Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 20 Juli 2017

BAB 13. KANE DAN ABEL. HABIL BELAJAR DI COLUMBIA DAN KERJA DI HOTEL

PENDIDIKAN YANG BAIK, itu sangat diperlukan. Abel mengikuti saran ayahnya Sang Baron, dan perlahan tapi pasti dia mencurahkan hidupnya untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Pertarungan awal yang tidak mudah.


BAB 13

Malam itu Abel terbaring di kamar kecil Hotel plaza. Terjaga. Ia memikirkan seorang pemuda bernama William yang ayahnya pasti merasa bangga karenanya. Untuk pertama kali ia menyadari apa yang hendak dicapainya dalam hidupnya. Ia ingin dipandang sebagai setara oleh para William di dunia.

Abel mengalami perjuangan berat sesampai di New York. Ia mendiami sebuah kamar yang hanya berisi dua ranjang. Maka ia harus berbagi ranjang dengan George dan dua orang sepupunya. Akibatnya Abel hanya tidur bila salah satu ranjang itu kosong. Paman George tak dapat memberi pekerjaan kepada Abel. Beberapa minggu ia hidup cemas. Dan selama itu ia menghabiskan kebanyakan uang tabungannya untuk dapat bertahan hidup. Sementara itu ia mencari-cari kerja dari Brooklyn sampai Queens. Akhirnya ia menemukan pekerjaan di sebuah toko tukang daging. Ia memperoleh upah 9 dollar untuk masa kerja 6,5 hari. Dan ia bisa tidur dengan persyaratan seperti di atas. Toko itu berada di jantung masyarakat polandia yang mandiri di bagain kota sebelah Timur. Dan dengan cepat Abel tak bersabar lagi terhadap terisolasinya teman-teman senegaranya. Banyak di antara mereka yang bahkan tak berusaha belajar bicara Inggris.

Abel masih mengunjungi George dan teman wanitanya yang berganti-ganti tiap akhir pekan. Tapi ia sendiri menghabiskan masa-sama bebasnya di sore hari untuk sekolah malam guna memperbaiki kemampuannya membaca dan menulis Inggris. Ia tidak malu walau kemajuannya hanya pelan-pelan. Sebab ia sama sekali tak berkesempatan banyak menulis Inggris sejak usia 8 tahun. Tapi dalam dua tahun ia bisa fasih dalam bahasa baru itu. Dan tinggal sedikit sisa-sisa logatnya. Kini ia merasa siap ke luar dari toko daging'

Tapi untuk apa? Dan bagaimana? Kemudian sementara ia senang menyiapkan kaki anak domba pada suatu pagi, ia mendengar dari salah seorang langganan besar tokonya yaitu manager catering Hotel Plaza. Orang itu menggerutu kepada tukang daging bahwa terpaksa harus memecat pelayan mudanya karena pencurian kecil-kecilan. "Bagaimana mungkin aku mencari gantinya dalam waktu singkat ini?" Demikian keluh sang manager. Tukang daging tak bisa memberi pemecahan soal. Abel bisa. Ia mengenakan satu-satunya setelan. Berjalan 47 blok ke kota. Dan melintas 5 blok lagi. Serta memperoleh pekerjaan itu.
Setelah ia mapan di Hotel Plaza, ia mendaftarkan diri mengikuti kursus bahasa Inggris lanjutan di Universitas Columbia. Setiap malam ia belajar tekun. Sambil memegang kamus di satu tangan dan tangan yang lain memegang pena untuk corat-coret. Selama pagi hari antara menyajikan sarapan dan menyiapkan makan siang, ia mengkopi tajuk dari New York Times. Dan mencari kata-kata yang tak pasti ia ketahui dalam kamus Webster loakan miliknya.

Selama 3 tahun berikutnya Abel menyeruak jalannya melalui peringkat-peringkat di Plaza, hingga akhirnya ia naik pangkat dan menjadi pelayan di Oat Room (Ruang Eik). Seminggu memperoleh gaji 25 dollar ditambah persenan. Dalam dunianya sendiri kini ia tak kekurangan suatu apa pun.

Guru Abel sangat terkesan akan kemajuannya karena ia memang rajin. Ia menganjurkan Abel mendaftarkan diri kursus malam lebih lanjut, yang merupakan langkah pertamanya menuju ijazah B. A. Bacaan waktu senggangnya ia pindahkan dari bidang linguisitik ke bidang ekonomi. Dan ia mulai mengkopi tajuk-tajuk dari The Wall Street Journal. Dan bukan lagi tajuk-tajuk The Times. Dunia barunya mencaploknya sepenuhnya. Dan kecuali dengan George ia tidak lagi berhubungan dengan teman-teman Polandia dari masa permulaan dahulu.

Bila Abel melayani makan di Plaza ia selalu mengamati tamu-tamu terkenal dengan cermat. Keluarga Baker, Loeb, Whitney, Morgan dan Phelp. Dan ia mencoba menganalisis mengapa orang-orang kaya itu berbeda. Ia membaca H. L. Mencken, The American Mercury, Scott Fitzgerald, Sinclair Lewis, dan Theodore Dreiser dalam usaha tak henti-hentinya mencari ilmu pengetahuan. Ia mempelajari The New York Times sementara para pelayan lain membolak-balik Mirror. Dan ia membaca The Wall Street Journal dalam waktu istirahat. Sedangkan pelayan-pelayan lain baru terkantuk-kantuk. Ia tidak pasti kemana arah bimbingan ilmu yang baru saja ia peroleh. Tapi ia tidak pernah meragukan pemeo Baron bahwa pendidikan yang baik itu benar-benar tak ada gantinya. 

Pada suatu hari Kamis di bulan Agustus 1926, ia sungguh ingat kesempatan itu sebab bertepatan dengan kematian Rudolph Valentino. Dan banyak wanita yang berbelanja di Fifth Avenue mengenakan pakaian hitam. Abel, seperti biasa, melayani makan di meja-meja sudut. Meja-meja sudut itu selalu dikhususkan bagi tokoh-tokoh bisnis teratas yang hendak makan siang tersendiri tanpa rasa cemas jangan-jangan didengar orang lain. Abel senang melayani di meja itu. Dan bila nada pembicaraan itu optimis, dan telah melibatkan perusahaan besar maupun kecil, ia akan menanam modal 100 dollar di dalam perusahaan kecil. Dengan harapan akan menjadi jalur pengambil-alihan atau perluasan dengan bantuan perusahaan yang lebih besar itu. Jika tuan rumah memesan cerutu pada akhir jamuan, Abel lalu menambah investasinya menjadi 200 dollar. Tujuh dalam 10 kasus, nilai saham yang telah ia pilih dengan cara demikian itu akan berlipat ganda dalam waktu 6 bulan. Suatu masa yang bisa diterima Abel untuk memegang suatu saham. Dengan sistim ini ia hanya kehilangan uang tiga kali selama 4 tahun bekerja di Plaza.

Yang membuat istimewanya pelayanan di meja sudut pada hari itu ialah bahwa para tamu memesan cerutu sebelum jamuan dimulai. Lebih lama kemudian ada lebih banyak tamu lagi yang bergabung. Mereka memesan cerutu lebih banyak lagi. Abel mencari nama tuan rumah di buku tamu pemesan. Woolworth. Abel telah melihat nama itu dalam kolom finansial baru-baru ini, tapi ia tak bisa langsung menempatkannya di mana. Nama lain ialah Charles Lester, seorang pengayom Plaza yang sudah tak asing lagi. Seorang bankir terkemuka di New York sebagaimana diketahui Abel. Sambil melayani sedapat mungkin ia mendengarkan pembicaraan mereka sebanyak-banyaknya. Para tamu sama sekali tidak memperhatikan pelayan yang penuh minat itu. Abel tak dapat menemukan kepentingan khusus yang rinci, namun ia menyimpulkan bahwa ada perjanjian yang terjalin pada pagi hari itu. Dan akan diumumkan kemudian di hari itu kepada khalayak ramai yang kiranya sama sekali tidak mengharapkannya. Kemudian ia ingat. Ia telah melihat namanya di The Wall Street Journal. Woolworth adalah orang yang ayahnya memulai toko dengan barang-barang lima dan sepuluh sen-an. Kini putranya mencoba mengumpulkan uang untuk mengadakan perluasan. Sementara para tamu menikmati hidangan desert (kebanyakan memilih kue keju arbei sesuai anjuran Abel), ia mengambil kesempatan ke luar dari ruang makan beberapa saat untuk menilpun pialangnya di Wall Street.

"Woolworth itu berdagang apa?" tanyanya. Sisi sana berhenti sejenak. "Dua seperdelapan. Akhir-akhir ini sangat banyak gerak. Tapi aku tak tahu mengapa." jawabnya.

"Borong saja semampu rekeningku sampai kau mendengar suatu pengumuman dari perusahaan kemudian hari ini."

"Apa isi pengumuman itu?" tanya pialang yang kebingungan. "Saya tak bebas mengemukakan hal itu." jawab Abel.

Pialang itu cukup terkesan. Catatan riwayat Abel di masa silam menyarankannya untuk tidak menanyakan lebih lanjut mengenai sumber informasi klien-nya. Abel berbegas kembali ke Ruang Jati (Ruang Oak) pada waktunya untuk menyajikan kopi kepada para tamu. Untuk beberapa lamanya mereka bersantai. Dan Abel kembali ke meja saat mereka sudah siap-siap akan pergi. Orang yang memungut cek mengucapkan terimakasih kepada Abel atas pelayanannya yang penuh perhatian. Dan sambil berpaling ia berkata hingga teman-temannya dapat mendengarnya.

"Anakmuda mau persen?"

"Terimakasih Pak" jawab Abel.

"Belilah saham Woolworth."

Semua tamu tertawa. Abel juga tertawa. Ia menerima uang 5 dollar uluran orang tersebut. Dan ia berterimakasih kepadanya. Selama 6 minggu berikutnya ia meraih untung lebih lanjut sebesar 2.472 dollar dari saham Woolworth.

Ketika Abel menerima kewarganegaraan penuh Amerika Serikat beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-21, ia memutuskan kesempatan itu pantas dirayakan. Ia mengundang George dan Monika, pacar George yang terakhir. Seorang gadis bernama Klara, bekas pacar George, untuk menonton film Don Juan yang dibintangi John Barrymore. Kemudian ke Bigo untuk makan malam. George masih merupakan magang di toko roti pamannya dengan gaji 8 dollar seminggu. Dan walau Abel masih memandangnya sebagai sahabat paling karib, ia sadar akan perbedaan yang semakin membesar antara George yang tak berduit dengan dirinya yang kini memiliki 8000 dollar lebih di bank. Dan kini ia sedang menyelesaikan gelar B. A. ekonomi di Universitas Columbia. Abel tahu persis mau ke mana. Sedang George sudah berhenti membual kepada setiap orang bahwa ia akan menjadi walikota New York.

Mereka berempat menikmati sore itu. Sore yang pantas diingat, sebagian besar hanya karena Abel tahu presis apa yang dapat diharapkan dari restoran yang baik. Ketiga orang temannya semuanya terlalu banyak makan. Dan ketika rekening disampaikan, George ternganga karena jumlah biayanya lebih daripada yang ia terima selama satu bulan. Abel membayar rekening itu tanpa melihatnya lagi untuk kedua kalinya. Jika harus membayar rekening, bersikaplah seolah-olah jumlah itu tak ada akibatnya apa-apa. Bila memang berakibat, jangan pergi ke restoran lagi. Tapi apa pun yang kaulakukan, jangan beri komentar ataupun nampak kaget. Itu suatu hal lain yang diajarkan orang-orang kaya kepadanya. Ketika pesta itu usai pada pukul dua dini hari, George dan Monika kembali ke kota bagian timur. Sementara Abel merasa telah memperoleh Klara. Ia menyelundupkannya melalui pintu masuk pelayan ke dalam Plaza menuju lift binatu. Lalu naik ke kamarnya. Klara tak membutuhkan banyak bujukan ke ranjang. Dan Abel menanganinya agak tergesa-gesa. Ingat bahwa ia harus tidur sungguh-sungguh sebelum melaporkan tugas menyediakan sarapan. Ia puas dapat menyelesaikan tugasnya pukul setengah tiga. Dan ia tidur nyenyak terus-menerus hingga wekker membangunkannya pukul enam pagi. Ini memberinya cukup waktu untuk "mengerjakan" Klara sekali lagi, sebelum ia mengenakan pakaian' Klara duduk di ranjangnya. Dan tercenung memandang Abel. Sementara Abel mengenakan dasi kupu-kupu putihnya. Lalu mencium Klara secara serampangan.

"Kamu harus meninggalkan tempat ini sebagaimana engkau datang. Bila tidak, engkau akan sangat menyulitkan diriku. "kata Abel "Kapan kita bertemu lagi?"

"Tidak akan" kata Klara dingin.

"Mengapa tidak?" tanya Abel terkejut. "Ada sesuatu yang telah kulakukan?"

"Bukan. Sesuatu yang tidak kaulakukan " Ia meloncat ke luar ranjang. Dan mulai berpakaian cepat-cepat.

"Apa yang tidak kulakukan?" tanya Abel tersinggung. "Engkau kan menghendaki tidur bersamaku bukan?"

Klara membalik dan menghadapinya "Kukira memang itu mauku, hingga aku menyadari bahwa kamu sama dengan Valentino. Kamu berdua telah mati. Kamu mungkin tokoh terbesar milik Plaza dalam tahun sulit ini. Tapi di ranjang kamu bukan apa-apa. harus tahu itu "

Kini Klara berpakaian lengkap. Ia berhenti. Tangan memegangi handel pintu. Memantapkan diri untuk berpisah. "Coba katakan, apa pernah mengajak seorang gadis tidur bersamamu lebih dari sekali?"

Tercenung Abel memandangi pintu yang dibanting tertutup. Dan sepanjang siang hari itu merasa cemas akan tuduhan Klara. Ia tak kenal siapa pun yang dapat diajak berdiskusi tentang masalah itu. George hanya tertawa saja kepadanya. Dan semua staf di Plaza mengira ia tahu segala hal. Dan ia berpendapat bahwa masalah ini seperti masalah-masalah lainnya yang ia jumpai dalam hidup, ini dapat diatasi dengan pengetahuan atau pengalaman.

Setelah makan siang, pada suatu hari setengah hari kerja, ia pergi ke toko buku Scribner di Fifth Avenue. Di masa silam toko buku itu telah memecahkan semua masalah ekonomi dan linguistik. Tapi ia tak dapat menemukan apa-apa yang agak nampak mulai membantunya mengatasi masalah-masalah seksualnya. Buku khusus mereka tentang etiket tidak ada gunanya. The Moral Dilemma (Dilema Moral) secara fisik ternyata tidak cocok.

Abel meninggalkan toko buku tanpa membeli sebuah buku pun. Dan menghabiskan siang hari itu dalam gedung bioskop kumal di Broadway. Bukannya menonton film melainkan hanya memikirkan apa yang dikatakan Klara. Film itu sebuah kisah cinta yang dibintangi Greta Garbo. Dan tidak mencapai tahap cium-ciuman kecuali rol film terakhir. Maka tak memberinya bantuan melebihi toko buku Scribner.

Ketika Abel meninggalkan gedung bioskop, diluar telah gelap. Dan angin dingin bertiup atas Broadway. Abel masih tetap dibuat keheranan bahwa tiap kota dapat begitu ramai dan terang benderang di malam hari seperti siang. Ia mulai berjalan menuju Fiftyninth Street, mengharapkan supaya udara segar dapat menjernihkan pikirannya. Ia berhenti di sudut Fifty-second Street untuk membeli koran petang.

"Cari gadis?" tanya sebuah suara dari sudut kios surat kabar.

Abel tertegun mendengar suara itu. Wanita itu sekitar 35 tahun. Berdandan mencolok. Mempergunakan lipstick menurut mode baru. Baju putih dari sutera. Satu kancing bajunya terlepas. Dan ia mengenakan gaun panjang hitam, berkaos kaki hitam dan bersepatu hitam.
"Hanya lima dollar. Pasti sesuai harga uangnya." katanya sambil menyingkap pinggul dari satu sudut. Menunjukkan belahan di gaun. Dan terseruaklah pucuk kaos kakinya.

"Di mana?" tanya Abel.

"Di blok berikutnya. Aku punya tempat sendiri." Ia memalingkan kepala untuk menunjukkan kepada Abel arah mana yang dimaksud. Dan untuk pertama kalinya ia dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas disinari penerangan jalan. Wanita itu cukup menarik. Abel mengangguk setuju. Dan wanita itu memegang lengannya. Mereka mulai berjalan. "Jika polisi menyetop kita," katanya "kamu adalah sahabat lama. Dan namaku Joyce." Mereka berjalan ke blok berikut. Masuk ruangan kecil dan jorok. Abel terkejut melihat ruangan kumuh yang ditinggali wanita itu. Cuma ada satu lampu. Satu kursi. Tempat cuci muka. Dan ranjang untuk dua orang yang sudah kusut. Jelas ranjang itu sudah dipergunakan beberapa kali hari itu.

"Kamu tinggal di sini?" tanya Abel dengan nada tak percaya.

"Astaga, tidak. Aku hanya mempergunakan tempat ini untuk praktek."

"Mengapa kau lakukan ini?" tanya Abel. Dalam diri kini ia bertanya-tanya apa masih akan meneruskan rencananya itu.

“Aku punya dua orang anak yang harus kubesarkan. Dan aku tak punya suami. Apa bisa mencari alasan yang lebih baik lagi? Nah, sekarang kau menghendaki aku atau tidak? "

"Ya, tapi tidak dengan caramu." kataAbel. Wanita itu memandangnya lesu. "Kamu bukan salah seorang sinting pengikut Markis de Sade, bukan?,,

"Pasti bukan!" kata Abel.

"Kamu tidak akan menyulutku dengan rokok?,,

"Oh tidak. Semacam itu sama sekali tidak,” kata Abel kaget. "Aku ingin diajari baik-baik. Aku menginginkan pelajaran."

"Pelajaran? Apa kamu main-main? Kau kira ini apa? Sekolah sanggama malam?"

"Ya, semacam itu." kata Abel. Dan ia duduk disudut ranjang menerangkan kepadanya bagaimana reaksi Klara malam sebelumnya. "Apa kamu bisa menolongku?"

Wanita kupu malam itu mengamati Abel dengan teliti. Terheran-heran jangan-jangan ini merupakan Aprilmop.

'Tentu! " kata wanita itu pada akhirnya. "Tapi biayanya 5 dollar setiap kali pelajaran selama 30 menil"

“Lebih mahal daripada B. A. Columbia" kata Abel "Aku akan membutuhkan berapa pelajaran?"

"Itu tergantung. Kamu cepat belajar atau tidak. Ya kan?"jawabnya.

"Nah, marilah kita mulai sekarang juga." Kata Abel, sambil mengambil lembaran 5 dollar dari saku dalamnya. Ia menyerahkan uang itu kepada Joyce. Joyce menyelipkan uang itu di bagian atas kaos kaki. Suatu pertanda ia tak pernah melepas stocking itu.

"Lepaskan pakaian, sayang." katanya, "kapan tak akan belajar banyak bila berpakaian lengkap." Ketika pakaian sudah lepas, wanita itu mengamatinya menyelidik. "Kamu memang bukannya Douglas Fairbanks, bukan? Jangan khawatir. Tak penting tampangmu seperti apa bila lampu telah padam. Yang penting apa yang bisa kauperbuat."

Abel duduk di tepi ranjang. Sementara wanita itu mulai bercerita bagaimana merengkuh seorang wanita. Ia sungguh-sungguh heran bahwa Abel benar-benar tidak menginginkannya. Dan lebih heran lagi ketika ia tetap muncul setiap hari selama dua minggu berikutnya.

"Kapan aku tahu aku telah selesai?" tanya Abel.

"Kau akan tahu, sayang " jawab Joyce. "Jika engkau dapat mendatangkanku, engkau mampu mendatangkan mumi Mesir." Mula-mula ia mengajarkan kepadanya bagian-ba-gian tubuh wanita yang sensitif. Kemudian ia dilatih bersabar dalam bercinta. Dan tanda-tanda yang mengungkapkan kepadanya bahwa apa yang sedang ia lakukan itu menyenangkan. Bagaimana mempergunakan lidah dan bibirnya di setiap tempat selain di mulut wanita. Abel mendengarkan dengan cermat semua yang dikatakan Joyce. Dan ia mengikuti instruksi Joyce dengan taat. Barangkali malah agak sedikit terlalu mekanis. Walaupun setiap kali Joyce meyakinkan bahwa Abel bagaimanapun juga semakin membaik. Tapi Abel sama sekali tak punya bayangan apakah Joyce sungguh mengatakan kebenaran. Hingga kira-kira sekitar 3 minggu kemudian, dan telah mengeluarkan uang 110 dollar, Joyce tiba-tiba hidup-hidup masuk ke dalam pelukan Abel untuk pertama kalinya. Hal ini sangat mengejutkan dan sekaligus menyenangkan Abel. Joyce memegangi kepala Abel rapat-rapat dekat kepalanya, sementara Abel dengan lembut menjilati putik susu Joyce. Ketika Abel mengusap Joyce antara kedua kakinya dengan lembut, ia mendapati Joyce basah untuk pertama kalinya. Dan setelah Abel "memasukinya", Joyce merintih. Suatu suara yang belum pernah Abel dengar sebelumnya. Sangat menyenangkan baginya. Joyce mencekam punggung Abel, memintanya supaya jangan berhenti. Rintihan itu berlangsung terus. Kadang keras. Kadang lembut. Akhirnya Joyce memekik keras. Dan tangan yang mencekam Abel erat-erat lalu meregang santai. Ketika Joyce telah mendapatkan napasnya kembali, ia berkata "Sayang, engkau baru saja diwisuda paling atas di kelasmu."

Abel bahkan belum juga mencapai puncak. Abel merayakan kedua wisudanya dengan membayar karcis calo untuk menonton tinju dan mengajak George, Monika, dan Klara yang agak enggan untuk menyaksikan Gene Tunney melawan Jack Dempsey memperebutkan juara dunia kelas berat. Malam itu setelah pertandingan tinju, Klara merasa sudah menjadi kewajibannya untuk tidur bersama Abel' Sebab Abel telah mengeluarkan uang banyak untuknya. Menjelang pagi Klara memintanya untuk tidak meninggalkannya. Abel tidak pernah mengajaknya jalan-jalan lagi.

Setelah wisuda di Columbia, Abel merasa tidak puas dengan kehidupan di hotel Plaza. Tapi tak dapat membayangkan bagaimana harus mencapai kemajuan sendiri. Walaupun ia bekerja membantu orang Amerika yang paling kaya dan paling berhasil, ia tak bisa mendekati salah seorang dari mereka secara langsung. Sebab ia tahu bahwa bila melakukan hal itu, ia bisa-bisa akan kehilangan pekerjaannya. Bagaimanapun juga, para langganan tak akan menganggap serius aspirasi seorang pelayan. Abel memutuskan untuk menjadi kepala pelayan.

Suatu hari Nyonya dan Tuan Ellsworth Statler makan siang di hotel Plaza, ruang Edward, tempat Abel bertugas jaga selama seminggu. Ia berfikir kesempatannya telah tiba. Ia melakukan sepenuh kemampuannya untuk mengesankan pemilik hotel ternama itu. Dan makanannya memang lezat. Ketika pergi, Statler berterimakasih kepada Abel dengan hangat. Dan memberinya persen 10 dollar. Tapi itulah akhir kerjasama mereka. Abel memandanginya menghilang melalui pintu putar Plaza. Terheran-heran kapan ia akan memperoleh liburan.

Sammy, kepala pelayan, menepuknya di pundak.

"Apa yang kauterima dari Tuan Statler?,,

"Tak menerima apa-apa” kata Abel.

“Apa ia tak memberimu persen?”, tanya Sammy tak percaya.

'Oh ya, sudah barang tentu,' kata Abel “Sepuluh dollar". Ia menyerahkan uang itu kepada Sammy.

"Ini lebih baik" kata Sammy. “Aku tadi mengira engkau sedang berbisnis ganda denganku, Abel. Sepuluh dollar itu bagus. Bahkan bagi Tuan Statler. Ia pasti terkesan oleh kerjamu.”

“Ah tidak."

"Apa maksudmu?,, tanya Sammy.

"Ah tak jadi soal” kata Abel sambil berjalan pergi.

"Tunggu dulu, Abel. Ada surat untukmu. Tuan yang duduk di meja 17, Tuan Leroy, ingin bicara empat mata denganmu.”

"Tentang apa, Sammy?”

"Mana saya tahu? Kemungkinan besar ia menyukai mata birumu."

Abel menengok ke nomor 17. Hanya bagipenurut dan yang tak terkenal. Sebab meja itu ditata sangat buruk. Dekat pintu putar masuk dapur. Abel biasanya mencoba menghindari pelayanan meja di ujung ruangan itu.

"Siapa dia itu?" tanya Abel "apa maunya?"

"Aku tak tahu." kata Sammy. Enggan mendongak."Saya tidak berhubungan dengan latar belakang kehidupan para langganan dengan cara seperti kamu. Berilah mereka makanan lezat. Pastikan memperoleh persen yang banyak. Dan semoga mereka dating kembali. Mungkin engkau berpendapat ini filsafat sederhana. Namun pasti sudah cukup bagiku. Mungkin mereka lupa mengajarkan yang elementer di Columbia. Nah, kini dapatkan obyekanmu di sana, Abel. Dan bila ada persen, langsung berikan uang itu kepadaku."

Abel tersenyum kepada Sammy yang sudah membotak itu. Lalu menuju ke meja nomor 17. Ada dua orang duduk menghadap meja. Seseorang berpakaian jas kotak-kotak warna-warni, yang tak disukai Abel. Dan seorang wanita muda berambut pirang keriting. Sesaat menjerat perhatian Abel. Tanpa pikir panjang Abel mengandaikan bahwa wanita itu adalah pacar di New York dari pria yang berjas kotak-kotak'

Abel memasang senyum "mohon maaf'. Bertaruh dollar perak dengan dirinya bahwa orang itu akan mempermasalahkan pintu putar dan ingin ganti meja supaya mengesankan si pirang yang menarik perhatian. Tak ada seorang pun senang dekat dengan bau dapur dan pintu putar buka-tutup. Tapi tak mungkin menghindari pemakaian meja itu bila hotel sedang penuh penghuni tetap dan banyak penduduk New York yang datang makan di restoran. Mereka memandang para tamu tak lebih sebagai pengganggu. Mengapa Sammy selalu menyuruhnya menangani soal-soal tamu sulit seperti itu? Abel mendekati si jas kotak-kotak dengan hati-hati.

"Anda meminta bicara dengan saya, pak?,,

"Ya memang," jawabnya dengan logat selatan.

"Namaku Davis Leroy dan ini putriku Melanie.,' Sesaat mata Abel meninggalkan Leroy dan bertemu dengan sepasang mata hijau yang belum pernah ia lihat.

“Aku telah mengamatimu Abel, selama 5 hari."

Tuan Leroy mengatakannya dengan logat selatan yang berpanjang-panjang itu. Bila didesak, Abel harus mengakui ia tidak begitu memperhatikan Tuan Leroy hingga 5 menit terakhir itu.

"Aku sangat terkesan oleh apa yang kulihat, Abel. Sebab kamu memang punya mutu. Sungguh bermutu. Dan aku selalu mencari-carinya. Ellsworth Statler orang gila tidak memilihmu.”

Abel mulai memandang lebih dekat lagi kepada Tuan Leroy. Pipi ungu, dan janggut berlipat member kesaksian kepada Abel bahwa ia tak mengikuti ..Larangan"(minuman keras). Dan piring_piring kosong di mukanya menjadi penyebab perut gendut seperti bola basket. Tapi baik nama maupun wajah tak mengingatkan suatu apa kepadanya. pada waktu makan siang biasa Abel tahu latar belakang setiap orang yang duduk di Ruang Edward menghadap 37 mija dari 39 meja yang ada di sana. pada saat itu meja Tuan Leroy adalah salah satu dari dua meja yang tak diketahuinya.

Pria dari selatan masih bercerita terus. “Nah, aku bukannya salah seorang multimilioner yang harus duduk di meja sudut bila menginap di Plaza."

Abel terkesan. Pelanggan biasa tak diharapkan bisa menilai segi positif dari berbagai meja.

"Tapi bagi diriku sendiri, beritaku tak begitu buruk. Nyatanya hotelku terbaik di satu saat akan tumbuh mengesankan seperti Plaza ini."

"Aku yakin pasti demikian, Pak." kata Abel mengulur waktu. Leroy,Leroy, Leroy. Nama itu tak menunjuk apa-apa bagiku.

"Nah, mari berterus terang, nak. Hotel nomor satu di kelompokku membutuhkan pembantu manajer yang mengurusi restoran. Bila berminat, datanglah ke kamarku jika telah selesai tugas.'

Ia menyerahkan kartu nama lebar bersulam timbul kepadaAbel.

"Terimakasih, Pak." kata Abel sambil mengamati kartu itu. "Davis Leroy. Kelompok Hotel Richmond. Dallas." Di bawahnya tertera semboyan "Suatu saat punya hotel di setiap negara bagian." Nama itu masih juga tak berarti apa-apa bagi Abel.

"Aku mengharapkan bertemu kembali" kata orang Texas yang berjas kotak-kotak itu.

"Terimakasih Pak" kata Abel. Ia tersenyum kepada Melanie, yang matanya dingin-dingin hijau seperti semula. Lalu kembali ke Sammy. Kepala masih menunduk sambil menghitung-hitung uang tarikannya.

"Pernah dengar tentang Kelompok Hotel Richmond Sammy?"

"Ya tentu. Suatu waktu adikku menjadi pelayan yunior di sana. Pasti sekitar 8 atau 9 hotel. Semuanva ada di selatan. Dipimpin seorang gila dari Texas. Tapi aku tak ingat nama orang itu. Mengapa engkau menanyakannya?" tanya Sammy sambil mendongak curiga.

"Tak ada alasan khusus" kata Abel.

"Kamu selalu punya alasan. Apa maunya meja nomor l7?" kata Sammy.

"Menggerutu tentang suara dari dapur. Aku tak dapat menyalahkannya."

'Ia mengharapkan aku harus berbuat apa? Apa harus menempatkannya di beranda? Apa mengira dirinya itu John D. Rockefeller?"

Abel meninggalkan Sammy menghitung dan menggerutu sendiri. Dan membersihkan mejanya sendiri secepat mungkin. Lalu ia pergi ke kamarnya. Kemudian mulai meneliti Kelompok Hotel Richmond. Telepon satu dua kali sudah mencukupi untuk me muaskan keinginan tahunya. Kelompok itu ternyata sebuah perusahaan swasta. Keseluruhannya ada 11 hotel. Yang paling mengesankan adalah sebuah gedung lux dengan 342 kamar di Chicago yaitu Hotel Richmond Continental. Maka Abel memutuskan tak akan kehilangan apa-apa bila mengunjungi Tuan Leroy dan Melanie. Ia memeriksa nomor kamar Tuan Leroy: 85. Suatu kamar kecil yang lebih baik. Ia datang sekitar pukul empat. Dan kecewa karena Melanie tidak ada.

"Saya gembira. Abel dapat mampir. Duduklah."

Selama 4 tahun lebih ia bekerja di Plaza. Kini untuk pertama kalinya ia duduk sebagai tamu.

"Kau digaji berapa?" tanya Tuan Leroy.

Pertanyaan mendadak itu mengagetkan Abel'

"Aku menerima sekitar 25 dollar seminggu ditambah persen."

"Aku akan mulai menggaiimu dengan 35 dollar seminggu."

"Di hotel mana itu?" tanya Abel'

'Aku ini hakim yang berkarakter, Abel' Engkau selesai bertugas di meja pukul setengah empat' Dan setengah jam kemudian engkau mampu menemukan hotel yang mana. Benar kan?"

Abel mulai menyukai orang itu"Hoetl Richmond Continental di Chicago?" Abel mencobanya'

Davis Leroy tertawa. "Aku tadi benar' Dan memang benar tentang dirimu."

Pikiran  Abel bekerja cepat. 'Pembantu manajer itu dibawahkan berapa orang lagi?"

"Hanya manajer dan aku. Manajer itu memang lambat tapi lembut. Sudah mendekati pensiun' Dan karena aku masih harus mengurusi 10 hotel lain, kiraku engkau tak akan mengalami banyak kesulitan' Walau aku harus mengakui Chicago merupakan kota kesayanganku. Hotelku yang pertama di utara' Dan dengan Melanie sekolah di sana, aku berada di Kota Berangin itu lebih larna daripada seharusnya' Jangan pernah berbuat kesalahan seperti orang-orang New York dengan merendahkan Chicago' Mereka beranggapan Chicago hanyalah perangko besar di atas amplop sangat besar- Dan mereka itulah yang jadi amplopnya."

Abel tersenyum.

"Hotel itu kini agak kurang terawat'" lanjut Tuan Leroy. "Karena pembantu manajer mendadak pergi. Maka aku membutuhkan seorang yang baik untuk menggantikannya dan menjajaki sepenuh kemungkinannya. Kini dengarkan, Abel, aku telah mengamatimu dengan cermat selama 5 hari terakhir ini. Dan aku tahu engkaulah orangnya. Apa engkau berminat datang ke Chicago?',

"Empat puluh dollar dan sepuluh persen dari setiap tambahan laba. Dan pekerjaan itu saya terima.,,

"Apa?" kata Davis Leroy ternganga. “Tak ada manajer saya yang dibayar atas dasarlaba yang lain-lain akan membuat onar bila mereka mengetahuinya.”

"Aku tak akan menceritakannya kepada mereka, jika anda tak menceritakannya.” kata Abel.

“Kini aku tahu, aku telah memilih orang yang tepat. Bahkan bila sedang tawar-menawarpun ia jauh lebih baik dari seorang yankee dengan 6 orang putri.” Ia menepuk sisi kursi. “Aku setuju dengan syarat-syarat kerjamu, Abel.”

"Apa anda menghendaki surat rekomendasi Tuan Leroy?"

"Rekomendasi? Aku mengetahui latar belakangmu dan riwayatmu sejak engkau meninggalkan Eropa hingga engkau memperoleh gelar BA ekonomi di Columbia. Kau kira aku mengerjakan apa di hari-hari belakangan ini? Aku tak akan menempatkan seseorang yang masih membutuhkan rekomendasi dalam posisi nomor 2 di hotelku yang terbaik. Kapan bisa mulai?"

"Sebulan lagi.”

"Baiklah. Aku mengharapkan bertemu denganmu kemudian, Abel." Abel bangkit dari kursi. Ia merasa lebih enak berdiri. Bersalaman dengan Davis Leroy, pria dari meja 17 yang dikhususkan untuk orang-orang tak dikenal.

Meninggalkan New York dan Hotel Plaza yang merupakan rumah pertama sejak ditinggalkannya kastil dekat Slonim, ternyata lebih memilukan daripada yang dapat diantisipasi Abel. Mengucapkan selamat tinggal kepada George, Monika dan beberapa teman-temannya di Columbia mendadak terasa sangat berat.

Sammy dan teman-teman pelayan lain mengadakan pesta perpisahan.

"Kita belum mendengar yang terakhir tentang dirimu, Abel Rosnovski," demikian kata Sammy. Dan mereka semua setuju.

Hotel Richmond Continental di Chicago terletak sangat sesuai di Michigan Avenue. Di jantung salah satu kota yang berkembang paling cepat di Amerika. Ini menyenangkan Abel yang telah mengenal pemeo Ellsworth Statler bahwa ada 3 hal yang penting dalam usaha hotel: letak, letak, letak. Abel cepat menemukan bahwa letak itu memang satu-satunya hal yang baik dari hotel Richmond. Davis Lerroy telah meremehkan kasusnya ketika ia berkata bahwa hotel itu kurang dikelola dengan baik. Desmond Pacey'  manajer itu, bukannya lambat dan tenang seperti kata Davis Leroy. Ia memang pemalas. Dan tidak membuat dirinya disayang Abel ketika ia memasukkan pembantu manajer ini ke dalam kamar kecil dalam bangunan staf di seberang jalan, dan bukan di gedung utama hotel. Setelah pembukuan hotel Richmond diperiksa, dengan cepat ditemukan bahwa hotel itu hanya ditempati kurang dari 40%. Dan restorannya tak pernah lebih dari separuh penuh. Itu kiranya disebabkan karena makanannya memuakkan. Di antara mereka anggota staf mempergunakan 3 atau 4 bahasa, tapi nampaknya tak ada yang berbahasa Inggris. Dan mereka pasti tidak menunjukkan tanda-tanda menyambut baik orang Polandia tolol dari New York.


Tak sulit mengetahui mengapa pembantu manajer terakhir pergi dengan tergesa-gesa. Jikalau Richmond itu merupakan hotel kesayangan Leroy, maka Abel mengkhawatirkan keadaan kesepuluh hotel lainnya dalam kelompok itu. Walau majikan yang baru nampaknya memiliki poci emas tanpa alas pada akhir pelanginya dari Texas. Berita terbaik yang didengar Abel selama hari-hari pertama di Chicago ialah bahwa Melanie ternyata anak tunggal.

Senin, 10 Juli 2017

BAB 12 KANE DAN ABEL. KAIN MENDAPAT BEASISWA HARVARD

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

BAB  12
Bulan September 1923 William kembali memulai tahun terakhirnya di St. Paul. Ia dipilih menjadi ketua kelas tingkat lanjutan atas. Tepat 33 tahun setelah ayahnya menyandang jabatan itu. William tidak memenangkan pemilihan itu dengan cara biasa, yaitu dengan menjadi atlit paling baik atau menjadi tokoh paling populer di sekolahan. Matthew Lester, sahabatnya yang terdekat, pasti akan memenangkan pertandingan atas dasar kriteria itu semua. Soalnya karena William adalah anak yang paling mengesankan di sekolahan. Dan dengan alasan itu Matthew Lester tak dapat dimenangkan bertanding melawan dia. St. Paul mendaftar nama William sebagai kandidat penerima beasiswa matematika Hamilton Memorial di Harvard.

Dan William berjuang sendirian mencapai tujuan itu selama triwulan musim gugur ini. Ketika William kembali ke Rumah Merah untuk merayakan Natal, ia menginginkan waktu panjang tak terputus-putus guna mendalami Principia Mathematica. Tapi hal itu tak terwujud, sebab ada beberapa undangan pesta dan dansa yang menunggu kedatangannya. Kebanyakan undangan-undangan itu dapat ditolaknya dengan sopan dan bijak. Tapi ada satu yang sama sekali tak dapat ia hindari' Kedua nenek perempuan telah mengorganisasikan sebuah pesta dansa di Rumah Merah, di Louisburg Square' William terheran-heran pada usia berapi ia akan mampu mempertahankan rumahnya melawan invasi kedua orang wanita besar itu. Dan ia memutuskan saatnya belum tiba. Dan paling sedikit hal itu akan menyibukkan para pelayan. Ia mempunyai beberapa sahabat dekat Di Boston. Tapi hal ini tak menghalangi kedua nenek itu untuk menyusun daftar para tamu yang istimewa'

Untuk memperingati kesempatan itu kedua nenek menghadiahkan jas pesta dengan gaya mutakhir berdada-rangkap. William menerima hadiah itu dengan gaya pura-pura tak begitu berminat. Tapi kemudian melenggang mengitari ranjang dengan setelan itu. Kerap berhenti mengaca di cermin. Hari berikutnya ia menelepon jarak jauh ke New York dan meminta Matthew Lester bergabung ikut meramaikan pesta dansa tersebut. Adik Matthew juga ingin datang' Tapi ibunya berpendapat itu tidak "sepantasnya"'

William datang menjemput Matthew di stasiun.

"Pikirkan hal ini," kata Matthew ketika diantar sopir menuju Beacon Hill. "Bukankah sudah waktunya engkau mengalami inisiasi pergaulan William. Pasii ada beberapa gadis di Boston yang tanpa selera sama sekali."

'Mengapa? Apakah sudah mendapatkan gadis, Matthew?"

"Sudah. Musim dingin yang lalu di New York'"

"Aku sedang apa waktu itu?"

"Kemungkinan besar 'memperindah' Bertrand Russell"

“Kau tat pernah cerita tentang hal itu.,”

'Tak banyak yang bisa diceritakan. bagaimanapun juga kamu lebih terlibat dengan bank ayahku daripada dengan kehidupan cintaku yang sedang naik daun ini. Semuanva terjadi dalam pesta staff yang diseIenggarakan ayahku untukmerayakan HUT  Washington. Suatu pesta pertama untuk unjuk gigi. Sebenarnya untuk mengemukakan peristiwa itu dalam perspektifnya sendiri, aku digaet oleh salah seorang sekretaris direktur. Seorang nona besar bernama Cynthia dengan payudara lebih besar lagi dan bergoyang bila …”

"Engkau menikmatinya?,,

"Ya. Tapi kukira.Cynthia tidak. Ia begitu mabok untuk bisa menyadari bahwa aku ada disitu waktu itu. Namun kamu harus mulai dari suatu tempat tertentu. Dan ia bersedia membanru pputra sang majikan.”

Gambaran sekretares Alan Llyod yang rapih dan setengah baya melintas di benak William,  “Kesempatanku berinisiasi dengan sekretaris presiden direkturku tampaknya tak begitu bagus"'Ia merenung.

"Engkau akan terheran-heran..” kata Matthew penuh pengertian. “Gadis-gadis yang berkeliaran dengan kaki merapat kebanyakan malah yang tak sabar menunggu, mengangkangkan kaki. Kini aku menerima kebanyakan undangan. Baik resmi maupun tak resmi. Dalam kesempatan demikian itu pakaian tak begitu di perhatikan.”

Pak sopir memarkir mobil di garasi. Sementarankedua anak muda itu menaiki tangga menuju rumah William.

“Engkau pasti sudah mengadakan beberapa perubahan sejak aku ke mari kali yang lalu. " kata Matthew sambil mengagumi perabotan rotan dan hiasan kertas dinding baru berpola paisley. Hanya kursi berlapis kulit warna merah tua tetap tegak di tempat biasanya.

"Rumah ini butuh sedikit dibuat ceria,, saran William. "Waktu itu sepertinya masih hidup dalam Abad Batu. Kecuali itu aku tak mau diingatlan akan . . . Ayohlah, ini bukan waktunya untuli mengobrol tentang hiasan ruang dalam..”

"Pukul berapa semua orang diharapkan dating untuk pesta ini?”

"Pesta Dansa, Matthew. Kedua nenek mendesak menamakan ini pesta Dansa.,"

"Hanya ada satu hal yang dapat dilukiskan sebagai Pesta Dansa dalam kesempatan ini.,,

"Matthew, satu seketares direktur tidaklah cukup memberimu hak untuk merasa menjadi otoritas nasional dalam pendidikan seks.”

 "Ah, betapa irinya. Dan ini dari seorang sahabat paling karib lagi!” Matthew pura-pura mengeluh.

William tertawa. Dan melihat jamnya. “Tamu pertama akan tiba beberapa jam lagi. Kini saatnya mandi air mancur. Dan ganti pakaian. Apakah ingat membawa tuxedo?"

"Ya. Tapi bila tidak, aku selalu dapat memakai pryamaku. Biasanya aku meninggalkan salah satu. Tapi aku belum pernah bisa lupa kedua-duanya. Nyatanya akan mulai gerakan keranjingan baru bila aku mulai berdansa dalam piyama!”

"Kedua nenekku pasti tidak menyukai lelucon itu." kata William.

Para penyelenggara catering tiba pada pukul enam. Seluruhnya berjumlah 23 orang. Dan nenek berdua datang pada pukul 7. Anggun seperti ratu.mDalam gaun panjang hitam berenda yang menyapu lantai. William dan Matthew bergabung dengan mereka-di ruang depan pukul delapan kurang beberapa menit.

William baru akan mengambil ceri merah dari atas kue istimewa ketika ia mendengar suara nenek Kane dari belakang.

"Jangan sentuh makanan itu William. Itu bukan untukmu." William berpaling” Lalu untuk siapa?” tanyanya sambil mencium pipi neneknya.

"Jangan terlalu hangat William. Hanya karena engkau lebih tinggi tidak berarti bahwa aku tak akan memukulmu di pantat.”

Matthew Lester tertawa.

"Nenek, kenalkan ini sahabatku paling karib, Matthew Lester.”

Nenek Kane mengamatinya terlebih dahulu dengan cermat melalui kacamatanya sebelum menyapa "Apa kabar anak muda?”

"Sungguh suatu kehormatan dapat berjumpa dengan anda, Nyonya Kane. Kiranya anda", mengenal kakek saya."

"Mengenal kakekmu? Caleb Longworth Lester? Pernah ia meminang untuk menikahi ku, 50 tahun yang lalu. Aku menolak. Aku katakan kepadanya ia terlalu banyak minum. Dan itu akan menyebabkan kematian dini. Aku benar. Maka kalian berdua janganlah minum. Ingat. Alkohol itu menumpulkan otak."

"Kami hampir-hampir tak pernah medapat kesempatan karena adanya Larangan (Prohibition).”

'Itu akan segera berakhir, kiranya " kata nenek Kane sambil berselesma. "Presiden Coolidge lupa pendidikannya. Ia tak akan jadi presiden seandainya Harding si gila itu tidak meninggal secara konyol.”

William tertawa. 'Sungguh nenek, ingatan anda kini menjadi selektif. Tak terdengar sepatah kata pun melawannya selama pemogokan polisi."

Nyonya Kane tidak berkenan memberi jawaban.

Para tamu mulai muncul. Banyak di antara mereka yang sama sekali asing bagi tuan rumah. Tuan rumah sangat senang melihat Alan Llyod termasuk pendatang awal.

"Kau nampak sehat, nak" kata Alan. Untuk pertama kalinya dalam hidup Alan kini harus mendongak menatapWilliam.

“Anda juga. Sungguh baik hati berkenan datang.”

"Baik hati? Apakah kamu tahu bahwa undangan datang dari kedua nenekmu? Mungkin aku berani menolak salah seorang di antara mereka, tapi kedua-duanya - "

“Engkau juga, Alan?" William tertawa "Ada waktu sedikit untuk bicara secara pribadi?" ia memandu tamunya menuju sudut yang tenang. "Aku ingin mengubah sedikit rencana investasi. Dan mulai membeli saham bank Lester bilamana dijual di bursa. Menjelang berusia 21 tahun aku ingin memegang 5 persen saham mereka."

"Tak semudah itu." kata Alan. "Saham Lester tak begitu sering dijual di bursa. Sebab semuanya berada di tangan swasta. Tapi akan kuusahakan apa yang dapat dilaksanakan. Apa yang terlintas dalam pikiranmu William?"

"Nah, tujuanku yang sebenarnya ialah . . ."

'William" nenek Cabot cepat-cepat memusatkan perhatian pada mereka

"Di sini engkau malah bersekongkol di sudut dengan Tuan Llyod. Dan aku belum melihatmu berdansa dengan salah seorang nona muda. Kaukira kita menyelenggarakan pesta dansa ini untuk apa?"

"Memang benar," kata Alan Llyod sambil bangkit.

"Datang dan duduklah di sebelahku Nyonya Cabot. Dan aku akan menendang anak ini memasuki dunia. Kita dapat istirahat. Melihatnya berdansa. Dan mendengarkan musik."

"Musik? Itu bukan musik Alan. Tak lebih dari suara berkoar-koar keras tanpa ada melodi."

"Nenek tersayang," kata William "Ini adalah Yes, we have no Bananas hit mutakhir."

"Kalau begitu, sudah tiba saatnya aku meninggalkan dunia ini." kata nenek Cabot sambil berkedip.

"Tidak pernah." tanggap Alan dengan galant.

William berdansa dengan beberapa gadis. Ia hanya samar-samar ingat mereka. Tapi ia harus diingatkan nama-nama mereka. Dan ketika ia melihat Matthew duduk di sudut, ia senang dapat minta dimaafkan lolos dari lantai dansa. Ia tak melihat gadis yang duduk di sebelah Matthew hingga ia tepat berada di mukanya.

Ketika gadis itu mendongak menatap mata William, William merasakan lututnya terasa loyo.

"Apa kenal Abby Blount?" tanya Matthew sambil lalu.

"Tidak" kata William tanpa menyembunyikan dirinya memperlurus letak dasi.

"Inilah tuan rumah, Tuan William Lowell Kane."

Nona muda itu menundukkan matanya sopan ketika William duduk berhadapan dengannya. Matthew melihat pandang William pada Abby. Lalu pergi mencari minuman.

"Bagaimana mungkin. Seumur hidup aku tinggal di Boston dan kita belum pernah bertemu?" kata William.

"Kita pernah bertemu sekali sebelum ini. Waklu itu engkau mendorongku masuk paya di tegal' Kita berdua berusia 3 tahun saat itu. Aku butuh waktu 14 tahun untuk pulih kembali."

"Maaf” kata William setelah berhenti sejenak. Dimana ia mencari jawaban tepat yang lebih berbicara. Tapi sia-sia.

"Rumahmu sungguh bagus, William."

Hening lagi. Tapi sibuk mencari-cari' "Terima-kasih" jawab William begitu saja. Ia melirik Abby. Mencoba nampak seolah-olah ia tidak sedang mengamatinya. Abby langsing. Ah, begitu langsing. Dengan mata coklat besar-besar. Bulu mata panjang. Sebuah profil yang menawan William. Abby telah memotong pendek rambut pirangnya. Dalam tata-rias yang dibenci William hingga saat itu.

"Matthew bercerita engkau akan ke Harvard tahun depan," Abby mencoba lagi.

"Ya, memang. Maksudku, mau dansa?”

"Terimakasih," jawab Abby.

Langkah-langkah yang datang dengan mudah beberapa menit sebelumnya kini agaknya meninggalkan William. Ia menginjak ibu jari Abby dan terus-menerus menyerahkannya kepada pedansa lain. Ia minta maaf. Dan Abby tersenyum. Ia memegangnya lebih erat sedikit. Dan mereka terus berdansa.

"Apakah kita kenal nona muda yang memonopoli William selama jam terakhir ini?" tanya Nenek Cabot curiga.

Nenek Kane memasang kacamata cepit hidung. Dan mengamati gadis yang menemani Wiiiam ketika berjalan melewati jendela terbuka menuju ke rumputan.

'Abby Blount" demikian penjelasan Nenek Kane.

“Cucu Laksamana Blount?” tanya Nenek Cabot.

“YA”

Nenek Cabot mengangguk setuju.

William membimbing Abby Blount menuju ujung kebun. Dan berhenti di bawah pohon kastanye besar yang selama ini hanya ia manfaatkan untuk memanjat.

"Apakah engkau selalu mencoba mencium gadis pertama kali engkau berjumpa dengannya?” Tanya Abby.

"Terus terang” kata William “selama ini aku belum pernah mencium gadis.”

Abby tertawa. “Rayuan yang menyenangkan.”

Pertama-tama Abby menyerahkan pipi merah jambunya. Kemudian bibir semerah mawar dalam posisi mencucup. Lalu mengajak masuk ke rumah kembali.

Kedua nenek lega melihat mereka cepat masuk lagi.

Kelak di kamar tidur William, kedua pemuda membicarakan pesta malam itu.

"Pesta cukup meriah" kata Matthew. "Boleh dibilang sudah sewajarnya kita berdua melancong dari New York ke daerah. Walau engkau mencuri gadis-ku.”

"Kau kira ia akan membantuku menghilangkan keperawananku?" tanya William. Tak menggubris dakwaan Matthew yang hanya pura-pura.

'Nah, masih ada 3 minggu untuk membuktikannya. Hanya aku takut jangan-jangan engkau menemukannya masih perawan." kata Matthew. "Itulah pengalaman keahlianku dalam hal ini. Aku berani bertaruh denganmu 5 dollar. Ia tidak akan takluk sekalipun terhadap rayuan seorang William Lowell Kane."

William merencanakan strategi cermat. Keperawanan adalah satu soal. Tapi kehilangan 5 dollar kepada Matthew adalah soal lain.

Hampir setiap hari setelah pesta itu William menjenguk Abby Blount. Memanfaatkan rumah dan mobil sendiri pada usia 17 tahun. Ia mulai merasa ia akan lebih berhasil tanpa kehadiran orang-tua Abby yang sangat santun tapi cukup ketat. Mereka nampaknya selalu berada dalam batas jarak tengah. Dan ia tak nampak lebih dekat dengan tujuannya ketika hari terakhir liburan itu sudah di ambang pintu.

Dengan keyakinan akan memenangkan 5 dollar, pada hari itu pagi-pagi benar William mengirim serangkai mawar kepada Abby. Mengajaknya makan malam di rumah makan Joseph. Dan akhirnya berhasil memandunya kembali ke kamar depan rumahnya.

"Bagaimana dapat kauperoleh sebotol wiski? Itu kan larangan?"

"Ah, tak begitu sulit." bual William.

Kenyataannya ia menyembunyikan sebotol anggur Bourbon milik Henry Osborne di dalam kamar tidurnya, begitu Osborne pergi. Dan ia kini gembira tak menumpahkan nya di selokan seperti niatnya semula.

William menuang minuman yang membuatnya megap-megap. Dan membuat Abby berlinang air-mata.

Ia duduk di sebelah Abby. Dan merangkul pundaknya. Abby menyesuaikan duduk hingga merasa mapan.

"Abby, kau memang sangat cantik.”, gumamnya membuat pendahuluan terhadap rambut yang keriting pirang.

Abby memandangnya serius. Mata coklat terbuka lebar-lebar. "Oh, William" dengusnya. .,Engkau sungguh hebat."

Wajah Abby yang mirip boneka itu memang memikat. Ia membiarkan dicium. Karena menjadi berani, William mencoba menyelipkan tangan dari pergelangan pindah ke payudara. Dan berhenti di situ. Seperti polisi lalu-lintas menyetop arus mobil yang sedang bergerak maju. Abby memerah. Tersinggung. Dan mendorong tangan William turun supaya lalu-lintas dapat jalan terus.

"William, jangan lakukan itu."

“Mengapa tidak?" tanya William yang sia-sia berjuang memperoleh kembali pegangannya atas Abby.

'Sebab tak akan diketahui akan berakhir di mana."

"Pikiranku cukup wajar'

Sebelum ia dapat memulai kembali pendekatannya, Abby menolaknya dan cepat-cepat bangkit. Merapikan pakaiannya.

“Aku harus pulang sekarang, William"

"Tapi kamu baru saja tiba"

'Ibu ingin mengetahui apa saja yang telah kulakukan."

"Kamu bisa mengatakan: tak melakukan apa-apa."

“Sebaiknya tetap begini saja." tambah Abby.

"Tapi aku akan kembali besok." Ia menghindari mengatakan'Ke sekolah"

"Kalau begitu, engkau bisa menyurati aku, William."

Bukan seperti Valentino, William tahu bila ia kalah. Ia bangkit. Meluruskan dasinya. Membimbing Abby. Dan mengantarkannya pulang dengan mobil. Hari berikutnya ketika kembali di sekolah, Matthew menerima 5 dollar uang taruhan yang diulurkan kepadanya. Ia mengernyitkan alis pura-pura keheranan.

"Nah, coba bilang satu kata saja Matthew, kamu akan kukejar dengan tongkat baseball mengitari St.Paul."

"Aku tak dapat memikirkan sepatah kata pun yang bisa mengungkapkan rasa simpatiku yang sangat sangat dalam."

"Matthew, ayo kukejar mengitari St. paul.”

William mulai menyadari istri tuan rumahnya selama 6 bulan terakhir di St. paul. Nyonya ini wanita cantik. Perut dan pinggulnya agak menjorok. Tapi menampilkan payudara yang montok dengan baik. Dan rambutnya yang hitam lebat itu tersasak di atas kepala. Hanya baru saja mulai diselai rambut kelabu.Pada suatu hari Sabtu ketika William terkilir pergelangannya di lapangan hoki, nyonya Raglan memerbannya dengan kompres dingin. Nyonya Raglar berdiri lebih dekat lagi dari seperlunya. Memberi kesempatan kepada William menggesekkan tangan pada payudaranya. William menyukai perasaan itu. Kemudian pada kesempatan lain ketika William panas dan harus tunggu di kamar sakit beberapa hari lamanya, Nyonya Raglan menyajikan makanan William ke kamar. Lalu duduk di ranjangnya. Tubuhnya menyentuh kaki William selama ia makan, hanya diselai seprei tipis. Ia juga menyukainya.

Nyonya ini didesas-desuskan menjadi isteri kedua Grumpy Raglan. Tak ada seorang pun di rumah yang dapat membayangkan Grumpy dapat memperoleh seorang isteri pun. Dan kadang-kadang nyonya Raglan dengan mengeluh dan sambil diam menunjukkan bahwa ia berbagi ketidakpercayaan mereka atas nasibnya.

Sebagai bagian dari kewajibannya selaku kapten rumah William harus melapor kepada Grumpy Raglan pada pukul setengah sebelas tiap malam. Bila ia sudah selesai keliling malam setelah lampu padam, dan hendak pergi tidur sendiri. Pada suatu Senin malam ketika ia mengetuk pintu Grumpy seperti biasa, ia terkejut mendengar suara Nyonya Raglan mempersilakannya masuk. Nyonya Raglan berbaring di kursi malas, berpakaian gaun panjang dari sutera sedikit mirip buatan Jepang.

William memegang tombol pintu erat-erat. 'Semua lampu telah padam. Dan aku telah mengunci pintu depan, Nyonya Raglan. Selamat malam."

Nyonya Raglan meletakkan kakinya di lantai' Paha putih mulus sesaat tersingkap dari bawah sutera yang dikenakannya.

“William, kamu selalu buru-buru. Engkau pasti tak dapat menunggu saat memulai hidupmu." Nyonya Raglan menuju ke meja di sisi. "Mengapa tak tinggal sebentar minum coklat panas? Aku telah membuat coklat cukup untuk dua orang. Aku lupa bahwa Pak Raglan baru pulang hari Sabtu."

Kata “Sabtu" terdengar sangat ditekankan' Ia menyajikan secangkir coklat panas kepada William' Dan menatapnya untuk mengetahui apakah arti ucapannya mengesan dalam diri William. Ia puas. Maka ia menyerahkan cangkir itu kepadanya sambil membiarkan tangan William menyentuh tangannya. William mengaduk coklat panas sepenuh perhatian.

"Gerald pergi menghadiri konperensi." lanjut nyonya itu memberi penjelasan. Baru pertama kali itu William mendengar nama pertama Grumpy Raglan'

"Tutuplah pintunya, William. Kemarilah dan silakan duduk."

William ragu. Ia menutup pintu. Tapi ia tak mau duduk di kursi Grumpy' Iapun tak mau duduk di sebelah nyonya Raglan. Ia memutuskan duduk di kursi Grumpy kurang bermaksiat daripada duduk di sebelah Nyonya Raglan. Maka ia menuju ke kursi itu.

“Jangan. Jangan" katanya sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. William beringsut. Dan dengan gugup duduk di sebelah Nyonya Raglan. Memandangi cangkirnya. Mencari ilham. Ketika tak menemukan ilham, ia menenggak seluruh coklat isi cangkir itu. Walau lidahnya terbakar. Ia lega melihat nyonya Raglan bangkit. Nyonya Raglan memenuhi cangkirnya kembali. Tak mempedulikan gumam penolakan William. Dengan diam ia melintasi kamar. Memutar Victrola dan memasang jarum di atas piringan hitam. William masih tetap memandangi lantai ketika nyonya Raglan kembali ke tempat.

"William, engkau pasti tidak tega membiarkan seorang wanita berdansa sendirian, yakan?”
William mendongak. Nyonya Raglan sedikit bergoyang tepat dengan irama musik. William berdiri dan merangkulnya dengan gaya resmi. Grumpy dengan mudah dapat diselipkan di anlara mereka berdua. Setelah beberapa birama nyonya Raglan mendekati William. Dan William menatap tegap di atas pundak nyonya Raglan. Untuk menunjukkan bahwa ia tidak memperhatikan tangan kiri nyonya Raglan telah berpindah dari pundak menyusup ke belakang punggungnya. Ketika piringan hitam berhenti, William mengira ia akan memperoleh kesempatan kembali menikmati coklat panas. Tapi nyonya Raglan membalik piringan hitam, dan kembali dalam pelukannya sebelum William dapat bergerak.

"Nyonya Raglan, kiranya aku harus . . .”

"santai sedikit William."

Akhirnya William berani memandang mata Nyonya Raglan. William mencoba menanggapinya. Tapi ia tak bisa bicara. Tangan nyonya Raglan kini menjelajahi punggung William. Dan ia merasa paha nyonya Raglan dengan lembut mendekati selangkang. William merapatkan pelukan di pinggang nyonya Raglan'

"Nah, ini lebih baik." kata nyonya Raglan.

Mereka pelan-pelan mengitari ruangan. Terjalin dengan rapat. Makin lama makin lambat. Seirama dengan musik sementara piringan hitam mendekati akhirnya. Ketika nyonya Raglan menyelinap pergi dan mematikan lampu, William menginginkannya cepat-cepat kembali. Ia berdiri dalam kegelapan' Tak bergerak. Mendengar keriut sutera. Dan hanya bisa melihat bayangan sedang melepas pakaian. Penyanyi telah menyelesaikan lagunya. Dan jarum menggores akhir piringan hitam. Sementara itu nyonya Raglan membantu William melepas pakaian dan membimbingnya menuju kursi malas. Dalam kegelapan ia menggerayangi nyonya Raglan. Dan jari-jarinya yang malu-malu masih "perawan" itu menemukan berbagai bagian tubuh yang tak terasakan sebagaimana ia bayangkan. Cepat-cepat William menarik tangannya untuk kembali meraba daerah yang relative telah dikenalnya di sekitar payudara' Jari-jarinya tidak merasakan keengganan. Dan ia mulai mengalami perasaan yang belum pernah ia mimpikan. Ia hendak mengerang keras-keras. Tapi segera menahan diri. Takut kalau-kalau bersuara terlalu tolol. Tangan nyonya Raglan memegangi punggungnya. Dan lembut mendorongnya untuk menindihnya. William bergerak berputar-putar. Ia bertanya-tanya bagaimana dapat “memasuki,, nyonya Raglan tanpa menunjukkan bahwa ia tak berpengalaman sama sekali. Tak semudah yang ia harapkan semula. Dan detik demi detik ia makin putus asa. Kemudian sekali lagi jari-jari nyonya Raglan menggerayangi perut William dan membimbingnya penuh keahlian. Dengan bantuannya ia memasukinya dengan mudah. Dan langsung mencapai orgasme.

“Maafl” kata William. Tak pasti apa yang hendak dilakukannya kemudian. Ia tetap menindihnya dengan diam beberapa lamanya. Kemudian nyonya Raglan berkata "Esok akan lebih baik lagi. Suara jarum menggores piringan hitam.terdengar telinganya lagi.

Esok harinya seharian suntuk nyonya Raglan memenuhi benak William. Seolah-olah hari itu tak ada akhirnya. Malam itu nyonya Raglan mendesah. Pada hari Rabu ia terengah. Hari Kamis ia mengerang. Pada hari Jumat ia memekik. Hari Sabtu Grumpy Raglan kembali dari konperensi. Sementara itu pendidikan William telah selesai.

Pada akhir liburan Paskah, tepatnya pada hari Kenaikan Isa Almasih, Abby Blount akhirnya takluk terhadap rayuan William. Matthew kehilangan lima dollar. Dan Abby kehilangan keperawanan. Setelah Nyonya Raglan, Abby Blount seolah-olah merupakan antiklimaks. Itulah satu-satunya peristiwa yang pantas dicatat dalam seluruh liburan itu, sebab Abby pergi ke Palm Beach bersama orang-tuanya. Dan William menghabiskan kebanyakan waktunya dengan buku-bukunya terkurung dalam rumah. Di rumah hanya bergaul dengan kedua neneknya dan dengan Alan Llyod. Ujian akhirnya tinggal beberapa minggu lagi'

Dan karena Grumpy Raglan tidak lagi pergi menghadiri konperensi, maka William tak mempunyai kegiatan-kegiatan lain di luar rumah. Selama triwulan terakhir mereka, William dan Matthew berjam-jam belajar di ruang studi mereka di St. Paul. Tak pernah berbicara kecuali bila Matthew menjumpai soal matematika yang tak bisa ia pecahkan. Ketika ujian-ujian yang dinanti-nanti akhirnya tiba, ternyata hanya berlangsung selama seminggu'

Keras. Saat ujian itu usai, kedua anak itu optimis tentang hasilnya. Tetapi selama mereka menanti, dari hari ke hari, kepercayaan diri mereka mulai berkurang. Beasiswa matematika Hamilton Memorial di Harvard hanya diberikan atas dasar persaingan. Dan terbuka bagi setiap anak sekolah di Amerika. William sama sekali tak bisa menentukan betapa ketat perlawanan mereka. Ketika waktu semakin lama berlalu, sedang ia belum juga mendengar apa-apa, William mulai mengandaikan yang paling buruk. Ketika telegram tiba, diserahkan oleh seseorang anak kelas dua, William sedang di lapangan main baseball bersama anak-anak kelas 3 SMA. Mereka menghabiskan hari-hari terakhir triwulan itu, sebelum meninggalkan sekolahan. Hari-hari gerah musim panas di mana anak laki-laki banyak yang dikeluarkan karena mabok-mabokan, menjebol jendela, atau mencoba meniduri salah seorang putri para guru atau bahkan isteri mereka.

William sedang mengumumkan keras-keras kepada siapa saja yang mau mendengarkan, bahwa ia segera melakukan pukulan home run yang pertama. "Inilah Babe Ruth dari St. Paul" seru Matthew. Klaim yang berlebihan itu disambut banyak tertawa. Ketika telegram diserahkan kepadanya, seluruh soal ..homerun" itu tiba-tiba terlupakan. Ia melempar tongkat pemukul dan merobek amplop kuning kecil. Pelempar bola menunggu. Tak sabar lagi. Begitu pula para penjaga lapangan. Sementara William mimbaca berita dengan pelan.
"Mereka mau membuatmu jadi professional,, teriak seseorang dari bidai pertama. Memang, kedatangan sebuah telegram adalah kejadian yang tidak biasa dalam suatu permainan baseball. Matthew masuk dari luar untuk bergabung dengan William. Sambil mencoba menyimpulkan berita baik atau buruk dari raut muka sahabatnya. Tanpa mengubah ungkapan raut muka, William meneruskan telegram itu kepada Matthew. Matthew membacanya. Lalu melompat tinggi di udara dengan senangnya. Kemudian menjatuhkan secarik kertas itu di tanah. Menemani William lari mengelilingi bidai, walau tak ada seorang pun yang memukul bola. Pelempar bola menghampiri telegram. Memungutnya. Membacanya. Dan dengan penuh semangat melempar bola ke tempat_tempat duduk terbaik di stadion. Secarik kertas iiu lalu dengan getolnya diteruskan dari satu pemain ke pemain lainnya. Yang terakhir harus membacanya ialah anak kelas dua itu. Ia telah menyebabkan banyak kesenangan, tetapi tak menerima ucapan terimakasih sepatah pun. Maka ia berpendapat paling sedikit ia berhak mengetahui sebab-musabab kegembiraan yang sedemikian besar.

Telegram itu dialamatkan kepada Tuan William Lowell Kane. Dan anak itu mengandaikan bahwa orangnya ialah pemukul bola yang tak becus itu. Telegram itu berbunyi: “Selamat menerima beasiswa matematika Hamilton Memorial ke Harvard. Keterangan rinci menyusul. Abbot Lawrence Lowell, Presiden." William tak pernah menyelesaikan home run. Dan ia dijadikan bulan-bulanan para penangkap dan pengembali bola sebelum mencapai home.

Matthew melihat dengan gembira sukses sahabatnya yang paling karib. Tapi ia sedih bila memikirkan bahwa itu dapat berarti kini mereka mungkin berpisah. Williarn juga merasakan hal itu. Tapi ia tak berkata apa-apa. Kedua anak itu harus menunggu 9 hari lagi untuk mengetahui bahwa Matthew juga diterima di Harvard.

Telegram lain tiba, menyusuli berita tersebut diatas. Telegram ini berasal dari Charles Lester memberi selamat putranya dan mengundang kedua anak muda minum teh di Hotel Plaza di New York. Kedua nenek mengirimkan ucapan selamat kepada William.

Tetapi sebagaimana nenek Kane memberi informasi kepada Alan Llyod sebagai kesaksian  "Anak itu hanya melakukan apa yang diharapkan daripadanya. Dan itu tak lebih dari apa yang telah dilakukan oleh ayahnya sebelum ini."

Kedua anak muda itu berjalan-jalan di Fifth Avenue pada hari yang telah ditentukan dengan rasa bangga. Mata gadis-gadis tertarik pada kedua anak muda tampan itu. Keduanya berpura -pura tidak mengetahuinya. Mereka membuka topi jerami mereka ketika memasuki pintu depan Plaza pada pukul empat kurang semenit. Berjalan dengan sembrono ke Kebun Palem'

Di mana mereka melihat keluarga mereka telah menunggu. Di sana duduk tegak di kursi empuk kedua nenek Kane dan Cabot, mengapit seorang wanita tua lain, yang menurut asumsi William, adalah padanan nenek Kane dalam keluarga Lester. Tuan dan Nyonya Lester, putri mereka, Susan, (yang matanya tak pernah lepas memandangi William) dan Alan Llyod membuat lengkapnya lingkaran itu. Jadi masih tersedia dua kursi kosong untuk William dan Matthew.

Nenek Kane memanggil pelayan terdekat dengan alisnya penuh wibawa.

"Sediakan poci teh yang baru dan tambah kuenya."

Pelayan bergegas ke dapur. "Satu poci teh dan kue krem Nyonya," katanya ketika kembali.

"Ayahmu pasti bangga akan dirimu hari ini, William." kata orang tua itu kepada yang lebih besar diantara kedua pemuda itu.

Pelayan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan anak muda tampan itu hingga memperoleh komentar sedemikian itu.

William kiranya tidak akan melihat pelayan itu sekejap pun bila tidak mengenakan gelang perak yang melingkar di pergelangannya. Gelang itu bisa saja berasal dari toko Tiffany' Ada sesuatu yang tidak cocok yang memusingkannya'

“William” kata Nenek Kane' “Dua kue sudah cukup. Ini bukan makan terakhir kali sebelum kamu masuk Harvard."

Ia memandang nyonya itu penuh kasih sayang'

Dan ia lupa akan gelang Perak.