Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Sabtu, 29 April 2017

BAB 09 KANE DAN ABEL. DERITA SI ANAK HARAM UNTUK BEBAS

Tidak seperti Kane, Abel atau Wladek harus memperjuangkan kebebasannya dari derita penjajahan. Terkucil ke Rusia ... dan kita ikuti deritanya yang dibumbui kebaikan orang-orang tertentu yang simpati kepadanya..... Suatu perjalanan hidup yang tak mudah.

BAB  9

"Bangun! Ayoh bangun!"

Salah seorang prajurit menghantamkan popor senapan ke rusuk Wladek. Ia bangkit duduk kaget. Dan memandang makam kakak perempuannya dan makam Leon serta Baron. Tak ada airmata setetes pun yang meleleh ketika ia memandangi prajurit.

"Aku mau hidup. Kamu tak akan membunuhku,”katanya dalam bahasa Polandia 'Ini rumahku. Dan kamu berada di tanah milikku."

Prajurit itu meludahi Wladek. Dan mendorongnya kembali ke rumputan di mana para pelayan menunggu. Semuanya mengenakan pakaian seperti piyama kelabu dengan nomor di punggung. Wladek terkejut ketika melihat mereka. Lalu menyadari apa yang hendak terjadi dengannya. Ia digiring oleh prajurit menuju ke bagian utara kastil. Dan diperintahkan berlutut ditanah. Ia merasakan sebuah pisau merayapi kepala sementara onggokan rambut hitam jatuh ke tanah. Dengan sepuluh kali cukuran seperti memangkas bulu domba, pekerjaan itu selesai. Setelah digunduli, ia diperintahkan mengenakan seragam baru. Kemeja kelabu dan celana panjang. Wladek bisa menyem-bunyikan gelang peraknya. Lalu bergabung dengan pelayan-pelayannya di muka kastil.

Sementara itu mereka semua berdiri menanti dirumput. Kini mereka hanya nomor-nomor belaka. Bukan pribadi yang punya nama. Wladek kemudian sadar ada suara di kejauhan yang belum pernah didengarnya. Matanya menghadap ke arah datangnya suara yang mendebarkan itu. Melalui gapura besi datanglah kendaraan beroda empat. Tapi tak ditarik kuda ataupun lembu. Semua tawanan memandang tercengang pada kendaraan yang sedang bergerak itu. Keheran-heranan. Ketika berhenti, para prajurit menggiring para tawanan menuju kendaraan itu. Mereka diperintahkan naik. Kemudian kendaraan tak berkuda itu berputar. Kembali ke jalan melalui gapura besi. Tak ada seorang pun yang berani bicara. Wladek duduk di bagian belakang truk. Dan memandang kastilnya hingga ia tak lagi dapat melihat menara-menara Gothik itu.

Kendaraan tak berkuda itu entah bagaimana menggelinding sendiri menuju ke desa Slonim. Wladek pasti ingin mengetahui bagaimana kerjanya kendaraan itu, seandainya ia tidak lebih dicemaskan lagi tentang ke mana mereka hendak dibawa. Ia mulai mengenali jalan dari masa ketika ia masih sekolah. Tapi ingatannya sudah mulai menumpul karena 3 tahun dalam penjara di bawah tanah. Dan ia tak ingat lagi jalan itu menuju ke mana. Sesudah beberapa mil truk itu berhenti. Dan mereka semua dikeluarkan. Ternyata itu adalah stasiun kereta api setempat. Wladek telah melihatnya sekali dalam hidupnya sebelum itu. Yaitu ketika dia dan Leon ke sana untuk menyam-but tuan Baron pulang dari perjalanan ke Warsawa. Ia ingat bahwa penjaga memberi hormat kepada mereka ketika mereka pertama kali berjalan di perron. Kali ini tak ada satu pun yang memberi hormat. Para tawanan diberi makan susu kambing, sop kol, dan roti hitam. Wladek lagi-lagi harus mengurusnya. Ia membagi porsi dengan hati-hati di antara sisa 13 orang itu dan dia sendiri. Ia duduk di bangku kayu. Sementara mengandaikan bahwa mereka menunggu kereta api datang. Malam itu mereka tidur di tanah di bawah bintang-bintang. Itu merupakan taman firdaus tersendiri bila dibandingkan dengan penjara di bawah tanah. Ia bersyukur kepada Tuhan bahwa musim dingin waktu itu tidak begitu keras.

Keesokan harinya mereka masih tetap menunggu. Wladek memimpin para pelayan sedikit berolah-raga. Tapi kebanyakan ambruk setelah beberapa menit saJa. Ia mulai mencatat dalam batin nama-nama yang hingga saat itu masih hidup. Dua belas orang pria dan dua orang wanita. Itu saja yang masih tersisa dari jumlah yang semula 27 orang di penjara bawah tanah. Sisa hari itu mereka habiskan dengan menunggu kereta api yang tak pernah datang. Ketika kereta api benar-benar tiba, banyak tentara yang turun. Omongan mereka penuh kebencian. Tapi kereta api itu berangkat lagi tanpa rombongan Wladek yang kasihan itu. Mereka masih menginap semalam lagi di atas tanah.

Wladek terlentang terjaga di bawah bintang-bintang. Ia sedang memikirkan bagaimana ia bisa lolos. Tapi malam itu salah seorang dari tiga belas orangnya lari melintasi rel kereta api. Dan ditembak oleh penjaga sebelum mencapai sisi seberang. Wladek memandangi tempat di mana rekan setanah-airnya itu terungkur. Ngeri hendak pergi menolongnya. Takut-takut menemui nasib yang sama. Para prajurit pagi hari meninggalkan mayat itu di rel kereta api sebagai peringatan kepada mereka yang mungkin mempertimbangkan tindakan serupa.

Hari itu tak seorang pun membicarakan soal insiden tersebut. Walau mata Wladek jarang meninggalkan mayat itu. Orang itu adalah kepala pelayan Tuan Baron,Ludwik. Salah seorang saksi dari wasiat Tuan Baron. Saksi warisan Wladek. Kini telah tiada.

Sore hari di hari ketiga ada kereta api lagi yang terengah-engah memasuki stasiun. Sebuah lok menarik gerbong barang serta gerbong penumpang yang tertutup. Lantai gerbong barang yang terbuka itu ditebari jerami dan ada kata Ternak terlulis di sisi kiri dan kanan.
Beberapa gerbong penumpang telah penuh tahanan. Tapi Wladek tak dapat memperkirakan dari mana. Penampilan mereka begitu terselubung mirip penampilan Wladek sendiri. Dia dan rombongan kecilnya dimasukkan ke dalam gerbong terbuka untuk mulai perjalanan mereka. Setelah menunggu beberapa jam lagi kereta api mulai bergerak keluar stasiun. Ke arah timur menurut perkiraan Wladek. Dilihat dari matahari yang sedang terbenam.

Setiap tiga gerbong terbuka diikuti gerbong beratap di mana di atasnya ada prajurit jaga dengan kaki silang. Sepanjang perjalanan yang seolah-olah tak ada habis-habisnya itu kadang-kadang terdengar rentetan tembakan dan peluru berhamburan dari atas. Itu buktikan kepada Wladek bahwa setiap gagasan untuk melarikan diri hanyalah sia-sia belaka.

Ketika kereta api berhenti di Minsk, mereka diberi makanan benar-benar untuk pertama kalinya. Roti hitam, air, kacang dan cantel. Dan perjalanan dilanjutkan lagi. Kadang-kadang mereka melaju selama tiga hari tanpa melihat stasiun lain. Banyak penumpang yang terpaksa itu mati kelaparan dan dibuang dari atas kereta api yang sedang melaju. Dan bila kereta api berhenti, kerapkali menunggu dua hari untuk mem-beri kesempatan kereta lain menuju ke arah barat mempergunakan rel yang sama. Kereta yang memperhambat kelajuan mereka itu sudah barang tentu penuh tentara. Dan menjadi jelas bagi Wladek bahwa kereta api tentara itu memperoleh prioritas di atas segala alat transpor lain. Melarikan diri selalu menggoda pikiran Wladek. Tapi ada dua hal yang menghalanginya melaksanakan gagasan itu. Pertama: hanya ada bermil-mil padang tandus di kanan kiri rel kereta api. Kedua: mereka yang masih tetap hidup setelah penjara di bawah tanah, sepenuhnya tergantung daripadanya. Wladeklah yang mengurusi makanan serta minuman mereka. Dan mencoba mendukung kehendak mereka untuk terus hidup. Dialah yang termuda dan yang terakhir yang masih percaya akan kehidupan.

Malam hari kini sangat dingin. Kerapkali minus 30 derajat. Dan mereka tidur punggung-memunggung berderet-deret di atas lantai gerbong hingga tubuh mereka saling menghangatkan. Wladek mencoba mengucapkan epos Aeneas bagi diri sendiri sambil mencoba terlelap tidur. Mustahil untuk membalik, kecuali bila semua orang sederetan itu mau. Maka Wladek tidur di ujung. Dan setiap jam, menurut perkiraan, dilihat dari pergantian penjaga, ia menggebrak dinding gerbong. Dan mereka bersama membalik dan menghadap sisi lain. Berganti-ganti tubuh-tubuh itu bergelimpangan seperti kartu-kartu domino. Suatu alam sesosok tubuh seorang wanita dari kelom-poknya tidak bergerak lagi. Sebab memang tak bisa bergerak lagi. Dan Wadek diberitahu. Maka pada gilirannya ia memberitahu penjaga. Dan empat orang diantara mereka membuang mayat itu dari kereta api yang sedang melaju. Kemudian tentara memberondongnya dengan peluru supaya pasti bahwa itu bukannya seseorang yang hendak melarikan diri.

Dua ratus tiga puluh satu kilometer sesudah Minsk mereka tiba di kota Smolensk, di mana mereka memperoleh sop kol panas lagi dan roti hitam. Dalam gerbongnya Wladek memperoleh gabungan beberapa tawanan baru yang berbahasa sama dengan para prajurit. Pemimpin mereka nampaknya seusia Wladek. Wladek dan sisa teman-temannya yang tinggal berjumlah sebelas orang (10 pria, satu wanita) langsung mencurigai pendatang-pendatang baru itu. Maka mereka membagi gerbong menjadi dua bagian, dengan dua kelompok yang tetap terpisah untuk beberapa hari lamanya.

Suatu malam sementara Wladek tertelentang terjaga memandang bintang-bintang, berusaha menjadi hangat, ia melihat pemimpin orang-orang Smolensk merangkak menuju orang terakhir dari deretannya sendiri dengan seutas tali di tangannya. Ia memperhatikan orang itu menyusupkan tali melingkari leher Alfons, pelayan tuan Baron yang sedang tidur. Wladek tahu bahwa bila ia bergerak terlalu cepat, anak itu akan mendengarnya dan lari kembali ke setengah gerbong bagian lain. Dan dilindungi teman-temannya. Maka ia merayap mengikuti deretan tubuh-tubuh Polandia itu. Banyak mata memandangnya ketika ia melewati mereka. Tapi tak ada yang bicara. Ketika sampai di ujung deretan itu, ia meloncat menerkam penyelundup. Membangunkan setiap orang di gerbong tersebut. Setiap bagian kini menyusut kembali ke ujungnya di gerbong itu. Kecuali Alfons yang terlentang tak bergerak di muka mereka.

Pemimpin orang-orang Smolensk itu lebih tinggi dan lebih gesit daripada Wladek. Tapi hal itu tak membuat banyak perbedaan. Karena mereka berdua berkelahi di lantai gerbong. Perkelahian berlangsung beberapa menit. Menarik perhatian para prajurit yang tertawa-tawa dan bertaruh. Sambil menonton dua orang pegulat itu. Seorang prajurit yang bosan karena tak ada darah tertumpah, menyodorkan bayonet di tengah gerbong. Kedua anak menjangkau belati yang berkilatan itu. Dan pemimpin orang-orang Smolensk meraihnya terlebih dahulu. Gerombolan orang-orang Smolensk bersorak menyemangati pahlawan mereka ketika ia menusukkan bayonet ke sisi kaki Wladek. Lalu menarik kembali bilah yang berlumuran darah dan menyerang lagi. Serangan kedua membuat bayonet tertancap di papan lantai gerbong dekat telinga Wladek. Sementara ia mencoba mengungkitnya kembali, Wladek menendangnya di selangkang dengan sekuat tenaga yang ada padanya. Dan mendorong musuhnya ke belakang. Bayonet itupun terlepas dari papan lantai. Dengan satu lompaian Wladek menyambar pegangannya dan menubruk pimpinan Smolensk. Menghunjamkan belati tepat ke dalam mulutnya. Orang itu menjerit sekarat. Membangunkan seisi kereta api. Wladek menarik bayonet sambil mengulirnya. Lalu menghunjamkannya ke orang Smolensk itu berkali-kali lama setelah orang itu berhenti bergerak. Wladek berlutut mengunggulinya. Terengah-engah. Lalu mengangkut jasad itu. Dibuangnya keluar gerbong. Ia mendengar suara gedebum ketika mayat membentur tebing. Lalu diberondong peluru oleh para penjaga sekenanya.

Wiadek berjalan pincang menuju Alfons. Masih tergeletak tak bergerak di atas papan. Ia berlutut disebelahnya. Mengguncang-guncang tubuh yang tak bernyawa lagi. Saksi kedua juga telah mati. Siapa sekarang mau percaya bahwa ia, Wladek, adalah waris yang terpilih menerima'harta karun tuan Baron? Masihkah ada tujuan dalam hidupnya? Ia berlutut. Menggenggam bayonet dengan kedua belah tangan. Dengan ujung terarah ke perutnya. Seorang penjaga langsung terjun ke gerbong dan merebut senjata itu darinya.

"Oh tidak. Jangan kamu" gerutunya "Kami membutuhkan orang-orang cekatan seperti kamu untuk di kamp. Jangan harapkan kami akan melakukan semua pekerjaan "

Wladek membenamkan kepala dalam kedua belah tangan. Untuk pertama kali sadar akan nyeri di kaki yang tertusuk bayonet. Ia telah kehilangan warisannya. Kini menjadi pemimpin gerombolan orang-orang Smolensk miskin. Seluruh gerbong menjadi wilayahnya kembali. Dan kini ia membawahi 20 orang tawanan yang menjadi tanggungannya. Ia langsung membaginya hingga seorang Polandia selalu harus tidur di sebelah orang Smolensk. Hingga kedua kelompok itu tak mungkin berkelahi lagi.

Wladek menghabiskan banyak waktunya untuk mempelajari bahasa mereka yang asing. Selama beberapa hari ia tidak menyadari bahwa itu sebenarnya bahasa Rusia. Begitu besar bedanya dengan bahasa Rusia klasik yang diajarkan Baron kepadanya. Ke-mudian arti penemuan ini mulai menyingsing dalam dirinya untuk pertama kali ketika ia menyadari kereta api itu menuju ke mana.

Siang hari Wladek biasanya mempergunakan dua orang Smolensk sekaligus untuk mengajarnya. Dan bila mereka ini lelah, ia mempergunakan dua orang lain lagi. Demikian seterusnya hingga mereka semua lelah.

Lambat laun ia mampu bercakap dengan mudah dengan bawahan barunya. Beberapa di antara mereka ternyata tentara Rusia. Mereka dibuang setelah direpatriasi karena tertangkap oleh tentara Jerman. Sisanya terdiri dari orang Rusia putih: petani, penam- bang, buruh. Semuanya bersikap sangat memusuhi Revolusi.

Kereta api gontai terus menerabas padang yang lebih tandus daripada yang pernah dilihat Wladek sebelumnya. Dan melalui kota-kota yang belum pernah ia dengar namanya: Omsk, Novosibirsk, Krasnoyarsk. Nama-nama itu terdengar seperti memberi isyarat buruk di telinganya. Akhirnya selang dua bulan, dan setelah menempuh jarak 3000 mil lebih mereka tiba di Irkuts , di mana rel kereta api berakhir dengan tiba-tiba.

Mereka cepat-cepat dikeluarkan dari kereta api. Diber makan. Dan diberi sepatu lars, jaket, serta mantol tebal. Dan walaupun mereka mulai berkelahi memperebutkan pakaian yang paling hangat, namun pakaian itu hanya dapat sedikit melindungi mereka terhadap dingin yang semakin mengganas.

Kendaraan-kendaraan tak berkuda muncul. Mirip yang telah membawa Wladek dari kastilnya. Dan rantai panjang dikeluarkan. Kemudian para tawanan diborgol satu tangan pada rantai. Dua puluh lima pasang berdampingan pada tiap rantai. Truk-truk menarik gerombolan para tawanan sementara para penjaga naik di bak belakang. Mereka berlari seperti itu selama dua belas jam. Lalu diberi istirahat selama dua jam. Kemudian mereka berbaris lagi. Setelah tiga hari Wladek mengira ia akan mati karena dingin dan kelelahan. Tetapi setelah keluar dari daerah yang dihuni orang, mereka berjalan selama siang hari, dan malam hari istirahat. Sebuah dapur lapangan yang berpindah-pindah dikelola oleh para tawanan di kamp memberikan sop lobak Cina dan roti pada saat fajar menyingsing. Lalu pada malam hari lagi. Dari para tawanan Wladek mengetahui bahwa keadaan dalam kamp bahkan lebih buruk lagi.

Selama minggu pertama, mereka tidak pernah dilepas dari rantai mereka. Tetapi kemudian ketika tidak lagi ada pikiran untuk melarikan diri, di malam rantai dilepas untuk tidur. Mereka lalu menggali lubang di salju supaya hangat. Kadang-kadang pada hari-hari baik mereka menemukan hutan untuk pondokan: kemewahan itu lalu berbentuk yang aneh-aneh. Mereka berbaris. Dan terus berbaris. Melewati danau-danau luas dan menyeberangi sungai-sungai membeku. Selalu ke utara. Menghadapi angin dingin yang berputar-putar. Dan salju yang berjatuhan semakin tebal. Kaki Wladek yang terluka selalu terasa nyeri. Kemudian jari-jari serta telinganya terasa lebih nyeri lagi karena terserang jalad. Tak ada tanda kehidupan atau makanan di dalam keterbentangan putih yang begitu luas. Dan Wladek tahu bahwa berusaha melarikan diri di malam hari hanya dapat berarti mati pelan-pelan karena kelaparan. Orang-orang tua dan mereka yang sakit bergulat dengan maut. Bila beruntung mereka meninggal dengan tenang di malam hari. Mereka yang celaka tak mampu melangkah serempak dengan barisan, dilepas dari rantai. Dan terbuang sendirian dalam salju yang tak ada habisnya. Mereka yang dapat tetap hidup dirantai berjalan terus. Dan berjalan terus. Selalu menuju ke utara. Hingga akhirnya Wladek kehilangan kesadaran akan waktu. Dan hanya merasakan sentakan rantai yang tak tertahankan. Bahkan ketika menggali lubang dalam salju untuk tidur di malam hari, ia tak yakin apakah pagi berikutnya ia akan terbangun. Mereka yang tak terbangun di pagi berikutnya ternyata telah menggali kubur mereka sendiri.

Setelah berjalan sejauh 900 mil, mereka yang masih hidup disambut oleh orang-orang Ostyak, bangsa Nomad di steppa Rusia, dengan kereta luncur ditarik rusa kutub. Para tawanan kini terikat rantai dengan kereta luncur, terus digiring. Sebuah badai salju memaksa mereka berhenti selama hampir dua hari. Dan Wladek memanfaatkan kesempatan berkomunikasi dengan orang Ostyak muda yang kereta luncurnya menjadi kaitan rantainya. Karena mempergunakan bahasa Rusia klasik dengan logat Polandia, ia hanya dapat dimengerti secara sangat tidak sempurna. Tetapi ia menemukan bahwa orang-orang Ostyak membenci orang-orang Rusia selatan yang memperlakukan mereka seburuk mereka memperlakukan para tawanan. Orang-orang Ostyak merasa bersimpati denga para tawanan yang sedih tanpa hari depan. “Orang-orang celaka" menurut kata mereka.

Sembilan hari kemudian, dengan temaram cahaya malam awal musim dingin Artika, mereka tiba di Kamp 201. Wladek mungkin tak pernah percaya bahwa ia dapat bergembira melihat tempat sedemikian itu. Pondok salju berderet-deret di lapangan terbuka yang dingin sekali. Pondok itu bernomor. Demikian pula para tawanan. Pondok Wladek bernomor 33. Ada tungku kecil hitam di tengah ruangan. Dan di dinding ada bangku kayu dilengkapi kasur jerami serta satu selimut tipis. Hanya sedikit tawanan yang dapat tidur pada malam pertama itu. Teriakan dan jeritan dari pondok nomor 33 seringkali lebih keras daripada lolongan serigala di luar.

Hari berikutnya sebelum matahari terbit, mereka terbangun oleh suara martil dipukulkan pada segitiga besi. Ada jalad tebal pada kedua sisi jendela. Dan Wladek mengira ia pasti harus mati karena kedinginan. Sarapan di balai komunal yang dingin itu hanya berlangsung 10 menit. Makanannya terdiri dari semangkok bubur suam-suam dengan potongan-potongan kecil ikan busuk serta daun-daun kol yang memgambang di dalamnya. Para pendatang baru meludahkan duri ikan ke atas meja. Sedang para tawanan yang lebih lama memakan durinya, bahkan matanya juga.

Sesudah sarapan mereka diberi tugas. Wladek ditugasi menebang kayu. Ia diangkut  7 mil jauhnya melalui steppa gersang masuk ke hutan. Diperintahkan menebang sejumlah pohon setiap hari. Penjaga meninggalkannya dengan kelompok kecil 6 orang beserta rangsum makanan: bubur magara kuning yang hambar dan roti. Para penjaga tak takut kalau-kalau para tawanan berusaha melarikan diri. Sebab jarak ke kota yang terdekat mencapai 1000 mil lebih. Itupun bila orang tahu ke arah mana yang dituju.

Pada akhir setiap hari para penjaga akan kembali dan menghitung jumlah pohon yang telah ditebang.Ia telah memberitahu para tawanan bahwa bila kelompok itu alpa mencapai jumlah yang dituntut, maka makanan hari berikutnya tak akan diberikan. Tetapi bila ia kembali lagi pada pukul 7 malam untuk menjemput para penebang, hari sudahlah gelap. Maka ia tidak selalu dapat melihat dengan tepat berapa pohon yang baru saja ditebang. Wladek mengajari yang lain-lain dalam kelompoknya untuk membersihkan salju dari pohon yang telah ditebang sehari sebelumnya pada akhir sore. Lalu menjejerkan dengan apa yang telah mereka tebang hari itu. Suatu rencana yang selalu berhasil. Maka kelompok Wladek tak pernah kehi1angan makanan mereka setiap hari. Kadang-kadang mereka berhasil kembali ke kamp dengan sepotong kayu. Diikat pada kaki di sebelah dalam. Lalu dimasukkan ke dalam perapian di malam hari. Sudah barang tentu harus sangat hati-hati. Sebab paling sedikit seorang di antara mereka digeledah setiap kali hendak meninggalkan atau masuk kamp. Kerapkali di perintahkan membuka sepatu lars mereka, salah satu atau kedua-duanya. Dan harus berdiri dalam salju yang melebat. Jikalau mereka tertangkap basah membawa sesuatu dalam diri mereka, mereka dihukum tiga hari tanpa makan.

Minggu berganti minggu, dan kaki Wladek menjadi kaku dan nyeri. Ia menginginkan hari-hari yang sangat dingin. Sebab bila suhu turun sampai 40 derajat di bawah 0, maka pekerjaan di luar ditangguhkan. Walau hari yang telah hilang itu harus dikembalikan pada hari minggu yang bebas, yaitu bila Mereka biasanya diizinkan tiduran di bangku seharian suntuk.

Suatu petang ketika Wladek telah menghela balok melintasi padang tandus, kakinya mulai nyeri menggigit-gigit. Ketika ia melihat ke bekas luka tikaman orang Smolensk, ternyata membengkak dan mengkilap. Malam itu ia memperlihatkan lukanya kepada penjaga yang langsung memerintahkannya melapor kepada dokter kamp sebelum fajar hari berikutnya. Semalam suntuk Wladek berdiri dengan kakinya hampir-hampir menyentuh perapian. Dikelilingi sepatu lars basah. Tetapi panasnya begitu lemah hingga hampir-hampir tidak bisa mengurangi rasa nyeri.

Pagi berikutnya Wladek bangun satu jam lebih awal daripada biasanya. Bila tidak menghubungi dokter sebelum pekerjaan dimulai, maka tak bisa menemuinya hingga hari berikut. Wladek tak tahan lagi menghadapi hari berikutnya dengan rasa sakit demikian mengganas. Ia melapor kepada dokter. Menyerahkan nama dan nomor. Pierre Dubien ternyata seorang tua yang sangat simpatik. Berkepala botak. Jelas-jelas bungkuk. Wladek mengira ia lebih tua daripada Baron semasa hari-hari menjelang ajalnya. Ia memeriksa kaki Wladek tanpa bicara.

"Apakah luka ini akan sembuh, dokter?" Tanya Wladek.

"Berbahasa Rusia?"

"Ya, dokler"

"Walaupun kamu selalu akan pincang anak muda, kakimu akan baik kembali. Tapi untuk apa? Hidup di sini menebang kayu?"

"Tidak dokter, Aku berniat melarikan diri dan kembali ke Polandia," kata Wladek.

Dokter itu memandang tajam kepadanya. "Jangan bicara keras-keras, anakbodoh! . . . Engkau kini harus tahu bahwa mustahil untuk melarikan diri. Aku telah ditawan selama 15 tahun. Dan tak sehari pun berlalu tanpa memikirkan melarikan diri. Tak ada jalan. Tak seorang pun pernah lolos dan hidup. Dan bahkan berbicara soal itu saja berarti dihukum sel selama 10 hari. Dan di situ engkau diberi makan 3 hari sekali. Dan menyalakan perapian hanya untuk melelehkan es pada dinding. Bila kamu keluar hidup-hidup dari tempat itu engkau boleh menganggap dirimu beruntung."

“Aku akan lolos. Lolos. Lolos." kata Wladek sambil menatap orang tua itu.

Dokter itu memandang mata Wladek dan tersenyum. "Sahabatku, jangan menyebut lolos lagi. Mereka akan membunuhmu. Kembalilah ke pekerjaanmu. Tetapi latihlah kakimu. Dan setiap pagi pertama-tama laporlah kepadaku."

Wladek kembali lagi ke hutan dan menebang pohon lagi. Tapi ternyata ia tak dapat menghela kayu lebih dari beberapa meter. Dan sakitnya bukan kepalang. Hingga ia mengira kakinya akan copot. Ketika  ia kembali keesokan hari, dokter memeriksa kakinya lebih cermat lagi.

'Lebih buruk. Bila tidak boleh dikatakan buruk sama sekali" katanya. "Usiamu berapa, nak?"

'Menurut perkiraanku 13" kata Wladek. "Sekarang tahun berapa?"

'Seribu sembilan ratus sembilan belas" jawab dokter itu.

"Ya, 13. Berapa umur anda?" tanya Wladek.

Orang itu menatap ke dalam mata biru anak muda itu. Kaget karena pertanyaan tersebut.

"Tigapuluh delapan" jawabnya tenang.

"Ya ampun!" kata Wladek.

"Kamu akan nampak seperti ini, bila menjadi tawanan selama 15 tahun, anakku." kata dokter apa adanya.

“Mengapa anda ada di sini?" tanya Wladek. 'Mengapa mereka tak melepaskan anda setelah sekian lama?"

"Aku ditawan di Moskwa tahun 1904. Tak lama setelah aku mendapat brevet menjadi dokter. Aku bekerja di kedutaan Perancis di sana. Dan mereka bilang aku seorang mata-mata. Maka mereka menjebloskanku dalam penjara di Moskwa. Kukira tempat itu sudah cukup buruk. Tetapi sesudah Revolusi mereka mengirimkanku ke liang neraka yang jahanam ini. Bahkn orang-orang Perancis kini telah lupa bahwa aku masih ada. Sisa seluruh dunia lainnya tidak akan percaya bahwa ada tempat sedemikian ini. Tak seorang pun pernah dapat menghabiskan hukuman satu vonis di Kamp Dua Nol Satu ini. Maka aku harus mati di sini. Seperti setiap orang lainnya. Dan itu tak boleh terjadi terlalu cepat."

"Tidak. Jangan putus harapan dokter."

"Harapan? Aku telah lama sekali melepas harapan bagi diriku sendiri. Mungkin aku tak harus melepas harapan bagimu. Tapi selalulah ingat jangan sebut harapan itu kepada setiap orang. Di sini ada tawanan yang memperdagangkan lidah mudah bicara walau hadiahnya hanyalah sepotong roti ekstra ataupun mungkin sebuah selimut. Nah Wladek, engkau akan kutugasi bekerja di dapur selama satu bulan. Dan kamu harus tetap melapor kepadaku setiap pagi. Itu satu-satunya kemungkinan supaya jangan kehilangan kakimu ini. Dan aku tak suka menjadi orang yang harus memotongnya. Kita tak memiliki alat-alat bedah mutakhir di sini." ia menambahkan, sambil memandangi pisau pengerat yang besar.
Wladek menggigil.

Dok1er Dubien menulis nama Wladek pada secarik kertas. Pagi berikutnya Wladek melapor ke dapur. Mencuci piring dengan air dingin. Dan membantu memasak makanan yang tak perlu pendinginan. Setelah menebangi kayu setiap hari, ia mengangap pekerjaan itu sebagai pergantian yang menyenangkan: sop ikan ekstra, roti hitam tebal, dengan jelatang teriris-iris. Dan kesempatan berada di dalam serta tetap hangat. Suatu waktu ia malah mendapat bagian setengah telor dari koki. Walau keduanya tak bisa tahu telor itik apa itu. Kaki Wadek sembuh pelan-pelan. Membekaskan timpang berat. Hanya sedikit yang bisa diperbuat dokter Dubien. Karena memang tidak adampersediaan obat. Ia hanya mengawasi kemajuan Wladek. Selang beberapa hari dokter itu menjadi sahabat Wladek. Dan ia bahkan mulai percaya akan harapan anak muda itu akan hari depan. Setiap pagi mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda-beda. Tapi teman barunya paling menikmati bila berbahasa Perancis, bahasa ibu baginya.

"Dalam waktu seminggu Wladek, kamu harus kembali ke tugasmu di hutan. Para penjaga akan memeriksa kakimu. Dan aku tak bisa mempertahankanmu di dapur lagi. Dengarlah baik-baik. Sebab aku telah memutuskan suatu rencana pelarianmu."

"Bersama-sama dokter. Bersama-sama." kata Wladek.

"Tidak. Hanya kamu. Aku terlalu tua untuk perjalanan begitu lama. Dan walau aku telah memimpikan melarikan diri selama 15 tahun lebih, aku hanya akan menghambatmu. Sudah cukup bagiku bila mengetahui bahwa seseorang lain telah berhasil. Dan kamu adalah orang pertama yang pernah kujumpai yang meyakinkanku bahwa kamu mungkin berhasil”

Wladek duduk di lantai. Diam. Mendengarkan rencana dokter itu. *selama 15 tahun ini aku telah menabung 200 rubel. Tak ada uang lembur bagi seorang tawanan Rusia" Wladek mencoba tertawa karena lelucon paling tua di kamp itu.”Aku sembunyikan uang itu di botol obat. Uang kertas 50-an rubel 4 lembar. Bila tiba saat kepergianmu uang itu harus dijahit dalam pakaianmu. Sebetulnya itu harus telah kulakukan bagimu.'

"Pakaian apa?" tanya Wladek.

"Aku punya setelan dan kemeja yang kudapat dengan menyuap seorang penjaga 12 tahun yang lalu. Ketika aku masih percaya akan bisa lolos. Bukannya mode mutakhir, tetapi berguna bagi tujuanmu.”

Lima belas tahun untuk mengumpulkan uang 200 rubel, sebuah kemeja dan setelan. Dan dokter itu dalam sekejap bersedia mengorbankannya bagi Wladek. Wladek tak pernah lagi mengalami tindakan tanpa pamrih sebesar itu selama hidupnya.

"Kamis yang akan datang merupakan satu-satunya kesempatanmu" lanjut dokter itu.”Para tawanan baru tiba di Irkutsk dengan kereta api. Dan penjaga selalu mengambil 4 orang dari dapur untuk mengatur truk-truk makanan bagi para tawanan baru. Dan aku telah mengaturnya dengan 'koki' tua itu (ia tertawa karenakata 'koki' itu) supaya engkau diangkut dengan truk dapur dengan imbalan beberapa obat. Tak begitu sulit. Tak ada seorang pun yang mau mengadakan perjalanan itu pulang pergi. Tapi kamu hanya akan pergi ke sana.”

Wladek tetap mendengarkan penuh perhatian.

"Jika kamu tiba di stasiun, tunggulah hingga kereta para tawanan datang. Bila semuanya telah berada di peron, menyeberanglah dan naiklah kereta yang menuju Moskwa. Kereta api itu tak bisa berangkat bila kereta api para tawanan belum tiba. Sebab diluar stasiun hanya ada satu jalur rel. Kamu harus berdoa supaya dalam hiruk-pikuknya beratus-ratus tawanan di sekitar, para penjaga tidak melihat engkau pergi. Sejak saat itu engkau hanya sendirian. Ingat. Jika mereka memergokimu, mereka akan menembakmu begitu mereka melihatmu. Tanpa pikir lagi. Hanya ada satu hal yang dapat kulakukan bagimu. Lima belas tahun yang lalu ketika aku diangkut ke mari, aku membuat peta jalan dalam ingatanku dari Moskwa ke Turki. Mungkin tak begitu tepat lagi. Tapi kiranya cukup untuk tujuanmu. Selidiki dahulu apakah orang-orang Rusia telah menaklukkan Turki juga. Hanya Tuhan yang tahu mereka hendak apa akhir-akhir ini. Setahu saya, barangkali mereka bahkan mengawasi Perancis."

Dokter itu melintasi kamar obat. Lalu mengambil botol besar yang nampaknya seolah-olah penuh dengan zat coklat. Ia membuka tutupnya. Lalu mengeluarkan selembar perkamen. Tinta hitam telah lusuh karena usia. Ditandai *Oktober 1904". Perkamen itu menunjukkan jalan dari Moslova ke Odessa, dan dari Odessa ke Turki. Seribu lima ratus mil menuju kebebasan.

"Datanglah menemuiku setiap pagi minggu ini. Dan kita akan menelusuri rencana itu berulang kali. Bila kau gagal, itu bukan karena kurang persiapan."

Setiap malam Wladek tetap terjaga. Memandang bulan melalui jendela. Melatih diri apa yang harus ia kerjakan dalam situasi tertentu. Mempersiapkan diri untuk setiap hal yang kebetulan. Di pagi hari ia bersama pak dokter mengulang-ulangi rencana itu kem-bali. Pada hari Rabu sore sebelum Wladek mencoba melarikan diri, dokter itu melipat peta menjadi lipatan 1/8. Memasukkannya ke dalam bungkusan kecil beserta uang 50 rubel-an 4 lembar. Lalu menjahitkan bungkusan itu pada lengan jas. Wladek menanggalkan pakaiannya. Mengenakan kemeja dan setelan. Lalu baru mengenakan seragam penjara sebagai pakaian paling luar. Ketika ia mengenakan pakaian seragam kembali, pak dokter melihat gelang perak tuan Baron yang selalu dikenakan Wladek di atas sikunya sejak ia diberi seragam penjara. Sebab ia takut kalau-kalau para penjaga melihat satu-satunya harta ini dan mencurinya.

"Apa itu?'tanyanya "Hebat benar!"

"Hadiah dari ayahku." kata Wladek. "Bolehkah kuberikan kepada anda sebagai tanda terimakasihku?" Ia mencopot gelang dari pergelangannya dan memberikannya kepada dokter.

Dokter itu mengamati gelang perak beberapa saat. Lalu ia menundukkan kepala "Tak bisa" katanya' *Ini hanya bisa dimiliki satu orang saja." Ia menatap bocah itu dengan diam. "Ayahmu pasti seseorang yang besar.'

Dokter mengenakan gelang itu kembali di pergelangan Wladek. Dan mereka bersalaman akrab.

'Sukses, Wladek. Kuharap kita tak akan berjumpa lagi."

Mereka berpelukan. Dan Wladek berangkat menyambut malam yang ia doakan sebagai malam terakhir di pondokan penjara. Malam itu ia sama sekali tak dapat tidur. Karena takut jangan-jangan salah seorang prajurit penjaga memergoki pakaian setelan di bawah seragam penjara. Ketika bel pagi berdentang, ia telah berpakaian rapi. Dan ia mengusahakan supaya pasti tidak terlambat melapor di dapur. Tawanan senior di dapur mendorong Wladek maju ketika para penjaga memeriksa penumpang truk. Rombongan terpilih itu terdiri dari 4 orang. Wladek adalah yang paling muda. "Mengapa anak ini?" Tanya penjaga, sambil menunjuk ke Wladek. Jantung Wladek terasa berhenti. Dan ia merasa dingin seluruh tubuhnya.

Rencana dokter itu akan gagal. Tak akan ada rombongan tawanan lagi datang ke kamp selama paling sedikit 3 bulan. Pada saat itu ia tak akan berada di dapur lagi.
"Ia koki yang hebat" kata seorang tawanan senior,“terlatih di kastil seorang baron. Para penjaga hanya memperoleh yang paling baik."

"Ah", kata penjaga. Kerakusannya mengalahkan kecurigaan. *Kalau begitu, ayohlah cepat!"
Mereka berempat lari ke truk. Dan konvoi itupun berangkatlah. Perjalanan itu lagi-lagi lambat dan sulit.. Tapi paling sedikit kali ini ia tidak berjalan kaki. Pun pula karena sedang musim panas, dinginnya tak begitu mengganas. Wladek kerja keras menyiapkan makanan, dan ia tak ingin diketahui orang. Dan sepanjang perjalanan ia hampir tak bicara kecuali dengan Stanislaw, koki utama.

Ketika akhirnya mereka tiba di Irkutsk, perjalanan itu telah memakan waktu hampir 16 hari. Kereta api yang hendak berangkat ke Moskwa telah siap menunggu di stasiun. Sudah berada di sanabeberapa jam lamanya. Tapi belum dapat memulai perjalanan kembali ke Moskwa. Menunggu kedatangan kereta api yang membawa tawanan baru. Wladek duduk di pinggir perron dengan rekan-rekan dari dapur lapangan. Tiga di antara mereka tanpa minat atau tujuan. Tanpa mempedulikan suatu pun di sekitar. Telah kebal karena pengalaman. Tapi seorang di antara mereka memperhatikan setiap gerakan. Dengan cermat mengamati kereta di seberang peron. Ada beberapa pintu masuk ke kereta. Dan Wladek dengan cepat memilih satu yang hendak ia masuki bila tiba saatnya.

"Apa engkau mencoba melarikan diri?" Tanya Stanislaw tiba-tiba.

Wladek mulai berkeringat. Tapi ia tak menjawab.

Stanislaw menatapnya "Ya, benar."

Wladek masih tetap bungkam.

Koki tua itu tetap menatap bocah berusia 13 tahun tersebut. Lalu ia mengangguk menyetujui. Seandainya ia punya ekor, pasti akan berkibas-kibas.

'Selamat. Aku akan mengusahakan supaya mereka tidak menyadari bahwa engkau mangkir selama mungkin aku dapat mengusahakannya. "

Stanislaw menyentuh lengannya. Dan Wladek melihat kereta api tawanan di kejauhan. Pelan menyibak jalan menuju mereka. Belum-belum ia merasa tegang. Jantung berdegup kencang. Matanya mengikuti gerak-gerik setiap prajurit. Ia menunggu hingga kereta api yang sedang tiba benar-benar berhenti. Dan memandang para tawanan lesu itu berbondong keluar menuju perron. Beratus-ratus orang tanpa nama. Hanya punya masa silam. Ketika stasiun semrawut penuh orang, dan prajurit sangat sibuk, Wladek lari menerobos bawah kereta api para tawanan dan meloncat ke dalam kereta yang menuju Moskwa. Tak seorang pun memperhatikannya. Ketika ia pergi ke WC di gerbong, ia mengunci diri. Lalu menunggu dan berdoa. Setiap saat menanti seseorang mengetuk pintu. Bagi Wladek nampaknya berlangsung seumur hidup. Akhirnya kereta api bergerak keluar stasiun. Padahal nyatanya hanya berlangsung 17 menit.

"Akhirnya. Akhirnya!" ia berkata keras-keras. Ia melihat melalui jendela kecil WC itu. Dan memperhatikan stasiun itu semakin mengecil di kejauhan. Banyak sekali rombongan para tawanan baru diborgol pada rantai. Siap melaksanakan perjalanan menuju ke Kamp 201. Para penjaga tertawa-tawa ketika mengunci mereka. Berapa yang akan mencapai Kamp dalam keadaan masih hidup? Berapa yang harus menjadi mangsa serigala? Berapa lama lagi mereka akan mengetahui bahwa Wladek menghilang?

Wladek duduk di WC beberapa menit lagi. Takut bergerak. Ia tak tahu pasti apa yang harus dikerjanya sesudah itu. Tiba-tiba pintu digedor. Wladek berpikir cepat. Penjaga? Kondektur? Seorang tentara? Serangkaian bayangan mengilat melintas di benaknya. Yang satu lebih mengerikan daripada yang lain. Sekarang ia baru merasa harus buang air. Pintu digedor terus.

*Ayo, ayolah" suaranya dalam. Berbahasa Rusia kasar. Wladek tak punya pilihan. Bila itu seorang tentara tak ada jalan keluar. Seorang kerdilpun tak mungkin lolos melalui jendela kecil. Bila bukan tentara, ia hanya akan menarik perhatian kepada dirinya karena tinggal di WC. Ia melepas seragam tawanan. Lalu melipatnya sekecil mungkin menjadi bungkisan. Kemudian melemparkannya ke luar jendela. Diambilnya topi empuk dari saku setelannya untuk menutupi kepala yang telah terpangkas. Lalu membuka pintu. Seseorang buru-buru menerjang masuk. Melepas celananya. Bahkan sebelum Wladek keluar kamar kecil itu.

Ketika berada di gang Wladek meiasa terisolasi dan sangat mencolok dalam setelan yang telah ketinggalan jaman itu. Seperti sebuah apel di atas gundukan jeruk. Ia langsung mencari WC lain. Ketika ia menemukan yang kosong, ia mengunci diri. Dan cepat-cepat melepas lembaran 50 rubel dari lengan jasnya. Ia mengembalikan lagi yang tiga lembar. Dan kembali ke gang. Ia mencari gerbong paling penuh. Lalu menerobos ke sudut. Beberapa orang di tengah gerbong bermain dadu dengan taruhan beberapa rubel. Wladek beberapa kali mengalahkan Leon ketika bermain di kastil. Dan ia ingin ikut main. Tapi ia takut menang, lalu memusatkan perhatian terhadap dirinya. Permainan itu berlangsung terus. Lama. Dan Wladek mulai ingat kerampilan yang diperlukan. Godaan untuk mengambil risiko bermain dengan 200 rubel itu hampir tak teratasi.

Salah seorang penjudi yang telah kehilangan sejumlah banyak uang, mengundurkan diri. Merasa tak enak. Dan duduk dekat Wladek sambil menyumpah-nyumpah.

“Engkau lagi tak beruntung" kata Wladek ingin mendengar suaranya sendiri.

'Ah, bukan untung" kata penjudi itu. "Kebanyakan kali aku dapat mengalahkan petani-petani sebanyak itu. Tapi aku kehabisan rubel."

"Apa mau menjual mantolmu?" tanya Wladek.

Penjudi itu adalah seorang penumpang di gerbong yang mengenakan mantol bagus, kuno, tapi tebal. Terbuat dari kulit domba. Ia menatap anak muda itu.

“Kau tak punya duit, nak." Wladek dapat menebak dari suara penjudi itu bahwa sebenarnya ia berharap semoga Wladek benar-benar punya duit. “Harganya 75 rubel."

“Empat puluh" kata Wladek.

“Enam puluh" jawab penjudi.

"Lima puluh" tawar Wladek.

"Tidak. Enam puluh saya lepas. Sebenarnya harganya 100 rubel lebih." kata penjudi.

"Tapi sudah lama sekali" sambung Wladek sambil memikir-mikir implikasi mengambil uang dari lengan jas supaya mendapatkan jumlah uang yang dibutuhkan. Ia memutuskan tidak berbuat demikian. Sebab hanya akan menarik perhatian terhadap dirinya. Ia harus menunggu hingga tiba kesempatan lain. Wladek tak bersedia menunjukkan ia tak sanggup membayar mantol itu. Dan ia menyentuh krah pakaian itu sambil berkata mengejek, “Kaubeli terlalu mahal, sahabatku Lima puluh rubel. Se-kopek pun tak lebih.,' Wladek bangkit seolah-olah hendak pergi.

"Tunggu. Tunggu dulu" kata penjudi. ..Baiklah. Kulepas seharga 50 rubel,'. Wladek mengambil lembaran 50 rubel dari sakunya. Dan penjudi melepaskan mantolnya. Dan menukarkannya dengan lembaran uang merah seram. Mantol itu terlalu besar bagi Wladek. Hampir menyentuh tanah. Tapi justru itulah yang ia butuhkan untuk menutupi setelan yang mencolok. Beberapa saat lamanya ia menyimak permainan pen-judi kembali. Sekali lagi penjudi kalah. Dari guru barunya ia belajar dua hal: jangan pernah berjudi kecuali bila naga-naganya menguntungkanmu karena pengetahuan atau keterampilanmu lebih baik. Dan selalu sedia meninggalkan suatu persetujuan bila telah mencapai batasmu.
Wladek meninggalkan gerbong. Merasa sedikit lebih aman dengan mantol bekas yang baru itu. Ia mulai memeriksa susunan kereta api dengan perasaan lebih percaya diri lagi. Gerbong-gerbong itu nampaknya terbagi menjadi dua kelas. Kelas umum dengan para penumpang berdiri atau duduk di bangku kayu. Dan kelas khusus dengan penumpang pada duduk di atas tempat duduk diperempuk. Wladek menyaksikan se-gerbong penuh sesak. Kecuali satu kelas khusus dimana, memang aneh, hanya ada seorang wanita sendirian. Wanita itu setengah baya. Sejauh Wladek dapat menduga. Dan berdandan lebih rapi lagi daripada kebanyakan penumpang lainnya di kereta. Ia mengenakan gaun biru tua. Ada selendang yang mengerudungi kepala. Sementara Wladek tetap berdiri ragu-ragu memandangnya, wanita itu tersenyum kepadanya. Memberinya keberanian memasuki ruangan itu.

'Bolehkah aku duduk?"

'Silakan" kata wanita itu. Sambil memandanginya dengan cermat.

Wladek tidak bicara lagi. Tapi bila ada kesempatan, ia mempelajari wanita itu serta barang-barang miliknya. Ia berkulit kuning kepucatan. Diliputi kerut-kerut kelelahan. Sedikit kegemukan. Yang dimungkinkan oleh makanan Rusia. Rambut hitam yang pendek dan mata coklat mengingatkan ia mungkin pernah cantik. Ia membawa 2 buah kopor pakaian besar diletakkan di atas rak. Dan sebuah tas kecil di sisinya. Walau posisinya sedang berbahaya. Wladek tiba-tiba sadar merasa sangat letih. Ia sedang berpikir-pikir apakah berani tidur, ketika wanita itu berrtanya.

"Mau bepergian ke mana?"

Pertanyaan itu mengagetkan Wladek. "Moskwa" katanya. Sambil menahan nafas.
"Saya juga" kata wanita itu.

Wladek menyesali diisolasikannya gerbong itu dan informasi yang telah ia berikan. Walau hanya sedikit. "Jangan bicara kepada siapa pun juga." Dokter memperingatkannya.'Ingat. Jangan percaya siapa pun.'

Wladek lega karena wanita itu tidak bertanyalagi. Ketika ia sudah memperoleh kembali kepercayaan dirinya lagi, kondektur datang. Wladek mulai berkeringat. Walau suhu menunjukkan minus 20 derajat. Kondektur mengambil karcis wanita itu, menenyobeknya, lalu mengembalikan kepadanya. Kemudian ia mendekati Wladek.

“Karcis, bung." Hanya itu yang ia katakan. Suaranya rendah. Bernada membosankan.

Wladek bungkam. Dan mulai meraba-raba saku mantolnya mencari uang.

“Ia anakku, " kata wanita itu tegas.

Kondektur memandang wanita itu kembali. Lalu memandang Wladek sekali lagi. Kemudian ia membungkuk kepada wanita itu. Dan ia pergi tanpa sepatah kata pun.
Wladek menatap wanita itu terpana. "Terima kasih" letup nafasnya. Tak tahu dengan pasti apa lagi yang dapat ia katakan.

'Aku melihatmu muncul dari bawah kereta api tawanan" wanita itu memberitahu dengan tenang.

Wladek merasa sakit. "Tapi aku tak akan menyerahkanmu. Aku punya seorang kemenakan muda dalam salah satu kamp yang mengerikan itu. Dan kita semua yang tahu tentang kamp itu merasa takut jangan-jangan kita suatu saat berakhir di sana. Apa yang kau kenakan di bawah mantolmu?'

Wladek menimbang-nimbang untung rugi antara lari keluar gang atau melepas mantolnya. Jika ia lari keluar, tak ada tempat di kereta di mana ia bisa bersembunyi. Ia melepas mantolnya.

"Tak seburuk yang kukira" kata wanita itu "seragam penjaramu kauapakan?"

“Kubuang keluar jendela"

'Kita harapkan semoga mereka tidak menemukannya sebelum engkau tiba di Moskwa."
Wladek tak berkata apa-apa.

'Apa sudah ada tempat di Moskwa?"

Ia kembali memikirkan nasehat dokter untuk tidak mempercayai siapapun. Tapi kini ia harus mempercayai wanita itu.

'Aku tak tahu mau tinggal di mana."

'Jika begitu, kamu bisa tinggal di tempatku hingga kamu menemukan tempat tinggal lain. Suamiku kepala stasiun di Moskwa. Dan gerbong ini khusus untuk pejabat pemerintah.' Demikian keterangannya. “Jika kamu berbuat kesalahan seperti itu lagi, engkau akan mengembalikan seluruh kereta api ke Irkutsk lagi."

Wladek menelan ludah. "Haruskah aku pergi sekarang?"

“Tidak. Sekarang tidak. Karena kondektur telah melihatmu. Sementara ini kamu aman bcrsamaku. Apakah mem iliki surat identitas? "

”Tidak. Surat apa itu?"

"Sejak Revolusi setiap warga negara Rusia harus memiliki surat identitas yang menunjukkan siapa dia, alamat dan pekerjaannya. Bila tidak, akhirnya ia akan dipenjarakan; kecuali bila ia bisa menunjukkannya. Sekali ia berada di penjara karena tak bisa menunjukkan identitasnya, ia akan di situ seterusnya." Demikian penjelasannya apa adanya. "Engkau harus tetap dekat denganku bila tiba di Moskwa. Dan ingat jangan buka mulut."

"Anda sangat baik kepadaku" tanya Wladek curiga.

“Kini Tsar telah tiada. Tak ada seorang pun dari kita yang aman. Aku beruntung menikah dengan orang yang tepat." tambahnya. "Tapi tak ada warga negara satu pun di Rusia ini termasuk para pejabat pemerintah, yang tak hidup dalam rasa ketakutan te-rus-menerus akan ditahan dan dimasukkan ke kamp Namamu siapa?"

"Namamu siapa?"

"Wladek."

“Baiklah. Kini kau tidur, Wladek. Sebab engkau nampak kelelahan. Perjalanannya panjang. Dan kamu belum aman.” Wladek tidur.

Ketika ia bangun selang beberapa jam, di luar sudah gelap. Ia memandang wanita pelindungnya. Dan wanita itu tersenyum. Wladek tersenyum kembali. Sambil berdoa semoga wanita itu bisa dipercaya tak menceritakan kepada para pejabat siapa dia sebe-narnya. Atau apakah ia telah melaporkannya? Wanita itu mengeluarkan beberapa makanan dari bungkusan. Dan Wladek makan jamuan itu dengan diam. Ketika mereka sampai di stasiun berikutnya hampir semua penumpang turun. Beberapa di antaranya untuk seterusnya. Dan beberapa untuk meluruskan anggota tubuhnya. Tapi kebanyakan mencari sedikit minuman yang ada.

Wanita setengah baya itu bangkit dan memandang Wladek. "Mari ikut saya" katanya.

Ia berdiri dan mengikuti wanita itu. Menuju peron. Apakah ia hendak diserahkan? Wanita itu mengulurkan tangan. Dan Wladek menggandengnya seperti lazimnya anak umur 13 tahun menemani ibunya. Wanita itu pergi ke WC yang diberi tanda untuk wanita. Wladek ragu-ragu. Tapi wanita itu mendesaknya. Dan ketika sudah ada di dalam, wanita itu menyuruh Wladek melepas pakaiannya. Ia mematuhinya tanpa mempertanyakannya lebih lanjut, karena ia tidak punya siapa-siapa lagi sejak kematian Baron. Sementara Wladek melepas pakaian, wanita itu memutar satu satunya kran yang ada. Keluarlah tetes-tetes air coklat. Wanita itu merasa jijik. Tapi bagi Wladek itu jauh lebih baik daripada air di kamp. Wanita itu mulai membasuh luka Wladek dengan sepotong kain basah. Dan ia bersusah-payah mencoba memandikannya. Ia berkernyit ketika melihat luka parah di kaki. Wladek tidak menggerutu karena sakit setiap kali disentuh lukanya, sebab wanita itu melakukannya dengan sangat lembut.

"Bila engkau telah tiba di rumah kami, luka-luka itu akan kurawat lebih baik lagi." katanya "tapi untuk sekarang ini harus cukup."

Kemudian wanita itu melihat gelang perak. Mengamati tulisan di atasnya. Dan memandang Wladek dengan hati-hati "Apakah ini milikmu? Dari siapa engkau mencurinya?" tanyanya. Wladek nampak tersinggung. *Aku tidak mencurinya. Ayahku memberikannya kepadaku sebelum meninggal."

Wanita itu kembali menatapnya bengong. Dan matanya mengungkapkan pandang yang berbeda. Takut ataukah rasa hormat? Ia menundukkan kepala “Hati-hati Wladek. Orang berani membunuh untuk memperoleh benda yang sedemikian berharga itu."

Wladek mengangguk setuju. Lalu mulai cepat berpakaian. Mereka kembali ke gerbong mereka. Terlambat satu jam di stasiun adalah hal biasa. Dan ketika kereta api bergerak maju, Wladek gembira merasakn roda-roda bergeretakan lagi di bawahnya. Kereta itu membutuhkan waktu 12 setengah hari untuk mencapai Moskwa. Setiap kali ada kondektur baru muncul, Wladek dan wanita itu melaksanakan hal rutin seperti yang telah terjadi. Wladek untuk pertama kali dalam hidupnya mencoba nampak polos dan masih kanak-kanak. Hal mana tidak begitu meyakinkan. Sedang wanita itu sungguh meyakinkan menjadi seorang ibu. Kondektur selalu membungkuk hormat kepada wanita setengah baya itu. Dan Wladek mulai beranggapan bahwa kepala stasiun di Rusia pasti merupakan orang-orang penting.

Saat mereka menjelang menyelesai kan perjalanan 1000 mil ke Moskwa, Wladek sepenuhnya mempercayai wanita itu. Dan ia sangat ingin melihat rumahnya. Awal sore hari kereta api akhirnya berhenti. Dan walaupun telah mengalami segalanya itu, ia sangat takut, karena sekali lagi ia merasakan ketakutan akan sesuatu yang tak ia ketahui. Ia belum pernah meninjau kota besar. Apalagi ibu kota seluruh Rusia. Ia belum pernah melihat orang sedemikian banyaknya. Semuanya terburu-buru. Wanita itu merasakan kecemasannya

“Ikuti aku. Jangan bicara. Jangan membuka topimu.”

Wladek menurunkan barangnya dari rak kereta api. Menenggelamkan topi menutupi kepalanya, kini tertutup rambut pendek hitam. Terselubungi hingga telinganya. Ia mengikuti wanita itu menuju perron.

Manusia berjubel di muka pagar besi, menunggu hendak keluar melalui pintu sempit. Terjadi hambatan. Sebab setiap orang harus menunjukkan surat-surat identitas kepada penjaga. Ketika wanita itu dan Wladek mendekati pagar, Wladek hampir-hampir dapat mendengar degup jantungnya. Seperti gendering pajurit. Tapi ketika giliran mereka tiba rasa takut hilang seketika. Penjaga hanya selayang memandang dokumen wanita itu.

"Tovarishch (Saudara)" katanya. Ia memberi hormat. Dan memandang Wladek.

“Anakku" jelas wanita itu.

“Sudah barang tentu, Tovarishch". Dan ia memberi hormat lagi.

Wladek sudah berada di Moskwa.

Walaupun ia mempercayai teman barunya sepenuhnya, namun naluri pertamanya mengatakan ia harus lari. Tetapi oleh karena 150 rubel tidak mencukupi untuk hidup, maka ia memutuskan untuk menanti saatnya yang tepat. Ia selalu dapat melarikan diri pada kesempatan lain di kemudian hari. Kereta berkuda sudah menanti mereka di stasiun. Lalu membawa wanita itu dan putra barunya ke rumah. Ketika mereka tiba, pak kepala stasiun tak ada di rumah. Maka wanita itu langsung membuat ranjang tambahan untuk Wladek. Kemudian ia menuang air yang telah dijerangnya di kompor ke dalam jembangan besar. Dan menyuruh Wladek masuk ke dalamnya. Itu adalah mandi pertama setelah 4 tahun lebih tidak mandi. Kecuali jika ia hitung juga ketika ia mencebur di sungai. Wanita itu menjerang air lagi lalu kembali memperkenalkan Wladek dengan sabun. Dan punggungnya pun digosoknya. Air itu berubah warna. Dan setelah 20 menit air menjadi hitam. Ketika Wladek sudah kering, wanita itu mengurapinya dengan minyak di lengan dan kakinya. Dan membalut lagi bagian tubuh Wladek yang nampak parah. Wanita menatap puting susunya yang hanya satu. Ia cepat-cepat berpakaian dan segera bergabung dengannya didapur. Nyonya itu sudah memasak sup dan buncis. Wladek makan jamuan lezat itu dengan lahap. Kedua. duanya tak ada yang bicara. Ketika sudah usai makan, wanita itu menyarankan kiranya bijaksana bila Wladek tidur dan istirahat.

"Aku tak menghendaki suamiku melihatmu di sini sebelum aku menceriterakan kepadanya mengapa engkau ada di sini." Ia menjelaskan. "Apa engkau mau tinggal di sini bersama kami, Wladek, jika suamiku setuju?"

Wladek mengangguk penuh rasa terimakasih.

"Nah, sekarang ayoh tidur sana " katanya.

Wladek patuh. Dan berdoa semoga suami nyonya itu mengizinkannya untuk tinggal bersama mereka. Ia membuka pakaian pelan-pelan. Dan naik ranjang. Ia merasa sangat bersih. Dan seprei itu pun terlalu bersih. Kasurnya terlalu empuk. Dan ia membuang bantal ke lantai. Tapi ia begitu lelah hingga ia tertidur. Walau ranjangnya begitu nyaman. Ia terjaga dari tidur nyenyak beberapa jam kemudian. Karena suara-suara berisik dari dapur. Ia tak tahu pasti berapa lama ia tertidur. Di luar sudah gelap ketika ia keluar dari ranjang ia berjalan menuju pintu. Pelan-pelan membukanya. Dan mendengarkan pembicaraan yang terjadi di bawah. Di dapur.

“Kamu wanita bodoh" terdengar suara tinggi melengking. "Apa tak mengerti apa yang hendak terjadi seandainya engkau tertangkap? Kamulah yang akan dikirim ke kamp."

“Tapi seandainya engkau melihatnya, Piotr, seperti binatang buronan!'

“O jadi kamu memutuskan kita yang dijadikan bunatang buronan" kata suara lelaki itu. "Apa ada seorang lain yang melihatnya?"

“Tidak. Kukira tidak." kata wanita itu.

"Syukurlah, bila demikian. Dia harus pergi secepatnya sebelum setiap orang tahu ia ada di sini. Itulah satu-satunya harapan kita. "

'Tapi mau pergi ke mana, Piotr? Ia tersesat dan sebatang kara." Pengayom Wladek itu mulai membelanya. "Dan aku selalu menginginkan seorang anak lelaki."

“Aku tak peduli apa maumu atau ke mana ia pergi. Ia bukanlah tanggungiawab kita dan kita harus secepatnya terbebas darinya.”

'Tapi Piotr, dia itu berdarah biru. Kiranya ayahnya adalah seorang Baron. Ia mengenakan gelang perak  di pergelangannya bertuliskan kata-kata . . ."

"Itu malah memperburuk situasi. Engkau tahu dekrit para peimimpin baru kita. Tak ada Tsar, tak ada kaum ningrat, tak ada hak-hak istimewa. Kita bahkan tak usah mengurusi pergi ke kamp. Para pejabat bahkan akan menembak kita."

"Piotr, kita selalu menghendaki seorang anak laki-laki. Apakah kita tak boleh mengambil risiko satu ini dalam hidup kita?"

"Dalam hidupmu, mungkin. Tapi jangan dalam hidupku. Keputusanku: ia harus pergi. Dan sekarang juga.”

Wladek tak perlu mendengarkan pembicaraan mereka lagi.

Sambil memutuskan bahwa satu-satunya jalan membantu penolongnya ialah menghilang tanpa bekas ke dalam kegelapan malam, ia cepat-cepat mengenakan pakaian. Lalu memandangi ranjang yang telah ia tiduri. Ia mengharapkan semoga jangan sampai setelah empat tahun lagi ia baru akan melihat ranjang seperti itu lagi. Ia baru melepas grendel jendela ketika tiba-tiba pintu terjeblak lebar. Dan kepala stasiun masuk ke kamar. Sesosok orang kecil. Tak lebih besar daripada Wladek. Berperut gendut. Botak. Tapi ada beberapa untai rambut abu-abu tersisir licin. Memberi kesan seolah-olah rambut palsu.

Ia mengenakan kacamata lornyet yang menyebabkan setengah lingkaran merah di bawah mata. Orang itu membawa lampu tempel. Ia berdiri memandangi Wladek. Wladek memandangnya kembali menantang.

“Turun ke bawah" perintah pria itu.

Wladek dengan enggan mengikutinya ke dapur. Waniita itu sedang menangis duduk menghadap meja.

'Nah, dengarkan, nak" kata pria tersebut.

'Namanya Wladek" sela nyonya itu.

'Nah, dengarkan nak" ulang pria itu. "Kamu merupakan masalah. Dan aku ingin kamu keluar dari sini. Dan pergi sejauh mungkin. Akan kuberitahu apa yang kulakukan untuk membantumu."

Membantu? Wadek menatapnya sekeras batu.

'Aku akan memberimu karcis kereta api. Kamu akan pergi ke mana?"

'Odessa" kata Wladek. Tak tahu di mana itu letaknya. Atau berapa harga karcisnya. Ia hanya tahu bahwa Odessa adalah kota berikutnya di peta dokternya untuk menuju ke kebebasan.

'Odessa kota kriminil. Suatu tujuan yang sesuai" ejek pak kepala stasiun.'Kamu hanya bisa berada diantara orang-orang sekelasmu. Untuk bermaksiat disana,"
'Kalau begitu, biar dia tinggal bersama-sama kita, Piotr. Aku akan merawatnya. Ya, akan kurawat . . ."

'Jangan. Sekali-kali jangan. Aku lebih suka membayar anak haram ini."

'Tapi bagaimana ia bisa lolos dari tangan para pejabat?" bela wanita itu.

'Aku akan memberinya karcis dan surat pas untuk Odessa.'’Lalu menengok ke Wladek "Bila telah berada di kereta, jika aku masih melihat atau mendengar kamu lagi di Moskwa, maka begitu terlihat aku akan melaporkanmu. Supaya ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara terdekat. Kamu akan kembali ke kamptawanan itu secepat kereta dapat membawamu ke sana. Jika mereka tidak menembakmu terlebih dahulu.”

Ia memandang jam di dinding cerobong atas tungku. Pukul sebelas lewat lima menit. Ia berpaling pada isterinya. *Ada kereta yang berangkat ke Odessa tengah malam. Aku sendiri akan mengantarkannya ke stasiun. Aku ingin kepastian bahwa ia meninggalkan Moskwa. Apa ada barang bawaan ?"

Wadek sudah hampir mengatakan "Tidak", ketika wanita itu berkata "Ya, ada. Aku akan mengambilkannya."

Wladek dan kepala stasiun saling memandang penuh penghinaan. Wanita itu lama perginya. Jam warisan keluarga telah berdentang sekali selama wanita itu tak ada di situ. Keduanya tak berbicara. Dan mata pak kepala stasiun tidak pernah beralih dari Wladek. Ketika isterinya kembali, ia membawa bingkisan besar terbungkus kertas coklat diikat dengan tali. Wladek memandanginya. Dan mulai memprotes. Tapi ketika mata mereka bertemu pandang, Wladek melihat wanita itu begitu ketakutan hingga ia hanya bia mengeluarkan kata-kata "Terimakasih. "

"Makanlah ini," katanya sambil menyodorkan semangkok sop dingin kepada Wladek.

Ia menurut, walau perutnya yang kini susut sudah terlalu penuh. Ia melahap sop itu secepat mungkin. Tak ingin nyonya itu memperoleh kesulitan lebih banyak lagi.

“Binatang" kata orang itu.

Wladek memandangnya. Matanya memancarkan kebencian. Ia merasa kasihan terhadap wanita yang seumur hidup terikat dengan pria demikian itu.

'Mari. Kita berangkat" kata kepala stasiun. "Kita. tak menghendaki engkau ketinggalan kereta, ya kan?" Wladek mengikuti orang itu keluar dapur. Ragu-ragu ketika melewati wanita itu. Ia menyentuh tangan wanita tersebut. Terasa ada tanggapan. Tak sepatah pun terucapkan. Kata-kata tak akan memadai. Kepala stasun dan pelarian itu menyelusuri jalanan Moskwa. Sambil sembunyi-sembunyi dalam bayangan. Hingga akhirnya mereka tiba di stasiun. Kepala stasiun mendapatkan karcis satu jalan ke Odessa. Dan memberikan kartu merah kecil itu kepada Wladek.

'Surat pas saya?" tanya Wladek menantang.

Dari dalam saku pria itu mengeluarkan formulir yang tampak resmi. Lalu cepat-cepat menandatanganinya. Dan dengan sembunyi-sembunyi menyerahkannya kepada Wladek. Mata pak kepala stasiun tetap memandang sekeliling kalau-kalau ada bahaya. Wladek telah melihat mata demikian itu berkali-kali selama 4 tahun yang baru lalu. Mata penakut.
*Jangan sampai aku mendengar atau melihat kamu lagi" pak kepala stasiun berkata dengan suara garang. Wladek pernah mendengar suara demikian itu berkali-kali selama empat tahun yang baru lalu.

Ia mendongak mau mengatakan sesuatu. Tapi kepala stasiun telah menghilang dalam bayangan malam. Itulah daerahnya. Wladek memandangi mata orang-orang yang bergegas melewatinya. Mata yang sama. Sama-sama ketakutan. Apakah ada seseorang di dunia ini yang bebas? Wladek mengepit bungkusan kertas coklat. Menata topi. Lalu berjalan menuju pagar pembatas. Kali ini ia merasa lebih percaya diri. Ia menunjukkan surat kepada penjaga. Dan diizinkan langsung lewat tanpa komentar. Ia naik kereta api. Kunjungannya ke Moskwa hanya sebentar. Dan ia tak akan melihat kota itu lagi seumur hidupnya. Walau ia akan selalu ingat keramahan wanita itu. Nyonya kepala stasiun . Tovarichsh. . . Ia bahkan tak mengetahui nama wanita itu.

Wladek menempati gerbong kelas umum dalam perjalanan ini. Odessa jauh lebih dekat dari Moskwa daripada Irkutsk. Kira-kira seibu jari panjangnya di atas peta dokter itu. Delapan ratus mil dalam kenyataannya. Sementara Wladek mempelajari peta rudi-menter ini, perhatiannya terganggu oleh permainan dadu yang dilakukan di gerbong. Ia melipat perkamen itu. Mengembalikannya dalam jahitan setelan dengan aman. Lalu mulai memperhatikan permainan itu. Ia melihat bahwa salah seorang penjudi senantiasa menang. Bahkan bila naga-naganya macet. Wladek memperhatikan orang itu lebih cermat lagi. Ia segera menyadari bahwa orang itu penipu.

Ia pindah ke seberang lain gerbong itu supaya pasti ia masih bisa melihat orang itu menipu bila berhadapan dehgannya. Tapi tak bisa. Ia menggeser maju dan membuat tempat untuk dirinya dalam lingkaran para penjudi. Setiap kali penipu kalah dua kali dalam satu giliran, Wladek mendukungnya dengan satu rubel. Dengan demikian mendobel taruhannya hingga ia menang. Penipu itu merasa tersanjung atau sadar ia akan bijaksana bila tetap mendiamkan keberuntungan Wladek. Menjelang tiba di stisiun berikutnya, Wladek telah menang 14 rubel. Dua rubel telah ia manfaatkan untuk membeli sebuah apel dan secangkir sup panas Ia telah memperoleh cukup uang untuk pergi ke Odessa. Ia senang dengan gagasan bisa memperoleh beberapa rubel lagi dengan sistem baru yang aman. Dalam hati ia berterimakasih kepada penjudi yang tak dikenalnya itu. Ia naik kembali ke dalam keretanya, siap meneruskan strategi ini' Ketika kaki-nya menyentuh anak tangga teratas, ia dihantam melesat ke sudut. Lengannya sakit dipuntir di belakang punggung. Dan wajahnya dibenturkan keras pada dinding gerbong. Hidungnya mulai berdarah' Dan ia dapat mirasakan pucuk belati menyentuh daun telinga.

'Kau dengar aku, ujang?"

'Ya' kata Wladek terkaku.

“Jika kamu kembali ke gerbongku lagi, aku akan memotong telinga ini. Lalu kamu tak akan bisa mendengarku lagi, ya kan?"

'Betul, tuan" kata Wladek.

Wladek merasakan ujung pisau mengelupas permukaan kulit di belakang telinga. Dan darah mulai menetesi lehernya.

'Jadikanlah ini sebagai peringatan"'

Sebuah lutut tiba-tiba menghajar ginjalnya' Dengan seluruh kekuatan yang bisa dikerahkan penjudi itu. Wladek terbanting di lantai. Sebuah tangan meng-gerayangi saku-saku jasnya. Dan rubel yangbaru ia peroleh berpindah tempat.

"Ini milikku" kata suara itu.

Darah masih mengalir dari hidung dan belakang telinga Wladek.

Ketika ia mengumpulkan seluruh keberanian untuk mendongak, ia tinggal sendirian. Penjudi sudah tidak ada di situ. Ia mencoba berdiri.

Tapi tubuhnya tak mampu menaati perintah otaknya. Maka ia tetap terkulai di sudut beberapa menit lamanya. Akhimya ketika ia bisa bangkit, ia berjalan pelan ke sudut lain kereta itu. Sejauh mungkin dari gerbong penjudi. Ia menyangat-nyangatkan kepincangannya. Sembunyi di gerbong yang kebanyakan diduduki para wanita dan anak-anak. Dan ia tertidur nyenyak.

Di tempat pemberhentian berikutnya, Wladek tidak meninggalkan kereta. Ia membuka bungkusan dan menelitinya. Apel, roti, kacang, kemeja, pantalon, dan bahkan sepatu juga ada dalam harta karun terbungkus kertas coklat itu. Ia ganti pakaian baru. Betapa hebat wanita itu. Betapa kerdil suaminya.

Ia makan. Ia tidur. Ia bermimpi. Dan akhirnye setelah selang lima malam empat hari, kereta itu mendengus-dengus di stasiun terminal Odessa. Kembali ia diperiksa pada pintu karcis. Tapi semua surat-suratnya beres. Dan penjaga hampir-hampir tak memeriksanya lagi. Kini ia benar-benar sendirian. Ia masih memiliki 150 rubel dalam lipatan lengan. Dan tak berniat memboroskannya satu lembar pun.

Sisa hari itu Wladek habiskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kota. Mencoba membiasakan diri dengan letak geografisnya. Tapi ia selalu dibuyarkan oleh pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Rumah-rumah kota yang besar-besar. Toko-toko dengan jendela. Penjaja sedang menjual minuman warna-warni di jalan. Lampu-lampu gas. Dan bahkan seekor monyet di galah. Wladek terus berjalan hingga tiba di pelabuhan dan lautan luas di belakangnya. Ya, itulah yang disebut Baron: laut. Wladek memandang penuh kerinduan ke keterbentangan biru itu. Melalui jalan itulah terbentang kebebasan. Dan lolos dari Rusia. Kota tersebut pasti cukup mengalami perang:rumah-rumah terbakar habis. Dan panasnya sangat terasa di udara laut yang lembut dan berbau bunga. Wladek keheran-heranan apakah kota itu masih dalam perang. Tak ada seorangpun yang dapat ia tanyai. Ketika matahari terbenam di belakang gedung-gedung tinggi, ia mulai mencari-cari suatu tempat untuk bermalam. Wladek masuk jalan simpang dan terus berjalan. Ia kiranya merupakan suatu pemandangan yang aneh. Dengan mantol bulu domba yang hampir menyentuh tanah. Dengan bungkusan coklat yang dikempitnya. Tak ada yang nampak aman baginya. Hingga aktrirnya ia menemukan rel kereta api menyimpang. Di situ terdapat sebuah gerbong kereta lengang tersendiri. Ia memandanginya dengan hati-hati: gelap dan sunyi. Tak ada seorang pun. Ia melempar bungkusannya ke dalam gerbong. Menaikkan tubuhnya yang telah lelah itu masuk ke dalam gerbong. Lalu merangkak ke sudut dan berbaring hendak tidur. Begitu kepalanya menyentuh lantai kayu, sesosok tubuh melompat menindihnya. Dan dua tangan secepat kilat mencekik lehernya. Ia hampir tak dapat bernafas. "Siapa kamu ?” gertak suara seorang anak dalam kegelapan. Terdengar tak lebih tua dari dirinya sendiri.

'WladekKoskiewicz.'

"Kamu dari mana?"
'Moskwa." Slonim hampir-hampir terlontar dari ujung lidah Wladek.

"Nah, orang Moskwa, kamu tak boleh tidur di keretaku." kata suara itu.

'Maaf. Aku tak tahu." kata Wladek.

"Punya uang?" Ibu jarinya ditekankan di tenggorokan Wladek.

"Ya sedikit" kata Wladek.

"Berapa?"

"Tujuh rubel"

"Serahkan kepadaku."

Wladek menggerayangi saku mantolnya. Sementara bocah itu memasukkan satu tangan erat-erat kedalamnya, dan dengan demikian mengendorkan cengkeraman di tenggorokan Wladek. Dalam sekejap Wladek menghantamkan lutut ke selangkang anak itu sekuat tenaga yang dapat ia kerahkan. Penyergapnya terpelanting kesakitan. Memegangi selangkang. Wladek menubruknya. Memukulnya keras-keras. Ke menangan anak itu tiba-tiba berubah. Ia bukan lawan Wladek. Tidur dalam kereta terbengkalai adalah suatu kemewahan seperti tidur di hotel berbintang lima bila dibandingkan dengan tinggal di tahanan bawah tanah dan di kamp kerjapaksa Rusia.

Wladek baru berhenti ketika lawannya telah terpaku di lantai kereta. Takbisa apa-apa. Anak itu minta ampun kepada Wladek.

“Pergi ke sudut jauh ke sana. Dan tetap tinggal di sana” kata Wladek. 'Bila menggerakkan satu otot saja kubunuh kau."

'Ya, ya" kata anak itu buru-buru pergi. Wladek mendengar anak itu menggedebum jauh di ujung kereta. Ia duduk diam. Beberapa saat mendengarkan. Tak ada gerakan. Laalu ia membaringkan diri di lantai. Dan beberapa detik lagi ia tidur dengan nyenyaknya.

Ketika ia terbangun, matahari telah bersinar di celah-celah dinding kereta. Ia membalik dan memandangi lawannya semalam untuk pertama kalinya. Anak itu tidur meringkuk seperti udang di sudut lain kereta.

“Datanglah ke mari”perintah Wladek. Bocah itu bangun pelan-pelan.

'Kemarilah!' ulang Wladek lebih keras lagi. Bocah itu langsung mematuhinya. Itu adalah kali pertama Wladek dapat memandanginya baik-baik. Mereka kira-kira sebaya. Tapi bocah itu jelas-jelas 30 centi lebih tinggi. Dengan wajah lebih muda dan rambut pirang yang kusut.

“Yang penting harus didahulukan' kata Wladek,

“Bagaimana bisa memperoleh makanan?"

“Ikuti aku' kata bocah itu. Dan ia meloncat keluar gerbong. Wladek berpincang mengikutinya dari belakang. Mendaki bukit menuju kota. Di situ baru ada pasar pagi. Ia tidak pernah melihat makanan begitu banyak sejak ikut santap besar dengan Baron. Berderet-deret kios dengan buah-buahan, sayur-mayur, sayuran hijau-hijauan, dan bahkan kacang kesayangannya. Anak itu bisa melihat bahwa Wladek terbengong-bengong melihatnya.

'Kini akan kuberitahu cara kerja kita," kata anak itu. Untuk pertama kalinya bernada penuh keyakinan. "Aku akan menyeberang ke sana ke kios sudut. Dan mencuri sebuah jeruk. Kemudian lari. Kamu berteriak keras-keras 'Tangkap pencuri!' Pemilik kios akan mengejarku. Dan bila ia berbuat demikian, kamu bergerak dan penuhilah saku-sakumu. Tapi jangan tamak. Cukup untuk satu kali makan. Kemudian kembali ke mari. Mengerti?"

"Ya, kiraku demikian." kata Wladek.

"Coba, apakah engkau mampu melakukannya orang Moskwa." Anak itu memandanginya. Menggeram. lalu pergi. Wladek mengamatinya dengan kagum. Sementara anak itu bergaya sombong menuju sudut kios pasar yang pertama. Mengambil sebuah jeruk dari puncak gunungan jeruk. Berkomentar singkat kepada pemilik kios.

Lalu lari. Ia menengok ke belakang. Ke Wladek. Tapi Wladek lupa sama sekali berteriak ,.Tangkap pencuri." Namun pemilik kios mendongak dan mulai mengejar anak itu. Sementara mata semua orang tertuju kepada cecunguk Wladek, Wladek bergerak cepat dan menyambar 3 buah jeruk, sebuah apel, dan satu kentang. Dimasukkannya dalam saku mantolnya yang besar. Ketika pemilik kios nampaknya hamper menangkap cecunguk Wladek, anak itu melemparkan kembali jeruk tersebut kepadanya. Pemilik  kios berhenti. Dan mengambil jeruk tersebut sambil menyumpah-nyumpah dan mengacungkan tinjunya. Ia mengeluh kepada rekan-rekan pedagang sambil kembali ke kiosnya.

Wladek terguncang-guncang geli menonton adegan itu. Tiba-tiba sebuah tangan diletakkan kuat-kuat di atas pundaknya. Ia membalik terkejut kalau-kalau tertangkap.
'Orang Moskwa, kamu memperoleh sesuatu ataukah hanya menonton saja?"
Wladek meledak dalam tawa lega. Lalu mengeluarkan 3 jeruk, apel dan kentang. Anak itu ikut tertawa.

'Siapa namamu?" tanya Wladek.

'Stefan"

'Mari kita kerjakan sekali lagi, Stefan"

'Nanti dulu,.orang Moskwa. Jangan mulai menjadi terlalu pandai. Jika kita hendak melakukannya lagi, kita harus pergi ke ujung lain pasar ini. Dan menanti paling sedikit satu jam lagi. Kamu memang bekerjasama dengan seorang profesional. Tapi jangan mengira tidak pernah tertangkap sekali-sekali. "

Dua anak itu dengan tenang pergi ke ujung lain dari pasar tersebut. Stefan berjalan bergaya angkuh. Gaya yang ingin ditukar Wladek dengan 3 jeruk, apel, kentang dan 150 rubel. Mereka berbaur dengan para pembelanja di pagi hari. Dan ketika Stefan memutuskan saatnya telah tiba, mereka mengulangi kiat itu dua kali lagi. Setelah puas dengan hasilnya, mereka kembali ke gerbong kereta api untuk meniknati hasil ja-rahannya: jeruk 6 buah, apel 5 buah, kentang 3 buah, sebuah pir, berbagai jenis kacang-kacangan, dan hadiah istimewa sebuah semangka. Di masa lalu Stefan tak pernah punya saku cukup besar untuk membawa semangka. Namun mantol besar milik Wladek dapat memuatnya.

"Cukup bagus" kata Wladek sambil menggigit kentang.

'Apakah kaulahap dengan kulit-kulitnya sekaligus?" tanya Stefan kaget.

'Aku sudah tinggal di tempat-tempat di mana kulit kentang merupakan kemewahan.-“ jawab Wladek.

Stefan mendongak memandanginya dengan kagun

"Masalah berikutnya ialah bagaimana bisa memperoleh uang?" tanya Wladek,

“Engkau menghendaki segala hal dalam satu hari, ya kan, tuan?" kata Stefan. "Kelompok pekerja perantaian di pelabuhan adalah taruhan terbaik, jika kamu benar-benar menginginkan pekerjaan nyata, orang Moskwa"

"Tunjukkan" kata Wladek.

Setelah mereka menghabiskan setengah dari buah-buahan, dan menyembunyikan sisanya di bawah jerami di sudut gerbong kereta api, Stefan membimbing Wladek turun ke pelabuhan. Lalu menunjukkan banyak kapal. Wladek tak dapat mempercayai matanya. Ia telah diberitahu Baron tentang kapal-kapal besar yang mengarungi lautan dan mengangkut barang-barang menuju negeri asing. Tapi ini adalah kapal-kapat yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan. Dan mereka ini berbanjar sejauh mata memandang. Stefan memotong gagasannya. “Kaulihat yang di sana yang besar hijau itu? Nah, yang harus kaulakukan ialah ambil keranjang di bawah di papan pemuatan, penuhilah dengan gandum, naikilah tangga, lalu jatuhkan muatan itu ke dalam kemasan. Engkau menerima satu rubel untuk 4 kali jalan. Hitunglah baik-baik orang Moskwa, sebab si haram yang mengurusi pekerjaan ini akan menipumu begitu dia melihatmu. Dan ia akan mengantongi uangnya untuk diri sendiri."

Stefan dan Wladek menghabiskan sisa waktu siang hari itu untuk mengangkuti gandum naik tangga. Mereka berdua memperoleh 26 rubel. Setelah makan malam yang terdiri dari kacang curian, roti, dan bawang yang sedianya tak hendak mereka ambil, mereka tidur bahagia di dalam gerbong kereta mereka.

Wladek yang pertama terbangun di pagi berikutnya. Dan Stefan menemukannya sedang mempelajari peta.

"Apa itu?" tanya Stefan.

"Ini rute perjalanan yang. menunjukkanku bagaimana keluar dari Rusia."

"Buat apa meninggalkan Rusia, jika kamu bisa tinggal di sini dan bekerjasama denganku?" kata Stefan. *Kita bisa menjadi rekanan."

“Tidak. Aku harus ke Turki. Dan di sana aku akan menjadi manusia bebas untuk pertama kalinya' Mengapa engkau tak ikut aku, Stefan?"

"Aku takpernah bisa meninggalkan Odessa. Inilah rumahku. Rel kereta api ini adalah tempat tinggalku' Dan ini adalah orang-orang yang kukenal sepanjang hidupku. Tidak begitu baik, tetapi di Turki mungkin lebih buruk lagi. Tapi bila itu yang kauinginkan, Aku bisa membantumu.'

"Bagaimana aku bisa mengetahui kapal mana yang akan berlayar ke Turki?" tanya Wladek.

“Mudah. Sebab aku tahu cara mengetahui kapal mana akan pergi ke mana. Kita akan memperoleh informasi dari Joe Si Gigi Satu di ujung dermaga Engkau harus mengupahinya satu rubel."

“Taruhan, kau pasti berbagi uang itu dengannya”

'Separo-separo' kata Stefan. "Engkau cepat belajar, orang Moskwa.'Berkata demikian ia sambil meloncat keluar gerbong.

Wladek mengikutinya lari di antara kereta-kereta lain. Lagi-lagi menyadari betapa anak-anak lain mudah bergerak, sedang ia sendiri pincang. Ketika mereka tiba di ujung dermaga, Stefan membawanya ke kamar sempit penuh buku-buku berdebu dan jadwal-jadwal lama. Wladek tak dapat melihat siapa pun di sana. Tapi kemudian ia mendengar suara di balik tumpukan buku "Kau mau apa jembel? Aku takpunya waktu obralan untukmu."

"Beberapa informasi bagi rekanku seperjalanan Joe. Kapan kapal pesiar berikutnya berangkat ke Turki?"

"Uangnya dikeluarkan" kata orang tua yang kepalanya tersembul dari balik tumpukan buku. Suatu wajah berkerut-kerut termakan usia dan cuaca di bawah peci pelaut. Matanya yang hitam memandangi Wladek.

"Biasanya menjadi anjing laut yang besar," kata Stefan berbisik. Tapi cukup terdengar Joe.

“Jangan lancang, gus. Mana duitnya?"

“Temanku ini yang membawa dompetku," kata Sefan. 'Tunjukkan uang rubelnya Wladek."

Wladek mengeluarkan mata uang. Joe mengambilnya dengan satu-satunya gigi yang masih tinggal. Digeser-geser melintasi peti buku. Dan mengeluarkan jadwal besar berwarna hijau.
Debu beterbangan kemana-mana. Ia mulai terbatuk-batuk ketika membolak-balik lembaran-lembaran kotor. Sambil menggerakkan jarinya yang pendek dan tumpul termakan tali-temali merunut kolom nama-nama yang cukup panjang.

'Kamis berikut ini kapal Renaska akan masuk mengambil batu bara. Kemungkinan besar akan berangkat hari Sabtu. Jika kapal itu dapat mengambil muatan cukup cepat mungkin akan berangkat Jum'at malam. Dan dapat menghemat ongkos menginap. Renaska  akan masuk dok labuh Tujuh belas."

'Terimakasih Gigi Satu" kata Stefan, "akan kuusahakan mengajak rekan-rekan kaya lebih banyak lagi ke mari kelak."

Joe Gigi Satu mengacungkan kepalan sambil menyumpah-nyumpah. Semantara Stefan dan Wladek lari menuju dermaga.

Selama tiga hari berikutnya kedua anak itu mencuri makanan, memuat gandum dan tidur. Menjelang kapal Tinki itu datang di hari Kamis berikutnya, Stefan hampir dapat meyakinkan Wladek supaya tetap tinggal di Odessa. Tapi ketakutan Wladek terhadap orang-orang Rusia melebihi daya tarik hidup baru dengan Stefan.
Mereka berdiri di atas dermaga. Mengamati kedatangan kapal baru yang memasuki dok ke labuh tujuh belas.

"Bagaimana aku dapat naik ke kapal?" Wladek.

"Mudah' jawab Stefan. "Kita dapat bergabung dengan kelompok pekerja perantaian esok pagi. Aku akan mengambil tempat di belakangmu. Dan bila palka batubara sudah hampir penuh, engkau dapat meloncat masuk. Dan bersembunyi. Sementara Aku mengambil keranjangmu,lalu turun di sisi lain."

"Dan menerima bagian uangku, sudah barang tentu, " kata Wladek.

"Sudah pasti,'sambut Stefan. "Harus ada imbalan keuangan bagi inteligensi yang lebih tinggi. Bila tidak, bagaimana dapat tetap mendukung kepercayaan terhadap usaha bebas?' Keesokan harinya mereka pertama-tama bergabung dengan kelompok pekerja perantaian. Dan mengangkut batubara naik turun tangga kapal hingga keduanya siap untuk memuatkannya. Tapi belum juga cukup. Palka itu belum juga setengah penuh menjelang malam tiba. Kedua anak itu tidur dengan nyenyaknya. Hari berikutnya mereka mulai lagi. Dan tengah hari, ketika palka sudah hampir penuh, Stefan menendang mata kaki Wladek.
"Saat berikut, orang Moskwar" katanya.

Ketika mereka tiba di pucuk tangga kapal, Wladek menumpahkan batubara. Dan melemparkan keranjang ke dek. Meloncat di sisi palka dan terjun ke batubara. Sementara Stefan memungut keranjang Wladek, lalu meneruskan di sisi lain tangga kapal sambil bersiul.

'Selamat jalan, sahabatku,' katanya, "dan sukses dengan orang-orang Turki kapir itu."

Wladek memperkecil diri di sudut palka' Dan mengamati bara tercurah di sebelahnya. Debu beterbangan ke mana-mana. Ke dalam hidung dan mulut. Di dalam paru-paru dan matanya. Walau terasa sulit, ia berusaha tidak batuk karena takut terdengar oleh seorang awak kapal. Tepat ketika ia tak tahan lagi terhadap udara dalam palka, dan hendak kembali ke Stefan mencari cara lain untuk melarikan diri, ia melihat pintu di atasnya ditutup. Maka ia lalu batuk leluasa.

Setelah beberapa saat ia merasa sesuatu menggigit mata kakinya. Darahnya membeku ketika ia menyadari apa itu mestinya. Ia melihat ke bawah, berusaha menemukan dari mana asalnya. Begitu ia melemparkan batubara ke binatang itu dan membuatnya lari terburu-buru, maka binatang lain menyusulnya. Lalu yang lain lagi. Yang lain lagi. Yang lebih berani menyerang kaki. Mereka seakan-akan bukan dari mana-mana datangnya. Hitam. Besar-besar. Dan kelaparan. Ia memandangi mereka. Mencari mereka. Baru pertama kali dalam hidupnya Wladek menyadari bahwa tikus itu mempunyai mata merah. Ia bersusah-payah naik ke atas onggokan batubara dan membuka lubang palka. Sinar matahari tercurah masuk. Dan tikus-tikus itu masuk terowongan batubara. Ia mulai merangkak naik. Tapi kapal sudah cukup jauh dari dermaga. Ia jatuh di palka. Kaget. Jika kapal itu diharuskan kembali dan menyerahkan Wladek, ia tahu bahwa itu berarti perjalanan satu arah ke Kamp 201 dan orang-orang Rusia Putih. Ia memilih tetap tinggal tetap bersama tikus-tikus hitam. Begitu ia menutup palka, mereka menyerbu kembali. Secepat ia melempar segumpal batubara kepada binatang merayap itu, ada yang baru lagi muncul di tempat lain. Setiap beberapa saat Wladek harus membuka lubang palka supaya cahaya masuk. Sebab hanya cahayalah satu-satunya sekutu yang membuat binatang pengerat itu terkejut lari.

Selama dua hari dan tiga malam Wladek melangsungkan peperangan terus-menerus melawan tikus tanpa dapat tertidur sekejap pun. Ketika kapal itu akhirnya memasuki pelabuhan Konstantinopel kelasi geladak membuka palka, Wladek menjadi hitam kelam dari kepala hingga lutut karena kotor. Dan dari lutut hingga jari kaki merah berlumur darah. Kelasi geladak mengeluarkannya. Wladek mencoba berdiri tegak. Tapi ambruk menjadi onggokan di geladak.

Ketika Wladek sadarkan diri kembali - ia tak tahu di mana dan berapa lama sesudahnya - ia telentang di ranjang diranjang di suatu kamar kecil ditunggui 3 pria berjas putih panjang. Mereka sedang memeriksanya secara cermat. Mereka berbahasa yang belum pernah ia dengar. Di dunia ini ada berapa bahasa? Ia memandang diri sendiri. Masih merah hitam. Dan ketika ia mencoba duduk, salah seorang pria berjas putih, seorang yang tertua di antara ketiga orang itu, dengan wajah kurus berkerut dan berjanggut seprti kambing, dengan tegas mendorongnya tidur kembali. Ia mengajak bicara Wladek dalam bahasa asing. Wladek menggelengkan kepala. Orang itu lalu mencoba berbahasa Rusia. Wladek lagi-lagi menggelengkan kepala. Itu akan merupakan jalan kembali yang tercepat menuju tempat asalnya. Bahasa berikut yang dicoba dokter itu ialah bahasa Jerman. Dan Wladek menyadari bahwa penguasaannya atas bahasa itu melebihi para pemeriksanya

'Apakah berbahasa Jerman?"

'Ya"

“Nah, kalau begitu bukan orang Rusia?"

'Bukan"

“Apa yang kaulakukan di Rusia?"

-Mencoba melarikan diri."

'Ah!" Orang itu lalu berpaling kepada rekan-rekannya dan nampaknya melaporkan pembicaraannya dalam bahasa mereka sendiri. Ketiganya lalu meninggalkan ruangan.

Seorang perawat datang dan menggosok bersih Wladek. Tanpa mempedulikan pekik teriakan kecemasannya. Ia mengurapi kakinya dengan balsem coklat tebal. Lalu  meninggalkannya supaya tidur lagi.

Ketika Wladek terjaga untuk kedua kalinya, ia sendirian saja. Ia telentang memandang langit-langit putih. Memikirkan tindakan berikutnya.

Masih belum tahu dengan pasti di negeri mana kini ia berada. Ia naik sampai ke ambang jendela. Dan memandang keluar jendela. Ia dapat melihat sebuah pasar, mirip yang ada di Odessa. Tapi para pria mengenakan jubah putih. Dan berkulit lebih gelap. Mereka juga mengenakan topi berwarna-warni yang mirip pot-pot bunga terbalik. Kaki mereka beralaskan sandal. Para wanita berpakaian serba hitam. Bahkan wajah mereka pun tertutup cadar kecuali mata hitam mereka. Wladek mengamati keramaian pasar sementara para wanita tawar-menawar makanan sehari-hari. Paling sedikit itu merupakan sesuatu yang internasional.

Setelah beberapa menit barulah ia menyadari bahwa ada tanggabesi merah menempel pada sisi jendela gedung hingga sampai ke tanah. Ia turun dari ambang jendela. Berjalan dengan hati-hati menuju pintu. Membukanya. Dan ia memandang tajam ke lorong. Pria dan wanita berjalan hilir mudik. Tapi tak seorangpun memperhatikannya. Ia menutup pintu pelan-pelan. Menemukan barang-barang miliknya di WC di sudut kamarnya. Dan cepat-cepat mengenakan pakaian. Pakaiannya masih hitam karena debu batubara. Dan terasa kasar berpasir di kulitnya yang bersih itu. Ia kembali ke ambang jendela. Jendela itu rnudah di buka. Ia memegang tangga penolong kebakaran. Keluar jendela dan menuruni tangga menuju kebebasan. Hal pertama-tama yang menyengatnya adalah terik matahari. Ia menginginkan tak usah mengenakan mantol tebal lagi.

Begitu menginjak tanah, Wladek mencoba lari. Tapi kakinya begitu lemah dan terasa sakit hingga ia hanya bisa berjalan pelan-pclan. Betapa ia ingin terlepas dari kepincangan itu. Ia tak menengok lagi ke rumah sakit. Hingga akhirnya ia lenyap tertelan orang berjubelan di pasar.

Wladek memandangi makanan yang menggiurkan di kios. Dan memutuskan untuk membeli jeruk dan kacang. Ia menggerayangi lipatan di setelannya. Sudah barang tentu uang itu ada di lengan bajunya. Ya sungguh  dulunya disitu. Tapi sekarang tak ada lagi. Dan yang lebih celaka lagi gelang perak itu juga tidak ada. Orang-orang berjas putih itu telah mencuri harta miliknya. Ia mempertimbangkan hendak kembali ke rumah sakit. Untuk mengambil kembali warisan yang telah hilang. Tapi lalu memutuskan tak akan kembali sebelum mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan. Mungkin masih ada sedikit uang didalam  sakunya. Ia mencari-carinya di saku mantol yang besar. Dan langsung menemukan 3 lembar uang kertas. Dan beberapa uang logam. Semuanya terkumpul bersama peta dokter itu. Dan juga gelang peraknya. Wladek sangat gembira menemukannya kembali. Ia mengenakan gelang peraknya. Disorongnya hingga di atas siku.

Wladek memilih jeruk besar-besar yang dilihatnya. Dan segenggam kacang. Penjaga kios mengatakan sesuatu kepadanya yang tak dapat dipahaminya. Menurut perasaan Wladek jalan termudah untuk mengatasi hambatan bahasa itu ialah menyerahkan lembaran uang 50 rubel. Penjaga kios memandanginya. Tertawa. Dan mengangkat tangan ke langit'

'Allah! "teriaknya. Sambil menyambar kacang dan jeruk dari Wladek. Dan dengan telunjuknya menyuruh dia pergi. Wladek pergi. Putus asa' Bila bahasa berbeda, uangnya pun berbeda pula. Demikian perkiraannya. Di Rusia ia miskin. Di sini ia tak berduit' Ia harus mencuri jeruk. Jika ia hampir tertangkap, ia akan melemparkannya kembali kepada penjualnya.

Wladek menyeberang ke sisi lain pasar seperti contoh Stefan. Tapi ia tak dapat meniru gaya angkuhnya. Dan ia tak memiliki rasa percaya diri yang sama. Ia memilih kios paling ujung. Dan ketika sudah pasti bahwa tak ada seorang pun yang melihatnya, ia mengambil jeruk dan mulai lari. Tiba-tiba terjadi hiruk-pikuk. Seolah-olah setengah kota itu mengejarnya.

Seseorang bertubuh besar menubruk Wladek yang terpincang-pincang. Dan mendorongnya hingga jatuh tersungkur di tanah. Enam atau tujuh orang memegangi berbagai bagian tubuhnya. Sementara kerumunan orang lebih banyak lagi menggerombol di sekitarnya. Ia diangkat kembali ke kios. Seorang polisi rnenunggu mereka. Berita dicatat. Pemiklik kios dan pak polisi berdiskusi dengan teriak-teriak. Tiap pernyataan dilancarkan dengan suara lebih keras lagi. Pak polisi berpaling kepada Wladek dan meneriakinya. Tapi Wladek tak menangkap sepatah kata pun. Polisi mengangkat bahu. Dan menjewer Wladek menyuruhnya pergi. Orang-orang melanjutkan membentaknya. Beberapa di antara mereka meludahinya. Setiba Wladek tiba di pos polisi, ia dijebloskan kedalam sel kecil bawah tanah. Sel itu telah dihuni 2O atau 30 orang kriminil, bangsat, pencuri atau apa lagi. Wladek tak tahu. Wladek tak bicara dengan mereka. Dan mcreka tak menunjukkan keinginan akan bicara dengannya. Ia tetap memunggungi tembok. Jongkok. Diam. Takut. Selama sehari semalam ia dikurung di situ tanpa diberi makan. Bau kotoran membuatnya muntah hingga perutnya tak berisi apa-apa lagi. Tak pernah terpikir olehnya bahwa pernah ada masa di mana penjara bawah tanah di Slonim nampak lapang dan damai.

Keesokan harinya Wladek diseret dari penjara bawah tanah oleh dua penjaga. Dan digiring ke balai di mana ia dibariskan bersama beberapa tahanan. Mereka diikat satu sama lain dengan tali sekeliling pingang mereka. Dan digiring dari penjara dalam barisan panjang memasuki jalan. Gerombolan orang banyak berkerumun di luar. Dan sorak mereka menyelamati kedatangan para tahanan membuat Wladek merasa bahwa mereka telah beberapa lamanya menunggu kedatangan para tahanan. Gerombolan itu mengikuti mereka sepanjang jalan ke pasar. Mereka memekik. Bertepuk  tangan. Berteriak. Entah apa alasannya. Wladek bahkan takut memikirkannya. Barisan itu herhenti setiba di pasar. Tahanan pertama dilepaskan dari tali. Lalu digiring ke tengah alun-alun yang sudah dijejali beratus-ratus orang. Semuanya berteriak dengan suara lantang.

Wladek menonton adegan itu hampir-hampir tak percaya. Ketika tahanan pertama tiba di alun-alun, ia dipukul oleh penjaga hingga jatuh berlutut. Lalu  tangan kanannya direntang pada sebuah kayu pancungan oleh seseorang gempal seperti raksasa. Raksasa ini mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepala lalu ditetakkan di pergelangan tangan tahanan dengan kekuatan dahsyat. Ia hanya memotong pucuk jari-jari. Tahanan itu melolong kesakitan. Dan pedang diayun lagi. Kali ini pedang menebas pergelangan. Tapi belum juga tuntas. Dan pergelangan bergelantung di tangan tahanan. Darah mengucur di pasir. Pedang diayun ketiga kalinya. Dan untuk ketiga kalinya pula pedang ditetakkan. Akhirnya tangan tahanan itu jatuh di tanah. Kerumunan orang itu gemuruh menyetujui Tahanan akhirnya dilepas. Dan ambruk menjadi onggokan. Tak sadarkan diri. Ia diseret oleh penjaga. Acuh tak acuh. Dan ditinggalkan di pinggir kerumunan orang. Seorang wanita menangis-nangis membalut tangan buntung itu dengan kain kotor. Ia pasti isterinya. Demikian pengandaian Wladek. Tahanan kedua meninggal karena kaget sebelum pedang menebas untuk keempat kalinya. Algojo raksasa itu tak mempedulikan maut. Maka ia buru-buru melanjutkan tugasnya. Ia memang dibayar untuk memotong tangan.

Wladek memandang sekeliling. Ngeri. Dan mual. Ia pasti muntah jika dalam perutnya masih ada sesuatu yang tersisa. Ia mencari-cari pertolongan ke semua arah. Ataupun suatu sarana untuk lolos. Tak ada seorang pun yang memberitahu kepadanya bahwa menurut hukum Islam melarikan diri akan dihukum dengan pemenggalan kaki. Matanya berkeliaran mengitari begitu banyak wajah hingga akhirnya dalam kerumunan orang banyak ia melihat seseorang yeng berpakaian cara Eropa. Mengenakan setelan hitam, orang itu berdiri sekitar 18 meter dari Wladek. Ia sedang mengamati tontonan itu penuh rasa muak. Tapi tak sekali pun ia berpaling ke arah Wladek. Dan ia pun tak dapat mendengar teriakan Wladek meminta tolong setiap kali kerumunan orang bergemuruh setelah pedang ditetakkan. Apakah ia orang Perancis,Jerman, lnggris, atau bahkan Polandia? Wladek tak tahu. Tapi karena sesuatu hal ia ada di sana menyaksikan tontonan menyeramkan ini. Wadek menatapnya. Maksudnya supaya orang itu berpaling kearahnya. Tapi ia tidak berpaling ke arahnya' Wladek melambaikan tangannya yang bebas. Tapi tak pula dapat menarik perhatian orang Eropa itu. Mereka melepaskan orang ketiga di muka Wladek. Ia diseret ke etas tanah menuju balok pancungan. Ketika pedang diayun lagi dan kerumunan orang bergemuruh, pria berrsetelan hitam itu memalingkan wajah karena muak. Dan Wladek melambaikan tangan kepadanya seperti orang gila.

Pria itu menatap Wladek. Lalu berpaling berbicara dengan seorang rekan yang tak dilihat Wladek sebelumnya. Kini penjaga sedang bergulat dengan tahanan tepat di depan Wladek. Ia memasang tangan tahanan di bawah tali pengikat. Pedang terayun dan memenggal tangan dalam satu sabetan. Kerumunan orang itu nampak kecewa. Wladek lagi-lagi memandangi orang Eropa itu. Mereka berdua kini menatapnya. Ia  memanggil mereka supaya bergerak. Tapi mereka hanya tetap menatap.

Penjaga mendekat. Melempar mantol Wladek yang seharga 50 rubel itu ke tanah. Melepas manset. Dan menggulung lengan baju. Wladek meronta sia-sia ketika diseret melintasi alun-alun. Ia bukan lawan penjaga. Ketika tiba di balok pancungan, belakang lututnya ditendang. Dan ia terjatuh di tanah. Tali diikat pada pergelangan tangan kanan. Dan tak lama kemudian ia hanya dapat memejamkan mata ketika pedang diayun di atas kepala algojo. Ia menunggu tetakan dahsyat dalam sekarat. Tiba-tiba dalam kerumunan itu terdengar suara ssst ketika gelang Baron tergeser dari siku Wladek ke pergelangan sampai ke balok pancungan. Orang banyak itu terdiam ngeri, ketika benda warisan itu berkilauan diterpa sinar matahari. Algojo berhenti dan menurunkan pedangnya. Ia mengamati gelang perak itu. Wladek membuka matanya. Penjaga mencoba melepas gelang dari pergelangan Wladek. Tapi ia tak dapat melepaskannya melewati tali pengikat. Seseorang dengan pakaian seragam lari cepat menghubungi algolo. Ia juga meneliti gelang dan tulisannya. Kemudian lari ke orang lain yang pasti berkekuasaan lebih tinggi lagi. Sebab ketika mendekati Wladek ia berjalan pelan-pelan. Pedang itu tetap tergeletak di tanah. Kerumunan orang mulai mengolok-olok dan meneriaki. Perwira  kedua juga mencoba menarik gelang perak. Tapi tak dapat melepaskannya dari balok pancungan. Dan nampaknya ia tak ingin melepas tali pengikat. Ia meneriakkan kata-kata kepada Wladek. Wladek tak dapat memahami apa yang dikatakan, dan menjawab dalam bahasa Polandia “Aku tak bisa bicara dalam bahasa kalian."

Petugas itu nampak terperanjat. Lalu menengadahkan kedua belah tangan serta berteriak “Allah!,,. Itu niscaya sama dengan “ya ampun”, seruan Wladek. Demikian pikiran Wladek. Petugas berjalan pelan menuju kedua pria berpakaian setelan Barat di tengah kerumunan orang. Tangan mereka berserabutan ke segala penjuru seperti kincir berputar. Semrawut. Wladek berdoa kepada Tuhan. Dalam keadaan demikian itu setiap orang berdoa kepada tiap dewa. Entah itu Allah. Entah itu Santa Perawan Maria.

Kedua orang Eropa itu masih memandangi Wladek. Dan Wladek mengangguk-angguk seperti orang gila. Salah seorang dari dua pria itu bergabung dengan petugas Turki ketika ia kembali ke balok pancungan. Orang Eropa itu berlutut di sisi Wladek. Mengamati gelang perak. Kemudian memandang Wladek. Wladek menunggu. Ia dapat berbicara dalam 5 bahasa. Dan berdoa agar tuan itu berbicara dalam salah satu dari 5 bahasa tersebut. Harapannya runtuh ketika orang itu berpaling kepada petugas dan menyapanya bahasanya sendiri. Orang banyak kini mendesis dan melempar buah busuk ke balok pancungan. Petugas mengangguk tanda setuju. Sementara tuan itu menatap Wladek penuh perhatian.

“Berbahasa Inggris?"

Wladek mendesah lega. "Ya tuan. Cukup. Saya seorang warganegara Polandia. "

“Bagaimana bisa memiliki gelang perak ini?"

“Itu milik ayah saya, tuan. Ia meninggal dipenjara orang-orang Jerman di Polandia. Saya ditangkap dimasukkan ke dalam kamp tawanan di Rusia. Saya lolos. Dan datang kemari dengan kapal. Beberapa hari saya tak makan.'Ketika pemilik kios tak menerima rubel pembayar jeruk, saya mengambil satu karena sangat lapar."

Orang Inggris itu pelan-pelan berdiri dari berlutut. Berpaling  kepada petugas dan berbicara tegas kepadanya. Kini ganti petugas itu berpaling kepada algojo yang nampak ragu-ragu. Tapi ketika petugas itu mengulangi perintah lebih keras lagi, ia berjongkok dan dengan enggan melepas tali pengikat dari kulit. Wladek muntah lagi.

“Ayoh ikut aku," kata orang Inggris itu. “Dan cepat. Sebelum mereka berubah pendapat."

Wladek menyambar jasnya. Masih kebingungan. Dan mengikutinya. Orang banyak mengolok-olok dan mengejeknya. Melemparinya dengan barang-barang waktu ia pergi. Dan algojo cepat-cepat memasang tangan tahanan berikutnya di balok pancungan. Dan dengan sabetan pertama hanya dapat memancung ibu jari. Ini nampaknya meredakan orang banyak. Orang Inggris itu dengan cepat menyelinap buru-buru di antara orang banyak di alun-alun. Diikuti rekannya.

"Ada apa Edward?"

"Anak itu berkata ia seorang Polandia. Dan ia lolos dari Rusia. Aku mengatakan kepada petugas bahwa ia orang Inggris. Nah, kini ia menjadi tanggungjawab kita. Marilah kita bawa ke kedutaan. Dan kita selidiki apakah cerita anak itu memang benar."

Wladek lari di antara dua pria itu, ketika dua orang itu bergegas melalui pasar dan menuju Jalan Tujuh Raja. Ia masih mendengar sayup-sayup olok-olok orang banyak di belakangnya. Setiap kali meneriakkan persetujuan mereka bila pedang ditetakkan al-gojo.
Kedua orang Inggris itu berjalan melalui pelatarar berkerikil menuju gedung besar kelabu. Dan memanggil Wladek untuk mengikuti mereka. Di atas pintu terpampang kata-kata BRITISH EMBASSY. Setelah berada di dalam gedung, Wladek untuk per-tama kalinya merasa aman. Ia berjalan selangkah di belakang kedua orang itu memasuki bangsal panjang dengan dinding berhiaskan lukisan tentara dan marinir berpakaian aneh. Di ujung sana terdapat potret besar seseorang tua dengan seragam biru angkatanlaut berhiaskan medali. Janggut rapi mengingatkan Wladek akan Baron. Seorang prajurit muncul entah dari mana. Dan memberi hormat.

“Kopral Smithers, terima anak ini. Mandikan dia' dan kasih dia makan di dapur. Setelah makan dan tidak berbau lagi seperti kandang babi, kasih dia pakaian baru. Dan bawalah menghadapku di kantor."

'Siap pak," jawab kopral. Dan ia memberi hormat.

“Ayoh ikut aku jang!" kata prajurit itu dan pergi. Wladek mengikutinya dengan patuh'. Seraya berlari-lari supaya sejajar dengan langkah pak kopral. Ia digiring ke ruang bawah tanah di kedutaan. Dan ditinggalkan di kamar kecil. Kamar itu berjendela mungil. Kopral memerintahkannya menanggalkan pakaian. Dan meninggalkannya sendirian. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa pakaian. Dan melihat Wladek masih duduk di tepi ranjang berpakaian lengkap. Bingung. Memutar-mutar gelang perak di pergelangannya.

'Cepat jang. Kamu bukannya harus istirahat."

"Maaf tuan," kata Wladek.

'Jangan panggil aku tuan, jang. Aku Kopral Smithers. Engkau panggil aku Kopral."

'Aku Wladek Koskiewicz. Panggil aku Wladek."

'Jangan main-main denganku, jang' Dalam ketentaraan Inggris sudah cukup banyak orang-orang lucu. Tanpa engkau harus bergabung di dalamnya."

Wadek tak memahami apa yang dimaksud kopral itu. Ia cepat-cepat melepas pakaian.

"Ikuti aku cepat.”

Sekali lagi mandi air panas dengan sabun. Wladek memikirkan nyonya pelindungnya dulu di Moskwa. Dan sebenarnya ia bisa menjadi anak untuk nyonya itu. Tapi bukan untuk suami nyonya itu. Lalu seperangkat pakaian baru. Aneh tapi bersih. Dan berbau segar. Siapa anak mereka itu ya? prajurit itu kembali di pintu.

Kopral Smithers membimbing Wladek ke dapur. Dan meninggalkannya ditangani seorang koki sintal berwajah merah jambu. Wajah paling hangat yang pernah dilihat Wladek sejak meninggalkan Polandia. Koki itu mengingatkan Wladek akan Niania. Wladek tak dapat tidak hanya bertanya-tanya dalam diri sendiri apa yang akan terjadi dengan pinggang koki itu setelah beberapa minggu berada di Kamp 201.

"Hallo," sambutnya dengan senyum bersahabat."Namamu siapa ya?,,

Wladek menyebutkan namanya.

"Nah ujang, kiranya kamu pantas melahap makanan Inggris tulen. Kotoran Turki ini tak memadai. Kita akan mulai dengan sop panas dan daging. Kamu membutuhkan sesuatu yang substansial bila hendak menghadap Tuan Prendergast.” Ia tertawa. “Cuma ingat, gigitannya tak begitu berbahaya seperti gonggongannya. Walau dia orang Inggris, tapi hatinya baik."

'”Nyonya Koki, apa anda orang Inggris?" Tanya Wladek terkejut.

'Ya ampuun, bukan jang! Aku orang Skotlandia. Bumi langit bedanya. Kami membenci orang Inggris lebih dari orang Jerman membenci mereka," katanya sambil tertawa. Ia menyajikan satu mangkuk sop panas mengepul. Sop kental penuh daging dan sayuran di muka Wladek. Wladek sudah lupa sama sekali bahwa makanan itu bisa sangat sedap bau dan rasanya. Ia makan dengan pelan-pelan. Sebab ia takut jangan-jangan sesuatu yang demikian ini tak akan terjadi lagi selama waktu yang sangat lama.

Kopral muncul lagi. 'Apa sudah cukup makan, jang.?”

'Ya, terimakasih pak Kopral."

Pak kopral memandangi Wladek penuh curiga. Tapi ia tak melihat sesuatu yang sembrono dalam ungkapan anak itu.

“Baiklah. Mari kita berangkat sekarang. Menghadap Tuan Prendergast tak boleh terlambat."

Pak Kopral menghilang melalui pintu dapur. Dan Wladek memandangi koki. Ia tak suka berpisah dengan seseorang yang baru saja ia jumpai. Khususnya jika orang itu ramah.
'Ayo pergi jang. Jika kau tahu apa yang baik bagimu."

'Terimakasih, Nyonya Koki," kata Wladek. "Masakan anda adalah yang paling lezat yang bisa kuingat."

Koki tersenyum kepadanya. Wladek harus cepat-cepat berpincangan supaya dapat mengikuti pak kopral. Langkah  baris pak kopral membuat Wladek berlari-lari. Tentara itu berhenti dengan mendadak di luar pintu. Hampir saja ditabrakWladek.

"Lihat dulu mau ke mana, jang. Mau ke mana?-

Pak kopral mengetuk pintu.

"Masuk," suara dari dalam.

Pak kopral membuka pintu. Dan member hormat.

'Anak Polandia itu pak. Sebagaimana bapak kehendaki, telah dimandikan dan diberi makan."

"Terimakasih kopral. Mungkin sebaiknya pak Grant diundang untuk bergabung ke mari."

Edward Prendergast mendongak dari meja kerjanya. Ia menyuruh Wladek duduk dengan isyarat tangan tanpa berkata sepatah pun. Dan melanjutkan pekerjaannya. Wladek duduk memandangnya. Kemudian  menatap potret-potret di dinding. Masih banyak lagi jenderal-jenderal dan admiral-admiral. Lalu  orang tua yang berjanggut lagi. Kali ini berseragam tentara dengan bahan khaki. Beberapa menit kemudian masuklah seorang Inggris lain yang ia ingat dari alun-alun pasar.

"Terimakasih atas kedatanganmu, Harry. Silakan duduk, sahabat." Tuan Prendergast berpaling kepada Wladek. "Nah, ujang, marilah kita dengar ceritamu dari permulaan. Jangan berlebih-lebihan. Hanya kebenarannya saja. Mengerti? "

"Ya, tuan."

Wladek memulai ceritanya sejak masa di Polandia. Kadang-kadang membutuhkan waktu untuk menemukan kata-kata Inggris yang tepat. Jelas dari pandangan pada wajah dua orang Inggris itu bahwa pada mulanya mereka tidak percaya. Kadang-kadang mereka menghentikan Wladek dan mengajukan beberapa pertanyaan. Saling menganggukkan kepala atas jawaban Wladek. Setelah berbicara satu jam lamanya, kisah Wladek sampai di saat ia berada di kantor konsul kedua Kerajaan Inggris untuk Turki itu.

'Menurut hematku, Harry,' kata Konsul kedua merupakan kewajiban kita memberitahu perwakilan Polandia secepat mungkin. Kemudian menyerahkan Koskiewicz muda itu kepada mereka. Kupikir dalam keadaan seperti ini, anak muda ini jelas-jelas merupakan tanggungi jawab mereka. "

'Aku setuju," jawab pria yang disebut Harry. "Ketahuilah ujang, engkau lolos dari ujung jarum hari ini dipasar. Syar -yaitu Hukum Islam kuno yang mengizinkan pemenggalan tangan sebagi hukuman untuk pencurian, teoretis secara resmi telah ditinggalkan beberapa tahun lalu. Bahkan dalam kenyataannya merupakan kejahatan dalam Hukum Pidana Uthman bila masih menerapkan hukuman seperti itu. Namun dalam praktek orang-orang biadab itu masih terus melakksanakannya." Ia mengangkat bahu.

'Mengapa tanganku tidak?" tanya Wladek sambil menunjukkan pergelangan tangan.

"Aku berkata kepada mereka, mereka dapat memotong semua tangan orang muslim yang mereka kehendaki; tapi mereka tidak boleh memotong tangan orang Inggris." Edward Prendergast menyela.

"Syukur kepada Tuhan," kata Wladek sayup.

'Sebenarnya berkat jasa Edward Prendergast," kata konsul kedua sambil tersenyum untuk pertamakalinya. "Engkau dapat menginap di sini. Dan esok pagi kami akan mengantarkanmu ke perwakilanmu. Sebenarnya orang-orang Polandia tidak mempunyai kedutaan di Konstantinopel," katanya agak menghina. 'Tapi kolegaku itu orang baik, mengingat dia itu seorang asing." Ia menekan tombol. Dan langsung kopral itu muncul kembali.

"Ya Pak."

'Kopral, antar Koskiewicz muda ini ke kamarnya. Dan esok pagi sediakan sarapan. Dan antar menghadapku pukul 9 tepat."

*Siap, pak. Jalan sini, ujang. Cepat!"

Wladek dikawal oleh kopral. Dibawa pergi. Ia bahkan tak punya cukup waktu untuk berterima kasih kepada kedua orang Inggris yang menyelamatkan tangannya. Dan mungkin juga menyelamatkan hidupnya. Kembali di kamar sempit yang bersih, dengan ranjang yang telah disiapkan rapi seolah-olah ia seorang tamu terhormat, ia melepas pakaian. Membuang bantal ke lantai. Dan tidur nyenyak di ranjang hingga cahaya pagi bersinar melalui jendela mungil.

"Bangun dan berserilah, ujang. Tepat waktunya.'

Itu suara kopral. Berseragam bersih tanpa cela. Terseterika halus. Seolah-olah ia tidak pernah pergi tidur. Sesaat, karena masih terlihat kantuk, Wladek mengira kembali ke Kamp 201. Karena pukulan-pukulan pak kopral atas rangka besi ranjang dengan tongkatnya mirip bunyi pukulan atas besi segitiga yang sudah biasa bagi telinga Wladek. Ia turun dari ranjang dan rnenyambar pakaian.

'Cuci muka dulu, jang. Cuci muka dulu. Kita tak menghendaki bau apak menggangu Tuan Prendergast pagi-pagi begini, bukan?"

Wladek tak pasti bagian mana dari tubuhnya yang harus dicuci. Ia merasa dirinya bukan main bersih. Kopral  memandanginya.

*Kena apa kakimu, jang?"

"Tak apa-apa. Tak apa-apa!" kata Wladek berpaling dari mata yang menyorotnya.

'Baiklah. Aku akan kembali dalam 3 menit. Tiga menit jang. Dengar? Kamu harus sudah siap."

Wladek cepat-cepat mencuci tangan dan mukanya kemudian berpakaian. Ia sedang duduk menunggu dipinggir ranjang, ketika pak kopral datang kembali untuk mengantarnya menghadap Konsul kedua. Tuan Prendergast menyambutnya. Dan nampak jauh lebih lunak daripada perjumpaan pertama mereka.

-Selamat pagi, Koskiewicz."

-Selamat pagi, Pak "
“Apakah menikmati sarapanmu? "

“Saya tidak sarapan, Pak."

“Mengapa tidak?" kata Konsul kedua sambil memandangi kopral.

“Kesiangan, Pak. Nanti terlambat menghadap Bapak."

'Nah, kalau begitu, kita usahakan sekarang. Kopral apa bisa meminta Nyonya Henderson menyediakan apel atau sesuatu apa?"

“Siap Pak!"

Wladek dan Konsul kedua berjalan pelan menelusuri gang menuju pintu depan kedutaan. Dan melintasi pelataran tengah yang berkerikil menuju sebuah mobil yang sedang menanti. Sebuah Austin. Salah satu dari sedikit kendaraan bermotor yang ada di Turki. Dan itulah perjalanan Wladek yang pertama dalam sebuah mobil pribadi. Ia merasa menyesal harus meninggalkan kedutaan Inggris. Itu adalah tempa pertama di dunia ia baru merasa aman setelah bertahun-tahun. Ia bertanya-tanya pada dirinya, apakah untuk sisa hidupnya ia akan tidur lebih dari semalam di ranjang yang sama. Pak kopral menuruni tangga dan duduk di tempat sopir. Ia memberi Wladek sebuah apel. Dan beberapa roti hangat yang segar.

"Jangan sampai ada remah-remah di mobil, jang. Koki kirim salam."

Perjalanan dengan mobil melalui jalan-jalan yang panas dan ramai. Hanya secepat orang berjalan. Sebab orang-orang Turki tak percaya bahwa ada yang lebih cepat daripada unta. Dan tak berusaha memberi jalan kepada Austin kecil itu. Bahkan dengan semua jendela terbuka Wladek masih berkeringat karena terik matahari. Sementara Tuan Prendergast tetap dingin dan tak terusikkan. Wladek mencoba sembunyi di bak mobil bagian belakang. Karena takut jangan-jangan seseorang yang sehari sebelumnya menyaksikan peristiwa itu mengenalnya kembali dan menghasut orang banyak hingga marah lagi. Ketika Austin hitam kecil itu berhenti di luar gedung yang sudah merapuh bertuliskan KONSULAT POLSKI, Wladek merasakan kejutan kegairahan campur kekecewaan.

Ketiga orang itu keluar dari mobil.

"Di mana biji apel itu, jang?"

"Kumakan"

Pak kopral tertawa. Dan mengetuk pintu. Seseorang kecil berwajah ramah dengan rambut hitam dan gerakan tegas membuka pintu. Ia berkemeja lengan panjang. Berkulit coklat. Jelas-jelas tersengat matahari Turki. Ia menyambut mereka dalam bahasa Polandia. Kata-katanya adalah kata-kata pertama yang didengar Wladek dalam bahasa ibunya sejak ia meninggalkan kamp kerjapaksa. Wladek menjawab dengan cepat menjelaskan kehadirannya. Orang sesame warganegara itu berpaling ke Konsul kedua Inggris.

“Jalan sini, Tuan Prendergast,'katanya dalam bahasa Inggris yang sempurna. "Anda sangat berbaik hati mengantarkan sendiri anak ini ke mari."

Mereka saling menunjukkan basa-basi diplomat sebelum Prendergast dan kopral meninggalkan tempat. Wladek hanya memandang mereka, sambil mencari-cari ungkapan yang lebih memadai daripada hanya Sekedar “Terimakasih,”.

Prendergast menepuk-nepuk kepala Wladek.

Seperti  bila menyayang anjing cocker spaniel. Dan ketika kopral menutup pintu, ia melambai kepada W'ladek. "Sukses jang, Tuhan tahu engkau pantas memperolehnya."

Konsul Polandia memperkenalkan diri kepada Wladek, bernama Pawel Zaleski. Wladek lagi-lagi diminta menceritakan kembali riwayat hidupnya. Lebih  mudah dalam bahasa Polandia daripada dalam bahasa Inggris. Pawel Zaleski mendengarnya dengan diam. Kadang-kadang menggeleng-gelengkan kepala merasa kasihan.

"Kasihan anakku," katanya dengan haru. "Engkau telah memanggul derita tanah air kita melebihi bagian yang telah kauterima sebagai orang muda seperti engkau ini. Dan sekarang apa yang harus kami lakukan bagimu?"

"Aku harus kembali ke Polandia dan mengklaim kembali kastilku," kata Wladek. 

"Polandia?" kata Pawel Zaleski. *Di mana itu? Wilayah tanah yang pernah kautinggali itu masih menjadi sengketa. Dan masih ada pertempuran antara orang-orang Polandia dan orang-orang Rusia. Jenderal Pilsudski sedang melakukan sepenuh kemampuannya untuk melindungi keutuhan wilayah tanah air kita. Tapi salahlah kita bila kita optimis mengenai hal ini. Sekarang tinggal sedikit yang tersisa bagimu di Polandia. Tidak. Rencanamu  yang paling baik ialah memulai hidup baru Inggris atau Amerika."

"Tapi aku tak mau pergi ke Inggris atau Amerika. Aku orang Polandia."

"Engkau akan tetap menjadi orang Polandia, Wladek. Tak ada seorang pun yang dapat merampasnya darimu. Apa pun keputusanmu mau menetap di mana. Tapi kamu harus realistis mengenai hidupmu. Hidup yang baru saja kaumulai."

Wladek menundukkan kepala. Putus  asa. Apakah ia mengalami ini semua hanya untuk diberitahu bahwa ia tidak bisa kembali ke tanahairnya? Ia berjuang menahan air mata yang hendak menderas keluar.

Pawel Zaleski merangkul Wladek. ,,Jangan lupa bahwa engkau adalah salah seorang yang mujur dapat lolos. Yang keluar dalam keadaan masih hidup. Kamu hanya perlu mengingat kembali sahabatmu dokter Dubien untuk menyadari betapa hidupmu mungkin menjadi seperti apa."

Wladek diam saja.

'Sekarang kamu harus meninggalkan segala pemikiran tentang masa lampau. Dan hanya memikirkan masa depan, Wladek. Dan mungkin selama hidupmu engkau akan melihat Polandia bangkit kembali. Hal mana lebih daripada yang berani kuharapkan."

Wladek tetap tinggal diam.

'Nah, tak perlu langsung mengambil keputusan," kata Konsul dengan ramah. "Engkau boleh tinggal disini selama kaubutuhkan untuk mengambil keputusan tentang masa depanmu."