Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Sabtu, 25 Juni 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 16

Bagian ke 16: Meraba Tulang
"Ya." Orang tua buta itu mengangguk.
"Kenapa lo jin keh ingin merabaku?" Siau Liong bingung.
"Lo ciau ingin menyuruhmu melaksanakan sesuatu, namun tidak tahu engkau mampu atau tidak. Maka lo ciau harus merabamu dulu, agar tahu jelas mampukah engkau melaksanakannya?"
"Lo jin keh!" tanya Siau Liong heran. "Hanya dengan meraba, lo jin keh bisa tahu?"
"Tidak salah. Lo ciau ahli dalam hal meraba tulang, maka hanya dengan meraba lo ciau sudah tahu dirimu mampu atau tidak."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Ternyata begitu…..."
Orang tua buta itu tersenyum.
"Lo jin keh menghendaki boan pwe melaksanakan sesuatu, apakah sulit sekali melaksanakannya?" Siau Liong bertanya.
"Dibilang sulit ya tidak, dibilang tidak justru sulit sekali," jawab orang tua buta sambil mengerutkan kening.
"Lo jin keh, sebetulnya urusan apa itu? Bolehkah lo jin keh memberitahukan boan pwe?"
Orang tua buta menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak bisa. Sebelum lo ciau meraba tulangmu dan memastikan mampu tidaknya dirimu, lo ciau tidak bisa memberitahukan tentang urusan itu."
Usai orang tua buta berkata, pada waktu bersamaan terdengar suara langkah yang ringan.
Ternyata Cing Ji memunculkan diri, dan mendekati Siau Liong dengan mata berbinar-binar.
"Siau Liong ko," ujarnya berseri. "Cepatlah mendekati yaya biar diraba tulangmu!"
"Cing Ji…..."
Ucapan Siau Liong terputus, karena Cing Ji telah menarik Siau Liong ke hadapan orang tua buta itu.
Orang tua buta itu menjulurkan sepasang tangannya, lalu memegang badan Siau Liong dengan wajah serius. Setelah itu, mulailah orang tua buta itu meraba-raba badan Siau Liong.
Cing Ji memandang dengan penuh perhatian, bahkan tampak tegang sambil memperhatikan air muka kakeknya.
Kening orang tua buta itu berkerut, hatinya pun berdebar. Kenapa begitu? Seandainya bertanya padanya, gadis itu pun tidak tahu sebab musababnya.
Namun dalam benaknya merasakan sesuatu, juga mengandung suatu harapan. Ia berkesan baik pada Siau Liong, maka berharap orang tua buta itu jangan terus mengerutkan kening. Untung orang tua buta itu hanya dua kali mengerutkan kening, diam-diam gadis itu pun menarik nafas lega.
Berselang sesaat, orang tua buta itu menarik sepasang tangannya dengan wajah cerah.
"Tuhan mengasihimu, akhirnya lo ciau menemukan orang yang cocok, dan dapat terkabul apa yang lo ciau inginkan itu." gumam orang tua buta itu, lalu tertawa gelak.
Ketika melihat orang tua buta itu tertawa, wajah Cing Ji pun ceria dan ikut tertawa pula dengan nyaring. Kemudian gadis itu menarik Siau Liong dan berjingkrak saking girangnya.
"Siau Liong, engkau telah terpilih! Cing Ji turut gembira!"
Cing Ji begitu gembira, sebaliknya Siau Liong malah tampak bodoh terbengong-bengong.
"Ini apa gerangannya? Kenapa aku terpilih?" tanya Siau Liong. Pada waktu bersamaan, ia pun teringat sesuatu. Mungkinkah ia terpilih untuk melaksanakan sesuatu itu?
"Huaha ha ha!" Orang tua itu masih tertawa gelak.
"Lo jin keh, apakah boan pwe terpilih untuk melaksanakan sesuatu itu? Apakah lo jin keh memastikan boan pwe mampu melaksanakannya?" Siau Liong menatap orang tua buta itu.
"Betul." Orang tua buta mengangguk. "Nak, lo ciau telah memilihmu dan memutuskan untuk menyerahkan urusan itu padamu."
"Lo jin keh….." ujar Siau Liong terputus.
"Cing Ji," ujar orang tua buta pada cucunya. "Cepat buka pintu ruang rahasia, kemudian pasang hio!"
"Ya, yaya." Cing Ji mendekati tembok batu, lalu menekan sebuah tombol di tembok batu itu.
Kraaak! Pintu rahasia di tembok batu itu terbuka.
Cing Ji melangkah masuk dan tak seberapa lama kemudian, ruang rahasia itu pun tampak terang.
"Yaya!" seru Cing Ji dari dalam ruang rahasia itu. "Cing Ji sudah pasang hio, yaya bawa Siau Liong ko ke mari!"
Orang tua buta itu bangkit berdiri, lalu menaruh tangannya di atas bahu Siau Liong.
"Nak, mari kita ke dalam!" katanya.
Walau merasa heran dalam hati, Siau Liong sama sekali tidak berani bertanya apa pun. Ia mengikuti orang tua buta itu memasuki ruang rahasia sambil menengok ke sana ke mari.
Di dalam ruang rahasia itu terdapat sebuah meja batu dan sebuah tempat pasang hio di atas meja batu itu. Di tembok di belakang meja batu itu tergantung sebuah gambar dewa, tampak pula tiga batang hio menyala, dan mengepulkan asap di dalam tempatnya.
"Nak," ujar orang tua berwibawa tapi lembut. "Cepatlah engkau berlutut tiga kali dan bersujud sembilan kali!"
Siau Liong melongo saking merasa heran. Cing Ji segera berkata mendesaknya.
"Siau Liong ko, cepat lakukan!" Nada suaranya penuh mengandung harapan tapi gugup karena Siau Liong belum melakukan penghormatan itu.
Siau Liong merasa ragu, namun kemudian menurut juga. Usai melakukan penghormatan, ia pun menarik nafas dalam-dalam.
"Siau Liong ko!" Wajah Cing Ji berseri. "Setelah bersujud di hadapan causu (kakek guru) engkau pun harus bersujud pada yaya!"
Siau Liong tertegun. Ketika ia baru mau membuka mulut, justru orang tua buta telah menegur Cing Ji.
"Cing Ji, jangan banyak mulut! Pergilah melihat nasi sudah matang belum, kemudian tunggu di luar saja!"
"Ya." Cing Ji mengangguk, lalu segera meninggalkan ruang rahasia itu.
Hening seketika di dalam ruang rahasia tersebut. Siau Liong merasa heran, tapi ia tidak berani bertanya.
"Nak!" Orang tua buta tersenyum lembut. "Kenapa engkau tidak bicara?"
"Lo jin keh, boan pwe tidak tahu harus bicara apa?"
"Nak, bukankah banyak pertanyaan di dalam benakmu? Kenapa engkau tidak mencetuskannya?"
"Memang banyak pertanyaan di dalam benak boan pwe, tapi tidak tahu boleh bertanya atau tidak. Maka….. boan pwe terpaksa diam."
Orang tua buta tertawa-tawa, lalu manggutmanggut.
"Nak, inilah kelebihanmu. Walau merasa heran kamu masih dapat mengendalikan diri untuk tidak bertanya."
"Lo jin keh terlampau memuji, membuat boan pwe jadi malu hati."
"Mau merendah diri itu memang baik sekali." Orang tua buta manggut-manggut dan menambahkan, "Sesungguhnya, tidaklah begitu gampang untuk merendah diri."
"Lo jin keh…..." Wajah Siau Liong tampak kemerah-merahan.
"Nak, tahukah engkau kenapa lo ciau berbuat demikian?" tanya orang tua buta mendadak.
"Boan pwe sangat bodoh, mohon lo jin keh memberi petunjuk!"
"Nak." Wajah orang tua buta berubah serius. "Kalau dijelaskan, ini merupakan keberuntunganmu."
"Lo jin keh, boan pwe sama sekali tidak mengerti, boan pwe mohon penjelasan!"
"Baiklah." Orang tua buta manggut-manggut. "Lo ciau memang harus menjelaskannya."
"Terima kasih, lo jin keh!"
"Nak, engkau bisa memperoleh keberuntungan ini, karena memiliki bakat dan tulang yang istimewa, bahkan juga berhati bajik dan berbudi luhur. Namun masih terdapat sedikit kekurangan…..." Orang tua buta diam, berselang sesaat barulah dilanjutkan. "Nak, engkau harus ingat. Mengenai cinta, engkau harus berhati-hati. Kalau tidak berhati-hati, akan menimbulkan suatu badai dalam cinta itu…..."
Orang tua buta menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menarik nafas panjang dengan mulut membungkam.
Walau orang tua buta tidak melanjutkan, namun Siau Liong sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan orang tua buta itu selanjutnya. Justru hatinya pun tersentak dan ujarnya dengan hormat,
"Boan pwe pasti ingat akan nasihat lo jin keh yang sangat berharga itu."
"Nak, tahukah engkau siapa causu yang digambar itu?" tanya orang tua buta mendadak.
"Boan pwe tidak tahu."
"Kedua orang tuamu adalah orang bu lim maka engkau pun pasti pernah mendengar mengenai orang-orang bu lim dari kedua orang tuamu."
"Walau boan pwe pernah dengar, tetapi masih tidak begitu tahu."
"Nak!" Wajah orang tua buta tampak serius. "Pernahkah engkau dengar dalam bu lim terdapat sebuah Jit Goat Seng Sim Ki (Panji Hati Suci Matahari Bulan)?"
Ketika mendengar itu, wajah Siau Liong tampak terperanjat.
"Boan pwe pernah dengar. Apakah gambar itu adalah…..."
"Nak, dugaanmu itu tidak salah, gambar itu memang causu Jit Goat Seng Sim Ki."
"Hah? Kalau begitu, lo jin keh adalah…..."
"Lo ciau adalah generasi keempat pemegang panji itu." Orang tua buta memberitahukan.
"Oh?" Siau Liong tampak menghormat sekali. "Ternyata lo jin keh adalah Kian Kun Ie Siu yang menggetarkan bu lim masa itu! Mohon maaf, boan pwe tidak mengetahuinya, sehingga berlaku kurang hormat tadi!"
"Ha ha ha!" Orang tua buta itu tertawa terbahak-bahak. "Lo ciau memang Kian Kun Ie Siu (Orang aneh) itu."
"Lo jin keh…..."
"Nak, kini engkau sudah tahu niat lo ciau dalam hati?"
Tentunya Siau Liong tahu, Kian Kun Ie Siu memilihnya sebagai generasi kelima pemegang panji itu.
Panji Hati Suci Matahari Bulan berkembang, bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu. Bisa menjadi generasi penerusnya, memang merupakan kejadian yang amat luar biasa.
Itu merupakan keberuntungan Siau Liong, maka ia harus merasa girang sekali. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan, sebab Siau Liong tampak hambar.
"Boan pwe tahu niat to jin keh, maka boan pwe merasa bangga."
Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening, karena nada suara Siau Liong begitu hambar, tentunya membuat orang tua buta itu tidak habis berpikir.
"Nak, kenapa engkau tidak tertarik dan sama sekali tidak merasa girang?" tanya Kian Kun Ie Siu heran.
"Lo jin keh......" Siau Liong menarik nafas panjang. "Panji Hati Suci Matahari Bulan berkembang, bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu. Bisa menjadi generasi penerus pemegang panji itu, memang sangat menggembirakan. Namun…..."
"Kenapa?"
"Lo jin keh, bolehkah boan pwe mengajukan beberapa pertanyaan?" tanya Siau Liong mendadak.
Kian Kun Ie Siu manggut-manggut.
"Boleh. Engkau mau bertanya apa, tanyalah!"
"Maaf, lo jin keh! Boan pwe pun ingin mohon agar lo jin keh mengabulkan satu permintaan."
"Permintaan apa?"
"Apa yang boan pwe tanyakan, boan pwe harap agar lo jin keh jangan gusar atau tidak mau menjawab. Inilah pertanyaan boan pwe......"
Kian Kun Ie Siu berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Baiklah, lo ciau mengabulkan."
"Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Liong dan melanjutkan, "Mulai saat ini, lo jin keh berniat mengajar boan pwe bu kang tingkat tinggi?"
"Betul."
"Apakah lo jin keh ingin mewariskan boan pwe Hu Ki Sin Kang Sam Cauw (Tiga jurus sakti pelindungi panji) itu?"
"Tidak salah." Kian Kun Ie Siu mengangguk serius. "Karena lo ciau telah mengambil keputusan untuk menerimamu sebagai murid generasi penerus pemegang panji itu, maka harus pula mewariskan tiga jurus sakti pelindungi panji tersebut padamu. Kalau tidak, bagaimana mungkin engkau mampu melindungi panji itu?"
"Lo jin keh, bolehkah boan pwe mengajukan satu pertanyaan lagi?"
"Tentu boleh." Kian Kun Ie Siu tertawa. "Tanyalah!"
"Betulkah tiga jurus sakti itu tiada lawannya di kolong langit ini?" Ternyata ini yang ditanyakan Siau Liong.
Pertanyaan ini membuat air muka Kian Kun Ie Siu berubah, kening pun berkerut-kerut.
"Engkau kurang yakin akan kesaktian tiga jurus itu?"
"Apakah lo jin keh telah melupakan permintaan boan pwe tadi?"
Kian Kun Ie Siu tertegun, namun tersenyum seraya berkata dengan lembut memberi penjelasan pada Siau Liong.
"Nak, tiga jurus sakti pelindung panji memang sakti sekali. Tiada lawan di kolong langit bukan omong kosong."
"Lo jin keh, tiada lawan di kolong langit dimaksudkan satu lawan satu?" tanya Siau Liong mendadak.
"Itu tergantung pada kepandaian pihak lawan. Kalau cuma merupakan orang berkepandaian kelas satu dalam bu lim, walau berjumlah belasan orang, itu pun bukan lawan tiga jurus sakti."
"Bagaimana kalau menghadapi bu lim ko ciu tingkat tinggi?"
"Walau berjumlah dua tiga orang, tentu tidak akan kalah."
"Seandainya ditambah beberapa orang lagi?"
"Apa?" Kian Kun Ie Siu tertegun. "Ditambah, beberapa orang lagi?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Misalnya menghadapi Siang Hiong Sam Koay?"
Kian Kun Ie Siu tampak terkejut.
"Nak, apakah itu mungkin? Para siluman tua itu......"
"Itu mungkin. Lo jin keh, kini boan pwe harus berterus terang mengenai musuh-musuh boan pwe."
"Nak!" Orang tua buta itu tersentak. "Musuh-musuhmu itu adalah Thai Nia Siang Hiong Sam Koay?"
Kian Kun Ie Siu menggeleng-gelengkan kepala. Berselang sesaat ia melanjutkan dengan kening berkerut-kerut.
"Itu tidak mungkin. Bukankah mereka telah dipukul jatuh ke dalam jurang Ok Hun Nia oleh Pek tayhiap? Kalau tidak salah, mereka berlima telah mati bukan?"
"Tapi Siang Hiong justru tidak mati. Belum lama ini, mereka berdua telah muncul di bu lim. Dua puluh hari yang lalu, ada orang melihat mereka berada di Si Hai Ciu Lau, Ling Ni."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu tampak kurang percaya. "Siapa yang melihat mereka?"
"Bun Fang, saudara tertua Thai Hang Ngo Sat."
"Bun Fang yang memberitahukan padamu?"
"Boan pwe tidak kenal mereka, bagaimana mungkin mereka memberitahukan pada boan pwe?"
"Kalau begitu…..."
"Tanpa sengaja Ouw Yang Seng Tek, Kay Pang tiang lo menanyakan tentang itu pada Bun Fang."
"Ooooh!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Kay Pang tiang to itu Si Tongkat Sakti?"
"Betul."
"Engkau kenal pengemis tua itu?"
Siau Liong tidak mau menutur tentang apa yang terjadi di rumah penginapan itu, hanya menjawab sekenanya.
"Boan pwe tidak kenal. Pada waktu itu kebetulan kami berada di rumah penginapan yang sama, dan tanpa sengaja boan pwe mendengar pembicaraan mereka."
"Kalau begitu......" Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening. "Kalau Siang Hiong tidak mati, mungkin begitu juga Sam Koay."
"Itu memang mungkin."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir beberapa saat lamanya. "Kalau begitu, musuh-musuhmu itu adalah Siang Hiong Sam Koay?"
"Sementara ini, boan pwe belum begitu jelas, namun boan pwe yakin pasti ada kaitannya dengan mereka."
"Oooh!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak dan telah menduga sesuatu. "Nak, aku sudah memahami keinginan hatimu."
"Lo jin keh!" Siau Liong menundukkan kepala.
"Karena khawatir tiga jurus sakti pelindung panji itu tidak mampu melawan Siang Hiong Sam Koay, maka engkau pun jadi ragu?"
"Boan pwe memang ragu." Siau Liong mengangguk. "Boan pwe mohon agar lo jin keh memberi maaf!"
"Ha ha ha!" Orang tua buta tertawa. "Engkau ragu memang wajar, sebab musuh-musuhmu itu memang telah tersohor puluhan tahun yang lampau."
"Justru karena itu…..." Siau Liong menari nafas panjang. "Boan pwe memikul dendam berdarah, bahkan sewaktu-waktu boan pwe akan terbunuh, itu merupakan urusan kecil. Namun Panji Hati Suci Matahari Bulan adalah benda mustika dalam bu lim. Kalau boan pwe tidak mampu menjaga panji itu dan terjatuh ke tangan golonga hitam, bukankah…..."
Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. Apa yang dikatakan Siau Liong memang benar, kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, bagaimana mungkin mampu menjaga panji itu? Kian Kun Ie Si mengerutkan kening sambil berpikir.

Senin, 20 Juni 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 15

Bagian ke 15: Orang Tua Buta
Sebetulnya Hek Siau Liong ke mana? Kenapa tiada jejaknya? Menurut dugaan Pat Kiam kemungkinan besar Hek Siau Liong menempuh jalan lain. Dugaan tersebut memang tidak salah, Hek Siau Liong menuju selatan tidak melalui jalan besar, juga tidak melewati jalan kecil, melainkan menempuh jalan setapak bersama kuda tunggangannya. Pat Kiam menduga demikian, namun tidak menyangka Hek Siau Liong akan menempuh jalan setapak.
Tak seberapa lama kemudian, Hek Siau Liong telah memasuki Siu Gu San (Bukit Siu Gu). Tidak gampang melewati bukit itu, bahkan kuda tunggangannya sering terpeleset, membuatnya nyaris jatuh dari punggung kudanya. Walau demikian, ia sama sekali tidak mengeluh, karena memiliki tekad yang tak tergoyahkan, lagi pula masih harus membalas dendam berdarah kedua orang tuanya.
Kalau ia mengeluh dalam perjalanan ini, bagaimana mungkin akan tiba di Lam Hai untuk mencari Pulau Pelangi?
Hek Siau Liong tidak pernah berkelana dalam bu lim, namun pernah mempelajari ilmu bumi. Maka ia tahu Siu Gu San ini terletak di Ouw Pak. Kalau terus menuju selatan adalah Ouw Lam, Kang Si, Kanton, lewat Kanton sudah termasuk Lam Hai.
Kini sudah lima hari Hek Siau Liong meninggalkan Kota Ling Ni. Matahari mulai condong ke barat. Ia menghentikan kudanya di lereng bukit lalu menengok ke sana ke mari dengan harapan ada rumah penduduk di sekitar itu.
Akan tetapi, ia sangat kecewa. Di sekitar tempat itu tiada rumah penduduk sama sekali. Di tempat yang begitu sepi dan merupakan rimba, bagaimana mungkin ada rumah penduduk?
Walau kecewa, Hek Siau Liong tidak bermuram durja, masih tampak begitu tenang.
"Tidak apa-apa, di bukit ini pasti terdapat goa." gumamnya menghibur diri sendiri. "Cari sebuah goa untuk bermalam, tapi…..."
Hek Siau Liong menatap kudanya, kemudian menjulurkan tangannya untuk membelainya seraya berkata lembut.
"Kuda yang baik, ikutlah aku! Hanya saja….. akan menyusahkanmu."
Sungguh mengherankan, kuda itu seakan mengerti ucapan Hek Siau Liong. Kepalanya manggut-manggut sambil meringkik panjang sepertinya sedang berkata.
"Aku mengerti, aku tidak menyalahkanmu."
Sungguhkah kuda itu mengerti ucapan Hek Siau Liong? Kalau kuda itu mengerti, tentunya itu kuda dewa atau kuda siluman.
Walau kuda itu tidak mengerti, tapi memiliki naluri. Siau Liong membelainya, dan kuda itu tahu Siau Liong sangat menyayanginya. Kalau tidak, bagaimana mungkin kuda itu manggut-manggut dan meringkik begitu panjang?
"Kuda yang baik, tak disangka engkau mengerti bahasa manusia." ujar Siau Liong sambil tersenyum.
"Hi hi hi!" Mendadak terdengar suara tawa yang amat nyaring. "Dasar bloon! Sudah sinting!"
Itu suara anak gadis. Namun sungguh mengejutkan Siau Liong. Di sekitar tempat itu tak ada rumah, tapi ada suara gadis yang begitu nyaring. Bukankah itu ganjil sekali!
Sepasang mata Siau Liong terbelalak lebar, mulutnya pun ternganga berbentuk huruf O, bahkan wajahnya juga tampak berubah dan bulu kuduknya berdiri semua.
Benarkah Siau Liong begitu pengecut, sama sekali tiada nyalinya? Kalau benar begitu, bagaimana mungkin ia mampu menegakkan keadilan dalam bu lim.
Sebetulnya Siau Liong cukup bernyali, kalau tidak, mungkinkah ia berani berangkat ke Lam Hai seorang diri?
Tapi kenapa ia tampak begitu ketakutan? Ternyata ia sering membaca cerita berbagai macam siluman yang menghuni dalam hutan dan bukit. Mendadak ada suara anak gadis, maka ia menganggap itu adalah siluman.
Perlahan-lahan ia mengarahkan pandangannya pada tempat yang bersuara tadi. Apakah ia melihat siluman? Tentu tidak, melainkan hanya melihat sebuah batu besar di situ.
Tiba-tiba dari balik batu itu muncul seraut wajah seorang gadis, tapi secepatnya menyusup ke balik batu itu lagi.
Wajah itu agak kehitam-hitaman, namun sangat cantik dengan sepasang mata yang amat bening.
Itu bagaimana mungkin siluman? Yang jelas adalah seorang gadis berwajah hitam manis.
"Hi hi hi!" Terdengar suara tawa yang nyaring lagi, lalu muncul seorang gadis dari balik batu itu. Rambut gadis itu panjang terurai sampai ke bahu.
Kini Siau Liong sudah melihat jelas. Gadis itu berusia sekitar empat belasan tahun dan berbadan langsing.
Gadis itu berdiri di hadapan Siau Liong dengan bertolak pinggang sambil menatap Siau Liong dengan mata bersinar terang.
"Hei! Engkau dari mana?" tanyanya merdu.
Siau Liong menarik nafas dalam-dalam, kemudian memandang gadis itu dengan penuh perhatian.
"Siau kouw nio (gadis kecil) engkau bertanya padaku?"
"Eh?" Sepasang alis gadis yang lentik itu terangkat sedikit. "Apakah ada orang ketiga di sini?"
"Oooh…..?" Siau Liong tersenyum.
"Jangan oh! Jawablah pertanyaanku tadi!" tandasnya.
"Engkau bertanya apa tadi?" Siau Liong tampak telah lupa.
"Dasar bloon dan pelupa!" Anak gadis itu tertawa geli. "Aku bertanya engkau dari mana?"
"Aku datang dari utara." sahut Siau Liong.
"Dari utara mau ke mana?"
"Ke selatan."
"Kalau begitu…..." Gadis itu menatapnya dalam-dalam. "Engkau orang lewat?"
Siau Liong mengangguk sambil tersenyum.
"Siau kouw nio, engkau dari mana?" tanyanya lembut.
"Ei!" tegur anak gadis itu. "Jangan terus menerus memanggilku siau kouw nio. Itu tak sedap didengar. Aku sudah tidak kecil."
"Oh?" Siau Liong tertawa. "Jadi..... berapa usiamu?"
"Usiaku sudah hampir lima belas."
"Emmh!" Siau Liong manggut-manggut. "Kalau hampir lima belas, itu berarti siau kouw nio."
"Huh! Tampangmu juga tidak lebih besar dariku! Kalau engkau memanggilku siau kouw nio lagi, aku pun akan memanggilmu siau hai ji (anak kecil)."
"Engkau memang…..." Siau Liong ingin mengatakan bahwa dia memang gadis kecil, namun mendadak teringat pada usianya sendiri yang juga baru lima belas tahun, maka tidak dilanjutkan, melainkan bertanya, "Jadi aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil namaku saja!" sahut gadis itu tanpa berpikir.
"Tapi…..." Siau Liong tersenyum. "Aku belum tahu namamu."
"Ouh!" Gadis itu tertawa kecil. "Aku lupa memberitahukan. Namaku Cing Ji, panggil saja Cing Ji!"
"Oooh! Ternyata Cing Ji kouw nio!"
"Bagaimana sih engkau? Kok begitu macam?"
"Lho, kenapa aku?" Siau Liong tertegun. "Memangnya aku ini macam apa?"
"Cukup panggil Cing Ji saja! Kenapa harus ditambah kouw nio segala? Itu sungguh tak sedap didengar, kupingku jadi terasa sakit."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk. "Aku akan memanggilmu Cing Ji."
Cing Ji tertawa gembira. Siau Liong terpukau ketika melihat Cing Ji tertawa. Sebab gadis itu bertambah cantik jelita. Gadis itu memang cantik. Meskipun agak hitam dan agak kurus, namun wajahnya bagaikan bunga yang baru mekar. Siau Liong membatin, dan sekaligus memandangnya dengan mata terbeliak.
"Hei! Aku sudah beritahukan namaku, kenapa engkau malah jadi melamun?" tanya Cing Ji menegurnya.
"Aku......" Siau Liong tergagap.
"Bagaimana sih engkau?" Cing Ji cemberut. "Kok tidak mau beritahukan namamu?"
"Namaku Siau Liong."
"Oooh!" Cing Ji tersenyum. "Ternyata Siau Liong ko!"
Begitu wajar ketika memanggil 'Siau Liong ko' sama sekali tidak merasa jengah. Itu pertanda Cing Ji gadis yang lugu.
"Cing Ji." Siau Liong menatapnya sambil tersenyum. "Engkau belum menjawab pertanyaanku, engkau datang dari mana?"
"Siau Liong ko, cobalah terka datang dari mana!" sahut Cing Ji merdu.
Siau Liong berpikir sejenak, namun kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak bisa menerka, lebih baik kau beritahukan saja!"
"Ei! Siau Liong ko! Jangan terus duduk di punggung kuda, pegal nih kepalaku harus mendongak." ujar Cing Ji. "Turunlah! Mari kita mengobrol!"
"Cing Ji!" Siau Liong menggelengkan kepala. "Itu tidak usah."
"Kenapa?"
"Aku harus segera pergi."
"Apa!?" Cing Ji terbelalak. "Hari sudah hampir gelap, engkau mau pergi? Mau melakukan perjalanan malam?"
"Tidak." Siau Liong memberitahukan. "Aku ingin mencari sebuah goa untuk bermalam."
"Siau Liong ko!" Cing Ji tertawa. "Engkau telah bertemu denganku, maka tidak usah mencemaskan soal bermalam. Ikuti saja aku!"
"Oooh!" Siau Liong mengangguk. "Aku mengerti."
"Engkau mengerti apa?" tanya Cing Ji heran.
"Engkau mau mengajakku ke tempatmu kan?" jawab Siau Liong sambil tersenyum.
"Nah, cobalah terka, aku datang dari mana!" Cing Ji menatapnya dalam-dalam. "Jangan tidak mau menerka!"
"Engkau sama sekali tidak datang dari mana, melainkan tinggal di sekitar sini. Ya, kan?"
Cing Ji tertawa gembira sambil bertepuk-tepuk tangan, ia tampak girang sekali.
"Betul! Terkaanmu tidak meleset, aku memang tinggal di dalam goa yang tak jauh dari sini."
Siau Liong tersenyum lagi, lalu turun dari punggung kudanya. Sepasang mata Cing Ji berbinar-binar. Kenapa? Ternyata ia melihat Siau Liong membawa pedang.
"Siau Liong ko! Aku tak menyangka engkau bisa bu kang."
"Cuma mengerti sedikit!" Sahut Siau Liong sambil tersenyum hambar.
"Oh?" Cing Ji duduk di atas sebuah batu. "Siau Liong ko, duduklah!"
Siau Liong mengangguk, lalu duduk di sebuah batu di hadapan Cing Ji, kemudian menatapnya seraya tertawa-tawa.
"Cing Ji, kita mau mengobrol apa?"
"Mengobrol…..." Cing Ji berpikir, berselang sesaat barulah melanjutkan ucapannya sambil tersenyum. "Mengenai dirimu."
"Apa?" Siau Liong tertegun. "Mengenai diriku?"
"Ya." Cing Ji mengangguk. "Engkau tinggal di mana, mau apa menuju selatan, di rumah masih ada siapa, kakek, nenek dan ayah bundamu menyayangimu tidak? Bu kangmu belajar dari mana......"
Dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kening Siau Liong tampak berkerut-kerut, lalu menggelengkan kepala.
"Cing Ji, jangan membicarakan itu!"
"Kenapa?" Cing Ji menatapnya heran. "Tidak baik ya membicarakan itu?"
Mendadak wajah Siau Liong berubah dingin.
"Memang tidak baik, jadi jangan membicarakan itu!"
Cing Ji tertegun ketika melihat wajah Siau Liong yang berubah dingin mendadak, lama sekali barulah membuka mulut.
"Engkau tidak suka berbicara tentang keluarga?"
"Tidak salah," sahut Siau Liong dingin. "Aku tidak suka orang lain membicarakan keluargaku, termasuk jati diriku."
"Siau Liong ko," ujar Cing Ji lembut. "Kalau engkau tidak suka ya sudahlah! Mari kita membicarakan yang lain saja!"
"Tapi….. apa yang harus kita bicarakan?"
"Apa saja, yang penting tidak menyangkut keluargamu maupun dirimu."
"Cing Ji, bagaimana kalau membicarakan tentang dirimu? Tapi kalau engkau anggap tidak baik, jangan membicarakannya!"
"Emmmh!" Cing Ji menatapnya. "Siau Liong ko, aku lihat engkau bukan orang jahat. Sesungguhnya memang tidak apa-apa membicarakan tentang diri saya, tapi…..."
"Kenapa?"
"Yaya (kakek) melarangku membicarakan tentang kami pada orang lain, maka…..."
"Cing Ji, kalau begitu janganlah engkau membicarakan tentang itu! Lebih baik kita membicarakan yang lain saja?"
"Siau Liong ko!" Cing Ji tertawa gembira. "Engkau sungguh baik!"
Sungguh baik? Apanya yang baik? Lagi pula mereka harus membicarakan apa? Usia mereka baru belasan, maka mereka melihat apa, langsung membicarakan itu.
*
* *
Sang surya sudah mulai tenggelam di ufuk barat, membuat hari tampak mulai gelap. Cing Ji berjalan di depan menuju suatu tempat, Siau Liong mengikutinya dari belakang.
Tak lama mereka pun sampai di suatu tempat yang amat indah, itu sebuah tebing bukit. Di tebing itu terdapat air terjun, tumbuh pula bunga liar yang masih mekar segar. Tak jauh dari situ terdapat sebuah telaga, yang airnya begitu tenang sehingga mirip sebuah cermin besar.
Sepasang mata Siau Liong menyapu ke sekeliling tempat itu, kemudian wajahnya tampak penuh keheranan.
"Engkau bilang, kakekmu tinggal di sini, tapi kok tidak ada rumah di sini?"
Cing Ji tersenyum, dan menunjuk ke sebuah pohon beringin yang amat besar.
"Di belakang pohon beringin itu terdapat sebuah goa, aku dan kakekku tinggal di dalam goa itu." katanya.
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut.
"Siau Liong ko, mari ikut aku!" ajak Cing Ji sambil berjalan ke pohon beringin itu.
Siau Liong mengikutinya. Tidak salah, di belakang pohon beringin itu terdapat sebuah goa.
"Siau Liong ko, tunggu di sini sebentar!" ujar Cing Ji merendahkan suaranya dan melanjutkan, "Aku akan ke dalam memberitahukan pada yaya, dan menyalakan lampu."
Siau Liong mengangguk. Ia berdiri di luar goa, sedangkan Cing Ji telah memasuki goa itu sambil berseru.
"Yaya, Cing Ji sudah pulang!"
"Cing Ji!" Terdengar suara sahutan yang serak. "Engkau ke mana tadi, kok begitu lama baru pulang? Di luar hari sudah gelap?"
"Emmh! Cing Ji tadi main di luar, ingin menangkap beberapa ekor kelinci untuk yaya, tapi….. tiada seekor pun dapat Cing Ji tangkap."
"Oh?" Terdengar suara tawa. "Tapi engkau justru telah bertemu seseorang, bahkan telah membawa orang itu kemari, Ya, kan?"
"Hi hi!" Cing Ji tertawa merdu. "Yaya sudah tahu?"
"Ha ha! Gadis bodoh, walau mataku buta, tapi telingaku belum tuli."
"Yaya......"
"Engkau dan orang itu bersama seekor kuda berjalan di luar goa, aku telah mendengar itu."
"Tajam sekali pendengaran yaya." Cing Ji tertawa, lalu menyalakan lampu tempel.
Siau Liong yang berdiri di luar, segera memandang ke dalam, namun tidak bisa melihat jelas, karena lampu tempel itu tidak bersinar terang.
"Cing Ji!" Terdengar suara serak di dalam goa. "Orang yang di luar itu bernama siapa dan berapa usianya?"
"Namanya Siau Liong, usianya sekitar lima belas."
"Oh! Dia kerja apa dan baikkah orangnya?"
"Dia pemuda terpelajar, bisa sedikit bu kang, orangnya sangat baik. Kalau tidak, bagaimana mungkin Cing Ji mengajaknya ke mari?"
Hening sejenak, kemudian terdengar lagi suara yang serak itu.
"Cing Ji, kenapa dia berada di hutan ini? Bertanyakah engkau padanya?"
"Sudah. Dia ada urusan menuju selatan, kebetulan melewati hutan ini."
"Dia cuma seorang diri?"
"Ya. Dia cuma seorang diri bersama seekor kuda."
"Ngmmm!"
"Yaya, bolehkah Cing Ji menyuruhnya masuk?"
"Baiklah. Suruh dia masuk! Ingat, kudanya juga harus dibawa masuk dan tutup pintu goa!"
"Ya."
Cing Ji mengangguk, lalu berlari ke luar dengan wajah berseri. Gadis itu gembira sekali karena kakeknya mengizinkannya menyuruh Siau Liong masuk. Siapa Cing Ji dan kakeknya itu? Kenapa mereka berdua tinggal di goa tersebut.
Sementara Siau Liong berdiri di tempat dengan wajah penuh keheranan. Ternyata ia sedang memikirkan tentang ini.
*
* *
Siau Liong mengikuti Cing Ji ke dalam goa sambil menuntun kudanya. Setelah menambat kudanya, barulah ia menghadap kakek Cing Ji untuk memberi hormat.
Kakek Cing Ji itu sudah tua, kurus dan buta sepasang matanya. Begitu Siau Liong memberi hormat, kakek Cing Ji pun tertawa gelak.
"Anak muda, jangan banyak peradapan, silakan duduk!"
"Terima kasih, lo jin keh." ucap Siau Liong, kemudian duduk di hadapan orang tua buta itu.
"Cing Ji, cepatlah engkau masak! Sudah waktunya makan malam," ujar orang tua buta pada cucunya.
"Ya," sahut Cing Ji dan berkata pada Siau Liong, "Siau Liong ko, temanilah kakekku! Aku mau memasak dulu."
Siau Liong tersenyum sambil mengangguk. Cing Ji juga tersenyum, lalu melangkah ke dalam.
Meskipun buta, orang itu tahu bagaimana sikap Cing Ji terhadap Siau Liong. Ia mendadak menarik nafas panjang, dan sekaligus bergumam seakan memberitahukan pada Siau Liong.
"Ini tidak mengherankan, selama ini Cing Ji memang sangat kesepian."
Siau Liong duduk diam, sama sekali tidak menyambung gumaman orang tua buta itu.
"Anak muda, engkau marga apa?" tanya orang tua buta itu mendadak.
"Lo jin keh," jawab Siau Liong hormat. "Boan pwe marga Hek, bernama Siau Liong."
"Engkau tinggal di daerah utara?"
"Ya."
"Di kota apa?"
"Ciok Lau di San Si."
Mendengar itu, hati orang tua buta itu tergerak.
"Kota Ciok Lau atau...... Ciok Lau San Cung?"
Pertanyaan ini membuatnya teringat sesuatu.
"Di dalam kota Ciok Lau," jawabnya cepat.
"Masih ada siapa dalam keluargamu? Apakah kedua orang tuamu sehat-sehat saja?"
"Siau Liong tidak punya siapa-siapa lagi," jawab Siau Liong agak salah tingkah. "Kedua orang tua Siau Liong telah meninggal."
Begitu menyinggung kedua orangnya, hatinya pun langsung berduka dan sepasang matanya bersimbah air.
Orang tua buta itu sangat peka. Dari nada suara Siau Liong, ia sudah tahu kematian kedua orang tua Siau Liong tidak begitu wajar.
Ia menarik nafas panjang seakan bersimpati pada Siau Liong.
"Ohya, engkau punya saudara?"
"Tidak punya, boan pwe anak tunggal." Orang tua buta itu tampak memikirkan sesuatu, lama sekali barulah ia bertanya.
"Engkau menuju selatan kan?"
"Ya."
"Mau apa engkau ke selatan?"
"Mencari orang."
"Orang itu teman ayahmu?"
"Betul, lo jin keh."
Orang tua buta itu diam sejenak, kelihatannya sedang memikirkan sesuatu.
"Pernahkah engkau belajar bu kang?" tanyanya kemudian.
"Ya, lo jin keh. Boan pwe pernah belajar sedikit bu kang untuk menjaga diri."
"Siapa yang mengajarmu?"
"Ayah boan pwe."
"Ayahmu orang bu lim?"
"Bukan, kedua orang tua boan pwe memang bisa bu kang, namun tidak pernah berkecimpung dalam bu lim."
"Oh?" Hati orang tua buta tergerak. "Ibumu juga bisa bu kang?"
"Ayah dan ibu adalah suheng moi seperguruan."
"Perguruan mana?"
"Maaf, lo jin keh! Boan pwe tidak tahu, karena kedua orang tua boan pwe tidak pernah menyinggung soal perguruan."
Mendadak wajah orang tua buta itu berubah, bahkan menegur Siau Liong dengan rada tidak senang. .
"Anak muda! Engkau menghina lo ciau yang buta ini?"
Ditegur demikian, Siau Liong jadi tertegun. "Boan pwe tidak berani."
"Kalau tidak berani, kenapa engkau berdusta?" tanya orang tua buta dengan wajah dingin.
"Lo jin keh, boan pwe tidak berdusta, kedua orang tua boan pwe memang tidak pernah menyinggung soal perguruan mereka, maka boan pwe sama sekali tidak tahu," jawab Siau Liong nyaring.
"Anak muda!" Orang tua buta itu tertawa. "Engkau telah salah menduga maksud lo ciau, bukan ini yang lo ciau maksudkan."
"Oh?" Siau Liong heran. "Maksud lo jin keh?"
"Engkau berdusta tentang kedua orang tuamu tidak pernah berkecimpung dalam bu lim." Orang tua buta memberitahukan.
Siau Liong tertegun, ia memandang orang tua buta itu.
"Apakah lo jin keh menganggap boan pwe tidak berkata sejujurnya?"
Orang tua buta itu tertawa hambar.
"Anak muda, lo ciau bertanya, bagaimana kedua orang tuamu mati?"
"Ini…..." Siau Liong tergagap. Ia tidak menyangka orang tua buta itu akan bertanya tentang kematian kedua orang tuanya.
Orang tua buta tertawa dingin.
"Anak muda, sepasang mata lo ciau memang telah buta, namun telinga lo ciau belum tuli. Dari tadi lo ciau sudah mendengar nada suaramu. Ketika mengatakan kedua orang tuamu meninggal, nada suaramu agak bergemetar. Maka lo ciau berkesimpulan, kemungkinan besar kedua orang tuamu mati dibunuh orang. Ya, kan?"
"Lo jin keh!" Siau Liong terkejut bukan main.
"Nak!" Nada suara orang tua buta berubah lembut. "Lo ciau mengerti kenapa engkau berdusta. Mungkin engkau punya suatu kesulitan, mungkin juga musuh-musuhmu itu sangat lihay. Ya, kan?"
"Lo jin keh!" Siau Liong menundukkan kepala.
"Lo ciau pun tahu, engkau berdusta tentang margamu." Orang tua buta tersenyum lembut.
Saat ini, Siau Liong pun tahu bahwa orang tua buta itu bukan orang biasa, maka ia tidak berani berdusta lagi.
"Lo jin keh!" Siau Liong menarik nafas panjang. "Dugaan lo jin keh memang benar, boan pwe punya dendam berdarah. Oleh karena itu….. boan pwe mohon maaf karena telah berdusta tadi."
"Nak." Orang tua buta tersenyum lembut lagi. "Lo ciau adalah orang tua yang berpengertian, engkau telah mengakuinya, tentunya lo ciau juga tidak akan mempersalahkanmu lagi. Bahkan….. tidak akan menanyakan tentang riwayat hidupmu."
"Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Liong setulus hati.
Orang tua buta itu tidak bertanya apa-apa lagi, namun mendadak wajahnya berubah serius sambil memikirkan sesuatu.
Lama sekali, akhirnya Siau Liong berbatuk beberapa kali. Akan tetapi, orang tua buta itu tetap diam.
Berselang beberapa saat kemudian, wajah orang tua buta itu tampak lembut.
"Nak, engkau jangan bertanya apa pun! Kemarilah!"
Siau Liong terheran-heran.
"Ada apa, lo jin keh?" tanyanya.
"Nak." Orang tua buta itu tampak penuh kasih sayang. "Engkau ke mari dulu! Lo ciau ingin merabamu."
"Lo jin keh ingin meraba boan pwe?" Siau Liong bertambah heran.