Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 25 Oktober 2011

Pendekar Muka Buruk - oleh Can

Setelah sekian lama absen, kita coba menikmati cerita berikut :

Pendekar Muka Buruk karya Can
Jilid 1,2 dan 3


UDARA sangat cerah, sang surya baru saja memancarkan sinarnta yang berwarna ke emas-emasan ke seluruh permukaan bumi.
Nun dibawah sebuah pohon yang rindang, duduklah seorang kakek tua yang bungkuk lagi rapuh sambil bertopang dagu, sorot matanya yang redup sedang mengawasi seorang bocah kecil yang sedang bermain-main disebuah tanah lapang depan sebuah perkampungan besar.
Agaknya sudah lama sekali kakek itu berada disana, tiba-tiba terdengar ia bergumam seorang diri:
"Yaa........ pasti dia........ pasti dia........ tak bakal salah...... tak mungkin salah........"
Sesudah termenung lagi sekian lama, mendadak kakek tua itu bangkit berdiri, lalu dengan kecepatan bagaikan berhembusnya segulung angin dia melompat kehadapan bocah yang berusia sepuluh tahunan itu, kemudian sekali sambaran tangan, dia tangkap bocah tadi kemudian dikempitnya di bawah ketiak.
Tindakan tersebut dilakukan olehnya dengan kecepatan melebihi sambaran petir, sebelum bocah kecil itu sempat berteriak minta tolong, tahu-tahu jalan darah pingsannya sudah ditotok.
Tak ampun lagi bocah tersebut segera jatuh tak sadarkan diri.........
Tampaknya kakek tua itu seperti merasa segan atau takut terhadap sesuatu, begitu berhasil dengan sergapannya, buru-buru dia kabur meninggalkan perkampungan tersebut dan menerobos masak ke dalam sebuah hutan dengan kecepatan tinggi.
Semalam suntuk orang tua itu berlarian terus menjauhi perkampungan tadi.
Siang telah berganti malam dan fajar pun akhirnya menyingsing kembali......setelah merasa yakin tiada pengejar yang membuntuti perjalanannya, kakek tua itu kelihatan merasa amat lega, dia menghembuskan napas panjang kemudian perlahan-lahan menuruni bukit dan menuju ke sebuah jalan raya.
Belum jauh kakek itn berjalan menuju jalan raya, mendadak terdengar suara ringkikan kuda yang amat keras berkumandang datang dari arah belakang.
Kakek itu kelihatan amat terperanjat, dengan cepat dia berpaling ke belakang.
Dari kejauhan sana tampaklah empat ekor kuda jempolan sedang berlari mendekat dengan kecepatan tinggi, debu dan pasir beterbangan membumbung ke angkasa karena sambaran kuda-kuda itu.
Dalam waktu singkat rombongan orang-orang berkuda itu sudah semakin dekat, kini kakek tersebut dapat melihat wajah-wajah orang itu dengan jelas.
Orang yang berada di paling depan adalah seorang kakek tua berwajah bersih, sepasang matanya cekung ke dalam dengan sepasang biji mata berwarna biru, begitu menyeramkan mata orang tersebut sehingga mendatangkan perasaan ngeri dan bergidik bagi siapa pun yang melihatnya.......
Di belakang kakek tadi mengikuti seorang kakek berwajah hitam pekat bagaikan pantat kuali, seandainya diantara biji matanya tidak terselip warna putih, sulit rasanya membedakan mana yang mata dan mana pula yang kelopak.
Begitu tahu siapakah orang-orang yang baru muuculkan diri didepan matanya, kakek tua si penculik bocah cilik itu nampak sangat terperanjat, tanpa terasa serunya didalam hati:
"Aduuh.....celaka! Aku harus secepatnya meloloskan diri dari tempat ini......"
Tetapi sayang sekali, sebelum niatnya itu sempat dilaksanakan, keadaan sudah terlambat.
Kedengaran si Kakak bermuka putih itu tertawa terbahak-bahak, lalu dengan suara lantang serunya:
"Haaaahh.....haaahh.....haaah..... rupanya Telapak tangan sakti dari Giam-tok berada disini, selamat berjumpa..... selamat berjumpa kembali. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya kita tak pernah saling bertemu, sungguh tak disangka kita akan bersua kembali di tempat seperti ini!"
Air muka si Kakek tua yang membopong bocah cilik itu segera berubah menjadi dingin menyeramkan, setelah tertawa kering, jawabnya:
"Hmmm.......! Kukira siapa yang telah datang, eeei.... tak tahunya adalah Hek pek sat sia (sepasang malaikat putih dan hitam) .....! Hmm, kalau kalian toh berdua belum juga dapat melupakan kejadian dimasa lampau dan sekarang pingin beradu kepandaian silat denganku, baiklah, akan kulayani keinginan kalian itu, tapi bukan sekarang. Sepuluh hari kemudian akan kutunggu kedatangan kalian di puncak Si-sim-hong di bukit Hong-san!"
"Kenapa harus pilih hari lain?" tukas Kakek bermuka hitam bagaikan pantat kuali itu dengan cepat, "selamanya aku si melaikat hitam belum pernah menunda-nunda saat pertarungan yang sedang kuhadapi, aku pun belum pernah mengundurkan hari pertemuan...... mumpung hari ini udara sangat cerah dan lagi hawapun amat sejuk, aku rasa inilah kesempatan yang paling baik bagi kita untuk bertarung. Mengapa sih kita mesti mengundurkan waktunya sampai sepuluh hari lagi dan mesti bersusah payah mendaki gunung Hong-san? Ooooh......! Rupanya Giam tayhiap telah memilih tempat kubur yang bagus untukmu sendiri....."
Berbicara sampai disitu ia segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Perlu diketahui, Telapak tangan sakti dari Giam tok adalah seorang jago kawakan yang mempunyai nama besar yang amat tersohor di kolong langit pada berapa tahun berselang.
Dengan kepandian silat yang dimilikinya, sudah barang tentu dia tak memandang sebelah matapun terhadap sepasang malaikat hitam dan putih tersebut.
Namun dia cukup menyadari akan situasi yang sedang dihadapinya sekarang, dia tahu posisinya kini sangat tidak menguntungkan bagi dirinya.
Maka dari itu setelah tertawa keras segera katanya kembali:
"Sayang seribu kali sayang hari ini Giam ong mu masih ada urusan lain, dengan begitu tantangan kalianpun belum dapat kulayani!"
Selesai berkata dia pun bersiap sedia untuk meninggalkan tempat tersebut.
Malaikat putih segara bertindak cepat dengan menghadang jalan pergi kakek itu.
Setelah melirik sekejap kearah bocah cilik yang berada dalam bopongan kakek itu, katanya kemudian seraya tertawa tergelak:
"Haaahh... haaahhh... haaahhh... Giam tayhiap, sungguh tak nyana engkau sudah mempunyai keturunan, benar-benar peristiwa ini merupakan suatu kejadian yang aneh sekali! Tetapi kenapa sih jalan darah pingsan anakmu itu kau totok? Oooh....mungkin hasil dari penculikan rupanya?"
"Toako memang sangat pintar dan berpandangan tajam", malaikat hitam segera menyambung dengan nada mengejek, "aku yakin seyakin-yakin-nya bahwa bocah itu adalah anak jadah dari hasil hubungan gelap Giam tayhiap dengan Leng Siau-in!"
Telapak tangan sakti dari Giam-tek merasa amat gusar setelah mendengar ucapan itu, segera teriaknya keras-keras:
"Tutup mulut anjingmu, kalau engkau berani mengaco belo lagi, jangan salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap diri kalian!"
"Kalau tidak akan berlaku sungkan, lantas mau apa kau?" kembali pria kekar yang berada di belakang sepasang malaikat itu mengejek sambil tertawa keras.
Dengan suatu serakan tubuh yang sangat ringan, dia melayang turun dari atas pelana kuda.....
"Criiiinggg.....!"
Sepasang senjata gurdi yang terbuat dari baja murni segera dicabut keluar.
Kemudian seraya melangkah maju ketengah gelanggang, bentaknya lagi dengan penuh amarah:
"Giam tayhiap, apakah engkau tidak memandang sebelah matapun terhadap kami, sepasang bersaudara dari telaga Seng-ou?"
"Maaf......! Aku benar-benar tak kenal dengan kalian berdua, tolonglah tanya kesalahan apakah yang telah kulakukan atas diri kalian?" tanya telapak tangan sakti dari Giam-tok dengan sikap yang masih tetap sabar.
"Giam tayhiap tak usah berlagak pilon, mereka kan sepasang pendekar dari telaga Seng oh! yang dikiri bernama Ui Hiong sedangkan yang disebelah kanan adalah Ui Liat, bakankah kau pernah membinasakan kakak seperguruan mereka yaitu si Sastrawan tanpa bayangan Ong Sam-kui? Nah, coba pikirkan apakah mereka tidak berhak untuk menuntut balas terhadap dirimu sekarang......?"
"Oooooh......"
Belum sempat si Telapak tangan sakti dari Giam-tok melanjutkan kata-katanya, ditengah suara bentakan yang amat keras, tampaklah dua rentetan cahaya yang amat menyilaukan mata telah berkelebat datang mengancam jalan darah ung-hiat serta si-hiat di tubuhnya.
Ia menjadi amat terkejut, buru-buru telapak tangannya diputar kencang untuk menangkis datangnya serangan tersebut.
Biarpun serangan itu datangnya secara tiba-tiba dan sama sekali tak terduga, Telapak tangan sakti dari Giam-tok sama sekali tidak menjadi gugup, dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang amat sempurna, ia tangkis datangnya ancaman tersebut.
"Traaaaangg.......!"
Di tengah benturan keras, sepasang senjata gurdi dari Ih Hiong itu tertangkis telak, sedemikian kerasnya benturan itu membuat badannya sempat mundur dua langkah kebelakang dengan sempoyongan.
Semua orang menjadi kaget bercampur tertegun setelah menyaksikan kesempurnaan tenaga dalam lawannya, sebelum mereka sempat bertindak sesuatu, tiba-tiba Telapak tangan sakti dari Giam-tok telah menjejakkan kakinya ke atas tanah lalu secepat kilat berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
"Bangsat! Hendak lari ke mana kau?" hardik malaikat putih dengan perasaan gusar.
Tiga sosok bayangan manusia segera berkelebat lewat, dengan cepatnya beberapa orang jago itu melakukan pengejaran secara ketat.....
Meskipun si Telapak tangan sakti dari Giam-tok merupakan seorang yang amat lihay, tetapi setelah menempuh perjalaran cepat semalam suntuk, badannya boleh dibilang sudah teramat lelah.
Belum sampai berapa li dia kabur, jarak diantara dirinya dengan para pengejar kian lama kian bertambah dekat, ia segera sadar bahwa dirinya tak akan lolos lagi dari kejaran lawan.
Sadar akan hal tersebut, dengan segera ia mempercepat gerakan larinya dan menerobos masuk kedalam sebuah gua yang berada tak jauh dari situ.
Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sepucuk kertas lalu menulis berapa huruf dengan arang, kemudian diambilnya pula sebuah buli-buli berwarna emas dan dimasukkan kedalam saku bocah cilik yang berada dalam boponggan-nya itu.
Dalam pada itu, ke empat jago lihay yang melakukan pengejaran itu telah sampai pula didepan gua, namun mereka tak berani menerjang masuk kedalam goa secara gegabah, sebab kuatir kena disergap lawan-nya.
Dengan cepat beberapa orang itu menyebarkan diri dan membentuk posisi setengah lingkaran untuk mengepung tempat tersebut rapat-rapat.
"Manusia she Giam!" teriak jago-jago itu kemudian dengan suara mengejek, "kalau kau bersembunyi terus macam kura kura, jangan salahkan kami kalau segera akan melepaskan kabut beracun untuk membinasakan kalian berdua!"
Telapak tangan sakti dari Giam-tok cukup mengetahui bahwa kawanan jago itu dapat mengatakan dapat pula berbuat, hatinya menjadi sangat gelisah.
Luas gua tersebut tidak lebih cuma tiga sampai lima tombak, andaikata pihak lawan benar-benar melepaskan kabut beracun seperti apa yang diucapkan, niscaya dia beserta bocah cilik itu akan mati secara mengenaskan.
Berada dalam keadaan seperti ini, kakek tua itu tidak memperdulikan keselamatan jiwanya lagi, dia menepuk jalan darah diatas tubuh bocah itu agar menyadarkan-nya kembali di suatu saat tertentu, kemudian sambil menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya kedalam telapak tangannya, laksana sambaran kilat tubuhnya menerjang keluar dari dalam gua.
Begitu badan-nya melompat keluar dari mulut gua, sepasang telapak tangan-nya segera diayunkan ke arah kedua belah samping....
"Weeeess.....!"
Dengan angin pukulan yang amat dahsyat, bagaikan hembusan angin puyuh yang menerbangkan pasir dan debu, dengan dahsyatnya menggulung ke arah depan.
Dua bersaudara Ui dari telaga Seng-oh yang berada dibarisan terdepan, seketika itu juga terpental sejauh beberapa tombak dari tempat semula dan roboh terjerambab mencium tanah.
Telapak tangan sakti dari Giam tok benar-benar seorang jagoan yang sangat lihat, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya dia meluncur sejauh tiga tombak lebih dari tepi gua, kemudian sambil membalikkan tubuhnya, ia membentak penuh amarah:
"Kawanan anjing bangsat yang tak tahu diri, bereni amat kalian menghina orang lain? Hmmm......! Kalau toh sudah bosan hidup, ayo cepat maju! Akan kubereskan kalian semua satu demi satu.....!"
Mula-mala sepasang malaikat putih dan hitam nampak agak tertegun karena tidak mengira kalau lawan-nya yang telah menyembunyikan diri didalam gua tahu-tahu saja sudah muncul kembali di hadapan mereka semua.
Tapi setelah sadar kembali akan apa yang telah terjadi, serentak mereka loloskan senjata tajam masing-masing dan menerjang maju ke muka.....
Telapak tangan sakti dari Giam-tok tertawa nyaring, tubuhnya berputar kencang bagaikan sebuah gangsingan, bersamaan dengan suata gerak yang sangat aneh, tahu-tahu dia menyelinap ke sisi tubuh malaikat hitam kemudian melepaskan sebuah pukulan yang sangat dahsyat...
Malaikat hitam menjadi teramat kaget setelah merasakan datangnya ancaman yang sama sekali tak terduga itu, dia berseru tertahan kemudian berusaha keras untuk melepaskan diri dari ancaman tersebut.....
Tapi agaknya si Telapak tangan sakti dari Giam tok sudah dapat menduga akan gerakan berikut dari lawannya, baru saja si Malaikat hitam menghindar ke samping, ia sudah menerjang lagi ke depan dengan ge rakan cepat sambil melepaskan sebuah pukulan maut.
Blaaaammmm......!"
Dengan telak serangan tersebut bersarang diatas dada lawan, jeritan ngeri yang menyayat hati pun segera menggema memecahkan keheningan.
Sambil memuntahkan darah segar, tubuh si Malaikat hitam itu mencelat sejauh beberapa tombak kemudian sudah terkapar diatas tanah, lalu setelah berkelojotan sebantar akhirnya menemui ajalnya secara mengenaskan.
Dua bersaudara Ui dari telaga Seng oh serta si Malaikat putih menjadi teramat gusar setelah menyaksikan rekan mereka menemui ajalnya di ujung telapak tangan lawan, serentak mereka membentak keras dan meerjang maju ke muka secara kalap.
Angin pukulanpun segera menderu-deru, cahaya kilat yang memancar keluar dari ke empat buah senjata gurdi itu segera memenuhi seluruh angkasa.
Seperti banteng-banteng yang terluka, mereka mengepung musuhnya secara ketat dan berusaha membinasakan lawannya dengan serangan yang bertubi-tubi dan mengerikan hati.
Telapak tangan sakti dari Giam tok sama sekali tidak menjadi gentar karena mesti menghadapi kerubatan dari jago-jago lihay tersebut, sekarang dia tak usah merasa takut lagi untuk melakukan pertarungan secara bersungguh hati, karena si bocah cilik yang menjadi beban baginya selama ini telah diturunkan kedalam gua.
Tubuhnya melejit sejauh tiga tembak lebih ketengah udara, lain dengan jurus Bendungan baja menahan air bah dia mengayunkan kembali telapak tangan-nya kearah bawah dengan sepenuh tenaga.
Walaupun dia menyerang hanya menggunakan sepasang tangan yang terdiri dari darah dan daging, namun kedahsyatan dari angin pukulan itn benar-benar mengerikan sekali.
Seluruh angkasa segera diliputi oleh beribu-ribu buah bayangan telapak tangan yang menyilaukan mata, sementara tenaga tekanan yang teramat berat menggencet batok kepala beberepa orang itu.
"Blaammmm.........!"
Kembali terjadi benturan keras yang menggelegar diseluruh ngkasa, tampak tiga sosok bayangan manusia mencelat sejauh beberapa tombak kebelakang. ......
Tak sempat lagi mengeluarkan suara jeritan ngerinya, dua bersaudara Ui dari telaga Seng oh serta malaikat putih itu menemui ajalnya pula secara mengenaskan.
Mengawasi mayat-mayat yang bergelimpangan diatas tanah, Telapak tangan sakti dari Giam tok menghembuskan napas lega.
"Aaaai....! Akhirnya aku berhasil juga menyelesaikan pertarungan ini secara baik.... Padahal andaikata mereka tidak terlalu mendesakku, akupun tak akan tega membunuh mereka sekeji ini...."
Sembari menggelengkan kepalanya berulang kali dia membalikkan badan dan berjalan menuju kearah gua.
Tapi sebelum sepasang kakinya sempat melangkah masuk kedalam mulut gua, mendadak berkumandang kembali suara suitan yang aneh sekali dari tempat kejauhan sana...
Sekali lagi si Telapak tangan sakti dari Giam tok merasa amat terperanjat, ia segera berpaling kearah mana berasalnya suitan itu.....
Tampaklah cahaya kilat berkelebatcepat dengan kecepatan luar biasa, tahu-tahu seorang kakek bermuka persis seperti monyet telah munculkan diri dihadapan-nya.
"Aaaaah.....!"
Ketika saling berpapasan muka, kedua orang itu sama-sama berseru tertahan dan mundur satu langkah kebelakang.
"Aaai.....Telapak tangan sakti dan Giam tok!" bisik kakek berwajah monyet itu dengan suara lirih.
"Monyet sakti dari selat Wu-nia!" bisik Telapak tangan sakti pula dengan suara kaget.
Dalam waktu singkat si kakek berwajah monyet tadi telah muncul dihadapan-nya, dengan paras muka yang berubah menjadi hijau menyeramkan, terdengar kakek bermuka monyet itu berseru sambil tertawa seram:
"Heeehh... heeeh... heeehhh... benar-bener suatu pertemuan yang sama sekali tak terduga, didalam kesempatan ini bukan saja aku akan membalas dendam atas hadiah sebuah pukulan yang pernah kau berikan kepadaku pada sepuluh tahun berselang, akupun akan mengambil kembali benda mustika tersebut dari tanganmu. Nah bajingan tua! Bersiap-siaplah untuk mampus........"
Biarpun dihati kecilnya si Telapak tangan sakti dari Giam tok merasa amat terkejut, namun diluarnya dia tetap berusaha untuk bersikap tenang, jawabnya kemudian:
"Hmmmm! Kau berniat untuk membalas dendam atas pukulan yang pernah kuhadiahkan kepadamu pada sepuluh tahun berselang....? Heeebhh.....heeehhh... heeeeh.... belum tentu kau mampu untuk melakukan niatmu itu. Lagipula benda mestika yang kau maksudkan sudah tidak berada dalam sakuku lagi .... sudahlah, lebih baik kita tak usah banyak ngebacot lagi, kalau memang ingin bertarung, silahkan saja untuk segera melancarkan seranganmu.....
"Kurangajar, kau berani membohongi diri ku? Cairan kemala yang berada dalam buli-buli emas merupakan benda mesiika yang langka dan menjadi incaran setiap orang, bila kau tidak segera menyerahkannya kepadaku......Hmmm! Akan kusuruh kau mampus dengan darah berceceran dimana-mana....."
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh... jangan lagi cairan kemala dalam buli-buli emas yang kau maksud sudah tak berada dalam sakuku lagi, kendatipun saat ini masih berada dalam sakuku pun jangan harap akan ku berikan kepadamu, apalagi cairan itu bisa membantu menyempurnakan tenaga dalam seseorang, hmmm....hmmm...hmmm.... bila kepandaian silatmu mendapat kemajuan yang pesat, dunia persilatan pasti akan menjadi kacau balau oleh ulahmu"
Paras muka si Monyet sakti dari selat Wu-nia itu segera berubah sangat hebat, dia menyeringai seram sambil memperdengarkan suara tertawanya yang sangat aneh, suara tertawa itu mirip sekali dengan jeritan bayi yang mencekik lehernya, tapi mirip juga dengan jeritan kuntilanak ditengah kuburan. Berita tak sedap didengar sehingga terasa amat menusuk pendengaran.
Telapak tangan sakti dari Giam tok segera menghimpun tenaga murninya sambil tertawa nyaring, dia berusaha untuk menekan gelak tertawa aneh dari lawannya itu sampai tertindih dan makin lirih kedengaran-nya, karena dia kuatir gelak tertawa dari lawannya yang penuh mengandung tenaga serangan itu akan melukai pendengaran dari bocah yang disembunyikan didalam gua itu.
"Sudah....sudahlah!" seru Giam tok kemudian dengan perasaan amat gusar, "biar kita bertarung mati-matian pada saat inipun tak mungkin akan berhasil menentukan siapa yang unggul dan siapa yang kalah, bagaimana kalau kita sudahi saja pertarungan hari ini sampai disini saja?"
"Kentut busuk nenekmu! Andaikata kubebaskan dirimu hari ini, lain kali aku akan mencarimu dimana?"
"Bagaimana kalau kutunggu kedatangganmu di puncak Si-sim-nong gunung Hong san?"
"Tidak, tidak bisa! Nah bajingan tua, lihat serangan....."
Monyet sakti dari selat Wu-nia segera merentangkan sepasang telapak tangannya sambil didorong keluar dengan dahsyatnya, segulung angin pukulan yang sangat kuat segera berhembus lewat bagaikan gulungan sngin puyuh, dengan cepat dan kencangnya langsung meluncur kedepan serta menerjang dada lawan.
Telapak tangan sakti dari Giam tok tak berani bertindak secara gegabah, apalagi setelah menyaksikan betapa dahsyatnya angin pukulan yang mengancam tiba.
Cepat-cepat hawa murninya dihimpun kedalam telapak tangan-nya kemudian sebuah pukulan dilepaskan untuk menyambut datangnya ancaman tersebut dengan keras melawan keras.
"Braaaakkk..... !"
Benturan keras itu menimbulkan suara ledakan yang amat memekikkan telinga, gumpalan pasir dan debu berputar kencang dan membumbung keangkasa setinggi puluhan tombak lebih.....
Sejak terjadinya benturan keras itu, ternyata keempat buah telapak tangan saling menempel satu sama lain-nya tanpa bergerak, tubuh kedua orang itu berdiri diam tak berkutik dari tempat semula, masing-masing pihak berusaha mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk melukai lawan.
Rupanya didalam bentrokan tadi, baik si telapak tangan sakti dari Giam tok maupun si monyet sakti dari selat Wu-nia sama-sama tak mau mengalah, maka setelah terjadi bentrokan kekerasan tadi, mereka segera saling menghisap kekuatan lawan-nya kuat-kuat, akibat dari kejadian ini maka telapak tangan merekapun saling menempel satu sama lain-nya dan tidak mampu berkutik lagi....
Entah berapa jam sudah lewat tanpa terasa....
Bocah cilik yang berada dalam goa itu perlahan-lahan mendusin kembali dari pingsan-nya, ketika dia membuka mata dan menemukan bahwa dirinya sedang berbaring dalam sebuah gua, wajahnya segera berubah dan menunjukkan rasa tercengang yang tak terhingga ....
"Aneh, mengapa aku bisa berada disini?" pikir bocah itu didaam hatinya, "atau mungkin aku sedang bermimpi disiang hari bolong....? Benar-benar suatu kejadian yang aneh......"
Ia merangkak bangun dari atas tanah, sinar tajam yang memancar masuk dari mulut gua amat menyilaukan matanya, bocah itu segera memejamkan matanya sambil membalikkan badan membelakangi gua tadi....
Tiba-tiba ia merasa sakunya berat sekali.
"Aneh benar, benda apa yang mengganjal dalam perutku ini?" dia berpikir.
Dengan cepat dirabanya bagian yang terasa mengganjal itu, ternyata benda itu berupa sebuah buli-buli kecil serta secarik kertas.
Dengan perasaan tak habis mengerti dia segera berjalan keluar dari gua itu.
Dihadapan matanya segera terbentang suatu pemandangan yang benar-benar menggidikkan hati, empat sosok mayat terkapar diatas tanah dalam keadaan mengerikan, sementara dua orang kakek berdiri kaku di sisi lain dengan sepasang telapak tangan mereka musib berada dalam posisi saling menempel.
Melihat kesemuanya ini si bocah segera menjerit kaget dan cepat-cepat lari masuk kembali kedalam gua, saking kagetnya hampir saja dia lari pontang panting meninggalkan tempat kejadian itu.
Berapa saat kemudian ia baru berani melongok lagi, tatkala dilihatnya orang-orang itu sudah mati semua, dia baru merasa agak lega dan berani muncul kembali dari gua itu.
Sambil menimang-nimang buli-buli warna emas yang ditemukan dalam sakunya, bocah itu berpikir dengan perasaan keheranan dan tidak habis mengerti:
"Sungguh suatu kejadian yang aneh, kalau dilihat bentuknya buli-buli ini kecil sekali, kenapa beratnya justru bukan kepalang tanggung.....?"
Ia segera mencabut lepas penutupnya, bau harum semerbak segera memancar keluar memenuhi seluruh angkasa.
Ternyata isi dari buli-buli emas itu adalah cairan putih yang kental sekali seperti getah, ketika dicoba rasanya manis lagi lezat sekali, hal mana membuat si bocah menjadi kegirangan, tanpa berpikir panjang lagi dia teguk isi buli-buli itu hingga habis sama sekali.....
Kemudian diambilnya kertas yang melekat diatas buli-buli tadi serta dibaca isinya. Surat itu berbunyi demikian:
"Ayahmu yang sekarang bukan ayahmu, Ibumu sekarang adalah ibumu, lahir tanpa berjumpa, nasib ayah sangat sengsara, untuk membalas dendam carilah Thien bu, sebelum ilmu silat kau kuasahi janganlah pulang ke rumah!"
Dibawah surat itu terlukis sebuah telapak tangan.
Beberapa patah tulisan itu sangat membingungkan hati sang bocah, untuk berapa saat lamanya dia hanya berdiri tertegun disitu dan tak tahu apa yang mesti dilakukan...
Tanpa terasa terbayang kembali kejadian yang pernah menimpa dirinya berapa waktu berselang, waktu itu ia memohon kepada ayahnya untuk belajar silat, tapi permintaan itu bukan saja tidak dikabulkan, malahan dia dicaci maki habis-habisan.
Ketika ia mencoba untuk mencuri lihat para penjaga perkampungan yang sedang berlatih ilmu silat, dia pun dimaki habis-habisan olehnya.
Kemudian sewaktu kejadian tersebut dilaporkan kepada ibunya, persoalan itupun tidak mendatangkan hasil apa-apa, ayahnya malah selain bersikap dingin dan ketus terhadap dirinya.....
"Mungkinkah aku memang bukan anak kandang ayahku?" pikiran tersebut dengan cepat melintas didalam benaknya, "kalau begitu tentu ibuku kawin lagi? Atau mungkin dia dirampas oleh ayahku sekarang serta di paksa untuk kawin dengannya?"
Jangan dilihat bocah itu masih berusia kecil, tapi dalam kenyataannya banyak persoalan yang dapat terpikir olehnya, terutama sekali kata-kata yang tercantum dalam surat tersebut telah mempengaruhi jalan pikiran-nya.
Semenjak masih kecil dia memang sudah dicaci maki orang, bukan cuma kakek dan encinya saja yang memandang hina kepadanya, bahkan sampai pelayan pun tak pernah ambil perduli terhadapnya.
Bukan cuma begitu, sikap ibunya pun terasa begitu hambar terhadapnya, seakan-akan dia memang bukan anggota keluarga dari keluarga Giam, ia menaruh curiga bahwa dia adalah anak buangan....
Bocah itu merasa sudah terbiasa di anak tirikan dalam perkampungan Ang sim-san ceng yang termashur diseluruh dunia persilatan itu, maka dia pun tidak merasa takut karena berada ditengah bukit yang sunyi sekarang, dalam hati dia telah mengambil keputusan akan menunggu sampai ke dua orang kakek yang berdiri kaku itu mendudin kembali, dia harus menanyakan rahasia ini dari mereka.
Sayang sekali, ke dua orang Kakak itu tetap berdiri tak berkutik ditempat semula, malahan tubuh mereka makin lama terasa semakin dingin dan membeku....
Bocah itu berdiri melongo, dia tak tahu apa yang harus dilakukan saat ini, sambil mempermainkan buli-buli emas yang berat itu, dengan sabar dia menanti terus disisi kedua orang Kakek tersebut.
Tiba-tiba buli buli itu terlepas dari tangan-nya, menyusul kemudian tampak secarik kertas terlepas dari tepi penutup buli-buli itu dan terjatuh ketanah....
Dengan perasaan keheranan, kertas tadi segera diambilnya lalu diteliti isinya.
Terbacalah olehnya beberapa buah tulisan yang berbunyi begini:
"Kitab pusaka Cin kun hun pit, mestika idaman setiap umat persilatan tersimpan dibawah batu peringatan besar To sik sit"
Begitu lembutnya tulisan itu isehingga harus diteliti lebih dulu dengan seksama sebeum dapat terbaca.
Bocah itu menjadi amat kegirangan, segera serunya keras-keras:
"Nah, inilah kesempatan yang paling baik bagiku untuk belajar silat.... aku harus mencari kitab tersebut sampai dapat......"
Setelah menunggu lama sekali, habis sudah kesabaran bocah itu untuk menanti lebih lanjut, segera dldekatinya kedua orang kakek itu, lalu teriaknya keras-keras:
"Hey..... kakek, bangunlah sebentar..... aku ada urusan hendak bertanya kepadamu...."
Tiada jawaban yang kedengaran, dua orang kakek itu masih saja berdiri kaku ditempat semula.
Bocah itu berteriak lagi berapa kali, tapi tetap tiada jawaban, akhirnya dengan perasaan keheranan bocah itu mulai berpikir:
"Benar-benar aneh sekali, jangan-jangan kedua orang Kakek ini sudah mati?"
Dengan perasaan ingin tahu dihampirinya kedua orang itu, lalu didorongaya Kakek yang satu namun tak berkutik, lalu didorongnya pula Kakek yang kedua, juga tak bergerak, maka dengan perasaan tercengang ia memeriksa dengus napas mereka berdua, baru sekarang dia tahu kalau mereka sudah tak bernapas lagi alias sudah mati.
Tak bisa dicegah lagi ia menjerit sekeras-kerasnya dengan perasaan ketakutan, tanpa berpikir panjang ia melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Mendadak .......
Suara bentakan keras berkumandang datang dari arah belakang, bocah itu semakin ketakutan dan larinya pun semakin bertambah cepat iagi, dia mengira orang-orang yang sudah mati kaku itu berubah menjadi mayat hidup dan sedang mengejarnya.
Sungguh cepat gerakan tubuh dari pendatang tersebut, hanya dalam waktu singkat dia telah berhasil menyusul bocah itu serta menghadang dihadapan-nya.
"Siau cengcu!" terdengar orang itu berteriak keras, "mengapa kau pergi sejauh ini seorang diri? Kau tahu betapa gelisahnya Cengcu setelah mengetahui kepergianmu ini? Dia sampai mengirim enam belas orang berkuada untuk mencari jejakmu......"
Mendadak sorot matanya menangkap buli-buli kecil berwarna emas yaag berada dalam genggaman bocah itu, deagan sorot mata aneh ia segera berseru tertahan:
"Aaaaah.....! Bukankah benda yang berada ditanganmu itu adalah Wan hu giok ih, cairan kemala buli-buli emas? Siau-cengcu! Kau dapatkan benda itu dari mana?"
Baru sekarang bocah itu mengetahui bahwa si pengejar bukan mayat hidup seperti apa yaag diduganya semula, melainkan seorang tukang pukul ayahnya yang bernama Li Wi.
Sambil tertawa haha hihi karena girang, sahutnya kemudian:
"Hiiiiih... hiiiihhh... hiiihh... aku sendiripun tak tahu bagaimana ceritanya sampai bisa memperoleh benda ini..."
"Anak jadah! Kau berani membohongi aku?" bentak Li Wi tiba-tiba dengan wajah menyeringai seram, "hari ini adalah hari kematianmu, hmm....! Bila kau bersedia menghadiahkan cairan kemala dalam buli-buli emas itu kepadaku, aku pun bersedia pula memberi kematian yang utuh padamu, tapi kalau tidak... heeehh... heeeh... heeeh....."
Bocah itu menjadi ketakutan setengah mati dan menjerit keras setelah menjumpai paman Li nya tiba-tiba berubah menjadi begitu beringas daa menakutkan, tanpa membuang waktu ia segera membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit....
Li Wi mendengus dingin, baru saja bocah itu lari sejauh dua kaki lebih dari posisi semula, ia membentak keras dan sebuah pukulan yang maha dahsyat segera dilontarkan kedepan.
Bocah cilik yang sesungguhnya bernama Giam In-kok ini segera menjerit tertahan, dia merasakan punggungnya teramat sakit, sambil memuntahkan darah segar tubuhnya segera roboh terjengkang keatas tanah dan jatuh tak sadarkan diri.
Menyaksikan bocah itu roboh keatas tanah sambil memuntahkan darah segar, Li Wi mengira korban-nya sudah mati, maka sambil tertawa dingin jengeknya:
"Heehhh... heeehhh... heeeh... siapa suruh kau membawa benda mestika yang langka dan tak ternilai harganya? Jangan salahkan kalau paman Li mu bertindak keji, cairan kemala ini akan menambah tenaga dalamku seperti hasil latihan selama enam puluh tahun lamanya”
Buru-buru dia melepaskan buli-buli emas itu dari genggaman tangan bocah tadi, namun sewaktu penutupnya dibuka dan mengetahui bahwa isinya telah kosong, hatinya menjadi sangat terkesiap dan tanpa terasa bulu kuduknya pada bangun berdiri.
"Aduuh .... celaka!" demikian ia berseru didalam hati, "ternyata isi buli-buli emas itu sudah kosong, waaa... bagaimana sekarang? Tak mungkin aku bisa mempertanggung jawabkan diri terhadap cengcu...."
Akhirnya setelah termangu-mangu sejenak, dia tendang tubuh bocah itu dengan gemas sambil umpatnya:
"Bocah sialan, biar engkau dikubur bersama buli-buli kosong itu..."
Li Wi takut kalau sampai perbuatan-nya membinasakan majikan mudanya ketahuan orang, dan lagi buli-buli kosong itupun tak ada gunanya lagi, maka setelah membuangnya kesisi bocah tersebut, dia segera membalikkan badan dan kabur dari situ.
Siapa tahu bocah itu bukan saja tidak mati, justru lantaran tendangan dari Li Wi ini, maka peredaran darahnya yang semula tersumbat kini menjadi lancar kembali,
Sebenarnya setelah muntah daah segar tadi, bocah itu merasakan dadanya sakit sekali sehingga jatuh tak sadarkan diri tetapi setelah Li Wi melancarkan sebuah tandangan kearahnya, jalan darah yang semula membeku segera menjadi lancar kembali, perlahan-lahan diapun sadar kembali dari pingsan-nya.
Dia merangkak bangun dari atas tanah, dilihatnya Li Wi telah berlalu dari situ, sementara dia sendiri kecuali telah memuntahkan darah segur, ternyata sekujur tubuhna sama sekali tidak mengalami perubahan apapun.
Selelah lama sekali termenung, ia baru menyadari apa yang barusan telah terjadi, sambil menggertak gigi menahan rasa becinya, ia bersumpah didalam hati:
"Bangsat keparat, hari ini kau telah menghajar sauya mu sampai muntah darah segar....Hmmm! Tapi ingat, suatu waktunya tiba, sauya mu sudah mampu membalas dendam, akan kutagih hutangmu hari ini beserta rentenya... Hmm. Bila sumpah ini tak kulakukan, jangan panggil lagi aku sebagai Giam In kok!"
Buli-buli emas itu segera diikatnya kembali dipinggangnya, tapi sebelum meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya:
"Bukankah aku sudah mati satu kali? Apa perlu kutakuti lagi terhadap orang-orang yang sudah mati itu?"
Maka diapun berjalan kembali ketempat semula, kemudian dengan seksama diperiksanya keempat sosok mayat yang tergelepar diatas tanah itu, dalam sekilas pandangan saja ia sudah tahu kalau keempat orang itu mati akibat dihajar orang.
Kemudian diapun memeriksa mayat dari kedua orang kakek yang berdiri kaku disitu, dia periksa seluruh tubuh orang itu, namun tak berhasil ditemukan suatu sebab yang mengakibatkan kematian tersebut.
Rasa ingin tahu semakin menganggu perasaan Giam In Kok, mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dia segera mendekati kedua orang kakek itu dan menggeledah pakaian mereka.
Mendadak sebuah senjata berbentuk telapak tangan terjatuh dari saku salah seorang kakek itu, ketika dipungut kembali dan diamati dengan lebih saksama, bocah tersebut segera merasakan hatinya tergetar keras.
Ternyata bentuk dari telapak tangan itu persis sekali dengan lambang yang tercantum dalam kertas yang ditemukan disisi buli-buli tadi.
Tanpa terasa ia berseru tertahan:
"oooo...! Rupanya locianpwe ini yang telah meninggalkan surat itu kepadaku!"
Dari nada pembicaraan Li wi tadi, ia semakin yakin bahwasan-nya kepala kampung dari perkampungan Ang sin san ceng yang bernama Giam Ong-hui itu sesungguhnya bukan ayah kandungnya.
Tanpa terasa timbul rasa simpatiknya kepada kakek yang membawa senjata berbentuk telapak tangan itu.
Dengan penuh rasa hormat dia segera berlutut didepan jenasah kakek itu serta manjalani penghormatan besar sebanyak sembilan kali, gumamnya kemudian:
"Anak In telah mendapat budi kebaikan dari cianpwee, biarlah anak In membopeag tubuhmu kedalam gua,kau bisa beristirahat dengan tenang disana...!"
Tapi sebelum ia membopong tubuh Kakek tersebut kembali satu ingatan melintas dalam benaknya, ia merasa berkewajiban untuk menyelidiki lebih dulu asal usulnya.
Maka dia pun memeriksa seluruh tubuh kakek itu untuk memeriksa apakah masih terdapat sesuatu yang masih tertinggal disitu.
Ternyata dugaannya memang benar, di dalam saku kakek itu dia berhasil menemukan sejilid kitab, batang arang, beberapa lembar kertas serta beberapa tahil uang perak, kecuali itu tidak terlihat benda lain-nya lagi.
Kitab itu segera dibuka dan diperiksa dengan teliti, pada halaman pertama terbaca olehnya empat huruf besar yang bertuliskan:
"GIAM TOK KANG CIAT atau pukulan baja Giam tok.
Gaya tulisan-nya persis seperti tulisan yang ditemuinya diatas kertas surat tadi, dan semakin dia mebalik-balik halaman berikutnya ternyata isinya berupa serangkaian catatan mengenai ilmu silat yang disana sini dilengkapi pula dengan pelbagai lukisan.
Walaupun Giam In Kok merasa gembira sekali atas penemuannya itu, dan dia ingin selekasnya mampelajari isi dari kitab silat tersebut, namun saat itu ingatan-nya belum terpikirkan sampai kesana.
Pada halaman yang ketiga belas, akhirnya bocah itu berhasil menemukan beberapa tulisan yang berbunyi demikian:
"Dendam tusukan pedang dapat ditahan dendam karena isteri direbut sukar terlupakan, bila bersua kembali, akan kutuntut balas dendam kesumat ini...."
Walaupun beberapa patah kata tulisan itu sederhana sekali artinya, namun bagi Giam In-kok justru seakan-akan anak panah yang menembusi ulu hatinya, sekujur tubuhnya segera gemetar keras.
Tak tertahankan lagi ia berteriak keras:
"Mungkinkah orang tua ini adalah ayah kandungku?"
Dia mencoba untuk menginsafi wajah si Telapak tangan sakti diri Giam tok dengan seksama, lama kelamaan terasa olehnya walaupun muka itu penuh kasih sayang tapi potongan mukanya masih terasa asing baginya. Menjumpai hal ini, terpaksa diapun berdoa didalam hati:
"Cianpwee, walaupun anak In hanya mempunyai seorang ibu, namun aku masih mempunyai enam orang bibi. Seandainya cianpwee memang ayahku, harap kau bersedia muncul kembali dalam impian malam nanti...."
Selesai berdoa, dia masukkan kitab itu kedalam sakunya, mengikat senjata telapak tangan baja dipinggangnya dan menyimpan uang perak kedalam saku.
Kemudian dia membuat sebuah liang kubur dan mengebumikan jenazah dari si Telapak tangan sakti dari Giam tok dalam gua tersebut.
Setelah itu diapun membuat sebuah batu nisan yang ditulis berapa huruf diatasnya, tulisan itu berbunyi demikian:
"Disinilah dikubur seorang cianpwee dari dunia persilatan, Giam-tok si telapak tangan baja!"
Kemudian bocah itu mendekati tubuh si monyet sakti dari selat Wu-nia ....
Dari dalam saku kakek ini, dia berhasil mendapatkan sebilah pedang pendek, sejilid kitab silat, beberapa butir mutiara dan beberapa tahil perak.
Sudah berhasil mengenali asal usul kakek berwajah monyet ini, maka dia pun menggubur mayat sambil mendirikan sebuah batu nisan dengan tulisan berbunyi begini:
"Disini diikubur La Khong, seorang cianpwe dari dunia persilatan"
Menanti semua pekerjaan telah selesai di kerjakan, hari sudah mendekati sore, bocah itu segera mencari buah-buahan di dalam hutan untuk mengisi perut, kemudian membaca kitab pusaka yang ditinggalkan ke dua orang jago tua tadi serta mulai belajar silat.
Matahari malai condong di langit barat, sinar kemerah-merahan memancar keempat penjuru memancarkan sinar yang makin redup.
Giam In Kok, seorang bocah cilik yang baru berusia sepuluh tahun ternyata dapat melatih diri dengan tekun dan seksama, dibawah timpaan cahaya matahari yang makin redup, ia berlatih diri dengan tangan kanan menggenggam telapak tangan baja, sementara tangan kirinya menggenggam pedang pendek, gerakan tubuhnya amat gesit dan lincah tak ubahnya seperti seekor monyet.
Kejadian ini berlangsung pada hari ketiga setelah bocah itu minum cairan kemala dari buli-buli emas tanpa sengaja serta mempelajari kepandaian silat peninggalan dari kedua orang kakek itu.
Dengan mengandalkan kecerdasan otaknya yang melampaui anak lain sebaya dengan-nya serta dengan bakatnya yang bagus, ditambah pula berkat bantuan dari kasiat cairan knmala buli-buli emas, biarpun baru berlatih diri selama tiga hari, namun keberhasilan-nya yang dapat dicapai benar-benar diluar dugaan.
Tiba-tiba ia menarik kembali senjatanya kemudian berjalan menuju kedepan sebuah pusara baru dan berlutut didepan-nya sambil bergumam diirnggi isakan tangis yang menyedihkan hati:
"Ayah! Semoga kau melindungi anak In agar ilmu silat yang kuperlajari dapat cepat berhasil, bila anak In telah berhasil menguasai kepandaian silat yang hebat, pasti akan kucari Giam Ong-hui si bajingan tua itu dan membuat perhitungan dengannya, anak In bersumpah akan menyelamatkan ibu dari lembah kesengsaraan....."
Selesai berdoa dia berlatih kembali ilmu telapak tangan, ilmu pedangnya dengan tekun, hingga tengah malam lewat dia baru beristirahat dibawah sebatang pohon besar.
Saking lelahnya bocah itu segera tertidur dengan nyenyaknya........
Entah berapa lama sudah lewat.......
Mendadak terdengar suara kicauan burung yang amat ramai mengejutkan Giam In Kok dari tidurnya, ketika membuka matanya kembali, fajar telah menyingsing diufuk timur, tanpa terasa dengan perasaan jengkel bocah itu engumpat:
"Burung-burung sialan...... ramai benar kalian ini...... aaai, sampai sauya mu tak dapat tidur nyenyak....."
Tapi baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, mendadak dari kejauhan sana berkumandang datang suara bentakan yang amat keras:
"Siapa yang sedang berbicara disana?"
Giam In Kok sangat terperanjat, ia segera dapat mengenali kembali suara itu sebagai suara dari Giam Ong-hui, cengcu dari perkampungan Ang sim-aan yang dibenci itu.
Rasa dendam dan hawa gusar segera berkobar didalam dadanya, coba kalau dia tidak teringat bahwasanya kepandaian silat yang dimiliki belum cukup lihay, niscaya orang itu sudah dilabraknya habis-habisan seperti pemburu yang menjagal celeng-celeng di-dalam hutan.
Dengan suatu gerakan yang amat lincah dia segera menyembunyikan diri di balik hutan, dari situ dia mengintip keluar.
Tampak olehnya Giam Ong-hui dengan dikelilingi oleh para tukang pukulnya telah berdiri mengerumuni kuburan dari ke dua orang kakek dalam gua tersebut.
Mendadak terdengar salah seorang tukang pukulnya yang dikenal sebagai Hee Kee-seng bertanya:
"Cengcu, apa yang telah kau dengar?"
"Sungguh aneh! Aku seperti mendengar binatang cilik itu seperti bercakap-cakap didalam hutan"
"Aaaah! tidak mungkin, sewaktu kutemukan dia lenyap hari itu, telah kucari jejaknya disekeliling tempat ini sampai beberapa kali, terutama sekitar hutan ini, namun tak sesosok bayangan manusia pun yang berhasil kutemukan......mungkin.......mungkin cengcu sudah salah mendengar!"
"Benar!" sambung Li Wi pula dari samping, "ia sudah termakan oleh sebuah pukulan ku yang sangat berat, kalau tak sampai mampus, kejadian ini baru aneh namanya..... atau mungkin......jangan-jangan ia sudah ditolong orang pintar serta disembunyikan di sekitar tempat ini?"
"Jangan perdulikan dulu apakah seseorang disini atau tidak, yang penting kita geledah dula sekitar tempat ini!" perintah Giam Ong-hui kemudian.
Giam In-kok yang mengikuti tanya jawab dari beberapa orang itu segera merasakan hawa amarahnya berkobar didalam dada, kalau bisa, dia ingin sekali memukul manusia she Giam itu serta menyiksanya habis-habisan sampai orang itu mengatakan asal usulnya yang sebenarnya....
Selama berdiam didalam perkampungan Ang sim san ceng, walaupun ia belum pernah mengalami perlakuan yang terlampau buruk, namun sikap serta kata-kata para penghuninya yang dingin dan hambar telah mendatangkan siksaan serta penderitaan yang tak terlukiskan.
Seandainya dia tidak ditolong oleh ayahnya, si Telapak tangan baja dari Giam tok, bukankah hingga kinipun dia masih menganggap bajingan itu sebagai ayah?
Bocah inipun tidak tahu permusuhan apakah yang sebetulnya terjalin antara si Telapak tangan baja dari Giam tok dengan Giam ong hui, tapi andaikata Giam ong hui tidak menghancurkan rumah tangga ayahnya lebih dahulu, bagaimana mungkin dia bisa melarikan ibunya?
Membalas dendam?
Ataukah melarikan diri?
Dua ingatan yang paling bertentangan itu dengan cepat melintas didalam benaknya dan berputar sampai berapa ratus kali.
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya dia mengambil keputusan untuk melarikan diri dari sana, sebab dengan ilmu silat yang baru saja diyakininya bocah itu mengerti bahwa dia bukan tandingan dari orang-orang tersebut.
Setelah mendengus dingin bocah itu segera menyelinap keluar dari tempat persembunyian-nya dan mcelarikan diri dari situ, untung saja tak seorang manusiapun yang mengetahui jejaknya.
Sesudah berada diluar hutan sana, ia segera berlari secepat-cepatnya meninggalkan tempat tersebut.
Entah berapa lama sudah lewat, Giam In kok yakin telah menempuh perjalanan sejauh seratus li lebih. sekarang sampailah dia di sebuah kota kecil.
Dengan bekal uang yang diperolehnya dari saku Telapak sakti dan monyet sakti berdua, dia membeli beberapa perangkat pakaian rombeng, sebuah cangkul dan sepasang sepatu yang terbuat dari rumput, kemudian selesai bersantap kenyang, dia mencari tempat yang sepi untuk bertukar pikiran.
Kecuali buli-buli emasnya masih dibiarkan tergantung dipinggangnya, boleh dibilang bocah itu sudah sama sekali berubah dandanan, malahan sewaktu dia bercermin di air, hampir saja dia menjadi pangling sendiri.
Tanpa terasa bocah itu berpikir sambil tertawa geli:
"Mulai hari ini, siauya akan berganti nama menjadi Kok In hui, nama Hui akan kupakai dipaling bawah, biar Giam Ong-hui si bangsat tua itu sial terus menerus karena namanya "Hui" kuinjak-injak dibawah...haaahh... haaaah... haaah... moga-moga saja hatinya deg-deg-an terus dan tak pernah merasa tenang... orang yang jahat macam dia memang sekali-kali biar tahu rasa...."


Jilid : 2


BEGITULAH, dengan berdandan sebagai seorang seorang bocah dusun, Giam In kok mulai mengembara kesana kemari tanpa tujuan tertentu, setiap kali bertemu dengan orang, dia selalu bertanya batu peringatan manakah yang paling besar, setiap kali berada ditempat yang sepi dan terpencil, diapun selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk memperdalam ilmu silatnya.
Tanpa terasa satu bulan sudah lewat......
Suatu hari, sampailah bocah itu didepan sebuah kompleks tanah perkuburan yang sangat luas, ketika bocah itu melihat salah satu diantara kuburan itu mempunyai sebuah batu peringatan yang tinggi besiar bagaikan sebuah bukit dengan tinggi dua kaki dan lebar delapan depa, tanpa terasa teriaknya keras-keras:
"Hoooreee........... aku berhasil menemukan batu peringatan yaug paling besar, benda tersebut tentu berada disini...!"
Saking gembiranya dia sampai berteriak keras, dengan cepat kuburan itu didekati, ketika membaca tulisan yang tertera diatas batu nisan tersebut, bocah itu segera mengetahui bahwa kuburan ini merupakan tempat bersemayam dari seorang panglima perang yang termashur namanya di negeri itu.
Dengan cepat pikirnya:
"Andaikata kitab pusaka ilmu silat itu di sembunyikan dalam kuburan panglima perang ini, maka orang lain pasti tak akan menduga, bukankah tempat ini aman sekali? Yaa, siapa pula yang berani menggali kuburan panglima perang kenamaan? Haaaaahh... haaaaah... haaahh... bisa kualat itu"
Setelah memeriksa bahwa disekitar tempat itu tiada orang lain, maka bocah itupun mulai menggerakkan cangkul yang telah disiapkan-nya dan menggali kuburan tersebut.
Tak selang beberapa saat kemudian, batu nisan yang amat besar itu sudah berhasil dia bongkar, tanah di bawah batu nisanpun telah digalinya sedalam berapa meter, namun tak secarik kertas pun yang berhasil di temukan disitu.
Dengan perasaan keheranan bocah itupun mengomel:
"Waaah... kenapa tak ada kitabnya? sudah berapa bulan lamanya aku mengembara d iseantero dunia persilatan, banyak sudah batu nisan serta batu peringatan yang kujumpai, namun hanya batu nisan ini yang terhitung paling besar.... aaah! Jangan-jangan masih terdapat batu peringatan lain yang jauh lebih besar lagi?"
Karena merasa kurang puas, bocah itupun melanjutkan kembali penggaliannya membongkar bawah batu nisan tadi.
"Pencoleng kecil!" tiba-tiba suara bentakan keras bergema datang dari arah belakang, disusul kemudian terasa datangnya segulung angin desingan tajam yaag mengancam tubuhnya.
Dengan suatu gerakan yang amat cepat Giam In kok menghindar sejauh berapa tombak kesamping ....
"Blaaaaaaaammmmm......!"
Ditengah suara benturan yang amat keras, batu nisan itu terhajar seketika secara telak oleh serangan yaag maha dahsyat itu hingga sama sekali roboh keatas tanah.
Cepat-cepat bocah itu berpaling kebelakang, dia lihat seorang kakek bertubuh tinggi besar dan berwajah merah membara seperti kepiting rebus telah berdiri dibelakangnya dengan wajah penuh kegusaran.
Tatkala menyaksikan serangannya yang dahsyat mengenai sasaran yang kosong, kakek itu merasa semakin gusar, kembali ia membentak:
"Bajingan cilik, siapa namamu? Siapa yang menyaruh kau datang kemari untuk mencuri batu nisan?"
"Heeeehh... heeeehh... heeeeh... hey kakek, kau jangan marah dulu! Aku she Kok bernama In hui, sesungguhnya tak ada orang yang menyuruh aku datang mencari batu nisan, lagipula..... aku toh tidak bertampang seorang pencuri kuburan?"
"Hmmmm! Dengan mata kepala sendiri kusaksikan kau sedang membongkar kuburan... masih mau menyangkal?"
Seraya membentak, kakek bermuka marah itu kembali melancarkan sebuah pukulan dahsyat kearah bocah tersebut.
Sebagaimana diketahui, tujuan Giam In kok yang sebenarnya dalam usahanya membongkar batu nisan itu adalah untuk mendapatkan kitab pusaka, sudah barang tentu hal tersebut tak bisa diakuinya dengan begitu saja, kendatipun dia telah dituduh sebagai seorang pencuri sekarang......
Ibarat orang bisu yang makan buah kemala, walaupun kepahitan namun tak dapat mengutarakan penderitaannya itu.
Karenanya begitu melihat datangnya ancaman tersebut, cepat-cepat dia berkelit kaesamping, kemudian sambil memberi hormat serunya:
Locianpwe.... kau jangan menyerang dulu! Aku benar-benar bukan pencari kuburan, aku sama sekali tidak bermaksud untuk mencuri batu nisan itu!"
"Lantas apa sebabnya kau bongkar batu nisan itu? Ayoh cepat jawab dengan sejujurnya!"
"Aku..... karena aku sering mendengar orang berkata bahwa dibawah batu nisan kadangkala terdapat jinsom yang bisa menguatkan badan..... oleh sebab itu... oleh sebab itu akupun membongkar batu nisan itu dengan harapan bisa memperoleh jinsom yaag dimaksud, locianpwe! Ampunilah jiwaku...."
Kakek bermuka merah itu mendengus dingin, dengan sorot matanya yang tajam bagaikan sembilu diawasinya bocah cilik itu beberapa kejap, mendadak ia mendonggakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh... haaahh... haaah... kukira siapa, rupanya kau si setan cilik! Ayoh cepat menyerahkan diri kepadaku, segera akan kukirim dirimu pulang ke perkampungan Ang sim san ceng... hmmm, benar-benar kurang ajar! Berani amat kau membohong dihadapanku!"
"Eeei... eeeei... nanti dulu kakek tua, kau jangan salah paham... perbuatanku membongkar batu nisan memang berbuatan salah dan tercelah, aku pun mau mengakui salah serta bersedia mengambalikan batu nisan itu ke tempat semula... sedangkan mengenai perkampungan Ang sim san ceng... aku benar-benar tak mempunyai hubungan apa-apa dengan mereka, kenapa sih kakek mau menghantarku pergi kesitu?"
"Setan cilik! Kau masih berani berbohong di hadapanku....? Kau berani menggunakan nama orang lain untuk mengelabui diriku? Hmmm! Nyali mu benar-benar amat besar, coba kau lihat buli-buli emas yang tergantung dipinggangmu itu, inilah bukti yang paling jelas bagi identitasmu..."
"Cianpwee... sudah berulang kali kukatakan bahwa aku sama sekali tak ada hubungan-nya dengan perkampungan Ang sim san ceng, mengapa sih kakek tak mau percaya juga? Sejak dilahirkan didunia ini aku sudah bernama Kok In hui, lagipula buli-buli emas yang tergantung dipinggangku ini adalah pemberian ayahku untuk di isi dengan air panas, mengapa kau malah mengatakan buli-buli emas itu sebagai bukti identitasku..... kakek kok aneh benar sih?"
"Huuuh, omong kosong, ngaco belo tak karuan, kau anggap aku tak tahu siapakah dirimu yang sebenarnya? Bahkan kau bernama Giam In kok?"
"Waaah... Waaah... nampaknya si kakek semakin keblingar lagi, mana namaku Kok Im hui dirubah menjadi Giam In kok... dan buli-buli emas disangka buli-buli mestika..... jangan-jangan kakek sudah terlalu banyak minum arak sehingga menjadi mabuk?"
Kakek bermuka marah semakin naik darah, paras mukanya berubah menjadi merah padam, segera bentaknya:
"Perduli amat kau adalah Giam In kok atau Kok Im-hui, tapi yang jelas sebelum kau tinggalkan selembar nyawa mu ditempat ini, jangan harap bisa meninggalkan kuburan ini barang setengah langkah pun....!"
"Waaahh.... waaaah... kakek makin sinting tampaknya... kalau selembar jiwaku mesti ditinggalkan disini, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan tempat ini? Lucu amat sih kakek ini....?"
Setelah berkata, bocah itu segara membalikkan tubuhnya dan melarikan diri terbirit-birit menuju kearah bukit.
Rupanya Giam In-kok telah mengenali kakek itu sebagai salah seorang sahabat dari bekas ayahnya, orang ini merupakan cengco ketiga dari perkampungan Cian-liong san ceng dan bernama Kim Ki-hong.
Sadar kalau tenaga dalam maupun ilmu silat yang dimilikinya masih bukan menjadi tandingan lawan, maka dia berusaha keras untuk melepaskan diri dari penangkapan-nya.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya kabur sejauh sepuluh kaki lebih, tiba-tiba tampak serentetan cahaya merah meluncur datang dari arah depan.
Dalam gugupaya Giam In kok mengenali manusia berpakaian merah yang muncul di hadapan-nya itu adalah saudara dari kakek pertama yang dijumpai tadi, yakni cengcu kedua dari perkampungan Cian liong-san ceng yang bersama Kim Ki hong, dia menjadi amat terperanjat.
Cepat-cepat bocah itu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri menuju kedalam hutan pohon pak yang berada didalam kompleks makam tersebut.
Baru saja kakinya melangkah masuk kedalam hutan, tahu-tahu pandangan matanya menjadi gelap.... ia merasa pandangan yang berada didepan matanya sama sekali buram, bahkan secara lamat-lamat dapat merasakan berhembusnya hawa dingin yang amat menusuk badan, membuat sekujur tubuhnya mengigil keras.
Pada saat inilah terdengar Kim Ki hong berseru sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaah... haaah... haaaah setan cilik, siapa suruh kau memasuki barisan Lak jin toa tin ku? Sekarang, keadaanmu tak ubahnya seperti katak yang masuk kedalam tempurung.....Hmmmm! Coba kalau tidak mengingat diatas wajah ayahmu, semenjak tadi sudah kucabut selembar jiwa kecilmu itu! Nah, sekarang baik-baiklah berada di-dalam barisan itu sambil menahan lapar, setelahku cukup menderita nanti, akan kuikat seluruh badanmu kemudian akan kuserahkan kembali kepada ayahmu!"
Giam In kok menjadi jengkel bercampur mendongkol, kontan saja dia mencaci maki kalang kabut:
"Bajingan tua she Kim, kalian hendak apakan sauya mu?"
"Kurang ajar.... setan cilik, sialan benar kau, berani betul kau memandang hina angkatan yang lebih tua," teriak Kim Ki-hong penuh amarah, "tunggu sebentar, akan ku suruh kau rasakan dulu tiga ratus kali pecutan kulit yang akan mencabik-cabik tubuhmu!"
Giam In-kok semakin nekad, dia hendak balas caci maki lawan-nya itu dengan kata-kata yang pedas, namun sebelum ia sempat membuka suara, tiba-tiba disisi telinganya telah berkumandang suara bisikan seseorang yang terasa masih asing baginya:
"Bocah cilik, kau tak perlu bersilat lidah lagi dengan-nya, selama aku berada disini, tak mungkin kau akan mengalami sesuatu apa-apa jua......"
Suara itu lembut dan amat lirih bagaikan dengungan nyamuk, namun jelas sekali dalam pendengaran, Giam In kok mencoba untuk celingukan kesana kemari, namum tak terlihat bayangan manusia yang ditemukan disekeliling sana.
Bocah itu segera mengerti bahwa disitu telah hadir seorang jago yang berilmu tinggi, diam-diam ia menjadi girang setengah mati. Walaupun begitu, diluarnya ia justru berlagak seolah-olah panik dan gugup....
Dalam ada itu, dari luar barisan Lak jin toa tin itu terdengar kembali suara dari Kim Tiong-hong sedang berseru:
"Siam te! Siapa sih bocah cilik itu?"
"Kau masih ingat dengan si bocah binal putra Giam Ong hui itu.....?"
"Kau maksudkan bocah itu adalah Giam In kok?"
"Yaa benar, kalau bukan dia lantas siapa lagi?"
"Aaaah! Tidak mungkin, Giam In kok adalah seorang bocah yang masih kecil dan lagi sama sekali tak bertenaga, bagaimana mungkin dia mampu untuk merobohkan batu nisan yang beratnya mencapai tiga ribu kati itu? Mustahil..... tak mungkia bisa terjadi.... atau mungkin kau sudah salah melihat?"
"Ehmm, kejadian ini memang agak aneh, tapi aku berani memastikan bahwa bocah itu adalah putra Giam Ong hui.... lebih baik kita buat dia kelaparan dulu selama tiga hari sebelum berbicara lebih jauh....."
Suara pembicaraan itu makin lama bergema semakin jauh sehingga akhirnya sama sekali tak terdengar lagi.
Giam In-kok tahu bahwa orang-orang itu sudah pergi meninggalkan tempat tersebut.
Pada saat itulah terdengar suara bisikan tadi kembali bergema disisi telinganya:
"Nah bocah cilik, dengarkan petunjuk ku, sekarang.... maju tiga langkah kemuka.... belok kekanan lalu maju delapan langkah.... setelah itu belok kekiri dan maju dua langkah.... maju lagi setengah langkah ke depan.... akhiraya belok lagi kekiri sebanyak sepuluh langkah...."
Keterangan tersebut diberikan secara nyata dan jelas sekali, seakan-akan orang yang memberi petunjuk berada dihadapan-nya saja.
Giam In kok tidak ambil pusing apakah perkataan ini benar atau tidak, dia segera mengikuti petunjuk itu dengan cepat.
Betul juga, tak selang beberapa saat kemudian pandangan matanya menjadi terang dan tahu-tahu ia sudah terlepas dari kepungan barisan tersebut.
Seorang kakek berdandan sebagai penjual obat sudah berdiri dihadapan-nya, kakek itu berusia enam puluh tahunan dan membawa sebuah cangkul kecil di tangan kirinya.
Sewaktu melihat bocah itu sudah terlepas dari kurungan ilmu barisan Lak jin toa tin itu, sambil tertawa segera ujarnya:
"Nak, ikutilah aku!"
"Terima kasih kakek, atas atas pertolonganmu!"
Dengan cepat Giam In kok membuntuti dibelakang orang tua itu.
Gerakan tubuh dari si kakek berdandan sebagai penjual obat itu benar-benar cepat sekali, bagaikan hembusan angin puyuh dia berlarian terus menuju ke depan, berada dalam keadaan demikian terpaksa Giam In kok harus mengerahkan juga seluruh tenaga yang dimilikinya untuk mengikuti dari belakang.
Kurang lebih setengah jam kemudian, sampailah mereka berdua didalam sebuah hutan yang amat lebat.
Pada saat itu pula si kakek penjual obat menghentikan larinya dan memuji sambil tertawa:
"Anak kecil, kau memang hebat sekali!"
Giam In kok tahu bahwa si kakek penjual obat ini sudah menyelamatkan selembar jiwanya dari ancaman, andaikata bukan orang tua ini yang memberi petunjuk kepadanya sehingga dia berhasil meloloskan diri dari kurungan ilmu barisan Lak jin toa tin, niscaya ia akan ditangkap dan dikirim kembali ke perkampungan Ang sim san ceng.
Berada dalam keadaan seperti itu, sudah dapat dipastikan pula bekas ayahnya tak akan mengampuni dengan begitu saja.
Maka cepat-cepat ia maju ke muka dan memberi hormat, katanya kemudian:
"Locianpwee, berkat bantuan cianpwee aku telah berhasil melepaskan diri dari mara bahaya, untuk itu aku Kok In hui mengucapkan banyak terima kasih untuk bantuan cianpwee itu....."
"Betulkah kau bernama Kok In hui?" tukas si kakek penjual obat itu secara tiba-tiba sambil tertawa.
Giam In Kok segera merasa tak pantas untuk membohong dihadapan tuan penolongnya, mendengar ucapan tersebut buru-buru sahutnya:
"Namaku yang sebenarnya adalah Giam In kok, tapi berhubung keluargaku sudah tertimpa musibah, maka akupun berganti nama menjadi Kok In hui untuk mempermudah perjalananku dalam berkelana didaiam dunia persilatan!"
"Kalau begitu kau memang benar-benar adalah putra dari si ular emas bayangan darah Giam ong hui dari perkampungan Ang sim san ceng.....?"
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Giam In kok mengangguk berulang kali.
"Musibah apa sih yang telah menimpa keluargamu?" tanya si kakek penjual obat itu dengan nada tercengang, "mengapa pula ayahmu mengutus begitu banyak jagonya untuk mencari jejakmu diempat penjuru? bahkan aku dengar sampai dia sendiripnn telah ikut munculkan diri didalam dunia persilatan?"
"Persoalan ini mempunyai sangkut paut yang amat besar dengan urusan pribadiku, karenanya bolehkah kutanya siapa nama kakek terlebih dulu?"
"Oooh, aku she Gak....."
"Aaaaah, jadi kau orang tua adalah Gak Pun leng, si tabib sakti dari bukit Lam-san?"
"Haaahh.... haaahhh... haaahh... sebutan tabib sakti tak berani ku terima, padahal aku hanya mengerti sedikit tentang ilmu obat-obatan!"
"Waaah... kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat... berbicara tentang musibah yang menimpa keluargaku, sebetulnya sulit sekali bagiku untuk membuka suara, yaa...... sesungguhnya Giam Ong-hui bukanlah ayah kandungku sendiri, itulah sebabnya terpaksa aku harus minggat dari rumah!"
"Apa ada kejadian seperti ini? Darimana kau mendengar berita tersebut?"
Namun setelah menyaksikan air mata yang jatuh bercucuran membasahi wajah bocah tersebut, ia segera berkata lebih lanjut:
"Kalau kau toh tak ingin berbicara, ya sudahlah, aku sendiripun tak suka mencampuri urusan orang lain, aku hanya ingin bertanya satu hal lagi kepadamu, apa maksud serta tujuanmu membongkar kuburan keluarga Kim dari perkampungan Cian liong san ceng....?"
"Aku ingin mencari jinsom berusia seribu tahun untuk membantu tenaga dalamku agar semakin sempurna!"
Mendengar perkataan itu, Gak Pun leng segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah... haaah... haaah... kau keliru besar nak, kalau ingin mencari jinsom yang berusia seribu tahun sehingga bisa menambah kekuatan badan mu, maka kau harus mencarinya dilembah yang terpencil atau hutan yang jauh dari keramaian manusia, masa kau malah mencarinya dalam kuburan nenek moyang orang? Hanya saja.... kekeliruanmu saat ini sesungguhnya ada juga benarnya, ketahuilah liang kubur dari nenek moyang keluarga Kim ini disebut pula sebagai memeluk bulan dalam rangkulan, konon dimasa lalu Cing-khu singjin pernah memendam kitab pusaka Ceng khu hun pit nya disekitar liang kubur tersebut. Tentu saja dengan kemampuan yang kau miliki sekarang masih belum dapat menandingi ketiga orang jago tua dari perkampungan Cian liong san ceng tersebut, tapi kau tak usah kuatir! Selama aku masih tetap mendukungmu, maka merekapun tak akan bisa mengapa-apakan dirimu, mumpung ada kesempatan yang sangat baik, mari kita turun tangan bersama-sama untuk mendapatkan kitab pusaka itu."
Ketika mendengar bahwa kitab pusaka Cing khu hun pit benar-benar berada disekitar tempat ini, Giam In-kok menjadi kegirangan setengah mati, buru-buru serunya:
"Aku siap mendengarkan petunjuk dari kakek!"
"Baiklah! Aku akan memberi pelajaran beberapa macam ilmu barisan lebih dulu kepadamu serta dasar dari tenaga dalam, setengah bulan kemndian dikala malam sangat gelap, kita baru pergi menggali kuburan itu....."
Mendengar kakek itu hendak mewariskan ilmu silat kepadanya, Giam In kok menjadi sangat kegirangan, cepat-cepat dia memberi hormat.
Sambil mambangunkan si bocah itu dari atas tanah, Gak Pun-leng kembali berkata:
"Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menerimamu sebagai murid, nak kau tak usah banyak adat....!"
Kemudian dari dalam sakunya dia mengambil keluar sejilid kitab tebal serta sebungkus obat, lalu sambil diserahkan kepada Giam In-kok katanya lebih jauh:
"Berhubung kulihat bakatmu sangat baik, maka sengaja hendak kuwariskan ilmu obat, ilmu barisan serta ilmu pertabiban kepada mu, kitab tersebut berisikan catatan dari semua kepandaian yang kumiliki, kupinjamkan kepadamu selama setengah bulan, sedang obat yang berada dalam bungkusan itu berisikan obat penyalin rupa, warnanya beraneka ragam dan setiap butir obat itu bisa bertahan selama setengah bulan, bila mau dipakai, campurkan saja kedalam air lalu ulapkan keatas wajah atau badan, maka warna wajah dan tubuhmu akan segera berubah.....!"
Sambil mengucapkan banyak terima kasih, Giam In kok memasukkan benda-benda itu kedalam sakunya, kemudian baru bertanya lagi:
"Locianpwee, sekarang kau hendak pergi kemana? Setengah bulan kemudian aku meski menunggumu di mana?"
"Terang saja ditempat ini, tapi ingat baik-baik! Simpan kitab catatan itu baik-baik dan jangan sampai....."
Mendadak terdengar suara tertawa ringan berkumandang datang dan memecahkan keheningan.....
Gak Pun leng segera membentak:
"Siapa di situ?"
Dengan suatu gerakan yang amat lincah dan cepat dia melompat naik ke atas sebatang pohon darimana suara tadi berasal.....
"Braaaakk.....!"
Pukulan maha dahsyat yang dilancarkan olehnya segera menggugurkan daun dan ranting dari pohon tersebut, namun tak seorang manusia pun yang kelihatan.
Gak Pun leng kelihatan agak tertegun sejenak, kemudian setelah memandang sekeli­ling tempat itu dengan sorot mata yang tajam, dia melayang turun kembali ke atas tanah.
Mendadak dari arah yang berlawanan bergema kembali suara ejekan yang kali ini disertai dengan gelak tertawa ringan:
"Bajingan tua, kau benar-benar seorang manusia tak tahu malu..... berani amat kau catut nama orang!"
Gak Puan-leng kelihatan-nya terkejut sekali setelah mendengar perkataan itu, segere bentaknya lagi keras-keras:
"Jago lihay dari manakah yang telah berkunjung datang? Mengapa tidak segera tunjukkan dirimu......?"
Belum selesai perkataan ini diucapkan, mendadak dari arah depan sana telah meluncur datang sesosok bayangan manusia dengan kecepatan luar biasa.
Gak Pun-leng menjerit tertahan, tiba-tiba dia membalikkan badannya dan melarikan diri terbirit-birit menuju kedalam hutan, saking gugupnya dia sampai lupa membawa cangkul obatnya....
Giam In Kok jadi melongo dan berdiri mematung, dia tak habis mengerti melihat sikap Gak pun leng yang tampak seperti ketakutan sekali, dia pun tak tahu mengapa kakek yang mengaku bernama Gak Pun leng itu melarikan diri terbirit-birit.....
Baru saja dia membungkukkan tubuhnya hendak mengambil cangkul obat tersebut dari atas tanah, mendadak terdengar orang yang baru saja munculkan diri itu berseru keras:
"Tunggu sebentar nak!"
Giam In Kok segera menarik kembali tangan-nya sambil mendongakkan kepalanya, seorang Kakek yang berwajah saleh dan ramah telah muncul dihadapan-nya.
Kakek itu memandang sekejap ke arah Giam In Kok, lalu katanya sembari tertawa:
"Bocah cilik, kau sudah tertipu, tapi aku tidak akan menyalahkan kau.... tahukah kau kemana larinya, Gak Pun leng gadungan itu....?"
"Gak Pun leng gadungan? Kakek maksudkan dia cuma mengaku-ngaku bernama Gak Pun-leng padahal bukan? Dari mana kakek bisa tahu.....?"
"Sebab akulah Gak Pun leng yang sebenarnya, orang tadi bernama Kang yong dengan julukan Siau li cong to (dibalik tersembunyi golok), bulan berselang disaat aku sedang tak ada dirumah, dia telah menipu muridku serta mencuri cangkul mestika obat-obatan serta sebuah kitab catatan, gara-gara ulahnya ini aku harus lari pontang panting kesana kemari untuk mencari jejaknya... tak kusangka bajingan itu licik dan cerdik bagaikan seekor rase, lagi-lagi dia berhasil melarikan diri dari cengkeramanku!"
Dari keadaaa Kang Yoag yang mengenaskan ketika melarikan diri tadi, Giam In kok percaya bahwa perkataan dari kakek ini memang benar, maka sambil mengeluarkan barang-barang hadiah dari Kang yong tadi, katanya lagi sambil tertawa:
"Gak cianpwee, barang-barang inikah yang sedang kau cari? Silahkan kau terima kembali!"
Gak Pun-leng menerima benda-benda itu dan memeriksa sekejap kitab catatan tersebut, kemndian baru menyahut:
"Yaa, betul! Benda ini memang milikku. Nak, kau memang seorang bocah yang amat jujur, hanya saja catatan tentang hawa khi kang ini milik Kang Yong.... Perjumpaan kita kali ini boleh dibilang berjodoh, bagai mana kalau dalam setengah bulan mendatang kuwariskan kepandaian silatku ini kepadamu?"
Buru-buru Giam In kok maju kedepan memberi hormat sambit mengucapkan terima kasih, disamping itu pun dia menceritakan kembali pengalaman-nya sejak bertemu dengan Kang Yong barusan.
Selesai mendengar kisah tersebut, Gak Pun leng segera berkata:
"Aaaah.... tak aneh kalau dia mencari cangkul obatku ini, rupanya dia hendak mempargunakan cangkulku ini untuk membongkar kuburan Gui-ong!"
"Cianpwee.....! Cangkul milikmu itu kan cuma bisa dipakai untuk mencangkul obat-obatan? Kenapa ia mesti mencuri cangkul itu untuk membongkar kuburan?"
"Kuburan dari raja Gui-ong terbuat dari baja murni dan hanya cangkul geledek milikku saja yang dapat menghancurkan lapisan baja murni tersebut, tentu saja golok mestika atau pedang mestika dapat juga dipakai untuk membelah baja murni, tapi hal ini membutuhkan banyak tenaga.... itulah sebabnya ia menjadi nekad untuk mencari cangkulku. Tapi....sungguh aneh sekali, masa didalam kuburan raja Gui ong benar-benar terdapat kitab pusaka Cing khu hun pit....?"
"Kalau tidak tersimpan didalam kuburan raja Gui-ong, lantas kitab pusaka Cing khu hun pit tersebut berada dimana?"
"Bagaimana aku bisa tahu kitab pusaka tersebut dipendam dimana? Tapi yang jelas Cin khu sangjin baru mati seratus tahun berselang, sebaliknya raja Gui ong sudah berapa ratus tahun berselang menemui ajalnya, bagaimana mungkin didalam kuburannya telah muncul kitab pusaka? Entah siapa yang telah menyebar luaskan kabar berita tersebut? Benar-benar suatu perbuatan konyol."
Giam In kok sendiripun menjadi geli sekali setelah mendengar perkataan itu, akan tetapi ia telah yakin bahwa kitab pusaka Cing khu hun pit tersebut berada dibawah batu nisan atau peringatan lainnya, sebab kitab pusaka tersebut berpengaruh besar sekali terhadap usahanya untuk membalas dendam dikemudian hari, maka dari itu rahasia tersebut tidak sampai diutarakan keluar dengan begitu saja.
Demikianlah selama setengah bulan berikut, Giam In kok mendapat tambahan pelajaran ilmu silat dari Gak Pun-leng, dasar tenaga khi kang yang dimiliki bocah itupun menjadi bertambah kuat, betul diantara mereka sama sekali tiada ikatan sebagai guru dan murid, namun tak urung kemajuan yang berhasil dicapai bocah tersebut membuat Gak Pun-leng menjadi kegirangan setengah mati.
"Nak!" ujarnya kemudian, "tenaga dalam yang berhasil kau peroleh saat ini telah cukup untuk menahan serangan dari seseorang yang memiliki tenaga dalam sebesar tiga puluh tahun hasil latihan, apabila kau bersedia melatih diri dengan lebih tekun lagi, maka tidak sulit bagimu untuk mencapai tingkatan yang jauh lebih tinggi lagi. Sekarang aku harus pergi melihat Kang Yang membongkar kuburan untuk mengantar kematian-nya, nah terimalah sebutir mutiara penolak racun ini sebagai tanda mata diriku.... apabila kita memang berjodoh, dikemudian hari tentu akan saling berjumpa kembali!"
Walaupun Giam In-kok merasa berat hati untuk beipisah dengankakek yang baik hati ini, akan tetapi bila teringat bahwa dia harus mencari kitab pusaka Cing khu hun pit demi keberhasilan-nya membalas dendam dikemudian hari, terpaksa dengan berat hati merekapun saling berpisah.....
Sejak saat itulah Giam In-kok kembali mengembara seorang diri didalam dunia persilatan.
Tanpa terasa satu tahun kembali sudah lewat....
Didalam satu tahun ini, entah sudah berapa banyak boan-pay atau batu nisan serta batu-batu peringatan lain-nya yang dibongkar orang, malahan batu peringatan di pagoda Gan-tha dalam kota Tiang-ang serta tugu peringatan Hong leng di bukit Bong-san di luar kota Lok yang pun telah dibongkar orang.
Namun selama ini juga, Giam In kok yang melakukan pembongkaran demi pembongkaran selalu sama mengalami nasib yang sial, setiap kali ia membongkar batu-batu peringatan atau batu-batu nisan itu, ia selain gagal menemukan kitab pusaka Cing khu hun pit yang sedang dicari-cari.....
Ada kalanya dia sampai berpikir demikian:
"Atau jangan-jangan di suatu tempat terdapat sebuah daerah yang berupa Toa sik pit?"
Andaikata Toa sik pit benar-benar nama sebuah daerah, itu berarti Giam In Kok telah membuang waktu hampir setahun lamanya dengan sia-sia, hanya untungnya saja dalam setahun itu pula, dia tak pernah lupa menekuni ilmu tenaga dalam, ilmu pukulan serta ilmu pedangnya sehingga kemajuan yang dicapai pun amat pesat.
Selama ini, sebagian besar waktunya telah dihabiskan pula ditengah pegunungan atau daerah yang terpencil, bukan saja seratus tahil uang emas dan beberepa butir mutiara yang tak sempat digunakan, bahkan berapa puluh tahil perak yang tersisa pun belum sampai terpakai habis.
Suatu hari, sampailah bocah itu di kota Lok-yang, karena merasa perutnya lapar maka dia pun segera memasuki sebuah rumah makan yaag besar dengan memakai merek "Hui peng loo".
Sementara itu, tamu yang sedang bersantap dalam rumah makan itu sudah hampir memenuhi seisi ruangan.
Giam In Kok segera masuk ke dalam ruangan dan mencari tempat duduk, baru saja selesai memesan hidangan, tiba-tiba ia mendengar ada seseorang sedang berbicara dengan suara lantang:
"Dalam perjalanan pulangku setelah mengawal barang antaran ke Kang-lam kali ini, telah kudengar kejadian yaag aneh sekali...."
"Kejadian aneh apa?" tanya suara lain dengan cepat.
"Aku dengar, pada tahun berselang Kim cengcu dari perkampungan Cing liong san ceng telah memerintahkan anak buahnya secara tiba-tiba untuk membongkar kuburan dari nenek moyangnya, aku dengar dia sedang mencari sejilid kitab pusaka yang bernama Cing khu hun pit...."
"Apakah kitab pusaka itu teah berhasil ditemukan?"
"Kalau berhasil ditemukan sih masih mendingan....! Aku dengar, bukan saja kuburan nenek moyangnya yang dibongkar, malahan tengkorak leluhurnya pun ikut dibongkar sampai tak karuan lagi wujudnya, setengah bulan lamanya mereka bekerja keras memporak-porandakan kompleks tanah pekuburan leluhurnya itu dan akhirnya muncul seorang Kakek yang mengucapkan beberapa patah kata kepada mereka, ketika mendengar perkataan tersebut, dia pun segera memerintahkan kembali anak buahnya untuk membetulkan kuburan tersebut!"
Gelak tertawa yang amat keras segera Menggelegar memecahkan keheningan.....
Giam In kok yang ikut mendengar pembicaraan itu segera turut kegelian pula, dia pun tertawa terkekeh-kekeh.
"Walaupun kejadian ini cukup aneh," ujar seseorang lagi dengan suara yang lantang, "namun tak seaneh kejadian yang telah berlangsung ditempat ini!"
"Kenapa?"
"Setiap bong-pay pada kuburan-kuburan kuno diatas bukit Pak bong san yang tingginya melebihi orang, ternyata telah digali orang....!"
"Masa ada orang yang hendak mencari batu-batu nisan itu untuk dijual?"
"Aaaaaah! Tidak mungkin, kalau menuruti bekas-bekas yang tertinggal ditempat kejadian, jelas terlihat bahwa batu-batu nisan yaag amat besar itu telah dirobohkan seseorang untuk kemudian didirikan kembali ketempat asalnya, mungkin orang yang melakukan pekerjaan itu sudah edan!"
"Waaaah.....kalau begitu peristiwa tersebut memang benar-benar sangat aneh, aku dengar di kota Tiang an pun telah terjadi peristiwa yang sama!"
"Kalau dibilang semua kejadian yang di lakukan seseorang yang sama, sudah jelas tenaga dalam yang dimiliki orang itu mengerikan sekali, bayangkan saja, batu-batu peringatan serta tugu-tugu itu beratnya mencapai dua tiga ribu kati lebih, memang gampang saja untuk merobohkan-nya, tapi kalau harus mendirikan-nya kembali..... waaah, sulit sekali rasanya, kejadian ini memang mustahil rasanya bisa dilakukan oleh orang yang sama!"
"Eeeee.... jangan-jangan orang tersebut sedang mencari sesuatu benda?"
"Aku dengar di wilayah Kang lam pun terjadi pula peristiwa yang sama, benar-benar aneh sekali...."
"Diantara sekian banyak tugu peringatan yang besar serta batu-batu nisan yang berat..... rasanya hanya kedua batu raksasa diluar pintu kota Kim leng yang beratnya mencapai berapa laksa kati, kalau toh orang itu suka menggali! barang-barang yang berat, mengapa tidak ia bongkar batu-batu raksasa tersebut?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Giam In kok setelah mendengar pembicaraan tersebut, hatinya terasa berdebar sangat keras, pikirnya kemudian:
"Aaah... ! Aku mesti berterima kasih sekali atas petujuk dari orang ini..."
Dalam pada itu, seorang jago kangouw lain-nya yang berada disisi meja telah berkata pula sambil tertawa:
"Liok toakio, kau tak usah mengibul, masa dikolong langit benar-benar terdapat tugu peringatan yang beratnya mencapai sekian pulah laksa kati?"
"Aku berasal dari kota Kim leng, bagaimana mungkin tidak tahu? Batu peringatan itu tingginya mencapai sepuluh kaki dengan lebar tiga empat puluh kaki, tebalnya lebih dari satu kaki, biarpun yang satunya agak kecilan, itupun tidak terlalu kecil, kau tahu tempat dupa serta tempat lilin-nya saja mempunyai ketinggian seperti rumah bertingkat dua..."
"Aaaah, masa iya?"
"Jika kau tak percaya, silahkan untuk pergi membuktikan sendiri, konon batu peringatan itu didirikan olah Lau Pak-un karena kuatir terjadi pemberontakan di bukit Gan siu san dimasa lalu, maka ia memohon kepada kaisar Tay cou untuk menindas niat tadi dengan membangun batu peringatan tersebut, siapa tahu setelah batu peringatan itu selesai dibuat, lantaran beratnya luar biasa sehingga tak berhasil untuk diangkut pergi. Akhirnya benda itupun masih tetap berdiri didalam lembah bukit antara pintu Yan hua bun dengan pintu Ki-lin hun, dan menjadi atraksi menarik bagi kota Kim leng."
Sampai disini, Giam In kok tidak bernapsu lagi untuk mendengarkan pembicaraan tersebut lebih jauh, dia segera membayar rekaningnya dan secara langsung berangkat menuju ke kota Kim-leng.
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa hari, tibalah Giam In kok di kota Kim leng.
Ia temukan bahwa batu peringatan tersebut memang benar-benar besar sekali, diantara kaki batu peringatan tersebut terdapat beberapa buah gua yang tersembunyi sepanjang batu tadi, sebagian kecil berhubungan langsung dengan dasar batu gua tersebut, sementara didalam gua-gua yang lain telah dipakai sebagai tempat tinggal sekelompok pengemis.
Menyaksikan keadaan tersebut, satu inngatan segara melintas dalam benak Giam In kok, diambilnya keluar sekeping uang emas seberat dua pulah tahil, kemndian sambil berjalan menghampiri kawanan pengemis itu katanya sambil tertawa:
"Uang emas ini akan kuhadiahkan untuk kalian semua, tapi dengan syarat kalian harus menyingkir selama tiga hari dari tempat ini, apakah kalian bersedia?"
Tiba-tiba melompat keluar seorang pengemis bertubuh tinggi kekar dari antara kelompok pengemis tersebut, dengan gusar ia segera berteriak keras:
"Anak jadah keparat! Kau hendak mengunakan uang logam emasmu itu untuk membeli markas besar perkumpulan Kay-pang kami yang bersejarah ini? Sialan benar, perbuatanmu ini betul-betul kurang ajar...."
"Aku toh tidak memaksa kalian harus pergi diri situ, kalau memang bersedia menyingkir selama tiga hari, pergi saja dari sini sambil menerima uangnya, kalau ogah, yaa sudahlah asal katakan secara terus terang, mengapa sih kau malah mengumpat orang se-enaknya sendiri?"
Giam In Kok benar-benar merasa gusar sekali.
"Kalau aku senang mengumpatma sebagai si anak jadah keparat, mau apa kau.....?" tantang pengemis tadi semakin bertambah garang.
Giam In kok benar-benar naik darah, mendadak ia menerjang maju ke depan dan melontarkan sebuah jotosan kilat ke aeah pengemis itu....
"Duuukk.....!"
Tak pelak batang hidung si pengemis termakan oleh sebuah jotosan secara jitu.
Suasana menjadi sangat gempar, diantara teriakan-teriakan gusar kawanan pengemis itu, tiba-tiba muncul lagi seorang pengemis yang lain sambil berteriak marah:
"Siapa kau? Berani amat mencari gara-gara dan membuat keonaran di tempat ini?"
"Hmmm, siapa suruh dia mengumpat orang lebih dahulu?"
"Aku tak mau tahu dengan persoalan itu, aku cuma ingin bertanya, siapakah kau"
Giam In Kok mendengus dingin.
"Hmmm! kau masih belum pantas untuk mengetahui nama serta asal usul sauyamu!"
Begitu selesai berkata, dia segera membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
"Berhenti!"
Dengan wajah merah membara karena marah pengemis itu membentak keras, tubuhnya secepat kilat melejit ke depan dan menghadang jalan pergi bocah itu, kemudian serunya lagi sambil tertawa dingin:
"Bocah keparat, kau sudah salah melihat orangg rupanya. Hmmm! Tempat ini merupakan markas besar perkumpulan Kay-pang untuk kota Kim leng, bukan rumah pribadi peninggalan nenek moyangmu..... jangan lagi cecunguk macam kau, sekali pun sang kaisar yang datang sendiri ke tempat inipun tak akan bisa pergi dengan begitu saja..... Huuuh, jangan kau anggap setelah belajar ilmu silat selama beberapa hari, maka kau boleh main kasar dan berbuat semena-mena di tempat ini. Ikuti saja nasehatku, lebih baik cepat-cepat menyerah diri saja...."
"Omong kosong! Lihat saja kalau siauya mau pergi, apakah kalian memang mampu menghalangi niatku ini?"
Tatkala masih berada di perkampungan Ang sim san ceng tempo hari, seringkali ia mendengar orang bercerita bahwa Kay-Pang merupakan perkumpulan yang paling susah dilayani, oleh sebab itu ia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat tersebut....
Siapa tahu baru saja ia melewati hiolo raksasa tempat dupa, dari atas tempat lilin raksasa dihadapannya telah terdengar suara bentakan keras:
"Kembali kau!"
Bersamaan dengan menggemanya bentakan itu, tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat.
Merasakan datangnya gulungan tenaga pukulan yang begitu dahsyat mengancam dadanya, serta, merta Giam In-kok membalik kan telapak tangan-nya sambil melakukan tangkisan.
"Blaaaammmm.........!"
Benturan keras yang amat momekikkan telinga segera bergema memecahkan keheningan.
Termakan oleh angin pukulian Giam In-kok yang amat sempurna, orang itu segera mencelat jauh berapa tombak kebelakang, berada ditengah udara orang itu berjumpalitan berapa kali kemudian melayang turun kembali keatas tanah.
Setelah memperhatikan sekejap lawan-nya dengan sorot mata yang bengis, tiba-tiba ia berteriak lantang:
"Atur barisan Su bun tin!"
Kemudian sambil tertawa dingin katanya lagi:
"Bocah keparat, tak kusangka kau mempunyai kepandaian yaag begitu hebat, tak heran kalau lagakmu sombongnya bukan kepalang. Hmmm! Kalau memang bernyali, ayoh sambutlah sebuah pukulanku lagi!"
Walaupun tangkisan yang dilakukan Giam In kok tadi dilakukan dalam keadaan gugup, sesungguhnya ia telah menggunakan tenaga dalamnya sebesar lima bagian.
Melihat musuhnya cuma tergetar mundur sejauh berapa kaki saja akibat pukulan dahsyatnya, sadarlah bocah ini bahwa kepandaian silat yang dimiliki lawannya tidak lemah.
Bocah itu tak ingin menanam bibit permusuhan dengan musuh yang tangguh macam ini, maka cepat-cepat ia memberi hormat seraya berkata:
"Sesungguhnya aku sama sekali tak bermaksud mengikat tali permusuhan dengan pihak Kay-pang, tadi aku hanya bermaksud meminjam tempat ini selama beberapa hari saja, lagipula aku pun tidak tahu kalau tempat ini sesungguhnya merupakan markas dari kaum gembel, andaikata seorang rekanmu tidak memaki aku lebih dulu, tentu aku pun tak akan turun tangan..... mengapa sih kau memaksaku terus menerus?"
"Sebenarnya siapakah kau?"
"In Kok-hui!"
"In Kok hui? belum pernah kudengar nama ini...."
"Thi huhoat!" tiba-tiba terdengar seorang pengemis berteriak keras, "bisa saja bocah keparat ini adalah Giam In Kok yang telah minggat dari perkampungan Ang sim san ceng, andaikata kita berhasil menangkapnya kemudian diserahkan kepada Giam cianpwee, siapa tahu kalau kita bakal mendapat pahala besar?"
Thi huhoat dari Kay-pang berpikir sebentar kemudian manggut-manggut, katanya kemudian:
"Hey anak kecil, benarkah kau bernama Giam In Kok yang kemudian kau rubah menjadi Kok In hui?"
"Aku toh berasal dari marga In, sedangkan Giam In Kok dari marga Giam, bagaimana mungkin kerbau kau samakan dengan kuda? Opo tumon?"
"Lantas siapakah gurumu?"
Aku tak punya guru!"
"Siapakah ayahmu?"
Giam ia Kok agak tertegun lalu menggelengkan kepalanya lagi.
Gelak tertawa yang amat keras segera meledak memecahkan keheningan, ditengah suara tertawa itu terdengar seorang pengemis berteriak dengan suara lantang:
"Haaaaah... haaah... haaah... ternyata dia memang seorang anak jadah... haaah... haaahh... dasar anak jadah, tak aneh kalau dia kurang ajar dan tak mengenal sopan santun....."
Dengan penuh amarah Giam In kok segera berpaling, ternyata pengemis yang sedeng berkaok-kaok itu tak lain adalah pengemis yang kena ditonjok hidungnya tadi.
Dengan amarah yang meluap segera teriaknya:
"Kalau berani ayoh keluar, aku akan menghadiahkan sebuah tonjokan lagi keatas congor babimu itu!"
"Kau tak usah banyak berbicara lagi", tukas Thi huhoat dengan suara dingin, "kalau memang ingin keluar dari slini, silahkan kau terjang dulu kelima pos kami, atau kalau tidak berani, silahkan mencicipi dula tiga ratus gebukan dengan tongkat penggebukanjing, setelah itu kami akan mengundang kedatangan angkatan tua mu untuk menjumpai kami!"
Bagus sekali, kalau begitu silahkan kau segera lancarkan serangamu...."
"Baik!"
Dengan sebuah jurus serangan angin hujan membasahi badan ia terjang bocah itu dengan sebuah pukulan dahsyat, tampaklah dari empat arah delapan penjura bermunculan bayangan telapak yang berlapis-lapis dan menyarang tiba secara bertubi-tubi.
Giam In-kok tertawa cekikikan, dia memutar kepalanya sambil menangkis datangnya ancaman tersebut, kemudian secara tiba-tiba tubuhnya melompat setinggi tiga kaki ketengah udara, dari situ ia berjumpalitan beberapa kali diudara dan melayang turun sepanjang lima kaki dari tempat semula.
Ejeknya sambil tertawa:
"Haaaaahh... haaaaah... haaaah.... satu pos telah kulewati!"
Sambil tertawa mengejek, bocah itu segera mengambil langkah seribu dan kabur dari tempat itu.
Saking gusarnya paras muka Thi huhoat berubah menjadi hijau membesi, setelah mendengus dingin, dengan langkah lebar dia kejar bocah itu.....
"Bocah keparat!" teriaknya keras-keras, "ketahuilah, pos penjagaanku ini tidak sekendor yang kau bayangkan, jangan harap kau bisa meninggalkan tempat ini secara mudah!"
Giam In kok sama sekali tidak ambil perduli, ia berkelebat maju terus hingga sampai dihadang seorang pengemis tua yang bertubuh kurus kering, saat itulah dia baru berkata seraya tertawa:
"Aaaaah, masa kau mampu menghalangi perjalananku?"
Secara diam-diam hawa murninya segera dihimpun kedalam tubuhnya, lalu dalam sekali lompatan saja, tubuhnya telah menyelinap sejauh lima kaki lebih dari posisi semula.
Siapa tahu gerakan tubuh dari pengemis kurus kering itu pun tak kalah cepatnyam, baru saja Giam In-kok menggerakkan tubuhnya untuk menyelinap kedepan, tahu-tahu dia sudah menghadang jalan pergi bocah tersebut seraya ujarnya:
"Bocah keparat! Apabila kau ingin mencoba untuk meloloskan diri dari pengejaran Kim leng sam to, tiga sesepuh dari kota Kim leng, lebih baik tunjukkann dulu sedikit kepandaianmn!"
Ketika masih berada dalam perkampungan Ang sim san ceng tempo hari, Giam In kok pernah juga mendengar orang membicarakan soal kelihayan dari tiga sesepuh kota Kim leng itu, maka sambil tertawa cekikikan katanya kemudian:
"Haaaahh... haaaah... haaah... jadi kau adalah salah satu diantara tiga sesepuh dari kota Kim-leng? Waah... kalau begitu kepandaian silatmu tentu hebat, cuma sayang..."
Sengaja ia menghentikan perkataan-nya sampai ditengah jalan.
Dengan cepat pengemis ceking itu bertanya:
"Cuma sayang kenapa?"
"Sayang kau beraninya cuma dengan seorang bocah seperti aku....huuuh, tak tahu malu!"
Mula-mula pengemis ceking itu nampak agak tertegun setelah mendengar perkataan itu, tapi sejenak kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak.
"Haaah... haaah... haaah... biarpun seumur hidup belum pernah aku Mo Kiam seng menganiaya atau mengganggu seorang bocah cilik seperti kau, tapi lain ceritanya setelah kau sengaja mencari gara-gara ditempat ini, lagipula kulihat ilmu silat yang kau miliki termasuk cukup tangguh, jelas hal ini merupakan suatu pengecualian.... Biar begitu, kaupun tak usah takut atau jeri, tak mungkin kulukai dirimu.....!"
"Baiklah, kalau begitu kaupun tak usah kuatir, sebab aku juga tak akan melukai dirimu!"
"Bocah cilik yang sombong dan tak tahu diri, tak usah banyak ngebacot lagi, ayoh cepat lancarkan seranganmu!"
Dengan langkah lebar Giam In-kok maju kedepan dan langsung menerjang kehadapan si pangemis kurus itu, teriaknya berulang kali:
"Yaa.... kakek ceking... kau tak boleh lupa lho.... jangan kau lukai diriku... apalagi kalau sampai meninju hidungku hingga keluar kecapnya......"
Secara tiba-tiba Mo Kiam seng menjadi sadar bahwa lawan-nya terlalu licik dan binal, maka sambil tertawa segera umpatnya:
"Setan Cilik, akalmu benar-benar hebat sekali...."
Dengan ke lima jari tangan yang dipentangkan lebar-lebar sehingga bagaikan cakar burung garuda, tiba-tiba ia menerjang maju ke maka dan langsung mencengkeram kearah bahu lawan.
Dengan cekatan Giam In-kok menghindarkan diri kesamping, mendadak teriaknya keras-keras:
"Hidung!"
"Hey.....! apa kau bilang?" seru Mo Kiam seng dengan wajah tertegun bercampur keheranan, "hidung? Apa maksud perkataanmu itu...."
Perlu diketahui, jarak diantara ke dua orang itu hanya terpaut satu langkah belaka, sudah barang tenyu dalam setiap pertarungan yang sedang berlangsung, siapa saja tidak diperkenankan berdiri tertegun oleh pancingan lawannya.




Jilid 3 : Dimana kitab pusaka Ching Khu hun-pit?


BARU saja pengemis ceking itu berdiri melongo, Giam In kok segera memanfaatkan kesempatan yang baik itu untuk menyelinap kebelakang punggung lawan-nya.
Saat itulah dia baru berkata lagi sambil tertawa:
"Masa kakek tidak mengerti apa yang dinamakan hidung? Baiklah, kalau begitu perlu kujelaskan kepadamu, yang dimaksudkan sebagai hidung adalah benjolan daging yang menongol diantara mata dan mulut, ada hidung yang berbentuk mancung tapi ada juga yang pesek lagi kukulan karena kebanyakan minyak macam hidungmu itu, nah itulah sebabnya hidung merupakan bagian tubuh yang paling susah dipegang!"
Menanti pengemis ceking itu membalikkan tubuhnya, Giam In kok sudah keburu melarikan diri dari situ.
Mengawasi bayangan punggung si bocah yang menjauh, akhirnya pengemis ceking itu hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali sambil berguman:
"Aaaai.... setan cilik ini benar-benar binal lagi liciknya bukan kepalang..... kalau begini terus caranya, bisa jadi ke lima buah pos rintangan yang telah dipersiapkan dapat dilalui semua secara mudah...."
Setelah berhasil menipu dua orang penjaga pada pos pertama serta pos rintangan kedua, Giam In Kok meneruskan kembali perjalanan-nya menuju ke pos rintangan berikutnya, sembari berjalan tiada hentinya bocah itu memutar otak sambil berusaha mencari akal lain untuk meloloskan diri dari kepungan lawan.
Tanpa terasa sampailah bocah itu dihadapan seorang pengemis tua lainnya yang waktu itu telah menghadang jalan perginya.
Kali ini dia tak berani menipu lawan-nya lagi, maka dengan suara lantang segera serunya:
"Maaf kakek, terpaksa aku harus bertindak kasar kepada mu....."
Telapak tangan kanan-nya segera digerakkan kemuka seolah-olah hendak melancarkan sebuah bacokan, tapi secara tiba-tiba telapak tangan kirinya secepat kilat diayunkan kemuka melancarkan sebuah sapuan maut yang di sertai dengan deruan angin tajam.
"Weeeeeeesssss.......!"
Menyusul deruan angin pukulan yang memekikkan telinga, bocah itu segera menggerakkan pula badan-nya langsung menerjang ke sisi badan pengemis tua itu.
Pengemis tua yang menjaga ditempat ini sebenarnya termasuk juga salah satu diantara tiga sesepuh dari kota Kim leng, tenaga dalam yang dimilikinya amat sempurna, ilmu silatnya juga lebih hebat daripada kepandaian silat pengemis lain-nya.
Mula-mula dia mengira bocah itu hendak menggunakan akal muslihatnya untuk menipu dirinya, maka terhadap datangnya ancaman tersebut ia bersikap acuh tak acuh.
Menanti angin pukulan telah menyapu datang dengan hebatnya sehingga membuat badannya mundur sejauh beberapa kaki kebelakang, dia baru sadar bahwa serangan yang dilancarkan bocah itu ternyata berisi....
Dia menjadi malu sekali, paras mukanya berubah menjadi merah padam, sambil membentak keras-keras dia langsung menubruk ke ke depan.
Sementara itu Giam In Kok baru saja meloloskan diri dari pos rintangan yang ketiga ketika secara tiba-tiba bergema suara bentakan keras dari arah belakang disusul menyambarnya deruan angin pukulan tajam yang langsung mengancam punggungnya.
Cepat-cepat dia berkelit berapa kaki kesamping, lalu seraya berpaling teriaknya sambil tertawa:
"Eeeei..... Kakek, kau memang tak tahu malu..... masa terhadap seorang bocah macam aku pun kau tak segan-segan main sergap dari belakang? Huuuh.....mau kau taruh kemana paras muka mu itu?"
"Tapi kau telah menyelinap dari pos penjagaanku dikala aku belum siap, pertarungan ini belum bisa dianggap selesai, ayoh jangan lari dulu, silahkan kau mencicipi juga sebuah bogem mentahku ini...."
"Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, apa kerjamu disini....?"
Begitu pertanyaan tersebut diutarakan, pengemis tua itu kontan saja menjadi melongo dan berdiri terbungkam dalam seribu bahasa.
Dalam pada itu, dua orang pengemis yang menjaga pada pos penjagaan pertama serta kedua telah menyusul pula kesitu.
Thi huhoat telah berteriak keras:
"Huan tua, jangan kau lepaskan bocah keparat itu, kita harus memberi pelajaran dulu kepadanya didalam barisan lima setan mempermainkan malaikat....."
"Haaaah..! Apa-apaan itu? Masa ada lima setan mempermainkan malaikat? Paling banter lima setan macam kalian mengerubuti aku si malaikat...... pantas kalau tampang kalian macam perkedel semua.... tapi tak usah kuatir, sauya tak akan lari menghadapi kerubutan dari kalian berlima!"
Sementara Giam In kok perlahan-lahan maju kedepan dengan wajah yang tenang dan sama sekali tidak menunjukkan rasa takut, tampak bayangan manusia berkelebatan lewat, kembali dihadapan mukanya muncul dua orang pengemis tua yang menghalangi jalan perginya.
Salah seorang diantara kedua orang pengemis itu memiliki perawakan tubuh tinggi besar dan berkepala gundul seperti cermin, dengan suara keras pengemis itu segera membentak:
"Mau kabur kemana kau bocah bengal? Lihatlah, malaikat pintu telah berada disini!"
"Lihat serangan" tanpa banyak bicara Giam In kok segera berseru keras.
Bersamaan dengan suara bentakan itu, telapak tangan-nya segera bergerak cepat melancarkan sebuah serangan dengan jurus Cian kim toh say (Selaksa prajurit berebut jenderel).
Dua gulung angin pukulan yang tajam dan kuat segera menyambar kemuka dan memaksa kedua orang pengemis yang berada dihadapan-nya harus mundur satu langkah kebalakang.
Diam-diam pengemis botak itu terkejut juga setelah melihat kelihayan lawan-nya, cepat-cepat pergelangan tangan-nya diputar kencang, kemudian dengan bekerja sama bersama seorang pengemis ceking lainnya yang sekujur tubuhnya penuh dengan kadas macam anjing budukan, melancarkan dua buah pukulan dahsyat yang menyambar kedepan.
Tampak dua gulung angin pukulan yang maha dahsyat bagaikan gulungan ombak di tengah samudra langsung meluncur kearah dada bocah itu....
Giam In kok tak berani bertindak gegabah, dengan mengeluarkan ilmu pukulan telapak baja ajaran Giam tok thi ciang, sepasang telapak tangan-nya bekerja cepat.
Secara beruntun terjadilah berapa kali benturan keras yang menggelegar diangkasa, seketika itu juga si pengemis botak dan si-pengemis kadasan terlempar mundur sejauh lima langkah lebih kebelakang.....




Tiba tiba terdengar si pengemis ceking itu membentak keras dengan wajah yang menyeramkan:
"Keparat cilik! Apa hubunganmu si Telapak tangan sakti dari Giam tok....?"
"Perduli amat dia adalah apa ku?"
Thi huhoat yang turut maju pula ke depan segera berseru pala sambil tertawa dingin:
"Heeehhh... heeehhh... heeeehh... rupanya kau adalah anak muridnya si bajingan tua she Giam, bagus sekali, nah bangsat cilik, tinggalkan selembar jiwa anjingmu disini!"
Giam In kok merasa gusar sekali setelah mendengar ucapan tersebut,dengan nada tak senang hati katanya:
"Huuuh....! menang kalah diantara kita masih belum dapat ditentukan hingga sekarang, lebih baik kau tak usah ngebacot terus yang bukan-bukan..... tapi sebelum itu sauya bertanya lebih dahulu, sesungguhnya permusuhan apa sih yang terjalin diantara kalian dengan si Telapak tangan sakti dari Giam tok?"
"Tak usah kau tanyakan dulu masalah tersebut, setelah berhasil kubekuk batang lehermu nati, kau si bangsat cilik kan bakal tahu dengan sendirinya....."
"Bagus sekali!" Giam In Kok kemudian dengan nada angkuh, "sauaya tidak takut menghadapi kerubutan dari kalian beberapa orang pengemis budukan, siapa yang tidak takut mampus silahkan maju ke depan! Oyaa.... aku dengar anggota perkumpulan Kay-pang kalian berjumlah enam puluh laksa orang yang tersebar diseluruh kolong langit, andaikata sauya turun tangan membasmi kalian semua, mungkin orang bilang aku terlalu kejam dan tak berperi kemanusian, karenanya bagaimana kalau kita bicarakan dulu syarat-syaratnya sebelum pertarungan ini dimulai?"
"Hmmmm, melenyapkan jiwamu dari muka bumi merupakan syarat kami!" bantah si pengemis kadasan dengan sorot mata bengis.
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, sepasang telapak tangan-nya serentak dilancarkan kedepan mengirim sebuah pukulan yang amat keras.
Dengan cekatan Giam In kok mengegos ke samping untuk menghindarkan diri dari datangnya serangan tersebut, kemudian setelah mengitari tubuh si pengemis kadasan itu satu kali, bentaknya keras-keras:
"Enyah kau si manusia budukan dari tempat ini!"
Telapak tangan-nya segera diayunkan kedepan dan .....
"Braaaakk....!"
Tahu-tahu tubuh si pengemis kadasan itu sudah mencelat sejauh beberapa kaki dari tempat semula.
Ketiga orang pengemis lain-nya menjadi amat terperanjat setelah menyaksikan pengemis kadasan, salah seorang diantara tiga sesepuh dari kota Kim leng dirobohkan lawan-nya dalam satu kali gebrakan saja.
Tapi dari kejadian ini pula mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa ilmu silat yang dimiliki bocah cilik itu memang sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.
Begitu berhasil menghajar si pengemis kadasan sampai mencelat jauh dari tengah arena, pada saat yang bersamaan Giam In Kok berhasil juga menyelinap ke belakang punggang pengemis botak itu.
Berada dalam keadaan begini, seandainya dia bermaksud untuk melarikan diri, maka inilah kesempatan yang paling baik baginya.
Namun satu ingatan kembali melintas di dalam benaknya, sambil membalikkah tubuhnya dia segera tertawa cengar-cengir sembari mengejek:
"Eeeei, teman-temanku yang miskin dan tak beruang, bagaimana rasanya? Setuju bukan dengan pertukaran syarat yang ku usulkan tadi? Heeeeeh... heeehh... heeeeh...”
"Ngaco belo!" bentak Thi huhoat dengan berangnya.
Tiba-tiba ia mengayunkan tongkat penggebuk anjingnya kedepan sambil menciptakan serentetan cahaya kuning yang amat menyilaukan mata, lalu diiringi deruan angin tajam yang amat membisingkan telinga dia menerjang maju ke muka.
Dengan jurus mengayun tongkat menggebuk anjing gila, dia langsung menghantam batok kepala bocah itu.
Giam In kok segera berkelebat kesamping lalu membalikkan tubuh sembari mengayunkan telapak tangan-nya kebelakang, diantara menyambarnya cahaya kuning, tahu-tahu ujung tongkat pengemis itu sudah berhasil ditangkapnya kencang-kencang.
"Eeeei... pengemis!" serunya kemudian sambil tertawa, "andaikata aku berhasil menghajar kalian sampai kalah, bersediakah kamu semua meminjamkan tempat ini selama tiga hari saja kepadaku?"
"Tidak bisa.....!" sahut pengemis botak sambil membentak keras, toyanya langsung disodok kedepan.
Giam In kok tertawa dingin, pergelangan tangan-nya segera digetarkan kuat-kuat kemudian tidak jelas gerakan apa yang dilakukan, hanya tahu-tahu saja tongkat penggebuk anjing milik Thi huhoat telah berhasil direbutnya dengan kekerasan.
Setelah itu dengan menggunakan toya hasil rampasan itu dia tangkis ancaman yang datang dari si pengemis botak.....
"Bluuukk.....!"
Getaran keras yang menimbulkan suara benturan menyebabkan pengemis botak berseru tertahan, toya penggebuk anjingnya kena terhajar sampai miring kesamping dan terpental sejauh sepuluh kaki lebih.
Pengemis kadasan itu menjadi kalap, sambil melompat bangun dari atas tanah, teriknya keras-keras:
"Hajar bocah keparat ini sampai modar, jangan dibebaskan sebelum dia mampus....!"
Senjata tongkat penggebuk anjingnya diiringi deruan angin tajam langsung diayunkan kearah bocah itu, serangan demi serangan dilancarkan bagaikan banteng gila yang sedang kalap saja.
Pengemis Hoan dan pengemis Mo yang selama ini hanya berpeluk tangan belaka menjadi amat terperanjat setelah menyaksikan kelihayan musuhnya, bukan saja pihak lawan hanya terdiri dari seorang bocah berusia sebelas-dua belas tahunan, bahkan serangan-nya berhasil melemparkan tubuh si­pengemis kadasan hingga mencelat keangkasa dan pengemis Thi serta pengemis botak kehilangan tongkatnya.
Mereka semakin sadar, kendatipun pengemis kadasan memper-taruhkan selembar jiwa tuanya untuk menerjang bocah itupun tak ada gunanya, maka setelah saling berpandangan sekejap, sambil memutar senjata masing-masing, kedua orang pengemis itu turut pula terjun kedalam arena.
Giam In kok bersuit nyaring, suaranya tinggi melengking bagaikan pekikkan naga ditengah angkasa, membuat seluruh udara bergetar keras.
Dengan mempergunakan tongkat hasil rampasan-nya, dia keluarkan semua jurus-jurus toya yang pernah dikenal olehnya....
"Traaaaang...! Traaang...! Traaang....!
Beberapa kali bentrokan nyaring bergema memecahkan keheningan, akibat dari bentrokan tersebut, ke tiga orang pengemis itu segera terdorong mundur sejauh tiga langkah kebelakang.


Kendatipun begita Giam In kok sendiripun merasakan pergelangan tangannya menjadi linu dan kaku, tanpa terasa pikirnya di dalam hati:
"Waaah... tampaknya aku memang tak becus, kalau cuma seorang pengemis pun tak mampu kuhajar sampai keok, bagaimana mungkin aku dapat membalaskan dendam sakit hati orang tuaku?"
Sementara itu ketiga orang pengemis pun merasa terperanjat sekali atas kesempurnaan ilmu silat lawan-nya.
Tiba-tiba pengemis she Huan itu membentak keras dan menerjang lagi kedepan, empat orang pengemis lain-nya tak ambil diam, serentak mereka memutar toya masing-masing dan ikut menerjang pula kedepan.
Lima orang jago lihay dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya segera mengepung bocah cilik itu secara ketat, cahaya tajam berkilauan diangkasa, daerah sekitar sepulah kaki disekitar arena dengan cepat terkurung ditengah deruan angin puyuh itu.
Makin lama bertarung Giam In kok merasa makin bersemangat, tiba-tiba muncul satu ingatan untuk menggoda lawan-lawan-nya.
Dengan senjata telapak tangan baja untuk melindungi keselamatan tubuhnya, pedang pendek ditangan yang lain mendesak musuhnya dengan serangkaian serangan yang jitu dan hebat.
Jangan dilihat si bocah itu terkurung di tengah kepungan empat orang dewasa yang mendesaknya habis-habisan, dalam kenyataan Giam In kok sama sekali tak tampak terdesak, jangankan terluka, dibuat kerepotan pun tidak.
Sebagai seorang bocah yang pernah mempelajari ilmu silat dari empat orang jago lihay sekaligus, tentu saja Giam In kok menjadi sangat ampuh dan hebat apalagi hanya untuk melawan empat orang jago belaka.
Dengan cepat serangkaian serangan berantainya berhasil memaksa ke lima orang pengemis tua itu menjadi kelabakan dan terdesak hebat, sekalipun begitu Giam In kok sendiripun tak pernah melancarkan serangan-serangan yang mematikan, sebab tujuan utama dari bocah ini adalah mendesak kawanan pengemis itu agar bersedia meninggalkan tempat itu untuk sementara waktu.
Ditengah berlangsungnya pertaruagan yang seru dan ramai dihiasi oleh bentakan-bentakan nyaring itu, mendadak dari luar lembah muacul kembali sesosok bayangan manusia.
Begitu tiba disisi gelanggang pertarungan, orang itu segera membentak keras dengan suaranya yang nyaring bagaikan guntur membelah bumi:
"Tahan...!"
Serentak ke lima orang pengemis tua itu menarik kembali serangan-nya dan masing-masing mundur sejauh berapa kaki ke belakang.
Giam In kok sendiripun mengetahui bahwa orang yang baru saja munculkan diri itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi, dengan cepat ia berpaling.
Terlihatlah seorang kakek berpakaian compang-camping dengan sepasang mata yang tajam berwarna biru serta pada punggungnya menggendong tujuh buah karung telah berdiri angker dihadapan-nya.
Sekilas pandangan saja dapat diketahui bahwa pengemis ini mempunyai kedudukan yang amat tinggi didalam perkumpulan Kay pang.
Dengan pandangan mata yang dingin bagaikan es pengemis tua itu melirik sekejap kearah Giam In kok, kemudian sambil berpaling kearah pengemis Thi, dia menegur dengan suara lantang:
"Thi huhoat, sesungguhnya dikarenakan urusan apakah sehingga kalian saling bertarung satu sama lainnya?"
Buru-buru pengemis yang dipanggil Thi huhoat itu maju kedepan dan memberi hormat, kemudian secara ringkas dia menuturkan hal ikhwal sampai terjadinya pertarungan itu.
Selesai mendengar laporan tersebut, pengemis tua itu mangggut-manggut berulang kali, ujarnya kemudian seraya berpaling kearah Giam In kok:
"Mengingat kau masih kecil dan tak tahu urusan kumaafkan kesalahanmu kali ini, nah! Cepat pergilah meninggalkan tempat ini...."
Giam In kok segera menyimpan kembali senjatanya lalu memberi hormat.
"Selamat tinggal!"
Tanpa berpaling lagi dia segera berlalu dari situ dengan langkah cepat.
Baru saja ia berjalan berapa langkah meninggalkan tempat itu, mendadak pengemis tua itu berseru lagi:
"Tunggu sebentar!"
Terpaksa Giam In kok menghentikan langkahnya, kemudian sambil berpaling omelnya:
"Waaaah.... cerewet benar kau si kakek ceking, sebentar menyuruh aku pergi, sebentar menyuruh aku berhenti, sebetulnya masih ada urusan apa sih kau memanggilku lagi? Hmm, aku jadi gemas rasanya melihat tampangmu itu"
Pengemis tua itu mendengus dingin:
"Hmm! Aku hanya ingin memberi peringatan kepadamu, jangan mencoba sekali-kali datang lagi ketempat ini, bila kau berani menyelundup masuk lagi kesini..... Hmm! Akan kubacok kaki anjingmu itu biar buntung!"
Giam In kok tertawa dingin, tanpa banyak berbicara lagi dia segera berlalu dari situ.
Sudah barang tentu bocah itu tak akan menyudahi persoalan tersebut sampai disitu saja, dalam hati kecilnya dia berjanji akan kembali lagi kesitu pada malam berikutnya. Sebab ia merasa kitab pusaka Cin khu hun pit mempunyai arti yang penting sekali baginya, dengan mempelajari isi kitab tersebut berarti kepandaian silatnya akan bertambah hebat, hanya dengan ilmu silat yang tinggi saja dendam sakit hatinya baru bisa dituntut balas.....
Oleh sebab itu, kendatipun mencari kitab pusaka itu bukan suatu pekerjaan yang gampang dan dia harus menghadapi pelbagai rintanan yaag datang secara bertubi-tubi, namun bocah itu tidak menjadi putus asa atau gentar dibuatnya.
Pada umumnya benda mestika atau benda pusaka kebanyakan disimpan ditengah gunung yang terpencil atau dalam lembah bahkan didasar air, tapi kitab pusaka Cing khu hun pit itu justru disembunyikan di bawah batu peringatan raksasa, apa lacur batu peringatan raksasa itupun merupakan markas besar perkumpulan Kay-pang.
Boleh jadi pihak Kay pang sendiripun tidak mengetahui kalau dibawah tanah markas besar mereka sesungguhnya terdapat kitap pusaka itu.
Sedangkan bagi Giam In kok, biarpun dia tahu disitu terdapat kitab pusaka, tapi diapun tidak tahu benda pusaka itu di sembunyikan dibagian yang mana, dengan kemampuan-nya seorang bagaimana mungkin ia bisa menghalau pergi orang-orang Kay-pang serta melakukan pencarian dengan seksama?
Dengan termanggu-manggu Giam In kok segera mencari rumah penginapan untuk beristirahat, tiba didalam kamar, sambil memandangi cahaya lilin yang menerangi seluruh ruangan, ia duduk bertopang dagu, sementara otaknya berputar mencari akal untuk memecahkan persoalan itu.


Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba satu ingatan melintas didalam benaknya, tanpa terasa bocah itu tertawa tergelak sambil berteriak keras:
"Horee.... aku sudah mendapat akal bagus.... horee..... aku pasti akan berhasil....."
Teriaknya ditengah malam buta ini sudah tentu mengejutkan para tamu di kamar tetangganya, kontan saja dari samping kiri kanan kamarnya bergema suara makian:
"Bocah edan, malam buta begini masih berteriak-teriak seperti orang sinting..... Hmmm! Kalau berani berteriak lagi, awas kamu bisa kujewer telingamu sampai berdarah....."
Giam In kok menjulurkan lidahnya sambil meringis, buru-buru sahutnya:
"Maaf.... empek.... maaf.... bibi, kalian jangan marah, aku tak akan berteriak lagi.... maaf, sekali lagi maaf... sekarang aku aku sudah mengantuk dan berjanji tentu tidur dengan mulut tertutup rapat..."
Ditengah omelan para tamu di kamar tersebut, Giam In kok segera memadamkan lentera dan naik keatas pembaringan.
Keesokan harinya, secara diam-diam ia membeli dua perangkat pakaian bekas yang sudah kumal, sebuah kantung kain serta alat sembayangan, kemudian berangkatlah dia meninggalkan kota Kim leng menuju ke sebuah bukit yang sepi.
Disebuah hutan yang sepi dia segera merubah warna kulit badan-nya dengan beberapa pil perubah wajah yang diperoleh dari Kang Yong tempo hari.
Setelah itu mukanya dirubah pula dengan obat dan dibubuhi dengan lumpur disana sini sehingga kelihatannya dekil sekali, habis berganti pakaian dan menelan obat yang dapat membuat suaranya berubah menjadi paruh, pagi-pagi sekali dia mengunjungi sebuah kuburan baru yang berada disekitar situ.
Senjata pedang, telapak tangan baja, buli-buli emas dan uangnya dibungkus dalam sebuah kantung lalu disembunyikan didalam tanah dekat kuburan tadi, untuk menghindari kecurigaan orang, dia pasang hio dan lilin didepan kuburan tadi kemadian pura-pura menangis.
Setelah itu dengan muka yang pura-pura lesu bercampur sedih, selangkah demi selangkah dia meninggalkan bukit tadi.
Tengah hari telah tiba, inilah saat buat semua orang untuk bersantap, Giam In kok yang menyaru sebagai seorang pengemis dengan membawa sebuah mangkuk yang sudah gumpil sisinya, berdiri disamping sebuah rumah sambil berseru minta sedekah dan sisa sayur....
"Setan cilik! Siapa yang menyuruh kau datang kemari untuk minta sedekah?" tiba-tiba terdengar seseorang menegur dengan suara keras.
Giam In kok segera berpaling, ternyata seorang pengemis setengah baya telah berdiri dibelakangnya dengan mata melotot. Biarpun bocah ini segera mengerti apa yang telah terjadi, namun dia tetap berlagak bloon, sahutnya:
"Oooh..... rumahku ketimpa bencana, aku merasa lapar sekali dan tak punya uang untuk mambeli nasi, terpaksa.... akupun minta sedekah dan belas kasihan dari orang”
"Sudah masuk menjadi anggota?"
"Masuk menjadi anggota? Anggota apa? Aku.... aku tidak mengerti maksudmu...."
"Kalau belum masuk menjadi anggota perkumpulan pengemis, kau tak boleh minta sedekah disini, mengerti?"
"Kurang ajar! Lantas aku mesti makan apa?"
"Ploookkk......!"
Tahu-tahu sebuah tempeleng keras-keras mendarat diatas pipi Giam In kok.
Sambil berpura-pura menangis karena kesakitan, bocah itu segera berteriak keras:
"Adduuuh mak.... sakit....! Aduuh mak... aku dipukuli orang.....! Aduuuh hidung..... pipiku sakit sekali.... hey pengemis bau aku toh minta makan untuk mengisi perutku sendiri, mengapa kau malah menghajarku.....? Adauuh.... huuhh.... huuuh.... huuhh.... sakit.... pipiku sakit sekali..... Ooooh mama, tolonglah aku.... tolong mama....."
Pengemis berusia pertengahan itu semakin mendongkol setelah melihat ulah bocah itu, ia segera menyepak dan menendang tubuh Giam In kok berulang kali sampai bocah itu roboh terguling diatas tanah, umpatnya dengan gemas:
"Setan alas.... Sebelum kuhajar diri mu sampai modar, rasanya aku belum merasa puas....."
Perkelahian diantara pengemis tua dengan seorang pengemis kecil ini dengan cepat mengundang perhatian orang banyak, terutama sekali penduduk yang berada disekeliling tempat itu.
Serentak mereka berlari mendekat dan mengerubungi sekitar tempat kejadian itu untuk melihat keramaian.
Pengemis berusia pertengahan itu benar-benar dibuat amat gusar, dengan mata melotot besar bentaknya berulang kali:
"Hey bajingan cilik.... mau apa kau berguling-gulingan diatas tanah macam anjing kelaparan saja....? Ayoh cepat bangkit berdiri dan turut aku menghadap ketua pengemis!"
Tapi Giam In kok berteriak îagi sambil menangis tersedu-sedu, serunya pula dengan lantang:
"Buat apa ikut denganmu...? Kau.... kau pengemis jelek... kalau ikut bersama mu paling banter badanku akan digebuk setiap hari.... kau... kau.... pengemis monyet yang jelek.... moncongmu persis seperti congor babi... oooh, polisi... mana polisi? Aku akan mengadukan dirimu didepan pengadilan...."
"Duuuuukk.....!"
Satu tendangan yang amat keras kembali berselang ditubuh Giam In kok. Kendatipun bocah itu rela dirinya digebuki agar siasat menyiksa diri yang sedang dimainkan olehnya berhasilmengenai sasaran, akan tetapi keganasan serta kebengisan pengemis berusia pertengahan itu menggusarkan hatinya, terutama sekali kalau sesudah digebuki teruspun sama sekali tak berarti lagi.
Maka sambil berpura-pura menangis karena kesakitan, diapun segera merangkak bangun lalu melotot kearah pengemis itu dengan sinar mata penuh amarah.
"Hmmm! Kurang ajar, mau apa kau melotot kearahku?" bentak pengemis itu dengan perasaan mendongkol.
"Kenapa? Apakah aku tak boleh melotot kepadamu? Kalau berani ayoh pukullah aku lagi....?"
"Sialan....! Tampaknya kau memang ingin digebuki lagi ...."
Sembari mencaci maki kalang kabut pengemis itu segera melompat kedepan dan langsung menempeleng bocah tersebut.
Giam In kok tak mau mengalah, seperi banteng yang sedang mengamuk, ia tubruk dada lawan dengan kepalanya.
Kedua orang itu segera saling bergumul dan bergulat diatas tanah, kedua belah pihak tak mau saling mengalah, mereka saling pukul memukul dengan serunya.
Namua agaknya pengemis itu jauh lebih kuat, setiap gebukan-nya segera bersarang di atas punggung Giam In kok secara telak.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras berkumandang datang memecahkan keheningan, ketika mendengar bentakan tersebut, pengemis itu kelihatan terkejut sekali sehingga tanpa terasa mengendorkan jotosan-nya.
Menggunkan kesempatan inilah Giam In kok segera menyeruduk tubuh pengemis itu sampai roboh terjengkang keatas tanah, kemudian ia membalikkan badan dan melarikan diri dari situ.
Agaknya pengemis berusia pertengahan sama sekali tidak menyangka kalau dirinya bakal ditubruk sampai roboh terjengkang oleh bocah itu, dengan wajah meringis menahan rasa sakit, ia segera bangkit berdiri, lalu ujarnya kepada pengemis yang baru saja munculkan diri disana:
"Bukan tecu yang menganiaya dirinya lebih dahulu, setan cilik itulah yang kelewat binal dan kurang ajar..... lihatlah! Tecu kena dihajar olehnya sampai babak belur macam begini!"
Pengemis tua itu mendengus dingin.
"Hmmm! Kau tak perlu beralasan lagi yang bukan-bukan, aku tahu dimana-mana kau Ang sam selalu saja membuat gara-gara dan keonaran, ayoh cepat enyah dari sini!"
Setelah mengusir Ang sam pergi dari situ, pengemis tua tadi segera menyusul Giam In kok sambil teriaknya:
"Eeeei.....! Bocah cilik, jangan pergi dulu!"
Sambil berhenti berlari, Giam In kok segera berteriak dengan nada mendongkol:
"Mau apa kau mengejar diriku?"
"Bolehkah aku tahu siapa namamu?"
"A Hu!"
"Bersediakah kau menjadi muridku?"
"Tapi.... siapakah kau?"
"Aku adalah Huan Kay sian, salah seorang diantara tiga sesepuh dari kota Kim leng, bila kau bersedia mengangkat diriku menjadi guru, maka aku akan memberi pelajaran ilmu silat kepadamu, dan tak akan ada orang yang berani menganiaya dirimu lagi!"
"Baik, sekarang juga aku akan mengangkat dirimu sebagai guruku....!"
Dari dalam sakunya Huan Kay sian mengambil keluar beberapa biji bakpao dan di bagikan kepada Giam In kok untuk mengisi perut, kemudian ia baru menanyakan asal-usulnya.
Sambil melahap bakpao yang diberikan kepadanya, Giam In kok segera mengarang sebuah cerita bohong yang mengisahkan asal usulnya, bahkan dibumbuhi dengan isak tangis yang amat memedihkan hati.
Sudah barang tentu pengemis tua itu semakin mempercayai perkataannyan berangkatlah mereka kemudian menuju kemarkas besar mereka yang terletak di lembah tugu peringatan.
Tatkala ketua cabang perkumpulan Kay pang untuk kota Kim leng, Tay Kim serta keempat orang pengemis tua lain-nya meli hat Huan Kay-sian membawa pulang seorang pengemis kecil masuk kedalam markas, mereka pun segera menanyai asal usulnya dengan teliti, kemudian baru memuji tiada hentinya atas bakat sang bocah yang amat bagus.
Oleh ketua cabang, seorang pengemis berusia pertengahan yang bernama Nyoo Ji diperintahkan untuk memberi petunjuk kepada Giam In kok mengenai peraturan perrkumpulan serta dasar-dasar ilmu silat, kemudian mencarikan pula tempat tinggal bagi dirinya.
Menggunakan kesempatan disaat Nyoo Ji memperkenalkan dirinya kepada para anggota perkumpulan lain-nya, secara diam-diam Giam In kok memperhatikan setiap jengkal tanah yang berada dibawah tugu peringatan itu dengan seksama.
Namun sepanjang pengamatannya, tugu peringatan yang didirikan dari batu bukit itu sama sekali tak ada celah ataupun lubang barang sedikitpun juga, semuanya rata dan terdiri dari batuan cadas yang sangat keras, sudah barang tentu tak mungkin tempat semacam ini bila digunakan untuk menyimpan benda pusaka.
Tapi dia merasa yakin kalau kitab pusaka Cing khu hun pit pasti berada di bawah batu besar itu, kalau tidak, tak mungkin kertas berisi yang petunjuk rahasia itu disimpan secara begitu rahasia dan terselip ditempat yang tak terduga.
Hari ini, seharian penuh dia belajar dasar ilmu silat dari Nyoo Ji, dan selama itu pula dia selalu berlagak bodoh dana pelupa, baru saja belajar satu macam pelajaran, yang lain sudah terlupakan kembali.....
Tentu saja kejadian ini sangat menjengkelkan hati Nyoo Ji, sehingga akhirnya tak tahan lagi dia mengomel:
"Aaaah... aku lihat Huan tianglo pasti menyesal setengah mati setelah mengetahui kegoblokanmu itu, hey setan cilik. Biarpun kau mempunyai bakat yang bagus, sayang memiliki daya ingatan yang amat bebal.... buat apa belajar silat? Lebih baik kau pelajari kentut anjing saja...."
Tanpa terasa malampun menjelang tiba, mendadak seluruh anggota pengemis yang berada didalam lembah itu dikumpulkan kemudian menyebarkan diri disekitar tugu peringatan tersebut.
Giam In kok menjadi keheranan setelah menyaksikan kejadian tersebut, dengan perasaan tak habis mengerti segera tanyanya:
"Paman Nyoo Ji, kenapa sih mereka pada pergi dimalam buta begini? Masa dimalam haripun kita harus pergi mengemis?"
"Aaaaah.... si bocah cilik tahu apa? Kami memasang perangkap disekitar tempat ini untuk menangkap seorang bajingan cilik yang bernama In Kok hui!"
Mendengar perkataan tersebut, diam-diam Giam In kok berpikir didalam hati:
"Ehmmm.... akal itu sih bagus sekali, tapi sayangnya kecerdasan sauya mu justru jauh lebih hebat daripada kalian semua...."
Menanti Nyoo ji sudah pergi, bocah itu pun menggunakan sebuah selimut yang dekil untuk menutupi badannya, kemudian ia melingkar di pojok gua dan berpura-pura tidur.
Malam semakin kelam, awan hitam sudah menyelimuti seluruh angkasa, suasana gelap gulita membuat pemandangan disekitar tempat itu menjadi kabur dan lamat-lamat.
Diam-diam Giam In kok merangkak bangun dari balik selimutnya, lalu dengan jalan mengidap-idap dia menyelinap keluar dari gua tersebut....
Ia mencoba untuk memeriksa keadaan disekelilingnya dengan ketajaman mata yang dimiliki, namun suasana disitu begitu gelap dan tidak jelas sehingga pada ke lima jari tangan sendiripun sudahnya bukan main.
Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa dia mencari sebuah batu lalu mempergunakan benda itu untuk mulai mengikuti dinding serta permukaan tanah dengan harapan di mememukan ruangan yang kosong. Ketika sebuah ruangan sudah selesai diperiksa dengan seksama, dia pun segera pindah ke ruangan lain dsangat berhati-hati, pencarian dilakukan dengan lebih teliti lagi. Tapi dari semua tempat yang telah diperiksa olehnya, ternyata sama sekali tidak menunjukkan kalau dibalik ruangan tersebut merupakan sebuah ruangan yang kosong.
Akhirnya terpaksa dia kembali ketempat semula dan pura-pura tidur, padahal otaknya berputar terus berusaha mencari jalan lain....
Tiba-tiba....
Ia teringat kembali dengan sebuah gua besar yang berada ditengah tugu peringatan tersebut, dia masih ingat, diatas dinding gua tersebut tergantung sebuah lukisan dinding yang amat besar, lukisan itu menggambarkan seorang kakek yang sedang duduk sambil memandang rembulan yang sedang purnama, segera pikirnya:
"Yaa, jangan-jangan kitab pusaka Cing khu hun pit yang sedang kucari-cari tersimpan dibalik dinding yang melukiskan bulan purnama itu .... yaa benar, kenapa aku tidak mencoba untuk melakukan pemeriksaan disana....?"
Begitu ingatan tersebut melintas lewat di dalam benaknya, ia segera bangkit berdiri lalu menyelinap kedalam gua diruang tengah tugu peringatan tadi.
Pada bagian dinding yang melukiskan bulan purnama itu, dia mencoba mengetuk dindingnya dengan batu dengan harapan di situ bisa ditemukan ruangan kosong, namun untuk sekian kalinya bocah itu dibuat amat kecewa.
Tiba-tiba.....
Dari balik gua berkumandang datang suara dingin yang menyeramkan, diikuti kemudian segulung desingan angin tajam menyapu datang.
Giamm In kok merasa amat terperanjat, buru-buru tubuhnya meluncur kedepan dan nyelonong keluar dari balik gua, ujung kakinya menjejak tanah lalu sekali lagi dia melompat naik keatas sebuah batu cadas yang jauh lebih kecil bentuknya.
"Setan cilik, hendak kabur kemana kau?"
Bersamaan dengan suara bentakan itu, kembali terasa datangnya sesulung desingan angin tajam yang mengancam tubuhnya.
Sekuat tenaga Giam In kok memutar telapak tangan-nya untuk menangkis....
"Braaaaaakk.....!"
Termakan oleh getaran angin pukulan yang maha dahsyat tadi, si penyerang yang tak lain adalah Thi huhoat itu segera mencelat mundur sejauh dua langkah kebelakang, kakinya tahu-tahu menginjak ditempat yang kosong sehingga tak ampun lagi tubuhnya terpeleset jatuh dari atas batu pijakan.
Baru-buru Giam In kok melarikan diru dari tempat kejadian, sewaktu dia berpaling kembali, tampaklah beberapa sosok bayangan manusia sedang melakukan pengejaran yang ketat dari belakang.
Berada dalam keadaan begini, dia segera menjejakkan kakinya keatas tanah dan sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang amat sempurna, bocah itu kabur menuju bukit sebelah belakang.
"Setan cilik! Berhenti kau!" bentakan keras bergema lagi dari arah depan.
Sesosok bayangan manusia munculkan diri dengan cepatnya dari balik batu cadas, angin pukulan yang kencang dilancarkan ke depan tanpa mengenal ampun.
"Huuh....! Dengan mengandalkan kepandian silat semacam ini pun berani amat kau menghadang jalan pergiku, mampus kau sekarang .....!" teriak Giam In kok keras-keras.
Sembari berkata, dia segera mengirim sebuah tinjunya ke depan sambil melancarkan sebuah sodokan yang amat keras.....
"Duuukk.....!"
Orang itu menjerit kaget, tubuhnya segera mencelat sejauh bebebera kaki kebelakang.
Giam In kok sadar, semut yang kecil pun bila berada dalam jumlah besar bisa mengerubuti seekor gajah sampai mati, apalagi musuhnya bukan semut melainkan manusia, sudah barang tentu kelihayan-nya luar biasa.
Begitu menyadari bahwa dia tak akan memperoleh keuntungan apa-apa dari pertarungan ini, dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya dia menerjang keluar dari kepungan beberapa orang pengemis yang menghadang jalan perginya itu, kemudian melarikan diri ke tepi sungai yang amat lebar.
Ketika ia berpaling kebelakang, tampaklah ada lima sosok bayangan manusia yang sedang melakukan pengejaran secara ketat bagaikan menghembusnya angin payuh.
Dengan suatu gerakan yang amat tiba-tiba, bocah itu segera membelokkan badan-nya dan menyelinap ke belakang sebuah batu karang, sementara tangan-nya yang lain dengan cepat menyambar sebuah batu besar dan dilemparkan ke dalam sungai.
Tan Kim, ketua perkumpulan Kay pang cabang kota Kim leng yang tiba lebih dahulu di tepi sungai segera berseru dengan nada gegetun setelah dilihatnya sesosok bayangan hitam telah menceburkan diri kedalam sungai.
"Aaaaah....! Setan cilik itu itu benar-benar kelewat licik, dia telah meloloskan diri dengan menceburkan diri ke dalam sungai"
Pengemis kadasan yang menyusul kemudian dari belakang, sempat pula menyaksikan semburan benda hitam kedalam sungai yang menyebabkan bunga air memancar setinggi beberapa kaki itu, buru-buru dia berteriak lantang:
"Kita jangan mau tertipu, yang tercebur ke dalam sungai bukan setan cilik itu melainkan sebuah batu besar, dia pasti masih menyembunyikan diri disekeliling tempat ini.... mari kita geledah!"
Mendengar perkataan itu Giam In kok gera munculkan diri dari tempat persembunyian-nya sambil tertawa cekikan karena geli, setelah itu ia membalikkan badan dan kabur dari tempat tersebut dengan kecapatan luar biasa, dalam waktu singkat tubuhnya sudah sejauh sepuluh kaki lebih dari posisi semula.
Tan Kim teramat gusar, ia membentak keras dan bersama-sama kawanan jago lain-nya mereka serentak melakukan pengejaran dari belakang.....
Giam In kok melarikan diri dengan menelusuri tepi sungai yang membujur jauh di depan sana, tanpa terasa sampailah mereka di Yan ca ki.
Tan Kim yang menyusul tiba dari belakang, segera berseru sambil tertawa tergelak:
"Haaaahh.... haaah... haaahh... setan cilik, sekarang kau telah berada di jalan buntu, akan kulihat kau mau kabur kemana lagi dirimu?"
Dengan sorot matanya yang tajam bagaikan sembilu, Giam In kok memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, ditemuinya tempat dimana dia berada sekarang merupakan sebuah tanah daratan yang menjorok jauh ketengah sungai, kecuali jalanan yang baru saja dilewati, tiga bagian yang lain merupakan bentangan air sungai yang berombak deras, sama sekali tiada jalan lain lagi yang dapat dilalui lagi.
Padahal satu-satunya jalan yang dapat lewati telah dihadang oleh lima orang pengemis yang berkepandian tinggi, andaikata dia berniat untuk melarikan diri dari situ, ini berarti dia harus bersiap sedia untuk melangsungkan pertarungan melawan orang-orang itu.
Berada dalam keadaan seperti ini, tiada jalan lain baginya kecuali mengambil keputusan untuk melangsungkan pertarungan.
Demikianlah, setelah keputusan diambil, bocah itupun segera tertawa nyaring sembari berkata:
"Hey, pengemis-pengemis tua bangkotan yang sudah hampir keok dari dunia, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan terhadap sauya mu....?"
Dibawah pancaran sinar matahari yang baru menyingsing dari ufuk timur, Huan Kay sian yang turut hadir pula dalam kelompok pengemis lain-nya segera mengenali bocah yang berada dihadapan-nya sebagai pengemis cilik yang telah membohonginya sehingga diajak masuk menjadi anggota Kay pang.
Sekarang dia sudah mengetahui siapakah sebenarnya pengemis cilik itu, maka dengan wajah merah jengah lantaran malu, segera bentaknya keras-keras:
"Hey setan cilik, berani amat kau bohongi diriku dengan siasat menyiksa diri..... Hmmm! Sebenarnya apa maksud dan tujuanmu berulang kali berusaha menyusup masuk ke dalam lembah tugu peringatan ini...?"
"Hiiiih... hiiih... hiiiih ... jangan marah-marah begitu.... aku tahu, bila lagi sewot tampangmu persis seperti monyet yang kena terasi!" jengek Giam In kok sambil tertawa cengar-cengir, "tentang maksud tujuanku... tak usah yaa...! Kau toh sudah rapuh dan hampir keok dari dunia ini, buat apa kau mencari tahu soal ini.....?"
Pengemis botak menjadi naik pitam setelah mendengar ejekan itu, dengan penuh kegusaran dia segera membentak pula:
"Bajingan cilik, setan busuk yang tak kenal budi, kau setan sial! Terima dulu sebuah seranganku ini!"
Giam In kok mendengus dingin.
"Hmmm! Dengan mengandalkan kepandaian yang kau miliki itu, kalian masih belum pantas untuk beradu tenaga dalam dengan sauya! Sedang tentang teguranmu barusan bahwa aku adalah seorang manusia yang tak tahu diri....! Huuuh, sauya pun hendak menjelaskan sesuatu hal kepada kalian semua, ketahuilah bahwa kalian segenap anggota pengemis dari kota Kim leng telah menerima budi kebaikan dari sauyamu, tapi nyatanya kalian tidak merasakan hal ini malahan sebaliknya memaki akulah yang tak tahu diri..... hmmm! Dasar kalian semua memang goblok seperti kerbau dungu"
Tan Kim sekalian menjadi amat tercengang setelah mendengar perkataan itu, dengan cepat dia menghalangi niat para anak buahnya untuk bertindak gegabah, kemudian setelah maju selangkah kedepan, tanya-nya cepat:
"Coba kau terangkan dulu kepada kami, budi kebaikan macam apakah yang telah kau berikan kepada kami semua, segenap anggota Kay-pang yang berada di kota Kim leng?"
"Terus terang saja aku bilang, andaikata persoalan ini kejelaskan secara blak-blakan, aku kuatir bencana-bencana besar itu justru akan menimpa segenap anggota Kay-pang yang berada di kota Kim-leng ini, oleh karena itu aku pikir lebih baik tak usah ku katakan saja.... sebab hal ini jauh lebih menguntungkan buat kalian semua"
"Coba kau terangkan....! desak Tan Kim lebih jauh.
"Apakah kalian benar-benar tidak takut mampus? Kalian mesti ingat, orang sudah mampus tak bisa hidup lagi!"
"Aaaaah, kau tak usah mengaco-belo terus, ayoh cepat utarakan kepada kami, kalau kau tak mau berbicara, jangan salahkan kalau kamipun tak akan bertindak sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu!"
"Haaahh... haaaah... haaaaah... mau bersikap sungkan atau bersikap tidak sungkan, sauya sih tak bakal ambil pusing, aku rasa lebih baik kau tak usah bermain bentak sambal belaka dengan omongan sebesar gajah....! Baiklah, kalau memang kalian tidak kuatir kerepotan dan tak kuatir segenap anggota perkumpulanmu tertimpa bencana.... sudah barang tentu sauya pun bersedia saja meengungkapkan masalah yang sebenarnya kepada kalian semua.....! tapi ingat, resiko ditanggung sendiri...!"
Menyaksikan bocah kecil itu berbicara dengan wajah serius dan sungguh-sungguh, tanpa terasa Tan Kim menjadi sangsi dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tanpa terasa ia berpaling kebelakang dan memandang sekejap kearah empat orang anak buahnya.
Sambil tertawa dingin pengsmis kadasan segera berseru:
"Bocah keparat ini banyak akal muslihatnya dan licik sekali, harap ketua cabang jangan mempercayai obrolan setan-nya!"
Giam In kok menjadi sangat mendongkol, segera serunya pula sambil tertawa dingin:
"Heeeh... heeeh... heeeh... baiklah! Kalau toh kau si pengemis kadasan berani mempertanggung jawabkn diri terhadap kemungkinan munculnya bencana besar bagi perkumpulanmu, sauya pun akan mengatakan secara berterus terang!"
Tan Kim sebagai ketua cabang dari suatu perkumpulan besar macam Kay pang, sudah barang tentu tak ingin membiarkan si pengemis kadasan itu memikul tanggung jawab sebesar itu, maka segera ujarnya sambil tertawa:
"Engkoh cilik, kau tak usah kuatir, katakan saja berterus terang, seandainya sampai terjadi suatu peristiwa yang tidak diinginkan, biar akulah yang akan bertanggung jawab!"
"Bagus sekali!" seru Giam In kok dengan suara lantang.
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali katanya dengan suara keras:
"Dibawah tugu peringatan yang menjadi markas kalian ini terdapat kitab pusaka Cing khu hun pit!"
Begitu ucapan tersebut diteriakkan, kelima orang pengemis yang hadir dalam arena menjadi amat terperanjat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar