Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 29 Oktober 2012

Si Pisau Terbang Lie - Khu Lung 76 s/d tamat

Nah akhirnya tamat ...


Bab 76. Taktik yang Cemerlang

Jawab Tuan Sun dengan suara rendah, “ShangGuan JinHong pasti datang awal esok hari.”

“Mengapa begitu?” tanya Sun Xiao Hong.

“Karena siapa yang datang lebih awal, punya kesempatan untuk memilih lokasi yang paling menguntungkan. Tidak mungkin ShangGuan JinHong menyia-nyiakan kesempatan ini.”

“Lalu mengapa Li Xun Huan tidak datang lebih awal lagi saja?”

“Mungkin dia tidak ingin berlomba datang lebih awal. Atau mungkin juga ia punya alasan yang lain sama sekali.”

Tuan Sun terkekeh pelan dan menambahkan, “Li Tan Hua bukan orang biasa. Kadang-kadang aku pun dibuatnya bingung, tidak mengerti apa maksud perbuatannya.”

Kata Sun Xiao Hong, “Dalam pandanganku, seluruh tempat ini tampak sama saja. Aku tidak bisa menentukan tempat mana yang paling menguntungkan.”

“Tempat di mana ia berdiri saat ini,” kata Tuan Sun.

“Apa istimewanya tempat itu?”

“Jika ShangGuan JinHong berdiri di situ, Li Xun Huan pasti harus berdiri tepat di depannya.”

“Mmmm.”

“Waktu berduel telah ditentukan, yaitu pada saat matahari terbenam.”

“Aaah, sekarang aku mengerti. Jika seseorang berdiri di situ, punggungnya akan tepat menghadap cahaya matahari terbenam, jadi cahaya itu tidak akan mempengaruhinya sama sekali. Namun, orang yang berada tepat di depannya, akan silau oleh cahaya itu. Dan jika sekali saja kau berkedip, lawanmu akan mempunyai kesempatan yang sempurna untuk menyerangmu.”

“Tepat sekali.”

“Namun mengapa ShangGuan JinHong memilih untuk berdiri di situ?”

“Hanya dengan cara berdiri di situ, baru ia tahu kelemahan tempat itu. Lalu ia dapat mencari tempat yang lain,” kata Tuan Sun. “Jika kau melihat hutan di sana, sinar matahari senja pun dipantulkan oleh embun yang membeku di atas dedaunan. Jadi berdiri di situ pun akan silau juga.”

Kini Li Xun Huan berjalan menuju sebatang pohon tepat di hadapan mereka.

Mata Sun Xiao Hong terus mengikuti gerakannya. Tiba-tiba selarik sinar menyilaukan matanya…. Pohon itu mempunyai paling banyak embun yang membeku, dan sinar matahari yang dipantulkannya pun paling banyak.

Tanya Tuan Sun, “Kini kau mengerti?”

Sun Xiao Hong tidak menjawab. Tiba-tiba tubuh Li Xun Huan melesat ke atas pohon dan dengan
cepat mengitari pohon itu.

“Semua orang tahu bahwa ‘Pisau Terbang Li Kecil tidak pernah luput’. Namun ilmu meringankan tubuhnya pun ternyata sangat tinggi. Tidak banyak orang di dunia ini yang dapat menandinginya,” seru Tuan Sun.

“Tapi, apa yang sedang dilakukannya di pohon itu?” tanya Sun Xiao Hong.

“Ia sedang memeriksa tiap ranting dan cabang pohon itu, berapa kuatnya mereka itu. Ada dua alasan mengapa ia melakukannya.”

“Dua alasan?”

“Yang pertama, ia ingin memastikan bahwa pohon itu belum ‘dikerjai’ oleh ShangGuan JinHong.”

“Dikerjai?”

“Ketika ia sedang berhadapan dengan ShangGuan JinHong, apa yang akan terjadi jika tiba-tiba ranting-ranting pohon itu patah?”

“Kalau patah yang pasti akan jatuh ke bawah.”

“Jatuh ke mana?”

“Ke tanah.” Tiba-tiba Sun Xiao Hong jadi mengerti maksudnya. “Atau di depannya, sehingga menghalangi pandangannya. Atau mungkin di atas kepalanya. Yang pasti, itu akan memecahkan konsentrasinya dan memberikan keuntungan bagi ShangGuan JinHong.”

“Lagi pula, jika ia tidak punya pilihan lain, ia bisa naik ke atas pohon itu. Apa yang akan terjadi jika tiba-tiba pohon itu berubah menjadi medan laga?” tanya Tuan Sun.

“Oleh sebab itulah, ia harus memeriksa segala sesuatu dengan seksama. Pohon itu dan juga segala sesuatu di sekitar sini,” jawab Sun Xiao Hong.

“Akhirnya kau mengerti.”

“Ya, kini aku mengerti. Siapa sangka ada begitu banyak persiapan sebelum berduel.”

“Apapun yang kau kerjakan, jika kau telah mencapai tingkatan yang tertinggi, selalu akan lebih rumit dan mendetil. Bahkan dalam hal menyulam atau memasak sekalipun.”

Tuan Sun melirik pada Li Xun Huan dan melanjutkan, “Walaupun waktu duelnya ditentukan esok hari, sebenarnya duel itu telah dimulai sejak pertama kali mereka bertemu. Yang diuji adalah perhatian mereka akan hal-hal yang mendetil, kesabaran mereka, dan pengetahuan mereka. Kesempatan mereka menang telah ditentukan sejak saat itu, namun pemenang akhirnya baru ditentukan esok hari saat berduel.”

“Namun apa yang dilihat orang adalah apa yang terjadi di saat yang sangat singkat itu. Ada pepatah, ‘Menang kalah dalam pertarungan antara dua jagoan ditentukan oleh satu langkah saja’. Namun siapa yang dapat membayangkan betapa banyak persiapan di balik satu langkah itu,” kata Sun Xiao Hong.

Wajah Tuan Sun menjadi muram. Ia memantik api dan menyalakan pipanya. Matanya tertuju pada api dalam pipa itu. Katanya, “Seorang ahli silat yang sejati selalu hidup kesepian. Orang hanya melihat mereka dalam kejayaan dan kesuksesan mereka. Tidak ada yang melihat betapa banyak pengorbanan mereka. Karena itulah, tidak ada orang yang dapat memahami mereka.”

Sun Xiao Hong menundukkan kepalanya dan bermain-main dengan ujung lengan bajunya. Katanya, “Tapi apakah mereka tidak ingin dimengerti oleh orang lain?”

Sementara itu, Li Xun Huan mengencangkan ikat pinggangnya dan dengan sedikit tekanan di kakinya ia melompat ke atap paviliun itu.

Tuan Sun menghembuskan asap dan berkata, “Semua orang selalu menganggap Li Xun Huan sebagai orang yang berantakan dan sembarangan. Siapakah yang pernah melihat sisi kerapiannya? Namun untuk hal-hal yang penting, ia tidak melewatkan satu detil yang terkecil sekalipun.”

Sun Xiao Hong mendesah dan berkata, “Mungkin karena ia telah membiarkan begitu banyak hal berlalu…..”

Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya dan bertanya, “Tadi Kakek bilang pertempuran ini sudah berlangsung sejak lama. Dalam pandanganmu, siapakah yang saat ini berada di atas angin?”

Jawab Tuan Sun, “Sepertinya tidak ada yang tahu jawabannya.”

Ia menggigit-gigit bibirnya lagi.

Jika pikirannya sedang kusut, ia selalu menggigit-gigit bibirnya. Semakin kusut pikirannya, semakin kuat gigitannya.

Saat ini, ia hampir menggigit bibirnya sampai lepas.

“Apa pendapatmu?” tanya kakeknya.

“Mmm…. ShangGuan JinHong terlihat begitu percaya diri.”

“Betul. Dan ini karena pada tahun-tahun terakhir ini ia selalu berhasil dalam usahanya. Hanya saja, mungkin kematian anaknya bisa mempengaruhi sedikit konsentrasinya.”

Kata Sun Xiao Hong, “Juga Jin Wu Ming. Kepergiannya bisa dianggap sebagai kehilangan yang besar bagi ShangGuan JinHong.”

Kata Tuan Sun, “Inilah sebabnya ia ingin segera berduel dengan Li Xun Huan, karena ia takut rasa percaya dirinya sedikit demi sedikit mulai berkurang.”

Tuan Sun mengeluh dan melanjutkan, “Itulah sebabnya, duel ini bukan hanya menyangkut hidup ShangGuan JinHong dan Li Xun Huan, tapi juga menyangkut seluruh dunia persilatan.”

Sun Xiao Hong tampak kaget. “Apa betul pengaruhnya sedemikian besar, Kek?”

“Yang pertama, jika ShangGuan JinHong menang, rasa percaya dirinya pasti akan melambung semakin tinggi. Perbuatannya pasti akan semakin berani dan aku kuatir, tidak akan ada yang dapat menghalanginya.”

Mata Sun Xiao Hong berkejap-kejap. “Sebetulnya, kurasa tidak mungkin ShangGuan JinHong bisa
menang.”

“Kenapa begitu?”

“Pisau Terbang Li Kecil tidak pernah luput! Pisaunya tidak pernah gagal!” seru Sun Xiao Hong.

“Tapi ShangGuan JinHong pun tidak pernah kalah,” kata Tuan Sun lirih.

Sun Xiao Hong tertawa keras dan berkata, “Apakah Kakek sudah lupa? ShangGuan JinHong pernah kalah sekali.”

“Oh?”

“Hari itu, di paviliun di luar kota Luoyang. Bukankah Kakek mengalahkannya?”

Tuan Sun diam saja.

“Kakek, sebelum ini, aku belum pernah minta apapun darimu. Tapi kali ini, aku minta tolong satu saja.”

“Apa itu?” tanya Tuan Sun sambil meniup pipanya dan menyelubungi dirinya sendiri dengan asap putih.

Kata Sun Xiao Hong, “Aku mohon Kakek memastikan Li Xun Huan tetap hidup, bagaimanapun caranya….”

Tiba-tiba ia berlutut di hadapan kakeknya dan berkata, “Kakek adalah satu-satunya orang di dunia ini yang dapat mengatasi ShangGuan JinHong. Kakeklah satu-satunya yang dapat menolong Li Xun Huan. Dan Kakek pasti tahu bahwa jika Li Xun Huan mati, aku sungguh tidak sanggup hidup tanpa dirinya.”

Lautan asap itu telah lenyap.

Namun asap tebal seolah-olah membayangi mata Tuan Sun.

Kabut musim gugur, muram dan sedih…..

Namun secercah senyum menghiasi wajahnya.

Matanya menatap ke kejauhan, dan dengan lembut tangannya membelai rambut cucunya. Katanya, “Dari semua cucu-cucuku, kaulah yang paling nakal. Kalau kau mati, siapa yang akan mencabuti jenggotku dan menjambak rambutku?”

Sun Xiao Hong bangkit perlahan. “Jadi Kakek berjanji?”

Tuan Sun menganggukkan kepalanya dan berkata, “Selama ini kau hanya menunggu aku mengatakannya, bukan?”

Pipi Sun Xiao Hong bersemu merah dan ia pun menyahut, “Kakek kan tahu setelah seorang gadis menjadi dewasa, ia tidak bisa terus tinggal di rumah. Hatinya akan berpaling ke tempat lain.”

Tuan Sun tertawa dan berkata, “Namun kulitmu masih tebal. Aku tidak tahu, apakah ada orang yang menginginkanmu atau tidak.”

Sun Xiao Hong beringsut dan mendekatkan bibirnya ke telinga kakeknya. Ia berbisik, “Aku tahu. Dan jika ia tidak menginginkan aku, aku punya cara untuk membuatnya menginginkan aku.”

Tuan Sun memeluknya, seolah-olah ia kembali menjadi seorang gadis kecil dan berkata dengan lembut, “Kau adalah cucu kesayanganku, tapi kau terlalu nakal dan terlalu berani. Tadinya aku sungguh kuatir kau tidak akan menemukan jodohmu, tapi kini paling tidak kau telah menemukan orang yang betul-betul kau sukai. Aku hanya bisa berbahagia untukmu.”

Kata Sun Xiao Hong sambil cekikikan, “Aku memang sungguh beruntung bertemu dengan dia. Tapi ia juga beruntung bertemu dengan aku. Dalam dunia ini, tidak banyak orang yang seperti aku.”

Tuan Sun tersenyum. “Memang kau adalah satu-satunya dalam dunia ini.”

Ia duduk di pangkuan kakeknya dengan hati ringan dan gembira.

Karena ia bukan saja memiliki kakek yang hebat, namun ia juga memiliki orang yang sangat mengagumkan dalam hatinya.

Keluarga, kekasih, ia punya keduanya. Apalagi yang diinginkan seorang gadis?

Ia merasa ialah orang yang paling berbahagia di seluruh dunia.

Ia merasa, masa depannya sungguh gilang gemilang.

Kini hari sudah mulai malam. Kegelapan telah menelan habis sinar matahari yang cerah.

Tapi seakan-akan ia tidak menyadarinya.

‘Cinta dapat membutakan mata manusia’.

Walaupun ini adalah perkataan kuno, kebenarannya tidak pernah berubah.

Jika Sun Xiao Hong dapat membuka matanya sekarang, ia akan melihat betapa dalam kesedihan dan kepedihan dalam sorot mata kakeknya. Walaupun orang lain dapat melihat kesedihan itu, tidak akan ada yang bisa menebak apa sebabnya.

Malam semakin dekat, hembusan angin semakin dingin.
Suasana begitu hening, hanya suara dahan dan dedaunan yang berdansa mengikuti irama angin.

Di manakah Li Xun Huan?

Sun Xiao Hong sudah tidak sabar. Ia berjalan keluar dan berseru, “Apa yang kau lakukan di atas sana? Mengapa kau belum turun juga?”

Tidak ada jawaban.

Ke mana perginya Li Xun Huan?

Apakah ada jebakan licik di atas atap paviliun itu? Apakah Li Xun Huan sudah terjebak?
Atap paviliun itu terbuat dari genteng berwarna merah dengan hiasan keemasan di puncaknya.

Di atas puncak itu ada sebuah kotak hitam terbuat dari besi.

Kotak besi hitam yang sederhana, sama sekali tidak ada hiasannya. Tidak juga ada jebakan yang
akan melontarkan panah beracun pada orang yang membukanya.

Tapi, apa maksudnya kotak besi itu berada di atas puncak atap paviliun itu?

Dalam kotak besi itu ada sehelai rambut.

Sehelai rambut yang hitam panjang. Tidak ada istimewanya.

Namun entah berapa lama Li Xun Huan terpekur memandangi sehelai rambut itu. Ketika Sun Xiao Hong berseru memanggilnya, seolah-olah ia tidak mendengar apa-apa.

Apa istimewanya sehelai rambut ini?

Sun Xiao Hong tidak habis pikir.

Tidak ada seorang pun yang habis pikir.

Wajah Li Xun Huan tampak begitu mendung, matanya mulai kelihatan merah.

Sun Xiao Hong belum pernah melihat dia seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika mereka minum begitu banyak anggur, mata Li Xun Huan selalu segar dan terang.

Apa yang mengakibatkan perubahan yang begitu tiba-tiba ini?
Mereka meletakkan sehelai rambut itu di meja batu dalam paviliun.
Sun Xiao Hong tidak tahan untuk tidak bertanya, “Rambut siapa ini?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada yang bisa menjawab.
Kelihatannya mirip dengan rambut siapapun juga di dunia ini.

Kata Sun Xiao Hong, “Rambut sepanjang ini, pastilah rambut seorang wanita.”

Ia tahu bahwa pernyataannya tidak sepenuhnya betul karena laki-laki pun bisa berambut sepanjang itu.

Memotong rambut dapat diartikan tidak hormat terhadap orang tua.

Dalam cerita-cerita, selalu dikisahkan anak-anak gadis yang berdandan seperti pria akan segera ketahuan jika rambut mereka yang asli terlihat.
Namun cerita itu hanya dapat menipu anak-anak kecil. Anehnya, cerita-cerita semacam itu masih juga diceritakan sampai saat ini.

Sun Xiao Hong menghentakkan kakinya dan berkata, “Rambut siapapun juga, ini kan cuma sehelai rambut saja. Apa sih anehnya?”

“Ada,” kata Tuan Sun singkat.

“Ada apanya?” tanya Sun Xiao Hong.

“Ada yang aneh. Ada yang sangat aneh tentang rambut ini.”

“Apa anehnya?”

“Segalanya aneh,” jawab Tuan Sun. “Mengapa sehelai rambut berada dalam kotak besi?

Bagaimana kotak besi itu berada di atas puncak atap paviliun ini? Siapa yang meletakkannya di sana? Apa alasannya?”

Sun Xiao Hong terkesima.
Tuan Sun menghela nafas dan berkata, “Jika tebakanku tepat, ini adalah perbuatan ShangGuan JinHong.”

Tanya Sun Xiao Hong, “ShangGuan JinHong? Mengapa ia melakukannya?”

“Karena ia ingin Li Xun Huan melihat sehelai rambut itu.”

“Tapi…tapi dia….”

“Ia pasti telah mengira bahwa Li Xun Huan pasti datang sebelumnya untuk memeriksa keadaan tempat ini. Mungkin ia telah mengira bahwa Li Xun Huan pasti akan memeriksa atap paviliun ini, sehingga dengan sengaja ia meletakkan kotak besi ini di atas sana.”

“Tapi apa istimewanya sehelai rambut ini? Memangnya kenapa kalau Li Xun Huan melihatnya?

Bukankah ini sungguh bodoh?” tanya Sun Xiao Hong tidak mengerti.
Namun saat ia mengatakan kalimat itu, ia merasa memang ada yang salah, ada yang betul-betul salah.

ShangGuan JinHong bukanlah orang melakukan hal-hal bodoh yang tidak berguna.

Mata Tuan Sun tertuju pada Li Xun Huan dan bertanya, “Apakah kau tahu rambut siapa ini?”

Li Xun Huan terdiam beberapa saat. Akhirnya ia mendesah dan menjawab, “Aku tahu.”

“Tapi apakah kau sungguh-sungguh yakin?” tanya Tuan Sun.

Nada suaranya tajam dan tegas.

Li Xun Huan hanya dapat menjawab, “Aku…..”

“Kau tidak yakin, kan?”

Ia tidak menunggu jawaban Li Xun Huan. Segera ia menambahkan, “ShangGuan JinHong melakukannya karena ia ingin kau percaya bahwa sehelai rambut ini adalah milik Lin Shi Yin, dan bahwa ia telah jatuh ke dalam tangannya. Ia ingin kau terganggu, sehingga ia berkesempatan untuk membunuhmu. Mengapa kau jatuh dalam jebakannya?”

“Betul. Jika Nyonya Lin telah jatuh ke dalam tangannya, mengapa ia tidak membawanya saja ke sini untuk mengancammu?” tambah Sun Xiao Hong.

Jawab Li Xun Huan, “Karena ia tidak bisa melakukannya….. Orang lain mungkin bisa, namun dia tidak bisa.”

“Mengapa?”

“Karena jika ada orang yang tahu ia menggunakan cara serendah itu untuk mengalahkan Li Xun Huan, ia akan menjadi bahan tertawaan seluruh dunia.”

“Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membiarkan engkau melihat sehelai rambut.”

“Karena itulah, taktiknya sungguh cemerlang,” sahut Li Xun Huan.

Sun Xiao Hong masih terus mendebatnya, “Tapi rambut ini belum tentu miliknya.”

“Mungkin juga, mungkin juga tidak…. Tidak ada yang bisa memastikan,” kata Li Xun Huan.

“Lalu mengapa tidak kau lupakan saja, dan anggap saja kau tidak pernah melihat rambut itu. Dengan begitu, jebakannya gagal total.”

“Sayang sekali, aku sudah melihatnya.”

Kata Sun Xiao Hong, “Karena ia tidak mengatakan apa-apa, maka kau malah menjadi curiga. Karena ia tahu bahwa kau akan menjadi curiga, maka ia membuat rencana seperti ini. Walaupun kau tahu maksud yang sebenarnya, kau tetap memilih untuk terjebak dalam permainannya.”

Li Xun Huan menghela nafas panjang dan berkata, “Mengapa aku selalu dihadapkan pada situasi seperti ini?”

Bab 77. Rahasia Puri Awan Riang

Lalu Li Xun Huan pun tersenyum dan berkata, “Yah, begitulah hidup. Kadang-kadang, walaupun tahu kau sedang berjalan menuju perangkap, kau harus terus berjalan maju.”

Kata Tuan Sun, “Benar. Jika itu adalah orang yang sangat kusayangi, aku pun akan masuk ke dalam perangkap itu.”

Sun Xiao Hong menghentakkan kakinya dengan kesal sambil memandang dua laki-laki itu. Katanya, “Walaupun kalian berdua bersedia ditipu, aku tidak mau!”

“Ah, kau pun sudah masuk perangkapnya. Kau pun telah curiga bahwa rambut itu adalah milik Nyonya Lin. Kau pun telah terusik. Jika kau harus berduel dengan seseorang sekarang, walaupun dia bukan tandinganmu, kau pasti akan kalah di tangannya,” kata Tuan Sun.

“Tapi….tapi…..”

Jika ia dihadapkan pada situasi seperti itu, ia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya.

ShangGuan JinHong memang bermaksud mengacaukan pikiran Li Xun Huan. Apakah Li Xun Huan percaya itu adalah rambut Lin Shi Yin atau tidak, bukan masalah. Jika Li Xun Huan mulai berpikir, itu artinya rencana ShangGuan JinHong telah berhasil.

Bagaimana mungkin hal ini tidak mengganggu pikiran Li Xun Huan?

Wanita itu menghiasi setiap mimpinya. Bagaimana mungkin ia melupakannya begitu saja?

Walaupun ia tahu itu bukan rambut Lin Shi Yin, Li Xun Huan akan tetap merasa kuatir dan pikirannya akan kalut. Hanya karena ShangGuan JinHong telah berhasil membuat dia berpikir tentang Lin Shi Yin.

Masalahnya bukan terletak pada milik siapakah sehelai rambut itu, namun pada kepribadian Li Xun Huan.

Ini adalah satu-satunya cara mengatasi Li Xun Huan. Jika cara yang sama digunakan untuk orang lain, mungkin tidak akan berhasil sama sekali, karena orang lain mungkin tidak berpikir terlalu panjang dan dalam.

Inilah sebabnya mengapa ShangGuan JinHong sangat berbahaya.

Ia tahu caranya mengatasi tiap-tiap musuh. Walaupun caranya sering kali tampak aneh, bahkan bodoh, caranya selalu terbukti efektif.

Karena ia memahami betul strategi tempur militer ‘Selalu menyerang pikiran lawan’.

Li Xun Huan duduk di lantai dan menyelonjorkan kaki dan tangannya.

Walaupun ia tidak mengatakan apa-apa, Tuan Sun dan Sun Xiao Hong tahu benar apa yang berada dalam pikirannya: pergi ke Puri Awan Riang untuk memastikan bahwa Lin Shi Yin berada di sana.

Sebelum memulai perjalanannya, ia harus melepas lelah terlebih dahulu.

Setiap kali ia membuat keputusan penting, ia selalu berusaha menenangkan tubuh dan pikirannya.

Ini adalah salah satu kebiasaannya.

Kebiasaan yang sangat baik.

Sun Xiao Hong memandang dia lekat-lekat.

‘Jadi ia belum melupakan wanita itu. Bahkan, wanita itu lebih penting daripada segala sesuatu. Tidak seorangpun dapat menggantikan tempatnya di hatinya….tidak juga aku.’

Mata Sun Xiao Hong menjadi merah. Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Apakah kau harus pergi?”

Li Xun Huan tidak menjawab.

Kadang-kadang tidak menjawab adalah jawaban yang terbaik.

“Ia harus pergi. Kalau tidak pergi, pikirannya tidak mungkin bisa tenang,” kata Tuan Sun.

“Tapi….bagaimana jika ia memang tidak ada di sana?” tanya Sun Xiao Hong ragu.

Mata Li Xun Huan menjadi kelam, sekelam malam tanpa bulan. “Bagaimana pun juga, aku harus pergi. Apa yang akan terjadi kemudian akan kuputuskan kemudian.”

“Tapi jika kau pergi, artinya kau langsung masuk ke dalam perangkap ShangGuan JinHong,” kata Sun Xiao Hong.

“Hmmm?”

“Tujuan ShangGuan JinHong adalah supaya kau pergi ke Puri Awan Riang. Waktu duel sudah ditetapkan, yaitu esok hari. Puri Awan Riang letaknya cukup jauh. Sekalipun kau dapat pergi ke sana dan pulang kembali sebelum waktu berduel, kau akan sangat kelelahan, sedangkan dia pasti sudah cukup beristirahat dan menghimpun tenaganya.”

Kata Li Xun Huan datar, “Ada hal-hal yang kau tahu seharusnya tidak kau lakukan, tapi tetap saja kau lakukan.”

“Tapi jika kau pergi, itu sama saja dengan menyerahkan nyawamu kepadanya dengan cumacuma. Apakah dia betul-betul sangat berharga bagimu? Lebih berharga daripada nyawamu sendiri?” tanya Sun Xiao Hong menusuk.

Li Xun Huan terdiam sejenak. Lalu ia mengangkat kepalanya dan memandang lurus pada Sun Xiao Hong.

Mata Sun Xiao Hong sudah basah oleh air mata. Ia segera memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Li Xun Huan.

Kata Li Xun Huan, “Aku hanya berharap kau mengerti hatiku. Jika kau ada pada posisiku, kau pasti akan berbuat sama. Dan jika kau berada dalam posisinya, aku pun pasti berbuat yang sama bagimu.”

Sun Xiao Hong tidak bergeming, seakan-akan ia tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Li Xun Huan.

Namun air matanya mengalir semakin deras.

Ketika seorang wanita mencintai seorang laki-laki, ia ingin menjadi wanita satu-satunya dalam hidup sang pria. Ia tidak ingin siapapun juga berada dalam dunia mereka.

Tapi apapun yang terjadi, Lin Shi Yin sudah berada dalam hati Li Xun Huan sejak lama.

Sun Xiao Hong berdiri di situ tidak bergerak. Apakah perasaannya sekarang? Manis? Kecut? Atau pahit?

Tuan Sun menghela nafas panjang dan berkata, “Ada yang harus dilakukannya. Biarkanlah dia pergi.”

Sun Xiao Hong mengangguk perlahan dan tersenyum. Senyum yang pahit, tapi paling tidak ia masih bisa tersenyum.

Dengan mata basah ia tersenyum dan berkata, “Tiba-tiba saja aku merasa sangat bodoh. Ia sudah mengenal wanita itu jauh sebelum ia mengenalku. Bahkan mereka sudah mengukir sejarah jauh sebelum aku ada dalam hidupnya. Jika ada orang yang boleh merasa kesal, dialah lebih berhak merasa kesal daripada aku.”

“Jika seseorang dapat mengakui bahwa dirinya bodoh, itu menunjukkan bahwa ia telah menjadi pandai,” kata kakeknya sambil tertawa.

“Tapi ada sesuatu yang harus kulakukan juga,” kata Sun Xiao Hong.

“Apa itu?”

“Aku akan pergi bersamanya. Aku harus pergi bersamanya.”

“Itu tidak jadi soal, tapi…..” Tuan Sun berbicara sambil menoleh pada Li Xun Huan.

Li Xun Huan tersenyum dan berkata, “Dia bilang dia harus pergi, maka dia harus pergi.”

Kata Tuan Sun sambil tertawa, “Aku perlu waktu 60 tahun untuk belajar bahwa berdebat dengan wanita itu sia-sia saja. Kelihatannya kau belajar jauh lebih cepat.”

Li Xun Huan bangkit berdiri dan berkata, “Karena kita harus pergi, lebih baik kita pergi secepatnya. Kau…..”

“Jangan berasumsi bahwa semua wanita itu lamban dan plin plan. Banyak wanita yang tegas seperti pria. Kalau sudah bilang pergi, ya pergi,” kata Sun Xiao Hong.

Kata Tuan Sun, “Kalau kalian sudah tiba di sana, jangan lupa sekalian menengok Paman Kedua dan melihat keadaannya.”

“Pasti, Kek,” kata Sun Xiao Hong. Lalu ia melirik Li Xun Huan dan berkata, “Jika ia tidak ingin aku masuk bersamanya ke dalam Puri Awan Riang, aku akan menunggunya di tempat Paman Kedua.”

“Pendekar Kedua Sun sudah tinggal dekat Puri Awan Riang lebih dari dua belas tahun. Apakah kalian tahu sebabnya?” tanya Li Xun Huan.

Ia selalu menganggap hal ini sangatlah aneh.

Dua belas tahun yang lalu adalah saat ia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya untuk selama-lamanya. Pada saat yang hampir sama, Si Bungkuk Sun memutuskan untuk tinggal tepat di seberang Puri Awan Riang. Ia sudah begitu lama memikirkannya, tapi tetap ia tidak menemukan apa hubungannya.

Si Bungkuk Sun tidak punya hubungan apa-apa dengan Keluarga Li. Ia pun tidak ada hubungan dengan Long Xiao Yun. Lin Shi Yin sudah menjadi yatim piatu dari kecil dan hidup bersama keluarga Li sejak itu.

Lin Shi Yin adalah gadis yang sangat pendiam. Mungkin seumur hidupnya ia tidak pernah meninggalkan Puri itu, tidak mungkin ia punya hubungan dengan orang penting dalam dunia persilatan.

Jika Si Bungkuk Sun hanya melaksanakan perintah seseorang, siapakah yang menyuruhnya berjaga-jaga tepat di muka Puri Awan Riang?

Apa sebenarnya yang dijaga oleh Si Bungkuk Sun?

Mungkin hanya ada satu orang di muka bumi ini yang tahu jawaban semua pertanyaannya.
Orang itu adalah Tuan Sun.

Ia hanya bisa berharap bahwa Tuan Sun mau memberitahukan kepadanya rahasia ini.

Namun ia harus kecewa.

Tuan Sun meletakkan pipa di bibirnya dan mulai mengisapnya.

Sun Xiao Hong memandang sekejap pada kakeknya dan berkata, “Ada satu hal yang selalu kuanggap aneh.”

Li Xun Huan memandang padanya dan menunggu ia melanjutkan perkataannya.

Lanjut Sun Xiao Hong, “Long Xiao Yun muda menebas putus tangannya sendiri di hadapan ShangGuan JinHong. Apakah kau mengetahuinya?”

Li Xun Huan mengangguk dan mendesah, “Ia memang anak yang agak aneh. Perbuatannya pun selalu sulit dimengerti.”

“Yang kuanggap aneh adalah bahwa ia bisa memotong tangannya sendiri.”

“Hah?”

“Pada saat itu, ShangGuan JinHong sudah hampir membunuh mereka. Maka ia bertindak lebih lebih dulu, supaya ShangGuan JinHong tidak jadi membunuh mereka. Dengan berbuat begitu, ia bukan saja menyelamatkan nyawanya sendiri, namun ia pun menjadi lebih terhormat karena ia berani mengorbankan diri demi menyelamatkan ayahnya.”

Sun Xiao Hong mengeluh dan menambahkan, “Ini menunjukkan kepandaian dan kecerdikannya. Tapi memang ia selalu pintar dan banyak akal. Aku tidak heran akan hal itu.”

“Lalu, apa yang membuatmu merasa heran?” tanya Li Xun Huan.

“Kau telah memusnahkan ilmu silatnya. Seharusnya, kekuatannya pasti lebih lemah daripada orang biasa. Setuju?”

Kata Li Xun Huan, “Aku sungguh tidak tahu apakah perbuatanku saat itu benar atau salah.”

Sun Xiao Hong tidak menggubrisnya. “Tulang manusia itu tebal dan keras. Hanya orang-orang dengan kekuatan pergelangan tangan yang sangat kuatlah yang dapat memotong putus tangannya sendiri dengan sekali tebasan. Kecuali yang digunakan adalah pedang yang sangat sangat tajam atau pedang mustika.”

“Apakah pedangnya seperti itu?”

“Sama sekali bukan!”

“Namun ia hanya menebas sekali dan tangannya langsung putus,” kata Li Xun Huan mulai tidak mengerti.

“Bahkan ia tidak kelihatan mengerahkan tenaga sedikitpun,” kata Sun Xiao Hong.

“Ternyata pandanganmu jauh lebih tajam daripada aku. Setelah mendengarkan penjelasanmu, akupun merasa ada kejanggalan.”

“Lagi pula, jika orang biasa baru tertebas tangannya, tidak mungkin mereka sanggup menahan sakit. Orang biasa pasti langsung pingsan,” kata Sun Xiao Hong.

“Betul sekali. Orang yang kuat sekalipun tidak akan mampu menahan sakitnya, kecuali mereka mempunyai dasar tenaga dalam yang sangat kuat,” kata Li Xun Huan.

“Tapi, Long Xiao Yun muda kan hanya seorang anak kecil yang lemah. Bagaimana mungkin ia dapat menahan rasa sakit tangannya tertebas?”

Li Xun Huan diam saja, namun matanya mengejap-ngejap, seakan-akan ia baru menemukan ide yang baru.

Kata Sun Xiao Hong lagi, “Bukan saja ia bisa menahan rasa sakit yang demikian hebat, ia masih sanggup berbicara, bahkan memungut tangannya yang putus itu. Bagaimana orang biasa sanggup melakukan hal seperti ini?”

“Apa kau pikir ia sudah memulihkan kembali ilmu silatnya? Penampilannya yang kelihatan lemah itu cuma pura-pura saja?” tanya Li Xun Huan.

“Aku tidak tahu,” jawab Sun Xiao Hong.

“Waktu aku memusnahkan ilmu silatnya, aku mengerahkan tenaga cukup banyak. Tidak mungkin ia bisa pulih, kecuali…..”

Ia memandang Sun Xiao Hong dan melanjutkan, “Kecuali kabar burung itu memang benar. Bahwa ada kitab ilmu silat yang sudah lama hilang yang tersembunyi dalam Puri Awan Riang dan Long Xiao Yun muda berhasil menemukannya.”

“Aku tidak tahu.”

“Apakah alasan Pendekar Kedua Sun berjaga di depan Puri Awan Riang lebih dari dua belas tahun ini ada hubungannya dengan kitab ilmu silat itu?”

“Aku tidak tahu,” kembali Sun Xiao Hong menjawab demikian.

Kata Tuan Sun, “Kalau kau ingin dia tahu, mengapa tidak kau ceritakan saja selengkapnya?”

Sun Xiao Hong memandang kakeknya dan berkata, “Aku takut diomeli.”

Tuan Sun tertawa dan berkata, “Satu-satunya cara membuat wanita menyimpan rahasia, adalah tidak memberitahukan rahasia itu kepada mereka.”

“Tapi aku kan tidak bilang apa-apa….”

“Caramu bahkan lebih baik lagi. Kau tidak perlu mengatakannya, tapi kau membuat aku harus mengatakannya,” kata Tuan Sun.

“Walaupun aku mengatakannya, aku kan cuma memberitahukan kepadanya. Dia kan bukan orang luar,” kata Sun Xiao Hong membela diri.

“Ya, dia bukan orang luar.”

Waktu Li Xun Huan mendengarnya, ia tidak tahu harus merasa apa.

Ia tahu bahwa ia sudah berhutang begitu banyak dalam hidupnya, sampai ia tidak tahu bagaimana harus membayarnya.

Ketika seorang wanita telah menganggap seorang pria bukan lagi orang luar, artinya ia telah menentukan pilihannya. Walaupun orang itu kemudian bertambah satu kakinya atau mukanya berubah menjadi kuda, ia tidak akan pernah bisa lolos lagi.

Nada suara Tuan Sun kini menjadi serius dan berkata, “Memang benar ada kitab ilmu silat yang tersembunyi dalam Puri Awan Riang. Itu bukan hanya kabar burung.”

“Punya siapa? Mengapa aku tidak pernah tahu?” tanya Li Xun Huan.

Tuan Sun menyalakan pipanya lagi dan meniupnya. Asap putih bergulung-gulung ke segala arah. Ia bertanya, “Apakah kau pernah mendengar tentang Wang LianHua?”

“Tentu saja. Semua orang di dunia pernah mendengarnya.”

“Awalnya, Wang LianHua adalah musuh bebuyutan dari pendekar besar Shen Lang. Baru belakangan mereka menjadi sahabat sehidup semati. Wang LianHua selalu merupakan tokoh antara baik dan jahat. Walaupun kadang-kadang jahat, ia tidak pernah betul-betul jahat.

Walaupun kadang-kadang licik dan rakus, ia bisa juga menjadi adil dan setia. Ia pernah menyakiti Shen Lang beberapa kali, namun Pendekar Shen selalu mengampuninya,” kata Tuan Sun.

[Kisah tentang Shen Lang dan Wang LianHua diceritakan dalam karya Gu Long yang lain, “Pendekar Baja”]

Kata Li Xun Huan, “Aku pun mendengar bahwa Wang LianHua akhirnya memutuskan untuk mundur dari dunia persilatan bersama dengan Shen Lang dan pergi ke sebuah pulau di lautan lepas. Kejadiannya sudah lama sekali.”

“Betul. Akhirnya Shen Lang berhasil membujuk Wang LianHua untuk berbalik ke jalan yang lurus.”

Ia mendesah, lalu melanjutkan, “Sangat mudah untuk membunuh seseorang, yang sulit adalah membuat orang berubah. Pendekar Shen memang adalah orang yang luar biasa. Jika kau dilahirkan beberapa tahun lebih awal, aku yakin kalian berdua pasti menjadi sahabat kental.”

Li Xun Huan tidak dapat menahan rasa kagum yang terpancar dari matanya terhadap Pendekar Shen Lang. Ia tidak menyadari bahwa di kemudian hari, keharuman namanya dan kisahnya pun, juga kekaguman generasi yang akan datang terhadap dirinya, tidak lebih kecil daripada Pendekar Shen Lang.

Kata Tuan Sun, “Shen Lang memiliki bakat yang luar biasa, namun Wang LianHua pun bukan orang biasa. Kalau ia biasa-biasa saja, bagaimana mungkin ia bisa menjadi musuh bebuyutan Pendekar Shen?”

Jika di antara dua manusia ada perbedaan besar dalam hal kepandaian dan bakat, mereka tetap bisa menjadi sahabat, namun mereka tidak mungkin menjadi musuh besar. Itulah sebabnya, hanya ShangGuan JinHonglah yang layak menjadi musuh bebuyutan Li Xun Huan.

Kata Li Xun Huan, “Katanya ia adalah orang yang paling berbakat yang pernah hidup dalam dunia persilatan. Bukan hanya dalam hal ilmu silat namun juga dalam ilmu pengetahuan. Pengetahuannya dalam berbagai bidang sangat luas dan dalam, tidak ada tandingannya.”

“Betul sekali. Ia sangat mahir dalam ilmu astrologi dan ramalan, musik, catur, sastra, juga kesenian. Ia pun ahli dalam bidang kedokteran dan juga penyamaran. Belum tentu sepuluh orang dapat mempelajari semua pengetahuannya, namun ia seorang diri mampu mendalami seluruhnya.”

Lanjut Tuan Sun lagi sambil mendesah, “Tapi karena minatnya terlalu luas, ia tidak mengkhususkan diri dalam ilmu silat. Kalau tidak, dengan kepandaian dan bakatnya, kurasa ia tidak akan dapat dikalahkan oleh Shen Lang.”

Tiba-tiba Li Xun Huan teringat akan Ah Fei.

Apakah bakat Ah Fei lebih besar daripada Wang LianHua? Namun ia hanya berkonsentrasi pada satu bidang, pedang. Oleh sebab itu, ilmu pedangnya menjadi sangat dalam dan dalam proses menuju pada tingkatan tidak terkalahkan.

‘Sangat disayangkan, orang berbakat selalu memilih untuk melakukan hal-hal yang bodoh’.

Li Xun Huan mendesah dan tidak ingin memikirkannya lagi.

Kata Tuan Sun lagi, “Setelah Wang LianHua bertobat, ia menyadari bahwa apa yang telah dipelajarinya ternyata bukan hanya terlalu campur aduk dan acak-acakan, tapi juga sangat kontemporer. Awalnya ia ingin membakar saja ‘Ensiklopedi LianHua’ yang telah disusunnya.”

“Ensiklopedi LianHua?” tanya Li Xun Huan.

“Isinya adalah seluruh pengetahuan yang dipelajarinya seumur hidupnya,” papar Tuan Sun.

“Mengapa ia ingin membakarnya?”

Bab 78. Pertempuran yang Mengerikan

Li Xun Huan merasa heran mengapa Wang LianHua ingin memusnahkan kitab yang merupakan hasil karya, jerih payah seumur hidupnya.

Tuan Sun menjelaskan, “Kitab itu bukan hanya berisikan teori-teori ilmu silat. Kitab itu juga berisikan ilmu tentang racun, cara mengubah wajah, memanggil dan menjinakkan serangga dari suku Miao, teknik hipnotis dari Persia….”

Ia mendesah dan melanjutkan, “Jika kitab seperti itu jatuh ke tangan yang salah, konsekuensinya sangat fatal.”

Kata Li Xun Huan, “Ya, sangat menyeramkan.”

Kata Tuan Sun, “Di lain pihak, kitab ini adalah darah dan keringat seumur hidupnya. Ia tidak sanggup memusnahkannya. Jadi sebelum ia mundur dari dunia persilatan, ia menitipkan kitab itu pada seseorang yang betul-betul dapat dipercayainya.”

Setelah mendengarnya, perlahan-lahan Li Xun Huan dapat merangkaikan kisah itu dalam benaknya dan menyimpulkan bahwa kitab ilmu silat yang tersembunyi dalam Puri Awan Riang adalah ‘Ensiklopedi LianHua’.

Namun masih ada beberapa hal yang tidak dapat ia mengerti. Contohnya, kepada siapakah Wang LianHua mempercayakan kitab itu?

“Ia mempercayakannya kepadamu!” kata Tuan Sun.

Li Xun Huan terperanjat. “Aku?”

Tuan Sun tertawa dan berkata, “Selain Li Tan Hua, siapa lagi dalam dunia ini yang lebih layak menerima kitab seperti itu?”

Lalu Tuan Sun melanjutkan, “Ia mempercayakan ‘Ensiklopedi LianHua’ kepadamu bukan hanya untuk kau jaga, namun ia ingin menyerahkannya kepada seorang murid yang berhati mulia, supaya ilmu warisannya dapat terus hidup dan berkembang.”

“Tapi aku sama sekali tidak tahu akan hal ini.”

“Karena pada saat yang sama, kau memutuskan untuk pergi.”

“Dua belas tahun yang lalu….betul. Saat itu aku harus pergi ke perbatasan dan pulang dengan luka parah. Jika bukan karena Long Xiao Yun menyelamatkan nyawaku, mungkin aku sudah…..”

Saat itu, ia merasa seperti tenggorokannya tersumbat sesuatu dan ia tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Ini adalah salah satu peristiwa dalam hidupnya yang tidak akan pernah dilupakannya.

Karena peristiwa itulah seluruh hidupnya berubah total….dari kebahagiaan menjadi kenestapaan!

“Walaupun Wang LianHua tidak berjumpa denganmu, ia bertemu dengan Nona Lin. Karena ia harus segera berangkat, ia tidak dapat menunggu lagi dan akhirnya ia terpaksa meninggalkan ‘Ensiklopedi LianHua’ pada Lin Shi Yin.”

Tidak ada yang lebih memahami hubungan antara pria dan wanita lebih baik daripada Wang LianHua. Ia bisa langsung tahu bahwa ada hubungan yang lebih jauh dari sekedar teman antara Lin Shi Yin dan Li Xun Huan.

Namun mengapa Lin Shi Yin tidak pernah menyampaikan hal ini kepadanya?

“Dari manakah Tetua mendengar kisah ini? Apakah sumbernya bisa dipercaya?” tanya Li Xun Huan.

“Sangat bisa dipercaya.”

Sun Xiao Hong tidak bisa menahan diri untuk diam saja. “Kami mendengarnya langsung dari Paman Kedua. Waktu Tuan Wang mengunjungi Puri Awan Riang dan bertemu dengan Nona Lin, pamanku menunggu di luar.”
Ia mengeluh lalu menambahkan, “Sejak hari itulah, paman kedua tidak pernah pergi dari tempat itu!”

“Apakah Wang LianHua menyuruhnya untuk mengawasi aku?” tanya Li Xun Huan.

Jawab Tuan Sun, “Karena Tuan Wang telah memilih engkau untuk memikul tanggung jawab yang berat itu, sudah pasti ia tidak meragukan engkau. Namun ia tidak merasa yakin dengan kemampuan ilmu silatmu saat itu. Ia kuatir, jika cerita itu sampai tersebar, orang-orang akan berlomba-lomba mencuri kitab itu. Oleh sebab itulah ia menyuruh Saudara Kedua untuk tinggal di sana, membantumu jika sewaktu-waktu engkau memerlukannya.”

Kata Sun Xiao Hong, “Dalam petualangannya di dunia persilatan, Paman Kedua pernah ditolong oleh Tuan Wang. Pamanku adalah orang yang selalu ingin membalas budi, jadi ketika Tuan Wang memintanya untuk melakukan hal ini, ia melakukannya dengan senang hati.”

Sambung Tuan Sun, “Namun kemudian, ia mengetahui bahwa Nona Lin tidak pernah memberikan kitab itu kepadamu. Dan karena engkau telah pindah ke perbatasan, ia menjadi sangat kuatir dan tidak berani pergi dari tempat itu.”

Kata Li Xun Huan, “Pendekar Kedua Sun memang seseorang yang sungguh memegang teguh janjinya. Ia menganggap permintaan seseorang sebagai urusan pribadinya. Hanya saja….”

Tambahnya, “Hanya saja, bagaimana dia tahu bahwa Nona Lin tidak pernah memberikan ‘Ensiklopedi LianHua’ kepadaku? Bahkan aku tidak tahu adanya kitab seperti itu.”

Tuan Sun mengisap pipanya sekali, lalu menjawab, “Kau saja tidak tahu, apalagi aku.”

Li Xun Huan tidak berbicara lagi.

Ia tidak bisa percaya bahwa Lin Shi Yin menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Sesuatu yang begitu penting.

Kata Tuan Sun, “Wang LianHua bukan hanya pandai membunuh orang, ia pun sering menolong orang. Metode penyembuhannya sungguh luar biasa. Bahkan ada yang bilang bahwa ia bisa membuat orang mati hidup kembali, menambahkan daging di atas tulang.”

Kata Sun Xiao Hong, “Dan Long Xiao Yun muda adalah putra Lin Shi Yin satu-satunya. Seorang ibu akan melakukan apapun juga demi anaknya. Itulah sebabnya mengapa aku kuatir ia….”

Ia tidak melanjutkan kalimatnya.

Li Xun Huan mengerti apa yang hendak dikatakannya…. Siapapun juga mengerti apa yang hendak dikatakannya.

Pasti Lin Shi Yin telah memberikan ‘Ensiklopedi LianHua’ pada putranya. Selama itu, ia telah menyembunyikannya dan menyimpan rapat-rapat rahasia itu.

Tapi mengapa ia tidak pernah mengatakannya kepada Li Xun Huan?

Saat pertama kali Li Xun Huan bertemu dengannya, ia adalah seorang gadis kecil.

Hari itu turun salju.

Bunga plum di halaman baru saja bermekaran. Salju yang terhampar di bawah pohon-pohon plum terlihat begitu putih dan bersih.

Saat itu Li Xun Huan sedang berada di bawah pohon plum, membuat orang-orangan salju. Ia sedang berjalan ke sana ke mari mencari potongan arang yang paling hitam untuk mata orang-orangan salju itu.

Itu adalah salah satu saat terindah dalam hidupnya.

Bukan karena ia suka membuat orang-orangan salju. Ia hanya membuat orang-orangan salju supaya ia bisa memberi mata pada orang-orangan salju itu. Gumpalan salju itu seolah-olah menjadi hidup. Dan ia begitu menikmati dan puas memandangnya.

Ia suka membuat sesuatu. Ia benci merusak.

Ia selalu cinta akan kehidupan.

Dan setelah itu, diam-diam ia akan meruntuhkan orang-orangan salju itu, karena ia tidak ingin orang lain mencuri kebahagiaannya. Pada saat itu, ia belum mengerti bahwa ada kebahagiaan yang tidak mungkin dapat direnggut oleh orang lain.

Di kemudian hari, ia baru menyadari bahwa kebahagiaan itu sama seperti sebuah kantong ajaib. Semakin banyak engkau memberi, semakin banyak engkau mendapatkannya.

Demikian pula halnya dengan penderitaan.

Jika kau ingin orang lain ikut merasakan kesulitanmu, penderitaanmu sendirilah yang akan semakin bertambah.

Wajah orang-orangan salju itu itu bundar.

Ia sedang berpikir-pikir, di mana hendak diletakkannya matanya. Tiba-tiba, ibunya yang sedang sakit parah, yang hampir tidak pernah bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke halaman menggandeng seorang gadis kecil berjubah merah.

Jubahnya merah terang, lebih cerah daripada bunga-bunga plum yang bermekaran di situ.

Namun wajah gadis kecil itu begitu pucat, lebih pucat dari salju yang putih.

Merah dan putih adalah warna kesukaannya. Putih melambangkan kesucian, merah melambangkan semangat.

Saat pertama ia memandang gadis itu, ia merasakan kasih sayang yang besar terhadapnya.
Rasanya ia ingin segera menghampirinya dan memegang tangannya erat-erat supaya ia tidak diterbangkan angin.

Kata ibunya, “Ini adalah putri bibimu. Bibimu harus pergi ke tempat yang sangat jauh, jadi mulai sekarang ia akan tinggal bersama-sama dengan kita.

Kau selalu bilang, kau ingin adik perempuan. Nah, ini aku sudah menemukannya untukmu. Kau harus selalu baik padanya, jangan membuatnya sedih.”
Namun seakan-akan ia tidak mendengar perkataan ibunya.

Karena gadis kecil itu telah berlari ke arahnya dan menatap orang-orangan salju buatannya.

Tanya gadis kecil itu, “Mengapa dia tidak punya mata?”

Tanyanya, “Kau ingin meletakkan matanya?”

Gadis itu mengangguk.

Ia memberikan dua potong arang itu kepadanya.

Inilah pertama kalinya ia membagi kebahagiaannya dengan orang lain.

Sejak saat itu, ia selalu membagi apapun yang dimilikinya dengan gadis itu. Ketika orang memberi biskuit padanya, ia selalu menyimpannya di kantongnya. Ketika ia bertemu dengan gadis itu, barulah ia membelahnya menjadi dua, dan makan bersama dengan dia.

Selama ia dapat melihat sorot mata bahagia di mata gadis itu, kebahagiaan itu tidak dapat digantikan dengan apapun juga di dunia ini.

Ia bersedia membagi hidupnya dengan gadis itu.

Gadis itu pun merasa demikian. Ia tahu. Ia percaya.

Saat mereka berpisah sekalipun, ia selalu merasa di hatinya yang terdalam bahwa ialah satu-satunya
yang dapat berbagi kesusahan, kegembiraan, rahasia, segala sesuatu dengan gadis itu.

Bahkan sampai sekarang pun ia masih mempercayainya…..

Gang yang sempit. Salju telah menimbun dari sehari sebelumnya.

Salju itu mulai mencair dan tanah menjadi lembab dan berlumpur. Ada bagian tanah yang kering dekat tembok, tapi Li Xun Huan sengaja berjalan di salju yang bercampur lumpur. Ia menikmati rasa sejuk saat kakinya masuk ke dalam lumpur yang lembut itu.

Entah mengapa, hal itu dapat menenangkan hatinya.

Dulu, ia benci lumpur. Lebih baik ia mengambil jalan memutar yang jauh daripada harus berjalan lewat lumpur.

Namun kini ia menyadari bahwa lumpur pun ada sisi baiknya. Ia menahan pijakan langkahmu, dan pada saat yang sama melindungi dan menyelimuti kakimu dengan kelembutannya.

Bukankah ada juga orang-orang di dunia ini yang seperti lumpur? Mereka terus menerus melapangkan dada dari rasa benci dan hinaan orang lain, tanpa pernah menyimpan dendam dan menuntut balas….

Jika tidak ada tanah dan lumpur dalam dunia ini, bagaimana biji-bijian bisa tumbuh? Bagaimana pohon yang tinggi besar bisa ada?

Mereka tidak pernah mendendam dan merasa benci karena mereka sadar sepenuhnya akan harga diri mereka.

Li Xun Huan menghela nafas panjang dan mengangkat kepalanya.

Temboknya tampak baru saja dibersihkan, namun papan nama di depan warung Si Bungkuk Sun sudah tua dan kusam.

Dari tempat ia berdiri, ia tidak bisa melihat siapa pun juga di dalam sana.

Hari belum gelap, sehingga lilin dan lentera pun belum dipasang.

Waktu hari mulai gelap, apakah lentera kecil di pondok kecil itu pun akan dinyalakan?

Benak Li Xun Huan berkelana, berpikir tentang hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya. Selama dua tahun ia selalu duduk di kursi di sudut sana menunggu dan memandangi lentera kecil itu.

Si Bungkuk Sun dengan setia menemaninya. Ia tidak pernah bicara, tidak pernah bertanya.

Sun Xiao Hong pun mendesah dan berkata, “Waktu makan malam belum tiba. Warungnya pasti masih sepi. Apa yang sedang dilakukan paman kedua sekarang ya? Apakah ia sedang sibuk membersihkan meja?”

Si Bungkuk Sun tidak sedang membersihkan meja.

Ia tidak akan pernah membersihkan meja-meja itu lagi!

Mereka melihat tangan di atas meja.

Tangan itu menggenggam lap meja. Menggenggamnya erat-erat.

Pintu tertutup rapat. Mereka menggedornya kuat-kuat, namun tidak ada jawaban. Mereka memanggil keras-keras, tapi tidak ada yang menyahut.

Sun Xiao Hong tampak lebih kuatir daripada Li Xun Huan. Ia mendobrak pintu dan melihat tangan itu.

Tangan itu telah terpotong di pergelangannya.
Sun Xiao Hong sangat terkejut dan segera menghampiri meja.
Itu adalah meja tempat Li Xun Huan selalu duduk dan minum arak selama dua tahun.
Wajah Li Xun Huan menjadi pucat. Ia mengenali tangan itu. Selama dua tahun, tangan itulah yang dengan setia menuangkan anggur ke cawannya, tidak terhitung berapa kali banyaknya.
Ketika ia mabuk, tangan itulah yang membimbing dia masuk ke kamarnya.
Ketika ia sakit, tangan itulah yang menyeduhkan obat untuknya.
Tapi sekarang, tangan itu telah berubah menjadi seonggok daging kering yang mati. Darahnya sudah membeku dan otot-ototnya kejang. Jari-jari yang memegang lap meja itu menggenggam begitu kuat seakan-akan berpegangan pada nyawanya.

Apakah ia sedang mengelap meja saat seseorang tiba-tiba menebas tangannya?
Meja itu terlihat bersih mengkilap.
Ketika ia mengelap meja itu, apakah ia teringat pada Li Xun Huan?


Tiba-tiba Li Xun Huan merasa sakit di dadanya seperti tertusuk sembilu.
Air mata Sun Xiao Hong sudah mengalir deras ke pipinya saat ia bertanya, “Apakah kau tahu tangan siapa ini?”

Li Xun Huan mengangguk perlahan.
“Di manakah dia….di manakah tubuhnya?” Suara Sun Xiao Hong terdengar gemetar.
Tiba-tiba ia berlari ke luar. Warung kecil itu kosong, kosong sama sekali.
Ketika ia masuk kembali, Li Xun Huan masih berdiri di samping meja itu. Pandangannya masih tetap tertuju pada tangan itu.

Empat jarinya tertekuk memegang lap itu. Satu jari menunjuk ke arah luar. Lurus bagai anak
panah, menunjuk ke arah jendela warung itu.
Jendela itu terbuka lebar.
Li Xun Huan menengadah dan memandang ke luar jendela.
Sun Xiao Hong mengikuti arah pandangannya dan memandang ke luar jendela juga. Tiba-tiba keduanya berlari ke sana dan melompat ke luar secara bersamaan.

Di luar, angin bertiup menembus sumsum. Air di selokan pun sudah membeku.

Di luar sana ada gang kecil yang tidak lebih besar daripada selokan itu. Mungkin juga sebenarnya
itu bukan gang, tapi hanya selokan kering.
Mereka menyusuri gang itu sampai ujungnya dan melihat ada sebuah pintu kecil. Mereka tidak

tahu rumah siapakah itu. Bahkan mungkin pintu kecil itu tidak pernah digunakan.
Itu hanyalah sebuah gang buntu.
Pintu itu tidak terkunci. Di pegangannya terlihat sebuah cap tangan berwarna merah. Tangan yang berlumuran darah.
Sun Xiao Hong segera berlari ke sana dan memeriksanya. Lalu ia menoleh ke arah Li Xun Huan.
Bibirnya sudah berdarah karena digigitnya begitu keras. Katanya, “ShangGuan JinHong sudah memperhitungkan bahwa kau akan datang ke sini.”
Mulut Li Xun Huan tetap terkatup.
Lanjut Sun Xiao Hong, “Ia tahu bahwa kau tidak akan langsung pergi ke Puri Awan Riang karena kau tidak ingin bertemu dengan Long Xiao Yun. Ia menduga pasti kau akan menemui paman kedua terlebih dahulu.”
Li Xun Huan tetap diam.
“Ini semua adalah jebakan yang sudah dipersiapkannya bagimu.”
Mulut Li Xun Huan masih terkancing.
“Jadi kau tidak boleh masuk ke sana.”
“Dan kau?” tanya Li Xun Huan tiba-tiba.
Sahut Sun Xiao Hong, “Bagiku tidak ada masalah. Bukan aku yang ingin dibunuh oleh ShangGuan
JinHong.”

“Jadi kau boleh masuk.”

“Tidak ada yang bisa menghalangi aku masuk,” kata Sun Xiao Hong tegas.

Li Xun Huan menghela nafas panjang dan berkata, “Sepertinya kau tidak memahami aku sebaik ShangGuan JinHong.”

“Oh?”

“Jika ia memang memasang perangkap untukku, ia tahu aku pasti akan masuk melalui pintu ini. Sekalipun ada orang yang menggergaji kedua kakiku, aku tetap akan merangkak masuk ke dalam sana!”
Sun Xiao Hong menatapnya. Air matanya yang hangat kembali membasahi wajahnya.
Ia menghampiri Li Xun Huan dan memeluknya. Kini air matanya membasahi wajah Li Xun Huan.

Ia menyeka wajah Li Xun Huan, seolah-olah ia sedang menggunakan air matanya untuk menghapus kelelahan Li Xun Huan. Karena memang hanya ada satu hal yang dapat menghapus kelelahan seorang laki-laki, yaitu air mata kekasihnya.

Lengan dan kaki Li Xun Huan yang tegang mulai mengendur. Akhirnya ia pun tidak dapat menahan diri dan membalas pelukan Sun Xiao Hong.

Keduanya saling berpelukan begitu erat.

Karena inilah kali pertama mereka saling berpelukan, tapi mungkin juga untuk yang terakhir kalinya!

Seakan-akan matahari pun tidak ingin menyinari gang kecil itu. Suasana terasa sangat suram dan keruh.

Di balik pintu, kegelapan lebih pekat lagi.

Ketika mereka mendorong pintu itu terbuka, tercium bau busuk yang sangat menusuk yang membuat mereka merasa ingin muntah.

Bau daging dan darah yang membusuk!

Lalu mereka mendengar suara-suara yang sangat aneh. Seperti seekor binatang yang sedang kesakitan menunggu ajalnya. Seperti hantu yang sedang menjerit-jerit minta dilepaskan dari siksaan neraka.

Tapi suara itu memang kedengaran dari bawah tanah!

Ada lebih dari dua puluh orang di bawah sana. Mereka mengertakkan gigi bagaikan binatang yang sedang bertempur hidup dan mati.

Tidak ada yang buka mulut. Diancam dengan pisau sekalipun, tidak ada yang berani buka suara.

Tadinya ada 26 orang. 9 sudah gugur. 17 orang yang tersisa dipisahkan menjadi dua. Kelompok yang lebih kuat jumlahnya lebih banyak daripada kelompok yang lebih lemah.

Mereka berjumlah 12 dan semuanya berpakaian kuning. Mereka semua mempunyai senjata yang tidak lazim, salah satunya bersenjatakan sipoa besi.

Kelompok yang lain awalnya berjumlah 9 orang, namun kini tinggal 5. Salah satunya buta.

Ada juga seseorang yang tinggi kekar berikat pinggang merah. Ia tidak bersenjata.

Tubuhnya adalah senjatanya!

Terlihat selarik sinar menyambar, sebuah golok penyisik ikan menyerang bahu kirinya. Seperti sebuah kampak memotong kayu. Golok yang tajam itu membelah dagingnya, namun tertahan oleh tulang bahunya!

Orang berbaju kuning itu berusaha keras menarik goloknya, namun orang tinggi kekar itu sudah menghantam dadanya dengan telapak tangannya. Terdengar suara gemeretak tulang-tulang yang patah.

‘Peng’. Tubuh itu sudah melayang dan jatuh berdebam.

Tapi orang tinggi kekar itu sudah tidak bisa lagi menggerakkan tangan kirinya. Tiba-tiba ia berseru, “Kalian semua pergi dulu, aku akan tinggal dan menahan mereka. Cepat!”

Tidak ada yang bergerak mundur. Tidak seorang pun menjawabnya juga.

Seseorang yang sudah rebah di tanah berusaha berdiri dan berkata dengan suara parau, “Kita tidak bisa mundur. Walaupun mati, kita harus membawanya bersama dengan kita!”

Mereka berada di terowongan bawah tanah. Di sana, lentera menyala sepanjang hari, sepanjang tahun.

Lentera itu dipasang di dinding. Dalam cahayanya yang remang-remang terlihat bahwa yang baru saja bicara adalah seorang wanita. Seorang wanita yang tinggi besar dan gemuk. Di wajahnya tampak bekas luka yang memanjang dari mata sampai ke sudut mulutnya.

Mata kanannya buta. Dengan mata kirinya ia sedang memandang orang tinggi kekar itu.

Tatapan itu penuh dengan dendam kesumat. Dendam kesumat yang tidak akan padam, sekalipun dalam kematian.

Si Wanita Tukang Jagal, Nyonya Weng!

Dan siapakah orang tinggi kekar itu? Mungkinkah ini adalah orang yang sudah bertahun-tahun tidak didengar kabarnya, Tie ChuanJia?

Saat ini, wanita itu sudah tidak mungkin bangun lagi.

Matanya masih terbuka lebar, masih menatap Tie ChuanJia.

Dia telah mati tanpa kesakitan, tanpa ketakutan sedikit pun.

Karena yang ada di benaknya hanyalah membalas dendam. Selain membalas dendam, ia tidak memikirkan dan tidak merasakan yang lain.

Tie ChuanJia mengatupkan giginya saat sebilah pedang kembali menusuk tubuhnya. Ia menghentakkan kakinya dan berkata, “Kalian benar-benar tidak mau pergi? Jika kalian semua mati, siapa yang akan membawaku pergi?”

Si buta tertawa dingin dan berkata, “Sekalipun kami semua mati, kami tetap akan membawa jiwamu pergi bersama dengan kami!”

Walaupun ilmu silatnya lebih tinggi daripada mereka yang tidak buta, ia tetaplah seorang buta. Ia bergantung sepenuhnya pada telinganya untuk mengetahui gerakan lawan dan menentukan posisi mereka.

Namun jika ada orang yang berbicara, telinganya tidak akan setajam biasanya. Sebelum dua kalimatnya selesai, sebuah kait harimau telah menyambar dan menoreh dadanya.

Kait itu dipuntir dan ditarik ke atas, sehingga daging dan darah menggantung di situ.

Tie ChuanJia hampir tidak tahan dan ingin muntah melihatnya.

Walaupun sudah sering membunuh, ia bukanlah orang yang kejam. Walaupun tubuhnya sangat keras, hatinya teramat lembut.

Namun kini tangannya pun sudah menjadi lembut. Ia tidak lagi mampu membunuh.

Tiba-tiba ia berteriak, “Lalu bagaimana jika aku mati di tanganmu?”

Si buta kembali tertawa dan berkata, “Kami tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi di sini. Kami hanya datang untuk mencarimu.”

Seorang lagi berkata dengan suara kasar, “Jika ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’ tidak bisa mencabut nyawamu dengan tangan kami, kematian kami akan sia-sia belaka!”

Wajah orang itu burikan dan ia menggunakan dua buah golok, satu pendek satu panjang. Ia adalah keturunan Sekte Utara Si Golok Yin Yang, GongSun Yu.

Tie ChuanJia pun tertawa. Dalam situasi seperti ini, mengapa seseorang malah tertawa?

Tapi itu adalah tawa yang membuat bulu kuduk orang berdiri. Lalu katanya, “Jadi kalian hanya ingin membunuhku dengan tangan kalian sendiri. Itu gampang saja…..”

Ia melayangkan tangannya ke belakang dan mendorong seseorang berpakaian kuning ke belakang. Lalu tiba-tiba ia berlari cepat, langsung ke arah golok GongSun Yu.

GongSun Yu terbelalak, tidak percaya apa yang terjadi, saat golok pendeknya menembus dada Tie ChuanJia!

Darah muncrat membasahi dadanya.

Raungannya terputus saat ia jatuh tersungkur ke tanah. Di punggungnya tertancap tombak berbunga sepanjang satu meter.

Rumbai berwarna merah yang menghiasi mata tombak itu masih terayun-ayun.

Tie ChuanJia pun jatuh tersungkur. Dari mulutnya terus-menerus terdengar gumaman.

“Semua hutangku kini sudah terbayar lunas, mengapa kalian belum pergi juga?”

Ia hanya memandang kosong saat sebuah tombak menusuk ke arahnya. Ia tidak berusaha menangkisnya, tidak berusaha mengelak.

Bab 79. Persahabatan yang Tulus dan Setia

GongSun Yu berteriak lagi saat ia berusaha merangkak mengangkat tubuhnya, “Kita pasti telah salah sangka. Ia pasti tidak…..”

Suaranya putus.

Sebatang tombak lagi menusuk punggung GongSun Yu!

Dan tombak itu pun dicabut. Dalam keremangan cahaya lentera di dinding sana, tampak kabut tipis menyelimuti terowongan itu.

Kabut tipis berwarna merah muda.

Kabut darah!

Awalnya ada 26 orang. Kini 16 orang sudah gugur.

Tapi pembantaian berdarah ini tampaknya belum selesai. Kini kelompok yang kuat dan kelompok yang lemah tampak makin besar perbedaannya.

Seorang penjual obat dengan enam luka di tubuhnya berkata dengan suara serak, “Tie ChuanJia sudah mati, mari kita pergi dari tempat ini!”

Hanya tinggal 3 orang yang hidup dari kelompok mereka. Dan mereka kini berada di pihak yang kalah. Tidak mungkin mereka bisa terus bertahan.

Seseorang dengan kapak di tangannya, Kapak Pembelah Gunung Hua, mengertakkan giginya dan berkata, “Kakak Kedua, apakah kita harus mundur?”

Si buta menjawab, “Mundur? ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’ lebih baik mati daripada mundur. Siapa yang mengatakan kata ‘mundur’ sekali lagi akan kubunuh sekarang juga!”

Salah seorang yang berpakaian kuning tertawa dan berkata, “Bagus! Kalian memang punya nyali! Maka hari ini, biarlah kami yang melaksanakan impian kematian…..”

Suaranya tiba-tiba terputus. Matanya melotot seperti mata ikan mati.

Kematiannya tiba-tiba dan hampir tanpa suara. Hanya terdengar bunyi ‘Gaak’ ‘Gaak’ yang lemah dari tenggorokannya.

Nafasnya belum putus, namun ia sudah tidak bisa lagi melanjutkan perkataannya. Ia mencoba sekuat tenaga, namun tiada sepatah katapun yang bisa keluar. Karena di lehernya terlihat ada sebilah pisau menancap.

Pisau sepanjang 15 cm.

Pisau Terbang Li Kecil!

Tiba-tiba semua gerakan berhenti. Mata semua orang tertuju pada pisau itu.

Tidak ada yang tahu dari mana datangnya pisau itu, tapi semua orang tahu siapa yang sudah tiba.

Setiap orang di terowongan bawah tanah itu ternganga mulutnya.

Li Xun Huan berdiri tepat di hadapan mereka semua.

Tapi tidak seorang pun berani menoleh memandangnya. Mereka kuatir, saat mereka menoleh, pisau pencabut nyawa itu tiba-tiba bersarang di leher mereka.

Mereka semua adalah anggota papan atas yang setia dalam Partai Uang Emas. Tidak seorang pun pengecut dan takut mati. Namun saat ini, mereka semua sudah lemah dan kehabisan tenaga. Mereka sudah melihat terlalu banyak kematian, terlalu banyak darah yang tertumpah.

Hal ini telah banyak melunturkan semangat mereka. Lagi pula, ‘Pisau Terbang Li Kecil’ sudah terkenal di seluruh dunia. Ini bukan pisau biasa, pisau ini seakan-akan punya jiwa dan roh yang haus darah!

Empat kata itu kini terasa semakin erat hubungannya dengan arti kematian.

Atau mungkin baru sekarang mereka sungguh-sungguh mengerti arti kematian.

Mayat teman seperjuangan mereka masih tergeletak dekat kaki mereka.

Sedetik yang lalu ia masih merupakan manusia hidup yang bernafas.

Lalu pisau yang mengerikan itu telah mengubahnya menjadi tubuh yang kaku dan mati.

Hidupnya menjadi tidak berarti, bahkan sebelum ia menyadarinya.

Tidak ada yang lebih mengerikan daripada perubahan mendadak. Yang menakutkan bukanlah kematian itu, namun penantian akan kematian itu sendiri.

Tiba-tiba Si Buta bertanya, “Li Tan Hua?”

Walaupun ia tidak bisa melihat apapun juga dan tidak terdengar suara apapun juga, entah bagaimana ia bisa merasakan kehadiran Li Xun Huan. Ia bisa merasakan hawa membunuh yang begitu kental.

“Ya,” jawab Li Xun Huan.

Si Buta menghela nafas, lalu duduk bersila.

Jin FengBai dan Si Penebang Kayu mengikutinya dan duduk perlahan. Mereka duduk tepat di antara genangan darah yang mengalir dari tubuh GongSun Yu dan Tie ChuanJia. Dari sorot mata mereka, seakan-akan mereka sedang duduk di dunia yang lain.

Dalam dunia itu, tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi penderitaan.

Li Xun Huan berjalan perlahan ke kelompok orang berpakaian kuning itu.

Tangannya kosong. Tidak ada pisau di sana.

Namun seolah-olah pisau itu ada di matanya.

Ia menatap mereka dan bertanya, “Di mana orang yang mereka bawa?”

Orang-orang berbaju kuning itu menunduk memandangi kaki mereka.

Li Xun Huan mengeluh dan berkata perlahan, “Aku tidak ingin memaksa kalian, namun kuharap kalian pun tidak memaksaku juga.”

Salah satu dari mereka yang berdiri tepat di hadapannya, yang wajahnya sudah basah oleh keringat dingin dan yang tubuhnya sudah gemetar hebat, tiba-tiba bertanya, “Apakah kau bertanya mengenai Si Bungkuk Sun?”

“Ya.”

Orang itu tersenyum janggal lalu berseru, “Baik! Akan kubawa kau padanya. Ikuti aku!”

Senjatanya adalah kait kepala harimau. Setelah kalimatnya selesai, tangannya naik ke atas. Ujung kaitnya menembus lehernya sendiri.
Ia tidak bisa lagi menahan penantian yang mengerikan ini. Kematian adalah jalan keluar yang paling cepat.

Li Xun Huan menyaksikan tubuhnya berdebam jatuh ke tanah. Tangannya terkepal erat.
Si Bungkuk Sun sudah mati!
Kematian si kait kepala harimau itulah jawabannya.
Tapi bagaimana dengan Lin Shi Yin?
Tiba-tiba sinar ketakutan terpancar dari mata Li Xun Huan. Perlahan matanya terangkat dari tubuh yang mati itu.

Tiba-tiba ia mendengar suara Tie ChuanJia. Keringat dan darah sudah membasahi wajahnya dan menutupi matanya. Ia hampir-hampir tidak bisa melihat dan nafasnya tersengal-sengal. Katanya,

“Yi Min Tang, Saudara Kedua Yi…..”

Wajah Si Buta yang biasanya kaku seperti batu mulai bergerak-gerak. Ia mengatupkan giginya dan menjawab, “Aku di sini.”

“Apa….Apakah hutangku sudah terbayar lunas?”

“Hutangmu sudah terbayar lunas.”

“Ada satu hal lagi yang ingin kukatakan,” kata Tie ChuanJia.

“Katakan saja.”

“Walaupun aku sudah bersalah terhadap Saudara Weng, aku tidak pernah mengkhianatinya. Aku hanya….”

Yi Min Tang segera memotongnya dan berkata, “Kau tidak perlu bicara lagi, aku sudah mengerti.”

Ia benar-benar mengerti.

Seseorang yang mengkhianati sahabatnya tidak mungkin mau mengorbankan dirinya dalam situasi seperti tadi.

Bukan hanya Yi Min Tang yang mengerti. Jin FengBai dan Si Penebang Kayu pun mengerti betul.
Sayang sekali mereka terlambat menyadarinya.

Air mata mulai meleleh dari mata Yi Min Tang. Mata yang sudah buta bertahun-tahun lamanya. Li Xun Huan melihatnya. Melihatnya dengan jelas.

Itulah pertama kalinya ia menyadari bahwa orang buta pun dapat meneteskan air mata.

Air mata yang hangat pun telah mengalir dari matanya sendiri.

Air mata yang hangat itu jatuh ke atas wajah Tie ChuanJia yang mulai dingin. Ia berlutut dan menyeka keringat dan darah dari wajah Tie ChuanJia.

Akhirnya Tie ChuanJia membuka matanya dan segera setelah dilihatnya Li Xun Huan, ia berseru gembira, “Tuan Muda! Tuan Muda….kau benar-benar telah datang!”

Ia sungguh penuh dengan suka cita, ia berusaha bangun, namun terus-menerus roboh kembali.

Li Xun Huan berlutut di sampingnya dan berkata, “Aku sudah datang. Kita punya banyak waktu untuk bercakap-cakap nanti.”

Tie ChuanJia berusaha keras menggelengkan kepalanya dan tersenyum pedih. Katanya, “Kini aku bisa mati tanpa menyesal. Tidak ada lagi yang perlu kukatakan.”

Li Xun Huan tersenyum dengan mata penuh air mata, “Tapi masih banyak yang seharusnya kau katakan. Kau tidak pernah mengkhianati Saudara Weng. Mengapa tidak kau ceritakan seluruhnya? Mengapa kau menunda-nunda begitu lama?”

Sahut Tie ChuanJia, “Aku menundanya bukan demi diriku sendiri.”

“Lalu demi siapa?”

Tie ChuanJia kembali menggelengkan kepalanya.

Lengan dan kakinya mulai mengejang karena kesakitan, namun wajahnya tetap tenang dan damai. Bahkan seulas senyum gembira terkulum di sudut bibirnya.

Kematiannya sungguh penuh kedamaian.

Salah satu hal yang paling sulit dilakukan dalam hidup ini adalah mati dengan damai!

Li Xun Huan terus berlutut di sampingnya. Seluruh tubuhnya mati rasa.

Ia tahu demi siapa Tie ChuanJia mati.

Kemungkinan besar Tie ChuanJia tiba di Puri Awan Riang sebelum Li Xun Huan dan mengetahui rencana ShangGuan JinHong untuk menjebaknya, maka ia mengikuti rombongan orang berbaju kuning ini ke dalam terowongan bawah tanah. Jika Tie ChuanJia tahu bahwa ada kemungkinan Li Xun Huan berada dalam bahaya, tidak mungkin Tie ChuanJia hanya berpangku tangan. Kemana pun juga, ia akan pergi menolongnya.

Namun bagaimana ia bisa tahu rencana ShangGuan JinHong?

Dan apa sebenarnya rahasia antara dia dengan Weng TianJie, atau Saudara Weng itu? Yang sampai matipun tidak dibeberkannya?

“Apakah sebenarnya yang kau sembunyikan? Walaupun kau bisa mati tanpa penyesalan, bagaimana aku bisa hidup dengan tenang jika kau berakhir seperti ini?” kata Li Xun Huan dengan muram.

“Kurasa aku tahu apa yang disembunyikannya,” kata Jin FengBai tiba-tiba.

“Kau…..kau tahu?” tanya Li Xun Huan tidak percaya.

Wajah Jin FengBai selalu tampak kelam dan sedih. Namun kini warnanya hijau seperti sedang sakit.

Ia mengertakkan gigi dan berkata, “Persahabatan dan kesetiaan Kakak Weng sudah terkenal sangat luas. Kurasa kau pun pasti mengetahuinya.”

“Ya, aku tahu.”

“Selama itu adalah permintaan sahabatnya, ia tidak akan pernah menolak. Karena itu, pengeluarannya pun menjadi tidak sedikit. Namun ia tidak seperti engkau, ia tidak mempunyai ayah yang menjabat sebagai Menteri Kerajaan.”

Li Xun Huan tersenyum.

“Jadi ia selalu hidup dalam kemiskinan. Seseorang yang miskin, namun mempunyai banyak sahabat, tapi juga menginginkan penghormatan, harus memikirkan cara lain untuk membayar hutang-hutangnya,” kata Jin FengBai.

“Maksudmu…. Saudara Weng terlibat urusan yang tidak halal?” tanya Si Penebang Kayu terbelalak.

“Betul, aku secara tidak sengaja mendengarnya. Tapi aku tidak sanggup mengatakannya, karena aku tahu bahwa Saudara Weng melakukannya karena ia sangat terdesak kebutuhan,” kata Jin FengBai.

Lalu ia melanjutkan dengan lantang, “Lagi pula semua orang yang ditipu Saudara Weng memang pantas mendapat ganjaran! Walaupun ia memang menipu dan memanfaatkan orang, ia tidak pernah melakukan yang bertentangan dengan moral dan hati nuraninya.”

Tanya Yi Min Tang, “Lalu apa hubungan Tie ChuanJia dengan kasus ini?”

“Setelah ada banyak yang aneh, orang mulai curiga dan menyelidiki transaksi-transaksinya. Salah satu sahabat Tie ChuanJia adalah inspektur yang bertanggung jawab akan kasus ini. Mereka berdua sudah mencurigai Kakak Weng sejak lama, namun mereka tidak punya bukti.”

“Mungkin itulah sebabnya Tie ChuanJia pura-pura bersahabat dengan Kakak Weng, supaya ia dapat menyelidiki lebih jauh dan menemukan bukti-bukti yang kuat,” kata Si Penebang Kayu.

“Mungkin itulah yang terjadi.”

Jin FengBai melanjutkan, “Namun Tie ChuanJia tidak ingin mengungkapkannya karena Kakak Weng selalu baik padanya. Ia sudah menganggap Kakak Weng sebagai sahabatnya, dan ia tidak mungkin mengungkapkannya dan merusak reputasi Kakak Weng setelah ia meninggal. Oleh sebab itulah ia menanggung semua kesalahan dan tuduhan kita. Ia bukan melarikan diri demi dirinya sendiri.”

Tanya Yi Min Tang, “Lalu mengapa kau tidak pernah memberitahukannya kepada kita semua?”

“Aku….? Bagaimana aku dapat mengungkapkannya? Kakak Weng begitu murah hati dan baik kepadaku. Tie ChuanJia saja tidak mau mengatakannya, bagaimana mungkin aku tega melakukannya?”

“Bagus sekali! Kau memang sahabat sejati Kakak Weng!” kata Yi Min Tang.

Terlihat senyum dingin menghiasi wajahnya, namun seluruh tubuhnya bergetar hebat.

Kata Jin FengBai, “Aku tahu bahwa ini memang tidak adil bagi Tie ChuanJia, tapi aku tidak punya pilihan lain, aku sungguh-sungguh tidak punya pilihan lain…..”

Suaranya makin lirih saat ia berbicara, dan tiba-tiba diangkatnya sebatang golok. Golok yang sama yang telah mengambil nyawa Tie ChuanJia. Ia mengarahkannya pada tubuhnya sendiri dan menusuk dadanya, tepat di tempat golok itu menusuk dada Tie ChuanJia.

Walaupun ia mengerang kesakitan, di wajahnya terbayang senyuman yang sama dengan senyuman Tie ChuanJia. “Aku sudah berhutang begitu banyak kepadanya, namun sekarang, paling tidak hutang itu sudah kubayar lunas!”

Dan ia pun mati dengan tenang…..

Salah satu hal yang paling sulit dilakukan dalam hidup ini adalah mati dengan tenang.

Tiba-tiba Yi Min Tang tertawa seperti orang kesurupan. “Bagus sekali! Kau sudah berani untuk mengatakan kebenaran, juga berani untuk membayar hutang darah ini, kau sungguh-sungguh adalah sobat sejatiku! Paling tidak kita, ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’ tidak pernah sekalipun mempermalukan diri kita sendiri!”

Lama-kelamaan suara tawanya menjadi seperti tangisan yang memilukan.

Lalu Si Penebang kayu pun berlutut di hadapan tubuh Tie ChuanJia yang berlumuran darah, dan membungkuk sekali. Kemudian ia menoleh pada Yi Min Tang dan berkata, “Kakak Kedua, aku pergi duluan.”

Tawa Yi Min Tang pun terhenti mendadak dan sikapnya kembali menjadi dingin dan tenang. Sahutnya, “Baiklah.”

Kapaknya terangkat ke atas, darah tersembur ke tanah, ia pun mati. Bahkan lebih cepat, lebih tenang.

Jika Li Xun Huan tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak akan pernah percaya bahwa ada orang-orang yang sama sekali tidak takut akan kematian seperti mereka ini.

Yi Min Tang menoleh pada Li Xun Huan. Di wajahnya tidak tergambar emosi apapun. Katanya, “Aku masih belum pergi, karena masih ada yang harus kukatakan kepadamu.”

Li Xun Huan hanya bisa menganggukkan kepalanya.

“Mungkin sekarang kau sudah bisa menebak bahwa kami telah bersembunyi di sini sejak lama. Kami sudah mengira bahwa cepat atau lambat, Tie ChuanJia akan kembali ke sini. Oleh sebab itu, kami tahu banyak hal yang telah terjadi di sini.”

Lanjut Yi Min Tang perlahan-lahan, “Kami tahu akan rencana ShangGuan JinHong sejak awal. Long Xiao Yun pun mengetahuinya. Aku selalu merasa heran, mengapa kau mau berteman dengan orang semacam dia.”

Tentu saja Li Xun Huan tidak bisa menjawabnya.

“Tie ChuanJia mengetahui akan perangkap ini dari Long Xiao Yun. Ia sengaja membocorkan rahasia ini, karena ia ingin mengantarkan Tie ChuanJia ke dalam liang kuburnya. Tapi dia tidak menyangka bahwa kami mengikutinya kemari, karena kami tidak akan membiarkan dia mati di tangan orang lain.”

Lanjutnya lagi, “Namun tentang Nyonya… Nyonya Lin Shi Yin, ia sama sekali tidak berada dalam bahaya. Ia tidak berada di tangan ShangGuan JinHong. Jika kau mampir ke Puri Awan Riang, kau pasti akan menjumpainya di sana.”

Li Xun Huan merasakan kehangatan di dadanya. Apakah itu rasa terima kasih? Apakah itu rasa bahagia?

“Dan sekarang, segala permusuhan di antara kami telah selesai. Aku hanya bisa berharap bahwa kau sudi menguburkan kami bersama-sama. Dan jika ada yang bertanya tentang ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’, aku berharap kau bisa menjelaskan kepada mereka bahwa walaupun kami telah berbuat kesalahan dalam hidup kami, kami telah berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya dalam kematian kami,” kata Yi Min Tang.

Orang-orang berjubah kuning yang masih hidup diam-diam meloloskan diri keluar. Walaupun Li Xun Huan melihat mereka pergi, ia tidak merasa perlu untuk menghalangi mereka.

Ia pun tidak merasa perlu untuk menghalangi Yi Min Tang.

Karena ia tahu pasti, Yi Min Tang tidak mungkin bisa terus hidup.

Jikalau seseorang bisa mati dengan tenang, apa lagi yang diinginkannya?

Kematian tidak berarti apapun juga bagi mereka.

Kini, saat Li Xun Huan memandangi lantai yang penuh mayat, ia pun bergidik. Ia menyadari betapa brutal dan mengerikannya pembalasan dendam itu.

Namun sedalam apapun dendam mereka, kini semuanya telah selesai.

Perkataan Yi Min Tang sungguh tepat. Walaupun mereka melakukan kesalahan dalam hidup mereka, mereka telah mati dengan terhormat, dengan gagah, dengan hati nurani yang bersih.

Begitu sedikit orang dalam dunia ini yang dapat mati seperti mereka.

Lengan dan kaki Li Xun Huan terasa begitu dingin, sampai ia menggigil. Namun dalam dadanya, terasa api yang membara.

Ia menjatuhkan diri, berlutut dalam genangan darah mereka.

Darah ksatria sejati!

Ia berlutut dengan hati tenang. Ia sungguh lebih suka berada di sini, bersama dengan orang-

orang benar yang mati, daripada bersama dengan senyuman orang-orang licik yang hidup. ‘Pria sejati tidak lupa diri oleh kesukaan dalam hidup dan tidak terguncang oleh ketakutan dalam kematian’. Jika seseorang bisa mati tanpa penyesalan, apakah yang harus ditakuti dari kematian?

Tapi sungguh-sungguh teramat sulit untuk mati seperti itu!
Selama itu, Sun Xiao Hong sama sekali tidak menginjakkan kaki di tempat itu. Bukan karena ia takut, namun karena ia tidak tahan melihat adegan berdarah seperti itu. Ia baru menyadari, laki-laki memang berbeda dari wanita.
Ia baru menyadari bahwa menjadi wanita pun merupakan suatu anugerah.

***

Malam.
Dalam warung kecil itu ada setitik cahaya dan dua orang manusia.
Cahayanya guram, namun hati mereka lebih muram lagi…..
Lilin itu berada tepat di hadapan Li Xun Huan. Anggur pun ada di hadapan Li Xun Huan. Namun seakan-akan ia tidak bertenaga untuk mengangkat cawan itu. Yang bisa dilakukannya adalah menatap cawan itu saja dengan pandangan kosong.

Cahaya lilin menari dan berkelap-kelip.

Setelah sekian lama, akhirnya Li Xun Huan menghela nafas panjang dan berkata, “Mari kita pergi.”

“Ak….Aku ikut denganmu?” tanya Sun Xiao Hong ragu.

“Kita datang bersama. Tentu saja kita pulang bersama.”

“Pulang? Tapi, apakah kau tidak jadi berkunjung ke Puri Awan Riang?”

Li Xun Huan menggeleng.

“Tapi bukankah tujuan kedatangan kita ke sini adakah untuk mengunjungi Puri Awan Riang?”

Jawab Li Xun Huan, “Sekarang tidak perlu lagi.”

“Kenapa?”

Li Xun Huan menatap lurus pada lilin itu dan berkata, “Yi Min Tang telah mengatakan padaku bahwa dia tidak berada dalam bahaya. Itu sudah cukup bagiku.”

“Dan kau percaya begitu saja pada perkataannya?”

“Ia adalah tipe orang yang bisa dipercaya.”

Sun Xiao Hong mengejapkan matanya dan bertanya, “Tapi….bukankah kau ingin bertemu dengannya?”

Li Xun Huan terdiam. Lalu perlahan menjawab, “Berjumpa dengannya akan seperti tidak berjumpa. Karena ia tidak berada dalam bahaya, tidak ada gunanya aku pergi ke sana.”

“Tapi kau kan sudah sampai di sini. Tidak ada salahnya kau menjumpainya,” kata Sun Xiao Hong mendesak.

Kembali Li Xun Huan terdiam. Lalu tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Tiba-tiba aku merasa bahagia. Karena perasaanku sudah tenang, tidak ada bedanya aku berjumpa dengan dia atau tidak.”

Sun Xiao Hong mengeluh dan tersenyum. “Kau memang orang aneh. Orang lain tidak akan pernah mengerti apa yang kau lakukan.”

“Cepat atau lambat kau akan mengerti.”

Gadis itu menatap Li Xun Huan bengong. Lalu katanya, “Namun paling tidak kau harusmenguburkan mereka dengan sepantasnya.”

“Mereka bisa menunggu, ShangGuan JinHong tidak,” sahut Li Xun Huan

Lalu ia tersenyum pahit dan menambahkan, “Orang mati memang jauh lebih sabar daripada orang hidup.”

Bab 80. Kesalahan Fatal

“Ternyata kau tidak begitu setia kawan seperti yang kusangka. Paling tidak, kau lebih setia kawan pada yang hidup daripada yang mati,” ejek Sun Xiao Hong nakal.

Tiba-tiba Li Xun Huan bertanya, “Kemarin, kapan kita berangkat?”

“Malam hari, seperti sekarang ini.”

“Dan kapan kita tiba hari ini?” tanya Li Xun Huan.

“Hampir petang, hari belum lagi gelap.”

“Dan bagaimana kita bisa sampai ke sini?” tanya Li Xun Huan lagi.

“Kita naik kereta untuk beberapa saat, kemudian kita berjalan kaki sampai pagi tadi. Setelah itu kita naik kuda.”

“Jadi jika kita kembali dengan cara yang sama, kita tidak mungkin bisa sampai sebelum matahari
terbenam.”

“Betul,” jawab Sun Xiao Hong.

“Tapi sekarang, kita sudah terjaga begitu lama. Kekuatan kita tidak sebesar kemarin. Jadi kita tidak mungkin berjalan secepat kemarin.”

Sahut Sun Xiao Hong, “Dan lagi kemarin, hampir-hampir aku tidak bisa mengikutimu. Tidak heran kakek bilang bahwa kecepatanmu berjalan hampir sama dengan kecepatan pisaumu.”

“Jadi walaupun kita pergi sekarang, belum tentu aku bisa datang tepat waktu untuk duel dengan ShangGuan JinHong?”

Sun Xiao Hong terdiam.

Li Xun Huan mengangkat kepalanya dan memandang gadis itu. Katanya, “Seharusnya kau mendorong aku untuk segera kembali. Kau kan tahu, aku tidak bisa terlambat untuk duel itu.”

Sun Xiao Hong memalingkan wajahnya dan menggigit bibirnya. Seakan-akan ia sedang menghindari tatapan mata Li Xun Huan.

Kemudian ia berkata dengan lembut, “Aku ingin kau berjanji padaku.”

“Apa itu?”

“Kali ini, mari kita pulang dengan kereta. Jangan kita berjalan ataupun naik kuda.”

Kata Li Xun Huan, “Kau ingin aku beristirahat selama perjalanan.”

“Ya. Jika kau tidak beristirahat, kau akan kehabisan tenaga sebelum menghadapi ShangGuan JinHong. Kau tidak akan bisa berduel jika belum apa-apa kau sudah terpuruk ke lantai.”

Li Xun Huan tersenyum dan berkata, “Baiklah, aku menurutimu. Kita pulang dengan kereta.”

Seketika wajah Sun Xiao Hong berbinar karena gembira. “Kita bisa membawa anggur dalam kereta. Jika kau tidak bisa tidur, aku akan minum bersamamu sepanjang perjalanan.”

“Kalau aku mulai minum, lama-lama aku pasti akan tertidur,” sahut Li Xun Huan.

“Bagus. Selama kau bisa beristirahat dalam perjalanan, ShangGuan JinHong tidak akan mampu melawanmu.”

“Kau sungguh yakin akan diriku,” kata Li Xun Huan sambil tersenyum.

Gadis itu menatap Li Xun Huan lekat-lekat. Katanya, “Tentu saja aku yakin padamu. Kalau tidak mengapa aku….”

Wajahnya menjadi bersemu merah. Tiba-tiba ia berlari keluar dan berseru dengan riang, “Aku akan pergi mencari kereta. Kau siapkan araknya ya. Dan jika masih ada waktu, pergi dan temuilah dia. Aku berjanji, aku tidak akan cemburu.”

Kuncir rambutnya melambai-lambai saat ia berlari dan dalam hitungan detik, ia sudah tidak kelihatan lagi.

Li Xun Huan memandanginya sampai ia tidak terlihat lagi, baru ia bangkit berdiri dan berjalan keluar.

Ia menengadah. Di balik tembok itu, terlihat ruangan kecil di pojok atas.

Cahaya masih tampak bersinar dari kamar itu.

Namun bagaimana dengan orang di dalamnya?
Apakah ia sedang sibuk menjahit pakaian untuk putra kesayangannya?
Cinta seorang ibu akan anaknya bagaikan seutas benang yang tiada putusnya.
Namun masih belum dapat menandingi panjangnya kesepian. Tidak ada satupun di dunia ini yang dapat menandingi panjangnya kesepian hidup.

Bulan demi bulan, tahun demi tahun. Benang yang tidak habis terjahit. Kesepian yang tidak dapat disembuhkan.
Wanita itu telah mengubur hidupnya, dan ruang kecil itu adalah kuburannya. Seseorang……seorang wanita…..tanpa masa muda, tanpa cinta, tanpa suka cita. Untuk apa ia hidup?

‘Shi Yin, Shi Yin, kau telah menderita begitu banyak.’

Tiba-tiba Li Xun Huan membungkuk dan mulai terbatuk. Batuk darah!

Bagaimana mungkin ia tidak ingin menemuinya?

Walaupun tubuhnya masih berdiri di situ, hatinya telah melayang pergi ke ruang kecil itu.

Walaupun hatinya telah melayang ke kamar itu, tubuhnya masih berdiri tidak bergerak di luar.

Ia tidak berani pergi ke sana. Ia tidak sanggup. Walaupun mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa bertemu dengannya, ia masih tetap tidak sanggup….. Berjumpa dengannya sama seperti tidak berjumpa. Dan walaupun ia pergi menjumpainya, apakah yang bisa diperbuatnya?

Wanita itu bukan lagi miliknya. Ia sudah bersuami, mempunyai seorang anak, hidup dalam dunianya sendiri.

Ia sepenuhnya berada di dunianya sendiri, dunia yang lain.

Li Xun Huan menyeka darah dari bibirnya dan mencoba menelan kembali darah yang masih ada dalam mulutnya.
Bahkan darahnya pun terasa pahit, amat sangat pahit.
‘Shi Yin….Shi Yin, aku akan merasa puas selama kau hidup damai sejahtera. Apakah itu di surga atau di neraka, suatu hari nanti kita akan bertemu kembali.”

Namun, apakah Lin Shi Yin hidup damai sejahtera?

Di tengah hembusan angin malam yang dingin, Li Xun Huan terlihat lebih lemah daripada setangkai bunga seruni.

Li Xun Huan berdiri sendirian di tengah angin barat yang menderu. Apakah ia sedang berharap bahwa angin barat itu akan menerbangkan dirinya pergi?

Akhirnya, Sun Xiao Hong pun kembali. Ia memandang Li Xun Huan dan bertanya, “Kau….Kau tidak pergi menemuinya?”

Li Xun Huan menggelengkan kepalanya. “Kau berhasil menemukan kereta?”

“Kereta sudah menunggu di depan sana. Jika kau tidak ingin menemuinya, mari kita segera pergi.”

“Ayo, kita pergi!” jawab Li Xun Huan.

Kereta itu berguncang-guncang sepanjang perjalanan. Anggur pun bergoyang-goyang dalam cawannya.

Anggur yang cukup umur.

Kereta itu sepertinya berusia lebih tua daripada anggur itu. Dan kudanya lebih tua lagi.

Li Xun Huan menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata sambil tersenyum, “Jika kuda yang menarik kereta ini adalah Si Surai Merah milik Jenderal Guan, pasti kereta ini langsung menjadi barang antik. Hebat juga kau bisa menemukan kereta seperti ini.”

Sun Xiao Hong tidak bisa menyembunyikan tawanya. Ia mengangkat dagu sambil berkata, “Kau tidak puas atas persiapanku?”

“Tidak, tidak, aku sangat puas. Sangat sangat puas.”

Li Xun Huan memejamkan matanya dan menambahkan, “Saat aku masuk ke dalam kereta ini, aku langsung teringat pada sesuatu di masa lalu.”

“O ya? Apa itu?”

“Aku teringat akan kuda kayu mainanku waktu aku masih kecil. Rasanya sama seperti terayunayun di atas kereta ini.”

Sebelum ia selesai bicara, ia merasa ada sesuatu yang dijejalkan ke dalam mulutnya.

“Habiskan kurma itu dan cepat tidur,” kata Sun Xiao Hong sambil tersenyum.

Sahut Li Xun Huan, “Seandainya aku bisa tertidur dan tidak bangun lagi, ah, sungguh menyenangkan. Sayangnya…..”

Sun Xiao Hong segera memotongnya dan berkata, “Aku bersusah-payah mendapatkan kereta ini supaya kau bisa beristirahat. Jika kau bisa tidur nyenyak, besok pagi kita bisa berganti kereta.”

Li Xun Huan menghabiskan cawan anggurnya dan berkata, “Kalau begitu, aku akan minum beberapa cawan lagi supaya aku bisa tidur nyenyak.”

Anggur di cawannya bergoyang-goyang. Kuncir Sun Xiao Hong pun terayun-ayun ke kiri ke kanan.

Matanya bercahaya dan teduh, seperti sinar bintang yang menerangi langit malam di luar sana.

Cahaya bintang tampak seperti mimpi.

Li Xun Huan mulai mabuk.

Di malam yang begitu indah, ditemani wanita yang begitu cantik, bagaimana mungkin ia tidak mabuk?
Karena ia sudah mabuk, bagaimana mungkin ia tidak jatuh terlelap?
Li Xun Huan bersandar pada salah satu sisi kereta dan mengangkat kakinya ke atas kursi kereta itu. Ia bergumam, “Orang bijak dan para pendekar selalu dihantui kesepian dan tidak punya sahabat kecuali guci anggurnya….. Namun ternyata, minum semalam suntuk pun sama menderitanya.”

Lalu semuanya hening. Hanya kesunyian yang tinggal.
Akhirnya ia jatuh terlelap.
Sun Xiao Hong memandangnya sampai lama. Lalu ia menjulurkan tangannya dan membelai rambutnya dengan lembut. “Tidur, tidurlah dengan tenang. Setelah kau bangun, segala kesedihan dan persoalan akan berlalu. Dan bila saatnya tiba, aku tidak akan membiarkanmu minum sebanyak ini lagi.”

Mata Sun Xiao Hong bersinar semakin terang, penuh dengan harapan dan suka cita.
Ia masih sangat muda.
Orang-orang muda selalu optimis menghadapi dunia ini. Mereka selalu beranggapan bahwa segala sesuatu akan terjadi sesuai dengan rencana mereka.
Ia belum mengerti bahwa dunia ini tidak berjalan seperti itu. Apa yang terjadi selalu saja jauh dari bayangan dan rencana kita. Jika saat itu ia tahu seberapa jauhnya kenyataan yang akan terjadi dari bayangannya, bajunya pasti sudah basah kuyup oleh air mata.
Kusir kereta pun sedang menghirup araknya dengan santai.
Ia tidak terburu-buru.
Karena si wanita muda penyewa keretanya telah memerintahkannya begitu!
‘Pelan-pelan saja di jalan. Kami tidak tergesa-gesa pergi.’

Sang kusir tersenyum sendiri. Jika ia sedang naik kereta bersama kekasih hatinya, ia pun tidak akan tergesa-gesa pergi.

Ia sungguh iri pada Li Xun Huan. Ia merasa, Li Xun Huan adalah orang yang sangat beruntung.

Namun jika ia tahu situasi macam apa yang sebenarnya sedang dihadapi oleh Li Xun Huan dan Sun Xiao Hong, mungkin ia tidak akan sanggup menelan anggur dalam cawannya.
Hari esok telah tiba.
Waktu Li Xun Huan bangun, cahaya matahari telah menerangi seluruh kereta dari jendela.

Ia tidak tahu berapa lama ia sudah tertidur. Apakah ia sungguh kelelahan? Apakah karena anggur?

Li Xun Huan memungut cawan anggur dan menciumnya, lalu diletakkannya kembali.

Kereta itu masih bergoyang-goyang ke kiri ke kanan selagi melaju di sepanjang jalan itu. Jalan kereta itu sangat lambat, bahkan kadang-kadang berhenti sejenak, seakan-akan kusirnya pun tertidur.

Sun Xiao Hong masih tidur di pangkuan Li Xun Huan.

Rambutnya yang panjang terurai di atas kaki Li Xun Huan bagaikan aliran air.

Li Xun Huan melongok ke luar jendela, namun ia tidak bisa melihat bayangan kereta itu.

Matahari tepat berada di atas.

Setelah beberapa lama, Li Xun Huan melihat batu penunjuk di sisi jalan. Pada batu itu terukir
nama desa yang akan mereka masuki.

Waktu perjanjian dengan ShangGuan JinHong tinggal sebentar lagi.

Namun ternyata mereka baru setengah perjalanan.

Dalam sekejap tangan Li Xun Huan menjadi dingin dan mulai gemetaran.

Ada kalanya ia merasa kuatir, sedih, gelisah. Ada kalanya pula ia merasa bahagia. Jarang sekali ia merasa marah.

Saat ini, ia belum marah betul, namun sudah dekat sekali.

Tiba-tiba Sun Xiao Hong terjaga dan merasa tubuh Li Xun Huan menggigil. Ia memandang wajah Li Xun Huan dan melihat ekspresi kemarahannya. Belum pernah ia melihat Li Xun Huan seperti itu.

Ia menundukkan kepalanya. Matanya langsung memerah dan ia bertanya, “Apakah kau marah padaku?”

Mulut Li Xun Huan terkatup. Terkatup erat.

“Aku tahu kau akan marah padaku, tapi aku akan tetap melakukannya. Aku tidak peduli apakah kau akan membentakku atau memukul aku. Tapi kau harus tahu bahwa aku melakukannya demi kebaikanmu,” kata Sun Xiao Hong.

Li Xun Huan mengeluh panjang. Seluruh tubuhnya yang tegang mulai mengendur. Hatinya pun mulai lumer.

Sun Xiao Hong melakukan semuanya demi dirinya.

Apa salah Sun Xiao Hong? Selama ia sungguh-sungguh menginginkan yang terbaik bagi Li Xun Huan, bagaimana mungkin ia menyalahkan gadis itu?

Kata Li Xun Huan, “Aku mengerti perasaanmu. Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, bisakah kau juga berusaha mengerti perasaanku?”

“Kau…..kau pikir aku tidak mengerti perasaanmu?”

“Jika kau sungguh mengerti perasaanku, kau akan tahu bahwa sekalipun kau berhasil mencegah aku bertemu dengan ShangGuan JinHong kali ini, bagaimana dengan nanti? Cepat atau lambat, aku harus berhadapan dengannya. Mungkin juga besok,” kata Li Xun Huan.

“Kalau besok, semuanya akan berbeda.”

“Apa yang akan berbeda besok?”

“Besok, ShangGuan JinHong sudah mati. Mungkin ia tidak akan melewati malam ini,” kata Sun Xiao Hong.

Caranya berbicara sungguh aneh, seakan-akan ia sudah tahu pasti apa yang akan terjadi.

Li Xun Huan tidak bisa menebak mengapa Sun Xiao Hong kedengaran begitu pasti. Ia berpikirpikir sejenak.

Kata Sun Xiao Hong, “Tidak akan ada yang menyalahkan kalau hari ini kau tidak hadir. Itu kan semua salah ShangGuan JinHong. Jika ia tidak memaksamu pergi ke Puri Awan Riang, kau tidak mungkin terlambat datang.”
Li Xun Huan masih berkutat dengan pikirannya. Wajahnya sedikit demi sedikit berubah.

Perasaan Sun Xiao Hong semakin ringan saat ia bersandar di lengan Li Xun Huan. Katanya, “Kalau ShangGuan JinHong sudah mati, tidak ada yang akan bilang bahwa…..”

Tiba-tiba Li Xun Huan memotongnya, “Apakah kakekmu yang menyuruhmu berbuat begini?”

Sun Xiao Hong mengedipkan matanya dan berkata sambil berkelakar, “Mungkin ya, mungkin tidak.”

“Apakah ia yang pergi menghadapi ShangGuan JinHong?” tanya Li Xun Huan.

“Betul sekali. Kau pasti tahu, ShangGuan JinHong melihat kakek sama seperti seekor tikus kecil melihat kucing. Kurasa, kakeklah satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menghadapi ShangGuan JinHong.”

Lalu Sun Xiao Hong meraih tangan Li Xun Huan dan hendak melanjutkan perkataannya. Namun akhirnya ia terdiam, karena ia merasa tangan Li Xun Huan begitu dingin seperti es.

Waktu hati manusia diliputi ketakutan, mengapa tangannya selalu dingin membeku?

Namun apakah yang ditakutinya?

Melihat ekspresi wajah Li Xun Huan, Sun Xiao Hong pun takut bertanya.

Akhirnya Li Xun Huan bertanya, “Apakah kakekmu sendiri yang ingin pergi, atau engkaukah yang memintanya pergi?”

“Apakah….Apakah itu ada bedanya?” tanya Sun Xiao Hong tergagap.

“Ya, sangat jauh perbedaannya.”

“Akulah yang meminta dia pergi. Karena untuk menghadapi orang seperti ShangGuan JinHong, tidak jadi masalah siapa yang membunuhnya. Tidak harus kau yang melakukannya.”

Li Xun Huan mengangguk, sepertinya ia pun setuju dengan pendapatnya. Namun ekspresi wajahnya tampak berbeda.

Ia bukan hanya kelihatan takut, tapi juga kelihatan sangat berduka.

Sun Xiao Hong tidak bisa menahan diri, tanyanya, “Apakah kau kuatir?”

Li Xun Huan tidak perlu menjawab. Wajahnya telah menjawab dengan jelas.

“Aku tidak mengerti apa yang kau kuatirkan…. Kau menguatirkan Kakek?” tanya Sun Xiao Hong.

Li Xun Huan mendesah dan menjawab dengan suara rendah, “Aku menguatirkan dirimu.”

“Menguatirkan diriku? Kenapa?” tanyanya tidak mengerti.

“Semua orang pasti pernah membuat kesalahan dalam hidupnya. Ada kesalahan yang bisa diperbaiki, tapi ada juga yang selamanya tidak dapat ditarik kembali.”
Kini dalam pandangan matanya, bukan hanya tampak duka namun juga kepedihan yang begitu
mendalam.

Ia menatap lurus pada gadis itu, lalu melanjutkan, “Jika kau membuat kesalahan yang tidak mungkin diperbaiki, apapun juga niatmu, kau harus menanggung beban itu selamanya seumur hidupmu. Walaupun orang lain sudah mengampunimu, kau tidak akan pernah bisa mengampuni dirimu sendiri. Suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan.”

Li Xun Huan sangat memahami perasaan ini.
Karena satu kesalahan yang diperbuatnya, ia harus membayar harga yang sangat mahal.
Sun Xiao Hong balik menatapnya dan tiba-tiba merasakan suatu firasat buruk. Tanyanya,

“Apakah kau kuatir aku akan melakukan suatu kesalahan?”

Setelah lama terdiam, Li Xun Huan balik bertanya, “Selama bertahun-tahun ini, apakah kau selalu bepergian dengan kakekmu?”

“Ya.”
“Apakah kau pernah melihat beliau bertempur?”

“Mmmm, rasanya tidak pernah….” Jawab Sun Xiao Hong.


Bab 81. Tragedi yang Tidak Terduga


Lalu dengan cepat Sun Xiao Hong menambahkan, “Tapi itu karena Kakek tidak punya kesempatan, tidak perlu bertempur.”

“Tidak pernah perlu?” tanya Li Xun Huan.

“Beliau tidak ada tandingannya.”

“Bagaimana dengan ShangGuan JinHong?”

“Dia…..”

Sun Xiao Hong tiba-tiba terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya. Apakah tiba-tiba ia terpikir akan sesuatu?

Kata Li Xun Huan, “Kakekmu pasti tidak setuju akan sepak terjang ShangGuan JinHong.”

“Ia…Ia sungguh jengkel dengan perbuatan ShangGuan JinHong,” sahut Sun Xiao Hong.

“Tapi beliau tidak pernah pergi menantangnya.”

Sun Xiao Hong menundukkan kepalanya. Sahutnya, “Tidak pernah…..”

“Mengapa beliau membiarkan ShangGuan JinHong membabi buta begitu lama? Dan mengapa ia baru mau menghadapi ShangGuan JinHong setelah kau memintanya?”

Mulut Sun Xiao Hong terasa kering. Ia pun kehilangan kata-kata.
Kata Li Xun Huan, “Waktu ilmu silat seseorang telah mencapai puncaknya, ia pasti akan mulai merasa takut. Takut orang lain bisa menandinginya, takut kalau setelah itu kemampuan mereka akan menurun. Dan bila saat itu tiba, ia akan menghindarinya dengan segala cara. Secara ekstrem, menghindar untuk melakukan apapun juga.”

Ia mendesah dan menambahkan, “Semakin ia tidak ingin bertindak, semakin cepat ia menjadi tidak bisa bertindak. Ada yang tiba-tiba memutuskan untuk mengasingkan diri, ada yang merusak diri sendiri – ingin segera mengakhiri segalanya dengan kematian…. Inilah yang biasanya terjadi sepanjang sejarah manusia. Kecuali jika orang itu bisa melangkah melewati dunia materi dan masuk ke tingkat di mana tidak ada lagi emosi manusia yang bermain. Menjadi tidak peduli lagi akan seluruh dunia dan umat manusia di dalamnya.”

Sun Xiao Hong merasa tubuhnya mengejang, dan keringat dingin mulai membasahi tengkuknya.
Karena ia tahu pasti bahwa kakeknya bukanlah orang yang ‘tidak berperasaan’.
Ia masih peduli akan banyak hal, akan banyak orang.
Kata Li Xun Huan lagi, “Mungkin aku salah…..”
Tiba-tiba Sun Xiao Hong menghambur ke arah Li Xun Huan dan memeluknya erat-erat.
Tubuh gadis itu menggigil luar biasa.

Ia ketakutan, sangat sangat ketakutan.
Li Xun Huan membelai rambutnya. Apakah itu rasa kasihan? Simpati? Kesedihan?
Seseorang yang tidak berperasaan tidak akan berbuat demikian.
Seseorang yang tidak berperasaan tidak akan membuat kesalahan.
Namun mengapa alam selalu memaksa mereka yang penuh cinta membuat kesalahan-kesalahan fatal?
Apakah salah menjadi seseorang yang penuh perasaan?
Pecahlah tangis Sun Xiao Hong dan ia mulai sesenggukan. “Tolong, tolong kembali segera bersamaku. Jika kita segera kembali…..apapun harganya…..aku bersedia melakukan apapun juga.”

Terdengar suara ringkik kuda dari jendela kereta. Kini mereka sedang berada di kandang kuda. Salah satu keahlian Li Xun Huan adalah memilih kuda yang baik. Banyak orang tahu bahwa Li Xun Huan bukan hanya ahli dalam hal wanita, tapi juga dalam hal kuda. Tidaklah mudah menjadi seorang ahli dalam dua bidang ini.

Kuda dan wanita. Dua-duanya sangat sulit dimengerti.
Ia segera memilih dua ekor kuda yang tercepat.
Wanita yang tercantik belum tentu yang terbaik. Kuda yang tercepat belum tentu yang terkuat.

Wanita cantik sering kali kurang tulus, kuda yang cepat sering kali kurang ketahanannya.
Dua ekor kuda terguling.
Dua orang berlari kesetanan.
Matahari sudah mulai tenggelam.
Kedua orang itu terus berlari sekuat tenaga. Mereka tidak peduli apa yang dipikirkan orang yang di sekitarnya. Mereka tidak peduli akan kelelahn tubuh mereka sendiri.
Mereka tidak peduli akan apapun juga.
Malam pun semakin dekat.
Tidak ada orang lagi di jalan.
Malam ini, bulan dan bintang entah pergi ke mana. Tidak ada setitik cahaya pun yang tampak.
Hutan yang gelap berada di samping jalan. Di luar hutan itu tampak siluet sebuah paviliun.
Bukankah ini tempat perjanjian duel?
Di tengah malam yang gelap itu, sepertinya ada secercah cahaya di kejauhan. Cahaya itu tampak semakin terang, dan sesosok manusia terlihat dari jauh.
Sun Xiao Hong mendesah lega dan seluruh tubuhnya yang tegang mulai rileks.
Sungguh merupakan suatu keajaiban ia bisa berlari begitu lama. Mungkin juga karena rasa takutlah yang menggerakkan kakinya.
Rasa takut memang bisa membangkitkan kekuatan manusia yang terpendam.
Namun kini, ia telah melihatnya. Ia telah melihat apa yang diharapkannya. Nafasnya yang tersengal-sengal langsung seolah-olah berhenti dan ia pun tersungkur ke tanah.
Li Xun Huan belum berani bernafas lega.
Ia melihat cahaya itu terombang-ambing dan ia melihat cahaya itu berkelap-kelip aneh. Kadangkadang sangat terang, kadang-kadang redup tiba-tiba.
Mendadak cahaya itu berkobar seperti lentera raksasa.
Pada suatu hari dulu, di luar sebuah kota yang lain, dalam paviliun yang lain, Li Xun Huan pernah melihat kelap-kelip lampu persis seperti ini.
Pada saat itu, Tuan Sunlah yang berada di paviliun itu sedang mengisap pipanya.
Selain Tuan Sun, Li Xun Huan belum pernah melihat orang lain bisa mengisap pipa seperti itu.
Li Xun Huan merasa air mata yang hangat membasahi bola matanya.
Sun Xiao Hong masih rebah di tanah, perlahan menangis sambil berusaha bangkit berdiri lagi.
Ini adalah air mata bahagia. Air mata penuh rasa terima kasih.
Tuhan belum mengijinkan ia membuat kesalahan fatal.
Li Xun Huan membantunya bangkit berdiri dan mereka berdua segera berjalan menuju paviliun itu.
Paviliun itu sudah penuh asap dan seseorang duduk tepat di tengahnya.
Wangi asap itu sudah sangat dikenal oleh Sun Xiao Hong.
Ia merasakan kehangatan dalam dadanya. Segera dilepaskan pegangan tangan Li Xun Huan dan dengan cepat ia berlari ke paviliun itu.

Ia hanya ingin segera memeluk kakeknya dan mengatakan padanya betapa ia sungguh berterima kasih.

Sebelum tiba pun ia sudah berseru-seru, “Kakek! Kami sudah sampai…..kami sudah sampai!”

Tiba-tiba cahaya di paviliun itu padam.

Lalu terdengar seseorang berkata dengan kaku, “Bagus. Aku memang menunggu kalian berdua!”

Suara itu dingin, tidak bersahabat, tegas. Tanpa nada, tanpa perasaan.

Langkah Sun Xiao Hong terhenti. Kehangatan yang baru dirasakannya langsung berubah menjadi kebekuan. Sangat dingin sampai ia tidak bisa bergerak lagi.
Suara itu seperti sebuah pentungan yang menghajar dia dari langit jatuh berdebam kembali ke bumi.
Lalu empat buah lentera menyala terang.
Empat lentera kuning yang tergantung di tongkat bambu.
Dibawah gemerlap cahaya keemasan itu, duduklah seseorang. Dingin seperti emas, anggun seperti emas, bahkan hatinya pun sepertinya terbuat dari bongkahan emas.
Ia sedang mengisap pipa.
Pipa yang diisapnya adalah pipa Tuan Sun.
Tapi orang itu adalah ShangGuan JinHong!
Orang yang sedang mengisap pipa di paviliun itu adalah ShangGuan JinHong!
Angin dingin bertiup kencang, hujan es mengguyur bumi.
Tidak ada yang menyadari kapan hujan mulai turun.
Sun Xiao Hong berdiri mematung dalam hujan. Seluruh tubuhnya mengejang, kaku sekujur tubuh.

Ia ingin berteriak, namun tidak bertenaga. Ia ingin menyeruduk masuk, namun tubuhnya tidak bisa bergerak.
Dadanya mulai sesak, ia ingin muntah.

Tapi bahkan setetes air mata pun tidak bisa keluar.

Li Xun Huan berjalan lebih lambat daripada Sun Xiao Hong. Kini ia terus berjalan menuju ke paviliun itu. Langkahnya tetap dan pasti.
Namun nafasnya telah berhenti.
Ia berjalan perlahan masuk ke paviliun itu dan berhadapan dengan ShangGuan JinHong.
ShangGuan JinHong tidak menoleh ke arahnya. Matanya masih terfokus pada pipa di tangannya.
“Kau terlambat.”
Setelah terdiam lama, Li Xun Huan menyahut, “Ya, aku terlambat.”
Mulut Li Xun Huan terasa kering. Pahit. Seolah-olah lidahnya sedang menjilati sebatang besi berkarat. Rasanya sangat sulit diutarakan.

Apakah ini rasa ketakutan?

Kata ShangGuan JinHong, “Lebih baik terlambat daripada tidak hadir.”

Kata Li Xun Huan, “Seharusnya kau tahu, cepat atau lambat aku pasti datang.”

Lalu ShangGuan JinHong berkata, “Sayangnya, orang yang seharusnya datang, datang terlambat. Dan orang yang tidak seharusnya datang, datang awal.”

Setelah perkataan itu, keduanya terdiam. Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang satu dengan yang lain. Tidak seorangpun bergerak sedikitpun.

Mereka berdua menunggu kesempatan.

Sekali mereka bergerak, tidak akan mungkin ditarik kembali!

***

Di tengah-tengah hujan dan angin, di tengah-tengah hutan yang gelap, ada dua orang lagi, dua pasang mata lagi.

Kedua pasang mata itu tertuju pada ShangGuan JinHong dan Li Xun Huan.

Sepasang mata yang tenang dan lembut, bagaikan air yang mengalir. Terang dan bercahaya, bagaikan bintang. Di seluruh dunia, sulit ditemukan sepasang mata seindah ini.

Sepasang mata yang satu lagi berwarna kelabu, seolah-olah menyatu dengan kegelapan malam yang tidak berjiwa. Di seluruh neraka pun, sulit ditemukan sepasang mata yang begitu mengerikan seperti ini.

Jika ada setan dan dedemit yang bersembunyi di hutan itu pun, mereka pasti sudah kabur sejak tadi.
Sepasang mata itu bisa membuat setan dan dedemit gemetar lututnya.
Lin Xian Er dan Jin Wu Ming telah berada di sana sebelum yang lain tiba. Mereka sudah bersembunyi di sana sejak lama.
Lin Xian Er berdiri di samping Jin Wu Ming dan berpegangan kuat-kuat pada lengannya.
Jin Wu Ming tidak bersuara dan tidak bergerak sedikitpun.
Bisik Lin Xian Er, “Jika kau ingin membunuhnya, ini adalah kesempatan yang paling baik. Tidak akan ada lagi kesempatan sebaik ini.”
Sahut Jin Wu Ming, “Saat ini ada orang lain yang sedang berusaha membunuhnya. Aku tidak perlu lagi menyerang.”

“Aku bukan menyuruhmu membunuh Li Xun Huan.”

“Lalu siapa?”

“ShangGuan JinHong. Bunuh ShangGuan JinHong!” pekik Lin Xian Er tertahan.

Tubuhnya gemetar sedikit saking gembiranya. Kuku-kukunya tertanam di kulit tangan Jin Wu Ming.

Jin Wu Ming tidak bergerak. Ia pun tidak merasa sakit sedikitpun.

Namun ada api yang berkobar di matanya. Seperti kobaran api neraka.
“Saat ini, ia sedang berkonsentrasi penuh pada Li Xun Huan. Ia tidak bisa menghadapi orang lain lagi. Lagi pula, ia tidak tahu sama sekali mengenai tangan kananmu. Kau pasti dapat membunuhnya,” kata Lin Xian Er.

Jin Wu Ming masih tidak bergeming.

“Kau kan tahu peraturan Partai Uang Emas. Kalau ShangGuan JinHong tidak ada lagi, kaulah yang akan menjadi ketua yang baru,” desak Lin Xian Er lagi.

Ia mulai menggerutu dengan suara pelan.

Suaranya sungguh tidak enak didengar. Seperti suara anjing yang akan melahirkan.
“Walaupun kau tidak menginginkan kedudukan itu, kau harus membalas perbuatannya dulu terhadapmu. Supaya waktu ia masuk ke neraka, ia akan menyesal telah memperlakukan engkau seperti itu,” Lin Xian Er terus membujuknya.

Mata Jin Wu Ming masih berkobar dengan api dari neraka. Dan kobaran api itu makin lama makin besar.

“Ayo, cepat. Kalau kau melewatkan kesempatan ini, kaulah yang akan menyesal, bukan dia.”

Akhirnya Jin Wu Ming mengangguk dan menjawab, “Baiklah, aku pergi!”

“Cepatlah, aku akan menunggumu di sini. Setelah kau berhasil, aku akan menjadi milikmu seorang untuk selama-lamanya.”

Kata Jin Wu Ming, “Kau tidak perlu menungguku.”

“Kenapa?”

“Karena kau akan ikut bersamaku!”

Tiba-tiba Lin Xian Er merasa ada sesuatu yang salah.

Setitik rasa takut terlihat dalam matanya yang indah. Jin Wu Ming mencekal pergelangan tangannya.

Lin Xian Er tidak suka menangis. Ia merasa wanita yang menangis adalah wanita yang lemah, wanita yang menjijikkan dan sangat bodoh.
Lagi pula, ia masih punya banyak cara untuk membuat laki-laki melakukan kehendaknya.
Namun saat ini ia sungguh merasa kesakitan dan air mata pun tidak dapat dibendungnya.

Ia serasa mendengar tulang-tulang tangannya gemeretuk. “Apa kesalahanku? Mengapa kau memperlakukan aku seperti ini?”

“Seumur hidupmu, kau telah membuat satu kesalahan besar,” kata Jin Wu Ming.

“Apa itu?”

“Kau tidak boleh menganggap semua orang mencintaimu seperti Ah Fei mencintaimu!”

***

Li Xun Huan berdiri membelakangi hutan itu.

Ia tidak melihat Lin Xian Er dan Jin Wu Ming, saat mereka keluar dari sana. Perhatiannya tercurah pada ShangGuan JinHong. Namun ia dapat melihat ekspresi aneh di wajah ShangGuan JinHong.

Tiba-tiba perhatian ShangGuan JinHong terpecah.

Tidak pernah ia memberi kesempatan pada lawan seperti ini. Dan sudah tentu ia tidak akan pernah lagi melakukannya.
Namun Li Xun Huan tidak menyerang. Pisaunya masih tetap berada di tangannya.
Karena ia dapat merasakan hawa membunuh yang mengerikan datang dari arah punggungnya.
Pisaunya tidak hanya disambitkan oleh tangannya, tapi oleh seluruh tubuh dan seluruh
keberadaannya. Jika ia menyambitkan pisau saat itu, ia tidak mungkin bisa melindungi diri dari serangan dari arah belakangnya.

Kakinya berputar dan bergeser tujuh kaki. Kini ia melihat Jin Wu Ming.

Jin Wu Ming berdiri tepat di belakangnya.

Lalu ia pun melihat Lin Xian Er. Ia belum pernah melihat Lin Xian Er kelihatan sangat tertekan seperti itu.

Hujan turun semakin lebat.
Mereka semua sudah basah kuyup.
Walaupun empat lentera tergantung di sudut-sudut paviliun itu, namun cahayanya redup karena malam gelap gulita.

Jin Wu Ming masih berdiri dalam kegelapan. Ia tampak seperti bayangan saja. Seolah-olah ia tidak betul-betul ada di sana.

Namun Li Xun Huan telah mengalihkan pandangannya. Dari ShangGuan JinHong pada Jin Wu Ming.

ShangGuan JinHong pun mengalihkan pandangannya. Dari Li Xun Huan pada Jin Wu Ming.

Karena mereka kini merasa bahwa kemenangan bukan lagi terletak di tangan mereka, namun di tangan Jin Wu Ming.

Jin Wu Ming mulai tertawa. Tertawa sangat keras.
Seumur hidupnya, belum pernah ia tertawa sekeras itu.
ShangGuan JinHong menghela nafas dan berkata, “Teruslah tertawa, karena kau memang berhak tertawa.”

Tanya Jin Wu Ming, “Mengapa engkau tidak tertawa?”

“Tawaku tidak bisa keluar.”

“Kenapa?”

“Kau tahu sebabnya,” jawab ShangGuan JinHong.

“Memang benar. Aku tahu sebabnya,” kata Jin Wu Ming.

Kini ia berhenti tertawa dan perlahan-lahan meluruskan tubuhnya. Katanya, “Karena kini, akulah yang bisa menentukan nasib kalian. Kalian berdua tidak akan berani menyerang aku.”

Ia memang benar. Tidak ada yang berani menyerang dia.

Jika saat itu ShangGuan JinHong menyerang Jin Wu Ming, itu berarti membiarkan dirinya terbuka bagi Li Xun Huan. Tidak mungkin ia mengambil resiko sebesar itu dan memberi kesempatan pada Li Xun Huan.

Hal yang sama juga berlaku bagi Li Xun Huan.
Kata Jin Wu Ming, “Aku dapat membantumu membunuh Li Xun Huan, atau aku dapat membantu Li Xun Huan membunuhmu.”

Sahut ShangGuan JinHong, “Kurasa memang demikian.”

“Benarkah? Bukankah bagimu aku hanya seorang cacad yang sudah tidak berguna lagi?”

“Setiap orang pasti pernah sekali-sekali salah menilai.”

“Bagaimana kau tahu kau telah salah? Mungkin aku memang hanya seorang cacad yang tidak bisa apa-apa lagi.”

Sahut ShangGuan JinHong, “Tangan kananmu lebih kuat daripada tangan kirimu.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Lin Xian Er bukan wanita lemah. Sulit bagi siapa saja untuk menahannya dengan satu tangan saja.”

Perlahan Jin Wu Ming menganggukkan kepalanya dan berkata, “Ternyata kau memang tahu. Sayang sekali kau tahu sedikit terlambat.”

Kata ShangGuan JinHong, “Aku tahu. Dan aku juga tahu bahwa aku telah membuat kesalahan.”
Tanya Jin Wu Ming, “Kau menyesal akan apa yang telah kau perbuat kepadaku?”
“Aku sangat menyesal. Seharusnya aku sudah membunuhmu saat itu!”
“Mengapa kau tidak membunuhku saat itu?”
“Aku tidak sanggup.”
Jin Wu Ming memandang ShangGuan JinHong dengan tatapan aneh, “Bahkan kau pun ada kalanya tidak sanggup membunuh?”

“Aku masih manusia.”

“Jadi sekarang kau pikir aku pun tidak akan membunuhmu?”

ShangGuan JinHong melirik Lin Xian Er, “Dia pasti menginginkan kau membunuhku.”

“Memang begitu.”

“Tapi jika kau memang ingin membunuhku, kau tidak akan membawanya ke sini bersamamu.”
Tiba-tiba tawa Lin Xian Er meledak.

Kini ia terjatuh ke tanah dan tertawa seperti orang kesurupan. Pemandangan yang sangat aneh. Kata Lin Xian Er, “Sudah tentu ia takut membunuhmu. Kalau kau mati, ia pun tidak akan bisa hidup. Kini aku baru mengerti bahwa ia hanya hidup demi dirimu. Ia datang ke sini karena ia menginginkanmu untuk menghargainya. Walaupun di mata orang lain, ia tidak berharga sepeser pun juga.”

Kata ShangGuan JinHong, “Kau tahu, ia dapat membunuhmu dengan sangat mudah?”

“Kau pikir ia sanggup membunuhku?.... Waktu kau ingin membunuhku, ia malah ingin menyelamatkan aku. Kau tahu kenapa?”

Jawab ShangGuan JinHong dingin, “Karena ia ingin membunuhmu di hadapanku.”

“Kau salah. Ia tidak ingin membunuhku di hadapanmu. Ia ingin kau membunuhku dengan tanganmu sendiri,,,,,”

Lin Xian Er tertawa lagi dan melanjutkan, “Waktu kau dan aku sedang bersama, ia menjadi gila karena cemburu. Saat itu, kupikir ia cemburu padamu, tapi sekarang baru aku tahu bahwa ia cemburu padaku. Ia membenci siapa saja yang kau sukai. Bahkan putramu sendiri, tidak terkecuali…. Kau tahu siapa membunuh anakmu, bukan?”

“Selama ia membunuh demi aku, aku tidak peduli siapa yang dibunuhnya,” sahut ShangGuan JinHong datar.

Senyum di bibir Lin Xian Er perlahan lenyap. Ia menghela nafas panjang dan berkata, “Aku selalu menganggap bahwa aku mengerti jalan pikiran laki-laki, tapi aku sungguh tidak mengerti pikiran kalian berdua. Aku sungguh tidak mengerti hubungan macam apa yang ada di antara kalian berdua.”

Lalu ia pun tersenyum dingin dan menambahkan, “Yang aku tahu, apapun juga itu, itu pasti sangatlah menjijikkan. Aku tidak peduli apa yang kalian ingin katakan. Aku tidak mau mendengarnya.”

Kata ShangGuan JinHong, “Yang kau tahu terlalu sedikit, yang kau katakan terlalu banyak.”

“Tapi apapun juga yang kukatakan, aku tidak mungkin dapat membujukmu untuk membunuh dia, bukan?”
“Tidak mungkin!”

Lalu Lin Xian Er menoleh pada Jin Wu Ming dan bertanya, “Dan aku pun tidak mungkin membujukmu untuk membunuh dia, bukan?”

“Benar,” jawab Jin Wu Ming.

Lin Xian Er mengeluh dan berkata, “Sepertinya aku sebentar lagi akan mati dalam tangan kalian. Pertanyaannya adalah, tangan siapa? Tanganmu? Atau tanganmu?”

Jin Wu Ming tidak menjawab.

Ia menggerakkan tangannya dan melemparkan Lin Xian Er ke dekat kaki ShangGuan JinHong.

Kali ini, Lin Xian Er tidak berusaha bangkit. Ia tidak bergerak sedikit pun. Ia hanya meringkuk seperti sebuah bola.

Tapi ia adalah seorang wanita.

Kau bisa menyuruhnya tidak bergerak dan tidak melawan, namun kau tidak mungkin menutup mulutnya.

Bab 82. Penghiburan dalam Keheningan

Jika kau pernah memperhatikan dengan seksama seorang wanita yang hampir mati, maka kau pasti tahu bahwa bagian tubuhnya yang menjadi kaku paling terakhir adalah lidahnya. Ini karena bagian tubuh yang paling sensitif dalam tubuh wanita adalah lidahnya.

Kata Lin Xian Er, “Seharusnya aku tahu kaulah yang akan membunuhku. Seluruh alasan mengapa ia membawaku ke sini adalah untuk menyaksikan engkau membunuhku dengan kedua tanganmu. Pada saat itu, barulah ia merasa puas.”

Tanya ShangGuan JinHong, “Dan apakah kau merasa puas bisa mati di tanganku?”

“Tergantung dari bagaimana kau akan membunuhku. Kuharap bukan kematian yang cepat. Dengan mati perlahan-lahan, barulah seseorang dapat menikmati rasa kematian yang sesungguhnya.”

Tiba-tiba Lin Xian Er mulai tertawa. “Kan hanya ada satu kesempatan untuk mati. Walaupun aku harus menanggung kesakitan yang luar biasa, itu pasti menyenangkan.”

Kata ShangGuan JinHong, “Dan jika kau mati perlahan-lahan, kau masih bisa mengoceh satu dua kalimat lagi. Bicara memang bisa mengurangi sedikit kesakitan dalam kematian. Juga bisa mengurangi kengeriannya.”

“Tidak mungkin kau membunuhku dengan cepat bukan? Aku tahu kau menikmati melihat orang mati perlahan-lahan dan menderita. Dan selama ini, aku telah memperlakukan engkau dengan cukup baik, bukan? Aku telah mempercayakan seluruh kekayaan yang kudapatkan dengan susah-payah kepadamu, dan membiarkan engkau menggunakannya dengan bebas. Waktu kau menyuruh orang membunuhku, itu sudah jelas bahwa kau sudah tidak menginginkan aku dalam hidupmu lagi.”

“Benar. Kini kau tidak berharga sepeser pun. Oleh sebab itu, aku tidak ingin membunuhmu dan mengotori tanganku.”

Ia menendang wanita itu ke arah Li Xun Huan.

Kali ini Lin Xian Er tidak bisa berkata apa-apa. Bajunya yang basah kuyup melekat erat pada tubuhnya.

Kemolekan lekuk tubuhnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Memang dia adalah wanita tercantik sejagad raya. Ia bukan saja sangat mempesona, ia pun sangat pandai.

Ia sebenarnya bisa menjadi orang besar.

Namun kini, kematian yang layak pun tak bisa didapatkannya.

Seharusnya ia bisa menjadi seperti malaikat yang hidup bahagia di antara awan-awan, namun kini ia hanyalah seperti seekor anjing yang terpuruk dalam lumpur.

Bagaimana bisa sampai seperti ini?

Apakah ini karena ia tidak tahu menghargai apa yang dimilikinya?

Hujan bertambah lebat lagi.

Li Xun Huan hanya memandangi Lin Xian Er yang merangkak dalam lumpur. Ia merasa sedih dan empati.

Bukan kepadanya, tapi pada Ah Fei.

Lin Xian Er membawa kemalangan ini pada dirinya sendiri, tapi Ah Fei?

Ah Fei tidak melakukan apa pun yang salah.

Walaupun ia memilih orang yang salah untuk dicintai, ia sama sekali tidak salah untuk jatuh cinta.

ShangGuan JinHong memandang Li Xun Huan dan berkata, “Aku tidak membunuhnya karena aku merasa kau punya lebih banyak alasan untuk membunuhnya daripada aku. Jadi kuserahkan dia padamu.”

Li Xun Huan terdiam sampai lama. Akhirnya ia mengeluh panjang dan berkata, “Lagi-lagi kau meremehkan aku.”

Hening sejenak, lalu ShangGuan JinHong mengangguk perlahan. Katanya, “Benar, aku sudah meremehkan engkau. Kau pun tidak akan membunuhnya.”

Lalu ia pun menambahkan, “Untuk membunuh, kau memerlukan niat membunuh. Seluruh niat membunuhmu harus terfokus padaku. Buat apa menyia-nyiakannya untuk orang seperti dia.”

Kata Li Xun Huan, “Untuk membunuh, harus membunuh orang yang tepat. Untuk membunuh, harus membunuh di tempat yang tepat.”

“Ada yang salah dengan tempat ini?” tanya ShangGuan JinHong.

“Tadinya sih tidak ada. Tapi sekarang ada.”

“Apa yang salah?”

“Terlalu banyak orang di sini.”

“Jin Wu Ming membuatmu merasa tidak nyaman?”

“Ya.”

Li Xun Huan tidak berusaha menutup-nutupi. Walaupun Jin Wu Ming tidak menyerangnya, ia tetap merupakan ancaman.

Karena pedangnya dapat keluar kapan saja. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sanggup melawan gabungan kekuatan mereka berdua.

ShangGuan JinHong menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku mengerti maksudmu. Namun sekarang ia sudah datang, tidak ada yang bisa menyuruhnya pergi, bukan?”

Bagian kalimatnya yang terakhir ditujukan pada Jin Wu Ming.

“Benar,” jawab Jin Wu Ming.

Walaupun ia berdiri cukup jauh dari ShangGuan JinHong, siapapun yang melihat pasti tahu bahwa mereka berdua tampak seperti satu kesatuan, satu kekuatan adi daya yang tidak bisa dibendung.

Li Xun Huan mendesah. Tiba-tiba ia teringat pada Ah Fei. Kalau saja Ah Fei ada di sini….

ShangGuan JinHong seolah-olah bisa membaca pikiran Li Xun Huan dengan tepat. Katanya, “Jika Ah Fei yang dulu ada di sini, mungkin kau masih punya kesempatan. Sungguh sayang…..ia sungguh mengecewakan.”

Sahut Li Xun Huan, “Aku tidak pernah kecewa padanya. Berapa kali pun manusia jatuh, ia pasti akan bisa bangkit kembali.”

“Kau sungguh percaya ia adalah orang semacam itu?”

“Tentu saja.”

Kata ShangGuan JinHong, “Sekalipun kau benar, pada saat ia bisa bangkit lagi, kaulah yang telah mencium tanah. Dan aku bisa menjamin, kali ini kau jatuh, kau tidak akan mungkin akan bangun lagi.”

Kata Li Xun Huan, “Sekarang…..”

ShangGuan JinHong menyelanya, “Sekarang kau tidak punya kesempatan sedikitpun.”

Tiba-tiba Li Xun Huan tertawa dan berkata, “Kalau begitu, paling tidak kau harus memberiku kesempatan untuk menentukan tempatnya. Orang yang hampir mati paling tidak boleh memilih tempat di mana ia akan mati.”

Sahut ShangGuan JinHong, “Kau salah. Orang yang akan membunuhlah yang punya kekuasaan. Orang yang akan dibunuh tidak punya hak apapun juga. Namun…..”

Ia menatap Li Xun Huan dan melanjutkan, “Namun kali ini aku membuat perkecualian bagimu. Kau bukan hanya sahabat baik, kaupun adalah musuhku yang berharga.”

“Terima kasih,” kata Li Xun Huan.

“Jadi di mana kau ingin mati?”

“Seseorang yang sudah menderita seumur hidupnya, pasti ingin mati dalam kenyamanan.”

Kata ShangGuan JinHong, “Mati itu tidak pernah nyaman.”

“Aku hanya ingin tempat yang tidak basah oleh air hujan, supaya aku bisa berganti pakaian. Aku tidak ingin mati basah kuyup di tempat kotor berlumpur seperti ini.”

Ia tersenyum dan menambahkan, “Sejujurnya, selain waktu sedang mandi, aku lebih suka tubuhku tetap kering.”

Kata ShangGuan JinHong, “Aku sudah sering mendengar bahwa kau sama sekali tidak takut mati, tapi aku tidak pernah percaya. Aku tidak percaya ada orang di dunia ini yang tidak takut mati. Namun sekarang…..aku bisa melihat bahwa yang kudengar itu benar adanya.”

“O ya?”

“Kalau orang masih bisa bicara seperti itu walaupun tahu sebentar lagi akan mati, itu sungguh menunjukkan bahwa baginya tidak ada lagi perbedaan antara hidup dan mati. Oleh sebab itulah aku merasa agak aneh.”

“Aneh?”

“Satu-satunya yang harus ditakuti selama kita hidup adalah kematian. Tapi jika pada kematian pun kau tidak takut, mengapa kau harus pilih-pilih apakah kau basah atau kering waktu mati?”

Ia memandang Li Xun Huan dan melanjutkan, “Oleh sebab itu, aku pikir kau pasti punya maksud-maksud lain meminta ini.”

Tanya Li Xun Huan, “Dan maksud apakah itu?”

“Mungkin ada orang yang akan berpikir bahwa kau hanya berusaha mengulur waktu. Karena untuk sebagian orang, pada saat mereka menghadapi kematian di depan mata, mereka akan terus berusaha dengan segala cara untuk menundanya, bahkan semenit saja. Mungkin mereka pikir akan ada semacam kesempatan atau seorang penyelamat akan datang, atau paling tidak mereka bisa hidup semenit lebih lama.”

“Dan kau pikir, itukah maksudku?”

“Tentu saja tidak. Aku tidak pernah meremehkanmu,” kata ShangGuan JinHong. “Kau tahu pasti bahwa tidak akan ada mujizat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menyelamatkanmu. Dan juga, aku tahu bahwa kau tidak takut mati.”
“Kalau begitu, menurutmu apakah maksudku?”

“Kurasa kau hanya mencari kesempatan agar mereka berdua bisa lolos. Kau tahu pasti bahwa aku tidak akan membunuh siapapun sebelum membunuhmu. Seseorang tidak akan makan roti banyak-banyak kalau tahu ada hidangan yang lezat yang akan datang.”

Kata Li Xun Huan, “Perumpamaan yang buruk.”

“Mungkin, tapi tidak meleset jauh.”

Li Xun Huan memaksakan diri untuk tersenyum. “Apakah kau peduli apakah kedua orang itu hidup atau mati?”

“Aku tidak peduli.”

Memang bukan urusannya.

Kalau pun mereka hidup, mereka bukan ancaman baginya.

Jika ia ingin mereka mati, ia bisa membunuh mereka kapan pun juga.

Li Xun Huan tidak sanggup melihat pada Sun Xiao Hong.

Tapi apapun yang akan terjadi, ia masih hidup saat ini. Ia masih bernafas.

Itu sudah cukup baginya.

Apalagi yang dapat diperbuatnya bagi gadis itu?

“Tapi aku sudah bilang bahwa aku akan membuat perkecualian bagimu, karena kau berbeda dari orang lain,” kata ShangGuan JinHong. “Kau sudah hidup begitu bersih, paling sedikit aku harus memastikan kau tidak mati secara kotor, seperti anjing liar mati dalam lumpur.”

Mati. Bagaimana ia akan mati? Di mana ia akan mati?
Ini semua tidaklah penting.
Yang terpenting adalah bahwa ia dapat mati dengan tenang.
Namun bagaimana dengan Sun Xiao Hong?

Selama itu, ia tidak sanggup memandangnya. Ia tidak berani.

Karena ia tidak bisa memecahkan konsentrasinya.

Namun kini ia harus pergi. Gadis itu pasti tahu bahwa mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa melihat Li Xun Huan. Ia bukan hanya akan pergi ke negeri asing, ia akan pergi meninggalkan dunia ini.

Bagaimana ia akan mengikuti Li Xun Huan kali ini?

Li Xun Huan kuatir ia akan memaksa pergi mengikuti dia dan mati bersama.

Kalau ia melakukannya, Li Xun Huan mungkin harus memukulnya sampai pingsan atau menutup jalan darahnya dan perlahan-lahan membujuknya untuk terus hidup tanpa dirinya.
Akan menjadi adegan yang sangat sedih dan menyayat hati.

Li Xun Huan sungguh berharap ia tidak harus melakukannya. Sun Xiao Hong sudah cukup mempunya beban yang berat yang harus dipikul dalam hatinya. Ditambah dengan beban yang lain, mungkin hatinya akan hancur berkeping-keping.

Walaupun ia adalah gadis yang berkemauan keras, hatinya agak lemah.

Sun Xiao Hong tidak melakukan apa yang dipikirkan Li Xun Huan. Ia bahkan tidak menghampirinya untuk mengucapkan selamat tinggal.

Apa alasannya?

Akhirnya Li Xun Huan tidak dapat menahan diri dan menoleh memandangnya.

Gadis itu tidak jatuh pingsan, tidak bergeser sedikit pun dari tempat dia berdiri dari semula.

Ia menatap Li Xun Huan lekat-lekat.

Walaupun wajahnya penuh dengan kepedihan, tatapan matanya masih tetap tenang dan teduh. Walaupun ia tidak mengatakan sepatah katapun, matanya seolah-olah berkata pada Li Xun Huan, ‘Kalau inilah yang harus kau perbuat, perbuatlah dengan konsentrasi penuh. Jangan biarkan diriku menghalangimu. Aku mengerti dan aku tidak akan menghalangimu. Aku percaya sepenuhnya kepadamu.’

Walaupun Li Xun Huan hanya memandangnya sekilas, beban yang berat dalam hati Li Xun Huan terangkat seketika.

Karena ia menyadari, betapa kuatnya gadis itu dan betapa ia tidak ingin Li Xun Huan menguatirkan dirinya. Tanpa Li Xun Huan harus membujuknya, ia pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk terus hidup.

Ia hanya ingin menjadi sumber penghiburan dan kekuatan bagi Li Xun Huan.

Li Xun Huan tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata, betapa ia berterima kasih pada Sun Xiao Hong. Karena hanya dialah yang mengerti betapa besar arti pengertian dan dukungan Sun Xiao Hong bagi dirinya saat itu.

Tiba-tiba ia menyadari betapa beruntungnya dia mengenal gadis itu.

Li Xun Huan sudah melangkah pergi. Langkahnya lebih mantap dan lebih tenang daripada waktu ia datang tadi.

Sun Xiao Hong hanya memandangi kepergiannya tanpa bicara. Setelah sekian lama, ia menoleh ke arah Lin Xian Er.

Lin Xian Er sedang berusaha keras untuk bangkit berdiri dari tanah yang berlumpur itu.

Ia berusaha sekuat tenaga untuk kelihatan anggun dan gagah, namun ia tahu bahwa usahanya itu sia-sia belaka. Karena itu, dalam hatinya ia merasa sangat kesal dan jengkel.
Sun Xiao Hong memandangnya tanpa perasaan di wajahnya.
Tanpa perasaan adalah salah satu cara untuk menunjukkan rasa muak.
Lin Xian Er tertawa dingin. Katanya, “Aku tahu bahwa saat itu kau memandang rendah padaku. Tapi kurasa, kau lebih buruk lagi daripada aku. Kau tahu sebabnya?”

Jawab Sun Xiao Hong, “Tidak tahu.”

“Ia telah membunuh kakekmu, dan sekarang ia akan membunuh Li Xun Huan. Tapi yang bisa kau perbuat hanya berdiri di sini seperti sebatang kayu kering.”

“Lalu apa yang harus kuperbuat?”

“Pertanyaan itu seharusnya ditujukan pada dirimu sendiri…. Jangan bilang bahwa kau tidak tahu apa yang kau rasakan dalam hatimu.”

“Aku tahu.”

Kata Lin Xian Er, “Jadi seharusnya kau merasa sedih, menyesal, berduka cita.”

“Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku tidak berduka? Waktu seseorang bersedih hati atau berduka cita, ia tidak harus menunjukkannya dengan kata-kata, namun dengan perbuatan,” jawab Sun Xiao Hong.

“Lalu dengan apakah kau tunjukkan perasaanmu? Dengan perbuatan seperti apa?”

“Apakah yang dapat kuperbuat sekarang?”

“Kau tahu bahwa Li Xun Huan sedang berjalan menuju pada kematiannya. Setidaknya kau berusaha mencegahnya….”

“Kau pikir aku bisa mencegahnya?” Sun Xiao Hong mendesah dan berkata, “Kalau aku melakukannya, pikirannya akan menjadi lebih kalut dan ia akan mati lebih cepat lagi.”


“Tapi kau…..kau tidak meneteskan setetes air mata pun.”

Sun Xiao Hong terdiam sejenak sebelum menyahut, “Aku memang ingin menangis sekarang, ingin membanjiri wajahku dengan air mata. Namun saatnya belum tiba.”

Tanya Lin Xian Er tidak mengerti, “Apa lagi yang kau tunggu?”

“Besok…..”

“Setelah esok tiba, akan ada esok hari lagi.”

“Karena selalu akan ada hari esok, selalu akan ada harapan baru,” kata Sun Xiao Hong.

Lalu perlahan ia melanjutkan, “Walaupun aku telah melakukan kesalahan, itu sudah berlalu dan aku harus hidup menanggung akibatnya. Walaupun aku ingin menangis meraung-raung, aku harus menunggu sampai besok. Karena ada yang harus kukerjakan hari ini!”

Hanya orang bodoh yang menangisi masa lalu.

Orang-orang yang gagah berani, mengakui kesalahan mereka, sehingga mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi masa kini. Bukannya menenggelamkan diri dalam kubangan air mata.

Air mata tidak dapat menghapuskan penghinaan, tidak dapat memperbaiki kesalahan di masa lampau. Jika seseorang ingin memperbaiki kesalahan yang ia perbuat, satu-satunya yang dapat diperbuatnya adalah menggali semangatnya dan memulai segala sesuatu lagi dari awal, mulai saat ini.

Lin Xian Er berdiri mematung.

Ia mengatakan segala sesuatunya hanya untuk membuat Sun Xiao Hong sedih. Karena ia tahu Sun Xiao Hong memandang rendah pada dirinya, ia pun ingin membuat Sun Xiao Hong memandang rendah pada dirinya sendiri.

Tapi ia telah gagal.

Sun Xiao Hong jauh lebih kuat dan jauh lebih gagah daripada perkiraan Lin Xian Er.

Bab 83. Cinta yang Dalam dan Luas

Setelah beberapa saat terdiam, Lin Xian Er mencibir dan bertanya, “Apa sih yang begitu penting yang harus kau kerjakan hari ini?”

“Kalau seorang wanita ingin mendukung kekasihnya, itu bukan berarti bahwa ia harus ikut serta dalam kematiannya, atau bahwa ia harus mati demi kekasihnya. Tapi ia harus memberikan penghiburan dan kelegaan kepada kekasihnya, supaya ia bisa melakukan apa yang harus dilakukannya dengan tenang. Ia harus membuat kekasihnya merasa dirinyalah yang terpenting dalam hidupnya, dan ia tidak merasa diabaikan,” kata Sun Xiao Hong.

“Itu saja?”

“Selain itu, apa lagi yang dapat kuperbuat baginya?”

Memang tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.

Itu saja sudah cukup.

Laki-laki yang beruntung memiliki wanita seperti ini akan merasa puas sepenuhnya.

Kata Sun Xiao Hong, “Aku tahu kau sedang berusaha membuatku merasa sedih, tapi aku tidak menyalahkanmu. Aku merasa kasihan padamu.”

“Kasihan padaku? Mengapa aku harus dikasihani?”

“Kau pikir kau masih muda, cantik, dan pandai. Kau pikir semua laki-laki di dunia ini akan bertekuk lutut di hadapanmu. Oleh sebab itu, pada saat kau bertemu dengan laki-laki yang sungguh-sungguh mencintai dan sayang padamu, kau tidak bisa menghargainya. Malah kau menggebahnya pergi dan menganggapnya seperti seorang tolol. Tapi suatu hari nanti kau akan menyadari bahwa orang yang sungguh-sungguh mencintaimu tidaklah banyak. Cinta sejati tidak dapat dibeli dengan kecantikan dan usia muda.”

Dengan lembut Sun Xiao Hong melanjutkan, “Dan bila saatnya tiba, kau akan menyadari bahwa kau tidak memiliki apapun juga. Bahwa hidupmu kosong dan tidak berarti. Saat seorang wanita berada pada posisi seperti itu dalam hidupnya, ia sungguh patut dikasihani.”

Tanya Lin Xian Er, “Kau….Kau pikir aku seperti itu?”

Suaranya bergetar. Seluruh tubuhnya pun bergetar. Apakah ia merasa kesal? Dingin? Atau takut?

Sun Xiao Hong tidak menjawabnya. Ia hanya memandang dingin pada wajah Lin Xian Er yang pucat dan gelisah, pada tubuhnya yang penuh lumpur. Jauh lebih buruk daripada jawaban apapun yang mungkin diberikannya.

Lin Xian Er tertawa tiba-tiba tiba-tiba. “Kau benar, aku memang meremehkan dia dan menganggapnya tidak lebih daripada seorang tolol yang dimabuk cinta. Tapi kalau sekarang aku pergi mencari dia, dia pasti akan merangkak kembali kepadaku.”

“Lalu mengapa tidak kau coba?” tantang Sun Xiao Hong.

“Tidak perlu kucoba. Aku sudah tahu hasilnya. Ia tidak mungkin dapat hidup tanpa diriku.”

Walaupun bibirnya berkata begitu, tubuhnya sudah berputar dan melangkah pergi.

Ia mengerahkan seluruh kekuatannya dan berlari sekuat tenaga, karena ia tahu bahwa inilah kesempatan terakhirnya. Jika kesempatan ini berlalu, berakhir sudah baginya. Sun Xiao Hong masih berdiri di situ sejenak sebelum memalingkan wajahnya.

Bumi telah tertutup oleh kekelaman yang tiada berujung. Dari balik rintik air hujan muncul sesosok bayangan manusia….

Tidak ada yang tahu kapan orang itu datang, tidak ada yang tahu sudah berapa lama ia berada di sana.

Yang pertama terlihat oleh Sun Xiao Hong adalah matanya. Mata seorang wanita.

Matanya tampak suram. Mungkin mata itu sudah begitu banyak mencucurkan air mata sehingga cahayanya sudah pudar. Namun kesedihan dan dukacita tanpa kata-kata yang terkandung di dalamnya dapat membawa laki-laki yang paling gagah sekalipun meneteskan air mata.

Lalu tampaklah wajahnya.

Bukan wajah yang luar biasa cantik.

Wajah itu sangat pucat, seakan-akan sudah begitu lama tidak kena sinar matahari.

Tapi entah mengapa, saat Sun Xiao Hong melihatnya, ia serasa sedang melihat wanita yang tercantik di seluruh bumi.

Rambutnya berantakan dan pakaiannya basah kuyup, seperti orang yang sedang putus asa.
Namun anehnya, jika orang yang melihatnya, mereka tidak akan menyangka demikian. Karena ia masih terlihat begitu muda, begitu anggun.

Apapun situasinya, ia dapat menyentuh perasaan orang lain dengan pribadinya yang unik dan kekuatannya yang luar biasa.

Sun Xiao Hong belum pernah melihat wanita ini sebelumnya, namun hanya dengan sekali pandang ia langsung tahu siapa dia.

Lin Shi Yin.

Hanya wanita seperti dialah yang dapat membuat orang seperti Li Xun Huan jatuh ke dalam jurang cinta begitu dalam.

Sun Xiao Hong menghela nafas panjang.

‘Mengapa semua orang menganggap Lin Xian Er adalah wanita tercantik di dunia? Wanita inilah yang seharusnya mendapatkan predikat itu. Apalagi pada masa mudanya. Bahkan saat ini pun, ia jauh lebih mempesona daripada Lin Xian Er.’

Mungkin karena malam yang hujan, atau mungkin karena ia adalah seorang wanita, tapi itulah pikirannya yang sejujurnya.

Selera wanita terhadap wanita memang berbeda dari selera pria.

Lin Shi Yin pun sedang menatapnya. Perlahan ia berjalan mendekat dan berkata, “Kau…..kau adalah Nona Sun, bukan?”

Sun Xiao Hong mengangguk dan berkata, “Aku tahu siapa engkau. Aku sering mendengar tentang dirimu dari dia.”

Lin Shi Yin tersenyum, senyum yang penuh derita.

Tentu saja ia tahu siapakah ‘dia’ yang disebut oleh Sun Xiao Hong.

Kata Sun Xiao Hong, “Jadi kau sudah berada di sini dari tadi.”

Lin Shi Yin menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku mendengar bahwa ia akan berduel di sini, maka aku datang untuk berbicara sedikit kepadanya. Tapi sudah lama aku tidak pergi keluar rumah dan aku tersesat dalam perjalanan.”

Ia tersenyum sedikit dan menambahkan, “Tapi tidak mengapa. Apa yang tadinya akan kukatakan kepadanya bisa kusampaikan kepadamu.”

Suaranya pelan dan lembut. Seakan-akan ia perlu berpikir sebelum mengucapkan setiap kata.

Tiap kata yang keluar dari mulutnya jelas dan kaku. Orang yang mendengarnya berbicara saat itu mungkin akan menganggap bahwa ia adalah wanita yang tidak berperasaan.

Namun Sun Xiao Hong sungguh memahami dirinya. Perkataannya terdengar dingin dan datar karena ia sudah begitu banyak menanggung kesedihan dan penderitaan dalam hidupnya.

Sun Xiao Hong merasa simpati yang begitu besar dalam hatinya terhadap wanita ini. Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Aku tahu bahwa ia ingin sekali bertemu denganmu. Dan kau pun sudah jauh-jauh datang ke sini, mengapa kau tidak mengikutinya untuk bertemu dengannya sekali lagi?”

“A….Aku tidak bisa.”

Awalnya memang ia ingin bertemu dengan Li Xun Huan. Tapi saat dia tiba, sudah ada orang yang berada di sampingnya. Ia tidak ingin menunjukkan diri karena ia kuatir akan perasaan yang akan timbul dalam hatinya.

Karena ia tahu pasti, jika ia bertemu dengan Li Xun Huan lagi, ia tidak akan dapat mengendalikan dirinya lagi.

Walaupun ia tidak mengatakannya, Sun Xiao Hong paham sepenuhnya.

Kata Sun Xiao Hong, “Sebelumnya aku tidak mengerti mengapa ada orang yang mau menuruti semua perkataan orang lain dan membiarkan orang lain menentukan nasibnya. Baru sekarang aku tahu bahwa ia bukan menuruti perkataan orang itu karena takut padanya, tapi karena mencintainya begitu rupa dan tahu bahwa apapun yang diperbuat orang itu adalah demi kebaikannya.”

Selama itu Lin Shi Yin berusaha keras menahan diri, tapi saat itu pertahanannya runtuh.

Air mata membanjiri wajahnya.

Karena setiap kata yang diucapkan Sun Xiao Hong terus menusuk ke dalam hatinya. Tiap kata bagaikan sebatang jarum yang menghunjam jauh ke dalam sanubarinya.

Ia pernah bertanya pada dirinya sendiri, ‘Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku merasa hampa, sama persis seperti Lin Xian Er. Tapi salah siapakah ini? Apakah akulah yang bersalah waktu dulu itu?’

Tadinya ia begitu geram pada Li Xun Huan, begitu benci padanya.

Hidupnya berakhir sedih dan tragis seperti ini, semuanya karena kesalahan Li Xun Huan!

Tapi baru sekarang ia menyadari bahwa yang salah bukanlah Li Xun Huan, tetapi dirinya sendiri.

‘Mengapa waktu itu aku mendengarkan perkataannya? Mengapa tak kukatakan dengan tegas kepadanya bahwa aku sungguh mencintainya dan aku tidak akan menikah dengan siapapun juga kecuali dia?’

Sun Xiao Hong berkata dengan lembut, “Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi di antara kalian berdua, tapi aku tahu bahwa…..”

Lin Shi Yin menyelanya tiba-tiba, “Tapi sekarang aku tahu. Sekarang, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa akulah yang salah.”

“Kenapa begitu?” seru Sun Xiao Hong.

“Karena…..jika aku berani berbuat seperti engkau, sekuat dan setegas engkau, aku tidak akan berakhir seperti ini.”

“Tapi kau…..”

Kembali Lin Shi Yin memotongnya, “Sekarang aku tahu bahwa aku tidak pantas menjadi istrinya. Hanya engkaulah yang pantas untuknya.”

Sun Xiao Hong menundukkan kepalanya. “Aku…..”

Lin Shi Yin tidak memberinya kesempatan berbicara. “Karena hanya kau yang bisa menghibur dan mendukungnya. Apapun yang dilakukannya, kepercayaanmu kepadanya tidak pernah berubah. Tapi aku…..”

Ia mendesah, dan setetes air mata bergulir ke pipinya.

Sun Xiao Hong terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Tapi di kemudian hari kau akan punya banyak kesempatan untuk bertemu dengannya. Apapun yang terjadi di masa lalu itu sudah lewat. Kini kalian berdua dapat….”

Lin Shi Yin memotongnya cepat, “Kau pikir ia masih punya kesempatan? Masih ada harapan?”

“Tentu saja masih ada!”

Sun Xiao Hong tersenyum dan berkata, “Mungkin semua orang beranggapan bahwa ia sudah kehilangan kepercayaan diri. Jika seseorang sudah kehilangan rasa percaya dirinya, apa lagi harapannya?”

“Betul sekali,” sahut Lin Shi Yin.

“Tapi aku tahu pasti bahwa ia bersikap demikian hanya untuk memancing agar ShangGuan JinHong menjadi lengah. Jika ShangGuan JinHong mulai meremehkan lawannya, ia pun akan menjadi kurang hati-hati.”

Mata Sun Xiao Hong berbinar dan menambahkan lagi, “Jika ShangGuan JinHong kurang hati-hati, Li Xun Huan pasti bisa mengalahkannya!”

Lin Shi Yin mendesah dan berkata, “Ia punya rasa percaya diri yang begitu besar karena kau begitu yakin pada dirinya. Dukungan dan semangatmu sangat berharga baginya. Aku rasa kau tidak menyadari seberapa pentingnya dirimu baginya.”

Sun Xiao Hong menundukkan kepalanya. “Aku menyadarinya.”

Ia tidak hanya yakin pada Li Xun Huan, ia pun yakin pada dirinya sendiri.

Lin Shi Yin memandang gadis itu dengan perasaan yang tidak terkatakan. Apakah itu iri hati? Cemburu? Atau kasihan pada dirinya sendiri? Atau mungkin, ia hanya merasa sangat berbahagia bagi Li Xun Huan.

Li Xun Huan telah berkubang dalam kesedihan lebih dari setengah masa hidupnya. Hatinya pasti merasa sangat lelah. Hanya orang seperti Sun Xiao Honglah yang dapat memberikan penghiburan kepadanya. Sekalipun ia bisa menang kali ini, akan tiba saatnya suatu hari nanti ia akan kalah.

Walaupun tidak ada orang yang dapat menjatuhkannya, ia pasti bisa menjatuhkan dirinya sendiri!

Lin Shi Yin kembali mendesah dan berkata, “Bahwa ia bisa berjumpa denganmu, itu adalah anugerah Tuhan, menggantikan seluruh penderitaan dalam hidupnya. Ia pantas untuk berbahagia, tapi…..”

Tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan Jin Wu Ming? Walaupun ia dapat mengalahkan ShangGuan JinHong, tidak mungkin ia dapat mengalahkan serangan gabungan mereka berdua.”

Sahut Sun Xiao Hong, “Mungkin Jin Wu Ming tidak akan menyerang sama sekali. ShangGuan JinHong sudah begitu yakin bahwa dia tidak mungkin kalah, sehingga ia tidak akan meminta bantuan Jin Wu Ming. Saat ia menyadarinya, sekalipun Jin Wu Ming ingin membantu, itu sudah sangat terlambat.”

Pemikirannya sungguh tepat. Ini adalah kesempatan Li Xun Huan satu-satunya.

Jika mereka ingin mengalahkan Li Xun Huan, ini juga satu-satunya kesempatan mereka – pisau terbangnya tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi siapapun juga.

Pertanyaannya adalah, siapakah yang dapat memanfaatkan kesempatan yang satu-satunya ini?

Kata Lin Shi Yin, “Jadi maksudmu, jika Jin Wu Ming tidak menyerang bersamaan dengan ShangGuan JinHong, Li Xun Huan masih punya kesempatan?”

“Benar.”

“Bagaimana kau bisa yakin bahwa Jin Wu Ming tidak akan menyerang?”

“Aku tidak bisa yakin,” jawab Sun Xiao Hong. “Namun aku yakin setelah dua jam, tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak.”

“Meskipun kau benar, bagaimana kita bisa tahu apa yang terjadi selama dua jam ini?” tanya Lin Shi Yin kuatir.

“Sesuatu akan terjadi.”

“Apa itu?”

“Ah Fei,” jawab Sun Xiao Hong singkat.

Walaupun Lin Shi Yin tidak mengatakan apa-apa, wajahnya menunjukkan kekecewaan.

Semua orang pasti merasa kecewa terhadap Ah Fei.

Kata Sun Xiao Hong, “Tidak seorang pun percaya padanya lagi, tapi itu hanya karena saat ini ia masih mengenakan belenggu yang berat pada tubuhnya.”

“Belenggu?”



“Ya, belenggu. Dan hanya ada satu orang yang dapat membebaskan dia dari belenggu itu.”

“Siapa?” tanya Lin Shi Yin penuh harap.

“Hanya pemukul genta yang dapat melepaskan ikatan genta.”

“Maksudmu…..Lin Xian Er?”

“Tepat sekali. Kalau ia bisa menyadari bahwa Lin Xian Er tidak pantas memperoleh cintanya, maka ia akan terbebas dari seluruh belenggu yang mengikatnya.”

Lin Shi Yin terdiam sejenak. Lalu ia berkata, “Mungkin kau benar. Namun ia telah jatuh begitu lama dan begitu dalam, bagaimana mungkin ia dapat bangkit kembali dalam waktu yang sangat singkat?”

Jawab Sun Xiao Hong, “Untuk alasan lain mungkin dia tidak akan bisa, namun untuk Li Xun Huan
ia pasti bisa.”

Lalu dengan perlahan ia menambahkan, “Untuk orang-orang yang sangat kita kasihi, kadangkadang kita bisa membuat hal-hal yang luar biasa.”

Lin Shi Yin menghela nafas panjang. “Jadi begitu….”

Kata Sun Xiao Hong, “Jadi sekarang aku harus pergi mencari Ah Fei dan memberitahukan padanya apa yang terjadi.”

“Tunggu…..ada lagi yang ingin kusampaikan padamu,” kata Lin Shi Yin tiba-tiba.

“Apa itu?”

“Sudah lama aku tidak pergi dunia luar, tapi aku tahu begitu banyak tentang apa yang terjadi. Apa kau tidak merasa heran?”

“Sama sekali tidak. Karena aku tahu kau memiliki putra yang sangat cerdas,” jawab Sun Xiao Hong sambil tersenyum.

Lin Shi Yin menundukkan kepalanya dan berkata, “Apapun yang terjadi, ia tetap adalah anakku. Tidak ada satupun dalam dunia ini yang kumiliki kecuali dia seorang….. Oleh sebab itu aku berharap kau dapat memberitahukan kepadanya, memintakan maaf kepadanya…..”

“Ia tidak pernah membenci siapapun juga. Kau seharusnya sudah tahu.”

Lin Shi Yin terdiam. Seolah-olah ada lagi yang ingin dikatakannya, namun ia tidak tahu bagaimana harus memulainya.

Tanya Sun Xiao Hong, “Apakah ini mengenai ‘Ensiklopedi LianHua’?”

Lin Shi Yin tampak terkejut. “Kau sudah tahu?”

Sun Xiao Hong tersenyum dan menyahut, “Aku juga sudah memberitahukan kepadanya. Paman Keduaku….”

“Benar. Waktu Tuan Wang datang, Tuan Sun juga ada bersamanya.”

“Jadi kitab itu memang ada padamu?”

“Ya. Tapi aku tidak pernah memberitahukan kepadanya selama ini.”

“Mengapa?”

Jawab Lin Shi Yin, “Karena pada saat itu aku merasa bahwa ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan baginya, malahan akan membahayakan dirinya. Semakin tinggi ilmu silat seseorang, akan semakin banyak persoalan yang timbul, jadi…..”

“Jadi kau tidak memberitahukan kepadanya karena kau ingin dia menjadi orang biasa, dengan kehidupan yang sederhana.”

“Itulah alasan utamanya. Tapi tidak seorang pun akan mempercayai aku…..”

“Aku percaya padamu,” kata Sun Xiao Hong.

Ia mendesah dan menambahkan, “Jika aku ada di tempatmu, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama.”

Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami perasaan wanita lain.

Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami bahwa seorang wanita sanggup berbuat apapun juga demi laki-laki yang dicintainya. Di mata orang lain, mungkin perbuatannya dianggap bodoh, namun di mata mereka, tidak ada alasan lain yang lebih penting daripada ini.

Kata Lin Shi Yin, “Namun sekarang aku menyesal. Seharusnya aku memberikan kitab itu kepadanya.”

“Kau menyimpannya demi kebaikannya sendiri,” kata Sun Xiao Hong.

“Tapi…..kalau ia sempat mempelajari isi ‘Ensiklopedi LianHua’, sekalipun ShangGuan JinHong dan Jin Wu Ming bersama-sama menyerang dia, dia tidak mungkin terkalahkan.”

“Ah, jadi karena itu kau merasa bersalah. Karena itulah kau meminta maaf.”

Lin Shi Yin mengangguk. Katanya, “Aku tahu ia tidak akan menyalahkan aku, tapi jika aku…..jika aku tidak mengakui hal ini kepadanya, aku tidak akan dapat hidup dengan diriku sendiri.”

“Tapi kau salah,” kata Sun Xiao Hong.

“Salah?”

“Jika ia mempelajari isi “Ensiklopedi LianHua’, ia tetap bukan tandingan ShangGuan JinHong.”

“Kenapa?”

“Tahukah kau mengapa ilmu pedang Ah Fei begitu ditakuti orang?”

“Karena dia…..” Lin Shi Yin tidak tahu jawabannya.

“Ia bisa menjadi sangat cepat dan tepat karena ia sangat berdedikasi pada pedangnya, lebih daripada orang lain. Sama seperti Li Xun Huan. Jika ia mempelajari ilmu silat yang lain, ia akan kehilangan fokus. Pisaunya tidak mungkin bisa menjadi secepat dan seakurat sekarang.”

Lin Shi Yin kembali menundukkan kepalanya. “Bagaimanapun juga, kuharap kau berkenan menyampaikan perasaanku kepadanya.”

Kata Sun Xiao Hong, “Kalian berdua akan punya kesempatan untuk bertemu. Mengapa tak kau katakan sendiri kepadanya?”

Bab 84. Mata yang Terbuka

Lin Shi Yin terpekur lama, lalu ia mengangkat wajahnya.
Kini wajahnya menjadi sangat tenang dan damai. Katanya, “Tidak akan ada lagi kesempatan bagi kami untuk bertemu di kemudian hari.”

Sun Xiao Hong mengerutkan alisnya. “Mengapa?”
“Karena…..karena aku akan pergi ke tempat yang jauh.”
“Kau……mengapa kau harus pergi?”
“Aku harus pergi!”

“Kenapa?” tanya Sun Xiao hong tidak mengerti.
“Aku sudah mengambil keputusan yang bulat.”
Sun Xiao Hong tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Lin Shi Yin tersenyum dan berkata, “Kelemahanku yang terbesar adalah selalu ragu-ragu. Mungkin inilah pertama kalinya aku bertekad bulat. Aku hanya berharap tidak ada orang yang membujukku untuk berubah pikiran.”

“Tapi…..tapi inilah pertama kalinya kita berjumpa. Paling tidak, ijinkanlah aku bertemu denganmu sekali lagi. Masih banyak yang ingin kubicarakan denganmu,” pinta Sun Xiao Hong.

Lin Shi Yin berpikir sejenak, lalu menjawab, “Baiklah. Kita akan bertemu lagi di sini, besok pagipagi sekali.”

Setelah mengatakan itu, Lin Shi Yin pun pergi.

Seolah-olah Sun Xiao Hong adalah satu-satunya orang yang tersisa di bumi ini.
Selama itu, tidak setetes air mata pun keluar dari matanya. Namun kini, ia merasa matanya mulai basah.

Ia pun berkeputusan bulat.
Selama Li Xun Huan masih hidup, ia akan membawanya datang ke sini.
Sejak pertama kali bertemu dengan Li Xun Huan, ia sudah memutuskan untuk mendedikasikan seluruh hidupnya bagi laki-laki itu.
Ia belum pernah meragukan keputusannya.
Tapi saat ini, ia merasa begitu egois. Jadi kini ia memutuskan bahwa ia akan mengorbankan kebahagiaannya demi Li Xun Huan!

Karena ia merasa bahwa Lin Shi Yin memerlukan Li Xun Huan lebih daripada dia.
‘Mereka berdua telah menderita begitu lama. Mereka berhak merasakan kebahagiaan sekarang. Apapun yang terjadi, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mempersatukan mereka.’

‘Lin Shi Yin adalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang berhak memisahkan mereka.’

‘Long Xiao Yun pun tidak berhak. Ia tidak pantas bagi Lin Shi Yin.’

‘Tapi aku……’

Dan ia pun berkeputusan bulat untuk tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat dan menyeka air matanya. Lalu berkata pada dirinya sendiri, ‘Walaupun aku ingin menangis, aku harus menunggu sampai besok. Masih banyak yang harus dikerjakan hari ini…..’

Ia mengangkat dagunya.

Sekelilingnya gelap gulita. Malam telah larut.

Namun, saat malam gelap gulita telah tiba, hari yang terang-benderang pun tidak lama lagi akan tiba.

Ada orang yang mengatakan bahwa hanya ada dua macam manusia di dunia ini: baik dan jahat.
Lin Xian Er sudah pasti bisa digolongkan jahat, tapi bagaimana dengan Lin Shi Yin dan Sun Xiao Hong?

Walaupun mereka adalah orang-orang yang baik, keduanya sangat berbeda.
Ketika persoalan dan kesulitan muncul, Lin Shi Yin hanya akan bertahan, dan bertahan….
Ia merasa bahwa kegagahan seorang wanita adalah untuk bisa terus bertahan.
Namun Sun Xiao Hong berbeda. Ia akan selalu melawan!
Jika ia sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, ia akan bertempur habis-habisan.
Ia adalah gadis yang tegas, cerdas, berani dan penuh percaya diri. Ia tidak takut mencintai, tidak takut membenci. Dan jika seluruh jiwanya diperiksa dengan seksama, tidak akan ditemukan setitikpun kegelapan ataupun kesedihan.

Karena orang-orang seperti dialah, dunia ini menjadi begitu hidup, maju tanpa kenal rintangan. ‘Wanita-wanita dunia ini memimpin umat manusia ke masa depan’.

Perkataan ini sungguh pantas bagi dirinya.

***

‘Kalau aku pergi dan mencarinya sekarang, ia pasti akan datang merangkak kepadaku.’

‘Tanpa diriku, tidak mungkin ia bisa terus hidup.’

Apakah Lin Xian Er begitu yakin akan hal ini?

Memang ia pantas menjadi begitu yakin, karena ia tahu betul bahwa Ah Fei sungguh-sungguh mencintainya.

Tapi di manakah Ah Fei sekarang?

‘Ia pasti masih ada di pondok kecil itu, karena pondok itu adalah ‘rumah kami’. Barang-barangku masih ada di sana. Keberadaanku masih ada di sana.’
‘Ia pasti sedang menantikan kepulanganku.’

Tiba-tiba Lin Xian Er merasa begitu rileks.

‘Mungkin selama dua hari terakhir ini ia tidak melakukan apapun juga kecuali minum anggur. Mungkin rumah itu sudah berantakan sekarang. Mungkin mayat-mayat itu masih bergelimpangan di sana.’

Saat ia memikirkan itu, mengerutkan alis pun Lin Xian Er tidak berani.

‘Tapi bagaimanapun juga, saat ia melihat aku, ia akan berusaha mati-matian untuk melakukan apa saja yang kuminta. Aku tidak perlu mengangkat seujung jaripun.’

Lin Xian Er menghela nafas lega. Ketika wanita seperti dia sudah jatuh ke dasar jurang, namun masih ada tempat pelarian, masih ada orang yang menantikan kepulangannya dengan sabar, tidak heran ia merasa sangat bersuka cita.

‘Aku memang terlalu kejam padanya dulu. Aku sudah menekannya kelewat batas. Mulai sekarang aku akan memperlakukan dia dengan baik.’

‘Laki-laki itu seperti anak kecil. Jika kau ingin mereka berkelakuan baik, kau harus memberi mereka permen terlebih dulu.’

Tiba-tiba ia merasakan kehangatan dalam dadanya.

‘Kalau dipikir-pikir, dia bukanlah orang yang menyebalkan. Bahkan mungkin ia jauh lebih baik daripada semua laki-laki yang pernah kutemui seumur hidupku.’

Lin Xian Er baru menyadari bahwa sebenarnya ia pun sedikit banyak telah jatuh cinta pada Ah Fei.

Hanya terhadap Ah Feilah ia memiliki perasaan yang tulus. Semakin dipikirkannya, semakin ia menyadari betapa berbahagianya dia saat Ah Fei ada di sisinya.

‘Aku sungguh-sungguh harus memperlakukan dia dengan lebih baik mulai sekarang. Laki-laki seperti dia jarang ada di dunia ini. Mungkin aku tidak akan menemukan laki-laki lain yang seperti dia.’

Dan semakin dipikirkannya, semakin dalam ia menyadari bahwa ia tidak boleh membiarkan Ah Fei pergi dari hidupnya.

Mungkin selama ini sebenarnya Lin Xian Er pun mencintainya. Tapi cinta Ah Fei terhadapnya sungguh jauh lebih besar dan dalam, sehingga Lin Xian Er tidak menghargainya.

Jika ia tidak begitu dalam mencintai Lin Xian Er, mungkin Lin Xian Er akan lebih menginginkannya.

Inilah kelemahan manusia. Kontradiksi sifat dasar manusia.

Itulah sebabnya mengapa laki-laki yang pintar tidak akan menunjukkan seluruh perasaan mereka kepada wanita yang mereka cintai. Lebih baik mereka simpan di dalam hati.

‘Ah Fei, jangan kuatir. Mulai sekarang, aku tidak akan lagi menyakitimu. Aku akan setia mendampingimu tiap hari, tiap saat. Mari kita lupakan masa lalu, dan mulai dengan lembaran baru hidup kita.’

‘Selama kau memperlakukan aku sama seperti dulu, mulai sekarang akulah yang akan menuruti semua perkataanmu.’

Tapi bisakah Ah Fei memperlakukan dia sama seperti dulu?

Lin Xian Er mulai ragu, rasa percaya dirinya mulai memudar.

Belum pernah ia merasa seperti ini, karena belum pernah sebelumnya ia menyadari betapa berharganya Ah Fei bagi dirinya. Saat ini, ia bahkan tidak peduli apakah Ah Fei akan memperlakukannya dengan baik atau tidak.

Hanya pada saat seseorang begitu menginginkan sesuatu, ia akan sangat takut kehilangan.
Perasaan selalu ingin lebih dan selalu tidak puas adalah salah satu kelemahan umat manusia.
Yang lebih menyedihkan adalah, semakin banyak kita ingin, semakin besarlah rasa tidak puas itu.
Lin Xian Er mengangkat kepalanya dan melihat pondok kecil yang berdiri sendirian di tepi jalan itu.

Ada cahaya dari dalam sana.

Ia berhenti sejenak. Dirobeknya lengan bajunya, dan dibersihkannya wajahnya dengan air hujan.
Lalu dengan lembut dirapikannya rambutnya dengan jari-jemarinya.
Ia tidak ingin Ah Fei melihatnya dalam kondisi yang menyedihkan.
Karena saat ini, ia tidak sanggup lagi kehilangan Ah Fei.
Cahaya dalam pondok itu terlihat sangat terang.
Sebatang lilin menyala di atas meja.
Sepanci besar bubur tampak berada di samping lilin itu.
Rumah itu tidak tampak kotor atau berantakan seperti yang dibayangkan Lin Xian Er. Tidak ada lagi mayat yang kelihatan. Bekas-bekas darah pun sudah tidak tampak. Semuanya serba bersih dan rapi.

Ah Fei sedang duduk di depan meja sambil menghirup semangkuk bubur panas. Ia selalu makan perlahan-lahan karena ia tahu benar bahwa makanan itu harus dihargai. Oleh sebab itulah ia makan perlahan, untuk menikmati setiap suapan.

Tapi sepertinya ia tidak sedang menikmati saat itu.
Di wajahnya tergambar kepahitan, seakan-akan ia makan dengan terpaksa.
Mengapa ia memaksa diri untuk makan? Apakah karena ia terpaksa makan demi bertahan hidup?
Malam sudah sangat larut.
Seorang laki-laki duduk menghadapi meja sendirian sambil mengirup buburnya.
Jika kau tidak melihatnya sendiri, sangat sulit membayangkan betapa sedih dan memilukannya pemandangan ini.
Dengan perlahan pintu terbuka.
Saat ia melihat Ah Fei, ia merasakan kehangatan menjalari sekujur tubuhnya.
Ia sendiri tidak pernah menyangka bahwa ia bisa memiliki perasaan seperti ini.
Karena darahnya selalu dingin.
Ah Fei seperti tidak menyadari ada yang masuk ke rumah itu. Kepalanya masih menunduk, sibuk mengirup buburnya. Seolah-olah bubur itulah satu-satu hal yang nyata baginya di dunia ini.
Namun otot-otot wajahnya mulai menegang.
Lin Xian Er tidak bisa menahan diri lagi. Ia memanggilnya, “Fei sayang….”
Suaranya masih tetap manis dan lembut seperti dulu.
Akhirnya Ah Fei mengangkat wajah dan memandangnya.
Matanya masih tetap bercahaya. Apakah karena air mata?
Mata Lin Xian Er pun mulai tampak basah. “Fei sayang, aku sudah kembali…..”
Ah Fei tidak bergerak, tidak menyahut.
Seolah-olah ia sudah membeku dan tidak bisa bergerak lagi.
Perlahan Lin Xian Er berjalan ke arahnya dan berkata, “Aku tahu, kau pasti akan menungguku. Karena akhirnya aku menyadari bahwa kaulah satu-satunya yang baik kepadaku di dunia ini.”

Kali ini ia tidak berpura-pura.

Ia mengatakannya dari lubuk hatinya yang terdalam. Perasaannya terhadap Ah Fei sangat tulus.
Lanjut Lin Xian Er, “Aku sadar sekarang bahwa semua orang yang lain hanya ingin memanfaatkan diriku….dan aku pun hanya memanfaatkan mereka. Oleh sebab itulah aku tidak peduli bahwa mereka itu memanfaatkan aku. Tapi seberapa buruknya aku memperlakukan engkau, kau tetap setia kepadaku.”

Ia tidak memperhatikan perubahan di wajah Ah Fei.

Ia berjalan semakin dekat. Begitu dekat, sampai-sampai ia tidak melihat apa yang seharusnya terlihat jelas.

“Aku telah memutuskan bahwa aku tidak akan pernah menipumu lagi. Tidak pernah akan menyakitimu lagi. Apapun yang kau inginkan, akan kudengarkan, akan kulakukan, dan aku berjanji…..”

Prak! Sumpit di tangan Ah Fei patah menjadi dua.

Lin Xian Er merengkuh tangan Ah Fei dan meletakkannya di dadanya.

Suaranya sungguh manis, semanis madu.

“Aku telah begitu bersalah padamu di masa lalu. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya di kemudian hari. Aku ingin kau mengerti bahwa seluruh perbuatan baikmu terhadap aku tidaklah sia-sia belaka.”

Dadanya terasa hangat dan lembut.
Siapapun yang meletakkan tangannya di dada itu tidak akan mungkin ingin melepaskannya lagi.
Tapi tiba-tiba Ah Fei menarik tangannya.

Lin Xian Er terperanjat. “Kau….kau….kau tidak menginginkan aku lagi?”

Ah Fei hanya menatapnya terdiam. Seolah-olah inilah pertama kalinya ia melihat Lin Xian Er.

“Semua yang kukatakan itu benar adanya. Walaupun aku pernah bersama dengan laki-laki lain di masa lalu….aku tidak pernah punya perasaan apa-apa terhadap mereka. Itu semua palsu…..”

Suaranya terhenti, karena saat itulah ia melihat ekspresi wajah Ah Fei.

Ah Fei kelihatan seperti ingin muntah.

Lin Xian Er mundur dua langkah dan berkata, “Kau……kau tidak suka aku mengatakan yang sebenarnya? Apakah kau lebih suka aku berdusta?”

Ah Fei memandang lurus padanya cukup lama, dan akhirnya berkata, “Ada satu hal yang kurasa sangat ganjil.”

“Apa itu?”

Ah Fei bangkit berdiri dan berkata perlahan tapi pasti, “Bagaimana aku bisa jatuh cinta pada wanita seperti engkau!”

Lin Xian Er merasa kejang seluruh tubuhnya.

Ah Fei tidak mengatakan apa-apa lagi.
Ia tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Satu kalimat itu saja sudah cukup.
Sudah cukup untuk mengirim Lin Xian Er ke neraka yang paling gelap.
Perlahan Ah Fei melangkah keluar.
Seseorang tidak mungkin dapat menahan rasa sakit, penghinaan dan olok-olok terus-menerus.
Mungkin ada orang dapat menerima dibohongi terus-menerus, tapi ada batasnya orang bisa menerima penghinaan – ini berlaku untuk wanita, juga untuk pria.

Ini berlaku untuk istri, juga untuk suami.
Lin Xian Er merasa hatinya terperosok semakin dalam, dan semakin dalam….
Ah Fei membuka daun pintu.
Tiba-tiba Lin Xian Er melompat dan terpuruk dekat kakinya. Ia menarik lengan baju Ah Fei dan menangis tersedu-sedu, “Bagaimana mungkin engkau meninggalkan aku seperti ini….. Hanya
engkaulah yang kumiliki sekarang…..”

Tapi Ah Fei tidak menoleh.
Perlahan ditanggalkannya bajunya yang terus diganduli oleh Lin Xian Er.
Ia melangkah keluar dengan dada telanjang menerjang hujan.
Hujan yang sangat dingin.
Namun air hujan yang sangat bersih.
Akhirnya ia dapat melepaskan diri dari Lin Xian Er. Melepaskan diri dari belenggu yang mengikat hatinya. Sama seperti baru saja membuang baju yang sudah lama dan usang.

Lin Xian Er masih berpegangan pada baju itu. Ia tahu benar bahwa tidak ada lagi tempat baginya untuk berpegangan.

‘Pada akhirnya, kau menyadari bahwa kau tidak memiliki apa-apa dan hidupmu begitu hampa….”

Air mata mengalir deras di wajahnya.

Saat itulah ia menyadari betul bahwa ia sebenarnya begitu mencintai Ah Fei.

Mungkin ia menyiksa Ah Fei karena ia mencintainya, dan karena ia tahu bahwa Ah Fei mencintainya.

Mengapa wanita suka menyiksa laki-laki yang paling mereka cintai?
Baru sekarang ia menyadari betapa berharganya Ah Fei dalam hidupnya.
Karena baru sekarang, ia kehilangan Ah Fei.
Mengapa wanita sering kali tidak menghargai apa yang mereka miliki, dan baru menyadari betapa berharganya sesuatu setelah semuanya hilang?
Mungkin laki-laki pun seperti ini.
Lin Xian Er tertawa seperti orang kesurupan sambil merobek-robek baju Ah Fei di tangannya.
‘Apa yang kutakuti? Aku masih muda dan cantik. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan laki-laki manapun juga…. Aku bisa mendapatkan sepuluh laki-laki dalam sehari.’

Ia sedang tertawa, tapi tawanya terasa lebih memilukan daripada air mata.
Karena ia sebenarnya tahu, bahwa laki-laki memang mudah didapatkan, namun cinta sejati tidak dapat dibeli dengan kecantikan dan usia muda.

Bagaimanakah nasib Lin Xian Er sekarang?

Tidak ada yang tahu.

Seakan-akan ia hilang ditelan bumi.

***

Dua, tiga tahun kemudian, di kompleks pelacuran yang paling terkenal di ChangAn tersiar kabar ada seorang pelacur yang sangat unik. Ia tidak pernah minta bayaran. Yang diinginkannya hanya laki-laki.

Bahkan ada yang bilang bahwa ia melayani sedikitnya sepuluh laki-laki dalam sehari.

Awalnya, begitu banyak pria yang berminat kepadanya, namun sejalan dengan waktu, laki-laki yang menginginkannya pun semakin berkurang.

Mungkin karena pelacur itu begitu cepat menjadi tua, tapi lebih mungkin karena lama-kelamaan orang menyadari bahwa ia bukan seperti manusia. Ia seperti induk serigala yang memangsa lakilaki bulat-bulat.

Ia bukan saja suka menghancurkan laki-laki, namun penyiksaan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri jauh lebih mengerikan.

Ada orang bilang bahwa ia adalah wanita yang dulunya dijuluki ‘wanita tercantik di seluruh dunia’, Lin Xian Er.

Tapi ia sendiri tidak pernah mengakuinya.

Beberapa tahun setelah itu, di sebuah daerah paling kumuh di ChangAn, terdengar lagi ada seorang wanita aneh yang menjadi cukup terkenal.

Ia bukan terkenal karena kecantikannya, tapi karena ia begitu buruk rupa. Sampai-sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Yang lucu adalah, ketika ia mabuk berat, ia selalu mengatakan bahwa dulunya ia adalah si ‘wanita tercantik di seluruh dunia’.

Tentu saja tidak ada yang percaya.

***

Hujan semakin dingin.
Walaupun Ah Fei telah basah kuyup dari kepala hingga ujung kaki, entah mengapa ia merasa segar. Karena hujan telah membuatnya menyadari bahwa ia bukanlah sebatang kayu kering. Inilah pertama kalinya dalam dua tahun ini ia merasa begitu hidup.

Lagi pula, ia merasa begitu lega. Seakan-akan beban ribuan ton telah diangkat dari bahunya.

Sayup-sayup terdengar orang memanggil dari kejauhan, “Ah Fei…..”

Suaranya begitu pelan. Mungkin beberapa hari yang lalu, ia tidak akan bisa mendengar suara ini.

Tapi sekarang, matanya tidak lagi buta. Telinganya tidak lagi tuli.

Ia menghentikan langkahnya dan bertanya, “Siapa itu?”

Seseorang segera bergegas ke arahnya. Dengan dua kuncir panjang, dua mata besar.

Seorang gadis muda yang cantik. Ia kelihatan sangat kelelahan.

Akhirnya Sun Xiao Hong menemukan Ah Fei.
Ia berlari ke arah Ah Fei dengan nafas tersengal-sengal, “Kau tidak mengenali aku lagi….”
Ah Fei segera memotong perkataannya, “Aku ingat siapa engkau. Kita bertemu dua tahun yang lalu. Kau sangat pintar bicara. Aku juga melihat engkau dua hari yang lalu, tapi kau tidak mengatakan apa-apa.”

Sun Xiao Hong tersenyum dan berkata, “Kelihatannya ingatanmu masih bagus.”
Hatinya merasa lega, karena ia melihat Ah Fei berdiri, bahkan berdiri tegap.
‘Ada orang yang bisa bangkit, seberapa kali pun mereka jatuh.’
Li Xun Huan dan Ah Fei memang benar-benar sehati sejiwa.
Ah Fei tahu apa yang akan ditanyakan gadis itu.
Tapi Sun Xiao Hong tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak tahu bagaimana harus bertanya.
Kata Ah Fei, “Katakan saja apa yang ingin kau katakan, karena kau adalah sahabat Li Xun Huan.”
Tanya Sun Xiao Hong, “Apakah kau telah berjumpa dengannya?”
“Ya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Dia tidak ada lagi hubungan dengan aku, mengapa kau menanyakannya?”
Di masa lalu, jika ada orang yang berbicara tentang Lin Xian Er kepadanya, ia selalu merasa tercekat. Mendengar namanya saja dapat membuat hatinya bergetar.

Namun kini ia terlihat sangat tenang.

Sun Xiao Hong menatapnya menyelidik, lalu menghela nafas lega. “Ternyata kau benar-benar sudah terbebas dari belenggumu.”

“Belenggu?” tanya Ah Fei bingung.

“Setiap orang di dunia ini memliki kurungan dan belenggu mereka masing-masing. Tapi hanya sedikit saja yang dapat membebaskan diri.”

“Aku tidak mengerti.”

Kata Sun Xiao Hong, “Kau tidak perlu mengerti. Yang penting kau sudah berhasil melakukannya.”

Ah Fei terdiam lama. Akhirnya ia berkata, “Ah, aku mengerti sekarang.”

“Kau sungguh-sungguh mengerti?....” Kini Sun Xiao Honglah yang bingung. “Kalau begitu, aku ingin tahu, dengan cara bagaimana kau dapat membebaskan diri dari belenggumu?”

Ah Fei berpikir sejenak sebelum menjawab sambil tersenyum, “Mataku tiba-tiba terbuka.”

‘Mataku tiba-tiba terbuka’. Sungguh suatu kalimat yang sederhana. Tapi pada kenyataannya, sangat sulit untuk mengalaminya.

Waktu Sang Budha mengalami pencerahan di bawah pohon bodhi, ia pun mengalami mata yang tiba-tiba terbuka.

Bodhidharma bermeditasi selama sembilan tahun sebelum matanya terbuka.

Bagaimanapun kejadiannya, jika matamu sudah terbuka, pikiranmu pun akan terbebaskan dari segala macam persoalan. Tapi sebelum itu dapat terjadi, seseorang mau tidak mau harus mengalami berbagai macam pencobaan dan kesukaran hidup.

Kata Sun Xiao Hong, “Kau pasti telah begitu menderita sebelum mencapai pencerahan itu.”

Namun kelihatannya Ah Fei tidak berminat untuk mendiskusikannya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Apakah Li Xun Huan menyuruhmu untuk mencari aku?”

“Tidak,” jawab Sun Xiao Hong.

“Di manakah ia saat ini?”

Sun Xiao Hong terdiam. Senyumnya pun lenyap.

“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Ah Fei mendesak.

Wajah Sun Xiao Hong bertambah kelam saat ia menjawab, “Sejujurnya, aku pun tidak tahu di mana tepatnya ia berada saat ini. Aku pun tidak tahu apakah ia masih hidup atau….”

Wajah Ah Fei langsung memucat. “Apa maksudmu?”

“Mungkin aku dapat menemukan di mana ia berada, namun hidupnya….”

“Ada apa dengan hidupnya?” Nada suara Ah Fei semakin tinggi.

Sun Xiao Hong menatap matanya sambil berkata, “Hidup matinya terletak di tanganmu seorang!”

Bab 85. Salah Siapa?

Hujan masih turun dengan lebat di luar, namun di dalam rumah begitu kering. Ada sebuah jendela kecil di ruangan itu yang letaknya jauh di atas.

Jendela itu selalu tertutup. Cahaya matahari jarang masuk melaluinya dan hujan tidak dapat menembusnya.

Temboknya dicat begitu tebal dan putih, sampai-sampai tidak lagi dapat diketahui apakah tembok itu terbuat dari tanah, bata, ataukah besi. Namun yang pasti, tembok ini sangat sangat tebal, begitu tebal, seolah-olah ingin memisahkan orang yang di dalam dengan dunia luar.

Tidak ada benda apapun dalam ruangan itu kecuali dua buah tempat tidur dan sebuah meja besar. Tidak ada kursi, tidak ada bangku, bahkan satu cawan pun tidak kelihatan.

Ruangan dan sekelilingnya tampak lebih sederhana dan menderita daripada tempat tinggal seorang pendeta miskin.

Siapa sangka, ini adalah tempat kediaman orang yang terkaya, yang paling berpengaruh, paling berkuasa di seluruh dunia persilatan, Ketua Partai Uang Emas, ShangGuan JinHong?

Tapi Li Xun Huan tidak punya gairah untuk terkejut.

ShangGuan JinHong berdiri tepat di sampingnya dan bertanya, “Apakah tempat ini cukup memuaskan?”

Sambil tersenyum terpaksa Li Xun Huan menjawab, “Paling tidak di sini kering.”

“Memang kering sekali. Aku bisa menjamin bahwa kau tidak akan menemukan setetes pun air di tempat ini,” kata ShangGuan JinHong. “Di sini tidak pernah disuguhkan, teh, arak, ataupun air. Bahkan setetes air mata pun tidak pernah dicucurkan.”

“Bagaimana dengan darah? Adakah yang pernah mencucurkan darah di sini?”

“Tidak pernah. Sekalipun ada orang yang ingin mati di sini, darah mereka harus habis tercurah sebelum sampai di pintu itu. Jika aku tidak menginginkan orang masuk ke sini, hidup ataupun mati, mereka tidak akan bisa masuk ke sini.”

Li Xun Huan tertawa kecil. Katanya, “Sejujurnya, hidup di tempat seperti ini pasti tidak nyaman. Tapi mati di sini, tidak ada masalah.”

“O ya?”

“Karena tempat ini memang terasa seperti kuburan saja,” kata Li Xun Huan ringan.

“Karena tampaknya kau suka mati di sini, akan kukuburkan kau di sini juga,” kata ShangGuan JinHong sambil tersenyum. Senyumnya terlihat sadis. Ia menunjuk lantai tempat ia berdiri dan menambahkan, “Aku akan menguburkanmu tepat di bawah sini. Jadi setiap kali aku berdiri di sini, setiap kali aku akan tahu bahwa Li Tan Hua ada di bawah kakiku, dan aku akan merasa segar kembali.”

“Segar?”

“Kalau aku tidak selalu segar, suatu hari nanti mungkin saja akulah yang akan berada di bawah kaki orang lain. Tapi kalau aku terus mengingat akan kisahmu, aku akan selalu berjaga-jaga.”

“Tapi kalau seseorang selalu segar dan berjaga-jaga setiap saat, pasti ia akan merasa menderita.”

“Aku tidak pernah merasa menderita. Sekalipun tidak pernah selama hidupku ini,” kata ShangGuan JinHong yakin.

“Mungkin karena kau pun tidak pernah merasa bahagia selama hidupmu….. Aku sungguh ingin tahu, sebenarnya untuk apakah kau hidup?” tanya Li Xun Huan.

Mata ShangGuan JinHong berkedip. Ia terlihat seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lalu ia menjawab, “Ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa mereka hidup. Tapi yang lebih buruk lagi adalah orang-orang yang tidak pernah tahu untuk apa mereka mati.”

“Hmmm?”

ShangGuan JinHong menatap Li Xun Huan dan berkata, “Seperti kau ini. Kau tidak akan pernah tahu untuk apa kau mati.”

“Sebenarnya, aku memang tidak pernah ingin tahu,” kata Li Xun Huan.

“Mengapa tidak?”

“Karena aku tidak merasa bahwa kematian adalah persoalan besar.”

Li Xun Huan tidak menunggu ShangGuan JinHong menyahut. Ia melanjutkan lagi, “Di matamu, saat inipun aku sudah mati, bukan?”

“Kau memang sangat memahami dirimu,” kata ShangGuan JinHong.

“Karena kematianku sudah tidak dapat dihindarkan, mengapa harus pusing akan ini dan itu?”

Tiba-tiba Li Xun Huan duduk di lantai dan menyelonjorkan kakinya dengan nyaman. Lalu ia tersenyum dan berkata, “Kalau aku sekarang ingin duduk, aku akan duduk. Kalau aku ingin memejamkan mata, aku akan memejamkan mata. Apakah kau bisa berbuat demikian?”

ShangGuan JinHong mengepalkan tangannya.

Kata Li Xun Huan lagi, “Ah, tentu saja kau tidak bisa, karena kau masih kuatir akan begitu banyak hal. Kau masih harus waspada terhadap diriku.”

Sambungnya, “Paling tidak, saat ini aku bisa hidup lebih nyaman daripada engkau.”

ShangGuan JinHong tersenyum dan berkata, “Karena aku sudah berjanji aku tidak akan membiarkan engkau mati basah kuyup, tadinya aku berencana akan segera menyerang setelah pakaianmu kering. Namun sekarang aku berubah pikiran.”

“Oh?”

“Aku bukan hanya akan memberimu seperangkat pakaian kering, aku juga akan memberimu seguci arak. Karena perkataanmu itu sungguh menyenangkan bagi telingaku. Bisa mendengar perkataan seperti itu dari mulut seorang mati, benar-benar menyenangkan,” kata ShangGuan JinHong.

***

Long Xiao Yun muda meringkuk di bawah selimutnya, tertidur lelap. Di lantai terlihat beberapa jejak kaki yang basah dan berlumpur.

Lilin masih menyala, namun cahayanya yang pudar membuat kamar penginapan itu tampak semakin muram dan tidak bergairah.

Perlahan-lahan Lin Shi Yin membuka pintu kamar dan masuk ke dalam.

Langkah-langkah kaki seorang ibu memang selalu ringan. Ia lebih suka terjaga semalaman daripada membangunkan anaknya yang tercinta dari tidur lelapnya.

Namun Long Xiao Yun muda bukan anak-anak lagi. Ia lebih dewasa daripada kebanyakan orang di dunia ini. Walaupun begitu, dalam tidurnya ia masih terlihat seperti seorang anak kecil yang lugu.

Wajahnya masih sangat muda, begitu pucat dan kurus. Apapun yang telah dilakukannya, ia hanyalah seorang anak yang kesepian, yang tidak tahu apa-apa. Masih bingung dan tidak mengerti akan dunia di sekitarnya.

Lin Shi Yin berjalan mendekati tempat tidur dan menatapnya. Ia merasa kepahitan dalam hatinya.
Ini adalah putra tunggalnya, darah dagingnya. Satu-satunya tambatan hatinya di dunia ini.
Dulu, ia merasa lebih baik mati daripada harus berpisah dengan anaknya.

Namun kini…..
Lin Shi Yin mengangkat lilin kecil itu dan masih beberapa kali menoleh melihat kepadanya sekali lagi.

‘Aku hanya ingin memandangnya sekali lagi. Sekali lagi saja. Karena di kemudian hari…..’
Ia sungguh takut berpikir akan hari depan. Ia tidak ingin berpikir tentang hari depan.
Air mata tidak terbendung lagi dari matanya.
Walaupun mata Long Xiao Yun muda tertutup rapat, air mata pun mulai mengalir dari sana.
Badannya mulai menggigil. Apakah ia kedinginan? Ataukah ia sedang bermimpi buruk?
Lin Shi Yin membungkuk, hendak merapikan selimutnya.
Ia terkejut ketika menyadari bahwa selimut itu basah. Baju Long Xiao Yun muda pun basah kuyup.
Ia berusaha menenangkan dirinya. Katanya, “Jadi kau pun pergi ke luar.”
Mata dan mulut Long Xiao Yun muda terkatup rapat.
Tanya Lin Shi Yin, “Apakah kau membuntuti aku?”
Akhirnya Long Xiao Yun muda menganggukkan kepalanya.
“Jadi kau sudah mendengar semua yang kukatakan?”
Tiba-tiba Long Xiao Yun muda mengambil bungkusan dari bawah selimutnya dan berteriak, “Ini, ambil saja.”

Lin Shi Yin mengerutkan keningnya dan bertanya, “Apa ini?”

“Apa Ibu benar-benar tidak tahu apa ini? Bukankah Ibu pulang kembali hanya untuk mengambilnya?”

Kesedihan tergurat di wajah Lin Shi Yin. Katanya, “Aku…..Aku pulang untuk menjumpaimu.”

“Kalau bukan karena ini, apakah Ibu maih mau datang untuk menjumpaiku?” kata Long Xiao Yun
muda dengan sinis.

Tiba-tiba ia membuka matanya dan menatap ibunya lekat-lekat.

Kesedihan pun tergambar nyata di wajahnya. “Ibu sudah memutuskan untuk meninggalkan aku. Jika bukan karena ini, Ibu pasti sudah pergi sejak lama.”

“Kau benar. Aku memang sudah memutuskan untuk pergi ke tempat yang jauh. Tapi aku….”

Long Xiao Yun muda memotong perkataannya dengan tajam, “Ibu tidak perlu mengatakannya. Aku tahu ke mana Ibu akan pergi.”

“Kau tahu?”

“Ibu akan pergi untuk menyelamatkan Li Xun Huan, bukan?”

Kembali Lin Shi Yin terkejut mendengarnya.

“Ibu bermaksud untuk menggunakan ‘Ensiklopedi LianHua’ untuk menyelamatkan Li Xun Huan, bukan?” tanya Long Xiao Yun muda menuduh.

Ia kembali menyorongkan bungkusan itu dan berkata, “Lalu mengapa tidak segera Ibu ambil saja? Mengapa Ibu masih saja di sini?”

Tubuh Lin Shi Yin seperti sempoyongan. Ia merasa hampir tidak bisa berdiri tegak lagi.

Long Xiao Yun muda terus berbicara dengan ketus, “Kalau Ibu menunjukkan ‘Ensiklopedi LianHua’ ini kepada ShangGuan JinHong, ia pasti akan bersedia menemuimu, karena ia adalah orang yang suka belajar ilmu silat. Ia tidak akan bisa menahan rasa ingin tahunya.”

Ia mengertakkan giginya dan melanjutkan, “Ibu bermaksud menggunakan kesempatan ini untuk menyelamatkan Li Xun Huan, karena Ibu tahu tidaklah mudah untuk menghadapi ShangGuan JinHong. Jadi Ibu ingin mengulur waktu lebih lama lagi dengan menggunakan kitab ini, supaya Li Xun Huan bisa hidup sedikit lebih lama, supaya Ah Fei punya kesempatan untuk datang dan menolongnya.”

Lin Shi Yin tidak bisa menjawab.

Long Xiao Yun muda memang benar-benar cerdas. Ia seakan-akan dapat menembus pikiran ibunya.

Jadi sekarang Lin Shi Yin tidak bisa berkata apa-apa.

“Li Xun Huan selalu baik pada Ibu. Sampai-sampai sekalipun Ibu mengorbankan anakmu sendiri, bahkan mengorbankan nyawamu sendiri, tidak ada yang bisa bilang bahwa Ibu salah.”

Suara Long Xiao Yun muda semakin bergetar saat ia melanjutkan perkataannya, “Tapi apakah Ibu pernah memikirkan orang lain? Pernahkah Ibu memikirkan diriku? ANAKMU? Aku...Aku…”

Lin Shi Yin merasa hatinya seperti ditusuk beribu-ribu jarum. Ia hanya bisa meraih tangan anaknya dan berkata, “Tentu saja aku memikirkanmu. Aku….”

Long Xiao Yun muda mendorong tubuh ibunya kuat-kuat dan berteriak marah, “Tentu saja Ibu memikirkanku. Ibu pasti akan mengajakku pergi menemui mereka besok pagi, bukan? Mereka tahu Ibu mengorbankan dirimu untuk mereka, jadi pastilah mereka akan bersedia memeliharaku dan memperlakukanku dengan baik.”

Lanjutnya lagi, “Tapi bagaimana Ibu bisa yakin kalau itu dapat menyelamatkan dia? Kalau Ibu mati di hadapannya, bukankah hatinya akan menjadi semakin galau? Dan sekalipun Ah Fei sempat datang untuk menolongnya, mungkin saja ia tidak akan sanggup bertahan.”
Lin Shi Yin pun mulai gemetar.

Kata Long Xiao Yun muda, “Dan sekalipun ia bisa selamat, dan ia bersedia untuk memeliharaku, aku tidak akan ikut dengan dia. Aku tidak ingin melihat dia sama sekali!”

“Mengapa?” tanya Lin Shi Yin.

“Karena aku sangat membencinya!”

“Tapi kau telah mempelajari…..”

Long Xiao Yun muda memotongnya cepat, “Aku tidak membencinya karena ia telah memusnahkan ilmu silatku.”

“Lalu kenapa kau membencinya?”

“Aku benci karena bukan dia yang menjadi ayahku! Mengapa dia bukan ayahKU? Mengapa aku tidak bisa menjadi anaknya? Kalau saja ia adalah ayahku, ia tidak mungkin meninggalkan aku dan segala sesuatu tidak mungkin jadi seperti ini!”

Lalu ia menelungkup di tanah dan menangis menjadi-jadi.

Hati Lin Shi Yin hancur berkeping-keping. Seluruh tubuhnya luluh lantak.

Ia tiba-tiba merasa tidak sanggup lagi berdiri dan jatuh terduduk ke kursi di sampingnya.

‘Kalau saja anak ini adalah anaknya, kalau saja ia adalah suamiku…..”

Belum pernah sebelumnya ia berani berpikir seperti itu. Namun jauh dalam relung hatinya yang tergelap, bagaimana mungkin ia tidak diam-diam mengharapkannya?

Seorang anak dari pasangan yang tidak bahagia akan lebih lagi tidak berbahagia dan menderita lebih banyak lagi.

Kesalahannya hanya terletak pada orang tua, bukan pada anak. Namun, mengapa ia harus ikut menderita penghukuman dan ketidakbahagiaan dengan mereka?

Lin Shi Yin berusaha menguatkan dirinya untuk bangkit berdiri dan berjalan mendekati anaknya. Air mata telah berderai membasahi seluruh wajahnya. Katanya, “Anakku, aku telah begitu bersalah padamu…. Sungguh bersalah padamu…… Dengan orang tua seperti kami, pasti sangatlah sulit bagimu menjadi seorang anak…..”

Tiba-tiba terdengar suara bergetar yang parau dari balik jendela.

“Kau tidak bersalah sama sekali. Akulah yang bersalah.”

Long Xiao Yun.

Tidak akan ada yang bisa mengenalinya. Ia kelihatan begitu lusuh dan lelah.

Ia berdiri di depan pintu, takut untuk melangkah masuk.

Long Xiao Yun muda mengangkat kepalanya. Bibirnya bergerak-gerak, seolah-olah hendak memanggil ‘Ayah’.

Namun suaranya tidak bisa keluar!

Long Xiao Yun mendesah dan berkata, “Aku tahu bahwa kau tidak lagi menginginkan aku sebagai ayahmu.”

Lalu ia menoleh pada Lin Shi Yin, katanya, “Dan aku tahu kau tidak lagi menginginkan aku sebagai suamimu. Hidupku sungguh tidak berarti.”

“Kau….”

Ia tidak membiarkan Lin Shi Yin melanjutkan. Segera ia berkata, “Tapi aku sungguh telah mencoba sekuat tenaga menjadi ayah yang baik, menjadi suami yang baik. Tetapi kelihatannya aku sudah gagal, semua yang kulakukan adalah salah besar.”

Lin Shi Yin hanya menatapnya.

Long Xiao Yun adalah lelaki yang tenang dan tegas. Selalu penuh vitalitas dan energi.

Namun sekarang?

Rasa kasihan memenuhi hatinya. Kata Lin Shi Yin, “Aku pun telah bersalah kepadamu. Aku bukan istri yang baik.”

Long Xiao Yun tertawa. Tawa yang pahit. “Itu bukan kesalahanmu. Semuanya adalah kesalahanku. Jika aku tidak pernah berjumpa denganmu, jika aku tidak pernah berjumpa dengan Li Xun Huan, semuanya tidak akan jadi begini. Semua orang akan hidup bahagia dan sejahtera.”

Apakah nasibnya sungguh berubah karena satu peristiwa itu?

Jika ia tidak pernah bertemu dengan Li Xun Huan, apakah ia tidak akan pernah menjadi seperti ini?

Lin Shi Yin mulai menangis lagi. Katanya, “Apapun yang telah kau perbuat, itu adalah untuk melindungi keluargamu, untuk melindungi istri dan anakmu. Jadi….itu bukanlah kesalahan. Aku sungguh-sungguh tidak menyalahkanmu.”

Kata Long Xiao Yun, “Kalau kita berdua tidak bersalah, lalu siapa yang salah?”

Lin Shi Yin memandang keluar, ke malam hujan yang gelap. “Siapa yang salah….? Siapa yang salah….?”

Ia tidak menemukan jawabannya.

Tidak seorang pun tahu jawabannya.

Ada banyak hal dalam hidup ini yang tidak akan pernah dimengerti oleh manusia. Yang tidak akan diketahui jawabannya.

Kata Long Xiao Yun, “Sebenarnya aku berencana untuk tidak menemui kalian berdua lagi. Karena kaulah yang pergi kali ini, kupikir kau akan pergi untuk selama-lamanya. Itulah sebabnya aku tidak berusaha memohon padamu untuk tetap tinggal….”

Ia mengeluh panjang dan air matanya pun mulai menetes. “Aku tahu bahwa yang telah kuperbuat telah menyakitimu, telah membuatmu sangat kecewa. Tapi aku sungguh tidak bisa untuk tinggal diam. Aku harus mengikuti kalian. Walaupun hanya bisa memandang kalian dari kejauhan, itu sudah cukup bagiku.”

Tangis Lin Shi Yin tidak tertahan lagi. “Jangan katakan lagi…..jangan…..”

Long Xiao Yun menganggukkan kepalanya dan berkata, “Memang aku seharusnya tidak banyak bicara lagi. Apapun yang kukatakan, sudah terlambat.”

Kata Lin Shi Yin, “Kau tahu bahwa aku berhutang begitu banyak kepadanya. Aku tidak bisa membiarkannya mati begitu saja.”

Kata Long Xiao Yun, “Aku pun berhutang banyak kepadanya. Oleh sebab itulah, aku minta kau menyerahkan persoalan ini kepadaku.”

Sepertinya ia telah membulatkan tekad.

“A…Apa yang akan kau perbuat? Jangan katakan….”

Tiba-tiba Long Xiao Yun menutup jalan darah Lin Shi Yin. “Kau tidak boleh mati, kau tidak bisa mati. Akulah yang harus mati. Semakin lama aku hidup, semakin banyak orang yang akan menderita. Jika aku mati, semua orang akan menjadi lebih baik.”

Ia segera merebut ‘Ensiklopedi LianHua’ dan berlari keluar.

Dari kejauhan, terdengar suaranya sayup-sayup, “Anakmu, jagalah ibumu baik-baik. Tentang ayahmu yang tidak berguna ini…..terserah padamu apakah kau mau menerimanya atau tidak.”

Mata Long Xiao Yun muda menatap nanar air hujan di luar.

Ia tidak lagi menangis.

Namun sorot matanya terlihat jauh lebih menyedihkan daripada air mata.

Begitu lama ia terkesima. Lalu tiba-tiba ia berteriak keras, “Ayah, aku menerimamu! Hanya kaulah seorang yang pantas menjadi ayahku! Hanya kau seorang yang bisa kuanggap ayah! Selain engkau, tidak ada, tidak ada…..”

Ini adalah penyesalan seorang anak terhadap ayahnya. Suatu ikatan yang kuat antara ayah dengan anak, yang tidak bisa digantikan oleh apapun juga di dunia ini.

Sayang sekali, ayahnya tidak akan dapat mendengar perkataan itu.
Semua orang akan mengalami saat pencerahan yang tiba-tiba itu.
Apakah ia baru mengerti setelah terbentur oleh jalan buntu? Atau karena ia memang memiliki rasa hormat yang murni?
Darah lebih kental daripada air.
Hanya darah yang dapat menghapuskan segala kebencian dan kehinaan.
Bahkan hidup ini pun dimulai dari darah.

Bab 86. Menebus Dosa dengan Darah

Sebuah halaman yang luas dan lega.
Halaman itu tidak jauh berbeda dari halaman rumah keluarga-keluarga kaya yang lain.
Namun sekali orang menjejakkan kaki di tangga yang menuju ke pintu utama, orang itu pasti akan merasakan kekelaman dan aura kematian yang menyelimutinya.
Liong Siau-hun menapaki anak tangga itu.
Di halaman depan, suasana begitu hening, tidak seorang pun nampak di sana. Namun begitu ia melangkahkan kaki di anak tangga itu, sekelompok orang segera mengepungnya.
Delapan belas orang yang berjubah kuning. Liong Siau-hun tidak bisa melihat wajah mereka.
Tapi itu memang tidak penting. Memang tidak penting tahu siapakah mereka satu per satu.

Anggota Kim-ci-pang semuanya sama saja.

Mereka tidak punya mulut, karena mereka tidak perlu bicara. Sekalipun mereka bicara, yang keluar adalah suara Siangkoan Kim-hong.

Mereka tidak punya mata, karena mereka tidak perlu melihat. Apa yang mereka lihat adalah apa yang diinginkan oleh Siangkoan Kim-hong untuk mereka lihat.


Mereka hanya memiliki sepasang telinga kecil, karena satu-satunya suara yang perlu mereka dengar adalah suara Siangkoan Kim-hong.

Kelihatannya mereka pun tidak punya lagi jiwa. Itulah yang membuat mereka selalu bekerja dengan cepat. Oleh sebab itu, dalam sekejap saja, mereka telah mengelilingi Liong Siau-hun.

Liong Siau-hun menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Ah, jadi memang di sinilah Markas Besar Kim-ci-pang.”
“Siapa kau? Apa kerjamu di sini?”
“Aku mencari seseorang.”
“Siapa yang kau cari?”

“Apakah Siangkoan Kim-hong pangcu telah kembali?” tanya Liong Siau-hun.

Nama ‘Siangkoan Kim-hong’ sepertinya dapat memcengkeram jiwa mereka. Ketika mereka mendengar nama itu disebut, langsung berubahlah perangai mereka.

“Pangcu belum kembali. Dan kau adalah…..”

“Aku harus menemui dia. Ada sesuatu yang harus kuberikan kepadanya.”

“Tunggulah sebentar. Pangcu sedang menemui tamu saat ini.”

Liong Siau-hun kembali mendesah. “Apakah saat ini ia sedang bersama dengan Li Sun-hoan?”

“Ya.”

“Kalau begitu, aku harus menemuinya sekarang juga.”

“Bolehkah kami mengetahui nama Tuan yang terhormat?”

“Margaku Liong, dan aku mempunyai sesuatu yang sangat penting yang harus kuberikan kepadanya sekarang juga. Jika kalian berani mencampuri urusan yang maha penting ini, apakah bahu kalian cukup kuat untuk menanggung akibatnya?”

“Jadi margamu Liong….. Apakah kaulah yang mengangkat saudara dengan Pangcu beberapa hari yang lalu?”

“Ya.”

Ketika kata ‘Ya’ itu keluar dari mulutnya, kilatan pedang yang dingin segera menyambar.
Sebilah pedang dan dua golok menyerang ke arahnya secara bersamaan.
Liong Siau-hun berseru, “Apa-apaan ini?”

Walaupun suaranya keras dan jelas, tidak ada seorang pun yang mengindahkannya. Tidak ada seorang pun yang menjawabnya.

Liong Siau-hun pun mengaum dan meninju ke depan.
Ilmu silatnya tidak lemah, tinjunya sangat cepat dan penuh tenaga. Satu tinju yang membawa keganasan seekor macan.

Namun ia hanya memiliki sepasang tinju.
Musuhnya memiliki dua puluh dua macam senjata, termasuk kait, pedang kembar, cambuk ganda, sepasang potlot.

Potlot adalah senjata yang terpendek, namun juga yang paling berbahaya. Orang yang menggunakannya adalah murid ‘Si Pedang Hidup dan Mati’ yang legendaris, seorang ahli jalan darah. Dalam Kitab Persenjataan orang ini tidak berada di bawah ‘Si Palu Hujan dan Angin’, Xiang Song.

Pedangnya adalah Pedang Pinus Menyambar. Arahnya selalu tersembunyi di balik jurus-jurusnya. Serangannya selalu fatal, dan kekuatannya bergerak mendahului pedangnya.
Di antara para ahli pedang di dunia, tidak lebih dari sepuluh orang yang dapat menandinginya.

Tapi yang paling ganas adalah golok.
‘Golok Sembilan Cincin’. Gema dari cincin-cincin yang saling bertabrakan itu dapat mengguncangkan jiwa. Liong Siau-hun segera tersekap dalam libatan angin golok itu.

Potlot Sang Hakim pun berhasil menutup salah satu jalan darah Liong Siau-hun.

Tidak ada suara nafas, yang terdengar hanya jerit kesakitan.

Karena leher Liong Siau-hun telah tertembus. Suara yang akan keluar pun jadi tertahan dan putus.

Hanya ada darah.

Darah yang muncrat dari lehernya bagaikan anak panah mencelat ke atas.
Ia langsung tumbang ke tanah.
Darah membasahi seluruh tubuhnya.
Ia sudah mati sebelum sempat memejamkan matanya.
Matanya masih menatap orang-orang itu. Bola matanya melotot.
Walaupun ia memang datang untuk mati, mengapa mereka tidak membiarkannya bertemu
dengan Siangkoan Kim-hong walau sebentar saja?
Karena perintah yang mereka terima adalah ‘Bunuh Liong Siau-hun di tempat’!
Dan ini adalah perintah Siangkoan Kim-hong!
Perintah Siangkoan Kim-hong kokoh bagaikan gunung.
Kini ‘Ensiklopedi LianHua’ tergeletak begitu saja, basah oleh darah.
Tidak seorang pun meliriknya.
Siapa yang akan tertarik oleh benda yang dimiliki Liong Siau-hun?
Jadi inilah nasib akhir ‘Ensiklopedi LianHua’ yang begitu misterius itu. Berakhir sama seperti banyak kitab ilmu silat hebat yang lain, hilang untuk selama-lamanya.
Apakah ini kemalangan umat manusia? Atau malah keberuntungannya?
Kitab itu dibawa pergi bersama dengan jenazah Liong Siau-hun.
Anggota Kim-ci-pang memang sangat lihai dalam melenyapkan tubuh orang mati. Mereka punya cara tersendiri yang unik untuk melenyapkan jenazah itu.

Manusia itu memang unik.

Mereka bisa mengorbankan banyak hal untuk mencapai sesuatu, namun hal-hal yang berada di depan hidung mereka sendiri, terkadang tidak terlihat.

Apakah ini kebodohan manusia? Atau malah kebijakannya?

***

A Fei tidak punya pedang lagi.

Namun itu tidaklah penting, karena tiba-tiba saja ia dipenuhi oleh rasa percaya diri dan semangat yang membara.

Di tepi jalan ada sebuah hutan bambu kecil. Dan dari tempat ia berdiri saat itu, ia dapat melihat halaman Markas Besar Kim-ci-pang.

A Fei mematahkan satu cabang bambu dan membelahnya menjadi tiga bagian memanjang. Ia
mengasah salah satu ujungnya dan membalutkan kain di ujung yang lain.

Gerakannya sungguh cepat dan akurat. Tidak ada tenaga yang terbuang percuma.

Tangannya pun kokoh dan kuat.

Sun Sio-ang memandanginya dari samping. Ia merasa sangat aneh, tapi sangat tertarik juga.

Tapi mau tidak mau ia mulai merasa ragu. Ia memungut salah satu pedang bambu itu dan merasakan ringannya, bagaikan selembar daun willow.

Lalu ia berseru tertahan, “Apakah pedang semacam ini cukup untuk menghadang Siangkoan Kim-hong?”

Bab 87. Lahir Kembali

A Fei terdiam sekejap, lalu menjawab, “Tidak ada pedang yang cukup baik untuk bisa menghadang Siangkoan Kim-hong.”

Sun Sio-ang pun merenung sejenak dan menyahut, “Lalu…..apa yang harus kita perbuat untuk mengalahkannya?”

A Fei tidak menjawab.

A Fei tahu apa yang harus diperbuat untuk mengalahkan Siangkoan Kim-hong, namun kata-kata tidak bisa keluar dari mulutnya.

Ada banyak kata-kata di dunia ini yang tidak bisa keluar dari mulut manusia.

Sun Sio-ang mengeluh, katanya, “Dan kau pun harus menghadapi banyak orang di samping Siangkoan Kim-hong.”

Tanya A Fei, “Aku hanya ingin tahu, apakah kau yakin bahwa Siangkoan Kim-hong memang ada ke sini?”

“Kurasa dugaanku cukup akurat.”

“Mengapa?”

“Karena di sini, ia bisa berbuat apa saja tanpa diketahui orang luar.”

Tanya A Fei, “Bisa mengalahkan Li Sun-hoan adalah prestasi yang sangat membanggakan. Mengapa ia ingin menyembunyikannya dari orang lain?”

“Kalau seseorang sedang menikmati apa yang disukainya, ia tidak ingin dilihat oleh siapapun juga.”

“Aku tidak mengerti.”

Sun Sio-ang berusaha menjelaskan, “Apa makanan yang paling kau sukai?”

“Aku suka semua makanan sama saja.”

“Kalau aku, aku sangat suka kacang kenari. Setiap kali aku makan kacang kenari, rasanya seperti berada di nirwana. Terlebih lagi di malam musim salju yang dingin. Aku suka bersembunyi dan menikmati kacang kenariku sendirian.”

Ia terkikik geli dan melanjutkan, “Tapi kalau ada orang di sampingku yang melihat aku makan, kacang kenari itu jadi tidak senikmat kalau aku makan sendirian.”

“Jadi maksudmu Siangkoan Kim-hong menganggap bahwa membunuh Li Sun-hoan adalah suatu kenikmatan?”

Sahut Sun Sio-ang, “Itulah sebabnya, aku pun yakin bahwa Siangkoan Kim-hong tidak akan membunuh Li Sun-hoan dengan segera.”

“Kenapa?”

“Kalau aku hanya punya sebuah kacang kenari, tentu saja aku akan lambat-lambat memakannya. Semakin lambat aku makan, semakin lama kenikmatan itu dapat kurasakan. Karena aku tahu, berat rasanya setelah kacang kenari itu habis.”

Perasaan yang hampa.

Namun ia tidak sanggup menucapkan kata ‘hampa’ itu.

Lanjut Sun Sio-ang, “Di mata Siangkoan Kim-hong, hanya ada satu Li Sun-hoan di dunia ini. Setelah ia membunuhnya, ia pasti akan merasa sama seperti aku setelah memakan kacang kenariku yang terakhir. Tapi aku tahu akan lebih berat lagi Siangkoan Kim-hong.”

Perlahan A Fei menyelipkan pedang bambu itu di ikat pinggangnya. Tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Kurasa tidak akan berat perasaanku setelah membunuhnya.”

Sebelum kalimatnya selesai, ia telah melangkah pergi dengan cepat.

Ia tidak berlari tergesa-gesa karena ia ingin siap pada saat sampai di sana. Dalam menghadapi orang seperti Siangkoan Kim-hong, persiapan adalah kunci utama.

Tibalah ia di pekarangan itu. Lalu A Fei menegangkan ototnya dan melemaskannya kembali dengan perlahan-lahan. Ini adalah cara yang terbaik untuk menenangkan dan mempersiapkan diri.

Akhirnya ia melangkah menapaki anak tangga dan menuju ke pintu gerbang itu.

Tiba-tiba, entah dari mana beberapa orang bermunculan – semuanya ada delapan belas orang, semuanya berjubah kuning.

Mereka adalah pasukan garis depan Kim-ci-pang. Ilmu silat mereka semua sulit ditemukan tandingannya.

A Fei menarik nafas panjang dan berkata, “Walaupun aku tidak ingin membunuh, aku tidak bisa bertoleransi pada orang yang menghadang jalanku.”

Seseorang menjawab dengan suara dingin, “Aku tahu siapa kau! Dan memangnya kenapa kalau kami menghadang jalanmu?”

“Maka kau akan mati!”

Suara itu tertawa mengejek. “Membunuh anjing pun kau tidak akan mampu!”

Sahut A Fei tenang, “Aku tidak suka membunuh anjing, dan kau pun bukan anjing.”

Tidak ada kelebat sinar yang tampak, karena pedang bambu memang tidak memantulkan cahaya.

Namun pedang bambu pun bisa membunuh. Paling tidak, di tangan A Fei pedang bambu pun bisa membunuh.

Sebelum tawa orang itu selesai, pedang bambu itu telah menembus lehernya.

Tapi sekarang, pedang bambu itu malah tampak berkilauan.

Berkilau karena tetes-tetes darah segar!

Sepasang Potlot Sang Hakim, Kait Kembar, Golok Sembilan Cincin, dan lima senjata yang lain menyerbu A Fei dengan tenaga serangan yang hebat.

Sepasang goliong menyambar cepat ke arah pedang bambunya.

Sun Sio-ang merasa agak kuatir. Ia tahu bahwa pengalaman tempur A Fei kurang baik. Ia selalu menghadapi musuhnya satu lawan satu. Sangat jarang ia dikepung dan diserang oleh beberapa orang sekaligus.

Pedangnya memang cukup cepat untuk menghadapi satu lawan, namun apakah cukup cepat juga untuk menghadapi banyak lawan sekaligus?

Sun Sio-ang ingin sekali bergegas ke sana untuk memberikan bantuan.

Namun sebelum ia sempat bergerak, ia telah melihat tiga orang tergeletak di tanah.

Sun Sio-ang bisa bersumpah bahwa ia melihat sepasang golok itu menebas pedang bambu A Fei, tapi entah bagaimana, yang tergeletak di tanah itu bukanlah A Fei.

Hanya si pemegang Potlot Sang Hakim yang mengetahui apa sebabnya.

Jurus menutup jalan darahnya selalu sangat akurat, dan juga bertenaga besar. Ia yakin sekali, jurusnya akan mengenai tubuh A Fei.

Tapi beberapa saat saja sebelum potlot di tangannya mengenai tubuh A Fei, ia merasa seluruh tenaganya lenyap.

Pedang bambu A Fei telah menembus lehernya.

A Fei hanya lebih cepat sekejap saja daripada dia.

Tapi sekejap itulah yang menentukan.

Akhirnya, Sun Sio-ang pun terjun dalam pertempuran itu. Tubuhnya menelusup dengan lincah ke sana kemari, bagaikan seekor kupu-kupu yang cantik.

Di antara jago-jago wanita dalam dunia persilatan, banyak yang berilmu tinggi dalam hal meringankan tubuh dan senjata rahasia, karena keduanya tidak memerlukan banyak tenaga. Sangat jarang ditemukan jago wanita yang ahli dalam hal tenaga dalam dan pukulan telapak tangan.

Sun Sio-ang pun tidak terkecuali.

Senjata rahasianya terbang melesat dengan cepat, namun gerakan tubuhnya lebih cepat lagi. Posisi langkahnya tidak lazim dan sangat rumit. Tidak mungkin ada orang yang bisa menangkapnya.

Ia masih yakin bahwa ilmu pedang A Fei hanya bisa digunakan untuk menghadapi satu lawan dan tidak cukup jika digunakan untuk melawan banyak orang.

Cara A Fei memainkan pedangnya memang sangat unik. Sama sekali berbeda dari ilmu-ilmu pedang dari perguruan besar yang sering kita lihat.

Karena dalam jurusnya tidak ada menebas atau memotong. Yang ada hanya menusuk.

Hanya menusuk untuk membunuh.

Tapi entah bagaimana, A Fei dapat menusuk ke segala arah, dan ia dapat menusuk dari berbagai posisi.

Tusukannya bisa dimulai dari dadanya, kakinya, bahkan telinganya!

Ia dapat menusuk ke depan, ke belakang, ke kiri, ke kanan.

Tiba-tiba seseorang berguling ke arahnya dari belakang, dan bagaikan badai salju, berbagai macam senjata pisau beterbangan ke arah A Fei.

Golok Penjelajah Bumi!

Ilmu golok ini sungguh sulit dipelajari, namun jika seseorang berhasil menguasainya dengan baik, kekuatannya bukan main-main.

Tapi A Fei seakan-akan mempunya mata di belakang kepalanya. Dengan lincah ia berkelit dari tombak yang menusuk dari depan dan melontarkan tusukan kuat dari bawah pinggangnya ke belakang, menusuk orang yang menggunakan jurus Golok Penjelajah Bumi itu. Tepat di lehernya!

Pada saat yang sama, seseorang melompat ke depan dari belakang si pemegang tombak. Dengan senjata di kedua belah tangannya, ia mengeluarkan jurus ‘Mendorong Gunung Maju ke Depan’ ke arah A Fei. Jurusnya sangat unik, dan senjatanya lebih unik lagi.

Senjatanya adalah ‘Gada Emas Sayap Burung Hong’.

Senjata ini sangat jarang dijumpai. Gagangnya dipenuhi oleh duri-duri tajam. Walaupun gada itu biasanya digunakan untuk memukul, tapi bisa juga digunakan untuk mengangkat dan melukai musuh dengan ujungnya.

Orang yang tidak beruntung, yang terkena serangan senjata ini, pastilah tubuhnya akan terkoyak habis.

Seharusnya A Fei segera melompat ke belakang untuk menghindari serangan itu.

Tapi jika ia melakukannya, ia akan kehilangan momentum menyerang, dan beberapa senjata yang lain bisa melukainya!

Tapi sudah tentu ia tidak bisa balik menyerang secara langsung. Gada Emas Sayap Burung Hong dapat merobek-robek tubuhnya dengan mudah.

Ini terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan.

Tapi pada saat A Fei kelihatannya sudah di ujung tanduk, tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara.

Sun Sio-ang sempat melihatnya dari sudut matanya dan ia memekik tertahan.

Pada saat itulah, pedang A Fei menusuk ke bawah dari kakinya. Sepasang gada itu pun teracung
ke atas.

Bsst! Ujung pedang bambunya telah tertancap di leher lawannya.

Gada Emas Sayap Burung Hong itu hanya terpaut beberapa inci saja dari dada A Fei. Namun orang yang memegangnya tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh di lehernya dan ia pun
tersungkur ke tanah. Dengan segenap kekuatannya sekalipun, ia tidak bisa mengacungkan gadanya lebih ke atas sedikit lagi.

Bola matanya seolah-olah akan melompat keluar. Ia tidak bisa lagi mengendalikan otot-otot di tubuhnya. Dari pinggang ke bawah, rasanya terasa sangat dingin. Kakinya lemah lunglai dan ia pun tersungkur ke tanah.

Hanya wajah ketakutannya yang masih terpatri di situ.

Ia tidak bisa percaya ada pedang secepat dan seakurat itu dalam dunia ini!

Tapi kini ia pun tidak mungkin lagi dapat memungkirinya.
Tiba-tiba, keheningan mencekam segala penjuru. Tidak seorang pun bergerak lagi.
Semuanya terpana memandang kematian Si Gada Emas Sayap Burung Hong yang mengenaskan itu. Semuanya bisa mencium bau anyir yang keluar dari tubuhnya yang mati.
Beberapa dari mereka mulai bergolak perutnya, serasa ingin muntah.
Tapi mereka bukan ingin muntah karena bau anyir itu. Mereka muntah karena tercekam rasa takut. Seolah-olah baru saat itulah mereka tahu betapa mengerikan dan mengenaskannya ‘kematian’ itu.

Bukan karena mereka takut mati. Hanya saja mati dengan cara seperti itu sungguhlah mengenaskan.

A Fei pun tidak melanjutkan serangannya. Ia berlalu dari kerumunan orang itu.

Ada sembilan orang yang tersisa, dan pandangan kesembilan pasang mata itu mengikuti langkah
A Fei saat ia berlalu dari situ.
Salah seorang dari mereka membungkukkan badannya dan mulai muntah-muntah. Seorang yang lain menjerit seram. Seorang yang lain lagi tersungkur ke tanah dan kejang-kejang.
Ada juga yang segera berlari ke kamar kecil.
Bagaimana Sun Sio-ang dapat menahan diri untuk tidak menangis dan tidak ikut muntahmuntah? Hatinya sungguh dicekam oleh ketakutan yang sangat, juga oleh kesedihan. Ia tidak
bisa mengerti mengapa hidup manusia bisa tiba-tiba menjadi begitu tidak berharga dan rendah.
A Fei terus melangkah maju dengan pedang di tangannya.
Darah masih menetes dari ujungnya.
Pedang ini bukan saja dapat merenggut nyawa manusia, namun juga bisa melucuti harga dirinya.
Pedang yang sangat kejam!
Namun bagaimana dengan si ahli pedang?
Sebuah pintu besar menyambutnya di ujung sana.

Pintu itu tertutup rapat, dan terkunci dari dalam.
Ini adalah kediaman pribadi Siangkoan Kim-hong. Ia sedang menunggu di dalam. Demikian pula Li Sun-hoan.

Siangkoan Kim-hong belum keluar. Artinya Li Sun-hoan belum mati.
Sun Sio-ang penuh dengan rasa suka cita dan ia pun segera menghambur ke depan pintu itu.
Tapi tubuhnya mendadak mengejang!

Pintu itu terbuat dari besi, dan paling tidak tebalnya satu kaki. Tidak ada seorang pun di seluruh dunia ini yang dapat menjebolnya.

Dan sudah tentu, Siangkoan Kim-hong pun tidak akan begitu saja membuka pintu dan mempersilakan mereka masuk.

Sun Sio-ang merasa kepalanya berkunang-kunang, seakan-akan ia baru saja melangkah dari tepi jurang ke dalam neraka yang tidak berujung.

Ia tidak sanggup berdiri tegak lagi, dan ia pun tersungkur di depan pintu itu. Ia pun menangis meraung-raung.

Rencananya sudah gagal. Seluruh usahanya tidak membuahkan hasil apapun.

Mungkin lebih baik kalau ia sudah gagal di permulaan. Tapi, ia sudah berhasil sampai sejauh ini dan tiba-tiba saja harapannya putus begitu saja. Sungguh menyakitkan.

Kekecewaan semacam ini sangat sulit untuk ditanggung.

A Fei yang tadinya berdiri dengan tenang, kini meraung bagaikan binatang buas yang terluka, dan dengan kekuatan penuh ia menyeruduk ke arah pintu besi itu.

Namun ia langsung terpental, lalu tersungkur pula ke tanah. Dengan cepat ia kembali berdiri dan menusukkan pedangnya dengan sekuat tenaga.

Pedang bambu itu pun patah menjadi dua.

Tidak ada sebilah pedang pun yang dapat menembus pintu besi itu, apalagi sebilah pedang bambu!

Bab 88. Kemenangan dan Kekalahan

Kaki A Fei tertekuk saat ia tersungkur dan tubuhnya mulai mengejang. Baru ia sadar bahwa mereka tidak punya jalan keluar yang lain lagi. Perasaan itu membuatnya menjadi setengah linglung.

Namun sudah percuma untuk menangis menggerung-gerung sekalipun.

Li Sun-hoan berada di balik pintu besi ini, disiksa perlahanlahan menantikan kematiannya.

Dan apa yang bisa dilakukan kedua sahabatnya hanyalah menunggu dengan pasrah di luar. Tapi apakah sebenarnya yang mereka tunggu? Apakah mereka menunggu Siangkoan Kim-hong membuka pintu itu?

Jika Siangkoan Kim-hong membuka pintu, itu berarti hidup Li Sun-hoan telah berakhir. Jadi apa yang mereka nantikan? Mereka sedang menantikan suatu kematian.

Tidak mungkin Siangkoan Kim-hong akan menyayangkan nyawa mereka pula. Saat Siangkoan Kim-hong keluar dari pintu itu adalah saat mereka menandatangani surat kematian mereka.

Sun Sio-ang berlari ke arah A Fei dan berusaha menarik A Fei bangun.

“Ayo, cepatlah lari,” kata Sun Sio-ang.

“Kau…..Kau menyuruh aku lari?”

“Tidak ada lagi yang dapat kau lakukan sekarang, aku…..”

Tanya A Fei, “Bagaimana dengan engkau?”

Sun Sio-ang menggigit bibirnya dan berpikir lama. Lalu ia menunduk dan berkata, “Situasiku berbeda.”

“Berbeda?”

“Aku sudah memutuskan sejak lama bahwa jika ia mati, aku pun tidak akan hidup tanpa dia. Tapi kau…..”

Kata A Fei, “Aku memang tidak bermaksud ikut mati menemani dia.”

“Oleh sebab itulah kau harus secepatnya lari.”

“Aku pun tidak bermaksud untuk lari.”

“Kenapa?”

Jawab A Fei singkat, “Kau pasti tahu kenapa.”

Kata Sun Sio-ang, “Aku mengerti, kau pasti ingin membalaskan kematiannya. Tapi itu kan tidak harus sekarang. Kau bisa menunggu….”

“Aku tidak bermaksud untuk menunggu.”

“Tapi jika kau tidak menunggu, maka…..maka…..”

Tanya A Fei, “Maka apa?”

Bibir Sun Sio-ang mulai berdarah.

Serunya lantang, “Maka kaulah yang akan mati!”

A Fei memandangi bekas noda darah di pedang bambunya. Darah itu sudah kering.

Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu, apapun yang akan terjadi, kau akan tetap mencoba. Tapi usahamu akan sia-sia belaka.”

Kata A Fei, “Dan apa gunanya juga kau menunggu di sini untuk mati bersama dengan dia?”

Sun Sio-ang tidak punya jawaban.

Kata A Fei lagi, “Kau menunggu di sini karena kau tahu bahwa ada hal-hal tidak akan berhasil, namun tetap saja harus kau lakukan.”

Sun Sio-ang akhirnya mengeluh panjang dan berkata, “Makin lama perkataanmu semakin mirip dengan perkataannya.”

A Fei terdiam dan menganggukkan kepalanya.

Ia mengakuinya. Tidak mungkin ia menyangkalnya.

Setiap orang yang pernah berteman dengan Li Sun-hoan tidak mungkin tidak terimbas oleh sikapnya yang tidak pernah mementingkan diri sendiri.
Jika ia tidak pernah bertemu dengan Li Sun-hoan, mungkin A Fei telah kehilangan kepercayaan terhadap sesama manusia sejak lama.

‘Jangan percaya kepada siapapun juga, dan jangan pernah menerima kebaikan orang lain; kalau kau tidak menurutinya, hidupmu akan penuh dengan berbagai macam penderitaan.’

Ibu A Fei harus menanggung duka dan derita seumur hidupnya. Tidak pernah sekalipun A Fei melihat ibunya tersenyum. Ia telah meninggal dalam usia muda, mungkin karena ia telah putus harapan dalam hidupnya.

‘Aku bersalah kepadamu. Seharusnya aku menunggu sampai kau dewasa, baru aku meninggalkan dunia ini. Tapi aku sungguh tidak tahan lagi, aku merasa sangat lelah…. Maafkan aku, aku tidak dapat meninggalkan apa-apa untukmu, hanya sedikit pesan ini saja. Aku harus hidup menderita seumur hidupku untuk mempelajarinya, jadi jangan pernah lupa akan pesanku ini.’

A Fei tidak pernah lupa akan pesan ibunya.

Waktu ia meninggalkan alam bebas dan masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat, ia tidak sedang berusaha mencari penghidupan yang lebih baik. Sebaliknya, ia ingin membalas dendam terhadap umat manusia, siapa pun juga, atas penderitaan ibunya.

Tapi ironisnya, orang yang pertama ditemuinya adalah Li Sunhoan.

Li Sun-hoan telah membuatnya sadar bahwa hidup itu tidak melulu penderitaan dan duka nestapa. Li Sun-hoan membuatnya sadar bahwa kematian bukanlah suatu hal yang buruk dan mengerikan, seperti yang dulu dipikirnya. Ia telah belajar begitu banyak dari Li Sun-hoan.

Awalnya ia sungguh yakin bahwa moralitas dan keluhuran budi itu tidak ada dalam dunia nyata.

Tapi Li Sun-hoan telah menyentuh hidupnya begitu rupa, bahkan lebih daripada ibunya sendiri.

Karena yang didengungkan Li Sun-hoan adalah ‘cinta’, bukan ‘benci’.

Cinta memang selalu lebih mudah diterima daripada benci.

Namun kini, begitu sulitnya A Fei memadamkan api kebencian yang sedang berkobar dalam hatinya.

Kobaran kebencian ini mendorongnya untuk menghancurkan. Menghancurkan orang lain, menghancurkan diri sendiri, menghancurkan segala sesuatu.

Ia sungguh merasa bahwa hidup itu sama sekali tidak adil. Bahwa orang seperti Li Sun-hoan harus berakhir seperti ini.

Sun Sio-ang menghela nafas dengan berat. Katanya, “Jika Siangkoan Kim-hong tahu kita berdiri di sini menantikan dia, ia pasti sangat berbahagia.”

A Fei mengertakkan giginya dan berteriak, “Biar saja dia berbahagia! Hanya orang baik saja yang selalu menderita. Kebahagiaan hanya dianugerahkan kepada orang-orang jahat!”

Tiba-tiba terdengar suara berseru, “Kau salah besar!”

Walaupun pintu besi itu begitu berat, ternyata saat pintu itu dibuka, tidak kedengaran derit
sedikit pun.

Oleh sebab itulah, mereka berdua tidak menyadari bahwa pintu itu telah dibuka.

Seseorang melangkah perlahan keluar dari sana…..dan ia adalah Li Sun-hoan!

Ia kelihatan lelah dan letih, namun ia hidup.

Yang terpenting adalah ia hidup!

A Fei dan Sun Sio-ang menoleh dan menatapnya dengan mulut ternganga. Air mata langsung mengalir membasahi wajah mereka.

Air mata bahagia. Dalam kegembiraan dan kesedihan, selain air mata, tidak ada lagi yang perlu dilakukan, tidak ada lagi yang perlu diucapkan. Tidak seorang pun bergerak.

Mata Li Sun-hoan pun telah terasa panas dan basah oleh air mata. Dengan tersenyum ia berkata, “Kau salah besar. Orang yang baik tidak akan menderita dalam keputusasaan. Dan penderitaan yang dialami orang yang jahat akan jauh lebih besar daripada kebahagiaannya.”

Sun Sio-ang memburu ke arahnya dan jatuh ke dalam pelukan Li Sun-hoan. Ia menangis tersedu-sedu.

Ia tidak bisa berhenti menangis saking bahagianya.

Setelah beberapa saat, akhirnya A Fei mendesah dan tidak dapat membendung pertanyaannya.
“Di manakah Siangkoan Kim-hong?”

Li Sun-hoan membelai rambut Sun Sio-ang dengan lembut sambil menjawab, “Ia pasti menderita sekarang, karena ia telah membuat satu kesalahan.”

“Kesalahan apa yang diperbuatnya?”

“Sesungguhnya ia punya begitu banyak kesempatan untuk membunuhku. Ia bisa memojokkanku sampai aku tidak bisa lagi mempertahankan diri. Tapi ia tidak menggunakan kesempatan itu.”

Bagi seseorang seperti Siangkoan Kim-hong, mengapa ia sengaja melepaskan kesempatan sebaik itu?

Sun Sio-ang pun ikut bertanya, “Kenapa bisa begitu?”

Li Sun-hoan tersenyum dan berkata, “Karena ia ingin berjudi.”

Mata Sun Sio-ang berkilat dan ia berkata, “Ia pasti tidak percaya akan perkataan ‘Pisau Terbang Li Kecil, sekali sambit tidak pernah luput’!”

“Ia tidak percaya ….. ia tidak percaya pada siapapun juga.

Tidak ada satu pun dalam dunia ini yang dipercayainya,” kata Li Sun-hoan.

Tanya Sun Sio-ang, “Dan bagaimana jadinya?”

“Jadinya, ia sudah kalah!”

Ia sudah kalah!

Tiga kata yang sederhana.

Kemenangan dan kekalahan ditentukan dalam sekejap saja.Tapi betapa menegangkannya, betapa menakjubkannya satu kejap itu!
Satu kilatan cahaya itu pasti begitu mengerikan. Namun juga begitu mempesona.
Satu-satunya kekecewaan Sun Sio-ang adalah bahwa ia tidak bisa menyaksikan apa yang terjadi dalam satu kejap itu.

Ia tidak perlu melihatnya dengan mata kepala sendiri. Hanya memikirkannya saja, membuat jantungnya berdegup kencang!
Meteor pun begitu indah dan menawan.
Meteor meluncur membelah langit malam dengan cahayanya yang terang berkilat, membuat siapapun yang melihatnya pasti tergugah hatinya.

Tapi meteor tidak dapat dibandingkan dengan kilatan sinar sebilah pedang.

Cahaya meteor tidak hidup lama.
Namun kegemilangan sebilah pedang akan bercahaya selama-lamanya!
Pintu itu telah terbuka.
Tidak ada yang bisa memisahkan dunia ini lagi.
Jika seseorang ingin mengasingkan diri dari dunia, ia pasti telah terlebih dulu ditolak oleh dunia ini!

A Fei melangkah masuk ke dalam. Yang pertama terlihat olehnya adalah pisau itu, pisau yang penuh misteri.

Pisau Terbang Li Kecil!

Pisau itu tidak menembus leher Siangkoan Kim-hong, namun cukup untuk mengambil nyawanya.

Pisau itu masuk tepat di pangkal lehernya, menembus tulang bahunya, dan mengarah ke atas.
Pisau itu pasti dilepaskan dari tempat yang sangat rendah.

Wajah Siangkoan Kim-hong kelihatan ketakutan dan tidak percaya. Sama seperti ekspresi sebagian besar orang yang dibunuh Li Sun-hoan sebelum dia.

Semua kehidupan diciptakan sama. Terutama di hadapan kematian, kita semua sama. Tapi sayang, banyak orang menyadarinya setelah hasil akhir ditentukan.

Wajah Siangkoan Kim-hong penuh dengan rasa terkejut, ragu, dan tidak percaya.

Ia sama seperti yang lain, ia tidak percaya ada pisau yang begitu cepat.

Bahkan A Fei pun sulit percaya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Li Sun-hoan menyambitkan pisau itu.

Ia ingin sekali Li Sun-hoan menceritakan segala sesuatu dengan detil, tapi ia tahu bahwa Li Sunhoan tidak akan melakukannya.
Kegemilangan cahaya dalam satu kejap itu. Kecepatan sambitan pisaunya. Keduanya tidak dapat diterangkan dengan kata-kata.

‘Ia sudah kalah!’

Tangan Siangkoan Kim-hong masih terkepal erat, seolah-olah sedang berpegangan pada sesuatu. Apakah ia masih tidak mau percaya akan apa yang terjadi sampai akhirnya?

A Fei tiba-tiba merasa muram, seakan-akan ia bersimpati pada orang ini. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia merasa begitu.

Mungkin ia bukan bersimpati pada Siangkoan Kim-hong, melainkan pada dirinya sendiri.

Karena ia adalah manusia, dan Siangkoan Kim-hong pun adalah manusia. Semua manusia memiliki rasa sedih dan penderitaan yang serupa.

Walaupun bukan ia yang kalah, apakah yang ia pegang erat-erat? Apakah yang sesungguhnya telah didapatkannya?

A Fei terpekur sekian lama, lalu menolehkan kepalanya.

Yang ditemukannya adalah Hing Bu-bing.

Seolah-olah Hing Bu-bing tidak menyadari ada orang yang masuk ke situ. Walaupun selama itu ia berdiri tepat di belakang A Fei, seakan-akan ia sedang berdiri di dunia lain.

Walaupun matanya menatap lurus pada Siangkoan Kim-hong, sebenarnya ia sedang menatap dirinya sendiri.

Hidup Siangkoan Kim-hong adalah hidupnya. Ia adalah bayangan Siangkoan Kim-hong.

Ketika hidup sudah musnah, bagaimana mungkin bayangannya bisa tetap ada?

Kapan pun dan di mana pun, setiap kali Hing Bu-bing berdiri di dekatnya, orang akan merasakan aura membunuh melingkupi dirinya.

Tapi sekarang, aura itu sudah hilang lenyap.

Ketika A Fei masuk ke dalam situ, ia bahkan tidak menyadari ada jiwa lain di sana.

Walaupun Hing Bu-bing masih hidup, yang tinggal hanyalah tubuhnya yang hampa. Ia bagaikan sebilah pedang yang telah kehilangan ketajamannya. Sama sekali tidak ada fungsinya lagi.

A Fei mengeluh panjang dalam hatinya. Ia sungguh mengerti perasaan Hing Bu-bing.

Karena ia pun pernah mengalami perasaan yang sama.

Setelah beberapa lama, Hing Bu-bing berjalan menuju mayat Siangkoan Kim-hong dan mengangkatnya dengan kedua tangannya.

Ia masih belum melihat ada orang lain di situ. Dengan perlahan, ia berjalan menuju ke pintu.
Tanya A Fei, “Kau tidak ingin membalas dendam?”
Hing Bu-bing tidak menoleh. Kecepatan langkahnya pun tidak berubah.
A Fei tertawa dingin. “Kau takut ya?”
Hing Bu-bing tiba-tiba berhenti.
Kata A Fei, “Masih ada pedang di pinggangmu. Mengapa kau takut untuk menghunusnya? Kecuali pedang itu hanya untuk pajangan saja.”
Hing Bu-bing memutar badannya.

Mayat itu jatuh ke tanah dan pedang pun melayang keluar dari pinggangnya.

Pedang itu berkelebat maju, menyerang langsung ke arah leher A Fei!

Ia memang sangat cepat, secepat biasanya. Tapi entah bagaimana, ketika pedang itu sudah sampai setengah kaki dari targetnya, pedang bambu A Fei telah tiba di lehernya!

A Fei telah membuat tiga pedang bambu. Ini adalah yang kedua.
Ia memandang Hing Bu-bing dan berkata perlahan, “Kau memang luar biasa cepat, namun kau tidak bisa lagi membunuh. Tahukah kau kenapa?”
Hing Bu-bing menurunkan pedangnya.
“Karena keinginanmu untuk mati lebih besar daripada musuhmu. Itulah sebabnya kau tidak bisa lagi membunuh.”Mata Hing Bu-bing yang biasanya mati, mendadak bercahaya, penuh kesedihan.

Setelah lama memandang A Fei, akhirnya ia menjawab singkat, “Ya.”

Kata A Fei, “Aku bisa membunuhmu.”

“Ya.”

“Tapi aku tidak akan membunuhmu.”

“Kau tidak akan membunuhku?” tanya Hing Bu-bing kaget.

“Aku tidak akan membunuhmu karena engkau adalah Hing Bu-bing!”

Otot-otot wajah Hing Bu-bing bergerak-gerak.

Ini adalah perkataan yang tepat sama, yang diucapkannya kepada A Fei saat pertama kali mereka bertempur. Namun hari ini, perkataannya telah berbalik menjadi perkataan A Fei.

Ia memikirkan perkataan ini dengan murka. Seolah-olah api telah berkobar di matanya, bagaikan seonggok abu yang tiba-tiba tersulut lagi.

A Fei memandangnya dan berkata, “Kau boleh pergi sekarang.”

“Pergi…..?”

“Kau pernah memberikan kesempatan kedua kepadaku. Kini aku pun memberikan kesempatan kedua kepadamu….kesempatan yang terakhir.”

Ia memandangi punggung Hing Bu-bing yang melangkah keluar. Perasaan yang aneh bergelora dalam hatinya.

‘Gigi balas gigi, darah balas darah.’
Apa yang dulu diberikan Hing Bu-bing kepadanya, kini telah dibayarnya lunas.

Ketika hati manusia sudah mati, hanya dua hal yang bisa membuat orang itu terus hidup.

Yang satu adalah cinta, yang lain adalah benci.

A Fei bisa terus hidup karena cinta. Dan kini ia ingin memperpanjang hidup Hing Bu-bing oleh kebencian.

Tapi sungguh, ia hanya ingin Hing Bu-bing terus hidup.

Jika ini adalah balas dendam, ini adalah cara membalas dendam yang tidak mementingkan diri sendiri. Kalau semua balas dendam dilakukan dengan cara ini, sejarah umat manusia akan jauh lebih cerah. Dan tidak dapat diragukan bahwa kehidupan umat manusia akan berlanjut untuk selama-lamanya.

Dalam bentuk apapun, balas dendam itu selalu memuaskan hati.
Namun apakah saat ini A Fei sungguh bergembira?
Ia hanya merasa lelah, sangat sangat lelah…..dan pedang di tangannya pun terlepas, jatuh ke tanah.
Selama itu Sun Sio-ang hanya memandangnya dari jauh. Baru saat itu, ia berani menghela nafas lega.

‘Amat mudah membunuh seseorang. Yang teramat sulit adalah meyakinkan seseorang untuk mau terus hidup.’

Ini adalah perkataan Li Sun-hoan.

Siapapun dia, apapun situasinya, metode yang digunakannya selalu sama, yaitu dengan cinta kasih, bukan kebencian. Karena Li Sun-hoan tahu, kebencian hanya akan membawa kehancuran.
Namun kekuatan cinta dapat memberikan hidup yang kekal.

Cintanya hanya akan bertambah lebar seiring dengan waktu. Kepribadiannya akan selalu mengutamakan sesama manusia, untuk selama-lamanya.

Sun Sio-ang baru menyadari bahwa A Fei telah berubah menjadi sama seperti Li Sun-hoan.

Ia tidak tahan dan melirik ke arah Li Sun-hoan.

Li Sun-hoan tampak begitu letih dan lelah, sampai-sampai tidak bisa lagi berbicara.

Sun Sio-ang menatapnya sampai lama, baru akhirnya tersenyum dan berkata, “Kalian berdua baru saja mengalahkan dua pesilat yang paling tangguh di seluruh dunia. Dua kekuatan gabungan yang terbesar baru saja kalian hancurkan. Kalian berdua seharusnya bergembira, tapi tidak kulihat secercah pun cahaya kebahagiaan di wajah kalian. Seolah-olah kalian berdualah yang baru saja kalah.”

Bab 89. Penutup

Li Sun-hoan terdiam beberapa saat. Lalu ia mendesah dan berkata perlahan, “Ketika seseorang menang, ia selalu merasa sangat kelelahan dan kesepian.”

“Kenapa?” tanya Sun Sio-ang.

“Karena ia telah berhasil, ia telah mencapai tujuannya. Tidak akan ada lagi yang diharapkannya, yang dinanti-nantikannya. Tapi orang yang menderita kekalahan justru akan semakin terpacu untuk berusaha lebih giat lagi.”

Sun Sio-ang kembali menggigit bibirnya dan berkata, “Jadi ternyata, kemenangan pun tidak terasa manis.”

Li Sun-hoan terdiam. Lalu ia menyahut sambil tersenyum, “Walaupun rasa kemenangan pun sulit ditanggung, itu masih lebih ringan daripada rasa kekalahan.”

Keberhasilan dan kemenangan tidak akan memberikan kepuasan, tidak juga membawa kebahagiaan.

Kebahagiaan sejati hanya dapat diraih saat menjalani perjuangan yang kau alami seumur hidupmu.

Jika kau sempat menikmati kebahagiaan seperti itu, hidupmu sungguh tidak sia-sia.

Paviliun adalah tempat orang bertemu untuk mengucapkan salam perpisahan. Perpisahan memang selalu membawa perasaan yang mengharu-biru.

Oleh sebab itu, hanya dengan mengucapkan kata ‘paviliun’, kesedihan pun sudah bisa terasa.

Hujan telah berhenti. Rerumputan basah dan kelihatan kacau.

Di luar paviliun, dekat jalan raya, sepasang muda-mudi sedang mengucapkan salam perpisahan mereka.

Seorang pemuda yang bersemangat dan seorang gadis yang penuh gairah. Tampak jelas, bahwa mereka sedang dimabuk cinta. Ia seharusnya tetap tinggal dan menikmati kegembiraan masa mudanya. Mengapa ia berkeras ingin pergi?

Terlihat pedang di sisinya. Namun pedang setajam apapun tidak dapat memisahkan cinta masa muda dan mimpi-mimpinya. Mata pemuda itu terlihat merah, sepertinya ia habis menangis.

“Kau telah menemaniku sejauh ini. Sudahlah, kau pulang saja.”

Si gadis menundukkan kepalanya dan bertanya, “Kapankah engkau akan kembali?”

“Aku belum tahu. Mungkin setahun, dua tahun,…..”

Air mata si gadis kembali mengalir membasahi pipinya. Ia berkata, “Mengapa kau harus membuatku menunggu begitu lama? Mengapa kau harus pergi?”

Si pemuda menegakkan tubuhnya dan menjawab, “Aku telah mengatakannya kepadamu. Aku ingin menemukan mereka, dan mengalahkan mereka satu per satu!”

Pandangan mata si pemuda menuju ke kejauhan. Cahaya terang terpancar dari matanya. Lanjutnya, “Orang-orang yang tercantum dalam Kitab Persenjataan. Siangkoan Kim-hong, Li Sunhoan, Guo Song Yang, Lu Feng Xian….. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku lebih hebat daripada mereka semua. Dan setelah itu…..”

Potong si gadis, “Dan setelah itu apa? Kita sudah begitu berbahagia sekarang. Setelah kau kalahkan mereka semua, apakah kita akan lebih berbahagia?”

Jawab si pemuda, “Mungkin juga tidak. Tapi, ini harus kulakukan!”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak bisa menyia-nyiakan setengah hidupku tanpa arti seperti ini. Aku ingin membuat nama bagi diriku sendiri. Aku ingin terkenal seperti Siangkoan Kim-hong dan Li Sunhoan. Dan aku yakin, aku pasti berhasil!”

Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia sungguh-sungguh sudah bertekad bulat.

Si gadis memandang kepadanya dengan tatapan kagum. Matanya penuh dengan kelembutan dan kehangatan. Akhirnya ia mendesah dan berkata dengan lembut, “Aku pun yakin bahwa kau akan berhasil. Sampai kapan pun kau pergi, aku akan menunggumu di sini dengan setia.”

Hati mereka penuh dengan kesedihan karena akan berpisah, namun juga penuh dengan harapan akan kebahagiaan yang akan datang.

Tentu saja kedua orang itu tidak akan menyadari kehadiran orang lain.

Dari balik hutan, ada dua pasang mata yang sedang menatap mereka.

Ketika si pemuda mulai melangkah menapaki jalan raya yang panjang di hadapannya, Sun Sioang menghela nafas dan berkata, “Kalau saja dia tahu nasib seperti apa yang dialami Siangkoan Kim-hong, mungkin ia tidak akan begitu mudah meninggalkan kekasih hatinya….”

Apa yang terjadi setelah seseorang membuat nama untuk dirinya sendiri?

Sun Sio-ang memandang Li Sun-hoan dengan mata penuh air mata. Lanjutnya, “Ia ingin menjadi terkenal seperti engkau, tapi kau…..apakah kau memang lebih berbahagia daripada dia? Kurasa…..Kurasa jika kau berada di tempatnya, kau tidak akan berbuat seperti itu.”

Mata Li Sun-hoan masih terpaku pada sosok si pemuda yang berjalan semakin jauh, dan akhirnya hilang dari pandangan. Jawabnya, “Jika aku ada di tempatnya, aku pun akan berbuat seperti itu.”

“Kau……”

“Manusia harus selalu memiliki tujuan dan ambisi. Dan terkadang, kita harus berani meninggalkan segala sesuatu demi meraih cita-cita itu. Apapun hasilnya, apakah itu keberhasilan atau kegagalan, itu tidaklah penting.”

Senyum kepuasan tergambar di sudut bibir Li Sun-hoan. Matanya pun cerah dan bercahaya. Lanjutnya, “Ada orang yang akan menganggap itu sangat bodoh, namun tanpa pikiran seperti itu, apa jadinya dunia kita ini?”

Kini mata Sun Sio-ang pun penuh kelembutan dan kekaguman, sama seperti mata si gadis tadi. Ia, seperti si gadis di paviliun itu, sangat bangga akan kekasihnya.

A Fei yang sejak tadi berdiri agak jauh, perlahan-lahan berjalan mendekati mereka.

Namun Sun Sio-ang masih menggenggam tangan Li Sun-hoan erat-erat, tidak ingin dilepaskannya. Ia tidak merasa malu. Ia tidak menganggap bahwa rasa cintanya terhadap Li Sun-hoan harus disembunyikan.

Kalau bisa, ia bahkan ingin menyerukan pada seluruh dunia betapa ia mencintai Li Sun-hoan.

Kata A Fei, “Kelihatannya ia tidak akan datang.”

Mereka berencana untuk bertemu dengan Lim Si-im di situ.

Mereka sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi di antara Lim Si-im dan Liong Siau-hun.
Sama seperti si pemuda tadi, tidak tahu apa yang telah terjadi pada Siangkoan Kim-hong.

Ada hal-hal yang lebih baik tidak kita ketahui.

Ketika ia berpikir tentang Lim Si-im, tanpa terasa genggaman tangan Sun Sio-ang pada Li Sunhoan mengendur. Tapi dengan segera ia kembali menggenggamnya kuat-kuat, bahkan lebih dari sebelumnya. Katanya, “Ia telah berjanji untuk bertemu denganku di sini. Aku yakin, ia pasti akan datang.”

“Ia tidak akan datang!” kata A Fei.

“Kenapa?” tanya Sun Sio-ang.

“Karena ia tahu bahwa tidak ada gunanya ia datang kemari.”

Sun Sio-anglah yang bertanya, tapi waktu A Fei menjawab, matanya terarah kepada Li Sun-hoan. Li Sun-hoan pun tidak berusaha melepaskan genggaman tangan Sun Sio-ang. Dulu, setiap kali ia mendengar orang menyebut nama Lim Si-im, ia akan merasa sedih dan tertekan. Seolah-olah seluruh tubuhnya dikunci dengan belenggu.

Ia selalu menanggung beban kesedihan ini di punggungnya.
Namun kini, kesedihan itu tidak lagi seberat sebelumnya. Apakah yang telah membebaskannya? Perasaannya terhadap Lim Si-im telah terpupuk begitu lama.
Tentu saja perasaan itu menjadi teramat dalam.
Tapi, walaupun ia baru mengenal Sun Sio-ang sebentar saja, mereka berdua telah mengalami kesukaran yang paling berat bersama-sama. Mereka telah melalui lautan api hidup dan mati.
Oleh sebab itukah, perasaan mereka menjadi lebih dalam?
Saat itu, Lim Si-im telah lama pergi.
A Fei benar – ia tidak datang, karena ia tidak perlu datang.
Liong Siau-hun muda (Liong Siau-in) pun pernah menanyakan pada ibunya, “Mengapa kau tidak memperbolehkan aku menemuinya sekali lagi saja?”
Lim Si-im balas bertanya, “Untuk apa kau menemuinya?”
“Aku hanya ingin ia tahu, mengapa ayah sampai mati,” kata Liong Siau-hun muda (Liong Siau-in) sambil mengertakkan giginya.

Apapun yang telah diperbuat Liong Siau-hun di masa lalu, ia telah membasuhnya bersih dengan darahnya sendiri.
Sebagai seorang anak, ia pasti ingin seluruh dunia mengetahuinya.
Tapi Lim Si-im tidak berpikir demikian. Katanya, “Ia melakukan apa yang dilakukannya, hanya karena ia merasa itulah yang harus dilakukan. Bukan karena ia ingin memohon pengampunan orang lain, juga bukan karena ingin seluruh dunia mengetahuinya.”
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan lagi, “Bukan saja ia telah melunasi hutang-hutangnya, ia pun telah melunasi hutanghutang kita. Selama kita hidup berbahagia, aku yakin ayahmua akan bisa beristirahat dengan tenang.”

Lim Si-im pun tidak ingin berjumpa dengan Li Sun-hoan, karena ia tahu bahwa perjumpaan itu hanya akan membawa kesedihan belaka.

Mereka pun tidak berusaha mencari mayat Liong Siau-hun, karena mereka tahu bahwa Kim Cipang (Partai Uang Emas) selalu membuang mayat orang yang mereka bunuh dengan cepat dan efisien.

Dan jika mereka memaksa mencari, yang akan mereka dapatkan hanyalah kesedihan. Hal ini pun dipahami oleh Sun Sio-ang. Mayat kakeknya pun tidak akan pernah ditemukan.

Ada hal-hal dalam hidup ini yang tidak bisa dikendalikan.

Siapapun tidak dapat mengendalikannya.

Walaupun hal-hal ini sulit diterima, kita hanya dapat mencari jalan untuk melaluinya, dan hidup terbebas dari belenggunya.

Mereka telah bertekad bulat untuk terus hidup! Karena kematian bukanlah solusi permasalahan mereka – kematian bukanlah solusi permasalahan apapun juga.

Ada sekelompok orang lain yang sedang mengucapkan salam perpisahan di paviliun itu.

Kali ini, A Feilah yang mengucapkan salam perpisahan. Ia berkata bahwa ia ingin bertualang pergi ke lautan luas, mencari rempah-rempah yang dapat membuat manusia hidup selamalamanya dan mencari dewa umur panjang.

Tentu saja ia berbohong, namun Li Sun-hoan tidak berusaha mencegahnya pergi.

Karena asal-usul A Fei pun merupakan suatu misteri. Ia tidak suka membicarakannya, bahkan dengan Li Sun-hoan sekalipun. Namun setiap kali Li Sun-hoan menyebut nama Shen Lang, Xiong Mao Er, Wang LianHua, Zhu QiQi, dan para pendekar lain dari generasi sebelumnya, wajah A Fei selalu berseri-seri dengan suatu ekspresi yang aneh.

Apakah ada hubungan antara A Fei dengan para pendekar di masa lalu itu?

Apakah itulah sebabnya ia memutuskan untuk bertualang di lautan lepas?

Li Sun-hoan tidak berusaha menanyakannya.

Karena ia tahu bahwa masa lalu seseorang tidaklah penting.

Manusia bukanlah anjing, bukan juga kuda. Silsilah keturunan bukanlah hal yang penting sama sekali.

Kita ingin menjadi orang seperti apa, itu semua ada di tangan kita masing-masing.

Itulah yang terpenting dan terutama.

Ketika sahabat berpisah, biasanya ada ucapan-ucapan selamat, juga ada banyak kesedihan dan emosi. Tapi di antara Li Sun-hoan dan A Fei, yang ada hanyalah ucapan selamat, tidak ada kesedihan sama sekali.

Karena yang satu tahu pasti bahwa yang lain akan hidup berbahagia. Bahwa akan ada banyak kesempatan untuk bertemu kembali di kemudian hari.

Terutama ketika A Fei melihat tangan Li Sun-hoan, hatinya menjadi tenteram.

Tangan Li Sun-hoan masih menggenggam erat tangan Sun Sio-ang.

Tangan itu telah memegang pisau terlalu lama. Telah memegang cawan anggur terlalu lalu lama. Pisau itu terlalu kejam dan cawan anggur terlalu dingin. Tangan itu pantas untuk merasakan kehangatan mulai sekarang.

Adakah dalam dunia ini yang lebih hangat daripada tangan kekasih hatimu? A Fei tahu bahwa Sun Sio-ang akan menghargai tangan itu, lebih daripada orang lain. Walaupun tangan itu masih penuh dengan luka-luka pertempuran panjang di masa lalu, dengan berjalannya waktu ia pasti dapat pulih kembali.

Tentang dirinya sendiri, tentu saja ia pun mempunyai luka-luka lama.

Tapi ia tidak ingin membicarakannya lagi.

‘Masa lalu sudah berlalu……’

Perkataan ini sepertinya sangat sederhana, tapi orang yang mampu melakukannya sungguh teramat sedikit.

Namun Li Sun-hoan dan A Fei, mereka berdua telah berhasil lepas dari masa lalu mereka masingmasing.

Tiba-tiba A Fei berkata, “Aku akan kembali tiga tahun lagi.”

Ia memandang tangan mereka berdua yang masih bertaut dan tersenyum. “Waktu aku kembali, sebaiknya kau segera mentraktirku minum arak.”

Sahut Li Sun-hoan, “Itu sudah pasti, tapi tiga tahun adalah waktu yang sangat lama.”

“Namun arak yang ingin kuminum itu arak yang spesial. Aku tidak tahu apakah kalian berdua bersedia menjamuku dengan arak itu.”

Tanya Sun Sio-ang, “Arak apa sih yang kau inginkan?”

“Tentu saja arak pernikahan kalian,” jawab A Fei sambil tersenyum lebar.

Arak pernikahan. Tentu saja arak pernikahan.

Karena arak pernikahan memang membutuhkan tiga tahun lamanya. Tiga tahun untuk berduka atas kematian kakeknya.

Wajah Sun Sio-ang langsung bersemu merah.

Kata A Fei, “Aku telah mencicipi berbagai macam arak, kecuali yang satu ini. Kuharap kalian berdua tidak mengecewakan aku.”

Semakin merah wajah Sun Sio-ang dibuatnya. Ia menundukkan kepala, namun mencuri-curi pandang pada Li Sun-hoan.

Ekspresi wajah Li Sun-hoan pun tampak aneh. Kata ‘arak pernikahan’ sama sekali tidak disangkanya. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya ia berkata, “Aku telah mengundang orang minum berbagai macam arak, namun aku belum pernah mengundang orang untuk minum arak pernikahan. Kau tahu sebabnya?”

Tentu saja A Fei tahu jawabannya, namun Li Sun-hoan tidak menginginkan dia menjawabnya.

Jadi Li Sun-hoanlah yang menjawab sendiri pertanyaannya, “Arak pernikahan itu terlalu mahal.”

“Terlalu mahal?” tanya A Fei heran.

Li Sun-hoan tersenyum dan berkata, “Ketika seorang pria menjamu orang lain dengan arak pernikahannya, itu berarti ia mengakui ia bersedia membayar hutang-hutangnya sedikit demi sedikit seumur hidupnya. Sayangnya, aku bukan orang yang suka mengecewakan sahabatsahabatnya.”

Sun Sio-ang memekik dan menghambur ke pelukan Li Sunhoan.

A Fei pun tertawa.

Ia sudah tidak tertawa seperti ini begitu lama.

Dengan satu tawa itu, tiba-tiba ia merasa bertambah muda. Semangat dan rasa percaya dirinya meluap-luap. Harapan dan cita-citanya pun bertunas kembali.

Bahkan sepotong kayu kering pun tampak begitu hidup di matanya. Karena ia tahu bahwa dari kayu lapuk itu akan muncul kehidupan yang baru. Tidak berapa lama lagi tunas-tunas pohon baru akan bermunculan di sana.

Ia tidak menyangka begitu besarnya pengaruh ‘tawa’ itu.

Ia tidak hanya mengagumi Li Sun-hoan, ia pun sangat berterima kasih kepadanya. Karena tidak mudah bagi seseorang untuk melepaskan tawa yang sudah terpendam begitu lama. Tapi jika seseorang bisa membangkitkan tawa orang lain, itu lebih berharga lagi.

‘Menambahkan kaki pada gambar ular’ adalah suatu tindakan yang tidak perlu, juga suatu tindakan yang tolol.

Namun sudah ada begitu banyak ketidakpuasan dalam dunia ini. Mengapa kita tidak membantu menguranginya dengan sedikit tawa?

Tawa adalah seperti minyak wangi. Tidak hanya membuat diri sendiri menjadi lebih baik, namun juga membuat orang lain bergembira.

Apa salahnya bersikap sedikit tolol, kalau itu bisa membawa tawa bagi orang lain?

TAMAT