Pendekar Muka Buruk karya Can
Jilid 1,2 dan 3
UDARA sangat cerah, sang surya
baru saja memancarkan sinarnta yang berwarna ke emas-emasan ke
seluruh permukaan bumi.
Nun
dibawah sebuah pohon yang rindang, duduklah seorang kakek tua yang
bungkuk lagi rapuh sambil bertopang dagu, sorot matanya yang redup
sedang mengawasi seorang bocah kecil yang sedang bermain-main
disebuah tanah lapang depan sebuah perkampungan besar.
Agaknya
sudah lama sekali kakek itu berada disana, tiba-tiba terdengar ia
bergumam seorang diri:
"Yaa........
pasti dia........ pasti dia........ tak bakal salah...... tak mungkin
salah........"
Sesudah
termenung lagi sekian lama, mendadak kakek
tua itu bangkit berdiri, lalu dengan
kecepatan bagaikan berhembusnya segulung
angin dia melompat kehadapan bocah
yang berusia sepuluh tahunan itu, kemudian sekali sambaran tangan,
dia tangkap bocah tadi kemudian dikempitnya di bawah ketiak.
Tindakan
tersebut dilakukan olehnya dengan kecepatan melebihi sambaran petir,
sebelum bocah kecil itu sempat berteriak minta tolong, tahu-tahu
jalan darah pingsannya sudah ditotok.
Tak
ampun lagi bocah tersebut segera jatuh tak sadarkan diri.........
Tampaknya
kakek tua itu seperti merasa segan atau takut terhadap sesuatu,
begitu berhasil dengan sergapannya, buru-buru dia kabur meninggalkan
perkampungan tersebut dan menerobos masak ke dalam sebuah hutan
dengan kecepatan tinggi.
Semalam
suntuk orang tua itu berlarian terus menjauhi perkampungan tadi.
Siang
telah berganti malam dan fajar pun akhirnya menyingsing
kembali......setelah merasa yakin tiada pengejar yang membuntuti
perjalanannya, kakek tua itu kelihatan merasa amat lega, dia
menghembuskan napas panjang kemudian perlahan-lahan menuruni bukit
dan menuju ke sebuah jalan raya.
Belum
jauh kakek itn berjalan menuju jalan raya, mendadak terdengar suara
ringkikan kuda yang amat keras berkumandang datang dari arah
belakang.
Kakek
itu kelihatan amat terperanjat, dengan cepat dia berpaling ke
belakang.
Dari
kejauhan sana tampaklah empat ekor kuda jempolan sedang berlari
mendekat dengan kecepatan tinggi, debu dan pasir beterbangan
membumbung ke angkasa karena sambaran kuda-kuda itu.
Dalam
waktu singkat rombongan orang-orang berkuda itu sudah semakin dekat,
kini kakek tersebut dapat melihat wajah-wajah orang itu dengan jelas.
Orang
yang berada di paling depan adalah seorang kakek tua berwajah bersih,
sepasang matanya cekung ke dalam dengan sepasang biji mata berwarna
biru, begitu menyeramkan mata orang tersebut sehingga mendatangkan
perasaan ngeri dan bergidik bagi siapa pun yang melihatnya.......
Di
belakang kakek tadi mengikuti seorang kakek berwajah hitam pekat
bagaikan pantat kuali, seandainya diantara biji matanya tidak
terselip warna putih, sulit rasanya membedakan mana yang mata dan
mana pula yang kelopak.
Begitu
tahu siapakah orang-orang yang baru muuculkan diri didepan matanya,
kakek tua si penculik bocah cilik itu nampak sangat terperanjat,
tanpa terasa serunya didalam hati:
"Aduuh.....celaka!
Aku harus secepatnya meloloskan diri dari tempat ini......"
Tetapi
sayang sekali, sebelum niatnya itu sempat dilaksanakan, keadaan sudah
terlambat.
Kedengaran
si Kakak bermuka putih itu tertawa terbahak-bahak, lalu dengan suara
lantang serunya:
"Haaaahh.....haaahh.....haaah.....
rupanya Telapak tangan sakti dari Giam-tok berada disini, selamat
berjumpa..... selamat berjumpa kembali. Sudah hampir sepuluh tahun
lamanya kita tak pernah saling bertemu, sungguh tak disangka kita
akan bersua kembali di tempat seperti ini!"
Air
muka si Kakek tua yang membopong bocah cilik itu segera berubah
menjadi dingin menyeramkan, setelah tertawa kering, jawabnya:
"Hmmm.......!
Kukira siapa yang telah datang, eeei.... tak tahunya adalah Hek
pek sat sia (sepasang malaikat putih dan hitam) .....! Hmm, kalau
kalian toh berdua belum juga dapat melupakan kejadian dimasa lampau
dan sekarang pingin beradu kepandaian silat denganku, baiklah, akan
kulayani keinginan kalian itu, tapi bukan sekarang. Sepuluh hari
kemudian akan kutunggu kedatangan kalian di puncak Si-sim-hong di
bukit Hong-san!"
"Kenapa
harus pilih hari lain?" tukas Kakek bermuka hitam bagaikan
pantat kuali itu dengan cepat, "selamanya aku si melaikat hitam
belum pernah menunda-nunda saat pertarungan yang sedang kuhadapi, aku
pun belum pernah mengundurkan hari pertemuan...... mumpung hari ini
udara sangat cerah dan lagi hawapun amat sejuk, aku rasa inilah
kesempatan yang paling baik bagi kita untuk bertarung. Mengapa sih
kita mesti mengundurkan waktunya sampai sepuluh hari lagi dan mesti
bersusah payah mendaki gunung Hong-san? Ooooh......! Rupanya Giam
tayhiap telah memilih tempat kubur yang bagus untukmu sendiri....."
Berbicara
sampai disitu ia segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak.
Perlu
diketahui, Telapak tangan sakti dari Giam tok adalah seorang jago
kawakan yang mempunyai nama besar yang amat tersohor di kolong langit
pada berapa tahun berselang.
Dengan
kepandian silat yang dimilikinya, sudah barang tentu dia tak
memandang sebelah matapun terhadap sepasang malaikat hitam dan putih
tersebut.
Namun
dia cukup menyadari akan situasi yang sedang dihadapinya sekarang,
dia tahu posisinya kini sangat tidak menguntungkan bagi dirinya.
Maka
dari itu setelah tertawa keras segera katanya kembali:
"Sayang
seribu kali sayang hari ini Giam ong mu masih ada urusan lain, dengan
begitu tantangan kalianpun belum dapat kulayani!"
Selesai
berkata dia pun bersiap sedia untuk meninggalkan tempat tersebut.
Malaikat
putih segara bertindak cepat dengan menghadang jalan pergi kakek itu.
Setelah
melirik sekejap kearah bocah cilik yang berada dalam bopongan kakek
itu, katanya kemudian seraya tertawa tergelak:
"Haaahh...
haaahhh... haaahhh... Giam tayhiap, sungguh tak nyana engkau sudah
mempunyai keturunan, benar-benar peristiwa ini merupakan suatu
kejadian yang aneh sekali! Tetapi kenapa sih jalan darah pingsan
anakmu itu kau totok? Oooh....mungkin hasil dari penculikan rupanya?"
"Toako
memang sangat pintar dan berpandangan tajam", malaikat hitam
segera menyambung dengan nada mengejek, "aku yakin
seyakin-yakin-nya bahwa bocah itu adalah anak jadah dari hasil
hubungan gelap Giam tayhiap dengan Leng Siau-in!"
Telapak
tangan sakti dari Giam-tek merasa amat gusar setelah mendengar ucapan
itu, segera teriaknya keras-keras:
"Tutup
mulut anjingmu, kalau engkau berani mengaco belo lagi, jangan
salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap
diri kalian!"
"Kalau
tidak akan berlaku sungkan, lantas mau apa kau?" kembali pria
kekar yang berada di belakang sepasang malaikat itu mengejek sambil
tertawa keras.
Dengan
suatu serakan tubuh yang sangat ringan, dia melayang turun dari atas
pelana kuda.....
"Criiiinggg.....!"
Sepasang
senjata gurdi yang terbuat dari baja murni segera dicabut keluar.
Kemudian
seraya melangkah maju ketengah gelanggang, bentaknya lagi dengan
penuh amarah:
"Giam
tayhiap, apakah engkau tidak memandang sebelah matapun terhadap kami,
sepasang bersaudara dari telaga Seng-ou?"
"Maaf......!
Aku benar-benar tak kenal dengan kalian berdua, tolonglah tanya
kesalahan apakah yang telah kulakukan atas diri kalian?" tanya
telapak tangan sakti dari Giam-tok dengan sikap yang masih tetap
sabar.
"Giam
tayhiap tak usah berlagak pilon, mereka kan sepasang pendekar dari
telaga Seng oh! yang dikiri bernama Ui Hiong sedangkan yang disebelah
kanan adalah Ui Liat, bakankah kau pernah membinasakan kakak
seperguruan mereka yaitu si Sastrawan tanpa bayangan Ong Sam-kui?
Nah, coba pikirkan apakah mereka tidak berhak untuk menuntut balas
terhadap dirimu sekarang......?"
"Oooooh......"
Belum
sempat si Telapak tangan sakti dari Giam-tok melanjutkan
kata-katanya, ditengah suara bentakan yang amat keras, tampaklah dua
rentetan cahaya yang amat menyilaukan mata telah berkelebat datang
mengancam jalan darah ung-hiat serta si-hiat di tubuhnya.
Ia
menjadi amat terkejut, buru-buru telapak tangannya diputar kencang
untuk menangkis datangnya serangan tersebut.
Biarpun
serangan itu datangnya secara tiba-tiba dan sama sekali tak terduga,
Telapak tangan sakti dari Giam-tok sama sekali tidak menjadi gugup,
dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang amat sempurna, ia tangkis
datangnya ancaman tersebut.
"Traaaaangg.......!"
Di
tengah benturan keras, sepasang senjata gurdi dari Ih Hiong itu
tertangkis telak, sedemikian kerasnya benturan itu membuat badannya
sempat mundur dua langkah kebelakang dengan sempoyongan.
Semua
orang menjadi kaget bercampur tertegun setelah menyaksikan
kesempurnaan tenaga dalam lawannya, sebelum mereka sempat bertindak
sesuatu, tiba-tiba Telapak tangan sakti dari Giam-tok telah
menjejakkan kakinya ke atas tanah lalu secepat kilat berkelebat pergi
meninggalkan tempat itu.
"Bangsat!
Hendak lari ke mana kau?" hardik
malaikat putih dengan perasaan gusar.
Tiga
sosok bayangan manusia segera berkelebat lewat, dengan cepatnya
beberapa orang jago itu melakukan pengejaran secara ketat.....
Meskipun
si Telapak tangan sakti dari Giam-tok merupakan seorang yang amat
lihay, tetapi setelah menempuh perjalaran cepat semalam suntuk,
badannya boleh dibilang sudah teramat lelah.
Belum
sampai berapa li dia kabur, jarak diantara dirinya dengan para
pengejar kian lama kian bertambah dekat, ia segera sadar bahwa
dirinya tak akan lolos lagi dari kejaran lawan.
Sadar
akan hal tersebut, dengan segera ia mempercepat gerakan larinya dan
menerobos masuk kedalam sebuah gua yang berada tak jauh dari situ.
Dari
dalam sakunya dia mengeluarkan sepucuk kertas lalu menulis berapa
huruf dengan arang, kemudian diambilnya pula sebuah buli-buli
berwarna emas dan dimasukkan kedalam saku bocah cilik yang berada
dalam boponggan-nya itu.
Dalam
pada itu, ke empat jago lihay yang melakukan pengejaran itu telah
sampai pula didepan gua, namun mereka tak berani menerjang masuk
kedalam goa secara gegabah, sebab kuatir kena disergap lawan-nya.
Dengan
cepat beberapa orang itu menyebarkan diri dan membentuk posisi
setengah lingkaran untuk mengepung tempat tersebut rapat-rapat.
"Manusia
she Giam!" teriak jago-jago itu kemudian dengan suara mengejek,
"kalau kau bersembunyi terus macam kura kura, jangan salahkan
kami kalau segera akan melepaskan kabut beracun untuk membinasakan
kalian berdua!"
Telapak
tangan sakti dari Giam-tok cukup mengetahui bahwa kawanan jago itu
dapat mengatakan dapat pula berbuat, hatinya menjadi sangat gelisah.
Luas
gua tersebut tidak lebih cuma tiga sampai lima tombak, andaikata
pihak lawan benar-benar melepaskan kabut beracun seperti apa yang
diucapkan, niscaya dia beserta bocah cilik itu akan mati secara
mengenaskan.
Berada
dalam keadaan seperti ini, kakek tua itu tidak memperdulikan
keselamatan jiwanya lagi, dia menepuk jalan darah diatas tubuh bocah
itu agar menyadarkan-nya kembali di suatu saat tertentu, kemudian
sambil menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya kedalam telapak
tangannya, laksana sambaran kilat tubuhnya menerjang keluar dari
dalam gua.
Begitu
badan-nya melompat keluar dari mulut gua, sepasang telapak tangan-nya
segera diayunkan ke arah kedua belah samping....
"Weeeess.....!"
Dengan
angin pukulan yang amat dahsyat, bagaikan hembusan angin puyuh yang
menerbangkan pasir dan debu, dengan dahsyatnya menggulung ke arah
depan.
Dua
bersaudara Ui dari telaga Seng-oh yang berada dibarisan terdepan,
seketika itu juga terpental sejauh beberapa tombak dari tempat semula
dan roboh terjerambab mencium tanah.
Telapak
tangan sakti dari Giam tok benar-benar seorang jagoan yang sangat
lihat, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya dia meluncur
sejauh tiga tombak lebih dari tepi gua, kemudian sambil membalikkan
tubuhnya, ia membentak penuh amarah:
"Kawanan
anjing bangsat yang tak tahu diri, bereni amat kalian menghina orang
lain? Hmmm......! Kalau toh sudah bosan hidup, ayo cepat maju! Akan
kubereskan kalian semua satu demi satu.....!"
Mula-mala
sepasang malaikat putih dan hitam nampak agak tertegun karena tidak
mengira kalau lawan-nya yang telah menyembunyikan diri didalam gua
tahu-tahu saja sudah muncul kembali di hadapan mereka semua.
Tapi
setelah sadar kembali akan apa yang telah terjadi, serentak mereka
loloskan senjata tajam masing-masing dan menerjang maju ke muka.....
Telapak
tangan sakti dari Giam-tok tertawa nyaring, tubuhnya berputar kencang
bagaikan sebuah gangsingan, bersamaan dengan suata gerak yang sangat
aneh, tahu-tahu dia menyelinap ke sisi tubuh malaikat hitam kemudian
melepaskan sebuah pukulan yang sangat dahsyat...
Malaikat
hitam menjadi teramat kaget setelah merasakan datangnya ancaman yang
sama sekali tak terduga itu, dia berseru tertahan kemudian berusaha
keras untuk melepaskan diri dari ancaman tersebut.....
Tapi
agaknya si Telapak tangan sakti dari Giam tok sudah dapat menduga
akan gerakan berikut dari lawannya, baru saja si Malaikat hitam
menghindar ke samping, ia sudah menerjang lagi ke depan dengan ge
rakan cepat sambil melepaskan sebuah pukulan maut.
Blaaaammmm......!"
Dengan
telak serangan tersebut bersarang diatas dada lawan, jeritan ngeri
yang menyayat hati pun segera menggema memecahkan keheningan.
Sambil
memuntahkan darah segar, tubuh si Malaikat hitam itu mencelat sejauh
beberapa tombak kemudian sudah terkapar diatas tanah, lalu setelah
berkelojotan sebantar akhirnya menemui ajalnya secara mengenaskan.
Dua
bersaudara Ui dari telaga Seng oh serta si Malaikat putih menjadi
teramat gusar setelah menyaksikan rekan mereka menemui ajalnya di
ujung telapak tangan lawan, serentak mereka membentak keras dan
meerjang maju ke muka secara kalap.
Angin
pukulanpun segera menderu-deru, cahaya kilat yang memancar keluar
dari ke empat buah senjata gurdi itu segera memenuhi seluruh angkasa.
Seperti
banteng-banteng yang terluka, mereka mengepung musuhnya secara ketat
dan berusaha membinasakan lawannya dengan serangan yang bertubi-tubi
dan mengerikan hati.
Telapak
tangan sakti dari Giam tok sama sekali tidak menjadi gentar karena
mesti menghadapi kerubatan dari jago-jago lihay tersebut, sekarang
dia tak usah merasa takut lagi untuk melakukan pertarungan secara
bersungguh hati, karena si bocah cilik yang menjadi beban baginya
selama ini telah diturunkan kedalam gua.
Tubuhnya
melejit sejauh tiga tembak lebih ketengah udara, lain dengan jurus
Bendungan baja menahan air bah dia mengayunkan kembali telapak
tangan-nya kearah bawah dengan sepenuh tenaga.
Walaupun
dia menyerang hanya menggunakan sepasang tangan yang terdiri dari
darah dan daging, namun kedahsyatan dari angin pukulan itn
benar-benar mengerikan sekali.
Seluruh
angkasa segera diliputi oleh beribu-ribu buah bayangan telapak tangan
yang menyilaukan mata, sementara tenaga tekanan yang teramat berat
menggencet batok kepala beberepa orang itu.
"Blaammmm.........!"
Kembali
terjadi benturan keras yang menggelegar diseluruh ngkasa, tampak tiga
sosok bayangan manusia mencelat sejauh beberapa tombak kebelakang.
......
Tak
sempat lagi mengeluarkan suara jeritan ngerinya, dua bersaudara Ui
dari telaga Seng oh serta malaikat putih itu menemui ajalnya pula
secara mengenaskan.
Mengawasi
mayat-mayat yang bergelimpangan diatas tanah, Telapak tangan sakti
dari Giam tok menghembuskan napas lega.
"Aaaai....!
Akhirnya aku berhasil juga menyelesaikan pertarungan ini secara
baik.... Padahal andaikata mereka tidak terlalu mendesakku, akupun
tak akan tega membunuh mereka sekeji ini...."
Sembari
menggelengkan kepalanya berulang kali dia membalikkan badan dan
berjalan menuju kearah gua.
Tapi
sebelum sepasang kakinya sempat melangkah masuk kedalam mulut gua,
mendadak berkumandang kembali suara suitan yang aneh sekali dari
tempat kejauhan sana...
Sekali
lagi si Telapak tangan sakti dari Giam tok merasa amat terperanjat,
ia segera berpaling kearah mana berasalnya suitan itu.....
Tampaklah
cahaya kilat berkelebatcepat dengan kecepatan luar biasa, tahu-tahu
seorang kakek bermuka persis seperti monyet telah munculkan diri
dihadapan-nya.
"Aaaaah.....!"
Ketika
saling berpapasan muka, kedua orang itu sama-sama berseru tertahan
dan mundur satu langkah kebelakang.
"Aaai.....Telapak
tangan sakti dan Giam tok!" bisik kakek berwajah monyet itu
dengan suara lirih.
"Monyet
sakti dari selat Wu-nia!" bisik Telapak tangan sakti pula dengan
suara kaget.
Dalam
waktu singkat si kakek berwajah monyet tadi telah muncul
dihadapan-nya, dengan paras muka yang berubah menjadi hijau
menyeramkan, terdengar kakek bermuka monyet itu berseru sambil
tertawa seram:
"Heeehh...
heeeh... heeehhh... benar-bener suatu pertemuan yang sama sekali tak
terduga, didalam kesempatan ini bukan saja aku akan membalas dendam
atas hadiah sebuah pukulan yang pernah kau berikan kepadaku pada
sepuluh tahun berselang, akupun akan mengambil kembali benda mustika
tersebut dari tanganmu. Nah bajingan tua! Bersiap-siaplah untuk
mampus........"
Biarpun
dihati kecilnya si Telapak tangan sakti dari Giam tok merasa amat
terkejut, namun diluarnya dia tetap berusaha untuk bersikap tenang,
jawabnya kemudian:
"Hmmmm!
Kau berniat untuk membalas dendam atas pukulan yang pernah
kuhadiahkan kepadamu pada sepuluh tahun berselang....?
Heeebhh.....heeehhh... heeeeh.... belum tentu kau mampu untuk
melakukan niatmu itu. Lagipula benda mestika yang kau maksudkan sudah
tidak berada dalam sakuku lagi .... sudahlah, lebih baik kita tak
usah banyak ngebacot lagi, kalau memang ingin bertarung, silahkan
saja untuk segera melancarkan seranganmu.....
"Kurangajar,
kau berani membohongi diri ku? Cairan kemala yang berada dalam
buli-buli emas merupakan benda mesiika yang langka dan menjadi
incaran setiap orang, bila kau tidak segera menyerahkannya
kepadaku......Hmmm! Akan kusuruh kau mampus dengan darah berceceran
dimana-mana....."
"Haaahhh...
haaahhh... haaahhh... jangan lagi cairan kemala dalam buli-buli emas
yang kau maksud sudah tak berada dalam sakuku lagi, kendatipun saat
ini masih berada dalam sakuku pun jangan harap akan ku berikan
kepadamu, apalagi cairan itu bisa membantu menyempurnakan tenaga
dalam seseorang, hmmm....hmmm...hmmm.... bila kepandaian silatmu
mendapat kemajuan yang pesat, dunia persilatan pasti akan menjadi
kacau balau oleh ulahmu"
Paras
muka si Monyet sakti dari selat Wu-nia itu segera berubah sangat
hebat, dia menyeringai seram sambil memperdengarkan suara tertawanya
yang sangat aneh, suara tertawa itu mirip sekali dengan jeritan bayi
yang mencekik lehernya, tapi mirip juga dengan jeritan kuntilanak
ditengah kuburan. Berita tak sedap didengar sehingga terasa amat
menusuk pendengaran.
Telapak
tangan sakti dari Giam tok segera menghimpun tenaga murninya sambil
tertawa nyaring, dia berusaha untuk menekan gelak tertawa aneh dari
lawannya itu sampai tertindih dan makin lirih kedengaran-nya, karena
dia kuatir gelak tertawa dari lawannya yang penuh mengandung tenaga
serangan itu akan melukai pendengaran dari bocah yang disembunyikan
didalam gua itu.
"Sudah....sudahlah!"
seru Giam tok kemudian dengan perasaan amat gusar, "biar kita
bertarung mati-matian pada saat inipun tak mungkin akan berhasil
menentukan siapa yang unggul dan siapa yang kalah, bagaimana kalau
kita sudahi saja pertarungan hari ini sampai disini saja?"
"Kentut
busuk nenekmu! Andaikata kubebaskan dirimu hari ini, lain kali aku
akan mencarimu dimana?"
"Bagaimana
kalau kutunggu kedatangganmu di puncak Si-sim-nong gunung Hong san?"
"Tidak,
tidak bisa! Nah bajingan tua, lihat serangan....."
Monyet
sakti dari selat Wu-nia segera merentangkan sepasang telapak
tangannya sambil didorong keluar dengan dahsyatnya, segulung angin
pukulan yang sangat kuat segera berhembus lewat bagaikan gulungan
sngin puyuh, dengan cepat dan kencangnya langsung meluncur kedepan
serta menerjang dada lawan.
Telapak
tangan sakti dari Giam tok tak berani bertindak secara gegabah,
apalagi setelah menyaksikan betapa dahsyatnya angin pukulan yang
mengancam tiba.
Cepat-cepat
hawa murninya dihimpun kedalam telapak tangan-nya kemudian sebuah
pukulan dilepaskan untuk menyambut datangnya ancaman tersebut dengan
keras melawan keras.
"Braaaakkk.....
!"
Benturan
keras itu menimbulkan suara ledakan yang amat memekikkan telinga,
gumpalan pasir dan debu berputar kencang dan membumbung keangkasa
setinggi puluhan tombak lebih.....
Sejak
terjadinya benturan keras itu, ternyata keempat buah telapak tangan
saling menempel satu sama lain-nya tanpa bergerak, tubuh kedua orang
itu berdiri diam tak berkutik dari tempat semula, masing-masing pihak
berusaha mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk melukai
lawan.
Rupanya
didalam bentrokan tadi, baik si telapak tangan sakti dari Giam tok
maupun si monyet sakti dari selat Wu-nia sama-sama tak mau mengalah,
maka setelah terjadi bentrokan kekerasan tadi, mereka segera saling
menghisap kekuatan lawan-nya kuat-kuat, akibat dari kejadian ini maka
telapak tangan merekapun saling menempel satu sama lain-nya dan tidak
mampu berkutik lagi....
Entah
berapa jam sudah lewat tanpa terasa....
Bocah
cilik yang berada dalam goa itu perlahan-lahan mendusin kembali dari
pingsan-nya, ketika dia membuka mata dan menemukan bahwa dirinya
sedang berbaring dalam sebuah gua, wajahnya segera berubah dan
menunjukkan rasa tercengang yang tak terhingga ....
"Aneh,
mengapa aku bisa berada disini?" pikir bocah itu didaam hatinya,
"atau mungkin aku sedang bermimpi disiang hari bolong....?
Benar-benar suatu kejadian yang aneh......"
Ia
merangkak bangun dari atas tanah, sinar tajam yang memancar masuk
dari mulut gua amat menyilaukan matanya, bocah itu segera memejamkan
matanya sambil membalikkan badan membelakangi gua tadi....
Tiba-tiba
ia merasa sakunya berat sekali.
"Aneh
benar, benda apa yang mengganjal dalam perutku ini?" dia
berpikir.
Dengan
cepat dirabanya bagian yang terasa mengganjal itu, ternyata benda itu
berupa sebuah buli-buli kecil serta secarik kertas.
Dengan
perasaan tak habis mengerti dia segera berjalan keluar dari gua itu.
Dihadapan
matanya segera terbentang suatu pemandangan yang benar-benar
menggidikkan hati, empat sosok mayat terkapar diatas tanah dalam
keadaan mengerikan, sementara dua orang kakek berdiri kaku di sisi
lain dengan sepasang telapak tangan mereka musib berada dalam posisi
saling menempel.
Melihat
kesemuanya ini si bocah segera menjerit kaget dan cepat-cepat lari
masuk kembali kedalam gua, saking kagetnya hampir saja dia lari
pontang panting meninggalkan tempat kejadian itu.
Berapa
saat kemudian ia baru berani melongok lagi, tatkala dilihatnya
orang-orang itu sudah mati semua, dia baru merasa agak lega dan
berani muncul kembali dari gua itu.
Sambil
menimang-nimang buli-buli warna emas yang ditemukan dalam sakunya,
bocah itu berpikir dengan perasaan keheranan dan tidak habis
mengerti:
"Sungguh
suatu kejadian yang aneh, kalau dilihat bentuknya buli-buli ini kecil
sekali, kenapa beratnya justru bukan kepalang tanggung.....?"
Ia
segera mencabut lepas penutupnya, bau harum
semerbak segera memancar keluar memenuhi seluruh
angkasa.
Ternyata
isi dari buli-buli emas itu adalah cairan putih yang kental sekali
seperti getah, ketika dicoba rasanya manis lagi lezat sekali, hal
mana membuat si bocah menjadi kegirangan, tanpa berpikir panjang lagi
dia teguk isi buli-buli itu hingga habis sama sekali.....
Kemudian
diambilnya kertas yang melekat diatas buli-buli tadi serta dibaca
isinya. Surat itu berbunyi demikian:
"Ayahmu
yang sekarang bukan ayahmu, Ibumu sekarang adalah ibumu, lahir tanpa
berjumpa, nasib ayah sangat sengsara, untuk membalas dendam carilah
Thien bu, sebelum ilmu silat kau kuasahi janganlah pulang ke rumah!"
Dibawah
surat itu terlukis sebuah telapak tangan.
Beberapa
patah tulisan itu sangat membingungkan hati sang bocah, untuk berapa
saat lamanya dia hanya berdiri tertegun disitu dan tak tahu apa yang
mesti dilakukan...
Tanpa
terasa terbayang kembali kejadian yang pernah menimpa dirinya berapa
waktu berselang, waktu itu ia memohon kepada ayahnya untuk belajar
silat, tapi permintaan itu bukan saja tidak dikabulkan, malahan dia
dicaci maki habis-habisan.
Ketika
ia mencoba untuk mencuri lihat para penjaga perkampungan yang sedang
berlatih ilmu silat, dia pun dimaki habis-habisan olehnya.
Kemudian
sewaktu kejadian tersebut dilaporkan kepada ibunya, persoalan itupun
tidak mendatangkan hasil apa-apa, ayahnya malah selain bersikap
dingin dan ketus terhadap dirinya.....
"Mungkinkah
aku memang bukan anak kandang ayahku?" pikiran tersebut dengan
cepat melintas didalam benaknya, "kalau begitu tentu ibuku kawin
lagi? Atau mungkin dia dirampas oleh ayahku sekarang serta di paksa
untuk kawin dengannya?"
Jangan
dilihat bocah itu masih berusia kecil, tapi dalam kenyataannya banyak
persoalan yang dapat terpikir olehnya, terutama sekali kata-kata yang
tercantum dalam surat tersebut telah mempengaruhi jalan pikiran-nya.
Semenjak
masih kecil dia memang sudah dicaci maki orang, bukan cuma kakek dan
encinya saja yang memandang hina kepadanya, bahkan sampai pelayan pun
tak pernah ambil perduli terhadapnya.
Bukan
cuma begitu, sikap ibunya pun terasa begitu hambar terhadapnya,
seakan-akan dia memang bukan anggota keluarga dari keluarga Giam, ia
menaruh curiga bahwa dia adalah anak buangan....
Bocah
itu merasa sudah terbiasa di anak tirikan dalam perkampungan Ang
sim-san ceng yang termashur diseluruh dunia persilatan itu, maka dia
pun tidak merasa takut karena berada ditengah bukit yang sunyi
sekarang, dalam hati dia telah mengambil keputusan akan menunggu
sampai ke dua orang kakek yang berdiri kaku itu mendudin kembali, dia
harus menanyakan rahasia ini dari mereka.
Sayang
sekali, ke dua orang Kakak itu tetap berdiri tak berkutik ditempat
semula, malahan tubuh mereka makin lama terasa semakin dingin dan
membeku....
Bocah
itu berdiri melongo, dia tak tahu apa yang harus dilakukan saat ini,
sambil mempermainkan buli-buli emas yang berat itu, dengan sabar dia
menanti terus disisi kedua orang Kakek tersebut.
Tiba-tiba
buli buli itu terlepas dari tangan-nya, menyusul kemudian tampak
secarik kertas terlepas dari tepi penutup buli-buli itu dan terjatuh
ketanah....
Dengan
perasaan keheranan, kertas tadi segera diambilnya lalu diteliti
isinya.
Terbacalah
olehnya beberapa buah tulisan yang berbunyi begini:
"Kitab
pusaka Cin kun hun pit, mestika idaman setiap umat persilatan
tersimpan dibawah batu peringatan besar To sik sit"
Begitu
lembutnya tulisan itu isehingga harus diteliti lebih dulu dengan
seksama sebeum dapat terbaca.
Bocah
itu menjadi amat kegirangan, segera serunya keras-keras:
"Nah,
inilah kesempatan yang paling baik bagiku untuk belajar silat.... aku
harus mencari kitab tersebut sampai dapat......"
Setelah
menunggu lama sekali, habis sudah kesabaran bocah itu untuk menanti
lebih lanjut, segera dldekatinya kedua orang kakek itu, lalu
teriaknya keras-keras:
"Hey.....
kakek, bangunlah sebentar..... aku ada urusan hendak bertanya
kepadamu...."
Tiada
jawaban yang kedengaran, dua orang kakek itu masih saja berdiri kaku
ditempat semula.
Bocah
itu berteriak lagi berapa kali, tapi tetap tiada jawaban, akhirnya
dengan perasaan keheranan bocah itu mulai berpikir:
"Benar-benar
aneh sekali, jangan-jangan kedua orang Kakek ini sudah mati?"
Dengan
perasaan ingin tahu dihampirinya kedua orang itu, lalu didorongaya
Kakek yang satu namun tak berkutik, lalu didorongnya pula Kakek yang
kedua, juga tak bergerak, maka dengan perasaan tercengang ia
memeriksa dengus napas mereka berdua, baru sekarang dia tahu kalau
mereka sudah tak bernapas lagi alias sudah mati.
Tak
bisa dicegah lagi ia menjerit sekeras-kerasnya dengan perasaan
ketakutan, tanpa berpikir panjang ia melarikan diri terbirit-birit
meninggalkan tempat itu.
Mendadak
.......
Suara
bentakan keras berkumandang datang dari arah belakang, bocah itu
semakin ketakutan dan larinya pun semakin bertambah cepat iagi, dia
mengira orang-orang yang sudah mati kaku itu berubah menjadi mayat
hidup dan sedang mengejarnya.
Sungguh
cepat gerakan tubuh dari pendatang tersebut, hanya dalam waktu
singkat dia telah berhasil menyusul bocah itu serta menghadang
dihadapan-nya.
"Siau
cengcu!" terdengar orang itu berteriak keras, "mengapa kau
pergi sejauh ini seorang diri? Kau tahu betapa gelisahnya Cengcu
setelah mengetahui kepergianmu ini? Dia sampai mengirim enam belas
orang berkuada untuk mencari jejakmu......"
Mendadak
sorot matanya menangkap buli-buli kecil berwarna emas yaag berada
dalam genggaman bocah itu, deagan sorot mata aneh ia segera berseru
tertahan:
"Aaaaah.....!
Bukankah benda yang berada ditanganmu itu adalah Wan hu giok ih,
cairan kemala buli-buli emas? Siau-cengcu! Kau dapatkan benda itu
dari mana?"
Baru
sekarang bocah itu mengetahui bahwa si pengejar bukan mayat hidup
seperti apa yaag diduganya semula, melainkan seorang tukang pukul
ayahnya yang bernama Li Wi.
Sambil
tertawa haha hihi karena girang, sahutnya kemudian:
"Hiiiiih...
hiiiihhh... hiiihh... aku sendiripun tak tahu bagaimana ceritanya
sampai bisa memperoleh benda ini..."
"Anak
jadah! Kau berani membohongi aku?" bentak Li Wi tiba-tiba dengan
wajah menyeringai seram, "hari ini adalah hari kematianmu,
hmm....! Bila kau bersedia menghadiahkan cairan kemala dalam
buli-buli emas itu kepadaku, aku pun bersedia pula memberi kematian
yang utuh padamu, tapi kalau tidak... heeehh... heeeh... heeeh....."
Bocah
itu menjadi ketakutan setengah mati dan menjerit keras setelah
menjumpai paman Li nya tiba-tiba berubah menjadi begitu beringas daa
menakutkan, tanpa membuang waktu ia segera membalikkan badan dan
melarikan diri terbirit-birit....
Li
Wi mendengus dingin, baru saja bocah itu lari sejauh dua kaki lebih
dari posisi semula, ia membentak keras dan sebuah pukulan yang maha
dahsyat segera dilontarkan kedepan.
Bocah
cilik yang sesungguhnya bernama Giam In-kok ini segera menjerit
tertahan, dia merasakan punggungnya teramat sakit, sambil memuntahkan
darah segar tubuhnya segera roboh terjengkang keatas tanah dan jatuh
tak sadarkan diri.
Menyaksikan
bocah itu roboh keatas tanah sambil memuntahkan darah segar, Li Wi
mengira korban-nya sudah mati, maka sambil tertawa dingin jengeknya:
"Heehhh...
heeehhh... heeeh... siapa suruh kau membawa benda mestika yang langka
dan tak ternilai harganya? Jangan salahkan kalau paman Li mu
bertindak keji, cairan kemala ini akan menambah tenaga dalamku
seperti hasil latihan selama enam puluh tahun lamanya”
Buru-buru
dia melepaskan buli-buli emas itu dari genggaman tangan bocah tadi,
namun sewaktu penutupnya dibuka dan mengetahui bahwa isinya telah
kosong, hatinya menjadi sangat terkesiap dan tanpa terasa bulu
kuduknya pada bangun berdiri.
"Aduuh
.... celaka!" demikian ia berseru didalam hati, "ternyata
isi buli-buli emas itu sudah kosong, waaa... bagaimana sekarang? Tak
mungkin aku bisa mempertanggung jawabkan diri terhadap cengcu...."
Akhirnya
setelah termangu-mangu sejenak, dia tendang tubuh bocah itu dengan
gemas sambil umpatnya:
"Bocah
sialan, biar engkau dikubur bersama buli-buli kosong itu..."
Li
Wi takut kalau sampai perbuatan-nya membinasakan majikan mudanya
ketahuan orang, dan lagi buli-buli kosong itupun tak ada gunanya
lagi, maka setelah membuangnya kesisi bocah tersebut, dia segera
membalikkan badan dan kabur dari situ.
Siapa
tahu bocah itu bukan saja tidak mati, justru lantaran tendangan dari
Li Wi ini, maka peredaran darahnya yang semula tersumbat kini menjadi
lancar kembali,
Sebenarnya
setelah muntah daah segar tadi, bocah itu merasakan dadanya sakit
sekali sehingga jatuh tak sadarkan diri tetapi setelah Li Wi
melancarkan sebuah tandangan kearahnya, jalan darah yang semula
membeku segera menjadi lancar kembali, perlahan-lahan diapun sadar
kembali dari pingsan-nya.
Dia
merangkak bangun dari atas tanah, dilihatnya Li Wi telah berlalu dari
situ, sementara dia sendiri kecuali telah memuntahkan darah segur,
ternyata sekujur tubuhna sama sekali tidak mengalami perubahan
apapun.
Selelah
lama sekali termenung, ia baru menyadari apa yang barusan telah
terjadi, sambil menggertak gigi menahan rasa becinya, ia bersumpah
didalam hati:
"Bangsat
keparat, hari ini kau telah menghajar sauya mu sampai muntah darah
segar....Hmmm! Tapi ingat, suatu waktunya tiba, sauya mu sudah mampu
membalas dendam, akan kutagih hutangmu hari ini beserta rentenya...
Hmm. Bila sumpah ini tak kulakukan, jangan panggil lagi aku sebagai
Giam In kok!"
Buli-buli
emas itu segera diikatnya kembali dipinggangnya, tapi sebelum
meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba satu ingatan melintas dalam
benaknya:
"Bukankah
aku sudah mati satu kali? Apa perlu kutakuti lagi terhadap
orang-orang yang sudah mati itu?"
Maka
diapun berjalan kembali ketempat semula, kemudian dengan seksama
diperiksanya keempat sosok mayat yang tergelepar diatas tanah itu,
dalam sekilas pandangan saja ia sudah tahu kalau keempat orang itu
mati akibat dihajar orang.
Kemudian
diapun memeriksa mayat dari kedua orang kakek yang berdiri kaku
disitu, dia periksa seluruh tubuh orang itu, namun tak berhasil
ditemukan suatu sebab yang mengakibatkan kematian tersebut.
Rasa
ingin tahu semakin menganggu perasaan Giam In Kok, mendadak satu
ingatan melintas dalam benaknya, dia segera mendekati kedua orang
kakek itu dan menggeledah pakaian mereka.
Mendadak
sebuah senjata berbentuk telapak tangan terjatuh dari saku salah
seorang kakek itu, ketika dipungut kembali dan diamati dengan lebih
saksama, bocah tersebut segera merasakan hatinya tergetar keras.
Ternyata
bentuk dari telapak tangan itu persis sekali dengan lambang yang
tercantum dalam kertas yang ditemukan disisi buli-buli tadi.
Tanpa
terasa ia berseru tertahan:
"oooo...!
Rupanya locianpwe ini yang telah meninggalkan surat itu
kepadaku!"
Dari
nada pembicaraan Li wi tadi, ia semakin yakin bahwasan-nya kepala
kampung dari perkampungan Ang sin san ceng yang bernama Giam Ong-hui
itu sesungguhnya bukan ayah kandungnya.
Tanpa
terasa timbul rasa simpatiknya kepada kakek yang membawa senjata
berbentuk telapak tangan itu.
Dengan
penuh rasa hormat dia segera berlutut
didepan jenasah kakek itu serta manjalani penghormatan besar sebanyak
sembilan kali, gumamnya kemudian:
"Anak
In telah mendapat budi kebaikan dari cianpwee, biarlah anak In
membopeag tubuhmu kedalam gua,kau bisa beristirahat dengan tenang
disana...!"
Tapi
sebelum ia membopong tubuh Kakek tersebut kembali satu ingatan
melintas dalam benaknya, ia merasa berkewajiban untuk menyelidiki
lebih dulu asal usulnya.
Maka
dia pun memeriksa seluruh tubuh kakek itu untuk memeriksa apakah
masih terdapat sesuatu yang masih tertinggal disitu.
Ternyata
dugaannya memang benar, di dalam saku kakek itu dia berhasil
menemukan sejilid kitab, batang arang, beberapa lembar kertas serta
beberapa tahil uang perak, kecuali itu tidak terlihat benda lain-nya
lagi.
Kitab
itu segera dibuka dan diperiksa dengan teliti, pada halaman pertama
terbaca olehnya empat huruf besar yang bertuliskan:
"GIAM
TOK KANG CIAT atau pukulan baja Giam tok.
Gaya
tulisan-nya persis seperti tulisan yang ditemuinya diatas kertas
surat tadi, dan semakin dia mebalik-balik halaman berikutnya ternyata
isinya berupa serangkaian catatan mengenai ilmu silat yang disana
sini dilengkapi pula dengan pelbagai lukisan.
Walaupun
Giam In Kok merasa gembira sekali atas penemuannya itu, dan dia ingin
selekasnya mampelajari isi dari kitab silat tersebut, namun saat itu
ingatan-nya belum terpikirkan sampai kesana.
Pada
halaman yang ketiga belas, akhirnya bocah itu berhasil menemukan
beberapa tulisan yang berbunyi demikian:
"Dendam
tusukan pedang dapat ditahan dendam karena isteri direbut sukar
terlupakan, bila bersua kembali, akan kutuntut balas dendam kesumat
ini...."
Walaupun
beberapa patah kata tulisan itu sederhana sekali artinya, namun
bagi Giam In-kok justru seakan-akan anak panah yang menembusi ulu
hatinya, sekujur tubuhnya segera gemetar keras.
Tak
tertahankan lagi ia berteriak keras:
"Mungkinkah
orang tua ini adalah ayah kandungku?"
Dia
mencoba untuk menginsafi wajah si Telapak tangan sakti diri Giam tok
dengan seksama, lama kelamaan terasa olehnya walaupun muka itu penuh
kasih sayang tapi potongan mukanya masih terasa asing baginya.
Menjumpai hal ini, terpaksa diapun berdoa didalam hati:
"Cianpwee,
walaupun anak In hanya mempunyai seorang ibu, namun aku masih
mempunyai enam orang bibi. Seandainya cianpwee memang ayahku, harap
kau bersedia muncul kembali dalam impian malam nanti...."
Selesai
berdoa, dia masukkan kitab itu kedalam sakunya, mengikat senjata
telapak tangan baja dipinggangnya dan menyimpan uang perak kedalam
saku.
Kemudian
dia membuat sebuah liang kubur dan mengebumikan jenazah dari si
Telapak tangan sakti dari Giam tok dalam gua tersebut.
Setelah
itu diapun membuat sebuah batu nisan yang ditulis berapa huruf
diatasnya, tulisan itu berbunyi demikian:
"Disinilah
dikubur seorang cianpwee dari dunia persilatan, Giam-tok si telapak
tangan baja!"
Kemudian
bocah itu mendekati tubuh si monyet sakti dari selat Wu-nia ....
Dari
dalam saku kakek ini, dia berhasil mendapatkan sebilah pedang pendek,
sejilid kitab silat, beberapa butir mutiara dan beberapa tahil perak.
Sudah
berhasil mengenali asal usul kakek berwajah monyet ini, maka dia
pun menggubur mayat sambil mendirikan sebuah batu nisan dengan
tulisan berbunyi begini:
"Disini
diikubur La Khong, seorang cianpwe dari dunia persilatan"
Menanti
semua pekerjaan telah selesai di kerjakan, hari sudah mendekati sore,
bocah itu segera mencari buah-buahan di dalam hutan untuk mengisi
perut, kemudian membaca kitab pusaka yang ditinggalkan ke dua orang
jago tua tadi serta mulai belajar silat.
Matahari
malai condong di langit barat, sinar kemerah-merahan memancar keempat
penjuru memancarkan sinar yang makin redup.
Giam
In Kok, seorang bocah cilik yang baru berusia sepuluh tahun ternyata
dapat melatih diri dengan tekun dan seksama, dibawah timpaan cahaya
matahari yang makin redup, ia berlatih diri dengan tangan kanan
menggenggam telapak tangan baja, sementara tangan kirinya menggenggam
pedang pendek, gerakan tubuhnya amat gesit dan lincah tak ubahnya
seperti seekor monyet.
Kejadian
ini berlangsung pada hari ketiga setelah bocah itu minum cairan
kemala dari buli-buli emas tanpa sengaja serta mempelajari kepandaian
silat peninggalan dari kedua orang kakek itu.
Dengan
mengandalkan kecerdasan otaknya yang melampaui anak lain sebaya
dengan-nya serta dengan bakatnya yang bagus, ditambah pula berkat
bantuan dari kasiat cairan knmala buli-buli emas, biarpun baru
berlatih diri selama tiga hari, namun keberhasilan-nya yang dapat
dicapai benar-benar diluar dugaan.
Tiba-tiba
ia menarik kembali senjatanya kemudian berjalan menuju kedepan sebuah
pusara baru dan berlutut didepan-nya sambil bergumam diirnggi isakan
tangis yang menyedihkan hati:
"Ayah!
Semoga kau melindungi anak In agar ilmu silat yang kuperlajari dapat
cepat berhasil, bila anak In telah berhasil menguasai kepandaian
silat yang hebat, pasti akan kucari Giam Ong-hui si bajingan tua itu
dan membuat perhitungan dengannya, anak In bersumpah akan
menyelamatkan ibu dari lembah kesengsaraan....."
Selesai
berdoa dia berlatih kembali ilmu telapak tangan, ilmu pedangnya
dengan tekun, hingga tengah malam lewat dia baru beristirahat dibawah
sebatang pohon besar.
Saking
lelahnya bocah itu segera tertidur dengan nyenyaknya........
Entah
berapa lama sudah lewat.......
Mendadak
terdengar suara kicauan burung yang amat ramai mengejutkan Giam In
Kok dari tidurnya, ketika membuka matanya kembali, fajar telah
menyingsing diufuk timur, tanpa terasa dengan perasaan jengkel bocah
itu engumpat:
"Burung-burung
sialan...... ramai benar kalian ini...... aaai, sampai sauya mu tak
dapat tidur nyenyak....."
Tapi
baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, mendadak dari kejauhan sana
berkumandang datang suara bentakan yang amat keras:
"Siapa
yang sedang berbicara disana?"
Giam
In Kok sangat terperanjat, ia segera dapat mengenali kembali suara
itu sebagai suara dari Giam Ong-hui, cengcu dari perkampungan Ang
sim-aan yang dibenci itu.
Rasa
dendam dan hawa gusar segera berkobar didalam dadanya, coba kalau dia
tidak teringat bahwasanya kepandaian silat yang dimiliki belum cukup
lihay, niscaya orang itu sudah dilabraknya habis-habisan seperti
pemburu yang menjagal celeng-celeng di-dalam hutan.
Dengan
suatu gerakan yang amat lincah dia segera menyembunyikan diri di
balik hutan, dari situ dia mengintip keluar.
Tampak
olehnya Giam Ong-hui dengan dikelilingi oleh para tukang pukulnya
telah berdiri mengerumuni kuburan dari ke dua orang kakek dalam gua
tersebut.
Mendadak
terdengar salah seorang tukang pukulnya yang dikenal sebagai Hee
Kee-seng bertanya:
"Cengcu,
apa yang telah kau dengar?"
"Sungguh
aneh! Aku seperti mendengar binatang cilik itu seperti bercakap-cakap
didalam hutan"
"Aaaah!
tidak mungkin, sewaktu kutemukan dia lenyap hari itu, telah kucari
jejaknya disekeliling tempat ini sampai beberapa kali, terutama
sekitar hutan ini, namun tak sesosok bayangan manusia pun yang
berhasil kutemukan......mungkin.......mungkin cengcu sudah salah
mendengar!"
"Benar!"
sambung Li Wi pula dari samping, "ia sudah termakan oleh sebuah
pukulan ku yang sangat berat, kalau tak sampai mampus, kejadian ini
baru aneh namanya..... atau mungkin......jangan-jangan ia sudah
ditolong orang pintar serta disembunyikan di sekitar tempat ini?"
"Jangan
perdulikan dulu apakah seseorang disini atau tidak, yang penting kita
geledah dula sekitar tempat ini!" perintah Giam Ong-hui
kemudian.
Giam
In-kok yang mengikuti tanya jawab dari beberapa orang itu segera
merasakan hawa amarahnya berkobar didalam dada, kalau bisa, dia
ingin sekali memukul manusia she Giam itu serta menyiksanya
habis-habisan sampai orang itu mengatakan asal usulnya yang
sebenarnya....
Selama
berdiam didalam perkampungan Ang sim san ceng, walaupun ia belum
pernah mengalami perlakuan yang terlampau buruk, namun sikap serta
kata-kata para penghuninya yang dingin dan hambar telah mendatangkan
siksaan serta penderitaan yang tak terlukiskan.
Seandainya
dia tidak ditolong oleh ayahnya, si Telapak tangan baja dari Giam
tok, bukankah hingga kinipun dia masih menganggap bajingan itu
sebagai ayah?
Bocah
inipun tidak tahu permusuhan apakah yang sebetulnya terjalin antara
si Telapak tangan baja dari Giam tok dengan Giam ong hui, tapi
andaikata Giam ong hui tidak menghancurkan rumah tangga ayahnya lebih
dahulu, bagaimana mungkin dia bisa melarikan ibunya?
Membalas
dendam?
Ataukah
melarikan diri?
Dua
ingatan yang paling bertentangan itu dengan cepat melintas didalam
benaknya dan berputar sampai berapa ratus kali.
Setelah
ragu-ragu sejenak, akhirnya dia mengambil keputusan untuk melarikan
diri dari sana, sebab dengan ilmu silat yang baru saja diyakininya
bocah itu mengerti bahwa dia bukan tandingan dari orang-orang
tersebut.
Setelah
mendengus dingin bocah itu segera menyelinap keluar dari tempat
persembunyian-nya dan mcelarikan diri dari situ, untung saja tak
seorang manusiapun yang mengetahui jejaknya.
Sesudah
berada diluar hutan sana,
ia segera berlari secepat-cepatnya
meninggalkan tempat tersebut.
Entah
berapa lama sudah lewat, Giam In kok yakin telah menempuh perjalanan
sejauh seratus li lebih. sekarang sampailah dia di sebuah kota kecil.
Dengan
bekal uang yang diperolehnya dari saku Telapak sakti dan monyet sakti
berdua, dia membeli beberapa perangkat pakaian rombeng, sebuah
cangkul dan sepasang sepatu yang terbuat dari rumput, kemudian
selesai bersantap kenyang, dia mencari tempat yang sepi untuk
bertukar pikiran.
Kecuali
buli-buli emasnya masih dibiarkan tergantung dipinggangnya, boleh
dibilang bocah itu sudah sama sekali berubah dandanan, malahan
sewaktu dia bercermin di air, hampir saja dia menjadi pangling
sendiri.
Tanpa
terasa bocah itu berpikir sambil tertawa geli:
"Mulai
hari ini, siauya akan berganti nama menjadi Kok In hui, nama Hui akan
kupakai dipaling bawah, biar Giam Ong-hui si bangsat tua itu sial
terus menerus karena namanya "Hui" kuinjak-injak
dibawah...haaahh... haaaah... haaah... moga-moga
saja hatinya deg-deg-an terus dan tak pernah merasa tenang... orang
yang jahat macam dia memang sekali-kali biar tahu rasa...."
Jilid
: 2
BEGITULAH,
dengan berdandan sebagai seorang seorang bocah dusun, Giam In kok
mulai mengembara kesana kemari tanpa tujuan tertentu, setiap kali
bertemu dengan orang, dia selalu bertanya batu peringatan manakah
yang paling besar, setiap kali berada ditempat yang sepi dan
terpencil, diapun selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk
memperdalam ilmu silatnya.
Tanpa
terasa satu bulan sudah lewat......
Suatu
hari, sampailah bocah itu didepan sebuah kompleks tanah perkuburan
yang sangat luas, ketika bocah itu melihat salah satu diantara
kuburan itu mempunyai sebuah batu peringatan yang tinggi besiar
bagaikan sebuah bukit dengan tinggi dua kaki dan lebar delapan depa,
tanpa terasa teriaknya keras-keras:
"Hoooreee...........
aku berhasil menemukan batu peringatan yaug paling besar, benda
tersebut tentu berada disini...!"
Saking
gembiranya dia sampai berteriak keras, dengan cepat kuburan itu
didekati, ketika membaca tulisan yang tertera diatas batu nisan
tersebut, bocah itu segera mengetahui bahwa kuburan ini merupakan
tempat bersemayam dari seorang panglima perang yang termashur namanya
di negeri itu.
Dengan
cepat pikirnya:
"Andaikata
kitab pusaka ilmu silat itu di sembunyikan dalam kuburan panglima
perang ini, maka orang lain pasti tak akan menduga, bukankah tempat
ini aman sekali? Yaa, siapa pula yang berani menggali kuburan
panglima perang kenamaan? Haaaaahh... haaaaah... haaahh... bisa
kualat itu"
Setelah
memeriksa bahwa disekitar tempat itu tiada orang lain, maka bocah
itupun mulai menggerakkan cangkul yang telah disiapkan-nya dan
menggali kuburan tersebut.
Tak
selang beberapa saat kemudian, batu nisan yang amat besar itu sudah
berhasil dia bongkar, tanah di bawah batu nisanpun telah digalinya
sedalam berapa meter, namun tak secarik kertas pun yang berhasil di
temukan disitu.
Dengan
perasaan keheranan bocah itupun mengomel:
"Waaah...
kenapa tak ada kitabnya? sudah berapa bulan lamanya aku mengembara d
iseantero dunia persilatan, banyak sudah batu nisan serta batu
peringatan yang kujumpai, namun hanya batu nisan ini yang terhitung
paling besar.... aaah! Jangan-jangan masih terdapat batu peringatan
lain yang jauh lebih besar lagi?"
Karena
merasa kurang puas, bocah itupun melanjutkan kembali penggaliannya
membongkar bawah batu nisan tadi.
"Pencoleng
kecil!" tiba-tiba suara bentakan keras bergema datang dari arah
belakang, disusul kemudian terasa datangnya segulung angin desingan
tajam yaag mengancam tubuhnya.
Dengan
suatu gerakan yang amat cepat Giam In kok menghindar sejauh berapa
tombak kesamping ....
"Blaaaaaaaammmmm......!"
Ditengah
suara benturan yang amat keras, batu nisan itu terhajar seketika
secara telak oleh serangan yaag maha dahsyat itu hingga sama sekali
roboh keatas tanah.
Cepat-cepat
bocah itu berpaling kebelakang, dia lihat seorang kakek bertubuh
tinggi besar dan berwajah merah membara seperti kepiting rebus telah
berdiri dibelakangnya dengan wajah penuh kegusaran.
Tatkala
menyaksikan serangannya yang dahsyat mengenai sasaran yang kosong,
kakek itu merasa semakin gusar, kembali ia membentak:
"Bajingan
cilik, siapa namamu? Siapa yang menyaruh kau datang kemari untuk
mencuri batu nisan?"
"Heeeehh...
heeeehh... heeeeh... hey kakek, kau jangan marah dulu! Aku she Kok
bernama In hui, sesungguhnya tak ada orang yang menyuruh aku datang
mencari batu nisan, lagipula..... aku toh tidak bertampang seorang
pencuri kuburan?"
"Hmmmm!
Dengan mata kepala sendiri kusaksikan kau sedang membongkar
kuburan... masih mau menyangkal?"
Seraya
membentak, kakek bermuka marah itu kembali melancarkan sebuah pukulan
dahsyat kearah bocah tersebut.
Sebagaimana
diketahui, tujuan Giam In kok yang sebenarnya dalam usahanya
membongkar batu nisan itu adalah untuk mendapatkan kitab pusaka,
sudah barang tentu hal tersebut tak bisa diakuinya dengan begitu
saja, kendatipun dia telah dituduh sebagai seorang pencuri
sekarang......
Ibarat
orang bisu yang makan buah kemala, walaupun kepahitan namun tak dapat
mengutarakan penderitaannya itu.
Karenanya
begitu melihat datangnya ancaman tersebut, cepat-cepat dia berkelit
kaesamping, kemudian sambil memberi hormat serunya:
“Locianpwe....
kau jangan menyerang dulu! Aku benar-benar bukan pencari kuburan, aku
sama sekali tidak bermaksud untuk mencuri batu nisan itu!"
"Lantas
apa sebabnya kau bongkar batu
nisan
itu? Ayoh cepat jawab dengan
sejujurnya!"
"Aku.....
karena aku sering mendengar orang berkata bahwa dibawah batu nisan
kadangkala terdapat jinsom yang bisa menguatkan badan..... oleh sebab
itu... oleh sebab itu akupun membongkar batu nisan itu dengan harapan
bisa memperoleh jinsom yaag dimaksud, locianpwe! Ampunilah
jiwaku...."
Kakek
bermuka merah itu mendengus dingin, dengan sorot matanya yang tajam
bagaikan sembilu diawasinya bocah cilik itu beberapa kejap, mendadak
ia mendonggakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh...
haaahh... haaah... kukira siapa, rupanya kau si setan cilik! Ayoh
cepat menyerahkan diri kepadaku, segera akan kukirim dirimu pulang
ke perkampungan Ang sim san ceng... hmmm, benar-benar kurang ajar!
Berani amat kau membohong dihadapanku!"
"Eeei...
eeeei... nanti dulu kakek tua, kau jangan salah paham... perbuatanku
membongkar batu nisan memang berbuatan salah dan tercelah, aku pun
mau mengakui salah serta bersedia mengambalikan batu nisan itu ke
tempat semula... sedangkan mengenai perkampungan Ang sim san ceng...
aku benar-benar tak mempunyai hubungan apa-apa dengan mereka, kenapa
sih kakek mau menghantarku pergi kesitu?"
"Setan
cilik! Kau masih berani berbohong di hadapanku....? Kau berani
menggunakan nama orang lain untuk mengelabui diriku? Hmmm! Nyali mu
benar-benar amat besar, coba kau lihat buli-buli emas yang tergantung
dipinggangmu itu, inilah bukti yang paling jelas bagi identitasmu..."
"Cianpwee...
sudah berulang kali kukatakan bahwa aku sama sekali tak ada
hubungan-nya dengan perkampungan Ang sim san ceng, mengapa sih kakek
tak mau percaya juga? Sejak dilahirkan didunia ini aku sudah bernama
Kok In hui, lagipula buli-buli emas yang tergantung dipinggangku ini
adalah pemberian ayahku untuk di isi dengan air panas, mengapa kau
malah mengatakan buli-buli emas itu sebagai bukti identitasku.....
kakek kok aneh benar sih?"
"Huuuh,
omong kosong, ngaco belo tak karuan, kau anggap aku tak tahu siapakah
dirimu yang sebenarnya? Bahkan kau bernama Giam In kok?"
"Waaah...
Waaah... nampaknya si kakek semakin keblingar lagi, mana namaku Kok
Im hui dirubah menjadi Giam In kok... dan buli-buli emas disangka
buli-buli mestika..... jangan-jangan kakek sudah terlalu banyak minum
arak sehingga menjadi mabuk?"
Kakek
bermuka marah semakin naik darah, paras mukanya berubah menjadi merah
padam, segera bentaknya:
"Perduli
amat kau adalah Giam In kok atau Kok Im-hui, tapi yang jelas sebelum
kau tinggalkan selembar nyawa mu ditempat ini, jangan harap bisa
meninggalkan kuburan ini barang setengah langkah pun....!"
"Waaahh....
waaaah... kakek makin sinting tampaknya... kalau selembar jiwaku
mesti ditinggalkan disini,
bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan tempat ini? Lucu
amat sih kakek ini....?"
Setelah
berkata, bocah itu segara membalikkan
tubuhnya dan melarikan diri terbirit-birit
menuju kearah bukit.
Rupanya
Giam In-kok telah mengenali kakek itu sebagai salah seorang sahabat
dari bekas ayahnya, orang ini merupakan cengco ketiga dari
perkampungan Cian-liong san ceng dan
bernama Kim Ki-hong.
Sadar
kalau tenaga dalam maupun ilmu silat yang dimilikinya masih
bukan menjadi tandingan lawan, maka dia berusaha keras untuk
melepaskan diri dari penangkapan-nya.
Siapa
tahu, baru saja tubuhnya kabur sejauh sepuluh kaki lebih, tiba-tiba
tampak serentetan cahaya merah meluncur datang dari arah depan.
Dalam
gugupaya Giam In kok mengenali manusia berpakaian merah yang muncul
di hadapan-nya itu adalah saudara dari kakek pertama yang dijumpai
tadi, yakni cengcu kedua dari perkampungan Cian liong-san ceng yang
bersama Kim Ki hong, dia menjadi amat terperanjat.
Cepat-cepat
bocah itu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri menuju kedalam
hutan pohon pak yang berada didalam kompleks makam tersebut.
Baru
saja kakinya melangkah masuk kedalam hutan, tahu-tahu pandangan
matanya menjadi gelap.... ia merasa pandangan yang berada didepan
matanya sama sekali buram, bahkan secara lamat-lamat dapat merasakan
berhembusnya hawa dingin yang amat menusuk badan, membuat sekujur
tubuhnya mengigil keras.
Pada
saat inilah terdengar Kim Ki hong berseru sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Haaah...
haaah... haaaah setan cilik, siapa suruh kau memasuki barisan Lak jin
toa tin ku? Sekarang, keadaanmu tak ubahnya seperti katak yang masuk
kedalam tempurung.....Hmmmm! Coba kalau tidak mengingat diatas wajah
ayahmu, semenjak tadi sudah kucabut selembar jiwa kecilmu itu! Nah,
sekarang baik-baiklah berada di-dalam barisan itu sambil menahan
lapar, setelahku cukup menderita nanti, akan kuikat seluruh badanmu
kemudian akan kuserahkan kembali kepada ayahmu!"
Giam
In kok menjadi jengkel bercampur mendongkol, kontan saja dia mencaci
maki kalang kabut:
"Bajingan
tua she Kim, kalian hendak apakan sauya mu?"
"Kurang
ajar.... setan cilik, sialan benar kau, berani betul kau memandang
hina angkatan yang lebih tua," teriak Kim Ki-hong penuh amarah,
"tunggu sebentar, akan ku suruh kau rasakan dulu tiga ratus kali
pecutan kulit yang akan mencabik-cabik tubuhmu!"
Giam
In-kok semakin nekad, dia hendak balas caci maki lawan-nya itu dengan
kata-kata yang pedas, namun sebelum ia sempat membuka suara,
tiba-tiba disisi telinganya telah berkumandang suara bisikan
seseorang yang terasa masih asing baginya:
"Bocah
cilik, kau tak perlu bersilat lidah lagi dengan-nya, selama aku
berada disini, tak mungkin kau akan mengalami sesuatu apa-apa
jua......"
Suara
itu lembut dan amat lirih bagaikan dengungan nyamuk, namun jelas
sekali dalam pendengaran, Giam In kok mencoba untuk celingukan kesana
kemari, namum tak terlihat bayangan manusia yang ditemukan
disekeliling sana.
Bocah
itu segera mengerti bahwa disitu telah hadir seorang jago yang
berilmu tinggi, diam-diam ia menjadi girang setengah mati. Walaupun
begitu, diluarnya ia justru berlagak seolah-olah panik dan gugup....
Dalam
ada itu, dari luar barisan Lak jin toa tin itu terdengar kembali
suara dari Kim Tiong-hong sedang berseru:
"Siam
te! Siapa sih bocah cilik itu?"
"Kau
masih ingat dengan si bocah binal putra Giam Ong hui itu.....?"
"Kau
maksudkan bocah itu adalah Giam In kok?"
"Yaa
benar, kalau bukan dia lantas siapa lagi?"
"Aaaah!
Tidak mungkin, Giam In kok adalah seorang bocah yang masih kecil dan
lagi sama sekali tak bertenaga, bagaimana mungkin dia mampu untuk
merobohkan batu nisan yang beratnya mencapai tiga ribu kati itu?
Mustahil..... tak mungkia bisa terjadi.... atau mungkin kau sudah
salah melihat?"
"Ehmm,
kejadian ini memang agak aneh, tapi aku berani memastikan bahwa bocah
itu adalah putra Giam Ong hui.... lebih baik kita buat dia kelaparan
dulu selama tiga hari sebelum berbicara lebih jauh....."
Suara
pembicaraan itu makin lama bergema semakin jauh sehingga akhirnya
sama sekali tak terdengar lagi.
Giam
In-kok tahu bahwa orang-orang itu sudah pergi meninggalkan tempat
tersebut.
Pada
saat itulah terdengar suara bisikan tadi kembali
bergema disisi telinganya:
"Nah
bocah cilik, dengarkan petunjuk ku, sekarang.... maju tiga langkah
kemuka.... belok kekanan lalu maju delapan langkah.... setelah itu
belok kekiri dan maju dua langkah.... maju lagi setengah langkah ke
depan.... akhiraya belok lagi kekiri sebanyak sepuluh langkah...."
Keterangan
tersebut diberikan secara nyata dan jelas sekali, seakan-akan orang
yang memberi petunjuk berada dihadapan-nya saja.
Giam
In kok tidak ambil pusing apakah perkataan ini benar atau tidak, dia
segera mengikuti petunjuk itu dengan cepat.
Betul
juga, tak selang beberapa saat kemudian pandangan matanya menjadi
terang dan tahu-tahu ia sudah terlepas dari kepungan barisan
tersebut.
Seorang
kakek berdandan sebagai penjual obat sudah berdiri dihadapan-nya,
kakek itu berusia enam puluh tahunan dan membawa sebuah cangkul kecil
di tangan kirinya.
Sewaktu
melihat bocah itu sudah terlepas dari kurungan ilmu barisan Lak jin
toa tin itu, sambil tertawa segera ujarnya:
"Nak,
ikutilah aku!"
"Terima
kasih kakek, atas atas pertolonganmu!"
Dengan
cepat Giam In kok membuntuti dibelakang orang tua itu.
Gerakan
tubuh dari si kakek berdandan sebagai penjual obat itu benar-benar
cepat sekali, bagaikan hembusan angin puyuh dia berlarian terus
menuju ke depan, berada dalam keadaan demikian terpaksa Giam In kok
harus mengerahkan juga seluruh tenaga yang dimilikinya untuk
mengikuti dari belakang.
Kurang
lebih setengah jam kemudian, sampailah mereka berdua didalam sebuah
hutan yang amat lebat.
Pada
saat itu pula si kakek penjual obat menghentikan larinya dan memuji
sambil tertawa:
"Anak
kecil, kau memang hebat sekali!"
Giam
In kok tahu bahwa si kakek penjual obat ini sudah menyelamatkan
selembar jiwanya dari ancaman, andaikata bukan orang tua ini yang
memberi petunjuk kepadanya sehingga dia berhasil meloloskan diri
dari kurungan ilmu barisan Lak jin toa tin, niscaya ia akan ditangkap
dan dikirim kembali ke perkampungan Ang sim san ceng.
Berada
dalam keadaan seperti itu, sudah dapat dipastikan pula bekas ayahnya
tak akan mengampuni dengan begitu saja.
Maka
cepat-cepat ia maju ke muka dan memberi hormat, katanya kemudian:
"Locianpwee,
berkat bantuan cianpwee aku telah berhasil melepaskan diri dari mara
bahaya, untuk itu aku Kok In hui mengucapkan banyak terima kasih
untuk bantuan cianpwee itu....."
"Betulkah
kau bernama Kok In hui?" tukas si kakek penjual obat itu secara
tiba-tiba sambil tertawa.
Giam
In Kok segera merasa tak pantas untuk membohong dihadapan tuan
penolongnya, mendengar ucapan tersebut buru-buru sahutnya:
"Namaku
yang sebenarnya adalah Giam In kok, tapi berhubung keluargaku sudah
tertimpa musibah, maka akupun berganti nama menjadi Kok In hui untuk
mempermudah perjalananku dalam berkelana didaiam dunia persilatan!"
"Kalau
begitu kau memang benar-benar adalah putra dari si ular emas bayangan
darah Giam ong hui dari perkampungan Ang sim san ceng.....?"
Dengan
perasaan apa boleh buat terpaksa Giam In kok mengangguk berulang
kali.
"Musibah
apa sih yang telah menimpa keluargamu?" tanya si kakek penjual
obat itu dengan nada tercengang, "mengapa pula ayahmu mengutus
begitu banyak jagonya untuk mencari jejakmu diempat penjuru? bahkan
aku dengar sampai dia sendiripnn telah ikut munculkan diri didalam
dunia persilatan?"
"Persoalan
ini mempunyai sangkut paut yang amat besar dengan urusan pribadiku,
karenanya bolehkah kutanya siapa nama kakek terlebih dulu?"
"Oooh,
aku she Gak....."
"Aaaaah,
jadi kau orang tua adalah Gak Pun leng, si tabib sakti dari bukit
Lam-san?"
"Haaahh....
haaahhh... haaahh... sebutan tabib sakti tak berani ku terima,
padahal aku hanya mengerti sedikit tentang ilmu obat-obatan!"
"Waaah...
kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat... berbicara tentang
musibah yang menimpa keluargaku, sebetulnya sulit sekali bagiku untuk
membuka suara, yaa...... sesungguhnya Giam Ong-hui bukanlah ayah
kandungku sendiri, itulah sebabnya terpaksa aku harus minggat dari
rumah!"
"Apa
ada kejadian seperti ini? Darimana kau
mendengar berita tersebut?"
Namun
setelah menyaksikan air mata yang jatuh bercucuran membasahi wajah
bocah tersebut, ia segera berkata lebih lanjut:
"Kalau
kau toh tak ingin berbicara, ya sudahlah, aku sendiripun tak suka
mencampuri urusan orang lain, aku hanya ingin bertanya satu hal lagi
kepadamu, apa maksud serta tujuanmu membongkar kuburan keluarga Kim
dari perkampungan Cian liong san ceng....?"
"Aku
ingin mencari jinsom berusia seribu tahun untuk membantu tenaga
dalamku agar semakin sempurna!"
Mendengar
perkataan itu, Gak Pun leng segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah...
haaah... haaah... kau keliru besar nak, kalau ingin mencari jinsom
yang berusia seribu tahun sehingga bisa menambah kekuatan badan mu,
maka kau harus mencarinya dilembah yang terpencil atau hutan yang
jauh dari keramaian manusia, masa kau malah mencarinya dalam kuburan
nenek moyang orang? Hanya saja.... kekeliruanmu saat ini sesungguhnya
ada juga benarnya, ketahuilah liang kubur dari nenek moyang keluarga
Kim ini disebut pula sebagai memeluk bulan dalam rangkulan,
konon dimasa lalu Cing-khu singjin pernah memendam kitab pusaka Ceng
khu hun pit nya disekitar liang kubur tersebut. Tentu saja dengan
kemampuan yang kau miliki sekarang masih belum dapat menandingi
ketiga orang jago tua dari perkampungan Cian liong san ceng tersebut,
tapi kau tak usah kuatir! Selama aku masih tetap mendukungmu, maka
merekapun tak akan bisa mengapa-apakan dirimu, mumpung ada kesempatan
yang sangat baik, mari kita turun tangan bersama-sama untuk
mendapatkan kitab pusaka itu."
Ketika
mendengar bahwa kitab pusaka Cing khu hun pit benar-benar berada
disekitar tempat ini, Giam In-kok menjadi kegirangan setengah mati,
buru-buru serunya:
"Aku
siap mendengarkan petunjuk dari kakek!"
"Baiklah!
Aku akan memberi pelajaran beberapa macam ilmu barisan lebih dulu
kepadamu serta dasar dari tenaga dalam, setengah bulan kemndian
dikala malam sangat gelap, kita baru pergi menggali kuburan itu....."
Mendengar
kakek itu hendak mewariskan ilmu silat kepadanya, Giam In kok menjadi
sangat kegirangan, cepat-cepat dia memberi hormat.
Sambil
mambangunkan si bocah itu dari atas tanah, Gak Pun-leng kembali
berkata:
"Aku
sama sekali tidak bermaksud untuk menerimamu sebagai murid, nak kau
tak usah banyak adat....!"
Kemudian
dari dalam sakunya dia mengambil keluar sejilid kitab tebal serta
sebungkus obat, lalu sambil diserahkan kepada Giam In-kok katanya
lebih jauh:
"Berhubung
kulihat bakatmu sangat baik, maka sengaja hendak kuwariskan ilmu
obat, ilmu barisan serta ilmu pertabiban kepada mu, kitab tersebut
berisikan catatan dari semua kepandaian yang kumiliki, kupinjamkan
kepadamu selama setengah bulan, sedang obat yang berada dalam
bungkusan itu berisikan obat penyalin rupa, warnanya beraneka ragam
dan setiap butir obat itu bisa bertahan selama setengah bulan, bila
mau dipakai, campurkan saja kedalam air lalu ulapkan keatas wajah
atau badan, maka warna wajah dan tubuhmu akan segera berubah.....!"
Sambil
mengucapkan banyak terima kasih, Giam In kok memasukkan benda-benda
itu kedalam sakunya, kemudian baru bertanya lagi:
"Locianpwee,
sekarang kau hendak pergi kemana? Setengah bulan kemudian aku meski
menunggumu di mana?"
"Terang
saja ditempat ini, tapi ingat baik-baik! Simpan kitab catatan itu
baik-baik dan jangan sampai....."
Mendadak
terdengar suara tertawa ringan berkumandang datang dan memecahkan
keheningan.....
Gak
Pun leng segera membentak:
"Siapa
di situ?"
Dengan
suatu gerakan yang amat lincah dan cepat dia melompat naik ke atas
sebatang pohon darimana suara tadi berasal.....
"Braaaakk.....!"
Pukulan
maha dahsyat yang dilancarkan olehnya segera menggugurkan daun dan
ranting dari pohon tersebut, namun tak seorang manusia pun yang
kelihatan.
Gak
Pun leng kelihatan agak tertegun sejenak, kemudian setelah memandang
sekeliling tempat itu dengan sorot mata yang tajam, dia melayang
turun kembali ke atas tanah.
Mendadak
dari arah yang berlawanan bergema kembali suara ejekan yang kali ini
disertai dengan gelak tertawa ringan:
"Bajingan
tua, kau benar-benar seorang manusia tak tahu malu..... berani amat
kau catut nama orang!"
Gak
Puan-leng kelihatan-nya terkejut sekali setelah mendengar perkataan
itu, segere bentaknya lagi keras-keras:
"Jago
lihay dari manakah yang telah berkunjung datang? Mengapa tidak
segera tunjukkan dirimu......?"
Belum
selesai perkataan ini diucapkan, mendadak dari arah depan sana
telah meluncur datang sesosok bayangan manusia dengan kecepatan luar
biasa.
Gak
Pun-leng menjerit tertahan, tiba-tiba dia membalikkan badannya dan
melarikan diri terbirit-birit menuju kedalam hutan, saking gugupnya
dia sampai lupa membawa cangkul obatnya....
Giam
In Kok jadi melongo dan berdiri mematung, dia tak habis mengerti
melihat sikap Gak pun leng yang tampak seperti ketakutan sekali, dia
pun tak tahu mengapa kakek yang mengaku bernama Gak Pun leng itu
melarikan diri terbirit-birit.....
Baru
saja dia membungkukkan tubuhnya hendak mengambil cangkul obat
tersebut dari atas tanah, mendadak terdengar orang yang baru saja
munculkan diri itu berseru keras:
"Tunggu
sebentar nak!"
Giam
In Kok segera menarik kembali tangan-nya sambil mendongakkan
kepalanya, seorang Kakek yang berwajah saleh dan ramah telah muncul
dihadapan-nya.
Kakek
itu memandang sekejap ke arah Giam In Kok, lalu katanya sembari
tertawa:
"Bocah
cilik, kau sudah tertipu, tapi aku tidak akan menyalahkan kau....
tahukah kau kemana larinya, Gak Pun leng gadungan itu....?"
"Gak
Pun leng gadungan? Kakek maksudkan dia cuma mengaku-ngaku bernama Gak
Pun-leng padahal bukan? Dari mana kakek bisa tahu.....?"
"Sebab
akulah Gak Pun leng yang sebenarnya, orang tadi bernama Kang yong
dengan julukan Siau li cong to (dibalik tersembunyi golok), bulan
berselang disaat aku sedang tak ada dirumah, dia telah menipu muridku
serta mencuri cangkul mestika obat-obatan serta sebuah kitab catatan,
gara-gara ulahnya ini aku harus lari pontang panting kesana kemari
untuk mencari jejaknya... tak kusangka bajingan itu licik dan cerdik
bagaikan seekor rase, lagi-lagi dia berhasil melarikan diri dari
cengkeramanku!"
Dari
keadaaa Kang Yoag yang mengenaskan ketika melarikan diri tadi, Giam
In kok percaya bahwa perkataan dari kakek ini memang benar, maka
sambil mengeluarkan barang-barang hadiah dari Kang yong tadi, katanya
lagi sambil tertawa:
"Gak
cianpwee, barang-barang inikah yang sedang kau cari? Silahkan kau
terima kembali!"
Gak
Pun-leng menerima benda-benda itu dan memeriksa sekejap kitab catatan
tersebut, kemndian baru menyahut:
"Yaa,
betul! Benda ini memang milikku. Nak, kau memang seorang bocah yang
amat jujur, hanya saja catatan tentang hawa khi kang ini milik Kang
Yong.... Perjumpaan kita kali ini boleh dibilang berjodoh, bagai mana
kalau dalam setengah bulan mendatang kuwariskan kepandaian silatku
ini kepadamu?"
Buru-buru
Giam In kok maju kedepan memberi hormat sambit mengucapkan terima
kasih, disamping itu pun dia menceritakan kembali pengalaman-nya
sejak bertemu dengan Kang Yong barusan.
Selesai
mendengar kisah tersebut, Gak Pun leng segera berkata:
"Aaaah....
tak aneh kalau dia mencari cangkul obatku ini, rupanya dia hendak
mempargunakan cangkulku ini untuk membongkar kuburan Gui-ong!"
"Cianpwee.....!
Cangkul milikmu itu kan cuma bisa dipakai untuk mencangkul
obat-obatan? Kenapa ia mesti mencuri cangkul itu untuk membongkar
kuburan?"
"Kuburan
dari raja Gui-ong terbuat dari baja murni dan hanya cangkul geledek
milikku saja yang dapat menghancurkan lapisan baja murni tersebut,
tentu saja golok mestika atau pedang mestika dapat juga dipakai untuk
membelah baja murni, tapi hal ini membutuhkan banyak tenaga....
itulah sebabnya ia menjadi nekad untuk mencari cangkulku.
Tapi....sungguh aneh sekali, masa didalam kuburan raja Gui ong
benar-benar terdapat kitab pusaka Cing khu hun pit....?"
"Kalau
tidak tersimpan didalam kuburan raja Gui-ong, lantas kitab pusaka
Cing khu hun pit tersebut berada dimana?"
"Bagaimana
aku bisa tahu kitab pusaka tersebut dipendam dimana? Tapi yang jelas
Cin khu sangjin baru mati seratus tahun berselang, sebaliknya raja
Gui ong sudah berapa ratus tahun berselang menemui ajalnya, bagaimana
mungkin didalam kuburannya telah muncul kitab pusaka? Entah siapa
yang telah menyebar luaskan kabar berita tersebut? Benar-benar suatu
perbuatan konyol."
Giam
In kok sendiripun menjadi geli sekali setelah mendengar perkataan
itu, akan tetapi ia telah yakin bahwa kitab pusaka Cing khu hun pit
tersebut berada dibawah batu nisan atau peringatan lainnya, sebab
kitab pusaka tersebut berpengaruh besar sekali terhadap usahanya
untuk membalas dendam dikemudian hari, maka dari itu rahasia tersebut
tidak sampai diutarakan keluar dengan begitu saja.
Demikianlah
selama setengah bulan berikut, Giam In kok mendapat tambahan
pelajaran ilmu silat dari Gak Pun-leng, dasar tenaga khi kang yang
dimiliki bocah itupun menjadi bertambah kuat, betul diantara mereka
sama sekali tiada ikatan sebagai guru dan murid, namun tak urung
kemajuan yang berhasil dicapai bocah tersebut membuat Gak Pun-leng
menjadi kegirangan setengah mati.
"Nak!"
ujarnya kemudian, "tenaga dalam yang berhasil kau peroleh saat
ini telah cukup untuk menahan serangan dari seseorang yang memiliki
tenaga dalam sebesar tiga puluh tahun hasil latihan, apabila kau
bersedia melatih diri dengan lebih tekun lagi, maka tidak sulit
bagimu untuk mencapai tingkatan yang jauh lebih tinggi lagi. Sekarang
aku harus pergi melihat Kang Yang membongkar kuburan untuk mengantar
kematian-nya, nah terimalah sebutir mutiara penolak racun ini sebagai
tanda mata diriku.... apabila kita memang berjodoh, dikemudian hari
tentu akan saling berjumpa kembali!"
Walaupun
Giam In-kok merasa berat hati untuk beipisah dengankakek yang baik
hati ini, akan tetapi bila teringat bahwa dia harus mencari kitab
pusaka Cing khu hun pit demi keberhasilan-nya membalas dendam
dikemudian hari, terpaksa dengan berat hati merekapun saling
berpisah.....
Sejak
saat itulah Giam In-kok kembali mengembara seorang diri didalam dunia
persilatan.
Tanpa
terasa satu tahun kembali sudah lewat....
Didalam
satu tahun ini, entah sudah berapa banyak boan-pay atau batu nisan
serta batu-batu peringatan lain-nya yang dibongkar orang, malahan
batu peringatan di pagoda Gan-tha dalam kota Tiang-ang serta tugu
peringatan Hong leng di bukit Bong-san di luar kota Lok yang pun
telah dibongkar orang.
Namun
selama ini juga, Giam In kok yang melakukan pembongkaran demi
pembongkaran selalu sama mengalami nasib yang sial, setiap kali ia
membongkar batu-batu peringatan atau batu-batu nisan itu, ia selain
gagal menemukan kitab pusaka Cing khu hun pit yang sedang
dicari-cari.....
Ada
kalanya dia sampai berpikir demikian:
"Atau
jangan-jangan di suatu tempat terdapat sebuah daerah yang berupa Toa
sik pit?"
Andaikata
Toa sik pit benar-benar nama sebuah daerah, itu berarti Giam In Kok
telah membuang waktu hampir setahun lamanya dengan sia-sia, hanya
untungnya saja dalam setahun itu pula, dia tak pernah lupa menekuni
ilmu tenaga dalam, ilmu pukulan serta ilmu pedangnya sehingga
kemajuan yang dicapai pun amat pesat.
Selama
ini, sebagian besar waktunya telah dihabiskan pula ditengah
pegunungan atau daerah yang terpencil, bukan saja seratus tahil uang
emas dan beberepa butir mutiara yang tak sempat digunakan, bahkan
berapa puluh tahil perak yang tersisa pun belum sampai terpakai
habis.
Suatu
hari, sampailah bocah itu di kota Lok-yang, karena merasa perutnya
lapar maka dia pun segera memasuki sebuah rumah makan yaag besar
dengan memakai merek "Hui peng loo".
Sementara
itu, tamu yang sedang bersantap dalam rumah makan itu sudah hampir
memenuhi seisi ruangan.
Giam
In Kok segera masuk ke dalam ruangan dan mencari tempat duduk, baru
saja selesai memesan hidangan, tiba-tiba ia mendengar ada seseorang
sedang berbicara dengan suara lantang:
"Dalam
perjalanan pulangku setelah mengawal barang antaran ke Kang-lam kali
ini, telah kudengar kejadian yaag aneh sekali...."
"Kejadian
aneh apa?" tanya suara lain dengan cepat.
"Aku
dengar, pada tahun berselang Kim cengcu dari perkampungan Cing liong
san ceng telah memerintahkan anak buahnya secara tiba-tiba untuk
membongkar kuburan dari nenek moyangnya, aku dengar dia sedang
mencari sejilid kitab pusaka yang bernama Cing khu hun pit...."
"Apakah
kitab pusaka itu teah berhasil ditemukan?"
"Kalau
berhasil ditemukan sih masih mendingan....! Aku dengar, bukan saja
kuburan nenek moyangnya yang dibongkar, malahan tengkorak leluhurnya
pun ikut dibongkar sampai tak karuan lagi wujudnya, setengah bulan
lamanya mereka bekerja keras memporak-porandakan kompleks tanah
pekuburan leluhurnya itu dan akhirnya muncul seorang Kakek yang
mengucapkan beberapa patah kata kepada mereka, ketika mendengar
perkataan tersebut, dia pun segera memerintahkan kembali anak buahnya
untuk membetulkan kuburan tersebut!"
Gelak
tertawa yang amat keras segera Menggelegar memecahkan keheningan.....
Giam
In kok yang ikut mendengar pembicaraan itu segera turut kegelian
pula, dia pun tertawa terkekeh-kekeh.
"Walaupun
kejadian ini cukup aneh," ujar seseorang lagi dengan suara yang
lantang, "namun tak seaneh kejadian yang telah berlangsung
ditempat ini!"
"Kenapa?"
"Setiap
bong-pay pada kuburan-kuburan kuno diatas bukit Pak bong san yang
tingginya melebihi orang, ternyata telah digali orang....!"
"Masa
ada orang yang hendak mencari batu-batu nisan itu untuk dijual?"
"Aaaaaah!
Tidak mungkin, kalau menuruti bekas-bekas yang tertinggal ditempat
kejadian, jelas terlihat bahwa batu-batu nisan yaag amat besar itu
telah dirobohkan seseorang untuk kemudian didirikan kembali ketempat
asalnya, mungkin orang yang melakukan pekerjaan itu sudah edan!"
"Waaaah.....kalau
begitu peristiwa tersebut memang benar-benar sangat aneh, aku dengar
di kota Tiang an pun telah terjadi peristiwa yang sama!"
"Kalau
dibilang semua kejadian yang di lakukan seseorang yang sama, sudah
jelas tenaga dalam yang dimiliki orang itu mengerikan sekali,
bayangkan saja, batu-batu peringatan serta tugu-tugu itu beratnya
mencapai dua tiga ribu kati lebih, memang gampang saja untuk
merobohkan-nya, tapi kalau harus mendirikan-nya kembali..... waaah,
sulit sekali rasanya, kejadian ini memang mustahil rasanya bisa
dilakukan oleh orang yang sama!"
"Eeeee....
jangan-jangan orang tersebut sedang mencari sesuatu benda?"
"Aku
dengar di wilayah Kang lam pun terjadi pula peristiwa yang sama,
benar-benar aneh sekali...."
"Diantara
sekian banyak tugu peringatan yang besar serta batu-batu nisan yang
berat..... rasanya hanya kedua batu raksasa diluar pintu kota Kim
leng yang beratnya mencapai berapa laksa kati, kalau toh orang itu
suka menggali! barang-barang yang berat, mengapa tidak ia bongkar
batu-batu raksasa tersebut?"
Mencorong
sinar tajam dari balik mata Giam In kok setelah mendengar pembicaraan
tersebut, hatinya terasa berdebar sangat keras, pikirnya kemudian:
"Aaah...
! Aku mesti berterima kasih sekali atas petujuk dari orang ini..."
Dalam
pada itu, seorang jago kangouw lain-nya yang berada disisi meja telah
berkata pula sambil tertawa:
"Liok
toakio, kau tak usah mengibul, masa dikolong langit benar-benar
terdapat tugu peringatan yang beratnya mencapai sekian pulah laksa
kati?"
"Aku
berasal dari kota Kim leng, bagaimana mungkin tidak tahu? Batu
peringatan itu tingginya mencapai sepuluh kaki dengan lebar tiga
empat puluh kaki, tebalnya lebih dari satu kaki, biarpun yang satunya
agak kecilan, itupun tidak terlalu kecil, kau tahu tempat dupa serta
tempat lilin-nya saja mempunyai ketinggian seperti rumah bertingkat
dua..."
"Aaaah,
masa iya?"
"Jika
kau tak percaya, silahkan untuk pergi membuktikan sendiri, konon batu
peringatan itu didirikan olah Lau Pak-un karena kuatir terjadi
pemberontakan di bukit Gan siu san dimasa lalu, maka ia memohon
kepada kaisar Tay cou untuk menindas niat tadi dengan membangun batu
peringatan tersebut, siapa tahu setelah batu peringatan itu selesai
dibuat, lantaran beratnya luar biasa sehingga tak berhasil untuk
diangkut pergi. Akhirnya benda itupun masih tetap berdiri didalam
lembah bukit antara pintu Yan hua bun dengan pintu Ki-lin hun, dan
menjadi atraksi menarik bagi kota Kim leng."
Sampai
disini, Giam In kok tidak bernapsu lagi untuk mendengarkan
pembicaraan tersebut lebih jauh, dia segera membayar rekaningnya dan
secara langsung berangkat menuju ke kota Kim-leng.
Setelah
menempuh perjalanan selama beberapa hari, tibalah Giam In kok di kota
Kim leng.
Ia
temukan bahwa batu peringatan tersebut memang benar-benar besar
sekali, diantara kaki batu peringatan tersebut
terdapat beberapa buah gua yang tersembunyi sepanjang batu tadi,
sebagian kecil berhubungan langsung dengan dasar batu gua tersebut,
sementara didalam gua-gua yang lain
telah dipakai sebagai tempat tinggal sekelompok pengemis.
Menyaksikan
keadaan tersebut, satu inngatan segara melintas dalam benak Giam In
kok, diambilnya keluar sekeping uang emas seberat dua pulah tahil,
kemndian sambil berjalan menghampiri kawanan pengemis itu katanya
sambil tertawa:
"Uang
emas ini akan kuhadiahkan untuk kalian semua, tapi dengan syarat
kalian harus menyingkir selama tiga hari dari tempat ini, apakah
kalian bersedia?"
Tiba-tiba
melompat keluar seorang pengemis bertubuh tinggi kekar dari antara
kelompok pengemis tersebut, dengan gusar ia segera berteriak keras:
"Anak
jadah keparat! Kau hendak mengunakan uang
logam emasmu itu untuk membeli
markas besar perkumpulan Kay-pang kami yang bersejarah ini? Sialan
benar, perbuatanmu ini betul-betul kurang ajar...."
"Aku
toh tidak memaksa kalian harus pergi diri situ, kalau memang bersedia
menyingkir selama tiga hari, pergi saja dari sini sambil menerima
uangnya, kalau ogah, yaa sudahlah asal katakan secara terus terang,
mengapa sih kau malah mengumpat orang se-enaknya sendiri?"
Giam
In Kok benar-benar merasa gusar
sekali.
"Kalau
aku senang mengumpatma sebagai si anak jadah keparat, mau apa
kau.....?" tantang pengemis tadi semakin bertambah garang.
Giam
In kok benar-benar naik darah, mendadak ia menerjang maju ke depan
dan melontarkan sebuah jotosan kilat ke aeah pengemis itu....
"Duuukk.....!"
Tak
pelak batang hidung si pengemis termakan oleh sebuah jotosan secara
jitu.
Suasana
menjadi sangat gempar, diantara teriakan-teriakan gusar kawanan
pengemis itu, tiba-tiba muncul lagi seorang pengemis yang lain sambil
berteriak marah:
"Siapa
kau? Berani amat mencari gara-gara dan membuat keonaran di tempat
ini?"
"Hmmm,
siapa suruh dia mengumpat orang lebih dahulu?"
"Aku
tak mau tahu dengan persoalan itu, aku cuma ingin bertanya, siapakah
kau"
Giam
In Kok mendengus dingin.
"Hmmm!
kau masih belum pantas untuk
mengetahui nama serta asal usul
sauyamu!"
Begitu
selesai berkata, dia segera
membalikkan badan dan beranjak
pergi dari situ.
"Berhenti!"
Dengan
wajah merah membara karena marah pengemis itu membentak keras,
tubuhnya secepat kilat melejit ke depan dan menghadang jalan pergi
bocah itu, kemudian serunya lagi sambil tertawa dingin:
"Bocah
keparat, kau sudah salah melihat orangg rupanya. Hmmm! Tempat ini
merupakan markas besar perkumpulan Kay-pang untuk kota Kim leng,
bukan rumah pribadi peninggalan nenek moyangmu..... jangan lagi
cecunguk macam kau, sekali pun sang kaisar yang datang sendiri ke
tempat inipun tak akan bisa pergi dengan begitu saja..... Huuuh,
jangan kau anggap setelah belajar ilmu silat selama beberapa hari,
maka kau boleh main kasar dan berbuat semena-mena di tempat ini.
Ikuti saja nasehatku, lebih baik cepat-cepat menyerah diri saja...."
"Omong
kosong! Lihat saja kalau siauya mau pergi, apakah kalian memang mampu
menghalangi niatku ini?"
Tatkala
masih berada di perkampungan Ang sim san ceng tempo hari, seringkali
ia mendengar orang bercerita bahwa Kay-Pang merupakan perkumpulan
yang paling susah dilayani, oleh sebab itu ia segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat tersebut....
Siapa
tahu baru saja ia melewati hiolo raksasa tempat dupa, dari atas
tempat lilin raksasa dihadapannya telah terdengar suara bentakan
keras:
"Kembali
kau!"
Bersamaan
dengan menggemanya bentakan itu, tampak sesosok bayangan manusia
berkelebat lewat.
Merasakan
datangnya gulungan tenaga pukulan yang begitu dahsyat mengancam
dadanya, serta, merta Giam In-kok membalik kan telapak tangan-nya
sambil melakukan tangkisan.
"Blaaaammmm.........!"
Benturan
keras yang amat momekikkan telinga segera bergema memecahkan
keheningan.
Termakan
oleh angin pukulian Giam In-kok yang amat sempurna, orang itu segera
mencelat jauh berapa tombak kebelakang, berada ditengah udara orang
itu berjumpalitan berapa kali kemudian melayang turun kembali keatas
tanah.
Setelah
memperhatikan sekejap lawan-nya dengan sorot mata yang bengis,
tiba-tiba ia berteriak lantang:
"Atur
barisan Su bun
tin!"
Kemudian
sambil tertawa dingin katanya lagi:
"Bocah
keparat, tak kusangka kau mempunyai kepandaian yaag begitu hebat, tak
heran kalau lagakmu sombongnya bukan kepalang. Hmmm! Kalau memang
bernyali, ayoh sambutlah sebuah pukulanku lagi!"
Walaupun
tangkisan yang dilakukan Giam In kok tadi dilakukan dalam keadaan
gugup, sesungguhnya ia telah menggunakan tenaga dalamnya sebesar lima
bagian.
Melihat
musuhnya cuma tergetar mundur sejauh berapa kaki saja akibat pukulan
dahsyatnya, sadarlah bocah ini bahwa kepandaian silat yang dimiliki
lawannya tidak lemah.
Bocah
itu tak ingin menanam bibit permusuhan dengan musuh yang tangguh
macam ini, maka cepat-cepat ia memberi hormat seraya berkata:
"Sesungguhnya
aku sama sekali tak bermaksud mengikat tali permusuhan dengan pihak
Kay-pang, tadi aku hanya bermaksud meminjam tempat ini selama
beberapa hari saja, lagipula aku pun tidak tahu kalau tempat ini
sesungguhnya merupakan markas dari kaum gembel, andaikata seorang
rekanmu tidak memaki aku lebih dulu, tentu aku pun tak akan turun
tangan..... mengapa sih kau memaksaku terus menerus?"
"Sebenarnya
siapakah kau?"
"In
Kok-hui!"
"In
Kok hui? belum pernah kudengar nama ini...."
"Thi
huhoat!" tiba-tiba terdengar seorang pengemis berteriak keras,
"bisa saja bocah keparat ini adalah Giam In Kok yang telah
minggat dari perkampungan Ang sim san ceng, andaikata kita berhasil
menangkapnya kemudian diserahkan kepada Giam cianpwee, siapa tahu
kalau kita bakal mendapat pahala besar?"
Thi
huhoat dari Kay-pang berpikir sebentar kemudian manggut-manggut,
katanya kemudian:
"Hey
anak kecil, benarkah kau bernama Giam In Kok yang kemudian kau rubah
menjadi Kok In hui?"
"Aku
toh berasal dari marga In, sedangkan Giam In Kok dari marga Giam,
bagaimana mungkin kerbau kau samakan dengan kuda? Opo tumon?"
"Lantas
siapakah gurumu?"
“Aku
tak punya guru!"
"Siapakah
ayahmu?"
Giam
ia Kok agak tertegun lalu menggelengkan kepalanya lagi.
Gelak
tertawa yang amat keras segera meledak memecahkan keheningan,
ditengah suara tertawa itu terdengar seorang pengemis berteriak
dengan suara lantang:
"Haaaaah...
haaah... haaah... ternyata dia memang seorang anak jadah... haaah...
haaahh... dasar anak jadah, tak aneh kalau dia kurang ajar dan tak
mengenal sopan santun....."
Dengan
penuh amarah Giam In kok segera berpaling, ternyata pengemis yang
sedeng berkaok-kaok itu tak lain adalah pengemis yang kena ditonjok
hidungnya tadi.
Dengan
amarah yang meluap segera teriaknya:
"Kalau
berani ayoh keluar, aku akan menghadiahkan sebuah tonjokan lagi
keatas congor babimu itu!"
"Kau
tak usah banyak berbicara lagi", tukas Thi huhoat dengan suara
dingin, "kalau memang ingin keluar dari slini, silahkan kau
terjang dulu kelima pos kami, atau kalau tidak berani, silahkan
mencicipi dula tiga ratus gebukan dengan tongkat penggebukanjing,
setelah itu kami akan mengundang kedatangan angkatan tua mu untuk
menjumpai kami!"
“Bagus
sekali, kalau begitu silahkan
kau segera lancarkan
serangamu...."
"Baik!"
Dengan
sebuah jurus serangan angin hujan
membasahi badan ia terjang bocah
itu dengan sebuah pukulan dahsyat, tampaklah
dari empat arah delapan penjura
bermunculan bayangan telapak yang berlapis-lapis dan menyarang tiba
secara bertubi-tubi.
Giam
In-kok tertawa cekikikan, dia memutar kepalanya sambil menangkis
datangnya
ancaman tersebut, kemudian secara tiba-tiba tubuhnya melompat
setinggi tiga kaki ketengah udara, dari situ ia berjumpalitan
beberapa kali diudara dan melayang turun sepanjang lima kaki dari
tempat semula.
Ejeknya
sambil tertawa:
"Haaaaahh...
haaaaah... haaaah.... satu pos telah kulewati!"
Sambil
tertawa mengejek, bocah itu segera mengambil langkah seribu dan kabur
dari tempat itu.
Saking
gusarnya paras muka Thi huhoat berubah menjadi hijau membesi, setelah
mendengus dingin, dengan langkah lebar dia kejar bocah itu.....
"Bocah
keparat!" teriaknya keras-keras, "ketahuilah, pos
penjagaanku ini tidak sekendor yang kau bayangkan, jangan harap kau
bisa meninggalkan tempat ini secara mudah!"
Giam
In kok sama sekali tidak ambil perduli, ia berkelebat maju terus
hingga sampai dihadang seorang pengemis tua yang bertubuh kurus
kering, saat itulah dia baru berkata seraya tertawa:
"Aaaaah,
masa kau mampu menghalangi perjalananku?"
Secara
diam-diam hawa murninya segera dihimpun kedalam tubuhnya, lalu dalam
sekali lompatan saja, tubuhnya telah menyelinap sejauh lima kaki
lebih dari posisi semula.
Siapa
tahu gerakan tubuh dari pengemis kurus kering itu pun tak kalah
cepatnyam, baru saja Giam In-kok menggerakkan tubuhnya untuk
menyelinap kedepan, tahu-tahu dia sudah menghadang jalan pergi bocah
tersebut seraya ujarnya:
"Bocah
keparat! Apabila kau ingin mencoba untuk meloloskan diri dari
pengejaran Kim leng sam to, tiga sesepuh dari kota Kim leng, lebih
baik tunjukkann dulu sedikit kepandaianmn!"
Ketika
masih berada dalam perkampungan Ang sim san ceng tempo hari, Giam In
kok pernah juga mendengar orang membicarakan soal kelihayan dari tiga
sesepuh kota Kim leng itu, maka sambil tertawa cekikikan katanya
kemudian:
"Haaaahh...
haaaah... haaah... jadi kau adalah salah satu diantara tiga sesepuh
dari kota Kim-leng? Waah... kalau begitu kepandaian silatmu tentu
hebat, cuma sayang..."
Sengaja
ia menghentikan perkataan-nya sampai ditengah jalan.
Dengan
cepat pengemis ceking itu bertanya:
"Cuma
sayang kenapa?"
"Sayang
kau beraninya cuma dengan seorang bocah seperti aku....huuuh, tak
tahu malu!"
Mula-mula
pengemis ceking itu nampak agak tertegun setelah mendengar perkataan
itu, tapi sejenak kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak.
"Haaah...
haaah... haaah... biarpun seumur hidup belum pernah aku Mo Kiam seng
menganiaya atau mengganggu seorang bocah cilik seperti kau, tapi lain
ceritanya setelah kau sengaja mencari gara-gara ditempat ini,
lagipula kulihat ilmu silat yang kau miliki termasuk cukup tangguh,
jelas hal ini merupakan suatu pengecualian.... Biar begitu, kaupun
tak usah takut atau jeri, tak mungkin kulukai dirimu.....!"
"Baiklah,
kalau begitu kaupun tak usah kuatir, sebab aku juga tak akan melukai
dirimu!"
"Bocah
cilik yang sombong dan tak tahu diri, tak usah banyak ngebacot lagi,
ayoh cepat lancarkan seranganmu!"
Dengan
langkah lebar Giam In-kok maju kedepan dan langsung menerjang
kehadapan si pangemis kurus itu, teriaknya berulang kali:
"Yaa....
kakek ceking... kau tak boleh lupa lho.... jangan kau lukai diriku...
apalagi kalau sampai meninju hidungku hingga keluar kecapnya......"
Secara
tiba-tiba Mo Kiam seng menjadi sadar bahwa lawan-nya terlalu licik
dan binal, maka sambil tertawa segera umpatnya:
"Setan
Cilik, akalmu benar-benar hebat sekali...."
Dengan
ke lima jari tangan yang dipentangkan lebar-lebar sehingga bagaikan
cakar burung garuda, tiba-tiba ia menerjang maju ke maka dan langsung
mencengkeram kearah bahu lawan.
Dengan
cekatan Giam In-kok menghindarkan diri kesamping, mendadak teriaknya
keras-keras:
"Hidung!"
"Hey.....!
apa kau bilang?" seru Mo Kiam seng dengan wajah tertegun
bercampur keheranan, "hidung? Apa maksud perkataanmu itu...."
Perlu
diketahui, jarak diantara ke dua orang itu hanya terpaut satu langkah
belaka, sudah barang tenyu dalam setiap pertarungan yang sedang
berlangsung, siapa saja tidak
diperkenankan berdiri tertegun oleh pancingan lawannya.
Jilid
3 : Dimana kitab pusaka Ching Khu hun-pit?
BARU
saja pengemis ceking itu berdiri melongo, Giam In kok segera
memanfaatkan kesempatan yang baik itu untuk menyelinap kebelakang
punggung lawan-nya.
Saat
itulah dia baru berkata lagi sambil tertawa:
"Masa
kakek tidak mengerti apa yang dinamakan hidung? Baiklah, kalau begitu
perlu kujelaskan kepadamu, yang dimaksudkan sebagai hidung adalah
benjolan daging yang menongol diantara mata dan mulut, ada hidung
yang berbentuk mancung tapi ada juga yang pesek lagi kukulan karena
kebanyakan minyak macam hidungmu itu, nah itulah sebabnya hidung
merupakan bagian tubuh yang paling susah dipegang!"
Menanti
pengemis ceking itu membalikkan tubuhnya, Giam In kok sudah keburu
melarikan diri dari situ.
Mengawasi
bayangan punggung si bocah yang menjauh, akhirnya pengemis ceking itu
hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali sambil berguman:
"Aaaai....
setan cilik ini benar-benar binal lagi liciknya bukan kepalang.....
kalau begini terus caranya, bisa jadi ke lima buah pos rintangan yang
telah dipersiapkan dapat dilalui semua secara mudah...."
Setelah
berhasil menipu dua orang penjaga pada pos pertama serta pos
rintangan kedua, Giam In Kok meneruskan kembali perjalanan-nya menuju
ke pos rintangan berikutnya, sembari berjalan tiada hentinya bocah
itu memutar otak sambil berusaha mencari akal lain untuk meloloskan
diri dari kepungan lawan.
Tanpa
terasa sampailah bocah itu dihadapan seorang pengemis tua lainnya
yang waktu itu telah menghadang jalan perginya.
Kali
ini dia tak berani menipu lawan-nya lagi, maka dengan suara lantang
segera serunya:
"Maaf
kakek, terpaksa aku harus bertindak kasar kepada mu....."
Telapak
tangan kanan-nya segera digerakkan kemuka seolah-olah hendak
melancarkan sebuah bacokan, tapi secara tiba-tiba telapak tangan
kirinya secepat kilat diayunkan kemuka melancarkan sebuah sapuan maut
yang di sertai dengan deruan angin tajam.
"Weeeeeeesssss.......!"
Menyusul
deruan angin pukulan yang memekikkan telinga, bocah itu segera
menggerakkan pula badan-nya langsung menerjang ke sisi badan pengemis
tua itu.
Pengemis
tua yang menjaga ditempat ini sebenarnya termasuk juga salah satu
diantara tiga sesepuh dari kota Kim leng, tenaga dalam yang
dimilikinya amat sempurna, ilmu silatnya juga lebih hebat daripada
kepandaian silat pengemis lain-nya.
Mula-mula
dia mengira bocah itu hendak menggunakan akal muslihatnya untuk
menipu dirinya, maka terhadap datangnya ancaman tersebut ia bersikap
acuh tak acuh.
Menanti
angin pukulan telah menyapu datang dengan hebatnya sehingga membuat
badannya mundur sejauh beberapa kaki kebelakang, dia baru sadar bahwa
serangan yang dilancarkan bocah itu ternyata
berisi....
Dia
menjadi malu sekali, paras mukanya berubah
menjadi merah padam, sambil membentak
keras-keras dia langsung menubruk ke ke depan.
Sementara
itu Giam In Kok baru saja meloloskan diri
dari pos rintangan yang ketiga ketika secara tiba-tiba bergema suara
bentakan keras dari arah belakang disusul menyambarnya deruan
angin pukulan tajam yang langsung mengancam punggungnya.
Cepat-cepat
dia berkelit berapa kaki kesamping, lalu seraya berpaling teriaknya
sambil tertawa:
"Eeeei.....
Kakek, kau memang tak tahu malu..... masa terhadap seorang bocah
macam aku pun kau tak segan-segan main
sergap dari belakang? Huuuh.....mau kau taruh kemana paras muka mu
itu?"
"Tapi
kau telah menyelinap dari pos penjagaanku dikala aku belum siap,
pertarungan ini belum bisa dianggap selesai, ayoh jangan lari dulu,
silahkan kau mencicipi juga sebuah bogem mentahku ini...."
"Kalau
begitu aku ingin bertanya kepadamu, apa kerjamu disini....?"
Begitu
pertanyaan tersebut diutarakan, pengemis tua itu kontan saja menjadi
melongo dan berdiri terbungkam dalam seribu bahasa.
Dalam
pada itu, dua orang pengemis yang menjaga pada pos penjagaan pertama
serta kedua telah menyusul pula kesitu.
Thi
huhoat telah berteriak keras:
"Huan
tua, jangan kau lepaskan bocah keparat itu, kita harus memberi
pelajaran dulu kepadanya didalam barisan lima setan mempermainkan
malaikat....."
"Haaaah..!
Apa-apaan itu? Masa ada lima setan mempermainkan malaikat? Paling
banter lima setan macam kalian mengerubuti aku si malaikat......
pantas kalau tampang kalian macam perkedel semua.... tapi tak usah
kuatir, sauya tak akan lari menghadapi kerubutan dari kalian
berlima!"
Sementara
Giam In kok perlahan-lahan maju kedepan dengan wajah yang tenang dan
sama sekali tidak menunjukkan rasa takut, tampak bayangan manusia
berkelebatan lewat, kembali dihadapan mukanya muncul dua orang
pengemis tua yang menghalangi jalan perginya.
Salah
seorang diantara kedua orang pengemis itu memiliki perawakan tubuh
tinggi besar dan berkepala gundul seperti cermin, dengan suara keras
pengemis itu segera membentak:
"Mau
kabur kemana kau bocah bengal? Lihatlah, malaikat pintu telah berada
disini!"
"Lihat
serangan" tanpa banyak bicara Giam In kok segera berseru keras.
Bersamaan
dengan suara bentakan itu, telapak tangan-nya segera bergerak cepat
melancarkan sebuah serangan dengan jurus Cian kim toh say
(Selaksa prajurit berebut jenderel).
Dua
gulung angin pukulan yang tajam dan kuat segera menyambar kemuka dan
memaksa kedua orang pengemis yang berada dihadapan-nya harus mundur
satu langkah kebalakang.
Diam-diam
pengemis botak itu terkejut juga setelah melihat kelihayan lawan-nya,
cepat-cepat pergelangan tangan-nya diputar kencang, kemudian dengan
bekerja sama bersama seorang pengemis ceking lainnya yang sekujur
tubuhnya penuh dengan kadas macam anjing budukan, melancarkan dua
buah pukulan dahsyat yang menyambar kedepan.
Tampak
dua gulung angin pukulan yang maha dahsyat bagaikan gulungan ombak di
tengah samudra langsung meluncur kearah dada bocah itu....
Giam
In kok tak berani bertindak gegabah, dengan mengeluarkan ilmu pukulan
telapak baja ajaran Giam tok thi ciang, sepasang telapak tangan-nya
bekerja cepat.
Secara
beruntun terjadilah berapa kali benturan keras yang menggelegar
diangkasa, seketika itu juga si pengemis botak dan si-pengemis
kadasan terlempar mundur sejauh lima langkah lebih kebelakang.....
Tiba
tiba terdengar si pengemis ceking itu membentak keras dengan wajah
yang menyeramkan:
"Keparat
cilik! Apa hubunganmu si Telapak tangan sakti dari Giam
tok....?"
"Perduli
amat dia adalah apa ku?"
Thi
huhoat yang turut maju pula ke depan segera berseru pala sambil
tertawa dingin:
"Heeehhh...
heeehhh... heeeehh... rupanya kau adalah anak muridnya si bajingan
tua she Giam, bagus sekali, nah bangsat cilik, tinggalkan selembar
jiwa anjingmu disini!"
Giam
In kok merasa gusar sekali setelah mendengar ucapan tersebut,dengan
nada tak senang hati katanya:
"Huuuh....!
menang kalah diantara kita masih belum dapat ditentukan hingga
sekarang, lebih baik kau tak usah ngebacot terus yang
bukan-bukan..... tapi sebelum itu sauya bertanya lebih dahulu,
sesungguhnya permusuhan apa sih yang terjalin diantara kalian dengan
si Telapak tangan sakti dari Giam tok?"
"Tak
usah kau tanyakan dulu masalah tersebut, setelah berhasil kubekuk
batang lehermu nati, kau si bangsat cilik kan bakal tahu dengan
sendirinya....."
"Bagus
sekali!" Giam In Kok kemudian dengan nada angkuh, "sauaya
tidak takut menghadapi kerubutan dari kalian beberapa orang pengemis
budukan, siapa yang tidak takut mampus silahkan maju ke depan!
Oyaa.... aku dengar anggota perkumpulan Kay-pang kalian berjumlah
enam puluh laksa orang yang tersebar diseluruh kolong langit,
andaikata sauya turun tangan membasmi kalian semua, mungkin orang
bilang aku terlalu kejam dan tak berperi kemanusian, karenanya
bagaimana kalau kita bicarakan dulu syarat-syaratnya sebelum
pertarungan ini dimulai?"
"Hmmmm,
melenyapkan jiwamu dari muka bumi merupakan syarat kami!" bantah
si pengemis kadasan dengan sorot mata bengis.
Bersamaan
dengan selesainya perkataan itu, sepasang telapak tangan-nya serentak
dilancarkan kedepan mengirim sebuah pukulan yang amat keras.
Dengan
cekatan Giam In kok mengegos ke samping untuk menghindarkan diri dari
datangnya serangan tersebut, kemudian setelah mengitari tubuh si
pengemis kadasan itu satu kali, bentaknya keras-keras:
"Enyah
kau si manusia budukan dari tempat ini!"
Telapak
tangan-nya segera diayunkan kedepan dan .....
"Braaaakk....!"
Tahu-tahu
tubuh si pengemis kadasan itu sudah mencelat sejauh beberapa kaki
dari tempat semula.
Ketiga
orang pengemis lain-nya menjadi amat terperanjat setelah menyaksikan
pengemis kadasan, salah seorang diantara tiga sesepuh dari kota Kim
leng dirobohkan lawan-nya dalam satu kali gebrakan saja.
Tapi
dari kejadian ini pula mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa ilmu
silat yang dimiliki bocah cilik itu memang sudah mencapai tingkatan
yang luar biasa.
Begitu
berhasil menghajar si pengemis kadasan sampai mencelat jauh dari
tengah arena, pada saat yang bersamaan Giam In Kok berhasil
juga menyelinap ke belakang punggang pengemis botak itu.
Berada
dalam keadaan begini, seandainya dia bermaksud untuk melarikan diri,
maka inilah kesempatan yang paling baik baginya.
Namun
satu ingatan kembali melintas di dalam benaknya, sambil membalikkah
tubuhnya dia segera tertawa cengar-cengir sembari
mengejek:
"Eeeei,
teman-temanku yang miskin dan tak
beruang, bagaimana rasanya? Setuju bukan dengan pertukaran
syarat yang ku usulkan tadi? Heeeeeh... heeehh... heeeeh...”
"Ngaco
belo!" bentak Thi huhoat dengan berangnya.
Tiba-tiba
ia mengayunkan tongkat penggebuk anjingnya kedepan sambil menciptakan
serentetan cahaya kuning yang amat menyilaukan mata, lalu diiringi
deruan angin tajam yang amat membisingkan telinga dia menerjang maju
ke muka.
Dengan
jurus mengayun tongkat menggebuk anjing gila, dia langsung
menghantam batok kepala bocah itu.
Giam
In kok segera berkelebat kesamping lalu membalikkan tubuh sembari
mengayunkan telapak tangan-nya kebelakang, diantara menyambarnya
cahaya kuning, tahu-tahu ujung tongkat pengemis itu sudah berhasil
ditangkapnya kencang-kencang.
"Eeeei...
pengemis!" serunya kemudian sambil tertawa, "andaikata
aku berhasil menghajar kalian sampai kalah, bersediakah kamu semua
meminjamkan tempat ini selama tiga hari saja kepadaku?"
"Tidak
bisa.....!" sahut pengemis botak sambil membentak keras, toyanya
langsung disodok kedepan.
Giam
In kok tertawa dingin, pergelangan tangan-nya segera digetarkan
kuat-kuat kemudian tidak jelas gerakan apa yang dilakukan, hanya
tahu-tahu saja tongkat penggebuk anjing milik Thi huhoat telah
berhasil direbutnya dengan kekerasan.
Setelah
itu dengan menggunakan toya hasil rampasan itu dia tangkis ancaman
yang datang dari si pengemis botak.....
"Bluuukk.....!"
Getaran
keras yang menimbulkan suara benturan menyebabkan pengemis botak
berseru tertahan, toya penggebuk anjingnya kena terhajar sampai
miring kesamping dan terpental sejauh sepuluh kaki lebih.
Pengemis
kadasan itu menjadi kalap, sambil melompat bangun dari atas tanah,
teriknya keras-keras:
"Hajar
bocah keparat ini sampai modar, jangan
dibebaskan sebelum dia mampus....!"
Senjata
tongkat penggebuk anjingnya diiringi deruan angin tajam langsung
diayunkan kearah bocah itu, serangan demi serangan dilancarkan
bagaikan banteng gila yang sedang kalap saja.
Pengemis
Hoan dan pengemis Mo yang selama ini hanya berpeluk tangan belaka
menjadi amat terperanjat setelah menyaksikan kelihayan musuhnya,
bukan saja pihak lawan hanya terdiri dari seorang bocah berusia
sebelas-dua belas tahunan, bahkan serangan-nya berhasil melemparkan
tubuh sipengemis kadasan hingga mencelat keangkasa dan pengemis
Thi serta pengemis botak kehilangan tongkatnya.
Mereka
semakin sadar, kendatipun pengemis kadasan memper-taruhkan selembar
jiwa tuanya untuk menerjang bocah itupun tak ada gunanya, maka
setelah saling berpandangan sekejap, sambil memutar senjata
masing-masing, kedua orang pengemis itu turut pula terjun kedalam
arena.
Giam
In kok bersuit nyaring, suaranya tinggi melengking bagaikan pekikkan
naga ditengah angkasa, membuat seluruh udara bergetar keras.
Dengan
mempergunakan tongkat hasil rampasan-nya, dia keluarkan semua
jurus-jurus toya yang pernah dikenal olehnya....
"Traaaaang...!
Traaang...! Traaang....!
Beberapa
kali bentrokan nyaring bergema memecahkan keheningan, akibat dari
bentrokan tersebut, ke tiga orang pengemis itu segera terdorong
mundur sejauh tiga langkah kebelakang.
Kendatipun
begita Giam In kok sendiripun merasakan pergelangan tangannya menjadi
linu dan kaku, tanpa terasa pikirnya di dalam hati:
"Waaah...
tampaknya aku memang tak becus, kalau cuma seorang pengemis pun tak
mampu kuhajar sampai keok, bagaimana mungkin aku dapat membalaskan
dendam sakit hati orang tuaku?"
Sementara
itu ketiga orang pengemis pun merasa terperanjat sekali atas
kesempurnaan ilmu silat lawan-nya.
Tiba-tiba
pengemis she Huan itu membentak keras dan menerjang lagi kedepan,
empat orang pengemis lain-nya tak ambil diam, serentak mereka memutar
toya masing-masing dan ikut menerjang pula kedepan.
Lima
orang jago lihay dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya
segera mengepung bocah cilik itu secara ketat, cahaya tajam
berkilauan diangkasa, daerah sekitar sepulah kaki disekitar arena
dengan cepat terkurung ditengah deruan angin puyuh itu.
Makin
lama bertarung Giam In kok merasa makin bersemangat, tiba-tiba muncul
satu ingatan untuk menggoda lawan-lawan-nya.
Dengan
senjata telapak tangan baja untuk melindungi keselamatan tubuhnya,
pedang pendek ditangan yang lain mendesak musuhnya dengan serangkaian
serangan yang jitu dan hebat.
Jangan
dilihat si bocah itu terkurung di tengah kepungan empat orang dewasa
yang mendesaknya habis-habisan, dalam kenyataan Giam In kok sama
sekali tak tampak terdesak, jangankan terluka, dibuat kerepotan pun
tidak.
Sebagai
seorang bocah yang pernah mempelajari ilmu silat dari empat orang
jago lihay sekaligus, tentu saja Giam In kok menjadi sangat ampuh dan
hebat apalagi hanya untuk melawan empat orang jago belaka.
Dengan
cepat serangkaian serangan berantainya berhasil memaksa ke lima orang
pengemis tua itu menjadi kelabakan dan terdesak hebat, sekalipun
begitu Giam In kok sendiripun tak pernah melancarkan
serangan-serangan yang mematikan, sebab tujuan utama dari bocah ini
adalah mendesak kawanan pengemis itu agar bersedia meninggalkan
tempat itu untuk sementara waktu.
Ditengah
berlangsungnya pertaruagan yang seru dan ramai dihiasi oleh
bentakan-bentakan nyaring itu, mendadak dari luar lembah muacul
kembali sesosok bayangan manusia.
Begitu
tiba disisi gelanggang pertarungan, orang itu segera membentak keras
dengan suaranya yang nyaring bagaikan guntur membelah bumi:
"Tahan...!"
Serentak
ke lima orang pengemis tua itu menarik kembali serangan-nya dan
masing-masing mundur sejauh berapa kaki ke belakang.
Giam
In kok sendiripun mengetahui bahwa orang yang baru saja munculkan
diri itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi, dengan cepat ia
berpaling.
Terlihatlah
seorang kakek berpakaian compang-camping dengan sepasang mata yang
tajam berwarna biru serta pada punggungnya menggendong tujuh buah
karung telah berdiri angker dihadapan-nya.
Sekilas
pandangan saja dapat diketahui bahwa pengemis ini mempunyai kedudukan
yang amat tinggi didalam perkumpulan Kay pang.
Dengan
pandangan mata yang dingin bagaikan es pengemis tua itu melirik
sekejap kearah Giam In kok, kemudian sambil berpaling kearah
pengemis Thi, dia menegur dengan suara lantang:
"Thi
huhoat, sesungguhnya dikarenakan urusan apakah sehingga kalian saling
bertarung satu sama lainnya?"
Buru-buru
pengemis yang dipanggil Thi huhoat itu maju kedepan dan memberi
hormat, kemudian secara ringkas dia menuturkan hal ikhwal sampai
terjadinya pertarungan itu.
Selesai
mendengar laporan tersebut, pengemis tua itu mangggut-manggut
berulang kali, ujarnya kemudian seraya berpaling kearah Giam In kok:
"Mengingat
kau masih kecil dan tak tahu urusan kumaafkan kesalahanmu kali ini,
nah! Cepat pergilah meninggalkan tempat ini...."
Giam
In kok segera menyimpan kembali senjatanya lalu memberi hormat.
"Selamat
tinggal!"
Tanpa
berpaling lagi dia segera berlalu dari situ dengan langkah cepat.
Baru
saja ia berjalan berapa langkah meninggalkan tempat itu, mendadak
pengemis tua itu berseru lagi:
"Tunggu
sebentar!"
Terpaksa
Giam In kok menghentikan langkahnya, kemudian sambil berpaling
omelnya:
"Waaaah....
cerewet benar kau si kakek ceking, sebentar menyuruh aku pergi,
sebentar menyuruh aku berhenti, sebetulnya masih ada urusan apa sih
kau memanggilku lagi? Hmm, aku jadi gemas rasanya melihat tampangmu
itu"
Pengemis
tua itu mendengus dingin:
"Hmm!
Aku hanya ingin memberi peringatan kepadamu, jangan mencoba
sekali-kali datang lagi ketempat ini, bila kau berani menyelundup
masuk lagi kesini..... Hmm! Akan kubacok kaki anjingmu itu biar
buntung!"
Giam
In kok tertawa dingin, tanpa banyak berbicara lagi dia segera berlalu
dari situ.
Sudah
barang tentu bocah itu tak akan menyudahi persoalan tersebut sampai
disitu saja, dalam hati kecilnya dia berjanji akan kembali lagi
kesitu pada malam berikutnya. Sebab ia merasa kitab pusaka Cin khu
hun pit mempunyai arti yang penting sekali baginya, dengan
mempelajari isi kitab tersebut berarti kepandaian silatnya akan
bertambah hebat, hanya dengan ilmu silat yang tinggi saja dendam
sakit hatinya baru bisa dituntut balas.....
Oleh
sebab itu, kendatipun mencari kitab pusaka itu bukan suatu pekerjaan
yang gampang dan dia harus menghadapi pelbagai rintanan yaag datang
secara bertubi-tubi, namun bocah itu tidak menjadi putus asa atau
gentar dibuatnya.
Pada
umumnya benda mestika atau benda pusaka kebanyakan disimpan ditengah
gunung yang terpencil atau dalam lembah bahkan didasar air, tapi
kitab pusaka Cing khu hun pit itu justru disembunyikan di bawah batu
peringatan raksasa, apa lacur batu peringatan raksasa itupun
merupakan markas besar perkumpulan Kay-pang.
Boleh
jadi pihak Kay pang sendiripun tidak mengetahui kalau dibawah tanah
markas besar mereka sesungguhnya terdapat kitap pusaka itu.
Sedangkan
bagi Giam In kok, biarpun dia tahu disitu terdapat kitab pusaka, tapi
diapun tidak tahu benda pusaka itu di sembunyikan dibagian yang mana,
dengan kemampuan-nya seorang bagaimana mungkin ia bisa menghalau
pergi orang-orang Kay-pang serta melakukan pencarian dengan seksama?
Dengan
termanggu-manggu Giam In kok segera mencari rumah penginapan untuk
beristirahat, tiba didalam kamar, sambil memandangi cahaya lilin yang
menerangi seluruh ruangan, ia duduk bertopang dagu, sementara otaknya
berputar mencari akal untuk memecahkan persoalan itu.
Entah
berapa saat sudah lewat, tiba-tiba satu ingatan melintas didalam
benaknya, tanpa terasa bocah itu tertawa tergelak sambil berteriak
keras:
"Horee....
aku sudah mendapat akal bagus.... horee.....
aku pasti akan berhasil....."
Teriaknya
ditengah malam buta ini sudah tentu mengejutkan para tamu di kamar
tetangganya, kontan saja dari samping kiri kanan kamarnya bergema
suara makian:
"Bocah
edan, malam buta begini masih berteriak-teriak seperti orang
sinting..... Hmmm! Kalau berani berteriak lagi, awas kamu bisa
kujewer telingamu sampai berdarah....."
Giam
In kok menjulurkan lidahnya sambil meringis, buru-buru sahutnya:
"Maaf....
empek.... maaf.... bibi, kalian jangan marah, aku tak akan berteriak
lagi.... maaf, sekali lagi maaf... sekarang aku aku sudah mengantuk
dan berjanji tentu tidur dengan mulut tertutup rapat..."
Ditengah
omelan para tamu di kamar tersebut, Giam In kok segera memadamkan
lentera dan naik keatas pembaringan.
Keesokan
harinya, secara diam-diam ia membeli dua perangkat pakaian bekas yang
sudah kumal, sebuah kantung kain serta alat sembayangan, kemudian
berangkatlah dia meninggalkan kota Kim leng menuju ke sebuah bukit
yang sepi.
Disebuah
hutan yang sepi dia segera merubah warna kulit badan-nya dengan
beberapa pil perubah wajah yang diperoleh dari Kang Yong tempo hari.
Setelah
itu mukanya dirubah pula
dengan obat dan dibubuhi dengan
lumpur disana sini sehingga kelihatannya dekil sekali, habis
berganti pakaian dan menelan obat yang
dapat membuat suaranya berubah menjadi paruh, pagi-pagi sekali
dia mengunjungi sebuah kuburan baru yang berada disekitar situ.
Senjata
pedang, telapak tangan baja, buli-buli emas dan uangnya dibungkus
dalam sebuah kantung lalu disembunyikan didalam tanah dekat kuburan
tadi, untuk menghindari kecurigaan orang,
dia pasang hio dan lilin didepan kuburan tadi kemadian pura-pura
menangis.
Setelah
itu dengan muka yang pura-pura lesu
bercampur sedih, selangkah demi selangkah dia meninggalkan bukit
tadi.
Tengah
hari telah tiba, inilah saat buat semua orang untuk bersantap, Giam
In kok yang menyaru sebagai seorang pengemis dengan membawa sebuah
mangkuk yang sudah gumpil sisinya, berdiri disamping sebuah rumah
sambil berseru minta sedekah dan sisa sayur....
"Setan
cilik! Siapa yang menyuruh kau datang kemari untuk minta sedekah?"
tiba-tiba terdengar seseorang menegur dengan suara keras.
Giam
In kok segera berpaling, ternyata seorang pengemis setengah baya
telah berdiri dibelakangnya dengan mata melotot. Biarpun bocah ini
segera mengerti apa yang telah terjadi, namun dia tetap berlagak
bloon, sahutnya:
"Oooh.....
rumahku ketimpa bencana, aku merasa lapar sekali dan tak punya uang
untuk mambeli nasi, terpaksa.... akupun minta sedekah dan belas
kasihan dari orang”
"Sudah
masuk menjadi anggota?"
"Masuk
menjadi anggota? Anggota apa? Aku.... aku tidak mengerti
maksudmu...."
"Kalau
belum masuk menjadi anggota perkumpulan pengemis, kau tak boleh minta
sedekah disini, mengerti?"
"Kurang
ajar! Lantas aku mesti makan apa?"
"Ploookkk......!"
Tahu-tahu
sebuah tempeleng keras-keras mendarat diatas pipi Giam In kok.
Sambil
berpura-pura menangis karena kesakitan, bocah itu segera berteriak
keras:
"Adduuuh
mak.... sakit....! Aduuh mak... aku dipukuli orang.....! Aduuuh
hidung..... pipiku sakit sekali.... hey pengemis bau aku toh minta
makan untuk mengisi perutku sendiri, mengapa kau malah
menghajarku.....? Adauuh.... huuhh.... huuuh.... huuhh.... sakit....
pipiku sakit sekali..... Ooooh mama, tolonglah aku.... tolong
mama....."
Pengemis
berusia pertengahan itu semakin mendongkol setelah melihat ulah bocah
itu, ia segera menyepak dan menendang tubuh Giam In kok berulang kali
sampai bocah itu roboh terguling diatas tanah, umpatnya dengan gemas:
"Setan
alas.... Sebelum kuhajar diri mu sampai modar,
rasanya aku belum merasa puas....."
Perkelahian
diantara pengemis tua dengan seorang pengemis kecil ini dengan cepat
mengundang perhatian orang banyak, terutama sekali
penduduk yang berada disekeliling tempat
itu.
Serentak
mereka berlari mendekat dan mengerubungi sekitar tempat kejadian itu
untuk melihat keramaian.
Pengemis
berusia pertengahan itu benar-benar dibuat
amat gusar, dengan mata melotot besar bentaknya berulang kali:
"Hey
bajingan cilik.... mau apa kau berguling-gulingan diatas tanah macam
anjing kelaparan saja....? Ayoh cepat bangkit berdiri dan turut aku
menghadap ketua pengemis!"
Tapi
Giam In kok berteriak îagi sambil menangis tersedu-sedu, serunya
pula dengan lantang:
"Buat
apa ikut denganmu...? Kau.... kau pengemis
jelek... kalau ikut bersama mu paling
banter badanku akan digebuk setiap hari....
kau... kau.... pengemis monyet yang jelek.... moncongmu persis
seperti congor babi... oooh, polisi... mana polisi? Aku akan
mengadukan dirimu didepan pengadilan...."
"Duuuuukk.....!"
Satu
tendangan yang amat keras kembali berselang
ditubuh Giam In kok. Kendatipun bocah itu
rela dirinya digebuki agar siasat menyiksa diri yang sedang dimainkan
olehnya berhasilmengenai sasaran, akan tetapi keganasan serta
kebengisan pengemis berusia pertengahan itu menggusarkan hatinya,
terutama sekali kalau sesudah digebuki teruspun sama sekali tak
berarti lagi.
Maka
sambil berpura-pura menangis karena kesakitan, diapun segera
merangkak bangun lalu melotot kearah pengemis itu dengan sinar mata
penuh amarah.
"Hmmm!
Kurang ajar, mau apa kau melotot kearahku?" bentak pengemis itu
dengan perasaan mendongkol.
"Kenapa?
Apakah aku tak boleh melotot kepadamu? Kalau berani ayoh pukullah aku
lagi....?"
"Sialan....!
Tampaknya kau memang ingin digebuki lagi ...."
Sembari
mencaci maki kalang kabut pengemis itu segera melompat kedepan dan
langsung menempeleng bocah tersebut.
Giam
In kok tak mau mengalah, seperi banteng yang sedang mengamuk, ia
tubruk dada lawan dengan kepalanya.
Kedua
orang itu segera saling bergumul dan bergulat diatas tanah, kedua
belah pihak tak mau saling mengalah, mereka saling pukul memukul
dengan serunya.
Namua
agaknya pengemis itu jauh lebih kuat, setiap gebukan-nya segera
bersarang di atas punggung Giam In kok secara telak.
Tiba-tiba
terdengar suara bentakan keras berkumandang datang memecahkan
keheningan, ketika mendengar bentakan tersebut, pengemis itu
kelihatan terkejut sekali sehingga tanpa terasa mengendorkan
jotosan-nya.
Menggunkan
kesempatan inilah Giam In kok segera menyeruduk tubuh pengemis itu
sampai roboh terjengkang keatas tanah, kemudian ia membalikkan badan
dan melarikan diri dari situ.
Agaknya
pengemis berusia pertengahan sama sekali tidak menyangka kalau
dirinya bakal ditubruk sampai roboh terjengkang oleh bocah itu,
dengan wajah meringis menahan rasa sakit, ia segera bangkit berdiri,
lalu ujarnya kepada pengemis yang baru saja munculkan diri disana:
"Bukan
tecu yang menganiaya dirinya lebih dahulu, setan cilik itulah yang
kelewat binal dan kurang ajar..... lihatlah!
Tecu kena dihajar olehnya sampai babak belur macam begini!"
Pengemis
tua itu mendengus dingin.
"Hmmm!
Kau tak perlu beralasan lagi yang bukan-bukan, aku tahu dimana-mana
kau Ang sam selalu saja membuat gara-gara dan keonaran, ayoh cepat
enyah dari sini!"
Setelah
mengusir Ang sam
pergi dari situ,
pengemis tua tadi segera menyusul
Giam In
kok sambil teriaknya:
"Eeeei.....!
Bocah cilik, jangan
pergi dulu!"
Sambil
berhenti berlari, Giam In
kok segera berteriak dengan nada
mendongkol:
"Mau
apa kau mengejar diriku?"
"Bolehkah
aku tahu siapa namamu?"
"A
Hu!"
"Bersediakah
kau menjadi muridku?"
"Tapi....
siapakah kau?"
"Aku
adalah Huan Kay sian, salah seorang diantara tiga sesepuh dari kota
Kim leng, bila kau bersedia mengangkat diriku menjadi guru, maka aku
akan memberi pelajaran ilmu silat kepadamu, dan tak akan ada orang
yang berani menganiaya dirimu lagi!"
"Baik,
sekarang juga aku akan mengangkat dirimu sebagai guruku....!"
Dari
dalam sakunya Huan Kay sian mengambil keluar beberapa biji bakpao dan
di bagikan kepada Giam In kok untuk mengisi perut, kemudian ia baru
menanyakan asal-usulnya.
Sambil
melahap bakpao yang diberikan kepadanya, Giam In kok segera mengarang
sebuah cerita bohong yang mengisahkan asal usulnya, bahkan dibumbuhi
dengan isak tangis yang amat memedihkan hati.
Sudah
barang tentu pengemis tua itu semakin mempercayai perkataannyan
berangkatlah mereka kemudian menuju kemarkas besar mereka yang
terletak di lembah tugu peringatan.
Tatkala
ketua cabang perkumpulan Kay pang untuk kota Kim leng, Tay Kim serta
keempat orang pengemis tua lain-nya meli hat Huan Kay-sian membawa
pulang seorang pengemis kecil masuk kedalam markas, mereka pun segera
menanyai asal usulnya dengan teliti, kemudian baru memuji tiada
hentinya atas bakat sang bocah yang amat bagus.
Oleh
ketua cabang, seorang pengemis berusia pertengahan yang bernama Nyoo
Ji diperintahkan untuk memberi petunjuk kepada Giam In kok mengenai
peraturan perrkumpulan serta dasar-dasar ilmu silat, kemudian
mencarikan pula tempat tinggal bagi dirinya.
Menggunakan
kesempatan disaat Nyoo Ji memperkenalkan dirinya kepada para anggota
perkumpulan lain-nya, secara diam-diam Giam In kok memperhatikan
setiap jengkal tanah yang berada dibawah tugu peringatan itu dengan
seksama.
Namun
sepanjang pengamatannya, tugu peringatan yang didirikan dari batu
bukit itu sama sekali tak ada celah ataupun lubang barang sedikitpun
juga, semuanya rata dan terdiri dari batuan cadas yang sangat keras,
sudah barang tentu tak mungkin tempat semacam ini bila digunakan
untuk menyimpan benda pusaka.
Tapi
dia merasa yakin kalau kitab pusaka Cing khu hun pit pasti berada di
bawah batu besar itu,
kalau tidak, tak mungkin kertas
berisi yang petunjuk rahasia itu
disimpan secara
begitu rahasia dan terselip ditempat yang tak terduga.
Hari
ini, seharian penuh dia belajar dasar ilmu
silat dari Nyoo Ji, dan selama itu pula dia selalu berlagak bodoh
dana pelupa, baru saja belajar satu macam
pelajaran, yang lain sudah terlupakan kembali.....
Tentu
saja kejadian ini sangat menjengkelkan hati Nyoo Ji, sehingga
akhirnya tak tahan lagi dia mengomel:
"Aaaah...
aku lihat Huan tianglo pasti menyesal
setengah mati setelah mengetahui kegoblokanmu itu,
hey setan cilik. Biarpun kau mempunyai bakat yang bagus,
sayang memiliki daya ingatan yang amat bebal.... buat apa belajar
silat? Lebih baik kau pelajari kentut anjing saja...."
Tanpa
terasa malampun menjelang tiba, mendadak seluruh anggota pengemis
yang berada didalam lembah itu dikumpulkan kemudian menyebarkan diri
disekitar tugu peringatan tersebut.
Giam
In kok menjadi keheranan setelah menyaksikan kejadian tersebut,
dengan perasaan tak habis mengerti segera tanyanya:
"Paman
Nyoo Ji, kenapa sih mereka pada pergi
dimalam buta begini? Masa dimalam haripun kita harus pergi
mengemis?"
"Aaaaah....
si bocah cilik tahu apa? Kami memasang perangkap disekitar tempat ini
untuk menangkap seorang bajingan cilik yang bernama In Kok hui!"
Mendengar
perkataan tersebut, diam-diam Giam In kok berpikir didalam hati:
"Ehmmm....
akal itu sih bagus sekali, tapi sayangnya kecerdasan sauya mu justru
jauh lebih hebat daripada kalian semua...."
Menanti
Nyoo ji sudah pergi, bocah itu pun menggunakan sebuah selimut yang
dekil untuk menutupi badannya, kemudian ia melingkar di pojok gua dan
berpura-pura tidur.
Malam
semakin kelam, awan hitam sudah menyelimuti seluruh angkasa, suasana
gelap gulita membuat pemandangan disekitar tempat itu menjadi kabur
dan lamat-lamat.
Diam-diam
Giam In kok merangkak bangun dari balik selimutnya, lalu dengan jalan
mengidap-idap dia menyelinap keluar dari gua tersebut....
Ia
mencoba untuk memeriksa keadaan disekelilingnya dengan ketajaman mata
yang dimiliki, namun suasana disitu begitu gelap dan tidak jelas
sehingga pada ke lima jari tangan sendiripun sudahnya bukan main.
Dalam
keadaan apa boleh buat, terpaksa dia mencari sebuah batu lalu
mempergunakan benda itu untuk mulai mengikuti dinding serta
permukaan tanah dengan harapan di mememukan ruangan yang kosong.
Ketika sebuah ruangan sudah selesai diperiksa dengan seksama, dia pun
segera pindah ke ruangan lain dsangat berhati-hati, pencarian
dilakukan dengan lebih teliti lagi. Tapi dari semua tempat yang
telah diperiksa olehnya, ternyata sama sekali tidak menunjukkan kalau
dibalik ruangan tersebut merupakan sebuah ruangan yang kosong.
Akhirnya
terpaksa dia kembali ketempat semula dan pura-pura tidur, padahal
otaknya berputar terus berusaha mencari jalan lain....
Tiba-tiba....
Ia
teringat kembali dengan sebuah gua besar yang berada ditengah tugu
peringatan tersebut, dia masih ingat, diatas dinding gua tersebut
tergantung sebuah lukisan dinding yang amat besar, lukisan itu
menggambarkan seorang kakek yang sedang duduk sambil memandang
rembulan yang sedang purnama, segera pikirnya:
"Yaa,
jangan-jangan kitab pusaka Cing khu hun pit yang sedang kucari-cari
tersimpan dibalik dinding yang melukiskan bulan purnama itu .... yaa
benar, kenapa aku tidak mencoba untuk melakukan pemeriksaan
disana....?"
Begitu
ingatan tersebut melintas lewat di dalam benaknya, ia segera bangkit
berdiri lalu menyelinap kedalam gua diruang tengah tugu peringatan
tadi.
Pada
bagian dinding yang melukiskan bulan purnama itu, dia mencoba
mengetuk dindingnya dengan batu dengan harapan di situ bisa ditemukan
ruangan kosong, namun untuk sekian kalinya bocah itu dibuat amat
kecewa.
Tiba-tiba.....
Dari
balik gua berkumandang datang suara dingin yang menyeramkan,
diikuti kemudian segulung desingan angin tajam menyapu datang.
Giamm
In kok merasa amat terperanjat, buru-buru tubuhnya meluncur kedepan
dan nyelonong keluar dari balik gua, ujung kakinya menjejak tanah
lalu sekali lagi dia melompat naik keatas sebuah batu cadas yang
jauh lebih kecil bentuknya.
"Setan
cilik, hendak kabur kemana kau?"
Bersamaan
dengan suara bentakan itu, kembali terasa datangnya sesulung desingan
angin tajam yang mengancam tubuhnya.
Sekuat
tenaga Giam In kok memutar telapak tangan-nya untuk menangkis....
"Braaaaaakk.....!"
Termakan
oleh getaran angin pukulan yang maha dahsyat tadi, si penyerang yang
tak lain adalah Thi huhoat itu segera mencelat mundur sejauh dua
langkah kebelakang, kakinya tahu-tahu menginjak ditempat yang kosong
sehingga tak ampun lagi tubuhnya terpeleset jatuh dari atas batu
pijakan.
Baru-buru
Giam In kok melarikan diru dari tempat kejadian, sewaktu dia
berpaling kembali, tampaklah beberapa sosok bayangan manusia sedang
melakukan pengejaran yang ketat dari belakang.
Berada
dalam keadaan begini, dia segera menjejakkan kakinya keatas tanah dan
sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang amat sempurna,
bocah itu kabur menuju bukit sebelah belakang.
"Setan
cilik! Berhenti kau!" bentakan keras bergema lagi dari arah
depan.
Sesosok
bayangan manusia munculkan diri dengan cepatnya dari balik batu
cadas, angin pukulan yang kencang dilancarkan ke depan tanpa mengenal
ampun.
"Huuh....!
Dengan mengandalkan kepandian silat semacam ini pun berani amat kau
menghadang jalan pergiku, mampus kau sekarang .....!" teriak
Giam In kok keras-keras.
Sembari
berkata, dia segera mengirim sebuah tinjunya ke depan sambil
melancarkan sebuah sodokan yang amat keras.....
"Duuukk.....!"
Orang
itu menjerit kaget, tubuhnya segera mencelat sejauh bebebera kaki
kebelakang.
Giam
In kok sadar, semut yang kecil pun bila berada dalam jumlah besar
bisa mengerubuti seekor gajah sampai mati, apalagi musuhnya bukan
semut melainkan manusia, sudah barang tentu kelihayan-nya luar biasa.
Begitu
menyadari bahwa dia tak akan memperoleh keuntungan apa-apa dari
pertarungan ini, dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya
dia menerjang keluar dari kepungan beberapa orang pengemis yang
menghadang jalan perginya itu, kemudian melarikan diri ke tepi sungai
yang amat lebar.
Ketika
ia berpaling kebelakang, tampaklah ada lima sosok bayangan manusia
yang sedang melakukan pengejaran secara
ketat bagaikan menghembusnya angin payuh.
Dengan
suatu gerakan yang amat tiba-tiba, bocah itu segera
membelokkan badan-nya dan menyelinap ke belakang sebuah batu karang,
sementara tangan-nya yang lain dengan cepat menyambar sebuah batu
besar dan dilemparkan ke dalam sungai.
Tan
Kim, ketua perkumpulan Kay pang cabang kota
Kim leng yang tiba lebih dahulu di tepi sungai segera
berseru dengan nada gegetun setelah
dilihatnya sesosok bayangan hitam telah menceburkan diri kedalam
sungai.
"Aaaaah....!
Setan cilik itu itu benar-benar kelewat licik, dia telah meloloskan
diri dengan menceburkan diri ke dalam sungai"
Pengemis
kadasan yang menyusul kemudian dari belakang, sempat pula menyaksikan
semburan benda hitam kedalam sungai yang menyebabkan bunga air
memancar setinggi beberapa kaki itu, buru-buru dia berteriak lantang:
"Kita
jangan mau tertipu, yang tercebur ke dalam sungai bukan setan cilik
itu melainkan sebuah batu besar, dia pasti masih menyembunyikan diri
disekeliling tempat ini.... mari kita geledah!"
Mendengar
perkataan itu Giam In kok gera munculkan diri dari tempat
persembunyian-nya sambil tertawa cekikan karena geli, setelah itu ia
membalikkan badan dan kabur dari tempat tersebut dengan kecapatan
luar biasa, dalam waktu singkat tubuhnya sudah sejauh sepuluh kaki
lebih dari posisi semula.
Tan
Kim teramat gusar, ia membentak keras dan bersama-sama kawanan jago
lain-nya mereka serentak melakukan pengejaran dari belakang.....
Giam
In kok melarikan diri dengan menelusuri tepi sungai yang membujur
jauh di depan sana, tanpa terasa sampailah mereka di Yan ca ki.
Tan
Kim yang menyusul tiba dari belakang, segera berseru sambil tertawa
tergelak:
"Haaaahh....
haaah... haaahh... setan cilik, sekarang kau telah berada di jalan
buntu, akan kulihat kau mau kabur kemana lagi dirimu?"
Dengan
sorot matanya yang tajam bagaikan sembilu, Giam In kok memperhatikan
sekejap sekeliling tempat itu, ditemuinya tempat dimana dia berada
sekarang merupakan sebuah tanah daratan yang menjorok jauh ketengah
sungai, kecuali jalanan yang baru saja dilewati, tiga bagian yang
lain merupakan bentangan air sungai yang berombak deras, sama sekali
tiada jalan lain lagi yang dapat dilalui lagi.
Padahal
satu-satunya jalan yang dapat lewati telah dihadang oleh lima orang
pengemis yang berkepandian tinggi, andaikata dia berniat untuk
melarikan diri dari situ, ini berarti dia harus bersiap sedia untuk
melangsungkan pertarungan melawan orang-orang itu.
Berada
dalam keadaan seperti ini, tiada jalan lain baginya kecuali
mengambil keputusan untuk melangsungkan pertarungan.
Demikianlah,
setelah keputusan diambil, bocah itupun segera tertawa nyaring
sembari berkata:
"Hey,
pengemis-pengemis tua bangkotan yang sudah hampir keok dari dunia,
sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan terhadap sauya mu....?"
Dibawah
pancaran sinar matahari yang baru menyingsing dari ufuk timur, Huan
Kay sian yang turut hadir pula dalam kelompok pengemis lain-nya
segera mengenali bocah yang berada dihadapan-nya sebagai pengemis
cilik yang telah membohonginya sehingga diajak masuk menjadi anggota
Kay pang.
Sekarang
dia sudah mengetahui siapakah sebenarnya pengemis cilik itu, maka
dengan wajah merah jengah lantaran malu, segera bentaknya
keras-keras:
"Hey
setan cilik, berani amat kau bohongi diriku dengan siasat menyiksa
diri..... Hmmm! Sebenarnya apa maksud dan tujuanmu berulang kali
berusaha menyusup masuk ke dalam lembah tugu peringatan ini...?"
"Hiiiih...
hiiih... hiiiih ... jangan marah-marah begitu.... aku tahu, bila lagi
sewot tampangmu persis seperti monyet yang kena terasi!" jengek
Giam In kok sambil tertawa cengar-cengir, "tentang maksud
tujuanku... tak usah yaa...! Kau toh sudah rapuh dan hampir keok dari
dunia ini, buat apa kau mencari tahu soal ini.....?"
Pengemis
botak menjadi naik pitam setelah mendengar ejekan itu, dengan penuh
kegusaran dia segera membentak pula:
"Bajingan
cilik, setan busuk yang tak kenal budi, kau setan sial! Terima
dulu sebuah seranganku ini!"
Giam
In kok mendengus dingin.
"Hmmm!
Dengan mengandalkan kepandaian yang kau miliki itu, kalian masih
belum pantas untuk beradu tenaga dalam dengan sauya! Sedang tentang
teguranmu barusan bahwa aku adalah seorang manusia yang tak tahu
diri....! Huuuh, sauya pun hendak menjelaskan sesuatu hal kepada
kalian semua, ketahuilah bahwa kalian segenap anggota pengemis dari
kota Kim leng telah menerima budi kebaikan dari sauyamu, tapi
nyatanya kalian tidak merasakan hal ini malahan sebaliknya memaki
akulah yang tak tahu diri..... hmmm! Dasar kalian semua memang goblok
seperti kerbau dungu"
Tan
Kim sekalian menjadi amat tercengang setelah mendengar perkataan itu,
dengan cepat dia menghalangi niat para anak buahnya
untuk bertindak gegabah, kemudian setelah maju selangkah kedepan,
tanya-nya cepat:
"Coba
kau terangkan dulu kepada kami, budi
kebaikan macam apakah yang telah kau berikan kepada kami semua,
segenap anggota Kay-pang yang berada di
kota Kim leng?"
"Terus
terang saja aku bilang, andaikata persoalan ini kejelaskan secara
blak-blakan, aku kuatir bencana-bencana besar itu justru akan menimpa
segenap anggota Kay-pang yang berada di kota Kim-leng ini, oleh
karena itu aku pikir lebih baik tak usah ku katakan saja.... sebab
hal ini jauh lebih menguntungkan buat kalian semua"
"Coba
kau terangkan....! desak Tan Kim lebih jauh.
"Apakah
kalian benar-benar tidak takut mampus? Kalian mesti ingat, orang
sudah mampus tak bisa hidup lagi!"
"Aaaaah,
kau tak usah mengaco-belo terus, ayoh cepat utarakan kepada kami,
kalau kau tak mau berbicara, jangan salahkan kalau kamipun tak akan
bertindak sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu!"
"Haaahh...
haaaah... haaaaah... mau bersikap sungkan atau bersikap tidak
sungkan, sauya sih tak bakal ambil pusing, aku rasa lebih baik kau
tak usah bermain bentak sambal belaka dengan omongan sebesar
gajah....! Baiklah, kalau memang kalian tidak kuatir kerepotan dan
tak kuatir segenap anggota perkumpulanmu tertimpa bencana.... sudah
barang tentu sauya pun bersedia saja meengungkapkan masalah yang
sebenarnya kepada kalian semua.....! tapi ingat, resiko ditanggung
sendiri...!"
Menyaksikan
bocah kecil itu berbicara dengan wajah serius dan sungguh-sungguh,
tanpa terasa Tan Kim menjadi sangsi dan tak tahu apa yang mesti
dilakukan.
Tanpa
terasa ia berpaling kebelakang dan memandang sekejap kearah empat
orang anak buahnya.
Sambil
tertawa dingin pengsmis kadasan segera berseru:
"Bocah
keparat ini banyak akal muslihatnya dan licik sekali, harap ketua
cabang jangan mempercayai obrolan setan-nya!"
Giam
In kok menjadi sangat mendongkol, segera serunya pula sambil tertawa
dingin:
"Heeeh...
heeeh... heeeh... baiklah! Kalau toh kau si pengemis kadasan berani
mempertanggung jawabkn diri terhadap kemungkinan munculnya bencana
besar bagi perkumpulanmu, sauya pun akan mengatakan secara berterus
terang!"
Tan
Kim sebagai ketua cabang dari suatu perkumpulan besar macam Kay pang,
sudah barang tentu tak ingin membiarkan si pengemis kadasan itu
memikul tanggung jawab sebesar itu, maka segera ujarnya sambil
tertawa:
"Engkoh
cilik, kau tak usah kuatir, katakan saja berterus terang, seandainya
sampai terjadi suatu peristiwa yang tidak diinginkan, biar akulah
yang akan bertanggung jawab!"
"Bagus
sekali!" seru Giam In
kok dengan suara lantang.
Kemudian
setelah berhenti sejenak, kembali katanya dengan suara keras:
"Dibawah
tugu peringatan yang menjadi markas kalian
ini terdapat kitab pusaka Cing
khu hun pit!"
Begitu
ucapan tersebut diteriakkan, kelima orang pengemis yang hadir dalam
arena menjadi amat terperanjat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar