Bab 22. Kongcu Gi
Orang macam apakah Kongcu Gi
sebenarnya? Apakah tangannya memegang pedang?
Pho Ang-soat tidak menoleh, juga
tidak bergeming. Dia tidak boleh bergerak.
Karena dia sudah merasakan adanya
hawa membunuh yang kuat tak terlawankan, tiada lubang yang bisa dimasukinya.
Maka bila dia bergerak, entah dengan gerak apa, kemungkinan lawan akan
memperoleh kesempatan untuk turun tangan. Umpama gerakkan mengejang dari urat
daging di badannya sekalipun, juga kemungkinan akan mengundang kesalahan yang
fatal.
Walaupun dia tahu manusia macam
Kongcu Gi pasti takkan sudi menyerang lawan dari belakang, tapi dia tidak bisa
tidak harus bersiaga.
Mendadak Kongcu Gi tertawa, nada
tawanya pun sopan dan ramah, katanya, “Memang tidak malu sebagai jago kosen
tiada bandingan di kolong langit.”
Pho Ang-soat mempertahankan
ketenangan, dia tetap bersikap kalem dan diam.
Coh-hujin mengedipkan kedua
matanya, katanya, “Bergeming pun tidak, darimana kau bisa menilai bahwa dia
seorang kosen?”
“Justru karena dia tidak
bergeming, maka dia adalah orang kosen yang tiada bandingan di dunia ini.”
“Apakah tidak bergerak lebih
sukar dari bergerak?”, tanya Coh-hujin.
“Jauh lebih sukar.”
“Aku tidak mengerti.”
“Kau harus tahu, kalau kau
menjadi Pho Ang-soat, mendadak tahu aku sudah berada di belakangmu, lalu
bagaimana reaksimu?”
“Aku pasti amat kaget.”
“Kaget jelas akan mengurangi
kesiap siagaan, maka dia pasti akan bergerak.”
“Ya, memang.”
“Begitu kau bergerak, maka kau
pasti mati.”
“Lho, kenapa?”
“Karena hakikatnya kau tidak tahu
dari arah mana aku akan turun tangan, oleh karena itu kemana pun kau bergerak,
kau akan melakukan kesalahan yang mengundang kematian.”
“Seorang lawan seperti dirimu,
bila mendadak berada di belakang orang, siapa pun orang itu pasti akan merasa
tegang, umpama dia tidak bergerak, kulit daging di punggungnya juga pasti akan
mengejang.”
“Tapi dia tidak. Walau aku sudah
lama berdiri di belakangnya,sekujur badannya tiada menunjukkan
perubahan apa-apa.”
Akhirnya Coh-hujin menghela
napas, katanya, “Sekarang aku betul-betul paham, tidak bergerak memang lebih
sukar daripada bergerak.”
Jika kau tahu ada musuh setangguh
Kongcu Gi berdiri di belakangmu, sekujur badanmu masih longgar dan tiada
perubahan sedikitpun, maka urat syarafmu pasti lebih dingin daripada salju.
Mendadak Coh-hujin bertanya pula,
“Dia tidak bergerak, apakah kau tidak punya peluang untuk menyerangnya?”
“Tidak bergerak berarti bergerak,
titik terakhir dari segala perubahan gerak itu adalah tidak bergerak.”
“Terlalu banyak lubang kelemahan,
akhirnya berubah tiada lubang kelemahan, karena bila sekujur badan seperti
sudah kosong, hampa tanpa isi, maka kau takkan tahu darimana kau harus turun
tangan.”
Kongcu Gi tertawa, katanya, “Aku
yakin akhirnya kau pasti tahu akan hal ini.”
“Aku juga tahu kau pasti takkan
turun tangan, kalau kau mau membunuhnya dari belakang, banyak peluang lebih
baik daripada kesempatan yang kau peroleh sekarang ini,” dengan tersenyum dia
melanjutkan, “karena tujuanmu bukan ingin membunuhnya, tapi mengalahkan dia.”
Mendadak Kongcu Gi menghela
napas, katanya, “Untuk membunuhnya gampang, mau mengalahkan dia jauh lebih
sukar.”
Akhirnya dia beranjak ke depan
lewat samping Pho Angsoat.
ooooOOoooo
Langkahnya tenang, enteng dan
mantap.
Hanya sekejap itu, mendadak Pho Ang-soat
merasa dirinya seperti bebas merdeka, keringat dingin ternyata sudah membasahi
sekujur badan. Hal ini tidak boleh diketahui oleh Kongcu Gi, maka mendadak dia
berkata, “Kenapa kesempatan baik kau abaikan, malah mencari kesulitan?”
Tajam suara Kongcu Gi, “Karena
kau adalah Pho Ang-soat dan aku adalah Kongcu Gi.”
Sekarang akhirnya Kongcu Gi
berhadapan dengan Pho Ang-soat, namun Pho Ang-soat tetap belum melihat wajahnya
yang asli.
Dipandang dari arah punggung,
gaya dan perawakannya kelihatan tegap dan gagah, tiada lubang sasaran untuk
diserang. Tapi dia justru mengenakan topeng hijau yang beringas, seram dan
jelek.
Dingin suara Pho Ang-soat,
“Ternyata Kongcu Gi adalah seorang yang tidak berani memperlihatkan tampang
aslinya di depan orang.”
Coh-hujin menimbrung, “Kau keliru
lagi.”
Pho Ang-soat menyeringai dingin.
“Yang kau lihat sekarang adalah
wajah asli dari Kongcu Gi,” ucap Coh-hujin.
“Tapi yang kulihat tak lain
adalah sebuah topeng belaka.”
“Memangnya aku tidak mengenakan
topeng di mukaku? Memangnya sejak dilahirkan kau sudah berwatak dingin kaku
dengan muka pucat seperti itu? Apakah itu bukan kedok mukamu?”
Terkatup pula mulut Pho Ang-soat.
“Sebetulnya kau mengerti,
bagaimanapun tampangnya tidak penting, cukup asal kau tahu dia adalah Kongcu
Gi, hal inilah yang terpenting.”
Ini memang kenyataan, Pho
Ang-soat pun tak bisa tidak harus mengakui, karena dia tidak bisa tidak
bertanya kepada diri sendiri.
Keadaanku sekarang, sebetulnya
apakah wajah asliku? Lalu seperti apa sebetulnya wajah asliku?
Tawar suara Kongcu Gi, “Aku tidak
ingin melihat wajah aslimu, cukup asal aku tahu bahwa kau adalah Pho Ang-soat.”
Pho Ang-soat menatapnya
lekat-lekat, cukup lama kemudian baru dia berkata tandas, “Sekarang kau sudah
tahu kalau aku adalah Pho Ang-soat, aku tahu kau adalah Kongcu Gi.”
“Karena itu ada satu hal harus
kami bereskan sekarang.”
“Soal apa?”
“Di antara kami berdua, hanya ada
satu orang boleh tetap hidup.” Walau suaranya berubah dingin kaku, tapi nadanya
masih sopan, agaknya terlalu percaya kepada diri sendiri, “Siapa kuat, maka dia
akan tetap hidup.”
“Kelihatannya hanya ada satu cara
untuk membereskan persoalan ini.”
“Betul, hanya ada satu cara,
sejak dulu memang hanya ada satu cara.” Dia mengawasi golok di tangan Pho
Ang-soat, “Oleh karena itu dengan tanganku sendiri aku harus mengalahkan
engkau.”
“Kalau sebaliknya, maka kau rela
mati.”
Mendadak sorot mata Kongcu Gi
menampilkan perasaan sedih yang memilukan, katanya, “Ya, kalau sebaliknya, maka
aku harus mampus.”
“Aku tidak paham,” ujar Pho
Ang-soat.
“Kau harus mengerti, aku tidak
ingin orang lain membunuhmu, karena aku ingin membuktikan bahwa aku lebih kuat
dari kau. Aku harus menjadi manusia terkuat di dunia, kalau gagal aku rela
mati.” Suaranya bernada menyindir dan mencemooh, “Bu-lim seumpama sebuah
kerajaan yang berdiri tunggal, hanya boleh ada satu raja yang berkuasa, kalau
bukan aku adalah kau.”
“Kali ini, kukira kau yang
salah.”
“Aku tidak salah, banyak persoalan
dapat dibuktikan, kecuali aku, kau adalah orang yang memiliki kungfu tertangguh
di dunia ini.” Mendadak dia membalik tubuh menghadap gambar lukisan besar yang
tergantung di atas dinding, perlahan dia melanjutkan, “Kau dapat masuk ke rumah
ini dengan tetap segar bugar, bukan suatu kejadian kebetulan, bukan kenyataan
yang mudah dilakukan, juga bukan nasibmu mujur.”
“Ya, memang bukan,” ucap
Coh-hujin menghela napas.
Orang atau tokoh-tokoh yang
tergambar dalam lukisan itu cukup banyak, setiap orangnya dilukis dengan hidup
dan bagus, yang digambar seperti petilan-petilan cerita.
Di setiap petilan cerita pasti
terdapat seorang yang sama, orang itu adalah Pho Ang-soat. Begitu dia
berhadapan dengan gambar lukisan itu, maka pandangan pertama lantas melihat
dirinya.
Cuaca mendung, sebuah kota kecil
di pinggir perbatasan, di tengah jalan raya ada dua orang sedang bertempur
sengit. Kedua orang berpakaian putih laksana salju, tangan mereka memegang
sebatang pedang merah laksana darah, seorang memegang golok hitam legam.
“Tentu kau masih ingat, itulah di
Hong-hong-kip,” kata Kongcu Gi.
Sudah tentu Pho Ang-soat ingat,
waktu itu Hong-hong-kip belum berubah jadi kota mati, waktu itulah pertama kali
dia bertemu dengan Yan Lam-hwi.
“Dalam pertarungan itu kau
mengalahkan Yan Lam-hwi,” kata Kongcu Gi.
Pada gambar kedua Hong-hong-kip
sudah menjadi kota mati, di tengah kepulan asap tebal, dua orang tampak
berlutut di depan Pho Ang-soat.
“Dalam pertarungan itu, kau
mengalahkan Ngo-heng-siangsat,” ucap Kongcu Gi pula.
Maka beruntun adalah kejadian
ular beracun di bawah pelana, roti kering beracun dari Kwi-gwa-po, arak beracun
dari Bing-gwat-lou. Di dalam kebun keluarga Ni yang sudah belukar, seorang
pemuda bertelanjang kaki pelan-pelan roboh di bawah goloknya.
“Sebetulnya Toa Lui adalah jagoan
lihai yang jarang didapat di Kangouw, ilmu goloknya diyakinkan dari hidupnya
yang menderita, walau perbuatannya belakangan agak congkak dan berlebihan, aku
tetap tak habis pikir sekali tabas kau membunuhnya.”
“Ilmu golok untuk membunuh orang
memang hanya sekali tabas belaka.”
“Betul, otak bergerak secara
reflek, tangan pun bergerak belakangan mengenai sasaran lebih dulu, dengan
tidak berubah untuk menghadapi laksaan perubahan, maka sejurus serangan golok
memang sudah lebih dari cukup.”
Bukan saja jurus golok itu sudah
melampaui segala gerak persoalan dari tipu dan jurus yang ada, dia pun sudah
melampaui bentuk, gaya dan batas kecepatan.
Coh-hujin berkata, “Yang membuatku
lebih tidak menduga adalah, ternyata kau masih mampu melarikan diri dari kamar
batu bawah tanah di perkampungan merak itu.”
Khong-jiok-san-ceng sudah berubah
menjadi puing-puing, kini Coh Giok-cin muncul dalam lukisan.
Thian-ong-cam-kui-to membelah
kuda yang sedang berlari kencang, sang koki gendut yang sedang mengiris daging
kuda. Bing-gwat-sim dan Coh Giok-cin diantar masuk ke kamar batu di bawah tanah
dalam Khong-jiok-sang-ceng. Kongsun To muncul, Coh Giok-cin melahirkan
putra-putrinya di dalam kamar bawah tanah itu .... Melihat sampai di sini, kaki
tangan Pho Ang-soat menjadi berkeringat dingin.
Coh-hujin berkata, “Dia merupakan
seutas tali, sebetulnya kami ingin memakainya untuk mengikat kau, jika dalam
hatimu selalu merindukan dia dan kedua orok itu, maka tanganmu berarti sudah
kami belenggu.”
Seorang yang kedua tangannya
terbelenggu, sudah tentu tidak setimpal Kongcu Gi turun tangan sendiri.
Coh-hujin menghela napas,
katanya, “Tapi kami kembali merasa di luar dugaan, dalam keadaan seperti itu,
kau masih mampu membunuh Thian-ong-cam-kui-to.”
Jari-jari Pho Ang-soat
menggenggam kencang, desisnya, “Waktu itu kalian sudah siap membiarkan dia
memperlihatkan kedok aslinya, kenapa masih membiarkannya membunuh Toh Cap-jit?”
“Karena kami masih ingin
memperalat dia melakukan tugas terakhir.”
“Kalian ingin menggunakan kedua
anaknya itu untuk memaksa aku menyerahkan Thian-te-kiau-ceng Im-yang-toapi-bu?”
Coh-hujin manggut-manggut,
katanya, “Sampai saat itu baru kami percaya Im-yang-toa-pi-bu hakikatnya tidak
terjatuh di tanganmu, karena kami tahu untuk mempertahankan hidup kedua bocah
itu, kau rela mengorbankan segala milikmu.”
Setelah menghela napas, dia
berkata pula, “Hanya sayangnya walau kau sudah berhasil meyakinkan Tay-ih-hiathoat,
ternyata kau tidak mati di tangannya, lebih disayangkan lagi, kau tidak tega
membunuhnya.”
ooooOOoooo
Maka di atas gambar muncullah
gadis yang mengenakan kembang melati itu, dengan sendok dia tengah memasukkan
kuah ayam ke dalam mulut Pho Ang-soat. Nenek bungkuk di sebelahnya sedang
menyembelih ayam, Siau Thing gadis yang berkalung kembang melati sedang membeli
arak di warung kecil di pojok jalan, pemilik warung yang gendut dengan perutnya
yang buncit sedang menyeringai tawa penuh nafsu sambil mengawasi dadanya. Tapi
dirinya sedang mabuk dan telentang di dalam kamar yang biasa dipakai berbuat
mesum itu, seolah-olah sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba kotor dan
rendah itu.
Coh-hujin berkata, “Waktu itu
kami mengira kau sudah tamat, umpama kau masih bisa membunuh orang, paling kau
hanyalah algojo yang sudah edan, tak perlu dan tidak setimpal Kongcu
menghadapimu.”
Yang akan dihadapi Kongcu Gi
adalah jago kuat nomor satu di Bu-lim.
“Jika kau bukan orang terkuat
nomor satu dalam Bu-lim, umpama kau mampus di selokan, kami juga tidak akan
peduli, oleh karena itu kami sudah siap mencari orang untuk membunuhmu.”
“Sayang sekali orang yang dapat
membunuhku tidak banyak,” ucap Pho Ang-soat.
“Paling tidak kami tahu ada
satu.”
“Siapa?”
“Kau sendiri.”
Segera terbayang oleh Pho
Ang-soat akan suara jerit keputus-asaan, suara yang mampu meruntuhkan semangat
juang kehidupan yang menyeluruh. Siapa pun takkan menyangka dalam keadaan
seperti itu, ternyata dia masih punya keberanian untuk bertahan hidup. Mungkin
lantaran bekal keberanian itulah maka dia tetap hidup sampai sekarang. Jika dia
sendiri dapat mengalahkan dirinya, kenapa Kongcu Gi harus turun tangan?
Kongcu Gi berkata, “Karena itu
sekarang pasti kau sudah mengerti, kau bisa hidup dan berada di sini, pasti
bukan bernasib mujur.”
Pho Ang-soat bertanya lagi, “Kau
berbuat demikian, hanya karena kau harus membuktikan bahwa kau lebih kuat dari
aku?”
“Betul,” ucap Kongcu Gi, rona
matanya mendadak menampilkan rasa sedih, tapi juga mengandung cemoohan, “Karena
hanya orang yang terkuat saja dapat menikmati semua itu, jika kau dapat
mengalahkan aku, segala itu akan menjadi milikmu.”
“Segalanya?” Pho Ang-soat
menegas.
“Segalanya, maksudnya adalah
seluruh yang ada, di antaranya bukan saja termasuk harta benda atau kekayaan,
kebesaran nama dan kekuasaan, malah termasuk pula diriku.” Lalu dia tertawa,
tawa yang manis lembut, “Asal kau dapat mengalahkan dia, aku pun akan menjadi
milikmu.”
Ketika daun pintu itu didorong
terbuka, di luar adalah sebuah lorong panjang, bagai lorong yang tak berujung
pangkal.
Kongcu Gi mendorong pintu, lalu
melangkah keluar, di ambang pintu dia membalik badan, “Silakan ikut aku.”
Ternyata Coh-hujin tidak ikut keluar
bersama Pho Ang-soat, sekarang mereka sudah tiba di ujung lorong. Di sana
mereka dihadang sebuah pintu terbuat dari kayu yang berukir indah dan berat, di
balik pintu adalah sebuah ruangan besar dan luas, ada sebuah panggung batu
besar dan luas, di empat sudut panggung batu berdiri sebuah obor besar.
Pelan-pelan Kongcu Gi melangkah
ke atas, berdiri di tengah panggung, “Di sinilah tempat kita berduel.”
“Bagus sekali,” ucap Pho
Ang-soat.
Panggung yang rata dan mengkilap,
cahaya obor yang benderang, dimana pun berdiri, ke arah mana pun menghadap sama
saja. Keadaan lengang dalam ruang besar ini, angin pun tiada, persiapan untuk
turun tangan dan kecepatan serangan, pasti takkan terpengaruh oleh lingkungan
sekitarnya. Agaknya Kongcu Gi tidak ingin memungut sedikitpun keuntungan dalam
duel ini, entah itu tempat, waktu, situasi dan kondisi. Memang tidak mudah
untuk mempersiapkan gelanggang pertarungan yang serba komplit.
Tiga buah kursi besar dan lebar
yang empuk menyegarkan masing-masing berada di kedua sisi panggung, jaraknya
dengan pinggir panggung batu ada tujuh kaki.
“Waktu kita bertanding, hanya
boleh enam orang menonton, mereka adalah saksi atau wasit pertandingan ini,
maka kau boleh bebas memilih tiga di antaranya.”
“Tidak usah,” seru Pho Ang-soat
segera.
“Duel dua orang jago silat, kalah
menang sering terletak pada suatu kejadian yang tak berarti, kalau ada teman
sendiri ikut menyaksikan dan memperhatikan dari samping betapapun akan
melegakan perasaan, hati lebih mantap, kenapa kau mengabaikan hakmu ini?”
“Karena aku tidak punya teman.”
Kongcu Gi menatapnya, katanya,
“Lebih baik kau tetap menggunakan hakmu ini di antara orang-orang yang
kuundang, kalau ada yang membuatmu merasa tidak tenteram, kau bebas menolak
kehadirannya.”
“Bagus sekali,” ujar Pho
Ang-soat.
“Kau sudah bercapai lelah sekian
hari, semangat dan kondisi badanmu pasti teramat lelah, tidak jadi soal kau
beristirahat secukupnya di tempat ini, karena itu kapan duel ini akan dilakukan
juga kuserahkan kepadamu untuk menentukan.”
Pho Ang-soat ragu-ragu, katanya,
“Besok, saat seperti sekarang bagaimana?”
“Boleh saja.”
“Baik besok aku kemari lagi.”
“Kau tak usah pergi, di sini aku
sudah menyiapkan tempat tinggal dan pakaianmu, kau boleh tinggal dengan
tenteram dan memulihkan kondisimu, pasti tiada orang berani mengganggumu, jika
kau memerlukan apa-apa, kami pun siap melakukan kepadamu, tanggung beres.”
“Kelihatannya duel kali ini
seperti amat adil,” ucap Pho Angsoat.
“Pasti adil.”
“Peti matiku tentu sudah kau
siapkan juga.”
Ternyata Kongcu Gi tidak
menyangkal, “Peti mati itu terbuat dari kayu yang paling baik, sengaja kubeli
dari Liu-ciu, kalau kau ingin memeriksanya, aku akan mengantarmu.”
“Kau sudah memeriksanya?”
“Ya, sudah kuperiksa.”
“Kau amat puas?”
“Puas sekali.”
“Cukuplah.”
Reaksi Kongcu Gi amat tawar,
katanya, “Sekarang mungkin kau hanya ingin melihat ranjangmu.”
“Ya, benar.”
Kain korden dari kain sari yang
tersulam indah dengan warna yang serasi menutupi cahaya matahari sehingga kamar
itu terasa remang-remang temaram seperti di waktu magrib.
Di luar kembali terdengar suara
sumbang, pendek dan kerap dari pedang yang tercabut dari sarungnya, sekarang
Pho Ang-soat sudah sadar sesadar-sadarnya.
Tadi dia pulas, tidur nyenyak.
Dia terjaga bukan karena suara pedang tercabut, tapi dia mendadak terjaga
karena di dalam kamarnya mendadak sudah bertambah satu orang.
ooooOOoooo
Bayangan seorang yang bertubuh
semampai, berdiri setengah melintang di pinggir jendela, membelakangi dirinya,
dibungkus jubah sutranya yang lembut ketat, lapat-lapat kelihatan pinggangnya
yang ramping, pinggulnya padat, kedua pahanya yang jenjang lurus.
Dia tahu Pho Ang-soat sudah
bangun, namun tidak menoleh, perlahan dia menghela napas, lalu bersuara dengan
sendu, “Sehari telah berlalu pula, dari hari ke hari, tanpa terasa setahun
telah lampau, kehidupan seperti ini entah sampai kapan baru akan berakhir.” Suaranya
yang merdu dengan perawakan tubuh yang menggiurkan, namun justru mendatangkan
perasaan sebal.
Pho Ang-soat tidak memberi
reaksi.
Coh-hujin berkata pula perlahan,
“Mungkin kau beranggapan aku tidak pantas kemari, apa pun aku adalah isterinya,
tapi kehidupan seperti ini sungguh sudah bosan, amat kesal, maka ...”
“Maka kau mengharap aku dapat
mengalahkan dia?”, tanya Pho Ang-soat.
“Betul. Aku memang berdoa semoga
kau dapat mengalahkan dia, sekian tahun ini hanya kau saja yang punya kesempatan
dan kemampuan untuk mengalahkan dia, setelah kau mengalahkan dia, maka
kehidupanku pasti akan berubah.”
“Bagi yang menang akan
mendapatkan segalanya?”
“Ya, segala yang dimilikinya.”
“Isterinya pun tidak terkecuali?”
“Betul.”
Mendadak Pho Ang-soat tertawa
dingin, katanya, “Walaupun kau bukan isteri yang baik, sebetulnya tak perlu ia
menyerempet bahaya.”
“Tapi dia ingin membuktikan bahwa
dia lebih kuat dari kau.”
“Dibuktikan untuk siapa?
Memangnya di sini masih ada seorang lain yang memegang nasib hidupnya? Maka dia
berbuat demikian, karena tiada jalan lain yang bisa dia tempuh?”
Coh-hujin mendadak membalik,
menatapnya lekat-lekat, sorot matanya yang bundar cemerlang seindah zamrud
menampilkan rasa kaget dan heran, agak lama baru dia menghela napas, katanya,
“Bagaimana kau punya pikiran demikian?”
“Kalau kau menjadi aku, bagaimana
kau akan berpikir?”
“Yang pasti aku tidak akan ngawur
seperti apa yang kau duga, akan kutumplekkan seluruh perhatian untuk berusaha
mengalahkan dia,” dengan langkah lembut dia menghampiri, pinggangnya
meliuk-liuk, kerlingan matanya seperti air bening mengalir, “Walau aku tidak
terhitung isteri yang baik, tapi aku ini perempuan baik, yakin kau pun bisa
menilai.”
“Aku tidak bisa menilaimu,” ujar
Pho Ang-soat.
Perlahan Coh-hujin menghela
napas, katanya, “Sekarang boleh kau saksikan lebih teliti.” Sehabis
perkataannya, maka jubah sutra panjang yang menutupi tubuhnya sudah melorot
jatuh.
Napas Pho Ang-soat terhenti,
tidak bisa tidak harus mengakui bahwa tubuh bugil yang polos ini amat mulus dan
sempurna, selama hidup belum pernah dia menyaksikan tubuh perempuan seelok ini.
Isteri seorang kaya raya, punya
kekuasaan besar, cantik molek dan anggun, mendadak telanjang bulat di
hadapannya, daya tarik dan rangsangannya sungguh sukar dilawan.
Dia berdiri tenang sambil pasang
gaya di depan ranjang, menatapnya lekat-lekat, “Asal kau dapat mengalahkan dia,
semua ini akan menjadi milikmu, tapi sekarang belum.” Kedua tangannya mengelus
paha terus merambat naik ke perut serta meremas payudara sendiri!
Wajah Pho Ang-soat yang pucat
kelihatan merah. Dia tahu perubahan telah terjadi di atas tubuhnya, dia tahu
Coh-hujin tentu sudah memperhatikan perubahan dirinya.
Suasana tenang di magrib nan
indah ini, di kamar serba mewah ini seperti diliputi bau wangi yang teruar dari
badannya yang polos memabukkan. Betapapun Pho Ang-soat adalah laki-laki,
laki-laki jantan, laki-laki normal.
Coh-hujin sudah memungut bajunya,
beranjak keluar selincah burung walet, tiba-tiba dia membalik di luar pintu
sembari tertawa, katanya, “Sekarang aku belum menjadi milikmu, tapi kalau kau
perlu, aku bisa mencarikan orang lain untuk menemani kau.”
Pho Ang-soat mengepal kedua
tinjunya, mendadak dia bertanya, “Apakah Coh Giok-cin ada di sini?”
Coh-hujin mengangguk.
“Suruhlah dia kemari sekarang
juga.”
Coh-hujin menatapnya dengan
terbelalak kaget, seperti mimpi pun tak menduga bahwa dia akan mengajukan
permintaan ini.
“Tadi kau bilang, setiap
permintaanku kalian pasti akan menyiapkan.”
Coh-hujin tertawa pula, tawa yang
mengandung makna misterius, katanya, “Kenapa kau memilih dia? Kenapa kau tidak
memilih Bing-gwat-sim?”
Badan Pho Ang-soat mengejang
mendadak.
“Kau tidak menduga bahwa dia
belum mati?”
“Aku ...”
“Dia pun di sini, apakah aku
perlu membawanya kemari?” mendadak Coh-hujin menarik muka, suaranya menjadi
dingin,
“Aku tahu kau tidak mau
menerimanya, yang kau inginkan adalah Coh Giok-cin, biasanya yang kau sukai
adalah perempuan galak, bejat dan rendah.”
“Biang”, daun pintu ditutup
dengan sentakan keras. Kali ini waktu dia pergi kepalanya tidak menoleh lagi.
Kenapa mendadak dia berubah begitu emosi? Hanya karena Pho Angsoat ingin
mencari Coh Giok-cin?
Seorang perempuan cantik yang licin
dan dingin umumnya takkan marah hanya karena urusan sekecil ini.
ooooOOoooo
Pho Ang-soat masih rebah diam di
atas ranjang, suara sumbang, pendek dan kerap dari pedang yang tercabut itu
masih terus terdengar. Untuk duel kali ini orang lain sudah mempertaruhkan
imbalan sebesar ini, jika dirinya risau dan gundah hanya karena perempuan,
bukankah dia ini terlalu goblok? Tapi tidak bisa tidak dia tetap harus
memikirkan Binggwat-sim, kalau betul dia belum mati dan jatuh di tangan
orang-orang seperti ini, jelas nasibnya teramat mengenaskan. Teringat akan hal
ini, baru dia sadar kenapa sudah sekian lama dirinya tidak pernah memikirkan
dia.
Seseorang memang selalu akan
berusaha menyingkir dari kenyataan hidup ini bila menghadapi penyesalan yang
terukir dalam relung hatinya.
Tanpa terasa malam makin larut,
dalam rumah menjadi gelap, di luar terdengar suara ketukan pintu. “Siapa di
luar?”
“Inilah nona Coh, nona Coh
Giok-cin,” itulah suara seorang dayang cilik, ketika daun pintu terbuka, muncul
dua dayang cilik yang masing-masing memegang sebuah lampion hijau dan merah
sambil membimbing Coh Giok-cin masuk.
Dia berdandan dan bersolek
secantik bidadari, gelung rambutnya yang hitam mengkilap dihiasi bunga mutiara,
baju luarnya yang bermodel pakaian ratu terurai panjang menyentuh lantai
terseret di belakang, selintas pandang keadaannya agak mirip si cantik Ong
Cau-kun yang berangkat menunaikan tugas keluar perbatasan sebagai juri damai
negaranya.
Sekarang jelas dia tidak perlu
berpura-pura lemah dan bersikap harus dikasihani, dengan tatapan dingin dia
mengawasi Pho Ang-soat, wajahnya tidak menampilkan perasaan apa-apa.
Kedua dayang cilik itu menaruh
lampion di tempat gantungan, sambil tertawa cekikikan, mereka mengundurkan diri
sambil menutup mulut.
Mendadak Coh Giok-cin berkata
dingin, “Kaukah yang mencari aku?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Ingin menuntut balas?”
“Aku mengundangmu kemari, karena
ada beberapa persoalan ingin kutanya kepadamu.”
“Dan sekarang?”
“Sekarang aku sudah tidak ingin
bertanya, boleh kau silakan pergi.”
“Kau tidak ingin membalas?”
“Tidak.”
“Kau juga tidak ingin aku naik
ranjang?”
Pho Ang-soat menutup mulut, dia
tidak menyalahkan, bahwa Coh Giok-cin mengeluarkan perkataan begitu, memang
bukan persoalan yang patut dibuat kaget.
Seorang perempuan seperti
dirinya, jika insaf dengan aksinya, sudah tak mampu melukai atau merugikan
orang lain, maka dia akan mengucapkan kata-kata yang menyinggung untuk melukai
hatinya. Kalau dia harus mencelakai orang lain, mungkin lantaran dia harus
melindungi diri sendiri, mempertahankan hidup.
Maka Pho Ang-soat tidak
menyalahkan dia, hanya mendadak dia merasa amat penat, mengharap supaya dia
lekas pergi, selamanya tidak berjumpa lagi. Mendadak disadarinya bahwa segala
urusan tetek-bengek tiada artinya, tidak penting, yang paling penting adalah
duel besok pagi itu.
Pemenang akan memiliki segalanya,
dia harus mengalahkan orang yang sampai sekarang masih berlatih mencabut
pedang, hanya mengalahkan orang yang satu ini, baru dia akan berhasil
membongkar seluruh rahasia yang terselubung di sini, baru dia akan berjumpa
pula dengan Binggwat-sim.
Tapi Coh Giok-cin justru tetap
berdiri di sana, menatapnya, sorot matanya mengandung keperihan dan kebencian,
katanya, “Kalau kau tidak ambil peduli dan tidak memperhatikan diriku lagi,
kenapa kau mengundangku kemari?”
“Anggaplah aku tidak patut
mengundangmu kemari, sekarang kau tetap boleh pergi.”
“Sekarang aku sudah tidak utuh
lagi.”
“Dalam hal apa kau tidak utuh?”
“Tidak utuh, tidak utuh lagi
seolah-olah dia tidak mendengar pertanyaan Pho Ang-soat, mulutnya masih
mengigaukan perkataan itu, entah berapa kali dia mengulangnya, jelas air mata
sudah meleleh di pipinya.
Di saat air mata menyentuh
hidung, Coh Giok-cin pun tersungkur roboh. Pakaiannya yang serba merah
tersingkap lebar, hingga tertampaklah warna darah yang segar. Itulah warna
darah yang sesungguhnya.
Darah segar berlepotan di sekujur
badannya yang bugil, dari leher hingga di ujung kaki boleh dikata tiada tempat
yang utuh, kulit dagingnya seperti disayat-sayat.
Kontan Pho Ang-soat mencelat
bangun, hatinya seketika tenggelam.
Coh Giok-cin mengertak gigi,
desisnya penuh iba, “Sekarang tentu kau mengerti, kenapa keadaanku tidak utuh
lagi...”
“Karena aku mengundangmu kemari,
maka dia menyiksamu begini rupa?”
Coh Giok-cin tertawa meringis,
“Sebetulnya kau sudah harus tahu, walau dia tidak memberi kesempatan kepadamu
untuk menyentuhnya, tapi dia tidak rela membiarkan perempuan lain kau sentuh,
karena Tawanya lebih menyedihkan dari isak tangis, dia masih ingin bicara,
namun suaranya sudah tidak mampu dilontarkan.
“Kenapa? Kenapa?” Pho Ang-soat
masih bertanya sambil menggoncang badannya.
Coh Giok-cin hanya tersenyum,
pelan-pelan pelupuk matanya terpejam. Mendadak serangkum bau obat yang tebal
menyampuk hidung dari pakaiannya yang tersingkap. Coh Giok-cin memang mati
tenang, dia tidak menderita atau kesakitan, karena sekujur badannya sudah dipolesi
obat bius sehingga pati rasa oleh Coh-hujin.
Kenapa Coh-hujin berbuat
demikian? Apa betul hanya karena tidak ingin Pho Ang-soat menyentuh perempuan
lain?
Padahal belum ada setengah hari
dia bertemu dengan Pho Ang-soat, kenapa sudah timbul rasa cemburu yang menggila
dan sadis?
Orang yang tidak punya cinta,
kenapa bisa jelus? Orang yang baru bertemu setengah hari, mungkinkah jatuh
cinta?
Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri,
beranjak pula pelanpelan, perlahan mendorong pintu. Jika pintu sudah digembok
dari luar, bila daun pintu terbuat dari papan besi, dia pun takkan merasa kaget
atau di luar dugaan. Untuk menghadapi segala kemungkinan, hatinya sudah
mempersiapkan diri. Peduli dalam situasi dan kondisi apa pun, peduli terjadi
peristiwa apa, dia sudah berani menghadapinya, siap melawannya.
Tak nyana sedikit dorong, daun
pintu lantas terpentang. Di luar tiada orang, dalam lorong yang panjang itupun
tiada bayangan manusia, hanya suara pedang tercabut itu masih terus
berlangsung.
Dia menyusuri lorong panjang
menuju ke arah datangnya suara, lorong ini berbelok-belok, antara rumah yang
satu dengan rumah yang lain jaraknya amat jauh, entah berapa kali dia putar
sana balik sini, baru dia melihat sebuah pintu.
Suasana hening di belakang pintu,
tiada suara manusia, juga tiada suara pedang dicabut, dia mendorong pintu lalu
melangkah masuk. Ternyata dia kembali ke kamarnya tadi, dari sini dia keluar.
Coh Giok-cin yang terluka dalam genangan darah sudah tidak kelihatan lagi.
Dalam kamar masih tetap hening
dan sepi, walau seseorang telah tiada, namun meja penuh hidangan.
Sekarang memang tiba saatnya
makan malam, ada enam macam hidangan, semua masih panas mengepulkan asap sedap,
sepiring bakpau dan sebakul nasi putih, seguci arak yang belum terbuka segelnya.
Sekarang sebetulnya dia
memerlukan minum seteguk arak, tapi dia malah beranjak keluar. Lorong yang
sama, dalam suasana yang sepi pula. Tapi gaya langkahnya sudah berbeda. Semula
dia berjalan lambat, sekarang beranjak lebih cepat, kalau tadi dia selalu
membelok ke kiri, sekarang dia membelok ke kanan.
Suara pedang tercabut tak pernah
berhenti, entah berapa kali pula dia membelok akhirnya dia dihadang sebuah
pintu, di balik pintu tenang dan sunyi tanpa sedikit suara.
Daun pintu yang ada di sini,
bentuk ukirannya ternyata serba mirip, padahal waktu dia keluar daun pintu
tidak dirapatkan. Sekarang pintu ini ternyata tertutup rapat.
Dia mendorong pintu serta
melangkah masuk, dia sudah berulang kali memperingatkan diri sendiri harus
tabah dan berani, harus tenang dan kepala dingin.
Tapi begitu dia memasuki pintu,
betapapun hatinya masih mendelu, karena dia melihat hidangan yang penuh di atas
meja. Ternyata dia kembali ke kamar darimana tadi dia keluar, masakan masih
panas dan mengepul, malah kelihatannya lebih panas dari tadi.
Di bawah guci tertindih secarik
kertas, gaya tulisannya amat indah, jelas adalah tulisan tangan perempuan.
“Sebetulnya Bing-gwat (bulan
terang) tiada maksud, kenapa harus mencari rembulan? Sekedar minum dapat
menyenyakkan tidur, boleh silakan makan minum sekedarnya.”
Pho Ang-soat duduk.
Dia harus memaksa dirinya duduk,
karena dia sudah menyadari, kemana dan bagaimana pun dia berjalan, akhirnya
sama saja. Dia akan tetap balik ke tempat ini, tetap akan melihat hidangan
panas yang memenuhi meja ini.
Dia ingin memaksa dirinya untuk
makan meski sedikit, tapi begitu dia menjamah sumpit, seketika dia merasakan
adanya sesuatu yang ganjil, sesuatu yang berbeda.
Tadi hidangan enam macam masakan
yang tersedia di atas meja sudah dikenalnya baik, sepiring daging tupai masak
ikan pedas, sepiring lagi tulang babi saos tomat. Walau hanya sekilas dia
melihatnya, tapi masih segar dalam ingatannya, karena terhadap hidangan serba
kecut adalah paling
digemarinya.
Di atas meja ini terdapat enam
macam hidangan, tapi semuanya masakan vegetaris, masakan yang pantang daging,
kalau tadi sebakul nasi, sekarang adalah sepanci bubur merah.
Baru sekarang disadarinya bahwa
kamar ini bukan kamar yang di tempatinya tadi. Tapi bentuk setiap kamar di sini
satu dengan yang lain ternyata amat mirip, demikian pula perabot dan
pajangannya juga sama. Pho Ang-soat sendiri sampai tidak bisa membedakan, lalu
timbul pertanyaan, kamar tempat tinggalnya tadi yang satu ini atau kamar yang
lain tadi?
Bantal guling dan selimut serta
sprei ranjang tampak kalut, jelas tadi pernah ditiduri orang, lalu siapakah
yang barusan tidur di atas ranjang ini, dirinya atau orang lain? Kalau bukan
dirinya, lalu siapa?
Di tempat yang aneh serta
misterius ini sebetulnya dihuni orang-orang macam apa saja?
ooooOOoooo
Bab 23. Kakek Misterius
Di belakang kamar, di ujung sana
terdapat sebuah kamar pula, di dalam terdengar suara air gemericik. Tak tahan
Pho Ang-soat ingin menengoknya ke sana. Pintunya setengah tertutup, hanya
sekilas dia melongok, darah panas sekujur badannya seketika mendidih ke pucuk
kepalanya.
Kamar belakang itu ternyata
adalah sebuah kamar mandi yang dibangun dalam bentuk mewah, juga air dalam bak
mandi ternyata masih mengepul panas, di sekitar bak mandi didirikan pagar
berukir, di atas pagar itulah bergantung seperangkat jubah putih yang lebar.
Seorang berdiri membelakangi
dirinya, berdiri di dalam bak mandi, kulit badannya yang putih halus dan mulus
laksana sutra, pinggangnya ramping kecil, pinggulnya padat besar dan buah
dadanya kelihatan montok membukit, pahanya nan jenjang lurus dengan tumit yang
menggiurkan, laksana patung pualam yang diukir amat sempurna.
Pho Ang-soat tak melihat
wajahnya, bagian dadanya pun hanya terlihat sedikit, tapi tampak jelas rambut
kepalanya yang biasa terurai panjang itu ternyata tak ketinggalan barang
selembar pun, kepalanya sudah gundul plontos, bekas selomotan dupa yang
menghitam di atas kepalanya kelihatan jelas. Perempuan cantik yang sedang mandi
ini ternyata adalah seorang Nikoh.
Bukan Pho Ang-soat tidak pernah
melihat perempuan, bukan tak pernah dia melihat perempuan bugil. Tapi Nikoh
yang telanjang bulat, ternyata jauh berbeda. Betapa indah perawakan perempuan
cantik ini, walau membuatnya terpesona, namun dia tidak berani melihatnya dua
kali.
Segera dia berlari keluar, cukup
lama jantungnya masih berdebar-debar, setelah jauh dia beranjak baru
perasaannya tenang kembali. Dalam hati lantas timbul suatu gejolak pikiran yang
aneh.
“Apakah tidak mungkin Nikoh tadi
adalah Bing-gwat-sim?” hal ini memang bukan mustahil.
Setelah mengalami berbagai
pukulan lahir batin, merasakan kegetiran hidup, bukan mustahil Bing-gwat-sim
mencukur rambut menjadi Nikoh.
Tapi Pho Ang-soat tidak berani
kembali menyelidiki hal ini.
Pada saat itulah, dia melihat
sebuah pintu lagi, pintu yang mirip dengan ukiran, juga kelihatannya hanya
dirapatkan saja. Apakah kamar ini tempat tinggalnya semula, susah dia
memastikan.
Bukan mustahil dalam kamar inilah
Bing-gwat-sim tinggal atau bukan mustahil pula tempat tinggal Coh-hujin yang
berhati kejam sejahat ular.
Setelah berada di sini, sudah
tentu harus masuk melihatnya. Dia mengetuk pintu, tiada reaksi, perlahan dia
mendorong sedikit serta mengintip ke dalam, di dalam ternyata juga terdapat
hidangan sepenuh meja.
Saat itu memang waktu makan
malam, manusia macam apa pun tiba saatnya memang harus makan. Bau kecut manis
dari hidangan di atas meja tercium hidungnya, enam masakan di atas meja dua di
antaranya adalah kegemarannya. Setelah berputar-kayun kian kemari, akhirnya
kembali ke tempat semula.
Baru saja dia merasa lega, di
saat tangannya siap mendorong pintu melangkah masuk, “Biang” daun pintu
mendadak tertutup rapat.
Suara perempuan yang dingin
berkumandang dari dalam pintu, “Siapa yang berdiri di luar pintu sambil
longak-longok seperti panca-longok? Lekas enyah.”
Melonjak jantung Pho Ang-soat,
dia kenal suara itu adalah suara Bing-gwat-sim, tak tahan dia bertanya,
“Bing-gwat-sim, kaukah?”
Sesaat kemudian, setelah dia
menyebut nama sendiri, dia mengira Bing-gwat-sim akan membuka pintu. Tak nyana
jawabannya ternyata bernada dingin, “Aku tidak kenal siapa kau, lekas enyah!”
Apakah dia sedang takut dan
bingung? Ataukah dibelenggu orang, maka tak berani menerima kedatangannya?
Mendadak Pho Ang-soat menggedor pintu, daun pintu yang berukir itu ternyata
diterjangnya jebol. Langsung dia menerjang ke dalam, seorang berdiri di depan
ranjang sedang mengawasinya dingin, tapi dia bukan Bing-gwat-sim, melainkan
Coh-hujin.
ooooOOoooo
Kelihatannya dia baru keluar dari
kamar mandi, badannya yang bugil kelihatan basah dan hanya dibalut secarik
handuk, hingga sebagian besar tubuhnya yang menggiurkan amat mempesona
terpampang jelas.
Pho Ang-soat menjublek.
Coh-hujin berkata dingin, “Tidak
pantas kau main terjang sekasar ini? Kau harus tahu sekarang aku adalah bini
orang.”
Suaranya kedengarannya mirip
dengan suara Bing-gwat-sim.
Pho Ang-soat menatapnya tajam,
seolah-olah dia ingin menemukan sesuatu rahasia pada wajahnya.
“Aku sudah mengirim Coh Giok-cin
ke tempatmu, kenapa kau masih mencariku kemari?”
“Karena kau adalah orang yang
kucari, kau adalah Binggwat-sim.”
Dalam kamar tiada suara, rona
muka Coh-hujin juga tidak berubah, seperti dia mengenakan kedok. Mungkin yang
terlihat sekarang adalah wajahnya yang asli tapi mungkin juga bukan, tapi semua
ini sudah tidak penting.
Karena Pho Ang-soat sekarang
sudah mengerti, bagaimanapun tampangnya sudah tidak penting, yang penting
adalah dirinya tahu bahwa dia adalah Bing-gwat-sim, hal itulah yang dianggapnya
cukup penting. Dia berdiri tak bergerak di depan ranjang, entah berapa lama kemudian
dia menarik napas panjang, katanya, “Kau keliru.”
“Kenapa keliru?”
“Di dunia ini hakikatnya tiada
seorang yang bernama Binggwat-sim, bahwasanya Bing-gwat memang tidak punya
hati.”
“Betul,” Pho Ang-soat sependapat.
Bing-gwat yang punya hati, memang mirip mawar yang tak berduri, hal itu hanya
akan muncul di dalam dongeng belaka.
Coh-hujin berkata, “Mungkin dulu
kau pernah melihat Binggwat-sim di suatu tempat lain, tapi orang itu seperti
juga kekasihmu dahulu yang bernama Jwe Long, sekarang sudah tiada lagi.”
Cinta abadi yang tak terlupakan,
luka derita yang abadi pula, mungkin dia tahu bahwa dirinya tak berani
menghadapi wajah itu, maka sengaja dia menyamar sedemikian rupa, supaya dirinya
tak dapat membongkar kedoknya lagi. Bila berada di tempat terbuka, dimana ada
sinar matahari, sengaja dia mengenakan topeng dengan wajah tertawa lebar itu,
lalu mendadak dia menghilang, demikian pula Bing-gwat-sim pun lenyap tak keruan
parannya, seolah-olah dia tak pernah hidup di dunia ini.
“Sayang sekali kau melakukan satu
kesalahan.”
“Kesalahan apa?”
“Kau tidak pantas membunuh Coh
Giok-cin.”
Orang yang tidak punya cinta,
bagaimana bisa punya rasa jelus? Orang yang baru bertemu setengah hari, mana
mungkin bisa jatuh cinta?
Wajah Pho Ang-soat yang pucat
mulai bersemu merah, katanya, “Kau membunuhnya karena kau amat membenci aku.”
Sikapnya yang semula anggun dan
berwibawa itupun mendadak sirna, sorot matanya menampilkan cahaya kebencian dan
dendam Seorang yang tidak punya cinta, mana mungkin bisa membenci?
“Bing-gwat-sim ajal lantaran kau,
kau justru tidak pernah menyinggungnya. Coh Giok-cin berulang kali berusaha
mencelakaimu, kau justru selalu merindukan dia.” Perkataan ini tidak terucapkan
olehnya, sekarang memang tidak perlu diucapkan.
Mendadak dia berseru lantang,
“Betul, aku membencimu, maka aku ingin kau mampus.” Lalu dia membalik tubuh
menerjang ke kamar belakang, “Byur”, air muncrat, seseorang seperti terjun ke
dalam air.
Ketika Pho Ang-soat masuk ke sana
untuk memeriksa, di bak mandi tiada orang, kamar itupun kosong melompong.
Suara“Srak-srek”pedang tercabut
itu masih berkumandang, kedengarannya berada di luar jendela, tapi bila kain
korden tersingkap, daun jendela dibuka, bagian luarnya ternyata dihadang tembok
tinggi, hanya ada beberapa lubang angin saja. Mengintip keluar dari lubang
lubang kecil ini, di luar nampak gelap, entah tempat apa.
Kemana dia? Darimana dia? Jelas
dalam kamar kecil ini ada jalan rahasia, namun Pho Ang-soat sudah malas
mencarinya. Dia sudah menemukan orang yang ingin dicarinya, juga sudah tahu
kenapa dia membunuh Coh Giokcin.
Maka yang dapat dia lakukan
sekarang hanyalah menunggu, menunggu duel yang akan terjadi besok pagi.
Menunggu di sini memang tiada
bedanya, tapi dia tidak mau menetap di sini, dia mendorong pintu dan beranjak
keluar, suara mencabut pedang itu kedengarannya lebih dekat di lorong panjang
ini.
Kenapa harus menunggu sampai
besok? Kalau cepat atau lambat duel itu akan diadakan, urusan harus dibereskan,
bukankah lebih cepat beres lebih baik, lebih melegakan.
Coh-hujin pasti melakukan aksi
untuk mengacau pikirannya, supaya hatinya risau, gundah dan gelisah, pikiran
tidak tenang. Padahal dirinya tak pernah berbuat salah, walau dia sendiri yang
melenyapkan jejak, walau di antara mereka tiada pernah melakukan perjalanan
bersama, tapi dia tak
pernah mau peduli segala alasan
itu.
Seorang perempuan bila dia ingin
membenci seorang lelaki, kapan saja dia bisa mencari ratusan alasan. Di antara
persoalan itu, walau banyak yang tak bisa dijelaskan, susah diperoleh
jawabannya, kenapa sekarang harus dipikirkan lagi?
Jika dikalahkan oleh Kongcu Gi,
sudah tentu persoalan itu dia boleh tidak usah ambil perhatian, terhadap
persoalan apa pun, mati adalah jawaban yang paling tepat.
Pada saat itulah dia menemukan
pintu lagi, suara pedang tercabut terdengar di belakang pintu.
Kali ini dia benar-benar yakin,
suara pedang tercabut pasti berada di dalam pintu. Waktu dia mengulur tangan
mendorong pintu, begitu menyentuh daun pintu, seketika dia tahu daun pintu di
sini terbuat dari papan besi.
Pintu terpalang dari dalam,
didorong tak terbuka, diterjang juga tidak jebol, diketuk juga tidak dibuka.
Di saat dia sudah putus asa dan
hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya gelang tembaga yang tergantung di
atas pintu ternyata mengkilap terang, jelas gelang ini sering dipegang tangan
manusia sehingga mengkilap bercahaya.
Gelang tembaga bukan payudara
perempuan, juga bukan barang mainan. Jika tanpa sebab atau alasan, siapa pun
takkan sering memegang, apalagi bermain gelang pintu.
Tak lama kemudian Pho Ang-soat
sudah menemukan jawabannya. Gelang tembaga ini ternyata bisa diputar ke kanan
dan kiri, belasan kali dia mencobanya, maka jawabannya ketemu, pintu besi itu
segera terbuka.
Suara pedang tercabut seketika
berhenti.
Ketika dia masuk ke dalam pintu,
dia tidak menemukan orang yang mencabut pedang, namun dia menghadapi simpanan
barang harta besar yang belum pernah dilihatnya selama hidup.
ooooOOoooo
Mutiara, zamrud, mata kucing,
mutu manikam, kristal air dan berbagai batu permata termasuk berlian, bertumpuk
dan bersusun menggunung di dalam kamar ini. Harta dalam ruangan yang besar dan
luasnya sukar dibayangkan oleh siapa pun.
Mutu manikam sebanyak ini,
ternyata seperti tak berharga sepeser pun oleh pemiliknya. Maka satu peti wadah
perhiasan pun tiada di dalam kamar ini, harta benda serba antik dan tak
ternilai harganya itu berserakan di lantai, seperti tumpukan sampah yang
berkilauan, bertumpuk berkelompok dimanamana.
Di ujung kamar terdapat sebuah
almari besi, daun pintunya digembok dengan gembok besar, entah apa yang
tersimpan di dalamnya? Mungkinkah jauh lebih berharga dari mutu manikam yang
berserakan itu?
Untuk membuka almari harus
membuka gemboknya, untuk membuka gembok harus ada kunci. Tapi ada sementara
orang di dunia ini tanpa pakai kunci juga bisa membuka gembok.
Memang tidak banyak ahli kunci
demikian, tapi juga tidak sedikit.
Tapi gembok yang satu ini
ternyata dibuat sedemikian bagus, jelas dibuat oleh tangan yang betul-betul
ahli, pencipta kunci gembok ini pernah mengagulkan diri, orang yang mampu
membuka gemboknya itu tanpa menggunakan kunci, di dunia ini tidak akan lebih
dari tiga orang.
Karena dia hanya tahu ada tiga
Biau-jiu-sin-tho (maling sakti) di dunia ini yang terkenal di luar tahunya, di
dunia ini masih ada orang keempat lagi. Dan orang keempat ini adalah Pho
Ang-soat.
Tanpa banyak susah-payah, cepat
sekali dia sudah berhasil membuka almari besi ini. Di dalam almari tersimpan
sebilah pedang dan sejilid buku catatan.
Sebatang pedang merah segar,
semerah darah segar. Mata Pho Ang-soat memicing, sudah tentu dia kenal baik
bahwa itulah pedang mawar Yan Lam-hwi. “Pedang utuh manusia hidup, pedang
hancur pemiliknya mampus”, pedang berada di sini, dikemanakan orangnya?
Buku catatan itu sudah rusak dan
terlalu lama, jelas seseorang sering membuka lembaran buku ini, buku catatan
yang sudah butut dan luntur warnanya, kenapa sedemikian berharga sampai harus
disimpan di dalam almari besi.
Sekenanya dia membuka selembar,
maka jawaban pun terpampang di depan mata. Dalam lembar ini tertulis:
-Tanggal delapan besar bulan dua,
Ong Hong Congpiauthau Seng-to Piaukiok mohon bertemu, melalaikan tugas upeti
terputus, Kongcu kurang senang. Tanggal dua puluh sembilan bulan dua, Ong Hong
mati di bawah kuda.
-Tanggal sembilan belas bulan dua
jikongcu Lamkiong Ou dari keluarga besar Lamkiong yang sudah turun temurun
mohon bertemu, melalaikan tata tertib, tutur katanya tidak sopan. Tanggal dua
puluh sembilan bulan dua, Lamkiong Ou mendadak mati setelah minum arak.
-Peng Kui ahli waris
Ngo-hou-toan-bun-to menghadap tanggal dua puluh satu bulan dua, tidak becus
menunaikan tugas, membocorkan rahasia. Tanggal dua puluh dua bulan dua, Peng
Kui bunuh diri.
Hanya melihat beberapa baris
tulisan itu, tangan Pho Angsoat sudah dingin.
Di hadapan Kongcu Gi, peduli
kesalahan apa pun yang kau lakukan, ringan atau berat putusan hukumnya sama,
yaitu mati.
Hanya mati secara menyeluruh
dapat membereskan segala persoalan. Kongcu Gi tidak memberi peluang kepada
siapa saja untuk melakukan kesalahan kedua, sudah pasti orang itupun tak diberi
kesempatan untuk menuntut balas.
Buku catatan ini merupakan
lambang kekuasaannya, lambang kekuatan yang berkuasa untuk menentukan mati
hidup seseorang. Kekuasaan seperti ini sudah tentu jauh lebih menyentuh hati
siapa saja dibanding harta benda yang tak bernilai itu.
Asal kau bisa menang dalam duel
ini, segalanya akan menjadi milikmu, termasuk seluruh kekayaan, kebesaran dan
nama, demikian pula kekuasaan. Orang-orang gagah, para enghiong betapa jerih
payah mereka bertempur di medan laga, meski tulang-tulang menggunung, mereka
tidak pernah gentar, darah mengalir bagai sungai, lalu apa tujuan mereka?
Memangnya siapa kuat melawan daya tarik seperti ini?
Pho Ang-soat menghela napas
panjang, waktu dia mengangkat kepala, mendadak dilihatnya sepasang mata tengah
mengawasi dirinya dari dalam almari. Semula dalam almari ini hanya tersimpan
sebatang pedang dan sejilid buku, tapi sekarang tahu-tahu muncul lagi sepasang
mata yang lebih tajam dari pisau.
Almari besi berbentuk kotak persegi,
tinggi empat kaki, mendadak berubah gelap dan dalam, begitu dalamnya hingga tak
terlihat dasarnya. Sepasang mata ini tengah mengawasinya dari tempat yang gelap
itu.
Tanpa sadar Pho Ang-soat menyurut
dua langkah, telapak tangannya sudah basah oleh keringat dingin. Sudah tentu
dia tahu, di balik almari besi sebelah sana tentu juga terdapat sebuah pintu,
di luar pintu ada seseorang. Ketika daun pintu di balik sana terbuka, maka
orang inipun muncul.
Tapi secara mendadak dia melihat
sepasang mata di tempat gelap ini, betapapun dia terkejut dibuatnya. Maka dia
pun melihat raut muka orang itu, wajah yang penuh diliputi kerut-merut, rambut
dan jenggotnya sudah putih, seorang tua yang sudah kenyang menelan pengalaman
hidup. Tapi sepasang matanya itu tampak masih muda, sorot matanya mengandung
kecerdikan yang luar biasa serta daya hidup yang amat kuat.
Orang tua itu sedang tersenyum,
katanya, “Aku tahu kau punya mata malam (dapat melihat di tengah gelap), tentu
kau sudah melihat aku adalah orang tua.”
Pho Ang-soat mengangguk, tanpa
bersuara.
“Pertama kali ini kau melihatku,
pertama kali pula aku melihatmu,” kata orang tua. Tawanya terasa ganjil,
perlahan dia berkata pula, “Aku hanya mengharap inilah yang terakhir pula.”
“Kau pun mengharap aku mengalahkan
Kongcu Gi?”
“Paling tidak aku tidak mengharap
kau mati.”
“Kalau aku hidup apa faedahnya
untuk dirimu?”
“Tiada faedahnya, aku hanya
mengharap duel ini dapat dilangsungkan secara adil.”
“Secara adil?”
“Hanya seorang yang betul-betul
kuat mencapai kemenangan, baru duel ini boleh dianggap adil,”
senyumannya sirna, mukanya yang
sudah tua penuh keriput mendadak berubah serius berwibawa, hanya seorang yang
biasa suka menggunakan pengaruh dan kekuasaannya saja yang bisa menunjukkan
mimik dan sikap demikian. Perlahan dia melanjutkan, “Bagi yang kuat akan
memiliki segalanya, hal ini sudah menjadi hukum alam, kejadian jamak, hanya
seorang yang betul-betul kuat baru setimpal dia memiliki segalanya itu.”
Dengan pandangan kaget Pho
Ang-soat mengawasi perubahan mimik orang, tak tahan dia bertanya, “Kau
beranggapan aku lebih kuat dari dia?”
“Paling tidak kau adalah calon
satu-satunya yang dapat mengalahkan dia, tapi sekarang kau terlalu tegang,
terlalu lemah.”
Pho Ang-soat membenarkan pendapat
orang, sebetulnya dia memang berusaha supaya dirinya tenang dan tenteram, tapi
dia tidak mampu melakukannya.
“Sekarang masih ada delapan jam
menjelang duelmu itu, kalau selama ini kau tidak bisa membuat dirimu longgar,
bebas dan mengendorkan urat syaraf, maka besok mayatmu akan menggeletak
dingin.”
Sebelum Pho Ang-soat berbicara
dia sudah melanjutkan, “Keluar dari sini, ke kanan membelok tiga kali, di kamar
sebelah kiri ada seorang perempuan rebah di atas ranjang sedang menunggumu.”
“Siapa dia?” tanya Pho Ang-soat.
“Tak perlu kau tanya siapa dia,
tak usah kau tahu kenapa dia menunggumu,” sampai di sini suaranya berubah kaku
dingin dan tajam, “laki-laki seperti dirimu adalah pantas kalau menganggap
perempuan di seluruh dunia ini sebagai alat pelampias belaka.”
“Alat pelampias?” Pho Ang-soat
bingung.
“Dia itulah alat pelampias nafsu
untuk melonggarkan urat syaraf dan mengendorkan pikiran tegangmu.” Pho Ang-soat
diam.
“Kalau kau tidak mau berbuat
demikian, setelah keluar pintu kau boleh belok kiri tiga kali, di sana kau akan
menemukan sebuah rumah.”
“Ada apa di dalam rumah itu?”
“Peti mati.”
Pho Ang-soat menggenggam kencang
goloknya, katanya, “Siapa kau sebetulnya, berdasar apa kau memerintah aku?”
Orang tua itu tertawa lagi, tawa
yang ganjil dan misterius. Bila senyuman itu tersimpul di wajahnya, maka wajah
itupun lenyap ditelan kegelapan, seperti tak pernah muncul.
Menginjak tumpukan perhiasan mutu
manikam yang berserakan dan menggunung itu, Pho Ang-soat beranjak keluar pintu
tanpa menoleh lagi. Tumpukan harta yang tak ternilai itu dalam pandangannya
seperti sampah busuk belaka.
Begitu berada di luar pintu, dia
lantas membelok ke kiri tiga kali, setelah dia membelok dia menemukan sebuah
pintu. Sebuah kamar kosong, di dalamnya hanya ada sebuah peti mati, peti mati
yang terbuat dari kayu yang berkwalitas tinggi, panjang lebar dan tingginya
seperti sudah diukur persis untuk perawakan Pho Ang-soat.
Di atas peti menggeletak
seperangkat pakaian hitam, ukurannya ternyata cocok dengan potongan badannya.
Ternyata peti dan pakaian ini memang disediakan untuk dirinya, setiap urusan
sudah disediakan dan disiapkan dengan rapi.
Jelas bukan pertama kali mereka
melakukan tugas ini, malah dia bisa membayangkan setelah dia mati, di dalam
buku catatan itu juga akan ditambah tulisan baru ....
Tanggal berapa bulan berapa Pho
Ang-soat datang menghadap, terlalu tegang dan kelelahan, pongah dan goblok.
Kongcu Gi kegirangan. Tanggal sekian bulan sekian, Pho Ang-soat mati di bawah
pedangnya.
Sudah tentu catatan di dalam buku
itu tidak bisa melihatnya, bagi yang bisa membacanya tentu hatinya girang.
Peti mati itu terasa dingin dan
keras, catnya yang masih baru mengkilap di kegelapan. Mendadak dia membalik
tubuh terus berlari keluar, kembali ke dalam gudang harta itu, di dalam
berkumandang pula “Srak, srek” dari pedang dicabut dari sarungnya. Tapi dia
tidak berhenti, langsung dia membelok ke kanan tiga kali, langsung dia mendorong
daun pintu di sebelah kiri.
Di balik pintu gelap-gulita,
tiada yang bisa terlihat, namun hidungnya mengendus bau harum. Dia melangkah
masuk, lalu menutup pintu. Dia tahu dimana letak ranjang, sekarang dia sudah
mendengar detak jantungnya sendiri.
Apa betul di atas ranjang ada
orang? Siapa dia? Seorang yang hidup dan segar bugar mana boleh dijadikan alat,
tapi dia insyaf perkataan orang tua itu memang benar dan dia memang amat
membutuhkan. Bila seseorang ingin mengendorkan urat syaraf yang terlalu tegang,
memang cara itulah yang paling manjur.
Kamar
ini sunyi senyap, akhirnya dia mendengar suara napas seorang lain. Suara napas
yang perlahan teratur, selembut hembusan angin lalu di musim semi.
Tak tahan dia bertanya, “Siapa
kau? Kenapa kau menungguku?”
Tiada jawaban.
Terpaksa dia maju menghampiri,
ranjang berkasur empuk dan hangat, dia mengulur tangan, terasa badan yang halus
dan mulus, selembut sutra nan hangat menggairahkan. Ternyata dia sudah
telanjang bulat. Di kala tangannya menyentuh perutnya yang datar dan lembut,
jantungnya berdetak keras, napas pun mulai memburu. Dia bertanya pula, “Kau
tahu siapa aku?”
Tetap tiada jawaban, tapi sebuah
tangan telah menggenggamnya.
Terlalu lama lepas dari pergaulan
ranjang, nafsu yang sudah lama terkekang dan belum pernah terlampias menjadikan
perasaannya terlalu sensitif, betapapun dia adalah lelaki normal yang baru
menanjak setengah umur.
Perubahan terjadi pada tubuhnya,
napas yang tersengal sudah mulai berubah menjadi rintihan lembut, rintihan yang
merangsang birahinya. Mendadak Pho Ang-soat seperti tenggelam di dalam hiburan
yang menyenangkan, kenikmatan yang hangat. Badannya yang empuk, dadanya yang
kenyal sehangat sinar mentari pagi di tengah padang rumput yang menyinari embun
yang menguap, bukan saja menerima juga memberi, saling isi.
Tenggelam dalam kenikmatan,
seolah-olah dia terbayang saat pertama kali menikmati surga dunia seperti ini
dulu. Waktu itu juga dalam kamar yang gelap, perempuan lawan mainnya juga sudah
matang dan berpengalaman, juga mendambakan kesenangan yang tiada taranya.
Tapi dia memberikan kenikmatan
ini bukan lantaran cinta, tapi adalah untuk membuatnya menjadi seorang
laki-laki. Karena saat itu adalah menjelang dia menuntut balas.
Hari kedua waktu dia bangun,
ternyata memang terasa kondisinya jauh lebih fit, lebih bergairah dari
sebelumnya, daya tahannya lebih tebal dan kuat. Manusia memang serba aneh,
setelah terlampias, ada kalanya malah membuat orang lebih padat, lebih kuat.
Padang rumput yang lembab basah
sedang bergerak, bergesek dan menggelinjang lembut. Pho Ang-soat mengulur
tangan, mendadak dirasakan perempuan telanjang bulat ini membungkus kepalanya
dengan secarik kain halus. Kenapa dia membalut kepalanya?
Mungkin dia tidak boleh menjambak
rambutnya, atau mungkin kuatir rambutnya yang panjang mengganggu jalannya
adegan yang merangsang ini? Atau hakikatnya dia memang tidak punya rambut?
Terbayang tubuh mulus di dalam
bak mandi itu, terbayang rasa dosa dalam benaknya. Tapi rasa dosa itu sekarang
justru menimbulkan kejutan pada gerakannya yang makin keras. Maka dia tenggelam
dalam kenikmatan lahiriah yang sudah lama belum pernah dirasakan, nafsu birahi
yang terlampias. Akhirnya sekujur badannya lunglai, perasaan longgar, tiada
ketegangan lagi.
ooooOOoooo
Akhirnya dia bangun.
Sekian tahun belum pernah dia
tidur sepulas dan sesegar ini, begitu bangun, di sampingnya sudah tiada orang.
Bantal di sebelahnya masih terasa harum, kenikmatan yang dirasakan semalam
sekarang sudah tak bisa ditemukan lagi laksana sebuah impian di musim semi.
Dalam kamar ternyata sudah ada
pelita, di atas meja sudah disediakan sarapan. Di atas pagar di pinggir bak
mandi masih tergantung jubah putih yang longgar dan besar. Mungkinkah perempuan
yang semalam ... dia melarang dirinya memikirkan lebih lanjut, setengah jam
lamanya dia berendam di dalam bak mandi yang hangat airnya, setelah gegares
hidangan yang tersedia, maka kondisinya sekarang sudah amat fit, kesegaran yang
tercapai dari kenikmatan, sekarang dia sudah mempunyai segala kekuatan untuk
menghadapi segala tantangan.
Pada saat itulah, pintu terbuka,
Coh-hujin berdiri di depan pintu, dingin tatapan matanya, sorot matanya yang
jeli bening mengandung cemoohan, katanya dingin, “Kau sudah siap?”
Pho Ang-soat manggut-manggut.
“Baik,” ujar Coh-hujin. “Ikut
aku.”
Suara mencabut pedang sudah
berhenti, lorong panjang ini dicekam keheningan laksana di sebuah pekuburan.
Coh-hujin berjalan di depan,
pinggangnya begitu lemas, pinggulnya seperti menggoda birahinya, gayanya yang
mempesona memang cukup memabukkan.
Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat
sekarang, dia tidak lebih cuma seorang perempuan biasa, tiada perbedaan dengan
perempuan kebanyakan di dunia ini. Karena sekarang dia sudah tenang dan mantap,
setenang pisau, sekokoh batu gunung. Dia memang perlu ketenangan.
Kongcu Gi menunggu dirinya di
balik sebuah pintu di depan, mungkin pintu inilah yang terakhir dapat dia
masuki selama hidup ini.
Coh-hujin berhenti, lalu membalik
badan mengawasinya, mendadak tertawa dan berkata, “Sekarang kalau kau ingin
melarikan diri, aku bisa memberikan petunjuk lewat jalan mana kau akan bisa
lolos.” Tawanya agung dan anggun, suaranya merdu nyaring dan lembut.
Tapi Pho Ang-soat sudah tidak
melihat dan mendengarnya, dia mendorong pintu lalu melangkah lurus ke dalam,
gaya jalannya masih tetap kaku dan jelek. Tapi tiada suatu kejadian apa pun di
dunia ini yang mampu menghentikan langkahnya.
Sudah tentu dia masih memegang
goloknya. Tangan yang memucat karena menggenggam terlalu keras, golok yang
hitam legam.
Tangan Kongcu Gi tidak memegang
pedang, pedang di atas panggung tak jauh di pinggirnya. Pedang yang merah
segar, merah darah. Dia berdiri miring menggelendot di panggung batu, mukanya
masih mengenakan topeng hijau, sorot matanya yang dingin, jauh lebih
menakutkan.
Pho Ang-soat justru seperti tidak
melihat, bukan saja tidak melihat orangnya, juga tidak melihat pedangnya.
Mereka sudah mencapai lupa segalanya.
Itulah tuntutan paling rendah
terhadap diri sendiri, tiada mati hidup, tiada menang kalah, tiada orang, tiada
aku. Ini bukan saja taraf tertinggi bagi seseorang menjadi manusia, juga taraf
tertinggi yang harus dicapai oleh setiap insan persilatan.
Hanya di waktu lahir batin bersih
dan suci, seseorang baru bisa menggunakan ilmu golok yang melampaui segalanya.
Bukan saja harus melampaui bentuk, juga harus dapat melampaui batas waktu.
Apakah benar dia dapat melakukan hal ini?”
Obor menyala besar dan benderang.
Topeng tembaga hijau yang dipakai
Kongcu Gi kelihatan mengkilap ditimpa cahaya obor, seolah-olah juga punya
nyawa, karena mimik dan sikap mukanya kelihatan selalu berubah. Tapi sorot
matanya justru teramat dingin, mendadak dia bertanya, “Apakah kau sudah
berkeputusan untuk mengabaikannya?”
“Mengabaikan apa?” tanya Pho
Ang-soat.
“Mengabaikan hakmu memilih
saksi,” ucap Kongcu Gi.
Pho Ang-soat diam sekian lamanya,
akhirnya berkata perlahan, “Aku hanya ingin mencari seorang.”
“Siapa?”
“Seorang tua di dalam almari
besi.”
Sorot mata Kongcu Gi seketika
menampilkan perubahan yang ganjil, namun cepat sekali sudah pulih dingin dan
kaku, katanya, “Aku tidak tahu siapa yang kau maksud?”
Sebetulnya jelas dia tahu, tapi
Pho Ang-soat tidak ingin mencari keributan, katanya tandas, “Baiklah, kalau
begitu kuabaikan.”
Kongcu Gi seperti merasa lega,
katanya, “Kalau demikian, terpaksa keenam saksi ini akulah yang memilih.”
“Boleh saja.”
“Orang pertama adalah aku, kau
menentang tidak?” kata Coh-hujin.
Pho Ang-soat geleng kepala.
“Orang kedua adalah
Tan-toalopan,” ujar Kongcu Gi.
Di luar pintu seorang segera
berteriak, “Silakan Tantoalopan.”
Dapat menjadi saksi dalam duel
ini, sudah tentu harus seorang yang betul-betul mempunyai asal-usul dan
kedudukan, padahal orang yang setimpal untuk jadi saksi tidak banyak. Tapi
Tan-toalopan yang satu ini justru kelihatan awam, seorang laki-laki yang lamban
dan kelihatan bodoh, raut mukanya yang bundar gemuk walau selalu mengulum
senyum ramah, namun senyumannya tak urung menampilkan rasa takut hatinya.
Kongcu Gi berkata, “Tentunya kau
kenal baik dengan Tantoalopan ini.”
“O, ya,” pendek suara Pho
Ang-soat.
“Tan-toalopan yang satu ini juga
kenal kau.”
Tan-toalopan segera mengunjuk
seri tawanya, katanya,
“Aku kenal, setahun yang lalu
kami sudah bertemu di Honghong-kip.”
Kota mati yang sudah usang dan
serba kotor serta bobrok, merek warung yang sudah luntur warnanya masih
melambai ditiup angin.
Arak tua simpanan bertahun-tahun
khusus bikinan warung arak Tan yang terkenal.
Sudah tentu Pho Ang-soat kenal
orang gendut ini, tapi dia seperti tidak mendengar dan tidak melihatnya.
Ternyata Kongcu Gi juga tak acuh,
tanyanya tawar kepada Tan-toalopan, “Kalian kenal baik?”
“Kenal baik sih tidak, hanya
pernah bertemu sekali saja,” sahut Tan-toalopan.
“Hanya pernah melihat sekali,
tapi kau sudah mengingatnya.”
Tan-toalopan tampak bimbang,
katanya, “Karena sejak tuan ini berkunjung ke warungku, perusahaan lantas
bangkrut, Hong-hong-kip juga hancur lebur, aku ... aku Seolah-olah
tenggorokannya mendadak menjadi kering dan gatal, maka dia terbatuk-batuk,
makin lama batuknya makin keras dan sesak hingga otot hijau merongkol di
jidatnya, air mata pun meleleh dari ujung matanya.
Untung Kongcu Gi sudah mengulap
tangan, katanya, “Silakan duduk.”
Coh-hujin segera maju
membimbingnya, katanya lembut, “Mari duduk di sana, selama gunung tetap menghijau,
jangan kuatir kehabisan kayu bakar, kejadian yang sudah lampau, tak usah kau
taruh dalam hati.”
“Aku tidak ... tidak akan ...”
sebelum habis dia bicara, mendadak Tan-toalopan sudah menangis
tergerung-gerung.
Dua jago paling top yang tiada
tandingan di dunia masa itu akan berduel, yang menjadi saksi malah menangis
tergerunggerung, jarang ada kejadian seperti ini.
Kongcu Gi tidak memperlihatkan
perubahan sikap, katanya, “Bukan saja Tan-toalopan berwatak jujur, sederhana
dan dermawan, dia pun banyak pengalaman dan luas pengetahuan, sebagai saksi dia
Cukup setimpal dan jarang ditemukan orang seperti dia.”
“Ya,” Pho Ang-soat mengiakan.
Suaranya tenang dan datar, seperti hal ini memang sudah jamak.
Ternyata Kongcu Gi juga tidak
menampilkan rasa kecewa, katanya, “Saksi ketiga adalah majikan Cong-tin-kek Ni
Pohong, Ni-losiansing.”
Seorang petugas di luar pintu
segera tarik suara lagi, “Nilosiansing, persilakan.”
Seorang tua berjubah sutra dengan
corak warna yang mewah beranjak masuk sambil membusung dada, sorot matanya
penuh diliputi kebencian dan dendam.
Memang siapa saja bila melihat
pembunuh putra dan putrinya berdiri di depan mata, tapi tanpa bersuara atau
komentar lantas duduk, memang kejadian yang sukar dilakukan orang lain.
Ni Po-hong sudah duduk di
kursinya, duduk di sebelah Tantoalopan yang masih bercucuran air mata, masih
mendelik ke arah Pho Ang-soat.
Kongcu Gi berkata, “Ni-losiansing
adalah Bu-lim Cianpwe, bukan saja pandai menilai pusaka, dia pun pandai menilai
orang.”
“Aku tahu,” ujar Pho Ang-soat.
“Bisa menarik Ni-losiansing untuk
menjadi saksi duel kami sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi kami.”
“Betul.”
“Tiga orang saksi yang kuundang
ini, tiada yang kau tentang?” Pho Ang-soat geleng kepala.
“Duel antara dua jago kosen,
sedikit kesalahan berakibat fatal, oleh karena itu perasaan hati pun tidak
boleh terpengaruh sedikitpun.”
“Aku tahu,” ucap Pho Ang-soat.
“Mereka tidak akan mempengaruhi dirimu?”
“Tidak.”
Kongcu Gi menatapnya, sorot
matanya tidak menampilkan rasa kecewa.
Demikian pula rona muka Pho
Ang-soat tidak memperlihatkan perubahan. Peduli ketiga orang itu adalah musuh
besarnya atau kekasihnya, mereka menangis atau tertawa, persetan, tiada
sangkut-pautnya dengan dirinya, karena dia tidak ambil peduli, tidak mendengar
juga tidak melihat. Apakah duel kali ini adil atau tidak, dia juga tidak
peduli, dia tidak ambil perhatian.
Dari kejauhan Coh-hujin
mengawasinya, demikian juga Ni Po-hong dan Tan-toalopan juga sedang menatapnya,
sikap dan mimik mereka tampak aneh dan lucu, entah kaget dan heran, atau karena
takut dan ngeri? Atau mungkin juga kagum?
Kongcu Gi ternyata masih bersikap
wajar, katanya, “Orang keempat adalah Ji-gi Taysu dari Kui-hoa-san.”
Maka petugas di luar pintu
kembali tarik suara, “Ji-gi Taysu persilakan.”
Melihat orang ini beranjak masuk
pelan-pelan, rona muka Pho Ang-soat berubah seketika, seumpama sebuah tanggul
besar yang kokoh mendadak jebol diterjang air bah.
ooooOOoooo
Bab 24. Pertarungan Terakhir
Kiu-hoa-san terletak empat puluh
li di sebelah barat daya kota Ceng-yang di wilayah propinsi An-hwi. Ke arah
selatan dari Kui-hoa-san dapat memandang Lingyang, ke barat menghadap ke
Jiu-poh, di utara bersambung dengan jalan raya Ngo-hi, ke timur bertaut dengan
dua puncak Ling-gou dan Kui-hoa-san.
Kiu-hoa-kiam-pay bukan saja
memiliki ilmu pedang yang luar biasa hebatnya, di puncak gunung itu penuh
diliputi romantika para penyair dan kaum Buddhis yang serba rahasia.
Dalam Bu-lim ada Jit-toa-kiam-pay
(tujuh aliran besar ilmu pedang), Kiu-hoa-san tidak termasuk di antaranya,
karena murid didik Kiu-hoa-san memang teramat jarang, jejak mereka pun tidak
sembarangan berkecimpung di Kangouw.
Beberapa tahun yang lampau, sudah
tersiar luas berita bahwa Kiu-hoa-san sudah menggabungkan diri ke pihak
Yubing-kau, sekaligus mereka menjunjung dua Cosu sebagai cikal-bakal mereka.
Seorang adalah Te-cong-ong Posat, seorang lagi adalah penyair terkenal sejak
zaman dinasti Tong waktu Li Si-bin bertahta, yaitu penyair romantis Li Pek.
Konon Li Pek yang bergelar
Ceng-lian Kisu bukan saja dewanya penyair, dia pun seorang dewa pedang, ilmu
pedang Kiu-hoa-pay merupakan warisan langsung dari ilmu ciptaannya.
Setelah ratusan dan ribuan tahun
kemudian, dalam kalangan Kangouw muncul pula seorang pendekar aneh Li Mo-pek,
dia pun keturunan langsung dari Kiu-hoa-pay. Berita yang tersiar luas di
kalangan Kangouw, menjadikan pandangan kaum persilatan bertambah misterius
terhadap aliran Kiu-hoa-pay.
Maka jejak murid-murid
Kiu-hoa-pay serba tersembunyi dan rahasia, beberapa tahun belakangan ini boleh
dikata mereka sudah tidak terjun ke dalam percaturan dunia persilatan.
Tapi semua ini bukan penyebab
kagetnya Pho Ang-soat, yang membuatnya terkejut adalah ji-gi Taysu sendiri.
Ji-gi Taysu mengenakan jubah
keimanan warna putih, berkaos kaki putih, kepala gundul klimis, sikapnya serius
dan agung, sorot matanya bersinar, selintas pandang jelas adalah seorang
beribadat yang sudah amat mendalam ajaran agamanya, seorang perempuan yang
menjadi pendeta dalam ajaran agamanya.
Ji-gi Taysu ternyata adalah
seorang Nikoh.
Kelihatan usianya sudah mendekati
setengah baya, perawakannya sedang, wajahnya ayu jelita tapi bersih dan kereng,
gerak-geriknya sopan dan sikapnya ramah, wajahnya yang kelihatan serius, tidak
menampilkan sesuatu yang menarik perhatian orang. Sudah tentu tidak pula
menunjukkan sesuatu yang patut dibuat kaget.
Dalam padangan siapa pun, dia
tidak lebih hanya seorang Nikoh setengah baya yang patuh pada ajaran agama dan
tekun menjalankan ibadah, tiada bedanya dengan para Nikoh lain yang tekun dan
patuh akan tata tertib ajaran agamanya.
Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat
ternyata jauh berbeda, walau wajahnya kelihatan cantik dan suci, sepasang
tangannya pun seelok batu jade yang mulus dan lembut serta lemas seperti tak
bertulang. Kakinya yang telanjang juga kelihatan putih mulus mempesona
pandangan. Jubah keimanan yang putih dan gombrong lemas, bersih tak berdebu,
menutupi perawakannya yang ramping dan menggiurkan. Tiada seorang pun pernah
membayangkan bagaimana bentuk tubuh seorang Nikoh setengah baya yang kelihatan
alim ini di balik jubah gombrongnya.
Tapi lain bagi Pho Ang-soat, dia
dipaksa untuk membayangkan. Jubah putih yang terlampir di atas pagar, perawakan
ramping molek di dalam bak mandi, rintihan di tengah gelap dengan napas yang
memburu, pelukan yang hangat dan halus licin, sepasang payudara yang gempal,
serta kedua tangan yang memancing birahi hingga dia tenggelam dalam mimpi
kenikmatan.
Ternyata tidak bisa tidak dia
harus membandingkan perempuan yang semalam mahir bermain adegan ranjang dengan
Nikoh setengah baya yang kelihatan suci dan agung ini. Walau dia berusaha mencegah
hatinya berpikir, namun apa lacur, dia tidak bisa tidak memikirkannya.
Padahal dia sudah tidak peduli
dan tak mau campur akan segala persoalan di sekelilingnya, namun Nikoh setengah
baya yang patuh akan ajaran agamanya ini justru membuatnya kacau dan
berantakan. Terasa bibirnya kering tenggorokan gatal, jantung berdetak lebih
keras, hampir tak kuat dia menguasai emosinya.
Ji-gi Taysu sebaliknya hanya
memandangnya sekilas, wajahnya yang agung kelihatan suci sedikitpun tidak
menampilkan perasaan hatinya.
Pho Ang-soat sudah hampir tak
tahan, ingin memburu ke bawah menjambret jubahnya serta menelanjanginya, ingin
dia memeriksa apakah Nikoh ini adalah perempuan yang semalam temannya bermain.
Tapi terpaksa dia harus menekan
emosi dan bersabar, seolah-olah dia mendengar orang bertanya, “Apakah Sicu ini
adalah Pho Ang-soat yang terkenal di seluruh dunia itu?” Seolah-olah dia pun
mendengar jawabannya, “Ya, aku adalah Pho Ang-soat.”
Coh-hujin mengawasi mereka, sorot
matanya membayangkan rona kelicikan, mencemooh dan penuh muslihat. Apakah dia
sudah tahu akan kejadian mereka semalam?
Mendadak Coh-hujin tertawa,
katanya, “Taysu sudah lama mengasingkan diri di Kiu-hoa, tak nyana juga sudah
tahu nama besar Pho-tayhiap.”
Ji-gi Taysu berkata, “Walau Pinni
hidup di luar duniawi, namun segala kejadian di dunia Kangouw, sedikitpun tak
pernah ketinggalan.”
Coh-hujin bertanya pula, “Sebelum
ini apakah Taysu pernah melihatnya?”
Ji-gi Taysu menepekur, ternyata
dia mengangguk, katanya, “Agaknya pernah melihatnya sekali, sayang waktu itu
cuaca amat gelap, hingga tak sempat melihat jelas.”
Coh-hujin tertawa, katanya,
“Walau Taysu tak melihat jelas, dia pasti melihat Taysu dengan jelas.”
“Ah, masa?”
Senyum Coh-hujin penuh mengandung
arti, katanya, “Karena Pho-tayhiap kita ini punya mata malam, di dalam gelap
dapat melihat benda seterang kita melihat benda di tempat terang.”
Wajah Ji-gi Taysu seperti
menunjukkan sedikit perubahan aneh.
Perasaan Pho Ang-soat pun semakin
berat, seperti tenggelam dalam lautan.
Dalam kegelapan semalam,
hakikatnya dia tidak memperhatikan, cuma lapat-lapat dia hanya melihat bentuk
tubuhnya yang mulus menggiurkan. Selama ini tak pernah terpikir olehnya akan
hal ini, baru sekarang dia menyadari bahwa ketajaman matanya mulai terpengaruh
dan kurang beres. Kejadian pasti berlangsung setelah dia bertemu dengan
orangtua dalam almari besi itu. Apakah sorot mata orangtua itu, memiliki
kekuatan iblis yang dapat menyebabkan seseorang berubah menjadi pikun dan
tumpul pikirannya? Kenapa dia mencegah Pho Ang-soat melihat jelas perempuan
yang diajaknya bermain di atas ranjang? Kenapa pula perempuan itu harus
menunggunya di tempat gelap?
Dua orang saksi terakhir juga
ditunjuk oleh Kongcu Gi dan dipanggil masuk, ternyata Pho Ang-soat tidak
memperhatikan lagi siapa kedua saksi ini.
Hatinya kalut lagi, perasaannya
tidak tenteram.
Apa pun dia tak bisa melupakan
adegan 'syuur' semalam, dia merasa berdosa karena seorang segar bugar dia peralat
untuk melampiaskan nafsu binatangnya.
Isak tangis Tan-toalopan, tatapan
benci Ni Po-hong yang penuh dendam, mendadak berubah menjadi tekanan yang tak
mungkin bisa dia bendung. Demikian pula pedang merah darah itu.
Kenapa pedang merah darah itu bisa
terjatuh ke tangan Kongcu Gi? Kalau pedang di tangannya, lalu dimana Yan
Lam-hwi sekarang? Ada hubungan misterius apakah di antara kedua orang ini,
kenapa sampai sejauh ini Kongcu Gi tetap tidak mau memperlihatkan wajah
aslinya?
ooooOOoooo
Cahaya obor menyala benderang
sehingga panggung batu itu seterang siang hari.
Akhirnya Pho Ang-soat naik ke
atas panggung batu, jarinya menggenggam kencang gagang goloknya, lebih kencang
dari pegangan biasanya.
Di kala dia sedang sedih, pilu
dan risau, menderita tanpa bantuan, hanya golok itu yang selalu menjadi
pendamping, memberikan kekuatan yang menenteramkan perasaannya.
Terhadap dirinya, golok ini lebih
berguna dari sebatang tongkat yang biasa digunakan si tuna netra, antara jiwa
raga dan goloknya itu, seperti sudah terjalin suatu ikatan lahir batin. Semacam
perasaan atau ikatan yang tak bisa diselami oleh orang lain, malah satu sama
lain saling mempercayai.
Kongcu Gi menatapnya lekat-lekat,
katanya pelan sepatah demi sepatah, “Sekarang setiap saat kau sudah boleh
mencabut golokmu.” Sekarang pedang pun sudah berada di tangannya.
Hadirin maklum dalam kondisi
seperti ini, orang percaya dia jauh lebih yakin dan mantap dibanding Pho
Ang-soat.
Mendadak Pho Ang-soat bertanya,
“Maukah kau menunggu sebentar?”
Sorot mata Kongcu Gi menampilkan
cemoohan, katanya, “Kau boleh menunggu, namun harus kau sadari, betapapun lama
aku menunggu, kalah menang tetap takkan bisa berubah.”
Pho Ang-soat seperti tidak mendengar,
habis dia bicara, mendadak dia putar tubuh beranjak pergi, langsung mendekati
Ji-gi Taysu.
Ji-gi Taysu mengangkat kepala
memandangnya dengan rasa kejut dan curiga.
Pho Ang-soat bertanya, “Taysu
datang darimana?”
“Datang dari Kiu-hoa,” jawab
Ji-gi Taysu.
“Sang raja datang darimana?”
“Datang dari Sin-kiang.”
“Dia membuang kedudukan dan
keagungan, apa tujuannya?”
“Membina diri memperdalam agama
Buddha.”
“Kalau sudah membina diri belajar
agama Buddha, kenapa bersumpah pun dia tidak bisa menjadi dewa?”
“Karena dia harus menolong sesama
manusia,” sikap Ji-gi Taysu makin tenang, sikapnya pun kelihatan agung dan
angker, orang lain hakikatnya tiada yang paham apa yang mereka perbincangkan.
Pho Ang-soat bertanya pula,
“Ongcu sekarang dimana?”
“Tetap di Kiu-hoa.”
“Kalau Ongcu menolong sesama umat
manusia, lalu Taysu?”
“Pinni juga punya cita-cita yang
sama.”
“Kalau demikian, semoga Taysu
sudi memberi berkah kepadaku, supaya hatiku tenteram pikiran tenang.”
Ji-gi Taysu merangkap kedua
tangan, katanya, “Ya.” Dari dalam kantung bajunya dia mengeluarkan sebuah botol
kecil serta menuangkannya beberapa tetes minyak suci, minyak suci ini dia
poleskan di muka dan punggung tangan Pho Angsoat, mulutnya komat-kamit membaca
mantra entah apa artinya, lalu dia bertanya, “Apa keinginanmu?”
Seperti bersenandung Pho Ang-soat
tarik suara, “Selamat tenteram, tak bergerak laksana bumi, tenang mendalam,
laksana madu seperti sang dewa.”
Dengan telapak tangannya perlahan
Ji-gi Taysu menepuk batok kepala Pho Ang-soat, katanya, “Baiklah, kau boleh
pergi.”
“Baik, aku segera pergi,” sahut
Pho Ang-soat.
Waktu dia mengangkat kepala,
wajahnya yang pucat dan kurus kelihatan memancarkan cahaya, bukan cahaya dari
minyak. Tapi cahaya terang laksana sinar pusaka yang membawa ketenteraman dan
ketenangan.
Lalu dia putar tubuh langsung
beranjak ke atas panggung. Waktu lewat di depan Coh-hujin, mendadak dia
berkata, “Sekarang aku sudah tahu.”
“Tahu apa?” tanya Coh-hujin.
“Tahu kau inilah, “sahut Pho
Ang-soat.
Berubah rona muka Coh-hujin,
serunya, “Apalagi yang kau ketahui?”
“Yang patut kuketahui sudah
kuketahui.”
“Kau ... darimana kau bisa tahu?”
“Tenang mendalam laksana dewa.”
Di waktu dia naik pula ke atas
panggung berhadapan dengan Kongcu Gi, bukan saja sikapnya tenang wajar,
seolaholah dia betul-betul setenang bumi yang tak tergoyahkan.
Punggung tangan Kongcu Gi yang
menggenggam pedang ternyata mengencang hijau karena otot-otot tangannya
merongkol keluar.
Pho Ang-soat menatapnya sinis,
katanya tiba-tiba, “Kau sudah pernah kalah sekali, kenapa mengejar kekalahan
lagi?”
Badan Kongcu Gi bergetar, sorot
matanya memicing beringas, mendadak dia menghardik laksana guntur, pedang sudah
tercabut, sinar pedang yang merah darah berkelebat laksana bianglala. Hanya
pandangan seorang yang betul-betul tajam mungkin dapat mengikuti sambaran sinar
perak yang berkelebat sekali di tengah sambaran cahaya merah bianglala tadi.
“Ting” hanya sekali berdenting,
maka seluruh gerakan seketika berhenti, seperti beku dan kaku, seluruh
kehidupan di mayapada ini, seperti mati seketika dalam detik itu pula. Golok
Pho Ang-soat sudah berada dalam sarungnya, ujung pedang Kongcu Gi masih
mengincar tenggorokannya, tapi dia tidak berani menusukkan. Sekujur badannya
seperti mendadak menjadi kaku dan beku.
Perlahan tapi pasti topeng
tembaga hijau di mukanya merekah menjadi dua hingga kelihatan wajah asli di
balik topeng. Itulah seraut wajah yang putih bersih, wajah nan cakap dan
ganteng, namun wajah ini diliputi rasa ngeri dan takut.
“Trang”, waktu topeng tembaga
yang terbelah itu jatuh mengeluarkan suara berisik, pedang pun terlepas
berkerontang.
Orang di balik kedok ini ternyata
adalah Yan Lam-hwi.
Cahaya obor gemerlapan, ruang
sebesar itu dalam keadaan hening lelap tanpa sedikit suara pun.
Akhirnya Yan Lam-hwi buka suara,
“Sejak kapan kau tahu?”
“Belum lama,” sahut Pho Ang-soat.
“Waktu kau mencabut golok sudah
tahu akan diriku?”
“Betul.”
“Maka kau punya keyakinan pasti
menang.”
“Karena dalam hatiku sudah tidak
kalut tidak tergerak.”
Yan Lam-hwi menarik napas
panjang, katanya muram, “Sudah tentu kau harus punya keyakinan, karena aku
sebetulnya memang sudah mati di tanganmu.”
Lalu dia memungut pedang
panjangnya dengan kedua tangan, dia angsurkan ke depan, katanya pula, “Silakan,
silakan turun tangan.”
Pho Ang-soat menatapnya bulat,
katanya, “Sekarang citacitamu sudah terkabul?”
“Ya, sudah,” ujar Yan lam-hwi.
Tawar suara Pho Ang-soat, “Maka
sekarang kau sudah menjadi seorang mati, kenapa aku harus turun tangan pula?”
Dia membalik badan, tidak
memandang lagi ke arah Yan Lamhwi.
Memang dia tidak perlu melihat
atau menjumpainya lagi. Di belakang didengarnya helaan napas panjang, darah
muncrat bercecer di sekitar kakinya. Dia tetap tidak menoleh, wajahnya yang
pucat menampilkan kepedihan dan kerawanan.
Dia tahu akhir dari persoalan
ini. Ada kalanya akhir dari sesuatu persoalan memang tak bisa diubah oleh siapa
pun, demikian pula nasib manusia.
Lalu bagaimana dengan nasibnya
sendiri?
Orang pertama yang menyongsong
dirinya adalah Ji-gi Taysu, dengan tersenyum dia menyapa, “Sicu sudah menang.”
“Apa betul Taysu pasti Ji-gi
(terkabul)?” Ji-gi Taysu bungkam.
“Kalau Taysu juga belum tentu
Ji-gi, lalu darimana tahu aku betul-betul sudah menang?”
Perlahan Ji-gi Taysu menghela
napas, katanya, “Betul, entah menang entah kalah? Terkabul atau tidak terkabul?
Lalu siapa yang tahu?” Kedua tangan terangkap di depan dada, lalu bersabda
pula, perlahan dia beranjak minggir.
ooooOOoooo
Waktu Pho Ang-soat mengangkat
kepalanya, dalam ruang besar ini hanya tertinggal Coh-hujin seorang saja. Orang
sedang mengawasi dirinya, bila dia menoleh baru dia berkata kalem, “Aku tahu.”
“Kau tahu?” Pho Ang-soat menegas.
“Menang adalah menang, yang
menang memiliki segalanya, yang kalah harus mati, hal ini jelas tak boleh
dipalsukan.” Setelah menghela napas dia menyambung, “Yan Lam-hwi sudah mati,
maka sudah pasti kau adalah.....”
Pho Ang-soat menukas
perkataannya, “Yan Lam-hwi memang sudah mati, lalu Kongcu Gi?”
“Bukankah kau sudah saksikan
sendiri?”
“Saksikan apa?”
“Yan Lam-hwi adalah Kongcu Gi.”
“Apa betul dia?”
“Memangnya bukan?”
“Pasti
bukan.”
Coh-hujin tertawa, mendadak dia
menuding ke belakangnya, katanya, “Coba kau lihat pula apakah itu?”
Di belakangnya adalah panggung
batu. Panggung batu yang datar mengkilap mendadak merekah ke pinggir, sebuah
kaca tembaga raksasa tengah mumbul dari bawah panggung.
“Apakah itu?” tanya Coh-hujin.
“Kaca tembaga.”
“Ada apa di dalam kaca?”
Di dalam kaca masih ada orang.
Pho Ang-soat tepat berdiri di
depan kaca tembaga, maka bayangannya terlihat di dalam kaca. “Sekarang apa yang
kau lihat?”
“Melihat diriku sendiri.”
“Maka kau sudah melihat Kongcu
Gi, karena sekarang kau adalah Kongcu Gi.”
Pho Ang-soat diam.
Dia bilang dirinya adalah Kongcu
Gi. Ternyata dia diam. Kadang kala diam merupakan tantangan tanpa suara, tapi
lebih sering bukan demikian.
“Kau serba pintar dan teliti,
dari tangan Ji-gi Taysu yang memoles minyak di muka dan di tanganmu, kau lantas
tahu perempuan yang semalam tidur dengan kau bukan dia, tapi adalah aku.”
Pho Ang-soat tetap bungkam.
“Oleh karena itu sekarang kau
pasti sudah tahu, kenapa kau adalah Kongcu Gi.”
Mendadak Pho Ang-soat bertanya,
“Apa betul sekarang aku adalah Kongcu Gi?”
“Paling tidak sekarang memang
demikian kenyataannya.”
“Lalu sampai kapan baru aku bukan
Kongcu Gi?”
“Sampai muncul pula seorang jago
yang lebih kuat dari kau di Bu lim, waktu itu
“Waktu itu nasibku akan seperti
Yan Lam-hwi sekarang.”
“Betul, waktu itu bukan saja kau
bukan lagi Kongcu Gi, kau pun bukan Pho Ang-soat. Waktu itu kau sudah menjadi
orang mati,” dia tersenyum manis dan genit. “Tapi aku percaya dalam jangka
sepuluh tahun pasti takkan muncul seorang yang lebih kuat dari kau, maka semua
yang ada di sini menjadi milikmu, kau bisa memiliki, menikmati seluruh
kekayaan, kebesaran nama dan kewibawaan, kau pun bisa menikmati kehangatan
tubuhku.”
Jari Pho Ang-soat yang
menggenggam golok mengencang katanya, “Jadi selamanya kau adalah milik Kongcu
Gi?”
“Ya, selamanya, meski Kongcu Gi
berganti sepuluh orang.”
Pho Ang-soat menatapnya nanar, genggaman
tangan semakin erat, menggenggam goloknya. Mendadak dia mencabut golok, hanya
sekali golok berkelebat. Kaca tembaga itupun terbelah, mirip topeng tembaga di
muka Yan Lam-hwi tadi, terbelah dua dan ambruk.
Begitu kaca tembaga ambruk, maka
muncullah satu orang.
ooooOOoooo
Satu orang tua.
Di belakang kaca adalah sebuah
kamar yang terpajang serba mewah dan antik, di pojok sana terdapat sebuah
ranjang pendek yang serba baru dan menyolok warnanya.
Orang tua itu rebah miring di
atas ranjang.
Dia sudah tua, sudah reyot, namun
sepasang matanya masih kelihatan cemerlang seperti mata setan dan iblis, hingga
kelihatan masih muda dan bercahaya.
Sepasang mata inilah yang dilihat
Pho Ang-soat di dalam almari besi yang gelap itu.
Mata bercahaya muda ini kini
sedang menatapnya.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali
ke sarungnya, tajam goloknya seperti berganti di kedua matanya, katanya menatap
tajam, “Di dunia ini hanya ada satu orang tahu siapasebenarnya Kongcu Gi itu.”
“Siapa tahu?” tanya orangtua.
“Kau sendiri,” sahut Pho Ang-soat
tegas.
“Kenapa aku yang tahu?” tanya
orangtua.
“Karena kaulah Kongcu Gi yang
tulen.”
Orang tua itu tertawa, tertawa
bukan menyangkal, apalagi tawa seperti yang satu ini.
Pho Ang-soat berkata pula,
“Kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Kongcu Gi pasti bukan diperoleh dengan
mudah.”
Memang tiada hasil yang diperoleh
tanpa kerja di dunia ini, terutama nama besar, kekayaan dan kekuasaan.
“Seseorang pasti merasa berat
kehilangan segala yang dimiliki,” demikian kata Pho Ang-soat.
Siapa pun demikian.
“Sayang sekali kau sudah tua,
kondisi badanmu semakin susut dan kesehatanpun menurun, kau ingin
mempertahankan segala milikmu, terpaksa kau harus mencari seorang duplikat,
seorang yang dapat mewakili dirimu, atau jelasnya menjadi antekmu.”
Kongcu Gi bungkam. Bungkam
berarti mengakui apa yang dikatakan itu memang benar.
“Maka wakil atau duplikatmu sudah
tentu harus seorang yang paling kuat, maka kau menemukan Yan Lam-hwi.”
Kongcu Gi tersenyum, katanya,
“Dia memang amat kuat, apalagi masih muda.”
“Dia tidak kuat menahan hasutan
dan bujukanmu, lalu menjadi duplikatmu.”
“Sebetulnya selama ini dia
bekerja dengan baik sekali.”
“Sayang sekali dia kalah. Kalah
oleh golokku di Hong-hongkip.”
“Bagi dirinya, memang satu hal
yang harus dibuat sayang.”
“Bagi dirimu?” tanya Pho
Ang-soat.
“Bagi diriku sama saja,” sahut
Kongcu Gi.
“Sama saja?”
“Kalau ada seorang lain yang
lebih kuat untuk menggantikan dia, kenapa aku masih harus memakainya?” Pho
Ang-soat menyeringai dingin.
“Tapi aku memberi kesempatan
kepadanya, dalam setahun asal dia dapat mengalahkan kau, dia akan tetap
memiliki segalanya,” suaranya lebih kereng, “maksudku dia harus mengalahkan
kau, bukan untuk membunuhmu.”
“Karena kau ingin seorang yang
paling kuat.”
“Betul.”
“Dia berpendapat permainan
golokku yang paling menakutkan adalah mencabut golok.”
“Maka dia giat berlatih mencabut
pedang, sayang sekali setahun kemudian dia tetap tak yakin dapat mengalahkan
kau.”
“Maka lebih besar hasratnya untuk
memiliki Toa-pi-bu dan Khong-jiok-ling?”
“Maka dia keliru?”
“Dia pula yang keliru?”
“Memangnya aku yang salah?”
“Kenapa dia keliru?”
“Karena dia tidak tahu kedua
benda itu sudah berada di tanganku.”
Pho Ang-soat mengancing mulut.
“Dia pun tidak tahu, bahwa kedua
benda itu hakikatnya tidak menakutkan seperti yang tersiar di Bu-lim. Umpama
dia memperoleh kedua benda itu, juga belum tentu pasti dapat mengalahkan kau.”
Berita di luar, kabar yang
tersiar dari mulut ke mulut biasanya memang lebih indah, lebih muluk dari
kenyataannya.
Pho Ang-soat cukup tahu akan hal
ini.
Kongcu Gi berkata, “Sejak mula
aku sudah menilaimu lebih kuat dari dia, karena kau memiliki kekuatan atau daya
tahan yang aneh dan luar biasa.” Lalu dia menjelaskan, “Kau dapat menahan
derita yang tak mungkin ditahan oleh orang lain, dapat pula menerima pukulan
lahir batin yang tak mungkin diterima orang lain.”
“Maka dalam duel ini kau memang
sudah mengharap aku yang menang.”
“Karena itu aku suruh Meja
(Coh-hujin) menemani kau, tidak ingin kau terlalu tegang menjelang duelmu
dengan dia.”
Kembali terkatup mulut Pho
Ang-soat. Sekarang baru dia mengerti akan segala kejadian, semua persoalan yang
tak terjawab, dalam sekejap ini mendadak menjadi mudah dimengerti.
Kongcu Gi menatapnya, katanya,
“Karena itu sekarang kau sudah menjadi Kongcu Gi.”
“Bukan. Aku bukan Kongcu Gi, aku
tetap aku, aku adalah Pho Ang-soat.”
“Kenapa bukan?”
“Aku hanya duplikat Kongcu Gi
saja. Begitu?”
“Tapi kau memiliki segalanya.”
“Tiada seorang pun yang bisa
memiliki segala itu, tetap menjadi milikmu.”
“Maka.....”
“Maka sekarang aku tetap adalah
Pho Ang-soat.”
Berdenyut pelupuk mata Kongcu Gi,
matanya makin memicing, katanya, “Jadi kau tidak mau menerima segala itu?”
“Ya, tidak mau.”
Pelupuk mata mengkeret dan
setengah terpejam, jari-jari tangan juga mengencang. Tangan yang memegang
golok. Agak lama kemudian, mendadak Kongcu Gi tertawa, katanya, “Kau tahu bahwa
aku ini sudah tua renta.”
Pho Ang-soat tidak memberi
komentar.
“Tahun ini usiamu ada tiga puluh
lima atau enam?” tanya Kongcu Gi.
“Tiga puluh tujuh, “ sahut Pho
Ang-soat.
“Kau tahu berapa usiaku?”
“Enam puluh?”
Kongcu Gi tertawa, tawa yang
aneh, namun membawa mimik yang sedih dan mencemooh.
“Kau belum ada enam puluh?”
“Tahun ini usiaku juga genap tiga
puluh tujuh.”
Pho Ang-soat terbelalak kaget,
menatap tajam kerut keriput di wajahnya yang pucat.
Dia tak bisa percaya, tapi dia
tahu, seseorang menjadi tua dan renta, ada kalanya bukan lantaran tersiksa oleh
jalannya sang waktu. Banyak persoalan, peristiwa dapat menjadikan seseorang
menjadi cepat tua.
Rindu dapat membuat orang menjadi
tua, demikian pula sedih dan risau serta penderitaan dapat menjadikan orang
beruban.
Kongcu Gi berkata, “Tahukah kau
kenapa aku menjadi tua begini?”
Pho Ang-soat tahu.
Bila seseorang memiliki banyak
keinginan, entah itu anganangan atau cita-cita, terlalu besar ambisi, maka dia
pasti dapat menjadi lekas tua. Pho Ang-soat tahu akan hal ini, tapi dia tidak
melontarkan isi hatinya dengan kata-kata, kalau sudah tahu kenapa harus dikatakan.
Ternyata Kongcu Gi tidak memberi
penjelasan lebih lanjut, karena dia maklum Pho Ang-soat pasti sudah tahu apa
maksudnya.
“Karena terlalu banyak yang
kupikirkan, maka aku cepat tua, karena aku tua, maka aku tetap lebih kuat dari
kau,” uraiannya serba diplomasi, “jika kau bukan Kongcu Gi, maka kau tidak akan
menjadi Pho Ang-soat.”
“Aku orang mati?”
“Betul.”
Pho Ang-soat duduk, duduk di meja
pendek di seberang ranjang. Dia amat lelah. Mengalami duel tadi, asal dia
seorang manusia, maka dia pasti akan merasa lelah.
Namun relung hatinya justru amat
bergairah, semangatnya menyala. Dia tahu akan datang satu pertempuran lagi,
pertempuran yang jauh lebih sengit dan tegang dari duel yang terdahulu tadi.
“Kau masih kuberi kesempatan
untuk mempertimbangkan,” desak Kongcu Gi.
“Kurasa tidak perlu,” ujar Pho
Ang-soat.
Kongcu Gi menghela napas,
katanya, “Kau pasti tahu aku tidak ingin kau mati.”
Pho Ang-soat tahu, untuk mencari
seorang duplikat seperti dirinya, pasti bukan suatu hal mudah.
“Sayang sekali, aku sudah
terpojok, tiada pilihanku yang lain.”
“Aku pun tiada pilihan lain.”
“Memangnya apa pun kau tidak
punya.” Pho Ang-soat tidak menyangkal.
“Kau tidak punya kekayaan, tiada
kekuasaan, tiada teman, tiada sanak-kadang.”
“Aku hanya punya satu jiwa dan
raga.”
“Kau masih punya satu lagi.”
“Punya apa pula?”
“Nama besar.”
“Kalau kau menolak tawaranku,
bukan saja aku akan menuntut jiwa ragamu, aku pun akan merusak dan meruntuhkan
nama besarmu, aku punya banyak cara.”
“Kurasa apa pun kau tidak punya,”
jengek Pho Ang-soat.
Kongcu Gi juga tidak menyangkal.
“Kau punya kekayaan, kau punya
kekuasaan, anak buahmu adalah jago-jago kosen.”
“Untuk membunuhmu, kukira aku
perlu menggunakan mereka.”
“Kau memiliki apa saja, tapi
masih kurang satu.”
“Kurang apa?”
“Kau tidak punya daya hidup,
gairah hidupmu sudah pudar.” Kongcu Gi masih tertawa.
“Umpama betul nama besar dan
kebesaran Kongcu Gi bisa bertahan lama dan abadi, akhirnya kau pun sudah mati.”
Tangan Kongcu Gi juga mengepal
kencang.
“Tanpa gairah hidup, berarti
tidak punya semangat juang, maka bila kau berani berduel dengan aku, maka kau
pasti kalah.”
Kongcu Gi masih tertawa, tapi
tawanya makin kaku dan menjadi seringai lucu.
“Jika kau berani berdiri dan
berduel dengan aku, kalau kau dapat mengalahkan aku, aku akan menjual hidupku
kepadamu, pasti takkan menyesal atau mengomel di kemudian hari,” lalu dia tertawa
dingin, katanya pula, “Tapi kau tidak berani.”
Matanya mencorong terang laksana
bintang kejora, Kongcu Gi ditatapnya tanpa berkedip. Tangannya memegang golok,
matanya seakan berpisau, ucapannya pun seperti pisau tajam.
Ternyata Kongcu Gi tidak berdiri.
Apakah karena dia tidak mampu berdiri, atau karena tangan Coh-hujin. Tangan
Cohhujin menekan kedua pundaknya.
Pho Ang-soat sudah membalik
badan, pelan-pelan dia beranjak pergi.
Kongcu Gi hanya mengawasi
punggungnya, gaya jalannya masih kelihatan kaku dan lucu, gerakannya lamban dan
malas, namun siapa pun bila mengawasinya pandangannya pasti memancarkan rasa
hormat dan kagum.
Siapa pun tak terkecuali.
Tangannya terus menggenggam golok, tapi tidak dia cabut. Aku tidak membunuhmu,
karena kau sudah seperti orang mati.
Bila hati seseorang sudah beku,
sudah mati, seumpama raga atau jazad kasarnya masih utuh juga sudah tak berguna
lagi.
Pho Ang-soat tahu kenapa
Coh-hujin menekan pundak Kongcu Gi, karena dia tidak ingin hidup dalam suasana
dan kondisi seperti itu pula. Selama hayat masih di kandung badan dia tetap
milik Kongcu Gi, dalam sanubarinya, Kongcu Gi yang tulen hanya ada satu,
selamanya tiada orang lain yang dapat menggantikan dia. Peduli dia sudah tua
atau sudah loyo, mati atau hidup, selamanya takkan ada orang lain yang dapat
mewakilinya. Karena itu Coh-hujin rela melakukan apa pun demi sang suami.
Apakah dalam hal ini dia bisa
maklum? Sampai kapan dia baru mau mengerti? Kenapa ulat sutra baru berhenti
memproduksi benang sutra setelah dia mati?
Sang surya sudah hampir terbenam.
Pho Ang-soat berdiri di bawah
pancaran sinar surya terakhir yang menguning emas, berdiri di tengah
puing-puing perkampungan merak yang sudah mulai belukar, petang mulai tiba,
suasana terasa hening beku, selayang pandang keadaan yang serba mengenaskan
melulu.
Pho Ang-soat mengeluarkan
segebung kertas, menata di depan pusara para kawannya. Kertas putih bak salju,
dengan tulisan tinta hitam yang melambangkan kematian.
Itulah berita duka kematian
Kongcu Gi, berita duka yang disiarkan ke seluruh pelosok dunia, jelas berita
ini amat menggetarkan seluruh jagat. Debu akhirnya melayang turun ke bumi,
manusia akhirnya pasti akan mati.
Pho Ang-soat menarik napas
panjang lalu menghembuskan pelan-pelan, dia mendongak melihat cuaca, keremangan
senja mulai diliputi kabut, tabir malam sudah menjelang.
Hatinya mendadak merasa aman
tenteram dan sentosa, damai dalam hati, damailah dunia fana ini, karena dia
tahu bila tabir malam menjelang, maka rembulan (bing-gwat) akan segera terbit.
Arak dalam cangkir, cangkir di
tangan.
Kongcu Gi duduk menghadap jendela
sambil menikmati arak dalam cangkir di tangannya, gunung-gemunung menghijau
permai di luar jendela, air mengalir gemerisik di bawah jembatan kecil berliku
di pinggir kanan.
Sebelah tangan yang menekan
pundaknya begitu indah, begitu lembut dan mesra. Dengan suara perlahan dia
sedang bertanya, “Sejak kapan kau mengambil keputusan untuk melakukan hal itu?”
“Setelah pikiranku benar-benar
terbuka.”
“Pikiran terbuka bagaimana?”
“Seseorang hidup untuk apa?”
tangannya juga menekan lembut di punggung tangannya. “Orang hidup hanya untuk
mengejar ketenangan dan kesenangan, jika gairah hidup pun tidak dimiliki, maka
umpama dia mempunyai nama besar, kaya raya dan besar kekuasaannya dapat
bertahan selamanya, apa pula gunanya?”
Dia tertawa riang, tawa yang
manis, tawa mesra nan lembut dan menggiurkan. Dia tahu sekarang pikirannya
memang benar-benar terbuka.
Sekarang sudah tersiar luas,
meski orang banyak menganggap dia sudah mati, tapi kenyataan dia masih hidup,
benar-benar hidup, hidup segar bugar, karena sekarang dia sudah tahu mengecap
kesenangan hidup.
Seorang bila sudah benar-benar
tahu menikmati kesenangan hidup, maka umpama dia hanya hidup sehari saja juga
cukup puas.
“Aku tahu Kongsun To dan
kawan-kawannya pasti takkan berumur panjang,” ujar Kongcu Gi.
“Kenapa?” tanya Coh-hujin.
“Karena aku sudah menanam bibit
racun dalam hati mereka.”
“Bibit racun apa?”
“Yaitu kekayaan dan kekuasaanku.”
“Kau kira mereka akan saling
rebut dan cakar-cakaran sampai mati?”
“Ya, pasti.”
Coh-hujin tertawa pula. Tawanya
lebih manis, lebih lembut.
Coh-hujin tahu kenapa Kongcu Gi
berbuat demikian, karena dia harus menebus dosanya, juga harus menebus dosanya
sendiri. Sekarang yang dikejar hanyalah ketenangan dan kesenangan hidup.
Sekarang semuanya sudah berlalu.
Dia meneguk araknya, menikmati sejuknya hawa gunung, langit nan biru hijau,
namun tak pernah dia bertanya lagi dimana sekarang Binggwat berada. Karena dia
tahu dimana Bing-gwat sekarang berada.
Dalam sebuah rumah kecil yang
sepi dihuni seorang perempuan kesepian.
Hidupnya serba kesepian, serba
sulit dan menderita.
Tapi dia tidak pernah
berkeluh-kesah terhadap Yang maha Kuasa, karena dia merasa tenteram, sekarang
dia sudah bisa hidup dari imbalan jerih-payahnya sendiri, dengan tenaga dan
cucuran keringat dia bekerja memperoleh ongkos kehidupan, tak perlu menjual
diri, menjual tampang dan senyum.
Mungkin dia belum merasa gembira,
namun dia sudah terbiasa untuk menahan diri. Dalam kehidupan di dunia fana ini
memang banyak persoalan yang tak bisa terkabulkan, maka siapa pun asal dia
manusia, dia harus berani menghadapi kenyataan, belajar menahan diri, menahan perasaan
dan emosi.
Sehari ini akan berlalu, suatu
hari yang bersahaja, hari-hari berlalu seperti biasa.
Dia menjinjing keranjang berisi
pakaian, melangkah di pinggir sungai lalu turun ke dalam air. Dia harus mencuci
bersih seluruh pakaian dalam keranjang itu, baru bisa beristirahat.
Di atas bajunya tergantung
serenceng kecil kembang melati, hanya kembang melati inilah kesenangannya,
miliknya yang paling disenangi.
Air sungai jernih bening laksana
kaca. Waktu dia menunduk memandang ke air, mendadak di permukaan air nan bening
terbayang terbalik seraut wajah seorang.
Seorang yang sebatangkara,
seorang yang kesepian, sebatang golok yang tunggal.
Jantungnya mendadak berdetak,
ketika dia mengangkat kepala, dilihatnya seraut muka yang pucat. Hatinya hampir
saja berhenti berdenyut, sudah lama tak kunjung harapan dalam benaknya bahwa
hidupnya ini masih ada harapan. Tapi sekarang bahagia seperti mendadak muncul
di depan matanya.
Mereka berdiri diam saling
berpandangan, saling selidik, bahagia laksana sekuntum kembang yang mekar segar
terbetik di dalam sanubari mereka, berkembang biak dalam adu pandang yang lekat
dan penuh kasih mesra ini.
Lama mereka tidak bersuara. Dalam
keadaan seperti ini, dengan rangkaian kata-kata muluk apakah untuk mengisahkan
atau melimpahkan rasa senang dan bahagia mereka?
Pada saat itu, Bing-gwat sudah
mulai terbit.
Dimana ada Bing-gwat? Asal hatimu
belum loyo, bila semangatmu masih menyala, maka Bing-gwat akan menyala di dalam
hatimu.
TAMAT