Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 19 November 2012

Peristiwa Bulu Merak - Khu Lung 22 s/d tamat

Nah sampai ke bagian terakhir... alias tamat


Bab 22. Kongcu Gi

Orang macam apakah Kongcu Gi sebenarnya? Apakah tangannya memegang pedang?

Pho Ang-soat tidak menoleh, juga tidak bergeming. Dia tidak boleh bergerak.

Karena dia sudah merasakan adanya hawa membunuh yang kuat tak terlawankan, tiada lubang yang bisa dimasukinya. Maka bila dia bergerak, entah dengan gerak apa, kemungkinan lawan akan memperoleh kesempatan untuk turun tangan. Umpama gerakkan mengejang dari urat daging di badannya sekalipun, juga kemungkinan akan mengundang kesalahan yang fatal.

Walaupun dia tahu manusia macam Kongcu Gi pasti takkan sudi menyerang lawan dari belakang, tapi dia tidak bisa tidak harus bersiaga.

Mendadak Kongcu Gi tertawa, nada tawanya pun sopan dan ramah, katanya, “Memang tidak malu sebagai jago kosen tiada bandingan di kolong langit.”

Pho Ang-soat mempertahankan ketenangan, dia tetap bersikap kalem dan diam.

Coh-hujin mengedipkan kedua matanya, katanya, “Bergeming pun tidak, darimana kau bisa menilai bahwa dia seorang kosen?”

“Justru karena dia tidak bergeming, maka dia adalah orang kosen yang tiada bandingan di dunia ini.”

“Apakah tidak bergerak lebih sukar dari bergerak?”, tanya Coh-hujin.

“Jauh lebih sukar.”

“Aku tidak mengerti.”

“Kau harus tahu, kalau kau menjadi Pho Ang-soat, mendadak tahu aku sudah berada di belakangmu, lalu bagaimana reaksimu?”

“Aku pasti amat kaget.”

“Kaget jelas akan mengurangi kesiap siagaan, maka dia pasti akan bergerak.”

“Ya, memang.”

“Begitu kau bergerak, maka kau pasti mati.”

“Lho, kenapa?”

“Karena hakikatnya kau tidak tahu dari arah mana aku akan turun tangan, oleh karena itu kemana pun kau bergerak, kau akan melakukan kesalahan yang mengundang kematian.”

“Seorang lawan seperti dirimu, bila mendadak berada di belakang orang, siapa pun orang itu pasti akan merasa tegang, umpama dia tidak bergerak, kulit daging di punggungnya juga pasti akan mengejang.”

“Tapi dia tidak. Walau aku sudah lama berdiri di belakangnya,sekujur badannya tiada menunjukkan
perubahan apa-apa.”

Akhirnya Coh-hujin menghela napas, katanya, “Sekarang aku betul-betul paham, tidak bergerak memang lebih sukar daripada bergerak.”

Jika kau tahu ada musuh setangguh Kongcu Gi berdiri di belakangmu, sekujur badanmu masih longgar dan tiada perubahan sedikitpun, maka urat syarafmu pasti lebih dingin daripada salju.

Mendadak Coh-hujin bertanya pula, “Dia tidak bergerak, apakah kau tidak punya peluang untuk menyerangnya?”

“Tidak bergerak berarti bergerak, titik terakhir dari segala perubahan gerak itu adalah tidak bergerak.”

“Terlalu banyak lubang kelemahan, akhirnya berubah tiada lubang kelemahan, karena bila sekujur badan seperti sudah kosong, hampa tanpa isi, maka kau takkan tahu darimana kau harus turun tangan.”

Kongcu Gi tertawa, katanya, “Aku yakin akhirnya kau pasti tahu akan hal ini.”
“Aku juga tahu kau pasti takkan turun tangan, kalau kau mau membunuhnya dari belakang, banyak peluang lebih baik daripada kesempatan yang kau peroleh sekarang ini,” dengan tersenyum dia melanjutkan, “karena tujuanmu bukan ingin membunuhnya, tapi mengalahkan dia.”

Mendadak Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Untuk membunuhnya gampang, mau mengalahkan dia jauh lebih sukar.”

Akhirnya dia beranjak ke depan lewat samping Pho Angsoat.


ooooOOoooo

Langkahnya tenang, enteng dan mantap.

Hanya sekejap itu, mendadak Pho Ang-soat merasa dirinya seperti bebas merdeka, keringat dingin ternyata sudah membasahi sekujur badan. Hal ini tidak boleh diketahui oleh Kongcu Gi, maka mendadak dia berkata, “Kenapa kesempatan baik kau abaikan, malah mencari kesulitan?”

Tajam suara Kongcu Gi, “Karena kau adalah Pho Ang-soat dan aku adalah Kongcu Gi.”

Sekarang akhirnya Kongcu Gi berhadapan dengan Pho Ang-soat, namun Pho Ang-soat tetap belum melihat wajahnya yang asli.

Dipandang dari arah punggung, gaya dan perawakannya kelihatan tegap dan gagah, tiada lubang sasaran untuk diserang. Tapi dia justru mengenakan topeng hijau yang beringas, seram dan jelek.

Dingin suara Pho Ang-soat, “Ternyata Kongcu Gi adalah seorang yang tidak berani memperlihatkan tampang aslinya di depan orang.”

Coh-hujin menimbrung, “Kau keliru lagi.”

Pho Ang-soat menyeringai dingin.

“Yang kau lihat sekarang adalah wajah asli dari Kongcu Gi,” ucap Coh-hujin.

“Tapi yang kulihat tak lain adalah sebuah topeng belaka.”

“Memangnya aku tidak mengenakan topeng di mukaku? Memangnya sejak dilahirkan kau sudah berwatak dingin kaku dengan muka pucat seperti itu? Apakah itu bukan kedok mukamu?”

Terkatup pula mulut Pho Ang-soat.

“Sebetulnya kau mengerti, bagaimanapun tampangnya tidak penting, cukup asal kau tahu dia adalah Kongcu Gi, hal inilah yang terpenting.”

Ini memang kenyataan, Pho Ang-soat pun tak bisa tidak harus mengakui, karena dia tidak bisa tidak bertanya kepada diri sendiri.

Keadaanku sekarang, sebetulnya apakah wajah asliku? Lalu seperti apa sebetulnya wajah asliku?

Tawar suara Kongcu Gi, “Aku tidak ingin melihat wajah aslimu, cukup asal aku tahu bahwa kau adalah Pho Ang-soat.”
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, cukup lama kemudian baru dia berkata tandas, “Sekarang kau sudah tahu kalau aku adalah Pho Ang-soat, aku tahu kau adalah Kongcu Gi.”

“Karena itu ada satu hal harus kami bereskan sekarang.”

“Soal apa?”

“Di antara kami berdua, hanya ada satu orang boleh tetap hidup.” Walau suaranya berubah dingin kaku, tapi nadanya masih sopan, agaknya terlalu percaya kepada diri sendiri, “Siapa kuat, maka dia akan tetap hidup.”

“Kelihatannya hanya ada satu cara untuk membereskan persoalan ini.”

“Betul, hanya ada satu cara, sejak dulu memang hanya ada satu cara.” Dia mengawasi golok di tangan Pho Ang-soat, “Oleh karena itu dengan tanganku sendiri aku harus mengalahkan engkau.”

“Kalau sebaliknya, maka kau rela mati.”

Mendadak sorot mata Kongcu Gi menampilkan perasaan sedih yang memilukan, katanya, “Ya, kalau sebaliknya, maka aku harus mampus.”

“Aku tidak paham,” ujar Pho Ang-soat.

“Kau harus mengerti, aku tidak ingin orang lain membunuhmu, karena aku ingin membuktikan bahwa aku lebih kuat dari kau. Aku harus menjadi manusia terkuat di dunia, kalau gagal aku rela mati.” Suaranya bernada menyindir dan mencemooh, “Bu-lim seumpama sebuah kerajaan yang berdiri tunggal, hanya boleh ada satu raja yang berkuasa, kalau bukan aku adalah kau.”

“Kali ini, kukira kau yang salah.”

“Aku tidak salah, banyak persoalan dapat dibuktikan, kecuali aku, kau adalah orang yang memiliki kungfu tertangguh di dunia ini.” Mendadak dia membalik tubuh menghadap gambar lukisan besar yang tergantung di atas dinding, perlahan dia melanjutkan, “Kau dapat masuk ke rumah ini dengan tetap segar bugar, bukan suatu kejadian kebetulan, bukan kenyataan yang mudah dilakukan, juga bukan nasibmu mujur.”

“Ya, memang bukan,” ucap Coh-hujin menghela napas.

Orang atau tokoh-tokoh yang tergambar dalam lukisan itu cukup banyak, setiap orangnya dilukis dengan hidup dan bagus, yang digambar seperti petilan-petilan cerita.

Di setiap petilan cerita pasti terdapat seorang yang sama, orang itu adalah Pho Ang-soat. Begitu dia berhadapan dengan gambar lukisan itu, maka pandangan pertama lantas melihat dirinya.

Cuaca mendung, sebuah kota kecil di pinggir perbatasan, di tengah jalan raya ada dua orang sedang bertempur sengit. Kedua orang berpakaian putih laksana salju, tangan mereka memegang sebatang pedang merah laksana darah, seorang memegang golok hitam legam.

“Tentu kau masih ingat, itulah di Hong-hong-kip,” kata Kongcu Gi.

Sudah tentu Pho Ang-soat ingat, waktu itu Hong-hong-kip belum berubah jadi kota mati, waktu itulah pertama kali dia bertemu dengan Yan Lam-hwi.
“Dalam pertarungan itu kau mengalahkan Yan Lam-hwi,” kata Kongcu Gi.

Pada gambar kedua Hong-hong-kip sudah menjadi kota mati, di tengah kepulan asap tebal, dua orang tampak berlutut di depan Pho Ang-soat.

“Dalam pertarungan itu, kau mengalahkan Ngo-heng-siangsat,” ucap Kongcu Gi pula.

Maka beruntun adalah kejadian ular beracun di bawah pelana, roti kering beracun dari Kwi-gwa-po, arak beracun dari Bing-gwat-lou. Di dalam kebun keluarga Ni yang sudah belukar, seorang pemuda bertelanjang kaki pelan-pelan roboh di bawah goloknya.

“Sebetulnya Toa Lui adalah jagoan lihai yang jarang didapat di Kangouw, ilmu goloknya diyakinkan dari hidupnya yang menderita, walau perbuatannya belakangan agak congkak dan berlebihan, aku tetap tak habis pikir sekali tabas kau membunuhnya.”

“Ilmu golok untuk membunuh orang memang hanya sekali tabas belaka.”

“Betul, otak bergerak secara reflek, tangan pun bergerak belakangan mengenai sasaran lebih dulu, dengan tidak berubah untuk menghadapi laksaan perubahan, maka sejurus serangan golok memang sudah lebih dari cukup.”

Bukan saja jurus golok itu sudah melampaui segala gerak persoalan dari tipu dan jurus yang ada, dia pun sudah melampaui bentuk, gaya dan batas kecepatan.

Coh-hujin berkata, “Yang membuatku lebih tidak menduga adalah, ternyata kau masih mampu melarikan diri dari kamar batu bawah tanah di perkampungan merak itu.”

Khong-jiok-san-ceng sudah berubah menjadi puing-puing, kini Coh Giok-cin muncul dalam lukisan.

Thian-ong-cam-kui-to membelah kuda yang sedang berlari kencang, sang koki gendut yang sedang mengiris daging kuda. Bing-gwat-sim dan Coh Giok-cin diantar masuk ke kamar batu di bawah tanah dalam Khong-jiok-sang-ceng. Kongsun To muncul, Coh Giok-cin melahirkan putra-putrinya di dalam kamar bawah tanah itu .... Melihat sampai di sini, kaki tangan Pho Ang-soat menjadi berkeringat dingin.

Coh-hujin berkata, “Dia merupakan seutas tali, sebetulnya kami ingin memakainya untuk mengikat kau, jika dalam hatimu selalu merindukan dia dan kedua orok itu, maka tanganmu berarti sudah kami belenggu.”

Seorang yang kedua tangannya terbelenggu, sudah tentu tidak setimpal Kongcu Gi turun tangan sendiri.

Coh-hujin menghela napas, katanya, “Tapi kami kembali merasa di luar dugaan, dalam keadaan seperti itu, kau masih mampu membunuh Thian-ong-cam-kui-to.”

Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, desisnya, “Waktu itu kalian sudah siap membiarkan dia memperlihatkan kedok aslinya, kenapa masih membiarkannya membunuh Toh Cap-jit?”

“Karena kami masih ingin memperalat dia melakukan tugas terakhir.”

“Kalian ingin menggunakan kedua anaknya itu untuk memaksa aku menyerahkan Thian-te-kiau-ceng Im-yang-toapi-bu?”

Coh-hujin manggut-manggut, katanya, “Sampai saat itu baru kami percaya Im-yang-toa-pi-bu hakikatnya tidak terjatuh di tanganmu, karena kami tahu untuk mempertahankan hidup kedua bocah itu, kau rela mengorbankan segala milikmu.”

Setelah menghela napas, dia berkata pula, “Hanya sayangnya walau kau sudah berhasil meyakinkan Tay-ih-hiathoat, ternyata kau tidak mati di tangannya, lebih disayangkan lagi, kau tidak tega membunuhnya.”

ooooOOoooo

Maka di atas gambar muncullah gadis yang mengenakan kembang melati itu, dengan sendok dia tengah memasukkan kuah ayam ke dalam mulut Pho Ang-soat. Nenek bungkuk di sebelahnya sedang menyembelih ayam, Siau Thing gadis yang berkalung kembang melati sedang membeli arak di warung kecil di pojok jalan, pemilik warung yang gendut dengan perutnya yang buncit sedang menyeringai tawa penuh nafsu sambil mengawasi dadanya. Tapi dirinya sedang mabuk dan telentang di dalam kamar yang biasa dipakai berbuat mesum itu, seolah-olah sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba kotor dan rendah itu.

Coh-hujin berkata, “Waktu itu kami mengira kau sudah tamat, umpama kau masih bisa membunuh orang, paling kau hanyalah algojo yang sudah edan, tak perlu dan tidak setimpal Kongcu menghadapimu.”

Yang akan dihadapi Kongcu Gi adalah jago kuat nomor satu di Bu-lim.

“Jika kau bukan orang terkuat nomor satu dalam Bu-lim, umpama kau mampus di selokan, kami juga tidak akan peduli, oleh karena itu kami sudah siap mencari orang untuk membunuhmu.”

“Sayang sekali orang yang dapat membunuhku tidak banyak,” ucap Pho Ang-soat.

“Paling tidak kami tahu ada satu.”

“Siapa?”

“Kau sendiri.”

Segera terbayang oleh Pho Ang-soat akan suara jerit keputus-asaan, suara yang mampu meruntuhkan semangat juang kehidupan yang menyeluruh. Siapa pun takkan menyangka dalam keadaan seperti itu, ternyata dia masih punya keberanian untuk bertahan hidup. Mungkin lantaran bekal keberanian itulah maka dia tetap hidup sampai sekarang. Jika dia sendiri dapat mengalahkan dirinya, kenapa Kongcu Gi harus turun tangan?

Kongcu Gi berkata, “Karena itu sekarang pasti kau sudah mengerti, kau bisa hidup dan berada di sini, pasti bukan bernasib mujur.”

Pho Ang-soat bertanya lagi, “Kau berbuat demikian, hanya karena kau harus membuktikan bahwa kau lebih kuat dari aku?”

“Betul,” ucap Kongcu Gi, rona matanya mendadak menampilkan rasa sedih, tapi juga mengandung cemoohan, “Karena hanya orang yang terkuat saja dapat menikmati semua itu, jika kau dapat mengalahkan aku, segala itu akan menjadi milikmu.”
“Segalanya?” Pho Ang-soat menegas.

“Segalanya, maksudnya adalah seluruh yang ada, di antaranya bukan saja termasuk harta benda atau kekayaan, kebesaran nama dan kekuasaan, malah termasuk pula diriku.” Lalu dia tertawa, tawa yang manis lembut, “Asal kau dapat mengalahkan dia, aku pun akan menjadi milikmu.”

Ketika daun pintu itu didorong terbuka, di luar adalah sebuah lorong panjang, bagai lorong yang tak berujung pangkal.

Kongcu Gi mendorong pintu, lalu melangkah keluar, di ambang pintu dia membalik badan, “Silakan ikut aku.”

Ternyata Coh-hujin tidak ikut keluar bersama Pho Ang-soat, sekarang mereka sudah tiba di ujung lorong. Di sana mereka dihadang sebuah pintu terbuat dari kayu yang berukir indah dan berat, di balik pintu adalah sebuah ruangan besar dan luas, ada sebuah panggung batu besar dan luas, di empat sudut panggung batu berdiri sebuah obor besar.

Pelan-pelan Kongcu Gi melangkah ke atas, berdiri di tengah panggung, “Di sinilah tempat kita berduel.”

“Bagus sekali,” ucap Pho Ang-soat.

Panggung yang rata dan mengkilap, cahaya obor yang benderang, dimana pun berdiri, ke arah mana pun menghadap sama saja. Keadaan lengang dalam ruang besar ini, angin pun tiada, persiapan untuk turun tangan dan kecepatan serangan, pasti takkan terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Agaknya Kongcu Gi tidak ingin memungut sedikitpun keuntungan dalam duel ini, entah itu tempat, waktu, situasi dan kondisi. Memang tidak mudah untuk mempersiapkan gelanggang pertarungan yang serba komplit.

Tiga buah kursi besar dan lebar yang empuk menyegarkan masing-masing berada di kedua sisi panggung, jaraknya dengan pinggir panggung batu ada tujuh kaki.

“Waktu kita bertanding, hanya boleh enam orang menonton, mereka adalah saksi atau wasit pertandingan ini, maka kau boleh bebas memilih tiga di antaranya.”

“Tidak usah,” seru Pho Ang-soat segera.

“Duel dua orang jago silat, kalah menang sering terletak pada suatu kejadian yang tak berarti, kalau ada teman sendiri ikut menyaksikan dan memperhatikan dari samping betapapun akan melegakan perasaan, hati lebih mantap, kenapa kau mengabaikan hakmu ini?”

“Karena aku tidak punya teman.”

Kongcu Gi menatapnya, katanya, “Lebih baik kau tetap menggunakan hakmu ini di antara orang-orang yang kuundang, kalau ada yang membuatmu merasa tidak tenteram, kau bebas menolak kehadirannya.”

“Bagus sekali,” ujar Pho Ang-soat.

“Kau sudah bercapai lelah sekian hari, semangat dan kondisi badanmu pasti teramat lelah, tidak jadi soal kau beristirahat secukupnya di tempat ini, karena itu kapan duel ini akan dilakukan juga kuserahkan kepadamu untuk menentukan.”
Pho Ang-soat ragu-ragu, katanya, “Besok, saat seperti sekarang bagaimana?”

“Boleh saja.”

“Baik besok aku kemari lagi.”

“Kau tak usah pergi, di sini aku sudah menyiapkan tempat tinggal dan pakaianmu, kau boleh tinggal dengan tenteram dan memulihkan kondisimu, pasti tiada orang berani mengganggumu, jika kau memerlukan apa-apa, kami pun siap melakukan kepadamu, tanggung beres.”

“Kelihatannya duel kali ini seperti amat adil,” ucap Pho Angsoat.
“Pasti adil.”

“Peti matiku tentu sudah kau siapkan juga.”

Ternyata Kongcu Gi tidak menyangkal, “Peti mati itu terbuat dari kayu yang paling baik, sengaja kubeli dari Liu-ciu, kalau kau ingin memeriksanya, aku akan mengantarmu.”

“Kau sudah memeriksanya?”

“Ya, sudah kuperiksa.”

“Kau amat puas?”

“Puas sekali.”

“Cukuplah.”

Reaksi Kongcu Gi amat tawar, katanya, “Sekarang mungkin kau hanya ingin melihat ranjangmu.”

“Ya, benar.”

Kain korden dari kain sari yang tersulam indah dengan warna yang serasi menutupi cahaya matahari sehingga kamar itu terasa remang-remang temaram seperti di waktu magrib.

Di luar kembali terdengar suara sumbang, pendek dan kerap dari pedang yang tercabut dari sarungnya, sekarang Pho Ang-soat sudah sadar sesadar-sadarnya.

Tadi dia pulas, tidur nyenyak. Dia terjaga bukan karena suara pedang tercabut, tapi dia mendadak terjaga karena di dalam kamarnya mendadak sudah bertambah satu orang.

ooooOOoooo

Bayangan seorang yang bertubuh semampai, berdiri setengah melintang di pinggir jendela, membelakangi dirinya, dibungkus jubah sutranya yang lembut ketat, lapat-lapat kelihatan pinggangnya yang ramping, pinggulnya padat, kedua pahanya yang jenjang lurus.

Dia tahu Pho Ang-soat sudah bangun, namun tidak menoleh, perlahan dia menghela napas, lalu bersuara dengan sendu, “Sehari telah berlalu pula, dari hari ke hari, tanpa terasa setahun telah lampau, kehidupan seperti ini entah sampai kapan baru akan berakhir.” Suaranya yang merdu dengan perawakan tubuh yang menggiurkan, namun justru mendatangkan perasaan sebal.

Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.

Coh-hujin berkata pula perlahan, “Mungkin kau beranggapan aku tidak pantas kemari, apa pun aku adalah isterinya, tapi kehidupan seperti ini sungguh sudah bosan, amat kesal, maka ...”

“Maka kau mengharap aku dapat mengalahkan dia?”, tanya Pho Ang-soat.

“Betul. Aku memang berdoa semoga kau dapat mengalahkan dia, sekian tahun ini hanya kau saja yang punya kesempatan dan kemampuan untuk mengalahkan dia, setelah kau mengalahkan dia, maka kehidupanku pasti akan berubah.”

“Bagi yang menang akan mendapatkan segalanya?”

“Ya, segala yang dimilikinya.”

“Isterinya pun tidak terkecuali?”

“Betul.”

Mendadak Pho Ang-soat tertawa dingin, katanya, “Walaupun kau bukan isteri yang baik, sebetulnya tak perlu ia menyerempet bahaya.”

“Tapi dia ingin membuktikan bahwa dia lebih kuat dari kau.”

“Dibuktikan untuk siapa? Memangnya di sini masih ada seorang lain yang memegang nasib hidupnya? Maka dia berbuat demikian, karena tiada jalan lain yang bisa dia tempuh?”

Coh-hujin mendadak membalik, menatapnya lekat-lekat, sorot matanya yang bundar cemerlang seindah zamrud menampilkan rasa kaget dan heran, agak lama baru dia menghela napas, katanya, “Bagaimana kau punya pikiran demikian?”

“Kalau kau menjadi aku, bagaimana kau akan berpikir?”

“Yang pasti aku tidak akan ngawur seperti apa yang kau duga, akan kutumplekkan seluruh perhatian untuk berusaha mengalahkan dia,” dengan langkah lembut dia menghampiri, pinggangnya meliuk-liuk, kerlingan matanya seperti air bening mengalir, “Walau aku tidak terhitung isteri yang baik, tapi aku ini perempuan baik, yakin kau pun bisa menilai.”

“Aku tidak bisa menilaimu,” ujar Pho Ang-soat.

Perlahan Coh-hujin menghela napas, katanya, “Sekarang boleh kau saksikan lebih teliti.” Sehabis perkataannya, maka jubah sutra panjang yang menutupi tubuhnya sudah melorot jatuh.

Napas Pho Ang-soat terhenti, tidak bisa tidak harus mengakui bahwa tubuh bugil yang polos ini amat mulus dan sempurna, selama hidup belum pernah dia menyaksikan tubuh perempuan seelok ini.

Isteri seorang kaya raya, punya kekuasaan besar, cantik molek dan anggun, mendadak telanjang bulat di hadapannya, daya tarik dan rangsangannya sungguh sukar dilawan.

Dia berdiri tenang sambil pasang gaya di depan ranjang, menatapnya lekat-lekat, “Asal kau dapat mengalahkan dia, semua ini akan menjadi milikmu, tapi sekarang belum.” Kedua tangannya mengelus paha terus merambat naik ke perut serta meremas payudara sendiri!

Wajah Pho Ang-soat yang pucat kelihatan merah. Dia tahu perubahan telah terjadi di atas tubuhnya, dia tahu Coh-hujin tentu sudah memperhatikan perubahan dirinya.

Suasana tenang di magrib nan indah ini, di kamar serba mewah ini seperti diliputi bau wangi yang teruar dari badannya yang polos memabukkan. Betapapun Pho Ang-soat adalah laki-laki, laki-laki jantan, laki-laki normal.

Coh-hujin sudah memungut bajunya, beranjak keluar selincah burung walet, tiba-tiba dia membalik di luar pintu sembari tertawa, katanya, “Sekarang aku belum menjadi milikmu, tapi kalau kau perlu, aku bisa mencarikan orang lain untuk menemani kau.”

Pho Ang-soat mengepal kedua tinjunya, mendadak dia bertanya, “Apakah Coh Giok-cin ada di sini?”

Coh-hujin mengangguk.

“Suruhlah dia kemari sekarang juga.”

Coh-hujin menatapnya dengan terbelalak kaget, seperti mimpi pun tak menduga bahwa dia akan mengajukan permintaan ini.

“Tadi kau bilang, setiap permintaanku kalian pasti akan menyiapkan.”

Coh-hujin tertawa pula, tawa yang mengandung makna misterius, katanya, “Kenapa kau memilih dia? Kenapa kau tidak memilih Bing-gwat-sim?”

Badan Pho Ang-soat mengejang mendadak.

“Kau tidak menduga bahwa dia belum mati?”

“Aku ...”

“Dia pun di sini, apakah aku perlu membawanya kemari?” mendadak Coh-hujin menarik muka, suaranya menjadi dingin,
“Aku tahu kau tidak mau menerimanya, yang kau inginkan adalah Coh Giok-cin, biasanya yang kau sukai adalah perempuan galak, bejat dan rendah.”

“Biang”, daun pintu ditutup dengan sentakan keras. Kali ini waktu dia pergi kepalanya tidak menoleh lagi. Kenapa mendadak dia berubah begitu emosi? Hanya karena Pho Angsoat ingin mencari Coh Giok-cin?

Seorang perempuan cantik yang licin dan dingin umumnya takkan marah hanya karena urusan sekecil ini.

ooooOOoooo

Pho Ang-soat masih rebah diam di atas ranjang, suara sumbang, pendek dan kerap dari pedang yang tercabut itu masih terus terdengar. Untuk duel kali ini orang lain sudah mempertaruhkan imbalan sebesar ini, jika dirinya risau dan gundah hanya karena perempuan, bukankah dia ini terlalu goblok? Tapi tidak bisa tidak dia tetap harus memikirkan Binggwat-sim, kalau betul dia belum mati dan jatuh di tangan orang-orang seperti ini, jelas nasibnya teramat mengenaskan. Teringat akan hal ini, baru dia sadar kenapa sudah sekian lama dirinya tidak pernah memikirkan dia.

Seseorang memang selalu akan berusaha menyingkir dari kenyataan hidup ini bila menghadapi penyesalan yang terukir dalam relung hatinya.

Tanpa terasa malam makin larut, dalam rumah menjadi gelap, di luar terdengar suara ketukan pintu. “Siapa di luar?”

“Inilah nona Coh, nona Coh Giok-cin,” itulah suara seorang dayang cilik, ketika daun pintu terbuka, muncul dua dayang cilik yang masing-masing memegang sebuah lampion hijau dan merah sambil membimbing Coh Giok-cin masuk.

Dia berdandan dan bersolek secantik bidadari, gelung rambutnya yang hitam mengkilap dihiasi bunga mutiara, baju luarnya yang bermodel pakaian ratu terurai panjang menyentuh lantai terseret di belakang, selintas pandang keadaannya agak mirip si cantik Ong Cau-kun yang berangkat menunaikan tugas keluar perbatasan sebagai juri damai negaranya.

Sekarang jelas dia tidak perlu berpura-pura lemah dan bersikap harus dikasihani, dengan tatapan dingin dia mengawasi Pho Ang-soat, wajahnya tidak menampilkan perasaan apa-apa.

Kedua dayang cilik itu menaruh lampion di tempat gantungan, sambil tertawa cekikikan, mereka mengundurkan diri sambil menutup mulut.

Mendadak Coh Giok-cin berkata dingin, “Kaukah yang mencari aku?”

Pho Ang-soat mengangguk.

“Ingin menuntut balas?”

“Aku mengundangmu kemari, karena ada beberapa persoalan ingin kutanya kepadamu.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang aku sudah tidak ingin bertanya, boleh kau silakan pergi.”

“Kau tidak ingin membalas?”

“Tidak.”

“Kau juga tidak ingin aku naik ranjang?”

Pho Ang-soat menutup mulut, dia tidak menyalahkan, bahwa Coh Giok-cin mengeluarkan perkataan begitu, memang bukan persoalan yang patut dibuat kaget.

Seorang perempuan seperti dirinya, jika insaf dengan aksinya, sudah tak mampu melukai atau merugikan orang lain, maka dia akan mengucapkan kata-kata yang menyinggung untuk melukai hatinya. Kalau dia harus mencelakai orang lain, mungkin lantaran dia harus melindungi diri sendiri, mempertahankan hidup.

Maka Pho Ang-soat tidak menyalahkan dia, hanya mendadak dia merasa amat penat, mengharap supaya dia lekas pergi, selamanya tidak berjumpa lagi. Mendadak disadarinya bahwa segala urusan tetek-bengek tiada artinya, tidak penting, yang paling penting adalah duel besok pagi itu.

Pemenang akan memiliki segalanya, dia harus mengalahkan orang yang sampai sekarang masih berlatih mencabut pedang, hanya mengalahkan orang yang satu ini, baru dia akan berhasil membongkar seluruh rahasia yang terselubung di sini, baru dia akan berjumpa pula dengan Binggwat-sim.

Tapi Coh Giok-cin justru tetap berdiri di sana, menatapnya, sorot matanya mengandung keperihan dan kebencian, katanya, “Kalau kau tidak ambil peduli dan tidak memperhatikan diriku lagi, kenapa kau mengundangku kemari?”

“Anggaplah aku tidak patut mengundangmu kemari, sekarang kau tetap boleh pergi.”

“Sekarang aku sudah tidak utuh lagi.”

“Dalam hal apa kau tidak utuh?”

“Tidak utuh, tidak utuh lagi seolah-olah dia tidak mendengar pertanyaan Pho Ang-soat, mulutnya masih mengigaukan perkataan itu, entah berapa kali dia mengulangnya, jelas air mata sudah meleleh di pipinya.

Di saat air mata menyentuh hidung, Coh Giok-cin pun tersungkur roboh. Pakaiannya yang serba merah tersingkap lebar, hingga tertampaklah warna darah yang segar. Itulah warna darah yang sesungguhnya.

Darah segar berlepotan di sekujur badannya yang bugil, dari leher hingga di ujung kaki boleh dikata tiada tempat yang utuh, kulit dagingnya seperti disayat-sayat.

Kontan Pho Ang-soat mencelat bangun, hatinya seketika tenggelam.

Coh Giok-cin mengertak gigi, desisnya penuh iba, “Sekarang tentu kau mengerti, kenapa keadaanku tidak utuh lagi...”

“Karena aku mengundangmu kemari, maka dia menyiksamu begini rupa?”

Coh Giok-cin tertawa meringis, “Sebetulnya kau sudah harus tahu, walau dia tidak memberi kesempatan kepadamu untuk menyentuhnya, tapi dia tidak rela membiarkan perempuan lain kau sentuh, karena Tawanya lebih menyedihkan dari isak tangis, dia masih ingin bicara, namun suaranya sudah tidak mampu dilontarkan.

“Kenapa? Kenapa?” Pho Ang-soat masih bertanya sambil menggoncang badannya.

Coh Giok-cin hanya tersenyum, pelan-pelan pelupuk matanya terpejam. Mendadak serangkum bau obat yang tebal menyampuk hidung dari pakaiannya yang tersingkap. Coh Giok-cin memang mati tenang, dia tidak menderita atau kesakitan, karena sekujur badannya sudah dipolesi obat bius sehingga pati rasa oleh Coh-hujin.

Kenapa Coh-hujin berbuat demikian? Apa betul hanya karena tidak ingin Pho Ang-soat menyentuh perempuan lain?

Padahal belum ada setengah hari dia bertemu dengan Pho Ang-soat, kenapa sudah timbul rasa cemburu yang menggila dan sadis?
Orang yang tidak punya cinta, kenapa bisa jelus? Orang yang baru bertemu setengah hari, mungkinkah jatuh cinta?

Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri, beranjak pula pelanpelan, perlahan mendorong pintu. Jika pintu sudah digembok dari luar, bila daun pintu terbuat dari papan besi, dia pun takkan merasa kaget atau di luar dugaan. Untuk menghadapi segala kemungkinan, hatinya sudah mempersiapkan diri. Peduli dalam situasi dan kondisi apa pun, peduli terjadi peristiwa apa, dia sudah berani menghadapinya, siap melawannya.

Tak nyana sedikit dorong, daun pintu lantas terpentang. Di luar tiada orang, dalam lorong yang panjang itupun tiada bayangan manusia, hanya suara pedang tercabut itu masih terus berlangsung.

Dia menyusuri lorong panjang menuju ke arah datangnya suara, lorong ini berbelok-belok, antara rumah yang satu dengan rumah yang lain jaraknya amat jauh, entah berapa kali dia putar sana balik sini, baru dia melihat sebuah pintu.

Suasana hening di belakang pintu, tiada suara manusia, juga tiada suara pedang dicabut, dia mendorong pintu lalu melangkah masuk. Ternyata dia kembali ke kamarnya tadi, dari sini dia keluar. Coh Giok-cin yang terluka dalam genangan darah sudah tidak kelihatan lagi.

Dalam kamar masih tetap hening dan sepi, walau seseorang telah tiada, namun meja penuh hidangan.

Sekarang memang tiba saatnya makan malam, ada enam macam hidangan, semua masih panas mengepulkan asap sedap, sepiring bakpau dan sebakul nasi putih, seguci arak yang belum terbuka segelnya.

Sekarang sebetulnya dia memerlukan minum seteguk arak, tapi dia malah beranjak keluar. Lorong yang sama, dalam suasana yang sepi pula. Tapi gaya langkahnya sudah berbeda. Semula dia berjalan lambat, sekarang beranjak lebih cepat, kalau tadi dia selalu membelok ke kiri, sekarang dia membelok ke kanan.

Suara pedang tercabut tak pernah berhenti, entah berapa kali pula dia membelok akhirnya dia dihadang sebuah pintu, di balik pintu tenang dan sunyi tanpa sedikit suara.

Daun pintu yang ada di sini, bentuk ukirannya ternyata serba mirip, padahal waktu dia keluar daun pintu tidak dirapatkan. Sekarang pintu ini ternyata tertutup rapat.

Dia mendorong pintu serta melangkah masuk, dia sudah berulang kali memperingatkan diri sendiri harus tabah dan berani, harus tenang dan kepala dingin.

Tapi begitu dia memasuki pintu, betapapun hatinya masih mendelu, karena dia melihat hidangan yang penuh di atas meja. Ternyata dia kembali ke kamar darimana tadi dia keluar, masakan masih panas dan mengepul, malah kelihatannya lebih panas dari tadi.

Di bawah guci tertindih secarik kertas, gaya tulisannya amat indah, jelas adalah tulisan tangan perempuan.

“Sebetulnya Bing-gwat (bulan terang) tiada maksud, kenapa harus mencari rembulan? Sekedar minum dapat menyenyakkan tidur, boleh silakan makan minum sekedarnya.”

Pho Ang-soat duduk.
Dia harus memaksa dirinya duduk, karena dia sudah menyadari, kemana dan bagaimana pun dia berjalan, akhirnya sama saja. Dia akan tetap balik ke tempat ini, tetap akan melihat hidangan panas yang memenuhi meja ini.

Dia ingin memaksa dirinya untuk makan meski sedikit, tapi begitu dia menjamah sumpit, seketika dia merasakan adanya sesuatu yang ganjil, sesuatu yang berbeda.

Tadi hidangan enam macam masakan yang tersedia di atas meja sudah dikenalnya baik, sepiring daging tupai masak ikan pedas, sepiring lagi tulang babi saos tomat. Walau hanya sekilas dia melihatnya, tapi masih segar dalam ingatannya, karena terhadap hidangan serba kecut adalah paling
digemarinya.

Di atas meja ini terdapat enam macam hidangan, tapi semuanya masakan vegetaris, masakan yang pantang daging, kalau tadi sebakul nasi, sekarang adalah sepanci bubur merah.

Baru sekarang disadarinya bahwa kamar ini bukan kamar yang di tempatinya tadi. Tapi bentuk setiap kamar di sini satu dengan yang lain ternyata amat mirip, demikian pula perabot dan pajangannya juga sama. Pho Ang-soat sendiri sampai tidak bisa membedakan, lalu timbul pertanyaan, kamar tempat tinggalnya tadi yang satu ini atau kamar yang lain tadi?

Bantal guling dan selimut serta sprei ranjang tampak kalut, jelas tadi pernah ditiduri orang, lalu siapakah yang barusan tidur di atas ranjang ini, dirinya atau orang lain? Kalau bukan dirinya, lalu siapa?

Di tempat yang aneh serta misterius ini sebetulnya dihuni orang-orang macam apa saja?

ooooOOoooo

Bab 23. Kakek Misterius

Di belakang kamar, di ujung sana terdapat sebuah kamar pula, di dalam terdengar suara air gemericik. Tak tahan Pho Ang-soat ingin menengoknya ke sana. Pintunya setengah tertutup, hanya sekilas dia melongok, darah panas sekujur badannya seketika mendidih ke pucuk kepalanya.

Kamar belakang itu ternyata adalah sebuah kamar mandi yang dibangun dalam bentuk mewah, juga air dalam bak mandi ternyata masih mengepul panas, di sekitar bak mandi didirikan pagar berukir, di atas pagar itulah bergantung seperangkat jubah putih yang lebar.

Seorang berdiri membelakangi dirinya, berdiri di dalam bak mandi, kulit badannya yang putih halus dan mulus laksana sutra, pinggangnya ramping kecil, pinggulnya padat besar dan buah dadanya kelihatan montok membukit, pahanya nan jenjang lurus dengan tumit yang menggiurkan, laksana patung pualam yang diukir amat sempurna.

Pho Ang-soat tak melihat wajahnya, bagian dadanya pun hanya terlihat sedikit, tapi tampak jelas rambut kepalanya yang biasa terurai panjang itu ternyata tak ketinggalan barang selembar pun, kepalanya sudah gundul plontos, bekas selomotan dupa yang menghitam di atas kepalanya kelihatan jelas. Perempuan cantik yang sedang mandi ini ternyata adalah seorang Nikoh.

Bukan Pho Ang-soat tidak pernah melihat perempuan, bukan tak pernah dia melihat perempuan bugil. Tapi Nikoh yang telanjang bulat, ternyata jauh berbeda. Betapa indah perawakan perempuan cantik ini, walau membuatnya terpesona, namun dia tidak berani melihatnya dua kali.

Segera dia berlari keluar, cukup lama jantungnya masih berdebar-debar, setelah jauh dia beranjak baru perasaannya tenang kembali. Dalam hati lantas timbul suatu gejolak pikiran yang aneh.

“Apakah tidak mungkin Nikoh tadi adalah Bing-gwat-sim?” hal ini memang bukan mustahil.

Setelah mengalami berbagai pukulan lahir batin, merasakan kegetiran hidup, bukan mustahil Bing-gwat-sim mencukur rambut menjadi Nikoh.

Tapi Pho Ang-soat tidak berani kembali menyelidiki hal ini.

Pada saat itulah, dia melihat sebuah pintu lagi, pintu yang mirip dengan ukiran, juga kelihatannya hanya dirapatkan saja. Apakah kamar ini tempat tinggalnya semula, susah dia memastikan.

Bukan mustahil dalam kamar inilah Bing-gwat-sim tinggal atau bukan mustahil pula tempat tinggal Coh-hujin yang berhati kejam sejahat ular.

Setelah berada di sini, sudah tentu harus masuk melihatnya. Dia mengetuk pintu, tiada reaksi, perlahan dia mendorong sedikit serta mengintip ke dalam, di dalam ternyata juga terdapat hidangan sepenuh meja.

Saat itu memang waktu makan malam, manusia macam apa pun tiba saatnya memang harus makan. Bau kecut manis dari hidangan di atas meja tercium hidungnya, enam masakan di atas meja dua di antaranya adalah kegemarannya. Setelah berputar-kayun kian kemari, akhirnya kembali ke tempat semula.

Baru saja dia merasa lega, di saat tangannya siap mendorong pintu melangkah masuk, “Biang” daun pintu mendadak tertutup rapat.

Suara perempuan yang dingin berkumandang dari dalam pintu, “Siapa yang berdiri di luar pintu sambil longak-longok seperti panca-longok? Lekas enyah.”

Melonjak jantung Pho Ang-soat, dia kenal suara itu adalah suara Bing-gwat-sim, tak tahan dia bertanya, “Bing-gwat-sim, kaukah?”

Sesaat kemudian, setelah dia menyebut nama sendiri, dia mengira Bing-gwat-sim akan membuka pintu. Tak nyana jawabannya ternyata bernada dingin, “Aku tidak kenal siapa kau, lekas enyah!”

Apakah dia sedang takut dan bingung? Ataukah dibelenggu orang, maka tak berani menerima kedatangannya? Mendadak Pho Ang-soat menggedor pintu, daun pintu yang berukir itu ternyata diterjangnya jebol. Langsung dia menerjang ke dalam, seorang berdiri di depan ranjang sedang mengawasinya dingin, tapi dia bukan Bing-gwat-sim, melainkan Coh-hujin.

ooooOOoooo

Kelihatannya dia baru keluar dari kamar mandi, badannya yang bugil kelihatan basah dan hanya dibalut secarik handuk, hingga sebagian besar tubuhnya yang menggiurkan amat mempesona terpampang jelas.

Pho Ang-soat menjublek.

Coh-hujin berkata dingin, “Tidak pantas kau main terjang sekasar ini? Kau harus tahu sekarang aku adalah bini orang.”
Suaranya kedengarannya mirip dengan suara Bing-gwat-sim.

Pho Ang-soat menatapnya tajam, seolah-olah dia ingin menemukan sesuatu rahasia pada wajahnya.

“Aku sudah mengirim Coh Giok-cin ke tempatmu, kenapa kau masih mencariku kemari?”

“Karena kau adalah orang yang kucari, kau adalah Binggwat-sim.”

Dalam kamar tiada suara, rona muka Coh-hujin juga tidak berubah, seperti dia mengenakan kedok. Mungkin yang terlihat sekarang adalah wajahnya yang asli tapi mungkin juga bukan, tapi semua ini sudah tidak penting.

Karena Pho Ang-soat sekarang sudah mengerti, bagaimanapun tampangnya sudah tidak penting, yang penting adalah dirinya tahu bahwa dia adalah Bing-gwat-sim, hal itulah yang dianggapnya cukup penting. Dia berdiri tak bergerak di depan ranjang, entah berapa lama kemudian dia menarik napas panjang, katanya, “Kau keliru.”

“Kenapa keliru?”

“Di dunia ini hakikatnya tiada seorang yang bernama Binggwat-sim, bahwasanya Bing-gwat memang tidak punya hati.”

“Betul,” Pho Ang-soat sependapat. Bing-gwat yang punya hati, memang mirip mawar yang tak berduri, hal itu hanya akan muncul di dalam dongeng belaka.

Coh-hujin berkata, “Mungkin dulu kau pernah melihat Binggwat-sim di suatu tempat lain, tapi orang itu seperti juga kekasihmu dahulu yang bernama Jwe Long, sekarang sudah tiada lagi.”

Cinta abadi yang tak terlupakan, luka derita yang abadi pula, mungkin dia tahu bahwa dirinya tak berani menghadapi wajah itu, maka sengaja dia menyamar sedemikian rupa, supaya dirinya tak dapat membongkar kedoknya lagi. Bila berada di tempat terbuka, dimana ada sinar matahari, sengaja dia mengenakan topeng dengan wajah tertawa lebar itu, lalu mendadak dia menghilang, demikian pula Bing-gwat-sim pun lenyap tak keruan parannya, seolah-olah dia tak pernah hidup di dunia ini.

“Sayang sekali kau melakukan satu kesalahan.”

“Kesalahan apa?”

“Kau tidak pantas membunuh Coh Giok-cin.”

Orang yang tidak punya cinta, bagaimana bisa punya rasa jelus? Orang yang baru bertemu setengah hari, mana mungkin bisa jatuh cinta?

Wajah Pho Ang-soat yang pucat mulai bersemu merah, katanya, “Kau membunuhnya karena kau amat membenci aku.”

Sikapnya yang semula anggun dan berwibawa itupun mendadak sirna, sorot matanya menampilkan cahaya kebencian dan dendam Seorang yang tidak punya cinta, mana mungkin bisa membenci?

“Bing-gwat-sim ajal lantaran kau, kau justru tidak pernah menyinggungnya. Coh Giok-cin berulang kali berusaha mencelakaimu, kau justru selalu merindukan dia.” Perkataan ini tidak terucapkan olehnya, sekarang memang tidak perlu diucapkan.

Mendadak dia berseru lantang, “Betul, aku membencimu, maka aku ingin kau mampus.” Lalu dia membalik tubuh menerjang ke kamar belakang, “Byur”, air muncrat, seseorang seperti terjun ke dalam air.

Ketika Pho Ang-soat masuk ke sana untuk memeriksa, di bak mandi tiada orang, kamar itupun kosong melompong.

Suara“Srak-srek”pedang tercabut itu masih berkumandang, kedengarannya berada di luar jendela, tapi bila kain korden tersingkap, daun jendela dibuka, bagian luarnya ternyata dihadang tembok tinggi, hanya ada beberapa lubang angin saja. Mengintip keluar dari lubang lubang kecil ini, di luar nampak gelap, entah tempat apa.

Kemana dia? Darimana dia? Jelas dalam kamar kecil ini ada jalan rahasia, namun Pho Ang-soat sudah malas mencarinya. Dia sudah menemukan orang yang ingin dicarinya, juga sudah tahu kenapa dia membunuh Coh Giokcin.

Maka yang dapat dia lakukan sekarang hanyalah menunggu, menunggu duel yang akan terjadi besok pagi.

Menunggu di sini memang tiada bedanya, tapi dia tidak mau menetap di sini, dia mendorong pintu dan beranjak keluar, suara mencabut pedang itu kedengarannya lebih dekat di lorong panjang ini.

Kenapa harus menunggu sampai besok? Kalau cepat atau lambat duel itu akan diadakan, urusan harus dibereskan, bukankah lebih cepat beres lebih baik, lebih melegakan.

Coh-hujin pasti melakukan aksi untuk mengacau pikirannya, supaya hatinya risau, gundah dan gelisah, pikiran tidak tenang. Padahal dirinya tak pernah berbuat salah, walau dia sendiri yang melenyapkan jejak, walau di antara mereka tiada pernah melakukan perjalanan bersama, tapi dia tak
pernah mau peduli segala alasan itu.

Seorang perempuan bila dia ingin membenci seorang lelaki, kapan saja dia bisa mencari ratusan alasan. Di antara persoalan itu, walau banyak yang tak bisa dijelaskan, susah diperoleh jawabannya, kenapa sekarang harus dipikirkan lagi?

Jika dikalahkan oleh Kongcu Gi, sudah tentu persoalan itu dia boleh tidak usah ambil perhatian, terhadap persoalan apa pun, mati adalah jawaban yang paling tepat.

Pada saat itulah dia menemukan pintu lagi, suara pedang tercabut terdengar di belakang pintu.

Kali ini dia benar-benar yakin, suara pedang tercabut pasti berada di dalam pintu. Waktu dia mengulur tangan mendorong pintu, begitu menyentuh daun pintu, seketika dia tahu daun pintu di sini terbuat dari papan besi.

Pintu terpalang dari dalam, didorong tak terbuka, diterjang juga tidak jebol, diketuk juga tidak dibuka.

Di saat dia sudah putus asa dan hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya gelang tembaga yang tergantung di atas pintu ternyata mengkilap terang, jelas gelang ini sering dipegang tangan manusia sehingga mengkilap bercahaya.

Gelang tembaga bukan payudara perempuan, juga bukan barang mainan. Jika tanpa sebab atau alasan, siapa pun takkan sering memegang, apalagi bermain gelang pintu.

Tak lama kemudian Pho Ang-soat sudah menemukan jawabannya. Gelang tembaga ini ternyata bisa diputar ke kanan dan kiri, belasan kali dia mencobanya, maka jawabannya ketemu, pintu besi itu segera terbuka.

Suara pedang tercabut seketika berhenti.

Ketika dia masuk ke dalam pintu, dia tidak menemukan orang yang mencabut pedang, namun dia menghadapi simpanan barang harta besar yang belum pernah dilihatnya selama hidup.

ooooOOoooo

Mutiara, zamrud, mata kucing, mutu manikam, kristal air dan berbagai batu permata termasuk berlian, bertumpuk dan bersusun menggunung di dalam kamar ini. Harta dalam ruangan yang besar dan luasnya sukar dibayangkan oleh siapa pun.

Mutu manikam sebanyak ini, ternyata seperti tak berharga sepeser pun oleh pemiliknya. Maka satu peti wadah perhiasan pun tiada di dalam kamar ini, harta benda serba antik dan tak ternilai harganya itu berserakan di lantai, seperti tumpukan sampah yang berkilauan, bertumpuk berkelompok dimanamana.

Di ujung kamar terdapat sebuah almari besi, daun pintunya digembok dengan gembok besar, entah apa yang tersimpan di dalamnya? Mungkinkah jauh lebih berharga dari mutu manikam yang berserakan itu?

Untuk membuka almari harus membuka gemboknya, untuk membuka gembok harus ada kunci. Tapi ada sementara orang di dunia ini tanpa pakai kunci juga bisa membuka gembok.

Memang tidak banyak ahli kunci demikian, tapi juga tidak sedikit.

Tapi gembok yang satu ini ternyata dibuat sedemikian bagus, jelas dibuat oleh tangan yang betul-betul ahli, pencipta kunci gembok ini pernah mengagulkan diri, orang yang mampu membuka gemboknya itu tanpa menggunakan kunci, di dunia ini tidak akan lebih dari tiga orang.

Karena dia hanya tahu ada tiga Biau-jiu-sin-tho (maling sakti) di dunia ini yang terkenal di luar tahunya, di dunia ini masih ada orang keempat lagi. Dan orang keempat ini adalah Pho Ang-soat.

Tanpa banyak susah-payah, cepat sekali dia sudah berhasil membuka almari besi ini. Di dalam almari tersimpan sebilah pedang dan sejilid buku catatan.

Sebatang pedang merah segar, semerah darah segar. Mata Pho Ang-soat memicing, sudah tentu dia kenal baik bahwa itulah pedang mawar Yan Lam-hwi. “Pedang utuh manusia hidup, pedang hancur pemiliknya mampus”, pedang berada di sini, dikemanakan orangnya?

Buku catatan itu sudah rusak dan terlalu lama, jelas seseorang sering membuka lembaran buku ini, buku catatan yang sudah butut dan luntur warnanya, kenapa sedemikian berharga sampai harus disimpan di dalam almari besi.

Sekenanya dia membuka selembar, maka jawaban pun terpampang di depan mata. Dalam lembar ini tertulis:
-Tanggal delapan besar bulan dua, Ong Hong Congpiauthau Seng-to Piaukiok mohon bertemu, melalaikan tugas upeti terputus, Kongcu kurang senang. Tanggal dua puluh sembilan bulan dua, Ong Hong mati di bawah kuda.

-Tanggal sembilan belas bulan dua jikongcu Lamkiong Ou dari keluarga besar Lamkiong yang sudah turun temurun mohon bertemu, melalaikan tata tertib, tutur katanya tidak sopan. Tanggal dua puluh sembilan bulan dua, Lamkiong Ou mendadak mati setelah minum arak.

-Peng Kui ahli waris Ngo-hou-toan-bun-to menghadap tanggal dua puluh satu bulan dua, tidak becus menunaikan tugas, membocorkan rahasia. Tanggal dua puluh dua bulan dua, Peng Kui bunuh diri.

Hanya melihat beberapa baris tulisan itu, tangan Pho Angsoat sudah dingin.

Di hadapan Kongcu Gi, peduli kesalahan apa pun yang kau lakukan, ringan atau berat putusan hukumnya sama, yaitu mati.

Hanya mati secara menyeluruh dapat membereskan segala persoalan. Kongcu Gi tidak memberi peluang kepada siapa saja untuk melakukan kesalahan kedua, sudah pasti orang itupun tak diberi kesempatan untuk menuntut balas.

Buku catatan ini merupakan lambang kekuasaannya, lambang kekuatan yang berkuasa untuk menentukan mati hidup seseorang. Kekuasaan seperti ini sudah tentu jauh lebih menyentuh hati siapa saja dibanding harta benda yang tak bernilai itu.

Asal kau bisa menang dalam duel ini, segalanya akan menjadi milikmu, termasuk seluruh kekayaan, kebesaran dan nama, demikian pula kekuasaan. Orang-orang gagah, para enghiong betapa jerih payah mereka bertempur di medan laga, meski tulang-tulang menggunung, mereka tidak pernah gentar, darah mengalir bagai sungai, lalu apa tujuan mereka? Memangnya siapa kuat melawan daya tarik seperti ini?

Pho Ang-soat menghela napas panjang, waktu dia mengangkat kepala, mendadak dilihatnya sepasang mata tengah mengawasi dirinya dari dalam almari. Semula dalam almari ini hanya tersimpan sebatang pedang dan sejilid buku, tapi sekarang tahu-tahu muncul lagi sepasang mata yang lebih tajam dari pisau.

Almari besi berbentuk kotak persegi, tinggi empat kaki, mendadak berubah gelap dan dalam, begitu dalamnya hingga tak terlihat dasarnya. Sepasang mata ini tengah mengawasinya dari tempat yang gelap itu.

Tanpa sadar Pho Ang-soat menyurut dua langkah, telapak tangannya sudah basah oleh keringat dingin. Sudah tentu dia tahu, di balik almari besi sebelah sana tentu juga terdapat sebuah pintu, di luar pintu ada seseorang. Ketika daun pintu di balik sana terbuka, maka orang inipun muncul.

Tapi secara mendadak dia melihat sepasang mata di tempat gelap ini, betapapun dia terkejut dibuatnya. Maka dia pun melihat raut muka orang itu, wajah yang penuh diliputi kerut-merut, rambut dan jenggotnya sudah putih, seorang tua yang sudah kenyang menelan pengalaman hidup. Tapi sepasang matanya itu tampak masih muda, sorot matanya mengandung kecerdikan yang luar biasa serta daya hidup yang amat kuat.

Orang tua itu sedang tersenyum, katanya, “Aku tahu kau punya mata malam (dapat melihat di tengah gelap), tentu kau sudah melihat aku adalah orang tua.”
Pho Ang-soat mengangguk, tanpa bersuara.

“Pertama kali ini kau melihatku, pertama kali pula aku melihatmu,” kata orang tua. Tawanya terasa ganjil, perlahan dia berkata pula, “Aku hanya mengharap inilah yang terakhir pula.”

“Kau pun mengharap aku mengalahkan Kongcu Gi?”

“Paling tidak aku tidak mengharap kau mati.”

“Kalau aku hidup apa faedahnya untuk dirimu?”

“Tiada faedahnya, aku hanya mengharap duel ini dapat dilangsungkan secara adil.”

“Secara adil?”

“Hanya seorang yang betul-betul kuat mencapai kemenangan, baru duel ini boleh dianggap adil,”
senyumannya sirna, mukanya yang sudah tua penuh keriput mendadak berubah serius berwibawa, hanya seorang yang biasa suka menggunakan pengaruh dan kekuasaannya saja yang bisa menunjukkan mimik dan sikap demikian. Perlahan dia melanjutkan, “Bagi yang kuat akan memiliki segalanya, hal ini sudah menjadi hukum alam, kejadian jamak, hanya seorang yang betul-betul kuat baru setimpal dia memiliki segalanya itu.”

Dengan pandangan kaget Pho Ang-soat mengawasi perubahan mimik orang, tak tahan dia bertanya, “Kau beranggapan aku lebih kuat dari dia?”

“Paling tidak kau adalah calon satu-satunya yang dapat mengalahkan dia, tapi sekarang kau terlalu tegang, terlalu lemah.”

Pho Ang-soat membenarkan pendapat orang, sebetulnya dia memang berusaha supaya dirinya tenang dan tenteram, tapi dia tidak mampu melakukannya.

“Sekarang masih ada delapan jam menjelang duelmu itu, kalau selama ini kau tidak bisa membuat dirimu longgar, bebas dan mengendorkan urat syaraf, maka besok mayatmu akan menggeletak dingin.”

Sebelum Pho Ang-soat berbicara dia sudah melanjutkan, “Keluar dari sini, ke kanan membelok tiga kali, di kamar sebelah kiri ada seorang perempuan rebah di atas ranjang sedang menunggumu.”

“Siapa dia?” tanya Pho Ang-soat.

“Tak perlu kau tanya siapa dia, tak usah kau tahu kenapa dia menunggumu,” sampai di sini suaranya berubah kaku dingin dan tajam, “laki-laki seperti dirimu adalah pantas kalau menganggap perempuan di seluruh dunia ini sebagai alat pelampias belaka.”

“Alat pelampias?” Pho Ang-soat bingung.

“Dia itulah alat pelampias nafsu untuk melonggarkan urat syaraf dan mengendorkan pikiran tegangmu.” Pho Ang-soat diam.

“Kalau kau tidak mau berbuat demikian, setelah keluar pintu kau boleh belok kiri tiga kali, di sana kau akan menemukan sebuah rumah.”

“Ada apa di dalam rumah itu?”

“Peti mati.”

Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, katanya, “Siapa kau sebetulnya, berdasar apa kau memerintah aku?”

Orang tua itu tertawa lagi, tawa yang ganjil dan misterius. Bila senyuman itu tersimpul di wajahnya, maka wajah itupun lenyap ditelan kegelapan, seperti tak pernah muncul.

Menginjak tumpukan perhiasan mutu manikam yang berserakan dan menggunung itu, Pho Ang-soat beranjak keluar pintu tanpa menoleh lagi. Tumpukan harta yang tak ternilai itu dalam pandangannya seperti sampah busuk belaka.

Begitu berada di luar pintu, dia lantas membelok ke kiri tiga kali, setelah dia membelok dia menemukan sebuah pintu. Sebuah kamar kosong, di dalamnya hanya ada sebuah peti mati, peti mati yang terbuat dari kayu yang berkwalitas tinggi, panjang lebar dan tingginya seperti sudah diukur persis untuk perawakan Pho Ang-soat.

Di atas peti menggeletak seperangkat pakaian hitam, ukurannya ternyata cocok dengan potongan badannya. Ternyata peti dan pakaian ini memang disediakan untuk dirinya, setiap urusan sudah disediakan dan disiapkan dengan rapi.

Jelas bukan pertama kali mereka melakukan tugas ini, malah dia bisa membayangkan setelah dia mati, di dalam buku catatan itu juga akan ditambah tulisan baru ....

Tanggal berapa bulan berapa Pho Ang-soat datang menghadap, terlalu tegang dan kelelahan, pongah dan goblok. Kongcu Gi kegirangan. Tanggal sekian bulan sekian, Pho Ang-soat mati di bawah pedangnya.

Sudah tentu catatan di dalam buku itu tidak bisa melihatnya, bagi yang bisa membacanya tentu hatinya girang.

Peti mati itu terasa dingin dan keras, catnya yang masih baru mengkilap di kegelapan. Mendadak dia membalik tubuh terus berlari keluar, kembali ke dalam gudang harta itu, di dalam berkumandang pula “Srak, srek” dari pedang dicabut dari sarungnya. Tapi dia tidak berhenti, langsung dia membelok ke kanan tiga kali, langsung dia mendorong daun pintu di sebelah kiri.

Di balik pintu gelap-gulita, tiada yang bisa terlihat, namun hidungnya mengendus bau harum. Dia melangkah masuk, lalu menutup pintu. Dia tahu dimana letak ranjang, sekarang dia sudah mendengar detak jantungnya sendiri.

Apa betul di atas ranjang ada orang? Siapa dia? Seorang yang hidup dan segar bugar mana boleh dijadikan alat, tapi dia insyaf perkataan orang tua itu memang benar dan dia memang amat membutuhkan. Bila seseorang ingin mengendorkan urat syaraf yang terlalu tegang, memang cara itulah yang paling manjur.


Kamar ini sunyi senyap, akhirnya dia mendengar suara napas seorang lain. Suara napas yang perlahan teratur, selembut hembusan angin lalu di musim semi.

Tak tahan dia bertanya, “Siapa kau? Kenapa kau menungguku?”

Tiada jawaban.

Terpaksa dia maju menghampiri, ranjang berkasur empuk dan hangat, dia mengulur tangan, terasa badan yang halus dan mulus, selembut sutra nan hangat menggairahkan. Ternyata dia sudah telanjang bulat. Di kala tangannya menyentuh perutnya yang datar dan lembut, jantungnya berdetak keras, napas pun mulai memburu. Dia bertanya pula, “Kau tahu siapa aku?”

Tetap tiada jawaban, tapi sebuah tangan telah menggenggamnya.

Terlalu lama lepas dari pergaulan ranjang, nafsu yang sudah lama terkekang dan belum pernah terlampias menjadikan perasaannya terlalu sensitif, betapapun dia adalah lelaki normal yang baru menanjak setengah umur.

Perubahan terjadi pada tubuhnya, napas yang tersengal sudah mulai berubah menjadi rintihan lembut, rintihan yang merangsang birahinya. Mendadak Pho Ang-soat seperti tenggelam di dalam hiburan yang menyenangkan, kenikmatan yang hangat. Badannya yang empuk, dadanya yang kenyal sehangat sinar mentari pagi di tengah padang rumput yang menyinari embun yang menguap, bukan saja menerima juga memberi, saling isi.

Tenggelam dalam kenikmatan, seolah-olah dia terbayang saat pertama kali menikmati surga dunia seperti ini dulu. Waktu itu juga dalam kamar yang gelap, perempuan lawan mainnya juga sudah matang dan berpengalaman, juga mendambakan kesenangan yang tiada taranya.

Tapi dia memberikan kenikmatan ini bukan lantaran cinta, tapi adalah untuk membuatnya menjadi seorang laki-laki. Karena saat itu adalah menjelang dia menuntut balas.

Hari kedua waktu dia bangun, ternyata memang terasa kondisinya jauh lebih fit, lebih bergairah dari sebelumnya, daya tahannya lebih tebal dan kuat. Manusia memang serba aneh, setelah terlampias, ada kalanya malah membuat orang lebih padat, lebih kuat.

Padang rumput yang lembab basah sedang bergerak, bergesek dan menggelinjang lembut. Pho Ang-soat mengulur tangan, mendadak dirasakan perempuan telanjang bulat ini membungkus kepalanya dengan secarik kain halus. Kenapa dia membalut kepalanya?

Mungkin dia tidak boleh menjambak rambutnya, atau mungkin kuatir rambutnya yang panjang mengganggu jalannya adegan yang merangsang ini? Atau hakikatnya dia memang tidak punya rambut?

Terbayang tubuh mulus di dalam bak mandi itu, terbayang rasa dosa dalam benaknya. Tapi rasa dosa itu sekarang justru menimbulkan kejutan pada gerakannya yang makin keras. Maka dia tenggelam dalam kenikmatan lahiriah yang sudah lama belum pernah dirasakan, nafsu birahi yang terlampias. Akhirnya sekujur badannya lunglai, perasaan longgar, tiada ketegangan lagi.

ooooOOoooo

Akhirnya dia bangun.

Sekian tahun belum pernah dia tidur sepulas dan sesegar ini, begitu bangun, di sampingnya sudah tiada orang. Bantal di sebelahnya masih terasa harum, kenikmatan yang dirasakan semalam sekarang sudah tak bisa ditemukan lagi laksana sebuah impian di musim semi.

Dalam kamar ternyata sudah ada pelita, di atas meja sudah disediakan sarapan. Di atas pagar di pinggir bak mandi masih tergantung jubah putih yang longgar dan besar. Mungkinkah perempuan yang semalam ... dia melarang dirinya memikirkan lebih lanjut, setengah jam lamanya dia berendam di dalam bak mandi yang hangat airnya, setelah gegares hidangan yang tersedia, maka kondisinya sekarang sudah amat fit, kesegaran yang tercapai dari kenikmatan, sekarang dia sudah mempunyai segala kekuatan untuk menghadapi segala tantangan.

Pada saat itulah, pintu terbuka, Coh-hujin berdiri di depan pintu, dingin tatapan matanya, sorot matanya yang jeli bening mengandung cemoohan, katanya dingin, “Kau sudah siap?”

Pho Ang-soat manggut-manggut.

“Baik,” ujar Coh-hujin. “Ikut aku.”

Suara mencabut pedang sudah berhenti, lorong panjang ini dicekam keheningan laksana di sebuah pekuburan.

Coh-hujin berjalan di depan, pinggangnya begitu lemas, pinggulnya seperti menggoda birahinya, gayanya yang mempesona memang cukup memabukkan.

Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat sekarang, dia tidak lebih cuma seorang perempuan biasa, tiada perbedaan dengan perempuan kebanyakan di dunia ini. Karena sekarang dia sudah tenang dan mantap, setenang pisau, sekokoh batu gunung. Dia memang perlu ketenangan.

Kongcu Gi menunggu dirinya di balik sebuah pintu di depan, mungkin pintu inilah yang terakhir dapat dia masuki selama hidup ini.

Coh-hujin berhenti, lalu membalik badan mengawasinya, mendadak tertawa dan berkata, “Sekarang kalau kau ingin melarikan diri, aku bisa memberikan petunjuk lewat jalan mana kau akan bisa lolos.” Tawanya agung dan anggun, suaranya merdu nyaring dan lembut.

Tapi Pho Ang-soat sudah tidak melihat dan mendengarnya, dia mendorong pintu lalu melangkah lurus ke dalam, gaya jalannya masih tetap kaku dan jelek. Tapi tiada suatu kejadian apa pun di dunia ini yang mampu menghentikan langkahnya.

Sudah tentu dia masih memegang goloknya. Tangan yang memucat karena menggenggam terlalu keras, golok yang hitam legam.

Tangan Kongcu Gi tidak memegang pedang, pedang di atas panggung tak jauh di pinggirnya. Pedang yang merah segar, merah darah. Dia berdiri miring menggelendot di panggung batu, mukanya masih mengenakan topeng hijau, sorot matanya yang dingin, jauh lebih menakutkan.

Pho Ang-soat justru seperti tidak melihat, bukan saja tidak melihat orangnya, juga tidak melihat pedangnya. Mereka sudah mencapai lupa segalanya.

Itulah tuntutan paling rendah terhadap diri sendiri, tiada mati hidup, tiada menang kalah, tiada orang, tiada aku. Ini bukan saja taraf tertinggi bagi seseorang menjadi manusia, juga taraf tertinggi yang harus dicapai oleh setiap insan persilatan.
Hanya di waktu lahir batin bersih dan suci, seseorang baru bisa menggunakan ilmu golok yang melampaui segalanya. Bukan saja harus melampaui bentuk, juga harus dapat melampaui batas waktu. Apakah benar dia dapat melakukan hal ini?”

Obor menyala besar dan benderang.

Topeng tembaga hijau yang dipakai Kongcu Gi kelihatan mengkilap ditimpa cahaya obor, seolah-olah juga punya nyawa, karena mimik dan sikap mukanya kelihatan selalu berubah. Tapi sorot matanya justru teramat dingin, mendadak dia bertanya, “Apakah kau sudah berkeputusan untuk mengabaikannya?”

“Mengabaikan apa?” tanya Pho Ang-soat.

“Mengabaikan hakmu memilih saksi,” ucap Kongcu Gi.

Pho Ang-soat diam sekian lamanya, akhirnya berkata perlahan, “Aku hanya ingin mencari seorang.”

“Siapa?”

“Seorang tua di dalam almari besi.”

Sorot mata Kongcu Gi seketika menampilkan perubahan yang ganjil, namun cepat sekali sudah pulih dingin dan kaku, katanya, “Aku tidak tahu siapa yang kau maksud?”

Sebetulnya jelas dia tahu, tapi Pho Ang-soat tidak ingin mencari keributan, katanya tandas, “Baiklah, kalau begitu kuabaikan.”

Kongcu Gi seperti merasa lega, katanya, “Kalau demikian, terpaksa keenam saksi ini akulah yang memilih.”

“Boleh saja.”

“Orang pertama adalah aku, kau menentang tidak?” kata Coh-hujin.

Pho Ang-soat geleng kepala.

“Orang kedua adalah Tan-toalopan,” ujar Kongcu Gi.

Di luar pintu seorang segera berteriak, “Silakan Tantoalopan.”

Dapat menjadi saksi dalam duel ini, sudah tentu harus seorang yang betul-betul mempunyai asal-usul dan kedudukan, padahal orang yang setimpal untuk jadi saksi tidak banyak. Tapi Tan-toalopan yang satu ini justru kelihatan awam, seorang laki-laki yang lamban dan kelihatan bodoh, raut mukanya yang bundar gemuk walau selalu mengulum senyum ramah, namun senyumannya tak urung menampilkan rasa takut hatinya.

Kongcu Gi berkata, “Tentunya kau kenal baik dengan Tantoalopan ini.”

“O, ya,” pendek suara Pho Ang-soat.

“Tan-toalopan yang satu ini juga kenal kau.”

Tan-toalopan segera mengunjuk seri tawanya, katanya,
“Aku kenal, setahun yang lalu kami sudah bertemu di Honghong-kip.”

Kota mati yang sudah usang dan serba kotor serta bobrok, merek warung yang sudah luntur warnanya masih melambai ditiup angin.

Arak tua simpanan bertahun-tahun khusus bikinan warung arak Tan yang terkenal.

Sudah tentu Pho Ang-soat kenal orang gendut ini, tapi dia seperti tidak mendengar dan tidak melihatnya.

Ternyata Kongcu Gi juga tak acuh, tanyanya tawar kepada Tan-toalopan, “Kalian kenal baik?”

“Kenal baik sih tidak, hanya pernah bertemu sekali saja,” sahut Tan-toalopan.

“Hanya pernah melihat sekali, tapi kau sudah mengingatnya.”

Tan-toalopan tampak bimbang, katanya, “Karena sejak tuan ini berkunjung ke warungku, perusahaan lantas bangkrut, Hong-hong-kip juga hancur lebur, aku ... aku Seolah-olah tenggorokannya mendadak menjadi kering dan gatal, maka dia terbatuk-batuk, makin lama batuknya makin keras dan sesak hingga otot hijau merongkol di jidatnya, air mata pun meleleh dari ujung matanya.

Untung Kongcu Gi sudah mengulap tangan, katanya, “Silakan duduk.”

Coh-hujin segera maju membimbingnya, katanya lembut, “Mari duduk di sana, selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar, kejadian yang sudah lampau, tak usah kau taruh dalam hati.”

“Aku tidak ... tidak akan ...” sebelum habis dia bicara, mendadak Tan-toalopan sudah menangis tergerung-gerung.

Dua jago paling top yang tiada tandingan di dunia masa itu akan berduel, yang menjadi saksi malah menangis tergerunggerung, jarang ada kejadian seperti ini.

Kongcu Gi tidak memperlihatkan perubahan sikap, katanya, “Bukan saja Tan-toalopan berwatak jujur, sederhana dan dermawan, dia pun banyak pengalaman dan luas pengetahuan, sebagai saksi dia Cukup setimpal dan jarang ditemukan orang seperti dia.”

“Ya,” Pho Ang-soat mengiakan. Suaranya tenang dan datar, seperti hal ini memang sudah jamak.

Ternyata Kongcu Gi juga tidak menampilkan rasa kecewa, katanya, “Saksi ketiga adalah majikan Cong-tin-kek Ni Pohong, Ni-losiansing.”

Seorang petugas di luar pintu segera tarik suara lagi, “Nilosiansing, persilakan.”

Seorang tua berjubah sutra dengan corak warna yang mewah beranjak masuk sambil membusung dada, sorot matanya penuh diliputi kebencian dan dendam.

Memang siapa saja bila melihat pembunuh putra dan putrinya berdiri di depan mata, tapi tanpa bersuara atau komentar lantas duduk, memang kejadian yang sukar dilakukan orang lain.

Ni Po-hong sudah duduk di kursinya, duduk di sebelah Tantoalopan yang masih bercucuran air mata, masih mendelik ke arah Pho Ang-soat.

Kongcu Gi berkata, “Ni-losiansing adalah Bu-lim Cianpwe, bukan saja pandai menilai pusaka, dia pun pandai menilai orang.”

“Aku tahu,” ujar Pho Ang-soat.

“Bisa menarik Ni-losiansing untuk menjadi saksi duel kami sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi kami.”

“Betul.”

“Tiga orang saksi yang kuundang ini, tiada yang kau tentang?” Pho Ang-soat geleng kepala.

“Duel antara dua jago kosen, sedikit kesalahan berakibat fatal, oleh karena itu perasaan hati pun tidak boleh terpengaruh sedikitpun.”

“Aku tahu,” ucap Pho Ang-soat. “Mereka tidak akan mempengaruhi dirimu?”

“Tidak.”

Kongcu Gi menatapnya, sorot matanya tidak menampilkan rasa kecewa.

Demikian pula rona muka Pho Ang-soat tidak memperlihatkan perubahan. Peduli ketiga orang itu adalah musuh besarnya atau kekasihnya, mereka menangis atau tertawa, persetan, tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, karena dia tidak ambil peduli, tidak mendengar juga tidak melihat. Apakah duel kali ini adil atau tidak, dia juga tidak peduli, dia tidak ambil perhatian.

Dari kejauhan Coh-hujin mengawasinya, demikian juga Ni Po-hong dan Tan-toalopan juga sedang menatapnya, sikap dan mimik mereka tampak aneh dan lucu, entah kaget dan heran, atau karena takut dan ngeri? Atau mungkin juga kagum?

Kongcu Gi ternyata masih bersikap wajar, katanya, “Orang keempat adalah Ji-gi Taysu dari Kui-hoa-san.”

Maka petugas di luar pintu kembali tarik suara, “Ji-gi Taysu persilakan.”

Melihat orang ini beranjak masuk pelan-pelan, rona muka Pho Ang-soat berubah seketika, seumpama sebuah tanggul besar yang kokoh mendadak jebol diterjang air bah.

ooooOOoooo

Bab 24. Pertarungan Terakhir

Kiu-hoa-san terletak empat puluh li di sebelah barat daya kota Ceng-yang di wilayah propinsi An-hwi. Ke arah selatan dari Kui-hoa-san dapat memandang Lingyang, ke barat menghadap ke Jiu-poh, di utara bersambung dengan jalan raya Ngo-hi, ke timur bertaut dengan dua puncak Ling-gou dan Kui-hoa-san.

Kiu-hoa-kiam-pay bukan saja memiliki ilmu pedang yang luar biasa hebatnya, di puncak gunung itu penuh diliputi romantika para penyair dan kaum Buddhis yang serba rahasia.
Dalam Bu-lim ada Jit-toa-kiam-pay (tujuh aliran besar ilmu pedang), Kiu-hoa-san tidak termasuk di antaranya, karena murid didik Kiu-hoa-san memang teramat jarang, jejak mereka pun tidak sembarangan berkecimpung di Kangouw.

Beberapa tahun yang lampau, sudah tersiar luas berita bahwa Kiu-hoa-san sudah menggabungkan diri ke pihak Yubing-kau, sekaligus mereka menjunjung dua Cosu sebagai cikal-bakal mereka. Seorang adalah Te-cong-ong Posat, seorang lagi adalah penyair terkenal sejak zaman dinasti Tong waktu Li Si-bin bertahta, yaitu penyair romantis Li Pek.

Konon Li Pek yang bergelar Ceng-lian Kisu bukan saja dewanya penyair, dia pun seorang dewa pedang, ilmu pedang Kiu-hoa-pay merupakan warisan langsung dari ilmu ciptaannya.

Setelah ratusan dan ribuan tahun kemudian, dalam kalangan Kangouw muncul pula seorang pendekar aneh Li Mo-pek, dia pun keturunan langsung dari Kiu-hoa-pay. Berita yang tersiar luas di kalangan Kangouw, menjadikan pandangan kaum persilatan bertambah misterius terhadap aliran Kiu-hoa-pay.

Maka jejak murid-murid Kiu-hoa-pay serba tersembunyi dan rahasia, beberapa tahun belakangan ini boleh dikata mereka sudah tidak terjun ke dalam percaturan dunia persilatan.

Tapi semua ini bukan penyebab kagetnya Pho Ang-soat, yang membuatnya terkejut adalah ji-gi Taysu sendiri.

Ji-gi Taysu mengenakan jubah keimanan warna putih, berkaos kaki putih, kepala gundul klimis, sikapnya serius dan agung, sorot matanya bersinar, selintas pandang jelas adalah seorang beribadat yang sudah amat mendalam ajaran agamanya, seorang perempuan yang menjadi pendeta dalam ajaran agamanya.

Ji-gi Taysu ternyata adalah seorang Nikoh.

Kelihatan usianya sudah mendekati setengah baya, perawakannya sedang, wajahnya ayu jelita tapi bersih dan kereng, gerak-geriknya sopan dan sikapnya ramah, wajahnya yang kelihatan serius, tidak menampilkan sesuatu yang menarik perhatian orang. Sudah tentu tidak pula menunjukkan sesuatu yang patut dibuat kaget.

Dalam padangan siapa pun, dia tidak lebih hanya seorang Nikoh setengah baya yang patuh pada ajaran agama dan tekun menjalankan ibadah, tiada bedanya dengan para Nikoh lain yang tekun dan patuh akan tata tertib ajaran agamanya.

Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat ternyata jauh berbeda, walau wajahnya kelihatan cantik dan suci, sepasang tangannya pun seelok batu jade yang mulus dan lembut serta lemas seperti tak bertulang. Kakinya yang telanjang juga kelihatan putih mulus mempesona pandangan. Jubah keimanan yang putih dan gombrong lemas, bersih tak berdebu, menutupi perawakannya yang ramping dan menggiurkan. Tiada seorang pun pernah membayangkan bagaimana bentuk tubuh seorang Nikoh setengah baya yang kelihatan alim ini di balik jubah gombrongnya.

Tapi lain bagi Pho Ang-soat, dia dipaksa untuk membayangkan. Jubah putih yang terlampir di atas pagar, perawakan ramping molek di dalam bak mandi, rintihan di tengah gelap dengan napas yang memburu, pelukan yang hangat dan halus licin, sepasang payudara yang gempal, serta kedua tangan yang memancing birahi hingga dia tenggelam dalam mimpi kenikmatan.

Ternyata tidak bisa tidak dia harus membandingkan perempuan yang semalam mahir bermain adegan ranjang dengan Nikoh setengah baya yang kelihatan suci dan agung ini. Walau dia berusaha mencegah hatinya berpikir, namun apa lacur, dia tidak bisa tidak memikirkannya.

Padahal dia sudah tidak peduli dan tak mau campur akan segala persoalan di sekelilingnya, namun Nikoh setengah baya yang patuh akan ajaran agamanya ini justru membuatnya kacau dan berantakan. Terasa bibirnya kering tenggorokan gatal, jantung berdetak lebih keras, hampir tak kuat dia menguasai emosinya.

Ji-gi Taysu sebaliknya hanya memandangnya sekilas, wajahnya yang agung kelihatan suci sedikitpun tidak menampilkan perasaan hatinya.

Pho Ang-soat sudah hampir tak tahan, ingin memburu ke bawah menjambret jubahnya serta menelanjanginya, ingin dia memeriksa apakah Nikoh ini adalah perempuan yang semalam temannya bermain.

Tapi terpaksa dia harus menekan emosi dan bersabar, seolah-olah dia mendengar orang bertanya, “Apakah Sicu ini adalah Pho Ang-soat yang terkenal di seluruh dunia itu?” Seolah-olah dia pun mendengar jawabannya, “Ya, aku adalah Pho Ang-soat.”

Coh-hujin mengawasi mereka, sorot matanya membayangkan rona kelicikan, mencemooh dan penuh muslihat. Apakah dia sudah tahu akan kejadian mereka semalam?

Mendadak Coh-hujin tertawa, katanya, “Taysu sudah lama mengasingkan diri di Kiu-hoa, tak nyana juga sudah tahu nama besar Pho-tayhiap.”

Ji-gi Taysu berkata, “Walau Pinni hidup di luar duniawi, namun segala kejadian di dunia Kangouw, sedikitpun tak pernah ketinggalan.”

Coh-hujin bertanya pula, “Sebelum ini apakah Taysu pernah melihatnya?”

Ji-gi Taysu menepekur, ternyata dia mengangguk, katanya, “Agaknya pernah melihatnya sekali, sayang waktu itu cuaca amat gelap, hingga tak sempat melihat jelas.”

Coh-hujin tertawa, katanya, “Walau Taysu tak melihat jelas, dia pasti melihat Taysu dengan jelas.”

“Ah, masa?”

Senyum Coh-hujin penuh mengandung arti, katanya, “Karena Pho-tayhiap kita ini punya mata malam, di dalam gelap dapat melihat benda seterang kita melihat benda di tempat terang.”

Wajah Ji-gi Taysu seperti menunjukkan sedikit perubahan aneh.

Perasaan Pho Ang-soat pun semakin berat, seperti tenggelam dalam lautan.

Dalam kegelapan semalam, hakikatnya dia tidak memperhatikan, cuma lapat-lapat dia hanya melihat bentuk tubuhnya yang mulus menggiurkan. Selama ini tak pernah terpikir olehnya akan hal ini, baru sekarang dia menyadari bahwa ketajaman matanya mulai terpengaruh dan kurang beres. Kejadian pasti berlangsung setelah dia bertemu dengan orangtua dalam almari besi itu. Apakah sorot mata orangtua itu, memiliki kekuatan iblis yang dapat menyebabkan seseorang berubah menjadi pikun dan tumpul pikirannya? Kenapa dia mencegah Pho Ang-soat melihat jelas perempuan yang diajaknya bermain di atas ranjang? Kenapa pula perempuan itu harus menunggunya di tempat gelap?
Dua orang saksi terakhir juga ditunjuk oleh Kongcu Gi dan dipanggil masuk, ternyata Pho Ang-soat tidak memperhatikan lagi siapa kedua saksi ini.

Hatinya kalut lagi, perasaannya tidak tenteram.

Apa pun dia tak bisa melupakan adegan 'syuur' semalam, dia merasa berdosa karena seorang segar bugar dia peralat untuk melampiaskan nafsu binatangnya.

Isak tangis Tan-toalopan, tatapan benci Ni Po-hong yang penuh dendam, mendadak berubah menjadi tekanan yang tak mungkin bisa dia bendung. Demikian pula pedang merah darah itu.

Kenapa pedang merah darah itu bisa terjatuh ke tangan Kongcu Gi? Kalau pedang di tangannya, lalu dimana Yan Lam-hwi sekarang? Ada hubungan misterius apakah di antara kedua orang ini, kenapa sampai sejauh ini Kongcu Gi tetap tidak mau memperlihatkan wajah aslinya?

ooooOOoooo

Cahaya obor menyala benderang sehingga panggung batu itu seterang siang hari.

Akhirnya Pho Ang-soat naik ke atas panggung batu, jarinya menggenggam kencang gagang goloknya, lebih kencang dari pegangan biasanya.

Di kala dia sedang sedih, pilu dan risau, menderita tanpa bantuan, hanya golok itu yang selalu menjadi pendamping, memberikan kekuatan yang menenteramkan perasaannya.

Terhadap dirinya, golok ini lebih berguna dari sebatang tongkat yang biasa digunakan si tuna netra, antara jiwa raga dan goloknya itu, seperti sudah terjalin suatu ikatan lahir batin. Semacam perasaan atau ikatan yang tak bisa diselami oleh orang lain, malah satu sama lain saling mempercayai.

Kongcu Gi menatapnya lekat-lekat, katanya pelan sepatah demi sepatah, “Sekarang setiap saat kau sudah boleh mencabut golokmu.” Sekarang pedang pun sudah berada di tangannya.

Hadirin maklum dalam kondisi seperti ini, orang percaya dia jauh lebih yakin dan mantap dibanding Pho Ang-soat.

Mendadak Pho Ang-soat bertanya, “Maukah kau menunggu sebentar?”

Sorot mata Kongcu Gi menampilkan cemoohan, katanya, “Kau boleh menunggu, namun harus kau sadari, betapapun lama aku menunggu, kalah menang tetap takkan bisa berubah.”

Pho Ang-soat seperti tidak mendengar, habis dia bicara, mendadak dia putar tubuh beranjak pergi, langsung mendekati Ji-gi Taysu.

Ji-gi Taysu mengangkat kepala memandangnya dengan rasa kejut dan curiga.

Pho Ang-soat bertanya, “Taysu datang darimana?”

“Datang dari Kiu-hoa,” jawab Ji-gi Taysu.

“Sang raja datang darimana?”

“Datang dari Sin-kiang.”
“Dia membuang kedudukan dan keagungan, apa tujuannya?”

“Membina diri memperdalam agama Buddha.”

“Kalau sudah membina diri belajar agama Buddha, kenapa bersumpah pun dia tidak bisa menjadi dewa?”

“Karena dia harus menolong sesama manusia,” sikap Ji-gi Taysu makin tenang, sikapnya pun kelihatan agung dan angker, orang lain hakikatnya tiada yang paham apa yang mereka perbincangkan.

Pho Ang-soat bertanya pula, “Ongcu sekarang dimana?”

“Tetap di Kiu-hoa.”

“Kalau Ongcu menolong sesama umat manusia, lalu Taysu?”

“Pinni juga punya cita-cita yang sama.”

“Kalau demikian, semoga Taysu sudi memberi berkah kepadaku, supaya hatiku tenteram pikiran tenang.”

Ji-gi Taysu merangkap kedua tangan, katanya, “Ya.” Dari dalam kantung bajunya dia mengeluarkan sebuah botol kecil serta menuangkannya beberapa tetes minyak suci, minyak suci ini dia poleskan di muka dan punggung tangan Pho Angsoat, mulutnya komat-kamit membaca mantra entah apa artinya, lalu dia bertanya, “Apa keinginanmu?”

Seperti bersenandung Pho Ang-soat tarik suara, “Selamat tenteram, tak bergerak laksana bumi, tenang mendalam, laksana madu seperti sang dewa.”

Dengan telapak tangannya perlahan Ji-gi Taysu menepuk batok kepala Pho Ang-soat, katanya, “Baiklah, kau boleh pergi.”

“Baik, aku segera pergi,” sahut Pho Ang-soat.

Waktu dia mengangkat kepala, wajahnya yang pucat dan kurus kelihatan memancarkan cahaya, bukan cahaya dari minyak. Tapi cahaya terang laksana sinar pusaka yang membawa ketenteraman dan ketenangan.

Lalu dia putar tubuh langsung beranjak ke atas panggung. Waktu lewat di depan Coh-hujin, mendadak dia berkata, “Sekarang aku sudah tahu.”

“Tahu apa?” tanya Coh-hujin.

“Tahu kau inilah, “sahut Pho Ang-soat.

Berubah rona muka Coh-hujin, serunya, “Apalagi yang kau ketahui?”

“Yang patut kuketahui sudah kuketahui.”

“Kau ... darimana kau bisa tahu?”

“Tenang mendalam laksana dewa.”

Di waktu dia naik pula ke atas panggung berhadapan dengan Kongcu Gi, bukan saja sikapnya tenang wajar, seolaholah dia betul-betul setenang bumi yang tak tergoyahkan.

Punggung tangan Kongcu Gi yang menggenggam pedang ternyata mengencang hijau karena otot-otot tangannya merongkol keluar.

Pho Ang-soat menatapnya sinis, katanya tiba-tiba, “Kau sudah pernah kalah sekali, kenapa mengejar kekalahan lagi?”

Badan Kongcu Gi bergetar, sorot matanya memicing beringas, mendadak dia menghardik laksana guntur, pedang sudah tercabut, sinar pedang yang merah darah berkelebat laksana bianglala. Hanya pandangan seorang yang betul-betul tajam mungkin dapat mengikuti sambaran sinar perak yang berkelebat sekali di tengah sambaran cahaya merah bianglala tadi.

“Ting” hanya sekali berdenting, maka seluruh gerakan seketika berhenti, seperti beku dan kaku, seluruh kehidupan di mayapada ini, seperti mati seketika dalam detik itu pula. Golok Pho Ang-soat sudah berada dalam sarungnya, ujung pedang Kongcu Gi masih mengincar tenggorokannya, tapi dia tidak berani menusukkan. Sekujur badannya seperti mendadak menjadi kaku dan beku.

Perlahan tapi pasti topeng tembaga hijau di mukanya merekah menjadi dua hingga kelihatan wajah asli di balik topeng. Itulah seraut wajah yang putih bersih, wajah nan cakap dan ganteng, namun wajah ini diliputi rasa ngeri dan takut.

“Trang”, waktu topeng tembaga yang terbelah itu jatuh mengeluarkan suara berisik, pedang pun terlepas berkerontang.

Orang di balik kedok ini ternyata adalah Yan Lam-hwi.

Cahaya obor gemerlapan, ruang sebesar itu dalam keadaan hening lelap tanpa sedikit suara pun.

Akhirnya Yan Lam-hwi buka suara, “Sejak kapan kau tahu?”

“Belum lama,” sahut Pho Ang-soat.

“Waktu kau mencabut golok sudah tahu akan diriku?”

“Betul.”

“Maka kau punya keyakinan pasti menang.”

“Karena dalam hatiku sudah tidak kalut tidak tergerak.”

Yan Lam-hwi menarik napas panjang, katanya muram, “Sudah tentu kau harus punya keyakinan, karena aku sebetulnya memang sudah mati di tanganmu.”

Lalu dia memungut pedang panjangnya dengan kedua tangan, dia angsurkan ke depan, katanya pula, “Silakan, silakan turun tangan.”

Pho Ang-soat menatapnya bulat, katanya, “Sekarang citacitamu sudah terkabul?”

“Ya, sudah,” ujar Yan lam-hwi.

Tawar suara Pho Ang-soat, “Maka sekarang kau sudah menjadi seorang mati, kenapa aku harus turun tangan pula?”

Dia membalik badan, tidak memandang lagi ke arah Yan Lamhwi.

Memang dia tidak perlu melihat atau menjumpainya lagi. Di belakang didengarnya helaan napas panjang, darah muncrat bercecer di sekitar kakinya. Dia tetap tidak menoleh, wajahnya yang pucat menampilkan kepedihan dan kerawanan.

Dia tahu akhir dari persoalan ini. Ada kalanya akhir dari sesuatu persoalan memang tak bisa diubah oleh siapa pun, demikian pula nasib manusia.

Lalu bagaimana dengan nasibnya sendiri?

Orang pertama yang menyongsong dirinya adalah Ji-gi Taysu, dengan tersenyum dia menyapa, “Sicu sudah menang.”

“Apa betul Taysu pasti Ji-gi (terkabul)?” Ji-gi Taysu bungkam.

“Kalau Taysu juga belum tentu Ji-gi, lalu darimana tahu aku betul-betul sudah menang?”

Perlahan Ji-gi Taysu menghela napas, katanya, “Betul, entah menang entah kalah? Terkabul atau tidak terkabul? Lalu siapa yang tahu?” Kedua tangan terangkap di depan dada, lalu bersabda pula, perlahan dia beranjak minggir.

ooooOOoooo

Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepalanya, dalam ruang besar ini hanya tertinggal Coh-hujin seorang saja. Orang sedang mengawasi dirinya, bila dia menoleh baru dia berkata kalem, “Aku tahu.”

“Kau tahu?” Pho Ang-soat menegas.

“Menang adalah menang, yang menang memiliki segalanya, yang kalah harus mati, hal ini jelas tak boleh dipalsukan.” Setelah menghela napas dia menyambung, “Yan Lam-hwi sudah mati, maka sudah pasti kau adalah.....”

Pho Ang-soat menukas perkataannya, “Yan Lam-hwi memang sudah mati, lalu Kongcu Gi?”

“Bukankah kau sudah saksikan sendiri?”

“Saksikan apa?”

“Yan Lam-hwi adalah Kongcu Gi.”

“Apa betul dia?”

“Memangnya bukan?”


“Pasti bukan.”

Coh-hujin tertawa, mendadak dia menuding ke belakangnya, katanya, “Coba kau lihat pula apakah itu?”

Di belakangnya adalah panggung batu. Panggung batu yang datar mengkilap mendadak merekah ke pinggir, sebuah kaca tembaga raksasa tengah mumbul dari bawah panggung.

“Apakah itu?” tanya Coh-hujin.

“Kaca tembaga.”

“Ada apa di dalam kaca?”

Di dalam kaca masih ada orang.

Pho Ang-soat tepat berdiri di depan kaca tembaga, maka bayangannya terlihat di dalam kaca. “Sekarang apa yang kau lihat?”

“Melihat diriku sendiri.”

“Maka kau sudah melihat Kongcu Gi, karena sekarang kau adalah Kongcu Gi.”

Pho Ang-soat diam.

Dia bilang dirinya adalah Kongcu Gi. Ternyata dia diam. Kadang kala diam merupakan tantangan tanpa suara, tapi lebih sering bukan demikian.

“Kau serba pintar dan teliti, dari tangan Ji-gi Taysu yang memoles minyak di muka dan di tanganmu, kau lantas tahu perempuan yang semalam tidur dengan kau bukan dia, tapi adalah aku.”

Pho Ang-soat tetap bungkam.

“Oleh karena itu sekarang kau pasti sudah tahu, kenapa kau adalah Kongcu Gi.”

Mendadak Pho Ang-soat bertanya, “Apa betul sekarang aku adalah Kongcu Gi?”

“Paling tidak sekarang memang demikian kenyataannya.”

“Lalu sampai kapan baru aku bukan Kongcu Gi?”

“Sampai muncul pula seorang jago yang lebih kuat dari kau di Bu lim, waktu itu

“Waktu itu nasibku akan seperti Yan Lam-hwi sekarang.”

“Betul, waktu itu bukan saja kau bukan lagi Kongcu Gi, kau pun bukan Pho Ang-soat. Waktu itu kau sudah menjadi orang mati,” dia tersenyum manis dan genit. “Tapi aku percaya dalam jangka sepuluh tahun pasti takkan muncul seorang yang lebih kuat dari kau, maka semua yang ada di sini menjadi milikmu, kau bisa memiliki, menikmati seluruh kekayaan, kebesaran nama dan kewibawaan, kau pun bisa menikmati kehangatan tubuhku.”

Jari Pho Ang-soat yang menggenggam golok mengencang katanya, “Jadi selamanya kau adalah milik Kongcu Gi?”

“Ya, selamanya, meski Kongcu Gi berganti sepuluh orang.”

Pho Ang-soat menatapnya nanar, genggaman tangan semakin erat, menggenggam goloknya. Mendadak dia mencabut golok, hanya sekali golok berkelebat. Kaca tembaga itupun terbelah, mirip topeng tembaga di muka Yan Lam-hwi tadi, terbelah dua dan ambruk.

Begitu kaca tembaga ambruk, maka muncullah satu orang.

ooooOOoooo

Satu orang tua.

Di belakang kaca adalah sebuah kamar yang terpajang serba mewah dan antik, di pojok sana terdapat sebuah ranjang pendek yang serba baru dan menyolok warnanya.

Orang tua itu rebah miring di atas ranjang.

Dia sudah tua, sudah reyot, namun sepasang matanya masih kelihatan cemerlang seperti mata setan dan iblis, hingga kelihatan masih muda dan bercahaya.

Sepasang mata inilah yang dilihat Pho Ang-soat di dalam almari besi yang gelap itu.

Mata bercahaya muda ini kini sedang menatapnya.

Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, tajam goloknya seperti berganti di kedua matanya, katanya menatap tajam, “Di dunia ini hanya ada satu orang tahu siapasebenarnya Kongcu Gi itu.”

“Siapa tahu?” tanya orangtua.

“Kau sendiri,” sahut Pho Ang-soat tegas.

“Kenapa aku yang tahu?” tanya orangtua.

“Karena kaulah Kongcu Gi yang tulen.”

Orang tua itu tertawa, tertawa bukan menyangkal, apalagi tawa seperti yang satu ini.

Pho Ang-soat berkata pula, “Kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Kongcu Gi pasti bukan diperoleh dengan mudah.”

Memang tiada hasil yang diperoleh tanpa kerja di dunia ini, terutama nama besar, kekayaan dan kekuasaan.

“Seseorang pasti merasa berat kehilangan segala yang dimiliki,” demikian kata Pho Ang-soat.

Siapa pun demikian.

“Sayang sekali kau sudah tua, kondisi badanmu semakin susut dan kesehatanpun menurun, kau ingin mempertahankan segala milikmu, terpaksa kau harus mencari seorang duplikat, seorang yang dapat mewakili dirimu, atau jelasnya menjadi antekmu.”

Kongcu Gi bungkam. Bungkam berarti mengakui apa yang dikatakan itu memang benar.

“Maka wakil atau duplikatmu sudah tentu harus seorang yang paling kuat, maka kau menemukan Yan Lam-hwi.”

Kongcu Gi tersenyum, katanya, “Dia memang amat kuat, apalagi masih muda.”

“Dia tidak kuat menahan hasutan dan bujukanmu, lalu menjadi duplikatmu.”

“Sebetulnya selama ini dia bekerja dengan baik sekali.”

“Sayang sekali dia kalah. Kalah oleh golokku di Hong-hongkip.”

“Bagi dirinya, memang satu hal yang harus dibuat sayang.”

“Bagi dirimu?” tanya Pho Ang-soat.

“Bagi diriku sama saja,” sahut Kongcu Gi.

“Sama saja?”

“Kalau ada seorang lain yang lebih kuat untuk menggantikan dia, kenapa aku masih harus memakainya?” Pho Ang-soat menyeringai dingin.

“Tapi aku memberi kesempatan kepadanya, dalam setahun asal dia dapat mengalahkan kau, dia akan tetap memiliki segalanya,” suaranya lebih kereng, “maksudku dia harus mengalahkan kau, bukan untuk membunuhmu.”

“Karena kau ingin seorang yang paling kuat.”

“Betul.”

“Dia berpendapat permainan golokku yang paling menakutkan adalah mencabut golok.”

“Maka dia giat berlatih mencabut pedang, sayang sekali setahun kemudian dia tetap tak yakin dapat mengalahkan kau.”

“Maka lebih besar hasratnya untuk memiliki Toa-pi-bu dan Khong-jiok-ling?”

“Maka dia keliru?”

“Dia pula yang keliru?”

“Memangnya aku yang salah?”

“Kenapa dia keliru?”

“Karena dia tidak tahu kedua benda itu sudah berada di tanganku.”

Pho Ang-soat mengancing mulut.
“Dia pun tidak tahu, bahwa kedua benda itu hakikatnya tidak menakutkan seperti yang tersiar di Bu-lim. Umpama dia memperoleh kedua benda itu, juga belum tentu pasti dapat mengalahkan kau.”

Berita di luar, kabar yang tersiar dari mulut ke mulut biasanya memang lebih indah, lebih muluk dari kenyataannya.

Pho Ang-soat cukup tahu akan hal ini.

Kongcu Gi berkata, “Sejak mula aku sudah menilaimu lebih kuat dari dia, karena kau memiliki kekuatan atau daya tahan yang aneh dan luar biasa.” Lalu dia menjelaskan, “Kau dapat menahan derita yang tak mungkin ditahan oleh orang lain, dapat pula menerima pukulan lahir batin yang tak mungkin diterima orang lain.”

“Maka dalam duel ini kau memang sudah mengharap aku yang menang.”

“Karena itu aku suruh Meja (Coh-hujin) menemani kau, tidak ingin kau terlalu tegang menjelang duelmu dengan dia.”

Kembali terkatup mulut Pho Ang-soat. Sekarang baru dia mengerti akan segala kejadian, semua persoalan yang tak terjawab, dalam sekejap ini mendadak menjadi mudah dimengerti.

Kongcu Gi menatapnya, katanya, “Karena itu sekarang kau sudah menjadi Kongcu Gi.”

“Bukan. Aku bukan Kongcu Gi, aku tetap aku, aku adalah Pho Ang-soat.”

“Kenapa bukan?”

“Aku hanya duplikat Kongcu Gi saja. Begitu?”

“Tapi kau memiliki segalanya.”

“Tiada seorang pun yang bisa memiliki segala itu, tetap menjadi milikmu.”


“Maka.....”
“Maka sekarang aku tetap adalah Pho Ang-soat.”

Berdenyut pelupuk mata Kongcu Gi, matanya makin memicing, katanya, “Jadi kau tidak mau menerima segala itu?”

“Ya, tidak mau.”

Pelupuk mata mengkeret dan setengah terpejam, jari-jari tangan juga mengencang. Tangan yang memegang golok. Agak lama kemudian, mendadak Kongcu Gi tertawa, katanya, “Kau tahu bahwa aku ini sudah tua renta.”

Pho Ang-soat tidak memberi komentar.

“Tahun ini usiamu ada tiga puluh lima atau enam?” tanya Kongcu Gi.

“Tiga puluh tujuh, “ sahut Pho Ang-soat.

“Kau tahu berapa usiaku?”

“Enam puluh?”

Kongcu Gi tertawa, tawa yang aneh, namun membawa mimik yang sedih dan mencemooh.

“Kau belum ada enam puluh?”

“Tahun ini usiaku juga genap tiga puluh tujuh.”

Pho Ang-soat terbelalak kaget, menatap tajam kerut keriput di wajahnya yang pucat.

Dia tak bisa percaya, tapi dia tahu, seseorang menjadi tua dan renta, ada kalanya bukan lantaran tersiksa oleh jalannya sang waktu. Banyak persoalan, peristiwa dapat menjadikan seseorang menjadi cepat tua.

Rindu dapat membuat orang menjadi tua, demikian pula sedih dan risau serta penderitaan dapat menjadikan orang beruban.

Kongcu Gi berkata, “Tahukah kau kenapa aku menjadi tua begini?”

Pho Ang-soat tahu.

Bila seseorang memiliki banyak keinginan, entah itu anganangan atau cita-cita, terlalu besar ambisi, maka dia pasti dapat menjadi lekas tua. Pho Ang-soat tahu akan hal ini, tapi dia tidak melontarkan isi hatinya dengan kata-kata, kalau sudah tahu kenapa harus dikatakan.

Ternyata Kongcu Gi tidak memberi penjelasan lebih lanjut, karena dia maklum Pho Ang-soat pasti sudah tahu apa maksudnya.

“Karena terlalu banyak yang kupikirkan, maka aku cepat tua, karena aku tua, maka aku tetap lebih kuat dari kau,” uraiannya serba diplomasi, “jika kau bukan Kongcu Gi, maka kau tidak akan menjadi Pho Ang-soat.”

“Aku orang mati?”

“Betul.”

Pho Ang-soat duduk, duduk di meja pendek di seberang ranjang. Dia amat lelah. Mengalami duel tadi, asal dia seorang manusia, maka dia pasti akan merasa lelah.

Namun relung hatinya justru amat bergairah, semangatnya menyala. Dia tahu akan datang satu pertempuran lagi, pertempuran yang jauh lebih sengit dan tegang dari duel yang terdahulu tadi.

“Kau masih kuberi kesempatan untuk mempertimbangkan,” desak Kongcu Gi.

“Kurasa tidak perlu,” ujar Pho Ang-soat.

Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Kau pasti tahu aku tidak ingin kau mati.”

Pho Ang-soat tahu, untuk mencari seorang duplikat seperti dirinya, pasti bukan suatu hal mudah.

“Sayang sekali, aku sudah terpojok, tiada pilihanku yang lain.”

“Aku pun tiada pilihan lain.”

“Memangnya apa pun kau tidak punya.” Pho Ang-soat tidak menyangkal.

“Kau tidak punya kekayaan, tiada kekuasaan, tiada teman, tiada sanak-kadang.”

“Aku hanya punya satu jiwa dan raga.”

“Kau masih punya satu lagi.”

“Punya apa pula?”

“Nama besar.”

“Kalau kau menolak tawaranku, bukan saja aku akan menuntut jiwa ragamu, aku pun akan merusak dan meruntuhkan nama besarmu, aku punya banyak cara.”

“Kurasa apa pun kau tidak punya,” jengek Pho Ang-soat.

Kongcu Gi juga tidak menyangkal.

“Kau punya kekayaan, kau punya kekuasaan, anak buahmu adalah jago-jago kosen.”

“Untuk membunuhmu, kukira aku perlu menggunakan mereka.”

“Kau memiliki apa saja, tapi masih kurang satu.”

“Kurang apa?”

“Kau tidak punya daya hidup, gairah hidupmu sudah pudar.” Kongcu Gi masih tertawa.

“Umpama betul nama besar dan kebesaran Kongcu Gi bisa bertahan lama dan abadi, akhirnya kau pun sudah mati.”

Tangan Kongcu Gi juga mengepal kencang.

“Tanpa gairah hidup, berarti tidak punya semangat juang, maka bila kau berani berduel dengan aku, maka kau pasti kalah.”

Kongcu Gi masih tertawa, tapi tawanya makin kaku dan menjadi seringai lucu.

“Jika kau berani berdiri dan berduel dengan aku, kalau kau dapat mengalahkan aku, aku akan menjual hidupku kepadamu, pasti takkan menyesal atau mengomel di kemudian hari,” lalu dia tertawa dingin, katanya pula, “Tapi kau tidak berani.”

Matanya mencorong terang laksana bintang kejora, Kongcu Gi ditatapnya tanpa berkedip. Tangannya memegang golok, matanya seakan berpisau, ucapannya pun seperti pisau tajam.

Ternyata Kongcu Gi tidak berdiri. Apakah karena dia tidak mampu berdiri, atau karena tangan Coh-hujin. Tangan Cohhujin menekan kedua pundaknya.
Pho Ang-soat sudah membalik badan, pelan-pelan dia beranjak pergi.

Kongcu Gi hanya mengawasi punggungnya, gaya jalannya masih kelihatan kaku dan lucu, gerakannya lamban dan malas, namun siapa pun bila mengawasinya pandangannya pasti memancarkan rasa hormat dan kagum.

Siapa pun tak terkecuali. Tangannya terus menggenggam golok, tapi tidak dia cabut. Aku tidak membunuhmu, karena kau sudah seperti orang mati.

Bila hati seseorang sudah beku, sudah mati, seumpama raga atau jazad kasarnya masih utuh juga sudah tak berguna lagi.

Pho Ang-soat tahu kenapa Coh-hujin menekan pundak Kongcu Gi, karena dia tidak ingin hidup dalam suasana dan kondisi seperti itu pula. Selama hayat masih di kandung badan dia tetap milik Kongcu Gi, dalam sanubarinya, Kongcu Gi yang tulen hanya ada satu, selamanya tiada orang lain yang dapat menggantikan dia. Peduli dia sudah tua atau sudah loyo, mati atau hidup, selamanya takkan ada orang lain yang dapat mewakilinya. Karena itu Coh-hujin rela melakukan apa pun demi sang suami.

Apakah dalam hal ini dia bisa maklum? Sampai kapan dia baru mau mengerti? Kenapa ulat sutra baru berhenti memproduksi benang sutra setelah dia mati?

Sang surya sudah hampir terbenam.

Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya terakhir yang menguning emas, berdiri di tengah puing-puing perkampungan merak yang sudah mulai belukar, petang mulai tiba, suasana terasa hening beku, selayang pandang keadaan yang serba mengenaskan melulu.

Pho Ang-soat mengeluarkan segebung kertas, menata di depan pusara para kawannya. Kertas putih bak salju, dengan tulisan tinta hitam yang melambangkan kematian.

Itulah berita duka kematian Kongcu Gi, berita duka yang disiarkan ke seluruh pelosok dunia, jelas berita ini amat menggetarkan seluruh jagat. Debu akhirnya melayang turun ke bumi, manusia akhirnya pasti akan mati.

Pho Ang-soat menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan-pelan, dia mendongak melihat cuaca, keremangan senja mulai diliputi kabut, tabir malam sudah menjelang.

Hatinya mendadak merasa aman tenteram dan sentosa, damai dalam hati, damailah dunia fana ini, karena dia tahu bila tabir malam menjelang, maka rembulan (bing-gwat) akan segera terbit.

Arak dalam cangkir, cangkir di tangan.

Kongcu Gi duduk menghadap jendela sambil menikmati arak dalam cangkir di tangannya, gunung-gemunung menghijau permai di luar jendela, air mengalir gemerisik di bawah jembatan kecil berliku di pinggir kanan.

Sebelah tangan yang menekan pundaknya begitu indah, begitu lembut dan mesra. Dengan suara perlahan dia sedang bertanya, “Sejak kapan kau mengambil keputusan untuk melakukan hal itu?”

“Setelah pikiranku benar-benar terbuka.”
“Pikiran terbuka bagaimana?”
“Seseorang hidup untuk apa?” tangannya juga menekan lembut di punggung tangannya. “Orang hidup hanya untuk mengejar ketenangan dan kesenangan, jika gairah hidup pun tidak dimiliki, maka umpama dia mempunyai nama besar, kaya raya dan besar kekuasaannya dapat bertahan selamanya, apa pula gunanya?”

Dia tertawa riang, tawa yang manis, tawa mesra nan lembut dan menggiurkan. Dia tahu sekarang pikirannya memang benar-benar terbuka.

Sekarang sudah tersiar luas, meski orang banyak menganggap dia sudah mati, tapi kenyataan dia masih hidup, benar-benar hidup, hidup segar bugar, karena sekarang dia sudah tahu mengecap kesenangan hidup.

Seorang bila sudah benar-benar tahu menikmati kesenangan hidup, maka umpama dia hanya hidup sehari saja juga cukup puas.

“Aku tahu Kongsun To dan kawan-kawannya pasti takkan berumur panjang,” ujar Kongcu Gi.

“Kenapa?” tanya Coh-hujin.

“Karena aku sudah menanam bibit racun dalam hati mereka.”

“Bibit racun apa?”

“Yaitu kekayaan dan kekuasaanku.”

“Kau kira mereka akan saling rebut dan cakar-cakaran sampai mati?”

“Ya, pasti.”

Coh-hujin tertawa pula. Tawanya lebih manis, lebih lembut.

Coh-hujin tahu kenapa Kongcu Gi berbuat demikian, karena dia harus menebus dosanya, juga harus menebus dosanya sendiri. Sekarang yang dikejar hanyalah ketenangan dan kesenangan hidup.

Sekarang semuanya sudah berlalu. Dia meneguk araknya, menikmati sejuknya hawa gunung, langit nan biru hijau, namun tak pernah dia bertanya lagi dimana sekarang Binggwat berada. Karena dia tahu dimana Bing-gwat sekarang berada.

Dalam sebuah rumah kecil yang sepi dihuni seorang perempuan kesepian.

Hidupnya serba kesepian, serba sulit dan menderita.

Tapi dia tidak pernah berkeluh-kesah terhadap Yang maha Kuasa, karena dia merasa tenteram, sekarang dia sudah bisa hidup dari imbalan jerih-payahnya sendiri, dengan tenaga dan cucuran keringat dia bekerja memperoleh ongkos kehidupan, tak perlu menjual diri, menjual tampang dan senyum.

Mungkin dia belum merasa gembira, namun dia sudah terbiasa untuk menahan diri. Dalam kehidupan di dunia fana ini memang banyak persoalan yang tak bisa terkabulkan, maka siapa pun asal dia manusia, dia harus berani menghadapi kenyataan, belajar menahan diri, menahan perasaan dan emosi.

Sehari ini akan berlalu, suatu hari yang bersahaja, hari-hari berlalu seperti biasa.

Dia menjinjing keranjang berisi pakaian, melangkah di pinggir sungai lalu turun ke dalam air. Dia harus mencuci bersih seluruh pakaian dalam keranjang itu, baru bisa beristirahat.

Di atas bajunya tergantung serenceng kecil kembang melati, hanya kembang melati inilah kesenangannya, miliknya yang paling disenangi.

Air sungai jernih bening laksana kaca. Waktu dia menunduk memandang ke air, mendadak di permukaan air nan bening terbayang terbalik seraut wajah seorang.

Seorang yang sebatangkara, seorang yang kesepian, sebatang golok yang tunggal.

Jantungnya mendadak berdetak, ketika dia mengangkat kepala, dilihatnya seraut muka yang pucat. Hatinya hampir saja berhenti berdenyut, sudah lama tak kunjung harapan dalam benaknya bahwa hidupnya ini masih ada harapan. Tapi sekarang bahagia seperti mendadak muncul di depan matanya.

Mereka berdiri diam saling berpandangan, saling selidik, bahagia laksana sekuntum kembang yang mekar segar terbetik di dalam sanubari mereka, berkembang biak dalam adu pandang yang lekat dan penuh kasih mesra ini.

Lama mereka tidak bersuara. Dalam keadaan seperti ini, dengan rangkaian kata-kata muluk apakah untuk mengisahkan atau melimpahkan rasa senang dan bahagia mereka?

Pada saat itu, Bing-gwat sudah mulai terbit.

Dimana ada Bing-gwat? Asal hatimu belum loyo, bila semangatmu masih menyala, maka Bing-gwat akan menyala di dalam hatimu.

TAMAT