Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 29 November 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 6

Sambungan bagian 5 ...

Bagian ke 6: Ingin Membunuh Malah Dibunuh
"Siapa atasan kalian?" tanya Siau Liong. Ia sama sekali tidak gentar akan ancaman si Brewok.
"Perlukah Tuan besar memberitahukan padamu?"
"Perlu."
"Nah, dengar baik-baik!" Si Brewok memberitahukan dengan suara lantang. "Beliau pemilik rumah makan Si Hai Ciu Lau di Kota Ling ni!"
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut dengan mata menyorotkan sinar aneh. "Siapa nama pemilik rumah makan itu?"
"Eh?" Si Gemuk, teman Si Brewok melotot. "Bocah! Sudah terlampau banyak engkau bertanya!"
Siau Liong mengernyitkan kening, kemudian tersenyum hambar.
"Kalian bertiga, bukankah hari ini aku sulit melepaskan diri dari tangan kalian, kenapa kalian tidak mau memberitahukan nama pemilik rumah makan itu?" tanyanya perlahan.
"Lo Sam (Saudara ketiga)!" Si Brewok meliriknya. "Apa yang dikatakannya memang tidak salah, sesaat lagi dia akan mampus! Kita takut apa? Beritahukanlah!"
Si Gemuk atau Lo Sam itu mengerutkan kening, lama sekali barulah membuka mulut.
"Menurut aku, itu….. tidak baik."
"Lo Sam!" Si Brewok tertawa. "Legakanlah hatimu, orang yang sudah mampus tidak akan bisa bicara lagi."
"Itu…..." Lo Sam tampak ragu.
Sementara si Brewok menatap Siau Liong sambil tertawa dingin, kemudian menudingnya dan berkata.
"Bocah! Dengar baik-baik! Pemilik rumah makan Si Hai Ciu Lau itu bernama Toan Beng Thong, berjuluk Thi Sui Phoa (Sui Phoa besi) yang telah menggetarkan kang ouw!"
"Jadi….. dia yang memerintah kalian bertiga ke mari?"
"Betul." Si Brewok mengangguk. "Setahu kami, dia pun melaksanakan perintah atasannya."
"Oh?" Sapasang mata Siau Liong menyorot tajam. "Siapa atasannya?"
"Itu…..." Si Brewok menggeleng-gelengkan kepala. "Kami tidak tahu!"
"Sungguhkah kalian bertiga tidak tahu?"
"Bocah! Engkau pasti mampus, untuk apa kami membohongimu?" Si Brewok tertawa dingin. "Tuan besar, tidak perlu merahasiakannya!"
"Kalau begitu…..." tanya Siau Liong setelah berpikir sejenak. "Kenapa kalian bertiga tahu aku akan melewati rimba ini?"
"Tentunya ada petunjuk dari atasan kami itu!" jawab Si Brewok dan menambahkan, "Bocah! Engkau masih ada pertanyaan lain?"
"Tidak ada." Siau Liong menggelengkan kepala.
"Kalau begitu…..." Si Brewok tertawa dingin. "Engkau punya suatu pesan sebelum mampus?"
"Ada."
"Apa pesanmu? Cepat beritahukan, Tuan besar harus segera mencabut nyawamu!" Si Brewok tertawa gelak.
Siau Liong tidak menyahut, melainkan melompat turun dari punggung kudanya. Ia menaruh buntalan bajunya ke bawah, kemudian mengambil pedangnya.
"Pesanku yakni menginginkan kepala kalian bertiga," ujar Siau Liong. Ia berdiri tegak sambil menatap mereka bertiga dengan tajam. "Kalian mengabulkan itu?"
Air muka Ling Ni Sam Hou langsung berubah. Mereka bertiga saling memandang, kemudian si Brewok tertawa keras.
"Bocah! Beranikah engkau bertarung dengan kami?"
"Bukan cuma berani, bahkan aku pun menghendaki kepala kalian," sahut Siau Liong dengan wajah dingin. "Kalian bertiga mau mencabut nyawaku, tentunya aku harus mempertahankan."
"Oh, ya?" Si Brewok tertawa. "Satu lawan tiga, engkau kira masih bisa hidup?"
"Aku tidak tahu itu, yang jelas aku harus melawan kalian bertiga," ujar Siau Liong berani.
"Kalau begitu…..." Si Kurus terkekeh-kekeh. "Engkau sudah memutuskan untuk bertarung dengan kami?"
"Hm!" dengus Siau Liong. "Jangan banyak bicara! Cepat hunus senjata kalian masing-masing!"
Si Kurus segera mencabut senjatanya yang berupa sebilah golok yang amat tajam. Itu golok bergagang kepala setan.
"Bocah! Aku akan menghabiskanmu!" bentaknya sambil menyerang Siau Liong dengan jurus golok yang mematikan. Betapa dahsyatnya sabetan golok setan itu. Si Kurus ingin memenggal kepala Siau Liong dalam satu jurus.
Sementara Siau Liong masih berdiri tegak di tempat, kemudian mendadak ia menghunus pedangnya. Ditangkisnya sabetan golok si Kurus dan membalas menyerang dengan jurus pedang yang diajarkan orang tua pincang.
Trannng! Golok dan pedang saling membentur, bunga api pun berpijar. Serangan balasan Siau Liong dengan jurus pedang itu, membuat si Kurus terkurung dalam bayangan pedang tersebut.
Pedang itu pun mengeluarkan hawa dingin, yang sungguh mengejutkan si Kurus. Tiba-tiba terdengarlah suara jeritan yang menyayat hati.
"Aaaakh...!" Darah muncrat, lengan kanan si Kurus melayang ke atas, lalu jatuh. Golok setan itu masih tergenggam erat.
Si Kurus terhuyung-huyung dengan wajah pucat pias, bahu kanannya masih mengucurkan darah.
Si Brewok terkejut bukan main. Ia segera mendekati si Kurus, kemudian menotok bahunya agar darah tidak terus mengucur. Setelah itu ia pun membalur bahu si Kurus dengan obat.
Sementara itu, Siau Liong masih berdiri tegak di tempat. Ia tertegun dan termangun.
Sejak ia belajar jurus pedang itu, baru pertama kali dipergunakannya untuk bertarung dengan lawan. Sungguh di luar dugaan, jurus pedang itu begitu lihai dan sadis.
Nafas Si Kurus terengah-engah ketika si Brewok memapahnya lari ke bawah pohon. Setelah mendudukkan si Kurus di bawah pohon, si Brewok pun menghunus senjatanya, lalu selangkah demi selangkah mendekati Siau Liong dengan mata berapi-api.
Siau Liong menarik nafas dalam-dalam. Posisinya masih tetap seperti semula, berdiri tegak di tempat, pedang yang di tangannya diluruskan ke bawah.
"Hiyaaat!" pekik si Brewok sambil menyerang Siau Liong.
"Ciaaat!" Si Gemuk juga ikut menyerang dari belakang.
Siau Liong menjadi gugup, namun pada waktu bersamaan, secepat kilat ia mengayunkan pedangnya, tetap dengan jurus pedang yang diajarkan orang tua pincang.
Apa yang terjadi setelah ia mengeluarkan jurus tersebut? Ia sendiri pun tidak mengetahuinya, yang jelas Si Brewok dan Si Gemuk menjerit menyayat hati pada waktu bersamaan pula.
Darah muncrat ke mana-mana. Kepala Si Brewok terbang ke atas, sedangkan badan Si Gemuk terputus menjadi dua.
Badan Si Brewok yang tak berkepala itu masih mampu berjalan beberapa langkah, lalu roboh. Sementara kaki dan tangan Si Gemuk yang telah terpisah itu, masih bergerak-gerak, kemudian diam.
Si Kurus yang duduk di bawah pohon, nyaris pingsan ketika menyaksikan kejadian yang mengerikan itu.
Bagaimana Siau Liong? Ia sendiri pun terbelalak dan terpaku di tempat, seperti kehilangan sukma. Sejak ia bisa memainkan sejurus pedang itu, baru kali ini ia bertarung dengan lawan. Kelihayan dan kehebatan sejurus pedang itu, membuatnya terperangah.
Padahal sesungguhnya Siau Liong berhati bajik. Meskipun Ling Ni Sam Hou ingin mencabut nyawanya, karena mereka hanya melaksanakan perintah, ia sama sekali tidak berniat membunuh mereka, tapi jurus pedang itu.....
Lama sekali Siau Liong berdiri terperangah, kemudian barulah memandang kedua sosok mayat yang tak utuh itu. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik nafas panjang dan merasa tidak tega.
Ia menyarungkan pedang yang digenggamnya, lalu menatap Si Kurus yang duduk di bawah pohon.
"Jangan menyalahkanku!" ujarnya perlahan. "Yang bersalah dalam hal ini Thia Sui Pho Toan Beng Thong. Kini kalian bertiga tinggal satu. Aku pun tidak akan berbuat apa-apa terhadapmu. Mengenai dendam ini, terserah engkau kelak."
Usai berkata demikian, Siau Liong membalikkan badannya, lalu melangkah menghampiri kudanya.
"Berhenti, bocah!" bentak Si Kurus.
Siau Liong berhenti lalu menoleh.
"Engkau mau bicara apa?" tanyanya sambil menatap Si Kurus.
"Bocah, lebih baik bunuhlah aku juga!" sahut Si Kurus.
"Apa?!" Siau Liong tertegun. "Engkau ingin mati?"
"Tidak salah. Aku memang ingin mati. Bunuhlah aku!"
"Kenapa?" Siau Liong menatapnya heran. Ia tidak habis berpikir, kenapa Si Kurus minta dibunuh?
"Tidak kenapa-napa, aku cuma ingin mati. Bocah, cabutlah pedangmu dan penggallah kepalaku!"
"Meskipun engkau ingin mati, aku tidak ingin membunuhmu," sahut Siau Liong sambil menarik nafas. "Lagi pula…..."
"Bocah!" Potong Si Kurus cepat. "Engkau tidak berani?"
"Bukan tidak berani, melainkan tidak ingin membunuhmu." Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Bocah!" bentak Si Kurus gusar. "Kenapa engkau tidak mau membunuhku?"
"Karena aku bukan pembunuh," sahut Siau Liong tenang. "Juga tidak suka membunuh."
Si Kurus tertawa dingin, dan menatap Siau Liong seraya berkata,
"Engkau sungguh pandai berkata! Hmm!" dengus si Kurus. "Padahal…..." Si Kurus menghentikan ucapannya, berselang baru dilanjutkan. "Kalau begitu, kenapa engkau membunuh mereka berdua?"
Siau Liong menarik nafas panjang, dan memandang si Kurus sambil tersenyum getir.
"Mereka berdua mati karena pedangku, itu sungguh di luar dugaan. Sesungguhnya aku tidak berniat membunuh mereka, tapi…..."
"Karena kepandaian mereka sangat rendah kan?" sela si Kurus.
"Aku tidak bermaksud begitu," ujar Siau Liong dengan wajah murung.
"Lalu apa maksudmu?"
"Terus terang, aku sendiri pun tidak tahu begitu lihay dan hebat jurus pedang itu, bahkan sangat sadis pula. Padahal itu cuma sejurus….."
Siau Liong berkata sesungguhnya. Akan tetapi, bagaimana mungkin Si Kurus itu percaya. Ia melotot dengan mata membara penuh dendam.
"Bocah! Engkau sungguh pandai berbohong!" tandasnya dengan suara keras.
"Aku berkata sesungguhnya, sama sekali tidak bohong."
"Hmm!" dengus Si Kurus dingin. "Engkau yang mengeluarkan jurus pedang itu, bagaimana mungkin tidak tahu kehebatannya?"
"Aku tidak bohong."
"Bocah!" bentak Si Kurus. "Jangan bohong! Siapa pun tidak akan percaya!"
Tiba-tiba wajah Siau Liong berubah serius, dan tertawa dingin.
"Engkau tidak percaya, terserah."
Si Kurus menatapnya dengan bengis, berselang beberapa saat kemudian, wajahnya berubah murung.
"Siau hiap (Pendekar muda), aku bermohon padamu......" Si Kurus menundukkan kepala.
"Apa yang engkau pinta?" tanya Siau Liong lembut. "Katakanlah!"
"Aku mohon agar Siau hiap juga membunuh aku," sahut Si Kurus.
"Eeeh?" Siau Liong tercengang. "Aku sungguh tak mengerti, kenapa engkau ingin mati?"
Si Kurus tertawa sedih.
"Kalau siau hiap tidak membunuhku, aku pun tidak bisa hidup." jawabnya.
Siau Liong tertegun, dipandangnya Si Kurus dengan mata terbeliak.
"Itu kenapa?"
"Setelah aku pulang......" Si Kurus menarik nafas. "Thi Sui Phoa Toan Beng Thong juga tidak akan melepaskan diriku."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Begitu kejam Toan Beng Thong itu?"
Si Kurus tertawa getir, lalu menarik nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Toan Beng Thong memang kejam, tapi tidak bisa disalahkan."
"Lho, kenapa?" Siau Liong tampak bingung.
"Peraturan atasan terhadap bawahan sangat ketat dan keras. Jika anak buah tidak bisa melaksanakan perintah atasan dengan baik atau tidak berhasil, pasti dihukum mati."
"Oh?" kening Siau Liong berkerut. "Atasan sama sekali tidak bertanya kenapa tidak berhasil?"
"Pokoknya gagal, pasti dihukum mati."
"Itu sungguh kejam." Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak beraturan sama sekali."
"Yaah!" Si Kurus menarik nafas panjang.
"Seandainya berhasil, tentunya memperoleh imbalan, kan?" tanya Siau Liong mendadak.
"Benar." Si Kurus mengangguk. "Imbalan yang luar biasa dan istimewa."
"Oh? Bagaimana luar biasa dan istimewanya?"
"Itu…..." Si Kurus tidak langsung menjawab, melainkan berpikir, lama sekali barulah melanjutkan ucapannya. "Atasan punya sebuah Bun Jiu Kiong (Istana Lemah Lembut) yang tak kalah mewah dan megah dibandingkan dengan istana raja. Di dalam istana itu penuh dengan gadis cantik jelita…..."
"Oh?" Siau Liong terheran-heran. "Pernahkah engkau ke istana itu?"
Si Kurus menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak pernah."
"Engkau tidak pernah ke sana, tapi kok begitu jelas mengenai istana itu?"
"Aku mendengar dari orang."
"Siapa yang memberitahukan padamu?"
"Dia…..." Si Kurus tampak ragu, namun kemudian memberitahukan juga dengan suara rendah. "Toan Beng Thong."
"Pernahkah dia ke istana itu?"
"Aku tidak tahu jelas, tapi aku pernah bertanya padanya, dia cuma tersenyum."
Siau Liong berpikir.
"Siapa yang berhasil melaksanakan perintah atasan, maka imbalannya berkunjung ke istana Bun Jiu Kiong itu?" tanyanya kemudian.
Si Kurus manggut-manggut, lalu menjelaskan.
"Bukan cuma berkunjung, bahkan boleh memilih salah seorang gadis yang ada di dalam istana itu, dan diizinkan bercinta sampai lima belas hari. Sampai waktunya harus meninggalkan istana itu, kalau terlambat pasti dihukum berat."
*
* *

Minggu, 28 November 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 5

Sambungan

Bagian ke 5: Berpisah
"Ha ha!" Orang tua pincang tertawa gelak. "Siau Liong, engkau jangan berlaku sungkan. Ohya, tahukah engkau kenapa lo ciau menahan dirimu tinggal tiga bulan di Siauw Keh Cung?"
"Apakah lo jin keh punya tujuan tertentu?"
"Betul." Orang tua pincang mengangguk. "Lo ciau memang punya tujuan tertentu."
"Oh?" Siau Liong berpikir sejenak. "Maaf, aku sangat bodoh, sama sekali tidak tahu apa tujuan lo jin keh!"
"Ingin menyelidiki, bagaimana sifatmu, juga agar engkau tahu jelas mengenai keadaan Siauw Keh Cung."
Siau Liong tercengang dan tidak mengerti akan ucapan orang tua pincang itu.
"Kok begitu? Maksud lo jin keh?" tanyanya dengan heran.
"Apakah engkau telah menemukan sesuatu di Siauw Keh Cung?" Orang tua pincang balik bertanya.
"Keadaan Siauw Keh Cung begitu damai, maka aku tidak menemukan apa pun."
"Siau Liong, dalam dua bulan ini, benarkah engkau tidak menemukan suatu apa pun?" Siau Liong semakin tidak mengerti.
"Apakah di rumah Siauw ada sesuatu yang tak beres?" tanyanya dengan alis terangkat.
"Siau Liong!" Wajah orang tua pincang berubah serius. "Ada mara bahaya!"
"Apa?" Hati Siau Liong tersentak. "Mara bahaya?"
"Rumah Siauw sedang diselimuti bahaya. Di luar memang tampak tenang dan damai, namun….. justru dalam keadaan bahaya."
"Kok aku tidak melihat adanya mara bahaya itu?" Siau Liong tampak bingung. "Lo jin keh, aku memang bodoh, tidak bisa melihat adanya mara bahaya itu."
"Siau Liong!" Orang tua pincang menarik nafas panjang. "Jangan merasa malu hati. Engkau tidak bisa melihat adanya mara bahaya itu, lantaran engkau berhati luhur, bukan karena bodoh. Maka engkau tidak memperhatikan itu."
Siau Liong diam saja, ia tidak tahu apa yang harus dikatakan."
"Siau Liong." Lanjut orang tua pincang. "Mudah-mudahan pada waktu engkau kembali, lo ciau masih bisa bertemu denganmu!"
"Lo jin keh, kenapa berkata begitu?" Hati Siau Liong tergetar, karena ucapan orang tua pincang itu bernada bahwa hidupnya tidak akan lama lagi.
"Siau Liong….." Orang tua pincang menarik nafas panjang.
"Lo jin keh, kita bersama sudah dua bulan, kini kita pun akan berpisah, tapi aku masih belum tahu nama lo jin keh. Apakah lo jin keh masih tega tidak memberitahukan?"
"Siau Liong, lo ciau bukan tega, melainkan…..." Orang tua pincang menatapnya. "Bukankah kita telah bersepakat untuk tidak mengetahui riwayat hidup kita masing-masing?"
"Benar." Siau Liong mengangguk. "Namun kini….. kalau dugaanku tidak meleset, lo jin keh sudah tahu jelas mengenai jati diriku."
Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang tidak salah, dari tempo hari lo ciau sudah tahu jati dirimu. Tapi cuma menerka saja, belum berani memastikan bahwa engkau keturunan siapa?"
"Oh?" Siau Liong heran. "Kenapa begitu?"
"Siau Liong, tahukah engkau betapa kerasnya pukulan Tu Ci Yen?" tanya orang tua pincang.
Siau Liong manggut-manggut, namun tidak menyahut.
"Jurus telapak Tu Ci Yen dapat merenggut nyawamu, akan tetapi, Thai Ceng Sin Kangmu (Tenaga sakti pelindung badan) itu walau cuma mencapai tingkat keempat, masih mampu mengurangi tenaga pukulan Tu Ci Yen, maka telah menyelamatkan nyawamu sendiri."
"Lo jin keh!" Siau Liong tampak terkejut. "Lo jin keh kenal Thai Ceng Sin Kang?"
"Justru itu lo ciau berani memastikan jati dirimu." Orang tua pincang tertawa. "Nah, engkau mengerti, Siau Liong?"
Mata Siau Liong bersinar aneh, kemudian memandang orang tua pincang dengan mata terbelalak.
"Kalau begitu, lo jin keh kenal keluargaku?" Orang tua pincang manggut-manggut sambil tersenyum lembut dan penuh kasih sayang.
"Lo ciau pernah bertemu beberapa kali dengan orang tuamu."
"Oh? Kalau begitu, Siauw cung cu juga kenal keluargaku?"
"Seperti lo ciau, cung cu pun pernah bertemu beberapa kali dengan orang tuamu."
Kini Siau Liong sudah tahu jelas, bahwa cung cu Siauw Thian Lin dan orang tua pincang itu mempunyai hubungan erat dengan keluarganya, namun orang tua pincang tidak mau memberitahukan lebih jelas. Itu pasti ada sebab musababnya. Percuma ia bertanya, sebab kalau orang tua pincang mau beritahukan, dari tadi sudah beritahukan.
"Lo jin keh," ujar Siau Liong mengalihkan pembicaraan. "Ada suatu urusan yang aku tidak mengerti, apakah lo jin keh, tahu urusan itu?"
"Justru lo ciau juga tidak mengerti." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala, kemudian tanyanya mendadak, "Bagaimana menurutmu tentang diri Tu Ci Yen?"
"Jumawa, dingin dan ..... tidak menghargai orang lain," jawab Siau Liong.
Orang tua pincang manggut-manggut. Ia menatap Siau Liong dan bertanya lagi dengan suara dalam.
"Selain itu, apakah masih ada yang lain?" Siau Liong berpikir lama sekali, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak dekat dengannya, maka tentang yang lain aku tidak begitu jelas."
"Siau Liong, engkau sungguh tidak tahu ataukah tidak mau bilang?" Orang tua pincang menatapnya.
"Lo jin keh!" wajah Siau tampak kemerah-merahan. "Padahal sesungguhnya apa yang kukatakan tadi sudah keterlaluan."
Orang tua pincang menarik nafas ringan, berselang sesaat ia berkata perlahan-lahan.
"Siau Liong, engkau memang berbudi luhur seperti ayahmu. Lo ciau senang sekali." Orang tua pincang tersenyum dan melanjutkan, "Tu Ci Yen pemuda pendendam, lagi pula berhati licik dan sadis."
Siau Liong diam, tidak menyahut.
"Siau Liong, kalau kelak bertemu dengannya, engkau harus berhati-hati dan waspada terhadapnya!"
Ucapan itu membuat Siau Liong teringat sesuatu. Ia pun segera bertanya dengan suara rendah.
"Yang lo jin keh maksudkan mara bahaya itu, apakah…..?"
"Siau Liong," potong orang tua pincang. "Apa yang engkau curigakan, simpan saja dalam hati! Sebelum ada bukti, urusan apa pun jangan di cetuskan. Mengertikah Siau Liong?"
"Terima kasih atas nasihat lo jin keh!" ucap Siau Liong sambil mengangguk. "Aku sudah mengerti."
Orang tua pincang juga manggut-manggut, tapi kemudian mendadak wajahnya berubah serius.
"Siau Liong, ada suatu barang, sebetulnya cung cu ingin menyerahkan sendiri padamu, namun tidak leluasa. Maka lo ciau di perintah untuk menyerahkan padamu di tengah jalan."
Usai berkata, orang tua pincang mengeluarkan sebuah kotak kecil, lalu diberikan pada Siau Liong.
"Barang apa ini?" tanya Siau Liong sambil menerima kotak kecil itu. Namun ketika ia baru mau membukanya, orang tua pincang cepat-cepat mencegahnya.
"Siau Liong, jangan dibuka, cepatlah engkau simpan!"
Siau Liong menurut, dan segera menyimpan kotak kecil itu ke dalam saku.
"Lo jin keh, kotak kecil ini berisi apa? Sangat pentingkah?" tanyanya sambil menatap orang tua pincang itu.
Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa yang ada di dalam kotak kecil itu, lo ciau pun tidak tahu dan tidak pernah melihatnya," ujarnya.
"Oh?" Siau Liong mengerutkan kening.
"Kata cung cu, barang yang ada di dalam kotak itu sangat penting," Orang tua pincang memberitahukan. "Bahkan sangat membantu dalam perjalananmu. Maka cung cu berpesan, engkau harus berhati-hati menyimpannya. Jangan sampai orang lain melihat isinya. Itu akan merepotkanmu dan juga membahayakan nyawamu.
"Hah?!" Siau Liong terperanjat bukan main. "Cung cu bilang barang yang di dalam kotak itu sangat membantu dalam perjalananku, apakah cung cu sudah tahu tempat tujuanku?"
"Sebetulnya tidak tahu, namun pagi ini setelah mengetahui jati dirimu, barulah cung cu tahu tempat tujuanmu itu."
"Apakah lo jin keh yang memberitahukan pada cung cu?"
"Benar." Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang lo ciau yang memberitahukan padanya.
"Kalau begitu, apa kegunaan barang yang ada di dalam kotak kecil ini?" tanya Siau Liong mendadak.
"Kata cung cu, jika engkau tiba di tempat tujuan itu, dan menemukan halangan, maka engkau boleh mengeluarkan kotak kecil itu dan sekaligus membukanya. Lalu angkatlah kotak itu tinggi-tinggi dan sebutkan jati dirimu dengan suara nyaring! Saat itu pasti akan muncul orang untuk membawamu menemui orang yang ingin kau temui itu."
Mendengar keterangan itu Siau Liong pun percaya, bahwa Siauw Thian Lin telah mengetahui tempat tujuannya, namun ia masih merasa heran.
"Ini sungguh mengherankan," gumamnya. "Sebetulnya kotak ini berisi barang apa?"
"Siau Liong, pada saatnya nanti engkau akan mengetahui urusan ini," ujar orang tua pincang "Sementara ini engkau tidak perlu banyak berpikir tentang ini, hati-hatilah dalam perjalanan!"
"Ya, lo jin keh," Siau Liong mengangguk "Terima kasih atas semua budi kebaikan lo jin keh, kita pasti berjumpa lagi."
*
* *
Ketika hari mulai senja, kuda yang ditunggangi Siau Liong telah berlari ratusan li. Betapa indahnya panorama tempat-tempat yang dilalui Siau Liong. Namun anak itu tidak mempunyai waktu untuk menikmati keindahan alam sekitarnya. Ia terus memacu kudanya.
Kini Siau Liong telah memasuki rimba yang banyak pepohonan rindang. Oleh karena itu kudanya tidak bisa berlari kencang lagi, melainkan berjalan perlahan.
Mendadak terdengar suara bentakan yang keras dan dingin. Siau Liong terkejut dan segera menghentikan kudanya.
"Bocah! Cepat berhenti!"
Menyusul berkelebat tiga sosok bayangan, lalu berdiri menghadang di depan Siau Liong.
"Kenapa kalian bertiga menghadang perjalananku?" tanya Siau Liong dengan sikap sopan.
Salah seorang penghadang itu menatap Siau Liong dengan tajam, kemudian tertawa dingin.
"Mau mencabut nyawamu!" sahutnya.
Siau Liong mengernyitkan kening, dan memandang ketiga orang itu.
"Kenapa…..?" tanyanya.
"Diam!" bentak yang lain dengan wajah bengis. "Bocah! Cepatlah engkau turun untuk menerima kematianmu!"
"Selain nyawaku, apakah kalian bertiga masih menghendaki barang lain?" tanya Siau Liong dengan mata menyorot dingin.
Pertanyaan tersebut membuat ketiga orang itu tertegun. Mereka saling memandang, tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
"Kalian bertiga siapa yang menjadi kepala?" tanya Siau Liong lagi.
"Aku! Kenapa?" sahut orang yang Brewok.
"Tidak kenapa-kenapa." Siau Liong tertawa hambar. "Harap jawab pertanyaanku tadi!"
"Oh?" Sepasang bola mata si Brewok berputar sejenak. "Engkau membawa suatu barang istimewa?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku membawa ratusan tael perak dan sebilah pedang panjang."
Si Brewok tertawa gelak, dan menatap Siau Liong.
"Bocah! Ratusan tael perak itu memang terhitung banyak, namun masih tidak dalam pandangan Tuan besar. Mengertikah engkau, Bocah?"
"Kalau begitu…..." Kening Siau Liong berkerutkerut. "Kalian bertiga menghadangku, bukan demi uang perak itu?"
"Betul," sahut si Brewok sambil tertawa. "Kami justru cuma ingin mencabut nyawamu! Sudah lama kami menunggumu di sini, ha ha ha!"
"Bolehkah aku tahu nama besar Tuan?" tanya Siau Liong dengan mata menyorot tajam.
"Engkau tidak perlu mengambil hati kami!" bentak si Brewok.
"Tidak berani memberitahukan?" ujar Siau Liong menyindir.
"Apa?" Si Brewok melotot dan wajahnya pun berubah beringas. "Bocah! Hari ini engkau pasti mampus, kenapa kami tidak berani memberitahukan nama kami?"
"Nah!" Siau Liong tersenyum hambar. "Beritahukanlah nama kalian bertiga!"
"Baik! Engkau dengar baik-baik!" sahut si Brewok mengeraskan suaranya. "Kami bertiga adalah Ling Ni Sam Hou (Tiga Harimau Ling Ni)!"
"Oooh!" Siau Liong menatap mereka tajam. "Apakah kalian bertiga punya dendam denganku?"
"Bocah!" Si Brewok tertawa licik. "Pernahkah engkau bertemu kami?"
"Tidak pernah."
"Kalau begitu, apakah kami punya dendam denganmu, bocah?" Si Brewok terkekeh-kekeh.
Siau Liong mengerutkan kening sambil membatin. Ling Ni Sam Hou ini tidak punya dendam denganku, lalu kenapa menghadang di sini untuk membunuhku? Lagi pula bagaimana mereka bisa tahu bahwa aku akan melewati rimba ini? Berpikir sampai di sini, ia pun segera bertanya.
"Kalian bertiga tidak punya dendam denganku, kenapa ingin mencabut nyawaku? Ini membuatku tidak habis berpikir. Bolehkah kalian memberitahukan sebab musababnya?"
"Engkau ingin tahu?" tanya si Kurus, teman si Brewok.
"Tentu." Siau Liong mengangguk. "Kalaupun mati, aku tidak akan merasa penasaran lagi."
Si Kurus manggut-manggut, kemudian menatap Siau Liong dengan bengis. "Karena sesaat lagi engkau mampus, maka kami pun bersedia memberitahukan."
"Beritahukanlah!" desak Siau Liong.
"Kami hanya melaksanakan perintah!" Si Kurus memberitahukan.
"Perintah dari siapa?" tanya Siau Liong cepat.
"Perintah dari atasan kami!" sahut si Brewok dan menambahkan. "Kini engkau sudah tahu, bersiap-siaplah untuk mampus!"
*

Kamis, 25 November 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 4

Sambungan ...

Bagian ke 4: Cinta Kasih Yang Mendalam
Mulut berbicara, tangan pun bergerak cepat mengarah pada bagian tubuh Siau Liong yang mematikan. Itu membuat sekujur badan Siau Liong terkurung dalam pukulan-pukulan yang amat dahsyat.
Siau Liong berkelit ke sana ke mari menghindari jurus-jurus pukulan yang akan merenggut nyawanya. Dalam sekejap, mereka sudah berduel lebih dari tiga puluhan jurus.
Ilmu silat yang dimiliki Siau Liong memang tidak rendah, namun karena usianya masih sangat muda, maka lwee kang (Tenaga dalam)nya masih di bawah tingkat Tu Ci Yen. Biar bagaimana pun, ia tetap bukan tandingan pemuda tersebut.
Namun ia mampu berduel sekian jurus dengan Tu Ci Yen, itu sudah amat mengagumkan dan luar biasa.
Mendadak Tu Ci Yen membentak keras. Suara bentaknya bergema menusuk telinga. "Roboh!"
Menyusul terdengar pula suara 'Blam', dada Siau Liong terkena pukulan yang amat dahsyat sehingga badannya bergetar hebat dan sempoyongan ke belakang delapan langkah. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Jelas ia telah terluka dalam tapi masih kuat berdiri.
Betapa terkejutnya Siauw Hui Ceh. Gadis itu segera mendekati Siau Liong dengan wajah cemas.
"Kakak Siau Liong, bagaimana keadaanmu? Berat tidak lukamu itu?" tanyanya dengan penuh perhatian.
Siau Liong menghapus darah segar di bibirnya dengan ujung lengan bajunya, kemudian tertawa getir seraya berkata.
"Legakanlah hatimu, Hui Ceh! Nyawaku masih panjang dan luka ini tidak akan merenggut nyawaku."
Siauw Hui Ceh memandangnya dengan mata bersimbah air, dan tampak cemas sekali.
"Siau Liong ko, aku yang bersalah. Kalau tidak karena aku, bagaimana mungkin dia…..."
Siau Liong menggoyang-goyangkan sepasang tangannya, agar Siauw Hui Ceh tidak melanjutkan ucapannya.
"Hui Ceh, jangan berkata begitu! Ini bukan kesalahanmu, yang bersalah adalah diriku sendiri, karena tidak memiliki ilmu silat yang tinggi."
Ketika menyaksikan sikap Siau Liong dan Siauw Hui Ceh begitu mesra, hati Tu Ci Yen menjadi panas dan cemburu, ia lalu mendekati Siau Liong dengan mata berapi-api penuh kebencian.
"Tu Ci Yen!" bentak Siauw Hui Ceh dingin. "Jangan ke mari! Kalau engkau berani ke mari, mulai saat ini dan selanjutnya aku tidak akan memperdulikanmu lagi!" Tu Ci Yen tertegun mendengar ucapan Siauw Hui Ceh. Ia segera menghentikan langkahnya dan berdiri terpaku di tempat, tapi kemudian tertawa sinis.
"Hui moi, kenapa engkau begitu gusar?"
Siauw Hui Ceh menatapnya dingin, dan bertanya dengan nada dingin pula.
"Apakah dia dan engkau punya dendam kesumat?"
"Tidak," sahut Tu Ci Yen hambar.
"Kalau begitu, kenapa engkau turun tangan sedemikian berat terhadapnya?" Siauw Hui Ceh mengernyitkan kening.
"Oooh!" Tu Ci Yen manggut-manggut. "Jadi Hui moi gusar padaku karena itu?"
"Hmm!" dengus Siauw Hui Ceh dingin.
"Hui Moi," Tu Ci Yen tertawa. "Engkau telah salah paham terhadap diriku."
"Bagaimana aku salah paham padamu?"
"Dalam hal ini aku tidak bisa disalahkan."
"Lalu harus menyalahkan dia atau aku?"
"Hui moi," Tu Ci Yen menggelengkan kepala. "Tentunya tidak bisa menyalahkannya, juga tiada alasan untuk menyalahkanmu."
"Kalau begitu, menurutmu harus menyalahkan siapa?" tanya Siauw Hui Ceh sengit.
"Tidak dapat menyalahkan siapa pun, melainkan…..." Tu Ci Yen tidak melanjutkan ucapannya hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum getir.
"Lanjutkanlah!" desak Siauw Hui Ceh. Sepasang alisnya yang bagaikan bulan sabit itu terangkat ke atas.
"Hui moi, aku harus bagaimana mengatakannya? Yah!" Tu Ci Yen pura-pura menarik nafas panjang. "Karena aku tidak keburu menarik kembali pukulanku itu, jadi bukan sengaja aku ingin melukainya."
Siauw Hui Ceh tahu Tu Ci Yen menyangkal hal yang sebenarnya, maka ia pun tersenyum dingin.
"Kalau begitu, engkau memang tidak berniat jahat. Ya, kan?"
"Sesungguhnya memang begitu." Tu Ci Yen manggut-manggut.
"Sungguhkah begitu?" tanya Siauw Hui Ceh dingin.
"Kalau Hui moi tidak percaya, aku pun tidak bisa apa-apa." wajah Tu Ci Yen tampak serius.
Ketika Siauw Hui Ceh bersitegang dengan Tu Ci Yen, Siau Liong memanfaatkan kesempatan. Diam-diam ia menghimpun kekuatan tenaga dalamnya untuk menyembuhkan luka dalamnya lalu berkata.
"Tu Ci Yen, aku percaya engkau tidak keburu menarik kembali pukulanmu itu, namun…..."
"Siau Liong!" potong Tu Ci Yen cepat. "Walau tidak sengaja melukaimu, aku merasa tidak enak dalam hati. Kuharap engkau jangan menyimpan rasa benci dalam hati…..."
Tu Ci Yen tidak melanjutkan ucapannya, melainkan mengarah pada Siauw Hui Ceh sambil tersenyum lembut.
"Hui moi, Siau Liong percaya bahwa aku tidak sengaja melukainya, engkau pun percaya kan?"
Siauw Hui Ceh tidak menyahut, hanya terus memandang Siau Liong dengan penuh perhatian.
"Siau Liong ko, engkau percaya dia…..."
Siau Liong menggoyang-goyangkan tangannya, mencegah Siauw Hui Ceh melanjutkn ucapannya, kemudian menatap Tu Ci Yen seraya berkata dingin.
"Pukulanmu itu harus kau ingat baik-baik. Suatu hari nanti aku pasti membalasnya."
"Ha ha!" Tu Ci Yen tertawa gelak.
Sedangkan Siau Liong bicara mengarah pada Siauw Hui Ceh dengan rasa penuh terima kasih.
"Hui Ceh, engkau sedemikian memperhatikan diriku, seumur hidup aku tidak akan melupakannya. Mengenai jurus pedang itu, asal bu beng lo jin setuju, kalau kelak kita bertemu, aku pasti mengajarkan padamu. Hari ini kita berpisah di sini, kuharap engkau menjaga diri baik-baik."
Usai berkata begitu, Siau Liong langsung mengayunkan kakinya meninggalkan halaman itu.
"Siau Liong ko!" panggil Siauw Hui Ceh sambil berlari menyusulnya.
Siau Liong berhenti, dan Siauw Hui Ceh lalu berdiri di hadapannya sekaligus menatapnya dalam-dalam.
"Engkau sudah mau pergi, Siau Liong ko?" tanyanya.
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku telah mengambil keputusan untuk pergi hari ini."
"Mau pergi ke mana?"
"Ke tempat yang harus ku cari."
"Punya tujuan tertentu?"
"Ya."
"Bolehkah aku tahu?"
"Maaf!" ucap Siau Liong sambil menggelengkan kepala. "Tidak bisa kuberitahu padamu."
"Siau Liong ko......" Siauw Hui Ceh menarik nafas panjang dengan wajah muram sekali. "Masih bisakah kita bertemu?"
"Hui Ceh, kalau orang belum mati, tentunya masih ada kesempatan untuk bertemu kembali."
"Ya." Siauw Hui Ceh manggut-manggut dengan mata bersimbah air, kemudian gumamnya, "Siau Liong ko, kalau orang belum mati, tentunya masih bisa bertemu kembali."
"Betul."
"Siau Liong ko!" Mendadak Siauw Hui Ceh menatapnya dengan penuh rasa cinta kasih yang dalam. "Aku menunggumu."
Sikap yang mesra dengan ucapan yang menyentuh hati itu membuat wajah Tu Ci Yen semakin tak sedap dipandang. Hatinya bertambah panas dan rasa cemburunya pun bergejolak hebat.
Namun Tu Ci Yen berhati licik dan banyak akal busuknya, maka semua itu tidak tersirat pada wajahnya. Pemuda itu hanya menatap mereka dengan sorotan yang dingin sekali.
Apa yang diucapkan Siauw Hui Ceh, membuat hati Siau Liong terharu. Ia menatap gadis itu dengan lembut.
"Hui Ceh, paling lambat lima tahun, aku pasti kemari menengokmu." ujarnya berjanji dan melanjutkan. "Itu demi engkau dan demi aku. Baik-baiklah engkau menjaga diri!"
"Siau Liong ko, engkau juga harus baik-baik menjaga diri." Siauw Hui Ceh juga menatapnya lembut, namun sepasang matanya yang bening itu tampak bersimbah air.
"Ya." Siau Liong manggut-manggut. "Hui Ceh, aku pasti bisa menjaga diri. Legakanlah hatimu, kini aku mau pergi."
Usai berkata itu, Siau Liong pun mengayunkan kakinya meninggalkan halaman tersebut dengan langkah lebar.
Sementara Tu Ci Yen terus memandang punggung Siau Liong, kemudian tersenyum dingin dan timbul pula hawa membunuh yang hebat pada wajahnya.
*
* *
Tampak dua ekor kuda berlari kencang meninggalkan Siauw Keh Cung. Kedua ekor kuda itu berbulu hitam dan kuning. Penunggang kuda hitam seorang pemuda ganteng berpakaian hitam, sedangkan penunggang kuda kuning seorang tua berjubah abu-abu.
Di punggung pemuda itu, tergantung sebuah piau hok (buntalan pakaian), sedangkan orang tua tersebut tidak membawa apa-apa.
Kedua orang itu adalah Siau Liong dan orang tua pincang. Mereka menunggang kuda meninggalkan Siau Keh Cung. Dalam sekejap, kuda-kuda itu telah berlari dua puluh li. Berselang beberapa saat kemudian, Siau Liong menarik tali kendali menghentikan kudanya, lalu berkata pada orang tua pincang itu.
"Lo jin keh sudah cukup jauh lo jin keh mengantarku, lebih baik lo jin keh pulang saja!"
Orang tua pincang tersenyum lembut, dan menatap Siau Liong dalam-dalam seraya berkata.
"Siau Liong, tahukah engkau kenapa lo ciau mengantarmu sampai sekian jauh?"
Siau Liong tertegun, dan memandang orang tua pincang dengan penuh keheranan.
"Lo jin keh, apakah ada suatu alasan tertentu?" tanyanya.
"Benar." Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang ada alasan tertentu."
"Oh?" Hati Siau Liong tergerak. "Adakah urusan penting yang ingin lo jin keh sampaikan padaku?"
"Tidak salah terkaanmu." Orang tua pincang tertawa. "Siau Liong, enam li lagi ada sebuah kedai teh, kita minum teh di sana sambil mengobrol."
Siau Liong manggut-manggut. Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju kedai itu. Sepanjang jalan Siau Liong terus berpikir, orang tua pincang itu akan menyampaikan urusan apa padanya? Ia terus berpikir, dan kuda yang ditungganginya pun terus berlari kencang.
*
* *
Siau Liong dan orang tua pincang itu duduk berhadapan di dalam sebuah kedai. Di atas meja telah tersedia sebotol arak dengan dua buah cangkir penuh berisi minuman keras itu.
"Siau Liong," Orang tua pincang tersenyum lembut sambil mengangkat minumannya. "Secangkir arak ini untuk perpisahan kita, semoga engkau selamat di perjalanan, aman sampai di tempat tujuan dan ….. cepat kembali ke utara!"
"Terima kasih!" Siau Liong segera mengangkat minumannya, ia tampak terharu sekali. "Lo jin keh sangat baik terhadap diriku, entah harus bagaimana aku membalas budi kebaikan lo jin keh. Kini aku menghormati lo jin keh dengan secangkir arak ini, semoga lo jin keh panjang umur dan sehat wal'fiat!"
Mereka meneguk arak itu. Sepasang mata orang tua pincang berbinar-binar sambil tertawa gelak.
"Siau Liong," Orang tua pincang menaruh cangkirnya, kemudian ujarnya serius, "lo jin keh ingin memohon sesuatu, sudikah engkau mengabulkannya?"
"Beritahukan saja, lo jin keh!"
"Jadi engkau mengabulkannya?"
"Ya." Siau Liong mengangguk tanpa ragu. "Lo jin keh, asal aku mampu melaksanakannya, aku pasti tidak akan ingkar janji. Walau itu harus menerjang lautan api.
Orang tua pincang tertawa terbahak-bahak.
"Tidak perlu menerjang lautan api, hanya saja….." Orang tua pincang menghentikan ucapnya sejenak kemudian menatap Siau Liong tajam sambil melanjutkan, "Tugas itu sangat berat, karena urusan itu teramat penting."
"Oh?" Sepasang alis Siau Liong yang berbentuk golok itu terangkat sedikit. "Lo jin keh, kita bersama sudah dua bulan, apakah lo jin keh masih belum melihat jelas sifatku? Asal aku telah mengabulkan, melaksanakannya tanpa memikirkan nyawa sendiri."
"Engkau memang berjiwa kesatria, lo ciau tidak salah melihat dirimu. Dengan ucapanmu barusan, lo ciau sudah merasa puas. Kalau mati, lo ciau pun tidak akan penasaran."
Orang tua pincang manggut-manggut kagum.
"Lo jin keh….." Ucapan orang tua pincang yang terakhir itu membuat hati Siau Liong tersentak. "Tidak usah berkata begitu!"
"Aaakh...!" Orang tua pincang menarik nafas panjang.
"Sebetulnya ada urusan apa lo jin keh." desak Siau Liong ingin mengetahui urusan itu.
"Siau Liong!" Orang tua pincang menatapnya dalam-dalam. "Engkau berangkat sekarang, harus membutuhkan waktu berapa lama baru bisa kembali ke utara?"
"Tidak dapat dipastikan…..." Siau Liong mengernyitkan kening. "Namun tidak akan lewat lima tahun."
Orang tua pincang manggut-manggut sambil berpikir, kemudian ujarnya seakan bergumam.
"Lima tahun bukan waktu yang pendek, tapi masih keburu. Mudah-mudahan keburu, itu lebih baik…..."
Siau Liong diam, tidak menyahut.
Berselang sesaat, orang tua pincang melanjutkan ucapannya sambil memandang Siau Liong dengan penuh perhatian.
"Kalau engkau kembali ke utara, sudikah mampir dulu ke Siauw Keh Cung?"
Siau Liong mengangguk, namun merasa heran.
"Itu kenapa, lo jin keh?"
"Sampai waktunya engkau akan mengetahuinya," sahut orang tua pincang.
"Kenapa tidak sekarang saja beritahukan padaku?"
"Siau Liong, sebetulnya lo ciau ingin beritahukan sekarang, tapi......" Orang tua pincang menarik nafas panjang sambil tersenyum getir. "Lo ciau tahu engkau berjiwa kesatria. Leher boleh putus dan darah boleh mengalir, tapi tekad tidak boleh putus di tengah jalan."
"Lo jin keh!" Kening Siau Liong berkerut. "Apakah tidak leluasa dan sulit mengutarakannya?"
"Tidak juga." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal sesungguhnya, lo ciau pun tidak tahu apa urusan itu, hanya berfirasat akan terjadi suatu malapetaka."
"Itu….. bagaimana mungkin?"
"Siau Liong," Mendadak orang tua pincang mengalihkan pembicaran. "Masih ingatkah kau ketika itu lo ciau mendesakmu agar tinggal tiga bulan di Siauw Keh Cung?"
"Aku ingat, kalau bukan karena kejadian tadi pagi, mungkin aku tidak akan berangkat sekarang. Aku mohon maaf padamu dalam hal ini."
"Anak yang berbakat dan berjiwa kesatria…..." Orang tua pincang menatapnya sambil tersenyum. "Lo ciau tidak melarangmu berangkat hari ini, tentunya juga tidak akan menyalahkanmu."
"Terima kasih, lo jin keh," ucap Siau Liong. "Atas kesudian lo jin keh memberi maaf padaku."
*
* *
(Bersambung bagian 5) 

Kamis, 11 November 2010

Panji Sakti - Khulung Bagian 3

Bagian ke 3: Satu Pukulan Menimbulkan Benci
Sang waktu berlalu satu bulan lagi. Kini Siau Liong sudah menguasai Sam Cau Ciang Hoat (tiga jurus pukulan telapak tangan) dan It Cau Kiam Hoat (satu jurus pedang) yang diturunkan orang tua pincang itu.
Meskipun cuma tiga jurus, Ciang Hoat penuh mengandung kekuatan yang amat dahsyat dengan perubahan yang tak terduga. Satu jurus pedang itu bahkan jauh lebih lihay dan dahsyat. Kendati pun cuma satu jurus, tapi banyak perubahan yang tak terduga.
Hingga saat ini, Siau Liong agak kecewa karena tidak mengetahui nama kedua jurus itu. Sudah berkali-kali ia bertanya namun orang tua pincang itu tetap tidak memberitahukannya.
Pagi yang cerah…..
Setelah menyapu bersih halaman belakang, Siau Liong duduk di bawah sebuah pohon rindang. Mungkin karena iseng, maka dipungutnya sebuah ranting, kemudian bangkit berdiri dan mulailah berlatih satu jurus pedang itu.
Ketika ia sedang berlatih dengan mencurahkan seluruh perhatiannya pada jurus pedang tersebut, mendadak terdengar suara tawa yang nyaring dan merdu di belakang gunung-gunungan.
"Siau Liong! Sungguh di luar dugaan, ternyata engkau bisa silat juga!"
Menyusul muncul sosok bayangan yang ramping dari belakang gunung-gunungan itu. Sosok bayangan itu ternyata seorang gadis yang cantik jelita.
Siapa anak gadis itu? Tidak lain putri kesayangan Siauw Thian Lin, yang bernama Hui Ceh.
"Socia (nona), selamat pagi!" ucap Siau Liong sopan sambil menjura.
Entah apa sebabnya, mendadak Hui Ceh cemberut.
"Bagaimana sih engkau, Siau Liong?" tegurnya tidak senang.
Siau Liong tertegun mendengar teguran itu, lalu cepat-cepat ia menjura lagi.
"Socia, memangnya aku kenapa?" tanyanya heran.
"Aku sudah bilang berapa kali padamu, jangan memanggilku Socia! Kenapa engkau masih memanggilku Socia? Telingaku jadi sakit mendengarnya."
"Oh?" Siau Liong tertawa geli. "Ini kesopanan, bagaimana mungkin aku berani melanggar tata krama?"
"Eh?" Hui Ceh mengernyitkan kening. "Jangan begitu, aku tidak suka akan kesopanan ini. Pokoknya engkau tidak boleh memanggilku Socia."
"Kalau begitu, selanjutnya aku akan memanggilmu kouw nio (anak gadis) saja."
"Tidak!" Hui Ceh mengernyitkan kening lagi. "Panggil kouw nio pun tidak boleh."
"Kalau begitu…..." Kening Siau Liong berkerut. "Aku harus memanggilmu apa?"
Pertanyaan ini membuat sepasang mata Hui Ceh yang bening itu berbinar-binar, lalu ujarnya dengan suara rendah namun merdu.
"Namaku Hui Ceh, selanjutnya kau panggil namaku saja!"
"Ini….. ini…..." Siau Liong tampak ragu.
"Lho, kenapa?" Hui Ceh menatapnya tajam.
"Aku tidak berani memanggil namamu, Socia." Siau Liong menundukkan kepala.
"Soda lagi Socia lagi!" tegur Hui Ceh cemberut. "Kenapa engkau tidak berani memanggil namaku?"
"Itu….. itu…..."
"Aku orang, engkau pun orang. Apakah ada perbedaan di antara kita?"
"Memang tidak berbeda, kita sama-sama orang. Tapi derajat kita tidak sama, maka…..."
"Sudahlah!" Hui Ceh tertawa cekikikan. "Engkau memang pandai bicara. Aku kalah kalau mengadu mulut denganmu. Pokoknya aku tidak senang kau panggil nona, dan aku mengharuskanmu memanggil namaku. Kalau tidak…..."
Hui Ceh tidak melanjutkan ucapannya, hanya memandang Siau Liong dalam-dalam dan mengalihkan pembicaraan.
"Siau Liong, barusan engkau berlatih jurus pedang ya?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Itu memang jurus pedang."
"Jurus pedang apa?" Hui Ceh ingin mengetahuinya..
"Aku......" Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sendiri pun tidak tahu nama jurus pedang itu."
"Eh?" Hui Ceh melotot, namun justru bertambah cantik. "Engkau tidak mau memberitahukan padaku?"
"Aku sungguh tidak tahu."
Hui Ceh menatapnya dalam-dalam penuh selidik.
"Engkau tidak membohongiku?"
"Aku tidak perlu membohongimu." sahutnya bersungguh-sungguh. Hui Ceh menatapnya lagi, kemudian manggut-manggut percaya.
"Bolehkah aku tahu siapa yang mengajarmu jurus pedang itu?"
"Bu beng lo jin (Orang tua tak bernama)."
"Apa?" kening Hui Ceh berkerut-kerut. "Bu beng lo jin? Bagaimana rupanya?"
"Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, badannya agak gemuk dan wajahnya agak dingin, namun penuh kasih sayang."
Siau Liong memang berdusta, tapi justru ada benarnya juga. Karena hingga saat ini, ia belum tahu juga nama orang tua pincang itu. Ia memberitahukan rupa orang tua pincang itu secara jujur, namun merahasiakan tentang kakinya yang pincang.
"Oooh!" Hui Ceh manggut-manggut. "Siau Liong, cukup lama aku bersembunyi di belakang gunung-gunungan menyaksikan engkau berlatih jurus pedang itu. Kelihatannya jurus itu amat lihay dan dahsyat, maka aku ingin belajar. Engkau mau mengajariku kan?"
Sungguh di luar dugaan, gadis itu ingin belajar jurus pedang tersebut. Itu membuat Siau Liong mengernyitkan kening dan tampak serba salah.
"Ini…..."
Wajah Hui Ceh yang cantik jelita tampak kecewa.
"Engkau tidak mau mengajariku?" tanyanya dengan nada tidak senang.
"Mau sih mau, tapi…..." Siau Liong salah tingkah.
"Tapi kenapa?"
"Menurutku, mengenai ini terlebih dahulu harus ada persetujuan dari orang tua itu."
"Orang tua itu berada di mana sekarang?" tanya Hui Ceh mendadak.
Pada waktu bersamaan, terdengar suara yang amat nyaring.
"Hui moi, engkau sedang berbicara dengan siapa?"
Meskipun tanpa melihat orangnya Siau Liong sudah tahu itu suara Tu Ci Yen.
Begitu suara itu hilang, muncullah Tu Ci Yen di pintu halaman. Ketika melihat Siauw Hui Ceh berdiri di hadapan Siau Liong. Sepasang mata Tu Ci Yen pun menyorot dingin sekelebatan, namun wajahnya tampak hambar.
"Oh, ternyata Siau Liong!" ujarnya sambil mendekati Siauw Hui Ceh.
Semula wajah Siau Liong tampak berseri, namun begitu melihat kemunculan Tu Ci Yen, langsung berubah dingin.
Siau Liong memang tidak terkesan baik terhadap Tu Ci Yen, tapi mau tidak mau ia harus berlaku sopan padanya.
"Siau Liong menghadap Tu siau ya (Tuan muda Tu)!"
"Ng!" sahut Tu Ci Yen dingin dan angkuh. "Engkau sedang berbicara apa dengan nona?"
"Oh, nona mengajukan beberapa pertanyaan padaku," ujar Siau Liong.
Tu Ci Yen mengarah pada Siauw Hui Ceb. "Benarkab Hui moi?" tanyanya.
"Kalau tidak percaya, janganlah bertanya," sahut Siauw Hui Ceh dingin.
Tu Ci Yen ketemu batu, tetapi tidak merasa tersinggung dan malah tertawa-tawa. Namun kemudian mendadak wajahnya berubah dingin dan berbicara mengarah pada Siau Liong.
"Nona mengajukan pertanyaan apa padamu?"
Siau Liong memang sudah menyiapkan jawaban, maka segera menjawab tanpa ragu sama sekali.
"Menanyakan aku berasal dari mana."
"Pertanyaan apa lagi yang diajukan nona?"
"Tentang margaku."
Mendadak hati Tu Ci Yen tergerak, dan cepat-cepat ia bertanya.
"Dengar-dengar engkau berasal dari San Si ya?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Engkau marga apa?"
"Marga Hek (Hitam)."
Begitu lancar Siau Liong menjawab, sama sekali tidak tampak berbohong, maka mau tidak mau Tu Ci Yen mempercayainya.
"Tadi saya dengar nona bertanya, orang tua itu berada di mana sekarang. Siapa orang tua itu?" tanya Tu Ci Yen.
"Orang tua itu yang mengajariku ilmu pedang."
"Siapa orang tua itu?"
"Bu beng lo jin."
"Oh?" Tu Ci Yen mengernyitkan kening. "Jadi engkau pernah belajar kiam hoat?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Jurus pedang apa?"
"Jurus pedang yang amat lihay dan aneh."
"Apa nama kiam hoat itu?"
"Bu beng lo jin itu tidak memberitahukan padaku."
"Kiam hoat itu berjumlah berapa jurus?"
"Delapan jurus."
Tu Ci Yen tersentak kaget dalam hati.
"Apakah Thian Liong Pat Kiam (Delapan jurus Naga Langit)?" tanyanya.
"Entahlah." Siau Liong menggelengkan kepala. "Aku sendiri pun tidak mengetahuinya."
"Coba mainkan jurus-jurus pedang itu untuk kulihat! Bagaimana?" Tu Ci Yen manatapnya.
Siau Liong mengangguk.
"Baiklah."
Siau Liong memungut ranting yang dibuangnya tadi, kemudian mulai memainkannya lagi.
Itu memang jurus pedang, namun merupakan jurus pedang yang kacau balau, bukan jurus pedang yang diajarkan orang tua pincang.
Itu membuat Hui Ceh nyaris tertawa geli, dan kemudian membatin.
"Tak sangka dia begitu nakal dan banyak akal!"
Tentunya Tu Ci Yen tidak tahu bahwa itu bukan merupakan jurus-jurus pedang, maka ia terus memperhatikannya. Semula keningnya tampak berkerut-kerut, tapi kemudian malah tertawa gelak.
"Kukira betapa lihay dan dahsyatnya jurus-jurus pedangmu, tidak tahunya cuma jurus-jurus pedang yang tidak karuan!"
"Hiyaaat! Ciaaat...!" Sementara Siau Liong masih terus memainkan ranting itu sambil berteriak keras.
"Berhenti, Siau Liong!" bentak Tu Ci Yen mendadak.
Siau Liong segera berhenti, setelah itu ia pun berpura-pura bernafas ngos-ngosan seraya bertanya.
"Kenapa Siau ya menyuruhku berhenti? Apakah jurus-jurus pedang ini tak sedap dilihat?"
Tu Ci Yen tertawa sinis, lama sekali barulah berkata.
"Jurus pedangmu itu cukup lihay, tapi belum bisa digunakan untuk memukul seekor anjing."
Siau Liong pura-pura tidak percaya, maka sepasang matanya terbelalak lebar.
"Tu Siau ya, terus terang, aku tidak percaya. Sebab kata bu beng lo jin itu, kalau aku menguasai delapan jurus pedang ini, maka diriku akan menjadi kiam khek (Pendekar Pedang) yang tak terkalahkan di kalangan kang ouw (Sungai telaga)."
Tu Ci Yen tertawa dingin, kemudian wajahnya berubah tak sedap dipandang, seraya menghardik.
"Siau Liong! Kau sungguh nyali anjing! Justru berani…..."
"Tutup mulutmu!" bentak Siau Liong.
Ternyata ucapan Tu Ci Yen tadi telah membangkitkan kegusarannya. Sepasang alisnya yang melengkung bagaikan golok terangkat tinggi, wajahnya berubah dingin dan sepasang matanya pun menyorot tajam.
"Wah!" seru Siauw Hui Ceh dalam hati. "Sungguh berwibawa!"
Selama ini, tiada seorang pun yang berani membentak Tu Ci Yen. Oleh karena itu, bentakan Siauw Liong tadi membuatnya tertegun.
"Tu Ci Yen! Aku memperingatkanmu! Kalau bicara sopanlah sedikit!" lanjut Siau Liong bernada dingin. "Jangan bicara begitu kasar!"
Setelah tertegun beberapa saat, Tu Ci Yen pun mulai gusar. Sepasang matanya berapi-api menatap Siau Liong.
"Hek Siau Liong, sungguh berani engkau membentak siau ya! Hm! Kelihatannya engkau mau cari penyakit!"
Siau Liong tertawa dingin.
"Tu Ci Yen, sadarlah kau! Sikapmu itu dapat menakutkan orang lain, tapi tidak dapat membuatku gentar!" sahutnya.
"Oh?" wajah Tu Ci Yen semakin dingin.
"Kalau membicarakan soal berkelahi, engkau punya sepasang tangan, aku pun sama! Nah, siapa yang cari penyakit? "Engkau atau aku?"
"Hek Siau Liong!" Tu Ci Yen tertawa dingin. Engkau punya nyali tidak?"
"Tentu punya!"
"Bagus! Bagus!" Tu Ci Yen terus tertawa dingin.
"Engkau katakan bagus, apakah ingin berduel denganku?" tanya Siau Liong dengan kening berkerut.
"Betul! Aku memang bermaksud begitu! Engkau berani?" Tu Ci Yen menatapnya dengan mata membara.
"Kenapa tidak?" sahut Siau Liong dengan alis terangkat tinggi.
"Bagus!" Tu Ci Yen tertawa licik. "Sambutlah satu pukulanku ini!"
Tu Ci Yen langsung menyerang Siau Liong. Kecepatan pukulannya bagaikan sambaran kilat mengarah pada bagian dada Siau Liong.
Siau Liong tidak menduga Tu Ci Yen akan menyerangnya secara mendadak, bahkan dengan jurus yang mematikan. Tidak salah Tu Ci Yen memang menghendaki nyawa Siau Liong.
Betapa terperanjatnya Siau Liong. Secepat kilat ia berkelit dan sekaligus membalas menyerang dengan sepasang telapak tangannya.
Siau Liong berhati bajik, serangan telapak tangannya hanya diarahkan pada kedua belah bahu Tu Ci Yen, bukan pada bagian yang mematikan.
Tu Ci Yen sama sekali tidak menyangka pukulannya akan terluput dari sasaran. Semula ia pikir Siau Liong pasti mati oleh pukulannya itu, tetapi, Siau Liong dapat berkelit secara cepat. Itu sungguh di luar dugaan dan membuatnya tersentak.
"Hmm!" dengusnya dingin. "Pantas engkau berani omong besar dan menantangku! Ternyata engkau memiliki jurus-jurus tangan kosong yang cukup lihay!"