Tidak seperti Kane, Abel atau Wladek harus memperjuangkan kebebasannya dari derita penjajahan. Terkucil ke Rusia ... dan kita ikuti deritanya yang dibumbui kebaikan orang-orang tertentu yang simpati kepadanya..... Suatu perjalanan hidup yang tak mudah.
BAB 9
"Bangun! Ayoh
bangun!"
Salah seorang prajurit
menghantamkan popor senapan ke rusuk Wladek. Ia bangkit duduk kaget. Dan memandang
makam kakak perempuannya dan makam Leon serta Baron. Tak ada airmata setetes
pun yang meleleh ketika ia memandangi prajurit.
"Aku mau hidup. Kamu
tak akan membunuhku,”katanya dalam bahasa Polandia 'Ini rumahku. Dan kamu
berada di tanah milikku."
Prajurit itu meludahi
Wladek. Dan mendorongnya kembali ke rumputan di mana para pelayan menunggu.
Semuanya mengenakan pakaian seperti piyama kelabu dengan nomor di punggung.
Wladek terkejut ketika melihat mereka. Lalu menyadari apa yang hendak terjadi
dengannya. Ia digiring oleh prajurit menuju ke bagian utara kastil. Dan
diperintahkan berlutut ditanah. Ia merasakan sebuah pisau merayapi kepala sementara
onggokan rambut hitam jatuh ke tanah. Dengan sepuluh kali cukuran seperti
memangkas bulu domba, pekerjaan itu selesai. Setelah digunduli, ia diperintahkan
mengenakan seragam baru. Kemeja kelabu dan celana panjang. Wladek bisa menyem-bunyikan
gelang peraknya. Lalu bergabung dengan pelayan-pelayannya di muka kastil.
Sementara itu mereka semua
berdiri menanti dirumput. Kini mereka hanya nomor-nomor belaka. Bukan pribadi yang
punya nama. Wladek kemudian sadar ada suara di kejauhan yang belum pernah didengarnya.
Matanya menghadap ke arah datangnya suara yang mendebarkan itu. Melalui gapura
besi datanglah kendaraan beroda empat. Tapi tak ditarik kuda ataupun lembu.
Semua tawanan memandang tercengang pada kendaraan yang sedang bergerak itu. Keheran-heranan.
Ketika berhenti, para prajurit menggiring para tawanan menuju kendaraan itu. Mereka
diperintahkan naik. Kemudian kendaraan tak berkuda itu berputar. Kembali ke
jalan melalui gapura besi. Tak ada seorang pun yang berani bicara. Wladek duduk
di bagian belakang truk. Dan memandang kastilnya hingga ia tak lagi dapat melihat
menara-menara Gothik itu.
Kendaraan tak berkuda itu
entah bagaimana menggelinding sendiri menuju ke desa Slonim. Wladek pasti ingin
mengetahui bagaimana kerjanya kendaraan itu, seandainya ia tidak lebih
dicemaskan lagi tentang ke mana mereka hendak dibawa. Ia mulai mengenali jalan
dari masa ketika ia masih sekolah. Tapi ingatannya sudah mulai menumpul karena
3 tahun dalam penjara di bawah tanah. Dan ia tak ingat lagi jalan itu menuju ke
mana. Sesudah beberapa mil truk itu berhenti. Dan mereka semua dikeluarkan. Ternyata
itu adalah stasiun kereta api setempat. Wladek telah melihatnya sekali dalam
hidupnya sebelum itu. Yaitu ketika dia dan Leon ke sana untuk menyam-but tuan
Baron pulang dari perjalanan ke Warsawa. Ia ingat bahwa penjaga memberi hormat
kepada mereka ketika mereka pertama kali berjalan di perron. Kali ini tak ada
satu pun yang memberi hormat. Para tawanan diberi makan susu kambing, sop kol,
dan roti hitam. Wladek lagi-lagi harus mengurusnya. Ia membagi porsi dengan
hati-hati di antara sisa 13 orang itu dan dia sendiri. Ia duduk di bangku kayu.
Sementara mengandaikan bahwa mereka menunggu kereta api datang. Malam itu
mereka tidur di tanah di bawah bintang-bintang. Itu merupakan taman firdaus
tersendiri bila dibandingkan dengan penjara di bawah tanah. Ia bersyukur kepada
Tuhan bahwa musim dingin waktu itu tidak begitu keras.
Keesokan harinya mereka
masih tetap menunggu. Wladek memimpin para pelayan sedikit berolah-raga. Tapi
kebanyakan ambruk setelah beberapa menit saJa. Ia mulai mencatat dalam batin
nama-nama yang hingga saat itu masih hidup. Dua belas orang pria dan dua orang
wanita. Itu saja yang masih tersisa dari jumlah yang semula 27 orang di penjara
bawah tanah. Sisa hari itu mereka habiskan dengan menunggu kereta api yang tak
pernah datang. Ketika kereta api benar-benar tiba, banyak tentara yang turun.
Omongan mereka penuh kebencian. Tapi kereta api itu berangkat lagi tanpa
rombongan Wladek yang kasihan itu. Mereka masih menginap semalam lagi di atas
tanah.
Wladek terlentang terjaga
di bawah bintang-bintang. Ia sedang memikirkan bagaimana ia bisa lolos. Tapi
malam itu salah seorang dari tiga belas orangnya lari melintasi rel kereta api.
Dan ditembak oleh penjaga sebelum mencapai sisi seberang. Wladek memandangi
tempat di mana rekan setanah-airnya itu terungkur. Ngeri hendak pergi
menolongnya. Takut-takut menemui nasib yang sama. Para prajurit pagi hari
meninggalkan mayat itu di rel kereta api sebagai peringatan kepada mereka yang
mungkin mempertimbangkan tindakan serupa.
Hari itu tak seorang pun
membicarakan soal insiden tersebut. Walau mata Wladek jarang meninggalkan mayat
itu. Orang itu adalah kepala pelayan Tuan Baron,Ludwik. Salah seorang saksi
dari wasiat Tuan Baron. Saksi warisan Wladek. Kini telah tiada.
Sore hari di hari ketiga
ada kereta api lagi yang terengah-engah memasuki stasiun. Sebuah lok menarik
gerbong barang serta gerbong penumpang yang tertutup. Lantai gerbong barang
yang terbuka itu ditebari jerami dan ada kata Ternak terlulis di sisi kiri dan
kanan.
Beberapa gerbong penumpang
telah penuh tahanan. Tapi Wladek tak dapat memperkirakan dari mana. Penampilan mereka
begitu terselubung mirip penampilan Wladek sendiri. Dia dan rombongan kecilnya
dimasukkan ke dalam gerbong terbuka untuk mulai perjalanan mereka. Setelah
menunggu beberapa jam lagi kereta api mulai bergerak keluar stasiun. Ke arah
timur menurut perkiraan Wladek. Dilihat dari matahari yang sedang terbenam.
Setiap tiga gerbong
terbuka diikuti gerbong beratap di mana di atasnya ada prajurit jaga dengan
kaki silang. Sepanjang perjalanan yang seolah-olah tak ada habis-habisnya itu
kadang-kadang terdengar rentetan tembakan dan peluru
berhamburan dari atas. Itu buktikan kepada Wladek bahwa setiap gagasan untuk melarikan
diri hanyalah sia-sia belaka.
Ketika kereta api berhenti
di Minsk, mereka diberi makanan benar-benar untuk pertama kalinya. Roti hitam,
air, kacang dan cantel. Dan perjalanan dilanjutkan lagi. Kadang-kadang mereka
melaju selama tiga hari tanpa melihat stasiun lain. Banyak penumpang yang
terpaksa itu mati kelaparan dan dibuang dari atas kereta api yang sedang
melaju. Dan bila kereta api berhenti, kerapkali menunggu dua hari untuk mem-beri
kesempatan kereta lain menuju ke arah barat mempergunakan rel yang sama. Kereta
yang memperhambat kelajuan mereka itu sudah barang tentu penuh tentara. Dan
menjadi jelas bagi Wladek bahwa kereta api tentara itu memperoleh prioritas di
atas segala alat transpor lain. Melarikan diri selalu menggoda pikiran Wladek.
Tapi ada dua hal yang menghalanginya melaksanakan gagasan itu. Pertama: hanya
ada bermil-mil padang tandus di kanan kiri rel kereta api. Kedua: mereka yang
masih tetap hidup setelah penjara di bawah tanah, sepenuhnya tergantung
daripadanya. Wladeklah yang mengurusi makanan serta minuman mereka. Dan mencoba
mendukung kehendak mereka untuk terus hidup. Dialah yang termuda dan yang terakhir
yang masih percaya akan kehidupan.
Malam hari kini sangat
dingin. Kerapkali minus 30 derajat. Dan mereka tidur punggung-memunggung berderet-deret
di atas lantai gerbong hingga tubuh mereka saling menghangatkan. Wladek mencoba
mengucapkan epos Aeneas bagi diri sendiri sambil mencoba terlelap tidur.
Mustahil untuk membalik, kecuali bila semua orang sederetan itu mau. Maka Wladek
tidur di ujung. Dan setiap jam, menurut perkiraan, dilihat dari pergantian
penjaga, ia menggebrak dinding gerbong. Dan mereka bersama membalik dan menghadap
sisi lain. Berganti-ganti tubuh-tubuh itu bergelimpangan seperti kartu-kartu
domino. Suatu alam sesosok tubuh seorang wanita dari kelom-poknya tidak bergerak
lagi. Sebab memang tak bisa bergerak lagi. Dan Wadek diberitahu. Maka pada gilirannya
ia memberitahu penjaga. Dan empat orang diantara mereka membuang mayat itu dari
kereta api yang sedang melaju. Kemudian tentara memberondongnya dengan peluru
supaya pasti bahwa itu bukannya seseorang yang hendak melarikan diri.
Dua ratus tiga puluh satu
kilometer sesudah Minsk mereka tiba di kota Smolensk, di mana mereka memperoleh
sop kol panas lagi dan roti hitam. Dalam gerbongnya Wladek memperoleh gabungan
beberapa tawanan baru yang berbahasa sama dengan para prajurit. Pemimpin mereka
nampaknya seusia Wladek. Wladek dan sisa teman-temannya yang tinggal berjumlah
sebelas orang (10 pria, satu wanita) langsung mencurigai pendatang-pendatang
baru itu. Maka mereka membagi gerbong menjadi dua bagian, dengan dua kelompok yang
tetap terpisah untuk beberapa hari lamanya.
Suatu malam sementara
Wladek tertelentang terjaga memandang bintang-bintang, berusaha menjadi hangat,
ia melihat pemimpin orang-orang Smolensk merangkak menuju orang terakhir dari
deretannya sendiri dengan seutas tali di tangannya. Ia memperhatikan
orang itu menyusupkan tali melingkari leher Alfons, pelayan tuan Baron yang
sedang tidur. Wladek tahu bahwa bila ia bergerak terlalu cepat, anak itu akan
mendengarnya dan lari kembali ke setengah gerbong bagian lain. Dan dilindungi
teman-temannya. Maka ia merayap mengikuti deretan tubuh-tubuh Polandia itu.
Banyak mata memandangnya ketika ia melewati mereka. Tapi tak ada yang bicara.
Ketika sampai di ujung deretan itu, ia meloncat menerkam penyelundup. Membangunkan
setiap orang di gerbong tersebut. Setiap bagian kini menyusut kembali ke
ujungnya di gerbong itu. Kecuali Alfons yang terlentang tak bergerak di muka mereka.
Pemimpin orang-orang
Smolensk itu lebih tinggi dan lebih gesit daripada Wladek. Tapi hal itu tak membuat
banyak perbedaan. Karena mereka berdua berkelahi di lantai gerbong. Perkelahian
berlangsung beberapa menit. Menarik perhatian para prajurit yang tertawa-tawa
dan bertaruh. Sambil menonton dua orang pegulat itu. Seorang prajurit yang
bosan karena tak ada darah tertumpah, menyodorkan bayonet di tengah gerbong. Kedua
anak menjangkau belati yang berkilatan itu. Dan pemimpin orang-orang Smolensk meraihnya
terlebih dahulu. Gerombolan orang-orang Smolensk bersorak menyemangati pahlawan
mereka ketika ia menusukkan bayonet ke sisi kaki Wladek. Lalu menarik kembali
bilah yang berlumuran darah dan menyerang lagi. Serangan kedua membuat bayonet
tertancap di papan lantai gerbong dekat telinga Wladek. Sementara ia mencoba
mengungkitnya kembali, Wladek menendangnya di selangkang dengan sekuat tenaga
yang ada padanya. Dan mendorong musuhnya ke belakang. Bayonet itupun terlepas
dari papan lantai. Dengan satu lompaian Wladek menyambar pegangannya dan
menubruk pimpinan Smolensk. Menghunjamkan belati tepat ke dalam mulutnya. Orang
itu menjerit sekarat. Membangunkan seisi kereta api. Wladek menarik bayonet
sambil mengulirnya. Lalu menghunjamkannya ke orang Smolensk itu berkali-kali
lama setelah orang itu berhenti bergerak. Wladek berlutut mengunggulinya.
Terengah-engah. Lalu mengangkut jasad itu. Dibuangnya keluar gerbong. Ia
mendengar suara gedebum ketika mayat membentur tebing. Lalu diberondong peluru
oleh para penjaga sekenanya.
Wiadek berjalan pincang
menuju Alfons. Masih tergeletak tak bergerak di atas papan. Ia berlutut
disebelahnya. Mengguncang-guncang tubuh yang tak bernyawa lagi. Saksi kedua
juga telah mati. Siapa sekarang mau percaya bahwa ia, Wladek, adalah waris yang
terpilih menerima'harta karun tuan Baron? Masihkah ada tujuan dalam hidupnya?
Ia berlutut. Menggenggam bayonet dengan kedua belah tangan. Dengan ujung terarah
ke perutnya. Seorang penjaga langsung terjun ke gerbong dan merebut senjata itu
darinya.
"Oh tidak. Jangan
kamu" gerutunya "Kami membutuhkan orang-orang cekatan seperti kamu
untuk di kamp. Jangan harapkan kami akan melakukan semua pekerjaan "
Wladek membenamkan kepala
dalam kedua belah tangan. Untuk pertama kali sadar akan nyeri
di kaki yang tertusuk bayonet. Ia telah kehilangan warisannya. Kini menjadi
pemimpin gerombolan orang-orang Smolensk miskin. Seluruh gerbong menjadi
wilayahnya kembali. Dan kini ia membawahi 20 orang tawanan yang menjadi
tanggungannya. Ia langsung membaginya hingga seorang Polandia selalu harus tidur
di sebelah orang Smolensk. Hingga kedua kelompok itu tak mungkin berkelahi
lagi.
Wladek menghabiskan banyak
waktunya untuk mempelajari bahasa mereka yang asing. Selama beberapa hari ia
tidak menyadari bahwa itu sebenarnya bahasa Rusia. Begitu besar bedanya dengan
bahasa Rusia klasik yang diajarkan Baron kepadanya. Ke-mudian arti penemuan ini
mulai menyingsing dalam dirinya untuk pertama kali ketika ia menyadari kereta api
itu menuju ke mana.
Siang hari Wladek biasanya
mempergunakan dua orang Smolensk sekaligus untuk mengajarnya. Dan bila mereka
ini lelah, ia mempergunakan dua orang lain lagi. Demikian seterusnya hingga
mereka semua lelah.
Lambat laun ia mampu
bercakap dengan mudah dengan bawahan barunya. Beberapa di antara mereka ternyata
tentara Rusia. Mereka dibuang setelah direpatriasi karena tertangkap oleh
tentara Jerman. Sisanya terdiri dari orang Rusia putih: petani, penam- bang,
buruh. Semuanya bersikap sangat memusuhi Revolusi.
Kereta api gontai terus
menerabas padang yang lebih tandus daripada yang pernah dilihat Wladek sebelumnya.
Dan melalui kota-kota yang belum pernah ia dengar namanya: Omsk, Novosibirsk,
Krasnoyarsk. Nama-nama itu terdengar seperti memberi isyarat buruk di
telinganya. Akhirnya selang dua bulan, dan setelah menempuh jarak 3000 mil
lebih mereka tiba di Irkuts , di mana rel kereta api berakhir dengan tiba-tiba.
Mereka cepat-cepat
dikeluarkan dari kereta api. Diber
makan. Dan diberi sepatu lars, jaket, serta mantol tebal. Dan walaupun
mereka mulai berkelahi memperebutkan pakaian yang paling hangat, namun pakaian
itu hanya dapat sedikit melindungi mereka terhadap dingin yang semakin
mengganas.
Kendaraan-kendaraan tak
berkuda muncul. Mirip yang telah membawa Wladek dari kastilnya. Dan rantai
panjang dikeluarkan. Kemudian para tawanan diborgol satu tangan pada rantai.
Dua puluh lima pasang berdampingan pada tiap rantai. Truk-truk menarik gerombolan
para tawanan sementara para penjaga naik di bak belakang. Mereka berlari
seperti itu selama dua belas jam. Lalu diberi istirahat selama dua jam. Kemudian
mereka berbaris lagi. Setelah tiga hari Wladek mengira ia akan mati karena
dingin dan kelelahan. Tetapi setelah keluar dari daerah yang dihuni orang, mereka
berjalan selama siang hari, dan malam hari istirahat. Sebuah dapur lapangan
yang berpindah-pindah dikelola oleh para tawanan di kamp memberikan sop lobak
Cina dan roti pada saat fajar menyingsing. Lalu pada malam hari lagi. Dari para
tawanan Wladek mengetahui bahwa keadaan dalam kamp bahkan lebih buruk lagi.
Selama minggu pertama,
mereka tidak pernah dilepas dari rantai mereka. Tetapi kemudian ketika tidak lagi
ada pikiran untuk melarikan diri, di malam rantai dilepas untuk tidur. Mereka
lalu menggali lubang di salju supaya hangat. Kadang-kadang pada hari-hari baik
mereka menemukan hutan untuk pondokan: kemewahan itu lalu berbentuk yang aneh-aneh.
Mereka berbaris. Dan terus berbaris. Melewati danau-danau luas dan menyeberangi
sungai-sungai membeku. Selalu ke utara. Menghadapi angin dingin yang
berputar-putar. Dan salju yang berjatuhan semakin tebal. Kaki Wladek yang
terluka selalu terasa nyeri. Kemudian jari-jari serta telinganya terasa lebih nyeri
lagi karena terserang jalad. Tak ada tanda kehidupan atau makanan di dalam
keterbentangan putih yang begitu luas. Dan Wladek tahu bahwa berusaha melarikan
diri di malam hari hanya dapat berarti mati pelan-pelan karena kelaparan.
Orang-orang tua dan mereka yang sakit bergulat dengan maut. Bila beruntung
mereka meninggal dengan tenang di malam hari. Mereka yang celaka tak mampu
melangkah serempak dengan barisan, dilepas dari rantai. Dan terbuang sendirian
dalam salju yang tak ada habisnya. Mereka yang dapat tetap hidup dirantai
berjalan terus. Dan berjalan terus. Selalu menuju ke utara. Hingga akhirnya
Wladek kehilangan kesadaran akan waktu. Dan hanya merasakan sentakan rantai
yang tak tertahankan. Bahkan ketika menggali lubang dalam salju untuk tidur di
malam hari, ia tak yakin apakah pagi berikutnya ia akan terbangun. Mereka yang
tak terbangun di pagi berikutnya ternyata telah menggali kubur mereka sendiri.
Setelah berjalan sejauh
900 mil, mereka yang masih hidup disambut oleh orang-orang Ostyak, bangsa Nomad
di steppa Rusia, dengan kereta luncur ditarik rusa kutub. Para tawanan kini
terikat rantai dengan kereta luncur, terus digiring. Sebuah badai salju memaksa
mereka berhenti selama hampir dua hari. Dan Wladek memanfaatkan kesempatan
berkomunikasi dengan orang Ostyak muda yang kereta luncurnya menjadi kaitan
rantainya. Karena mempergunakan bahasa Rusia klasik dengan logat Polandia, ia
hanya dapat dimengerti secara sangat tidak sempurna. Tetapi ia menemukan bahwa
orang-orang Ostyak membenci orang-orang Rusia selatan yang memperlakukan mereka
seburuk mereka memperlakukan para tawanan. Orang-orang Ostyak merasa bersimpati
denga para tawanan yang sedih tanpa hari depan. “Orang-orang celaka"
menurut kata mereka.
Sembilan hari kemudian,
dengan temaram cahaya malam awal musim dingin Artika, mereka tiba di Kamp 201.
Wladek mungkin tak pernah percaya bahwa ia dapat bergembira melihat tempat
sedemikian itu. Pondok salju berderet-deret di lapangan terbuka yang dingin
sekali. Pondok itu bernomor. Demikian pula para tawanan. Pondok Wladek bernomor
33. Ada tungku kecil hitam di tengah ruangan. Dan di dinding ada bangku kayu
dilengkapi kasur jerami serta satu selimut tipis. Hanya sedikit tawanan yang
dapat tidur pada malam pertama itu. Teriakan dan jeritan dari pondok nomor 33
seringkali lebih keras daripada lolongan serigala di luar.
Hari berikutnya sebelum
matahari terbit, mereka terbangun oleh suara martil dipukulkan pada segitiga besi.
Ada jalad tebal pada kedua sisi jendela. Dan Wladek mengira ia pasti harus mati
karena kedinginan. Sarapan di balai komunal yang dingin itu hanya berlangsung
10 menit. Makanannya terdiri dari semangkok bubur suam-suam dengan potongan-potongan
kecil ikan busuk serta daun-daun kol yang memgambang di dalamnya. Para
pendatang baru meludahkan duri ikan ke atas meja. Sedang para tawanan yang
lebih lama memakan durinya, bahkan matanya juga.
Sesudah sarapan mereka
diberi tugas. Wladek ditugasi menebang kayu. Ia diangkut 7 mil jauhnya melalui steppa gersang masuk ke
hutan. Diperintahkan menebang sejumlah pohon setiap hari. Penjaga meninggalkannya
dengan kelompok kecil 6 orang beserta rangsum makanan: bubur magara kuning yang hambar dan roti. Para
penjaga tak takut kalau-kalau para tawanan berusaha melarikan diri. Sebab jarak
ke kota yang terdekat mencapai 1000 mil lebih. Itupun bila orang tahu ke arah
mana yang dituju.
Pada akhir setiap hari
para penjaga akan kembali dan menghitung jumlah pohon yang telah ditebang.Ia telah
memberitahu para tawanan bahwa bila kelompok itu alpa mencapai jumlah yang
dituntut, maka makanan hari berikutnya tak akan diberikan. Tetapi bila ia
kembali lagi pada pukul 7 malam untuk menjemput para penebang, hari sudahlah
gelap. Maka ia tidak selalu dapat melihat dengan tepat berapa pohon yang baru
saja ditebang. Wladek mengajari yang lain-lain dalam kelompoknya untuk
membersihkan salju dari pohon yang telah ditebang sehari sebelumnya pada akhir
sore. Lalu menjejerkan dengan apa yang telah mereka tebang hari itu. Suatu
rencana yang selalu berhasil. Maka kelompok Wladek tak pernah kehi1angan makanan
mereka setiap hari. Kadang-kadang mereka berhasil kembali ke kamp dengan sepotong
kayu. Diikat pada kaki di sebelah dalam. Lalu dimasukkan ke dalam perapian di
malam hari. Sudah barang tentu harus sangat hati-hati. Sebab paling sedikit
seorang di antara mereka digeledah setiap kali hendak meninggalkan atau masuk
kamp. Kerapkali di perintahkan membuka sepatu lars mereka, salah satu atau
kedua-duanya. Dan harus berdiri dalam salju yang melebat. Jikalau mereka
tertangkap basah membawa sesuatu dalam diri mereka, mereka dihukum tiga hari
tanpa makan.
Minggu berganti minggu,
dan kaki Wladek menjadi kaku dan nyeri. Ia menginginkan hari-hari yang sangat
dingin. Sebab bila suhu turun sampai 40 derajat di bawah 0, maka pekerjaan di
luar ditangguhkan. Walau hari yang telah hilang itu harus dikembalikan pada
hari minggu yang bebas, yaitu bila Mereka biasanya diizinkan tiduran di bangku
seharian suntuk.
Suatu petang ketika Wladek
telah menghela balok melintasi padang tandus, kakinya mulai nyeri menggigit-gigit.
Ketika ia melihat ke bekas luka tikaman orang Smolensk, ternyata membengkak dan
mengkilap. Malam itu ia memperlihatkan lukanya kepada penjaga
yang langsung memerintahkannya melapor kepada dokter kamp sebelum fajar hari
berikutnya. Semalam suntuk Wladek berdiri dengan kakinya hampir-hampir
menyentuh perapian. Dikelilingi sepatu lars basah. Tetapi panasnya begitu lemah
hingga hampir-hampir tidak bisa mengurangi rasa nyeri.
Pagi berikutnya Wladek
bangun satu jam lebih awal daripada biasanya. Bila tidak menghubungi dokter
sebelum pekerjaan dimulai, maka tak bisa menemuinya hingga hari berikut. Wladek
tak tahan lagi menghadapi hari berikutnya dengan rasa sakit demikian mengganas.
Ia melapor kepada dokter. Menyerahkan nama dan nomor. Pierre Dubien ternyata seorang
tua yang sangat simpatik. Berkepala botak. Jelas-jelas bungkuk. Wladek mengira
ia lebih tua daripada Baron semasa hari-hari menjelang ajalnya. Ia memeriksa
kaki Wladek tanpa bicara.
"Apakah luka ini akan
sembuh, dokter?" Tanya Wladek.
"Berbahasa
Rusia?"
"Ya, dokler"
"Walaupun kamu selalu
akan pincang anak muda, kakimu akan baik kembali. Tapi untuk apa? Hidup di sini
menebang kayu?"
"Tidak dokter, Aku
berniat melarikan diri dan kembali ke Polandia," kata Wladek.
Dokter itu memandang tajam
kepadanya. "Jangan bicara keras-keras, anakbodoh! . . . Engkau kini harus tahu
bahwa mustahil untuk melarikan diri. Aku telah ditawan selama 15 tahun. Dan tak
sehari pun berlalu tanpa memikirkan melarikan diri. Tak ada jalan. Tak seorang
pun pernah lolos dan hidup. Dan bahkan berbicara soal itu saja berarti dihukum
sel selama 10 hari. Dan di situ engkau diberi makan 3 hari sekali. Dan menyalakan
perapian hanya untuk melelehkan es pada dinding. Bila kamu keluar hidup-hidup
dari tempat itu engkau boleh menganggap dirimu beruntung."
“Aku akan lolos. Lolos. Lolos."
kata Wladek sambil menatap orang tua itu.
Dokter itu memandang mata
Wladek dan tersenyum. "Sahabatku, jangan menyebut lolos lagi. Mereka akan
membunuhmu. Kembalilah ke pekerjaanmu. Tetapi latihlah kakimu. Dan setiap pagi
pertama-tama laporlah kepadaku."
Wladek kembali lagi ke
hutan dan menebang pohon lagi. Tapi ternyata ia tak dapat menghela kayu lebih
dari beberapa meter. Dan sakitnya bukan kepalang. Hingga ia mengira kakinya
akan copot. Ketika ia kembali keesokan
hari, dokter memeriksa kakinya lebih cermat lagi.
'Lebih buruk. Bila tidak
boleh dikatakan buruk sama sekali" katanya. "Usiamu berapa,
nak?"
'Menurut perkiraanku
13" kata Wladek. "Sekarang tahun berapa?"
'Seribu sembilan ratus
sembilan belas" jawab dokter itu.
"Ya, 13. Berapa umur
anda?" tanya Wladek.
Orang itu menatap ke dalam
mata biru anak muda itu. Kaget karena pertanyaan tersebut.
"Tigapuluh delapan"
jawabnya tenang.
"Ya ampun!" kata
Wladek.
"Kamu akan nampak seperti
ini, bila menjadi tawanan selama 15 tahun, anakku." kata dokter apa adanya.
“Mengapa anda ada di
sini?" tanya Wladek. 'Mengapa mereka tak melepaskan anda setelah sekian lama?"
"Aku ditawan di
Moskwa tahun 1904. Tak lama setelah aku mendapat brevet menjadi dokter. Aku bekerja
di kedutaan Perancis di sana. Dan mereka bilang aku seorang mata-mata. Maka
mereka menjebloskanku dalam penjara di Moskwa. Kukira tempat itu sudah cukup
buruk. Tetapi sesudah Revolusi mereka mengirimkanku ke liang neraka yang
jahanam ini. Bahkn orang-orang Perancis kini telah lupa bahwa aku masih ada.
Sisa seluruh dunia lainnya tidak akan percaya bahwa ada tempat sedemikian ini.
Tak seorang pun pernah dapat menghabiskan hukuman satu vonis di Kamp Dua Nol
Satu ini. Maka aku harus mati di sini. Seperti setiap orang lainnya. Dan itu
tak boleh terjadi terlalu cepat."
"Tidak. Jangan putus
harapan dokter."
"Harapan? Aku telah
lama sekali melepas harapan bagi diriku sendiri. Mungkin aku tak harus melepas harapan
bagimu. Tapi selalulah ingat jangan sebut harapan itu kepada setiap orang. Di
sini ada tawanan yang memperdagangkan lidah mudah bicara walau hadiahnya hanyalah
sepotong roti ekstra ataupun mungkin sebuah selimut. Nah Wladek, engkau akan kutugasi
bekerja di dapur selama satu bulan. Dan kamu harus tetap melapor kepadaku
setiap pagi. Itu satu-satunya kemungkinan supaya jangan kehilangan kakimu ini.
Dan aku tak suka menjadi orang yang harus memotongnya. Kita tak memiliki
alat-alat bedah mutakhir di sini." ia menambahkan, sambil memandangi pisau
pengerat yang besar.
Wladek menggigil.
Dok1er Dubien menulis nama
Wladek pada secarik kertas. Pagi berikutnya Wladek melapor ke dapur. Mencuci
piring dengan air dingin. Dan membantu memasak makanan yang tak perlu
pendinginan. Setelah menebangi kayu setiap hari, ia mengangap pekerjaan itu
sebagai pergantian yang menyenangkan: sop ikan ekstra, roti hitam tebal, dengan
jelatang teriris-iris. Dan kesempatan berada di dalam serta tetap hangat. Suatu
waktu ia malah mendapat bagian setengah telor dari koki. Walau keduanya tak
bisa tahu telor itik apa itu. Kaki Wadek sembuh pelan-pelan. Membekaskan
timpang berat. Hanya sedikit yang bisa diperbuat dokter Dubien. Karena memang
tidak adampersediaan obat. Ia hanya mengawasi kemajuan Wladek. Selang beberapa
hari dokter itu menjadi sahabat Wladek. Dan ia bahkan mulai percaya akan
harapan anak muda itu akan hari depan. Setiap pagi mereka berbicara dalam bahasa
yang berbeda-beda. Tapi teman barunya paling menikmati bila berbahasa Perancis,
bahasa ibu baginya.
"Dalam waktu seminggu
Wladek, kamu harus kembali ke tugasmu di hutan. Para penjaga akan memeriksa
kakimu. Dan aku tak bisa mempertahankanmu di dapur lagi. Dengarlah baik-baik.
Sebab aku telah memutuskan suatu rencana pelarianmu."
"Bersama-sama dokter.
Bersama-sama." kata Wladek.
"Tidak. Hanya kamu.
Aku terlalu tua untuk perjalanan begitu lama. Dan walau aku telah memimpikan
melarikan diri selama 15 tahun lebih, aku hanya akan menghambatmu. Sudah cukup
bagiku bila mengetahui bahwa seseorang lain telah berhasil. Dan kamu adalah orang
pertama yang pernah kujumpai yang meyakinkanku bahwa kamu mungkin berhasil”
Wladek duduk di lantai.
Diam. Mendengarkan rencana dokter itu. *selama 15 tahun ini aku telah menabung
200 rubel. Tak ada uang lembur bagi seorang tawanan Rusia" Wladek mencoba
tertawa karena lelucon paling tua di kamp itu.”Aku sembunyikan uang itu di
botol obat. Uang kertas 50-an rubel 4 lembar. Bila tiba saat kepergianmu uang
itu harus dijahit dalam pakaianmu. Sebetulnya itu harus telah kulakukan
bagimu.'
"Pakaian apa?" tanya
Wladek.
"Aku punya setelan dan
kemeja yang kudapat dengan menyuap seorang penjaga 12 tahun yang lalu. Ketika
aku masih percaya akan bisa lolos. Bukannya mode mutakhir, tetapi berguna bagi
tujuanmu.”
Lima belas tahun untuk
mengumpulkan uang 200 rubel, sebuah kemeja dan setelan. Dan dokter itu dalam
sekejap bersedia mengorbankannya bagi Wladek. Wladek tak pernah lagi mengalami
tindakan tanpa pamrih sebesar itu selama hidupnya.
"Kamis yang akan
datang merupakan satu-satunya kesempatanmu" lanjut dokter itu.”Para
tawanan baru tiba di Irkutsk dengan kereta api. Dan penjaga selalu mengambil 4
orang dari dapur untuk mengatur truk-truk makanan bagi para tawanan baru. Dan
aku telah mengaturnya dengan 'koki' tua itu (ia tertawa karenakata 'koki' itu)
supaya engkau diangkut dengan truk dapur dengan imbalan beberapa obat. Tak
begitu sulit. Tak ada seorang pun yang mau mengadakan perjalanan itu pulang
pergi. Tapi kamu hanya akan pergi ke sana.”
Wladek tetap mendengarkan
penuh perhatian.
"Jika kamu tiba di stasiun,
tunggulah hingga kereta para tawanan datang. Bila semuanya telah berada di peron,
menyeberanglah dan naiklah kereta yang menuju Moskwa. Kereta api itu tak bisa
berangkat bila kereta api para tawanan belum tiba. Sebab diluar stasiun hanya
ada satu jalur rel. Kamu harus berdoa supaya dalam hiruk-pikuknya beratus-ratus
tawanan di sekitar, para penjaga tidak melihat engkau pergi. Sejak saat itu
engkau hanya sendirian. Ingat. Jika mereka memergokimu, mereka akan menembakmu
begitu mereka melihatmu. Tanpa pikir lagi. Hanya ada satu hal yang dapat
kulakukan bagimu. Lima belas tahun yang lalu ketika aku diangkut ke mari, aku membuat
peta jalan dalam ingatanku dari Moskwa ke Turki. Mungkin tak begitu tepat lagi.
Tapi kiranya cukup untuk tujuanmu. Selidiki dahulu apakah orang-orang Rusia
telah menaklukkan Turki juga. Hanya Tuhan yang tahu mereka hendak apa
akhir-akhir ini. Setahu saya, barangkali mereka bahkan mengawasi Perancis."
Dokter itu melintasi kamar
obat. Lalu mengambil botol besar yang nampaknya seolah-olah penuh dengan zat
coklat. Ia membuka tutupnya. Lalu mengeluarkan selembar perkamen. Tinta hitam
telah lusuh karena usia. Ditandai *Oktober 1904". Perkamen itu
menunjukkan jalan dari Moslova ke Odessa, dan dari Odessa ke Turki. Seribu lima
ratus mil menuju kebebasan.
"Datanglah menemuiku
setiap pagi minggu ini. Dan kita akan menelusuri rencana itu berulang kali. Bila
kau gagal, itu bukan karena kurang persiapan."
Setiap malam Wladek tetap
terjaga. Memandang bulan melalui jendela. Melatih diri apa yang harus ia kerjakan
dalam situasi tertentu. Mempersiapkan diri untuk setiap hal yang kebetulan. Di
pagi hari ia bersama pak dokter mengulang-ulangi rencana itu kem-bali. Pada
hari Rabu sore sebelum Wladek mencoba melarikan diri, dokter itu melipat peta
menjadi lipatan 1/8. Memasukkannya ke dalam bungkusan kecil beserta uang 50
rubel-an 4 lembar. Lalu menjahitkan bungkusan itu pada lengan jas. Wladek
menanggalkan pakaiannya. Mengenakan kemeja dan setelan. Lalu baru mengenakan seragam
penjara sebagai pakaian paling luar. Ketika ia mengenakan pakaian seragam kembali,
pak dokter melihat gelang perak tuan Baron yang selalu dikenakan Wladek di atas
sikunya sejak ia diberi seragam penjara. Sebab ia takut kalau-kalau para
penjaga melihat satu-satunya harta ini dan mencurinya.
"Apa itu?'tanyanya
"Hebat benar!"
"Hadiah dari
ayahku." kata Wladek. "Bolehkah kuberikan kepada anda sebagai tanda
terimakasihku?" Ia mencopot gelang dari pergelangannya dan memberikannya
kepada dokter.
Dokter itu mengamati
gelang perak beberapa saat. Lalu ia menundukkan kepala "Tak bisa"
katanya' *Ini hanya bisa dimiliki satu orang saja." Ia menatap bocah itu
dengan diam. "Ayahmu pasti seseorang yang besar.'
Dokter mengenakan gelang
itu kembali di pergelangan Wladek. Dan mereka bersalaman akrab.
'Sukses, Wladek. Kuharap
kita tak akan berjumpa lagi."
Mereka berpelukan. Dan
Wladek berangkat menyambut malam yang ia doakan sebagai malam terakhir di
pondokan penjara. Malam itu ia sama sekali tak dapat tidur. Karena takut
jangan-jangan salah seorang prajurit penjaga memergoki pakaian setelan di bawah
seragam penjara. Ketika bel pagi berdentang, ia telah berpakaian rapi. Dan ia
mengusahakan supaya pasti tidak terlambat melapor di dapur. Tawanan senior di
dapur mendorong Wladek maju ketika para penjaga memeriksa penumpang truk. Rombongan
terpilih itu terdiri dari 4 orang. Wladek adalah yang paling muda.
"Mengapa anak ini?" Tanya penjaga, sambil menunjuk ke Wladek. Jantung
Wladek terasa berhenti. Dan ia merasa dingin seluruh tubuhnya.
Rencana dokter itu akan
gagal. Tak akan ada rombongan tawanan lagi datang ke kamp selama paling sedikit 3 bulan. Pada saat itu ia tak akan
berada di dapur lagi.
"Ia koki yang
hebat" kata seorang tawanan senior,“terlatih di kastil seorang baron. Para
penjaga hanya memperoleh yang paling baik."
"Ah", kata
penjaga. Kerakusannya mengalahkan kecurigaan. *Kalau begitu,
ayohlah cepat!"
Mereka berempat lari ke
truk. Dan konvoi itupun berangkatlah. Perjalanan itu lagi-lagi lambat dan sulit..
Tapi paling sedikit kali ini ia tidak berjalan kaki. Pun pula karena sedang
musim panas, dinginnya tak begitu mengganas. Wladek kerja keras menyiapkan makanan,
dan ia tak ingin diketahui orang. Dan sepanjang perjalanan ia hampir tak bicara
kecuali dengan Stanislaw, koki utama.
Ketika akhirnya mereka
tiba di Irkutsk, perjalanan itu telah memakan waktu hampir 16 hari. Kereta api yang
hendak berangkat ke Moskwa telah siap menunggu di stasiun. Sudah berada di
sanabeberapa jam lamanya. Tapi belum dapat memulai perjalanan kembali ke Moskwa.
Menunggu kedatangan kereta api yang membawa tawanan baru. Wladek duduk di pinggir
perron dengan rekan-rekan dari dapur lapangan. Tiga di antara mereka tanpa
minat atau tujuan. Tanpa mempedulikan suatu pun di sekitar. Telah kebal karena
pengalaman. Tapi seorang di antara mereka memperhatikan setiap gerakan. Dengan
cermat mengamati kereta di seberang peron. Ada beberapa pintu masuk ke kereta. Dan
Wladek dengan cepat memilih satu yang hendak ia masuki bila tiba saatnya.
"Apa engkau mencoba
melarikan diri?" Tanya Stanislaw tiba-tiba.
Wladek mulai berkeringat.
Tapi ia tak menjawab.
Stanislaw menatapnya
"Ya, benar."
Wladek masih tetap
bungkam.
Koki tua itu tetap menatap
bocah berusia 13 tahun tersebut. Lalu ia mengangguk menyetujui. Seandainya ia
punya ekor, pasti akan berkibas-kibas.
'Selamat. Aku akan
mengusahakan supaya mereka tidak menyadari bahwa engkau mangkir selama mungkin
aku dapat mengusahakannya. "
Stanislaw menyentuh
lengannya. Dan Wladek melihat kereta api tawanan di kejauhan. Pelan menyibak
jalan menuju mereka. Belum-belum ia merasa tegang. Jantung berdegup kencang.
Matanya mengikuti gerak-gerik setiap prajurit. Ia menunggu hingga kereta api
yang sedang tiba benar-benar berhenti. Dan memandang para tawanan lesu itu
berbondong keluar menuju perron. Beratus-ratus orang tanpa nama. Hanya punya
masa silam. Ketika stasiun semrawut penuh orang, dan prajurit sangat sibuk,
Wladek lari menerobos bawah kereta api para tawanan dan meloncat ke dalam
kereta yang menuju Moskwa. Tak seorang pun memperhatikannya. Ketika ia pergi ke
WC di gerbong, ia mengunci diri. Lalu menunggu dan berdoa. Setiap saat menanti
seseorang mengetuk pintu. Bagi Wladek nampaknya berlangsung seumur hidup.
Akhirnya kereta api bergerak keluar stasiun. Padahal nyatanya hanya berlangsung
17 menit.
"Akhirnya. Akhirnya!"
ia berkata keras-keras. Ia melihat melalui jendela kecil WC itu. Dan memperhatikan
stasiun itu semakin mengecil di kejauhan. Banyak sekali rombongan para tawanan
baru diborgol pada rantai. Siap melaksanakan perjalanan menuju ke Kamp 201.
Para penjaga tertawa-tawa ketika mengunci mereka. Berapa yang akan mencapai
Kamp dalam keadaan masih hidup? Berapa yang harus menjadi mangsa serigala?
Berapa lama lagi mereka akan mengetahui bahwa Wladek menghilang?
Wladek duduk di WC
beberapa menit lagi. Takut bergerak. Ia tak tahu pasti apa yang harus
dikerjanya sesudah itu. Tiba-tiba pintu digedor. Wladek berpikir cepat.
Penjaga? Kondektur? Seorang tentara? Serangkaian bayangan mengilat melintas di
benaknya. Yang satu lebih mengerikan daripada yang lain. Sekarang ia baru merasa
harus buang air. Pintu digedor terus.
*Ayo, ayolah"
suaranya dalam. Berbahasa Rusia kasar. Wladek tak punya pilihan. Bila itu
seorang tentara tak ada jalan keluar. Seorang kerdilpun tak mungkin lolos
melalui jendela kecil. Bila bukan tentara, ia hanya akan menarik perhatian
kepada dirinya karena tinggal di WC. Ia melepas seragam tawanan. Lalu melipatnya
sekecil mungkin menjadi bungkisan. Kemudian melemparkannya ke luar jendela.
Diambilnya topi empuk dari saku setelannya untuk menutupi kepala yang telah
terpangkas. Lalu membuka pintu. Seseorang buru-buru menerjang masuk. Melepas celananya.
Bahkan sebelum Wladek keluar kamar kecil itu.
Ketika berada di gang
Wladek meiasa terisolasi dan sangat mencolok dalam setelan yang telah ketinggalan
jaman itu. Seperti sebuah apel di atas gundukan jeruk. Ia langsung mencari WC
lain. Ketika ia menemukan yang kosong, ia mengunci diri. Dan cepat-cepat
melepas lembaran 50 rubel dari lengan jasnya. Ia mengembalikan lagi yang tiga
lembar. Dan kembali ke gang. Ia mencari gerbong paling penuh. Lalu menerobos ke
sudut. Beberapa orang di tengah gerbong bermain dadu dengan taruhan beberapa
rubel. Wladek beberapa kali mengalahkan Leon ketika bermain di kastil. Dan ia
ingin ikut main. Tapi ia takut menang, lalu memusatkan perhatian terhadap
dirinya. Permainan itu berlangsung terus. Lama. Dan Wladek mulai ingat kerampilan
yang diperlukan. Godaan untuk mengambil risiko bermain dengan 200 rubel itu
hampir tak teratasi.
Salah seorang penjudi yang
telah kehilangan sejumlah banyak uang, mengundurkan diri. Merasa tak enak. Dan
duduk dekat Wladek sambil menyumpah-nyumpah.
“Engkau lagi tak
beruntung" kata Wladek ingin mendengar suaranya sendiri.
'Ah, bukan untung"
kata penjudi itu. "Kebanyakan kali aku dapat mengalahkan petani-petani sebanyak
itu. Tapi aku kehabisan rubel."
"Apa mau menjual
mantolmu?" tanya Wladek.
Penjudi itu adalah seorang
penumpang di gerbong yang mengenakan mantol bagus, kuno, tapi tebal. Terbuat
dari kulit domba. Ia menatap anak muda itu.
“Kau tak punya duit,
nak." Wladek dapat menebak dari suara penjudi itu bahwa sebenarnya ia
berharap semoga Wladek benar-benar punya duit. “Harganya 75 rubel."
“Empat puluh" kata
Wladek.
“Enam puluh" jawab penjudi.
"Lima puluh"
tawar Wladek.
"Tidak. Enam puluh
saya lepas. Sebenarnya harganya 100 rubel lebih." kata penjudi.
"Tapi sudah lama
sekali" sambung Wladek sambil memikir-mikir implikasi
mengambil uang dari lengan jas supaya mendapatkan jumlah uang yang dibutuhkan.
Ia memutuskan tidak berbuat demikian. Sebab hanya akan menarik perhatian
terhadap dirinya. Ia harus menunggu hingga tiba kesempatan lain. Wladek tak
bersedia menunjukkan ia tak sanggup membayar mantol itu. Dan ia menyentuh krah
pakaian itu sambil berkata mengejek, “Kaubeli terlalu mahal, sahabatku Lima
puluh rubel. Se-kopek pun tak lebih.,' Wladek bangkit seolah-olah hendak pergi.
"Tunggu. Tunggu
dulu" kata penjudi. ..Baiklah. Kulepas seharga 50 rubel,'. Wladek
mengambil lembaran 50 rubel dari sakunya. Dan penjudi melepaskan mantolnya. Dan
menukarkannya dengan lembaran uang merah seram. Mantol itu terlalu besar bagi
Wladek. Hampir menyentuh tanah. Tapi justru itulah yang ia butuhkan untuk
menutupi setelan yang mencolok. Beberapa saat lamanya ia menyimak permainan
pen-judi kembali. Sekali lagi penjudi kalah. Dari guru barunya ia belajar dua
hal: jangan pernah berjudi kecuali bila naga-naganya menguntungkanmu karena pengetahuan
atau keterampilanmu lebih baik. Dan selalu sedia meninggalkan suatu persetujuan
bila telah mencapai batasmu.
Wladek meninggalkan
gerbong. Merasa sedikit lebih aman dengan mantol bekas yang baru itu. Ia mulai memeriksa
susunan kereta api dengan perasaan lebih percaya diri lagi. Gerbong-gerbong itu
nampaknya terbagi menjadi dua kelas. Kelas umum dengan para penumpang berdiri
atau duduk di bangku kayu. Dan kelas khusus dengan penumpang pada duduk di atas
tempat duduk diperempuk. Wladek menyaksikan se-gerbong penuh sesak. Kecuali
satu kelas khusus dimana, memang aneh, hanya ada seorang wanita sendirian.
Wanita itu setengah baya. Sejauh Wladek dapat menduga. Dan berdandan lebih rapi
lagi daripada kebanyakan penumpang lainnya di kereta. Ia mengenakan gaun biru
tua. Ada selendang yang mengerudungi kepala. Sementara Wladek tetap berdiri
ragu-ragu memandangnya, wanita itu tersenyum kepadanya. Memberinya keberanian
memasuki ruangan itu.
'Bolehkah aku duduk?"
'Silakan" kata wanita
itu. Sambil memandanginya dengan cermat.
Wladek tidak bicara lagi.
Tapi bila ada kesempatan, ia mempelajari wanita itu serta barang-barang miliknya.
Ia berkulit kuning kepucatan. Diliputi kerut-kerut kelelahan. Sedikit
kegemukan. Yang dimungkinkan oleh makanan Rusia. Rambut hitam yang pendek dan
mata coklat mengingatkan ia mungkin pernah cantik. Ia membawa 2 buah kopor pakaian
besar diletakkan di atas rak. Dan sebuah tas kecil di sisinya. Walau posisinya
sedang berbahaya. Wladek tiba-tiba sadar merasa sangat letih. Ia sedang berpikir-pikir
apakah berani tidur, ketika wanita itu berrtanya.
"Mau bepergian ke
mana?"
Pertanyaan itu mengagetkan
Wladek. "Moskwa" katanya. Sambil menahan nafas.
"Saya juga" kata
wanita itu.
Wladek menyesali
diisolasikannya gerbong itu dan informasi yang telah ia berikan. Walau hanya sedikit.
"Jangan bicara kepada siapa pun juga." Dokter memperingatkannya.'Ingat.
Jangan percaya siapa pun.'
Wladek lega karena wanita
itu tidak bertanyalagi. Ketika ia sudah memperoleh kembali kepercayaan dirinya
lagi, kondektur datang. Wladek mulai berkeringat. Walau suhu menunjukkan minus
20 derajat. Kondektur mengambil karcis wanita itu, menenyobeknya, lalu
mengembalikan kepadanya. Kemudian ia mendekati Wladek.
“Karcis, bung." Hanya
itu yang ia katakan. Suaranya rendah. Bernada membosankan.
Wladek bungkam. Dan mulai
meraba-raba saku mantolnya mencari uang.
“Ia anakku, " kata
wanita itu tegas.
Kondektur memandang wanita
itu kembali. Lalu memandang Wladek sekali lagi. Kemudian ia membungkuk kepada
wanita itu. Dan ia pergi tanpa sepatah kata pun.
Wladek menatap wanita itu
terpana. "Terima kasih" letup nafasnya. Tak tahu dengan pasti apa
lagi yang dapat ia katakan.
'Aku melihatmu muncul dari
bawah kereta api tawanan" wanita itu memberitahu dengan tenang.
Wladek merasa sakit.
"Tapi aku tak akan menyerahkanmu. Aku punya seorang kemenakan muda dalam salah
satu kamp yang mengerikan itu. Dan kita semua yang tahu tentang kamp itu merasa
takut jangan-jangan kita suatu saat berakhir di sana. Apa yang kau kenakan di
bawah mantolmu?'
Wladek menimbang-nimbang
untung rugi antara lari keluar gang atau melepas mantolnya. Jika ia lari keluar,
tak ada tempat di kereta di mana ia bisa bersembunyi. Ia melepas mantolnya.
"Tak seburuk yang
kukira" kata wanita itu "seragam penjaramu kauapakan?"
“Kubuang keluar
jendela"
'Kita harapkan semoga mereka
tidak menemukannya sebelum engkau tiba di Moskwa."
Wladek tak berkata
apa-apa.
'Apa sudah ada tempat di
Moskwa?"
Ia kembali memikirkan
nasehat dokter untuk tidak mempercayai siapapun. Tapi kini ia harus mempercayai
wanita itu.
'Aku tak tahu mau tinggal
di mana."
'Jika begitu, kamu bisa
tinggal di tempatku hingga kamu menemukan tempat tinggal lain. Suamiku kepala
stasiun di Moskwa. Dan gerbong ini khusus untuk pejabat pemerintah.' Demikian
keterangannya. “Jika kamu berbuat kesalahan seperti itu lagi, engkau akan
mengembalikan seluruh kereta api ke Irkutsk lagi."
Wladek menelan ludah.
"Haruskah aku pergi sekarang?"
“Tidak. Sekarang tidak.
Karena kondektur telah melihatmu. Sementara ini kamu aman bcrsamaku. Apakah mem
iliki surat identitas? "
”Tidak. Surat apa
itu?"
"Sejak Revolusi setiap
warga negara Rusia harus memiliki surat identitas yang menunjukkan siapa dia, alamat
dan pekerjaannya. Bila tidak, akhirnya ia akan dipenjarakan;
kecuali bila ia bisa menunjukkannya. Sekali ia berada di penjara karena tak
bisa menunjukkan identitasnya, ia akan di situ seterusnya." Demikian
penjelasannya apa adanya. "Engkau harus tetap dekat denganku bila tiba di
Moskwa. Dan ingat jangan buka mulut."
"Anda sangat baik
kepadaku" tanya Wladek curiga.
“Kini Tsar telah tiada.
Tak ada seorang pun dari kita yang aman. Aku beruntung menikah dengan orang
yang tepat." tambahnya. "Tapi tak ada warga negara satu pun di Rusia
ini termasuk para pejabat pemerintah, yang tak hidup dalam rasa ketakutan te-rus-menerus
akan ditahan dan dimasukkan ke kamp Namamu siapa?"
"Namamu siapa?"
"Wladek."
“Baiklah. Kini kau tidur,
Wladek. Sebab engkau nampak kelelahan. Perjalanannya panjang. Dan kamu belum
aman.” Wladek tidur.
Ketika ia bangun selang
beberapa jam, di luar sudah gelap. Ia memandang wanita pelindungnya. Dan wanita
itu tersenyum. Wladek tersenyum kembali. Sambil berdoa semoga wanita itu bisa
dipercaya tak menceritakan kepada para pejabat siapa dia sebe-narnya. Atau
apakah ia telah melaporkannya? Wanita itu mengeluarkan beberapa makanan dari
bungkusan. Dan Wladek makan jamuan itu dengan diam. Ketika mereka sampai di stasiun
berikutnya hampir semua penumpang turun. Beberapa di antaranya untuk seterusnya.
Dan beberapa untuk meluruskan anggota tubuhnya. Tapi kebanyakan mencari sedikit
minuman yang ada.
Wanita setengah baya itu
bangkit dan memandang Wladek. "Mari ikut saya" katanya.
Ia berdiri dan mengikuti
wanita itu. Menuju peron. Apakah ia hendak diserahkan? Wanita itu mengulurkan
tangan. Dan Wladek menggandengnya seperti
lazimnya anak umur 13 tahun menemani ibunya. Wanita itu pergi ke WC
yang diberi tanda untuk wanita. Wladek ragu-ragu. Tapi wanita itu mendesaknya.
Dan ketika sudah ada di dalam, wanita itu menyuruh Wladek melepas pakaiannya.
Ia mematuhinya tanpa mempertanyakannya lebih lanjut, karena ia tidak punya
siapa-siapa lagi sejak kematian Baron. Sementara Wladek melepas pakaian, wanita
itu memutar satu satunya kran yang ada. Keluarlah tetes-tetes air coklat.
Wanita itu merasa jijik. Tapi bagi Wladek itu jauh lebih baik daripada air di
kamp. Wanita itu mulai membasuh luka Wladek dengan sepotong kain basah. Dan ia
bersusah-payah mencoba memandikannya. Ia berkernyit ketika melihat luka parah
di kaki. Wladek tidak menggerutu karena sakit setiap kali disentuh lukanya,
sebab wanita itu melakukannya dengan sangat lembut.
"Bila engkau telah tiba di
rumah kami, luka-luka itu akan kurawat lebih baik lagi." katanya
"tapi untuk sekarang ini harus cukup."
Kemudian wanita itu
melihat gelang perak. Mengamati tulisan di atasnya. Dan memandang Wladek dengan
hati-hati "Apakah ini milikmu? Dari siapa engkau mencurinya?"
tanyanya. Wladek nampak tersinggung. *Aku tidak mencurinya. Ayahku memberikannya
kepadaku sebelum meninggal."
Wanita itu kembali
menatapnya bengong. Dan matanya mengungkapkan pandang yang berbeda. Takut ataukah
rasa hormat? Ia menundukkan kepala “Hati-hati Wladek. Orang berani membunuh
untuk memperoleh benda yang sedemikian berharga itu."
Wladek mengangguk setuju.
Lalu mulai cepat berpakaian. Mereka kembali ke gerbong mereka. Terlambat satu
jam di stasiun adalah hal biasa. Dan ketika kereta api bergerak maju, Wladek
gembira merasakn roda-roda bergeretakan lagi di bawahnya. Kereta itu membutuhkan
waktu 12 setengah hari untuk mencapai Moskwa. Setiap kali ada kondektur baru
muncul, Wladek dan wanita itu melaksanakan hal rutin seperti yang telah terjadi.
Wladek untuk pertama kali dalam hidupnya mencoba nampak polos dan masih kanak-kanak.
Hal mana tidak begitu meyakinkan. Sedang wanita itu sungguh meyakinkan menjadi
seorang ibu. Kondektur selalu membungkuk hormat kepada wanita setengah baya
itu. Dan Wladek mulai beranggapan bahwa kepala stasiun di Rusia pasti merupakan
orang-orang penting.
Saat mereka menjelang
menyelesai kan perjalanan 1000 mil ke Moskwa, Wladek sepenuhnya mempercayai
wanita itu. Dan ia sangat ingin melihat rumahnya. Awal sore hari kereta api
akhirnya berhenti. Dan walaupun telah mengalami segalanya itu, ia sangat takut,
karena sekali lagi ia merasakan ketakutan akan sesuatu yang tak ia ketahui. Ia
belum pernah meninjau kota besar. Apalagi ibu kota seluruh Rusia. Ia belum
pernah melihat orang sedemikian banyaknya. Semuanya terburu-buru. Wanita itu
merasakan kecemasannya
“Ikuti aku. Jangan bicara.
Jangan membuka topimu.”
Wladek menurunkan
barangnya dari rak kereta api. Menenggelamkan topi menutupi kepalanya, kini
tertutup rambut pendek hitam. Terselubungi hingga telinganya. Ia mengikuti
wanita itu menuju perron.
Manusia berjubel di muka
pagar besi, menunggu hendak keluar melalui pintu sempit. Terjadi hambatan.
Sebab setiap orang harus menunjukkan surat-surat identitas kepada penjaga.
Ketika wanita itu dan Wladek mendekati pagar, Wladek hampir-hampir dapat mendengar
degup jantungnya. Seperti gendering pajurit. Tapi ketika giliran mereka tiba
rasa takut hilang seketika. Penjaga hanya selayang memandang dokumen wanita
itu.
"Tovarishch (Saudara)"
katanya. Ia memberi hormat. Dan memandang Wladek.
“Anakku" jelas wanita
itu.
“Sudah barang tentu,
Tovarishch". Dan ia memberi hormat lagi.
Wladek sudah berada di
Moskwa.
Walaupun ia mempercayai
teman barunya sepenuhnya, namun naluri pertamanya mengatakan ia harus lari.
Tetapi oleh karena 150 rubel tidak mencukupi untuk hidup, maka ia memutuskan
untuk menanti saatnya yang tepat. Ia selalu dapat melarikan diri pada kesempatan
lain di kemudian hari. Kereta berkuda sudah menanti mereka di stasiun. Lalu membawa
wanita itu dan putra barunya ke rumah. Ketika mereka tiba, pak kepala stasiun
tak ada di rumah. Maka wanita itu langsung membuat ranjang tambahan untuk
Wladek. Kemudian ia menuang air yang telah dijerangnya di kompor ke dalam
jembangan besar. Dan menyuruh Wladek masuk ke dalamnya. Itu adalah mandi
pertama setelah 4 tahun lebih tidak mandi. Kecuali jika ia hitung juga ketika
ia mencebur di sungai. Wanita itu menjerang air lagi lalu kembali memperkenalkan
Wladek dengan sabun. Dan punggungnya pun digosoknya. Air itu berubah warna. Dan
setelah 20 menit air menjadi hitam. Ketika Wladek sudah kering, wanita itu
mengurapinya dengan minyak di lengan dan kakinya. Dan membalut lagi bagian
tubuh Wladek yang nampak parah. Wanita menatap puting susunya yang hanya satu.
Ia cepat-cepat berpakaian dan segera bergabung dengannya didapur. Nyonya itu
sudah memasak sup dan buncis. Wladek makan jamuan lezat itu dengan lahap.
Kedua. duanya tak ada yang bicara. Ketika sudah usai makan, wanita itu
menyarankan kiranya bijaksana bila Wladek tidur dan istirahat.
"Aku tak menghendaki
suamiku melihatmu di sini sebelum aku menceriterakan kepadanya mengapa engkau
ada di sini." Ia menjelaskan. "Apa engkau mau tinggal di sini bersama
kami, Wladek, jika suamiku setuju?"
Wladek mengangguk penuh
rasa terimakasih.
"Nah, sekarang ayoh
tidur sana " katanya.
Wladek patuh. Dan berdoa
semoga suami nyonya itu mengizinkannya untuk tinggal bersama mereka. Ia membuka
pakaian pelan-pelan. Dan naik ranjang. Ia merasa sangat bersih. Dan seprei itu
pun terlalu bersih. Kasurnya terlalu empuk. Dan ia membuang bantal ke lantai.
Tapi ia begitu lelah hingga ia tertidur. Walau ranjangnya begitu nyaman. Ia
terjaga dari tidur nyenyak beberapa jam kemudian. Karena suara-suara berisik
dari dapur. Ia tak tahu pasti berapa lama ia tertidur. Di luar sudah gelap
ketika ia keluar dari ranjang ia berjalan menuju pintu. Pelan-pelan membukanya.
Dan mendengarkan pembicaraan yang terjadi di bawah. Di dapur.
“Kamu wanita bodoh"
terdengar suara tinggi melengking. "Apa tak mengerti apa yang hendak
terjadi seandainya engkau tertangkap? Kamulah yang akan dikirim ke kamp."
“Tapi seandainya engkau
melihatnya, Piotr, seperti binatang buronan!'
“O jadi kamu memutuskan
kita yang dijadikan bunatang buronan" kata suara lelaki itu. "Apa ada
seorang lain yang melihatnya?"
“Tidak. Kukira
tidak." kata wanita itu.
"Syukurlah, bila
demikian. Dia harus pergi secepatnya sebelum setiap orang tahu ia ada di sini.
Itulah satu-satunya harapan kita. "
'Tapi mau pergi ke mana,
Piotr? Ia tersesat dan sebatang kara." Pengayom Wladek itu mulai membelanya.
"Dan aku selalu menginginkan seorang anak lelaki."
“Aku tak peduli apa maumu
atau ke mana ia pergi. Ia bukanlah tanggungiawab kita dan kita harus secepatnya
terbebas darinya.”
'Tapi Piotr, dia itu
berdarah biru. Kiranya ayahnya adalah seorang Baron. Ia mengenakan gelang perak di pergelangannya bertuliskan kata-kata . .
."
"Itu malah memperburuk
situasi. Engkau tahu dekrit para peimimpin baru kita. Tak ada Tsar, tak ada kaum
ningrat, tak ada hak-hak istimewa. Kita bahkan tak usah mengurusi pergi ke
kamp. Para pejabat bahkan akan menembak kita."
"Piotr, kita selalu
menghendaki seorang anak laki-laki. Apakah kita tak boleh mengambil risiko satu
ini dalam hidup kita?"
"Dalam hidupmu, mungkin.
Tapi jangan dalam hidupku. Keputusanku: ia harus pergi. Dan sekarang juga.”
Wladek tak perlu
mendengarkan pembicaraan mereka lagi.
Sambil memutuskan bahwa
satu-satunya jalan membantu penolongnya ialah menghilang tanpa bekas ke dalam
kegelapan malam, ia cepat-cepat mengenakan pakaian. Lalu memandangi ranjang
yang telah ia tiduri. Ia mengharapkan semoga jangan sampai setelah empat tahun
lagi ia baru akan melihat ranjang seperti itu lagi. Ia baru melepas grendel
jendela ketika tiba-tiba pintu terjeblak lebar. Dan kepala stasiun masuk ke
kamar. Sesosok orang kecil. Tak lebih besar daripada Wladek. Berperut gendut.
Botak. Tapi ada beberapa untai rambut abu-abu tersisir licin. Memberi kesan seolah-olah
rambut palsu.
Ia mengenakan kacamata
lornyet yang menyebabkan setengah lingkaran merah di bawah mata. Orang itu
membawa lampu tempel. Ia berdiri memandangi Wladek. Wladek memandangnya kembali
menantang.
“Turun ke bawah"
perintah pria itu.
Wladek dengan enggan
mengikutinya ke dapur. Waniita itu sedang menangis duduk menghadap meja.
'Nah, dengarkan, nak"
kata pria tersebut.
'Namanya Wladek" sela
nyonya itu.
'Nah, dengarkan nak"
ulang pria itu. "Kamu merupakan masalah. Dan aku ingin kamu keluar dari sini.
Dan pergi sejauh mungkin. Akan kuberitahu apa yang kulakukan untuk
membantumu."
Membantu? Wadek menatapnya
sekeras batu.
'Aku akan memberimu karcis
kereta api. Kamu akan pergi ke mana?"
'Odessa" kata Wladek.
Tak tahu di mana itu letaknya. Atau berapa harga karcisnya. Ia hanya tahu bahwa
Odessa adalah kota berikutnya di peta dokternya untuk menuju ke kebebasan.
'Odessa kota kriminil.
Suatu tujuan yang sesuai" ejek pak kepala stasiun.'Kamu hanya bisa berada
diantara orang-orang sekelasmu. Untuk bermaksiat disana,"
'Kalau begitu, biar dia
tinggal bersama-sama kita, Piotr. Aku akan merawatnya. Ya, akan kurawat . .
."
'Jangan. Sekali-kali
jangan. Aku lebih suka membayar anak haram ini."
'Tapi bagaimana ia bisa
lolos dari tangan para pejabat?" bela wanita itu.
'Aku akan memberinya
karcis dan surat pas untuk Odessa.'’Lalu menengok ke Wladek "Bila telah berada
di kereta, jika aku masih melihat atau mendengar kamu lagi di Moskwa, maka
begitu terlihat aku akan melaporkanmu. Supaya ditahan dan dijebloskan ke dalam
penjara terdekat. Kamu akan kembali ke kamptawanan itu secepat kereta dapat
membawamu ke sana. Jika mereka tidak menembakmu terlebih dahulu.”
Ia memandang jam di
dinding cerobong atas tungku. Pukul sebelas lewat lima menit. Ia berpaling pada
isterinya. *Ada kereta yang berangkat ke Odessa tengah malam. Aku sendiri akan
mengantarkannya ke stasiun. Aku ingin kepastian bahwa ia meninggalkan Moskwa.
Apa ada barang bawaan ?"
Wadek sudah hampir
mengatakan "Tidak", ketika wanita itu berkata "Ya, ada. Aku akan
mengambilkannya."
Wladek dan kepala stasiun
saling memandang penuh penghinaan. Wanita itu lama perginya. Jam warisan
keluarga telah berdentang sekali selama wanita itu tak ada di situ. Keduanya
tak berbicara. Dan mata pak kepala stasiun tidak pernah beralih dari Wladek. Ketika
isterinya kembali, ia membawa bingkisan besar terbungkus kertas coklat diikat
dengan tali. Wladek memandanginya. Dan mulai memprotes. Tapi ketika mata mereka
bertemu pandang, Wladek melihat wanita itu begitu ketakutan hingga ia hanya bia
mengeluarkan kata-kata "Terimakasih. "
"Makanlah ini,"
katanya sambil menyodorkan semangkok sop dingin kepada Wladek.
Ia menurut, walau perutnya
yang kini susut sudah terlalu penuh. Ia melahap sop itu secepat mungkin. Tak
ingin nyonya itu memperoleh kesulitan lebih banyak lagi.
“Binatang" kata orang
itu.
Wladek memandangnya.
Matanya memancarkan kebencian. Ia merasa kasihan terhadap wanita yang seumur
hidup terikat dengan pria demikian itu.
'Mari. Kita
berangkat" kata kepala stasiun. "Kita. tak menghendaki engkau
ketinggalan kereta, ya kan?" Wladek mengikuti orang itu keluar dapur.
Ragu-ragu ketika melewati wanita itu. Ia menyentuh tangan wanita tersebut.
Terasa ada tanggapan. Tak sepatah pun terucapkan. Kata-kata tak akan memadai.
Kepala stasun dan pelarian itu menyelusuri jalanan Moskwa. Sambil
sembunyi-sembunyi dalam bayangan. Hingga akhirnya mereka tiba di stasiun.
Kepala stasiun mendapatkan karcis satu jalan ke Odessa. Dan memberikan kartu
merah kecil itu kepada Wladek.
'Surat pas saya?"
tanya Wladek menantang.
Dari dalam saku pria itu
mengeluarkan formulir yang tampak resmi. Lalu cepat-cepat menandatanganinya.
Dan dengan sembunyi-sembunyi menyerahkannya kepada Wladek. Mata pak kepala
stasiun tetap memandang sekeliling kalau-kalau ada bahaya. Wladek telah melihat
mata demikian itu berkali-kali selama 4 tahun yang baru lalu. Mata penakut.
*Jangan sampai aku
mendengar atau melihat kamu lagi" pak kepala stasiun berkata dengan suara
garang. Wladek pernah mendengar suara demikian itu berkali-kali selama empat
tahun yang baru lalu.
Ia mendongak mau
mengatakan sesuatu. Tapi kepala stasiun telah menghilang dalam bayangan malam.
Itulah daerahnya. Wladek memandangi mata orang-orang yang bergegas melewatinya.
Mata yang sama. Sama-sama ketakutan. Apakah ada seseorang di dunia ini yang
bebas? Wladek mengepit bungkusan kertas coklat. Menata topi. Lalu berjalan
menuju pagar pembatas. Kali ini ia merasa lebih percaya diri. Ia menunjukkan
surat kepada penjaga. Dan diizinkan langsung lewat tanpa komentar. Ia naik kereta
api. Kunjungannya ke Moskwa hanya sebentar. Dan ia tak akan melihat kota itu
lagi seumur hidupnya. Walau ia akan selalu ingat keramahan wanita itu. Nyonya
kepala stasiun . Tovarichsh. . . Ia bahkan tak mengetahui nama wanita itu.
Wladek menempati gerbong
kelas umum dalam perjalanan ini. Odessa jauh lebih dekat dari Moskwa daripada
Irkutsk. Kira-kira seibu jari panjangnya di atas peta dokter itu. Delapan ratus
mil dalam kenyataannya. Sementara Wladek mempelajari peta rudi-menter ini,
perhatiannya terganggu oleh permainan dadu yang dilakukan di gerbong. Ia
melipat perkamen itu. Mengembalikannya dalam jahitan setelan dengan aman. Lalu
mulai memperhatikan permainan itu. Ia melihat bahwa salah seorang penjudi
senantiasa menang. Bahkan bila naga-naganya macet. Wladek memperhatikan orang itu
lebih cermat lagi. Ia segera menyadari bahwa orang itu penipu.
Ia pindah ke seberang lain
gerbong itu supaya pasti ia masih bisa melihat orang itu menipu bila berhadapan
dehgannya. Tapi tak bisa. Ia menggeser maju dan membuat tempat untuk dirinya
dalam lingkaran para penjudi. Setiap kali penipu kalah dua kali dalam satu
giliran, Wladek mendukungnya dengan satu rubel. Dengan demikian mendobel
taruhannya hingga ia menang. Penipu itu merasa tersanjung atau sadar ia akan bijaksana
bila tetap mendiamkan keberuntungan Wladek. Menjelang tiba di stisiun
berikutnya, Wladek telah menang 14 rubel. Dua rubel telah ia manfaatkan untuk membeli
sebuah apel dan secangkir sup panas Ia telah memperoleh cukup uang untuk pergi ke
Odessa. Ia senang dengan gagasan bisa memperoleh beberapa rubel lagi dengan
sistem baru yang aman. Dalam hati ia berterimakasih kepada penjudi yang tak
dikenalnya itu. Ia naik kembali ke dalam keretanya, siap meneruskan strategi
ini' Ketika kaki-nya menyentuh anak tangga teratas, ia dihantam melesat ke
sudut. Lengannya sakit dipuntir di belakang punggung. Dan wajahnya dibenturkan
keras pada dinding gerbong. Hidungnya mulai berdarah' Dan ia dapat mirasakan
pucuk belati menyentuh daun telinga.
'Kau dengar aku,
ujang?"
'Ya' kata Wladek terkaku.
“Jika kamu kembali ke gerbongku
lagi, aku akan memotong telinga ini. Lalu kamu tak akan bisa mendengarku lagi,
ya kan?"
'Betul, tuan" kata
Wladek.
Wladek merasakan ujung
pisau mengelupas permukaan kulit di belakang telinga. Dan darah mulai menetesi
lehernya.
'Jadikanlah ini sebagai
peringatan"'
Sebuah lutut tiba-tiba
menghajar ginjalnya' Dengan seluruh kekuatan yang bisa dikerahkan penjudi itu.
Wladek terbanting di lantai. Sebuah tangan meng-gerayangi saku-saku jasnya. Dan
rubel yangbaru ia peroleh berpindah tempat.
"Ini milikku"
kata suara itu.
Darah masih mengalir dari
hidung dan belakang telinga Wladek.
Ketika ia mengumpulkan
seluruh keberanian untuk mendongak, ia tinggal sendirian. Penjudi sudah tidak
ada di situ. Ia mencoba berdiri.
Tapi tubuhnya tak mampu
menaati perintah otaknya. Maka ia tetap terkulai di sudut beberapa menit lamanya.
Akhimya ketika ia bisa bangkit, ia berjalan pelan ke sudut lain kereta itu.
Sejauh mungkin dari gerbong penjudi. Ia menyangat-nyangatkan kepincangannya.
Sembunyi di gerbong yang kebanyakan diduduki para wanita dan anak-anak. Dan ia
tertidur nyenyak.
Di tempat pemberhentian
berikutnya, Wladek tidak meninggalkan kereta. Ia membuka bungkusan dan
menelitinya. Apel, roti, kacang, kemeja, pantalon, dan bahkan sepatu juga ada
dalam harta karun terbungkus kertas coklat itu. Ia ganti pakaian baru. Betapa
hebat wanita itu. Betapa kerdil suaminya.
Ia makan. Ia tidur. Ia
bermimpi. Dan akhirnye setelah selang lima malam empat hari, kereta itu mendengus-dengus
di stasiun terminal Odessa. Kembali ia diperiksa pada pintu karcis. Tapi semua
surat-suratnya beres. Dan penjaga hampir-hampir tak memeriksanya lagi. Kini ia benar-benar
sendirian. Ia masih memiliki 150 rubel dalam lipatan lengan. Dan tak berniat
memboroskannya satu lembar pun.
Sisa hari itu Wladek
habiskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kota. Mencoba membiasakan diri dengan
letak geografisnya. Tapi ia selalu dibuyarkan oleh pemandangan yang belum
pernah ia lihat sebelumnya. Rumah-rumah kota yang besar-besar. Toko-toko dengan
jendela. Penjaja sedang menjual minuman warna-warni di jalan. Lampu-lampu gas.
Dan bahkan seekor monyet di galah. Wladek terus berjalan hingga tiba di
pelabuhan dan lautan luas di belakangnya. Ya, itulah yang disebut Baron: laut. Wladek
memandang penuh kerinduan ke keterbentangan biru itu. Melalui jalan itulah
terbentang kebebasan. Dan lolos dari Rusia. Kota tersebut pasti cukup mengalami
perang:rumah-rumah terbakar habis. Dan panasnya sangat terasa di udara laut
yang lembut dan berbau bunga. Wladek keheran-heranan apakah kota itu masih
dalam perang. Tak ada seorangpun yang dapat ia tanyai. Ketika matahari terbenam
di belakang gedung-gedung tinggi, ia mulai mencari-cari suatu tempat untuk
bermalam. Wladek masuk jalan simpang dan terus berjalan. Ia kiranya merupakan
suatu pemandangan yang aneh. Dengan mantol bulu domba yang hampir menyentuh
tanah. Dengan bungkusan coklat yang dikempitnya. Tak ada yang nampak aman
baginya. Hingga aktrirnya ia menemukan rel kereta api menyimpang. Di situ
terdapat sebuah gerbong kereta lengang tersendiri. Ia memandanginya dengan
hati-hati: gelap dan sunyi. Tak ada seorang
pun. Ia melempar bungkusannya ke dalam gerbong. Menaikkan
tubuhnya yang telah lelah itu masuk ke dalam gerbong. Lalu merangkak ke sudut dan
berbaring hendak tidur. Begitu kepalanya menyentuh lantai kayu, sesosok tubuh
melompat menindihnya. Dan dua tangan secepat kilat mencekik lehernya. Ia hampir
tak dapat bernafas. "Siapa kamu ?” gertak suara seorang anak dalam
kegelapan. Terdengar tak lebih tua dari dirinya sendiri.
'WladekKoskiewicz.'
"Kamu dari mana?"
'Moskwa." Slonim
hampir-hampir terlontar dari ujung lidah Wladek.
"Nah, orang Moskwa,
kamu tak boleh tidur di keretaku." kata suara itu.
'Maaf. Aku tak tahu."
kata Wladek.
"Punya uang?" Ibu
jarinya ditekankan di tenggorokan Wladek.
"Ya sedikit"
kata Wladek.
"Berapa?"
"Tujuh rubel"
"Serahkan kepadaku."
Wladek menggerayangi saku
mantolnya. Sementara bocah itu memasukkan satu tangan erat-erat kedalamnya, dan
dengan demikian mengendorkan cengkeraman di tenggorokan Wladek. Dalam sekejap Wladek
menghantamkan lutut ke selangkang anak itu sekuat tenaga yang dapat ia
kerahkan. Penyergapnya terpelanting kesakitan. Memegangi selangkang. Wladek
menubruknya. Memukulnya keras-keras. Ke menangan anak itu tiba-tiba berubah. Ia
bukan lawan Wladek. Tidur dalam kereta terbengkalai adalah suatu kemewahan
seperti tidur di hotel berbintang lima bila dibandingkan dengan tinggal di
tahanan bawah tanah dan di kamp kerjapaksa Rusia.
Wladek baru berhenti
ketika lawannya telah terpaku di lantai kereta. Takbisa apa-apa. Anak itu minta
ampun kepada Wladek.
“Pergi ke sudut jauh ke
sana. Dan tetap tinggal di sana” kata Wladek. 'Bila menggerakkan satu otot saja
kubunuh kau."
'Ya, ya" kata anak
itu buru-buru pergi. Wladek mendengar anak itu menggedebum jauh di ujung kereta.
Ia duduk diam. Beberapa saat mendengarkan. Tak ada gerakan. Laalu ia
membaringkan diri di lantai. Dan beberapa detik lagi ia tidur dengan
nyenyaknya.
Ketika ia terbangun,
matahari telah bersinar di celah-celah dinding kereta. Ia membalik dan memandangi
lawannya semalam untuk pertama kalinya. Anak itu tidur meringkuk seperti udang
di sudut lain kereta.
“Datanglah ke mari”perintah
Wladek. Bocah itu bangun pelan-pelan.
'Kemarilah!' ulang Wladek
lebih keras lagi. Bocah itu langsung mematuhinya. Itu adalah kali pertama Wladek
dapat memandanginya baik-baik. Mereka kira-kira sebaya. Tapi bocah itu
jelas-jelas 30 centi lebih tinggi. Dengan wajah lebih muda dan rambut pirang
yang kusut.
“Yang penting harus didahulukan'
kata Wladek,
“Bagaimana bisa memperoleh
makanan?"
“Ikuti aku' kata bocah
itu. Dan ia meloncat keluar gerbong. Wladek berpincang mengikutinya dari
belakang. Mendaki bukit menuju kota. Di situ baru ada pasar pagi. Ia tidak
pernah melihat makanan begitu banyak sejak ikut santap besar dengan Baron. Berderet-deret
kios dengan buah-buahan, sayur-mayur, sayuran hijau-hijauan, dan bahkan kacang
kesayangannya. Anak itu bisa melihat bahwa Wladek terbengong-bengong
melihatnya.
'Kini akan kuberitahu cara
kerja kita," kata anak itu. Untuk pertama kalinya bernada penuh keyakinan.
"Aku akan menyeberang ke sana ke kios sudut. Dan mencuri sebuah jeruk.
Kemudian lari. Kamu berteriak keras-keras 'Tangkap pencuri!' Pemilik kios akan mengejarku.
Dan bila ia berbuat demikian, kamu bergerak dan penuhilah saku-sakumu. Tapi
jangan tamak. Cukup untuk satu kali makan. Kemudian kembali ke mari.
Mengerti?"
"Ya, kiraku
demikian." kata Wladek.
"Coba, apakah engkau
mampu melakukannya orang Moskwa." Anak itu memandanginya. Menggeram. lalu
pergi. Wladek mengamatinya dengan kagum. Sementara anak itu bergaya sombong
menuju sudut kios pasar yang pertama. Mengambil sebuah jeruk dari puncak
gunungan jeruk. Berkomentar singkat kepada pemilik kios.
Lalu lari. Ia menengok ke
belakang. Ke Wladek. Tapi Wladek lupa sama sekali berteriak ,.Tangkap pencuri."
Namun pemilik kios mendongak dan mulai mengejar anak itu. Sementara mata semua
orang tertuju kepada cecunguk Wladek, Wladek bergerak cepat dan menyambar 3
buah jeruk, sebuah apel, dan satu kentang. Dimasukkannya dalam saku mantolnya yang
besar. Ketika pemilik kios nampaknya hamper menangkap cecunguk Wladek, anak itu
melemparkan kembali jeruk tersebut kepadanya. Pemilik kios berhenti. Dan mengambil jeruk tersebut
sambil menyumpah-nyumpah dan mengacungkan tinjunya. Ia mengeluh kepada
rekan-rekan pedagang sambil kembali ke kiosnya.
Wladek terguncang-guncang
geli menonton adegan itu. Tiba-tiba sebuah tangan diletakkan kuat-kuat di atas
pundaknya. Ia membalik terkejut kalau-kalau tertangkap.
'Orang Moskwa, kamu
memperoleh sesuatu ataukah hanya menonton saja?"
Wladek meledak dalam tawa
lega. Lalu mengeluarkan 3 jeruk, apel dan kentang. Anak itu ikut tertawa.
'Siapa namamu?" tanya
Wladek.
'Stefan"
'Mari kita kerjakan sekali
lagi, Stefan"
'Nanti dulu,.orang Moskwa.
Jangan mulai menjadi terlalu pandai. Jika kita hendak melakukannya lagi, kita
harus pergi ke ujung lain pasar ini. Dan menanti paling sedikit satu jam lagi.
Kamu memang bekerjasama dengan seorang profesional. Tapi jangan mengira tidak
pernah tertangkap sekali-sekali. "
Dua anak itu dengan tenang
pergi ke ujung lain dari pasar tersebut. Stefan berjalan bergaya angkuh. Gaya
yang ingin ditukar Wladek dengan 3 jeruk, apel, kentang dan 150 rubel. Mereka
berbaur dengan para pembelanja di pagi hari. Dan ketika Stefan memutuskan
saatnya telah tiba, mereka mengulangi kiat itu dua kali lagi. Setelah puas
dengan hasilnya, mereka kembali ke gerbong kereta api untuk meniknati hasil ja-rahannya:
jeruk 6 buah, apel 5 buah, kentang 3 buah, sebuah pir, berbagai jenis
kacang-kacangan, dan hadiah istimewa sebuah semangka. Di masa lalu Stefan tak
pernah punya saku cukup besar untuk membawa semangka. Namun mantol besar milik
Wladek dapat memuatnya.
"Cukup bagus"
kata Wladek sambil menggigit kentang.
'Apakah kaulahap dengan
kulit-kulitnya sekaligus?" tanya Stefan kaget.
'Aku sudah tinggal di
tempat-tempat di mana kulit kentang merupakan kemewahan.-“ jawab Wladek.
Stefan mendongak
memandanginya dengan kagun
"Masalah berikutnya ialah
bagaimana bisa memperoleh uang?" tanya Wladek,
“Engkau menghendaki segala
hal dalam satu hari, ya kan, tuan?" kata Stefan. "Kelompok pekerja
perantaian di pelabuhan adalah taruhan terbaik, jika kamu benar-benar menginginkan
pekerjaan nyata, orang Moskwa"
"Tunjukkan" kata
Wladek.
Setelah mereka menghabiskan
setengah dari buah-buahan, dan menyembunyikan sisanya di bawah jerami di sudut
gerbong kereta api, Stefan membimbing Wladek turun ke pelabuhan. Lalu
menunjukkan banyak kapal. Wladek tak dapat mempercayai matanya. Ia telah
diberitahu Baron tentang kapal-kapal besar yang mengarungi lautan dan
mengangkut barang-barang menuju negeri asing. Tapi ini adalah kapal-kapat yang
jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan. Dan mereka ini berbanjar sejauh
mata memandang. Stefan memotong gagasannya. “Kaulihat yang di sana yang besar
hijau itu? Nah, yang harus kaulakukan ialah ambil keranjang di bawah di papan
pemuatan, penuhilah dengan gandum, naikilah tangga, lalu jatuhkan muatan itu ke
dalam kemasan. Engkau menerima satu rubel untuk 4 kali jalan. Hitunglah
baik-baik orang Moskwa, sebab si haram yang mengurusi pekerjaan ini akan
menipumu begitu dia melihatmu. Dan ia akan mengantongi uangnya untuk diri
sendiri."
Stefan dan Wladek menghabiskan
sisa waktu siang hari itu untuk mengangkuti gandum naik tangga. Mereka berdua
memperoleh 26 rubel. Setelah makan malam yang terdiri dari kacang curian, roti,
dan bawang yang sedianya tak hendak mereka ambil, mereka tidur bahagia di dalam
gerbong kereta mereka.
Wladek yang pertama
terbangun di pagi berikutnya. Dan Stefan menemukannya sedang mempelajari peta.
"Apa itu?" tanya
Stefan.
"Ini rute perjalanan
yang. menunjukkanku bagaimana keluar dari Rusia."
"Buat apa
meninggalkan Rusia, jika kamu bisa tinggal di sini dan bekerjasama
denganku?" kata Stefan. *Kita bisa menjadi rekanan."
“Tidak. Aku harus ke
Turki. Dan di sana aku akan menjadi manusia bebas untuk pertama kalinya' Mengapa
engkau tak ikut aku, Stefan?"
"Aku takpernah bisa
meninggalkan Odessa. Inilah rumahku. Rel kereta api ini adalah tempat
tinggalku' Dan ini adalah orang-orang yang kukenal sepanjang hidupku. Tidak
begitu baik, tetapi di Turki mungkin lebih buruk lagi. Tapi
bila itu yang kauinginkan, Aku bisa membantumu.'
"Bagaimana aku bisa
mengetahui kapal mana yang akan berlayar ke Turki?" tanya Wladek.
“Mudah. Sebab aku tahu
cara mengetahui kapal mana akan pergi ke mana. Kita akan memperoleh informasi
dari Joe Si Gigi Satu di ujung dermaga Engkau harus mengupahinya satu
rubel."
“Taruhan, kau pasti
berbagi uang itu dengannya”
'Separo-separo' kata
Stefan. "Engkau cepat belajar, orang Moskwa.'Berkata demikian ia sambil meloncat
keluar gerbong.
Wladek mengikutinya lari
di antara kereta-kereta lain. Lagi-lagi menyadari betapa anak-anak lain mudah
bergerak, sedang ia sendiri pincang. Ketika mereka tiba di ujung dermaga,
Stefan membawanya ke kamar sempit penuh buku-buku berdebu dan jadwal-jadwal
lama. Wladek tak dapat melihat siapa pun di sana. Tapi kemudian ia mendengar
suara di balik tumpukan buku "Kau mau apa jembel? Aku takpunya waktu
obralan untukmu."
"Beberapa informasi
bagi rekanku seperjalanan Joe. Kapan kapal pesiar berikutnya berangkat ke Turki?"
"Uangnya dikeluarkan"
kata orang tua yang kepalanya tersembul dari balik tumpukan buku. Suatu wajah
berkerut-kerut termakan usia dan cuaca di bawah peci pelaut. Matanya yang hitam
memandangi Wladek.
"Biasanya menjadi
anjing laut yang besar," kata Stefan berbisik. Tapi cukup terdengar Joe.
“Jangan lancang, gus. Mana
duitnya?"
“Temanku ini yang membawa
dompetku," kata Sefan. 'Tunjukkan uang rubelnya Wladek."
Wladek mengeluarkan mata
uang. Joe mengambilnya dengan satu-satunya gigi yang masih tinggal. Digeser-geser
melintasi peti buku. Dan mengeluarkan jadwal besar berwarna hijau.
Debu beterbangan kemana-mana.
Ia mulai terbatuk-batuk ketika membolak-balik lembaran-lembaran kotor. Sambil
menggerakkan jarinya yang pendek dan tumpul termakan tali-temali merunut kolom
nama-nama yang cukup panjang.
'Kamis berikut ini kapal Renaska akan masuk mengambil batu bara.
Kemungkinan besar akan berangkat hari Sabtu. Jika kapal itu dapat mengambil muatan
cukup cepat mungkin akan berangkat Jum'at malam. Dan dapat menghemat ongkos
menginap. Renaska akan masuk dok labuh Tujuh belas."
'Terimakasih Gigi
Satu" kata Stefan, "akan kuusahakan mengajak rekan-rekan kaya lebih
banyak lagi ke mari kelak."
Joe Gigi Satu mengacungkan
kepalan sambil menyumpah-nyumpah. Semantara Stefan dan Wladek lari menuju
dermaga.
Selama tiga hari
berikutnya kedua anak itu mencuri makanan, memuat gandum dan tidur. Menjelang kapal
Tinki itu datang di hari Kamis berikutnya, Stefan hampir dapat meyakinkan
Wladek supaya tetap tinggal di Odessa. Tapi ketakutan Wladek terhadap orang-orang
Rusia melebihi daya tarik hidup baru dengan Stefan.
Mereka berdiri di atas
dermaga. Mengamati kedatangan kapal baru yang memasuki dok ke labuh tujuh belas.
"Bagaimana aku dapat
naik ke kapal?" Wladek.
"Mudah' jawab Stefan.
"Kita dapat bergabung dengan kelompok pekerja perantaian esok pagi. Aku akan
mengambil tempat di belakangmu. Dan bila palka batubara sudah hampir penuh,
engkau dapat meloncat masuk. Dan bersembunyi. Sementara Aku mengambil
keranjangmu,lalu turun di sisi lain."
"Dan menerima bagian
uangku, sudah barang tentu, " kata Wladek.
"Sudah pasti,'sambut
Stefan. "Harus ada imbalan keuangan bagi inteligensi yang lebih tinggi.
Bila tidak, bagaimana dapat tetap mendukung kepercayaan terhadap usaha bebas?'
Keesokan harinya mereka pertama-tama bergabung dengan kelompok pekerja perantaian.
Dan mengangkut batubara naik turun tangga kapal hingga keduanya siap untuk
memuatkannya. Tapi belum juga cukup. Palka itu belum juga setengah penuh menjelang
malam tiba. Kedua anak itu tidur dengan nyenyaknya. Hari berikutnya mereka mulai
lagi. Dan tengah hari, ketika palka sudah hampir penuh, Stefan menendang mata
kaki Wladek.
"Saat berikut, orang
Moskwar" katanya.
Ketika mereka tiba di
pucuk tangga kapal, Wladek menumpahkan batubara. Dan melemparkan keranjang ke
dek. Meloncat di sisi palka dan terjun ke batubara. Sementara Stefan memungut
keranjang Wladek, lalu meneruskan di sisi lain tangga kapal sambil bersiul.
'Selamat jalan,
sahabatku,' katanya, "dan sukses dengan orang-orang Turki kapir itu."
Wladek memperkecil diri di
sudut palka' Dan mengamati bara tercurah di sebelahnya. Debu beterbangan ke
mana-mana. Ke dalam hidung dan mulut. Di dalam paru-paru dan matanya. Walau
terasa sulit, ia berusaha tidak batuk karena takut terdengar oleh seorang awak
kapal. Tepat ketika ia tak tahan lagi terhadap udara dalam palka, dan hendak
kembali ke Stefan mencari cara lain untuk melarikan diri, ia melihat pintu di
atasnya ditutup. Maka ia lalu batuk leluasa.
Setelah beberapa saat ia
merasa sesuatu menggigit mata kakinya. Darahnya membeku ketika ia menyadari apa
itu mestinya. Ia melihat ke bawah, berusaha menemukan dari mana asalnya. Begitu
ia melemparkan batubara ke binatang itu dan membuatnya lari terburu-buru, maka
binatang lain menyusulnya. Lalu yang lain lagi. Yang lain lagi. Yang lebih
berani menyerang kaki. Mereka seakan-akan bukan dari mana-mana datangnya.
Hitam. Besar-besar. Dan kelaparan. Ia memandangi mereka. Mencari mereka. Baru pertama
kali dalam hidupnya Wladek menyadari bahwa tikus itu mempunyai mata merah. Ia
bersusah-payah naik ke atas onggokan batubara dan membuka lubang palka. Sinar
matahari tercurah masuk. Dan tikus-tikus itu masuk terowongan batubara. Ia
mulai merangkak naik. Tapi kapal sudah cukup jauh dari dermaga. Ia jatuh di
palka. Kaget. Jika kapal itu diharuskan kembali dan menyerahkan Wladek, ia tahu
bahwa
itu berarti perjalanan satu arah ke Kamp 201 dan orang-orang Rusia Putih. Ia
memilih tetap tinggal tetap bersama tikus-tikus hitam. Begitu ia menutup palka,
mereka menyerbu kembali. Secepat ia melempar segumpal batubara kepada binatang
merayap itu, ada yang baru lagi muncul di tempat lain. Setiap beberapa saat
Wladek harus membuka lubang palka supaya cahaya masuk. Sebab hanya cahayalah
satu-satunya sekutu yang membuat binatang pengerat itu terkejut lari.
Selama dua hari dan tiga
malam Wladek melangsungkan peperangan terus-menerus melawan tikus tanpa dapat
tertidur sekejap pun. Ketika kapal itu akhirnya memasuki pelabuhan
Konstantinopel kelasi geladak membuka palka, Wladek menjadi hitam kelam dari
kepala hingga lutut karena kotor. Dan dari lutut hingga jari kaki merah berlumur
darah. Kelasi geladak mengeluarkannya. Wladek mencoba berdiri tegak. Tapi
ambruk menjadi onggokan di geladak.
Ketika Wladek sadarkan
diri kembali - ia tak tahu di mana dan berapa lama sesudahnya - ia telentang di
ranjang diranjang di suatu kamar kecil ditunggui 3 pria berjas putih panjang.
Mereka sedang memeriksanya secara cermat. Mereka berbahasa yang belum pernah ia
dengar. Di dunia ini ada berapa bahasa? Ia memandang diri sendiri. Masih merah
hitam. Dan ketika ia mencoba duduk, salah seorang pria berjas putih, seorang yang
tertua di antara ketiga orang itu, dengan wajah kurus berkerut dan berjanggut
seprti kambing, dengan tegas mendorongnya tidur kembali. Ia mengajak bicara Wladek
dalam bahasa asing. Wladek menggelengkan kepala. Orang itu lalu mencoba
berbahasa Rusia. Wladek lagi-lagi menggelengkan kepala. Itu akan merupakan
jalan kembali yang tercepat menuju tempat asalnya. Bahasa berikut yang dicoba
dokter itu ialah bahasa Jerman. Dan Wladek menyadari bahwa penguasaannya atas
bahasa itu melebihi para pemeriksanya
'Apakah berbahasa
Jerman?"
'Ya"
“Nah, kalau begitu bukan
orang Rusia?"
'Bukan"
“Apa yang kaulakukan di
Rusia?"
-Mencoba melarikan
diri."
'Ah!" Orang itu lalu
berpaling kepada rekan-rekannya dan nampaknya melaporkan pembicaraannya dalam
bahasa mereka sendiri. Ketiganya lalu meninggalkan ruangan.
Seorang perawat datang dan
menggosok bersih Wladek. Tanpa mempedulikan pekik teriakan kecemasannya. Ia
mengurapi kakinya dengan balsem coklat tebal. Lalu meninggalkannya supaya tidur lagi.
Ketika Wladek terjaga
untuk kedua kalinya, ia sendirian saja. Ia telentang memandang langit-langit putih.
Memikirkan tindakan berikutnya.
Masih belum tahu dengan
pasti di negeri mana kini ia berada. Ia naik sampai ke ambang jendela. Dan memandang
keluar jendela. Ia dapat melihat sebuah pasar, mirip yang ada di Odessa. Tapi
para pria mengenakan jubah putih. Dan berkulit lebih gelap. Mereka juga
mengenakan topi berwarna-warni yang mirip pot-pot bunga
terbalik. Kaki mereka beralaskan sandal. Para wanita berpakaian serba hitam. Bahkan
wajah mereka pun tertutup cadar kecuali mata hitam mereka. Wladek mengamati
keramaian pasar sementara para wanita tawar-menawar makanan sehari-hari. Paling
sedikit itu merupakan sesuatu yang internasional.
Setelah beberapa menit
barulah ia menyadari bahwa ada tanggabesi merah menempel pada sisi jendela gedung
hingga sampai ke tanah. Ia turun dari ambang jendela. Berjalan dengan hati-hati
menuju pintu. Membukanya. Dan ia memandang tajam ke lorong. Pria dan wanita
berjalan hilir mudik. Tapi tak seorangpun memperhatikannya. Ia menutup pintu
pelan-pelan. Menemukan barang-barang miliknya di WC di sudut kamarnya. Dan
cepat-cepat mengenakan pakaian. Pakaiannya masih hitam karena debu batubara.
Dan terasa kasar berpasir di kulitnya yang bersih itu. Ia kembali ke ambang
jendela. Jendela itu rnudah di buka. Ia memegang tangga penolong kebakaran. Keluar
jendela dan menuruni tangga menuju kebebasan. Hal pertama-tama yang
menyengatnya adalah terik matahari. Ia menginginkan tak usah mengenakan mantol
tebal lagi.
Begitu menginjak tanah,
Wladek mencoba lari. Tapi kakinya begitu lemah dan terasa sakit hingga ia hanya
bisa berjalan pelan-pclan. Betapa ia ingin terlepas dari kepincangan itu. Ia
tak menengok lagi ke rumah sakit. Hingga akhirnya ia lenyap tertelan orang berjubelan
di pasar.
Wladek memandangi makanan
yang menggiurkan di kios. Dan memutuskan untuk membeli jeruk dan kacang. Ia
menggerayangi lipatan di setelannya. Sudah barang tentu uang itu ada di lengan
bajunya. Ya sungguh dulunya disitu. Tapi
sekarang tak ada lagi. Dan yang lebih celaka lagi gelang perak itu juga tidak
ada. Orang-orang berjas putih itu telah mencuri harta miliknya. Ia
mempertimbangkan hendak kembali ke rumah sakit. Untuk mengambil kembali warisan
yang telah hilang. Tapi lalu memutuskan tak akan kembali sebelum mendapatkan
sesuatu yang bisa dimakan. Mungkin masih ada sedikit uang didalam sakunya. Ia mencari-carinya di saku mantol
yang besar. Dan langsung menemukan 3 lembar uang kertas. Dan beberapa uang
logam. Semuanya terkumpul bersama peta dokter itu. Dan juga gelang peraknya.
Wladek sangat gembira menemukannya kembali. Ia mengenakan gelang peraknya.
Disorongnya hingga di atas siku.
Wladek memilih jeruk
besar-besar yang dilihatnya. Dan segenggam kacang. Penjaga kios mengatakan
sesuatu kepadanya yang tak dapat dipahaminya. Menurut perasaan Wladek jalan
termudah untuk mengatasi hambatan bahasa itu ialah menyerahkan lembaran uang 50
rubel. Penjaga kios memandanginya. Tertawa. Dan mengangkat tangan ke langit'
'Allah! "teriaknya.
Sambil menyambar kacang dan jeruk dari Wladek. Dan dengan telunjuknya menyuruh
dia pergi. Wladek pergi. Putus asa' Bila bahasa berbeda, uangnya pun berbeda
pula. Demikian perkiraannya. Di Rusia ia miskin. Di sini ia tak berduit' Ia harus
mencuri jeruk. Jika ia hampir tertangkap, ia akan melemparkannya
kembali kepada penjualnya.
Wladek menyeberang ke sisi
lain pasar seperti contoh Stefan. Tapi ia tak dapat meniru gaya angkuhnya. Dan ia
tak memiliki rasa percaya diri yang sama. Ia memilih kios paling ujung. Dan
ketika sudah pasti bahwa tak ada seorang pun yang melihatnya, ia mengambil jeruk
dan mulai lari. Tiba-tiba terjadi hiruk-pikuk. Seolah-olah setengah kota itu
mengejarnya.
Seseorang bertubuh besar
menubruk Wladek yang terpincang-pincang. Dan mendorongnya hingga jatuh tersungkur
di tanah. Enam atau tujuh orang memegangi berbagai bagian tubuhnya. Sementara
kerumunan orang lebih banyak lagi menggerombol di sekitarnya. Ia diangkat
kembali ke kios. Seorang polisi rnenunggu mereka. Berita dicatat. Pemiklik kios
dan pak polisi berdiskusi dengan teriak-teriak. Tiap pernyataan dilancarkan
dengan suara lebih keras lagi. Pak polisi berpaling kepada Wladek dan
meneriakinya. Tapi Wladek tak menangkap sepatah kata pun. Polisi mengangkat
bahu. Dan menjewer Wladek menyuruhnya pergi. Orang-orang melanjutkan membentaknya.
Beberapa di antara mereka meludahinya. Setiba Wladek tiba di pos polisi, ia
dijebloskan kedalam sel kecil bawah tanah. Sel itu telah dihuni 2O atau 30
orang kriminil, bangsat, pencuri atau apa lagi. Wladek tak tahu. Wladek tak
bicara dengan mereka. Dan mcreka tak menunjukkan keinginan akan bicara dengannya.
Ia tetap memunggungi tembok. Jongkok. Diam. Takut. Selama sehari semalam ia
dikurung di situ tanpa diberi makan. Bau kotoran membuatnya muntah hingga
perutnya tak berisi apa-apa lagi. Tak pernah terpikir olehnya bahwa pernah ada
masa di mana penjara bawah tanah di Slonim nampak lapang dan damai.
Keesokan harinya Wladek
diseret dari penjara bawah tanah oleh dua penjaga. Dan digiring ke balai di
mana ia dibariskan bersama beberapa tahanan. Mereka diikat satu sama lain
dengan tali sekeliling pingang mereka. Dan digiring dari penjara dalam barisan
panjang memasuki jalan. Gerombolan orang banyak berkerumun di luar. Dan sorak
mereka menyelamati kedatangan para tahanan membuat Wladek merasa bahwa mereka
telah beberapa lamanya menunggu kedatangan para tahanan. Gerombolan itu
mengikuti mereka sepanjang jalan ke pasar. Mereka memekik. Bertepuk tangan. Berteriak. Entah apa alasannya. Wladek
bahkan takut memikirkannya. Barisan itu herhenti setiba di pasar. Tahanan
pertama dilepaskan dari tali. Lalu digiring ke tengah alun-alun yang sudah dijejali
beratus-ratus orang. Semuanya berteriak dengan suara lantang.
Wladek menonton adegan itu
hampir-hampir tak percaya. Ketika tahanan pertama tiba di alun-alun, ia dipukul
oleh penjaga hingga jatuh berlutut. Lalu tangan kanannya direntang pada sebuah kayu
pancungan oleh seseorang gempal seperti raksasa. Raksasa ini mengangkat pedang
tinggi-tinggi di atas kepala lalu ditetakkan di pergelangan tangan tahanan
dengan kekuatan dahsyat. Ia hanya memotong pucuk jari-jari. Tahanan itu
melolong kesakitan. Dan pedang diayun lagi. Kali ini pedang menebas
pergelangan. Tapi belum juga tuntas. Dan pergelangan bergelantung di tangan
tahanan. Darah mengucur di pasir. Pedang diayun ketiga kalinya. Dan untuk
ketiga kalinya pula pedang ditetakkan. Akhirnya tangan tahanan itu jatuh di
tanah. Kerumunan orang itu gemuruh menyetujui Tahanan akhirnya dilepas. Dan
ambruk menjadi onggokan. Tak sadarkan diri. Ia diseret oleh penjaga. Acuh tak
acuh. Dan ditinggalkan di pinggir kerumunan orang. Seorang wanita menangis-nangis
membalut tangan buntung itu dengan kain kotor. Ia pasti isterinya. Demikian
pengandaian Wladek. Tahanan kedua meninggal karena kaget sebelum pedang menebas
untuk keempat kalinya. Algojo raksasa itu tak mempedulikan maut. Maka ia
buru-buru melanjutkan tugasnya. Ia memang dibayar untuk memotong tangan.
Wladek memandang
sekeliling. Ngeri. Dan mual. Ia pasti muntah jika dalam perutnya masih ada sesuatu
yang tersisa. Ia mencari-cari pertolongan ke semua arah. Ataupun suatu sarana
untuk lolos. Tak ada seorang pun yang memberitahu kepadanya bahwa menurut hukum
Islam melarikan diri akan dihukum dengan pemenggalan kaki. Matanya berkeliaran
mengitari begitu banyak wajah hingga akhirnya dalam kerumunan orang banyak ia
melihat seseorang yeng berpakaian cara Eropa. Mengenakan setelan hitam, orang
itu berdiri sekitar 18 meter dari Wladek. Ia sedang mengamati tontonan itu
penuh rasa muak. Tapi tak sekali pun ia berpaling ke arah Wladek. Dan ia pun
tak dapat mendengar teriakan Wladek meminta tolong setiap kali kerumunan orang
bergemuruh setelah pedang ditetakkan. Apakah ia orang Perancis,Jerman, lnggris,
atau bahkan Polandia? Wladek tak tahu. Tapi karena sesuatu hal ia ada di sana
menyaksikan tontonan menyeramkan ini. Wadek menatapnya. Maksudnya supaya orang
itu berpaling kearahnya. Tapi ia tidak berpaling ke arahnya' Wladek melambaikan
tangannya yang bebas. Tapi tak pula dapat menarik perhatian orang Eropa itu. Mereka
melepaskan orang ketiga di muka Wladek. Ia diseret ke etas tanah menuju balok
pancungan. Ketika pedang diayun lagi dan kerumunan orang bergemuruh, pria berrsetelan
hitam itu memalingkan wajah karena muak. Dan Wladek melambaikan tangan
kepadanya seperti orang gila.
Pria itu menatap Wladek. Lalu
berpaling berbicara dengan seorang rekan yang tak dilihat Wladek sebelumnya.
Kini penjaga sedang bergulat dengan tahanan tepat di depan Wladek. Ia memasang
tangan tahanan di bawah tali pengikat. Pedang terayun dan memenggal tangan
dalam satu sabetan. Kerumunan orang itu nampak kecewa. Wladek lagi-lagi memandangi
orang Eropa itu. Mereka berdua kini menatapnya. Ia memanggil mereka supaya bergerak. Tapi mereka
hanya tetap menatap.
Penjaga mendekat. Melempar
mantol Wladek yang seharga 50 rubel itu ke tanah. Melepas manset. Dan
menggulung lengan baju. Wladek meronta sia-sia ketika diseret melintasi
alun-alun. Ia bukan lawan penjaga. Ketika tiba di balok pancungan, belakang lututnya
ditendang. Dan ia terjatuh di tanah. Tali diikat pada pergelangan tangan kanan.
Dan tak lama kemudian ia hanya dapat memejamkan mata ketika pedang
diayun di atas kepala algojo. Ia menunggu tetakan dahsyat dalam sekarat.
Tiba-tiba dalam kerumunan itu terdengar suara ssst ketika gelang Baron tergeser
dari siku Wladek ke pergelangan sampai ke balok pancungan. Orang banyak itu
terdiam ngeri, ketika benda warisan itu berkilauan diterpa sinar matahari.
Algojo berhenti dan menurunkan pedangnya. Ia mengamati gelang perak itu. Wladek
membuka matanya. Penjaga mencoba melepas gelang dari pergelangan Wladek. Tapi
ia tak dapat melepaskannya melewati tali pengikat. Seseorang dengan pakaian
seragam lari cepat menghubungi algolo. Ia juga meneliti gelang dan tulisannya.
Kemudian lari ke orang lain yang pasti berkekuasaan lebih tinggi lagi. Sebab
ketika mendekati Wladek ia berjalan pelan-pelan. Pedang itu tetap tergeletak di
tanah. Kerumunan orang mulai mengolok-olok dan meneriaki. Perwira kedua juga mencoba menarik gelang perak. Tapi
tak dapat melepaskannya dari balok pancungan. Dan nampaknya ia tak ingin
melepas tali pengikat. Ia meneriakkan kata-kata kepada Wladek. Wladek tak dapat
memahami apa yang dikatakan, dan menjawab dalam bahasa Polandia “Aku tak bisa
bicara dalam bahasa kalian."
Petugas itu nampak terperanjat.
Lalu menengadahkan kedua belah tangan serta berteriak “Allah!,,. Itu niscaya
sama dengan “ya ampun”, seruan Wladek. Demikian pikiran Wladek. Petugas
berjalan pelan menuju kedua pria berpakaian setelan Barat di tengah kerumunan
orang. Tangan mereka berserabutan ke segala penjuru seperti kincir berputar.
Semrawut. Wladek berdoa kepada Tuhan. Dalam keadaan demikian itu setiap orang
berdoa kepada tiap dewa. Entah itu Allah. Entah itu Santa Perawan Maria.
Kedua orang Eropa itu
masih memandangi Wladek. Dan Wladek mengangguk-angguk seperti orang gila. Salah
seorang dari dua pria itu bergabung dengan petugas Turki ketika ia kembali ke
balok pancungan. Orang Eropa itu berlutut di sisi Wladek. Mengamati gelang perak.
Kemudian memandang Wladek. Wladek menunggu. Ia dapat berbicara dalam 5 bahasa.
Dan berdoa agar tuan itu berbicara dalam salah satu dari 5 bahasa tersebut.
Harapannya runtuh ketika orang itu berpaling kepada petugas dan menyapanya bahasanya
sendiri. Orang banyak kini mendesis dan melempar buah busuk ke balok pancungan.
Petugas mengangguk tanda setuju. Sementara tuan itu menatap Wladek penuh
perhatian.
“Berbahasa Inggris?"
Wladek mendesah lega.
"Ya tuan. Cukup. Saya seorang warganegara Polandia. "
“Bagaimana bisa memiliki
gelang perak ini?"
“Itu milik ayah saya,
tuan. Ia meninggal dipenjara orang-orang Jerman di Polandia. Saya ditangkap dimasukkan
ke dalam kamp tawanan di Rusia. Saya lolos. Dan datang kemari dengan kapal.
Beberapa hari saya tak makan.'Ketika pemilik kios tak menerima rubel pembayar
jeruk, saya mengambil satu karena sangat lapar."
Orang Inggris itu
pelan-pelan berdiri dari berlutut. Berpaling kepada petugas dan berbicara tegas kepadanya.
Kini ganti petugas itu berpaling kepada algojo yang nampak ragu-ragu. Tapi
ketika petugas itu mengulangi perintah lebih keras lagi, ia berjongkok dan dengan
enggan melepas tali pengikat dari kulit. Wladek muntah lagi.
“Ayoh ikut aku," kata
orang Inggris itu. “Dan cepat. Sebelum mereka berubah pendapat."
Wladek menyambar jasnya.
Masih kebingungan. Dan mengikutinya. Orang banyak mengolok-olok dan mengejeknya.
Melemparinya dengan barang-barang waktu ia pergi. Dan algojo cepat-cepat memasang
tangan tahanan berikutnya di balok pancungan. Dan dengan sabetan pertama hanya
dapat memancung ibu jari. Ini nampaknya meredakan orang banyak. Orang Inggris
itu dengan cepat menyelinap buru-buru di antara orang banyak di alun-alun.
Diikuti rekannya.
"Ada apa
Edward?"
"Anak itu berkata ia
seorang Polandia. Dan ia lolos dari Rusia. Aku mengatakan kepada petugas bahwa
ia orang Inggris. Nah, kini ia menjadi tanggungjawab kita. Marilah kita bawa ke
kedutaan. Dan kita selidiki apakah cerita anak itu memang benar."
Wladek lari di antara dua
pria itu, ketika dua orang itu bergegas melalui pasar dan menuju Jalan Tujuh Raja.
Ia masih mendengar sayup-sayup olok-olok orang banyak di belakangnya. Setiap
kali meneriakkan persetujuan mereka bila pedang ditetakkan al-gojo.
Kedua orang Inggris itu
berjalan melalui pelatarar berkerikil menuju gedung besar kelabu. Dan memanggil
Wladek untuk mengikuti mereka. Di atas pintu terpampang kata-kata BRITISH
EMBASSY. Setelah berada di dalam gedung, Wladek untuk per-tama kalinya merasa
aman. Ia berjalan selangkah di belakang kedua orang itu memasuki bangsal
panjang dengan dinding berhiaskan lukisan tentara dan marinir berpakaian aneh.
Di ujung sana terdapat potret besar seseorang tua dengan seragam biru angkatanlaut
berhiaskan medali. Janggut rapi mengingatkan Wladek akan Baron. Seorang
prajurit muncul entah dari mana. Dan memberi hormat.
“Kopral Smithers, terima
anak ini. Mandikan dia' dan kasih dia makan di dapur. Setelah makan dan tidak
berbau lagi seperti kandang babi, kasih dia pakaian baru. Dan bawalah
menghadapku di kantor."
'Siap pak," jawab
kopral. Dan ia memberi hormat.
“Ayoh ikut aku jang!"
kata prajurit itu dan pergi. Wladek mengikutinya dengan patuh'. Seraya
berlari-lari supaya sejajar dengan langkah pak kopral. Ia digiring ke ruang
bawah tanah di kedutaan. Dan ditinggalkan di kamar kecil. Kamar itu berjendela
mungil. Kopral memerintahkannya menanggalkan pakaian. Dan meninggalkannya
sendirian. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa pakaian. Dan melihat
Wladek masih duduk di tepi ranjang berpakaian lengkap. Bingung. Memutar-mutar
gelang perak di pergelangannya.
'Cepat jang. Kamu bukannya
harus istirahat."
"Maaf tuan,"
kata Wladek.
'Jangan panggil aku tuan,
jang. Aku Kopral Smithers. Engkau panggil aku Kopral."
'Aku Wladek Koskiewicz.
Panggil aku Wladek."
'Jangan main-main
denganku, jang' Dalam ketentaraan Inggris sudah cukup banyak orang-orang lucu. Tanpa
engkau harus bergabung di dalamnya."
Wadek tak memahami apa
yang dimaksud kopral itu. Ia cepat-cepat
melepas pakaian.
"Ikuti aku cepat.”
Sekali lagi mandi air
panas dengan sabun. Wladek memikirkan nyonya pelindungnya dulu di Moskwa. Dan
sebenarnya ia bisa menjadi anak untuk nyonya itu. Tapi bukan untuk suami nyonya
itu. Lalu seperangkat pakaian baru. Aneh tapi bersih. Dan berbau segar. Siapa
anak mereka itu ya? prajurit itu kembali di pintu.
Kopral Smithers membimbing
Wladek ke dapur. Dan meninggalkannya ditangani seorang koki sintal berwajah
merah jambu. Wajah paling hangat yang pernah dilihat Wladek sejak meninggalkan Polandia.
Koki itu mengingatkan Wladek akan Niania.
Wladek tak dapat tidak hanya bertanya-tanya dalam diri sendiri apa yang akan terjadi
dengan pinggang koki itu setelah beberapa minggu berada di Kamp 201.
"Hallo," sambutnya
dengan senyum bersahabat."Namamu siapa ya?,,
Wladek menyebutkan
namanya.
"Nah ujang, kiranya
kamu pantas melahap makanan Inggris tulen. Kotoran Turki ini tak memadai. Kita
akan mulai dengan sop panas dan daging. Kamu membutuhkan sesuatu yang
substansial bila hendak menghadap Tuan Prendergast.” Ia tertawa. “Cuma ingat,
gigitannya tak begitu berbahaya seperti gonggongannya. Walau dia orang Inggris,
tapi hatinya baik."
'”Nyonya Koki, apa anda
orang Inggris?" Tanya Wladek terkejut.
'Ya ampuun, bukan jang!
Aku orang Skotlandia. Bumi langit bedanya. Kami membenci orang Inggris lebih dari
orang Jerman membenci mereka," katanya sambil tertawa. Ia menyajikan satu
mangkuk sop panas mengepul. Sop kental penuh daging dan sayuran di muka Wladek.
Wladek sudah lupa sama sekali bahwa makanan itu bisa sangat sedap bau dan rasanya.
Ia makan dengan pelan-pelan. Sebab ia takut jangan-jangan sesuatu yang demikian
ini tak akan terjadi lagi selama waktu yang sangat lama.
Kopral muncul lagi. 'Apa
sudah cukup makan, jang.?”
'Ya, terimakasih pak
Kopral."
Pak kopral memandangi
Wladek penuh curiga. Tapi ia tak melihat sesuatu yang sembrono dalam ungkapan anak
itu.
“Baiklah. Mari kita
berangkat sekarang. Menghadap Tuan Prendergast tak boleh terlambat."
Pak Kopral menghilang
melalui pintu dapur. Dan Wladek memandangi koki. Ia tak suka berpisah dengan seseorang
yang baru saja ia jumpai. Khususnya jika orang itu ramah.
'Ayo pergi jang. Jika kau
tahu apa yang baik bagimu."
'Terimakasih, Nyonya
Koki," kata Wladek. "Masakan anda adalah yang paling lezat yang bisa
kuingat."
Koki tersenyum kepadanya.
Wladek harus cepat-cepat berpincangan supaya dapat mengikuti pak kopral. Langkah
baris pak kopral membuat Wladek berlari-lari.
Tentara itu berhenti dengan mendadak di luar pintu. Hampir saja ditabrakWladek.
"Lihat dulu mau ke
mana, jang. Mau ke mana?-
Pak kopral mengetuk pintu.
"Masuk," suara dari
dalam.
Pak kopral membuka pintu.
Dan member hormat.
'Anak Polandia itu pak.
Sebagaimana bapak kehendaki, telah dimandikan dan diberi makan."
"Terimakasih kopral.
Mungkin sebaiknya pak Grant diundang untuk bergabung ke mari."
Edward Prendergast
mendongak dari meja kerjanya. Ia menyuruh Wladek duduk dengan isyarat tangan
tanpa berkata sepatah pun. Dan melanjutkan pekerjaannya. Wladek duduk
memandangnya. Kemudian menatap
potret-potret di dinding. Masih banyak lagi jenderal-jenderal dan admiral-admiral.
Lalu orang tua yang berjanggut lagi.
Kali ini berseragam tentara dengan bahan khaki. Beberapa menit kemudian
masuklah seorang Inggris lain yang ia ingat dari alun-alun pasar.
"Terimakasih atas
kedatanganmu, Harry. Silakan duduk, sahabat." Tuan Prendergast berpaling
kepada Wladek. "Nah, ujang, marilah kita dengar ceritamu dari permulaan.
Jangan berlebih-lebihan. Hanya kebenarannya saja. Mengerti? "
"Ya, tuan."
Wladek memulai ceritanya
sejak masa di Polandia. Kadang-kadang membutuhkan waktu untuk menemukan kata-kata
Inggris yang tepat. Jelas dari pandangan pada wajah dua orang Inggris itu bahwa
pada mulanya mereka tidak percaya. Kadang-kadang mereka menghentikan Wladek dan
mengajukan beberapa pertanyaan. Saling menganggukkan kepala atas jawaban Wladek.
Setelah berbicara satu jam lamanya, kisah Wladek sampai di saat ia berada di
kantor konsul kedua Kerajaan Inggris untuk Turki itu.
'Menurut hematku, Harry,'
kata Konsul kedua merupakan kewajiban kita memberitahu perwakilan Polandia secepat
mungkin. Kemudian menyerahkan Koskiewicz muda itu kepada mereka. Kupikir dalam
keadaan seperti ini, anak muda ini jelas-jelas merupakan tanggungi jawab
mereka. "
'Aku setuju," jawab
pria yang disebut Harry. "Ketahuilah ujang, engkau lolos dari ujung jarum
hari ini dipasar. Syar -yaitu Hukum Islam kuno yang mengizinkan pemenggalan
tangan sebagi hukuman untuk pencurian, teoretis secara resmi telah ditinggalkan
beberapa tahun lalu. Bahkan dalam kenyataannya merupakan kejahatan dalam Hukum
Pidana Uthman bila masih menerapkan hukuman seperti itu. Namun dalam praktek
orang-orang biadab itu masih terus melakksanakannya." Ia mengangkat bahu.
'Mengapa tanganku
tidak?" tanya Wladek sambil menunjukkan pergelangan tangan.
"Aku berkata kepada
mereka, mereka dapat memotong semua tangan orang muslim yang mereka kehendaki;
tapi mereka tidak boleh memotong tangan orang Inggris." Edward Prendergast
menyela.
"Syukur kepada Tuhan,"
kata Wladek sayup.
'Sebenarnya berkat jasa
Edward Prendergast," kata konsul kedua sambil tersenyum untuk pertamakalinya.
"Engkau dapat menginap di sini. Dan esok pagi kami akan mengantarkanmu ke
perwakilanmu. Sebenarnya orang-orang Polandia tidak mempunyai kedutaan di
Konstantinopel," katanya agak menghina. 'Tapi kolegaku itu orang baik,
mengingat dia itu seorang asing." Ia menekan tombol. Dan langsung kopral
itu muncul kembali.
"Ya Pak."
'Kopral, antar Koskiewicz
muda ini ke kamarnya. Dan esok pagi sediakan sarapan. Dan antar menghadapku
pukul 9 tepat."
*Siap, pak. Jalan sini,
ujang. Cepat!"
Wladek dikawal oleh
kopral. Dibawa pergi. Ia bahkan tak punya cukup waktu untuk berterima kasih kepada
kedua orang Inggris yang menyelamatkan tangannya. Dan mungkin juga
menyelamatkan hidupnya. Kembali di kamar sempit yang bersih, dengan ranjang
yang telah disiapkan rapi seolah-olah ia seorang tamu terhormat, ia melepas
pakaian. Membuang bantal ke lantai. Dan tidur nyenyak di ranjang hingga cahaya
pagi bersinar melalui jendela mungil.
"Bangun dan
berserilah, ujang. Tepat waktunya.'
Itu suara kopral.
Berseragam bersih tanpa cela. Terseterika halus. Seolah-olah ia tidak pernah
pergi tidur. Sesaat, karena masih terlihat kantuk, Wladek mengira kembali ke
Kamp 201. Karena pukulan-pukulan pak kopral atas rangka besi ranjang dengan tongkatnya
mirip bunyi pukulan atas besi segitiga yang sudah biasa bagi telinga Wladek. Ia
turun dari ranjang dan rnenyambar pakaian.
'Cuci muka dulu, jang.
Cuci muka dulu. Kita tak menghendaki bau apak menggangu Tuan Prendergast
pagi-pagi begini, bukan?"
Wladek tak pasti bagian
mana dari tubuhnya yang harus dicuci. Ia merasa dirinya bukan main bersih.
Kopral memandanginya.
*Kena apa kakimu,
jang?"
"Tak apa-apa. Tak
apa-apa!" kata Wladek berpaling dari mata yang menyorotnya.
'Baiklah. Aku akan kembali
dalam 3 menit. Tiga menit jang. Dengar? Kamu harus sudah siap."
Wladek cepat-cepat mencuci
tangan dan mukanya kemudian berpakaian. Ia sedang duduk menunggu dipinggir
ranjang, ketika pak kopral datang kembali untuk mengantarnya menghadap Konsul
kedua. Tuan Prendergast menyambutnya. Dan nampak jauh lebih lunak daripada
perjumpaan pertama mereka.
-Selamat pagi,
Koskiewicz."
-Selamat pagi, Pak "
“Apakah menikmati
sarapanmu? "
“Saya tidak sarapan,
Pak."
“Mengapa tidak?" kata
Konsul kedua sambil memandangi kopral.
“Kesiangan, Pak. Nanti
terlambat menghadap Bapak."
'Nah, kalau begitu, kita usahakan
sekarang. Kopral apa bisa meminta Nyonya Henderson menyediakan apel atau
sesuatu apa?"
“Siap Pak!"
Wladek dan Konsul kedua
berjalan pelan menelusuri gang menuju pintu depan kedutaan. Dan melintasi
pelataran tengah yang berkerikil menuju sebuah mobil yang sedang menanti.
Sebuah Austin. Salah satu dari sedikit kendaraan bermotor yang ada di Turki.
Dan itulah perjalanan Wladek yang pertama dalam sebuah mobil pribadi. Ia merasa
menyesal harus meninggalkan kedutaan Inggris. Itu adalah tempa pertama di dunia
ia baru merasa aman setelah bertahun-tahun. Ia bertanya-tanya pada dirinya, apakah
untuk sisa hidupnya ia akan tidur lebih dari semalam di ranjang yang sama. Pak
kopral menuruni tangga dan duduk di tempat sopir. Ia memberi Wladek sebuah
apel. Dan beberapa roti hangat yang segar.
"Jangan sampai ada
remah-remah di mobil, jang. Koki kirim salam."
Perjalanan dengan mobil
melalui jalan-jalan yang panas dan ramai. Hanya secepat orang berjalan. Sebab
orang-orang Turki tak percaya bahwa ada yang lebih cepat daripada unta. Dan tak
berusaha memberi jalan kepada Austin kecil itu. Bahkan dengan semua jendela
terbuka Wladek masih berkeringat karena terik matahari. Sementara Tuan
Prendergast tetap dingin dan tak terusikkan. Wladek mencoba sembunyi di bak mobil
bagian belakang. Karena takut jangan-jangan seseorang yang sehari sebelumnya
menyaksikan peristiwa itu mengenalnya kembali dan menghasut orang banyak hingga
marah lagi. Ketika Austin hitam kecil itu berhenti di luar gedung yang sudah
merapuh bertuliskan KONSULAT POLSKI, Wladek merasakan kejutan kegairahan campur
kekecewaan.
Ketiga orang itu keluar
dari mobil.
"Di mana biji apel
itu, jang?"
"Kumakan"
Pak kopral tertawa. Dan
mengetuk pintu. Seseorang kecil berwajah ramah dengan rambut hitam dan gerakan tegas
membuka pintu. Ia berkemeja lengan panjang. Berkulit coklat. Jelas-jelas
tersengat matahari Turki. Ia menyambut mereka dalam bahasa Polandia.
Kata-katanya adalah kata-kata pertama yang didengar Wladek dalam bahasa ibunya
sejak ia meninggalkan kamp kerjapaksa. Wladek menjawab dengan cepat menjelaskan
kehadirannya. Orang sesame warganegara itu berpaling ke Konsul kedua Inggris.
“Jalan sini, Tuan
Prendergast,'katanya dalam bahasa Inggris yang sempurna. "Anda sangat
berbaik hati mengantarkan sendiri anak ini ke mari."
Mereka saling menunjukkan
basa-basi diplomat sebelum Prendergast dan kopral meninggalkan tempat. Wladek
hanya memandang mereka, sambil mencari-cari ungkapan yang lebih memadai
daripada hanya Sekedar “Terimakasih,”.
Prendergast menepuk-nepuk
kepala Wladek.
Seperti bila menyayang anjing cocker spaniel. Dan ketika
kopral menutup pintu, ia melambai kepada W'ladek. "Sukses jang, Tuhan tahu
engkau pantas memperolehnya."
Konsul Polandia
memperkenalkan diri kepada Wladek, bernama Pawel Zaleski. Wladek lagi-lagi diminta
menceritakan kembali riwayat hidupnya. Lebih mudah dalam bahasa Polandia daripada dalam bahasa
Inggris. Pawel Zaleski mendengarnya dengan diam. Kadang-kadang
menggeleng-gelengkan kepala merasa kasihan.
"Kasihan
anakku," katanya dengan haru. "Engkau telah memanggul derita tanah
air kita melebihi bagian yang telah kauterima sebagai orang muda seperti engkau
ini. Dan sekarang apa yang harus kami lakukan bagimu?"
"Aku harus kembali ke
Polandia dan mengklaim kembali kastilku," kata Wladek.
"Polandia?" kata Pawel Zaleski. *Di mana itu? Wilayah tanah yang pernah
kautinggali itu masih menjadi sengketa. Dan masih ada pertempuran antara
orang-orang Polandia dan orang-orang Rusia. Jenderal Pilsudski sedang melakukan
sepenuh kemampuannya untuk melindungi keutuhan wilayah tanah air kita. Tapi
salahlah kita bila kita optimis mengenai hal ini. Sekarang tinggal sedikit yang
tersisa bagimu di Polandia. Tidak. Rencanamu yang paling baik ialah memulai hidup baru Inggris
atau Amerika."
"Tapi aku tak mau
pergi ke Inggris atau Amerika. Aku orang Polandia."
"Engkau akan tetap
menjadi orang Polandia, Wladek. Tak ada seorang pun yang dapat merampasnya darimu.
Apa pun keputusanmu mau menetap di mana. Tapi kamu harus realistis mengenai
hidupmu. Hidup yang baru saja kaumulai."
Wladek menundukkan kepala.
Putus asa. Apakah ia mengalami ini semua
hanya untuk diberitahu bahwa ia tidak bisa kembali ke tanahairnya? Ia berjuang menahan
air mata yang hendak menderas keluar.
Pawel Zaleski merangkul
Wladek. ,,Jangan lupa bahwa engkau adalah salah seorang yang mujur dapat lolos.
Yang keluar dalam keadaan masih hidup. Kamu hanya perlu mengingat kembali
sahabatmu dokter Dubien untuk menyadari betapa hidupmu mungkin menjadi seperti
apa."
Wladek diam saja.
'Sekarang kamu harus
meninggalkan segala pemikiran tentang masa lampau. Dan hanya memikirkan masa depan,
Wladek. Dan mungkin selama hidupmu engkau akan melihat Polandia bangkit
kembali. Hal mana lebih daripada yang berani kuharapkan."
Wladek tetap tinggal diam.
'Nah, tak perlu langsung mengambil
keputusan," kata Konsul dengan ramah. "Engkau boleh tinggal disini selama
kaubutuhkan untuk mengambil keputusan tentang masa depanmu."