Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 10 Agustus 2017

BAB 14 KANE DAN ABEL. WILLIAM KANE KULIAH DI HARVARD

Sementara Abel DI Columbia University, Kane hebat di Harvard. Dimasa depan keduanya akan bertarung sengit dalam sisi bisnis, namun yang lucu dalam sisi kemanusiaan mereka saling bantu tanpa tahu siapa yang dibantu dan terbantu. Akhirnya ... silakan ikuti terus kisah yang bagus ini ....

BAB 14

William dengan Matthew memulai tahun pertamanya di Harvard dalam musim gugur tahun 1924. Walau tak disetujui neneknya, William menerima beasiswa matematika Hamilton Memorial. Dan dengan biaya $290 ia memanjakan diri membeli "Daisy", mobil Ford Model T, yang merupakan kesayangan pertama dalam kehidupan William. Daisy dicatnya kuning cerah. Ini menyebabkan harganya jatuh menjadi setengahnya. Tapi sekaligus melipatgandakan jumlah teman-teman gadisnya. Calvin Coolidge memenangkan pemilihan dengan kelebihan suara amat banyak untuk kembali ke Gedung Putih. Dan volume Bursa Saham New York mencapai rekor selama 5 tahun yaitu dengan jumlah 2.336.160 saham.

Kedua anak muda itu ("kita tak lagi dapat menyebut mereka sebagai anak-anak" demikian penjelasan Nenek Cabot) sudah merindukan kuliah. Setelah menghabiskan musim panas dengan melampiaskan energi main tennis dan golf mereka siap mengejar sesuatu yang lebih serius. William mulai belajar pada hari pertama ia tiba di kamar baru mereka di 'Paltai Emas". Jauh lebih bagus daripada kamar sempit mereka di St. Paul. Sementara Matthew mencari klab dayung di Universitas. Matthew terpilih menjadi kapten awak perahu dari tahun pertama. Dan William meninggalkan buku-bukunya setiap minggu siang untuk mengamati temannya dari tebing Sungai Charles. Secara diam-diam ia menyukai sukses Matthew. Tetapi secara lahiriah ia memberi komentar pedas.'Hidup itu bukan seperti 8 orang besar mendorong potongan kayu berat melintasi air berombak. Sedang seorang yang lebih kecil meneriaki mereka." demikianlah penjelasan William dengan sombong.

"Katakan hal itu tadi kepada Yale," kata Matthew. Sementara itu William dengan cepat membuktikan kepada para professor matematika bahwa ia adalah tepat seperti Matthew itu: jauh mendahului dalam bidangnya. William juga menjadi Ketua Kelompok Diskusi mahasiswa tingkat pertama. Ia juga membujuk Rektor Lowell, yang masih merupakan kakek-paman, memasukkan rencana asuransi pertama di universitas.

Para alumni Harvard akan mengambil asuransi hidup sebesar $1000 setiap orang dan akan menyebutkan universitas sebagai ahliwaris. William memperkirakan ongkos setiap peserta kurang dari satu dollar perminggu. Dan jika 40% dari alumni mengikuti asuransi itu, Harvard akan menerima pendapatan pasti sekitar $ 3 juta setahun dari tahun 1950 seterusnya. Rektor sangat terkesan. Dan mendukung sepenuhnya rencana tersebut. Dan setahun kemudian ia mengundang William untuk bergabung dalam dewan Panitia Pengumpul Dana Universitas. William menerimanya dengan bangga. Ia tidak menyadari bahwa penunjukan itu adalah untuk seumur hidup. Rektor Iowell member informasi kepada Nenek Kane bahwa ia telah menangkap salah seorang genius keuangan terbaik dalam generasi itu dengan cuma-cuma. Nenek Kane memberi kesaksian kepada sepupunya bahwa "tiap-tiap hal ada tujuannya sendiri. Dan ini akan mengajar William membaca cetak halus dalam laporan keuangan bank-"

Begitu tahun kedua dimulai tibalah saatnya memilih (atau dipilih) memasuki salah satu Klab Penamatan Studi yang mendominasi kehidupan sosial orang-orang kaya di Harvard. William di "bom" untuk memasuki Klab Porcellius: salah satu klab tertua, ter-kaya, dan paling eksklusif dan paling tidak mencolok. Di wisma Klab di Massachussetts Avenue yang terletak tak begitu serasi di atas kafetaria murah Hayes-Bickford, ia duduk di kursi empuk, mengamati masalah peta empat. warna, mendiskusikan dampak pengadilan Loeb-Leopold. Dan santai memandang jalanan di bawah melalui cermin yang terpasang tepat terarah sambil mendengar'kan radio besar yang baru saja terpasang.

Ketika liburan Natal tiba, William dapat diyakinkan untuk ikut ski bersama Matthew ke Vermont Dan menghabiskan seminggu terengah-engah naik bukit mengikuti temannya yang lebih gesit.

"Nah Matthew, apa faedahnya menghabiskan satu jam mendaki bukit lalu menuruninya lagi beberapa detik dengan risiko besar bagi tubuh dan hidupmu ?"

Matthew menggerutu. "Pasti mendorongku lebih baik daripada teori diagram, William. Mengapa tidak kau akui saja bahwa kamu tidak bagitu baik bila mendaki maupun turun?"
Mereka berdua cukup banyak belajar dalam tahun kedua untuk bisa lulus. Walau interpretasi mereka tentang "lulus" itu jauh berbeda. Selama dua bulan pertama dalam liburan musim panas mereka bekerja sebagai pembantu manajer muda di bank Charles Lester di New York. Ayah Matthew sudah lama menyerah dalam perang menjauhkan William. Ketika hari-hari terpanas di bulan Agustus tiba, mereka menghabiskan kebanyakan waktu mereka dengan meluncur di pedalaman New England dengan "Daisy". Mereka berlayar di Sungai Charles dengan gadis berbeda-beda sebanyak-banyaknya. Dan mereka menghadiri setiap pesta rumah bila mendapatkan undangan. Dalam waktu singkat mereka menjadi tokoh-tokoh yang diakui di Universitas. Dikenal oleh para cognoscenti (pengenal) sebagai Si Cendekia dan Si Manis. Di lingkungan masyarakat Boston sudah menjadi pengetahuan umum bahwa gadis yang menikah dengan William Kane atau Matthew Lester tak usah mencemaskan hari depan lagi. Tapi begitu ibu-ibu penuh harapan muncul dengan putri-putri mereka yang berparas ceria, maka Nenek Kane dan Nenek Cabot tanpa ampun memulangkan mereka.

Pada tanggal 18 April 1927,William merayakan hari ulang tahunnya yang ke-21 dengan menghadiri rapat terakhir para wali milik tanahnya. Alan Llyod dan Tony Simmons telah menyiapkan semua dokumen untuk ditandatangani.

"Nah, William sayang," kata Milly Preston seolah-olah suatu tanggungjawab besar sudah diangkat dari pundaknya.

"Aku yakin, engkau pasti bisa melakukan sesuatunya dengan baik seperti kami juga"'
ifunulp demikian, Nyonya Preston' Tapi bila aku suatu saat perlu tahu bagaimana kehilangan setengah juta dollar dalam waktu semalam, maka aku tahu aku harus menelepon siapa'"

Milly Preston merah padam' Tapi tak berusaha menjawabnya.

Perseroan itu kini memiliki $32 juta lebih' Dan William mempunyai rencana yang pasti untuk menangkarkan uang itu. Tapi ia juga menugaskan diri untuk memperoleh uang satu juta dollar sendiri sebelum meninggalkan Harvard' Itu bukan jumlah uang yang banyak bila dibandingkan dengan uang perseroanya. tapi harta kekayaan yang diwarisinya tidak begitu berarti baginya dibanding dengan neraca rekeningnya di bank Lester.

Pada musim panas itu, kedua nenek karena takut akan adanya luapan gadis-gadis ganas, mengirim William dan Matthew untuk keliling Eropa' Itu ternyata merupakan sukses besar bagi mereka berdua' Matthew mengatasi segala hambatan bahasa, menemukan gadis jelita di setiap ibukota besar di Eropa' Cinta itu begitu ia meyakinkan William, adalah komoditi internasional. Dari London, ke Berlin, Roma' kedua orang muda itu meninggalkan jejak beberapa hati yang patah dan para bankir yang cukup terkesan' Ketika mereka kembali ke Harvard di bulan September' mereka berdua siap menyerbu untuk tahun mereka yang terakhir.

Dalam musim dingin yang keras di tahun 1927, Nenek Kane meninggal. Berusia 85 tahun. Dan untuk pertama kalinya sejak kematian ibunya William menangis.

"Ayolah," kata Matthew setelah beberapa hari bertenggang rasa terhadap depresi William. ..Nenek telah hidup dengan bahagia. Dan ia lama menunggu untuk mengetahui apakah Tuhan itu anggota keluarga Cabot atau Lowell."

William tak menangkap kata-kata cerdik yang tak begitu ia hargai selama kehidupan neneknya. Dan ia menyelenggarakan suatu pemakaman yang pasti dihadiri dengan bangga oleh nenek. Walau nyonya besar tiba di makam dengan mobil jenazah packard warna hitam. ("Salah satu alat aneh yang keterlaluan. Haruslah melintasi mayatku.', Tapi nyatanya di bawah mayatnya!). Satu-satunya kritik nenek terhadap pemuliaan pemakamannya oleh William mestinya hanya mengenai alat transpor yang tidak sesuai ini. Kematiannya memacu William untuk bekerja dengan lebih terarah pada tujuannya selama tahun terakhir di Harvard itu. Ia berdharmabakti untuk meraih hadiah tertinggi di Universitas di bidang matematika demi kenangan akan neneknya. Nenek Cabot meninggal kira-kira 6 bulan sepeninggal nenek Kane. Kemungkinan besar, kata William, karena tidak ada siapa-siapa lagi yang diajaknya bicara.

Pada bulan Februari tahun 1928, William dikunjungi ketua Kelompok Diskusi. Akan diadakan diskusi dengan pakaian lengkap bulan berikutnya mengenai mosi *Sosialisme atau kapitalisme bagi hari depan Amerika'. Dan sudah barang tentu William diminta mewakili kapitalisme.

'Dan bagaimana bila aku mengatakan aku hanya mau bicara atas nama massa yang diinjak-injak?" Demikian pertanyaan William. Dan ketua itu terkejut. William sedikit sakit hati memikirkan bahwa pandangan inteleltualnya hanya diasumsikan saja oleh orang-orang luar sebab ia mewarisi nama terkenal dan bank yang subur.

“Nah, sebenarnya William, kami memperkirakan bahwa preferensimu adalah A-"
“Memang. Aku menerima undanganmu. Aku mengandaikan bahwa aku bebas memilih partnerku?"

“Tentu!"

"Baiklah. Nah, aku memilih Matthew Lester. Bolehkah aku tahu siapalawan kami?"

"Engkau tak boleh diberitahu hingga sehari sebelumnya, bila poster-poster telah dipasang di Halaman.”

Selama sebulan berikutnya Matthew dan William mengubah kritik selama sarapan mereka terhadap koran tentang kiri dan kanan, dan diskusi malam tentang "Makna hidup ", menjadi sarasehan strategi untuk yang kini oleh kampus sudah mulai disebut sebagai "Debat Besar". William memutuskan Matthew' harus yang memulai.

Ketika hari amat penting itu sudah dekat- menjadi jelaslah bahwa kebanyakan para mahasiswa yang sadar politik, para professor, bahkan beberapa orang terkemuka di Boston dan Cambridge akan datang menghadiri. Pada pagi hari sebelum kedua sahabat itu berangkat menuju halaman untuk mengetahui siapa lawan mereka :

"Leland Crosby dan Thaddeus Cohen. Apakah salah satu nama itu kaukenal William? Kiraku Crosby itu pasti salah seorang dari Crosby di Philadelphia."

"Sudah barang tentu. 'Maniak Merah dari Lapangan Rittenhouse' sebagaimana bibinya sendiri menjulukinya. Persis. Ia adalah seorang revolusioner paling meyakinkan di kampus. Ia siap tembak. Ia menghabiskan semua uangnya untuk kepentingan perkara-perkara radikal populer. Aku dapat mendengar pidato pembukaannya sekarang."

William membuat olok-olok atas nada Crosby yang menjengkelkan.

"Saya tahu dari tangan pertama ketamakan dan kekurangsadaran sosial kelas orang-orang Amerika yang beruang. " Jika tak ada seorang pun di antara para pendengar yang belum pernah mendengar itu hingga 50 kali, kiraku ia akan menjadi lawan yang tangguh.

"Dan Thaddeus Cohen?"

"Belum pernah dengar."

Sore hari hari berikutnya, mereka berdua karena tak mau mengakui terkena demam panggung, mereka berjalan melintasi salju dan diterpa angin dingin. Sementara mantol-mantol tebal menggelepar di belakang mereka. Mereka melewati pilar-pilar mengkilat Perpustakaan Widener menuju Balai Boylston. Seperti ayah William, putra sang donatir, telah tenggelam di atas kapal Titanic.

"Dengan cuaca semacam ini, paling sedikit bila kita menerima pukulan, tak akan ada banyak orang yang mau bicara. " kata Matthew penuh harapan. Tapi ketika mereka mengitari sisi perpustakaan, mereka dapat melihat rombongan sosok-sosok memadati, merentak-rentak kaki, mendaki tangga dan memenuhi balai. Di dalam balai mereka ditunjukkan kursi mereka di atas podium. William duduk tenang. Tapi matanya memperhatikan orang-orang yang ia kenal di antara hadirin. Rektor Lowell duduk santun di deretan tengah. Newbury St. John kuno, profesor botani. Sepasang bluestocking yang ia kenal dari pesta-pesta di Rumah Merah. Dan di kanannya sekelompokpria dan wanita muda yang nampak bebas. Beberapa di antaranya bahkan tak mengenakan dasi. Mereka ini berpaling dan mulai bertepuk tangan ketika juru bicara mereka, Crosby dan Cohen, berjalan menuju panggung.

Di antara kedua orang itu Crosbylah yang lebih mengesankan. Tinggi dan kurus. Hampir-hampir seperti karikatur. Ia berpakaian sembarangan. Atau sangat hati-hati. Dengan setelan lusuh. Tapi kemeja diseterika licin. Dan sebuah pipa menggelayut tak jelas terikat pada tubuh, pada bibir sebelah bawah. Thaddeus Cohen lebih pendek. Dan mengenakan kacamata lornyet. Bersetelan wol gelap yang sangat sempurna potongannya.

Keempat pembicara bersalaman hati-hati. Sementara persiapan-persiapan akhir dilaksanakan. Lonceng Gereja Memorial, yang hanya berjarak sekitar 30 meter, berdentang samar dan tak jelas tujuh kali.

"Tuan Leland Crosby muda" kata ketua.

Pidato Crosby menyebabkan William memberi selamat kepada diri sendiri. Ia telah mengantisipasi segala hal. Nada pidatonya melengking. Pokok-pokok pembicaraan terlalu ditekankan. Bahkan hampir-hampir histeris. Ia seakan-akan menderas litani radikalisme Amerika: Haymarket, Money Trust, Standard Oil, bahkan Cross of Gold. Menurut pendapat William, Crosby hanya memamerkan diri belaka. Tidak lebih. Walau ia menunda tepuk tangan yang diharapkan dari supporter sewaan di sebelah kanan William.

Ketika Crosby duduk kembali, ia jelas tidak memperoleh supporter baru. Dan bahkan nampaknya ia kehilangan beberapa supporter lama. Perbandingan dengan William dan Matthew, sama-sama kaya, sama-sama menonjol dalam aspek sosial, tapi karena egois menolak mati sahid demi kemajuan keadilan sosial, malah akan merusak saja.

Matthew berpidato bagus. Dan tepat sasaran. Ia menyejukkan pendengarnya. Ia mengejawantahkan toleransi liberal. William menyambut tangan sahabatnya dengan hangat, ketika Matthew kembali ke kursi dengan tepuk tangan riuh.

"Kini telah selesai. Tinggal teriakannya kiraku,, ia “berbisik.

Tapi Thaddeus Cohen mengejutkan hampir semua orang. Ia berperilaku menyenang kan. Malu-malu. Dan bergaya simpatik. Rujukan-rujukannya dan kutipannya katolik, terarah, dan memperjelas persoalan. Kepada para pendengar ia tak memberikan perasaan dengan sengaja dibuat terkesan. Ia memancarkan kesungguhan moral yang membuat segalanya Nampak tak begitu gagal bagi manusia rasional' Ia bersedia mengakui ekses-ekses pihaknya serta ketidak-konsekwenan para pemimpinnya. Tapi ia meninggalkan kesan bahwa walau berbahaya, tak ada alternatif lain kecuali sosialisme, bila nasib umat manusia hendak diperbaiki.

William bingung. Penyerangan logis seperti pisau bedah di panggung politik para lawannya akan sia-sia belaka menghadapi presentasi Cohen yang lembut dan persuasif. Namun mengalahkannya sebagai pembicara harapan dan kepercayaan akan semangat manusiawi juga tidak mungkin. William mula-mula memfokuskan diri membantah beberapa dakwaan Crosby. Kemudian menyerang argumen Cohen dengan deklarasi kepercayaannya sendiri akan kemampuan sistem Amerika untuk membuahkan hasil paling baik melalui persaingan intelektual maupun ekonomis. Ia merasa telah memainkan permainan defensive yang baik. Tapi tak lebih dari itu. Dan duduk dengan mengandaikan ia telah dikalahkan oleh Cohen.

Crosby merupakan pembicara penangkis dari lawan-lawannya. Ia mulai dengan ganas. Kedengarannya seolah-olah ia kini perlu memukul Cohen maupun William dan Matthew. Dan bertanya kepada para pendengar dapatkah mereka mengidentifikasi –musuh rakyat" di antara mereka sendiri malam itu. Ia memandang seputar ruangan beberapa detik lamanya. Sebab para pendengar menggeliat diam kebingungan.

Sedang para supporternya yang setia hanya memperhatikan sepatu mereka. Kemudian ia bersandar ke depan serta menggeledek: "Ia berdiri di muka saudara. Ia baru saja bicara di tengah-tengah saudara. Namanya William Lowell Kane." Sambil membuat gerakan satu tangan terhadap William. Tapi tanpa memandangnya. Ia menggeledek: "Banknya memiliki tambang emas di mana para buruh mati untuk memberikan sejuta dollar dividen ekstra setiap tahunnya kepada pemiliknya-pemiliknya. Banknya mendukung diktator Latin Amerika yang berdarah dan kelewat korup. Melalui banknya Perwakilan Rakyat Amerika disuap untuk mengganyang petani kecil. Banknya. . .”

Beberapa menit lamanya semprotan itu berlangsung terus. William duduk diam. Dingin. Kadang mencatat sebuah komentar di atas notes kuningnya. Beberapa pendengar mulai berteriak. ..Tidak,,. Para supporter Crosby berteriak kembali dengan setia. Para petugas mulai nampak senewen.

Waktu yang dijatahkan kepada Crosby sudah hampir habis. Ia mengacungkan kepalan dan berkata "Saudara-saudara, saya menyampaikan bahwa tidak lebih dari 200 yard dari , ruangan ini, kita menemukan jawaban atas bukti Amerika.Di sana terdapat perpustakan Widener, perpustakaan swasta terbesar di seluruh dunia. Para imigran cendekiawan yang miskin datang kemari bersama-sama dengan orang-orang Amerika yang terdidik paling baik intuk menambah pengetahuan dan kesejahteraan dunia. Sebab seorang playboy kaya bernasib malang 16 tahun yang lalu berlayar dalam kapal pesiar Titanic. Maka kusarankan saudara-saudara, hanya bila bangsa Amerika menyerahkan kepada setiap anggota kelas yang memerintah sebuah karcis masuk kabin pribadi dalam kapal Titanic kapitalisme, maka kekayaan bertimbun-timbun benua besar ini akan terbebas dan dibaktikan untuk mengabdi kebebasan, persamaan, dan kemajuan."

Ketika Matthew mendengar pidato Crosby, perasaannya berubah menjadi sorak-sorai karena ketololan ini. Maka kemenangan pasti di pihaknya. Karena malu atas kelakuan lawannya yang mengamuk dengan menyebut kapal Titanic. Ia tak dapat membayang kan bagaimana jawaban William atas provokasi sedemikian ini.

Ketika ketenangan sudah diusahakan kembali, ketua berjalan menuju mimbar, dan berkata "Tuan William Lowell Kane".

William menuju ke podium. Dan memandang para hadirin. Seluruh ruangan hening penuh harapan.

"Menurut hematku pandangan-pandangan yang diutarakan tuan Crosby tidak layak ditanggapi."

Ia duduk kembali. Sesaat hening. Kaget. Kemudian meledaklah tepuk tangan riuh.

Ketua kembali ke podium. Tapi nampak tak pasti apa yang akan dilakukannya. Suatu suara di belakangnya memecah ketegangan.

"Jika diizinkan, tuan ketua, saya ingin meminta Tuan Kane apa boleh mempergunakan waktu tangkisannya." Itu adalah Thaddeus Cohen.

William mengangguk setuju kepada ketua.

Cohen berjalan menuju mimbar. Dan menatap para hadirin penuh pesona. Lama sekali memang merupakan kebenaran" demikian ia memulai ,.bahwa hambatan terbesar sukses sosialisme demokratis di Amerika Serikat adalah ekstremisme dari beberapa sekutunya. Tak ada yang lebih jelas menunjukkan fakta yang menyedihkan ini daripada pidato kolegaku malam ini. Kecenderungan untuk merusak perjuangan progresif dengan menuntut kepunahan fisik para lawan mungkin bisa dipahami dalam diri seorang imigran yang tegar tertempa perjuangan. Seorang veteran dari peperangan luar negeri yang lebih ganas dari peperangan kita. Di Amerika hal ini merupakan penyakit dan dapat dimaafkan. Berbicara bagi diri saya sendiri, saya menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya kepada Tuan Kane.',

Kali ini tepuk tangan meledak serentak. Sebenarnya seluruh hadirin berdiri sambil terus-menerus bertepuk tangan.

William melintas ke seberang untuk bersalaman dengan Thaddeus Cohen. Keduanya tidaklah terkejut bahwa William dan Matthew memenangkan pemilihan dengan selisih lebih dari 150 suara. Acara malam itu sudah usai. Para hadirin berbondong ke luar menuju jalan yang hening dan tertutup salju. Mereka berjalan di tengah jalanan. Sambil berbincang penuh semangat dengan suara lantang.

William mendesak supaya Thaddeus Cohen bergabung dengannya dan Matthew untuk minum_minum. Mereka berangkat bersanma menyeberangi Massachusetts Avenue. Hampir-hampir tak bisa melihat akan ke mana mereka pergi dalam salju yang tertiup angin itu. Dan mereka berhenti di luar pintu hitam besar hampir langsung berhadapan dengan Balai Boylston. William membukanya dengan kuncinya.

Dan ketiga orang itu memasuki ruang depan. Sebelum pintu tertutup Thaddeus Cohen berkata "Aku khawatir jangan-jangan aku tidak disukai di sini." William sesaat terkejut.

"Omong kosong. Engkau bersamaku." Matthew' melayangkan pandangan kepada sahabatnya supaya berhati-hati. Tapi ia melihat bahwa William sudah bulat niatnya. Mereka menaiki tangga.Memasuki ruangan besar yang dilengkapi perabotan nyaman tapi tidak luks. Disitu arda sekitar 12 orang muda sedang duduk di kursi bersandaran. Atau berdiri dalam kelompok dua atau tiga orang. Begitu William muncul di gang, mereka langsung memberi ucapan selamat.

"Kamu hebat, William. Itu cara yang tepat untuk menanggapi orang-orang semacam itu."

"Masuklah dalam kemenangan, Bolski pembunuh."

Thaddeus Cohen tetap di belakang. Masih setengah terlindungi jalan masuk, tapi William tidak melupakannya.

"Dan tuan-tuan, perkenankan saya memperkenalkan lawan saya Tuan Thaddeus Cohen."
Cohen melangkah maju agak ragu-ragu.

Semua suara berhenti. Beberapa kepala berpaling. Seolah-olah mereka memandang pohon elm di Halaman. Ranting-rantirignya bergayut penuh salju baru. Akhirnya ada geretak di lantai ketika seorang anak muda meninggalkan ruangan melalui pintu lain. Kemudian ada lain lagi yang pergi. Tak tergesa-gesa.

Tanpa persetujuan yang nampak. Seluruh kelompok itu keluar semua. Orang terakhir yang pergi menatap William lama-lama. Kemudian membalik. Dan menghilang.

Matthew memandang sahabat-sahabatnya penuh kecemasan. Thaddeus Cohen menjadi merah padam. Dan berdiri dengan kepala tertunduk. Bibir William terkatup rapat. Ketat. Marah seperti ketika Crosby menyebut-nyebut Titanic.

Matthew menyentuh lengan sahabatnya. ..Kita sebaiknya pergi saja."

Ketiganya bersusah-payah menuju kamar William. Dan diam-diam minum brendi biasa saja.

Ketika William bangun di pagi hari, ada amplop diselipkan di bawah pintu. Di dalamnya terdapat berita pendek dari ketua Klab Procellius yang member informasi kepadanya bahwa ia berharap "Jangan sampai insiden kemarin malam itu terulang lagi. Dan sebaiknya dilupakan saja."

Menjelang makan siang ketua itu menerima dua pucuk surat pengunduran diri.

Setelah berbulan-bulan lamanya belajar setiap hari dengan tekun, William dan Matthew sudah himpir siap (tak seorang pun merasa sudah siap) menghadapi ujian-ujian akhir mereka. Selama 6 hari mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan, mengisi halaman per halaman buku biru kecil. Kemudian mereka menunggu. Tidak sia-sia. Sebab mereka berdua sebagaimana yang diharapkan, diwisuda di Harvard bulan Juni 1928.

Seminggu setelah ujian, diumumkan bahwa William memenangkan Hadiah Rektor di bidang matematika. Ia sebenarya menginginkan seandainya ayahnya masih hidup ayah William itu masih dapat menyaksikan penyerahan hadiah itu pada hari wisuda'

Matthew berhasil lulus memperoleh nilai "C dengan persetujuan" yang melegakan dirinya. Dan tak mengherankan semua orang. Keduanya tak berminat melanjutkan studi. Keduanya telah memilih terjun ke dunia *nyata" secepat mungkin.

Rekening William di bank di New York mencapai satu juta dollar delapan hari sebelum ia meninggalkan Harvard. Pada saat itulah ia sangat rinci membicarakan dengan Matthew tentang rencana jangka panjang mengendalikan bank Lester dengan cara menggabungkannya dengan bank Kane & Cabot.

Matthew sangat antusias terhadap gagasan itu. Dan ia mengakui 'Itulah kiranya satu-satunya jalan memperbaiki diriku atas peninggalan ayahku bila ayahku meninggal."

Pada hari wisuda, Alan Llyod, kini berusia 60 tahun, datang ke Harvard. Setelah upacara wisuda, William mengajak tamunya minum teh di plaza' Alan memandang anak muda yang bertubuh tinggi besar itu penuh sayang.

'Nah, apa yang hendak kaulakukan kini engkau meninggalkan Harvard? "

'Aku akan bergabung dengan bank Charles Lester di New York. Aku ingin mendapat pengalaman dulu beberapa tahun sejak sekarang, sebelum aku memasuki Kane & Cabot."

"Tapi William, engkau telah hidup di bank Lester sejak berusia 12 tahun. Mengapa engkau tak langsung bergabung dengan kami sekarang juga? Kami akan menunjukmu langsung sebagai direktur."

Alan Llyod menunggu jawaban. Tapi tak juga keluar.

'Nah William, aku perlu menegaskan, bukan sifatmulah bisa dibuat bungkam oleh sesuatu."

'Tapi aku tak pernah membayangkan engkau akan mengajakku masuk dewan sebelum aku berusia 25 tahun. Ketika ayah . . ."

"Memang benar, ayahmu dipilih ketika berusia 25. Namun itu tidak merupakan halangan bagimu untuk bergabung dalam dewan sebelum itu, jika direktur-direktur lain mendukung gagasan tersebut. Dan aku tahu,mereka mendukungnya. Bagaimanapun juga, ada alasan pribadi mengapa aku menghendaki engkau menjadi direktur secepatnya. Bila aku pensiun dari bank 5 tahun lagi, kita pasti harus memilih presiden direktur yang tepat. Engkau akan berposisi lebih kuat untuk mempengaruhi keputusan itu, bila engkau telah bekerja di Kane & Cabot selama 5 tahun itu. Bukan sebagai pejabat besar di bank Lester. Nah nak, apa mau masuk dewan?"

Itu kali kedua hari itu saat William berharap ayahnya masih hidup.

"Aku seharusnya dengan senang menerimanya, Pak. " katanya.

Alan mendongak ke William. 'Itu tadi pertama kali engkau menyebutku dengan Pak, sejak kita main golf bersama. Aku harus menjagamu dengan sangat hati-hati."

William tersenyum.

“Baiklah. " kata Alan Llyod'Beres. Engkau akan jadi direktur muda bertugas di bidang investasi. Langsung di bawah Tony Simmons."

'Apakah aku dapat menunjuk sendiri pembantuku?" tanya William.

Alan Llyod memandangnya menyelidik. Tak salah lagi. Pasti Matthew Lester."

“Ya"

'Tidak. Aku tak mau ia berbuat di bank kita hal yang hendak kaulakukan di bank mereka. Thomas Cohen pasti telah mengajarmu hal itu."

William tak berkata apa-apa. Tapi ia tak pernah meremehkan Alan lagi.

Charles Lester tertawa ketika William menceritakan ulang pembicaraan itu kata demi kata.


"Sayang, mendengar kamu tak jadi bergabung dengan kami. Walaupun hanya sebagai mata-mata." katanya gemilang. “Tapi aku merasa pasti. suatu saat kamu akan berakhir di sini entah dalam kapasitas sebagai apa."

Kamis, 20 Juli 2017

BAB 13. KANE DAN ABEL. HABIL BELAJAR DI COLUMBIA DAN KERJA DI HOTEL

PENDIDIKAN YANG BAIK, itu sangat diperlukan. Abel mengikuti saran ayahnya Sang Baron, dan perlahan tapi pasti dia mencurahkan hidupnya untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Pertarungan awal yang tidak mudah.


BAB 13

Malam itu Abel terbaring di kamar kecil Hotel plaza. Terjaga. Ia memikirkan seorang pemuda bernama William yang ayahnya pasti merasa bangga karenanya. Untuk pertama kali ia menyadari apa yang hendak dicapainya dalam hidupnya. Ia ingin dipandang sebagai setara oleh para William di dunia.

Abel mengalami perjuangan berat sesampai di New York. Ia mendiami sebuah kamar yang hanya berisi dua ranjang. Maka ia harus berbagi ranjang dengan George dan dua orang sepupunya. Akibatnya Abel hanya tidur bila salah satu ranjang itu kosong. Paman George tak dapat memberi pekerjaan kepada Abel. Beberapa minggu ia hidup cemas. Dan selama itu ia menghabiskan kebanyakan uang tabungannya untuk dapat bertahan hidup. Sementara itu ia mencari-cari kerja dari Brooklyn sampai Queens. Akhirnya ia menemukan pekerjaan di sebuah toko tukang daging. Ia memperoleh upah 9 dollar untuk masa kerja 6,5 hari. Dan ia bisa tidur dengan persyaratan seperti di atas. Toko itu berada di jantung masyarakat polandia yang mandiri di bagain kota sebelah Timur. Dan dengan cepat Abel tak bersabar lagi terhadap terisolasinya teman-teman senegaranya. Banyak di antara mereka yang bahkan tak berusaha belajar bicara Inggris.

Abel masih mengunjungi George dan teman wanitanya yang berganti-ganti tiap akhir pekan. Tapi ia sendiri menghabiskan masa-sama bebasnya di sore hari untuk sekolah malam guna memperbaiki kemampuannya membaca dan menulis Inggris. Ia tidak malu walau kemajuannya hanya pelan-pelan. Sebab ia sama sekali tak berkesempatan banyak menulis Inggris sejak usia 8 tahun. Tapi dalam dua tahun ia bisa fasih dalam bahasa baru itu. Dan tinggal sedikit sisa-sisa logatnya. Kini ia merasa siap ke luar dari toko daging'

Tapi untuk apa? Dan bagaimana? Kemudian sementara ia senang menyiapkan kaki anak domba pada suatu pagi, ia mendengar dari salah seorang langganan besar tokonya yaitu manager catering Hotel Plaza. Orang itu menggerutu kepada tukang daging bahwa terpaksa harus memecat pelayan mudanya karena pencurian kecil-kecilan. "Bagaimana mungkin aku mencari gantinya dalam waktu singkat ini?" Demikian keluh sang manager. Tukang daging tak bisa memberi pemecahan soal. Abel bisa. Ia mengenakan satu-satunya setelan. Berjalan 47 blok ke kota. Dan melintas 5 blok lagi. Serta memperoleh pekerjaan itu.
Setelah ia mapan di Hotel Plaza, ia mendaftarkan diri mengikuti kursus bahasa Inggris lanjutan di Universitas Columbia. Setiap malam ia belajar tekun. Sambil memegang kamus di satu tangan dan tangan yang lain memegang pena untuk corat-coret. Selama pagi hari antara menyajikan sarapan dan menyiapkan makan siang, ia mengkopi tajuk dari New York Times. Dan mencari kata-kata yang tak pasti ia ketahui dalam kamus Webster loakan miliknya.

Selama 3 tahun berikutnya Abel menyeruak jalannya melalui peringkat-peringkat di Plaza, hingga akhirnya ia naik pangkat dan menjadi pelayan di Oat Room (Ruang Eik). Seminggu memperoleh gaji 25 dollar ditambah persenan. Dalam dunianya sendiri kini ia tak kekurangan suatu apa pun.

Guru Abel sangat terkesan akan kemajuannya karena ia memang rajin. Ia menganjurkan Abel mendaftarkan diri kursus malam lebih lanjut, yang merupakan langkah pertamanya menuju ijazah B. A. Bacaan waktu senggangnya ia pindahkan dari bidang linguisitik ke bidang ekonomi. Dan ia mulai mengkopi tajuk-tajuk dari The Wall Street Journal. Dan bukan lagi tajuk-tajuk The Times. Dunia barunya mencaploknya sepenuhnya. Dan kecuali dengan George ia tidak lagi berhubungan dengan teman-teman Polandia dari masa permulaan dahulu.

Bila Abel melayani makan di Plaza ia selalu mengamati tamu-tamu terkenal dengan cermat. Keluarga Baker, Loeb, Whitney, Morgan dan Phelp. Dan ia mencoba menganalisis mengapa orang-orang kaya itu berbeda. Ia membaca H. L. Mencken, The American Mercury, Scott Fitzgerald, Sinclair Lewis, dan Theodore Dreiser dalam usaha tak henti-hentinya mencari ilmu pengetahuan. Ia mempelajari The New York Times sementara para pelayan lain membolak-balik Mirror. Dan ia membaca The Wall Street Journal dalam waktu istirahat. Sedangkan pelayan-pelayan lain baru terkantuk-kantuk. Ia tidak pasti kemana arah bimbingan ilmu yang baru saja ia peroleh. Tapi ia tidak pernah meragukan pemeo Baron bahwa pendidikan yang baik itu benar-benar tak ada gantinya. 

Pada suatu hari Kamis di bulan Agustus 1926, ia sungguh ingat kesempatan itu sebab bertepatan dengan kematian Rudolph Valentino. Dan banyak wanita yang berbelanja di Fifth Avenue mengenakan pakaian hitam. Abel, seperti biasa, melayani makan di meja-meja sudut. Meja-meja sudut itu selalu dikhususkan bagi tokoh-tokoh bisnis teratas yang hendak makan siang tersendiri tanpa rasa cemas jangan-jangan didengar orang lain. Abel senang melayani di meja itu. Dan bila nada pembicaraan itu optimis, dan telah melibatkan perusahaan besar maupun kecil, ia akan menanam modal 100 dollar di dalam perusahaan kecil. Dengan harapan akan menjadi jalur pengambil-alihan atau perluasan dengan bantuan perusahaan yang lebih besar itu. Jika tuan rumah memesan cerutu pada akhir jamuan, Abel lalu menambah investasinya menjadi 200 dollar. Tujuh dalam 10 kasus, nilai saham yang telah ia pilih dengan cara demikian itu akan berlipat ganda dalam waktu 6 bulan. Suatu masa yang bisa diterima Abel untuk memegang suatu saham. Dengan sistim ini ia hanya kehilangan uang tiga kali selama 4 tahun bekerja di Plaza.

Yang membuat istimewanya pelayanan di meja sudut pada hari itu ialah bahwa para tamu memesan cerutu sebelum jamuan dimulai. Lebih lama kemudian ada lebih banyak tamu lagi yang bergabung. Mereka memesan cerutu lebih banyak lagi. Abel mencari nama tuan rumah di buku tamu pemesan. Woolworth. Abel telah melihat nama itu dalam kolom finansial baru-baru ini, tapi ia tak bisa langsung menempatkannya di mana. Nama lain ialah Charles Lester, seorang pengayom Plaza yang sudah tak asing lagi. Seorang bankir terkemuka di New York sebagaimana diketahui Abel. Sambil melayani sedapat mungkin ia mendengarkan pembicaraan mereka sebanyak-banyaknya. Para tamu sama sekali tidak memperhatikan pelayan yang penuh minat itu. Abel tak dapat menemukan kepentingan khusus yang rinci, namun ia menyimpulkan bahwa ada perjanjian yang terjalin pada pagi hari itu. Dan akan diumumkan kemudian di hari itu kepada khalayak ramai yang kiranya sama sekali tidak mengharapkannya. Kemudian ia ingat. Ia telah melihat namanya di The Wall Street Journal. Woolworth adalah orang yang ayahnya memulai toko dengan barang-barang lima dan sepuluh sen-an. Kini putranya mencoba mengumpulkan uang untuk mengadakan perluasan. Sementara para tamu menikmati hidangan desert (kebanyakan memilih kue keju arbei sesuai anjuran Abel), ia mengambil kesempatan ke luar dari ruang makan beberapa saat untuk menilpun pialangnya di Wall Street.

"Woolworth itu berdagang apa?" tanyanya. Sisi sana berhenti sejenak. "Dua seperdelapan. Akhir-akhir ini sangat banyak gerak. Tapi aku tak tahu mengapa." jawabnya.

"Borong saja semampu rekeningku sampai kau mendengar suatu pengumuman dari perusahaan kemudian hari ini."

"Apa isi pengumuman itu?" tanya pialang yang kebingungan. "Saya tak bebas mengemukakan hal itu." jawab Abel.

Pialang itu cukup terkesan. Catatan riwayat Abel di masa silam menyarankannya untuk tidak menanyakan lebih lanjut mengenai sumber informasi klien-nya. Abel berbegas kembali ke Ruang Jati (Ruang Oak) pada waktunya untuk menyajikan kopi kepada para tamu. Untuk beberapa lamanya mereka bersantai. Dan Abel kembali ke meja saat mereka sudah siap-siap akan pergi. Orang yang memungut cek mengucapkan terimakasih kepada Abel atas pelayanannya yang penuh perhatian. Dan sambil berpaling ia berkata hingga teman-temannya dapat mendengarnya.

"Anakmuda mau persen?"

"Terimakasih Pak" jawab Abel.

"Belilah saham Woolworth."

Semua tamu tertawa. Abel juga tertawa. Ia menerima uang 5 dollar uluran orang tersebut. Dan ia berterimakasih kepadanya. Selama 6 minggu berikutnya ia meraih untung lebih lanjut sebesar 2.472 dollar dari saham Woolworth.

Ketika Abel menerima kewarganegaraan penuh Amerika Serikat beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-21, ia memutuskan kesempatan itu pantas dirayakan. Ia mengundang George dan Monika, pacar George yang terakhir. Seorang gadis bernama Klara, bekas pacar George, untuk menonton film Don Juan yang dibintangi John Barrymore. Kemudian ke Bigo untuk makan malam. George masih merupakan magang di toko roti pamannya dengan gaji 8 dollar seminggu. Dan walau Abel masih memandangnya sebagai sahabat paling karib, ia sadar akan perbedaan yang semakin membesar antara George yang tak berduit dengan dirinya yang kini memiliki 8000 dollar lebih di bank. Dan kini ia sedang menyelesaikan gelar B. A. ekonomi di Universitas Columbia. Abel tahu persis mau ke mana. Sedang George sudah berhenti membual kepada setiap orang bahwa ia akan menjadi walikota New York.

Mereka berempat menikmati sore itu. Sore yang pantas diingat, sebagian besar hanya karena Abel tahu presis apa yang dapat diharapkan dari restoran yang baik. Ketiga orang temannya semuanya terlalu banyak makan. Dan ketika rekening disampaikan, George ternganga karena jumlah biayanya lebih daripada yang ia terima selama satu bulan. Abel membayar rekening itu tanpa melihatnya lagi untuk kedua kalinya. Jika harus membayar rekening, bersikaplah seolah-olah jumlah itu tak ada akibatnya apa-apa. Bila memang berakibat, jangan pergi ke restoran lagi. Tapi apa pun yang kaulakukan, jangan beri komentar ataupun nampak kaget. Itu suatu hal lain yang diajarkan orang-orang kaya kepadanya. Ketika pesta itu usai pada pukul dua dini hari, George dan Monika kembali ke kota bagian timur. Sementara Abel merasa telah memperoleh Klara. Ia menyelundupkannya melalui pintu masuk pelayan ke dalam Plaza menuju lift binatu. Lalu naik ke kamarnya. Klara tak membutuhkan banyak bujukan ke ranjang. Dan Abel menanganinya agak tergesa-gesa. Ingat bahwa ia harus tidur sungguh-sungguh sebelum melaporkan tugas menyediakan sarapan. Ia puas dapat menyelesaikan tugasnya pukul setengah tiga. Dan ia tidur nyenyak terus-menerus hingga wekker membangunkannya pukul enam pagi. Ini memberinya cukup waktu untuk "mengerjakan" Klara sekali lagi, sebelum ia mengenakan pakaian' Klara duduk di ranjangnya. Dan tercenung memandang Abel. Sementara Abel mengenakan dasi kupu-kupu putihnya. Lalu mencium Klara secara serampangan.

"Kamu harus meninggalkan tempat ini sebagaimana engkau datang. Bila tidak, engkau akan sangat menyulitkan diriku. "kata Abel "Kapan kita bertemu lagi?"

"Tidak akan" kata Klara dingin.

"Mengapa tidak?" tanya Abel terkejut. "Ada sesuatu yang telah kulakukan?"

"Bukan. Sesuatu yang tidak kaulakukan " Ia meloncat ke luar ranjang. Dan mulai berpakaian cepat-cepat.

"Apa yang tidak kulakukan?" tanya Abel tersinggung. "Engkau kan menghendaki tidur bersamaku bukan?"

Klara membalik dan menghadapinya "Kukira memang itu mauku, hingga aku menyadari bahwa kamu sama dengan Valentino. Kamu berdua telah mati. Kamu mungkin tokoh terbesar milik Plaza dalam tahun sulit ini. Tapi di ranjang kamu bukan apa-apa. harus tahu itu "

Kini Klara berpakaian lengkap. Ia berhenti. Tangan memegangi handel pintu. Memantapkan diri untuk berpisah. "Coba katakan, apa pernah mengajak seorang gadis tidur bersamamu lebih dari sekali?"

Tercenung Abel memandangi pintu yang dibanting tertutup. Dan sepanjang siang hari itu merasa cemas akan tuduhan Klara. Ia tak kenal siapa pun yang dapat diajak berdiskusi tentang masalah itu. George hanya tertawa saja kepadanya. Dan semua staf di Plaza mengira ia tahu segala hal. Dan ia berpendapat bahwa masalah ini seperti masalah-masalah lainnya yang ia jumpai dalam hidup, ini dapat diatasi dengan pengetahuan atau pengalaman.

Setelah makan siang, pada suatu hari setengah hari kerja, ia pergi ke toko buku Scribner di Fifth Avenue. Di masa silam toko buku itu telah memecahkan semua masalah ekonomi dan linguistik. Tapi ia tak dapat menemukan apa-apa yang agak nampak mulai membantunya mengatasi masalah-masalah seksualnya. Buku khusus mereka tentang etiket tidak ada gunanya. The Moral Dilemma (Dilema Moral) secara fisik ternyata tidak cocok.

Abel meninggalkan toko buku tanpa membeli sebuah buku pun. Dan menghabiskan siang hari itu dalam gedung bioskop kumal di Broadway. Bukannya menonton film melainkan hanya memikirkan apa yang dikatakan Klara. Film itu sebuah kisah cinta yang dibintangi Greta Garbo. Dan tidak mencapai tahap cium-ciuman kecuali rol film terakhir. Maka tak memberinya bantuan melebihi toko buku Scribner.

Ketika Abel meninggalkan gedung bioskop, diluar telah gelap. Dan angin dingin bertiup atas Broadway. Abel masih tetap dibuat keheranan bahwa tiap kota dapat begitu ramai dan terang benderang di malam hari seperti siang. Ia mulai berjalan menuju Fiftyninth Street, mengharapkan supaya udara segar dapat menjernihkan pikirannya. Ia berhenti di sudut Fifty-second Street untuk membeli koran petang.

"Cari gadis?" tanya sebuah suara dari sudut kios surat kabar.

Abel tertegun mendengar suara itu. Wanita itu sekitar 35 tahun. Berdandan mencolok. Mempergunakan lipstick menurut mode baru. Baju putih dari sutera. Satu kancing bajunya terlepas. Dan ia mengenakan gaun panjang hitam, berkaos kaki hitam dan bersepatu hitam.
"Hanya lima dollar. Pasti sesuai harga uangnya." katanya sambil menyingkap pinggul dari satu sudut. Menunjukkan belahan di gaun. Dan terseruaklah pucuk kaos kakinya.

"Di mana?" tanya Abel.

"Di blok berikutnya. Aku punya tempat sendiri." Ia memalingkan kepala untuk menunjukkan kepada Abel arah mana yang dimaksud. Dan untuk pertama kalinya ia dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas disinari penerangan jalan. Wanita itu cukup menarik. Abel mengangguk setuju. Dan wanita itu memegang lengannya. Mereka mulai berjalan. "Jika polisi menyetop kita," katanya "kamu adalah sahabat lama. Dan namaku Joyce." Mereka berjalan ke blok berikut. Masuk ruangan kecil dan jorok. Abel terkejut melihat ruangan kumuh yang ditinggali wanita itu. Cuma ada satu lampu. Satu kursi. Tempat cuci muka. Dan ranjang untuk dua orang yang sudah kusut. Jelas ranjang itu sudah dipergunakan beberapa kali hari itu.

"Kamu tinggal di sini?" tanya Abel dengan nada tak percaya.

"Astaga, tidak. Aku hanya mempergunakan tempat ini untuk praktek."

"Mengapa kau lakukan ini?" tanya Abel. Dalam diri kini ia bertanya-tanya apa masih akan meneruskan rencananya itu.

“Aku punya dua orang anak yang harus kubesarkan. Dan aku tak punya suami. Apa bisa mencari alasan yang lebih baik lagi? Nah, sekarang kau menghendaki aku atau tidak? "

"Ya, tapi tidak dengan caramu." kataAbel. Wanita itu memandangnya lesu. "Kamu bukan salah seorang sinting pengikut Markis de Sade, bukan?,,

"Pasti bukan!" kata Abel.

"Kamu tidak akan menyulutku dengan rokok?,,

"Oh tidak. Semacam itu sama sekali tidak,” kata Abel kaget. "Aku ingin diajari baik-baik. Aku menginginkan pelajaran."

"Pelajaran? Apa kamu main-main? Kau kira ini apa? Sekolah sanggama malam?"

"Ya, semacam itu." kata Abel. Dan ia duduk disudut ranjang menerangkan kepadanya bagaimana reaksi Klara malam sebelumnya. "Apa kamu bisa menolongku?"

Wanita kupu malam itu mengamati Abel dengan teliti. Terheran-heran jangan-jangan ini merupakan Aprilmop.

'Tentu! " kata wanita itu pada akhirnya. "Tapi biayanya 5 dollar setiap kali pelajaran selama 30 menil"

“Lebih mahal daripada B. A. Columbia" kata Abel "Aku akan membutuhkan berapa pelajaran?"

"Itu tergantung. Kamu cepat belajar atau tidak. Ya kan?"jawabnya.

"Nah, marilah kita mulai sekarang juga." Kata Abel, sambil mengambil lembaran 5 dollar dari saku dalamnya. Ia menyerahkan uang itu kepada Joyce. Joyce menyelipkan uang itu di bagian atas kaos kaki. Suatu pertanda ia tak pernah melepas stocking itu.

"Lepaskan pakaian, sayang." katanya, "kapan tak akan belajar banyak bila berpakaian lengkap." Ketika pakaian sudah lepas, wanita itu mengamatinya menyelidik. "Kamu memang bukannya Douglas Fairbanks, bukan? Jangan khawatir. Tak penting tampangmu seperti apa bila lampu telah padam. Yang penting apa yang bisa kauperbuat."

Abel duduk di tepi ranjang. Sementara wanita itu mulai bercerita bagaimana merengkuh seorang wanita. Ia sungguh-sungguh heran bahwa Abel benar-benar tidak menginginkannya. Dan lebih heran lagi ketika ia tetap muncul setiap hari selama dua minggu berikutnya.

"Kapan aku tahu aku telah selesai?" tanya Abel.

"Kau akan tahu, sayang " jawab Joyce. "Jika engkau dapat mendatangkanku, engkau mampu mendatangkan mumi Mesir." Mula-mula ia mengajarkan kepadanya bagian-ba-gian tubuh wanita yang sensitif. Kemudian ia dilatih bersabar dalam bercinta. Dan tanda-tanda yang mengungkapkan kepadanya bahwa apa yang sedang ia lakukan itu menyenangkan. Bagaimana mempergunakan lidah dan bibirnya di setiap tempat selain di mulut wanita. Abel mendengarkan dengan cermat semua yang dikatakan Joyce. Dan ia mengikuti instruksi Joyce dengan taat. Barangkali malah agak sedikit terlalu mekanis. Walaupun setiap kali Joyce meyakinkan bahwa Abel bagaimanapun juga semakin membaik. Tapi Abel sama sekali tak punya bayangan apakah Joyce sungguh mengatakan kebenaran. Hingga kira-kira sekitar 3 minggu kemudian, dan telah mengeluarkan uang 110 dollar, Joyce tiba-tiba hidup-hidup masuk ke dalam pelukan Abel untuk pertama kalinya. Hal ini sangat mengejutkan dan sekaligus menyenangkan Abel. Joyce memegangi kepala Abel rapat-rapat dekat kepalanya, sementara Abel dengan lembut menjilati putik susu Joyce. Ketika Abel mengusap Joyce antara kedua kakinya dengan lembut, ia mendapati Joyce basah untuk pertama kalinya. Dan setelah Abel "memasukinya", Joyce merintih. Suatu suara yang belum pernah Abel dengar sebelumnya. Sangat menyenangkan baginya. Joyce mencekam punggung Abel, memintanya supaya jangan berhenti. Rintihan itu berlangsung terus. Kadang keras. Kadang lembut. Akhirnya Joyce memekik keras. Dan tangan yang mencekam Abel erat-erat lalu meregang santai. Ketika Joyce telah mendapatkan napasnya kembali, ia berkata "Sayang, engkau baru saja diwisuda paling atas di kelasmu."

Abel bahkan belum juga mencapai puncak. Abel merayakan kedua wisudanya dengan membayar karcis calo untuk menonton tinju dan mengajak George, Monika, dan Klara yang agak enggan untuk menyaksikan Gene Tunney melawan Jack Dempsey memperebutkan juara dunia kelas berat. Malam itu setelah pertandingan tinju, Klara merasa sudah menjadi kewajibannya untuk tidur bersama Abel' Sebab Abel telah mengeluarkan uang banyak untuknya. Menjelang pagi Klara memintanya untuk tidak meninggalkannya. Abel tidak pernah mengajaknya jalan-jalan lagi.

Setelah wisuda di Columbia, Abel merasa tidak puas dengan kehidupan di hotel Plaza. Tapi tak dapat membayangkan bagaimana harus mencapai kemajuan sendiri. Walaupun ia bekerja membantu orang Amerika yang paling kaya dan paling berhasil, ia tak bisa mendekati salah seorang dari mereka secara langsung. Sebab ia tahu bahwa bila melakukan hal itu, ia bisa-bisa akan kehilangan pekerjaannya. Bagaimanapun juga, para langganan tak akan menganggap serius aspirasi seorang pelayan. Abel memutuskan untuk menjadi kepala pelayan.

Suatu hari Nyonya dan Tuan Ellsworth Statler makan siang di hotel Plaza, ruang Edward, tempat Abel bertugas jaga selama seminggu. Ia berfikir kesempatannya telah tiba. Ia melakukan sepenuh kemampuannya untuk mengesankan pemilik hotel ternama itu. Dan makanannya memang lezat. Ketika pergi, Statler berterimakasih kepada Abel dengan hangat. Dan memberinya persen 10 dollar. Tapi itulah akhir kerjasama mereka. Abel memandanginya menghilang melalui pintu putar Plaza. Terheran-heran kapan ia akan memperoleh liburan.

Sammy, kepala pelayan, menepuknya di pundak.

"Apa yang kauterima dari Tuan Statler?,,

"Tak menerima apa-apa” kata Abel.

“Apa ia tak memberimu persen?”, tanya Sammy tak percaya.

'Oh ya, sudah barang tentu,' kata Abel “Sepuluh dollar". Ia menyerahkan uang itu kepada Sammy.

"Ini lebih baik" kata Sammy. “Aku tadi mengira engkau sedang berbisnis ganda denganku, Abel. Sepuluh dollar itu bagus. Bahkan bagi Tuan Statler. Ia pasti terkesan oleh kerjamu.”

“Ah tidak."

"Apa maksudmu?,, tanya Sammy.

"Ah tak jadi soal” kata Abel sambil berjalan pergi.

"Tunggu dulu, Abel. Ada surat untukmu. Tuan yang duduk di meja 17, Tuan Leroy, ingin bicara empat mata denganmu.”

"Tentang apa, Sammy?”

"Mana saya tahu? Kemungkinan besar ia menyukai mata birumu."

Abel menengok ke nomor 17. Hanya bagipenurut dan yang tak terkenal. Sebab meja itu ditata sangat buruk. Dekat pintu putar masuk dapur. Abel biasanya mencoba menghindari pelayanan meja di ujung ruangan itu.

"Siapa dia itu?" tanya Abel "apa maunya?"

"Aku tak tahu." kata Sammy. Enggan mendongak."Saya tidak berhubungan dengan latar belakang kehidupan para langganan dengan cara seperti kamu. Berilah mereka makanan lezat. Pastikan memperoleh persen yang banyak. Dan semoga mereka dating kembali. Mungkin engkau berpendapat ini filsafat sederhana. Namun pasti sudah cukup bagiku. Mungkin mereka lupa mengajarkan yang elementer di Columbia. Nah, kini dapatkan obyekanmu di sana, Abel. Dan bila ada persen, langsung berikan uang itu kepadaku."

Abel tersenyum kepada Sammy yang sudah membotak itu. Lalu menuju ke meja nomor 17. Ada dua orang duduk menghadap meja. Seseorang berpakaian jas kotak-kotak warna-warni, yang tak disukai Abel. Dan seorang wanita muda berambut pirang keriting. Sesaat menjerat perhatian Abel. Tanpa pikir panjang Abel mengandaikan bahwa wanita itu adalah pacar di New York dari pria yang berjas kotak-kotak'

Abel memasang senyum "mohon maaf'. Bertaruh dollar perak dengan dirinya bahwa orang itu akan mempermasalahkan pintu putar dan ingin ganti meja supaya mengesankan si pirang yang menarik perhatian. Tak ada seorang pun senang dekat dengan bau dapur dan pintu putar buka-tutup. Tapi tak mungkin menghindari pemakaian meja itu bila hotel sedang penuh penghuni tetap dan banyak penduduk New York yang datang makan di restoran. Mereka memandang para tamu tak lebih sebagai pengganggu. Mengapa Sammy selalu menyuruhnya menangani soal-soal tamu sulit seperti itu? Abel mendekati si jas kotak-kotak dengan hati-hati.

"Anda meminta bicara dengan saya, pak?,,

"Ya memang," jawabnya dengan logat selatan.

"Namaku Davis Leroy dan ini putriku Melanie.,' Sesaat mata Abel meninggalkan Leroy dan bertemu dengan sepasang mata hijau yang belum pernah ia lihat.

“Aku telah mengamatimu Abel, selama 5 hari."

Tuan Leroy mengatakannya dengan logat selatan yang berpanjang-panjang itu. Bila didesak, Abel harus mengakui ia tidak begitu memperhatikan Tuan Leroy hingga 5 menit terakhir itu.

"Aku sangat terkesan oleh apa yang kulihat, Abel. Sebab kamu memang punya mutu. Sungguh bermutu. Dan aku selalu mencari-carinya. Ellsworth Statler orang gila tidak memilihmu.”

Abel mulai memandang lebih dekat lagi kepada Tuan Leroy. Pipi ungu, dan janggut berlipat member kesaksian kepada Abel bahwa ia tak mengikuti ..Larangan"(minuman keras). Dan piring_piring kosong di mukanya menjadi penyebab perut gendut seperti bola basket. Tapi baik nama maupun wajah tak mengingatkan suatu apa kepadanya. pada waktu makan siang biasa Abel tahu latar belakang setiap orang yang duduk di Ruang Edward menghadap 37 mija dari 39 meja yang ada di sana. pada saat itu meja Tuan Leroy adalah salah satu dari dua meja yang tak diketahuinya.

Pria dari selatan masih bercerita terus. “Nah, aku bukannya salah seorang multimilioner yang harus duduk di meja sudut bila menginap di Plaza."

Abel terkesan. Pelanggan biasa tak diharapkan bisa menilai segi positif dari berbagai meja.

"Tapi bagi diriku sendiri, beritaku tak begitu buruk. Nyatanya hotelku terbaik di satu saat akan tumbuh mengesankan seperti Plaza ini."

"Aku yakin pasti demikian, Pak." kata Abel mengulur waktu. Leroy,Leroy, Leroy. Nama itu tak menunjuk apa-apa bagiku.

"Nah, mari berterus terang, nak. Hotel nomor satu di kelompokku membutuhkan pembantu manajer yang mengurusi restoran. Bila berminat, datanglah ke kamarku jika telah selesai tugas.'

Ia menyerahkan kartu nama lebar bersulam timbul kepadaAbel.

"Terimakasih, Pak." kata Abel sambil mengamati kartu itu. "Davis Leroy. Kelompok Hotel Richmond. Dallas." Di bawahnya tertera semboyan "Suatu saat punya hotel di setiap negara bagian." Nama itu masih juga tak berarti apa-apa bagi Abel.

"Aku mengharapkan bertemu kembali" kata orang Texas yang berjas kotak-kotak itu.

"Terimakasih Pak" kata Abel. Ia tersenyum kepada Melanie, yang matanya dingin-dingin hijau seperti semula. Lalu kembali ke Sammy. Kepala masih menunduk sambil menghitung-hitung uang tarikannya.

"Pernah dengar tentang Kelompok Hotel Richmond Sammy?"

"Ya tentu. Suatu waktu adikku menjadi pelayan yunior di sana. Pasti sekitar 8 atau 9 hotel. Semuanva ada di selatan. Dipimpin seorang gila dari Texas. Tapi aku tak ingat nama orang itu. Mengapa engkau menanyakannya?" tanya Sammy sambil mendongak curiga.

"Tak ada alasan khusus" kata Abel.

"Kamu selalu punya alasan. Apa maunya meja nomor l7?" kata Sammy.

"Menggerutu tentang suara dari dapur. Aku tak dapat menyalahkannya."

'Ia mengharapkan aku harus berbuat apa? Apa harus menempatkannya di beranda? Apa mengira dirinya itu John D. Rockefeller?"

Abel meninggalkan Sammy menghitung dan menggerutu sendiri. Dan membersihkan mejanya sendiri secepat mungkin. Lalu ia pergi ke kamarnya. Kemudian mulai meneliti Kelompok Hotel Richmond. Telepon satu dua kali sudah mencukupi untuk me muaskan keinginan tahunya. Kelompok itu ternyata sebuah perusahaan swasta. Keseluruhannya ada 11 hotel. Yang paling mengesankan adalah sebuah gedung lux dengan 342 kamar di Chicago yaitu Hotel Richmond Continental. Maka Abel memutuskan tak akan kehilangan apa-apa bila mengunjungi Tuan Leroy dan Melanie. Ia memeriksa nomor kamar Tuan Leroy: 85. Suatu kamar kecil yang lebih baik. Ia datang sekitar pukul empat. Dan kecewa karena Melanie tidak ada.

"Saya gembira. Abel dapat mampir. Duduklah."

Selama 4 tahun lebih ia bekerja di Plaza. Kini untuk pertama kalinya ia duduk sebagai tamu.

"Kau digaji berapa?" tanya Tuan Leroy.

Pertanyaan mendadak itu mengagetkan Abel'

"Aku menerima sekitar 25 dollar seminggu ditambah persen."

"Aku akan mulai menggaiimu dengan 35 dollar seminggu."

"Di hotel mana itu?" tanya Abel'

'Aku ini hakim yang berkarakter, Abel' Engkau selesai bertugas di meja pukul setengah empat' Dan setengah jam kemudian engkau mampu menemukan hotel yang mana. Benar kan?"

Abel mulai menyukai orang itu"Hoetl Richmond Continental di Chicago?" Abel mencobanya'

Davis Leroy tertawa. "Aku tadi benar' Dan memang benar tentang dirimu."

Pikiran  Abel bekerja cepat. 'Pembantu manajer itu dibawahkan berapa orang lagi?"

"Hanya manajer dan aku. Manajer itu memang lambat tapi lembut. Sudah mendekati pensiun' Dan karena aku masih harus mengurusi 10 hotel lain, kiraku engkau tak akan mengalami banyak kesulitan' Walau aku harus mengakui Chicago merupakan kota kesayanganku. Hotelku yang pertama di utara' Dan dengan Melanie sekolah di sana, aku berada di Kota Berangin itu lebih larna daripada seharusnya' Jangan pernah berbuat kesalahan seperti orang-orang New York dengan merendahkan Chicago' Mereka beranggapan Chicago hanyalah perangko besar di atas amplop sangat besar- Dan mereka itulah yang jadi amplopnya."

Abel tersenyum.

"Hotel itu kini agak kurang terawat'" lanjut Tuan Leroy. "Karena pembantu manajer mendadak pergi. Maka aku membutuhkan seorang yang baik untuk menggantikannya dan menjajaki sepenuh kemungkinannya. Kini dengarkan, Abel, aku telah mengamatimu dengan cermat selama 5 hari terakhir ini. Dan aku tahu engkaulah orangnya. Apa engkau berminat datang ke Chicago?',

"Empat puluh dollar dan sepuluh persen dari setiap tambahan laba. Dan pekerjaan itu saya terima.,,

"Apa?" kata Davis Leroy ternganga. “Tak ada manajer saya yang dibayar atas dasarlaba yang lain-lain akan membuat onar bila mereka mengetahuinya.”

"Aku tak akan menceritakannya kepada mereka, jika anda tak menceritakannya.” kata Abel.

“Kini aku tahu, aku telah memilih orang yang tepat. Bahkan bila sedang tawar-menawarpun ia jauh lebih baik dari seorang yankee dengan 6 orang putri.” Ia menepuk sisi kursi. “Aku setuju dengan syarat-syarat kerjamu, Abel.”

"Apa anda menghendaki surat rekomendasi Tuan Leroy?"

"Rekomendasi? Aku mengetahui latar belakangmu dan riwayatmu sejak engkau meninggalkan Eropa hingga engkau memperoleh gelar BA ekonomi di Columbia. Kau kira aku mengerjakan apa di hari-hari belakangan ini? Aku tak akan menempatkan seseorang yang masih membutuhkan rekomendasi dalam posisi nomor 2 di hotelku yang terbaik. Kapan bisa mulai?"

"Sebulan lagi.”

"Baiklah. Aku mengharapkan bertemu denganmu kemudian, Abel." Abel bangkit dari kursi. Ia merasa lebih enak berdiri. Bersalaman dengan Davis Leroy, pria dari meja 17 yang dikhususkan untuk orang-orang tak dikenal.

Meninggalkan New York dan Hotel Plaza yang merupakan rumah pertama sejak ditinggalkannya kastil dekat Slonim, ternyata lebih memilukan daripada yang dapat diantisipasi Abel. Mengucapkan selamat tinggal kepada George, Monika dan beberapa teman-temannya di Columbia mendadak terasa sangat berat.

Sammy dan teman-teman pelayan lain mengadakan pesta perpisahan.

"Kita belum mendengar yang terakhir tentang dirimu, Abel Rosnovski," demikian kata Sammy. Dan mereka semua setuju.

Hotel Richmond Continental di Chicago terletak sangat sesuai di Michigan Avenue. Di jantung salah satu kota yang berkembang paling cepat di Amerika. Ini menyenangkan Abel yang telah mengenal pemeo Ellsworth Statler bahwa ada 3 hal yang penting dalam usaha hotel: letak, letak, letak. Abel cepat menemukan bahwa letak itu memang satu-satunya hal yang baik dari hotel Richmond. Davis Lerroy telah meremehkan kasusnya ketika ia berkata bahwa hotel itu kurang dikelola dengan baik. Desmond Pacey'  manajer itu, bukannya lambat dan tenang seperti kata Davis Leroy. Ia memang pemalas. Dan tidak membuat dirinya disayang Abel ketika ia memasukkan pembantu manajer ini ke dalam kamar kecil dalam bangunan staf di seberang jalan, dan bukan di gedung utama hotel. Setelah pembukuan hotel Richmond diperiksa, dengan cepat ditemukan bahwa hotel itu hanya ditempati kurang dari 40%. Dan restorannya tak pernah lebih dari separuh penuh. Itu kiranya disebabkan karena makanannya memuakkan. Di antara mereka anggota staf mempergunakan 3 atau 4 bahasa, tapi nampaknya tak ada yang berbahasa Inggris. Dan mereka pasti tidak menunjukkan tanda-tanda menyambut baik orang Polandia tolol dari New York.


Tak sulit mengetahui mengapa pembantu manajer terakhir pergi dengan tergesa-gesa. Jikalau Richmond itu merupakan hotel kesayangan Leroy, maka Abel mengkhawatirkan keadaan kesepuluh hotel lainnya dalam kelompok itu. Walau majikan yang baru nampaknya memiliki poci emas tanpa alas pada akhir pelanginya dari Texas. Berita terbaik yang didengar Abel selama hari-hari pertama di Chicago ialah bahwa Melanie ternyata anak tunggal.