Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Sabtu, 12 Maret 2016

KANE DAN ABEL : SATU ANAK HARAM, YANG LAIN ANAK ORANG KAYA

Kelahiran dua anak yang berbeda latar belakang, mereka dipersiapkan dengan berbagai peristiwa untuk menjadi orang kaya, terpandang dan sukses. Keduanya saling bantu sebagai penyelamat (tidak saling kenal), dan bermusuhan dalam usaha mereka mencapai puncak. Siapa pemenangnya? Anak haram kah ? Mari kita ikuti kisah ini ....lahir di hari yang sama.

Bagian Pertama

1906  -  1923

 BAB  I

18 April 1906  Slonim, Polandia.

Ia baru berhenti menjerit ketika ia sudah mati. Ganti bayinya yang mulai menjerit. Bocah yang sedang berburu kelinci di hutan tidak merasa pasti apakah itu jeritan terakhir wanita ataukah jeritan pertama si bayi yang menyengat telinganya. Tiba-tiba ia membalik. Bahaya mungkin mengancam. Matanya mencari-cari binatang yang jelas-jelas kesakitan. Belum pernah ia mengenal binatang yang memekik sedemikian itu. Dengan hati-hati ia menuju suara. Jeritan kini telah berubah menjadi Lolongan. Tetapi tetap belum mirip suara binatang yang ia kenal. Semoga saja tidak terlalu besar untuk dibunuhnya. Paling sedikit dapat mengganti menu makan kelinci di malam hari.

Pemburu muda itu mengendap-endap menuju sungai. Dari situlah terdengar suara aneh tadi. Ia berlari-lari dari pohon ke pohon. Sambil merasakan lindungan kulit pohon di bahunya. Ada sesuatu yang dapat dirabanya. Jangan pernah berada di lapangan terbuka. Demikian ajaran ayahnya.Ketika ia tiba di pinggir hutan, ia memperoleh pemandangan yang jelas menuruni lembah hingga ke sungai. Bahkan ketika itupun masih dibutuhkan beberapa saat untuk menyadari bahwa jeritan aneh itu tidak terpekikkan oleh binatang biasa. Kini ia merayap menuju rintihan. Tetapi kini dia sendirian di lapangan terbuka. Tiba-tiba ia melihat wanita. Dengan pakaian tersingkap hingga pinggul. Kedua kakinya terkangkang lebar-lebar. Ia belum pernah melihat wanita demikian itu sebelumnya. Ia cepat-cepat lari menuju ke sisinya.

Memandang terbelalak pada perut wanita. Takut menyentuhnya. Dan di sana di antara kaki wanita itu tergeletaklah binatang kecil merah jambu terikat pada wanita itu dengan sesuatu yang mirip seutas tali. Pemburu muda meletakkan kelinci yang baru saja dikulitinya. Berlutut di samping makhluk kecil itu.

Lama ia memandangnya. Terpana. Kemudian mengarahkan pandangan kepada wanita itu. Mendadak ia menyesalinya. Wanita itu telah membiru karena dingin. Wajah lesu usia 23 tahun Nampak setengah umur bagi bocah itu. Ia tak perlu diberitahu bahwa wanita itu telah meninggal. Ia mengangkat tubuh mungil yang licin itu. Bila ditanya mengapa, padahal tak pernah ada yang menanyakannya, ia akan menjawab bahwa ia merasa khawatir karena kuku-kuku mungil jemari bayi itu mencakari wajahnya yang berkerut. Kemudian ia sadar bahwa ibu dan bayi itu tak terpisahkan karena seutas tali yang berlendir.

Beberapa hari sebelumnya ia mengamati kelahiran seekor anak domba. Ia mencoba mengingatnya. Ya,itulah yang dilakukan si gembala. Tapi apa ia berani melakukannya terhadap bayi? Rintihan kini telah berhenti. Dan ia merasakan bahwa sekarang keputusan mendesak. Ia mencabut pisaunya yang ia pergunakan menguliti kelinci. Membersihkannya di atas baju. Ragu sejenak. Lalu memotong tali dekat tubuh bayi. Darah mengucur di ujung tali yang terpotong. Lalu apa lagi yang dilakukan si gembala ketika kelahiran anak domba itu? Ia menyimpulkan tali untuk menghentikan darah yang mengalir. Tentu. Sudah barang tentu. Ia mencabut rerumputan panjang di sebelahnya lalu cepat-cepat menalikannya di simpul tali. Kemudian ia membopong bayi. Pelan-pelan ia berdiri. Tiga ekor kelinci ditinggalkannya. Demikian pula wanita mati yang melahirkan bayi itu. Sebelum meninggalkannya, ia merapatkan kedua belah kaki dan pakaian wanita itu ditariknya menutupi lutut. Kiranya  itulah tindakan yang benar.

*Ya Tuhan!" katanya keras-keras. Itulah pertama yang ia katakan setelah melakukan sesuatu yang sangat baik atau sangat buruk. Tapi ia belum merasa pasti apakah itu tindakan baik atau buruk.

Pemburu muda itu kemudian lari menuju pondok di mana sepengetahuannya ibunya sedang memasak makan malam mereka. Tinggal menantikan kelinci yang akan dibawanya. Semuanya akan dimasak. Ibunva sedang menghitung-hitung berapa ekor yang ia tangkap hari ini. Dengan suatu keluarga terdiri dari 8 jiwa yang harus dihidupi, paling sedikit ia memburuhkan 3 ekor. Kadang-kadang ia berhasil menangkap beberapa angsa atau bahkan seekor burung kuau yang tersesat dari wilayah perkebunan Baron di mana ayahnya bekerja. Sore ini ia menangkap binatang yang lain: sama sekali. Dan bila ia tiba di pondok, ia tidakberani meletakkan hadiahnya, maka ia menendangi pintu dengan kaki telanjangnya hingga akhirnya dibukakan pintu oleh ibunya. Dengan diam ia menunjukkan hadiah kepada ibunya. Ibunya tidak segera bergegas mengambil makhluk kecil itu darinya. Ia hanya berdiri. Tangan satu menutupi dadanya. Ternganga menghadapi pemandangan yang mengharukan.

"Ya Tuhan" kata ibunya. Lalu membuat tanda salib. Bocah itu memandangi wajah ibunya ingin melihat tanda senang atau marah. Mata ibunya kini menunjukkan kelembutan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Ia tahu apa yang telah dilakukannya itu pasti baik.

'Apakah ini bayi, Matka?"

*Anak laki-laki" kata ibunya. Mengangguk sedih.

"Di mana engkau menemukannya?"

"Di sana dekat sungai, Matka," katanya.

"Dan ibunya?"

"Meninggal."

Ibunya membuat tanda salib lagi."Cepat lari dan katakan kepada ayahmu apa yang telah terjadi. Ia ingin menjumpai Urszula Wojnak diperkebunan. Dan mereka berdua harus kau ajak keibunya. lalu usahakan mereka berdua menemuiku".

Pemburu muda menyerahkan bayi kepada ibunya. Senang karena makhluk licin itu tidak terjatuh dari tangannya. Kini setelah terbebas dari beban ia mengusapkan tangan pada celananya dan lari mencari ayahnya.

Ibunya menutup pintu dengan bahunya. Dan memanggil -anak sulungnya, seorang gadis, supaya memasang panci di atas tungku. Ibunya duduk di bangku' membuka kancing baju. Dan menyodorkan tetek letih ke mulut kecil. Sophia anak perempuannya yang baru 6 bulan harus berpuasa malam ini. Pikirkan hal itu. Seluruh keluarga harus berbuat begitu.

“ Dan apa perlunya?" kata wanita itu keras-keras, Sambil menyisipkan selendang di bawah lengan untuk membungkus bayi. “Tungau kecil, menjelang pagi kamu akan mati."
Tepi ia tidak menyatakan perasaan itu kepada Urszula Wojnak ketika bidan tersebut memandikan tubuh kecil dan merawat pusar terpuntir si bayi dilarut malam. Suaminya mengawasi dengan diam.

"Seorang tamu di rumah adalah Tuhan di rumah" Pernyataan wanita itu sambil mengutip peribahasa Polandia.

Suaminya meludah. "Biar diserang kolera. Kita cukup memiliki anak kita sendiri!"
Wanita itu pura-pura tak mendengarnya mengusap rambut hitam tipis di kepala bayi itu'
'Kita beri nama apa?" tanya wanita itu kepada suaminya.
Ia mengangkat bahu. "Peduli apa? Biar ia ke liang kubur tanpa nama."


BAB 2

18 April 1906 Boston, Massachusetts.

 Dokter mengangkat bayi yang baru saja lahir itu pada mata kaki. Dan menepuk pantatnya. Bayi itu langsung menangis.

Di Boston, Massachusetts, ada rumah sakit yang sebagian besar melayani mereka yang menderita penyakit orang kaya. Dan pada saat-saat tertentu membantu kelahiran orang kaya baru. Di rumah sakit umum Massachusetts para ibu tidak menjerit-jerit. Yang pasti mereka tidak melahirkan dengan pakaian lengkap. Itu tidak biasa.

Seseorang muda mondar-mandir di luar kamar bidan. Di dalamnya ada dua ahli kandungan dan dokter keluarga yang sedang bertugas. Ayah ini tidak mau ambil risiko dengan kelahiran anak pertamanya. Kedua ahli kandungan itu akan diberi balas jasa yang besar sebagai imbalan mengawasi dan menyaksikan kejadian tersebut. Salah seorang dari mereka yang mengenakan pakaian malam di bawah seragam jas putihnya harus menghadiri pesta makan kemudian. Tetapi ia tak bisa tidak harus menghadiri kelahiran yang khusus ini. Sebelumnya ketiganya telah diundi siapa yang harus membidani kelahiran anak ini. Dan Dr. MacKenzie, dokter umum keluarga, memenangkan undian. Sebuah nama yang megah dan bonafide, demikian pikir sang ayah, sambil mondar-mandir di gang.

Bukannya karena ia merasa khawatir. Roberts telah mengantar Anne, isterinya itu, ke rumah sakit dengan  mobil bagus. Isterinya menghitung hari itu hari yang ke-28 bulan ke-9 dari kehamilannya. Ia langsung merasa sakit hendak melahirkan pagi setelah sarapan. Dan suaminya telah diberi kepastian bahwa kelahiran anaknya baru akan terjadi setelah jam tutup kantor banknya. Sang ayah memang Orang yang disiplin. Maka tak ada alasan mengapa kelahiran anak akan mengacaukan keteraturan hidupnya yang sangat tertib itu. Namun ia tetap juga mondar-mandir. Para perawat dan dokter-dokter muda bergegas melewatinya. Dan karena sadar akan kehadirannya, mereka memperlembut suara mereka bila mereka dekat dengannya dan memperkeras suara mereka lagi bila sudah tidak terdengar olehnya. Ia tak tahu. Sebab setiap orang selalu memperlakukannya sedemikian itu. Kebanyakan dari mereka belum pernah melihatnya. Tapi semuanya tahu siapa dia.

Jikalau lahir seorang anak lelaki, kiranya ia akan membangun sayap rumah sakit untuk bagian anak-anak yang sangat dibutuhkan. Ia telah membangun perpustakaan dan sebuah sekolah. Sang calon ayah mencoba membaca koran terbitan sore hari. Hanya melihat kata-kata. Tapi tak menyerap artinya. Ia tegang. Bahkan khawatir. Mereka (hampir semua orang selalu ia anggap sebagai 'mereka') tak pernah mampu menyadari bahwa yang akan lahir ini haruslah seorang anak lelaki. Seorang anak lelaki yang suatu hari akan menggantikan ayahnya menjadi presiden diretlur bank. Ia membolak-balik halaman koran Evening Transcript. RedFox dari Boston telah mengikat kerjasama dengan New York Highlanders. Yang lain-lain akan merayakannya. Lalu ia ingat berita utama pada halaman muka. Kembali ia membacanya' Gempa paling dahsyat dalam sejarah Amerika. San Francisco hancur. Paling sedikit 400 orang meninggal. Yang lain-lain berkabung. Itu ia benci. Itu akan mengurangi sesuatu dari kelahiran anak lelakinya' Orang-orang akan ingat bahwa ada sesuatu lain yang terjadi pada hari itu.

Tak pernah terlintas dalam benaknya, tak sesaatpun, bahwa mungkin bayi itu perempuan. Ia kembali membaca halaman-halaman finansial. Dan mengecek bursa saham: turun sedikit. Gempa sialan itu telah mengurangi seharga $ 100.000 dari kekayaannya di bank. Tetapi karena harta pribadinya tetap $ 16 juta, maka guncangannya harus melebihi gempa Kalifornia untuk bisa membuatnya tidak bergeming. Ia kini dapat hidup dari bunga. Maka modal $ 16 juta itu akan selalu tetap utuh. Siap buat anaknya yang kini belum lahir. Ia tetap mondar-mandir sambil berpura-pura membaca Transcript.

Dokter ahli kandungan dengan pakaian malam menerobos pintu putar ruang kebidanan untuk menyampaikan berita. Ia merasa harus berbuat sesuatu karena imbalannya begitu besar. Dan dia adalah orang yang berpakaian paling pantas untuk menyampaikan pengumuman. Kedua orang itu saling memandang beberapa saat lamanya. Dokter itu juga merasa sedikit tegang. Tapi ia tak akan memperlihatkannya di muka sang ayah.

“ Selamat Pak. Bayi laki-laki. Bayi laki-laki kecil yang tampan."

Kata-kata hambar. Diucapkan orang bila ada bayi yang lahir. Demikian pikiran sang ayah . . . Sudah barang tentu tak bisa lain kecuali kecil.

Berita itu belum juga menyinarkan fajar dalam dirinya. Seorang anak laki-laki! Hampir saja ia bersyukur kepada Tuhan. Dokter ahli kandungan memberanikan diri mengajukan pertanyaan untuk mengajukan pertanyaan untuk memecah kesunyian.

“Apakah sudah ada keputusan akan diberi nama ?”- Sang ayah menjawab tanpa ragu: 

"William Lowell Kane.'

Bersambung.............................................

RESENSI BUKU 01 : KANE DAN ABEL

Cerita bersambung ini pernah dimuat di Harian Umum Kompas, begitu membacanya, saya tak dapat berhenti menikmati kisah ini, setiap hari saya tunggu sambungannya.

Cerita ini karya Jeffrey Archer, seorang pengarang spesialis, yang mengisahkan kisah sukses seorang bisnisman atau usahawan yang biasanya dimulai dari kisah masa kecil sang tokoh.

Dalam Kisah Kane dan Abel ini, dia menampilkan dua tokoh :

  1. Kane dilahirkan dari keluarga Bankir yang sudah memiliki Bank sendiri (di Amerika Serikat), keluarganya harmonis
  2. Abel lahir sebagai anak haram, lahir dari rahim seorang wanita desa yang diperkosa (di Polandia). di pungut oleh keluarga tukang jerat, ibu asuhnya dan anak wanitanya menyayangi dia, ayah asuhnya tak menyukai dia. 
  3. Kane pandai, di didik secara khusus dan mengikuti jenjang pendidikan elite
  4. Abel pandai, di didik di sekolah desa, karena kepandaiannya dia diminta mendampingi anak bangsawan di kastil, dan mendapat pendidikan khusus juga, karena menumpang
  5. Kane kehilangan ayahnya saat masih belia ( 6 tahun)
  6. Abel kehilangan orang yang disayanginya, yakni kakaknya dan ... kehilangan kondisinya di bangsawan Baron yang mati karena perang yang melanda Polandia oleh pendudukan Jerman.
  7. Kane didukung oleh neneknya, dasar-dasar pengaturan uang dengan buku kas yang selalu diawasi ketat
  8. Abel diajar oleh pengalaman mempertahankan hidup,berhemat, menyimpan uang sedikit demi sedikit untuk persiapan masa depan
Kalau diurutkan terus akan banyak sekali ............... , tapi jelas akhirnya mereka bertemu ! Keduanya tanpa saling mengetahui, sebenarnya saling membantu, bahkan saling menyelamatkan dan tragisnya. Dalam kenyataan yang diketahuinya, mereka saingan bisnis, yang karena kondisi menjadi musuh yang sangat berat. Saling ingin menjatuhkan. Tragis !!!

Namun keduanya memiliki keturunan yang bertemu dan saling jatuh cinta, keduanya juga memiliki bakat-bakat bisnis besar, yang tak mau tergantung pada orangtua. Kedua anak ini menjadi korban permusuhan kedua orangtuanya. Dan memutuskan untuk bersama ? Seru ... lah. Nanti saya akan berbagi kisah ini untuk anda semua rekan-rekan setia.

Salam

Minggu, 06 Maret 2016

PENDEKAR BODOH KPH 7 501 - TAMAT

RANGKAIAN AKHIR PENDEKAR BODOH ......  ALIAS TAMAT .....

 “Lihat, bukankah itu Sin-kong-ciak?” teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung merak yang indah bulunya itu terbang di atas.

 “Betul, marilah kita pergi menyusul ke sana!” Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan adanya burung-burung itu di sana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.

 Melihat kegembiraan Ma Hoa, Ang, I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi ia hanya tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari dan sampai di tempat yang penuh bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke depan gua besar dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah bulunya itu.

 Ma Hoa berlari masuk gua dan tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat,

 “Manusia tidak tahu malu! Kau akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!” Dan tiba-tiba saja melompat seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.

 “Lin Lin!” Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu. “Ini aku... Ma Hoa…!”

 Akan tetapi Lin Lin yang kumat lagi gilanya itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk dipakai menangkis dan menjaga diri. Ia merasa heran, terkejut, dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi oleh karena ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai dan gerakannya amat sulit untuk diduga semula, terpaksa Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis semua serangan Lin Lin!

 Kalau saja Ma Hoa belum memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang lihai itu, pasti dengan mudah saja ia telah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin benar-benar luar biasa dan lihai sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya digerakkan secara hebat untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam gua itu terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Berkali-kali Ma-Hoa berseru,

 “Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu...!”

 Tiga ekor burung yang melihat pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tak tahu harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu seakan-akan bertempur sendiri di udara!

 Mendengar ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera lari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang mempertahankan diri dengan sibuknya.

 “Enci Im Giok, lekas... lekas tangkap dia, agaknya dia telah berubah ingatan!” seru Ma Hoa menahan isak.

 Ang I Niocu berdiri bagaikan patung dan menjerit,

 “Lin Lin...!”

 Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,

 “Enci Im Giok...!” pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena ia merasa pening sekali. Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas dalam pelukannya!

 Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini. Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan gua itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ, akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan gua, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.

 Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ia bangun dan ketika melihat bahwa ia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, ia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian ia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.

 “Enci Im Giok...”

 “Lin Lin, kau kenapakah...?” bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya. Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang, ketika ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.

 “Enci Hoa... kau juga datang…?”

 “Eh, eh, anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?” tegur Ma Hoa. “Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan hebat hingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?”

 Lin Lin memandangnya dengan terheran-heran. “Benarkah? Sudah datang lagikah penyakitku itu? Ah, celaka...” dan ia lalu menangis sedih.

 Ma Hoa dan Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.

 “Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. “Tadi ketika Ma Hoa masuk ke dalam gua ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian tiba-tiba kau jatuh pulas! Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu karena kami sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ah, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?”

 Lin Lin lalu menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian ia terluka dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun dan mendapatkan obat penawar pengaruh racun dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya “penyakit gila” yang kadang-kadang menyerangnya itu.

 Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin Lin dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat dapat ditewaskan oleh Cin Hai hingga sebuah diantara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, telah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.

 “Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.

 “Mereka sedang pergi ke dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang pengaruh obat itu.”

 Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu Dara Baju Merah yang dulu dianggapnya telah tewas itu, biarpun ia telah mendengar Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga ia merasa gembira mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput daripada bahaya kematian bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.

 “Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko, mengapa ia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali kepadanya,” kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.

 “Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan gua rahasia yang telah ditemukan itu,” kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.

 Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu kini telah mempunyai calon.

 “Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, agar kau dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda. Sementara itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, ia berbisik,

 “Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!” Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan ia menggunakan saputangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.

 “Terima kasih, Adikku, terima kasih,” jawabnya sederhana.

 Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Ketika mereka tiba di tempat itu, pondok di mana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, hanya terjaga oleh empat orang Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.

 Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.

 “Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!” baru kali ini Cin Hai melihat suhunya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kausebut daun semut merah itu, benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?”

 “Benar, siapa yang meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.

 “Apakah setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?”

 “Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!” jawabnya.

 “Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?”

 “Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Kemudian aku menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah pohon kembang yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu telah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, maka kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!”

 Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak membohong.

 “Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah seperti orang gila dan kemudian tertidur setelah marah-marah?” tanyanya.

 Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Memang, memang demikian,” katanya dan sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu mengalir di seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat yang besar, peristiwa itu tidak mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada saat kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!”

 Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri, “Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu? Dapat sembuh kembali atau tidak?” tanyanya tak sabar.

 “Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula ia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula ia akan terserang hal itu.”

 Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.

 “Dan di mana perginya Hai Kong dan kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.

 “Ke mana lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di gua itu?” kata Dukun Mahambi sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Manusia-manusia macam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka tak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman.”

 Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak ia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai kejahatan pula.”

 Cin Hai mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke gua di mana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke gua Tun-huang!

 Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di gua Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Ia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, maka ia dapat menduga bahwa pendeta jahat dan kawan-kawannya itu tentu berada di dalam gua, sedang mengambil harta pusaka.

 Dengan sekali melompat, Bu Pun Su telah berada di depan gua, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.

 “Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih berada di sini!”

 Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari gua itu dengan muka merah karena marah.

 “Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau telah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”

 “Apa katamu?” bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.

 “Harta Pusaka itu telah kaucuri dan kau bawa pergi, mau berkata apalagi?” Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!

 Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tidak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan berkata,

 “Aku masih belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!” Secepat kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam gua dan tak lama kemudian ia keluar lagi dan berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,

 “Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut tulang dan akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha!” Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.

 “Kaumaksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu jago tua Hok Peng Taisu?” tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.

 “Dasar kau yang bodoh,” tegur Bu Pun Su. “Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin! Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang serakah dan bodoh!”

 “Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya. Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dulu.

 “Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!”

 “Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan membunuhmu!” Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat pergi dari situ. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan sekarang harta pusaka telah tercuri orang lain, untuk apa mereka harus memusuhi kakek jembel itu?

 Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar telah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu. Orang ini masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, lalu menggunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut :

 Harta pusaka di gua rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka!

 Tadinya Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang mempergunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu. Baru setelah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.

 Mereka ini tidak tahu bahwa diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka tentang maksud mereka mencari Hok Pen Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke gua di mana Lin Lin berada.

 Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhunya itu tiba di gua, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Ia lalu menceritakan segala pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.

 “Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan,” berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. “Ketika ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, ia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu Lin Lin?”

 Gadis itu sambil menarik napas panjang menggeleng kepala. “Entahlah, aku tak ingat sama sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi.”

 “Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tidak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk orang!” kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasihat ini.

 Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya, “Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu telah datang. Ingat baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!” Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum bahwa kalau tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!

 Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan tentang perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang suhunya ini akan tetapi ia merasa kecewa juga mengapa suhunya itu tidak datang menemuinya.

 “Dan satu hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhumu agar ia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang amat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Gua Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!” Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar menggema, “Tiga burung kubawa serta!”

 Ketika semua orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.

 Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai,

 “Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana menunggu kalian berdua?”

 “Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul ke sana,” kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya. Ang I Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan gua itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.

 “Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tak baik kalau selama itu kita menganggur saja. Lebih baik kita bersemadhi dan membersihkan napas melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”

 Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, ia lalu duduk bersila di dalam gua itu, bersamadhi memperkuat tenaga dalamnya.

 Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.

 Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.

 “Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin karena munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apabila sepekan telah lawat dan ia telah sembuh, ia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini.”

 Kemudian, Kwee An lalu menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng. Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat. Mereka berdua pergi ke gua-gua Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di sanalah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan gua rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.

 Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-jaga itu, Nelayan Cengeng berkata,

 “Mungkin sekali harta pusaka itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?”

 Kwee An menjawab, ”Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana kalau Bu Pun Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kami?”

 “Jangan kuatir, betapapun juga, aku tetap tidak percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pasti ia terkena pengaruh jahat, Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapapun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat harta pusaka terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”

 “Kalau kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?” tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.

 Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena ia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air mata. “Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu adalah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu saja sudah sepatutnya kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!”

 “Yang berhak?” tanya Kwee An dengan heran. “Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya kembali?”

 Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, “Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!”

 Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali den cepat mereka menengok. Ternyata di atas mereka telah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dan memegang sebatang tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin ia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.

 “Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?” tiba-tiba kakek botak itu bertanya.

 Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata,

 “Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!”

 Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.

 “Nelayan Cengeng, biarpun matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya,” katanya.

 Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, ia teringat akan cerita gadis itu tentang suhunya yang baru, maka ia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.

 “Bagaimana dengan murid kita itu?” tanya Hok Peng Taisu.

 “Baik, baik, dan terima kasih kuhaturkan kepadamu yang telah memberi bimbingan padanya. Kepandaian yang kauberikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.

 “Ah, memang kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang kita bicara tentang hal penting. Eh, siapakah anak muda ini?”

 “Dia adalah calon suami murid kita.”

 Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An tentang harta itu tadi saja sudah membuat ia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.

 “Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku hendak mempergunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!”

 Nelayan Cengeng memandangnya tajam, “Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?”

 “Ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang kauberikan kepada pemuda ini tadi!”

 Nelayan Cengeng mongangguk-angguk. “Kalau begitu, aku setuju membantumu.”

 Kakek botak itu berkata, “Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagi harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Bagaimana, sanggupkah kalian?”

 Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu minta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan mata. Nelayan Cengeng menarik napas panjang dan berkata, “Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”

 Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah gua itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat laksana seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga telah tertotok roboh olehnya.

 “Bukan main!” seru Kwee An dengan kagum sekali karena ia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu untuk melawan ataupun melihatnya!

 Tak lama kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari gua dan menuju ke tempat mereka dan kini ia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.

 “Nah, kalian terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, diantara harta pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah kepadamu. Nah, aku pergi!” Dan sebelum Kwee An maupun Nelayan Cengeng membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!

 Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya. Ketika harta pusaka itu diperiksa, ternyata memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, maka Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,

 “Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima sebagian daripada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang amat membutuhkannya.”

 Yousuf menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata. “Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda mempergunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki.”

 “Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”

 Yousuf lalu menyuruh orang membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka itu.

 Demikian pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An sebagaimana yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.

 “Kalau demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Pek Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw,” kata Ang I Niocu. “Kita harus menjalankan tugas membagi-bagi harta pusaka itu dengan baik.”

 “Harta ini harus cepat dibagi dan jangan ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita,” kata Kwee An. “Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi.”

 “Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menanti sampai Lin Lin sembuh?” Ma Hoa berkata ragu-ragu.

 “Tak perlu,” jawab Ang I Niocu. “Bukankah Susiok-couw telah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Gua Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur.”

 “Biarlah aku yang menanti mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,” Yousuf menyatakan kesanggupannya.

 Semua orang telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An masing-masing mendapat sekantung. Setelah berpamit kepada Yousuf dan kawan-kawannya, empat orang pendekar itu meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin. Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka. Timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang menderita sengsara.

 Setelah tinggal di dalam gua batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin telah pulih kembali seperti sediakala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali. Hal ini dapat ia rasakan karena kalau biasanya tiap hari ia sering merasakan kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga terpaksa Cin Hai memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, kini denyutan kepala itu lenyap sama sekali! Bahkan ketekunan berlatih dan samadhi membuat ia dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.

 Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di depan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya,

 “Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau telah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhumu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang telah menolongmu.”

 Lin Lin dan Cin Hai terkejut. “Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?”

 Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata, “Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau.”

 Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. “Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan telah memberi berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan kau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin maupun Cin Hai menjadi merah mukanya.

 “Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan girang.

 Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya. “Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dulu menyusul Suhumu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting.” Kemudian orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu dan menuturkan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.

 “Sedangkan emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan dulu ke negeriku agar dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda.”

 Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu memang amat penting dan memang telah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara dan bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.

 “Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku.”

 Setelah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan tentang tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Bukan main terkejut dan marahnya Lin Lin mendengar ini, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.

 Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru dan sucinya dan sambil menangis ia bersumpah,

 “Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalas dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci.”

 Setelah berdiam di makam subo dan sucinya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini telah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!

 Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut ia berkata, “Lin-moi, jangan kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang telah melepaskan hwesio itu dulu dan tidak membinasakannya sehingga ia masih hidup dan kini mendatangkan malapetaka pula.”

 Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.

 “Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!”

 Melihat senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang amat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena ia tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya. Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu mereka melakukan perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya, seringkali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan dalam pandangan mata Cin Hai, apabila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya daripada tarian Ang I Niocu sendiri!

 Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya ia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.

 Memang, bagi siapa yang pernah mengalaminya, akan mengaku bahwa tidak ada kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat daripada berdua dengan seorang tunangan yang saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau dan saling menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati. Akan tetapi, Lin Lin dan Cin Hai adalah orang-orang muda yang telah mendapat gemblengan dan didikan dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka menjadi kuat dan batin mereka telah bersih. Mereka telah menjadi majikan daripada nafsu sendiri dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya orang-orang lemah iman yang dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang menunggangi mereka.

 Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah hutan yang besar, mereka melihat dua orang berlari-lari cepat dengan wajah seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat. Dua orang itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah sekali dan yang memelihara kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya, matanya tajam dan sikapnya agung. Sedangkan orang kedua adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, bermata jeli dan bermuka manis sekali, akan tetapi pada waktu itu wajahnya kemerah-merahan dan matanya mengandung kedukaan besar,

 “Mereka seperti orang ketakutan, mari kita tolong!” kata Lin Lin dan Cin Hai mengangguk. Mereka lalu menghadang di tengah jalan dan Cin Hai berseru,

 “Ji-wi harap berhenti dulu!”

 Kedua orang yang sedang berlari itu menahan kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal mereka berhenti, memandang kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.

 “Mengapa ji-wi berlari-lari seakan-akan ada yang mengejarnya?” tanya Lin Lin sambil memandang dengan kagum dan hati suka kepada gadis manis tadi.

 “Memang kami sedang dikejar-kejar orang, akan tetapi persoalan ini adalah persoalan bangsa kami sendiri dan sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi,” kata laki-laki tadi dengan suara gagah, menandakan bahwa ia mempunyai keangkuhan dan ketinggian hati, tidak suka minta tolong kepada orang lain.

 Cin Hai tersenyum. “Sahabat, ketahuilah bahwa kami bukan bermaksud jahat dan kami hanya ingin menolong kepadamu, yaitu apabila kau berada dalam bahaya.”

 “Memang aku dan anakku ini berada dalam bahaya, akan tetapi bagi seorang kepala suku bangsa Haimi seperti aku, tak pernah aku minta tolong kepada lain orang untuk memusuhi bangsa sendiri!”

 “Suku Haimi?” seru Cin Hai yang teringat akan penuturan Kwee An ketika pemuda itu dulu menceritakan pengalamannya. “Apakah kau bukan Sanoko yang gagah dan nona ini Nona Meilani?” Kedua orang itu tercengang. “Bagaimana kau bisa mengetahui nama kami?” tanya Sonoko dengan heran.

 Lin Lin yang juga sudah mendengar penuturan itu dari Cin Hai, lalu berkata girang, “Nona Meilani, kau tentu masih ingat kepada Kwee An, bukan?”

 Mendengar nama ini disebut-sebut, Meilani menundukkan kepala dengan muka merah. “Dia... dia adalah suamiku...”

 “Benar,” kata Lin Lin yang sudah tahu pula akan “perkawinan” itu. “Dan aku adalah bekas adik iparmu, karena Kwee An itu adalah kakakku!”

 Mendengar ucapan ini, Meilani mengeluarkan isak tangis, lalu ia maju menubruk Lin Lin. Dua orang gadis itu berpelukan dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang yang luar biasa harumnya keluar dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.

 Juga Sanoko menjadi girang sekali. Ia cepat menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Maaf, maaf! Tidak tahunya kami bertemu dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu siapakah nama enghiong yang mulia?”

 “Siauwte bernama Sie Cin Hai.”

 “Apakah kau juga masih keluarga Kwee An?” tanya Sanoko.

 Cin Hai merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi Lin Lin mendahuluinya.

 “Dia itu adalah tunanganku.”

 Meilani yang sudah pandai berbahasa Han, membelalakkan matanya yang indah dan sambil tersenyum manis hingga giginya yang hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia bertanya kepada Lin Lin, “Apakah artinya tunangan?”

 “Tunangan adalah... calon suami.”

 “Ah...” Meilani lalu berlari menghampiri Cin Hai, memeluknya dan mencium kedua pipinya. Tentu saja Cin Hai menjadi kaget sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya menjadi merah bagaikan udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi terheran sekali, akan tetapi sebagai seorang wanita, ia menjadi cemburu dan wajahnya berubah pucat.

 Sanoko agaknya tahu akan hal ini, maka cepat-cepat ia berkata,

 “Nona, kebiasaan suku bangsa kami ialah bahwa setiap orang wanita berhak, bahkan diharuskan memberi selamat kepada seorang mempelai laki-laki dengan cara seperti itu.”

 Legalah hati Lin Lin, karena ia tadi melihat betapa wajah Cin Hai menjadi kemerah-merahan dan dengan belaian kasih sayang seperti itu dari seorang gadis secantik Meilani, bukanlah hal yang boleh dianggap ringan bagi pertahanan hati Cin Hai. Dan kalau ia harus mendapat saingan dari seorang gadis seperti Meilani, akan berbahayalah! Kecuali giginya yang hitam mengkilap, Meilani merupakan gadis yang jarang terdapat karena cantik jelitanya.

 Meilani kembali menghampiri Lin Lin dan memeluknya. “Siapakah namamu, Adikku yang baik?” tanyanya.

 “Panggil saja Lin Lin kepadaku,” jawab Lin Lin sambil tersenyum dan diam-diam ia mengerling ke arah Cin Hai dengan pandangan tajam. Adakah Cin Hai juga mencium bau kembang yang harum dan sedap itu? Demikian pikirnya.

 “Sanoko Lo-enghiong, karena telah kau ketahui bahwa kita adalah orang sendiri, maka ceritakanlah mengapa kau dan Nona Meilani berlari-lari dan siapa pula yang mengejarmu?”

 “Amat memalukan kalau diceritakan,” kata orang tua itu sambil menarik napas panjang, “Semua ini adalah gara-gara keponakanku sendiri. Lenyaplah sifat-sifat ksatria yang setia, gagah dan jujur, setelah ia merantau dan memiliki kepandaian dari... orang-orang Han. Maafkan ucapanku ini, Sie-taihiap, aku tidak bermaksud menghina orang-orang Han.”

 Cin Hai tersenyum dan mengangguk. “Siauwte juga takkan membela bangsa sendiri kalau memang ia benar-benar jahat dan terus terang saja, diantara bangsa Han juga banyak yang jahat, sebagaimana terdapat pada bangsa lain. Teruskanlah ceritamu, Lo-enghiong.”

 Sanoko lalu bercerita dengan singkat. Ternyata bahwa biarpun telah menjadi “janda” yaitu setelah ditinggal pergi oleh Kwee An yang baru saja melangsungkan “pernikahannya” dengan Meilani, Meilani tetap menjadi pujaan para muda bangsa Haimi. Akan tetapi, agaknya gadis itu telah mengalami penyakit patah hati sehingga ia menolak setiap pinangan pemuda bangsanya. Menurut adat kebiasaan mereka, seorang janda yang telah ditinggal oleh suaminya lebih dari seratus hari, maka berhak untuk menerima pinangan laki-laki lain dan si suami itu apabila telah kembali, tidak berhak lagi terhadap bekas isterinya.

 Meilani tinggal menjadi janda kembang sampai berbulan-bulan, dan akhirnya ia jatuh hati juga kepada seorang pemuda yang baru saja datang dari perantauan, yaitu seorang pemuda pemburu yang gagah berani bernama Manoko. Ketika Manoko mengajukan pinangan, maka pinangan itu diterima. Akan tetapi, pada saat itu datanglah seorang pemuda keponakan Sanoko sendiri yang semenjak kecil telah merantau ke daerah selatan dan telah mempelajari silat dari seorang guru bangsa Han. Ketika pemuda yang bernama Saliban ini datang, maka semua orang mengaguminya karena ia memang benar-benar pandai dan berilmu silat tinggi. Semua jago-jago Haimi jatuh dalam tangannya, juga orang-orang Haimi banyak yang membencinya, karena tenyata bahwa keponakan dari Sanoko itu beradat buruk, jahat, dan sombong sekali. Ia bertingkah meniru lagak orang-orang Han, bahkan ia tidak memelihara kumis dan cambang seperti orang Han, dan bicara pun ia selalu mempergunakan bahasa Han! Semenjak datang dan tinggal bersama bangsa sendiri, telah seringkali Saliban mengganggu anak bini orang, dan semenjak ia datang, ia menaruh hati kepada Meilani, saudara misannya itu. Ia tidak mau atau memang ia tidak suka mengikat diri dengan sebuah pernikahan dan niatnya hanya hendak menjadikan Meilani sebagai kekasihnya saja! Tentu hal ini tidak dapat diterima oleh Meilani yang memang menaruh hati benci kepada pemuda yang berlagak menjemukan itu.

 Ketika pinangan Manako diterima, Saliban menjadi marah sekali dan ia lalu menggunakan kepandaian dan pengaruhnya untuk menghasut kawan-kawannya dan mengadakan pemberontakan. Hai ini terjadi pada hari kawin Meilani dengan Manako. Tiba-tiba saja, Saliban menyerang dan terjadi pertempuran hebat di antara bangsa sendiri. Pengikut-pengikut Sanoko tak kuat melawan Saliban hingga banyak yang menjadi korban, sedangkan Manoko sendiri terluka pada pundaknya dan melarikan diri ke dalam hutan. Sanoko dan Meilani setelah mengadakan perlawanan hebat, ternyata tak kuat menghadapi Saliban yang tangguh itu, maka mereka melarikan diri, dikejar-kejar oleh Saliban dan kawan-kawannya yang bermaksud membunuh Sanoko, mengangkat diri sendiri menjadi kepala suku dan memaksa Meilani menjadi kekasihnya!

 Bukan main marahnya hati Cin Hai dan Lin Lin mendengar penuturan ini, dan pada saat Sanoko mengakhiri cerita-ceritanya, tiba-tiba terdengar sorakan ramai dari depan.

 “Itulah mereka telah datang, biarlah aku dan anakku mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan!” kata Sanoko sambil bangun berdiri dan memegang pedangnya dengan sikap gagah. Juga Meilani telah mencabut pedangnya dan bersiap sedia.

 “Duduklah, Lo-enghiong, dan kau juga, Meilani. Biarlah aku yang menghadapi bangsat-bangsat itu!” kata Lin Lin dengan gagahnya.

 Meilani dan Sanoko ragu-ragu, akan tetapi Cin Hai berkata, “Benar, Lo-enghiong, biarkan tunanganku itu menghadapi Saliban. Kau dan Nona Meilani sudah lelah, mengasolah sambil menonton!” Mendengar kata-kata itu, mundurlah kedua orang ini dan membiarkan Lin Lin seorang diri menghadapi Saliban. Benar saja, yang datang itu adalah serombongan orang Haimi terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh seorang pemuda Haimi yang berpakaian seperti orang Han dan yang lagaknya sombong sekali. Melihat betapa orang-orang Haimi yang masih muda-muda itu semuanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung dan menjungat ke atas tak dapat ditahan lagi Lin Lin tertawa geli, sedangkan Cin Hai tak terasa lagi meraba-raba kulit bawah hidungnya yang masih halus dan belum ditumbuhi kumis itu.

 Saliban melihat betapa seorang gadis Han yang cantik luar biasa dengan sikap gagah menghadang di jalan, sedangkan Sanoko dan Meilani duduk di bawah pohon seakan-akan dilindungi oleh gadis itu, menjadi terheran-heran dan melihat kecantikan Lin Lin, timbullah sikap kurang ajarnya. Ia tersenyum dibuat-buat dan berkata,

 “Nona cantik, apakah kau sudah mendengar nama Saliban yang gagah perkasa sehingga sengaja kau datang menyambutku untuk berkenalan?”

 “Jadi inikah tikus yang bernama Saliban? Eh, tikus, apa maksudmu mengejar Sanoko dan Meilani?” berkata Lin Lin dengan suara mengejek.

 “Lin-moi, dia itu bukan tikus! Lihat saja dia tidak berkumis, mungkin kumisnya itu ia sembunyikan di belakang menjadi ekor! Dia ini lebih cocok dibuat monyet buduk!” kata pula Cin Hai untuk mengejek orang itu.

 Bukan main marahnya Saliban mendengar ejekan-ejekan ini dan lenyaplah maksudnya hendak mengganggu Lin Lin, berubah menjadi kebencian besar.

 “Darimana datangnya dua ekor anjing kurang ajar?” ia membalas memaki dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang piauw menyambar ke arah Cin Hai yang sedang duduk di bawah pohon dan sekali lagi tangannya bergerak, maka sebatang piauw lain menyambar ke leher Lin Lin!

 Dengan tenang Cin Hai memungut ranting kayu yang terletak di dekatnya dan ketika piauw itu menyambar ke arahnya, ia menggerakkan ranting itu dan sekaligus piauw itu kena dipukul sedemikian rupa sehingga piauw itu membuat gerakan membalik dan kini meluncur kembali ke arah kaki Saliban!

 Sementara itu, piauw yang meluncur ke arah leher Lin Lin, disambut dengan sikap dingin oleh gadis itu. Ketika piauw menyambar, ia lalu mengulur tangan dan berhasil menjepit piaiuw itu di antara jari-jari tangannya, lalu melihat betapa piauw yang melayang ke arah Cin Hai telah di”retour” oleh pemuda itu, ia menanti sampai piauw itu melayang ke kaki Saliban dan melihat Saliban meloncat naik untuk mengelak dari sambaran piauwnya sendiri, Lin Lin tersenyum dan ia pun lalu menyambitkan piauw yang ditangkapnya tadi ke arah kaki Saliban lagi yang justeru hendak turun. Terpaksa Saliban melompat lagi ke atas sehingga ia telah berlompat-lompatan dua kali untuk menghindarkan diri dari sambaran piauwnya sendiri!

 “Ha-ha-ha! Lihat, benar-benar ia monyet yang pandai menari-nari!” Cin Hai tertawa sambil menuding ke arah Saliban, sedangkan Lin Lin juga tertawa mengejek. Sanoko dan Meilani terpaksa ikut tersenyum melihat kejenakaan dua orang muda yang ternyata dapat mempermainkan Saliban itu. Meilani diam-diam merasa kagum sekali melihat Lin Lin yang mempunyai cara demikian indah untuk menerima sambitan piauw dari jarak dekat dan mengembalikannya ke arah kaki lawan hanya untuk mempermainkannya.

 Saliban makin marah dan ia lalu mencabut pedangnya sambil berseru,

 “Bangsat-bangsat kurang ajar! Kau mencampuri urusan suku bangsa lain?”

 “Saliban, orang rendah! Jangan kau membuka mulut besar! Kami memang selalu mencampuri urusan orang-orang biadab macam kau yang hendak mengandalkan kejahatan untuk mencelakakan orang, Kau sungguh tidak tahu malu. Meilani tidak suka menjadi permainanmu, mengapa kau memaksa?”

 “Meilani adalah adik misanku. Dia telah menjadi janda dan memalukan sekali kalau ia menerima pinangan orang lain! Itu berarti merendahkan nama keluarga kami! Kau berhak apakah mencampuri urusan rumah tangga kami?”

 “Dengarlah!” bentak Lin Lin dengan marah. “Meilani adalah Kakak iparku karena ia adalah janda dari kakakku Kwee An. Kakakku dan aku pun sudah setuju kalau ia menikah lagi dengan orang yang dipilihnya sendiri atas persetujuan Ayahnya, kau ini mempunyai hak apa maka berani menghalanginya?”

 “Bagus, kalau begitu biarlah kalian kubinasakan semua!” Sambil berkata demikian Saliban lalu maju menubruk dan menyerang dengan pedangnya ke arah Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin dengan tenang sekali menghadapinya dengan tangan kosong.

 “Adik Lin Lin, kaupergunakan pedangku ini!” kata Meilani karena merasa kuatir melihat betapa gadis itu menghadapi Saliban yang lihai dengan tangan kosong saja, akan tetapi Lin Lin menoleh dan tersenyum kepadanya sambil menjawab,

 “Untuk menghadapi seekor tikus… eh, monyet macam ini perlu apakah harus mempergunakan pedang? Tanganku cukup untuk merobohkannya!”

 Juga Cin Hai yang melihat gerakan Saliban walaupun cukup lihai namun masih belum cukup berbahaya bagi Lin Lin, berkata kepada Meilani, “Tenanglah, Nona. Lin-moi cukup kuat menghadapinya dengan tangan kosong.”

 Sementara itu, Saliban yang merasa terhina sekali oleh ucapan Lin Lin, dengan nekat lalu menyerang sambil mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi, sambil menari-nari dan mempergunakan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang telah dipelajarinya. Lin Lin mempermainkan Saliban, sehingga Meilani memandang bengong. Bagaimana mungkin menghadapi seorang tangguh seperti Saliban itu dengan menari-nari macam itu?

 Kawan-kawan Saliban maju mengeroyok Lin Lin, akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu beberapa buah senjata di tangan mereka melayang dan terpental ke mana-mana. Ternyata Cin Hai yang melihat gerakan mereka telah mendahului dan sekali bergerak saja ia telah membuat pedang dan golok mereka terlepas dari pegangan! Orang-orang Haimi itu terkejut sekali dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kembali tubuh Cin Hai berkelebat dan bergerak dan terdengar jerit kesakitan berkali-kali dan ketika mereka semua meraba ke arah hidung mereka yang terasa sakit dan perih, ternyata bahwa Cin Hai telah menggunakan kecepatan gerakannya untuk mencabuti kumis-kumis mereka itu seorang demi seorang!

 Sambil melemparkan rambut-rambut kumis itu ke udara sehingga beterbangan tertiup angin, Cin Hai tertawa-tawa sehingga Meilani yang melihat hal ini tak kuasa lagi menahan geli hatinya dan tertawa terkekeh-kekeh. Sanoko yang melihat kehebatan gerakan itu dengan kepala pening, juga tersenyum dan di dalam hatinya ia merasa kasihan juga kepada anak buahnya yang memberontak itu karena bagi seorang laki-laki Haimi, dicabut kumisnya sama dengan dicabut kepalanya dari leher!

 “Kalian yang memberontak dan mengikuti bangsat Saliban, tak pantas berkumis lagi!” kata Cin Hai sambil memandang kepada belasan orang yang kita telah kehilangan kumisnya itu. Mereka menundukkan kepala sambil menutupi hidungnya yang berdarah itu, dan merasa amat malu karena tanpa kumis bagi mereka hampir sama dengan berdiri telanjang dihadapan orang lain!

 “Kalau kalian sayang jiwa, hayo berlutut minta ampun kepada kepala suku yang asli, yaitu Sanoko!” teriak Cin Hai lagi. Orang-orang itu telah merasai kelihaian Cin Hai, dan kini mereka tak berani membantah lagi, lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Sanoko yang berdiri sambil memandang dengan kagum kepada Cin Hai. Sementara itu, Saliban telah merasa pening karena dipermainkan oleh Lin Lin, dan ketika gadis itu sudah merasa cukup puas mempermainkan Saliban, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na yang lihai, ilmu silat yang diajarkan oleh Bu Pun Su!

 Saliban terkejut sekali ketika tubuh gadis itu melompat tinggi dan menyambar-nyambar dari atas bagaikan seekor burung besar menyerang marah. Ia menyabet dengan pedangnya, ditotok oleh Lin Lin dan sebelum ia tahu bagaimana hal itu bisa terjadi tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan! Ia merasa terkejut dan hendak melompat pergi, akan tetap kaki Lin Lin telah mendahuluinya menendang pundaknya dari atas hingga tak ampun lagi ia terguling roboh sambil mengeluh kesakitan karena sambungan tulang pundaknya telah terlepas.

 Sanoko melihat keponakannya yang jahat itu sudah roboh, lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin dan mintakan ampun untuk jiwa Saliban, sehingga Cin Hai dan Lin Lin merasa kagum akan kemurahan hati kepala Suku ini.

 “Saliban,” kata Cin Hai kepada pemuda Haimi itu, “dengarlah betapa pamanmu mintakan ampun untuk kau yang telah memberontak dan berbuat jahat terhadapnya. Tidak malukah kau? Orang seperti engkau ini seharusnya dibinasakan, karena selain berbuat jahat, kau pun telah merusak nama baik Suhumu yang tentu seorang Han adanya. Kau tidak lekas minta ampun?”

 Melihat kelihaian Lin Lin dan Cin Hai, Saliban insyaf bahwa ilmu kepandaiannya sebetulnya masih amat rendah dan ia merasa malu dan menyesal, maka sambil merayap ia berlutut minta ampun kepada pamannya dan bersumpah takkan mengulang perbuatannya lagi.

 Pada saat itu, dari jauh mendatangi serombongan orang Haimi yang dipimpin oleh Manako. Pemuda ini walaupun sudah terluka pundaknya, namun dengan nekat ia mengumpulkan kawan-kawan dan menyusul untuk menyerbu Saliban dan menolong calon isteri dan mertuanya. Juga Manako memaafkan Saliban, sedangkan Cin Hai dan Lin Lin diam-diam memuji ketampanan dan kegagahan Manako, hanya mereka diam-diam menyayangkan bahwa anak muda ini belum pantas memakai cambang yang demikian tebal dan panjangnya.

 Setelah bercakap-cakap dan beramah tamah dengan orang-orang Haimi serta meninggalkan banyak nasihat kepada Saliban, Cin Hai dan Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke timur.

 Ketika mereka berdua tiba di Pegunungan Lian-ko-san yang tak jauh lagi dari Gua Tengkorak, tinggal sehari perjalanan lagi, dan sedang berjalan melalui sebuah padang rumput, tiba-tiba muncul tiga orang yang membuat mereka terkejut dan bersiap sedia, karena tiga orang itu bukan lain ialah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Tiga orang ini yang telah dikalahkan oleh Bu Pun Su, maklum bahwa anak-anak muda yang menjadi musuh mereka itu masih berada di barat, maka sengaja mereka menghadang di situ untuk membalas dendam. Ketika Bu Pun Su lewat di situ, mereka bersembunyi saja tidak berani keluar, akan tetapi setelah kini melihat kedatangan Cin Hai dan Lin Lin, mereka muncul dan menghadang di jalan dengan hati penuh dendam, terutama sekali Bo Lang Hwesio yang hendak membalas dendam kepada Lin Lin atas kematian muridnya dahulu, yaitu Boan Sip yang menjadi gara gara semua permusuhan.

 Cin Hai berlaku tenang-tenang saja juga Lin Lin dengan tabah dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri berdiri di sebelah kiri kekasihnya dan memandang tajam kepada musuh-musuh besar itu.

 “Eh, kiranya Sam-wi Lo-suhu yang berada di sini. Tidak tahu mempunyai maksud apakah maka menghadang perjalanan kami?” kata Cin Hai dengan sikap hormat.

 “Pendekar Bodoh! Telah berkali-kali kau dan kawan-kawanmu memusuhi dan menghalangi kami, bahkan Suhumu sendiri telah menghina kepada kami. Sekarang kebetulan kita bertemu di sini, masih hendak bertanya tentang maksud kami? Cabutlah senjatamu dan biarlah saat ini akan menentukan siapa diantara kita yang lebih kuat!” kata Thai Kek Losu kepada Cin Hai, sedangkan Bo Lang Hwesio dengan mata memandang marah membentak kepada Lin Lin.

 “Dan kau tentu masih ingat akan dosamu membinasakan muridku, maka sekarang aku hendak membalas dendam. Hutang jiwa ya harus membayar jiwa pula!” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio mengeluarkan sepasang poan-koan-pit.

 Lin Lin sudah mendengar tentang pertempuran tokoh-tokoh besar ini melawan Bu Pun Su, maka melihat poan-koan-pit itu, ia menyindir,

 “Bo Lang Hwesio, agaknya kau telah mencuri sepasang poan-koan-pit baru, apakah yang dulu telah tak dapat digunakan pula?”

 Marahlah Bo Lang Hwesio mendengar ini, maka sambil menerjang maju ia membentak lagi, “Perempuan rendah, bersedialah untuk mampus!”

 Lin Lin dengan tenang lalu mencabut keluar Han-le-kiam dari pinggangnya dan menyampok poan-koan-pit lawan yang menyerangnya, kemudian secepat kilat ia pun balas menyerang dengan hebat.

 Sementara itu, Thai Kek Losu telah mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu tengkorak kecil itu yang kini telah diperbaikinya dan diganti rantai yang mengikatnya, sedangkan Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang gendewa. Juga gendewanya yang telah dipatahkan oleh Bu Pun Su itu kini telah digantinya dengan sebatang gendewa yang baru, terbuat daripada besi kuning.

 Cin Hai maklum akan kelihaian senjata-senjata lawannya, maka ia pun tidak mau berlaku sungkan lagi dan mencabut keluar sepasang pedangnya Liong-cu-kiam yang panjang dan pendek, dipegang pada kedua tangannya. Kedua Pendeta Sakya Buddha itu terkejut melihat sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya gemilang itu, maka mereka maklum bahwa sepasang pedang itu tentu pedang-pedang pusaka yang ampuh dan tajam, mereka lalu membentak dan mendahului menyerang dengan hebat. Cin Hai memperlihatkan kegesitannya dan melawan dengan tenang dan waspada. Ia melihat betapa gerakan Thai Kek Losu jauh lebih gesit daripada dulu, agaknya pendeta itu telah melatih diri selama ini, sedangkan gerakan Sian Kek Losu juga hebat sekali. Untung ia mempergunakan sepasang pedang Liong-cu-kiam yang tajam sehingga kedua lawannya tak berani menahan pedangnya dengan senjata mereka hingga serangan kedua orang itu dapat dibalas dengan serangan-serangan kilat yang cukup membuat kedua lawannya berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa murid Bu Pun Su ini tidak boleh dibuat gegabah!

 Sementara itu, pertempuran antara Lin Lin dan Bo Lang Hwesio juga berjalan seru sekali. Ilmu Pedang Han-le-kiam memang luar biasa dan cepat sedangkan kini Lin Lin telah memperoleh kemajuan hebat dan bahkan telah melatih diri dengan limu Silat Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak-sin-na, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio yang sudah jauh lebih berpengalaman dan ulet itu, ia mendapatkan lawan yang amat kuat dan tangguh. Sepasang poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio menyambar-nyambar ke arah jalan darah yang berbahaya dan juga tiap kali pedang Han-le-kiam kena disampok oleh poan-koan-pit, Lin Lin merasa betapa telapak tangannya menggetar karena tenaga hwesio itu ternyata lebih besar sedangkan ilmu lweekangnya pun lebih tinggi dari pada Lin Lin. Maka gadis ini yang tahu akan keadaan itu lalu mempergunakan kelincahannya dan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari desakan poan-koan-pit, sedangkan jurus-jurus berbahaya yang ia keluarkan dari ilmu pedangnya membuat Bo Lang Hwesio diam-diam merasa terkejut juga.

 Alangkah beda tingkat ilmu pedang gadis ini dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu ketika ia dan Ke Ce menyerbu ke atas bukit tempat tinggal Yousuf dan berhasil menjatuhkan Kwee An dan Ma Hoa ke dalam jurang. Ketika dulu itu, walaupun ilmu pedang gadis ini sudah aneh dan luar biasa, akan tetapi gerakannya belum sematang ini. Maka hwesio itu lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga setelah bertempur lama, Lin-Lin merasa terdesak juga!

 Adapun Cin Hai yang dikeroyok dua oleh Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, biarpun belum terdesak, namun sukar pula baginya untuk mendesak kedua lawannya yang berilmu tinggi. Terutama sekali tengkorak di tangan Thai Kek Losu amat berbahaya karena Cin Hai tidak berani menangkisnya dengan pedang. Ia maklum bahwa tengkorak itu amat berbahaya dan apabila ditangkis akan menyebarkan jarum-jarum beracun yang lihai sekali. Juga gendewa di tangan Sian Kek Losu bukanlah senjata yang mudah dilawan biarpun ia dapat menduga ke mana gerakan gendewa itu akan dilancarkan. Maka untuk menghadapi kedua lawan yang tangguh ini, Cin Hai memainkan dua macam ilmu pedang dengan kedua tangannya. Pedang panjang di tangan kanan ia mainkan dengan jurus-jurus dari Ilmu Pedang Daun Bambu, sedangkan pedang pendek di tangan kiri ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiam-hwat, maka kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa terkejut dan mengadakan perlawanan dengan mati-matian. Mereka harus mengakui bahwa selain Bu Pun Su, belum pernah mereka menemukan tandingan seorang pemuda yang demikian tinggi ilmu silatnya!

 Pada saat pertempuran sedang berjalan dengan seru, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang ringan sekali gerakannya dan laki-laki ini membentak marah,

 “Pendeta-pendeta pada dewasa ini hanya mempergunakan pakaian sebagai kedok belaka, akan tetapi di dalam tubuh mengandung iman yang bobrok dan batin yang rendah! Jangan kalian, berani mengganggu murid seorang sakti dan mulia seperti Bu Pun Su!” Kemudian laki-laki itu menarik keluar pedangnya dan menerjang Bo Lang Hwesio sambil berkata kepada Lin Lin.

 “Nona, kaubantulah kawanmu itu dan biarkan Si Gundul ini tewas dalam tanganku.”

 Lin Lin mendengar suara ini diucapkan dengan halus dan sopan akan tetapi mengandung pengaruh besar, maka ia lalu meninggalkan Bo Lang Hwesio dan melompat untuk membantu Cin Hai.

 Lin Lin maklum bahwa ilmu kepandaian Thai Kek Losu terlampau tinggi baginya, maka ia lalu menyerang Sian Kek Losu! Memang perhitungannya tepat karena di antara ketiga orang lawan yang paling lihai dan amat berbahaya untuk dilawan adalah Thai Kek Losu. Bo Lang Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang hanya sedikit berada di bawah kepandaian pendeta Sakya Buddha ini, bahkan di dalam hal lweekang, mungkin Bo Lang Hwesio lebih tinggi tingkatnya! Adapun Sian Kek Losu hanya memiliki tenaga besar saja dan ilmu silatnya biarpun tinggi, namun tidak selihai kedua orang kawannya itu.

 Kini pertempuran terpecah menjadi tiga dan keadaan berubah dengan cepatnya. Orang yang baru datang tadi dengan ilmu pedangnya yang luar biasa cepat dan aneh gerakannya, segera berhasil mendesak Bo Lang Hwesio. Ketika Lin Lin dan Cin Hai mendapat kesempatan memandang ke arah orang itu, hampir saja mereka berseru karena heran dan kagum. Ternyata ilmu pedang yang dimainkan oleh orang itu mempunyai dasar-dasar gerakan yang sama dengan jimu silat mereka! Lin Lin teringat akan penuturan Ma Hoa ketika bertemu dengannya di dalam gua bersama Ang I Niocu, maka sambil menangkis serangan gendewa di tangan Sian Kek Losu ia berseru,

 “Enghiong yang gagah bukankah Lie-enghiong tunangan Ang I Niocu?”

 Orang itu tersenyum dan sambil menangkis poan-koan-pit dari Bo Lang Hwesio ia menjawab,

 “Betul, dan Ji-wi tentulah Nona Lin Lin dan Saudara Cin Hai!”

 Mendengar percakapan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Hal ini merupakan “surprise” baginya, yaitu merupakan hal yang sama sekali tak pernah diduga-duganya. Tunangan Ang I Niocu? Dan demikian gagah perkasa? Hatinya menjadi girang dan ia ingin sekali cepat-cepat mengakhiri pertempuran ini agar supaya dapat bercakap-cakap dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian yang sama dengan kepandaiannya sendiri. Ia dulu mendengar bahwa Ang I Niocu ditolong oleh Lie Kong Sian, akan tetapi Dara Baju Merah itu tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi tunangan Lie Kong Sian. Ia maklum bahwa orang ini adalah Suheng dari Song Kun, maka boleh dibilang masih suhengnya sendiri pula!

 Lin Lin dengan limu Pedang Han-lekiam-liwat dapat mendesak Sian Kek Losu dan pada saat gendewa di tangan Sian Kek Losu menangkis dengan sekuat tenaga untuk membuat pedang pendek di tangan Lin Lin terpental, gadis itu dengan amat cerdik dan cepatnya lalu menarik kembali pedangnya dan melihat lowongan yang terbuka segera menggunakan gerak tipu Ang I Memetik Kembang, langsung pedangnya ditusukkan ke arah iga lawan di bawah lengan yang memegang gendewa. Sian Kek Losu berusaha mengelak, akan tetapi gerakan Lin Lin itu luar biasa cepatnya dan juga tidak diduganya semula, maka tiada ampun lagi pedang Han-le-kiam yang tajam itu dengan jitu menusuk dadanya dari bawah lengan! Sian Kek Losu menjerit, gendewanya terlepas, tubuhnya sempoyongan lalu roboh dan tewas pada saat itu juga!

 Juga Bo Lang Hwesio yang sudah tak tahan menghadapi Lie Kong Sian, dengan nekat lalu memutar-mutar poan-koan-pit di tangannya dan menyerang bagaikan harimau terluka yang sudah nekat hendak mengadu jiwa. Lie Kong Sian mengurungnya dengan sinar pedang hingga kini Bo Lang Hwesio terpaksa mempergunakan lweekangnya untuk mengerahkan tenaga pada kedua senjatanya, menangkis sambil terdesak mundur. Ujung pedang Lie Kong Sian berkelebat cepat mengarah tenggorokannya dan Bo Lang Hwesio lalu membuat gerakan nekat yang hendak memberi pukulan maut tanpa peduli akan keselamatan sendiri. Ketika pedang itu meluncur ke arah lehernya, ia hanya miringkan kepala sedikit dan berbareng mengirim tusukan dengan sepasang poan-koan-pit ke arah dada Lie Kong Sian. Kalau Lie Kong Sian meneruskan serangannva dengan membalikkan pedang, maka ia pun akan termakan oleh sepasang poan-koan-pit itu dan keduanya pasti akan tewas! Akan tetapi tentu saja Lie Kong Sian tidak mau diajak mati bersama, maka ia berseru keras dan menggerakkan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih. Ternyata ia telah menggunakan gerakan dari Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut untuk menangkis tusukan poan-koan-pit itu! Sedangkan pedangnya ia teruskan dengan bacokan ke arah leher lawan!

 Bo Lang Hwesio merasa girang melihat ini karena ia telah mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya yang tinggi ke arah tangan yang memegang senjata, maka ia merasa pasti bahwa tusukannya akan menewaskan musuh. Tak tahunya, ketika tangan kiri Lie Kong Sian menyampok, poan-koan-pitnya kena disampok terpental oleh tenaga yang luar biasa hingga ia merasa terkejut sekali. Pada saat itu pedang Lie Kong Sian telah datang menyambar. Bo Lang Hwesio berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Ia menjerit keras dan roboh mandi darah dengan leher hampir putus oleh pedang Lie Kong Sian!

 Kini Lin Lin dan Lie Kong Sian melihat pertempuran yang terjadi antara Cin Hai dan Thai Kek Losu dengan serunya. Thai Kek Losu yang harus menghadapi Cin Hai seorang diri, merasa jerih sekali karena ia pernah merasai kelihaian pemuda ini. Melihat betapa Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio sudah tewas, ia menjadi nekat dan menyerang Cin Hai dengan mati-matian. Tengkorak kecil di tangan diputar-putar bagaikan maut sendiri terbang berkeliaran mencari korban.

 Adapun Cin Hai yang pernah menghadapi That Kek Losu, bahkan dulu hampir saja merasa celaka karena pengaruh racun jahat yang keluar dari tengkorak itu, bersilat dengan amat hati-hati. Sebegitu jauh ia belum berani membacok tengkorak itu, kuatir kalau-kalau racun jahat dan senjata-senjata rahasia di dalam tengkorak itu akan menyambar keluar dan biarpun ia akan dapat mengelak namun hawa beracun yang luar biasa itu masih tetap merupakan bahaya besar. Dulu pun baru lewat dekat mukanya saja dan ia mencium bau racun, ia telah terkena celaka dan kalau tidak kebetulan bertemu dengan suhunya, tentu ia telah binasa.

 Melihat keragu-raguan kekasihnya Lin Lin hendak maju membantu, akan tetapi Cin Hai melarangnya. “Mundurlah Lin-moi, sekarang juga aku akan merobokannya. Lihat!”

 Lin Lin melompat mundur kembali dan pada saat itu tengkorak kecil menyambar ke arah Cin Hai dengan mulut di depan seakan-akan hendak mencium muka pemuda itu. Cin Hai tidak mengelak, hanya memandang dengan tajam dan kedua pedang di tangannya siap sedia.

 Ketika tengkorak itu telah datang dekat, tiba-tiba pedang pendek di tangan kirinya menyambar dari samping dengan miring, yaitu ia tidak menggunakan tajamnya pedang untuk membacok, hanya menggunakan permukaan pedang untuk menampar dari samping dengan tenaga yang diatur sedemikian rupa hingga tengkorak itu kena ditampar dan terbalik, kini mukanya menghadap kepada Thai Kek Losu. Secepat kilat pedang Cin Hai di tangan kanan membacok tengkorak itu dari belakang sambil menggunakan tenaga lweekang sekerasnya dan ketika terdengar suara ledakan yang terjadi ketika tengkorak itu kena bacok, Cin Hai segera melompat jauh dan kebetulan sekali Lin Lin pada saat itu berdiri dekat, maka Cin Hai segera menyambar lengan kekasihnya dan dibawanya melompat juga!

 Memang Cin Hai telah berlaku hati-hati dan hal ini ada baiknya bagi dia dan Lin Lin, karena kalau ia tidak bertindak cepat, mungkin mereka akan terancam bahaya. Pada waktu tengkorak itu meledak, tidak saja dari mulut, hidung dan matanya keluar jarum-jarum beracun yang amat jahat dan yang kesemuanya melayang ke arah Thai Kek Losu, akan tetapi setelah semua jarum habis tengkorak itu sendiri meledak dan pecah berhamburan menjadi potongan-potongan kecil yang menyambar ke sekelilingnya. Potongan ini tak boleh dipandang rendah, karena setiap potongan kecil mengandung racun jahat dan apabila melukai kulit, akan membahayakan jiwa yang terluka!

 Thai Kek Losu yang tadinya sudah merasa girang melihat Cin Hai berani membacok tengkorak itu, menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa semua senjata rahasia yang keluar dari tengkorak yang telah terbalik itu menyambar ke arahnya! Ia hendak mengelak pergi, akan tetapi terlambat. Beberapa batang jarum telah mengenai tubuhnya dan tanpa berteriak lagi ia roboh dan tewas oleh jarum-jarumnya sendiri!

 Lie Kong Sian juga melompat pergi ketika ledakan tengkorak terjadi, dan ia lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin.

 “Sute dan Sumoi, kalian benar-benar gagah perkasa. Apakah Supek Bu Pun Su sehat-sehat saja?” katanya sambil tersenyum tenang.

 Melihat sikap orang ini, baik Lin Lin maupun Cin Hai merasa tertarik dan suka. Sikap Lie Kong Sian polos, jujur, dan sederhana sekali, hampir sama dengan sikap Bu Pun Su.

 Setelah menjura dan memberi hormat, Cin Hai lalu memegang tangan Lie Kong Sian dengan girang dan berkata, “Dia sehat, Suheng, telah lama aku mendengar tentang namamu yang besar. Alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau, apalagi karena mendengar tadi bahwa kau telah bertunangan dengan Ang I Niocu!”

 Kembali Lie Kong Sian tersenyum. “Aku memang sedang mencarinya, di manakah dia?”

 Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan menceritakan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk membagi-bagikan harta pusaka kepada rakyat miskin.

 “Lie-suheng, ada berita girang untukmu,” tiba-tiba Lin Lin yang lincah dan jenaka itu berkata kepada Lie Kong Sian sambil menatap wajah pemuda yang tenang dan tampan itu.

 Lie Kong Sian sudah mendengar dari Ang I Niocu tentang kejenakaan gadis ini dan ia tahu bahwa tunangannya amat mengasihinya maka sambil tertawa ia berkata, “Sumoi, kau tentu akan menggodaku. Silakanlah, apakah berita girang yang kaumaksudkan?”

 “Aku telah mendengar tentang syarat-syarat yang diajukan oleh Enci Im Giok kepadamu dan...”

 “Eh, eh, dari mana kau bisa mengetahui hal itu?” Lie Kong Sian memotong sambil memandang heran, akan tetapi ia tidak marah karena bibirnya tetap tersenyum.

 “Dari Enci Ma Hoa.”

 Lie Kong Sian mengangguk-angguk dan Lin Lin melanjutkan bicaranya, “Dan sekarang, dua daripada tiga syarat itu telah terpenuhi. Aku dan Engko Hai telah bertemu kembali sebagaimana yang diharapken oleh Enci Im Giok, dan syarat ke dua pun telah terlaksana.”

 Lie Kong Sian menatap wajah Lin Lin dengan tajam, kini senyumnya menghilang. “Sumoi, apa maksudmu? Syarat yang mana? Lekas kauceritakan padaku!”

 “Sutemu yang jahat itu telah tewas dalam tangan Hai-ko!”

 “Apa???” Wajah Lie Kong Sian menjadi pucat sekali dan dua butir air mata menitik turun. Ia memandang kepada Cin Hai yang berdiri sambil menundukkan kepala karena pemuda ini pun telah mendengar betapa besar cinta kasih Lie Kong Sian terhadap Song Kun. Sikap dan wajah Cin Hai ini membuat hati Lie Kong Sian lemah kembali. Kalau saja yang membunuh Song Kun bukan pemuda ini, pasti ia akan menjadi marah dan membalas dendam. Akan tetapi, pemuda ini adalah sutenya sendiri pula, murid Bu Pun Su yang tidak saja kepandaiannya lebih tinggi daripada dirinya sendiri, akan tetapi pemuda ini adalah seorang pemuda yang dicinta oleh Ang I Niocu.

 “Sute, kau benar-benar lihai sekali. Tak sembarang orang dapat merobohkan Song Kun, bahkan terus terang saja, aku sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Coba kaututurkan bagaimana hal itu terjadi.”

 “Maafkan aku banyak-banyak, Lie-suheng. Memang dia lihai sekali dan andaikata dia tidak tersesat dan menjadi seorang jahat, mungkin aku pun takkan dapat mengalahkannya. Akan tetapi, kejahatan pasti akan hancur dan kalah pada akhirnya.”

 Kemudian ia lalu menceritakan tentang pertempurannya dengan Song Kun yang disaksikan oleh Bu Pun Su dan menuturkan pula betapa Song Kun telah mencuri obat dan menggunakan obat itu untuk mengancam dan hendak mengganggu Lin Lin. Mendengar ini, semua, Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Sayang betapapun gagah seseorang, apabila ia tidak memiliki kesempurnaan budi, ia menjadi orang yang sehina-hinanya dan serendah-rendahnya dan akhirnya orang itu pasti akan mengalami bencana besar dalam hidupnya.”

 “Kau benar, Suheng,” kata Cin Hai dan Lin Lin hampir berbareng.

 “Dan sekarang kalian hendak pergi ke manakah?”

 “Kami hendak pergi ke Gua Tengkorak, tempat tinggal Suhu Bu Pun Su,” jawab Cin Hai.

 “Bagus! Aku pun ingin sekali bertemu dengan orang tua itu.” kata Lie Kong Sian.

 “Untuk memenuhi syarat ke tiga, bukan Suheng?” Lin Lin menggoda dan Lie Kong Sian mengangguk-angguk sambil tersenyum den memandangnya.

 “Kau benar-benar nakal, Sumoi.” Ketiganya lalu tertawa.

 “Sebelum kita pergi, lebih dulu marilah kita mengubur jenazah tiga orang ini.” Mendengar ucapan Lie Kong Sian ini, Lin Lin dan Cin Hai merasa kagum dan diam-diam memuji keluhuran budi tunangan Ang I Niocu itu. Cin Hai makin merasa girang bahwa Ang I Niocu mendapat calon suami yang selain gagah perkasa, juga berbudi tinggi.

 Jenazah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu den Bo Lang Hwesio lalu mereka kubur dengan baik-baik, menjadi tiga gundukan tanah berjajar dan sebagai tandanya, Lie Kong Sian memindahkan tiga batang pohon Siong yang masih kecil, ditanam di depan kuburan-kuburan itu.

 Matahari telah menurun ke barat ketika mereka bertiga selesai melakukan pekerjaan itu dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Gua Tengkorak.

 Kita ikuti perjalanan Ang I Niocu yang bertugas membagi-bagikan sekantung harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Oleh karena Dara Baju Merah ini memang sudah biasa melakukan perjalanan seorang diri, dan pula untuk membagi-bagi harta benda itu memang seharusnya berpencar, maka ia lalu memisahkan diri dan berjanji akan saling bertemu dengan kawan-kawannya ini di rumah Lin Lin di Tiang-an sebagai tempat tujuan terakhir. Mereka saling berpesan bahwa apabila bertemu dengan Cin Hai dan Lin Lin, harus memberi tahu bahwa kedua teruna remaja itu pun ditunggu di Tiang-an. Dengan demikian, maka mereka tak usah saling mencari dan dapat mengarahkan tujuan perjalanan mereka ke suatu tempat tertentu.

 Ang I Niocu melakukan perjalanan seorang diri seperti biasa, bebas bagaikan seekor burung di udara. Ia membagi-bagi harta benda itu dengan adil dan memilih orang-orang yang benar-benar berada dalam keadaan yang amat sengsara. Pekerjaan ini ia lakukan dengan hati gembira karena keharuan dan kegirangan wajah orang-orang yang menerima pembagian itu membuat hatinya ikut merasa terharu dan girang sekali.

 Pada suatu hari, ketika ia tiba di luar kota Lang-i, tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang dari jalan simpangan. Ang I Niocu cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon ketika melihat bahwa dua orang itu bukan lain ialah Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio. Kedua orang itu berlari cepat memasuki kota Lang-i, maka diam-diam Ang I Niocu mengikuti mereka. Dara Baju Merah ini merasa benci sekali kepada Hai Kong Hosiang yang telah mencelakakan Lin Lin, maka ia mengambil keputusan untuk mencari kesempatan membunuh hwesio jahat itu agar kelak tidak menimbulkan kekacauan pula. Akan tetapi, melihat bahwa hwesio itu bersama Wi Wi Toanio yang kosen, ia merasa ragu-ragu untuk turun tangan, karena terlalu berat baginya untuk menghadapi dua orang tangguh itu.

 Kedua orang itu menuju ke sebelah barat kota dan diam-diam Ang I Niocu terus mengikuti mereka. Setelah tiba di ujung kota, mereka masuk ke dalam sebuah gedung yang besar. Ang I Niocu mengambil jalan dari belakang dan ketika melihat bahwa di belakang gedung itu sunyi, ia lalu melompati pagar tembok dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya di dalam gedung itu membuat hatinya berdebar karena terkejut dan heran.

 Ternyata bahwa di dalam gedung itu terdapat sebuah ruangan yang lebar dan yang dipasangi banyak meja dan kursi. Ruangan itu telah penuh oleh banyak orang dan orang-orang inilah yang membuat Ang I Niocu terkejut, karena ia melihat wajah-wajah yang telah dikenalnya, antara lain Kam Hong Sin perwira tinggi kerajaan, Ceng Tek Hosiang den Ceng To Tojin. Si Hwesio yang selalu tertawa dan tosu yang selalu mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang tokoh Liong-san, Giok Im Cu, Giok Yang Cu, den Giok Keng Cu. Tampak juga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan dua orang yang baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio!

 Orang-orang ini adalah sebagian dari pada orang-orang yang tadinya mewakili golongan-golongan yang bermusuhan, yaitu golongan Turki, Mongol, dan kerajaan yang kesemuanya telah dikalahkan oleh Bu Pun Su. Mengapa mereka sekarang mengadakan pertemuan bersama? Apakah mereka hendak mengadu kepandaian? Ang I Niocu mengintai dengan hati-hati sekali oleh karena ia maklum bahwa orang yang berada di dalam itu bukanlah orang-orang lemah dan berbahaya sekali baginya kalau sampai terlihat oleh mereka. Kebetulan sekali di luar gedung itu terdapat setumpuk rumput kering maka ia mendapatkan tempat persembunyian yang baik sekali di belakang rumput itu, sambil mengintai melalui celah-celah jendela yang berada dekat di situ.

 Agaknya Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio merupakan orang terakhir yang dinanti-nanti, karena setelah mereka berdua datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu dipersilakan duduk, perwira itu lalu berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada semua orang.

 “Cu-wi sekalian. Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan selamat datang kepada Cu-wi sekalian yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul di sini. Hal ini membuktikan bahwa betapapun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan kebangsaan sendiri. Sebagaimana Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan bangsa kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang. Kita tak perlu membongkar-bongkar urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan sekumpulan orang yang hendak berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan membasmi para pemberontak yang telah berani berlancang tangan mencuri harta pusaka dari tangan kita.”

 Hai Kong Hosiang berdiri sendiri dan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong Sin berhenti bicara karena ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu itu bersinar-sinar tajam memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia bicara.

 “Kam-ciangkun, pencuri harta pusaka itu adalah Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan tangguh. Selain dia, masih ada pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan, karena kami tahu bahwa dia pun menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu kalau-kalau kedua orang tua jahat itu telah bersekutu! Hal ini tak boleh dipandang ringan, karena selain mereka berdua yang lihai, masih banyak terdapat anak muridnya yang tak boleh dipandang ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa, Kwe An, dan ada pula Nelayan Cengeng!”

 Kam Hong Sin mengangguk-angguk, “Aku maklum, Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan kelihaian mereka. Akan tetapi dengan kerja sama yang baik dan mengerahkan tenaga kita dibantu oleh para Perwira Sayap Garuda yang banyak jumlahnya, apakah sukarnya untuk menangkap mereka dan merampas kembali harta pusaka itu?”

 Wi Wi Toanio berdiri dan biarpun suaranya halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia merasa gemas dan marah sekali ketika ia berkata,

 “Apa artinya bicara tentang merampas kembali harta pusaka? Harta itu telah mereka sebar dan bagi-bagikan kepada rakyat! Ini semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau perundingan ini dimaksudkan untuk menghukum dia, aku baru mau mengikutinya!” Setelah berkata demikian, Wi Wi Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.

 Terdengar seruan-seruan marah dari sana sini mendengar bahwa harta pusaka telah dibagi-bagi kepada rakyat. Adapun Kam Hong Sin yang sudah mengetahui hal itu, hanya tersenyum dan berkata,

 “Cuwi sekalian, memang benar ucapan Wi Wi Toanio tadi. Aku pun telah mendengar tentang hal itu, dan rupanya para pemberontak itu hendak menghasut rakyat untuk memberontak pula dengan menyogok harta benda mereka. Akan tetapi, kita akan bertindak tegas dan membasmi sebelum mereka mendapat kesempatan mengumpulkan tenaga bantuan. Aku membawa surat resmi dari Kaisar sendiri yang ditujukan kepada Cuwi yang gagah perkasa.”

 Sambil berkata demikian, Kam Hong Sin mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus sutera kuning bersulamkan burung Hong. Ketika ia membacakan surat itu, semua orang terdiam dengan penuh hormat, karena betapapun juga, menerima surat dari kaisar sendiri adalah satu penghormatan besar yang jarang sekali dirasai orang! Isi surat itu ternyata adalah satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka membantu dalam usaha Kaisar menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu! Ternyata dalam sakit hatinya untuk membalas kekalahannya, Kam Hong Sin berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan putusan menghukum kedua tokoh besar itu agar ia dapat mencari bala bantuan dengan mudah. Selain pengharapan untuk mendapat pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan bahwa orang-orang gagah yang suka mengulurkan tangan menolong, akan diberi pangkat tinggi, tempat tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah uang yang banyak sekali.

 Tentu saja semua orang yang hadir di situ merasa mengilar mendengar janji upah yang besar itu. Bukan semata-mata upahnya yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan penghormatan. Kini terbuka kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat pahala yang akan mendatangkan hasil besar dan nama baik di samping menebus dosa-dosa mereka yang lalu! Memang, hampir semua orang yang hadir di situ, kecuali hamba-hamba Kaisar, dulu seringkali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada Kaisar, dan dengan adanya kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan dilupakan dan bahkan akan mengangkat diri mereka menjadi orang-orang berkedudukan tinggi!

 “Kalau demikian, aku setuju!” kata Wi Wi Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan kedudukan dan kemuliaan yang dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi, “Bukan, karena aku inginkan semua kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan mendapat kesempatan membalas dendam kepada Bu Pun Su yang telah menghina kita dan kepada Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka itu! Tentang kelihaian mereka, jangan kuatir, aku mempunyai seorang supek yang menjadi tokoh nomor satu di daerah barat, yaitu Pok Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su dan Hok Pek Taisu biarpun ditambah seratus orang lagi, dengan mudah mereka akan dapat dihancurkan!”

 Semua orang memandang heran karena sepanjang pendengaran mereka, tokoh besar dari barat yang disebut Pok Pok Sianjin itu kabarnya telah musnah dan telah naik ke Sorga menjadi dewa! Demikianlah dongeng yang dituturkan orang.

 Hai Kong Hosiang tertawa. “Memang di atas dunia ini terdapat empat orang tokoh besar yang dapat disebut menduduki tempat tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah selatan dan timur, nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh besar tanpa tandingan. Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok Sianjin, dan di bagian utara terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek Losu. Kudengar bahwa Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu telah tewas oleh Pendekar Bodoh, maka kalau kita pergi ke utara melaporkan hal ini kepada Swi Kiat Siansu, mustahil dia tidak akan turun gunung membantu kita?”

 Semua orang merasa girang sekali karena kalau saja dua orang sakti itu benar-benar mau turun gunung membantu pekerjaan yang berat dan hebat ini akan jauh lebih ringan lagi. Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil mewek-mewek bangun berdiri dari tempat duduknya dan berkata, “Cu-wi, setelah diadakan persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada baiknya kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang dilakukan berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik di antara kita semua!”

 Mendengar ucapan ini, semua orang saling pandang dan mulailah mereka mempertimbangkan, siapa kiranya yang tepat untuk dijadikan pemimpin.

 “Seorang ketua haruslah mempunyai kepandaian tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang patut menjadi ketua, lebih baik kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian calon-calon itu menguji kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup pandai untuk diangkat menjadi ketua,” kata Hai Kong Hosiang.

 Orang-orang lalu saling bercakap-cakap hingga keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu yang melihat dan mendengar semua ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau mereka semua telah bersatu dan berhasil memanggil dua orang tokoh besar yang disebutkan tadi, maka pihaknya akan menghadapi lawan yang amat tangguh. Ia pernah mendengar nama Pok Pok Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah mendengar nama Swi Kiat Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan kabarnya kedua orang itu memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan napas agar jangan mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan pengintaiannya.

 Setelah dipilih-pilih, akhirnya yang diajukan menjadi calon adalah tiga orang yang dianggap memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Kam Hong Sin sendiri. Tadinya Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga dipilih, akan tetapi ia tidak mau menerimanya dan mengundurkan diri sambil berkata,

 “Hai Kong Suheng telah dipilih, mengapa pula aku sebagai Sumoinya harus maju? Biarlah dia yang mewakili aku sekalian!”

 Sambil tersenyum Kam Hong Sin berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio, “Oleh karena kita berada di antara kawan sendiri, maka kuharap adu kepandaian ini dilakukan dalam cara damai sebagaimana biasa dilakukan oleh perwira-perwira kerajaan.”

 “Bagus, bagaimanakah cara itu, Kam-ciangkun?” tanya Wi Wi Toanio.

 “Di waktu para perwira menguji kepandaian, mereka mempergunakan sepasang sumpit gading yang dipegang di tangan kanan seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan sumpit itu, mereka saling menjepit dan berusaha membetot sumpit di tangan lawannya dan siapa yang sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah.”

 “Baik sekali!” Hai Kong Hosiang memuji. “Memang siapa yang lebih tinggi lweekangnya akan mendapat kemenangan. Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang tangan orang dengan sumpit itu, bukan?”

 “Tidak boleh sama sekali! Dalam hal ini kita harus mengandalkan kejujuran dan kepandaian, sama sekali tidak boleh melukai tangan lawan!”

 Setelah mendapat persetujuan, Kam Hong Sin, Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu duduk mengelilingi sebuah meja dan para pelayan lalu mengambil tiga pasang sumpit gading. Untuk menguji kekuatan sumpitnya, Kam Hong Siang lalu berseru keras dan menancapkan sepasang sumpit itu di atas meja hingga sumpit itu menancap sampai setengahnya di dalam kayu meja yang keras itu.

 Wi Wi Toanio tersenyum dan ia pun ingin menguji kekuatan sumpitnya yang hendak digunakan dalam pertandingan ini, maka ia mengetuk-ngetuk ujung meja dengan perlahan dan hancurlah ujung meja itu berhamburan ke bawah.

 Hai Kong Hosiang tidak mau kalah. Ia menggunakan sepasang sumpitnya seperti dua batang pensil dan menggurat-guratkan ujungnya pada permukaan meja. Nampaklah guratan-guratan yang dalam di permukaan meja itu, bagaikan tanah lempung digurat-gurat dengan pisau tajam saja.

 Orang-orang yang melihat demonstrasi lweekang dari tiga orang itu bersorak memuji, dan Ang I Niocu sendiri diam-diam merasa kagum melihat pengerahan tenaga lweekang yang tidak boleh dianggap ringan itu.

 Menurut kebiasaan sebagaimana dituturkan oleh Kam Hong Sin, maka oleh karena pengikut pertandingan itu ada tiga orang, lalu dilakukan undian untuk menentukan siapa yang harus bertanding lebih dulu. Pemenang pertandingan pertama ini lalu akan berhadapan dengan orang ke tiga untuk menentukan juara dan jabatan ketua.

 Ketika undian dilakukan, ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Kam Hong Sin dan Wi Wi Toanio. Mereka tersenyum dan duduk berhadapan dengan tangan menjepit sumpit masing-masing.

 “Ciangkun, silakan kaumulai lebih dulu, oleh karena kau yang lebih tahu tentang cara pertandingan ini.”

 Kam Hong Sin mengangguk dan berseru, “Toanio, jagalah sumpitmu!” Sambil berkata demikian, sepasang sumpit Kam Hong Sin digerakkan dengan terbuka bagaikan sepasang patuk burung, hendak menjepit di tangan Wi Wi Toanio. Nenek tua ini tidak mengelak karena ia hendak mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawan. Ia membiarkan sepasang sumpitnya terjepit dan tenyata bahwa sepasang sumpitnya itu terjepit kuat bagaikan terjepit oleh catut besi saja. Kini adu tenaga dimulai. Kam Hong Sin mengerahkan tenaga untuk memutar sumpit lawannya agar terlepas dari pegangan, akan tetapi ia merasa betapa sumpit itu dipegang dengan kendur dan tenaga lweekangnya tak berdaya menghadapi tenaga halus yang meruntuhkan gerakannya dengan menyerah, akan tetapi yang mengandung kekuatan yang luar biasa besarnya hingga ketika ia mencoba untuk memutarnya, sepasang sumpit lawan itu bergerak sedikit pun tidak.

 “Ciangkun, kau sudah terlalu lama menjepit!” kata Wi Wi Toanio yang sambil tersenyum dan hal ini mengherankan Kam Hong Sin oleh karena dalam pengerahan tenaga khikang, mengucapkan kata-kata merupakan pantangan. Ia membarengi pada saat Wi Wi Toanio membuka mulut, lalu membetot keras untuk menarik sumpit lawan supaya terlepas, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sumpit lawan itu demikian licin hingga jepitannya terlepas.

 Kini Wi Wi Toanio yang menggerakkan sumpitnya dan ketika sumpitnya telah terjepit sepasang sumpit Kam Hong Sin, nenek itu tiba-tiba membuat gerakan mendorong, bukan membetot. Ini adalah gerakan yang licin dan penuh perhitungan, karena pada saat itu Kam Hong Sin memang sedang mengerahkan tenaga untuk menahan sumpitnya, maka tentu saja ketika tiba-tiba didorong, tangannya menjadi terdorong dan sumpitnya hampir terlepas. Pada saat ia mempertahankan diri dan merobah tenaganya dari menarik menjadi mendorong untuk melawan tenaga dorongan lawan, tiba-tiba Wi Wi Toanio secara tak terduga-duga membetot sekerasnya sambil berseru,

 “Lepas!”

 Hal ini benar-benar tak pernah diduganya, mana Kam Hong Sin tak dapat mempertahankan sumpitnya lagi dan sungguhpun ia masih dapat mempertahankan sebatang yang lain telah kena dibetot terlepas! Kam Hong Sin bangun berdiri dan menjura di depan Wi Wi Toanio mengaku kalah sedangkan para hadirin bertepuk tangan memuji.

 Hai Kong Hosiang tertawa terbahak-bahak. “Permainan bagus! Selain tenaga dan keuletan, di dalam permainan ini juga diperlukan kecepatan dan kelincahan, ditambah otak yang cerdik! Aku yang bodoh mana dapat melawan Toanio?” Akan tetapi sambil berkata demikian, ia lalu duduk menghadapi Wi Wi Toanio, menggantikan tempat Kam Hong Sin yang sudah kalah.

 “Seranglah, Hai Kong!” kata Wi Wi Toanio menantang.

 “Tidak, kau saja yang menyerang, aku hendak mempertahankan diri saja,” jawab Hai Kong Hosiang yang cerdik. Hwesio ini terkenal cerdik dan banyak tipu muslihatnya, maka Wi Wi Toanio berlaku hati-hati. Nenek ini ingin benar-benar diangkat menjadi ketua, karena hal ini akan menguntungkannya. Kalau ia yang menjadi pemimpin, maka ia mendapat kesempatan lebih banyak untuk membalas dendamnya kepada Bu Pun Su. Ia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang dan ilmu silat, mungkin tingkatnya masih lebih tinggi dari Hai Kong Hosiang, akan tetapi dalam hal kecerdikan, ia sering mengagumi hwesio ini.

 Wi Wi Toanio segera menyergap dengan sumpitnya untuk menjepit kedua sumpit Hai Kong Hosiang, akan tetapit tiba-tiba hwesio ini membuka mulut sumpitnya dan kini sumpit-sumpit itu menjadi saling jepit! Sepasang sumpit Wi Wi Toanio menjepit sumpit Hai Kong Hosiang sebelah bawah sedangkan sepasang sumpit Hai Kong Hosiang menjepit sumpit Wi Wi Toanio sebelah atas, bagaikan mulut dua ekor jangkerik sedang saling gigit dalam perkelahian yang sengit!

 Tak terdengar sedikit pun suara di antara penonton yang memandangnya saking tegangnya pertandingan itu. Kini Wi Wi Toanio maklum bahwa Hai Kong Hosiang yang cerdik tidak mau mengadu kecepatan, maka ia sengaja menjepit sebuah sumpit lawan dan membiarkan sumpitnya yang sebatang terjepit pula hingga dalam keadaah demikian, terpaksa mereka harus mengandalkan tenaga belaka. Masing-masing tidak mau mengalah, dan dua pasang sumpit itu sampai tergetar saking serunya pertemuan tenaga mereka yang disalurkan kepada sepasang sumpit masing-masing! Sebentar sumpit terputar ke kanan, sebentar ke kiri, akan tetapi keduanya sama kuat hingga empat batang sumpit itu seakan-akan telah tumbuh menjadi satu! Dari getaran-getaran yang menyerang ke jari-jari tangannya, Hai Kong Hosiang maklum akan kehebatan tenaga lweekang Wi Wi Toanio, akan tetapi nenek tua itu pun merasa betapa sepasang sumpit di tangan Hai Kong Hosiang demikian kokoh kuatnya bagaikan dua bukit karang yang sukar dirobohkan!

 Lama sekali adu tenaga ini berlangsung dan pada jidat Hai Kong Hosiang telah nampak keringat keluar membasahi jidatnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga mulai nampak pucat! Kam Hong Sin berdiri dengan mata terpentang lebar karena baru kali ini ia menyaksikan pertandingan sumpit yang demikian seru dan hebatnya.

 Tiba-tiba Wi Wi berseru keras sekali dan ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Hai Kong mencoba untuk bertahan, akan tetapi tiba-tiba “krek!” terdengar suara keras dan tiga batang sumpit telah patah, yaitu dua batang sumpit Hai Kong Hosiang dan sebatang sumpit Wi Wi Toanio! Hal ini menunjukkan bahwa lweekang Wi Wi Toanio masih menang setingkat!

 Hai Kong Hosiang menghapus keringatnya dan tertawa. “Sudah kukatakan bahwa aku takkan bisa menang menghadapi Wi Wi Toanio yang tangguh! Akan tetapi, kita semua enak-enak mengadu kepandaian hingga melupakan orang yang mengintai dari luar!”

 Ang I Niocu merasa terkejut sekali dan serba salah. Terang bahwa mata Hai Kong Hosiang yang tinggal satu itu awas sekali dan telah dapat melihatnya. Ang I Niocu tak kenal arti takut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu ia benar-benar menjadi bingung. Kalau ia melarikan diri dari situ, ia akan merasa malu kepada diri sendiri, sebaliknya kalau ia melompat masuk, ia yakin bahwa ia takkan kuat menghadapi sekian banyaknya orang-orang gagah.

 Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari sebelah atasnya dan disusul ucapan mengejek, “Ha, ha, memang semenjak tadi aku berada di sini. Bagaimana aku bisa masuk sebelum diundang?”

 Ang I Niocu terkejut sekali. Bagaiamana ada orang bisa berada diatasnya tanpa ia ketahui sama sekali? Ia menengok dan melihat seorang kakek botak duduk di atas tiang yang melintang di atas kepalanya. Kakek itu duduk bagaikan seorang anak-anak sedang menonton pertunjukan indah, sedangkan pada lengan kirinya terjepit sepasang tongkat bambu warna kuning. Ia menjadi tercengang karena dapat menduga bahwa orang ini tentulah Hok Peng Taisu yang pernah diceritakan oleh Ma Hoa kepadanya. Dan, orang ini agaknya yang telah mencuri harta pusaka itu. Sementara itu, kakek botak yang bukan lain adalah Hok Peng Taisu itu, memandang kepadanya dan mengedipkan mata sambil menyeringai, memberi tanda agar Dara Baju Merah itu jangan mengeluarkan suara.

 Sementara itu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mendengar suara dari luar itu, lalu berjaga-jaga dan Kam Hong Sin sebagai tuan rumah lalu berkata, “Tamu yang berada di luar dipersilakan masuk!”

 Terdengar suara tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuh seorang kakek botak melayang masuk dengan gerakan yang ringan sekali. Dengan sepasang matanya yang tajam, kakek botak itu menyapa semua orang yang berada di ruang itu dan berkata,

 “Aduh, sudah berkumpul semua. Bagus, bagus! Tadi telah kusaksikan pertandingan sumpit yang bagus. Aku tua bangka pun mempunyai semacam permainan sumpit yang sama, akan tetapi entah ada orang yang cukup bergembira untuk melayaniku bermain-main atau tidak, entahlah!”

 “Biarlah pinceng melayanimu, Kakek Tua!” kata Hai Kong Hosiang.

 “Bagus, bagus, akan tetapi sebagai tamu baru, aku belum mendapat jamuan, sedangkan perutmu yang gendut sudah diisi penuh, tentu saja aku akan kalah tenaga! Biarkan aku makan dulu beberapa mangkok sayur!” Sambil berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu mengambil semangkok daging kambing dan sepasang sumpit bambu. Sambil berdiri, ia makan daging itu sepotong demi sepotong dan kelihatannya ia menikmati makanan itu.

 “Locianpwe ini siapakah?” Kam Hong Sin bertanya karena merasa penasaran melihat lagak orang yang tidak tahu akan kesopanan.

 “Baru saja namaku kausebut-sebut, sekarang hendak bertanya pula, bukankah ini aneh namanya? Akan tetapi, aku jangan kaubandingkan dengan Bu Pun Su yang lihai!”

 Terkejutlah semua orang, dan ketika melihat ke arah dua batang tongkat bambu yang dikempit di bawah lengan kiri, Kam Hong Sin menjadi pucat dan bertanya,

 “Apakah kau Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka?”

 Tiba-tiba Hok Peng Taisu tertawa bergelak-gelak. “Sudah berpuluh tahun aku orang tua menyembunyikan diri dalam gua dan karena perbuatan orang-orang yang suka mencurilah yang menyebabkan aku keluar dari gua. Sekarang aku bahkan dituduh menjadi pencuri. Lucu, lucu!” Kemudian, dengah tangan kiri masih menyangga mangkok dan di bawah lengan kiri itu masih terjepit tongkat-tongkat bambunya, tangan kanan memegang sumpit, ia menuding ke arah Hai Kong Hosiang dengan sumpitnya itu dan bertanya,

 “Bagaimana, apakah kau masih mau melayani aku bermain sumpit?”

 “Boleh, asal kau orang tua jangan bermain curang!”

 Kembali Hok Peng Taisu tertawa bergelak dan ia mengulurkan tangan yang memegang sumpit sambil berkata, “Nah, kaujepitlah sumpitku ini!”

 Hai Kong Hosiang yang melihat bahwa sepasang sumpit kakek itu adalah sumpit bambu biasa saja, lalu melangkah maju dan dengan sumpit gading yang kuat ia lalu menyerang maju, akan tetapi bukan menjepit sumpit kakek itu, melainkan menotok dengan sepasang sumpitnya ke arah pergelangan tangan Hok Peng Taisu! Akan tetapi, kakek botak ini agaknya tidak tahu akan kecurangan lawan, ia hanya menggerakkan sumpitnya ke bawah, lalu setelah dapat menangkis sumpit Hai Kong Hosiang, ia memutar sumpitnya sedemikian rupa hingga sumpit Hai Kong Hosiang ikut terputar-putar tanpa dapat ditahan pula! Terpaksa Hai Kong Hosiang mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot, akan tetapi sumpitnya seakan-akan telah timbul akar pada sumpit kakek itu dan tak dapat dibetot. Ia mengerahkan tenaganya lagi dan tiba-tiba kakek itu melepaskannya hingga tubuh Hai Kong Hosiang terhuyung ke belakang.

 “Ha, ha, ha! Kau lucu sekali hwesio!” katanya, lalu dengan sumpitnya ia menjepit sepotong daging yang dimasukkan ke dalam mulutnya seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu! Wi Wi Toanio yang dapat memaklumi akan kelihaian kakek botak ini, diam-diam menghampirinya dari belakang dengan sepasang sumpit gading di tangannya.

 “Hok Peng Taisu, aku pun ikut bermain-main dengan sumpit!” Dan belum juga habis kata-kata ini ia ucapkan, ia telah menyerang dengan sepasang sumpitnya, menotok jalan darah Hok Peng Taisu dari belakang! Kakek botak itu tidak bergerak ataupun membalikkan tubuh, seakan-akan ia tidak mendengar ucapan itu, hanya tangan kanannya yang memegang sumpit saja digerakkan ke belakang tubuhnya. Pada saat itu, Hai Kong Hosiang yang merasa penasaran, lalu menyerang lagi dari depan dengan sepasang sumpitnya digerakkan ke arah kakek botak itu.

 Biarpun diserang dari belakang dan depan, agaknya Hok Peng Taisu masih saja enak-enak mengunyah daging beberapa potong yang tadi dimasukkan ke dalam mulut. Ketika sumpit Wi Wi Toanio telah dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba sumpit di tangan kanannya bergerak dan terdengar suara “krek!” dan seruan Wi Wi Toanio yang melompat mundur karena merasa telapak tangannya sakit sekali, dan ternyata bahwa sepasang sumpitnya telah terpotong menjadi dua, setelah tadi terjepit oleh sumpit bambu Hok Peng Taisu! Sedangkan dua batang sumpit Hai Kong Hosiang yang menyambar ke arah ulu hatinya, juga tidak dielakkan oleh kakek botak itu, akan tetapi tiba-tiba ia membuka mulutnya dan duakali ia meniupkan daging-daging yang dimakan tadi dari mulut! Daging-daging itu meluncur bagaikan pelor dan tepat sekali mengenai ujung sepasang sumpit itu. Hai Kong Hosiang hanya merasa betapa tusukan sumpitnya tertahan oleh tenaga yang kuat dan tahu-tahu ia melihat betapa dua batang sumpitnya telah menancap pada dua potong daging bakso yang besar!

 Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini dan ia merasa dirinya dipermainkan, maka ia berseru.

 “Jangan jual lagak di sini!” Sambil berseru demikian ia mengayun sepasang sumpitnya yang masih ada baksonya itu meluncur cepat ke arah dua mata Hok Peng Taisu!

 Akan tetapi kakek botak itu sambil terkekeh-kekeh lalu berkata. “Hwesio, mengapa kau tidak makan bakso-bakso itu?” Lalu ia mengangkat dua tongkat bambunya, memukul ke arah sepasang sumpit yang melayang itu. Heran sekali, ketika tongkat bambu itu beradu dengan sumpit, bakso yang berada di ujung sepasang sumpit itu melayang kembali ke arah Hai Kong Hosiang, sedang sumpit-sumpitnya melayang ke samping, menuju kepada Wi Wi Toanio!

 Hai Kong Hosiang mengelak dan sambil menyumpah-nyumpah lalu mencabut keluar tongkat ularnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga menjadi marah dan menyampok dua batang sumpit yang melayang ke arah dirinya itu hingga runtuh ke atas lantai! Kemudian, nenek ini pun maju menyerang dengan kedua tangan merupakan cakar burung garuda. Sebenarnya, Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Kuku Garuda) yang dimiliki oleh nenek ini bukanlah Eng-jiauw-kang biasa dan gerakannya aneh serta lihai sekali.

 Melihat dirinya hendak dikeroyok, Hok Peng Taisu segera menggerakkan sepasang tongkat bambunya dan dua kali tubuhnya berkelebat, tahu-tahu tongkat ular di tangan Hai Kong Hosiang telah kena dibikin terpental dan Wi Wi Toanio hampir saja terkena sabetan itu pada pipinya! Keduanya merasa terkejut sekali dan melompat mundur.

 Hok Peng Taisu tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini benar-benar merupakan tuan rumah yang kurang sopan! Lebih baik aku pergi saja lagi!” Setelah berkata demikian, kakek botak itu menggerakkan kakinya dan melayang pergi.

 “Locianpwe, tunggu dulu!” tiba-tiba Kam Hong Sin berseru dan memburu ke pintu.

 “Apa kehendakmu?” terdengar suara kakek botak itu dari atas genteng.

 “Kami menantangmu dan juga Bu Pun Su untuk mengadakan pertandingan adu kepandaian di Puncak Hoa-san pada bulan tiga. Apakah kau berani menerima tantangan kami ini?”

 Kembali kakek botak itu tertawa terkekeh-kekeh. “Tak usah kauceritakan, aku pun telah maklum akan maksud kalian yang buruk itu. Baik, baik, memang telah lama aku ingin bertemu dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu. Tentang Bu Pun Su, aku tidak tanggung bahwa ia akan mau melayani ajakan kalian yang gila itu!”

 Hok Peng Taisu lalu melayang ke tempat mana Ang I Niocu bersembunyi dan memberi tanda dengan tangan, agar supaya Dara Baju Merah itu mengikutinya. Ang I Niocu lalu melompat ke atas genteng dan mengikuti kakek itu pergi dari situ. Setelah berada di tempat jauh, kakek botak itu berkata,

 “Bukankah kau yang bernama Ang I Niocu?”

 Ang I Niocu menjura dengan sangat hormatnya. “Betul Locianpwe dan sudah lama aku yang bodoh mendengar tentang nama Locianpwe dari Ma Hoa. Aku merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan seorang sakti seperti Locianpwe.”

 “Ah, jangan terlalu memuji, Nona. Kau tentu sudah mendengar semua kehendak mereka itu, bukan? Nah, terserah kepadamu sekarang apakah kau hendak menyampaikan undangan mereka terhadap Bu Pun Su atau tidak. Hanya saja, boleh kau katakan pada Bu Pun Su bahwa aku tua bangka tentu akan menghadapi tantangan mereka itu pada waktunya di Puncak Hoa-san!”

 Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu berkelebat pergi sedangkan Ang I Niocu lalu melanjutkan perjalanannya. Memang ia pun ada maksud untuk pergi ke Gua Tengkorak menemui susiok-couwnya, sekalian hendak menemui Bu Pun Su untuk minta ijin orang tua itu tentang perjodohannya dengan Lie Kong Sian.

 Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa menjalankan tugas membagi-bagi harta itu sambil melanjutkan perjalanan ke timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun mengalami banyak sekali kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.

 Ketika mereka menyeberang sebatang sungai yang menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan Cengeng melihat beberapa perahu nelayan hilir mudik dengan para nelayan bernyanyi-nyanyi sambil mendayung perahu mereka. Pemandangan dan pendengaran ini membangkitkan hatinya dan menimbulkan rindunya pada kehidupan nelayan yang telah dinikmatinya semenjak masih muda, maka ia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee An.

 “Ma Hoa dan Kwee An, telah lama sekali aku merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang nelayan, mendayung perahu menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di atas air! Terus terang saja kuakui bahwa hampir tiap malam aku bermimpi duduk di atas perahu seorang diri, dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya bulan di waktu malam. Kalian telah saling berjumpa kembali dan juga kawan-kawanmu telah dapat kita ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan senang. Oleh karena itu, aku ingin tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di sungai ini. Kalian teruskanlah perjalanan kalian dan ini sisa harta benda yang kubagi-bagikan boleh kalian habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kelak kalau tiba saatnya kalian hendak melangsungkan pernikahan, berilah kabar dan aku pasti akan datang.”

 Ma Hoa maklum bahwa suhunya ini memang suka sekali hidup di atas air sebagai seorang nelayan, bahkan dulu suhunya pernah menyatakan bahwa ia ingin mati di dalam sebuah perahu, maka berkata,

 “Suhu, amat berat hatiku harus berpisah dari Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu menganggap Suhu sebagai ayah sendiri, maka kelak kalau Suhu telah bosan merantau di atas sungai ini, teecu harap Suhu suka tinggal bersama teecu agar teecu mendapat kesempatan merawat Suhu dan membalas budi.”

 Nelayan Cengeng tertawa bergelak hingga air matanya keluar. “Muridku, anakku yang baik!” katanya sambil menaruhkan tangannya di atas kepala Ma Hoa. “Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagiku selain melihat kau hidup bahagia dengan Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak apabila aku sudah bosan di sungai ini, pasti aku akan hidup dekat dengan kau dan suamimu.”

 Setelah banyak mendapat nasihat-nasihat dan petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik hati itu, Kwee An dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mereka.

 Ma Hoa mengajak Kwee An mengunjungi suhunya ke dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit Hong-lun-san, di mana dulu ia diberi pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu masih indah seperti dulu, kaya akan tamasya alam yang mengagumkan hati. Ketika mereka tiba di puncak, mereka tiba-tiba mendengar suara angin pukulan yang hebat dibarengi bentakan-bentakan seperti orang sedang berkelahi. Dengan cepat mereka lalu menghampiri tempat itu dan Ma Hoa menahan geli hatinya ketika melihat betapa suhunya bersilat seorang diri dengan sepasang tongkatnya. Gerakan kakek botak itu demikian kuatnya hingga di sekitarnya semua daun-daun bergerak-gerak terkena pukulan angin yang keluar dari pukulan dan sambaran tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan merasa kagum bukan main melihat kehebatan kakek luar biasa itu.

 “Suhu, kau orang tua benar-benar rajin sekali!” Ma Hoa memuji dan Hok Peng Taisu lalu menghentikan latihannya dan berpaling kepada mereka sambil tersenyum. Ma Hoa segera menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Kwee An yang juga berlutut.

 “Bagus, bagus, bagus sekali kalian datang ke sini. Di mana Nelayan Cengeng?”

 “Dia rindu kepada perahu dan sungai, Suhu, maka tidak melanjutkan perjalanan dan hendak hidup beberapa lama di atas Sungai Liang-ho,” jawab Ma Hoa.

 Hok Peng Taisu menarik napas panjang. “Nelayan Cengeng memang orang yang beruntung tidak seperti aku, tua-tua masih menimbulkan perkara dan mencari permusuhan. Tahukah kau bahwa pada bulan tiga aku akan mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san? Oleh karena itu aku harus melatih diri dan melepaskan urat-urat yang sudah kaku!” Di waktu mudanya kakek botak ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan orang-orang pandai, maka kini agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam menghadapi tantangan Hai Kong Hosiang. Kemudian ia lalu menceritakan tentang tantangan itu kepada Ma Hoa dan Kwee An.

 “Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, maka tentu saja ia pun akan menyambut tantangan ini. Aku kenal padanya sebagai seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi sebuah tantangan yang keluar dari mulut hwesio jahat itu, tentu ia akan turun gunung. Oleh karena itu, hendaknya kalian datang kepadanya dan ceritakanlah tentang tantangan itu kepada Bu Pun Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya. Katakan bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!” Dengan ucapan ini, Hok Peng Taisu hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su takkan kalah menghadapi Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar dari barat dan utara itu!

 Ma Hoa dan Kwee An lalu turun dari Bukit Hong-lun-san dan karena mereka telah mendengar dari Cin Hai di mana letak Gua Tengkorak itu, maka mereka langsung menuju ke sana.

 Ketika mereka tiba di depan Gua Tengkorak, mereka melihat Lin Lin sedang duduk dengan bengong seperti orang melamun dengan muka nampak sedih. Melihat kedatangan mereka, gadis ini tidak merasa girang, bahkan lalu memeluk kakaknya menangis sedih.

 Kwee An yang sudah lama sekali tidak bertemu dengan adiknya yang terkasih itu, mengusap-usap rambut Lin Lin dan bertanya, “Adikku sayang, mengapa kau bersedih? Di manakah Cin Hai dan di mana pula Suhumu?”

 Setelah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata, “Mereka berada di dalam. Suhu sedang menderita sakit keras. Hai-ko dan Enci Im Giok menjaganya. Aku… aku tak dapat menahan kegelisahan dan kesedihanku maka aku lalu keluar, karena di depan Suhu aku tidak berani memperlihatkan kesedihanku.”

 Bukan main kagetnya hati Ma Hoa dan Kwee An mendengar hal ini. Segera Ma Hoa bertanya,

 “Suhumu adalah seorang yang sakti, mengapa ia bisa menderita sakit? Dan bilakah Ang I Niocu tiba di sini?”

 Kemudian, dengan suara perlahan agar jangan sampai suara mereka terdengar dari dalam dan mengganggu Bu Pun Su, Lin Lin lalu menceritakan bahwa setelah ia dan Cin Hai, juga bersama Lie Kong Sian, tiba di tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun Su sudah berbaring di dalam gua tak sadarkan diri, di jaga oleh tiga ekor burung sakti yang diam tak bergerak seperti sedang merasa bingung dan berduka pula. Lie Kong Sian yang paham akan ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan menyatakan bahwa Bu Pun Su menderita kelemahan usia tua dan agaknya kesedihan hati membuat jantungnya terserang hebat dan penderitaan batin membuat kakek itu tidak kuat menahan dan jatuh pingsan. Pemuda itu lalu mengatakan kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan membantu kesempurnaan jalan darahnya dengan tenaga lweekang, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke pulaunya mencari semacam rumput darah yang mungkin akan menyembuhkan Bu Pun Su.

 Semenjak masuk Gua Tengkorak, Cin Hai lalu memegang tangan kanan suhunya dan mengerahkan tenaganya membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu itu. Telah sepekan lamanya Cin Hai duduk bersila tak bergerak dari dekat suhunya dan hanya makan sedikit sekali, itu pun kalau dipaksa-paksa oleh Lin Lin.

 Baru tiga hari yang lalu Ang I Niocu tiba di situ dan gadis ini pun menjaga susiok-couwnya siang malam bersama mereka.

 “Apakah selama ini Suhumu tidak siuman?” tanya Kwee An dengan terharu.

 “Pernah satu kali, dan setelah siuman ia hanya mengucapkan tiga perkataan, yaitu bahwa ia sudah tua, lalu jatuh pingsan lagi.” Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Lin Lin.

 Tiga orang muda itu lalu masuk ke dalam Gua Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan hati-hati sekali. Benar saja, mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai di dalam kamar hio-louw, berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati. Cin Hai duduk di sebelah kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil bersamadhi mengerahkan tenaga lweekangnya untuk membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhunya, sedangkan Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak bergerak bagaikan patung. Biarpun ilmu lweekangnya belum setinggi Cin Hai, namun kadang-kadang ia menggantikan Cin Hai untuk memegang tangan kiri kakek itu dan membantunya dengan tenaga lweekangnya agar Cin Hai tidak merasa terlalu lelah.

 Melihat hal ini Ma Hoa teringat akan kepandaian suhunya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang ilmu pengobatan, maka ia lalu memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk keluar dari tempat itu. Cin Hai dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau tidak mempedulikan kedatangan mereka.

 Ketika Kwee An dan Ma Hoa melihat tiga ekor burung sakti berdiri di ruang tengkorak tanpa bergerak dan dengan muka seolah-olah sedang berduka sekali, mereka merasa amat terharu. Burung-burung itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan seperti manusia biasa.

 Setelah tiba di luar gua, Kwee An bertanya mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.

 “An-ko, harap kau suka pergi dengan cepat kepada Suhu di Hong-lun-san untuk mengabarkan hal ini kepada Suhu. Suhu adalah seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup menolong Bu Pun Su Locianpwe.”

 Lin Lin menyatakan kegirangannya mendengar ini, maka ia pun mendesak kepada kakaknya untuk segera minta petolongan orang berilmu itu. Kwee An menyatakan persetujuannya dan ia berpesan kepada kekasihnya dan adiknya supaya mereka berdua menjaga di luar gua, agar jangan sampai ada musuh yang datang membuat kekacauan pada saat Bu Pun Su menderita sakit keras. Kemudian ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin ke Hong-lun-san.

 Dengan adanya Ma Hoa yang mengawaninya, Lin Lin menjaga di depan gua dan duduk di atas batu karang sambil bercakap-cakap dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang ditewaskannya Thai Kek Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio. Sebaliknya, ketika mendengar tentang tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su, Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana suhunya akan dapat memenuhi tantangan itu?

 Ketika mereka sedang duduk bercakap-cakap dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua telah berdiri di hadapan mereka. Dengan terkejut Lin Lin dan Ma Hoa bangkit berdiri dan memandang dengan tajam kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!

 Melihat nenek ini, Lin Lin menjadi marah sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu Pun Su ini telah menjalankan kecurangan untuk mencelakai suhunya itu. Maka sambil mencabut Han-le-kiam dari pinggangnya, ia membentak,

 “Mau apa kau datang ke sini?”

 Wi Wi Toanio memandang dengan mata mengejek lalu jawabnya,

 “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu Kwan Cu!”

 “Tidak! Tak seorang pun boleh masuk ke dalam gua ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum pedangku bicara!”

 “Anak kecil kurang ajar! Kau berani menghina dan mengusirku?” Wi Wi Toanio menjadi marah sekali.

 Ma Hoa juga mencabut sepasang bambu runcingnya dan berkata, “Nenek jahat, kau pergilah dengan baik-baik dan jangan mencari mati.”

 Makin marahlah Wi Wi Toanio mendengar ini. Dengan seruan keras ia melompat dan menerjang ke arah Lin Lin dan Ma Hoa dengan limu Silat Cakar Garuda yang lihai dan berbahaya itu. Akan tetapi Lin Lin dan Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya dengan mengirim serangan-serangan mematikan. Ternyata Wi Wi Toanio memang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka biarpun Lin Lin dan Ma Hoa mengeroyok dua dan mainkan senjata mereka dengan cara hebat, namun nenek itu tidak menjadi gentar dan membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat. Sambil bertempur Wi Wi Toanio mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda. Ginkangnya ternyata sudah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah ia dapat terbang saja. Namun Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak mau kalah dan bekerja sama dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.

 Pada saat pertempuran terjadi, Cin Hai sedang membantu suhunya dengan mengalirkan hawa melalui telapak tangan, sedangkan Ang I Niocu hanya bersila dan bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga yang telah banyak dikerahkan membantu susiok-couwnya itu. Kini ia mendengar suara-suara orang berkelahi di luar, maka tahulah ia bahwa Lin Lin dan Ma Hoa sedang menghadapi lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, ia lalu mengambil sebatang pedang Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin Hai, lalu ia bertindak keluar.

 Pada saat itu, sambil memekik keras, Wi Wi Toanio melompat ke atas dan kedua tangannya terulur ke depan dengan maksud merampas senjata kedua lawannya, akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua batang pedang yang bercahaya berkilauan menyambutnya dengan serangan hebat! Wi Wi Toanio sedang melayang bagaikan seekor burung garuda yang ganas, sedangkan Ang I Niocu pun melayang menyambutnya dengan pedang Liong-cu-kiam, bagaikan seekor burung hong yang indah dan gesit! Wi Wi Toanio terkejut melihat serangan ini, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik beberapa kali ke belakang!

 Melihat Ang I Niocu datang membantu, Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu mainkan senjata mereka dengan seru dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini merasa sibuk juga menghadapi tiga orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga betina itu! Ang I Niocu memang lihai dan dengan sepasang pedang Liong-cu-siang-kiam di kedua tangan, ia merupakan seekor harimau yang tumbuh sayap. Lin Lin dengan Han-le-kiam-hwatnya merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya ini boleh dianggap menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu pedang, sedangkan Ma Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan lawan yang tak mudah dilawan! Tentu saja setelah ketiga orang dara ini maju mengeroyok, biarpun ilmu kepandaian Wi Wi Toanio tinggi dan pengalamannya banyak, namun tetap saja ia merasa kewalahan dan sebentar saja ia terdesak mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!

 Wi Wi Toanio mengeluarkan jarum-jarum rahasianya dan kedua tangannya diayun menyebar puluhan batang jarum ke arah tiga dara itu, akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar sepasang bambu rucingnya dan Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya, hingga semua jarum kena terpukul runtuh. Sementara itu melihat kesempatan baik, Lin Lin maju mengirim serangan hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan cepat. Wi Wi Toanio mencoba mengelak akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah gerakannya dan pedangnya meluncur ke bawah! Wi Wi Toanio ketika itu terancam pula oleh sabetan pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang menotok iganya, maka dengan bingung ia membanting diri ke belakang! Namun gerakannya biarpun sudah cepat sekali ujung pedang pendek Han-le-kiam di tangan Lin Lin masih lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak Wi Wi Toanio yang lalu berguling ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan selanjutnya.

 Tiga orang gadis itu hendak mengejar dan mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam gua,

 “Jangan bunuh dia!”

 Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa tercengang dan mereka menahan senjata masing-masing, sedangkan Wi Wi Toanio yang merasa jerih menghadapi tiga orang gadis kosen itu, lalu melarikan diri turun dari bukit itu secepatnya!

 Ang I Niocu merasa girang sekali mendengar suara tadi, karena suara yang mencegah mereka tadi adalah suara Bu Pun Su. Juga Lin Lin mengenal suara suhunya, maka cepat-cepat ia lalu mengajak Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk masuk ke dalam gua.

 Mereka melihat bahwa Bu Pun Su telah siuman kembali akan tetapi masih rebah dengan tubuh lemah, sedangkan Cin Hai duduk bersila di dekatnya dengan wajah muram. Bu Pun Su memang hebat sekali, karena biarpun ia berada dalam keadaan sedemikian rupa, namun pendengarannya masih amat tajam sehingga ia dapat mendengar pertempuran yang terjadi di luar dan seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya baik-baik maka ia lalu mengerahkan khikangnya dan mencegah ketiga orang gadis itu membunuh Wi Wi Toanio. Tanpa menyaksikan dengan mata sendiri, dari pendengaran dan dugaan saja ia maklum bahwa Wi Wi Toanio takkan dapat menang menghadapi tiga dara yang gagah perkasa itu!

 Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun Su tersenyum dengan lemah dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,

 “Kalian lihat, betapapun tinggi kepandaian orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!”

 Kemudian Bu Pun Su memandang kepada Ma Hoa dan berkata. “Nona Ma Hoa, kau datang ke sini tentu mempunyai maksud tertentu. Katakanlah!”

 Ma Hoa tadinya segan untuk menceritakan tentang pesanan suhunya, dan tadinya ia berniat untuk menahan saja pesanan itu karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak tahunya kakek ini bermata awas hingga tahu bahwa kedatangannya mempunyai maksud tertentu, maka sambil berlutut ia lalu berkata,

 “Maafkan teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu tidak berani mengganggu Locianpwe yang sedang menderita sakit.”

 Terdengar suara tertawa Bu Pun Su yang seperti biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini suara ketawanya tidak sekeras dulu. “Anak yang baik, tubuhku sakit, akan tetapi semangatku masih seperti biasa. Ceritakanlah.”

 “Sebetulnya teecu diperintahkan oleh Suhu Hok Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Suhu dan Locianpwe.”

 “Hm, Hai Kong menantang aku dan Hok Peng?”

 “Benar, Locianpwe. Hwesio itu menantang untuk mengadu kepandaian pada bulan tiga di Puncak Hoa-san, dan mereka hendak mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat sebagai jago untuk menghadapi Locianpwe dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu menyampaikan kepada Locianpwe bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!”

 Bu Pun Su tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya makin lemah.

 “Hok Peng ternyata lebih muda semangatnya daripada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku dapat menghadapi Pok Pok dan Swi Kiat!” Akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan berbisik,

 “Tak mungkin, bulan tiga masih lama, aku takkan dapat bertahan selama itu...”

 Mendengar ucapan ini, tak dapat dicegah lagi Lin Lin lalu menangis terisak-isak.

 “Eh, eh, Lin Lin muridku yang nakal! Mengapa kau menangis? Suhumu sebentar lagi terbebas daripada kesengsaraan, mengapa kau malah menangis? Kau seharusnya bersyukur dan bergembira!”

 Akan tetapi, mendengar ini, Lin Lin makin hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma Hoa juga ikut menangis. Bu Pun Su menarik napas panjang,

 “Hm-hm... perempuan, perempuan... kalau tidak menangis, kau bukan perempuan lagi namanya...”

 Setelah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata kepada suhunya, “Suhu, perkenankan pada teecu untuk mengajukan sebuah permohonan.”

 “Nah, nah, sesudah menangis mengajukan permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman dahulu bahwa di balik air mata wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!”

 “Teecu mohon perkenan dari Suhu untuk mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan perjodohannya dengan Lie Kong Sian Suheng!”

 Mendengar ini Ang I Niocu cepat-cepat menundukkan kepalanya, menyembunyikan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.

 Bu Pun Su menjawab dan suaranya makin melemah seperti bisikan.

 “Aku tahu... semenjak mereka datang aku sudah tahu... Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku setuju...” tiba-tiba ia mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan, tak sadarkan diri seperti orang tidur pulas!

 Cin Hai cepat menyambar nadi tangan suhunya dan berbisik, “Suhu terlalu banyak menggunakan tenaga untuk bercakap-cakap.”

 Tiba-tiba masuk seorang laki-laki ke dalam Gua Tengkorak dan ketika semua orang memandang, ternyata yang datang ini adalah Lie Kong Sian. Pemuda ini dengan cepat sekali lalu menghancurkan daun darah yang ia ambil dari pulaunya, memeras daun itu dan meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun Su. Setelah itu, pemuda ini lalu duduk di sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan Cin Hai membantu peredaran hawa dalam tubuh supeknya.

 Tak lama kemudian, bagaikan api lilin yang hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ternyata khasiat daun darah telah bekerja dan ia merasa tubuhnya enak sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan duduk.

 “Im Giok, kuulangi kata-kataku tadi. Kau memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa girang sekali bahwa kau mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!” Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menundukkan kepala dan tak berani bergerak karena jengahnya. Kemudian Bu Pun Su berkata sambil menuding keluar gua,

 “Ada orang datang!”

 Semua orang memandang karena mereka tidak mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat mendengar tindakan kaki yang halus sekali. Benar saja, tak lama kemudian, masuklah Kwee An bersama Hok Peng Taisu yang datang-datang tertawa bergelak lalu menghampiri Bu Pun Su.

 Bu Pun Su juga tertawa girang. “Hok Peng, apakah kau datang hendak memeriksa tubuhku yang sudah bobrok ini?”

 “Bu Pun Su, benar-benarkah kau hendak mendahului aku? Kau hanya lebih tua beberapa tahun saja dariku, dan menurut patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!”

 Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu duduk di dekat Bu Pun Su dan mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi dan detik jantung kakek jembel itu. Setelah memeriksa sambil memejamkan mata beberapa lama, kakek jembel itu bertanya,

 “Bagaimana, Hok Peng, masih berapa lama lagikah?”

 Kakek botak itu memandang wajah Bu Pun Su dengan tajam. “Bu Pun Su, aku tidak ingin mengetahui urusan pribadimu, akan tetapi orang seperti kau ini tidak layak menerima luka di jantung karena tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali karena kau agaknya teringat akan hal-hal yang telah lampau yang membuat kau merasa malu, marah, dan berduka. Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya akan dapat bertahan selama sepekan saja!”

 “Bagus, kalau begitu masih ada waktu beberapa hari lagi,” kata Bu Pun Su.

 “Sayang sekali Bu Pun Su. Benar-benar sayang, karena sebetulnya aku ingin sekali melihat kau menikmati adu kepandaian di Puncak Hoa-san dan main-main sebentar dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu sebelum kau pergi! Pergi seorang diri saja ke Hoa-san kurang menggembirakan!”

 Bu Pun Su tertawa, “Apa dayaku? Aku pun sudah mendengar dari muridmu tentang tantangan itu, akan tetapi kepergianku tak dapat ditunda-tunda lagi!”

 Mendengar bahwa usia Bu Pun Su tinggal sepekan lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek yang aneh itu membicarakan kematian Bu Pun Su sebagai orang yang hendak pergi melancong saja, Ang I Niocu, Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati lagi dan terdengarlah isak tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya dan menangis sedih.

 “Eh, eh, kembali kau memperlihatkan sikapmu yang nakal, Lin Lin!” kata Bu Pun Su. Kemudian, kakek jembel itu berkata kepada kakek botak,

 “Hok Peng, jangan kau kecewa, karena betapapun juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus kita hadapi! Aku tak dapat datang sendiri, akan tetapi aku hendak mewakilkan kepada Cin Hai untuk menghadapi mereka.”

 “Suhu, teecu masih terlalu lemah untuk menghadapi mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sakti itu,” kata Cin Hai.

 “Jangan kuatir, mereka itu sudah tua bangka dan tubuh mereka sudah bobrok seperti aku! Kita masih mempunyai waktu sepekan dan selama itu, aku akan menurunkan sisa-sisa kepandaianku kepadamu. Pula, setelah aku pergi, kau boleh minta bimbingan Hok Peng untuk memperdalam kepandaianmu hingga tidak akan mengecewakan kelak apabila kau mewakili daerah selatan dan timur bersama Hok Peng!”

 “Bagus!” kata Hok Peng. “Aku setuju sekali kalau anak muda ini mewakilimu, karena ia mempunyai bahan cukup baik. Nah, aku tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun Su. Pergunakanlah sisa waktu yang tak lama itu dengan sebaiknya dan selamat berpisah sampai berjumpa kembali.”

 Bu Pun Su mengangguk-angguk dan tersenyum. “Terima kasih paling lama lima tahun lagi kita bertemu!”

 Hok Peng tertawa bergelak-gelak. Mungkin sekali sebelum lima tahun aku akan menyusulmu!” Kemudian kakek ini berkelebat keluar dan lenyap dari pandangan mata.

 Bu Pun Su menarik napas panjang. “Lie Kong Sian, obatmu itu benar baik sekali karena aku merasa sehat kembali. Sekarang kalian dengarlah pesanku terakhir. Im Giok telah kuberi persetujuan menjadi jodoh Lie Kong Sian dan semoga kalian berdua hidup berbahagia. Pedang Liong-cu-kiam kuberikan kepada Cin Hai dan Im Giok, yang panjang untuk Cin Hai dan yang pendek untuk Im Giok karena kalian berdualah yang mendapatkannya.”

 Cin Hai, Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menghaturkan terima kasih.

 “Masih ada lagi,” kata Bu Pun Su, “Kelak, apabila kalian memperoleh turunan, juga bagi Nona Ma Hoa kuanjurkan menurut nasihat ini, kalian harus menggunduli putera-puteramu.”

 Semua orang memandang heran dan menganggap bahwa kakek itu telah mulai bicara tidak karuan seperti biasanya orang-orang tua yang sudah mendekati saat kematiannya.

 “Hal ini jangan kalian pandang rendah,” kata Bu Pun Su. “Dan kau, Cin Hai, jangan kauanggap Gurumu berkelekar dan menyindir kau yang ketika kecil bergundul kepala, karena sesungguhnya bagi seorang anak laki-laki lebih baik digunduli rambutnya ketika masih kecil agar hawa yang sehat dan sejuk tidak tertolak oleh rambut dan membuat kepala anak itu menjadi segar dan baik perjalanan darahnya hingga selain memperkuat, juga menambah kecerdikan anak itu. Pesanku yang lain ialah kalau aku sudah pergi, tubuhku yang bobrok ini supaya dibakar di dalam gua ini dan abunya kalian masukkan ke dalam hiolouw besar, kemudian kalian tinggalkan gua ini dan menutupnya dengan batu besar rapat-rapat, lalu tutuplah gua ini dengan pohon-pohon agar tak sampai ditemukan orang lain. Aku ingin mengaso dengan tenteram di tempat ini.”

 Semua orang mendengarkan pesan ini dengan hati terharu sekali.

 “Nah, sekarang kalian keluarlah semua, kecuali Cin Hai karena aku hendak menggunakan sisa waktuku untuk melatihnya sebagai persiapan menghadapi adu kepandaian di Puncak Hoa-san kelak.”

 Dengan hati sedih dan wajah muram, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An lalu mengundurkan diri dan keluar dari gua itu. Mereka menjaga di luar sambil bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu ke dalam di mana Bu Pun Su menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin Hai dengan ilmu-ilmu kepandaian yang belum dipelajarinya. Tentu saja dalam waktu yang hanya beberapa hari itu, Cin Hai tak mungkin mempelajari semua ilmu itu berikut prakteknya, dan hanya mempelajari pokok-pokok teorinya saja, untuk kemudian dipelajari prakteknya. Akan tetapi ia telah mencatat dalam otaknya segala pelajaran itu dengan teliti hingga Bu Pun Su menjadi puas.

 Lima hari kemudian, Cin Hai keluar dari dalam gua dengan wajah muram dan ia memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk masuk ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan ketika melihat tubuh suhunya berbaring dengan wajah pucat dan napas lemah, ia lalu menubruknya sambil menangis.

 Bu Pun Su menggerakkan tangannya yang sudah amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.

 “Jangan menangis, jangan menangis” bisiknya, “jangan antarkan kepergianku dengan air mata... aku tidak suka...!” Lin Lin lalu menahan tangisnya dan terisak-isak dengan hati hancur.

 “Anak-anak... pesanku terakhir... setelah selesai pertandingan pibu di Hoa-san... pulanglah dan langsungkan perjodohan... hiduplah dengan aman dan tenteram bahagia, jauhi segala permusuhan...!” ia terengah-engah karena sebenarnya waktu lima hari yang ia pergunakan siang malam untuk memberi gemblengan terakhir kepada Cin Hai itu terlampau melelahkannya dan membuatnya cepat lemah. “Sekarang... antarkan kepergianku dengan cita-cita tinggi dan luhur... selamat... tinggal!” lemaslah lehernya dan pada saat itu Bu Pun Su, tokoh persilatan yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu, terpaksa menyerah kalah terhadap maut yang merenggut nyawanya.

 Lin Lin, Ang I Niocu, dan Ma Hoa menahan tangis mereka karena mereka hendak mentaati pesan terakhir dari Bu Pun Su. Kemudian mereka berenam mengadakan persiapan untuk menyempurnakan jenazah kakek itu dan membakarnya di dalam gua dengan penuh khidmat. Setelah selesai dan mayat itu telah menjadi abu seluruhnya, abunya lalu disimpan di dalam hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar.

 Untuk beberapa hari lamanya mereka mengadakan perkabungan di tempat itu dan mengadakan persembahyangan untuk memberi penghormatan terakhir, kemudian beramai-ramai mereka lalu menutup Gua Tengkorak dengan batu-batu besar dan menimbunnya dengan pohon-pohon kecil, hingga gua itu tertutup sama sekali dan tidak tampak dari luar.

 Setelah itu, atas anjuran Ma Hoa, mereka berenam lalu pergi ke Hong-lun-san untuk memberi kabar kepada Hok Peng Taisu tentang kematian Bu Pun Su. Kakek botak itu menerima warta ini sambil tersenyum dan menarik napas panjang.

 “Ah, dia lebih beruntung daripada aku. Sekarang ia sudah enak-enak sedangkan aku masih harus menderita.”

 Oleh karena waktu untuk menerima tantangan tinggal sebulan lebih lagi, maka Hok Peng Taisu lalu melatih Cin Hai dengan berbagai kepandaian yang belum pernah dipelajari oleh anak muda itu sampai hampir sepuluh hari lamanya. Orang-orang muda yang lain merasa suka tinggal di bukit yang indah itu dan mereka juga berlatih silat di bawah pengawasan Hok Peng Taisu.

 Setelah menganggap bahwa ilmu kepandaian Cin Hai cukup kuat, Hok Peng Taisu lalu mengajak mereka mulai melakukan perjalanan menuju ke Puncak Hoa-san.

 Untuk memperkuat rombongan mereka, Ma Hoa minta perkenan kepada Hok Peng Taisu untuk singgah di tempat kediaman Nelayan Cengeng yaitu di Sungai Liong-ho. Ternyata kakek nelayan itu sedang enak-enak di atas sebuah perahu kecil, bersenang-senang seorang diri mencari ikan sambil bernyanyi-nyanyi.

 Melihat kedatangan mereka, Nelayan Cengeng merasa girang sekali, dan ia segera menyatakan keinginannya untuk ikut ke Hoa-san! Tentang kematian Bu Pun Su, ia menyambungnya dengan ucapan yang hampir sama dengan ucapan Hok Peng Taisu, karena ia berkata,

 “Aku harap akan dapat segera menyusulnya!”

 Hok Peng Taisu lalu menyerahkan pimpinan rombongan itu kepada Nelayan Cengeng karena ia hendak melakukan perjalanan dari lain jurusan untuk singgah di tempat tinggal beberapa orang kenalannya.

 “Kalau sudah tiba di kaki Bukit Hoosan, kalian tunggulah kedatanganku, dan kalau aku yang datang lebih dulu, aku pun akan menanti kalian,” kata kakek botak itu yang lalu berkelebat pergi. Seperti juga Bu Pun Su, Kakek aneh ini tidak suka melakukan perjalanan dengan orang lain, dan lebih suka berjalan seorang diri saja.

 Ternyata bahwa pihak Hai Kong siang telah berkumpul di Puncak Hoa-san menanti kedatangan dua orang musuh besar, yaitu Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Wi Wi Toanio berhasil mengundang datang Pok Pok Sianjin, supeknya yang tinggal di Puncak Go-bi-san daerah barat yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri itu. Wi Wi Toanio tidak berani menceritakan tentang hal yang sebenarnya, maka dengan cerdik nenek itu hanya menceritakan bahwa ia hendak mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan karena merasa tak kuasa menghadapi, mereka minta bantuan supek ini. Sebenarnya Pok Pok Sianjin tidak mau mempedulikan segala urusan dunia, akan tetapi mendengar nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu sebagai tokoh-tokoh tertinggi dari daerah selatan dan timur, tergeraklah hatinya hingga timbul kegembiraannya untuk mengukur kepandaian mereka. Apakah salahnya mengukur tenaga dalam sebuah pibu yang adil dan dilakukan dalam suasana persahabatan? Oleh karena inilah maka Pok Pok Sianjin menyanggupi dan tepat pada waktunya.

 Sementara itu, Swi Kiat Siansu, guru Thai Kek Losu, ketika dibujuk oleh Hai Kong Hosiang yang menceritakan betapa kedua orang muridnya, yaitu Thai Kek Losu, tewas dalam tangan Cin Hai, Lin Lin dan Lie Kong Sian, tergerak pula hatinya ketika mendengar betapa pembunuh-pembunuh muridnya itu, dibela pula oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Kalau saja kedua tokoh besar itu tidak muncul untuk membela pembunuh-pembunuh muridnya, tentu ia tidak akan sudi turun gunung karena ia pun telah mendengar tentang kesesatan murid-muridnya itu, akan tetapi ia tergerak untuk mencoba pula kepandaian Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu yang amat terkenal.

 Rombongan Hai Kong Hosiang terdiri dari dua belas orang, yaitu Pok Pok Sianjin, Swi Kiat Siansu, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin, Kam Hong Sin, Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu, Giok Im Cu, Giok Keng Cu, dan Giok Yang Cu. Selain dua belas orang-orang lihai ini, masih terdapat ratusan perwira yang sengaja menjaga di sekitar tempat itu.

 Melihat keadaan rombongan yang banyak ini, terutama melihat para perwira, Pok Pok Sianjin merasa heran dan bertanya kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, mengapa begini banyak orang berada di sini? Apakah kalian hendak mengadakan perang besar?”

 “Tidak, Supek. Mereka itu adalah kawan-kawan teecu, dan perwira-perwira itu hanya untuk penjagaan kalau-kalau pihak lawan membawa pula bantuan besar untuk sengaja mencari permusuhan.”

 Juga Swi Kiat Siansu merasa heran melihat banyaknya orang menjaga di situ, maka ia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Aku tidak menghendaki adanya pertempuran besar. Kalian boleh bertempur dan bermusuhan, akan tetapi jangan harap untuk melibatkan diriku dalam keadaan semacam itu!”

 Hai Kong Hosiang menyatakan kesanggupannya untuk mencegah para perwira itu membuat kacau dan hanya minta agar supaya Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu menghadapi Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu di dalam pibu yang hendak diadakan.

 Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu merasa girang dapat saling bertemu dan mereka segera bermain catur di bawah sebatang pohon dan tidak mempedulikan lagi keadaan di sekitarnya.

 Pada saat itu dua orang kakek yang sudah amat tua itu asyik bermain catur, maka datanglah rombongan Hok Peng Taisu yang terdiri dari delapan orang, yaitu Hok Peng Taisu sendiri, Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, Lie Kong Sian dan Nelayan Cengeng. Dengan sikap tenang dan gagah Hok Peng Taisu berjalan memimpin kawan-kawannya naik ke bukit dan sama sekali tidak gentar melihat para perwira yang berderet-deret menyambut kedatangan mereka itu.

 Ketika Hai Kong Hosiang dan yang lain-lain menyambut, Hok Peng Taisu berlaku seakan-akan tidak melihat mereka, akan tetapi langsung menghampiri kedua orang kakek yang tengah bermain catur itu sambil tertawa dan berkata,

 “Kalau Bu Pun Su belum meninggalkan kita, kalian tentu akan dipukul hancur dalam permainan catur ini. Sayang aku tidak pandai bermain catur!”

 Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang juga telah melihat kedatangannya, segera berdiri sambil tertawa.

 “Hok Peng, kau nyata masih nampak sehat-sehat saja sungguhpun kepalamu sudah menjadi botak dan hampir habis semua rambutmu!” kata Pok Pok Sianjin, sedangkan Swi Kiat Siansu berkata dengan kecewa.

 “Kau bilang tadi bahwa Bu Pun Su sudah meninggalkan kita? Ah, sayang sekali...! Dari tempat jauh, aku datang karena ingin merasakan pula kelihaiannya, ternyata ia telah mendahuluiku pergi... sungguh sayang.”

 Hok Peng Taisu tertawa pula. “Jangan kau kecewa, Swi Kiat Siansu! Sungguhpun Bu Pun Su telah berpulang ke asalnya, akan tetapi dia telah mengirim salamnya dan bahkan mengirim seorang wakil yang cukup akan menggembirakan hatimu.”

 Swi Kiat Siansu memandang tajam. “Apa? Apakah kau mewakili dia pula?”

 Hok Peng Taisu menggeleng-geleng kepala. “Apa kaukira aku demikian serakah untuk memborong semua kehormatan? Bukan, bukan aku, akan tetapi muridnya.” Kakek botak ini lalu melambaikan tangan ke arah Cin Hai yang segera menghampiri mereka.

 “Inilah wakil Bu Pun Su, ia disebut Pendekar Bodoh!”

 Cin Hai lalu menjura dengan penuh penghormatan kepada Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin sambil berkata, “Teecu Sie Cin Hai yang bodoh merasa mendapat kehormatan besar dapat bertemu dengan Ji-wi Locianpwe.”

 Pok Pok Sianjin bertubuh jangkung kurus, dan agak bongkok. Rambut dan kumisnya telah putih semua dan terurai ke bawah tidak terawat sama sekali. Tangan kanannya membawa sebatang tongkat panjang yang bengkok-bengkok dan tangan kirinya selalu mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Ia mengangguk-angguk senang melihat sikap Cin Hai yang sopan santun dan melihat sikap serta pandang mata pemuda itu, maklumlah ia bahwa pemuda ini adalah seorang yang “berisi”.

 Swi Kiat Siansu bertubuh gemuk bundar seperti patung Jilaihud, jubahnya kuning dan hanya merupakan sehelai kain yang dibelit-belitkan pada tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang kipas dan agaknya ia selalu merasa gerah karena kipas itu tiada hentinya digunakan untuk mengipasi tubuhnya. Kakek yang juga sudah tua sekali ini ketika mendengar bahwa julukan pemuda itu Pendekar Bodoh, segera menaruh hormat dan tahu bahwa orang yang menggunakan julukan serendah itu pasti memiliki kepandaian yang berarti.

 “Bagus sekali,” kata Swi Kiat Siansu. ”Bu Pun Su, ternyata pandai memilih murid-murid, tidak seperti aku yang selalu salah pilih. Pendekar Bodoh, tentu kau pula yang telah membantuku memberi hajaran kepada kedua muridku Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu?”

 Cin Hai menjawab dengan tenang.

 “Locianpwe, mana teecu berani memberi hajaran kepada orang lain? Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sengaja hendak membunuh teecu dan kawan-kawan, terpaksa kami membela diri.”

 Swi Kiat Siansu mengangguk-angguk, lalu ia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong Bengyu, kau telah berhasil mengundang aku untuk mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan kini mereka berdua telah datang, biarpun Bu Pun Su sendiri hanya diwakili oleh muridnya. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa pibu ini adalah urusan kami sendiri dan kau serta kawan-kawanmu yang banyak jumlahnya itu tidak boleh mencampuri urusan kami. Urusan pribadi terhadap para tamu tidak ada hubungannya dengan pibu ini!”

 Pok Pok Sianjin juga berkata kepada Wi Wi Toanio, “Aku telah bertemu dengan jago-jago dari selatan dan timur, jangan mengganggu pibu ini.”

 Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio biarpun merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak berani membantah, hanya mereka mengharap agar dalam pibu ini, Cin Hai dan Hok Peng Taisu kena dikalahkan, karena dengan demikian, akan mudah bagi mereka untuk menyerang Ang I Niocu dan kawan-kawannya. Mereka memang merasa gentar terhadap Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su dan biarpun mereka tahu akan kelihaian Cin Hai yang mewakili Bu Pun Su, namun mereka tidak begitu jerih terhadap Cin Hai.

 Sementara itu, Hok Peng Taisu lalu menghadapi kedua kakek sakti dari barat dan utara itu dan berkata,

 “Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, kita ini seperti anak-anak kecil yang bodoh hingga dapat dibujuk oleh orang-orang muda untuk datang ke sini hingga saling berhadapan! Akan tetapi setelah kita bertemu di sini, maka kita tak perlu merasa sungkan lagi karena aku dapat menduga isi hati kalian yang tentu tak jauh bedanya dengan isi hatiku. Bukankah kalian datang karena ingin menguji kepandaianku dan kepandaian Bu Pun Su?”

 Swi Kiat Siansu tertawa. “Benar, benar! Memang orang-orang yang sudah terlalu tua seperti kita memang kembali menjadi bocah-bocah lagi. Sayang sekali Bu Pun Su tidak dapat hadir, kalau dia ada alangkah senangnya!”

 “Locianpwe,” kata Cin Hai dengan masih menghormat, “mendiang Suhu pernah menyatakan kekecewaannya karena tidak dapat menerima penghormatan ini sendiri akan tetapi Suhu telah menitahkan teecu untuk mewakilinya. Oleh karena taat kepada perintah Suhu, maka teecu melupakan kebodohan sendiri dan berani berlaku lancang menghadapi Ji-wi Locianpwe untuk melayani Locianpwe berdua bermain-main!”

 Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak. “Pendekar Bodoh,” kata Pok Pok Sianjin. “Kau terlalu merendahkan diri sendiri dan dapat menyesuaikan dirimu, bagus sekali!”

 “Locianpwe,” kata Cin Hai, “teecu teringat akan ujar-ujar Nabi Khong Cu yang pernah menyatakan bahwa jika orang bodoh suka menggunakan cara sendiri dan orang rendah berlaku agung, maka orang tak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya dan berkukuh memegang aturan kuno yang sudah tidak sesuai lagi, maka orang demikian itu tentu akan mengalami bencana yang menimpa dirinya!”

 “Itulah ujar-ujar dalam kitab Tiong-yong!” seru Pok Pok Sianjin dengan kagum. “Eh, anak muda, kau benar-benar mengherankan! Ucapan-ucapanmu tak pantas keluar dari mulut seorang semuda engkau! Tahukah kau bahwa usiamu ini membuat kau lebih pantas menjadi cucuku? Dan kau hendak melayani kami bermain-main?”

 “Locianpwe, para bijak jaman dahulu pernah menyatakan bahwa kepandaian dan pribudi orang tidak diukur dari tinggi rendah usianya, seperti juga kebersihan lahir batin seseorang tak dapat dilihat dari pakaiannya! Oleh karena itu, apakah salahnya perbedaan usia di antara kita? Apakah artinya muda dan tua? Buah yang sudah terlalu tua akan membusuk dan kemudian jatuh ke atas tanah untuk bersemi lagi menjadi pohon muda akhirnya pun akan menjadi tualah akhirnya! Lagi pula, Locianpwe hanya bermaksud untuk main-main, maka biarlah teecu menerima pengajaran dan agar bertambah pengalaman teecu dari main-main ini!”

 “Ha, ha, ha! Kau memang pandai sekali, Pendekar Bodoh!” kata Pok Pok Sianjin. “Hok Peng Taisu, tidak salah kau membawa anak muda ini! Sekarang biarlah aku bermain dengan anak muda ini lebih dulu dan Swi Kiat Siansu bermain-main dengan kau kemudian kita bertukar lawan!”

 Hok Peng Taisu hanya mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah Pok Pok Sianjin. Kalian berdua pada saat ini boleh kuanggap sebagai tuan rumah, maka biarlah ketentuan-ketentuannya terserah kepadamu saja.”

 Pok Pok Sianjin lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian ia mengambil dua biji catur dan menyerahkannya sebuah kepada Cin Hai sambil berkata, “Pendekar Bodoh, kita masing-masing memegang sebuah biji catur dan marilah kita menaruh biji catur ini di kepala. Kemudian kita saling serang dan berusaha menjatuhkan biji catur itu diri atas kepala. Siapa yang biji caturnya terjatuh, harus berani mengaku kalah!”

 Cin Hai diam-diam merasa terkejut oleh karena biarpun “main-main” ini nampaknya tidak berbahaya, namun karena biji catur itu ditaruh di atas kepala, maka untuk menjaga agar jangan sampai biji catur itu terpukul jatuh, sama halnya dengan menjaga kepala sendiri, kana kepala itu tidak akan terluput dari pada bahaya pukulan! Akan tetapi, dengan tenang ia mengangguk dan lalu menaruh biji catur itu di atas kepalanya setelah menyingkap rambutnya hingga biji catur itu menyentuh kulit kepala.

 “Teecu telah siap, Locianpwe!” katanya.

 “Bagus, mari kita mulai!” Kakek tua yang tinggi kurus dan bongkok itu lalu melangkah maju dan mengebutkan tangannya ke arah biji catur di atas kepala Cin Hai dan pemuda ini merasa betapa sambaran angin yang keluar dari kibasan tangan ini sungguh dahsyat dan keras hingga ia merasa betapa rambut kepalanya tertiup keras! Ia segera menggerakkah kedua lengannya dan mainkan gerak Pek-in-hoatsut lalu menolak sambaran angin itu dengan angin pukulannya, bahkan lalu membalas dengan pukulan Mega Putih Menutup Matahari ke arah biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin.

 Pok Pok Sianjin melihat betapa sampokannya tadi terpental kembali oleh uap putih yang keluar dari kedua lengan Cin Hai, tertawa dan berkata, “Bagus, Pekin-hoat-sut yang kaumainkan ini mengingatkan aku kepada Bu Pun Su! Ha, ha, kau benar-benar merupakan Bu Pun muda!!” Lalu ia menyerang kembali dengan kebutan tangan atau tamparan yang dilakukan dengan cepat dan mendatangkan angin pukulan yang hebat. Cin Hai berlaku waspada dan hati-hati sekali. Ia mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas menyerang.

 Demikianlah, kedua orang itu saling serang dengan hebatnya dan biarpun tubuh mereka berkelebatan ke sana ke mari, akan tetapi belum pernah kedua lengan tangan mereka beradu karena mereka mempergunakan lweekang dan ginkang untuk menyerang lawan dengan angin pukulan saja! Nelayan Cengeng dan kawan-kawan lainnya yang menonton pertempuran ini merasa berdebar penuh ketegangan karena biarpun mereka berdua itu hanya “main-main” belaka, namun kehebatan pertandingan itu lebih mendebarkan hati daripada pertempuran dua ekor naga yang saling terkam! Juga Hok Peng Taisu memandang tajam dan diam-diam ia mengagumi kelincahan dan ketenangan Cin Hai.

 Harus diketahui bahwa pertandingan adu kepandaian macam ini lebih berat daripada pertandingan dalam pertempuran biasa karena dalam pertandingan bersyarat ini orang harus membagi dua perhatiannya, yaitu selain menjaga pukulan lawan juga harus menjaga agar biji catur di atas kepala itu jangan tergelincir jatuh di waktu tubuh mereka bergerak. Dengan tenaga khikang, dapat menyedot biji catur itu hingga seakan-akan menempel di kulit kepala, akan tetapi sebentar saja perhatian mereka terlepas, biji catur itu ada kemungkinan terguling ke bawah yang berarti kekalahan bagi mereka!

 Untuk dapat melakukan hal ini di butuhkan kepandaian tinggi dan khikang yang sudah sempurna, maka Pok Pok Sianjin sengaja memilih cara ini karena kalau anak muda itu tidak sanggup melakukannya berarti bahwa kepandaiannya belum cukup tinggi untuk melayaninya! Akan tetapi, alangkah kagum hatinya ketika melihat bahwa bukan saja Cin Hai sanggup melakukan permainan ini dengan baik, bahkan dapat juga melancarkan serangan balasan yang cukup mengejutkannya! Ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah mempelajari pokok-pokok pergerakan silat dengan sempurna hingga dapat menduga ke mana arah serangan lawannya, hingga sungguhpun ia harus mengakui bahwa lweekang dari Pok Pok Sianjin lebih tinggi daripada lweekangnya sendiri, akan tetapi oleh karena ia telah mengetahui lebih dulu arah serangan lawan, ia dapat menjaga diri lebih cepat dari pada lawannya.

 Tipu berganti tipu dan ilmu bertukar ilmu, akan tetapi setelah bertempur lima puluh jurus, belum juga Pok Pok Sianjin berhasil mengalahkan Cin Hai. Ia makin menjadi kagum dan juga penasaran, dan ketika Cin Hai mainkan ilmu serangan yang baru-baru ini ia terima dari Bu Pun Su, yaitu Ilmu Serangan Halilintar Menyambar Hujan, pukulan-pukulannya telah berhasil membuat biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin menjadi miring.

 Bukan main kagum dan terkejutnya hati Pok Pok Sianjin melihat hebatnya serangan pemuda itu, hingga ia berseru keras memuji.

 “Kau benar-benar murid Bu Pun Su tulen!” katanya sambil menyambar tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas tanah. “Keluarkan senjatamu, Pendekar Bodoh, dan mari kita bermain-main dengan senjata agar lebih menyenangkan!” Cin Hai dengan hati gelisah terpaksa mengeluarkan pedangnya Liong-cu-kiam, akan tetapi oleh karena suara kakek itu diliputi oleh kegembiraan, ia menenteramkan hatinya dan menggerakkan pedang itu dengan cepat.

 “Pedang bagus!” Pok, Pok Sianjin memuji pula dan tongkatnya lalu berkelebat dengan hebatnya, hingga Cin Hai merasa amat kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu tongkat sehebat ini. Biarpun ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tidak mudah orang melawannya, akan tetapi menghadapi ilmu tongkat Pok Pok Sianjin, ia benar-benar tidak berdaya. Tentang kecepatan bergerak dan lihainya perubahan gerakan, mungkin ilmu pedangnya tidak kalah karena beberapa kali Pok Pok Sianjin mengeluarkan seruan kaget karena tidak menduga perubahan yang tiba-tiba terjadi pada pedang Cin Hai, akan tetapi permainan tongkat kakek ini mengandung tenaga-tenaga yang mujijat. Tongkat di tangannya itu seakan-akan hidup hingga dapat digunakan untuk menempel, memutar membetot, mendorong dengan tenaga yang cocok sekali hingga beberapa kali hampir saja pedang Cin Hai kena dirampas.

 Cin Hai lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan oleh karena ilmu pedangnya Daun Bambu memang hebat dan dapat disesuaikan dengan kepandaian lawan yang bagaimanapun juga, maka ia dapat melakukan perlawanan cukup seru. Namun ia kalah pengalaman dan juga ilmu tongkat Pok Pok Sianjin memang lain daripada yang lain hingga lagi-lagi ketika ia menusuk, pedangnya kena ditempel oleh tongkat itu. Kakek itu memutar-mutar tongkatnya dan ternyata tenaga putaran itu luar biasa kuatnya, pedang Cin Hai ikut terputar dan tiba-tiba tongkat itu meluncur ke atas kepalanya, menyabet biji catur itu dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka.

 Cin Hai terkejut sekali akan tetapi anak muda ini memang mempunyai ketenangan yang sempurna dan kecerdikan luar biasa. Melihat bahwa ia tak dapat mengelak lagi, apa pula menangkis, ia lalu berseru keras dan mengerahkan khikangnya hingga tiba-tiba biji catur di atas kepalanya mumbul setengah kaki lebih dan setelah tongkat kakek itu lewat di atas kepalanya, biji catur itu turun kembali di atas kepalanya seperti tadi.

 Hal ini membuat semua orang yang menonton berseru kagum dan juga Pok Pok Sianjin tertawa bergelak-gelak sambil menancapkan tongkatnya di atas tanah lagi.

 “Ha, ha, ha! Dasar kau murid Bu Pun Su selain lihai juga cerdik dan licin sekali. Kau pantas sekali disebut Pendekar Bodoh! Hebat, hebat!” Seru Pok Pok Sianjin dengan gembira sekali sambil menepuk-nepuk pundak Cin Hai. Pemuda ini merasa betapa tangan kakek yang menepuk pundaknya seperti orang memuji itu berat sekali, maka cepat-cepat ia lalu mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Pok Pok Sianjin merasa betapa pundak pemuda itu lemas bagaikan kapuk! Ia memperhebat suara ketawanya dan Cin Hai, menyimpan pedang sambil menjura dan berkata,

 “Locianpwe kalau teecu bisa mempelajari ilmu tongkatmu, teecu akan merasa berbahagia sekali!”

 Bukan main senangnya hati Pok Pok Sianjin mendengar ucapan ini karena ucapan ini saja menunjukkan betapa pemuda itu menghargainya, maka ia tertawa lagi dan berkata, “Kalau ada jodoh dan usiaku masih panjang, aku akan senang sekali mewariskan ilmu tongkat ini kepada seorang keturunanmu!” Biarpun ucapan ini dikeluarkan sebagai main-main belaka dan sambil lalu akan tetapi Cin Hai mencatat di dalam hati dengan baik-baik.

 Swi Kiat Siansu dan Hok Peng Taisu juga memuji kepandaian mereka yang baru saja mengadu kepandaian dan kini kedua orang itu saling pandang. “Sekarang tiba giliran kita, Hok Peng Taisu. Telah lama aku mengagumi Ilmu Silat Bambu Runcingmu, marilah kita main-main sebentar.”

 Hok Peng Taisu tersenyum dan tidak mau berlaku sungkun-sungkan lagi. Ia lalu memegang sepasang tongkat bambunya di kedua tangan dan setelah menjura lalu berkata, “Mana sepasang tongkat bambuku dapat dibandingkan dengan kipas mautmu?”

 Memang senjata Swi Kiat Siansu adalah kipas yang selalu dipakai mengebut-ngebut tubuhnya itu. Kipas ini lebar dan gagangnya terbuat daripada gading gajah yang ujungnya runcing sedangkan permukaannya terbuat daripada kulit harimau yang telah direndam obat hingga menjadi kuat dan keras. Kini ia memegang kipas itu di tangan kanan dan siap menanti datangnya serangan lawan.

 “Karena pibu ini harus dilakukan dengan kepala dingin, maka lebih baik kita menggunakan syarat seperti yang dilakukan oleh Pok Pok Sianjin tadi,” kata Swi Kiat Siansu.

 “Terserah kepadamu, Sahabat, karena seperti telah kukatakan tadi, sebagai tuan rumah kau berhak mengambil penentuan,” jawab Hok Peng Taisu.

 “Baiknya diatur begini saja. Kalau seorang diantara kita sampai kena diserang ujung baju atau ujung lengan bajunya hingga robek, maka ia dianggap kalah.” Hok Peng Taisu mengangguk dan tertawa girang karena mendapat kenyataan bahwa pihak lawan benar-benar tidak menghendaki pertempuran mati-matian.

 “Baik, baik. Mari kita mulai!”

 Kedua orang kakek tua itu segera bergerak dan sebentar saja mereka berdua lenyap dalam sebuah pertempuran yang memusingkan pandangan mata orang yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya. Gerakan mereka sama cepat dan gerakan senjata mereka sama lihai, hingga bayangan mereka terkurung oleh gulungan sinar senjata yang berkelebatan hebat sekali. Semua orang yang menonton pertempuran ini merasa kagum dan juga kuatir karena agaknya dalam pertempuran macam ini tak mungkin dapat menang apabila tidak merobohkan lawan dengan serangan maut!

 Akan tetapi bagi Hok Peng Taisu dan Swi Kiat Siansu yang sedang bertempur, mereka berdua maklum akan tingkat kepandaian lawan yang seimbang, akan tetapi betapapun juga Swi Kiat Siansu diam-diam mengakui bahwa Ilmu silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu benar-benar lihai sekali dan masih dapat menekan permainan kipasnya sendiri! Ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri dan demikianiah, mereka bertempur dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya.

 Tiba-tiba terdengar Swi Kiat Siansu berseru, “Aku mengaku kalah!“ sedangkan Hok Peng Taisu juga berseru, “Kau lihai sekali!” dan kedua-duanya melompat ke belakang dan menahan senjata masing-masing dan menjura sebagai penghormatan kepada lawan. Ternyata bahwa sepasang bambu runcing Hok Peng Taisu telah berhasil melobangi jubah Swi Kiat Siansu di kanan kiri sedangkan ujung lengan baju Hok Peng Taisu pada saat yang sama juga kena terobek oleh gagang kipas kakek gemuk itu! Melihat hal ini mudah diputuskan bahwa Hok Peng Taisu masih menang setingkat.

 Swi Kiat Siansu berkata kepada Pok Pok Sianjin sambil tertawa, “Memang orang-orang selatan dan timur lebih rajin melatih diri dari pada kita.” Kemudian ia menghadapi Cin Hai dan berkata,

 “Pendekar Bodoh, marilah kita main-main sebentar, ingin aku merasakan lihainya pedangmu!”

 Cin Hai lalu mencabut Liong-cu-kiamnya dan bersiap sedia. Suhunya pernah berpesan agar supaya berhati-hati menghadapi kakek gemuk ini oleh karena biarpun tabiatnya jujur dan baik, akan tetapi Swi Kiat Siansu memiliki dasar watak yang enggan mengaku kalah. Lain halnya dengan Pok Pok Sianjin yang lebih berani mengaku kalah dan juga berani pula mengaku salah. Kini menghadapi kakek gemuk ini, Cin Hai berlaku hati-hati sekali.

 “Locianpwe, sebelumnya terima kasih atas pengajaranmu ini. Apakah syaratnya masih sama dengan tadi, yaitu saling berusaha menyerang pakaian?”

 “Ya, dan kau berhati-hatilah menjaga kipasku agar jangan sampai salah tangan!” Sambil berkata demikian, Swi Kiat Siansu lalu maju menyerang kepada Cin Hai. Kakek gemuk ini biarpun tadi mengakui keunggulan Hok Peng Taisu, namun diam-diam ia merasa jengkel dan penasaran juga, maka kini menghadapi Cin Hai, ia mengambil keputusan untuk mencari kemenangan untuk menebus kekalahannya yang tadi. Tak heran apabila kipasnya bergerak dengan kecepatan yang sukar untuk dapat diikuti dengan pandangan mata, merupakan gulungan sinar kuning yang menggulung dengan dahsyatnya ke arah tubuh Cin Hai! Cin Hai terkejut dan cepat mainkan pedangnya untuk melindungi dirinya dan tiap kali pedangnya bertemu dengan gagang kipas ia merasa betapa telapak tangannya tergetar! Dari bentrokan ini saja ia dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawannya, maka dengan penuh ketekunan dan hati-hati sekali ia lalu mainkan ilmu pedangnya, Daun Bambu dengan tangan kanan, sedangkan untuk menjaga diri, tangan kirinya melakukan gerakan-gerakan Pek-in-hoat-sut.

 Sementara itu Pok Pok Sianjin berkata kepada Hok Peng Taisu, “Hok Peng Taisu marilah kita main-main sebentar agar aku mengenal lebih baik bambu runcingmu!”

 “Mari!” jawab Hok Peng Taisu sambil tersenyum dan bersiap sedia dengan sepasang bambu runcingnya. Keduanya lalu menggerakkan senjata masing-masing dan bertempur seru. Sungguhpun di antara keduanya tidak menggunakan syarat apa-apa, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh berilmu tinggi, mereka dapat menjaga diri dan serangan-serangan mereka biarpun merupakan pukulan maut, akan tetapi di dalam hati sama sekali tidak ada niat atau nafsu untuk membunuh atau melukai lawan.

 Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya melihat betapa empat orang itu mengadu kepandaian secara persahabatan, merasa kecewa sekali oleh karena kini lenyaplah harapan mereka untuk mengalahkan Hok Peng Taisu maupun Cin Hai, karena biarpun mereka andaikata kalah terhadap Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, namun kekalahan itu belum tentu membuat mereka mundur untuk membela kawan-kawan lain yang hendak mereka basmi. Kini melihat betapa keempat orang itu sedang bertempur seru, diam-diam ia mengeluarkan jarum-jarumnya yang mengandung racun Ular Hijau yang berbahaya itu dan tiba-tiba ia mengayun tangannya menyerang dengan jarum-jarumnya ke arah Cin Hai dan Hok Peng Taisu!

 Ketika itu, pertempuran antara Cin Hai dan Swi Kiat Siansu sedang berjalan dengan ramai-ramainya. Biarpun Cin Hai sudah mengeluarkan ilmu kepandaiannya, namun pada suatu saat, kipas di tangan Swi Kiat Siansu menyambar sedemikian hebatnya sambil mengibas dengan tenaga sepenuhnya hingga pedang Cin Hai kena disampok dan terlepas dari pegangan! Akan tetapi, dalam kagetnya, Cin Hai lalu menggunakan tangan kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan yang mengandung daya pukulan luar biasa sekali. Pukulan ini ditujukan kepada kipas di tangan Swi Kiat Siansu dengan tenaga sepenuhnya dan “brak!!” permukaan kipas yang terbuat dari pada kulit harimau itu menjadi robek dan hancur berkeping-keping sedangkan pedang Liong-cu-kiam yang terpental dari tangan Cin Hai, menancap di atas lantai!

 Pada saat itulah datangnya jarum-jarum dari Hai Kong Hosiang secara tiba-tiba. Cin Hai yang masih tergetar oleh pukulan kipas tadi mendengar datangnya angin senjata rahasia yang lembut itu. Ia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja sebatang jarum Ular Hijau menancap pada pundaknya hingga ia terhuyung-huyung lalu roboh dengan tubuh terasa panas sekali. Akan tetapi ia cepat dapat mengerahkan lweekangnya untuk menolak pengaruh racun itu hingga ia masih dapat menguasai dirinya dan tidak menjadi pingsan. Sambil bersila ia lalu mengatur napas dan memelihara jalan darahnya. Sementara itu, Swi Kiat Siansu yang merasa terkejut sekali karena senjata kipasnya kena dipukul hancur oleh Cin Hai, kini melihat betapa pemuda itu terkena serangan senjata rahasia yang dilepas oleh Hai Kong Hosiang, menjadi marah sekali.

 “Bangsat gundul curang!” bentaknya marah. “Kau membikin malu saja kepadaku!” Sambil berkata demikian, ia lalu menyambit dengan gagang kipasnya yang masih terpegang di dalam tangannya. Gagang kipas itu meluncur cepat menuju ke arah tenggorokan Hai Kong Hosiang yang cepat mengelak hingga mengenai tempat kosong. Swi Kiat Siansu masih penasaran dan cepat tubuhnya berkelebat ke arah Hai Kong Hosiang dan menyerangnya dengan pukulan tangan terbuka.

 Hai Kong Hosiang bukanlah seorang yang lemah dan ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, maka tentu saja ia dapat mengelak dan membalas dengan pukulan nekat. Ia maklum bahwa ia telah gagal mengharapkan bantuan kakek ini yang sekarang bahkan menyerangnya karena marah melihat kecurangannya tadi, maka sambil berseru keras ia melawan sekuat tenaga, berkali-kali ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas sambil menggerak-gerakkan kedua kakinya untuk menyerang Swi Kiat Siansu secara hebat sekali. Tentu saja Swi Kiat Siansu makin marah dan dengan seruan keras ketika kaki Hai Kong Hosiang menendang ke arah kedua pundaknya, ia menangkap kaki itu dan cepat membanting tubuh Hai Kong Hosiang yang tinggi besar itu ke atas batu karang! Terdengar pekik keras dan kepala hwesio jahat itu pecah berantakan ketika dibenturkan kepada batu karang!

 Sementara itu Lin Lin lalu, berlari menghampiri Cin Hai dan memeluk kekasihnya dengan hati bingung. Adapun Hok Peng Taisu yang sedang bertempur mengadu kepandaian dengan Pok Pok Sianjin, lalu melompat mundur dan menghampiri Swi Kiat Siansu yang masih marah sekali itu.

 Melihat kesedihan Lin Lin, Swi Kiat Siansu lalu mengeluarkan sebotol obat warna merah. Sebagai seorang pertapa di daerah Mongolia ia maklum akan berbahayanya jarum-jarum Ular Hijau dan ia tahu pula obatnya, karena ia pun adalah seorang ahli pengobatan. Untuk menjaga diri, ia selalu membawa obat-obat anti racun dan obat Semut Merah tersedia pula dalam saku bajunya.

 Dengan amat berterima kasih, Lin Lin lalu meminumkan obat itu kepada Cin Hai dan seketika itu juga sembuhlah Cin Hai. Akan tetapi, seperti Lin Lin dulu, begitu ia sembuh, perang tanding antara Racun Ular Hijau dan Obat Semut Merah itu mempengaruhi otaknya dan tiba-tiba ia menjadi marah sekali. Hanya karena kekuatan batinnya sudah jauh lebih kuat daripada Lin Lin, maka ia masih dapat membedakan mana kawan mana lawan.

 Pada suatu saat, Wi Wi Toanio dan kawan-kawannya datang menyerbu, diikuti oleh perwira-perwira di bawah perintah Kam Hong Sin. Cin Hai lalu melompat ke atas, memungut pedangnya yang menancap di tanah, lalu mengamuk hebat sekali. Juga Lin Lin, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng tidak mau tinggal diam dan menyambut serbuan musuh yang besar jumlahnya itu. Perang tanding terjadi amat hebatnya, sedangkan Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, dan Hok Peng Taisu merasa segan untuk ikut mencampuri pertempuran itu, sungguhpun mereka merasa penasaran melihat betapa Cin Hai dan kawan-kawannya dikeroyok oleh sekian banyak orang.

 Dalam kemarahannya yang bukan sewajarnya, Cin Hai mendesak Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, dan Lok Kun Tojin mengeroyoknya. Pedang Liong-cu-kiam di tangannya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya hingga ketiga orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi itu merasa kewalahan karena belum pernah mereka menyaksikan sepak terjang yang demikian hebatnya! Dalam jurus ke dua puluh lebih, Wi Wi Toanio kena terbabat pinggangnya oleh pedang Liong-cu-kiam hingga sambil menjerit wanita itu roboh mandi darah dan tewas seketika itu juga! Siok Kwat Moli dan Lok Kun Tojin terkejut dan gentar hingga gerakan mereka menjadi lambat karenanya. Cin Hai tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dua kali ia membuat gerakan tangan kanan menusuk dan tangan kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan ke arah Lok Kun Tojin. Terdengar pekik mengerikan ketika pedang itu menembus dada Siok Kwat Mo-li dan pukulan tangan kirinya yang dahsyat memecahkan kepala Lok Kun Tojin.

 Setelah membunuh tiga orang lawannya, tiba-tiba Cin Hai merasa pening dan mengantuk sekali dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling dan telah tidur mendengkur sambil memegang pedang Liong-cu-kiam yang telah menjadi merah karena darah.

 Sementara itu, pertempuran masih berjalan hebat dan Ang I Niocu dan kawan-kawannya mengamuk hebat dan menjatuhkan banyak korban di pihak lawan, akan tetapi musuh terlampau banyak hingga mereka terdesak hebat.

 Tiba-tiba berkelebat tiga bayangan orang dan di mana saja tubuh mereka menyambar, senjata-senjata para perwira terpental ke atas. Mereka ini ternyata adalah tiga orang kakek sakti yang tidak tahan pula melihat pertempuran itu karena merasa ngeri melihat banyaknya darah berhamburan. Sambil bergerak mereka berseru,

 “Tahan pertempuran, tahan!”

 Orang-orang merasa jerih juga melihat mereka turun tangan maka semua lalu mengundurkan diri.

 Dengan marah Swi Kiat Siansu lalu menghadapi Kam Hong Sin dan kawan-kawannya sambil berkata, “Kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah panglima kerajaan, tentu sekarang juga kuhancurkan kepalamu! Kau telah bersekutu dengan Hai Kong yang jahat, dan kalian dengan tipu muslihat berhasil mengundang aku dan Pok Pok Sianjin hingga terpaksa kami turun gunung membuat dosa baru. Tidak tahunya kalian hendak mempergunakan kami untuk memusuhi orang-orang baik dan membela Hai Kong yang jahat. Lihatlah bukti kekuasaan dan keadilan Tuhan Yang Agung. Mereka yang jahat menemui kematian mengerikan!” Ia menuding ke arah mayat Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Siok Kwat Mo-li. “Biarlah kali ini menjadi pelajaran bagimu agar lain kali dalam menjalankan tugas, kau akan berlaku hati-hati dan dapat mempertimbangkan orang yang baik dan yang jahat!”

 Kam Hong Sin memberi hormat dan berkata dengan tegas, “Locianpwe, siauwte adalah seorang petugas yang hanya menjalankan kewajiban siauwte sebagai seorang panglima. Anak murid Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu ini telah merampas harta pusaka dan mereka membagikan harta pusaka kepada mereka yang tidak berhak. Padahal harta pusaka adalah hak milik kerajaan. Bagi siauwte, lebih baik mati sebagai seorang perwira yang menjalankan tugasnya daripada mati sebagai seorang pengkhianat.”

 Mendengar ucapan yang gagah dan patut dihargai ini, Hok Peng Taisu melangkah maju dan berkata, “Kam-ciangkun, aku telah lama mendengar bahwa kau adalah seorang perwira yang gagah, dan ternyata bahwa hal ini ada betulnya. Akan tetapi, agaknya kau masih terlampau muda untuk memegang jabatan tinggi itu hingga pertimbanganmu belum masak benar. Ketahuilah bahwa harta pusaka itu adalah hasil rampokan di jaman dahulu, dan rakyat yang dirampok. Maka aku dan kawan-kawan lain mengembalikan harta itu dan membagi-bagikan kepada para rakyat miskin, bukankah ini sudah adil namanya? Apakah artinya harta sekian banyak itu bagi Kaisar yang telah kaya? Akan tetapi besar sekali artinya bagi rakyat yang hampir tak dapat makan karena miskinnya!”

 Kam Hong Sin merasa terpukul oleh ucapan ini dan ia lalu menjura dan bertanya, “Kalau betul siauwte telah salah jalan, habis apakah yang sekarang harus kulakukan?”

 “Tariklah mundur anak buahmu dan bawalah semua orang yang tewas untuk diurus sebaiknya. Kemudian, setiap langkahmu harus kau perhatikan baik-baik agar kau jangan menanam bibit permusuhan dengan orang-orang gagah. Hendaknya kau dapat memperhatikan dan membedakan antara orang-orang gagah dan penjahat-penjahat seperti Hai Kong Hosiang itu!” kata Hok Peng Taisu.

 Kam Hong Sin lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat semua korban, dibawa turun gunung, sedangkan kawan-kawannya pun ikut turun gunung pula. Ceng Tek Tosu menghampiri Cin Hai yang sementara itu telah didekati oleh Lin Lin dan telah sadar kembali, sembuh seperti sediakala. Bahkan anak muda ini telah lupa bahwa ia telah membunuh Siok Kwat Mo-li, Wi Wi Toanio, dan Lok Kun Tojin.

 Ceng To Tosu yang selalu mewek itu menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Sie-taihiap, kau maafkan pinto yang telah lancang tangan hingga terbawa-bawa dalam urusan ini, karena pinto hanya memenuhi tugas sebagai pembantu kerajaan Kaisar.”

 Cin Hai tersenyum. “Tidak apa, Totiang, dan maaf sama-sama. Kita semua menunaikan tugas masing-masing, hanya sayangnya dalam bidang lain hingga timbul kesalahan paham ini.” Ceng To Tosu mengangguk-angguk dan mulutnya makin mewek seperti benar-benar hendak menangis.

 “Aku juga minta maaf, Taihiap,” kata Ceng Tek Hwesio sambil tertawa-tawa gembira, seakan-akan baru saja tadi bukan terjadi perang hebat, akan tetapi pesta minum arak yang menggirangkan hatinya!

 “Kau adalah orang yang paling berbahagia, Ceng Tek Hwesio, semoga kau masih panjang usia dan kelak kita dapat bertemu kembali,” jawab Cin Hai. Keduanya lalu mehgundurkan diri, berlari-lari menyusul rombongan Kam Hong Sin turun gunung.

 Cin Hai dan kawan-kawannya lalu menghampiri Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin dan pemuda itu menjatuhkan diri berlutut lalu berkata,

 “Ji-wi Locianpwe yang mulia, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe berdua yang dapat menyelesaikan persoalan ini dengan penuh kebijaksanaan. Terutama sekali kepada Swi Kiat Siansu Locianpwe, terima kasih atas pertolongan kepada teecu.” Cin Hai tadi telah mendengar dari Lin Lin akan pertolongan yang diberikan oleh kakek itu kepadanya.

 Bukan main kagum dan senangnya hati kedua tokoh dari barat dan utara itu melihat sikap Cin Hai yang biarpun tidak lebih rendah tingkat ilmu kepandaiannya daripada mereka, akan tetapi telah berani bersikap sedemikian sopan santun dan merendah. Swi Kiat Siansu mengangkat bangun kepadanya dan berkata,

 “Sikapmu ini telah menjatuhkan hati kami, Pendekar Bodoh. Bukan kepandaian saja yang dapat menjatuhkan seseorang, akan tetapi sikap yang baik lebih berpengaruh. Melihat sikapmu saja, kami dapat mengetahui bahwa permusuhan antara pihakmu dengan pihak Hai Kong, pihakmu yang berada di pihak benar. Sekarang maafkan kami. Tentang ilmu kepandaian, terus terang kunyatakan bahwa orang-orang selatan dan timur benar-benar pandai, tidak seperti kami yang menyembunyikan diri dan lupa untuk berlatih diri.”

 “Janganlah kalian terlalu merendah,” jawab Hok Peng Taisu. “Ilmu kipas dari Swi Kiat Siansu sungguh mengagumkan sedangkan ilmu tongkat Pok Pok Sianjin benar-benar membuat aku merasa tunduk.”

 Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan merendah, kedua kakek dari barat dan utara itu lalu berkelebat pergi, sedangkan Hok Peng Taisu lalu berkata,

 “Untung sekali bahwa persoalan dapat diselesaikan dengan mudah. Sekarang kalian pulanglah dan jauhkan diri dari segala persengketaan yang tidak perlu. Ma Hoa kalau kelak kau melangsungkan pernikahanmu, jangan lupa mengundang aku untuk minum arak!” Setelah berkata demikian, kakek botak ini pun lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali.

 Nelayan Cengeng tertawa bergelak karena girangnya dan air matanya mengalir keluar “Ha, ha, ha! Memang yang benar selalu pasti menang! Sekarang segala hal telah beres, dan aku pun ingin sekali segera menyaksikan kalian semua melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga yang bahagia!”

 Cin Hai menyatakan bahwa ia bersama Lin Lin hendak bersembahyang dulu di depan Gua Tengkorak sebagai penghormatan terakhir dan sebagai laporan kepada mendiang suhunya bahwa tugas telah diselesaikan dengan baik. Setelah berjanji akan bertemu di Tiang-an dengan kawan-kawannya sepasang teruna remaja ini dengan cepat lalu turun gunung.

 Nelayan Cengeng tertawa girang. “Lebih cepat dilangsungkan pernikahan mereka dan pernikahan Ma Hoa, lebih baik lagi. Marilah kita langsung menuju ke Tiang-an. Dan Niocu hendak pergi ke manakah?” tanyanya kepada Ang I Niocu. Dara Baju Merah itu tak dapat menjawab dan Ma Hoa tersenyum lalu menggoda sambil mengerling ke arah Lie Kong Sian.

 “Syarat-syarat telah dipenuhi semua mau tunggu apa lagi? Lie-tathiap, mengapa kau diam saja?”

 Lie Kong Sian maklum akan maksud kata-kata ini, biarpun ia merasa malu dan mukanya menjadi merah, akan tetapi karena ia berhati jujur dan polos, ia lalu berkata kepada Ang I Niocu,

 “Moi-moi, di depan kawan-kawan baik yang menjadi saksi biarlah kuulangi lagi pinanganku yang dulu. Benar sebagaimana kata Nona Ma Hoa tadi, semua syarat-syaratmu telah terpenuhi. Sie-sute dan Nona Lin Lin telah bertemu kembali, Suteku Song Kun juga telah tewas, dan kita telah mendapat persetujuan dari mendiang Supek Bu Pun Su.”

 Merahlah muka Ang I Niocu, melebihi merahnya warna bajunya! Sambil menundukkan kepalanya, ia berkata, “Dulu pernah kukatakan bahwa selain yang tiga itu, masih ada sebuah syarat lagi.”

 “Apakah itu? Biarlah kawan-kawan menjadi saksi, aku akan memenuhi syarat ke empat ini, betapa pun beratnya!”

 Ang I Niocu mengerling tajam. “Pantaskah diucapkan di sini?”

 Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Niocu, di antara kawan sendiri, mengapa harus malu-malu? Atau, haruskah kami bertiga pergi dulu dari sini?”

 Makin malulah Ang I Niocu mendengar ini. Ia menjadi serba salah, kemudian ia berkata perlahan, “Syarat yang ke empat adalah cita-citaku sejak dulu, yaitu orang yang patut menjadi suamiku harus terlebih dulu dapat menjatuhkan aku dalam sebuah pertandingan!”

 Tercenganglah semua orang mendengar syarat ini, tidak terkecuali Lie Kong Sian. Akan tetapi, Lie Kong Sian dengan tenang-tenang saja lalu berkata, ”Baiklah kalau demikian kehendakmu, terpaksa aku akan berusaha menjatuhkanmu!”

 Ang I Niocu mencabut Liong-cu-kiamnya dan bersiap menghadapi tunangannya. Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dari tempat yang akan dijadikan gelanggang pertempuran antara kedua orang itu.

 “Cobalah kalau bisa!” kata Ang I-Niocu dengan mata bersinar gembira dan bibir tersenyum manis. Sikapnya menantang sekali, karena ia merasa telah dapat mempermainkan Lie Kong Sian dan karena ia merasa bahwa nilai dirinya telah naik!

 “Jagalah!” seru Lie Kong Sian sambil mencabut pedangnya pula lalu maju menyerang dengan hebat. Sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sekali hingga tubuh mereka seakan-akan menjad satu gulungan warna merah dari baju Ang I Niocu dan warna biru dari baju Lie Kong Sian!

 Diam-diam Lie Kong Sian menggunakan tangan kirinya melepaskan dua helai tali sutera warna hijau dan menggenggam tali itu di tangannya. Kemudian, ketika pedang Ang I Niocu menyambar, ia sengaja memasang pundaknya untuk menerima tusukan itu! Ang I Niocu terkejut sekali dan sambil menjerit ngeri ia miringkan pedangnya agar jangan sampai menusuk pundak Lie Kong Sian, akan tetapi terlambat! Pedangnya masih menggores bahu kanan Lie Kong Sian, hingga bajunya robek dan mengalirlah darah dari bajunya.

 Akan tetapi Lie Kong Sian yang memang sengaja melakukan hal ini, mempergunakan kesempatan selagi Ang I Niocu terkejut dan menyesal, tangan kirinya bergerak cepat dan tahu-tahu sutera hijau itu telah melayang dan melibat kedua tangan Ang I Niocu yang terus dibetotnya dan sekali ia menggerakkan tangan kiri lagi, tali sutera ke dua lalu melayang dan membelit pergelangan kaki gadis itu! Beberapa kali ia menggerakan tangan dan tali-tali itu telah mengikat kedua kaki dan kedua tangan Ang I Niocu dengan kencang sedangkan pedang Liong-cu-kiam telah terampas oleh Lie Kong Sian! Tubuh Ang I Niocu terguling dan kini ia rebah setengah duduk di atas tanah dengan kaki tangan terbelenggu!

 Ia menjadi bingung sekali dan berkata, “Lepaskan aku, lepaskan!”

 Akan tetapi Lie Kong Sian hanya berdiri bertolak pinggang dan memandang dengan tersenyum!

 “Lepaskan... lepaskan aku...!” Ang I Niocu berkata lagi dan ia hampir saja menangis, sambil meronta-ronta dan mengerahkan tenaga lweekangnya untuk melepaskan diri daripada belenggu itu, akan tetapi tali sutera itu terbuat dari pada bahan yang tidak saja kuat dan ulet sekali, akan tetapi juga mempunyai sifat lunak dan dapat mulur hingga tenaga lweekangnya tiada berguna!

 Terdengar suara tertawa bergelak-gelak dari Nelayan Cengeng yang segera menghampiri Ang I Niocu. Juga Kwee An dan Ma Hoa menghampirinya sambil tertawa-tawa.

 “Lo-enghiong, Kwee An, Ma Hoa! Lepaskan aku...!” kata Ang I Niocu dengan suara memohon karena Dara Baju Merah ini merasa malu sekali.

 “Ha, ha, ha!” Nelayan Cengeng tertawa geli hingga air matanya mengalir keluar di sepanjang pipinya. “Mempelai wanita telah tertawan...! Ha, ha, ha!” Kakek ini dengan gelinya tertawa gembira dan sama sekali tak mau menolong Ang I Niocu.

 “Kwee An, tolonglah aku!” kata Ang I Niocu.

 Sambil mengangkat jari telujuknya, Kwee An berkata, “Niocu, sekarang kau telah mendapat bukti akan kelihaian calon suamimu! Tak boleh seorang calon isteri menantang suami, inilah jadinya!” Dia menggoda sambil tersenyum.

 “Ma Hoa, benar-benarkah kau tidak mau menolongku membuka belenggu ini?” Ang I Niocu menengok kepada Ma Hoa, akan tetapi gadis itu yang kini telah menyanggul rambutnya atas permintaan Kwee An sebagai “Pembayaran kaul!” karena musuh-musuh telah dapat ditewaskan dan dikalahkan semua, hanya tertawa, bahkan lalu bertepuk tangan gembira sambil bernyanyi menggoda,

 “Mempelai perempuan telah tertawan! Masuk perangkap mempelai pria!”

 Berkali-kali Ma Hoa bernyanyi sambil bertepuk tangan hingga Ang I Niocu menjadi makin jengah dan malu.

 “Adik Hoa, awas! Kalau sampai terbuka ikatan tanganku, akan kucubit bibirmu yang nakal. Hayo lepaskan aku!” kata Ang I Niocu, akan tetapi dengan sikap nakal dan menggoda, Ma Hoa berkata,

 “Enci Im Giok, yang mengikat kaki tanganmu bukanlah aku. Mengapa aku yang harus membukanya? Mintalah kepada orang yang melakukannya!”

 Lie Kong Sian menghampiri Ang I Niocu dengan senyum di bibir.

 “Bagaimana, Moi-moi, sudah takluk kau kepadaku kini?”

 Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya meronta-ronta sambil berkata,

 “Lepaskan... lepaskan!”

 Lie Kong Sian menjura kepada Nelayan Cengeng dan kepada Kwee An dan Ma Hoa sambil berkata, “Maafkan, kami hendak pergi dulu, kembali ke pulau tempat kediaman kami. Kelak, apabila dilangsungkan pernikahan antara Saudara Kwee An dan Nona Ma Hoa, juga antara Sie-sute dan Sumoi Lin Lin, kami tentu akan hadir!” Setelah berkata demikian, tanpa melepaskan ikatan kaki tangan Ang I Niocu, pemuda itu lalu membungkuk dan memondong tubuh kekasihnya itu dan membawanya berlari cepat bagaikan terbang, menuju ke pulaunya yang indah yang merupakan sarang bahagia bagi dia dan calon isterinya.

 Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa merasa girang dan juga terharu sekali menyaksikan kebahagiaan orang muda itu. Bahkan Ma Hoa sampai menitikkan air mata sambil berkata,

 “Syukurlah, kalau Enci Im Giok berbahagia. Dia orang berbudi mulia...”

 Kemudian mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan menuju Tiang-an untuk menanti datangnya Cin Hai dan Lin Lin di Tiang-an.

 Tak lama kemudian, datanglah Cin Hai dan Lin Lin membawa tiga ekor burung sakti, dan sebulan kemudian dilangsungkanlah perkawinan yang meriah antara Kwee An dengan Ma Hoa, dan Cin Hai dengan Lin Lin. Selain Ang I Niocu dan Lie Kong Sian yang sudah menjadi suami isteri, hadir juga tokoh-tokoh persilatan dari seluruh penjuru dunia, di antaranya yang hadir adalah Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu, Eng Yang Cu, Giok Gan Kui-bo, Sie Lok dan Sie Kiong kedua paman Cin Hai, dan banyak orang lagi.

 Yousuf juga datang dan orang Turki ini selanjutnya tinggal bersama Cin Hai dan Lin Lin, menikmati kebahagiaan hidup sebagai ayah angkat yang dikasihi dan dihormat.

 Perkawinan diberkahi oleh Kwee Tiong sebagai seorang hwesio yang mengucapkan doa sambil mengalirkan air mata karena bahagia melihat kedua adiknya, Kwee An dan Lin Lin, melangsungkan upacara pernikahan dengan bahagia.

 Yang amat menggembirakan hati dua pasang mempelai itu ialah datangnya Sanoko, kepala suku Haimi itu, bersama Meilani dan suaminya Manoko, juga Kam Hong Sin, panglima yang dulu menjadi lawan, datang menghadiri pesta pernikahan itu dan melupakan segala permusuhan yang telah lalu.

 Setelah upacara pernikahan selesai Ang I Niocu bersama suaminya kembali ke Pulau Pek-le-to di mana mereka hidup penuh kebahagiaan, jauh dari dunia ramai, dikawani oleh Rajawali Sakti yang diberikan oleh Lin Lin kepada mereka.

 Juga Kwee An bersama isterinya dan Cin Hai bersama Lin Lin, hidup penuh kebahagiaan, masing-masing didampingi oleh Nelayan Cengeng dan Yousuf yang merupakan ayah angkat bagi Ma Hoa dan Lin Lin.

 Demikianlah, cerita “Pendekar Bodoh” ini berakhir sampai di sini, dan kami harap pembaca suka bersabar menanti munculnya cerita“PENDEKAR REMAJA” atauSin-kiam Siauw-hiai yang akan menjadi lanjutan cerita“PENDEKAR BODOH” , di mana pembaca akan menjumpai kembali tokoh-tokoh seperti Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, dan Lie Kong Sian oleh karena cerita itu akan menuturkan kisah dari putera-puteri mereka! Sengaja dikarang oleh Asmaraman S. Kho Ping Hoo untuk melanjutkan cerita “Pendekar Bodoh”. Nama pengarangnya menjadi jaminan bahwa ceritaSin-kiam Siauw-hiap akan membuat para pembaca terpesona oleh jaminan isinya yang indah menarik dan penuh ketegangan!

 T A M A T