Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 26 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 37 dan 38

sambungan ...


Bagian ke 37: Di Luar Dugaan
Malam hari, di halaman belakang rumah Siauw muncul sosok bayangan hitam, begitu cepat dan ringan sosok bayangan hitam tersebut.
Para penjaga sama sekali tidak mengetahui kemunculan bayangan hitam itu. Betapa tingginya ilmu meringankan tubuh orang tersebut yang tidak lain adalah Pek Giok Liong.
Ia mengerahkan ginkangnya menuju lantai atas, karena ia tahu bahwa kamar Siauw Hui Ceh berada di lantai atas itu.
"Heran?" gumamnya. "Kenapa semua lampu sudah dimatikan? Apakah dia tidak sudi bertemu denganku, ataukah Siauw Peng Yang tidak memberitahukannya?"
Pek Giok Liong tidak habis berpikir, ia menengok ke sana ke mari, kemudian bergumam lagi.
"Mungkinkah dia sengaja mematikan semua lampu, agar aku lebih leluasa bergerak?"
Karena berpikir demikian, maka ia segera menuju kamar Siauw Hui Ceh. Kebetulan pintu kamar itu setengah terbuka, ia pun memberanikan menerobos ke dalam dan seketika juga terdengar suara yang amat lembut.
"Siapa?"
"Aku Siauw Liong."
"Siapa?!" Nada suara itu agak bergemetar. "Engkau ….. Kakak Siau Liong?"
"Betul, Nona."
"Kakak Liong, kenapa engkau beruhah begitu sungkan?" tegur Siauw Hui Cch. "Hanya berpisah setahun, apakah engkau telah lupa akan ucapan sendiri?"
"Aku tidak lupa," sahut Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Kalau begitu, kenapa engkau memanggilku nona?"
Setahun yang lalu

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 34,35 dan 36

sambungan ...


Bagian ke 34: Kembali Kedaratan Tengah
Seekor kuda berbulu hitam mengkilap berjalan santai, tampak seorang pemuda berbaju hitam pula duduk di punggung kuda hitam itu.
Sebelum tiba di tempat ini, kuda hitam itu telah berlari kencang siang dan malam. Dari Siu Gu San menuju Kota Ling Ni, dari Kota Ling Ni terus menuju utara, akhirnya tiba di Kota Teng Hong.
Kuda hitam itu pun mulai berjalan santai. Tak seberapa lama kemudian, pemuda berbaju hitam itu menarik tali kendali, menghentikan kudanya di depan sebuah rumah megah.
Pintu rumah itu tertutup rapat, di depannya terdapat sepasang singa batu, itu adalah rumah keluarga Siauw.
Siapa pemuda baju hitam itu? Tidak lain adalah Pek Giok Liong. Ia duduk di punggung kuda sambil membatin.
"Sudah setahun, segala apa yang di luar sini masih tetap seperti dulu. Entah bagaimana keadaan di dalam rumah itu?"
Setelah membatin, Pek Giok Liong pun melompat turun dari punggung kudanya. Selangkah demi selangkah ia mendekati pintu rumah itu, lalu menggedor pintu dengan gelang besi yang tergantung di pintu tersebut.
Berselang beberapa saat kemudian, terdengar suara yang kasar dan parau di dalam.
"Siapa yang menggedor pintu?"
"Aku," sahut Pek Giok Liong. "Harap segera buka pintu!"
Pintu itu terbuka, tampak seorang berbaju hijau berdiri di situ. Sepasang mata orang itu menatap tajam pada Pek Giok Liong.
"Mau apa engkau ke mari?"
"Mau cari orang."
"Cari siapa?"
"Cari seorang tua yang pincang kakinya."
"Oh?" Orang berbaju hijau itu tertawa dingin. "Orang tua pincang itu telah mati."
Tergetar hati Pek Giok Liong, sepasang matanya langsung menyorot tajam dan wajahnya pun berubah.
"Dia sudah mati?"
Orang berbaju hijau itu tampak tidak sabar, namun mengangguk.
"Tuan besar tidak bohong, sudah tiga bulan dia mati." Usai berkata demikian, orang berbaju hijau itu sekaligus menutup pintu.
Akan tetapi, Pek Giok Liong pun cepat-cepat mengayunkan sebelah kakinya ke dalam pintu, sehingga pintu itu tidak bisa ditutup.
Orang berbaju hijau melotot, kemudian membentak kasar.
"Hei! Bocah sialan! Mau apa engkau?"
"Aku tidak mau apa-apa," sahut Pek Giok Liong sambil tersenyum. "Hanya ingin tahu dengan jelas!"
Orang berbaju hijau mengerutkan kening, ia menatap Pek Giok Liong dengan tajam.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kawan!" Suara Pek Giok Liong mulai bernada dingin. "Aku ingin bertanya, bagaimana orang tua pincang itu mati?"
Sepasang bola mata orang berbaju hijau itu berputar-putar, kemudian balik bertanya, "Bocah! Engkau ke mari untuk menyelidiki kematiannya?"
"Aku ke mari sebetulnya ingin menengoknya tapi dia sudah mati. Sebagai kenalan, tentunya aku boleh bertanya mengenai kematiannya!"
"Oh, begitu!" Orang berbaju hijau itu manggut. "Jadi engkau bukan sengaja ke mari untuk menyelidiki kematiannya?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Tentu bukan."
Orang berbaju hijau itu tertawa.
"He he! Kalau begitu, aku akan memberitahukan, dia mati karena sakit."
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening "Kawan! Dulu sepertinya aku tidak pernah melihatmu, sudah berapa lama engkau berada di keluarga Siauw ini?"
"Hampir setengah tahun. Kenapa?"
"Oh, tidak." Pek Giok Liong tersenyum. "Kawan, betulkah orang tua pincang itu mati karena sakit?"
"Bocah! Engkau tidak percaya? Dia adalah orang tua pincang, tentunya tidak mungkin mati dibunuh orang!"
"Oooh! Kawan, aku ingin bertanya ….."
"Mau bertanya apa lagi?" Orang berbaju hijau itu tampak mulai tidak sabar.
"Jenazahnya dimakamkan di mana?"
"Di sebelah barat perkampungan ini, kira-kira lima li, di sana terdapat pekuburan," ujar orang berbaju hijau dan menambahkan. "Bocah, engkau sudah boleh pergi, pintu mau kututup."
Pek Giok Liong menggelengkan kepala dan kakinya masih mengganjal di pintu itu.
"Kawan, jangan cepat-cepat tutup pintu, aku masih ada sedikit urusan." katanya.
"Eh?" Orang baju hijau itu tampak tidak senang. "Masih ada urusan apa?"
"Kawan!" Pek Giok Liong menatapnya. "Tolong laporkan, bahwa aku ingin bertemu cung cu!"
Air muka orang berbaju hijau itu berubah, ditatapnya Pek Giok Liong dengan mata menyorotkan sinar tajam.
"Engkau kenal cung cu?"
Pek Giok Liong manggut-manggut sambil tersenyum.
"Kalau tidak kenal, untuk apa aku menemuinya?"
"Kenal pun percuma." Orang berbaju hijau itu menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Pek Giok Liong heran.
"Sebab cung cu tidak mau bertemu dengan siapa pun."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum. "Engkau harus tahu, aku ini merupakan tamu istimewa! Cung cu kalian pasti mau bertemu denganku, kawan. Cobalah engkau masuk untuk melapor!"
"Tidak usah dicoba!" sahut orang berbaju hijau itu dingin. "Meskipun engkau tamu istimewa, namun cung cu tetap tidak akan menerimamu."
"Kalau begitu, aku ingin bertemu nona kalian," ujar Pek Giok Liong. "Tentunya boleh kan?
Air muka orang berbaju hijau itu berubah, itu tidak terlepas dari mata Pek Giok Liong.
"Engkau juga kenal nona?"
Pek Giok Liong tersenyum dan manggut manggut.
"Kawan aku bukan cuma kenal nona, bahkan aku pun kenal semua orang di sini, kalau masih tetap orang-orang yang setahun lalu."
"Oh? Bolehkah aku tahu namamu?"
"Hek Siau Liong!"
Orang berbaju hijau itu mengerutkan kening seakan sedang berpikir, kemudian menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah mendengar namamu!"
"Kawan!" Pek Giok Liong tertawa. "Baru setengah tahun engkau di sini, sedangkan aku sudah setahun meninggalkan rumah Siauw ini, tentunya engkau tidak pernah dengar namaku."
"Oh?"
"Nah, kawan! Cepatlah engkau masuk dan melapor pada nona, bahwa aku Hek Siau Liong ingin bertemu dengannya."
Orang berbaju hijau itu tampak serba salah.
"Maaf!" ucapnya. "Aku tidak bisa melapor."
"Lho, kenapa?" Pek Giok Liong tercengang.
"Nona dalam keadaan sakit, tidak bisa bertemu siapa pun." Orang baju hijau memberitahukan.
"Oh?" Pek Giok Liong terkejut. "Parahkah sakitnya?"
"Entahlah." Orang berbaju hijau menggelengkan kepala. "Aku kurang jelas. Lebih baik lain hari engkau balik ke mari lagi!"
Pek Giok Liong diam sambil berpikir. Mendadak sepasang matanya menyorotkan sinar tajam, lalu mengajukan pertanyaan yang mengejutkan.
"Di mana Gin Tie (Raja perak)?"
Orang berbaju hijau tertegun, bahkan tampak kaget.
"Gin Tie? Siapa dia?"
"Kawan!" Pek Giok Liong menatapnya tajam seakan menembus ke dalam hatinya. "Sungguhkah engkau tidak tahu?"
"Aku sungguh tidak tahu," jawab orang berbaju hijau itu tidak pura-pura.
Dia sungguh tidak tahu atau dugaanku keliru? Pek Giok Liong membatin. Apakah Gin Tie itu bukan Tu Ci Yen?
"Ohya!" tanya Pek Giok Liong mendadak. "Tu Ci Yen ada?"
"Tuan muda Tu sudah pergi."
"Engkau tahu dia pergi ke mana?"
"Tidak tahu."
"Di mana Siauw Peng Yang?"
"Tuan muda Yang dan Tuan muda Kiam ada di dalam."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kalau begitu, aku ingin bertemu mereka berdua."
Mendadak, terdengar suara bentakan yang amat dingin.
"Hu Piau, siapa di luar?"
Hu Piau, orang berbaju hijau itu segera memberi hormat seraya menjawab.
"Cong koan (Kepala pengurus), yang di luar adalah seorang tamu istimewa."
Yang membentak dengan suara dingin itu, ternyata adalah cong koan. Justru membuat Pek Giok Liong tidak habis berpikir. Setahunya dulu tidak ada cong koan di keluarga Siauw ini. Tapi kini …..
Siapa orang itu? Pek Giok Liong bertanya dalam hati. Walau suaranya begitu dingin, namun amat bertenaga. Itu pertanda orang itu memiliki tenaga dalam tingkat tinggi …..
Pek Giok Liong memandang ke dalam, tampak seseorang berdiri. Orang itu berusia empat puluhan, sepasang matanya berkilat-kilat.
Tampang orang itu tidak jahat, namun wajahnya amat dingin dan kelihatan tidak berperasaan. Siapa yang melihatnya, pasti bergidik.
"Mau apa dia ke mari?" tanya kepala pengurus itu dingin.
"Mau menengok orang tua pincang," jawab Hu Piau memberitahukan.
"Hu Piau!" bentak kepala pengurus itu. "Orang tua pincang sudah mati, engkau tidak memberitahukan padanya?"
"Hamba sudah beritahukan."
"Kalau engkau sudah beritahukan, kenapa dia masih belum pergi?"
Mendadak Pek Giok Liong menyela.
"Aku ingin bertemu cung cu atau nona. Bolehkah?"
"Sebetulnya boleh, tapi kedatanganmu tidak tepat pada waktunya," sahut kepala pengurus dingin.
"Maksud cong koan?"
"Cung cu dalam keadaan kesal dan risau, maka tidak akan mau bertemu dengan siapa pun. Sedangkan nona masih sakit berbaring di tempat tidur, juga tidak bisa bertemu siapa pun."
"Kalau begitu ….." Pek Giok Liong tertawa ringan. "Kedatanganku sungguh tidak pada waktunya?"
"Tidak salah." sahut cong koan sambil tertawa hambar.
"Kalau begitu, bolehkah aku bertemu Peng Yang dan Kiam Meng?"
"Ada urusan apa?"
"Engkau ingin tahu?"
"Ada urusan apa, bilang padaku! Itu sama saja."
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening.
"Engkau bisa mengambil keputusan?"
Cong koan itu tertawa gelak.
"Aku cong koan di sini, tentunya berhak mengambil suatu keputusan. Nah! Engkau ada urusan apa, katakanlah!"
Pek Giok Liong tidak segera menyahut, melainkan tertawa dingin.
"Sungguhkah engkau bisa mengambil suatu keputusan?"
"Tentu," sahut cong koan itu lalu tertawa dingin pula.
"Kawan!" Pek Giok Liong tertawa. "Aku sarankan, lebih baik engkau jangan paksa diri untuk mengambil suatu keputusan!"
Cong koan itu tertegun, ia tidak mengerti akan ucapan Pek Giok Liong.
"Mengapa?"
"Sebab tiada manfaatnya bagimu." sahut Pek Giok Liong dingin.
"Oh?" Sepasang mata cong koan itu menyorot dingin. "Kalau begitu, engkau adalah ….."
"Kawan! Aku tamu jauh, begitukah sikapmu terhadap tamu?"
Cong koan itu terperangah, kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Maaf, aku kurang hormat! Silakan masuk!" katanya.
"Terimakasih! Kalau begitu, aku pun tidak berlaku sungkan-sungkan lagi," ujar Pek Giok Liong, lalu melangkah ke dalam.
"Ha ha ha!" Cong koan itu tertawa lagi. "Silakan duduk!"
Pek Giok Liong duduk, sedangkan cong koan itu duduk di hadapannya. Seorang pembantu segera menyuguhkan dua cangkir teh. Setelah itu, segera pula mengundurkan diri.
"Sobat!" Cong koan menatap Pek Giok Liong. "Bolehkah sekarang aku tahu maksud tujuan kedatanganmu?"
"Aku memang harus memberitahukan." Pek Giok Liong manggut-manggut sambil tersenyum. "Kalau tidak, engkau pasti terus bercuriga."
"Ha ha!" Cong koan itu tertawa. "Aku tidak akan bercuriga apa pun."
"Bagus." Pek Giok Liong menatapnya. "Aku ingin bertanya, sungguhkah engkau bisa mengambil suatu keputusan?"
"Sudah kukatakan tadi, aku adalah cong koan di sini. Tentunya berhak mengambil suatu keputusan."
"Walau urusan apa pun?"
"Tidak salah."
"Juga tidak akan menyesal?"
Cong koan itu tertegun sejenak, kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Pasti tidak akan menyesal," jawabnya tegas.
"Bagus." Pek Giok Liong manggut-manggut dan memberitahukan. "Aku ke mari untuk menagih hutang."
"Oh?" Cong koan itu terbelalak, lalu tertawa gelak. "Kukira ada urusan penting, tidak tahunya cuma mau menagih hutang! Sobat, berapa banyak hutang padamu?"
"Jumlah yang mengejutkan. Kalau aku beritahukan, mungkin engkau tidak sanggup membayarnya."
"Kekayaan keluarga Siauw berlimpah, pasti mampu membayar. Sobat, tentunya engkau mengerti."
"Aku memang mengerti." Pek Giok Liong tertawa hambar. "Tapi ….."
"Lho? Kenapa lagi?"
"Itu bukan hutang yang biasa."
"Oh? Beritahukanlah!"
"Itu bukan hutang uang, melainkan hutang berdarah."
"Apa?!" Cong koan itu tersentak, wajahnya pun langsung berubah. "Hutang berdarah?"
"Tidak salah," sahut Pek Giok Liong dingin. "Cong koan merasa di luar dugaan kan?"
"He he he!" Cong koan itu tertawa terkekeh-kekeh. "Itu memang sungguh di luar dugaan!"
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Aku ingin bertanya, Siauw cung cu punya hutang berdarah padamu?" Cong koan itu menatap Pek Giok Liong dalam-dalam.
"Tidak salah. Nah, apakah engkau dapat mengambil keputusan mewakilinya untuk membayar hutang itu?"
"Ini ….." Cong koan itu mengerutkan kening. "Bolehkah aku tahu namamu?"
"Sebelum bertanya, jawablah dulu pertanyaanku barusan!"
"Sobat! Aku harus tahu dulu asal-usulmu, barulah bisa mengambil suatu keputusan."
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa hambar. "Apakah engkau merasa sedikit menyesal?"
"Bukan menyesal, melainkan aku harus tahu jelas urusan itu." tegas cong koan itu. "Tidak bisa sembarangan mengambil suatu keputusan, terutama terhadap hutang berdarah itu. Engkau paham kan?"
"Tentu paham. Kalau begitu, engkau memang tahu diri dan tahu aturan." Pek Giok Liong terawa-tawa.
"Karena itu ….." Cong koan itu tertawa dingin. "….. diriku bisa terpilih jadi cong koan di sini."
"Oooh!"
"Sobat! Engkau belum memberitahukan namamu berikut asal-usulmu."
"Seandainya aku tidak sudi memberitahukan?"
Kening cong koan itu berkerut-kerut.
"Itu tidak jadi masalah, aku pun tidak akan memaksamu memberitahukan. Tapi ….."
"Kenapa? Lanjutkanlah ucapanmu!"
"Sobat!" Cong koan itu tertawa dingin. "Maaf, sudah waktunya aku mengantarmu."
"Kau kira aku tamu yang begitu gampang diantar?"
"Jadi ….. engkau tidak mau pergi?"
"Bukan masalah pergi atau tidak, melainkan engkau tiada cara untuk mengusirku."
"Oh, ya?" Sepasang alis cong koan terangkat. "Engkau beranggapan begitu?"
"Betul," sahut Pek Giok Liong dingin.
"Ada satu cara untuk mengusirmu." tegas cong koan.
"Tidak salah." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Cara yang amat sederhana sekali!"
"Tepat!" Cong koan itu tertawa gelak. "Coba katakan, cara apa itu?"
"Lepaskan kedokmu, biar aku melihat wajah aslimu!" sahut Pek Giok Liong.
Itu sungguh mengejutkan cong koan tersebut, namun ia masih bisa tertawa menghilangkan rasa kejutnya.
"Ha ha! Ucapanmu sungguh menggelikan!"
"Memang menggelikan, namun nyata." tandas Pek Giok Liong sambil menatapnya tajam.
"Kau anggap mukaku mengenakan kedok?"
"Engkau tidak mau mengaku, aku pun tidak bisa apa-apa. Tapi, dalam waktu sekejap aku akan membuatmu harus mengaku."
"Oh?" Cong koan itu tertawa. "Engkau begitu yakin?"
"Tentu." Pek Giok Liong mengangguk. "Berani ke mari berarti sudah yakin. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani ke mari?"
"Ngmm!" Cong koan itu manggut-manggut. "Aku pun sudah tahu, bahwa engkau memiliki kepandaian yang lumayan. Namun ….. masih berada di bawah tingkat kepandaianku."
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa lebar. "Percuma omong kosong, engkau akan tahu setelah mencobanya."
"Tidak salah. Itu memang harus dicoba baru bisa tahu." sahut cong koan itu dan sekaligus mengangkat sebelah tangannya siap menyerang.
"Tunggu!" Cegah Pek Giok Liong.
"Ha ha!" Cong koan itu tertawa jumawa. "Engkau takut?"
"Takut?" Pek Giok Liong tersenyum dingin. "Ada orang datang!"
Cong koan tersentak dan membatin. Sungguh tajam pendengaran pemuda itu!
"He he! Tajam juga pendengaranmu!" Ujarnya seakan meremehkan Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong cuma tersenyum-senyum, sama sekali tidak menyahut. Tak lama terdengarlah suara langkah yang amat ringan, muncul seorang pemuda yang memakai baju putih.
*
* *
Bagian ke 35: Pukulan Penghancur Hati
Siapa pemuda berbaju putih itu? Ternyata keponakan Siauw cung cu yang bernama Siauw Peng Yang.
Ketika melihat Pek Giok Liong, Siauw Peng Yang tampak tertegun, namun kemudian sepasang matanya berbinar-binar penuh mengandung kegembiraan.
Akan tetapi, pada waktu bersamaan, wajah Pek Giok Liong berubah dingin dan sekaligus membentak.
"Siauw Peng Yang! Engkau tetap berdiri di situ, jangan ke mari! Kalau engkau berani ke mari, aku akan mencabut nyawamu!"
Bentakan Pek Giok Liong membuat Siauw Peng Yang termangu-mangu di tempat. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Pek Giok Liong berubah menjadi begitu. Padahal ketika Pek Giok Liong berada di keluarga Siauw ini, Siauw Peng Yang cukup baik terhadapnya.
"Siauw Peng Yang, aku ke mari untuk menagih hutang berdarah! Sebelum hutang berdarah itu dibayar, aku tidak akan pergi! Nanti kita pun akan membuat perhitungan!" ujar Pek Giok Liong dingin, kemudian mengarah pada cong koan. "Engkau harus tahu, Siauw Peng Yang juga punya hutang padaku! Karena dia telah muncul, maka aku pun memberitahukan padamu, namaku Seng Sin Khi! Keluarga Siauw berhutang tujuh nyawa padaku, Siauw cung cu dan putrinya, ditambah Siauw Peng Yang serta tiga saudara seperguruannya hanya berjumlah enam orang! Kini ditambah engkau, jadi cukup berjumlah tujuh orang! Tentunya engkau paham akan maksudku kan?"
Apa yang dikatakan Pek Giok Liong, sungguh membuat Siauw Peng Yang tidak mengerti dan tidak habis berpikir. Apa gerangan yang telah terjadi? Kenapa saudara Hek Siau Liong mengganti nama menjadi Seng Sin Khi? Lagi pula dengan keluarga Siauw …..?
Akan tetapi, Siauw Peng Yang adalah pemuda yang cerdas. Dalam waktu singkat ia telah bisa menduga maksud Pek Giok Liong. Oleh karena itu, ia pun menatap Pek Giok Liong dengan tajam.
Sementara itu, cong koan sudah tertawa terbahak-bahak, suara tawanya bergema ke mana-mana.
"Huaha ha ha! Kelihatannya engkau pandai berhitung."
"Tidak salah!" Pek Giok Liong tersenyum. "Hanya saja aku tidak menghitung bunganya!"
"Sobat! Kuanggap engkau tidak dapat menagih hari ini, bahkan kemungkinan besar engkau pun tidak bisa meninggalkan tempat ini dengan selamat! Percayakah engkau?"
"Itu harus lihat bagaimana kepandaianmu!"
"Betul! Kalau begitu, lihatlah kepandaianku!" ujar cong koan dan sekaligus mendorongkan sebelah telapak tangannya ke arah dada Pek Giok Liong.
Tampak begitu tidak berarti, namun sesungguhnya dorongan itu penuh mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat.
Hati Siauw Peng Yang tersentak, ia sangat mencemaskan Pek Giok Liong, sehingga wajahnya pun berubah tegang.
Sedangkan Pek Giok Liong cuma tertawa ringan.
"Pukulanmu itu cukup lumayan, namun masih jauh untuk menghadapiku!" ujarnya.
Mendadak Pek Giok Liong mengibaskan tangannya, sekaligus menyentil dengan jari telunjuknya.
Betapa terperanjat cong koan itu, sebab sentilan telunjuk Pek Giok Liong telah memunahkan pukulannya.
"Engkau murid Siau Lim?" tanyanya terbelalak.
"Cukup tajam matamu, yang kupergunakan adalah Kim Kong Ci (Jari Sakti Arhat), ilmu tingkat tinggi Siau Lim! Namun, aku bukan murid Siau Lim!"
"Oh?" Cong koan itu tercengang.
"Engkau tidak percaya? Nah, saksikanlah jurusku ini berasal dari partai mana?"
Pek Giok Liong yang masih tetap duduk, mendadak menjulurkan tangannya ke atas, tapi sungguh mengejutkan karena sekonyong-konyong tangan Pek Giok Liong mengarah pada muka cong koan itu.
Betapa terperanjat cong koan itu, tanpa banyak pikir lagi ia langsung mundur bersama kursi yang didudukinya.
"Liu Sing Hui Jiau (Cakar terbang) dari partai Bu Tong!" serunya dengan hati terkesiap.
"Tidak salah!" Pek Giok Liong mengangguk. "Berdasarkan jurus ini, apakah engkau masih percaya bahwa aku murid Siau Lim?"
"Jadi ….." Cong koan itu menatapnya dengan mata tak berkedip. "Engkau murid partai Bu Tong?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Aku bukan murid Bu Tong!"
"Kalau begitu, engkau adalah ….."
"Sekarang aku akan perlihatkan satu jurus lagi, ingin tahu engkau mengenali jurus ini tidak?" ujar Pek Giok Liong. Pada waktu bersamaan, Pek Giok Liong pun mendorongkan telapak tangannya ke depan, arahnya pada sebuah patung batu yang jaraknya sekitar dua meter.
Dorongan telapak tangan Pek Giok Liong persis seperti pukulan cong koan tadi. Akan tetapi, patung batu itu sama sekali tidak bergeming.
Pek Giok Liong menarik kembali tangannya. Pada saat itulah patung batu tersebut telah berubah seperti tepung terbang ke mana-mana terhembus angin.
Terbelalak Siauw Peng Yang, namun wajahnya tampak berseri-seri. Sungguh hebat tenaga dalamnya. Hanya berpisah satu tahun, tapi dia justru telah berhasil belajar kepandaian tingkat tinggi. Siauw Peng Yang membatin dengan kagum.
Lain halnya dengan cong koan itu, ia tampak bodoh dan sukmanya seakan terbetot keluar oleh pukulan Pek Giok Liong.
Siapa pemuda ini, bagaimana dia bisa Chui Sim Ciang (Pukulan Penghancur Hati)? tanya cong koan itu dalam hati.
"Bagaimana dengan pukulanku itu? Engkau kenal pukulan apa itu?" tanya Pek Giok Liong sambil tertawa ringan.
"Sebetulnya engkau siapa?" Cong koan itu balik bertanya dengan mata terbelalak lebar.
"Bukankah aku telah beritahukan tadi, bahwa namaku Seng Sin Khi!"
"Dari perguruan mana?"
"Maaf! Tidak bisa kuberitahukan."
"Kalau begitu, aku bertanya, dari mana engkau belajar pukulan itu?"
"Engkau tidak perlu bertanya, nanti akan kuberitahukan," sahut Pek Giok Liong dingin. "Jawab dulu, engkau kenal pukulan itu?"
Cong koan itu menggelengkan kepala. "Tidak kenal." katanya.
"Oh?" Pek Giok Liong menatapnya dingin. "Sungguhkah engkau tidak kenal pukulan itu?"
"Aku menjawab sejujurnya. Kalau engkau tidak percaya, itu terserah."
"Bagaimana tenaga pukulanku dibandingkan dengan tenaga pukulanmu tadi?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
Cong koan itu mengerutkan kening, namun air mukanya tampak aneh.
"Sulit dikatakan."
"Kenapa sulit dikatakan?"
"Karena tenaga pukulan berbeda."
"Oooh!" Pek Giok Liong tertawa hambar. "Ternyata begitu!"
"Memang begitu."
"Cong koan!" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Engkau punya hubungan apa dengan Liok Tay Coan?"
Hati cong koan itu tergetar keras, tapi wajahnya tampak dingin.
"Aku tidak kenal."
Wajah Pek Giok Liong tampak berubah. "Engkau masih tidak mau mengaku?"
Cong koan itu tertawa ringan, kemudian ujarnya acuh tak acuh.
"Aku tidak mengerti maksudmu, engkau menghendaki aku mengaku apa?"
"Engkau tidak mau mengaku ya sudahlah!"
Pek Giok Liong tertawa dingin dan menambahkan, "Sekarang aku memperbolehkanmu mengerahkan kepandaian untuk menyerang diriku, namun hanya batas sepuluh jurus. Dalam sepuluh jurus itu, aku sama sekali tidak akan membalas menyerangmu. Asal engkau mampu mendesak diriku mundur, itu terhitung aku yang kalah. Kalau tidak ….."
"Tentunya aku yang kalah! Ya, kan?" Cong koan itu tertawa gelak.
"Engkau mau mengaku kalah atau tidak itu terserah." Sahut Pek Giok Liong sambil tertawa hambar. "Karena engkau bukan tandinganku dalam satu jurus."
Hati cong koan itu tersentak, tapi kemudian ia malah tertawa seakan tidak percaya.
"Engkau sungguh jumawa!" katanya.
"Hm!" dengus Pek Giok Liong. "Jangan banyak bicara, cepatlah serang diriku!"
Sepasang mata cong koan itu menyorot tajam, diam-diam ia mulai mengerahkan tenaga dalamnya. Mendadak ia memekik keras dengan tubuh melambung ke atas, lalu secepat kilat diserangnya Pek Giok Liong dengan sepasang telapak tangannya.
Pada waktu bersamaan, Pek Giok Liong mengibaskan tangannya. Seketika juga cong koan itu terpental mundur beberapa langkah.
Cong koan itu penasaran sekali. Ia berdiri tegak lurus, diangkatnya sepasang tangannya, kemudian diputar-putarkan dan makin lama makin cepat, sehingga muncul entah berapa puluh pasang tangan. Meja yang terletak di sisi kiri ruangan itu pun mulai tergoncang hebat. Tak lama terdengarlah suara yang menderu-deru. Itu adalah Suan Hong Ciang (Pukulan Angin Puyuh) yang amat dahsyat, siapa yang terkena pukulan itu, pasti mati seketika.
Sementara Pek Giok Liong masih tetap duduk di kursi, namun ia telah menghimpun Thai Ceng Sin Kang (Tenaga Sakti Pelindung Badan)nya.
Mendadak cong koan itu memekik keras dan secepat kilat menyerang Pek Giok Liong. Betapa dahsyatnya angin pukulan itu, begitu Pek Giok Liong mengibaskan tangannya, seketika juga badan berikut kursi yang didudukinya berputar melambung ke atas.
Cong koan itu masih terus menerus menyerangnya. Tiba-tiba Pek Giok Liong membentak mengguntur.
"Berhenti!"
Cong koan itu segera berhenti, ia tahu telah menyerang Pek Giok Liong sebanyak sebelas jurus.
"Sudah sepuluh jurus ya?"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin. Ia telah melayang turun bersama kursi itu. "Jangan pura-pura bodoh, aku tidak percaya engkau tidak tahu sudah berapa jurus engkau menyerang diriku!" Cong koan itu pura-pura tertegun, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku sungguh tidak tahu, sudah berapa jurus aku menyerangmu?"
"Sebelas jurus!"
"Hah …..?"
"Sekarang engkau harus bagaimana?"
"Memangnya harus bagaimana?"
"Perlukah aku turun tangan?"
"Eh?" Cong koan itu tercengang. "Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti!"
"Tidak mengerti?" Pek Giok Liong menatapnya dingin.
"Aku memang tidak mengerti."
"Cepat lepaskan kedokmu, kemudian aku akan menotok jalan darahmu, setelah itu akan kuserahkan dirimu pada Liok Tay Coan!"
"Engkau ….." Cong koan itu menatap Pek Giok Liong dengan mata tak berkedip. "Engkau sudah tahu siapa diriku?"
"Aku tidak tahu siapa engkau!"
"Kalau begitu, kenapa engkau ingin menyerahkan diriku pada Liok Tay Coan?"
Pek Giok Liong tertawa.
"Tentu ada alasannya!"
"Apa alasan itu?"
"Chui Sim Ciang (Pukulan Penghancur Hati) merupakan ilmu simpanan Liok Tay Coan. Engkau mahir pukulan itu, tentunya punya hubungan dengan orang itu! Mengerti?"
"Dia ….. dia berada di mana sekarang?"
"Saat ini mungkin dia sudah berada di Kota Ling Ni!"
"Oh?" Kening cong koan itu berkerut. "Kalau aku tidak mau menyerah?"
"Kalau sampai aku turun tangan menangkapmu, itu akan membuat dirimu celaka!"
"Kenapa celaka?"
"Aku pasti melenyapkan kepandaianmu!"
Cong koan itu terkejut bukan main, tapi kemudian malah tertawa dingin seraya bertanya, "Dalam berapa jurus engkau mampu menangkap diriku?"
"Cukup satu jurus!"
"Oh?" Cong koan itu tertawa. "Bagaimana kalau engkau tidak mampu menangkap diriku dalam satu jurus?"
"Aku akan melepaskanmu!"
"Sungguh?"
"Aku tidak pernah ingkar janji!"
"Ngmm!" Cong koan itu manggut-manggut. "Kalau begitu, aku ingin melihat cara bagaimana engkau menangkapku dalam satu jurus!"
Sekonyong-konyong cong koan itu menyerang dada Pek Giok Liong. Itu merupakan serangan yang tak terduga.
Begitu menyerang, cong koan itu pun segera meloncat ke arah pintu. Ia yakin ketika ia menyerang secara mendadak, Pek Giok Liong pasti membalas menyerangnya, maka ia bergerak cepat meloncat ke arah pintu.
Pek Giok Liong pasti menyerang tempat kosong, itu berarti sudah satu jurus. Perhitungan yang sungguh matang, akan tetapi, sungguh di luar dugaannya, sebab pada waktu bersamaan di hadapannya telah muncul sosok bayangan. Pek Giok Liong sudah berdiri di situ sambil tertawa dingin.
"Bertemu aku, lebih baik engkau menyerah saja!" ujar Pek Giok Liong dan sekonyong-konyong menyerang cong koan itu dengan It Ci Tiam Hoat (Ilmu Totok Satu Jari). Serangan itu secepat kilat, sehingga cong koan itu tidak sempat mengelak.
"Aaakh...!" Cong koan itu terkulai lalu pingsan.
Begitu melihat cong koan itu pingsan, Siauw Peng Yang terkejut bukan main. Ketika ia baru mau membuka mulut, Pek Giok Liong telah menggoyangkan tangannya dan segera pula berbicara dengan ilmu menyampaikan suara.
"Saudara Peng Yang, sekarang jangan omong apa-apa! Malam ini harap ke tempat Hui Ceh menungguku! Ingat jangan memberitahukan pada siapa pun, bahwa aku telah kembali!"
Usai berbicara dengan ilmu menyampaikan suara, mendadak Pek Giok Liong pun membentak.
"Dengar baik-baik, Siauw Peng Yang! Tiga hari kemudian aku akan ke mari lagi, harap kalian bersiap-siap! Mengenai cong koan itu, aku harus membawanya pergi, sebab dia punya hubungan dengan temanku, dia akan kuserahkan padanya!"
Setelah berkata begitu, Pek Giok Liong pun menyeret cong koan itu meninggalkan rumah Siauw.
Kini Siauw Peng Yang semakin jelas, Seng Sin Khi itu adalah Hek Siau Liong. Dan mengenai hutang berdarah yang dikatakannya, itu cuma alasan belaka. Ia pun dapat menduga, kenapa Hek Siau Liong bersandiwara begitu, maka ia pun ikut bersandiwara.
"Hei!" bentaknya dingin. "Tinggalkan cong koan, barulah engkau boleh pergi dari sini!"
"Siauw Peng Yang!" sahut Pek Giok Liong tanpa menoleh. "Kalau engkau mampu menghadangku, pasti kutinggalkan cong koan ini! Kalau engkau tidak mampu, jangan harap!"
Siauw Peng Yang memekik keras, lalu mengerahkan ginkangnya. Ia melayang ke hadapan Pek Giok Liong dan mendadak menyerangnya dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam.
"Ha ha ha!" Pek Giok Liong tertawa gelak. "Dengan kepandaianmu yang tak berarti ini ingin menghadang diriku? Jangan mimpi!"
Pek Giok Liong segera menghimpun Thai Ceng Sin Kang (Tenaga sakti pelindung badan) untuk menyambut pukulan itu.
Bukan main terkejut Siauw Peng Yang, karena tenaga pukulannya buyar seketika. Mendadak matanya menjadi silau. Ternyata Pek Giok Liong telah menyerangnya dengan jurus Ban Thian Sing (Ribuan Bintang Langit).
Pada waktu bersamaan, ia merasa sekujur badannya semutan, kemudian tidak bisa bergerak sama sekali.
"Maaf, Saudara!" Pek Giok Liong mengirim suara padanya. "Aku terpaksa bertindak demikian agar engkau tidak dicurigai!"
Siauw Peng Yang menatapnya, sedangkan Pek Giok Liong telah tertawa terbahak-bahak.
"Siauw Peng Yang, aku mau membunuhmu seperti membalik telapak tangan saja! Tapi aku sudah bilang tadi, tiga hari kemudian aku akan kemari lagi, biar engkau masih bernafas tiga hari!"
Pek Giok Liong melangkah pergi sambil menyeret cong koan itu. Lalu diangkatnya cong koan itu ke atas punggung kuda. Setelah itu ia pun melompat ke atas punggung kuda.
Seketika terdengarlah suara ringkikan kuda, tak lama kuda itu pun berlari kencang meninggalkan tempat itu.
Setelah kuda itu tidak tampak lagi, barulah Siauw Kiam Meng berhambur keluar mendekati Siauw Peng Yang, dan cepat-cepat membuka jalan darah Siauw Peng Yang yang tertotok itu.
"Adik Peng Yang, engkau tidak apa-apa kan?" tanya Siauw Kiam Meng setelah membuka jalan darah itu.
"Aaakh!" Siauw Peng Yang menarik nafas dalam-dalam. "Terima kasih Kakak ketiga, aku tidak apa-apa."
"Kalau begitu, cepat kita kejar dia!" ujar Siauw Kiam Meng.
Siauw Peng Yang menggelengkan kepala. "Kakak ketiga, kita tidak usah mengejarnya!"
"Kenapa?"
"Percuma. Kita berdua bukan lawannya."
"Tapi ….." Siauw Kiam Meng mengerutkan kening. "Dia membawa cong koan pergi, kalau toa suheng pulang, kita bagaimana?"
"Ceritakan saja apa yang telah terjadi!" sahut Siauw Peng Yang sambil menarik nafas panjang.
*
* *
(Bersambung bagian 36)
Bagian ke 36: Ruang Istirahat
Ketika hari mulai malam, tampak Tu Ci Yen melangkah ke dalam ruang depan, lalu duduk dengan wajah dingin.
Siauw Kiam Meng dan Siauw Peng Yang duduk di hadapannya, di belakang Tu Ci Yen berdiri delapan orang berbaju hitam.
Hening suasana di ruang itu, tiada seorang pun membuka mulut. Berselang beberapa saat kemudian, Tu Ci Yen menatap Siauw Peng Yang seraya berkata, "Adik keempat, aku dengar orang yang membawa cong koan pergi itu Hek Siauw Liong. Benarkah itu?"
"Wajahnya memang mirip, namun dia mengaku bernama Seng Sin Khi!" Siauw Peng Yang memberitahukan.
Tu Ci Yen mengerutkan kening, kemudian tanyanya lagi.
"Bagaimana kepandaiannya?"
"Tinggi sekali," jawab Siauw Peng Yang. "Menangkap cong koan hanya dalam satu jurus."
"Oh?" Tu Ci Yen berpikir keras. "Jurusnya berasal dari perguruan mana?"
"Entahlah." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala. "Cong koan bertanya padanya, tapi dia tidak menjawab sama sekali."
"Jadi tidak tahu dia berasal dari partai mana?" Tanya Tu Ci Yen dingin.
"Tidak tahu." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala lagi. "Ohya! Jurus-jurus yang dikeluarkannya merupakan jurus simpanan partai terkemuka masa kini."
"Oh?" Tu Ci Yen tertegun. "Jurus-jurus apa yang dikeluarkannya?"
"Kim Kong Ci, Liu Sing Hui Jiau dan jurus yang terakhir sangat mengejutkan."
"Jurus apa yang sangat mengejutkan?" tanya Tu Ci Yen heran.
"Itu adalah jurus Chui Sim Ciang." Siauw Peng Yang memberitahukan.
"Apa?" Wajah Tu Ci Yen berubah. "Dia juga bisa jurus itu?"
"Ya." Siauw Peng Yang mengangguk. "Aku menyaksikannya sendiri."
"Oh?" Tu Ci Yen mengerutkan kening. "Apakah dia seperguruan dengan cong koan?"
"Itu tidak mungkin." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala.
"Apa alasannya?" Tu Ci Yen menatapnya tajam. "Kenapa engkau mengatakan tidak mungkin?"
"Sebab ketika dia mau pergi, dia bilang cong koan punya hubungan dengan temannya, maka cong koan harus diserahkan pada temannya itu!"
"Kalau begitu ….." Tu Ci Yen berpikir keras, kemudian melanjutkan. "Dia tidak seperguruan dengan cong koan, tentunya juga bukan Hek Siau Liong!"
"Menurut aku ….." sela Siauw Kiam Meng. "Seng Sin Khi itu memang bukan Hek Siau Liong."
"Oh?" Tu Ci Yen tersenyum. "Apa alasanmu mengatakan begitu?"
"Karena kepandaian Seng Sin Khi sangat tinggi, sedangkan Hek Siau Liong meninggalkan tempat ini baru setahun, maka tidak mungkin dia memiliki kepandaian yang begitu tinggi."
Alasan tersebut memang masuk akal, namun Tu Ci Yen malah tidak mengangguk, cuma tersenyum aneh.
"Adik keempat!" bentak Tu Ci Yen mendadak dengan wajah berubah dingin. "Nyalimu sungguh tidak kecil!"
Siauw Peng Yang tersentak, ia memandang Tu Ci Yen dengan mata terbelalak lebar.
"Kakak tertua, aku tidak mengerti maksudmu!"
"Engkau tidak mengerti?" Tu Ci Yen tertawa dingin.
"Aku sungguh tidak mengerti!"
"Makan di dalam bantu diluar! Engkau mengerti?"
Hati Siauw Peng Yang tergetar hebat, namun ia tetap berusaha tenang dan pura-pura kebingungan.
"Kakak tertua, aku jadi bingung, bagaimana mungkin aku ….."
"Adik keempat!" bentak Tu Ci Yen mengguntur. "Engkau masih berpura-pura?"
"Kakak tertua, aku ….. aku tidak berpura-pura." Siauw Peng Yang sudah merasa tegang dalam hati.
"He he!" Tu Ci Yen tertawa dingin. "Adik keempat, tiada kebaikan bagimu untuk berpura- pura."
"Kakak tertua ….."
"Namun kita kecil dan besar bersama, bahkan juga saudara seperguruan! Berdasarkan itu, kini aku masih tidak mau menyusahkanmu! Cobalah pikir baik-baik, engkau berbuat begitu apa gunanya?"
"Kakak tertua, aku tidak mengerti ….."
"Kalian berdua ke mari!" seru Tu Ci Yen sambil memberi isyarat ke belakang. Seketika juga dua orang berbaju hitam yang berdiri di belakangnya maju menghadap.
"Hamba siap menerima perintah." Kedua orang berbaju hitam itu memberi hormat pada Tu Ci Yen.
"Bawa Siauw Peng Yang ke ruang istirahat!" Tu Ci Yen memberi perintah.
Yang dimaksudkan ruang istirahat adalah penjara, maka tidak aneh kalau wajah Siauw Peng Yang langsung berubah.
"Kakak tertua ….."
"Adik keempat, engkau harus mengerti!" ujar Tu Ci Yen dingin. "Aku bertindak demikian demi kebaikanmu. Beristirahatlah beberapa hari sambil berpikir baik-baik!"
"Kakak tertua ….."
Tu Ci Yen mengibaskan tangannya, itu berarti menyuruh kedua orang berbaju hitam membawa Siauw Peng Yang pergi.
"Tuan muda Peng Yang!" Kedua orang baju hitam menjura. "Mari ikut kami!"
"Tunggu!" seru Siauw Kiam Meng mendadak.
"Eh?" Tu Ci Yen menatapnya tajam. "Adik ketiga, engkau ingin membela Siauw Peng Yang?"
"Aku ingin mohon pengampunan untuk Siauw Peng Yang," jawab Siauw Kiam Meng serius.
Tu Ci Yen menggelengkan kepala. Air mukanya pun tampak dingin sekali.
"Adik ketiga, saat ini tidak bisa. Biar dia beristirahat beberapa hari dulu, barulah kita bicarakan kembali."
Bibir Siauw Kiam Meng bergerak ingin mengatakan sesuatu, namun telah didahului Tu Ci Yen.
"Engkau tidak perlu banyak bicara lagi. Aku telah memberi perintah, tidak bisa ditarik kembali. Maka percuma engkau bicara apa pun."
Siauw Kiam Meng terpaksa diam, sedangkan kedua orang berbaju hitam itu menjura lagi pada Siauw Peng Yang.
"Tuan muda Peng Yang, mari ikut kami!"
Siauw Peng Yang mengerutkan kening, ia mengarah pada Tu Ci Yen dengan sorotan dingin, lalu melangkah pergi dikawal kedua orang berbaju hitam itu.
*
* *
Pada waktu bersamaan, ketika Tu Ci Yen pulang, di sebuah kuil tua yang terletak sepuluh li dari Siauw keh cung (Perkampungan keluarga Siauw). Tampak duduk enam orang tua di dalam kuil itu. Mereka berenam memakai jubah abu-abu dan rata-rata berusia di atas tujuh puluhan.
Mendadak terdengar derap kaki kuda, salah seorang tua itu segera membuka mulut.
"Sudah datang!"
Kelima orang tua itu manggut-manggut. Orang tua yang berkata tadi melanjutkan ucapannya.
"Mari kita sambut di pintu!"
Mereka berenam bangkit berdiri, lalu menuju pintu kuil itu dan berdiri diam di situ.
Seekor kuda berhenti di depan pintu kuil, yang duduk di punggung kuda itu adalah Pek Giok Liong.
Keenam orang tua itu segera menjura memberi hormat.
"Hamba menyambut kedatangan ketua panji!" ucap mereka serentak.
Ternyata keenam orang tua itu Siang Sing (Sepasang Bintang), Thian Koh Sing dan Thian Kang Sing. Keempat orang tua adalah Si Kim Kong (Empat Arhat), yakni Penakluk iblis, Pembasmi siluman, Penangkap setan dan Pembunuh jin. Mereka semua ikut Pek Giok Liong ke daratan tengah ini, merangkap sebagai pelindung pula.
Pek Giok Liong melompat turun, dan segera membalas memberi hormat pada keenam orang tua itu.
"Terimakasih atas penyambutan kalian berenam orang tua!" Usai berkata begitu, Pek Giok Liong pun menambatkan kudanya di sebuah pohon, lalu menyeret cong koan yang dibawanya itu ke dalam kuil. Keenam orang tua mengikutinya dari belakang dengan sikap hormat.
Setelah berada di dalam kuil, Pek Giok Liong menaruh cong koan itu ke bawah.
"Siapa orang itu?" tanya Thian Koh Sing sambil menatap cong koan itu.
"Entahlah." Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Tapi dia kepala pengurus baru di keluarga Siauw. Marganya Ho, belum tahu asal-usulnya. Namun dia mahir jurus Chui Sim Ciang (Pukulan penghancur hati), ilmu andalan Liok Tay Coan."
"Apa?" Thian Koh Sing Ma Hun tercengang. "Dia mahir jurus itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Bahkan sudah mencapai tingkat kedelapan."
"Kalau begitu, mungkin dia murid Liok Tay Coan." ujar Thian Koh Sing Ma Hun.
"Buka jalan darahnya!" sela Thian Kang Sing. "Kita tanya saja dia!"
"Tidak usah!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Lebih baik serahkan saja pada Liok Tay Coan."
"Baiklah!" Thian Koh Sing manggut-manggut. "Ketua sudah bertemu orang yang dicari itu?" tanyanya.
"Belum."
"Tidak adakah dia ?"
Pek Giok Liong menarik nafas panjang, lalu ujarnya dengan wajah murung.
"Dia memang sudah tiada, sudah meningga tiga bulan yang lalu."
"Oh? Itu sungguh tidak beruntung!" Thian Koh Sing menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik nafas.
"Ohya! Siauw kiong cu berada di mana sekarang?" Tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Beliau berada di vihara Si Hui di dekat Kota Ling Ni, menunggu kedatangan ketua," jawab Thian Koh Sing memberitahukan.
Pek Giok Liong berpikir lama sekali, setelah itu ujarnya sambil menunjuk Ho cong koan yang tergeletak di lantai.
"Kalian bawa orang itu dan serahkan pada Liok Tay Coan, besok sore aku pasti ke vihara Si Hui."
Thian Kob Sing tertegun.
"Ketua tidak mau berangkat bersama kami?"
"Aku punya sedikit urusan malam ini."
"Bolehkah ketua memberitahukan tentang urusan itu?"
"Malam ini aku harus ke rumah Siauw untuk menyelidiki seseorang."
"Oh?" Thian Koh Sing menatapnya. "Orang itu Siauw cung cu?"
"Bukan." Pek Giok Liong menggeleng kepala. "Melainkan putri majikan perkampungan Siauw."
"Jadi tadi ketua belum bertemu dengannya?" Thian Koh Sing heran.
"Belum." Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Kemungkinan besar keluarga Siauw sudah dalam bahaya, kalau dugaanku tidak meleset, Siauw cung cu dan putrinya berada dalam pengawasan, keadaan mereka sangat bahaya ….."
"Oh?" Thian Koh Sing juga mengerutkan kening.
"Lagi pula mengenai orang tua pincang itu, kematiannya sungguh mencurigakan, maka aku harus bertanya langsung pada Nona Hui Ceh."
"Kalau begitu ….." Thian Koh Sing setelah berpikir sejenak. "Mungkinkah orang tua pincang itu mati dibunuh?" tanyanya.
"Memang mungkin." Pek Giok Liong mengangguk. "Sebab orang tua pincang itu memiliki kepandaian tinggi, maka aku tidak percaya dia mati karena sakit."
"Oooh!" Thian Koh Sing manggut-manggut. "Jangan-jangan keluarga Siauw telah dikuasai oleh para penjahat!"
"Menurut aku juga begitu! Kalau tidak, bagaimana mungkin muncul Ho cong koan yang tidak jelas asal-usulnya?"
"Dia bukan kepala pengurus pilihan Siauw cung cu?"
"Bukan."
"Kalau begitu, siapa yang berhak memilihnya sebagai cong koan?"
Pek Giok Liong tidak segera menjawab, melainkan berpikir keras, berselang sesaat barulah menjawab.
"Itu pasti Tu Ci Yen, anak angkat Siauw cung cu."
"Majikan perkampungan itu tidak punya anak?"
"Hanya putrid, seorang putri bernama Hui Ceh."
"Ketua!" Thian Koh Sing menatapnya. "Tu Ci Yen itu sangat licik?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Selain licik, dia pun sangat jahat dan banyak akal busuk."
"Kini keluarga Siauw telah dikuasainya, malam ini ketua mau pergi menemui nona Hui Ceh, bagaimana mungkin Tu Ci Yen akan memperbolehkan?"
"Oh?" Hati Pek Giok Liong tergerak. "Kalau begitu, aku harus memasuki rumah itu secara diam-diam, agar tidak diketahui Tu Ci Yen kan?"
"Betul." Thian Koh Sing manggut-manggut. "Memang harus begitu."
"Orang-orang yang di rumah Siauw itu, kebanyakan telah menjadi anak buah Tu Ci Yen, maka aku pun tidak tahu siapa yang masih bisa dipercaya."
"Ketua, menurut hamba ….." Thian Koh Sing mengerutkan kening. "Kalau cuma seorang diri memasuki rumah Siauw itu ….."
"Kenapa?"
"Agak berbahaya?"
Pek Giok Liong tertawa.
"Engkau khawatir aku akan terjebak di sana?" ujarnya.
"Ya." Thian Koh Sing mengangguk. "Ketua memang memiliki kepandaian yang amat tinggi, namun sulit menjaga serangan gelap."
"Sebetulnya Ketua tidak perlu menempuh bahaya itu." sela Arhat Penakluk Iblis, Ciu Hoa Jin.
"Kenapa?" tanya Pek Giok Liong.
"Lebih baik kami berempat ke rumah Siauw untuk mengundang Nona Hui Ceh ke mari menemui ketua." Ciu Hoa Jin menjelaskan.
"Memang baik." Pek Giok Liong tertawa. "Tapi ….."
"Kenapa?" tanya Ciu Hoa Jin cepat.
"Aku dengar Nona Hui Ceh dalam keadaan sakit. Maka tidak mengejutkannya, lebih baik aku yang pergi menemuinya secara diam-diam," jawab Pek Giok Liong. "Kalau kalian berempat yang tampil, itu akan mengejutkan semua orang di rumah Siauw itu, bahkan Tu Ci Yen pasti segera bertindak terhadap Siauw cung cu dan putrinya."
"Kalau begitu, izinkanlah kami menyertai Ketua!" ujar Thian Koh Sing.
Pek Giok Liong tahu bahwa mereka semua mengkhawatirkannya pergi seorang diri, namun pura-pura tidak tahu.
"Aku ke sana bukan mau bertarung, maka tiada gunanya kalian menyertaiku," ujarnya.
"Ketua pergi seorang diri, bagaimana kami bisa berlega hati?" Thian Koh Sing menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah kukatakan barusan, aku pergi cuma ingin menemui Nona Hui Ceh, tidak akan bertarung dengan siapa pun."
"Hamba mengerti, tapi tugas kami melindungi Ketua. Oleh karena itu, kami semua tidak akan membiarkan Ketua pergi seorang diri." tegas Thian Koh Sing. "Kalau Ketua terjadi sesuatu, bagaimana kami menghadap siau kiong cu?"
Pek Giok Liong diam, ia yakin bahwa malam ini mereka pasti menyertainya, itu yang tidak diinginkannya.
"Thian Koh Sing!" ujar Pek Giok Liong dengan suara dalam. "Kalau dengan kedudukanku sebagai ketua panji memerintahkan kalian tidak boleh ikut, bagaimana kalian? Apakah kalian berani membangkang perintahku?"
Thian Koh Sing tertegun, dan seketika juga membungkam. Pek Giok Liong memang ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan, sedangkan Cai Hong To masih dibawah perintah panji tersebut, lalu bagaimana mungkin mereka berenam berani membangkang apa yang diperintahkan Pek Giok Liong?
"Harap kalian berlega hati!" Pek Giok Liong tersenyum. "Aku akan berhati-hati, lagi pula tidak mungkin akan terjadi sesuatu atas diriku."
"Tapi ….." Thian Koh Sing mengerutkan kening.
"Kalau merasa tidak tenang, lebih baik kalian menunggu di sini saja. Sebelum pagi, aku pasti sudah kembali." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Baiklah." Thian Koh Sing mengangguk. "Kami akan menunggu di sini, lalu bersama berangkat ke vihara Si Hui!"
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kuda kutinggalkan di sini, kalian pun boleh beristirahat, aku pergi ….."
Pek Giok Liong mengerahkan ginkangnya melayang pergi, cepat bagaikan kilat dan dalam waktu sekejap sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.
"Saudara Ma, apakah kita harus menunggu di sini sampai pagi?" tanya Ciu Hoa Jin pada Ma Hun.
"Apa boleh buat!" Ma Hun atau Thian Koh Sing itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kita terpaksa menunggu di sini."
"Terus terang." Ciu Hoa Jin tertawa. "Aku punya akal, entah kalian setuju atau tidak?"
"Akal apa?" tanya Thian Koh Sing Ma Hun cepat.
"Akal ini mungkin kurang baik, namun dari pada kita semua harus menunggu di sini dengan hati kebat-kebit."
"Jelaskanlah! Jangan main teka-teki!" tegur Ih Cong Khi, Arhat Penangkap Setan. "Engkau senang ya, melihat kami seperti cacing dalam kuali?"
"Begini ….." bisik Ciu Hoa Jin. "Kita ikuti dia secara diam-diam."
"Itu ….." Thian Koh Sing Ma Hun menggelengkan kepala. "Itu kurang baik."
"Kenapa kurang baik? Kita cuma di luar rumah Siauw itu sambil mengawasi keadaan. Seandainya ada sesuatu, bukankah kita dapat melindunginya?"
"Itu memang akal yang bagus." ujar Thian Kang Sing Wie Kauw sambil manggut-manggut.
"Tapi ….." Thian Koh Sing Ma Hun menunjuk cong koan yang tergeletak di lantai. "Bagaimana dia?"
"Aku punya akal," sahut Ciu Hoa Jin. "Engkau punya akal lagi?" Ma Hun menatapnya.
"Salah seorang di antara kita tetap tinggal di sini untuk menjaganya. Bagaimana?"
"Akal yang baik!" Thian Koh Sing Ma Hun mengangguk. "Tapi siapa yang menjaganya di sini?"
"Engkau." Ciu Hoa Jin menunjuk Ban Kian Tong, Arhat Pembasmi Siluman. "Tugasmu menjaga Ho cong koan."
"Eeeh?" Ban Kian Tong tampak tidak senang. "Ini tidak adil."
"Saudara keempat!" Ciu Hoa Jin tertawa gelak. "Siapa suruh usiamu paling kecil di antara kita? Maka yang kecil harus tetap di sini menjaga cong koan itu."
"Saudara tua!" sahut Ban Kian Tong. "Justru yang tua harus di sini, tidak boleh ke mana-mana."
"Saudara keempat ….."
"Pokoknya aku tidak mau tinggal di sini."
"Lebih baik engkau berada tinggal di sini." bujuk Thian Koh Sing Ma Hun. "Sebab tugas menjaga Ho cong koan cukup berat."
"Benar." sambung Thian Kang Sing Wie Kauw. "Tugas itu memang berat, maka kami semua mempercayaimu menjaga orang ini."
"Aaaakh …..!" keluh Ban Kian Tong. "Sudahlah! Aku akan menjaga orang sialan itu di sini!"
"Terimakasih!" ucap Ciu Hoa Jin sambil tersenyum.
"Tapi ingat, hanya kali ini, lain kali tidak!" tegas Ban Kian Tong.
"Tentu!" Ciu Hoa Jin tertawa gelak. "Lain kali pasti aku yang menjaga cong koan itu!"
"Hmm!" dengus Ban Kian Tong. "Kalau tidak sabaran menjaga, aku pasti membunuhnya!"
"Eh?" Ciu Hoa Jin terkejut. "Jangan begitu, kalau ketua tahu ….."
"Jangan khawatir!" Ban Kian Tong tertawa. "Aku tidak akan bertindak begitu ceroboh, hanya saja saat ini aku lagi kesal."
*
* *