Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 02 Mei 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 14

Sambungan ke 14

Bagian ke 14: Tiada Jejak
Ternyata wajah Se Pit Han telah berubah pucat pias, sekujur badan pun bergemetar seakan tidak kuat duduk. Seketika juga Giok Cing dan Giok Ling, kedua pengawalnya memegangnya erat-erat.
Menyaksikan itu, pengemis tua terheran-heran dan bertanya-tanya dalam hati. Heran! Apa gerangan ini? Apakah Pek tayhiap punya hubungan dengan Lam Hai? Tapi kok tidak pernah dengar tentang itu?
"Mohon tenang, Tuan Muda!" ujar Se Khi serius.
Tak lama wajah Se Pit Han mulai kelihatan tenang, namun sepasang matanya bersinar dingin.
"Se Khi, sudah lamakah engkau tahu tentang itu?"
"Lo nu (budak tua) juga baru tahu sekarang." jawab Se Khi.
"Siapa majikan Ciok Lau San Cung? Tentunya engkau tahu. Ya, kan?" Se Pit Han menatapnya tajam.
Se Khi mengangguk hormat.
"Lo nu berterus terang, memang sudah lama lo nu tahu." jawabnya dengan suara rendah.
"Oh?" Se Pit Han mendengus dingin. "Hm! Kalau begitu, kenapa engkau tidak memberitahukan padaku?"
"Bukan lo nu tidak mau memberitahukan, melainkan kiong cu (majikan istana) ada pesan pada lo nu, mohon Siau kiong cu, memaafkan lo nu!"
"Tahukah engkau, kenapa ayah melarangmu memberitahukan padaku?" tanya Se Pit Han dengan wajah dingin.
"Maaf!" ucap Se Khi sambil menggelengkan kepala. "Lo nu tidak tahu tentang itu."
Sepasang alis Se Pit Han terangkat, kelihatannya ia sedang berpikir keras.
"Kita harus bagaimana? Kini mereka telah terbunuh semua." tanyanya kemudian.
"Ini…..? jawab Se Khi agak ragu. "Menurut lo nu, kita harus segera pulang melapor pada kiong cu.
"Bagaimana pandanganmu, apakah ayah akan turut campur?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Itu…..." Se Khi berpikir, lama sekali baru melanjutkan, "Menurut lo nu, kemungkinan besar kiong cu akan turut campur."
Se Pit Han manggut-manggut, kemudian mengarah pada Yang Hong, salah seorang Pat Kiam. "Yang Hong!"
"Ya, Siau kiong cu," sahut Yang Hong sambil memberi hormat. "Yang Hong siap menerima perintah."
"Engkau harus segera pulang ke Lam Hai, lapor pada kiong cu tentang semua ini!" Se Pit Han memberi perintah.
"Ya, Yang Hong terima perintah."
"Dan….." tambah Se Pit Han. "Beritahukan pada kiong cu, bahwa sementara ini aku tidak pulang. Engkau pun harus bermohon pada beliau agar beliau memerintahkan beberapa orang untuk menyambut Hek kong cu. Setelah itu, engkau bergabung lagi dengan Huai Hong. Mereka menuju ke…..."
Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya. Kemudian ia mengarah pada Se Khi yang duduk diam itu seraya bertanya.
"Se Khi, mereka harus ke mana menemuiku?" Se Khi mengerutkan kening. Ia tidak langsung menjawab, melainkan menatap Se Pit Han tajam.
"Siau kiong cu, sementara ini tidak pulang, apakah berniat menyelidiki para pembunuh itu?"
"Tidak salah." Se Pit Han manggut-manggut. "Aku harus menyelidiki siapa pembunuh-pembunuh itu, agar bisa membalas dendam pada mereka."
Se Khi tidak memperlihatkan reaksi apa pun. Namun orang tua itu tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Siau kiong cu telah melupakan suatu persoalan yang amat penting. Apakah Siau kiong cu memikirkan persoalan itu?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Se Pit Han tertegun. Ia menatap Se Khi dengan heran, kelihatannya tidak tahu persoalan apa yang ditanyakan Se Khi.
"Persoalan apa yang amat penting?"
"Berkaitan dengan diri Siau kiong cu."
"Bukankah aku telah menyuruh Yang Hong pulang ke Lam Hai untuk melapor pada ayah?"
Se Khi tersenyum, kemudian menggelengkan kepala.
"Menurut lo nu, persoalan yang amat penting sekarang ini, yakni harus menyelidiki jati diri Hek kong cu."
Se Pit Han berpikir, lama sekali barulah ia menyadari sesuatu.
"Oh! Menurutmu, mungkinkah dia piaute (adik misan)?"
Mendengar sebutan adik misan, Ouw Yang Seng Tek, pengemis tua itu pun mengerti.
"Sungguh di luar dugaan! Ternyata Pek tayhiap dan Lam Hai adalah famili!" ujar pengemis tua dalam hati.
"Itu memang mungkin." Se Khi mengangguk. "Kini lo nu membayangkan wajahnya dan sifatnya itu, memang mirip Pek kouwya dan Hui Kouw."
"Oh?"
"Lagi pula dia menyebut dirinya marga Hek (hitam). Lawan kata Hek adalah Pek (putih). Piauw siau ya (tuan muda misan) bernama Pek Giok Liong, Siau Liong mungkin nama kecilnya."
Walau itu cuma dugaan, namun sungguh masuk akal, maka membuat pengemis tua menyela mendadak.
"Apa yang Saudara Se katakan itu memang tidak salah. Aku pun menganggapnya memang Pek Siau Liong. Dia berangkat ke Lam Hai, kemungkinan besar untuk mencari Pulau Pelangi. Tapi…..."
"Tapi kenapa?" tanya Se Pit Han.
"Paman tidak memahami satu hal," jawab pengemis tua sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hal apa?" Se Pit Han menatapnya.
"Dia ada hubungan famili dengan keluarga Hian tit, tapi kenapa dia justru tidak tahu Hian tit berasal dari Lam Hai?" Kening pengemis tua berkerut.
Apa yang dikatakan pengemis tua itu memang tidak salah, dia adalah Pek Giok Liong. Bagaimana mungkin tidak tahu nama dan marga ibunya?
"Kalau begitu…..," ujar Se Pit Han setelah berpikir sejenak. "Dia bukan piaute."
"Menurut lo nu, dia justru Pek Giok Liong," sela Se Khi.
"Apa alasanmu?" tanya Se Pit Han. "Kenapa memastikan dia piaute?"
"Lo nu pikir kedua orang tuanya tidak mau menyinggung tentang Lam Hai, itu demi menjaga rahasia. Maka piau siau ya sama sekali tidak tahu tentang itu," jawab Se Khi mengemukakan alasannya.
"Walau ini beralasan, tapi tidak masuk akal kalau kauw-kauw (bibi) merahasiakan masalah itu terhadap anak sendiri," ujar Se Pit Han. "Lagi pula menyangkut tempat tinggal dan marga nenek…..."
"Mungkin karena Houw kouw menganggap usia piauw siau ya masih kecil, khawatir tidak bisa menjaga mulut sehingga membuka rahasia itu, maka sementara tidak memberitahukannya." Se Khi memberi penjelasan.
Penjelasan tersebut memang masuk akal, maka Se Pit Han manggut-manggut.
"Paman pengemis, bagaimana menurutmu?" tanyanya pada pengemis tua.
"Paman menganggap semua itu memang mungkin." Pengemis tua tampak sungguh-sungguh dan melanjutkan, "Kalau dugaan kita tidak meleset, maka keberangkatannya lebih membahayakan dirinya."
"Oh?" Se Pit Han menatapnya.
"Bukan Paman pengemis meremehkan Huai Hong berempat, namun jelas mereka agak sulit melindungi keselamatannya." Pengemis tua memberitahukan.
Apa yang dikatakan pengemis tua itu sangat mengejutkan Se Pit Han, sebab pengemis tua tidak akan bicara sembarangan. Seketika juga sepasang alis Se Pit Han terangkat.
Se Pit Han teringat pada Pek tayhiap dan isterinya. Meskipun ia tidak pernah menyaksikan kepandaian Pek tayhiap, tapi Pek tayhiap pernah seorang diri bertarung dengan Bu Lim Pat Tay Hiong Jin (Delapan Orang Buas Rimba Persilatan). Berdasarkan itu ia dapat membayangkan betapa tinggi kepandaian Pek tayhiap, namun tetap masih juga bisa terbunuh. Lalu bagaimana dengan Huai Hong berempat?
Berpikir sampai di sini, wajah Se Pit Han langsung berubah pucat dan tampak gugup.
"Nian Hong, engkau dan saudara-saudaramu harus segera merubah wajah, lalu cepat-cepatlah berangkat menyusul Huai Hong. Kalian semua harus melindungi Hek kong cu. Aku, Se Khi dan sepasang pengawal akan menyusul kemudian."
Nian Hong menjura hormat.
"Nian Hong menerima perintah," sahutnya dan segera mengajak saudara-saudaranya berdandan.
"Paman pengemis!" Se Pit Han memandangnya.
"Ada apa, Hian tit?" tanya pengemis tua cepat.
"Paman pengemis mempunyai rencana ke mana?"
"Paman ingin pergi mengejar Siang Hiong. Mereka dan Sam Kuay (Tiga Siluman) dipukul jatuh di Ok Hun Nia (Lereng Bukit Arwah Penjahat) oleh Pek tayhiap. Siang Hiong belum mati, maka Sam Kuay kemungkinan masih hidup. Jangan-jangan kematian Pek tayhiap dan isterinya itu karena perbuatan mereka sebagai pembalasan dendam masa lalu."
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut. "Kemungkinan besar memang begitu."
"Kalau benar itu perbuatan mereka, harap Paman pengemis jangan bertarung dengan mereka, suruh seseorang memberitahukan pada kami!" pesan Se Pit Han.
"Tapi…..." Pengemis tua tampak ragu.
"Paman pengemis!" Sepasang mata Se Pit Han berapi-api. "Aku mau bersama piaute mencari mereka untuk membalas dendam berdarah itu."
Se Khi mengerutkan kening mendengar ucapan itu, namun tidak mengatakan apa pun. Ia memang tidak bisa mengatakan apa pun, lebih-lebih mencegah Se Pit Han yang telah mengambil keputusan itu.
"Huaha ha ha!" Pengemis tua tertawa gelak. "Hian tit berlegalah hati. Kalau benar itu perbuatan mereka, Paman pun tidak kuat melawan mereka."
"Paman……"
"Itu benar." Lanjut pengemis tua. "Siang Hiong Sam Kuay bergabung, Paman memang tidak akan kuat menghadapi mereka. Namun kalau satu lawan Satu, Paman masih mampu meringkusnya. Tapi Siang Hiong selalu sepasang, Sam Kuay pun tetap bertiga. Mereka tidak pernah berpencar, maka Paman tidak akan bertindak sembarangan. Seandainya Hian tit dan Hek kong cu bersatu untuk membalas dendam berdarah itu, Paman pasti membantu."
"Terima kasih...... Paman!" ucap Se Pit Han sambil menjura.
"Hian tit tidak usah mengucapkan terima kasih." Pengemis tua tertawa, namun kemudian menarik nafas panjang. "Sayangnya Paman tidak kuat melawan mereka."
Memang tidak salah apa yang dikatakan pengemis tua itu. Kalau satu lawan satu, pengemis tua itu pasti mampu meringkusnya, tapi kalau dua lawan satu atau tiga lawan satu, pengemis tua itu pasti tidak mampu melawan.
"Ohya," tambah pengemis tua. "Mengenai Hek Siau Liong, Hian tit harus menyelidikinya secara jelas. Kalau Hian tit sudah tahu jelas jati dirinya, suruhlah seseorang memberitahukan pada Kay Pang agar melapor pada Paman."
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Baiklah!"
"Baiklah. Paman mau mohon diri! Hian tit harus ingat, bahwa dalam kang ouw banyak kelicikan, maka engkau harus berhati-hati, dan jangan terlampu ceroboh."
"Terima kasih atas nasihat Paman pengemis!" ucap Se Pit Han sambil tersenyum. "Siau tit pasti berhati-hati."
"Ngmm!" Pengemis tua manggut-manggut, lalu menjura pada Se Khi. "Keparat Se, sudah lama engkau berkecimpung dalam kang ouw, tentunya tahu bagaimana keadaan kang ouw. Nah, urusan apa pun harus kau perhatikan. Aku tidak perlu banyak bicara, sampai jumpa!"
Suaranya belum hilang, namun orangnya telah hilang berkelebat cepat bagaikan kilat meninggalkan rumah penginapan tersebut. Dapat dibayangkan, betapa tinggi ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang itu.
*
* *
Huai Hong, Hui Hong, Tui Hong dan Kiam Hong memacu kuda masing-masing secepat angin puyuh. Tak seberapa lama kemudian, kuda-kuda mereka telah berlari lima puluhan li.
Akan tetapi, Huai Hong justru bercuriga dalam hati, karena dalam lima puluhan li, sama sekali tidak tampak bayangan Hek Siau Liong.
Huai Hong bercuriga dan merasa cemas. Seharusnya sudah dapat menyusulnya, tapi kok tidak tampak bayangannya? Apakah salah jalan ataukah…... Berpikir sampai di sini, sekujur badan Huai Hong pun merinding dan membuatnya tidak berani berpikir lagi.
Mendadak ia mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda pada saudara-saudaranya agar berhenti. Mereka segera menarik tali kendali menghentikan kuda masing-masing. Pada waktu bersamaan Kiam Hong pun bertanya.
"Toako (kakak tertua) telah melihat sesuatu?" Huai Hong menggelengkan kepala, sepasang alisnya terangkat.
"Kelihatannya urusan ini agak tidak beres," jawabnya dengan suara dalam.
"Bagaimana tidak beres?" Kiam Hong tampak tersentak.
Huai Hong tidak langsung menjawab, melainkan menatap Kiam Hong dan balik bertanya.
"Pat te (adik kedelapan) tidakkah engkau merasa aneh?"
Huai Hong bertanya padanya, karena Kiam Hong berotak sangat cerdas dan peka.
"Toako, urusan ini memang aneh." Kiam Hong manggut-manggut. "Memang aneh sekali."
"Bagaimana menurutmu tentang ini?"
"Menurut siaute, ini ada dua kemungkinan."
"Jelaskanlah!"
"Berpikir baiknya, mungkin kita telah salah jalan."
"Pat te!" Huai Hong menggelengkan kepala. "Kukira itu tidak mungkin."
"Toako!" Kiam Hong tersenyum. "Apakah karena di sini tiada jalan lain?"
"Walau terdapat jalan kecil, siapa pun tidak akan melalui jalan itu menuju selatan," sahut Huai Hong mengutarakan pendapatnya.
"Toako!" Kiam Hong tertawa-tawa. "Aku justru berpikir lain tentang ini. Hek kong cu sangat pintar, kemungkinan besar dia melalui jalan kecil agar tidak tersusul siapa pun."
"Pat te!" Huai Hong mengerutkan kening. "Apakah dia telah menduga kita akan menyusulnya?"
"Itu tidak mungkin. Hek kong cu melalui jalan demi menghindari pengejaran orang-orang suruhan Toan Beng Thong."
Masuk akal apa yang dikatakan Kiam Hong, maka Huai Hong menjadi berpikir keras.
"Pat te, lalu apa kemungkinan kedua itu?" tanyanya kemudian.
Wajah Kiam Hong berubah, lama sekali barulah menjawab.
"Kemungkinan kedua itu..... yakni Toan Beng Thong telah mendahului kita, maka…..."
"Pat te!"" Huai Hong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin Toan Beng Thong bisa mendahului kita."
"Itu benar," sela Huai Hong. "Bagaimana mungkin Toan Beng Thong bisa mendahului kita?"
"Ngmm!" Huai Hong manggut-manggut. "Itu memang tidak mungkin."
"Toa ko." Kiam Hong menatapnya. "Selisih waktu berapa kita berangkat menyusul Hek kong cu
"Kira-kira setengah jam."
"Nah, setengah jam itu merupakan waktu yang cukup."
"Pat te!"' sela Tui Hong yang diam dari tadi. "Aku mengerti maksudmu."
"Cit ko (kakak ketujuh), aku percaya engkau mengerti itu." Kiam Hong tersenyum.
"Maksud pat te…..." Huai Hong menyadari sesuatu. "Kemungkinan Toan Beng Thong telah menyembunyikan orang-orang berkepandaian tinggi di semua jalan luar kota ini untuk menunggu Hek kong cu."
"Benar." Kiam Hong mengangguk. "Aku memang berpikir begitu."
"Kalau begitu......" Kening Huai Hong terus berkerut. "Kita harus bagaimana?"
Kiam Hong tidak menyahut, melainkan cuma menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah muram. Berselang sesaat, mendadak Tui Hong membuka mulut.
"Apa boleh buat! Kita harus berpencar mencari Hek kong cu."
Memang tiada jalan lain, maka mereka harus berpencar untuk mencari Hek Siau Liong.
Justru pada waktu bersamaan, terdengar suara derap kuda yang begitu kencang. Mereka segera menoleh, tampak empat ekor kuda berlari cepat menghampiri mereka.
Karena masih begitu jauh, Huai Hong dan saudara-saudaranya tidak bisa melihat jelas siapa penunggang kuda-kuda itu.
"Mari kita menyingkir, lihat siapa mereka itu!" seru Huai Hong.
Mereka berempat segera menyingkir ke pinggir jalan. Tak lama kuda-kuda itu telah mendekat. Begitu melihat keempat penunggang kuda itu, seketika juga Kiam Hong terperangah.
"Toa ko, mereka jie ko (kakak kedua)?"
"Tidak salah." Huai Hong mengangguk. "Mereka memang jie ko."
Ternyata para penunggang kuda itu Nian Hong, Ie Hong, Keng Hong dan Yang Hong berempat.
Walau mereka semua telah merubah wajah dan dandanan, pada bagian dada baju mereka terdapat semacam tanda, itu membuat mereka saling mengenal.
Nian Hong dan saudara-saudaranya segera menarik tali kendali menghentikan kuda masing-masing.
"Toa ko, di mana piau siau ya?" tanya Nian Hong cepat.
"Piau siau ya?" Huai Hong dan lainnya melongo. "Siapa piauw siau ya?"
"Hek kong cu adalah piau siau ya." Nian Hong memberitahukan.
"Hah? Apa?!" Huai Hong terbelalak. "Hek kong cu adalah piau siau ya?"
"Ya." Nian Hong mengangguk. "Paman pengemis tua beranggapan begitu. Hek kong cu adalah Pek Giok Liong, putra kesayangan Hui kauw-kauw (bibi Hui).
"Oh?" Huai Hong terkejut. "Jie te, kenapa kalian menyusul kami? Apa gerangan yang telah terjadi?"
"Toa ko, kini tiada waktu untuk menjelaskan. Hek kong cu berada di mana sekarang? Siau kiong cu akan segera menyusul."
Huai Hong menggeleng-gelengkan kepala, dan tersenyum getir.
"Jie te, kami justru tidak tahu bagaimana baiknya?"
Nian Hong terkejut.
"Bagaimana? Apakah Hek kong cu telah….." tanyanya sambil menatap Huai Hong.
"Belum bisa dipastikan sekarang." sahut Kiam Hong. "Kami cuma mengejar sampai di sini, namun tidak melihat jejak Hek kong cu. Maka….. kami berhenti di sini untuk berunding."
"Toa ko." Nian Hong menatapnya. "Bagaimana rencanamu?"
"Apa boleh buat!" Huai Hong menarik nafas. "Jalan satu-satunya, kita harus berpencar mencari Hek kong cu bagaimana menurut jie te?"
Nian Hong berpikir sejenak.
"Toa ko telah memutuskan begitu, maka kita harus segera berpencar mencari Hek kong cu, agar tidak terlambat sehingga terjadi sesuatu atas dirinya," ujarnya.
"Tapi…..." Lanjut Huai Hong. "Salah seorang di antara kita harus ditinggal untuk menunggu Siau kiong cu."
"Benar." Nian Hong manggut-manggut.
"Dan juga......" Huai Hong mengerutkan kening. "Kita harus berunding dulu. Seandainya menemukan sesuatu, kita harus bagaimana dan harus berkumpul di mana?"
"Begini, kalau kita menemukan sesuatu dalam jarak lima puluhan li, nyalakan api sebagai tanda!" usul Nian Hong.
"Ng!" Huai Hong mengangguk. "Apabila tidak menemukan suatu apa pun, kita harus segera menuju Kota Pin Hung dan berkumpul di sana. Mengenai salah seorang di antara kita yang harus tinggal di sini…..."
"Bagaimana si te yang tinggal di sini?" tanya Nian Hong.
"Baiklah," jawab Huai Hong.
Setelah memutuskan itu, mereka pun berpencar dengan menunggang kuda masing-masing untuk mencari Hek Siau Liong.