Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 21 Desember 2015

PENDEKAR BODOH - K P H 2 25 - 100

SAMBUNGANNYA .............


Untuk beberapa lamanya binatang itu mendekam di bawah pohon, menanti calon mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas dengan hidung kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki bahkan anak itu lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu! Entah karena jengkel dan kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.

 Cin Hai tidak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani turun dan lari pulang ke gua. Semenjak pengalamannya itu, Cin Hai tahu akan kegunaan kepandaiannya maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak berani lagi meninggalkan gua terlalu jauh.

 Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut gua lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain suling. Selama berdiam di gua itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!

 Ketika ia tengah asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Ia berdiri di depan gua, tak jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan tubuh tak bergerak. Cin Hai juga melihat kedatangan orang itu, tetapi ia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali, karena yang datang adalah seorang. wanita asing. Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang manis dengan sepasang bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya merah dan bersih sekali, juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.

 Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dulu, yaitu, Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dengan mendengar gurunya itu bersuling, dapatlah Cin Hai meniru lagunya. Makin lama makin merdu dan merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan sulingnya.

 Dara muda itu kecewa dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali, mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.” Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.

 Cin Hai merengut ketika disebut “hwesio cilik”. Ia menjawab tak senang. “Kira-kira dong kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil.”

 Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Ia memang merasa aneh dan ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan seorang diri, dan anak ini pandai bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.

 “Saudara kecil, kalau kau bukan seorang hwesio mengapa kepalamu gundul dan pakaianmu jubah hwesio?”

 Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela pakaiannya. “Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan kau? Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”

 Biarpun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara Baju Merah itu tidak marah, bahkan memperlihatkan senyum yang agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja ia sudah dewasa. Tetapi senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.

 “Engko cilik, kalau aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu, tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”

 “Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”

  

 Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari mana kautahu bahwa aku pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman agar Cin Hai mengaku.

 Cin Hai merasa heran dan menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai menari? Hanya menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai menari.”

 Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu. “Baiklah, kautiup sulingmu dan aku menari untukmu.”

 Cin Hai girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut gua yang gelap sehingga pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar belakang gua hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.

 Cin Hai sambil menyuling memandang gadis itu dan ia bagaikan kena pesona. Bukan main indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian seorang bidadari! Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!

 Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling yang ditiup Cin Hai dan Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang putih dengan sinar merah dari bajunya!

 Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya meniup suling, baru ia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.

 “Hebat sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.

 “Lebih hebat adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan matanya yang lebar.

 “Kau menyukai tarianku?” tanya gadis itu.

 “Suka sekali, jauh lebih daripada sukamu kepada suara sulingku” kata Cin Hai cepat-cepat dan sejujurnya.

 Gadis itu tersenyum. “Engko kecil, siapakah namamu?”

 Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih suka menyebutku Tolol atau Bodoh!”

 Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya memandang kepalanya yang gundul dan besar lalu ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang, ia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,

 “Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!”

 Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, “Memang aku tolol dan bodoh, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.”

 Si Nona mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”

 “Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang takkan lenyap dan berakhir dengan keburukan? Lihat saja cahaya matahari berganti malam gelap lagi buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik jelita.”

 “Stop segala omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik yang berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil bicara seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?”

 Cin Hai tertawa. “Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”

 “Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”

 Cin Hai cepat-cepat menggeleng kepalanya, “Aku bukan pendeta, dan tentang pakaian…” ia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya satu yang terpaksa kupakai.”

  

 Dara Baju Merah itu tertawa geli, sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai bersuling ini.

 “Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”

 “Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kang-lam Sam-lojin.”

 “Ahh? Jadi mereka itu suhu-suhumu?”

 Cin Hai cepat menggeleng kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini siapakah? Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I Niocu…”

 Nona itu meloncat dengan kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I Niocu?”

 Cin Hai menghela napas. “Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang macam apakah? Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu itu bercerita.”

 Gadis itu tersenyum pula. “Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”

 Cin Hai mengangguk.

 “Kalau begitu, mari kita tukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin sekali belajar menyuling.”

 Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari padanya. “Boleh, boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”

 Sambil tersenyum gadis itu menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”

 Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu berkata, “Mengapa? Takutkah juga kau kepada Ang I Niocu? Apakah mukaku begitu menyeramkan?”

 “Tidak, tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”

 “Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.

 “Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.

 “Kalau begitu, lekas kaukumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi.”

 Cin Hai memandang kepada wajah yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu. Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata,

 “Barang-barangku?” Ia memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang dipakainya. “Barangku hanya suling dan pakaian ini.”

 Pandangan mata Ang I Niocu mengandung iba. “Jadi kau tidak berbohong ketika tadi berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”

 “Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai meniru bunyi sebuah ujar-ujar, “dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.

 “Kalau begitu mari kita berangkat!”

 Cin Hai mengangguk.

 Tetapi pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini bukan lain ialah Kang-lam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil dengan suara keras. Tetapi Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa lalu melambaikan tangan sebagai salam berpisah! Tentu saja Kang-lam Sam-lojin merasa penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.

 “Hai, Tolol, kau hendak minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar dengan suara mengguntur.

 “Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!”

  

 “Apa? Belajar menari? Kepada siapa dan di mana?” tanya Giok Keng Cu si pendek dengan heran.

 “Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana saja, di sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?” Ang I Niocu hanya tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Tiba-tiba ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu lalu berkata dengan hati-hati.

 “Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan dengan Nona yang gagah itu?”

 “Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang tajam. Aku betul Ang I Niocu.”

 Kalau dilihat sungguh mengherankan, karena tiga tokoh kang-ouw yang telah berusia lanjut ini begitu mendengar nama Ang I Niocu lalu nyata sekali tampak terkejut dan mereka dari jauh mengangkat tangan memberi hormat.

 “Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu keperluan apakah yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?”

 Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Ia lalu bersyair sambil memandang ke langit.

 Berkawan sebatang pedang, Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati. Kau masih bertanya maksud keperluan? Tanyalah kepada burung di puncak pohon, Terbang ke sini berkehendak apa?

 “Bagus, bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar aku nanti buatkan lagunya yang merdu!”

 Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada tiga tosu itu,

 “Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”

 Kang-lam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena betapapun juga, mereka telah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan. Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit yang memang agak berwatak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah lembut lalu memandang rendah sekali.

 “Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu aturan kang-ouw! Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat kurang ajar?”

 Sungguhpun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja, tetapi sebenarnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun lebih namanya telah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang berani dan dapat menyimpan perasaannya. Kini mendengar betapa orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena biarpun Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa ia masih sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tak ingin disebut muda dan ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.

 Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,

 “Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kauanggap aku tidak memandang kalian orang tua dan berbuat kurang ajar?”

 “Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa kau tanpa minta ijin hendak menculiknya begitu saja? Bukankah itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok Ken Cu dengan marah.

 Sebelum Ang I Niocu menjawab, Ci Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.

 “Eh, eh, sejak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang ingat bahwa teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!”

  

 Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya menyangka bahwa Cin Hai yang tadi membohonginya, kini melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng Cu yang menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.

 Melihat keadaan sutenya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,

 “Ang I Niocu! Betapapun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja. Biarpun dia bukan murid kami, tetapi dia telah ikut kami dan tidak boleh diambil oleh orang lain tanpa ijin kami!”

 Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena ia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita oleh sutenya, apa lagi memang ia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!

 “Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu yang mulai merasa sebal. “Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?”

 Kini Giok Im Cu yang menjawab setelah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.

 “Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah seorang yang tinggi hati dan sombong. Kalau kau berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami bertiga menerima dulu petunjuk-petunjuk darimu!” Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau mengajak pibu (mengadu kepandaian).

 “Begini lebih bagus, tak membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I Niocu dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika ia mencabut pedang dari pinggangnya.

 Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut sebatang ranting kayu bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan Giok Keng Cu meloloskan goloknya. Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,

 “He, Sam-wi Totiang, apakah kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”

 Ang I Niocu sambil tertawa berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka maju bertiga sekaligus agar gembira kau menonton!”

 Sebetulnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi setelah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, hingga mereka tak perlu sungkan-sungkan lagi!

 Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,

 “Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”

 “Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku seji-seji (sungkan) segala?” kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.

 Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu. Melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini, ketiga orang tosu itu terkejut sekali. Mereka lalu memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, merupakan kepungan segi tiga yang sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kang-lam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.

 Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyoknya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis.

  

 Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!

 Cin Hai Yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Ia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan sedap dipandang.

 Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan halus dan tampaknya lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan, kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.

 Tiap kali serangan lawan yang datang dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan ujung pedang dan senjata lawan itu tentu menyeleweng arahnya, sedangkan dengan pinjaman tenaga kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat dipentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balisan! Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi hingga tiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan mereka tergetar!

 Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Karena asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari mukanya.

 Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.

 Ketika Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.

 Tetapi kini, biarpun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Tiba-tiba lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat dan salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga! Anak itu baru sadar dan dengan marah ia menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu ia ingat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan gua. Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling.

 Maka ia lalu meniup sulingnya meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.

 Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah makin hebat! Apalagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedang lenyap terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!

 Tentu saja perubahan ini membuat ketiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan hingga ketiganya meloncat mundur!

 “Ang I Niocu, kau memang lihai sekali! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.

 “Kau memang cukup pantas menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung ejekan.

 “Hem, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kau tentu akan mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.

 Tetapi Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!

 Sementara itu, Ang I Niocu mendengar kata-kata ketiga pendeta, lalu berkata sambil tetap tersenyum,

 “Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya.”

 Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat, “Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa murid?” Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan meninggalkan tempat itu.

  

 Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju merah itu dulu bersyair di depan Kang-lam Sam-lojin, maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke mana saja mengandalkan kaki dan hati!

 Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatangkara dan tidak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini tidak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya. Wanita muda itu selain pandai sekali menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu lalu meminjam suling Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu. Sebaliknya dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar biasa yang disebut Sianli-kun-hwat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi mula-mula ia mengalami kesukaran karena betapapun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tubuhnya tidak selemas tubuh perempuan, padahal Sianli-kun-hwat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut. Akan tetapi dengan sabar dan telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apalagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sianli-kun-hwat, biarpun masih agak kaku. Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san-kun-hwat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu!

 Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san-kun-hwat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,

 “Jangankan baru kaupelajari delapan puluh jurus, biarpun kau mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini takkan mampu mengalahkan Sianli-kun-hwat.”

 Cin Hai juga tersenyum. Ia maklum bahwa Ang I Niocu takkan melarangnya karena memang dara itu tak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san-kun-hwat sampai hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya.

 Telah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat ia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki. Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga ia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka biarpun ia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tetapi ia dengan sungguh hati hendak menurunkan Sianli-kun-hwat yang morupakan tarian indah dan sangat digemari oleh Cin Hai itu. Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, ia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apalagi nyanyian To-tik-khing sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat daripada kitab peninggalan Nabi Locu yang bijaksana itu.

 Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandangan matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan ia akan Loan Nio, Ie-ienya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya. Akan tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga ia maklum bahwa rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatangkara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.

 Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya. Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka ia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu tentang kenakalan-kenakalan Kwee Tiong dan adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.

 Akan tetapi ketika Cin Hai bertanya tentang riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.

 “Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, kau berlatih meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”

 Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia memandang Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung dalam sinar matanya, lalu ia mengambil suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak menari! Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biarpun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun ia baru saja dapat memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Maka dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sianli-kun-hwat itu.

  

 JUGA karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga kalau orang kurang latihan tentu takkan sanggup menarikannya sampai lama.

 Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,

 “Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Tetapi selebihnya, dari jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup karena gerakan-gerakan jari itu menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, maka semua gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu. Jari-jari kita dalam gerakan ini merupakan ujung-ujung sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”

 Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan lihainya limu Silat Sianli-kun-hwat itu, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!

 Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan tentang tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!

 “Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang. Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, biarpun ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh kakek yang mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu? Dia adalah Su- siok-couwku (Kakek Paman Guru) sendiri!”

 Terkejutlah Cin Hai mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couwmu? Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?”

 Ang I Niocu mengangguk-angguk. “Memang beliau adalah Susiok-couwku, karena mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ah, sukar untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kang-lam Sam-lojin, atau beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!” “Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.

 “Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di dekat Tiang-an ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan Yang segera berusaha merampasnya. Tetapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia kepada Pemerintah Han sehingga mereka cepat mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk digunakan bilamana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang kang-ouw seperti Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini pun mempunyai telinga yang tajam hingga mendengar pula tentang harta karun itu dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan Kang-lam Sam-lojin bertemu di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagaimana yang kaulihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang hendak merampas emas, semua takut dan lari ketika melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk membantu para patriot mengungsikan emas itu. Secara kebetutan sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?”

 “Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”

 Ang I Niocu tersenyum. “Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah mempunyai seorang murid pun. Menurut kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali kepada orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan malapetaka belaka! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang tiba-tiba saja ia mengangkat engkau sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?”

  

 “Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata. “He, mengapa?” Ang I Niocu bertanya.

 “Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih suka belajar darimu daripada harus belajar dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?”

 Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang anak-anak, tetapi Ang I Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.

 “Berjanjilah, Niocu, kau takkan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.

 Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku takkan meninggalkan kau.”

 Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan “Niocu” yang biarpun artinya “nona” namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya “niocu” begitu saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini.

 Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kang-lam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu. Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab,

 “Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah ciciku, yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena ia adalah murid Ayahku.” Tetapi Cin Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan menjadi sedih. Dari pandangan matanya yang tajam, anak yang berusia paling banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!

 Demikanlah Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun telah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau. Anak ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, karena setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala.

 Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.

 “Kau bukan seorang hwesio, mengapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.

 “Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio kecil, tetapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”

 Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kaupelihara rambutmu baik-baik, kaucuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”

 Dan benar saja, setelah mendapat rawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam. Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambutnya, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekati, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!

 Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai telah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu makin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang ibu dan anak atau kakak beradik.

 Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu.

 “Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”

 Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki, berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang sasterawan.

 Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona itu. “Eh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?” tanyanya.

 “Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suciku?”

 “Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”

 Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”

  

 Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu takkan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja tidak mau bertanya.

 Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata,

 “Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”

 Tanpa menjawab, Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian tidak tampak pula di situ. Yang menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan.

 Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik dan gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.

 “Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.

 “Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”

 Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut “taihiap” (tuan pendekar) kepada Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.

 “Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.” Pelayan itu masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberitahukan bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam. Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian depannya dipakai sebagai toko itu. Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar daripada bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang laki-taki setengah tua yang kurus dan mempunyai jenggot tipis kecil panjang serta sepasang kumis kecil panjang pula berjuntai ke bawah. Sekarang anak laki-taki sebaya Cin Hai ikut pula menyambut. Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini. Tetapi Ang I Niocu dengan senyum manis di bibir segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.

 “Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.

 “Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.

 “Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” kata Ang I Niocu lagi.

 Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang kiri. Kemudian tiba-tiba ia tersenyum dan ketika ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.

 “Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.” Ang I Niocu yang tadi hanya tunduk saja kini mengangkat muka memandang.

 Matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata,

 “Ah, tidak tahunya aku , yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”

 Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia berkata,

 “Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tidak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”

 Melihat sikap orang yang biarpun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.

  

 Tetapi Ang I Niocu biarpun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, tetap tersenyum ketika berkata, “Kang-taihiap, tolonglah kaupanggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”

 “Ah, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”

 Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang sangat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!

 “Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu lalu mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.

 Tetapi ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,

 “Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”

 Tetapi Ang I Niocu menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Kang Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!”

 Tiba-tiba muka Kang Bok Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada Adikku?”

 Ang I Niocu memandang heran. “Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”

 Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kang-lam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Sucimu?”

 Kini mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan,

 “Harap kau tidak salah paham. Kedatanganmu ini justru hendak minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suciku.”

 Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali, “Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!” Ia sendiri menenggak habis secawan arak lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata,

 ”He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau masuki rumahku?”

 Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di depan Cin Hai tertawa perlahan dan mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari minum arakmu!”

 Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi ia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!

 “Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tidak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras, lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat daripada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.

 “Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir dan ia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang menempel di atas itu. Ia mengerahkan tenaga lweekangnya dan berseru,

 “Kang-taihiap, kauterimalah kembali arakmu!”

 Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga khikang ini terjadi dengan diam-diam tetapi tidak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian! Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.

  

 “Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu, karena sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga khikang yang hebat menarik itu! Kini mendengar suara Ang I Niocu ia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.

 “Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku telah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!”

 Tiba-tiba terasa sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar dekat dan ia menggunakan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan hancur berikut dagingnya!

 Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Angi I Niocu berkata, “Orang she Kang, jangan banyak tingkah!” Tiba-tiba lengan tangannya yang dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakannya Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu. Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan ia meringis kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah lengannya, sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!

 Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

 “Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.

 Ang I Niocu menghela napas. “Ini semua gara-gara Suciku yang terlalu gegabah. Memang telah seringkali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci!”

 Gadis itu lalu mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada saat mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

 “Niocu, tunggu sebentar!”

 Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.

 “Ah, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.

 “Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.

 “Niocu, kaumaafkan banyak-banyak Kakakku itu. Ia tidak tahu sampai di mana kelihaianmu, maka hendak mencoba,” kata Kang Ek Sian dengan suara halus dan Cin Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.

 “Tidak apa, Kang-twako. Sebenarnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, karena aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya mengapakah kau sampai bentrok dengan dia?”

 Kang Ek Sian menghela napas. “Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, sucimu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”

 Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan kasihan. “Ah, Suciku memang terlalu angkuh dan sembrono.”

 “Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”

  

 Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-geleng kepala.

 “Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”

 “Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.

 “Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?” Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh.

 “Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?” Tetapi Ang I Niocu tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata,

 “Hai-ji, marilah kita pergi.”

 Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.

 “Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikannya dan bahkan mengajak Cin Hai bicara gembira, Kang Ek Sia merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur dan mencinta.

 Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus, tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang. Biarpun ia tidak tahu akan duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun ia dapat menduga bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan mereka. Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tidak selayaknya seorang laki-laki selemah itu. Maka sambil berjalan ia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari buku,

 “Lima macam rupa indah membuat mata buta, Lima macam suara merdu membuat telinga tuli, tetapi seorang laki-laki sejati, Memiliki keteguhan iman dan kekuatan hati, untuk menentang godaan lima anggauta tubuhnya!”

 Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi ia tidak memperhatikan anak muda yang tampaknya begitu erat dan mesra perhubungannya dengan Ang I Niocu, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan memandang dengan penuh perhatian.

 Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,

 “Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Sayang... sayang... !” Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan ini adalah sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.

 Sekali lagi Kang Ek Sian mendengar ini karena sebagai sasterawan, tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, ia merasa betapa mukanya panas seakan-akan mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insaflah ia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar ia bersikap lemah sekali dan memalukan benar!

 Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras,

 “Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau lebih gagah dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”

 Kini Ang I Niocu tiba-tiba memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara agak gemetar karena terharu,

 “Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!” Gadis ini lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat hingga Cin Hai terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat agar jangan tertinggal di belakang.

  

 “Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?”

 “Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”

 Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah lari dua puluh li lebih! Memang tadi mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yangi tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.

 “Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki gagah dan baik.”

 “Kalau begitu...mengapa kau...sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan berani.

 Wajah Ang I Niocu memerah. “Ah, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!” Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.

 “Dengarlah, Hai-ji. Sekarang telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku kepadamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya.” Maka Ang I Niocu dengan singkat menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya. Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat. Semenjak kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan ia menjadi setengah gila! Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya. Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula. Hal ini disetujui oleh ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun daripada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik dan semenjak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi daripada kepandaian Kim Lian. Setelah dewasa, Im Giok bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau sasterawan muda itu dari serangan perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci.

 Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya! Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri. Pada saat, itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang cukup hebat. Tidak tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yaitu sedari ia berusia empat tahun sampai tuujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan rasa kesedihan hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan menderita sakit jantung!

 Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu berdasarkan kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri! Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu. Tetapi kemudian ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya hingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!

 Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang mengapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta dalam hatiku telah terbawa mati oleh sasterawan itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”

 Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika mengingat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatangkara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.

 “Niocu, nasibmu sungguh buruk. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa bernasib seburuk itu...” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra. Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu.

  

 “Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk...” Untuk beberapa lama keadaannya diam-diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.

 Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang-orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh, apalagi lemah!”

 Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Wajah manis yang tadinya muram itu tiba-tiba bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.

 “Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ah, sungguh baik kalau hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau.”

 “Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana kau bisa mengenalnya?”

 Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena ia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-tong-san. Ketika empat tahun yang lalu orang-orang gagah mengadakan pertemuan di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan berkenalan. Ia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,”

 “Niocu, kiranya sudah cukup kita bicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak menggembirakan. Tempat itu sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?”

 “Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas, karena gerakanmu masih kaku,” jawab Ang I Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.

 Sudah beberapa lama Cin Hai menerima latihan Ngo-lian-hwa-kiam-hoat atau Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu pedang ini adalah pecahan dari Sianli Utauw dan digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.

 Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang rombongan orang lewat di jalan itu. Karena sedang asyik berlatih, baik Cin Hai maupun Ang I Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka. Rombongan itu terdiri dari sembilan orang yang berpakaian seragam dan melihat di pinggir jalan ada seorang wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari pedang, mereka ini berhenti dan menonton.

 Tiba-tiba seorang daripada mereka tertawa bergelak, “Eh, eh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?”

 Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!

 Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,

 “Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”

 Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Ia tidak tahu siapakah mereka itu, karena biarpun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di atasnya. Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang keadaan mereka.

 Tetapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.

 Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu telah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengan yang dipentang lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang menjemukan sekali.

 “Ah, Nona manis, mengapa hendak pergi? Bukankah kau memang hendak mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”

  

 Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup dan pelupuk mata gemetar sedikit hingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan marahnya. Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah ia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.

 Pada saat itu, delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu seorang diantara mereka yang masih muda berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.

 “Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami bayar!”

 Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi wajah seorang demi seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barangkali di antara mereka itu ada yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu tersenyum. Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah kakek-kakek tertawa gembira melihat senyum yang sangat manis dan menggiurkan hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.

 “Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?” tiba-tiba terdengar suara Ang I Niocu, suara yang sangat merdu bagaikan berlagu, tetapi yang bagi pendengaran Cin Hai mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu biasanya hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biarpun masih tetap halus dan merdu, terdengar dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti terjadi hal-hal hebat.

 “Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!” kesembilan orang itu berkata denga suara riuh.

 “Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku.”

 “Apa syaratnya?”

 “Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah sambil berlutut untuk menghormati kami berdua, baru aku mau menari.”

 Tentu saja ke sembilan pengawal raja ini merasa heran dan marah. Terang sekali bahwa gadis ini hendak mempermainkan mereka dan bahkan telah berani menghina mereka.

 “Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan pahlawan-pahlawan istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan segera menari untuk kami!” bentak laki-laki tinggi kurus tadi.

 “Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin Hai.

 “Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.

 Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang kepada Cin Hai dengan alis berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang daripada marah, karena mana ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang anggauta Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring.

 Akan tetapi pengawal muda itu tak dapat menahan marahnya lagi. Biar gila maupun waras, pemuda kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus. Maka ia segera melangkah maju dan mengayun tangan kanan memukul kepala Cin Hai sambil membentak,

 “Bangsat kecil, mampuslah kau!”

 Pukulan ini adalah gerakan Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar Kepala dan dilakukan dengan tenaga mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apalagi hanya kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul!

 Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin Hai melejit ke samping sambil tertawa mengejek dan berkata, “Hei, bangsat besar, percuma kau hidup karena hidungmu terlalu besar!”

 Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh Cin Hai dan mendengar sindiran anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tak terasa pula ia menggunakan tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak-anak ini.

  

 “Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang besar, jangan panggil aku Harimau Kepala Besi lagi!” Dan Tiat-thou-houw atau Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu To-cu-kim-ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.

 “Anjing besar! Aku takkan menyebut kau Harimau Kepala Besi tetapi Anjing Hidung Panjang!” Cin Hai mengejek lagi sambil mengeluarkan kepandaiannya Ngo-lian-hwa-kunhwat yang baru saja dipelajari beberapa bulan dari Ang I Niocu! Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya telah memiliki kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian Bidadari. Kemudian ia balas menyerang, tetapi karena Ilmu Silat Lima Kembang Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia terpaksa mengeluarkan Ilmu Silat Liong-san-kun-hwat yang dia pelajari dari catatannya ketika masih mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-lojin!

 Biarpun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dari pertempuran, tetapi karena selama ini ia mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak terduga. Maka Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat perubahan lemah lembut bagaikan sedang menari ketika mengelit serangan-serangannya tadi, kini dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan tangannya menumbuk dada lawan!

 Tiat-thou-houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya tidak menyangka bahwa anak muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih lweekang yang cukup lumayan oleh Ang I Niocu sehingga ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat pukulannya tidak kurang dari seratus kali!

 Delapan orang pengawal lainnya melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai dapat menggulingkan lawannya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan ketika mereka mencabut senjata masing-masing dari sarungnya!

 “Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan membentak marah.

 “Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah layani kaleng-kaleng kosong ini!” tiba-tiba Ang I Niocu loncat menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju mengancam.

 Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya, lalu berkata keras kepada para pengawal itu,

 “He, bangsat-bangsat besar. Kau tadi ingin melihat tarian indah? Nah, sekarang kaulihatlah!” Ia lalu meniup sulingnya dengan perlahan, maka bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan pedangnya!

 Untuk sejenak delapan orang pengawal istana itu memandang tercengang kepada gadis itu dengan kagum, karena benar-benar indah tarian Dara Baju Merah itu. Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang tinggi kurus berseru,

 “Serbu!” Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai mempercepat tiupannya dan sebentar saja kalang-kabutlah delapan orang anggauta Sayap Garuda itu. Mereka telah kehilangan lawan karena tubuh Ang I Niocu tak tampak lagi, tertutup oleh sinar pedangnya, hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari!

 Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kini mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah seorang pendekar pedang yang tak boleh dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu mengerahkan tenaga dan kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!

 Sambil meniup sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I Niocu. Kini benar-benar ia dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sianli Kiam-hoat yang benar jarang terlihat dan tak mungkin dicari keduanya! Dulu ketika menghadapi Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh kepandaiannya. Tetapi sekarang, menghadapi delapan orang jagoan istana, anggauta-anggauta Sayap Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar biasa!

 Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggauta Sayap Garuda itu sendiri terkejut dan terheran karena selamanya mereka belum pernah menghadapi lawan yang sehebat dan selihai ini! Mereka merasa menyesal mengapa tadi telah berlaku jail dan sembrono hingga kini terpaksa harus menelan pel pahit! Akan tetapi, tidak ada jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan tenaga dan mengepung makin rapat.

 Setelah pertempuran berlangsung lima puluh jurus lebih, barulah Ang I Niocu menurunkan tangan besi dan sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari pegangan tangan! Dalam beberapa jurus saja Ang I Niocu berhasil merobohkan delapan orang lawannya, masing-masing mendapat hadiah guratan pedang pada lengan tangan, pundak, muka dan paha, hingga biarpun mereka mandi darah dan roboh di tanah, tak seorang pun di antara mereka yang menderita' luka berat yang membahayakan keselamatan jiwa mereka!

  

 “Puaskah kalian melihat tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan pedang di sarungnya dan tersenyum manis.

 Pemimpin rombongan Sayap Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak bertanya dengan suara parau, “Lihiap ini siapakah...

 Tetapi Ang I Niocu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang Cin Hai yang menyimpan sulingnya,

 “Kalian belum tahu siapakah pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ah, sungguh percuma hidup di dunia mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum sindir Cin Hai lalu menyanyikan syair Ang I Niocu,

 “Berkawan sebatang pedang dan suling, Menjelajah ribuan li tanah dan air, Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati!”

 Memang Cin Hai telah mengubah sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair ini dan menambah kata-kata “suling” di belakang “pedang”. Sehabis menyanyikan syair itu, Cin Hai memandang wajah mereka. Tetapi ternyata bahwa para anggauta Sayap Garuda itu masih saja belum mengerti siapa adanya nona gagah perkasa yang demikian lihai ilmu silatnya itu. Karena mendongkol melihat kebodohan mereka, Cin Hai membentak, “Orang-orang macam kalian ini mana pantas mengenal dia?”

 Sementara itu, Ang I Niocu bertaka, “Hai-ji mari kita pergi”

 Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu. Kawanan Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah dan saling tolong. Untung bagi mereka bahwa kekalahan hebat ini tidak terlihat oleh orang lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali dan seandainya kelihatan oleh orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!

 Tiba-tiba pemimpin mereka berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya, “Ah, siapa lagi kalau bukan dia!”

 Kawan-kawannya memandang heran dan ia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu nona tadi Ang I Niocu! Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau bukan Ang I Niocu?”

 “Tetapi ia masih begitu muda dan cantik, paling banyak berusia delapan belas tahun. Sedangkan Ang I Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun yang lalu!”

 Kawan-kawannya menganggap ucapan ini benar juga, maka mereka hanya saling pandang dengan heran dan menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat kepala untuk membalut luka masing-masing.

 Sementara itu, Ang I Niocu mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu Berlari Cepat) untuk menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin Hai menanyakan maksud tujuannya pergi ke gunung itu, Ang I Niocu menjawab sambil tersenyum,

 “Di puncak Pek-tiauw-san terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya bertelur sekali dalam setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan aku perlu sekali mendapatkan satu atau dua butir telur rajawali putih.”

 “Mencari telur mengapa begitu jauh, Niocu? Untuk apakah?”

 Ang I Niocu tertawa kecil. “Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat telur rajawali putih?”

 Benar-benar Cin Hai tidak mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh hingga sekali lagi Ang I Niocu tertawa. “Di antara akar terdapat akar jin-som yang mengandung obat mujizat, dan di antara segala macam telur terdapat telur rajawali putih yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”

 Cin Hai pernah melihat dan tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk anak orok itu, maka ia heran mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih manjur daripada jin-som.

 “Benarkah itu, Niocu? Apakah telur itu dapat menguatkan tubuh seperti jin-som?”

 “Tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah orang menjadi tua. Makan sebutir saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”

 “Begitukah? Hebat sekali. Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai dua tahun!”

 Ang I Niocu tertawa merdu. “Kecil katamu? Anak tolol, telur itu besarnya melebihi kepalamu!”

 Cin Hai melebarkan matanya dan wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I Niocu makin geli melihatnya.

 Demikianlah sambil berlari cepat, mereka bercakap-cakap dengan gembira hingga waktu lewat tak terasa oleh mereka berdua.

  

 Gunung Pek-tiauw-san menjulang tinggi menembus awan. Di kaki dan lereng gunung penuh dengan rimba raya yang kaya akan pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu ada yang demikian besar ukurannya hingga untuk mengelilingi sebatang saja, orang harus berjalan sedikitnya empat puluh langkah! Pohon sebesar ini mungkin sudah ada seribu tahun umurnya. Tinggi besar, kokoh kuat, seakan-akan raksasa berdiri sambil bertolak pinggang memandangi segala yang berada di bawahnya!

 Berbeda dengan keadaan kaki dan lereng gunung yang penuh tetumbuhan, di puncak tidak ditumbuhi pohon, sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi dan meruncing ke atas. Ada batu karang yang tingginya sampai puluhan kaki seakan-akan menyaingi pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sebelah bawah. Tempat inilah yang dipilih oleh burung rajawali untuk bertelur. Di puncak batu karang yang tinggi, burung raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara anaknya. Di seluruh daratan Tiongkok, hanya di puncak Pek-tiauw-san ini saja terdapat burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena jumlah burung itu hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya, apalagi tempat di mana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan sangat sukar sekali didaki orang.

 Jangankan orang biasa yang tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai yang telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, masih menderita kesukaran, ketika Ang I Niocu membawanya naik ke atas. Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini benar merupakan ujian baginya, bahkan merupakan latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali. Seandainya ia diharuskan mendaki sendiri, belum tentu ia dapat mencapai puncak, karena setelah melewati rimba terakhir, jalan menjadi demikian sukar, penuh dengan jurang-jurang yang curam, melalui batu-batu karang yang tinggi dan bermuka tajam hingga dapat menembus sepatu!

 Akan tetapi Ang I Niocu nampak tenang dan enak saja. Gerakannya tetap gesit dan ringan hingga sekali lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju Merah ini. Pada saat melalui tempat-tempat yang berbahaya dan sukar Cin Hai tidak ragu-ragu lagi untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di waktu harus meloncati jurang yang curam dan lebar, gadis itu tidak sungkan-sungkan untuk memondongnya dan membawanya melompat ke seberang jurang!

 Betapapun juga, setelah setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru mereka tiba di puncak, memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus awan yang merupakan gumpalan-gumpalan halimun tipis.

 “Aku tidak melihat sarang burung di puncak batu karang itu!” kata Cin Hai sambil terengah-engah kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

 “Apa kaukira mudah saja mendapatkan sarangnya? Di antara batu-batu karang yang ratusan banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima buah sarang!”

 Cin Hai menghela napas. Telah payah dan penat-penat seluruh tubuhnya, dan agaknya ia takkan kuat harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu untuk mencapai sarang rajawali. Melihat keadaan Cin Hai, Ang I Niocu juga ikut duduk mengaso. “Biarlah kita beristirahat dulu melepaskan penat,” katanya sambil menghibur Cin Hai dengan senyumnya yang membesarkan hati. Pada saat itu terdengar suara yang keras dan dahsyat menggetarkan anak telinga!

 ”Seekor Pek-tiauw (Rajawali Putih)!” kata Ang I Niocu perlahan seakan menjawab pertanyaan yang ditujukan oleh Cin Hai dengan matanya. “Ia sedang marah, entah mengapa?”

 Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke arah suara tadi. Cin Hai terpaksa mengikutinya dari belakang. Walaupun sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu, apalagi burungnya. Tentu besar dan liar!

 Makin dekat, makin keras pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan sayapnya mengebut-ngebut membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi dan angin bertiup dari arah itu! Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu terus maju dan mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan terkejutlah ia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya menyambar-nyambar dan menerjang seorang kakek di depannya!

 Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga, karena kejadian yang dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa dipakai oleh petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Tetapi kakek itu mengenakan sebuah rompi daripada bulu merak yang masih baru!

 Pada saat itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang menyerang dengan kedua cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja dan paruhnya yang besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini dibantu pula oleh kedua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan tenaga sedikitnya seribu kati! Tetapi kakek itu tidak jerih, bahkan terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia pun mengembangkan sepasang lengan tangannya yang dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga seakan-akan ia telah siap untuk main cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan kepada burung itu bahwa kakinya tidak lebih buruk daripada kaki burung rajawali putih!

 “Ha, ha, ha, majulah, tolol, majulah!” kakek itu mengejek burung itu dan tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek jembel yang telah ia angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang lalu!

  

 PADA saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap kanannya. Tetapi dengan ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan sayap hingga sayap burung yang besar itu menghantam batu karang di belakang Bu Pun Su! Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul hancur dan batu-batu kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu hingga dapat dibayangkan betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.

 Tetapi Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Ia menghadapi burung raksasa itu dengan tenang, bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu ia berdiri di tempat yang sempit sekali. Di depan kakinya terbuka jurang yang curam sekali, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang besar. Kalau ia sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua macam, kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki dalamnya!

 Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba Ang I Niocu memegang lengannya dan menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.

 “Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan wajah pucat!

 “Eh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?”

 “Anak tolol! Bukankah dia itu Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau akan dibawanya dan berpisah dariku, lupakah kau?”

 Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia lalu ikut berlari turun dari puncak itu, sedangkan hatinya makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus berpisah darinya!

 Mereka berdua sambil bergandeng tangan berlari-lari dengan cepat bagaikan dikejar setan. Tetapi karena Cin Hai telah lemah sekali serta sepatunya sudah banyak berlubang hingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam, perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.

 Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya telah menarik napas lega karena menduga bahwa Bu Pun Su tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun orang tua itu sedang sibuk menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, tiba-tiba mereka mendengar pukulan sayap burung di atas. Ketika mereka memandang ke atas, wajah mereka tiba-tiba menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang biasanya kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan! Seekor Pek-tiauw terbang di atas mereka, yaitu burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun Su. Dan di atas punggung burung itu, tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil menggunakan tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan leher, kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut arah yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Kini Bu Pun Su membetot-betot ekornya dan membekuk lehernya ke bawah hingga burung rajawali putih yang besar itu dapat menangkap maksudnya bahwa ia harus turun!

 Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su membentak burung itu yang segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai itu!

 Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil menyebut, “Susiok-couw!” Juga Cin Hai tak dapat berbuat lain kecuali ikut berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat mukanya!

 “Hm, hm! Kau mencari telur Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.

 “Benar, Susiok-couw, harap maafkan jika teecu mengganggu Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan hormat.

 “Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya lagi, “Kaubawa-bawa anak ini untuk apa? Apa ia muridmu?”

 Ang I Niocu tak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka ia menggelengkan kepala menyangkal.

 Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya. “Kalau bukan murid mengapa dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?”

 Terpaksa Cin Hai mengangguk karena ia memang tidak bisa membohong.

 “Kiang Im Giok! Kau berani membohong terhadap Susiok-couwmu?” Bu Pun Su menegur tetapi tidak marah karena mulutnya tersenyum.

 “Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,” jawab Ang I Niocu.

 “Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebiasaanmu maka kau berani mengajar silat kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama baik cabang persilatan! Apakah kau tahu benar bahwa orang yang kauberi pelajaran silat itu orang baik-baik? Bagaimana kalau kelak ia mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”

 “Maafkan teecu, Susiok-couw,” kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala. “Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima murid, sedangkan aku tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai murid. Pernah aku menerima seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu telah pergi minggat entah ke mana?”

 Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu memarahi Ang I Niocu, ia menjadi tak senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya yang kini sudah tidak gundul lagi. Ternyata kakek tua itu lupa dan pangling.

 “Sekarang kaupergilah, Im Giok, dan kauwakili aku pergi ke Kun-lun-san. Di sana sedang timbul pertikaian hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dan Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau pergilah ke sana dan atas namaku kaucoba damaikan mereka itu demi persatuan para hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!”

  

 Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-caouwnya itu. Tetapi dengan bingung ia melirik ke arah Cin Hai. Bu Pun Su yang bermata tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak,

 “Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biar dia menggunakan kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”

 Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai dengan wajah pucat ia hanya berkata, “Sampai bertemu kembali!” Lalu gadis itu melompat jauh hingga sebentar saja ia hanya merupakan setitik warna merah yang kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak dan ketika Cin Hai mengangkat muka memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!

 Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas dan sedih. Hatinya terasa hancur dan pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia hidup seorang diri, sebatangkara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa mengetahui apa yang harus ia perbuat! Cin Hai tak dapat menahan sedihnya dan ia menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu! Ia menangis bukan karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan oleh Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di atas dunia ini!

 Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis, akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya terasa lapar sekali. Biasanya, ketika ia masih merantau bersama-sama dengan Ang I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan mereka berdua adalah gadis itu. Pandai sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik dengan jalan membeli, mencari buah-buahan, maupun kadang-kadang memasak sendiri!

 Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah belukar. Apa daya? Kembali air matanya turun membasahi kedua pipinya.

 Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam kitab kuno, yaitu kata-kata Ci Kui yang menasihati puteranya ketika sedang bersedih.

 “Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan Simpan air matamu dan gantilah dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan (Pahlawan) sejati!”

 Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya sendiri. Ia lalu menggunakan lengan bajunya menghapus kering segala sisa air mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di dalam hutan itu. Akhirnya dapat juga ia menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Ia lalu makan buah itu dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa, maka ia berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.

 Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan hawa dalam tubuhnya dan dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya ia telah sering berlatih khikang sehingga ia tidak sangat menderita kedinginan. Yang sangat ia derita ialah kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur di atas pohon berdua, gadis itu tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan suling hingga ia tak pernah merasa sunyi. Bahkan dulu ketika khikangnya belum begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan mantel dan diselimutkan kepadanya, dan ketika itu masih belum dapat mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lalu memegang tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan, hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Ah, alangkah baik dan mulia hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai seakan-akan menemukan seorang kawan dan guru, bahkan seorang ibu dan ayah yang sangat mengasihinya! Kini gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai kapan dapat bersua kembali!

 Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh dengan Ang I Niocu. Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisiknya, “Niocu... Niocu...” ia menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang menekan dadanya.

 Pada keesokan harinya, mulailah ia merantau seorang diri dengan hati tertekan dan pikiran bingung. Karena tidak tahu bagaimana harus mendapatkan makan untuk isi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta makanan dari orang kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu kali lebih baik menjadi seorang pengemis daripada seorang pencuri, tidak ada lain jalan lagi.

 Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai makin buruk. Pakaiannya kotor dan compang-camping. Dulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling lama tiga hari sekali ia tentu disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali bertemu dengan anak sungai, ia diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh Ang I Niocu. Tetapi sekarang, ia menjadi malas untuk mencuci pakaian atau mandi sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor, penuh debu! Bahkan kudis yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman pisau dan mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, kini berubah menjadi penuh penderitaan dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang cantik dan berkepandaian tinggi itu!

  

 Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. Ia telah berubah menjadi seorang pengemis muda. Tubuhnya kurus hingga tulang-tulangnya tampak di balik kulitnya yang kotor. Rambutnya yang tumbuh lagi tidak teratur dan awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang kurus tampak muram tetapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu. Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat ia masak dan terbukalah kini mata hatinya akan kesengsaraan hidup miskin. Karena menderita, maka kini ia dapat merasakan pula penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.

 Biarpun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan kalau perutnya sudah lapar benar dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan. Kadang-kadang sampai dua hari ia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan lapar. Juga ia tidak sembarangan mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak merasa sedap kalau untuk semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak ia beli dengan bantuan tenaganya kepada pemberinya itu. Terlebih dulu ia akan melakukan sesuatu untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis muda istimewa.

 Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya. Kota ini cukup ramai dan hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih. Orang-orangnya peramah dan perdagangan di situ kelihatan ramai dan hidup karena tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur. Rupanya anak sungai yang mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain air sungai dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata mengandung banyak ikan.

 Ketika ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin Hai tertarik oleh sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa rumah itu adalah sebuah bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw. Papan nama itu terbuat daripada sepotong papan dan tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang sekali papan nama itu agaknya tak terawat hingga tampak kotor dan bahkan memasangnya juga miring.

 Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan pada papan nama itu dan menyayangkan mengapa tulisan seindah itu dituliskan pada papan yang kotor dan dipasangnya miring pula. Tanpa dapat menahan perasaan hatinya, ia lalu mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan sambil berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah kotor. Ia menggosok-gosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang sekali. Tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang dapat dikerjakan, dan karena tidak mempunyai kewajiban apa pun yang harus dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini ia merasakan kesenangan. Ah, bekerja!

 Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah dipandang, ia lalu menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti tadi. Segera ia turun dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang papan nama itu dengan gembira. Ia melihat hasil daripada pekerjaannya tadi dan tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi tampak buruk dan kotor, kini bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri gembira, tidak seperti tadi yang kotor dan muram!

 Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan mudah saja terbuka. Ia masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Di sudut kiri tampak sebuah rak tempat menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan. Cin Hai senang sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu kotor sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba ia melihat benda yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.

 Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang masuk dari luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi guru silat yang mengajar di bukoan itu. Guru silat ini baru pulang dari bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian compang-camping sedang menyapu pelataran bukoannya dengan asyik sekali. Tadi pun ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia mengerti bahwa yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.

 “He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.

 “Tidak… tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan… dan sudah sepatutnya dibersihkan.”

 Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar jawaban Cin Hai, ia dapat menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya, “He, anak muda. Apakah kau mau bekerja di sini?”

  

 Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri. “Suka sekali, suka sekali!” Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya ialah pekerjaan, maka sekarang begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja ia merasa senang.

 “Kau tak berumah dan sebatang kara?” kembali guru silat itu bertanya, dan dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada masa itu banyak sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai, orang-orang yang hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup sebatang kara.

 Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.

 “Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerjalah di sini, lalu melayani segala keperluan murid-murid bukoan.”

 “Baik, baik Loya,” jawab Cin Hai dengan gembira sekali.

 Pada saat itu dari luar terdengar orang bercakap-cakap sambil tertawa dan tak lama kemudian dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat belas tahun.

 Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi. Anak-anak muda itu menyebut “suhu” dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.

 Louw-kauwsu lalu memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata bahwa orang yang gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya mewakili Louw-kauwsu mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu adalah murid-murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat. Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang di situ.

 Pada seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh perhatian dan anak-anak murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!

 Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biarpun bertubuh gemuk pendek, tetapi berwajah tampan juga. Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari Bu-tong-pai, secabang dengan Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak Ting Sun tekebur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,

 “Eh, siapa namamu?”

 “Nama saya Cin Hai,” jawab Cin Hai.

 “Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,” kata Louw Sun Bi tertawa. Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke dalam.

 “Eh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku Suhu!”

 “Harus menyebut bagaimana?” tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap orang.

 “Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti!”

 Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat gemuk pendek itu, tetapi mulutnya menjawab, “Baik, Siauwya.”

 Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih. Sementara itu, Ting Sun melatih murid-muridnya.

 Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba Louw Sun Bi keluar dan memanggilnya. Cin Hai segera menghadap. Guru silat itu diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun. Gadis itu bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena ia adalah Louw Bin Nio, anak tunggal Louw Sun Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti ayahnya.

 “Kau tentu belum makan,” kata guru silat itu dengan suara ramah, “kaumakanlah dulu dan gantilah pakaianmu itu setelah kaubersihkan tubuhmu.”

 Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil berlutut. Ia merasa terharu karena baru sekarang ada orang yang mau memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang belakang dan memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.

  

 Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah menderita lapar dan dingin lagi, dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan bersemangat. Akan tetapi, di samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya. Entah mengapa, Ting Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan seringkali menghinanya. Pernah ia berdiri melihat latihan silat pada suatu senja, tiba-tiba Ting Sun memanggilnya.

 “Lihatlah kalian baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan darah), dua jari telunjuk dan tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi contoh dengan dua jari tangan. “Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian lihat bagian leher ini!”

 Ia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja berdiri bagaikan patung. “Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian ini!”

 Sambil berkata demikian, jari tangannya benar-benar menotok leher Cin Hai. Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekangnya untuk melawan totokan, tetapi cepat berpikir bahwa kalau ia melakukan hal ini tentu akan terbukalah rahasianya. Maka ia lalu mengendorkan semua uratnya dan tidak melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, ia merasa leher itu sakit dan tubuhnya menjadi lemas hingga ia roboh tanpa daya!

 “Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa puas dan bangga, sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai yang sudah lemas. Ia dapat melihat dan mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya terasa sakit sekali hingga ia tidak berani menggerakkan leher itu.

 Sementara itu, tanpa mempedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya. Cin Hai dalam keadaan menyedihkan itu harus menderita sampai dua jam lebih, barulah perlahan-lahan jalan darahnya terbuka dan darahnya mengalir kembali hingga ia dapat cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, ia pura-pura masih lemah dan sakit hingga berdiri sambil terhuyung-huyung.

 “Nah, nah, kalian lihat. Setelah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan-jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka ia roboh dengan lemas dan selamanya takkan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu kubebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tetapi hal ini akan kalian pelajari kelak kalau sudah sempurna gerakan tangan kalian.”

 Semua murid memandang kagum dan dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan tempat itu, di dalam hatinya ia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak demikian baik hati kepadaku, hm... akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan hati mendongkol sekali.

 Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, tidak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauh bedanya perangai gadis ini dengan ayahnya.

 Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!

 Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.

 “Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.

 Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya. Cin Hai berdiri di pinggir sambil menonton gadis itu bersilat pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji dengan suara kagum.

 Bin Nio duduk di atas sebuah bangku.

 “Ah, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kaubersihkan sepatu ini!”

 Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.

  

 “Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri majikannya ini.

 “Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tetapi cobalah kau lihat Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran darinya!”

 Cin Hai merasa heran. “Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?” tanyanya.

 “Ah, Ayah tak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Baiknya ada Ting-kawsu yang mengajarku di waktu malam. Sayang, sekarang tidak diperbolehkan lagi oleh Ayah!” Gadis itu nampak kecewa sekali dan Cin Hai yang sudah selesai membersihkan sepatunya lalu mundur.

 Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan.

 “Eh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”

 Cin Hai menjawab perlahan, “Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”

 “Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”

 “Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi mengapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?”

 “Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!” Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai. Cin Hai pura-pura ketakutan dan berkata,

 “Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”

 Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar ia berlaku hati-hati untuk menyampaikan “surat rahasia” itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat pelayan. Malam itu ia tak dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.

 Pada waktu itu, ia telah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dan Ting Sun pasti ada hubungan yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya. Louw Sun Bi telah melepas budi kepadanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Ia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu! Dengan pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali dan membacanya. Ia tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini! Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengan malam!

 Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia tidak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara hingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio adalah keponakan Ting Sun sendiri! Tetapi ternyata dua orang itu telah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai memutar otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.

 Semalam penuh Cin Hai tidak dapat tidur dan pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu. Ting Sun menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda daripada biasanya, ia berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi perhubungannya dengan Bin Nio.

 Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis!

 Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku.

 “Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang telah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?”

 “Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!”

 Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet ini.

  

 “Katakanlah, jangan takut-takut!”

 “Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dulu saya mohon maaf sebanyak-banyaknya karena setelah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya.”

 Kini terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi hingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”

 Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan tentang surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih, “Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya baik hati tertimpa kejadian macam ini, ah...” Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.

 Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada panas hampir meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat ia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan perhubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu ia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.

 Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata,

 “Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tidak khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit daripada mengobatinya setelah datang! Karena itu, maka daripada ribut-ribut dan marah hingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”

 Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Ia memandang wajah Cin Hai dengan heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!

 “Cin Hai, kau seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?”

 “Loya, Siocia telah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”

 Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi ia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat gagah ini.

 “Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan.”

 “Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”

 Louw Sun Bi memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan pembalasannya, ada aku di sini!”

 Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biarpun saya seorang bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak keluar.

 Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Ia langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, ia berdiri diam bagaikan patung!

 Di sana di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!

 “Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagipula, kau datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”

 Ting Sun terkejut sekali dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepadanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!

 “Orang she Ting, aku telah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!”

  

 Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar. Celaka sekali! Orang tua itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini, tetapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan rahasianya!

 Pada keesokan harinya, setelah semua anak murid berkumpul Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di situ dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya bahwa sebagai seorang gadis ia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.

 Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar telah berada di situ, semua murid yang berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti biasa, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.

 Akhirnya orang yang dinanti-nanti, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah dan dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian ia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya ia menghadapi semua murid dan berkata,

 “Anak-anak sekalian, aku membawa berita penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini, kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini aku akan berangkat meninggalkan Ki-bun.”

 “Hendak pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.

 “Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi kalian tak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan pada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”

 Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan telah tiba. Ia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kebencian dan marah itu.

 “Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini sebagai contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah, untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”

 Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam.

 “Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian ia menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.

 Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai sasaran.

 “Jangan, Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah serangan Ting Sun. Tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa totokannya dikelit.

 “Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya dan ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan iin gebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.

 Louw Sun Bi terkejut dan marah. Pada saat ia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.

 Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi dan berlari-lari memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan! Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biarpun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari! Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari?

  

 Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangan selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai! Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun selalu pukulannya itu meleset dan tidak pernah dapat mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh atau bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!

 Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biarpun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?

 Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerak tarinya. Setelah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu. Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri, maka tidak ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!

 Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali ia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan limu Silat Liong-san Kun-hwat yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!

 Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap ia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!

 “He, Siauwya, kau mengapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah. Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya hingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung! “Eh, eh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.

 Murid-murid bukoan yang melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat di dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.

 “Anak-anak semua. Lihatlah, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak inil, sebenarnya ia seorang berilmu tinggi, tetapi yang dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahun-tahun hingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!”

 Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang segera dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai lihai sekali, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi! Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tertawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, maka ia lalu bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sebenarnya engkai ini murid siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”

 Cin Hai dengan sikap hormat dan merendah menjura. “Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa.” Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kang-lam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.

 Louw Sun Bi menyangka bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak, hanya menyatakan kagumnya. Tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.

 Terpaksa Louw-kauwsu tak dapat menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya, tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu. Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian setelah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak lupa memberi hormat sambil berkata, “Siocia, mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!” Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Ia insaf betapa ia telah salah mengenal orang.

  

 Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, matanya lebar dan mukanya bulat membayangkan kejujuran dan ketinggian pribadi.

 Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa “Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!” Dulu ia seringkali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Tetapi sekarang, ia mengerti betapa tepat dan mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus digunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, hingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran. Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk dapat menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya. Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya asal makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih banyak sekali terdapat tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau “saudara” kita yang hidup menderita kesusahan.

 Setelah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu ketika masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.

 Dengan kepandaiannya, walaupun ia baru saja mempelajari tiga perempat bagian dari Liong-san-kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa-kiam-hwat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya “Pendekar Bodoh” karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh. Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, ia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, ia mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggauta Sayap Garuda tengah menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta dalam pelukannya. Orang itu sambil memondong korbannya, meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur. Tetapi sekali loncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”

 Anggauta Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara kedua jari tangan. Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu lalu membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi Cin Hai secepat kilat menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggauta Sayap Garuda itu.

 Si Penculik menjerit kesakitan, tetapi ternyata ia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biarpun telah terluka, ia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!

 Cin Hai sudah banyak mendengar akan kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa seorang anggauta gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, ia menjadi marah sekali. Ia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.

 Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggauta Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggauta mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!

 Selama dalam perantauannya, Cin Hai tak pernah menggunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu, ia telah banyak menjatuhkan lawan yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi kali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, ia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama ia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.

  

 Tiba-tiba hwesio gundul Yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,

 “Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.

 Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, maka ia mendahuluinya dan mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.

 Tetapi sungguh aneh, lawannya tidak berkelit maupun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju hendak menangkap pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan biarpun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!

 Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa ia melepaskan sulingnya dan membuang diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.

 “Ha, ha, ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!

 Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,

 “Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?” Sebutan kaki anjing adalah sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba di situ telah berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam seperti pantat kuali, pipinya keriput dan matanya yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.

 Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja ia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang, “Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?” “Tetapi kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing aku takkan tinggal diam saja. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”

 Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sutemu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!” Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang lalu meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!

 Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.

 Tiba-tiba tampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak seorang anggauta Sayap Garuda roboh mandi darah!

 “Niocu!!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras dan kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Setelah jelas bahwa yang menolong dirinya dan mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.

 “Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.

 “Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.

 Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras,

 “Ang I Niocu yang datang, lekas lari!” Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa kurban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.

  

 NIOCU...! Sekali lagi Cin Hai berseru girang dan gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat betapa Cin Hai kini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.

 “Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”

 “Niocu... Niocu... jangan kautinggalkan aku lagi!” Mendengar ucapan yang masih bersifat kanak-kanak ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.

 Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ.

 Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya tentag pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang. Cin Hai tanpa menyembunyikan sesuatu lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya hingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menagis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.

 “Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” tanya Cin Hai sambil memandang wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.

 “Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah gua rahasia yang disebut Gua Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa gua itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu! Karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu.”

 Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa ia telah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.

 “Bukit itu namanya Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat mencari gua itu di sana. Ketahuilah, bahwa selain aku, masih banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan gua itu. Maka marilah kau ikut aku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”

 Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tak berani membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, ia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.

 Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil mendapatkan gua itu yang tertutup oleh tumpukan batu yang ratusan banyaknya. Dengan tak mengenal lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah guha yang luar biasa besarnya dan gelap! Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati dan merayap beberapa lamanya, ternyata di sebelah dalam gua itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam dan akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.

 Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, tampak tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar. Tinggi tengkorak itu sedikitnya tiga kali tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.

 Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Tiba-tiba Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan,

 “Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”

 Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan ia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat daripada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam. Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruang yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan!

  

 “Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”

 “Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api di dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu.”

 Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun gua masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?

 Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Ia berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya. Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati dak-dik-duk dan mulut terasa kering. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.

 Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan ia merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.

 Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan ia menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi ia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tak lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.

 “Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“

 Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat ia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanan-kiri!

 Ang I Niocu cepat mencabut pedangnya dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tidak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi ia lalu memungut sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di tangannya!

 Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruang itu dan terdengar menyeramkan sekali.

 “Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”

 “Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”

 “Hush...”

 “Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang lain! Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kaukira aku tidak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah mendatangi dan berada di luar gua!”

 Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.

 Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali ketika melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kang-lam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sutenya! Akan tetapi pada saat itu ketiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruang itu sambil memandang ke kanan kiri.

 “Orang yang berada di dalam gua, keluarlah untuk bertemu dengan kami!” terdengar Giok Im Cu berteriak dan suaranya bergema di dalam gua besar itu seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu. Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran mengapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!

  

 Akan tetapi pada saat itu dari luar gua terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan,

 “Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk gua ini?” Sebelum gema suara ini lenyap orangnya telah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena orang ini adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memperlihatkan dadanya yang berbulu, juga hwesio ini memegang senjata yang lihai yakni sebatang tongkat ular. Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam gua itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!

 “Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian takkan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang sudah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!”

 Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tak berhasil membunuhmu, adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Sekarang kami akan menebus kekalahan itu!”

 “Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”

 Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!”

 Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan jian-coa-kun-hwat atau Ilmu Toya Seribu Ular memang luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya cepat dan hebat hingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.

 Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san-kun-hwat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi daripada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka karena benar-benar permainan tongkat Hai Kong Hosiang hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut!

 Hai Kong Hosiang yang melihat betapa ia dapat mendesak ketiga orang lawannya, merasa girang sekali dan hwesio gundul ini tertawa ha-ha-hi-hi sambil memperhebat serangannya. “Eh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”

 Akan tetapi, biarpun ia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san-kun-hwat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.

 “Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “ dapatkah kau mengalahkannya?”

 Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu lalu bibirnya yang manis dan merah tersenyum.

 “Agaknya takkan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”

 Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya ia berada begitu dekat Ang I Niocu maka hatinya merasa girang dan terharu sekali. Tanpe terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi tiba-tiba tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Ketika pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan muka untuk menonton pertempuran yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.

 Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa kini Kanglam Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang makin gagah dan ganas saja.

 Pada saat itu, kembali terdengar suara gaduh di luar gua, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!

 “Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak ada waktu untuk melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru. “Ha, ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!”

  

 Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya. Asap mengepul makin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Ia melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat. Ia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkatnya. Tetapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!

 Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Ia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.

 Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Ia mempergunakan tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar gua masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul. Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Mengapa banyak sekali orang-orang lihai datang ke gua ini?

 Sementara itu, Hai Kong Hosiang ketika mendengar suara orang masuk ke dalam gua, lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu! Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, ia tersenyum menyindir,

 “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam gua ini?”

 Biauw Leng Hosiang membalas sindiran ini dengan suara memandang rendah, “Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apabila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!” “Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang! Kepandaian apakah yang kauandalkan maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”

 “Sudahlah jangan banyak cakap dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu berkata lagi.

 Kini Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,

 “Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk di sini terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau? Ketahuilah, aku masih memandang muka Sucimu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut dihargai karena memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”

 Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang wanita.

 ”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kaubilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kaukira bahwa aku tidak melihat Kanglam Sam-loji keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka masuk, tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih dulu dari padamu?”

 Hai Kong Hosiang menjadi malu dat makin marah. Tak perlu kita mengadu lidah! Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau harus dapat mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!

 “Hai Kong! Kaukira pinceng takkan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!

 Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini, melihat betapa beberapa kali terjadi pertempuran-pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, tentu saja ia merasa senang sekali. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.

 Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang berdarah panas itu sudah mulai menyerang dengan hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang pendek di tangan kanan, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!

  

 Cin Hai sambil mengintai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu karena ia mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kauduga siapa yang akan menang?”

 Ang I Niocu semenjak tadi melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, ia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri, kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap. Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat dan wajah berseri-seri, mulut tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya ia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa heran dan tidak mengerti mengapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!

 “Apa katamu?” ia balas berbisik ketika Cin Hai mengulangi pertanyaannya, lalu ia memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah, siapa yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walaupun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, namun Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam gerakannya. Mungkin akan berjalan lama pertempuran ini.”

 Cin Hai memperhatikan baik-baik. Tiap pertempuran baginya adalah penambahan pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka ia dapat memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu, ia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal sekali. Ia merasa bahwa untuk dapat memiliki kepandaian tinggi dan dapat menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, ia masih harus belajar banyak!

 Karena merasa jengkel tak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki kepandaian lebih lihai daripada yang semula ia duga, Biauw Leng Hosiang merasa tak sabar dan tiba-tiba ia bersuit keras. Dari luar gua terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba dari luar menerobos lima orang yang berpakaian seragam. Mereka ini ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai Kong Hosiang!

 Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang. Sudah tentu saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini membuat Hai Kong Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi makin sibuk. Akhirnya sebuah totokan yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan telah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!

 Kalau orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat tentu melayang jiwanya.

 Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan hingga ia hanya menderita luka dalam yang tidak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya dan untuk beberapa lama ia hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka pundak yang menembus dadanya.

 ”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka seperti pantat kuali den matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang. Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat sucinya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.

 Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu ketika Biauw Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai lalu pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga kepada adik seperguruannya yang telah berkali-kali melakukan pelanggaran perguruan mereka dan berkali-kali ia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka diam-diam ia lalu mengikuti adik seperguruannya itu. Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Gua Tengkorak itu.

 Ia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan setelah melihat betapa sutenya mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia lalu menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sutenya yang tersesat.

 “Biauw-suci, kau lagi-tagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena ia mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.

 “Biauw Leng! Apakah kau telah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dulu? Percuma saja kau menjadi pendeta kalau kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentu masih ingat bahwa di antara segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan menjadi anjing penjilat.”

  

 “Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi kau selalu tetap melanggar. Sekarang, mari kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”

 “Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tetapi kau jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan jika diinjak, apalagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”

 Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu makin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa ia marah sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jerih juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.

 “Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya. Biauw Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu mereka dan yang bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai telah mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun tentu akan dihukum mati oleh sucinya sendiri!

 Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.

 Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika ia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka ia merasa bersimpati kepada tokouw ini apa lagi kalau ia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka ia tidak dapat menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya ketika ia pergi bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,

 “He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”

 Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Ia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu maka ia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil berseru,

 “Hai-ji, hati-hati!”

 Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi ia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.

 Sementara itu, kelima perwira Sayap Garuda ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak tertegun. Kemudian setelah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.

 Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang telah dipelajarinya. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san-kun-hwat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.

 Sedangkan perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja telah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang menari-nari di depannya itu! Melihat betapa perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Nona ini selain menghadapi ketiga lawannya, juga berusaha mendekati Cin Hai hingga dapat siap sedia membela dan menolong pemuda itu apabila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.

 Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosian dan seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali dan pada suatu saat ia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan tewas seketika itu juga!

 Semua perwira merasa terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang yang mereka andalkan telah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.

 Biauw Suthai ketika melihat sutenya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba ia menubruk sambil menangis tersedu-sedu!

 “Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara memilukan. Kemudian Biauw Suthai menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata dan mengobati luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.

  

 “Hai Kong Hosiang, kaumaafkan Suteku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”

 Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini lalu meninggalkan tempat itu, Biauw Suthai lalu mengangkat sutenya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa pula itu, ia hendak meninggalkan gua. Akan tetapi Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat ia bertanya,

 “Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”

 Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Eh, anak muda yang berani, kau siapakah?”

 “Suthai tentu telah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... eh membawanya pergi!”

 Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil memondong jenazah sutenya!

 Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka merasa jerih menghadapi Ang I Niocu yang tadi telah mereka kenal kelihaiannya. Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couwnya karena telah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,

 “Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”

 Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa, sedangkan Cin Hai merasa tidak puas sekali melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut kepada Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali. Orang ini bertubuh pendek sekali, barangkali sama tingginya dengan seorang kanak-kanak berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik ke sana ke mari tiada hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali seperti telinga gajah, sedangkan mulutnya. Berbibir tebal. Ia memakai jubah panjang yang menggantung sampai ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah ini yang hitam sekali.

 “Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu. Ang I Niocu juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut karena mengingat betapa lihainya orang ini yang dapat datang ke situ tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan ia sendiri dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya. Ketika ia bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!

 Ang I Niocu lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”

 Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.

 “Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.

 Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa makin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri sekali, apalagi melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu bicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), ia merasa makin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe. Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, ia melihat betepa telinga gajah itu dapat bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar.-benar digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tak dapat lagi menahan geli hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memuta mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.

 ”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.

 “Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”

 Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!

 “Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”

  

 Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka ia berkata,

 “Orang tua, orang baru tertawa kalau berhati senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentu berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”

 Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkannya, akan tetapi ia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu. “Coba kauceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan kedua mata tetap berputar-putar.

 Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh meniru suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,

 “Mati di antar tangis, lahir disambut tawa. Tapi bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”

 “Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan ia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.

 “Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!

 “Kenapa aku tertawa? Ha, ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?” Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah sebuah tengkorak yang dikebutnya hingga tengkorak itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!

 “Hek Moko, kau jangan terlalu seji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru! Ternyata dalam kata-katanya ini, Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan khikangnya yang telah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biarpun dia tidak meninggalkan gua itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko. Hek Moko diam-diam memuji dan ia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari luar gua terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar gua menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di dekan Hek Moko! Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggauta mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya merupakan dua garis melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!

 Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang telah sangat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka ini datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Biarpun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sutenya. Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama aseli mereka sudah dilupakan orang.

 Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.

 “Kalian Iblis Hitam dan Putih, setelah lebih dari lima belas tahun tak bertemu, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” kata Bu Pun Su setelah berhadapan dengan mereka.

 “Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kusangka kau masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.

 “Hek Moko, jangan seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, mengapa takut aku menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kausuka, aku takkan peduli.”

 Giranglah wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. “Memang, semenjak tadi ia telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jerih hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lalu, ia dan sutenya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu, hingga masih merasa jerih dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.

  

 “Ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian mendengar tadi kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!” Setelah berkata demikian, Hek Moko lalu melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar. Hek Moko menjenguk dan ia segera meloncat sambil memperdengarkan suara ketawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.

 “Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.

 “Biarlah sekali laqi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!

 Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri dekat Bu Pun Su hingga hiolouw itu tidak saja mengancam Si Kakek Jembel, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua! Hiolouw raksasa itu demikian berat hingga sebelum datang, anginnya telah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini! Akan tetapi di depan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri, maka ia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya tegang dan mata terbelalak.

 Ang I Niocu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, namun ia mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka ia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apabila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunyat takut kalau-kalau dianggap lancang tangan. Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar k arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.

 Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, ketika kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seakan-akan besi sembrani yang menarik hiolouw itu hingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!

 Tidak hanya Cin Hai yang terpaksa meleletkan lidah tanpa merasa lagi saking kagum dan herannya, tetapi juga Ang I Niocu memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouwnya mendemonstrasikan kekuatan lweekangnya yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.

 Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lalu berkata dengan suara lemah lembut, “Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang maka harus dihormati. Apalagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua daripada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku takkan mengampunimu, Hek Moko!”

 Setelah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat. Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka sendiri dan biarpun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus. Untuk dapat menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekangnya dan kakek itu biarpun tenaga lweekangnya sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?

 Biarpun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk main-main.

 Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat kematian di iga belakang!

  

 Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”

 Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu ia telah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka dan mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!

 Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su memiliki kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau mereka meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok. Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain serangan! Mereka berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua takkan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!

 Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!” dan tubuhnya merupakan bayangan merah berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!

 Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu makin cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu hingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.

 Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi ia telah mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biarpun berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali ia tidak mau membiarkan hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah hingga tumpah isinya atau rusak. Kalau ia tidak menyayangi hilouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja ia akan berhasil mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau ia melakukan ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.

 Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat terpandai di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri daripada serangan kedua lawannya, yakni dengan membarengi mengirim pukulan maut sebagai serangan balasan, akan tetapi ia tidak sudi menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar dan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang beradu. Kedua iblis itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka. Kesempatan yang hanya beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan baiknya karena tiba-tiba saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas daripada kedua serangan maut itu.

 Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke depan dalam menjalankan pukulan mereka tadi. Dengan terkejut kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil melompat mundur, takut kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati, kini Si Jembel tua telah rebah terlentang dan hiolouw itu dengan kecepatan luar biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang mereka takuti itu.

 Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tiada kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, Bu Pun Su sambil rebah terlentang lalu mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat sekali, melebihi kecepatan luncuran hiolouw, kaki itu bergerak ke bawah dan membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun dan kekuatan hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya dibelokkan oleh ayunan ini. Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit hingga luncuran kini dibelokkan ke atas kembali! Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri dan kembali dengan kepalanya ia menerima hiolouw itu!

 “Aduh, hebat! Aduh... hebat!!” Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I Niocu menarik napas panjang karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah lenyap.

 Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan terus dan setelah tiba di tempat hiolouw, ia memegang kaki hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali ia meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan angker dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko,

  

 “Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono hampir saja kalian merusak hiolouw itu.” Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.

 Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas daripada bahaya maut dan ia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka tetapi hanya menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Agaknya kakek aneh ini lebih mementingkan hiolouw daripada tubuh dan nyawanya sendiri!

 Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja merasa penasaran dan tidak mau tunduk dengan demikian mudah. Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan kiri. Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan akan terampas. Akan tetapi tasbeh di tangan kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat terputus oleh senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu apabila batu-batu hitam itu dilepas dari untaiannya, ia dapat digunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan ganas!

 “Eh, eh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh. Kalian menghendaki pertempuran dan hendak merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan kalian mencoba merusak hiolouw!”

 Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu berbesar hati. Masih baik bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah, akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran hingga ia tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,

 ”Eh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu daripada tubuhmu sendiri!”

 Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang sudah tua dan lapuk ini apakah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun takkan ada gunanya bagi manusia. Sebaliknya, hiolouw ini telah ribuan tahun umurnya dan telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian setelah tubuhku ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan berguna bagi manusia yang masih hidup, karena ia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang hendak berhubungan dengan Tuhan.”

 Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana tetapi mengandung arti yang dalam ini, dan diam-diam ia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat ia menemukan.

 Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel ini lalu duduk bersila lalu berkata kepada Cin Hai,

 “He, gundul totol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!”

 Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya hanyalah sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka ia lalu melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka berseri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya! Cin Hai merasa makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol mengapa sampai sekarang ia disebut tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air mata! Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu menggerakkan tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tak pantas baginya memegang tangan Ang I Niocu walaupun dara itu seorang yang sangat dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.

 “Niocu, ada apakah?” bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.

 Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,

 “Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau mau melayani kami atau tidak!”

 Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan saksi mati daripada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu. Cin Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali, mereka melihat betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan telah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!

 “Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu…” bisik Cin Hai.

 Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.

 “Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja.”

 “Bu Pun Su, awas, akan kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari belakang kakek itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!

  

 Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat. Akan tetapi, bagaikan ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala hingga tasbeh itu memukul angin! Legalah dada Ang I Niocu dan Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.

 Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersamadhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu hingga tanpa memandang atau bergerak, ia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun datangnya!

 Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biarpun mereka dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka berdua melatih diri dan bahkan mereka telah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah senjata tasbeh yang lihai. Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk diam sambil meramkan mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada taranya bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya, sedangkan Pek Moko dari belakang juga mengirim serangan-serangan kilat yang mematikan.

 Betapapun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su, karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat daripada kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke gua itu. Lebih tinggi tingkat kepandaiannya daripada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai daripada Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.

 Akan tetapi, setelah melihat agak lama tidak hanya lenyap perasaan kuatir mereka, bahkan mereka menjadi tertarik sekali berbareng heran dan kagum! Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya! Kakek jembel ini tidak melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis! Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya, dapat ia kelit dengan mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tak dapat ia elakkan, maka lalu ditangkisnya dengan tulang. Biarpun ada empat buah senjata menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ia tangkis dengan putaran tulang yang berubah menjadi senjata yang lihai itu!

 Kedua iblis itu makin marah dan penasaran. Telah puluhan jurus mereka membacok, menusuk, memukul dan melakukan serangan bermacam-macam akan tetapi selalu sia-sia hasilnya. Benarkah mereka takkan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas sedikit pun! Ah, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih gencar dan hebat.

 Sementara itu, melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikitpun Ang I Niocu dan Cin Hai penasaran sekali. Akan tetapi, apakah daya mereka? Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih jauh daripada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couwnya, tidak berani turun tangan tanpa diperintah. Cin Hai berpikir, kalau suhunya itu bertahan terus saja, apakah ia tidak akan lelah dan akhirnya terkena serangan juga? Ia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring ia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,

 “Seorang budiman hanya mencabut pedang untuk mempertahankan kehormatan dan nama. Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah perbuatan orang gagah, hanya dilakukan oleh anak-anak dan orang tolol!” Kemudian dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri, “Aku masih bingung memilih nama untuk Hek Pek Moko, apakah mereka ini anak-anak ataukah orang tolol??”

 Karena suasana di situ sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang kadang-kadang beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu. Tentu saja kedua iblis itu mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biarpun hanya menduga-duga saja, ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang “memperebutkan benda” adalah tepat sekali. Cin Hai memang belum tahu mengapa tokoh-tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Gua Tengkorak, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu yang amat penting dan berharga. Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau mendengarkan nasihat-nasihat yang keluar dari mulut seorang pemuda? Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.

  

 Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biarpun Bu Pun Su masih dapat membela diri dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu telah mempergunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan berbahaya dari kedua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak kembali, kini lebih keras daripada tadi,

 “Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat dan tak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?”

 Biarpun Cin Hai berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Cin Hai tidak putus asa, ia mengulangi lagi kata-katanya dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak. Akan tetapi pada saat itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi serangan kedua lawannya. Kalau ia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal lain, maka kedudukannya akan berbahaya sekali dan pertahanannya akan menjadi lemah. Oleh karena itu, maka teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.

 Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan bahwa keadaan suciok-couwnya berbahaya sekali dan gerakan-gerakan orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak makin hebat! Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Kalau nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku nekad dan membelanya, biarpun untuk itu ia akan mendapat marah sekalipun!

 Cin Hai lalu berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Ia memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, ia lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik.

 “Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”

 Biarpun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat untuk mendapat sebatang suling. Dengan ujung pedang ia menggunakan lweekangnya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah-sebatang suling terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan bentuknya sangat sederhana.

 Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah sangat terdesak, ia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang ganjil dan sukar sekali diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai mengerahkan kepandaiannya dan mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu! Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat mendengar kata-katanya.

 Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau ia terpaksa menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan suara suling yang nyaring ini! Dan sangat untung baginya karena tidak saja dia, bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya karena perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka biarpun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu pun banyak mengendur pula!

 Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,

 “Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”

 Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil hingga ketika tiupannya ditunda, maka keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan baik. Tiba-tiba kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

 “Hek Pek Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “bicara tentang kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga daripada muridku yang bodoh! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua turun tangan?”

 Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!

  

 ”Siancai, siancai!” Bu Pun menyebut dan orang tua itu kini menggerakkan tangan kirinya yang sejak tadi hanya terletak di atas pangkuannya saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka ia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari untaiannya dan jatuh berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan tangan kirinya bergerak pula menyambit. Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata hingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas lantai!

 Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan gemasnya,

 “Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”

 Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Gua Tengkorak dan melarikan diri.

 Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang tua, maka ia lalu maju dan berlutut sambil menyebut,

 “Suhu...”

 “Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian.”

 “Sudahlah, sudahlah...” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda memang paling doyan berkelahi!” Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar jelas penyesalannya. “Kiang Im Giok, sekarang kaupergilah ke timur dan mencari Sucimu di daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau ia masih belum insyaf, bawa ia ke mari. Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!”

 Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik, Susiok-couw!” Kemudian Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, “Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?”

 “Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”

 Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, tetapi Cin Hai tiba-tiba berkata,

 “Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya terdengar pilu dan terharu, hingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!

 “Niocu!” Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhunya!

 “Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai. Kemudian kakek ini berdiri lalu berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan tindakan kakinya. “Im Giok, tunggu dulu. Aku masih ragu-ragu, apakah kalau Sucimu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba kauperlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sianli Kiam-hwat!”

 Ang I Niocu tidak berani membantah, lalu melolos pedangnya. Kemudian ia mulai menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa pada saat itu ia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring tarian pedang Ang I Niocu! Sementara itu, setelah gerakan Ang I Niocu menjadi cepat hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,

 “Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”

 Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,

 “Coba kauserang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”

 Sungguh pemandangan yang indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat Ang I Niocu, karena tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan tarian Ang I Niocu hingga mereka merupakan sepasang penari ulung yang mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah kakek-kakek. Coba kalau yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda, tentu akan indah dan cocok sekali!

  

 Cin Hai tak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su tadi, akan tetapi, setelah Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I Niocu. Benar saja, pada tiap gerakan, ternyata kakek yang lihai itu telah dapat mencari dan dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu menyerang melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia bersilat! Ia maklum bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, maka tangan kakek itu tentu sudah berhasil merobohkannya dengan mudah!

 Tiba-tiba kakek itu berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari gerakan-gerakanmu tadi? Ingat, kau terlalu menitik-beratkan kepada keindahan gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat kelemahan karena perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh keindahan gerak tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu, akan tetapi kalau waspada, maka kau tentu akan celaka. Nah, kau perhatikanlah dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai ke lima puluh, kau harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku tangan yang memegang pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat gerakan Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air untuk menjaga agar jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat terbuka yang diadakan oleh gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?”

 Ang I Niocu mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian kakek itu menyuruhnya berangkat dengan segera.

 “Kalau tidak salah, Sucimu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau ke sana. Cin Hai mulai saat ini akan tinggal di sini dengan aku!”

 Mendengar disebutnya nama pemuda itu, tiba-tiba wajah Ang I Niocu berubah merah. Agaknya kakek yang luar biasa ini telah dapat menduga akan isi hati dan perasaannya terhadap pemuda itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai lagi, Dara Baju Merah itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu, dilihat oleh Cin Hai dengan pandangan mata sedih.

 “Nah, anak bodoh! Mulai sekarang kau harus berlatih dan belajar silat dengan rajin. Ketahuilah, aku orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid, dan sekali aku mengambil murid maka ia harus belajar dengan baik-baik agar tidak akan memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut segala perintahku, bukan?”

 Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya untuk memberi hormat. “Teecu akan menurut segala perintah Suhu.”

 “Bagus, sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu semenjak kau meninggalkan rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”

 Cin Hai dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi sedikit pun, akan tetapi setelah ia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,

 “Hanya satu hal yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan Kiang Im Giok!”

 Cin Hai tertegun lalu memandang kepada suhunya dengan penasaran dan heran. “Suhu, apakah sebabnya maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu seorang yang berhati mulia dan berwatak gagah berani?”

 Bu Pun Su menghela napas. “Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang. Perhubungan itu dapat meracuni hati kalian berdua!”

 Cin Hai memang mempunyali sifat pemberani dan pantang mundur menghadapi siapa juga apabila ia merasa bahwa pihaknya benar, maka ia lalu berkata lagi,

 “Suhu, apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu, perhubungan teecu dengan An I Niocu itu, hanya mendatangkan perasaan kasih sayang suci. Mengapa tidak? Teecu yang sebatang kara dan hampir semua orang telah memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat dan hanya Ang I Niocu seorang yang telah berlaku baik sekali terhadap teecu! Salahkah kalau teecu mempunyai rasa kasih sayang yang besar kepadanya yang timbul karena perasaan terima kasih? Ujar-ujar pernah menyatakan kasih sayang yang timbul karena hutang budi adalah suci murni!”

 Melihat betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum, lalu berkata tenang, “Cin Hai, kau terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar itu penuh dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah, kenyataan hidup ini jauh sekali bedanya dengan keindahan kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala macam ujar-ujar yang indah itu ternyata tak dapat memperbaiki sifat manusia, bahkan lebih rusak! Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan segala keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?”

 Cin Hai tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya kesusastraan. Memang, sifat gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak cocok dengan perbuatannya

 ”Cin Hai, kau masih terlalu muda untuk mengerti semua. Memang bagimu aku tidak merasa kuatir, akan tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan sekali kalau anak itu menjadi korban daripada kelemahan hatinya sendiri...”

  

 Cin Hai mengerutkan keningnya akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang telah nampak dewasa dan tinggi tegap akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhunya. Pada waktu itu usianya telah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam hal pengertian pergaulan pria wanita ia masih bodoh dan hijau.

 “Sekarang kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan hal lain lagi. Ketahuilah, bahwa pikiran yang bercabang takkan dapat menghasilkan ilmu yang baik. Dan kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hwat dan Sianli-kun-hwat. Juga Ngo-lian-hwa Kiam-hwat telah kau pelajari dari Im Giok. Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama dan berpokok satu, yaitu menyerang dan membela diri. Betapapun tinggi ilmu silat seseorang, namun apabila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang hanya ada tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Jika engkau dapat mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat melawannya dengan mudah.”

 Demikianlah, semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan mempelajari sari dan pokok gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat dan merupakan rahasia khusus dari pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama halnya bagi Cin Hai dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini! Kini ia mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh persilatan tertinggi yang mempunyai kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya yang telah dapat memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka menghadapi seorang lawan yang bersilat bagaimanapun juga, Bu Pun Su dapat meniru semua gerakan itu dengan sama baiknya, biarpun ia belum pernah mempelajari ilmu silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!

 Tentu saja, setelah dapat mengetahui silat dan pokok gerakan lawan, mudah saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan syarat untuk mengalahkan lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga! Oleh karena ini, di samping mempelajari pokok-pokok rahasia gerakan silat Cin Hai juga mendapat latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuatnya dapat bergerak gesit bagaikan seekor burung walet dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya memiliki tenaga dalam yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan lawan yang kasar maupun halus. Juga untuk latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang khusus dan istimewa, karena ia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut kakek jembel yang luar biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang maupun khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur semua tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia. Oleh karena ini, maka latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersamadhi dan mempertebal iman. Jika iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya “bunga api dari Tuhan” menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan menjadi kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya akan melemahkan tubuh dan batin.

 Cin Hai mempunyai dasar-dasar dan bakat yang baik, maka tanpa banyak mengalami kesukaran ia dapat menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhunya hingga Bu Pun Su merasa girang sekali.

 Waktu berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai telah menerima gemblengan dan latihan selama tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan ia telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap dengan wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih saja nampak bodoh dan mukanya yang lebar tidak mengurangi “tampang bodohnya”!

 “Cin Hai,” kata gurunya pada suatu hari, “kini kau telah dapat menangkap intisari daripada ilmu silat dan agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu silat yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya dapat digunakan pada waktu menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan apabila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik sekali, muridku, dan ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah menyerang orang. Aku hanya bergerak apabila diserang. Tahukah kau? Kau mengerti dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka pakailah ujar-ujar itu sebagai pedoman dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Maka, julukan “Pendekar Bodoh” harap kaupakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang-orang yang sesungguhnya pintar

Bersambung ke hal 101