bahwa kepandaianku mengisap tenaganya itu cuma permainan menggertak belaka dan tidak perlu ditakuti sebenarnya. Biasa kakakmu ini tidak menyukai permainan akal-akalan dan menipu, sebab itulah sebelumnya tidak pernah kugunakan.”

“Thian-ong Locu biasanya tidak kenal lari, selamanya tidak pernah menipu orang, tapi kini demi menyelamatkan Siaute, kedua kebiasaan itu terlanggar semua,” ujar Lenghou Tiong tertawa.

“Hehe, juga belum tentu bahwa selamanya aku tidak menipu orang,” ujar Hiang Bun-thian tertawa. “Cuma terhadap keroco seperti Siong-ti dari Bu-tong-pay itu rasanya kakakmu tidak sudi untuk menipunya.”

Dia merandek sejenak lalu, katanya lagi dengan tertawa, “Kau sendiri harus hati-hati adik cilik, bisa jadi pada suatu ketika kakak akan menipumu.”

Begitulah kedua orang lantas bergelak tertawa. Cuma khawatir didengar oleh musuh di atas, maka mereka menahan suara mereka selirihnya.

Sementara itu mereka merasakan perut sudah sangat lapar, di dasar lembah itu hanya penuh rumput dan lumut belaka, lain tidak ada. Terpaksa mereka duduk bersandar batu dan pejamkan mata mengumpulkan semangat.

Lenghou Tiong sudah teramat lelah, maka tidak lama kemudian ia sudah terpulas. Dalam mimpinya tiba-tiba melihat Ing-ing, membawa tiga ekor kodok panggang dan diserahkan padanya sambil menyapa, “Apakah kau telah lupa padaku?”

“Tidak, tidak lupa,” seru Lenghou Tiong. “Kau ... kau hendak ke mana?”

Baru selesai ucapannya, mendadak bayangan Ing-ing sudah menghilang. Ia berteriak-teriak lagi, “Jangan pergi, engkau jangan pergi! Aku ingin bicara padamu!”

Tapi ia telah dipapak oleh macam-macam senjata, ia menjerit kaget dan terjaga bangun. Terdengar suara Hiang Bun-thian sedang bicara dengan tertawa, “Kau mimpi ketemu kekasihmu bukan? Banyak sekali yang hendak kau bicarakan padanya?”

Muka Lenghou Tiong menjadi merah, ia tidak tahu igauan apa yang telah didengarnya oleh Hiang Bun-thian dalam mimpinya tadi.

“Adik cilik, kau hendak mencari kekasihmu paling tidak kau harus menyembuhkan dahulu penyakitmu,” kata Hiang Bun-thian.

“Aku ... aku tidak punya kekasih,” sahut Lenghou Tiong. “Pula penyakitku ini terang tak bisa disembuhkan.”

“Aku telah utang jiwa padamu, meski sudah angkat saudara betapa pun aku tetap merasa tidak enak dan harus kubayar kembali satu jiwa padamu. Aku akan membawamu ke suatu tempat dan tentu akan dapat menyembuhkan penyakitmu.”

Walaupun Lenghou Tiong sudah tidak memikirkan mati-hidup sendiri tapi soalnya memang tidak berdaya sehingga terpaksa pasrah nasib. Dari dulu hingga sekarang kecuali orang yang memang ingin bunuh diri kalau tidak asalkan ada harapan untuk hidup setiap orang juga pasti akan berusaha sebisanya untuk mempertahankan hidupnya. Sekarang didengarnya Hiang Bun-thian menyatakan penyakitnya akan dapat disembuhkan, jika orang lain yang bilang mungkin sukar dipercaya.

Namun Hiang Bun-thian memang lain daripada yang lain, betapa tinggi ilmu silatnya kecuali Hong Jing-yang boleh dikata belum pernah dilihatnya selama hidup ini, apa yang dikatakan sudah tentu ada dasarnya, maka dari lubuk hati Lenghou Tiong seketika timbul sepercik harapan yang menggirangkan. Katanya, “Aku ... aku ....” tiba-tiba ia tidak sanggup meneruskan ucapannya.

Dalam pada itu bulan sabit telah mengintip di tengah cakrawala, sinarnya yang jernih memenuhi bumi, meski di dasar lembah itu rasanya masih seram, tapi dalam pandangan Lenghou Tiong sekarang laksana cahaya matahari yang menyilaukan mata.

“Marilah kita pergi mencari seorang,” ajak Hiang Bun-thian. “Tabiat orang ini sangat aneh jangan sampai dia tahu akan urusan ini. Untuk itu, adik cilik, jika kau percaya padaku hendaknya segala apa kau serahkan saja padaku, kau sendiri tidak perlu ikut campur.”

“Masakah aku tidak percaya?” sahut Lenghou Tiong. “Koko hendak berusaha menyembuhkan penyakitku hal ini sebenarnya tipis sekali harapannya. Jika bisa sembuh sudah tentu kita akan bersyukur tapi kalau tak bisa sembuh juga sudah dalam dugaan.”

“Sialan, paha kuda-kuda itu ketinggalan di sana, sekarang ke mana harus mencari makanan,” tiba-tiba Hiang Bun-thian berkata sambil menjilat-jilat bibir.
“Sudahlah, terpaksa kita harus mencari jalan keluar dari sini. Aku akan coba mengubah dulu mukamu.”

Lalu ia meraup segenggam tanah liat di dasar lembah itu dan dipoles muka Lenghou Tiong, kemudian ia mengusap dagu sendiri, di mana tiba tenaga saktinya seketika janggutnya rontok semua, habis itu kedua tangan lantas meremas-remas pula kepala sendiri, dalam sekejap saja seluruh rambutnya yang sudah beruban pun rontok bersih sehingga kepalanya menjadi gundul kelimis.

Melihat dalam waktu sekejap saja wajah Hiang Bun-thian sudah berubah begitu rupa, Lenghou Tiong merasa geli dan sangat kagum pula.

Lalu Hiang Bun-thian meraup segenggam lempung lagi untuk menambal hidung sendiri sehingga tambah besar, kedua pipi juga dibikin gemuk. Sekarang biarpun muka bertemu muka, kawan sendiri pun sukar mengenalnya lagi.

Begitulah mereka lantas mencari jalan untuk keluar dari lembah jurang itu. Hiang Bun-thian menyembunyikan kedua tangannya di dalam lengan baju yang longgar untuk menutupi rantai yang mengikat pergelangan tangannya. Asalkan tidak angkat tangan tentu tidak ada orang tahu bahwa si gundul gemuk inilah Thian-ong Locu Hiang Bun-thian yang gagah perkasa itu.

Setelah menyusur kian kemari di tengah lembah itu, sampai tengah hari mereka menemukan satu pohon tho di suatu tanjakan. Meski buah tho itu masih hijau dan rasanya masih sepat, tapi saking laparnya mereka pun tidak banyak pikir lagi, segera mereka lalap buah itu sekenyangnya.

Sesudah mengaso sebentar, kemudian mereka maju lagi ke depan. Menjelang petang, akhirnya Hiang Bun-thian berhasil menemukan suatu tempat keluar. Cuma untuk itu harus dilintasi dulu suatu dinding tebing yang curam dan beberapa puluh meter tingginya.
Dengan menggendong Lenghou Tiong, dengan susah payah akhirnya mereka dapat memanjat ke atas.

Di atas tebing curam itu adalah sebuah jalan berlingkar dengan rumput alang-alang lebar di kanan kiri, walaupun suasana sangat sunyi tapi sudah jauh lebih aman daripada berada di dasar lembah yang curam itu.

Esok paginya mereka terus menuju ke jurusan timur. Sampai di suatu kota Hiang Bun-thian mengeluarkan satu biji emas dan suruh Lenghou Tiong pergi menukar uang perak di suatu perusahaan penukaran uang. Habis itu mereka mencari hotel untuk menginap.

Hiang Bun-thian pesan daharan dengan satu guci arak. Kedua orang lantas makan minum sepuasnya, akhirnya sama-sama mabuk. Sampai esok pagi sang surya sudah meninggi barulah mereka mendusin. Kedua orang saling pandang dengan tertawa, mereka merasa seperti hidup di dunia baru bila teringat kepada pertarungan sengit di tengah gardu beberapa hari yang lalu.

“Kau tunggu di sini, adik cilik, aku akan keluar sebentar,” kata Hiang Bun-thian.

Katanya sebentar tapi sampai dua-tiga jam baru tampak dia pulang dengan membawa beberapa bungkus barang. Rantai di tangannya sudah lenyap, mungkin telah menyuruh pandai besi untuk menanggalkannya.

Waktu Hiang Bun-thian membuka bungkusannya, kiranya isinya adalah baju yang bagus-bagus dan mewah katanya, “Kita berdua harus menyamar sebagai saudagar besar, semakin royal tampaknya semakin baik.”

Segera mereka berganti pakaian serbabaru gres. Waktu keluar hotel, pelayan sudah menyiapkan dua ekor kuda pilihan dengan pelana yang mengilap, terang itu pun Hiang Bun-thian yang membelinya.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Beberapa hari kemudian, Lenghou Tiong terlalu lelah menunggang kuda, Hiang Bun-thian lantas menyewa sebuah kereta besar baginya. Sampai di tepi Kanal Un-ho mereka lantas meninggalkan kereta dan berganti menumpang kapal menuju ke selatan.

Sepanjang jalan Hiang Bun-thian berlaku royal sekali, buang uang tanpa takaran seakan-akan biji emas yang dia bawa tidak habis-habis.

Sampai di wilayah Provinsi Kangsoh, sesudah melintasi Tiangkang, kota di sekitar lembah Un-ho tampak sangat makmur dan ramai. Pakaian yang dibeli Hiang Bun-thian juga semakin mewah. Lenghou Tiong tidak ambil pusing, ia menurut segala apa yang diatur Hiang Bun-thian.

Bila iseng mereka lantas mengobrol macam-macam kejadian menarik di dunia Kangouw. Agaknya Hiang Bun-thian memang sangat luas pengetahuannya, daya ingatnya juga luar biasa. Bukan saja tokoh-tokoh ternama dunia persilatan hampir semua diketahuinya, bahkan jago kelas dua seperti anak murid Hoa-san-pay sebangsa Lo Tek-nau, Si Cay-cu, dan lain-lain juga tahu, malahan betapa tinggi kepandaian mereka dan asal usulnya juga diketahuinya dengan baik. Keruan Lenghou Tiong terkesima kagum.

Suatu hari, mereka hampir sampai di Hangciu. Mereka lantas ganti perjalanan melalui darat. Mereka beli lagi dua ekor kuda dan masuk ke Kota Hangciu dengan menunggang kuda.

Hangciu pernah menjadi kota raja pada Dinasti Song Selatan dengan nama Lim-an dan memang suatu kota pelesir yang indah menarik, orang berlalu-lalang ramai, di mana-mana terdengar suara musik yang merdu.

Akhirnya Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong sampai di tepi Se-ouw (Danau Barat) yang terkenal sangat indah pemandangannya. Air danau itu tampak tenang jernih laksana cermin, pohon liu tumbuh lebat melambai hampir menyentuh air danau, sungguh seakan-akan berada di surgaloka rasanya.

Lenghou Tiong berkata dengan gegetun, “Orang sering mengatakan bahwa di langit ada surga, di bumi ada Kota Sohciu dan Hangciu. Belum pernah kukenal kedua kota ini dan entah bagaimana tempatnya, tapi hari ini aku telah menikmati sendiri Se-ouw ini, ternyata pujian yang menyamakannya dengan surga memang bukan omong kosong belaka.”

Hiang Bun-thian hanya tertawa. Ia larikan kudanya menuju suatu tempat. Tempat itu terbendung oleh suatu tanggul yang panjang di sebelah danau, suasananya tenang sunyi.

Mereka turun dari kuda dan menambat binatang tunggangan itu di batang pohon liu di tepi danau. Lalu berjalan mengikuti undak-undakan batu yang menuju ke atas bukit.

Hiang Bun-thian seperti sudah kenal baik tempat itu. Sesudah membelok beberapa tikungan, terlihat di depan penuh pohon bwe, hutan bwe itu tumbuh dengan subur. Dapat dibayangkan pemandangan tempat ini tentu sangat bagus tatkala bunga bwe mekar di musim semi.

Setelah menyusuri hutan bwe yang luas itu sampailah mereka di suatu jalan besar terbuat dari balok-balok batu hijau. Akhirnya mereka sampai di suatu kompleks perumahan yang berpagar tembok putih dan berpintu gerbang cat merah. Waktu dekat, terlihat di atas pintu gerbang itu tertulis dua huruf besar yang berbunyi, “Bwe-cheng” (Perkampungan Bwe). Di tepinya dibubuhi “Lu Un-bun”.

Lenghou Tiong tidak banyak sekolah sehingga tidak tahu bahwa Lu Un-bun adalah seorang perwira berjasa pada zaman Song Selatan yang ikut melawan sebuah Kerajaan Chim. Yang ia rasakan hanya beberapa tulisan itu tampaknya rada indah dan kuat.

Hiang Bun-thian mendekati pintu yang terdapat dua buah gelang tembaga yang tergosok hingga mengilap, ia pegang gelangan tembaga itu dan baru saja hendak menggedor, tiba-tiba teringat sesuatu, ia menoleh dan membisiki Lenghou Tiong, “Segala apa menurut saja padaku.”

Lenghou Tiong mengangguk, katanya di dalam hati, “Perkampungan ini terang adalah kediaman kaum saudagar besar Kota Hangciu ini, apakah mungkin penghuninya adalah seorang tabib sakti?”

Terdengar Hiang Bun-thian menggedor pintu empat kali dengan gelang tembaga tadi, ia berhenti sejenak, lalu mengetuk dua kali, berhenti lagi dan mengetuk lima kali pula, berhenti kemudian ketuk tiga kali, habis itu barulah ia melangkah mundur.

Selang tak lama, perlahan pintu terbuka dan muncul dua orang tua yang berdandan sebagai kaum hamba.

Melihat kedua orang itu, Lenghou Tiong terperanjat. Sinar mata kedua orang itu sangat tajam, pelipis mereka menonjol, langkahnya kuat, terang adalah dua jago silat yang memiliki lwekang tinggi, mengapa tokoh demikian mau menjadi kaum hamba yang rendah begini? Maka seorang di antaranya telah membungkuk tubuh dan menyapa. “Entah ada keperluan apakah kunjungan Tuan-tuan ke tempat kami ini?”

Segera Hiang Bun-thian menjawab, “Murid Ko-san dan Hoa-san ada sesuatu urusan mohon bertemu dengan Kanglam-si-yu (Empat Sekawan dari Kanglam), keempat Locianpwe.”

“Majikan selamanya tidak terima tamu,” sahut orang tua tadi. Habis itu ia bermaksud menutup kembali pintunya.

Cepat Hiang Bun-thian mengeluarkan sesuatu dan dibentang. Kembali Lenghou Tiong terkejut. Ternyata benda yang dibentang Hiang Bun-thian itu adalah sebuah panji pancawarna, di atasnya banyak terhias mutiara mestika dan batu permata.

Dahulu Lenghou Tiong pernah melihat panji lima warna itu di rumah Lau Cing-hong di Kota Heng-san, diketahuinya panji ini adalah panji kebesaran Co-bengcu, ketua Ko-san-pay yang menjabat pula ketua serikat Ngo-gak-kiam-pay. Di mana panji pancawarna ini ditunjukkan laksana Co-bengcu sendiri yang datang, setiap orang dari Ngo-gak-kiam-pay harus tunduk kepada perintah orang yang membawa panji kebesaran itu.

Lamat-lamat Lenghou Tiong merasa urusan rada ganjil, ia dapat menduga cara Hiang Bun-thian memperoleh panji itu pasti tidak beres, bukan mustahil dirampasnya dari tokoh Ko-san-pay dengan kekerasan, sekarang dia sendiri mengaku sebagai murid Ko-san-pay, entah apa maksud tujuannya? Cuma dirinya tadi sudah berjanji akan menurut segala apa yang diatur oleh Hiang Bun-thian maka terpaksa ia diam saja menantikan perkembangan selanjutnya.

Rada berubah juga air muka kedua orang tua itu demi melihat panji lima warna, kata mereka berbareng, “Panji kebesaran Co-bengcu dari Ko-san-pay.”

“Benar,” sahut Hiang Bun-thian.

Segera orang tua yang kedua berkata, “Selamanya Kanglam-si-yu tiada hubungan dengan Ngo-gak-kiam-pay, biarpun Co-bengcu sendiri yang datang juga majikan kami belum tentu mau ... belum tentu mau, hehe ....”

Ia tidak meneruskan ucapannya, tapi jelas maksudnya bahwa sekalipun Co-bengcu datang sendiri juga majikannya belum tentu mau menerimanya. Hanya saja Co-bengcu dari Ko-san-pay memang tinggi kedudukannya dan namanya disegani, maka hamba tua itu tidak berani sembarangan mengolok-olok. Namun jelas di balik kata-katanya tadi ia anggap kedudukan “Kanglam-si-yu” masih jauh lebih tinggi daripada Co-bengcu.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Macam apakah tokoh ‘Kanglam-si-yu’ itu? Jika begitu hebat pengaruhnya di dunia persilatan mengapa selamanya suhu dan sunio tidak pernah bercerita tentang mereka? Selama aku berkelana di Kangouw juga belum pernah kudengar adanya orang kosen angkatan tua yang bernama ‘Kanglam-si-yu’ segala.”

Dalam pada itu Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja, ia gulung kembali panji pancawarna itu dan disimpan ke dalam baju.
Lalu katanya, “Panji Co-sutit ini bukan untuk dipakai menakuti orang. Padahal tokoh macam apakah Kanglam-si-yu keempat Cianpwe, rasanya panji ini pun tak dipandang sebelah mata ....”

“Aneh, mengapa kau sebut ‘Co-sutit’ (murid keponakan Co)? Jadi kau sengaja memalsukan dirimu sebagai paman guru Co-bengcu.
Wah, semakin tidak beres ini,” demikian Lenghou Tiong menimbang di dalam hati.

Terdengar Hiang Bun-thian sedang melanjutkan, “Cuma aku sendiri selama ini tidak punya jodoh untuk menjumpai Kanglam keempat Cianpwe, maka panji yang kubawa ini hanya sekadar sebagai tanda pengenal saja, lain tidak.”

“Oo,” kedua hamba tua itu sama bersuara. Nada ucapan Hiang Bun-thian itu telah menjunjung sangat tinggi kedudukan Kanglam-si-yu, maka air muka mereka segera berubah ramah.

“Jadi Tuan ini adalah Susiok Co-bengcu?” seorang di antaranya menegas.

Kembali Hiang Bun-thian tertawa, jawabnya, “Benar, Cayhe adalah bu-beng-siau-cut (orang tak terkenal, keroco) di dunia persilatan sudah tentu kalian berdua tidak kenal diriku. Tapi tentang dahulu Ting-heng sekali pukul merobohkan Ki-lian-si-pa (Empat Gembong Pegunungan Ki-lian) dan Si-heng menolong anak piatu di daerah Oupak dengan sebilah golok Ci-kim-to telah membikin kocar-kacir 13 benggolan Jing-liong-pay (Gerombolan Naga). Kejadian-kejadian yang mengagumkan itu sampai sekarang Cayhe masih ingat semua”

Kedua orang tua berdandan sebagai kaum hamba itu memang seorang she Ting dan yang lain she Si. Sebelum mengasingkan diri di Bwe-cheng mereka terhitung tokoh setengah baik dan setengah jahat yang disegani dunia persilatan.

Mereka mempunyai sifat yang sama yaitu sehabis berbuat sesuatu jarang sekali meninggalkan nama, sebab itulah meski ilmu silat mereka sangat tinggi tapi nama mereka sedikit dikenal. Kedua peristiwa yang disebut Hiang Bun-thian tadi justru adalah perbuatan yang membanggakan bagi mereka. Dengan sendirinya air muka mereka menampilkan perasaan senang atas pujian Hiang Bun-thian.

Orang she Ting itu bernama Kian, dengan tersenyum ia berkata, “Ah, hanya urusan kecil saja buat apa mesti diungkat-ungkat. Pengetahuan Tuan tampaknya luas sekali.”

“Di dunia persilatan tidak sedikit manusia yang punya nama kosong, sebaliknya jago-jago yang memiliki kepandaian sejati justru tidak suka namanya tersiar meski telah berbuat sesuatu yang mulia, hal inilah yang harus dipuji,” demikian kata Hiang Bun-thian. “Cayhe sudah lama mengagumi ‘It-ji-tian-kiam’ (Pedang Kilat Satu Garis) Ting-toako dan ‘Pat-hong-hong-uh’ (Hujan Angin dari Delapan Penjuru) Si-jiko. Maka pada waktu kudengar Co-sutit ada urusan yang harus dimintakan nasihat dari Kanglam-si-yu, meski aku sudah lama mengasingkan diri, tapi segera aku mengajukan diri untuk menyanggupi perjalanan ke sini, sebab kupikir sekalipun Kanglam-si-yu belum tentu dapat ditemui, namun sudah cukup kiranya bilamana dapat berkenalan dengan Ting-toako dan Si-jiko berdua. Menurut Co-sutit, jika dia datang sendiri mungkin sekali keempat Cianpwe tidak sudi menerimanya, sebab paling akhir ini namanya terlalu gempar di dunia Kangouw, ia khawatir para Cianpwe akan memandang hina padanya, sebaliknya Cayhe jarang keluar dan mungkin tidak sampai menjemukan para Cianpwe. Hahahaha!”

Mendengar Hiang Bun-thian mengumpak Kanglam-si-yu dan mereka berdua juga ikut dipuji tentu saja Ting Kian dan Si Leng-wi sangat senang dan ikut tertawa. Diam-diam di dalam hati Si Leng-wi sudah ambil keputusan akan melaporkan pada majikannya atas kedatangan Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong.

Bab 65. Kanglam-si-yu – Empat Sekawan dari Kanglam

Karena merasa senang, diam-diam Si Leng-wi sudah ambil keputusan akan menyampaikan maksud kedatangan tamunya kepada sang majikan. Ia berpaling dan berkata kepada Lenghou Tiong, “Dan Tuan ini murid dari Hoa-san-pay?”

Cepat Hiang Bun-thian mendahului menjawab, “Saudara Hong ini adalah susiok Gak Put-kun, ketua Hoa-san-pay sekarang.”

Mendengar sembarangan omong Hiang Bun-thian itu sejak tadi Lenghou Tiong sudah menduga dirinya tentu juga akan diberi suatu nama palsu, cuma sama sekali tak terduga bahwa dirinya akan dikatakan sebagai susiok gurunya yang dicintainya itu. Biarpun dalam setiap urusan Lenghou Tiong suka memandang enteng, tapi sekarang dia disuruh menyamar sebagai angkatan tua dari gurunya, hal ini membuatnya tidak enak hati.

Ting Kian dan Si Leng-wi telah saling pandang sekejap dengan rasa curiga, mereka melihat usia Lenghou Tiong besar kemungkinan baru 40-an, mana mungkin menjadi paman gurunya Gak Put-kun?

Tapi cepat Hiang Bun-thian menambahkan pula, “Umur Hong-hiante ini memang lebih muda daripada Gak Put-kun, tapi dia adalah ahli waris satu-satunya dari ilmu pedang tunggal Hong Jing-yang Susiok.”

Ting Kian sampai bersuara kaget. Sebagai seorang ahli pedang pula ia menjadi getol mendengar Lenghou Tiong juga mahir ilmu pedang. Cuma ia masih ragu-ragu apakah orang yang berwajah kuning sembap seperti orang sakit beri-beri ini benar-benar mahir ilmu pedang? Ia pun tidak jelas apakah di antara angkatan tua Hoa-san-pay adalah seorang yang bernama Hong Jing-yang, lebih-lebih ia tidak tahu sampai ilmu pedang kebanggaan Hong Jing-yang itu.

Ia coba berpaling kepada kawannya dan terlihat Si Leng-wi manggut-manggut padanya, maka ia lantas berkata, “Dan entah nama Tuan sendiri siapa?”
“Cayhe she Tong, bernama Hoa-kim,” sahut Hiang Bun-thian. “Adapun saudara Hong ini bernama Ji-tiong.”

“O, sudah lama kagum, sudah lama kagum!” kata Ting Kian dan Si Leng-wi sambil mengepal tangan mereka sebagai tanda hormat.

Diam-diam Hiang Bun-thian merasa geli. Ia mengaku bernama Tong Hoa-kim, yang benar-benar adalah “tong-hoa-kim”, artinya loyang menjadi emas, jelasnya adalah barang palsu. Adapun nama “Ji-tiong” adalah pecahan dari nama Tiong. Hakikatnya di dunia persilatan tidak pernah terdapat dua tokoh bernama demikian, tapi Ting Kian berdua toh menyatakan “sudah lama kagum”, entah sedari kapan mereka mulai kagum? Sungguh menggelikan!

Maka Ting Kian lantas berkata pula, “Silakan Tuan-tuan masuk dan minum, segera Cayhe akan melaporkan kepada majikan, soal Tuan-tuan akan ditemui tidak sukarlah untuk dipastikan.”

Dengan tertawa Hiang Bun-thian menjawab, “Kalian berdua dan Kanglam-si-yu meski mengaku sebagai majikan dan hamba, tapi hubungan kalian seperti saudara sendiri. Rasanya keempat Cianpwe tak dapat tidak mesti memberi muka kepada Ting-ya berdua.”

Ting Kian tersenyum senang dan berdiri ke pinggir. Segera Hiang Bun-thian melangkah masuk ke dalam diikuti Lenghou Tiong.

Sesudah menyusuri sebuah pekarangan dalam yang kedua tepinya tumbuh dua pohon bwe tua dengan dahan-dahannya yang kukuh kuat, sampai di ruang dalam Si Leng-wi menyilakan duduk kedua tamunya, ia sendiri berdiri menemani, Ting Kian yang masuk ke dalam untuk melapor.

Melihat Si Leng-wi berdiri dan dirinya sendiri berduduk, Hiang Bun-thian merasa rikuh. Namun Si Leng-wi adalah kaum hamba di Bwe-cheng (Perkampungan Bwe) ini sehingga tidak pantas menyuruhnya ikut duduk.

Untuk menghilangkan keadaan yang kikuk itu, segera Hiang Bun-thian berbangkit dan berkata kepada Lenghou Tiong, “Hong-hiante, coba lihat lukisan ini, biarpun cuma beberapa goresan saja, tapi tampak teramat kuat goresannya.”
Sembari berkata ia terus mendekati sebuah lukisan yang tergantung di dinding tengah sana.

Selama berkumpul beberapa hari meski Lenghou Tiong sudah tahu Hiang Bun-thian yang pintar dan cerdik, tapi dalam hal kesusastraan dan seni lukis segala jelas bukan menjadi keahlian Bun-thian. Kalau sekarang mendadak ia memuji lukisan itu tentu ada maksudnya yang mendalam. Maka Lenghou Tiong lantas mengiakan serta ikut mendekati lukisan itu.

Dilihatnya lukisan itu melukiskan punggung seorang dewa dengan warna yang serasi dan goresan yang kuat. Biarpun Lenghou Tiong tidak paham seni lukis juga dapat menikmati lukisan yang bagus itu. Terlihat lukisan itu ditandai pelukisnya dengan kata-kata: “Tan-jing-sing, lukisan sesudah mabuk.” Goresan pensil huruf-huruf itu pun sangat kuat dan tajam.

“Tong-heng, sekali melihat huruf ‘mabuk’ di atas lukisan ini aku menjadi sangat senang,” demikian Lenghou Tiong berkata. “Kulihat beberapa huruf ini seakan-akan mencakup satu seri permainan ilmu pedang yang sangat tinggi.”

Rupanya goresan tulisan-tulisan itu serta gaya kebasan tangan dewa dalam lukisan itu mengingatkan Lenghou Tiong kepada sejurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua di puncak Hoa-san itu, ia merasa gaya setiap goresannya rada-rada mirip. Sebagaimana diketahui, dahulu demi untuk bertanding dengan Dian Pek-kong ia telah menghafalkan macam-macam ilmu silat di dinding gua itu, sekarang demi melihat lukisan ini lantas timbul perasaannya seakan-akan sudah pernah dikenalnya.

Belum lagi Hiang Bun-thian menanggapi ucapan Lenghou Tiong tadi, tiba-tiba Si Leng-wi sudah berkata di belakang mereka, “Hong-heng ini ternyata seorang ahli pedang benar-benar. Menurut keterangan majikanku Tan-jing Siansing, hari itu sesudah beliau mabuk dan menghasilkan karya lukisan ini, tanpa sengaja beliau telah melukiskan ilmu pedangnya di dalam goresan-goresan pensilnya yang merupakan karya yang paling dibanggakan selama hidupnya, setelah beliau sadar dari mabuknya betapa pun sukar untuk melukis lagi seperti ini. Sekarang Hong-heng ini ternyata dapat melihat gaya pedang dalam lukisannya ini, tentu Tan-jing Siansing akan menganggap Hong-heng sebagai kawan yang sepaham. Biar aku masuk melapor kepada beliau.”

Habis berkata dengan berseri-seri ia terus melangkah ke ruang dalam.

Hiang Bun-thian berdehem, katanya, “Hong-hiante, kiranya kau paham seni tulis dan lukis.”

“Hah, paham apa? Aku cuma mengoceh sekenanya dan secara kebetulan kena sasarannya. Padahal kalau sebentar Tan-jing Siansing bicara tentang seni tulis dan lukis padaku tentu aku bisa runyam,” demikian sahut Lenghou Tiong.

Baru habis ucapannya, tiba-tiba terdengar seorang berseru di ruangan dalam, “Dia dapat melihat ilmu pedang di dalam lukisanku? Di mana orangnya? Ketajaman matanya sungguh hebat.”

Di tengah seruan itu masuklah satu orang.

Orang ini berjenggot panjang sampai sebatas dada, tangan kiri membawa satu cawan arak, mukanya kemerah-merahan rada mabuk. Si Leng-wi tampak mengikut di belakang dan berkata padanya, “Kedua Tuan ini adalah Tong-ya dari Ko-san-pay dan Hong-ya dari Hoa-san-pay. Dan ini adalah Tan-jing Siansing, majikan keempat dari Bwe-cheng kami. Sichengcu (majikan keempat), Hong-ya inilah yang mengatakan di dalam tulisanmu mengandung suatu gaya ilmu pedang yang tinggi.”

Sambil mengedipkan sepasang matanya yang sepat-sepat mabuk itu, Sichengcu Tan-jing-sing (Si Pelukis) mengamat-amati Lenghou Tiong sejenak, kemudian ia bertanya, “Kau paham melukis? Mahir memainkan pedang?”

Pertanyaan ini dilontarkan secara kasar, namun Lenghou Tiong juga tidak ambil pusing. Dilihatnya tangan Tan-jing-sing memegang sebuah cawan berwarna hijau zamrud yang indah, tiba-tiba teringat olehnya apa yang pernah dikatakan oleh Coh Jian-jiu di atas kapal tempo hari. Segera ia menjawab, “Konon menurut kaum ahli minum, Le-hoa-ciu harus diminum dengan menggunakan cawan zamrud. Nyata Sichengcu memang seorang ahli minum arak sejati.”

Hendaklah maklum bahwa Lenghou Tiong tidak banyak “makan sekolahan” sehingga dia kurang menguasai kesusastraan segala, tapi dasar pembawaannya memang pintar, setiap apa yang pernah dikatakan orang selamanya takkan dilupakan olehnya, maka sekarang ia telah melansir apa yang pernah diucapkan Coh Jian-jiu dahulu.

Dan sungguh luar biasa, begitu mendengar ucapan Lenghou Tiong tadi, seketika mata Tan-jing-sing terbelalak lebar, mendadak ia terus merangkul Lenghou Tiong sambil berseru, “Aha, ini dia sobat baikku. Marilah, mari kita minum tiga ratus cawan. Adik Hong, aku gemar arak baik, lukisan indah, dan pedang bagus, orang menyebut tiga istimewa itu bagiku. Ketiga istimewa itu arak adalah hal yang pertama, lukisan menduduki tempat kedua, dan ilmu pedang yang terakhir.”

Lenghou Tiong menjadi girang dan membatin, “Melukis aku tidak becus sama sekali. Kedatanganku adalah untuk mohon pengobatan sehingga tiada maksud hendak bertanding pedang dan berkelahi dengan orang, tapi kalau bicara tentang minum arak, inilah yang kuharapkan.”

Maka tanpa banyak omong segera ia ikut Tan-jing-sing berjalan ke ruang dalam. Sesudah menyusuri sebuah serambi, sampailah di sebuah kamar di sebelah barat. Waktu kerai disingkap, seketika hidungnya kesamplok bau harum arak.

Sejak kecil kegemaran Lenghou Tiong adalah minum arak, boleh dikata sangat ahli dalam membeda-bedakan arak baik atau jelek. Maka begitu mengendus bau arak tadi seketika ia berseru, “Bagus, di sini ada bau Hun-ciu (arak wangi keluaran Soasay). Hah, ada lagi Pek-chau-ciu, dari baunya dapat diduga sudah tersimpan 75 tahun lamanya. Ehm, Kau-ji-ciu itu lebih-lebih sukar diperoleh pula.”

Demi menyebut bau harum Kau-ji-ciu (arak kera) seketika ia terkenang kepada laksutenya, yaitu si monyet Liok Tay-yu yang telah mati itu sehingga hatinya menjadi pilu.

Kontan Tan-jing-sing bertepuk tangan dan bergelak tertawa, “Hebat, sungguh hebat! Begitu masuk ke ruang arakku ini, seketika Adik Hong dapat menyebut tiga jenis arak simpananku yang paling bagus ini, engkau sungguh seorang ahli, sungguh hebat, sungguh lihai!”

Waktu Lenghou Tiong mengamat-amati sekeliling kamar itu, ternyata penuh guci arak, botol dan sebagainya. Katanya pula, “Yang Cianpwe simpan masakah cuma tiga jenis arak bagus itu saja. Seperti Siau-hin-ciu ini pun berkualitas tinggi, anggur dari Turfan ini pun tiada bandingannya di dunia ini.”

Kejut dan girang pula Tan-jing-sing, tanyanya, “Anggur dari Turfan ini tertutup rapat di dalam gentong kayu itu, cara bagaimana Laute juga dapat mengetahuinya?”

“Arak bagus seperti ini sekalipun disimpan di gua bawah tanah juga sukar menutupi baunya yang harum itu,” ujar Lenghou Tiong tertawa.

“Mari, mari, boleh kita mencicipi anggur enak ini,” seru Tan-jing-sing. Segera ia angkat keluar sebuah gentong yang tertaruh di pojok sana. Ketika perlahan-lahan ia mencabut sumbat gentong itu, seketika bau harum memenuhi seluruh ruangan.

Selamanya Si Leng-wi tidak suka minum arak, ketika mengendus bau alkohol yang keras itu, tanpa merasa mukanya menjadi merah seakan-akan mabuk.

“Kau keluar saja,” kata Tan-jing-sing sambil memberi isyarat tangan. “Jangan-jangan kau akan mabuk jika tinggal di sini.”

Lalu ia mengambil tiga buah cawan arak dan ditaruh sejajar, gentong arak itu dikempitnya terus menuang ke dalam cawan.

Anggur itu berwarna merah seperti darah. Ketika arak itu sudah penuh sebatas tepian cawan cepat Tan-jing-sing lantas berhenti menuang, setetes pun tidak meluap keluar dari cawan itu.

Diam-diam Hiang Bun-thian memuji kepandaian Tan-jing-sing yang hebat itu, sambil mengempit gentong sebesar itu untuk menuang isinya ke dalam cawan yang kecil, tapi dengan persis arak memenuhi cawan itu dan tidak tercecer barang setitik pun, hal ini benar-benar sukar dikerjakan

Sambil tetap mengempit gentong arak itu, sebelah tangan Tan-jing-sing lantas mengangkat cawan dan berseru, “Mari silakan minum, silakan!”

Ia terus menatap ke arah Lenghou Tiong, ia ingin tahu bagaimana reaksi pemuda itu sesudah minum araknya itu.

Lenghou Tiong lantas angkat cawan dan minum setengah cawan araknya, lalu bibirnya berkecap-kecap untuk membedakan rasa. Tapi karena mukanya memakai polesan yang agak tebal sehingga perubahan air mukanya sedikit pun tidak kentara, bahkan seperti merasa kurang menyukai anggur yang diminum itu.

Keruan Tan-jing-sing menjadi ragu-ragu, “Jangan-jangan ahli besar ini akan menganggap segentong araknya ini cuma minuman biasa saja.”

Setelah bibirnya berkecap-kecap, lalu Lenghou Tiong memejamkan matanya sejenak. Ketika ia pentang matanya kembali, tiba-tiba ia berkata, “Aneh, sungguh aneh!”

“Apanya yang aneh?” Tan-jing-sing cepat menegas.

“Hal ini sungguh sukar untuk dimengerti, sungguh Wanpwe tidak paham,” kata Lenghou Tiong.

Kedua mata Tan-jing-sing mengerlingkan sorot mata yang penuh kegirangan, tanyanya, “Yang kau maksudkan apakah ....”

“Selama hidup Wanpwe pernah sekali Wanpwe minum arak ini di Kota Tiang-an, meski rasanya memang sangat enak, tapi dalam rasanya yang sedap itu mengandung rasa manis-manis kecut. Menurut ahli arak di pabrik arak itu, katanya rasa kecut itu timbul akibat guncangan-guncangan di tengah jalan ketika anggur itu diangkat dari tempat jauh. Semakin sering arak ini dipindah dari tempat yang satu ke tempat lain, semakin berkurang pula kualitasnya. Bayangkan saja betapa jauhnya dari Turfan ke Kota Hangciu ini. Tapi benar-benar aneh, arak Cianpwe ini ternyata tiada sedikit pun terasa kecut ....”

“Hahahaha!” Tan-jing-sing bergelak tertawa dengan amat senang. Katanya, “Ini adalah resep rahasiaku. Resep rahasia ini kuperoleh dengan menukar tiga jurus ilmu pedangku kepada jago pedang Se-ek (daerah barat) Mokhtar. Apakah kau tidak ingin tahu rahasia ini?”

Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, “Wanpwe sudah merasa puas karena dapat merasakan arak sebagus ini. Tentang resep rahasia Cianpwe itu sekali-kali Wanpwe tidak berani tanya.”

“Mari minum, minumlah!” seru Tan-jing-sing pula, kembali ia menuang tiga cawan anggur itu. Karena Lenghou Tiong tidak mau tanya resep rahasianya, ia menjadi getol sendiri untuk mengatakannya. Katanya pula, “Tentang resep rahasia ini kalau dibicarakan sesungguhnya tidak berharga sepeser pun, boleh dikata tiada sesuatu yang mengherankan.”

Lenghou Tiong tahu, semakin dirinya tidak mau tanya apa yang dikatakan resep rahasia itu, semakin Tan-jing-sing ingin menceritakan padanya. Maka cepat ia sengaja menggoyang tangan dan berkata, “Tidak, jangan sekali-kali Cianpwe ceritakan padaku. Ketiga jurus ilmu pedangmu itu pasti lain daripada yang lain, rahasia yang diperoleh dengan nilai lawan setinggi itu mana boleh sembarangan diberitahukan kepada orang lain. Wanpwe akan merasa tidak enak hati jika diberi tahu rahasia ini. Kata peribahasa, tanpa jasa tidak menerima upah ....”

“Kau mengawani aku minum arak dan dapat mengenali asal usul arak ini, jasamu inilah sangat besar,” ujar Tan-jing-sing. “Maka resep rahasia ini mau tidak mau kau harus mendengarkan.”

“Cianpwe telah sudi menemui Wanpwe dan disuguh pula minuman sebagus ini, sungguh Wanpwe merasa sangat berterima kasih, sekarang mana boleh ....”

“Aku sendiri yang rela memberitahukan padamu, maka boleh kau dengarkan saja, jangan kau tolak lagi, Hong-hiante.”

“Betul, betul, demikianlah seharusnya,” seru Tan-jing-sing tertawa. “Nah, coba aku menguji kau lagi.
Apakah kau tahu ciu (arak) ini sudah tersimpan berapa lama?”

Sekali teguk Lenghou Tiong menghabiskan isi cawannya, lalu membeda-bedakan rasanya sampai agak lama, kemudian baru berkata, “Arak ini masih ada sesuatu keanehan yang lain. Rasanya seperti sudah 120 tahun lamanya, tapi terasa pula seakan-akan baru 12 tahun. Di antara rasanya yang tua itu terasa pula ada rasa yang baru dan di dalam rasa baru ada rasa tua pula, dibandingkan arak bagus ratusan tahun yang lain jelas arak ini mempunyai suatu rasa yang khas.”

Diam-diam Hiang Bun-thian mengerut kening mendengar bualan Lenghou Tiong itu, 120 tahun dan 12 tahun, meski selisihnya cuma satu angka nol, tapi itu berarti seratus tahun lebih, jarak waktu selama itu mana ada persamaannya?
Ia mengira Tan-jing-sing pasti tidak senang mendengar ucapan Lenghou Tiong. Di luar dugaan orang tua itu malah bergelak tertawa sehingga jenggotnya yang panjang itu tertiup menegak.

“Memang lihai benar Saudara,” kata Tan-jing-sing kemudian. “Di situlah letak rahasia resepku itu. Coba dengarkan. Jago pedang Se-ek yang bernama Mokhtar itu telah menghadiahkan sepuluh guci arak Turfan yang berumur 120 tahun kepadaku, untuk mengangkut sepuluh guci besar itu telah digunakan sepuluh kereta. Sampai di sini aku telah mengolahnya lagi, sepuluh guci telah kucampur menjadi suatu gentong besar. Kalau dihitung apa yang terjadi itu adalah 12 tahun yang lalu. Sebab itulah arak ini mempunyai rasa yang aneh, ada rasa baru dan ada rasa lama. Waktu diangkut kemari, guci telah diisi penuh tanpa sesuatu luangan sehingga isinya tidak kocak, dengan demikian tidak menimbulkan rasa kecut pula.”

“Hah, kiranya begitu!” seru Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong berbareng

Segera Lenghou Tiong menambahkan pula, “Arak sebagus ini biarpun ditukar dengan sepuluh jurus ilmu pedang juga pantas. Apalagi Cianpwe cuma menukarnya dengan tiga jurus saja, benar-benar terlalu murah.”

Tan-jing-sing bertambah girang, katanya, “Laute benar-benar temanku yang sepaham. Dahulu Toako dan Jiko sama menyalahkan perbuatanku ini, katanya ilmu sedang Tionggoan yang hebat menjadi tersiar ke wilayah barat. Samko hanya tertawa tanpa memberi komentar, tapi kukira di dalam hati dia juga tidak setuju. Hanya Laute saja sekarang yang menilai akulah yang mendapat untung.
Bagus, marilah kita minum secawan lagi.”

Setelah minum satu cawan. Lenghou Tiong berkata pula, “Sichengcu, masih ada satu cara minum arak, cuma sayang waktu ini sukar dilakukan.”
“Bagaimana caranya? Mengapa tak bisa dilakukan?” tanya Tan-jing-sing cepat.

“Turfan (di wilayah Sinkiang) adalah daerah yang sangat panas, konon dahulu waktu Tong Sam-cong mencari kitab ke negeri Thian-tiok dan melintasi hwe-yam-san (gunung berapi), katanya di situlah letak Turfan.”

“Benar,” sahut Tan-jing-sing. “Tempat itu memang panasnya bukan main. Di musim panas sepanjang hari orang di situ selalu berendam di dalam air dingin saja, tapi masih susah menahan hawanya yang panas. Sampai di musim dingin hawa di sana justru dinginnya menusuk tulang. Tapi justru lantaran itulah maka anggur keluaran sana juga berbeda dengan anggur keluaran tempat lain.”

“Waktu Wanpwe minum arak demikian di kota Tiang-an, saat mana kebetulan musim dingin,” tutur Lenghou Tiong. “Juragan pengarakan di kota itu telah pergi mengambil sepotong es dan menaruh cawan arak di atas es batu itu.
Setelah didinginkan dengan es, arak ini ternyata mempunyai suatu rasa lain lagi. Sayang sekarang adalah permulaan musim panas, tidaklah mungkin mendapatkan es sehingga rasa yang istimewa es anggur tak bisa dinikmati lagi.”

“Ya, waktu aku berada di Se-ek juga kebetulan musim panas, tapi Mokhtar itu telah memberitahukan juga tentang kenikmatan es anggur seperti kau katakan barusan ini,” kata Tan-jing-sing. “Tapi hal ini gampang, Laute, kau boleh tinggal di sini beberapa bulan lagi, sampai musim dingin tiba kita akan dapat bersama-sama menikmatinya.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula sambil mengerut dahi, “Tapi kita harus menunggu sedemikian lamanya, hal ini benar-benar membuat orang tidak sabar.”

Hiang Bun-thian ikut berkata, “Ya, sayang di daerah Kanglam sini tiada jago yang khusus meyakinkan ilmu sebangsa ‘Han-peng-ciang’ (pukulan dingin es), kalau ada tentunya ....”
Belum habis ucapannya tiba-tiba Tan-jing-sing berteriak, “Aha, ada, ada!”

Ia terus menaruh gentong araknya dan melangkah keluar dengan bersemangat.

Keruan Lenghou Tiong terheran-heran, ia memandang ke arah Hiang Bun-thian dengan penuh tanda tanya. Tapi Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja tanpa bicara.

Tidak lama kemudian Tan-jing-sing telah masuk kembali dengan menyeret seorang tua yang kurus tinggi, katanya, “Jiko, betapa pun sekali ini kau harus membantu.”

Lenghou Tiong melihat orang tua tinggi kurus ini bermuka putih bersih, cuma di antara putihnya itu bersemu kehijau-hijauan sehingga mirip wajah mayat hidup dan menimbulkan rasa mengirik bagi yang memandangnya.

Setelah diperkenalkan oleh Tan-jing-sing, kiranya orang tua jangkung itu adalah Jichengcu (majikan kedua), Hek-pek-cu (Si Hitam Putih). Rambutnya memang sangat hitam dan kulit badannya justru sangat putih sehingga sesuai dengan namanya Si Hitam Putih.

Begitulah dengan acuh tak acuh Hek-pek-cu (atau Ou-pak-ci) telah bertanya, “Suruh aku membantu apa?”

“Tolong kau keluarkan kepandaianmu mengubah air menjadi es agar dilihat oleh kedua sobat kita ini,” kata Tan-jing-sing.

“Ah, sedikit kepandaian demikian mana boleh dipamerkan kepada orang, jangan-jangan akan menjadi buah tertawaan saja,” ujar Hek-pek-cu.

“Jiko, soalnya begini, tadi Hong-hengte ini mengatakan kalau anggur Turfan ini direndam es akan mempunyai rasa yang khas, tapi di musim panas begini ke mana harus mencari es?” kata Tan-jing-sing.

“Anggur ini sudah harum dan enak, buat apa mesti didinginkan dengan es segala?” ujar Hek-pek-cu.

Tapi Lenghou Tiong lantas berkata, “Anggur ini dihasilkan Turfan, suatu tempat yang terkenal sangat panas hawanya, hawa panas itu pun ikut meresap ke dalam anggur sehingga menimbulkan rasa pedas. Jika orang Kangouw biasa tidaklah menjadi soal minum anggur yang punya rasa panas dan pedas ini. Namun Jichengcu dan Sichengcu berdiam di tepi danau yang indah permai ini, mana dapat dipersamakan dengan orang kasar Kangouw umumnya? Jika arak ini didinginkan dan hilang rasa panasnya, maka cocoklah dengan suasana di sini.”

“Ya, seperti juga main catur, pertandingan yang ramai hanya dilakukan oleh jago-jago tingkatan tinggi ....”

Belum habis Hiang Bun-thian berkata, mendadak Hek-pek-cu mencengkeram pundaknya dan bertanya dengan cepat, “Kau juga mahir main catur?”

“Kegemaranku memangnya adalah main catur, cuma sayang kurang mahir, sebab itulah aku sudah menjelajahi segala pelosok untuk mencari problem caturnya. Selama 30-an tahun tidaklah sedikit problem catur dari zaman dahulu sampai sekarang telah kuketahui dengan baik.”

“Problem catur apa saja yang telah kau pahami?” tanya Hek-pek-cu.

“Banyak sekali, misalnya problem catur Ong Cit ketika ketemukan dewa di Gunung Lan-ko-san, problem catur Lau Tiong-hu waktu bertanding melawan nini dewi Pegunungan Le-san, dan lain-lain lagi ....”

“Ah, dongengan begitu mana dapat dipercaya?” ujar Hek-pek-cu sambil menggeleng dan lantas melepaskan cengkeramannya atas pundak Hiang Bun-thian.

“Memang mula-mula Cayhe juga mengira kejadian-kejadian itu hanya dongengan belaka,” kata Bun-thian. “Tapi pada 25 tahun yang lalu Cayhe sendiri telah membaca gambar problem catur yang dimaksud itu dan ternyata memang luar biasa, maka aku baru mau percaya cerita itu memang bukan omong kosong. Apakah Cianpwe juga gemar dalam permainan catur?”

“Hahahaha!” Tan-jing-sing bergelak tertawa sehingga jenggotnya yang panjang itu ikut berguncangan.

Hiang Bun-thian pura-pura tidak paham, tanyanya, “Mengapa Cianpwe tertawa geli?”

“Kau tanya jikoku gemar main catur atau tidak, hahaha, Jiko bergelar Hek-pek-cu, Si Biji Hitam Putih, dari namanya saja boleh kau terka sendiri apa dia gemar catur atau tidak? Ketahuilah bahwa kegemaran Jiko akan catur adalah seperti kegemaranku dalam hal minum arak.”

“O, jika demikian barusan Cayhe telah sembarangan mengoceh di hadapan kaum ahli, mohon Jichengcu sudi memaafkan,” kata Hiang Bun-thian.

“Apa benar kau telah melihat sendiri gambar problem catur Lau Tiong-hu melawan nini dewi Le-san itu? Aku cuma membacanya dalam kitab kuno, katanya, pada zaman itu Lau Tiong-hu adalah juara catur yang tiada tandingannya, tapi di kaki Gunung Le dia telah dikalahkan habis-habisan oleh seorang nenek dusun, seketika ia tumpah darah. Sebab itulah problem catur itu pun disebut sebagai ‘Problem Tumpah Darah’. Apa benar-benar di dunia terdapat problem demikian itu?”*

Maka Hiang Bun-thian telah menjawab, “Ya, pada 25 tahun yang lalu aku memang pernah melihat sendiri gambar problem catur itu di suatu keluarga di Kota Sengtoh, cuma pertarungan kedua pihak sungguh sangat hebat, maka biarpun sudah 25 tahun yang lalu, namun problem yang seluruhnya meliputi 112 langkah itu masih kuingat dengan baik.”

“Seluruhnya meliputi 112 langkah?” Hek-pek-cu menegas, “Marilah kau coba memainkan problem itu. Hayolah, ikut ke kamar caturku sana.”

Mendadak Tan-jing-sing merintanginya dan berkata, “Nanti dulu!
Jiko, sebelum kau membuatkan es, betapa pun aku takkan melepaskan kau.”
Habis berkata ia lantas mengambil sebuah baskom porselen putih yang penuh berisi air bersih.

“Empat saudara masing-masing mempunyai kegemarannya sendiri-sendiri, apa boleh buat,” ujar Hek-pek-cu dengan gegetun. Segera ia menjulurkan tangan kanan, jari telunjuknya terus dimasukkan ke dalam air baskom itu.

Tertampaklah permukaan air mengepulkan hawa putih yang tipis, tidak lama kemudian baskom itu telah diliputi oleh selapis es, makin lama air baskom makin membeku sehingga tidak lama kemudian satu baskom air telah berubah menjadi es batu.

Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong sama bersorak memuji. Kata Bun-thian, “Hek-hong-ci (Jari Angin Hitam) yang lihai ini konon sudah lama menghilang di dunia persilatan, siapa tahu Jichengcu ....”

“Ini bukan Hek-hong-ci, tapi namanya ‘Hian-thian-ci’ (Jari Mahasakti)”, sela Tan-jing-sing. Sembari berkata ia terus menaruh empat cawan di atas es batu itu, lalu menuangi anggur Turfan tadi.

Tidak lama, ketika isi cawan itu mulai mengepulkan hawa dingin, Lenghou Tiong lantas berseru, “Itu dia sudah cukup!”

Tan-jing-sing lantas ambil satu cawan di antaranya, sekali tenggak seketika habis isinya, benar juga rasanya sangat nyaman dan nikmat. “Bagus!” soraknya memuji. “Araknya enak, Hong-hengte pintar merasakannya. Jiko pandai membuat esnya, dan kau ... kau ....” ia berpaling kepada Hiang Bun-thian dengan tertawa, lalu melanjutkan, “kau pintar menanggapi ke sana dan ke sini.”

Hek-pek-cu juga lantas minum anggur bagiannya, tanpa peduli rasa arak itu ia terus menarik tangan Hiang Bun-thian dan berkata, “Hayo berangkat, coba mainkan ‘Problem Tumpah Darah’ Lau Tiong-hu itu.”

Hiang Bun-thian juga lantas menarik lengan baju Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong paham apa artinya, katanya segera, “Aku ikut melihatnya!”

Tan-jing-sing lantas mencegahnya, “Apanya yang dilihat? Lebih baik kita minum arak saja di sini kan lebih nikmat?”

“Kita dapat minum arak sembari melihat catur,” ujar Lenghou Tiong sambil ikut di belakang Hek-pek-cu dan Hiang Bun-thian.

Tiada jalan lain, terpaksa Tan-jing-sing mengempit gentong araknya dan ikut ke ruang catur Hek-pek-cu.

Alangkah luasnya kamar catur itu, di tengahnya ada sebuah meja batu dan dua buah kursi berkasur, selain itu tiada sesuatu benda lain. Di atas meja batu itu terukir papan catur yang bergaris malang melintang, kedua pihak tertaruh satu kotak biji catur, yang satu kotak warna putih dan kotak lain warna hitam.

Bab 66. Kecapi – Catur – Tulis – Lukis

Tanpa bicara Hiang Bun-thian terus mendekati meja batu itu, ia ambil satu biji hitam dan ditaruh pada titik 6-3 (menurut hitungan garis), lalu menaruh satu biji putih pada titik 9-3, menyusul pada titik 6-5 ditaruhnya satu biji hitam, dan pada titik 9-5 ditaruhnya pula satu biji putih, dan begitu seterusnya tanpa berhenti sehingga mencapai biji ke-66 dan pertarungan kedua pihak semakin sengit.

Hek-pek-cu menyaksikan permainan itu sehingga keringatnya bercucuran. Diam-diam Lenghou Tiong sangat heran, kalau melihat Hian-thian-ci-nya yang dalam waktu singkat saja telah mengubah air membeku menjadi es, betapa tinggi lwekangnya dapatlah dibayangkan. Sebaliknya permainan catur hanya urusan kecil saja, tapi toh begini menarik perhatiannya sehingga dia sampai berkeringat. Hal ini menandakan betapa Hek-pek-cu tergila-gila pada permainan catur demikian. Rupanya Hiang Bun-thian justru mengetahui kegemarannya itu, maka serangannya juga ditujukan kepada kelemahannya ini pula.

Sesudah biji ke-66 tadi, sampai lama sekali Hiang Bun-thian tidak menaruh lagi biji caturnya. Saking ingin tahunya Hek-pek-cu menjadi tidak sabar, cepat ia menanya, “Bagaimana lagi langkah berikutnya?”

“Di sinilah letak kuncinya,” sahut Hiang Bun-thian. “Kalau menurut pendapat Jichengcu sendiri bagaimana seharusnya langkah ini?”

Hek-pek-cu berpikir sampai lama dan menggumam sendiri, “Langkah ini ... ya, memang rada repot, kalau disambung kurang kuat, jika terputus lebih celaka lagi. Wah, ini ... ini ....”

Begitulah sambil memegang satu biji hitam dan diketok-ketokkan perlahan di atas meja batu, tapi sampai sekian lamanya tetap tidak mampu menjalankan biji caturnya.

Dalam pada itu Tan-jing-sing dan Lenghou Tiong masing-masing sudah menghabiskan belasan cawan anggur.

Melihat air muka Hek-pek-cu makin lama makin menghijau, segera Tan-jing-sing berkata, “Tong-lauheng, ini kan ‘Problem Tumpah Darah’, masakah benar-benar kau hendak membikin Jiko tumpah darah? Bagaimana langkah selanjutnya harus dijalankan, lekaslah kau katakan terus terang saja.”

“Baiklah,” kata Hiang Bun-thian. “Biji ke-67 ini harus ditaruh di sini.”

Habis berkata ia terus menaruh biji hitam pada titik silang 7-4.

“Plak”, mendadak Hek-pek-cu menabok keras-keras pahanya sendiri dan berseru, “Bagus! Langkah ini memang benar sangat bagus!”

“Langkah ini sudah tentu sangat bagus, ini kan catur istimewa seorang juara seperti Lau Tiong-hu,” ujar Hiang Bun-thian tersenyum. “Tetapi kalau dibandingkan dengan langkah ajaib nini dewi Le-san itu akan berbeda jauh pula.”

“Cara bagaimana jalannya langkah ajaib nini dewi itu, coba lakukan,” tanya Hek-pek-cu.

“Silakan Jichengcu memikirkannya,” kata Bun-thian.

Hek-pek-cu lantas peras otak lagi, tapi sampai lama sekali ia merasa posisi sudah jelas kalah, betapa pun sukar untuk balas menyerang lagi.
Katanya kemudian, “Jika langkahnya memang ajaib, manusia biasa seperti kita mana dapat memikirkannya. Harap Tong-lauheng jangan jual mahal lagi, coba lakukan.”

“Langkah ajaib ini memang benar hanya dapat dipikirkan oleh malaikat dewata,” kata Bun-thian dengan tertawa.

Sebagai seorang pemikir, sudah tentu Hek-pek-cu mahir menjajaki perasaan pihak lawan, melihat Hiang Bun-thian tetap tidak mau mengatakan problem catur itu secara terus terang sehingga membuatnya tidak sabaran, diam-diam ia menduga orang she Tong ini pasti mempunyai sesuatu keinginan. Maka ia lantas berkata, “Tong-lauheng, aku takkan terima dengan percuma jika kau sudi menjelaskan problem catur ini kepadaku.”

Diam-diam Lenghou Tiong juga mengira jangan-jangan Hiang Bun-thian tahu ilmu Hian-thian-ci Hek-pek-cu itu akan mampu mengobati penyakitnya, maka sang toako sengaja mengatur jalan untuk mohon pertolongannya.

Di luar dugaan Hiang Bun-thian lantas bergelak tertawa dan berkata, “Cayhe dan Hong-hiante sekali-kali tiada sesuatu keinginan terhadap keempat Chengcu, ucapan Jichengcu barusan ini menjadi terlalu menilai rendah kami berdua.”

“Maaf, jika begitu akulah yang telah salah omong,” kata Hek-pek-cu sambil memberi hormat.

Sambil membalas hormat, Hiang Bun-thian berkata pula, “Kedatangan kami berdua ke Bwe-cheng sini sebenarnya hendak bertaruh sesuatu dengan keempat Chengcu.”
“Bertaruh sesuatu?” Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing menegas berbareng. “Bertaruh tentang apa?”

“Begini,” kata Hiang Bun-thian. “Aku bertaruh bahwa di dalam Bwe-cheng ini pasti tiada seorang pun yang mampu menangkan Hong-hianteku ini dalam hal ilmu pedang.”

Serentak Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing berpaling ke arah Lenghou Tiong. Air muka Hek-pek-cu tampak adem ayem saja, sebaliknya Tan-jing-sing tuntas bergelak tertawa dan berseru, “Cara bagaimana kita akan bertaruh?”
“Jika kami kalah,” demikian kata Hiang Bun-thian, “maka lukisan ini akan kami persembahkan kepada Sichengcu.”

Sembari bicara ia terus menanggalkan buntelan yang terikat di punggungnya, dibukanya buntelan itu, isinya ternyata dua buah gulungan. Waktu satu gulungan itu dibentang, kiranya adalah sebuah lukisan kuno yang tertera tanda pelukisnya Hoan Koan di Zaman Song. Lukisan itu adalah lukisan pemandangan, sebuah gunung menjulang tinggi menembus awan, goresannya tajam, warnanya indah. Biarpun Lenghou Tiong tidak paham seni lukis juga lantas tahu bahwa lukisan itu tentulah lukisan yang hidup dan bermutu.
Benar juga, mendadak Tan-jing-sing berteriak, “Aiii!”

Pandangannya lantas tidak terlepaskan dari lukisan itu. Sampai agak lama kemudian baru berkata pula, “Ini benar-benar lukisan asli Hoan Koan di Zaman Song. Dari ... dari mana kau memperolehnya?”

Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja tanpa menjawab, perlahan-lahan ia menggulung kembali lukisan itu.

“Nanti dulu!” tiba-tiba Tan-jing-sing mencegahnya sambil menarik tangan Hiang Bun-thian dengan maksud agar lukisan itu jangan digulung dulu.

Tak terduga, baru saja tangannya menyentuh lengan Hiang Bun-thian, seketika terasa suatu arus tenaga dalam yang kuat tapi halus telah mencurah keluar dan menggetar pergi tangannya, waktu ia memandang Hiang Bun-thian, tampaknya seperti tidak tahu apa-apa dan masih tetap menggulung lukisannya.

Sungguh tidak kepalang heran Tan-jing-sing, walaupun sentuhan tangannya dengan lengan Hiang Bun-thian terjadi dengan sangat perlahan, tapi tenaga dalam yang timbul itu jelas adalah lwekang yang amat tinggi, bahkan tenaga yang timbul itu cuma sedikit saja. Diam-diam ia sangat kagum, segera ia berkata, “Tong-lauheng, kiranya ilmu silatmu sedemikian hebat, mungkin tidak di bawahku.”

“Ah, Sichengcu memang suka bergurau,” ujar Hiang Bun-thian. “Kecuali ilmu pedang, keempat Chengcu di sini terkenal memiliki sesuatu ilmu tunggal yang tiada tandingannya. Aku Tong Hoa-kim hanya seorang keroco saja, mana aku berani dibandingkan dengan Sichengcu?”

Mendadak Tan-jing-sing menarik muka, katanya, “Mengapa kau mengatakan ‘kecuali ilmu pedang’? Memangnya ilmu pedangku tidak masuk hitungan?”

Hiang Bun-thian hanya tersenyum dan tidak menanggapi, ia berkata, “Bagaimana jika kedua Chengcu melihat lagi sebuah tulisan?”

Habis itu ia lantas membentang pula suatu gulungan yang lain, kiranya adalah sebuah tulisan yang ditulis dengan cara chau (rumput, di sini dimaksudkan tulisan corat-coret) dengan goresan yang hidup.

“He, he, he!” Tan-jing-sing berulang-ulang mengeluarkan suara heran. Mendadak ia terus menggembor, “Samko! Samko! Ini dia jiwa mestikamu berada di sini!”

Saking keras suara menggembornya sampai-sampai daun pintu dan jendela ikut tergetar, debu pasir sama bertebaran dari atap. Karena jeritan yang sekonyong-konyong itu, Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong juga ikut terkejut.

Maka terdengarlah dari jauh ada suara jawaban orang, “Ada apa gembar-gembor, membikin kaget orang saja?”

“Samko,” seru Tan-jing-sing pula, “jika kau tidak lekas datang, sebentar kalau orang telah menyimpan kembali barangnya tentu kau akan menyesal selama hidup.”
“Ah, tentu kau menemukan sesuatu tulisan palsu apa-apa, bukan?” kata orang itu, kini suaranya sudah berada di luar pintu.

Ketika tirai pintu tersingkap, masuklah satu orang pendek gemuk, kepalanya botak kelimis dan mengilap licin tanpa seujung rambut pun.
Tangan kanan memegang sebuah pit (pensil) besar, bajunya berlepotan bak (tinta hitam).

Begitu berada di dalam, sekonyong-konyong ia melotot sambil menahan napas, serunya seperti orang menemukan sesuatu yang ajaib, “Haah, ini memang ben ... benar tulisan asli Thio Kiu di Zaman Tong-tiau, benar-benar tulen, tidak mungkin ... tidak mungkin palsu!”

Tulisan yang bergaya corat-coret itu memang sangat berani dan bebas sehingga mirip seorang tokoh ilmu silat sedang mengeluarkan ginkangnya yang tinggi dengan gerak-geriknya yang gesit dan lincah. Karena gaya tulisan itu bercorat-coret, maka di antara sepuluh huruf paling banyak hanya satu huruf saja yang dikenal Lenghou Tiong. Dilihatnya di bagian akhiran tulisan itu banyak diberi tanda stempel, di antaranya adalah pejabat-pejabat tinggi pemerintah, maka dapat diduga tulisan itu pasti bukan sembarangan tulisan.

Maka terdengar Tan-jing-sing memperkenalkan, “Ini adalah Samko Tut-pit-ong (Si Kakek Pensil Gundul). Ia pakai julukan demikian disebabkan wataknya yang gemar akan seni tulis sehingga beratus-ratus pensil telah terpakai sampai gundul, jadi bukan disebabkan batok kepalanya yang kelimis, hal ini perlu diterangkan supaya tidak salah paham.”

Dengan tertawa Lenghou Tiong mengiakan. Dilihatnya Tut-pit-ong itu sudah mulai menggerakkan pensil di tangan kanan dan sedang menggores naik-turun mengikuti contoh tulisan itu, air mukanya seperti orang mabuk dan mirip orang linglung, terhadap Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong yang berada di situ sama sekali tak ambil peduli, sampai-sampai ucapan Tan-jing-sing tadi juga tidak digubris olehnya.

Mendadak hati Lenghou Tiong tergetar, pikirnya, “Perbuatan Hiang-toako ini mungkin telah direncanakan sebelumnya. Aku masih ingat ketika aku bertemu dengan dia di gardu tempo hari, agaknya dia sudah membawa buntelan demikian di punggungnya.”

Tapi lantas terpikir lagi, “Buntelannya waktu itu belum tentu tersimpan dua gulungan lukisan dan tulisan ini, bisa jadi untuk mengusahakan penyembuhan penyakitku, di tengah jalan ketika menginap di hotel dia telah keluar membeli atau mencurinya. Ya, besar kemungkinan hasil curian. Benda mestika yang tak ternilai ini ke mana dapat membelinya?”

Dilihatnya gerakan pensil Tut-pit-ong itu mengeluarkan suara mendesir-desir perlahan, betapa tinggi lwekangnya jelas mempunyai keunggulannya masing-masing bersama Hek-pek-cu. Ia berpikir pula, “Penyakitku ini akibat perbuatan Tho-kok-lak-sian serta Put-kay Taysu, tapi lwekang ketiga Chengcu ini agaknya lebih tinggi pula daripada Tho-kok-lak-sian dan Put-kay, boleh jadi Toachengcu mereka itu jauh lebih lihai lagi daripada ketiga temannya ini. Kalau ditambah dengan Hiang-toako, dengan kekuatan lima orang mungkin dapat menyembuhkan penyakitku. Semoga mereka tidak banyak membuang tenaga murninya.”

Sebelum Tut-pit-ong selesai corat-coret mencontoh “sui-ih-tiap” (contoh tulis) yang diperlihatkannya itu, mendadak Hiang Bun-thian terus menggulungnya dan disimpan kembali ke dalam buntelannya.

Tut-pit-ong memandang bingung kepada Hiang Bun-thian, sampai lama sekali baru bertanya, “Tukar apa?”

Hiang Bun-thian menggeleng, jawabnya, “Tidak ditukarkan dengan apa pun juga.”

“Dua puluh delapan jurus Ciok-koh-tah-hiat-pit-hoat (Ilmu Tulis Menutuk Hiat-to)?” demikian Tut-pit-ong memberi penawaran.

“Tidak boleh!” berbareng Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing berseru.

“Boleh saja, mengapa tidak boleh?” ujar Tut-pit-ong. “Jika aku dapat memperoleh sui-ih-tiap tulisan asli Thio Kiu ini, maka aku punya 28 jurus tutukan itu boleh dikata tidak ada artinya lagi.”

Tapi Hiang Bun-thian juga lantas menggeleng dan berkata, “Tidak boleh!”
“Jika begitu mengapa kau perlihatkan tulisan itu kepadaku?” tanya Tut-pit-ong dengan rada aseran.

“Ya, anggaplah aku salah, boleh Samchengcu anggap pula seperti tidak pernah melihatnya saja,” ujar Hiang Bun-thian.

“Sudah selesai dilihat, mana boleh dianggap tidak pernah melihatnya?” kata Tut-pit-ong.

“Apa Samchengcu benar-benar hendak memiliki tulisan asli Thio Kiu ini?” Bun-thian menegas. “Untuk ini tidaklah susah asalkan Samchengcu bertaruh sesuatu dengan kami.”
“Bertaruh hal apa?” tanya Tut-pit-ong cepat.

“Samko,” Tan-jing-sing lantas menanggapi, “orang ini agaknya rada sinting. Dia mengatakan hendak bertaruh bahwa di dalam Bwe-cheng kita ini tiada ilmu pedang seorang pun yang mampu menandingi sobat Hong dari Hoa-san ini.”

“Kalau ada orang yang mampu menangkan sobat ini, lalu bagaimana?” tanya Tut-pit-ong.

“Jika di dalam Bwe-cheng ini, tidak peduli siapa saja yang mampu menangkan pedang di tangan saudaraku Hong ini, maka Cayhe akan mempersembahkan sui-ih-tiap tulisan asli Thio Kiu ini kepada Samchengcu dan menghadiahkan lukisan asli Hoan Koan tadi kepada Sichengcu, juga akan kuturunkan 30 problem catur dari berbagai jago catur yang pernah kulihat itu kepada Jichengcu.”

“Dan bagaimana dengan Toako kami, apa yang akan kau persembahkan kepadanya?” tanya Tut-pit-ong.

“Untuknya Hong-hianteku ini telah menyediakan suatu buah musik menabuh kecapi yang tiada bandingannya, judul kitab itu adalah ‘Lagu Siau-go-kangouw’ (Hina Kelana),” kata Hiang Bun-thian.

Tidaklah apa-apa Tut-pit-ong bertiga mendengar nama judul lagu Hina Kelana, tapi Lenghou Tiong yang amat terkejut, ia heran dari manakah sang toako mengetahui kitab yang dimilikinya itu?

Dalam pada itu Hek-pek-cu telah berkata, “Meski kami tidak tahu di mana letak kebagusan kitab lagu kecapi itu, tapi melihat barang taruhan yang lain seperti catur, tulisan, dan lukisan yang kau sebut itu, maka lagu kecapi itu tentunya juga lain daripada yang lain. Sebaliknya kalau di dalam Bwe-cheng kami ini ternyata benar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Hong-hengte, lalu apa yang harus kami pertaruhkan kepadamu?”

Tan-jing-sing lantas menyela dengan tertawa, “Hong-heng ini mahir teori perarakan, tentu ilmu pedangnya juga sangat tinggi. Cuma usianya masih terlalu muda, masakah betul di dalam Bwe-cheng kita ini tiada seorang pun yang dapat menandingi dia? Hehe, sungguh menertawakan.”

Karena Lenghou Tiong sudah berjanji sebelumnya dengan Hiang Bun-thian akan menurut segala apa yang diatur oleh sang toako, tapi sampai di sini ia pun merasa keterlaluan ucapan Hiang Bun-thian tadi, padahal tenaga dalamnya sudah punah, mana mampu menandingi jago-jago kosen di Bwe-cheng ini. Maka dengan rendah hati ia lantas berkata, “Ah, Tong-toako memang suka berkelakar, sedikit kepandaianku yang tak berarti mana berani dipertandingkan dengan para Chengcu yang hebat.”

Dengan tertawa Hiang Bun-thian menyambung, “Kata-katamu yang rendah hati ini memang perlu diucapkan, kalau tidak, tentu orang akan menganggap kau terlalu angkuh dan sombong.”

Tut-pit-ong seakan-akan tidak ambil pusing terhadap ucapan mereka berdua, ia komat-kamit menggumam sendiri, rupanya sedang mengulangi isi tulisan Thio Kiu yang membuatnya kesengsem dan lupa daratan. Tiba-tiba ia berkata pula kepada Hiang Bun-thian, “He, coba kau membentang pula tulisan itu.”

“Asalkan Samchengcu sudah menang, pasti sui-ih-tiap ini akan menjadi milikmu, sekarang hendaklah jangan terburu-buru dulu,” jawab Hiang Bun-thian dengan tertawa.

Sebagai ahli catur, Hek-pek-cu dengan sendirinya adalah ahli pikir pula, sebelum menang sudah mesti memperhitungkan kekalahan dulu, maka ia bertanya pula, “Jika benar-benar di dalam Bwe-cheng kami ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Saudara Hong ini, lalu pertaruhan apa yang harus kami berikan?”

“Sudah kami katakan bahwa kedatangan kami ke Bwe-cheng sini tidak untuk minta sesuatu benda atau mohon sesuatu urusan,” jawab Hiang Bun-thian. “Tujuan Hong-hiante hanya ingin saling belajar ilmu pedang dengan jago kosen yang berada di puncak ilmu silat seluruh jagat sini. Jika secara kebetulan kami menang, seketika kami mohon diri, kami tidak menginginkan barang taruhan apa-apa.”

“O, jadi Saudara Hong ini hanya ingin mencari nama saja?” ujar Hek-pek-cu. “Ya, memang, sebatang pedangnya sekaligus mengalahkan Kanglam-si-yu, peristiwa ini sudah tentu akan tersiar di seluruh Kangouw.”

“Ah, Jichengcu telah salah sangka,” kata Hiang Bun-thian sambil menggeleng. “Pertandingan ilmu pedang di sini, tak peduli pihak mana yang menang dan kalah, jika ada satu kata saja dibocorkan ke luar, biarlah aku dan Hong-hiante mati tak terkubur, anggap saja sebagai manusia rendah melebihi binatang.”

“Bagus, bagus!” seru Tan-jing-sing. “Ucapanmu harus dipuji. Kamar ini cukup luas, biarlah aku mulai bertanding sejurus-dua dengan Saudara Hong. Dan mana pedangmu?”

“Datang ke Bwe-cheng sini mana kami berani membawa senjata?” sahut Bun-thian tertawa.

Segera Tan-jing-sing menggembor pula, “Ambilkan dua pedang!”

Ada suara orang mengiakan di luar, kemudian Ting Kian dan Si Leng-wi masing-masing membawa sebatang pedang dan diaturkan ke hadapan Tan-jing-sing.

Tan-jing-sing ambil sebuah pedang itu dan berkata, “Yang ini berikan padanya!”

Si Leng-wi mengiakan, lalu pedang itu diaturkan ke hadapan Lenghou Tiong.

“Hong-hiante,” kata Hiang Bun-thian, “ilmu pedang keempat Chengcu di sini terkenal mahasakti, asalkan kau dapat belajar sejurus-dua saja sudah tidak habis-habis kau gunakan selama hidup ini.”

Melihat keadaan sudah tidak mungkin dihindarkan lagi, terpaksa Lenghou Tiong menyambuti pemberian pedang itu.

Sekonyong-konyong Hek-pek-cu berkata, “Nanti dulu, Site. Taruhan yang dikemukakan Tong-heng ini adalah di dalam Bwe-cheng kita tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Hong-heng itu. Ting Kian juga mahir main pedang, ia pun penghuni Bwe-cheng ini, maka tidak perlu Site mesti tampil ke muka sendiri.”

Dasar juru pikir, Hek-pek-cu menjadi sangsi mendengar tantangan Hiang Bun-thian yang semakin galak dan yakin benar pasti akan menang itu. Tiba-tiba ia mendapat akal membiarkan Ting Kian maju untuk menjajal Lenghou Tiong lebih dulu. Ia pikir Ting Kian berjuluk “It-ji-tian-kiam” (Pedang Kilat Angka Satu), ilmu pedangnya juga sangat lihai, kedudukannya di Bwe-cheng juga cuma kaum hamba saja, andaikan kalah juga tidak merugikan nama baik Bwe-cheng, sebaliknya sampai di mana kehebatan ilmu pedang Hong Ji-tiong ini akan segera ketahuan.

Tanpa pikir Hiang Bun-thian lantas menjawab, “Ya, benar. Asalkan ada orang di dalam Bwe-cheng ini mampu menangkan ilmu pedang Hong-hianteku, maka kami akan dianggap kalah, memangnya juga tidak perlu keempat Chengcu mesti maju sendiri. Ting-heng ini di dunia Kangouw berjuluk ‘It-ji-tian-kiam’, betapa cepat gerak pedangnya jarang ada bandingannya. Nah, Hong-hiante, tiada jeleknya jika kau belajar kenal dulu dengan It-ji-tian-kiamnya Ting-heng.”

Dengan tertawa Tan-jing-sing lantas melemparkan pedangnya kepada Ting Kian sambil berkata, “Awas, jika kau kalah akan kudenda kau minum tiga mangkuk arak.”

Ting Kian membungkuk tubuh memberi hormat sambil menangkap pedang itu, kemudian ia berkata kepada Lenghou Tiong, “Orang she Ting mohon belajar ilmu pedang Tuan Hong yang lihai!”

“Sret”, segera ia mendahului melolos pedangnya.

Lenghou Tiong juga lantas melolos pedangnya, sarung pedang ditaruhnya di atas meja batu tadi.

“Ketiga Chengcu dan Ting-heng,” seru Hiang Bun-thian, “kita harus bicara di muka, pertandingan ini hanya mengenai ilmu pedang dan tidak boleh mengadu tenaga dalam.”

“Ya, sudah tentu, cukup asal tertutul saja lantas berhenti,” kata Hek-pek-cu.

Maka Hiang Bun-thian sengaja pesan Lenghou Tiong, “Hong-hiante, jangan sekali-kali kau mengeluarkan tenaga dalam. Bertanding ilmu pedang tergantung kebagusan tipu serangan masing-masing. Khikang Hoa-san-pay kalian sangat terkenal di dunia persilatan, jika kau menang dengan mengandalkan tenaga dalam biarlah dianggap kita yang kalah.”

Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, padahal sang toako mengetahui dia tiada punya tenaga dalam sedikit pun, tapi sengaja menonjolkan tenaga dalam untuk memojokkan pihak lawan. Segera ia menjawab, “Jika Siaute mengeluarkan tenaga dalam tentu akan ditertawai ketiga Chengcu dan Ting-heng serta Si-heng, sudah tentu sama sekali aku tidak berani menggunakannya.”

“Hong-hiante tidak perlu terlalu rendah hati agar tidak seakan-akan kita kurang mengindahkan keempat Cianpwe di sini,” kata Hiang Bun-thian. “Bahwasanya Ci-he-sin-kang Hoa-san-pay kalian adalah lwekang yang amat lihai dan jauh di atas lwekang Ko-san-payku, hal ini cukup diketahui kawan-kawan Bu-lim. Nah, Hong-hiante, hendaklah kau berdiri di tengah kedua bekas tapak kakiku ini dan jangan sampai tergeser keluar, dengan berdiri di sini bolehlah kau coba-coba ilmu pedang Ting-heng.”

Habis berkata ia lantas menyingkir ke samping, maka tertampak di atas jubin lantai telah tercetak dua bekas tapak kaki yang dalamnya dua-tiga senti. Rupanya sewaktu bicara tadi diam-diam ia telah mengerahkan tenaga dalam sehingga jubin hijau yang cukup keras itu telah dicetak mentah-mentah dua bekas kaki.

Hek-pek-cu, Tut-pit-ong, dan Tan-jing-sing serentak bersorak memberi pujian. Mereka mengira Hiang Bun-thian sengaja pamer kepandaian, tak tahunya dia mempunyai maksud yang lain.

Kiranya Hiang Bun-thian sengaja membangga-banggakan lwekangnya Lenghou Tiong lebih tinggi daripada dia sendiri, sekarang ia pamerkan lwekangnya sendiri pula agar orang mau percaya bahwa lwekang Lenghou Tiong sudah pasti jauh lebih hebat lagi, dengan demikian pihak lawan dalam pertandingan nanti tidak berani sembarangan menggunakan tenaga dalam untuk mencari penyakit sendiri. Apalagi Hiang Bun-thian mengetahui kemahiran Lenghou Tiong selain ilmu pedang boleh dikata tidak ada yang istimewa, dengan tetap berdiri di bekas tapak kakinya itu akan dapat pula menyembunyikan kelemahan-kelemahannya yang lain.

Diam-diam Ting Kian menjadi gusar mendengar Hiang Bun-thian suruh Lenghou Tiong tetap berdiri di dalam bekas tapak kaki itu untuk melawannya nanti. Walaupun demikian, karena merasa dirinya tidak sanggup menginjak jubin meninggalkan bekas, mau tak mau ia terperanjat juga atas kelihaian tenaga Hiang Bun-thian. Pikirnya, “Jika mereka berani datang menantang keempat Chengcu, sudah tentu mereka bukan kaum keroco. Asalkan aku mampu bertanding sama kuatnya dengan dia sudah cukup menyelamatkan nama baik Bwe-cheng.”

Hendaklah maklum bahwa di waktu mudanya dahulu Ting Kian berwatak sangat sombong sehingga banyak mengikat permusuhan dengan jago-jago Kangouw, kemudian ia ketemu batunya sehingga mencari hidup sukar dan minta mati pun tidak mudah, dalam keadaan kepepet, syukur ia telah ditolong oleh Kanglam-si-yu. Karena itulah ia rela menghamba di Bwe-cheng, kegarangan di masa yang lalu juga telah lenyap sekarang.

Begitulah Lenghou Tiong lantas melangkah maju dan berdiri di dalam bekas tapak kakinya Hiang Bun-thian itu, katanya dengan tersenyum, “Silakan mulai, Ting-heng!”

“Maaf!” kata Ting Kian, tanpa sungkan-sungkan lagi segera pedangnya menebas, “serrr”, selarik sinar pedang tahu-tahu telah berkelebat lewat dengan amat cepatnya. Meski sudah belasan tahun ia mengasingkan diri di Bwe-cheng, tapi kepandaian dahulu ternyata tiada sedikit pun berkurang.

Namun Tokko-kiu-kiam yang telah diyakinkan Lenghou Tiong itu adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya sejak dahulu sehingga sekarang. Dengan ilmu pedangnya itu Tokko Kiu-pay pernah malang melintang di seluruh dunia dan tak terkalahkan, bukan saja tak pernah kalah, bahkan sampai hari tuanya, orang yang mampu menandingi sepuluh jurus saja jarang terdapat. Akhirnya Tokko Kiu-pay wafat dalam kekosongan jiwa dan ilmu pedangnya itu melalui Hong Jing-yang telah diturunkan kepada Lenghou Tiong.

Ilmu pedang angka satu yang menjadi kebanggaan Ting Kian itu setiap gerak serangan selalu berkelebat seperti sambaran kilat sehingga membuat orang yang melihatnya belum-belum sudah gentar lebih dulu.

Tapi baru sekali saja It-ji-tian-kiam itu dikeluarkan, segera Lenghou Tiong dapat mengetahui tiga titik kelemahan di dalamnya.

Ting Kian ternyata tidak buru-buru melancarkan serangan, pedangnya hanya menebas kian-kemari seakan sungkan kepada pihak tamu, tapi maksud tujuannya adalah hendak membikin silau Lenghou Tiong agar sukar menangkis serangannya yang menyusul.

Tak terduga ketika sampai pada jurus kelimanya, Lenghou Tiong telah melihat ilmu pedangnya itu sudah ada 18 titik kelemahan. Segera ia berkata, “Maaf!”

Berbareng pedangnya lantas menuding miring ke depan.

Tatkala itu Ting Kian sedang menebaskan pedangnya secepat kilat dari kiri ke kanan, jarak ujung pedang Lenghou Tiong masih ada satu meter jauhnya, namun gerakan Ting Kian itu menjadi seperti mengantarkan tangan sendiri ke ujung pedang lawan.

Gerakan Ting Kian itu teramat cepat dan sukar untuk dihentikan secara mendadak. Lima orang penonton yang menyaksikan di samping itu adalah jago-jago kelas wahid semua.

Saat itu tangan Hek-pek-cu sedang memegangi sebiji catur, segera ia bermaksud menyambitkan biji catur itu untuk menyelamatkan tangan Ting Kian dari ancaman pedang Lenghou Tiong, tapi lantas terpikir olehnya jika sampai dia ikut turun tangan ini berarti dua orang melawan seorang dan Bwe-cheng jelas di pihak yang kalah. Karena rasa ragu-ragu itulah saat mana jarak pergelangan tangan Ting Kian sudah makin mendekat dengan sambaran ujung pedang Lenghou Tiong, hanya tinggal belasan senti jauhnya.

“Aiii!” Si Leng-wi menjerit khawatir.

Siapa duga, pada detik yang menentukan itu mendadak Lenghou Tiong memutar perlahan tangannya sehingga ujung pedang menegak, “plak”, tangan Ting Kian terbentur pada batang pedang yang rata itu sehingga tidak terluka apa-apa.

Ting Kian sampai melenggong, baru dia sadar bahwa pihak lawan telah sengaja memberi ampun padanya sehingga sebelah tangannya tidak sampai terkutung. Seketika ia berkeringat dingin, ia membungkuk tubuh dan berkata, “Banyak terima kasih atas kemurahan hati Hong-tayhiap.”

Lenghou Tiong membalas hormat dan menjawab, “Ah, engkaulah yang mengalah!”

Melihat Lenghou Tiong sedikit memutar pedangnya sehingga Ting Kian terhindar dari tangan terkutung, diam-diam Hek-pek-cu, Tut-pit-ong, dan Tan-jing-sing menaruh kesan baik padanya.

Segera Tan-jing-sing menuang secawan arak, katanya, “Hong-hengte, ilmu pedangmu sangat bagus, terimalah secawan suguhanku.”

“Terima kasih,” sahut Lenghou Tiong sambil menerima suguhan itu terus ditenggak habis.

Tan-jing-sing juga mengiringi minum satu cawan, lalu menuangi cawan Lenghou Tiong pula dan berkata, “Hong-hengte, hatimu sangat baik sehingga tangan Ting Kian tidak sampai buntung, biarlah aku menyuguh lagi secawan padamu.”

“Ah, ini hanya secara kebetulan saja, kenapa diherankan?” ujar Lenghou Tiong sambil menghabiskan pula isi cawannya.

Tan-jing-sing mengiring pula secawan, lalu menuang lagi secawan dan berkata, “Cawan ketiga ini kita jangan minum dulu, marilah kita main-main, siapa yang kalah dialah yang minum arak ini.”

“Terang aku yang kalah,” ujar Lenghou Tiong tertawa, “biarlah aku meminumnya sekarang saja.”

“Jangan buru-buru!” seru Tan-jing-sing sambil menaruh cawan araknya di atas meja batu, ia ambil pedang dari tangan Ting Kian, lalu katanya pula, “Hong-hengte, silakan mulai lebih dulu.”

Di waktu minum arak tadi diam-diam Lenghou Tiong sudah menimbang-nimbang, “Dia mengaku mempunyai tiga keistimewaan, yaitu minum arak, suka seni lukis, dan mahir ilmu pedang. Maka dapatlah dipastikan ilmu pedangnya tentu sangat lihai. Dari lukisan yang terpancang di ruang depan sana kulihat goresannya rada mirip sejurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua puncak Hoa-san dahulu. Ilmu pedang itu memang sangat bagus, tapi aku sudah paham jalannya, tentunya tidak sukar untuk melayaninya.”

Maka katanya sambil membalas hormat, “Harap Sichengcu sudi mengalah sedikit.”

“Tidak perlu sungkan-sungkan, silakan,” kata Tan-jing-sing.

“Baik,” begitu Lenghou Tiong berseru, pedangnya lantas bergerak menusuk ke pundak lawan.

Tusukan ini tampaknya geyat-geyot tak bertenaga dan tidak menurut ilmu pedang yang lazim, belum pernah ada ilmu pedang di dunia ini terdapat jurus serangan demikian.

Keruan Tan-jing-sing melengak, katanya, “Ini terhitung serangan apa?”

Pengetahuan Tan-jing-sing dalam hal ilmu pedang boleh dikata sangat luas, telah diketahuinya Lenghou Tiong adalah murid Hoa-san-pay, maka yang dia pikirkan sejak tadi adalah macam-macam tipu serangan ilmu pedang Hoa-san-pay saja, siapa tahu apa yang dimainkan Lenghou Tiong ini ternyata sama sekali di luar dugaannya.

Pelajaran yang diperoleh Lenghou Tiong dari Hong Jing-yang kecuali Tokko-kiu-kiam yang tiada bandingannya itu, dapat dipahami pula intisari “dengan tiada tipu mengalahkan yang ada tipu” dalam ilmu pedang. Asas ini tali-temali dengan Tokko-kiu-kiam yang justru setiap gerakan dan setiap tipu serangannya sudah mencapai puncaknya itu. Maka gabungan dari kedua paham ini menjadi lebih hebat dan sukar diraba pihak musuh.

Lantaran itulah Tan-jing-sing lantas melenggong begitu melihat serangannya yang aneh itu. Jika dirinya cepat menangkis toh rasanya sukar terjadi, dan karena tak bisa ditangkis, jalan satu-satunya bagi Tan-jing-sing adalah melangkah mundur.

Waktu satu jurus saja Lenghou Tiong mengalahkan Ting Kian tadi, meski Hek-pek-cu dan Tut-pit-ong diam-diam memuji kelihaian ilmu pedangnya, tapi juga tidak begitu heran, sebab mereka anggap kalau Lenghou Tiong sudah berani menantang ke Bwe-cheng, maka mustahil jika cuma seorang hamba saja tak bisa mengalahkannya. Tapi sekarang setelah menyaksikan sekali tusuk Lenghou Tiong lantas mendesak mundur Tan-jing-sing, mau tak mau mereka menjadi terkesiap.

Bab 67. Ilmu Pedang Lenghou Tiong Tiada Tandingannya

Setelah melangkah mundur segera Tan-jing-sing melangkah maju pula sehingga tetap berhadapan dengan Lenghou Tiong dalam jarak yang sama. Menyusul Lenghou Tiong menusuk lagi, sekali ini yang diarah adalah pundak kiri, caranya tetap seperti tadi, geyat-geyot tak teratur, seperti sungguh-sungguh, seperti main-main.

Segera Tan-jing-sing angkat pedang hendak menangkis, tapi belum lagi kedua pedang beradu segera ia menyadari iga kanan sendiri terlubang, jika lawan terus menyerang ke situ tentu sukar tertolong, jadi tangkisannya ini sekali-kali tidak boleh dilakukan, pada detik terakhir itulah ia ganti haluan, sekali tutul kedua kakinya kembali ia melompat mundur dua meter lebih jauhnya.

“Kiam-hoat bagus!” serunya memuji, berbareng itu ia menubruk maju pula. Sekaligus orangnya bersama pedangnya terus menusuk secepat kilat ke arah Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong dapat melihat lubang kelemahan di bawah lengan kanan lawan pula, segera pedangnya menyelonong ke depan.
Jika Tan-jing-sing tidak segera ganti haluan tentu sikunya akan termakan lebih dulu oleh pedang Lenghou Tiong.

Dalam keadaan demikian, terpaksa Tan-jing-sing harus menyelamatkan diri lebih dulu, mendadak pedangnya menusuk ke lantai, dengan tenaga pentalan itulah ia terus berjumpalitan ke belakang dan menancapkan kaki sejauh tiga-empat meter. Saat itu punggungnya sudah mepet dinding, kalau jumpalitannya terlalu keras sedikit saja tentu punggungnya akan menumbuk dinding, hal ini berarti menurunkan derajatnya sebagai seorang kosen. Walaupun demikian, karena cara menghindarnya itu dilakukan dengan gugup dan susah payah, mau tak mau muka Tan-jing-sing menjadi merah jengah.

Sebagai seorang kesatria yang berjiwa besar, ia tidak menjadi gusar, sebaliknya ia malah bergelak tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya dan memuji, “Ilmu pedang bagus!”

Habis berkata pedangnya berputar pula, lebih dulu jurus “Pek-hong-koan-jit” (Pelangi Putih Menembus Cahaya Matahari), menyusul jurus “Jun-hong-hut-liu” (Angin Silir Meniup Pohon Liu), lalu berubah lagi menjadi jurus “Thing-kau-ki-hong” (Ular Naga Menjangkitkan Angin), tiga kali serangan dilancarkan sekaligus dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah menyambar ke muka Lenghou Tiong.

Cepat Lenghou Tiong menyampuk dengan pedangnya sehingga tepat mengenai punggung pedang lawan. Karena sampukan ini tepat waktunya dan jitu tempatnya, saat itu Tan-jing-sing sedang mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya ke ujung pedangnya yang diduganya pasti akan kena sasarannya sehingga pada batang pedangnya tiada bertenaga malah.

Maka terdengarlah suara “creng” perlahan, pedang Tan-jing-sing tersampuk ke bawah, sebaliknya sinar pedang Lenghou Tiong lantas berkelebat, tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya. Tan-jing-sing menjerit kaget dan cepat melompat ke samping.

Rupanya ia belum kapok, kembali pedangnya berputar terus menerjang maju lagi. Sekali ini ia membacok dari atas sambil berseru, “Awas!”

Ia tidak berniat mencelakai Lenghou Tiong, tapi gerak tipu “Giok-liong-to-kwa” (Naga Kemala Melingkar Balik) cukup lihai, jika sedikit lengah dan tidak keburu ditahan, bukan mustahil Lenghou Tiong akan benar-benar terluka olehnya, sebab itulah ia telah berseru memperingatkan.

Lenghou Tiong telah mengiakan peringatan itu. Berbareng pedangnya dari bawah menyungkit ke atas, “sret”, mata pedangnya menyerempet lurus ke atas melalui mata pedang lawan.

Dalam keadaan demikian jika bacokan Tan-jing-sing itu diteruskan, sebelum mengenai kepala Lenghou Tiong tentu kelima jarinya sudah akan terpapas lebih dulu oleh pedang Lenghou Tiong. Tapi kepandaian Tan-jing-sing memang jauh lebih tinggi daripada Ting Kian, dilihatnya pedang orang telah memapas tiba menempel batang pedangnya sendiri, bagaimanapun serangan ini sukar dipatahkan, terpaksa tangan kirinya memukul kosong ke lantai, dengan tenaga tolakan ini, “blang”, ia terus melompat ke belakang dua-tiga meter jauhnya. Selagi badannya masih terapung di udara pedangnya berulang-ulang telah berputar tiga kali sehingga berwujud tiga lingkaran sinar perak.

Lingkaran-lingkaran sinar itu mirip seperti benda hidup saja, hanya berputar-putar sejenak di udara, lalu perlahan-lahan menggeser maju ke arah Lenghou Tiong.

Lingkaran-lingkaran hawa pedang itu tampaknya tidak selihai sinar pedang It-ji-tian-kiam Ting Kian tadi, tapi hawa pedang ini lebih tebal, hawa dingin merangsang badan orang, maka dapat dirasakan oleh setiap orang bahwa ilmu pedang Tan-jing-sing ini memang luar biasa.

Pedang Lenghou Tiong lantas menjulur ke depan, ditusukkan ke dalam lingkaran-lingkaran sinar itu. Di situlah lowongan antara serangan pertama Tan-jing-sing mulai lemah tenaganya dan tenaga serangan kedua belum lagi dikerahkan. Keruan Tan-jing-sing bersuara heran sambil melangkah mundur, lingkaran sinar pedang juga ikut berputar mundur. Tapi segera terlihat lingkaran sinar itu mendadak menyurut, menyusul terus meluas ke depan, di kala lingkaran sinar itu membesar, seketika terus menerjang ke arah Lenghou Tiong.

Kembali Lenghou Tiong menusukkan pedangnya ke tengah lingkaran itu dan kembali Tan-jing-sing berseru heran sambil mundur lagi dan begitu sampai beberapa kali ia maju dan mundur. Semakin cepat ia menyerang maju, semakin cepat pula ia mundur. Hanya dalam sekejap saja ia sudah menyerang sebelas kali dan mundur sebelas kali, kumis jenggotnya sampai berjengkit, sinar pedangnya menerangi mukanya yang kelihatan pucat kehijau-hijauan.

Sekonyong-konyong Tan-jing-sing menggertak keras, berpuluh-puluh lingkaran sinar besar dan kecil serentak menerjang ke arah Lenghou Tiong. Inilah kemahiran Tan-jing-sing yang tiada taranya, ia telah mempersatukan belasan jurus serangan menjadi satu sehingga sukar diduga oleh musuh. Selama hidupnya ia hanya pernah menggunakan kemahiran ini tiga kali saja untuk menghadapi musuh tangguh dan tiga kali pula ia memperoleh kemenangan.

Namun tangkisan Lenghou Tiong tetap sederhana saja, kembali pedangnya menusuk lempeng ke depan sebatas dada, yang dituju adalah ulu hati Tan-jing-sing.

Lagi-lagi Tan-jing-sing menjerit dan melompat mundur sekuatnya. “Blang”, dengan berat ia jatuh terduduk di atas meja batu, menyusul terdengar suara riuh jatuhnya cawan arak sehingga hancur berantakan.

Walaupun sudah kalah, tapi Tan-jing-sing tidak menjadi marah, sebaliknya ia terbahak-bahak dan berseru, “Bagus, sungguh bagus! Hong-hengte, ilmu pedangmu memang jauh lebih tinggi daripadaku. Mari, marilah aku menyuguh kau tiga cawan lagi.”

Hek-pek-cu dan Tut-pit-ong cukup kenal betapa hebat ilmu pedang site mereka, mereka menyaksikan Tan-jing-sing beruntun telah menyerang 16 kali dan kedua kaki Lenghou Tiong tetap di tempatnya tanpa menggeser ke luar dari bekas tapak kaki Hiang Bun-thian tadi, sebaliknya malah memaksa ahli pedang dari Kanglam-si-yu itu main melompat mundur sampai 17 kali. Betapa tinggi ilmu pedang Lenghou Tiong benar-benar susah diukur.

Dalam pada itu Tan-jing-sing sudah lantas menuang arak ajak minum tiga cawan lagi bersama Lenghou Tiong. Katanya, “Di antara Kanglam-si-yu, ilmu silatku adalah yang paling rendah. Meski aku sudah mengaku kalah, tapi Jiko dan Samko tentu belum mau terima. Besar kemungkinan mereka pun ingin menjajal-jajal kau.”

“Kita berdua telah bergebrak belasan jurus dan satu jurus pun Sichengcu belum kalah, mengapa engkau mengatakan akulah yang menang?” ujar Lenghou Tiong.

“Ah, jurus pertama saja aku sudah kalah, jurus-jurus selebihnya sudah tiada artinya lagi,” kata Tan-jing-sing sambil menggeleng. “Biasanya Toako mengatakan aku berjiwa sempit, rupanya memang tidak salah.”

“Peduli jiwa sempit segala, yang paling penting asalkan kekuatan minum arak yang besar kan jadi,” kata Lenghou Tiong tertawa.

“Benar, benar! Marilah kita minum arak lagi,” seru Tan-jing-sing.

Padahal biasanya Tan-jing-sing sangat tinggi hati dalam hal ilmu pedang, sekarang dia terjungkal di tangan seorang pemuda yang belum terkenal dan sedikit pun tidak marah dan menyesal, jiwanya yang besar ini betapa pun membikin kagum Lenghou Tiong dan Hiang Bun-thian.

Tut-pit-ong lantas berkata kepada Si Leng-wi, “Si-koankeh, tolong ambilkan aku punya pensil tumpul itu.”
Si Leng-wi mengiakan terus pergi mengambilkan semacam senjata dan diaturkan kepada Tut-pit-ong.

Lenghou Tiong melihat senjata itu adalah sebuah boan-koan-pit yang terbuat dari baja, tangkai pensil itu panjangnya belasan senti. Anehnya ujung pensil itu benar-benar pensil tulen, yaitu terbuat dari bulu domba, bahkan ada bekas tercelup tinta bak.

Ujung boan-koan-pit biasanya juga terbuat dari baja dan digunakan menutuk hiat-to, tapi ujung pensil terbuat dari bulu domba yang lemas ini masakah dapat menutuk hiat-to musuh dan merobohkannya? Lenghou Tiong menduga ilmu tiam-hiat orang tentu mempunyai cara yang istimewa dan tenaga dalamnya juga pasti sangat kuat sehingga melalui bulu domba yang lemas itu pun dapat melukai orang.

Setelah memegang senjatanya, dengan tersenyum Tut-pit-ong lantas berkata, “Saudara Hong, apakah kau tetap berdiri di bekas tapak kaki tanpa ganti tempat?”

Lekas-lekas Lenghou Tiong mundur dua tindak, jawabnya dengan membungkuk tubuh, “Ah, mana Cayhe berani berlagak di hadapan Cianpwe.”

Tut-pit-ong lantas angkat pensilnya, katanya dengan tersenyum, “Beberapa jurus goresanku ini adalah perubahan dari gaya tulisan kaum ahli tulis.
Hong-heng serbapandai, tentunya akan dapat mengenali jalan goresan pensilku ini. Hong-heng adalah sobat baik kita, maka pensilku ini tidak perlu dicelup tinta saja.”

Lenghou Tiong rada terkesiap, pikirnya, “Apa barangkali kalau bukan sobat baik lantas pensilmu akan dicelup tinta? Kalau sudah dicelup tinta, lalu mau apa?”

Ia tidak tahu bahwa tinta bak yang dicelup oleh pensil Tut-pit-ong pada saat akan bertempur itu adalah buatan dari berbagai ramuan obat, kalau mengenai kulit manusia akan tak bisa dibersihkan untuk selamanya. Dahulu jago-jago Bu-lim yang bermusuhan dengan Kanglam-si-yu juga pensil tumpul Tut-pit-ong inilah yang paling memusingkan kepala mereka, asal lengah sedikit saja, maka mukanya tentu akan dicorang-coreng oleh pensil tumpul itu, hal ini berarti suatu penghinaan besar, mereka lebih suka dibacok golok atau dipenggal sebelah lengannya daripada muka dicorang-coreng begitu.

Lantaran melihat cara Lenghou Tiong bergebrak dengan Ting Kian serta Tan-jing-sing tadi jelas sangat jujur, maka Tut-pit-ong tidak mencelup pensilnya dengan tinta lagi.

Walaupun tidak paham maksudnya, tapi Lenghou Tiong dapat menduga pihak lawan tentunya berlaku sungkan kepadanya, maka sambil membungkuk tubuh ia berkata, “Banyak terima kasih. Cuma Wanpwe tidak banyak bersekolah, tulisan Samchengcu tentu tidak Wanpwe kenal.”
Tut-pit-ong rada kecewa, katanya, “Jadi kau tidak paham seni tulis? Baiklah, jika begitu biar aku menjelaskan dulu padamu. Aku punya tulisan ini disebut ‘Hui-ciangkun-si’ (Syair Panglima Hui), yaitu perubahan dari sanjak Gan Cin-kheng yang seluruhnya meliputi 23 huruf, mengandung tiga jurus sampai 16 jurus serangan, hendaklah kau memerhatikan dengan baik.”

“Baiklah, terima kasih atas petunjukmu,” jawab Lenghou Tiong. Diam-diam ia pikir peduli amat apakah kau akan tulis syair atau sanjak segala, aku toh tidak paham sama sekali.

Segera Tut-pit-ong angkat pensilnya yang besar itu terus menutul tiga kali ke arah Lenghou Tiong, ini adalah tiga titik permulaan dari huruf “hui”, tiga kali tutul ini cuma gerakan palsu saja, ketika pensilnya diangkat hendak menggores dari atas ke bawah, sekonyong-konyong pedang Lenghou Tiong telah menyambar lebih dulu ke bahu kanannya.

Dalam keadaan terpaksa Tut-pit-ong mesti menangkis dengan pensilnya, namun pedang Lenghou Tiong sudah lantas ditarik kembali. Jadi senjata kedua orang belum sampai terbentur, yang mereka gunakan hanya serangan kosong saja, cuma jurus pertama Tut-pit-ong menurut syairnya tadi baru dimulai setengah-setengah, jadi belum lengkap.

Sesudah pensilnya menangkis tempat kosong, segera jurus kedua dilontarkan. Tapi Lenghou Tiong kembali mendahului pula, begitu melihat pensilnya bergerak, sebelum diserang pedangnya sudah menyerang lebih dulu ke tempat yang memaksa lawan harus membela diri.

Benar juga, lekas-lekas Tut-pit-ong putar pensilnya untuk menangkis, tapi pedang Lenghou Tiong tahu-tahu sudah ditarik pulang lagi. Jadi jurus kedua ini pun Tut-pit-ong tak bisa mengeluarkannya dengan sempurna, tapi cuma setengah-setengah saja.

Begitu gebrak kedua jurus serangannya lantas ditutup mati oleh Lenghou Tiong, sehingga serangkaian seni tulisnya tetap tak bisa dimainkan dengan lancar, keruan Tut-pit-ong merasa gelisah, sama halnya seperti seorang yang pintar menulis, baru saja angkat pena mulai menulis, tahu-tahu datang seorang anak kecil yang mengganggu dan mengacau sehingga ilhamnya kabur seketika.

Tut-pit-ong mengira karena tadi telah memberi tahu lebih dulu tulisan apa yang akan dimainkannya sehingga Lenghou Tiong dapat siap-siap sebelumnya untuk mendahului serangannya.
Jika sekarang dia menyerang tanpa mengikuti urut-urutan bait syair, tentu lawan akan menjadi bingung. Karena itu segera ia ganti haluan, pensilnya bergerak dari atas menyerong ke kiri, lalu membelok ke kanan dengan tenaga penuh, rupanya yang dia gores itu adalah huruf “ji” dalam gaya coretan cepat.

Namun pedang Lenghou Tiong tetap menusuk ke depan, yang diarah adalah iga kanan. Tut-pit-ong terkejut, cepat pensilnya menangkis ke bawah. Padahal tusukan Lenghou Tiong itu tetap serangan pura-pura saja, tapi karena itu kembali jurus serangan Tut-pit-ong hanya sempat dimainkan setengah-setengah saja.

Sebenarnya coretan-coretan Tut-pit-ong itu selalu diikuti dengan penuh semangat dan tenaga, sekarang sampai di tengah jalan mendadak terhalang, bahkan ganti haluan terus buntu, keruan darah sendiri menjadi bergolak, rasanya sangat tidak enak.

Setelah ambil napas panjang-panjang, kembali Tut-pit-ong putar cepat pensilnya, akan tetapi di tengah jalan selalu digagalkan Lenghou Tiong. Lama-lama ia menjadi naik pitam. Bentaknya, “Kurang ajar, mengacau melulu!”

Segera pensilnya berputar lebih cepat. Tapi bagaimanapun juga, paling banyak ia hanya sempat menulis dua goresan, habis itu selalu ditutup mati jalannya oleh pedang Lenghou Tiong.

Tut-pit-ong menggertak sekali, gaya tulisannya segera berubah, tidak lagi menulis seperti tadi, tapi mencoret ke sana ke sini dengan cepat dan kuat sebagai orang mengamuk.

Lenghou Tiong tidak tahu bahwa gaya tulisan Tut-pit-ong sekarang adalah menirukan gaya coretan Thio Hui, itu panglima perkasa di Zaman Sam-kok, namun dapat pula dilihatnya bahwa gaya tulisannya sudah berbeda daripada tadi. Maka ia tidak peduli tipu serangan apa yang dilancarkan lawan, asalkan pensil lawan bergerak segera, ia mendahului menyerang lubang kelemahannya.

Berulang-ulang terjadi demikian, keruan Tut-pit-ong berkaok-kaok. Kembali gaya tulisannya berubah lagi, tapi hasilnya tetap kosong. Ia tidak tahu bahwa hakikatnya Lenghou Tiong tidak ambil pusing terhadap tulisan apa yang akan dimainkan olehnya, yang dia incar hanya luangan pada setiap gerakan lawan. Sebab itulah setiap kali Tut-pit-ong hanya mampu mencoret setengah-setengah saja, lalu gagal.

Semakin gagal, semakin kesal pula perasaan Tut-pit-ong, sampai akhirnya mendadak ia berteriak-teriak, “Sudahlah, tidak mau lagi, tidak mau lagi!”

Berbareng itu ia terus melompat mundur, gentong arak Tan-jing-sing tadi diangkatnya terus dituang sehingga memenuhi lantai. Pensilnya yang besar itu dicelup kepada cairan yang melanda lantai itu, lalu mulai menulis di atas dinding yang putih itu. Yang ditulis bukan lain daripada syair panglima Hui tadi, seluruhnya 23 huruf ditulisnya dengan tajam dan hidup.

Habis menulis barulah ia menghela napas lega, lalu tertawa terbahak-bahak sembari mengamat-amati kembali tulisannya sendiri yang berwarna merah marun di atas dinding itu. “Ehm, bagus! Selama hidupku hanya tulisan sekali inilah paling bagus!” pujinya kepada dirinya sendiri dengan puas. Lalu katanya kepada Hek-pek-cu, “Jiko, kamar catur ini boleh kau berikan padaku saja, aku merasa berat berpisah dengan tulisanku ini. Kukira selanjutnya aku tidak mampu menghasilkan karya sebagus ini.”

“Boleh saja,” kata Hek-pek-cu. “Kamarku ini hanya terdapat sebuah papan catur dan tiada benda lain. Seumpama kau tidak mau juga aku terpaksa akan pindah tempat. Habis menghadapi tulisanmu yang berhuruf besar-besar itu masakah aku bisa tenang main catur?”

Lalu Tut-pit-ong berpaling kepada Lenghou Tiong dan berkata, “Hong-laute, berkat kau sehingga segenap ilham tulisanku yang tersekam di dalam perut tadi seketika membanjir keluar dan jadilah tulisan indah yang tiada bandingannya ini. Ilmu pedangmu memang bagus, tulisanku juga bagus, ini namanya masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, kita tiada menang dan tidak kalah, seri!”

“Benar, masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah,” tukas Hiang Bun-thian.

“Dan harus ditambahkan lagi, berkat arakku yang enak,” sambung Tan-jing-sing.

Hek-pek-cu berkata kepada Hiang Bun-thian, “Samteku memang kekanak-kanakan sifatnya dan lupa daratan jika bicara tentang seni tulis, sekali-kali bukan maksudnya mengingkari kekalahannya.”

“Cayhe paham,” ujar Hiang Bun-thian. “Toh taruhan kita adalah di dalam Bwe-cheng ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Hong-hiante. Seumpama kedua pihak tidak kalah dan menang, yang jelas pihak kami kan tidak dikalahkan.”

“Benar,” kata Hek-pek-cu mengangguk. Lalu dari bawah meja batu itu ditariknya keluar sepotong papan besi segi empat.

Papan besi itu lebih kecil daripada muka meja batu itu, di atasnya terukir 19 garis jalan catur, rupanya adalah sebuah papan catur terbuat dari baja. Sambil memegangi ujung papan catur besi itu Hek-pek-cu lantas berkata pula, “Hong-heng, papan catur ini adalah senjataku, marilah kubelajar kenal dengan ilmu pedangmu yang hebat.”

“Kabarnya papan catur Jichengcu ini adalah sebuah benda mestika yang dapat menyedot macam-macam senjata musuh,” tiba-tiba Hiang Bun-thian berseru.

Dengan sorot mata tajam Hek-pek-cu menatap Hiang Bun-thian sejenak, lalu berkata, “Tong-heng benar-benar berpengalaman luas dan berpengetahuan tinggi. Kagum, sungguh kagum. Padahal senjataku ini bukan benda mestika, tapi adalah buatan dari besi sembrani yang kugunakan mengisap biji-biji catur supaya tidak jatuh terguncang ketika dahulu aku suka bercatur dengan orang di atas kuda atau selagi menumpang perahu.”

“O, kiranya demikian,” kata Hiang Bun-thian.

Mendengar kata-kata itu, diam-diam Lenghou Tiong bersyukur sang toako telah memberi petunjuk padanya secara tidak langsung. Coba kalau tidak, tentu sekali gebrak saja pasti pedangnya akan melengket tersedot oleh papan catur lawan. Maka dalam pertandingan nanti harus diusahakan jangan sampai pedang menyentuh papan caturnya.

Begitulah ia lantas berkata sambit mengacungkan pedangnya, “Harap Jichengcu memberi petunjuk!”

“Ilmu pedang Hong-heng sangat hebat, silakan mulai dahulu,” ujar Hek-pek-cu.

Tanpa bicara lagi Lenghou Tiong lantas putar pedangnya, secara melingkar-lingkar pedangnya terus menusuk ke depan.

“Tipu serangan macam apa ini?” pikir Hek-pek-cu dengan melengak. Dilihatnya ujung pedang lawan telah menuju ke tenggorokannya, segera ia angkat papan caturnya untuk menangkis.

Namun cepat sekali Lenghou Tiong sudah putar ujung pedangnya untuk menusuk bahu kanan lawan. Kembali Hek-pek-cu yang menyampuk dengan papan caturnya. Tapi di tengah jalan Lenghou Tiong sudah lantas tarik kembali pedangnya terus menusuk pula ke perut lawan.

Hek-pek-cu menangkis lagi sambil berpikir, “Jika aku tidak balas menyerang bagaimana aku bisa menang?”

Menurut teori catur, kemenangan hanya tergantung kepada satu langkah mendahului musuh saja. Dalam hal ilmu silat juga begitu. Sebagai seorang ahli catur sudah tentu Hek-pek-cu paham apa artinya mendahului menyerang. Maka ia tidak mau melulu bertahan saja, segera ia pun angkat papan caturnya dan menghantam pundak kanan Lenghou Tiong.

Papan caturnya itu seluas setengahan meter persegi, tebalnya kira-kira dua senti, tergolong semacam senjata yang berat. Besi sembrani itu jauh lebih berat lagi daripada besi biasa. Jika pedang sampai kena terketok, sekalipun tidak tersedot oleh daya sembraninya itu juga pedang akan terketok patah.

Lenghou Tiong hanya sedikit mengegos saja, berbareng pedangnya menusuk iga kanan lawan.

Saat itu maksud Hek-pek-cu hendak mendahului menyerang, tapi pihak lawan justru melancarkan serangan juga, meski tusukan itu tampaknya sepele, tapi tempat yang diarah justru adalah tempat luang yang terpaksa haus dijaga. Maka cepat ia menangkis dengan papan catur, menyusul terus disodokkan ke depan lagi.

Di luar dugaan, sama sekali Lenghou Tiong tidak peduli kepada serangannya. Jika Hek-pek-cu menyerang, maka ia pun ikut menyerang sehingga setiap kali Hek-pek-cu terpaksa harus menarik senjatanya menjaga diri lebih dulu.

Begitulah berturut-turut Lenghou Tiong melancarkan serangan lebih 40 kali, Hek-pek-cu dipaksa menangkis kian-kemari dan bertahan dengan rapat, Ternyata dalam lebih 40 gebrakan itu Hek-pek-cu terpaksa bertahan melulu dan tidak sempat lagi balas menyerang.

Tut-pit-ong, Tan-jing-sing, Ting Kian, dan Si Leng-wi sampai terkesima menyaksikan pertandingan hebat itu. Dengan jelas mereka melihat ilmu pedang Lenghou Tiong itu tidak terlalu cepat, juga tidak teramat lihai, di kala ganti gerak serangan juga tiada sesuatu yang istimewa, tapi setiap serangannya selalu membuat Hek-pek-cu serbasusah dan terpaksa harus menjaga diri lebih dulu.

Hendaklah maklum bahwa setiap jago silat betapa pun tipu serangannya pasti ada lubang kelemahannya. Cuma, kalau bisa mendahului untuk mengancam tempat mematikan pihak musuh, maka kelemahan sendiri akan tertutup dan tidak menjadi halangan.

Namun sekarang setiap kali Hek-pek-cu menggerakkan papan caturnya, setiap kali pula ujung pedang Lenghou Tiong sudah lantas mengacung ke titik kelemahannya sendiri. Sebagai seorang ahli, begitu melihat arah ujung pedang lawan segera dapat diduganya bagaimana akibatnya bila serangan musuh itu dilancarkan. Di dalam lebih 40 gebrakan itu Hek-pek-cu merasa lawan menyerang terus-menerus, diri sendiri sedikit pun tidak sanggup balas menyerang.

Melihat posisi pihak sendiri sudah jelas di pihak yang kalah, kalau pertarungan demikian diteruskan, sekalipun seratus atau dua ratus jurus lagi juga dirinya tetap di pihak terserang melulu. Ia pikir kalau tidak berani menempuh bahaya untuk mencari kemenangan terakhir tentu kehormatan Hek-pek-cu selama ini akan hanyut. Maka dengan nekat ia lantas melintangkan papan caturnya terus disampukkan ke samping untuk menghantam pinggang kiri Lenghou Tiong.

Tapi Lenghou Tiong tetap tidak berkelit dan tidak menghindar, sebaliknya pedang lantas menusuk pula ke perut lawan.

Sekali ini Hek-pek-cu tidak lagi menarik kembali papan caturnya untuk membela diri, tapi masih terus dihantamkan ke depan, agaknya ia sudah bertekad mengadu jiwa, biarpun gugur bersama juga akan dilakoni. Cuma kedua jari tangan kirinya juga sudah bersiap-siap untuk menjepit batang pedang lawan bilamana tusukan Lenghou Tiong sudah mendekat.

Kiranya Hek-pek-cu telah meyakinkan ilmu sakti “Hian-thian-ci” (Jari Mahasakti), dengan mencurahkan tenaga dalam ke jari-jarinya itu sehingga tidak kalah lihainya daripada semacam senjata tajam.

Melihat Hek-pek-cu mengambil risiko itu, kelima orang yang menonton di samping sama bersuara heran. Mereka merasa pertarungan demikian sudah bukan pertandingan persahabatan lagi, tapi lebih mirip pertarungan mati-matian. Jika jepitan jarinya meleset akan berarti perutnya tak terhindar dari tembusan pedang lawan.
Dalam sekejap itulah kelima orang itu sama-sama menahan napas.

Tampaknya kedua jari Hek-pek-cu sudah hampir menyentuh pedang, entah tepat-tidak jepitan jarinya itu, yang terang salah seorang pasti akan celaka. Jika jepitannya jitu, pedang Lenghou Tiong akan sukar maju ke depan lagi dan pinggangnya yang akan dihantam oleh papan catur, hal ini jelas sukar dihindarkan. Sebaliknya bila jepitan jari Hek-pek-cu meleset, atau bisa menjepit, tapi tidak sanggup menahan tenaga tusukan pedang itu, maka untuk menghindar atau melompat mundur juga tidak keburu lagi bagi Hek-pek-cu.

Tapi apa yang terjadi sungguh di luar perhitungan Hek-pek-cu. Tatkala jarinya sudah hampir menyentuh batang pedang lawan, sekonyong-konyong ujung pedang menyungkit ke atas dan menusuk ke tenggorokannya.

Perubahan ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, dalam ilmu silat dari dahulu kala sampai sekarang juga tidak mungkin ada jurus serangan demikian.
Dengan begitu, tusukan ke perut tadi sebenarnya cuma serangan palsu belaka. Dalam keadaan demikian jika papan catur Hek-pek-cu dihantamkan terus, maka tenggorokannya pasti akan tertembus lebih dulu oleh pedang lawan.

Saking terkejutnya, lekas-lekas Hek-pek-cu mengerahkan segenap tenaganya untuk menahan papan caturnya di tengah jalan. Sebagai seorang ahli pikir, sekilas benaknya lantas bekerja dan menduga maksud lawan, jika papan caturnya sendiri itu tidak dihantamkan terus, tentu pedang lawan juga takkan menusuk ke depan lagi.

Benar juga, ketika melihat papan catur orang berhenti di tengah jalan secara mendadak, segera Lenghou Tiong juga menahan pedangnya tak diteruskan tusukannya. Jarak ujung pedangnya dengan tenggorokan lawan tatkala itu hanya tinggal satu-dua senti saja. Sebaliknya jarak papan catur Hek-pek-cu dengan pinggang Lenghou Tiong juga cuma empat-lima senti. Kedua orang sama berdiri diam tanpa bergerak sedikit pun.

Meski kedua orang sedikit pun tidak bergerak lagi, tapi bagi pandangan orang lain keadaan mereka itu jauh lebih berbahaya daripada tadi. Walaupun demikian, namun sebenarnya Lenghou Tiong sudah menguasai keadaan. Maklumlah, papan catur itu adalah benda berat. Untuk bisa melukai musuh sedikitnya harus dihantamkan dari jarak satu atau setengah meter jauhnya. Tapi sekarang jaraknya dengan tubuh Lenghou Tiong hanya beberapa senti saja, sekalipun disodokkan sekuatnya juga sukar melukainya, paling-paling hanya membuatnya sakit sedikit. Sebaliknya pedang Lenghou Tiong cukup ditolak perlahan ke depan, seketika tenggorokan lawan akan berlubang dan jiwa melayang.
Jadi siapa pun dapat melihat keadaan yang menguntungkan dan merugikan pihak mana pada saat itu.
Tapi dengan tertawa Hiang Bun-thian lantas berkata, “Di sebelah sini tidak berani mendahului, di sebelah sana juga tidak berani. Dalam istilah catur ini disebut ‘remis’. Jichengcu memang gagah perkasa dan dapat menandingi Hong-hiante dengan sama kuatnya.”

Lenghou Tiong lantas menarik kembali pedangnya dan melangkah mundur sambil mengucapkan maaf.

Hek-pek-cu tersenyum, katanya, “Ah, Tong-heng suka berkelakar saja. Masakah kau katakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Ilmu pedang Hong-heng justru amat lihai, jelas Cayhe sudah kalah habis-habisan.”

“Eh, Jiko, kau punya senjata rahasia biji catur adalah satu di antara kepandaian istimewa dalam dunia persilatan, 361 biji hitam-putih ditebarkan sekaligus tiada orang mampu menahannya. Mengapa engkau tidak coba-coba kepandaian Saudara Hong dalam hal menghalau senjata rahasia?” tiba-tiba Tan-jing-sing berseru.

Tergerak juga hati Hek-pek-cu, dilihatnya Hiang Bun-thian manggut perlahan. Waktu berpaling ke arah Lenghou Tiong, pemuda itu kelihatan diam-diam saja. Ia pikir ilmu pedang pemuda ini tiada taranya, zaman ini mungkin cuma orang itu saja yang mampu mengalahkan dia. Tampaknya dia tidak gentar sedikit pun, andaikan aku bertanding am-gi (senjata gelap/rahasia) lagi dengan dia tentu akan tambah malu saja nanti. Maka sambil geleng kepala ia berkata dengan tertawa, “Tidak, aku sudah mengaku kalah, buat apa bertanding am-gi segala?”

Dalam pada itu Tut-pit-ong tidak pernah melupakan “sui-ih-hiap” tulisan Thio Kiu itu, segera ia berkata pula, “Tong-heng, sudilah kau perlihatkan pula contoh tulisan tadi?”

“Sabar dulu,” jawaban Hiang Bun-thian dengan tersenyum. “Sebentar kalau Toachengcu sudah mengalahkan Hong-hiante, maka contoh tulisan ini akan menjadi milik Samchengcu sendiri, sekalipun akan dilihat selama tiga-hari tiga-malam juga terserah.”
“Aku akan melihatnya selama tujuh-hari tujuh-malam,” kata Tut-pit-ong.

“Baik, tujuh-hari tujuh-malam juga boleh,” ujar Bun-thian.

Perasaan Tut-pit-ong seperti dikilik-kilik, ingin sekali rasanya lekas-lekas mendapatkan tulisan indah itu, segera ia berkata, “Jiko, biar aku pergi mengundang Toako.”

“Kalian berdua boleh mengawani tamu di sini, aku saja yang akan bicara dengan Toako,” sahut Hek-pek-cu.
“Benar,” seru Tan-jing-sing. “Hong-hengte, marilah kita minum pula. Ai, arak sebagus ini telah banyak dibuang percuma oleh Samko.”

Habis berkata ia terus menuang arak ke dalam cawan, sedangkan Hek-pek-cu lantas menuju keluar.

Dengan marah Tut-pit-ong berkata, “Kau bilang aku banyak membuang percuma arakmu? Huh, arakmu itu sesudah masuk perut paling-paling keluar lagi menjadi air kencing. Mana bisa membandingi tulisanku di atas dinding halus yang tetap abadi itu. Arak disiarkan melalui tulisan, beribu-ribu tahun lagi orang akan tetap melihat tulisanku, kemudian baru mengetahui di dunia ada arak Turfan yang kau minum ini.”

Tan-jing-sing tidak mau kalah, ia angkat cawan araknya dan berkata menghadap dinding, “Dinding, O, dinding, hidupmu sungguh beruntung sehingga dapat menikmati arak enak tuanmu ini. Sekalipun samkoku tidak mencorat-coret di atas wajahmu juga ... juga kau akan tetap hidup abadi.”

“Haha, dibandingkan dinding yang tidak tahu apa-apa ini, Wanpwe boleh dikata jauh lebih beruntung!” seru Lenghou Tiong tertawa sambil menenggak isi cawannya.

Hiang Bun-thian juga mengiringi minum dua cawan, lalu tidak minum lagi. Sebaliknya Tan-jing-sing dan Lenghou Tiong masih terus menuang dan menenggak tidak berhenti, semakin minum semakin bersemangat.

Bab 68. Suara Kecapi Membentuk Ilmu Pedang Tak Berwujud

Sudah belasan cawan Lenghou Tiong saling minum bersama Tan-jing-sing barulah kemudian Hek-pek-cu muncul kembali.

“Hong-heng, Toako kami mengundang engkau,” kata Hek-pek-cu. “Tong-heng silakan saja minum-minum di sini.”

Dengan ucapannya itu nyata yang diundang ke sana hanya Lenghou Tiong sendirian. Hiang Bun-thian melenggong, pikirnya, “Usia Lenghou-hiante masih sangat muda, pengalamannya cetek, jika dia pergi sendirian mungkin bisa bikin runyam urusan. Tapi Jichengcu sudah berkata demikian, aku tidak dapat ngotot ingin ikut.”

Maka dengan menghela napas gegetun terpaksa ia berkata “Ai, Cayhe tidak punya jodoh untuk bertemu dengan Toachengcu, sungguh harus disesalkan.”

“Harap Tong-heng jangan marah,” kata Hek-pek-cu. “Soalnya Toako kami sudah lama mengasingkan diri, biasanya tidak mau terima tamu. Cuma tadi ketika mendengar ceritaku, bahwa ilmu pedang Hong-heng tiada bandingannya di dunia ini, hati beliau merasa sangat kagum, maka sengaja mengundang Hong-heng ke dalam, hal ini tidak berarti mengurangi penghormatan kami kepada Tong-heng.”

“Mana, mana aku berani berpikir demikian,” ujar Hiang Bun-thian.

Lenghou Tiong lantas menaruh pedangnya di atas meja batu dan ikut Hek-pek-cu keluar dari kamar catur itu. Sesudah menyusur sebuah serambi panjang, sampailah mereka di depan sebuah pintu bulat.

Di atas pintu bulat itu sebuah papan tertuliskan dua huruf “khim-sim” (inti kecapi). Kedua huruf itu dibuat dari kaca warna biru, gaya tulisannya indah dan kuat, terang tulisan tangan Tut-pit-ong sendiri. Di balik pintu bulat itu adalah sebuah jalanan taman yang sunyi, kedua tepi tumbuh pohon bambu, batu-batu di tengah jalan itu berlumut, nyata sekali jalanan ini jarang dilalui manusia.

Sesudah melalui jalanan taman itu, sampailah di depan tiga buah rumah batu yang dikitari oleh beberapa pohon siong yang besar dan tua. Suasana menjadi rada redup dan tambah sunyi.

Perlahan-lahan Hek-pek-cu lantas mendorong pintu dan berbisik kepada Lenghou Tiong, “Silakan masuk.”

Waktu melangkah masuk rumah itu, segera hidung Lenghou Tiong mengendus bau harum kayu gaharu.

“Toako, Hong-heng dari Hoa-san-pay sudah berada di sini,” segera Hek-pek-cu berkata.

Maka muncullah seorang tua dari kamar dalam sambil menyapa dengan hormat, “Hong-heng berkunjung ke tempat kami ini, harap dimaafkan tidak diadakan penyambutan selayaknya.”

Umur orang tua ini kira-kira ada 60-70 tahun, tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut dan kempot sehingga mirip tengkorak hidup. Tapi kedua matanya bersinar tajam. Lekas-lekas Lenghou Tiong memberi hormat dan menjawab, “Kedatangan Wanpwe ini terlalu sembrono, mohon Cianpwe memaafkan.”

Segera Hek-pek-cu menyambung, “Gelar Toako kami adalah Ui Ciong-kong, mungkin Hong-heng sudah lama mendengar nama beliau.”

“Sudah lama Wanpwe kagum terhadap keempat Chengcu di sini dan baru hari ini dapat berjumpa, sungguh sangat beruntung,” ujar Lenghou Tiong. Tapi di dalam hati ia membatin, “Hiang-toako benar-benar suka guyon, masakah sebelumnya tidak menerangkan apa-apa kepadaku, aku hanya disuruh menurut kepada segala apa yang diaturnya. Tapi sekarang Hiang-toako sendiri tidak mendampingi aku, jika Toachengcu ini mengemukakan sesuatu soal sulit, lalu cara bagaimana aku harus melayaninya?”

Terdengar Ui Ciong-kong telah berkata pula, “Kabarnya Hong-heng adalah ahli waris Hong-losiansing Locianpwe dari Hoa-san-pay, ilmu pedangmu konon sangat sakti. Selama ini aku pun sangat kagum terhadap ilmu silat dan pribadi Hong-losiansing, cuma sayang belum pernah bertemu dengan beliau. Beberapa waktu yang lalu di Kangouw tersiar kabar bahwa Hong-losiansing sudah wafat, hal ini membuat aku merasa menyesal sekali. Tapi hari ini dapat bertemu dengan ahli waris Hong-losiansing sudah boleh dikata terpenuhilah angan-anganku selama ini. Entah Hong-heng apakah termasuk anak atau cucu Hong-losiansing?”

Lenghou Tiong menjadi serbasusah, sebab ia sudah pernah berjanji kepada Hong Jing-yang untuk tidak menceritakan jejak beliau kepada siapa pun juga. Bahwasanya ilmu pedangnya diperoleh dari orang tua itu, entah dari mana Hiang-toako mendapat tahu hal ini. Sudah begitu Hiang-toako sengaja membual tentang ilmu pedangnya dan mengatakan dia she Hong, betapa pun ini bersifat menipu. Sebaliknya kalau dirinya sekarang mengaku terus terang rasanya juga tidak mungkin.

Maka secara samar-samar Lenghou Tiong lantas menjawab, “Aku adalah anak murid beliau angkatan belakangan. Wanpwe terlalu bodoh, ilmu pedang beliau tiada dua-tiga bagian yang dapat kupelajari dengan baik.”

Ui Ciong-kong, menghela napas, katanya, “Jika kau cuma memperoleh dua-tiga bagian dari ilmu pedang beliau dan tiga saudaraku telah kalah semua di bawah pedangmu, maka betapa hebat kepandaian Hong-losiansing sungguh sukar diukur.”

“Tapi ketiga Chengcu hanya bergebrak beberapa kali saja dengan Wanpwe dan belum jelas pihak mana yang menang dan kalah,” kata Lenghou Tiong.

Muka Ui Ciong-kong yang kurus kempot itu menampilkan senyuman, katanya sambil manggut-manggut, “Orang muda tidak sombong dan tidak berangasan, sungguh harus dipuji.”

Melihat Lenghou Tiong bicara sambil tetap berdiri, segera ia berkata pula, “Silakan duduk, silakan!”

Baru saja Lenghou Tiong dan Hek-pek-cu ambil tempat duduk masing-masing, segera seorang kacung menyuguhkan tiga cangkir teh.

Lalu Ui Ciong-kong mulai berkata pula, “Katanya Hong-heng ada satu buku khim-boh (not kecapi) yang bernama ‘Lagu Hina Kelana’, apa betul adanya? Aku memang gemar pada seni musik, tapi dari buku-buku not kuno belum pernah kudengar ada satu jilid not lagu demikian.”

“Dalam buku-buku not kuno memang tidak ada, sebab khim-boh ini adalah hasil karya orang zaman sekarang,” sahut Lenghou Tiong. Diam-diam ia berpikir sudah terlalu jauh Hiang-toako membohongi mereka. Tampaknya keempat Chengcu ini adalah tokoh-tokoh luar biasa, apalagi kedatangannya adalah untuk mohon pengobatan kepada mereka, maka tidaklah pantas untuk mempermainkan mereka lagi. Dahulu Lau Cing-hong dan Kik Yang berdua Cianpwe menyerahkan khim-boh ini kepadaku adalah karena khawatir karya mereka yang besar akan lenyap di dunia fana ini. Sekarang Toachengcu ini ternyata penggemar kecapi, maka tiada jeleknya jika kuperlihatkan khim-boh ini kepadanya.

Segera ia mengeluarkan khim-boh itu dari bajunya, ia berbangkit sambil diaturkan kepada Ui Ciong-kong dan berkata, “Silakan Toachengcu periksa adanya.”

Dengan sedikit berbangkit Ui Ciong-kong menyambut khim-boh itu, jawabnya, “Kau katakan khim-boh ini karya orang zaman ini? Rupanya aku sudah terlalu lama mengasingkan diri sehingga tidak tahu bahwa pada masa ini telah lahir seorang komponis besar.”

Di balik kata-katanya itu nyata sekali ia rada kurang percaya.

Waktu ia membalik halaman pertama khim-boh itu, lalu katanya pula, “Ini adalah not paduan suara kecapi dan seruling. Eh, panjang benar lagu ini.”

Tapi hanya sebentar saja ia membaca not lagu itu segera air mukanya berubah hebat.

Dengan tangan kanan membalik-balik halaman khim-boh itu, jari tangan kiri Ui Ciong-kong tampak bergerak-gerak seperti sedang memetik kecapi. Hanya membalik dua halaman saja ia lantas mendongak dan termangu-mangu, lalu menggumam sendiri, “Nada lagu ini berubah secara meninggi dan sangat cepat, apakah benar dapat dibawakan dengan kecapi?”

“Dapat, memang benar dapat,” jawab Lenghou Tiong.

“Dari mana kau mengetahui? Apakah kau sendiri bisa?” tanya Ui Ciong-kong dengan pandangan tajam.

“Sudah tentu Wanpwe tidak bisa, tapi Wanpwe pernah mendengarkan dua orang membawakan lagu ini dengan kecapi,” tutur Lenghou Tiong. “Orang pertama membawakan lagu ini dengan kecapi bersama tiupan seruling seorang lain lagi. Mereka berdua inilah penggubah dari lagu Hina Kelana ini.”

“Dan siapa lagi pemain kecapi yang kedua itu?” tanya Ui Ciong-kong.

Dada Lenghou Tiong menjadi hangat, karena yang ditanyakan itu adalah Ing-ing. Jawabnya kemudian, “Orang yang kedua itu adalah seorang wanita.”

“Wanita?” Ui Ciong-kong menegas. “Dia ... dia sudah tua atau masih muda?”

Lenghou Tiong masih ingat sifat Ing-ing yang tidak suka orang mengatakan dia pernah kenal pada gadis itu, maka sekarang ia pun tidak ingin mengatakannya kepada Ui Ciong-kong, jawabnya kemudian, “Umur wanita itu yang tepat Wanpwe sendiri tidak jelas, cuma ketika mula-mula aku bertemu dengan dia aku memanggilnya sebagai ‘nenek’.”

“Hah, kau memanggil nenek padanya? Jika demikian dia sudah sangat tua?” seru Ui Ciong-kong.

“Waktu itu Wanpwe mendengarkan kecapi nenek itu dari balik kerai sehingga tidak melihat wajahnya, tapi rasanya dia pasti seorang nenek yang sudah tua,” kata Lenghou Tiong.

Ia menjadi geli lagi bila teringat sepanjang jalan ia pernah memanggil nenek kepada seorang nona jelita sebagai Ing-ing. Tapi sekarang nona itu entah berada di mana.

Ui Ciong-kong memandang jauh keluar jendela, setelah termenung-menung sekian lama, kemudian baru bertanya pula, “Apakah bagus sekali permainan kecapi nenek itu?”

“Bagus sekali,” jawab Lenghou Tiong. “Beliau pernah juga mengajarkan memetik kecapi kepadaku, cuma sayang satu lagu pun aku belum selesai mempelajarinya.”

“La ... lagu apa yang dia ajarkan padamu itu?” tanya Ui Ciong-kong cepat.

Lenghou Tiong khawatir bila, lagu “Jing-sim-boh-sian-ciu” itu disebut mungkin sekali Ui Ciong-kong akan segera dapat menerka Ing-ing adanya. Maka ia sengaja menjawab, “Perangai Wanpwe tidak cocok dengan seni musik, maka lagu itu sudah kulupakan, bahkan apa namanya juga tidak ingat lagi.”

“O, besar kemungkinan bukan dia. Mana ... mana bisa dia (perempuan) masih hidup di dunia ini?” demikian Ui Ciong-kong menggumam sendiri.
Lalu tanyanya pula, “Saat ini nenek itu berada di mana?”
“Jika aku tahu tentunya sangat baik,” sahut Lenghou Tiong sambil menghela napas. “Pada suatu malam aku telah jatuh pingsan dan beliau lantas meninggalkan aku, sejak itu tidak diketahui beliau berada di mana.”

Mendadak Ui Ciong-kong berbangkit, katanya, “Kau bilang pada satu malam mendadak dia meninggalkan kau dan sejak itu tak diketahui jejaknya?”

Dengan murung Lenghou Tiong mengangguk.

Sejak tadi Hek-pek-cu diam saja, demi tampak pikiran Ui Ciong-kong rada limbung, khawatir kalau penyakit lama sang toako kumat lagi, lekas-lekas ia menyela, “Saudara Hong ini datang bersama seorang Saudara Tong dari Ko-san-pay, mereka menyatakan bila di dalam Bwe-cheng kita ada seorang saja yang mampu mengalahkan ilmu pedangnya ....”

“O, harus ada orang yang mengalahkan ilmu pedangnya baru dia mau meminjamkan buku lagu Hina Kelana itu kepadaku, demikian bukan?” tanya Ui Ciong-kong.

“Betul, dan kami bertiga sudah kalah semua,” sahut Hek-pek-cu. “Kini tinggal Toako saja, jika Toako tidak maju sendiri tentu Bwe-cheng kita ini, hehe ....”

“Jika kalian gagal, tentu aku pun percuma,” ujar Ui Ciong-kong tersenyum hampa.

“Tapi kami bertiga mana dapat dibandingkan dengan Toako,” ujar Hek-pek-cu.

“Ah, aku kan sudah tua, tidak berguna lagi,” kata Ciong-kong.

Lenghou Tiong lantas berbangkit, dengan kedua tangannya ia mengaturkan khim-boh dan berkata dengan penuh hormat, “Pedang harus dihadiahkan kepada pahlawan. Pencipta lagu ini dahulu juga telah pesan kepada Wanpwe agar berusaha mencari seorang ahli seni suara dan boleh menghadiahkan kitab ini kepadanya agar jerih payah ciptaan mereka berdua ini tidak lenyap sia-sia. Toachengcu bergelar ‘Ui Ciong-kong’, sudah tentu adalah ahli dalam bidang yang dimaksudkan ini. Selanjutnya kitab ini menjadilah milik Toachengcu.”

Ui Ciong-kong dan Hek-pek-cu sama melengak. Ketika di kamar sana Hek-pek-cu telah menyaksikan betapa Hiang Bun-thian menjual mahal dan memancing-mancing hasrat orang yang kepingin setengah mati. Siapa duga ‘Hong Ji-tiong’ ini ternyata sangat berbeda, caranya terus terang dan sangat baik hati.

Sebagai seorang ahli catur yang suka main siasat, segera ia menduga perbuatan Lenghou Tiong pasti ada suatu perangkap yang hendak menjebak Ui Ciong-kong. Tapi di mana letak perangkap itu seketika sukar pula diselami.

Ui Ciong-kong juga tidak lantas menerima pemberian not lagu Hina Kelana itu, katanya, “Orang tidak berjasa tidak berani menerima hadiah. Kita selamanya tidak saling kenal, mana aku berani menerima hadiahmu setinggi ini. Sebenarnya apa maksud tujuan kedatangan kalian berdua ke sini, diharap sudi kiranya menjelaskan secara jujur.”

Apa maksud tujuan kedatanganku ke sini sebelumnya Hiang-toako tidak menerangkan padaku sedikit pun, tapi menurut dugaanku tentu hendak mohon bantuan keempat chengcu di sini untuk menyembuhkan penyakitku. Cara pengaturan Hiang-toako ini penuh rahasia, sebaliknya keempat chengcu ini adalah tokoh-tokoh aneh pula, bisa jadi tentang penyakitku ini tidak boleh kuterangkan pada mereka. Memangnya aku tidak tahu apa maksud kedatanganku bersama Hiang-toako, jika aku mengaku terus terang juga tidak ada salahnya.

Maka dengan jujur ia lantas menjawab, “Wanpwe hanya ikut Tong-toako ke sini. Terus terang, sebelum menginjak perkampungan ini Wanpwe sama sekali belum pernah dengar nama keempat Chengcu, juga nama ‘Koh-san-bwe-cheng’ di sini sebelumnya tidak kukenal.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Hal ini mungkin disebabkan pengalaman Wanpwe yang cetek dan tidak kenal para Cianpwe yang kosen, untuk ini mohon kedua Chengcu janganlah marah.”

Ui Ciong-kong memandang sekejap kepada Hek-pek-cu, dengan senyum terkulum ia berkata, “Ucapan Saudara Hong sungguh sangat jujur, aku sangat berterima kasih. Tadinya aku memang heran, sebab tempat tinggal kami ini jarang diketahui orang Kangouw, Ngo-gak-kiam-pay selamanya juga tiada sesuatu hubungan dengan kami, mengapa kalian bisa datang kemari? Dengan demikian, jadi sebelumnya Saudara Hong memang tidak tahu asal usul kami?”

“Sungguh Wanpwe merasa malu, harap kedua Chengcu banyak-banyak memberi petunjuk,” sahut Lenghou Tiong. “Tadi Wanpwe mengatakan ‘sudah lama mengagumi nama keempat Chengcu’ segala, sesungguhnya ... sesungguhnya ....”

“Baiklah,” Ui Ciong-kong manggut-manggut. “Jadi not kecapi ini dengan setulus hati hendak kau hadiahkan kepadaku?”

“Benar,” jawab Lenghou Tiong.

“Tapi aku ingin tanya sesuatu lagi. Sebenarnya atas pesan siapa Hong-laute menyerahkan khim-boh ini kepadaku?” tanya Ui Ciong-kong.

“Penggubah lagu ini hanya pesan padaku agar mencari orang yang tepat untuk diserahi khim-boh ini, kepada siapa harus diserahkan tiada ditentukan,” jawab Lenghou Tiong. “Sekarang telah kuketahui Toachengcu adalah ahli dalam bidang seni suara, maka khim-boh ini boleh dikata telah mendapatkan majikannya yang sesuai.”

“O,” hanya sekali saja Ui Ciong-kong bersuara, tapi mukanya yang kurus itu menampilkan setitik rasa girang.

Tapi Hek-pek-cu lantas menegas, “Jika kau memberikan khim-boh ini kepada Toako kami, apakah Tong-heng itu mengizinkan?”

“Kedua gulung lukisan dan tulisan itu adalah milik Tong-toako, tapi khim-boh ini adalah milik pribadiku,” sahut Lenghou Tiong.

“Kiranya demikian,” kata Hek-pek-cu.

“Sungguh aku sangat berterima kasih terhadap maksud baik Hong-hengte,” ujar Ui Ciong-kong. “Tapi karena Hong-hengte sudah bicara di muka bahwa lebih dulu harus ada orang yang mampu mengalahkan ilmu pedangmu, maka aku pun tidak boleh menarik keuntungan dengan segampang ini. Marilah, boleh juga kita coba-coba beberapa jurus.”

Lenghou Tiong pikir tadi Jichengcu ini mengatakan “kami bertiga mana bisa dibandingkan dengan Toako”, maka tentang ilmu silat Toachengcu ini pasti jauh di atas ketiga temannya itu. Bisanya aku mengalahkan ketiga chengcu yang lihai tadi adalah berkat ilmu pedang ajaran Hong-thaysusiokco, jika sekarang harus bertanding dengan Toachengcu ini belum tentu aku bisa menang lagi, buat apa aku mesti mencari penyakit sendiri. Ya, seumpama aku yang menang lagi, lalu apa manfaatnya?

Karena berpikir begitu, maka ia lantas berkata, “Secara iseng Tong-toako telah mengemukakan kata-kata begitu, sungguh membikin kikuk orang saja, untuk ini jika keempat Chengcu tidak marah saja Wanpwe sudah merasa bersyukur, sekarang aku mana berani lagi bertanding dengan Toachengcu?”

“Kau memang berhati mulia,” puji Ui Ciong-kong. “Tapi tiada halangannya kita coba-coba beberapa jurus saja, asal tertutul saja kita lantas berhenti.”

Lalu ia mengambil sebatang seruling kemala yang terkait di dinding dan diserahkan kepada Lenghou Tiong, ia sendiri lantas mengangkat sebuah kecapi dari meja sana, katanya kemudian, “Boleh kau gunakan seruling itu sebagai pedang dan aku akan menggunakan kecapi ini sebagai senjata.”

Ia tersenyum, lalu melanjutkan, “Kedua macam alat musik ini tidak berani kukatakan benda yang bernilai, tapi juga terhitung barang yang jarang dicari di dunia ini, tentunya bukan maksudku untuk dirusak begini saja. Maka biarlah kita berlagak dan bergaya sekadarnya saja.”

Terpaksa Lenghou Tiong menerima seruling itu, dilihatnya seruling kemala itu seluruhnya berwarna hijau pupus, jelas terbuat dari batu zamrud pilihan. Sebaliknya kecapi yang dipegang Ui Ciong-kong itu warnanya sudah rada luntur, terang adalah barang kuno, bisa jadi adalah barang antik yang telah berumur ratusan atau ribuan tahun. Jika kedua alat musik ini terbentur perlahan saja sudah pasti akan hancur semua, dengan sendirinya tak dapat digunakan bertempur sungguh-sungguh.

Tapi karena tidak bisa mengelak lagi, terpaksa Lenghou Tiong memegang melintang serulingnya, lalu berkata, “Mohon Toachengcu memberi pelajaran.”

“Hong-losiansing adalah ahli pedang satu zaman, ilmu pedang warisannya pasti lain daripada yang lain,” ujar Ui Ciong-kong. “Silakan saja, Hong-heng.”

Segera Lenghou Tiong angkat serulingnya dan dikebaskan ke samping, angin meniup masuk lubang seruling dan menimbulkan suara-suara yang halus.

Ui Ciong-kong juga lantas menyentil kecapinya beberapa kali, di tengah bunyi kecapi itu segera ekor kecapi itu disodokkannya ke bahu kanan Lenghou Tiong.

Ketika mendengar suara kecapi, hati Lenghou Tiong sedikit tergetar, perlahan-lahan serulingnya juga lantas ditutulkan ke depan. Yang ditutuk adalah “siau-hay-hiat” di balik siku Ui Ciong-kong. Dalam keadaan demikian jika kecapi itu terus ditumbukkan ke bahu Lenghou Tiong, maka hiat-to di balik sikut itu tentu akan tertutuk lebih dulu.

Segera Ui Ciong-kong putar balik kecapinya dan dihantamkan ke pinggang Lenghou Tiong. Ketika kecapi itu diputar, kembali ia menyentil senar kecapi sehingga mengeluarkan suara.

Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, “Bila aku menangkis dengan seruling tentu kedua macam alat musik yang sukar dicari ini akan rusak semua. Untuk menghindarkan kerusakan barangnya tentu dia akan tarik kembali kecapinya. Tapi cara demikian lebih mendekati cara akal bulus dan tidak boleh kulakukan.”

Maka cepat ia pun putar serulingnya dan menutuk ke “thian-coan-hiat” di bawah ketiak musuh. Waktu Ui Ciong-kong angkat kecapinya buat menangkis segera Lenghou Tiong tarik kembali serulingnya.

“Creng, creng-creng-creng”, Ui Ciong-kong menyentil beberapa kali lagi senar kecapinya, nadanya berubah cepat dan tinggi.

Air muka Hek-pek-cu tampak rada berubah, lekas-lekas ia mengundurkan diri keluar kamar itu sambil sekalian merapatkan pintunya.

Kiranya pemetikan kecapi Ui Ciong-kong itu bukanlah karena dia iseng, tapi di dalam suara kecapi itu justru tercurah tenaga dalamnya yang tinggi untuk mengacaukan konsentrasi pikiran musuh. Bilamana tenaga dalam lawan timbul bersama suara kecapi, maka tanpa terasa lawan akan terpengaruh oleh suara kecapi itu. Jika suara kecapi perlahan, tentu gerak serangan lawan juga akan ikut perlahan, kalau suara seruling menanjak cepat, maka serangan musuh juga ikut cepat.

Tapi gerak serangan Ui Ciong-kong dengan kecapinya itu justru terbalik daripada suara kecapinya. Di waktu suara kecapi halus dan lambat, maka dia justru menyerang dengan cepat dan pihak lawan tentu akan sukar menangkisnya.

Kepandaian cara membaurkan suara kecapi ke dalam ilmu silat demikian adalah tingkatan tertinggi dalam ilmu silat, kalau sudah mencapai puncaknya hakikatnya tidak perlu melontarkan serangan lagi, cukup dengan suara kecapi saja sudah dapat membikin semangat musuh lesu dan perhatian buyar, jalan darahnya terhalang, orangnya bisa menjadi gila dan akhirnya muntah darah dan binasa. Walaupun kemahiran Ui Ciong-kong belum mencapai tingkatan demikian, tapi jika dalam beberapa jurus saja lawan tak bisa mengatasi suara kecapinya itu akhirnya tentu akan roboh sendiri.

Tadi rupanya Hek-pek-cu cukup kenal betapa lihai ilmu Ui Ciong-kong itu, khawatir lwekangnya sendiri terganggu, maka lekas-lekas ia mengundurkan diri keluar kamar. Tapi dari balik pintu sayup-sayup ia masih dapat mendengar suara kecapi yang berubah-ubah, kadang-kadang cepat dan meninggi, lain saat lambat dan rendah nadanya, kemudian tiba-tiba sunyi tiada sesuatu suara apa pun, tapi mendadak terus berbunyi “creng” yang keras. Diam-diam ia berkhawatir bagi Lenghou Tiong yang tentu akan terluka parah oleh “Chit-hian-bu-heng-kiam” (Pedang Tujuh Senar Tak Berwujud) sang toako yang lihai, padahal pemuda itu sangat simpatik. Sebaliknya kalau sang toako tidak mengeluarkan ilmu andalannya itu mungkin Bwe-cheng benar-benar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan dia, lalu nama Kanglam-si-yu tentu akan runtuh habis-habisan karena dikalahkan oleh seorang pemuda hijau dari Hoa-san-pay. Jadi sang toako cuma terpaksa saja, semoga beliau tidak mencelakai jiwa Lenghou Tiong.

Selagi Hek-pek-cu berpikir begitu, tiba-tiba suara kecapi menanjak tinggi cepat sekali dan terdengar jelas dari luar pintu, dada Hek-pek-cu serasa sesak dan darah bergolak, lekas-lekas ia mundur keluar rumah dan merapatkan pintu besar. Walaupun begitu terkadang suara kecapi masih juga terdengar dan membuat jantungnya berdebar.

Sampai agak sama ia berdiri di luar dan suara kecapi masih terus bergema. Diam-diam ia heran Saudara Hong itu selain ilmu pedangnya sangat hebat, nyata tenaga dalamnya juga amat lihai sehingga mampu bertahan sekian lamanya di bawah serangan “pedang tak berwujud dari suara kecapi tujuh senar” sang toako.

Tengah termenung, tiba-tiba terdengar dari belakang ada suara tindakan orang, waktu menoleh, kiranya Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing telah menyusul tiba. “Bagaimana?” tanya Tan-jing-sing dengan berbisik.

“Sudah bertempur sangat lama dari dan pemuda itu masih terus bertahan, kukhawatir Toako akan mencelakai jiwanya,” sahut Hek-pek-cu.

“Biar kumohonkan ampun kepada Toako agar sobat muda itu jangan sampai tercedera,” ujar Tan-jing-sing.

“Jangan masuk ke sana,” geleng Hek-pek-cu.

Pada saat itulah mendadak suara kecapi berbunyi nyaring keras, seketika mereka bertiga tergetar mundur satu tindak.
Beruntun-runtun kecapi berbunyi lima kali dan mereka tanpa kuasa juga mundur lima kali.

Air muka Tut-pit-ong tampak pucat, setelah tenangkan diri barulah berkata, “Kiranya Toako sudah berhasil meyakinkan ilmu pedang tak berwujud yang lihai ini, serangan-serangan suara kecapi yang begitu tajam masakah Saudara Hong itu mampu menahannya?”

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong terdengar suara “creng” yang amat keras satu kali, habis itu lantas terdengar lagi suara “pletak”, itulah suara putusnya senar kecapi, bahkan suara pletak ini jauh lebih keras, rasanya seperti beberapa senar putus sekaligus.
Keruan Hek-pek-cu bertiga terkejut, lekas-lekas mereka mendorong pintu besar dan menolak pintu kamar tadi dan berlari masuk ke dalam. Ternyata Ui Ciong-kong sedang berdiri kesima dengan memegangi kecapinya, tujuh utas senar kecapinya sudah putus dan terurai di samping kecapi. Sebaliknya Lenghou Tiong tenang-tenang saja berdiri di samping dengan tetap memegang seruling.

“Maaf!” kata pemuda itu sambil membungkuk tubuh.

Nyatalah bahwa pertandingan ini kembali Ui Ciong-kong telah dikalahkan. Hek-pek-cu bertiga sama melongo. Mereka tahu betapa tinggi tenaga dalam Ui Ciong-kong boleh dikata adalah jago nomor satu atau nomor dua di dunia persilatan, sebelum mengasingkan diri sudah jarang ada tandingannya, apalagi sekarang sesudah giat berlatih selama belasan tahun, tentu ilmu pedangnya yang tak berbentuk itu jauh lebih maju dan lihai, siapa duga toh masih terjungkal di tangan seorang pemuda dari Hoa-san-pay. Kejadian ini kalau tidak disaksikan sendiri tentu orang tidak mau percaya.

Dengan tersenyum getir kemudian Ui Ciong-kong membuka suara, “Ilmu pedang Saudara Hong yang hebat ini sungguh belum pernah kulihat selama hidupku ini. Bahkan tenaga dalamnya juga sedemikian lihai, sungguh harus dipuji dan mengagumkan. Ilmu pedangku ‘Chit-hian-bu-heng-kiam’ tadinya kukira sudah tidak ada tandingannya di dunia ini, siapa tahu menjadi seperti permainan anak kecil saja bagi Saudara Hong.”

“Wanpwe hanya bertahan sekuat tenaga saja, berkat Cianpwe yang telah berlaku murah hati padaku,” sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati.

Ui Ciong-kong menghela napas panjang dan berduduk dengan lesu, terasa jerih payah latihannya selama ini ternyata sia-sia belaka, sungguh rasa masygulnya tidak kepalang.

Melihat itu, Lenghou Tiong menjadi tidak enak hati, pikirnya, “Meski tampaknya Hiang-toako tidak ingin mereka mengetahui punahnya tenaga dalamku agar mereka tidak mempersukar maksudku hendak minta pengobatan kepada mereka. Tapi perbuatan seorang laki-laki sejati harus dilakukan dengan secara blakblakan dan terus terang, aku tidak boleh menarik keuntungan dari mereka dengan tiara demikian.”
Maka ia lantas berkata, “Toachengcu, ada satu hal harus kukatakan terus terang. Sesungguhnya, sebabnya aku tidak gentar kepada hawa pedangmu yang tak berwujud yang kau keluarkan dari suara kecapimu tadi, hal ini bukanlah karena lwekangku amat tinggi, tapi disebabkan pada diri Wanpwe pada hakikatnya sudah tidak punya tenaga dalam sedikit pun.”
Ui Ciong-kong melengak dan berbangkit. “Apa katamu!” ia menegas.

“Wanpwe pernah terluka dalam beberapa kali, tenaga dalam sudah punah semua, makanya tiada merasakan apa-apa dan timbul reaksi terhadap serangan suara kecapimu tadi,” sahut Lenghou Tiong lebih lanjut.

“Sungguh begitu?” tukas Ui Ciong-kong.

“Jika Cianpwe tidak percaya, silakan periksa nadiku, dan tentu akan segera mengetahui,” ujar Lenghou Tiong sambil mengulurkan tangan kanan.

Ui Ciong-kong, Hek-pek-cu, dan kawan-kawannya sama terheran-heran. Mereka pikir kedatangan pemuda itu ke Bwe-cheng meski tidak terang-terangan menyatakan diri sebagai musuh, tapi pun juga agaknya tidak bermaksud baik. Mengapa sekarang dia mau mengulurkan tangannya begitu saja, sebab cara demikian berarti menyerahkan nadi mematikan kepada pihak lawan. Jika mendadak Ui Ciong-kong memencet hiat-to di pergelangan tangannya, maka biar setinggi langit kepandaiannya juga sukar dikeluarkan dan akan disembelih oleh pihak lawan sesuka hati.

Tadi Ui Ciong-kong telah mengeluarkan segenap kemahirannya dalam ilmu pedang tak berwujud dari suara kecapi yang lihai itu, tapi sedikit pun tidak dapat mengapa-apakan Lenghou Tiong, yang terakhir saking memuncak suara kecapinya itu bahkan ketujuh senar kecapinya sendiri lantas putus semua. Kekalahan total demikian betapa pun membuatnya penasaran. Sekarang Lenghou Tiong menjulurkan tangannya begitu saja, ia pikir jika kau hendak memancing tanganku, maka biarlah aku mengadu tenaga dalam sekali lagi dengan kau.

Maka perlahan-lahan ia lantas mengulurkan tangannya ke pergelangan tangan Lenghou Tiong. Diam-diam ia sudah bersiap-siap dengan segenap ilmu memegang dan menangkap seperti “Hou-jiau-kim-na-jiau” (Ilmu Menangkap Cakar Macan), “Liong-cau-kang” (Ilmu Cengkeraman Naga), dan lain-lain sebagainya. Dengan siaga demikian, tak peduli nanti pihak lawan akan main gila cara apa, paling sedikit ia takkan kecundang andainya ia pun tidak berhasil mencengkeram pergelangan tangan lawan itu.

Tak tersangka, begitu jarinya sudah mencengkeram nadi pergelangan Lenghou Tiong, ternyata pemuda itu tetap diam-diam saja, sedikit pun tidak memberikan reaksi apa-apa.

Baru saja Ui Ciong-kong merasa heran, segera dirasakan denyut nadi Lenghou Tiong teramat lemah, terkadang cepat dan terkadang lambat, jelas itulah tanda orang yang sudah tak bertenaga dalam lagi.

Untuk sejenak Ui Ciong-kong sampai terlongong-longong. Tapi segera ia tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Ahahahaha! Kiranya demikian, kiranya demikian! Jadi aku telah tertipu olehmu, aku telah tertipu!”
Meski mulutnya menyatakan tertipu, tapi jelas sikapnya itu memperlihatkan rasa gembira luar biasa.

Bab 69. Penjara di Bawah Danau

Hendaknya maklum bahwa “pedang tak berwujud” yang dipancarkan dengan suara kecapi itu adalah semacam ilmu silat yang mahatinggi, kalau ilmu ini sampai digunakan, maka lawannya pasti seorang ahli silat yang hebat, betapa tinggi tenaga dalamnya tidak perlu dikatakan lagi, tenaga dalam lawan, semakin terasa pula reaksinya terhadap suara kecapi. Tapi sama sekali tak terduga bahwa sama sekali Lenghou Tiong tidak mempunyai tenaga dalam sehingga “pedang tak berwujud” itu pun kehilangan daya gunanya.

Setelah mengalami kekalahan mestinya Ui Ciong-kong merasa putus asa. Kemudian demi mengetahui sebab musabab kekalahannya itu bukan lantaran kepandaian yang kurang sakti, tapi karena lawan yang sama sekali tidak mempan akan pengaruh suara kecapinya itu, maka Ui Ciong-kong menjadi kegirangan luar biasa.
Tangan Lenghou Tiong dipegangnya erat-erat, katanya dengan tertawa, “Sobat baik, sobat bagus! Tapi mengapa kau beri tahukan rahasiamu kepadaku?”

Dengan tertawa Lenghou Tiong menjawab, “Tenaga dalam Wanpwe telah lenyap, hal ini sengaja dirahasiakan ketika bertanding tadi, sekarang Wanpwe mana berani menipu lagi?”

Ui Ciong-kong bergelak tertawa, katanya, “Jika demikian, jadi aku punya pedang tak berwujud, tidaklah terlalu jelek. Yang kukhawatirkan hanya kalau kepandaianku itu benar-benar tak berguna sama sekali.”

“Hong-heng, engkau telah sudi memberi tahu dengan jujur, sungguh kami bersaudara merasa sangat berterima kasih,” tiba-tiba Hek-pek-cu menyela. “Tapi engkau apakah tidak tahu dengan terbongkarnya rahasiamu, bila kami bersaudara mau cabut nyawamu menjadi gampang sekali.”

“Ucapan Jichengcu memang tidak salah,” jawab Lenghou Tiong. “Tapi Wanpwe percaya keempat Chengcu adalah kaum kesatria sejati, makanya mau bicara terus terang.”

Di balik kata-katanya ini dimaksudkan kaum kesatria sejati tentu tidak sudi membalas kebaikan dengan cara pengecut.

“Benar, memang benar,” ucap Ui Ciong-kong. “Hong-hengte, maksud tujuan kedatanganmu ke tempat kami ini silakan juga bicara terus terang.
Biarpun baru kenal, tapi kita anggap seperti teman lama. Asalkan kami mampu pasti akan kami laksanakan untukmu.”

“Tenaga dalam Hong-heng telah lenyap, kukira disebabkan terluka dalam yang parah,” sambung Hek-pek-cu. “Aku mempunyai seorang sobat baik, ilmu pertabibannya mahasakti, cuma wataknya terlalu aneh dan tidak sembarangan menerima orang sakit. Namun mengingat hubungannya dengan aku mungkin akan mau mengobatimu.”

“Ya, ‘Sat-jin-sin-ih’ Peng It-ci itu memang ....”

“O, tabib sakti Peng It-ci?” sela Lenghou Tiong sebelum Tut-pit-ong selesai bicara.
“Benar, apakah Hong-heng sudah pernah dengar namanya?” tanya Hek-pek-cu.

“Tabib Peng itu sudah meninggal dunia di Ngo-pah-kang di daerah Soatang pada beberapa bulan yang lalu,” jawab Lenghou Tiong.

“Hah! Dia ... dia sudah meninggal dunia?” seru Hek-pek-cu kaget.

“Dia sanggup menyembuhkan penyakit apa pun juga, mengapa tidak mampu mengobati penyakitnya sendiri?” ujar Tan-jing-sing. “Ah, dia terbunuh oleh musuhnya tentu?”

Lenghou Tiong menggeleng, terhadap kematian Peng It-ci dia masih sangat menyesal, katanya kemudian, “Sebelum ajal Peng-tayhu masih sempat memeriksa nadi Wanpwe dan mengatakan penyakit Wanpwe ini sangat aneh dan mengakui beliau tidak sanggup mengobati.”

Mendengar berita kematian Peng It-ci itu, Hek-pek-cu tampak sangat berduka, ia duduk termangu-mangu dan mengembeng air mata.

Setelah berpikir sebentar, kemudian Ui Ciong-kong berkata, “Hong-hengte, aku memberi suatu jalan yang sukar kupastikan, akan kubuatkan sepucuk surat, boleh kau bawa dan menemui Hong-ting Taysu, itu ketua Siau-lim-si sekarang, jika beliau sudi mengajarkanmu lwekang ‘Ih-kin-keng’ yang tiada bandingannya itu kepadamu, maka tenagamu pasti ada harapan akan pulih kembali. Mestinya ‘Ih-kin-keng’ adalah kepandaian Siau-lim-pay yang tidak diajarkan kepada orang luar, namun Hong-ting Taysu dahulu pernah utang budi padaku, bisa jadi dia akan mau menjual muka padaku.”

Melihat tokoh yang diperkenalkan Hek-pek-cu dan Ui Ciong-kong itu memang sangat tepat, maksud mereka pun sangat sungguh-sungguh, hal ini menunjukkan kedua chengcu itu memang punya hubungan luas bahkan maksudnya juga sangat tulus. Maka terima kasih sekali rasa hati Lenghou Tiong, jawabnya kemudian, “Kepandaian sakti Ih-kin-keng itu hanya diajarkan kepada murid Siau-lim-pay melulu, sedangkan Wanpwe tidak dapat menjadi murid Siau-lim, hal ini jelas sulit dilaksanakan. Sudahlah, maksud baik para Chengcu akan kuingat selama hidup ini. Tentang mati-hidupku sudah suratan nasib dan terserah takdir. Sebaliknya lukaku ini telah membikin para Chengcu ikut khawatir, biar Wanpwe mohon diri saja.”

“Nanti dulu!” tiba-tiba Ui Ciong-kong mencegah. Lalu ia masuk ke ruang dalam. Sejenak kemudian ia keluar kembali dengan membawa sebuah botol porselen kecil. Katanya, “Ini adalah dua biji pil pemberian mendiang guruku, sangat bagus khasiatnya untuk menambah tenaga badan dan menyembuhkan penyakit. Sekarang kuberikan kepada Adik Hong sekadar kenang-kenangan perkenalan kita ini.”

Dari sumbat botol itu Lenghou Tiong dapat menduga benda peninggalan guru Ui Ciong-kong itu pasti benda mestika yang tak ternilai. Maka cepat ia menjawab, “Ah, penyakitku ini sudah sukar untuk disembuhkan, obat Cianpwe itu lebih baik disimpan saja untuk digunakan di kemudian hari.”

Ui Ciong-kong berkata, “Kami berempat sudah tidak pernah menginjak dunia Kangouw lagi dan tiada pernah bertempur dengan orang luar sehingga obat ini pun tiada gunanya. Kami berempat tidak punya anak murid, diberikan padamu juga kau tolak, maka terpaksa obat ini biar kubawa masuk ke liang kubur saja.”

Mendengar ucapan yang mengharukan itu, terpaksa Lenghou Tiong menerimanya dengan ucapan terima kasih, lalu mohon diri.

Hek-pek-cu bertiga membawa Lenghou Tiong kembali ke ruang catur di bagian depan. Dari air muka mereka berempat itu segera Hiang Bun-thian dapat menduga bahwa pertandingan pedang dengan toachengcu itu tentu dimenangkan lagi oleh Lenghou Tiong. Sebab kalau Lenghou Tiong kalah, tentu begitu datang Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing akan terus minta barang taruhannya.

Namun begitu Hiang Bun-thian sengaja bertanya, “Adik Hong, apakah Toachengcu telah sudi memberi petunjuk itu pedang padamu?”

“Wah, betapa tinggi kepandaian Toachengcu sungguh sukar diukur,” jawab Lenghou Tiong. “Untung tenaga dalam sudah lenyap sehingga tidak terpengaruh oleh suara kecapi Toachengcu yang dikeluarkan dengan tenaga dalam yang mahakuat itu.”

Tiba-tiba Tan-jing-sing mendelik pada Hiang Bun-thian dan berkata, “Hong-hengte ini adalah orang jujur, segala apa telah dikatakannya dengan terus terang. Kau bilang tenaga dalamnya jauh di atasmu sehingga toako kami tertipu olehmu.”

“Dahulu sebelum tenaga dalam Hong-hiante lenyap memang jauh di atasku,” jawab Hiang Bun-thian dengan tertawa. “Yang kukatakan kan dulu dan bukan sekarang.”

“Hm, kau bukan manusia baik-baik,” jengek Tut-pit-ong.

“Jika Bwe-cheng tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Hong-hiante, maka sekarang juga kami mohon pamit,” kata Hiang Bun-thian kepada Hek-pek-cu sambil memberi hormat. Lalu katanya kepada Lenghou Tiong, “Marilah kita berangkat saja.”

Lenghou Tiong lantas memberi hormat juga kepada tuan-tuan rumah itu, katanya, “Banyak terima kasih atas kebaikan para Chengcu yang telah sudi melayani kami. Kelak bila sempat tentu berkunjung lagi kemari.”

“Hong-hiante,” kata Tan-jing-sing, “setiap saat kau boleh datang kemari untuk minum-minum dengan aku. Adapun Tong-heng ini, hehe!”

“Ah, aku tidak dapat minum arak, sudah tentu tidak berani cari penyakit ke sini,” ujar Hiang Bun-thian dengan tersenyum. Lalu ia memberi salam pula, tangan Lenghou Tiong lantas ditariknya dan diajak berangkat keluar. Hek-pek-cu bertiga masih terus mengantar ke luar.

Hiang Bun-thian lantas mencegah, katanya, “Ketiga Chengcu silakan tinggal saja, tak usah mengantar jauh-jauh.”
“Hah, apa kau sangka kami mengantarmu?” jengek Tut-pit-ong. “Yang kami antar adalah Hong-hengte dan bukan dirimu. Jika kau yang datang kemari satu langkah pun kami tidak sudi mengantar.”

“O, kiranya begitu,” sahut Hiang Bun-thian tertawa.

Setelah mengantar jauh di luar pintu barulah Hek-pek-cu bertiga mengucapkan kata-tata perpisahan dengan Lenghou Tiong. Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing hanya mendelik saja terhadap Hiang Bun-thian, rasanya kalau bisa mereka hendak merebut buntelan yang tersandang di gendongan Hiang Bun-thian itu.

Hiang Bun-thian tidak ambil pusing, ia gandeng tangan Lenghou Tiong dan melangkah pergi. Sesudah agak jauh meninggalkan Bwe-cheng barulah ia tanya dengan tertawa, “Pedang tak berwujud yang dibunyikan oleh kecapi Toachengcu itu sangat lihai, dengan cara bagaimanakah kau mengalahkan dia, adikku?”

“Kiranya segala apa sudah diketahui Toako sebelumnya,” ujar Lenghou Tiong. “Untung tenaga dalamku sudah hilang semua, kalau tidak saat ini mungkin jiwaku sudah melayang. Toako, apakah engkau mempunyai permusuhan dengan keempat chengcu itu?”

“Tidak, tidak ada permusuhan apa pun dengan mereka,” sahut Hiang Bun-thian. “Bahkan sebelumnya aku tidak pernah bertemu muka dengan mereka, dari mana aku bisa bermusuhan dengan mereka?”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang memanggil mereka, “Tong-heng, Hong-heng, harap kalian kembali dulu!”

Waktu Lenghou Tiong menoleh terlihatlah sesosok bayangan orang secepat terbang melayang tiba. Kiranya adalah Tan-jing-sing.

Sebelah tangan Tan-jing-sing membawa sebuah mangkuk arak malahan terisi lebih setengah mangkuk arak, tapi tidak tercecer setitik pun meski dibawa lari secepat ini, maka dapatlah dibayangkan betapa tinggi ginkangnya.

Hiang Bun-thian lantas tanya, “Ada apa lagi Sichengcu menyusul kemari?”

Tan-jing-sing berkata, “Hong-hengte, aku masih simpan setengah botol Tiok-yap-jing yang sudah berumur lebih setengah abad, jika engkau tidak mencicipi tentu akan terasa sayang.”

Habis berkata ia terus menyodorkan mangkuk arak yang dibawanya itu.

Lenghou Tiong menerimanya, dilihatnya arak itu berwarna hijau tua, baunya harum dan keras. “Benar-benar arak bagus!” pujinya.

Segera ia minum seceguk dan memuji bagus pula, berturut-turut empat ceguk sehingga setengah mangkuk itu dihabiskan semua. Lalu katanya pula, “Arak ini menimbulkan macam-macam rasa dan benar-benar arak termasyhur dari daerah Yangciu atau Tinkang.”

“Benar, ini memang pemberian hwesio Kim-san-si di Lembah Tinkang,” kata Tan-jing-sing. “Seluruhnya dia menyimpan enam botol dan dipandang sebagai pusaka kuilnya. Hong-hiante, di rumah aku masih ada beberapa jenis arak bagus, bagaimana kalau kau kembali ke sana untuk coba-coba menilainya?”

Memangnya Lenghou Tiong sudah punya kesan baik terhadap “Kanglam-si-yu”, apalagi akan disuguh arak bagus, tentunya ia sangat senang. Ia coba menoleh kepada Hiang Bun-thian, maksudnya ingin tahu pendapatnya.

“Hong-hiante, jika Sichengcu mengundangmu minum arak, maka bolehlah pergi saja,” kata Bun-thian. “Adapun diriku, karena Samchengcu dan Sichengcu masih gemas jika melihat aku, maka sebaiknya aku tidak ikut, hehe ....”

“Kapan aku merasa gemas jika melihatmu?” sela Tan-jing-sing dengan tertawa. “Sudahlah, ayo pergi bersama. Kau adalah saudara angkat Hong-hengte, berarti juga sahabatku. Ayo berangkat!”

Ketika Hiang Bun-thian hendak menolak lagi, namun Tan-jing-sing sudah lantas menggandeng tangannya dan tangan lain menarik Lenghou Tiong serunya tertawa, “Ayolah berangkat, kita harus minum lagi beberapa mangkuk!”

Diam-diam Lenghou Tiong heran, ketika mohon diri tadi sikap Sichengcu ini rada ketus terhadap sang toako, mengapa sekarang dia begini simpatik? Jangan-jangan dia masih mengincar tulisan dan lukisan di dalam buntelan sang toako sehingga sengaja mengatur tipu muslihat untuk merebutnya?

Setiba kembali di Bwe-cheng, ternyata Tut-pit-ong sudah menunggu di depan pintu, dengan girang ia menyambut, “Bagus sekali! Lekas masuk lagi ke ruang catur!”

Tan-jing-sing lantas menyuguhkan macam-macam arak bagus kepada Lenghou Tiong. Selama itu Hek-pek-cu ternyata tidak menampakkan diri.

Sementara itu hari sudah magrib, Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing seperti menanti seseorang, kerap kali mereka melirik keluar pintu. Beberapa kali Hiang Bun-thian minta pamit lagi, tapi mereka selalu menahan dengan sungguh-sungguh. Lenghou Tiong tidak menghiraukan semua itu, yang dia perhatikan hanya minum arak saja.

Kemudian Hiang Bun-thian berkata dengan tertawa, “Bila kedua Chengcu tidak menjamu kami, tentu si tukang gegares seperti diriku akan kelaparan.”

“O ya, benar!” seru Tut-pit-ong. Lalu ia berteriak, “Ting-koankeh, lekas mengatur meja perjamuan!”

Terdengarlah Ting Kian mengiakan di luar pintu. Pada saat itulah tiba-tiba pintu didorong orang, Hek-pek-cu melangkah masuk. Katanya terhadap Lenghou Tiong, “Hong-hengte, di perkampungan kami ini ada lagi seorang kawan lain yang ingin belajar kenal dengan ilmu pedangmu.”

“Wah, kiranya Toako sudah meluluskan!” seru Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berbareng sambil melonjak kegirangan.

Mau tak mau Lenghou Tiong membatin, “Untuk bisa bertanding pedang dengan aku orang itu harus minta izin dulu kepada toachengcu. Jadi mereka sengaja menahan kami di sini untuk makan minum, rupanya selama itu jichengcu sedang berunding dengan toachengcu dan akhirnya toachengcu meluluskan. Jika demikian orang itu kalau bukan anak murid toachengcu tentu adalah anak buahnya. Apa mungkin ilmu pedangnya bisa lebih tinggi daripada toachengcu sendiri?”

Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Wah, celaka. Kini mereka sudah tahu tenaga dalamku telah lenyap sama sekali, mereka menjaga harga diri dan tidak enak untuk membikin susah padaku. Tapi sekarang kalau mereka mengajukan seorang anak murid atau anak buahnya untuk bergebrak dengan aku, asalkan dia mengerahkan tenaga dalam bukankah seketika jiwaku bisa melayang?”

Namun kemudian terpikir lagi olehnya, “Tapi keempat chengcu ini adalah kaum kesatria yang jujur dan mulia mana bisa mereka melakukan perbuatan serendah itu? Hanya saja para chengcu ini sangat mengiler terhadap tulisan dan lukisan yang diperlihatkan Hiang-toako, lebih-lebih jichengcu yang tampaknya tenang-tenang tapi terhadap problem catur yang disebut Toako itu pun dia sangat terpesona, untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan bukan mustahil mereka akan melakukan hal-hal yang tak terduga.”

Begitulah dalam sekejap itu timbul macam-macam pikiran dan pendapat dalam benak Lenghou Tiong.

Maka terdengar Hek-pek-cu berkata, “Hong-hengte, silakan kau suka bertanding sekali lagi.”

“Ah, kalau bicara tentang kepandaian sejati Wanpwe sekali-kali bukan tandingan Samchengcu dan Sichengcu apalagi Jichengcu dan Toachengcu. Soalnya para Cianpwe rupanya cocok dengan kegemaranku maka para Cianpwe telah sudi mengalah padaku. Padahal sedikit permainanku yang kasar ini tidak perlu dipertunjukkan lagi.”

“Hong-hengte,” kata Tan-jing-sing, “ilmu silat orang itu dengan sendirinya jauh lebih tinggi daripadamu, tapi jangan takut, dia ....”

“Dia adalah seorang ahli pedang kaum cianpwe di perkampungan kami ini,” sela Hek-pek-cu. “Ketika mendengar ilmu pedang Hong-hengte sedemikian hebat betapa pun dia ingin coba-coba ilmu pedangmu. Maka diharap Hong-hengte sudi bertanding satu babak lagi.”

Lenghou Tiong merasa serbasusah, ia pikir jika mesti bertanding lagi bukan mustahil akan terpaksa melukai lawan sehingga jadinya akan bermusuhan dengan Kanglam-si-yu. Maka dengan rendah hati ia menjawab, “Keempat Chengcu teramat baik terhadapku, jika mesti bertanding lagi, entah bagaimana perangai Cianpwe itu, kalau sampai terjadi apa-apa kan bisa membikin rusak persahabatan kita ini.”

Dengan tertawa Tan-jing-sing berkata, “Tidak menjadi soal, bagaimanapun juga ....”

“Bagaimanapun juga kami berempat pasti tidak akan menyalahkan Hong-hengte,” demikian Hek-pek-cu memotong lagi.

“Baiklah, apa alangannya bertanding lagi satu kali,” ujar Hiang Bun-thian. “Tapi aku ada sedikit urusan dan tidak bisa tinggal lebih lama di sini, biarlah aku berangkat lebih dulu. Hong-hengte, kita berjumpa lagi di Kuiciu.”

“He, mana boleh kau pergi lebih dahulu?” seru Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berbareng.
“Kau boleh pergi asalkan tinggalkan tulisan Thio Kiu itu,” Tut-pit-ong menambahkan.

“Ya, jika Hong-hiante kalah nanti, lalu ke mana kami mencarimu untuk minta barang taruhanmu? Tidak, tidak boleh!
Kau harus tinggal lagi sebentar,” kata Tan-jing-sing. “Ting-koankeh, lekas siapkan perjamuan!”

Hek-pek-cu lantas berkata juga, “Hong-hiante, marilah pergi bersamaku.
Tong-heng silakan dahar dulu di sini, sebentar saja kami akan kembali ke sini.”
Hiang Bun-thian menggeleng kepala, jawabnya, “Untuk pertandingan ini jelas kalian bertekad harus menang. Padahal jika aku tidak ikut mengawasi pertandingan ini tentu kami akan merasa penasaran andaikan akhirnya Hong-hengte kalah.”

“Apa maksud ucapan Tong-heng ini?” tanya Hek-pek-cu. “Memangnya kau sangka kami akan pakai tipu muslihat?”

“Bahwasanya keempat Chengcu adalah kesatria sejati memang sudah lama kukagumi, maka sepenuhnya aku dapat percaya pada kalian,” sahut Bun-thian. “Cuma yang akan bertanding dengan Hong-hiante adalah seorang lain lagi, sesungguhnya aku pun tahu bahwa orang itu serupa dengan para Chengcu juga kesatria sejati, maka terus terang aku tidak perlu merasa khawatir.”

“Nama dan ilmu silat orang itu kalau dibandingkan kami berempat boleh dikata lebih tinggi dan tidak lebih rendah,” kata Tan-jing-sing.

“Tokoh Bu-lim yang nama dan kepandaian dapat menandingi keempat Chengcu boleh dikata dapat dihitung dengan jari, rasanya pasti kukenal namanya,” ujar Hiang Bun-thian.
“Tapi nama orang ini tidak leluasa untuk dikatakan padamu,” sela Tut-pit-ong.

“Jika begitu aku harus ikut menyaksikan pertandingan itu, kalau tidak biarlah pertandingan ini dibatalkan saja,” ucap Bun-thian.

“Kenapa engkau begitu kukuh?” ujar Tan-jing-sing. “Kukira kehadiran Tong-heng nanti hanya akan merugikan kau sendiri dan tiada manfaatnya. Orang itu sudah lama hidup menyepi dan tidak suka orang luar melihat wajahnya.”
“Jika demikian lantas cara bagaimana Hong-hiante akan bertanding pedang dengan dia?” tanya Bun-thian.

“Kedua pihak sama-sama memakai kedok, hanya kelihatan mata masing-masing sehingga tidak saling kenal lagi,” kata Hek-pek-cu.

“Apakah ketiga Chengcu juga memakai kedok?” Bun-thian menegas.

“Benar,” sahut Hek-pek-cu. “Watak orang itu teramat aneh, kalau tidak, dia tak mau bertanding.”

“Kalau begitu biarlah aku juga memakai kedok saja,” kata Bun-thian.

Untuk sejenak Hek-pek-cu menjadi ragu, akhirnya berkata, “Jika Tong-heng berkeras ingin ikut menyaksikan, ya terpaksa begitulah caranya. Cuma Tong-heng harus berjanji bahwa dari mula sampai akhir sedikit pun tidak boleh bersuara.”

“Hanya membisu saja kan gampang,” ujar Hiang Bun-thian tertawa.

Begitulah Hek-pek-cu lantas mendahului jalan di depan disusul Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong, Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berada paling belakang.

Lenghou Tiong ingat jalan yang diambil itu adalah menuju ke tempat toachengcu mereka. Benar juga, setiba di luar kamar toachengcu, Hek-pek-cu lantas mengetuk pintu perlahan, lalu mendorong daun pintu dan melangkah ke dalam.

Ternyata di dalam kamar sudah ada seorang yang memakai kerudung kain hitam, dilihat dari pakaiannya jelas adalah Ui Ciong-kong.

Hek-pek-cu mendekati Ui Ciong-kong dan bisik-bisik di telinganya. Ui Ciong-kong tampak menggeleng-geleng, agaknya dia tidak setuju kalau Hiang Bun-thian ikut serta. Hek-pek-cu bisik-bisik pula sejenak, tapi Ui Ciong-kong tetap menggeleng kepala.

Akhirnya Hek-pek-cu manggut-manggut dan berpaling kepada Hiang Bun-thian, katanya, “Toako berpendapat bahwa soal pertandingan adalah soal kecil, tapi kalau sampai sobat itu marah, inilah yang tidak enak. Karena itulah lebih baik pertandingan ini dianggap batal saja.”

Kelima orang lantas memberi hormat kepada Ui Ciong-kong dan mohon diri keluar kamar.

“Tong-heng,” demikian Tan-jing-sing berkata dengan marah-marah, “kau ini memang orang aneh. Apa kau khawatir kami akan mengerubut Hong-hengte ini sehingga kau harus ikut menyaksikan di samping? Sekarang pertandingan yang mestinya sangat menarik menjadi gagal sama sekali, sungguh sangat mengecewakan.”

“Jiko telah berusaha dengan susah payah dan akhirnya barulah Toako meluluskan tapi kaulah yang mengacau sehingga gagal,” omel Tut-pit-ong.

“Ya, sudahlah, biar aku mengalah saja, aku takkan ikut menyaksikan pertandingan ini,” kata Hiang Bun-thian dengan tertawa. “Tapi kalian harus berlaku seadil-adilnya, tidak boleh mengakali Hong-hiante.”

Hek-pek-cu bertiga menjadi girang berbareng mereka menjawab, “Memangnya kau sangka kami ini orang macam apa? Mana bisa kami mengakali Hong-hengte segala?”

“Baiklah, aku akan menunggu di ruang catur,” kata Bun-thian. “Hong-hiante, tampaknya mereka entah sedang main sandiwara apa, hendaknya kau hati-hati dan penuh waspada.”

“Setiap penghuni Bwe-cheng sini adalah orang berbudi, mana bisa mereka berbuat sesuatu secara licik,” ujar Lenghou Tiong tertawa.

“Benar,” tukas Tan-jing-sing, “memangnya kau sangka Hong-hengte ini seperti dirimu mengukur orang lain seperti dirimu?”

Tapi sesudah bertindak pergi beberapa langkah tiba-tiba Hiang Bun-thian menoleh dan memanggil, “Hong-hiante, coba kemari, aku harus memberi petunjuk padamu supaya tidak masuk perangkap orang.”

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Hiang-toako juga terlalu hati-hati, aku toh bukan anak umur tiga masakah begitu gampang ditipu.”

Tapi dengan tertawa didekati juga Hiang Bun-thian.

Ketika Hiang Bun-thian menarik tangan Lenghou Tiong, segera pemuda itu merasa sang toako itu menjejalkan sesuatu pada telapak tangannya, rasanya seperti gulungan kertas tapi di dalamnya ada sesuatu benda keras.

Dengan tertawa Hiang Bun-thian pura-pura menarik Lenghou Tiong lebih dekat, lalu membisikkannya, “Sesudah bertemu orang itu nanti bolehlah kau beramah tamah dan menjabat tangan sembari menjejalkan benda dalam gulungan kertas ini kepadanya. Hal ini menyangkut urusan mahapenting hendaknya kau jangan lalai. Haha, haha!”

Nada ucapan itu sangat prihatin dan sungguh-sungguh, tapi air mukanya tetap menampilkan senyuman, bahkan gelak tawa yang terakhir itu sama sekali tiada sangkut pautnya dengan kalimat ucapannya itu.

Namun begitu Hek-pek-cu bertiga menyangka Hiang Bun-thian telah mengucapkan kata-kata yang mencemoohkan mereka. Segera Tan-jing-sing berkata, “Apa yang kau tertawakan? Biarpun ilmu pedang Hong-hengte sangat tinggi, tapi bagaimana dengan ilmu pedang Tong-heng sendiri kan kami belum lagi belajar kenal.”

“Ilmu pedangku hanya biasa saja, tidak perlu belajar kenal segala,” sahut Hiang Bun-thian tertawa, habis itu ia terus melangkah ke ruang luar.

“Marilah kita pergi menemui Toako pula,” ajak Tan-jing-sing dengan gembira. Segera mereka berempat menuju lagi ke kamar Ui Ciong-kong.

Rupanya Ui Ciong-kong tidak menduga bahwa mereka akan datang kembali sehingga kerudung kepalanya tadi sudah dicopot.

“Toako,” kata Hek-pek-cu, “Tong-heng itu telah kami bujuk dan bersedia membatalkan niatnya untuk ikut serta menonton pertandingan.”

“Baiklah kalau begitu,” sahut Ui Ciong-kong. Segera ia ambil lagi kerudung kain hitam tadi dan dipakai.

“Jite, bawalah dua pedang kayu ke bawah,” kata Ui Ciong-kong kepada Hek-pek-cu. Segera Hek-pek-cu membuka sebuah lemari kayu dan mengeluarkan dua senjata kayu yang dimaksud.

Diam-diam Lenghou Tiong heran, “Mengapa dia bilang ke bawah? Apa barangkali orang itu bertempat tinggal di suatu tempat yang rendah?”

“Hong-hengte,” kata Ui Ciong-kong kepada Lenghou Tiong, “marilah kita pergi menemui seorang kawan untuk mengukur ilmu pedangmu. Mengenai pertandingan ini, tak peduli siapa yang kalah atau menang, diharap satu kata pun jangan kau beri tahukan kepada orang luar.”

“Sudah tentu,” sahut Lenghou Tiong. “Wanpwe sudah menyatakan bahwa kedatangan kemari sekali-kali bukan mencari nama maka tiada alasanku buat sembarangan mengoceh di luaran. Apalagi Wanpwe lebih banyak kalah daripada menang, apa yang perlu kukatakan.”

“Soal kalah atau menang belumlah pasti, tapi aku percaya Hong-hengte akan pegang janji dan takkan disiarkan keluar,” kata Ui Ciong-kong. “Cuma apa yang kau lihat selanjutnya juga diharap jangan menyinggungnya bahkan Tong-heng pun jangan kau beri tahu, apakah hal ini dapat kau janji?”

“Sampai Tong-heng juga tidak boleh diberi tahu?” Lenghou Tiong menegas. “Padahal sesudah bertanding nanti tentu dia akan tanya ini dan itu, jika aku tutup mulut tanpa memberi keterangan apa-apa kan rasanya tidak pantas sebagai teman.”

“Tong-heng itu pun seorang Kangouw kawakan, jika dia mengetahui Hong-hengte sudah berjanji padaku, seorang laki-laki sejati mana boleh ingkar janji, dia tentu tidak akan paksa kau bicara,” ujar Ui Ciong-kong.

“Ya, betul juga, baiklah aku terima,” kata Lenghou Tiong sambil mengangguk.

“Banyak terima kasih atas kebaikan hati Hong-hengte,” kata Ui Ciong-kong. “Marilah, silakan!”

Segera Lenghou Tiong putar tubuh hendak menuju ke luar, tapi Tan-jing-sing telah mencegahnya dan menuding ke dalam ruangan malah, katanya, “Ke dalam sana!”

Keruan Lenghou Tiong melengak, sungguh ia tidak mengerti mengapa menuju ke ruang dalam malah? Tapi segera ia sadar, “Ah, benarlah! Orang yang akan bertanding dengan aku kiranya seorang wanita, bisa jadi adalah istri toachengcu atau selir atau gundiknya, sebab itulah mereka berkeras tidak mengizinkan Hiang-toako ikut menonton di samping. Pula diharuskan memakai kerudung agar tidak dapat melihat muka lawan dan pihak lawan juga tidak dapat melihat wajahku, hal ini tentu disebabkan untuk menjaga adat kebiasaan antara kaum pria dan wanita.”



Bab 70. Kakek Aneh di Dalam Penjara

Terpikir demikian segera macam-macam kesangsiannya tadi lantas lenyap, tapi ketika tangannya merasakan benda kecil keras yang terbungkus dalam gulungan kertas itu segera terpikir lagi olehnya, “Tampaknya Hiang-toako sudah mengetahui aku akan bertanding pedang dengan wanita itu. Lantaran dia sendiri tidak boleh ikut terpaksa aku akan disuruh menyampaikan benda atau surat ini. Kukira di balik ini tentu ada urusan percintaan. Meski Hiang-toako adalah saudara angkatku, tapi keempat chengcu sangat baik hati padaku, jika aku menyampaikan benda ini rasanya berdosa kepada para chengcu itu. Lalu bagaimana baiknya ini? Usia Hiang-toako dan para chengcu itu sudah 50-60 tahun, tentunya wanita itu pun tidak muda lagi, andaikan ada urusan percintaan juga peristiwa pada puluhan tahun berselang andaikan aku menyampaikan surat ini rasanya juga takkan merusak nama baik wanita itu.”

Sementara ia menimbang-nimbang, tahu-tahu mereka sudah melangkah masuk ke ruang dalam. Di ruangan hanya terhadap sebuah meja dan sebuah tempat tidur, sangat sederhana sekali keadaan kamar itu. Kelambu tempat tidur pun tampak sudah kekuning-kuningan, sudah tua. Di atas meja tertaruh kecapi pendek, warnanya hitam mulus seperti buatan dari besi.

Lenghou Tiong menduga segala sesuatu ini agaknya memang sudah diatur Hiang Bun-thian lebih dulu. Jika demikian cintanya terhadap wanita itu, apa salahnya aku membantu dia menyampaikan sekadar isi hatinya ini? Sebabnya Hiang-toako melepaskan diri dari Mo-kau dan bahkan tidak sayang bermusuhan dengan sang kaucu dan kawan-kawan seagamanya, besar kemungkinan ada hubungannya dengan bekas kekasihnya ini.

Dalam pada itu Ui Ciong-kong telah menyingkap kelambu dan mengangkat kasur tempat tidurnya, lalu papan ranjang itu dibongkar pula, di bawahnya ada sepotong papan dan gelang tembaga, ketika gelang tembaga ditarik ke atas, sepotong papan besi sebesar satu meter persegi lantas terangkat dan terlihatlah sebuah lubang di bawahnya.

Setelah menaruh papan besi yang berat itu di lantai, lalu Ui Ciong-kong berkata, “Tempat tinggal orang itu rada aneh, silakan Hong-hengte ikut padaku.”

Habis berkata ia terus melompat ke dalam lubang itu, tanpa ragu Lenghou Tiong ikut melompat masuk. Terlihat di bawah situ juga ada sebuah pelita minyak yang remang-remang, ternyata di mana mereka berada itu seperti sebuah lorong bawah tanah. Segera Lenghou Tiong ikut Ui Ciong-kong menuju ke depan. Sementara itu Hek-pek-cu bertiga berturut-turut juga sudah melompat masuk.

Kira-kira belasan meter jauhnya, di depan tampak sudah buntu. Ui Ciong-kong lantas mengeluarkan serenceng kunci, sebuah kunci dimasukkan ke sebuah lubang dan diputar beberapa kali lalu didorongnya. Maka terdengarlah suara keriang-keriut, sebuah daun pintu batu perlahan terbuka.

Begitu besar pintu batu itu, tebalnya ada setengah meteran, keruan Lenghou Tiong semakin menaruh simpatik terhadap Hiang Bun-thian, pikirnya, “Mereka mengurung seorang wanita di bawah tanah dengan cara demikian terang tak bisa dibenarkan. Keempat chengcu itu tampaknya adalah manusia-manusia berbudi, mengapa berbuat sekeji ini?”

Ia terus ikut Ui Ciong-kong masuk ke pintu batu itu, jalan lorong itu menyerong terus ke bawah, kira-kira belasan meter jauhnya kembali mereka berhadapan dengan sebuah pintu. Ui Ciong-kong mengeluarkan kunci lagi dan pintu itu lantas terbuka.
Sekali ini pintu itu ternyata pintu besi yang amat tebal.

Keadaan jalanan tampak terus menurun ke bawah, mungkin saat itu mereka sudah berada beberapa puluh meter di bawah tanah. Setelah membelok beberapa kali kembali tampak sebuah pintu lagi.

Diam-diam Lenghou Tiong merasa keempat chengcu yang tampaknya berbudi luhur itu ternyata tidak berperikemanusiaan. Tadinya sama sekali ia tidak menaruh curiga apa-apa, tapi sekarang mau tak mau timbul rasa waspadanya, jangan-jangan mereka sengaja memancing dirinya ke penjara di bawah tanah ini untuk mengurungnya.
Namun begitu dirinya sekarang sudah masuk perangkap, apa yang dapat diperbuatnya?

Pintu ketiga itu ternyata dibuat lapis empat, di balik pintu besi adalah sebuah pintu kayu yang diberi lapisan kapuk, di belakangnya pintu besi lagi lalu pintu kayu penuh kapuk pula.

Lenghou Tiong menjadi heran pikirnya, “Mengapa dua lapis pintu besi mesti diseling dua lapis pintu kayu berlapis kapuk? Ah, mungkin lwekang orang yang dikurung di sini ini sangat lihai, lapisan kapuk ini digunakan untuk menghapus tenaga pukulannya agar tidak mampu membobol pintu dan melarikan diri.”

Untuk puluhan meter selanjutnya tidak tampak pintu lagi, jalan lorong itu masih panjang rasanya, sampai agak jauh baru ada sebuah pelita minyak ada pula, pelita minyak yang sudah padam sehingga keadaan menjadi gelap dan terpaksa harus berjalan dengan menggagap-gagap, belasan meter kemudian barulah tampak sinar pelita pula.

Lenghou Tiong merasa hawa di jalan lorong itu sangat menyesakkan, dinding dan tanah di bawah kaki rasanya basah-basah lembap. Sekonyong-konyong teringat sesuatu olehnya, “Ah, perkampungan Bwe-cheng itu berada di tepi danau, sekarang jalan lorong di bawah tanah sudah sekian jauhnya, mungkin sekali sudah berada di dasar danau. Seorang dikurung di bawah danau dengan sendirinya sukar meloloskan diri. Andaikan orang luar hendak menolongnya juga tidak dapat, bila mesti membobol penjara tentu juga akan mati terbenam air danau.”

Setelah beberapa meter pula ke depan, mendadak jalan lorong itu menyempil, untuk bisa berjalan ke depan harus membungkuk tubuh. Makin ke depan makin membungkuk. Samar-samar Lenghou Tiong mendengar omelan Tan-jing-sing yang menyusul di belakangnya, mungkin karena tubuhnya tinggi besar sehingga tidaklah leluasa untuk berjalan dengan membungkuk tubuh.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba Ui Ciong-kong berhenti, menyusul terdengarlah suara “tang-tang-tang” beberapa kali, agaknya dengan sesuatu benda dia mengetuk sayap pintu.

Sejenak kemudian terdengar pula suara putaran kunci, lalu sebuah pintu besi berdering. Ui Ciong-kong mengetik api dan menyalakan pelita minyak yang tergantung di dinding. Di bawah sinar pelita yang remang-remang kelihatan di atas sebuah pintu besi di depan terdapat sebuah lubang seluas belasan senti persegi.
Agaknya pintu besi kecil inilah jalan untuk menyampaikan makanan dan lain keperluan.
“Yim-heng,” segera Ui Ciong-kong berseru ke dalam lubang persegi itu, “kami berempat saudara datang menjenguk engkau.”

Lenghou Tiong melengak, pikirnya, “Mengapa Toachengcu menyebut dia Yim-heng (Saudara Yim)? Jadi orang yang terkurung di sini bukanlah kaum wanita.”

Ternyata seruan Ui Ciong-kong tadi tidak mendapat jawaban apa-apa. Maka ia lantas berkata lagi, “Yim-heng, sudah lama sekali kami tidak menjenguk dirimu, harap dimaafkan. Hari ini kami sengaja datang untuk memberitahukan sesuatu urusan penting.”

Tiba-tiba suara seorang yang serak-serak berat mendamprat, “Persetan, ada urusan penting apa segala, mau kentut lekas kentut, kalau tidak kentut lekas enyah sana!”

Kejut dan heran pula Lenghou Tiong, macam-macam dugaannya semula dalam sekejap batal semuanya. Dari suara orang itu dengan jelas diketahui bahwa orang itu bukan saja sudah tua, bahkan kata-katanya kasar dan bukan seorang terpelajar.

Maka terdengar Ui Ciong-kong berkata, “Dahulu kami menyangka di dunia ini hanya Yim-heng seorang adalah jago pedang nomor satu siapa tahu hal ini ternyata tidak benar. Hari ini juga kami kedatangan seorang, bukan saja kami berempat saudara bukan tandingannya, bahkan ilmu pedang Yim-heng jika dibandingkan dia juga mirip si cebol ketemu raksasa.”

Terdengar orang itu bergelak tertawa dan berkata, “Ui Ciong-kong kalian berempat anak jadah sudah kalah bertanding sekarang kalian mengundang dia untuk bertanding dengan aku dengan tujuan aku yang membereskan lawan kalian yang tangguh ini bukan? Hahaha, jangan mimpi muluk-muluk. Sayang sudah 20-an tahun aku tidak memegang pedang sehingga sudah lama ilmu pedangku terlupa semua. Nah, anak jadah, lekas cawat ekormu dan enyah saja dari sini.”

Alangkah terperanjatnya Lenghou Tiong, pikirnya, “Sungguh cerdik luar biasa orang ini dan dugaannya ternyata sangat jitu, begitu mendengar ucapan Ui Ciong-kong lantas diketahui apa maksud tujuan orang, sungguh seorang tokoh Kangouw yang jarang ada.”

Tiba-tiba Hek-pek-cu menimbrung, “Toako, memangnya Yim-siansing sekali-kali bukan tandingan orang ini. Dengan tegas dia menyatakan bahwa di Bwe-cheng ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan dia, hal ini ternyata memang tepat. Sudahlah, kita tidak perlu banyak omong lagi dengan Yim-siansing.”

“Huh, apa gunanya kau membakar-bakar hatiku?” dengus orang she Yim itu. “Memangnya kau sangka aku sudi bekerja untuk anak-anak jadah seperti kalian ini?”

“Toako,” kata Hek-pek-cu pula seperti bercakap-cakap dengan Ui Ciong-kong, “kabarnya ilmu pedang orang ini adalah ajaran asli Hong Jing-yang Losiansing sendiri. Kita tahu Yim-siansing berjuluk ‘Kian-hong-gi-te’ (Melihat Hong Lantas Lari). Dan ‘Hong’ yang dimaksud itu tak-lain tak-bukan adalah Hong-losiansing. Entah benar tidak hal ini?”

Keruan orang she Yim itu berkaok-kaok murka, ia mencaci maki, “Kentut makmu busuk!”

Tapi Tan-jing-sing lantas menyambung, “Ah, ucapan Jiko tadi agak salah.”

“Di mana letak salahnya?” tanya Hek-pek-cu.

“Engkau salah omong satu huruf,” kata Tan-jing-sing. “Julukan Yim-siansing bukan ‘Kian-hong-gi-te’ (Melihat Hong Lantas Kabur). Coba kau pikir, jika Yim-siansing melihat Hong-losiansing baru lari tentu tidak keburu lagi dan Hong-losiansing tidak nanti mau membiarkan dia kabur begitu saja. Hanya kalau mendengar nama Hong-losiansing dan segera lari barulah Yim-siansing masih ada harapan lolos seperti ....”

“Seperti ikan lolos dari jaring!” sambung Tut-pit-ong.

Tapi orang she Yim itu ternyata tidak marah, sebaliknya malah tertawa, “Hahaha, rupanya anak-anak jadah telah kepepet dan dalam keadaan tak berdaya baru ingat pada diriku. Tapi kalau aku begitu gampang ditipu kalian bukanlah orang she Yim lagi.”

“Ai, Hong-hengte,” kata Hek-pek-cu dengan menghela napas seperti orang gegetun, “rupanya begitu mendengar namamu, Yim-siansing sudah lantas ketakutan setengah mati. Maka pertandingan ini tidak perlu dilangsungkan lagi, biarlah kami mengakui ilmu pedangmu memang nomor satu di dunia ini.”

Walau sekarang diketahui orang itu bukan wanita seperti dugaan Lenghou Tiong semula, tapi melihat penjara yang begitu ketat, terang orang she Yim itu sudah sangat lama dikeram di situ, tanpa terasa timbul juga rasa simpatik Lenghou Tiong. Dari ucapan Ui Ciong-kong dan Hek-pek-cu tadi dapat diduga ilmu silat orang she Yim ini pasti sangat tinggi, maka cepat ia menjawab kata-kata Hek-pek-cu tadi, “Ucapan Jichengcu kurang tepat. Dahulu bila Hong-losiansing membicarakan ilmu pedang padaku, beliau selalu memuji terhadap ... terhadap Yim-losiansing ini, katanya soal ilmu pedang di zaman ini hanya Yim-losiansing seorang saja yang dikagumi oleh beliau. Wanpwe dipesan bila kelak ada kesempatan bertemu dengan Yim-losiansing diharuskan mohon petunjuk padanya dengan segala ketulusan hati dan segala kehormatan.”

Kata-kata Lenghou Tiong ini membikin Ui Ciong-kong berempat sama melengak. Sebaliknya orang she Yim itu sangat senang, ia tertawa terbahak dan berkata, “Sobat cilik, ucapanmu sangat tepat. Hong Jing-yang memang bukan kaum keroco, hanya dia saja yang kenal kebagusan ilmu pedangku.”

“Apa Hong ... Hong-losiansing mengetahui dia berada ... berada di sini?” tanya Ui Ciong-kong ragu.

Sudah telanjur membual, segera Lenghou Tiong menambahkan lagi, “Hong-losiansing mengira Yim-losiansing telah mengasingkan diri di pegunungan. Beliau sering menyebut Yim-losiansing tatkala mengajar ilmu pedang padaku, katanya jurus-jurus ilmu pedang beliau khusus diciptakan untuk melawan ahli waris Yim-losiansing. Katanya kalau di dunia tidak ada Yim-losiansing, pada hakikatnya tidak perlu meyakinkan ilmu pedang yang begini ruwet.”

Kini Lenghou Tiong sudah rada kurang senang terhadap keempat chengcu itu, maka ucapannya ini rada berbau mengolok-olok. Ia pikir orang she Yim ini adalah seorang kesatria, tapi telah dikeram di tempat yang mirip neraka ini, tentu dia kena disergap secara pengecut. Maka betapa licik dan rendah perbuatan keempat chengcu dapatlah dibayangkan.

Begitulah lantas terdengar orang she Yim itu berkata, “Betul, sobat cilik. Hong Jing-yang memang punya pandangan tajam, kau yang telah mengalahkan semua manusia kerdil di Bwe-cheng ini bukan?”

Lenghou Tiong menjawab, “Ilmu pedangku adalah ajaran Hong-losiansing sendiri, kecuali engkau Yim-losiansing atau ahli warismu, orang biasa sudah tentu bukan tandinganku.”

Ucapan ini lebih jelas lagi menilai rendah Ui Ciong-kong berempat. Soalnya makin dipikir ia semakin gemas terhadap para chengcu itu, sebab setelah berada sebentar saja di penjara di bawah tanah yang lembap itu rasanya sudah demikian tersiksa, apalagi seorang kesatria besar telah dikurung sekian tahun lamanya, sungguh perbuatan yang teramat kejam.

Sudah tentu Ui Ciong-kong berempat juga merasa sangat tersinggung demi mendengar ucapan Lenghou Tiong itu. Tapi mereka berempat memang benar juga telah bertanding sehingga terpaksa tidak dapat bicara lain.

“Bagus, bagus,” demikian orang she Yim itu merasa senang. “Sobat cilik, sedikitnya kau telah melampiaskan rasa dongkolku terhadap anak-anak jadah itu. Eh, cara bagaimana kau mengalahkan mereka?”

“Orang Bwe-cheng pertama yang bertanding dengan aku adalah seorang sobat she Ting, namanya Ting Kian dengan julukan ‘It-ji-tian-kiam’ segala,” tutur Lenghou Tiong.

“O, ilmu pedang orang she Ting ini cuma kebanggaan belaka dan tiada gunanya,” kata orang she Yim. “Dia cuma menggertak orang dengan sinar pedangnya dan tiada punya kepandaian sejati. Pada hakikatnya kau tidak perlu menyerang dia, asalkan acungkan pedangmu tentu dia akan mengangsurkan jari tangannya ke pedangmu dan akan tertebas kutung sendiri.”

Kelima orang sama terkejut mendengar uraiannya itu sehingga sama melongo.

“Bagaimana? Apa salah ucapanku?” orang itu bertanya.

“Sungguh jitu sekali ucapanmu seakan-akan ikut menyaksikan sendiri,” jawab Lenghou Tiong.

“Bagus, jadi lima jarinya atau tapak tangannya yang terkutung?” tanya pula orang itu.

“Wanpwe telah miringkan sedikit mata pedangku,” kata Lenghou Tiong.

“Ah, salah, salah! Terhadap musuh mana boleh berlaku sungkan,” ujar orang itu. “Hati bajik dan luhur budimu, kelak kau tentu akan rugi sendiri. Dan siapa orang kedua yang bertanding denganmu.”

“Sichengcu,” jawab Lenghou Tiong.

“O, ilmu pedang Losi (Si Empat) sudah tentu lebih tinggi daripada orang she Ting itu. Setelah melihat caramu mengalahkan Ting Kian, begitu maju tentu Losi akan mengeluarkan ilmu pedangnya yang disebut ‘Boat-bak-moa-kiam-hoat’ segala dengan jurus-jurus ‘Pek-hong-koan-jit’, ‘Ting-liong-ki-hong’, dan entah apa lagi.”

Tan-jing-sing tambah terkesiap mendengar ilmu pedang kebanggaannya itu dengan tepat diuraikan orang.

“Ilmu pedang Sichengcu memang terhitung hebat juga,” kata Lenghou Tiong. “Cuma waktu menyerang banyak pula lubang-lubang kelemahannya.”

“Hahaha,” orang itu tertawa. “Sebagai ahli waris Hong Jing-yang kau memang mempunyai pandangan luas. Dalam ilmu pedangnya itu ada satu jurus yang disebut ‘Giok-liong-to-koan’ segala, begitu maju terus membacok. Tapi kebentur pada ahli waris Hong Jing-yang tentu dia akan mati kutu, asalkan pedangmu menebas melalui batang pedangnya tentu kelima jarinya akan terpapas.”

“Taksiran Cianpwe benar-benar sangat jitu, memang pada jurus itulah Wanpwe telah mengalahkan dia,” kata Lenghou Tiong. “Cuma Cianpwe tiada punya permusuhan apa-apa dengan dia, pula Sichengcu telah menyuguh aku dengan arak-arak enak, maka kelima jarinya itu tidak sampai terpapas.”

Sungguh gusar dan dongkol tidak kepalang hati Tan-jing-sing, air mukanya sebentar merah sebentar pucat, cuma dia memakai kerudung sehingga tidak kelihatan.

“Dan si botak Losam (Si Tiga) suka menggunakan boan-koan-pit,” kata pula orang she Yim itu, “tulisannya sebenarnya serupa cakar ayam, tapi dia justru sok bangga katanya dalam ilmu silatnya terkandung pula seni tulis segala. Padahal, hehe, sobat cilik, ketahuilah waktu bertempur menghadapi musuh, mati atau hidup hanya bergantung satu detik saja, mana sempat orang bisa iseng bicara tentang seni tulis segala. Kecuali pihak lawan memang jauh lebih lemah daripadamu barulah kau dapat mempermainkan dia. Kalau tidak, maka sama halnya kau bergurau dengan nyawamu sendiri.”

“Ucapan Cianpwe memang tepat, cara bertempur Samchengcu ini memang rada takabur,” ujar Lenghou Tiong.

Ketika mendengar ucapan orang she Yim itu, semula Tut-pit-ong merasa sangat gusar, tapi sesudah dipikir terasa uraian orang memang masuk akal juga. Ilmu silatnya yang diselingi dengan gaya menulis itu betapa pun memang menjadi kurang kuat daya serangnya. Kalau saja Lenghou Tiong tidak murah hati mungkin sepuluh Tut-pit-ong juga sudah dibinasakan olehnya.

Dalam pada itu orang she Yim itu berkata pula, “Untuk mengalahkan botak Losam adalah sangat gampang. Karena lagaknya yang sok takabur dengan seni tulis segala sehingga dia seolah bergurau dengan jiwa sendiri.
Kalau dia masih hidup sampai sekarang sesungguhnya suatu keanehan di dunia persilatan. Eh, Losam botak, selama 20-an tahun ini rupanya kau hanya mengkeret seperti kura-kura di dalam dan tidak pernah berkelana di Kangouw lagi bukan?”

Tut-pit-ong hanya mendengus saja tanpa menjawab. Tapi diam-diam ia terkesiap pula dan mengakui kebenaran ucapan orang. Kalau saja selama 20-an tahun ini dirinya masih berkecimpung di dunia Kangouw mana bisa hidup sampai hari ini?

Sementara itu orang she Yim lagi melanjutkan, “Bicara tentang kepandaian sejati, maka papan catur si Loji memang harus dipuji. Sekali dia sudah mulai menyerang, maka susul-menyusul bagai badai melanda, kalau cuma jago biasa saja pasti tidak mampu menangkisnya. Sobat cilik, cara bagaimana kau mematahkan serangannya, coba ceritakan.”

“Wanpwe tidak berani mengatakan telah mematahkan serangan Jichengcu,” sahut Lenghou Tiong. “Soalnya begitu saja aku lantas berebut menyerang dengan Jichengcu, jurus pertama aku lantas membikin dia berada di pihak bertahan.”

“Ehm, bagus,” ujar orang itu. “Dan bagaimana jurus kedua?”

“Jurus kedua Wanpwe tetap mendahului menyerang sehingga Jichengcu terpaksa bertahan pula,” sahut Lenghou Tiong.
“Bagus, dan jurus ketiga?” tanya pula orang itu.

“Jurus ketiga tetap aku menyerang dan dia bertahan.”

“Sungguh hebat,” kata orang itu. “Papan catur baja Hek-pek-cu dahulu menggetarkan dunia Kangouw, biasanya asalkan lawannya mampu menangkis tiga jurus serangannya yang lihai, maka Hek-pek-cu akan mengampuni lawannya, karena itulah namanya termasyhur di dunia persilatan. Tapi sobat cilik malahan sudah mampu memaksa dia bertahan tiga jurus, sungguh luar biasa hal ini. Dan pada jurus keempat cara bagaimana dia melakukan serangan balasan?”

“Jurus keempat masih tetap Wanpwe yang menyerang dan Jichengcu bertahan.”

“Hah, apa ilmu pedang Hong tua benar-benar begitu hebat,” orang itu menegas. “Menurut dugaanku, biarpun Hong tua sendiri yang bergebrak, sekalipun dapat mengalahkan Hek-pek-cu juga tidak dapat memaksa dia bertahan sampai empat jurus. Tapi jurus kelima tentu dia yang menyerang bukan?”

“Tidak, jurus kelima keadaan tetap tidak berubah,” jawab Lenghou Tiong.

“Oo!” orang itu sampai melongo untuk sekian lamanya. Kemudian baru berkata, “Seluruhnya kau menyerang berapa kali baru Hek-pek-cu mampu balas menyerang?”

“Jum ... jumlah jurusnya Wanpwe tidak ingat lagi,” sahut Lenghou Tiong.

Segera Hek-pek-cu menimbrung, “Ilmu pedang Hong-hengte teramat sakti, sejak mula sampai akhir satu jurus pun aku tidak mampu balas menyerang. Sesudah dia menyerang 40-an jurus, aku merasa bukan tandingannya, maka aku lantas menyerah dan mengaku kalah.”

“Hah, mana betul begitu?” teriak orang itu. “Meski Hong Jing-yang adalah tokoh Hoa-san-pay pilihan, tapi ilmu pedang dari sekte pedang Hoa-san-pay itu juga sangat terbatas. Aku tidak percaya bahwa ada seorang jago Hoa-san-pay mampu menyerang Hek-pek-cu sampai 40-an jurus dan sama sekali Hek-pek-cu tidak sanggup balas menyerang.”

“Yim-heng terlalu menghargai diriku, tapi kenyataan memang begitu,” ujar Hek-pek-cu. “Ilmu pedang Hong-hengte ini sudah jauh melampaui batas kemampuan jago Hoa-san-pay dari sekte pedang.”

“Bagus, aku menjadi kepingin belajar kenal juga dengan ilmu pedangmu, sobat cilik,” kata orang itu.

“Harap Cianpwe jangan mau masuk perangkap mereka,” kata Lenghou Tiong. “Kanglam-si-yu hanya ingin memancingmu bertanding pedang dengan aku, padahal mereka mempunyai tujuan tertentu.”

“Tujuan tertentu apa?” tanya orang itu.

“Mereka telah bertaruh dengan seorang temanku, jika dalam Bwe-cheng mereka ini ada seorang yang mampu mengalahkan ilmu pedangku, maka temanku akan memberikan beberapa barang kepada mereka.”

“Barang apa? Kukira tentu sebangsa not kecapi, tulisan orang kuno, dan sebagainya bukan?”

“Ya, taksiran Cianpwe memang selalu jitu,” sahut Lenghou Tiong.

“Tapi aku cuma ingin tahu ilmu pedangmu saja dan bukan sungguh-sungguh bertanding denganmu,” kata orang itu. “Lagi pula aku pun belum tentu mampu mengalahkanmu.”

“Untuk mengalahkan Wanpwe sudah tentu sangat mudah bagi Cianpwe,” sahut Lenghou Tiong. “Hanya saja sebelumnya kuminta keempat Chengcu harus berjanji sesuatu dulu.”

“Soal apa?” tanya orang itu.

“Jika Cianpwe dapat mengalahkan aku sehingga mereka akan berhasil memperoleh beberapa benda mestika dari temanku itu, sebaliknya keempat Chengcu harus berjanji akan membuka pintu penjara ini dan membebaskan Cianpwe.”

“Mana boleh jadi!” seru Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berbareng. Sedangkan Ui Ciong-kong hanya mendengus saja.

Orang she Yim itu bertanya, katanya, “Sobat cilik ternyata rada-rada lucu. Apakah Hong Jing-yang menyuruhmu berbuat demikian?”

“Hong-losiansing sama sekali tidak tahu Cianpwe terkurung di sini, Wanpwe sendiri lebih-lebih tidak tahu sebelumnya,” sahut Lenghou Tiong.

“Hong-hengte,” tiba-tiba Hek-pek-cu berkata, “siapakah nama Yim-heng ini? Apa julukannya menurut panggilan orang Bu-lim? Dia tadinya ketua aliran mana dan sebab apa sampai terkurung di sini? Apakah semua ini Hong-losiansing pernah ceritakan padamu?”

Begitulah secara mendadak Hek-pek-cu mengajukan empat pertanyaan, tapi satu pun Lenghou Tiong tidak mampu menjawab. Kalau dalam pertandingan Lenghou Tiong sekaligus menyerang 40 jurus lebih dan Hek-pek-cu masih sanggup bertahan, sebaliknya sekarang pihak lawan memberondong dengan empat pertanyaan seakan-akan menyerang empat jurus secara kilat, tapi Lenghou Tiong satu jurus pun tidak sanggup menangkis, setengah melongo sejenak barulah ia dapat bicara dengan gelagapan, “Tentang ini belum pernah terdengar dari ... dari Hong-losiansing.”

“Memangnya, masakah kau tahu, sebab kalau tahu tentu kau takkan minta kami membebaskan dia,” ujar Hek-pek-cu. “Bila orang ini sampai lolos dari sini, maka dunia persilatan pasti akan kacau-balau dan entah betapa banyak jiwa kaum kesatria Bu-lim akan tewas di tangannya dan selanjutnya dunia Kangouw takkan aman lagi.”

“Hahahaha, memang benar adanya!” seru orang itu dengan terbahak. “Biarpun punya nyali setinggi langit juga Kanglam-si-yu tidak berani membiarkan aku lolos dari kurungan ini. Pula memangnya mereka juga cuma atas perintah saja berjaga di sini, mereka hanya empat penjaga bui, mana mereka ada hak buat membebaskan aku? Sobat cilik, permintaanmu kepada mereka tadi sudah terlalu mengangkat tinggi derajat mereka.”

Diam-diam Lenghou Tiong merasa serbarunyam, pada hakikatnya dirinya tidak tahu seluk-beluk mereka sehingga bicara sedikit saja lantas terlihat kesalahannya.

“Hong-hengte,” Ui Ciong-kong berkata, “rupanya kau lihat penjara ini sangat gelap dan lembap sehingga timbul rasa simpatimu terhadap Yim-heng ini, sebaliknya merasa marah kepada kami bersaudara, hal ini adalah jiwamu yang luhur, kami pun tidak menyalahkanmu. Tapi apa kau tahu bilamana Yim-heng ini sampai masuk Kangouw lagi, melulu Hoa-san-pay kalian saja sedikitnya akan jatuh korban separuh lebih. Coba jawab, Yim-heng, kata-kataku ini betul atau tidak?”

“Betul, betul,” sahut orang itu dengan tertawa. “Ketua Hoa-san-pay apakah masih dijabat oleh Gak Put-kun? Orang ini pura-pura suci, sayang ketika dia baru menjabat ketua aku sudah lantas terjebak, kalau tidak sudah lama kubuka kedok kepalsuannya.”

Hati Lenghou Tiong tergetar. Meski Gak Put-kun telah mengusir dia dari perguruan serta menyebarkan berita kepada kawan Bu-lim dan menganggapnya sebagai musuh bersama, tapi sejak kecil ia dibesarkan oleh guru dan ibu-guru yang dipandangnya seperti orang tua kandung sendiri, betapa pun budi ini tidak pernah dilupakan olehnya. Maka sekarang demi mendengar cerita orang she Yim atas gurunya itu seketika ia menjadi gusar dan membentak, “Tutup mulut, aku punya ....”
Tapi mendadak ia telan kembali kata-kata “suhu” yang hampir diucapkan itu. Teringat olehnya kedatangannya ini mengaku sebagai paman suhunya, sedangkan pihak lawan belum jelas kawan atau lawan sehingga tidak boleh bicara terus terang duduknya perkara terhadap mereka.

Sudah tentu orang she Yim itu tidak tahu apa maksud bentakan Lenghou Tiong itu, dengan tertawa ia melanjutkan lagi, “Di antara orang-orang Hoa-san-pay sudah tentu masih ada yang dapat kuhargai, satu di antaranya adalah kakek Hong, kau pun satu di antaranya, sobat cilik. Selain itu masih ada seorang angkatan muda yang dipanggil ‘Hoa-san-giok-li’ segala dengan nama Ling apa ... ah, ya, Ling Tiong-cik. Nona cilik ini boleh dikata seorang gadis baik hati dan luhur budi, cuma sayang dia kawin dengan Gak Put-kun, mirip setangkai bunga yang tertancap di atas gundukan tahi kerbau.”

Mendengar ibu gurunya yang sudah tua itu dianggap sebagai “nona cilik”, Lenghou Tiong merasa dongkol-dongkol geli.
Tapi paling tidak ibu-gurunya telah dinilai baik, maka ia pun tidak memberi bantahan.

“Kau sendiri bernama siapa, sobat cilik?” tanya orang itu.

“Wanpwe she Hong bernama Ji-tiong,” sahut Lenghou Tiong.

“Orang Hoa-san-pay yang she Hong tentunya tidak busuk, bolehlah kau masuk kemari, aku akan coba-coba ilmu pedang ajaran kakek Hong itu,” kata pula orang itu.

Tadinya ia menyebut Hong Jing-yang sebagai si Hong tua, lalu ganti dengan sebutan kakek Hong, mungkin karena ucapan Lenghou Tiong rada-rada menyenangkan dia sehingga terhadap Hong Jing-yang juga diindahkannya.

Lenghou Tiong sendiri sudah sejak tadi sangat tertarik dan ingin tahu bagaimana wujud orang she Yim ini dan betapa tinggi pula ilmu silatnya, maka ia lantas menjawab, “Sedikit ilmu pedangku yang cetek ini masih boleh dipakai menggertak orang di luar sini, tapi di hadapan Cianpwe tentunya seperti permainan anak kecil saja. Namun Wanpwe sudah telanjur berada di sini, mau tak mau ingin belajar kenal juga dan mohon petunjuk Yim-losiansing.”

Tiba-tiba Tan-jing-sing mendekati Lenghou Tiong dan membisikinya, “Hong-hengte, ilmu silat orang ini sangat aneh, caranya sangat keji pula, kau boleh bertanding pedang dengan dia tapi jangan sekali-kali mengadu tenaga dalam.”

Sampai di sini mendadak ia seperti ingat sesuatu dan berkata pula dengan menyesal, “Ah, hal ini sih tidak perlu khawatir. Memangnya kau tidak punya tenaga dalam. Rupanya lantaran inilah Toako mau meluluskanmu untuk bertanding dengan dia.”

Meski dia bicara dengan bisik-bisik, tapi nyata sekali timbul dari hati yang tulus. Perasaan Lenghou Tiong tergerak, pikirnya, “Sichengcu ini ternyata sangat baik padaku. Tadi aku telah mengolok-olok dia, tapi dia tidak dendam, sebaliknya dengan tulus hati memerhatikan kelemahanku.”

Dalam pada itu orang she Yim telah berkata pula, “Marilah masuk ke sini. Apa yang mereka katakan dengan kasak-kusuk di luar? Sobat cilik, Kanglam-si-kui (Empat Setan dari Kanglam) bukan manusia baik-baik, jangan tertipu oleh mereka.”

Dia sengaja mengganti julukan “Kanglam-si-yu” dengan “Kanglam-si-kui” sehingga membikin Lenghou Tiong merasa serbasalah dan tidak tahu sesungguhnya pihak manakah yang benar-benar orang baik.

Ui Ciong-kong lantas mengeluarkan sebuah kunci lain yang memutar beberapa pada lubang kunci pintu besi.

Lenghou Tiong mengira setelah membuka kunci itu tentu pintu akan terbuka, siapa tahu Ui Ciong-kong hanya lantas menyingkir ke samping, lalu ganti Hek-pek-cu yang maju, ia pun mengeluarkan sebuah kunci dan memutar lubang kecil yang lain, habis itu Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing masing-masing juga mengeluarkan anak kunci dan berbuat cara sama.

Baru sekarang Lenghou Tiong sadar bahwa kedudukan locianpwe she Yim itu ternyata sedemikian penting sehingga keempat chengcu itu masing-masing mempunyai anak kunci tersendiri, untuk membuka pintu penjara itu diharuskan memakai empat buah anak kunci dari empat orang itu. Padahal Kanglam-si-yu adalah seperti saudara sekandung, masakah mereka pun tidak memercayai satu sama lain?

Tapi lantas teringat olehnya ucapan orang she Yim tadi bahwa Kanglam-si-yu hanya melakukan tugas atas perintah saja untuk menjaganya dan tiada hak buat membebaskan dia. Bisa jadi mereka masing-masing memegang sebuah kunci itu juga atas peraturan yang ditetapkan oleh orang yang memberi perintah kepada mereka itu.

Dari satu putaran anak kunci itu dapat diketahui bahwa lubang kunci itu sudah penuh berkarat, terang pintu besi itu entah sudah berada lama tidak pernah dibuka.

Sesudah memutar kuncinya tadi Tan-jing-sing lantas pegang pintu besi dan digoyang-goyangkan beberapa kali, lalu ditolak sekuatnya, maka terdengarlah suara keriang-keriut yang seret, pintu itu terpentang sedikit ke dalam.

Begitu pintu bergeser, segera Tan-jing-sing melompat mundur. Berbareng Ui Ciong-kong bertiga juga ikut melompat mundur agak jauh. Terpengaruh oleh perbuatan mereka tanpa terasa Lenghou Tiong juga ikut menyurut mundur beberapa tindak.

Orang she Yim itu bergelak tertawa katanya, “Sobat cilik, mereka takut padaku kenapa kau pun ikut-ikut takut?”

Bab 71. Ingin Menolong Malah Terkurung

Lenghou Tiong mengiakan dan segera melangkah maju lagi sambil mendorong pintu besi itu. Terasa engsel pintu sudah penuh berkarat sehingga dengan susah payah barulah pintu itu dapat dipentang setengahan meter lebarnya. Serentak bau apak menusuk hidung.

Tan-jing-sing lantas melangkah maju dan menyodorkan kedua batang pedang kayu. Tanpa bicara Lenghou Tiong menerimanya.

“Hong-hengte, bawalah pelita minyak ini ke dalam,” kata Tut-pit-ong sambil mengambilkan sebuah pelita minyak dari dinding.

Setelah terima pula pelita minyak itu Lenghou Tiong masuk ke dalam ruangan itu. Dilihatnya kamar penjara itu cuma dua-tiga meter persegi saja. Ada sebuah dipan terletak di pojok sana, seorang duduk di atas dipan, rambutnya kusut masai, janggutnya panjang sebatas dada dan berewoknya memenuhi mukanya sehingga wajah tidak jelas lagi. Cuma rambut jenggotnya itu kelihatan masih hitam legam tiada beruban sedikit pun.

Dengan membungkuk tubuh Lenghou Tiong berkata, “Hari ini Wanpwe beruntung dapat berjumpa dengan Yim-locianpwe, diharap sudi memberi petunjuk.”

“Tidak perlu sungkan,” kata orang itu. “Aku harus berterima kasih padamu karena kau datang kemari menghilangkan kesepianku.”

“Apakah boleh kutaruh pelita ini di atas dipan?” tanya Lenghou Tiong.

“Baiklah,” kata orang itu.

Diam-diam Lenghou Tiong merasa sangsi, kamar tahanan ini sedemikian sempit, cara bagaimana nanti bisa digunakan buat bertanding pedang? Segera ia mendekati dipan dan menaruh pelita minyak, berbareng itu ia pun jejalkan pada tangan orang itu benda kecil di dalam pulungan kertas titipan Hiang Bun-thian itu.

Agaknya orang itu rada melengak ketika menerima pulungan kertas itu, tapi ia lantas berkata dengan lantang, “He, kalian berempat setan itu mau ikut menonton pertandingan atau tidak?”

“Tempatnya terlalu sempit, tentunya tidak muat,” sahut Ui Ciong-kong.

“Baiklah,” kata orang itu. “Nah, sobat cilik, tutup pintunya.”

Lenghou Tiong mengiakan dan segera merapatkan pintu besi.

Ketika orang itu berbangkit dari tempat duduknya, mendadak terdengar suara gemerencing beradunya seutas rantai besi yang kecil. Dengan tangan kanan orang itu mengambil sebatang pedang kayu dari tangan Lenghou Tiong, katanya dengan menghela napas, “Sudah 20 tahun aku tidak menggunakan senjata, entah ilmu pedang yang pernah kuyakinkan dahulu itu masih ingat atau tidak.”

Kini Lenghou Tiong dapat melihat jelas pergelangan tangan orang itu memang betul terkait sebuah gelang besi yang digandeng dengan seutas rantai menjulur ke dinding di belakangnya. Ketika tangan yang lain dan kedua kakinya diamat-amati nyata semuanya juga terantai dan terikat di dinding, dinding di situ hitam mengilat rupanya dinding-dinding itu terbuat dari baja. Diam-diam Lenghou Tiong membatin bahwa rantai dan borgol di tangan orang itu tentu juga terbuat dari baja murni, kalau tidak rantai yang tidak terlalu besar itu sukar mengikat tokoh yang memiliki ilmu silat tinggi seperti orang she Yim ini.

Orang itu menebas-nebaskan pedang kayu itu di udara, tampaknya cuma gerakan perlahan saja, tapi ruangan itu lantas penuh suara mendengung yang memekak telinga.

“Hebat benar tenaga Locianpwe,” puji Lenghou Tiong.

Tiba-tiba orang itu putar tubuh ke sebelah sana seperti hendak membuka rantai, tapi sekilas Lenghou Tiong dapat melihat orang itu telah membuka gulungan kertas dan mengetahui benda keras di dalam gulungan kertas lalu membaca tulisan pada kertas itu.

Lenghou Tiong sengaja melangkah mundur setindak sehingga kepalanya menutup lubang persegi tadi agar orang di luar tidak tahu apa yang sedang dilakukan orang yang berada dalam kamar.

Sejenak tubuh orang she Yim itu tampak gemetar sehingga rantai besi ikut gemerencing nyaring, agaknya dia telah membaca apa yang tertulis pada kertas, ketika berpaling kembali sinar matanya mendadak memancar tajam, katanya, “Sobat cilik, meski kedua tanganku tidak bebas, tapi belum tentu kau dapat mengalahkan aku.”

“Wanpwe adalah angkatan muda yang masih hijau sudah tentu bukan tandingan Locianpwe,” sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati.

“Sekaligus kau telah menyerang Hek-pek-cu sampai lebih 40 jurus sehingga dia terdesak hingga tidak mampu membalas maka sekarang boleh juga coba-coba padaku dengan cara yang sama,” kata orang itu.

“Maaf,” ucap Lenghou Tiong berbareng pedangnya terus menusuk ke depan, yang digunakan adalah jurus pertama yang pernah dipakai menyerang Hek-pek-cu.

“Bagus!” puji orang itu. Pedangnya juga lantas menusuk miring ke dada kiri Lenghou Tiong, ternyata gerakan ini di samping menangkis juga sekaligus menyerang. Sungguh suatu jurus serbaguna yang amat lihai.

Menyaksikan itu dari balik lubang persegi, tanpa tertahan Hek-pek-cu berteriak memuji, “Kiam-hoat bagus!”

“Ya, hari ini anggaplah kalian empat setan sedang beruntung, maka dapat menyaksikan ilmu pedang bagus!” seru orang she Yim dengan tertawa. Pada saat itulah serangan kedua Lenghou Tiong telah tiba pula.

Cepat orang itu putar pedang kayu terus menusuk ke bahu kanan Lenghou Tiong, dia tetap menggunakan jurus menangkis sambil menyerang, suatu jurus serangan dan bertahan yang serbaguna.

Lenghou Tiong terkesiap, ia merasa gerak pedang orang itu sedikit pun tiada lubang kelemahan sehingga tidak dapat mengincar titik lemahnya. Terpaksa ia pun melintangkan pedang untuk menangkis sambil ujung pedang mengacung miring ke depan tetap mengandung daya serang yang menuju perut lawan.

“Hah, bagus juga ini!” seru orang itu dengan tertawa sembari tarik pedang untuk mematahkan serangan Lenghou Tiong.

Begitulah serang-menyerang terus berlangsung, hanya sekejap saja sudah lebih dari 20 jurus, tapi kedua pedang kayu selama itu belum pernah saling bentur. Lenghou Tiong merasa ilmu pedang lawan tiada habis-habisnya dengan macam-macam perubahan, sejak dirinya berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam belum pernah menemukan lawan sedemikian tangguh.

Karena di antara jurus-jurus serangan musuh sejak mula tiada setitik pun lubang kelemahannya terpaksa Lenghou Tiong melayani dengan perubahan yang sama ruwetnya menurut dasar ajaran Hong Jing-yang, yaitu “dengan tiada jurus serangan mengalahkan serangan musuh”.

Meski “Boh-kiam-sik” (Jurus Mematahkan Ilmu Pedang) dari Tokko-kiu-kiam itu cuma satu gerakan saja tapi meliputi intisari dari segala macam ilmu pedang yang paling lihai di seluruh dunia, walaupun “tanpa jurus” tapi memakai semua jurus serangan paling lihai dari segala ilmu pedang di dunia ini sebagai dasar.

Melihat ilmu pedang Lenghou Tiong itu berubah-ubah tiada habis-habisnya, setiap perubahannya selalu serbabaru, namun berkat pengalamannya yang luas, ditambah kecerdasannya yang luar biasa maka dapatlah orang itu mematahkan setiap serangan Lenghou Tiong.

Tapi sesudah lebih 40 jurus lambat laun orang itu sudah mulai merasa seret gerak pedangnya. Perlahan ia kerahkan tenaga dalam batang pedangnya sehingga setiap kali pedangnya bergerak lantas membawa suara gemuruh yang keras.

Namun letak keajaiban Tokko-kiu-kiam itu justru tidak sampai mengadu tenaga dalam dengan pihak lawan. Tak peduli betapa kuat tenaga lawan selalu tersapu lenyap. Hanya saja Lenghou Tiong baru pertama kali ini menghadapi lawan mahatangguh sejak berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, mau tak mau timbul juga rasa jerinya, beberapa kali ia menghadapi serangan bahaya walaupun berhasil dipatahkan olehnya, tapi mengucur juga keringat dinginnya.

Padahal rasa kejut orang itu jauh melebihi Lenghou Tiong. Beberapa kali serangan tampaknya dia pasti akan menang dan Lenghou Tiong akan terpaksa membuang pedang dan menyerah, jalan lain tidak ada. Tapi justru pada detik yang terakhir itulah mendadak mengeluarkan jurus yang aneh, bahkan sempat balas menyerang pula dengan tidak kurang lihainya.

Ui Ciong-kong berempat berjubel di luar pintu besi dan mengintip ke dalam melalui lubang persegi yang kecil itu, paling-paling hanya cukup untuk mengintip sekaligus oleh dua orang saja, bahkan masing-masing hanya bisa mengintip dengan sebelah mata. Maka mereka harus bergilir, habis dua orang mengintip sebentar, lalu ganti dua orang yang lain.

Semula mereka terheran-heran dan kagum luar biasa ketika melihat kebagusan ilmu pedang yang dimainkan Lenghou Tiong, sampai akhirnya di mana letak kehebatan ilmu pedang kedua orang yang bertanding itu sudah tak bisa lagi dipahami oleh mereka berempat.

Terkadang Ui Ciong-kong melihat sejurus yang hebat, ia lantas memeras otak menyelami di mana letak kebagusan jurus itu, sampai lama sekali barulah dia paham, tapi sementara itu kedua orang yang bertanding itu sudah bergebrak belasan jurus lagi dan bagaimana belasan jurus yang lalu itu menjadi tidak diketahuinya sama sekali.

Sungguh kejut Ui Ciong-kong tak terkatakan, pikirnya, “Kiranya sedemikian rupa kehebatan ilmu pedang Saudara Hong ini. Tadi waktu dia bertanding dengan aku sebenarnya dia hanya menggunakan satu bagian ilmu pedangnya saja. Jangankan dia tidak punya tenaga dalam dan aku punya pedang tak berwujud, tidak mampu mengapa-apakan dia, seumpama dia mempunyai tenaga penuh juga aku tidak sanggup melawannya. Bila mau asal sekaligus dia menyerang tiga kali sudah pasti aku lempar kecapi dan menyerah kalah. Bahkan kalau bertempur sungguh-sungguh, satu jurus saja dia sudah mampu membutakan kedua mataku.”
Letak keistimewaan Tokko-kiu-kiam itu adalah musuh semakin hebat ia pun semakin kuat. Jika musuh hanya jago rendahan, maka intisari Tokko-kiu-kiam itu malah sukar dipancarkan seluruhnya. Dan sekarang yang dihadapi Lenghou Tiong justru adalah seorang tokoh Bu-lim yang pernah mengguncangkan dunia persilatan, betapa tinggi ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang sukar dibayangkan. Maka demi mendapat serangannya seketika segala macam kebagusan yang terkandung dalam Tokko-kiu-kiam pun lantas terpancar seluruhnya. Coba kalau Tokko Kiu-pay hidup kembali tentu dia pun akan kegirangan bila menemukan lawan sekuat ini.

Sesudah berlangsung 40 jurus lebih, serangan Lenghou Tiong semakin gencar dan bertambah lancar, banyak gerakan bagus bahkan belum pernah diajarkan Hong Jing-yang sendiri.
Karena rasa takutnya lenyap maka segenap pikirannya tercurah ke dalam ilmu pedangnya itu.

Berturut-turut orang itu berganti delapan macam ilmu pedang yang paling lihai, tapi bagaimanapun juga Lenghou Tiong tetap dapat melayani dengan lancar seakan-akan semua jenis ilmu pedang itu sudah sangat hafal baginya.

Mendadak orang itu melintangkan pedangnya sambil membentak, “Sobat cilik, sesungguhnya ilmu pedangmu ini ajaran siapa? Rasanya kakek Hong tidak memiliki kepandaian demikian.”

Lenghou Tiong rada terkesiap, jawabnya, “Jika ilmu pedang ini bukan ajaran Hong-losiansing, siapa lagi orang kosen di dunia ini yang mampu mengajar padaku?”

“Benar juga,” seru orang itu. “Ini, sambut lagi ilmu pedangku ini!”

Mendadak ia bersuit panjang nyaring, pedang terus menebas.

Cepat Lenghou Tiong miringkan pedang dan menusuk ke depan, terpaksa orang itu menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Berulang-ulang orang itu membentak-bentak seperti orang gila. Semakin ribut mulutnya, semakin cepat pula serangannya.

Dari ilmu pedang lawan itu Lenghou Tiong merasa tiada sesuatu yang luar biasa, hanya suara teriakan dan bentakannya itulah yang membikin pikirannya kacau. Sekonyong-konyong orang itu bersuit keras sekali, anak telinga Lenghou Tiong serasa mendengung pecah tergetar, pikirannya menjadi gelap, seketika tak sadarkan diri dan roboh terkapar ....

Begitulah dalam keadaan tak sadarkan diri entah berlangsung sampai berapa lama ketika terasa kepalanya sakit seakan-akan pecah dan telinga masih mendengung-dengung, mendadak ia membuka mata, tapi keadaan gelap gulita entah dirinya berada di mana saat itu. Ia coba menahan dengan tangannya untuk berbangkit, tapi sekujur badan terasa lemas lunglai tiada tenaga sedikit pun.

Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, “Aku tentunya sudah mati dan terkubur di bawah tanah.”

Karena rasa duka dan cemas, kembali ia jatuh pingsan lagi.

Waktu siuman untuk kedua kalinya terasa kepala masih sangat sakit, cuma suara mendengung di telinga sudah jauh lebih enteng, di bawah badan terasa dingin dan keras rasanya seperti berbaring di sebuah papan baja. Ia coba meraba-raba dengan tangan, benar juga terasa dugaannya memang tepat. Tapi sedikit tangannya bergerak tiba-tiba mengeluarkan suara gemerencing yang nyaring berbareng tangannya terasa terikat oleh sesuatu benda keras.

Ketika tangan lain hendak meraba, mendadak tangan sebelah juga mengeluarkan suara nyaring dan terikat.

Kejut dan girang hati Lenghou Tiong. Girang karena dirinya ternyata belum mati. Terkejut lantaran badannya sekarang terantai, jelas keadaannya telah mengalami nasib yang sama dengan orang tua Yim itu.
Ketika tangan kiri diraba, terasa rantai itu pun kecil seperti rantai di kaki tangan orang she Yim. Malahan segera kedua kakinya juga terasa dirantai dengan cara serupa.

Dalam keadaan gelap gulita tiada sesuatu yang dapat dilihat olehnya. Pikirnya, “Waktu pingsan aku sedang bertanding dengan pedang Yim-losiansing, entah cara bagaimana aku masuk perangkap Kanglam-si-yu. Entah aku dikurung di suatu tempat dengan Yim-locianpwe atau tidak?”

Segera ia berteriak-teriak memanggil, akan tetapi tiada terdengar suara jawaban sedikit pun. Ia tambah takut dan berteriak-teriak pula, “Yim-locianpwe!”

Tapi dalam kegelapan hanya kumandang suara sendiri yang serak-serak cemas itu saja yang terdengar.

Setelah tertegun sejenak, kembali ia berteriak-teriak, “Toachengcu, Sichengcu! Mengapa kalian mengurung aku di sini? Lekas lepaskan aku! Lekas bebaskan aku!”

Akan tetapi biarpun kerongkongannya sampai kering, suaranya sampai habis, tetap tidak memperoleh jawaban apa pun.

Akhirnya Lenghou Tiong mencaci maki habis-habisan, “Bangsat, kalian manusia rendah yang tidak tahu malu, apakah kalian bermaksud mengurung aku di sini selama hidup?”

Teringat akan dikurung selama hidup seperti orang tua she Yim itu, seketika Lenghou Tiong merasa putus asa. Mestinya ia adalah pemuda yang tidak takut kepada langit dan tidak gentar pada bumi, pada saat menghadapi bahaya tak pernah memikirkan mati-hidup sendiri. Tapi sekarang demi teringat dirinya akan dikurung hidup-hidup selamanya di penjara yang gelap di dasar danau ini, mau tak mau ia jadi mengirik.

Semakin dipikir semakin takut dan tambah berduka, kembali ia berteriak-teriak lagi, tapi terdengar suaranya berubah menjadi ratap tangis, entah sejak kapan air mata telah membasahi mukanya, dengan ia berteriak, “Kalian empat ... empat anjing kotor dari Bwe-cheng ini, bila kelak aku Lenghou Tiong dapat lolos dari sini, aku akan ... mencungkil biji mata kalian, akan kupotong kaki tangan kalian ....”

Mendadak ia diam kembali, sesuatu suara menjerit dalam hatinya, “Apakah aku mampu keluar dari penjara ini? Sedangkan tokoh sakti sebagai Yim-locianpwe juga tidak mampu lolos dari sini, apakah ... apakah aku mampu?”

Saking cemasnya, tahu-tahu darah segar tersembur keluar dari mulutnya, kembali ia jatuh pingsan lagi.

Setiap kali ia jatuh pingsan setiap kali pula badannya bertambah lemah. Di tengah sadar tak sadar itu tiba-tiba terdengar suara “kletak” satu kali menyusul cahaya terang menyilaukan mata. Lenghou Tiong terjaga bangun terus hendak melompat berdiri. Ia lupa bahwa kaki tangannya sudah terantai semua ditambah lagi badannya sangat lemas, maka baru sedikit ia melompat, “bluk”, kembali ia terbanting ke bawah, seluruh ruas tulang badannya seakan-akan rontok semua.

Sudah lama ia berada di tempat gelap, mestinya cahaya itu sangat menusuk matanya, tapi ia khawatir kalau-kalau sinar terang itu dalam sekejap akan lenyap lagi dan sejak itu akan hilang kesempatan meloloskan diri, maka walaupun matanya terasa pedas oleh cahaya terang itu masih juga dipentang selebar-lebarnya menatap arah datangnya sinar itu.

Ternyata sinar itu menembus masuk melalui sebuah lubang persegi. Segera Lenghou Tiong ingat bahwa penjara tempat terkurung Yim-locianpwe itu pada pintu besi penjara itu juga terdapat sebuah lubang persegi yang serupa. Ia coba melirik sekitarnya, ternyata dirinya memang berada di dalam sebuah kamar penjara begitu.

Kembali ia berteriak-teriak pula, “Lekas lepaskan aku! Ui Ciong-kong, Hek-pek-cu, kalian bangsat anjing kotor, kalau berani lepaskan aku dari sini!”

Dalam keadaan sendirian di tempat gelap ia menangis sedih, tapi begitu melihat datangnya musuh, seketika timbul semangat jantannya, tak peduli bagaimana musuh akan menyiksanya dia takkan menyerah.

Tiba-tiba terlihat sebuah nampan kayu perlahan disodorkan ke dalam melalui lubang persegi itu. Di atas nampan tertaruh sebuah mangkuk nasi dan di atas nasi banyak terdapat sayur-mayur. Selain itu ada lagi sebuah kendi, agaknya berisi air minum.

Melihat itu Lenghou Tiong tambah gusar, pikirnya, “Kalian mengirim makanan padaku, jadi kalian bermaksud mengurung aku di sini dalam jangka panjang?”

Tanpa pikir lagi ia terus mencaci maki, “Anjing-anjing kotor, jika mau bunuh boleh bunuh saja kenapa mesti mempermainkan tuanmu!”

Dilihatnya nampan itu tinggal di depan lubang persegi itu tanpa bergerak, agaknya dimaksudkan Lenghou Tiong menerimanya. Karena ruangan kamar penjara rada sempit, asalkan Lenghou Tiong berbangkit dan sedikit miringkan tubuh tentu tangannya dapat mencapai nampan itu. Mendadak ia sampuk sekerasnya. Maka terdengarlah suara ramai jatuhnya mangkuk dan kendi sehingga hancur semua.

Saking gusarnya Lenghou Tiong menubruk ke depan lubang itu, dilihatnya seorang tua dengan tangan kiri membawa lampu dan tangan lain memegang nampan tadi sedang melangkah pergi dengan perlahan. Orang tua itu sudah beruban semua, mukanya kisut, jelas sudah sangat tua renta, tapi selama ini belum pernah dikenalnya.

“He, lekas kau panggil Ui Ciong-kong, Hek-pek-cu, dan lain-lain ke sini, kalau berani, suruh keempat ... keempat anjing itu bertanding mati-matian dengan aku,” teriak Lenghou Tiong.

Namun sama sekali orang tua itu tidak menggubrisnya, dengan terbungkuk-bungkuk setindak demi setindak dia menjauh.

“He, hei! Kau dengar tidak?” teriak Lenghou Tiong pula. Tapi biarpun ia menggembor sekeras-kerasnya, tetap orang tua itu tidak menoleh.

Ketika bayangan orang tua itu menghilang di pojok lorong sana, cahaya lampu juga mulai guram, akhirnya keadaan berubah gelap gulita pula. Selang sejenak, terdengarlah suara tertutupnya pintu kayu dan pintu besi, lalu suasana sunyi senyap lagi.

Kembali Lenghou Tiong merasa kepalanya puyeng, setelah termangu-mangu sejenak, perlahan ia berbaring. Pikirnya, “Orang tua mengantar makanan ini tentu mendapat larangan keras untuk bicara dengan aku, maka percuma biarpun aku berteriak-teriak padanya.”

Lalu terpikir pula, “Tampaknya di bawah perkampungan Bwe-cheng dibangun penjara gelap yang tidak sedikit, entah berapa banyak kaum kesatria dan orang gagah yang ditahan di sini. Jika aku dapat saling berhubungan dengan Yim-locianpwe atau dengan salah seorang kawan senasib yang juga ditahan di sini, dengan gotong royong mungkin akan ada kesempatan lolos dari sini?”

Berpikir demikian, segera ia menggunakan tangan untuk mengetuk dinding. Terdengar dinding itu berbunyi nyaring logam, terang berbuat dari baja. Pula suaranya rada berat, agaknya di sebelah bukan lagi kamar kosong, tapi adalah tanah yang amat keras. Ia coba mengetuk dinding bagian lain, suara yang timbul sama saja. Ia masih belum rela, sesudah duduk kembali di dipannya, ia coba mengetuk lagi dinding sebelah belakang, tapi suaranya ternyata serupa.

Dari apa yang dilakukannya itu ia menarik kesimpulan bahwa selain dinding di sebelah pintu itu, tiga belah dinding yang lain agaknya dibangun dan terpendam di bawah tanah yang amat dalam. Sudah tentu di bawah tanah itu masih ada kamar tahanan yang lain, paling sedikit masih ada sebuah, yaitu tempat tahanan orang tua she Yim itu. Cuma tidak tahu di mana letak arah kamar tahanan dirinya berada sekarang ini.

Ia bersandar di dinding dan coba mengingat-ingat kembali apa yang dialaminya sebelum jatuh pingsan. Yang teringat cuma serangan pedang orang she Yim itu semakin cepat disertai bentakan-bentakan, ketika suara bentakan dan teriakan itu sedemikian kerasnya dirinya lantas tidak tahan dan jatuh pingsan. Mengenai bagaimana dirinya ditawan Kanglam-si-yu dan cara bagaimana digusur ke dalam kamar penjara ini sama sekali tak diketahuinya.

Diam-diam ia membatin, “Keempat chengcu itu lahirnya saja seperti orang yang berbudi luhur, tapi perbuatan mereka yang sesungguhnya ternyata begini jahat. Suhu pernah berkata bahwa orang yang paling licik dan paling jahat di dunia ini justru adalah orang-orang yang paling pintar dan paling cerdik pula. Ungkapan suhu itu ternyata memang benar.

Seperti tipu muslihat yang diatur Kanglam-si-yu ini memang juga sukar untuk dipecahkan orang. Padahal begitu melompat masuk lubang yang berada di bawah tempat tidur Ui Ciong-kong itu, saat itu juga aku sudah terjebak ke dalam jaring mereka biarpun waktu itu aku tersadar juga tidak keburu lagi menarik diri.”

Tiba-tiba ia menjerit, “Ai!”

Tanpa terasa ia pun melonjak bangun dengan jantung berdebar-debar pikirnya, “Hei, kan masih ada Hiang-toako? Entah apakah dia juga mengalami nasib jelek seperti aku? Tapi biasanya Hiang-toako sangat pintar dan cerdik, tampaknya Hiang-toako sebelumnya sudah cukup kenal tingkah laku Kanglam-si-yu ini, dia sudah malang melintang di Kangouw sebagai Kong-beng-yusu pula dari Mo-kau, tentu dia takkan begitu mudah terjebak. Dan asalkan dia tidak terkurung oleh Kanglam-si-yu, tentu dia akan berdaya untuk menolong aku.”

Terpikir demikian hatinya menjadi lega dan tersenyum simpul. Ia bergumam sendiri, “Wahai Lenghou Tiong, sesungguhnya kau pun terlalu pengecut, masakah ketakutan sampai menangis, kalau diketahui orang lalu ke mana lagi mukamu akan ditaruh?”

Karena hatinya terasa lega, perlahan ia berbangkit, maka terasalah sekarang perutnya sangat lapar dan dahaga. Pikirnya, “Sayang tadi aku mengamuk dan menyampuk jatuh makanan dan air minum itu. Jika aku tidak makan sekenyangnya, nanti kalau Hiang-toako datang menolong aku keluar, dari mana aku ada tenaga buat melabrak Kanglam-si-kau? Haha, memang benar harus kusebut mereka Kanglam-si-kau (Empat Anjing Kanglam). Di antara empat anjing itu Hek-pek-cu paling pendiam, tapi paling licin segala tipu muslihatnya ini tentu dia yang mengatur. Bila aku lolos dari sini orang pertama yang akan kubunuh adalah dia. Di antara empat anjing itu Tan-jing-sing agak jujur, biarlah aku mengampuni jiwanya saja. Cuma dia punya arak simpanan harus kuminum habis seluruhnya.”

Teringat kepada arak simpanan Tan-jing-sing yang enak itu rasa dahaga Lenghou Tiong bertambah hebat. Pikirnya pula, “Wah, entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri tadi, mengapa Hiang-toako masih belum tampak datang? Tapi, wah celaka! Jika satu lawan satu memang Hiang-toako sanggup mengalahkan keempat anjing Kanglam itu, tapi kalau mereka berempat maju sekaligus tentu sukar menang bagi Hiang-toako, sekalipun dengan kesaktian Hiang-toako dapat membinasakan keempat anjing itu untuk mencari penjara di bawah tanah ini juga mahasukar. Siapakah yang dapat menduga bahwa lubang masuk penjara ini justru terletak di bawah tempat tidur Ui Ciong-kong?”

Begitulah ia menjadi cemas-cemas khawatir lagi. Tapi kemudian ia berpikir lain pula, “Ah, betapa hebat Hiang-toako itu? Dia adalah tokoh mahasakti. Tempo hari seorang diri ia pernah menghadapi beberapa ratus jago dari macam-macam golongan dan aliran bahkan waktu itu kedua tangannya terborgol, apalagi sekarang cuma menghadapi empat ekor anjing begitu, tentu dia akan menang dan dapat menemukan aku di sini.”

Akhirnya ia terasa lelah, maka ia berbaring lagi. Tiba-tiba timbul pikirannya, “Tinggi ilmu silat Yim-locianpwe ini jelas di atas Hiang-toako dan tidak mungkin di bawahnya, bahkan pengetahuannya yang luas serta kecerdasannya tampaknya juga tidak di bawah Hiang-toako, tokoh sehebat ini saja terkurung di sini, dari mana dapat dipastikan Hiang-toako bisa mengalahkan anjing-anjing itu? Sesudah sekian lama Hiang-toako tidak datang, bukan tak mungkin dia juga mengalami nasib sial.”
Macam-macam pikiran yang simpang-siur itu akhirnya membuat dia terpulas. Ketika terjaga bangun dan membuka mata, keadaan gelap gulita belaka, apakah sudah malam atau masih siang sama sekali tak diketahuinya. Ia termenung lagi, “Dengan kemampuanku terang aku tidak mampu keluar dari sini. Jika Hiang-toako juga mengalami bencana, lalu siapa lagi yang bisa datang menolong aku? Suhu telah menyebar surat edaran tentang pemecatanku dari Hoa-san-pay, orang-orang cing-pay terang tidak sudi datang menolong aku. Tinggal Ing-ing saja, ya, Ing-ing ....”

Teringat kepada Ing-ing, seketika semangatnya terbangkit, segera ia duduk dan berpikir pula, “Ing-ing pernah menyuruh Lo Thau-cu dan kawan-kawannya menyiarkan berita di dunia Kangouw bahwa aku harus dibunuh. Dengan sendirinya jago-jago dari golongan yang tidak senonoh itu tidak mungkin datang menolong aku. Tapi bagaimana dengan Ing-ing sendiri? Jika dia tahu aku terkurung di sini pasti dia akan datang menolong aku. Meski kepandaiannya tidak setinggi Hiang-toako, tapi banyak sekali orang-orang sia-pay yang mau tunduk kepada perintahnya. Asalkan dia mengeluarkan perintah, haha ....”

Begitulah tanpa terasa ia tertawa senang. Pikirnya, “Dasar anak perawan yang masih malu-malu kucing, dia paling takut kalau orang luar mengatakan dia suka padaku. Jadi seumpama dia bertekad akan menolong aku tentu juga dia akan datang sendiri dan tak mau mengajak pembantu. Malahan kalau ada orang tahu dia datang menolong aku besar kemungkinan jiwa orang itu akan melayang. Ai, dasar perasaan gadis yang sukar diraba. Seperti siausumoay ....”

Apa yang dialaminya sekarang sesungguhnya berada di titik yang paling celaka, tapi demi teringat kepada Gak Leng-sian, seketika hatinya terasa sakit. Terasa di antara duka derita dan putus asa sekarang menjadi tambah satu lapis lebih berat lagi.

Sesaat itu ia merasa tiada artinya lagi hidup lebih lama di dunia fana ini, sebab waktu itu mungkin sekali siausumoaynya sudah kawin dengan Lim-sute, biarpun dapat lolos dari kurungan sekarang juga percuma. Lalu buat apa mengharap-harapkan datangnya penolong? Kan lebih baik mengeram selama hidup saja di dalam penjara ini?

Mengingat ada manfaatnya juga biarpun terkurung dalam penjara, seketika rasa cemas tadi rada berkurang, bahkan timbul rasa syukur dan gembiranya.

Tapi rasa hibur diri itu tidak dapat bertahan lama, ketika perutnya terasa lapar dan tenggorokan kering, terbayang olehnya waktu makan enak dan minum arak di restoran yang menyenangkan itu, akhirnya ia merasa toh lebih baik lolos keluar saja daripada kebebasannya terkekang. Katanya di dalam hati, “Apa alangannya biarpun Lim-sute mengawini siausumoay? Aku sendiri toh sudah kenyang dianiaya orang, tenagaku sudah punah dan mirip orang cacat, malahan Peng-tayhu menyatakan ajalku sudah tidak lama lagi, sekalipun siausumoay mau menjadi istriku juga aku tidak boleh mengawini dia. Mana boleh aku membikin dia menjadi janda muda yang merana?”

Bab 72. Habis Murung Dapat Untung

Namun dalam lubuk hatinya ia tetap merasa biarpun dia tidak dapat mengawini Gak Leng-sian, namun nona itu mencintai pula Lim Peng-ci, betapa pun hal ini membuat perasaannya sangat tertusuk. Paling baik, ia merasa paling baik kalau sang sumoay masih tetap seperti masa dulu, paling baik tidak pernah terjadi apa-apa, Lim-sute tidak pernah menjadi murid Hoa-san-pay, dengan demikian ia akan dapat hidup berdampingan dengan Gak Leng-sian untuk selamanya.

“Ai, tapi sekarang semua itu sudah terjadi,” pikirnya pula. “Dan entah bagaimana dengan Dian Pek-kong, ada lagi Tho-kok-lak-sian, ada lagi Gi-lim Sumoay ....”

Teringat kepada nikoh cilik Hing-san-pay yang bernama Gi-lim itu, seketika timbul senyumannya yang hangat, pikirnya, “Entah di mana sekarang Gi-lim Sumoay itu?
Jika dia tahu aku terkurung di sini, tentu dia akan sangat khawatir pula. Sudah tentu gurunya akan melarang dia datang menolong aku karena surat edaran suhu, tapi dia ... dia pasti akan mohon ayahnya, yaitu Put-kay Hwesio untuk berdaya, bisa jadi akan jadi akan mengajak pula Tho-kok-lak-sian ke sini. Ai, ketujuh orang itu suka berbuat ngawur dan takkan mampu menghasilkan apa-apa. Tetapi ... tetapi bila kedatangan penolong kan lebih baik daripada tidak ada orang menggubris urusanku?”

Teringat pada kelakuan Tho-kok-lak-sian yang ngawur dan sinting itu, tanpa terasa Lenghou Tiong mengekek tawa.

Dahulu ia rada menyepelekan tingkah laku Tho-kok-lak-sian itu, tapi sekarang ia berharap-harap mereka dapat menjadi teman mengobrol di dalam penjara yang sunyi ini, ucapan Tho-kok-lak-sian yang aneh-aneh dan lucu-lucu itu jika didengarnya sekarang mungkin akan dianggapnya sebagai nyanyian malaikat dewata.

Berpikir dan termenung pula, akhirnya Lenghou Tiong terpulas lagi.

Entah lewat berapa lama di dalam penjara yang gelap itu, dalam keadaan masih mengantuk, tiba-tiba terlihat sinar remang-remang menembus masuk pula melalui lubang persegi di pintu besi itu. Dengan girang cepat Lenghou Tiong berbangkit, hatinya berdebar-debar, pikirnya, “Entah siapakah yang datang menolong aku?”
Tapi rasa girang itu tidak bertahan lama, segera ia dengar suara tindakan orang yang perlahan dan berat, terang yang datang adalah kakek pengantar makanan itu. Dengan lemas ia rebahkan diri lagi sambil berteriak, “Panggil keempat bangsat anjing itu ke sini! Coba mereka ada muka buat menemui aku atau tidak?”

Terdengar suara tindakan kaki semakin mendekat, cahaya lampu juga makin terang. Menyusul sebuah nampan kayu disodorkan masuk melulu lubang persegi itu. Di atas nampan tetap tertaruh semangkuk besar nasi dan sebuah kendi. Kakek itu sama sekali tidak bicara, hanya menyodorkan nampan ke dalam dan menunggu diterima oleh Lenghou Tiong.

Memangnya Lenghou Tiong sudah sangat kelaparan, lebih-lebih kerongkongannya yang sudah kering itu. Hanya ragu sejenak saja segera ia sambut nampan kayu itu. Sesudah melepaskan nampan, si kakek lantas putar tubuh dan melangkah pergi.

“He, hei, nanti dulu, aku ingin tanya padamu!” teriak Lenghou Tiong.

Namun kakek itu sama sekali tidak menggubris, terdengar suara kakinya yang melangkah, dengan berat dan setengah diseret, lambat laun menjauh dan cahaya lampu pun lenyap akhirnya.

Lenghou Tiong menggerutu beberapa kali lalu kendi itu diangkat terus dituang mulut. Isi kendi itu memang betul air minum. Sekaligus ia menghabiskan hampir setengah kendi, habis itu baru makan nasi. Sayuran yang bercampur nasi itu biarpun dalam kegelapan juga dapat dibedakan rasanya, yaitu terdiri dari masakan lobak, tahu, dan sebagainya.

Begitulah ia meringkuk dalam penjara itu sampai tujuh atau delapan hari, si kakek pasti datang satu kali mengantar daharan, ketika pergi dibawanya sekalian mangkuk, sumpit, kendi yang diantar sehari sebelumnya. Begitu pula dibawa pergi tempurung wadah kotoran. Tapi biar bagaimana Lenghou Tiong mengajak bicara padanya selalu air mukanya tampak kaku tanpa memberi sesuatu perasaan apa pun.

Entah sudah berapa hari lagi, ketika Lenghou Tiong melihat cahaya lampu, segera ia menubruk ke depan lubang persegi itu dan memegangi nampan kayu yang disodorkan si kakek sambil berteriak, “Kenapa kau tidak bicara? Kau dengar tidak kata-kataku?”

Karena jaraknya dengan si kakek sekarang sangat dekat mendadak ia jadi terkejut. Ternyata kedua mata orang itu terbelalak putih, sinar matanya buram jelas seorang buta. Malahan orang tua itu menuding-nuding pula telinga sendiri sambil geleng-geleng kepala sebagai tanda dia orang tuli, menyusul ia lantas pentang mulut pula.

Lenghou Tiong tambah melongo kaget. Kiranya lidah orang tua itu hanya tinggal sebagian kecil saja, ujungnya sebagian besar telah terpotong sehingga tampaknya sangat mengerikan.

“Hah, jadi lidahmu dipotong orang? Apakah perbuatan keji keempat chengcu itu?” seru Lenghou Tiong.

Orang tua itu tidak menjawab, perlahan ia mengangsurkan nampan. Nyata sekali ia tidak dengar apa yang diucapkan Lenghou Tiong. Andaikan dengar juga tidak dapat menjawab karena sudah bisu.

Rasa kejut dan ngeri meliputi perasaan Lenghou Tiong, sampai orang tua itu pergi ia masih belum tenang kembali. Ia berbaring pula dan termenung-menung membayangkan lidah yang hampir habis terpotong itu sehingga nafsu makan pun lenyap. Diam-diam ia bersumpah bilamana pada suatu ketika dia berhasil lolos dari tempat tahanan itu maka seorang demi seorang lidah Kanglam-si-kau itu pun akan dipotong olehnya, telinga akan dibikin tuli.

Tiba-tiba timbul setitik sinar terang dalam hati kecilnya, pikirnya, “Ah, benar, sebab apakah mereka memperlakukan aku cara demikian? Jangan-jangan mereka adalah ....”

Ia menjadi teringat kepada peristiwa dahulu ketika malam itu sekaligus ia membutakan belasan laki-laki, asal usul orang-orang itu selama ini masih belum diketahui, jangan-jangan mereka itulah yang hendak menuntut balas padanya. Teringat kejadian itu ia lantas menghela napas, rasa dongkolnya yang tak terlampias selama beberapa hari lantas lenyap sebagian besar, ia anggap pembalasan dendam mereka pun cukup beralasan karena belasan pasang mata pernah dibutakan olehnya.

Karena rasa dongkol dan gemasnya mulai lenyap maka hari-hari selanjutnya menjadi mudah untuk dilalui. Karena siang atau malam tak terbedakan di dalam penjara yang gelap itu sehingga ia pun tidak tahu sudah terkurung berapa lama di situ. Yang terasa olehnya adalah makin hari makin gerah hawa di dalam kamar penjara itu, ia menduga mungkin sudah musim panas.
Apalagi kamar sempit itu sama sekali tidak ada lubang angin.
Suatu hari hawa sangat panas, saking tak tahan Lenghou Tiong membuka baju, dengan badan telanjang ia berbaring di atas dipan. Karena tangan dan kaki terantai sehingga tidak mungkin pakaiannya ditanggalkan seluruhnya, maka bajunya hanya ditarik ke atas dan celana digulung ke bawah. Tikar rombeng yang menutupi dipan besi itu pun digulungnya. Maka terasalah segar badannya yang telanjang itu ketika rebah dipan besi. Tanpa terasa akhirnya ia tertidur.

Lambat laun dipan itu menjadi panas juga tertindih oleh badannya, dalam keadaan lamat-lamat ia membalik tubuh dan menggeser ke tempat yang masih nyaman, ketika sebuah tangan menahan dipan, tiba-tiba terasa permukaan dipan seperti terukir sesuatu, cuma waktu itu dia sedang mengantuk, maka hal itu tidak diurus lebih jauh.

Nyenyak sekali ia tertidur, ketika bangun ia merasa semangatnya penuh. Tidak lama kemudian orang tua itu datang lagi mengantar makanan.

Kini Lenghou Tiong merasa sangat simpatik kepada kakek yang cacat itu, setiap kali ia menyodorkan nampan makanan tentu dia meremas-remas tangannya atau tepuk-tepuk perlahan punggung tangan orang tua itu sebagai tanda terima kasihnya. Maka sekali ini pun tidak terkecuali.

Setelah menerima nampan itu dan waktu menarik kembali lengannya, di bawah cahaya yang remang sekonyong-konyong dilihatnya pada punggung tangan sendiri menonjol empat huruf, dengan jelas dapat terbaca empat huruf itu berbunyi “ngo-heng-pi-gun.”

Terheran-heran Lenghou Tiong, seketika ia tidak mengerti dari mana datangnya empat huruf itu. Setelah merenung sejenak, cepat ia menaruh nampan itu dan segera dipan besi diraba-rabanya. Baru sekarang diketahui bahwa di atas dipan besi itu ternyata penuh terukir tulisan yang tak terhitung banyaknya.

Maka pahamlah dia bahwa tulisan di atas dipan itu sudah lama terukir di situ, tadinya dipan itu tertutup selapis tikar, maka tidak terang. Lantaran semalam hawa terlalu gerah sehingga dia tidur dengan badan telanjang maka tercetaklah empat huruf itu di lengannya. Ia coba-coba meraba-raba lagi bagian lengan yang lain, bagian pinggul dan punggung, memang benar semuanya tercetak huruf-huruf sebesar mata uang, lekuk tulisan itu cukup mendalam.

Saat itu kakek pengantar makanan itu sudah pergi. Segera Lenghou Tiong minum air kendi beberapa ceguk. Tanpa pikirkan makan nasi lagi segera ia mulai meraba-raba tulisan di atas dipan itu. Perlahan dan satu demi satu huruf ia menelitinya sambil mulut membaca lirih, “Aku selamanya tidak ambil pusing tentang budi dan benci, orang yang sudah kubunuh tak terhitung banyaknya, sekarang aku terkurung di bawah danau adalah ganjaran pantas. Cuma aku Yim Ngo-heng terkurung ....”

Sampai di sini barulah Lenghou Tiong tahu keempat huruf “ngo-heng-pi-gun” (Ngo-heng terkurung) yang tercetak di lengannya itu letaknya di bagian ini.

Ia coba meraba dan meraba terus ... “di sini, segenap kepandaianku yang sakti terpaksa harus berakhir bersama badanku yang lapuk ini, sungguh sayang bahwa angkatan muda yang akan datang sama sekali tidak sempat melihat semua ilmu saktiku.”

Lenghou Tiong berhenti meraba, pikirnya sambil menengadah, “Aku Yim Ngo-heng! Yim Ngo-heng? Jadi orang yang mengukir tulisan ini bernama Yim Ngo-heng? Kiranya orang ini pun she Yim, entah ada hubungan dengan Yim-locianpwe atau tidak?”

Ia coba melanjutkan meraba tulisan itu yang berbunyi, “Kini semua intisari ilmu saktiku kutulis di sini, semoga orang muda angkatan mendatang dapat mempelajarinya dan tentu dapat malang melintang di Kangouw, maka tidak percumalah kematianku ini. Pertama, semadi ....”

Dan begitulah tulisan selanjutnya adalah macam-macam ajaran tentang semadi dan mengatur pernapasan segala.

Sejak berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, dalam ilmu silat yang paling disukai adalah ilmu pedang, sedangkan tenaga dalam sendiri sudah punah, maka soal semadi baginya menjadi tidak menarik. Yang dia harap tulisan selanjutnya akan menguraikan semacam ilmu pedang yang bagus sehingga dia akan dapat memainkannya sekadar pelipur lara.

Akan tetapi huruf-huruf yang terukir itu seluruhnya adalah ajaran tentang bagaimana harus bernapas, bagaimana harus duduk memusatkan pikiran, dan sebagainya, biarpun tulisan itu habis, terasa juga tidak menemukan sebuah huruf tentang ilmu pedang.

Alangkah kecewa Lenghou Tiong, pikirnya, “Katanya ilmu sakti apa segala, ini kan cuma bergurau saja dengan aku. Segala ilmu silat dapat kuterima, hanya saja tidak dapat berlatih lwekang, sebab begitu mengumpulkan tenaga seketika darah dalam badan akan bergolak dan aku sendiri akan tersiksa.”

Begitulah kemudian ia mulai makan sembari membatin pula, “Entah orang macam apakah Yim Ngo-heng itu? Dia membual ilmu saktinya bisa malang melintang di dunia segala. Tampaknya penjara ini khusus digunakan mengurung jago-jago silat kelas tinggi. Sebab dari ukiran tulisan di atas papan besi ini dapatlah diduga ilmu silat Yim Ngo-heng itu pasti sangat lihai, mengapa dia kena dikurung di sini dan tak berdaya? Jelas penjara ini memang dibangun dengan sangat kuat, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga sukar untuk kabur, terpaksa harus menunggu ajal di sini.”

Begitulah ia tidak mau urus lagi ukiran tulisan itu. Pada musim panas, sedangkan di daratan saja panasnya seperti dipanggang, apalagi di penjara bawah tanah yang tak tembus hawa itu, terpaksa setiap hari Lenghou Tiong melepas baju dan tidur di atas dipan besi itu untuk mencari rasa nyaman, tapi setiap kali selalu tangannya meraba ukiran tulisan di atas dipan sehingga tanpa terasa pula banyak sekali kalimat-kalimat di antaranya jadi hafal baginya di luar kepala.

Pada suatu hari sedang ia tiduran sambil mengenangkan guru ibu-guru dan sumoaynya yang molek itu entah sekarang mereka berada di mana atau sudah pulang di Hoa-san. Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara tindakan orang mendatang. Suara ini sangat ringan tapi cepat berbeda sekali dengan langkah si kakek pengantar makanan itu.

Setelah sekian lama mengeram di dalam penjara sebenarnya Lenghou Tiong sudah tidak begitu mengharap-harapkan akan datangnya penolong. Kini mendadak ada suara kaki orang baru, mau tak mau ia menjadi girang dan khawatir. Ia bermaksud melompat bangun, tapi badan terasa lemas sehingga terpaksa tetap berbaring tanpa bergerak lagi.

Terdengar suara tindakan orang itu sangat cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu besi dan pintu lubang persegi itu pun terpentang. Sebisanya Lenghou Tiong menahan napas dan tidak mengeluarkan suara apa-apa.

Didengarnya orang di luar itu berkata, “Yim-heng, beberapa hari ini hawa sangat panas, apakah engkau sehat-sehat saja?”

Begitu mendengar suaranya segera Lenghou Tiong dapat mengenali itu adalah suara Hek-pek-cu. Kalau Hek-pek-cu datang sebulan sebelumnya tentu Lenghou Tiong akan terus mencaci maki padanya dengan segala macam kata-kata kotor dan keji, tapi setelah terkurung sekian lamanya, rasa marahnya sudah padam, ia menjadi jauh lebih tenang dan sabar.

Diam-diam ia heran, “Mengapa dia panggil aku sebagai Yim-heng?
Apakah dia kesasar pada kamar tahanan ini?”

Karena itu dia tetap diam saja tanpa menjawab.

Terdengar Hek-pek-cu berkata lagi, “Hanya satu pertanyaan saja yang selalu kutanyakan padamu setiap dua bulan satu kali. Hari ini adalah tanggal satu bulan tujuh, yang aku tanya padamu tetap sama, apakah engkau tetap tak mau menyanggupi?”

Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, pikirnya, “Nyata orang ini memang keliru menyangka aku sebagai Yim-locianpwe. Aneh benar, biasanya Hek-pek-cu sangat cerdik, apa sekarang dia sudah pikun?”

Tapi segera ia terkesiap, “Ah, tidak mungkin, dibanding Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing, Hek-pek-cu adalah paling cerdik, mana bisa dia salah alamat? Tentu di balik ini ada sebabnya.”

Karena tidak mendapat jawaban, Hek-pek-cu lantas berseru pula, “Yim-heng selama hidup terkenal sebagai kesatria yang lihai, buat apa mesti meringkuk di penjara ini sampai menjadi mayat? Asalkan engkau berjanji menerima permintaanku, maka aku pun akan pegang janji untuk membebaskanmu dari sini.”

Hati Lenghou Tiong menjadi berdebar-debar, timbul macam-macam pikiran dalam benaknya, tapi sukar untuk dipecahkan. Ia tidak mengerti apa artinya Hek-pek-cu mengemukakan kata-kata itu kepadanya.

Didengarnya Hek-pek-cu sedang menegas lagi, “Sesungguhnya kau mau atau tidak?”

Lenghou Tiong tahu sekarang terbuka suatu kesempatan untuk meloloskan diri tak peduli maksud jahat apa akan diperlakukan oleh pihak musuh toh akan lebih baik daripada meringkuk di sini dan tersiksa untuk selamanya. Cuma ia tidak dapat meraba apa maksud tujuan kata-kala Hek-pek-cu tadi, ia khawatir kalau salah jawab sehingga bikin urusan menjadi runyam, maka terpaksa tetap diam saja.
Terdengar Hek-pek-cu menghela napas, katanya pula, “Yim-heng, mengapa engkau tidak bersuara? Tempo hari aku membawa orang she Hong itu kemari untuk bertanding denganmu, di depan ketiga kawanku sama sekali engkau tidak menyinggung tentang pertanyaanku kepadamu sungguh aku merasa terima kasih. Kupikir setelah mengalami pertandingan itu tentu jiwa kepahlawananmu masa lalu kembali akan berkobar lagi. Betapa luasnya jagat raya di luar sana, asalkan Yim-heng sudah keluar dari penjara gelap ini, maka bebaslah Yim-heng untuk membunuh siapa saja dan mana suka, siapa yang berani melawan Yim-heng lagi dan alangkah puasnya? Jika engkau menyanggupi permintaanku, toh hal ini sedikit pun tidak merugikanmu, tapi mengapa selama 12 tahun engkau tetap menolak?”

Dari nada Hek-pek-cu yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan memang menyangka dia sebagai orang tua she Yim itu, maka Lenghou Tiong jadi makin heran dan curiga. Didengarnya Hek-pek-cu bicara terus tapi berulang-ulang yang ditonjolkan adalah soal pertanyaannya yang minta disanggupi itu. Mestinya Lenghou Tiong ingin tahu duduk perkara yang sebenarnya, tapi khawatir sekali dirinya membuka suara tentu urusan akan runyam maka terpaksa ia membisu terus.

Hek-pek-cu menghela napas katanya, “Karena pendirian Yim-heng sedemikian kukuh terpaksa bertemu lagi dua bulan kemudian.”

Tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, “Sekali ini Yim-heng tidak mencaci maki padaku, tampaknya pikiranmu sudah rada berubah. Dalam dua bulan ini silakan Yim-heng berpikir yang masak.”

Habis itu ia lantas putar tubuh dan melangkah pergi.

Lenghou Tiong menjadi kelabakan, sekali Hek-pek-cu sudah pergi harus menunggu dua bulan lagi, padahal satu hari saja di dalam penjara rasanya seperti setahun jangankan dua bulan. Maka ketika Hek-pek-cu sudah melangkah pergi beberapa tindak cepat-cepat ia menahan suara dan dengan nada kasar yang dibikin-bikin ia berkata, “Kau ... kau minta aku menyanggupi apa?”

Mendengar suaranya, secepat kilat Hek-pek-cu melompat balik, serunya, “Yim-heng, jadi engkau sudah mau menyanggupi?”

Perlahan Lenghou Tiong membalik tubuh menghadap dinding, dengan tangan menahan mulut ia berkata pula secara samar-samar, “Menyanggupi soal apa?”

“Selama 12 tahun ini setiap tahun aku selalu datang enam kali ke sini dengan menempuh bahaya hanya untuk mohon kesanggupan Yim-heng, mengapa sudah tahu sekarang Yim-heng malah tanya?” ujar Hek-pek-cu.

“Hm, aku sudah lupa,” demikian Lenghou Tiong sengaja mendengus.

“Aku mohon Yim-heng mengajarkan ilmu sakti itu kepadaku, bila tamat kulatih tentu Yim-heng akan kubebaskan dari sini,” kata Hek-pek-cu.

Diam-diam Lenghou Tiong menjadi ragu apakah benar Hek-pek-cu menyangkanya sebagai tokoh she Yim itu atau ada tipu muslihat lain? Seketika sebelum tahu jelas maksud tujuannya, terpaksa Lenghou Tiong mengoceh lagi secara samar-samar, tapi apa yang dikatakan sampai dia sendiri pun tidak jelas jangankan Hek-pek-cu.

Maka berulang-ulang Hek-pek-cu menegas, “Bagaimana? Yim-heng sudah sanggup?”

“Kata-katamu tak bisa dipercaya, mana aku dapat kau tipu,” kata Lenghou Tiong pula.

“Habis jaminan apa yang Yim-heng kehendaki agar dapat percaya?” tanya Hek-pek-cu.

“Kau bilang sendiri saja,” sahut Lenghou Tiong.

“Kukira Yim-heng masih sangsi aku tidak mau menepati janji melepaskanmu bila aku sudah berhasil mempelajari ilmu saktimu itu bukan? Tentang ini engkau jangan khawatir, aku sendiri akan mengatur sedemikian rupa sehingga Yim-heng tidak perlu ragu lagi.”

“Mengatur cara bagaimana?”

“Tapi engkau sanggup atau tidak?”

Macam-macam pikiran terkilas dalam benak Lenghou Tiong, “Dia mohon belajar ilmu sakti apa-apa padaku, tapi dari mana aku punya ilmu sakti yang dapat kuajarkan padanya. Namun tiada salahnya aku mengetahui apa yang akan dia atur. Jika dia benar-benar bisa membebaskan aku dari sini, biarlah aku lantas menguraikan ajaran yang terukir di atas dipan itu padanya, peduli dia akan terpakai atau tidak yang penting tipu dia dahulu, urusan belakang.”

Karena tidak mendapat jawaban, maka Hek-pek-cu berkata pula, “Bilamana Yim-heng sudah mengajarkan ilmu itu padaku maka aku sudah terhitung muridmu, mana aku berani melanggar peraturan agamamu dan mengkhianati guru tanpa membebaskanmu!”

“Hm, kiranya begitu,” jengek Lenghou Tiong.

“Jadi Yim-heng sudah menyanggupi?” tanya Hek-pek-cu pula, nadanya penuh rasa girang.

“Tiga hari lagi boleh kau datang menerima jawabanku,” kata Lenghou Tiong.

“Sekarang saja Yim-heng boleh menyanggupi, kenapa mesti menunggu tiga hari lebih lama?” ujar Hek-pek-cu.

Lenghou Tiong tahu Hek-pek-cu jauh lebih gelisah daripada dia sendiri, siasat ulur tempo ini tentu akan membuatnya kelabakan sekalian dapat melihat tipu muslihat apa di balik persoalan ini. Maka ia tidak menjawab, tapi sengaja mendengus keras sebagai tanda muak dan tidak sabar lagi.

Rupanya Hek-pek-cu menjadi takut, cepat ia berkata pula, “Baiklah, tiga hari lagi tentu aku akan datang minta petunjuk kepada engkau orang tua.”

Ia tidak memanggil “Yim-heng” (Saudara Yim) lagi, tapi berganti menyebutnya sebagai “orang tua” seakan-akan sudah pasti orang telah menyanggupi akan menerimanya sebagai murid.

Sesudah Hek-pek-cu pergi pikiran Lenghou Tiong jadi bergolak lagi, pikirnya, “Masakah dia benar-benar menyangka aku sebagai Yim-locianpwe itu? Padahal Hek-pek-cu sangat cerdik, mana dia bisa berbuat kesalahan demikian?”

Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, “Jangan-jangan orang she Yim itu adalah gembong Mo-kau? Tapi di dalam Mo-kau juga ada orang baik seperti Kik Yang itu, ada lagi Hiang-toako, bukankah mereka juga orang Mo-kau?”

Hal ini hanya sekilas saja tebersit dalam benaknya dan lantas tak dipikirkan lagi, yang dia pikirkan hanya dua hal saja. Maksud Hek-pek-cu itu timbul dari ketulusan hatinya atau cuma pura-pura saja? Cara bagaimana harus menjawabnya bilamana tiga hari lagi dia datang pula menanyai aku?

Sehari penuh ia terus pikir ini dan terka itu, macam-macam pikiran yang aneh-aneh telah dikhayalkannya, tapi tetap tidak dapat memastikan maksud tujuan Hek-pek-cu yang sesungguhnya. Sampai akhirnya saking lelah ia terpulas sendiri.

Ketika mendusin, hal yang pertama dipikirnya adalah, “Kalau saja Hiang-toako yang cerdik itu berada di sini tentu dia akan segera mengetahui tujuan Hek-pek-cu. Kecerdasan Yim-locianpwe itu jauh di atas Hiang-toako pula, eh ya ....”

Seketika ia melonjak bangun, rupanya sesudah tidur sekarang benaknya menjadi jernih, pikirnya, “Selama 12 tahun ini Yim-locianpwe tetap tidak menyanggupi permintaan Hek-pek-cu, sudah tentu karena permintaannya itu tidak mungkin dapat diluluskan, sebagai seorang cerdik pandai tentu dia cukup tahu untung ruginya bilamana menyanggupi permintaan Hek-pek-cu. Tapi aku bukan Yim-locianpwe, apa alangannya bagiku untuk menyanggupi dia?”

Dalam hati kecilnya ia tahu urusan ini sangat ganjil, di balik hal ini tentu mengandung bencana yang membahayakan. Tapi rasa ingin lolosnya terlalu keras, asalkan ada kesempatan buat lepas dari penjara neraka ini, segala bahaya tak terpikir lagi olehnya.

Maka diam-diam ia ambil keputusan, tiga hari lagi kalau Hek-pek-cu datang, aku akan menyanggupi permintaannya, aku akan mengajarkan ilmu semadi seperti apa yang terukir di atas dipan ini padanya, coba saja bagaimana reaksinya nanti dan aku akan bertindak menurut gelagat.

Begitulah ia lantas mulai meraba-raba lagi tulisan di atas dipan sembari menghafalkannya dengan baik agar nanti dapat mengucapkannya di luar kepala supaya tidak dicurigai Hek-pek-cu. Sekarang hanya soal suaranya saja yang masih berbeda jauh dengan Yim-locianpwe itu, jalan satu-satunya harus membikin suaranya menjadi serak.

“Ah, aku ada akal, biarlah aku berteriak-teriak dan menggembor selama dua hari ini supaya kerongkonganku menjadi serak, dengan begini suaraku yang kubikin lagi secara samar-samar tentu takkan dikenali lagi olehnya,” demikian Lenghou Tiong merasa girang.

Maka sehabis menghafalkan tulisan terukir itu, lalu ia mulai berteriak-teriak dan gembar-gembor seperti orang gila. Untung penjara itu terletak di bawah tanah, ditambah pintunya yang berlapis-lapis, biarpun bunyi meriam di situ juga takkan terdengar di luar, apalagi cuma suara teriaknya.

Karena itu Lenghou Tiong juga tidak khawatir orang mendengar suaranya, ia berteriak sekuat-kuatnya, sebentar mencaci maki Kanglam-si-yu, sebentar lagi menyanyi, padahal ia sendiri pun tidak tahu apa lagu yang dia nyanyikan itu, akhirnya ia menjadi geli sendiri dan tertawa terpingkal-pingkal.
Kemudian mulai lagi menghafalkan ukiran tulisan di atas dipan pula.

Tiba-tiba terbaca olehnya beberapa kalimat yang berbunyi, “Di dalam perut, hampa seperti peti kosong ... jika perut ada hawa murni, buyarkan ke bagian nadi yim-meh.”

Kalimat-kalimat ini sebelumnya juga pernah dirabanya beberapa kali, cuma tadinya ia merasa bosan dan mual terhadap ilmu semadi demikian sehingga tidak pernah direnungkan artinya yang dalam. Sekarang mendadak ia merasa heran, “Dahulu pada waktu suhu mengajarkan lwekang padaku, dasarnya yang penting adalah mengumpulkan hawa murni di dalam perut, semakin kuat hawa murni yang dapat dihimpun perut, semakin kuat pula lwekang yang dapat dilatih. Tapi mengapa kalimat ini menyatakan hawa murni yang terdapat di dalam perut harus dibuyarkan malah?
Kalau di dalam perut tiada hawa murni, lalu dari mana datangnya tenaga? Kan aneh, apakah ajaran ini bukan sengaja hendak bercanda belaka? Haha, memangnya Hek-pek-cu adalah manusia rendah, jika aku mengajarkan ilmu yang menyesatkan ini padanya, biar dia tertipu.”

Begitulah ia terus melanjutkan meraba tulisan itu sembari merenungkan arti yang terkandung dalam tulisan itu. Ia merasa beberapa ratus huruf permulaan semuanya adalah ajaran cara bagaimana orang harus membuyarkan tenaga, cara bagaimana memunahkan tenaga dalamnya sendiri.

Semakin diselami semakin terkesiap Lenghou Tiong. Pikirnya, “Di dunia ini mana ada orang tolol yang mau memunahkan tenaga dalamnya sendiri yang telah diyakinkan dengan susah payah itu? Ya, kecuali kalau dia sudah bertekad akan membunuh diri. Tapi kalau mau bunuh diri cukup sekali gorok leher sendiri kan beres buat apa mesti buang-buang tenaga dan pikiran untuk membuyarkan tenaga sendiri lebih dulu? Ilmu membuyarkan tenaga ini jauh lebih sukar dilatih daripada ilmu latih mengumpulkan tenaga. Sesudah dilatih apa manfaatnya pula?”

Setelah berpikir sejenak akhirnya Lenghou Tiong menjadi lesu, ia merasa Hek-pek-cu yang cerdik itu masa begitu gampang ditipu dengan diberi ajaran yang tidak masuk akal itu. Tampaknya jalan ini tak bisa dilaksanakan lagi.

Semakin dipikir semakin kesal, bolak-balik yang teringat hanya kalimat tentang “di dalam perut ada hawa murni buyarkan ke nadi yim-meh” dan seterusnya, akhirnya ia menjadi murka, makinya sambil menggebrak dipan, “Bedebah! Keparat itu terkurung di penjara neraka ini, saking gemas dan terlalu iseng ia sengaja mengatur muslihat ini untuk mempermainkan orang lain.”

Setelah mencaci maki, akhirnya ia lelah lagi dan terpulas tanpa terasa. Dalam mimpi ia merasa dirinya duduk di atas dipan dan sedang semadi menurutkan ajaran yang dibacanya dari tulisan ukir itu tentang “hawa murni dalam perut buyarkan ke yim-meh” segala dan suatu arus hawa murni lantas perlahan mengalir ke nadi yim-meh, lalu ruas-ruas tulang di seluruh badan terasa nikmat tak terkatakan.

Tidak lama dalam keadaan samar-samar dan lamat-lamat seperti masih tidur tapi seperti juga sudah sadar ia merasa hawa murni dalam perutnya masih terus bergerak ke nadi yim-meh. Mendadak pikirannya tergerak, “Wah, celaka. Jadi tenaga dalamku mengalir pergi begini terus kan aku bisa menjadi lumpuh dan tak berguna lagi.”

Dalam kagetnya segera ia bangun duduk, seketika hawa murni yang bergerak tadi lantas mengalir balik dari yim-meh. Kontan darah lantas bergolak, kepala puyeng tujuh keliling, dan mata berkunang-kunang, sampai lama dan lama sekali baru dapat memusatkan pikiran lagi.

Sekonyong-konyong ia teringat sesuatu, kejut dan girang berkecamuk serentak, katanya di dalam hati, “Sebabnya penyakitku sukar disembuhkan adalah karena dalam tubuhku mengeram tujuh-delapan macam hawa murni yang dicurahkan Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio sehingga seorang tabib sakti sebagai Peng It-ci juga tidak sanggup mengobati aku. Hong-ting Taysu, ketua Siau-lim-si itu juga mengatakan hawa murni aneh yang bergolak dalam tubuhku ini hanya bisa dipunahkan dengan berlatih ‘Ih-kin-keng’. Tapi ilmu semadi yang merupakan rahasia berlatih lwekang yang terukir di atas dipan ini bukankah justru mengajarkan padaku cara bagaimana memunahkan tenaga dalamku sendiri? Ahahaha! Ai, Lenghou Tiong, kau ini benar-benar bodoh seperti kerbau. Sekarang ilmu ajaib itu terletak di depan matamu mengapa tidak kau yakinkan dengan baik?”

Dapatnya dia berlatih lwekang dalam impian tadi adalah karena sebelumnya ia terlalu disibukkan oleh kalimat yang membosankan itu, pada waktu mimpi yang terpilih adalah ilmu semadi yang terukir di dipan itu dan tanpa terasa ditirukannya dalam mimpi.
Cuma kemudian pikirannya lantas kacau sehingga ilmu itu pun mogok setengah jalan.
Sekarang ia lantas mengumpulkan semangat dan mengulangi lagi meraba-raba tulisan yang terukir itu, dihafalkan dan direnungkan semasak-masaknya. Hanya sejam kemudian, terasa macam-macam hawa murni yang selalu mengganggu di dalam perutnya sudah ada sebagian membuyar ke urat nadi yim-meh, meski belum dapat diusir ke luar tubuh, tapi pergolakan darah yang biasanya sangat menyiksa itu kini sudah jauh berkurang.

Ia lantas berbangkit, saking senangnya ia lantas menyanyi, tapi suara nyanyiannya terasa serak semacam suara burung gagak, rupanya gembar-gembor kemarin untuk membikin serak kerongkongannya telah membawa hasil. Kembali ia terbahak-bahak lagi. Pikirnya, “Wahai Yim Ngo-heng, dengan tulisan yang kau tinggalkan ini bermaksud membikin susah orang lain, siapa duga kebentur padaku dan malah memberi manfaat bagiku. Jika di dalam kuburmu kau tahu akan ini mungkin kumismu akan menegak saking gusarnya. Hahahaha!”

Setelah berlatih, rasa laparnya semakin menjadi, akhirnya kakek pengantar makanan yang sangat diharapkan itu datang juga. Segera ia makan dengan lahap, dalam sekejap saja semuanya disapu bersih di dalam perut. Lalu duduk di atas dipan untuk semadi lagi.

Bab 73. Hek-pek-cu Menjadi Korban Pertama Ilmu Sakti Lenghou Tiong

Begitulah tanpa putus-putus ia terus berlatih dan membuyarkan hawa murni yang mengganggu itu, setiap kali bekerja, setiap kali badannya menjadi tambah segar. Ia pikir jika hawa murni curahan Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio yang mengganggu itu sudah dipunahkan semua, lalu dapat berlatih lwekang perguruannya sendiri menurut ajaran gurunya dahulu, walaupun hal mana akan makan waktu lama, tapi sedikitnya jiwanya telah dapat diselamatkan. Jika nanti Hiang-toako berhasil membebaskan aku dari sini, tentu aku akan dapat menempuh hidup baru di dunia Kangouw. Tapi lantas teringat pula, “Suhu telah pecat aku dari Hoa-san-pay, buat apa aku mesti meyakinkan lwekang Hoa-san-pay lagi? Masih banyak sekali lwekang-lwekang dari aliran-aliran lain, umpamanya aku dapat belajar kepada Hiang-toako, bisa belajar pada Ing-ing, dan lain-lain lagi.”

Teringat kepada hal-hal yang menyenangkan, kembali ia berjingkrak-jingkrak dan tertawa pula.

Besoknya ketika dia memegangi mangkuk dan sedang makan nasi, perasaannya masih tetap diliputi rasa senang dan penuh semangat, ketika tanpa sadar tangannya menggenggam lebih kuat, mendadak terdengar “prak”, tahu-tahu mangkuk besar itu telah remuk di tangannya. Keruan Lenghou Tiong terkejut, tangannya meremas lagi sekenanya, kembali remukan mangkuk itu hancur menjadi bubuk. Ketika tangannya dibuka, bubukan mangkuk itu lantas jatuh bertebaran ke lantai.

Untuk sesaat Lenghou Tiong sampai terkesima sendiri, seketika ia tidak paham sebab musababnya.

Tiba-tiba terdengar suara Hek-pek-cu berseru di luar pintu, “Wah, kekuatan Yim-cianpwe tiada bandingannya di dunia ini, sungguh Cayhe kagum tak terhingga.”

Kiranya tanpa terasa tiga hari sudah lalu, lantaran sedang kejut akan tenaganya sendiri yang sanggup meremas hancur sebuah mangkuk itu, sampai-sampai datangnya Hek-pek-cu itu tidak disadari, bahkan seketika Lenghou Tiong masih belum paham akan kata-kata pujian Hek-pek-cu itu, sebab sekali remas dapat membikin mangkuk itu menjadi bubuk, hal ini benar-benar sukar dibayangkan olehnya.

Maka terdengar Hek-pek-cu telah berkata pula, “Hanya sedikit remas saja Yim-cianpwe telah menghancurkan sebuah mangkuk, coba kalau cengkeraman itu mengenai badan musuh, haha, masakah nyawa musuh itu takkan melayang?”

Benar juga ucapannya pikir Lenghou Tiong, maka segera ia pun ikut terbahak-bahak.

“Tampaknya hari ini perasaan Cianpwe sangat gembira, silakan lantas menerima Tecu ke dalam perguruan, bagaimana?” pinta Hek-pek-cu.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Apakah aku boleh terima dia sebagai murid dan mengajarkan kalimat-kalimat tulisan terukir di dipan itu? Tapi, ah, aku cuma berlatih satu-dua hari saja lantas begini lihai tenagaku, tampaknya ilmu yang terukir ini bukankah untuk bercanda. Yang diharapkan Hek-pek-cu adalah ilmu ini, tapi sesudah dia meyakinkan dengan baik apakah benar aku akan dilepaskan dari sini? Padahal begitu mengetahui aku bukan Yim-locianpwe yang dia sangka, setiap saat tentu dia akan berubah sikapnya. Umpama Yim-locianpwe yang mengajarkan ilmu sakti, sesudah berhasil besar kemungkinan Hek-pek-cu juga akan berdaya untuk membinasakannya, misalnya memakai racun di dalam makanan dan sebagainya. Ya, bagi Hek-pek-cu memang sangat gampang jika dia mau meracuni aku, mana mungkin dia sudi membebaskan aku biarpun dia berhasil meyakinkan ilmu sakti ini. Mungkin inilah sebabnya Yim-locianpwe tetap tidak mau menyanggupi permintaannya selama 12 tahun.”

Karena tidak memperoleh jawaban, Hek-pek-cu menjadi khawatir ada perubahan lagi, cepat ia berkata pula, “Bila Cianpwe sudah mengajarkan ilmunya, segera Tecu akan pergi mengambilkan arak enak dan ayam lezat untuk dipersembahkan kepadamu.”

Sudah sekian lamanya Lenghou Tiong dikurung di situ, yang dimakan setiap hari adalah sayur asin melulu, sekarang mendengar ada ayam lezat dan arak enak, keruan ia lantas mengiler. Cepat ia berkata, “Baiklah, lekas kau pergi ambil arak dan ayam panggang dulu, sesudah makan, bisa jadi hatiku akan senang terus mengajarkan sedikit kepandaian padamu.”

Sebenarnya Hek-pek-cu bermaksud menggunakan makanan lezat sebagai umpan untuk memancing ilmu yang dikehendaki, tapi orang justru ingin makan enak dulu. Jika tidak dituruti, mungkin sekali orang tua itu akan marah dan tidak jadi mengajarkan ilmu lagi. Maka cepat Hek-pek-cu menjawab, “Baik, baik, segera aku akan ambilkan arak dan ayam panggang yang gemuk. Cuma hari ini agaknya tak bisa dilaksanakan, besok saja kalau ada kesempatan tentu Tecu akan mempersembahkannya.”

“Kenapa hari ini tidak bisa dilaksanakan?” tanya Lenghou Tiong.

“Untuk datang ke sini aku harus mencari kesempatan di luar tahu toako kami, bila Toako sedang keluar barulah ....”

Lenghou Tiong mendengus sebelum ucapan orang habis. Maka Hek-pek-cu juga tidak bicara lebih lanjut. Mungkin khawatir dipergoki Ui Ciong-kong, buru-buru ia mohon diri.

Ketika tangannya teraba pada remukan mangkuk tadi, diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Mengapa ilmu ini begini lihai? Baru berlatih satu-dua hari saja sudah begini hebat, apalagi kalau sudah berlatih sebulan dan lebih kan bisa ....” Berpikir sampai di sini mendadak ia melonjak bangun sambil berteriak.

Kiranya terpikir olehnya kalau sudah berlatih sebulan atau lebih lama lagi kan dapat memutus rantai borgol dan meloloskan diri dengan menerjang pintu penjara itu. Namun rasa gembiranya itu dalam sekejap lantas lenyap, sebab lantas terpikir lagi olehnya, “Jika ilmu ini benar-benar begini hebat, mengapa Yim Ngo-heng sendiri tidak dapat meloloskan diri dari sini?”

Sambil melayangkan pikiran-pikirannya, sebelah tangannya tanpa terasa meraba gelang besi di tangan kiri serta dipentangnya. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa gelang besi itu akan terpentang renggang olehnya, siapa tahu gelang besi itu mendadak terpentang, ketika ditarik lagi, ternyata pergelangan tangan kiri lantas terlepas begitu saja dari belenggu gelang besi itu.

Girang dan kejut pula Lenghou Tiong. Ketika gelang besi itu diraba lagi, kiranya di bagian tengah memang sudah putus, tapi kalau tenaga dalam sendiri belum pulih juga sukar untuk membukanya. Segera ia pun pentang terbuka belenggu tangan kanan, lalu belenggu kedua kakinya. Setiap gelang belenggu besi itu sudah terputus semua. Terlepasnya belenggu kaki dan tangan dengan sendirinya terlepas pula rantai besinya sehingga badannya sekarang tidak terikat apa-apa lagi.

Lenghou Tiong sangat heran mengapa setiap gelang besi itu ada tanda putus begitu? Padahal gelang besi yang sudah terputus begitu mana kuat untuk membelenggu orang?

Besoknya ketika orang tua itu datang mengantarkan daharan, di bawah sinar pelita yang dibawanya itu dapatlah Lenghou Tiong melihat jelas bagian yang terputus dari gelang-gelang besi itu menunjukkan tanda baru saja diputus, keruan ia tambah heran. Dari tanda itu dapat dilihat pula bekas gergaji yang halus sekali, jelas ada orang yang telah menggergaji gelang-gelang besi itu dengan semacam gergaji baja yang amat halus. Anehnya mengapa gelang yang sudah digergaji putus itu bisa terkatup kembali dan membelenggu kaki-tangannya, jangan-jangan ... jangan-jangan. Menurut jalan pikirannya tentu diam-diam ada orang yang sedang berusaha menolongnya. Dan penolong itu tentulah orang Bwe-cheng sendiri. Mungkin sekali gelang besi itu digergaji putus ketika dirinya jatuh pingsan dan mungkin pula akan membebaskannya nanti bilamana ada kesempatan bagus di luar tahu orang-orang Bwe-cheng yang lain.

Berpikir sampai di sini, seketika semangat Lenghou Tiong terbangkit. Pikirnya, “Jalan masuk ke sini berada di bawah tempat tidurnya Ui Ciong-kong, jika Ui Ciong-kong yang bermaksud menolongku tentu dapat dilakukan setiap waktu dan tidak perlu menunda lagi, Hek-pek-cu tentunya juga tidak. Tinggal Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing saja. Di antara kedua orang itu cuma Tan-jing-sing yang mempunyai kegemaran yang sama, besar kemungkinan yang berusaha hendak menolongku tentulah Tan-jing-sing yang baik hati itu.”

Lalu terpikir lagi olehnya cara bagaimana akan melayani kedatangan Hek-pek-cu besok, segera ia pun mendapatkan akal, “Aku akan pura-pura meluluskan permintaannya untuk menipu daharan enak dari dia.
Lalu mengajarkan ilmu palsu padanya supaya dia tertipu. Akibatnya tentu sangat lucu. Haha, tentu sangat lucu!”

Menyusul terpikir lagi setiap saat Tan-jing-sing akan datang melepaskan dia, kesempatan yang masih ada ini harus digunakan untuk lebih menghafalkan ilmu yang terukir di papan besi itu. Maka ia lantas mulai meraba-raba lagi tulisan-tulisan di papan besi serta mengingat-ingatnya di luar kepala.

Tadinya tulisan-tulisan itu tidaklah menarik perhatiannya, sekarang juga bukan sesuatu yang mudah baginya untuk menghafalkannya di luar kepala. Apalagi mengenai ilmu sakti, keliru satu huruf saja mungkin akan membawa akibat yang sukar dibayangkan.

Begitu juga kalau melupakan sebagian di antaranya tentu tak dapat diulangi lagi jika sudah keluar dari tempat neraka ini. Sebab itulah ia bertekad akan menghafalkan seluruhnya #dapatlah dihafalkan di luar kepala, habis itu barulah ia dapat tidur dengan tenang.

Dalam mimpi benar juga dilihatnya Tan-jing-sing datang membukakan pintu penjara untuk melepaskan dia, ketika terjaga bangun baru diketahui cuma impian belaka. Tapi ia pun tidak menjadi lesu, pikirnya hari ini tidak datang mungkin karena belum ada kesempatan baik, tidak lama tentu Tan-jing-sing akan datang menolongnya.

Terpikir olehnya bila nanti dirinya sudah meninggalkan penjara ini, mungkin sekali ukiran tulisan itu akan dilihat oleh Hek-pek-cu yang dianggapnya jahat itu, kalau orang macam Hek-pek-cu sampai berhasil meyakinkan ilmu sakti tentu akan menambah kejahatannya malah. Maka kembali ia mengulangi belasan kali lagi menghafalkan tulisan di atas papan itu, lalu ia menghapus sebagian huruf-huruf itu dengan belenggu besi yang telah ditanggalkan itu.

Besoknya Hek-pek-cu ternyata tidak datang, Lenghou Tiong juga tidak ambil pusing, ia meneruskan latihannya atas ilmu sakti itu. Beberapa hari selanjutnya Hek-pek-cu tetap tidak muncul.

Lenghou Tiong merasa latihannya banyak mendapat kemajuan. Hawa murni yang berasal dari Tho-kok-lak-sian serta Put-kay Hwesio itu sudah sebagian besar didesak keluar dari bagian perut dan buyar melalui berbagai urat nadi. Ia yakin jika latihannya diteruskan akhirnya tentu hawa murni yang merupakan penyakit itu akan dapat dipunahkan seluruhnya.

Setiap hari ia tentu menghafalkan lagi belasan kali tulisan yang telah dibacanya itu, sebagian huruf-huruf di atas papan besi itu pun dikerok dengan gelang besi. Ia merasa tenaga dalam sendiri kian lama makin kuat, untuk mengerok huruf-huruf itu ternyata tidak begitu susah baginya.

Kembali sebulan sudah lewat, meski berada di bawah tanah juga Lenghou Tiong merasakan hawa musim panas sudah mulai berkurang. Pikirnya, “Rupanya penemuanku yang aneh ini sudah suratan takdir. Jika aku terkurung di sini di musim dingin pasti tulisan di atas papan besi ini takkan kuketemukan. Bisa jadi sebelum tiba musim panas tulisan di atas papan besi ini takkan kuketemukan. Bisa jadi sebelum tiba musim panas Tan-jing-sing sudah berhasil menolong keluar diriku.”

Berpikir sampai di sini, tiba-tiba terdengar dari lorong sana ada suara tindakan Hek-pek-cu yang sedang mendatangi. Tadinya Lenghou Tiong berbaring di atas dipan besi itu, maka perlahan-lahan ia lantas membalik tubuh sehingga berbaring miring menghadap ke dinding bagian dalam.

Terdengar Hek-pek-cu sudah sampai di luar pintu, lalu berkata, “Yim ... Yim-locianpwe, harap sudi memaafkan. Selama lebih sebulan ini Toako tidak pernah keluar rumah sehingga Cayhe sangat gelisah dan tidak dapat datang kemari untuk menjenguk engkau. Untuk ini harap engkau janganlah marah.”

Berbareng itu tercium juga bau harum arak dan sedapnya ayam panggang yang teruar dari lubang pintu.

Memangnya sudah sekian lamanya Lenghou Tiong tidak merasakan setetes arak pun, maka begitu mengendus bau arak ia menjadi ketagihan, segera ia membalik tubuh dan berkata, “Mana daharannya, aku harus makan dulu dan urusan belakang.”

“Ya, baik,” sahut Hek-pek-cu cepat. “Jadi Cianpwe sudah menyanggupi akan mengajarkan rahasia lwekang padaku?”

“Begini, setiap kali kau mengantar kemari tiga kati arak dan seekor ayam panggang, setiap kali pula aku akan mengajarkan empat kalimat rahasia lwekang padamu. Bilamana aku sudah menghabiskan tiga ratus kati arak dan seratus ekor ayam, maka rahasia lwekang yang kuajarkan padamu rasanya sudah cukup juga.”

“Cara begini rasanya rada-rada lambat dan mungkin sekali terjadi apa-apa. Biarlah setiap kali Wanpwe akan mengantar enam kati arak dan dua ekor ayam, lalu Cianpwe setiap kali mengajarkan delapan kalimat rahasianya saja?”

“Sungguh serakah sekali kau ini. Tapi, baiklah. Mana araknya, mana ayamnya, bawa ke sini,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

Segera Hek-pek-cu mengangsurkan nampan kayu itu melalui lubang persegi di daun pintu itu.
Benar juga di atas nampan itu ada satu poci besar arak dan seekor ayam panggung yang gemuk.

“Sebelum aku mengajarkan rahasia lwekang padamu rasanya kau tidak sampai meracuni aku,” demikian pikir Lenghou Tiong. Maka tanpa pikir segera ia pegang poci arak itu dan langsung dituang ke dalam mulut.

Rasa arak itu sebenarnya tidak terlalu enak, tapi sekarang bagi Lenghou Tiong araknya terasa sangat sedap. Sekaligus hampir setengah poci besar itu telah ditenggak, lalu dibetotnya sebelah paha ayam panggang terus diganyang dengan lahapnya. Hanya sebentar saja sepoci penuh arak dan seekor ayam panggang itu telah disapu bersih. Ia tepuk-tepuk perut sendiri sambil berkata, “Ehmmm, arak sedap dan ayam lezat!”

“Cianpwe sudah kenyang makan enak, sekarang silakanlah mengajarkan rahasia lwekangnya,” pinta Hek-pek-cu dengan tertawa. Sekarang ia tidak menyinggung lagi tentang mengangkat guru segala, disangkanya sehabis makan minum tentu Lenghou Tiong sudah lupa.

Tapi Lenghou Tiong juga sengaja tidak menyinggung soal ini, segera ia berkata, “Baiklah, beberapa kalimat rahasia ini hendaklah kau ingat-ingat dengan baik, yakni: ‘Antara delapan nadi dan urat aneh, di dalamnya ada hawa murni, himpunlah di bagian perut, salurkan melalui napas’, dapatkah kau memahami empat kalimat ini?”

Empat kalimat itu memang tidak ada sesuatu yang istimewa, hanya saja Lenghou Tiong telah sengaja menjungkirbalikkan arti yang sebenarnya. Hek-pek-cu merasa empat kalimat itu tiada sesuatu yang bersifat rahasia, maka ia menjawab, “Ya, paham. Mohon Cianpwe sudi mengajarkan empat kalimat lagi.”

Lenghou Tiong juga tidak jual mahal, bahkan ia sengaja obral empat kalimat lagi yang isinya untuk menakut-nakuti. Keruan Hek-pek-cu terperanjat, kalau mesti berlatih menurut kalimat-kalimat rahasia itu pastilah jiwanya akan melayang, hal ini mustahil dapat dilakukan. Maka ia bertanya, “Empat kalimat ini Wanpwe benar-benar tidak paham.”

“Sudah tentu kau tidak paham,” sahut Lenghou Tiong. “Ilmu sakti ini kalau dapat dipahami dengan begitu saja, lalu apa artinya sebagai ilmu sakti?”

Sampai di sini Hek-pek-cu merasa kata-kata Lenghou Tiong itu nadanya makin berbeda daripada orang she Yim itu, mau tak mau timbul juga rasa curiganya.

Maklumlah pertemuan yang sudah-sudah itu Lenghou Tiong sangat sedikit membuka suara, ucapannya dibikin serak dan samar-samar pula, tapi sekarang dia habis makan minum enak, semangatnya berkobar-kobar dan bicaranya menjadi banyak. Dasarnya Hek-pek-cu juga memang cerdik, maka ia menjadi curiga. Cuma sama sekali tak terduga olehnya bahwa orang yang di penjara itu sekarang sudah bukan lagi orang she Yim itu, hanya disangkanya kalimat-kalimat rahasia itu sengaja dibuat-buat untuk mempermainkan dia saja.

Lenghou Tiong lantas merasa juga akan curiga Hek-pek-cu, cepat ia menambahkan, “Nanti kalau kau sudah terima ajaran dengan lengkap tentu akan paham dengan sendirinya.”

Habis berkata ia lantas menaruh kembali poci arak itu di atas nampan dan diangsurkan keluar melalui lubang persegi itu. Ketika Hek-pek-cu hendak menerima nampan itu, sekonyong-konyong Lenghou Tiong menjerit, badannya sempoyongan ke depan, “blang”, kepalanya membentur pintu besi itu, nampan juga akan tertarik masuk kembali.

“He, kenapa?” tanya Hek-pek-cu. Sebagai seorang ahli silat, reaksinya dengan sendirinya sangat cepat, tangannya terus menyambar ke lubang persegi itu untuk menangkap nampan agar poci arak di atasnya tidak sampai terjatuh dan pecah.

Dan justru pada detik itulah sebelah tangan Lenghou Tiong sudah lantas membalik ke atas dan tepat mencengkeram pergelangan tangan Hek-pek-cu itu sambil berseru, “Hek-pek-cu, coba perhatikan siapakah aku ini?”

Tidak kepalang kejutnya Hek-pek-cu karena kejadian yang tak terduga-duga itu, nampan yang masih keburu dipegang olehnya itu lantas terlepas lagi, serunya dengan takut, “Kau ... kau ....”

Kiranya tadi waktu Hek-pek-cu menjulurkan tangan hendak menerima kembali nampan, tiba-tiba timbul rasa penasaran Lenghou Tiong yang tak terkatakan, ia merasa biang keladi yang mengurung dirinya di situ dan menderita sekian lamanya tak-lain tak-bukan adalah manusia licik yang berada di depannya itu. Jika tangannya dapat dipegang dan dipuntir patah sedikitnya akan terlampiaslah rasa dendamnya. Apalagi kalau tangan Hek-pek-cu itu mendadak dipegang olehnya tentu akan kaget setengah mati, andaikan tidak berhasil sedikitnya juga akan membikin kaget padanya, tentunya sangat lucu orang yang kaget mendadak itu.

Entah lantaran timbul maksud balas dendamnya atau karena pikiran kanak-kanak yang ingin menggoda orang supaya kaget itu, maka mendadak ia pura-pura jatuh sempoyongan untuk memancing reaksi Hek-pek-cu. Dan hasilnya ternyata cocok dengan rekaannya, sekali pancing tangan Hek-pek-cu sudah lantas kena dipegang olehnya.

Sebenarnya Hek-pek-cu juga seorang yang amat cerdik, namun sama sekali ia tidak menduga akan kejadian demikian, ketika mendadak ia merasa gelagat jelek, namun sudah terlambat, tangannya sudah keburu tercengkeram dengan kuat seakan-akan terbelenggu, tanpa pikir lagi segera ia memutar tangannya dengan maksud balas mencengkeram tangan lawan, berbareng itu terdengar “blang” yang keras, tahu-tahu beberapa jari kakinya sudah patah, saking sakitnya sampai ia berkaok-kaok.

Kan aneh? Tangannya yang terpegang Lenghou Tiong, mengapa jari kakinya yang patah?

Kiranya Hek-pek-cu memiliki suatu jurus simpanan yang disebut “Kau-liong-cut-tong” (Naga Keluar dari Gua). Jurus ini baru digunakan apabila sebelah tangannya dipegang musuh, sembari membetot sekuatnya, berbareng sebelah kakinya lantas menendang secepat kilat ke tempat mematikan di tubuh musuh, kalau bukan bagian dada tentulah bagian selangkangan, lihainya bukan buatan, jika kena musuh pasti akan menggeletak seketika.

Kalau musuh adalah ahli silat yang sama tingkatan, maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri ialah melepaskan tangan Hek-pek-cu yang dicengkeram itu.
Tapi ia lupa bahwa di antara mereka itu masih terhalang oleh selapis daun pintu besi. Jurus “Kau-liong-cut-tong” itu memang digunakan dengan sangat tepat, tempat yang ditendang juga sangat jitu, tenaganya amat lihai pula, cuma sayang yang terkena tendangannya adalah daun pintu besi sehingga menimbulkan suara nyaring keras.

Lenghou Tiong baru tahu apa yang terjadi sesudah mendengar suara “blang” yang keras itu, baru diketahui dirinya telah selamat berkat lindungan pintu besi itu. Ia menjadi geli malah dan terbahak-bahak, katanya, “Hahaha, boleh tendang sekali lagi, harus tendang sama kerasnya seperti barusan ini, habis itu aku lantas melepaskan kau!”

Tapi mendadak Hek-pek-cu merasa tenaga dalamnya terus merembes keluar melalui dua tempat hiat-to di pergelangan tangannya itu, tiba-tiba teringat olehnya sesuatu hal yang paling ditakutinya selama hidup ini. Keruan sukmanya seakan-akan terbang meninggalkan raganya. Sembari mengerahkan tenaga dan menghimpun napas ia pun memohon dengan sangat, “Lo ... Locianpwe, mohon engkau ... engkau ....” Masih mending baginya jika tidak bicara, begitu membuka mulut tenaga dalamnya juga lantas membanjir keluar. Terpaksa ia tutup mulut dan tidak berani bicara lagi. Namun demikian tenaga dalam masih tetap merembes keluar tak tertahankan.

Setelah meyakinkan ilmu yang terukir di atas dipan besi itu, hawa murni di dalam perut Lenghou Tiong sudah terkuras habis, perutnya sekarang sudah kosong dan minta diisi. Sekarang dirasakan ada hawa murni yang menyalur ke dalam perutnya sedikit demi sedikit, namun hal ini pun tidak diperhatikan olehnya.
Hanya diketahuinya tangan Hek-pek-cu gemetar terus seperti sangat ketakutan. Lantaran masih gemas padanya, Lenghou Tiong sengaja hendak menggertaknya sekalian, segera ia berkata, “Aku sudah mengajarkan ilmu padamu, maka kau sudah terhitung muridku, kau berani menipu dan mengkhianati perguruan, apa hukuman atas dosamu ini?”

Namun Hek-pek-cu merasakan tenaga dalamnya semakin cepat mengalir keluar, sekarang ia sudah melupakan sakit kakinya, yang dia harap adalah lekas melepaskan tangan dari lubang persegi itu, andaikan sebelah tangan itu harus dikorbankan juga rela. Berpikir demikian segera sebelah tangannya melolos pedang yang terselip di pinggang.

Karena sedikit bergerak saja seketika kedua hiat-to di pergelangan tangannya itu laksana tanggul yang bobol, seketika tenaga dalam membanjir keluar seperti air bah dan sukar dibendung lagi.

Hek-pek-cu sadar asalkan terlambat sebentar lagi tentu segenap tenaga dalamnya sendiri akan tersedot semua oleh lawan. Maka sekuatnya ia melolos pedangnya sendiri, dengan nekat pedang itu diangkat terus hendak menebas ke lengannya sendiri. Tapi sedikit ia menggunakan tenaga saja, serentak tenaga dalamnya membanjir keluar lebih cepat dan lebih deras, telinganya terasa mendengung keras, lalu tak sadarkan diri lagi.

Maksud Lenghou Tiong mencengkeram tenaga Hek-pek-cu itu sebenarnya cuma bermaksud menakut-nakuti saja untuk melampiaskan dongkolnya, tak terduga bahwa lawan sampai jatuh kelengar saking takutnya. Sembari bergelak tertawa ia lantas melepaskan cengkeramannya. Kontan badan Hek-pek-cu lantas lemas terkulai ke bawah, perlahan-lahan sebelah tangan yang baru dilepaskan Lenghou Tiong juga mengkeret keluar.

Sekilas teringat sesuatu pada benak Lenghou Tiong, lekas-lekas ia pegang pula tangan Hek-pek-cu. Untung dia cukup cepat sehingga masih keburu menyambar tangan orang. Pikirnya, “Kenapa aku tidak membelenggu dia dengan gelang besi ini untuk memaksa Ui Ciong-kong dan kawan-kawannya membebaskan aku?”

Segera ia tarik pula sekuatnya tangan Hek-pek-cu itu. Di luar dugaan bahwa sekarang tenaga dirinya sudah luar biasa kuatnya, sekali tarik saja bukan cuma tangan Hek-pek-cu yang mendekat, bahkan kepala Hek-pek-cu ikut menerobos masuk melalui lubang persegi itu, “bluk”, tahu-tahu seluruh badan Hek-pek-cu telah menyusup ke dalam kamar penjara itu dan terbanting di lantai.

Hal ini benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh Lenghou Tiong. Ia sendiri menjadi melongo kesima. Tapi segera ia memaki pada dirinya sendiri yang terlalu goblok, seharusnya sejak dulu-dulu mesti diketahui bahwa lubang persegi yang lebarnya ada dua-tiga puluh senti itu, asalkan kepala bisa masuk dengan sendirinya maka badannya juga bisa masuk. Jika badan Hek-pek-cu dengan gampang bisa menerobos masuk, mengapa dirinya tak bisa? Tadinya, memang dia terbelenggu dan dirantai sehingga sukar meloloskan diri, tapi sekarang belenggu sudah digergaji putus orang, mengapa sekarang tidak melarikan diri.

Rupanya pada waktu ia mengetahui belenggunya telah digergaji putus oleh orang, saat mana ia sedang memusatkan segenap pikirannya untuk berlatih ilmu sakti di atas dipan besi itu, pula ilmu itu belum hafal seluruhnya sehingga tatkala mana belum timbul pikirannya untuk segera berusaha meloloskan diri dari penjara itu.

Sekarang Hek-pek-cu telah ditariknya masuk ke kamar penjara, hanya berpikir sejenak saja dia lantas punya keputusan yang tetap. Segera ia menanggalkan pakaian Hek-pek-cu untuk ditukar dengan pakaiannya sendiri, lalu kerudung kepala Hek-pek-cu itu pun dipindahkan di atas kepalanya sendiri. Ia pikir andaikan di luar nanti ketemukan orang tentu mereka akan mengira dirinya adalah Hek-pek-cu.

Kemudian tangan dan kaki Hek-pek-cu dibelenggu dengan gelang besi yang sudah putus itu, Lenghou Tiong menggencet gelang besi itu sehingga merapat dan menggigit daging lengan Hek-pek-cu itu.
Saking kesakitan Hek-pek-cu sampai siuman kembali dan merintih kesakitan.

“Biarlah kita berganti tempat, besok juga kakek itu akan mengantar ransum untukmu, jangan khawatir kelaparan,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Yim ... Yim-locianpwe,” kata Hek-pek-cu dengan meratap, “engkau punya Gip ... Gip-sing-tay-hoat ....”

Dahulu waktu Lenghou Tiong membantu Hiang Bun-thian melawan keroyokan orang banyak di tengah gardu yang terpencil itu ia pun pernah mendengar orang berteriak tentang “Gip-sing-tay-hoat” (Ilmu Sakti Mengisap Bintang), sekarang didengar pula Hek-pek-cu menyebut nama ilmu itu, segera ia bertanya, “Gip-sing-tay-hoat apa?”

“Aku ... aku memang pantas mati ....” hanya sekian ucapannya Hek-pek-cu sudah merasa lemas, tenggorokan mengeluarkan suara mengorok, lalu tidak sanggup bersuara lagi.

Karena lebih penting meloloskan diri, maka Lenghou Tiong tidak gubris lebih jauh padanya, segera ia menjulurkan kepalanya keluar lubang persegi itu, kedua tangan lantas merambat pula ke luar, ketika tangannya menolak daun pintu besi itu, seketika tubuhnya melesat ke luar untuk kemudian menancapkan kakinya di tanah dengan tegak.
Karena perutnya sekarang terkumpul pula hawa murni berasal dari Hek-pek-cu itu sehingga rasanya tidak enak. Ia tidak tahu duduknya perkara, disangkanya hawa murni berasal dari Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio itu kembali mengganggunya lagi. Tapi sementara ini tidak sempat berlatih ilmu yang diperolehnya dari ukiran dipan besi itu, yang dia harapkan adalah lekas-lekas meninggalkan penjara maut itu, maka cepat ia melangkah keluar melalui jalan di bawah tanah yang remang-remang itu.

Karena habis digunakan masuk oleh Hek-pek-cu, dengan sendirinya pintu-pintu jalan bawah tanah itu semuanya masih terbuka, maka dengan leluasa Lenghou Tiong dapat melepaskan diri dari kurungan.

Sampai di ujung lorong itu, perlahan-lahan ia naik ke atas undak-undakan, tepat di atasnya adalah sebuah papan besi penutup. Ia coba pasang kuping, tapi tidak mendengar suara apa-apa. Setelah mengalami sekapan di dalam penjara ini, nyata Lenghou Tiong sudah tambah cerdik dan waspada, ia tidak lantas menerjang ke atas, tapi berdiri di situ rampai sekian lamanya, setelah jelas tak ada suara apa-apa dan yakin Ui Ciong-kong tiada berada di dalam kamarnya, habis itu baru perlahan-lahan ia menolak papan besi penutup itu, lalu meloncat ke atas.

Setelah menutup kembali papan besi itu di tempatnya, lalu dengan berjinjit-jinjit ia hendak melangkah ke luar kamar. Tapi mendadak seorang berkata dengan suara dingin di belakangnya, “Jite, apa yang kau lakukan sendirian di bawah sana?”

Lenghou Tiong terkejut dan cepat menoleh, ternyata Ui Ciong-kong, Tan-jing-sing, dan Tut-pit-ong bertiga sudah mengepung di sekelilingnya dengan senjata terhunus. Ia tidak tahu bahwa selama ini cara Hek-pek-cu memasuki penjara di bawah tanah itu adalah menggunakan pintu rahasianya sendiri, jadi sebenarnya tidak melalui kamar tidurnya Ui Ciong-kong, tapi sekarang Lenghou Tiong telah keluar melalui jalan itu sehingga menyentuh pesawat rahasia dan menerbitkan tanda alarm, maka serentak Ui Ciong-kong bertiga lantas muncul. Cuma dia memakai kerudung kepala, pakaiannya sudah bertukar pula dengan pakaian Hek-pek-cu, maka Ui Ciong-kong bertiga tidak mengenalinya dan tetap menyangka dia adalah Hek-pek-cu.

Bab 74. Mo-kau-kaucu = Ketua Mo-kau, Yim Ngo-heng

Dalam kejutnya Lenghou Tiong lantas hendak berkata, “Aku ... aku ....”

“Aku apa? Sudah lama aku mencurigai kau dan sudah kuduga kau pasti hendak mohon Yim Ngo-heng untuk mengajarkan ilmu iblis itu kepadamu, hm, apakah kau sudah lupa kepada sumpah yang pernah kau ucapkan?” demikian jengek Ui Ciong-kong.

Pikiran Lenghou Tiong menjadi kacau, ia bingung apa mesti memperlihatkan wajah aslinya atau tetap memalsukan Hek-pek-cu. Seketika ia tidak dapat mengambil keputusan, segera ia lolos pedang yang dirampasnya dari Hek-pek-cu terus menusuk ke arah Tut-pit-ong.

“Bagus, Jiko, apa ingin berkelahi sungguh-sungguh ya?” seru Tut-pit-ong dengan gusar, berbareng pensilnya lantas menangkis.

Tak terduga serangan Lenghou Tiong itu hanya tipu belaka, selagi orang hendak menangkis, secepat terbang ia lantas berlari ke luar.

Sudah tentu Ui Ciong-kong bertiga tidak tinggal diam, serentak mereka mengejar. Hanya sebentar saja Lenghou Tiong sudah berlari sampai di ruangan besar di depan.

“Jite, kau hendak lari ke mana?” teriak Ui Ciong-kong.

Lenghou Tiong tidak menjawab, ia tetap berlari secepat terbang. Mendadak terlihat seorang mengadang di tengah pintu dan berseru padanya, “Silakan berhenti, Jichengcu!”

Saat itu Lenghou Tiong sedang berlari dengan cepat sehingga tidak keburu mengerem, tanpa ampun lagi, “blang”, dengan tepat orang itu tertumbuk. Tubrukan ini benar-benar amat keras sehingga orang itu terpental ke luar dan terbanting beberapa meter jauhnya.

Sekilas pandang Lenghou Tiong dapat mengenali orang itu kiranya adalah Ting Kian, mungkin terluka parah sehingga tampaknya Ting Kian tidak mampu berkutik.

Tanpa berhenti Lenghou Tiong berlari terus menuju ke jalan kecil. Ui Ciong-kong bertiga hanya menguber sampai di muka kampung, lalu tidak mengejar lagi.

Tidak lama kemudian sampailah Lenghou Tiong di tanah pegunungan yang sunyi, jaraknya dengan kota agaknya sudah jauh, tanpa terasa dia ternyata sudah berlari sekian jauhnya. Aneh juga, meski dia berlari-lari secepat terbang dan begitu jauh, waktu berhenti ternyata tidak merasakan lelah, napasnya juga tidak memburu, dibandingkan sebelum terganggu oleh hawa murni yang aneh di dalam perut agaknya tenaganya sekarang sudah jauh lebih kuat.

Segera ia menanggalkan kerudung kepalanya. Terdengar suara gemerciknya air, memangnya ia merasa haus, segera ia mencari ke arah suara air itu, akhirnya sampai di tepi sebuah sungai pegunungan yang kecil. Ia berjongkok, belum lagi ia sempat meraup air untuk diminum, tahu-tahu di permukaan air tercermin sebuah bayangan orang yang berambut gondrong, muka penuh godek, dan berkumis panjang, jelek sekali wajah begitu.

Semula Lenghou Tiong terkejut, tapi ia lantas tertawa geli sendiri. Nyata setelah terkurung sekian lamanya di dalam penjara bawah tanah itu dia tidak pernah mandi dan bercukur, dengan sendirinya mukanya sekarang sedemikian kotor.

Seketika ia merasa badannya sangat gatal dan risi, segera ia membuka baju dan terus terjun ke dalam sungai untuk mandi sepuas-puasnya. Ia menduga daki di atas badannya itu kalau tidak ada setengah kuintal sedikitnya juga ada 30 kati.

Setelah mencuci badan sebersih-bersihnya dan kenyang minum, lalu ia memotong rambutnya di atas kepala. Ketika bercermin lagi ke permukaan air, ternyata wajahnya sekarang tampak lebih angker dan gagah, beda sekali daripada pemuda Lenghou Tiong yang bermuka putih mulus itu. Lebih-lebih tiada mirip sedikit pun daripada penyamaran yang dibuat oleh Hiang Bun-thian tempo hari.

Lenghou Tiong coba merenungkan pengalamannya, ia merasa heran tempat macam apakah Bwe-cheng itu? Mengapa tokoh hebat seperti orang she Yim itu sampai dikurung di situ sampai belasan tahun lamanya? Ia pikir hal ini perlu diselidiki dengan jelas, bilamana Yim-locianpwe itu terkurung di sana lantaran terjebak, maka aku harus berusaha menolong dia. Cuma dia telah menyatakan bila bebas dari kurungan itu, maka dia akan melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang bu-lim. Jika demikian, orang baik atau orang jahatkah orang she Yim itu? Ini perlu dibikin terang dahulu dan tidak boleh sembarangan bertindak secara ngawur.

Dengan wajahku sekarang, asalkan aku berganti pakaian, biarpun berhadapan lagi pasti Ui Ciong-kong dan lain-lain takkan kenal padaku. Demikian akhirnya ia mengambil keputusan.

Waktu ia berpakaian kembali, mendadak jalan darah dan napasnya terasa tidak lancar. Segera ia duduk semadi di tepi sungai dan menjalankan ilmu lwekang yang dipelajarinya dari ukiran di atas dipan itu, maka terasalah hawa murni yang bergolak di dalam perut itu mulai tersalur ke delapan urat nadi khusus, kemudian perut terasa kosong lagi tanpa sesuatu hawa murni.

Lenghou Tiong sendiri tidak tahu bahwa dirinya sesungguhnya sudah berhasil meyakinkan semacam lwekang yang paling lihai di dunia ini, tadi waktu memegang tangan Hek-pek-cu, dalam sekejap saja segenap lwekang yang dimiliki Hek-pek-cu sudah kena disedot seluruhnya olehnya serta terhimpun di dalam perut, sekarang hawa murni baru itu disalurkan ke dalam delapan urat nadi khusus, ini berarti serentak lwekangnya telah bertambah dengan lwekang seorang tokoh seperti Hek-pek-cu, maka dengan sendirinya semangatnya menjadi tambah berkobar.

Sementara itu hari sudah dekat magrib, perut terasa lapar juga, ia coba meraba saku atas jubah rampasan dari Hek-pek-cu itu, ternyata tiada berisi uang perak atau emas, hanya ada sebuah pipa tembakau air, yaitu pipa berbentuk poci yang berisi air, pipa tembakau itu terbuat dari timbel bertatahkan batu zamrud yang indah, terang itu semacam benda antik yang sukar dinilai harganya.

Segera ia merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju kota. Terlihat suasana Kota Hangciu di waktu malam yang cukup ramai. Ia mendapatkan sebuah hotel, lalu pesan arak dan daharan untuk makan sekenyang-kenyangnya. Malamnya ia dapat tidur dengan lelap.

Besok paginya ia menggadaikan pipa berbatu zamrud itu dan mendapatkan belasan tahil uang perak untuk membeli pakaian baru, sepatu, dan keperluan lain, semuanya serbabaru gres, sesudah berdandan, ia merasa pangling terhadap coraknya sendiri yang serbabaru itu.

Tiba-tiba teringat olehnya, “Jikalau siausumoay melihat bentukku ini entah bagaimana perasaannya? Ai, aku seakan-akan baru hidup kembali setelah mengalami bencana, mengapa aku selalu terkenang lagi kepada siausumoay?”

Keluar dari hotel, ia berjalan tanpa arah tujuan. Akhirnya sampai di tepi Se-ouw (Telaga Barat) yang tersohor akan pemandangannya yang indah itu. Dilihatnya di tepi telaga ada sebuah restoran besar pakai merek “Song-si-lau”. Seketika Lenghou Tiong ketagihan arak lagi, segera ia melangkah ke dalam restoran itu, ia pilih suatu tempat di tepi jendela yang menghadap ke telaga, lalu pesan minuman. Sambil menikmati arak ia melamun pula, kemarin ia masih terkurung di dalam penjara yang gelap gulita di dasar danau, tapi sekarang dirinya sudah bebas dan dapat makan minum sepuasnya, sungguh rasanya seperti habis mimpi saja.

Tanpa terasa Lenghou Tiong telah menghabiskan beberapa poci arak sehingga membikin pelayan restoran melongo heran akan kekuatan minumnya itu.

Pada saat lain tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, terlihat empat orang naik ke atas loteng restoran itu. Sekilas pandang Lenghou Tiong menjadi terkesiap. Dilihatnya sorot mata keempat orang itu bersinar tajam, jelas adalah jago silat yang memiliki kepandaian tinggi.

Tiga di antara keempat orang itu adalah kakek-kakek yang berusia 60-an tahun, satunya lagi adalah wanita setengah umur. Dandanan keempat orang sama-sama sederhana, selain memanggul sebuah buntelan di punggung masing-masing, senjata pun tidak tampak mereka bawa.

Salah seorang kakek itu berbadan sangat tinggi, ketika sampai di atas loteng dan mengawasi keadaan di situ, sikapnya sangat gagah dan berwibawa. Ia pun memandang sekejap ke arah Lenghou Tiong, lalu berpaling dan berkata kepada kawan-kawannya, “Resik juga tempat ini, bolehlah kita makan di sini.”

Ketiga kawannya mengiakan, lalu mereka mengambil tempat duduk pada meja sebelah sana yang juga menghadap ke telaga.

Dengan cekatan pelayan lantas mendekati untuk menawarkan makanan-makanan yang menjadi kebanggaan restorannya, siapa duga keempat orang itu ternyata tidak minum arak, bahkan juga tidak makan daging. Yang mereka pesan adalah sayur-sayuran belaka, selain itu mereka pesan lagi enam kati mi rebus.

Di waktu makan keempat orang itu sama sekali tidak berbicara, selesai makan juga habis perkara, sedikit pun mereka tidak ambil pusing enak atau tidak dari daharan yang mereka makan itu.

Dengan sangat hormat pelayan tadi mendekati tamu-tamunya, katanya dengan mengiring senyum manis, “Sayur campur goreng ini adalah masakan khusus dari koki kami, hebatnya goreng sayur melulu ini terdapat rasa hati ayam, ginjal babi, dan rempela itik tiga macam, entah bagaimana pendapat Tuan-tuan atas masakan ini?”

Seorang kakek yang kekar itu menjawab, “Masakan sayur adalah masakan sayur, buat apa pakai rasa hati babi atau hati sapi segala?”

Dari logat orang dapatlah Lenghou Tiong menduga orang berasal dari daerah Soatang (Santung). Ia heran entah keempat orang ini berasal dari golongan atau aliran mana, entah apa urusan mereka datang ke Hangciu ini? Tapi karena pikirannya sedang dipusatkan untuk menolong orang she Yim itu, ia tidak ingin cari perkara lain, ia pikir sehabis makan segera akan pergi dari situ.

Sama sekali tak terduga bahwa cara makan minum keempat orang itu ternyata sangat cepat, beberapa mangkuk mi rebus telah mereka sikat dalam sekejap, lalu membayar terus berangkat pergi tanpa memberi persen segala kepada pelayan.

Tentu saja pelayan restoran itu mengomel panjang-pendek, terlalu pelit katanya. Tapi ia lantas teringat bahwa di situ masih ada tamu lain, yaitu Lenghou Tiong, cepat ia mendekatinya dan minta maaf, “Harap Tuan jangan marah, yang hamba maksudkan bukanlah Tuan. Engkau telah makan minum besar, sudah tentu tak bisa dipersamakan dengan kaum kikir tadi.”

“Makan minum besar menjadi mirip tukang gegares saja,” ujar Lenghou Tiong tertawa. Lalu ia membayar dan tidak lupa memberi persen kepada pelayan.

Ia terus melancong ke seluruh pelosok kota mengikuti langkahnya tanpa tujuan yang tetap. Malamnya ia makan minum pula di suatu restoran yang lain, habis itu barulah kembali ke hotelnya untuk tidur.

Lewat tengah malam ia lantas bangun, ia melompat ke luar melalui jendela dan melintasi pagar tembok hotel terus menuju ke tepi Se-ouw di mana terletak kediaman Ui Ciong-kong.

Ginkang Lenghou Tiong sebenarnya tidak tinggi, tapi sejak berlatih “Thi-pan-sin-kang” (Ilmu Sakti dari Papan Besi) itu, sekarang bukan saja langkahnya enteng dan kuat, cukup satu langkah lebar sesuka hati saja sudah mencapai tingkatan yang sebelumnya tak pernah dibayangkan olehnya sendiri. Begitu cepat langkahnya di tengah malam buta yang sunyi itu, sampai-sampai suara tindakan kaki sendiri pun tidak terdengar.

Ketika melihat bayangan pohon berkelebat begitu cepat di sisinya, seketika Lenghou Tiong menghentikan langkahnya dan melongo heran. Pikirnya, “Sesungguhnya aku masih hidup atau sudah menjadi setan? Mengapa aku bisa berlari secepat ini seakan-akan terbang saja tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun?”
Ketika ia meremas-remas tangannya sendiri, jelas terasa sakit, maka ia sendiri menjadi geli pula. Pikirnya, “Thi-pan-sin-kang itu benar-benar aneh, aku cuma berlatih sebulan saja sudah mencapai kemajuan sepesat ini, kalau kulatih terus bukankah aku akan berubah menjadi siluman?”

Ia tidak tahu bahwa cara melatih ilmu yang terukir di dipan besi itu yang paling sulit ialah membuyarkan dulu segenap tenaga dalam, kalau hal ini kurang sempurna dilaksanakan akan berarti maut bagi dirinya sendiri. Untungnya Lenghou Tiong memang sejak mula tenaga dalam sendiri sudah punah, jadi hal yang sukar bagi orang lain telah dia capai dengan tidak mengalami halangan apa-apa.

Setelah membuyarkan tenaga dalam sendiri, selanjutnya adalah menyedot hawa murni orang lain untuk dikumpulkan di dalam perut sendiri, lalu mengerahkan ke berbagai urat nadi khusus sebagai cadangan. Langkah ini pun sangat sulit, sebab adalah mustahil bahwa tenaga dalam sendiri sudah hilang cara bagaimana dapat menyedot hawa murni orang lain? Tapi dalam hal ini kembali Lenghou Tiong mempunyai keuntungan secara kebetulan, sebab sebelumnya ia telah memiliki berbagai macam hawa murni yang aneh dari Tho-kok-lak-sian serta Put-kay Hwesio, lantaran itu pula dengan cepat ilmu itu telah berhasil diyakinkan olehnya, sebuah mangkuk sedikit dipencet sudah lantas hancur, tanpa sengaja tenaga dalam Hek-pek-cu juga telah dia sedot. Jadi sekaligus ia telah memiliki kekuatan delapan tokoh kelas wahid, apalagi ketika di Siau-lim-si, waktu Hong-sing Taysu berusaha menyembuhkan penyakitnya juga telah mencurahkan sedikit tenaga sakti Siau-lim-pay ke dalam tubuhnya.
Maka betapa kuat tenaga dalam Lenghou Tiong sekarang boleh dikata jarang ada bandingannya di seluruh dunia persilatan. Hanya saja ia sendiri tidak paham duduknya perkara, sebaliknya ia merasa aneh dan terkejut sendiri.

Untuk sejenak ia berdiri termenung, pikirnya, “Kepandaianku seperti sekarang ini terang tak bisa diajarkan oleh suhu, akan tetapi ... aku lebih suka kembali seperti dahulu dan hidup senang di tengah perguruan Hoa-san daripada luntang-lantung seorang diri di dunia Kangouw.”

Begitulah ia merasa selama hidupnya belum pernah memiliki ilmu silat setinggi sekarang ini, tapi merasakan pula tiada pernah hidup sesunyi ini dan sehampa sekarang. Selama beberapa bulan dikurung di dalam penjara bawah tanah itu dengan sendirinya ia kesepian, tapi sekarang sesudah bebas toh masih berkeliaran di tengah malam buta seorang diri, dasar pembawaannya memang suka ramai, suka bergaul, dan gemar minum arak, meski menyadari ilmu silatnya mendadak bertambah lihai, tapi rasa girang itu tidak dapat mengatasi rasa kesalnya yang hampa itu.

Setelah termangu-mangu sejenak, akhirnya ia berkata di dalam hati, “Ai, semua orang tidak sudi menggubris lagi padaku terpaksa aku akan pergi ke Bwe-cheng untuk menjenguk locianpwe she Yim yang masih dikurung di sana itu. Jika dia mau bersumpah tak membunuh orang bilamana lolos dari penjara, maka boleh juga aku menolongnya meloloskan diri.”

Segera ia melanjutkan perjalanan menuju ke Bwe-cheng. Tidak lama kemudian ia sudah mendaki bukit itu dan sampai di samping perkampungan itu. Suasana di dalam kampung sunyi senyap, dengan enteng sekali ia telah melompati pagar tembok.

Dilihatnya belasan rumah di situ semuanya sunyi dan gelap gulita, hanya sebuah rumah di sebelah kanan kelihatan masih ada sinar lampu. Dengan hati-hati segera ia mendekati jendela rumah itu.

“Ui Ciong-kong, apakah kau sudah tahu akan dosamu?” demikian mendadak terdengar suara seorang yang serak tua membentak di dalam rumah.

Lenghou Tiong menjadi heran, tokoh macam Ui Ciong-kong ternyata masih ada orang yang berani membentak-bentak padanya. Ia coba mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela. Begitu mengetahui siapa yang berada di dalam itu, seketika hatinya berdebar-debar.

Terlihat orang berduduk di empat kursi, mereka adalah keempat orang yang dijumpainya di atas loteng Song-si-lau siang tadi. Ui Ciong-kong, Tut-pit-ong, dan Tan-jing-sing bertiga tampak berdiri di depan keempat orang itu dengan membelakangi jendela sehingga wajah mereka tidak kelihatan. Tapi yang satu berduduk dan yang lain berdiri, dari ini pun jelas akan perbedaan kedudukan mereka.

Terdengar Ui Ciong-kong sedang menjawab, “Ya, hamba mengakui salah. Hamba tidak mengadakan penyambutan sepantasnya atas kedatangan keempat Tianglo, benar-benar berdosa.”

“Hm, apa dosanya jika cuma soal sambutan saja?” jengek kakek yang bertubuh jangkung. “Janganlah kau berlagak pilon lagi. Di manakah Hek-pek-cu? Mengapa tidak menghadap kepada kami?”

Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, Hek-pek-cu telah terkurung di dalam penjara, tapi Ui Ciong-kong bertiga malah mengira saudara angkat mereka itu telah melarikan diri.

Begitulah Ui Ciong-kong telah menjawab, “Lapor para Tianglo, pengawasan hamba kurang keras sehingga sifat Hek-pek-cu akhir-akhir ini telah banyak mengalami perubahan. Beberapa hari ini dia telah meninggalkan tempat tinggalnya.”

“Hm, dia tidak di sini? Tidak di tempat tinggalnya?” kakek tadi menegas.

“Ya,” jawab Ui Ciong-kong.

Kakek itu tampak menatap Ui Ciong-kong dengan sorot mata yang tajam, katanya pula, “Ui Ciong-kong, Kaucu menugaskan kalian menjaga Bwe-cheng ini, apakah kalian disuruh memetik kecapi, minum arak, melukis, dan main catur melulu?”

“Tidak, hamba berempat ditugaskan oleh Kaucu untuk menjaga tahanan penting di sini,” sahut Ui Ciong-kong dengan membungkuk tubuh.

“Betul,” kata si kakek. “Lalu bagaimana dengan tahanan penting yang kau awasi itu?”

“Lapor Tianglo, tahanan penting itu masih terkurung di dalam penjara bawah tanah,” tutur Ui Ciong-kong. “Selama 12 tahun hamba tidak pernah meninggalkan Bwe-cheng ini, tidak pernah melenakan tugas.”

“Bagus, bagus. Kalian tidak pernah meninggalkan tempat tugas, tidak pernah melenakan tugas,” kata si kakek. “Jika demikian, jadi tahanan penting itu masih tetap berada di dalam penjara bukan?”

“Betul,” sahut Ui Ciong-kong tegas.

Mendadak kakek itu menengadah memandangi langit-langit rumah, tiba-tiba ia terbahak sehingga debu di langit-langit rumah itu sama rontok. Selang sejenak baru ia berkata pula, “Coba kau bawa kami pergi melihat tahanan penting itu.”

“Mohon maaf para Tianglo,” kata Ui Ciong-kong. “Menurut perintah keras Kaucu dahulu, tak peduli siapa pun juga dilarang menyambangi tahanan itu, jika melanggar ....”

Dengan cepat kakek tadi lantas mengeluarkan sepotong benda terus diangkat tinggi-tinggi ke atas sembari berdiri. Tiga orang kawannya serentak juga berdiri dengan sikap sangat hormat.

Waktu Lenghou Tiong mengamat-amati benda itu, kiranya benda itu adalah sepotong papan kayu warna hitam hangus yang belasan senti panjangnya, di atas papan kayu itu ada ukiran-ukiran kembang dan tulisan, tampaknya sangat aneh dan penuh rahasia.

Seketika Ui Ciong-kong bertiga lantas memberi hormat dan berkata, “Hek-bok-leng-pay (Papan Kebesaran Kayu Hitam) Kaucu tiba, hamba akan menerima segala titah dengan hormat.”
“Baik, sekarang pergilah membawa tahanan penting itu ke sini,” kata si kakek.

“Tahanan penting itu terborgol dengan rantai, tidak ... tidak dapat dibawa ke sini,” jawab Ui Ciong-kong dengan ragu-ragu.

“Hm, sampai saat ini kau masih coba putar lidah dan bermaksud mendustai kami,” jengek kakek itu. “Aku ingin tanya, sesungguhnya cara bagaimana tahanan itu sampai lolos dari sini?”

“Tahanan ... tahanan itu telah melarikan diri? Ah, mana ... mana mungkin,” jawab Ui Ciong-kong terperanjat.
“Orang itu masih tetap terkurung di dalam penjara, mana bisa melarikan diri.”

“O, jadi kau tidak mau bicara dengan terus terang ya?” kata si kakek. Perlahan-lahan ia lantas mendekati Ui Ciong-kong, mendadak sebelah tangannya menepuk ke pundak Ui Ciong-kong.

Serentak Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing bermaksud melangkah mundur, tapi tindakan mereka ternyata kalah cepat dengan gerak tangan si kakek jangkung, “plok-plok” dua kali, berturut-turut pundak Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing juga telah kena ditabok.

“Pau-tianglo,” teriak Tan-jing-sing, “apa kesalahan kami sehingga engkau menggunakan cara ... cara sekeji ini terhadap kami?”

Dari suaranya dapat diketahui di samping menahan sakit luar biasa ia pun merasa penasaran.

Kakek itu menjawabnya dengan perlahan, “Kalian ditugaskan oleh Kaucu untuk menjaga tahanan penting itu, sekarang tahanan itu berhasil melarikan diri, kalian pantas dihukum mati atau tidak?”

“Jika tahanan itu benar-benar melarikan diri, sudah tentu hamba pantas dihukum mati,” sahut Ui Ciong-kong.
“Akan ... akan tetapi tahanan itu sampai saat ini masih berada di dalam penjara. Sekarang Pau-tianglo datang-datang lantas menggunakan hukuman keji, ini membikin kami penasaran.”

Waktu bicara badan Ui Ciong-kong sedikit miring sehingga dari samping Lenghou Tiong dapat melihat jidatnya penuh butiran keringat sebesar kedelai. Maka Lenghou Tiong dapat menduga tepukan Pau-tianglo tadi tentu sangat lihai sehingga jago silat hebat sebagai Ui Ciong-kong juga tidak tahan.

Maka terdengar si kakek telah menjawab, “Baik, silakan kalian memeriksa sendiri ke dalam penjara, jikalau tahanan itu masih tetap di sana, hm, biar aku nanti menjura dan minta maaf kepada kalian, seketika pula akan memunahkan hukuman Na-sah-jiu (Pukulan Pasir Biru).”
“Baik, harap para Tianglo menunggu sementara,” kata Ui Ciong-kong. Segera bersama Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing bertindak ke luar dan badan rada gemetar.

Khawatir diketahui, Lenghou Tiong tidak berani mengintip lebih jauh, perlahan-lahan ia berduduk di atas tanah, pikirnya, “Kaucu apa yang dikatakan itu menugaskan mereka menjaga tahanan penting di sini selama 12 tahun, dengan sendirinya tahanan yang dimaksudkan bukanlah diriku dan tentulah locianpwe she Yim itu. Apakah benar dia sudah berhasil lolos? Dia dapat melarikan diri dari penjara tanpa diketahui oleh Ui Ciong-kong dan lain-lain, maka kepandaiannya benar-benar mahasakti. Ya, tentunya Ui Ciong-kong bertiga memang tidak tahu, makanya Hek-pek-cu menyangka aku sebagai Yim-locianpwe.”

Ia pikir sebentar lagi kalau Ui Ciong-kong bertiga sudah memeriksa tahanan di dalam penjara tentu akan dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya. Perubahan-perubahan yang hebat itu kalau dipikirkan benar-benar sangat aneh dan lucu.

Didengarnya keempat orang yang duduk di dalam itu semuanya diam saja. Pikirnya pula, “Keempat orang ini benar-benar sangat pendiam, sudah tidak minum arak, tidak makan daging pula, mana senangnya menjadi manusia? Kaucu yang dikatakan itu dari agama apakah? Jangan-jangan Mo-kau? Tapi Kaucu dari Mo-kau itu katanya bernama Tonghong Put-pay dan merupakan tokoh nomor satu di dunia persilatan pada zaman ini, ilmu silatnya tiada tandingannya, jangan-jangan keempat orang ini adalah tianglo (tertua) dari Mo-kau, sebab itulah Ui Ciong-kong dan kawan-kawannya sedemikian takut padanya? Dan jika demikian, jadi Ui Ciong-kong berempat juga anggota Mo-kau semua?”

Begitulah timbul macam-macam pikirannya, tapi bernapas pun dia tidak berani keras-keras, meski dia dan empat orang tua itu terhalang oleh selapis dinding, tapi jaraknya cuma beberapa meter saja, asal napasnya sedikit berat seketika pasti akan ketahuan.

Dalam keadaan sunyi senyap itu, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri yang berkumandang dari jauh, jeritan yang penuh derita dan ketakutan. Dari suaranya dapat Lenghou Tiong mengenali sebagai suaranya Hek-pek-cu.

Menyusul terdengarlah suara tindakan kaki yang makin mendekat, Ui Ciong-kong dan lain-lain telah kembali. Segera Lenghou Tiong mengintip lagi. Dilihatnya Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing memayang Hek-pek-cu yang tampak lemas itu, air muka Hek-pek-cu tampak pucat guram, matanya sayu, berbeda sekali dengan tingkah lakunya yang cekatan dan cerdik sebelumnya.

“La ... lapor para Tianglo,” demikian Ui Ciong-kong berkata dengan suara gemetar, “tahanan itu ternyata sudah ... sudah melarikan diri. Hamba terima dihukum mati di hadapan para Tianglo.”

“Tadi kau bilang Hek-pek-cu tidak di sini, mengapa sekarang dia muncul lagi? Sebenarnya bagaimana duduknya perkara?” tanya kakek she Pau bernama Tay-coh itu.

“Tentang seluk-beluk kejadian ini sesungguhnya hamba juga merasa bingung,” tutur Ui Ciong-kong. “Ai, kegemaran melalaikan tugas, hal ini adalah salah kami berempat yang terlalu iseng dan tergila-gila kepada kegemaran masing-masing sehingga kelemahan kami ini telah dipergunakan musuh untuk mengatur tipu muslihat, akhirnya orang itu ... orang itu telah mereka bawa lari.”

Lenghou Tiong juga merasa bingung, pikirnya, “Kiranya locianpwe she Yim itu juga sudah melarikan diri, apa betul mereka sama sekali tidak mengetahui?”

Maka terdengar Pau Tay-coh bertanya pula, “Kami berempat dititahkan oleh Kaucu untuk menyelidiki bagaimana sampai tahanan penting itu bisa meloloskan diri. Jika kalian mengaku terus terang tanpa berdusta, maka ... mungkin kami akan memohonkan ampun kepada Kaucu bagi kalian.”

Ui Ciong-kong menghela napas panjang, sahutnya, “Seumpama Kaucu sudi memberi ampun juga hamba malu untuk hidup lagi di dunia ini? Cuma sebelum hamba mengetahui seluk-beluk akan peristiwa ini, biar mati pun hamba merasa penasaran. Pau-tianglo, apakah ... apakah Kaucu beliau berada di Hangciu?”

Alis Pau Tay-coh tampak menegak, sahutnya, “Siapa bilang Kaucu berada di Hangciu?”

“Sebab tahanan itu baru saja melarikan diri kemarin, mengapa Kaucu seketika lantas tahu dan segera mengirim keempat Tianglo ke Bwe-cheng sini?” ujar Ui Ciong-kong.
“Hm, kau makin lama tampaknya tambah pikun,” jengek Pau Tay-coh. “Siapa yang bilang tahanan penting itu baru melarikan diri kemarin?”

“Orang itu benar-benar baru melarikan diri pada kemarin siang,” sahut Ui Ciong-kong. “Tatkala mana kami bertiga mengira dia adalah Hek-pek-cu, tak tersangka dia telah berhasil memancing Hek-pek-cu untuk ditawannya, lalu menukar pakaiannya dengan baju Hek-pek-cu terus menerjang keluar. Kejadian ini tidak cuma kami bertiga yang menyaksikan, malahan Ting Kian juga kena ditubruk oleh orang itu sehingga tulang iganya banyak yang patah ....”

Pau Tay-coh menoleh kepada ketiga tianglo yang lain, katanya dengan mengerut dahi, “Orang ini entah mengaco-belo apa, masakah bisa terjadi begitu?”

Seorang kakek yang pendek gemuk di antaranya lantas berkata, “Kita menerima berita itu pada tanggal delapan bulan yang lalu ...” sembari bicara ia terus menghitung-hitung dengan jarinya, lalu menyambung, “sampai hari ini sudah hari ke-21.”

“Tidak ... tidak mungkin,” seru Ui Ciong-kong sambil melangkah mundur, lalu berpaling dan berteriak, “Si Leng-wi, gotong Ting Kian ke sini!”

Dari jauh terdengar suara Si Leng-wi mengiakan.

Pau Tay-coh coba mendekati Hek-pek-cu dan menjambret dadanya terus diangkat, ternyata tokoh nomor dua dari Bwe-cheng itu keadaannya memang lemas lunglai seakan-akan seluruh ruas tulang badannya telah terlepas semua.

“Ya, itulah akibat seluruh tenaganya telah disedot habis oleh Gip-sing-tay-hoat orang itu,” ujar si kakek hitam kurus sebelah sana.

“Bilakah kau kena dikerjai oleh orang itu?” tanya Pau Tay-coh.

“Kemarin,” sahut Hek-pek-cu dengan suara terputus-putus lemah, “orang itu men ... mencengkeram pergelangan kananku sehingga aku tak bisa ... tak bisa berkutik, terpaksa aku pasrah nasib.”

“Lalu bagaimana?” tanya Pau Tay-coh dengan tidak mengerti.

“Melalui lubang persegi di daun pintu itu aku telah ditarik masuk ke dalam kamar tahanan,” tutur Hek-pek-cu. “Dia menanggalkan pakaianku dan membelenggu kaki-tanganku, kemudian dia menerobos keluar melalui lubang persegi itu.”

“Jadi kemarin, benar-benar kemarin? Mana mungkin?” ujar Pau Tay-coh mengerut dahi.

“Dan cara bagaimana belenggu baja itu dapat diputuskan olehnya?” tanya si kakek kurus.

“Hal ini aku ... aku tidak tahu,” jawab Hek-pek-cu.

“Tadi hamba telah meneliti belenggu-belenggu itu, ternyata digergaji putus dengan gergaji baja yang amat lihai, sungguh aneh, dari manakah orang itu mendapatkan gergaji halus demikian itu?” kata Tut-pit-ong.

Dalam pada itu Si Leng-wi sudah datang menggotong Ting Kian bersama dua orang pelayan. Ting Kian menggeletak di atas dipan dan tertutup selapis selimut tipis.

Pau Tay-coh membuka selimut itu dan memegang perlahan di atas dada Ting Kian, seketika Ting Kian berteriak kesakitan. Pau Tay-coh manggut-manggut dan memberi tanda agar Ting Kian digotong pergi lagi.

“Tubrukan itu benar-benar sangat hebat, jelas dilakukan oleh orang itu,” ujar Pau Tay-coh kemudian.

Wanita yang duduk di sebelah kiri sejak tadi tidak pernah membuka suara, sekarang mendadak ia berkata, “Pau-tianglo, jika betul orang itu baru lolos kemarin, lantas berita yang kita terima permulaan bulan yang lalu mungkin adalah kabar bohong yang sengaja disebarkan oleh begundalnya untuk memengaruhi pikiran kita.”

Usia wanita itu tidak dapat dikatakan muda lagi, tapi suaranya ternyata masih merdu dan enak didengar.

“Tidak, tidak mungkin palsu,” sahut Pau Tay-coh sambil menggeleng.

“Tidak palsu?” wanita itu menegas.

“Ya, coba pikirkan, Sik-hiangcu memiliki ilmu Kim-cong-cu dan Thi-poh-sah (ilmu-ilmu kebal) yang tidak mempan diserang oleh senjata tajam biasa, tapi lima jari orang itu telah mampu menembus dadanya sehingga ulu hatinya kena dikorek ke luar mentah-mentah, kepandaian selihai ini rasanya tiada orang keduanya di dunia ini selain orang itu ....”