Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 19 Oktober 2010

Pedang Pembunuh Naga (Penggali Makam) 1 - 15 Karya : Tan Tjeng Hun

Sebuah Karya Menarik, selamat menikmati
JILID 1
PERKAMPUNGAN Ie-hun Sancung.
Letaknya di sebelah Timur lereng gunung Bu-san, luasnya kira-kira sepuluh hektar lebih.
Itulah pusatnya golongan Sam-goan-pang, yang riwayatnya baru dua turunan.
Pangcu atau ketua yang sekarang adalahTan Kee Cun, putra tunggal ketua yang pertama Tan Peng, yang nama julukan Sam-goan-lojin.
Usia Sam-goan-lojin sudah hampir seratus tahun, kepandaian ilmu silatnya tinggi sekali, lagi pula ia gemar bergaul, tangannya terbuka bagi siapa saja, hingga banyak kawannya, hampir di seluruh pelosok ada sahabatnya. Dalam dunia rimba persilatan ia mendapat nama baik. Semua kawannya sangat menghormatinya, sehingga mereka menyebut padanya Sam-goan-lojin.
Pada sepuluh tahun kemudian, ia telah menyerahkan tugas dalam golongannya kepada putra tunggalnya Tan-Kee-Cun, dan ia sendiri melewatkan sisa hidupnya dengan tentram.
Sam-goan-Pang mempunyai anak buah hampir seribu orang, diantaranya banyak terdapat orang yang termasuk dalam golongan orang kuat dalam rimba persilatan. Kekuatan golongan Sam-goan-Pang hampir merendengi partay atau golongan persilatan lainnya!
Hari itu, perkampungan le-hun Sancung diliputi oleh suasana gembira. Seluruh perkampungan dihias dengan pajangan indah-indah.
Kiranya hari itu adalah hari nikahnya putri pangcu yang bernama Tan-Hian-Kun, dan bakal suaminya adalah Auw-yang-Khim putra sulungnya Auw-yang Hong, salah satu orang terkemuka di daerah Go-see. Kedua keluarga itu merupakan satu tingkatan.
Di gedung pusatnya Sam-goan-pang, sudah disediakan beberapa meja perjamuan. Dengan kedudukkannya Sam-goan-pang di kalangan rimba persilatan, dapat diduga bahwa para tetamu yang akan datang pasti akan memenuhi perkampungan itu.
Siapa nyana, kenyataannya di luar dugaan. Jam untuk bertemunya kedua mempelai sudah hampir tiba, tapi para tamu yang datang jumlahnya dapat dihitung, hingga medan perjamuan yang luas itu, nampak hampa.
Meski para tamu yang datang merasa heran, tapi karena terikat oleh peraturan dan adat istiadat, tiada satupun yang berani menanya.
Pangcu Tan Kee Cun hanya mempunyai satu anak perempuan itu saja, sudah tentu ia sangat menyayanginya. Pada hari pernikahannya itu ia sengaja mengadakan pesta besar-besaran. Surat undangan yang dikirim jumlahnya tak kurang dari dua ribu. Tidaklah heran ketika menyaksikan keadaan demikian, hatinya amat gelisah. Ia mondar-mandir di tengah ruangan, keringat dingin membasahi dahinya. Wajah yang biasanya selalu gembira, hari itu nampak murung.
Di antara tamu-tamu yang datang sudah ada yang merasa cemas dan tak tenang, dan ada juga yang mengunjukkan rasa keheranan.
Betapapun halnya, keadaan ‘ganjil’ itu memang merupakan suatu kejadian ‘aneh’.
Sudah terima surat undangan tapi tidak datang untuk memberi ‘selamat’, ini merupakan suatu penghinaan bagi Sam-goan-pang, juga suatu perbuatan yang tak sopan terhadap Sam-goan Lojin.
Akhirnya, di antara tetamu itu, ada juga yang tak sabar. Seorang pertengahan umur yang berpakaian mewah, mendekati Tan pangcu dan menanya sambil kerutkan keningnya:
"Pangcu, mungkin sudah tak ada tamu yang datang lagi, apakah........"
Sam-goan pangcu segera memotong:
"Kejadian ini sungguh aneh, sekalipun partay-partay yang letaknya paling dekat seperti Bu-tong, Bu-san dan lainnya, juga belum tertampak orang-orangnya yang datang."
"Apa dalam peradatan….”
"Aku merasa bahwa dalam soal peradatan sudah cukup sempurna, selain daripada itu, juga tidak terdapat suatu kesalahan yang menyinggung perasaan sahabat-sahabat rimba persilatan."
"Joli pengantin juga seharusnya sudah datang."
Disebutnya joli pengantin yang harus menyambut kemantin perempuan itu, membuat Tan pangcu semakin cemas. Ia lantas tepuk-tepuk tangan memanggil pengurusnya:
"Congkoan!"
Dari dalam terdengar suara orang menyahut, segera muncul seorang tua berpakaian hitam yang jalan terbirit-birit menghampiri pangcunya seraya berkata sambil memberi hormat:
"Hamba Li Bun Hoa menghadap pangcu!"
Li Congkoan segera berlalu untuk menjalankan tugasnya.
Tan Kee Cun lalu berkata sambil memberi hormat kepada para tamunya:
"Tuan-tuan sekalian, sudah lama tuan-tuan menunggu, di sini aku si orang Tan lebih dulu minta maaf!"
"Sama-sama," demikian terdengar suara riuh para tetamu. Tapi sejak saat itu, di sana-sini terdengar suara bisik-bisik, hingga suasana menjadi ramai.
Seorang pelayan perempuan berpakaian warna hijau, keluar dari dalam mendekati Tan Kee Cun dan berkata padanya dengan suara pelahan.
"Pangcu, hunjin suruh hamba menanyakan…” Tidak menantikan sang pelayan menjelaskan soalnya, Tan Kee Cun sudah ulap-ulapkan tangannya dan berkata:
"Beritahukan kepada nyonya, katakan saja bahwa joli pengantin belum sampai, pangcu sudah utus orang untuk mencari keterangan.''
"Baik!”
Demikianlah pelayan wanita itu lantas berlalu. Tepat pada saat itu, dari luar terdengar suara: "Manusia gelandangan Ciok Siao Ceng tiba!” Wajah Tan Kee Cun nampak gembira, dengan tindakan lebar ia keluar untuk menyambut. Semua tetamu juga berdiri untuk menyambut kedatangan tetamu itu.
Tetamu yang disebut Manusia Gelandangan itu sudah lanjut usianya, sedikitnya juga sudah delapan puluh tahun ke atas, dengan Sam-goan Loo-jin merupakan sahabat akrab, kedudukannya di dunia rimba persilatan sangat tinggi, kepandaian ilmu silatnya sudah mencapai taraf tertinggi, sukar diduga sampai berapa tingginya. Sifatnya suka mengurus segala urusan orang lain, semua orang tahu bahwa orang tua itu mempunyai kegemaran semacam itu.
Terhadap segala kejadian dan urusan dalam rimba persilatan, banyak sekali pengetahuannya, cuma ia ada mempunyai adat sangat aneh dan luar biasa, ia tidak ijinkan orang anggap ia 'tua' ia pantang sekali orang padanya, orang tua, tidak peduli siapa saja, baik yang mempunyai kedudukan tinggi ataupun yang rendah paling paling cuma ijinkan orang panggil padanya saudara paling tua
ataupun Ciok-heng, bahkan lebih suka bila disebut nama saja atau gelarnya yang kurang sedap itu. Maka petugas yang menyambut kedatangan tetamu tadi cuma disebut julukannya, tidak ditambah dengan sebutan saudara atau tuan. Dengan sikap yang sangat menghormat tuan rumah membimbing seorang tua berambut dan berjenggot putih perak masuk ke dalam ruangan.
Orang tua itu wajahnya merah bagaikan anak bayi, badannya masih kekar kekar kekas pundak kiri menggendong sebuah buli-buli arak yang besar sekali, pundak kanannya menggendong sebuah kantong besar, di matanya orang-orang rimba persilatan, kantong itu dipandangnya bagaikan kantong wasiat siapa pun tidak tahu isinya.
Dipandang dari dandanan dan bawaannya, mirip dengan seorang yang tidak beres pikirannya, apalagi tingkah lakunya dan tindak-tanduknya yang lucu dan jenaka, benar-benar seperti orang berotak miring.
Semua tetamu pada memberi hormat sambil berseru: "Selamat dalang!”
Dengan matanya seperti orang sedang mabuk arak, Manusia gelandangan itu menyapu keadaan dalam ruangan itu, kemudian berkata sambil kibaskan lengan bajunya yang lebar:
"Sahabat-sahabat tidak usah banyak peraturan, aku Ciok Siao Ceng tidak sanggup menerima."
Sehabis mengucap demikian, dengan melalui meja-meja tetamu, terus masuk ke ruangan besar, dengan tanpa malu-malu duduk di atas kursi pertama.
Ketika pelayan menyuguhkan teh wangi, ditolaknya sambil berkata:
“Tidak usah, aku sendiri ada membawa barang untuk menyegarkan tenggorokanku."
Lalu membuka buli-buli arahnya, dan ditenggak ke dalam mulutnya. Kemudian dengan menggunakan lengan bajunya, ia memesut bekas arak yang membasahi bibirnya. Setelah merasa
puas tenggak araknya, ia angguk-anggukkan kepala kepada Sam-goan Pangcu seraya berkata:
"Lotee, apa hanya beberapa orang tetamu ini saja yang datang?"
Orang tua itu dengan Sam-goan-Lojin merupakan orang yang sebaya usianya, tapi panggil anaknya Sam-goan Lojin 'lotee' atau adik, bagi yang tahu adatnya orang tua itu, sudah tidak anggap hal yang aneh lagi.
Sam-goan Pangcu terpaksa menjawab sambil ketawa getir:
"Siaotit juga merasa heran dengan kejadian ini!"
"Hm! Yang mau datang, siang-siang sudah datang yang tidak mau datang, tidak akan datang lagi!”
"Numpang tanya apa sebabnya?"
"Apa sedikitpun kau tidak dengar?"
Apakah sebetulnya yang telah terjadi?"
"Sepanjang perjalanan kemari, pernah dengar orang kata bahwa berbagai partai dan golongan persilatan, dalam waktu satu malam saja, telah kedatangan seorang jahat yang sangat aneh, sehingga menimbulkan banyak kematian atau luka di antara anak murid partai-partai itu mungkin mereka sedang repot mengurusi partainya sehingga tidak mempunyai kegembiraan untuk datang minum arak kemantin."
Keterangan orang tua itu benar-benar mengejutkan semua tetamu.
"Ada kejadian demikian mengapa siaotit tidak dengar? Entah siapa adanya orang yang sangat aneh itu?" tanya Sam-goan Pangcu kaget.
"Utusan Persekutuan Bulan Emas!"
"Persekutuan Bulan Emas?" demikian terdengar suara pertanyaan riuh dari para tetamu.
Persekutuan yang sangat aneh itu baru beberapa bulan saja sudah muncul di dalam rimba persilatan tapi hanya terdengar desas-desus saja, siapa orang yang tahu siapa pemimpinnya persekutuan tersebut? Juga tiada orangpun tahu bagaimana bentuknya persekutuan tersebut. Lebih-lebih lagi tidak tahu di mana letaknya pusat atau markas besarnya persekutuan itu.
Dengan wajah pucat dan suara gemetar Sam-goan Pangcu berkata:
"Bagaimana bentuknya Persekutuan Bulan Emas itu?”
"Siapa tahu!"
"Siapakah pemimpinnya?"
"Entahlah!"
"Mengapa turun tangan terhadap orang-orang berbagai partai persilatan?"
"Bukan turun tangan, melainkan kirim surat. Dalam surat itu minta agar semua partai persilatan itu angkat Persekutuan Bulan Emas sebagai pemimpin semua partai persilatan. Ini memang merupakan satu permintaan gila, sudah tentu ditolak semua partai. Semula bertengkar mulut, kemudian turun tangan. Utusan itu masing-masing mempunyai kepandaian sangat tinggi, dalam suatu pertempuran sudah tentu ada yang mati ataupun terluka."
"Ini memang ada suatu kejadian aneh yang belum pernah terdengar pada waktu sebelumnya tapi mengapa perkumpulan kita dikecualikan, tidak diganggu?”
“Aku juga tidak mengerti, mungkin hanya soal waktu saja.”
Selama pembicaraan berlangsung, dari ruangan dalam nampak keluar seorang tua yang berambut putih dengan jalannya yang masih gagah.
Semua tamu pada berdiri untuk memberi hormat seraya berkata: “Kami ucapkan selamat kepada locianpwee!”
“Tuan-tuan tidak usah memakai banyak peradatan, silahkan duduk!”
Sam-goan Pangcu buru-buru menyilahkan duduk kepada orang tua itu.
Manusia Gelandangan ketawa bergelak-gelak. Sambil duduk ia lambaikan tangannya seraya berkata:
“Loko, kau sungguh beruntung!”
Orang tua itu adalah Sam-goan Lojin yang mendapat nama baik dalam kalangan rimba persilatan.
Sambil mengurut-urut jenggotnya yang putih panjang Sam-goan Lojin lalu berkata:
“Siaulote, angin apa yang membawa kau kemari? Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu, aku benar-benar merasa sangat beruntung berjumpa lagi denganmu.”
"Haaa, mengarungi lautan dan gelandangan ke seluruh pelosok, itulah pekerjaanku. Aku si siaote ini memang ada seorang yang repot tanpa gawe, asal ada satu hari menganggur saja semangatku entah melayang kemana, tulang-tulangku pada sakit sekarang sukurlah rasanya agak baik untuk menghadapi kerepotan luar biasa, hihi, dalam dunia ini rasanya lebar, kalau sudah bertemu dengan poci arak, hari rasanya amat panjang.”
Sehabis berkata kembali ia tenggak araknya.
"Lotee, kau benar ada seorang yang berpendirian. Betapa besarpun urusannya, kalau sudah mabuk lantas menjadi habis."
Manusia gelandangan membuka matanya yang sudah mabok, dengan sinar tajam ia berkata dengan nada sungguh-sungguh:
"Loko, memang benar urusan ini sangat besar tapi mabok tak boleh habis. Rimba persilatan sudah timbul malapetaka, kebenaran sudah lenyap dan pengaruh jahat mulai merajalela, kita akan menghadapi hari depan yang sangat guram.”
. "Ucapan lotee ini bukan mustahil tidak ada sebabnya."
"Loko nanti akan tahu sendiri.”
Wajah Sam-goan Lojin berubah dengan mendadak. Ia lalu berpaling dan berkata kepada anaknya:
“ Jam bertemunya kedua penganten sudah tiba, mengapa belum kelihatan joli kemantin?"
Pada saat itu kepala pengurus Li-congkoan mendadak lari terbirit-birit masuk kedalam ruangan. Lebih dulu ia memberi hormat kepada Sam-goan Lojin, kemudian dengan sikap gugup, berkata kepada Sam-goan Pangcu:
"Benar-benar ada seorang tetamu muda yang ingin bertemu."
"Dan memang tetamu yang datang hendak menghadiri perjamuan, perlu apa harus dilaporkan, undang saja ia masuk?"
“Tetapi tetamu itu ..."
"Bagaimana?"
"Menurut pemandangan hamba, agaknya dengan maksud tidak baik!"
“Uh, apa dia ada memberitahukan namanya?”
"Dia adalah "Si Penggali Makam" yang belum lama muncul di dunia Kang-ouw, dengan kepandaiannya yang menggemparkan atas kematiannya empat jago pedang Khong-tong-pay cuma dalam tiga jurus, dan dengan satu kali pukul telah merenggut jiwa si Setan Rambut Merah.”
"Apa? Penggali Makam?”
Suara keras dari Sam-goan Pangcu telah mengejutkan semua tamu. Sekalipun Sam-goan Lojin sendiri dan Manusia Gelandangan Ciok Sian Ceng juga berubah wajahnya.
Empat jago pedang Khong-tong-pay adalah jago pedang kenamaan di daerah Tionggoan, sedangkan Setan Rambut Merah adalah seorang yang menakutkan yang sudah beberapa puluh tahun lamanya malang-melintang di dunia Kangouw. Mereka ternyata telah dibinasakan oleh seorang muda yang mempunyai julukan aneh
dengan sebutannya: "Penggali Makam, hanya tiga jurus dan satu kali pukul saja. Betapa hebat kepandaiannya Penggali Makam dapat dibayangkan sendiri. Terutama nama sebetulnya itu, kedengarannya sangat tidak menyenangkan.
Hakekatnya semua tamu yang ada di situ satupun tidak ada yang pernah melihat bagaimana rupanya manusia yang mempunyai gelar aneh itu. Apa yang diketahui hanya atas pendengaran saja, sudah tentu pula mengenai asal-usulnya si Penggali Makam itu, lebih-lebih tidak ada yang tahu.
"Dengan wajah sungguh-sungguh Sam-goan Pangcu menanyai Manusia gelandangan.
"Soesiok sudah menjelajahi seluruh negeri, tahukah dari mana asal usulnya Penggali Makam?”
“Belum pernah lihat,” jawabnya sambil geleng-gelengkan kepala. “Kalau sudah melihat, mungkin aku dapat menduga asal usulnya.”
"Kalau begitu sebaiknya undang dia masuk saja?"
"Sudah tentu orang yang datang adalah tamu. Lagi pula hari ini adalah hari baik atas pernikahan putrimu. Apa maksudnya kedatangan tamu itu, kita masih belum tahu, bagaimana kita harus tolak? Apakah itu tidak akan membuat tertawaan orang?"
"Kalau begitu, Li congkoan, kau undang tamu itu masuk!"
"Ya!''
Kepala pengurus itu keluar. Dari pintu tengah terdengar suara orang yang mengundang tamu itu masuk.
Setiap orang yang ada disitu, dengan perasaan aneh menantikan kedatangan orang yang mempunyai gelar aneh itu. Mereka ingin menyaksikan bagaimana rupanya orang itu.
Tidak antara lama, sesosok bayangan orang muncul. Dalam pandangan mata banyak orang dengan serentak para tamu pada narik napas panjang. Dalam perkiraan mereka, orang yangmempunyai gelar Penggali Makam itu tentunya ada satu manusia dengan wajah buas yang menakutkan, tapi tidaklah
demikian kenyataannya. Apa yang muncul di hadapan mereka, ternyata cuma satu anak muda yang usianya belum cukup duapuluh tahun, dengan potongan muka yang cakap ganteng badan pada tegap dengan pakaian yang ringkas berwarna putih-putih sesungguhnya merupakan satu tipe yang sangat ideal bagi satu pemuda tampan, yang penuh daya penariknya.
Tangan pemuda itu membawa satu buntelan. Mungkin itu ada barang sumbangan. Dergan tindakan tenang berjalan masuk ke dalam ruangan besarnya.
Setelah semua orang sudah menyaksikan dengan tegas air muka pemuda itu, dalam hati setiap orang timbul rasa heran. Sikapnya yang dingin dan sinar matanya yang mengandung perasaan dendam dan kebencian, menimbulkan rasa bergidik bagi siapa yang melihatnya. Seolah-olah setiap orang yang ada didalam ruangan itu, ada mempunyai permusuhan hebat dengannya. Sikap itu sangat tidak sesuai dengan potongan muka dan badannya tapi sipat dengan nama gelarnya: 'Penggali Makam'.
Sam-goan Pangcu sudah keluar menyambut kedatangan tamu, sambil angkat tangan ia berkata:
"Kedatangan siaohiap ke perkampungan kami, aku belum sempat menyambut dengan sempurna, mohon supaya dimaafkan."
Pemuda itu membalas hormat sambil angkat tangan seraya berkata:
"Ah, pangcu terlalu merendah," dengan suara dingin, dan setelah mengucapkan perkataan yang sangat singkat itu, lantas tutup rapat lagi mulutnya sepatahpun tidak ada yang keluar lagi.
Setelah masuk ke dalam ruangan, terhadap semua tetamu agaknya acuh tak acuh, sepasang matanya cuma ditujukan kepada Sam-goan Pangcu seorang. Kemudian ia menanya:
"Tuan adakah Sam-goan Pangcu?"
"Benar, siaohiap bergelar Si Penggali Makam?"
"Benar!"
"Numpang tanya nama siaohiap yang mulia?"
"'Namaku yang rendah Hui Kiam!"
"Aaaah! Kedatangan Hui siaohiap ini....."
"Atas permintaan seseorang, untuk menyampaikan barang sumbangan. Di samping itu, juga ingin minta sedikit keterangan dari pangcu.”
Sehabis berkata, ia letakkan bungkusan itu ke atas meja baru mengawasi semua orang yang berada dalam ruangan itu dengan pandangan matanya yang dingin dan mengandung rasa dendam kebencian, hingga menimbulkan perasaan tidak enak bagi yang dipandangnya.
Sam-goan Pangcu berkata sambil menunduk kepada ayahnya:
"Inilah ayahku!"
"Lo pangcu baik-baik!"
“Ini adalah Manusia gelandangan Ciok Siao Ceng."
"Oh, nama besar ini aku sudah lama dengar,” katanya sambil melirik orang tua aneh itu.
"Ini adalah ...."
Demikianlah Tan pangcu perkenalkan satu persatu para tamunya, kemudian mempersilahkan Hui Kiam duduk.
Sambil mengawasi bingkisan antaran itu, Sam-goan pangcu berkata pula:
"Numpang tanya Hui siaohiap atas permintaan siapa, membawa barang antaran ini?"
"Dalam perjalanan kemari di tengah jalan aku berpapasan dengan satu nona, yang minta aku mengantarkan barang sumbangan ini kemari. Sayang ia tidak mau memberitahukan namanya. Ia cuma kata bahwa pangcu nanti setelah melihatnya pasti akan tahu sendiri!”
"Oh!"
Dengan perasaan heran Sam-goan pangcu maju ke depan meja dan membuka bungkusan itu ….
Sementara itu, Hui Kiam sedang berbicara dengan Manusia Gelandangan.
"Tidak nyana di sini aku berjumpa dengan Ciok locianpwee, benar-benar ...."
Manusia gelandangan delikkan matanya, dengan suara gusar:
"Bocah kurang ajar, apa locianpwee, locianpwee …. "
Hui Kiam melongo, mendadak ia tersadar, maka lantas berkata pula:
"Ciok loheng ...."
Apa loheng, loheng? Ciok-heng saja toch sudah cukup!”
“ Oh, ya Ciok-heng ....”
Pembicaraan mereka itu mendadak dikejutkan oleh suara teriakan Sam-goan pangcu: “Bagus benar kau... Penggali makam… kau… kau....”
Tiba-tiba terdengar pula suara jeritan yang keluar dari mulut orang lain. “Kepala manusia!”
Suara itu segera menimbulkan kegemparan. Semua tamu pada berbangkit, dari tempat duduknya semua mata ditujukan kepada bungkusan di atas meja itu.
Di atas meja, selembar kain sutra yang sudah terbuka. Tertampak sebuah kotak indah dari kotak itu ada beberapa lapis kertas minyak dan dalam kertas minyak itu ternyata ada satu kepala manusia yang masih berlumuran darah, nampaknya mati belum lama.
Kepala manusia dibuat barang sumbangan di hari perkawinan, ini benar-benar merupakan suatu kejadian ganjil dalam sejarah.
Wajah Sam-goan pangcu nampak pucat pasi, badannya gemetar, matanya terbuka lebar, dengan sikap sangat marah menatap wajah Hui Kiam, seolah-olah ingin menelan hidup-hidup tetamunya itu.
Wajah Hui Kiam juga berubah. Sepasang matanya mengunjukkan sinar beringas tapi sebentar kemudian sudah pulih seperti biasa, hanya sikapnya dingin, nampak semakin dingin guram seolah-olah hawa udara yang sedang dilimuti oleh awan gelap.
Semua mata memandang Hui Kiam dengan perasaan marah.
Sam-goan Lojin jenggotnya bergerak-gerak, sepasang alisnya berdiri, matanya beringas.
Mata manusia gelandangan yang seperti matanya orang mabuk, kini juga terbuka lebar, dengan sinar tajam mengawasi kotak itu.
Seorang tua dengan suara gemetar berkata:
"Ini apakah bukan kepalanya bakal kemanten lelaki Auw-yang Khin-siaoya?"
Kemarahan timbul dalam hati setiap orang dari para tamu lantas terdengar suara riuh:
"Bunuh!"
Pesta perkawinan mendadak berubah menjadi tempat kematian ini benar-benar di luar dugaan semua orang. Suasana segera diliputi kedukaan, kematian, kegusaran dan… nafsu pembunuhan.
Siapapun tidak akan menyangka bahwa barang antaran itu ternyata adalah kepalanya bakal kemantin lelaki.
Beberapa puluh anak buah yang termasuk golongan orang kuat segera memasuki ruangan tamu itu.
Hui Kiam merupakan sasaran utama mereka.
Dengan suara menggeleger Sam-goan pangcu membentak:
"Penggali makam, aku hendak cincang badanmu!”
Bibir Hui Kiam bergerak, sikapnya tidak berubah, dengan nada suaranya yang dingin ia berkata:
"Pangcu, aku jelaskan padamu dalam soal ini kita telah dipermainkan orang?"
"Hm, apa hanya dengan sepatah keterangan ini, kau kira sudah cukup untuk mengelakkan tanggung jawabmu?"
'Tidak perlu untuk mengelakkan."
"Siapa yang membunuh?”
"Aku tidak tahu!”
"Perkataan ini juga tidak bisa membohongi anak umur tiga tahun!"
"Menurut pikiran pangcu bagaimana?”
"Membunuh orang harus ganti jiwa!"
Begitu menutup mulut tangan kanannya dengan kecepatan bagaikan kilat sudah menyambar sedang tangan kirinya dengan secara ganas menotok jalan darah badan Hui-Kiam seolah-olah hendak mengambil jiwa Hui-Kiam untuk melampiaskan amarahnya.
Dengan tenang Hui-Kiam geser kakinya serangan demikian cepat dari Sam-goan pangcu ternyata sudah menubruk tempat kosom! Hingga semua tetamu, termasuk Manusia Gelandangan yang sudah mempunyai banyak pergalaman, tiada seorangpun yang tahu, ilmu apa dan dari golongan mana yang digunakan oleh anak muda itu, hingga semua pada terperanjat dan terheran-heran.
Sam-goan pangcu yang sudah dapat didikan dan warisan semua kepandaian avahnya, dengan serangan yang sudah bertekad hendak mengambil jiwa anak muda itu, ternyata tidak mampu menyentuh baju si anak muda itu benar-benar merupakan suatu kejadian di luar dugaannya, tidak heran kalau ia semakin gusar, hingga menyerang lagi untuk kedua kali.
Hui Kiam masih tetap dengan sikapnya yang tenang, mengelakkan serangan tersebut. la tidak balas menyerang.
Sam-goan pangcu semakin penasaran, kembali menyerang dengan menggunakan telapak dan jari tangannya, beruntun
masing-masing tiga kali serangan tangan dan empat kali serangan dengan jari. Serangan ini merupakan suatu tipu serangan yang membuat Sam-goan Lojin mendapat nama sebagai salah satu orang kuat dalam kalangan Kang-ouw. Tipu serangan itu, dinamakan 'Sam-goan sie-hie', orang-orang dalam kalangan Kang-ouw yang mampu menyambuti serangan itu, jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Tapi Hui Kiam dengan gerakannya yang gesit dan lincah, bagaikan bayangan berkelebat, ia sudah berhasil menyingkir dari serangan hebat itu, sementara itu mulutnya berkata:
"Aku telah dipermainkan orang, sehingga melakukan perbuatan sesuatu kurang sopan ini, sudah seharusnya aku mandah menerima serangan sampai tiga kali, sebagai tanda permintaan maaf.”
Sam-goan Pangcu menghardik:
"Penggali makam, betapapun pandainya kau main lidah, kami tidak dapat menerima begitu saja, maka kalau kami tidak dapat mampu menghancurleburkan tubuhmu, aku bersumpah tidak akan menjadi orang lagi!"
Hui Kiam cuma kerutkan alisnya. Sikapnya tetap dingin tidak mengunjukkan reaksi apa-apa.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring:
"Penggali makam Iblis, serahkan nyawamu!”
Seorang wanita muda dengan air mata berlinang-linang dan tangan menggenggam pedang telah muncul ke dalam ruangan taman itu. Meski sikapnya sedang kalap, tapi masih tidak mengurangi kecantikan parasnya.
Sam-goan pangcu memanggil dengan suara agak gemetar:
“Hiang-kun, kau jangan turut campur tangan. Biarlah ayahmu yang membereskan."
Gadis itu seperti tidak dengar. Dengan mata beringas ia memandang Hui-Kiam kemudian menyerang dengan pedangnya yang dielakkan oleh Hui Kiam dengan baik.
Serangan kedua menyusul, begitu pula serangan ketiga.
Ketika serangan ke empat melurcur keluar, Hui Kiam ulur tangan. Dengan kedua jari tangannya dia menjepit ujung pedang si nona, hingga pedang si nona tidak bisa berkutik.
Tapi gadis itu tidak mau mengerti, dengan tangan kiri ia menyerang enam bagian jalan darah Hui Kiam. Serangan itu merupakan suatu tipu serangan aneh dan jarang tampak dalam rimba persilatan, namun Hui Kiam agaknya tidak pandang mata sama sekali, ia biarkan dirinya diserang oleh si nona.
Enam jalan darah itu masing-masing terkena totokan satu jari tangan, tapi Hui Kiam hanya bergoyang sedikit, tubuhnya tidak terluka apa-apa.
"Aaaaaa........." demikian terdengar suara riuh yang keluar dari mulut para tetamu.
Sam-goan Pangcu bergerak maju dan menyerang Hui Kiam dengan hebatnya.
Dua jari tangan Hui Kiam yang menjepit ujung pedang si nona tidak dilepas, dengan mengibaskan tangan kiri ia menyambuti serangan Sam-goan pangcu.
Suara ‘Bum’ yang keluar karena terbenturnya kedua kekuatan, terdengar nyaring. Sam-goan pangcu terpental mundur sampai tiga tindak dengan mata dan mulut terbuka lebar.
* Dengan nada …. Hui-Kiam berkata:
"Nona ba… adalah Giok-lie Tan-Hiang Kun?”
"Benar!”
"Aku yang rendah minta maaf kepada nona. Apakah nona mau dengar keteranganku?"
"Aku hendak bunuh mati kau!”
“Nampaknya tidak ada gunanya aku banyak bicara, biarlah kenyataannya nanti yang akan membuktikannya. Sekarang aku minta diri.”
Sehabis mengutarakan demikian ia lepaskan kedua jari tangannya lalu balikkan badannya dan berjalan keluar.
Tujuh atau delapan anak buah dengan lintangkan pedang masing-masing merintangi perjalanan Hui Kiam.
"Serahkan jiwamu!" demikian terdengar suara Tan Hiang Kun, yang lantas menikam Hui Kiam dari belakang.
Dengan tanpa menoleh Hui Kiam kibaskan tangannya. Sungguh hebat kesudahannya, pedang Tan Hiang Kun hampir terlepas dari tangannya sedang badannya sempoyongan mundur.
"Kamu mundur!" demikian terdengar suara nyaring yang keluar dari mulut Sam-goan Lojin.
Hingga saat itu, jago tua itu baru buka mulut. Dengan kedudukannya dalam perkampungan itu, suara jago tua itu bagai firman raja hingga semua anak buah Sam-goan Pangcu yang merintangi Hui Kiam, lantas pada mundur semuanya, begitu juga dengan Sam-goan Pangcu dan puterinya.
"Sahabat kecil, balikkan badanmu!"
Hui Kiam menurut.
Sam-goan Lojin berbangkit dari tempat duduknya, sikapnya nampak sangat sungguh-sungguh, tapi suaranya luar biasa tenangnya.
"Sahabat kecil, siapa suhumu dan dari mana asal usulmu?"
“Maaf boanpwee tidak dapat menerangkan.”
"Emm! dengan maksud apa kau membunuh dan mengantar kepala orang kemari?”
"Tadi sudah berkali-kali boanpwe memberi keterangan bahwa hal itu adalah perbuatan orang jahat yang hendak mempermainkan boanpwee!”
“Hanya itu saja, agaknya tidak dipercaya begitu saja.”
“Kenyataan memang demikian boanpwee tidak bisa berbuat lain cuma mengenai urusan ini boanpwee bersumpah hendak menyelidiki sampai terang.”
“Sedikitnya kau harus memberitahukan suhumu dan asal usulmu serta dari golongan mana si pembunuh yang sebenarnya?”
Tentang ini maaf, boanpwee tidak sanggup menjelaskan.”
"Sudah beberapa puluh tahun lohu tidak campur tangan urusan dunia Kangouw, kau tentunya tidak akan paksa lohu untuk membuka pantangan membunuh bukan?"
Ucapan jago tua itu nampaknya sangat tentu segera dimengerti oleh Hui Kiam.
Dengan sikap tidak berubah Hui Kiam menjawab:
"Jika locianpwee mempercayai boanpwee, berikanlah waktu beberapa hari, boanpwee nanti akan menyelesaikan perkara ini, jikalau tidak, terserah kehendak locianpwee!”
“"Kau jangan kira bahwa kepandaianmu boleh diandalkan."
"Boanpwee tidak ada maksud demikian.”
"Jawaban ini belum memuaskan lohu!"
“Tapi boanpwee cuma bisa menjawab demikian!”
Jago tua itu perdengarkan suara dari hidung kemudian lompat maju, dan ulur tangan kanannya menyambar tangan Hui Kiam.
Gerakan itu nampaknya biasa saja tapi ternyata ada mengandung banyak perubahan luar biasa.
Dengan turun tangannya jago tua itu sendiri, sudah tentu menarik perhatian semua tamu. Semua ingin menyaksikan kepandaiannya jago tua itu. Selain dari pada itu, juga ingin tahu sampai di mana kemampuan anak muda, yang menyebut dirinya Penggali Makam itu, untuk menghadapi lawannya.
Hui Kiam putar tubuhnya, dengan gerakan luar biasa ia berhasil mengelakkan sambaran tangan itu. Semua orang yang
menyaksikan pada terkejut, gerakannya itu hampir merupakan ilmu gaib.
"Locianpwee ada orang tua, boanpwee seharusnya mengalah!"
Jago tua itu tidak pedulikan sikap mengalah Hui Kiam, ia melanjutkan serangannya. Selanjutnya, terbentanglah suatu pertempuran luar biasa. Apa yang disaksikan oleh para tamu hanya berkelebatnya dua bayangan orang yang berkibaran di sebidang tempat yang kira-kira satu tombak lebih, sehingga membuat kabuar mata setiap orang, mereka tidak dapat melihat dengan nyata gerakan apa yang digunakan oleh kedua pihak.
Hembusan angin yang keluar dari kekuatan tenaga dalam, membuat yang menonton terpaksa mundur jauh-jauh, hanya Manusia Gelandangan yang masih tetap duduk di tempatnya tanpa goyah.
Mendadak dua orang yang sedang bertempur itu berpencaran. Siapa ia tidak tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah, hanya pakaian kedua orang itu terdapat banyak lubang, dari sini dapat dibayangkan betapa hebatnya pertempuran tersebut.
"Ambil pedang!" demikian terdengar suara Sam-goan Lojin, dan Tan Hiang Kun dengan cepat memberikan pedangnya.
“Hunus pedangmu!" katanya pula terhadap Hui Kiam.
Wajah Hui Kiam nampak adanya perubahan, kemudian menjawab dengan nada suara dingin:
"Boanpwee tidak inginkan adanya pertumpahan darah di sini!"
"Lohu suruh kau hunus pedang!" bentaknya Sam-goan Lojin.
"Engkong, kematian iblis ini masih belum cukup untuk menebus dosanya, perlu apa banyak bicara dengannya."
Dengan sinar mata dingin, gemes, penuh rasa benci dan menakutkan, Hui Kiam mengawasi Tan Hian Kun, sehingga membuat si nona bergidik, tapi semua itu tidak mengurangi rasa dendam sakit hatinya! Ya, di waktu perkawinannya, kepala bakal suaminya telah dipenggal, kemudian diantar sebagai barang
sumbangan, ini bukan saja sangat keterlaluan tapi juga berarti membikin musnah keberuntungan dan kebahagiaan untuk seumur hidupnya.
“Hunus pedangmu! Kalau lohu sudah turun tangan, kau nanti sudah tidak dapat kesempatan lagi!"
Jago tua ini ada seorang berjiwa besar, sekalipun terhadap musuhnya ia ingin tetap berlaku kesatria, benar-benar sangat mengagumkan.
Hui Kiam terpaksa menghunus pedangnya. Gerakannya lambat-lambat….
Suasana semakin gawat. Semua orang menahan napas.
Selagi pertempuran hendak berlangsung, Manusia Gelandangan mendadak membuka mulut:
“Loko, dengar dulu kata siaotee, biarlah ia pergi!” demikianlah katanya.
Sam-goan Lojin memandang ke arah Manusia Gelandangan. Sejenak ia nampak heran kemudian berkata:
"Apa, Siaolotee? Maksudmu biar ia pergi?"
Usul orang tua aneh itu bukan saja tidak dimengerti oleh Sam-goan Lojin, tapi juga mengejutkan dan mengherankan semua orang.
Manusia Gelandangan kepandaiannya tidak dapat dijajaki. Sejak tadi ia terus menyaksikan perkembangan kejadian itu dengan mata dingin. Sekarang mendadak mengusulkan supaya melepaskan pemuda yang dianggap sebagai pembunuh dan biang keladi peristiwa ini, benar-benar merupakan suatu kejadian luar biasa.
Dengan sikap sungguh-sungguh dan nada sungguh-sungguh Manusia Gelandangan berkata:
“Benar, loko, biarlah ia pergi!”
"Kenapa?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut Sam-goan Lojin, Sam-goan Pangcu dan puterinya dengan serentak.
"Ya, menurut penglihatanku, jikalau tidak keliru, apa yang ia katakan itu memang benar, aku Ciok Siao Ceng suka menanggung resiko, memikul tanggung jawabnya, biarlah, loko bersabar dulu, bagaimana?”
Sam-goan Lojin nampaknya merasa keberatan, alisnya dikerutkan, tidak menjawab, sedangkan Sam-goan pangcu dan putrinya dengan wajah penuh hawa amarah mengawasi si Manusia Gelandangan, tapi mereka tidak berani membuka mulut.
Hui Kiam memandang Manusia Gelandangan dengan sorot mata berterima kasih, tapi apa yang terkandung dalam pandangan matanya itu, sesungguhnya tak mudah dilihat, sebab dalam mata orang banyak, sikap dingin pemuda itu benar-benar bagaikan patung hidup atau manusia berhati batu.
Manusia Gelandangan meski seorang beradat aneh dan suka berlaku jenaka, tapi dapat meninjau sesuatu kejadian di sekitarnya dengan kepala dingin dan hati cemas, sedikitpun tak akan terlepas dari matanya. Pandangan mata Hui Kiam itu menambah keyakinannya, hingga ia merasa puas. Kemudian berkata pula:
"Loko, apa kau tidak percaya padaku?”
Pertanyaan ini keluar dari mulutnya Manusia Gelandangan nampaknya sangat berpengaruh. Sam-goan Lojin lantas menjawab sambil gabrukkan kakinya:
"Baiklah, aku Tan Peng sudah tidak bisa kata apa-apa lagi.”
Kemudian dengan mata bengis ia memandang Hui Kiam seraya berkata:
"Sahabat kecil, kau boleh pergi. Ingat, urusan ini belum selesai, kau harus menyelesaikan baik!”
“Boanpwee tidak akan lupa!” jawabnya dengan nada suara dingin.
“Ayah . . . kau . . . “ berseru Sam-goan pangcu.
"Jangan banyak bicara!" bentaknya sang ayah.
Dengan sinar mata membenci Sam-Goan pangcu memandang Hui Kiam kemudian melengos ke arah lain, sedang Tan Hian Kun lantas menangis dan lari ke dalam.
Semua tamu merasa tidak senang terhadap keputusan tersebut, tapi karena keputusan itu keluar dari mulutnya Sam-goan Lojin, bahkan keluar dari usul dari Manusia Gelandangan apalagi bila ditilik kepandaian dan kekuatan penggali makam, kecuali kedua jago tua itu yang masih belum diketahui dengan pasti, tiada seorangpun yang ada disitu merupakan tandingan Penggali Makam, maka semua lantas diam.
Hui Kiam mengawasi Manusia Gelandangan sejenak. Sikapnya mengunjukkan keragu-raguannya.
Pada saat itu seorang anak buah Sam-goan pang masuk dari luar sambil membawa bungkusan merah, yang kemudian berlutut di hadapan Sam-goan pangcu seraya berkata:
"Pangcu, di sini ada tamu yang mengantarkan antaran ini.”
Sam-goan pangcu kerutkan alisnya, ia sambuti barang itu, dan segera dibukanya. Wajahnya nampak berubah. Dalam bungkusan itu
Halaman 47-48 tidak ada
Di belakang punggung orang itu ada membawa bingkisan indah. Semua tamu pada berbangkit untuk memberi jalan. Baru tiba di ambang pintu, orang itu sudah berkata dengan suaranya yang lantang:
"Utusan persekutuan Bulan E nas, atau utusan pemimpin kami, datang menyampaikan dengan ini mengunjungi Sam-goan Lojin dan Manusia Gelandaugan."
Sam-goan pangcu sambut padanya di pintu ruangan, sambil memberi hormat ia berkata:
"Silahkan masuk."
Utusan Bulan Emas itu memandang pada tetamu seputaran, lantas berjalan masuk dengan tindakan lebar, kemudian berkata sambil memberi hormat kepada Sam-goan Lojin dan Manusia Gelandangan:
“Sedikit bingkisan ini, mohon, kedua locianpwee sudi menerima dengan tenang!"
Ia lalu membuka bungkusan di belakang punggungnya, lalu diletakkan dan dibuka di atas meja.
“Aaaa” demikian dari para tamu terdengar suara teriakan pelahan. Di atas itu tersebar beberapa puluh butir mutiara sebesar buah kelengkeng yang memancarkan sinar berkilauan dan beberapa puluh butir intan berlian serta batu giok dan yang berwarna indah, selain daripada itu juga ada sebuah kotak yang berisi sebatang pohon obat mujijat.
Barang-barang itu merupakan barang-barang 'yang sangat berharga yang tidak mudah didapat.
Utusan Bulan Emas itu membagi barang-barang itu menjadi dua, kemudian undurkan dirinya.
Semua orang memandangnya dengan mata terbelalak.
Sam-goan Lojin agaknya tidak tertarik sama sekali oleh pameran barang berharga itu. Ia berkata dengan suara datar:
“Tuan datang di kampung kami, entah ada keperluan apa?"
“Pemimpin kami sudah lama mendengar nama besar kedua cianpwee, karena khawatir tidak ada jodoh untuk bertemu muka dengan kedua cianpwee, hingga utus kami datang untuk menyampaikan hormat serta mengantarkan sedikit barang.”
Semua orang mendengarkan dengan menahan napas, hingga suasana dalam ruangan itu nampak sangat tegang.
Persekutuan Bulan Emas itu belum lama muncul di rimba persilatan, dalam mata dan hati orang-orang rimba persilatan, masih merupakan satu teka-teki.
Dengan sikap sungguh-sungguh Sam-goan Lojin menjawab:
"Bagaimana sebutan pemimpin tuan, mengapa di atas karcis tak terdapat namanya?"
“Tentang ini maaf, kami tidak dapat memberitahukan."
"Emmm....., pemimpin tuan minta tuan menyampaikan kabar apa?''
"Pemimpin kami karena mengingat keadaan rimba persilatan makin hari makin busuk berbagai partai persilatan saling cakar suasana tidak satu hari tentram terang hingga timbul keinginan untuk memperbaiki keadaan tersebut sedapat mungkin hendak menghentikan pertikaian dan adu kekuatan supaya rimba persilatan dapat dipersatukan…."
Manusia Gelandangan mendengarkan sejenak lalu berpaling dan berkata kepada Utusan Bulan Emas:
"Kepandaian ilmu silat dalam dunia sebenarnya memang berasal dari satu sumber tapi karena berbagai partai persilatan ada mempunyai sumber tersendiri-sendiri meski partainya berlaianan bentuk dan ilmu kepandaiannya tapi tujuannya tetap satu. Umpama manusia yang melahirkan anak-anak juga ada yang pandai pandai, bodoh, baik, jahat, tidak berbakti dan sebagainya ini adalah suatu soal yang wajar, kalau ilmu silat yang terdiri daribeberapa aliran itu hendak dipersatukan, lohu tidak setuju.”
Wajah utusan itu lantas berubah kemudian berkata:
“Kami sebagai utusan hanya menjalankan perintah untuk menyampaikan saja, mengenai pendapat locianpwee tidak berani menyanggahi apa-apa!"
“Tapi bagaimana dengan pikiran pemimpin tuan?"
"Mengajak kedua locianpwee masuk persekutuan, bersama-sama melaksanakan tujuan tersebut!"
"Usia lohu sudah lanjut, sudah lama mengasingkan diri dari dunia Kang-ouw. Harap tuan sampaikan kepada pemimpin tuan, lohu mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.
“Harap locianpwe pikir masak-masak!”
"Tidak perlu. Ucapan lohu cukup kiranya sampai di sini saja. Barang antaran ini lohu tidak berani terima, harap tuan terima kembali.”
Wajah utusan itu kembali berubah, ia tidak berani menjawab, ia lalu berpaling dan berkata kepada Manusia Gelandangan:
“Bagaimana dengan pikiran tuan?”
Manusia Gelandangan berpikir sejenak, baru menjawab lambat-lambat:
"Aku Ciok Siao Ceng, si gelandangan di mana-mana tidak mendapat hasil apa-apa, ada tempat untuk meneduh, boleh juga!”
"Kalau begitu tuan berarti menerima baik masuk persekutuan kami?"
"Hmmmm, boleh kupikir-pikir dulu!"
Sam goan Lojin lantas berkata:
"Siao lotee! Tindakanmu ini agaknya, tidak sesuai dengan pendirian hidupmu selama ini."
"Loko, setiap orang mempunyai cita-cita sendiri bukan?" jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Kau….”
“Apa loko menganggap bahwa aku keliru?”
“Kita kenal telah 20 tahun, aku menganggap sudah tahu benar watakmu, nampaknya anggapanku ini ada keliru!”
“Loko, kau tidak salah, hanya kalau ingin mengetahui keadaan seseorang, mesti diselediki sedalam-dalamnya.”
“Kalau begitu kau sudah mengambil keputusan demikian?”
Manusia Gelandangan mengangkat buli-buli araknya dan ditenggakkan ke dalam mulutnya. Sehabis puas meminum, ia berkata:
“Kini orang-orang Kang-ouw ini hampir seumur hidupnya mempelajari ilmu silat dengan tekun, apakah tujuannya. Dan inilah saatnya!”
Wajah Sam-goan Lojin nampak berkericut, jenggotnya berkibaran, agaknya sangat gusar. Dengan suara agak gemetar ia berkata:
"Ciok Sian Ceng. bukankah kau sering berkata: "sudah cukup senang dimasa hidupnya dapat menenggak secawan arak, untuk apa mati membawa-bawa nama? Mengapa sekarang kau rubah pendirianmu, dengan tanpa memperhitungkan untung ruginya, kau mengejar nama kosong!”
"Saatnya sudah berlainan! Loko, ingat bahwa setiap orang mempunyai cita-cita sendiri.”
"Tahukah kau apa yang kau sedang lakukan?"
"Menegakkan keadilan dunia Kang-ouw!"
"Menegakkan keadilan? Hahaha! Ciok Siao Ceng, kau tentunya bukan sungguh smgguh?”
"Aku si orang she Ciok selamanya mentaati ucapan ysng sudah keluar dari mulutnya, ini sungguh-sungguh bukan main-main."
“Apa kau hendak membantu Persekutuan Bulan Emas untuk menguasai dunia?"
"Menguasai dunia tidak tepat......."
"Ciok Siong Ceng, aku Tan Peng hari ini baru tahu kau orang macam apa. Sekarang silah!"
“Apa? Loko mengusir?”
Wajah Sam-goan Lojin pucat pasi, dengan pedang menggurat di atas tanah, ia berkata:
“Silahkan!”
Ow! Maksud Loko hendak memutuskan perhubungan. Apa tindakan loko ini tidak keterlaluan?”
“Ini sudah terhitung satu tindakan yang paling pantas. Silahkan barang permata itu sangat berharga, kau bawalah semuanya.”
Manusia Gelandangan benar-benar lantas berbangkit. Ia ambil sebagian barang antaran itu dan masukkan ke dalam kantongnya yang besar lalu tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata kepada Utusan Bulan Emas.
“Aku hendak jalan lebih dulu!”
“Silahkan!” sahut utusan itu.
Manusia Gelandangan dengan sikapnya yang jenaka ngeluyur keluar. Di belakangnya terdengar suara tarikan napas dan makian yang keluar dari mulut para tetamu Sam-goan Lojin.
Sam-goan Lojin mengawasi dengan mata melotot, sedang Sam-goan pangcu memandang dengan muka pucat. Satu-satunya orang yang tidak mengunjukkan reaksi apa-apa hanya Hui Kiam itu pemuda dengan julukan penggali makam, ia masih tetap dengan sikapnya yang dingin, siapapun tak tahu apa yang sedang dipikiri.
Utusan Bulan Emas membuka suara dengan nada jumawa dan dingin.
"Locianpwee, urusan sudah kusampaikan, kami minta diri."
“Tunggu dulu!”
Utusan itu mengangkat muka, tanyanya:
“Locianpwee masih ada pesan apa lagi?”
“Barang antaran ini aku tidak berani terima. Harap terima kembali.”
“Ini hanya sekedar maksud baik pemimpin kami. Harap locianpwee suka terima dengan senang hati.”
"Lohu tidak berani terima.”
"Permintaan kami barusan kalau locianpwe tidak setuju sudah saja. Tapi barang antaran ini harus locianpwe terima."
"Tidak!"
"Kami sebagai seorang bawahan cuma berbuat menurut perintah saja tidak bisa mengambil keputusan sendiri........"
Sam-goan pangcu melintang di depan utusan itu seraya berkata:
“Harap tuan bawa pulang barang-barang itu.”
"Pangcu, kami tadi sudah katakan bahwa kami hanya melakukan perintah saja. Perlu apa pangcu menyulitkan kedudukan kami?"
"Perbuatan tuan ini berani datang ke rumah orang untuk melakukan penghinaan tapi Sam-goan-pang jangan kau pandang enteng!”
"Tan pangcu, kami datang menurut tata tertip dunia Kang-ouw, bagaimana kau katakan datang menghina?"
"Tapi tuan paksa orang untuk menerima barang antaran?"
“Mengantar barang berarti menghormat.”
"Tidak berjasa tidak boleh menerima hadiah. Terima kasih!”
"Kami sudah berkata bahwa kami tidak bisa ambil putusan sendiri!"
“Sekali lagi kukatakan, harap kau bawa pulang!"
"Kalau tidak bagaimana?
"Barangkali aku terpaksa akan bertindak.”
Utusan Bulan Emas ketawa terbahak-bahak. Dengan sikap menantang ia berkata:
"Pangcu bertindak harus pikir masak-masak lebih dahulu, jangan menurut hawa nafsu."
"Bagaimana?"
"Apa pangcu tidak memikirkan bahwa tindakan pangcu ini berarti satu penghinaan maupun tidak pandang mata.”
“Pendeknya kau bawa saja barang itu.”
"Maaf kami tidak sanggup!"
Sam-goan Lojin berdiri sambil kibaskan lengan jubahnya, katanya dengan suara gusar:
"Tidak ada aturan memaksa orang terima barang antaran. Tuan datang kemari merupakan tetamu kita, aku sudah berlaku sepantasnya terhadap tetamu, tapi karena rumah tangga kami sedang mengalami kesusahan, terpaksa berlaku kurang sopan. Harap tuan terima kembali barang-barang antaran itu. Tolong sampaikan kepada pemimpin tuan, bahwa kita berterima kasih atas perhatiannya.”
“Barang antaran ini kami tidak bisa terima kembali, hanya pesan locianpwee ini kami pasti akan saya sampaikan. Kami minta diri!"
Sambil menyoja utusan itu lantas balikkan badan berjalan keluar ....
Semua anak buah Sam-goan pang mengawasi dengan sikap gusar, tapi karena tak ada perintah mereka tidak berani bertindak.
Sam-goan pangcu lompat maju. Tetap merintangi berlalunya utusan itu, ia berkata tegas:
"Kalau tuan tidak bawa barang-barang antaran ini, jangan harap bisa keluar dari sini!”
Utusan itu pelototkan matanya dan berkata:
“Apa pangcu hendak menahan orang?”
"Mungkin !"
"Barangkali tidak mungkin!"
"Coba saja!”
"Kami ingin meninggalkan sedikit rasa persahabatan untuk hari kemudian, saat ini tidak ingin turun tangan."
Dengan gerakan yang gesit sekali, utusan itu sudah memutari Sam-goan pangcu, sebentar saja sudah berada di luar pintu.
"Jangan lari!”
Tujuh lebih anak buah Sam-goan pang bergerak dengan serentak merintangi utusan itu, sementara para tamu yang berada di ruangan tamu, pada bergerak ke pekarangan luar.
“Minggir!” demikian terdengar suara bentakan Utusan Bulan Emas sambil kibaskan tangannya.
Anak buah Sam-goan-pang yang hendak merintangi padanya pada mundur sempoyongan.
Sam-goan pangcu maju beberapa tindak dan melancarkan serangan dengan tangan kosong.
Utusan Bulan Emas menangkis dengan tangannya. Sam-goan pangcu terpental mundur.
Sam-goan pangcu tidak sanggup menahan tangkisan satu utusan, maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian dan kekuatan Utusan Bulan Emas.
Di antara para tetamu tiba-tiba muncul dua orang tua, satu di antaranya membentak:
“Sahabat, kau terlalu menghina orang!”
Dengan sinar mata dingin Utusan Bulan Emas menyapu dua orang itu, lalu berkata:
“Oh, dua jago dari Seecoan Timur, kalau kalian tahu diri jangan coba-coba campur tangan.”
“Kawanan tikus, kau terlalu jumawa.”
Sesaat kemudian, mendadak terdengar suara “Ouw! Ouw!” yang mengerikan, lalu disusul muncratnya darah merah, dan dua jago dari See-coan Timur itu sudah rubuh dua-duanya, sementara itu
Utusan Bulan Emas dengan tenang masukkan pedang kedalam sarungnya.
Perbuatan Utusan Bulan Emas sedemikian gesitnya. Ia menghunus pedangnya dan membunuh dua lawannya secara di luar dugaan, hingga membuat lawannya tidak keburu bergerak tahu-tahu sudah diserang dan rubuh binasa. Tindakan itu membikin geger semua orang.
---ooo0dw0ooo---
JILID 2
S A M - G O A N Lojin dan anaknya maju menghampiri. Dengan alis berdiri Sam-goan Lojin berkata:
“Kau berani membunuh tamu lohu?”
Dengan acuh tak acuh Utusan Bulan Emas menjawab:
“Ini ada salah mereka sendiri!”
“Kalau lohu tidak bunuh kau, bagaimana ada muka menghadapi sahabat rimba persilatan…?”
“Jika locianpwee dapat melakukan itu, tidak keberatan kami tinggalkan jiwa kami yang tidak berharga ini!”
“Hunus pedang!”
“Kami sebetulnya tidak ingin turun tangan terhadap locianpwee!”
“Tidak perlu banyak bicara.”
“Apa harus juga turun tangan?”
“Lohu pasti akan menahan kau!”
“Kami sudah dipesan oleh pemimpin kami tidak berbuat dosa terhadap locianpwee, terpaksa kami minta diri.”
Baru saja menutup mulut, orangnya sudah berada di tempat sejauh sepuluh tombak lebih kemudian bergerak lagi naik ke atas genteng.
“Kau lari kemana?” bentaknya Sam-goan Lojin, dan segera mengejar.
Tepat pada saat itu, di atas genteng mendadak muncul sesosok bayangan orang, berdiri merintangi di depan Utusan Bulan Emas. Bayangan orang itu ternyata adalah Hui Kiam, pemuda sangat misterius itu.
Dengan cara bagaimana Hui Kiam yang semula berada di ruangan tamu mendadak berada di atas genteng memegat perjalanan Utusan Bulan Emas, tiada seorangpun yang tahu.
Sam-goan Lojin dan anaknya serta empat anak buahnya yang terkuat, dengan beruntun naik ke atas genteng. Masing-masing berdiri mengurung Utusan Bulan Emas, hingga Hui Kiam juga terkurung dalam lingkaran mereka.
Dengan sinar mata buas Utusan Bulan Emas memandang Hui Kiam, kemudian berkata:
“Bagaimana sebutnya nama sahabat yang mulia?”
“Penggali Makam!”
“Apa! Kau.... adalah Penggali Makam?”
“Sedikitpun tak salah.”
“Kau mau apa?”
“Tidak apa-apa. Bawa kembali barang-barangmu itu, lalu kutungkan satu lenganmu dan segera enyah dari sini!”
Utusan Bulan Emas perdengarkan suara ketawa dingin, kemudian berkata:
“Penggali Makam, kau terlalu jumawa, bukan begitu caranya mencari mampus. Dua jago dari Seecoan Timur itu tadi adalah contohnya. Apa kau tak melihat?”
“Sudah. Aku berkata cukup satu kali, kalau kau tidak mau melakukannya aku nanti akan mewakili kau!”
“Kau cari mampus?”
“Trang!” demikian suara terhunusnya pedang terdengar nyaring. Pedang kedua pihak sudah berada di tangan masing, bahkan sudah saling menyerang.
Bagaimana caranya mereka menghunus pedang masing-masing, kecuali Sam-goan Lojin tidak seorangpun yang dapat melihat dengan tegas.
Wajah Utusan Bulan Emas nampak berubah. Sikapnya yang sombong, sekejap sudah lenyap tanpa bekas, ia kini tahu telah ketemu dengan lawan tangguh.
Sekali lagi Hui Kiam keluarkan perkataan yang dingin dan tidak mempunyai perasaan:
“Perkataanku tadi kau sudah dengar bukan? Kutungkan satu lengan tanganmu, bawa pulang barang antaranmu dan enyah dari sini!”
“Penggali Makam, apakah kau sudah memikirkan akibatnya jika kau berani bermusuhan dengan persekutuan kami?”
“Akibat apa?”
“Akan membuat perhitungan dengan segala bunganya yang harus menumpas seluruh keluarga dan perguruanmu!”
“Aku tidak perduli, sebaiknya kau lekas lakukan apa yang aku minta.”
“Bo….”
Perkataan ‘cah’ belum lagi keluar dari mulutnya, terdengar suara ‘plak’ yang amat nyaring, sementara pipi Utusan Bulan Emas terdapat tanda lima jari tangan, mulutnya mengeluarkan darah. Tamparan itu tidak ringan sedang yang ditampar tidak berdaya sama sekali.
“Aku menghitung satu sampai tiga. Kalau kau tidak turun tangan, aku terpaksa bertindak sendiri,” katanya Hui Kiam dengan nada suara tetap dingin.
“Satu!”
“Dua!”
Utusan Bulan Emas keluarkan suara bentakan keras, ia menyerang dengan pedangnya.
“Ow!” demikian terdengar suara jeritan ngeri, tangan Utusan Bulan Emas yang memegang pedang telah terkutung batas lengan, badannya mundur sempoyongan, hampir roboh di tanah, wajahnya yang memang tidak sedap dipandang nampak semakin buas.
Seorang anak buah Sam-goan-pang sudah siap membungkus barang-barang antaran utusan tadi.
Utusan Bulan Emas itu benar-benar kejam, ia cuma menggeram sejenak, dengan cepat menotok urat nadi lengan dengan menggunakan jari tangan kiri untuk menghentikan mengalirnya darah kemudian ia menyambar bungkusan barangnya, dan berkata kepada Hui Kiam dengan suara bengis:
“Perlukah meninggalkan kepalaku?”
“Aku kata hanya suruh kau tinggalkan sebelah tanganmu!”
“Kalau begitu kita sampai ketemu di lain waktu.”
“Tunggu dulu!”
“Kau masih ingin kata apa?”
“Rekening ini kau perhitungkan di bawah namaku, tidak ada hubungannya dengan Sam-goan-pang!”
“Masih ada apa lagi?”
“Begitu saja pergi!”
Dengan tindakan terbirit-birit Utusan Bulan Emas itu melayang turun ke bawah dan menghilang.
Hui Kiam masukkan pedang ke dalam sarungnya. Dengan sinar mata dingin ia menyapu semua orang sejenak, kemudian juga melesat lari keluar dari perkampungan Sam-goan-chung.
Dengan mengawasi si anak muda, Sam-goan Lojin berkata dengan suara terharu:
“Bocah itu adatnya sangat aneh dan pendiam sekali tapi kepandaiannya luar biasa, ditinjau dari sepak terjangnya masih terhitung seorang kesatria, kalau dipimpin ke jalan yang benar ia akan menjadi seorang gagah bagi golongan kebenaran tapi kalau tersesat sangat berbahaya. Ia tidak membunuh mati Utusan Bulan Emas karena ia khawatir kalau persekutuan itu akan membalas terhadap kita, bahkan ia memberi pesan khusus bahwa tindakan itu menjadi tanggung jawabnya, perbuatan itu sesungguhnya merupakan perbuatan satu laki-laki sejati cuma sayang aih.....”
“Sayang apa?” tanya Sam-goan pangcu.
“Hari depannya masih belum dapat diduga. Persekutuan Bulan Emas pasti akan menuntut balas baru merasa puas!”
”Ayah percaya bahwa bakal suami Hiang-kun bukan terbunuh mati olehnya?”
“Sekarang aku percaya sepenuhnya!”
“Yang patut disesalkan adalah perbuatan Manusia Gelandangan yang telah khilaf dengan nama dan harta kekayaan….”
“Jangan sebut nama dia lagi, sekarang lakukan apa yang perlu!”
Usia Penggali Makam itu nampaknya belum cukup pengetahuan dan pengalaman ternyata masih belum lama dapat terka ia sebetulnya dari golongan mana.
Selama bicara mereka sudah turun semua dari atas genteng.
Mari kita tengok kepada Hui Kiam setelah meninggalkan le-hun San-chung, ia berjalan demikian, terpaksa ia urungkan.
Semula, ia mendapat kesan baik terhadap dirinya Manusia Gelandangan. Beberapa patah kata Manusia Gelandangan yang membela dirinya, benar-benar telah menggerakkan hati. Tapi Manusia Gelandangan itu telah menerima undangan Persekutuan Bulan Emas, sehingga kesan baik yang tumbuh dalam hatinya lenyap sama sekali. Dengan tanpa sadar ia berkata kepada dirinya sendiri: “Apa dalam rimba persilatan ini benar-benar susah dicari seorang yang baik?”
Tiba-tiba terdengar satu suara yang menyahut:
“Itulah anggapanmu sendiri!”
Hui Kiam berpaling tapi tidak melihat bayangan seorangpun juga.
Ia terheran-heran. Apakah itu ada suaranya setan? Andai kata manusia, tidak nanti akan lolos dari pemandangan matanya. Tapi suara itu nyata ada suara manusia bahkan kedengarannya rada tidak asing.
Selagi masih berada dalam keadaan bingung, mendadak sesosok bayangan orang melayang turun. Kiranya orang itu bersembunyi di atas pohon, pantas cuma terdengar suaranya tidak kelihatan orangnya.
Orang itu ternyata adalah Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng.
Hui Kiam berkata dengan suara dingin:
“Dalam Ie-hun Sam-chung, aku yang rendah mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas bantuanmu yang sangat berharga.”
Manusia Gelandangan ketawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
“Itu tidak perlu. Penggali Makam nama gelarmu ini bagaimana asal usulnya?”
“Sebab aku sudah bertekad hendak menggali liang kubur!”
“Apa artinya?”
“Menggali liang kubur untuk mengubur jenazah-jenazah orang-orang jahat rimba persilatan.”
“Haha, benar-benar sangat berarti, cuma….”
“Bagaimana?”
“Dengan peristiwa untuk menghentikan peristiwa, agaknya menyalahi etiket kerukunan.”
Hui Kiam perdengarkan suara dari hidung. Dengan suara tegas ia berkata:
“Membunuh seorang jahat untuk mencegah mengalirnya darah lebih banyak itu apa salahnya?”
“Sedikit beralasan tapi masih tergolong perantawan.”
Dalam hati Hui Kiam diam-diam berpikir: “Kau seorang yang sudah sangat lanjut usianya tapi tidak ijinkan orang menyebut tua sebaliknya sudah khilaf karena harta sehingga abdikan diri kepada Persekutuan Bulan Emas. Perbuatan yang sangat memalukan golongan orang gagah ini bukan saja patut dicela lagi juga harus diberantas.”
Tapi walaupun dalam hatinya berpikir demikian, mulutnya tidak mengatakan demikian bahkan mengalihkan pembicaraan ke lain soal.
“Tuan sembunyikan diri di sini, agaknya memang disengaja menantikan aku?”
“Tepat, sedikitpun tidak salah, aku memang menunggu kau!”
“Untuk keperluan?”
“Dalam ruangan tadi di Ie-hun Sanchung, aku melihat sikapmu agak ingin bicara dengan aku!”
Hui Kiam diam-diam sangat kagumi ketajaman mata orang tua itu. Ia lalu menjawab sambil menganggukkan kepala:
“Ucapanmu ini memang benar.”
“Kau ingin bicara apa? Katakanlah.”
“Kedatanganku ke Ie-hun Sanchung ini, sebetulnya dengan maksud hendak minta sedikit keterangan kepada Sam-goan pangcu dua hal, tidak nyana karena kelalaianku, hingga menerbitkan bencana besar. Di luar dugaan aku ketemukan tuan ada di sana, maka aku rubah maksudku yang semula. Dua soal itu kalau aku tanya kepada tuan, itulah yang baik, dengan pengetahuan tuan yang sangat luas, pasti dapat menerangkannya.”
“Melihat sikapmu yang dingin bagaikan es, tidak kusangka kau pandai juga memberikan topi tinggi di atas kepala orang. Tentang
ucapanmu ‘pengetahuan luas’, ini jangan kau sebut-sebut lagi. Aku Ciok Siao Ceng, selamanya yakin kepada pergetahuan sendiri, tidak nyana telah terjungkal di tanganmu!”
“Terjungkal di tanganku?”
“Ya!”
“Apa maksudmu?”
“Dari gerak tipu ilmu silatmu, aku tidak dapat mengenali siapa suhumu. Ini bukankah berarti aku terjungkal di tanganmu?”
“Tidak semuanya benar. Kepandaian ilmu silat terlalu banyak cabangnya, ada yang membuka dan menyebarkan secara luas, ada yang menyimpan rahasia yang hanya dituturkan kepada satu orang saja, juga ada yang menganggap dirinya sebagai orang gagah, sejak menciptakannya tidak pernah diturunkan kepada siapapun juga, sehingga makin lama makin hilang, tapi ada juga ilmu kepandaian yang sudah lama menghilang dari muka bumi, kemudian muncul lagi..........”
“Bagus, bagus! Kau pandai bicara, sekarang mari kita bicarakan soal apa yang kau ingin tanyakan itu.”
Wajah Hui Kiam yang tidak mudah terpengaruh oleh emosi, terlintas sedikit perasaan keguncangan di hatinya, tapi sebentar sudah kembali asal semulanya yang dingin, tanpa perasaan dan penuh kebencian.
“Pertama, sebagai seorang yang sudah menjelajahi seluruh pelosok negeri, apakah tuan tahu dimana adanya seorang mempunyai gelar To-liong-kiam-khek (Jago pedang pembunuhNaga)?”
“Apa yang kau maksudkan adalah To-liong Kiam-khek Su-ma Suan?”
“Benar!”
“Sahabat kecil, kau akan kecewa karen aku tak dapat menjawab pertanyaanmu ini.''
“Kenapa?”
“To Liong Kiam-khek Su-ma Suan sudah sepuluh tahun lebih menghilang dari dunia Kang ouw, tiada seorangpun yang tahu ia masih hidup atau sudah mati!”
Hui K-iam kertak gigi ia menggumam sendiri. “Aku pasti dapat menemukan padanya tidak perduli aku harus naik kelangit atau masuk kebumi....”
“Kau… ada permusuhan dengan dia?”
' Benar. Sekalipun sudah mati aku juga akan hajar jenazahnya!”
“Musuh turunan?”
“Tentang ini, maaf aku tidak dapat memberitahukan.”
“Dan sekarang katakanlah yang kedua.”
Dari dalam sakunya Hui Kiam mengeluarkan sebuah tusuk konde emas berkepala burung Hong panjang tiga chun, ia letakkan tangannya dan berkata:
“Numpang tanya, dalam rimba persilatan, siapa yang menggunakan senjata rahasia tusuk konde semacam ini?”
Manusia gelandangan mengambil tusuk konde itu dari tangan Hui Kiam, diperiksanya dengan seksama lantas berkata:
“Pertanyaanmu yang sulit ini kembali aku harus mengaku jatuh di tanganmu lagi. Tidak tahu!”
Sehabis berkata, ia kembalikan tusuk konde kepada Hui Kiam.
Hui Kiam merasa mendelu, dengan perasaan kecewa ia berkata sambil menghela napas:
“Terima kasih, aku minta diri!”
la lalu memberi hormat dan berjalan menuju ke jalan raya....
“Tunggu dulu!”
Hui Kiam merandek, ia berpaling dan menanya:
“Tuan masih ingin memberi petunjuk apa?''
“Aku mendadak ingat dirinya seseorang, mungkin dapat membuka rahasia tusuk konde itu?”
Dengan tidak sabar Hui Kiam menanya:
“Tuan teringat orang macam apa?”
“Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas!”
“Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?”
“Benar, wanita itu pada lima puluh tahunberselang merupakan salah seorang cantik genit, kalau dihitung sekarang usianya mungkin tiga perempat abad lebih, selama beberapa puluh tahun belum pernah dengar muncul lagi di dunia Kang-ouw. Aku sendiri juga pada masa permulaan ceburkan diri ke dunia Kang ouw, baru dengar dirinya perempuan cantik genit yang sangat aneh dan menakutkan itu.
Tinggi kepandaiannya dan kekejamannya serta keganasannya, jarang tertampak selama hampir seratus tahun ini. Cuma perempuan itu meski mendapat julukan nama Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas, tapi apabila ia ada menggunakan tusuk konde emasnya sebagai senjata rahasianya atau tidak, aku tidak tahu.
Sebab dulu di masa ia masih malang-melintang di dunia Kang ouw, jarang menemukan tandingan yang mampu menghadapi padanya di atas sepuluh jurus, dan selama itu belum pernah dengar ia menjatuhkan lawan-lawannya dengan senjata rahasia.
Sudah tentu, ini juga belum dapat untuk membuktikan bahwa ia tidak menggunakan senjata rahasia....”
“Dia sekarang ada di mana?”
“Kabarnya dia sering muncul di pegunungan gunung Bu-san, tapi sekarang masih ada di dalam dunia atau tidak, aku sendiri juga tidak tahu.”
“Terima kasih atas petunjukmu, aku pasti hendak menyelidiki soal ini sedalam-dalamnya, sampai kita berjumpa lagi!”
Hui Kiam melanjutkan perjalanannya menuju ke barat, dalam hatinya selalu teringat nama Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas, besar kemungkinannya bahwa iblis wanita itulah yang membunuh ibunya. Di telinganya seolah-olah masih berkumandang suara mengenaskan yang keluar dari mulut ibunya sebelum menutup mata.
“Iblis… tusuk konde emas… bunuh… To-liong Kiam-khek ….”
Andaikata itu ia sudah dewasa, atau sang waktu mengijinkan, ia bisa menanya jelas sehingga tidak perlu menerka-nerka….
Kejadian mengenaskan di masa lampau, pengalaman yang menyedihkan menggores sangat dalam sekali di lubuk hatinya sehingga berubah menjadi rasa benci dan membuat ia berubah menjadi seorang pemuda yang dingin dan beku perasaannya serta agak pendiam. Kalau bukan karena dasar sifatnya yang masih baik, entah berapa jauh ia melakukan kejahatan.
Sebab dalam otaknya cuma kenal benci, seolah-olah semua orang tak ada yang baik.
Selagi berjalan, dari rimba tiba-tiba terdengar suara perempuan ketawa genit.
Cepat Hui Kiam bergerak ke arah datangnya suara itu.
Dalam rimba dua pemuda sedang berhadap-hadapan dengan sikap saling menantang bagaikan dua ekor ayam jago yang hendak bertarung di samping seorang perempuan berpakaian serba merah yang usianya kira-kira dua puluhtahunan nampak sedang tertawa terkekeh-kekeh, sambil mengawasi kedua pemuda itu.
Perempuan baju merah itu cantik sekali, bentuk badannya sangat menggairahkan.
Salah satu pemuda yang berpakaian warna hijau berkata kepada salah satunya yang berpakaian warna hitam.
“Kang Hoan, ini adalah peringatan yang terakhir padamu. Kau lekas berlalu dari sini. Jikalau tidak, jangan kau sesalkan bahwa aku yang menjadi saudara piauwmu berlaku kejam terhadap dirimu!”
Pemuda baju hitam itu dengan sikap amat dingin ia berkata:
“Oh Siu Tie, aku juga peringatkan kau supaya berlalu dari sini!”
“Apa maksudmu?”
“Dan kau sendiri, apa maksudmu?”
“Kang Hoan kau jangan paksa aku!”
“Oh Siu Tie, sama-sama!”
Kang Hoan lalu berpaling dan berkata kepada perempuan cantik genit itu:
“Nona, katakanlah, kau sebetulnya mencintai siapa?”
Perempuan cantik itu menutupi mulutnya dengan lengan bajunya, dengan suara dan gayanya yang sangat merangsang ia menyahut:
“Aku sendiri juga tak tahu kepada siapa aku harus cinta, kalian berdua sama-sama cakap dan tampannya sama-sama.”
“Kau toh tidak bisa mencinta dua-duanya?”
“Sudah tentu tapi aku… tidak tahu harus….”
“Kau harus memilih salah satu di antara kita.”
“Aku tidak bisa! Begini saja, siapapun aku tidak cinta, anggap saja tidak ada persoalan ini. Sekarang aku hendak pergi!”
Oh Siu Tie berkata sambil ulapkan tangannya:
“Nona, kau jangan pergi….”
Perempuan genit itu kerlingkan matanya, bibirnya menunjukkan senyum menantang, pinggang dan kibulnya sengaja digoyang-goyangkan, lalu berkata dengan suaranya yang penuh rayuan:
“Tidak, aku tak dapat membiarkan kalian dua saudara saling bermusuhan karena aku!”
“Tunggu dulu, aku ada mempunyai suatu cara untuk menyelesaikan persoalan ini!” berkata Oh Siu Tie, yang lalu berpaling dan berkata kepada Kang Hoan: “Dengan memandang
bibiku yang sudah menutup mata, sekali lagi aku peringatkan padamu lekas menyingkir, untuk menjamin jangan sampai tali persaudaraan kita putus!”
“Jikalau aku berkata tidak, bagaimana? jawabnya Kang Hoan menantang.
“Kau boleh bayangkan sendiri apa akibatnya.”
“Akibat apa?”
“Jangan lupa, kau bukan tandinganku!”
“Apa kau ingin membunuh aku?”
“Mungkin!”
Wanita baju merah itu lantas berseru:
“Tidak, kalian tidak boleh berbuat demikian. Aih, sebetulnya… aku tidak suka terjadi pertumpahan darah antara kalian.......”
Oh Siu Tie berkata dengan suara gemetar:
“Nona, jika aku seorang diri apa kau perlu pertimbangkan juga?”
“'Sudah tentu tidak, tapi... kalian toh ada berdua?”
“Baiklah itu sudah cukup!” katanya sambil menghunus pedang dan berkata kepada Kang Hoan:
“Piauwtee, jangan sesalkan aku, ini adalah kau sendiri yang paksa aku bertindak!”
Kang Hoan juga hunus pedangnya untuk menghadapi saudara tuanya.
Wanita baju merah itu berkata sambil ulap-ulapkan tangannya:
“Kalian tidak boleh bertindak demikian!”
Di antara suara bentakan, dua saudara misan itu sudah mulai bertarung mati-matian, seolah-olah berhadapan dengan musuh besar.
Wanita baju merah itu dengan tenang meyaksikan pertarungan itu, sikapnya tidak berubah, tetap menantang dengan aksinya yang genit.
Saat itu mendadak terdengar suara trang, ternyata pedang Kang Hoan sudah terpental terbang dari tangannya, ujung pedang Oh Sim Tie sudah menempel di dadanya.
“Kang Hoan, aku tadi sudah kata, kau jangan sesalkan aku berlaku kejam….”
“Kau… kau… berani membunuh aku?”
“Ini adalah kau sendiri yang cari mampus.”
Wajah Kang Hoan seketika menjadi pucat, keringat dingin membasahi dahinya, ancaman maut membuat wajahnya yang tampan berubah menjadi demikian rupa.
“Tahan !” Demikian mendadak terdengar suara bentakan, sesosok bayangan putih melayang, muncul bagaikan bayangan setan. Dia adalah Penggali Makam yang datang menuruti jejak suara yang telah ia dengar.
Oh Siu Tie segera tarik kembali pedangnya dan lompat mundur.
Wajah wanita baju merah itu lantas berubah, kemudian dengan ketawanya yang menggiurkan ia berkata:
“Ya, kau!”
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam mengawasi wanita genit itu sejenak, kemudian berkata kepada Kang Hoan dan Oh Siu Tie:
“Lantaran satu wanita yang tidak tahu malu kalian berdua saudara baku hantam sendiri, pui!”
“Plak! Plak!” dua kali suara nyaring menyusul mulut Kang Hoan dan Oh Siu Tie menyemburkan darah, badannya terhuyung-huyung mundur beberapa tindak, sebelah mukanya matang biru.
Sikap wanita baju merah itu yang genit itu lenyap seketika, dengan suara bengis ia berkata:
“Siapa yang kau katakan perempuan tidak tahu malu?”
Dengan sikap tidak berubah Hui Kiam menjawab: “Di sini kecuali kau barangkali tidak ada perempuan kedua lagi.”
Paras wanita itu berubah merah padam….
Dengan sinar mata bengis Hui Kiam mengawasi dua pemuda itu, kemudian berkata kepada mereka:
“Kalian tak lekas pergi dari sini, apa menantikan kematian?”
Oh Siu Tie putar pedangnya, ia maju mendekati Hui Kiam sambil membentak:
“Kau manusia macam apa, berani sembarangan turun tangan mencampuri urusan orang lain?”
“Aku tidak bunuh mati kau masih bagus, kau berani banyak mulut lagi!”
Oh Siu Tie masih penasaran, sambil melirik kepada wanita baju merah ia berkata pula:
“Sungguh jumawa, beritahukan namamu!”
“Si Penggali Makam!”
Oh Siu Tie dan Kang Hoan berseru berbareng,
“Kau adalah si Penggali Makam?”
Dengan tanpa menantikan jawaban yang ditanya, mereka sudah kabur terbirit-birit.
Hui Kiam setelah mengawasi berlalunya kcdua pemuda itu, baru mendekati wanita baju merah itu seraya berkata:
“Aku mengira kau sudah kabur jauh-jauh!”
Wanita itu kembali mengunjukkan sikapnya yang centil genit, dengan suara lemah lembut ia berkata:
“Mengapa aku harus kabur jauh-jauh?”
“Melarikan diri!”
“Melarkan diri? Apa artinya?”
“Sebab aku hendak membunuh kau!”
Wanita itu ketawa terbahak-bahak, katanya:
“Penggali Makam, apa sebabnya kau hendak membunuhku?”
“Kau tentu sudab mengerti sendiri.”
“Ow, yang kau maksudkan apakah tentang barang antaran yang berupa kepala manusia itu?”
“Aku tidak sudi dipermainkan orang.”
“Mengapa dapat dikatakan dipermainkan? Kau hendak pergi ke Sam-g oan-pang, dan aku menunjukkan jalannya sekalian minta tolong bawa barang antaran untuk sumbangan kawin anak perempuannya, kedua pihak tokh tidak ada yang dirugikan….”
“Mengapa kau membunuh orang?”
“Kau telah menabas kutung empat jago pedarg dari Khong-tong-pay, dan kemudian menghajar mampus si Setan Rambut Merah,itu kutanya apa sebabnya?”
“Karena mereka patut dibinasakan.”
“Apakah kau tahu bahwa orang yang kubunuh itu juga tidak ada alasannya yang patut dibinasakan?”
Sejenak Hui Kiam merasa kewalahan, tapi akhirnya ia berkata.
“Barusan kau pancing pemuda itu dengan kecantikanmu, supaya kedua saudara itu saling bunuh. Bagaimana kau maksudkan?”
“Melihat paras cantik lantas timbul nafsu birahi. Penyakit itu toh mereka yang cari sendiri, mereka yang suka perbuat demikian apa salahnya dengan aku?”
“Kau memang pandai omong, sudah terang adalah kau yang sengaja mengadu. kau bukan saja tidak tahu malu, tapi juga sangat jahat bagaikan ular berbisa!”
Paras wanita itu nampak merah padam, dengan suara bengis ia berkata:
“Penggali Makam, dengan hak apa kau mencampuri urusanku?”
“'Tidak usah banyak bicara. Kau permainkan aku maka sekarang aku hendak bunuh kau!”
“Apa kau kira kau mampu bunuh aku?”
“Kenyataan nanti yang akan menjawab!”
Wanita itu memandang wajah Hui Kiam yang dingin tapi tampan. Perasaannya beberapa kali berubah, katanya dengan suara duka:
“Penggali Makam, tidak perduli kau yang membinasakan aku atau aku yang membinasakan kau, baik jangan kita bicarakan dulu, sekarang bicarakan soal yang lainnya....dulu!”
“Apa yang perlu dibicarakan?”
“Kau terlalu kejam dan sombong!”
Terserah apa kau kata, aku tidak perduli!”
“Apa kau seorang yang terluka hatimu?”
“Ini tidak ada hubungannya dengan kau!”
Wanita itu ketawa terkekeh-kekeh:
“Mungkin kau ingin tahu siapa aku ini?”
Hati Hui Kiam lantas tergerak.
Benar, sebab aku sudah berjanji kepada Sam-goan Lojin dan anaknya, hendak menyelesaikau soal barang antaran yang berupa kepala manusia ....
“Namaku Wanita Tanpa Sukma.”
“Wanita tanpa sukma?”
“Benar, sebab aku adalah seorang perempuan yang tidak berjiwa lagi. Apa yang ada hanya ragaku!”
“Setidak-tidaknya kau toch mempunyai she dan nama yang asli?”
“She dan namaku sudah ikut terkubur bersama jiwaku!”
“Mengapa kau melakukan pembunuhan?”
“Membalas dendam!”
“Kau membunuh mati bakal menantunya Sam-goan pangcu juga lantaran membalas dendam?”
“Sedikitpun tidak salah!”
“Kau membunuh Auw Yang Kim, sebaliknya mengorbankan keberuntungan seorang perempuan yang tidak berdosa untuk seumur hidupnya. Ini….”
Sinar mata Wanita Tanpa Sukma mengunjukkan rasa kebenciannya yang memuncak. Katanya sambil kertak gigi:
“Anak perempuan Sam-goan Pangcu, Tan Hiang Kun memang tidak berdosa, tapi apakah aku harus berdosa? Dia masih belum tentu akan kehilangan keberuntungan benar-benar. Tapi aku? Hahahahaha........”
Suara ketawanya menandakan pikirannya yang sudah terganggu, agaknya mengandung rasa benci dan sakit hati yang meluap-luap.
“Tidak perduli bagaimana keadaan yang sebenarnya, kau sendirilah yang pergi menyelesaikannya urusan kepalanya Auw-yang Khin itu kepada Sam-goan Lojin! Kau suka pergi ke Ie-hun-San chung secara baik-baik ataukah aku yang.............”
“Tidak ada perlunya bagiku untuk menyelesaikan kepada siapapun juga.”
“Kalau begitu kau ingin aku minta dengan kekerasan?”
“Barang kali kau tidak sanggup lakukan.”
Tepat pada saat itu sesosok bayangan orang melayang turun di hadapan Wanita Tanpa Sukma. Agaknya sangat kegirangan bagaikan menemukan benda berharga, orang itu berkata:
“Adik yang manis, alangkah sengsaranya aku mencari kau!”
Orang itu adalah seorang pemuda berdandan ringkas, usianya kira-kira duapuluhan. Wajahnya cukup tampan, tapi dari sikapnya yang ceriwis, ia termasuk satu jenis dari pemuda hidung belang. Berhadapan dengan Wanita Tanpa Sukma sekujur badannya dan
tulang-tulangnya seperti sudah lemas. Sepasang matanya memandang liar kepada wanita cantik itu. Sikapnya ini benar-benar sangat menjemukan.
Wanita Tanpa Sukma unjukkan ketawanya yang melewati batas kegenitannya. Setelah puas ketawa, ia baru berkata:
“Kau masih ingat aku?”
“Adikku yang manis, terhadap kau, begitu aku melihat lantas jatuh hati. Sebaiknya dengan kau sehabis pertemuan kita itu lantas pergi tanpa pamit, sehingga membuat aku memikiri dirimu hampir menjadi gila….”
“Sudah cukup!” memotong Hui Kiam dengan nada suara dingin.
Pemuda itu agaknya hingga saat itu baru sadar kalau di situ masih ada Hui Kiam. Setelah mengawasi sejenak, timbullah perasaan cemburunya. Tapi ketika sinar matanya kebentrok dengan sinar mata Hui-Kiam yang tajam dingin, dengan tanpa sadar ia mundur satu tindak dan dengan suara gusar ia berkata:
“Kau siapa?”
Hui Kiam diam saja, agaknya segan menjawab pertanyaan itu.
Wanita Tanpa Sukma ketawa terkekeh-kekeh. Kemudian dengan acuh ia berkata:
“Mengapa kau cemburu? Tidak apa-apa, kita adalah musuh!”
Pemuda itu melirik Hui Kiam sejenak. Dengan sikap mengumpak ia berkata kepada Wanita Tanpa Sukma:
“Adikku yang manis, biarlah aku yang membereskan!”
'Barangkali kau bukan tandingannya….”
“Mustahil!”
“Tahukah kau siapa dia?”
“Siapakah dia sebetulnya bocah liar ini?”
“Penggali Makam!”
“Apa? Dia... adalah Penggali Makam?”
Muka pemuda itu segera mengunjukkan rasa ketakutan. Setindak demi setindak ia melangkah mundur. Dengan tanpa sadar sudah berdiri berendeng dengan Wanita Tanpa Sukma.
Wanita Tanpa Sukma lantas berkata sambil ketawa cekikikan:
“Lihat, kau sekarang ketakutan setengah mati. Jangan perdulikan dia. Sekarang aku hendak tanya padamu, apa kau cinta aku?”
Pemuda itu nampaknya kegirangan. Dengan mata merem melek ia menjawab:
“Perlu kujelaskan lagi?”
“Sekalipun mati kau juga masih cinta aku?”
“Ini… sudah tentu!”
“Hingga saat ini, kita baru saling bertemu dua kali, bagaimana kau dapat mencintai diriku begitu dalam?”
“Adikku yang manis, inilah yang dinamakan jodoh, begitu lihat lantas jatuh hati!”
Paras Wanita Tanpa Sukma terlintas suatu perubahan aneh. Ia rapatkan tubuhnya kepada pemuda itu. Dengan nada genit ia berkata:
“Aku tidak percaya. Lelaki mulut manis paling tidak boleh dipercaya. Mula-mula saja manis melebihi madu, tapi akhirnya dibuang seperti sampah.”
“Adikku yang manis, apakah aku perlu membelek hatiku untuk kuperlihatkan padamu?”
“Aku pikir memang ingin lihat hatimu!”
“Ini ... ini .... “
Wanita Tanpa Sukma ulur tangannya yang putih halus mengelus-elus pundak pemuda, kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat ia menotok….
Pemuda itu keluarkan jeritan ngeri, badannya mundur sempoyongan dengan mata terbuka lebar mengawasi Wanita Tanpa Sukma sambil menuding dengan jarinya, mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas, kemudian rubuh di tanah dan jiwanya lantas melayang.
Dengan jantung berdebaran Hui Kiam menyaksikan itu semua, kemudian berkata dengan suara agak gemetar: “Kau kembali melakukan pembunuhan!”
Dengan acuh tak acuh wanita itu menjawab,
“Adalah dia sendiri yang mencari mampus!”
“Apakah ini juga termasuk golongan pembalasan dendam?”
“Tepat, pembalasan dendam. Aku akan membalas dendam terhadap setiap pemuda yang anggap dirinya romantis. Aku ingin mereka jatuh satu-persatu di bawah tanganku.”
Sehabis berkata ia tertawa terbahak-bahak, hendaknya memuaskan rasa dendamnya.
Tanpa menyadari Hui Kiam timbul rasa simpatiknya terhadap wanita itu. Dia sendiri namakan dirinya Penggali Makam. Ia telah bersumpah hendak menggali lubang bagi orang-orang jahat dalam rimba persilatan agar dapat mengubur satu persatu manusia-manusia jahat itu. Perbuatan wanita yang menamakan dirinya sendiri Wanita Tanpa Sukma ini, bukankah mirip dengan dirinya sendiri?
Ia menantikan sampai Wanita Tanpa Sukma puas ketawa baru berkata:
“Wanita tanpa sukma, mari kita balik pada pembicaraan kita semula. Sekarang mari kau ikut aku ke Sam-goan-pang ....”
“Mengapa aku harus pergi?“
“Kau harus selesaikan dan tanggung jawab atas barang antaran kepala manusia itu!”
Sangat menytsal sekali, aku anggap bahwa hal itu tidak perlu!”
“Tapi aku sudah berjanji kepada mereka hendak mencarikan orang, maka kuanggap itu perlu!”
“Itu adalah urusanmu sendiri.”
“Kau tidak pergi?”
“Tidak!”
“Ingin aku turun tangan?”
“Terserah!”
Hui Kiam lalu ulur tangan menyambar tangan wanita itu, tapi dengan cepat wanita itu sudah berhasil mengelakkan sambaran tangan tersebut.
Hui Kiam terperanjat, ternyata kepandaian nona itu agaknya tidak di bawah kepandaiannya sendiri hanya dengan caranya berkelit itu saja dalam rimba persilatan sudah jarang tertampak.
la kini sudah rubah siasat, dengan satu gerakan luar biasa cepatnya ia menyerang dengan amat dahysat.
Sambil ketawa Wanita Tanpa Sukma menyambuti serangan tersebut.
Tatkala kekuatan tenaga kedua pihak saling beradu, masing-masing nampak mundur satu langkah. Hui Kiam terperanjat, ia tidak menyangka bahwa kekuatan tenaga Wanita Tanpa Sukma itu ternyata berimbang dengan kekuatannya sendiri.
Di muka paras Wanita Tanpa Sukma masih tetap ramai dengan senyumannya, sikapnya itu benar-benar sangat menggiurkan. Ia berkata:
“Penggali Makam, kekuatanmu benar-benar sukar dicari tandingannya, tapi kau masih belum mampu membinasakan aku, kau harus mengakui kenyataan ini. Sampai ketemu di lain waktu.”
Ucapan terakhir masih berkumandang di telinga Hui Kiam, orangnya sudah menghilang dari depan matanya.
Hui Kiam tidak menduga perempuan itu akan pergi, sesaat setelah merasa terkejut 1antas bergerak untuk mengejar, tapi ternyata sudah tidak berhasil menyandaknya hingga cuma bisa berkata sendiri sambil menggabrukkan kakinya: ''Kau tidak akan bisa lolos!”
Keluar dari dalam rimba, Hui Kiam melanjutkan perjalanannya melalui jalan raya.
Belum berapa lama ia berjalan, di telinganya tiba-tiba terdengar suara orang berpantun dengan suaranya yang mengalun.
“Minum beberapa cawan arak dalam kedai minuman di jalan.
Dalam keadaan mabuk alis dikerutkan.
Tidak mungkin akan ketiduran.
Kapan aku sadar dari mabuknya, tahu atau tidak?
Benar menjadi kurus lantaran dia.
Aha, kurus lantaran si dia!”
Demikian rentetan syair yang dinyanyikan yang disusul oleh suara keluhan setelah mengakhiri syairnya.
Itu adalah sebuah syair dari seorang penyair di dalam Song Selatan.
Karena merasa ketarik, Hui Kiam menoleh tapi apa yang dilihatnya merasa hatinya mendelu, sebab orang yang menyanyikan syair itu tadi ternyata cuma satu pengemis muda yang usianya kira-kira tujuh atau delapan belas tahun, mukanya mesum, pakaiannya kotor, ruyung yang dinamakan ruyung penggebuk anjing dipanggul di pundaknya, sepasang kakinya telanjang berjalan seenaknya.
Hui Kiam mengawasi sejenak, terus melanjutkan perjalanannya.
Suara nyanyian terdengar pula dan kali ini pengemis muda itu menyanyikan syairnya Hoan Tiong Am bagian terakhir.
“Hati sudah patah tidak bisa mabuk lagi.
Sebelum arak tiba, lebih dulu sudah menjadi air mata.
Tiada sinar lampu tiada sinar rembulan.
Tidur seorang diri di atas tumpukan puing.
Segala urusan dan pikiran,
tak berdaya untuk dielakkan.”
Dalam syair di atas, telah melukiskan bagaimana rasanya seorang pengemis atau anak piatu yang terlunta-lunta nasibnya, tidur dalam kelenteng tua dan menggunakan puing sebagai alas batu bata sebagai bantal.
Hui Kiam kembali menoleh mengawasi pengemis muda itu, ternyata cuma terpisah dengannya kira-kira lima tombak, nampaknya terus mengikuti jejaknya.
Ia terheran-heran karena ia tahu bahwa jalannya sendiri sudah cukup pesat, tapi pengemis itu ternyata dapat mengikutinya dengan tetap terpisah sejarak kira-kira lima tombak di belakang dirinya. Nampaknya pengemis muda itu bukan pengemis sembarang pengemis.
Tapi karena pengemis itu tidak mengganggunya, ia tetap melanjutkan perjalanannya sendiri.
Baru berjalan kira-kira sepuluh tombak, suara kaki sudah berada di belakangnya dan satu suara terdengar nyata: “Sahabat, mengapa hatimu tidak bergerak sama sekali?“
Hui Kiam dengan cepat berpaling, hingga berdiri berhadapan dengan si pengemis. Saat itu ia baru dapat lihat dengan tegas, pengemis muda itu meski sangat mesum dan kotor pakaiannya, tapi mempunyai potongan muka tampan.
“Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada dingin.
“Pikiranku si pengemis ini sedang merana tapi saudara sedikitpun tidak merasa simpati.”
Hui Kiam mendongkol, sambil ulap-ulapkan tangannya ia berkata:
“Pergilah! Aku tidak sempat bicara soal asmara denganmu!”
“Mengapa saudara menolak begitu saja?”
“Apa maksudmu yang sebenarnya?”
“Ah, saudara bermuka dingin berhati bagaikan besi, sudah tentu tidak mengerti perasaan halus orang perempuan, bagaimana rasanya seorang yang sedang merana........”
Hui Kiam memandang si pengemis dengan sinar mata gusar, lalu berpaling dan berjalan pergi........
“Penggali Makam, aku si pengemis hendak menanyanya padamu!”
Karena disebut nama gelarnya, Hui Kiam terpaksa berpaling dan katanya dengan nada suara dingin:
“Mengapa kau tahu aku adalah Penggali Makam?”
Pengemis itu ketawa cekikikan dan berkata:
“Nama saudara telah menggemparkan orang-orang golongan hitam atau putih, dengan dandananmu serba putih ini dan dengan sikapmu yang kecut dingin ini, bagaimana aku tak tahu?“
“Kau mencari aku?”
“Ah, tidak, tidak, aku si pengemis kecil sekalipun makannya hanya mengandal pemberian orang tapi masih belum kepingin mati. Aku hanya ingin tanya padamu tentang dirinya seseorang….”
“Siapa?”
“Seorang perempuan cantik manis berbaju merah.”
“Wanita Tanpa Sukma?”
“Benar, benar,” berkata ia sambil pesut ingusnya dengan lengan bajunya yang kotor. “Apa saudara belum lama berpisah dengan dia? Tentunya tahu kemana ia pergi?”
“Kau menaksir padanya?”
“Bukan cuma menaksir saja, kita berdua malah saling menyinta kepada sesamanya?”
“Bukankah nabi kita Khong Hu-cu pernah berkata bahwa nafsu makan dan nassu birahi itu adalah kodrat manusia? Aku si pengemis kecuali nafsu makan dan nafsu birahi tidak mempunyai apa-apa lagi!”
“Kalau kau ingin mati, aku Penggali Makam dapat mengikuti kehendakmu, cukup dengan gerakan satu tangan saja.“
Pengemis itu kerlingkan matanya, dari mulutnya menyembur hawa arak, katanya dengan suara keras:
“Saudara tidak mau memberitahukan?”
Hui Kiam perdengarkan suara dari hidung. Ia tidak mau perdulikan si pengemis lantas balikkan badannya hendak berlalu ....
Si pengemis lompat melesat menghadang di depannya kemudian berkata dengan nada sedih:
“Kalau saudara memang tidak sudi memberitahukan, ya sudah. Aku si pengemis kecil tidak akan memaksa, tapi aku hendak tanya, benarkah perjalanan saudara ini hendak mencari seseorang di gunung Bu-san?”
Hui Kiam terperanjat, pergi kegunung Bu-san hendak mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas, adalah urusan ia sendiri yang belum dibicarakan kepada siapapun juga, bahkan hal ini hanya Manusia Gelandangan seorang diri saja yang tahu, bagaimana pengemis ini bisa mengetahuinya? Tapi meski dalam hati merasa heran dan curiga, di luarnya masih tetap begitu dingin.
“Nampaknya kedatanganmu padaku ini ada mengandung maksud tertentu?” demikian ia berkata dengan suara datar.
“Benar, benar. Maksudku memang hendak membantu kepada saudara. Marilah kita bersahabat. Aku si pengemis kenal baik keadaan gunung Bu-san, hingga setiap pohon aku dapat menghitungnya di luar kepala!”
“Bukankah kedatanganmu ini lantaran Wanita Tanpa Sukma?”
“Itu hanya urusan iseng saja!”
“Bagaimana kau tahu kalau aku hendak mencari orang di gunung Bu-san?”
“Kalau aku terangkan barang kali kau tidak percaya. Aku si pengemis kecil ini pernah mendapat pelajaran ilmu gaib dari seorang yang pandai. Aku paham menebak hati dan pikiran orang. Asal kita sudah bicara beberapa patah kata saja, sudah dapat menebak isi hati orang yang aku ajak bicara!”
“Di dalam dunia di mana ada ilmu kepandaian begitu aneh?”
“Bukankah saudara sudah buktikan sendiri? Apakah dugaanku ada keliru?” katanya si pengemis dengan bangga.
“Taruhlah itu benar, tapi aku tidak memerlukan bantuan, silahkan!”
“Eh! Saudara malu bersahabat denganku?”
'“Terserah bagaimana anggapanmu!”
“Aku si pengemis bisa membantu kau ke gunung Bu-san untuk mencari orang yang sedang kau cari itu!”
“Aku selamanya suka menyendiri, tidak suka berjalan bersama-sama dengan orang lain.”
Sehabis berkata, dengan tanpa menoleh lagi ia terus berjalan dan meninggalkan si pengemis berdiri kesima di tempatnya, lama baru terdengar suaranya si pengemis yang berkata kepada dirinya sendiri: “Benar-benar hatinya sudah beku sikapnya dingin bagaikan salju. Bagus sekali tugas yang diberikan oleh si tua bangka.”
Sehabis berkata ia juga berjalan mengikuti jejaknya Hui Kiam.
Gunung Bu-san yang terkenal dengan dua belas puncaknya yang menjulang tinggi ke langit merupakan salah satu gunung besar yang amat luas daerahnya.
Untuk mencari jejak seseorang di gunung yang luas itu, tak ubahnya bagaikan mencari jarum di dasar laut.
Sudah tujuh hari lamanya Hui Kiam mencari ubek-ubekan di gunung tersebut, tapi tidak ketemukan orang yang dicari.
Menurut keterangan Manusia Gelandangan, Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas itu dulu pernah muncul di antara duabelas puncak, tapi juga belum boleh dianggap sebagai satu patokan bahwa iblis wanita itu ada berdiam di situ. Tapi tidak perduli bagaimana, iblis wanita itu harus diketemukan, untuk mencari pembunuh ibunya yang sebenar-benarnya.
Ia merasa bahwa satu-satunya yang selama masih bernapas, ialah menuntut balas dendam atas kematian ibunya dan gurunya serta mengubur itu semua manusia-manusia jahat dalam rimba persilatan.
Ia tak akan mundur setapakpun juga, walaupun harus mendapat banyak rintangan hebat.
Penggali Makam tujuannya hendak menggali makam-makam yang disediakan untuk mengubur orang-orang jahat, dengan lain perkataan, ialah hendak membunuh habis kawanan penjahat. Nama julukan itu sendiri, sudah cukup seram, dan di balik nama julukan seram itu, ternyata masih mengandung maksud tujuan yang nampaknya sangat samar-samar.
Karena jumlahnya, orang-oang jahat dalam rimba persilatan mungkin tidak dapat dibunuh habis, ini berarti bahwa pembunuhan akan terus berlangsung tidak hentinya, sedangkan seseorang tidak mungkin untuk menjadi seorang kuat tanpa tanding. Selain daripada itu, seorang kuat betapapun tinggi kepandaiannya, walaupun mempunyai kecerdikan dan kepandaian yang tak ada taranya, sedikit banyak masih bisa mengalami hal-hal di luar dugaan yang cukup membawa akibat kematiannya. Dan Hui Kiam tinggi kepandaian ilmu silatnya, cerdas otaknya, tapi masih belum
termasuk golongan kuat kelas atas, untuk mencapai ke tahap demikian, mungkin masih terpisah jarak yang sangat jauh, kemudian kalau ia sudah bertekad dan berbuat demikian, tidak lain karena terdorong oleh rasa dendam dan kebenciannya terhadap orang-orang jahat, tumbuhnya pikiran itu adalah akibat dari rasa dendam yang hebat itu.
Sudah tentu, akibat demikian kalau timbul dalam hatinya seorang yang berkepandaian terlalu tinggi dan berkemauan keras, sesungguhnya sangat menakutkan.
Ketika menginjak hari ke delapan, ramsum kering yang dibawa oleh Hui Kiam telah habis. Terpaksa ia mencari makanan apa saja yang didapatnya untuk menahan lapar, untuk dapat melanjutkan usahanya.
Dalam usahanya mencari orang, ia memilih jalan dan tempat yang tersembunyi. Tempat-tempat demikian, sudah tentu sukar dan banyak bahayanya.
Selagi ia berjalan menyusuri sungai yang airnya sangat jernih, tiba-tiba hidungnya mengendus bau amis yang memualkan.
Bukan kepalang kagetnya ia. Ia lalu celingukan untuk mencari dari mana datangnya bau amis itu. Tidak berapa lama matanya sudah dapat lihat di suatu tempat tidak jauh ada menggeletak beberapa bangkai manusia. Dengan tanpa ayal lagi, ia sudah 1oncat ke tempat itu.
Keadaan di situ sangat menyeramkan dan mengenaskan. Di antara tulang-tulang manusia berserakan di tanah, terdapat tujuh bangkai manusia yang mati dalam keadaan mengerikan, kepala mereka hancur semuanya. Dari darah yang sudah membeku, dapat diduga bahwa semua korban itu telah dibunuh mati kira-kira satu hari di muka.
Siapakah orangnya yang melakukan pembunuhan secara kejam demikian?
Dan siapakah tujuh orang itu? Mengapa dibunuh di gunung yang sepi sunyi ini ?
Dari banyaknya tulang-tulang-manusia yang berserakan itu dapat diduga bahwa jumlah manusia yang dibunuh tentunya tidak sedikit.
Di antara tumpukan bangkai itu, Hui Kiam dapat menemukan sebuah panji segi tiga berwarna putih, yang tergenggam dalam tangan salah seorang korban. Di tengah-tengah panji itu terdapat sulaman lukisan bulan sabit berwarna emas. Di bawah bulan sabit terdapat tiga bundaran warna hitam.
Dari situ dapat diduga bahwa korban-korban itu adalah orang-orangnya Persekutuan Bulan Emas, dan korban yang menggenggam panji itu ternyata adalah pemimpin rombongan tersebut.
Apa sebabnya anak buah Bulan Emas binasa di tempat itu?
Itulah pertanyaan yang mengaduk dalam otak Hui Kiam. Mendadak ia merasa desiran angin di belakang dirinya. Dari desiran angin itu ia dapat tahu bahwa dari belakang ada yang mendatangi. Ia sengaja diam-diam saja kemudian menegurnya dengan nada suara dingin:
“Siapa?”
Pertanyaannya itu segera dijawab oleh seorang yang suaranya kasar:
“Telinga sahabat ternyata sangat tajam sekali, eh, hehehe! Benar-benar terhitung sangat kejam dan telengas. Menengoklah kemari!“
Hui Kiam balikkan badannya. Di satu tempat sejauh satu tombak, ada berdiri berendeng dua laki-laki pertengahan umur. Satu di antaranya berwajah kejam, yang lainnya berhidung pesek dan mata jereng, di atas mulutnya penuh dengan berewok, benar-benar ada satu potongan muka yang buruk sekali.
Manusia buruk itulah yang barusan berkata padanya.
Dua orang itu ketika menyaksikan wajah Hui Kiam yang tampan tapi dingin kecut, semuanya tercengang.
Laki-laki yang berwajah kejam itu mengamat-amati wajah Hui Kiam sejenak, mendadak berkata dengan suaranya yang menyeramkan:
“Apakah tuan Penggali Makam?”
“Benar!” jawabnya Hui Kiam singkat.
Laki-laki wajah jelek itu mengawasi tujuh bangkai di tanah sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang keras:
“Penggali Makam, kau telah menggali liang makam untuk tujuh anak buah persekutuan kami?”
Sinar mata Hui Kiam yang tajam bagaikan pedang, terus menatap wajahnya kedua laki-laki itu, dengan suaranya yang dingin dan lambat ia menjawab:
“Kalian berdua kiranya juga orang-orang Persekutuan Bulan Emas?”
“Benar, dugaanmu tepat!” sahutnya laki-laki bermuka kejam.
“Kedudukanmu?”
“Kau masih belum berhak untuk menanyakan hal itu!”
Sementara itu, laki-laki bermuka jelek itu agaknya sudah tidak sabaran, dengan mendahului kawannya ia menanya:
“Penggali Makam, beberapa hari berselang di Sam-goan-pang kau telah mengunjukkan keganasanmu, mengutungi satu lengan utusan persekutuan kami, hari ini kembali kau telah membunuh satu ‘hiocu’ dan enam anak buah cabang persekutuan kami di daerah Go-see, apa kau sudah memikirkan apa akibatnya?”
“Apa akibatnya?”
“Barang siapa yang bermusuhan dengan persekutuan kami, akan ditumpas serumah tangga dan perguruannya!”
Dengan wajah tanpa berubah Hui Kiam berkata:
“Soal menguntungi lengan utusan itu, aku sudah menerangkan bahwa rekening itu boleh diperhitungkan di bawah namaku, sementara tujuh orang ini bukanlah aku yang membunuh!”
“Siapa yang membunuh?”
“Kau tanya aku? Aku harus tanya siapa?”
“Penggali Makam, memungkir tidak ada gunanya . . . . .”
“Tidak perlu aku berbuat demikian?”
“Nampaknya kau akan menggali liang makam untuk mengubur kau sendiri bersama guru dan seluruh anggota keluargamu!”
“Dengan sepak terjangnya Persekutuan Bulan Emas, ada harganya bagiku menggali makam untuk mengubur kalian berdua!”
Laki-laki berwajah kejam itu perdengarkan ketawanya yang kejam, kemudian berkata:
“Penggali Makam, sebutkan nama gurumu!”
“Apa kau berhak menanyakan hal itu?”
“Cepat atau lambat kau beritahukan ada sama saja. Sekarang aku undang kau untuk pergi ke markas cabang kita di Go-see.”
“Aku tidak sempat!”
“Kau ingin kami turun tangan?”
“Tidak usah lagi, sudah ambil keputusan hendak minta kalian berdua supaya berdiam di sini untuk selama-lamanya!”
“Bagus, kau tentunya sudah bosan hidup di dunia!”
Laki-laki berwajah jelek itu setelah membentak demikian, lantas lompat menerjang sambil menyambar dengan kedua tangannya.
Hui Kiam memapaki dengan kedua tangannya. Laki-laki itu mendadak menarik kembali serangannya dan lompat mundur.
Kawannya yang berwajah kejam, sudah menghunus pedangnya. Ia berkata sambil ketawa dingin:
“Kau berani omong besar, ternyata mempunyai kepandaian yang berarti!” Kemudian ia berpaling dan berkata kepada kawannya:
“Kita harus bereskan bocah ini, karena mau ada urusan lain yang mesti kita urus!”
Di antara berkelebatnya sinar gemerlapan, ujung pedang laki-laki itu sudah melakukan serangannya dengan kecepatan bagaikan kilat.
Hui Kiam dengan gerakannya yang luar biasa gesitnya, menerobos lingkaran pedang. Wajahnya yang memang kecut dingin, nampak semakin dingin menakutkan. Lambat-lambat ia menghunus pedangnya. Sepasang matanya menatap lawannya, ujung pedangnya menatap ke bawah, ia berdiri bagaikan patung batu, tidak membuka mulut.
Dua laki-laki itu menyaksikan keadaan demikian hati mereka panas.
“Kita mulai!”
Demikian kedua laki-laki itu mengeluarkan suaranya bagaikan komando, keduanya saling berpandangan sejenak, lalu angkat pedang mereka.....
Pertempuran ttu merupakan suatu pertempuran mati-matian, hingga suasana mendadak menjadi tegang.
“Trang, trang!” demikian terdengar suara benturan pedang.
Hui Kiam masih berdiri tegak, agaknya tidak pernah bergerak dari tempatnya. Sedangkan laki-laki berwajah jelek itu sudah rubuh menjadi dua potong, badannya kutung batas pinggang.
Kawannya yang berwajah kejam, saat itu menjadi pucat pasi, badannya gemetar.
Tepat pada saat itu kembali, muncul lagi tiga orang yang dandanannya serupa dengan dua orang yang datang duluan. Usia mereka berkisar antara empat puluhan. Satu di antaranya lantas berseru kaget: “Dia Penggali Makam!”
Tiga orang itu begitu tiba, lantas mengambil sikap mengurung terhadap Hui Kiam.
Hui Kiam agaknya tidak perdulikan kedatangan ketiga orang itu.
Laki-laki berwajah kejam saat itu baru pulih kembali semangatnya. Dengan suara gemetar ia berkata:
---ooo0dw0ooo---
JILID 3
“B O C A H ini merupakan lawan berat!”
Salah satu di antara tiga orang itu dengan sinar matanya yang tajam menatap wajah Hui Kiam yang dingin kecut. Lalu menanya:
“Kau muridnya nenek tua itu?”
Nenek tua? Hui Kiam tidak tahu siapa yang dikatakan nenek tua itu. Tapi ia dapat menduga bahwa bangkai-bangkai itu tentunya terbunuh oleh itu orang perempuan yang disebut nenek tua.
Apakah nenek tua itu adalah itu Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas yang ia sedang cari?
Karena berpikir demikian, maka sesaat semangatnya lantas terbangun.
Laki-laki berwajah kejam itu lantas menyahut:
“Masih belum dapat dibuktikan, mungkin ya!”
“Sudah kau selidiki?”
“Nampaknya berada dalam lembah ini.”
Merdadak muncul lagi seorang tua yang hidungnya bengkok dan rambut serta jenggotnya sudah putih seluruhnya. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang berbentuk besar yang agak panjang kira-kira setengah kaki lebih panjang daripada pedang biasa. Ia berdiri di sebuah batu besar terpisah kira-kira dua tombak dari mereka. Dengan sinar matanya yang tajam, ia mengawasi keadaan orang-orang itu.
Empat orang yarg datang duluan ketika mendapat lihat orang tua itu, semua mengunjukkan sikap kegirangan. Semuanya lalu memberi hormat seraya berkata:
“Congkam, kami memberi hormat!”
Orang tua yang disebut congkam atau komandan itu, matanya tetap menatap wajah Hui Kiam, kemudian berkata kepada anak buahnya:
“Kalian bukanlah tandingannya, mundurlah!”
“Empat laki-laki itu lalu mundur sejauh tiga tombak. Orang tua itu lalu maju menghampiri Hui Kiam dan berkata padanya:
“Sahabat, kepandaianmu bagus sekali. Kau barangkali adalah itu orang yaug mempunyai gelar Penggali Makam?”
“Benar!”
“Lohu adalah komandan pasukan Persekutuan Bulan Emas, namaku K o Han San. Apakah orang-orang itu mati di bawah tanganmu?”
“Satu diantaranya memang benar aku yang bunuh!”
“Yang lainnya?”
“Aku tidak tahu!”
“Guru sahabat?”
“Maaf, aku tak dapat memberitahukan.”
“Sahabat, sebaiknya kau terangkan dulu supaya tidak timbul salah paham.”
“Tidak ada kesalahan paham yang perlu diperbincangkan!”
Komandan pasukan itu nampaknya sangat gusar, tapi ia agaknya menindas perasaannya.
“Pemimpin kami sudah lama menghargakan dan junjung tinggi Kim-cee (tusuk konde emas) locianpwee, maka telah mengutus orang-orangnya untuk mengunjungi. Semua ini semata-mata
dengan kemauan yang baik dan hati sejujurnya, tiada lain maksud. Apakah sahabat ada murid locianpwee?”
Hati Hui Kiam bergerak, nampaknya ia tak salah alamat. Sungguh tidak nyana Persekutuan Bulan Emas juga mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas. Tapi meski hatinya tergerak di luarnya masih tetap dingin.
“Kalau begitu, aku dapat memberitahukan padamu bahwa aku bukan muridnya!”
“Apakah itu benar?”
'Tidak ada perlunya untuk membohong.”
“Numpang tanya tentang asal usulmu!”
“Maaf, aku tidak dapat menerangkan!”
“Apa saudara hendak tanggung jawab sendiri atas perbuatanmu!”
“Sudah tentu!”
Komandan itu setelah berpikir sejenak, lalu berkata:
“Penggali Makam, kalau kau suka menjadi anggota persekutuan kita, dengan kepandaianmu ini, pasti dapat berbuat banyak untuk kepentingan masyarakat. Pemimpin kami sedang mencari orang-orang pandai, terutama dari angkatan muda selalu mendapat perhatian khusus. Apa kau suka timbang ucapanku ini?”
Dengan tanpa banyak pikir Hui Kiam lantas menjawab:
“Mencari orang-orang pandai, apakah itu bukan berarti menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham dengannya dan mengumpulkan kawanan anjing?”
“Kau terlalu sombong. Tujuan persekutuan kami ialah hendak mempersatukan memperkokoh kedudukan orang-orang rimba persilatan.”
“Sungguh enak didengarnya!”
“Penggali Makam, maksudku adalah baik!”
“Terima kasih!”
“Apa kau bermaksud hendak bermusuhan dengan persekutuan kami?”
“Aku sudah bersumpah hendak bermusuhan dengan semua orang jahat dalarn rimba persilatan, tidak pandang bulu.”
“Kau jangan kukuh dengan pendirian sendiri, jikalau kau tidak mau menginsafi, kau nanti akan menyesal sendiri!”
“Ucapanmu ini sebaiknya katakan kepadamu sendiri!”
“Penggali Makam, sayang kepandaianmu, kami sesungguhnya tidak tega turun tangan.”
Hui Kiam mendadak ketawa bergelak-gelak:
“Orang she Ko, jangan salah hitung, aku nanti yang turun tangan terhadap kau.”
Ko Han San menjadi sengit, dengan segera menghunus pedangnya, begitu diputar, ujung pedang menciptakan lima buah sinar berbentuk bunga bwee. Awak pedang itu tebal dan agak lebar dari pedang biasa, bentuknya sangat menyolok. Itu adalah pedang ajaib yang jarang tertampak dalam rimba persilatan.
Dari gerak pembukaan orang she Ko itu, dapat diduga bahwa ia bukan menggunakan ilmu pedang golongan Tionggoan.
Kedua pihak sudah siap, masing-masing mengerti telah menjumpai lawan tangguh.
Kedua pihak berhadapan sekian lama, agaknya sedang mengukur kekuatan masing-masing.
Mendadak Ko Han San keluarkan suara bentakan keras, pedangnya bergerak, dengan gerak satu tipu gunung Thay-san menindih kepala, membacok kepala Hui Kiam.
Hui Kiam yang sudah siap segera menyambuti serangan tersebut, hingga dua senjata saling beradu. Kedua pihak mundur satu tindak. Setelah itu, masing-masing maju lagi berdiri dengan sikap saling
menantang. Keduanya mengerti bahwa kekuatan mereka ternyata berimbang.
Suara beradunya pedang terdengar lagi, kali ini lebih hebat daripada yang pertama, hanya gerak tipu Hui Kiam masih tetap tidak berubah, tetap itu-itu saja.
Selanjutnya pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Sejurus demi sejurus. Hingga jurus ke delapan, mulut kedua pihak sudah mengalirkan darah, badan terhuyung-huyung, nampaknya kedua pihak akan rubuh sama-sama.
Ketika jurus kesembilan dimulai, mendadak terdengar suara keluhan tertahan dari kedua pihak. Kedua-duanya jatuh numprah di tanah dengan napas memburu, hanya mata masing-masing yang tetap memandang lawannya.
Kira-kira setergah jam kemudian, dua orang berdiri berbareng, akan mulai kejurus kesembilan, tapi kedua pihak ternyata sudah kehabisan tenaga. Serangan kedua pihak tidak hebat, badannya sempoyongan kemudian rubuh lagi.
Empat orang yang datang duluan, ketika menyaksikan keadaan demikian, mereka saling memandang lalu menghampiri Hui Kiam.
Hui Kiam diam-diam mengeluh: “Kali ini habislah jiwaku!”
Karena dalam keadaan terluka hebat demikian, jangan kata empat lawan, satu di antaranya sudah cukup menamatkan riwayat. Tapi satu keinginan hidup dan perasaan penasaran telah membangkitkan sisa kekuatannya yang masih ada. Ia berusaha untuk pertahankan jiwanya.
Empat ujung pedang mulai mengancam dari empat penjuru......
Mendadak terdengar suara jeritan ngeri, satu di antara empat orang itu rubuh dalam keadaan mengerikan, kepalanya telah terpisah dari badannya. Ternyata Hui Kiam telah menggunakan sisa kekuatan tenaganya dengan satu gerakan luar biasa gesitnya sudah menabas kutung kepala salah satu di antara empat orang tersebut. Tapi setelah itu, ia sendiri benar-benar sudah kehabisan tenaga, hingga jatuh numprah lagi di tanah. Darah segar keluar dari
mulutnya. Sekarang ia tidak bisa terbuat lain cuma bisa menantikan kematiannya saja.
Tiga kawan yang mati tadi sangat penasaran, sambil keluarkan geraman hebat mereka maju lagi.
Ko Han San mendadak keluarkan perintah: “Jangan bunuh dia, musnahkan saja kekuatan dan kepandaiannya. Bawa pulang dalam keadaan hidup!”
Dimusnahkan kepandaiannya, itu ada lebih daripada kematian. Hui Kiam tidak sudi menghadapi siksaan demikian. Tapi apa daya? Kekuatan untuk bunuh diri saja sudah tidak ada.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suatu bentakan: “Siapa berani berlaku kurang ajar di sini?”
Setelah itu, sesosok bayangan kecil langsing dari seorang wanita berkerudung dan berbaju hijau muncul bagaikan setan.
Dengan munculnya wanita berkerudung itu, tiga orang yang hendak memusnahkan kepandaian Hui Kiam hentikan gerakannya seketika.
Wanita berkerudung itu lalu berkata pula:
“Lekas enyah dari sini!”
Salah satu di antara tiga laki-laki itu, mengawasi wanita berkerudung itu sejenak, lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Apakah nona penghuni tempat ini?”
“Benar.”
“Apakah orang-orang ini mati di tangan nona?”
“Benar!” jawabnya dingin sekali, soal membunuh jiwa orang itu agaknya bukan merupakan apa-apa baginya.
“Guru nona?”
“Aku suruh kau lekas enyah!”
“Kira-kira nona bicara.”
“Kalau aku tidak punya kira-kira, siang-siang kau sudah menggeletak di sini!”
“Tahukah nona, siapa yang nona bunuh ini?”
“Omong kosong!”
Laki-laki itu mengawasi komandannya yang masih numprah di tanah, sejenak dengan menindas perasaan gusarnya ia berkata:
“Apa nona muridnya Kim-cee-locianpwee?”
Nona itu tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya dengan suara keras ia ulangi ancamannya:
“Kalau tidak lekas pergi, jangan harap kau nanti bisa berlalu dari sini!”
“Nona terlalu jumawa. Aku yang rendah cuma khawatir akan timbul salah paham. Kalau tidak.......”
“Kalau tidak bagaimana?”
“Aku tidak segan melakukan pembunuhan!”
Nona itu perdengarkan suara ketawanya terkekeh-kekeh. Mendadak nampak berkelebatnya bayangan hijau kemudian disusul oleh suara jeritan ngeri. Bayangan hijau itu sudah kembal i lagi ditempatnya, tapi lelaki yang bicara dengannya tadi, ternyata sudah rubuh binasa. Kepalanya sudah remuk, darah merah tercampur putih berhamburan di tanah.
Semua orang terpaku. Pembunuhan kejam serupa itu, jarang tertampak di dunia rimba persilatan. Dengan kepandaiannya laki-laki itu ternyata sudah tidak mampu memberi perlawanan sama sekali, bahkan menangkis pun tidak, tahu-tahu sudah remuk kepalanya. Kepandaian nona itu, benar-benar sangat menakjubkan.
Ko Han San yang sudah dapat waktu cukup lama untuk mengatur pernapasannya kekuatan tenaganya mulai pulih. Ia berbangkit perlahan-lahan dengan mata mengawasi wanita berbaju dan berkerudung hijau, agaknya sedang memikirkan apa. Mendadak ia kibaskan tangannya seraya berkata:
“Pulang!”
“Wanita berbaju hijau itu, lantas berkata dengan nada dingin:
“Sudah terlambat!”
“Aku telah menyaksikan gerakan nona tadi. Apakah….”
Wanita baju hijau itu angkat tangannya yang putih. Di udara ia membuat gerakan satu lingkaran, lalu turunkan lagi tangannya.
Badan Ko Han San gemetaran, ia mundur dua langkah. Dengan suara ketakutan ia berkata:
“Aku yang rendah mempunyai mata tapi tidak bisa melihat, sehingga melakukan pelanggaran ini, sekarang rela menerima dosa!”
Sehabis berkata, ia mengorek sebelah biji matanya sendiri. Dengan darah berlumuran, biji mata itu diletakkan dalam telapakan tangannya, kemudian berkata pula!
“Mohon supaya kita diijinkan pulang!'“ lalu berpaling pada kedua anak buahnya dan berkata:
“Bukan lekas turun tangan sendiri, apa kau hendak cari mampus!”
Wajah kedua laki-laki itu pucat seketika. Sambil kertak gigi, masing-masing mengorek satu biji matanya sendiri.
Wanita baju hijau itu lantas berkata sambil ulapkan tangannya:
“Kalau memang sudah tahu aturannya, mengingat pelanggaran ini kamu lakukan tidak disengaja, maka pergilah!”
Tiga orang itu bagaikan mendapat suatu keampunan besar, dengan terbirit-birit lari pulang.
Hui Kiam yang menyaksikan adegan luar biasa itu, keringat dingin mengucur keluar. Wajahnya yang dingin kecut, untuk pertama kalinampak ada perubahan, tapi itu hanya sepintas lalu saja, cepat sudah kembali ke asalnya.
Wanita baju hijau itu melayang turun ke depan Hui Kiam, dengan nada dingin ia menegur:
“Kau ingin tinggal?”
Hui Kiam berbangkit. Ia simpan pedangnya sebelum membuka mulut. Wanita baju hijau itu sudah ayun tangannya, menekan batok kepala Hui Kiam, tapi mendadak ditarik kembali kemudian menanya:
“Kau, tidak takut mati?”
Wajah Hui Kiam yang tampan dingin nampak semakin dingin. Sepasang matanya memancarkan sinar buas, tapi sedikitpun tidak mempunyai perasaan takut. Ia mengawasi wanita baju hijau itu dengan mata melotot, kemudian berkata dengan nada dingin:
“Kalau kau ingin turun tangan, terserah. Pada saat ini aku sudah tidak mempunyai kekuatan tenaga untuk melawan!”
Wanita baju hijau itu kembali ayun tangannya, tapi tidak diturunkan. Entah karena merasa kagum atas keberaniannya Hui Kiam, ataukah ketarik oleh sikap laki-laki sejati pemuda itu, kembali ia turunkan tangannya. Sambil ketawa dingin ia berkata:
“Kau siapa?”
“Orang yang sudah hampir mati, perlu apa menyebut namanya?”
“Kau sombong, tapi nonamu tetap hendak menanya.”
“Penggali Makam!”
“Penggali Makam? Ng! Orangnya mirip dengan gelarnya, luar biasa dingin dan ketusnya. Siapa namamu?”
“Hui Kiam!”
“Cukup menarik! Untuk pertama kali nonamu mengadakan kecualian terhadap kau, apa kau anggap jika kau tidak terluka parah, bisa bertanding dengan aku?”
“Mungkin!”
“Mungkin? Kalau begitu kau belum mempunyai keyakinan untuk menang.”
“Sebelum melihat buktinya, siapapun tidak bisa keluarkan omong besar!”
“Baik! Itu mudah, aku tunggu kau setengah jam,” berkata si nona, kemudian dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah botol kecil. Ia mengambilsebutir pil dari dalamnya, diletakkan di atas batu depan Hui Kiam, ia berkata pula:
“Ini kau telan, setengah jam kemudian kekuatan tenagamu akan pulih kembali. Tapi ingat, jika kau masih bukan tandinganku, kau akan mati lebih mengenaskan!”
Tergerak hati Hui Kiam, tapi di luarnya masih tetap bersikap dingin. Katanya dengan suara datar:
“Dengan memandang budimu yang memberikan obat padaku ini, aku akan mengampuni kau satu kali, aku tidak akan mengambil jiwamu!”
Wanita baju hijau itu dikejutkan oleh ucapan Hui Kiam yang sangat jumawa itu, kemudian ia perdengarkan suara ketawa dingin berulang-ulang kemudian berkata:
“Penggali Makam, apa kau tahu pasti akan berlalu dari sini dalam keadaan hidup?”
“Sudah tentu, tapi yang kumaksudkan ialah kalau hari ini aku tidak mati!”
“Itu hanya terjadi apabila timbul kejadian gaib, sekarang telanlah obat ini!”
Sehabis berkata ia lantas menyingkir.
Hui Kiam telan pil itu dengan perasaan rupa-rupa. Memang benar, ia masih belum mempunyai keyakinan akan dapat menenangkan lawannya. Tentunya si nona murid dari salah satu jago kenamaan, dengan pengalamannya yang masih cetek sudah tentu tidak dapat meraba-raba asal-usulnya nona yang sangat aneh itu. Tapi di luar dugaannya, si nona itu sudi memberi obat padanya untuk memulihkan kekuatan tenaganya, supaya bisa bertanding dengannya. Mungkin nona itu ada mempunyai keyakinan untuk
merebut kemenangan. Kalau tidak, tidak nanti ia berani berbuat demikian.
Wanita baju hijau itu sudah berdiri lagi di hadapannya.
Dengan suara dingin Hui Kiam berkata:
“Boleh mulai!”
“Keluarkan pedangmu! Nampaknya kau pandai menggunakan pedang!”
“Dan pedangmu sendiri?”
“Aku tak mempergunakannya!”
“Kalau begitu aku juga harus melayani dengan tangan kosong, itulah baru adil!”
“Kau tidak menggunakan pedang ini, berarti kau mencari jalan yaug keliru. Kau harus tahu bahwa pertempuran ini berarti mati hidupmu.”
“Aku mengerti!”
“Kalau kau tidak menggunakan pedang pasti tak mampu melawan lebih dari tiga jurus.”
Sifat sombongnya Hui Kiam terbangkit, katanya dengan suara tegas:
“Jika aku mampu melawan lebih dari tiga jurus, bagaimana?”
“Kau boleh berlalu dalam keadaan hidup, dan selanjutnya aku tidak akan membunuh orang lagi.”
“Baik, silahkan!”
“Kau yang turun tangan lebih dulu, tapi harus dengan tenaga penuh!”
“Sebagai tamu tidak boleh merampas haknya tuan rumah, sebaiknya nona yang turun tangan lebih dulu.”
“Perlu apa harus memakai banyak aturan, kalau aku yang turun tangan lebih dulu, tiga jurus kau tidak sanggup menahannya!”
Darah Hui Kiam bergolak, untuk pertama kali ia merasakan dirinya dihina, dan rasa itu sungguh pahit, lebih tidak enak daripada dikalahkan dalam pertempuran.
“Sebaiknya nona yang turun tangan lebih dulu!”
“Penggali Makam, ini bukan pertandingan persahabatan. Kau jangan bermain dengan jiwamu.”
“Aku mengerti.”
“Kalau begitu, awas.”
Cepat sekali nona itu sudah melancarkan serangannya. Hui Kiam ketika menyaksikan gerakan nona itu, hampir keringat dinginnya keluar, karena serangannya itu sulit untuk diduga dan luar biasa anehnya, jalan darah penting di badannya, hampir seluruhnya dibawahi ancaman, bahkan sangat sulit untuk mengeluarkannya, baik menyambuti atau berkelit, tidak akan luput dari ancaman kematian.
Tapi sang waktu sudah tidak memberikankesempatan padanya untuk berpikir. Karena serangan sudah mengancam, pikiran itu hanyasekejap mata saja terlintas dalam otaknya, daya ingatan yang dimiliki oleh setiap orangyang sudah berkepandaian tinggi, ini membuat ia selalu bertindak secara gesit. Ia memudar tubuhnya dan melesat sejauh lima kaki,berbareng dengan itu dua belas bagian jalandarahnya merasakan agak kesemutan. Terang meski dengan gerakannya yang aneh itu sudah berhasil lolos dari serangan kematian, tapi tidak luput dari ancaman yang dahsyat. Untung ilmu kepandaian yang ia sudah pelajari jauh berbeda dengan kepandaian biasa, darah dan urat nadi mengalir ke arah yang berlawanan. jika orang lain, mungkin sudah menggeletak menjadi bangkai.
la bergidik. Kepandaian nona itu ternyata jauh lebih tinggi daripada apa yang dibayangkan.
Wanita baju hijau itu agaknya juga menjumpai kejadian di luar dugaannya. Ia keluarkan suara jeritan kaget: “Eh!” kemudian berkata:
“Bagus gerakanmu, bagus kepandaianmu, aku ternyata terlalu pandang ringan dirimu. Sambutlah sekali lagi.”
Ucapannya itu ditutup dengan serangannya yang luar biasa cepatnya. Dengan kepandaian seperti yang dipunyai oleh Hui Kiam, sudah tidak mendapat kesempatan untuk memikir, dengan sendirinya ia melakukan perlawanan sekenanya. Karena ia tidak mengetahui arah yang diserang oleh si nona, terpaksa balas menyerang dengan tenaga sepenuhnya untuk menyambuti serangan lawannya, tapi kesudahannya sangat mengenaskan.
Sekujur badannya merasa tergoncang hebat. Kekuatan tenaga dalamnya merosot turun seketika. Serangan semacam ini, bukan satu serangan totokan yang umum dalam kalangan rimba persilatan. Hui Kiam yang tidak takut ditotok, kini ternyata sudah tidak berdaya. Di luar dugaan ia telah ditundukkan. Berbareng dengan itu, satu tangan halus sudah mengancam diatas kepalanya. Andaikata nona itu bermaksud hendak mengambil jiwanya, batok kepalanya sudah siang-siang hancur.
“Aku kalah, bunuhlah!” Itu saja yang Hui Kiam mampu katakan.
Untuk sesaat, pikirannya mulai dingin, segala cita-citanya hendak menuntut balas, telah lenyap semua, ia sudah siap sedia untuk menyambut kedatangan maut.
Di luar dugaan, nona baju hijau itu tarik kembali tangannya. Katanya dengan nada dingin:
“Kuberikan kesempatan terakhir bagimu, kau menggunakan pedang untuk melawan!”
Hui Kiam merasa sangat terhina, sikapnya yang tidak mudah berubah, saat itu wajahnya nampak berkerenyut sejenak. Mati baginya bukan apa-apa, tapi hinaan itu lebih hebat daripada kematian. Maka ia lantas menjawab sambil kertak gigi:
“Tidak usah, aku terima kalah!”
“Kau rela mati?”
Sudah tentu ia tidak rela karena sakit hatinya belum terbalas. Tugas yang diberikan oleh suhunya belum terlaksana, bagaimana ia rela mau? Tapi apakah ia bisa minta ampun terhadap orang perempuan? Apakah ia sudi menurunkan derajatnya sendiri?
“Seorang laki-laki yang sudah berani menerjang ke dunia Kang-ouw, apa arti kematian?”
Wanita baju hitam itu kewalahan, sudah nyata bahwa ucapan Hui Kiam itu menggerakkan hatinya. Sayang parasnya tertutup oleh kain kerudung, hingga tidak dapat dilihat perubahannya. Setelah hening agak lama, ia baru membuka mulut dan berkata dengan nada duka:
“Perggali Makam, kau tidak kecewa menjadi seorang gagah. Begini saja, seperti biasa, kau korek satu biji matamu sesudah itu kau berlalu dari sini!”
“Tidak bisa!”
“Apa? Kau lebih suka mati daripada memberikan satu biji matamu?”
“Aku Hui Kiam tidak sudi minta dikasihani jiwaku di bawah ancaman seperti ini!”
“Apa kau ingin aku antar kau berlalu dari sini dengan secara hormat?”
“Sudah kalah tidak ada apa-apa yang aku harus ucapkan. Kalau aku menang, aku juga akan bunuh mati kau!”
“Kau pasti suruh aku bunuh kau?”
“Terserah!”
“Sudah berkali-kali aku mengalah tapi kau tetap menghendaki kematian, sudah tentu aku tidak bisa berbuat apa-apa!”
Untuk ke tiga kalinya nona itu mengangkat tangannya hendak menghajar kepala Hui Kiam. Meski Hui Kiam tahu bagian mana yang di arah oleh wanita itu, tapi heran serangannya itu membuat
orang yang diserang tak dapat memberikan perlawanan sama sekali.
Hui Kiam membuka matanya tanpa berkedip matanya serangan si nona itu tidak ditujukan kepada dirinya.
Kalau ia mati, bagaimana rupanya nona itu, dari dari mana asal usulnya, ia tak tahu sama sekali. Tapi ia juga tak perlu menanya. Pertama, karena menanya juga tak ada gunanya. Ke dua, nona itu belum tentu sudi menerangkan.
Inilah adatnya Hui Kiam yang berbeda dengan orang lain.
Serangan tangan nona itu sudah hampir turun, di luar dugaan ia tarik kembali.
Sambil menghela napas perlahan ia berkata:
“Sudahlah, kau boleh pergi!”
Hal ini kembali di luar dugaan Hui Kiam. Manusia tetap manusia, bukannya kayu atau batu. Keinginan Hui Kiam untuk hidup tadi hanya tertindas bukan lenyap, maka ucapan si nona itu telah membangkitkan keinginannya untuk hidup lagi. Tapi dia tidak merasa girang, sebab dalam matanya, hal itu tetap masih merupakan satu kehinaan. Maka untuk sesaat dia masih berdiri kesima di tempatnya, tidak tahu apa yang harus diucapkannya.
“Kau… masih belum mau pergi?”
“Kedatanganku ini ada mempunyai tujuan!”
“Tujuan apa?”
“Mencari seseorang.”
“Siapa?”
“Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas.”
Wanita berbaju hijau itu mengeluarkan seruan “Ow!” kemudian berkata:
“Kedatanganmu juga hendak mencari iblis wanita itu?”
“Ya !”
“Mengapa?”
“Hendak membuktikan ia adalah musuhku atau bukan!”
“K.au jujur tapi kelewatan. Jika aku justru adalah muridnya iblis wanita itu, sudah pasti kau sudah mampus!”
“Tapi nona toh bukan muridnya?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Kalau betul, barisan orang-orang Persekutuan Bulan Emas itu tidak akan berlalu begitu saja tanpa melawan.”
“Kalau kau sudah tahu bukan, mengapa masih belum mau pergi?”
“Karena aku pikir, mungkin nona tahu di mana adanya iblis wanita itu?”
“Taruhlah aku tahu, apa kau kira aku bisa memberitahukan padamu?”
“Kalau begitu, aku minta diri. Budimu yang sudah memberikan obat dan tidak mengambil jiwaku ini, aku nanti pasti akan balas!”
“Kau tidak kepingin tahu aku siapa?”
“Tidak usah, aku nanti bisa datang lagi.”
“Kau, masih berani datang lagi?”
“Ya, nanti setelah aku yakin bahwa kepandaianku sudah cukup kuat untuk menandingi nona, aku bisa datang berkunjung lagi.”
“Kesombonganmu jarang ada di dalam dunia.”
“Terima kasih atas pujianmu.”
“Jika kau tidak mendapatkan kepandaian yang mampu menandingi aku lagi, bagaimana?”
“Tidak mungkin.”
“Kau berani pastikan?”
“Dalam satu tahun kalau aku tidak mampu menepati janjiku ini, aku akan bunuh diri....”
“Kau....” Badan wanita itu menggetar tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Hui Kiam juga tiada maksud memikirkan maksudnya si nona. Ia angkat tangan memberi hormat kemudian balikkan badannya dan angkat kakinya yang berat….
“Tunggu dulu!” demikian terdengar suara si nona.
Hui Kiam merandak. Ia berpaling dan menanya:
“Nona menyesal?”
“Apa benar kau hendak mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?”
“Ya.”
“Apa kau ingin aku memberitahukan padamu?”
“Kalau nona sudi, aku haturkan banyak-banyak lerima kasih!” suaranya tetap dingin.
“Kau tidak usah membuang-buang tempo untuk mencari padanya lagi.”
Kenapa?”
“Iblis wanita itu sudah lama tidak ada dalam dunia.”
Hui Kiam merasa kecewa. Tanyanya dengan suara gemetar:
“Iblis wanita itu sudah tidak ada di dalam dunia?”
“Benar. Rahasia ini dalam kalangan Kang-ouw barangkali belum ada orang ke dua yang tahu....”
“Dia… tak boleh mati.......”
“Eh! Kau ini benar-benar tidak patut. Dengan maksud baik aku beritahukan padamu tapi kau katakan tidak bisa mati. Apa kau anggap aku membohongimu? Atau.......”
“Maaf, aku tadi salah kata. Maksudku ialah aku tidak mengharap musuhku itu mati sehingga kandaslah keinginanku untuk menuntut balas.”
“Apa kau masih ingin dengar?”
“Teruskanlah!”
“Dua puluh tahun berselang, iblis wanita itu di gunung Bu-leng-san telah berjumpa dengan musuh kawakannya, Sam-im Kui-sin. Mereka bertempur sampai seratus jurus lebih. Kesudahannya kedua-duanya terluka parah dan mati di tempat itu. Jenazah mereka dikubur oleh orang yang kebetulan lewat di situ.”
“Kata nona bahwa iblis wanita itu sudah mati pada dua puluh tahun berselang?”
“Sedikitpun tak salah!”
“Nona dengar kabar atau melihat sendiri?”
“Meski cuma mendengar, tapi tidak ada bedanya dengan melihat sendiri.”
Dalam hati Hui Kiam lantas berpikir, iblis wanita itu sudah mati pada dua puluh tahun berselang sedang kematian ibunya terjadi sepuluh tahun berselang. Perbedaan waktu ada sepuluh tahun. Sudah tentu pembunuh ibunya itu bukan Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas. Tapi siapa?
Siapakah yang membunuh orang dengan tusuk konde berkepala burung Hong? Apakah….
Karena berpikir demikian, maka ia lantas menanya:
“Numpang tanya, apakah iblis wanita itu mempunyai murid?”
“Hal ini aku tidak tahu!”
“Apakah iblis wanita itu menggunakan tusuk konde emas sebagai senjata rahasia?”
“Iblis wanita itu tinggi sekali kepandaiannya jarang menemukan tandingan, belum pernah dengar ia menggunakan senjata rahasia. Tapi tusuk konde emas itu adalah tanda kepunyaannya.”
Hui Kiam tundukkan kepala sambil berpikir. Dalam hal ini ada dua kemungkinan pertama, adalah dia iblis wanita itu, belum mati, ke dua ialah dia mempunyai murid keturunan, dan yang melakukan pembunuhan itu mungkin ada muridnya.
Mungkin waktu ibunya mati terbunuh ia baru berusia delapan tahun, tapi dia masih ingat bahwa kepandaian ibunya tidak terhitung lemah, orang yang berkepandaian biasa tidak mampu membunuh padanya. Dari sikap ibunya ketika menyembunyikan padanya, ke dalam di bawah tanah, dapat diduga bahwa musuh itu pasti bukan orang sembarangan. Sayang, karena ia sendiri sembunyi di dalam goa, itu tidak dapat lihat dengan tegas raut dan raut mukanya sang musuh itu juga tidak dengar suaranya. Kalau tidak pasti lebih mudah baginya untuk mengenali orangnya. Dan sekarang, satu-satunya jalan ialah mencari keterangan apakah iblis wanita itu juga ada mempunyai murid atau tidak, ataukah iblis wanita itu sendiri belum mati?
Berbareng dengan itu, ia juga teringat akan pesan ibunya, yang menyuruh membunuh satu musuhnya lagi, ialah To-liong Kiam khek Su-ma Suan. Ada dendaman apa antara Su-ma Suan dengan keluarga ibunya, ia sendiri tak mengetahuinya, tapi dia percaya akan pesan ibunya, sedikitpun tidak salah. Menurut keterangan Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng, Su-ma Suan sudah sepuluh tahun lebih menghilang dari dunia Kang-ouw. Kembali ini merupakan satu persoalan yang amat pelik....
Sikapnya wanita baju hijau itu sudah tidak seperti semula yang demikian galak dan dingin. Dengan suara perlahan ia berkata:
“Penggali Makam, kau sedang memikirkan apa?”
'Tidak apa-apa.”
Pada saat itu, mendadak ia ingin menanya nama dan asal-usul wanita itu, tapi baru hendak membuka bibir, ia lantas telan kembali. Asal ia mau membuka mulut, menurut keadaan pada saat itu, nona
itu pasti tidak akan menolak. Tapi ia tidak bisa tampar pipinya sendiri, sebab ia barusan sudah menyatakan tidak ingin tanya dirinya nona itu.
Beberapa kali pikirannya beberja, akhirnya ia ini menyoja dan berkata:
“Terima kasih atas petunjukmu. Aku sekarang minta diri.”
“Baiklah! Aku… akan menunggu kau sampai satu tahun!”
“Mungkin tidak usah satu tahun aku sudah kembali.”
Sehabis mengucapkan demikian, ia lantas berlalu. Baru saja membelok ke satu tikungan telinganya mendadak dapat menangkap suara pantun yang sudah tidak asing baginya.
Hui Kiam kerutkan alisnya. Benar seperti yang ia duga, pengemis cilik yang pernah dijumpai di gunung Bu-san, sudah berjalan menuju ke arahnya dalam lagaknya yang amat jenaka.
Meski keduanya berpapasan, tapi Hui Kiam tidak hiraukan sama sekali.
“Saudara berhenti dulu sebentar!” Demikian Hui Kiam dengar suara pengemis cilik itu. Tapi ia pua-pura tidak dengar, terus melanjutkan perjalanannya. Si pengemis itu mengejar sambil memanggil dengan suara nyaring:
“Penggali Makam, apa kau berhasil menemukan Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?”
Pertanyaan pengemis cilik itu mengejutkan Hui Kiam. Ia terpaksa hentikan kakinya. Sementara itu, sang pengemis itu sudah berada di depannya.
“Apa maksudmu?”
“Aku si pengemis selalu pikirkan diri saudara!”
“Bagaimana kau bisa tahu kalau aku mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?”
“Tentang ini... bukankah aku si pengemis pernah berkata bahwa aku pandai ilmu penebak hati orang?”
“Aku juga pernah kata bahwa aku tidak suka disukai orang!”
Pengemis itu ketawa haha hihihi lalu berkata padanya:
“Saudara Hui, mari bersahabat, bagaimana?”
“Aku selamanya suka berjalan seorang diri, terima kasih!” jawabnya Hui Kiam dingin.
“Apa kau anggap diriku rendah, tidak sederajat dengan kau?” tanya si pengemis sambil mendelikkan matanya.
“Terserah padamu, bagaimana kau pikir, boleh saja.”
“Penggali Makam, menurut penglihatanku, sampaipun darahmu mungkin juga dingin.”
“Sebelum aku mengambil keputusan hendak membunuh kau, lekas kau pergi. Ingat, aku tidak suka dikintil orang. Lain kali apabila ketemu lagi, jangan sesalkan aku tidak memberi peringatan padamu!”
Pengemis itu leletkan lidahnya tapi wajahnya tak berubah. Sambil ketawa cengar-cengir ia berkata:
“Saudara, perjanjianmu ke gunung ini nampaknya tak mendapat hasil apa-apa!”
“Ada hubungan apa denganmu?”
“Kalau tidak ada hubungannya dengan aku, aku tidak akan ambil pusing urusan ini.”
“Aneh, coba kau ceritakan ada hubungan apa denganmu?”
“Umpama kata, tusuk konde emas berkepala burung Hong yang berada di badanmu....”
“Kenapa?”
“Kau ingin tahu asal-usulnya, bukan?”
Hui Kiam menyambar badan pengemis itu. Oleh karena badannya yang kokoh kekar, pengemis itu terangkat tinggi. Dengan suara bengis ia menanya:
“Apa kau tahu?”
“Sekalipun aku tahu juga tak mau menerangkannya.”
“Tidak mau menerangkan, aku nanti robek mulutmu!”
“Kau robek juga aku takkan menerangkan, kecuali….”
“Kecuali apa?”
“Kau jawab dulu bahwa kau suka bersahabat denganku, kemudian aku si pengemis akan beritahukan semua apa yang aku tahu.”
“Boleh kau terangkan dulu mengapa kau hendak bersahabat denganku?”
“Kalau namanya tidak benar perkataannya juga tak tepat.”
“Apa artinya?”
“Ada orang kata bahwa ketemu orang cuma mengatakan tiga bagian, persahabatan yang belum akrab tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang dalam, maka itu aku cuma bisa berkata sampai di sini saja!”
Hui Kiam dibuat tidak berdaya. Memang benar, asal usulnya tusuk konde ini ia ingin tahu bahkan tidak memperhitungkan akibatnya. Maka ia melepaskan si pengemis kecil itu, dan berkata padanya:
“Baiklah kita perlu bersahabat, tapi aku perlu menerangkan lebih dulu, jikalau mengetahui kau memandang maksud jahat, aku juga akan bunuh kau.”
Pengemis cilik itu gerak-gerakkan tangan dan kakinya yang tadi bekas dicekal oleh Hui Kiam, setelah itu ia berkata sambil ketawa getir:
“Terserah padamu, segalanya kuterima baik. Bersahabat kita harus menurut aturan. Aku bernama le It Huan. Julukanku Sukma Tidak Buyar, tahun ini usiaku masuk tujuh belas.”
“Benar-benar Sukma Tidak Buyar... “
“Sama-sama! Julukanmu Penggali Makam juga ada lebih baik dari julukanku dan saudara?
“Apa kau murid golongan Kay-pang (Pengemis)?”
“Bukan. Suhuku sudah meninggal dunia. Suhu yang sudah wafat tidak perlu disebut perguruannya, maka nama suhu juga tidak perlu diungkap lagi!”
Hui Kiam berpikir sejenak, lalu berkata:
“Aku bernama Hui Kiam, usia dua puluh tahun. Keadaanku serupa dengan kau, suhu sudah meninggal, tidak perlu disebut lagi!”
“Keluarga saudara Hui....”
“Ayah bundaku sudah meninggal, aku hidup sebagai piatu.”
“Oh! Maaf aku kesalahan omong. Kita tidak usah memakai segala aturan, yah? Sudah bulukan cukup dengan lisan saja. Saudara Hui lebih tua, aku harus bahasakan 'heng' atau saudrra tua. Aku sebagai adik, terimalah hormatku!”
Sehabis berkata ia lantas menjura dalam-dalam.
Dalam keadaan demikian, Hui Kiam terpaksa membalas hormatnya, tapi suaranya masih tetap dingin:
“Mari kita balik lagi kepada persoalan kita. Coba kau terangkan urusanku, bagaimana bisa ada hubungannya dengan kau?”
le It Huan ketawa cekikikan, lalu berkata:
“Hui toako, kau dengan aku sudah menjadi saudara, maka urusanmu juga menjadi urusanku, bukankah itu ada hubungannya?”
Hui Kiam delikkan matanya, dengan suara tandas ia berkata:
“Kau hendak permainkan aku?”
le It Huan nampaknya jeri, ia mundur satu tindak. Sambil goyang-goyangkan tangannya, ia berkata:
“Hui toako, kau jangan salah paham. Siaoteemu ini, sejak dilahirkan dalam dunia, mempunyai adat sudi gawe, atau senang mencampuri urusan orang lain. Sejak di pusat Sam-goan-pang secara tersembunyi aku dapat melihat sepak terjang toako. Diam-diam aku merasa kagum, maka aku bertekad hendak mengikat tali persahabatan dengari toako. Jika ada maksud jahat, biarlah Tuhan akan kutuk aku!”
Hui Kiam meski belum lenyap rasa curiganya tapi karena ingin tahu rahasianya tusuk konde emas burung hong, terpaksa ia menindas hawa amarahnya. Sambil anggukkan kepala ia berkata:
“Baiklah, apa benar kau paham ilmu menebak hati orang?”
“Itu hanya lelucon saja. Ketika toako berada di luar perkampungan Ie-hun San chung, dan melakukan pembicaraan dengan Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng, siaotee dengan tanpa sengaja telah dapat dengar seluruhnya. Hihihi, begitulah duduknya perkara.”
Hui Kiam merasa mengkal, ia tak menduga kalau dipermainkan oleh pengemis cilik itu. Maka ia berkata dengan perasaan mendongkol:
“Kalau begitu, kau sendiri ternyata juga tidak tahu sama sekali tentang tusuk konde emas itu?”
“Sekalipun Manusia Gelandangan yang banyak pengetahuannya juga tidak tahu apa lagi siaotee.”
“Kau cari mampus!”
“Toako, kau jangan cemas dulu. Siaotee tentu akan membantu membereskan. Numpang tanya, bagaimana kabarnya tentang Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?”
“Sudah meninggal pada dua puluh tahun yang berselang! O ya, apa kau tahu iblis wanita itu ada mempunyai murid atau tidak?”
“Tentang ini..... siaotee malah belum pernah dengar, tapi aku ada akal untuk mencari keterangan. Mari kita bicarakan lebih dulu tentang tusuk konde emas.......”
“Bagaimana?”
“Apa toako pernah dengar nama Manusia Tangan Seribu atau tidak?”
“Manusia Tangan Seribu? Sangat asing bagiku.”
“Manusia Tangan Seribu oleh umum dianggap sebagai rajanya ahli senjata rahasia. Ia dapat menggunakan kedua tangannya melancarkan dengan berbareng sepuluh rupa senjata rahasia, dan terhadap segala bentuk dan rupa senjata rahasia yang digunakan oleh tokoh-tokoh berbagai partai rimba persilatan ia dapat mengenali semua. Jika kita dapat menemukan padanya, mungkin dapat membuka tabir rahasia tusuk konde emas ini!”
Semangat Hui Kiam terbangun. Katanya: “Manusia Tangan Seribu itu berdiam dimana?”
“Ia mengasingkan diri di lemoah Cian-hui-kok di gunung Bo-po-san.”
“Bo po-san? Terpisah beberapa ribu lie dari sini........”
“la harus memasuki propinsi San-see. Orang tua itu pada tiga puluh tahun berselang telah mengasingkan diri tidak lagi mengurusi persoalan dunia, juga tidak lagi muncul di dunia Kang-ouw, bahkan adatnya sangat aneh....”
“Itu tidak menjadi soal, asal dapat menemukan padanya sudah cukup!”
“Mengapa kita tidak berangkat sekarang?”
Kita? Maksudmu kau hendak berjalan bersama-sama dengan aku?”
“Toako, siaotee akan jadi petunjuk jalan. Ada baiknya buat toako supaya tak usah mencari susah!”
“Baiklah!”
“Toako, apakah sikapmu ini bisa dirubah agak menyenangkan sedikit?”
“Kalau kau tidak senang lihat, terserah!”
“Baik! Baik! Siapa suruh aku bersahabat denganmu! Tunggulah sebentar, aku akan tukar rupa, berjalan sama-sama rada pantesan.”
Sehabis berkata ia lari ke tepi sungai untuk mencuci muka dan badannya, lalu balik lagi kepada Hui Kiam.
“Aaaa! Hui Kiam hampir saja berseru. Pengemis cilik itu ternyata adalah satu pemuda tampan. Dari sinar matanya dapat diduga bahwa ia adalah seorang yang cerdik dan banyak akalnya.
Pakaiannya yang semula begitu mesum, sebentar saja entah dengan cara bagaimana, ia sudah menyulap menjadi berpakaian necis dan rapi, dengan demikian hingga kini bukan berupa seorang pengemis jembel lagi, melainkan seorang pemuda terpelajar atau satu kongcu anak seorang berpangkat tinggi. Perubahan itu membuat Hui Kiam melongo.
Setelah selesai berdandan, ia berkata sambil menyoja:
“Toako, silahkan!”
Dua pemuda tampan berlari larian di gunung Bu-san menuju ke kota Kiu ciu. Kepandaian ilmu meringankan tubuh Ie It Huan ternyata tidak di bawah Hui Kiam.
Kira-kira jam dua pagi mereka sudah sampai di kota yang dituju. Diwaktu tengah malam buta itu kota tersebut keadaannya sudah ramai dengan para pedagang yang datang dari berbagai desa.
Ie-It-Huan berkata sambil menunjuk satu tempat yang banyak lampu:
“Toako, mari kita berhenti sebentar. Perutku sudah berbunyi!”
Hui Kiam yang jarang bersenyum, cuma menganggukkan kepala.
le It Huan agaknya kenal betul keadaan tempat itu. Rumah makan nomor satu di kota itu yang bernama Ceng-lian-kie ternyata
dikenal baik olehnya. Begitulah ia ajak Hui Kiam memasuki rumah makan itu.
Dua pemuda itu memilih tempat yang agak sepi. Mereka minta disediakan arak dan hidangan.
Ie-It Huan yang gemar arak begitu melihat arak matanya lantas terbuka lebar, sambil angkat cawan araknya ia berkata:
“Toako, malam ini untuk pertama kali aku minum bersama-sama dengan toako, siaotee minta toako keringkan tiga cawan arak ini!”
Sehabis berkata, ia sendiri menenggak tiga cawan. Hui Kiam kerutkan keningnya. Dengan tanpa banyak omong ia juga minum sampai tiga cawan.
le It Huan meski masih muda, ternyata dapat minum arak tanpa takeran. sSecawan demi secawan lewat tenggorokannya mirip dengan setan pemabokan. Hal ini sangat tidak sesuai dengan bentuk luarnya.
Selagi enak minum, dari meja tidak jauh terdengar suara ketawanya suara wanita. Suara ketawa itu bukan saja nyaring, tapi juga mengandung daya penarik bagaikan magnit.
Di jaman itu jarang tertampak wanita muda berada di rumah makan seorang diri, apalagi tertawa dan berlaku sesukanya dengan bebas, sudah merupakan satu kejadian yang janggal.
Oleh karena tingkahnya wanita itu, hingga semua mata para tamu rumah makan tersebut ditujukan ke arahnya.
Hui Kiam yang dengan tanpa sengaja juga turut berpaling, segera dapat lihat seorang wanita muda dengan bentuk badannya yang langsing menarik serta dandannya yang serba merah. Perempuan itu bukan lain daripada Wanita Tanpa Sukma, yang memikat kemudian membunuh kaum laki-laki dengan kecantikannya.
Munculnya wanita genit itu di tempat umum benar-benar diluar dugaan Hui Kiam.
Laki laki muda yang duduk bersama dengannya ada seorang bagaikan kongcu yang romantis nampaknya. Kongcu itu nampaknya sudah mabuk. Sambil menggoyang-goyangkan kipasnya yang terbikin dari emas, matanya menatap wanita tanpa sukma dengan sikap yang memualkan.
Ie It Huan agaknya tidak mau ambil pusing itu semua, ia cuma perhatikan araknya.
Seorang tamu yang tak dikenal, berkata sambil menghela napas:
“Aih, arak tidak membikin orang mabuk, orangnya sendiri yang mabuk, paras cantik tidak menyesatkan orang, orangnya sendiri yang tersesat oleh paras cantik!”
Mendengar ucapan itu, hati Hui Kiam menjadi sadar. Samnil mengetok meja dengan jari tangannya ia berkata:
“Ow, kau lihat perempuan itu?”
“Siapa?” tanya Ie It sambil angkat kepala.
“Lihat sana!”
“O! Wanita Tanpa Sukma!” reaksinya ternyata sangat hambar.
Hui Kiam dalam hati merasa heran. Tanyanya agak heran dan bingung:
“Kau mabuk?”
“Baru minum beberapa cawan saja, bagaimana bisa mabuk?”
“Bukankah kau sedang memikirkan dirinya?”
Ie It Huan ketawa cekikikan, lalu berkata:
“Toako, kau jangan anggap benar-benar. Itu hanya siasatku hanya hendak menarik perhatian toako.”
Sementara itu, wanita cantik menarik itu sudah berdiri di hadapan mereka.
Dengan sikapnya yang tetap dingin Hui Kiam berkata:
“Wanita Tanpa Sukma, dunia ini meski luas tapi jalannya ternyata sempit. Kita telah berjumpa lagi!”
“O ya!”
Mulut Wanita Tanpa Sukma berkata kepada Hui Kiam sedang matanya yang jeli melirik kepada Ie It Huan yang saat itu mukanya sudah merah karena pengaruh arak.
“Siaohiap ini bagaimana scbetulnya?” Ia menanya dengan sikapnya yang luwes menarik, sementara tangannya yang putih halus membcreskan rambatnya yang terurai di atas pundaknya.
“Sukma Tidak Buyar!” jawabnya Hui Kiam dengan nada tetap dingin.
Wanita Tanpa Sukma ketawa terkekeh-kekeh dan berkata:
“Sukma tidak buyar! Orang begini cakap, bagaimana menyerobot gelar nama demikian menakutkan...?”
Ie It Huan tenggak kering araknya, lantas menanya:
“Menyerobot? Apa artinya?”
“Orang yang mempunyai gelar Sukma Tidak Buyar itu aku sudah pernah ketemu, kau tidak bisa menipu aku! Apa sukma tidak buyar itu bukan berarti terus mengikuti orang, betul tidak?”
“Benar, begitu kena diikuti sampai mati baru dilepaskan!”
Hui Kiam lantas menyelak:
“Wanita Tanpa Sukma, kau jangan salah lihat orang, kalau kau memikirkan yang bukan-bukan itu berarti kau cari mati sendiri.
“Oh! Penggali Makam, kita satu sama lain tokh tidak saling melanggar, bukan?”
“Antara kau dengan aku masih ada perhitungan yang belum diselesaikan. Hari itu kau telah berbasil meloloskan diri, tapi kali ini tidak mungkin lagi!”
“Begitu penting kau anggap?”
“Wanita genit seperti kau ini, kalau aku tidak bunuh kau, gelarku Penggali Makam ini harus dihilangkan.”
Wauita Tanpa Sukma malah bersenyum. Dengan sikap dan gayanya yang menggairahkan ia balik ke tempatnya semula. Tindakannya itu menarik sermua perhatian para tamu, hingga ramai membicarakannya.
Ie It Huan berkata sambil menyengir:
“Toako, Wanita Tanpa Sukma itu ada mempunyai pantangan untuk dirinya sendiri….”
“Pantangan apa?”
Ia hanya turun tangan terhadap pemuda-pemuda nakal, takkan membunuh orang baik!
“Maksudmu supaya aku tidak membunuh padanya?”
“Bukan! Tidak perduli bagaimana tujuannya tapi sepak terjangnya itu memang patut mendapat hukuman mati.”
“Bagaimana asal usulnya?”
“Tidak tahu, kepandaiannya cukup tinggi!”
“Siapa itu kongcu perlente yang duduk di satu meja dengan ia?”
“Masih asing bagiku.”
“Nampaknya kongcu itu tidak bisa hidup sampai hari besok pagi.....”
Tepat pada saat itu kongcu itu sudah berbangkit dari tempat duduknya. Ia membayar uang makannya, kemudian berlalu dengan Wanita Tanpa Sukma.
Ie It Huan berkata kepada Hui Kiam dengan suara perlahan:
“Toako, kita bagaimana?”
“Kau kata bagaimana?”
“Pergi melihat Wanita Tanpa Sukma bagaimana membereskan kongcu itu.”
“Kau benar-benar suka mengurusi urusan orang lain.”
“Eh! Bukankah toako kata hendak menghitungkan dengannya?”
“Kau tidak makan dulu?”
“Arak dan sayuran sudah cukup kenyang, tidak usah!”
Ie It Huan mengeluarkan sepotong uang perak, diletakkan di atas meja lalu gapaikan tangannya kepada salah satu pelayan, bersama Hui Kiam buru-buru keluar dari rumah makan.
Di luar, orang yang berjalan mondar-mandir masih ramai, mereka sudah tidak dapat lihat bayangannya orang yang dicari.
“Ia sudah lolos lagi,” berkata Hui Kiam sambil menengok kesana kemari.
Mendaelak seorang tua kurus kering berambut putih berjalan dingklak dingkluk dengan memegang tongkat, mulutnya menyanyikan sebuah syair dari jaman Song yang hingga saat itu masih banyak penggemarnya.
“Di rumah mencari padanya ubek-ubekan ketika mendadak menengok orang itu ternyata berada di suatu tempat yang jarang lampunya.”
Sehabis menyanyikan syair itu, orarg tua itu berkata kepada dirinya sendiri: “Aku orang tua selamanya tidak suka makan cuma-cuma barangnya orang, rekening arak itu hitung-hitung sudah lunas!”
Orang tua itu meski jalannya dingklak dingkluk, tapi dalam waktu sekejap mata, tahu-tahu sudah menghilang di antara orang banyak.
Ie-It Huan menarik tangan Hui Kiam, katanya dengan girang:
“Mari kita pergi kesana!”
“Kau… dapat lihat?”
“Tempat yang jarang lampunya. Tidak salah, mari pergi!”
Hui Kiam agaknya tersadar dua pemuda itu dengan cepat berjalan menuju ke tempat itu.
“Siapa orang tua tadi itu?”
“Tidak tahu, pada lima hari berselang di sini siaotee ajak minum arak padanya!”
“Kiranya begitu. Tapi bagaimana ia bisa tahu kalau kita sedang mencari orang?”
“Mudah sekali, Wanita Tanpa Sukma berpakaian serba merah menyolok bagi semua mata dan kemudian kita keluar dari rumah makan itu. Di depan pintu kita longok sana longok sini. Toako bahkan pernah membuka suara. Andai aku juga dapat menduga delapan sampai sembilan bagian.”
“Ng! Masuk akal, kau benar-benar banyak akal dan pikiran!”
“Toako memuji.”
Penerangan lampu di jalanan makin jarang. Ternyata sudah tiba di pinggir pintu kota, namun masih belum kelihatan orang yang dicari.
Dua pemuda itu saling berpandangan sejenak, lalu lari ke luar kota.
Tidak jauh ada terdapat rimba pohon Liu. Di bawah sinar rembulan, tempat itu merupakan satu tempat yang sangat baik untuk mengadakan pertemuan bagi muda-mudi yang sedang tenggelam dalam asmara.
Di antara lebatnya dua pohon, sebuah sungai kecil melingkar ke dalam rimba tersebut. Di pinggir sungai, nampak berdiri dua bayangan orang.
Ie It Huan berkata dengan suara perlahan:
“Di sana.”
Dengan cepat mereka menghampiri tempat tersebut.
Bayangan orang itu ternyata adalah Wanita Tanpa Sukma dengan kongcu perlente itu.
Kongcu itu nampak sudah mabuk dengan kecantikan Wanita Tanpa Sukma. Sambil ketawa cengar-cengir ia lalu berkata:
“Adikku yang baik, nampaknya kau sedang gembira menghadangi puteri malam yang indah permai, tapi menurut pikiranku, bukankah lebih baik kita duduk-duduk di sana?”
“Kau toh tidak akan mampus, kenapa begitu kesusu?”
“Ow! Adikku memaki aku. Meski, meski aku tidak akan mampus, tapi toh sayang kalau kita lewatkan saat yang baik ini begitu saja!”
“Apa artinya perkataanmu ini?”
“Adikku yang manis, kalau sedang marah nampaknya semakin cantik….”
“Biarlah aku terangkan dulu pikiranku, kau jangan mengganggu.”
“O, ya, barusan itu pemuda yang minum bersama-sama dengan Penggali Makam itu siapa?”
Hui Kiam yang mengintip, ketika mendengar pertanyaan itu, agak kaget. Bagaimana kongcu itu kenal padanya, sedangkan ia sendiri tidak tahu siapa dia?
Wanita Tanpa Sukma lantas menyahut dengan suara duka:
“Tidak tahu, mungkin orang baru!”
“Heh, hch. Penggali Makam meski sikapnya terlalu dingin, tapi masih terhitung satu tipenya seorang pemuda tampan. Kau, apa akan lepaskan padanya begitu saja?”
“Kongcu, kau anggap aku perempuan semacam apa?”
“Adikku yang manis, aku hanya main-main saja.”
Wanita Tanpa Sukma itu terkekeh-kekeh. Ia rapatkan badannya kepada sang kongcu, lalu berkata dengan suara lemah-lembut:
“Engkoku yang baik, kau sungguh baik sekali.”
---ooo0dw0ooo---
JILID 4
SEMENTARA itu, tangannya yang halus sudah memeluk badannya si kongcu. . . .
Ie It Huan berkata kepada Hui Kiam sambil menyentuhnya.
“Toako, dia sudah akan turnn tangan....”
Tapi belum lenyap suaranya, ia sudah dapat lihat kipas kongcu itu mendadak bergerak, kemudian tubuh Wanita Tanpa Sukma itu mundur terhuyung-huyung sambil keluarkan jeritan, selanjutnya lantas rubuh di tanah.
Kongcu itu lantas berkata sambil ketawa tergelak-gelak:
“Wanita Tanpa Sukma, kau salah hitung. Dengan kepandaianmu ini tidak berlaku di hadapan kongcumu. Apa kau kira kongcupun tidak tahu riwayatmu? Ha ha ba adikku yang manis, mari kita bersenang-senang dulu, dan kemudian... heh, tempat ini baik sekali bagi tempat mengasomu untuk selama-lamanya.”
Wanita Tanpa Sukma ternyata sudah tcrtotok jalan darahnya, ia kini sudah tak berdaya sama sekali.
“Kau... kau… siapa?'' demikian ia bertanya dengan suara bengis.
“Bu-theng Kongcu. Apa kau pernah dengar? Bu-theng itu artinya tidak mempunyai isi perut, tapi bukan seorang yang suka malang melintang sesukanya, ha ha ha.....”
Dengan kepandaiannya Wanita Tanpa Sukma dalam waktu sekejap mata sudah dibikin tidak berdaya oleh Bu-thcng Kongcu, ini kalau bukan karena Wanita Tanpa Sukma yang terlalu pandang ringan korbannya, sehingga salah hitung, tentu saja kepandaian Bu-theng Kongcu ini yang terlalu tinggi bagi Wanita Tanpa Sukma.
Dengan perasaan tidak kaget dan heran, Ie It Huan berkata kepada Hui Kiam:
“Toako, Bu-theng kongcu ini belum lama muncul di dunia Kang-ouw tapi namanya sudah menggetarkan baik kalangan putih maupun golongan hitam. Malam ini aku baru menyaksikan wajah aslinya. Kabarnya, ia ada satu Don-yuan yang sangat ganas, tidak mempunyai perasaan prikemanusiaan, kalau membunuh orang, tidak meninggalkan bangkainya dalam Keadaan utuh, perempuan yang ia sudah cemarkan kehormatannya lantas diambil jiwanya….”
Kini kembali terdengar suara Bu-theng kongcu yang berkata kepada Wanita Tanpa Sukma sambil ketawa terbahak-bahak:
“Wanita Tanpa Sukma, bentuk tubuhmu ini benar-benar sangat menarik hati!”
Sehabis berkata demikian, kipasnya bergerak digunakan untuk merobek baju korbannya.
Wanita Tanpa Sukma berteriak dengan suara kalap:
“Bu-theng kongcu, sekalipun aku sudah menjadi setan, juga tidak akan mengampuni kau!”
“Bagus sekali. Ingat, kalau kau sudah jadi setan, jangan lupa aku bernama Kang Lie.”
Tepat pada saat itu, sesosok bayangan putih melayang turun dari tengah udara sambil mengeluarkan suara bentakan: “Kawanan tikus, kau berani.”
Bu-theng kongcu lompat mundur beberapa tindak. Tatkala matanya menatap bayangan putih itu, ia lantas berkata sambil ketawa:
“Penggali Makam, tidak nyana kau juga antarkan nyawa.”
“Bu-theng kongcu, aku juga hendak menggali makam untukmu.”
Sementara Ie It Huan yang juga sudah tiba di situ segera dapat lihat Wanita Tanpa Sukma yang telah menggeletak di tanah tanpa berdaya bajunya berkoyak, hingga badannya setengah telanjang. Ketika menyaksikan keadaan demikian, ia lantas pelengoskaa kepalanya.
Bu-theng kongcu lagaknya sangat sombong, agaknya tidak pandang mata pada Penggali Makam.
Dengan wajah penuh amarah, Hui Kiam berkata padanya:
“Orang she Kang, sudah lama kudengar semua kejahatanmu. Malam ini, aku hendak melenyapkan satu anasir kejahatan dalam rimba persilatan!”
“Kau mampu?”
“Coba saja!”
Dengan tanpa banyak bicara lagi, ia sudah melancarkan serangannya dengan sepenuh tenaga.
Bu-theng kongcu pentang kipasnya, anginnya menghembus keluar, hingga berbenturan dengan hembusan angin yang keluar dari serangan Hui Kiam.
Kedua-duanya segera terpental mundur satu langkah, ternyata kekuatan mereka berimbang.
Hui Kiam agak kaget, ia tidak menduga bahwa satu kipas saja membawa hembusan angin demikian hebat.
Bu-theng kongcu kini balas menyerang dengan senjata kipasnya yang ampuh itu.
Hui Kiam sambuti serangan tersebut. Kali ini juga mengunjukkan keseimbangan kekuatan mereka.
Bu-theng kongcu agaknya merasa penasaran. Dengan kecepatan luar biasa ia membuka serangannya dengan berbagai gerak tipunya yang aneh-aneh, hingga Hui-Kiam terdesak mundur.
Ie-lt Huan coba hendak memberi bantuan, tapi ia tidak berani berlaku gegabah. Ia takut akan menimbulkan kemarahan Hui-Kiam karena walaupun bergaul hanya belum lama, tapi sudah kenal baik sifatnya pemuda bermuka dingin itu.
Menghadapi serangan musuh yang demikian dasyat, Hui-Kiam terpaksa hunus pedangnya, kemudian dengan gerakan tipunya yang tidak ada taranya, ia melakukan serangannya.
“Trang!” demikian suara benturan senjata terdengar nyaring. Keduanya lantas memisahkan diri. Baju Bu-theng kongcu bagian dadanya terkoyak bekas senjata Hui Kiam, tetapi aneh, kongcu itu nampak tenang saja, juga tidak tertampak darah mengalir keluar.
Hui Kiam heran. Apakah kongcu itu mempunyai ilmu gaib yang tidak mempan senjata tajam?
Tiba-tiba terdengar suaranya Wanita Tanpa Sukma yang nyaring: “Dia ada mengenakan baju kulit yang tidak mempan senjata tajam. Barusan karena aku tidak mengetahui, hingga terpedaya olehnya.”
Hui Kiam baru sadar apa sebabnya senjatanya tidak mampu menembusi dadanya dan apa sebabnya Wanita Tanpa Sukma ditundukkan dengan mudah oleh kongcu keparat itu.
Kedua pemuda itu kembali saling menyerang. Karena keduanya ada berimbang kekuatannya, sedang gerak tipu serangan Hui Kiam cuma serupa saja, meski serangannya cukup hebat, tapi karena Bu-theng kongcu mempunyai senjata ampuh yang melindungi tubuhnya, maka ia tidak perlu menjaga bagian-badannya dan bisa melakukan serangan dengan sepenuh tenaga.
Sebentar saja pertempuran itu sudah berlangsung duapuluh jurus lebih, tapi keduanya masih belum kelihatan tanda-tandanya siapa yang akan menang dan siapa yang bakal kalah.
Tiba-tiba terdengar pula suaranya Wanita Tanpa Sukma yang ditujukan kepada le It Huan:
“Sukma Tak Buyar, tolong bebaskan totokanku!”
Ie It Huan melengak. Mengingat keadaannya wanita itu, jantungnya berdebaran. Dengan tanpa menoleh ia menjawab:
“Kau tertotok bagian mana?”
“Bagian buah dada, perut dan pusar!”
Ie It Huan hampir jatuh semaput. Ketiga jalan darah itu letaknya di bagian terlarang, bagaimana bisa ia turun tangan? Maka seketika lamanya ia tidak dapat membuka mulut.
“Sukma Tak Buyar, kau ternyata ada hati menyaksikan seorang wanita diperhina dengan berpeluk tangan saja. Percuma kau menjadi seorang Kang-ouw!” berkata Wanita Tanpa Sukma dengan penuh ejekan.
Ucapan itu memang hebat. Ie It Huan tahu Hui Kiam hendak membunuh wanita itu, tapi tentunya juga tidak akan turun tangan bila ia tahu wanita itu dalam keadaan tidak berdaya.
Karena wanita itu sudah membuka mulut untuk minta pertolongan, kalau tidak diterima, agaknya keterlaluan dan memang benar itu bukan sikapnya orang-orang Kang-ouw, yang mengutamakan sifat kesatriaannya. Maka ia lantas maju sambil kertak gigi, kemudian ia ulur tangannya untuk membebaskan totokan wanita itu.
“Terima kasih!” berkata Wanita Tanpa Sukma, yang lantas lompat bangun dan membereskan pakaiannya, kemudian dengan rasa gemas ia menerjang Bu-theng kongcu.
Pada saat itu, tiba-tiba muncul empat laki-laki berpakaian serba hitam.
“Kongcu, kami datang terlambat. Harap maafkan kesalahan kami!” Demikian empat laki-laki itu berkata dan berpencar menjadi dua rombongan masing-masing menghadapi le-It Hoan dan Wanita Tanpa Sukma.
Waktu itu, Bu-theng kongcu sudah bertempur empat jurus lebih. Serangan Bu-theng kongcu sangat aneh, makin lama makin dahsyat. Kipasnya sebentar terbuka sebentar tertutup. Hawa dingin menyambar-nyambar bagaikan ujung pedang.
Hui Kiam merasa agak berat karena Cuma mengerti semacam gerak tipu itu-itu saja, walaupun sudah digunakan berkali-kali dan masih tetap ampuh, tapi sedikit banyak masih bisa memberi kesempatan bagi lawannya untuk balas menyerang. Ia juga tahu, sekalipun kongcu itu tidak memakai baju kulit untuk melindungi badannya, tapi hendak mengalahkan padanya setidak-tidaknya juga masih memerlukan waktu seratus jurus lebih.
Dari pihaknya bagi Bu-theng kongcu juga merasa kaget dan terheran-heran terhadap kepandaian Hui Kiam. Ia sudah salah hitung.
Saat itu Wanita Tanpa Sukma sudah kalap benar-benar. Bagaikan harimau betina yang sedang mengamuk karena kehilangan anaknya, ia hajar dua laki-laki pakaian hitam itu.
Belum berapa jurus, satu di antaranya sudah rubuh sambil mengeluarkan jeritan ngeri, tinggal satu lagi sudah tentu tidak dapat berbuat apa-apa maka sebentar kemudian sudah tamat riwayatnya.
Dengan matinya dua pengawal kongcu ini, dua lainnya yang melawan Ie It Huan lantas merasa keder. Satu di antaranya sudah dihajar mampus oleh pemuda itu, sedang satu nya lagi meski sudah tahu tidak ada harapan tapi masih melawan mati-matian.
Sementara itu, Wanita Tanpa Sukma yang masih penasaran, lantas maju menerjang dan dengan satu serangan, ia sudah bikin remuk kepala pengawal tersebut.
Bu-theng kongcu yang melihat gelagat tidak baik, buru-buru meninggalkan lawannya dan kabur jauh-jauh.
Wanita Tanpa Sukma yang masih kalap itu lantas mengejar sambil berteriak: “Kemana kau lari!”
Hui Kiam kesima. Ia simpan pedangnya dan berkata kepada Ie-It Hoan:
“Mari kita pergi!”
“Balik ke kota?”
“Aku pikir tidak usah, sebaiknya kita bermalam di luar kota saja!”
Selagi hendak berlalu, tiba-tiba terdengar suara orang tua:
“Jangan kesusu pergi dulu, aku ingin bicara sebentar.”
Berbareng pada saat itu di hadapan mereka sudah berdiri seorang tua. Ternyata adalah itu orang tua yang mengunjukkan di mana adanya Wanita Tanpa Sukma.
Ie It Huan buru-buru maju memberi hormat seraya berkata:
“Lotiang hendak memberi petunjuk apa?”
Tapi orang tua itu tidak perdulikan pertanyaan le It Huan, sebaliknya dengan sinar matanya yang tajam menatap wajah Hui Kiam, lama baru menanya:
“Anak, kau murid siapa?”
“Mohon dimaafkan, tentang ini boanpwee tidak dapat menerangkan.”
Wajah orang tua itu berubah, dengan tongkatnya ia ketukkan ke tanah lalu berpaling dan berkata kepada Ie It Huan:
“Bocah, kau hendak kemana?”
Satu dipanggil anak satunya dipanggil bocah ini nyata ada bedanya, bagi le It Huan meski bukan berarti suatu penghinaan, tapi sedikit banyak merasa mendongkol maka ia menjawab meniru jawaban Hui Kiam:
“Tentang ini boanpwee tidak dapat menerangkan.”
“Bocah! Aku si orang tua akan memukulmu baru nanti berhitungan dengan setan tua pemabukan.”
Ie It Huan terperanjat, wajahnya berubah seketika. Ia buru-buru memberi hormat dan berkata:
'“Kau orang tua bagaimana panggilannya?”
“Jangan menanya dulu. Beritahukan padaku, kau hendak kemana!”
“Ini… ini… ada urusan rahasia. Boanpwee tidak dapat….”
“Tidak bisa. Bagaimanapun juga kau harus terangkan. Kalau tidak, urusan setan tua pemabukan itu aku si orang tua tidak mau memperdulikannya lagi!”
Hui Kiam yang berdiri di samping merasa heran, entah apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu.
Ie-It Huan nampaknya sangat murung. Matanya terus menatap Hui Kiam, agaknya ingin menanyakan kepadanya apakah ia boleh menerangkan maksud perjalanan ini kepada orang tua itu.
Hui Kiam juga dapat mengerti kesulitan pemuda itu. Karena pikirannya bahwa kepergiannya hendak mencari Manusia Tangan Seribu itu tidak perlu dirahasiakan, maka ia lantas anggukkan kepala.
le-It Huan bagaikan seorang yang baru terlepas dari siksaan. Lebih dulu ia unjukkan senyumnya, barulah berkata:
“Boanpwee dengan saudara angkat ini hendak pergi ke gunung Bo-po-san!”
“Bo-po-san? Perlu apa kau hendak pergi ke tempat sejauh ribuan lie itu?”
“Untuk menjumpai seorang locanpwee yang berdiam di lembah Pek hui-kok!”
“Itu ahli senjata rahasia Si Tangan Seribu?”
“Ya!”
“Tidak usah pergi. Untung aku tadi menanyakan, kalau tidak itu tentu akan menubruk angin!”
“Kenapa?”
“Sebab Manusia Tangan Seribu sudah meninggal pada setengah tahun berselang karena perbuatannya orang jahat.”
Kepala Hui Kiam seperti diguyur air dingin. Manusia Tangan Seribu sudah binasa di tangan orang jahat! Maka rahasia mengenai tusuk konde emas siapa lagi yang dapat memberi keterangan?”
“Benarkah Manusia Bertangan Seribu itu sudah meninggal di tangan orang jahat?” demikian ia bertanya.
Orang tua itu segera menyahut dengan alis berdiri:
“Aku si orang tua tidak ada perlunya membohongimu. Sebaliknya, apakah kau suka memberitahukan kepadaku apakah maksudmu hendak mencari ahli senjata rahasia itu?”
“Ingin minta kepadanya untuk menyelidiki asal-usulnya sebuah senjata rahasia!”
“Ow, senjata rahasia apa?”
“Sepasang tusuk konde emas kepala burung hong.”
“Coba perlihatkanlah kepadaku!”
Hui Kiam lalu mengeluarkan tusuk konde tersebut dan diberikan kepada orang tua itu.
Orang tua itu memeriksa dengan seksama, akhirnya ia mengembalikan tusuk konde itu seraya berkata: “Aku tidak dapat membedakan dari mana kau dapat senjata ini?”
“Boanpwee dapat dari seorang yang terbinasa karena senjata ini!”
“Oh, aku belum pernah mendengar ada orang rimba persilatan yang menggunakan tusuk konde sebagai senjata rahasia, mungkin itu perbuatan seorang rendah….”
Dari kepandaian orang yang binasa itu, orang yang menggunakan senjata ini bukanlah orang sembarangan.”
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara seruan le It Huan: “Boanpwee tahu siapa kau si orang tua ini.”
Orang tua itu menatap wajah Ie It Huan dengan sinar mata dingin, lalu berkata:
“Bocah, tabiatmu ini serupa benar dengan setan tua pemabukan. Melihat pakaianmu begini necis bagaikan satu kongcu, tapi masih tidak terlepas dari tabiatmu yang bobrok bagaikan besi rongsokan itu. Kau tahu siapa aku si orang tua?”
Ie It Huan tidak marah, sebaliknya malah tertawa cengar-cengir: “Kau si orang tua adalah Orang Tua Tiada Turunan….”
Hui Kiam ketika mendengar disebutnya nama Orang Tua Tiada Turunan itu, nampaknya sangat heran, kemudian ia berkata: “Jadi locianpwee adalah Orang Tua Tiada Turunan?''
“Kenapa?”
“Dicari kesegala pelosok, tidak tahunya diketemukan dengan secara mudah!”
Orang tua itu membuka lebar matanya dan bertanya:
“Anak, apakah artinya perkataanmu ini?”
Hui Kiam baru memberi hormat seraya berkata:
“Boanpwee Hui Kiam, atas pesan suhu hendak mencari locianpwee!”
“Cari aku si orang tua?”
“Ya.”
“Siapa suhumu?”
“Dimasa hidupnya suhu belum pernah memberitahukan namanya, tetapi beliau meninggalkan sepotong barang kepercayaan, pesan pada boanpwee biar bagaimana harus mencari locianpwe sehingga ketemu, nanti pasti mengerti sendiri.”
Sehabis berkata demikian, dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah benda, yang ternyata cuma merupakan sepotong belahan uang tembaga kuno yang aneh bentuk dan rupanya.
Orang Tua Tiada Turunan itu setelah menyaksikan belahan uang tembaga itu, wajahnya berubah seketika, badannya gemetar. Ia menerima uang itu dan diperiksanya dengan seksama, kemudian ia berkata:
“Suhumu sudah menutup mata?”
“Ya,” jawabnya singkat.
“Bagaimana matinya?”
Dengan air mata berlinang-linang dan kertak gigi Hui Kiam menjawab:
“Tiga hari tiga malam suhu mengeluh terus-menerus, kemudian baru menutup mata dalam keadaan musnah seluruh kepandaiannya. Atas pertanyaan boanpwee, suhu cuma mengatakan bahwa dahulu ia pernah terkena tangan jahat musuhnya. Luka lama itu telah kambuh lagi.”
Orang Tua Tiada Turunan juga mengucurkan air mata. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Kembali seorang gagah perkasa telah mengalami nasib demikian menyedihkan, aih..!”
Ie-It Huan yang sejak tadi berdiri mendengarkan dengan tenang, sama sekali tak bisa campur mulut, tapi ia telah dapat melihat di balik sifat Hui Kiam yang dingin angkuh masih terdapat suatu perasaan yang halus tulus.
Dengan suara sedih Hui Kiam berkata:
“Mohon locianpwee sudi memberitahukan sedikit keterangan!
Orang Tua Tiada Turunan itu berpikir sejenak lalu mengembalikan potongan uang lama itu kepada Hui Kiam seraya berkata:
“Mari kita pindah ke lain tempat untuk beromong-omong!”
Di bawah pimpinan Orang Tua Tiada Turunan itu, tiga orang itu melalui sungai dan rimba pohon Liu, tiba di suatu tempat yang tersembunyi, setelah masing-masing mengambil tempat duduk, Orang Tua Tiada Turunan itu lalu berkata sambil menghela napas panjang:
“Dengarlah ceritaku tentang peristiwa aneh dalam kalangan rimba persilatan...”
la lalu menatap Hui Kiam dan berkata pula:
“Bocah, apakah kau pernah mendengar nama julukan Lima Kaisar Rimba Persilatan?”
Ie It Huan tiba-tiba menyela dengan suara nyaring:
“Lima Kaisar Rimba Persilatan?”
“Bocah, tutup mulutmu. Aku tidak bertanya kepadamu. Kau jangan sembarangan membuka mulut, kalau tidak mau kau dengar aku nanti usir kau pergi!”
Ie lt Huan membasahi lidahnya, agaknya merasa takut terhadap orang tua itu. Benar saja, ia lalu bungkam.
Hui Kiam berkata:
“Boanpwe muncul di kalangan Kang-ouw belum lama. Terhadap beberapa tokoh terkemuka, tidak begitu jelas.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata:
“Lima Kaisar Rimba Persilatan itu, adalah lima tokoh yang paling menonjol dalam rimba persilatan pada lima puluh tahun kemarin. Baik kepandaiannya maupun nama kedudukannya, kecuali Tiga Raja Rimba Persilatan yang sudah tidak tahu di mana jejaknya, sudah tidak ada lagi yang dapat menandingi. Orang-orang rimba persilatan, kebanyakan cuma mendengar nama Lima Kaisar, tetapi tidak tahu siapa sebetulnya Lima Kaisar itu?” Sejenak dia berdiam, kemudian berkata pula:
“Dari mana asal-usulnya Lima Kaisar itu, tiada orang yang tahu. Urutan gelar mereka dibagi Kim, Bok, Bui, Hwee dan Tho….”
le-It Huan kembali hendak membuka mulut, tetapi baru saja bergerak bibirnya, sudah dipelototi oleh Orang Tua Tiada Turunan.
“Di antara Lima Kaisar itu, dipandang dari sudut kepandaian ilmu silatnya, Kim-tee-Cui-Pin yang paling tinggi, dan yang paling cerdik adalah Thio-tee Sun Thian Kuat, sementara itu Bok tee-Kong-sun Yu-To Cui-tee Thio Cek Leng dan Hwee-tee Pui Un Tiong termasuk orang-orang yang berkepandaian biasa saja, sudah tentu itu menurut perbandingan kepandaian antara Lima Kaisar itu, tetapi dalam rimba persilatan, tiada seorangpun yang mampu menandingi salah satu di antara mereka berlima. Pada sepuluh tahun berselang Thio-tee Sun Thian Kuat dengan tidak sengaja telah menemukan sejilid kitab ajaib dalam rimba persilatan.”
Ie lt Hoan lalu menyela:
“Thian-khie Po-kip!”
Orang Tua Tiada Turunan itu mendelikkan matanya dan berkata:
“Benar, kitab itu adalah Thian-kie Po-kip. Disamping kitab itu disertai sehelai gambar peta, yang menunjukkan tempat tersimpannya sebilah senjata pedang dari jaman purbakala.”
Hui Kiam segera menyela:
“Apakah itu bukan sebuah makam pedang sangat rahasia yang letaknya di lembah Ciok-leng-gai, yang ramai dibicarakan oleh orang-orang rimba persilatan?”
“Tepat, itulah pedangnya makam yang sangat aneh itu. Waktu itu, menurut hasil perundingan Lima Kaisar itu, gambar peta itu dibawa oleh Kim-tee Cui-pin untuk mencari tempat tersimpannya senjata purbakala itu, sedangkan kitabnya dipelajari lebih dulu oleh Thio-tee Sun Thian Kuat yang paling cerdik....”
“Bagaimana hal itu bisa tersiar ke dunia Kang-ouw?”
“Dengar dulu penuturanku. Kitab itu terlalu susah dipahami. Thio-tee menggunakan waktu satu tahun, baru dapat memahami isinya satu bagian saja. Sementara itu, tiba-tiba tersiar kabar tentang kematiannya Kim-tee di bawah gunung Tay-hong-san....”
“Aaa!”
“Berita itu pernah menggemparkan seluruh rimba persilatan. Empat Kaisar yang lainnya ketika mendengar berita itu segera pergi kesana. Tiba di tempat tersebut, benar saja segera dapat menemukari jenazah Kim-tee di bawah kaki gunung dengan luka parah di badannya, sedang tubuhnya sudah mulai membusuk.”
“Kalau begitu betapa hebatnya kepandaian si pembunuh?”
“Em! Empat Kaisar selesai mengurus jenazah Kim-tee mendadak muncul seorang jago pedang berkedok yang sangat aneh. Orang itu mengaku bahwa Kim-tee itu mati di tangannya, bahkan menantang keempat Kaisar itu….”
Hui Kiam dan Ie It Huan berseruan “Oh” berbareng, bukan kepalang terkejut mereka.
Orang Tua Tiada Turunan itu pejamkan mata berpikir sejenak, lalu berkata pula:
“Kedua pihak lalu mengadakan pertempuran di atas gunung Tay-hong-san. Jago pedang berkedok itu Tak mau memberitahukan namanya dan asal-usulnya, tetapi ia mengaku bahwa maksudnya ialah ingin mendapatkan kitab Thian-khie Po-kip….”
“Lebih dulu Bok-tee yang maju melayani musuh tidak dikenal ini, tetapi baru tiga jurus ia sudah kalah. Cui-tee turut membantu, tetapi juga tidak tahan sampai sepuluh jurus. Kemudian Empat Kaisar bergabung menjadi satu, bertempur sengit lebih dari dua ratus jurus lebih. Tho-tee terluka parah, sedang serangan pedang jago pedang berkedok itu tetap ganas. Jika keadaan itu berlangsung terus, pada akhirnya Empat Kaisar itu pasti jatuh di tangan jago pedang tidak dikenal itu semuanya.”
Berkata sampai di situ, Orang Tua Tiada Turunan itu menghela napas panjang. Dengan nada berubah tinggi ia berkata pula:
“Thio-tee dan Hwee-tee meskipun sudah terluka parah, tetapi tidak mau mengundurkan diri. Mereka dengan bahu membahu bertempur terus secara mati-matian. Dengan demikian, pertempuran itu dilanjutkan hampir seratus jurus lagi.
Sekonyong-konyong Bok-tee menggeram hebat. Ia melancarkan satu serangan ganas. Dengan secara nekad ia melesat ke dalam lingkaran pedang musuhnya. Serangan nekad ini membuat jago pedang berkedok itu berlubang dada kirinya, tetapi Thio-tee sendiri jiwanya melayang seketika.”
Hui Kiam dan Ie It Huan yang mendengarkan nampak tertegun.
Wajah Orang Tua Tiada Turunan nampak berkerenyit beberapa kali. Ia berkata pula:
“Karena serangan itu, gerakan jago pedang itu mulai kendor. Tiga Kaisar mendesak hebat. Jago pedang itu pelahan-lahan mulai terdesak. Sekonyong-konyong ia melepaskan senjata rahasia.
Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, tiga Kaisar itu ternyata tidak satu pun yang mampu mengelakkan senjata rahasia tersebut….”
“Dari senjata rahasia tersebut, tiga Kaisar itulah baru dapat mengenali siapa adanya jago pedang berkedok itu….”
Hui Kiam sudah menduga sebagian. Dengan tidak sabar lagi ia bertanya:
“Dari mana asal-usul jago pedang itu?”
“Senjata rahasia itu bernama 'Hut-kut-sim-ciam’ atau jarum yang melekat tulang, senjata tersebut sebetulnya merupakan senjata tunggal dari Jin-ong, adalah satu tokoh dalam barisan Tiga Raja Rimba Persilatan….”
“Apakah jago pedang itu murid Jin-ong?”
“Tiga Kaisar kala itu telah membuka kedok jago pedang itu, tetapi jago pedang itu tidak mengaku juga tidak membantah. Karena Tiga Raja Pedang itu sudah lima puluh tahun lebih tidak muncul di dunia Kang-ouw sedangkan Jin-ong juga seorang golongan baik. Apa yang disebut jarum melekat tulang itu hakekatnya dalam cerita saja, yang pernah digunakan satu kali oleh Delapan Iblis dari Thian-ik pada delapan puluhan tahun berselang….”
“Dan selanjutnya?”
“Tiga Kaisar tahu setelah terkena senjata rahasia itu, kalau melanjutkan pertempuran paling-paling cuma bisa tahan hidup sampai setengah jam lagi, maka Cui-tee mendesak supaya Thio-tee dan Hwe-tee, segera berlalu untuk berusaha menuntut balas, agar tidak binasa bersama. Dengan bercucuran air mata kedua kaisar itu akhirnya mengundurkan diri….”
“Kalau begitu Cui-tee telah berkorban.”
“Ya, setelah Thio-tee dan Hwee-tee pergi, di bawah kaki gunung Keng-san, Thio-tee merobek kitab itu menjadi dua bagian, bagian atas dibawanya sendiri, bagian bawahnya diberikan kepada Hwee-
tee, maksudnya apabila mereka tidak berhasil melindungi kitab itu, sekalipun dirampas oleh musuh, juga Cuma hanya dapatkan sebagian saja.
Thio-tee dan Hwee-tee berpisahan, masing-masing memberi serupa benda sebagai tanda kepercayaan. Thoitee berkata, semasa masih hidup, ia akan mencari seorang turunan, untuk diberi pelajaran bagian ke atas, di kemudian hari orang yang diambilnya sebagai murid itu dengan membawa benda kepercayaan itu boleh minta kepada Hwee-tee untuk menyempurnakannya!”
Hui Kiam tiba-tiba bangkit dan berkata dengan suara bergetar:
“Mungkinkah suhu adalah Thio-tee Sun Thian Kuat?”
“Benar, suhumu adalah Thio-tee. Setelah ia berpisahan dengan Hwee-tee, di bawah kaki gunung Keng-san kebetulan menemukan kau yang sedang terlantar. Karena melihat bakat dan tulang-tulangmu yang bagus, dengan sangat girang ia membawamu pergi.......”
Mata Hui Kiam tiba-tiba mengunjukkan kemurkaan dalam hatinya. Dengan suara keras dan air mata berlinang ia berseru:
“Dengan darah menukar darah, dengan pembunuhan menghentikan pembunuhan.”
Orang Tua Tiada Turunan juga bangkit, sambil menepuk pundak Hui Kiam ia berkata:
“Anak, suhumu tidak memberitahukan namanya kepadamu, juga tidak mewariskan kepandaiannya sendiri, karena ia takut akan dikenali oleh musuhnya sehingga mensia-siakan pengharapannya. Kau harus dapat menyadari suhumu, rahasiakanlah asal-usul dirimu….”
“Boanpwe akan ingat pesan locianpwe ini.”
“Sekarang kau harus berusaha untuk mencari orang yang membawa sepotong belahan uang logam kuno itu ....”
“Si supek?”
“Sudah dikatakan, mungkin Hwee-tee sendiri tetapi mungkin juga bukan.”
“Mengapa?”
“Suhumu selama sepuluh tahun ini masih belum berhasil mengeluarkan Jarum Melekat Tulang dari dalam tubuhnya, sehingga akhirnya meninggal dunia setelah musnah semua kepandaiannya. Hwee-tee mungkin juga tidak terkecuali. Sudah tentu jika ia mengetahui bahwa ajalnya sudah akan tiba, tentunya bisa mengadakan persiapan.......”
Hui Kiam bergidik.
Orang tua itu berkata pula:
“Adalah tidak sengaja aku berjumpa dengan suhumu setelah kejadian itu. Ia lalu menceritakan peristiwa tersebut serta memintaku untuk mencari jejak Hwee-tee, tetapi hingga saat ini aku masih belum dapat menemukan. Anak, jika kau tidak dapat menemukan Si supekmu untuk mempelajari bagian bawah kitab Thian khie-po-kip, jangan membicarakan soal menuntut balas lagi.”
“Biar bagaimana boanpwee pasti hendak mencari Si supek.”
“Kau boleh mencoba mengadakan penyelidikan di gunung Tay-hoan-san lebih dulu....”
“Ya!”
“Dan lagi, kau harus berlaku sangat hati-hati, Persekutuan Bulan Emas pasti tidak akan melepaskan kau, aku sekarang masih hendak melanjutkan usahaku untuk mencari Si supekmu, untuk melaksanakan janjiku kepada suhumu. Urusan selanjutnya, aku bisa mencari kau sendiri.”
“Terima kasih atas budi kebaikan locianpwee.”
“Tidak usah kau mengucapkan terima kasih. ingat, jangan melakukan banyak pembunuhan.”
“Ya.”
“Mengenai urusan tusuk konde emas berkepala burung hong itu, aku akan memperhatikannya….”
“Bolehkah aku bertanya, apakah locianpwee tahu siapa orangnya yang dinamakan To-liong Kiam-khek itu?”
“Ia sudah sepuluh tahun lebih menghilang, kita harus menyelidikinya perlahan-lahan. Sekarang aku hendak pergi.”
Gesit sekali gerakan Orang Tua Tiada Turunan itu, sebentar sudah menghilang dari depan mata Hui Kiam.
Dengan perasaan heran Kui Kiam bertanya kepada le It Huan:
“Apakah adik Hoan tahu riwayatnya orang tua itu?”
“Riwayat orang tua ini sangat unik sekali. Ia dengan suhu hubungannya erat sekali, tetapi aku hanya mendengar saja, belum pernah melihat orangnya. Ia sebetulnya tidak disebut Orang Tua Tiada Turunan, nama julukannya semula adalah Dewa Dalam Arak. Nama itu disesuaikan dengan kegemarannya akan arak. Sepuluh tahun berselang, ia bercerai dengan isterinya. Sang istri itu kemudian menghilang dengan membawa anak laki satu-satunya yang lahir dalam usianya sudah lanjut. Karena rumah tangganya berantakan, juga tidak pernah menerima seorang muridpun juga, maka ia menyebut dirinya sendiri menjadi Orang Tua Tiada Turunan.
Oleh karena mencari anak dan istrinya, ia sampai melakukan perjalanan jauh ke perbatasan, maka aku cuma mendengar namanya tidak tahu orangnya!”
'Bagaimana kelakuannya?”
“Orang dari golongan kebenaran, tapi tidak menghiraukan segala peraturan yang tidak perlu!”
“Sebentar sudah akan terang tanah, aku pikir kita tidak usah balik ke dalam kota, kita berpisah di sini saja!”
“Apa, berpisah?”
“Aku lihat kau bukan seorang penganggur sedang aku masih banyak sekali urusanku tidak ada alasan kau terus menerus mengikuti aku.”
“Toako, aku memang benar-benar tidak mempunyai pekerjaan apa-apapun juga, baiknya, aku ikut kau saja?”
“Aku suka pergi seorang diri saja!”
“Terhadapku kau agaknya masih tidak percaya?”
“Terserah bagaimana kau pikir, aku harus pergi.”
“Tidak perlu mengucapkan sampai berjumpa lagi?”
“Berkumpul atau berpisah, bagi manusia yang masih hidup belum menentu, biar saja kita serahkan kepada nasib.”
Sehabis berkata, lalu bergerak pergi.
Sambil memandang bayangannya, le It Huan berkata: “Dalam dunia ternyata ada seorang bersikap dingin dan tidak berperasaan begitu rupa. Kalau aku tidak mengikuti jejakmu, bukankah percuma saja aku mempunyai nama julukan Sukma Tidak Buyar?”
Dengan cepat ia segera lari menyusul.
Dalam perjaialan ke gunung Tay-hong-san, meski Hui Kiam belum tahu akan hasilnya, tapi seperti apa yang dikatakan oleh Orang Tua Tiada Turunan, gunung Tay-hong san merupakan tempat kematian supeknya, mungkin dapat diketemukan sedikit tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai petunjuk. Dalam perjalanan, hatinya merasa tidak karuan.
Benarkah musuhnya itu adalah muridnya Jiu-ong?
Dengan seorang diri, orang itu hampir memusnahkan semua Lima Kaisar, kekuatan dan kepandaian demikian, sesungguhnya tidak habis dimengerti. Jika ia sendiri tidak berhasil menemukan Si-supeknya, untuk mempelajari kepandaian dalam kitab Thian-khie Po-kip seluruhnya, maka soal menuntut balas dendam akan merupakan suatu impian saja!
Siapakah musuh yang membinasakan ibunya? Apa sebab musababnya?
Mengapa To-liong Kiam-khek menghilang?
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam otaknya.
Pergi ke gunung Tayhong san, jika mengambil jalan lurus, harus melalui gunung Keng-san. la takut melihat tempat terjadinya peristiwa berdarah semasa kanak-kanak, tetapi mau tidak mau kakinya menginjak tanah yang meninggalkan bekas darah itu. Rumah tinggalnya yang dibakar pada sepuluh tahun berselang sedikitpun sudah tidak meninggalkan bekasnya, semua hanyut terbawa oleh berlalunya sang waktu, tinggal ingatannya yang tetap masih segar, peristiwa menyedihkan yang terjadi pada sepuluh tahun berselang, kembali terbayang dalam otaknya dalam bayangan air matanya ia seolah-olah dapat melihat paras ibunya dan pengalamannya yang menyedihkan, sehingga menimbulkan perasaan pilu dalam hatinya.
Di bawah sebuah pohon tua, terdapat segundukan tanah kuburan. Ia ingat itu adalah suhunya yang membantunya mencari tulang-tulang ibunya dalam reruntuhan puing dan abu, lalu ditanam di tempat itu, dan sekarang, suhunya juga sudah meninggal setelah menderita tiga hari tiga malam......
Ia berlutut di depan makam, airmata mengalir deras, tekadnya untuk menuntut balas semakin teguh.
Sinar matahari yang menyinari dirinya membuat satu bayangan di atas tanah kuburan.
Tiba-tiba ia dapat melihat satu bayangan lain bertumbuk di atas bayangan dari badannya sendiri.
Ia terperanjat. Dari bayangannya dapat diukur bahwa orang itu berada di belakangnya tidak jauh dari tiga kaki, tetapi siapakah dia dan sejak kapan berada di belakangnya? Mengapa ia sendiri tidak berasa? Apakah karena kepandaian orang itu yang terlalu tinggi ataukah karena ia sendiri sedang berduka sehingga menjadi lengah?
Kalau orang itu adalah musuh, ia benar-benar sudah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk melawan.
Tetapi meski dalam hatinya merasa terkejut dan khawatir, di mukanya masih tetap tidak mengunjukkan reaksi apa-apa. Dengan tenang ia mengusap air matanya. Dengan nada suara dingin ia menanya: “Siapa?”
Sebuah benda keras dan dingin terasa menempel di jalan darab Ben bun-hiat di belakang punggung. Ia tahu bahwa itu adalah ujung pedang. Meski ia mempunyai kepandaian ilmu luar biasa, jalan darahnya tidak takut tertotok tetapi itu hanya bagi totokan dengan jari biasa, jika dengan ujung pedang, sekalipun dewa juga tidak mampu mengelakkan.
Satu suara yang dingin dan menusuk telinga terdengar di belakangnya:
“Penggali Makam, sekarang ceritakanlah siapa suhumu?”
“Kau siapa?” demikian Hui Kiam bertanya dengan mengeraskan hatinya.
“Tidak halangan aku beritahukan kepadamu. Utusan Bulan Emas.”
Hui Kiam merasa bergidik, terjatuh di tangan musuh besarnya itu tidak mungkin ia dapat meloloskan diri, tetapi pada saat itu ia sudah tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk memberi perlawanan. Betapapun tinggi kepandaiannya, betapapun gesit gerakannya juga sulit untuk meloloskan diri dari ujung pedang musuhnya. Meski hatinya merasa panas, tetapi apa daya?
“Membokong dari belakang, bukan perbuatan seorang gagah!” demikian ujarnya.
“Penggali Makam, dengan kau untuk apa harus berbicara soal licik atau tidak? Sekarang, beritahukanlah lekas siapa suhumu?”
“Tidak!”
“Apakah kau ingin mampus?”
“Soal mampus bagiku tidak berarti!”
“Benarkah kau tidak mau menjawab?”
'Tidak!”
Rasa sakit luar biasa mendadak seperti menusuk ulu hatinya, ujung pedang sudah masuk setengah dim dalam jalan darah, ia masih ingat hawa panas mengalir melalui jalan darahnya, tetapi ia mengatupkan gigi, sedikitpun tidak mengeluh.
“Kau jawab tidak?”
“Tidak!”
Ujung pedang terasa digerakkan, tulang di belakang gegernya mengeluarkan suara seperti dikerik, rasa sakit itu, tidak dapat dilukiskan dengan pena, tubuhnya mulai gemetar, dahinya mengeluarkan keringat dingin, tetapi ia tetap mengatupkan gigi. Ia yang dihidupkan dalam suasana dalam kebencian dan amisnya darah telah belajar banyak segala kekejaman terhadap dirinya sendiri atau terhadap musuh
nya, kekuatan benci tidak terbatasi ia dapat membuat orang tidak menghiraukan siksaan badannya, tidak menghiraukan hidup atau mati.
“Penggali Makam, setengah dim lagi, nyawamu akan tamat!” demikian terdengar suara ancaman.
“Ber… tin… dak… lah….”
Darah mengucur tiada hentinya, suatu pertanda bahwa jiwanya pelahan-lahan mendekati ajalnya, melambai-lambaikan tangannya, ia masih menolak. Dengan mati secara demikian, itu sesungguhnya merupakan suatu hal di luar dugaannya.
Sekonyorig-konyong dua sosok bayangan orang lari mendatang dan berkata dengan serentak:
“Tahan!”
Dengan seorang memegang tangan Hui Kiam, dua orang itu tarik berdiri badannya.
Utusan Bulan Emas yang berada di belakangnya bertanya dengan suara bengis:
“Penggali Makam, siapa orang dalam makam ini?”
“Kalian tidak perlu tahu!” jawab Hui Kiam dengan suara gemetar.
“Membuat kau menangis sedih, orang dalam makam ini tentunya mempunyai hubungan erat dengan kau. Bagaimana? Apakah kau ingin aku berlaku sebagai Penggali Makam?”
“Kau… berani?”
“Ini bukan soal berani atau tidak berani. Kecuali kau suka memberitahukan suhumu dan riwayatnya.......”
“Kalau aku tidak sampai mati, jika aku tidak mampu membunuh habis kalian orang-orang seperti iblis binatang ini, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!”
“He he he be, sayang sekali kawan, kau sudah tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk selama-lamanya.”
Kedua orang berpakaian hitam yang memegang dua tangan Hui Kiam berkata:
“Menurut pikiranku sebaiknya musnahkan kepandaian dan kekuatannya terlebih dulu, kemudian kita membawanya ke pusat!”
Utusan yang berada di belakang diri Hui Kiam lalu menjawab:
“Baik.”
Tepat pada saat itu….
Sesosok bayangan merah dengan kecepatan bagaikan kilat meluncur turun ke hadapan tiga orang itu dan membentak dengan suara bengis:
“Penggali Makam, aku akan ambil jiwamu!”
Bersamaan dengan itu, tangannya sudah menyambar Hui Kiam yang tertawan oleh tiga Utusan Bulan Emas.
“Jangan bertindak!”
Demikian Utusan Bulan Emas berseru, lalu merintangi tindakan orang yang baru datang tadi….
Orang yang baru datang itu ternyata adalah Wanita Tanpa Sukma.
Tindakan Wanita Tanpa Sukma itu benar-benar di luar dugaan semua orang.
Utusan Bulan Emas yang menggunakan pedang mengancam Hui Kiam, berkata:
“Wanita Tanpa Sukma, apakah maksudmu?”
Wanita Tanpa Sukma mengunjukkan tingkahnya yang genit. Ia berkata sambil tersenyum menggiurkan:
“Tuan-tuan utusan dari Bulan Emas, tolong kalian serahkan dia kepadaku, bagaimana?”
“Serahkan kepadamu?'“ berkata utusan yang memegang pedang itu. “Wanita Tanpa Sukma, daging ini kau sudah tidak mendapat bagian. Carilah ke lain tempat!”
“Tuan ternyata salah faham. Maksudku ialah memberikannya kepadaku supaya aku yang membunuhnya.”
Mendengar perkataan demikian, dada Hui Kiam dirasakan seperti mau meledak. Ia tidak menyangka bahwa dirinya dibuat rebutan sebagai barang hidangan empuk.
Utusan itu menjawab sambil tertawa dingin:
“Wanita Tanpa Sukma, kau tak perlu berlagak, dalam dunia ini masih banyak laki-laki tampan, jangan kau memikir yang tidak-tidak.”
Wanita Tanpa Sukma mendekati utusan tersebut. Dengan sikapnya yang semakin genit ia berkata:
“Tuan, maksud kalian tidak lain juga menginginkan dia mati. Siapa bertindak bukan serupa saja. Mengapa kau tidak mau memberi muka?”
“Kami tidak akan tertipu oleh akal muslihatmu. Sudah saja.”
“Eh, tuan bicara harus tahu aturan sedikit.”
“Wanita Tanpa Sukrma, kau harus tahu bahwa kami bukan orang-orang yang sayang kepada paras elok.”
Wanita Tanpa Sukma kembali maju selangkah. Ia berkata dengan paras dingin:
“Aku sudah bertekad bulat akan mendapatkan dirinya.”
Sambil mengayunkan tangan kirinya, dengan kecepatan bagaikan kilat menyerang belakang kepala Hui Kiam.
Utusan itu sambil berseru: “Kau berani!” menangkis dengan tangannya.
Tetapi tangan kanan pada saat itu mendadak menusuk ketiak kiri utusan itu.
Utusan tersebut yang tangan kanannya memegang pedang mengancam Hui Kiam, sedangkan tangan kiri digunakan untuk menangkis, kecuali berkelit sudah tidak ada lain jalan lagi. Disamping itu, serangan Wanita Tanpa Sukma itu juga merupakan serangan mematikan, sudah tentu tidak berani menyambut dengan kekerasan.
Keadaan sudah tidak memberikan kesempatan baginya untuk banyak berpikir. Hampir dengan secara otomatis utusan itu memiringkan badannya. Tangan kiri berbenturan dengan tangan Wanita Tanpa Sukma yang menyerang belakang kepala Hui Kiam, sehingga mengeluarkan suara “Duk!” Utusan itu lalu terpental mundur satu langkah, sehingga ujung pedang terpisah dari tubuh Hni Kiam.
Dua utusan yang memegang kedua tangan Hui Kiam hanya bisa berteriak:
“Kau cari malapetaka!”
Terjadinya perubahan itu sesungguhnya tidak terduga-duga. Daya reaksi Hui Kiam juga cepat sekali. Karena seluruh
kekuatannya masih utuh, luka di belakang punggung hanya merupakan luka luar, tidak ada artinya, setelah dari ancaman, dua orang itu tak dipandang mata lagi olehnya. Dengan cepat ia gerakkan dua tangannya, sehingga dua orang yang memegang kedua tangannya terpental jauh.
Di lain saat, pedang Hui Kiam sudah berada dalam tangannya.
Tiga Utusan Bulan Emas itu dengan mata membara dan suara menggeram hebat menyerang Wanita Tanpa Sukma dan Hui Kiam.
Hui Kiam yang sedang murka, melakukan serangan mematikan satu-satunya yang terdiri hanya satu jurus.
Tiba tiba terdengar suara jeritan ngeri. Utusan yang menyerang dari kanan terpotong putus badannya batas pinggang, sedang utusan yang menyerang dari kiri tertabas pedangnya sehingga menjadi dua potong.
Wanita Tanpa Sukma berulang-ulang perdergarkan suara tertawanya, badannya bergerak bagaikan ikan berenang menerobos dalam sinar pedang si utusan.
Betapapun tinggi kepandaian Utusan Bulan Emas saat itu juga tidak berdaya terhadapnya.
Hui Kiam pada saat itu sudah mengerti maksud Wanita Tanpa Sukma. Setelah membinasakan satu lawannya, ia menyerang lagi kepada utusan yang masih memegang pedang.
Utusan itu sangat gusar. Ia menetakkan pedangnya yang tinggal sebilah itu kepada Hui Kiam. Pemuda itu terpaksa menangkis dengan pedangnya......
Setelah menetakkan senjatanya, utusan itu lalu kabur terbirit-birit.
Utusan yang bertempur melawan Wanita Tanpa Sukma, ketika melihat gelagat tidak baik lalu berseru:
“Wanita Tanpa Sukma, kau tunggu saja!” kemudian juga melarikan diri.
Hui Kiam menyimpan kembali pedangnya, kemudian berkata kepada Wanita Tanpa Sukma sambil mengangkat tangan memberi hormat:
“Kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas bantuan nona.”
Kata-katanya meski sangat menghormat tetapi sikapnya dingin sekali.
Wanita Tanpa Sukma kembali memperlihatkan sikapnya yang menggiurkan. Ia berkata sambil tersenyum:
“Tidak usah. Kau membantu aku melepaskan diri dari tangan Bu-theng kongcu, dan aku bantu kau melepaskan kepungan Utusan Bulan Emas, untuk selanjutnya kita satu sama lain tidak ada yang hutang.”
Hui Kiam masih ingin berkata apa-apa, bibirnya bergerak tetapi tidak dikeluarkan.
Wanita Tanpa Sukma memandang Hui Kiam sejenak, kemudian berkata dengan sungguh-sungguh:
'“Penggali Makam, Persekutuan Bulan Emas mempunyai banyak penganut yang berkepandaian sangat tinggi. Para utusan tadi itu, cuma terhitung orang-orangnya yang termasuk golongan kelas dua ke bawah, selanjutnya harus berlaku hati-hati. Tujuan utama persekutuan itu hendak menguasai rimba persilatan. Mereka tidak melepaskan seorang musuhnyapun juga. Tokoh-tokoh ternama yang tidak mau menuruti kehendaknya juga tidak dilepaskan begitu saja. Sampai ketemu lagi!”
Hui Kiam sebetulnya masih ingin mengucapkan beberapa parah kata, tetapi wataknya yang dingin menyebabkannya segan nembuka mulut, hanya dari sinar matanya saja yang menunjukkan perasaan terima kasihnya.
Setelah mengawasi Wanita Tanpa Sukma berlalu, ia berlutut lagi di hadapan kuburan ibunya kemudian melanjutkan perjalanannya ke gunung Tay hong-san.
Wanita Tanpa Sukma itu meski menggunakan kecantikannya dan kegenitannya untuk memikat dan membunuh laki-laki hidung bejlang, tetapi dalam kalangan Kang-ouw tidak pernah tersiar cerita yang menjelekkan namanya. Dari hal ini bisa dilihat bahwa tindakannya itu semata-mata karena terdorong oleh perasaan hatinya yang disakiti sehingga menimbulkan hasrat untuk menuntut balas. Hal ini mirip keadaannya dengan Hui Kiam yang menyebut dirinya Penggali Makam.
Hari itu juga Hui Kiam tiba di gunung Tay hong-san dan melakukan penyelidikannya.
Keadaannya mirip dengan usahanya mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas. Tiada sedikitpun keyakinan, tetapi tidak boleh tidak harus mencarinya.
Dalam waktu tiga hari ia sudah menjelajahi seluruh gunung tetap tidak mendapatkan apa-apa.
Ia tahu bahwa perjalanannya ini akan tersia-sia. Tetapi ia masih belum putus harapan sebab dalam hatinya masih mempunyai keinginan untuk mencoba-coba. Karena dari semula tidak menaruh banyak harapan, maka perasaan putus harapan dengan sendirinya juga berkurang.
Kini tempat yang diinjak itu, adalah puncak terakhir gunung tersebut. Keadaan alamnya sangat indah dan menawan hati.
Tiba tiba matanya dapat melihat tidak jauh dari tempat ia berdiri, ada sebuah tumpukan batu yang mirip dengan sebuah kuburan.
Siapakah gerangan orang yang dikubur dalam puncak gunung yang tinggi dan mempunyai pemandangan alam demikian indah ini?
Dengan tidak disadarinya ia berjalan menghampiri gundukan tanah itu. Tidak salah, itu adalah sebuah kuburan yang dibuat oleh tangan manusia! Meski nampaknya bukan sebuah kuburan kuno tetapi sedikitnya sudah berumur.
Ia menghapus lumut yang tumbuh di lapisan batu nisan. Segera tertampak tulisan di atasnya. Ketika ia membaca bunyinya tulisan itu, seketika berdiri terkejut.
Huruf-huruf di atas batu nisan itu berbunyi:
“Di sini bersemayam Pui In Tiong.
Didirikan oleh putrinya: Pui Ceng Un.”
Pui Un Tiong adalah Hwee-tee, salah satu dari Lima Kaisar, orang yang merupakan supeknya dan kini sedang dicarinya. Beliau sudah meninggal? Pui Ceng Un adalah putrinya? Dan di mana ia sekarang berada?
Si supeknya sudah meninggal dunia. Bagaimanakah kematiannya itu? Mati karena Jarum Melekat Tulang ataukah… Sepotong uang logam yang berada di tangannya, apakah meninggalkan pesan kepada keturunannya?
Ia berlutut di hadapan makam supeknya. Harus mencari puterinya itu?
Soal ini, harus dapat menemukan putrinya yang bernama Pui Ceng Un itu dahulu, baruIah dapat jawabannya. Tetapi kemana harus mencari putrinya itu?
Ia berlutut di hadapan makam supeknya untuk menyatakan hormatnya.
Dengan diketemukannya makam itu, kini telah terbukti bahwa Lima Kaisar itu sudah tiada seorangpun yang masih hidup. Jago pedang berkedok yang digambarkan oleh Orang Tua Tiada Turunan, kini telah terbayang dalam otaknya. Seorang jago pedang luar biasa, tetapi juga merupakan satu hantu yang menakutkan. Hanya untuk mendapatkan jilid kitab Thian-khie Po-kip, lima orang kuat luar biasa dalam rimba persilatan telah dilenyapkan dari dunia.
Benarkah orang itu adalah muridnya Jin-ong?
Sudah sepuluh tahun lamanya, mengapa tiada dengar kabar tentang diri jago pedang berkedok itu muncul lagi di kalangan Kang-
ouw? Sudah tentu, maksudnya mengenakan kedok hanya untuk menutupi wajah aslinya dan kejahatannya.
Tiga Raja Rimba Persilatan sudah lima puluh tahun lebih menghilang dari dunia Kang-ouw. Peristiwa berdarah yang mengenaskan ini bukankah akan terpendam untuk selama-lamanya?
“Aku hendak menuntut balasl”
Demikianlah Hui Kiam menggeram dan mengacungkan kepalan tangannya ke atas. Rasa benci dan dendam telah meluap berubah menjadi suatu keinginan yang dingin dan buas.
Wajahnya yang memang sudah dingin, nampak semakin dingin.
Sekonyong-konyong dari tempat apak jauh, terdengar suara jeritan ngeri. Hui Kiam terkejut. Dengan tanpa pikir lagi dia lari bergerak menuju ke puncak gunung sebelahnya.
Tidak berapa lama, ia sudah berada di atas puncak gunung tersebut. Matanya berputaran melihat keadaan sekitarnya. Segera menemukan bangkai seorang pemuda berpakaian ringkas warna hitam, rebah menggeletak dalam darah. Sebilah pedang terletak beberapa kaki di sisi badannya. Awak pedang masih ada bekas tanda darahnya sedang badan terkorban terdapat sebuah sarung pedang yang kotor. Sudah terang bahwa pembunuhnya telah menggunakan pedang sendiri.
Siapakah pembunuhnya?
Tiga tombak dari tempat kejadian itu, di belakang sebuah pohon besar, kelihatan satu bayangan merah.
“Kau?” berseru demikian dengan suara gemetar.
“Ya, aku. Mengapa?'' demikian terdengar satu jawaban dari si Wanita Tanpa Sukma, berjalan menghampirinya.
“Kau membunuh orang lagi?”
“Benar, aku yang membunuh orang itu. Sebelum aku mati dibunuh, aku tidak akan menghentikan tindakanku ini!”
Ucapan ini dikatakan dengan paras gusar sehingga membuat gemetar. Siapa yang melihatnya, inilah suatu perbuatan kejam bagaikan perbuatan orang gila. Hui Kiam dengan sinar mata dingin menatap paras wanita itu kemudian berkata:
“Untuk menghentikan perbuatanmu yang gila itu, nampaknya aku harus membunuhmu!”
“Kau si Penggali Makam barang kali tidak sanggup melakukan!” jawabnya wanita itu acuh tidak acuh.
“Coba libat saja!” Berkata demikian, segera mengangkat tangannya, tetapi ketika hendak melakukan serangan, tiba-tiba ditarik kembali dan berkata dengan suara gemetar:
“Wanita Tanpa Sukma, kali ini aku lepaskan kau tetapi harus menerima baik satu syaratku!”
“Syarat apa?”
“Kita bersama-sama pergi ke Ie-hun San-cung untuk menyelesaikan persoalanmu yang minta aku mengantarkan barang sumbangan kepala manusia kepada Sam-goan Lojin.”
“Dalam soal ini rupanya tidak perlu kau yang harus bertindak.”
“Tetapi aku sudah menyanggupi Sam-goan Lojin untuk menyelesaikan persoalan ini!”
“Tetapi jikalau aku tak mau?”
“Aku terpaksa akan memotong kepalamu!”
“Benarkah?”
“Aku sudah akan mempertaruhkannya dengan nama baikku.”
Paras Wanita Tanpa Sukma itu nampak berobah, ia berkata:
“Penggali Makam, aku bukan takut kepadamu, melainkan oleh karena dahulu kau sudi menolong aku mengantarkan kepala orang itu sehingga kau terbawa-bawa oleh persoalan itu, maka rela aku menceritakan kepadamu hal yang sebenarnya......”
“Ceritakanlah!”
Paras Wanita Tanpa Sukma itu menunjukkan perasaan dendam sakitnya yang hebat. Dengan suara menggeletar ia mulai menceritakan kisahnya:
“Seorang gadis piatu yang belum mempunyai pengalaman hidup di dalam dunia yang kotor ini telah membayangkan keberuntungan hidup di masa yang akan datang. Ia berikan semua cintanya kepada seorang laki-laki yang diangapnya boleh dijadikan saudara seumur hidupnya paling akhir. Ia bahkan menyerahkan kesuciannya yang amat berharga. Tetapi laki-laki itu setelah mendapatkan cinta dan dirinya gadis piatu itu, lalu meninggalkannya dengan seorang gadis lain. Cobalah kau pikir sendiri, laki-laki yang kejam dan tidak berperasaan ini harus dibunuh atau tidak?”
“Apakah gadis piatu itu adalah kau sendiri?”
“Tepat!”
“Apakah kau juga pernah memikirkan diri gadis baru bakal isterinya yang tiada berdosa?”
“Sudah. Kalau ia menikah dengan lelaki demikian, tidak akan beruntung, maka aku telah membunuh bakal suaminya sebelum mereka melakukan upacara perkawinan, dengan demikian ia boleh merasa beruntung karena kehormatannya belum dicemarkan.”
---ooo0dw0ooo---
JILID 5
“DAN kau melakukan balas dendam terhadap kaum laki-laki?”
“Penggali Makam, kau rupanya tidak dapat memahami hati dan perasaan seseorang yang sudah kehilangan sukma sehingga hanya tinggal raganya saja!”
“Memang, akan tetapi….”
“Cukup sampai di sini saja, tidak perlu kau memberi nasehat padaku.”
“Baiklah, kita sama-sama pergi ke Sam-goan-pang. Setiba di tempat tersebut, setelah aku menyelesaikan tugasku, aku segera menarik diri, bagaimana kau hendak menyelesaikan persoalan itu adalah urusanmu sendiri!”
“Apa tidak boleh kita harus pergi?”
“Aku tidak akan sembarangan merobah pendirianku.”
“Baiklah, Penggali Makam, kali ini hitung-hitung kau yang menang. Mari pergi!”
Pada saat itu tiba-tiba terdengar seseorang tua berkata: “Wanita Tanpa Sukma tidak perlu kau mengaku kalah, aku ingin berbicara denganmu.”
Suara itu mengejutkan hati dua orang itu. Hui Kiam lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Orang pandai darimanakah kau, mengapa main sembunyi-sembunyian?”
“Aku sebetulnya tidak ingin menemui orang!”
Demikan terdengar suara jawaban, lalu disusul oleh munculnya seorang orang tua yang menggunakan ranting kayu pohon sebagai tongkat, mengunjukkan diri dari belakang sebuah besar.
Hui Kiam menatap wajah orang tua itu sejenak lalu bertanya:
“Bagaimana julukan kakek yang mulia?”
Orang tua itu dengan sinar mata tajam menyapu dua orang sejenak lalu menjawab dengan tenang:
“Aku adalah seorang tua yang mendapat julukan Sukma Tidak Buyar.”
Mendengar disebutnya nama julukan itu, Hui Kiam dan Wanita Tanpa Sukma terkejut, terutama Hui Kiam tampak sangat bingung, maka ia lalu menegaskan.
“Kakek, berjulukan Sukma Tidak Buyar?”
“Benar!”
Hui Kiam tidak habis mengerti. Saudara angkatnya sendiri Ie It Huan, mempunyai julukan Sukma Tidak Buyar, dan orang tua ini juga namakan dirinya Sukma Tidak Buyar. Berapakah sebetulnya orang yang mempunyai julukan demikian di dalam kalangan Kang-ouw? Kesimpulannya, kalau bukan orang tua ini yang bohong, tentunya adalah Ie It Huan yang mencuri nama orang lain. Tetapi siapakah yang tulen dan siapakah yang palsu sesungguhnya tidak mudah dipecahkan.
Setelah berpikir bolak-balik akhirnya ia bertanya:
“Di dalam rimba persilatan sebetulnya ada berapakah gelar Sukma Tidak Buyar?”
“Cuma satu, tidak ada cabangnya!”
“Ini benar-benar aneh!”
“Apanya yang aneh?”
“Aku mengenal seseorang yang juga mempunyai julukan Sukma Tidak Buyar.”
Orang tua itu pelototkan matanya dan berkata:
“Kurang ajar, dia berani mencuri gelarku!”
Wanita Tanpa Sukma lalu menyelak:
“Aku pernah melihat seseorang yang juga mempunyai julukan Sukma Tak Buyar, usianya kira-kira empat puluh tahunan.”
Orang tua itu berseru:
“Benar-benar kurang ajar!”
Hui Kiam lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Tidak perduli siapa yang tulen dan siapa yang palsu, siapa yang mencuri nama siapa?”
Orang tua itu lalu memotongnya dan berkata:
“Bagaimana boleh aku tidak perduli? Seumur hidupku aku paling benci kepada manusia yang suka mencuri!”
“Baiklah aku akui kakek sebagai orang yang mempunyai julukan Sukma Tidak Buyar. Aku ingin bertanya, kakek ada urusan apa?”
Sukma Tidak Buyar mengisyaratkan dengan tangannya kepada Wanita Tanpa Sukma seraya berkata:
“Kau boleh pergi!”
Hui Kiam berkata dengan suara dingin:
“Tunggu dulu kakek, apa maksudmu?”
“Tidak apa-apa. Ia toh sudah menerangkan duduknya perkara, perlu apa masih memaksa mengadakan penjelasan sendiri kepada Sam-goan Lojin? Asal kau menyebutkan namanya Wanita Tanpa Sukma itu sudah cukup. Bukankah itu juga berarti satu penyelesaian? Tentang orang-orang Sam-Goan pang dan pihak keluarga penganten lelaki, bagaimana hendak membikin perhitungan dengannya, itu bukan urusanmu lagi!”
“Tidak bisa, seseorang laki-laki harus tegas, aku tidak suka kehilangan kepercayaan kepada orang lain….”
“Penggali Makam, pandanglah mukaku si orang tua, jangan kau memaksanya!”
“Aku dengan kakek belum pernah mengenalnya, di samping itu juga paling benci kepada orang yang suka mencuri dengar rahasia orang lain!”
“Kau memaki aku?”
“Kalau benar mau apa?”
Sukma Tidak Buyar tidak memperdulikan sikap Hui-Kiam. Sambil mengawasi Wanita Tanpa Sukma ia berkata:
“Jikalau kau hendak mencari Bu-theng Kongcu, ia sedang menghina seorang wanita di pinggir jalan di bawah kaki gunung ini!”
Paras Wanita Tanpa Sukma berubah seketika. Ia heran mengapa orang tua yang menyebut dirinya Sukma Tidak Buyar ini, bisa mengetahui rahasia dalam hatinya. Oleh karena kebenciannya
terhadap kongcu keparat itu sudah terlalu dalam sekali, maka saat itu ia tanpa banyak bertanya kemudian berkata:
“Kakek, kalau kau membohongi aku, aku tidak akan mengampuni kau!”
Sehabis berkata demikian ia segera berlalu.
Hui Kiam segera beranjak untuk merintangi seraya berkata: “Kau hendak lari kemana?”
Tetapi hampir berbarengan pada saat itu, Sukma Tidak Buyar merintangkan tongkatnya, cepat sekali sudah menyapu dengan kekuatan yang hebat.
Hui Kiam yang tidak berjaga-jaga, terpaksa mengelakkan serangan tersebut, tetapi karena rintangan itu, Wanita Tanpa Sukma sudah menghilang dari depan matanya.
Hui Kiam balik ke tempatnya, dan berkata dengan suara bengis:
“Kau cari mampus!”
Orang tua ini menggeser badannya dan berkata: “Tunggu dulu, bicaraku belum habis!”
Hui Kiam yang sudah naik darah lalu maju mendesak sambil berkata:
“Aku tiada waktu mengobrol denganmu!”
Dengan cepat tangannya lalu menyerang.
Orang tua itu meski nampak sangat loyo, tetapi gerakannya gesit sekali, sambil berputaran ia menghindar ke samping kira-kira tiga tombak untuk menghindarkan diri dari serangan Hui Kiam, kemudian berkata sambil mengulap-ulapkan tangannya:
“Penggali Makam, aku bermaksud baik kepadamu!”
“Tidak perduli kau bermaksud baik atau jahat..........!”
“Kau barangkali tidak mengharap dirimu dan asal-usulmu diketahui orang?”
Hui Kiam bercekat, ucapan itu terang mengandung maksud, orang itu dapat mengatakan demikian, tentu mengandung maksud yang tidak sedernana apakah maksud ucapan itu tadi? Apakah ia mengetahui bahwa dirinya adalah keturunan dari Lima Kaisar Rimba Persilatan?
“Apa maksud ucapan kakek ini?”
“Dalam hatimu harus mengerti sendiri.”
“Kedatangan kakek ini tentunya tidak secara kebetulan, bukan?”
“Sudah tentu!”
“Apakah kakek mengetahui siapa diriku?”
“Tahu! Bukan saja tahu sedalam-dalamnya, bahkan apa yang kau hendak lakukan pada sekarang ini aku juga mengetahui sejelas-jelasnya!”
“Cobalah kakek tuturkan............”
“Di balik dinding ada telinga, sudahlah kalau bicara, kedatanganku ini hanya sengaja mencari kau untuk turut keramaian....”
“Menyaksikan keramaian........?”
“Ya!”
“Keramaian apa?”
“Kita harus menggunakan kecepatan luar biasa lekas menuju ke Sam-goan-pang, kalau terlambat nanti repot!”
“Mengapa kakek tidak mau menerangkan duduk persoalannya!”
“Ada tersiar kabar bahwa bagian bawah kitab Thian-kie Po kip....”
Jantung Hui Kiam berdebaran keras, ucapan orang tua itu sangat menarik perhatiannya. Kematian supeknya, dengan kitab itu merupakan suatu hal yang ia ingin ketahui. Orang tua yang menyebut diri Sukma Tidak Buyar ini benar-benar sangat mengherankan, mengapa ia tahu akan dirinya dan mengapa pula ia mengetahui rahasia hati orang dan sengaja mencarinya?
“Kakek kata kitab Thian-kie Po-kip!”
“Ya !”
“Bagaimana?”
“Terjatuh di tangan Sam Goan Lojin. Sudah banyak orang rimba persilatan yang mendengar kabar itu menuju kesana.....”
“Apa berita itu benar?”
“Mungkin tidak salah.”
“Bagaimana kakek tahu bahwa hal ini bisa menarik perhatianku?”
“Ha, ha, ha, bukan cuma tertarik saja. Penggali Makam, kitab itu barangkali lebih penting daripada dirimu sendiri.”
Hui Kiam bergidik. Apakah maksud sebenarnya dari orang tua itu? Jikalau ia tidak menerangkannya lebih dulu, akan merupakan suatu ancaman besar bagi dirinya, maka saat itu dengan tidak berkata apa-apa, cepat bagaikan kilat tangannya menyambar si orang tua. Meski serangannya itu dilakukan dengan cepat dan di luar dugaan orang, namun orang tua itu hanya menggoyangkan badannya sudah berhasil mengelakkan dirinya dari sambaran itu. Gerakan yang luar biasa aneh itu, benar-benar mengejutkan dan mengherankan Hui Kiam.
“Penggali Makam, dengan maksud baik aku menyampaikan kabar kepadamu, bagaimanakau balas dengan secara kasar ini?”
“Karena maksud kedatanganmu sangat mencurigakan.”
“Saudara, anggap saja seperti tidak ada apa-apa!”
“Kalau kau tidak mau menerangkannya, jangan harap kau bisa lari.”
Penggali Makam, kepandaianmu memang hebat, tetapi kau masih belum sanggup menahan aku. Dalam pertempuran lawan keras, mungkin aku tidak mampu menandingi kau, tetapi dalam hal kegesitan, kau masih kalah setingkat. Jikalau tidak, julukan Sukma Tidak Buyar ini boleh kuhapus saja!”
Hui Kiam dalam hati juga mengakui bahwa hal itu memang benar. Gerak badan orang tua itu benar-benar memang aneh. Tetapi apakah ia harus lepas tangan begitu saja?
“Kakek mengetahui terlalu banyak sekali.”
“Apa kau hendak membunuh aku supaya menutup rahasiamu?”
“Aku tiada maksud demikian tetapi aku ingin tahu keadaan yang sebenarnya!”'
“Mengapa kau tidak ikut aku ke tempat kejadian itu? Biar kenyataan nanti yang membuktikan perkataanku ini. Bukankah ini lebih baik daripada kita saling bertengkar?”
“Dan lagi dengan maksud apa kakek melepaskan Wanita Tanpa Sukma?”
“Kau tentunya tidak ingin ia mengetahui diri asal usulmu, bukan?”
Perkataan itu kembali mengherankan Hui Kiam. Orang tua itu nampaknya sudah memikirkan masak-masak, besar kemungkinannya ingin menggunakan dirinya untuk mendapatkan kitab pusaka itu, tetapi tentang semua rahasia dirinya yang sudah diketahui oleh orang tua itu, ini benar-benar merupakan suatu teka-teki yang sulit dipecahkan. Hanya ada satu kemungkinan, mungkin orang tua itu telah mencuri dengar pembicaraannya dengan Orang Tua Ttiada Turunan yang dilakukan di luar kota Kut-cin. Ya memang benar, kenyataannya memang begitu. Jikalau tidak, mengapa orang tua ini juga mengetahui isi hati Wanita Tanpa Sukma yang bertekad hendak membalas dendam kepada Bu-theng Kongcu?
Berpikir sampai di situ, hatinya merasa lega. Karena tertarik ingin tahu permulaan selanjutnya dari orang tua itu maka lalu ia berkata:
“Kalau begitu mari kita berangkat. Aku memang ingin membuntutinya sendiri.”
Keduanya lalu mengerahkan kepandaian masing-niasing lari pesat dalam perjalanannya itu, kecuali berhenti untuk makan dan tidur, dilakukan terus tanpa kenal waktu, menuju ke pusat perkampungan Sam-goan-pang di Ie-hun San-cung.
Dalam hati Hui Kiam masih mengandung lain harapan. Andaikata benar, bahwa bagian bawah kitab pusaka itu terjatuh di tangan ketua Sam-goan Lojin, maka yang tersiar di kalangan Kang-ouw itu, pasti juga akan menarik perhatiannya dengan demikian ia pasti akan menyendiri sehingga kabur semua rahasia tidak mengetahui ungkapnya.
Jikalau ia tidak berjumpa dengan Orang Tua Tiada Turunan, ia pasti tiada mengetahui siapa suhunya sendiri, sedangkan dalam perjalanan kali ini ke gunung Tay-hong-san, jikalau tidak menemukan makam si supeknya, sudah tentu ia juga tidak mengetahui bahwa ia masih mempunyai seorang sucie, yang bernama Pui Ceng Un, sementara itu bagaimana roman muka sang sucie itu, sudah tentu itu ia tidak dapat menggambarkannya.
Pada hari itu di waktu senja, dua orang itu sudah tiba di perkampungan le-hun Sancung,
perkampungan yang menempati tanah seluas sepuluh hektar lebih itu nampaknya sunyi sepi.
Kesunyiannya sesungguhnya sangat mengherankan, tiada terdengar suara orang juga tiada tertampak bayangan seorangpun juga.
Ini merupakan surtu pemandangan yang amat ganjil, jangan kata sudah tersiar kabar balhwa kitab pusaka itu akan muncul di tempat itu, yang sudah seharusnya menarik perhatian banyak orang tetapi sekalipun pada hari-hari biasanya, perkampungan yang merupakan pusat salah satu golongan besar itu, tidak mungkin demikian sunyi.
Dengan perasaan bimbang Hui Kiam bersama Si Sukma Tidak Buyar lari menuju ke pintu gerbang, tetapi masih tetap tidak tertampak bayangan seorangpun juga, suasananya dirasakan amat seram.
Sukma Tidak Buyar berseru: “Aaaa!” lalu berhenti di salah satu kupel.
Perasaan curiga timbul dalam hati Hui Kiam. Ia melirik kearah Sukma Tidak Buyar dengan sinar mata mengandung berbagai pertanyaan.
“Aneh,” demikian Sukma Tidak Buyar berkata sambil menghela napas.
Hui Kiam dengan sinar mata bengis dan dingin mengawasi Sukma Tidak Buyar, sepatah demi sepatah ia berkata kepadanya:
“Aku menunggu keteranganmu!”
Sukma Tidak Buyar menggaruk-garuk kepalanya, lalu memanggil dengan suara nyaring: “Apakah di dalam ada orang?”
la memanggil sampai tiga kali, tetapi tidak mendapat jawaban sehingga kecurigaannya semakin besar, ia lalu berkata:
“Mari kita masuk.”
Hui Kiam kembali menatap wajah Sukma Tidak Buyar, kemudian berkata:
“Kakek jalan dulu, aku nanti mengikuti dari belakang.”
Begitu memasuki pintu gerbang lalu terbentang satu jalanan yang lebar, mungkin dapat dilalui oleh empat ekor kuda dengan bersama.
Di kedua sisi jalannya ditanami pohon rindang, di bagian ujung, terdapat satu tanah lapang untuk melatih silat, melalui tanah lapang itu, barulah rumah-rumah yang dibangun berderet-deret.
Keadaan di sekitar itu tetap sunyi, perkampungan yang begitu luas, tidak terdapat jejak manusia.
Dua orang itu dengan pikiran bimbang saling berpandangan, lalu melanjutkan perjalanannya melalui tanah lapang, kemudian mendaki undakan batu yang menuju ke ruangan tamu.
“Astaga!”
Dua orang itu berseru serentak, suaranya gemetar. Dalam ruangan yang luas itu, bangkai manusia berserakan di lantai, jumlahnya tak kurang dari seratus. Bangkai-bangkai itu sekujur badannya hitam hangus, terang kematian mereka itu disebabkan kena racun yang sangat berbisa.
Wajah Hui Kiam yang dingin tampak berkerenyut, dahinya penuh air peluh.
Siapa yang membunuh orang-orang Sam-goan-Pang ini?”
Dari keadaan di perkampungan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang dalam perkampungan ini, mungkin sudah tidak ada yang hidup.
Sam-goan-pang merupakan salah satu golongan besar, kepandaian Sam-goan Lojin pernah menggemparkan dunia Kang-ouw daerah Tionggoan, ini ternyata mengalami nasib demikian menyedihkan, benar-benar tidak bisa dimengerti.
“Kita datang terlambat, kesudahannya sungguh di luar dugaann kita!” berkata Sukma Tidak Buyar dengan suara gemetar:
Hui Kiam melompat melalui bangkai-bangkai itu, berjalan menuju ke ruangan kedua, disini, dulu ia pernah datang satu kali, untuk mengantar barang antaran, yaug berupa kepala orang atas permintaan Wanita Tanpa Sukma.
Di sini kembali terdapat banyak bangkai, darah merah dan hitam membasahi lantai. Di sini mungkin pernah terjadi suatu pertempuran sengit, dari ceceran darah dapat diduga-dan bangkai di ruangan depan, mungkin dipindahkan dari lain tempat, mungkin inilah sebabnya, maka dari pintu gerbang sehingga ke ruangan tamu, tidak tampak bayangan seorangpun juga.
Perkampungan le-hun Sanchung telah berubah menjadi perkampungan neraka penjagalan manusia.
Mata Hui Kiam setelah menyapu keadaan sekitar tempat itu sejenak, lalu menuju ke ruangan tengah, dan apa yang disaksikan? Itu adalah suatu pemandangan yang dapat membangunkan bulu roma.
Tampak olehnya Sam-Goan Lojin dengan tangan memegang pedang dan mata beringas serta jenggot beterbangan, berdiri di dekat tiang rumah, di bawah kakinya rebah menggeletak diri Sam-goan Pangcu, Tan Kee Cun yang sudah menjadi bangkai.
“Locianpwee.....” demikian Hui Kiam memanggil dengan suara gemetar.
“Ia” tidak dapat menjawab kau!” demikian Sukma Tidak Buyar berkata.
Hui Kiam menggeretakkan gigi, ia maju menghampiri, benar saja, orang tua itu sudah tidak bernapas, setengah badannya tertahan di tiang, maka ia tidak roboh. Di dahinya terdapat tiga tanda darah sebesar kacang berbentuk segitiga.
Sukma Tidak Buyar berseru kaget:
“Sam ciok-sie!”
Hui-Kiam terperanjat, lalu bertanya:
“Kakek mengatakan bahwa Sam Goan Lojin mati karena serangan jari tangan Sam-Ciok Sie?”
“Benar!”
“Sam-Ciok-Sie ini ilmu kepandaian siapa?”
“Aiw yang Hong jago dari daerah go-sec!”
“Dia.... bagaimana itu mungkin?”
Hui-Kiam dalam hatinya merasa heran. Aiw-yang Hong adalah ayah Aiw-yang Khin, pemuda yang mati dipotong kepalanya oleh Wanita Tanpa Sukma, juga yang akan menjadi menantu Sam-goan Pangcu. Meskipun perjodohan itu menjadi batal tetapi biar bagaimana kedua pihak pernah ada hubungan satu sama lain. Mungkinkah Aiw-yang Hong sampai hati melakukan perbuatan sekejam itu?
Sementara itu orang tua si Sukma Tanpa Buyar itu berkata sendiri:
“Ilmu kepandaian Sam-toksie dari jago daerah Gosee itu, memang merupakan satu kepandaian luar biasa dalam rimba persilatan tetapi apapun alasannya juga tidak sampai ia mengambil jiwa Sam-goan Lojin, kekuatan kedua orang tua itu selisih tidak berapa, kecuali....” berkata sampai di situ, ia nampak berpikir.
“Kecuali apa?”
“Kecuali ada orang lain yang memberi bantuan, atau membokong secara menggelap.
Fakta sudahlah sangat nyata, orang yang mengganas ini jumlahnya tentu tidak sedikit. Jikalau tidak, siapa orang itu yang sanggup melakukan pembunuhan besar-besaran serupa ini tanpa ada seorang yang lolos?”
“Apakah maksud dan tujuan Aiw-yang Hong berbuat demikian?”
“Sudah tentu karena kitab pusaka Thian-khie Po-kip.”
“Mari kita melihat ke ruangan belakang.”
Di pekarangan belakang, keadaannya lebih menyedihkan, yang mati semua adalah orang-orang perempuan dan anak-anak.
Dengan darah mendidih dan muka beringas Hui Kiam berkata:
“Kalau aku tidak dapat menumpas keluarga Aiw-yang, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!”
Ia lalu mengadakan pemeriksaan satu persatu pada semua bangkai kaum wanita itu, ternyata tidak melihat bangkai putri Sam-goan Pangcu, Tan Hian Kun. Dalam hatinya lalu berpikir, apakah ia hanya seorang diri yang luput dari cengkeraman maut ini? Atau.....
Keadaan di luar batas prikemanusiaan itu, sesungguhnya sangat menyedihkan. Salah satu golongan besar dalam rimba persilatan, telah musnah dalam waktu satu hari, hal ini sesungguhnya jarang terjadi.
Hawa amarah nafsu membunuh merangsang dalam hati Hui Kiam. seorang yang sering mengalami kejadian ganas, paling
mudah timbul rasa simpati terhadap nasib orang yang menjadi korban keganasan itu, apalagi ia memang sudah bertekad hendak mengubur semua orang jahat dalam kalangan Kang ouw.
Orang tua si Sukma Tidak Buyar bertanya kepadanya:
“Hui siaohiap, bagaimana tindakan kita selanjutnya..........?”
“Apa? Tindakan selanjutnya?”
“Ya.”
“Dengan alasan apa kakek hendak bertindak bersama-sama dengan aku?”
“Di satu pihak aku ingin mencari tahu duduk persoalannya, di lain pihak kita di dalam hal ini mungkin sendirian!”
“Apakah maksud kakek hendak mencari Aiw-yang Hong?”
“Apakah kau ingin mengusut kemana kitab pusaka itu?”
“Itu urusanku sendiri......”
“Bagus sekali, sekarang telah berobah menjadi urusanmu sendiri, jikalau aku tidak memberi kabar padamu, bagaimana?”
“Aku sangat berterima kasih padamu.”
“Itu tidak perlu. Setiap orang mempunyai kesenangan sendiri-sendiri. Kesenanganku si orang tua adalah suka sekali mengurusi orang lain. Kalau aku sudah campur tangan dalam suatu urusan aku akan terus campur tangan sampai pada akhirnya kini sudah merupakan hobi selama hidupku.”
“Perkataan kakek ini mungkin dengan tidak sejujurnya?”
“Apa artinya?”
“Dalam urusan yang kakek ingin turut campur tangan ini, merupakan suatu permainan berbahaya yang akan membawa akibat melayangnya jiwa kakek, jikalau tidak ada maksud tertentu, apakah perlu kakek turut campur tangan?”
“Percaya atau tidak terserah kau sendiri, kalau kau tidak mau pergi aku juga bisa pergi sendiri.”
Hui Kiam merasa kewalahan, ia lalu mengalihkan pembicaraannya ke lain soal.
“Mengapa di sini tidak ada orang yang memikirkan untuk mengubur jenazah orang-orang ini?”
“Kau tidak usah khawatir. Anak buah Sam-goan-pang tidak mungkin mati seluruhnya, mereka yang berada di luaran kalau mendengar berita ini pasti akan kembali. Yang kita khawatirkan adalah soal kita dapat menemukan Aiw-yang Hong atau tidak?”
“Kenapa?”
“Jikalau pengganasan ini benar dilakukan oleh Aiw-yang Hong, apalagi bila ia sudah dapatkan kitab pusaka itu. sudah tentu ia akan kabur jauh-jauh. Tetapi di lain pihak, jikalau perbuatan itu ia lakukan secara rahasia, bagaimana bodohnya juga tidak akan meninggalkan tanda tiga jari tangan Sam co-sienya di badan Sam-goan Lojin, yang berarti mencari susah sendiri. Selain daripada itu, di daerahnya yang mempunyai harta kekayaan yang besar, apakah ia dapat meninggalkan begitu saja?”
“Tepat. Dan menurut perdapat kakek bagaimana?”
“Dalam peristiwa ini ada terdapat banyak hal yarg mencurigakan. Paling baik kita lekas pergi ke sana untuk menyaksikan sendiri.”
Di kota Kui-ciu, terdapat sebuah gedung mewah yang hampir menempati setengah komplek jalan di satu jalanan sebelah selatan. Gedung itu adalah tempat kediamannya Aiw-yang Hong yang terkenal dengan jago Gosee.
Di depan pintu gedung mewah itu, berdiri dua orang penjaga pintu yang pada hari itu nampaknya sangat lesu.
Seorang tua yang sudah loyo dan seorang pemuda gagah berbaju putih dan bersikap dingin, datang menghampiri dua penjaga pintu itu.
Seorang dari penjaga pintu itu berkata kepada kawannya:
“Ada orang datang lagi.”
Kawannya itu menjawab:
“Ini rombongan yang ke-sepuluh.........”
Orang tua berbadan loyo itu memberi hormat dan berkata kepada penjaga pintu:
“Aku si orang tua si Sukma Tidak Buyar, ingin menengok tuanmu. Tolong kabarkan kepadanya!”
Dua penjaga pintu itu ketika mendengar disebutnya nama julukan itu, wajah mereka berubah seketika. Satu di antaranya lalu berkata sambil menghela napas: “Silahkan masuk, tidak perlu melapor dulu!”
Jawaban itu mengejutkan kedua tetamunya yang bukan lain dari pada si Sukma Tidak Buyar dan Hui Kiam.
Dalam hati merasa segera ada apa-aoa yang agak aneh, dengan tanpa banvak bicara, lalu masuk ke dalam dengan langkah lebar.
Di tengah ruangan yang luas, terdapat meja sembahyang. Hui-Kiam mengawasi si Sukma Tidak Buyar sejenak dengan tidak berkata apa-apa, tetapi dari sinar matanya sudah menunjukkan perasaan terkejutnya.
Di depan meja sembahyang nampak kosong tiada seorangpun yang menjaga.
Tatkala dua tamu itu maju ke depan meja sembahyang, dari dalam muncul seorang tua yang segera menyongsong mereka seraya berkata dengan nada suara dingin: “Apakah tuan-tuan juga ingin memeriksa dan membuktikan kebenaran tentang kematian majikanku?”
Pertanyaan itu sangat mengejutkan kedua temannya. Si Sukma Tidak Buyar lalu menanya dengan suara gemetar.
“Apa? Apakah saudara Aiw-yang sudah meninggal dunia?”
“Ya, bagaimana sebutan tuan?”
“Aku adalah si Sukma Tidak Buyar, benar-benar ada suatu kejadian di luar dugaanku!”
“Kedatangan tuan ini….”
“Aku sebetulnya ingin menanyakan suatu persoalan kepada saudara Aiw-yang, tidak duga ia sudah menutup mata. Entah kapan....?”
“Tadi malam jam tiga hampir subuh, majikanku pulang dari luar, telah diserang secara mendadak oleh seorang yang tidak dikenal di dalam pekarangan rumah sendiri.”
“Oh; tetapi bagaimana bentuk perawakannya orang yang menyerang itu?”
“Tidak tahu. Penyerang itu menggunakan pedang, tinggi kepandaiannya kita tidak dapat membayangkan, nampaknya majikan kita tidak ada kesempatan untuk memberi perlawanan, ketika mendengar suara jeritan ngeri, orang-orang dalam rumah segera keluar, di situ baru mengetahui bahwa majikan kita dengan enam orang anak murid yang mengiringnya malam itu, semua telah binasa, tak seorangpun lolos sedang penyerangnya telah kabur.”
“Apakah saudara kepala pengurus rumah tangga sini?”
“Ya!”
“Barusan kau kata hendak memeriksa dan membuktikan kebenaran kematian majikanmu, apakah maksudnya......?”
“Majikan kita sudah mengalami nasib malang belum terang tanah sudah ada sahabat-sahabat rimba persilatan yang datang mencari. Mereka mengatakan hendak menyaksikan jenazah majikan sendiri. Dalam waktu singkat orang yang datang menengok sudah ada sembilan rombongan banyaknya. Ibu majikan telah memperintahkan kita jangan masukkan jenazah majikan ke dalam peti dulu supaya mereka dapat menyaksikan sendiri!”
“Tahukah apa sebabnya?”
“Orang-orang yang datang itu setelah melihat lantas berlalu, mereka tidak berkata apa-apa.”
Hui Kiam berpikir keras, ada satu kemungkinan! Aiw-yang Hong setelah mengganas kepada Sam-goan-pang, dan berhasil
mendapatkan kitab pusaka Thian-khie Po-kip, lalu diikuti oleh orang lain dan dibunuh dan dirampas kitabnya. Ada juga kemungkinannya bahwa pembunuhnya itu adalah sekutunya sendiri.
Kitab pusaka Thian-khie Po kip itu adalah barang peninggalan gurunya Hui Kiam yang ia sedang cari, yang mungkin juga menyebabkan kematian si-supeknya. Andaikata Sam-goan Lojin adalah orang pertama yang menemukan kitab ifu, mungkin si-supek itu mati di tangannya. Akan tetapi Sam-goan Lojin sendiri kini sudah binasa, sudah tentu tidak dapat diminta keterangannya.
Dan sekarang, orang ke-dua yang mendapat kitab itu juga sudah binasa, siapakah selanjutnya yang mendapat kitab pusaka itu? Hawa nafsunya yang semula berkobar, kini telah mereda oleh kejadian di luar dugaan ini. Aiw-yang Hong sudah mati, tidak perduli ia ada orang yang mengganas kepada Sam-goan-pang atau bukan, tetapi pada saat itu ia benar-benar tidak bisa bertindak terhadap keluarganya.
Pengurus rumah tangga itu lalu berkata kepada kedua tamunya:
“Tuan-tuan sudah datang, silahkan menengok jenazah majikan!”
Sehabis berkata ia lalu mengajak tamunya ke dalam. Hui Kiam dan si Sukma Tidak Buyar saling berpandangan, kemudian mengikuti pengurus rumah tangga itu masuk ke dalam. Di belakang tirai kain putih, ada sebuah peti mati yang tidak ditutupi. Dalam peti itu, rebah membujur seorang tua berpakaian merah, air mukanya sudah dingin kaku, masih menunjukkan bekas rasa takutnya, terang bahwa orang tua itu sebelum matinya pernah mendapat ancaman hebat.
Orang sudah mati, sedikitpun tidak bohong, tetapi siapakah pembunuhnya? Dengan kekuatan dan kepandaian Aiw-yang Hong, ditambah lagi dengan enam anak muridnya ternyata tidak sanggup memberi perlawanan sedikitpun juga, sedangkan tempat kejadiannya justru dalam pekarangan rumahnya sendiri, maka kita dapat bayangkan betapa tingginya kepandaian pembunuh itu.
Hui Kiam setelah berpikir beberapa kali, lalu bertanya kepada pengurus rumah tangga itu:
“Bolehkah aku menanyakan beberapa soal?”
“Boleh!”
“Harap tuan suka menceritakan terus-terang; jam berapa majikanmu keluar, apa yang dilakukan dan kemana perginya?”
“Majikan sudah keluar tiga hari lamanya, katanya hendak menengok sahabat, tadi malam baru pulang!”
“Siapakah orang yang akan dikunjungi oleh majikanmu?”
“Sebelum berangkat majikan berkata hendak ke Ie-hun San-chung!”
“Apakah hendak menengok Sam-Goan-Lojin?”
“Mungkin!”
Hati Hui-Kiam kembali bergolak, nampaknya Aiw-yang Hong ini benar-benar adalah pembunuh orang-orang Sam-Goan-pang. Tetapi jikalau tidak ada orang lain berkepandaian amat tinggi yang memberi bantuan, dengan hanya kekuatannya Aiw-yang Hong sendiri serta enam anak muridnva, tidak mungkin ia dapat melakukan perbuatan tersebut, kecuali sudah direncanakan masak-masak. Di antara orang-orang Sam-Goam-pang yang telah mati, itu sebagian besar menjadi korban racun berbisa.
Ia lalu bertanya pula: “Waktu majikanmu pergi hendak menengok sahabatnya, kecuali enam anak muridnya sendiri, apakah masih ada orang lain yang pergi bersama-sama?”
“Tidak ada.”
“Pada waktu belakangan ini apakah ada sahabat dari rimba persilatan yang datang kemari?”
“Mengapa sahabat hendak bertanya sedemikian teliti?”
“Sudah tentu ada sebabnya, kuharap kau suka menceritakan terus terang.”
Pengurus rumah tangga itu berpikir sejenak baru menjawab:
“Ada setengah bulan bercelang Liang-gie Sie-seng pernah datang kemari berdiam sekian waktu lamanya.”
Si Sukma Tidak Buyar segera berkata dengan suara kaget:
“Liang-gie Sie-seng seorang ahli kenamaan dalam menggunakan berbagai racun. Sudah cukup, mari kita pergi.”
Hui Kiam bercekat. Keadaannya mendekati dugaannya hanya tiada seorang belum banyak pengalamannya sehingga tidak tahu siapa itu Liang-gie Sie-seng. Nampaknya orang tua si Sukma Tidak Buvar itu pasti tahu baik orang ini. Dalam persahabatannya selama beberapa hari ini, ia sudah tahu bahwa si Sukma Tidak Buyar ini adalah seorang Kang-ouw kawakan, pengalamannya mungkin lebih banyak dari pada si Manusia Gelandangan.
Pengurus rumah tangga itu kini baru bertanya kepada tamu mudanya itu:
“Siapa nama siaohiap yang mulia?”
“Aku Penggali Makam!”
Pengurus rumah tangga itu membuka lebar kedua matanya. Ia mundur dua langkah dan berkata dengan suara gemetar:
“Kau.........kau Penggali Makam?”
Hui-Kiam dengan sikap dingin menganggukkan kepala dan berkata:
“Benar!”
“Tidak terduga kalian datang sendiri.”
“Apa artinya?”
Tepat pada saat itu, seorang wanita setengah tua berpakaian putih muncul dari dalam. Dengan wajah beringas dan sikapnya yang menakutkan, wanita itu berkata sambil menunjuk Hui-Kiam:
“Penggali Makam, aku hendak cincang tubuhmu!”
Dalam hati Hui Kiam mesti dikejutkan oleh sikap dan perkataan perempuan itu tetapi di luarnya masih mengunjukkan sikapnya yang dingin keras. Dengan suara datar ia bertanya:
“Apa sebabnya?”
Wanita itu menjawab dengan suara bengis:
“Apa sebabnya? Tanyalah kepada dirimu sendiri.”
Hui Kiam tiba-tiba memikirkan sesuatu hal, maka ia lalu bertanya:
“Apakah nyonya ini adalah nyonya Aiw-yang sendiri?”
“Benar!”
“Apakah nyonya hendak maksudkan tentang kematian anak nyonya pada waktu hari pernikahannya?”
Mata nyonya Aiw-yang itu menunjukkan kemarahan yang sudah memuncak. Ia berkata dengan suara bengis: “Penggali Makam, ada permusuhan apakah antara kau dengan anakku, mengapa kau berbuat begitu kejam terhadapnya?”
“Anakmu itu bukan aku yang membunuh.”
“Kau membantah?”
Pada saat itu satu suara seorang perempuan berkata dengan suara yang nyaring:
“Apa yang ia katakan memang benar, akulah orang yang membunuh Aiw-yang Khin!”
Suara itu lalu disusul oleh datangnya seorang perempuan muda berbaju merah cantik sekali, perempuan itu bukan lain dari pada Wanita Tanpa Sukma.
Kedatangan wanita itu, apalagi ia segera mengakui kesalahannya, benar-benar di luar dugaan Hui Kiam.
Semula nyonya Aiw-yang Hong terperanjat, kemudian berkata dengan nada suara bengis:
“Kau.......siapa ?”
“Wanita Tanpa Sukma.”
“Kau membunuh anakku!”
“Benar, aku membunuhnya tetapi masih belum dapat menghapus rasa dendam dan sakit hatiku.”
“Kau.......”
Aiw-yang Khin telah mempermainkan diriku. Semula ia memikat dan merayu aku tetapi kemudian ia buang aku seperti sampah lalu hendak kawin dengan perempuan lain. Tiga hari ke muka sebelum hari kawinnya, aku pernah berlutut di hadapannya dan minta kepadanya, tetapi ia tak bergerak sama sekali, sementara itu, di dalam perutku sudah ada bibit keturunan.....”
Berkata sampai di situ air mata mengalir bercucuran.
Nyonya Aiw-yang, mundur dua langkah, rasa terkejut menggantikan rasa marahnya.
Wanita Tanpa Sukma dari badannya mengeluarkan sebuah batu kumala lalu berkata pula:
“Nyonya, ini adalah barangmu. Benda ini berikan kepadanya sebagai tanda mata pertunangan kau rasanya masih dapat mengenalinya, bukan?”
“Aku… kenal nona, dalam perutmu......”
“Ha, ha ha!” suara tertawa yang menusuk telinga, tercampur dengan suara hancurnya benda nyaring, ternyata batu kumala itu sudah dilempar ke tanah dan hancur berantakan.
Hui Kiam melambaikan tangan kepada si orang tua Sukma Tidak Buyar, seraya berkata:
“Kakek, mari kita pergi.”
Keluar dari gedung keluarga Aiw-yang, Hui Kiam berkata:
“Kakek, andaikata Aiw-yang Hong bersekutu dengan Liang-gie Sie-seng untuk menghadapi Sam-goan-pang, terlebih dulu menggunakan racun yang menyebabkan Szm-goan Lojin dan
anaknya kehilangan tenaga melawannya kemudian bertindak kepada orang-orang bawahannya ini dan juga telah mendapatkan kitab pusaka dari Thian-kie Po-kip, dan Liang-gie Sie-seng lalu timbul pikhannya hendak mendapatkan kitab pusaka itu, dengan cara yang serupa ahli racun itu lebih dulu menggunakan racunnya kemudian dilukakan dengan pedang, dengan mudah sekali ia dapat membinasakan Aiw-yang Hong bersama enam muridnya. Apakah kemungkinan ini ada?”
“Itu mungkin, aku sendiri juga berpikir demikian!”
“Di mana tempat tinggalnya Liang-gie Sie-Seng?”
“Di perbatasan propinsi Su-coan, di dekat lembah Bu-hiap.”
“Terima kasih!”
“Jangan terburu-buru, mari kita cari bersama-sama.”
“Kakek agaknya sangat gembira terhadap perkara ini?”
“Angaplah demikian. Kita harus segera keluar kota, pergi beristirahat di tempat yang agak tenang. Di situ kita boleh makan dan minum arak dulu, kemudian kita melanjutkan perjalanan. Kota ini termasuk daerah kekuasaan orang-orang Persekutuan Bulan Emas, daripada banyak urusan lebih baik kurang urusan, kau pikir bagaimana?”
“Begitupun baik!”
Keluar dari kota, Sukma Tidak Buyar lalu berkata sambil menunjuk ke sebelah barat jalan raya:
“Kira-kira lima pal dari sini ada sebuah kota kecil. Tempat itu terkenal dengan pengcluaran araknya yang paling enak. Umumnya orang menganggap bahwa arak itu keluaran dari ibukota propinsi Su-coan, sebetulnya keliru.”
Setelah itu orang tua itu menyebutkan banyak namanya arak-arak yang terkenal, tetapi karena Hui-Kiam tidak gemar minum arak maka ia alihkau pembicaraannya ke lain soal.
“Tidak disangka Wanita Tanpa Sukma itu bisa datang kemari.”
“Tetapi aku sudah duga ia pasti akan datang!”
“Sebabnya?”
“Kau tentunya masih ingat, aku pernah berkata kepadanya tentang diri Bu-theng Kongcu, itu sebetulnya hanya membohonginya. Aku sudah menghitung dengan cepat, setelah ia tak berhasil menemukan pemuda itu, pasti dengan kabar berita tentang kitab pusaka Thian-kie Po- kip dan langsung menuju ke Sam-goan-pang. Tetapi Sam-goan-pang sudah terjadi hal-hal di luar dugaan, sudah tentu ia akan berjalan mencari kita. Bagaimana kau pikir?”
“Memang sangat beralasan. Tetapi ia sudah mengandung. Kandungannya itu terhitung darah daging keluarga Aiw-yang, mengapa ia harus membunuh Aiw-yang Khin? Urusan ini....”
“Urusan remeh semacam ini aku si orang tua tidak suka campur tangan!”
Ketika mereka sedang berjalan, Sukma Tidak Buyar tiba-tiba menghentikan kakinya. Sambil kerutkan keningnya ia berkata:
“Perjalanan ini tidak baik, aku tidak jadi minum arak!”
“Kenapa?” tanya Hui-Kiam kaget.
“Kita sudah masuk perangkap!”
“Masuk perangkap?! Apa artinya?”
“Di depan ada musuh, di belakang ada yang mengejar, bukankah berarti ini masuk perangkap?”
Hui-Kiam mengawasi ke depan dan ke belakang, tetapi keadaan jalan raya tetap sepi, tiada tertampak bayangan orang selain daripada itu, dengan kekuatannya pada masa itu bagi orang biasa yang dalam sejarak sepuluh tombak di sekitarnya jangan harap bisa lolos dari pendengarannya.
Tetapi saat itu pemandangannya terang benderang, tempat sejarak lima puluh tombak masih tampak oleh matanya, apakah
orang tua Sukma Tidak Buyar mempunyai pengetahuan lebih dulu sebelum sesuatu terjadi? Ataukah ia ingin membuat malu dirinya?
Karena berpikiran demikan, maka ia lalu berkata dengan napda suara dingin:
“Tetapi aku tidak dapat lihat ada tanda apa-apa.”
“Sudah dekat, mereka akan lekas menunjukkan diri, maksudnya adalah kau!”
“Perkataan kakek ini pasti ada dasarnya?”
“Sudah tentu. Nah, kau lihat, bukankah itu orang yang datang?”
Hui Kiam kini memasang mata benar-benar. Benar saja, di dua ujung jalan raya ada beberapa titik hitam bergerak mendatangi, dalam waktu sekejap mata saja titik hitam itu berobah menjadi bentuk manusia. Dalam hatinya lalu timbul curiga, apakah itu akal muslihatnya orang tua yang sangat misterius itu?
“Orang dari golongan mana mereka itu?”
“Orang-orang dari Persekutuan Bulan Emas?”
“Adakah itu rencanamu?”
“Apa maksud pertanyaanmu ini?”
“Ha, ha ha ha, kakek di dalam Persekutuan Bulan Emas, kau mempunyai kedudukan apa, mungkin tidak rendah ya?”
Sukma Tidak Buyar melototkan matanya lalu berkata:
“Hui Kiam, kau jangan pikir yang bukan-bukan. Kedatangan mereka itu dengan tujuan dan tekad yang bulat, penumpahan darah sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Saat itu kau
nanti harus menurut perkataanku dalam suatu tindakanmu. Jikalau kau tidak beruntung terjatuh di tangan mereka, bagaimana akibatnya kau boleh bayangkan sendiri….”
Sementara itu beberapa orang berpakaian hitam yang jumlahnya hampir dua puluh jiwa telah datang dari dua jurusan dan mengambil sikap mengurung terhadap dua orang itu.
Hui Kiam masih setengah percaya setengah tidak terhadap perkataan Sukma Tidak Buyar, tetapi sang waktu sudah tidak mengijinkan ia banyak berpikir lagi.
Di antara rombongan orang berpakaian hitam itu, nampak keluar seorang yang lengannya tinggal sebelah, lalu berkata dengan nada mengejek:
“Penggali Makam, kita bertemu lagi. Dunia memang luas, tetapi bagi orang-orang yang bermusuhan dirasakan sempit. Selamat bertemu!”
Orang itu, bukan lain dari pada Utusan Bulan Bintang yang dahulu sebagai utusan untuk mengantarkan barang antaran kepada Sam-goan Lojin di Sam-goan-pang, tetapi telah dipotong sebelah lengannya oleh Hui Kiam.
Hui Kiam menyapu orang-orang di sekitarnya. Diantara mereka itu kecuali dua orang tua yang masing-masing bersenjata pedang, yang lainnya nampak masih muda-muda dan berbadan kuat, di belakang mereka masing-masing membawa sebilah pedang. Hui Kiam lalu menatap wajah utusan yang lengannya tinggal satu itu dan berkata kepadanya dengan nada dingin:
“Dahulu aku cuma mengutungi satu lenganmu semata-mata karena jangan sampai Sam-goan Lojin mendapat susah. Tetapi hari ini, kematianmu sudah tiba!”
Salah satu dari kedua orang tua yang membawa pedang maju dua langkah dan berkata kepada utusan lengan satu:
“Nomor delapan, kau mundurlah!” kembali ia berpaling dan berkata kepada seorang berjanggut: “Nomor dua, kau coba menghadapinya!”
“Baik!”
Utusan lengan satu yang disebut nomor delapan lalu mengundurkan diri, dan utusan nomor dua sambil menghunus pedang maju ke hadapan Hui-Kiam seraya berkata:
“Penggali Makam, hunuslah pedangmu!”
Hui-Kiam dengan sikap tenang dingin perlaban-lahan menghunus pedangnya. Ia berdiri dengan sikap acuh tak acuh, ujung pedang menunjuk ke bawah, ini merupakan pembukaan ilmu pedangnya yang hebat itu.
Suasana menjadi gawat, pembunuhan tidak akan dapat dihindarkan lagi.
Di lain pihak, orang tua membawa pedang, sudah berhadapan dengan Sukma Tidak Buyar dan berkata kepadanya:
“Apakah tuan ini orang yang mempunyai nama panggilan Sukma Tidak Buyar?”
“Benar!”
“Hari ini sukmamu mungkin akan buyar.”
“Ha, ha, ha, bagaimana sebutan sahabat?''
“Anggota badan pelindung hukum Persekutuan Bulan Bintang, Malaikat dari Langit Kim Kui!”
“Sungguh tidak kuduga kalian dua saudara ternyata sudah menjadi anggaota badan pelindung dari Bulan Emas, dan yang satu itu tentunya adalah adikmu si Malaikat dari Bumi Kim Go!”
Orang tua itu berkata sambil menatapkan matanya kepada orang tua yang berdiri di samping Hui Kiam, suaranya nyaring, maksudnya ialah untuk memberitahukan kepada Hui Kiam bahwa dua orang tua itu adalah dua Malaekat Langit dan Bumi, yang namanya menggetarkan golongan hitam dan putih.
Hui Kiam meskipun sudah mendengar perkataan Sukma Tidak Buyar, tetapi karena pengalamannya belum banyak, ia tidak tahu dua Malaekat Langit dan Bumi itu orang dari mana, maka ia tidak menaruh perhatian.
Malaekat Langit Kim Hui menatap wajah Sukma Tidak Buyar sejenak lalu berkata:
“Nama aslimu?”
“Nama asliku sudah hilang, tinggal nama julukan yang tidak sedap kedengarannya ini!”
“Ada hubungan apakah kau dengan Penggali Makam?”
“Kawan sejalan.”
“Maksudmu apakah kawan sejalan dalam menghadapi kepada persekutuan kami?”
“Aku tidak berkata demikian, kawan sejalan ialah kawan sama-sama jalan.”
“Kau menyangkal ada hubungan dengan dia?”
“Juga tidak menyangkal.”
“Inilah paling baik. Tahukah kau apa akibatnya orang-orang yang berani bermusuhan dengan persekutuan kami?”
“Jelas sekali!”
''Bagus, tiga hari, kemudian kau harus datang melaporkan diri ke kantor cabang kita di daerah Go-see. Sekarang kau boleh pergi!”
“Maaf, kalau mau pergi harus bersama-sama pergi, dengan dia sudah menjadi kawan sejalan, tidak boleh tidak harus mempunyai sedikit perasaan setia kawan!”
“Kau ingin aku bertindak?”
“Apa boleh buat!”
“Di bawah tanganku selamanya tidak ada yang hidup, tentang ini kau tentunya mengerti?”
“Sukma Tidak Buyar selamanya tidak bisa mati, tentang ini kau tentunya juga mengerti!”
“Bagus, mari kita coba!”
Dengan tanpa banyak rewel orang tua itu sudah melancarkan serangannya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Sukma Tidak Buyar terdorong mundur satu langkah, nyata kekuatan tenaga dalamnya masih kalah setingkat.
Tetapi ia segera maju lagi dan balas menyerang, sehingga keduanya lalu bertempur sengit.
Di lain pihak, Hui Kiam dan utusan nomor dua, masih berhadapan bagaikan patung. Ini merupakan pertandingan mengadu keuletan, untuk siapa yang goyah pikirannya segera mendapat serangan yang membahayakan jiwa. Pertandingan semacam itu di luar nampak tenang, tetapi sebetulnya paling berbahaya.
Di wajah Hui Kiam nampak semakin tebal kemarahannya, maksudnya membunuh yang tidak tertampak wujudnya semakin meluap.
Dahi utusan nomor dua sudah penuh keringat, pedang di tangannya tiba-tiba nampak sedikit gemetar, hanya sedikit perubahan itu saja dalam mata orang kuat, sudah merupakan suatu kesempatan baik untuk mengambil jiwanya.
Malaikat Bumi Kim-Go yang menyaksikan hal yang demikian segera berseru:
“Nomor dua mundur.............”
Hampir bersamaan pada saat itu suara jeritan mengerikan terdengar, tubuh utusan nomor dua sudah terkutung menjadi dua potong hingga isi perut dan darah berhamburan di tanah.
Setiap orang yang ada di situ, semua dikejutkan oleh kejadian itu.
Hui-Kiam masih tetap berdiri di tempatnya, ujung pedang masih tetap menunjuk ke bawah seolah-olah belum pernah digerakkan, hanya ujung pedang nampak tanda darah yang masih menetes ke tanah.
Semua orang-orang Bulan Emas sama terkejut. Dalam waktu sepintas lalu saja, selanjutnya semua nampak beringas, agaknya ingin mencoba kepandaian pemuda itu, setiap orang sudah siap hanya menantikan komando pemimpinnya.
Malaikat Bumi Kim-Go memperdengarkan suara tertawanya yang menyeramkan. Dengan pedang di tangan kirinya ia berkata:
“Penggali Makam, aku ternyata salah hitung terhadap dirimu. Sekarang serahkanlah jiwamu!”
Ucapannya itu ditutup dengan satu serangan. Gerakan pedangnya menimbulkan suara mengaung di udara, serangannya cepat, ganas dan tepat.
Hui-Kiam kembali menggunakan ilmu pedangnya yang cuma satu jurus itu saja untuk melawan musuhnya.
Dalam waktu sekejap mata saja, kedua pihak sudah saling menyerang sepuluh kali lebih, satu bukti bahwa ilmu pedang kedua pihak semua merupakan ilmu pedang yang lain dari biasanya.
Ilmu pedang Hui-Kiam yang mempunyai gerak tipu satu jurus saja, sudah digunakan berulang-ulang. Meskipun hanya satu jurus, tetapi hebatnya luar biasa. Meski Malaikat Bumi sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, ternyata masih tidak berdaya. Meski ia tahu bahwa ilmu pedang lawannya itu hanya sejurus saja, tetapi ia tidak dapat menemukan kelemahannya.
Di lain pihak, pertempuran antara Sukma Tidak Buyar dengan Malaikat Langit Kim Kui meskipun yang tersebut lebih dulu agak kalah sedikit setingkat kekuatan tenaga dalamnya, tetapi dengan mengandalkan gerakannya yang lincah dan aneh, ia masih dapat mengimbangi sampai berapa puluh jurus.
Dengan cepat pertempuran dua rombongan itu sudab berlangsung lima puluh jurus lebih. Hui Kiam yang berhasil merebut posisi, lalu melancarkan serangannya dengan sepenuh tenaga sehingga membuat lawannya terus mundur dan hanya mampu menangkis, tidak bisa membalas sama sekali.
Sesaat kemudian, terdengar suara seruan tertahan, ketiak kiri Malaikat Bumi tertusuk ujung pedang Hui Kiam, darah mengucur terus tetapi ia mencoba untuk bertahan terus. Sementara itu beberapa orang anak buahnya semua menantikan dengan pedang terhunus, asal ada perintah dari Malaikat Bumi, segera menyerang bersama.
Hui Kiam dikejutkan oleh keuletan Malaikat Bumi itu. Ilmu pedangnya yang mematikan itu, meski sudah digunakan berulang-ulang sampai lima puluh kali tetapi masih belum merobohkan lawannya, sedangkan kekuatan tenaga dalamnya sendiri, sudah mulai berkurang. Jika semua anak buah Bulan Emas itu maju bersama-sama, bagaimana akibatnya tidak dibayangkan, akan tetapi ia sedikitpun tidak mempunyai pikiran untuk lari....
Di pihaknya Sukma Tidak Buyar, dengan gerakannya yang lincah ia bergerak kesana kemari bagaikan berkelebatnya bayangan, ada kalanya juga balas menyerang. Orang tua misterius itu agaknya menganggap pertempuran itu bagaikan permainan saja, andaikata ia mau berlalu dari situ, mudah saja baginya, dan mungkin tiada seorangpun yang dapat merintanginya. Tetapi ia tidak mau berbuat demikian. Setelah dapat melihat gelagat agak merugikan di pihaknya, tiba-tiba ia berseru:
“Penggali Makam, simpan tenagamu untuk digunakan lain lagi, mari kita pergi!”
Hui Kiam tergerak hatinya, tetapi ia tidak memberikan reaksi apa-apa, ia masih tetap menyerang dengan hebat, agaknya sudah bertekad hendak merobohkan lawannya.
Malaekat bumi keadaannya sudah sangat berbahaya, tetapi ia masih belum mengeluarkan perintah kepada anak buahnya untuk menyerang musuhnya secara beramai. Inilah sifat khas bagi orang gagah, mereka lebih suka mati daripada ternoda namanya.
Pada saat yang sangat gawat itu, tiba-tiba muncul seorang yang membawa buli-buli besar di pundak kirinya dan kantong besar di pundak kanannya. Orang tua itu bukan lain daripada Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng.
Semua orang dari Persekutuan Bulan Emas segera bergerak mundur ke samping dan semua membongkokkan badan memberi hormat seraya berkata:
“Selamat pagi bapak komandan?”
“Sudah tidak perlu.”
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan orang tua aneh itu, sesaat badannya dirasakan hampir mau meledak. Sungguh tidak disangka bahwa seorang pendekar tua yang sudah kenamaan dalam rimba persilatan, ternyata sudah menjadi mabuk karena pengaruhnya mas, sehingga mengabdikan diri kepada Persekutuan Bulan Emas, bahkan sudah diangkat sebagai komandan. Tetapi meski kedudukannya kedengarannya tinggi sekali, padahal cuma bagaikan seekor anjing yang dituntun oleh majikannya. Orang-orang Persekutuan Bulan Emas telah bermaksud hendak menguasai dunia, hal itu sudah diketahui oleh semua orang. Manusia Gelandangan itu sudah mendapat nama baik dalam rimba persilatan, masih menyediakan tenaga untuk membantu orang-orang jahat itu mencapai cita-citanya, hal ini sesungguhnya sangat memalukan.
Sukma Tidak Buyar lalu berseru dengan sikap suaranya yang sangat lucu:
“A ha.....! Bagus sekali kau Manusia Gclandangan sekarang ternyata juga menjadi komandan dalam Persekutuan Bulan Emas, aku merasa sangat malu terhadap perbuatanmu ini!”
Orang tua aneh itu mulutnya berteriak-teriak tetapi gerak badannya masih tetap lincah, sedangkan Malaikat Langit menyerang semakin hebat.
“Bocah, kalau kau tidak segera pergi nanti sudah tidak keburu lagi,” demikian ia berseru kepada Hui-Kiam.
Kemudian ia sendiri mengeluarkan suara geraman hebat, lalu melepaskan diri dari tangan musuhnya. Sebentar kemudian ia sudah berada di suatu tempat sejauh delapan tombak. Kecepatan gerak kakinya itu sesungguhnya sangat mengagumkan.
Akan tetapi, walaupun ia cepat, si Manusia Gelandangan bertindak lebih cepat. Orang hampir tidak melihat bagaimana ia bergerak tahu-tahu sudah berada di hadapan Sukma Tidak Buyar. Dengan satu ayunan tangan, ia telah berhasil memaksa Sukma Tidak Buyar terputar balik lima tombak jauhnya.
Sementara itu ujung pedang Malaekat Langit sudah mengancam kepada dirinya.
Tetapi Manusia Gelandangan kemudian berseru:
“Kim Kui kau menyingkir, aku hendak membunuhnya sendiri!”
Malaekat Langit menarik kembali pedangnya lalu pergi membantu saudaranya mengerubuti Hui Kiam. Dengan demikian keadaan lantas berubah. Hui Kiam berbalik terdesak….
Sukma Tidak Buyar berkata dengan suara keras:
“Penggali Makam, kau jangan mengagungkan kegagahanmu. Kau mati tidak apa, tetapi aku Sukma Tidak Buyar tidak ada orang yang akan menuntutkan balas dendam, mati juga penasaran!”
Perkataan itu menggetarkan hati dan jiwa Hui Kiam.
Sementara itu Manusia Gelandangan sudah menyerang Sukma Tidak Buyar. Tiga jurus kemudian ia sudah tidak berdaya, gerakannya yang demikian lincah ternyata sudah tidak ada gunanya.
Di lain pihak, Hui Kiam sudah terkena tiga serangan hingga mundur terhuyung-huyung. Tetapi di pihaknya Malaikat Langit juga terbabat pundaknya oleh pedang Hui Kiam, darah mengucur keluar, hampir ia roboh.
---ooo0dw0ooo---
JILID 6
KEDUA pihak sudah terluka tetapi pertempuran berlangsung terus. Malaekat Bumi serangannya sudah mulai kendor, walaupun demikian karena kekuatan dalam Hui Kiam sudah mulai berkurang, maka kalau dibanding keadaannya Hui Kiam yang lebih berbahaya.
Sementara itu Sukma Tidak Buyar sudah terkena serangan Manusia Gelandangan, mulutnya sudah mulai mengeluarkan darah.
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan demikian, lalu mengerahkan seluruh sisa tenaganya, dengan secara kalap melancarkan serangannya.
Saat itu terdengar suaranya Sukma Tidak Buyar:
“Penggali Makam, aku sudah pasti akan mati. Kau masih belum ingin pergi, apakah kau ingin mati bersama-sama? Bocah, ingatlah musuhmu….”
Tetapi pada saat itu kembali ia terkena salah satu serangan lagi sehingga badannya sempoyongan hendak pergi.
Mendengar perkataan terakhir dari Sukma Tidak Buyar tadi, dalam hati Hui Kiam lalu menjerit: “Ya, aku tidak boleh mati!”
Dengan sisa tenaganya ia melancarkan serangan untuk paksa mundur dua musuhnya, kemudian ia melompat melesat sambil berseru: “Manusia Gelandangan, satu hari kelak aku akan cincang tubuhmu!”
Setelah mengucapkan demikian, ia sudah berada di tempat jauh sejauh delapan tombak.
“Bocah, lari ke utara!”
Baru saja Hui Kiam merasa heran, ia sudah melihat Sukma Tidak Buyar yang mengeluarkan ucapan tadi sudah rubuh di tangan Manusia Gelandangan.
Hati Hui Kiam merasa sedih sekali, tetapi dalam keadaan demikian ia sudah tidak mempunyai tenaga untuk membantu kawannya.
Sebentar kemudian sepuluh lebih orang berpakaian hitam kembali sudah mengerubuti padanya.
Perasaan gemas dan ingin hidup, menyebabkan Hui Kiam melawan mati-matian kepada musuh-musuhnya itu. Setelah tiga musuhnya binasa di tangannya, yang lainnya merasa gentar.
Hui Kiam melompat melesat lagi. Pikirannya agak kalut. Ia cuma ingat pesan Sukma Tidak Buyar, lari menuju ke arah utara. Tapi apa sebabnya harus menuju ke arah utara ia sudah tidak dapat memikirkan lagi.
Di antara riuhnya suara bentakan, orang-orang Bulan Emas mulai mengejarnya.
Hui Kiam mengerahkan ilmunya lari pesat kabur ke arah utara.
Luka di badannya mengeluarkan darah. Akan tetapi ia tidak menghiraukan sama sekali. Ia mengerti, apabila ia kendorkan kakinya, sekalipun tidak dibunuh mati oleh musuhnya juga akan tertangkap hidup.
Lari belum berapa lama, orang yang mengejar sudah nampak di belakang dirinya. Pikirannya semakin kalut, hanya rasa dendam dan gemas memenuhi otaknya.
Tiba-tiba di hadapannya terbentang sebuah sungai. Di atas sungai melintang suatu jembatan batu.
“Habislah!' demikian Hui-Kiam mengeluh dalam hati sendiri. Bayangan maut mulai terbayang dalam otaknya.
Di belakang dirinya ia mendengar suara Manusia Gelandangan yang memberi perintah kepada anak buahnya: “Pegat padanya, tangkap hidup-hidup, jangan biarkan melalui jembatan!”
Hui Kiam menggunakan sisa tenaganya yang terakhir menerjang jembatan. Di belakang dirinya merasa hembusan dari serangan orang banyak, sehingga ia terpental dan roboh di ujung seberang jembatan.
Ia telah roboh tidak bisa bangun lagi. Kaki dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan, hanya hatinya masih memikirkan bahwa biar bagaimana ia tidak boleh mati. Akan tetapi maut sudah berada di depan matanya, apakah ia dapat menolak?
Entah berapa lama telah berlalu ingatannya telah pulih kembali. Pertama ia merasakan dirinya sendiri masih hidup, ini agaknya tidak mungkin kecuali....
Ia membuka matanya. Kenyataan membuat ia terheran-heran. Ia masih rebah menggeletak di ujung jembatan. Di lain ujung Manusia Gelandangan dan semua orang-orang Bulan Emas masing-masing nampak berdiri menunggu.
Heran, mengapa mereka tidak melalui jembatan itu untuk menangkapnya?
Ia mencoba menggerakkan badannya. Sekujur badannya dirasakan sakit, tangan kakinya dirasakan lemas, tenaganya sudah tak ada. Ia mengira dirinya sedang bermimpi tetapi semuanya merupakan suatu kenyataan. Hal ini sangat mengherankan, apakah yang mereka tunggu?
Ataukah mereka ada merasa jeri menghadapi sesuatu? Itu mungkin, sebab Manusia Gelandangan pernah menyuruh orang-orangnya merintangi dirinya jangan sampai menyebrangi jembatan. Apakah maksudnya? Dan apa sebabnya pula Sukma Tidak Buyar menyuruh ia lari ke arah utara...?
Mengingat akan dirinya Sukma Tidak Buyar, ia merasa sedih dan menyesal yang selama itu ia belum pernah merasakannya, sehingga pada saat menghadapi kematiannya, ia masih bclum percaya seluruhnya kepada kawan yang aneh sifatnya itu. Tetapi sekarang, ia tahu bahwa Sukma Tidak Buyar itu tiada bermaksud jahat. Namun sudah terlambat, kawannya itu sudah mati. Andaikata dalam dunia ini ada benar-benar 'setan’ dan 'sukma’, maka sukmanya gugur, mungkin benar-benar tidak buyar.
Menuntut balas. Ia harus menuntut balas bagi sahabatnya itu. Ia harus mencincang tubuhnya Manusia Gelandangan itu.
Tetapi apakah kekuatannya sendiri dapat melaksanakan tugas itu? Dengan tiba-tiba ia teringat lagi kitab Thian-kie Po-kip bagian bawah. Dalam dugaannya, kepandaian ilmu silat yang tertulis di dalam kitab itu pasti merupakan suatu ilmu kepandaian yang tidak ada taranya. Pelajaran yang ia pelajari dari bagian atas, kecuali kepandaian dasar cuma satu pelajaran ihnu pedang yang mempunyai gerak tipu hanya satu jurus saja. Walaupun demikian, namun ilmu pedang sejurus ini pernah digunakannya untuk membunuh empat jago pedang golongan Khong-tong-pai, dan beberapa orang dari Persekutuan Bulan Emas.
Dari situ ia teringat pula dirinya Leng-gie Sieseng. Besar kemungkinannya bahwa kitab pusaka itu sudah terjatuh dalam tangannya. Jikalau tidak lekas didapatkan kembali, setelah jago ahli racun itu berhasil mempelajari isinya, maka….
Memikir sampai di situ, ia merasa ngeri sendiri.
Dengan tanpa disengaja matanya dapat melihat sebuah batu di atas jembatan yang terdapat tulisan yang sangat menyolok. Tulisan itu berbunyi: “Siapa yang lewat jembatan ini harus mati.”
Kini ia tersadar apa sebabnya orang-orang itu tidak berani mengejar melewati jembatan itu. Akan tetapi siapakah gerangan yang mengadakan larangan itu? Mengapa sampaipun orang Bulan Emas juga tidak berani melanggar?
Kini ia telah melewati jembatan itu sehingga tidak mati di tangan musuh-musuhnya, akan tetapi, mungkinkah ia lolos dari tangan orang yang mengadakan larangan itu?
Sementara itu ia mulai memperhatikan keadaan sekitarnya. Ia melihat sebuah jalanan kecil yang terus menuju ke dalam sebuah rimba. Samar-samar dalam rimba itu tampak ujungnya sebuah loteng. Karena pada saat itu dia sendiri sedang rebah terlentang di atas jalanan kecil itu, maka ia menduga bahwa jembatan batu ini dibuat oleh penghuni loteng merah itu, jadi bukan untuk jalan umum, pantas ia mengadakan larangan demikian.
Siapakah gerangan penghuni loteng itu? Mengapa ia mengadakan larangan yang kejam itu?
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara Manusia Gelandangan yang ditujukan kepada penghuni loteng itu. “Aku Ciok Sian Ceng, komandan pasukan Persekutuan Bulan Emas ingin memberitahukan kepada tuan rumah loteng merah. Bocah ini nama panggilannya Penggali Makam, tidak jelas asal usulnya, karena ia selalu bermusuhan dengan persekutuan kita, maka merupakan musuh yang pemimpin kita pasti dapatkan. Sudilah kiranya tuan rumah memberi kelonggaran kepada kami untuk membawa pulang bocah ini!”
Dalam hati Hui Kiam memaki: “Hm, ucapannya seorang budak yang tak tahu malu!”
Suara tindakan kaki orang berjalan tetdengar nyata, dan berhenti samping kepalanya. Pertama yang tampak dalam matanya adalah
sepasang sepatunya yang bersulam indah, lagi ke atas, gaunnya yang bewarna lila, lalu baju atasnya yang bewarna serupa, dengan potongan yang ceking dan akhirnya potongan raut mukanya yang cantik, sayang diliputi oleh sikapnya yang dingin angkuh.
Siapa dia? Penghuni loteng merah, ataukah orang bawahannya?
Perempuan cantik berpakaian lila itu akhirnya membuka mulut. Satu pertanyaan ditujukan kepada dirinya:
“Kau bergelar Penggali Makam?”
Hui-Kiam setelah mendapat istirahat cukup lama, tenaganya berangsur-angsur mulai pulih kembali. Sambil menunjang dengan tangannya, ia bangun sendiri untuk menghadapi nona cantik berbaju lila itu.
Nona itu usianya sekitar tujuh belasan. Cantik memang cantik, cuma sikapnya terlalu dingin sehingga kelihatannya sangat sombong.
“Benar! Bolehkah aku bertanya….”
Perempuan cantik itu tidak memberikan kesempatan untuk ia memajukan lain pertanyaan, sudah memotong dengan nada suara dingin:
“Apakah kau tahu peraturan di sini?”
“Peraturan apa?”
“Apakah kau tidak melihat larangan yang tertulis di atas batu?”
“Sekarang sudah tahu!”
“Kalau begitu kau sudah boleh mati dengan puas....”
Tangannya segera diangkat, hendak menepok batok kepala Hui-Kiam.
Hui-Kiam sejak dapat lihat batu yang tertulis larangan itu, sudah tidak menghiraukan soal mati hidupnya sendiri, maka selagi menghadapi bahaya maut, ia juga tidak gentar bahkan masih berani berkata:
“Sebelum aku mati, aku ingin tahu dulu nama penghuni tempat ini!''
“Bukankah itu percuma saja?”
“Mati di tangan seorang yang tidak tahu namanya, bukankah itu terlalu kejam?”
“Terpaksa kau harus menerima nasib. Tuan rumah di sini selamanya belum pernah memberitahukan namanya kepada orang luar!”
Hui-Kiam mengangkat kepala, matanya memandang ke angkasa. Dengan tidak menunjukkan sikap apa-apa ia berkata:
“Bunuhlah !”
“Kau benar seorang yang tidak takut mati!”
“Aku selamanya belum pernah minta ampun kepada siapapun juga!”
Paras perempuan cantik itu berubah seketika. Ia berkata dengan suara duka:
“Kau seorang laki-laki gagah, tetapi tidak lepas dari kematian.”
Dengan cepat tangannya lalu bergerak hendak mencabut nyawa Hui Kiam........
Hui-Kiam sebetulnya masih belum rela mati, tetapi saat itu ia sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan. Pikirannya, mati secara demikian, setidak-tidaknya lebih baik daripada terjatuh di tangan Manusia Gelandangan yang sudah terang menjadi kaki tangan Persekutuan Bulan Emas.
Pada saat yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar satu suara dari jauh:
“Bawa dia kemari menemui aku!”
Tangan pe.cmpuan cantik itu yang sudah hampir jatuh di batok kepala Hui-Kiam, hanya tinggal menyalurkan kekuatan tenaga dalam
saja, ketika mendengar suara itu segera menarik kembali tangannya dan berkata:
“Kau adalah orang pertama yang ditarik kembali dari tepi jurang maut. Apakah kau bisa berjalan?”
Hal itu sesungguhnya di luar dugaan Hui-Kiam. Ia tahu bahwa orang yang memberi perintah itu pasti adalah penghuni loteng merah itu, tetapi di luar tidak menunjukkan sikap apa-apa sambil menganggukkan kepala ia berkata:
“Mungkin bisa!”
“Kalau begitu mari ikut aku!”
Setelah melalui jalan kecil itu, masuklah ke dalam rimba. Di ujung rimba, terdapat dinding tembok warna merah. Dua pintu yang dijaga berwarna merah nampak terbuka sebelah. Dalam pintu banyak terdapat tanaman bunga mengelilingi.
Menghadapi pemandangan indah dan agak luar biasa itu, Hui Kiam tidak timbul reaksi apa-apa, dalam otaknya hanya memikirkan bagaimana harus menghadapi penghuni loteng merah itu dan nasib apalagi yang harus dihadapi.
Seciap orang yang sudah tidak menghiraukan soal hidup matinya, dapat menghadapi kematian tanpa mengeluh atau mengerutkan keningnya. Tetapi jika ancaman maut itu kendor, perasaan ingin hidup timbul lagi. Setiap orang ingin hidup, tidak ada orang yang tidak takut mati. Hanya tidak ada orang yang sudah putus harapan dalam hidupnya, tidak mau bergulat untuk mempertahankan hidupnya, dapat menghadapi kematian dengan tenang. Perbedaan takut mati dengan tidak takut mati, hanya terpisah seutas tali saja.
Perbedaaan seorang gagah dengan seorang pengecut, juga hanya begitu saja.
Di bawah loteng, di atas batu lantai yang terbuat dari batu putih, berdiri dua perempuan muda berpakaian warna lila, semuanya cantik-cantik.
Perempuan cantik yang membawa masuk Hui Kiam, berhenti di tengah pekarangan, berkata dengan sikap sangat menghormat:
“Tuan putri, orangnya sudah datang.”
Di atas loteng, di pinggir langkan, muncul seorang perempuan muda yang juga berpakaian warna lila, berkata dengan suara nada lembut:
“Ciecie, bawa itu orang ke ruangan barat, tuan putri kan menanyakan kepadanya sendiri.”
Jawab wanita itu kemudian berkata kepada Hui Kiam: “Mari ikut aku!”
Hui Kiam meski merasa tidak senang di bawa kesana kemari bagaikan seorang tawanan, tetapi karena tertarik oleh keinginannya untuk mengetahui rahasia di loteng merah itu, ia ingin melihat bagaimana macamnya orang yang menjadi tuan rumah tempat itu, maka ia mengikutinya sambil menutup mulut.
Setelah melalui jalan berliku-liku, tibalah ke satu rumah sisi loteng, mungkin itu yang dikatakan ruangan barat.
Hui Kiam disuruh berdiri di luar ruangan.
Ruangan itu terdapat enam buah kamar yang masing-masing dihiasi sangat indah. Orang yang berada di luar tak dapat melihat keadaan dalam kamar.
Lama sekali, dari belakang tirai pintu kamar terdengar suara seorang wanita yang agak sedikit parau:
“Kaukah yang bernama Penggali Makam?”
“Ya, adakah nona tuan rumah di sini?”
“Benar! Penggali Makam, nama julukanmu ini dari mana asalnya?”
“Aku telah bertekad hendak menggali makam bagi orang-orang jahat di dunia.”
“Hem, hem. Sangat unik sekali. Kalau begitu kau telah menganggap dirimu sendiri seorang pendekar dari golongan kebenaran?”
“Aku tidak mempunyai maksud itu!”
“Kau dengan Persekutuan Bulan Emas ada permusuhan apa sampai dikejar demikian rupa?”
“Permusuhan atau tidak, tidak ada bedanya, karena Persekutuan Bulan Emas tidak dapat membiarkan hidup kepada orang-orang yang tidak mau mengikuti kehendaknya.”
Hening sejenak.
“Siapa gurumu?”
“Tentang ini, maaf aku tidak dapat memberitahukannya!”
“Hem, hem, tahukah kau bahwa tiap orang yang menyeberang jembatan itu tiada satu yang akan hidup lagi?”
“Tahu!”
“Bagaimana pikiranmu?”
“Mati ya, mati saja, apa yang dibuat pikiran?”
“Andaikata aku beruntung sehingga tidak mati, satu hari kelak aku juga akan menggali tanah bagi makammu!”
“Kau sangat sombong dan kejam!”
“Begitulah!”
“Baru saja kau katakan andaikata tidak sampai mati, apakah kau anggap masih ada kesempatan?”
Hui Kiam tertegun, mututnya membungkam. Memang kesempatan itu boleh dikatakan sedikitpun tidak ada, kecuali apabila kekuatan tenaganya sudah pulih kembali seluruhnya. Tetapi terhadap seorang sangat aneh yang masih dimalui oleh Persekutuan Bulan Emas, sekalipun kekuatan tenaganya masih ada, harapan untuk bisa keluar dari tempat itu juga masih merupakan satu pertanyaan besar.
Kembali terdengar pertanyaan dari penghuni loteng merah:
“Bagaimana kau tahu bahwa oreng-orang yang masuk kemari, semua adalah orang yang tak berdosa?”
Hui Kiam kembali bungkam. Larangan meski kejam tetapi sudah dijelaskan di dalam batu pada papan pcringatan, jadi jikalau orang tidak melanggar juga tidak akan mengalami kematian.
Jikalau bukan orang yang sengaja masuk dengan maksud tertentu, tidak nanti ada yang berani menentang maut. Tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Kematian itu seharusnya ia terima ataukah tidak? Berpikir demikian, ia lalu menjawab dengan suara dingin:
“Contohnya seperti aku ini, adalah orang yang tidak berdosa!”
“Apakah kau dengan alasan ini ingin supaya aku memberi perkecualian kepadamu?”
“Aku tidak bermaksud minta dikasihani oleh siapapun juga!” jawab Hui Kiam gusar.
“Heemm, kau seorang laki-laki sejati, jikalau kau berlalu dari sini dalam keadaan hidup, apa kau yakin bisa meloloskan diri dari kejaran orang-orang Bulan Emas?”
“Ini adalah soal lain!”
“Kuberitahukan kepadamu, pada dewasa ini, yang dapat menghindarkan kejaran dari orang-orang Bulan Emas, kecuali loteng merah ini, barangkali susah untuk mencari tempat perlindungan yang lebih baik.”
“Apa maksud nona?”
“Tidak apa-apa, aku hanya memberitahukan kepadamu satu kenyataan saja.”
“Nona ingin perlakukan aku bagaimana?”
“Membiarkan kau berlalu dari sini!”
Jawaban itu sesungguhnya di luar dugaan Hui Kiam. Dalam rimba persilatan, tiap orang vang mengadakan larangan kebanyakan adalah orang-orang yang beradat aneh, orang yang demikian jarang sekali yang mau merusak peraturannya sendiri, dan kini perbuatan penghuni loteng merah ini telah berbuat demikian, satu-satunya sebab mungkin mengandung lain maksud.
Penghuni loteng merah itu agaknya sudah menduga pikiran Hui Kiam. Ia berkata pula:
“Kau adalah orang pertama yang keluar dari loteng merah itu dalam keadaan hidup, tetapi juga merupakan orang pertama yang masuk kemari dengan tiada disengaja!”
Maksud perkataan ini sudah jelas bahwa penghuni loteng merah ini bukan seorang jahat yang gemar membunuh orang, dulu orang-orang yang dibunuh tentu semuanya mengandung maksud tertentu, sehingga itu berarti mencari mati sendiri.
Namun demikian Hui-Kiam masih belum hilang rasa curiganya, maka ia lalu bertanya:
“Tanpa syarat?”
“Ada!”
“Apa syaratnya?”
“Syarat ini bukan dimestikan sebagai syarat untuk menukar kemerdekaanmu, melainkan syarat lain.”
“Aku ingin mendengarnya!”
“Aku ir.gin menggunakan obat mustajab buatanku sendiri supaya luka-lukamu sembuh dan kekuatan serta kepandaianmu kembali seluruhnya..............”
“Syaratnya?”
“Mudah sekali, ceritakan riwayatmu!”
Hui Kiam terperanjat. Apakah maksud penghuni loteng merah ini, tertarik oleh perasaan heran, ataukah.......
Jika ia memberitahukan asal usul dirinya dan suhunya, hal itu akan mengakibatkan terjadinya sesuatu yang tidak diingini. Maka ia lalu menjawab:
“Syarat ini maaf aku tidak dapat menerima!”
“Penggali Makam, mengertikah kau bahwa jiwamu saat ini masih bukan kepunyaanmu sendiri?”
'Mengerti!”
“Kau tidak terima baik syarat ini?”
“Tidak!”
“Dengan lain perkataan, kau lebih suka mati daripada memberitahukan asal usulmu?”
“Apakah nona hendak menggunakan kematian untuk mengancam aku?”
“Itu bukan berarti ancaman, kau memang adalah orang yang pasti mati!”
“Asal usulku, apa sebab kau anggap begitu penting bagimu?”
“Mungkin tidak ada harganya, tetapi juga mungkin sangat penting!”
Hui Kiam berpikir sejenak lalu berkata:
“Jika nona suka menerangkan sebab-sebabnya, barangkali aku dapat mempertimbangkan jawaban tentang asal usul diriku itu.
“Penggali Makam, ucapanmu ini berarti kau telah mengambil alih kedudukanku sebagai tuan rumah?”
“Jika nona menganggapnya tidak pantas, boleh tidak usah terima!”
“Penggali Makam, kau adalah seorang paling sombong yang pernah kujumpai, terpaksa aku merobah lagi pikiranku. Kau ada membawa pedang, tentunya paham ilmu pedang. Sekarang aku memberikan kepadamu satu kesempatan yang paling adil. Kau akan menggunakan kepandaianmu untuk menentukan nasibmu
sendiri. Orang yang berdiri di sampingmu itu, adalah muridku yang pertama, Siu-Bie. Jikalau kau bisa membunuhnya mati, kau boleh berlalu dari sini. Tetapi jikalau tidak, kau akan terbunuh.”
Hui Kiam melirik kepada perempuan cantik di sampingnya, nampaknya sangat dingin tidak menunjukkan sikap apa-apa.
Penghuni loteng merah itu berkata pada Siu Bie:
“Berilah kepadanya dua butir pil supaya ia pulih kekuatannya. Satu jam boleh dimulai!”
“Baik!”
Nona berbaju lila itu segera berlalu dan masuk ke belakang pintu.
Dalam hati Hui Kiam timbul macam-macam perasaan. Maksud penghuni loteng merah itu sesungguhnya sudah diduga, ia telah menggunakan jiwa muridnya sendiri sebagai barang taruhan. Jikalau tidak mempunyai keyakinan cukup tentunya adalah satu perbuatan gila.
Tidak berapa lama, perempuan berbaju lila itu nampak keluar lagi. Dari tangannya memegang dua butir pel yang berwarna putih. Dengan sikapnya yang tenang sekali ia berkata:
“Telanlah ini, satu jam kemudian akan pulih kembali kekuatanmu.”
Dengan perasaan agak bingung Hui-Kiam menyambuti pel itu dan segera ditelannya. Perempuan itu berlalu lagi. Hui-Kiam setelah mengawasinya sejenak, lalu duduk bersemedi untuk memulihkan kekuatannya.
Pel itu sesungguhnya sangat mujijat, begitu masuk ke dalam perut segera merasakan aliran hawa panas ke seluruh badan. Ia buru-buru pejamkan matanya untuk mengatur pernapasannya.
Ketika ia sadar, rasa sakitnya hilang sama sekali, kekuatan tenaga dalamnva sudah pulih kembali. Saat itu ternyata sudah senja hari.
Perempuan yang dipanggil Siu-Bie itu, dalam sekejap sudah berdiri di hadapannya sambil menenteng pedang. Ia segera melompat bangun, sementara itu dari belakang pintu terdengar suaranya penghuni loteng merah yang berkata:
“Penggali Makam, bertenpurlah untuk mempertahankan jiwamu!”
Hui Kiam bersama Siu Bie berjalan menuju ke pekarangan dan berkata dengan nada suara dingin:
“Apakah kita tidak boleh tidak harus bertempur sampai ada salah satu yang mati?”
“Sudah tentu!”
“Bukankah itu terlalu kejam?”
“Jikalau kau anggap kau sendiri seorang budiman, kejamlah terhadap dirimu sendiri!”
Hui Kiam menggertakkan gigi. Ia berpaling menghadapi perempuan baju lila. Sambil menghunus pedangnya ia berkata: “Silahkan, nona.”
Perempuan itu berkata dengan suara gemetar:
“Ini adalah suatu pertempuran antara mati dan hidup, apakah kau mengerti?”
“Mengerti!”
“Di sini aku adalah tuan rumah dan sebagai tetamu, maka seharusnya kau yang mulai lebih dulu!”
“Aku dengan nona, tidak mempunyai permusuhan apa-apa, hanya nonamu sendiri yang bermaksud demikian, jangan sesalkan aku seorang kejam.”
“Jangan terlalu mengandalkan dirimu sendiri.”
Ucapan itu hampir merupakan suatu ejekan sehingga membuat perasaan tidak lega Hui Kiam lenyap seketika.
Membunuh orang, baginya bukan merupakan soal apa-apa, akan tetapi juga harus dilihat persoalannya. Dipaksa untuk melakukan pembunuhan, ini merupakan pengalamannya yang pertama.
Karena keadaan sudah mendesak, tak boleh ia tidak melakukan, sebab kalau ia tidak membunuh itu berarti ia sendiri akan terbunuh. Tidak mempunyai plihan lain, juga tidak ada yang dipertimbangkan lagi.
“Sambutlah!”
Setelah mengeluarkan ucapan demikian, ia mulai membuka serangannya.
Sebentar terdengar suara beradunya senjata. Serangannya yang begitu hebat, ternyata dapat ditangkis oleh lawannya. Ia terkejut, kepandaian dan kekuatan perempuan itu jauh lebih tinggi dari apa yang ia bayangkan. Perasaan berat dirasakan menindih hatinya.
Kini adalah gilirannya perempuan itu balas menyerang. Gerak tipunya yang ganas telah memaksa Hui Kiam mundur dua langkah.
Dengan tanpa ragu-ragu lagi, ia mengerahkan seluruh kekuatan dan kepandaiannya untuk balas menyerang.
Sinar pedang berkelebatan mengeluarkan suara beradunya dua pedang yang memekakkan telinga. Dua bayangan orang sebentar berpisah sebentar bertemu. Hui Kiam sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tetapi pihak lawannya agaknya masih belum nengeluarkan seluruh tenaga. Perbedaan itu tampak nyata.
Perempuan baju lila itu menunjukkan senyum di bibirnya. Pedang di tangannya menikam dengan sikap yang tenang tidak ganas, seperti apa yang dilakukan semula. Apa yang lebih mcngherankan ialah ujung pedang itu tidak ditujukan ke bagian manapun dari badan lawannya, tetapi ditujukan ke arah tempat yang kosong di atas pundak kiri Hui Kiam.
Hui Kiam semula terkejut, tetapi kemudian wajahnya berobah, ia dapat mengenali bahwa ia sangat yakin bahwa itu ada satu gerak tipu yang amat dahsyat, tidak mudah diringkus juga tidak mudah dielakkan, untuk menyingkir saja juga sudah tidak mungkin lagi.
Gerak tipunya sendiri, yang sebetulnya dapat digunakan untuk menyerang dan menjaga diri, tetapi saat itu sudah tidak berguna sama sekali.
Inilah ilmu pedang luar biasa yang pertama kali pernah dijumpainya.
Gerakan serangan pedang itu meskipun sangat terlambat, tetapi mengandung ancaman hebat. Ia tercengang dan tidak percaya, agaknya hanya bisa menantikan kematiannya saja.
Pada saat itu ujung pedang telah membuat lingkaran di tempat kosong samping dirinya dan akhirnya berhenti di salah satu bagian jalan darah atas tubuhnya. Gerakan itu agaknya membuat jalan darah di bagian atas dan tengah terancam dengan serentak.
“Tahan!” demikian suara yang keluar dari mulut penghuni itu.
Semangat Hui Kiam seketika itu dirasakan telah runtuh, kaki dan tangannya kesemutan, keringat dingin membasahi sekujur badannya.
“Aku mengaku kalah.”
Ucapan itu keluar dari milut Hui Kiam bagaikan seorang sedang mengigau, juga seperti merasa putus harapan terhadap dirinya sendiri.
Perempuan berbaju lila itu menarik pedangnya dan mundur dua langkah.
Perbuatan perempuan itu mengherankan Hui Kiam. Apakah ia harus menunggu lawannya yang bertindak? Diwajahnya yang dingin angkuh, nampak berkericut, tiba-tiba ia angkat pedangnya hendak menggorok lehernya sendiri.
Semacam kekuatan tenaga dalam telah berhasil merintangi maksud Hui Kiam, dan orang yang merintangi maksudnya itu bukan lain daripada Siu Bie.
Hui Kiam terkejut dan terheran-heran, lalu menanya dengan nada suara dingin:
“Apakah maksud nona?”
Siu Bie tidak menjawab, sebaliknya penghuni loteng merah yaag menyahut: “Penggali Makam, kau boleh pergi!”
Hui Kiam hampir tidak percaya kepada pendengaran sendiri. Tetapi wajahnya yang dingin tidak menunjukkan perasaan terkejut, juga telah menampakkan perasaan girang. Dengan suara sedih ia berkata:
“Tetapi aku kalah!”
“Benar, kau kalah tetapi juga boleh pergi!”
“Kenapa?”
“Kau bukan orang yang aku cari. Maksudku minta kau turun tangan dengan Siu Bie, hanya ingin mengetahui asal-usulnya dari ge rak tipu ilmu pedangmu, walaupun aku masih belum berhasil mengenali ilmu pedangmu, tetapi itu bukan merupakan soal penting, kau boleh pergi.”
Hui Kiam kini benar-benar merasa tertarik, ia telah menghadapi suatu teka-teki yang sangat unik. Ia dapat memaafkan tindakan penghuni loteng merah seluruhnya, bahkan ia sangat berterima kasih atas pemberian obatnya yang telah memulihkan kekuatan tenaganya. ini juga berarti bahwa ia sudah terlepas dari tangan maut, maka ia lalu berkata:
“Bolehkah aku membantu nona?”
Penghuni loteng merah agaknya dikejutkan oleh pertanyaan di luar dugaannya itu.
“Apa, kau ingin membantu aku?”
“Ya.”
“Sebab apa mendadak kau timbul pikiran demikian?”
“Sekedar untuk membalas budimu yang sudah memberi obat kepadaku….”
“Penggali Makam, sesungguhnya tidak kusangka, meskipun sikapmu dingin tetapi hatimu hangat..........”
“Aku adalah seorang yang menggariskan dengan tegas antara dendam dengan budi, tidak suka menerima budi orang secara cuma-cuma.”
“Aku memberi obat padamu bukan bermaksud melepas budi kepadamu.”
“Aku tahu, justru karena itu, maka aku majukan permintaan demikian!”
“Baiklah, kalau begitu tolong kau cari tahu tentang dirinya seseorang di kalangan Kang-ouw!”
“Bagaimana macamnya orang itu?”
“Ia ada seorang bernama Su-ma Suan, julukannya To-liong Kiam-khek!”
“Apa? To-liong Kiam-khek Su-ma Suan?”
“Benar, kau kenal dengannya?”
Perasaan Hui Kiam tergetar. To-liong Kiam-khek adalah musuh besarnya yang menurut pesan ibunya harus dicari dan dibunuh mati. Terhadap pesan ini, sedikitpun ia tidak melupakan, dan kini, penghuni loteng merah itu juga minta ia mencari To-liong Kiam-khek, ini sangat kebetulan. Dengan menindas perasaan sendiri ia berkata dengan tenang:
“Aku juga justru hendak mencarinya!”
“Kau juga hendak mencari padanya? Mengapa?”
“Ini adalah satu rahasia, maaf aku tidak dapat memberitahukan!”
“Kau sudah dapatkan tanda-tandanya?”
“Kabarnya sudah sepuluh tahun lebih ia menghilang dari dunia Kang-ouw. Hanya, biar bagaimanapun aku harus mendapatkan dirinya. Sekalipun ia sudah mati, juga akan dapatkan kuburannya!”
“Ini sangat kebetulan. Jika menemukannya, katakan saja kepadanya apakah sudah lupakan perjanjiannya dengan loteng merah pada sepuluh tahun berselang.......”
Hui Kiam dalam hati merasa heran, pikirnya:
“Ini pasti soal asmara.”
“Kalau begitu, di sini nona menantikannya sudah lebih dari sepuluh tahun?”
“Ya.”
“Nama nona yang mulia?”
“Katakan saja padanya penghuni loteng merah, sudah cukup!”
Dalam bati Hui Kiam sebetulnya ingin tahu bagaimana paras aslinya penghuni loteng merah itu, tetapi ia tidak berani mengutarakan, tidak ada satu alasanpun baginya untuk minta nona itu menunjukkan muka juga tidak pantas untuk menanyakan rahasianya. Ia tak dapat membayangkan bagaimana reaksi nona itu kalau mendengar keterangannya bahwa To-liong Kiam-khek itu adalah musuh besarnya. Tetapi hal itu tidak boleh tidak harus diberitahukan kepadanya lebih dulu, sebab permintaan untuk melakukan sesuatu pekerjaan bagi nona itu, adalah keluar dari mulutnya sendiri, kalau ia tidak menerangkan keadaan yang sebenarnya, di kemudian hari pasti akan menimbulkan kerewelan.
Oleh karena itu, maka ia kemudian berkata:
“Ada sedikit persoalan yang harus kuterangkan lebih dulu!”
“Persoalan apa?”
“Pesan nona yang minta aku sampaikan, nanti apabila aku dapat menemukan To-liong Kiam-khek, aku pasti sampaikan kepadanya, tetapi aku tidak dapat menjamin bisa membawanya kemari dalam keadaan hidup!”
“Mengapa?”
“Sebab aku sudah bersumpah hendak mengambil jiwanya!”
“Kau..... ada permusuhan dengannya?”
“Ya.”
“Musuh mati-matian, ataukah musuh dari ayah bundamu?”
“Kenyataan memang demikian!”
“Kan jujur, jika aku minta kau menceritakan sebab musababnya permusuhan itu, kau mungkin tidak akan terima, sebab kau pernah menolak permintaanku untuk memberitahukan asal-usulmu, aku juga terus terang memberitahukan kepadamu, aku cinta padanya, andaikata untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak diingini….”
“Kau boleh membunuhku lebih dulu!”
“Aku memang ada pikiran demikian, tetapi aku tidak dapat berbuat demikian!”
“Sebabnya?”
“Pertama, hal ini kau sendiri yang memberitahukan secara terus terang, kalau aku membunuhmu, ini berarti satu perbuatan yang kurang bijaksana. Ke-dua, aku tidak perlu khawatir, sebab kau pasti bukan tandingannya, dan ketiga, mungkin, aku sendiri juga hendak membunuhnya....”
“Semua sudah kujelaskan, bolehkah aku sekarang pergi?”
“Kau boleh pergi!” hening sejenak, lalu perintahnya kepada Siu Bie:
“Siu Bie, antarkan ia keluar!”
Hui Kiam mengangkat tangan memberi hormat ke arah pintu kamar. Ia lalu mengikuti Siu Bie keluar dari loteng merah. Tiba di ujung jembatan ia memasang mata, ternyata sudah tak tertampak bayangannya orang-orang Persekutuan Bulan Emas, begitu pula Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng.
Ia berhenti dan berkata kepada Siu Bie:
“Nona Siu, sampai di sini saja, aku mohon diri.”
Siu Bie memandangnya sejenak, lalu berkata:
“Hati-hatilah terhadap pembalasan Persekutuan Bulan Emas.”
“Aku mengerti!”
Setelah menyebrangi jembatan, ia ingin menengok sejenak jenasah Sukma Tidak Buyar, supaya dikubur secara pantas, jangan sampai terlantar.
Tiba-tiba di tempat bekas pertempuran, ia hanya mendapatkan bekas tanda darah yang sudah kering, tidak terdapat satupun bangkai manusia, mungkin sudah dikubur.
“Tetapi siapakah gerangan yang mengubur? Mungkinkah orang-orang Persekutuan Bulan Emas sudi mengubur jenazah Sukma Tidak Buyar?”
Ia melakukan pemeriksaan sepanjang jalan sepuluh tombak, mengharap supaya mendapatkan jawabannya.
Tiba-tiba matanya dapat melihat gundukan tanah di bawah sebuah pohon besar kira-kira lima puluh tombak terpisah dari tempat ia berdiri.
Ia lalu menghampiri. Hatinya merasa pilu seketika. Benar saja, gundukan tanah itu adalah makamnya Sukma Tidak Buyar. Sebuah batu nisan yang masih baru dengan sebaris huruf yang berbunyi: Disini bersemayam seorang pendekar berkelana Sukma Tidak Buyar.
Tiada nama aslinya, hanya nama julukannya. Juga tidak diterangkan, siapa yang mendirikan kuburan itu?
Hanya di bagian kiri bawah batu nisan itu, terdapat sebaris tulisan yang isinya memuji tinggi sekali diri dan jiwa Sukma Tidak Buyar. Dikatakannya sebagai seorang pendekar yang jiwa dan sukmanya tetap hidup, benar-benar tidak buyar, melanjutkan perjuangannya menumpas kejahatan dengan semangat menyala-nyala.
Susunan kata-katanya kurang sempurna, tetapi mengandung maksud yang mendalam.
Cuaca mulai gelap, burung-burung beterbangan pulang ke kandangnya, beberapa anak gembala juga sudah mulai pulang dengan binatang gembalanya, begitu pula paman-paman tani, juga berbondong-bondong pulang dari sawah, merupakan suatu pemandangan pedusunan di waktu damai. Tetapi bagi orang Kang-ouw seperti Hui Kiam, sangat berbeda keadaannya, hampir setiap saat jiwanya terancam bahaya.
Hui Kiam berdiri dengan hati sedih di hadapan kuburan Sukma Tidak Buyar, untuk memberi hormatnya yang terakhir.
Andaikata Sukma Tidak Buyar tidak berjalan bersama-sama dengannya, mungkin sekarang ia belum mati.
Mengingat sepak terjang orang-orang Persekutuan Bulan Emas ingin menguasai dunia, terutama jika teringat diri Manu:ia Gelandangan, hatinya segera menjadi panas, rasa kebenciannya meluap-luap, maka ia lalu komat-kamit dan berdoa di hadapan makam Sukma Tidak Buyar: “Kakek, aku akan menuntut balas untukmu, akan menagih hutang darah pada mereka, kau bersemayamlah dengan tenang.”
Sekonyong-konyong terdengar suara orang berkata:
“Sukma Tidak Buyar mempnnyai sahabat seperti kau, benar-benar boleh merasa bangga!”
Hui Kiam diam-diam terkejut, cepat ia berpaling dan menegur:
“Siapa?”
“Aku!”
Jawaban itu disusul oleh munculnya seorang laki-laki setengah tua berpakaian sebagai seorang pelajar, dari belakang sebuah pohon besar. Ia berjalan dengan gayanya yang sopan, benar-benar seperti orang terpelajar. Namun wajahnya pucat seperti habis sembuh dari sakit. Ia berjalan sampai kira-kira lima langkah di hadapan Hui Kiam, baru berhenti.
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam memandang kepadanya, kemudian bertanya:
“Bagaimana sebutan nama tuan yang mulia?”
“Sukma Tidak Buyar!”
Hui Kiam terperanjat, ia mundur dua langkah.
“Apa? Tuan juga bernama Sukma Tidak Buyar?”
“Benar!”
“Apa artinya ini?”
“Eh, Penggali Makam, pertanyaanmu ini sangat aneh. Apakah nama julukan Sukma Tidak Buyar itu boleh dipakai oleh orang lain, tetapi aku tidak.”
“Memakai nama julukan orang, apa tuan tidak merasa malu?”
Hui Kiam mulutnya bertanya, tetapi dalam hati diam-diam merasa heran, bagaimana laki-laki itu mengetahui nama julukannya sendiri, bahkan nampaknya seperti tidak asing sama sekali.
Laki-laki itu mengurut-urut kumisnya dan berkata dengan suara datar:
“Nama julukan cuma merupakan satu tanda bagi orang, bagaimana kau tahu aku yang memakai nama orang? Apa tidak bisa jadi orang yang sudah mati itu yang memakai nama julukanku?''
“Tuan pandai berputar lidah tetapi orang yang sudah mati itu adalah sahabatku di masa hidupnya. Aku tidak mengijinkan orang lain menggunakan nama julukannya!”
“Maksudmu.... “
“Mulai saat ini, kau tidak boleh sebut dirimu Sukma Tidak Buyar!”
“Apabila aku tidak mau?”
“Aku bukan orang berhati Budha!”
“Maksudmu mengajak berkelahi?”
“Mungkin begitu.”
“Jika aku juga sahabatnya orang yang sudah mati itu?”
“Kau....... sahabatnya?”
“Ehm! Apabila aku bukan sahabatnya, perlu apa aku mengubur jenazahnya dengan menempuh bahaya dimusuhi oleh orang-orang Bulan Emas?
Hati Hui Kiam bergerak, ia berkata sambil menunjuk batu nisan:
“Batu ini tuan yang mendirikan?”
“Benar!”
“Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasih padamu.”
'“Tidak perlu. Ini memang sudah menjadi kewajibanku!”
“Tuan menggunakan nama julukan Sukma Tidak Buyar, tentu ada sebabnya.”
“Sudah pasti sebabnya sudah jelas, apa yang dinamakan dengan istilah Sukma Tidak Buyar ialah sukmanya orang yang mati itu tidak turut mati. Apakah kau tidak membaca kata-kata terakhir dalam tulisan di atas batu nisan itu? Dimana disebutkan dengan kata-kata semangat bernyala-nyala, kata-kata itu sudah mencakup semua-muanya.”
“Tuan menganggap diri sebagai Sukma Tidak Buyar ke dua?”
“Kesatu atau kedua tidak perlu kita perdebatkan. Bagaimanapun juga Sukma Tidak Buyar toch belum mati, titik.”
“Tuan agaknya mempunyai maksud tertentu.”
“Anggaplah begitu!”
“Kalau tuan tidak mempunyai maksud tertentu, untuk memperingati orang yang mati, ku ingin bersahabat dengan tuan.
Laki-laki setengah tua itu lalu menatapnya dan kemudian berkata:
“Kau Penggali Makam mau menganggapku sebagai sahabat, aku merasa sangat beruntung dan dengan ini lebih dahulu kuucapkan banyak terima kasih!”
“Sudikah kiranya tuan memberitahukan nama tuan yang mulia?”
“Sukma Tidak Buyar!”
Hui-Kiam sangat mendongkol, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Mari kita berangkat, lebih dulu kita minum beberapa cawan arak di kampung depan!” berkata Sukma Tidak Buyar.
“Apa tuan......”
“Ini toka, memang urusan yang sudah seharusnya!”
“Aku tidak mengerti!”
“Perkara di dalam dunia kadang-kadang benar-benar, kadang-kadang bohong; Perlu apa menganggapnya terlalu serius?”
“Tuan tadi berkata hendak berangkat, apa artinya ini?
“Eh, bukankah kau hendak mencari Liang-giee Siee-seng?”
Hui .Kiam terperanjat, wajahnya berobah seketika. Benarkah orang ini jelmaannya orang tua Sukma Tidak Buyar yang sudah mati itu? Jikalau tidak bagaimana ia tahu rahasia sendiri yang tidak diketahui oleh orang lain? Bcnarkah di dalam dunia ini ada orang yang sudah mati bisa menjelma lagi? Ini benar-benar merupakan suatu hal yang tidak habis dimengerti.
“Penggali Makam, kau tidak pernah merasa heran, aku adalah keturunan Sukma Tidak Buyar. Segala sepak terjangnya di masa hidup tidak bisa lolos dari mataku, maka aku juga berani menganggap diriku sebagai Sukma Tidak Buyar, ingatlah kata-kata terakhir di atas batu nisan kuburan itu. Semangat Sukma Tidak Buyar tetap bernyala-nyala, ini berarti bahwa sukmanya memang tidak buyar.”
“Bernyala-nyala untuk apa?”
“Untuk membantu dalam usaha menegakkan kebenaran!”
“Dalam dunia ini sebetulnya ada berapakah orang yang mempunyai gelar Sukma Tidak Buyar?”
“Cuma satu!”
“Tuan terhitung nomor berapa?”
“Dua tetapi satu!”
“Tetapi aku juga mempunyai seorang sahabat yang mempunyai julukan demikian!”
“Bagaimana macamnya?”
Seorang pemuda yang belum lama muncul di dunia Kang-ouw, nama aslinya Ie It Hoan.”
Laki-laki setengah tua itu tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
“Oh! Dia? Bocah itu terlalu banyak akalnya. Aku kenal dengannya.”
Hui Kiam sebetulnya berkepala dingin dan cerdas otaknya namun ia juga dibingungkan oleh kejadian yang aneh ini maka ia lalu bertanya:
“Tuan juga kenal kepadanya?”
“Sudah tentu, jikalau tidak bagaimana aku
mengijinkannya memakai nama gelar itu?”
“Menurut dugaan itu, Ie It Huan dengan tuan dan orang yang sudah mati ini, satu sama lain agaknya mempunyai hubungan satu dengan yang lain.”
“Bukan cuma erat saja, bahkan sudah seperti saudara sedaging.”
“Hah! Persaudaraan seperguruan ataukah....”
“Tepat, memang seperguruan, bahkan kekuatan dan kepandaian kita seimbang tidak hanya juga sehaluan, pikirannya juga sama.”
“Ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang aneh.”
“Penggali Makam, kau terhadap Ie It Huan agak keterlaluan!”
“Apakah maksud dari perkataanmu ini?”
“Ia ingin bersahabat denganmu dengan hati sejujur-jujurnya, tetapi mengapa kau menolak keras jangan bersama-sama dengannya?”
Hui Kiam melongo sekian lama, tetapi hatinya mendadak bergerak, ia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dialihkan ke lain soal, katanya:
“Jika ada seseorang pandai menyamar, juga mempunyai kepandaian meniru suara orang lainnya serta segala gerak-geriknya, orang itu pasti dapat meniru segala tingkah laku orang itu untuk mengelabui mata orang lain.”
Laki-laki setengah tua itu sekonyong-konyong mundur dua langkah, kemudian bertanya:
“Apa yang kau maksudkan dengan perkataanmu ini?”
“Kau!”
“Ie It Hoan, lain kali jika kau hendak menyamar, harus perhatikan sedikit terhadap pakaianmu. Pakaian bagian bawahmu dalam pakaian baju panjangmu ini adalah itu pakaian yang dahulu pernah kau kenakan ketika kau menyamar sebagai pengemis. Sahabat, jikalau bukan karena pakaian bawahmu tersingkap oleh tiupan angin, aku benar-benar kena kau tipu.”
Laki-laki setengah tua itu tertawa mengikik. Lekas-lekas ia membuang kumisnya dan penyamaran di mukanya, sehingga tampak wajahnya yang semula yang tampan. Dia, ternyata adalah samaran dari Ie It Hoan. Hanya, menyamar dan merobah suara sedemikian rupa bagusnya, di dalam rimba persilatan sebetulnya merupakan suatu ilmu kepandaian yang tersendiri.
Dengan tertawa cengar-cengir Ie It Hoan menjura di hadapan Hui Kiam, kemudian ia berkata sambil meniru nada suara pemain sandiwara di atas panggung:
“Toako, maafkanlah perbuatanku ini.”
Hui-Kiam senang akan kecerdikan pemuda itu, tetapi di mukanya masih tetap menunjukkan sikap dingin, ia berkata:
“Adik Hoan, tidak perlu dikatakan, orang yang menyamar sebagai orang itu tentunya juga kau?”
“Ini kau tidak boleh salahkan aku, sebab kau tidak mengizinkan aku jalan bersama-sama kau!”
“Tetapi bagaimana dengan kuburan ini?”
“Untuk mengunjukkan bahwa Sukma Tidak Buyar sudah mati!”
“Jadi itu kuburan kosong?”
“Ya!”
“Bagus sekali perbuatanmu! Sampai aku beberapa kali memanggil kau kakek......”
Ie-It Hoan kembali menjura dan berkata:
“Toako orang besar tidak meladeni urusan orang kecil, maafkanlah sekali lagi!”
“Jikalau orang-orang Persekutuan Bulan Emas mengetahui bahwa itu ada kuburan kosong, bagaimana?”
“Justru demikianlah maksudku orang dunia Kang-Ouw tahu bahwa Sukma Tidak Buyar tidak bisa mati.”
“Tetapi aku melihat sendiri kau roboh di tangan Manusia Gelandangan, bagaimana itu bisa jadi?”
“Rahasia alam tidak boleh dibocorkan. Aku mempunyai akal sendiri untuk menghindarkan diri dari segala macam bencana, yang bagaimana tidak bisa mati.”
Hui-Kiam benar-benar sangat kagum tetapi juga merasa mangkel terhadap sepak terjang pemuda itu.
“Penghuni loteng merah itu orang golongan mana?”
“Tentang ini.......tidak tahu!”
“Kalau begitu mengapa kau minta aku lari ke arah utara!”
“Inilah yang dikatakan pertaruhan jiwa. Kalau kau tidak pergi, pasti mati! Tetapi kalau menerjang loteng merah itu tentu masih
ada sedikit harapan. Toako, kau tidak tahu betapa besar kekhawatiranku. Andaikata kau tidak keluar lagi, aku terpaksa masuk ke sana!”
“Mempertaruhkan nyawa?”
“Satu orang kalau sudah terdesak betul-betul apa boleh buat, cuma satu jalan ialah mempertaruhkan jiwanya. Tetapi orang yang pandai mempertaruhkan jiwanya banyak menangnya daripada kalahnya.”
“Hem! Tetapi pertaruhan semacam itu, kalah satu kali saja habislah jiwanya!”
Ie It Huan membuka matanya lebar-lebar. Sambil menghapus keringatnya yang mengalir keluar ia berkata:
“Sudilah kiranya toako menceritakan pengalaman toako di loteng merah itu?”
Hui Kiam lalu menceritakan semua pengalaman di dalam loteng merah.
Setelah mendengarkan cerita itu, Ie It Huan lalu berkata sambil mengerutkan keningnya:
“Kepandaian muridnya saja ternyata sudah melampui kepandaianmu, kalau begitu kita tidak dapat menaksir betapa tinggi kepandaian penghuni loteng merah itu sendiri. Siapakah ia? Apa sebabnya pula ia mempunyai persoalan dengan To-liong Kiam-khek….?”
Hui Kiam mendongakkan kepala melihat cuaca, lalu berkata: “Kita harus pergi!”
Ie It Huan kembali menggunakan penyamarannya. Setelah berubah pula wajahnya seperti seorang pelajar setengah tua, ia lalu berkata:
“Toako, kita harus berjalan dengan terpisah satu jalan. Andaikata terjadi apa-apa di luar dugaan, kita dapat segera menghadapinya. Kau boleh melakukan menurut pikiranmu sendiri, jangan
memperdulikan aku, aku bisa mengikuti kau dari jarak jauh. Sebaiknya.....”
“Sebaiknya bagaimana?”
“Kau juga menyamar!”
“Seorang laki-laki harus berani berlaku terus terang, aku tidak suka merubah wajahku!”
“Kalau begitu aku adalah manusia rendah? Baiklah, tidak apa. Toako, tenggorokanku sudah kering, ingin sekali aku minum arak, terpaksa aku jalan lebih dulu.”
Sehabis berkata dengan cepat ia bergerak, sebentar mungkin sudah menghilang di antara kegelapan.
Hui Kiam dengan seorang diri berdiri di hadapan kuburan kosong, terhadap Ie It Huan timbul kesannya yang sangat dalam sejak semula menunjukkan diri sehingga bersahabat dengannya semua terjadi secara tidak diduga-duga semua tindak-tanduknya, juga diliputi oleh kabut misterius yang sangat tebal, siapa gurunya belum pernah ia sebutkan.
la lalu teringat kepada musuh gurunva, musuh orang tuanya dan semua pertikaian yang menyangkut dirinya sendiri.
Sekonyong-konyong ia dapat melihat bayangan seseorang tampak di tempat sejauh tiga tombak. Bayangan orang itu agaknya memang sudah berdiri di situ, oleh karena ia tidak dapat melihat bagaimana munculnya hanya dengan ketajaman pandang matanya, ia dapat melihat bayangan orang itu ada seorang berkedok berpakaian warna lila.
Sinar mata Hui Kiam baru saja tertumbuk dengan sinar mata orang yang keluar melalui dari lobang kedoknya segera merasakan suara tindasan yang belum pernah ia alami, rasa tertindas itu seperti terus menusuk ke ulu hati sehingga diam-diam ia merasa bergidik, dengan tanpa sadar kakinya mundur selangkah.
Orang berkedok itu tidak mengeluarkan suara, ia berdiri dengan tenang bagaikan satu patung.
Hui Kiam setelah pikirannya tenang kembali lalu bertanya:
“Tuan orang pandai dari mana?”
Tak ada jawaban dari orang ini, hanya sinar matanya tajam, terus memandang wajahnya, agaknya hendak menembusi isi hatinya.
Kelakuan orang itu telah membangkitkan sifat dingin dan sombong Hui Kiam. Ia memandang orang itu sejenak, lantas membalikkan badannya dan berlalu.
Tetapi baru saja kakinya bergerak, orang berkedok itu tiba-tiba sudah menghadang di hadapanaya, lalu ia menegur pula:
“Apakah maksud perbuatan tuan ini?”
Orang berkedok itu akhirnya membuka mulut. Dengan suaranya yang tajam bagaikan peluru ia berkata:
“Kau, benarkah Penggali Makam?”
“Benar, bagaimana sebutan tuan?”
“Oraug berbaju lila!”
“Ada urusan apa?”
“Kau pernah masuk ke loteng merah?”
“Ya!”
“Kau....tidak dibunuh?”
“Kalau sudah dibunuh bagaimana aku bisa berbicara dengan tuan?”
“Mengapa tidak dibunuh?”
“Rasanya hal ini tidak mempunyai hubungan dengan tuan.”
“Tetapi aku ingin tahu!”
Nada suaranya bagaikan perintah itu, diucapkannya dengan sikap tegas, agaknya hendak memberitahukan kepadanya, meskipun Hui Kiam tahu bahwa tinggi kepandaian orang itu tidak dapat diukur,
tetapi ia tidak sudi diperlakukan demikian rupa, maka lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Aku tidak berkewajiban untuk menceritakan kepadamu.”
“Kau terlalu sombong.”
“Terserah bagaimana tuan pikir.”
“Sebaiknya kau mengaku terus terang.”
“Mengaku? Ha, ha, ha, istilah ini sesungguhnya sangat unik, tetapi aku bukan seorang pesakitan….”
“Tetapi tidak ada bedanya!”
“Apakah tuan tidak menganggap itu terlalu sombong?”
“Itu sudah merupakan satu perlakuan yang cukup pantas!”
“Kalau tidak?”
“Kau tidak mungkin hidup lebih lama lagi!”
Kemurkaan Hui Kiam timbul. Orang berbaju lila itu bukan saja tidak pandang mata pada Hui Kiam, tetapi juga menganggap dirinya sebagai barang permainan yang tak berharga, bahkan dengan tindakannya itu ia agaknya memang sengaja mencari gara-gara. Di dalam dunia mana ada hak memaksa orang lain untuk menceritakan rahasianya. Maka seketika itu ia lalu berkata dengan suara gusar:
“Kita satu sama lain belum pernah kenal, ini bagaikan air sumur dengan air sungai, yang satu dengan yang lain tidak saling mengganggu, tuan demikian memaksa orang, apakah tuan menganggap bahwa aku ini adalah seorang yang boleh kau perbuat sesukamu?”
“Semua percuma saja, kau cuma bisa menjawab pertanyaanku!”
“Tidak bisa!”
“Kau berani mengulangi sekali lagi?”
“Tidak bisa!”
Mata orang berbaju lila itu memancarkan sinar yang menakutkan. Ia menggeser kakinya maju selangkah, lalu mengulurkan tangannya untuk menyambar Hui Kiam dengan satu gerakan yang luar biasa aneh dan cepatnya. Hui Kiam segera teringat gerak tipu ilmu pedang Siu Bie, murid pertama penghuni loteng merah, biar bagaimana sulit dielakkannya. Pikiran itu hanya sepintas lalu saja terlintas dalam otaknya dan hampir berbareng prda saat terlintasnya pikiran itu, tangannya sudah menghunus pedangnya dan melancarkan serangannya untuk mengimbangi gerakan orang berbaju lila itu.
Orang berbaju lila itu tiba-tiba berseru: “Eh,” lalu dengan cepat menarik kembali tangannya, selanjutnya secara bagus sekali ia mengelakkan serangan Hui Kiam yang sangat hebat itu, kemudian ia mengulur tangannya lagi dengan kecepatan luar biasa untuk menyambar tangan Hui-Kiam.
Hui Kiam coba membalikkan pedangnya untuk memapas tangan lawannya, tetapi sudah tidak keburu. Orang berbaju lila itu ternyata bergerak lebih dulu, sehingga sesaat kemudian tangannya sudah tertangkap.
Untung kepandaian yang dipelajari oleh Hui Kiam jauh berlainan dengan ilmu kepandaian biasa, ia tidak takut jalan darahnya ditotok, maka meskipun badannya sudah tidak bisa bergerak, gerakan pedangnya masih belum kendor. Ia melanjutkan serangannya kepada tangan lawannya….
Orang berbaju lila mengendorkan tangannya. Tangan yang lain melancarkan satu serangan kilat.
Serangan itu mengenakan dengan telak. Lengan tangan kanan Hui Kiam hampir patah, pedangnya hampir terlepas, badannya mundur terhuyung-huyung.
Orang berbaju lila itu berkata dengan nada suara dingin: “Aku ternyata telah memandang rendah dirimu, kau tidak takut ditotok.”
Sehabis berkata tangannya menyerang lagi. Tempat yang diarah, bukan bagian jalan darah, juga bukan bagian urat melainkan tempat mengalirnya darah.
Hui-Kiam meski tahu dirinya diserang lagi tetapi ia tak dapat menyingkir. Serangan itu ketika mengenakan dirinya, seluruh tenaganya seolah-olah lenyap seketika.
Orang berbaju lila mundur selangkah dan berkata:
---ooo0dw0ooo---
JILID 7
"Sekarang kau boleh ceritakan!"
"Tidak!”
"Kau mencari mati sendiri?”
"Hem."
Sekali lagi orang berbaju lila itu menyerang Hui Kiam. Badan Hui Kiam terpental sejauh tiga tombak. Orang berbaju lila itu menghampiri lagi dan berkata dengan suara bengis:
"Katakan mengapa penghuni loteng merah itu tidak membunuhmu?"
Semua tulang-tulang sekujur badan Hui Kiam dirasakan seperti patah, tetapi ia masih mencoba berusaha bangun. Pedang tak terlepas dari tangannya, tetapi darah merah sudah mengalir keluar dari mulutnya. Orang berbaju lila itu entah menggunakan ilmu apa untuk melenyapkan kekuatan tenaganya, sehingga ia tidak mempunyai daya perlawanan sama sekali, semua rasa dendam dan bencinya, cuma dapat ditujukan dari sinar matanya. Ia lalu berkata dengan perasaan gemas:
"Orang berbaju lila, satu hari kelak aku akan membunuhmu!"
"Ha, ha, ha…" suara tertawa yang mengandung penuh ejekan, dan setelah berhenti tertawa orang berbaju lila itu berkata: "Bocah, apakah kau kira kau masih ada kesempatan untuk hidup? Untuk mengambil jiwamu, tidak perlu aku menggunakan tenaga, hanya sebelum kau menjawab pertanyaanku jangan harap kau bisa mati dengan enak.”
Hui Kiam berpikir, orang ini begitu keras keinginannya untuk menanyakan persoalan yang menyangkut dengan diri penghuni loteng merah, pasti ada sebabnya, akan tetapi, ia sudah tiada maksud ingin tahu sebab-sebabnya itu. Di dalam dadanya pada saat itu sudah dipenuhi oleh rasa dendam dan kebencian, sehingga rasa takut sudah tidak mendapat tempat lagi.
Orang berbaju lila itu berkata pula:
"Dan lagi mengenai asal-usul dirimu sendiri. Dua soal ini setelah kau selesaikan, aku mungkin dapat memikirkan atau menimbang untuk memberi ampun kepada dirimu."
"Jangan harap kau meodapat sepatah jawaban dari mulutku.”
“Kau bisa menjawab."
"Kau mengimpi!"
"Penggali Makam, apakah kau pernah mendengar ilmu jari tangan yang dinamakan Ie-sin-cie?"
Sekujur badan Hui Kiam gemetaran, ia mundur empat langkah. Dahulu ia pernah mendengar cerita dari gurunya. Ia mengatakan bahwa di dalam rimba persilatan ada semacam ilmu kepandaian yang sangat ganas tetapi sudah lama menghilang dari muka bumi. Ilmu itu dinamakan le-sin-cie. Barang siapa yang tertotok oleh jari tangan dengan menggunakan ilmu kepandaian itu, pikiran dan semangatnya akan musnah sehingga berubah menjadi seorang linglung seumur hidup hingga binasa.
Ini benar-benar merupakan suatu siksaan badan dan batin yang terlalu kejam. Jauh lebih jahat dari pada kematian sebab orang yang sudah menjadi linglung, sekalipun hidup sudah tidak ada gunanya.
Sungguh tidak disangka orang berbaju lila ini mempunyai kepandaian ilmu yang sudah lama menghilang dari rimba persilatan itu.
"Kau..... berani?" berkata Hui Kiam dengan suara gemetar.
"Ucapanmu ini bukankah cuma-cuma saja. Mengapa aku tidak berani? Ha ha ha.”
Hui Kiam terpaksa keraskan kepala ia berkata:
“Lakukanlah!"
Orang berbaju lila itu ternyata telah digerakkan hatinya oleh sifat keras kepala dan angkuh Hui Kiam. Sejenak ia merasa heran, kemudian berkata:
“Kau sudah mengambil keputusan?"
Tepat pada saat itu satu suara dari orang tua terdengar dari dalam rimba yang tidak jauh dari situ:
"Penghuni loteng merah, keluarkanlah pedangmu!"
Lalu terdengar suara seorang wanita yang berkata:
"Kau masih belum pantas menjadi lawanku!"
Hui Kiam diam-diam terperanjat. Bagaimana penghuni loteng merah bisa datang kemari? Siapakah itu orang yang menentangnya? Dari ilmu pedang yang ditunjukkan oleh Siu Bie, dapat diukur bahwa ilmu pedang penghuni loteng merah pasti sudah mencapai sesuatu taraf yang sudah tidak ada taranya, maka orang yang berani menentangnya pasti bukan orang sembarangan.
Orang berbaju lila itu membalikkan badannya perlahan-lahan. Mukanya ditujukan ke arah datangnya suaranya itu. Badannya agak gemetar!
Terdengar suara itu pula, tetapi kali ini kedengarannya agak jauh:
"Penghuni loteng merah, kau jangan pergi. Persoalan ini kalau tidak diselesaikan, aku si orang tua nanti akan membakar loteng merah ini."
"Tua bangka, kau bukan tandinganku."
Orang berbaju lila itu sekonyong-konyong menggerakkan badannya melesat melayang ke dalam rimba. Kelincahan dan kegesitannya bergerak sesungguhnya sangat mengagumkan. Hui Kiam hanya dapat lihat berkelebatnya bayangan lila, lalu sudah kehilangan jejak orang itu.
Tiba-tiba dari dalam rimba yang berlawanan arahnya terdengar suara halus masuk ke dalam telinganya:
"Siauhiap lekas mundur, kesempatan ini jangan kau sia-siakan. Lari kemari selekas mungkin."
Hui Kiam tidak dapat membedakan lagi suara siapa. Ia lalu lari ke dalam rimba yang ditunjuk oleh suara tadi. Tetapi karena kekuatan dan kepandaiannya sudah terpengaruh oleh totokan tangan orang berbaju lila itu, gerak kakinya tidak beda dengan orang biasa. Baru sampai dekat rimba ia sudah terpegang oleh orang. Terdengar suaranya orang berkata: "Jangan bersuara!"
Keadaan dalam rimba gelap gulita. Dalam pandangan Hui Kiam pada saat itu, kegelapan itu dirasakan sangat luar biasa. Ia tidak tahu siapakah orangnya yang menolong dirinya itu, tetapi karena orang itu memintanya untuk tidak bersuara, maka ia terpaksa menutup mulut.
Dibawa ke dalam rimba kira-kira duapuluh tombak, tiba-tiba badannya dirasakan ringan. Ternyata ia dibawa naik ke atas sebuah pohon besar yang kemudian dibawa masuk ke dalam lobang besar yang terdapat di atas pohon itu. Hui Kiam bertanya lagi:
"Tuan siapa?"
"Stt!"
Hui Kiam terpaksa menutup mulut. Hatinya merasa heran, siapakah orang itu, mengapa ia datang memberi pertolongan pada waktu yang tepat nampaknya, orang ini merasa jeri terhadap orang berbaju lila, mengapa kebetulan ada orang yang menentang penghuni loteng merah sehingga menarik perhatian orang berbaju lila dan akhirnya pergi kesana, apakah ini kebetulan saja?
Sejenak telah berlalu. Di bawah pohon terdengar suara yang tidak asing lagi baginya:
"Locianpwee, orangnya sudah berlalu, tapi mungkin bisa balik lagi. Tunggulah sebentar.”
Semangat Hui Kiam terbangun seketika. Orang yang bicara itu, bukan lain daripada Ie It Hoan. Ia membebaskan dirinya orang yang di sisi badannya itu. “Locianpwee, apakah....”
Belum lagi cukup pikirannya, orang di sampingnya itu berkata padanya:
"Hui-Kiam, tahukah kau siapa aku ini?"
"Oh! Locianpwee adalah Orang Tua Tiada Turunan?"
"Benar, ini sangat kebetulan, jika tidak jiwamu pasti melayang di tangan orang berbaju lila itu!"
"Kebetulan? Kau maksudkan dengan penghuni loteng merah itu?"
"Apakah penghuni loteng merah, adalah bocah di bawah pohon itu yang seorang memegang peranan dua orang, ia sengaja berlaku demikian maksudnnya ialah hendak menarik perhatian orang berbaju lila dan supaya pergi menyingkir aku sebetulnya sangat mengkhawatirkan jiwanya........”
Hui-Kiam menarik napas dalam-dalam. Hatinya sangat mengagumi kecerdikan dan kepandaiannya meniru suara orang Ie-It Hoan itu.
“Orang berbaju lila itu dari golongan mana?”
“Sekarang masih belum tahu. Bulan yang lalu di kota Seng-po aku pernah melihat ia menunjukkan diri satu kali. Ilmu pedang ketua partai Thay-kek dalam rimba persilatan terhitung salah satu ilmu pedang sangat tinggi, kau pikir bagaimana?”
"Kenapa?”
“Di bawah tangan orang berbaju lila, hanya setengah jurus saja, sudah tidak berkutik. Orangnya terluka, pedangnya terpapas kutung!"
"Ah!"
"Ini masih belum terhitung apa-apa. Menurut kabar yang tersiar di kalangan Kang-ouw pada akhir-akhir ini, orang berbaju lila itu pernah mengunjungi partai Bu-tong pai, yang dianggapnya sebagai pemimpin ilmu pedang. Dalam pertandingan itu termasuk orang-orang golongan tua dari partai tersebut, tidak seorangpun yang dapat menandingi dalam waktu dua jurus!”
Hui Kiam dalam hati bergidik, nampaknya jika ia sendiri menggunakan ilmu pedangnya yang cuma terdiri dari satu jurus gerak tipu itu mungkin dapat memberi perlawanan kepada orang berbaju lila, meskipun mungkin hanya satu keberatan saja....
"Kalau begitu ilmu pedang orang berbaju lila itu mungkin sudah susah dicari tandingannya?"
"Mungkin. Menurut apa yang aku tahu, kecuali jago-jago dari generasi atasan seperti Tiga Raja Rimba Persilatan yang masih belum diketahui dengan tepat, sampai di mana tinggi kepandaiannya sesungguhnya susah dicari seorangpun yang dapat menandingi kepandaian orang berbaju lila itu!"
"Apakah tidak mungkin bahwa orang berbaju lila ini adalah itu orang jago pedang berkedok yang dahulu pernah membunuh mati suhu dan supek sekalian?"
“Hm! Itu mungkin!"
"Dulu apakah suhu pernah menerangkan kepada Locianpwe tanda-tanda istimewa dan pakaian yang dipakai oleh jago pedang berkedok itu?"
"Pakaian setiap waktu bisa berobah, tidak dapat digunakan buat pegangan, sementara mengenai tanda-tanda istimewa, karena orang itu memakai kedok, tak mudah untuk dikenal.”
"Kalau begitu bagaimana kita harus membuktikannya?”
"Tunggu setelah kepandaianmu dapat memenangkan orang berbaju lila itu, kau nanti mencarinya juga belum terlambat. Sekarang sekalipun kau dapat membuktikan bahwa dia adalah pembunuh suhumu, tetapi kau bisa berbuat apa?
Dan seandainya rahasia dirimu sendiri terbuka, bagaimana pula akibatnya?”
"Ya! Pada saat ini... kalau aku membicarakan soal menuntut balas bagi suhu sesungguhnya masih terlalu pagi!"
"Walaupun demikian, tetapi kau juga tak boleh putus harapan. Asal kau dapat menemukan bagian bawah kitab pusaka Thian-kie Po-kip, dengan bakat dan kecerdasanmu pasti kau berhasil. Bencana besar sudah mengancam rimba persilatan, semoga kau menjadi orang kuat untuk melenyapkan bencana itu!"
"Boan-pwe tidak berani menerima pujian cianpwe, tetapi ingin sekedar menyumbangkan tenaga saja."
"Baiklah, tahukah kau mengapa aku bisa kebetulan begitu sampai di sini dan memberi pertolongan kepadamu?"
“Inilah justru yang aku minta keterangan Locianpwe!”
“Aku mendengar kabar suatu berita yang ada hubungannya dengan dirimu, maka aku datang kemari untuk mencari kau. Di tengah jalan aku berjumpa dengan bocah yang gemar minum arak itu. Aku dengan dia lalu pergi menuju kemari. Kebetulan dapat lihat kau sedang terdesak oleh orang berbaju lila itu. Akhirnya si bocah itu mencari akal. Dengan menyamar sebagai orang tua, ia sengaja menentang kepada penghuni loteng merah untuk menyingkirkan orang berbaju lila. Tetapi ini sesungguhnya sangat berbahaya. Jikalau terbuka kedoknya, akibatnya sangat hebat!”
"Kabar apa yang ada hubungan dengan aku?”
"Supekmu jago besar tua, Kiem-tee, bukankah karena lampiran gambar peta di dalam kitab pusaka Thian-gie Po-kip sehingga perlu pergi mencari sebilah pedang purbakala?”
“Hal itu Locian-pwee perrah menceritakan.”
“Menurut petunjuk-petunjuk jalan peta, pedang purbakala itu disimpan dalam sebuah makam pedang yang letaknya di dalam lembah Cok-beng-gam. Pada hari-hari terakhir ini, entah siapa yang menyiarkan berita ini kepada kalangan Kang-ouw sehingga banyak orang Kaug-ouw berbondong-bondong menuju kesana.”
"Oh!"
"Makam pedang itu karena terdapat dalam buku peta pada kitab pusaka Thian-gie Po-kip, mungkin ada hubungannya dengan kepandaian ilmu silat yang tertera di dalam kitab pusaka itu. Kau adalah satu-satunva orang yang menjadi keturunan atau murid dari Lima Kaisar Rimba Persilatan, tidak boleh tidak kau harus perhatikan soal ini, betul tidak?"
"Ya!"
“Semula tempat untuk menyimpan pedang itu hanya Toa-supekmu seoranglah yang tahu, yang lainnya cuma tahu persoalannya tetapi tidak tahu tempatnya. Tetapi apakah Toasupekmu hanya mendapatkan tempatnya atau sudah berhasil mendapatkan pedangnya? Ini semua masih merupakan satu teka-teki. Sebaliknya karena Toasupek sudah mati di bawah tangan jago pedang yang sangat misterius itu, kita dapat membuka sendiri jikalau bukan karena pedang, tentu disebabkan oleh gambar petanya, tetapi biarpun bagaimana, jago pedang berkedok itu merupakan kunci yang terpenting yang masih menjadi pertanyaan, dan menyulitkan kita ialah, jago pedang berkedok itu orang dari golongan mana......? Penjahat itu bisa menggunakan senjata tunggal Jien-ong yang berupa jarum melekat tulang, seharusnya ia keturunannya Jien-ong atau muridnya. Di dalam dunia Kang-ouw banyak hal yang tidak dapat diperhitungkan menurut pemikiran biasa. Tiga Raja Rimba Persilatan adalah merupakan tokoh-tokoh kuat pada waktu lima puluh tahun berselang, dan selama itu sudah banyak perobahan, sudah tentu ini juga merupakan suatu garis petunjuk yang sangat berharga, tetapi masih belum dapat dipastikan, dan andaikata benar, bagaimana kau bisa berbuat? Mati atau hidupnya Jien-ong belum kita ketahui, maka satu-satunya jalan ialah mencari jago pedang yang berkedok itu.
"Sudah tentu memang hanya itu jalan saja yang kita dapat tempuh."
"Apa yang paling kukhawatirkan ialah tindakan orang-orang Persekutuan Bulan Emas terhadap dirimu….”
"Soal itu boanpwee malah tidak menghiraukannya. Tahukah Locianpwee bagaimana orangnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu?”
"Tentang ini... barangkali sembilan puluh sembilan persen anak buah persekutuan itu sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Ini berarti, sehingga pada saat ini masih belum seorangpun yang tahu asal-usul pemimpin persekutuan itu dan markasnya.”
"Maksud Locianpwee sekarang....”
"Kita harus lekas pergi ke kuburan pedang itu untuk menyaksikan sendiri benar atau tidaknya kabar yang tersiar luas di dunia Kang-ouw itu.”
"Maksud Boanpwee ingin menengok Liang-gie Sie-seng lebih dulu, untuk menyelidiki bagian bawah kitab Thian-gi Po-kip…."
"Lembah Bu-hiap dari sini tidak terlalu jauh. Begini saja, aku pergi ke kuburan pedang itu dulu untuk melihat keadaan, dan kau bersama Ie It Hoan pergi mencari Liang-gie Sie-seng. Selesai tugasmu, lekas kemari. Bagaimana?”
"Baiklah. Hanya karena urusan Boan-pwce, telah menyebabkan Locianpwte turut banyak capaikan hati....”
"Ini adalah kesukaanku sendiri, kau tidak perlu mengucapkan demikian!"
“Apakah harus berangkat sekarang juga?”
“Kau telah lupa bahwa kepandaianmu dan kekuatanmu sudah dibekukan oleh orang berbaju lila itu....”
Hui Kiam seketika itu menjadi bungkam. Kepandaiannya belum pulih kembali, ter-sia-sia ia bertindak. Pada saat itu terdengar suaraI It Huan dari bawah pohon berkata:
"Locianpwee, mengapa kau tidak coba menggunakan ilmu kepandaianmu Siao-yang Sin-kang?"
"Oh! Untung kau peringatkan, aku benar-benar sudah lupa. Sudah tentu boleh coba. Bocah, kau menyingkir agak jauh, awas ada orang yang memperhatikan dirimu!"
"Ya!"
Ie-It Huan segera berlalu. Orang Tua Tiada Turunan mulai memeriksa urat-urat dan jalan darah yang dibekukan oleh orang baju lila, setelah itu ia baru berkata:
"Sungguh beruntung, ilmu Siao-yang Sin-kang tepat sekali untuk menyembuhkan lukamu ini. Perbuatan orang itu sesungguhnya sangat jahat, bagian yang ia bekukan adalah bagian antara jalan hawa dan darah.”
Sehabis berkata ia memerintahkan Hui Kiam untuk bersemedhi, kemudian ia menggunakan ilmunya Siao-yang Sin-kang untuk memulihkan kekuatan dan kepandaian Hui Kiam.
Ilmu itu benar-benar luar biasa, belum antara lama Hui Kiam sudah merasakan betapa hebat kekuatannya....
Sinar matahari pagi masuk melalui lobang-lobang di atas pohon, suatu tanda bahwa hari mulai pagi. Sementara itu kekuatan Hui Kiam juga sudah pulih kembali. Dua orang itu lalu turun ke bawah segera disambut oleh Ie It Hoan yang memperhatikan dari tempat seluruhnya. Begitu melihat Hui K.am, pemuda jenaka itu lantas berkata dengan suara girang:
"Toako, kau sudah sembuh? Syukur!"
Perhatian begitu besar yang ditunjukkan oleh pemuda itu, betapapun dingin hati dan perasaan Hui Kiam, mau tidak mau juga tergerak sehingga di bibirnya terlukis suatu senyuman yang baginya merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi.
Orang Tua Tiada Turunan setelah berada di bawah lalu berpisah pada mereka, untuk melanjutkan perjalanannya mencari keterangan tentang kuburan pedang.
Ie It Hoan lalu berkata dengan sungguh-sungguh:
"Toako menyamar, bagaimana?"
"Tidak usah!" jawabnya singkat tetapi tegas.
Ie It Hoan berkata:
"Kalau begitu mari kita berangkat! Menurut cara yang sudah, kita jangan berpencaran, tetapi tetap berpisah dalam cara tertentu."
"Baik, mari jalan."
Keduanya dengan satu di muka dan satu di belakang meninggalkan rimba tersebut dengan mengambil jalan, ke jalan raya, berjalan menuju ke barat.
Hui Kiam dan Ie It Hoan setelah tiba di tempat yang dituju, mereka berkumpul lagi. Terhadap keadaan tempat tersebut, bagi Hui Kiam masih asing, sebaliknya dengan Ie It Hoan yang kenal baik dengan hampir di setiap pelosoknya.
Dua pemuda itu melakukan perjalanannya, di dalam pegunungan, satu jam kemudian tibalah di suatu permukaan sebuah lobang terowongan di puncak gunung. Dari lobang terowongan itu melongok ke dalam bisa disaksikan pemandangan alam yang terdapat di lain bagian. Ie It Hoan sambil menunjuk ke suatu tempat tinggi yang diliputi oleh kabut ia berkata:
"Di dalam gua sebelah sana.”
"Apa kau pernah datang?"
"Belum pernah masuk, jejakku hanya sampai di sini saja."
"Apakah kau dulu pernah melibat Liang Gie Sie-seng?"
".Sepintas lalu saja. Aku kenal kepadanya, tetapi ia tidak kenal aku."
“Mari kita jalan."
Tidak lama kemudian, dua pemuda itu sudah tiba ke tempat sebuah gua di tengah-tengah lereng puncak gunung.
Ie It Hoan lalu berkata:
"Kita mengunjunginya menurut aturan atau menerobos saja?"
Hui Kiam berpikir sejenak baru menjawab:
"Menurut tanda-tandanya Liang Gie Sie-seng hanya merupakan scorang tersangka yang paling benar, tetapi belum ada bukti yang menyatakan bahwa kitab Thian-gie Po-kip bagian bawah itu benar-benar berada di tangannya, sudah tentu kita berkunjung menurut cara yang selayaknya."
“Kalau begitu nanti aku akan menyampaikan suara untuk minta bertemu lebih dulu."
Sehabis berkata, pemuda itu lalu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya dan berkata ke arah dalam gua: "Liang-gie Sie-seng, Sukma Tidak Buyar datang berkunjung."
Perkataan itu diucapkan berulang-ulang, tetapi keadaan di dalam gua nampak sepi tiada terdengar jawaban apa-apa.
Hui Kiam lalu berkata sambil mengerutkan keningnya:
'"Apakah ia sudah kabur jauh?"
"Mungkin sekali."
"Mari kita masuk...."
"Eh! Siapa itu?"
Pada saat itu sesosok bayangan kecil langsing lari keluar dari dalam dengan kaki sempoyongan kian lama kian mendekat, barulah tertampak dengan tegas bahwa bayangan itu adalah seorang wanita yang rambutnya terurai dan sekujur badannya penuh darah.
Hui Kiam dan Ie It Hoan terkejut, nampaknya di dalam goa itu sudah terjadi sesuatu.
Wanita itu bisa tiba di dekat mulut goa, agaknya sudah kehabisan tenaga sehingga roboh di tanah tidak bisa bangun lagi.
Hui Kiam dan Je It Hoan menghampiri wanita itu, segera dapat dilihatnya paras wanita itu sangat pucat tetapi masih menunjukkan kemarahannya sehingga nampaknya sangat bengis, seluruh
pakaiannya sudah menjadi merah bekas darah, di badannya terdapat tanda luka enam atau tujuh tempat, sekitar tempat yang terluka terdapat tanda-tanda hitam, di tengah-tengah masih mengalirkan darah merah, keadaannya sangat menyedihkan.
Hui Kiam lalu bertanya sambil mengkerutkan keningnya: "Siapakah kau? Mengapa sampai terluka demikian?"
Wanita itu bagaikan binatang yang terluka, menggelinding dua kali lalu bangun terduduk dengan sinar mata buas mengawasi kedua tamunya, di parasnya yang sudah tidak ada darahnya nampak berkerejit beberapa kali, lalu balik bertanya dengan suara bengis:
"Siapakah… di antara kalian yang bernama Sukma Tidak Buyar?"
Ie It Huan yang pada kala itu masih mengenakan pakaian seperti seorang pelajar segera menjawab:
"Aku!"
''Dan dia?"
"Penggali Makam!"
"Ah!”
Sinar mata buas yang ada pada mata wanita itu lenyap seketika, kemudian diganti dengan sikap kaget dan terheran-heran, lalu berkata pula:
"Kalau begitu, kalian berdua bukan kaki tangannya Persekutuan Bulan Emas?"
Hui Kiam ketika mendengar disebutnya nama Bulan Emas, segera dapat menduga bahwa dalam hal ini ada terselip apa-apa, maka ia lalu berkata:
"Bukan! Sudah tentu aku ingin bertanya."
"Aku bernama Oey Yu Cu, adalah istrinya Liang-gie Sie-seng, Lie Bun....."
"Oh! Nyonya Lie, entah.........."
"Aku...... sudah hampir mati........"
"Dan suami nyonya?”
"Suamiku semalam telah meninggal dunia dianiaya orang."
Wajah Hui Kiam berobah, ia berkata dengan suara gemetar:
"Liaug-gie Sie-seng apa sudah mati?"
"Ya, ia sudah menutup mata, kematiannya sangat menyedihkan, aku..... aku sendiri juga sudah hampir mati."
Berkata sampai di situ dadanya nampak bergerak, napasnya tersenggal-senggal, mulutnya mengeluarkan darah.
Ie It Hoan lalu berkata dengan suara gemas:
"Nyonya Lie, lukamu tidak ringan, aku di sini membawa obat mustajab untuk menyembuhkan luka….”
Oey Yu Cu goyang-goyangkan tangannya yang sudah tidak bertenaga seraya berkata:
"Kebaikanmu… akan kuterima dalam hatiku, hanya pada saat mi sudah tidak ada gunanya. Suamiku kecuali terkenal sebagai ahli racun juga seorang ahli dalam ilmu obat obatan. Kalau aku masih bisa hidup sehingga saat ini, semata-mata karena mengandal pengaruh obat yang dibuatnya, pengaruhnya obat Po-beng Kim-tan. Di dalam dunia ini… tiada ada obat yang lebih baik daripada obat itu, tetapi denyutan jantungku sudah putus, darahku juga mengalir hampir habis, dewapun sudah tidak mungkin dapat menolong lagi."
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan demikian, segera mengetahui bahwa nyonya itu memang benar adalah susah ditolong lagi jiwanya, kalau ia tidak lekas mengajukan pertanyaan yang terkandung dalam hatinya barangkali sudah tidak ada kesempatan lagi. Maka ia lalu bertanya:
“Nyonya Lie, maksud kedatanganku ini, ialah ingin mengajukan beberapa keterangan kepada nyonya!”
"Kau… ceritakan!"
"Apakah suami nyonya pernah pergi dengan Aiw-yang Hong membasmi orang orang Sam-goan pang?"
“Tidak!”
Hui Kiam terkejut tetapi segera bertanya pula:
“Apakah Aiw-yang Hong mati di tangan suami nyonya?"
Bibir Oey Yu Cu bergerak-gerak beberapa kali baru menjawab:
"Tuan bertanya.... makin lama semakin aneh. Suamiku dengan Aiw-yang Hong bersahabat sangat erat!”
Jawaban ini tidak ubahnya bagaikan air dingin yang disiram di atas kepala Hui Kiam, dugaannya yang dulu-dulu telah dirobohkan seluruhnya, akan tetapi ia masih tetap tidak mau melepaskan dan bertanya pula:
"Apakah suami nyonya pada waktu akhir-akhir ini pernah mendapatkan kitab pelajaran ilmu silat dan sebagainya?"
Oey-Yu Cu mendongakkan serta mengelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Hui-Kiam mengawasi Sukma Tidak Buyar dengan sinar mata penuh tanda tanya. Sukma Tidak Buyar menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa keterangan nyonya itu boleh dipercaya.
Keadaan Oy-Yu Cu sudah seperti lampu yang kekeringan minyak, ia tiada bertenaga untuk duduk lagi, dengan sangat lemah merebahkan diri di tanah, mulutnya mengeluarkan perkataaan dengan suara lemah:
"Tolong... cari... Oey-Yu Hong, ia tahu!"
Hui-Kiam dapat melihat gelagat tidak baik, cepat-cepat ia bertanya.
Bibir Oey-Yu Cu nampak bergerak-gerak tetapi sudah tidak mengeluarkan suara.
Sukma Tidak Buyar lalu berkata:
“Nyonya Lie, kuatkan hatimu, kalian suami-istri telah mengalami nasib sedemikian menyedihkan. Siapakah orangnya yang melakukan kejahatan itu?''
Ini adalah merupakan suatu kunci terpenting dalam persoalan ini. Huj-Kiam sangat menyeaal tetapi ia tidak menanyakan lebih dulu, selagi hendak menggunakan kekuatan tenaganya untuk membantu memberi semangat kepada nyonya yang bernasib malang itu, tetapi ternyata sudah tidak keburu karena pada saat itu Oy-Yu Cu sudah melayang jiwanya.
Hui Kiam cuma bisa memandang jenazahnya dengan hati pilu, kemudian berkata dengan suara parau:
“Nyonya Lie, aku terima baik permintaanmu, pasti hendak mendapatkan diri Oey-Yu-Hong.”
Sukma Tidak Buyar juga berkata sambil menggelengkan kepala serta menghela napas:
"Sayang, ia belum sempat mengatakan sudah menutup mata. Oey-Yu-Hong itu kalau bukan kakaknya tentu adiknya.”
“Sungguh tidak diduga bahwa perjalanan kita ini ternyata sia-sia belaka. Apa keterangan nyonya itu kau anggap boleh dipercaya?"
"Boleh dipercaya!"
"Sebabnya?"
"Seorang yang sudah dekat mati tidak bisa membohong. Kecuali itu, Lian-gie Sie-seng sudah mati, ia juga tahu bahwa dirinya sendiri juga pasti mati. Seorang yang sudah kehilangan jiwanya, benda bagaimanapun berharganya baginya sudah tidak ada gunanya sama sekali, perlu apa ia harus menyembunyikan rahasia?"
“Tetapi Sam-goan Lojin mati dengan kepandaian ilmu tiga jari Sam-ciok Ci dari Aiw-yang Hong, sedangkan orang-orang Sam-goan pang sebagian besar mati karena racun, dan menurut keterangan nyonya Aiw yang-Hong, sebelum menemukan ajalnya Aiw-yang-Hong pernah pergi bersama-sama ke Sam-goan-Pang dengan Liang-gie Sie-seng. Disamping itu, Liang-gie Sie-seng merupakan seorang ahli dalam berbagai jenis racun. Hal ini bagaimana kita harus memecahkannya?"
Sukma Tidak Buyar berpikir sangat lama baru menjawab:
"Hanya ada satu kemungkinan, bahwa tindakan Liang-gie Sie-seng, sengaja tidak diberitahukan kepada istrinya. Maka ia tidak tahu sama sekali segala perbuatan suaminya dan si pembunuh itu mungkin setelah mendapatkan barangnya lalu kabur jauh-jauh."
"Siapakah pembunuhnya?"
"Tentang ini… bagaimana kita dapat menduganya?"
"Jika kita dapat membukakan Oey-Yung Hong dari keterangan wanita itu mungkin kita dapat mencari tanda-tanda jejak pembunuhnya!"
"Satu-satunya jalan memang hanya itu saja!"
"Nah, mari kita kubur jenazahnya!"
"Baiklah."
Dua pemuda itu lalu bertindak, dengan cepat mengubur jenazah wanita itu bahkan melekatkan batu nisan di atas makamnya. Setelah scmua selesai, Hui Kiam lalu berkata:
“Mari kita masuk. Dari jenazah Liang-gie Sie-seng mungkin kita dapat menduga siapa pembunuhnya….”
"Luka yang terdapat di badan Oey Yu Cu itu merupakan luka pedang, sudah tentu Liang-gie Sie-seng tidak kecualian!"
“Itu belum tentu. Umpama Sam-goan Lojin, jika di jidatnya tiada terdapat tanda tiga jari."
"Baiklah, mari jalan...."
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang menegur mereka: "Apakah kalian berdua mencari mati?"
Dua pemuda itu terkejut, kedua-duanya berpaling. Begitu melihat, Sukma Tidak Buyar ternganga. Hui Kiam yang wajahnya terlalu dingin juga berdiri terpesona.
Terpisah kira-kira tiga tombak di tempat kedua pemuda itu berdiri, nampak seorang wanita cantik sekali. Badannya mengenakan pakaian sutera yang putih sekali, pakaian dalamnya
berwarna merah jambu, tampak tegas bentuk badannya yang padat yang penuh daya penarik.
Cantik sekali. Kecantikannya itu tidak dapat dilukiskan dengan pena. Kecantikannya membuat orang terpesona, tetapi tidak berani memandang lama.
Siapa percaya bahwa di dalam dunia ini ada makhluk demikian cantik?
Ia seharusnya bidadari yang tinggal di kahyangan.
Suasana untuk sesaat agaknya menjadi sunyi.
Sinar mata wanita cantik itu yang penuh daya penarik ditujukan ke wajah Hui Kiam, kemudian beralih turun kepada perut, paha dan kaki, selanjutnya memandang lagi dari bawah ke atas lalu berhenti di wajahnya.
Hui Kiam dapat merasakan seluruhnya bahwa dirinya diperhatikan sedemikian rupa, tetapi ia tidak berdaya melawan juga tidak berdaya untuk mengelakkan pandangan itu. Semacam perasaan yang belum pernah ada timbul dari dalam hati sanubarinya membuat wajahnya dan sikapnya yang dingin telah lenyap seketika dan berubah menjadi warna kemerah-merahan.
Wanita itu tersenyum, tenang sikapnya tetapi sikap itu sangat menggiurkan dan menggayakan.
Dalam senyumnya yang memikat hati, agaknya mengandung semacam pengaruh yang kuat yang membuat orang terbenam dalam mabuk dan pikiran yang bukan-bukan.
"Hm!" terdengar suara tarikan napas, mirip suara keluhan tetapi juga mirip dengan orang yang mengigau. Suara itu keluar
dari mulut Sukma Tidak Buyar. Entah ia sudah lupa akan dirinya sendiri atau hilang semangatnya. Mungkin ia merasa tidak adil terhadap perhatian si cantik jelita yang hanya ditujukan kepada Hui Kiam....
Suara tarikan napas itu telah memecahkan kesunyian tetapi sebentar sudah kembali seperti semula, keadaan menjadi sunyi sepi
lagi. Agaknya semua perhatian ditujukan kepada paras yang cantik luar biasa itu.
Jantung Hui Kiam tergoncang. Ia tahu bahwa ia sendiri sudah tidak mampu mengendapkan perasaannya sendiri.
Ia juga tahu bahwa tidak seharusnya berlaku demikian. Tetapi ia tidak dapat mengendalikan pandangan matanya. Ia berusaha tetapi selalu sia-sia, bagaikan ada semacam kekuatan hebat yang tidak berdaya menguasai dirinya sendiri.
Wanita cantik itu untuk kedua kalinya mengajukan senyumnya yang semakin memikat hati makin mengiurkan.
Hui Kiam merasakan bahwa dirinya sudah melayang-layang di tempat yang kosong.
Sinar mata si cantik ditujukan kepada Sukma Tidak Buyar.
Hui Kiam bagaikan seorang yang baru terlepas dari tindihan barang berat, mendapat kesempatan untuk bernapas, pada saat itu ia baru dapat melihat bahwa di belakang diri si jelita itu, masih ada seorang perempuan muda cantik, tetapi dibandingkan dengan kecantikan si jelita tadi, kecantikannya bukan merupakan apa-apa lagi.
Perempuan muda itu matanya memandang lurus ke depan dengan sikapnya dingin. Sinar matanya memancarkan perasaannya yang peuh dendam sehingga sangat tidak sesuai dengan suasana pada saat itu. Sikap demikian itu, agaknya telah menyadarkan pikiran Hui Kiam, ia seperti berada dalam kabut yang dapat melihat setitik sinar terang.
Warna merah di mukanya telah lenyap, darahnya mengalir seperti biasa, ia menarik napas dalam-dalam.
Ketika sinar mata si cantik yang menggiurkan itu untuk kedua kalinya ditujukan kepada wajahnya, meski ia merasa terpengaruh tetapi sudah dapat menguasai perasaannya sendiri.
“Kau adalah Penggali Makam?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut si jelita kedengarannya sangat menarik sekali.
“Aku benar, bolehkah aku bertanya….”
Huit Kiam ingin berusaha untuk menindas perasaannya sendiri, tetapi ia tidak bisa, sikapnya tidak seperti biasanya yang dingin angkuh.
“Aku bernama Tong-hong Hui-bunl”
“Oh, nona Tong-hong….”
“Aku bukan nona lagi, sebutan ini... kau panggil aku kakak saja sudah cukup?"
Searang wanita, meminta seorang laki-laki yang baru dikenalnya memanggil dirinya “kakak", bukan saja ganjil, tetapi juga mendekati suatu perbuatan yang tidak tahu malu. Tetapi ucapan yang keluar dari mulutnya itu, agaknya sedikitpun tidak menusuk telinga atau menyinggung perasaan, sedikitpun tidak dirasakan aneh, sebaliknya malah menimbulkan perasaan hangat bagi yang mendengarkan.
Wajah Hui Kiam merasa panas. Ia lalu merobah sebutannya:
”Nyonya......."
“Apakah kau merasa sayang memanggil aku kakak?"
“Ini..... ini.. .. kita satu sama lain masih asing."
"Bukankah kita sekarang sudah kenal? Adik, sebutan itu jika dipandang dari sudut umur kita, tidak ada apa-apa yang kurang patut!"
Hui Kiam tidak dapat mengeluarkan perkataan itu, disebabkan karena sifatnya yang dingin dan angkuh.
Si cantik itu berkata pula sambil bersenyum:
"Adik, nama julukanmu ini tidak bagus, dengan keadaan sendiri sangat tidak sesuai, robah saja!"
Nada suara itu bagaikan terhadap kepada satu sahabat akrab yang sudah lama berkenalan, sedikitpun tidak merasa asing.
Dengan tanpa banyak pikir lalu menjawab:
“Tetapi aku merasa senang dan puas dengan nama julukan ini."
"Oh! Ya sudah. Siapa gurumu?"
"Suhu sudah menutup mata. Maaf aku tidak dapat menyebut namanya."
Teringat akan suhunya, dalam hatinya timbul pula rasa dendam dan bencinya, maka di wajahnya segera menunjukkan perobahan dingin dan angkuh lagi seperti biasa.
Si jelita itu diam sejenak kemudian berkata pula dengan ramai senyuman:
"Adik, kita baru berkenalan, tidak usah bicara banyak-banyak, di kemudian hari apabila ada kesempatan kita boleh bicara lagi. Apakah kau ingin masuk ke lembah Bu-hwee-kok?"
Hui Kiam mengawasi lembah di luar gua sejenak, lalu berkata:
"Apakah tempat ini bernama lembah Bu-hwee-kok?"
"Ya! Apakah kau tidak tahu, setiap tumbuhan di dalam lembah ini, tiada satu yang tidak mengandung racun, betapapun tinggi kepandaianmu, kalau sudah masuk juga tidak bisa kembali lagi. Itulah sebabnya dinamakan Bu-hwec-kok, yang berarti Lembah Tidak Bisa Balik Lagi."
Hui Kiam terkejut. Ia mengawasi Sukma Tidak Buyar, nyata pemuda itu saat itu sedang berdiri sambil mengarahkan pandangan mata lurus kepada hidungnya, bagaikan seorang padri yang sedang bersemedi. Sikapnya itu sangat lucu dan menggelikan, mungkin ia takut pandangan matanya kebentrok dengan si jelita maka ia juga tidak mengganggu padanya, kemudian berkata pula kepada si jelita:
"Kalau semua tumbuhan dalam lembah ini mengandung racun, sehingga tidak ada manusia yang keluar dari sini dalam keadaan hidup, mengapa Liang-gie Sie-seng suami-istri masih bisa terbunuh?"
"Sudah tentu ini hanya menurut keadaan biasa dan bagi manusia umumnya, tetapi di atasnya orang pandai masih ada yang lebih pandai, segala sesuatu ada terkecualinya!"
Keterangan itu memang masuk di akal, tetapi pikiran lain timbul dalam hati Hui Kiam, maka ia lalu bertanya pula:
"Kalau bagitu pembunuh Liang-gie Sie-seng suami-istri, kau ..."
“Panggil aku kakak saja!"
Hui Kiam diam saja, ia sesungguhnya tak dapat mengeluarkan sebutan demikian.
Si jelita itu berkata sambil menatap Hui Kiam.
"Adik! Aku hanya berkata menurut anggapan biasa, sama sekali tidak tahu pembunuhnya. Jika sekarang kau tidak sebutkan itu, aku malah masih belum tahu bahwa Liang-gie Sie-seng sudah menutup mata!"
"Kita bisa berjumpa di sini sesungguhnya sangat kebetulan...."
"Bukan kebetulan, melainkan jodoh. Adik, apakah kau percaya soal jodoh?"
Nada itu diucapkan dengan suara yang sangat meggiurkan sehingga Hui Kiam mulai terpengaruh lagi perasaannya, padahal waktu sebelumnya di dalam dadanya kecuali perasaan dendam dan sakit hati sudah tidak ada tempat lagi bagi yang lain, tetapi pada saat ini perasaan itu telah tergoncang pengaruh si jelita telah menembus tembok penjagaan dalam hatinya bahkan sudah barhasil menyusup ke dalam hati sanubarinya.
Si jelita itu melanjutkan ucapannya.
"Adik, dalam hatimu sudah mengakui tetapi kau tidak berani berkata, betul tidak? Tidak apa, kakakmu dapat mengerti ini, sudah cukup sebetulnya, dalam kujelaskan juga, tidak ada harganya sama sekali mengapa kau bisa datang kemari, bukankah karena kitab Thian-gie Po-kip bagian bawah itu, betul tidak? Aku juga mendengar kabar itu sehingga datang kemari, mungkin ada orang datang lebih dulu, mungkin juga masih ada orang yang akan datang
lagi, tetapi tidak lebih dulu atau ketinggalan kita telah berjumpa di sini, maka dapat diartikan sebagai jodoh, bukan soal kebetulan seperti apa yang kau katakana. Perkataan kebetulan yang kau ucapkan tadi, di dalamnya masih ada mengandung maksud lain, betul tidak?”
Hui Kiam tunduk seratus persen terhadap keterangan si cantik itu, sinar matanya menunjukkan perasaan di dalam hatinya.
Si jelita itu menutup mulutnya, ia mengawasi Hui Kiam seperti pertama baru ketemu tadi.
Akhirnya, Hui Kiam runtuh semangatnya, ia tidak dapat lagi mempertahankan perasaannya. Dengan suara yang kurang tegas akhirnya ia mengeluarkan perkataan:
"Kakak!"
Si cantik itu tertawa, agaknya ia merasa puas. Ia maju beberapa langkah dan berkata dengan suara perlahan: "Adik, mendengar panggilanmu ini, di dalam dunia ini rasanya aku sudah tidak menginginkan apa-apa lagi!”
Apakah maksud ucapan itu? Dalam hati Hui Kiam mengerti, sehingga sesaat itu perasaannya bergolak, jantungnya berdebar keras.
Manusia tetap manusia yang terdiri dari darah dan daging, bukan terbuat dari kayu atau batu. Betapapun dingin perasaannya, satu waktu bisa runtuh juga. Teori cuma dapat dipertahankan dalam keadaan biasa, jika berjumpa dengan keadaan yang luar biasa, lain pula artinya. Demikian pula dengan keadaan Hui Kiam, ia dingin menyendiri dan angkuh tetapi sekarang telah berubah seluruhnya.
"Kakak, apakah kau juga tahu soal kitab Thian-gie Po-kip itu?"
Sudah tentu bagi orang-orang rimba persilatan sering menggunakan sebagai gantinya mata.
"Dan sekarang bagaimana?"
"Sudah saja!”
"Tetapi aku tidak boleh tidak harus mendapatkannya!”
"Mengapa?"
"Tidak apa-apa, aku... hanya ingin dapatkan kitab itu!”
"Kau agaknya masih ada perkataan yang belum kau jelaskan?”
Hui Kiam terkejut, ia dikagumkan oleh ketegasan wanita itu. Tetapi biar bagaimana rahasia dirinya sendiri ia harus pegang teguh. Maka ia lalu menjawab:
"Aku tidak menyangkal. Tetapi setiap orang sudah tentu mempunyai rahasia hatinya sendiri yang perlu dirahasiakan."
"Tepat, ialah kita tidak usah membicarakan soal ini. Adik, apakah kau suka mendengar perkataanku?"
"Coba kau terangkan!"
"Apakah kau bermusuhan dengan Persekutuan Bulan Emas?"
“Mengapa kau mengajukan pertanyaan ini?"
"Jawablah dulu pertanyaanku."
"Tidak ada permusuhan pribadi, yang ada hanya permusuhan umum!"
“Apakah artinya permusuhan umum?”
“Rimba persilatan daerah Tionggoan tidak mengijinkan sepak terjangnya yang sewenang-wenang, kebenaran dan keadilan rimba persilatan tidak boleh diinjak-injak.”
"Tetapi... aku... sangat khawatir suatu ketika nanti kau binasa di tangan orang-orang Bulan Emas!"
"Aku tidak memperhitungkan kalah menang atau rugi diriku sendiri!" la berhenti sejenak lalu berkata pula: "Apakah kakak ada hubungan dengan persekutuan itu?"
"Oh! Tidak, kau jangan berpikir yang bukan-bukan, aku hanya sangat mengkhawatirkan dirimu, karena Persekutuan Bulan Emas itu mempunyai banyak orang pembantu yang mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi, sehingga tidak boleh kau pandang ringan. Kabarnya telah kau binasakan beberapa anak buahnya...."
“Memang betul!”
"Maka itu persekutuan itu pasti tidak akan membiarkanmu begitu saja."
“Aku tidak perduli, aku hanya tahu berbuat apa yang aku harus perbuat.”
"Kegagahan seorang yang tak memakai perhitungan!"
Hui Kiam kembali terkejut dan terheran-heran. Wanita itu bukan saja mempunyai kecantikan yang luar biasa, tetapi juga mempunyai pengetahuan yaug melebihi dari manusia biasa. Agaknya Tuhan hanya mencurahkan cintaNya padanya seorang saja sehingga semua keindahan di luar dan di dalam, telah diberikan kepadanya. Dengan perasaan kagum ia menjawab:
"Ucapan kakak memang benar!"
Pada saat itu Sukma Tidak Buyar tiba-tiba membuka mulut dan berkata:
"Toako, kita harus pergi!"
Paras wanita cantik itu nampak berubah. Ia bertanya dengan heran:
"Apa, ia memanggilmu Toako?"
Hui Kiam menjawab sambil tertawa:
"Dia....."
Baru saja mengeluarkan perkataan ‘dia’..... telah disela oleh suara tertawanya Sukma Tidak Buyar.
Dengan sikap sungguh-sungguh Sukma Tidak Buyar berkata:
"Enci tidak tahu....."
"Apa? Kau… memanggil aku enci?"
"Seharusnya memang begitu. Dengarkan keteranganku dulu, enci nanti mengerti sendiri. Toakoku ini menurut urutan tingkatan, masih setingkat lebih tua daripadaku. Mengenai usia memang aku yang lebih tua, apa boleh buat hubungan persahabatan kami begitu dalam, jadi terpaksa memanggilnya toako. Sekarang dia adalah adikmu, sudah tentu terpaksa aku juga memanggilmu enci."
Keterangan gila itu, hampir saja membuat Hui Kiam tertawa karena gelinya.
To-hong Hui Bun dengan alis berdiri ia bertanya:
"Siapa gurumu?"
Ia ingin dari jawaban Sukma Tidak Buyar untuk menduga asal-usul perguruan Hui Kiam.
Dengan sungguh-sungguh Sukma Tidak Buyar menjawab:
"Guruku, orang-orang menyebut namanya Tidak Buyar Sukmanya!"
"Apa? Tidak Buyar Sukmanya, sedang kau mempunyai nama julukan Sukma Tidak Buyar.”
"Benar, begitulah gurunya beginilah muridnya."
“Tetapi dalam rimba persilatan aku belum pernah dengar ada orang kuat yang mempunyai nama julukan Tidak Buyar Sukmanya."
"Suhu jarang bergerak di dunia Kang-ouw."
"Berapa banyak persaudaraan dalam perguruanmu?"
"Oh! Tidak banyak, cuma delapan!"
"Apakah semua menggunakan nama julukan Sukma Tidak Buyar?"
"Benar! Benar."
Hui Kiam malah merasa bingung, sebab ia sendiri tidak tahu asal-usul Ie It Hoan, ia tidak tahu keterangannya itu diberikan seenaknya saja ataukah benar-benar, tetapi dari tiga orang Sukma Tidak Buyar yang dijumpainya, hanya dia seoranglah yang menyaru, dari sini
bisa ditarik suatu kesimpulan, bahwa keterangan mengenai saudara seperguruan yang katanya ada delapan orang, pasti bohong belaka.
Pada saat itu, beberapa bayangan orang telah muncul. Orang yang muncul lebih dahulu adalah seorang pemuda cukup tampan dengan pakaian seperti orang pelajar, tangannya membawa kipas, sayang nampaknya agak ceriwis. Dia bukan lain dari pada Bu-theng Kongcu. Di belakangnya ada dua orang pemuda dan tiga orang laki-laki berpakaian hitam dan membawa pedang selaku pengiringnya.
Kongcu itu begitu melihat Hui Kiam, wajahnya segera berobah, kemudian ia berkata:
"Manusia benar saja, dimana selalu akan berjumpa, kita kembali bertemu di sini!"
"Orang she Kang, hari ini kau jangan berharap bisa kabur lagi dalam keadaan hidup!” jawab Hui Kiam dingin.
“Mustahil."
Ucapan selanjutnya mendadak ditelan kembali. Sepasang matanya terus memandang paras Tong-hong Hui Bun dengan mata liar. Lama sekali, ia baru berkata lagi sambil tertawa cengar-cengir:
"Nona benar-benar bagaikan dewi yang turun dari kahyangan, aku yang rendah sungguh beruntung dapat berjumpa dengan nona, maafkan dosaku yang berlaku lancang ini!"
Mata Hui Kiam memancarkan sinar beringas kalau ia ingat bagaimana perbuatan Kongcu biadab itu hendak memperkosa diri Wanita Tanpa Sukma. Ia merasa benci terhadap sikapnya itu yang ditujukan kepada Tong-hong Hui Bun itu. Perempuan cantik ini kini sudah mempunyai tempat terpenting dalam hati Hui Kiam, ini juga berarti bahwa Hui Kiam selama itu bersikap dingin, ternyata sudah timbul cintanya terhadap perempuan yang mempunyai kecantikan luar biasa itu. Sudah tentu ia tidak dapat membiarkan kelakuan kongcu yang cerewet itu. Selagi hendak bertindak.....
Sukma Tidak Buyar tiba-tiba mengeluarkan suara batuk-batuk. Ia memberi isyarat dengan mata kepada Hui Kiam sehingga Hui Kiam mengurungkan maksudnya.
Alis To-hong Hui Bun berdiri. Dengan suara yang merdu ia berkata:
"Kau panggil aku nona, itulah kurang tepat, panggil aku cian-pwee masih boleh. Aku sedikitnya lebih tua duapuluh tahun dari usiamu!"
Untuk sesaat lamanya Bu-theng Kongcu nampak tercengang, tetapi ia berkata sambil tertawa cengar-cengir:
“Nona main-main......."
"Apa yang kuucapkan adalah hal yang sebenarnya!”
"Kalau begitu, baik aku menurut panggil kau cianpwe, bolehkah aku numpang tanya...”
“Siapakah namamu?"
"Namaku Kang-Lie, julukanku Bu-theng Kongcu!"
Sehabis berkata kembali ia menjura, semua tulang-tulangnya agaknya merasa lemas, sikapnya itu sesungguhnya sangat memuakkan.
Dengan senyuman sangat mengiurkan Tong-hong Hui Bun berkata:
"Oh, kau adalah Bu-theng Kongeu Kang-Lie!"
Bu-theng Kongcu nampaknya girang sekali, sikapnya sebagai pemuda yang gemar pipi licin telah ditunjukkan dengan nyata. Sambil kipas-kipaskan kipasnya ia berkata:
"Apakah Cian-pwee sudah lama tahu namaku yang rendah?"
“Kabarnya Bu-theng Kongcu kalau membunuh orang tidak membiarkan bangkainya tinggal utuh, kalau memperkosa perempuan tidak pernah meninggalkah nyawanya. Apakah semua itu benar?”
Wajah Bu-theng Kongcu berobah seketika, tetapi sebentar saja balik seperti biasa. Sambil menggoyang-goyangkan tangannya ia menjawab:
"Cianpwe jangan mendengarkan segala kabar bohong yang tersiar di luaran, kau lihat apakah aku orang semacam itu?"
"Dengan maksud apa kau datang kemari?"
"Hanya ingin menonton keramaian. Sungguh tidak disangka aku berjumpa dengan Cianpwee, aku benar merasa sangat beruntung sekali."
“Sudah cukup kata-katamu?"
“Oh! Cianpwe masih belum memberitahuku namanya yang mulia... ?"
Senyum yang terakhir di bibir Tong-hong Hui Bun telah lenyap seketika, parasnya yang menggiurkan diliputi oleh kcmurkaan. Kemudian ia berkata:
“Kang Lie, dengan memandang muka gurumu kali ini aku beri ampun kepadamu satu kali. Lekas kau enyah dari sini!”
Hui Kiam saat itu juga hampir tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tetapi di lain pihak ia juga merasa bingung dan terheran-heran ketika mendengar perkataan perempuan cantik itu tadi. Dilihat dari luar, usia Tong-hong Hui-Bun belum cukup tiga puluh tahun, tetapi mengapa ia menyuruh Bu-theng Kongcu memanggilnya Cianpwee? Dari pembicaraannya jelas ia merupakan seorang Kang-ouw kawakan.
Bu-theng Kongcu ketika mendengar perkataan Tong-hong Hui Bun nampaknya sangat terkejut sehingga mundur selangkah dan kemudian berkata:
"Apakah Cianpwee juga kenal suhuku?"
"Aku menyuruhmu pergi!” jawab Tong-hong Hui Bun dingin.
Bu-theng Kongcu nampak berpikir keras, kemudian dengan sekonyong-konyong timbul pula sikapnya yang bawel. Dengan bertindak maju semakin dekat ia berkata:
"Aku sudah mendapat warisan suhu."
Perkataan itu siapapun mengerti apa yang dimaksudkan sebab, guru pemuda ceriwis itu bukan saja berkepandaian tinggi tetapi juga terkenal romantis dengan perbuatannya yang cabul.
Hui Kiam hampir bergerak. Ia tidak menyangka bahwa kongcu biadab itu berani berlaku tidak senonoh terhadap wanita pujaannya itu.
Sekali lagi Sukma Tidak Buyar mencegah Hui Kiam bertindak, ia memberi isyarat supaya menunggu dulu reaksi Tong-hong Hui Bun.
Perempuan muda yang berdiri di belakang Tong-hong Hui Bun, dengan paras gusar berkata kepada Tong-hong Hui Bun dengan suara pelahan:
"Ibu majikan!"
Perkataan ibu majikan itu membuat Hui Kiam sekujur badannya dirasakan dingin. Kalau begitu perempuan cantik itu sudah bersuami.
Tong-hong Hui Bun dengan tangannya memberi isyarat kepada wanita di belakangnya supaya tak berbicara, kemudian dengan sekonyong-konyong parasnya menunjukkan senyumnya yang menggiurkan, lalu berkata:
"Kang Lie, jadi kau tidak tega meninggalkan aku?"
Bu-theng Kongcu benar-benar sudah hampir tidak terkendalikan. Sambil membongkokkan badan ia berkata:
"Aku dengan sungguh-sungguh mengharap dapat melakukan apa-apa untuk kepentingan perempuan cantik semacam kau, setiap waktu aku selalu turut perintahmu!"
"Apakah itu benar?"
"Sekalipun mati aku juga tidak berani berbuat yang berlawanan dengan kehendakku!"
Tong-hong Hui Bun tiba-tiba berkata dengan suara bengis:
"Baik, aku sekarang menyuruhmu mati dengan segera. Lebih dulu korek dua biji matamu, kemudian kau belah sendiri perutmu supaya aku bisa melihat kau apa benar-benar tidak mempunyai usus."
Bu-theng Kongcu melompat mundur tiga-empat langkah. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Ini… ini….”
“Aku menyuruhmu pergi, tetapi kau sebaliknya tidak tahu diri!"
"Cianpwee barang kali main-main saja."
"Bukan main-main melainkan bersungguh-sungguh!”
"Bukankah Cianpwee berkata kenal dengan suhu?"
“Tidak usah banyak bicara, lekaslah bertindak!”
Dalam waktu sekejap mata saja suasana telah berobah seluruhnya.
Wajah Bu-theng Kongcu beberapa kali menunjukkan perobahan. Akhirnya ia bersikap seseorang yang minta dikasihani. Ia berkata:
"Cian-pwee mungkin percaya segala omongan yang tersiar di dunia Kang-ouw mengenai diriku. Sebetulnya aku....."
To-Hong Hui Bun segera mengulapkan tangan dan berkata kepada perempuan muda di belakangnya:
"Siao Ciau, bereskanlah dia!"
Perempuan muda itu lalu bertindak maju....
Bu-theng Kongcu menunjukkan senyumnya yang ceriwis. Ia berkata kepada perempuan itu sambil menunjuk dengan kipasnya:
"Nona begini cantik aku benar-benar tidak tega merusaknya. Begini saja…" ia lalu berpaling dan berkata kepada salah seorang anak muda di belakangnya:
“Kau temani nona ini main-main beberapa jurus saja, tetapi jangan bertindak terlalu berat!"
Tindakan Kongcu itu sudah nyata, karena kedudukannya sendiri, ia tidak mau bertanding dengan orang bawahannya orang cantik itu.
Perempuan muda itu semakin gusar karena dianggapnya tidak dipandang mata oleh Bu-theng Kongcu. Saat itu ia juga berada tidak jauh di depan Kongcu, sedangkan Tong-hong Hui Bun menyaksikan semua itu dengan berseri-seri, nampaknya tidak seperti sedang menghadapi pembunuhan.
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, ini berlainan sekali dengan sifat biasanya. Sudah beberapa kali ia pernah menghadapi kematian, tapi belum pernah sedemikian terpengaruh perasaannya.
Sebaliknya dengan Sukma Tidak Buyar saat itu nampak sangat tenang sekali, itulah menunjukkan kecerdasan berpikir pemuda itu. Dengan suara perlahan ia berkata kepada Hui Kiam:
"Toako, kita menonton saja, jangan bertindak apa-apa."
Sifatnya pemuda pengawal Bu-theng Kongcu itu nampaknya sudah ketularan sifat Kongcunya, dengan sinar matanya yang ceriwis terus memandang perempuan muda itu seraya berkata:
"Nona, aku Tan Peng......”
Tetapi sebelum dapat mengeluarkan perkataan selanjutnya, mulutnya sudah mengeluarkan jeritan, kakinya mundur terhuyung-huyung dan kemudian rubuh di tanah tidak bisa bangun lagi.
Perempuan muda itu bertindak terlalu cepat juga terlalu tiba-tiba, hampir semua orang tidak melihat dengan cara bagaimana ia turun tangan membinasakan lawannya.
Hui Kiam dan Sukma Tidak Buyar yang menyaksikan itu juga tercengang. Kepandaian perempuan itu sesungguhnya sangat mengejutkan.
Sebaliknya dengan Tong-hong Hui Bun, sikapnya masih biasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Bu-theng Kongcu dan empat orang pengawal yang lainnya, seketika tertegun, wajahnya berobah.
Perempuan muda itu dengan sikapnya tetap dingin berkata kepada Bu-theng Kongcu:
“Sekarang aku hendak membunuhmu!"
Bu-theng Kongcu mengawasi bangkai pemuda bekas pengawalnya sejenak lalu berkata kepada Tong-hong Hui Bun:
---ooo0dw0ooo---
JILID 8
SAMPAI berjumpa di lain waktu, sekarang aku ingin pergi dulu!”
Tetapi baru saja ia bergerak, tiba-tiba terdengar ucapan perempuan muda itu yang berkata: “Sudah terlambat!”
Kemudian dengan kecepatan yang luar biasa melesat ke tengah udara, tangannya diayun dan memaksa Bu-theng Kongcu balik ke tempat semu la.
Wajah Bu-theng Kongcu mengunjukkan perasaan kaget dan ketakutan.
Empat orang pengawal Bu-theng Kongcu selagi Bu-theng Kongcu bergerak sudah kabur, maka ketika Bu-theng Kongcu terpaksa balik oleh perempuan muda tadi, empat orang pengawalnya sudah berada sejauh sepuluh tombak lebih.
Sekonyong-konyong, empat orang pengawa1 itu seperti terkena pengaruh gaib, badannya tertarik ke atas kemudian roboh di tanah tanpa bersuara.
Hui Kiam terkejut, matanya lalu ditujukan kearah Tong-hong Hui Bun. Ia segera dapat lihat tangan perempuan cantik itu baru saja telah bergerak. Jelaslah sudah, bahwa empat pengawal itu, sudah
dibunuh mati olehnya, entah dengan senjata rahasia ataukah ilmu gaib macam apa, yang mampu membunuh orang dalam jarak sepuluh tombak lebih.
Perempuan cantik bagaikan bidadari, telah sedemikian ganas caranya mengambil hidup manusia, jikalau tidak menyaksikan sendiri, sebetulnya orang tidak akan percaya.
Tong-hong Hui Bun mengawasi Hui Kiam sambil tersenyum manis, sehingga hati Hui Kiam tergoncang keras.
Di antara suara bentakan, senjata kipas Bu-theng Kongcu sudah menyerang dengan hebat nya kepada perempuan muda itu.
Gerakan perempuan muda itu ternyata juga luar biasa hebatnya. Dalam tiga gebrakan saja sudah berhasil melumpuhkan serangan Bu-theng Kongcu. Lima jurus kemudian Kongcu itu sudah terdesak dan tidak mampu balas menyerang sama sekali.
Hui Kiam diam-diam terperanjat. Perempuan muda itu kedudukannya sebagai pelayan, tetapi kepandaiannya sedemikian tinggi, entah bagaimana kepandaian Tong-hong Hui Bun sendiri.
Serangan perempuan muda itu selalu ditujukan kepada bagian atas dan bawah, bagian tengah tidak pedulikan, agaknya ia sudah tahu bahwa Kongcu itu mengenakan pakaian kulit lemas yang melindungi dirinya.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan wanita muda itu, Bu-theng Kongcu dengan badan terhuyung-huyung mundur sampai lima-enam langkah.
Wanita muda itu terus mendesak, jari tangannya bergerak, menotok jalan darah di bagian mukanya….
Bu-theng Kongcu membentangkan kipasnya dari dalam kipas itu menyembur segumpal jarum halus.
Pertempuran dengan jarak dekat sesungguhnya amat sulit sekali untuk menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia, tetapi kali ini dapat diuji pula betapa tingginya kepandaian wanita muda itu
sambil mengibaskan kedua lengan bajunva, badannya melompat minggir ke samping sehingga terhindar dari serangan tersebut.
Bu-theng Kongcu menggunakan kesempatan terluang yang hanya sekejap mata saja, sudah melesat tingg dan menghilang....”
Tetapi sebentar kemudian terdengar suara jeritan yang mengerikan. Hui Kiam terperanjat ketika ia menengok ke arah Tong-hong Hui Bun. Wanita cantik itu ternyata sudah tidak kelihatan bayangannya, entah dalam sekejap ia sudah berlalu belum lagi hilang perasaan herannya Tong-hong Hui Bun sudah balik dari arah dirinya Bu-theng Kongcu tadi berlalu, dengan wajah penuh senyuman yang memikat hati.
Hui Kiam segera berkata kepadanya:
“Bagus sekali, sungguh luar biasa kepandaian enci!”
“Adik, apakah kau suka?”
Tong-hong Hui Bun balik bertanya dan sambil tersenyum.
Pertanyaan yang mengandung dua maksud itu kembali telah menggoncangkan hati Hui Kiam. Tetapi ia ingat bahwa wanita muda tadi pernah memanggilnya ibu majikan, sehingga perasaannya seketika berubah menjadi murung. Perubahan sikap itu tidak dapat mengelabuhi mata Tong-hong Hui Bun maka ia segera berkata dengan suara lemah lembut:
“Adik, apakah yang kau pikirkan?”
“Tidak apa-apa, aku hanya'merasa.....”
“Merasa apa?”
“Perkenalan kita ini barangkali bukan jodoh melainkan dosa.”
Sehabis berkata, wajahnya mendadak merah karena di samping Sukma Tidak Buyar ia sendiri juga merasa heran mengapa bisa berkata demikian.
Tong-hong Hui Bun dengan sinar matanya yang jernih berkata dengan suara merdu:
“Mengapa?”
Dengan wajah merah dan suara pilu Hui Kiam berkata:
“Sayang kita bertemu sesudah kau kawin!”
Paras Tong-hong Hui Bun yang cantik menunjukkan sinar girang, sehingga nampaknya semakin cantik, terutama biji matanya yang jernih, mengeluarkan daya penarik semakin hebat.
“Adik, ini masih belum terhitung terlambat, hanya....”
“Hanya apa?”
“Encimu adalah seorang yang sudah pernah kawin, aku takut kau menganggap aku….”
“Tidak terhitung terlambat? Apakah ....”
“Dia sudah meninggalkan aku untuk selama-lamanya.”
Siapakah yang dimaksudkan dengan perkataan 'dia' itu tidak usah dikata, sudah tentu adalah suaminya. Jawaban itu membuat hati Hui Kiam berdebar keras, ia kini baru tahu bahwa wanita cantik itu ternyata sudah menjadi janda.
la masih ingin berkata banyak, tetapi karena masih ada orang lain di sampingnya, ia tidak dapat mengeluarkan kata-katanya hanya memandang dengan matanya, agaknya sudah mengutarakan isi hatinya dalam pandangan matanya itu.
Tong-hong Hui Bun berkata dengan suara sedih:
“Adik, apakah..... kau tidak pandang rendah diriku?”
“Tidak!”
“Andaikata, usiaku lebih tua darimu, bahkan jauh lebih tua seperti apa yang kau bayangkan?”
“Itu tidak penting!”
“Apakah kau... cinta padaku?”
Hui Kiam yang sebetulnya bukan pemuda yang gemar paras cantik, bahkan sebaliknya, di waktu yang sudah-sudah, sikapnya
selalu dingin terhadap segala apa, soal istilah cinta tidak dikenalnya, tetapi sekarang, ia jatuh dalam pengaruh perempuan cantik luar biasa itu. Dengan susah payah dia baru dapat mengeluarkan perkataan:
“Ya !”
“Toako!” demikian suara yang keluar dari mulut Sukma Tidak Buyar.
“Hem!” sahutnya Hui Kiam, tetapi mata nya masih belum beralih dari badan Tong-hong Hui Bun itu.
Sukma Tidak Buyar lalu berkata dengan suara lebih keras:
“Kita masih mempunyai urusan yang belum diselesaikan, perlu harus mengejar waktu!”
Ucapan itu menyadarkan pikiran Hui Kiam yang sudah kacau, tentang kematian suami-isteri Liang-gie Sie-seng, sehingga perjalanannya mencari kitab Thian-gie Po-kip telah menubruk tempat kosong, sementara si Orang Tua Tiada turunan yang sudah berangkat lebih dulu ke lembah Ciok-beng-gam, sudah menantikannya di dekat makam pedang, dan tentang kematian toasupeknya di bawah gunung Tay-hong-san dalam usahanya mencari makam pedang itu, ia sendiri yang sebagai murid keturunan Lima Kaisar Rimba Persilatan, jikalau tidak membereskan peristiwa berdarah itu dan melanjutkan cita-cita perguruannya, bagaimana ia mempunyai muka menemui guru dan supeknya yang berada di alam baka.
Oleh karena berpikir demikian maka pikirannya yang bukan-bukan telah lenyap seketika. Dengan tegas ia berkata kepada Tong-hong Hui Bun:
“Enci, adikmu masih mempunyai urusan, sekarang ingin minta diri dulu !”
“Kau... mau pergi?”
Suara yang mengandung daya penarik ditambah dengan sikapnya merayu, semakin hebat daya penarikannya.
Hati Hui Kiam trrgoncang, hampir ia merubah pikirannya, tetapi biar bagaimana ia masih teguhkan pikirannya, maka lalu menjawab:
“Ya!”
Tong-hong Hui Bun berkata dengan suara sedih:
“Kita merasa sayang berjumpa agak terlambat, mengapa tergesa-gesa berpisah? Semoga kita bisa berjumpa lagi.” Sepasang matanya yang jernih terus melancarkan pengaruhnya di muka Hui Kiam, kemudian berkata: “Adik, aku menantikan waktu supaya dapat berjumpa lagi denganmu!”
Hui Kiam menundukkan kepala, ia tidak berani memandang mata perempuan cantik itu. Dengan suara perlahan ia berkata:
“Begitu juga dengan aku!”
“Kalau begitu sampai berjumpa lagi.”
“Enci, di mana alamatmu?”
“Alamatku? Adik, kediamanku sangat terpencil apalagi sebagian besar waktuku berada di luaran. Begini saja, selanjutnya aku bisa mengirim orang untuk berhubungan denganmu.”
“Enci, baiklah begitu saja, sekarang aku hendak pergi!”
Sehabis berkata ia sudah lompat melesat sejauh sepuluh tombak lebih, seolah-olah lari menyingkir dari tempat bahaya. Sukma Tidak Buyar terus mengikutnya. Di sepanjang jalan dua kawan itu tiada berkata apa-apa.
Sikap Hui Kiam agak dingin, ia seperti mendapatkan sesuatu, juga seperti kehilangan sesuatu. Bayangan perempuan cantik yang mempunyai kecantikan luar biasa itu, terus terbayang dalam otaknya. Ia mencoba memikirkan sejenak urusan orang lain, tetapi selalu gagal. Perempuan itu telah menempati seluruh hatinya, juga membangkitkan perasaan yang selama itu terpendam dalam hatinya.
Berjalan kita-kira beberapa puluh pal, Sukma Tidak Buyar baru berkata:
“Toako, kau agaknya berobah menjadi lain orang.”
“Aku... berobah?”
“Aku lihat ya. Toako, suka dengan kecantikan memang merupakan kodrat alam, aku tidak bisa bilang apa-apa, hanya harap kau berlaku sedikit tenang dan berpikir masak-masak karena sekali salah tidak bisa merupakan sesal vntuk selama-lamanya!”
“Apa maksud perkataanmu ini?”
“Asal-usul perempuan itu masih merupakan satu teka-teki. Mereka majikan dan pelayannya semua mempunyai kepandaian luar biasa, terutama caranya membunuh orang dengan sikap tanpa berubah, kalau aku memikirkan itu masih agak jeri.”
“Adik Huan, kau terlalu banyak berpikir, manusia semua mempunyai sifatnya sendiri-sendiri. Jikalau Tuhan memang pilih kasih terhadap seseorang, tidak mungkin Cuma memberikan kepadanya kecantikan di luarnya saja.
“Tetapi segala perkara di dalam dunia ini kadang-kadang di luar dugaan kita!”
“Ucapanmu memang benar, tetapi terhadap dia aku tidak sangsi!”
“Toako, dia ada seorang perempuan yang sudah pernah kawin....”
“Aku tahu, ini apa salahnya?”
“Toako, aku harap soal ini tidak akan mempengaruhi cita-citamu sebagai seorang kesatria gagah.”
Ucapan itu menggetarkan perasaan hati Hui Kiam. Sejak perkenalan, baru pertama kali ini Ie It Huan berkata kepadanya menggunakan nada dan sikap sungguh-sungguh sehingga timbullah pertanyaan kepada dirinya sendiri, apakah sebetulnya yang telah kita perbuat? Benar ataukah salah?
Hanya dalam waktu setengah hari saja sudah merooah pikiran dan penghidupan Hui Kiam. Apakah ini yang dinamakan jodoh, ataukah dosa?
la tidak mau memikirkan terlalu dalam, karena itu merupakan soal yang mempersulit dirinya. Tetapi, terhadap Ie It Huan tidak boleh tidak ia haruS menunjukkan sikapnya, maka ia lalu berkata dengan tegas:
“Adik Huan, aku akan tetap dengan pendirianku!”
Adalah sebuah danau persegi yang luasnya kira-kira setengah hektar. Air danau itu dingin sekali, kalau orang berendam di dalamnya, kulit dan tulang-tulang dirasakan mengilu. Sekitar danau itu adalah lereng bukit yang terjal, hanya ada sebuah jalanan sempit yang cuma dilalui oleh dua orang yang berjalan bersama yang menuju ke tepi danau. Kedua sisi jalan itu merupakan dinding yang terdiri dari lamping gunung yang kelihatan langit nan biru. Keadaan itu sesungguhnya luar biasa anehnya.
Di sekitar danau itu jarak lima tombak tidak terdapat tumbuh-tumbuhan alam.
Bagian belakang danau itu juga merupakan lamping gunung. Di situ terdapat banyak batu hitam yang besar dan yang kecil. Pemandangan alam yang aneh itu menimbulkan rasa ketakutan.
Batu-batu hitam besar yang merupakan rimba batu itu, entah ciptaan alam ataukah buatan manusia.
Menurut cerita orang, di dalam rimba batu hitam itu terdapat sebuah makam. Bukan makam manusia, tetapi makam yang berisi pedang, karena di bawah makam itu tersimpan sebuah pedang purbakala dan buku kitab pelajaran ilmu silat.
Cerita itu entah timbul dari jaman kapan, tapi yang sudah terang sudah menggemparkan dunia rimba persilatan, sehingga banyak orang-orang rimba persilatan termasuk orang-orang berbagai partay berduyun-duyun pergi ke tempat itu untuk menyelidik kebenaran cerita tersebut.
Hari ini di waktu tengah hari, sinar matahari menyinari air di permukaan danau sehingga keadaannya terang benderang, hanya tempat yang merupakan rimba batu hitam itu, keadaannya masih tetap menyeramkan.
Di jalanan yang sempit itu, nampak bergerak banyak bayangan orang. Semua itu adalah orang rimba persilatan yang menuju ke rimba batu hitam itu.
Di antara rombongan orang itu terdapat seorang berpakaian berwarna putih yang sangat menyolok, orang itu bukan lain daripada si Penggali Makam Hui Kiam. Di sampingnya ada seorang pelajar setengah umur. Ia adalah Sukma Tidak Buyar le It Hoan yang sudah menyamar.
Dua pemuda itu ketika tiba di tepi danau segera dapat lihat di situ sudah terdapat banyak orang. Orang-orang biasa, imam dan padri, nampaknya lengkap semua golongan ada, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang, sedang jalanan yang sempit itu masih nampak banyak yang mendatangi.
Di antara banyak orang itu tidak hentinya terdengar suara rintihan. Dimana-mana terdapat orang yang terluka, sehingga keadaannya semakin menyeramkan.
Dengan suara perlahan Hui Kiam berkata kepada Ie It Hoan:
“Orang-orang ini bagaimana caranya terluka?”
Ie It Hoan menjawab berkata sambil menggelengkan kepala:
“Aku juga tidak tahu apa sebabnya, lihat saja dulu.”
Seorang orang tua berambut putih dengan tangan membawa tongkat berjalan mendekati dua orang itu. Ia adalah Orang Tua Tiada Turunan yang datang terlebih dahulu.
Dengan tanpa lagi menunggu dua orang itu membuka mulut, orang Tua Tiada Turunan lebih dulu sudah berkata:
“Rimba batu hitam itu adalah sebuah barisan aneh ciptaan orang dari jaman purbakala. Makam pedang itu berada di tengah-tengah barisan batu hitam. Orang-orang yang menerjang masuk ke dalam
barisan itu semua telah dimusnahkan kepandaiannya kemudian terlempar keluar, itulah orang-orang yang sekarang pada merintih-rintih itu.”
Hui Kiam terperanjat, ia berkata:
“Kalau begitu dalam barisan itu pasti ada orangnya?”
“Nampaknya memang benar.”
“'Apakah semua benda berharga yang tersimpan dalam makam itu sudah diambil oleh orang lain?”
“Mungkin.”
Hati Hui Kiam berdebar. Karena makam pedang itu mengakibatkan kematian Toasupeknya, sedangkan barang-barang dalam makam pedang itu seharusnya menjadi kepunyaan perguruannya, maka biar bagaimana tidak boleh terjatuh di tangan orang lain.
Besar kemungkinan bahwa orang dalam barisan itu adalah orang yang dahulu mencelakakan diri toasupeknya, mungkin adalah si jago pedang berkedok yang dahulu mencelakakan diri suhunya dan tiga supeknya yang lain. Memikir akan itu darahnya dirasakan bergolak. Wajahnya yang dingin nampak sangat beringas.
Pada saat itu rombongan orang banyak itu mendadak nampak gempar. Seorang imam dengan pedang di tangan setindak demi setindak menuju ke makam pedang.
Sukma Tidak Buyar lalu berkata:
“Goan-hie, tokoh nomor satu dari partai Butong-pay. Kita lihat!”
Semua mata ditujukan kepada dirinya Goan-hie. Di antara orang banyak terdengar suara orang berkata sambil menghela napas:
“Jago pedang nomor satu dari Bu-tong barangkali tidak luput dari nasib malang, akan kehilangan seluruh kepandaiannya, sayang!”
Goan-hie setiba di tepi barisan aneh itu lalu berhenti. Badannya agak gemetar, jubah imamnya yang lebar telah tergoyang-goyang. Jelas bahwa perasaannya sangat tegang.
Sebentar kemudian, ia agaknya sudah mengambil keputusan. Dengan membusungkan dada dan mengacungkan pedangnya ia melangkah masuk ke dalam barisan batu hitam. Nampak ia berjalan beberapa putaran lalu menghilang.
Semua orang menantikan dengan menahan napas.
Sebentar kemudian terdengar suara riuh. Di antara suara riuh itu, tampak sesosok bayangan manusia terlempar keluar dari barisan batu hitam dan jatuh tercebur ke dalam danau. Air danau yang semula tenang telah timbul gelombang dan kemudian gelombang itu meluas dan menghilang. Keadaan menjadi tenang kembali.
Orang Tua Tiada Turunan berkata sambil menghela napas:
“Pembukaan tamatlah sudah riwayatnya jago pedang nomor satu dari partay Bu-tong. Ia adalah merupakan seorang yang bernasib malang di antara begitu yang bernasib serupa dengannya. Andaikata ia terlempar jatuh di tepi danau, meskipun kepandaiannya musnah, tetapi jiwanya masih ada, tetapi karena terjatuh di dalam danau, sehingga bangkainya pun musnah!”
Hui Kiam berkata dengan perasaan heran:
“Sekalipun mati kelelap, tetapi bangkainya toh bisa timbul lagi?”
“Kau coba saja, danau itu dingin sekali bulu ayampun tidak bisa mengambang jikalau tidak begitu, jumlahnya anak murid Bu-tong-pay yang ikut datang kemari sedikitnya ada sepuluh orang lebih, mengapa mereka tidak pergi mencari!”
“Ah!” demikian Hui-Kiam berseru dengan suara gemetar.
Tiba-tiba terdengar suatu tertawa aneh sehingga suara riuh menjadi tenang.
Seorang tua berambut merah berpakaian baju panjang warna-warni, dengan langkah lebar berjalan menuju ke tepi danau. Semua orang yang menyaksikan kedatangan orang tua itu semua menyingkir memberikan jalan kepadanya, setiap orang menunjukkan perasaan terkejut dan takut.
Sukma Tidak Buyar segera berseru:
“Eh! Mengapa iblis tua ini juga datang kemari?”
“Siapakah dia itu?” demikian Hui-Kiam bertanya.
“Iblis Rambut Merah, manusia buas yang sudah lama terkenal di kalangan Kang-ouw. Ia adalah seorang buas yang tak ada taranya, mempunyai kesukaan makan hati manusia, ia menganggap pembunuhan sebagai barang mainan, tetapi biasanya jarang sekali mengunjukkan diri di muka umum.”
Sementara itu Iblis Berambut Merah itu sudah berada di luar garis barisan batu hitam. Rambutnya yang merah nampak berdiri, baju panjangnya yang berwarna-warni melembung bagaikan balon, kedua tangannya diangkat naik dan kemudian didorong maju, dari tangannya itu meluncur keluar hembusan angin hebat menggulung ke arah barisan aneh itu, tetapi, heran sekali hembusan angin hebat itu, ketika menggulung ke dalam barisan itu tiba-tiba lenyap, sedikitpun tidak menimbulkan reaksi apa.
Iblis berambut merah itu berpaling dan mengawasi semua orang yang berada di situ sejenak, sekonyong-konyong lompat melesat tinggi, di tengah udara, ia berputaran sejenak lalu bagaikan seekor burung besar yang melayang turun ke sebuah batu hitam yang tingginya dua tombak, ketika badannya terpisah kira-kira beberapa kaki dari batu tersebut secara tiba-tiba menghilang ke dalam barisan batu.
Untuk sesaat lamanya tidak terdapat tanda gerakan apa-apa. Diantara orang banyak itu ada beberapa orang yang berkata:
“Apakah iblis tua itu sudah berhasil masuk ke dalam makam pedang?”
Selagi semua orang masih diliputi berbagai pertanyaan, Iblis Berambut Merah itu sekonyong-konyong muncul kembali dari dalam barisan dan lari keluar dengan tindakan sempoyongan.
Diantara suara riuh yang keluar dari mulutnya orang banyak, Iblis Berambut Merah itu nampak roboh, kaki dan tangannya berkelojotan sebentar, kemudian tak berkutik lagi.
Iblis Berambut Merah itu merupakan satu-satunya orang yang tidak terlempar keluar, namun dia juga tidak luput dari kematian. Orang banyak pada maju mengerumuni untuk menyaksikan bangkai Iblis Berambut Merah itu. Ternyata tiada terdapat luka apa-apa, hanya lima panca indranya yang mengeluarkan darah, jelas kematiannya itu disebabkan oleh luka dalamnya. Iblis Berambut Merah itu terkenal dengan serangan ilmu tangannya yang bagaikan geledek hebatnya, tetapi akhirnya mati di bawah tangan kosong juga.
Dari semula ia datang dan melancarkan serangan tangan kosong, serta kemudian ia melayang tinggi dan turun ke dalam barisan itu, agaknya mengerti bagaimana caranya masuk ke dalam barisan itu, maka setelah dia terluka parah tidak sampai terlempar keluar bahkan masih mampu lari keluar dari dalam barisan.
Barisannya sudah merupakan suatu barisan aneh, ditambahi lagi dengan terlampau tingginya kepandaian dan kekuatan orang dalam barisan itu, sehingga setiap orang yang menyaksikan mau tidak mau merasa takut, sehingga akhirnya satu persatu mundur teratur meninggalkan tempat yang sangat berbahaya itu.
Hui Kiam berkata sendiri:
“Mereka akhirnya telah mundur teratur!”
Sesosok bayangan orang sekonyong-konyong mendekati dirinya dan berkata dengan suara merdu:
“Penggali Makam, selamat bertemu!”
Hui-Kiam berpaling, orang yang menegurnya itu ternyata adalah Wanita Tanpa Sukma.
Berbeda dengan sikap dan kelakuan biasanya, Wanita Tanpa Sukma berkata dengan sikap sungguh-sungguh:
“Penggali Makam, mengenai urusan barang antaran kepada orang itu, aku sudah menyelesaikannya sendiri, kau tentunya tidak membenci aku lagi, bukan?”
“Aku merasa bersimpati dengan nasib nona, tapi aku harap selanjutnya jangan terlalu banyak membunuh orang yang tidak berdosa!”
“Hal ini aku tidak mungkin, karena aku hendak menuntut balas. Aku dapat mengakhiri perbuatanku ini apabila aku sudah tidak bernyawa!”
“Bu-theng Kongcu sudah binasa, kau tidak perlu mencarinya lagi!”
“Apa? Siapa yang telah membunuhnya?”
“Tentang ini maaf aku tidak dapat memberitahukan kepadamu. Hanya ada satu hal yang perlu aku jelaskan bahwa orang yang membunuhnya itu adalah seorang wanita.”
“Oh!”
Wanita Tanpa Sukma agaknya merasa masgul karena tidak dapat membunuh dengan tangan sendiri Kongcu keparat itu.
Pada saat itu matahari sudah mendoyong ke barat. Keadaan di tepi danau gelap. Orang-orang yang berada di situ jumlahnya tinggal beberapa orang saja. Yang paling menyedihkan adalah orang-orang yang sudah dimusnahkan kepandaiannya, orang-orang itu jalanpun perlu dibimbing orang, mereka nampaknya sangat menyesal atas perbuatannya yang sangat gegabah.
Hui Kiam tiba-tiba merasakan ada beberapa orang yang memandang dirinya dengan sinar mata buas. Ketika ia berpaling, ternyata ada tujuh-delapan orang yang berjalan menghampirinya. Sebagai kepala dari orang-orang itu adalah seorang tua berpakaian hitam yang matanya cuma tinggal sebuah. Di pinggang orang tua itu tergantung sebilah pedang besar yang aneh bentuknya. Matanya yang cuma tinggal satu, memancarkan sinarnya yang menakutkan.
La bukan lain daripada kepala bagian penyelidik Persekutuan Bulan Emas, Ko Han San yang karena ketakutan dengan munculnya seorang perempuan berkerudung sehingga mengorek biji matanya
sendiri, ketika sedang menyelidiki Iblis Perempuan Bertusuk Konde Emas di gunung Sin-lie-hong.
Ko Han San yang nampaknya masih dendam sakit hati terhadap Hui Kiam, lalu berkata dengan nada suara yang menyeramkan:
“Penggali Makam, hari ini kau pasti mati!”
“Ko Han San, kaulah barangkali yang akan mati!” jawab Hui Kiam dengan nada suara dingin.
Ko Han San dengan matanya yang cuma satu, mengawasi orang lain, mulutnya berkata:
“Orang Tua Tiada Turunan, Wanita Tanpa Sukma!” tatkala matanya tiba kepada Sukma Tidak Buyar ia tercengang dan berkata:
“Tuan siapa?”
“Sukma Tidak Buyar!”
“Kau juga Sukma Tidak Buyar?”
“Benar, kalau palsu kau boleh tukar!”
“Hm,” mata Ko Han San kembali menatap wajah Orang Tua Tiada Turunan, lalu berkata pula sambil tertawa yang dibuat-buat:
“Kepala komando pasukan persekutuan kami sangat mengharapkan kedatangan tuan.”
Orang Tua Tiada Turunan mendelikkan sepasang matanya, dengan perasaan hati mendongkol berkata:
“Ciok Siao Ceng sudah sedemikian lanjut usianya akan tetapi masih tidak tahu diri, aku tidak sudi mendengar namanya disebut lagi.”
“Tuan jangan menuruti hati sendiri, dan memaki orang seenaknya. Tuan harus bisa memikirkan akibatnya!”
“Apakah kau hendak menggunakan Bulan Emas untuk mengancam diriku?”
“Bukan berarti mengancam. Persekutuan kami selamanya dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan.”
“Hem!”
“Apakah kalian bertiga datang bersama-sama dengan Penggali Makam?”
Hiu Kiam segera menyahut:
“Orang she Ko, jikalau maksud kedatanganmu ini hanya kau tujukan kepada aku seorang saja, tak perlu kau merembet-rembet orang lain.”
“Penggali Makam, apakah maksudmu tidak merembet orang lain?”
“Urusan ini memang tiada ada hubunganya dengan orang lain!”
“Bagus sekali, hunus pedangmu.”
Ko Han San menghunus pedangnya yang besar.
Hui Kiam tidak berani berlaku gegabah. Dalam pertempuran di lembah gunung Sin-lie-hong dahulu, cuma dalam waktu sepuluh jurus telah terluka kedua-duanya. Jikalau ia tidak mengandalkan ilmu pedargnya yang mempunyai gerak tipu luar biasa itu, dalam soal kekuatan tenaga dalam ia masih kalah setingkat dengan musuhnya itu.
Sambil menghunus pedangnya, Hui Kiam berdiri seenaknya, ujung pedang menunjuk ke bawah.
Orang-orang yang masih belum pergi dari tempat itu, balik kembali hendak menyaksikan suatu pertempuran yang dahsyat.
Dari sikap kedua pihak, dapat diduga bahwa itu akan merupakan suatu pertandingan ilmu pedang yang hebat.
Orang Tua Tiada Turunan, Sukma Tidak Buyar dan Wanita Tanpa Sukma dengan sendirinya menjadi sekelompok. Semua mundur ke belakang dua tombak jauhnya.
Delapan anak buah Ko Han San mengambil sikap mengurung. Lapisan terakhir adalah orang yang hendak menonton.
Dengan tiba-tiba terdengar suara beradunya pedang. Orang tidak tahu siapa yang turun tangan lebih dulu, hanya selagi semua mata masih ditujukan pada mereka, dengan cepat sekali masing-masing saling menyerang satu kali, setelah itu kedua-duanya melompat mundur lagi dan berdiri di tempat semula, seolah-olah belum pernah bergerak.
Hanya gelombang hembusan angin yang keluar dari sambaran pedang mereka terpancar sekitarnya sejarak lima tombak lebih.
Ketegangan setiap orang yang menyaksikan pertempuran tersebut, tidak kalah hebatnya dengan orang bertempur sendiri.
Nafsu membunuh yang menakutkan, tergores nyata di wajah orang yang sedang bertempur sehingga menimbulkan perasaan ngeri bagi yang melihat.
Orang Tua Tiada Turunan dan Sukma Tidak Buyar saling memberi isyarat dengan mata, seolah-olah hendak memberitahukan bahwa jikalau perlu mereka juga akan bertindak.
Hanya Wanita Tanpa Sukma yang nampaknya masih tenang-tenang saja dengan paras penuh senyuman.
Suara beradunya pedang yang memecahkan telinga, menggetarkan semua orang yang menonton. Ternyata kedua pihak sudah saling menyerang lagi. Kali ini kedua pihak nampaknya sudah mengeluarkan seluruh kekuatannya, muka kedua orang nampak merah membara. Demikianlah selanjutnya serangan ketiga, keempat, kelima… telah berlangsung dengan cepat.
Badan kedua pihak sudah terdapat banyak tanda darah.
Karena hebatnya pertempuran, sehingga orang-orang yang menyaksikan tanpa sadar mundur, dengan demikian kalangan untuk menghindari pertempuran nampak semakin luas.
Kematian terjadi setiap saat, tetapi dalam keadaan kekuatan kedua pihak berimbang pada akhirnya pasti akan terluka kedua-duanya.
Dalam suasana demikian gawat sekonyong-konyong terdengar suara bentakan: “Tahan!”
Dua orang yang sedang bertempur sengit itu seketika lalu berhenti bertempur.
Seorang wanita muda berpakaian kuning tua muncul di tengah kalangan.
Hui Kiam terkejut, dengan munculnya wanita muda ini mungkin Tong-hong Hui-Bun juga akan datang, satu bayangan dari seorang wanita yang mempunyai kecantikan luar biasa segera terbayang di otaknya, jantungnya segera berdebar keras.
Ko-Han San ketika melihat kedatangan wanita muda itu, wajahnya berubah seketika. Baru saja mulutnya mengeluarkan perkataan:
“Nona....”
Wanita muda itu sudah mengulapkan tanganya dan memotong perkataannya. Dengan suara dingin sekali ia berkata:
“Aku mendapat perintah dari pemilik tanda batu kumala hendak minta pelajaran beberapa jurus darimu!”
Saat itu semua orang baru mengetahui bahwa di tangan wanita muda itu sedang mecngangkat tinggi sepotong batu kumala yang gemerlapan sebesar telapak tangan.
Ko Han San dengan tangan badan gemetaran mundur tiga langkah. Ia berkata dengan suara ketakutan:
“Tidak berani!”
Siapakah orang yang mempunyai batu kumala itu? Mengapa ia mempunyai pengaruh demikian besar sehingga membuat Ko Han San yang mempunyai kedudukan sebagai kepala bagian penyelidik Persekutuan Bulan Mas, sampai ketakuian setengah mati? Setiap orang yang menyaksikan kejadian itu hatinya merasa terheran-heran.
Hanya Hui Kiam dan Sukma Tidak Buyar yang terkecuali, karena mereka berdua mengetahui siapa adanya wanita muda itu.
Hati Hui Kiam tergoncang keras, pikirannya kalut, sebab ia sudah tahu bahwa pemilik batu kumala itu sudah tentu adalah wanita pujaannya, To-hong Hui-Bun, tetapi asal-usul yang sebenarnya ia sendiri pun tak tahu.
Persekutuan Bulan Mas merupakan suatu persekutuan yang amat rahasia dan besar pengaruhnya, sedang Ko-Han San yang mempunyai kedudukan tidak rendah di dalam persekutuan itu ternyata begitu takut terhadap sepotong batu kumala itu.
Hui-Kiam melirik kepada Sukma Tidak Buyar. Agaknya ia ingin minta keterangan dari adik angkatnya yang terkenal amat cerdik dan banyak akalnya serta mempunyai pengetahuan luas tentang keadaan dunia Kang-ouw. Tetapi ia yang ia dapat dari adik angkatnya itu hanya satu sikap yang bingung. Terang bahwa ia tidak kenal asal-usul batu kumala itu.
Wanita muda itu perlahan-lahan menyimpan lagi batu kumalanya, kemudian berkata:
“Kalau kau memang tidak sudi memberi pelajaran, itu terserah padamu sendiri.”
Hanya beberapa patah kata itu saja sudah cukup membuat Ko Han San yang biasanya amat sombong, bungkam dalam seribu bahasa yang kemudian membalikkan badannya dan mengeloyor pergi. Perbuatannya itu segera diturut oleh delapan anak buahnya.
Orang Tua Tiada Turunan yang terkenal sebagai jago tua sudah banyak pengalaman, juga melengak ketika menyaksikan keadaan demikian.
Wanita muda itu lalu berpaling dan berkata kepada yang lain-lainnya.
''Tuan-tuan juga boleh pergi!”
Perkataan itu besar sekali pengaruhnya, tiada seorangpun yang berani menentang, semuanya lalu mengundurkan diri.
Dengan demikian yang tinggal hanya Hui Kiam, Orang Tua Tiada Turunan, Sukma Tidak Buyar, Wanita Tanpa Sukma dan wanita muda itu.
Hui Kiam menyimpan lagi pedangnya lalu menghampiri wanita muda itu seraya berkata:
“Bagaimana nona tahu aku….”
Tanpa menanti perkataan selanjutnya, wanita muda itu sudah berkata sambil tersenyum:
“Kedatangan ‘budakmu' ini hanya secara kebetulan saja yang sedang kebetulan lewat di sini.”
“Oh!”
Hui Kiam ingin berkata apa-apa, tetapi ia merasa tidak enak untuk mengeluarkannya.
Wanita muda itu berkata pula:
“Apakah kedatangan Siaohiap ini hendak menyelidiki barang-barang dalam kuburan pedang itu?”
“Benar!”
“Jikalau tidak mengerti caranya memecahkan barisan batu aneh ini, mungkin maksud itu susah tercapai!”
“Nona juga, tahu...”
“Budakmu hanya berkata menurut apa adanya saja. Melihat keadaannya makam pedang ini sudah ada yang punya, jikalau hendak merebut dengan menempuh bahaya, apakah ada harganya?”
Hui Kiam diam, sudah tentu ia tidak dapat menerangkan bahwa barang-barang dalam makam pedang itu adalah peninggalan perguruannya. Apapun yang akan terjadi, ia juga akan mengambilnya kembali untuk menunaikan tugas yang diberikan oleh gurunya. Di samping itu, barang-barang dalam makam itu mempunyai hubungan erat dengan kitab pusaka Thian-gie Po-kip. Karena ia sendiri sudah berhasil mempelajari ilmu silat yang
terdapat dalam kitab pusaka itu bagian atasnya, maka pelajaran bagian bawah yang terdapat dalam kitab itu serta pedang pusaka yang berada dalam makam itu ia pasti akan mendapatkannya, untuk menyelesaikan tugasnya menuntut balas bagi bunda dan gurunya. Mungkin orang yang berada dalam barisan itu justru musuh besarnya sendiri.
la ingin menanyakan jejaknya Tong-hong Hui Bun, tetapi ia mulu membuka mulut.
Wanita muda itu ternyata sangat cerdik, ia agaknya sudah mengerti apa yang dipikirkan oleh pemuda itu. Maka ia membuka mulut lebih dahulu:
“Ibu majikan karena ada urusan melakukan perjalanan ke barat, setelah kembali nanti pasti akan menjumpai Siaohiap.”
Mendung yang meliputi wajah Hui Kiam telah lenyap seketika. Dengan mata bersinar ia berkata:
“Aku menantikan kedatangannya!”
Sukma Tidak Buyar berkata dengan suara aneh yang dibuat-buat:
“Sejak dahulu orang gagah tidak sanggup melalui jebakan wanita cantik, jangan coba-coba meniru kelakuannya lagi romantis, ini merupakan hutang asmara….”
Hui Kiam memelototkan matanya, sehingga Sukma Tidak Buyar tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Perempuan muda itu sekonyong-konyong berpaling dan berkata pada Wanita Tanpa Sukma:
“Apakah kau yang mempunyai julukan Wanita Tanpa Sukma, yang dalam kalangan Kang-ouw pada waktu belakangan ini ramai menyiarkan sebagai ular berbisa?”
Pertanyaan itu agak kasar, sehingga paras Wanita Tanpa Sukma berobah seketika, lalu berkata:
“Benar, mengapa?”
“Kau tidak boleh mendekati dia!”
“Dia... dia siapa?”
“Aku tidak perlu bertengkar mulut dengan kau. Ingat, perbuatanmu itu jika kau lakukan kepada dirinya, itu berarti mencari mati.”
Yang dimaksudkan dengan perkataan ‘dia’ oleh perempuan muda itu sudah tentu adalah Hui Kiam, maka wajah Hui Kiam seketika itu menjadi merah, pikirannya sangat gelisah.
Wanita Tanpa Sukma lalu berkata dengan suara gusar:
“Kita satu sama lain sama-sama perempuan, kau jangan berlaku keterlaluan! Siapakah kau ini?”
“'Siapa aku, kau tidak perlu tahu. Ingat peringatanku!”
“Kau, kentut....”
“Kau memaki siapa?”
“Memaki kau, mau apa?”
“Kau mencari mampus!”
Kata-kata yang terakhir, ditutup dengan satu gerakan menyambar tangan Wanita Tanpa Sukma. Tetapi Wanita Tanpa Sukma segera membabat dengan tangannya, sehingga tangan wanita muda itu ditarik kembali untuk menghindarkan serangan tersebut, ia lalu menyambar lagi dengan gerakan yang lebih cepat.
Sebentar terdengar suara jeritan kaget, baju Wanita Tanpa Sukma kena tersambar dan menjadi koyak. Wanita Tanpa Sukma dengan cepat menutupi bagian dada yang terkoyak dengan lengan bajunya, lalu mundur beberapa langkah dan berkata dengan suara bengis:
“Budak hina, kau cuma merupakan satu budak yang diperintah orang, ingat pada suatu hari aku pasti akan membunuhmu!”
Sehabis berkata demikian, dengan cepat lari ke jalan lembah vang sempit....
Tiba-tiba terdengar suara ting, sebuah benda jatuh dari badan Wanita Tanpa Sukma.
Perempuan muda sambil berseru: “Kau tidak bisa pergi jauh!” segera lari mengejar.
Hui Kiam ketika menyaksikan benda yang jatuh dari badan Wanita Tanpa Sukma, jantungnya tergoncang hebat, wajahnya berubah seketika. Ia membungkukkan badan mengambil benda tersebut kemudian berkata dengan suara gemetar:
“Oh, dia.”
Badannya juga bergerak pergi menyusul.
Orang Tua Tiada Turunan tergoncang pikirannya menyaksikan kejadian tadi, ia lalu berkata kepada Sukma Tidak Buyar:
“Bagaimana mungkin adalah dia?”
“Siapakah dia itu?'' bertanya Sukma Tidak Buyar dengan perasaan bingung.
“Bocah, apakah kau tidak melihat potongan uang logam kuno yang jatuh dari badan Wanita Tanpa Sukma tadi?”
“Potongan uang logam? Oh! Dia adalah orang yang sedang dicari oleh Hui-Kiam itu. Potongan uang logam itu bukankah benda yang dipunyai oleh Hwee-tee Pui-Un Tiong, bagaimana bisa terjatuh di tangannya?”
“Bocah, kau mengaku seorang pintar tetapi sangat bodoh. Budak itu kalau bukan anak perempuan Hwee-tee tentunya adalah muridnya.”
“Mari kita susul....”
Keduanya segera menyusul keluar lembah.
Hui Kiam setelah menemukan potongan uang logam itu hatinya merasa cemas karena jalanan sempit tidak dapat lari dengan pesat, baru keluar dari mulut lembah, telinganya telah mendengar suara jeritan ngeri. Suara jeritan itu bagaikan bunyi geledek yang menyambar kepalanya sehingga semangatnya terbang seketika.
Mungkinkah sudah terjadi peristiwa mengerikan?
Terpisah sejarak sepuluh tombak dari mulut lembah tampak berdiri wanita muda berpakaian kuning tua, sedang di tanah nampak rebah menggeletak diri Wanita Tanpa Sukma.
Bagaikan banteng terluka Hui Kiam memburu, dengan badan setengah berjongkok di hadapan Wanita Tanpa Sukma untuk memeriksa keadaannya, ternyata mulut dan dadanya mengeluarkan darah, napasnya tersengal-sengal nampaknya sudah hampir putus nyawanya.
“Sucie! Sucie!” demikian Hui-Kiam memanggil seperti orang gila.
Wanita muda itu parasnya berubah seketika. Dengan perasaan terkejut dan ketakutan ia mundur dua langkah. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat.
Wanita Tanpa Sukma perlahan-lahan membuka matanya. Parasnya pucat bagaikan kertas, kulit mukanya penuh keringat namun tetap membungkam.
“Sucie, kau.... kau tak boleh mati!”
Wanita Tanpa Sukma mengawasinya dengan sinar mata sayu.
Hui Kiam mengeluarkan sopotong uang logam dari badannya, ia lalu merangkapkannya satu dengan yang lain. Ternyata benar, bahwa itu adalah satu uang logam yang dibelah menjadi dua potong.
la lalu menunjukkan potongan uang logam itu di depan Wanita Tanpa Sukma.
Wanita Tanpa Sukma rupanya mengerti. Bibirnya bergerak-gerak, tetapi cuma dapat mengeluarkan beberapa patah kata yang diucapkan dengan suara lemah sekali:
“Kiu kiong san.... Jien… Ong....”
Setelah itu ia lalu memejamkan matanya, tidak dapat membukanya lagi. Ia telah menutup mata untuk selama-lamanya.
Hui Kiam duduk lemas di tanah, tangan dan kakinya dirasakan kesemutan, semangatnya seperti sudah runtuh.
Ia sungguh tidak menduga bahwa Wanita Tanpa Sukma itu adalah anak perempuannya Pui Un Tiong, Pui Cerg Un. Uang logam dapat dipersatukan, tetapi oranguya sudah mati dan kitab pusaka Thian-gie Po-kip juga tak tahu berada di mana.
Ia tidak tahu bagaimana kitab pusaka itu bisa terjatuh di tangan Sam-goan Lojin dan kemudian dirampas orang lagi.
Andaikata Sam-goan Lojin merupakan pembunuhnya yang membunuh empat supeknya, karena Sam-goan-pang sudah musnah, maka sekarang sudah tidak akan dapat dicari kemana jatuhnya kitab pusaka itu. Andaikata ada sebab yang lain, maka teka-teki itu bukankah tidak dapat diungkap untuk selama-lamanya?
“Kiu Kiong San..... Jien.....Ong!” perkataan itu berulang-ulang diucapkan dalam hatinya lalu dalam hatinya bercekat, pikirnya: Suhu dan keempat supeknya semua telah terkena senjata rahasia jarum melekat tulang dan senjata itu adalah senjata kepunyaan Jien Ong; salah seorang dari Raja Rimba Persilatan. Dalam kata terakhir sucie tadi terang sudah menunjukkan bahwa jago pedang berkedok dulu ada hubungannya dengan Jien Ong, maka kalau bukan Jien Ong sendiri tentu adalah muridnya, dan Jien Ong itu tentunya masih mengasingkan diri di gunurg Kiu Kiong San.
Akan tetapi, siapakah gerangan yang berada di dalam makam pedang itu?
Dan akhirnya, siapakah pula gerangan yang membunuh mati suami istri Liang-gie Sie-seng serta kemudian membawa lari kitab pusaka?
Istri Liang-gie Sie-seng pernah menyuruh ia mencari seorang perempuan yang bernama Oey Yu Hong. Ini adalah kunci sangat penting, jikalau dapat menemukannya mungkin bisa menemukan semuanya. Tetapi kenapa harus mencari perempuan itu?
Segala pikiran, dalam waktu sesingkat itu telah tertumpuk di dalam otaknya.
Matanya menatap lagi ke paras Wanita Tanpa Sukma, hatinya timbul lagi lain pikiran.
Ia sudah mati dan perempuan ini mungkin satu-satunya orang terdekat dalam perguruannya tetapi ia sudah menutup mata. Kalau ia ingat pertama kali berjumpa dengannya lalu dipermainkan dengan kepala orang dibuat barang antaran, dan selanjutnya ia telah menggunakan kecantikannya untuk memikat pemuda-pemuda bangor yang gemar paras cantik, lalu dibunuhnya, walaupun tingkah lakunya itu tak dapat dibenarkan tetapi keadaannya dan nasibnya patut dikasihani.
Ia sekarang sudah menutup mata bahkan dengan membawa kandungan, dengan demikian dua nyawa hilang dalam waktu sekejap mata.
Perempuan muda berpakaian kuning tua itu kini telah membuka mulut. Ia berkata dengan suara sedih:
“Adakah ia itu suciemu?”
Pertanyaan itu membawa kembali kepada Hui Kiam untuk menghadapi keadaan sebenarnya. Ia segera bangkit. Dengan wajah beringas dan suara gemetar ia berkata:
“Kau....telah membunuhnya....”
“Tetapi mengapa Siao Hiap siang-siang tidak menerangkan kedudukannya?”
“Aku sekarang baru tahu.”
“Aku merasa menyesal atas perbuatanku tadi.”
Begitu enak kau bicara?”
“Habis bagaimana?”
“Aku minta kau bayar jiwa.”
Paras perempuan muda itu beberapa kali berubah, kemudian berkata:
“Ini adalah salah paham, salah paham yang tak dapat dihindarkan.”
“Tidak perduli bagaimana, aku tidak boleh tidak harus membunuhmu.”
Perempuan muda itu dengan sikap tenang sekali berkata:
“Kau tidak bisa membunuh aku, sedangkan aku sendiri juga tidak bisa bertindak terhadap kau. Biarlah soal ini nanti dibereskan oleh ibu majikan sendiri.
Teringat akan diri Tong-hong Hui Bun, dalam hati Hui Kiam terjadi perobahan aneh, seketika ia tidak bisa berbuat apa-apa, sementara ia masih belum tahu apa yang harus dilakukan, perempuan muda itu dengan kecepatan bagaikan kilat sudah menghilang.
Hui Kiam mengawasi perginya perempuan itu dengan pikiran kalut.
Sukma Tidak Buyar menghampiri dengan tindakan pelan-pelan. Dengan nada suara penuh perhatian dan simpatik ia berkata:
“Toako, adakah Wanita Tanpa Sukma ini adalah sucimu?”
Hui Kiam menganggukkan kepala.
“Apakah keterangan itu keluar dari mulutnya sendiri?”
“Bukan, menurut dugaanku sendiri!”
“Dugaan, berdasarkan apa?”
“Potongan uang logam ini.”
“Boleh dipercaya?”
“Mengapa tidak ?”
“Umpamanya potongan uang logam itu didapatkan dari tangan orang lain, seperti halnya dengan kitab pusaka itu yang telah beberapa kali pindah tangan.....”
“Tidak mungkin, uang logam itu sendiri sedikitpun tiada ada harganya, bahkan aku mempunyai bukti.”
“Bukti apa?”
“Di puncak gunung Tay-hong-san aku pernah melihat makam si-supek yang didirikan oleh anak perempuannya yang bernama Piu Ceng Un, dan kini potongan uang logam ini berada di badannya, apa yang harus kita sangsikan?”
“Oh, begitu! Sayang ia sudah menutup mata.”
“Aku harus membunuh wanita budak itu!”
“Toako, tenanglah sedikit. Ini ada kesalahpahaman. Ia tidak tahu siapa adanya ia sedang kau sendiri juga baru sekarang mengetahuinya.”
Dua butir air mata menetes turun dari kelopak mata Hiu Kiam, ini karena perasaan sedih atas kematian sucengnya itu.
Orang Tua Tiada Turunan membuka mulut dan berkata dengan perlahan-lahan:
“Coba kau periksa keadaannya lagi, lihat masih ada barang lainnya yang dapat kau gunakan untuk membuka rahasia ini atau tidiak?”
Hui Kiam tertegun. Satu laki-laki menggeledah badannya seorang wanita, ini ada perbuatan kurang sopan terhadap yang mati. Tetapi karena itu sangat penting, maka setelah berpikir agak lama akhirnya ia memaksakan diri. Dengan sangat hati-hati memeriksa badan Wanita Tanpa Sukma, tetapi tidak dapatkan apa-apa.
“Di sini tempatnya cukup baik. Biarlah kita kubur jenasahnya di sini saja,” berkata Orang Tua Tiada Turunan.
Dengan perasaan duka Hui Kiam anggukkan kepala. Sukma Tidak Buyar lalu membantunya menggali tanah untuk mengubur jenazah Wanita Tanpa Sukma.
Penguburan selesai. Di atas batu nisan cuma ditulis namanya Pui Ceng Un, tidak ditulis nama julukannya yang tak sedap itu.
Sukma Tidak Buyar lalu bertanya kepada Hui Kiam:
“Toako, bagaimana tindakan kita selanjutnya?”
“Aku hendak menyelidiki makam pedang.”
“Sekarang?”
“Ya!”
Orang Tua Tiada Turunan lalu berkata sambil menggoyangkan tangannya:
“Jangan sekarang, belum tiba saatnya. Dalam sesuatu hal, kita harus berpikir dulu masak-masak, baru bertindak. Dengan sejujurnya, kita bertiga masih bukan tandingan orang dalam makam pedang itu, apalagi masih ada barisan batu hitam mujijat yang merintangi. Jikalau kita menerjang masuk secara gegabah, akibatnya pasti sama dengan orang-orang yang mati atau terluka itu.
Hal ini kita terpaksa menundanya dulu. Cari dulu jalan untuk memecahkan barisan gaib itu, baru kita pikirkan yang lainnya.”
Hui Kiam pikir memang benar. Dalam keadaan seperti sekarang tidak perlu menempuh bahaya itu. Maka kemudian berkata:
“Dalam rimba persilatan pada dewasa ini entah siapa yang mengerti ilmu barisan ajaib itu?”
Orang Tua Tiada Turunan itu berpikir sejenak lalu berkata:
“Menurut cerita orang, hanya Jien-ong, salah satu dari tokoh Tiga Raja Rimba Persilatan yang mengerti ilmu barisan itu.”
“Apa? Jien-ong?!”
“Benar!”
“Boanpwee bolehkah mencarinya?”
“Bagaimana kau dapat mencarinya?”
“Beliau mengasingkan diri di gunung Kiu-kiong-san....”
“Kau dengar dari siapa?”
Karena sewaktu Wanita Tanpa Sukma mengeluarkan kata terakhir kepada Hui Kiam sebelum ia menutup mata Orang Tua Tiada Turunan dan Sukma Tidak Buyar tidak ada di sampingnya, maka memajukan pertanyaan itu.
Hui-Kiam lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Wanita Tanpa Sukma.
“Soal ini sangat rumit, kita harus berpikir masak-masak. Pertama, andaikata benar bahwa Wanita Tanpa Sukma itu adalah anak perempuan si-supekmu, maka maksudnya memberitahukan nama itu, mungkin hendak mengatakan bahwa pembunuh Lima Kaisar dulu adalah Jin-ong. Dengan adanya Jarum Melekat Tulang yang digunakan sebagai senjata rahasia untuk melumpuhkau ke Lima Kaisar, hal ini nampaknya sangat mendekati dengan kenyataan. Tetapi juga mungkin bukan itu yang dimaksudkan.”
“Boanpwee mengerti!”
“Mengerti apa?”
“Bukankah cianpwee mengatakan bahwa dalam dunia rimba persilatan pada dewasa ini, hanya Jin-ong seorang yang mahir ilmu barisan gaib itu...?”
“Bukan cuma dia seorang. Dalam dunia ini banyak sekali orang pandai, ia cuma merupakan salah satu diantaranya yang aku tahu.”
“Ya, andaikata Jin-ong adalah penjahat yang membunuh suhu dan empat supek itu atau orang yang menjadi biang keladinya, sudah tentu ia tidak akan melepaskan salah satu bagian dari kitab pusaka Thian-kie Po-kip, yang merupakan motif dari pembunuhan tersebut. Karena ia mahir ilmu barisan, maka dalam makam pedang itu mungkin adalah muridnya atau orang yang terdekat dengannya yang menjaga. Dengan lain perkataan, ia sudah dapatkan barang-barang pusaka yang berada dalam makam itu.”
“Emmm. Memang beralasan. Tapi apabila benar dia sudah mendapatkan barang-barang itu, mengapa tidak kabur jauh-jauh? Mengapa bahkan menyiarkan secara luas?”
“Tentang ini... mungkin ada maksud lain atau tujuan....”
“Kau tidak boleh pergi ke gunung Kiu-kiong-san!”
“Mengapa?”
“Dengan kepandaian seperti sekarang ini, jika dibanding dengan Jin-ong masih selisih jauh sekali. Coba kau pikir, apabila rahasia dirimu terbuka, bagaimana akibatnya? Taruhlah kau dapat menemukan dirinya dan dapat membuktikan bahwa ia adalah pembunuhnya, namun kau bisa berbuat apa?”
Hui Kiam tertegun, untuk sesaat lamanya tidak bisa menjawab.
Orang Tua Tiada Turunan berkata pula:
“Bagimu, yang terpenting pada saat ini iaah mencari kitab pusaka Thian-khie Po-kip bagian bawah. Apabila kau berhasil menemukannya dan berhasil mempelajari isinya yang merupakan pelajaran ilmu silat tinggi tiada taranya, maka kau baru bisa bicara soal menuntut balas dendam!”
“Jika tidak dapat menemukan kitab pusaka itu, apakah seumur hidup boanpwe tidak usah memikirkan soal penuntutan balas dendam?”
“Bukan begitu. Barangsiapa berkemauan keras pasti berhasil. Dalam perjalanan hidup manusia, kadang-kadang susah diduga, maka kau jangan sekali-kali patah semangat. Kau merupakah salah seorang yang mempunyai bakat luar biasa, yang kuketemukan dalam seumur hidupku. Aku dapat meramalkan, di kemudian hari kau pasti akan menjadi seorang kuat. Bencana dalam rimba persilatan sedang meningkat, semoga kau di samping usahamu untuk membalas dendam terhadap musuh-musuhmu, jangan melupakan untuk menegakkan kebenaran dalam rimba persilatan. Jadilah seorang kesatria tulen, untuk membasmi segala kejahatan!”
Hui Kiam sangat terharu, dengan sikap menghormat ia berkata:
“Boanpwee akan selalu ingat pesan Cianpwee.”
Orang Tua Tiada Turunan menepuk pundak Hui Kiam seraya berkata:
“Hui Kiam, tidak sedikit orang yang menaruh harapan kepada dirimu, harap baik-baik membawa diri!”
Hui Kiam terkejut, ia bertanya:
“Perkataan cianpwe ini pasti ada maksudnya?”
“Sudah tentu. Aku tidak akan mengatakan sembarangan, tetapi sekarang ini masih terlalu pagi untuk memberitahukannya kepadamu!”
“Apakah Boanpwe ada itu harga mendapat perhatian cianpwe?”
“Usaha berada di tangan manusia, tetapi berhasil atau tidak tergantung pada Tuhan.
Sampai di sini dulu pesanku. Sebaiknya kita bicarakan soal-soal yang sebenarnya. Bagaimana dalam perjalananmu ke lembah Bu-hiap untuk mencari Liang-gie Sie-seng?”
“Liang-gie Sie seng suami istri sudah binasa!”
“Ow!”
''Istrinya bernama Oey Yu Cu, sebelum menutup mata, ia minta boanpwe mencari seora”ng wanita yang tidak dikenal, sesungguhnya tidak ubahnya bagaikan mencari jarum di dasar lautan.”
“Istrinya Liang-gie Sie-seng masih meninggalkan pesan apa lagi?”
“Tidak ada. Ia menyangkal bahwa Liang-gie Sie-seng bersekutu dengan Auw-yang Hong membasmi Sam-goan-pang, juga menyangkal membunuh Auw yang-Hong. Boanpwee tidak keburu menanyakan pembunuhnya, ia sudah putus nyawanya.”
“Aaaa! Peristiwa ini nampaknya semakin aneh dan semakin ruwet, tetapi semua tergantung kepada kita sendiri, biar bagaimana harus kita cari sampai ketemu!” Kemudian orang tua itu berpaling dan berkata kepada Sukma Tidak Buyar:
“Bocah, coba kau usahakan untuk berhubungan dengan setan tua pemabukan. Beritahukanlah kepadanya semua kejadian ini.”
“Baik,” jawab Sukma Tidak Buyar sambil mengangkat pundak.
Siapakah yang dimaksudkan dengan setan tua pemabukan itu? Apakah suhunya Sukma Tidak Buyar? Akan tetapi Sukma Tidak Buyar pernah mengatakan bahwa suhunya sudah meninggal dunia.
Orang Tua Tiada Turunan berpaling dan berkata lagi kepada Hui Kiam:
“Aku hendak pergi ke pusat persatuan pengemis untuk mencari sesepuhnya, Co Hoa yang mempunyai nama julukan Seribu Telinga, minta tolong kepadanya untuk menyelidiki orang perempuan yang bernama Oey Yu Hoa itu, juga orang yang menggunakan senjata rahasia tusuk konde emas, yang kau katakan itu dan mati hidupnya To-liong Kiam-khek.”
“Atas bantuan locianpwee ini, terlebih dahulu boanpwee ucapkan banyak-banyak terima kasih.”
“Tidak usah. Oh, aku lupa menanyakan kepadamu, siapakah perempuan muda tadi itu?”
Hui Kiam merasa jengah, dia terpaksa dengan singkat menceritakan perkenalannya dengan Tong-hong Hui Bun, tetapi tidak menyebut hubungan dan perasaannya sendiri terhadap wanita cantik itu, namun sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, walaupun Hui Kiam tidak menerangkan, ia juga sudah dapat menduga sebagian, maka ia lalu berkata dengan suara hambar:
“Untuk menghadapi orang-orang dunia Kang-ouw, harap kau berlaku hati-hati. Sudahlah, aku hendak jalan dulu.”
Selagi hendak berlalu, kembali ia menengok kepada Sukma Tidak Buyar dan berkata kepadanya:
“Bocah kau juga harus berangkat.”
Setelah Orang Tua Tiada Turunan berlalu, pikiran Hui Kiam kusut, kebaikan Orang Tua Tiada Turunan dan kegiatannya untuk membantu dirinya, membuat ia merasa sangat terharu tetapi dengan tanpa alasan menerima budi orang, ia juga merasa tidak enak.
---ooo0dw0ooo---
JILID 9
Ia mengawasi Sukma Tidak Buyar, ingin menanyakan siapa yang dimaksudkan dengan setan pemabukan, tetapi belum sampai dikeluarkan, ia sudah telan kembali, ia khawatir akan menyinggung perasaan orang lain.
“Toako, tujuanmu selanjutnya?” bertanya Sukma Tidak Buyar.
“Aku?”
Hui Kiam tersenyum pahit. Banyak sekali yang akan dilakukannya tetapi semuanya masih belum diketahui bagaimana harus dimulai. Pembunuh ibunya, pemilik tusuk konde emas hingga kini masih belum diketahui ada di mana? Pesan ibunya untuk membunuh To-liong Kiam-khek. Pemilik loteng merah juga minta ia carikan To liong Kiam-khek, tetapi dimana orangnya? Dan lagi siapa musuh perguruannya serta dimana adanya kitab pusaka Thian-kie Po-kip?
Semua ini, mana yang harus dikerjakan lebih dahulu?
“Toako, kau masih belum menjawab pertanyaanku?” demikian Sukma Tidak Buyar menegur pula.
“Aku dari sini akan menuju ke barat.”
“Ke barat?”
“Ya.”
Hui Kiam sendiri juga tidak tahu mengapa dapat mengeluarkan jawaban demikian. Untuk apa ke barat? Apakah oleh karena perempuan muda tadi pernah mengatakan bahwa ibu majikannya sedang melakukan perjalanan ke barat, sekembalinya tentu akan menjumpainya.
Sementara musuh-musuhnya masih belum diketemukan, pengaruh kejahatan di rimba persilatan sedang merajalela, bolehkah ia tenggelam dalam gelombang asmara?
Pertanyaan itu telah menggugah hatinya, sehingga diam-diam bergidik sendiri. Akan tetapi, kecantikan luar biasa Tong-hong Hui-Bun telah mencengkram hatinya. Perasaan dan hatinya waras yang terlintas dalam otaknya, dalam waktu sekejap mata saja sudah buyar lagi.
Sejak jaman dahulu kala, ada berapa orangkah yang sanggup menebus jaring asmara?
Seolah-olah baru tersadar, Sukma Tidak Buyar tertawa menyeringai, kemudian berkata:
“Kalau begitu, sampai berjumpa lagi!”
Ia lalu menyoja dan kemudian membalikkan badan....
Tetapi tiba-tiba matanya terbuka lebar, kakinya seperti terpaku, tidak bisa bergerak lagi.
Hui- Kiam mengangkat mukanya. Sinar matanya beradu dengan sinar mata tajam. Sekujur badannya bagaikan terkena strom listrik. Ia tertegun. Perasaan kaget, jeri dan benci timbul dalam hatinya.
Kira-kira dua tombak dari tempat ia berdiri, orang berpakaian warna lila memakai kerudung di mukanya, memandang ke arahnya dengan sinar matanya bagaikan hantu.
Pertemuan dengan orang berpakaian warna lila itu pada waktu belum lama berselang kembali terbayang dalam otaknya. Sulit untuk dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang berbaju lila itu. Jikalau bukan Sukma Tidak Buyar dan Orang Tua Tiada Turunan yang menggunakan nama penghuni loteng merah untuk memancing pergi orang baju lila itu, ia sendiri tentu tidak bisa hidup lagi hingga hari ini.
Dan kini orang itu telah muncul lagi di hadapannya.
Meskipun dalam hati merasa gentar, tetapi di luarnya masih tetap dingin angkuh.
Munculnya orang berpakaian lila itu benar-benar di luar dugaannya.
Sukma Tidak Buyar yang banyak akalnya saat itu juga cuma bisa berdiri gemetar, tidak bisa berbuat apa-apa.
Orang berpakaian lila itu membuka suara. Setiap patah perkataannya bagaikan tikaman pisau belati kepada ulu hatinya.
“Kau siapa?” pertanyaannya itu ditujukan kepada Sukma Tidak Buyar.
Suara Sukma Tidak Buyar sudah tidak setenang seperti biasanya. Ia menjawab dengan suara rendah:
“Aku Sukma Tidak Buyar!”
“Kau juga bernama Sukma Tidak Buyar?”
“Benar!”
“Hari ini sukmamu harus buyar!”
Ucapan terakhir masih berkumandang, orangnya sudah bergerak bagaikan kilat cepatnya, kemudian disusul oleh suara jeritan Sukma Tidak Buyar yang lalu rubuh di tanah.
Hui Kiam menjadi murka. Dengan tidak menghiraukan kepandaiannya sendiri yang masih belum mampu menandingi kekuatan musuhnya, sudah menghunus pedangnya, dan dengan kecepatan bagaikan kilat menyerang orang berpakaian lila itu.
Orang berbaju lila itu menghindarkan badannya. Serangan Hui Kiam yang sudah terkenal kedahsyatannya itu mengenakan tempat kosong.
Hui Kiam merasa gemas dan sedih atas kematian adik angkatnya, sehingga matanya beringas. Ketika serangan pertama mengenakan tempat kosong lalu menyusul serangan yang kedua.
Orong berbaju lila berkelit lagi, entah dengan cara bagaimana ia sudah berhasil menghunus pedangnya.
Hui Kiam semakin penasaran. Bagaikan banteng ketaton ia mengamuk tanpa menghiraukan jiwanya sendiri. Serangan ketiga dilancarkan lagi.
Orang berbaju lila itu kini menangkis dengan pedangnya. Nampaknya tidak ada yang aneh, tetapi serangan Hui Kiam yang sangat hebat itu ternyata sudah dapat dibendung.
Ketika senjata kedua pihak saling beradu, Hui Kiam mundur tiga langkah. Tangan yang memegang pedang dirasakan seperti patah hingga tak mampu menggunakan pedang lagi.
Ujung pedang orang berbaju lila itu mengancam enam bagian jalan darah di dada Hui Kiam, tetapi kemudian ditarik kembali. Sepasang matanya melalui lubang kerudunguya memancarkan sinar tajam, agaknya hendak menembusi hati Hui Kiam, kemudian berkata dengan nada suara dingin kaku:
“Penggali Makam, untuk kedua kalinya aku ampuni jiwamu!”
“Aku tak butuh pengampunanmu!”
“Kalau aku hendak mengambil jiwamu, setiap saat aku dapat melakukannya!”
“Sebaiknya kau bunuh aku sekarang saja, jikalau tidak, kau nanti akan menyesal!”
“Menyesal?”
“Benar, sebab aku sudah bersumpah hendak membunuhmu!”
“Hahaha. Penggali Makam, kau benar-benar sombong. Apakah kau tahu apa sebabnya aku tidak mau membunuh mati padamu?”
“Mengapa?”
“Sebab aku masih hendak menggunakan dirimu!”
“Hahaha. Orang berbaju lila, apakah kau sedang bermimpi?”
“Apakah kau ingin tahu rahasianya penghuni loteng merah?”
Pertanyaan itu benar-benar mempunyai daya penarik besar sekali, sebab belum lama berselang ketika Hui-Kiam dikejar oleh orang-orang Persekutuan Bulan Mas, pernah melintasi jembatan yang menghubungkan dengan loteng merah, sehingga terlepas dari kematian. Kemudian penghuni loteng merah memberi ampun akan
kesalahannya yang tak disengaja bahkan minta kepadanya untuk mencari seseorang yang bernama Su-ma-Suan, dengan nama julukannya To-liong Kiam-khek, tetapi orang itu justru merupakan musuhnya sendiri yang menurut pesan ibunya terakhir supaya mencari dan membunuhnya. Ia sendiri juga tak tahu sebetulnya apa permusuhan antara To-liong Kiam-khek dengan ibunya. Sedang penghuni loteng merah itu minta kepadanya mencarikan orang itu juga, sudah tentu ada sebab musaabnya. Jika ia merasakan rahasianya penghuni loteng merah itu, mungkin bisa membantu usahanya untuk mencari keterangan tentang diri To-liong Kiam-khek di masa yang lampau.
Kecuali itu, karena tertarik oleh perasaan ingin tahu siapa sebetulnya penghuni loteng merah itu. Dari kepandaian pelayannya saja, ia dapat menduga bahwa penghuni loteng merah itu pastilah bukan orang sembarangan.
Tetapi, sewaktu untuk pertama kali ia berjumpa dengan orang berbaju lila itu, pernah ditanyakan apa sebabnya penghuni loteng merah itu tidak membunuh mati dirinya, dan sekarang kembali ia memajukan pertanyaan demikian, apakah maksud dan tujuannya? Dengan sangat mudah orang berbaju lila itu telah membunuh Sukma Tidak Buyar, satu bukti bahwa ia ada seorang buas dan ganas perbuatannya. Maksud dan tujuan manusia buas ini, perlu dipikir masak-masak.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu berkata:
“Kalau ingin tahu, kau mau apa?”
“Aku boleh beritahukan kepadamu!”
“Urusan ini rupanya tidak sedemikian mudah?”
“Sudah tentu. Kau sungguh pintar, memang ada syaratnya!”
“Apakah syaratnya?”
“Kau ceritakan apa sebabnya penghuni loteng merah itu tidak membunuhmu!”
Otak Hui Kiam bekerja keras. Iblis itu berulang-ulang menanyakan soal itu, apakah maksudnya? Soal itu sebetulnya tidak ada apa-apanya yang mengherankan, sebab kala itu penghuni loteng merah sudah menerangkan kepadanya; karena tidak sengaja melintasi jembatan maut itu, maka diberi perkecualian, bahkan diberikan obat untuk memulihkan kckuatannya, itu adalah suatu kebaikan yang ia tak dapat lupakan, sementara permintaan penghuni loteng merah itu untuk mencarikan To-liong Kiam-khek, bukankah merupakan syarat kebebasannya. Ini satu bukti bahwa penghuni loteng merah itu masih tahu aturan, maka sekalipun diberitahukan juga tidak ada halangan. Tetapi hati dan maksud orang berbaju lila itu susah diduga. Ia sendiri tidak boleh berlaku gegabah terhadapnya, supaya penghuni loteng merah itu tidak terembet-rembet atas perbuatannya.
Karena berpikir demikian, maka akhirnya ia berkata dengan nada suara dingin:
“Aku tidak merasa senang dengan syarat itu!”
“Tetapi hari ini tidak boleh tidak kau harus menceritakan!”
“Tidak bisa!”
“Kalau begitu kematianmu sudah di depan mata....”
“Kcpandaianku masih terlalu rendah, aku tidak bisa berkata apa-apa. Tetapi andaikata aku tidak mati, aku bersumpah hendak menuntut balas untuk Sukma TidakBuyar.”
“Apa kau yakin bisa hidup terus?”
“Itu adalah urusanku sendiri!”
Orang berbaju lila itu tidak berkata apa-apa lagi. Sepasang matanya mendadak memancarkan sinar aneh. Ketika mata Hui Kiam beradu dengan sinar mata itu, semangatnya mendadak tergoncang. Ia merasa sinar mata itu mengandung pengaruh gaib, tetapi ia tidak sanggup mengelakkan pandangan matanya yang aneh itu. Lambat-laun pikirannya terganggu, kemudian kusut.
Ia mencoba berusaha untuk menenangkan pikirannya, tetapi tidak berhasil. Perasaannya terhadap segala urusan telah berobah, semua kebencian, kemarahan dan dendaman telah lenyap. Bahkan ia sudah seperti melupakan dirinya sendiri berada di mana. Orang berbaju lila yang berada di depannya menjadi satu bayangan yang tidak berarti....
“Jawab, apa sebab penghuni loteng merah membebaskan dirimu?”
Pertanyaan itu telah mengingatkan kepadanya apa yang telah terjadi di loteng merah dahulu. Selagi hendak memberi keterangan....
Tiba tiba suatu kesadaran terlintas dalam otaknya, semangatnya terbangun seketika. Agaknya tersadar untuk sementara. Dengan suara agak gemetar ia berkata:
“Orang berbaju lila, kau berbuat apa?”
“Eh! Kau benar-benar keras kepala, semangatmu ternyata cukup kuat!”
Selama berkata, orang berbaju lila itu matanya semakin bersinar, sehingga kesadaran yang terlintas dalam otak Hui Kiam musnah lagi, kembali ia berada dalam keadaan bingung.
Orang berbaju lila itu mengulangi lagi pertanyaannya:
“Kau pernah melintasi jembatan maut, lalu masuk ke loteng merah?”
“Ya,” jawab Hui Kiam seperti orang yang mimpi.
“Menurut peraturan yang ditetapkan oleh penghuni loteng merah, barang siapa yang melintasi jembatan maut itu, harus dibunuh mati.”
“Kemudian aku baru tahu!”
“Tetapi kau tidak dibunuh?”
“Ya, ia mengatakan kecualian aku.”
“Apa sebab?”
“Sebab ia menganggap aku tidak sengaja melanggar peraturannya, bukan bermaksud hendak mengganggu!”
“Apakah kau berjumpa dengan penghuni loteng merah itu sendiri?”
“Tidak!”
“Benarkah kau tidak pernah melihatnya?”
“Cuma bertemu dengan anak muridnya yang bernama Siu Bie, kemudian mendengar suara penghuni loteng merah sendiri.”
“Ia berkata apa kepadamu?”
“Ia memintaku untuk mencarikan seseorang untuk menyampaikan pesannya!”
“Mencari siapa?”
“Seorang laki-laki bernama Su-ma Suan dengan nama julukannya To-liong Kiam-khek.”
“Oh!” orang berbaju lila itu nampaknya terperanjat. “Apakah kau kenal laki-laki yang bernama To-liong Kiam-khek itu?”
“Tidak kenal!”
“Ia minta kau sampaikan pesan apa padanya?”
“Suruh bertanya kepada Su-ma Suan, apakah ia sudah lupa janjinya pada sepuluh tahun berselang?”
“Emmm!”
Sinar mata aneh orang berbaju lila itu lenyap seketika, dia mendongak ke atas memandang langit dan awan putih yang berjalan di angkasa, entah apa yang sedang dipikir.
Hui Kiam sadar dari keadaan tidak ingat diri, apa yang terbentang di depan matanya masih tetap orang berbaju lila itu dan jenazahnya Sukma Tidak Buyar yang membujur di tanah. Kebencian tumbuh lagi dalam hatinya. Samar-samar ia masih ingat sinar mata aneh orang berbaju lila itu, dan kemudian pikirannya
sendiri telah menjadi kacau. Tetapi apakah sebenarnya yang telah terjadi? Sedikitpun ia tidak tahu. la terheran-heran. Dia mencoba berusaha untuk memikirkan kembali, tetapi percuma saja.
“Orang berbaju lila, baru saja kau berbuat apa?” demikian ia berkata dengan perasaan takut.
Orang berbaju lila itu mengawasinya, kemudian berkata dengan nada suara dingin:
“Tidak apa-apa, hanya sedikit ilmu mengalihkan semangat yang tidak berarti.”
Hui Kiam terperanjat, ia mundur dua langkah, lalu bertanya dengan suara gemetar:
“Ilmu mengalihkan semangat?”
“Benar!”
“Kau....”
“Aku cuma minta kau mengatakan apa yang terkandung dalam hatimu!”
“Apa.... aku sudah menjawab?”
“Emm! Sudah menjawab seluruhnya!”
Hui Kiam bergidik, apakah ia sudah menceritakan asal-usul dirinya? Kalau benar, hal ini akan membawa akibat sangat hebat. Maka ia mundur lagi satu langkah, keringat dingin mengucur keluar membasahi sekujur badannya.
“Aku.... apakah yang aku katakan?”
”Kau telah menceritakan bagaimana penghuni loteng merah itu membebaskan dirimu.”
“Lainnya?”
“Kau mencarikan untuknya seseorang guna menyampaikan pesannya.”
Hui Kiam merasa lega hati, nampaknya ia belum sampai menceritakan asal-usul dirinya.
Ini merupakan satu keuntungan besar baginya karena jikalau tidak, hebat sekali akibatnya.
Jika asal-usul dirinya tersiar di kalangan kang-ouw, maka semua musuh-musuh gurunya pasti tidak akan melepaskan dirinya.
“Orang berbaju lila, perbuatanmu ini sangat rendah dan sangat memalukan.”
“Bocah, kau jangan berlaku kurang ajar, barangkali kau melaksanakan permintaan penghuni loteng merah itu, betul tidak?”
Pertanyaan itu agaknya mengandung maksud, sehingga hati Hui Kiam tergerak. Ia memang hendak mencari To-liong Kiam-khek, ini lebih penting daripada permintaan penghuni loteng merah. Ia coba menenangkan pikirannya, jawabnya:
“Kalau ya mau apa?”
“Aku dapat membantu kau!”
“Kau... hendak membantu aku?”
“Apakah kau tidak percaya?”
“Memang susah untuk dipercaya.”
“Kau curiga maksudku?”
“Tepat.”
“Aku boleh menjelaskan kepadamu, sebabnya aku menanya kepadamu, karena tertarik oleh sifatku yang ingin tahu, sebab tindakan pengecualian terhadap dirimu, menimbulkan kecurigaanku!”
“Maksudmu mungkin bukan cuma itu saja?”
“Percaya atau tidak, terserah kepadamu!”
“Dan kau membunuh Sukma Tidak Buyar, bagaimana kau hendak memberi keterangan?”
“Karena ia menggunakan merek penghuni loteng merah untuk mempermainkan aku.”
“Karena ia telah melakukan perbuatan rendah itu, rekening ini aku nanti akan minta nanti kepadamu!”
Orang berbaju lila itu tertawa terbahak-bahak dan berkata:
“Penggali Makam, kau sangat sombong, tetapi juga jujur dan berani. Karena itu, kali ini aku lepaskan kau, untuk memberi kesempatan kepadamu. Tapi ingat, kesempatan tak banyak!”
“Ini sudah dikatakan!”
“Jejak To-liong Kiam-khek dalam dunia ini barangkali cuma aku seorang yang tahu!”
“Apakah… dia masih belum mati?”
“Sungguh tidak jauh dari kematiannya!”
“Dia di mana?”
“Apakah kau ingin tahu?”
“Benar, kau minta upah apa?”
“Penggali Makam, tidak usah upah. Aku boleh beritahukan kepadamu cuma-cuma. Hitung-hitung sebagai balasan atas keteranganmu mengenai penghuni loteng merah!”
Hati Hui Kiam tergerak. Ia segera akan mengetahui jejak musuh besarnya sehingga dapat melaksanakan sebagian tugasnya, juga dapat menenangkan pikiran arwah ibunya yang berada di alam baka. Penemuan ini sesungguhnya tak diduga-duga, sudah tentu ia merasa girang.
“Kalau begitu aku ingin mendengarnya!”
“Pada lima belas tahun berselang, To-liong Kiam-khek Su-ma Suan karena salah satu sebab telah membunuh mati seorang muridnya tokoh kenamaan yang mempunyai nama julukan Manusia Agung Dalam Dunia. Kemudian Manusia Agung Dalam Dunia pergi menuntut balas kepadanya. Ia telah memusnahkan kepandaian To-liong Kiam-khek dan mengorek kedua biji matanya, lalu dimasukkan ke dalam sebuah goa di gunung Keng-san supaya ia menemukan ajalnya sendiri.
Aku dahulu pernah datang ke goa tersebut, dengan tak sengaja mengetahui rahasia ini.”
“Apa benar?”
“Tidak ada perlunya aku membohong!”
Hui Kiam lalu timbul hasrat hendak menyampaikan kabar itu lebih dulu kepada penghuni loteng merah, hitung-hitung untuk memenuhi janjinya dan kemudian pergi ke gunung Keng-san, untuk mencari sendiri To-liong Kiam-khek untuk menunaikan tugas yang diberikan oleh ibunya.
Ia lalu berkata sambil menyoja:
“Musuh tinggal musuh benci tinggal benci,tetapi kebaikan tetap kebaikan, hal ini aku seharusnya mengucapkan terima kasih kepadamu.”
“Tidak perlu. Ingat, lain kali jika aku bertemu lagi dengan kau, aku tidak akan melepaskan kau lagi!”
“Sama-sama!”
“Sampai ketemu lagi!”
Selelah mengucapkan demikian, orang berbaju lila itu lalu menghilang.
Hui Kiam berdiri bingung sejenak, matanya mengawasi jenazah Sukma Tidak Buyar. Air matanya meleleh keluar. Ia berjalan menghampiri. Dengan suara sedih ia berkata:
“Adik Hoan, tenangkanlah pikiranmu. Aku pasti akan menuntut balas untukmu!”
Tidak jauh dari tempat itu, adalah makam Pui Ceng Un, anak perempuan si-supeknya. Dalam waktu tidak ada setengoh hari ia, telah mengubur dua jenazah yang semua ada hubungan dengan dirinya. Satu adalah sucinya, sedang yang lain adalah adik angkatnya, dan kematian dua orang itu justru karena dirinya.
Ia membuat lubang sedalam satu tombak kemudian mengangkat jenazah Sukma Tidak Buyar untuk dimasukkan ke dalam lobang tersebut dengan airmata bercucuran....
Kematian adik angkatnya itu sesungguhnya sangat menyedihkan.
Selagi hendak menimbuni tanah, mendadak Sukma Tidak Buyar membuka mulutnya dan berkata dengan suara lembut:
“Toako, apa kau benar-benar hendak mengubur aku!”
Hui Kiam kaget, bulu badannya berdiri. Orang yang sudah mati bagaimana bisa bicara? Apakah benar sukmanya tak buyar? Tetapi tubuhnya sudah dingin.
Ia menggigil, rasa takut timbul dalam hatinya.
Ia mencoba menghapus air matanya, untuk mengawasi dan memeriksa dengan seksama.
Sukma Tidak Buyar benar-benar sudah membuka matanya.
“Adik Hoan, kau.....kau.....” suaranya gemetar tak dapat melanjutkan lagi.
“Toako, aku belum mati!”
“Kau... benar-benar... tetapi.....”
“Jangan hentikan tanganmu. Orang berbaju lila itu mungkin masih di dekat-dekat sini. Teruskanlah kau mengubur aku, tetapi tanahnya longgarkan sedikit.”
Hui Kiam hampir tidak percaya, bahwa dalam dunia ada kejadian seaneh itu, orang yang sudah mati bisa hidup lagi. Pikirnya, apakah ia sedang mimpi? Tetapi apa yang dia saksikan, apa yang ia sentuh semuanya adalah benar.
Tangannya yarg gemetaran meraba-raba jantung Sukma Tidak Buyar. Ternyata masih hangat dan berdenyut, ia benar-benar masih hidup.
Tetapi ia agaknya masih belum mau percaya bahwa itu adalah suatu kenyataan. Memang hal demikian merupakan suatu hal yang
luar biasa, suatu kejadian! Dulu Sukma Tidak Buyar pernah dikejar-kejar oleh Manusia Gelandangan, tetapi ia tak melihat dengan mata kepala sendiri, sudah dipukul mati atau tidak, ia hanya menemukan makamnya. Selanjutnya Sukma Tidak Buyar itu menunjukan diri lagi. Meskipun kala itu ia terkejut, tetapi karena tidak melihat sendiri kematiannya, dianggapnya hanya terluka parah saja. Tetapi sekarang keadaannya berbeda....
“Adik Hoan, bagaimanakah sebetulnya?”
Dengan suara sangat halus sekali Sukma Tidak Buyar berkata:
“Hati hati, jangan sampai terbuka rahasia sehingga orang berbaju lila itu akan balik lagi, aku nanti akan mati benar-benar. Kepandaian yang diturunkan suhu kepadaku ini sesunggubnya memang luar biasa, bisa berpura-pura terluka parah juga bisa berpura-pura mati. Itulah sebabnya, juga modalnya begitu berani menggunakan nama julukan Sukma Tidak Buyar untuk berkelana di dunia Kang-ouw. Mengertikah kau? Lekas, sehabis mengubur aku kau harus lekas berlalu dari sini, aku bisa keluar sendiri dari dalam lobang. Jangan lupa kau juga harus mendirikan batu nisan untukku!”
Kini Hui-Kiam baru percaya bahwa Sukma Tidak Buyar benar-benar masih hidup sehingga lenyaplah semua kesedihannya.
Ia melakukan semua apa yang diminta oleh Sukma Tidak Buyar.
Selama dikubur, badan Sukma Tidak Buyar terus bergerak, di bagian bawahnya terbuka sebuah lubang, sehingga masih dapat menyaksikan berlalunya Hui-Kiam.
“Toako, kau jalan dulu!” demikian ia minta kepada Hui-Kiam setelah selesai mengubur.
“Adik Hoan, apa yang dikatakan orang berbaju lila tadi, apakah kau dengar seluruhnya?”
“Ya!”
“Apakah kau percaya?”
“Masih merupakan satu pertanyaan besar!”
“Mengapa?”
“Manusia Agung di Dunia yang ia sebutkan tadi, sudah meninggal dunia pada dua puluh tahun berselang, bagaimana ia katakan mati pada lima belas tahun berselang? Bahkan ia masih bisa menuntut balas dendam untuk muridnya dan mencelakakan dirinya To-liong Kiam-khek?”
“Oh.. .ini….”
“Tetapi kematian Manusia Agung Dalam Dunia juga merupakan satu kabar saja. Apakah benar-benar belum mati juga masih menjadi satu pertanyaan. Coba saja kau lakukan seperti apa yang ia katakan. Orang Berbaju Lila itu tidak tahu kalau kau bermusuhan dengan To-liong Kiam-khek, maksudnya cuma hendak meminjam kau untuk menyampaikan kabar kepada penghuni loteng mera. Mungkin dalam hal ini ada apa-apanya. Coba saja kau lakukan, aku nanti bisa atur lebih jauh!''
“Bagaimana kau hendak mengaturnya?”
“Kau tidak usah mengambil pusing, pergilah!”
Hui Kiam menganggukkan kepala. Ia lalu menghampiri makam Pui Ceng Un untuk memberi hormat penghabisan. Matanya dengan tanpa sadar memandang ke arah jalanan yang menuju ke makam pedang. Ia ingin coba-coba menyelidiki makam itu. Setelah berpikir masak-masak, kemudian ia turut pesannya Orang Tua Tiada Turunan yang minta kepadanya supaya bersabar.
Ia lalu meninggalkan tempat tersebut dan berjalan menuju ke loteng merah.
Hari itu juga ia sudah tiba di luar pekarangan loteng merah di depan jembatan maut.
Ingat akan kejadian yang sudah lalu, pikirannya tergoncang. Pengalaman manusia hidup, benar-benar sangat berlainan coraknya.
la mengawasi ujung seberang jembatan maut, lalu melintasi dengan langkah lebar.
Baru saja ia melintasi jembatan maut itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan:
“Berhenti!”
Seorang perempuan muda berbaju lila, Siu-Bie, sudah berada di hadapannya.
“Oh, nona Siu, kau baik-baik saja?” sahutnya Hui Kiam sambil menyoja.
“Aaaa! Penggali Makam, kiranya kau. Ada urusan apa kau datang kemari?”
“Untuk memenuhi janji kepada suhumu!”
“Oh! Apakah... aku boleh bertanya namamu yang mulia?”
“Namaku Hui Kiam!”
Siu Bie menatap wajah Hui Kiam sejenak, kemudian berkata:
“Hui Siaohiap, silahkan!”
Sebentar kemudian, Hui Kiam sudah sampai ke kamar barat yang dahulu ia pernah bercakap-cakap dengan penghuni loteng merah.
Siu Bie lalu berkata:
“Harap siaohiap suka tunggu sebentar, nanti aku beritahukan kepada suhu!”
“Silahkan nona!”
Tidak berapa lama, Siu Bie yang masuk ke dalam sudah keluar lagi. Sama seperti dulu, di belakang pintu yang tertutup tirai sntra hijau, terdengar suaranya penghuni loteng merah yang agak parau:
“Penggali Makam, kau benar-benar seorang yang pegang kepercayaan!”
“Nyonya terlalu memuji. Inilah merupakan kewajibanku sebagai seorang Kang-ouw.”
“Apakah... kau sudah bertemu dengan dia?”
“Belum, tetapi dapat kabar tentang dirinya!”
“Aaaa!” suaranya menunjukkan perasaannya tergoncang. “Kabar apa?”
Hui Kiam lalu menceritakan keterangan yang ia dapat dari orang berbaju lila.
Penghuni loteng merah itu berkata dengan suara gemetar:
“Apa? Semua kepandaiannya telah musnah, matanya buta?”
“Begitulah kabarnya!”
“Kau katakan dia dibuang ke dalam gua di salah satu puncak gunung Keng-san?”
“Ya!”
“Ya Allah! Aku telah curiga kepadanya, rnembencinya. Siapa tahu ia mengalami nasib sedemikian menyedihkan!” Suaranya itu mengandung sesalan terhadap diri sendiri dan kedukaan yang sangat basar.
Setelah hening lama ia lalu berkata pula:
“Penggali Makam, sukakah kau melakukan sesuatu lagi untukku?”
“Coba Nyonya sebutkan!”
“Tolong kau bawa To-liong Kiam-khek!”
“Tentang ini... maaf, terpaksa aku merasa sangat keberatan!”
“Apakah... kau tidak suka?”
“Mengapa Nyonya tidak mencarinya sendiri?”
“Aku.. .tidak bisa!”
Dalam hati Hui Kiam merasa bingung dan heran. Ia berkata:
“Aku sungguh tidak mengerti.”
“Penggali Makam, jikalau aku bukan karena terikat oleh sumpahku sendiri tidak bisa meninggalkan loteng merah ini, aku tidak akan minta pertolonganmu!”
Hui Kiam kembali dibikin bingung. Sumpah, sumpah apakah itu? Mengapa ia tidak bisa meninggalkan loteng merah?
Akan tetapi ia tidak ingin bertanya lebih jauh, ia hanya merasa keberatan atas permintaan perempuan itu.
“Siu Bie,” demikianlah penghuni loteng merah itu berkata terus, “Buka pintu. Suruhlah ia masuk. Aku akan bicara berhadap-hadapan.”
“Ya!”
Siu Bie berlalu membuka salah satu pintu dari pintu yang seluruhnya berjumlah delapan, lalu berkata kepada Hui Kiam:
“Hui siaohiap, silahkan masuk!”
Hati Hui Kiam berdebar, ia segera akan dapat melihat paras asli perempuan misterius itu. Tetapi apakah maksud perempuan itu berlaku demikian? Karena bagi perempuan itu sendiri berbicara teraling oleh tirai atau berhadapan muka, agaknya tidak ada bedanya.
Sambil berpikir ia menggerakkan kakinya. Ia berjalan masuk ke kamar. Begitu melangkah di ambang pintu yang tertutup tirai, perlengkapan yang ada di dalam kamar menimbulkan perasaan segan baginya.
Di tengah-tengah kamar di atas sebuah kursi besar, duduk seorang perempuan cantik setengah tua. Ia tidak mengenakan pupur, parasnya nampak pucat pasi, alisnya agak dikerutkan, agaknya mengandung kedukaan yang tiada terhingga. Tidak perlu banyak dipikir, Hui Kiam segera dapat menduga bahwa perempuan itu adalah penghuni loteng merah yang sangat misterius itu.
“Silahkan masuk .”
Hui Kiam lalu duduk di salah satu kursi sambil menyatakan terima kasihnya.
Seorang perempuan muda berbaju lila yang lain, menyediakan secawan teh lalu berlalu lagi, sedang Siu Bie tetap berada di luar tidak turut masuk.
Penghuni loteng merah berkata dengan suara perlahan-lahan:
“Hui siaohiap, dari mana kau dapatkan berita itu?”
“Dari seorang berpakaian lila yang mukanya memakai kerudung.”
“Orang berbaju lila?”
“Ya. Apa nyonya kenal kepadanya?”
“Tidak. Bagaimana nama julukannya?”
“la cuma mengatakan bahwa nama julukannya Orang Berbaju Lila. Tentang dirinya yang aku ketahui hanya itu saja!”
“Oh!”
Penghuni loteng merah itu menundukkan kepalanya, agaknya sedang berpikir keras. Suasana dalam kamar nampak sunyi. Lama sekali, wanita itu baru mengangkat kepalanya, dan berkata:
“Hui siaohiap, aku ulangi permintaanku tadi!”
“Maaf aku tidak dapat melakukan!”
“Mengapa?”
“Nvonya tentunya masih ingat bahwa dulu aku pernah memberitahukan terus-terang bahwa To-liong Kiam- khek itu adalah musuh besarku. Kalau aku bertemu muka dengannya, aku pasti akan membunuhnya.”
“Tetapi sekarang seluruh kepandaiannya sudah musnah, kedua matanya sudah buta, apakah kau masih tega turun tangan?”
“Sekalipun ia sudah binasa, aku juga akan menghajar bangkainya.”
Perkataan itu diucapkan sedemikian tegas, menandakan betapa besar kebencian Hui Kiam terhadap To liong Kiam-khek.
Paras penghuni loteng merah yang pucat lantas berubah, sinar matanya sayu telah berubah menjadi beringas. Ia berkata dengan suara keras:
“Di antara kalian sebetulnya ada perrnusuhan apa? Mengapa begitu besar rasa dendam sakit hatimu terhadapnya?”
“Tentang ini maaf aku tidak dapat memberitahukan!”
“Apakah kau tidak boleh tidak harus membunuhnya?”
“Ya!”
“Jikalau aku tidak mengijinkan bagaimana!”
“Tiada seorang pun yang dapat merintangi tindakanku!”
“Apakah kau yakin?”
“Mendengar ucapanmu ini, apakah kau ingin bertindak terhadap diriku?”
“Jikalau kau tetap hendak penuhi pikiranmu sendiri, kau nanti segera mengetahui apa akibatnya.”
Hui-Kiam seketika itu naik darah. Ia bangkit dan berkata dengan suara gemetar:
“Kedatanganku ini semata-mata hanya untuk memenuhi janji, karena aku tidak ingin berlaku sebagai manusia rendah. Jikalau aku tidak terikat dengan janjiku ini, tidak perlu aku datang kemari bahkan aku bisa pergi sendiri ke goa itu, untuk membunuh lebih dulu dirinya To-liong Kiam-khek, baru aku memberitahukan kepadamu!”
Penghuni loteng merah seketika tak menjawab. Kemudian berkata:
“Nampaknya aku terpaksa akan melanggar sumpahnya untuk meninggalkan tempat ini. Penggali Makam, aku sekarang tidak akan bertindak apa-apa terhadap kau, tetapi setiba di gunung Keng-san, susah dikata. Terhadap perbuatanmu untuk memenuhi janji terhadap aku, aku tetap menerima budimu ini. Kata-kataku sudah cukup sampai disini dan sekarang kau boleh pergi!”
Hui Kiam lalu minta diri keluar dari kamar itu menuju ke jembatan maut lagi untuk menyeberang keluar. Sementara dalam hati berpikir, “Nampaknya penghuni loteng merah itu segera akan
berangkat ke gunung Keng-san maka aku sendiri harus lebih dulu tiba di sana. Jikalau tidak, apabila nanti dirintangi olehnya, akan sulit sekali bagiku menuntut balas. Lagi pula bila To-liong Kiam-khek sudah berada di tangan penghuni loteng merah itu, lebih sulit bagiku untuk melakukan pesan mendiang ibuku.”
Setelah melintasi jembatan maut, ia segera berjalan menuju ke gunung Keng-san. Untuk menghindarkan bentrokan dengan orang-orang Persekutuan Bulan Mas, sehingga mentelantarkan usahanya, maka ia tidak berani mengambil jalan raya, sebaliknya melalui jalan pegunungan yang sunyi.
Di perjalanan, ia teringat kata-kata Sukma Tidak Buyar, yang katanya bisa mengatur sendiri. Kata-katanya itu mungkin ada sebabnya. Tetapi apa yang akan diaturnya? Apakah akibat yang akan terjadi antara diri sendiri dengan penghuni loteng merah itu sudah diduganya lebih dulu? Atau....
la ingin lekas-lekas sampai di tempat itu, maka ia sudah lupa makan dan minum.
Hari esoknya ketika matahari sudah terbit, Hui-Kiam sudah berada di bawah kaki gunung Keng-san.
Daerah pegunungan Keng-san ternyata sangat luas. Hendak mencari salah satu tempat di daerah yang luas itu sesungguhnya bukan soal mudah. Bagaimana ia harus mencari supaya jangan sampai perjalanannya sia-sia? Itulah yang sangat penting. Sayang waktu itu ia tak menanya dengan jelas di mana letaknya goa itu.
Ia telah menanyakan daerah pegunungan itu, tetapi tiada seorangpun yang tahu di mana letaknya goa itu. Akhirnya ia menanyakan kepada salah seorang tukang berburu hewan. Olehnya diberitahukan letaknya goa yang dicari itu. Goa itu ternyata terletak di tempat yang sunyi, terpisah beberapa puluh pal dari tempat ia berdiri, bahkan masih harus melalui sepuluh puncak lebih.
Tetapi ada satu petunjuk, biar bagaimana lebih baik dari ada mencari di sini secara membabi-buta. Sudah tentu untuk mencapai ke tempat tersebut hanya soal waktu saja. Karena ia
sudah tidak mempunyai waktu untuk berpikir lebih banyak, yang perlu ia sudah harus tiba lebih dulu ke tempat tersebut, jangan sampai diketahui oleh penghuni loteng merah.
Ia menurut garis jalan yang ditunjuk pemburu tadi. Setelah melewati puncak gunung yang ditunjuk, ia lari menuju ke utara.
Setelah dengan beruntun mendaki tiga puncak gunung, ia baru berhenti, untuk mencari arah tujuannya.
Tiba-tiba, sebuah makam besar dan megah telah menarik perhatiannya. Di daerah pegunungan yang sepi sunyi ini, siapakah gerangan yang dikubur bahkan dibangun makam yang demikian megah?
Dengan tanpa dirasa ia berjalan menghampiri makam tersebut. Matanya segera menyentuh beberapa huruf yang tertulis di atas batu hitam. Huruf-huruf itu demikian bunyinya:
DISINI BERSEMAYAM NYONYA SU-MA, TERLAHIR HUI UN KHENG.
Hui Kiam merasakan bagaikan disambar geledek hingga untuk sesaat lamanya ia berdiri tertegun. Hatinya terguncang keras, hampir saja ia roboh tidak ingat orang.
Ini merupakan suatu kejadian aneh yang tidak mungkin terjadi.
Ia mengsosok-gosok matanya untuk melihat sekali lagi. Ternyata sedikitpun tidak salah, masih tetap beberapa huruf itu.
Ia seolah-olah menjumpai suatu kejadian ganjil. Ia mundur beberapa langkah. Kakinya merasa lemas, sehingga ia berdiri menyandar di sebuah pohon cemara. Ia berusaha untuk menenangkan pikirannya. Ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, apakah pikirannya masih normal?
Hui Un Kheng dan Jok Sok Siancu adalah nama dan julukan ibu almarhumnya sendiri.
Kalau demikian halnya, Su-ma Suan yang mempunyai nama julukan To-liong Kiam-khek, yang dalam pesan ibunya adalah orang yang harus dibunuhnya itu, ternyata adalah ayahnya sendiri. la
masih ingat di waktu ia masih kecil pernah beberapa kali menanyakan kepada ibunya, siapakah nama ayahnya, tetapi selalu tidak mendapat jawaban yang memuaskan, jawaban yang didapat hanya mengatakan, bahwa ayahnya sudah lama meninggal dunia! Tetapi kalau ditanya lagi, selalu dijawab bahwa saatnya belum tiba untuk mendapat jawaban.
Ya Tuhan, apakah sebetulnya telah terjadi?
Dahulu, ia sendiri masih belum mengerti apa-apa mengenai dirinya yang harus memakai she Lie menuruti sang ibunya, belum pernah ia merasa curiga.
Entah berapa lama telah berlalu. Pikirannya yang kusut perlahan-lahan tenang kembali. Ia lalu berpikir, setelah ibuku mati terbunuh dan terbakar jenazahnya, semua itu telah kusaksikan sendiri. Dan waktu suhu Tho-tee, Sun Thian Kuat lewat di sini dan kemudian mengambilku sebagai murid, beliau telah mengubur abu ibuku. Semua itu aku saksikan dengan mata sendiri. Bagaimana bisa dikubur di tempat ini?
Andaikata itu merupakan suatu kejadian yang kebetulan, tetapi di dalam dunia ini meskipun ada orang yang bersamaan nama, tetapi tak mungkin juga bersamaan shenya bahkan nama julukannya. Hakekatnya, hal itu tidaklah mungkin, sebab nama gelar ibunya di dalam rimba persilatan sudah cukup terkenal.
Dari batu nisan itu dapat diduga bahwa batu itu didirikan oleh Su-ma Suan (yang juga berarti ayahnya sendiri). Tetapi mengapa dalam pesan ibunya menyuruh dia membunuh mati Suma-Suan, bahkan namanya dirangkaikan dengan nama julukannya seorang Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas.
Kematian ibunya telah terjadi pada sebelas tahun berselang dan menurut perkataan Orang Berbaju Lila, To-liong Kiam-khek Suma Suan dimusnahkan kepandaiannya oleh Manusia Agung di Dunia dan kemudian dibuang ke dalam goa terpencil ini terjadi pada lima belas tahun berselang. Perbedaan waktu empat tahun ini bagaimana harus dicari keterangannya?
Selain daripada itu, manusia cuma bisa mati satu kali, tidak mungkin bisa dua kali.
Abu ibunya telah dikubur dalam pekarangan rumahnya sendiri. Hal ini sedikitpun tidak salah. Tetapi siapakah Hui Un Kheng yang bersemayam di dalam makam ini?
La cuma merasa kepalanya mau pecah, pikirannya kusut, tetapi teka-teki mengenai kuburan ini sedikitpun tak mampu memikirkan.
Hanya ada satu kemungkinan. Dua orang itu sangat kebetulan bersamaan she, nama, dan bersamaan julukan. Tetapi ibunya menyuruhnya membunuh To-liong Kiam-khek, suatu bukti bahwa ibunya sudah tak asing lagi dengannya.
Teka-teki ini hanya To-liong Kiam-khek sendiri yang bisa memecahkan.
Tetapi penghuni loteng merah juga mencari To-liong Kiam-khek, apakah maksudnya....
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba tersadar bahwa ia sendiri harus sampai lebih dulu daripada penghuni loteng merah untuk menemukan To-liong Kiam-khek.
Dengan perasaan masih penuh keheranan ia mengawasi batu nisan itu sejenak, lalu membalikkan badan....
Mendadak ia berseru: “Ah!”
Di hadapannya ternyata ada berdiri orang berbaju lila yang misterius dan menakutkan itu.
Sesaat manusia misterius itu berada di belakangnya ia sedikitpun tidak tahu.
Orang Berbaju Lila menegur dengan suaranya yang seram:
“Penggali Makam, perlu apa kau berada di sini?”
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam mengawasi orang berbaju lila itu kemudian berkata:
“Ini ada hubungan apa denganmu?”
“Terhadap makam ini kau agaknya menaruh perhatian besar?”
“Mengapa?”
“Aku perlu peringatkan kepadamu, tidak boleh kau gentayangan di tempat ini. Ini merupakan suatu perbuatan tak sopan terhadap orang di dalam makam!”
Hui Kiam terperanjat. Perkataan Orang Berbaju Lila ini mengandung arti besar sekali. Mondar-mandir di dekat kuburan dianggapnya kurang sopan terhadap orang dalam makam. Mengapa ia junjung begitu tinggi kepada orang yang bersemayam dalam kuburan ini? Mungkin semua teka-teki yang meliputi dirinya dapat diungkap dari keterangan orang berbaju lila ini. Maka dengan pura-pura berlaku acuh tak acuh ia berkata:
“Ada hubungan apa kau dengan orang yang bersemayam dalam kuburan ini?”
“Tentang ini kau tak perlu tahu.”
“Demikian menghormatnya kau terhadap orang dalam kuburan itu?”
““Kataku! Kau jangan banyak bicara...”
“Orang Berbaju Lila, di dalam rimba persilatan sebetulnya ada berapa yang bernama Hui Un Kheng dan julikan Jiok-siok Siancu?”
Orang Berbaju Lila itu nampak tercengang, lalu berkata:
“Bocah, apa maksud pertanyaanmu ini?”
“Harap kau jawab dulu pertanyaanku tadi.”
“Sudah tentu cuma satu orang.”
Hati Hui Kiam kembali berdebar keras, tetapi di luarnya masih coba berlaku tenang dan lalu bertanya pula:
“Apakah orang dalam kuburan itu adalah istrinya To liong Kiam-khek?”
“Bukankah di atas batu nisan itu sudah ditulis dengan nyata?”
“Apakah To-liong Kiam-khek mempunyai turunan?”
Bocah, pertanyaanmu semakin aneh, kau sebetulnya mau apa?”
“Kita satu sama lain harus berlaku terus terang, kau pikir bagaimana?”
Mata orang berbaju lila itu memancarkan sinar aneh. Hui Kiam teringat ilmu gaib mengalihkan semangat orang itu, maka lalu berkata dengan suara bengis:
“Apa kau hendak menggunakan ilmu gaib lagi?”
“Aku tidak ada itu maksud. Jikalau kau bicara terus terang, aku tidak perlu berbuat demikian!”
Hui Kiam berpikir bolak-balik. Ini merupakan suatu kesempatan paling baik untuk mengetahui semua rahasia yang meliputi dirinya. Maka ia lalu berkata sambil tertawa dingin:
“Ini bukan rahasia apa-apa, aku hanya tertarik oleh perasaan heran, sekalipun kau menggunakan ilmu mengalihkan semangat, juga tidak ada gunanya?”
“Bocah, kau tadi menanya apakah To-liong Kiam-khek mempunyai turunan, apakah maksud pertanyaanmu ini?”
“Jikalau di dalam rimba persilatan ada dua orang yang mempunyai nama dan julukan yang serupa, maka pertanyaanku tadi kau tak usah jawab. Tetapi jikalau cuma ada seorang, keadaannya lalu berlainan.”
“Oh! Coba kau katakan!”
“Tahukah kau bahwa Jiok Sok siansu itu ada mempunyai berapa suami?”
“Bocah, kau jangan melampau, hati-hati aku nanti hajar dirimu.”
“Tetapi inilah kuncinya semua persoalan.”
“Sudah tentu cuma mempunyai seorang suami, ialah Suma Suan yang mempunyai nama julukan To-liong Kiam-khek!”
“Mempunyai turunan?”
“Tidak punya.”
“Kau keliru!”
“Mengapa?”
“Aku pernah dengar seorang angkatan tua rimba persilatan yang mengatakan bahwa pada sepuluh tahun berselang ia pernah berjumpa dengan Jiok Sok Siancu, yang membawa seorang anak laki-laki berusia kira-kira tujuh delapan tahun.”
Orang Berbaju Lila itu sikapnya berbeda dengan biasanya, ia menggeram kemudian berkata:
“Sepuluh tahun berselang tidak mungkin!”
“Mengapa tidak mungkin?”
“Jiok-sok Siancu meninggal dunia pada lima belas tahun berselang. Memang benar waktu ia meninggal sedang dalam mengandung, jenazahnya dikubur sendiri oleh To liong Kiam-khek Suma Suan......”
“Mengapa kau tahu begitu jelas?”
“Suma Suan sendiri yang menceritakan kepadaku.”
“Kalau begitu apa yang kudengar itu ternyata bohong semuanya!”
“Semua omong kosong, bocah, kau lekas pergi, sekarang aku masih belum pikir membunuh kau!”
Hui Kiam merasa bingung, tetapi ia masih terus berkata:
“Menurut keterangan Cian-pwee itu katanya kejadian itu benar seluruhnya!”
“Aku suruh kau pergi!”
“Selain daripada itu, Cian-pwee itu malah masih mengatakan, bahwa Jiok-sok Siancu itu pernah minta tolong kepadanya.....”
“Minta tolong apa?”
“Untuk membunuh To-liong Kiam-khek Suma Suan!”
“Apakah hal itu terjadi pada sepuluh tahun berselang?”
“Benar!”
“Ha ha ha bocah, kau melantur. Pada sepuluh tahun berselang tulang-tulangnya Jiok-so Sian-cu sudah berada di dalam tanah ha ha….”
Sambil mengeluarkan suara tertawanya yang terakhir, Orang Baju Lila itu sudah menghilang.
Hui Kiam berdiri tertegun, kejadian itu membingungkan dirinya. Jikalau di dunia ini tidak ada dua orang yang bersamaan nama dan julukannya, tidak mungkin akan terjadi kejadian-kejadian, kecuali To-liong Kiam-khek mempunyai maksud lain, ia sengaja menciptakan kejadian aneh itu dengan maksud untuk membingungkan hati orang, maka teka-teki itu, tetap harus dicari pada dirinya sendiri.
Dengan adanya kejadian itu telah menghambat waktunya hampir setengah jam. Dengan pikiran masih diliputi berbagai pertanyaan, Hui Kiam melanjutkan perjalanannya ke goa yang dicari.
Satu jam kemudian, dengan menurut petunjuk pemburu binatang itu, benar saja ia menemukan sebuah puncak gunung yang menjulang tinggi bagaikan sebuah potongan batu besar. Keadaannya sangat berbahaya, benar-benar lain daripada yang lain.
Ia lalu berpikir mungkin inilah puncak gunung yang dimaksudkan itu, maka seketika itu 'ia menggunakan ilmunya yang meringankan tubuh. Setelah melalui beberapa rintangan yang sangat berbahaya akhirnya ia tiba dipuncaknya.
Puncak gunung itu hampir seluruhnya merupakan batu besar dan tajam. Batu-batu itu bentuknya sangat aneh. Sebagian licin bagaikan kaca tetapi sebagian lagi menonjol tajam, sehingga bentuknya mirip dengan belahan bangku. Di salah satu bagian belakang batu besar itu terdapat sebuah lubang goa di dalam.
Perasaan Hui Kiam mulai tegang. Karena penemuan makam itu tadi, membuat perasaan terhadap perkara ini semakin besar perhatiannya. Nampaknya memang benar To-liong Kiam-khek berada dalam gua ini.
Ia harus menerjang masuk? Ataukah memanggil namanya dulu?
Selagi masih belum dapat mengambil keputusan, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin. Di hadapannya sudah berdiri perempuan yang menjadi penghuni loteng merah.
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam. Ia sungguh tidak menduga Penghuni Loteng Merah itu telah tiba sedemikian tepat waktunya sebelum ia bertindak apa-apa. Bagaimana akibatnya, ia sendiri tidak dapat membayangkan.
Di belakangnya Penghuni Loteng Merah diikuti oleh empat perempuan muda berbaju lila. Siu-Bie, juga terdapat di antaranya.
Hui-Kiam mengawasi Penghuni Loteng Merah dengan perasaan takut, karena hanya Siu Bie seorang, ia sendiri belum mampu menandingi, apa lagi gurunya?
Paras Penghuni Loteng Merah yang pucat diliputi oleh warna merah karena tergoncang perasaannya. Lalu dengan nada suara dingin ia berkata kepada Hui-Kiam:
“Hui siaohiap, begitu cepat kau tiba?”
“Nyonya sendiri juga tidak kalah cepatnya.”
Penghuni Loteng Merah itu nampak berpikir sejenak, lalu berkata dengan sikap sungguh-sungguh.
“Penggali Makam, aku ucapkan terima kasih kepadamu yang telah menemukan tempat kediamannya. Kau bermaksud hendak menuntut balas, sedangkan aku akan melindungi dirinya dengan sepenuh tenaga. Dengan terus terang, tidak nanti kau akan kesampaian maksudmu. Di samping itu keadaan sekarang ini masih merupakan satu teka-teki yang perlu kita ungkap dulu.”
“Tetapi sebelum tercapai maksudku aku tidak akan berhenti dalam usahaku!”
“Dengarkan dulu pembicaraanku. Terlebih dahulu kita mengadakan perjanjian secara terhormat........”
“Perjanjian apa yang kau maksudkan perjanjian yang terhormat itu?”
“Untuk sementara kau jangan bertindak dulu, tunggu aku cari ia dulu. Jikalau benar seperti apa yang dikatakan bahwa seluruh kepandaiannya sudah musnah, maka kau harus tunggu aku berusaha untuk memulihkan kepandaiannya kemudian aku nanti memberikan kesempatan kepadamu untuk bertanding secara adil. Bagaimana?”
Meski dalam hati Hui-Kiam merasa keberatan tetapi keadaan sudah berubah demikian rupa. Jikalau ia tidak terima, barangkali kesempatan untuk bertanding saja sudah tak ada.
Karena berpikir demikian, maka ia lalu menjawab:
“Perjanjian itu aku terima, tetapi ada satu permintaan!”
“Permintaan apa?”
“Aku hendak bertanya dulu beberapa patah kata kepadanya!”
“Boleh, begitulah kita tetapkan. Jikalau kau tidak mengindahkan perjanjian ini dan bertindak sesukanya, kau nanti akan kehilangan kesempatan menuntut balas untuk selama-lamanya. Ini bukan suatu gertakan saja. Salah satu di antara murid-muridku ini bisa mengambil jiwamu dalam waktu tiga jurus saja.”
Ucapan itu memang tidak dilebih-lebihkan. Hui Kiam juga mengakui kebenarannya. Tetapi sifatnya yang angkuh tidak dapat digertak begitu saja, maka lalu berkata sambil tertawa dingin:
“Aku selamanya tidak kena diancam 'Hujie” aku harus balas, dendam sakit hati aku harus tutup!”
Penghuni Loteng Merah berkata sambil tertawa hambar:
“Tetapi segala sesuatunya kita harus jelaskan lebih dulu.” Sehabis itu ia berkata pula kepada empat anak muridnya:
“Kamu menjaga di luar.”
'“Ya!” Demikian empat anak muridnya itu menyambut lalu berdiri terpencar, masing-masing terpisah dua tombak menjaga di sekitar mulut goa.
Hui-Kiam dalam hati penuh rasa marah tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tindakannya Penghuni Loteng Merah memang bukan merupakan suatu ancaman bahkan boleh dikata cukup adil, maka mau tidak mau ia harus menurut.
Penghuni Loteng Merah mulai berjalan menuju ke mulut goa....
Tiba di depan goa, Penghuni Loteng Merah menghentikan kakinya, dengan suara agak gemetar ia berkata ke dalam goa:
“Apakan di dalam ada orang?”
Tidak ada jawaban dari dalam.
“Kawan lama dari Loteng Merah datang berkunjung!”
Kembali tidak ada jawaban, suasana menjadi tegang.
“Adakah Su-ma Suan yang berada di dalam gua?”
Setelah mengucapkan pertanyaan itu, dari dalam goa terdengar suara rintihan yang menimbulkan rasa tidak enak bagi yang mendengarnya.
Penghuni Loteng Merah berpaling mengawasi Hui Kiam sejenak, berkata lagi dengan suara keras:
“Sahabat mana yang berada di dalam gua?”
Satu suara kasar yang sangat menusuk telinga terdengar dari dalam gua:
“Pergi, aku tidak suka bertemu dengan siapapun juga!”
“Apakah kau To-liong Kiam-khek Su-ma Suan?”
“Ki-ki-ki…!” Demikian suara ketawanya tidak sedap didengarnya dari dalam gua. “Su-ma Suan sudah lama mati!”
Penghuni Loteng Merah berkata dengan suara keras:
“Su-ma Suan, aku kenali suaranya, kau... lekas keluar!”
Dalam gua untuk sesaat nampak sunyi, lama baru terdengar suara tarikan napas sedih lalu terdengar jawabannya:
“Kau... lupakanlah. Untuk apa kau mendesak aku. Aku sekarang… sudah merupakan orang yang hampir mati!”
Ucapan itu merupakan suatu pengakuan bahwa orang dalam gua itu benar adalah To-liong Kiam-khek. Wajah Hui Kiam berubah seketika. Bermacam pikiran mengaduk dalam otaknya. Semula dalam pikirannya, ia telah menanam rasa dendam benci karena menerima pesan ibunya, tetapi setelah dengan tanpa sengaja menemukan sebuah makam yang megah dan mencurigakan itu, perasaan dendam dan bencinya diliputi oleh kabut yang merupakan suatu teka-teki besar.
Penghuni Loteng Merah sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, badannya gemetar. Ia berkata dengan suara sedih:
“Su-ma Suan, apakah kau sudah melupakan sumpah janjimu pada sepuluh tahun berselang?”
“Aku..... tidak lupa, sedikitpun tidak lupa, tetapi .... inilah takdir.”
“Keluarlah!”
“Aku sudah bersumpah dalam hidupku ini tidak akan menemui siapapun juga.”
“Termasuk aku?”
“Adik Khim, simpanlah kenang-kenangan itu. Hatiku sekarang sudah beku seperti batu.”
“Kabarnya kepandaianmu sudah musnah, kedua matamu sudah buta? Apakah itu benar?”
“Ha ha ha, adik Khim, kita berjumpa cuma menambah kesengsaraan hati kita satu sama lain sudah cukup, sebelum aku mati, dapat dengar suaramu, aku sudah merasa puas....”
“Engko Suan, aku datang!”
Penghuni Loteng Merah lalu menggerakkan kakinya berjalan masuk ke dalam goa....
“Adik Khim, apa kau mendesak aku supaya lekas maju?”
Penghuni Loteng Merah untuk sesaat tercengang, tetapi kemudian dengan secepat kilat ia melesat ke dalam goa.
Hampir bersama waktunya ketika Penghuni Loteng Merah bergerak, tiba-tiba terdengar orang berseru dengan suara cemas:
“Cegah padanya, ini adalah suatu rencana keji.”
Perkataan rencana keji itu ketika masuk ke telinga Hui Kiam, ia hampir sudah tidak sempat untuk mencari tahu darimana datangnya suara itu, dengan cepat ia melesat ke mulut goa. Tetapi ternyata masih terlambat setengah tindak karena pada saat itu Penghuni Loteng Merah menghilang ke dalam goa.
Empat wanita muda berbaju lila juga segera bergerak ke mulut goa.
Selagi Hui Kiam hendak menerjang ke dalam goa, suara itu terdengar pula:
“Lekas mundur! Jikalau tidak, kalian nanti akan mati konyol semuanya!”
Hui Kiam dan empat wanita muda itu tercengang.
Pada saat itu mendadak terdengar suara ledakan hebat yang terbit dari dalam goa. Asap tebal dan potongan batu terlempar keluar dari dalam goa. Tanah sekitar goa itu tergoncang hebat.
Hui Kiam dan empat wanita muda itu, semangatnya hampir terbang seketika. Untung mereka semua berkepandaian tinggi, daya reaksinya juga tepat, dalam saat yang paling tepat mereka sudah melompat mundur ke tempat yang aman.
Suara ledakan itu menggema cukup lama. Di bekas tempat ledakan, kecuali runtuhan batu tidak terdapat apa-apa lagi.
Hui Kiam dan empat wanita muda itu dengan wajah pucat berdiri di tempat sejarak lima tombak. Masing-masing bagaikan patung. Pikiran mereka kusut semua.
Kejadian ini sesungguhnya merupakan satu kejadian di luar dugaan.
Penghuni Loteng Merah sudah mati. To-liong Kiam-khek juga mati. Kedua-duanya mati terpendam hidup-hidup dalam runtuhan batu.
Siapakah yang merencanakan akal keji ini?
Siapakah itu pula orang yang memberi peringatan? Jikalau bukan itu orang yang memberi peringatan, yang menjadi korban barangkali bukan cuma Penghuni Loteng Merah seorang saja.
---ooo0dw0ooo---
JILID 10
HUI Kiam berusaha menenangkan pikirannya. Ia mulai menganalisa dari semua orang yang berhubungan dengan kejadian ini. Yang memberi kabar itu adalah seorang berbaju lila dan orang baju lila itu belum lama berselang pernah mengunjukkan diri di depan makam yang megah itu kemudian menghilang secara misterius. Apakah tidak mungkin dia....
Berpikir sampai di situ badannya gemetaran. Orang berbaju lila itu berkali-kali menanyakan; apa sebabnya ia yang masuk ke loteng merah, tidak dibinasakan. Dan yang terakhir orang itu telah menggunakan ilmu mengalihkan semangat untuk menanyakan apa yang telah terjadi di loteng merah itu, sehingga di luar keinginannya sendiri ia sudah menceritakan semuanya, kemudian orang berbaju lila itu mengabarkan tentang diri To-liong Kiam-khek yang dibuang ke dalam gua ini. Tidak salah lagi, orang baju lila itulah yang merencanakan rencana keji ini. Tujuannya ialah hendak membinasakan penghuni loteng merah, tetapi dengan demikian dengan tanpa disadari ia sudah merupakan komplotan dalam kejahatan ini.
Andaikata benar bahwa orang yang berada dalam gua itu adalah To-liong Kiam-khek dan sekarang To-liong Kiam-khek sudah mati,
maka usahanya untuk menuntut balas terhadapnya tidak akan terlaksana lagi.
Siu Bie tiba-tiba menghunus pedangnya. Dengan wajah beringas dan suara bengis ia berkata kepada Hui Kiam:
“Penggali Makam, sekarang kau harus bertanggung jawab!”
Hui-Kiam terperanjat. Ia balik bertanya: “Nona Siu, kau minta aku tanggung jawab?” Sementara itu tiga perempuan lainnya sudah lari ke tempat yang bekas terjadinya peledakan tadi, ingin mencari bangkai majikannya.
Sambil kertak gigi, Siu Bie berkata: “Penggali Makam, siapa biang keladinya?”
Hui Kim dapat mengerti perasaan nona itu maka ia menjawab dengan tenang: “Nona Siu bicara harus dipikir dulu masak-masak, aku sendiri juga hampir masuk ke dalam gua itu!”
“Nyatanya kau toh masih hidup!”
“Kau tentunya dengar suara orang yang memberi perintah tadi?”
“Apakah itu bukan suatu rencana yang sudah diatur lebih dulu?”
“Kalau begini mengapa kalian berempat juga masih hidup?''
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri bercampur dengan beberapa suara bentakan. Hui Kiam dan Siu Bie, menengok ke arah datangnya suara itu. Dekat tanda bekas ledakan tadi, tampak seorang laki-laki berpakaian warna lila yang memakai kerudung di mukanya. Salah satu dari perempuan muda berbaju lila, sudah binasa di bawah pedang laki-laki berbaju lila itu.
Dengan kemurkaan yang meluap Hui Kiam berseru:
“Orang berbaju lila, kiranya adalah kau!”
Sementara itu orang berbaju lila itu menggerakkan pedangnya bagaikan kilat cepatnya, kembali merobohkan satu perempuan muda yang melawannya.
Siu Bie menggeram, lalu menubruknya dengan pedang terhunus.
Hui Kiam kini sudah mendapat kenyataan bahwa orang berbaju lila itulah yang telah merencanakan pembunuhan kejam ini, maka seketika itu dengan tanpa pikir kekuatan tenaganya sendiri juga segera maju menyerang.
Dua orang itu baru tiba di tempat pertempuran, perempuan muda yang ketiga sudah mati lagi di bawah pedang orang berbaju lila.
Siu-Bie segera menyerang hebat orang berbaju lila itu.
Orang berbaju lila itu menangkis dengan pedangnya. Ketika kedua senjaia itu saling beradu masing-masing mundur satu langkah. Dari sini ternyata bahwa kekuatan Siu-Bie jauh lebih tinggi daripada tiga kawannya yang sudah mati.
Dengan suara bengis Siu-Bie menegur:
“Kau siapa? Mengapa bertindak begitu kejam?”
Orang berbaju lila itu menjawab dengan suara seram:
“Budak, di alam baka suhumu nanti bisa memberitahukannya kepadamu!”
“Iblis, aku akan mengadu jiwa denganmu!”
“Sudah tentu aku juga tidak akan membiarkan kau hidup sendiri!”
Keduanya saling menyerang lagi. Kedua pihak masing-masing mengeluarkan gerak tipunya yang aneh-aneh. Dalam waktu sangat cepat beberapa jurus sudah berlalu. Tiba-tiba terdengar suara bentakan orang berbaju lila:
“Rebah!”
Lalu disusul oleh suara jeritan, badan Siu Bie terhuyung-huvung, kemudian roboh.
“Orang berbaju lila, kau iblis kejam!”
Hui Kiam mengeluarkan suara bentakan keras. Dengan gerak tipu ilmu pedangnya yang luar biasa, dengan tenaga sepenuhnya ia melakukan serangannya.
Orang berbaju lila itu baru saja hendak membinasakan Siu Bie yang roboh terluka. Karena serangan Hui Kiam yang amat dahsyat itu, terpaksa mengurungkan maksudnya. Dia menggunakan pedangnya untuk menangkis pedang Hui Kiam. Ketika dua pedang saling beradu, orang berbaju lila itu karena dalam keadaan tergesa-gesa sehingga terpental mundur.
Serangan kedua Hui Kiam sudah menyusul.
Orang berbaju lila itu tiba-tiba tertawa, kemudian menyambut serangan Hui Kiam yang hebat itu. Kali ini Hui Kian yang terdesak mundur sampai tiga langkah.
Terdengar pula suara bentakan orang berbaju lila. Pedang Hui Kiam tiba-tiba terlepas dari tangannya.
Ujung pedang orang berbaju lila itu mengancam dada Hui Kiam. Dengan suara seram berkata:
“Penggali Makam, nampaknya aku terpaksa akan membunuh mati dirimu!”
Dada Hui Kiam dirasakan hampir meledak. Tetapi ia tidak berdaya. Ia hanya menantikan kematiannya saja.
Ujung pedang perlahan-lahan nancap ke dada Hui Kiam, darah mulai mengalir keluar....
Tiba-tiba terdengar suara:
“Tahan!”
Suara itu meskipun suara bentakan, tetapi didengarnya merdu sekali.
Hui Kiam yang mendengar suara itu hatinya berdebar keras, ia sudah dapat mengenali bahwa suara itu adalah suaranya To-hong Hu Bun si wanita cantik luar biasa.
Orang berbaju lila itu dengan tanpa sadar menarik kembali pedangnya….
Sesosok bayangan orang sudah berada di depan mereka. Dia sedikitpun tidak salah adalah To-hong Hui Bun.
Kedatangan perempuan cantik di tempat tersebut benar-benar di luar dugaan Hui Kiam. Maka ia lalu berseru:
“Enci!”
Orang berbaju lila itu berseru terkejut:
“Apa? Enci?”
“Kau jangan menyentuh dirinya!” berkata Tong-hong Hui Bun dengan suara dingin.
Dengan mata beringas orang berbaju lila itu berkata:
“Kau... apa maksudmu!”
“Tidak apa-apa, aku hanya tidak mengijinkan kau mengganggu seujung rambutnya saja!”
“Kau tentunya tidak bersungguh-sungguh?”
“Sungguh-sungguh!”
“Ucapanmu ini sangat aneh?”
“Kau… kau… bermaksud apa terhadap dirinya?”
“Aku anggap dia sebagai adikku, maka aku berkewajiban melindungi keselamatannya!”
Orang berbaju lila itu mundur sampai tiga-empat langkah, jelas sekali bahwa perasaannya telah tersinggung.
Sebaliknya dengan Hui Kiam. Saat itu ia tercengang. Kalau didengar dari pembicaraan mereka, antara Tong-hong Hui Bun dengan orang berbaju lila itu agaknya pernah ada hubungan satu sama lain. Tetapi entah hubungan apa?
Orang berbaju lila itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak kemudian baru berkata:
“Tong-hong Hui-Bun, dari sudut usiamu, kau patut menjadi ibunya.”
“Tutup mulut!”
“Kau… benarkah....”
“Aku minta kau tutup mulut!”
Orang berbaju lila itu menggeram hebat. Dengan tiba-tiba dan kecepatan bagaikan kilat pedangnya menikam Hui Kiam. Serangannya itu agaknya dilakukan dengan pikiran gelap sehingga ia turun tangan sedemikian kejam dan ganas, sampai Hui Kiam tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menyingkir.
“Kau berani!”
Di antara suara bentakan, Tong-hong Hui Bun dengan kecapatan bagaikan kilat melancarkan serangan dari samping. Jari kiri digunakan untuk menotok.
Hui-Kiam cuma merasakan sakit di dadanya yang ternyata sudah terluka oleh ujung pedang sehingga darah mengucur keluar, sedangkan orang berbaju lila itu sendiri nampak mundur terhuyung-huyung.
Jikalau Tong-hong Hui-Bun tidak cepat bertindak, niscaya Hui Kiam saat itu sudah binasa di ujung pedang orang berbaju lila itu.
Sinar mata yang memancar keluar melalui kerudung orang berbaju lila itu, nampaknya bagai binatang buas. Kebuasan dan kekejamannya serta kebenciannya bagi siapa yang melihatnya mungkin tidak akan melupakan seumur hidupnya. Mata itu terus mengawasi paras Tong-hong Hui Bun yang cantik, agaknya ingin menelannya hidup-hidup.
Dengan perasaan agak tidak tenang Tong-hong Hui Bun mundur selangkah.
Lama orang berbaju lila itu baru mengeluarkan perkataannya. Suaranya menunjukkan perasaan hatinya yang terluka, tetapi hal itu berlainan jauh dengan sikap yang ditunjukkannya, lalu berkata:
“Hui Bun, aku harap kau bukan sungguh-sungguh demikian. Pikir saja….”
Tong-hong Hui Bun dengan cepat lantas memotong perkataannya. Ia berkata:
“Dalam seumur hidupku tidak gampang-gampang aku merubah keputusan yang sudah kuambil.”
Orang berbaju lila itu agaknya sudah tidak dapat mengendalikan dirinya. Ia membentak dengan suara keras:
“Hingga hari ini aku baru mengenal watakmu yang sebenarnya. Tong-hong Hui Bun, kau ingin bagaimana?”
“Aku harap selanjutnya kau jangan melihat aku lagi!”
“Pererrpuan hina, kau…!” berkata orang baju lila itu dengan suara gemetar.
Paras Tong-hong Hui Bun mengunjukkan sikapnya yang menakutkan. Sikap yang biasanya menarik dan men ggiurkan, kini telah lenyap sama sekali, dan sinar matanya yang memikat hati telah berubah menjadi sedemikian buasnya.
Hui Kiam saat itu sudah menotok jalan darahnya sendiri untuk menghentikan mengucurnya darah. Sikap yang ditujukan oleh Tong-hong Hui-Bun menimbulkan perasaan jerih dalam hatinya. Kini ia telah dapat melihat sifat lain di balik sifat yang halus lembut dan menarik hati.
Tong-Hong Hui-Bun maju beberapa tindak. Dengan suara dingin ia berkata:
“Karena kau mengeluarkan perkataan tidak sopan, maka jangan sesalkan aku bertindak keterlaluan terhadap dirimu!”
“Sungguh tidak diduga kau seorang perempuan sedemikian.”
“Sekarang tahu masih keburu.”
“Sayang Tuhan telah memberikan kepadamu paras begitu cantik, tetapi jiwamu….”
“Tutup mulutmu!”
“Aku menyesal.”
“Sekali lagi kukatakan, selanjutnya jangan sampai aku melihat kau lagi, untuk selama-lamanya!”
Pikiran orang berbaju lila itu terguncang hebat. Sambil menghentakkan kakinya ia berkata:
“Baik suatu hari kelak aku pasti akan membunuh kau!”
Sehabis berkata ia balikkan badannya hendak berlalu.
“Tunggu dulu!”
Tong Hong Hui Bun dengan kecepatan luar biasa telah bergerak dan merintangi di hadapan orang berbaju lila yang sudah berada di tempat sejauh lima tombak, kemudian berkata sambil mengulapkan tangannya:
“Kau ingin berlalu begitu saja?”
“Habis mau apa?''
“Tinggalkan kepandaianmu!”
“Apa?”
“Tinggalkan kepandaianmu, dan bertindaklah sendiri!”
“Ha, ha, ha, Tong Hong Hui Bun, hatimu lebih jahat daripada binatang buas. Apakah kau kira kau sanggup melakukan itu?”
“Aku selamanya cuma berkata cukup satu kali saja, tidak ada suatu yang tidak dapat aku lakukan.”
“Kalau begitu terpaksa aku mengadu jiwa denganmu!”
“Itu berarti kau mencari mati sendiri!”
Keduanya lalu bertempur sengit. Ini merupakan suatu pertempuran dahsyat yang jarang terjadi.
Di sana muridnya Penghuni Loteng Merah, Siu Bie sedang berdiri dengan susah payah. Parasnya pucat pasi, bajunya penuh darah. Ia mendekati Hui Kiam lalu berkata kepadanya:
“Hui Siaohiap, keliru sekali anggapanku terhadap dirimu!”
“Tidak apa!”
“Utang darah ini aku nanti akan membuat perhitungan dengan orang berbaju lila itu. Sekarang aku mempunyai permintaan yang kurang pantas….”
“Nona Siu, kau katakan saja!”
“Kalau keadaan mengijinkan, tolong kau kubur jenazah tiga kawanku itu!”
“Boleh, aku pasti akan melakukannya.”
“Aku akan ingat budimu ini. Sampai berjumpa lagi.”
Sehabis berkata ia lalu berjalan turun gunung. Jelas sekali, bahwa Siu Bie ini merupakan seorang perempuan yang luar biasa. Ia tahu bahwa keadaannya sendiri sangat berbahaya. Ia tidak sudi mengorbankan jiwanya secara cuma-cuma, maka ia lekas-lekas menyingkir, supaya di kemudian hari bisa menuntut balas.”
Pertempuran antara Tong Hong Hui Bun dan orang berbaju lila sudah berlangsung sepuluh jurus lebih. Kepandaian Tong Hong Hui Bun sesungguhnya luar biasa, hanya dengan sepasang tangan kosong ia menghadapi orang berbaju lila yang menggunakan senjata pedang, dan toch ia sudah berhasil mendesak lawannya sedemikian rupa, sampai tidak mampu balas menyerang sama sekali.
Hui Kiam memasang matanya menyaksikan pertempuran hebat itu.
Perlahan-lahan orang berbaju lila itu terdesak mundur ke tepi jurang yang dalam sekali. Apa yang mengherankan, setiap serangan pedang orang berbaju lila selalu dipunahkan oleh Tong-hong Hui Bun bahkan dibalas dengan serangan yang mematikan. Nampaknya perempuan cantik itu kenal baik gerakan ilmu pedang orang berbaju lila itu. Jikalau tidak, tidak mungkin ia dapat menghadapi sedemikian tenangnya.
Orang berbaju lila itu agaknya sudah mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan sangat berbahaya. Ia berusaha untuk menukar tempat supaya dapat menghindarkan dirinya terjatuh dalam jurang. Tetapi Tong Hong HuiLBun agaknya sengaja mendesaknya ke jalan buntu, sedikitpun tidak mengendorkan serangannya.
Akhirnya ketika suara bentakan keras keluar dari mulut perempuan cantik itu, badan orang berbaju lila sudah melayang turun ke dalam jurang.
Hui Kiam lalu berseru:
“Jangan biarkan ia mati!”
Tetapi sudah terlambat, suara jeritannya orang berbaju lila itu perlahan-lahan menghilang ke bawah jurang.
Benar seperti apa yang dikatakan oleh orang berbaju lila, mungkinkah ia hanya mempunyai kecantikan di luarnya, tetapi hatinya jahat bagaikan ular berbisa?
Mengapa ia memaksa orang berbaju lila itu terjun ke dalam jurang?
Di antara ia dengan orang berbaju lila agaknya pernah terjalin hubungan apa-apa. Hubungan apakah sebetulnya?
Hui Kiam merasa berduka, perempuan pujaannya, ternyata tidak begitu sempurna seperti apa yang ia bayangkan.
Tong-Hong Hui-Bun perlahan-lahan membalikkan badannya. Parasnya masih menunjukkan senyumnya yang manis seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Anggapan yang tumbuh dalam hati Hui-Kiam, telah lenyap seketika ditelan oleh senyuman manis itu.
Ia memang terang cantik. Kecantikannya itu menyebabkan orang tidak berani menimbulkan kesan buruk terhadap dirinya, apalagi mencurigai perbuatannya. Semua itu seolah-olah merupakan dosa terhadap dirinya.
“Adik.”
Suara yang membawa daya penarik, ditambah dengan sinar matanya yaag jernih dan berpengaruh, membuat jantung Hui Kiam tergoncang hebat. Pikiran yang bukan-bukan timbul dalam otaknya.
“Apakah kau anggap encimu terlalu kejam?”
“Ini...” Hui Kiam tidak tahu bagaimana harus menjawab.
“Kau yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana menyedihkan kematian Penghuni Loteng Merah dan muridnya....”
“Apakah itu benar rencana kejam Orang Berbaju Lila?”
“Kiranya tidak ada salah!”
“Mengapa ia harus membinasakan Penghuni Loteng Merah?”
“Ini aku tidak tahu lagi!”
“Sayang.”
“Sayang apa?”
“Ada beberapa pertanyaan aku ingin mendapatkan keterangan dari dirinya. Sayang ia sudah mati.”
“Pertanyaan apa?”
“Umpama ini dengan menggunakan akal kejam seperti itu hanya untuk membinasakan jiwa penghuni loteng merah, mengapa ia harus berbuat demikian? Dan suara orang dari dalam goa yang digunakan sebagai umpan, suara siapakah itu?”
“Urusan tidak ada hubungan dengan kita sendiri sudahi saja!”
Hui-Kiam hampir mengeluarkan perkataan yang terkandung dalam hatinya, tetapi ia urungkan lalu mengalihkan pembicaraannya ke lain soal.
“Enci ada hubungan apa dengan orang berbaju lila itu?”
Paras Tong-hong Hui Bun agak berubah. Ia berkata:
“Hubungan? Tidak ada. Adik, apakah kau anggap aku cantik?”
Wajah Hui Kiam merasa panas. Ia berkata dengan suara tidak lampias:
“Cantik, cantik sekali. Aku tidak tahu apakah dalam dunia masih ada orang kedua yang kecantikannya dapat dibandingkan dengan enci?”
“Itulah hubungannya. Karena aku cantik, maka ia selalu mengejar aku. Bukan cuma ia saja, lelaki yang lainnya juga demikian!”
“Maka kau membunuhnya?”
“Aku seharusnya dulu-dulu sudah membunuhnya mati. Tadi, karena aku melihat perbuatannya yang tidak mempunyai prikemanusiaan sama sekali, apa lagi perbuatannya yang hendak mengambil jiwamu, maka aku terpaksa bertindak terhadap dirinya.”
“Oh,” dalam hati Hui Kiam terlintas suatu perasaan aneh. Ia berkata pula:
“Dari golongan mana orang berbaju lila itu?”
“Tidak tahu. Tiada seorang yang pernah melihat wajah aslinya.”
“Apakah... aku boleh menanyakan asal-usul Enci?”
Tong hong Hui Bun mengunjukkan senyumnya yang mengandung misteri, lalu berkata:
“Kau segera akan mengetahui sendiri, tapi bukan sekarang.”
Hui Kiam tidak menanyakan lagi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, sewaktu Penghuni Loteng Merah hendak masuk ke dalam goa, pernah terdengar suara orang yang memberi peringatan. Juga karena peringatan orang itu, sehingga ia sendiri tidak mengalami nasib seperti Penghuni Loteng Merah. Karena orang itu lebih dulu memberi peringatan yang menunjukkan bahwa itu suatu rencana keji, maka orang itu pasti tahu sebab-sebabnya rencana itu. Tetapi sayang, orang itu tidak mengunjukkan diri maka tidak diketahui siapa adanya.
Karena berpikir demikian, maka ia lalu bertanya:
“Apakah enci pernah melihat di dekat-dekat sini ada orang?”
“Tidak, rasanya juga tidak mungkin.”
“Tetapi ketika Penghuni Loteng Merah mendapat kecelakaan, aku pernah mendengar ada suara orang yang memperingatkan.”
“Oh!”
Tong Hong Hui Bun lalu bergerak badannya, lalu melesat ke atas puncak gunung. Ia mengitari puncak gunung itu sebentar lalu turun lagi dan berkata:
“Aku percaya di atas gunung ini kecuali kau dan aku tidak ada orang yang ketiga. Oh, perempuan yang terluka tadi sudah pergi, ia sungguh cerdik!”
Hui Kiam segera ingat akan janjinya terhadap Siu Bi, maka lalu berkata:
“Aku hampir lupa. Aku tadi sudah menerima baik permintaan perempuan itu untuk mengubur jenazah tiga kawannya.”
Sehabis itu lalu menghampiri tiga jenazah perempuan muda itu. Setelah mencari tempat yang agak datar, ia lalu membuat sebuah lobang untuk mengubur jadi satu tiga jenazah perempuan itu.
“Adik, lukamu sendiri....”
Hui-Kiam baru merasakan sakit di dadanya sendiri. Ketika ia melihat lukanya, ternyata sudah mengeluarkan darah lagi.
Paras Tong-hong Hui Bun mengunjukkan rasa kasihan. Ia mengernyitkan alisnya. Dari badannya mengeluarkan sebuah kantong indah. Ia membuka kantong itu. Di dalamnya ada sebuah botol kecil sebesar ibu jari, lalu membuka tutupnya dan mengeluarkan isinya yang berupa bubuk berwarna putih. Bubuk itu lalu diulaskan ke bagian yang luka. Sungguh heran, darahnya segera berhenti mengalir.
Keduanya berdiri dekat sekali, sehingga bau harum menusuk hidung Hai Kiam. Sepasang biji matanya yang jernih, bibirnya yang merah semeringah menimbulkan daya penarik luar biasa sehingga Hui Kiam hampir tidak bisa bernapas. Jantungnya berdebar keras.
Tong Hong Hui Bun kembali mengunjukkan senyumnya yang menggiurkan. Senyuman itu telah membikin runtuh pertahanan Hui Kiam yang terakhir….
Dengan tanpa dapat menguasai dirinya sendiri ia lalu memeluk diri perempuan cantik itu. Untuk pertama kalinya Hui Kiam tenggelam dalam arusnya asmara.
Dengan tiba-tiba suara siulan tajam terdengar nyaring. Tong Hong Hui Bun dengan perlahan mendorong Hui Kiam. Hui Kiam kini baru dapat melihat sinar merah melesat ke angkasa, dan suara tajam itu adalah suara yang keluar dari sinar merah tadi.
Hui Kiam menenangkan pikirannya. Ia lalu berkata:
“Inilah tanda panah api yang biasa digunakan oleh orang-orang Kang-ouw. Apakah…?”
To-hong Hui Bun berkata dengan tergesa-gesa:
“Adik, aku pergi ke depan untuk melihat apa yang telah terjadi. Kau di sini tunggu aku.”
Sehabis berkata, dengan tanpa menantikan jawaban ia sudah bergerak dan sebentar sudah menghilang!
Hui Kiam seperti baru tersadar dari impiannya yang indah, perasaan yang seolah-olah kehilangan sesuatu, benar-benar sangat tidak enak baginya.
Mengapa ia pergi begitu tergesa-gesa? Jelas bahwa tanda tadi itu ada hubungannya dengan dirinya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa diri perempuan cantik itu tidak terlepas dari lingkungan sesuatu partay
atau golongan persilatan di dunia Kang-ouw. Akan tetapi, dalam rimba persilatan dewasa ini, partay atau golongan mana yang mempunyai orang berkepandaian demikian tinggi? Dengan kepandaian orang berbaju lila
yang sudah susah dicari tandingannya ternyata sudah dipaksa terjun ke dalam jurang dengan hanya sepasang tangan kosong saja, ini benar-benar merupakan suatu hal yang tidak habis dipikir,
kepandaiannya agaknya sama dengan kecantikannya yang tidak dapat dicari tandingannya lagi, dan perempuan itu kini telah jatuh cinta kepadanya.
Lama Hui Kiam berdiri terpaku, pikirannya balik kepada kenyataan. To-liong Kiam-khek sudah terkubur hidup-hidup di dalam goa. Dari ucapan Penghuni Loteng Merah tadi yang mengatakan: “Su-ma Suan, aku dapat mengenali suaramu….” Dapat diduga bahwa orang dalam goa sudah tentu To-liong Kiam-khek, dan orang berbaju lila itu telah menggunakan Hui Kiam untuk menyampaikan kabar, serta menggunakan To-liong Kiam-khek sebagai umpan, lalu meledakkan goa itu. Apa maksudnya ia harus membinasakan Penghuni Loteng Merah?
Andaikata permusuhan, dengan kepandaiannya orang berbaju lila itu, apakah dia tidak berani menentang secara terang-terangan? Mengapa ia menggunakan akal sedemikian rendah?
Karena kedua pihak orang yang bersangkutan sudah mati semua, maka pertanyaan itu akan merupakan teka-teki untuk selama-lamanya.
Dalam pesan ibunya sebelum menutup mata pernah minta kepadanya supaya membunuh To-liong Kiam-khek. Tetapi di atas puncak gunung tadi ia telah menemukan makam ibunya yang menunjukkan bahwa antara ibunya dan To-liong Kiam-khek pernah ada hubungan suami istri. Yang paling aneh ialah ibunya dikubur di dalam pekarangan rumahnya sendiri. Mengapa di gunung itu terdapat kuburannya lagi. Apakah itu juga merupakan akal jahatnya orang berbaju lila?
Sayang, To-liong Kiam-khek sudah mati, demikian juga orang berbaju lila itu, maka rahasia ini juga akan turut terkubur.
Selagi terbenam dalam lamunannya, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri yang agaknya keluar dari mulutnya seorang wanita. Buan kepalang terkejut Hui Kiam. Apakah Tong Hong Hui Bun….
la sudah tak mempunyai kesempatan untuk berpikir lagi, juga tidak memikirkan kepandaiannya sendiri dan kepandaian Tong-hong
Hui Bunyang tiada taranya. Ia hanya ingat keselamatan diri wanita yang mengeluarkan
suara jeritan itu.
Dengan tanpa menghiraukan bahaya pada dirinya sendiri, ia lari menuju ke arah suara jeritan itu. Setelah melalui beberapa puncak gunung ia menduga sudah tiba di tempat datangnya suara jeritan tadi, tetapi ia tak dapat melihat apa-apa, terpaksa ia menghentikan kakinya, pikirannya tidak karuan.
Kembali suara jeritan yang mengerikan masuk ke telinganya. Suara itu seolah-olah keluar dari lembah sebelah kanan yang tak jauh dari tempatnya.
Ia balik ke kanan, lari menuju ke lembah yang tidak dikenalnya itu.
Tidak berapa lama, ia sudah berada di mulut lembah. Ia segera lari masuk tanpa dipikir lagi.
Belum sepuluh tombak ia masuk ke dalam lembah, hidungnya dapat mencium bau amis bukan kepalang terkejutnya. Matanya mulai mencari di belakang sebuah pohon. Tampak sepotong gaun. Waktu ia menghampiri, segera dapat lihat dua jenazah orang perempuan rebah terlentang berlumuran darah. Dua perempuan itu mengenakan pakaian serupa yang berwarna kuning tua.
Pakaian serupa dan warna itu, bukankah dandanannya para pelayan Tong-Hong Hui-Bun?
Waktu ia memeriksa lagi, ternyata paras dua perempuan itu sudah hancur tidak dapat dikenali lagi.
Pembunuhan secara kejam ini sudah tidak asing bagi Hui-Kjam. Ia teringat kepada diri perempuan berbaju hijau yang mengenakan kerudung. Ketika ia pergi mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas, juga membunuh orang dengan cara demikian.
Orang-orang Persekutuan Bulan Emas, ketika menyaksikan perempuan berbaju hijau itu, ketakutan setengah mati sehingga kabur dengan mengorek biji matanya sendiri.
Di luar dugaannya perempuan berbaju hijau itu telah melepaskan dirinya bahkan memberi waktu kepadanya satu tahun untuk membuat perhitungan.
Siapakah perempuan berbaju hijau itu? Apakah ia sudah muncul ke dunia Kang-ouw?
Ia masih ingat waktu perempuan itu mengunjukkan diri, pernah menggunakan sapu tangannya membuat lingkaran di tengah udara. Tanda semacam ini yang membuat ketakutan Ko Han San sampai ia mengorek biji matanya sendiri dan kemudian kabur.
Tanda apakah itu? Tanda ia mengunjukkan diri, ataukah….
Ia tidak sempat untuk memikirkan itu. Menurut keadaan yang ia saksikan, ia telah membuat analisa. Dua korban itu, adalah pelayan Tong-hong Hui Bun. Waktu mereka tahu tidak sanggup melawan, segera mengeluarkan tanda bahaya, maka Tong-hong Hui Bun lekas-lekas menyusul hendak memberi bantuan. Tetapi nampaknya sudah tidak berhasil menolong, dan orang yang melakukan pembunuhan itu mungkin sekali adalah perempuan berbaju hijau yang pernah dijumpainya itu. Tetapi apa motifnya ia sudah tidak dapat menduga lagi.
Dengan kepandaian Tong-hong Hui Bun, halya tidak mungkin tidak dapat menandingi perempuan itu. Tetapi kemana ia sekarang?
Diantara dua perempuan yang mati itu apakah termasuk pelayan yang mengikuti Tong-hong Hui Bun? Kalau benar, maka sucinya Pui Ceng Un atau Wanita Tanpa Sukma yang bina,sa di tangannya, sudah tidak bisa menuntut balas lagi.
Mengingat diri Pui Ceng Un, segera ia teringat perkataan terakhir yang menyebutkan nama gunung Kiu Kiong San dan nama Jien Ong.
Maksud perkataan itu sudah tentu hendak mengunjukkan bahwa Jien Ong berdiam di gunung Kiu Kiong San. Tetapi apakah maksudnya? Jien Ong itu adalah musuh perguruannya, ataukah ada
orang yang mempunyai hubungan dengan sepotong uang logam itu?
Pada saat itu, sesosok bayangan orang tiba-tiba melayang turun di hadapannya dengan tanpa mengeluarkan suara.
Orang itu ternyata adalah pelayan Tong Hong Hui Bun yang pernah membunuh mati sucinya. Maka seketika itu timbul amarahnya. Tetapi ia masih mencoba mengendalikan diri dan menanyakan kepadanya:
“Majikanmu?”
“Sedang mengejar musuh!”
“Mengejar musuh. Apakah seorang wanita berbaju hijau yang mengenakan kerudung?”
“Benar, mengapa kau tahu?”
“Dari muka yang mengakibatkan kematian dua wanita itu aku segera dapat menduganya.”
“Oh!”
“Apakah mereka berdua tadi jalan bersama-sama denganmu?”
“Hem!”
Dari wajah perempuan itu tidak dapat dicari sedikitpun rasa kasihan terhadap kematian kawannya, seolah-olah dua kawannya yang mati itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya, sebaliknya malah ia menunjukkan betapa mengejek, sikap itu, Hui Kiam benar-benar tidak mengerti.
“Dari golongan mana wanita berbaju hijau yang memakai kerudung itu?”
“Ia berdiri sendiri. Ia adalah murid Raja Pembunuh yang dahulu pernah bermusuhan hebat dengan Tiga Raja Rimba Persilatan!”
Hui Kiam terperanjat. Ia menegaskan pula:
“Apakah benar ia muridnya si Raja Pembunuh?”
“Sedikitpun tak salah!”
“Sekarang kita harus membuat perhitungan antara kau denganku!”
“Perhitungan apa?”
“Atas perbuatanmu yang sudah membunuh Wanita Tanpa Sukma!”
Perempuan muda itu tertawa dingin, lalu berkata:
“Kau ingin membuat perhitungan bagaimana?”
“Utang DARAH bayar DARAH!”
“Tetapi kepandaian dan kekuatanmu pada saat ini belum mampu membunuhku. Habis bagaimana?”
“Tidak halangan, kita boleh coba.”
“Aku sudah mengatakan bahwa soal ini biarlah dibereskan oleh ibu majikan…”
“Tetapi aku hendak menagih sendiri padamu.”
“Tetapi aku tak sempat. Sampai berjumpa lagi!”
Sebabis mengucap demikian, dengan cepat ia segera pergi.
“Lari kemana?”
Hui Kiam murka sekali. Sehabis membentak demikian ia lalu lompat mengejar.
Perempuan muda itu ternyata hebat sekali kepandaiannya. Dikejar oleh Hui Kiam, ia telah mengerahkan lari pesatnya sedemikian rupa, sehingga terpisah makin lama makin jauh dengan yang mengejar.
Meskipun Hui Kiam sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetapi tidak berhasil mengejarnya. Sebentar kemudian, perempuan itu tiba-tiba membelok ke suatu tikungan dan menghilang. Hui Kiam sangat mendongkol, tetapi ia tidak berbuat apa-apa.
la telah mendapat kesan bahwa perempuan muda itu tadi tidak sebegitu menghormat seperti apa yang ia bayangkan. Terutama sikapnya terhadap kematian kawannya, agaknya tidak tergerak
hatinya sama sekali. Hal ini merupakan suatu kejadian yang sangat ganjil.
Oleh karena Tong-Hong Hui-Bun sudah pergi mengejar musuhnya, sudah tentu ia sendiri tidak perlu menantikan di gua bekas terjadi peledakan tadi.
Maka ia lalu lari turun ke bawah gunung.
Selagi berjalan, tiba-tiba ia merasakan hembusan angin hebat menggulung dari sisinya sehingga menahan perjalanannya.
Hui-Kiam terperanjat, sementara masih belum tahu siapa yang merintangi perjalanannya itu, di hadapannya telah berdiri seorang perempuan berpakaian warna hijau dengan memakai kerudung di mukanya.
Perempuan itu bukan lain daripada perempuan kuat yang ia temukan di puncak gunung Sin-lie-bong dahulu.
Perempuan itu telah menunjukkan diri di hadapannya, tetapi tidak tampak bayangan Tong-Hong Hui Bun, sedangkan menurut perempuan muda pelayan Tong-Hong Hui Bun, telah dikatakan bahwa ibu majikannya sedang pergi mengejar musuhnya. Tetapi kini yang sudah menunjukkan diri dan kemana yang lainnya?
Ia tidak berhasil mengejar ataukah....
Perempuan berbaju hijau berkerudung itu berkata sambil tertawa dingin:
“Penggali Makam, kita telah berjumpa lagi?”
Hui Kiam juga menyahut dengan nada suara dingin:
“Benar-benar merupakan pertemuan yang tidak diduga-duga!”
“Waktu perjanjian kita untuk bertemu dalam waktu satu tahun masih belum tiba waktunya, tetapi kita telah berjumpa lagi di sini. Penggali Makam, jikalau kau sekarang masih belum mempunyai persiapan cukup, janji itu masih tetap berlaku, maka hari ini kau tidak perlu mengambil tindakan apa-apa.”
Hui-Kiam meskipun beradat tinggi hati teta
pi ia mengetahui baik keadaan sendiri pada
dewasa itu belum sanggup menandingi lawannya itu. Oleh karena perempuan itu sudah menyatakan lebih dulu tidak perlu mengambil tindakan apa-apa, sudah tentu ia juga tidak perlu bertindak, lalu berkata:
“Dalam waktu satu tahun aku berjanji pasti akan menepati janji itu.”
Perempuan berbaju hijau itu berkata sambil tertawa ringan:
“Mari kita bicarakan soal sekarang.”
“Sekarang apa yang perlu dibicarakan?”
“Sudah tentu ada. Kedatanganku ini justru sengaja mencari kau!”
“Mencari aku?”
“Yah!”
“Ada keperluan apa nona mencari aku?”
“Kabarnya dari Wanita Tanpa Sukma kau telah mendapatkan sepotong uang logam, adakah itu benar?”
Hui Kiam terperanjat. Ia mundur selangkah baru menjawab:
“Benar, tetapi ada hubungan apa dengan nona?”
“Sudah tentu ada, bahkan besar sekali sangkut-pautnya.”
“Aku tidak mengerti!”
“Urusan orang lain sudah tentu kau tidak mengerti, juga tidak ada perlunya bagimu untuk dimengerti atau tidak. Sekarang kau serahkan potongan uang logam itu kepadaku, dan masing-masing boleh mengambil jalannya sendiri-sendiri.”
Hui Kiam berpikir keras, bagaimana perempuan itu bisa tahu bahwa ia mendapatkan sepotong uang logam itu dari Wanita Tanpa Sukma? Sedangkan waktu itu hanya Sukma Tidak Buyar, Orang
Tua Tiada Turunan dan Tong-hong Hui Bun bersama pelayannya yang menyaksikannya. Selain mereka sudah tidak ada orang lain yang ada di situ, dari manakah ia mendapatkan kabar itu? Potongan uang logam itu adalah barang kepercayaan perguruannya. Bagi barang itu sendiri sedikitpun tidak ada harganya. Apakah maksud perempuan berbaju hijau itu minta benda tersebut?
Andaikata yang diminta itu merupakan barangnya sendiri yang telah hilang, mungkin dapat diartikan kalau perempuan itu sudah mengetahui bahwa benda itu mengandung rahasia yang ada hubungannya dengan kitab pusaka Thian-khi Po-kip. Tetapi barang yang diminta itu justru kepunyaan Wanita Tanpa Sukma, sekalipun ia mendapatkannya juga tidak ada gunanya.
“Apakah maksud dan tujuan nona minta potongan uang logam itu?”
“Kau tidak perlu tahu.”
“Tetapi barang itu di tanganku.”
“Itulah sebabnya maka aku minta supaya barang itu kau serahkan kepadaku.”
Jika aku tidak mau menyerahkannya?”
“Rasanya tidak mungkin kau tidak mau menyerahkan barang itu.”
Kesombongan hati Hui Kiam tiba-tiba timbul. Ia lalu berkata dengan nada suara sombong!
“Tidak bisa!”
“Sepotong potongan uang logam bagi kau Penggali Makam sedikitpun tidak ada gunanya!”
Apakah barang itu sangat berguna bagi nona?”
“Sudah tentu!”
“Apakah gunanya?”
Sepatah demi sepatah perempuan berbaju hijau itu berkata:
“Tentang ini kau tidak perlu tahu lagi!”
Oleh karena benda itu merupakan tanda kepercayaan perguruannya, bagaimana boleh diserahkan kepada orang lain, maka Hui Kiam lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Maaf, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu.”
“Penggali Makam, aku beritahukan kepadamu bahwa aku sudah bertekad bulat hendak mendapatkan potongan uang logam itu.”
“Aku juga perlu menerangkan, kecuali aku sudah mati, uang logam ini tidak boleh terjatuh ke tangan orang lain.”
“Kau terlalu sombong.”
“Terserah anggapanmu sendiri.”
“Jika kau benar-benar hanya karena sepotong uang logam ini kau harus mengorbankan jiwamu, apakah itu berharga?”
Hui Kiam diam-diam bergidik, tetapi sikapnya semakin dingin. Dengan perasaan mendongkol ia berkata:
“Ada harganya atau tidak, itu urusanku sendiri.”
“Apakah hendak memaksa aku untuk bertindak?”
“Terserah kepadamu.”
Perempuan berbaju hijau itu sambil mengeluarkan suara dari hidung, lalu mengulur tangan menyambar Hui-Kiam....
Hui Kiam segera membentak dengan suara keras:
“Tunggu dulu!”
Perempuan berbaju hijau itu menarik kembali tangannya dan berkata:
“Bagaimana? Kau suka menyerah?”
“Aku ingin berkata sedikit!”
“Kau ingin bertanya apa? Katakanlah.”
“Kemana perginya pemilik tanda batu kumala?”
“Pemilik tanda batu kumala? Siapa yang kau maksudkan?”
“Wanita yang mengejar kau tadi.”
“Oh! Kau maksudkan dia apakah dia pemilik tanda batu kumala? Aku tidak perduli siapa dia, namun dia mempunyai kecantikan luar biasa, kepandaiannya juga tinggi. Kita berkejar-kejaran cukup lama. Barang kali ia merasa tidak gembira maka lalu berlalu.”
“Apakah sebabnva kau membunuh ketiga pelayan perempuannya?”
“Hal ini kau tidak perlu bertanya, kau serahkan saja sepotong uang logam itu sudah cukup!”
Hui Kiam dalam hati berpikir, kitab pusaka Thian-khi Po-kip sudah jatuh di tangan orang lain, maka uang logam ini juga sudah tidak ada gunanya, tidak ada halangan diserahkan kepadanya.
Oleh karena berpikir demikian maka ia lalu berkata:
“Boleh kuserahkan kepadamu, tetapi kau harus menjawab pertanyaanku!”
“Coba kau katakan!”
“Bagaimana kau tahu aku mendapatkan sepotong uang logam ini dari diri Wanita Tanpa Sukma sehingga perlu kau mencari dan minta dariku?”
“Ada orang memberikan kabar kepadaku.”
“Siapa?”
“Seorang perempuan bernama Oey-Yu Hong.”
“Apa? Oey Yu Hong katamu?!”
Semangat Hui Kiam seketika lalu terbangun. Justru ia sedang mencari Oey Yu Hong dan kini perempuan berbaju hijau itu telah menyebutkan namanya, ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang tidak terduga-duga. Jikalau dapat menemukan Oey Yu Hong, segera mengetahui teka-teki kematian Liang Gee Sieseng dan di mana jatuhnya kitab pusaka itu. Tetapi apa maksud dan tujuan ia memberi kabar ini kepada perempuan berbaju hijau itu? Bagaimana pula ia tahu tentang uang logam itu?
“Apakah kau ingin membalas dendam kepada Oey Yu Hong?”
“Tidak, aku sama sekali aku tidak kenal dengan wanita itu, hanya aku justru sedang mencarinya.”
“Kau mencari dia?”
“Ya. Apakah kau heran?”
“Kau benar tidak kenal Oey Yu Hong?”
“Tidak kenal.”
“Benar-benar kau tidak kenal?”
“Benar tidak kenal!”
“Kau toh belum lama berpisah dengan perempuan pelayan tadi, betul tidak?”
“Ya, ya, ya!”
“Itulah dia perempuan yang bernama Oey Yu Hong!”
“Aaaaaa!”
Hui Kiam benar-benar tergetar perasaannya. Ia sungguh tidak menduga bahwa pelayan perempuan Tong-hong Hui Bun itu adalah Oey Yu Hong, dan ia justru pembunuh Wanita Tanpa Sukma.
“Sudah cukup sampai di sini, kau serahkan barang itu.”
Hui Kiam terpaksa mengambil potongan uang logam yang diminta, kemudian ia melemparkannya kepada perempuan berbaju hijau itu seraya berkata:
“Nah sambutlah, jangan kau hilangkan. Pada suatu ketika nanti akan kuminta kembali!”
Perempuan berbaju hijau itu setelah menyambut potongan uang logam itu ia memeriksanya.
Sejenak setelah mengetahui bahwa barang itu tidak salah, baru dimasukkan ke dalam sakunya.
Hui-Kiam yang juga mempunyai sepotong dari potongan uang logam itu, karena hampir setiap hari ia membuat main-main, maka
begitu meraba ia sudah dapat mengenali dengan tepat potongan yang mana yang menjadi kepunyaannya dan yang mana kepunyaan Wanita Tanpa Sukma, sedikitpun tidak khawatir akan salah.
Dan apa maksud perempuan berbaju hijau itu menghendaki sepotong uang logam itu, ia sudah tidak dapat menerkanya lagi. Tetapi biar bagaimana, ia sudah mengambil keputusan lambat atau cepat ia hendak minta kembali dari tangannya. Meskipun potongan uang logam itu sendiri sudah kehilangan fungsinya, tetapi merupakan barang kepercayaan perguruannya, tidaklah patut terjatuh di tangan orang lain. Asal ia dapat menemukan Oey Yu Hong, rasanya tidak sulit hanya untuk mengetahui maksudnya perempuan berbaju hijau itu meminta potongan uang logam tersebut.
Perempuan berbaju hijau itu berkata:
“Penggali Makam, sampai berjumpa lagi. Mengenai perjanjian satu tahun itu, kau tidak perlu pergi jauh ke gunung Bu-san. Di dunia Kang-ouw suatu saat kita bisa bertemu. Asal kau sudah yakin benar mempunyai cukup kepandaian, di mana saja dan kapan saja kamu boleh membuat perhitungan.”
Sehabis berkata demikian ia laiu pergi.
Dengan mengawasi berlalunya perempuan itu, Hui Kiam berdiri tertegun sedang dalam otaknya ia berpikir: andaikata aku mempunyai cukup kekuatan, tak sampai aku dihinanya.
Ketika ia baru muncul di dunia Kang-ouw ia yakin akan kepandaian sendiri, tapi setelah mengalami kekalahan beberapa kali, ia baru tahu bahwa di dalam rimba persilatan masih banyak orang yang lebih pandai dan tinggi kepandaiannya daripada kepandaian sendiri, dan kepandaian yang dipunyainya hampir tidak berarti sebab kadang-kadang hampir tidak dapat melindungi jiwanya sendiri. Maka kalau ia menuntut balas ia harus belajar lebih dalam lagi. Satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan kepandaian yang diinginkan, hanya mencari kembali kitab pusaka bagian bawah yang telah hilang itu. Dalam hendak mendapatkan kembali barang tersebut, asal dapat menemukan Oey-Yu-Hong, mungkin bisa
mendapatkan keterangan dari mulutnya. Karena Oey-Yu-Hong adalah pelayan Tong-Hong Hui-Bun, rasanya tidak khawatir tidak dapat menemukan dirinya.
Karena Tong Hong Hui Bun sudah menjanjikan kepadanya untuk menunggu di tempat semula, biar bagaimana ia pasti akan balik lagi. Mungkin Oey-Yu-Hong ikut kepadanya.
Karena itu maka ia lalu berjalan balik menuju ke gua bekas terjadinya peledakan tadi.
Hari sudah mulai senja. Cuacanya di pegunungan itu sudah mulai agak gelap.
Ketika ia tiba di atas gunung yang berhadapan dengan gua bekas terjadi peledakan tadi, ia dapat melihat dengan tegas keadaan sekitar gua itu. Andaikata ada orang datang, ia pasti dapat melihatnya. Maka ia mencari tempat untuk duduk. Sepasang matanya terus ditujukan ke arah seberang.
Tetapi hingga cuaca gelap, tempat itu tidak terdapat tanda-tanda adanya orang datang.
Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara orang berkata:
“Penggali Makam, tidak usah tunggu lagi!”
Hui Kiam berpaling. Ia segera dapat melihat bahwa orang yang bicara itu adalah perempuan muda pelayan Tong Hong Hui Bun. Bukan kepalang rasa girangnya. Ia justru sedang mencari dirinya dan kini ia telah muncul di hadapannya.
Perempuan muda itu berkata pula:
“Ibu majikan menyuruhku menyampaikan kabar kepadamu. Ia minta kau jangan menunggunya lagi. Ia masih mempunyai urusan yang perlu segera diurus, maka sudah berangkat lebih dahulu.”
Sehabis berkata, ia segera membalikkan badan dan berlalu.
Hui Kiam segera lompat melesat dan menghadang di hadapannya seraya berkata:
“Nona jangan pergi dulu!”
Perempuan iiu menunjukkan sikap tidak senang. Ia berkata dengan suara dingin:
“Ada apa?”
“Aku ingin bertanya kepada nona....”
“Maaf, aku tidak sempat.”
“Apakah nona bernama Oey Yu Hong?”
Paras perempuan itu berubah seketika, dia berkata:
“Kalau ya mau apa?”
Jawaban itu seolah-olah sudah merupakan suatu pengakuan.
“Jikalau benar aku ingin berbicara sebentar, jikalau bukan, silahkan.”
“Kalau begitu aku beritahukan kepadamu, memang benar aku adalah Oey Yu Hong.”
“Bagus sekali, nona Oey, aku justru sedang mencarimu.”
“Mencari aku? Untuk apa?”
“Adakah nona kenal dengan seorang perempuan bernama Oey Yu Cu?”
“Kalau kenal kau mau apa?”
“Ia minta aku mencari nona untuk menyampaikan beberapa patah kata. Ia masih pernah apa dengan nona?”
Mata Oey Yu Hong nampak merah, ia berkata:
“Ia adalah kakakku!”
Hui Kiam diam-diam menganggukkan kepala. Ia berkata:
“Mengapa nona tidak mau duduk dulu, marilah kita bicara sebentar!”
Dua orang itu setelah duduk di tanah, Hui Kiam segera bertanya:
“Apakah kakakmu itu istrinya Liang Gie Sie-seng?”
“Boleh dikata ya, juga boleh dikata bukan.”
“Lo, lo, lo, apa maksud perkataanmu ini?”
“Ini agaknya tidak perlu diberitahukan kepadamu.”
Oleh karena aku menerima pesan orang yang menutup mata, tidak boleh tidak aku harus menanyakannya!”
Sepasang mata Oey Yu Hong mengembang air mata. Setelah berpikir agak lama, ia baru berkata dengan suara sedih:
“Ia pesan urusan apa kepadamu?”
“Aku menanyakan kepadanya siapa orang yang mencelakakan dirinya. Sayang ia sudah tidak mempunyai tenaga untuk menjawab. Ia cuma berkata setelah menemukan kau, nanti dapat mengerti segala-galanya.”
“Ya, aku mengerti.”
“Apakah kematian kakakmu dan suaminya karena sejilid kitab pusaka?”
“Bukan, itu hanya merupakan cerita burung yang sengaja dibuat-buat. Suami kakakku sehingga menemukan ajalnya barangkali juga masih belum mengerti.”
Hui Kiam merasa kecewa, tetapi ia berkata pula:
“Apakah bukan karena kitab pusaka pelajaran ilmu silat?”
“Bukan. Kematian Sam Goan Lojin dan Oey Yang Hong juga bukan karena kitab pusaka. Segala desas-desus yang mengenai kitab pusaka itu, sebetulnya cuma ciptaan sang pembunuh yang sengaja untuk mengalihkan perhatian orang.”
“Oh oh oh!”
Hui Kiam terkejut. Kalau demikian halnya, kitab pusaka itu belum muncul di dunia, dengan demikian maka pesan Wanita Tanpa Sukma, harus dipikir kembali secara masak-masak. Tetapi pembunuh yang membinasakan penghidupan orang kuat rimba persilatan, mengapa harus menggunakan cara demikian alibi?
“Baru saja nona berkata tentang diri Oey Yu Cu….”
Dengan air mata bercucuran, Oey Yu Hong menunjukkan sikap gemas dan penasaran. Dia berkata dengan suara gemetar:
“Dengan kepandaianku sendiri, barangkali tidak mampu untuk menuntut balas baginya, tetapi aku bisa berbuat dengan tanpa menghiraukan caranya.”
“Bagaimana?”
“Kakakku telah mendapat perintah menggunakan dirinya sebagai umpan, untuk membuat perhubungan dengan Liang Gie Sie-seng. Maksudnya semata-mata hanya untuk mencuri resepnya pembuatan racun. Dalam dunia rimba persilatan dewasa ini, Liang Gie Sie-seng terhitung satu-satunya orang terpandai menggunakan racun.”
“Dan selanjutnya?”
“Ia telah berhasil melaksanakan sebagian dari tugasnya, tetapi kemudian ia jatuh cinta benar-benar kepadanya, maka akhirnya ia tak luput dari kematian.”
“Kalau begitu orang yang memberi perintah kepada Oey Yu Cu, juga adalah orang yang melakukan pembunuhan besar-besaran kemudian menyiarkan kabar angin itu?”
“Sedikitpun tidak salah!”
“Siapakah?”
Oey Yu Hong nampak ragu-ragu, agaknya merasa takut. Setelah berpikir sejenak, ia balik menanya:
“Bagaimana kau tahu aku adalah Oey Yu Hong?”
“Perempuan berbaju hijau berkerudung yang memberitahukannya kepadaku!”
“Dia yang memberitahukan kepadamu?”
“Benar! O, ya, nona beritahukan apa kepadanya?”
“Mungkin aku telah membuat kekeliruan.”
“Apa artinya?”
“Kau ingin tahu?”
“Aku ingin tahu sebabnya. “
“Mungkin setelah aku memberitahukan kepadamu, aku bisa membunuh mati kau untuk menutup rahasia!”
Dari sikap perempuan itu boleh dipastikan bahwa apa yang dikatakan bukanlah merupakan gertak sambel belaka. Tetapi karena watak tinggi hati Hui Kiam, semakin menghadapi teka-teki yang penuh rahasia, semakin keras kemauannya untuk mengetahui keinginannya maksudnya tidak mau melepaskan begitu saja bahkan masih berkata dengan sikap tenang:
“Apakah sedemikian pentingnya?”
“Sudah tentu!”
“Coba nona ceritakan!”
“Hal ini boleh dikata suatu kebetulan. Di bawah kaki gunung Keng-san, aku telah berjumpa dengan perempuan berbaju hijau yang mengenakan kerudung. Ia minta keterangan kepadaku tentang jejaknya diri Jiok Siao Tin. Maka terbukalah pikiranku, aku ingin menggunakan dirinya untuk menuntut balas.”
“Siapakah Jiok Siao Tin?”
“Wanita Tanpa Sukma.”
“Oh!” Hui Kiam terperanjat. Kemudian ia berkata pula dengan suara gemetar:
“Jiok Siao Tin adalah Wanita Tanpa Sukma?”
“Ya, mengapa?”
“Apakah ia bukan bernama Pui Ceng Un?”
“Siapakah Pui Ceng Un itu?''
Pikiran Hui Kiam seketika itu menjadi kalut. Pertanyaan Oey Yu Hong itu seolah-olah tidak masuk ke dalam telinganya. Ia memerlukan ketenangan untuk berpikir. Selama itu ia telah menganggap bahwa Wanita Tanpa Sukma adalah anak piatu si-
supeknya. Sesungguhnya tidak disangka bahwa dugaannya itu keliru sama sekali. Ia hanya menduga Wanita Tanpa Sukma dari sepotong uang logam yang jatuh dari badannya. Hakekatnya Wanita Tanpa Sukma belum pernah mengakui nama yang sebenarnya, sebab ketika itu ia sudah tidak bisa berkata lagi.
Tetapi sepotong uang logam itu adalah barang yang menjadi kepunyaan si-supeknya, mengapa bisa berada di dalam tangannya?
Apakah artinya perkataan terakhir yang diucapkan mengenai gunung Kui-kong-san dan orang yang bernama Jien Ong? Apakah tuan ada hubungannya dengan sepotong uang logam itu?
Apakah sebabnya perempuan baju hijau berkerudung itu minta potongan uang logam itu?
Semakin ia memikir, pikirannya semakin kalut!
Oey Yu Hong bertanya pula:
“Siapa yang kau katakan dengan Pui Ceng Un tadi?”
“Salah satu saudara seperguruan dengan aku.”
“Apakah kau sudah anggap Wanita Tanpa Sukma sebagai Pui Ceng Un?”
“Ya!”
“Paras mereka mirip satu sama lain ataukah….”
“Aku belum pernah melihat muka Pui Ceng Un hanya….
la sebetulnya ingin mengatakan bahwa dugaannya itu berdasar atas sepotong uang logam itu. Tetapi ia pikir hal itu kurang pantas sebab itu ada rahasia dalam perguruannya, bagaimana boleh dibocorkan kepada orang luar?
Maka ia menelan kembali ucapannya.
“Hanya kesalahan paham saja?”
“Ya!” Hui-Kiam terpaksa menjawab demikian.
“Penggali Makam, aku membunuh Wanita Tanpa Sukma karena atas perintah ibu majikanku sebab kelakuannya dan perbuatannya
terlalu kejam dan rendah. Khawatir kau akan terperosok dalam akal muslihat maka ibu majikan menyuruhku menyingkirkan dirinya. Sekarang aku sudah jelaskan duduk perkaranya, apakah kau masih ingin membuat perhitungan denganku?”
Hui-Kiam telah berpikir lalu berkata:
“Karena kesalahan paham maka perhitungan ini kita hapuskan saja.”
“Kakakku sebetulnya menyuruh kau menyampaikan perkataan apa?”
“Ia hanya berkata asal dapat menemukan kau kini ia bermaksud minta aku mengabarkan kematiannya kepadamu, dan menyuruh kau menuntut balas. Tetapi setelah ia menutup mata, kau dengan ibu majikanmu telah tiba di tempat kejadian itu maka urusan ini tidak perlu disampaikan lagi. Hanya….
“Hanya apa?”
“Aku masih kurang mengerti. Ketika nona tiba di tempat kejadian itu, terang nona sudah melihat sendiri kuburan baru kakak nona, mengapa nona tidak mengunjukkan sikap apa-apa? Apakah dalam hal ini ada sebab-musababnya?”
Oey Yu Hong tidak menjawab langsung, sebaliknya mengalihkan ke lain soal.
“Aku sudah mulai bertindak untuk melakukan pembalasan dendam. Di sini aku ucapkan terima kasih kepadamu atas budimu yang sudah mengubur jenazah kakakku.”
'Kau ingin menggunakan muridnya si Raja Pembunuh yang merupakan dirinya perempuan berbaju hijau berkudung itu, ini juga merupakan salah satu usaha yang cukup baik.”
“Aku tidak menyangkal!”
“Apakah sebabnya perempuan berbaju hijau itu minta kepadaku sepotong uang logam itu?”
“Sebab itu adalah barang kepunyaan Wanita Tanpa Sukma Ciok Siao Tin.”
“Rasanya tak mungkin cuma sebab itu saja?”
“Kalau begitu tanyalah kau kepada orangnya sendiri.”
“Ya, aku harus pergi mencarinya. Nona Oey, kau belum mengatakan siapa orangnya yang membunuh kakakmu?”
Oey Yu Hong tiba-tiba berkata dengan suara bengis:
“Sebaiknya kau jangan menanyakan soal ini.”
---ooo0dw0ooo---
JILID 11
TETAPI aku ingin tahu motif dan tujuan dari serentetan pembunuhan itu.”
“Aku tadi sudah terangkan, setelah aku menjelaskan kepadamu, aku bisa membunuhmu untuk menutup rahasia maka sebaiknya kau jangan bertanya.”
'Tetapi jikalau aku pasti ingin tanya bagaimana?”
“Ini berarti kau mendesak aku untuk membunuhmu.”
“Mengapa?”
“Aku tidak ingin rencanaku untuk membalas dendam dirusak oleh tangan orang!”
“Ini benar-benar sulit dipahami, aku sendiri juga ingin menuntut balas kepada musuh-musuhku. Bagi nona rasanya ada baiknya tidak ada ruginya.”
“Apakah benar kau ingin tahu?”
“Ya!”
Oey Yu Hong lalu mengawasi keadaan sekitarnya, kegelapan sudah menutupi seluruh daerah pegunungan itu, keadaan sunyi-sepi, ia berkata dengan suara rendah:
“Setelah nanti aku jelaskan, segera akan bertindak.”
Nada suara yang menakutkan itu membuat bergidik siapa yang mendengarnya.
Tetapi Hui Kiam sudah tetap dengan keinginannya yang keras maka ia berkata dengan tegas:
“Katakanlah, bagiku tidak menjadi soal.”
“Kalau begitu kau dengarlah, biang keladi dari serentetan pembunuhan ini adalah.......”
Sayang sebelum memberitahukan siapa orangnya, Oey Yu Hong tiba-tiba menjerit dan kemudian rubuh untuk tidak bangun lagi.
Kejadian yang tidak terduga-duga ini benar-benar sangat mengejutkan, dan menyesalkan Hui Kiam, dengan suatu geraman hebat dia lompat melesat ke atas batu cadas yang letaknya paling tinggi, matanya mencari di sekitarnya. tetapi keadaan tetap sunyi, tidak tampak apa-apa.
Dengan perasaan agak gelisah, ia balik ke tempat di mana Oey Yu Hong tadi roboh tetapi keadaan nona itu sudah sangat payah, dari mulutnya cuma terdengar perkataannya yang diucapkan dengan terputus-putus: “Jarum melekat....... tulang.............”
“Nona Oey! Nona Oey......!”
Tetapi Oey Yu Hong sudah tidak dapat menyahut. Kaki tangannya berkelojotan, lalu melepaskan napasnya yang terakhir.
Kepala Hui Kiam hampir mau pecah, sekujur badannya gemetar. Ia berdiri tertegun di tempatnya sambil mengawasi jenazah Oey Yu Hong tanpa dapat berbuat apa-apa.
Suhunya sendiri dan Si-supeknya, telah binasa karena jarum melekat tulang, dan sekarang Oey Yu Hong juga karena senjata rahasia itu. Jelas bahwa pembunuhnya merupakan satu orang. Bedanya adalah kalau suhunya dan si-supeknya setelah terkena senjata tersebut masih bisa hidup dalam waktu yang lama, tetapi Oey Yu Hong segera binasa. Nampaknya nona itu terkena senjata di bagian jalan darah yang terpenting.
Jarum melekat tulang ini merupakan senjata tunggal Jien Ong. Yang menggunakan senjata Jien Ong sendiri ataukah muridnya?
Oey Yu Hong selagi hendak menyebutkan nama pembunuhnya telah dibunuh, jelas maksudnya supaya ia menghilangkan salah seorang yang mengetahui rahasianya. Kalau begitu si pembunuh itu sudah lama mengintai di sekitarnya.
Tetapi mengapa pembunuh itu tidak membunuh Hui Kiam sekalian?
Apakah jago pedang berkedok yang pada sepuluh tahun berselang menganiaya suhunya dan si-supeknya, juga merupakan pembunuh yang melakukan serentetan pembunuhan yang terjadi di waktu paling akhir ini?
Hui Kiam memikirkan itu semua. Otaknya semakin kusut, dadanya dirasakan sesak. Dalam keadaan demikian, sesosok bayangan manusia telah mendekatinya bagaikan gerakan hantu.
Meskipun Hui Kiam sedang melamun, tetapi daya refleknya masih cukup kuat. Mengetahui ada orang yang mendekati dirinya, ia segera menegur dengan suara keras:
“Siapa?”
“Toako, aku!”
Jawaban itu ternyata keluar dari mulut Ie It Hoan atau Sukma Tidak Buyar.
Dalam waktu dan keadaan demikian, munculnya Sukma Tidak Buyar itu, benar-benar di luar dugaan Hui Kiam.
Ie It Hoan lalu berkata sambil menunjuk jenazah Oey Yu Hong.
“Apakah yang telah terjadi?”
Dengan sepasang mata menatap wajah Ie It Hoan, Hui Kiam menjawab dengan suara pelahan:
“Ia telah dibunuh secara menggelap, terkena senjata rahasia jarum melekat tulang!”
“Oh!”
“Dalam waktu keadaan seperti ini, bagaimana kau bisa datang kemari?”
“Aku kebetulan lewat di bawah kaki gunung, tiba-tiba terdengar suara jeritan. Tertarik perasaan ingin tahu lalu aku datang kemari. Tidak kuduga di sini ada Toako.”
“Adakah kau tadi melihat jejak orang atau tidak?”
“Ada, sesosok bayangan hitam lari ke bawah gunung, karena terlalu cepat, aku tidak lihat itu lelaki atau perempuan!”
“Kau datang dari mana?”
“Dari bawah kaki gunung.”
“Apakah kau juga datang ke goa bekas terjadi peledakan itu?”
“Barangkali lebih pagi dua jam dari pada kedatanganmu......”
“Sebelum terjadi peledakan yang mengakibatkan kematian perghuni loteng merah, pernah terdengar suara orang yang memperingatkan….”
Ie It Hoan lalu memotong sambil menganggukkan kepala.
“Benar, itu adalah aku.”
“Mengapa kau tidak mau menunjukkan diri untuk memberitahukan, supaya penghuni loteng merah tidak terjatuh ke dalam akal muslihatnya manusia keji?”
“Toako, aku tidak dapat, berlaku demikian!”
“Kau tidak bisa?..... Apakah maksudmu?”
Ie It Hoan membentangkan kedua tangannya, menunjukkan sikap tidak berdaya, lalu berkata dengan wajah murung:
“Toako, sekali lagi telah mati. Yang membunuh tetap adalah orang yang berpakaian warna lila itu. Untung ia tidak menggunakan pedang. Aku terpaksa harus ganti dandananku lagi jikalau tidak aku nanti akan dicincang olehnya.”
Sambil mengerutkan keningnya Hui Kiam bertanya:
“Apakah sebetulnya telah terjadi?”
Ie It Hoan berkata sambil menghela napas:
“Ketika kita berpisah, bukankah aku pernah berkata kepadamu bahwa aku akan mengatur dengan caraku sendiri? Dan setelah mengganti rupa dan pakaian, aku segera lari kemari. Maksudku ialah hendak menyelidik lebih dulu tempat ini. Baru saja aku tiba di puncak gunung lalu berjumpa dengan orang berbaju lila itu. Ia keluar dari dalam gua. Aku segera dapat melihat bahwa dalam urusan ini ada hal-hal yang tidak beres. Orang berbaju lila itu sungguh kejam, dengan tanpa mengapa ia sudah menghajar aku hingga aku roboh di tanah….”
“Oh!”
“Jikalau aku tidak mengandalkan ilmu gaib pelajaran dari suhu, aku paksa darahku mengalir keluar dari lubang panca inderaku, untuk berpura-pura mati, aku tidak akan lolos dari tangannya.
Orang baju lila itu mengira aku benar-benar sudah mati, lalu melemparkan diriku ke belakang gua itu. Sewaktu kalian datang aku tahu tetapi setelah aku menggunakan akal pura-pura mati itu memerlukan waktu cukup lama untuk memulihkan keadaanku, maka aku tidak dapat mengunjukkan diri untuk memberitahukan. Pada akhirnya, karena keadaan sudah mendesak, dengan tanpa pikir apa yang akan terjadi atas diriku, aku terpaksa membuka suara untuk memberi peringatan. Sebelum kekuatan pulih kembali, aku telah menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk mengeluarkan peringatan, ini sebetulnya amat berbahaya. Dengan adanya suaraku itu, entah berapa banyak penderitaan aku harus alami, hanya Tuhan saja yang mengetahui....”
“Kalau begitu apa yang telah terjadi kau sudah tahu semua?”
“Sudah tentu, termasuk perbuatan toako yang berpelukan sangat mesra dengan wanita cantik itu.”
Hui-Kiam merasa malu, kemudian berkata:
“Bicara terus terang, apa orang yang berada di dalam goa itu benar-benar To-liong Khiam-khek?”
“Tentang ini aku tidak tahu, karena baru saja aku tiba di puncak gunung sudah berjumpa dengan bangsat berbaju lila itu, sehingga tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk melakukan penyelidikan.”
“Orang berbaju lila itu sudah dipaksa oleh Tong Hong Hui Bun terjun ke bawah jurang, barangkali sudah hancur lebur badannya!”
“Aku tahu!”
“Dalam hal ini bagaimana pandanganmu?”
“Ruwet dan acak-acakkan.”
“Adik Hoan, coba kau periksa luka mana yang menyebabkan kematian wanita ini?”
Ie It Hoan mendelikkan matanya, maksudnya ialah hendak mengatakan mengapa kau sendiri tidak mau bertindak sebaliknya minta orang yang memeriksa. Tetapi perkataan itu tidak dikeluarkan dari mulutnya, ia hanya mengangkat pundaknya berjalan menghampiri jenazah Oey Yu Hong, kemudian ia memeriksa sambil berjongkok, setelah itu ia berkata dengan suara kaget:
“Toako, apakah dia bukan pelayan kekasihmu?”
Istilah 'kekasih’ itu sangat menusuk pendengaran Hui Kiam, maka seketika itu pipi Hui Kiam lantas merah, kemudian berkata:
“Siapa kata bukan, ia juga adik perempuan istri Siang-gie Sie-seng Oey Yu Hong….”
“Uh! Dia, apa yang dikatakannya?”
“Ia masih belum sempat mengatakan nama pembunuhnya, sudah dibinasakan. Sebelum menarik napasnya yang penghabisan ia masih sempat mengeluarkan perkataan jarum melekat tulang.”
“Maksud pembunuh itu tentunya supaya ia menutup mulut untuk selama-selamanya!”
“Kecuali ini mungkin sudah tidak ada perkataan yang lebih baik untuk menjelaskan.”
“Tetapi orang yang melakukan pembunuhan ini juga aneh, ia mengapa tidak bertindak apa-apa terhadap Toako?”
“'Aku juga merasa heran. Mungkin pembunuh itu menganggap tidak ada perlunya membunuh aku.”
“Keterangan ini sangat lemah!”
“Adik Hoan, apakah kau sudah berhasil menyelidiki riwayat penghuni loteng merah?”
“Belum!”
“Baiklah, mari kita lekas pergi menyelidik.”
Ie It Hoan setelah memeriksa keadaan jenazah Oey Yu Hong, tiba-tiba ia berkata dengan suara gemetar:
“Ah, sungguh hebat kepandaian orang itu, serangannya itu mengenakan dengan tepat ke bagian jalan darah terpenting.
Hui Kiam juga memeriksa di bagian jalan darah belakang kepala Oey Yu Hong. Terdapat gumpalan darah yang sudah membeku. Jikalau bukan karena lebih dulu sudah mempunyai kesan tentang jarum beracun melekat tulang itu, maka sedikit luka yang terdapat di atas kepala itu, sesungguhnya tidak mudah dilihat.
Ie It Hoan meraba-raba badan sang korban itu sejenak lalu berkata sambil leletkan lidahnya:
“Sungguh hebat, jarum itu ternyata sudah menusuk ke lain bagian. Apa perlu kita keluarkan?”
“Sudah tentu perlu!”
“Kalau begitu terpaksa kita harus membelah kepala korban ini.”
“Apa boleh buat. Seandainya arwah nona Oey mengetahui maksud kita, dia juga akan maafkan tindakan kita ini.”
le It Hoan lalu mengeluarkan sebilah pisau belati kecil. Dari bagian batok kepala sang korban mulai dibedah kulitnya, dan dalam
bagian kulit kepala itu, ia mengeluarkan sebatang jarum halus berwarna hitam. Ia letakkan jarum itu di atas telapak tangannya lalu berkata:
“Malam ini kita telah membuka mata, dapat menyaksikan jarum melekat tulang yang kita pernah dengar dalam ceritanya saja.”
Hui Kiam memeriksa dengan seksama. Jarum baja yang bentuknya sangat halus itu ternyata dibuat sedemikian halusnya. Jarum yang demikian halus ini sudah tentu kalau sudah masuk dalam badan manusia sulit dikeluarkannya. Sementara ada racunnya atau tidak, masih belum diketahui.
Ie It Hoan bertanya dengan sikap sungguh-sungguh:
“Toako, kau anggap pembunuhnya itu orang bagaimana?”
“Jien Ong sendiri atau muridnya!”
“Andaikata Jien Ong masih hidup, usianya tentu sudah seratus tahun. Kabarnya Jien Ong adalah orang dari golongan kebenaran.”
“Ini susah dikatakan. Mungkin perbuatan muridnya, yang tidak baik kelakuannya.”
“Tetapi apa maksud dan tujuannya?”
“Sudah tentu karena kitab pusaka Thian-Gee Po-kip.”
“Dengan kepandaian dan kedudukan Jien Ong, apakah ada harganya bagi Jien Ong melakukan perbuatan semacam itu?”
“Suhu dan Supek semua mati karena jarum melekat tulang itu, kenyataannya ini sudah cukup untuk memberi penjelasan semuanya. Coba pikir dengan kepandaian Sam Goan Lojin dan tokh dia masih binasa. Di dalam dunia ini ada berapa yang dapat melakukan perbuatan seganas itu?”
“Tetapi orang-orang Sam Goan Pang kebanyakan karena racun….”
“Oey Yu Hong adalah seorang yang mengetahui keadaan dalam, maka pembunuh itu membunuhnya untuk menutup rahasianya.”
Toako, Oey Yu Hong adalah pelayannya Tong Hong Hui Bun, kalau ia tahu mungkin Tong Hong Hui Bun sudah tahu.....”
“Hmmm! Tentang ini aku bisa mencari keterangan.”
“Apakah tindakan kita selanjutnya?”
“Lebih dulu kita kubur jenazah Oey Yu Hong, kemudian aku hendak pergi ke gunung Kiu Kong San!”
“Untuk mencari Jien Ong?”
“Ya!”
“Apakah itu tidak terlalu berbahaya?”
“Aku toh tidak bisa tinggal diam. Semula aku mengira Wanita Tanpa Sukma adalah suciku Pui Ceng Un. Perkataan terakhir yang ia katakan adalah untuk menunjukkan pembunuhnya, dan sekarang Oey Yu Hong sudah membuktikan bahwa Wanita Tanpa Sukma bukannya Pui Ceng Un. Tetapi barang kepercayaan uang logam si Supek berada di badannya, maka perkataan terakhir Wanita Tanpa Sukma, sudah tentu mengandung maksud lain. Sedangkan jarum melekat tulang sudah membuktikan adalah barangnya Jien Ong atau muridnya, maka ia tidak terlepas dari sangkaan. Kecuali kita harus mencari keterangan sendiri sudah tidak ada lain jalan lagi.”
“Mengapa tidak cari Tong-hong Hui Bun lebih dulu?”
“Ia sulit dicari jejaknya. Tetapi aku yakin cepat atau lambat aku bisa berjumpa lagi dengannya.”
Dua orang itu setelah mengubur jenazah Oey Yu Hong, lalu meninggalkan tempat tersebut. Ketika melalui jalan di mana terdapat makam megah itu, Hui Kiam segera berhenti dan pergi menghampiri makam tersebut. Tulisan di atas batu nisan itu kembali terbentang di depan matanya.
Ie It Hoan dengan perasaan heran mengikuti di belakangnya. Setelah melihat bunyi tulisan itu, lalu berkata:
“Yiok sok Siancu Hui Un Khing adalah istrinya To Liong Kiam-khek?”
Hui Kiam hanya menyahut hem. Tidak menjawab apa-apa.
Ie It Hoan sudah tentu tidak dapat menduga bahwa Hui Un Khing adalah ibu Hui Kiam. Ia berkata pula:
“Hem! Sungguh ada artinya suami istri sama-sama dikubur di gunung Kiong San, hanya terpisah beberapa puncak gunung saja, Jiok-siok siancu dan masih ada To Liong Kiong khek yang membuatkan kuburan baginya, sedangkan To Liong Kiang-khek sendiri, telah dikubur hidup-hidup oleh orang berbaju lila bersama-sama perghuni loteng merah. Kejadian dalam dunia setiap saat memang bisa berobah, kita sebagai orang-orang Kang-ouw sesungguhnya sulit diduga di mana tempat bersemayam kita terakhir.”
Pikiran Hui-Kiam sangat kusut. Semua persoalan itu telah mengganggu pikirannya. Ie-It Hoan yang menyaksikan Hui Kiam bagaikan sedang melamun lalu berkata:
“Toako, bagaimanakah sebetulnya?”
Hui-Kiam berkata sambil menggelengkan kepala:
“Tidak tahu, mari kita pergi.”
Turun dari gunung Kiong-San, menginjak jalan raya, cuaca sudah terang.
Ie-It Hoan hendak melakukan perjalanannya ke barat untuk mengurus urusannya sendiri, Hui-Kiam melakukan perjalanannya ke Timur untuk mendaki gunung Kiu-Kiong-San. Dengan demikian mereka terpaksa harus berpisah.
Hui Kiam dalam perjalanannya itu setelah menyebrangi sungai Han-cui ia membelok ke selatan.
Hari itu selagi berjalan, ia telah dapat lihat sepuluh bayangan orang yang lari mendatanginya, sebentar saja sudah berada dekat di
hadapannya. Kedua pihak lalu berpapasan. Hui Kiam terperanjat, karena orang-orang itu ternyata adalah orang-orang Persekutuan Bulan Emas di bawah pimpinan Ko Han San.
Musuh lama bertemu lagi. Hui Kiam berpikir, bahwa pertempuran darah tidak dapat disingkirkan lagi. Kalau satu lawan satu untuk menghadapi Ko Han San tidak menjadi soal, tetapi ditambah dengan anak buahnya yang sedemikian banyak jumlahnya, agaknya susah diduga bagaimana kesudahannya.
Ko Han San mengawasi Hui Kiam dengan satu matanya kemudian berpaling dan bertanya kepada anak buahnya:
“Bagaimana?”
Satu di antara anak buahnya menjawab:
“Bapak komandan, menurut pendapatku yang bodoh, saatnya belum tiba, jangan kita terlalu sombong!”
Sekali lagi Ko Han-San mengawasi Hui Kiam, kemudian berkata sambil mengulapkan tangannya:
“Jalan!”
Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanannya.
Hui-Kiam merasa bingung. Kalau tadinya ia mengira pertempuran darah tidak akan terhindar, tidak disangka, musuh-musuhnya itu berlaku begitu saja tanpa menegur apa-apa. Yang dimaksudkan oleh salah satu anak buahnya dengan perkataan saatnya belum tiba, jangan berlaku semberono. Apakah artinya? Sedangkan kalau melihat keadaannya adalah mudah sekali bagi mereka untuk menghadapi dirinya, mengapa harus mengatakan belum tiba saatnya?”
Sejak mengutungkan lengan tangan satu utusan dari Persekutuan Bulan-Emas di pusat Sam Goan Pang, Hui Kiam lalu menumbuhkan bibit pembunuhan dengan persekutuan tersebut. Maka kalau perkataan ini keluar dari orang-orangnya Bulan Emas dan melepaskan dirinya begitu saja, sesungguhnya tidak dapat dimengerti.
Dengan rupa-rupa pertanyaan dalam otaknya, ia melanjutkan perjalanannya.
Hari itu ia sedih tiba di gunung Kiu Kong San, tetapi di mana orangnya yang harus dicarinya?
Lima puluh tahun berselang dalam kalangan Kang-ouw tidak terdengar lagi namanya Tiga Raja Rimba Persilatan, maka boleh diduga bahwa tempat tinggal Jien Ong pasti merupakan tempat tersembunyi, untuk mencarinya mungkin bukan merupakan suatu usaha yang sangat mudah.
Kedatangannya itu meskipun mengandung maksud, tetapi boleh dikata tidak. Maksudnya memang mencari Jien Ong, tetapi mencari di daerah pegunungan yang demikian luas jadi berubah mencari tanpa tujuan.
Ia memilih tempat-tempat yang agak tinggi dan memperhatikan tempat-tempat yang letaknya paling tersembunyi. Tetapi dengan demikian ia sudah membuang waktu setengah harian. Di waktu malam ia terpaksa makan rangsum kering yang ia bawa dan tidur ke dalam gua.
Hari kedua, ia melanjutkan usahanya untuk mencarinya.
Diantara suara menderunya angin gunung, samar-samar terdengar suara bunyi genta kuil. Hui Kiam coba memperhatikan bunyi suara itu. Bunyi genta itu, ternyata keluar dari dalam rimba yang lebat. Dalam hatinya selalu berpikir: Tidak diduga bahwa tempat yang jarang diinjak oleh manusja, juga terdapat kuil. Mengapa aku tidak pergi kesana, mungkin dapat menemukan apa-apa, setidak-tidaknya lebih baik daripada mencari tanpa tujuan.
Karena berpikir demikian, maka ia lari menuju ke rimba tersebut.
Tiba di tempat yang dituju, tampak olehnya sebuah kuil tua yang keadaannya hampir rusak. Ada sebuah jalan kecil yaug menuju ke kuil tersebut, nampaknya sudah bertahun-tahun jalan itu tidak dilalui oleh manusia.
Hui Kiam setelah berpikir sejenak, lalu berjalan menuju ke kuil tua itu.
Kuil itu tidak besar, di sana-sini keadaannya sudah banyak yang rusak, suatu tanda bahwa usia kuil itu sudah terlalu tua, di atas
pintu terdapat sepotong papan hitam dengan tulisan huruf berwarna emas.
Suara genta terdengar dari dalam kuil, samar-samar terdengar pula suara orang membaca doa.
Hui Kiam menghela napas dalam, dia berjalan menuju ke pendopo. Keadaan dalam pendopo itu ternyata merupakan suatu perbandingan yang amat menyolok dengan keadaan di luarnya.
Kalau keadaan di luar kuil nampak sudah banyak yang rusak, tetapi keadaan dalam pendopo dirawat sedemikian bersih. Di atas meja sembahyang terdapat patung tua dan pelita minyak. Di atas meja sembahyang masih ada asapnya yang mengepul dari dupa sembahyangan. Seorang padri tua berlutut di hadapan meja sembahyang. Dengan satu tangan mengetok meja sembahyang, tangan yang lain melakukan suatu gerakan tertentu ke tempat yang kosong, tetapi setiap kali ia gerakkan tangan ke atas segera terdengar nyaringnya suara genta. Hui Kiam yang menyaksikan pemandangan tersebut diam-diam hatinya bergidik.
Sebuah genta besar, terpancang di satu sudut di dalam pendopo itu, terpisah di tempat berlututnya padri tua itu sedikitnya masih ada tiga atau empat tombak, tetapi padri tua itu hanya dengan kekuatan tenaga sebuah tangannya yang digerakkan ke arah genta dari jarak sejauh itu, ternyata dapat membunyikan genta itu dengan satu nada suara yang tetap. Dari situ dapat dibuktikan bahwa padri tua itu pastilah bukan orang dari golongan sembarangan.
Ketika Hui Kiam memasuki pendopo, padri tua itu agaknya tidak mengetahui, ia masih tetap membaca doanya.
la menunggu cukup lama, padri tua itu baru selesai membaca doanya, kemudian bersujud di hadapan patung. Selesai beribadat, baru bangkit.
Kini Hui Kiam baru dapat melihat dengan tegas muka padri tua itu. Alisnya sudah putih seluruhnya, kulit pipinya sudah berkeriput, namun nampaknya sangat agung. Jubahnya banyak tambalan, sepasang kakinya telanjang sehingga mirip benar dengan patung hidup.
Hui Kiam lalu maju memberi hormat seraya berkata:
“Boanpwee Hui Kiam, atas kedatangan boanpwee yang sudah mengganggu ketenangan Taysu, mohon dimaafkan.”
Padri tua itu membuka matanya. Dia mengawasi Hui Kiam sejenak, lalu berkata dengan suara agak serak:
“O-mie-to-hud, siaosicu datang darimana?”
Kalau bukan karena telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Hui Kiam benar-benar tidak percaya kalau padri tua itu adalah orang rimba persilatan yang berkepandaian tinggi. Atas pertanyaan orang padri tua itu, ia lalu menjawab dengan sikap menghormat:
“Boanpwee datang ke gunung ini hendak mencari seseorang. Karena mendengar suara genta, sehingga datang kemari. Siapa tahu kalau mengganggu ketenangan Taysu!”
“O-mie-to-hud, sungguh berdosa, dalam kuil yang terletak di pegunungan yang sepi ini, tidak ada barang untuk melayani siecu, hanya air jernih dari sumber gunung di luar kuil ini, cukup segar rasanya, harap siecu suka mengambilnya sendiri.”
“Bolehkah boanpwee menanya, gelar Taysu yang terhormat?”
“Lolap Kak Hui!”
“Oh, bolehkah boanpwee minta tolong Taysu memberi petunjuk untuk sesuatu?”
Padri itu mengamat-amati Hui Kiam sejenak, lalu berkata:
“Siaosicu bukan orang golongan Budha, lolap tidak dapat memberi petunjuk.”
“Boanpwee hanva ingin minta keterangan tentang dirinya seseorang.....”
“Sudah lama lolap tidak mencampuri urusan dunia, barangkali tidak dapat memberi keterangannya!”
“Kedatangan boanpwee ini sebetulnya hendak mengunjungi seorang cianpwee dari rimba persilatan....”
“Siapa ?”
“Jien Ong locianpwee!”
Paderi tua itu memiringkan kepalanya untuk memikir, kemudian ia berkata:
“Emmm! Siecu itu memang ada, tetapi kau sudah tidak dapat menemukannya.”
Hui-Kiam sangat girang karena dianggapnya akan mendapat keterangan tentang diri orang yang dicari, maka ia buru buru berkata:
“Mengapa?”
“Sebab siecu itu sudah menutup mata beberapa puluh tahun berselang!”
“Apa? Jien Ong... sudah menutup mata? Tidak mungkin.”
Padri tua itu mengangkat muka dan berkata:
“Siecu kata bahwa hal itu tidak mungkin?”
“Ya!”
“Kalau begitu kau tentunya menganggap lolap telah membohong?”
“Tidak! Bukan begitu maksud boanpwee. Kedatangan boanpwee ini adalah atas permintaan seorang nona......”
“Siaosicu, maafkan saja, lolap tidak ingin campur urusan dunia!”
“Nona itu telah minta pertolongan boanpwee sebelum ia menutup mata, sehingga boanpwee jauh-jauh datang kemari….”
Padri tua itu mengerutkan alisnya yang putih dan panjang, lalu berkata:
“Liesicu itu siapa namanya?”
“Dikalangan Kang-ouw ia mendapat nama julukan Wanita Tanpa Sukma.”
“Anak durhaka!” demikian padri tua itu membentak dengan suara keras.
Hui Kiam terperanjat, hingga ia mundur selangkah.
Padri tua itu membuka lebar-lebar matanya. Dari matanya yang semula sayu, tiba-tiba melancarkan sinar tajam.
Hui Kiam bercekat, dalam hatinya berpikir:
Apakah padri tua ini justru.....
Kembali ia memberi hormat seraya berkata:
“Apakah Taysu kenal padanya?”
“Tidak kenal, tidak kenal. Siecu, silahkan!”
Hui Kiam yakin bahwa dugaannya tak keliru, maka ia keraskan hatinya dan berkata pula:
“Locianpwe adalah murid Buddha, tentunya tahu pantangan golongan Buddha yang kelima.”
Mata padri tua itu kembali nampak bersinar. Ia menjawab dengan tegas:
“Harap Siaosicu jangan coba menggunakan ketajaman lidah!”
Setelah berpikir bolak-balik akhirnya Hui Kiam mengambil keputusan hendak membuka kartu. Ia berkata:
“Bukankah Looianpwe sendiri adalah Jien Ong?”
Sikap Padri Tua itu berubah seketika. Dengan suara tenang ia berkata:
“O-mie To hud, Buddha kami yang penuh kasih, sudah beberapa puluh tahun Tecu memencilkan diri, karena dasarnya kurang teguh sehingga melanggar pantangan! Sejenak ia berdiam, kemudian berkata pula:
“Siao siecu, di dalam dunia ini sudah tiada orang yang bernama Jien Ong.”
Hui Kiam adalah seorang pemuda cerdik. Menyaksikan sikap padri tua itu, sudah dapat memastikan bahwa dugaannya sendiri tidak keliru, maka ia mendesak terus:
“Maksud Locianpwe hendak mengatakan bahwa nama Jien Ong itu sudah mati .....”
“Siao siecu, Jien Ong itu baik nama maupun orangnya sudah tak ada.”
“Rasanya Locianpwe sudah tak dapat menyangkal lagi!”
“Mengapa?”
“Orangnya sudah mati tentunya sudah tak dapat menggunakan jarum melekat tulang untuk membunuh orang secara beruntun runtun.”
Wajah padri tua itu kembali nampak berubah-rubah, sepasang matanya memancarkan sinar menakutkan. Dengan suara bengis ia berkata:
“Apa katamu?”
Dengan berani Hui Kiam menjawab:
“Boanpwee berkata bahwa jarum melekat tulang itu telah menimbulkan bencana.”
“Apakah perkataanmu ini ada buktinya?”
“Sudah tentu ada!”
Ia lalu mengeluarkan sebuah jarum baju yang diambilnya keluar dari atas kepala Oey Yu Hong. Ia meletakkan jarum itu di telapak tangannya lalu berkata:
“Harap Locian-pwee memeriksanya sendiri!”
Paderi tua itu mengulurkan tangannya untuk mengambil jarum di tangan Hui Kiam. Setelah ia memeriksa, kulit mukanya nampak
berkerinyut badannya gemetar. Ia mundur sampai tiga empat langkah, kemudian berkata:
“Jarum melekat tulang, bagaimana mungkin?”
Wajah Hui Kiam berubah merah padam. Ia berkata:
“Darimana kau mendapatkan jarum ini?”
“Dari badan si korban.”
“Siapakah korban itu?”
“Seorang perempuan muda.”
“Perempuan muda! Kau maksudkan Wanita Tanpa Sukma?”
“Bukan, seorang wanita lain!”
“Ini..... Bagaimana mungkin ....”
“Locianpwee tokh tidak akan menyangkal kalau ini adalah benda Locianpwee sendiri?”
“Ya.....benar! Tetapi.....”
Hawa amarah Hui Kiam meluap seketika. Keadaan mengenaskan tentang kematian suhunya dan supeknya, terbayang dalam otaknya, dan pada saat itu apa yang telah dihadapinya adalah seorang yang menakutkan, juga merupakan musuh besarnya, maka ia lalu berkata
dengan suara gemetar:
“Jien Ong, bagaimana cara kematian Lima Kaisar Rimba Persilatan?”
Padri tua itu berseru terkejut, kemudian ia ganti bertanya:
“Bagaimana dengan Lima Kaisar?”
“Sudah menutup mata semua, tetapi mereka masih penasaran!”
“Kau.......”
“Aku adalah orang yang menagih hutang dari Lima Kaisar itu.”
“Lolap sudah beberapa puluh tahun tidak mencampuri urusan dunia....”
“Dengan kedudukan Locianpwe, agaknya tidak perlu menyangkal dengan dalil apapun juga.....”
“Siao siecu, apakah kau anggap hal ini Lolap perlu harus menyangkal?”
“Tetapi mengapa Locianpwee tidak mengaku terus terang saja?”
“Mengaku apa?”
“Mengaku membunuh orang!”
Pada saat itu, tiba-tiba Hui Kiam merasa di belakang dirinya terasa hembusan angin. Baru saja ia hendak menyingkir, pundaknya dirasakan seperti dicengkeram tangan orang. Badannya lalu terangkat naik, kemudian dilemparkan keluar. Untung orang itu tidak bermaksud melukai dirinya, sampai ia jatuh keluar baru bisa melompat bangun lagi, sebelum ia berdiri tegak di hadapannya berdiri seorang perempuan berpakaian hitam setengah tua. Dengan paras gusar perempuan itu mengawasinya dengan sinar mata yang tajam.
Orang yang telah melemparkan dirinya, pastilah perempuan setengah tua itu.
Padri tua itu masih berdiri di tempatnya, ia berkata kepada perempuan setengah tua itu:
''Giok Coan, jangan menyusahkan dirinya, tanyailah dengan terus terang.”
“Ya, giehu.”
Dari percakapan antara mereka, Hui Kiam tahu bahwa perempuan setengah tua yang bernama Giok Coan itu adalah anak angkatnya Jien Ong, tetapi seorang padri dengan seorang perempuan biasa berbahasakan demikian, rasanya kurang tepat, terutama tentang Jien Ong yang ternyata sudah menjadi padri, hal itu sesungguhnya di luar dugaannya.
Perempuan berbaju hitam itu berkata dengan nada suara dingin:
“Baru saja kau mengatakan bernama Hui Kiam!”
“Benar.”
“Muridnya Lima Kaisar?”
“Benar,” untuk pertama kali Hui Kiam mengakui dirinya terhadap orang luar.
“Tadi kau berkata bahwa ada seorang perempuan bernama Wanita Tanpa Sukma yang menunjukkan jalan kau datang kemari?”
“Ya, kenapa?”
“Apakah ia sudah binasa?”
“Ya.”
Paras wanita itu tampak pucat, ia berkata kepada dirinya sendiri:
“Anak durhaka, memang tidak bisa hidup lama. Aku sudah menduga ia pasti akan mengalami nasib serupa itu.”
Sehabis berkata ia mencucurkan air mata.
Hati Hui Kiam tergerak, ia lalu berkata:
“Wanita Tanpa Sukma adakah....”
Perempuan berbaju hitam itu coba berusaha untuk mengendalikan kesedihan dalam hatinya. Ia berkata:
“la adalah anak angkatku.”
Perempuan berbaju hitam itu adalah anak angkat Jien Ong. Sedang Wanita Tanpa Sukma adalah anak angkat perempuan berbaju hitam itu. Perhubungan ini agaknya sangat ganjil.
Perempuan berbaju hitam menanya:
“Dengan cara bagaimana ia menemui ajalnya?”
“Dibunuh oleh seorang perempuan yang bernama Oey-Yu Hong dan Oey-Yu Hong itu kemudian juga binasa karena jarum melekat tulang?”
“Benar!”
“Apakah kau melihat orang yang menggunakan senjata jarum itu?”
“Tidak, ia menyerang secara menggelap dalam waktu malam gelap gulita.”
“Bagaimana ia bisa menunjukkan kau kemari?”
“Sebab sepotong uang logam.”
“Oh! Kalau begitu kau adalah orang yang memegang sepotong uang logam lainnya?”
Hui-Kiam terperanjat. Ia berkata:
“Ya. Bolehkah Boan-pwee bertanya, mengapa Cian-pwee.....”
“Pada lima tahun berselang, anak-anakku ini di tengah perjalanan telah menjumpai seorang perempuan muda yang terluka parah, nampaknya sudah tidak dapat ditolong lagi. Perempuan itu mengeluarkan sepotong belahan uang logam. Ia minta anak angkatku itu untuk mencari orang yang membawa belahan uang logam lainnya....”
“Oh!”
Badan Hui Kiam sempoyongan. Perempuan yang terluka parah yang hampir mati itu adalah sucinya sendiri yarg bernama Pui-Ceng Un.
“Selain daripada itu ia masih berpesan apa lagi kepadamu?”
“Anak angkat Cian-pwee itu sebelum menutup mata hanya mengucapkan perkataan: ‘Kiu Kiong-San... Jien Ong’, selain itu tidak sempat mengucapkan apa-apa lagi.”
“Bagaimana kau tahu ia mempunyai sepotong uang logam itu?”
“Sebab uang itu terjatuh di tanah ketika ia sedang bertempur dengan seseorang. Ketika Boan-pwee melihat uang logam itu segera mengejar, tetapi ia sudah terluka di tangan lawannya.”
Perempuan berbaju hitam itu kembali menitikkan air mata, terang bahwa ibu angkat itu mau tak mau merasa sedih atas kematian anaknya.
Hui Kiam dengan tidak sabaran bertanya pula:
“Bolehkah boanpwee bertanya, perempuan itu meninggalkan pesan apakah?”
“la berkata, supaya anak angkatku memberitahukan kepada orang yang memegang sepotong uang logam yang lain itu, bahwa barangnya sudah terjatuh di tangan jago pedang berkedok yang merupakan musuh lama dalam perguruannya.”
Hui Kiam kembali heran dan terkejut oleh keterangan itu. Kiranya kitab pusaka Thian-kie Po-kip sudah terjatuh di tangan musuh. Siapakah jago pedang berkedok itu?
Apakah orang yang menggunakan jarum melekat tulang itu atau bukan, tetapi jarum itu merupakan senjata tunggalnya Jien Ong, jadi jago pedang berkedok itu jikalau bukan Jien Ong sendiri, pasti adalah orang yang mempunyai hubungan erat dengannya, tetapi siapakah?
Diakah orang yang bersembunyi di dalam makam pedang itu?
Diakah orang yang membunuh Oey Yu Hong?
Tetapi Sam Goan Lojin, Auw Yang Hong dan suami istri Liang Gie Sie-seng, orang-orang ini semua binasa karena kitab itu, bagaimana harus diartikan?.............
Perempuan berbaju hitam itu berkata pula dengan suara sedih:
“Belum lama berselang, dengan tidak disengaja aku mendengar kabar perbuatan yang terkutuk anak angkatku itu. Aku sebetulnya sedang bersiap-siap untuk mencari dia..... Ah, ah, ah!”
“Sungguh tidak kuduga. Dia adalah seorang anak perempuan yang baik, sayang dunia Kang-ouw yang sudah penuh kejahatan telah merusaknya.”
Karena pikiran Hui Kiam sedang kusut, ia tidak memperhatikan kedukaan perempuan itu. Ia bertanya pula:
“Kemudian bagaimana dengan perempuan yang luka parah itu?”
“Mungkin telah binasa, tetapi hal itu tidak disebut-sebut oleh anakku.”
“Oh.”
Hui Kiam merasa sangat sedih. Nasib malang yang menimpa diri perguruannya dan sucinya sudah cukup menyedihkan, tetapi semua itu agaknya masih belum khawatir, jago pedang berkedok itu masih berkeliaran dalam dunia, sepasang tangannya yang sudah berlumuran darah masih tetap mengancam dan akan minta lebih banyak korban jiwa manusia.
Pcrempuan berbaju hitam itu tiba-tiba berkata dengan sikap sungguh-sungguh:
“Sekarang kita balik kembali kepada pembicaraan semula, untuk membicarakan peristiwa berdarah yang berhubungan dengan jarum melekat tulang itu....”
Padri tua itu berkata sambil menggerakkan tangannya:
“Mari kembali!”
Hui Kiam dan perempuan berbaju hitam kedua-duanya masuk ke pendopo. Tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan di tengah pendopo.
Padri tua itu dengan sikap yang agung, berkata dengan suara perlahan:
“Siao-Sie-cu, sebelum kau mengetahui lolap berada di sini, apakah kau sudah menganggap pasti lolap sebagai pembunuh?”
Karena pembicaraan itu sudah meningkat sedemikian jauh sehingga tidak perlu disembunyikan lagi. Tetapi hati Hui Kiam sedikit banyak masih merasa ragu-ragu. Andaikata padri tua itu benar adalah pembunuhnya, sedangkan ia sendiri sudah menyatakan asal-usul dirinya, kalau padri itu hendak mengambil
jiwanya sesungguhnya mudah sekali, tetapi keadaan mendadak tidak boleh ia harus berlaku terus terang, maka ia lalu menjawab:
“Kenyataannya memang begitu!”
Wanita berbaju hitam berkata dengan nada suara dingin:
“Apakah kau tidak merasa agak gegabah dengan anggapanmu itu?”
Padri tua itu mengulapkan tangannya untuk mencegah wanita baju hitam itu bicara lagi. Ia berkata:
“Jarum melekat tulang itu memang benar adalah kepunyaan lolap tahun dahulu, berdasar atas ini sudah sewajarnya kalau siao-siecu beranggapan demikian.”
“Apakah Locianpwee mempunyai murid yang berkelana di dunia Kang-ouw?”
“Tidak ada. Lolap hanya mempunyai seorang anak angkat ini yang mendampingi lolap. Sejak lolap meninggalkan penghidupan dunia yang penuh dosa dan mencukur rambut menjadi padri, sudah beberapa puluh tahun belum pernah keluar dari kuil ini. Semua keperluan hidup lolap diurus oleh anak angkat lolap ini.”
Hui Kiam mengawasi wanita berbaju hitam itu sejenak lalu berkata:
“Apakah cianpwe sering bergerak di dunia Kang-ouw?”
Wanita berbaju hitam itu mendelikkan matanya dan berkata:
“Kadang-kadang saja aku turun gunung, tetapi hanya sekitar seratus pal saja.”
Padri tua itu berpikir sejenak lalu berkata:
“Di dalam kalangan Buddha selalu percaya adanya sebab dan akibat. Sekalipun lolap yakin sangat teguh terhadap pelajaran Buddha, sedikit banyak sudah dapat memahami, munculnya jarum melekat tulang jelas sudah merupakan sebabnya, jikalau hal ini tidak diselesaikan. lolap juga tidak akan mendapat tempat selayaknya sebagai akibat dari sebab itu. Sayang lolap adalah
seorang yang sudah mengungsikan diri, tidak berani menyeburkan diri ke dalam dunia lagi. Sudilah kiranya Siaosicu dengar perkataan lolap?”
“Boanpwe bersedia!”
“Jarum melekat tulang ini dahulu lolap bikin seluruhnya sepuluh buah. Pada delapan puluhan tahun berselang, dengan searang diri lolap bertempur melawan delapan iblis dari negara Thian Tok. Kala itu lolap telah menggunakan delapan buah. Sisa dua buah, sehingga sekarang masih ada belum pernah lolap gunakan.”
Sehabis berkata, ia lalu menyodorkan tangannya. Dalam telapakan tangannya benar ada tiga buah jarum baja yang bentuknya serupa. Satu di antaranya adalah yang tadi telah diserahkannya kepada padri tua itu.
Karena keterangan itu ternyata sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Orang Tua Tiada Turunan, maka Hui Kiam mau tidak mau harus percaya. Selain daripada itu, dari sikapnya padri tua itu dapat dipastikan memang bukanlah orang jahat seperti apa yang dibayangkan. Namun demikian jarum itu sudah meminta banyak korban sudah merupakan satu kenyataan, jadi dari manakah senjata itu?
“Memang apa yang Locianpwe tahu, di dalam dunia rimba persilatan siapa lagi yang bisa menggunakan senjata jarum itu?”
“Tidak ada. Senjata jarum Lolap ini walaupun agak ganas tetapi tidak berbisa. Jikalau tidak ditujukan ke bagian yang berbahaya, tidak bisa mengambil jiwa sedemikian cepatnya. Barang siapa yang terkena senjata ini, masih bisa hidup beberapa tahun tergantung dengan kepandaian orang itu. Maksud semula Lolap ialah jarum itu bisa berjalan melalui darah, sehingga tiada seorang yang dapat mengeluarkan. Sedangkan orang yang terkena senjata ini, jikalau mau mengakui kesalahannya dan suka berjanji menjadi orang baik, Lolap masih sanggup mengeluarkan jarum itu. Walaupun senjata ini merupakan senjata tunggal, tetapi orang-orang rimba persilatan yang pernah menyaksikan benda ini barangkali sedikit sekali jumlahnya, kebanyakan hanya mendengar kabar saja!”
“Walaupun jumlahnya sedikit sekali orang yang menyaksikan, tetapi itu masih berarti ada orang yang pernah melihatnya!”
“Itu hanya kata-kata Lolap untuk menggambarkan suatu kemungkinan saja, hakekatnya boleh dikatakan tidak ada.”
“Andaikata dua Lo Cian-pwee, Thian dan Tee, dua Raja Rimba Persilatan yang namanya dirangkaikan dengan Lo Cian pwee sehingga menjadi Tiga Raja.....”
“Siao-Siecu, apa yang disebut Tiga Raja dalam Rimba Persilatan, hanyalah merupakan nama julukan yang diberikan oleh sahabat-sahabat dari rimba persilatan terhadap tiga orang yang berkepandaian agak tinggi. Sebetulnya tiga orang yang disebut Tiga Raja Rimba Persilatan itu, masing-masing berdiri sendiri, satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Umpama Lolap sendiri, dalam seumur hidup ini, hanya satu kali saja pernah bertemu muka dengan dua orang itu.”
Ini merupakan suatu berita baru yang Hui Kiam belum pernah mendengar sebelumnya. Ternyata apa yang disebut dengan Tiga Raja Persilatan sebetulnya adalah tiga orang berkepandaian tinggi yang berlainan tempat tinggalnya.
“Dan bagaimana menurut anggapan Locianpwee?”
Padri tua itu memejamkan matanya lama sekali, ia baru membuka matanya dan berkata:
“Hanya satu kemungkinan....”
“Boan-pwee ingin dengar!”
“Delapan Iblis dari Negara Thian Tok dahulu belum mati, lalu mengeluarkan jarum dari dalam badannya, atau sesudah mati jarum itu diambil oleh lain orang.”
“Itu adalah kejadian pada waktu delapan puluh tahun berselang, hal ini agak mengherankan.”
Pada saat itu, permusuhan dalam hati Hui Kiam, sudah lenyap. Menurut keadaan apa yang disaksikan, penjahat itu tidaklah mungkin kalau Jien Ong. Selain daripada itu, Jien Ong tidak
mempunyai turunan, juga tidak mempunyai murid, Nampaknya ia tidak mengetahui semua peristiwa menganggap Lolap sebagai guru, semua terjadi karena jarum
melekat tulang, siapa tahu itu adalah suatu sebab buruk yang telah lolap tanam, maka dengan ini demi untuk menghapuskan sebab buruk itu bagi kebaikan lolap sendiri.”
Hui Kiam setelah berpikir baru berkata:
“Kalau begitu terpaksa boanpwe menerima.”
“Lihat!”
Padri tua itu mulai memberikan pelajaran ilmu pukulan dengan tangan kosong. Itu merupakan suatu ilmu pukulan yang luar biasa aneh. Ia ulangi dan ulangi sampai tiga kali baru ia berkata:
“Ilmu pukulan itu dinamakan 'geledek di musim semi'. Sekarang kau boleh coba melakukannya dengan pohon tua dalam pekarangan itu sebagai sasaran!”
Hui Kiam menurut, ia kumpulkan seluruh kekuatan tenaganya untuk melakukan latihannya.
Sudah tiga kali ia melatih, tetapi pohon tua itu hanya gugur beberapa lembar daunnya saja sama sekali tidak ada tanda-tanda yang merugikan kehebatan serangannya itu.
Padri tua itu berkata dengan perasaan heran:
“Aneh, dasar kekuatan tenaga dalam Siaosiecu tidak seharusnya terbatas sampai di situ saja, bagaimana tak dapat mengeluarkan kekuatannya?”
Hui-Kiam sendiri juga tak mengerti gerak tipu yang aneh itu, mengapa nampaknya biasa saja?
Padri tua itu nampak berpikir lama, akhirnya ia berkata:
“Coba Lolap periksa urat nadi Siao siecu. Sekarang coba kau gerakkan tenaga dalammu.”
Hui-Kiam menurut. Padri tua itu setelah meraba-raba dengan jatinya tiba-tiba berkata:
“Oh, ilmu semedi yang Siao-siecu pelajari amat berbeda jauh dengan pelajaran biasa. Pantas saja tidak bisa mengeluarkan keampuhannya.”
Hui Kiam baru ingat bahwa kekuatan tenaga dalamnya sendiri didapatkan menurut pelajaran bagian atas kitab pusaka Thian khie Po-kip, jika digunakan untuk mempelajari ilmu kepandaian cabang lain, dengan sendirinya tidak dapat menyesuaikan diri. Maka ia lalu berkata dengan hati agak kecewa:
“Budi kebaikan Locianpwe, boanpwe cuma dapat menerima di dalam hati saja.”
“Tidak! Lolap masih ada jalan lain, harap Siao-siecu duduk bersila!”
Hui Kiam tercengang lalu, berkata:
“Locianpwe.....”
“Ini adalah rejekimu, tidak perlu kau menanya lagi!” demikian perempuan itu berkata. Kedua tangannya menekan pundak Hui Kiam. Sungguh hebat tekanan itu, sehingga Hui Kiam tidak berdaya. Dengan sendirinya ia menurut dan duduk bersila.
Satu tangan padri tua itu diletakkan pada bagian jalan darah Thian Tok Kiat. Hui Kiam mengerti apa artinya ini. Sebentar kemudian ia merasakan hawa panas mengalir ke dalam tubuhnya. Jikalau ia tidak mau menerima, akibat kedua pihak bisa celaka. Maka ia terpaksa memusatkan seluruh perhatiannya untuk menerima aliran panas yang masuk ke dalam tubuhnya.
Ia merasakan dirinya seperti dibakar, sehingga keringatnya mengucur deras.
Tidak berapa lama, aliran hawa panas itu tiba-tiba berhenti. Tetapi ia segera merasa sekujur badannya berubah menjadi segar, kekuatan tenaga dalamnya tambah berlimpah-limpah.
Ia segera berbangkit dan memberi hormat kepada paderi tua itu, seraya berkata:
“Terima kasih banyak-banyak atas pemberian hadiah Lo-cianpwee!”
“Kau tidak perlu mengucap terima kasih. Kalau Lolap menyempurnakan dirimu, itu berarti Lolap harus menyelesaikan sebab dan akibat yang telah terjadi itu. Tetapi karena terbatas dasar kita yang berlainan, kau tidak dapat menerima pelajaran pukulan tangan kosong itu. Maka Lolap terpaksa membantu dengan jalan lain menghadiahkan kau kekuatan tenaga yang berarti dengan latihan tiga puluh tahun.”
“Hui Kiam terheran-heran. Paderi tua itu setelah memberikan kekuatan tenaga dalam padanya yang mempunyai dasar latihan tigapuluh tahun, ternyata wajahnya tidak berubah, maka kekuatan tenaga bathin orang itu, benar-benar sudah mencapai taraf yang tidak ada taranya.
Perempuan berbaju hitam itu bertanya:
“Di mana letak makam anak angkatku itu?”
“Di lembah Ciok Bing Gam.”
“Apakah kau sendiri yang mengubur?”
“Ya, Boanpwee waktu itu menganggap dia adalah Pui Ceng Un Sucie, maka di atas batu nisannya Boanpwee tulis nama: Pui Ceng Un, sehingga kini masih belum dirubah.”
“Baik, aku ucapkan terima kasih kepadamu. Aku nanti akan memindahkan makamnya ke gunung Kiu Kiong San.”
Padri tua itu berkata sambil merangkapkan kedua tangannya:
“Siao Siecu, Lolap mengharap bisa mendengar hasil peristiwa jarum melekat tulang itu!”
“Jikalau Boanpwee berhasil menyelesaikan persoalan ini, pasti akan datang lagi untuk menengok Locianpwee. Sudah tidak ada
petunjuk lain lagi, Boanpwee minta diri, dan mohon maaf sebesar-besarnya.”
“O-mie-to-hud, semoga Buddha yang penuh kasih akan melindungi perjalanan Siao Siecu.”
Setelah Hui Kiam keluar dari kuil itu, pikirannya masih tetap kusut. Dia agak kecewa bahwa dalam perjalanannya ke gunung Kiu Kiong San, hasilnya ternyata jauh berlainan dengan apa yang ditanyakan, bahkan di luar dugaannya mendapat tambahan kekuatan tiga puluh tahun dan caranya untuk memecahkan barisan gaib baik di luar makam pedang. Apa yang lebih berharga dan patut dibuat menghibur hatinya ialah dalam perjalanan itu ia telah mendapat bukti bahwa pembunuh itu masih tetap adalah jago pedang berkedok yang muncul pada sepuluh tahun berselang, dan kini asal ia tekun dalam usahanya mencari pembunuh itu maka sakit hatinya pasti terbalas.
Tetapi yang masih menjadi pikiran ialah kitah pusaka Thian-khie Po-kip bagian bawah ternyata sudah terjatuh di tangan musuhnya. Jikalau musuh itu berhasil mempelajari ilmu silat yang tertera di dalamnya, ditambah lagi dengan senjata purbakala yang disimpan di dalam makam pedang itu, siapa yang mampu menandinginya? .........
Ketika turun dari gunung Kiu-kong-san, sudah hari kedua paginya.
Setelah beristirahat di suatu rumah penginapan kecil, ia balik ke utara. Tujuannya ialah lembah Ciok-bing-gam.
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, hari itu ia tiba di luar jalanan yang menuju rimba tersebut. Apa yang tampak olehnya ialah makam Wanita Tanpa Sukma.
Hui Kiam menghampiri makam tersebut. Karena dulu ia salah menganggap Wanita Tanpa Sukma adalah sucienya, dan kemudian ternyata bukan, maka batu nisannya ia telah robah namanya menjadi Wanita Tanpa Sukma.
Ia berdiam sejenak di hadapan makam itu, baru memutar badannya dan lari menuju ke jalan yang menuju lembah.
Tidak berapa lama ia sudah tiba di tepi danau dingin di hadapan makam pedang. Saat itu meskipun matahari sudah naik tinggi tetapi keadaan di sekitar danau itu masih sunyi sepi.
Ketika ia menengok ke arah barisan batu gaib itu, keadaannya tak berbeda seperti apa yang pernah dilihatnya. Hanya waktu itu banyak berkumpul orang-orang rimba persilatan, dan kini hanya ia seorang yang ada di situ sehingga kelihatannya nampak menyeramkan.
Ia mulai berpikir: Siapakah orangnya dalam barisan gaib itu? Jago pedang berkedok ataukah muridnya?
Kalau dia memikirkan bagaimana banyak tokoh rimba persilatan yang dilempar keluar setelah dimusnahkan kepandaiannya, atau mati tenggelam dalam danau yang airnya dingin itu, mau tak mau hatinya bergidik juga.
Meski ia sendiri sudah mengerti caranya memasuki dan keluar dari barisan gaib itu, serta mempunyai tambahan kekuatan tenaga dalam, tetapi apakah ia masih sanggup melawan orang dalam barisan, itu masih merupakan satu pertanyaan.
Tetapi kalau dia memikirkan permusuhan dalam perguruannya, keberaniannya lalu terbangun.
Dengan kemauan keras ia berjalan masuk menuju ke dalam barisan gaib itu.....
Tiba-tiba terdengar suara bentakan:
“Berhenti!”
Hui-Kiam terperanjat, ia tidak menduga bahwa di situ bersembunyi seseorang. Ia lalu berhenti dan membalikkan badannya. Di jalanan masuk yang menuju ke lembah itu muncul lima bayangan orang. Berjalan di muka adalah seorang tua yang berpakaian sangat perlente namun wajahnya nampak seram dan menakutkan. Di belakangnya empat laki-laki berpakaian hitam
dengan menyoren pedang. Dari sinar mata orang tua itu adalah tokoh kuat yang mempunyai latihan baik.
Empat laki-laki berpakaian hitam itu setelah menampakkan diri, masih tetap berdiri di tempat masing-masing, sedang orang tua yang berpakaian sangat perlente itu lalu menghampiri. Setelah matanya memandang Hui-Kiam dari atas sampai ke bawah baru berkata:
“Apakah kau bukan Penggali Makam?”
Hui Kiam merasa heran bahwa orang tua itu bisa menyebutkan namanya. Ia segera menjawab dengan nada suara dingin:
“Aku benar adalah Penggali Makam, siapakah Tuan?”
“Aku adalah komandan barisan persekutuan Bintang Emas, namaku Ong Khing Kao!”
Ketika Hui Kiam mendengar disebutnya Persekutuan Bintang Emas, wajahnya berubah seketika. Ia berkata dengan suara lebih keras:
“Ada urusan apakah?”
“Kau segera meninggalkan tempat ini!”
“Kau suruh aku meninggalkan tempat ini?”
“Benar!”
“Mengapa?”
“Jangan tanva mengapa, permintaanku ini adalah dengan maksud baik!”
“Ha, ha, ha, sungguh aneh, tidak sangka Persekutuan Bintang Emas bisa berlaku begitu baik hati terhadap aku.”
Wajah Ong Khing Hao nampak berubah. Ia lalu berkata:
“Penggali Makam, kau jangan berlagak pintar sendiri. Kau lihat di tanah ini barang apa?”
Hui Kiam lalu melihat ke arah yang ditunjuk. Ia segera lihat bubuk berwarna hitam yang tersebar dari belakang mulut goa
sehingga ke dalam batu aneh. Selain dari pada itu di sekitar danau juga terdapat bubuk hitam itu yang menuju ke barisan aneh. Setelah ia mengenali bubuk itu, bukan kepalang terkejutnya, lalu berkata dengan suara agak gemetar:
“Itu sumbu obat peledak?”
“Benar!”
“Apakah kau hendak meledakkan makam pedang?”
“Benar!”
Hui Kiam segera mengerti maksud Persekutuan Bulan Emas. Karena tidak berhasil mendaptakan barang-barang berharga dalam makam pedang itu, dan mereka tak ingin barang-barang itu jatuh di tangan orang lain, maka hendak meledakkan makam itu. Jika akal kejinya itu terlaksana, mungkin orang yang berada dalam makam pedang itu juga akan terkubur hidup-hidup, dengan demikian juga berarti bahwa segala usaha dan rencana akan tersia-sia semuanya.
Apa yang mengherankan ialah, ia sendiri mempunyai permusuhan sangat dalam dengan Persekutuan Bulan Emas, mengapa orang tua itu memberitahukan kepadanya supaya jangan mendekati makam itu?
“Mengapa kau memberi peringatan kepadaku?” demikian ia berkata.
“Sebab ada orang yang tidak ingin kau binasa.”
“Siapa?” bertanya Hui Kiam heran.
“Di kemudian hari kau nanti tahu sendiri!” jawab Ong Kheng Hao sambil ketawa menyindir.
“Kau tidak bersedia untuk memberitahukan sekarang?”
“Ya saat ini aku belum dapat memberitahukan kepadamu.”
“Jika aku katakan jangan meledakkan, bagaimana?”
“Kau tidak sanggup menghalangi!”
“Apakah maksud hendak meledakkan barisan gaib ini?”
“Untuk menghindarkan jatuhnya lebih banyak korban jiwa manusia!”
“Apakah Persekutuan Bulan Emas benar-benar demikian baik hati?”
“Percaya atau tidak, terserah kepadamu sendiri.”
---ooo0dw0ooo---
Jilid 12
Kalau begitu, di sini aku beritahukan kepadamu, aku tidak mengijinkan orang-orangmu meledakkan obat peledak itu!”
“Apakah kau dapat merintangi itu?”
“Coba saja!”
Suasana nampak sangat tegang.
Ong Kheng Hoa lalu mengulapkan tangannya seraya berkata:
“Pasang api!”
Empat laki-laki berpakaian hitam bergerak melakukan tugas masing-masing, di antara suara percikan api, asap hitam mengepul dan menjalar ke kanan kiri barisan gaib itu.
Dada Hui Kiam dirasakan hampir meledak, ia segera lompat melesat ke kanan.
“Mundur!” demikian suara bentakan yang keluar dari mulut Ong Kheng Hoa, kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat melakukan serangan kepada Hui Kiam. Karena serangannya yang amat dahsyat itu, Hui Kiam yang sedang melesat tinggi terpaksa balik lagi.
Api sudah menjalar sepanjang dua tombak di sekitar tempat itu.
Hui Kiam lalu menghunus pedangnya. Dengan tenaga kekuatan penuh ia menyerang Ong Kheng Hoa. Karena di gunung Kiu-kiong-san ia mendapat tambahan tenaga dalam yang kekuatannya sebanding dengan latihan tiga puluh tahun, maka serangan yang
menggunakan tenaga sepenuhnya itu sesungguhnya sangat hebat sekali.
Ong Kheng Hoa tidak berani menyambut serangan itu, ia melompat minggir ke samping.
Hui Kiam lompat melesat lagi sejauh lima tombak, lalu mengayun tangannya ke arah sumbu api yang sedang berkobar itu.
Di lain pihak, Ong Kheng Hoa juga bergerak menyerang Hui Kiam.
Kalau Hui Kiam tidak menyambut serangan Ong Kheng Koa, pasti akan binasa di bawah pedang lawannya itu, maka mau tidak mau ia harus menyambut serangan tersebut. Dalam satu gerakan, dia sudah dapat tahu bahwa kekuatan orang she Ong itu masih di atas Ko Han
San, kalau ia tidak dapat tambahan kekuatan tenaga dari Jien Ong, barangkali tidak sanggup menahan serangan orang she Ong itu. Dalam keadaan demikian, ia segera menghunus pedangnya untuk menangkis serangan itu.
Kedua pedang saling beradu, Hui Kiam mundur satu langkah.
la benar-benar merasa heran mengapa Persekutuan Bulan Emas mempunyai banyak tenaga kuat.
Serangan Ong Kheng Hoa sedemikian hebat. Dengan beruntun dia melakukan serangannya sampai tiga kali, sehingga Hui Kiam terpaksa mundur sampai dua tombak.
Api dan asap sudah menjalar sejauh sepuluh tombak, terpisah dengan barisan gaib itu hanya beberapa tombak saja, di bagian lain juga sudah menjalar separuhnya.
Dengan mata beringas Hui Kiam menggunakan tipu serangannya yang cuma satu jurus itu. Serangan itu pernah membinasakan tiga jago pedang dari Liong-tong-pay, juga pernah mengutungkan lengan tangan Utusan Persekutuan Bulan Emas, dan kini setelah tambah kekuatan tenaga dalamnya, dapat dibayangkan betapa hebatnya serangannya itu.
Begitu serangan itu dilancarkan, benar saja Ong Kheng Hoa lalu terpental mundur sampai delapan kaki jauhnya.
Selagi lawannya terpental mundur, Hui Kiam dengan kecepatan bagaikan kilat melesat ke arah api sumbu yang menyala itu.
“Penggali Makam, meskipun kau ingin mati tetapi aku masih belum!” demikian Ong Kheng Hoa berkata, lalu dengan tidak kalah cepatnya ia mengejar dan menyerang lagi kepada Hui Kiam.
Diserangnya demikian rupa, Hui Kiam terpaksa mundur.
Dalam waktu sekejap mata saja, dia sudah mundur sampai lima enam tombak jauhnya.
Api sumbu itu sudah tiba di tempat terakhir sedang tempat kedua orang itu bertempur terpisah dengan barisan gaib itu hanya sejarak kurang dari sepuluh tombak, sehingga masih termasuk dalam ancaman peledakan.
Ong Kheng Hoa sambil menggeram hebat ia melompat sejauh sepuluh tombak.
Hui Kiam tahu bahwa usahanya untuk memadamkan api itu sudah tidak berhasil, sehingga peledakan itu sudah tidak dapat dielakkan lagi. Dalam keadaan putus pengharapan dan gusar, ia sudah lupa untuk menyingkir.
Tiba-tiba Ong Kheng Hoa peringatkannya:
“Penggali Makam, apakah kau benar-benar ingin mampus?”
Hui-Kiam yang menyaksikan keadaan dalam berbahaya dalam keadaan murka ia melompatmundur sejauh delapan tombak.
Tetapi apa yang terjadi sesungguhnya di luar dugaan semua orang. Api sumbu sudah tiba di bagian terakhir, tetapi obat peledak itu ternyata tidak meledak.
Jika obat itu meledak, jangankan Hui Kiam sedangkan Ong Kheng Hoa juga tidak akan terhindar dari peledakan itu.
Api yang menyala di lain bagian, juga sudah sampai di tempat terakhir, namun juga tidak terjadi peledakan.
Kejadian di luar dugaan ini membuat hati Hui Kiam merasa lega.
Kejadian aneh itu cuma dapat diartikan bahwa orang dalam barisan gaib itu sudah mengetahui akal jahat Persekutuan Bulan Emas sehingga lebih dulu sudah memindahkan atau membasahi obat peledak.
Ong Kheng Hoa dan empat anak buahnya hanya bisa saling memandang, tidak bisa berbuat apa-apa.
Hui Kiam setelah berpikir sejenak, lalu melompat melesat ke dalam barisan batu-batu gaib.
“Berhenti!” demikianlah terdengar suara bentakan Ong Kheng Hoa, yang hendak merintangi, tetapi Hui Kiam tidak mau peduli, ia terus menerjang masuk dengan langkah lebar.
Kalau Hui Kiam hendak memecahkan barisan tersebut, ia harus mahir ilmu pukulan pelajaran Jien Ong untuk merusak sebagian batu-batu hitam yang dipasang dalam barisan aneh itu, tetapi karena pelajaran ilmu tenaga dalam yang ia punyai sangat berlainan dengan pelajaran umumnya, ia tak dapat mempelajari ilmu pukulan tersebut, sedangkan batu-batu hitam yang terdapat dalam barisan aneh itu, lebih keras daripada besi atau baja, tidak dapat dihancurkan dengan kekuatan biasa. Karena tidak mungkin akan menghancurkan barisan tersebut maka ia harus memasuki dengan menurut petunjuk Jien Ong.
Sepanjang pinggir barisan tampak basah dengan air. Sumbu api itu padam sampai di tempat yang basah itu.
Begitu Hui Kiam masuk ke dalam barisan, sudah berhasil menembus ke garis ke-tiga tidak tampak kejadian apa-apa. Tetapi ia tetap siap siaga, untuk menjaga dari serangan tiba-tiba.
Menginjak garis ke-lima, menurut petunjuk Jien Ong di sini merupakan pusat barisan itu, tetapi masih belum tampak adanya tanda-tanda yang aneh.
Hui Kiam berhenti. Ia menghafalkan segala petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Jien Ong, kemudian melanjutkan usahanya.
Semakin dalam ia masuk semakin sepi keadaannya, tetapi juga semakin nyata adanya bahaya yang mengancam dirinya.
Kembali dua garis telah dilalui. Di depan matanya terdapat sebuah mulut goa. Mulut goa itu berbentuk empat persegi. Di atas mulut goa terdapat tulisan yang berbunyi ‘Makam Pedang’.
Hati Hui Kiam berdebar keras. Teka-teki yang selama itu mengganggu pikirannya segera akan terungkap.
Mengawasi mulut goa yang dalam dan gelap itu, perasaan seram dan ngeri timbul di hatinya.
Mengapa orang yang berada dalam barisan gaib itu tidak menunjukkan gerakan apa-apa? Apakah ia sudah keluar dari dalam barisan dengan membawa senjata purbakala itu? Tetapi kegagalan usaha Persekutuan Bulan Emas yang hendak meledakkan barisan gaib itu, ternyata memang perbuatan orang yang berada dalam barisan ini….
Pada saat itu dari samping dirinya tiba-tiba terdengar suara orang berseru: “Eh!''
Hui-Kiam terperanjat. Ia masih belum dapat tahu dari mana datangnya suara itu, hembusan angin yang keluar dari serangan jari tangan beberapa kali menyambar kepadanya. Dari suara hembusan angin itu dapat diduga betapa hebatnya serangan tersebut.
Dalam keadaan demikian, sudah tentu tidak keburu untuk menyingkirkan dirinya. Ia yang sudah mempunyai cukup kepandaiannya, dengan tanpa banyak pikir lagi segera bertiarap ke tanah.
Sambaran hembusan angin itu lewat di atas kepalanya, lalu membentur barisan batu sehingga mengeluarkan suara nyaring
Serangan dengan kekuatan tenaga dalam semacam ini, apabila mengenakan tepat bagian jalan darah terpenting dalam anggota badan manusia, betapapun tingginya kepandaian ilmu silat yang dipunyai oleh korban yang terkena serangan tersebut, juga akan musnah seluruhnya. Dari hal itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu-waktu sebelumnya, banyak orang-orang kuat yang coba
menerjang masuk ke dalam barisan, semua telah terlempar keluar dalam keadaan sudah musnah seluruh kepandaiannya, semua korban itu jatuh karena serangan hebat ini.
Setelah serangan itu berlalu, Hui Kiam melompat bangun. Kini nampak berdiri satu bayangan orang kecil langsing.
Hui Kiam kembali terkejut dan terheran-heran. Orang yang berada di hadapannya ternyata ia adalah seorang perempuan muda. Ini jauh meleset dari dugaannya sehingga untuk sesaat lamanya ia berdiri tertegun.
Sewaktu perempuan muda itu bergerak maju ke tempat yang terang, Hui Kiam baru nampak dengan tegas bahwa perempuan itu berusia sekitar duapuluh tahunan, badannya padat parasnya cantik tetapi agak pucat, mungkin karena lama berdiam di dalam goa. Di balik parasnya yang cantik itu nampak tegas diliputi oleh perasaan gusar yang menakutkan.
Hui Kiam semakin terkejut. Dalam dugaannya, orang yang berada dalam goa itu mungkin adalah jago pedang berkedok atau orang yang sangat berbahaya, sungguh tidak diduga hanya merupakan seorang perempuan muda yang sangat cantik.
Apakah kecuali ia masih ada orang lain lagi?
Akhirnya perempuan itu membuka mulut. Nada suaranya tajam dingin menakutkan:
“Kepandaian Tuan bagus sekali, ternyata dapat mengenal barisan purbakala yang ajaib ini.”
Hui-Kiam maju beberapa langkah. Kira-kira delapan kaki di depan mulut goa ia bertanya dengan perasaan terheran-heran:
“Bagaimana sebutan nona yang mulia?”
“Pelindung Pedang!”
“Pelindung Pedang?”
“Benar, dan nama Tuan sendiri?...”
“Penggali Makam!”
“Hem, terlalu sombong!”
Jelas bahwa perempuan muda yang menamakan diri sebagai Pelindung Pedang ini telah mengira bahwa nama julukan Hui-Kiam mengandung maksud mengejek, karena di tempat itu justru adalah makam pedang dan ia mempunyai nama julukan Penggali Makam, dianggapnya tidaklah mungkin hal itu suatu kebetulan.
Kedua pihak berdiri terpisah agak dekat. Hui Kiam dapat merasakan bahwa perempuan muda itu membuat orang menimbulkan perasaan tidak berani mengganggu. Kecantikannya meskipun belum dapat dibandingkan dengan kecantikan Tong-hong Hui Bun, tetapi kecantikan perempuan dihadapinya itu, dalam perasaannya bagaikan bidadari yang agung, tak boleh dilanggar sembarangan.
Ia hampir lupa di mana dirinya berada.
Pelindung Pedang membuka suaranya lagi:
“Penggali Makam, musnahkan sendiri kepandaianmu lalu keluar dari sini!”'
Hui Kiam setelah menenangkan pikirannya, ia berkata dengan suara dingin:
“Nona terlalu tinggi hati!”
“Tuan jangan mengagungkan diri sendiri, mati atau hidup tergantung dalam pikiranmu sendiri.”
“Kalau kudengar ucapan nona ini, mati hidupku agaknya berada di tangan nona.”
“Sedikitpun tidak salah!”
“Nona menamakan sendiri Pelindung Pedang.”
“Aku tadi toh sudah kukatakan?”
“Kedatanganku ini justru hendak mendapatkan pedang itu!”
“Sekalipun kau tidak menerangkan aku juga sudah tahu. Kuulangi lagi satu kali, musnahkan sendiri kepandaianmu dan lekas berlalu dari sini!”
“Apakah nona menganggap aku akan kembali begitu saja dengan ucapanmu ini?”
“Kalau begitu kau sudah bertekad hendak mengubur tulang-tulangmu dalam makam ini?”
“Asal nona dapat melakukan!”
Harus nona itu semakin tebal hawa amarahnya. Ia hanya mengeluarkan suara dari hidungnya.
Hui-Kiam setelah berpikir beberapa kali lalu bertanya:
“Apakah di dalam makam pedang ini hanya nona seorang diri saja?”
“Tentang ini kau tidak perlu tahu!”
“Bolehkah nona memberitahukan asal-usul diri nona?”
“Apakah kau sedang mimpi?”
Dalam hati Hui Kiam berpikir: Perempuan ini pasti mempunyai kepandaian yang luar biasa, apakah aku sanggup menghadapinya,
masih merupakan suatu pertanyaan. Apabila di belakangnya masih ada jago pedang berkedok yang dahulu merupakan musuh besar perguruannya, keadaannya semakin tidak menyenangkan. Andaikata bukan jago pedang berkedok, tentunya juga orang kuat yang berkepandaian sangat tinggi. Tetapi aku sudah datang kemari, apakah harus kembali dengan tangan kosong?
Yang penting pada dewasa itu ialah mencari tahu dulu asal-usulnya. Apabila orang yang berdiri di belakang perempuan ini bukanlah orang yang menggunakan jarum melekat tulang itu maka keadaan semakin ruwet.
Seketika itu bertanya pula dengan maksud hendak menyelami hati nona itu:
“Nona menganggap diri sendiri sebagai Pelindung Pedang, siapakah pemilik pedang itu?”
Pelindung itu tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya berkata dengan suara bengis:
“Apakah kau ingin nonamu bertindak?”
Hui Kiam melihat keadaan demikian, sudah tidak mempunyai kesempatan untuk bicara lagi kecuali mengadu kepandaian, jangan harap dapat mengorek keterangan dari mulut nona itu, maka ia lantas berkata:
“Nona hendak bertindak boleh saja, tetapi lebih dulu kita bicarakan syaratnya!”
“Kau... ingin bicara soal syarat?”
“Benar!”
''Bukankah itu percuma saja?”
“Tidak demikian dalam anggapanku.”
“Coba kau sebutkan!”
“Apabila aku yang kalah, terserah bagaimana nona akan lakukan....”
“Seharusnya memang begitu.”
“Apabila aku yang menang, harap nona serahkan pedang pusaka itu.”
“Penggali Makam, dengarlah, sekalipun kau menang juga tidak dapat membawa pergi pedang pusaka itu, kecuali kau mengambil dulu jiwaku, tetapi... hal ini kau sedikitpun tidak ada harapan....”
“Apakah nona mengandalkan bantuan orang yang berdiri di belakang nona?”
“Tidak! Jiwaku dan kepandaianku itulah yang merupakan bantuan kuat dari diriku.”
Dari keterangan perempuan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam makam pedang itu hanya ia seorang diri. Semangat Hui-
Kiam lalu terbangun, tetapi juga merasa bingung. Ia dibingungkan oleh perempuan muda itu, yang sudah mendapatkan pedang pusaka, mengapa tidak lari jauh sebaliknya menjaga di dalam makam pedang ini dan harus menerima gangguan dari orang-orang rimba persilatan sedang ia sendiri menyatakan dirinya sebagai pelindung pedang, namun juga menyatakan apabila pedang ada orangnya juga ada tetapi apabila pedangnya musnah orangnya juga turut musnah.
“Tetapi aku tiada bermaksud untuk mengambil jiwa nona...” demikian ia berkata.
“Sebaliknya dengan aku yang harus membunuhmu mati!”
“Andaikata nona tidak sanggup melakukan?”
“Masih tetap dengan keteranganku semula. Kalau kau tidak berhasil membunuh aku, jangan harap kau bisa membawa pergi pulang pusaka!”
“Apakah kita tidak boleh tidak harus melakukan pertandingan?”
“Hanya itu jalan saja!”
“Baiklah, aku menurut saja!”
Sehabis berkata ia bertindak maju melancarkan serangan.
Serangan itu sebetulnya hanya merupakan serangan pura-pura saja yang maksudnya hendak pancing perempuan itu supaya bertindak dengan demikian ia dapat mengukur sampai di mana tinggi kepandaian perempuan itu.
Tetapi perempuan itu tidak menghiraukan serangan Hui-kiam, seolah-olah telah tahu maksud yang terkandung dalam hati Hui Kiam.
Ketenangan luar biasa perempuan itu, membuat bergidik hati Hui Kiam, maka ia lanjutkan serangan pura-pura tadi menjadi serangan sungguh-sungguh.
Perempuan itu menggeser kakinya. Nampaknya begitu ringan dan biasa saja, tetapi serangan Hui Kiam ternyata sudah mengenakan tempat kosong.
Perempuan itu setelah mengelakkan serangan Hui Kiam lalu menggerakkan tangannya melancarkan serangan yang luar biasa hebatnya.
Sesaat kemudian Hui Kiam sudah terpental mundur satu langkah.
Perempuan itu menyusul serangan selanjutnya dibarengi dengan serangan jari tangan kirinya.
Hui Kiam sudah dapat menduga kepandaian dan kekuatan tenaga dalam perempuan itu yang ternyata berimbang dengan kekuatannya sendiri. Apabila ia ingin menang, hanya tergantung dengan gerak tipu serangannya, maka ia lalu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan perempuan itu.
Dua orang itu lalu melakukan pertempuran hebat di depan mulut goa.
Kepandaian Hui Kiam menggunakan tangan kosong, tidak setinggi seperti ia menggunakan pedang yang mempunyai gerak tipu satu jurus saja. Maka untuk menghadapi lawan yang berimbang kekuatannya, ia tak dapat berbuat banyak. Lima jurus kemudian ia mulai terdesak dan sebelum jurus ke sepuluh ia sudah tidak bisa berdaya melakukan serangannya.
Sebaliknya dengan perempuan itu, setiap serangannya ditujukan ke jalan darah terpenting badan Hui Kiam, maksudnya hendak mengambil jiwa pemuda itu.
Satu kali salah satu jalan darah penting Hui Kiam terkena serangan jari tangan, sehingga mundur terhuyung-huyung sampai empat-lima langkah, hampir saja roboh di tanah. Jika serangan itu mengenakan diri orang lain, sudah cukup untuk membuat melayang jiwanya. Tapi kekuatan dan kepandaiannya yang dipelajari oleh Hui Kiam sangat berlainan, meskipun serangan itu tidak melukai dirinya tetapi juga menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Perempuan itu nampaknya sangat terheran-heran. Ia berkata:
“Pantas kau begitu takabur, kiranya memang benar mempunyai kepandaian yang berarti!”
Hui Kiam terpaksa menghunus pedangnya karena ia tak boleh kalah. Apabila kalah habislah segala-galanya, termasuk jiwanya sendiri.
“Aku terpaksa hendak menggunakan pedang!” demikian ia berkata.
“Terserah!”
“Senjata nona....”
“Masih belum perlu.”
“Ini bukan berarti pertandingan untuk menguji kepandaian!”
“Kalau kudengar pembicaraanmu ini, kau agaknya sangat mengandalkan ilmu pedangmu, tetapi hari ini jangan harap kau bisa keluar dalam keadaan utuh!”
“Nona nanti bisa menyesal....”
“Biarkh kenyataan nanti yang membuktikan.”
Hui-Kiam setelah membelikan peringatannya lalu menggunakan kekuatan delapan bagian melakukan serangannya yang cuma satu jurus itu.
Perempuan muda itu ketika menyaksikan gerak tipu serangannya, parasnya berubah seketika. Dengan cepat lompat mundur delapan kaki.
Hui-Kiam terus mendesak dan perempuan itu terpaksa terus mundur ke dalam goa. Dengan tanpa dirasa keduanya sudah masuk ke dalam goa sepuluh tombak.
Perempuan itu meskipun sedikit tidak dapat membalas serangan dan terus mundur, tetapi masih sanggup mengelakkan serangan hebat yang tidak ada taranya itu tanpa terluka. Tentang ini saja sudah cukup membuat Hui Kiam merasa ngeri.
Ilmu pedang Hui-Kiam, hanya satu jurus itu saja, untuk gerak tipu yang hanya sejurus itu mengandung kekuatan yang luar biasa, sekalipun sudah digunakan berulang-ulang tetapi perempuan itu masih belum berhasil memusnahkan serangannya.
Pertempuran secara kucing-kucingan itu terus masuk ke dalam goa sejauh duapuluh tombak. Keadaan di dalam goa itu tiba-tiba terang benderang oleh sinar patung mutiara. Di situ ternyata merupakan sebuah kamar batu yang sangat luas, lengkap dengan segala perabot kamarnya. Masih ada sebuah pintu kecil yang menghubungkan ke lain ruangan. Nampaknya makam pedang ini dibuat oleh satu tangan ahli yang pandai.
Setelah berada di dalam kamar batu itu, perempuan muda itu dengan cepat masuk ke pintu yang menghubungi lain kamar itu.
Hui Kiam terpoaksa berhenti bertindak, sebab apabila dalam kamar itu terdapat pesawat rahasia, ini sangat berbahaya bagi dirinya.
Kini ia sudah mendapatkan kenyataan bahwa dalam makam pedang itu terkecuali perempuan muda yang menamakan dirinya pelindung pedang itu, agaknya sudah tidak ada orang yang ke-dua.
Tiba-tiba matanya dapat melihat dalam kamar itu timbul sebuah makam batu. Selagi ia hendak mengamati tulisan di atas batu nisan, tiba-tiba matanya menjadi silau oleh munculnya perempuan muda yang mengaku dirinya Pelindung Pedang. Tangan perempuan itu
membawa sebilah pedang berwarna hitam. Pedang itu bentuknya sangat aneh. Tidak bersinar juga tidak bercahaya. Nampaknya barang mainan kanak-kanak.
“Penggali Makam, sekarang kau boleh bertindak!” demikian perempuan itu berkata.
“Nona, aku hanya ingin terdapatnya suatu kemenangan atau kekalahan dengan tanpa mengganggu jiwa kita.”
“Tetapi sebelum ada salah satu yang mati kau tidak akan mencapai maksudmu.”
“Apakah perlunya?'
“Penggali Makam, pertanyaanmu ini tidak ada gunanya, kau sudah pasti akan mati.”
Suaranya itu sedemikian dingin tetapi tegas. Hati Hui Kiam bergetar, apakah perempuan itu mempunyai kepandaian ilmu pedang yang lebih unggul? Itu mungkin, sebab serangan ilmu pedang yang hebat itu tidak dapat melukainya. Ini sudah jelas bahwa ia juga merupakan satu ahli pedang.
Tetapi sifat Hui Kiam yang berkepala batu dan tinggi hati tidak akan mundur atau takut oleh satu perkataan saja, maka ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Apakah nona yakin benar?”
“Sudah tentu!”
“Silahkan bertindak!”
“Kalau aku bertindak lebih dulu, kamu barangkali tidak ada kesempatan untuk balas menyerang, maka biarlah kau yang bertindak dahulu.”
“Aku tidak percaya!”
“Kau terlalu sombong!”
“Benarkah?”
“Kalau begitu bersiaplah.”
Perempuan itu perlahan-lahan mengangkat pedangnya, tiada sinar yang keluar, agaknya bukan suatu pertempuran antara mati dan hidup begitu ringan dan tenang ia bergerak sangat perlahan-lahan sekali tetapi cukup mengandung gerak tipu yang amat dahsyat...”
Ketika pedang itu berada di tengah-tengah serangannya, Hui-Kiam tiba-tiba merasakan bahwa serangan yang nampaknva biasa itu ternyata merupakan satu gerak tipu luar biasa. Dalam serangan itu mengandung banyak perubahan yang sangat aneh yang tidak dapat dibendung atau ditangkis dari sudut manapun juga.
Dalam terkejutnya, Hui-Kiam terpaksa menggunakan pedangnya untuk menyerang karena ia sudah tidak ada lain jalan untuk menyingkir.
Pedang pusaka itu geraknya tiba-tiba berubah sedemikian cepat, sehingga terciptalah suatu lingkaran hitam.
Keadaan demikian, hanya tampak dalam waktu sekejap mata saja, kemudian disusul oleh beradunya pedang Hui Kiam dengan lingkaran hitam itu. Sesaat kemudian, Hui Kiam hanya merasakan tangannya yang memegang pedang itu tiba-tiba menjadi ringan. Ketika ia menyaksikan apa yang telah terjadi, bukan kepalang rasa heran dan kagetnya. Pedang yang berada di dalam tangannya cuma tinggal sepotong, dan bagian lainnya sudah hancur berkeping-keping dan berserakan di tanah.
Pedang itu adalah barang peninggalan gurunya dan sekarang telah rusak di tangannya.
Perasaan heran, kaget, gusar, dan mendongkol seketika timbul dalam hatinya.
Tetapi, kemudian ia teringat sesuatu yang lebih penting. Ia lalu berkata dengan suara gemetar:
“Apakah itu pedang pusaka dalam makam ini?”
“Tepat, kau tidak dapatkan pedang ini dalam keadaan hidup, tetapi sebelum kau mati sudah dapat menyaksikan benda pusaka ini, kau sudan boleh merasa puas!”
Hui Kiam terharu, wajahnya yang tidak mudah berubah saat itu ternyata nampak berkerenyut, karena perempuan itu mempunyai senjata pusaka luar biasa, ditambah dengan ilmu pedangnya yang luar biasa pula, sehingga harapan untuk hidup baginya benar-benar sudah tidak ada lagi.
Apakah ia takut mati? Senjata pusaka ini seharusnya benda perguruannya, ia merupakan benda yang tidak boleh dipisah dengan kitab pusaka Thian Khie Po-kip karena kepandaian ilmu silat yang ditulis dalam kitab itu, jika ditambah dengan senjata luar biasa ini akan menjadikan seorang kuat tanpa tandingan.
Tetapi, kitab yang memuat pelajaran ilmu silat yang ditulis bagian bawah kitab tersebut tidak tahu berada di mana, dan senjata pusaka itu kini juga berada di tangan perempuan yang tidak dikenal itu, apa yang lebih mengenaskan, ialah dirinya sendiri sudah berada di ambang pintu kematian, maka semua cita-citanya untuk mendapatkan kembali barang-barang perguruannya untuk membalas dendam, telah musnah seluruhnya.
Perempuan itu menggerakkan tangannya, ujung pedang mengancam dada Hui Kiam. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Penggali Makam, pergi keluar goa, aku tidak suka tempat ini dikotori oleh noda darah.”
Pada saat itu Hui Kiam merasakan betapa hebatnya hawa pedang itu. Ujung pedang dirasakan seolah-olah sudah menembus ulu hatinya.
Ia mengerti, apabila ia melawan itu berarti hanya menambah kehinaan saja, tetapi ia juga merasa penasaran menerima kematian begitu saja, terutama lawannya adalah seorang perempuan, dan mati oleh tangan seorang perempuan benar-benar merupakan suatu hal yang memalukan.
“Turunkanlah pedangmu,” demikian Hui Kiam berkata dengan nada suara dingin dan tegas.
Paras perempuan muda itu nampak sedikit berubah. Dengan tanpa sadar ia mundur satu langkah. Matanya memancarkan sinar aneh.
Hui Kiam memutar badannya, ia keluar dari dalam kamar. Begitu tiba di mulut goa ia berpaling lagi untuk menghadapi perempuan pelindung pedang itu. Dengan nada suara dingin ia berkata:
“Tidak perlu nona turun tangan, aku bisa bertindak sendiri!”
Perempuan itu tercengang. Ia berkata:
“Semula aku menyuruhmu berlalu dan memusnahkan kepandaianmu sendiri, kau tidak suka. Sekarang kau tinggalkan jiwamu.”
“Aku tahu.”
“Kau... agaknya tidak menganggap kematian itu adalah suatu kejadian yang menakutkan.”
“Seorang laki-laki perlu apa takut mati.”
“Terhadap dirimu sendiri kau juga masih berlaku kejam?”
“Terhadap musuh aku juga tidak bisa memberi kelonggaran.”
“Bagaimana kau pikir hendak bertindak?”
“Danau air dingin di luar barisan gaib itu merupakan suatu tempat yang paling baik.”
“Kau tentunya tidak akan menggunakan kesempatan ini untuk kabur?”
“Nona terlalu memandang rendah diriku!”
“Baik, Penggali Makam, anggaplah aku kesalahan omong.”
“Sebelum aku menghabiskan jiwaku sendiri, aku ingin menanyakan beberapa soal. Sudikah nona memberikan jawaban?”
“Aku harus melihat dulu keadaannya. Cobalah kau katakan!”
Hui-Kiam bukan tidak tahu ia tidak boleh gampang-gampang menyerahkan jiwanya, tetapi daripada mati terhina lebih baik menghabiskan jiwanya sendiri. Kalau kematian itu memang sudah tidak dapat dielakkan, perlu apa takut mati. Itulah sifatnya yang keras kepala dan tinggi hati.
Meskipun ia sedang menghadapi kematian, tetapi setelah ia mengambil keputusan demikian sebaliknya merasa tenang. Satu-satunya jalan yang masih belum mau mengerti ialah asal-usul mengenai perempuan itu....
Ia lalu memajukan pertanyaannya:
“Siapakah guru nona?”
“Tentang ini aku tidak dapat memberitahukannya kepadamu!”
“Sudah berapa lama nona mendapatkan pedang pusaka ini?”
“Sepuluh tahun!”
“Sepuluh tahun?”
“Benar.”
“Mengapa nona tidak mau pergi jauh, sebaliknya berdiam di sini saja harus menerima gangguan dari orang luar?”
“Aku sudah katakan bahwa aku adalah pelindung pedang, bukan pemilik pedang!”
“Kalau begitu siapakah pemilik pedang itu?”
“Tentang ini aku juga tidak dapat memberitahukan kepadamu!”
“Mengapa nona dapat menemukan makam pedang yang jarang diketahui oleh manusia?”
“Maaf, aku tidak dapat memberitahukan kepadamu!”
“Nona tentunya tidak akan menyangkal bahwa nona ada hubungannya dengan jago pedang berkedok?”
“Apa jago pedarg berkedok?”
Sepasang mata Hui Kiam memancarkan sinar tajam, terus menatap paras perempuan itu, agaknya ingin menembusi hati perempuan itu sebab matanya manusia tidak bisa membohong, dari matanya bisa membuka rahasia dalam hatinya.
Tetapi ia kecewa. Dari mata perempuan itu kecuali menunjukkan rasa bingung, tidak menunjukkan sikap apa-apa lagi.
Kalau tidak ada gambar peta tempat menyimpan pedang, siapapun tidak akan tahu bahwa di dalam barisan batu gaib itu ada sebuah makam pedang. Siapapun tidak akan dapat mencari ke tempat yang tersembunyi itu. Tetapi dengan cara bagaimana gambar peta itu bisa terjatuh di tangan perempuan itu?
Apakah Toa supeknya sebelum mati di tangan jago pedang berkedok, sudah kehilangan gambar peta itu?
Pertanyaan tetap merupakan pertanyaan, karena perempuan itu tidak mau memberikan keterargan percuma saja ia memikir.
“Benar, apa yang kumaksud dengan jago pedang berkedok itu ialah seorang ahli pedang luar biasa yang muncul pada sepuluh tahun berselang!”
Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata:
“Tidak tahu!”
“Tentunya bukan secara kebetulan saja nona mendapatkan pedang ini?”
“Aku sudah katakan tidak akan menjawab pertanyaan ini!”
“Di dalam kamar di bawah tanah itu, rupanya masih ada sebuah makam lagi?”
“Benar!”
'“Itu makam siapa?”
“Makam ibuku!”
“Apa, ibumu?”
“Sudah banyak kau menanya, rasanya sudah cukup.”
“Baiklah sampai di sini saja.”
“Silahkan!”
Perkataan silahkan mengandung maksud apa, Hui Kiam sudah tentu mengerti sendiri. Ia tidak berkata apa-apa, perlahan-lahan memutar badannya. Setelah melalui barisan aneh itu lalu berjalan ke tepi danau, dengan diikuti oleh perempuan pelindung pedang yang membawa pedang pusaka di tangannya.
Sebentar kemudian, tibalah di tepi danau.
Hui Kiam menghadapi air danau yang tenang itu. Otaknva kosong-melompong, apapun tidak dipikirkannya. Ia tidak ingin memikir, juga tidak ada gunanya untuk dipikir. Ia sedang menghadapi maut yang sudah melambaikan tangan....
Hanya satu lompatan saja habislah segala-galanya.
Sambil mengatupkan gigi ia lompat ke dalam danau....
Tetapi baru saja ia bergerak, suatu kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat menggulung dirinya memaksa ia balik ke tempatnya. Orang yang berbuat demikian itu ternyata adalah perempuan muda pelindung pedang itu.
Hui Kiam berkata dengan suara gusar:
“Apakah artinya perbuatan nona ini?”
Perempuan itu dengan sinar mata yang aneh menatap wajah Hui Kiam kemudian berkata:
“Kelakuanmu sesungguhnya sangat mengagumkan!”
“Apakah nona hanya ingin mengatakan itu saja?”
“Tidak! Aku telah berobah pikiranku!”
“Beroboah pikiranmu?”
“Hem, hem, hem.”
“Kau ingin bertindak sendiri?”
“Tidak! Bagaimana andaikata... aku minta kau berlalu dari sini?”
Perkataan itu sesungguhnya di luar dugaan Hui Kiam. Untuk sesaat lamanya ia malah berdiri bingung tidak dapat mengeluarkan perkataan apa-apa.
Perempuan itu berkata pula dengan suara sedih:
“Penggali Makam, pergilah!”
“Benar?”
“Tidak ada syaratnya apa-apa.”
“Syarat ...” ia ketawa menyeringai seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.
Sejak Hui Kiam memasuki barisan gaib itu, untuk pertama kali ia melihat perempuan itu mengunjukkan ketawanya. Ketawanya itu nampak manis agung juga mengandung sedikit kemalu-maluan, tetapi juga mengandung pengaruh yang dapat menggerakkan hati
lelaki. Sayang di dalam keadaan demikian sedikitpun tak ada reaksi yang timbul di dalam hati Hui Kiam.
“Apa syaratnya?” demikian Hui Kiam bertanya. Dalam hatinya timbul semacam perasaan ingin hidup kembali. Perasaan semacam itu, hanya orang kembali dari bahaya maut, yang baru dapat merasakannya dengan adanya harapan hidup itu, maka segala pikiran timbul kembali, ia tiba-tiba merasakan betapa perlunya ia hidup terus, bukan karena dirinya sendiri, bukan karena sayang jiwanya sendiri, melainkan karena dengan sakit hati yang dia harus menuntut balas terhadap semua musuh-musuhnya di samping itu masih ada bayangan Tong-hong Hui Bun perempuan cantik luar biasa itu yang ternyata sudah memikat hatinya.
Asal ia teringat akan perempuan cantik itu hatinya segera berdebaran. Dahulu apa yang ada dalam hatinya hanya dendam sakit hati kebencian, tiada pikiran apa-apa yang masuk dalam hatinya. Tetapi sejak berkenalan dengan Tong-hong Hui Bun, lubuk hatinya yang penuh dendam dan kebencian, telah didobrak. Perempuan itu sudah berhasil menempatkan diri dalam hatinya bahkan menduduki tempat yang sangat penting.
Perempuan pelindung pedang itu setelah berdiam sekian lama, akhirnya berkata:
“Apabila kau sudi menerima, syarat ini tidak berat.”
Hui Kiam dengan sinar mata dingin memandang gadis itu lalu berkata:
“Coba nona ceritakan!”
Gadis yang menyebut dirinva sebagai pelindung pedang itu sebentar nampak merah parasnya, kemudian menundukkan kepalanya dan mengucapkan kata-katanya yang sangat perlahan:
“Harap kau suka datang lagi menengok aku.”
Hui Kiam seketika tertegun, ia segera dapat memahami maksud yang terkandung dalam ucapan rona itu, adakah itu yang dimaksudkan salah?
Ini sesungguhnya tidak harus berpikir. Perobahan itu juga terlalu mendesak, karena belum lama berselang, gadis itu hendak mengambil jiwa, tetapi sekarang mengajukan syarat demikian.
“Inikah yang nona katakan sebagai syarat?”
Gadis itu masih tetap menundukkan kepala, berkata dengan suara tidak lampias:
“Ya. Apakah.... kau menerima baik?”
Hui Kiam sejenak nampak berpikir. Ia mencoba mengendalikan perasaannya yang bergolak, baru berkata:
“Aku pasti akan datang lagi!”
Gadis itu mengangkat mukanya. Matanya memancarkan sinar tajam yang mempunyai daya penarik. Kedua pipinya masih kemerah-merahan, nampaknya agak malu-malu. Dengan suara agak gemetar ia berkata:
“Kau ... menerima baik?”
Hui Kiam yang menghadapi gadis cantik masih putih bersih ini, apalagi setelah mendengar kata-katanya yang seolah-olah menggedor lubuk hatinya, sesaat itu benar-benar terpesona. Akan tetapi ia tahu benar bahwa di antara mereka berdua samar-samar terdapat suatu rintangan yang rupanya susah ditembus, dan rintangan itu, setiap waktu cukup untuk memusnahkan impian mereka.
“Nona, maaf, aku akan berbicara terus terang. Terhadap pedang pusaka itu aku sudah bertekad bulat hendak mendapatkannya, tanpa memperhitungkan akibatnya!”
“Tidak sepantasnya kau seorang gagah yang bersifat begitu rendah dan sombong.”
“Tetapi, maksudku ini bukanlah terdorong oleh kesombongan!”
“Lalu apa?”
“Lain kali apabila aku datang lagi, aku akan memberitahukannya kepadamu!”
“Maksudmu apakah setelah kepandaianmu sekiranya sanggup merebut pedang pusaka itu dari tanganku, baru kau akan datang lagi?”
“Aku tidak akan ingkar, memang demikianlah maksudku.”
Gadis itu nampak berubah parasnya. Ia berkata dengan nada suara dingin:
“Aku masih bisa merobah pendirianku.”
“Aku tidak suka menarik keuntungan dengan kata-kata yang manis. Apa yang terukir dalam hatiku, aku harus mengutarakannya terus terang.”
Inilah tentunya seorang gagah dari golongan kebenaran. Sebetulnya dia dapat mengatakan dari mulutnya segala kata-kata yang manis untuk menipu lawan, agar ia melepaskan diri lebih dulu. Akan tetapi sifat dan perangainya yang tinggi dan sombong, mendorong padanya tidak akan berbuat demikian.
Gadis itu nampak beberapa kali berobah parasnya, akhirnya baru berkata:
“Kau..... pergilah!”
Hui Kiam sedapat mungkin menindas perasaan yang menjolak. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata:
“Budi kecintaanmu ini akan terukir dalam hatiku!”
“Oh, tunggu dulu..........”
“Nona masih ada perlu apa lagi?”
“Jikalau kau nanti datang lagi, pedang ini lalu sudah diambil oleh pemiliknya.”
“Tentang ini... saat itu aku akan minta nona memberitahukan namanya pemilik pedang itu.”
“Mungkin aku dapat memberitahukan kepadamu.”
“Baiklah, sampai berjumpa lagi!”
Hui Kiam mengangkat tangan memberi hormat lalu berjalan keluar dari dalam barisan. Hatinya dirasakan sangat berat. Dengan membawa perasaan sedih yang tidak terhingga, ia telah merasakan bahwa kepandaian dan kekuatannya sendiri pada saat itu, masih berjarak jauh untuk dapat melaksanakan usahanya menuntut balas dendam, dan jarak itu bisa diperpendek atau tidak ia masih belum mempunyai keyakinan teguh. Satu-satunya pengharapan ialah untuk mendapatkan kembali kitab pusaka Thian-kie Po-kip. Tetapi kitab itu sudah terjatuh di tangan jago pedang berkedok yang sangat misterius. Sepuluh tahun berselang, suhu dan para supeknya masih belum sanggup melawan jago pedang itu, apalagi ia dengan mengandalkan kepandaian apa untuk dapat merampas kembali kitab pusaka itu?
Keluar dari barisan ajaib itu, dengan tanpa sadar ia berpaling dan memandang lagi sejenak. Suatu pikiran yang timbul dalam otaknya, benarkah ia bisa kembali lagi?
la menarik napas panjang, perlahan-lahan menggeser kakinya berjalan menyusuri tepi danau.
Beberapa bayangan orang nampak berkelebat di hadapannya. Kepala pasukan Persekutuan Bulan Emas bersama empat anak buah, muncul dengan tiba-tiba. Lima orang itu semua menunjukkan perasaan terkejut dan heran. Sementara itu Ong Kheng Hao lalu maju dan berkata kepadanya:
“Penggali Makam, kau ternyata dapat keluar dari dalam barisan itu dengan selamat!”
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam mengawasi orang she Ong itu, kemudian berkata dengan nada suara dingin:
“Hal ini agaknya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan tugasmu!”
Wajah Ong-Kheng Hao segera berubah. Ia berkata dengan suara keras:
“Kau sungguh sombong!”
“Hem hem!”
“Bagaimana dengan pelang pusaka?”
“Kalau kau mempunyai kepandaian kau boleh ambil!”
“Apakah kau sudah berjumpa dengan orang dalam barisan itu?”
“Kalau sudah berjumpa kau mau apa?”
“Aku si orang tua bukannya takut kecipratan darah, melainkan mendapat perintah tidak boleh melukaimu, maka sebegitu jauh aku tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap dirimu, kau mengerti? Nah, sekarang pergilah!”
Hati Hui Kiam tergerak, ia bertanya:
“Apakah perintah itu dari junjunganmu?”
“Tidak perlu bertanya, silahkan!”
Hui Kiam memperdengarkan suara di hidung lalu melesat ke jalan lembah yang sempit itu. Dalam hatinya merasa heran, apa sebabnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas mengeluarkan perintah yang tidak mengijinkan orang-orangnya bermusuhan dengan dirinya? Apakah maksudnya?
Tidak antara lama ia sudah melalui jalan sempit itu dan tibalah di luar lembah.
Tiba-tiba seorang berpakaian hitam menghampirinya dan berkata sambil menunjuk ke kiri:
“Penggali Makam, di depan gunung itu ada orang menantikan kedatanganmu.”
Sehabis berkata, dengan tanpa memperdulikan reaksi Hui-Kiam sudah melesat dan berlalu lebih dulu.
Hui Kiam tercengang. Siapa gerangan yang sedang menantikan dirinya? Mengapa orang mengetahui jejaknya, dan mengutus orang menyampaikan kabar? Kawan ataukah lawan karena tidak memberitahukan namanya, hanya meninggalkan pesan singkat itu saja agaknya sudah dapat menduga bahwa ia pasti pergi menjumpai....
Pergi atan tidak. Pikiran itu berkecamuk dalam olaknya. Karena tertarik oleh perasaan heran, akhirnya telah mengambil keputusan untuk menemui orang tersebut.
Maka, ia lalu bergerak menuju ke tempat yang ditunjuk oleh orang tua tadi.
Tidak berapa lama ia sudah tiba di tempat itu. Seorang yang berpakaian hitam lain sudah menantikan kedatangannya. Orang itu ketika melihat kedatangannya, segera tangannya menunjuk ke suatu tempat dan berkata dengan sikapnya yang menghormat:
“Silahkan!”
Hui-Kiam dengan tidak sabar mengajukan pertanyaan:
“Ada urusan apakah sebetulnya?”
Orang itu menjawab sambil tertawa dingin:
“Jikalau tuan tidak berani menjumpai, sekarang masih keburu kau batalkan maksudmu.”
Sudah tentu perkataan orang itu mengandung maksud mengejek. Di samping itu juga sudah nyata mengunjukkan bahwa pertemuan itu bukanlah dengan maksud baik. Tetapi sifat Hui Kiam yang selalu tahu maju dan tidak mengenal mundur, seketika itu lalu menyahut dengan nada suara dingin:
“Sejak muncul di dunia Kang-ouw, Penggali Makam tidak tahu apa artinya tidak berani. Tetapi perbuatan kalian yang agaknya takut diketahui oleh manusia ini sesungguhnya sangat memuakkan.”
Orang berpakaian hitam itu berdiam tidakberkata apa-apa.
Hui Kiam mengawasi keadaan tempat itu sejenak, ternyata sangat sepi. Orang itu telah mengutus orang menantikannya di jalanan yang menembus ke makam pedang itu. Sudah jelas orang itu mengetahui benar segala gerak-geriknya, sehingga memilih tempat yang sepi sunyi itu untuk mengadakan pertemuan. Nampaknya sudah terang hahwa orang itu mengandung maksud jahat.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu bertindak berjalan menuju tempat yang ditunjuk.
Berjalan kira-kira limapuluh tombak, di tempat sebelah kanannya tampak sebuah jalan sempit. Kembali terdapat seorang berpakaian hitam yang berdiri menunggu di pinggir jalan.
“Silahkan masuk!” demikian orang itu berkata.
Ketika Hui Kiam mengawasi orang itu, hatinya berdebar. Wajah orang itu tidak asing baginya. Saat itu segera teringat dalam perjailanannya mencari Liang-gie-si-seng. Waktu ia dihadang dan diserang oleh orang-orang Persekutuan Bulan Emas, orang berbaju hitam itu justru juga merupakan salah seorang di antaranya.
Kalau begitu, orang yang mengundangnya itu pasti adalah orang dari Persekutuan Bulan Emas.
Waktu ia masih berada di tepi danau dekat makam pedang, Ong Kheng-Hao pernah berkata bahwa ia mendapat perintah atasnya tidak boleh mengganggu dirinya. Kalau begitu undangan orang itu apakah ada mengandung lain maksud yang tertentu? Orang yang mengundang itu apakah pemimpin persekutuan itu sendiri ataukah….
Tetapi ia tidak sempat untuk memikirkan hal itu. Ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Sahabat urusan nomor berapa?”
Orang berpakaian hitam itu wajahnya nampak berubah, kemudian menunjukkan tertawanya yang menyeramkan, baru berkata:
“Nomor lima. Sungguh baik daya ingatmu.”
“Siapa orang yang mengundang aku ini?”
“Setelah kau nanti masuk ke lembah sudah tentu mengerti sendiri.”
Hui Kiam memperdengarkan suara di hidung. Dengan tindakan lebar dan melembungkan dada, ia berjalan menuju ke lembah.
Berjalan kira-kira beberapa tombak, di hadapannya terbentang suatu tanah datar seluas sepuluh tombak. Sepuluh lebih bayangan orang bagaikan patung berdiri berbaris di tempat itu.
Tatkala mata Hui Kiam menyapu kepada orang-orang itu, orang yang berdiri di tengah-tengah barisan itu ternyata adalah Koo Han San dari Persekutuan Bulan Emas yang dahulu ketakutan telah dipaksa oleh wanita berbaju hijau yang berkedok untuk mengorek sebuah biji matanya sendiri. Dua orang yang berdiri di kedua belah sisinya ternyata adalah dua saudara Kim, yang mempunyai julukan Thian-tee Siang-sat, atau Sepasang Malaikat Bumi dan Langit.
Melihat itu, hati Hui Kiam seketika berdebar. Kepandaiannya yang dapat diandalkan, ialah gerak tipunya yang cuma sejurus itu. Tetapi jurus pedang itu harus digunakan dengan pedang dan sekarang pedang itu sudah patah di dalam makam pedang. Sebelum ia sendiri mendapat kekuatan sebagai kepandaian Koo Han San masih berada di atasnya, dan kini meski ia sendiri mendapat kekuatan tenaga, untuk menghadapi Koo Han San seorang masih sanggup, akan tetapi ditambah dengan dua Malaikat Langit dan Bumi itu serta sepuluh lebih Utusan Persekutuan Bulan Emas, sudah tentu sangat berbahaya baginya.
Pada saat itu, ia sudah berada kurang lebih dua tombak di hadapan orang-orang itu.
Utusan Bulan Emas yang berdiri berbaris, segera bergerak. Mereka membuat sebuah lingkaran sehingga Hui Kiam berada di tengah-tengah kurungan mereka.
Semua itu telah menunjukkan bahwa orang-orang itu sudah merencanakan lebih dahulu untuk menghadapinya.
Meski hati Hui Kiam terkejut, tetapi di luarnya masih menunjukkan sikap yang angkuh dan dingin. Kemudian ia berkata:
“Koo Han San, tidak disangka kita berjumpa lagi!”
Dengan nada suara dingin Koo Han San berkata:
“Penggali Makam, mungkin ini pertemuan yang terakhir.”
“Apakah maksud perkataanmu ini?”
“Tidak apa-apa. Aku si orang tua hanya ingin memegang peran sebagai penggali makam yang hendak menggali tanah bagi makammu.”
“Apakah itu maksudmu mengundang aku datang kemari?”
“Tepat!”
“Undangan maut?”
“Kau sungguh pintar. Apakah merasa menyesal datang kemari?”
“Aku selamanya tidak tahu apa artinya menyesal!”
“Itu bagus, bocah kau sungguh berani, mengapa kau tidak membawa pedang?”
“Aku akan melayani kau dengan tangan kosong!”
“Mengingat akan keberanianmu, aku harus memberikan kesempatan kepadamu untuk melawan sebaik-baiknya!”
Sehabis berkata, ia lalu berpaling dan berkata kepada seorang berpakaian hitam:
“Nomor Dua Belas, berikan pedang kepadanya!”
“Baiklah!” demikian orang hitam itu menyahut lalu menghunus pedangnya dan dilemparkan ke arah Hui Kiam.
Hui Kiam tak mempunyai pilihan lagi. Ia mengulur tangannya menyambuti pedang itu.
Koo Han-San berkata pula:
“Bocah, hari ini pengharapanmu untuk keluar dari sini dalam keadaan hidup sangat tipis sekali sebab aku sudah bertekad hendak membinasakan kau, maka semoga kau dapat menciptakan kewajiban dalam ilmu pedangmu.”
“Apakah sebabnya kau hendak berbuat demikian?”
“Sudah tentu ada sebabnya.”
“Apakah karena permusuhan lama?”
“Harus dikatakan permusuhan baru!”
“Permusuhan baru? Apakah artinya?”
Mata Ko-Han San menyapu setiap wajah orang bawahannya sejenak, kemudian berhenti di atas wajah Sepasang Dewa Langit dan Bumi. Ketika tidak mendapat lihat reaksi apa-apa, baru berkata pula kepada Hui Kiam:
“Tidak halangan aku beritahukan kepadamu supaya kau tidak mati penasaran. Kau telah mendapatkan cinta kasihnya seorang cantik jelita, benarkah itu?”
Hui Kiam terkejut. Ia segera teringat dirinya Tong Hong Hui Bun….
“Maksudmu adalah majikan atau pemilik tanda perintah batu Kumala?”
'Benar, adalah wanita rendah itu!”
Ucapan 'wanita rendah' itu sangat menusuk telinga, dalam pendengaran Hui Kiam sungguh tak enak. Tetapi ia masih coba mengendalikan perasaan hatinya. Ia tak tahu apa yang dikatakan dengan musuh baru itu, dengan cara bagaimana dapat dirangkaikan dengan diri Tong Hong Hui Bun?
“Apakah artinya?”
“Oleh karena kau bocah ini, orang baju lila itu telah dipaksa terjun ke jurang oleh perempuan hina itu!”
Hui Kiam tiba-tiba tersadar, tetapi pikiran itu mengandung perasaan cemburu.
“Orang berbaju lila itu mencari mati sendiri, ada hubungan apa dengan kau?”
Setiap orang yang ada di situ, semua menunjukkan sikap benci dan bermusuhan. Mata Koo Han San yang hanya cuma tinggal satu memancarkan sinar yang menakutkan. Sambil tertawa mengejek ia berkata:
“Sampai di sini saja keteranganku. Kalau kau sudah mengerti apa sebabnya kau harus korbankan jiwamu, sudah cukup.”
Hui Kiam benar-benar sangat murka. Dari pembicaraan orang she Ko itu, agaknya sudah menganggap dirinya sebagai daging yang empuk. Ia pikir di antara orang berbaju lila itu dengan To Hong Hui Bun, entah ada hubungan apa. Waktu berada di puncak gunung batu, Tong Hong Hui Bun pernah mengatakan kepadanya seorang gagah yang tidak berharga, karena tergila-gila kecantikannya, sehingga mengganggu terus-menerus. Tetapi dari mulut orang berbaju lila itu, hubungan antara dua manusia itu, agaknya bukan hanya sampai di situ saja.
Kini Koo Han San karena hendak menuntut balas dendam bagi orang baju lila itu, telah mengalihkan kebenciannya kepada dirinya. Apakah orang berbaju lila itu juga merupakan salah satu tokoh kuat dalam Persekutuan Bulan Emas?
Kalau benar, belum berapa lama Ong Kheng Hao pernah berkata kepadanya bahwa ia mendapat perintah tidak boleh mengganggu dirinya. Apakah perbuatan Koo Han San dan orang-orang ini merupakan perbuatan yang menentang pemimpinnya? Ini sesungguhnya merupakan suatu persoalan yang tak dapat dipikirkan.
Karena pikiran itu, maka ia tiba-tiba mencari keterangan. Katanya:
“Orang berbaju lila itu ada hubungan apa dengan kalian?”
“Tentang ini kau tak perlu tanya!”
“Ada hubungan apa pula antara orang berbaju lila dengan pemilik tanda perintah batu kumala?”
Malaekat Langit Kim Hui tiba-tiba perdengarkan suaranya:
“Ko congkam, waktu sudah tidak mengijinkan lagi. Kalau terlambat mungkin akan terjadi perobahan. Bertindaklah dengan segera!”
Koo Hoa San menyahut sambil menganggukkan kepala:
“Baik!”
Kim Hui lalu menghunus pedangnya. Ia maju beberapa langkah seraya berkata:
“Penggali Makam, serahkan jiwamu!”
Hui Kiam melintangkan pedangnya. Ujung pedang menunjuk ke bawah. Ia membuat tanda memulai. Sepasang sinar matanya yang tajam terus menatap wajah Malaikat Langit itu, dan mata Malaikat Langit yang beradu dengan sinar mata itu hatinya terguncang hebat.
Sebentar kemudian Malaikat Langit itu menggerakkan pedangnya dengan hebat menyerang Hui Kiam.
Hui Kiam sudah bertekad hendak membunuh lawannya satu persatu, maka dengan tanpa kenal kasihan ia melancarkan serangannya yang terampuh, yang hanya sejurus saja.
Begitu habis bergerak, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri, lalu disusul oleh muncratnya darah merah. Ternyata tubuh Malaikat Langit sudah terkutung menjadi dua potong batas pinggang.
Di antara orang-orang Persekutuan Bulan Emas terdengar suara riuh. Siapapun tak menduga bahwa dengan kepandaiannya Malaikat dari Langit, ternyata tidak sanggup melawan hanya dengan satu jurus saja.
Hui Kiam sendiri juga merasa heran. Ia masih ingat waktu ia diserang oleh orang-orang itu di dekat Loteng Merah. Malaikat dari Bumi masih bisa menandingi dirinya sampai lima puluh jurus. Apakah kepandaian Malaikat dari Langit itu benar-benar sudah tidak berguna sama sekali?
Tetapi kemudian ia tersadar. Karena ia sendiri mendapat tambahan tenaga yang berarti mendapat tambahan seperti latihan tiga puluh tahun, apalagi ia mengeluarkan dengan sepenuh tenaga, sudah tentu hebat pengaruhnya. Oleh karenanya maka seketika itu ia semakin yakin kepandaiannya sendiri ....
Wajah Koo-Han San nampak berkerenyut. Ia berkata dengan suara keras:
“Bocah, dari mana kau mendapat kekuatan dan kepandaian semacam itu?”
Malaikat Bumi yang menyaksikan kematian saudaranya, segera mendelikkan matanya kemudian mengeluarkan suara bentakan keras dan menerjang….
Tetapi Koo-Han San menghalangi bertindaknya Malaikat Bumi itu, kemudian ia berkata:
“Kita tidak boleh mengadakan pengorbanan lagi. Tenanglah sedikit.”
“Kalau aku tidak dapat mencincang tubuh bocah ini, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!” berkata si Malaikat Bumi itu.
Koo-Han-San perlahan-lahan menghunus pedangnya seraya berkata:
“Kim Hok-hoat jangan khawatir, kehendakmu akan terpenuhi!”
Sementara itu, orang she Koo itu sudah berada di hadapan Hui Kiam. Tetapi Malaikat Bumi masih mengunjukkan perasaannya yang tidak puas, agaknya ingin menelan bulat-bulat diri Hui-Kiam.
Hui-Kiam tetap berdiri di tempatnya sambil memegang erat senjatanya.
Koo-Han San telah memperdengarkan suara di hidung, lalu menyodorkan pedangnya....
Pertempuran sengit segera terjadi. Pertempuran itu sangat hebat. Dua bilah pedang saling menyambar, hingga tampak sinarnya yang berkelebatan, dan hembusan anginnya yang menyambar sejarak tiga puluh tombak.
Sepuluh jurus!
Dua puluh jurus!
Dan akhirnya tiga puluh jurus telah dilaluinya. Koo-Han-San sudah terdesak dan nampak berada di bawah angin. Keadaannya merupakan suatu yang sangat menyedihkan. Ia sudah tidak mampu melawan, sehingga Malaikat Bumi menganggap perlu untuk membantu Koo Han San agar jangan sampai mati di ujung pedang musuhnya.
Dengan turunnya ke gelanggang dari Malaikat Bumi itu, serangan Koo-Han San nampak hidup lagi. Dengan demikian keadaan menjadi berimbang pula.
Hui Kiam tahu bahwa kedudukannya sangat berbahaya. Dalam pertempuran antara mati dan hidup itu, tentunya tidak akan sudah sebelum ada yang tewas. Sepuluh lebih orang-orang Bulan Emas yang berdiri menyaksikan pertempuran itu, apabila dihadapi satu persatu, mungkin tidak menjadi soal, tetapi apabila dikeroyok, niscaya menjadi lain keadaannya.
Meskipun ia dapat kabur andaikata ia mau, tetapi ia tidak menghendaki demikian.
---ooo0dw0ooo---
JILID 13
KEMBALl sepuluh jurus telah dilalui, keadaan kedua pihak masih tetap berimbang.
Pada saat itu, enam Utusan Bulan Emas tiba-tiba turut campur tangan. Dengan demikian keadaan lantas berubah. Hui Kiam merasa tidak leluasa lagi melayani musuh-musuhnya, sedangkan pihak musuhnya menyerang semakin hebat, apabila sedikit lengah lenyaplah nyawanya.
Selagi pertempuran berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri, seorang Utusan Bulan Emas nampak rubuh.
Bersamaan pada saat itu, ujung pedang Koo Han San juga sudah melukai ketiak kiri Hui Kiam sehingga darah mengalir keluar dari badan pemuda itu....
Dalam murkanya Hui Kiam melancarkan serangannya semakin hebat.
Seorang lagi sudah menjadi korban senjatanya.
Dengan cepat tiga Utusan Bulan Emas maju untuk menggantikan kedudukan kawannya yang binasa tadi.
Koo Han San dan Malaikat Bumi, dengan dibantu oleh tujuh anak buahnya, mengurung makin ketat dan menyerang semakin hebat. Agaknya tidak memberi kesempatan lagi pada lawannya.
Di antara suara bentakan keras, pundak kanan Hui Kiam kembali terkena tusukan pedang musuhnya. Luka itu mengeluarkan banyak darah, oleh karenanya keadaannya nampak sangat lelah, gerakan pedangnya perlahan-lahan mulai kehilangan keampuhannya.
Namun demikian, ia tetap bertahan. Dalam hatinya seolah-olah menjerit: aku tak boleh dijatuhkan oleh mereka!
Ingin menembus kurungan yang demikian ketat, ia harus berusaha dulu untuk mengurangi tekanan lawannya. Tetapi tekanan yang dirasakan paling berat hanya Koo Han San seorang. Apabila ia dapat menyingkirkan orang itu, yang lainnya agak mudah dihadapinya.
Pikiran itu secepat kilat terlintas dalam otaknya, maka ia segera mengumpulkan sisa kekuatan tenaganya. Lebih dulu ia mengancam Malaekat Bumi, kemudian menunjukkan serangannya kepada Koo Han San.
Serangan itu dilakukan secara nekad. Setelah terdengar suara beradunya dua senjata yang diseling dengan suara seruan tertahan, Koo Han San dengan badan sempoyongan mundur empat-lima langkah, dadanya merah dengan darah.
Semua orang yang mengerubut Hui Kiam, telah dikejutkan oleh keadaan ini.
Hui Kiam setelah berhasil dengan usahanya, tidak menyia-nyia waktu lagi. Ia mengerahkan sisa tenaganya yang masih ada. Ujung pedangnya ditujukan kearah Malaikat Bumi.
Hampir bersamaan pada saat itu, ujung pedang lima Utusan Bulan bintang telah menyerang dengan serentak. Apabila ia tidak merobah gerakannya, sekalipun Malaikat Bumi akan binasa di ujung pedangnya, tetapi ia sendiri juga akan menjadi korbannya kelima pedang itu.
Karena keadaan mendesak, ia terpaksa merobah gerakannya. Pedangnya digunakan untuk menangkis lima pedang musuhnya.
Sementara itu terlihat pula Koo Han San yang terjun lagi ke dalam kalangan sekalipun masih terluka parah.
Dalam keadaan demikian, Hui Kiam hanya mengandalkan keberaniannya dan kenekatannya. Tetapi apabila keberanian itu mulai berkurang, itu berarti suatu tanda keputusan bagi nasibnya, karena serangan yang gagal dari Hui Kiam tadi, telah memberikan kesempatan bagi musuhnya untuk mengurung semakin ketat.
Satu jurus, dua jurus dan tiga jurus… setiap jurusan dari pihak musuhnya dirasakan bagaikan suatu tekanan yang sangat hebat.
Wajah Hui-Kiam tampak pucat, napasnya sudah mulai memburu. Ia agaknya sudah tidak mampu menggunakan pedangnya untuk menahan serangan musuh-musuhnya.
Saat itu, badannya sudah terkena empat tikaman pedang lagi, matanya dirasakan pula hampir saja ia rubuh. Pakaiannya yang putih sudah berubah merah seluruhnya.
“Murid!” demikian terdengar suara bentakan keras Koo Han San. Malaekat Bumi dan lima utusan segera menarik mundur serangannya.
Badan Hui-Kiam sudah sempoyongan tetapi ia masih memaksakan diri supaya jangan rubuh. Namun demikian, bayangan maut sudah membayangi dirinya. Ia berpikir, kali ini rasanya sangat sulit baginya untuk melepaskan diri dari bencana maut.
Koo Han San berpaling dan berkata kepada Malaekat Bumi:
“Kim Hok-hoat, kuserahkan kepadamu!”
Malaekat Bumi segera maju mendekati Hui Kiam, lalu berkata dengan suara gemetar:
“Penggali Makam, aku hendak mencincang tubuhmu. Kau keluarkan keberanianmu, untuk disajikan kepada arwah kakakku!”
Hui Kiam sangat murka. Darah menyembur pula dari mulutnya, membasahi muka Malaekat Bumi.
Malaekat Bumi memperdengarkan suara teriakan aneh. Ia sudah mengulur tangannya hendak meyambar dada Hui Kiam....
Dengan mata terbuka lebar Hui Kiam mengawasi tangan Malaekat Bumi, tetapi ia sudah tidak dapat menggerakkan kaki. Pedang di tangannya juga sudah tidak terangkat lagi.
Ia seolah-olah sudah bersedia menghadapi kematian dengan tanpa berdaya.
Dalam saat demikian kritis, tiba-tiba terdengar suara halus nyaring: “Tahan!”
Mendengar suara itu, Malaikat Bumi ketakutan. Dengan cepat ia melangkah lalu melompat mundur.
Seorang perempuan cantik jelita, muncul di tengah-tengah lapangan dengan diiringi oleh delapan orang pengawal perempuan muda.
Perempuan yang baru datang itu bukan lain daripada si cantik misterius Tong hong Hui Bun.
Parasnya yang cantik diliputi oleh hawa amarah yang nampaknya begitu hebat. Ketika sinar matanya tajam menyapu, semua orang-orang Persekutuan Bulan Emas yang ada di situ setiap orang nampaknya ketakutan setengah mati. Hanya Koo Han San seorang saja yang tidak takut. Matanya memancarkan sinar buas dan benci, tetapi hatinya juga agak gemetar.
Semangat Hui Kiam mendadak terbangun lagi. Ia berseru: “Kakak!”
Tetapi kemudian badannya sempoyongan dan akhirnya roboh.
Dua pengawal perempuan muda segera melompat maju untuk membawa Hui Kiam menyingkir ke samping dan menghentikan darahnya yang mengalir.
Dengan pandangan mata yang penuh kasih sayang Tong hong Hui Bun mengawasi Hui Kiam sejenak, kemudian berpaling dan berkata kepada Koo Han San:
“Koo Ciongkam, kau masih ingin berkata apa lagi?”
Koo Han San mundur satu langkah. Dengan suara agak gemetar ia berkata:
“Aku si orang she Koo karena merasa kekuatanku sendiri yang masih lemah, sangat menyesal tidak dapat membunuh dengan tangan sendiri kau perempuan yang sangat rendah martabatmu....”
“Tutup mulut!” demikian Tong hong Hui Bun membentak dengan suara bengis. Dengan tanpa mengunjukkan gerakan apa-apa, ia sudah berada di hadapan Koo Han San lalu ayunkan tangannya.
Suara jeritan ngeri telah terdengar. Koo Han San sudah roboh sambil menyemburkan darah dari mulutnya, sedikitpun tidak mampu melawan.
Tong hong Hui Bun memperdengarkan suara tertawa dingin lalu berpaling dan berkata kepada Malaikat Bumi:
“Kim Hok hoat, kau masih menunggu apalagi?”
Malaikat Bumi berkata sambil tertawa keras.
“Aku akan menantikan kedatanganmu di dunia akherat!”
Sehabis berkata demikian, lalu menusukkan pedangnya ke dada sendiri. Badannya lalu roboh tersungkur di tanah….
Hui Kiam yang rebah tertelentang di samping ingatannya masih belum hilang. Ketika menyaksikan keadaan demikian, diam-diam bergidik. Ia tidak menyangka bahwa wanita pujaannya itu sedemikian berwibawa, sehingga seolah-olah sudah menguasai mati hidupnya orang-orang Bulan Emas.
Tong-hong Hui Bun kemudian mengalihkan pandangan matanya ke arah para Utusan Perserikatan Bulan Emas yang berdiri dengan badan gemetar.
Belum lama berselang para Utusan Bulan Emas ini mendapat perintah untuk menghubungi partai-partai persilatan supaya menggabungkan diri dengan Persekutuan Bulan Emas.
Setiap partai persilatan yang dihubunginya tiada satupun yang berani memandang ringan. Kalau tokh ada juga orang yang berani menentang mereka itu tidak sanggup melawan kepandaiannya, sehingga para utusan itu telah malang-melintang dan menganggap dirinya seorang gagah yang disegani oleh musuh-musuhnya. Tetapi sekarang di hadapannya Tong hong Hui Bun, semua orang dari para utusan itu nampaknya sangat kecil lemah dan tidak berarti apa-apa. Alangkah ganjilnya keadaan itu.
Kepandaian Tong-Hong Hui Bun sama dengan kecantikannya, sudah mencapai ke tingkat yang tidak ada tandingannya.
Sepuluh Utusan Bulan Emas, setiap orang bagaikan kambing menantikan nasibnya hendak disembelih. Keadaan itu sangat menyedihkan. Mereka setiap orang merupakan orang-orang kuat kelas satu dalam dunia Kang-ouw, tetapi sekarang mereka telah menghadapi ancaman maut, sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk memberi perlawanan. Tetapi tidak seorang pun yang menunjukan sikap minta dikasihani. Mungkin mereka tahu bahwa kematian itu tidak dapat dihindarkan. Mungkin juga itu ada sifat aslinya orang gagah.
Di antara pengawal perempuan muda itu ada seorang yang berkata dengan suara nyaring:
“Silahkan tuan-tuan bertindak sendiri, jangan membuang waktu!”
Salah satu di antaranya para utusan itu lalu memperdengarkan suaranya:
“Bengcu, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi!”
Setelah itu lalu menggorok lehernya sendiri dan roboh binasa.
Tindakan utusan itu disusul oleh kawan-kawannya sehingga dalam waktu sekejap mata saja para utusan itu semua sudah menghabiskan jiwanya sendiri di hadapannya perempuan cantik itu.
Ini mungkin merupakan suatu pembunuhan massal yang paling kejam di dalam dunia. Di bawah tekanan pengaruh yang tidak kelihatan, tiap orang sudah mengahiri hidupnya sendiri tanpa melawan.
Hui-Kiam hampir tak percaya bahwa semua itu adalah suatu kejadian yang sebenarnya. Apakah kedudukan sebenarnya Tong-hong Hui Bun ini?
Mengapa ia dapat menguasai jiwa manusia dengan begitu mudah? Apalagi orang yang binasa itu semua bukan orang-orang sembarangan.
Saat itu Tong-hong Hui-Bun sudah mengeluarkan perintah:
“Kubur jenazah mereka!”
Delapan pengawal perempuan itu dengan serentak bergerak melakukan perintah junjungannya.
Tong-Hong Hui-Bun lalu menghampiri Hui Kiam. Ia berjongkok, alisnya dikerutkan. Dengan sikap menyayang ia memeriksa semua luka di badan Hui Kiam, kemudian berkata:
“Adik, kau merasakan bagaimana badanmu?”
Suara itu halus merdu sehingga hati Hui Kiam tergoncang hebat. Sambil tertawa masam ia menjawab:
“Tidak apa-apa!”
“Sakitkah?”
“Masih sanggup bertahan!”
“Bisa jalan?”
Dengan kedua tangannya Hui Kiam menekan tanah. Badannya lompat ke atas. Rasa sakit membuat ia mengeluarkan suara rintihan tanpa sengaja, kemudian matanya berkunang-kunang, sehingga
badannya roboh lagi. Satu lengan tangan putih halus, menahan badannya yang akan roboh.
Ia menenangkan hatinya. Sambil tersenyum meringis ia berkata:
“Kakak, beginilah keadaanku sekarang, seolah-olah sudah tidak berguna sama sekali.”
“Adik, kepandaian yang kau miliki, sudah susah dicari bandingannya!”
“Kakak….”
Ia masih ingin berkata sesuatu, tetapi seolah-olah tidak dapat keluarkan dari mulutnya. Sewaktu dua pasang pandangan mata saling beradu, semua kata-katanya seolah-olah sudah terucapkan dalam pandangan matanya.
“Adik, mari kita keluar, paling penting mengobati lukamu lebih dulu!”
Hui Kiam badannya terangkat oleh Tong-hong Hui Bun. Sesaat kemudian sudah berada dalam pangkuannya.
Hui Kiam lalu berkata dengan suara cemas:
“Kakak, sekujur badanku penuh darah, pakaianmu....”
“Adik!”
Tong-hong Hui Bun lalu meletakkan Hui Kiam dalam pelukannya. Pemuda yang berperawakan tegap itu, bentuk badannya lebih besar daripada Tong-hong Hui Bun, sehingga dipeluk sedemikian rupa, merupakan suatu pemandangan yang agak ganjil.
Dalam pelukan si cantik jelita, rasa sakit Hui Kiam agaknya sudah lenyap semuanya, hanya jantungnya yang dirasakan bergoncang sedemikian keras.
Di luar lembah menunggu sebuah kereta besar yang sangat mewah. Dua pengawal perempuan muda berdiri di depan kereta. Empat ekor kuda putih mulus yang akan menarik kereta itu, juga sedang menantikan dengan tenang.
Di atas kereta duduk seorang perempuan tua berambut putih dengan pakaian yang serba hitam.
Tiba di depan kereta, salah seorang pengawal perempuan muda itu buru-buru menyambut dan membuka tutup kereta:
Perempuan tua berbaju hitam itu berpaling dan bertanya:
“Dia itukah?”
Hui Kiam yang menyaksikan perempuan tua itu, nampaknya amat terperanjat, karena paras wanita itu sangat buruk. Matanya sipit, hidungnya pesek dan sepasang bibirnya teba. Di paras kulitnya yang hitam sudah banyak berkerut. Dibandingkan dengan kecantikan Tong Hong Hui Bun merupakan suatu perbandingan yang amat menyolok.
Tong Hong Hui Bun sebaliknya nampak sangat menghormati perempuan jelek itu. Ia berkata dengan nada sangat menghormat:
“Bibi Bwee, ia terluka sangat parah!”
“Letakkanlah ke dalam kereta, biar nanti kuperiksa!”
“Mungkin kita harus lekas pulang!”
Setelah berkata demikian, ia lalu masuk ke dalam kereta sambil menundukkan kepalanya. Bau harum menusuk hidung Hui Kiam sehingga menggoncangkan hati pemuda itu lagi.
Dalam kereta itu ternyata diperlengkapi tempat tidur yang sangat mewah.
Hui Kiam diletakkan di atas pembaringan. Perempuan tua yang disebut bibi Bwe oleh Tong hong Hui Bun itu ikut masuk ke dalam kereta. Setelah memeriksa semua luka di badan Hui Kiam lalu berkata:
“Jikalau tidak diobati dengan obat mujarab golongan kita, luka ini akan berobah menjadi bintik-bintik dan tanda bekas luka yang sangat jelek. Nona, ia telah kehilangan darah terlalu banyak, begitu juga tenaga murninya, kalau bukan karena latihan kekuatan tenaganya yang sudah sempurna, barangkali tidak dapat
disembuhkan lagi. Kita harus segera pulang, supaya ia dapat tidur dengan tenang. Jikalau tidak, ia tidak sanggup menahan rasa sakit karena tergoncangnya dalam kereta ini!”
Perempuan tua itu dipanggil bibi oleh Tong hong Hui Bun, sedang ia bahasakan Tong-hong Hui Bun nona, entah bagaimana hubungan yang sebenarnya antara dua perempuan itu?
Perempuan tua itu setelah berkata demikian lalu keluar lagi.
Hui Kiam segera bertanya kepada Tong hong Hui Bun:
“Siapakah dia?”
“Dia adalah Hek Bwee Hiang, pelayan ibu sejak masih muda. Adalah ia yang merawat aku sehingga dewasa. Kepandaianku sebahagian besar juga merupakan warisan kepandaiannya.”
“Apakah kepandaian bibi Bwee masih di atas kakak?”
“Masih lebih tinggi satu dua tingkat!”
“Bukankah itu sudah mencapai ke suatu taraf yang tidak taranya?”
“Belum tentu, dalam rimba persilatan kepandaian ilmu silat merupakan suatu hal yang sangat aneh. Yang sudah dianggap tinggi ternyata masih ada yang lebih tinggi lagi!”
“Tetapi setidak-tidaknya sudah susah menemukan tandingan?”
“Mungkin.”
“Sekarang kita hendak kemana?”
“Ke tempat kediamanku.”
“Dimana?”
“Aku beritahukan kepadamu, kau juga tidak tahu. Tempat itu letaknya sangat terpencil.”
“Apakah ini juga merupakan sebahagian rahasia kakak?”
“Barulah begitu.”
“Jauhkah letaknya?”
“Kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari.”
“Seratus pal?”
“Kurang lebih begitu. Aku sekarang hendak menotok jalan darah tidurmu.”
“Demikian kita omong-omong bukankah lebih baik?”
“Untuk mengejar waktu, kita harus melarikan kuda lebih pesat tetapi kau tidak sanggup menahan.”
Sehabis berkata, dia mencium jidat Hui Kiam. Ciuman itu bagaikan satu ciuman ibu kepada anaknya. Hui Kiam bagaikan terkena strom listrik. Sesaat kemudian jalan darah tidurnya dirasakan kesemutan, ia lalu hilang ingatannya.
Entah berapa lama telah berlalu, ketika ia siuman dan membuka matanya ia lalu merasakan sangat berbeda pemandangan dan keadaan di sekitarnya. Ternyata saat itu ia sudah berada di suatu tempat tidur yang sangat mewah.
Tempat itu nampaknya tenang dan sunyi. Sejak kanak-kanak hingga dewasa, jangankan pernah tidur di tempat demikian, melihat sajapun belum pernah keadaan tempat tidur yang demikian mewah.
Disini, sebetulnya, merupakan tempat kediaman Tong-Hong Hui Bun, bahkan kamar ini mungkin kamarnya sendiri.
Sekarang ia memikirkan dengan cara bagaimana harus membalas budi perempuan cantik itu?
Ia coba membalikkan badannya ternyata sudah tidak merasakan sakit, ia hanya merasakan suatu ikatan yang tidak wajar. Ketika ia meraba dengan tangannya ia baru tahu bahwa sekujur badannya dibungkus oleh kain sutra putih. Tinggal celana dalamnya yang juga sudah diganti baru yang tidak terbungkus.
Pada saat itu, sesosok bayangan orang bergerak perlahan menghampiri tempat tidurnya dengan tanpa bersuara!
Hati Hui Kiam hampir terlompat keluar. Dengan suara perlahan ia memanggil:
“Kakak!”
Tidak ada jawaban. Ketika ia memandang dengan seksama, ternyata orang perempuan yang datang itu adalah seorang pengawal yang muda, sehingga dengan perasaan tidak enak ia bertanya:
“Nona siapakah?”
Perempuan muda itu tidak menjawab, hanya orangnya sedang berada di depan pembaringan. Terpisah oleh kelambu ia tidak kelihatan dengan tegas, tetapi samar-samar dapat dilihatnya perempuan itu berparas cantik.
Sebuah tangan yang putih halus, membuka kelambu. Sebuah paras yang cantik tetapi dingin terbentang di depan mata Hui Kiam. Paras itu tidak asing bagi Hui Kiam, tetapi bukan salah satu dari delapan pengawal perempuan yang pernah dilihatnya di dalam lembah. Hanya untuk sesaat itu ia sudah tidak ingat di mana ia pernah melihatnya.
“Penggali Makam, apakah kau masih ingat diriku?”
Nada suaranya sangat dingin, sedangkan sinar matanya mengunjukkan perasaan benci dan dendam.
Hui Kiam terkejut, tetapi sekonyong-konyong ia teringat siapa adanya perempuan itu, lalu berkata:
“Nona adakah Tang Hian Kun?”
“Kau tentunya tidak menduga, bukan?”
Ya, Hui Kiam sedikitpun tidak menduga bahwa cucu perempuan Sam Goan Lojin itu ternyata sudah menjadi pelayan Tong-hong Hui Bun. Waktu Sam Goan Lojin dibasmi oleh tangan-tangan orang jahat, di antara begitu banyak bangkai manusia tidak terdapat bangkainya Tang Hian Kun. Benar saja, saat itu ia sudah lolos dari bencana maut itu.
“Nona Tan.... “
“Penggali Makam dengarlah, aku sekarang hendak membunuh kau!”
“Apakah kau....”
Tangan Tan Hiang Kun bergerak. Sebilah belati tajam mengkilat, telah mengancam dada Hui Kiam....
Hui Kiam terperanjat, karena saat itu kepandaiannya belum pulih kembali, sekujur badannya terbungkus dengan kain sutra, sehingga tidak bisa bergerak dengan leluasa, apalagi saat itu ia sedang rebah terlentang merupakan kesempatan paling baik bagi orang untuk bertindak terhadap dirinya.
“Nona Tan, sudikah kiranya kau mendengarkan sedikit keteranganku?”
“Kau ingin berbuat apa?”
“Apakah nona lantaran urusan barang antaran kepala manusia itu?”
“Kalau kau mengerti sudah cukup.”
“Kala itu aku dipermainkan oleh orang lain. Di samping itu, urusan ini juga sudah diselesaikan oleh orang yang berkepentingan sendiri.”
“Orang yang berkepentingan? Siapa?”
“Wanita Tanpa Sukma!”
“Dimana orangnya?”
“Sudab meninggal!”
“Penggali Makam, tidak guna kau menyangkal. Hutang darah harus dibayar dengan darah.”
“Nona, dengarlah habis kata-kataku....”
Tan Hiang Kun berkata dengan suara bengis:
“Kau mengharap ada orang datang menolong? Jangan pikir yang bukan-bukan!”
Belati di tangan Tan Hiang Kun dengan cepat ditujukan kepada Hui Kiam....
Semacam daya perlawanan dengan sendirinya telah timbul. Hui Kiam meskipun masih belum leluasa bergerak, tetapi sambil berseru keras, ia masih dapat menyerang dengan tangannya secara nekad. Walaupun ia belum sembuh dari lukanya yang parah, tetapi dengan kekuatan dan kepandaian yang dimiliki olehnya, daya perlawanan dalam keadaan sangat kritis itu, ternyata masih tidak boleh dianggap remeh.
Hembusan angin yang keluar dari serangan tangannya itu, telah membuat terpental dirinya Tan Hiang Kun, sehingga mundur sampai tiga langkah. Dalam hal ini, nona itu ternyata sudah salah hitung. Ia tidak menyangka kalau Hui Kiam masih mempunyai tenaga untuk memberi perlawanan, jikalau tidak ia pasti tidak akan bertindak begitu gegabah.
Tetapi Hui Kiam sendiri karena menggunakan kekuatan tenaga dalamnya, luka-luka sekujur badannya kambuh lagi, rasa sakit membuat dirinya pingsan.
Waktu sadar, dua tangannya dirasakan tergenggam erat oleh sepasang tangan halus.
Ketika ia membuka mata, sepasang sinar mata jeli dan penuh rasa kasih sayang sedang memandang kepadanya. Mata itu bukan lain daripada matanya Tong-hong Hui Bun.
Perasaan pertama yang timbul dalam hatinya ialah ia masih belum binasa di ujung belati Tan Hiang Kun.
Tong-hong Hui Bun dengan suara lemah lembut berkata:
“Adik, aku terlalu gegabah. Hampir saja menerbitkan bencana yang membuat kemenyesalan seumur hidup!”
Dalam hati Hui Kiam timbul perasaan manis. Ia lalu berkata sambil tersenyum:
“Kakak, entah bagaimana aku harus membalas budimu?”
Tong-hong Hui Bun melepaskan tangannya yang menggenggam sepasang tangan Hui Kiam, dengan perlahan mengusap-usap muka Hui Kiam lalu berkata dengan suara lemah lembut:
“Adik, kau tidak usah berkata demikian, asal di dalam hatimu mengingatku selamanya aku sudah merasa puas.”
Hui Kiam merasa tidak seperti dapat menguasai dirinya sendiri, seluruh perasaannya sudah dibikin lumer oleh api asmara. Ia memejamkan matanya, untuk menikmati tangan halus yang bergerak di kedua pipinya. Mulutnya mengeluarkan kata-kata bagaikan dalam impian:
“Kakak, kau merupakan sebagian dari jiwaku.”
“Adik ....”
Sepasang bibir yang hangat mengecup pipinya. Ia membiarkan dirinya berada dalam pelukan perempuan cantik itu.
Ia merasakan darahnya mengalir semakin kencang, jantungnya berdebar semakin keras. Suatu perasaan aneh yang belum pernah timbul selama ini, seolah-olah membakar sekujur badannya.
Dengan tanpa menguasai dirinya sendiri ia membentangkan kedua lengannya untuk balas memeluk tubuh Tong hong Hui-Bun yang langsing itu.
Suatu perasaan telah merangsang otaknya. Mereka agaknya masih belum cukup merasa puas hanya dengan begitu saja....
Selagi hampir tidak dapat menguasai perasaan masing-masing, Tong hong Hui-Bun tiba-tiba melepaskan tangan Hui Kiam dan berkata dengan suara memburu:
“Adik, kau tidak boleh berbuat demikian. Rawatlah lukamu baik-baik, itulah yang penting!”
Perkataan Tong-hong Hui Bun itu seolah-olah air dingin yang menyiram api asmara yang sedang berkobar. Hui Kiam membuka matanya. Ia dapat melihat bahwa perempuan cantik itu masih memandang kepadanya dengan mata penuh kasih sayang.
Ia masih hendak memeluk lagi, tetapi dicegah oleh Tong-hong Hui Bun.
“Adik, lukamu tidak ringan, pikirlah akibatnya!”
Perangai Hui Kiam yang kokoh tinggi hati dan sombong, kala itu ternyata menguasai dirinya lagi. Akal budinya telah berkata sambil tertawa menyeringai:
“Kakak, maafkan aku!”
“Adik, ini bagaimana dapat dikatakan maaf. Nanti setelah lukamu sembuh….”
Ia sengaja tidak melanjutkan ucapannya, tetapi agaknya sudah dimengerti oleh Hui Kiam.
Tiba-tiba ia teringat kejadian sangat berbahaya yang mengancam dirinya tadi. Maka lalu berkata sambil kerutkan alisnya:
“Kemana dia ?”
Kau maksudkan si budak hina Tan Hiang kun?”
“Ya !”
“Ia sudah tidak ada alasan untuk diberi hidup lagi….”
Hui Kiam bertanya dengan perasaan terkejut.
“Aku tidak bisa bertindak sendiri!”
“Tetapi di mana orangnya sekarang?”
“Dalam tahanan untuk menantikan hukumannya.”
“Aku ingin bertemu dengannya!”
“Kau... ingin bertemu dengannya, mengapa?”
“Ada sedikit hal aku perlu menjelaskan kepadamu. Ia mengalami kejadian yang patut dikasihani maka perbuatannya itu dapat dimaafkan!”
“Baik, kuiringi kehendakmu!”
Sehabis berkata, ia menekan di suatu tempat dekat pembaringan. Seorang pengawal perempuan muda segera muncul dengan tindakan tergesa-gesa.
“Bawa itu perempuan hina itu kemari!” demikian Tong-hong Hui Bun memberikan perintah.
“Baik.”
Pengawal perempuan itu berlalu. Tidak antara lama, Tan Hiang Kun sudah dibawa masuk ke kamar oleh dua orang pengawal perempuan muda.
Hui Kiam dengan setengah duduk dan menutup tubuhnya dengan selimut. Tong-hong Hui: Bun menyingkap kelambu, dan pengawal perempuan itu lalu menghadapkan Tan Hiang Kun ke depan Hui Kiam.
Tan Hiang Kun dengan rambut terurai dan pakaian tidak terurus, mengawasi Hui Kiam dengan sinar mata bengis.
Hui Kiam berkata dengan suara tenang:
“Nona Tan, semula ketika aku hendak berkunjung ke perkampungan, di tengah jalan telah dipermainkan oleh Wanita Tanpa Sukma. Ia minta aku membawakan barang antaran yang ternyata yang di dalamnya terisi kepala manusia. Kejadian itu sesudahnya membuat aku merasa sangat tidak enak, sehingga aku perlu menjelaskan dan menyelesaikan sendiri pada kakek dan ayahmu....”
“Hem!”
“Dengarlah habis dulu keteranganku ini. Bakal suami nona ialah Auw Yang Khie sebetulnya adalah kekasih wanitanya Wanita Tanpa Sukma. Mereka berdua bukan saja sudah mengikat janji sehidup semati, bahkan sudah menjadi suami istri yang belum resmi, karena Wanita Tanpa Sukma itu sudah mengandung.”
Tan Hiang Kun nampaknya terkejut. Ia bertanya:
“Apakah keterangan ini benar?”
“Tidak ada faedahnya bagiku untuk membohongi kau. Nyonya Auw-yang Khien boleh menjadi saksi hidup, karena Wanita Tanpa Sukma pernah menjelaskan duduk perkaranya kepadanya!”
“Apa dikarenakan Wanita Tanpa Sukma membunuhnya?”
“Tepat!”
“Setelah membunuh orangnya lalu menyuruh orang mengantarkan kepalanya ke rumahku….”
“Nyonya Tan kau juga seorang perempuan. Kau tentunya dapat menggambarkan seorang gadis yang masih suci dan putih bersih, bagaimana perasaannya apabila dipermainkan oleh seorang pemuda yang justru dicintainya? Maksudnya mengantarkan kepala itu, di satu pihak sudah tentu untuk melampiaskan amarahnya.
Aku sudah tak merasakan kebahagiaan lagi.
“Wanita Tanpa Sukma telah melampiaskan kemarahannya kepada pemuda-pemuda jahat yang tidak berperasaan. Ia membunuh semua pemuda bangor dengan otak dingin, tetapi akhirnya ia juga mati terbunuh.”
Tan Hiang Kun merasa pilu, air mata mengalir bercucuran. Kemudian ia berpaling dan berkata kepada Tong-hong Hui Bun:
“Harap berikan hukuman mati kepada budakmu ini!”
Dengan paras dingin Tong-hong Hui Bun berkata sambil mengulapkan tangannya:
“Bawa keluar!”
Hui Kiam tiba-tiba berkata:
“Tunggu dulu.”
“Apakah perkataan adik belum habis?”
“Bukan! Bukan, aku ... minta supaya kakak bebaskannya!”
“Apa? Kau mintakan ampun untuknya?”
“Anggaplah begitu!”
“Adik, dibawa namaku aku tidak mengijinkan ada orang yang berkhianat.”
Wajah Hui Kiam segera berubah, ia berkata:
“Apakah maksud kakak tidak meluluskan permintaan adikmu ini?”
Tong hong Hui Bun mengerutkan alisnya, lama tidak membuka suara, nampaknya ia sedang berpikir keras. Di satu pihak ia harus mempertahankan peraturan dalam partainya, tetapi di lain pihak ia merasa berat akan menolak permintaan dari pemuda itu. Maka sesaat lamanya ia tidak bisa mengambil keputusan.
Hui Kiam yang menampak perempuan pujaannya itu diam saja, hatinya merasa tidak enak. Sejak muncul di dunia Kang-ouw, belum pernah ia minta pertolongan lain orang, dan sekarang untuk pertama kalinya ia minta tolong, dan orang yang dimintai pertolongan itu justru merupakan orang dalam pujaan hatinya namun ternyata tidak berhasil. Bagi orang lain mungkin tidak apa-apa, tetapi bagi seorang yang beradat tinggi hati dan kokoh seperti Hui-Kiam ini pukulan itu dirasakan sangat hebat. Maka seketika itu ia lalu berkata pula dengan suara dingin:
“Kakak, tidak usah menyusahkan hatimu, semua hak berada di tanganmu!”
Tong-hong Hui-Bun membalikkan kepalanya lalu berkata sambil tersenyum:
“Adik, andaikata aku tidak terima permintaanmu, bagaimana?”
“Sudah tentu aku yang rendah tidak dapat memaksa.”
“Apa? Kau yang rendah? Adik, apakah kau marah?”
“Aku tidak berani. Sudah terang banyak aku berhutang budi kepadamu, rasanya masih belum sanggup membayar.”
“Adik, jikalau aku pura-pura menerima baik permintaanmu, tetapi kemudian secara diam-diam aku membunuhnya, bagaimana? Akan tetapi aku tidak dapat berbuat demikian. Lebih suka aku membohongi diriku sendiri juga tidak suka membohongi kau!”
Ucapan perempuan cantik itu benar-benar telah memberi kesan dalam sekali kepada Hui Kiam.
Sementaira itu Tan Hiang Kun lalu berkata:
“Penggali Makam, budimu aku terima di dalam hati. Harap kau jangan mintakan ampun jiwaku!”
Hui Kiam berkata sambil tertawa getir:
“Itu memang benar. Tetapi bagi aku, setelah mengambil sesuatu keputusan, tidak akan aku robah.”
Tong hong Hui Bun sudah tentu dapat mengerti maksud ucapan Hui Kiam itu. Maka lalu berkata:
“Suruh ia pergi!”
Dua pengawal perempuan itu segera lepaskan tangannya. Lebih dulu Tan Hiang Kun memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada Tong hong Hui Bun yang memberikan ampun kepadanya, kemudian berkata kepada Hui Kiam:
“Kalau aku benar-benar tidak mati, aku akan selalu ingat budimu ini.”
“Sudahlah nona, kau jangan pikirkan itu!”
Tan Hiang Kun meninggalkan kamar itu. Dua perempuan pengawal juga berlalu setelah memberi hormat kepada junjungannya.
Setelah mereka berlalu, Hui Kiam berkata kepada To-hong Hui Bun:
“Kakak, aku harus sudah berterima kasih kepadamu.”
Tang-hong Hui Bun dengan sikap manja melirik kepadanya sejenak, lalu berkata:
“Adik, encimu ini selamanya tak mau dengar perintah orang lain, tetapi terhadap kau... aku tidak bisa kata apa-apa.”
“Ini suatu bukti betapa besar cintamu terhadap diriku.”
“Adik, kau beristirahatlah. Sebentar kalau lukamu pecah lagi dan harus diobati lagi, kau harus merebah terlentang di atas pembaringan sepuluh hari lamanya....”
“Begitulah, tetapi ini bukan berarti kau harus rebah terlentang terus-terusan, masih bergerak di dalam kamar. Sepuluh hari kemudian, kau baru sembuh seluruhnya.”
“Kakak, apakah... aku ada harganya kau cintai demikian?”
“Adikku yang tolol, sudah tentu!”
Sehabis berkata, kembali ia mencium jidat Hui Kiam dan berlalu dari kamar.
Hui Kiam sebetulnya ingin menanyakan riwayat wanita cantik itu, tetapi karena mengingat bahwa dirinya sendiri juga dirahasiakan, terpaksa ia mengurungkan maksudnya.
Begitu Tong hong Hui Bun berlalu, kamar dirasakannya kosong dan sunyi senyap. Hui Kiam terlentang sejenak. Telah dapat lihat barang-barang dan pakaian di tempat pembaringannya, nampaknya khusus disediakan untuknya. Ia turun dari pembaringan setelah menggerakkan sebentar kaki dan tangannya ia rasakan bahwa gerakannya tidak terganggu, maka segera memakai baju luarnya dan berjalan keluar.
Di luar jendela, merupakan suatu taman buatan manusia. Di situ terdapat banyak tanaman bunga beraneka warna, tetapi keadaannya sunyi tidak kelihatan bayangan seorangpun juga.
Ia berdiri melamun sejenak, lalu mengaca di depan kaca. Dari bayangan kaca ia telah mendapatkan bahwa dirinya menjadi kurus.
Di dekat kaca, terdapat sebuah pintu kecil yang menembus ke lain kamar. Dalam isengnya, Hui Kiam mendorong pintu kecil itu. Kamar itu ternyata merupakan kamar buku. Keadaannya bersih. Di situ terdapat banyak lukisan-lukisan gambar-gambar dan tulisan dari jaman kuno, hanya kitab buku bacaan yang jumlahnya tidak banyak.
Dalam keadaan beristirahat dan merawat sakitnya, buku bacaan merupakan kawan yang paling baik untuk melewatkan waktu senggang.
Setindak demi setindak ia berjalan masuk. Lebih dulu ia melihat gambar-gambar dan tulisan yang tergantung di atas tembok, kemudian menuju ke rak buku. Ketika ia memeriksa buku-buku itu, terkejutlah hatinya, karena buku-buku itu bukan merupakan buku bacaan biasa melainkan buku kitab pelajaran ilmu silat dan ilmu pedang.
la sungguh tidak menduga bahwa seorang perempuan ternyata dapat mengadakan koleksi buku-buku pelajaran ilmu silat yang begitu luas.
Buku-buku semacam itu, kebanyakan merupakan kitab wasiat, yang tidak digunakan sebagai kitab umum. Hui Kiam juga mengerti aturan itu. Ia berpikir, walaupun tidak usah mempelajari isinya, tetapi untuk melihat sejenak juga tidak halangan. Lalu sejilid demi sejilid buku-buku itu diperiksanya. Tatkala ia memeriksa ke bagian yang terakhir, sesaat ia bagaikan terpagut ular, napasnya juga merasa sesak. Apa yang dilihat sesungguhnya merupakan kejadian yang tidak terduga-duga.
Kitab yang ia baru periksa itu hanya merupakan kitab yang tidak seberapa tebal yang terlapis dengan kain sutra muda. Di bagian atas kitab itu sudah tidak ada. Di bagian kulit terdapat tulisan empat huruf timbul yang berbunyi: Thian Gie Po-kip.
Bukankah itu kitab pelajaran ilmu silat yang dia sedang cari-cari dan impi-impikan tiap malam?
Bagaimana kitab pusaka itu bisa terjatuh di tangan Tong-hong Hui Bun?
Ini sesungguhnya merupakan suatu pertanyaan yang sulit dijawab.
Menurut keterangan anak angkat perempuan Jin Ong, juga yang menjadi ibu angkat dari Wanita Tanpa Sukma, ketika sucinya Pui Cen Un terluka parah, sepotong uang logam itu ia serahkan kepada
Wanita Tanpa Sukma, serta berkata bahwa barang itu sudah terjatuh di tangan musuh lama ialah jago pedang berkedok itu. Kalau itu benar sudah terjatuh di tangan jago pedang berkedok, bagaimana bisa muncul di sini? Apakah Tong-hong Hui Bun mempunyai hubungan apa-apa dengan jago pedang berkedok itu?
Berpikir sampai di situ dengan tanpa dirasa badannya lalu menggigil sendiri, karena apabila betul demikian, maka si cantik jelita pujaan hatinya itu, adalah musuh besarnya sendiri. Hal ini sesungguhnya terlalu menakutkan dan terlalu kejam.
Ia mengharap supaya mendapat keterangan dari mulut perempuan cantik itu sendiri.
Ia juga mengharap bahwa dugaannya itu bukan merupakan suatu fakta, tapi ada sebabnya.
Kini ia baru merasakan bahwa ia sudah jatuh cinta begitu dalam terhadap diri perempuan cantik itu. Ia takut bahwa roman itu akan berobah menjadi suatu tragedi yang menyedihkan.
Akan tetapi, di dalam khawatir dan takut seperti itu, terdapat suatu perasaan girang, karena barang yang selama itu dicari-cari akhirnya telah didapatkan. Jikalau ia telah berhasil mempelajari ilmu silat yang tertulis di dalamnya, maka tidak terlalu jauh baginya untuk dapat menyelesaikan tugasnya menuntut balas dendam.
Dengan cepat ia mengeluarkan buku itu dan mulai membacanya.
Lembar pertama, juga merupakan bagian yang disobek, merupakan pelajaran ilmu pedang yang terdiri cuma satu jurus, juga adalah itu ilmu pedang yang pernah dipelajarinya sendiri dan sudah digunakan berulang-ulang. Tetapi bagian pelajaran selanjutnya ternyata lebih hebat daripada jurus yvang pertama. Gerak tipu ini dinamakan Bintang Beterbangan di Langit, sedang gerak tipu yang pertama dinamakan Melempar Pecut Memotong Aliran. Jurus ke-tiga dinamakan Tiang Menjulang ke Langit. Ilmu pedang itu seluruhnya hanya terdiri dari tiga jurus gerak tipu.
Lrembar ke-tiga memuat jurus ilmu pukulan tangan kosong. Ilmu pukulan itu dinamakan Tangan Sakti dari pelajaran Thian Gee.
Walaupun hanya satu jurus, tetapi keterangannya dan gambar-gambar yang digunakan untuk memberi contoh ternyata memakan tempat sampai lima lembar banyaknya. Dapat dibayangkan betapa dalam dan hebatnya ilmu pelajaran itu.
Selanjutnya adalah ilmu pukulan dengan menggunakan jari tangan dan gerakan kaki untuk berkelit atau menyingkir dari serangan musuh.
Di bagian terakhir merupakan penjelasan umum seluruh pelajaran itu.
Kepandaian Hui Kiam memang didapat dari bagian atas kitab Thian Gee Po-kip itu dan kini telah dapat bagian lanjutnya yang ada hubungan dengan bagian pertama. Tidaklah heran setelah ia membaca bagian terakhir ini, segera dapat melihat dan memahami intisari dari pelajaran yang sangat hebat itu. Jikalau tidak ada penjelasan umum itu, maka setiap jurus gerak tipu, tidak dapat mengeluarkan kehebatannya. Selain daripada itu, dalam pelajaran untuk melatih dan memupuk kekuatan tenaga dalam, juga diberikan keterangan sejelas-jelasnya.
Sebaliknya, apabila tidak mempunyai dasar dari pelajaran yang didapatkan dalam bagian atas, juga tidak berdaya untuk memahami pelajaran yang tertulis dalam bagian bawah. Dan apabila tidak dapat kitab bagian bawahnya maka pelajaran yang didapat dari bagian atas juga tidak dapat menunjukkan seluruh faedahnya.
Kitab Thian Gee Po-kip sebetulnya memang satu jilid, tetapi karena penciptanya Tho-tee, semula takut kitab itu akan terjatuh di tangan musuh, maka ia dirobek menjadi dua bagian oleh ia sendiri dan Hwe-tee masing-masing satu bagian. Tho tee bertugas mencari seorang yang berbakat untuk mewarisi pelajaran itu. Ia menggunakan uang logam dibelah dua sebagai barang tanda kepercayaan, agar supaya kitab itu bisa bersatu. Tindakan itu ternyata benar, karena siapapun yang mendapatkan kitab bagian bawah itu, akan merupakan barang yang tidak ada gunanya. Sedangkan pelajaran yang ditulis bagian atas, setelah ia turunkan kepada Hui Kiam, kitab itu dimusnahkan. Ini berarti kecuali Hui
Kiam seorang, di dalam dunia ini sudah tidak ada orang lain yang dapat mempelajari ilmu silat itu.
Hui Kiam adalah seorang cerdik, dalam waktu sangat singkat itu, sudah dapat menyadari maksud suhunya.
Tindakan yang sangat perlahan dan halus terdengar di belakangnya. Ia dapat menduga siapa orangnya tetapi ia tidak menoleh, masih tetap membaca bukunya dengan tenang, hanya dalam hatinya sedang memikirkan bagaimana harus membuka mulut untuk menanyakan soal ini.
Orang yang datang itu memang benar adalah Tong-hong Hui Bun. Suaranya yang penuh daya penarik, membuat Hui Kiam sesaat merasa berdebar. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya setelah ia mengetahui persoalan yang menyangkut kitab wasiat itu.
“Adik, kamar buku ini cukup menyenangkan bagimu?” Tong Hong Bui Bun bertanya.
“Sangat baik!”
“Kau sedang membaca buku?”
“Ya!”
“Buku-buku di atas rak, kau boleh membacanya sesukamu. Nanti setelah sembuh lukamu, mungkin akan dapat sedikit faedahnya.”
Hui Kiam menutup bukunya, perlahan-lahan membalikkan badannya. Apa yang ia hadapi masih tetap paras si cantik yang menyilaukan itu, yang penuh kasih sayang dan sedikitpun tidak menimbulkan rasa curiga.
Perasaan pilu sebentar terlintas dalam hatinya, akan tetapi rahasia tentang kitab wasiat itu biar bagaimana harus dianggap, apalagi ia tidak boleh menerangkan asal-usulnya. Dia harus berlaku pura-pura seolah-olah tidak kenal dengan kitab wasiat itu.
“Kakak, kitab ini hanya separoh...”
“Ya, itu adalah separohnya dari Thian Gee Po-kip, nampaknya tinggal kertas yang tidak berharga.”
“Bagaimana kakak dapatkan ini?”
“Ah! Untuk apa kau menanyakan soal itu?”
“Hanya tertarik oleh perasaan heran!”
“Kau heran?”
“Ya!” la coba berlagak seperti tidak mengerti kemudian berkata pula: “Kertas tidak berguna yang kau katakan ini, pernah memusnahkan Sam Goan Pang, mengakibatkan kematian jago dari Ge-see Aow-yang Hong dan suami-istri Liang Gie si-seng, tetapi akhirnya....”
Paras Tong-hong Hui Bun menunjukkan sedikit perubahan. Ia menyela:
“Akhirnya bagaimana?”
Sambil menatap paras cantik, Hui Kiam berkata:
“Mereka seorangpun tidak ada yang mendapatkan. Mungkin juga bayangannya saja mereka belum pernah melihat!”
“Apakah kau maksudkan bahwa kematian mereka itu bukan karena kitab wasiat itu?”
“Kabarnya begitu.”
“Mungkin kau benar, itu hanya merupakan suatu alibi yang diciptakan oleh pembunuh orang itu untuk mengalihkan perhatian orang.”
“Kakak tahu siapakah pembunuhnya itu?”
“Tahu!”
“Siapa?”
“Orang berbaju lila. Ia sudah binasa!”
“Dia?”
Hui Kiam terkejut sehingga mundur selangkah. Apakah orang berbaju lila itu adalah yang dahulu merupakan jago pedang berkedok? Kemungkinan itu memang ada. Ia tidak suka menunjukkan wajah aslinya, dan kepandaiannya hanya setingkat saja di bawah Tong-hong Hui Bun.
“Apakah kau merasa heran bagaimana aku bisa mengetahui?”
“Terus terang memang sedikit heran.”
Tong-hong Hui Bun menggeser kakinya. Ia berdiri di tepi bangku di dekat badan Hui Kiam, kemudian berkata:
“Adik, apakah kau masih ingat aku pernah mengatakan kepadamu bahwa orang berbaju lila itu selalu mengganggu aku terus menerus?”
“Ya, aku masih ingat.”
“Ia tahu bahwa aku mempunyai kesukaan menyimpan kitab-kitab pusaka semacam ini, maka itu ia telah mengutus orang mengirimkan kitab itu untuk dihadiahkannya kepadaku.”
“Oh!”
Hui Kiam menarik napas panjang. Kekhawatiran dalam hatinya kini mulai lenyap. Karena kisah itu dihadapkan secara demikian, maka akibat yang sangat menakutkan itu tak akan terjadi atas dirinya.
Akan tetapi lain pikiran segera menyusul di alam otaknya. Itu adalah asal-usul mengenai diri orang berbaju lila. Apabila orang berbaju lila itu adalah musuhnya sendiri, tetapi ia sudah dipaksa terjun ke dalam jurang oleh Tong-hong Hui Bun, bukankah itu berarti bahwa ia sudah tidak dapat menuntut balas lagi atas dirinya?
Tetapi pikiran itu sebentar kemudian sudah ditolak olehnya sendiri, karena jago pedang berkedok dahulu bisa menggunakan senjata rahasia jarum melekat tulang, sedangkan kematian Oey Yu Hong dengan senjata itu, telah terjadi setelah orang berbaju lila itu dipaksa terjun ke dalam jurang. Orang yang mati tentu tak dapat melakukan pembunuhan.
Darimanakah orang berbaju lila itu mendapat kitab Thian Gee Po-kip ini, sucinya pernah minta Wanita Tanpa Sukma untuk menyampaikan bahwa barang itu sudah terjatuh di tangan jago pedang berkedok. Apakah si baju lila itu merampas dari tangan jago pedang berkedok?
Semakin dipikir semakin kalut.
“Adik, kau nampaknya sedang memikirkan apa-apa?”
Hui Kiam segera tersadar atas sikapnya. Ia lalu tersenyum untuk menutupi perubahan sikapnya itu.
“Aku sedang memikirkan, dengan cara bagaimana orang berbaju lila itu mendapatkan kitab wasiat ini....”
“Kau rupanya menaruh perhatian khusus terhadap soal ini.”
“Itulah pembawaan dari sifat manusia. Aku memang selalu gemar mencari tahu segala urusan sampai ke dasar-dasarnya.”
“Sudahlah. Soal ini kecuali kau menanyakan kepada orang yang sudah mati di dalam tanah, barangkali tidak ada orang lagi yang dapat memberitahukannya kepadamu.”
Hui Kiam menganggukkan kepala dengan perasaan masgul. Ini bukan berarti ia telah menyetujui pikiran Tong-hong Hui Bun, tetapi suatu pernyataan apa boleh buat.
“Adik, ada beberapa soal ingin kuberitahukan kepadamu.”
“Kakak katakan saja!”
“Karena ada sedikit urusan aku perlu meninggalkan tempat ini untuk beberapa hari saja!”
“Oh!”
“Tentang lukamu dan perawatan dirimu serta urusan makanmu, aku sudah pesan orang untuk mengurus sebaik-baiknya.”
“Kakak, pergilah mengurus urusanmu dengan hati lega.”
“Adik, aku hanya mengharap kau jangan keluar jauh-jauh. Taman bunga di luar kamar dan kamar buku itu, kau boleh bergerak
dengan bebas. Selain kedua tempat ini, paling baik kau jangan pergi.”
“Mengapa?”
“Kemudian hari akan kuberitahukan kepadamu lagi.”
“Meskipun dalam hati Hui Kiam merasa heran, tetapi ia tidak berani. Selain daripada itu, ia sendiri juga belum tentu merasa perlu untuk bergerak atau pergi jauh-jauh, maka ia lalu menjawab sambil menganggukkan kepalanya:
“Baiklah, aku akan turut pesan kakak.”
Tong-hong Hui Bun lalu pergi.
Hui Kiam benar-benar merasakan kesepian. Ia seolah-olah kehilangan sesuatu. Pikirannya selalu merasa terganggu. Ia tidak dapat menduga Tong-hong Hui Bun pergi untuk mengurus urusan apa. Orangnya juga merupakan suatu teka-teki, demikian pula kelakuannya, dan tempat tinggalnya ini juga penuh rahasia.
Untungnya, dalam keadaan yang demikian ia masih merasa terhibur oleh kitab wasiat sebagai kawannya.
Kecuali di waktu-waktu makan dan tidur, setiap menit ia gunakan untuk mempelajari isi kitab Thian Gie Po-kip. Ini merupakan kesempatan yang paling baik untuk mempelajari kepandaian ilmu silat golongan perguruannya, ia juga merasakan kesulitan.
Akan tetapi ilmu silat itu merupakan ilmu silat yang sangat dalam sehingga tidak dapat dipelajari seluruhnya dalam waktu yang singkat.
Apabila Torng-hong Hui Bun nanti pulang, dia tidak akan dapat mempelajari secara terbuka, oleh karenanya maka lebih dahulu ia harus ingat dan menghafalkan baik-baik seluruh hafalannya. Ia menggunakan waktu dua hari. Setelah ingat baik seluruhnya, dia baru mulai mengadakan latihan.
Sang waktu berlalu begitu cepat dengan tanpa dirasa.
Sepuluh hari telah berlalu, luka-luka di sekujur badannya sudah sembuh seluruhnya, tetapi Tong-hong Hui Bunbelum pulang, sementara itu dia sudah berhasil memahami dua jurus ilmu pedang lanjutan ilmu pedangnya sendiri, dan ia mulai mempelajari ilmu silat dengan menggunakan tangan kosong.
Hari itu, sehabis makan siang, selagi hendak duduk dalam kamarnya, di luar samar-samar terdengar suara saling bentak. Tertarik oleh perasaan heran, dengan tanpa sadar ia berjalan menuju ke pintu tengah.
Tiba di dekat pintu, seorang pelayan wanita berdiri di tengah pintu dan menegurnya sambil memberi hormat:
“Siaohiap hendak kemana?”
“Apa yang telah terjadi di luar?”
“Ada orang datang mencari musuh!”
“Mencari musuh?”
“Ya!”
“Bagaimana orangnya?”
“Seorang perempuan berpakaian hijau yang memakai kerudung di mukanya. Katanya murid keturunan si Raja Pembunuh.”
Ketika mendengar kabar tentang kedatangan perempuan berbaju hijau berkerudung itu, semangat Hui Kiam lalu terbangun. Ia lalu berkata:
“Biarlah aku yang pergi menjumpainya.”
Pelayan perempuan itu nampaknya sangat keberatan. Ia berkata sambil tertawa:
“Siaohiap, di waktu hendak pergi majikan telah meninggalkan pesan....”
“Tidak izinkan aku keluar?”
“Bukan tidak mengijinkan, hanya….”
Hanya apa, ia tidak mau menerangkan.
“Kalau begitu ini berarti aku telah ditawan?”
Pelayan perempuan itu berkata sambil membungkukkan badannya:
“Siaohiap merupakan tetamu terhormat di tempat ini, tuduhan itu terlalu berat. Maksud majikan hanya mengharap supaya siaohiap bisa merawat diri dan beristirahat dengan tenang.”
“Aku sekarang sudah sembuh. Selain daripada itu orang yang datang itu juga ada sedikit perselisihan denganku. Inilah kesempatan yang paling baik untuk menyelesaikan.”
“Kalau majikan pulang harap siaohiap tanggung jawab sendiri!”
“Ini sebetulnya bukan urusanmu!”
“Kalau begitu biarlah budakmu ini yang akan mengunjukkan jalan bagi siaohiap.”
“Aku ingin pinjam sebilah pedang….”
“Oh, nanti kuambilkan!”
Pelayan perempuan itu lalu masuk ke dalam. Tak berapa lama ia sudah balik lagi sambil membawa pedang. Pedang itu lalu diserahkan kepada Hui Kiam, kemudian berjalan lebih dahulu sebagai penunjuk jalan.
Keluar dari kamar tampak suatu pemandangan yang menawan hati. Bentuk bangunan dan keadaan di sekitar tempat itu mirip dengan istana.
Tetapi saat demikian ia tiada hati untuk menikmati. Ia berjalan di belakang pelayan perempuan. Setelah melalui beberapa pintu, di luar tampak pintu gerbang yang menjulang tinggi.
Dari lobang pintu, tampak deretan puncak bukit yang menjulang tinggi. Nampaknya bangunan ini dibangun di dalam lembah.
Suara beradunya pedang terdengar nyata yang disiarkan dari luar pintu gerbang.
Hui Kiam lompat melesat, setelah melalui pelayan perempuan yang mengunjukkan jalan, bagaikan anak panah melesat keluar pintu gerbang di situ segera tampak olehnya empat pahlawan wanita sedang mengerubuti seorang perempuan berbaju hijau yang berkerudung di mukanya.
Kedua pihak bertempur sengit. Sepuluh lebih pahlawan perempuan yang lainnya, berdiri di samping sebagai penonton. Dekat pintu gerbang terdapat tiga pahlawan wanita yang rebah terlentang dalam keadaan luka.
Hui Kiam kenal baik kepandaian para pahlawan perempuan itu, maka terlukanya tiga orang itu telah mengunjukkan betapa hebatnya kepandaian perempuan berbaju hijau berkerudung itu.
Semua pahlawan perempuan ketika melihat Hui Kiam, segera memberi hormat sebegaimana mestinya.
Hui Kiam mengangkat tangan membalas hormat. Dalam hati merasa heran. Perkampungan yang demikian luas, ternyata tidak tampak seorang lelakipun juga, sehingga kedudukan dan asal-usul Tong-hong Hui Bun nampaknya semakin misterius.
Selagi pertempuran berjalan seru, tiba-tiba terdengar suara bentakan orang:
“Semua berhenti!”
Hui Kiam segera berpaling. Orang yang mengeluarkan suara bentakan itu ternyata adalah Hek Bwee Hiang, perempuan tua jelek yang pada satu hari berselang sebagai kusir kereta yang mengantarkan ia kemari.
Pahlawan perempuan yang sedang bertempur ketika mendengar suara perempuan tua itu, segera melompat keluar kalangan mengundurkan diri.
Hui Kiam lalu berkata sambil memberi hormat kepada perempuan tua itu.
“Cianpwe baik-baik saja?”
“Bagaimana kau keluar?”
“Boanpwe dengan orang itu ada sedikit perselisihan paham yang perlu dibereskan.”
Hek Bwee Hiang tidak berkata apa-apa. Ia menghampiri perempuan berkerudung baju hijau itu, lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Apakah kau muridnya si Raja Pembunuh?”
“Benar!”
“Kau sungguh berani, berani datang kemari melukai orang-orangku….”
Perempuan berbaju hijau itu mendengarkan suara ketawa dingin, kemudian memotong ucapan Hek Bwee Hiang dan berkata:
“Apakah kau menjadi majikan tempat ini?”
“Meskipun bukan, tetapi aku dapat mengambil keputusan!”
“Itu bagus sekali. Harap kau serahkan pembunuh Wanita Tanpa Sukma!”
Hui Kiam terkejut. Kiranya kedatangan perempuan itu adalah hendak menuntut balas Wanita Tanpa Sukma. Maka seketika itu ia lalu berkata dengan suara nyaring:
“Pembunuh Wanita Tanpa Sukma sudah mati terkena senjata rahasia jarum melekat tulang.”
Perempuan berkerudung hijau itu nampak heran dan terkejut, lalu berkata:
“Penggali Makam, apakah... kau juga merupakan salah seorang dari sini?”
“Aku di sini sebagai tamu!” jawab Hui Kiam dingin.
Hek Bwee Hiang tertawa dingin, kemudian berkata:
“Budak, adanya si Raja Pembunuh tidak dapat menggertak diriku. Kedatanganmu ini berarti cari mati sendiri. Kuberitahukan kepadamu, tempat ini boleh kau masuki tetapi tidak ijinkan kau keluar. Kau sekarang hendak habiskan sendiri ataukah perlu aku
yang harus turun tangan?”“Kau suruh aku habiskan jiwaku sendiri? Ha ha ha….”
Hek Bwee Hiang melotot matanya. Parasnya yang jelek menunjukkan sikapnya yang gusar. Katanya dengan suara keras:
“Budak hina, kau nanti segera mengerti sendiri!”
Sementara itu tangannya yang bagaikan cakar burung sudah menyambar dada perempuan berbaju hijau itu.
Perempuan berkerudung baju hijau itu menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan tangan itu hingga Hek Bwee Hiang terpaksa menarik kembali serangannya dan melompat mundur tiga kaki.
Hui Kiam hampir saja mengeluarkan suara untuk memuji gerakan perempuan itu, sebab gerakan pedang itu ternyata bagus sekali. Bukan saja sudah menutupi semua bagian dirinya, tetapi juga diikuti dengan gerakan serangan pembalasan. Apabila Hek Bwee Hiang tidak menarik tangannya pasti akan dibalas dengan serangan yang mematikan.
---ooo0dw0ooo---
JILID 14
D E N G A N gagalnya serangan perempuan tua itu, membuatnya semakin gemas. Kembali ia memperdengarkan suara tertawa dingin. Lima jari tangan kanannya dipentang untuk menyambar lagi, sedang tangan kirinya digunakan untuk membacok dua tangan dua rupa gerak tipu serangan masing-masing mengandung kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat.
Perempuan berkerudung itu tidak berani melawan dengan gerak tipu semula. Dengan kecepatan bagaikan kilat ia melompat mundur delapan kaki.
Hek Bwee Hiang terus membayangi. Kedua tangannya melakukan serangan dengan gerak tipu berlainan.
Perempuan berkerudung itu gerakkan pedangnya perlawanan dengan gerak tipu yang sangat aneh sehingga untuk kedua kalinya Hek Bwee Hiang tarik kembali serangannya.
Hui Kiam sudah tidak sabar lagi, segera lompat dan berdiri di tengah-tengah dua orang itu kemudian berkata kepada Hek Bwee Hiang:
“Ijinkanlah Boanpwee membereskan perselisihan dengan nona ini.”
Dengan paras sangat murka Hek Bwee Hiang berkata:
“Kau mundur, di sini tidak ada urusanmu.”
Dengan wajah dingin Hui Kiam berkata:
“Boanpwee sudah berjanji dengan nona ini apabila berjumpa lagi harus membereskan perselisihan di antara kami.”
“Di sini akulah yang berhak!”
Hui Kiam yang beradat tinggi hati tidak sanggup menerima perlakuan demikian. Tetapi karena harus memandang muka Tong-hong Hui Bun, ia terpaksa menahan sabar dan menelan hinaan itu. Dengan nada suara dingin ia berkata:
“Bukan maksud boanpwee untuk merebut hak pihak tuan rumah.”
“Kau menyingkir!” berkata Hek Bwe Hiang sambil mengulapkan tangannya.
“Boanpwee hanya memandang muka To-hong Hui Bun, maka berlaku hormat terhadap Cianpwee!”
“Jikalau bukan karena dia, bagaimana aku sudi banyak bicara denganmu?!”
Dan menurut pikiran cianpwee bagaimana?”
“Kau lekas balik ke rumah.”
“Jikalau boanpwe menolak, bagaimana?”
“Setiap perkataan yang keluar dari mulutku tidak dapat dirobah. Tidak mau menurut juga harus diturut!”
Hui Kiam benar-benar tidak dapat mengendalikan kesabaran lagi, hawa amarahnya meluap. Dengan nada suara dingin ia berkata:
“Setiap kata yang keluar dari mulut Boanpwee juga belum pernah dirubah!”
“Jangan coba berlaku sombong terhadap aku!”
Setelah itu tangannya lalu bergerak ke arah Hui Kiam untuk melakukan serangan sebagai gertakan. Namun ternyata kekuatannya sangat hebat.
Hui Kiam tidak menduga perempuan itu benar-benar akan turun tangan, maka seketika itu terdorong mundur sampai tujuh delapan langkah.
Sementara itu perempuan berkerudung itu menyaksikan kejadian tersebut dengan sikap dingin dan tidak berkata apa-apa.
Mata Hui Kiam menjadi merah. Dengan suara gemetar ia berkata:
“Cianpwe jangan paksa Boanpwe bertindak!”
Wajah orang tua yang berkeriputan itu nampak berkerenyit, lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Kau jangan berlaku sombong dan tak pandang mata orang lain karena dirimu disayang.”
Hui Kiam yang mendengar perkataan itu sangat gusar sehingga sekujur badannya gemetar. Perkataan itu sangat menusuk hatinya, juga merupakan suatu hinaan yang terbesar selama hidupnya. Maka ia segera maju dua langkah untuk menghadapi Hek Bwee Hiang. Dengan wajah dingin dan mata beringas ia berkata:
“Apakah Cianpwe tidak ada maksud untuk menghina aku?”
Hek Bwee Hiang agaknya digetarkan oleh sikap pemuda itu. Dengan tanpa sadar mundur, baru berkata:
“Kalau ya mau apa?”
“Aku tidak suka dihina mentah-mentah!”
“Kau berani berbuat apa terhadap diriku?”
“Minta keadilan!”
“Ha ha ha, keadilan! Dengan cara bagaimana?”
Ucapan perempuan tua itu penuh ejekan dan hinaan.
“Bagi orang gagah boleh dibunuh tetapi tidak sudi dihina. Kau seharusnya mengetahui bagaimana caranya kau memberi keadilan.”
Hek Bwee hiang dengan mata melotot dan rambut berdiri berkata dengan suara dingin:
“Apakah kau hendak bertindak terhadap diriku?”
“Begitulah maksudku!”
“Kau tentu tahu bahwa golok dan pedang itu tiada matanya, tangan dan kaki tidak kenal kasihan.”
“Apabila aku tidak sanggup melawan, itu berarti kepandaianku belum cukup. Sekalipun mati juga tidak akan menyesalkan orang lain!”
“Ah, ah! Mendengar kata-katamu itu, kau agaknya ingin bertempur mati-matian denganku!''
“Anggaplah begitu!”
“Kau pikir lagi masak masak!”
“Sudah aku pikirkan!”
“Aku hanya menghawatirkan tidak sanggup menjelaskan urusan ini pada Hui-Bun.”
Disebutnya nama itu hati Hui-Kiam bercekat, akan tetapi bagaimana ia harus menelan mentah-mentah hinaan itu maka ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Tidak perlu kau pikirkan itu!”
Hek Bwee hiang kewalahan berkata. Akhirnya ia berkata dengan suara keras:
“Baiklah! Kau boleh mulai!”
Suasana menjadi tegang, semua pahlawan perempuan yang berdiri di situ nampak ketakutan. Tetapi karena mengingat kedudukan masing-masing, tiada satupun yang berani membuka mulut.
Perempuan berkerudung itu mundur beberapa langkah. Ia ingin menyaksikan pertempuran itu.
Hui Kiam dengan mata tidak berkedip menatap wajah perempuan tua itu, lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Harap keluarkan pedangmu!”
Dengan suara sombong Hek Bwee Hiang berkata padanya:
“Terhadap kau barangkali tidak perlu aku menggunakan pedang.”
Hui Kiam lalu berkata sambil tertawa dingin:
“Dengan tangan kosong kau bukan lawanku!”
Perkataan itu jika ditilik keadaan Hui Kiam pada saat itu, sedikitpun tidak dilebih-lebihkan. Sejak ia berhasil mempelajari ilmu silat dalam kitab Thian Gee Po-kip bagian lanjutannya, sekalipun belum berhasil memahami seluruhnya, tetapi juga sudah mengerti delapan bagian kepandaian. Kalau dibandingkan dengan sepuluh hari berselang, sudah mengunjukkan suatu perbedaan antara bumi dan langit.
Hek Bwee Hiang dengan mata berputaran berkata:
“Tunggu setelah aku membereskan budak gila itu, nanti bicarakan lagi….”
Tetapi dijawab oleh Hui Kiam dengan ucapan singkat dan dingin:
“Tidak bisa!”
Hek Bwee Hiang segera naik pitam. Ia berkata dengan suara bengis:
“Jika bukan lantaran Hui Bun, niscaya sejak tadi aku telah membunuhmu. Kau sebetulnya tidak tahu diri.”
Hui Kiam hanya mengeluarkan suara dari hidung sebagai jawaban.
Betapapun juga, Hui Kiam di tempat itu kedudukannya merupakan seorang tamu yang terhormat, Hek Bwee Hiang meski dihormat oleh Tong-hong Hui Bun, tapi ia hanya merupakan pelayan terdekat dari ibunya, biar bagaimana perbedaan kedudukan itu masih ada. Maka meskipun saat itu ia sudah marah sekali tapi masih memikirkan akibatnya. Ia terpaksa kendalikan perasaan dan berkata dengan sabar:
“Kita hanya menggunakan batas tiga jurus saja. Kau boleh mengeluarkan serangan sesukamu. Kalau dalam tiga jurus tak sanggup menjatuhkan diriku, kau harus balik ke rumah!”
Bagi Hui Kiam sebetulnya juga karena merasa terhina, tiada maksud untuk melakukan pertempuran mati-matian, lalu menjawab sambil menganggukkan kepala:
“Boleh !”
“Nah, keluarkanlah seranganmu!”
Hui-Kiam tahu sebelum berhasil memahami seluruh kepandaian dalam kitab Thian gee Po-kip dalam hal serangan tangan kosong dan jari tangan, tidak akan menjatuhkan perempuan tua itu. Apa yang dapat diandalkan hanya tiga jurus ilmu pedangnya. Karena orang tua itu sudah mengatakan tidak akan menggunakan pedang, sudah tentu merasa tidak perlu menelad perbuatan perempuan tua itu. Maka ia segera menggerakkan pedang di tangannya seraya berkata :
“Jurus pertama!”
Pedang segera meluncur hanya terlihat berkelebatnya sinar pedang dengan gerak tipunya yang aneh luar biasa, menggulung diri Hek Bwee Hiang.
Melihat serangan demikian, wajah nenek tua itu berubah. Ia lalu memutar tubuhnya untuk menyingkir tetapi tidak balas menyerang.
Hui Kiam tidak berhasil dengan gerakannya yang pertama, lalu disusul dengan gerak tipunya yang kedua, Bintang-bintang Bertebaran di Langit.
“Sambutlah serangan kedua!” demikian ia berkata, ujung pedang seolah-olah mengeluarkan api bagaikan bintang bertebaran, meliputi tempat sejarak dua tombak persegi.
Semua orang yang ada di situ, terhitung orang-orang kuat kelas satu, tetapi tidak urung juga dibuat kagum oleh gerak tipu luar biasa itu.
Dengan seluruh kekuatan tenaga dan kepandaiannya, Hek Bwee Hiang mengeluarkan delapan kali serangan tangan kosong, baru terhindar dari serangan yang aneh itu, tetapi sudah terkejut dan terheran-heran sedemikian rupa, sehingga napasnya memburu.
Sambil menggertak gigi Hui Kiam berkata:
“Masih tinggal satu jurus.”
Juius ini merupakan jurus yang menentukan. Kalau ia tidak menang, itu berarti tidak mampu mencuci kehinaannya tadi, dan perselesaiannya dengan perempuan berkerudung itu juga jangan harap bisa dibereskan.
Hek Bwee Hiang benar-benar dikejutkan oleh kepandaian anak muda itu. Ia belum pernah melihat kepandaian sebenarnya Hui Kiam, akan tetapi pada sepuluh hari sebelumnya ia dipancing dan dikepung oleh Koo Han San, Malaikat Langit dan Bumi serta sepuluh lebih orang-orang kuat Perserikatan Bulan Emas, telah terluka parah hampir binasa. Dari sini dapat ditarik kesimpulan ia seharusnya tidak mempunyai kekuatan dan kepandaian sedemikian tinggi. Tapi ditilik keadaannya pada sekarang ini cara bagaimana Koo Han San sanggup melawan? Ini benar-benar merupakan suatu hal yang tidak habis dimengerti.
Curiga tinggal curiga, fakta tidak mengijinkan ia banyak pikir lagi, ia kini harus menghadapi serangan yang ketiga. Mungkin serangan yang terakhir ini akan merupakan serangan yang terlalu hebat.
Demi keselamatan jiwanya ia sekarang tidak berani berlaku sombong lagi, maka lalu berkata kepada orang-orangnya:
“Berikan aku pedang!”
Seorang pahlawan perempuan segera maju memberikan pedang kepadanya.
Suasana makin tegang, hampir setiap orang tidak bisa bernapas.
Kecuali perempuan berbaju hijau berkerudung itu, yang perobahan sikapnya tidak dapat dilihat orang, semua pahlawan perempuan yang ada di situ, setiap orang nampak pucat perasaannyapun, badannya gemetar.
Hui-Kiam diam-diam sudah menghapalkan hafalan gerak tipu ketiga, ialah Tiang Menjulang Tinggi ke Langit, kemudian berkata:
“Aku hendak turun tangan!”
“Em!”
Di bawah pandangan banyak mata orang, pedang Hui Kiam nampak bergerak. Sedikitpun tidak tampak kehebatannya. Pedang itu perlahan membuat satu lingkaran....
Wajah Hek-Bwee Hiang berobah pucat. Gerak tipu ilmu pedang yang nampaknya sangat sederhana ini, ternyata ia sudah tidak sanggup memecahkan sehingga seketika itu pikirannya bingung.
Tetapi itu sudah tidak ada gunanya. Ia terpaksa menggerakkan tangannya. Pedang di tangannya dengan mengeluarkan hembusan angin sangat hebat, meluncur keluar.
Pedang di tangan Hui Kiam ketika nampak pedang lawannya sudah bergerak, tiba-tiba dari gerak lambat berubah menjadi cepat. Gerakannya cepat bagaikan kilat ....
“Aaaaa!”
Di antara suara seruan, tercampur suara seruan tertahan dan suara jatuhnya barang logam!
Pedang Hek Bwee Hiang sudah terlempar sejauh satu tombak lebih, badannya terdapat tiga luka, sedang ujung pedang Hui Kiam sudah mengancam tenggorokan perempuan itu.
Siapapun mengerti, apabila Hui Kiam menghendaki jiwa perempuan tua itu, niscaya siang-siang perempuan tua itu sudah menggeletak di tanah.
Dengan gerak lambat-lambat Hui Kiam menarik kembali pedangnya seraya berkata:
“Dengan memandang muka nona Tong-hong aku tidak akan berbuat keterlaluan.”
Wajah Hek Bwee Hiang yang sudah jelek, nampak semakin jelek. Ia berdiri dengan mulut ternganga, sepatah katapun tidak bisa keluar dari mulutnya.
Hui Kiam berdiam sejenak, lalu berkata:
“Di sini adalah kau yang menjadi tuan rumah. Kalau di tempat lain, aku barangkali dapat berlaku menurut sesukaku.”
Sehabis berkata, ia lalu berkata kepada perempuan berkerudung:
“Nona, mari kita bicara di luar.”
“Baik,” perempuan itu menyahut, lalu lompat melesat ke luar lembah.
Hui Kiam juga segera bergerak untuk menyusul.
Seorang pahlawan perempuan coba mencegah seraya berkata:
“Harap siaohiap jangan berlalu dari sini!”
“Aku bisa balik lagi!” jawab Hui Kiam dingin.
Ia bergerak lagi, dengan cepat menyusul perempuan berkerudung.
Jalan ke dalam lembah itu sangat panjang, tetapi datar. Ketika tiba di mulut lembah, perempuan berkerudung itu berpaling
sejenak, kemudian mengulapkan tangannya dan meluncur ke arah sebuah puncak gunung sebelah kanan.
Sebentar kemudian, dua orang itu sudah berada di puncak gunung, berdiri berhadapan.
Hui Kiam yang membuka suara lebih dulu.
“Apakah nona masih ingat perjanjian kita tempo hari?”
“Ingat!”
“Bagaimana kalau kita bereskan di tempai ini?”
“Sudah tidak perlu lagi!”
“Mengapa?”
“Aku sudah tidak sanggup melawan kau, maka aku menyerah kalah!”
Pernyataan itu sesungguhnya di luar dugaan Hui Kiam. Perempuan itu rela mengaku kalah, sudah tentu ia tidak dapat memaksa lawannya bertindak.
Setelah berpikir sejenak, lalu berkata sambil menganggukkan kepala:
“Tidak bertanding boleh, tetapi sepotong uang logam yang nona ambil dari tanganku, harap nona serahkan kembali benda itu.”
Perempuan itu nampak terkejut, ia berkata:
“Uang logam itu kau ambil dari tangan Wanita Tanpa Sukma.”
“Itu memang benar.”
“Benda itu toh bukan kepunyaanmu, rasanya tidak ada perlunya kau ambil kembali.”
“Bagaimana nona tahu kalau tidak ada perlunya aku ambil kembali?”
“Bagi kau tidak ada harganya sama sekali!”
“Apakah buat nona ada gunanya?”
“Mungkin!”
Jawaban itu menggerakkan hati Hui Kiam, sebab sepotong uang logam itu adalah peninggalan perguruannya, dan merupakan barang kepercayaan perguruannya. Kini perempuan itu menyatakan ada gunanya bagi dirinya, ini benar-benar merupakan suatu hal yang sangat menarik!
Perasaan heran timbul dalam hatinya, maka ia lalu bertanya:
“Apa faedahnya sepotong uang logam ini bagi nona?”
Perempuan itu tidak menjawab dengan langsung, sebaliknya balas menanya:
“Kau sendiri dengan kokoh ingin mengambil kembali, apa pula sebabnya?”
“Sebab inilah barang yang aku dapatkan!”
“Apakah jawabanmu ini tidak terlalu dibikin-bikin?”
“Aku tidak merasa demikian.”
“Bagaimana andaikata kepandaianmu saat ini masih belum merupakan tandinganku.... “
“Satu hari kelak, aku pasti hendak mengambilnya kembali!”
“Perbuatanmu itu karena merasa tertarik oleh keanehan ataukah lantaran ingin menang saja?”
“Semua bukan!”
“Kalau begitu karena apa?”
“Sama dengan nona, benda itu mungkin ada gunanya bagiku.”
“Apakah kau sudah bertekad hendak mendapatkan itu?”
“Tentu!”
“Penggali Makam, dahulu aku telah berlaku salah terhadapmu. Di sini aku minta maaf kepadamu. Sepotong uang logam ini hitung-hitung kau hadiahkan kepadaku, bagaimana?”
“Maaf, tidak bisa.”
“Kalau begitu harap kau terangkan apa sebabnya benda itu berguna bagi dirimu.”
Hui Kiam berpikir bolak-balik. Akhirnya ia mengambil keputusan bahwa sekarang sudah waktunya baginya membuka rahasia riwayatnya. Mungkin dengan demikian dapat memancing pula orang-orang dahulu menjadi musuh-musuh perguruannya. Pelajaran bagian lanjutan dalam kitab Thian Gee Po-kip, ia sendiri sudah ingat dengan baik, hanya masih kurang pelajaran ilmu jari tangan, tangan kosong dan gerak kaki, yang masih belum mahir benar. Tetapi itu hanya soal waktu saja, jikalau dipelajari dengan tekun, tidaklah sukar untuk memahirkannya.
Karena berpikir demikian, maka ia lalu berkata:
“Sebab aku sendiri justru mempunyai sepotong yang lainnya!”
Perempuan berkerudung itu agaknya terkejut. Dia mundur sampai tiga empat langkah, baru berkata dengan sikap terheran-heran:
“Apa? Kau.... mempunyai sepotong dari belahan uang logam ini?”
“Sedikitpun tidak salah.”
“Boleh kau beritahukan asal-usulnya?”
“Benda itu adalah peninggalan suhu waktu hendak menutup mata.”
“Oh!” perempuan itu mundur lagi satu langkah. Ia mengawasi Hui Kiam dengan sinar mata tajam kemudian berkata dengan suara gemetar:
“Aoakah suhumu itu adalah Cho-tee Sun Thian Koat?”
Kali ini gilirannya Hui-Kiam yang terperanjat. Ia sungguh tak menyangka bahwa wanita itu dapat menyebut nama suhunya. Namun ia masih coba berlaku tenang kemudian bertanya:
“Bagaimana nona bisa tahu?”
“Kalau begitu kau sudah mengaku?”
“Aku tidak menyangkal!”
“Apakah sepotong uang logam ini sebagai barang tanda kepercayaan?”
“Ya!”
“Suhumu meninggalkan pesan apa?”
Hati Hui-Kiam bergerak. Timbullah dugaannya, mungkinkah dia ini merupakan orang yang sedang dicari itu...?
“Apakah sepotong uang logam ini semula adalah barang kepunyaan nona?”
“Ya!”
Hui Kiam maju dua langkah. Dengan perasaan bergetar ia berkata:
“Apakah nona adalah putri sisupek Hwe-tee Pui-Un Tiong yang bernama Pui Ceng Un itu?”
Wanita itu terperanjat, ia menjawab dengan suara gemetar:
“Ya!”
Perasaan girang Hui-Kiam sungguh tidak dapat dilukiskan, pantas hari itu dengan secara paksa ia minta uang logam itu, dan hari ini dengan seorang diri ia datang ke tempat misterius ini untuk menuntut balas dendam bagi kematian Wanita Tanpa Sukma.
“Sutee, kau....”
“Aku bernama Hui-Kiam!”
“Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku sudah mengunjungi kuburan sisupek, di antara batu nisan terdapat namamu.”
“Oh, kiranya begitu.”
Hui Kiam merasa banyak kata-kata ingin diucapkannya tetapi ia tidak tahu bagaimana harus dimulai. Setelah hening cukup lama ia baru berkata:
“Suci, mari kita duduk omong-omong!”
“Baiklah!”
Dua orang itulah lalu duduk di atas batu. Hui Kiam lalu berkata:
“Menurut keterangan ibu angkat Wanita Tanpa Sukma, ketika suci dalam keadaan terluka parah telah menyerahkan sepotong uang logam itu kepada Wanita Tanpa Sukma dan minta kepadanya supaya keadaan suci itu dijelaskan padaku.”
Pui Ceng Un menarik napas dalam. Dengan suara pilu ia berkata:
“Bencana yang melanda dalam perguruan kita pada sepuluh tahun berselang, kau tentunya sudah tahu?”
“Ya!”
“Sejak terjadinya bencana itu, ayah dan aku mengasingkan diri ke gunung Tay-bong-san, setiap hari mengharap-harap kabarnya ngususiok. Lima tahun berselang musuh lama perguruan kita, ialah jago pedang berkedok itu, telah berkunjung. Ia tetap menginginkan kitab Thian Gee Po-kip. Oleh karena senjata rahasia jarum melekat tulang yang mengenai ayah dahulu, membuat kepandaian dan kekuatan ayah lenyap separurmya. Waktu musuh itu berkunjung, justru kekuatan dan kepandaian ayah musnah. Dalam waktu keadaan berbahaya demikian, jago pedang berkedok itu telah membawa pergi kitab Thian Gee Po-kip serta membinasakan ayah....”
Hui Kiam berseru dengan suara keras:
“Sungguh buas penjahat itu! Ia nanti akan membayar hutangnya lebih besar atas perbuatannya itu.”
“Aku juga diserang oleh musuh itu sehingga terluka parah dan pingsan. Mungkin musuh menganggap aku sudah mati, ia tidak bertindak lebih jauh lagi. Selanjutnya aku tahu bahwa lukaku sudah disembuhkan. Hanya karena urusan besar yang ayah telah pesan berwanti-wanti di masa hidupnya, aku berusaha keluar gunung dalam keadaan luka, dan berjumpa dengan Wanita Tanpa Sukma.
Aku menganggap keadaan diriku sudah tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Barang kepercayaan itu aku berikan kepadanya.”
“Tetapi bukanlah suci tertolong lagi?”
“la, adalah suhuku si Raja Pembunuh yang telah menolong diriku. Suhu membawa aku ke suatu lembah di gunung Sin-le-gong. Dalam waktu tiga bulan aku baru sembuh. Urusan selanjutnya kau sudah tahu semuanya....”
“Apakah suci pernah melihat orangnya jago pedang berkedok itu?”
“Ya!”
“Bagaimana macamnya?”
“Ia mengenakan pakaian berwarna lila dengan kain berwarna lila pula untuk mengerudungi mukanya....”
Hui Kiam melompat bangun bagaikan disambar geledek. Ia lalu berseru dengan suara keras:
“Kalau begitu dia, orang berbaju lila!”
Dengan suara gemetar Pui-Ceng Un menanya:
“Kau kenal kepadanya?”
Hati Hui-Kiam sudah kalut, maka pertanyaan Pui Ceng Un tadi sama sekali tidak masuk dalam telinganya, otaknya sedang berpikir keras. Orang berbaju lila itu sudah dipaksa terjun ke dalam jurang oleh Tong hong Hui Bun, pasti sudah hancur lebur badan dan tulang-tulangnya. Kalau itu benar, apakah ini berarti habislah sudah permusuhan dalam perguruannya itu?
Akan tetapi selagi pelayan perempuan Tong hong Hui Bun, Oey Yu Hong, hendak membuka rahasianya, tiba-tiba telah binasa karena serangan senjata rahasia jarum melekat tulang. Apakah orang berbaju lila itu belum mati? Ataukah kecuali orang berbaju lila, masih ada orang lagi yang bisa menggunakan senjata jarum melekat tulang?
Dan siapakah orangnya itu?
Mengapa ia harus membunuh Oey Yu Hong untuk menutup rahasianya?
Menurut keterangan Jin Ong, senjata itu ia cuma bikin sepuluh buah saja. Ia sendiri juga tidak mempunyai murid keturunan. Hanya dalam pertempuran waktu melawan delapan iblis dari negara Tian-tek ia pernah mengunakan satu kali, tetapi hal itu telah terjadi pada beberapa puluh tahun berselang. Dari manakah orang berbaju lila itu dapatkan senjata tersebut...?
Pui Ceng Un yang belum dijawab pertanyaannya lalu berkata pula:
“Sutee, kau berkata bahwa jago pedang berkedok itu adalah orang berbaju lila?”
“Ya!”
“Kau kenal dengannya?”
“Telah beberapa kali berjumpa, bahkan sudah pernah bertanding.”
“Di mana orangnya?”
“Sudah mati.”
Pui Ceng Un mendadak melompat bangun. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Dia sudah mati?”
“Mungkin juga masih belum.”
“Mengapa?”
Hui Kiam lalu menceritakan apa yang telah terjadi atas diri orang berbaju lila itu. Ia hanya kesampingkan hubungannya dirinya sendiri dengan To-hong Hui Bun!”
Sambil menggertak gigi Pui Ceng Un berkata:
“Aku hendak ke jurang di bawah puncak gunung batu itu untuk mencari tulang-tulangnya.”
“Aku pergi bersama-sama dengan suci supaya dapat membuktikan orang berbaju lila itu benar sudah mati atau belum....”
“Sutee, perempuan she Tong-hong yang kau katakan tadi orang dari golongan mana?”
“Tidak tahu!”
“Ia mampu memaksa orang berbaju lila terjun ke dalam jurang, kepandaian perempuan itu di dalam rimba persilatan barangkali susah dicari tandingannya?”
“Mungkin.... Oya, dengan cara bagaimana suci bisa mencari tempat ini?”
“Aku menguntit seorang pahlawan perempuan muda sehingga sampai kesini.”
“Pelayan wanita yang membinasakan Wanita Tanpa Sukma kini sudah binasa. Ia juga mati terkena serangan jarum melekat tulang.”
“Apakah orang berbaju lila itu benar-benar masih belum mati?”
“Kemungkinannya sangat kecil sekali.
“Kalau begitu, bukankah sudah tidak ada harapan untuk mendapatkan kembali bagian lanjutan kitab pelajaran ilmu silat Thian Gee Pokip!”
Hui Kiam berpikir, kemudian berkata:
“Kitab itu sudah aku dapatkan.”
“Benarkah? … Kau sudah berhasil mendapatkan kitab itu?”
“Ya!”
“Aku tidak mengerti?”
Kitab itu berada dalam kamar buku gedung besar dalam lembah itu.”
“Dengan cara bagaimana sutee bisa menjadi tetamu dengan gedung besar itu?”
Muka Hui Kiam merasa panas, ia berkata:
“Penghuni gedung besar itu adalah perempuan yang memaksa orang berbaju lila itu terjun ke dalam jurang, Tong-hong Hui Bun....”
“ Oh!”
“Ketika aku dikepung oleh sepuluh lebih orang-orang kuat dari Persekutuan Bulan Emas telah terluka parah, kemudian ditolong dan dirawatnya.”
“Apakah kau tidak tahu asal usulnya?”
“Tidak tahu!”
“Apakah ia tahu asal-usul dirimu?”
“Juga tidak tahu!
“Mari kita berangkat sekarang?”
“Suci, mengapa kerudung di mukamu itu kau tidak buka?”
Pui Ceng Un bagaikan disengat lebah. Sebentar hatinya merasa pilu kemudian berkata:
“Aku... tidak bisa!”
Hui Kiam merasa heran, ia bertanya:
“Tidak bisa? Kenapa?”
“Harap kau jangan menanyakan soal itu.”
Hui Kiam tidak berdaya. Apakah sebabnya tidak boleh bertanya? Apakah suci itu mempunyai kesulitan yang tidak dapat diterangkan?
Semula ia mengira bahwa kerudung itu digunakan untuk menutupi wajah aslinya, juga untuk menghindarkan mata-mata musuhnya, tetapi sekarang setelah mendengar jawaban itu, ternyata bukan. Kalau begitu lantaran apa? Ini benar-benar merupakan satu soal yang membingungkan. Ia mengharap supaya dapat mengetahui sebab-musababnya. Ini berarti bukan karena tertarik oleh perasaan herannya saja, melainkan satu perhatian yang sangat besar yang timbul dalam hati nuraninya sendiri, sebab di dalam dunia ini ia boleh dikata sudah tidak mempunyai sanak
saudara lagi. sedangkan sang suci itu, merupakan keturunan satu-satunya dalam perguruannya. Sejak ia menjelaskan asal usulnya, dalam hati Hui Kiam lalu timbul semacam perasaan, seolah-olah berjumpa dengan saudaranya sendiri. Seorang yang sudah lama hidup sebatang kara, perasaan demikian lebih tajam, sebab dalam hatinya selalu mengharapkan oleh hiburan kekeluargaan yang harmonis.
Oleh karenanya maka ia terus mendesak:
“Suci, walaupun antara kita merasa masih asing tetapi hubungan yang terjalin dalam perguruan kita dapat melenyapkan perasaan itu. Apakah kau menganggap perlu mengelabuhi diriku?”
“Apakah... kau ingin tahu?”
“Dalam hatiku memang ingin, tetapi aku tidak berani memaksa. Kalau benar memang ada kesulitan, sudah saja!”
“Sute, kau lihatlah sendiri!” berkata sang suci, lalu menarik kerudung di mukanya.
“Astaga!”
Hui Kiam berseru, ia mundur dua langkah, wajahnya berubah seketika. Apa yang tampak di hadapan matanya, ternyata adalah sebuah paras muka yang amat buruk sekali, lima jalur bekas guratan kuku yang sudah menjadi matang biru bagaikan sarang laba-laba di atas mukanya, jelas sudah bahwa muka itu dirusak oleh kuku jari, satu-satunya bagian yang nampak masih utuh adalah bagian matanya dengan biji matanya yang jernih.
“Sutee, bagaimana?” bertanya Pui Ceng Un, matanya berkaca-kaca.
“Suci, apakah artinya ini?”
'“Inilah aku sendiri yang rela dibuat demikian.”
“Si Raja Pembunuh telah menolong diriku, kemudian mengambil aku sebagai muridnya. Tetapi menurut penuturan orang tua itu, apabila berjumpa dengan orang harus turun tangan....”
“Apakah ia yang merusak parasmu? Siapa yang masuk perguruannya, harus menerima penderitaan demikian?”
“Ini benar-benar terlalu kejam dan tidak mempunyai perikemanusiaan sama sekali!”
“Orang tua itu telah melepas budi menolong jiwaku, kalau bukan dia, aku sudah lama mati di pinggir jalan. Kecuali itu, oleh karena memerlukan bekal untuk keperluanku menuntut balas aku harus mempunyai kepandaian yang lebih tinggi.”
“Apa sisupek, yang namanya termasuk salah satu orang kuat dalam daftar Lima Kaisar, kepandaiannya yang diturunkan kepadamu masih di bawah kepandaian si Raja Pembunuh?”
“Ayah sudah terkena serangan senjata jarum melekat tulang, ada beberapa macam kepandaian yang tidak dapat diturunkan kepadaku.”
“Aku selalu menganggap bahwa perbuatan Si Raja Pembunuh itu keewat kejam....”
“Urusan yang sudah lalu tidak perlu dibicarakan lagi. Aku juga tidak membenci dia si orang tua.”
“Apakah ia masih mempunyai murid lain?”
“Tidak ada. Selama hidupnya ia tidak pernah menerima murid, juga belum pernah menolong orang. Terhadap aku, dapat dikata merupakan suatu terkecualian.
Suci, Tuhan sesungguhnya tidak adil, nasibmu sebenarnya terlalu menyedihkan.”
“Jangan kau sebut lagi. Hidupku semata-mata karena ingin menuntut balas, apapun yang akan terjadi aku tak pikir lagi, apalagi baru cacat muka saja.” Sehabis berkata ia kenakan kembali kerudungnya, kemudian mengalihkan pembicaraan ke lain soal:
“Sutee, barusan kau berkata sudah mendapatkan bagian lanjutan kitab pusaka Thian-Gee Po-kip, tetapi baru berkata setengahnya. Bagaimanakah sebetulnya?”
Dalam mata Hui Kiam masih terbayang muka buruk sucinya, ia tahu mesti dimulutnya sang Suci itu tidak berkata, tetapi dalam hati pasti amat menderita. Suka akan kecantikan memang sudah menjadi sifatnya setiap manusia, baik laki-laki maupun wanita semuanya begitu, apalagi dalam usia remaja seperti sucinya itu. Ia sebelumnya ingin menghibur padanya, tapi ia tidak tahu bagaimana membuka mulut. Ketika ditanya demikian, ia berusaha menenangkan pikirannya, lama baru bisa berkata :
“Tong-hong Hui Bun ada mempunyai hobi senang mengumpulkan kitab pelajaran ilmu silat. Dalam kamar bukunya, terdapat banyak sekali kitab demikian.”
“Apakah kitab Thian Gee Po-kip itu juga terdapat di dalamnya?”
“Ya.”
“Dengan cara bagaimana ia mendapatkan kitab itu?”
“Katanya kitab itu dihadiahkan oleh orang berbaju lila itu.”
“Ada hubungan apa ia dengan orang berbaju lila itu?”
“Tentang ini… katanya orang berbaju lila itu menaruh hati kepada dirinya.”
“Oh!”
Sinar matanya tajam, berputaran di wajah Hui Kiam.
Hui Kiam seolah-olah dibuka rahasia hatinya, maka wajahnya merah seketika.
Pui Ceng Un bertanya pula:
“Supek yang kau maksudkan dapatkan tadi, sebenarnya dengan cara bagaimana?”
“Aku sudah hapalkan dan ingat betul isinya. Aku sudah berhasil memahami sebahagiaan.”
“Ilmu pedangmu telah mendapat kemajuan yang sangat menakjubkan, apakah itu ada hubungannya dengan ini?”
“Ya. Kebetulan pelajaran dalam kitab Thian Gee Po-kip itu dari kepala sehingga bagian ekornya, satu sama lain ada hubungannya yang sangat erat, jikalau kau tidak pelajari menurut urutannya, betapa cerdas otakmu, kau juga tidak berdaya untuk memahami satu jurus saja, maka kitab ini bagi orang lain, hanya merupakan suatu barang yang tidak ada harganya.”
“Tentang ini aku sudah pernah mendengar dari ayahku. Sekarang aku ingin tahu, bagaimana kau bisa masuk dalam kamar rahasia orang dan mempelajari sesukamu?”
“Tentang ini....”
Dia tidak dapat melanjutkan, mukanya semakin merah.
Pui Ceng Un adalah seorang wanita, sudah tentu mempunyai perasaan lebih halus dan lebih tajam. Ketika menyaksikan sikap sutemya itu, lalu tertawa ringan kemudian berkata:
“Sutee, apakah Tong-hong Hui Bun cantik?”
Maksud pertanyaan itu tentu dimengerti oleh Hui Kiam, maka ia merasa semakin tidak enak. Namun demikian ia harus menjawab sambil tertawa:
“Ia cantik sekali!”
“Berapa usianya?”
“Nampaknya baru dua puluh tahun lebih!”
Walaupun mulutnya berkata demikian, tetapi dalam otaknya terbayang ucapan orang berbaju lila yang mengatakan: ia boleh menjadi ibumu.
Oleh karena itu diam-diam ia bergidik. Apakah ia mempunyai ilmu awet muda? Atau karena memakan obat mujijat sehingga usianya nampak tetap muda?
Akan tetapi biar bagaimana, cinta kasih dan perlakuannya yang lemah lembut, sudah mengikat erat-erat hatinya. Dengan tanpa sadar, matanya memancarkan sinar aneh.
Maka ketika ia teringat oleh karena urusannya Pui Ceng Un sehingga ia harus bertempur dengan Hek Bwee Hiang, perbuatan itu dengan Tong-hong Hui Bun, benar-benar merupakan suatu perbuatan yang agak keterlaluan. Nanti apabila berjumpa lagi, benar-benar sulit untuk memberi penjelasan.
Tetapi karena perbuatan itu tadi telah membuka rahasia diri Pui Ceng Un, hal ini juga masih berharga.
Dengan suara agak duka Pui Ceng Un berkata:
“Sutee, apakah kau cinta kepadanya?”
Hui Kiam tidak menduga bahwa sucinya akan mengajukan pertanyaan demikian. Selembar mukanya seketika dirasakan panas, kemudian baru berkata dengan suara terputus-putus:
“Suci... aku... tidak menyangkal.”
Pada saat itu, mereka tiba-tiba mendengar suara orang tertawa dingin.
Hui Kiam dan Pui Ceng Un sama-sama terkejut, lalu memasang mata. Di tempat sejauh kira-kira tiga tombak tampak sesosok bayangan manusia berdiri bagaikan hantu.
Orang itu ternyata adalah seorang tua yang usianya kira-kira sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambut jenggot dan alisnya seluruhnya sudah putih, badannya mengenakan pakaian besar berwarna kuning, tangannya membawa sebuah tongkat bambu. Nampaknya bagaikan dewa baru turun dari kahyangan. Tetapi kedua matanya memancarkan sinar biru, sehingga sinar mata itu dengan pakaian luarnya sangat tidak sesuai.
Hui Kiam setelah mengawasi orang tua itu sejenak lalu menegurnya dengan nada suara dingin:
“Tuan orang pandai dari mana?”
Orang tua bermata biru itu tidak memperdulikan pertanyaan Hui Kiam, sebaliknya dengan sepasang matanya ia menatap diri Pui Ceng un. Lama ia baru berkata dengan nada sangat dingin dan menakutkan:
“Apakah kau murid si Raja Pembunuh?”
“Benar, bagaimana sebutan tuan?” jawab Pui Ceng Un dengan tenang.
“Tidak perlu tanya. Antar aku menemui suhumu!”
“Sudah beberapa puluh tahun suhu tak mau menemui orang luar!”
“Tetapi ia tak boleh tidak harus menemuiku.”
“Bolehkah tuan memberitahukan namamu?”
“Kau belum pantas menanya!”
Hui Kiam merasa tidak senang, apalagi setelah menyaksikan sikap sombong dan tidak pandang mata orang lain yang diperlihatkan oleh orang tua itu, hawa amarahnya meluap seketika. Sambil perdengarkan suara ketawa dingin ia berkata:
“Tuan, kau terlalu sombong!”
Mata orang tua itu dialihkan ke arah Hui Kiam, kemudian berkata dengan suaranya yang menyeramkan:
“Bocah, kau siapa?”
“Penggali Makam!”
“Seorang yang tidak berarti juga berani bertingkah. Aku tak sempat bicara denganmu.”
“Kalau aku seorang yang tak berarti, apakah tuan seorang yang berarti?”
“Terhadap kau si bocah boleh dikata begitu!”
Hui Kiam mendengarkan suara tertawa dingin kemudian baru berkata:
“Sungguh tak tahu malu. Barangkali tuan masih tidak tahu apa arti perkataan itu?”
Sinar mata biru orang tua itu nampak semakin biru. Ia berkata dengan suara bengis:
“Kau jangan desak aku orang tua ini melakukan pembunuhan!”
Wajah Hui Kiam kembali seperti biasanya yang dingin angkuh. Ia berkata sonbong:
“Anggaplah aku mendesakmu, habis kau marah?”
Orang tua itu menggeser kakinya. Tongkat di tangannya diketukkan di tanah dua kali. Wajahnya nampak semakin bengis, berkata dengan suara semakin menyeramkan:
“Apa kau mencari mampus?”
Pui Ceng Un segera maju dan berkata:
“Sutee, ini adalah urusanku, biarlah aku sendiri yang membereskan!”
Kemudian ia berpaling dan berkata kepada orang tua itu:
“Ada urusan apakah sebetulnya tuan ingin menemui suhu?”
Dengan sikap semakin galak orang tua mata biru itu berkata:
“Percuma aku beritahukan kepadamu. Bawa saja aku menjumpainya!”
“Kalau tuan tidak mau memberitahukan nama dan maksud, maaf aktu tidak sanggup!”
“Tetapi kau tidak dapat berbuat menurut sesuka hatimu!”
“Barangkali belum tentu!”
“Apa kau ingin coba?”
“Begitulah maksudku.”
Orang tua itu segera bergerak. Tongkat bambu di tangannya menotok Pui Ceng Un. Wanita itu segera memutar tangannya. Tapi belum mengeluarkan serangannya, tongkat orang tua itu mendadak
berubah gerakannya, dari gerakan menotok dirubah menjadi gerakan membabat. Arah tujuannya di bagian tempat-tempat yang membahayakan.
Dengan kepandaiannya Pui Ceng Un, ternyata masih belum sanggup menutup serangan itu. Terpaksa ia menarik kembali tangannya dan mundur ke belakang, sedang badannya hampir kena diserang.
Hui Kiam terkejut, kepandaian orang tua itu sesungguhnya sangat tinggi sekali.
Orang tua itu memperdengarkan suara tertawanya yang aneh, kemudian berkata:
“Benar tidak kecewa kau menjadi murid Si Raja Pembunuh. Sambut lagi seranganku ini!”
Tongkatnya bergerak untuk menyerang lagi. Serangannya kali ini nampak semakin hebat.
Pui Ceng Un sedikitpun tidak mampu membalas, ia lompat mundur sejauh delapan kaki, lengan bajuuya terdapat tiga lobang.
Hui Kiam segera melompat maju, menggantikan tempat Pui Ceng Un, sambil lonjorkan pedangnya ia berkata dengan nada suara dingin:
“Aku yang rendah ingin menerima pelajaranmu!”
Dengan sikap memandang rendah orang tua itu memperdengarkan suara di hidung, kemudian gerakkan tongkatnya menotok pada dada Hui Kiam.
Hui Kiam menggerakkan tangannya, melancarkan serangan dengan menggunakan gerak tipunya jurus pertama yang dinamakan Melempar Pecut Memutus Aliran.
Kedua senjata saling beradu, lalu mengeluarkan suara nyaring. Kedua pihak mundur dua langkah.
Orang tua itu wajahnya berobah. Ia sungguh tidak menduga anak muda itu mempunyai kekuatan sedemikian hebat.
Hui Kiam diam-diam juga mengagumi kekuatan lawannya. Kekuatan tenaga dalam yang menembus pedangnya luar biasa hebatnya, sehingga pedangnya hampir terlepas dari tangannya.
Orang tua mata biru itu berkata dengan keras:
“Bocah, kau murid siapa?”
Perasaan gusar Hui Kiam masih belum lenyap, maka dijawabnya dengan nada meniru kesombongan orang tua tadi itu:
“Tuan masih belum pantas menanyakan guruku.”
Jawaban itu memang sangat sombong hingga wajah orang tua itu pucat seketika. Ia membentak dengan suara keras:
“Terlalu sombong!”
la lalu ayun tongkatnya dengan kekuatan sangat hebat mengantam kepala Hui-Kiam.
Hui-Kiam menggunakan jurus kedua dari ilmu silat yang di muat dalam kitab Thian Gee Po-kip untuk menyambut serangan tersebut dan sekaligus digunakan untuk balas menyerang.
Kedua senjata itu saling beradu sampai sepuluh kali lebih. Aliran kekuatan tenaga dalam yang keluar dari tangan orang tua itu membawa pengaruh demikian hebat, sampai Hui Kiam mundur tiga langkah.
Hui Kiam terkejut, sejak ia mendapat tambahan kekuatan tenaga yang disalurkan oleh Jin-Ong, serta sudah memahami tiga jurus ilmu pedang dalam kitab Thian-Gee Po-kip, kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi daripada waktu yang lalu, tetapi sungguh tidak diduga bahwa ia masih belum sanggup menghubungi kekuatan orang tua itu.
Orang tua berbaju biru itu lalu berkata sambil tertawa:
“Bocah, benar-benar kau mempunyai kepandaian yang lumayan. Pantas kau begitu sombong.”
Dengan mata merah Hui-Kiam memperdengarkan suara di hidung, melancarkan serangannya yang paling hebat, Tiang Menjulang Tinggi ke Langit.
Di antara berkelebatnya sinar pedang ternampak dirinya orang tua bermata biru itu lompat mundur lima kaki. Matanya birunya memancarkan sinar terheran-heran.
Hui Kiam tergoncang, sebab serangan yang pernah membikin Hek Bwee Hiang tidak berdaya itu, si orang tua mata biru ini ternyata masih bisa menyingkir dalam keadaan yang selamat. Nampaknya dalam pertempuran ini akan kurang menguntungkan baginya.
Ia segera maju lagi, kembali menggunakan gerak tipunya yang itu juga, dilancarkan dengan seluruh kekuatan tenaganya.
Orang tua bermata biru itu mundur lagi lima kaki, tetap tidak mendapat luka apa-apa.
Dua kali serangan Hui Kiam tidak berhasil, agaknya merasa terkejut.
Orang tua bermata biru itu setelah menyingkir dari serangan tersebut, kemudian putar tongkatnya demikian rupa untuk mengurung Hui Kiam.
Hui Kiam masih tetap menggunakan gerak tipunya yang ke-tiga itu untuk melawan musuhnya. Di antara suara bentakan nyaring, bayangan tongkat lenyap seketika. Hampir serentak pada saat itu tangan kiri orang bermata biru itu diangkat, lima jari tangannya mengeluarkan hembusan angin ke arah Hui Kiam.
Dalam pertempuran jarak dekat, betapapun gesit gerakan Hui Kiam, juga tidak keburu menyingkir, sehingga lima tempat jalan darahnya terkena serangan berbareng. la mundur sempoyongan hampir roboh di tanah.
Bagi orang lain, lima bagian jalan darah terserang demikian, sekalipun tidak mati juga akan terluka parah. Tetapi karena pelajaran ilmu silat Hui Kiam sangat berbeda dengan yang lainnya, maka tidak sampai terganggu. Namun demikian hembusan angin
hebat itu dirasakan bagaikan pedang tajam yang menusuk badannya sehingga menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Orang tua bermata biru itu menggunakan kesempatan tersebut segera membabat dengan tongkatnya. Maka tidak ampun lagi badan Hui Kiam tersapu dan terlempar sejauh dua tombak.
Sambil mengeluarkan bentakan keras Pui Ceng Un menerjang orang tua bermata biru itu dengan pedang terhunus.
Dengan tongkat dan tangannya, orang tua bermata biru itu menyambut serangan Pui Ceng Un, sehingga nona itu terpental balik ke tempatnya lagi.
Orang tua bermata biru itu menghampiri Hui Kiam yang rebah terlentang di tanah, berkata dengan suara keras:
“Bocah, aku terpaksa harus membunuhmu. Ini adalah akibat dari kelakuanmu yang sombong!”
Tongkatnya segera bergerak hendak menghantam kepala Hui Kiam....
Dada Hui Kiam dirasakan mau meledak. Tetapi ia sudah tidak mempunyai tenaga untuk memberikan perlawanan sehingga hanya dapat mengawasi bergeraknya tongkat yang akan menghantam kepalanya.
Pui Ceng Un dengan cepat segera berteriak:
“Tahan!”
Orang tua bermata biru itu menarik kembali tongkatnya dan berkata:
“Mau apa?”
“Aku mengajak kau menjumpai suhu, tetapi kau tidak boleh melukai dirinya!”
“Ini ada soal lain!”
“Untuk menjumpai gurumu kau harus mengunjukkan jalannya, tetapi ini bocah aku juga harus bunuh mati padanya!”
“Kalau begitu kau jangan harap aku sudi mengunjukkan jalan bagimu!”
“Soal ini ada di tanganku, kau tidak dapat berbuat apa-apa!”
“Kau bunuh aku juga tidak ada gunanya. Tempat kediaman suhu sangat tersembunyi dan sangat berbahaya, jikalau kepandaianku terganggu, sama saja kita tidak dapat mencapai ke tempatnya!”
Biji mata biru orang tua itu nampak berputaran beberapa kali, kemudian berkata dengan nada suara dingin:
“Baiklah, untuk sementara waktu kuturut kehendakmu!”
Sehabis berkata ia terus mundur selangkah.
Hui Kiam yang beradat tinggi hati setelah menarik napas, perlahan-lahan ia berdiri dan berkata sambil menggertakkan gigi:
“Jikalau aku tidak mati aku pasti akan membalas dendam sakit hati ini. Kalau kau mau mengambil jiwaku, harus segera bertindak, supaya lain hari tidak menyesal!”
“Haa, haa, haa, bocah yang tak tahu diri, karena ucapanmu ini, aku tidak akan membunuh kau dan menantikan tindakanmu yang hendak menuntut balas.”
“Tinggalkan namamu!”
“Tidak perlu, kau toh tidak akan kesalahan mengenal orang.”
Pui Ceng Un segera berkata:
“Sute, lukamu….”
“Tidak apa-apa.”
Kita terpaksa berpisah untuk sementara. Kau ambilah ini.”
Setelah itu, ia mengeluarkan potongan uang logam itu. Diberikannya kepada Hui Kiam seraya berkata pula:
Meskipun faedahnya sudah hilang sebaiknya kau simpan saja, hitung-hitung sebagai tanda peringatan.
Hui Kiam menyambuti seraya berkata:
“Terima kasih, sucie!”
Orang tua bermata biru itu berkata dengan mata melotot:
“Bocah, apakah kau juga muridnya Si Raja Pembunuh?”
“Kau tak perlu tahu!”
Pui Cing Un khawatir kalau orang tua itu nanti bertindak lagi, maka buru-buru berkata:
“Tuan, mari kita berangkat!”
Wajah orang tua itu sebentar terlintas nafsu amarahnya, tetapi segera lenyaplah. Kemudian ia berkata:
“Bocah, lain kali apabila bertemu lagi, aku pasti akan membunuhmu.”
Hui-Kiam perdengarkan suara di hidung lalu berkata:
“Sama-sama!”
Pui-Ceng Un berkata:
“Sutee, kau pergi dulu ke tempat yang barusan kita katakan tadi. Aku berjalan melalui jalan ini. Setelah tugasku selesai, aku nanti datang menjumpai kau.”
Hui-Kiam mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh sucienya itu ialah untuk menyelidiki soal mati hidupnya orang berbaju lila itu. Maka ia segera menjawab sambil menganggukkan kepala:
“Baik!”
“Kalau begitu aku hendak pergi dulu!”
“Suci, harap kau baik-baik menjaga diri!”
Orang tua bermata biru itu mengikuti Pui Ceng Un berjalan turun gunung.
Setelah dua orang itu berlalu, Hui-Kiam terus berpikir tetapi ia tidak dapat menduga apa maksud dan tujuan orang tua bermata biru itu mencari Si Raja Pembunuh. Tetapi kebanyakan mengenai soal permusuhan.
Dalam pertempuran tadi hampir saja ia antarkan jiwanya. Maka ia berpikir harus mencari tempat yang tersembunyi untuk memperdalam pelajaran dalam kitab Thian-gee Po-kip supaya pelajaran itu bermanfaat bagi dirinya.
Matanya segera ditujukan ke mulut lembah yang tidak jauh dari situ. Pikirannya menjadi kalut. Ia tidak tahu Tong-hong Hui Bun sudah pulang atau belum? Karena ia sendiri sudah bentrok dengan Hek Bwee Hiang, sudah tentu tidak bisa kembali sendiri, akan tetapi ia tidak mampu mengusir keinginannya yang hendak menemui Tong-hong Hui Bun.
Sudah tentu, yang terpenting pada dewasa itu adalah merawat lukanya. Serangan orang tua bermata biru tadi hampir mematahkan tulang pinggangnya. Meski goncangan dalam badannya tidak terlalu berat, tapi juga tidak ringan.
Ia telah memilih tempat yang letaknya agak tersembunyi. Selagi hendak bersemedi untuk menyembuhkan lukanya….
Tiba-tiba muncul empat orang berpakaian hitam.
Hui Kiam terkejut. Ia mengawasi empat orang itu. Entah apa yang dilakukan mereka.
Empat orang berpakaian hitam itu begitu melihat Hui Kiam, wajah mereka berubah semuanya.
Untuk sesaat mereka saling berpandangan. Salah satu di antaranya lalu maju menghampiri dan berkata sambil mengangkat tangan untuk memberi hormat.
“Siaohiap, maaf kita mengganggu ketenangan siaohiap!”
Hui Kiam kembali merasa heran, nampaknya orang-orang itu mengenali dirinya. Lalu berkata dengan suara dingin:
“Bagaimana sebutan sahabat?”
“Utusan Bulan Emas!”
Hui Kiam diam-diam mengeluh. Dengan orang-orang Persekutuan Bulan Emas, ia mempunyai permusuhan sangat dalam,
dan kini berjumpa dengan mereka di tempat seperti ini, sedangkan badannya sendiri sedang luka, nampaknya tidak akan sanggup menghadapi orang itu.
Mungkin kedatangan orang itu hendak mencari jejak Tong-hong Hui Bun, mungkin juga ada maksud lain.
Akan tetapi, bila orang-orang itu sudah berhadapan matanya sudah tentu ia tidak dapat menyembunyikan diri, maka lalu berkata dengan suara dingin:
“Ada keperluan apa?”
Dengan nada suara lunak utusan itu berkata:
“Sebetulnya kita tidak berani menganggap Siaohiap, hanya ingin tanya perempuan berkerudung baju hijau tadi sekarang ada di mana?”
Hui Kiam merasa heran. Manusia dicari oleh manusia berpakaian hitam itu ternyata adalah Pui Ceng Un, sedangkan terhadap dirinya sendiri agaknya tidak mengandung permusuhan. Lebih mengharapkan adalah mengapa manusia-manusia Bulan Emas itu bisa mencari ke tempat ini.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu berkata:
“Apakah sahabat hendak mencari perempuan berkerudung baju hijau tadi?”
“Benar!”
“Kenapa?”
“Kami hanya menjalankan tugas perintah atasan!”
“Dia sudah pergi!”
“Sudah pergi?”
“Ya.”
“Apakah siaohiap tahu kemana ia pergi?”
“Ia dipaksa berjalan oleh seorang tua bermata biru yang aku tidak tahu namanya!”
Wajah utusan itu nampak berubah. Ia menggerutu sejenak, lalu berkata sambil mengerutkan keningnya:
“Apakah orang tua itu seorang yang berusia kira-kira tujuh puluh dan tangannya membawa tongkat bambu?”
“Benar!”
“Oh! Kiranya dia si orang tua.”
Setelah mengucapkan perkataan yang tidak dimengerti oleh Hui Kiam, utusan itu kembali mengangkat tangan memberi hormat seraya berkata pula:
“Terima kasih banyak-banyak!” Kemudian berpaling dan berkata kepada tiga kawannya:
“Mari kita pergi!”
Sebentar kemudian empat orang berbaju hitam itu sudah meninggalkan tempat tersebut.
Hui Kiam bingung menyaksikan kelakuan empat orang itu. Para utusan Perserikatan Bulan Emas itu seharusnya menganggap musuh dirinya, tetapi ternyata tidak demikian. Orang dicari justru sucinya sendiri, sedangkan terhadap orang tua bermata biru yang sangat misterius itu mereka sebut orang tua. Dari golongan apakah sebetulnya orang tua bermata biru itu?
Sementara itu dari tempat yang tidak jauh, tiba-tiba terdengar empat kali suara jeritan ngeri.
Bukan kepalang terkejutnya Hui Kiam. Apakah suara jeritan itu keluar dari mulut empat utusan itu tadi?”
Kepandaian ilmu silat para utusan Persekutuan Bulan Emas di dalam kalangan Kang-ouw sudah terhitung tenaga pilihan kelas satu, siapakah orangnya dalam waktu singkat dapat membinasakan empat orang tua itu tadi?
Mungkin dia.....Tong hong Hui Bun?
Berpikir sampai di situ semangatnya terbangun. Entah dimana datangnya kekuatan terasa sesaat itu telah melupakan rasa sakit dilukanya. Ia segera berjalan ke tempat tersebut.
Berjalan kira-kira lima puluh tombak jauhnya, benar saja segera dapat lihat empat orang berpakaian hitam itu sudah binasa semuanya.
Siapakah pembunuhnya?
la coba mencari, tetapi tidak kelihatan bayangan seorangpun juga.
Heran, apakah pembunuh itu sudah kabur jauh sehabis melakukan pembunuhan?
Nampaknya perbuatan itu tidak mungkin dilakukan oleh Tong hong Hui-Bun....
Selagi masih berpikir, di belakangnya tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing baginya:
“Penggali Makam, hari kematianmu sudah tiba!”
Hui Kiam terperanjat. Ketika ia membalikkan badan segera berseru: “Oh!”
Jantungnya tergoncang keras. Ia hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Sesaat lamanya ia berdiri tertegun.
Orang yang berdiri di hadapannya, bukan lain daripada si orang berbaju lila.
Manusia buas itu jelas sudah dipaksa terjun oleh Tong-hong Hui Bun, tidak diduga ia ternyata masih hidup. Kejadian ini sesungguhnya tidak habis dimengerti.
Setelah lenyap perasaan herannya, menyusullah perasaan bencinya dan dendamnya.
Kini ia sudah mengetahui bahwa orang berbaju lila itu, juga adalah jago pedang berkedok yang pada sepuluh tahun berselang merupakan musuh besar perguruannya juga merupakan orang yang pernah melukai encinya dan orang yang merampas kitab wasiat
Thian Gee Po-kip yang kemudian dihadiahkan kepada Tong-hong Hui Bun. Selanjutnya kitab itu dengan secara tidak terduga-duga telah didapatkan olehnya. Maka jalannya nasib manusia sesungguhnya sangat aneh.
Dengan hati penuh rasa dendam Hui Kiam berkata:
“Orang berbaju lila, kau ternyata belum mati?”
“Apakah kau merasa heran?”
“Memang begitu!”
“Ha, ha, ha, kalau aku mati, siapa yang membereskan kau dan perempuan cabul tidak tahu malu ini? Ha ha ha....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar