RANGKAIAN AKHIR PENDEKAR BODOH ...... ALIAS TAMAT .....
“Lihat, bukankah itu Sin-kong-ciak?” teriak Ma
Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung merak yang indah bulunya itu
terbang di atas.
“Betul, marilah kita pergi menyusul ke sana!”
Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke
bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan adanya burung-burung itu
di sana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.
Melihat kegembiraan Ma Hoa, Ang, I Niocu juga
ikut bergembira, akan tetapi ia hanya tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma
Hoa. Mereka berlari dan sampai di tempat yang penuh bukit batu karang itu dan
ketika merak itu melayang turun ke depan gua besar dimana Lin Lin berada, Ma
Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan
mengagumi merak yang indah bulunya itu.
Ma Hoa berlari masuk gua dan tiba-tiba saja
terdengar bentakan hebat,
“Manusia tidak tahu malu! Kau akan membunuh
kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!” Dan tiba-tiba saja melompat seorang
wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.
“Lin Lin!” Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh
keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu. “Ini aku... Ma Hoa…!”
Akan tetapi Lin Lin yang kumat lagi gilanya
itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang terus sambil memaki-maki!
Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa mencabut keluar sepasang bambu
runcingnya untuk dipakai menangkis dan menjaga diri. Ia merasa heran, terkejut,
dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi oleh karena ilmu pedang gadis
itu benar-benar lihai dan gerakannya amat sulit untuk diduga semula, terpaksa
Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis
semua serangan Lin Lin!
Kalau saja Ma Hoa belum memiliki ilmu silat
bambu runcingnya yang lihai itu, pasti dengan mudah saja ia telah dirobohkan
oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah
diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin benar-benar luar biasa dan lihai
sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan kepandaiannya dan kedua batang bambu
runcingnya digerakkan secara hebat untuk mempertahankan dirinya sehingga di
dalam gua itu terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Berkali-kali Ma-Hoa
berseru,
“Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat
baikmu...!”
Tiga ekor burung yang melihat pertempuran ini,
beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara keluhan bingung
karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tak tahu harus membela yang
mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika
burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak menyerang gadis berambut
panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali Emas dan Merak Sakti
menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu seakan-akan bertempur
sendiri di udara!
Mendengar ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera
lari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa Lin Lin melakukan
serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang mempertahankan diri dengan sibuknya.
“Enci Im Giok, lekas... lekas tangkap dia,
agaknya dia telah berubah ingatan!” seru Ma Hoa menahan isak.
Ang I Niocu berdiri bagaikan patung dan
menjerit,
“Lin Lin...!”
Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan
Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I
Niocu, lalu menjerit,
“Enci Im Giok...!” pedangnya terlepas dari
pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena ia merasa pening sekali. Ang I
Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas dalam
pelukannya!
Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling
berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar
tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang
gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini.
Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas,
sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan gua itu kalau-kalau ada orang lain
berada di situ, akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan
di depan gua, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.
Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu
dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan
tubuhnya dan membuka matanya. Ia bangun dan ketika melihat bahwa ia berada di
atas pangkuan Ang I Niocu, ia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya
kepada kedua matanya sendiri. Kemudian ia bangkit dan menubruk Ang I Niocu
sambil menangis.
“Enci Im Giok...”
“Lin Lin, kau kenapakah...?” bisik Ang I Niocu
sambil menahan tangisnya. Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk
orang, ketika ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi
muka Ma Hoa.
“Enci Hoa... kau juga datang…?”
“Eh, eh, anak nakal! Betul-betulkah baru
sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?” tegur Ma Hoa. “Mengapa tadi
datang-datang kau menyerangku dengan hebat hingga hampir saja nyawaku melayang
ke alam baka?”
Lin Lin memandangnya dengan terheran-heran.
“Benarkah? Sudah datang lagikah penyakitku itu? Ah, celaka...” dan ia lalu
menangis sedih.
Ma Hoa dan Ang I Niocu kembali saling pandang
dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.
“Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil memegang
tangan gadis itu. “Tadi ketika Ma Hoa masuk ke dalam gua ini, kau terus
menyerangnya mati-matian, kemudian tiba-tiba kau jatuh pulas! Apakah sebabnya
semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu karena kami sedang merasa bingung
melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang
melihat kau seperti ini lagi! Ah, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga
menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?”
Lin Lin lalu menuturkan semua pengalamannya,
betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang,
dan betapa kemudian ia terluka dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang
akhirnya berhasil membinasakan Song Kun dan mendapatkan obat penawar pengaruh
racun dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya “penyakit gila”
yang kadang-kadang menyerangnya itu.
Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan
girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal
yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin Lin dan girang pula
bahwa Song Kun yang jahat dapat ditewaskan oleh Cin Hai hingga sebuah diantara
syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian,
telah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan
keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.
“Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan
Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.
“Mereka sedang pergi ke dukun Mongol pembuat
obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang pengaruh obat itu.”
Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama
Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat
bertemu Dara Baju Merah yang dulu dianggapnya telah tewas itu, biarpun ia telah
mendengar Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga ia merasa gembira
mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput daripada bahaya kematian
bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.
“Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko,
mengapa ia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali kepadanya,” kata Lin
Lin yang teringat kepada kakaknya.
“Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi
menyelidiki keadaan gua rahasia yang telah ditemukan itu,” kata Ma Hoa yang
lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.
Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk
bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su
untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf. Dan dalam
kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada
Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu kini telah mempunyai calon.
“Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan
kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, agar kau
dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda. Sementara itu, Lin Lin merasa
gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, ia berbisik,
“Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu,
di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu
terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!” Dan ucapan
ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik
air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan ia menggunakan
saputangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.
“Terima kasih, Adikku, terima kasih,” jawabnya
sederhana.
Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin
Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu dengan dukun
Mongol itu. Ketika mereka tiba di tempat itu, pondok di mana kemarin mereka
bertemu dengan dukun Mongol, hanya terjaga oleh empat orang Mongol saja,
sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.
Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam
pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.
“Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan
sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!” baru kali ini Cin
Hai melihat suhunya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa
hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan
keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kausebut daun semut merah itu, benar-benarkah
obat itu penolak racun ular hijau?”
“Benar, siapa yang meragu-ragukan obat buatan
Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.
“Apakah setelah minum obat itu, orang yang
terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?”
“Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih
semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan
tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!” jawabnya.
“Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak
dari obat itu?”
“Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun
pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir
racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat
sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku
mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau dikeroyok
oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Kemudian aku menyelidiki
dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah pohon kembang yang
kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu telah mendapatkan
racunnya dari sari kembang inilah, maka kembang itu kusebut kembang semut merah
yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya
untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!”
Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh
perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak
membohong.
“Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan
obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah seperti
orang gila dan kemudian tertidur setelah marah-marah?” tanyanya.
Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Memang, memang demikian,” katanya dan sepasang matanya yang hitam
bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu
mengalir di seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun
ular hijau. Pada urat yang besar, peristiwa itu tidak mengakibatkan sesuatu,
akan tetapi pada saat kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di
bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi
marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua
racun itu saling gempur!”
Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri, “Sampai
berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu? Dapat sembuh kembali atau
tidak?” tanyanya tak sabar.
“Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara
waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia
terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula ia akan
mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula ia
akan terserang hal itu.”
Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin
Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin
Lin akan terserang penyakit aneh itu.
“Dan di mana perginya Hai Kong dan
kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.
“Ke mana lagi kelau tidak mengambil harta
pusaka di gua itu?” kata Dukun Mahambi sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Manusia-manusia macam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan
untuk mendapatkan harta benda, mereka tak segan-segan melakukan segala macam
kejahatan dan kekejaman.”
Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin
Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak ia mencari Ang I Niocu dan
kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan menghalangi mereka
mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke
dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai
kejahatan pula.”
Cin Hai mengangguk dan mereka lalu
meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke gua di mana Lin Lin berada
sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke gua Tun-huang!
Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia
tiba di gua Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan
senjata di tangan. Ia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, maka ia
dapat menduga bahwa pendeta jahat dan kawan-kawannya itu tentu berada di dalam
gua, sedang mengambil harta pusaka.
Dengan sekali melompat, Bu Pun Su telah berada
di depan gua, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi
terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang
melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua
yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau
semua lawan secara luar biasa itu.
“Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan
harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih
berada di sini!”
Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio,
Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari gua itu dengan muka merah karena
marah.
“Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak
kecil! Kau telah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau
masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu.
Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”
“Apa katamu?” bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong
Hosiang.
“Harta Pusaka itu telah kaucuri dan kau bawa
pergi, mau berkata apalagi?” Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera
menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang
dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde
pemberian Bu Pun Su dulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!
Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan
Balaki, Bu Pun Su tidak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan
Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia
maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau
menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan berkata,
“Aku masih belum mengerti maksud omongan
kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!” Secepat kilat ia lalu menerobos masuk
ke dalam gua dan tak lama kemudian ia keluar lagi dan berdiri di depan Hai Kong
Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut
tulang dan akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan
enaknya. Ha-ha-ha!” Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang
beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.
“Kaumaksudkan bahwa yang mengambil harta
pusaka itu jago tua Hok Peng Taisu?” tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang
tajam.
“Dasar kau yang bodoh,” tegur Bu Pun Su.
“Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat bambunya Hok Pek
Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu
cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin! Memang sudah
menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang serakah dan bodoh!”
“Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali
harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat
tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya. Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak
tunduk kepadanya seperti dulu.
“Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak
kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan
rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada
orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi
dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!”
“Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan
membunuhmu!” Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat
pergi dari situ. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tak berani menghalangi
kepergiannya karena mereka maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang
ringan, sedangkan sekarang harta pusaka telah tercuri orang lain, untuk apa
mereka harus memusuhi kakek jembel itu?
Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar
telah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan
menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu
Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang
tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas
siapa yang menotok roboh mereka itu. Orang ini masuk ke dalam lubang
penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, lalu
menggunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang
berbunyi seperti berikut :
Harta pusaka di gua rahasia, telah banyak
menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan
nenek moyang mereka!
Tadinya Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya
mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi
mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu
dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang mempergunakan tongkat bambu untuk
dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu. Baru
setelah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek
sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan
merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.
Mereka ini tidak tahu bahwa diam-diam Bu Pun
Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan
perundingan mereka tentang maksud mereka mencari Hok Pen Taisu, dan setelah
mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke gua di mana Lin
Lin berada.
Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin
Lin oleh Suhunya itu tiba di gua, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu
dan Ma Hoa. Ia lalu menceritakan segala pengalamannya dan bergiranglah semua
orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin Lin itu hanya akan
berlangsung selama sepekan.
“Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada
saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan,” berkata Ang I Niocu setelah
mendengarkan semua penuturan mereka. “Ketika ia terserang kemarahan pada
pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw
ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, ia
menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika
melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu Lin Lin?”
Gadis itu sambil menarik napas panjang
menggeleng kepala. “Entahlah, aku tak ingat sama sekali Enci Im Giok,
seakan-akan aku mimpi.”
“Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di
tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tidak enak kalau kau pergi ke
tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk orang!” kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui
nasihat ini.
Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin
sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya, “Lin Lin,
pusatkan pikiranmu karena Suhu telah datang. Ingat baik-baik bahwa dia yang
datang itu adalah Suhu kita sendiri!” Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum
bahwa kalau tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu
akan menimbulkan penyakitnya!
Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan
semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan
tentang perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta
pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah
dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang
suhunya ini akan tetapi ia merasa kecewa juga mengapa suhunya itu tidak datang
menemuinya.
“Dan satu hal yang amat penting lagi harus
kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya
kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma
Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhumu agar ia
dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong
Hosiang dan kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong
Hosiang merupakan hal yang amat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai
di sini sampai sepekan setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Gua Tengkorak
menyusulku. Nah, aku pergi!” Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti
itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar menggema, “Tiga burung
kubawa serta!”
Ketika semua orang keluar untuk melihat,
ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung
besar itu terbang tinggi ke timur.
Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin
Hai,
“Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo
lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana
menunggu kalian berdua?”
“Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan
pergi dulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul ke sana,” kata Lin Lin, yang
sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya. Ang I
Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi
meninggalkan gua itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang
sunyi itu.
“Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama,
akan tetapi tak baik kalau selama itu kita menganggur saja. Lebih baik kita
bersemadhi dan membersihkan napas melatih lweekang, sekalian membantu
bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”
Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin
Hai, ia lalu duduk bersila di dalam gua itu, bersamadhi memperkuat tenaga
dalamnya.
Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang
kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf,
ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak
mereka sangka-sangka.
Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika
mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka
untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.
“Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah
mengganggu Lin Lin karena munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan
penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apabila sepekan telah lawat dan
ia telah sembuh, ia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini.”
Kemudian, Kwee An lalu menuturkan
pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih baik kita
mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng. Sebagaimana diketahui, mereka
berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa
Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang
jahat. Mereka berdua pergi ke gua-gua Tun-huang karena menurut cerita Ang I
Niocu, di sanalah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ
hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di
depan gua rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang
Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.
Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari
balik gunung karang dan melihat penjaga-jaga itu, Nelayan Cengeng berkata,
“Mungkin sekali harta pusaka itu belum
diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan
mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya kembali?”
Kwee An menjawab, ”Aku setuju sekali, akan
tetapi, bagaimana kalau Bu Pun Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kami?”
“Jangan kuatir, betapapun juga, aku tetap
tidak percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pasti
ia terkena pengaruh jahat, Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak
tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk
menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat
tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau
sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena
aku yakin bahwa betapapun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu
tidak suka melihat harta pusaka terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”
“Kalau kita berhasil mengambil harta pusaka
itu, harus kita apakan benda itu?” tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.
Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang
pemuda itu, dan karena ia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air
mata. “Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda
yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu adalah
milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka
Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu saja sudah sepatutnya
kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!”
“Yang berhak?” tanya Kwee An dengan heran.
“Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang
dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya
kembali?”
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus
dan menjawab pertanyaan itu, “Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!”
Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut
sekali den cepat mereka menengok. Ternyata di atas mereka telah berdiri seorang
kakek tua yang berkepala botak dan memegang sebatang tongkat bambu warna
kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang
berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin ia bisa datang tanpa terdengar sedikit
pun oleh mereka.
“Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan
dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?” tiba-tiba kakek botak itu bertanya.
Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan
berkata,
“Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami
dapat memberi penghormatan yang layak!”
Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya
melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.
“Nelayan Cengeng, biarpun matamu mudah
mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya,” katanya.
Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat
seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, ia teringat akan cerita gadis itu
tentang suhunya yang baru, maka ia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng
Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air
mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.
“Bagaimana dengan murid kita itu?” tanya Hok
Peng Taisu.
“Baik, baik, dan terima kasih kuhaturkan
kepadamu yang telah memberi bimbingan padanya. Kepandaian yang kauberikan
padanya dalam beberapa bulan saja itu tak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh
tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.
“Ah, memang kau benar-benar mempunyai sifat
betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong Hwat Lojin,
sekarang kita bicara tentang hal penting. Eh, siapakah anak muda ini?”
“Dia adalah calon suami murid kita.”
Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang
kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An tentang harta itu tadi saja sudah
membuat ia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.
“Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke
tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka
itu, dan karenanya aku hendak mempergunakan kesempatan selagi mereka itu saling
gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!”
Nelayan Cengeng memandangnya tajam, “Untuk
apakah harta itu bagimu, Taisu?”
“Ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang
bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang
kauberikan kepada pemuda ini tadi!”
Nelayan Cengeng mongangguk-angguk. “Kalau
begitu, aku setuju membantumu.”
Kakek botak itu berkata, “Memang aku perlu
sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta
Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagi
harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Bagaimana, sanggupkah
kalian?”
Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An
menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu minta mereka menanti
sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan
mata. Nelayan Cengeng menarik napas panjang dan berkata, “Entah mana yang lebih
tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua
orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”
Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian
Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah gua itu. Mereka melihat
betapa kakek itu bergerak cepat laksana seekor burung elang menyambar-nyambar
dan tahu-tahu semua penjaga telah tertotok roboh olehnya.
“Bukan main!” seru Kwee An dengan kagum sekali
karena ia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat
bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan
gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama
sekali kepada para penjaga itu untuk melawan ataupun melihatnya!
Tak lama kemudian, kembali kakek botak itu
keluar dari gua dan menuju ke tempat mereka dan kini ia telah membawa buntalan
besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek botak itu telah
menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu
dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.
“Nah, kalian terimalah ini. Memang benar
kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, diantara harta pusaka itu terdapat mata uang
emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang pembagiannya terserah kepada
kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan
untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah kepadamu. Nah, aku pergi!” Dan
sebelum Kwee An maupun Nelayan Cengeng membuka mulut, kakek botak itu telah
lenyap dari situ!
Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa
pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya.
Ketika harta pusaka itu diperiksa, ternyata memang terdapat banyak mata uang
emas dari Turki jaman dahulu, maka Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang
yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,
“Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima
sebagian daripada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain
akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang amat membutuhkannya.”
Yousuf menerima harta pusaka itu sambil
berlinang air mata. “Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena
miskinnya dan Pangeran Muda mempergunakan kesempatan ini untuk membeli
orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya
dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai
pembangunan Kerajaan Turki.”
“Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup
percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”
Yousuf lalu menyuruh orang membuat
kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka
itu.
Demikian pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee
An sebagaimana yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.
“Kalau demikian, memang telah ada persesuaian
antara Hok Pek Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw,” kata Ang I Niocu. “Kita harus
menjalankan tugas membagi-bagi harta pusaka itu dengan baik.”
“Harta ini harus cepat dibagi dan jangan
ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja
kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita,” kata Kwee An. “Maka lebih
baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi.”
“Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin
Hai? Apakah kita tidak harus menanti sampai Lin Lin sembuh?” Ma Hoa berkata
ragu-ragu.
“Tak perlu,” jawab Ang I Niocu. “Bukankah
Susiok-couw telah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Gua
Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat
bertemu dengan mereka di timur.”
“Biarlah aku yang menanti mereka di sini dan
akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,” Yousuf menyatakan
kesanggupannya.
Semua orang telah menyetujui keputusan ini.
Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan
Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An masing-masing mendapat sekantung.
Setelah berpamit kepada Yousuf dan kawan-kawannya, empat orang pendekar itu
meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka
menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada
rakyat miskin. Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui
oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena
banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata
di dalam rumah mereka. Timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat
(Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang
miskin yang menderita sengsara.
Setelah tinggal di dalam gua batu karang itu
sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin telah pulih kembali seperti
sediakala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya
yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali.
Hal ini dapat ia rasakan karena kalau biasanya tiap hari ia sering merasakan
kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga terpaksa Cin Hai
memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk
membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, kini denyutan kepala itu
lenyap sama sekali! Bahkan ketekunan berlatih dan samadhi membuat ia dan Cin
Hai mendapat kemajuan yang lumayan.
Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju
ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di depan ayah angkatnya, Yousuf
mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena
menahan runtuhnya air matanya,
“Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap
syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau telah terbebas dari keadaan
bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhumu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan
terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang telah menolongmu.”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut. “Apakah Yo-pekhu
tidak ikut dengan kami ke timur?”
Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin
memegang tangan ayahnya itu dan berkata, “Ayah, kau harus ikut dengan kami ke
timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau.”
Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin
dengan kasih sayang besar. “Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan
hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan telah memberi berkah yang
berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku
telah tua, aku dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak
ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan kau dan
melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan
bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin
maupun Cin Hai menjadi merah mukanya.
“Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke
timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan girang.
Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya.
“Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dulu menyusul
Suhumu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting.” Kemudian orang
Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu dan menuturkan
pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas
membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.
“Sedangkan emas yang menjadi hak milik
Kerajaan Turki, harus kuantarkan dulu ke negeriku agar dapat digunakan untuk
membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda.”
Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu
memang amat penting dan memang telah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja
demi kebaikan negara dan bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat
membantah pula.
“Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan
terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur.
Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku.”
Setelah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai
lalu menuturkan tentang tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai
Kong Hosiang. Bukan main terkejut dan marahnya Lin Lin mendengar ini, maka
sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, di mana
jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.
Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru
dan sucinya dan sambil menangis ia bersumpah,
“Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati
ini pasti akan kubalas dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam
tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci.”
Setelah berdiam di makam subo dan sucinya
sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama
Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena
memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu
akhir-akhir ini telah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang
semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!
Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya,
maka dengan lemah lembut ia berkata, “Lin-moi, jangan kau berkuatir. Aku pun
bersumpah untuk menebus kesalahanku yang telah melepaskan hwesio itu dulu dan
tidak membinasakannya sehingga ia masih hidup dan kini mendatangkan malapetaka
pula.”
Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum
manis menghibur.
“Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama
sekali bukan!”
Melihat senyum manis kembali telah menghias
bibir gadis yang amat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali
karena ia tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya. Mereka
melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya
dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu mereka melakukan
perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya, seringkali mereka berhenti di bawah
pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi
permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan
pedangnya dan dalam pandangan mata Cin Hai, apabila Lin Lin menari diiringi
sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya daripada tarian Ang I Niocu
sendiri!
Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah
meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya ia bernyanyi, Lin Lin
tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka
nyanyiannya terdengar merdu sekali.
Memang, bagi siapa yang pernah mengalaminya,
akan mengaku bahwa tidak ada kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat
daripada berdua dengan seorang tunangan yang saling mencinta mesra,
bercakap-cakap, bersendau gurau dan saling menjaga kesusilaan sebagaimana
layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan berbudi. Sekali saja kesusilaan
dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur
leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati. Akan tetapi, Lin Lin dan Cin
Hai adalah orang-orang muda yang telah mendapat gemblengan dan didikan dari
orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka menjadi kuat dan batin mereka
telah bersih. Mereka telah menjadi majikan daripada nafsu sendiri dan
menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya
orang-orang lemah iman yang dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang menunggangi
mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah
hutan yang besar, mereka melihat dua orang berlari-lari cepat dengan wajah
seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat. Dua orang itu terdiri dari
seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah sekali dan yang memelihara
kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya, matanya tajam dan
sikapnya agung. Sedangkan orang kedua adalah seorang gadis yang amat cantik
jelita, bermata jeli dan bermuka manis sekali, akan tetapi pada waktu itu
wajahnya kemerah-merahan dan matanya mengandung kedukaan besar,
“Mereka seperti orang ketakutan, mari kita
tolong!” kata Lin Lin dan Cin Hai mengangguk. Mereka lalu menghadang di tengah
jalan dan Cin Hai berseru,
“Ji-wi harap berhenti dulu!”
Kedua orang yang sedang berlari itu menahan
kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal mereka berhenti, memandang kepada
Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.
“Mengapa ji-wi berlari-lari seakan-akan ada
yang mengejarnya?” tanya Lin Lin sambil memandang dengan kagum dan hati suka
kepada gadis manis tadi.
“Memang kami sedang dikejar-kejar orang, akan
tetapi persoalan ini adalah persoalan bangsa kami sendiri dan sedikit pun tidak
ada sangkut pautnya dengan Ji-wi,” kata laki-laki tadi dengan suara gagah,
menandakan bahwa ia mempunyai keangkuhan dan ketinggian hati, tidak suka minta
tolong kepada orang lain.
Cin Hai tersenyum. “Sahabat, ketahuilah bahwa
kami bukan bermaksud jahat dan kami hanya ingin menolong kepadamu, yaitu
apabila kau berada dalam bahaya.”
“Memang aku dan anakku ini berada dalam
bahaya, akan tetapi bagi seorang kepala suku bangsa Haimi seperti aku, tak
pernah aku minta tolong kepada lain orang untuk memusuhi bangsa sendiri!”
“Suku Haimi?” seru Cin Hai yang teringat akan
penuturan Kwee An ketika pemuda itu dulu menceritakan pengalamannya. “Apakah
kau bukan Sanoko yang gagah dan nona ini Nona Meilani?” Kedua orang itu
tercengang. “Bagaimana kau bisa mengetahui nama kami?” tanya Sonoko dengan
heran.
Lin Lin yang juga sudah mendengar penuturan
itu dari Cin Hai, lalu berkata girang, “Nona Meilani, kau tentu masih ingat
kepada Kwee An, bukan?”
Mendengar nama ini disebut-sebut, Meilani
menundukkan kepala dengan muka merah. “Dia... dia adalah suamiku...”
“Benar,” kata Lin Lin yang sudah tahu pula
akan “perkawinan” itu. “Dan aku adalah bekas adik iparmu, karena Kwee An itu
adalah kakakku!”
Mendengar ucapan ini, Meilani mengeluarkan
isak tangis, lalu ia maju menubruk Lin Lin. Dua orang gadis itu berpelukan
dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang yang luar biasa harumnya keluar
dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.
Juga Sanoko menjadi girang sekali. Ia cepat
menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Maaf, maaf! Tidak tahunya kami bertemu
dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu siapakah nama enghiong yang mulia?”
“Siauwte bernama Sie Cin Hai.”
“Apakah kau juga masih keluarga Kwee An?”
tanya Sanoko.
Cin Hai merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan
tetapi Lin Lin mendahuluinya.
“Dia itu adalah tunanganku.”
Meilani yang sudah pandai berbahasa Han,
membelalakkan matanya yang indah dan sambil tersenyum manis hingga giginya yang
hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia bertanya kepada Lin Lin, “Apakah
artinya tunangan?”
“Tunangan adalah... calon suami.”
“Ah...” Meilani lalu berlari menghampiri Cin
Hai, memeluknya dan mencium kedua pipinya. Tentu saja Cin Hai menjadi kaget
sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya menjadi merah bagaikan
udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi terheran sekali, akan
tetapi sebagai seorang wanita, ia menjadi cemburu dan wajahnya berubah pucat.
Sanoko agaknya tahu akan hal ini, maka
cepat-cepat ia berkata,
“Nona, kebiasaan suku bangsa kami ialah bahwa
setiap orang wanita berhak, bahkan diharuskan memberi selamat kepada seorang
mempelai laki-laki dengan cara seperti itu.”
Legalah hati Lin Lin, karena ia tadi melihat
betapa wajah Cin Hai menjadi kemerah-merahan dan dengan belaian kasih sayang
seperti itu dari seorang gadis secantik Meilani, bukanlah hal yang boleh
dianggap ringan bagi pertahanan hati Cin Hai. Dan kalau ia harus mendapat
saingan dari seorang gadis seperti Meilani, akan berbahayalah! Kecuali giginya
yang hitam mengkilap, Meilani merupakan gadis yang jarang terdapat karena
cantik jelitanya.
Meilani kembali menghampiri Lin Lin dan
memeluknya. “Siapakah namamu, Adikku yang baik?” tanyanya.
“Panggil saja Lin Lin kepadaku,” jawab Lin Lin
sambil tersenyum dan diam-diam ia mengerling ke arah Cin Hai dengan pandangan
tajam. Adakah Cin Hai juga mencium bau kembang yang harum dan sedap itu?
Demikian pikirnya.
“Sanoko Lo-enghiong, karena telah kau ketahui
bahwa kita adalah orang sendiri, maka ceritakanlah mengapa kau dan Nona Meilani
berlari-lari dan siapa pula yang mengejarmu?”
“Amat memalukan kalau diceritakan,” kata orang
tua itu sambil menarik napas panjang, “Semua ini adalah gara-gara keponakanku
sendiri. Lenyaplah sifat-sifat ksatria yang setia, gagah dan jujur, setelah ia
merantau dan memiliki kepandaian dari... orang-orang Han. Maafkan ucapanku ini,
Sie-taihiap, aku tidak bermaksud menghina orang-orang Han.”
Cin Hai tersenyum dan mengangguk. “Siauwte
juga takkan membela bangsa sendiri kalau memang ia benar-benar jahat dan terus
terang saja, diantara bangsa Han juga banyak yang jahat, sebagaimana terdapat
pada bangsa lain. Teruskanlah ceritamu, Lo-enghiong.”
Sanoko lalu bercerita dengan singkat. Ternyata
bahwa biarpun telah menjadi “janda” yaitu setelah ditinggal pergi oleh Kwee An
yang baru saja melangsungkan “pernikahannya” dengan Meilani, Meilani tetap
menjadi pujaan para muda bangsa Haimi. Akan tetapi, agaknya gadis itu telah
mengalami penyakit patah hati sehingga ia menolak setiap pinangan pemuda
bangsanya. Menurut adat kebiasaan mereka, seorang janda yang telah ditinggal
oleh suaminya lebih dari seratus hari, maka berhak untuk menerima pinangan
laki-laki lain dan si suami itu apabila telah kembali, tidak berhak lagi
terhadap bekas isterinya.
Meilani tinggal menjadi janda kembang sampai
berbulan-bulan, dan akhirnya ia jatuh hati juga kepada seorang pemuda yang baru
saja datang dari perantauan, yaitu seorang pemuda pemburu yang gagah berani
bernama Manoko. Ketika Manoko mengajukan pinangan, maka pinangan itu diterima.
Akan tetapi, pada saat itu datanglah seorang pemuda keponakan Sanoko sendiri
yang semenjak kecil telah merantau ke daerah selatan dan telah mempelajari
silat dari seorang guru bangsa Han. Ketika pemuda yang bernama Saliban ini
datang, maka semua orang mengaguminya karena ia memang benar-benar pandai dan
berilmu silat tinggi. Semua jago-jago Haimi jatuh dalam tangannya, juga
orang-orang Haimi banyak yang membencinya, karena tenyata bahwa keponakan dari
Sanoko itu beradat buruk, jahat, dan sombong sekali. Ia bertingkah meniru lagak
orang-orang Han, bahkan ia tidak memelihara kumis dan cambang seperti orang
Han, dan bicara pun ia selalu mempergunakan bahasa Han! Semenjak datang dan
tinggal bersama bangsa sendiri, telah seringkali Saliban mengganggu anak bini
orang, dan semenjak ia datang, ia menaruh hati kepada Meilani, saudara misannya
itu. Ia tidak mau atau memang ia tidak suka mengikat diri dengan sebuah pernikahan
dan niatnya hanya hendak menjadikan Meilani sebagai kekasihnya saja! Tentu hal
ini tidak dapat diterima oleh Meilani yang memang menaruh hati benci kepada
pemuda yang berlagak menjemukan itu.
Ketika pinangan Manako diterima, Saliban
menjadi marah sekali dan ia lalu menggunakan kepandaian dan pengaruhnya untuk
menghasut kawan-kawannya dan mengadakan pemberontakan. Hai ini terjadi pada
hari kawin Meilani dengan Manako. Tiba-tiba saja, Saliban menyerang dan terjadi
pertempuran hebat di antara bangsa sendiri. Pengikut-pengikut Sanoko tak kuat
melawan Saliban hingga banyak yang menjadi korban, sedangkan Manoko sendiri
terluka pada pundaknya dan melarikan diri ke dalam hutan. Sanoko dan Meilani
setelah mengadakan perlawanan hebat, ternyata tak kuat menghadapi Saliban yang
tangguh itu, maka mereka melarikan diri, dikejar-kejar oleh Saliban dan
kawan-kawannya yang bermaksud membunuh Sanoko, mengangkat diri sendiri menjadi
kepala suku dan memaksa Meilani menjadi kekasihnya!
Bukan main marahnya hati Cin Hai dan Lin Lin
mendengar penuturan ini, dan pada saat Sanoko mengakhiri cerita-ceritanya,
tiba-tiba terdengar sorakan ramai dari depan.
“Itulah mereka telah datang, biarlah aku dan
anakku mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan!” kata Sanoko
sambil bangun berdiri dan memegang pedangnya dengan sikap gagah. Juga Meilani
telah mencabut pedangnya dan bersiap sedia.
“Duduklah, Lo-enghiong, dan kau juga, Meilani.
Biarlah aku yang menghadapi bangsat-bangsat itu!” kata Lin Lin dengan gagahnya.
Meilani dan Sanoko ragu-ragu, akan tetapi Cin
Hai berkata, “Benar, Lo-enghiong, biarkan tunanganku itu menghadapi Saliban.
Kau dan Nona Meilani sudah lelah, mengasolah sambil menonton!” Mendengar
kata-kata itu, mundurlah kedua orang ini dan membiarkan Lin Lin seorang diri
menghadapi Saliban. Benar saja, yang datang itu adalah serombongan orang Haimi
terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh seorang pemuda Haimi yang
berpakaian seperti orang Han dan yang lagaknya sombong sekali. Melihat betapa
orang-orang Haimi yang masih muda-muda itu semuanya memelihara kumis yang
melintang di bawah hidung dan menjungat ke atas tak dapat ditahan lagi Lin Lin
tertawa geli, sedangkan Cin Hai tak terasa lagi meraba-raba kulit bawah
hidungnya yang masih halus dan belum ditumbuhi kumis itu.
Saliban melihat betapa seorang gadis Han yang
cantik luar biasa dengan sikap gagah menghadang di jalan, sedangkan Sanoko dan
Meilani duduk di bawah pohon seakan-akan dilindungi oleh gadis itu, menjadi
terheran-heran dan melihat kecantikan Lin Lin, timbullah sikap kurang ajarnya.
Ia tersenyum dibuat-buat dan berkata,
“Nona cantik, apakah kau sudah mendengar nama
Saliban yang gagah perkasa sehingga sengaja kau datang menyambutku untuk
berkenalan?”
“Jadi inikah tikus yang bernama Saliban? Eh,
tikus, apa maksudmu mengejar Sanoko dan Meilani?” berkata Lin Lin dengan suara
mengejek.
“Lin-moi, dia itu bukan tikus! Lihat saja dia
tidak berkumis, mungkin kumisnya itu ia sembunyikan di belakang menjadi ekor!
Dia ini lebih cocok dibuat monyet buduk!” kata pula Cin Hai untuk mengejek
orang itu.
Bukan main marahnya Saliban mendengar
ejekan-ejekan ini dan lenyaplah maksudnya hendak mengganggu Lin Lin, berubah
menjadi kebencian besar.
“Darimana datangnya dua ekor anjing kurang
ajar?” ia membalas memaki dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang piauw
menyambar ke arah Cin Hai yang sedang duduk di bawah pohon dan sekali lagi
tangannya bergerak, maka sebatang piauw lain menyambar ke leher Lin Lin!
Dengan tenang Cin Hai memungut ranting kayu
yang terletak di dekatnya dan ketika piauw itu menyambar ke arahnya, ia
menggerakkan ranting itu dan sekaligus piauw itu kena dipukul sedemikian rupa
sehingga piauw itu membuat gerakan membalik dan kini meluncur kembali ke arah
kaki Saliban!
Sementara itu, piauw yang meluncur ke arah
leher Lin Lin, disambut dengan sikap dingin oleh gadis itu. Ketika piauw
menyambar, ia lalu mengulur tangan dan berhasil menjepit piaiuw itu di antara
jari-jari tangannya, lalu melihat betapa piauw yang melayang ke arah Cin Hai telah
di”retour” oleh pemuda itu, ia menanti sampai piauw itu melayang ke kaki
Saliban dan melihat Saliban meloncat naik untuk mengelak dari sambaran piauwnya
sendiri, Lin Lin tersenyum dan ia pun lalu menyambitkan piauw yang ditangkapnya
tadi ke arah kaki Saliban lagi yang justeru hendak turun. Terpaksa Saliban
melompat lagi ke atas sehingga ia telah berlompat-lompatan dua kali untuk
menghindarkan diri dari sambaran piauwnya sendiri!
“Ha-ha-ha! Lihat, benar-benar ia monyet yang
pandai menari-nari!” Cin Hai tertawa sambil menuding ke arah Saliban, sedangkan
Lin Lin juga tertawa mengejek. Sanoko dan Meilani terpaksa ikut tersenyum
melihat kejenakaan dua orang muda yang ternyata dapat mempermainkan Saliban
itu. Meilani diam-diam merasa kagum sekali melihat Lin Lin yang mempunyai cara
demikian indah untuk menerima sambitan piauw dari jarak dekat dan
mengembalikannya ke arah kaki lawan hanya untuk mempermainkannya.
Saliban makin marah dan ia lalu mencabut
pedangnya sambil berseru,
“Bangsat-bangsat kurang ajar! Kau mencampuri
urusan suku bangsa lain?”
“Saliban, orang rendah! Jangan kau membuka
mulut besar! Kami memang selalu mencampuri urusan orang-orang biadab macam kau
yang hendak mengandalkan kejahatan untuk mencelakakan orang, Kau sungguh tidak
tahu malu. Meilani tidak suka menjadi permainanmu, mengapa kau memaksa?”
“Meilani adalah adik misanku. Dia telah
menjadi janda dan memalukan sekali kalau ia menerima pinangan orang lain! Itu
berarti merendahkan nama keluarga kami! Kau berhak apakah mencampuri urusan
rumah tangga kami?”
“Dengarlah!” bentak Lin Lin dengan marah.
“Meilani adalah Kakak iparku karena ia adalah janda dari kakakku Kwee An.
Kakakku dan aku pun sudah setuju kalau ia menikah lagi dengan orang yang
dipilihnya sendiri atas persetujuan Ayahnya, kau ini mempunyai hak apa maka
berani menghalanginya?”
“Bagus, kalau begitu biarlah kalian
kubinasakan semua!” Sambil berkata demikian Saliban lalu maju menubruk dan
menyerang dengan pedangnya ke arah Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin dengan tenang
sekali menghadapinya dengan tangan kosong.
“Adik Lin Lin, kaupergunakan pedangku ini!”
kata Meilani karena merasa kuatir melihat betapa gadis itu menghadapi Saliban
yang lihai dengan tangan kosong saja, akan tetapi Lin Lin menoleh dan tersenyum
kepadanya sambil menjawab,
“Untuk menghadapi seekor tikus… eh, monyet
macam ini perlu apakah harus mempergunakan pedang? Tanganku cukup untuk
merobohkannya!”
Juga Cin Hai yang melihat gerakan Saliban
walaupun cukup lihai namun masih belum cukup berbahaya bagi Lin Lin, berkata
kepada Meilani, “Tenanglah, Nona. Lin-moi cukup kuat menghadapinya dengan
tangan kosong.”
Sementara itu, Saliban yang merasa terhina
sekali oleh ucapan Lin Lin, dengan nekat lalu menyerang sambil mencurahkan
seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi, sambil menari-nari dan
mempergunakan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang telah dipelajarinya. Lin Lin
mempermainkan Saliban, sehingga Meilani memandang bengong. Bagaimana mungkin
menghadapi seorang tangguh seperti Saliban itu dengan menari-nari macam itu?
Kawan-kawan Saliban maju mengeroyok Lin Lin,
akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu beberapa
buah senjata di tangan mereka melayang dan terpental ke mana-mana. Ternyata Cin
Hai yang melihat gerakan mereka telah mendahului dan sekali bergerak saja ia
telah membuat pedang dan golok mereka terlepas dari pegangan! Orang-orang Haimi
itu terkejut sekali dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kembali
tubuh Cin Hai berkelebat dan bergerak dan terdengar jerit kesakitan
berkali-kali dan ketika mereka semua meraba ke arah hidung mereka yang terasa
sakit dan perih, ternyata bahwa Cin Hai telah menggunakan kecepatan gerakannya
untuk mencabuti kumis-kumis mereka itu seorang demi seorang!
Sambil melemparkan rambut-rambut kumis itu ke
udara sehingga beterbangan tertiup angin, Cin Hai tertawa-tawa sehingga Meilani
yang melihat hal ini tak kuasa lagi menahan geli hatinya dan tertawa
terkekeh-kekeh. Sanoko yang melihat kehebatan gerakan itu dengan kepala pening,
juga tersenyum dan di dalam hatinya ia merasa kasihan juga kepada anak buahnya
yang memberontak itu karena bagi seorang laki-laki Haimi, dicabut kumisnya sama
dengan dicabut kepalanya dari leher!
“Kalian yang memberontak dan mengikuti bangsat
Saliban, tak pantas berkumis lagi!” kata Cin Hai sambil memandang kepada
belasan orang yang kita telah kehilangan kumisnya itu. Mereka menundukkan
kepala sambil menutupi hidungnya yang berdarah itu, dan merasa amat malu karena
tanpa kumis bagi mereka hampir sama dengan berdiri telanjang dihadapan orang
lain!
“Kalau kalian sayang jiwa, hayo berlutut minta
ampun kepada kepala suku yang asli, yaitu Sanoko!” teriak Cin Hai lagi.
Orang-orang itu telah merasai kelihaian Cin Hai, dan kini mereka tak berani
membantah lagi, lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Sanoko
yang berdiri sambil memandang dengan kagum kepada Cin Hai. Sementara itu,
Saliban telah merasa pening karena dipermainkan oleh Lin Lin, dan ketika gadis
itu sudah merasa cukup puas mempermainkan Saliban, tiba-tiba ia mengubah
gerakannya dan kini ia mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na yang lihai, ilmu
silat yang diajarkan oleh Bu Pun Su!
Saliban terkejut sekali ketika tubuh gadis itu
melompat tinggi dan menyambar-nyambar dari atas bagaikan seekor burung besar menyerang
marah. Ia menyabet dengan pedangnya, ditotok oleh Lin Lin dan sebelum ia tahu
bagaimana hal itu bisa terjadi tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan! Ia
merasa terkejut dan hendak melompat pergi, akan tetap kaki Lin Lin telah
mendahuluinya menendang pundaknya dari atas hingga tak ampun lagi ia terguling
roboh sambil mengeluh kesakitan karena sambungan tulang pundaknya telah
terlepas.
Sanoko melihat keponakannya yang jahat itu
sudah roboh, lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin dan mintakan ampun untuk jiwa
Saliban, sehingga Cin Hai dan Lin Lin merasa kagum akan kemurahan hati kepala
Suku ini.
“Saliban,” kata Cin Hai kepada pemuda Haimi
itu, “dengarlah betapa pamanmu mintakan ampun untuk kau yang telah memberontak
dan berbuat jahat terhadapnya. Tidak malukah kau? Orang seperti engkau ini
seharusnya dibinasakan, karena selain berbuat jahat, kau pun telah merusak nama
baik Suhumu yang tentu seorang Han adanya. Kau tidak lekas minta ampun?”
Melihat kelihaian Lin Lin dan Cin Hai, Saliban
insyaf bahwa ilmu kepandaiannya sebetulnya masih amat rendah dan ia merasa malu
dan menyesal, maka sambil merayap ia berlutut minta ampun kepada pamannya dan
bersumpah takkan mengulang perbuatannya lagi.
Pada saat itu, dari jauh mendatangi
serombongan orang Haimi yang dipimpin oleh Manako. Pemuda ini walaupun sudah
terluka pundaknya, namun dengan nekat ia mengumpulkan kawan-kawan dan menyusul
untuk menyerbu Saliban dan menolong calon isteri dan mertuanya. Juga Manako
memaafkan Saliban, sedangkan Cin Hai dan Lin Lin diam-diam memuji ketampanan
dan kegagahan Manako, hanya mereka diam-diam menyayangkan bahwa anak muda ini
belum pantas memakai cambang yang demikian tebal dan panjangnya.
Setelah bercakap-cakap dan beramah tamah
dengan orang-orang Haimi serta meninggalkan banyak nasihat kepada Saliban, Cin
Hai dan Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke timur.
Ketika mereka berdua tiba di Pegunungan
Lian-ko-san yang tak jauh lagi dari Gua Tengkorak, tinggal sehari perjalanan
lagi, dan sedang berjalan melalui sebuah padang rumput, tiba-tiba muncul tiga
orang yang membuat mereka terkejut dan bersiap sedia, karena tiga orang itu
bukan lain ialah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Tiga orang
ini yang telah dikalahkan oleh Bu Pun Su, maklum bahwa anak-anak muda yang
menjadi musuh mereka itu masih berada di barat, maka sengaja mereka menghadang
di situ untuk membalas dendam. Ketika Bu Pun Su lewat di situ, mereka
bersembunyi saja tidak berani keluar, akan tetapi setelah kini melihat
kedatangan Cin Hai dan Lin Lin, mereka muncul dan menghadang di jalan dengan
hati penuh dendam, terutama sekali Bo Lang Hwesio yang hendak membalas dendam
kepada Lin Lin atas kematian muridnya dahulu, yaitu Boan Sip yang menjadi gara
gara semua permusuhan.
Cin Hai berlaku tenang-tenang saja juga Lin
Lin dengan tabah dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri berdiri di sebelah
kiri kekasihnya dan memandang tajam kepada musuh-musuh besar itu.
“Eh, kiranya Sam-wi Lo-suhu yang berada di
sini. Tidak tahu mempunyai maksud apakah maka menghadang perjalanan kami?” kata
Cin Hai dengan sikap hormat.
“Pendekar Bodoh! Telah berkali-kali kau dan
kawan-kawanmu memusuhi dan menghalangi kami, bahkan Suhumu sendiri telah
menghina kepada kami. Sekarang kebetulan kita bertemu di sini, masih hendak
bertanya tentang maksud kami? Cabutlah senjatamu dan biarlah saat ini akan
menentukan siapa diantara kita yang lebih kuat!” kata Thai Kek Losu kepada Cin
Hai, sedangkan Bo Lang Hwesio dengan mata memandang marah membentak kepada Lin
Lin.
“Dan kau tentu masih ingat akan dosamu
membinasakan muridku, maka sekarang aku hendak membalas dendam. Hutang jiwa ya
harus membayar jiwa pula!” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio mengeluarkan
sepasang poan-koan-pit.
Lin Lin sudah mendengar tentang pertempuran
tokoh-tokoh besar ini melawan Bu Pun Su, maka melihat poan-koan-pit itu, ia
menyindir,
“Bo Lang Hwesio, agaknya kau telah mencuri
sepasang poan-koan-pit baru, apakah yang dulu telah tak dapat digunakan pula?”
Marahlah Bo Lang Hwesio mendengar ini, maka
sambil menerjang maju ia membentak lagi, “Perempuan rendah, bersedialah untuk
mampus!”
Lin Lin dengan tenang lalu mencabut keluar
Han-le-kiam dari pinggangnya dan menyampok poan-koan-pit lawan yang
menyerangnya, kemudian secepat kilat ia pun balas menyerang dengan hebat.
Sementara itu, Thai Kek Losu telah
mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu tengkorak kecil itu yang kini telah
diperbaikinya dan diganti rantai yang mengikatnya, sedangkan Sian Kek Losu juga
mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang gendewa. Juga gendewanya
yang telah dipatahkan oleh Bu Pun Su itu kini telah digantinya dengan sebatang
gendewa yang baru, terbuat daripada besi kuning.
Cin Hai maklum akan kelihaian senjata-senjata
lawannya, maka ia pun tidak mau berlaku sungkan lagi dan mencabut keluar
sepasang pedangnya Liong-cu-kiam yang panjang dan pendek, dipegang pada kedua
tangannya. Kedua Pendeta Sakya Buddha itu terkejut melihat sepasang pedang yang
mengeluarkan cahaya gemilang itu, maka mereka maklum bahwa sepasang pedang itu
tentu pedang-pedang pusaka yang ampuh dan tajam, mereka lalu membentak dan
mendahului menyerang dengan hebat. Cin Hai memperlihatkan kegesitannya dan
melawan dengan tenang dan waspada. Ia melihat betapa gerakan Thai Kek Losu jauh
lebih gesit daripada dulu, agaknya pendeta itu telah melatih diri selama ini,
sedangkan gerakan Sian Kek Losu juga hebat sekali. Untung ia mempergunakan
sepasang pedang Liong-cu-kiam yang tajam sehingga kedua lawannya tak berani
menahan pedangnya dengan senjata mereka hingga serangan kedua orang itu dapat
dibalas dengan serangan-serangan kilat yang cukup membuat kedua lawannya
berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa murid Bu Pun Su ini tidak boleh
dibuat gegabah!
Sementara itu, pertempuran antara Lin Lin dan
Bo Lang Hwesio juga berjalan seru sekali. Ilmu Pedang Han-le-kiam memang luar
biasa dan cepat sedangkan kini Lin Lin telah memperoleh kemajuan hebat dan
bahkan telah melatih diri dengan limu Silat Pek-in-hoatsut dan
Kong-ciak-sin-na, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio yang sudah jauh lebih
berpengalaman dan ulet itu, ia mendapatkan lawan yang amat kuat dan tangguh.
Sepasang poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio menyambar-nyambar ke arah jalan
darah yang berbahaya dan juga tiap kali pedang Han-le-kiam kena disampok oleh
poan-koan-pit, Lin Lin merasa betapa telapak tangannya menggetar karena tenaga
hwesio itu ternyata lebih besar sedangkan ilmu lweekangnya pun lebih tinggi
dari pada Lin Lin. Maka gadis ini yang tahu akan keadaan itu lalu mempergunakan
kelincahannya dan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari desakan
poan-koan-pit, sedangkan jurus-jurus berbahaya yang ia keluarkan dari ilmu
pedangnya membuat Bo Lang Hwesio diam-diam merasa terkejut juga.
Alangkah beda tingkat ilmu pedang gadis ini
dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu ketika ia dan Ke Ce menyerbu ke
atas bukit tempat tinggal Yousuf dan berhasil menjatuhkan Kwee An dan Ma Hoa ke
dalam jurang. Ketika dulu itu, walaupun ilmu pedang gadis ini sudah aneh dan
luar biasa, akan tetapi gerakannya belum sematang ini. Maka hwesio itu lalu
mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga setelah bertempur lama, Lin-Lin
merasa terdesak juga!
Adapun Cin Hai yang dikeroyok dua oleh Thai
Kek Losu dan Sian Kek Losu, biarpun belum terdesak, namun sukar pula baginya
untuk mendesak kedua lawannya yang berilmu tinggi. Terutama sekali tengkorak di
tangan Thai Kek Losu amat berbahaya karena Cin Hai tidak berani menangkisnya
dengan pedang. Ia maklum bahwa tengkorak itu amat berbahaya dan apabila
ditangkis akan menyebarkan jarum-jarum beracun yang lihai sekali. Juga gendewa
di tangan Sian Kek Losu bukanlah senjata yang mudah dilawan biarpun ia dapat
menduga ke mana gerakan gendewa itu akan dilancarkan. Maka untuk menghadapi
kedua lawan yang tangguh ini, Cin Hai memainkan dua macam ilmu pedang dengan
kedua tangannya. Pedang panjang di tangan kanan ia mainkan dengan jurus-jurus
dari Ilmu Pedang Daun Bambu, sedangkan pedang pendek di tangan kiri ia mainkan
Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiam-hwat, maka kedua pendeta Sakya Buddha itu
benar-benar merasa terkejut dan mengadakan perlawanan dengan mati-matian.
Mereka harus mengakui bahwa selain Bu Pun Su, belum pernah mereka menemukan
tandingan seorang pemuda yang demikian tinggi ilmu silatnya!
Pada saat pertempuran sedang berjalan dengan
seru, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang ringan sekali gerakannya dan
laki-laki ini membentak marah,
“Pendeta-pendeta pada dewasa ini hanya
mempergunakan pakaian sebagai kedok belaka, akan tetapi di dalam tubuh
mengandung iman yang bobrok dan batin yang rendah! Jangan kalian, berani
mengganggu murid seorang sakti dan mulia seperti Bu Pun Su!” Kemudian laki-laki
itu menarik keluar pedangnya dan menerjang Bo Lang Hwesio sambil berkata kepada
Lin Lin.
“Nona, kaubantulah kawanmu itu dan biarkan Si
Gundul ini tewas dalam tanganku.”
Lin Lin mendengar suara ini diucapkan dengan
halus dan sopan akan tetapi mengandung pengaruh besar, maka ia lalu
meninggalkan Bo Lang Hwesio dan melompat untuk membantu Cin Hai.
Lin Lin maklum bahwa ilmu kepandaian Thai Kek
Losu terlampau tinggi baginya, maka ia lalu menyerang Sian Kek Losu! Memang
perhitungannya tepat karena di antara ketiga orang lawan yang paling lihai dan
amat berbahaya untuk dilawan adalah Thai Kek Losu. Bo Lang Hwesio memiliki ilmu
kepandaian yang hanya sedikit berada di bawah kepandaian pendeta Sakya Buddha
ini, bahkan di dalam hal lweekang, mungkin Bo Lang Hwesio lebih tinggi
tingkatnya! Adapun Sian Kek Losu hanya memiliki tenaga besar saja dan ilmu
silatnya biarpun tinggi, namun tidak selihai kedua orang kawannya itu.
Kini pertempuran terpecah menjadi tiga dan
keadaan berubah dengan cepatnya. Orang yang baru datang tadi dengan ilmu
pedangnya yang luar biasa cepat dan aneh gerakannya, segera berhasil mendesak
Bo Lang Hwesio. Ketika Lin Lin dan Cin Hai mendapat kesempatan memandang ke
arah orang itu, hampir saja mereka berseru karena heran dan kagum. Ternyata
ilmu pedang yang dimainkan oleh orang itu mempunyai dasar-dasar gerakan yang
sama dengan jimu silat mereka! Lin Lin teringat akan penuturan Ma Hoa ketika
bertemu dengannya di dalam gua bersama Ang I Niocu, maka sambil menangkis
serangan gendewa di tangan Sian Kek Losu ia berseru,
“Enghiong yang gagah bukankah Lie-enghiong
tunangan Ang I Niocu?”
Orang itu tersenyum dan sambil menangkis
poan-koan-pit dari Bo Lang Hwesio ia menjawab,
“Betul, dan Ji-wi tentulah Nona Lin Lin dan
Saudara Cin Hai!”
Mendengar percakapan ini, Cin Hai merasa heran
sekali. Hal ini merupakan “surprise” baginya, yaitu merupakan hal yang sama
sekali tak pernah diduga-duganya. Tunangan Ang I Niocu? Dan demikian gagah
perkasa? Hatinya menjadi girang dan ia ingin sekali cepat-cepat mengakhiri
pertempuran ini agar supaya dapat bercakap-cakap dengan orang yang memiliki
ilmu kepandaian yang sama dengan kepandaiannya sendiri. Ia dulu mendengar bahwa
Ang I Niocu ditolong oleh Lie Kong Sian, akan tetapi Dara Baju Merah itu tidak
menceritakan bahwa ia telah menjadi tunangan Lie Kong Sian. Ia maklum bahwa
orang ini adalah Suheng dari Song Kun, maka boleh dibilang masih suhengnya
sendiri pula!
Lin Lin dengan limu Pedang Han-lekiam-liwat
dapat mendesak Sian Kek Losu dan pada saat gendewa di tangan Sian Kek Losu
menangkis dengan sekuat tenaga untuk membuat pedang pendek di tangan Lin Lin
terpental, gadis itu dengan amat cerdik dan cepatnya lalu menarik kembali
pedangnya dan melihat lowongan yang terbuka segera menggunakan gerak tipu Ang I
Memetik Kembang, langsung pedangnya ditusukkan ke arah iga lawan di bawah
lengan yang memegang gendewa. Sian Kek Losu berusaha mengelak, akan tetapi
gerakan Lin Lin itu luar biasa cepatnya dan juga tidak diduganya semula, maka
tiada ampun lagi pedang Han-le-kiam yang tajam itu dengan jitu menusuk dadanya
dari bawah lengan! Sian Kek Losu menjerit, gendewanya terlepas, tubuhnya
sempoyongan lalu roboh dan tewas pada saat itu juga!
Juga Bo Lang Hwesio yang sudah tak tahan
menghadapi Lie Kong Sian, dengan nekat lalu memutar-mutar poan-koan-pit di
tangannya dan menyerang bagaikan harimau terluka yang sudah nekat hendak
mengadu jiwa. Lie Kong Sian mengurungnya dengan sinar pedang hingga kini Bo
Lang Hwesio terpaksa mempergunakan lweekangnya untuk mengerahkan tenaga pada
kedua senjatanya, menangkis sambil terdesak mundur. Ujung pedang Lie Kong Sian
berkelebat cepat mengarah tenggorokannya dan Bo Lang Hwesio lalu membuat
gerakan nekat yang hendak memberi pukulan maut tanpa peduli akan keselamatan
sendiri. Ketika pedang itu meluncur ke arah lehernya, ia hanya miringkan kepala
sedikit dan berbareng mengirim tusukan dengan sepasang poan-koan-pit ke arah dada
Lie Kong Sian. Kalau Lie Kong Sian meneruskan serangannva dengan membalikkan
pedang, maka ia pun akan termakan oleh sepasang poan-koan-pit itu dan keduanya
pasti akan tewas! Akan tetapi tentu saja Lie Kong Sian tidak mau diajak mati
bersama, maka ia berseru keras dan menggerakkan tangan kirinya yang
mengeluarkan uap putih. Ternyata ia telah menggunakan gerakan dari Ilmu Silat
Pek-in-hoat-sut untuk menangkis tusukan poan-koan-pit itu! Sedangkan pedangnya
ia teruskan dengan bacokan ke arah leher lawan!
Bo Lang Hwesio merasa girang melihat ini
karena ia telah mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya yang tinggi ke arah
tangan yang memegang senjata, maka ia merasa pasti bahwa tusukannya akan
menewaskan musuh. Tak tahunya, ketika tangan kiri Lie Kong Sian menyampok,
poan-koan-pitnya kena disampok terpental oleh tenaga yang luar biasa hingga ia
merasa terkejut sekali. Pada saat itu pedang Lie Kong Sian telah datang
menyambar. Bo Lang Hwesio berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Ia menjerit
keras dan roboh mandi darah dengan leher hampir putus oleh pedang Lie Kong
Sian!
Kini Lin Lin dan Lie Kong Sian melihat
pertempuran yang terjadi antara Cin Hai dan Thai Kek Losu dengan serunya. Thai
Kek Losu yang harus menghadapi Cin Hai seorang diri, merasa jerih sekali karena
ia pernah merasai kelihaian pemuda ini. Melihat betapa Sian Kek Losu dan Bo
Lang Hwesio sudah tewas, ia menjadi nekat dan menyerang Cin Hai dengan
mati-matian. Tengkorak kecil di tangan diputar-putar bagaikan maut sendiri
terbang berkeliaran mencari korban.
Adapun Cin Hai yang pernah menghadapi That Kek
Losu, bahkan dulu hampir saja merasa celaka karena pengaruh racun jahat yang
keluar dari tengkorak itu, bersilat dengan amat hati-hati. Sebegitu jauh ia
belum berani membacok tengkorak itu, kuatir kalau-kalau racun jahat dan
senjata-senjata rahasia di dalam tengkorak itu akan menyambar keluar dan
biarpun ia akan dapat mengelak namun hawa beracun yang luar biasa itu masih
tetap merupakan bahaya besar. Dulu pun baru lewat dekat mukanya saja dan ia mencium
bau racun, ia telah terkena celaka dan kalau tidak kebetulan bertemu dengan
suhunya, tentu ia telah binasa.
Melihat keragu-raguan kekasihnya Lin Lin
hendak maju membantu, akan tetapi Cin Hai melarangnya. “Mundurlah Lin-moi,
sekarang juga aku akan merobokannya. Lihat!”
Lin Lin melompat mundur kembali dan pada saat
itu tengkorak kecil menyambar ke arah Cin Hai dengan mulut di depan seakan-akan
hendak mencium muka pemuda itu. Cin Hai tidak mengelak, hanya memandang dengan
tajam dan kedua pedang di tangannya siap sedia.
Ketika tengkorak itu telah datang dekat,
tiba-tiba pedang pendek di tangan kirinya menyambar dari samping dengan miring,
yaitu ia tidak menggunakan tajamnya pedang untuk membacok, hanya menggunakan
permukaan pedang untuk menampar dari samping dengan tenaga yang diatur
sedemikian rupa hingga tengkorak itu kena ditampar dan terbalik, kini mukanya
menghadap kepada Thai Kek Losu. Secepat kilat pedang Cin Hai di tangan kanan
membacok tengkorak itu dari belakang sambil menggunakan tenaga lweekang
sekerasnya dan ketika terdengar suara ledakan yang terjadi ketika tengkorak itu
kena bacok, Cin Hai segera melompat jauh dan kebetulan sekali Lin Lin pada saat
itu berdiri dekat, maka Cin Hai segera menyambar lengan kekasihnya dan
dibawanya melompat juga!
Memang Cin Hai telah berlaku hati-hati dan hal
ini ada baiknya bagi dia dan Lin Lin, karena kalau ia tidak bertindak cepat,
mungkin mereka akan terancam bahaya. Pada waktu tengkorak itu meledak, tidak
saja dari mulut, hidung dan matanya keluar jarum-jarum beracun yang amat jahat
dan yang kesemuanya melayang ke arah Thai Kek Losu, akan tetapi setelah semua
jarum habis tengkorak itu sendiri meledak dan pecah berhamburan menjadi
potongan-potongan kecil yang menyambar ke sekelilingnya. Potongan ini tak boleh
dipandang rendah, karena setiap potongan kecil mengandung racun jahat dan
apabila melukai kulit, akan membahayakan jiwa yang terluka!
Thai Kek Losu yang tadinya sudah merasa girang
melihat Cin Hai berani membacok tengkorak itu, menjadi terkejut sekali ketika
melihat betapa semua senjata rahasia yang keluar dari tengkorak yang telah
terbalik itu menyambar ke arahnya! Ia hendak mengelak pergi, akan tetapi
terlambat. Beberapa batang jarum telah mengenai tubuhnya dan tanpa berteriak
lagi ia roboh dan tewas oleh jarum-jarumnya sendiri!
Lie Kong Sian juga melompat pergi ketika
ledakan tengkorak terjadi, dan ia lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin.
“Sute dan Sumoi, kalian benar-benar gagah
perkasa. Apakah Supek Bu Pun Su sehat-sehat saja?” katanya sambil tersenyum
tenang.
Melihat sikap orang ini, baik Lin Lin maupun
Cin Hai merasa tertarik dan suka. Sikap Lie Kong Sian polos, jujur, dan
sederhana sekali, hampir sama dengan sikap Bu Pun Su.
Setelah menjura dan memberi hormat, Cin Hai
lalu memegang tangan Lie Kong Sian dengan girang dan berkata, “Dia sehat,
Suheng, telah lama aku mendengar tentang namamu yang besar. Alangkah senangnya
hatiku dapat bertemu dengan kau, apalagi karena mendengar tadi bahwa kau telah
bertunangan dengan Ang I Niocu!”
Kembali Lie Kong Sian tersenyum. “Aku memang
sedang mencarinya, di manakah dia?”
Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan
menceritakan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain mendapat tugas dari Bu
Pun Su untuk membagi-bagikan harta pusaka kepada rakyat miskin.
“Lie-suheng, ada berita girang untukmu,”
tiba-tiba Lin Lin yang lincah dan jenaka itu berkata kepada Lie Kong Sian
sambil menatap wajah pemuda yang tenang dan tampan itu.
Lie Kong Sian sudah mendengar dari Ang I Niocu
tentang kejenakaan gadis ini dan ia tahu bahwa tunangannya amat mengasihinya
maka sambil tertawa ia berkata, “Sumoi, kau tentu akan menggodaku. Silakanlah,
apakah berita girang yang kaumaksudkan?”
“Aku telah mendengar tentang syarat-syarat
yang diajukan oleh Enci Im Giok kepadamu dan...”
“Eh, eh, dari mana kau bisa mengetahui hal
itu?” Lie Kong Sian memotong sambil memandang heran, akan tetapi ia tidak marah
karena bibirnya tetap tersenyum.
“Dari Enci Ma Hoa.”
Lie Kong Sian mengangguk-angguk dan Lin Lin
melanjutkan bicaranya, “Dan sekarang, dua daripada tiga syarat itu telah
terpenuhi. Aku dan Engko Hai telah bertemu kembali sebagaimana yang diharapken
oleh Enci Im Giok, dan syarat ke dua pun telah terlaksana.”
Lie Kong Sian menatap wajah Lin Lin dengan
tajam, kini senyumnya menghilang. “Sumoi, apa maksudmu? Syarat yang mana? Lekas
kauceritakan padaku!”
“Sutemu yang jahat itu telah tewas dalam
tangan Hai-ko!”
“Apa???” Wajah Lie Kong Sian menjadi pucat
sekali dan dua butir air mata menitik turun. Ia memandang kepada Cin Hai yang
berdiri sambil menundukkan kepala karena pemuda ini pun telah mendengar betapa
besar cinta kasih Lie Kong Sian terhadap Song Kun. Sikap dan wajah Cin Hai ini
membuat hati Lie Kong Sian lemah kembali. Kalau saja yang membunuh Song Kun
bukan pemuda ini, pasti ia akan menjadi marah dan membalas dendam. Akan tetapi,
pemuda ini adalah sutenya sendiri pula, murid Bu Pun Su yang tidak saja
kepandaiannya lebih tinggi daripada dirinya sendiri, akan tetapi pemuda ini
adalah seorang pemuda yang dicinta oleh Ang I Niocu.
“Sute, kau benar-benar lihai sekali. Tak
sembarang orang dapat merobohkan Song Kun, bahkan terus terang saja, aku
sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Coba kaututurkan bagaimana hal itu
terjadi.”
“Maafkan aku banyak-banyak, Lie-suheng. Memang
dia lihai sekali dan andaikata dia tidak tersesat dan menjadi seorang jahat,
mungkin aku pun takkan dapat mengalahkannya. Akan tetapi, kejahatan pasti akan
hancur dan kalah pada akhirnya.”
Kemudian ia lalu menceritakan tentang
pertempurannya dengan Song Kun yang disaksikan oleh Bu Pun Su dan menuturkan
pula betapa Song Kun telah mencuri obat dan menggunakan obat itu untuk
mengancam dan hendak mengganggu Lin Lin. Mendengar ini, semua, Lie Kong Sian
menarik napas panjang. “Sayang betapapun gagah seseorang, apabila ia tidak
memiliki kesempurnaan budi, ia menjadi orang yang sehina-hinanya dan
serendah-rendahnya dan akhirnya orang itu pasti akan mengalami bencana besar
dalam hidupnya.”
“Kau benar, Suheng,” kata Cin Hai dan Lin Lin
hampir berbareng.
“Dan sekarang kalian hendak pergi ke manakah?”
“Kami hendak pergi ke Gua Tengkorak, tempat
tinggal Suhu Bu Pun Su,” jawab Cin Hai.
“Bagus! Aku pun ingin sekali bertemu dengan
orang tua itu.” kata Lie Kong Sian.
“Untuk memenuhi syarat ke tiga, bukan Suheng?”
Lin Lin menggoda dan Lie Kong Sian mengangguk-angguk sambil tersenyum den
memandangnya.
“Kau benar-benar nakal, Sumoi.” Ketiganya lalu
tertawa.
“Sebelum kita pergi, lebih dulu marilah kita
mengubur jenazah tiga orang ini.” Mendengar ucapan Lie Kong Sian ini, Lin Lin
dan Cin Hai merasa kagum dan diam-diam memuji keluhuran budi tunangan Ang I
Niocu itu. Cin Hai makin merasa girang bahwa Ang I Niocu mendapat calon suami
yang selain gagah perkasa, juga berbudi tinggi.
Jenazah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu den Bo
Lang Hwesio lalu mereka kubur dengan baik-baik, menjadi tiga gundukan tanah
berjajar dan sebagai tandanya, Lie Kong Sian memindahkan tiga batang pohon
Siong yang masih kecil, ditanam di depan kuburan-kuburan itu.
Matahari telah menurun ke barat ketika mereka
bertiga selesai melakukan pekerjaan itu dan kemudian melanjutkan perjalanan
menuju ke Gua Tengkorak.
Kita ikuti perjalanan Ang I Niocu yang
bertugas membagi-bagikan sekantung harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang
miskin. Oleh karena Dara Baju Merah ini memang sudah biasa melakukan perjalanan
seorang diri, dan pula untuk membagi-bagi harta benda itu memang seharusnya
berpencar, maka ia lalu memisahkan diri dan berjanji akan saling bertemu dengan
kawan-kawannya ini di rumah Lin Lin di Tiang-an sebagai tempat tujuan terakhir.
Mereka saling berpesan bahwa apabila bertemu dengan Cin Hai dan Lin Lin, harus
memberi tahu bahwa kedua teruna remaja itu pun ditunggu di Tiang-an. Dengan
demikian, maka mereka tak usah saling mencari dan dapat mengarahkan tujuan
perjalanan mereka ke suatu tempat tertentu.
Ang I Niocu melakukan perjalanan seorang diri
seperti biasa, bebas bagaikan seekor burung di udara. Ia membagi-bagi harta
benda itu dengan adil dan memilih orang-orang yang benar-benar berada dalam keadaan
yang amat sengsara. Pekerjaan ini ia lakukan dengan hati gembira karena
keharuan dan kegirangan wajah orang-orang yang menerima pembagian itu membuat
hatinya ikut merasa terharu dan girang sekali.
Pada suatu hari, ketika ia tiba di luar kota
Lang-i, tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang dari jalan simpangan. Ang I
Niocu cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon ketika melihat bahwa dua
orang itu bukan lain ialah Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio. Kedua orang itu
berlari cepat memasuki kota Lang-i, maka diam-diam Ang I Niocu mengikuti
mereka. Dara Baju Merah ini merasa benci sekali kepada Hai Kong Hosiang yang
telah mencelakakan Lin Lin, maka ia mengambil keputusan untuk mencari
kesempatan membunuh hwesio jahat itu agar kelak tidak menimbulkan kekacauan
pula. Akan tetapi, melihat bahwa hwesio itu bersama Wi Wi Toanio yang kosen, ia
merasa ragu-ragu untuk turun tangan, karena terlalu berat baginya untuk
menghadapi dua orang tangguh itu.
Kedua orang itu menuju ke sebelah barat kota
dan diam-diam Ang I Niocu terus mengikuti mereka. Setelah tiba di ujung kota,
mereka masuk ke dalam sebuah gedung yang besar. Ang I Niocu mengambil jalan
dari belakang dan ketika melihat bahwa di belakang gedung itu sunyi, ia lalu
melompati pagar tembok dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya di dalam gedung
itu membuat hatinya berdebar karena terkejut dan heran.
Ternyata bahwa di dalam gedung itu terdapat
sebuah ruangan yang lebar dan yang dipasangi banyak meja dan kursi. Ruangan itu
telah penuh oleh banyak orang dan orang-orang inilah yang membuat Ang I Niocu
terkejut, karena ia melihat wajah-wajah yang telah dikenalnya, antara lain Kam
Hong Sin perwira tinggi kerajaan, Ceng Tek Hosiang den Ceng To Tojin. Si Hwesio
yang selalu tertawa dan tosu yang selalu mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang
tokoh Liong-san, Giok Im Cu, Giok Yang Cu, den Giok Keng Cu. Tampak juga Siok
Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan dua orang yang baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang
dan Wi Wi Toanio!
Orang-orang ini adalah sebagian dari pada
orang-orang yang tadinya mewakili golongan-golongan yang bermusuhan, yaitu
golongan Turki, Mongol, dan kerajaan yang kesemuanya telah dikalahkan oleh Bu
Pun Su. Mengapa mereka sekarang mengadakan pertemuan bersama? Apakah mereka
hendak mengadu kepandaian? Ang I Niocu mengintai dengan hati-hati sekali oleh
karena ia maklum bahwa orang yang berada di dalam itu bukanlah orang-orang
lemah dan berbahaya sekali baginya kalau sampai terlihat oleh mereka. Kebetulan
sekali di luar gedung itu terdapat setumpuk rumput kering maka ia mendapatkan
tempat persembunyian yang baik sekali di belakang rumput itu, sambil mengintai
melalui celah-celah jendela yang berada dekat di situ.
Agaknya Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio
merupakan orang terakhir yang dinanti-nanti, karena setelah mereka berdua
datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu dipersilakan duduk, perwira itu lalu
berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada semua orang.
“Cu-wi sekalian. Aku menghaturkan
banyak-banyak terima kasih dan selamat datang kepada Cu-wi sekalian yang telah
sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul di sini. Hal ini membuktikan bahwa
betapapun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan kebangsaan sendiri. Sebagaimana
Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan bangsa
kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang. Kita tak perlu membongkar-bongkar
urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan sekumpulan orang yang hendak
berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan membasmi para pemberontak
yang telah berani berlancang tangan mencuri harta pusaka dari tangan kita.”
Hai Kong Hosiang berdiri sendiri dan
mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong Sin berhenti bicara karena
ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu itu bersinar-sinar tajam
memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia bicara.
“Kam-ciangkun, pencuri harta pusaka itu adalah
Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan tangguh. Selain dia, masih ada
pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan, karena kami tahu bahwa dia pun
menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu kalau-kalau kedua orang tua jahat itu
telah bersekutu! Hal ini tak boleh dipandang ringan, karena selain mereka
berdua yang lihai, masih banyak terdapat anak muridnya yang tak boleh dipandang
ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa, Kwe An, dan ada
pula Nelayan Cengeng!”
Kam Hong Sin mengangguk-angguk, “Aku maklum,
Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan kelihaian mereka. Akan tetapi dengan
kerja sama yang baik dan mengerahkan tenaga kita dibantu oleh para Perwira
Sayap Garuda yang banyak jumlahnya, apakah sukarnya untuk menangkap mereka dan
merampas kembali harta pusaka itu?”
Wi Wi Toanio berdiri dan biarpun suaranya
halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia merasa gemas dan marah sekali
ketika ia berkata,
“Apa artinya bicara tentang merampas kembali
harta pusaka? Harta itu telah mereka sebar dan bagi-bagikan kepada rakyat! Ini
semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau perundingan ini dimaksudkan untuk
menghukum dia, aku baru mau mengikutinya!” Setelah berkata demikian, Wi Wi
Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.
Terdengar seruan-seruan marah dari sana sini
mendengar bahwa harta pusaka telah dibagi-bagi kepada rakyat. Adapun Kam Hong
Sin yang sudah mengetahui hal itu, hanya tersenyum dan berkata,
“Cuwi sekalian, memang benar ucapan Wi Wi
Toanio tadi. Aku pun telah mendengar tentang hal itu, dan rupanya para
pemberontak itu hendak menghasut rakyat untuk memberontak pula dengan menyogok
harta benda mereka. Akan tetapi, kita akan bertindak tegas dan membasmi sebelum
mereka mendapat kesempatan mengumpulkan tenaga bantuan. Aku membawa surat resmi
dari Kaisar sendiri yang ditujukan kepada Cuwi yang gagah perkasa.”
Sambil berkata demikian, Kam Hong Sin
mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus sutera kuning bersulamkan burung
Hong. Ketika ia membacakan surat itu, semua orang terdiam dengan penuh hormat,
karena betapapun juga, menerima surat dari kaisar sendiri adalah satu
penghormatan besar yang jarang sekali dirasai orang! Isi surat itu ternyata adalah
satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka membantu dalam usaha
Kaisar menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin oleh Bu Pun Su
dan Hok Peng Taisu! Ternyata dalam sakit hatinya untuk membalas kekalahannya,
Kam Hong Sin berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan putusan menghukum
kedua tokoh besar itu agar ia dapat mencari bala bantuan dengan mudah. Selain
pengharapan untuk mendapat pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan
bahwa orang-orang gagah yang suka mengulurkan tangan menolong, akan diberi
pangkat tinggi, tempat tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah
uang yang banyak sekali.
Tentu saja semua orang yang hadir di situ
merasa mengilar mendengar janji upah yang besar itu. Bukan semata-mata upahnya
yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan penghormatan. Kini terbuka
kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat pahala yang akan mendatangkan
hasil besar dan nama baik di samping menebus dosa-dosa mereka yang lalu!
Memang, hampir semua orang yang hadir di situ, kecuali hamba-hamba Kaisar, dulu
seringkali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada
Kaisar, dan dengan adanya kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan
dilupakan dan bahkan akan mengangkat diri mereka menjadi orang-orang
berkedudukan tinggi!
“Kalau demikian, aku setuju!” kata Wi Wi
Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan kedudukan dan kemuliaan yang
dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi, “Bukan, karena aku inginkan semua
kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan mendapat kesempatan membalas dendam
kepada Bu Pun Su yang telah menghina kita dan kepada Hok Peng Taisu yang telah
mencuri harta pusaka itu! Tentang kelihaian mereka, jangan kuatir, aku
mempunyai seorang supek yang menjadi tokoh nomor satu di daerah barat, yaitu
Pok Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su
dan Hok Pek Taisu biarpun ditambah seratus orang lagi, dengan mudah mereka akan
dapat dihancurkan!”
Semua orang memandang heran karena sepanjang
pendengaran mereka, tokoh besar dari barat yang disebut Pok Pok Sianjin itu
kabarnya telah musnah dan telah naik ke Sorga menjadi dewa! Demikianlah dongeng
yang dituturkan orang.
Hai Kong Hosiang tertawa. “Memang di atas
dunia ini terdapat empat orang tokoh besar yang dapat disebut menduduki tempat
tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah selatan dan timur, nama Bu Pun Su
dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh besar tanpa tandingan.
Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok Sianjin, dan di bagian utara
terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek Losu. Kudengar bahwa Thai Kek Losu
dan Sian Kek Losu telah tewas oleh Pendekar Bodoh, maka kalau kita pergi ke
utara melaporkan hal ini kepada Swi Kiat Siansu, mustahil dia tidak akan turun
gunung membantu kita?”
Semua orang merasa girang sekali karena kalau
saja dua orang sakti itu benar-benar mau turun gunung membantu pekerjaan yang
berat dan hebat ini akan jauh lebih ringan lagi. Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil
mewek-mewek bangun berdiri dari tempat duduknya dan berkata, “Cu-wi, setelah
diadakan persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada
baiknya kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang
dilakukan berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik di
antara kita semua!”
Mendengar ucapan ini, semua orang saling
pandang dan mulailah mereka mempertimbangkan, siapa kiranya yang tepat untuk
dijadikan pemimpin.
“Seorang ketua haruslah mempunyai kepandaian
tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang patut menjadi ketua, lebih baik
kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian calon-calon itu menguji
kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup pandai untuk diangkat
menjadi ketua,” kata Hai Kong Hosiang.
Orang-orang lalu saling bercakap-cakap hingga
keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu yang melihat dan mendengar semua
ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau mereka semua telah bersatu dan
berhasil memanggil dua orang tokoh besar yang disebutkan tadi, maka pihaknya
akan menghadapi lawan yang amat tangguh. Ia pernah mendengar nama Pok Pok
Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah mendengar nama Swi Kiat
Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan kabarnya kedua orang itu
memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan napas agar jangan
mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan pengintaiannya.
Setelah dipilih-pilih, akhirnya yang diajukan
menjadi calon adalah tiga orang yang dianggap memiliki ilmu kepandaian cukup
tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Kam Hong Sin sendiri. Tadinya
Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga dipilih, akan tetapi ia tidak mau
menerimanya dan mengundurkan diri sambil berkata,
“Hai Kong Suheng telah dipilih, mengapa pula
aku sebagai Sumoinya harus maju? Biarlah dia yang mewakili aku sekalian!”
Sambil tersenyum Kam Hong Sin berkata kepada
Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio, “Oleh karena kita berada di antara kawan
sendiri, maka kuharap adu kepandaian ini dilakukan dalam cara damai sebagaimana
biasa dilakukan oleh perwira-perwira kerajaan.”
“Bagus, bagaimanakah cara itu, Kam-ciangkun?”
tanya Wi Wi Toanio.
“Di waktu para perwira menguji kepandaian,
mereka mempergunakan sepasang sumpit gading yang dipegang di tangan kanan
seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan sumpit itu, mereka saling
menjepit dan berusaha membetot sumpit di tangan lawannya dan siapa yang
sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah.”
“Baik sekali!” Hai Kong Hosiang memuji.
“Memang siapa yang lebih tinggi lweekangnya akan mendapat kemenangan. Akan
tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang tangan orang dengan sumpit itu,
bukan?”
“Tidak boleh sama sekali! Dalam hal ini kita
harus mengandalkan kejujuran dan kepandaian, sama sekali tidak boleh melukai
tangan lawan!”
Setelah mendapat persetujuan, Kam Hong Sin, Wi
Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu duduk mengelilingi sebuah meja dan para
pelayan lalu mengambil tiga pasang sumpit gading. Untuk menguji kekuatan
sumpitnya, Kam Hong Siang lalu berseru keras dan menancapkan sepasang sumpit itu
di atas meja hingga sumpit itu menancap sampai setengahnya di dalam kayu meja
yang keras itu.
Wi Wi Toanio tersenyum dan ia pun ingin
menguji kekuatan sumpitnya yang hendak digunakan dalam pertandingan ini, maka
ia mengetuk-ngetuk ujung meja dengan perlahan dan hancurlah ujung meja itu
berhamburan ke bawah.
Hai Kong Hosiang tidak mau kalah. Ia
menggunakan sepasang sumpitnya seperti dua batang pensil dan menggurat-guratkan
ujungnya pada permukaan meja. Nampaklah guratan-guratan yang dalam di permukaan
meja itu, bagaikan tanah lempung digurat-gurat dengan pisau tajam saja.
Orang-orang yang melihat demonstrasi lweekang
dari tiga orang itu bersorak memuji, dan Ang I Niocu sendiri diam-diam merasa
kagum melihat pengerahan tenaga lweekang yang tidak boleh dianggap ringan itu.
Menurut kebiasaan sebagaimana dituturkan oleh
Kam Hong Sin, maka oleh karena pengikut pertandingan itu ada tiga orang, lalu
dilakukan undian untuk menentukan siapa yang harus bertanding lebih dulu.
Pemenang pertandingan pertama ini lalu akan berhadapan dengan orang ke tiga
untuk menentukan juara dan jabatan ketua.
Ketika undian dilakukan, ternyata bahwa yang
mendapat giliran pertama adalah Kam Hong Sin dan Wi Wi Toanio. Mereka tersenyum
dan duduk berhadapan dengan tangan menjepit sumpit masing-masing.
“Ciangkun, silakan kaumulai lebih dulu, oleh
karena kau yang lebih tahu tentang cara pertandingan ini.”
Kam Hong Sin mengangguk dan berseru, “Toanio,
jagalah sumpitmu!” Sambil berkata demikian, sepasang sumpit Kam Hong Sin
digerakkan dengan terbuka bagaikan sepasang patuk burung, hendak menjepit di
tangan Wi Wi Toanio. Nenek tua ini tidak mengelak karena ia hendak mengukur
sampai di mana kehebatan tenaga lawan. Ia membiarkan sepasang sumpitnya
terjepit dan tenyata bahwa sepasang sumpitnya itu terjepit kuat bagaikan
terjepit oleh catut besi saja. Kini adu tenaga dimulai. Kam Hong Sin
mengerahkan tenaga untuk memutar sumpit lawannya agar terlepas dari pegangan,
akan tetapi ia merasa betapa sumpit itu dipegang dengan kendur dan tenaga lweekangnya
tak berdaya menghadapi tenaga halus yang meruntuhkan gerakannya dengan
menyerah, akan tetapi yang mengandung kekuatan yang luar biasa besarnya hingga
ketika ia mencoba untuk memutarnya, sepasang sumpit lawan itu bergerak sedikit
pun tidak.
“Ciangkun, kau sudah terlalu lama menjepit!”
kata Wi Wi Toanio yang sambil tersenyum dan hal ini mengherankan Kam Hong Sin
oleh karena dalam pengerahan tenaga khikang, mengucapkan kata-kata merupakan
pantangan. Ia membarengi pada saat Wi Wi Toanio membuka mulut, lalu membetot
keras untuk menarik sumpit lawan supaya terlepas, akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika tiba-tiba sumpit lawan itu demikian licin hingga jepitannya
terlepas.
Kini Wi Wi Toanio yang menggerakkan sumpitnya
dan ketika sumpitnya telah terjepit sepasang sumpit Kam Hong Sin, nenek itu
tiba-tiba membuat gerakan mendorong, bukan membetot. Ini adalah gerakan yang
licin dan penuh perhitungan, karena pada saat itu Kam Hong Sin memang sedang
mengerahkan tenaga untuk menahan sumpitnya, maka tentu saja ketika tiba-tiba
didorong, tangannya menjadi terdorong dan sumpitnya hampir terlepas. Pada saat
ia mempertahankan diri dan merobah tenaganya dari menarik menjadi mendorong
untuk melawan tenaga dorongan lawan, tiba-tiba Wi Wi Toanio secara tak terduga-duga
membetot sekerasnya sambil berseru,
“Lepas!”
Hal ini benar-benar tak pernah diduganya, mana
Kam Hong Sin tak dapat mempertahankan sumpitnya lagi dan sungguhpun ia masih
dapat mempertahankan sebatang yang lain telah kena dibetot terlepas! Kam Hong Sin
bangun berdiri dan menjura di depan Wi Wi Toanio mengaku kalah sedangkan para
hadirin bertepuk tangan memuji.
Hai Kong Hosiang tertawa terbahak-bahak.
“Permainan bagus! Selain tenaga dan keuletan, di dalam permainan ini juga
diperlukan kecepatan dan kelincahan, ditambah otak yang cerdik! Aku yang bodoh
mana dapat melawan Toanio?” Akan tetapi sambil berkata demikian, ia lalu duduk
menghadapi Wi Wi Toanio, menggantikan tempat Kam Hong Sin yang sudah kalah.
“Seranglah, Hai Kong!” kata Wi Wi Toanio menantang.
“Tidak, kau saja yang menyerang, aku hendak
mempertahankan diri saja,” jawab Hai Kong Hosiang yang cerdik. Hwesio ini
terkenal cerdik dan banyak tipu muslihatnya, maka Wi Wi Toanio berlaku
hati-hati. Nenek ini ingin benar-benar diangkat menjadi ketua, karena hal ini
akan menguntungkannya. Kalau ia yang menjadi pemimpin, maka ia mendapat
kesempatan lebih banyak untuk membalas dendamnya kepada Bu Pun Su. Ia maklum
bahwa dalam hal tenaga lweekang dan ilmu silat, mungkin tingkatnya masih lebih
tinggi dari Hai Kong Hosiang, akan tetapi dalam hal kecerdikan, ia sering
mengagumi hwesio ini.
Wi Wi Toanio segera menyergap dengan sumpitnya
untuk menjepit kedua sumpit Hai Kong Hosiang, akan tetapit tiba-tiba hwesio ini
membuka mulut sumpitnya dan kini sumpit-sumpit itu menjadi saling jepit!
Sepasang sumpit Wi Wi Toanio menjepit sumpit Hai Kong Hosiang sebelah bawah
sedangkan sepasang sumpit Hai Kong Hosiang menjepit sumpit Wi Wi Toanio sebelah
atas, bagaikan mulut dua ekor jangkerik sedang saling gigit dalam perkelahian
yang sengit!
Tak terdengar sedikit pun suara di antara
penonton yang memandangnya saking tegangnya pertandingan itu. Kini Wi Wi Toanio
maklum bahwa Hai Kong Hosiang yang cerdik tidak mau mengadu kecepatan, maka ia
sengaja menjepit sebuah sumpit lawan dan membiarkan sumpitnya yang sebatang
terjepit pula hingga dalam keadaah demikian, terpaksa mereka harus mengandalkan
tenaga belaka. Masing-masing tidak mau mengalah, dan dua pasang sumpit itu
sampai tergetar saking serunya pertemuan tenaga mereka yang disalurkan kepada
sepasang sumpit masing-masing! Sebentar sumpit terputar ke kanan, sebentar ke
kiri, akan tetapi keduanya sama kuat hingga empat batang sumpit itu seakan-akan
telah tumbuh menjadi satu! Dari getaran-getaran yang menyerang ke jari-jari
tangannya, Hai Kong Hosiang maklum akan kehebatan tenaga lweekang Wi Wi Toanio,
akan tetapi nenek tua itu pun merasa betapa sepasang sumpit di tangan Hai Kong
Hosiang demikian kokoh kuatnya bagaikan dua bukit karang yang sukar dirobohkan!
Lama sekali adu tenaga ini berlangsung dan
pada jidat Hai Kong Hosiang telah nampak keringat keluar membasahi jidatnya,
sedangkan Wi Wi Toanio juga mulai nampak pucat! Kam Hong Sin berdiri dengan
mata terpentang lebar karena baru kali ini ia menyaksikan pertandingan sumpit
yang demikian seru dan hebatnya.
Tiba-tiba Wi Wi berseru keras sekali dan ia
telah mengerahkan seluruh tenaganya. Hai Kong mencoba untuk bertahan, akan
tetapi tiba-tiba “krek!” terdengar suara keras dan tiga batang sumpit telah
patah, yaitu dua batang sumpit Hai Kong Hosiang dan sebatang sumpit Wi Wi
Toanio! Hal ini menunjukkan bahwa lweekang Wi Wi Toanio masih menang setingkat!
Hai Kong Hosiang menghapus keringatnya dan
tertawa. “Sudah kukatakan bahwa aku takkan bisa menang menghadapi Wi Wi Toanio
yang tangguh! Akan tetapi, kita semua enak-enak mengadu kepandaian hingga
melupakan orang yang mengintai dari luar!”
Ang I Niocu merasa terkejut sekali dan serba
salah. Terang bahwa mata Hai Kong Hosiang yang tinggal satu itu awas sekali dan
telah dapat melihatnya. Ang I Niocu tak kenal arti takut, akan tetapi dalam
keadaan seperti itu ia benar-benar menjadi bingung. Kalau ia melarikan diri
dari situ, ia akan merasa malu kepada diri sendiri, sebaliknya kalau ia
melompat masuk, ia yakin bahwa ia takkan kuat menghadapi sekian banyaknya
orang-orang gagah.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa dari sebelah atasnya dan disusul ucapan mengejek, “Ha, ha, memang
semenjak tadi aku berada di sini. Bagaimana aku bisa masuk sebelum diundang?”
Ang I Niocu terkejut sekali. Bagaiamana ada
orang bisa berada diatasnya tanpa ia ketahui sama sekali? Ia menengok dan
melihat seorang kakek botak duduk di atas tiang yang melintang di atas
kepalanya. Kakek itu duduk bagaikan seorang anak-anak sedang menonton pertunjukan
indah, sedangkan pada lengan kirinya terjepit sepasang tongkat bambu warna
kuning. Ia menjadi tercengang karena dapat menduga bahwa orang ini tentulah Hok
Peng Taisu yang pernah diceritakan oleh Ma Hoa kepadanya. Dan, orang ini
agaknya yang telah mencuri harta pusaka itu. Sementara itu, kakek botak yang
bukan lain adalah Hok Peng Taisu itu, memandang kepadanya dan mengedipkan mata
sambil menyeringai, memberi tanda agar Dara Baju Merah itu jangan mengeluarkan
suara.
Sementara itu Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya mendengar suara dari luar itu, lalu berjaga-jaga dan Kam Hong
Sin sebagai tuan rumah lalu berkata, “Tamu yang berada di luar dipersilakan
masuk!”
Terdengar suara tertawa bergelak dan tiba-tiba
tubuh seorang kakek botak melayang masuk dengan gerakan yang ringan sekali.
Dengan sepasang matanya yang tajam, kakek botak itu menyapa semua orang yang
berada di ruang itu dan berkata,
“Aduh, sudah berkumpul semua. Bagus, bagus!
Tadi telah kusaksikan pertandingan sumpit yang bagus. Aku tua bangka pun
mempunyai semacam permainan sumpit yang sama, akan tetapi entah ada orang yang
cukup bergembira untuk melayaniku bermain-main atau tidak, entahlah!”
“Biarlah pinceng melayanimu, Kakek Tua!” kata
Hai Kong Hosiang.
“Bagus, bagus, akan tetapi sebagai tamu baru,
aku belum mendapat jamuan, sedangkan perutmu yang gendut sudah diisi penuh,
tentu saja aku akan kalah tenaga! Biarkan aku makan dulu beberapa mangkok
sayur!” Sambil berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu mengambil semangkok daging
kambing dan sepasang sumpit bambu. Sambil berdiri, ia makan daging itu sepotong
demi sepotong dan kelihatannya ia menikmati makanan itu.
“Locianpwe ini siapakah?” Kam Hong Sin
bertanya karena merasa penasaran melihat lagak orang yang tidak tahu akan
kesopanan.
“Baru saja namaku kausebut-sebut, sekarang
hendak bertanya pula, bukankah ini aneh namanya? Akan tetapi, aku jangan
kaubandingkan dengan Bu Pun Su yang lihai!”
Terkejutlah semua orang, dan ketika melihat ke
arah dua batang tongkat bambu yang dikempit di bawah lengan kiri, Kam Hong Sin
menjadi pucat dan bertanya,
“Apakah kau Hok Peng Taisu yang telah mencuri
harta pusaka?”
Tiba-tiba Hok Peng Taisu tertawa
bergelak-gelak. “Sudah berpuluh tahun aku orang tua menyembunyikan diri dalam
gua dan karena perbuatan orang-orang yang suka mencurilah yang menyebabkan aku
keluar dari gua. Sekarang aku bahkan dituduh menjadi pencuri. Lucu, lucu!”
Kemudian, dengah tangan kiri masih menyangga mangkok dan di bawah lengan kiri
itu masih terjepit tongkat-tongkat bambunya, tangan kanan memegang sumpit, ia
menuding ke arah Hai Kong Hosiang dengan sumpitnya itu dan bertanya,
“Bagaimana, apakah kau masih mau melayani aku
bermain sumpit?”
“Boleh, asal kau orang tua jangan bermain
curang!”
Kembali Hok Peng Taisu tertawa bergelak dan ia
mengulurkan tangan yang memegang sumpit sambil berkata, “Nah, kaujepitlah
sumpitku ini!”
Hai Kong Hosiang yang melihat bahwa sepasang
sumpit kakek itu adalah sumpit bambu biasa saja, lalu melangkah maju dan dengan
sumpit gading yang kuat ia lalu menyerang maju, akan tetapi bukan menjepit
sumpit kakek itu, melainkan menotok dengan sepasang sumpitnya ke arah
pergelangan tangan Hok Peng Taisu! Akan tetapi, kakek botak ini agaknya tidak
tahu akan kecurangan lawan, ia hanya menggerakkan sumpitnya ke bawah, lalu
setelah dapat menangkis sumpit Hai Kong Hosiang, ia memutar sumpitnya
sedemikian rupa hingga sumpit Hai Kong Hosiang ikut terputar-putar tanpa dapat
ditahan pula! Terpaksa Hai Kong Hosiang mengerahkan seluruh tenaganya untuk
membetot, akan tetapi sumpitnya seakan-akan telah timbul akar pada sumpit kakek
itu dan tak dapat dibetot. Ia mengerahkan tenaganya lagi dan tiba-tiba kakek
itu melepaskannya hingga tubuh Hai Kong Hosiang terhuyung ke belakang.
“Ha, ha, ha! Kau lucu sekali hwesio!” katanya,
lalu dengan sumpitnya ia menjepit sepotong daging yang dimasukkan ke dalam
mulutnya seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu! Wi Wi Toanio yang dapat
memaklumi akan kelihaian kakek botak ini, diam-diam menghampirinya dari
belakang dengan sepasang sumpit gading di tangannya.
“Hok Peng Taisu, aku pun ikut bermain-main
dengan sumpit!” Dan belum juga habis kata-kata ini ia ucapkan, ia telah
menyerang dengan sepasang sumpitnya, menotok jalan darah Hok Peng Taisu dari
belakang! Kakek botak itu tidak bergerak ataupun membalikkan tubuh, seakan-akan
ia tidak mendengar ucapan itu, hanya tangan kanannya yang memegang sumpit saja
digerakkan ke belakang tubuhnya. Pada saat itu, Hai Kong Hosiang yang merasa
penasaran, lalu menyerang lagi dari depan dengan sepasang sumpitnya digerakkan
ke arah kakek botak itu.
Biarpun diserang dari belakang dan depan,
agaknya Hok Peng Taisu masih saja enak-enak mengunyah daging beberapa potong
yang tadi dimasukkan ke dalam mulut. Ketika sumpit Wi Wi Toanio telah dekat
dengan tubuhnya, tiba-tiba sumpit di tangan kanannya bergerak dan terdengar
suara “krek!” dan seruan Wi Wi Toanio yang melompat mundur karena merasa
telapak tangannya sakit sekali, dan ternyata bahwa sepasang sumpitnya telah
terpotong menjadi dua, setelah tadi terjepit oleh sumpit bambu Hok Peng Taisu!
Sedangkan dua batang sumpit Hai Kong Hosiang yang menyambar ke arah ulu
hatinya, juga tidak dielakkan oleh kakek botak itu, akan tetapi tiba-tiba ia
membuka mulutnya dan duakali ia meniupkan daging-daging yang dimakan tadi dari
mulut! Daging-daging itu meluncur bagaikan pelor dan tepat sekali mengenai
ujung sepasang sumpit itu. Hai Kong Hosiang hanya merasa betapa tusukan
sumpitnya tertahan oleh tenaga yang kuat dan tahu-tahu ia melihat betapa dua
batang sumpitnya telah menancap pada dua potong daging bakso yang besar!
Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang melihat
hal ini dan ia merasa dirinya dipermainkan, maka ia berseru.
“Jangan jual lagak di sini!” Sambil berseru
demikian ia mengayun sepasang sumpitnya yang masih ada baksonya itu meluncur
cepat ke arah dua mata Hok Peng Taisu!
Akan tetapi kakek botak itu sambil
terkekeh-kekeh lalu berkata. “Hwesio, mengapa kau tidak makan bakso-bakso itu?”
Lalu ia mengangkat dua tongkat bambunya, memukul ke arah sepasang sumpit yang melayang
itu. Heran sekali, ketika tongkat bambu itu beradu dengan sumpit, bakso yang
berada di ujung sepasang sumpit itu melayang kembali ke arah Hai Kong Hosiang,
sedang sumpit-sumpitnya melayang ke samping, menuju kepada Wi Wi Toanio!
Hai Kong Hosiang mengelak dan sambil
menyumpah-nyumpah lalu mencabut keluar tongkat ularnya, sedangkan Wi Wi Toanio
juga menjadi marah dan menyampok dua batang sumpit yang melayang ke arah
dirinya itu hingga runtuh ke atas lantai! Kemudian, nenek ini pun maju
menyerang dengan kedua tangan merupakan cakar burung garuda. Sebenarnya, Ilmu
Silat Eng-jiauw-kang (Kuku Garuda) yang dimiliki oleh nenek ini bukanlah
Eng-jiauw-kang biasa dan gerakannya aneh serta lihai sekali.
Melihat dirinya hendak dikeroyok, Hok Peng
Taisu segera menggerakkan sepasang tongkat bambunya dan dua kali tubuhnya
berkelebat, tahu-tahu tongkat ular di tangan Hai Kong Hosiang telah kena
dibikin terpental dan Wi Wi Toanio hampir saja terkena sabetan itu pada
pipinya! Keduanya merasa terkejut sekali dan melompat mundur.
Hok Peng Taisu tertawa terbahak-bahak. “Kalian
ini benar-benar merupakan tuan rumah yang kurang sopan! Lebih baik aku pergi
saja lagi!” Setelah berkata demikian, kakek botak itu menggerakkan kakinya dan
melayang pergi.
“Locianpwe, tunggu dulu!” tiba-tiba Kam Hong
Sin berseru dan memburu ke pintu.
“Apa kehendakmu?” terdengar suara kakek botak
itu dari atas genteng.
“Kami menantangmu dan juga Bu Pun Su untuk
mengadakan pertandingan adu kepandaian di Puncak Hoa-san pada bulan tiga.
Apakah kau berani menerima tantangan kami ini?”
Kembali kakek botak itu tertawa
terkekeh-kekeh. “Tak usah kauceritakan, aku pun telah maklum akan maksud kalian
yang buruk itu. Baik, baik, memang telah lama aku ingin bertemu dengan Pok Pok
Sianjin dan Swi Kiat Siansu. Tentang Bu Pun Su, aku tidak tanggung bahwa ia
akan mau melayani ajakan kalian yang gila itu!”
Hok Peng Taisu lalu melayang ke tempat mana
Ang I Niocu bersembunyi dan memberi tanda dengan tangan, agar supaya Dara Baju
Merah itu mengikutinya. Ang I Niocu lalu melompat ke atas genteng dan mengikuti
kakek itu pergi dari situ. Setelah berada di tempat jauh, kakek botak itu
berkata,
“Bukankah kau yang bernama Ang I Niocu?”
Ang I Niocu menjura dengan sangat hormatnya.
“Betul Locianpwe dan sudah lama aku yang bodoh mendengar tentang nama Locianpwe
dari Ma Hoa. Aku merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan seorang sakti
seperti Locianpwe.”
“Ah, jangan terlalu memuji, Nona. Kau tentu
sudah mendengar semua kehendak mereka itu, bukan? Nah, terserah kepadamu
sekarang apakah kau hendak menyampaikan undangan mereka terhadap Bu Pun Su atau
tidak. Hanya saja, boleh kau katakan pada Bu Pun Su bahwa aku tua bangka tentu
akan menghadapi tantangan mereka itu pada waktunya di Puncak Hoa-san!”
Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu
berkelebat pergi sedangkan Ang I Niocu lalu melanjutkan perjalanannya. Memang
ia pun ada maksud untuk pergi ke Gua Tengkorak menemui susiok-couwnya, sekalian
hendak menemui Bu Pun Su untuk minta ijin orang tua itu tentang perjodohannya
dengan Lie Kong Sian.
Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa
menjalankan tugas membagi-bagi harta itu sambil melanjutkan perjalanan ke
timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun mengalami banyak sekali
kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.
Ketika mereka menyeberang sebatang sungai yang
menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan Cengeng melihat beberapa perahu nelayan
hilir mudik dengan para nelayan bernyanyi-nyanyi sambil mendayung perahu
mereka. Pemandangan dan pendengaran ini membangkitkan hatinya dan menimbulkan
rindunya pada kehidupan nelayan yang telah dinikmatinya semenjak masih muda,
maka ia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee An.
“Ma Hoa dan Kwee An, telah lama sekali aku
merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang nelayan, mendayung perahu
menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di atas air! Terus terang saja
kuakui bahwa hampir tiap malam aku bermimpi duduk di atas perahu seorang diri,
dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya bulan di waktu malam. Kalian
telah saling berjumpa kembali dan juga kawan-kawanmu telah dapat kita
ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan senang. Oleh karena itu, aku ingin
tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di sungai ini. Kalian teruskanlah
perjalanan kalian dan ini sisa harta benda yang kubagi-bagikan boleh kalian
habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kelak kalau tiba saatnya kalian
hendak melangsungkan pernikahan, berilah kabar dan aku pasti akan datang.”
Ma Hoa maklum bahwa suhunya ini memang suka
sekali hidup di atas air sebagai seorang nelayan, bahkan dulu suhunya pernah
menyatakan bahwa ia ingin mati di dalam sebuah perahu, maka berkata,
“Suhu, amat berat hatiku harus berpisah dari
Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu menganggap Suhu sebagai ayah sendiri, maka
kelak kalau Suhu telah bosan merantau di atas sungai ini, teecu harap Suhu suka
tinggal bersama teecu agar teecu mendapat kesempatan merawat Suhu dan membalas
budi.”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak hingga air
matanya keluar. “Muridku, anakku yang baik!” katanya sambil menaruhkan
tangannya di atas kepala Ma Hoa. “Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagiku
selain melihat kau hidup bahagia dengan Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak
apabila aku sudah bosan di sungai ini, pasti aku akan hidup dekat dengan kau
dan suamimu.”
Setelah banyak mendapat nasihat-nasihat dan
petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik hati itu, Kwee An dan Ma Hoa lalu
melanjutkan perjalanan mereka.
Ma Hoa mengajak Kwee An mengunjungi suhunya ke
dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit Hong-lun-san, di mana dulu ia diberi
pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu masih indah seperti dulu, kaya akan
tamasya alam yang mengagumkan hati. Ketika mereka tiba di puncak, mereka
tiba-tiba mendengar suara angin pukulan yang hebat dibarengi bentakan-bentakan
seperti orang sedang berkelahi. Dengan cepat mereka lalu menghampiri tempat itu
dan Ma Hoa menahan geli hatinya ketika melihat betapa suhunya bersilat seorang
diri dengan sepasang tongkatnya. Gerakan kakek botak itu demikian kuatnya
hingga di sekitarnya semua daun-daun bergerak-gerak terkena pukulan angin yang
keluar dari pukulan dan sambaran tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan
merasa kagum bukan main melihat kehebatan kakek luar biasa itu.
“Suhu, kau orang tua benar-benar rajin
sekali!” Ma Hoa memuji dan Hok Peng Taisu lalu menghentikan latihannya dan
berpaling kepada mereka sambil tersenyum. Ma Hoa segera menjatuhkan diri
berlutut, diikuti oleh Kwee An yang juga berlutut.
“Bagus, bagus, bagus sekali kalian datang ke
sini. Di mana Nelayan Cengeng?”
“Dia rindu kepada perahu dan sungai, Suhu,
maka tidak melanjutkan perjalanan dan hendak hidup beberapa lama di atas Sungai
Liang-ho,” jawab Ma Hoa.
Hok Peng Taisu menarik napas panjang. “Nelayan
Cengeng memang orang yang beruntung tidak seperti aku, tua-tua masih
menimbulkan perkara dan mencari permusuhan. Tahukah kau bahwa pada bulan tiga
aku akan mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san? Oleh karena itu aku harus
melatih diri dan melepaskan urat-urat yang sudah kaku!” Di waktu mudanya kakek
botak ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan orang-orang pandai,
maka kini agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam menghadapi tantangan Hai
Kong Hosiang. Kemudian ia lalu menceritakan tentang tantangan itu kepada Ma Hoa
dan Kwee An.
“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, maka
tentu saja ia pun akan menyambut tantangan ini. Aku kenal padanya sebagai
seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi sebuah tantangan yang keluar dari
mulut hwesio jahat itu, tentu ia akan turun gunung. Oleh karena itu, hendaknya
kalian datang kepadanya dan ceritakanlah tentang tantangan itu kepada Bu Pun
Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya. Katakan bahwa selatan dan timur tidak
seharusnya kalah terhadap barat dan utara!” Dengan ucapan ini, Hok Peng Taisu
hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su takkan kalah menghadapi Pok Pok
Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar dari barat dan utara itu!
Ma Hoa dan Kwee An lalu turun dari Bukit
Hong-lun-san dan karena mereka telah mendengar dari Cin Hai di mana letak Gua
Tengkorak itu, maka mereka langsung menuju ke sana.
Ketika mereka tiba di depan Gua Tengkorak,
mereka melihat Lin Lin sedang duduk dengan bengong seperti orang melamun dengan
muka nampak sedih. Melihat kedatangan mereka, gadis ini tidak merasa girang,
bahkan lalu memeluk kakaknya menangis sedih.
Kwee An yang sudah lama sekali tidak bertemu
dengan adiknya yang terkasih itu, mengusap-usap rambut Lin Lin dan bertanya,
“Adikku sayang, mengapa kau bersedih? Di manakah Cin Hai dan di mana pula
Suhumu?”
Setelah tangisnya mereda, Lin Lin lalu
berkata, “Mereka berada di dalam. Suhu sedang menderita sakit keras. Hai-ko dan
Enci Im Giok menjaganya. Aku… aku tak dapat menahan kegelisahan dan kesedihanku
maka aku lalu keluar, karena di depan Suhu aku tidak berani memperlihatkan
kesedihanku.”
Bukan main kagetnya hati Ma Hoa dan Kwee An
mendengar hal ini. Segera Ma Hoa bertanya,
“Suhumu adalah seorang yang sakti, mengapa ia
bisa menderita sakit? Dan bilakah Ang I Niocu tiba di sini?”
Kemudian, dengan suara perlahan agar jangan
sampai suara mereka terdengar dari dalam dan mengganggu Bu Pun Su, Lin Lin lalu
menceritakan bahwa setelah ia dan Cin Hai, juga bersama Lie Kong Sian, tiba di
tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun Su sudah berbaring di dalam gua tak
sadarkan diri, di jaga oleh tiga ekor burung sakti yang diam tak bergerak
seperti sedang merasa bingung dan berduka pula. Lie Kong Sian yang paham akan
ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan menyatakan bahwa Bu
Pun Su menderita kelemahan usia tua dan agaknya kesedihan hati membuat
jantungnya terserang hebat dan penderitaan batin membuat kakek itu tidak kuat
menahan dan jatuh pingsan. Pemuda itu lalu mengatakan kepada Cin Hai dan Lin
Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan membantu kesempurnaan jalan darahnya
dengan tenaga lweekang, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke pulaunya mencari
semacam rumput darah yang mungkin akan menyembuhkan Bu Pun Su.
Semenjak masuk Gua Tengkorak, Cin Hai lalu
memegang tangan kanan suhunya dan mengerahkan tenaganya membantu aliran hawa ke
dalam tubuh suhu itu. Telah sepekan lamanya Cin Hai duduk bersila tak bergerak
dari dekat suhunya dan hanya makan sedikit sekali, itu pun kalau dipaksa-paksa
oleh Lin Lin.
Baru tiga hari yang lalu Ang I Niocu tiba di
situ dan gadis ini pun menjaga susiok-couwnya siang malam bersama mereka.
“Apakah selama ini Suhumu tidak siuman?” tanya
Kwee An dengan terharu.
“Pernah satu kali, dan setelah siuman ia hanya
mengucapkan tiga perkataan, yaitu bahwa ia sudah tua, lalu jatuh pingsan lagi.”
Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Lin Lin.
Tiga orang muda itu lalu masuk ke dalam Gua
Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan hati-hati sekali. Benar saja,
mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai di dalam kamar hio-louw,
berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati. Cin Hai duduk di sebelah
kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil bersamadhi mengerahkan
tenaga lweekangnya untuk membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhunya, sedangkan
Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak bergerak bagaikan
patung. Biarpun ilmu lweekangnya belum setinggi Cin Hai, namun kadang-kadang ia
menggantikan Cin Hai untuk memegang tangan kiri kakek itu dan membantunya
dengan tenaga lweekangnya agar Cin Hai tidak merasa terlalu lelah.
Melihat hal ini Ma Hoa teringat akan
kepandaian suhunya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang ilmu pengobatan, maka ia lalu
memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk keluar dari tempat itu. Cin Hai
dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau tidak mempedulikan kedatangan
mereka.
Ketika Kwee An dan Ma Hoa melihat tiga ekor
burung sakti berdiri di ruang tengkorak tanpa bergerak dan dengan muka
seolah-olah sedang berduka sekali, mereka merasa amat terharu. Burung-burung
itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan seperti manusia biasa.
Setelah tiba di luar gua, Kwee An bertanya
mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.
“An-ko, harap kau suka pergi dengan cepat
kepada Suhu di Hong-lun-san untuk mengabarkan hal ini kepada Suhu. Suhu adalah
seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup menolong Bu Pun Su
Locianpwe.”
Lin Lin menyatakan kegirangannya mendengar
ini, maka ia pun mendesak kepada kakaknya untuk segera minta petolongan orang
berilmu itu. Kwee An menyatakan persetujuannya dan ia berpesan kepada
kekasihnya dan adiknya supaya mereka berdua menjaga di luar gua, agar jangan
sampai ada musuh yang datang membuat kekacauan pada saat Bu Pun Su menderita
sakit keras. Kemudian ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari
secepat mungkin ke Hong-lun-san.
Dengan adanya Ma Hoa yang mengawaninya, Lin
Lin menjaga di depan gua dan duduk di atas batu karang sambil bercakap-cakap
dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling menuturkan pengalaman
masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang ditewaskannya Thai Kek
Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio. Sebaliknya, ketika mendengar tentang
tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su,
Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana suhunya
akan dapat memenuhi tantangan itu?
Ketika mereka sedang duduk bercakap-cakap
dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali
gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua telah berdiri di hadapan mereka.
Dengan terkejut Lin Lin dan Ma Hoa bangkit berdiri dan memandang dengan tajam
kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!
Melihat nenek ini, Lin Lin menjadi marah
sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu Pun Su ini telah menjalankan
kecurangan untuk mencelakai suhunya itu. Maka sambil mencabut Han-le-kiam dari
pinggangnya, ia membentak,
“Mau apa kau datang ke sini?”
Wi Wi Toanio memandang dengan mata mengejek
lalu jawabnya,
“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian
anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu Kwan Cu!”
“Tidak! Tak seorang pun boleh masuk ke dalam
gua ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum pedangku bicara!”
“Anak kecil kurang ajar! Kau berani menghina
dan mengusirku?” Wi Wi Toanio menjadi marah sekali.
Ma Hoa juga mencabut sepasang bambu runcingnya
dan berkata, “Nenek jahat, kau pergilah dengan baik-baik dan jangan mencari
mati.”
Makin marahlah Wi Wi Toanio mendengar ini.
Dengan seruan keras ia melompat dan menerjang ke arah Lin Lin dan Ma Hoa dengan
limu Silat Cakar Garuda yang lihai dan berbahaya itu. Akan tetapi Lin Lin dan
Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya dengan mengirim serangan-serangan
mematikan. Ternyata Wi Wi Toanio memang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih
tinggi daripada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka biarpun Lin Lin dan Ma Hoa
mengeroyok dua dan mainkan senjata mereka dengan cara hebat, namun nenek itu
tidak menjadi gentar dan membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat.
Sambil bertempur Wi Wi Toanio mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya
menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda. Ginkangnya ternyata sudah
mencapai tingkat tinggi sekali hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah
ia dapat terbang saja. Namun Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak
mau kalah dan bekerja sama dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.
Pada saat pertempuran terjadi, Cin Hai sedang
membantu suhunya dengan mengalirkan hawa melalui telapak tangan, sedangkan Ang
I Niocu hanya bersila dan bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga yang telah banyak
dikerahkan membantu susiok-couwnya itu. Kini ia mendengar suara-suara orang
berkelahi di luar, maka tahulah ia bahwa Lin Lin dan Ma Hoa sedang menghadapi
lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, ia lalu mengambil sebatang pedang
Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin Hai, lalu ia bertindak keluar.
Pada saat itu, sambil memekik keras, Wi Wi
Toanio melompat ke atas dan kedua tangannya terulur ke depan dengan maksud
merampas senjata kedua lawannya, akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan
merah dan dua batang pedang yang bercahaya berkilauan menyambutnya dengan
serangan hebat! Wi Wi Toanio sedang melayang bagaikan seekor burung garuda yang
ganas, sedangkan Ang I Niocu pun melayang menyambutnya dengan pedang
Liong-cu-kiam, bagaikan seekor burung hong yang indah dan gesit! Wi Wi Toanio
terkejut melihat serangan ini, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu
tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik beberapa kali ke belakang!
Melihat Ang I Niocu datang membantu, Lin Lin
dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu mainkan senjata mereka dengan seru
dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini merasa sibuk juga menghadapi tiga
orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga betina itu! Ang I
Niocu memang lihai dan dengan sepasang pedang Liong-cu-siang-kiam di kedua
tangan, ia merupakan seekor harimau yang tumbuh sayap. Lin Lin dengan
Han-le-kiam-hwatnya merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya
ini boleh dianggap menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu
pedang, sedangkan Ma Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan
lawan yang tak mudah dilawan! Tentu saja setelah ketiga orang dara ini maju
mengeroyok, biarpun ilmu kepandaian Wi Wi Toanio tinggi dan pengalamannya
banyak, namun tetap saja ia merasa kewalahan dan sebentar saja ia terdesak
mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!
Wi Wi Toanio mengeluarkan jarum-jarum
rahasianya dan kedua tangannya diayun menyebar puluhan batang jarum ke arah
tiga dara itu, akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar sepasang bambu rucingnya dan
Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya, hingga semua jarum kena terpukul
runtuh. Sementara itu melihat kesempatan baik, Lin Lin maju mengirim serangan
hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan cepat. Wi Wi Toanio mencoba mengelak
akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah gerakannya dan
pedangnya meluncur ke bawah! Wi Wi Toanio ketika itu terancam pula oleh sabetan
pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang menotok iganya,
maka dengan bingung ia membanting diri ke belakang! Namun gerakannya biarpun
sudah cepat sekali ujung pedang pendek Han-le-kiam di tangan Lin Lin masih
lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak Wi Wi Toanio yang lalu
berguling ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan
selanjutnya.
Tiga orang gadis itu hendak mengejar dan
mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam gua,
“Jangan bunuh dia!”
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa tercengang
dan mereka menahan senjata masing-masing, sedangkan Wi Wi Toanio yang merasa
jerih menghadapi tiga orang gadis kosen itu, lalu melarikan diri turun dari
bukit itu secepatnya!
Ang I Niocu merasa girang sekali mendengar
suara tadi, karena suara yang mencegah mereka tadi adalah suara Bu Pun Su. Juga
Lin Lin mengenal suara suhunya, maka cepat-cepat ia lalu mengajak Ma Hoa dan
Ang I Niocu untuk masuk ke dalam gua.
Mereka melihat bahwa Bu Pun Su telah siuman
kembali akan tetapi masih rebah dengan tubuh lemah, sedangkan Cin Hai duduk
bersila di dekatnya dengan wajah muram. Bu Pun Su memang hebat sekali, karena
biarpun ia berada dalam keadaan sedemikian rupa, namun pendengarannya masih
amat tajam sehingga ia dapat mendengar pertempuran yang terjadi di luar dan
seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya baik-baik maka ia lalu mengerahkan
khikangnya dan mencegah ketiga orang gadis itu membunuh Wi Wi Toanio. Tanpa
menyaksikan dengan mata sendiri, dari pendengaran dan dugaan saja ia maklum
bahwa Wi Wi Toanio takkan dapat menang menghadapi tiga dara yang gagah perkasa
itu!
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa lalu
menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun Su tersenyum dengan lemah
dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,
“Kalian lihat, betapapun tinggi kepandaian
orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!”
Kemudian Bu Pun Su memandang kepada Ma Hoa dan
berkata. “Nona Ma Hoa, kau datang ke sini tentu mempunyai maksud tertentu.
Katakanlah!”
Ma Hoa tadinya segan untuk menceritakan
tentang pesanan suhunya, dan tadinya ia berniat untuk menahan saja pesanan itu
karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak tahunya kakek ini bermata awas hingga tahu
bahwa kedatangannya mempunyai maksud tertentu, maka sambil berlutut ia lalu
berkata,
“Maafkan teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu
tidak berani mengganggu Locianpwe yang sedang menderita sakit.”
Terdengar suara tertawa Bu Pun Su yang seperti
biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini suara ketawanya tidak sekeras dulu.
“Anak yang baik, tubuhku sakit, akan tetapi semangatku masih seperti biasa.
Ceritakanlah.”
“Sebetulnya teecu diperintahkan oleh Suhu Hok
Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada
Suhu dan Locianpwe.”
“Hm, Hai Kong menantang aku dan Hok Peng?”
“Benar, Locianpwe. Hwesio itu menantang untuk
mengadu kepandaian pada bulan tiga di Puncak Hoa-san, dan mereka hendak
mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat sebagai jago untuk menghadapi Locianpwe
dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu menyampaikan kepada Locianpwe bahwa selatan
dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!”
Bu Pun Su tertawa lagi, akan tetapi suara
ketawanya makin lemah.
“Hok Peng ternyata lebih muda semangatnya
daripada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku dapat menghadapi
Pok Pok dan Swi Kiat!” Akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan berbisik,
“Tak mungkin, bulan tiga masih lama, aku
takkan dapat bertahan selama itu...”
Mendengar ucapan ini, tak dapat dicegah lagi
Lin Lin lalu menangis terisak-isak.
“Eh, eh, Lin Lin muridku yang nakal! Mengapa
kau menangis? Suhumu sebentar lagi terbebas daripada kesengsaraan, mengapa kau
malah menangis? Kau seharusnya bersyukur dan bergembira!”
Akan tetapi, mendengar ini, Lin Lin makin
hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma Hoa juga ikut menangis. Bu Pun
Su menarik napas panjang,
“Hm-hm... perempuan, perempuan... kalau tidak
menangis, kau bukan perempuan lagi namanya...”
Setelah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata
kepada suhunya, “Suhu, perkenankan pada teecu untuk mengajukan sebuah
permohonan.”
“Nah, nah, sesudah menangis mengajukan
permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman dahulu bahwa di balik air mata
wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!”
“Teecu mohon perkenan dari Suhu untuk
mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan perjodohannya dengan Lie Kong Sian
Suheng!”
Mendengar ini Ang I Niocu cepat-cepat
menundukkan kepalanya, menyembunyikan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.
Bu Pun Su menjawab dan suaranya makin melemah
seperti bisikan.
“Aku tahu... semenjak mereka datang aku sudah
tahu... Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku setuju...” tiba-tiba ia
mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan, tak sadarkan diri seperti
orang tidur pulas!
Cin Hai cepat menyambar nadi tangan suhunya
dan berbisik, “Suhu terlalu banyak menggunakan tenaga untuk bercakap-cakap.”
Tiba-tiba masuk seorang laki-laki ke dalam Gua
Tengkorak dan ketika semua orang memandang, ternyata yang datang ini adalah Lie
Kong Sian. Pemuda ini dengan cepat sekali lalu menghancurkan daun darah yang ia
ambil dari pulaunya, memeras daun itu dan meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun
Su. Setelah itu, pemuda ini lalu duduk di sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan
Cin Hai membantu peredaran hawa dalam tubuh supeknya.
Tak lama kemudian, bagaikan api lilin yang
hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su menggerakkan tubuhnya dan membuka
matanya. Ternyata khasiat daun darah telah bekerja dan ia merasa tubuhnya enak
sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan duduk.
“Im Giok, kuulangi kata-kataku tadi. Kau
memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa girang sekali bahwa kau
mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!” Ang I Niocu dan Lie Kong Sian
menundukkan kepala dan tak berani bergerak karena jengahnya. Kemudian Bu Pun Su
berkata sambil menuding keluar gua,
“Ada orang datang!”
Semua orang memandang karena mereka tidak
mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat mendengar tindakan kaki yang
halus sekali. Benar saja, tak lama kemudian, masuklah Kwee An bersama Hok Peng
Taisu yang datang-datang tertawa bergelak lalu menghampiri Bu Pun Su.
Bu Pun Su juga tertawa girang. “Hok Peng,
apakah kau datang hendak memeriksa tubuhku yang sudah bobrok ini?”
“Bu Pun Su, benar-benarkah kau hendak
mendahului aku? Kau hanya lebih tua beberapa tahun saja dariku, dan menurut
patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!”
Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu
duduk di dekat Bu Pun Su dan mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi dan detik
jantung kakek jembel itu. Setelah memeriksa sambil memejamkan mata beberapa
lama, kakek jembel itu bertanya,
“Bagaimana, Hok Peng, masih berapa lama
lagikah?”
Kakek botak itu memandang wajah Bu Pun Su
dengan tajam. “Bu Pun Su, aku tidak ingin mengetahui urusan pribadimu, akan
tetapi orang seperti kau ini tidak layak menerima luka di jantung karena
tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali karena kau agaknya teringat akan
hal-hal yang telah lampau yang membuat kau merasa malu, marah, dan berduka.
Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya akan dapat bertahan selama sepekan
saja!”
“Bagus, kalau begitu masih ada waktu beberapa
hari lagi,” kata Bu Pun Su.
“Sayang sekali Bu Pun Su. Benar-benar sayang,
karena sebetulnya aku ingin sekali melihat kau menikmati adu kepandaian di
Puncak Hoa-san dan main-main sebentar dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat
Siansu sebelum kau pergi! Pergi seorang diri saja ke Hoa-san kurang
menggembirakan!”
Bu Pun Su tertawa, “Apa dayaku? Aku pun sudah
mendengar dari muridmu tentang tantangan itu, akan tetapi kepergianku tak dapat
ditunda-tunda lagi!”
Mendengar bahwa usia Bu Pun Su tinggal sepekan
lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek yang aneh itu membicarakan
kematian Bu Pun Su sebagai orang yang hendak pergi melancong saja, Ang I Niocu,
Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati lagi dan terdengarlah isak
tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya
dan menangis sedih.
“Eh, eh, kembali kau memperlihatkan sikapmu
yang nakal, Lin Lin!” kata Bu Pun Su. Kemudian, kakek jembel itu berkata kepada
kakek botak,
“Hok Peng, jangan kau kecewa, karena betapapun
juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus kita hadapi! Aku tak dapat datang
sendiri, akan tetapi aku hendak mewakilkan kepada Cin Hai untuk menghadapi
mereka.”
“Suhu, teecu masih terlalu lemah untuk menghadapi
mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sakti itu,” kata Cin
Hai.
“Jangan kuatir, mereka itu sudah tua bangka
dan tubuh mereka sudah bobrok seperti aku! Kita masih mempunyai waktu sepekan
dan selama itu, aku akan menurunkan sisa-sisa kepandaianku kepadamu. Pula,
setelah aku pergi, kau boleh minta bimbingan Hok Peng untuk memperdalam
kepandaianmu hingga tidak akan mengecewakan kelak apabila kau mewakili daerah
selatan dan timur bersama Hok Peng!”
“Bagus!” kata Hok Peng. “Aku setuju sekali
kalau anak muda ini mewakilimu, karena ia mempunyai bahan cukup baik. Nah, aku
tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun Su. Pergunakanlah sisa waktu yang tak
lama itu dengan sebaiknya dan selamat berpisah sampai berjumpa kembali.”
Bu Pun Su mengangguk-angguk dan tersenyum.
“Terima kasih paling lama lima tahun lagi kita bertemu!”
Hok Peng tertawa bergelak-gelak. Mungkin
sekali sebelum lima tahun aku akan menyusulmu!” Kemudian kakek ini berkelebat
keluar dan lenyap dari pandangan mata.
Bu Pun Su menarik napas panjang. “Lie Kong
Sian, obatmu itu benar baik sekali karena aku merasa sehat kembali. Sekarang
kalian dengarlah pesanku terakhir. Im Giok telah kuberi persetujuan menjadi
jodoh Lie Kong Sian dan semoga kalian berdua hidup berbahagia. Pedang Liong-cu-kiam
kuberikan kepada Cin Hai dan Im Giok, yang panjang untuk Cin Hai dan yang
pendek untuk Im Giok karena kalian berdualah yang mendapatkannya.”
Cin Hai, Ang I Niocu dan Lie Kong Sian
menghaturkan terima kasih.
“Masih ada lagi,” kata Bu Pun Su, “Kelak,
apabila kalian memperoleh turunan, juga bagi Nona Ma Hoa kuanjurkan menurut
nasihat ini, kalian harus menggunduli putera-puteramu.”
Semua orang memandang heran dan menganggap
bahwa kakek itu telah mulai bicara tidak karuan seperti biasanya orang-orang
tua yang sudah mendekati saat kematiannya.
“Hal ini jangan kalian pandang rendah,” kata
Bu Pun Su. “Dan kau, Cin Hai, jangan kauanggap Gurumu berkelekar dan menyindir
kau yang ketika kecil bergundul kepala, karena sesungguhnya bagi seorang anak laki-laki
lebih baik digunduli rambutnya ketika masih kecil agar hawa yang sehat dan
sejuk tidak tertolak oleh rambut dan membuat kepala anak itu menjadi segar dan
baik perjalanan darahnya hingga selain memperkuat, juga menambah kecerdikan
anak itu. Pesanku yang lain ialah kalau aku sudah pergi, tubuhku yang bobrok
ini supaya dibakar di dalam gua ini dan abunya kalian masukkan ke dalam hiolouw
besar, kemudian kalian tinggalkan gua ini dan menutupnya dengan batu besar
rapat-rapat, lalu tutuplah gua ini dengan pohon-pohon agar tak sampai ditemukan
orang lain. Aku ingin mengaso dengan tenteram di tempat ini.”
Semua orang mendengarkan pesan ini dengan hati
terharu sekali.
“Nah, sekarang kalian keluarlah semua, kecuali
Cin Hai karena aku hendak menggunakan sisa waktuku untuk melatihnya sebagai
persiapan menghadapi adu kepandaian di Puncak Hoa-san kelak.”
Dengan hati sedih dan wajah muram, Ang I
Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An lalu mengundurkan diri dan
keluar dari gua itu. Mereka menjaga di luar sambil bercakap-cakap menuturkan
pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu ke dalam di mana Bu Pun Su
menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin Hai dengan ilmu-ilmu
kepandaian yang belum dipelajarinya. Tentu saja dalam waktu yang hanya beberapa
hari itu, Cin Hai tak mungkin mempelajari semua ilmu itu berikut prakteknya,
dan hanya mempelajari pokok-pokok teorinya saja, untuk kemudian dipelajari
prakteknya. Akan tetapi ia telah mencatat dalam otaknya segala pelajaran itu
dengan teliti hingga Bu Pun Su menjadi puas.
Lima hari kemudian, Cin Hai keluar dari dalam
gua dengan wajah muram dan ia memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk masuk
ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan ketika melihat tubuh suhunya berbaring
dengan wajah pucat dan napas lemah, ia lalu menubruknya sambil menangis.
Bu Pun Su menggerakkan tangannya yang sudah
amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.
“Jangan menangis, jangan menangis” bisiknya,
“jangan antarkan kepergianku dengan air mata... aku tidak suka...!” Lin Lin
lalu menahan tangisnya dan terisak-isak dengan hati hancur.
“Anak-anak... pesanku terakhir... setelah
selesai pertandingan pibu di Hoa-san... pulanglah dan langsungkan perjodohan...
hiduplah dengan aman dan tenteram bahagia, jauhi segala permusuhan...!” ia
terengah-engah karena sebenarnya waktu lima hari yang ia pergunakan siang malam
untuk memberi gemblengan terakhir kepada Cin Hai itu terlampau melelahkannya
dan membuatnya cepat lemah. “Sekarang... antarkan kepergianku dengan cita-cita
tinggi dan luhur... selamat... tinggal!” lemaslah lehernya dan pada saat itu Bu
Pun Su, tokoh persilatan yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu, terpaksa
menyerah kalah terhadap maut yang merenggut nyawanya.
Lin Lin, Ang I Niocu, dan Ma Hoa menahan
tangis mereka karena mereka hendak mentaati pesan terakhir dari Bu Pun Su.
Kemudian mereka berenam mengadakan persiapan untuk menyempurnakan jenazah kakek
itu dan membakarnya di dalam gua dengan penuh khidmat. Setelah selesai dan
mayat itu telah menjadi abu seluruhnya, abunya lalu disimpan di dalam hiolouw
besar yang berdiri di tengah kamar.
Untuk beberapa hari lamanya mereka mengadakan
perkabungan di tempat itu dan mengadakan persembahyangan untuk memberi
penghormatan terakhir, kemudian beramai-ramai mereka lalu menutup Gua Tengkorak
dengan batu-batu besar dan menimbunnya dengan pohon-pohon kecil, hingga gua itu
tertutup sama sekali dan tidak tampak dari luar.
Setelah itu, atas anjuran Ma Hoa, mereka
berenam lalu pergi ke Hong-lun-san untuk memberi kabar kepada Hok Peng Taisu
tentang kematian Bu Pun Su. Kakek botak itu menerima warta ini sambil tersenyum
dan menarik napas panjang.
“Ah, dia lebih beruntung daripada aku.
Sekarang ia sudah enak-enak sedangkan aku masih harus menderita.”
Oleh karena waktu untuk menerima tantangan
tinggal sebulan lebih lagi, maka Hok Peng Taisu lalu melatih Cin Hai dengan
berbagai kepandaian yang belum pernah dipelajari oleh anak muda itu sampai
hampir sepuluh hari lamanya. Orang-orang muda yang lain merasa suka tinggal di
bukit yang indah itu dan mereka juga berlatih silat di bawah pengawasan Hok
Peng Taisu.
Setelah menganggap bahwa ilmu kepandaian Cin
Hai cukup kuat, Hok Peng Taisu lalu mengajak mereka mulai melakukan perjalanan
menuju ke Puncak Hoa-san.
Untuk memperkuat rombongan mereka, Ma Hoa
minta perkenan kepada Hok Peng Taisu untuk singgah di tempat kediaman Nelayan
Cengeng yaitu di Sungai Liong-ho. Ternyata kakek nelayan itu sedang enak-enak
di atas sebuah perahu kecil, bersenang-senang seorang diri mencari ikan sambil
bernyanyi-nyanyi.
Melihat kedatangan mereka, Nelayan Cengeng
merasa girang sekali, dan ia segera menyatakan keinginannya untuk ikut ke
Hoa-san! Tentang kematian Bu Pun Su, ia menyambungnya dengan ucapan yang hampir
sama dengan ucapan Hok Peng Taisu, karena ia berkata,
“Aku harap akan dapat segera menyusulnya!”
Hok Peng Taisu lalu menyerahkan pimpinan
rombongan itu kepada Nelayan Cengeng karena ia hendak melakukan perjalanan dari
lain jurusan untuk singgah di tempat tinggal beberapa orang kenalannya.
“Kalau sudah tiba di kaki Bukit Hoosan, kalian
tunggulah kedatanganku, dan kalau aku yang datang lebih dulu, aku pun akan
menanti kalian,” kata kakek botak itu yang lalu berkelebat pergi. Seperti juga
Bu Pun Su, Kakek aneh ini tidak suka melakukan perjalanan dengan orang lain,
dan lebih suka berjalan seorang diri saja.
Ternyata bahwa pihak Hai Kong siang telah
berkumpul di Puncak Hoa-san menanti kedatangan dua orang musuh besar, yaitu Bu
Pun Su dan Hok Peng Taisu. Wi Wi Toanio berhasil mengundang datang Pok Pok
Sianjin, supeknya yang tinggal di Puncak Go-bi-san daerah barat yang telah
berpuluh tahun mengasingkan diri itu. Wi Wi Toanio tidak berani menceritakan
tentang hal yang sebenarnya, maka dengan cerdik nenek itu hanya menceritakan
bahwa ia hendak mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan karena
merasa tak kuasa menghadapi, mereka minta bantuan supek ini. Sebenarnya Pok Pok
Sianjin tidak mau mempedulikan segala urusan dunia, akan tetapi mendengar nama
Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu sebagai tokoh-tokoh tertinggi dari daerah selatan
dan timur, tergeraklah hatinya hingga timbul kegembiraannya untuk mengukur
kepandaian mereka. Apakah salahnya mengukur tenaga dalam sebuah pibu yang adil
dan dilakukan dalam suasana persahabatan? Oleh karena inilah maka Pok Pok
Sianjin menyanggupi dan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Swi Kiat Siansu, guru Thai Kek
Losu, ketika dibujuk oleh Hai Kong Hosiang yang menceritakan betapa kedua orang
muridnya, yaitu Thai Kek Losu, tewas dalam tangan Cin Hai, Lin Lin dan Lie Kong
Sian, tergerak pula hatinya ketika mendengar betapa pembunuh-pembunuh muridnya
itu, dibela pula oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Kalau saja kedua tokoh
besar itu tidak muncul untuk membela pembunuh-pembunuh muridnya, tentu ia tidak
akan sudi turun gunung karena ia pun telah mendengar tentang kesesatan
murid-muridnya itu, akan tetapi ia tergerak untuk mencoba pula kepandaian Bu
Pun Su dan Hok Peng Taisu yang amat terkenal.
Rombongan Hai Kong Hosiang terdiri dari dua
belas orang, yaitu Pok Pok Sianjin, Swi Kiat Siansu, Hai Kong Hosiang, Wi Wi
Toanio, Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin, Kam Hong Sin, Ceng Tek Hosiang, Ceng To
Tosu, Giok Im Cu, Giok Keng Cu, dan Giok Yang Cu. Selain dua belas orang-orang
lihai ini, masih terdapat ratusan perwira yang sengaja menjaga di sekitar
tempat itu.
Melihat keadaan rombongan yang banyak ini,
terutama melihat para perwira, Pok Pok Sianjin merasa heran dan bertanya kepada
Wi Wi Toanio, “Wi Wi, mengapa begini banyak orang berada di sini? Apakah kalian
hendak mengadakan perang besar?”
“Tidak, Supek. Mereka itu adalah kawan-kawan
teecu, dan perwira-perwira itu hanya untuk penjagaan kalau-kalau pihak lawan
membawa pula bantuan besar untuk sengaja mencari permusuhan.”
Juga Swi Kiat Siansu merasa heran melihat banyaknya
orang menjaga di situ, maka ia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Aku tidak
menghendaki adanya pertempuran besar. Kalian boleh bertempur dan bermusuhan,
akan tetapi jangan harap untuk melibatkan diriku dalam keadaan semacam itu!”
Hai Kong Hosiang menyatakan kesanggupannya
untuk mencegah para perwira itu membuat kacau dan hanya minta agar supaya Pok
Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu menghadapi Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu di
dalam pibu yang hendak diadakan.
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu merasa girang
dapat saling bertemu dan mereka segera bermain catur di bawah sebatang pohon
dan tidak mempedulikan lagi keadaan di sekitarnya.
Pada saat itu dua orang kakek yang sudah amat
tua itu asyik bermain catur, maka datanglah rombongan Hok Peng Taisu yang terdiri
dari delapan orang, yaitu Hok Peng Taisu sendiri, Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma
Hoa, Ang I Niocu, Lie Kong Sian dan Nelayan Cengeng. Dengan sikap tenang dan
gagah Hok Peng Taisu berjalan memimpin kawan-kawannya naik ke bukit dan sama
sekali tidak gentar melihat para perwira yang berderet-deret menyambut
kedatangan mereka itu.
Ketika Hai Kong Hosiang dan yang lain-lain
menyambut, Hok Peng Taisu berlaku seakan-akan tidak melihat mereka, akan tetapi
langsung menghampiri kedua orang kakek yang tengah bermain catur itu sambil
tertawa dan berkata,
“Kalau Bu Pun Su belum meninggalkan kita,
kalian tentu akan dipukul hancur dalam permainan catur ini. Sayang aku tidak
pandai bermain catur!”
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang juga
telah melihat kedatangannya, segera berdiri sambil tertawa.
“Hok Peng, kau nyata masih nampak sehat-sehat
saja sungguhpun kepalamu sudah menjadi botak dan hampir habis semua rambutmu!”
kata Pok Pok Sianjin, sedangkan Swi Kiat Siansu berkata dengan kecewa.
“Kau bilang tadi bahwa Bu Pun Su sudah
meninggalkan kita? Ah, sayang sekali...! Dari tempat jauh, aku datang karena
ingin merasakan pula kelihaiannya, ternyata ia telah mendahuluiku pergi...
sungguh sayang.”
Hok Peng Taisu tertawa pula. “Jangan kau
kecewa, Swi Kiat Siansu! Sungguhpun Bu Pun Su telah berpulang ke asalnya, akan
tetapi dia telah mengirim salamnya dan bahkan mengirim seorang wakil yang cukup
akan menggembirakan hatimu.”
Swi Kiat Siansu memandang tajam. “Apa? Apakah
kau mewakili dia pula?”
Hok Peng Taisu menggeleng-geleng kepala. “Apa
kaukira aku demikian serakah untuk memborong semua kehormatan? Bukan, bukan
aku, akan tetapi muridnya.” Kakek botak ini lalu melambaikan tangan ke arah Cin
Hai yang segera menghampiri mereka.
“Inilah wakil Bu Pun Su, ia disebut Pendekar
Bodoh!”
Cin Hai lalu menjura dengan penuh penghormatan
kepada Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin sambil berkata, “Teecu Sie Cin Hai
yang bodoh merasa mendapat kehormatan besar dapat bertemu dengan Ji-wi
Locianpwe.”
Pok Pok Sianjin bertubuh jangkung kurus, dan
agak bongkok. Rambut dan kumisnya telah putih semua dan terurai ke bawah tidak
terawat sama sekali. Tangan kanannya membawa sebatang tongkat panjang yang
bengkok-bengkok dan tangan kirinya selalu mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
Ia mengangguk-angguk senang melihat sikap Cin Hai yang sopan santun dan melihat
sikap serta pandang mata pemuda itu, maklumlah ia bahwa pemuda ini adalah
seorang yang “berisi”.
Swi Kiat Siansu bertubuh gemuk bundar seperti
patung Jilaihud, jubahnya kuning dan hanya merupakan sehelai kain yang
dibelit-belitkan pada tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang kipas dan
agaknya ia selalu merasa gerah karena kipas itu tiada hentinya digunakan untuk
mengipasi tubuhnya. Kakek yang juga sudah tua sekali ini ketika mendengar bahwa
julukan pemuda itu Pendekar Bodoh, segera menaruh hormat dan tahu bahwa orang
yang menggunakan julukan serendah itu pasti memiliki kepandaian yang berarti.
“Bagus sekali,” kata Swi Kiat Siansu. ”Bu Pun
Su, ternyata pandai memilih murid-murid, tidak seperti aku yang selalu salah
pilih. Pendekar Bodoh, tentu kau pula yang telah membantuku memberi hajaran
kepada kedua muridku Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu?”
Cin Hai menjawab dengan tenang.
“Locianpwe, mana teecu berani memberi hajaran
kepada orang lain? Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sengaja hendak membunuh
teecu dan kawan-kawan, terpaksa kami membela diri.”
Swi Kiat Siansu mengangguk-angguk, lalu ia
berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong Bengyu, kau telah berhasil mengundang
aku untuk mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan kini mereka
berdua telah datang, biarpun Bu Pun Su sendiri hanya diwakili oleh muridnya.
Akan tetapi, kau harus ingat bahwa pibu ini adalah urusan kami sendiri dan kau
serta kawan-kawanmu yang banyak jumlahnya itu tidak boleh mencampuri urusan
kami. Urusan pribadi terhadap para tamu tidak ada hubungannya dengan pibu ini!”
Pok Pok Sianjin juga berkata kepada Wi Wi
Toanio, “Aku telah bertemu dengan jago-jago dari selatan dan timur, jangan mengganggu
pibu ini.”
Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio biarpun
merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak berani membantah, hanya mereka
mengharap agar dalam pibu ini, Cin Hai dan Hok Peng Taisu kena dikalahkan,
karena dengan demikian, akan mudah bagi mereka untuk menyerang Ang I Niocu dan
kawan-kawannya. Mereka memang merasa gentar terhadap Hok Peng Taisu dan Bu Pun
Su dan biarpun mereka tahu akan kelihaian Cin Hai yang mewakili Bu Pun Su,
namun mereka tidak begitu jerih terhadap Cin Hai.
Sementara itu, Hok Peng Taisu lalu menghadapi
kedua kakek sakti dari barat dan utara itu dan berkata,
“Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, kita ini
seperti anak-anak kecil yang bodoh hingga dapat dibujuk oleh orang-orang muda
untuk datang ke sini hingga saling berhadapan! Akan tetapi setelah kita bertemu
di sini, maka kita tak perlu merasa sungkan lagi karena aku dapat menduga isi
hati kalian yang tentu tak jauh bedanya dengan isi hatiku. Bukankah kalian
datang karena ingin menguji kepandaianku dan kepandaian Bu Pun Su?”
Swi Kiat Siansu tertawa. “Benar, benar! Memang
orang-orang yang sudah terlalu tua seperti kita memang kembali menjadi
bocah-bocah lagi. Sayang sekali Bu Pun Su tidak dapat hadir, kalau dia ada
alangkah senangnya!”
“Locianpwe,” kata Cin Hai dengan masih
menghormat, “mendiang Suhu pernah menyatakan kekecewaannya karena tidak dapat
menerima penghormatan ini sendiri akan tetapi Suhu telah menitahkan teecu untuk
mewakilinya. Oleh karena taat kepada perintah Suhu, maka teecu melupakan
kebodohan sendiri dan berani berlaku lancang menghadapi Ji-wi Locianpwe untuk
melayani Locianpwe berdua bermain-main!”
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu saling
pandang, lalu tertawa terbahak-bahak. “Pendekar Bodoh,” kata Pok Pok Sianjin.
“Kau terlalu merendahkan diri sendiri dan dapat menyesuaikan dirimu, bagus
sekali!”
“Locianpwe,” kata Cin Hai, “teecu teringat
akan ujar-ujar Nabi Khong Cu yang pernah menyatakan bahwa jika orang bodoh suka
menggunakan cara sendiri dan orang rendah berlaku agung, maka orang tak dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya dan berkukuh memegang aturan
kuno yang sudah tidak sesuai lagi, maka orang demikian itu tentu akan mengalami
bencana yang menimpa dirinya!”
“Itulah ujar-ujar dalam kitab Tiong-yong!”
seru Pok Pok Sianjin dengan kagum. “Eh, anak muda, kau benar-benar
mengherankan! Ucapan-ucapanmu tak pantas keluar dari mulut seorang semuda
engkau! Tahukah kau bahwa usiamu ini membuat kau lebih pantas menjadi cucuku?
Dan kau hendak melayani kami bermain-main?”
“Locianpwe, para bijak jaman dahulu pernah
menyatakan bahwa kepandaian dan pribudi orang tidak diukur dari tinggi rendah
usianya, seperti juga kebersihan lahir batin seseorang tak dapat dilihat dari
pakaiannya! Oleh karena itu, apakah salahnya perbedaan usia di antara kita?
Apakah artinya muda dan tua? Buah yang sudah terlalu tua akan membusuk dan
kemudian jatuh ke atas tanah untuk bersemi lagi menjadi pohon muda akhirnya pun
akan menjadi tualah akhirnya! Lagi pula, Locianpwe hanya bermaksud untuk
main-main, maka biarlah teecu menerima pengajaran dan agar bertambah pengalaman
teecu dari main-main ini!”
“Ha, ha, ha! Kau memang pandai sekali,
Pendekar Bodoh!” kata Pok Pok Sianjin. “Hok Peng Taisu, tidak salah kau membawa
anak muda ini! Sekarang biarlah aku bermain dengan anak muda ini lebih dulu dan
Swi Kiat Siansu bermain-main dengan kau kemudian kita bertukar lawan!”
Hok Peng Taisu hanya mengangguk sambil
tersenyum, “Baiklah Pok Pok Sianjin. Kalian berdua pada saat ini boleh kuanggap
sebagai tuan rumah, maka biarlah ketentuan-ketentuannya terserah kepadamu
saja.”
Pok Pok Sianjin lalu menancapkan tongkatnya di
atas tanah, kemudian ia mengambil dua biji catur dan menyerahkannya sebuah
kepada Cin Hai sambil berkata, “Pendekar Bodoh, kita masing-masing memegang
sebuah biji catur dan marilah kita menaruh biji catur ini di kepala. Kemudian
kita saling serang dan berusaha menjatuhkan biji catur itu diri atas kepala.
Siapa yang biji caturnya terjatuh, harus berani mengaku kalah!”
Cin Hai diam-diam merasa terkejut oleh karena
biarpun “main-main” ini nampaknya tidak berbahaya, namun karena biji catur itu
ditaruh di atas kepala, maka untuk menjaga agar jangan sampai biji catur itu
terpukul jatuh, sama halnya dengan menjaga kepala sendiri, kana kepala itu
tidak akan terluput dari pada bahaya pukulan! Akan tetapi, dengan tenang ia
mengangguk dan lalu menaruh biji catur itu di atas kepalanya setelah menyingkap
rambutnya hingga biji catur itu menyentuh kulit kepala.
“Teecu telah siap, Locianpwe!” katanya.
“Bagus, mari kita mulai!” Kakek tua yang
tinggi kurus dan bongkok itu lalu melangkah maju dan mengebutkan tangannya ke
arah biji catur di atas kepala Cin Hai dan pemuda ini merasa betapa sambaran
angin yang keluar dari kibasan tangan ini sungguh dahsyat dan keras hingga ia
merasa betapa rambut kepalanya tertiup keras! Ia segera menggerakkah kedua
lengannya dan mainkan gerak Pek-in-hoatsut lalu menolak sambaran angin itu
dengan angin pukulannya, bahkan lalu membalas dengan pukulan Mega Putih Menutup
Matahari ke arah biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin.
Pok Pok Sianjin melihat betapa sampokannya
tadi terpental kembali oleh uap putih yang keluar dari kedua lengan Cin Hai,
tertawa dan berkata, “Bagus, Pekin-hoat-sut yang kaumainkan ini mengingatkan
aku kepada Bu Pun Su! Ha, ha, kau benar-benar merupakan Bu Pun muda!!” Lalu ia
menyerang kembali dengan kebutan tangan atau tamparan yang dilakukan dengan
cepat dan mendatangkan angin pukulan yang hebat. Cin Hai berlaku waspada dan
hati-hati sekali. Ia mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas
menyerang.
Demikianlah, kedua orang itu saling serang
dengan hebatnya dan biarpun tubuh mereka berkelebatan ke sana ke mari, akan
tetapi belum pernah kedua lengan tangan mereka beradu karena mereka
mempergunakan lweekang dan ginkang untuk menyerang lawan dengan angin pukulan
saja! Nelayan Cengeng dan kawan-kawan lainnya yang menonton pertempuran ini
merasa berdebar penuh ketegangan karena biarpun mereka berdua itu hanya
“main-main” belaka, namun kehebatan pertandingan itu lebih mendebarkan hati
daripada pertempuran dua ekor naga yang saling terkam! Juga Hok Peng Taisu
memandang tajam dan diam-diam ia mengagumi kelincahan dan ketenangan Cin Hai.
Harus diketahui bahwa pertandingan adu
kepandaian macam ini lebih berat daripada pertandingan dalam pertempuran biasa
karena dalam pertandingan bersyarat ini orang harus membagi dua perhatiannya,
yaitu selain menjaga pukulan lawan juga harus menjaga agar biji catur di atas
kepala itu jangan tergelincir jatuh di waktu tubuh mereka bergerak. Dengan
tenaga khikang, dapat menyedot biji catur itu hingga seakan-akan menempel di
kulit kepala, akan tetapi sebentar saja perhatian mereka terlepas, biji catur
itu ada kemungkinan terguling ke bawah yang berarti kekalahan bagi mereka!
Untuk dapat melakukan hal ini di butuhkan
kepandaian tinggi dan khikang yang sudah sempurna, maka Pok Pok Sianjin sengaja
memilih cara ini karena kalau anak muda itu tidak sanggup melakukannya berarti
bahwa kepandaiannya belum cukup tinggi untuk melayaninya! Akan tetapi, alangkah
kagum hatinya ketika melihat bahwa bukan saja Cin Hai sanggup melakukan
permainan ini dengan baik, bahkan dapat juga melancarkan serangan balasan yang
cukup mengejutkannya! Ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah mempelajari pokok-pokok
pergerakan silat dengan sempurna hingga dapat menduga ke mana arah serangan
lawannya, hingga sungguhpun ia harus mengakui bahwa lweekang dari Pok Pok
Sianjin lebih tinggi daripada lweekangnya sendiri, akan tetapi oleh karena ia
telah mengetahui lebih dulu arah serangan lawan, ia dapat menjaga diri lebih
cepat dari pada lawannya.
Tipu berganti tipu dan ilmu bertukar ilmu,
akan tetapi setelah bertempur lima puluh jurus, belum juga Pok Pok Sianjin
berhasil mengalahkan Cin Hai. Ia makin menjadi kagum dan juga penasaran, dan
ketika Cin Hai mainkan ilmu serangan yang baru-baru ini ia terima dari Bu Pun
Su, yaitu Ilmu Serangan Halilintar Menyambar Hujan, pukulan-pukulannya telah
berhasil membuat biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin menjadi miring.
Bukan main kagum dan terkejutnya hati Pok Pok
Sianjin melihat hebatnya serangan pemuda itu, hingga ia berseru keras memuji.
“Kau benar-benar murid Bu Pun Su tulen!”
katanya sambil menyambar tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas tanah.
“Keluarkan senjatamu, Pendekar Bodoh, dan mari kita bermain-main dengan senjata
agar lebih menyenangkan!” Cin Hai dengan hati gelisah terpaksa mengeluarkan
pedangnya Liong-cu-kiam, akan tetapi oleh karena suara kakek itu diliputi oleh
kegembiraan, ia menenteramkan hatinya dan menggerakkan pedang itu dengan cepat.
“Pedang bagus!” Pok, Pok Sianjin memuji pula
dan tongkatnya lalu berkelebat dengan hebatnya, hingga Cin Hai merasa amat
kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu tongkat sehebat ini. Biarpun ilmu
pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tidak mudah orang
melawannya, akan tetapi menghadapi ilmu tongkat Pok Pok Sianjin, ia benar-benar
tidak berdaya. Tentang kecepatan bergerak dan lihainya perubahan gerakan,
mungkin ilmu pedangnya tidak kalah karena beberapa kali Pok Pok Sianjin mengeluarkan
seruan kaget karena tidak menduga perubahan yang tiba-tiba terjadi pada pedang
Cin Hai, akan tetapi permainan tongkat kakek ini mengandung tenaga-tenaga yang
mujijat. Tongkat di tangannya itu seakan-akan hidup hingga dapat digunakan
untuk menempel, memutar membetot, mendorong dengan tenaga yang cocok sekali
hingga beberapa kali hampir saja pedang Cin Hai kena dirampas.
Cin Hai lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya
dan oleh karena ilmu pedangnya Daun Bambu memang hebat dan dapat disesuaikan
dengan kepandaian lawan yang bagaimanapun juga, maka ia dapat melakukan
perlawanan cukup seru. Namun ia kalah pengalaman dan juga ilmu tongkat Pok Pok
Sianjin memang lain daripada yang lain hingga lagi-lagi ketika ia menusuk,
pedangnya kena ditempel oleh tongkat itu. Kakek itu memutar-mutar tongkatnya
dan ternyata tenaga putaran itu luar biasa kuatnya, pedang Cin Hai ikut
terputar dan tiba-tiba tongkat itu meluncur ke atas kepalanya, menyabet biji
catur itu dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka.
Cin Hai terkejut sekali akan tetapi anak muda
ini memang mempunyai ketenangan yang sempurna dan kecerdikan luar biasa.
Melihat bahwa ia tak dapat mengelak lagi, apa pula menangkis, ia lalu berseru
keras dan mengerahkan khikangnya hingga tiba-tiba biji catur di atas kepalanya
mumbul setengah kaki lebih dan setelah tongkat kakek itu lewat di atas
kepalanya, biji catur itu turun kembali di atas kepalanya seperti tadi.
Hal ini membuat semua orang yang menonton
berseru kagum dan juga Pok Pok Sianjin tertawa bergelak-gelak sambil
menancapkan tongkatnya di atas tanah lagi.
“Ha, ha, ha! Dasar kau murid Bu Pun Su selain
lihai juga cerdik dan licin sekali. Kau pantas sekali disebut Pendekar Bodoh!
Hebat, hebat!” Seru Pok Pok Sianjin dengan gembira sekali sambil menepuk-nepuk
pundak Cin Hai. Pemuda ini merasa betapa tangan kakek yang menepuk pundaknya
seperti orang memuji itu berat sekali, maka cepat-cepat ia lalu mengerahkan
tenaganya dan tiba-tiba Pok Pok Sianjin merasa betapa pundak pemuda itu lemas
bagaikan kapuk! Ia memperhebat suara ketawanya dan Cin Hai, menyimpan pedang
sambil menjura dan berkata,
“Locianpwe kalau teecu bisa mempelajari ilmu
tongkatmu, teecu akan merasa berbahagia sekali!”
Bukan main senangnya hati Pok Pok Sianjin
mendengar ucapan ini karena ucapan ini saja menunjukkan betapa pemuda itu
menghargainya, maka ia tertawa lagi dan berkata, “Kalau ada jodoh dan usiaku
masih panjang, aku akan senang sekali mewariskan ilmu tongkat ini kepada
seorang keturunanmu!” Biarpun ucapan ini dikeluarkan sebagai main-main belaka
dan sambil lalu akan tetapi Cin Hai mencatat di dalam hati dengan baik-baik.
Swi Kiat Siansu dan Hok Peng Taisu juga memuji
kepandaian mereka yang baru saja mengadu kepandaian dan kini kedua orang itu
saling pandang. “Sekarang tiba giliran kita, Hok Peng Taisu. Telah lama aku
mengagumi Ilmu Silat Bambu Runcingmu, marilah kita main-main sebentar.”
Hok Peng Taisu tersenyum dan tidak mau berlaku
sungkun-sungkan lagi. Ia lalu memegang sepasang tongkat bambunya di kedua
tangan dan setelah menjura lalu berkata, “Mana sepasang tongkat bambuku dapat
dibandingkan dengan kipas mautmu?”
Memang senjata Swi Kiat Siansu adalah kipas
yang selalu dipakai mengebut-ngebut tubuhnya itu. Kipas ini lebar dan gagangnya
terbuat daripada gading gajah yang ujungnya runcing sedangkan permukaannya
terbuat daripada kulit harimau yang telah direndam obat hingga menjadi kuat dan
keras. Kini ia memegang kipas itu di tangan kanan dan siap menanti datangnya
serangan lawan.
“Karena pibu ini harus dilakukan dengan kepala
dingin, maka lebih baik kita menggunakan syarat seperti yang dilakukan oleh Pok
Pok Sianjin tadi,” kata Swi Kiat Siansu.
“Terserah kepadamu, Sahabat, karena seperti
telah kukatakan tadi, sebagai tuan rumah kau berhak mengambil penentuan,” jawab
Hok Peng Taisu.
“Baiknya diatur begini saja. Kalau seorang
diantara kita sampai kena diserang ujung baju atau ujung lengan bajunya hingga
robek, maka ia dianggap kalah.” Hok Peng Taisu mengangguk dan tertawa girang
karena mendapat kenyataan bahwa pihak lawan benar-benar tidak menghendaki
pertempuran mati-matian.
“Baik, baik. Mari kita mulai!”
Kedua orang kakek tua itu segera bergerak dan
sebentar saja mereka berdua lenyap dalam sebuah pertempuran yang memusingkan
pandangan mata orang yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya. Gerakan mereka sama
cepat dan gerakan senjata mereka sama lihai, hingga bayangan mereka terkurung
oleh gulungan sinar senjata yang berkelebatan hebat sekali. Semua orang yang
menonton pertempuran ini merasa kagum dan juga kuatir karena agaknya dalam
pertempuran macam ini tak mungkin dapat menang apabila tidak merobohkan lawan
dengan serangan maut!
Akan tetapi bagi Hok Peng Taisu dan Swi Kiat
Siansu yang sedang bertempur, mereka berdua maklum akan tingkat kepandaian
lawan yang seimbang, akan tetapi betapapun juga Swi Kiat Siansu diam-diam
mengakui bahwa Ilmu silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu benar-benar lihai
sekali dan masih dapat menekan permainan kipasnya sendiri! Ia harus mengerahkan
seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri dan demikianiah, mereka bertempur
dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya.
Tiba-tiba terdengar Swi Kiat Siansu berseru,
“Aku mengaku kalah!“ sedangkan Hok Peng Taisu juga berseru, “Kau lihai sekali!”
dan kedua-duanya melompat ke belakang dan menahan senjata masing-masing dan
menjura sebagai penghormatan kepada lawan. Ternyata bahwa sepasang bambu
runcing Hok Peng Taisu telah berhasil melobangi jubah Swi Kiat Siansu di kanan
kiri sedangkan ujung lengan baju Hok Peng Taisu pada saat yang sama juga kena
terobek oleh gagang kipas kakek gemuk itu! Melihat hal ini mudah diputuskan
bahwa Hok Peng Taisu masih menang setingkat.
Swi Kiat Siansu berkata kepada Pok Pok Sianjin
sambil tertawa, “Memang orang-orang selatan dan timur lebih rajin melatih diri
dari pada kita.” Kemudian ia menghadapi Cin Hai dan berkata,
“Pendekar Bodoh, marilah kita main-main
sebentar, ingin aku merasakan lihainya pedangmu!”
Cin Hai lalu mencabut Liong-cu-kiamnya dan
bersiap sedia. Suhunya pernah berpesan agar supaya berhati-hati menghadapi
kakek gemuk ini oleh karena biarpun tabiatnya jujur dan baik, akan tetapi Swi
Kiat Siansu memiliki dasar watak yang enggan mengaku kalah. Lain halnya dengan
Pok Pok Sianjin yang lebih berani mengaku kalah dan juga berani pula mengaku
salah. Kini menghadapi kakek gemuk ini, Cin Hai berlaku hati-hati sekali.
“Locianpwe, sebelumnya terima kasih atas
pengajaranmu ini. Apakah syaratnya masih sama dengan tadi, yaitu saling
berusaha menyerang pakaian?”
“Ya, dan kau berhati-hatilah menjaga kipasku
agar jangan sampai salah tangan!” Sambil berkata demikian, Swi Kiat Siansu lalu
maju menyerang kepada Cin Hai. Kakek gemuk ini biarpun tadi mengakui keunggulan
Hok Peng Taisu, namun diam-diam ia merasa jengkel dan penasaran juga, maka kini
menghadapi Cin Hai, ia mengambil keputusan untuk mencari kemenangan untuk
menebus kekalahannya yang tadi. Tak heran apabila kipasnya bergerak dengan
kecepatan yang sukar untuk dapat diikuti dengan pandangan mata, merupakan
gulungan sinar kuning yang menggulung dengan dahsyatnya ke arah tubuh Cin Hai!
Cin Hai terkejut dan cepat mainkan pedangnya untuk melindungi dirinya dan tiap
kali pedangnya bertemu dengan gagang kipas ia merasa betapa telapak tangannya
tergetar! Dari bentrokan ini saja ia dapat mengukur sampai di mana kehebatan
tenaga lawannya, maka dengan penuh ketekunan dan hati-hati sekali ia lalu
mainkan ilmu pedangnya, Daun Bambu dengan tangan kanan, sedangkan untuk menjaga
diri, tangan kirinya melakukan gerakan-gerakan Pek-in-hoat-sut.
Sementara itu Pok Pok Sianjin berkata kepada Hok
Peng Taisu, “Hok Peng Taisu marilah kita main-main sebentar agar aku mengenal
lebih baik bambu runcingmu!”
“Mari!” jawab Hok Peng Taisu sambil tersenyum
dan bersiap sedia dengan sepasang bambu runcingnya. Keduanya lalu menggerakkan
senjata masing-masing dan bertempur seru. Sungguhpun di antara keduanya tidak
menggunakan syarat apa-apa, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh berilmu tinggi,
mereka dapat menjaga diri dan serangan-serangan mereka biarpun merupakan
pukulan maut, akan tetapi di dalam hati sama sekali tidak ada niat atau nafsu
untuk membunuh atau melukai lawan.
Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya melihat
betapa empat orang itu mengadu kepandaian secara persahabatan, merasa kecewa
sekali oleh karena kini lenyaplah harapan mereka untuk mengalahkan Hok Peng
Taisu maupun Cin Hai, karena biarpun mereka andaikata kalah terhadap Swi Kiat
Siansu dan Pok Pok Sianjin, namun kekalahan itu belum tentu membuat mereka
mundur untuk membela kawan-kawan lain yang hendak mereka basmi. Kini melihat
betapa keempat orang itu sedang bertempur seru, diam-diam ia mengeluarkan
jarum-jarumnya yang mengandung racun Ular Hijau yang berbahaya itu dan
tiba-tiba ia mengayun tangannya menyerang dengan jarum-jarumnya ke arah Cin Hai
dan Hok Peng Taisu!
Ketika itu, pertempuran antara Cin Hai dan Swi
Kiat Siansu sedang berjalan dengan ramai-ramainya. Biarpun Cin Hai sudah
mengeluarkan ilmu kepandaiannya, namun pada suatu saat, kipas di tangan Swi
Kiat Siansu menyambar sedemikian hebatnya sambil mengibas dengan tenaga
sepenuhnya hingga pedang Cin Hai kena disampok dan terlepas dari pegangan! Akan
tetapi, dalam kagetnya, Cin Hai lalu menggunakan tangan kiri melancarkan
pukulan Halilintar Menyambar Hujan yang mengandung daya pukulan luar biasa
sekali. Pukulan ini ditujukan kepada kipas di tangan Swi Kiat Siansu dengan
tenaga sepenuhnya dan “brak!!” permukaan kipas yang terbuat dari pada kulit
harimau itu menjadi robek dan hancur berkeping-keping sedangkan pedang
Liong-cu-kiam yang terpental dari tangan Cin Hai, menancap di atas lantai!
Pada saat itulah datangnya jarum-jarum dari
Hai Kong Hosiang secara tiba-tiba. Cin Hai yang masih tergetar oleh pukulan
kipas tadi mendengar datangnya angin senjata rahasia yang lembut itu. Ia cepat
mengelak, akan tetapi tetap saja sebatang jarum Ular Hijau menancap pada
pundaknya hingga ia terhuyung-huyung lalu roboh dengan tubuh terasa panas
sekali. Akan tetapi ia cepat dapat mengerahkan lweekangnya untuk menolak
pengaruh racun itu hingga ia masih dapat menguasai dirinya dan tidak menjadi
pingsan. Sambil bersila ia lalu mengatur napas dan memelihara jalan darahnya.
Sementara itu, Swi Kiat Siansu yang merasa terkejut sekali karena senjata
kipasnya kena dipukul hancur oleh Cin Hai, kini melihat betapa pemuda itu
terkena serangan senjata rahasia yang dilepas oleh Hai Kong Hosiang, menjadi
marah sekali.
“Bangsat gundul curang!” bentaknya marah. “Kau
membikin malu saja kepadaku!” Sambil berkata demikian, ia lalu menyambit dengan
gagang kipasnya yang masih terpegang di dalam tangannya. Gagang kipas itu
meluncur cepat menuju ke arah tenggorokan Hai Kong Hosiang yang cepat mengelak
hingga mengenai tempat kosong. Swi Kiat Siansu masih penasaran dan cepat
tubuhnya berkelebat ke arah Hai Kong Hosiang dan menyerangnya dengan pukulan
tangan terbuka.
Hai Kong Hosiang bukanlah seorang yang lemah
dan ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, maka tentu saja ia dapat
mengelak dan membalas dengan pukulan nekat. Ia maklum bahwa ia telah gagal
mengharapkan bantuan kakek ini yang sekarang bahkan menyerangnya karena marah
melihat kecurangannya tadi, maka sambil berseru keras ia melawan sekuat tenaga,
berkali-kali ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas sambil
menggerak-gerakkan kedua kakinya untuk menyerang Swi Kiat Siansu secara hebat
sekali. Tentu saja Swi Kiat Siansu makin marah dan dengan seruan keras ketika
kaki Hai Kong Hosiang menendang ke arah kedua pundaknya, ia menangkap kaki itu
dan cepat membanting tubuh Hai Kong Hosiang yang tinggi besar itu ke atas batu
karang! Terdengar pekik keras dan kepala hwesio jahat itu pecah berantakan
ketika dibenturkan kepada batu karang!
Sementara itu Lin Lin lalu, berlari
menghampiri Cin Hai dan memeluk kekasihnya dengan hati bingung. Adapun Hok Peng
Taisu yang sedang bertempur mengadu kepandaian dengan Pok Pok Sianjin, lalu
melompat mundur dan menghampiri Swi Kiat Siansu yang masih marah sekali itu.
Melihat kesedihan Lin Lin, Swi Kiat Siansu
lalu mengeluarkan sebotol obat warna merah. Sebagai seorang pertapa di daerah
Mongolia ia maklum akan berbahayanya jarum-jarum Ular Hijau dan ia tahu pula
obatnya, karena ia pun adalah seorang ahli pengobatan. Untuk menjaga diri, ia
selalu membawa obat-obat anti racun dan obat Semut Merah tersedia pula dalam
saku bajunya.
Dengan amat berterima kasih, Lin Lin lalu
meminumkan obat itu kepada Cin Hai dan seketika itu juga sembuhlah Cin Hai.
Akan tetapi, seperti Lin Lin dulu, begitu ia sembuh, perang tanding antara
Racun Ular Hijau dan Obat Semut Merah itu mempengaruhi otaknya dan tiba-tiba ia
menjadi marah sekali. Hanya karena kekuatan batinnya sudah jauh lebih kuat
daripada Lin Lin, maka ia masih dapat membedakan mana kawan mana lawan.
Pada suatu saat, Wi Wi Toanio dan
kawan-kawannya datang menyerbu, diikuti oleh perwira-perwira di bawah perintah
Kam Hong Sin. Cin Hai lalu melompat ke atas, memungut pedangnya yang menancap
di tanah, lalu mengamuk hebat sekali. Juga Lin Lin, Ang I Niocu, Lie Kong Sian,
Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng tidak mau tinggal diam dan menyambut
serbuan musuh yang besar jumlahnya itu. Perang tanding terjadi amat hebatnya,
sedangkan Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, dan Hok Peng Taisu merasa segan
untuk ikut mencampuri pertempuran itu, sungguhpun mereka merasa penasaran
melihat betapa Cin Hai dan kawan-kawannya dikeroyok oleh sekian banyak orang.
Dalam kemarahannya yang bukan sewajarnya, Cin
Hai mendesak Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, dan Lok Kun Tojin mengeroyoknya.
Pedang Liong-cu-kiam di tangannya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya hingga
ketiga orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi itu merasa kewalahan karena
belum pernah mereka menyaksikan sepak terjang yang demikian hebatnya! Dalam
jurus ke dua puluh lebih, Wi Wi Toanio kena terbabat pinggangnya oleh pedang
Liong-cu-kiam hingga sambil menjerit wanita itu roboh mandi darah dan tewas
seketika itu juga! Siok Kwat Moli dan Lok Kun Tojin terkejut dan gentar hingga
gerakan mereka menjadi lambat karenanya. Cin Hai tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Dua kali ia membuat gerakan tangan kanan menusuk dan tangan
kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan ke arah Lok Kun Tojin.
Terdengar pekik mengerikan ketika pedang itu menembus dada Siok Kwat Mo-li dan
pukulan tangan kirinya yang dahsyat memecahkan kepala Lok Kun Tojin.
Setelah membunuh tiga orang lawannya,
tiba-tiba Cin Hai merasa pening dan mengantuk sekali dan tanpa dapat dicegah
lagi tubuhnya terguling dan telah tidur mendengkur sambil memegang pedang
Liong-cu-kiam yang telah menjadi merah karena darah.
Sementara itu, pertempuran masih berjalan
hebat dan Ang I Niocu dan kawan-kawannya mengamuk hebat dan menjatuhkan banyak
korban di pihak lawan, akan tetapi musuh terlampau banyak hingga mereka
terdesak hebat.
Tiba-tiba berkelebat tiga bayangan orang dan
di mana saja tubuh mereka menyambar, senjata-senjata para perwira terpental ke
atas. Mereka ini ternyata adalah tiga orang kakek sakti yang tidak tahan pula
melihat pertempuran itu karena merasa ngeri melihat banyaknya darah
berhamburan. Sambil bergerak mereka berseru,
“Tahan pertempuran, tahan!”
Orang-orang merasa jerih juga melihat mereka
turun tangan maka semua lalu mengundurkan diri.
Dengan marah Swi Kiat Siansu lalu menghadapi
Kam Hong Sin dan kawan-kawannya sambil berkata, “Kalau aku tidak ingat bahwa
kau adalah panglima kerajaan, tentu sekarang juga kuhancurkan kepalamu! Kau
telah bersekutu dengan Hai Kong yang jahat, dan kalian dengan tipu muslihat
berhasil mengundang aku dan Pok Pok Sianjin hingga terpaksa kami turun gunung
membuat dosa baru. Tidak tahunya kalian hendak mempergunakan kami untuk
memusuhi orang-orang baik dan membela Hai Kong yang jahat. Lihatlah bukti
kekuasaan dan keadilan Tuhan Yang Agung. Mereka yang jahat menemui kematian
mengerikan!” Ia menuding ke arah mayat Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Siok
Kwat Mo-li. “Biarlah kali ini menjadi pelajaran bagimu agar lain kali dalam
menjalankan tugas, kau akan berlaku hati-hati dan dapat mempertimbangkan orang
yang baik dan yang jahat!”
Kam Hong Sin memberi hormat dan berkata dengan
tegas, “Locianpwe, siauwte adalah seorang petugas yang hanya menjalankan
kewajiban siauwte sebagai seorang panglima. Anak murid Bu Pun Su dan Hok Peng
Taisu ini telah merampas harta pusaka dan mereka membagikan harta pusaka kepada
mereka yang tidak berhak. Padahal harta pusaka adalah hak milik kerajaan. Bagi
siauwte, lebih baik mati sebagai seorang perwira yang menjalankan tugasnya
daripada mati sebagai seorang pengkhianat.”
Mendengar ucapan yang gagah dan patut dihargai
ini, Hok Peng Taisu melangkah maju dan berkata, “Kam-ciangkun, aku telah lama
mendengar bahwa kau adalah seorang perwira yang gagah, dan ternyata bahwa hal
ini ada betulnya. Akan tetapi, agaknya kau masih terlampau muda untuk memegang
jabatan tinggi itu hingga pertimbanganmu belum masak benar. Ketahuilah bahwa
harta pusaka itu adalah hasil rampokan di jaman dahulu, dan rakyat yang
dirampok. Maka aku dan kawan-kawan lain mengembalikan harta itu dan
membagi-bagikan kepada para rakyat miskin, bukankah ini sudah adil namanya?
Apakah artinya harta sekian banyak itu bagi Kaisar yang telah kaya? Akan tetapi
besar sekali artinya bagi rakyat yang hampir tak dapat makan karena miskinnya!”
Kam Hong Sin merasa terpukul oleh ucapan ini
dan ia lalu menjura dan bertanya, “Kalau betul siauwte telah salah jalan, habis
apakah yang sekarang harus kulakukan?”
“Tariklah mundur anak buahmu dan bawalah semua
orang yang tewas untuk diurus sebaiknya. Kemudian, setiap langkahmu harus kau
perhatikan baik-baik agar kau jangan menanam bibit permusuhan dengan
orang-orang gagah. Hendaknya kau dapat memperhatikan dan membedakan antara
orang-orang gagah dan penjahat-penjahat seperti Hai Kong Hosiang itu!” kata Hok
Peng Taisu.
Kam Hong Sin lalu memerintahkan anak buahnya
untuk mengangkat semua korban, dibawa turun gunung, sedangkan kawan-kawannya
pun ikut turun gunung pula. Ceng Tek Tosu menghampiri Cin Hai yang sementara
itu telah didekati oleh Lin Lin dan telah sadar kembali, sembuh seperti
sediakala. Bahkan anak muda ini telah lupa bahwa ia telah membunuh Siok Kwat
Mo-li, Wi Wi Toanio, dan Lok Kun Tojin.
Ceng To Tosu yang selalu mewek itu menjura
kepada Cin Hai dan berkata, “Sie-taihiap, kau maafkan pinto yang telah lancang
tangan hingga terbawa-bawa dalam urusan ini, karena pinto hanya memenuhi tugas
sebagai pembantu kerajaan Kaisar.”
Cin Hai tersenyum. “Tidak apa, Totiang, dan
maaf sama-sama. Kita semua menunaikan tugas masing-masing, hanya sayangnya
dalam bidang lain hingga timbul kesalahan paham ini.” Ceng To Tosu
mengangguk-angguk dan mulutnya makin mewek seperti benar-benar hendak menangis.
“Aku juga minta maaf, Taihiap,” kata Ceng Tek
Hwesio sambil tertawa-tawa gembira, seakan-akan baru saja tadi bukan terjadi
perang hebat, akan tetapi pesta minum arak yang menggirangkan hatinya!
“Kau adalah orang yang paling berbahagia, Ceng
Tek Hwesio, semoga kau masih panjang usia dan kelak kita dapat bertemu
kembali,” jawab Cin Hai. Keduanya lalu mehgundurkan diri, berlari-lari menyusul
rombongan Kam Hong Sin turun gunung.
Cin Hai dan kawan-kawannya lalu menghampiri
Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin dan pemuda itu menjatuhkan diri berlutut
lalu berkata,
“Ji-wi Locianpwe yang mulia, teecu
menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe berdua yang dapat
menyelesaikan persoalan ini dengan penuh kebijaksanaan. Terutama sekali kepada
Swi Kiat Siansu Locianpwe, terima kasih atas pertolongan kepada teecu.” Cin Hai
tadi telah mendengar dari Lin Lin akan pertolongan yang diberikan oleh kakek
itu kepadanya.
Bukan main kagum dan senangnya hati kedua
tokoh dari barat dan utara itu melihat sikap Cin Hai yang biarpun tidak lebih
rendah tingkat ilmu kepandaiannya daripada mereka, akan tetapi telah berani
bersikap sedemikian sopan santun dan merendah. Swi Kiat Siansu mengangkat
bangun kepadanya dan berkata,
“Sikapmu ini telah menjatuhkan hati kami,
Pendekar Bodoh. Bukan kepandaian saja yang dapat menjatuhkan seseorang, akan
tetapi sikap yang baik lebih berpengaruh. Melihat sikapmu saja, kami dapat
mengetahui bahwa permusuhan antara pihakmu dengan pihak Hai Kong, pihakmu yang
berada di pihak benar. Sekarang maafkan kami. Tentang ilmu kepandaian, terus
terang kunyatakan bahwa orang-orang selatan dan timur benar-benar pandai, tidak
seperti kami yang menyembunyikan diri dan lupa untuk berlatih diri.”
“Janganlah kalian terlalu merendah,” jawab Hok
Peng Taisu. “Ilmu kipas dari Swi Kiat Siansu sungguh mengagumkan sedangkan ilmu
tongkat Pok Pok Sianjin benar-benar membuat aku merasa tunduk.”
Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan merendah,
kedua kakek dari barat dan utara itu lalu berkelebat pergi, sedangkan Hok Peng
Taisu lalu berkata,
“Untung sekali bahwa persoalan dapat
diselesaikan dengan mudah. Sekarang kalian pulanglah dan jauhkan diri dari
segala persengketaan yang tidak perlu. Ma Hoa kalau kelak kau melangsungkan
pernikahanmu, jangan lupa mengundang aku untuk minum arak!” Setelah berkata
demikian, kakek botak ini pun lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali.
Nelayan Cengeng tertawa bergelak karena
girangnya dan air matanya mengalir keluar “Ha, ha, ha! Memang yang benar selalu
pasti menang! Sekarang segala hal telah beres, dan aku pun ingin sekali segera
menyaksikan kalian semua melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga
yang bahagia!”
Cin Hai menyatakan bahwa ia bersama Lin Lin
hendak bersembahyang dulu di depan Gua Tengkorak sebagai penghormatan terakhir
dan sebagai laporan kepada mendiang suhunya bahwa tugas telah diselesaikan
dengan baik. Setelah berjanji akan bertemu di Tiang-an dengan kawan-kawannya
sepasang teruna remaja ini dengan cepat lalu turun gunung.
Nelayan Cengeng tertawa girang. “Lebih cepat
dilangsungkan pernikahan mereka dan pernikahan Ma Hoa, lebih baik lagi. Marilah
kita langsung menuju ke Tiang-an. Dan Niocu hendak pergi ke manakah?” tanyanya
kepada Ang I Niocu. Dara Baju Merah itu tak dapat menjawab dan Ma Hoa tersenyum
lalu menggoda sambil mengerling ke arah Lie Kong Sian.
“Syarat-syarat telah dipenuhi semua mau tunggu
apa lagi? Lie-tathiap, mengapa kau diam saja?”
Lie Kong Sian maklum akan maksud kata-kata
ini, biarpun ia merasa malu dan mukanya menjadi merah, akan tetapi karena ia
berhati jujur dan polos, ia lalu berkata kepada Ang I Niocu,
“Moi-moi, di depan kawan-kawan baik yang
menjadi saksi biarlah kuulangi lagi pinanganku yang dulu. Benar sebagaimana
kata Nona Ma Hoa tadi, semua syarat-syaratmu telah terpenuhi. Sie-sute dan Nona
Lin Lin telah bertemu kembali, Suteku Song Kun juga telah tewas, dan kita telah
mendapat persetujuan dari mendiang Supek Bu Pun Su.”
Merahlah muka Ang I Niocu, melebihi merahnya
warna bajunya! Sambil menundukkan kepalanya, ia berkata, “Dulu pernah kukatakan
bahwa selain yang tiga itu, masih ada sebuah syarat lagi.”
“Apakah itu? Biarlah kawan-kawan menjadi
saksi, aku akan memenuhi syarat ke empat ini, betapa pun beratnya!”
Ang I Niocu mengerling tajam. “Pantaskah
diucapkan di sini?”
Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan
berkata, “Niocu, di antara kawan sendiri, mengapa harus malu-malu? Atau,
haruskah kami bertiga pergi dulu dari sini?”
Makin malulah Ang I Niocu mendengar ini. Ia
menjadi serba salah, kemudian ia berkata perlahan, “Syarat yang ke empat adalah
cita-citaku sejak dulu, yaitu orang yang patut menjadi suamiku harus terlebih
dulu dapat menjatuhkan aku dalam sebuah pertandingan!”
Tercenganglah semua orang mendengar syarat
ini, tidak terkecuali Lie Kong Sian. Akan tetapi, Lie Kong Sian dengan
tenang-tenang saja lalu berkata, ”Baiklah kalau demikian kehendakmu, terpaksa
aku akan berusaha menjatuhkanmu!”
Ang I Niocu mencabut Liong-cu-kiamnya dan
bersiap menghadapi tunangannya. Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu
mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dari tempat yang akan dijadikan
gelanggang pertempuran antara kedua orang itu.
“Cobalah kalau bisa!” kata Ang I-Niocu dengan
mata bersinar gembira dan bibir tersenyum manis. Sikapnya menantang sekali,
karena ia merasa telah dapat mempermainkan Lie Kong Sian dan karena ia merasa
bahwa nilai dirinya telah naik!
“Jagalah!” seru Lie Kong Sian sambil mencabut
pedangnya pula lalu maju menyerang dengan hebat. Sebentar saja kedua orang itu
bertempur hebat sekali hingga tubuh mereka seakan-akan menjad satu gulungan
warna merah dari baju Ang I Niocu dan warna biru dari baju Lie Kong Sian!
Diam-diam Lie Kong Sian menggunakan tangan
kirinya melepaskan dua helai tali sutera warna hijau dan menggenggam tali itu
di tangannya. Kemudian, ketika pedang Ang I Niocu menyambar, ia sengaja
memasang pundaknya untuk menerima tusukan itu! Ang I Niocu terkejut sekali dan
sambil menjerit ngeri ia miringkan pedangnya agar jangan sampai menusuk pundak
Lie Kong Sian, akan tetapi terlambat! Pedangnya masih menggores bahu kanan Lie
Kong Sian, hingga bajunya robek dan mengalirlah darah dari bajunya.
Akan tetapi Lie Kong Sian yang memang sengaja
melakukan hal ini, mempergunakan kesempatan selagi Ang I Niocu terkejut dan
menyesal, tangan kirinya bergerak cepat dan tahu-tahu sutera hijau itu telah
melayang dan melibat kedua tangan Ang I Niocu yang terus dibetotnya dan sekali
ia menggerakkan tangan kiri lagi, tali sutera ke dua lalu melayang dan membelit
pergelangan kaki gadis itu! Beberapa kali ia menggerakan tangan dan tali-tali
itu telah mengikat kedua kaki dan kedua tangan Ang I Niocu dengan kencang
sedangkan pedang Liong-cu-kiam telah terampas oleh Lie Kong Sian! Tubuh Ang I
Niocu terguling dan kini ia rebah setengah duduk di atas tanah dengan kaki
tangan terbelenggu!
Ia menjadi bingung sekali dan berkata,
“Lepaskan aku, lepaskan!”
Akan tetapi Lie Kong Sian hanya berdiri
bertolak pinggang dan memandang dengan tersenyum!
“Lepaskan... lepaskan aku...!” Ang I Niocu
berkata lagi dan ia hampir saja menangis, sambil meronta-ronta dan mengerahkan
tenaga lweekangnya untuk melepaskan diri daripada belenggu itu, akan tetapi
tali sutera itu terbuat dari pada bahan yang tidak saja kuat dan ulet sekali,
akan tetapi juga mempunyai sifat lunak dan dapat mulur hingga tenaga
lweekangnya tiada berguna!
Terdengar suara tertawa bergelak-gelak dari
Nelayan Cengeng yang segera menghampiri Ang I Niocu. Juga Kwee An dan Ma Hoa
menghampirinya sambil tertawa-tawa.
“Lo-enghiong, Kwee An, Ma Hoa! Lepaskan
aku...!” kata Ang I Niocu dengan suara memohon karena Dara Baju Merah ini
merasa malu sekali.
“Ha, ha, ha!” Nelayan Cengeng tertawa geli
hingga air matanya mengalir keluar di sepanjang pipinya. “Mempelai wanita telah
tertawan...! Ha, ha, ha!” Kakek ini dengan gelinya tertawa gembira dan sama
sekali tak mau menolong Ang I Niocu.
“Kwee An, tolonglah aku!” kata Ang I Niocu.
Sambil mengangkat jari telujuknya, Kwee An
berkata, “Niocu, sekarang kau telah mendapat bukti akan kelihaian calon
suamimu! Tak boleh seorang calon isteri menantang suami, inilah jadinya!” Dia
menggoda sambil tersenyum.
“Ma Hoa, benar-benarkah kau tidak mau
menolongku membuka belenggu ini?” Ang I Niocu menengok kepada Ma Hoa, akan
tetapi gadis itu yang kini telah menyanggul rambutnya atas permintaan Kwee An
sebagai “Pembayaran kaul!” karena musuh-musuh telah dapat ditewaskan dan
dikalahkan semua, hanya tertawa, bahkan lalu bertepuk tangan gembira sambil
bernyanyi menggoda,
“Mempelai perempuan telah tertawan! Masuk
perangkap mempelai pria!”
Berkali-kali Ma Hoa bernyanyi sambil bertepuk
tangan hingga Ang I Niocu menjadi makin jengah dan malu.
“Adik Hoa, awas! Kalau sampai terbuka ikatan
tanganku, akan kucubit bibirmu yang nakal. Hayo lepaskan aku!” kata Ang I
Niocu, akan tetapi dengan sikap nakal dan menggoda, Ma Hoa berkata,
“Enci Im Giok, yang mengikat kaki tanganmu
bukanlah aku. Mengapa aku yang harus membukanya? Mintalah kepada orang yang
melakukannya!”
Lie Kong Sian menghampiri Ang I Niocu dengan
senyum di bibir.
“Bagaimana, Moi-moi, sudah takluk kau kepadaku
kini?”
Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya
meronta-ronta sambil berkata,
“Lepaskan... lepaskan!”
Lie Kong Sian menjura kepada Nelayan Cengeng
dan kepada Kwee An dan Ma Hoa sambil berkata, “Maafkan, kami hendak pergi dulu,
kembali ke pulau tempat kediaman kami. Kelak, apabila dilangsungkan pernikahan
antara Saudara Kwee An dan Nona Ma Hoa, juga antara Sie-sute dan Sumoi Lin Lin,
kami tentu akan hadir!” Setelah berkata demikian, tanpa melepaskan ikatan kaki
tangan Ang I Niocu, pemuda itu lalu membungkuk dan memondong tubuh kekasihnya
itu dan membawanya berlari cepat bagaikan terbang, menuju ke pulaunya yang
indah yang merupakan sarang bahagia bagi dia dan calon isterinya.
Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa merasa
girang dan juga terharu sekali menyaksikan kebahagiaan orang muda itu. Bahkan
Ma Hoa sampai menitikkan air mata sambil berkata,
“Syukurlah, kalau Enci Im Giok berbahagia. Dia
orang berbudi mulia...”
Kemudian mereka bertiga lalu melanjutkan
perjalanan menuju Tiang-an untuk menanti datangnya Cin Hai dan Lin Lin di
Tiang-an.
Tak lama kemudian, datanglah Cin Hai dan Lin
Lin membawa tiga ekor burung sakti, dan sebulan kemudian dilangsungkanlah
perkawinan yang meriah antara Kwee An dengan Ma Hoa, dan Cin Hai dengan Lin
Lin. Selain Ang I Niocu dan Lie Kong Sian yang sudah menjadi suami isteri,
hadir juga tokoh-tokoh persilatan dari seluruh penjuru dunia, di antaranya yang
hadir adalah Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu, Eng Yang Cu,
Giok Gan Kui-bo, Sie Lok dan Sie Kiong kedua paman Cin Hai, dan banyak orang
lagi.
Yousuf juga datang dan orang Turki ini
selanjutnya tinggal bersama Cin Hai dan Lin Lin, menikmati kebahagiaan hidup
sebagai ayah angkat yang dikasihi dan dihormat.
Perkawinan diberkahi oleh Kwee Tiong sebagai
seorang hwesio yang mengucapkan doa sambil mengalirkan air mata karena bahagia
melihat kedua adiknya, Kwee An dan Lin Lin, melangsungkan upacara pernikahan
dengan bahagia.
Yang amat menggembirakan hati dua pasang
mempelai itu ialah datangnya Sanoko, kepala suku Haimi itu, bersama Meilani dan
suaminya Manoko, juga Kam Hong Sin, panglima yang dulu menjadi lawan, datang
menghadiri pesta pernikahan itu dan melupakan segala permusuhan yang telah
lalu.
Setelah upacara pernikahan selesai Ang I Niocu
bersama suaminya kembali ke Pulau Pek-le-to di mana mereka hidup penuh
kebahagiaan, jauh dari dunia ramai, dikawani oleh Rajawali Sakti yang diberikan
oleh Lin Lin kepada mereka.
Juga Kwee An bersama isterinya dan Cin Hai
bersama Lin Lin, hidup penuh kebahagiaan, masing-masing didampingi oleh Nelayan
Cengeng dan Yousuf yang merupakan ayah angkat bagi Ma Hoa dan Lin Lin.
Demikianlah, cerita “Pendekar Bodoh” ini
berakhir sampai di sini, dan kami harap pembaca suka bersabar menanti munculnya
cerita“PENDEKAR REMAJA” atauSin-kiam Siauw-hiai yang akan menjadi
lanjutan cerita“PENDEKAR BODOH” , di mana pembaca akan menjumpai kembali
tokoh-tokoh seperti Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, dan Lie
Kong Sian oleh karena cerita itu akan menuturkan kisah dari putera-puteri
mereka! Sengaja dikarang oleh Asmaraman S. Kho Ping Hoo untuk melanjutkan
cerita “Pendekar Bodoh”. Nama pengarangnya menjadi jaminan bahwa ceritaSin-kiam
Siauw-hiap akan membuat para pembaca terpesona oleh jaminan isinya yang
indah menarik dan penuh ketegangan!
T A M A T