Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 19 November 2012

Peristiwa Bulu Merak - Khu Lung 18 s/d 21

lanjutan


Bab 18. Saat Cinta Mengental, Perasaan Pun Menipis 


Kuah yang segar hangat terasa mengalir dalam tenggorokannya, perutnya yang mengkeret lambat-laun mulai mengendor, seperti tanah yang kering disiram air, mendapat kebutuhan yang mendesak.

Waktu pertama kali Pho Ang-soat membuka mata, pertama yang dilihatnya adalah tangan yang putih dan kecil. Tangan yang memegang sebuah sendok kecil sedang menyuapi kuah hangat itu ke dalam mulutnya.

Melihat dia membuka mata, segera dia mengunjuk senyum gembira, “Inilah kuah ayam yang sengaja kusuruh nenek sebelah yang mencuci pakaian itu menggodoknya, konon bisa menambah sehat badan, agaknya memang manjur.”

Pho Ang-soat ingin menutup mulut, tapi sesendok kuah yang kental kembali diangsurkan ke depan mulutnya, sungguh tidak enak dia menolak. Dengan tertawa dia berkata pula, “Kalau dibicarakan memang aneh dan lucu. Selama hidupku ini belum pernah aku merawat orang lain, juga tiada orang yang pernah memperhatikan diriku?”

Gubuk kecil ini hanya terdapat sebuah jendela kecil, sang surya tetap memancarkan cahayanya yang benderang di luar rumah. Pandangannya sudah beralih dari muka Pho Ang-soat, melongok mengawasi cahaya surya di luar jendela. Cahaya matahari benderang, namun sorot matanya malah guram. Apakah dia terkenang akan masa lalu, di kala dia hidup sebatangkara, tiada orang menjaga, merawat dan membimbingnya? Jelas masa lalu itu dirinya tidak menikmati hidup sengsara di bawah terik matahari, mungkin selama hidupnya dulu belum pernah sehari pun dia lewatkan di bawah pancaran sinar mentari.

Agak lama kemudian baru perlahan dia melanjutkan,
“Sekarang baru aku tahu, peduli kau dirawat orang atau orang merawatmu, ternyata begitu ... adalah peristiwa yang baik.”

Dia gadis yang tidak pernah mengecap pendidikan, tidak banyak yang diketahuinya, maka cukup lama kemudian baru dia merasa tepat menggunakan “baik” itu untuk melukiskan perasaan dirinya.

Pho Ang-soat dapat memaklumi perasaannya, jelas itu tidak cukup dilukiskan dengan huruf “baik” belaka. Karena di dalamnya mengandung kepuasan, selamat dan bahagia, karena dia merasa selanjutnya dirinya tidak akan kesepian. Bukan berarti dia mendambakan perawatan dan perlindungan orang lain, namun asal dirinya bisa merawat orang lain, maka hidupnya ini sudah puas, sudah senang.

Mendadak Pho Ang-soat bertanya, “Siapa namamu? Nama aslimu sendiri.”

Dia tertawa pula, dia senang bila orang lain bertanya namanya, karena ini pertanda dia sudah menganggap dirinya sebagai manusia. Seorang manusia tulen, seorang yang berdikari, bukan lagi sebagai alat orang lain, juga bukan barang permainannya. Dengan tertawa dia berkata, “Aku she Ciu, bernama Cui-thing, dulu orang sering memanggil aku Siau-thing.”

Pertama kali ini Pho Ang-soat menemukan tawanya yang tulus dan wajar, karena dia sudah mencuci bersih pupur dan gincu di muka dan bibirnya, yang tampak sekarang adalah wajahnya yang asli. Dia tahu Pho Ang-soat sedang mengawasi dirinya. “Di waktu aku tidak merias diri, apakah wajahku tidak kelihatan seperti nenek?”

“Tidak mirip,” sahut Pho Ang-soat.

Tawa Siau-thing lebih riang, katanya, “Kau memang seorang yang aneh, aku tidak mengira kau datang mencariku.” Lalu keningnya berkerut, “Waktu kau datang, keadaanmu amat menakutkan, semula aku mengira kau sudah hampir mati, apa pun yang kutanyakan, kau bilang tidak tahu, tapi begitu aku menyentuh golokmu, lantas mau memukulku.”
Matanya lantas menatap golok hitam di tangannya itu.

Pho Ang-soat diam saja, dia pun tidak bertanya lagi, sudah lama dan biasa dia menghadapi gerakan tutup mulut orang lain. Maka terhadap persoalan apa pun, dia tidak pernah memberikan harapan yang besar. Terhadap dunia yang tidak kenal kasihan ini hakikatnya dia sudah tidak mempunyai angan-angan dan tiada mendambakan apa pun. Sampai pun siapa namanya dia pun tidak bertanya, karena ....

“Aku tahu kau adalah orang baik, meski pernah memukulku sekali, namun kau tidak menghina dan menganiayaku seperti laki-laki lain, tanpa sebab kau sudah memberi aku uang sebanyak itu.” Bagi dirinya, kejadian ini sudah merupakan budi besar dan menenteramkan hatinya, sudah cukup untuknya merasa berhutang budi dan berterima kasih selamanya.

“Uang yang kau berikan itu, sepeser pun tidak kugunakan, umpama setiap hari makan ayam juga cukup digunakan sampai lama, maka kau harus tinggal di sini, setelah penyakitmu sembuh baru kau boleh pergi.” Lalu dia genggam tangan Pho Ang-soat, “Jika sekarang kau mau pergi, pasti aku amat sedih, amat sengsara.”

Bagi pandangan orang lain dia adalah perempuan jalang yang rendah dan hina, untuk lima tahil bersedia menjual diri, tapi terhadap Pho Ang-soat dia tidak memohon apa-apa, asal dia diberi kesempatan untuk merawatnya, maka hatinya akan puas. Dibanding perempuan yang menganggap dirinya suci dan agung, lalu siapa lebih suci? Lebih agung? Siapa pula yang hina-dina?

Dia menjual diri karena dia harus hidup, memangnya siapa yang tidak ingin hidup?

Pho Ang-soat memejamkan mata, mendadak dia bertanya, “Di sini ada arak tidak?”

Siau-thing menjawab, “Aku tidak menyimpan arak, tapi aku bisa pergi membelinya.”

“Baik, kau beli, aku tidak pergi.”

Orang sakit tidak boleh minum arak, kenapa dia mau minum? Apakah lantaran hatinya dirundung kerisauan dan derita? Tapi minum arak bukan cara yang baik untuk menyelesaikan persoalan, apa manfaatnya minum arak terhadap dirinya?

Hal ini Siau-thing tidak pernah memikirkan, biasanya dia memang jarang menggunakan otak, memang tiada yang perlu dipikir, keinginannya pun tidak besar. Asal dia mau tinggal di sini, dirinya disuruh beli apa pun tidak menjadi soal.

Manusia hidup harus mengobarkan semangat mengejar cita-cita, lakukan apa yang ingin kau lakukan secara sadar, tidak boleh patah arang, menyesali nasib sendiri dan menjebloskan diri ke lumpur yang lebih dalam. Tidak pernah dia mau memahami nasehat atau petuah ini.

Karena dia sudah lama bernapas dalam lumpur, sudah lama bergelimang kotoran dalam kehidupan yang serba jorok ini, selama ini belum pernah ada seorang pun yang memberi kesempatan kepadanya, supaya dia merangkak keluar, membersihkan badan dan berdiri.

Bagi dirinya, jiwa dan kehidupan tidak seruwet yang dianggap dan dipandang orang lain, kehidupan bukan sesuatu yang mahal, tinggi nilainya. Kehidupan tidak pernah memberikan manfaat apa-apa bagi dirinya, kenapa pula dia harus menaruh banyak harapan dan mengejar angan-angan?

Pho Ang-soat sudah mabuk, entah berapa kali dia jatuh bangun, berapa kali mabuk? Orang bila mabuk, maka dia pasti akan melakukan banyak perbuatan yang mengherankan, perbuatan di luar nalar manusia.

Tapi dia tidak menyesal, tidak mengeluh, tidak bertobat. Dia menerima dan menerima.

Dia minta arak, segera dia beli, beli sekali dan sekali lagi, ada kalanya tengah malam buta-rata terpaksa dia harus menggedor pintu warung arak. Bukan saja dia tidak pernah mengomel, mengeluh, keinginannya pasti dituruti, tidak pernah dia menunjukkan sikap kurang senang.

Cuma belakangan ini bila dia pergi membeli arak, cukup lama baru pulang, padahal letak penjual arak tidak jauh jaraknya.

Ada kalanya otak Pho Ang-soat jernih dan sadar, namun tidak pernah dia bertanya kenapa dia pergi begitu lama? Padahal uang yang dia berikan hari itu hanyalah pecahan uang perak yang tidak seberapa jumlahnya, karena hanya itu pula miliknya. Selama ini dia hidup miskin, semiskin dirinya
yang sebatangkara ini. Tapi dia tidak pernah bertanya darimana dia mendapat uang untuk membeli arak. Dia tidak boleh bertanya, tidak berani bertanya.

Siau-thing juga tidak pernah tanya tetek-bengek, namun pernah melimpahkan sepatah kata yang takkan pernah terlupakan selama hidupnya.

Malam itu dia minum arak, malam sudah larut, setelah agak sinting dia berkata, “Walau aku tidak tahu apa-apa, aku tahu kau pasti amat menderita.”

Menderita? Apakah perasaannya sekarang cukup dilukiskan hanya dengan “menderita” saja?

Suatu hari dia kelihatan gembira, karena hari itu adalah hari ulang tahunnya, sengaja dia membeli arak lebih banyak dari biasanya, malah dia pun membeli seekor ayam babon gemuk yang belakangan ini sudah jarang mereka nikmati bersama.

Tapi waktu dia pulang, si dia sudah pergi. Pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun.

Botol arak jatuh dan hancur berantakan, dia berdiri menjublek di pinggir ranjang, dari siang sampai malam, bergeming dari tempatnya pun tidak. Di atas bantal masih tertinggal seutas rambutnya, dia menggulungnya, lalu dibungkus serta disembunyikan dalam dadanya, lalu dia keluar membeli arak pula.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Seorang selama hidup berapa kali akan merayakan ulang tahun? Kenapa dia tidak boleh mabuk?

Pho Ang-soat tidak mabuk, selama dua hari ini dia tidak mabuk.

Selama dua hari ini dia terus melangkah ke depan tak pernah berhenti, bukan saja tanpa tujuan, juga tidak menentu arahnya. Hanya satu keinginannya, lekas pergi, pergi ke tempat yang jauh, meninggalkan dia makin jauh makin baik.

Mungkin mereka sudah terbenam, tapi dia tidak tega untuk menyeretnya lebih dalam. Perpisahan memang mendatangkan duka-lara, tapi dia masih muda, betapapun besar derita itu akhirnya juga akan silam, akhirnya akan lekas dilupakan. Ketahanan orang muda terhadap penderitaan biasanya memang lebih kuat, bila terseret lagi, kemungkinan dia tidak akan bisa bangkit lagi.

Bila lelah, dimana saja dia boleh merebahkan diri untuk tidur, lalu mulai melangkah pula ke depan. Sebutir nasi pun tidak masuk perutnya, dia hanya minum sedikit air. Jenggotnya sudah tumbuh kasar seperti duri landak, dari jauh sudah tercium bau apek dan busuk badannya.

Dia sedang menyiksa diri, menyiksa diri sendiri dengan sekuat tekadnya. Sekarang hampir tak terpikir lagi “si dia” dalam benaknya, hingga suatu saat dia mendadak menemukan selembar sapu tangan kecil di dalam bajunya.

Sapu tangan sutra dihiasi bunga warna merah, itulah salah satu di antara benda miliknya yang paling berharga. Sapu tangan itu membungkus lembaran uang kertas yang jumlahnya tidak kecil dan beberapa keping emas murni.

Uang dan emas ini dia temukan di tubuh Jari telunjuk yang hari itu meregang jiwa, dia menyimpannya ke dalam saku, kejadian itu sudah lama dia lupakan. Waktu penyakitnya kumat, sekujur badan bergetar, meronta dan berkelejetan, hingga barang-barang dalam kantongnya tercecer keluar, Siau-thing memungut dan mengumpulkannya serta membungkusnya dengan sapu tangan sutra dihiasi bunga warna merah yang amat disayanginya ini.

Demi mengejar lima tahil perak dia rela menjual dirinya, malah demi memperoleh imbalan sebotol arak. Tapi barangbarang berharga ini, jangan kata menyentuh, memakainya, menyinggung pun dia tidak pernah. Dia rela menjual diri sendiri, sepeser pun tidak menggunakan uangnya.

Hati Pho Ang-soat seperti disayat-sayat, mendadak dia berjingkrak serta berlari pula seperti banteng kesurupan, berlari balik ke arah gubuk kecil itu.

Tapi dia sudah tidak di sana.

Di depan gubuk kecil itu berjejal banyak orang, berbagai jenis manusia, di antaranya masih ada opas yang berseragam biru bertopi tinggi dengan bulu angsa terselip di pinggir topinya.

“Apakah yang terjadi?” dia bertanya pada orang, orang itu tidak menghiraukan dirinya, untung seorang pengemis yang setengah sinting mendeprok di tanah menganggap dia sebagai kawan sejenis.

“Gubuk ini sebetulnya ditinggali seorang pelacur, kemarin malam ternyata dia minggat, maka tuan opas memburu kemari hendak menangkapnya.

“Kenapa dia akan ditangkap? Kenapa dia melarikan diri?”

“Karena dia membunuh orang.”

Membunuh orang? Gadis yang bajik, lemah dan harus dikasihani itu bagaimana mungkin berani membunuh orang?

“Siapa yang dia bunuh?”

“Juragan arak di ujung gang luar itu,” si pengemis bicara sambil mengepal tinju. “Babi gendut itu memang pantas dibuat mampus.”

“Kenapa harus membunuhnya?”

“Dia sering ke sana membeli arak, semula membeli dengan uang, tapi dia minum terlalu banyak, hingga lupa melayani lelaki, bila sudah ketagihan arak, terpaksa dia barter, dengan kemulusan tubuhnya dia membarter sebotol arak, menyerahkan dirinya kepada babi gendut itu.”

Pengemis itu tertawa, katanya, “Karena babi gendut itu tidak tahu apa kerjanya, maka dia menaksirnya, kemarin malam entah kenapa seorang diri dia lari ke warung arak itu dan minum di sana, minum sepuasnya, minum sampai mabuk, sudah tentu babi gendut itu amat senang, dia mengira memperoleh kesempatan baik, mumpung dia mabuk, maka dia ingin menunggangi genduk manis itu. Siapa tahu meski biasa dia menjual diri, justru tidak menyerah kepada babi gendut itu, di waktu babi gendut itu menggunakan kekerasan, dia ambil golok jagal di atas meja terus membelah batok kepala babi gendut itu hingga mampus seketika.”

Pengemis ini masih ingin bercerita, tapi orang yang mendengarkan ternyata sudah lenyap entah kemana. Terpaksa pengemis itu tertawa getir sambil geleng-geleng, gumamnya, “Memang banyak kejadian aneh di zaman ini, seorang pelacur ternyata telah membunuh orang daripada dia harus mencopot celana, coba bayangkan apakah tidak lucu dan menggelikan?”

Sudah tentu pengemis ini merasa lucu dan geli, tapi kalau dia tahu seluk-beluk dan asal mula serta latar belakang peristiwa ini, mungkin dia akan mendekam di tanah menangis tergerung-gerung.

Pho Ang-soat tidak menangis, tidak meneteskan air mata.

Warung arak di ujung gang itu sedang berduka cita, tapi Pho Ang-soat menerobos masuk, diambilnya seguci arak, mulut guci dia tabas remuk dengan telapak tangannya. Tiada orang berani mencegahnya, lalu seguci arak itu ditenggaknya sendiri sampai habis, lalu dia roboh terkapar di pinggir selokan di sebuah lorong.

Entah kenapa dia tidak menjajakan dirinya lagi?

Entah kenapa dia lari ke warung arak itu minum sendirian sampai mabuk, namun pantang diperkosa oleh babi gendut itu?

Sebetulnya lantaran apa dia berbuat demikian? Siapa tahu?

Mendadak Pho Ang-soat menjerit keras, “Aku tahu ... aku tahu.”

Kalau sudah tahu memangnya kenapa? Setelah tahu hatinya hanya akan lebih menderita, dia sudah lari, tapi kemana dia bisa lari? Paling dari mulut buaya ini ke mulut buaya yang lain, bukan mustahil nasibnya akan lebih jelek, lebih menderita daripada mulut buaya semula.

Pho Ang-soat masih ingin minum, dia belum mabuk, karena dia masih bisa memikirkan beberapa hal ini.

Karena siapa Bing-gwat-sim dan Yam Lam-hwi mati?

Karena siapa Siau-thing harus melarikan diri?

Segera dia meronta bangun dengan langkah sempoyongan menerobos keluar ke jalan besar, kebetulan seekor kuda sedang dibedal di tengah jalan raya. Kuda gagah itu terkejut sampai meringkik, penunggangnya membentak murka sambil melecutkan cambuknya.

Cambuk lemas selincah ular itu ternyata sudah terpegang oleh jari-jari tangan Pho Ang-soat. Meski sedang mabuk, sedang kalap dan menyiksa diri sendiri sedemikian rupa, betapapun dia tetap Pho Ang-soat.
Penunggang kuda itu menarik cambuknya sekuat tenaga, tiada seorang pun yang mampu merebut sesuatu dari tangan Pho Ang-soat. “Taaaas”, cambuk itu patah. Pho Ang-soat masih berdiri tidak bergeming, sebaliknya penunggang kuda itu terjengkang ke belakang terus terjungkal dan jatuh telentang dari pelana. Ternyata reaksinya cukup cekatan, sebelum punggungnya menyentuh bumi, kakinya sudah memancal pedal hingga tubuhnya melejit mumbul dan bersalto sekali di tengah udara.

Kuda itu berlari ketakutan, orang itu kini sudah berdiri tegak di tempatnya, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tidak memandangnya, melirik pun tidak.

Sekarang yang terpandang dalam pelupuk matanya hanyalah seguci arak, seguci arak yang dapat membuatnya mabuk dan melupakan segala derita dan nestapa ini. Dia beranjak pergi dari depan orang ini, gaya langkahnya memang berat dan aneh, kaku lagi.

Sorot mata orang ini mendadak memancarkan cahaya aneh, pandangan ganjil seperti mendadak dia melihat setan menakutkan, namun segera dia berteriak, “Tunggu dulu!”

Pho Ang-soat tidak menghiraukan seruannya.

Mendadak orang itu membalik tangan mencabut pedang, dengan gesit pedangnya menusuk iga Pho Ang-soat. Gerakannya enteng, cepat dan lincah, jelas dia seorang ahli pedang yang tangguh di Bu-lim. Tapi ujung pedangnya masih terpaut tujuh dim dari badan Pho Ang-soat, golok Pho Angsoat sudah berkelebat. Sinar golok menyambar, darah pun menyembur, batok kepalanya ternyata sudah terbelah dua.

Sebelum orangnya roboh, golok sudah kembali ke dalam sarungnya, ternyata langkah Pho Ang-soat tidak pernah berhenti, sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa, melirik pun tidak ke arah korbannya.

Dia membunuh orang, membunuh ada berbagai cara. Belum pernah dia membunuh orang dengan cara sekeji ini, dia membunuh karena terpaksa, karena didesak oleh keadaan. Padahal dia bukan seorang algojo, seolah-olah bukan dia yang membelah kepala orang itu.

Kalau bukan dia, lalu siapa?

“Dia mengambil golok jagal di atas meja, sekali bacok dia membelah kepala babi gemuk itu menjadi dua”. Sudah jauh dia melangkah, mayat orang yang barusan terbunuh sudah tidak kelihatan, tapi mendadak dia berhenti, lalu muntahmuntah.

Setelah habis isi perutnya, sudah tentu dia harus minum, yang diminum jauh lebih banyak dari yang dimuntahkan.

Malam telah larut, dalam warung itu ternyata masih banyak orang, karena siapa pun dia bila sudah masuk kemari, maka dia dilarang pergi. Karena Pho Ang-soat sudah sesumbar,
“Aku yang mentraktir, kalian harus menemani aku minum, siapa pun tidak boleh pergi.”

Badannya membawa bau busuk dan anyirnya darah, tapi tangannya juga menggenggam segebung uang kertas dan kepingan emas.

Bau badannya cukup membuat orang mual dan benci, bau darah menciutkan nyali orang, sebaliknya segebung uang membuat orang menaruh hormat dan munduk-munduk kepadanya, karena itu tiada seorang pun yang berani pergi.

Secangkirdia habiskan,hadirin jugaharus menghabiskan secangkir. Dari luar ternyata masuk lagi dua orang, hakikatnya dia tidak melihat orang macam apa sebetulnya kedua orang ini.

Tapi kedua orang ini menatapnya malah, satu di antaranya melangkah maju dan duduk di depannya.

“Hayo keringkan!” diangkatnya satu cangkir, lalu dihabiskan sekali tenggak, ternyata hadirin tiada yang melihat kehadirannya, melirik pun tiada.

Mendadak orang itu tertawa bingar, katanya, “Bagus, kau kuat minum.”

“Ehm, ya, aku kuat minum.”

“Kuat minum, permainan golokmu juga hebat.”

“Ilmu golok hebat,” ujar Pho Ang-soat.

“Kalau tidak salah kau pernah bilang, ilmu golok yang dapat membunuh orang adalah ilmu golok yang bagus,” kata orang itu. “Aku pernah bilang demikian?”

Orang itu manggut-manggut, mendadak bertanya,
“Tahukah kau siapa yang kau bunuh tadi?”

“Tadi aku pernah membunuh orang? Siapa yang kubunuh?”

Orang itu menatapnya, sorot mata yang mengandung tawa sinis, tawa yang menghina, tawa yang menggugah seorang yang sudah mabuk, katanya, “Yang kau bunuh tadi adalah saudara tua iparmu.”

Pho Ang-soat mengerut kening, seperti memeras otak memikirkan bagaimana dirinya bisa punya saudara tua ipar? Orang itu segera mengingatkan, “Memangnya kau sudah lupa bahwa kau pernah kawin? Engkoh binimu bukankah saudara tua iparmu?”

Pho Ang-soat berpikir pula sekian lamanya, lalu manggutmanggut dan menggeleng pula seperti mengerti, tapi juga seperti tidak paham.

Mendadak orang itu menuding orang yang datang bersama dia, serunya, “Tahukah kau siapa dia?”

Yang datang bersama dia adalah seorang perempuan, berdiri dekat meja kasir di kejauhan sana, dengan dingin dia menatap Pho Ang-soat.

Perempuan ini masih muda, sangat cantik, rambutnya yang mengkilap legam, matanya yang bening bercahaya, gadis idaman setiap orang tua yang mendambakan putri secantik ini, lelaki mana yang tidak senang punya adik seayu ini, gadis rupawan yang ingin dimiliki oleh setiap pemuda yang sudah mulai kasmaran.

Tapi waktu dia menatap Pho Ang-soat, pandangannya penuh memancarkan rasa benci dan dendam. Akhirnya Pho Ang-soat juga menatapnya sekilas, seperti kenal tapi juga seperti tidak mengenalnya.

Orang itu tertawa, katanya, “Gadis itu adalah adik binimu.” Kuatir Pho Ang-soat tidak paham segera dia menjelaskan, “Adik binimu juga adik ipar, adik lelaki yang kau bunuh tadi.”

Pho Ang-soat mulai minum lagi, keadaannya seperti ruwet, makin bingung dan kacau, dia ingin minum sebanyaknya supaya otaknya jernih, pikirannya terbuka.
Orang itu bertanya pula, “Tahukah kau, apa yang ingin dia lakukan sekarang?”

Pho Ang-soat menggeleng kepala.

Orang itu berkata, “Dia ingin membunuhmu.”

Mendadak Pho Ang-soat menghela napas, gumamnya, “Kenapa setiap orang ingin membunuh aku?”

Orang itu tertawa, katanya, “Memang betul, dalam rumah ini duduk tiga belas orang, paling sedikit ada tujuh orang ingin membunuhmu.”

“Aku sudah mati?”

“Kau belum mati, karena mereka menunggu bila kau sudah mabuk baru akan turun tangan.”

“Menungguku mabuk?” gumam Pho Ang-soat pula. “Bagaimana mungkin aku bisa mabuk, minum tiga hari tiga malam aku juga tidak akan mabuk.”

Orang itu menyeringai, ujarnya, “Umpama harus menunggu tiga hari tiga malam juga sia-sia belaka, maka sekarang mereka siap turun tangan.”

Pada saat itulah mendadak berkumandang suara “prang”, sebuah cangkir arak terbanting hancur di lantai. Orang yang semula memegang cangkir, sekarang sudah memegang golok pembelah gunung yang tebal punggungnya.

ooooOOoooo

Waktu orang ini menerjang ke arah Pho Ang-soat, sebatang tombak berantai, sebilah Tan-ling-to dan sebatang Siang-bun-kiam sudah menerjang tiba bersama.

Pemuda yang berpedang itu matanya merah membara, mulutnya mendesis geram, “Tangan hitam menuntut balas, saudara-saudara persilatan yang tiada sangkut-pautnya jangan turut campur.”

Sebelum habis dia bicara, mendadak dia tertegun, demikian pula keempat temannya menjublek. Kelima orang ini seperti mendadak berubah menjadi patung batu, semua berdiri tegak tak bergerak, karena senjata di tangan mereka mendadak telah lenyap. Lima batang senjata mereka ternyata sudah pindah ke tangan orang yang duduk di depan Pho Angsoat.

Begitu kelima orang ini bergerak, dia pun bergerak, tangan kiri menepuk pundak, sementara tangan kanan sudah merebut gaman orang. Kelima orang ini merasa pandangannya mendadak kabur, di tengah berkelebatnya bayangan orang, senjata di tangannya ternyata sudah lenyap.

Sebat sekali orang itu sudah duduk kembali di kursinya, perlahan dia taruh kelima batang senjata itu di atas meja, lalu berkata dengan tersenyum, “Aku bukan orang persilatan, tentu aku boleh turut campur.”

Pemuda berpedang itu mendamprat gusar, “Siapa kau?”

“Namaku biasanya tidak kuberitahu kepada orang mati.”

“Siapa orang mati?” semprot pemuda itu.
“Kau,” jawab orang itu tegas. Sebetulnya dia masih berdiri diam di tempatnya, tapi begitu lenyap suaranya, kelima orang itu mendadak berubah pucat air mukanya, darah sekujur badannya mendadak mengalir kering, tulang belulangnya pun seperti dibetot. Laki-laki yang masih segar dan kuat, mendadak berubah menjadi kuyu dan kering, mendadak roboh semuanya.

Ternyata Pho Ang-soat seperti tidak melihat kejadian ini.

Orang itu menghela napas, katanya, “Kuwakili kau membunuh orang-orang ini, umpama kau tidak merasa berhutang budi dan tidak mengucap terima kasih kepadaku, paling tidak kau harus memuji tindakanku.”

“Kenapa aku harus memuji?”

“Memangnya kau tidak tahu dengan kungfu apa aku membunuh mereka?”

“Aku tidak tahu.”

“Itulah salah satu dari dua jenis ilmu yang masih diwarisi umat persilatan dari Thian-te-kiau-ceng-im-yang-toa-pi-jiu.”

“O? Masa?”

“Inilah Thian-coat-te-biat Toa-siu-hun-jiu.”

“O?”

“Masih ada sejenis lagi, ialah yang sudah kau yakinkan, yaitu Thian-ih-te-coan Toa-ih-hiat-hoat,” dengan tertawa dia lalu meneruskan, “kau bisa menggeser Hiat-to satu dim dari tempat semula, sedikitnya kau sudah sembilan puluh persen meyakinkan ilmu ini, sudah mendekati kesempurnaan.”

“Dan kau? Kau siapa?” tanya Pho Ang-soat.

Orang itu menjawab, “Aku adalah To-jing-jin dari Sing-siokhay barat, paling tidak aku lebih punya cinta daripada kau.”

Akhirnya Pho Ang-soat mengangkat kepala, menatapnya, seperti baru sekarang dia tahu di depannya duduk satu orang. Senyum orang ini lembut dan ramah, wajahnya alim, alisnya tegak berdiri, kelihatannya memang seorang yang romantis, laki-laki yang gampang menanam cinta dimana dia berada.

“To-jing-jin (orang yang kebanyakan cinta) juga membunuh orang?”

“Bila cinta sudah kental cinta akan luntur, lantaran cintaku terlalu banyak terlalu kental, maka sekarang lebih tipis dari kertas,” To-jing-jin tersenyum, “tapi selamanya belum pernah aku membunuh orang tanpa alasan. Kubunuh mereka, karena aku tidak ingin kau mati di tangan mereka.”

“Kenapa?” tanya Pho Ang-soat.

“Karena aku mengharap kau mati di tanganku saja.”

“Apa benar itu keinginanmu?”
“Begitu besar keinginanku sampai aku sendiri ingin mati.”

Perempuan yang berdiri jauh di depan meja kasir mendadak buka suara, “Karena bila dia bisa membunuhmu, maka aku akan kawin dengan dia.”

“Coba lihat,” ucap To-jing-jin, “usiaku sudah tiga puluh lima, sampai sekarang belum punya bini, sudah tentu belum punya anak, ajaran leluhur mengatakan tidak punya keturunan tanda tak berbakti terhadap orangtua, yakin kau tidak ingin aku ini menjadi laki-laki yang tidak berbakti bukan?”

“Dia pasti membantu usahamu,” seru gadis muda itu.
“Bagaimana kau tahu?” tanya To-jing-jin.
Gadis itu bilang, “Aku pernah melihat dia turun tangan tiga kali, goloknya semula memang seperti dihuni oleh setan.”

“Tapi sekarang?” To-jing-jin menegas.

“Setan di goloknya itu sekarang sudah pindah ke sanubarinya.” Sengaja To-jing-jin bertanya, “Bagaimana bisa pindah?”

“Karena dua hal.”
“Karena arak dan perempuan maksudmu?”
Gadis itu mengangguk, “Karena kedua hal ini, dahulu agaknya dia pernah hampir mati sekali.”

“Tapi kenyataan sekarang dia masih hidup.”

“Karena dia punya seorang kawan.”

“Yap Kay?”

“Sayang, sekarang Yap Kay entah berada dimana?”

“Kalau begitu bukankah keadaannya sekarang amat berbahaya?”

“Bahaya sekali!”

“Menurut penilaianmu apakah aku mampu melawan goloknya?”

“Toa-siu-hun-jiu bila kau lancarkan, setan pun dapat kau tangkap, apalagi sebatang golok yang tidak dihuni setan.”

“Umpama aku mampu menangkap goloknya, bukankah tanganku akan tertabas buntung?”

“Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Karena caramu menangkap berbeda, bahwasanya tanganmu tidak usah menyentuh goloknya.”

“Berapa lama aku bisa menangkapnya?”

“Tak usah lama-lama, karena waktu itu sebelah tanganmu yang lain sudah merenggut nyawanya.”

“Kalau begitu bukankah orang ini sudah tamat?”

“Dia masih punya setitik harapan.”

“Harapan apa?”

“Asal dia mau memberitahukan dua hal kepada kita, kita tidak usah menyentuhnya.”

“Dua hal apa?”

“Dimana bulu merak sekarang? Dimana Thian-te-kiauceng-im-yang-toa-pi-jiu?”

“Jika dia memiliki bulu merak, kalau sudah meyakinkan ilmu di dalam Toa-pi-jiu itu, bukankah kita sendiri yang bakal tamat?”

“Mungkin tangannya sekarang sudah tidak setenang dulu, sudah tidak mampu menggunakan Khong-jiok-ling (bulu merak), walau dia sudah meyakinkan Toa-ih-hiat-hoat, tapi sudah tidak sempat atau tidak mampu meyakinkan ilmu yang lain.”

“Dilihat keadaannya memang jelas tak mungkin dia meyakinkan ilmu yang lain.”

“Ya, hanya minum arak saja satu-satunya kepandaian yang masih dia pelajari.”

“Pelajaran minum arak agaknya cukup baik latihannya.”

“Sayang sekali manfaat satu-satunya dari kungfu ini adalah merubah dia menjadi setan arak, setan arak yang mampus.”

Setiap patah kata pembicaraan kedua orang ini laksana jarum yang menusuk hulu hatinya, seolah-olah mereka ingin sekaligus menusukkan jarum sebanyak itu ke hulu hatinya supaya dia tersiksa, menderita, makin lemah, supaya semangatnya runtuh.

Sayang jarum-jarum tajam itu justru seperti menusuk di atas permukaan batu, karena Pho Ang-soat tidak memberi reaksi sedikitpun. Pho Ang-soat sudah pati rasa. Maksud pati rasa adalah sudah tidak jauh dari runtuh total, tidak jauh dari kematian.

To-jing-jin menghela napas, katanya, “Gelagatnya dia sudah bertekad tidak mau buka mulut?”

Gadis itu menghela napas, katanya, “Mungkin dia ingin menunggu setelah jiwa menjelang mangkat baru mau buka mulut.”

“Apakah sekarang belum tiba saatnya?”

“Bila kau turun tangan, maka tibalah saatnya.”

Maka To-jing-jin turun tangan, tangannya putih dan lencir, mirip jari-jari tangan perempuan. Gerakan tangannya pun gemulai dan lembut, seperti gadis yang sedang memetik kembang, kembang kecil yang segar namun gampang rontok.

Betapapun perkasanya seorang, di bawah tangannya dia akan berubah selemah kembang yang rontok ini. Kelihatan tangannya bergerak lamban, namun laksana sorotan sinar yang lembut, bila sudah melihatnya ternyata dia sudah tiba.

Tapi tidak demikian kali ini, sebelum tangannya tiba, golok sudah keluar dari sarangnya. Sinar golok berkelebat, maka tangannya seperti juga kelopak kembang yang rontok tadi, ternyata dia betul-betul menangkap golok itu. Apakah sebelah tangannya akan segera merenggut nyawa Pho Ang-soat? Seperti tadi dia merenggut sukma dan mengeringkan darah orang-orang itu tadi?

Jari-jari tangan rontok seperti kelopak kembang, tangan yang merenggut sukma. Golok yang tak mampu dipegang oleh manusia, tapi terpegang oleh tangan yang satu ini. Sayang sekali tangan menakutkan macam apa pun, berada di bawah golok ini, maka dia akan menjadi lemah dan mudah rontok seperti kelopak kembang itu.

Sinar golok berkelebat, darah pun muncrat. Tangan sudah terbelah menjadi dua, batok kepala juga terbelah menjadi dua.

Mata gadis itu terbelalak besar membundar, pelupuk matanya kedutan, mulut pun terkancing.

Bahwasanya dia tidak melihat golok itu, tahu-tahu golok sudah kembali ke sarungnya, seperti kilat berkelebat lenyap ditelan kegelapan, tiada orang dapat melihatnya. Dia hanya melihat wajah Pho Ang-soat yang pucat bening.

Pho Ang-soat sudah berdiri, melangkah pergi, gaya jalannya masih kelihatan kaku dan berat. Langkahnya kelihatan sempoyongan, ternyata dia sudah mabuk. Segala sesuatu dari gerak-geriknya, sikap dan keadaannya yang mabuk ternyata tampak amat menakutkan.

Saking takut terasa darah sendiri seperti hampir beku, tapi dia mendadak tertawa, katanya, “Apa kau tidak mengenalku? Aku adalah Ni-jisiocia, Ni Hwi, bukankah kita teman baik?”

Pho Ang-soat tidak menghiraukan dia, hanya menatapnya canang, mengawasi orang lewat di depannya, sorot matanya dibayangi rasa ketakutan. Apa pun yang terjadi dia tidak bisa membiarkan laki-laki ini hidup di dunia ini, selama laki-laki ini hidup, dia akan mati, mati di tangannya.

Keputusannya ini mungkin tidak tepat, tidak benar, padahal gadis ini berotak cerdik pandai, tapi rasa takut kadang kala bisa menyebabkan kesadaran orang pudar, seorang bisa kehilangan pikiran jernih karena takut, tapi dia tidak pernah lupa bahwa dirinya adalah Thian-hoa-li. Kecuali dirinya, tiada orang kedua di dunia Kangouw yang bisa menggunakan senjata rahasia yang ampuh dan ganas ini.

Senjata rahasia itu disambitkan, bukan saja kelopak kembang dapat melukai orang, di dalam kelopak kembang ternyata tersembunyi pula jarum-jarum beracun yang mematikan. Seluruhnya Ni Hwi hanya membawa tiga belas kuntum Thian-hoa-li, dia tidak membawa terlalu banyak Am-gi. Dengan senjata rahasianya ini seluruhnya dia baru pernah memakainya tiga kali, setiap kali memakai hanya menggunakan sekuntum. Sekuntum sudah lebih dari cukup untuk menamatkan jiwa musuh.

Tapi sekarang tiga belas kuntum itu dia timpukkan seluruhnya, lalu tubuhnya melejit mundur ke belakang, umpama serangannya gagal, paling tidak dia bisa mengundurkan diri. Selama ini dia amat bangga akan Ginkangnya sendiri, sayang sekali golok sudah keluar saat itu juga.

ooooOOoooo

Bab 19. Sang Algojo

Sinar golok berkelebat, darah pun muncrat.
Ni Hwi melihat berkelebatnya sinar golok ini, malah dia pun melihat muncratnya darah, darah yang menyembur dari tengah-tengah kedua matanya. Melihat semburan darah ini, seperti melihat setan, seperti seorang menyaksikan kedua kakinya mendadak copot dari badannya, dan kaki itu menendang awak sendiri. Malahan dia seperti merasakan

mata kirinya sudah melihat mata kanan sendiri. Memangnya siapa yang meresapi perasaannya ini?

Tiada seorang pun.

Hanya orang hidup yang mempunyai perasaan, kepala yang sudah terbelah menjadi dua pasti takkan bisa punya perasaan lagi. Seorang yang batok kepalanya sudah terbelah menjadi dua sebetulnya takkan bisa melihat apa pun di dunia ini. Jika bukan lantaran sambaran golok itu teramat cepat, di kala golok tajam itu membacok tiba, daya pandangnya juga belum mati, maka dia masih sempat melihat sesuatu yang terjadi dalam sekejap itu, sekejap yang terakhir.

Berapa lamakah sekejap itu? Tragisnya, umumnya manusia sebelum meninggal dalam sekejap itu, ternyata dapat memikirkan banyak persoalan yang biasanya takkan terpikir habis sehari semalam. Sekarang apakah Ni Hwi telah memikirkannya? Juga tiada orang tahu. Sudah tentu dia sudah tidak mungkin menjelaskan.

Ni Ping, tiga puluh tahun.

Putra kedua Cong-tin-kek-cu Ni Po-hong, bergaman pedang panjang, salah seorang tunas muda di kalangan Kangouw yang berpedang paling cepat dan ternama.

Seorang diri, belum menikah.

Setelah Ni-keh-tay-wan bubar dan terobrak-abrik, sering menetap di Giok-hiang-wan, di tempat Pek-ji-giok, pelacur terkenal. Tanggal 19 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Ni Ping.

ooooOOoooo

Ni Hwi, 20 tahun

Putri kedua Cong-tin-kek-cu, cerdik pandai, banyak akalnya, Ginkangnya juga amat tinggi, Thian-hoa-li adalah Am-gi tunggal keluarganya yang teramat jahat, pernah membunuh tiga orang sekali serang.

Seorang diri, belum menikah.

Malam tanggal 18 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Ni Hwi.

ooooOOoooo

To-jing-jin, 35 tahun.

Semula she Oh, riwayatnya tidak jelas, sejak kecil masuk perguruan Sing-siok-hay di bilangan Barat, sejak remaja kungfunya sudah kelihatan menonjol, ilmu Thian-coat-te-biat Toa-siu-hun-jiu merupakan salah satu dari ilmu pusaka Bu-lim, korban yang jatuh di tangannya tak terhitung banyaknya.

Seorang diri, belum menikah.

Bulan 3 masuk ke perbatasan, memperkosa dan membunuh enam wanita.

Tanggal 19 bulan 4 malam, Pho Ang-soat membunuh Tijing-jin. Lo Siau-hou, 42 tahun.

Begal tunggal yang malang melintang di Ho-say, bergaman golok, amat sombong dan suka mengagulkan diri, menganggap dirinya sebagai golok tercepat di seluruh Kangouw.

Seorang diri, tidak menikah.

Tanggal 21 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Lo Siau-hou.

ooooOOoooo

Nyo Bu-li, 44 tahun.

Adik sepupu Pek-hun Koancu Nyo Bu-ki, murid Kun-lun, Hwi-liong-cap-pwe-sek adalah kemahirannya, berjiwa sempit berhati culas, dendam pasti dibalas, punya tabiat seperti engkohnya, Nyo Bu-ki, membunuh orang tidak usah takut.

Sejak muda sudah Jut-keh (menjadi Tosu), belum menikah. Tanggal 22 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Nyo Bu-li. Im-jip-te, 30 tahun dan Kim-jip-bok, 33 tahun.

Korban yang dibunuh kedua orang ini tak terhitung banyaknya, julukannya Ngo-hing-siang-sat, kungfunya aneh dan penuh misteri.

Watak kedua orang ini kikir, tamak dan loba, sepeser pun tak mau rugi, beberapa tahun belakangan sudah menjadi kaya raya.

Im-jip-te kemaruk paras ayu, hidung belang. Kim-jip-bok impoten.

Tanggal 23 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Im-jip-te dan Kim-jip-bok.

ooooOOoooo

Cukat Toan, 50 tahun.

Ahli waris Lo It-to dari Koan-say, dingin dan mudah curiga, kegemarannya membunuh orang. Sudah lama membujang.

Pernah kawin tiga kali, ketiga isterinya mati di ujung goloknya sendiri.

Tidak punya keturunan.

Tanggal 24 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Cukat Toan. It-cu-hoa-jian-li-hiang, 29 tahun.

Begal pemetik kembang (pemerkosa), ahli Ginkang dan obat bius.

Belum menikah.

Tanggal 25 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Jian-li-hiang.

ooooOOoooo
Di dalam buku tebal itu masih banyak bahan keterangan, itu hasil kerja dua orang yang berdiri di depannya, merekalah yang mengumpulkan bahan-bahan itu dari berbagai pihak dan tempat.

Dia hanya membalik beberapa lembar, lalu enggan membaca lagi.

Kedua orang yang berdiri itu seorang berpakaian putih kaos putih, dia bukan lain adalah Ku Ki, seorang lagi berjubah kelabu bersih dan rapi, dia bukan lain adalah si Hwesio gila yang menjaga Thian-liong-si, sekarang sikapnya tidak seperti orang gila lagi.

Sikap kedua orang ini tampak ramah dan hormat, namun sikapnya terhadap mereka juga lembut, seperti menteri yang setia terhadap junjungannya.

Walaupun mereka berdiri di depan, tapi di antara mereka terpaut sebuah meja yang lebar. Memang dimana dan kapan saja, dia selalu terpaut dalam jarak tertentu dengan orang lain. Walau senyumannya ramah dan kalem, namun selamanya tiada orang berani menyinggung dan menyalahi dirinya, karena dia adalah tokoh yang paling kaya di Bu-lim, dia adalah Kongcu Gi.

Dalam rumah terasa nyaman dan tenteram, setiap perabot yang ada di dalam rumah ini semuanya adalah barang pilihan dan berkualitas, di pajang di tempat yang cocok dan serasi.

Barang-barang yang ada di atas meja ternyata tidak banyak, kecuali buku tebal berisi laporan, hanya ada sebilah pedang panjang yang dibungkus dengan sutra kuning.

Kembang mekar semerbak di luar jendela, tiada suara orang, dalam rumah hanya mereka bertiga. Di kala dia tidak bicara, bernapas pun mereka tidak berani keras-keras, mereka tahu Kongcu Gi suka ketenangan.

Buku laporan itu sudah tertutup lagi.

Akhirnya Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Kenapa kalian selalu ingin aku melihat barang-barang itu?” Dengan dua jarinya dia dorong buku laporan itu ke depan mereka, seolah-olah takut kecipratan noda darah dan hawa membunuh di atas buku itu, lalu dia menambahkan, “Kenapa tidak kalian laporkan langsung kepadaku saja, selama beberapa hari ini dia sudah membunuh berapa orang?”

Ong Hoat mengawasi Ku Ki.

Ku Ki menjawab, “Dua puluh tiga orang.”

Kongcu Gi mengerut kening, katanya, “Tujuh belas hari membunuh dua puluh tiga orang?” Ku Ki mengiakan.

Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Apakah orang yang dia bunuh tidak terlalu banyak?”

“Ya, terlalu banyak.”

“Kabarnya kawan main caturmu, Nyo Bu-ki, juga terpenggal tangannya olehnya?”

“Ya,” sahut Ku Ki.

“Nyo Bu-li ingin menuntut balas sakit hati engkohnya, maka dia mencari Pho Ang-soat?.”

“Ya,” kembali Ku Ki mengiakan.

“Lo Siau-hou pasti merasa dirinya lebih hebat, untuk berebut nama, maka dia menantangnya bertanding kecepatan mencabut golok.”

“Betul”

“Kenapa Cukat Toan membunuh ketiga bininya?”

“Karena ketiga bininya itu tertawa dengan lelaki lain.”

“Kedua orang ini, seorang tidak tahu dirinya, yang lain terlalu cemburu, orang-orang macam mereka takkan mampu bekerja, bukan mustahil hanya akan meninggalkan urusan, selanjutnya kalian jangan menarik orang-orang sejenis mereka ke dalam perkumpulan kita.”

Ku Ki dan Ong Hoat mengiakan bersama.

Sikap Kongcu Gi kelihatan lebih kalem, katanya, “Tapi aku juga tahu ilmu golok mereka memang tidak lemah.”

“Benar.”

“Toa-siu-hun-jiu dari Sing-siok-hay, boleh terhitung suatu kungfu yang amat lihai. Konon beberapa hari belakangan ini keadaan Pho Ang-soat semakin lesu dan pesimis, hampir setiap hari dia tenggelam dalam mabuk araknya.”

“Ya.”

“Tapi para algojo yang kalian undang ini, justru segebrak pun tidak mampu melawannya.”

Ku Ki tidak berani buka suara, mengiakan pun tidak berani. Kongcu Gi justru menunggu jawabannya, setiap pertanyaan yang diajukan, jawabannya harus tegas dan jelas dan harus dijawab. Tanpa jawaban berarti pertanyaan tidak patut diperhatikan.

Akhirnya Ku Ki menjawab, “Walau dia banyak minum, tapi tangannya teramat kokoh dan tenang.”

“Jadi arak tidak membawa pengaruh terhadapnya?”

“Hanya sedikit.”

“Apa pengaruhnya?”

“Serangannya malah lebih kejam dan beringas.”

Kongcu Gi menepekur sejenak, katanya perlahan, “Kupikir dia pasti amat marah, maka goloknya lebih menakutkan.”

Ku Ki tidak bertanya kenapa, di hadapan Kongcu Gi dia hanya menjawab, tidak boleh bertanya.

Kongcu Gi melanjutkan, “Karena amarah adalah sejenis kekuatan, kekuatan yang dapat mendorong manusia melakukan banyak urusan.”

Ku Ki mengawasinya, sorot matanya diliputi rasa kagum dan hormat.

Memang dia tidak pernah memandang ringan musuhnya.

Analisa dan keputusannya pasti benar dan tepat.

Seluk-beluk musuh, mungkin dia lebih jelas dari musuh itu tahu akan seluk-beluk sendiri.

Maka dia sukses, suksesnya jelas bukan lantaran nasib baik.

Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Hal itulah yang paling menakutkan.”

Ku Ki tidak bertanya, hanya mendengarkan.

Kongcu Gi berkata pula, “Bergerak belakangan menundukkan lawan lebih dulu, jelas mutlak lebih menakutkan daripada bergerak dulu merobohkan musuh.”

“Betul.”

“Kau tahu kenapa demikian?”

“Karena bila jurus serangan sudah dilancarkan, di saat serangan akan dilancarkan dan belum dilancarkan, tenaganya paling lemah, di saat sekejap itulah goloknya sudah memutus jiwa lawan.”

“Orang lain mampu tidak berbuat demikian?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Sekejap itu lekas sekali sudah lenyap, kecuali dia, jarang ada yang bisa menangkap dan memanfaatkan kesempatan sekejap itu.”

Kongcu Gi tersenyum, katanya, “Kelihatannya kungfunya ada kemajuan.”

“Ya, maju sedikit,” sahut Ku Ki, dia tidak berani merendah atau berpura-pura, siapa pun di hadapannya harus bicara jujur.

Senyum Kongcu Gi tampak riang, katanya, “Apa kau tidak ingin mencoba betapa cepat goloknya itu?”

“Tidak ingin.”

“Kau insyaf bukan tandingannya?”

“Menurut apa yang kulihat dan kutahu, di kolong langit ini hanya ada dua orang mampu menundukkan dia.”

“Satu di antaranya sudah tentu adalah Yap Kay.”

“Benar.”

“Seorang lagi adalah aku.”

“Betul.”

Pelan-pelan Kongcu Gi berdiri melangkah ke depan jendela, mendorong daun jendela, bau kembang yang semerbak di taman segera merangsang hidung. Dia berdiri diam dan tenang, tidak bergerak tidak bersuara.

Ku Ki dan Ong Hoat tidak berani bergeming.

Lama kemudian baru dia berkata perlahan, “Ada satu hal mungkin kalian tidak tahu.”

Ku Ki tidak berani bertanya.

“Aku tidak suka membunuh orang, selama hidup ini, belum pernah membunuh orang dengan kedua tanganku.”

Ku Ki tidak perlu heran, ada sementara orang membunuh orang tidak perlu turun tangan sendiri.

Kongcu Gi berkata, “Tiada orang yang mampu menundukkan dia, paling aku juga hanya dapat membunuhnya.”

Karena dia mirip sebatang golok, golok baja, kau bisa memutuskannya, tapi takkan bisa membuatnya bengkok.

Kongcu Gi berkata pula, “Tapi aku sekarang belum ingin melanggar kebiasaan membunuh orang.”

Karena masih ada segi-segi yang dia kuatirkan.

Dia adalah seorang laki-laki, pendekar ternama yang terkenal sebagai laki-laki budiman, setia dan penuh cinta kasih kepada sesamanya, kebesaran namanya itu tidak mudah diperoleh, maka dia perlu berhati-hati.

Karena itu dia tidak membunuh orang, tidak boleh membunuh Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat bukan manusia durjana, bukan manusia yang harus dibunuh menurut anggapan kebanyakan orang.

Kongcu Gi berkata, “Oleh karena itu sekarang aku biarkan dia membunuh orang, makin banyak yang dibunuh makin baik.”

“Sampai kapan dia harus membunuh?”

“Membunuh dan membunuh sampai kebanyakan orang merasa perlu membunuhnya, biar saja membunuh sampai dia menjadi gila sendiri.”

Kongcu Gi berkata, “Karena itu sekarang kita masih bisa memberi dorongan supaya dia membunuh lebih banyak orang lagi.” Dia berpaling mengawasi mereka, “Malah kita harus berusaha mencari orang supaya dibunuh olehnya.”

“Biar aku yang mengatur,” sahut Ku Ki.

“Siapa kira-kira yang akan kau cari supaya dia bunuh?” tanya Kongcu Gi.

“Orang pertama adalah Siau Si-bu,” sahut Ku Ki. “Kenapa kau memilih orang ini?”

“Karena sekarang dia sudah berubah.”

“Kukira kau pasti masih bisa berusaha mencari orang yang lebih menarik untuk dibunuhnya,” dengan tersenyum dia menambahkan lebih kalem, “sekarang aku sudah menemukan salah satu yang paling menarik.”

ooooOOoooo

Harum semerbak bau kembang itu memenuhi taman, Kongcu Gi menggendong tangan sedang berjalan-jalan di dalam taman, di antara rumpun kembang yang mekar bersolek. Hatinya sedang riang, dia percaya anak buahnya pasti dapat melaksanakan tugas yang dia perintahkan, perintah untuk membunuh orang. Tapi dia sendiri tidak pernah turun tangan, tidak pernah membunuh orang.

Malam tenang, malam sudah larut.

Pho Ang-soat tidak bisa pulas, tidak bisa tidur memang cukup merisaukan, tapi bila tidur dia akan lebih menderita.

Seorang bila tidur di atas ranjang papan yang keras dan dingin, di dalam kamar dipenuhi bau apek, bau busuk yang menyesakkan napas, dengan mata mendelong mengawasi langit-langit yang mulai keropos dan kotor, bolak-balik memikirkan kenangan masa lalu yang semestinya tidak perlu dibayangkan lagi.

Para gelandangan yang tidak punya akar di suatu tempat, duka-lara dan derita mereka siapa mau memahami, mau meresapi? Maka dia lebih suka menjadi gelandangan di kegelapan malam seperti setan gentayangan.

Ada sementara rumah yang masih menyala lampunya, apa yang dilakukan orang-orang di dalam rumah itu selarut malam ini? Kenapa tidak tidur? Apakah suami isteri sedang makan tengah malam, makan sisa makanan yang masih ada sore tadi setelah mereka kecapaian mengecap surga dunia? Atau mereka terjaga oleh tangis sang orok, ayah atau bunda sedang mengganti pakaiannya karena basah oleh ompol?

Kehidupan ini meski biasa bagi orang-orang awam, namun kesenangan dan bahagia yang mereka resapi, takkan mungkin bisa dinikmati oleh orang seperti Pho Ang-soat.

Mendengar jerit tangis bayi, hatinya mulai sakit, seperti diiris-iris. Dia ingin minum arak lagi, walau arak tidak dapat mengobati segala derita, paling tidak dapat membuat seseorang sementara melupakan siksa derita itu.

Di ujung jalan kecil di tengah kegelapan sana, ada sebuah lampu gantung bergoyang-goyang. Seorang tua kelihatan sedang duduk malas di bawah lampu remang-remang itu sambil menikmati araknya.

Sudah tiga puluh lima tahun dia berjualan mi di sini, dari pagi dia sudah mulai sibuk ke pasar membeli tulang yang murah untuk kuah sayur, mi dan segala keperluan untuk campuran masakan mi yang dijualnya, saat magrib dia sudah mulai berjualan hingga esok pagi.

Selama tiga puluh lima tahun, kehidupannya ini tidak berubah. Kegemaran satu-satunya ialah bila malam telah larut, setelah yang datang makan semakin jarang, baru dia punya kesempatan minum arak seorang diri. Setelah minum arak, baru dia merasa dirinya telah masuk ke dalam dunianya sendiri. Dunia nan damai dan indah, dunia yang bersih dan suci, di sini tiada manusia makan manusia. Walau dunia ini penuh khayal, namun baginya sudah terasa cukup, merasa puas, seseorang asal dia bisa mempertahankan sedikit khayalan, maka dia sudah cukup puas.

Pho Ang-soat sekarang sudah di bawah lampu gantung dengan cahayanya yang redup itu.

“Berikan aku dua kati arak,” asal bisa mabuk, minum arak sembarangan pun tidak jadi soal.

Di pinggir pikulan mi, terdapat tiga meja yang dibuat sederhana dari papan, setelah dia duduk, baru dia sadar bukan dia seorang yang sedang duduk di tempat penjual mi ini.

Di meja yang lain masih ada seorang lelaki kekar, semula dia sedang melahap mi panas dalam mangkuk besar, minum arak dengan mangkuk besar pula, kini ternyata berhenti, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat. Dia kenal setan penyakitan yang bermuka pucat ini, karena dia pernah dihajar oleh setan penyakitan sialan ini. Kejadian di rumah reyot di lokasi pelacuran kelas rendah, di rumah gadis berkalung kembang melati itu.

Arak yang sudah masuk perutnya agaknya tidak sedikit, dengan tertawa menyengir setengah sinting mendadak dia berdiri, lalu menghampirinya dan berkata, “Tak nyana kau pun suka minum, sudah selarut ini, seorang diri keluar mencari arak, maka takaran minummu tentu besar.”

Pho Ang-soat tidak peduli.

Laki-laki kekar itu berkata, “Aku tahu kau membenciku, tapi aku mengagumimu, kelihatannya kau memang mirip setan penyakitan, yang benar adalah seorang laki-laki sejati, laki-laki gagah.”

Pho Ang-soat tetap tidak mempedulikannya, betapapun tebal mukanya, terpaksa dia menyengir kuda, lalu berputar hendak balik ke tempatnya. Siapa tahu saat itulah mendadak Pho Ang-soat berkata, “Duduk!”

Seseorang umpama dia sudah biasa hidup sebatangkara dan kesepian, ada kalanya dia akan merasa jemu, tersiksa dan tak tahan lagi. Mendadak timbul keinginannya supaya seseorang duduk di sampingnya menemani dia, peduli siapa dia dan macam apa, laki-laki dungu berotak kerbau juga tidak jadi soal, karena hanya orang dungu yang berotak kerbau saja tidak akan dapat menyentuh penderitaannya yang tersekam sekian lama di relung hatinya yang paling dalam.

Lelaki itu kegirangan, segera dia duduk serta berseru lantang, “Kasih sepiring buntut babi lagi dan dua kepala bebek.” Lalu dengan tertawa dia menyambung, “Sayang sekali kepala bebek itu sebelumnya sudah dipotong orang, kalau aku sendiri yang memotongnya, pasti lebih beres dan sedap.”

Penjual mi yang tua usia itu agaknya juga terpengaruh oleh kerasnya arak, matanya melirik, katanya, “Kau sering memotong kepala bebek?”

Laki-laki itu menjawab, “Kepala bebek atau kepala manusia sering kupotong.” Lalu dia tepuk dada, “Bukan aku membual, soal memotong kepala, dalam daerah seluas ratusan li di sini mungkin aku nomor satu.”

“Apa kerjamu?” tanya si orang tua.
“Aku ini algojo. Algojo nomor satu di kota ini dan tiga belas karesidenan. Ada orang mengundang aku untuk memenggal kepala, sedikitnya harus mengupah aku seratus tahil perak padaku.”

“Kau mau memenggal kepala orang, dia harus bayar uang kepadamu malah?” si orang tua bertanya dengan melotot.

“Kalau diberi sedikit aku tidak mau mengerjakan.”

“Berdasar apa kau bekerja?”

Laki-laki itu mengulur jari-jari tangannya yang gede, katanya, “Berdasar kedua tanganku dengan Kui-thau-to milikku yang berat bobotnya.” Lalu dia menirukan cara dan gaya orang memenggal, “Sekali penggal, orang yang terpenggal kepalanya ada yang tidak tahu kalau kepalanya sudah berpisah dari lehernya.”

“Ulur kepala dipenggal, mengkeret kepala juga dipenggal, berdasar apa pula orang harus memberi uang kepadamu?”

“Karena daripada lama tersiksa, lebih baik lekas mati, kalau aku yang memenggal kepalanya, paling tidak dia mati tanpa merasakan jiwanya telah melayang.”

“Memangnya orang lain tidak mampu sekali penggal kepala orang terpental jatuh?”

“Kau masih ingat tidak anak muda yang tempo hari kuajak jajan mi di sini?”

“Dia kenapa?”

“Dia juga seorang algojo, untuk mencari duit, dia berlatih beberapa tahun dengan semangka, setelah yakin dirinya sudah cukup mahir, waktu datang kemari dia pandang sebelah mata kepadaku.”

“Lalu?”

“Waktu pertama kali dia maju ke tengah gelanggang, baru dia insyaf adanya sesuatu yang tidak beres.”

“Apanya yang tidak beres?”

“Di tengah arena ada hawa membunuh dan kewibawaannya sendiri, mungkin mimpi pun kau tak pernah memikirkannya, setiba di tengah arena kaki lemas lutut goyah, setelah mengayun golok delapan kali, kepala orang masih belum mau putus dari lehernya, saking kesakitan pesakitan itu berkelejetan dan meronta-ronta tak keruan,” setelah menghela napas dia meneruskan, “coba kau bayangkan, seorang yang terbacok delapan kali belum mati, bagaimana rasanya?”

Pucat muka lelaki tua itu, katanya, “Bila kau yang memenggal, cukup sekali bacok saja.”

“Tanggung hanya sekali bacok, bersih dan beres.”

“Memenggal kepala apakah memerlukan kepandaian?”

“Ilmu kepandaian yang diperlukan memang teramat besar.”


Laki-laki tua itu mengangkat cawan arak dan pocinya ke meja sini, duduk di sampingnya, katanya, “Coba kau ceritakan.”

Laki-laki kekar berkata, “Bukan saja harus berpandangan tajam, gerakan golok itupun harus cepat, sebelum turun tangan harus dibikin jelas lebih dulu, siapakah orang yang akan kau penggal lehernya.”

“Lho, kenapa?”

“Karena ada sementara orang pembawaannya punya nyali besar, di waktu kepalanya terpenggal, pinggangnya masih tegak berdiri, lehernya juga tidak mengkeret, memenggal kepala orang seperti ini paling mudah.” Setelah memperoleh pendengar, ceritanya makin bernafsu, lebih senang, “Tapi ada pula orang yang bernyali kecil, setiba di gelanggang, tulangnya menjadi lemas, celananya pun basah dan bau, ditarik pun tidak mudah.”

“Kalau dia merangkak di tanah, apakah kau tidak mampu memenggal kepalanya?”

“Tidak bisa dipenggal.”

“Kenapa?”

“Karena tulang di bagian belakang leher lebih keras, kau harus menemukan dulu letak sela-sela ruas tulangnya, baru sekali bacok akan memenggal putus kepalanya,” lalu dia menambahkan, “kalau aku sudah tahu pesakitan yang harus kupenggal kepalanya seorang jahat maka aku harus mempersiapkan diri lebih dulu.”

“Mempersiapkan apa?”

“Biasanya aku mencekok dulu beberapa cangkir arak, untuk membesarkan nyalinya, tapi tidak boleh mencekoknya sampai mabuk, maka sebelumnya aku pun harus mencari tahu apa dia suka minum arak.”

“Lalu?”

“Setiba di tengah gelanggang, bila dia tetap tak berani mengulur lehernya, maka aku akan menendang pinggangnya, begitu kepalanya bergerak, golokku segera menyambar, bergegas aku harus mengeluarkan bakpao yang sudah kusiapkan sebelumnya.”

“Untuk apa kau membawa bakpao?”

“Begitu kepala terpenggal jatuh, bakpao itu harus segera kugunakan untuk menyumpal lubang lehernya.”

“Untuk apa?”

“Karena aku harus mencegah darah yang menyembur dari lehernya mengotori badanku, besar atau kecil bakpao itu adalah sama karena dia bisa menghisap darah, bila penonton sudah bubar, bakpao itu tetap hangat, mumpung masih panas aku lantas melahapnya.”

Bertaut alis laki-laki tua, tanyanya, “Kenapa harus makan bakpao itu?”

“Karena makan bakpao berdarah dapat menambah nyali,” setelah menenggak dua teguk arak dia meneruskan dengan tertawa, “pekerja seperti kami ini, bila terlalu banyak membunuh orang, akhirnya bisa bernyali kecil juga, mula pertama malamnya tidak bisa tidur, akhirnya ada yang menjadi gila malah.”

“Gila sungguhan?” tanya laki-laki tua.

“Suhuku sendiri juga gila. Dua puluh tahun dia menjadi algojo, ternyata gila. Mulutnya selalu mengigau katanya ada setan yang datang membuat perhitungan dengan dia, mau memenggal kepalanya. Suatu hari, dia masukkan kepala sendiri ke dalam tungku yang membara.”

Laki-laki tua menatapnya, akhirnya menghela napas, katanya, “Arak yang kau minum hari ini biar aku yang traktir.”

“Kenapa?”

“Karena tidak mudah kau peroleh uangmu itu, kelak kau pasti juga akan menjadi gila.”

“Kau mau mentraktir, kalau aku tidak mau, sia-sia aku minum, tapi aku pasti tidak akan gila.”

“Kenapa?”

“Karena aku senang dengan pekerjaanku.”

“Kau benar-benar suka?”

“Orang lain membunuh orang berarti melanggar hukum, aku membunuh orang malah terima bayaran, tugas ringan dan menguntungkan seperti ini, kemana pula aku bisa mendapatkannya?” mendadak dia menoleh ke arah Pho Angsoat, katanya, “Dan kau? Bidang apa kerjamu?”

Pho Ang-soat tidak menjawab, perutnya seperti mengkeret, seperti diplintir, seperti mau muntah.

Dari tempat gelap mendadak seorang berkata dingin, “Dia seperti kau, dia pun seorang algojo.”

Malam panjang sudah akan berakhir. Sebelum fajar akan tiba saatnya paling gelap, orang itu berdiri di tempat yang paling gelap sana.

Laki-laki kekar itu terperanjat, serunya, “Maksudmu dia juga seorang algojo?”

Bayangan orang di tempat gelap itu manggut-manggut, katanya, “Cuma dia belum bisa menandingi kau.”

“Dalam hal apa dia tidak bisa menandingi aku?”

“Bagimu, membunuh orang adalah tugas sepele, pekerjaan enteng, kau mendapat upah lagi.”

“Dan dia?”

“Setelah membunuh orang dia malah amat menderita, sekarang dia sudah tidak bisa tidur.”

Mula pertama menjalankan tugas, malamnya tidak bisa tidur, akhirnya bisa jadi gila.

“Dia pernah membunuh banyak orang.”
“Yang dulu tidak dihitung, dalam tujuh belas hari ini dia sudah membunuh dua puluh tiga orang.”

“Dia membunuh memperoleh duit tidak?”

“Tidak.”

“Tidak mendapat duit, menderita lagi, tapi dia masih ingin membunuh?”

“Benar.”

“Selanjutnya dia masih ingin membunuh?”

Bayangan di tempat gelap itu berkata, “Bukan saja kelak masih ingin membunuh, sekarang juga dia mau membunuh.”

Tegang laki-laki kekar itu, tanyanya, “Sekarang dia mau membunuh siapa?”

“Membunuh aku,” suara orang di tempat gelap menjawab.

ooooOOoooo

Bab 20. Taysu Dan Kacung Pembawa Kecapi

Tampak orang itu mulai melangkah keluar dari tempat gelap, melangkah perlahan ke bawah penerangan lampu. Raut mukanya juga pucat, hampir sepucat Pho Ang-soat, pucat bening. Matanya bersinar, namun membayangkan kehampaan.

Dengan terbelalak laki-laki kekar itu mengawasinya, tanyanya, “Kau tahu dia hendak membunuhmu, kau masih berani kemari?”

“Aku harus kemari.”

“Kenapa?”

“Karena aku pun ingin membunuhnya.”

“Juga harus membunuhnya?”

Orang itu manggut-manggut, katanya, “Setiap orang selama hidupnya pasti pernah melakukan sesuatu yang tidak ingin dia lakukan, karena dia tidak diberi pilihan lain.”

Laki-laki kekar mengawasinya, lalu mengawasi Pho Angsoat, kelihatan amat heran, kaget dan bingung, persoalan seperti ini memang sukar dimengerti oleh orang seperti dirinya. Tapi dia sudah merasakan adanya hawa membunuh.

Tanah lapang di dalam jalan sempit di depan warung lakilaki tua ini mendadak seperti berubah jadi ajang pembunuhan. Hawa membunuh yang dia resapi di sini sekarang ternyata lebih keras dibanding hawa membunuh di gelanggang hukuman, dimana dia sering menjadi algojo.

Pandangan orang yang keluar dari tempat gelap kini sudah beralih ke arah Pho Ang-soat, rona matanya begitu hambar dan sendu. Seorang yang tidak punya rasa cinta, tidak selayaknya memiliki perasaan serawan itu.
Siau Si-bu adalah orang yang tidak punya cinta, mendadak dia menghela napas, katanya, “Kau harus tahu semestinya aku tidak ingin kemari.”

Pho Ang-soat tetap bungkam.

Agaknya dia sudah mabuk, sudah sinting, beku dan pati rasa, malah jari-jari tangannya yang memegang golok itupun tidak setenang semula. Tapi tangannya masih memegang golok, golok hitam. Golok itu tak pernah berubah, golok itu abadi.

Siau Si-bu mengawasi goloknya, katanya, “Aku yakin akan datang suatu hari pasti dapat mematahkan golokmu.”

Pho Ang-soat pernah berkata, “Aku akan menunggumu.”

Siau Si-bu berkata pula, “Sebetulnya aku pun ingin menunggu hari itu baru akan kucari kau.”

Mendadak Pho Ang-soat bersuara, “Maka tidak layak kau datang sekarang.”

“Tapi aku sudah datang.”

“Kalau sudah tahu tidak pantas kau datang, kenapa tetap kemari?”

Siau Si-bu tertawa, tawa yang mencemooh, tawa sindiran,
“Apa kau tidak pernah melakukan sesuatu yang kau tahu, tidak pantas kau lakukan sesuatu itu?”

Pho Ang-soat tutup mulut. Dia pernah melakukan.

Ada sementara persoalan kau tahu tidak pantas kau lakukan, namun kau justru harus melakukan, kau sendiri pun tidak mungkin mengekang dirimu sendiri.

Karena persoalan itu seolah-olah mempunyai daya tarik yang tak mungkin bisa kau lawan.

Kecuali itu ada sementara persoalan yang tidak pantas kau lakukan sudah kau kerjakan, tapi lantaran situasi dan kondisi memaksamu, untuk menyingkir atau lari dari kenyataan itupun sudah tidak mampu lagi.”

“Sudah tiga kali aku mencarimu, tiga kali aku akan membunuhmu, tiga kali pula kau melepas aku pergi.”

Pho Ang-soat membungkam pula.

“Aku tahu sejak mula kau tidak ingin membunuhku.”

Pho Ang-soat mendadak bertanya, “Kau juga tahu kenapa aku tidak ingin membunuhmu?”

“Karena sudah lama kau belum ketemu tandingan, kau pun ingin menunggu akan datang suatu hari yang menentukan itu, ingin membuktikan apakah aku mampu mematahkan golokmu.” Pho Ang-soat diam.

Malang melintang tiada tandingan ternyata bukan sesuatu yang menggembirakan seperti yang dibayangkan kebanyakan orang, seseorang bila dia sudah tidak ketemu tandingan lagi, dia akan lebih kesepian daripada seorang yang tidak punya teman.
Siau Si-bu berkata, “Tapi aku tahu sekarang, kau sudah tidak sabar menanti lagi, kali ini kau harus membunuhku.”

“Kenapa?” Pho Ang-soat menegas.

“Karena kau sudah tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri.”

Pandangannya kosong hampa, kelihatannya seperti mata orang mati, namun senyumannya masih mengandung cemoohan, “Karena sekarang kau bukan lagi Pho Ang-soat yang dahulu.”

Sekarang kau tidak lebih hanya seorang algojo.

Beberapa patah kata ini tidak dia ucapkan, karena pisau terbangnya sudah melesat, cepat, telak dan mematikan. Walau dia tahu timpukan pisau terbangnya ini dapat dipatahkan oleh Pho Ang-soat, waktu turun tangan dia kerahkan seluruh kekuatannya.

Karena dia setia, paling tidak, dia setia terhadap pisaunya. Arti dari kesetiaan ini adalah semangat yang luhur, semangat yang tidak pernah luntur, tidak pernah goyah, bila tidak kepepet dan memang tiada harapan sama sekali takkan membuang kesempatan terakhir. Takkan mengabaikan usaha terakhir meski itu hanya setitik saja. Untuk melakukan hal ini memang tidak mudah.

Siapa pun asal dia bisa melakukan hal ini, apa pun yang dia lakukan pasti berhasil, pasti sukses. Sayang sekali dia sudah tidak punya kesempatan, karena dia menempuh jalan yang tidak harus dia lalui, karena Pho Ang-soat sudah melolos goloknya.

Sinar golok berkelebat, batok kepala menggelundung jatuh di tanah, darah segar menyembur bagai kabut merah berkembang di bawah lampu yang guram, sinar lampu menjadi merah, tapi muka orang menjadi pucat, menjadi hijau malah.

Sekujur badan laki-laki kekar itu menggigil, darah dalam tubuhnya seperti membeku, napas pun seperti berhenti. Dia juga menggunakan golok, tidak sedikit pula orang yang pernah dibunuhnya.

Tapi sekarang setelah dia melihat tabasan golok Pho Angsoat ini, baru dia menyadari gaman yang digunakannya selama ini hakikatnya bukan golok. Malah dia merasakan dahulu dirinya belum pernah membunuh orang, tidak terhitung membunuh orang.

Cahaya lampu menguning lagi. Waktu dia mengangkat kepala, Pho Ang-soat sudah tidak di bawah lampu lagi, tempat yang tidak terjangkau oleh penerangan lampu tetap gelap.

“Sebenarnya aku bisa tidak membunuhnya, kenapa aku membunuhnya juga?” Pho Ang-soat mengawasi golok di tangannya, mendadak dia sadar kenapa Siau Si-bu harus datang.

Karena dia tahu Pho Ang-soat sudah tidak bisa mengendalikan diri sendiri, dia mengira bisa memperoleh kesempatan untuk mengalahkan Pho Ang-soat.

Dia ingin lekas mencoba, maka dia sudah tidak tahan untuk menunggu hari yang pernah dijanjikan dulu.

Menunggu memang amat menyiksa perasaan, apalagi dia masih muda, masih berjiwa panas.

Analisa Pho Ang-soat memang tidak salah, dia pun tahu bahwa dirinya tidak salah, lalu siapakah yang salah?
Peduli siapa yang salah, tekanan jiwanya dan beban yang harus dipikulnya sudah tidak bisa menjadi ringan, karena orang yang dia bunuh sebelum ini tidak ingin dia bunuh.

“Apakah betul aku sudah tidak mampu mengendalikan diriku sendiri? Apakah betul aku sudah menjadi algojo picisan? Apakah akhirnya aku betul-betul akan menjadi gila?”

Meja sebesar itu ternyata mengkilap, tidak berdebu sedikitpun, dalam rumah yang besar ini juga tiada sedikitpun suara.

Kongcu Gi sedang termenung.

“Siau-si-bu sudah pergi?” tadi dia bertanya demikian. “Ya.”

“Dengan cara apa kalian menganjurkan dia pergi?”

“Kami memberi gambaran supaya dia merasa punya kesempatan untuk membunuh Pho Ang-soat.”

“Akhirnya?”

“Akhirnya Pho Ang-soat telah membunuhnya.”

“Dia turun tangan lebih dulu?”

“Ya.”

Sekarang Kongcu Gi sedang termenung, yang menjadi persoalan pemikirannya sudah tentu adalah Pho Ang-soat, memang hanya seorang Pho Ang-soat yang setimpal dibuat pikiran oleh Kongcu Gi. Kecuali Pho Ang-soat, sekarang boleh dikata hampir tiada orang lain yang bisa menarik perhatiannya.

Hari sudah petang, aroma kembang yang semerbak terbawa angin, akhirnya Kongcu Gi tertawa, katanya, “Dia masih membunuh orang, tetap sekali tabas menamatkan jiwa orang, tapi dia sendiri sudah hampir tamat.” Lalu dia bertanya,

“Kau tahu kenapa dia bakal lekas tamat?”

Yang dipandang bukan Ku Ki yang berdiri di depannya, tapi orang yang berdiri di belakangnya. Tiada yang memperhatikan orang ini, karena dia terlalu pendiam, terlalu awam, mirip bayangan atau duplikat Kongcu Gi. Tiada orang mau memperhatikan bayangan, tapi pertanyaan Kongcu Gi tadi tidak ditujukan kepada Ku Ki, tapi ditujukan kepada orang ini.

Apakah persoalan yang tidak mampu dijelaskan oleh Ku Ki, orang ini mampu menjelaskan? Apakah yang dia tahu lebih banyak dari Ku Ki?

“Seseorang bila sudah tiba saatnya hampir tamat, maka dia pasti akan memperlihatkan lubang kelemahannya.”

“Lubang kelemahan?”

“Ya, lubang seperti yang terdapat di tanggul sebelum jebol.”

“Jadi Pho Ang-soat sudah memperlihatkan lubang kelemahannya?” Kongcu Gi bertanya.
“Sebetulnya dia tidak ingin membunuh Siau Si-bu, dia pernah mengampuni jiwa Siau Si-bu tiga kali, kali ini ternyata dia sudah tidak mampu mengendalikan diri.”

“Itulah kelemahannya?”

“Betul!”

Tawa Kongcu Gi amat riang, “Sekarang apakah kita masih perlu mengantar orang supaya dibunuh olehnya?”

“Boleh diantar satu lagi.”

“Siapa?”

“Dia sendiri,” bahasa yang digunakan bayangan itu memang khas, “Di kolong langit ini, hanya dia sendiri yang mampu membunuh Pho Ang-soat, dan hanya Pho Ang-soat yang mampu membunuh dirinya sendiri.”

Kejadian apa yang lebih kejam dari membunuh orang? Memaksa orang bunuh diri lebih kejam dari membunuh orang, karena untuk itu memerlukan proses yang lebih panjang, lebih menyiksa.

Malam amat panjang, amat menakutkan. Tapi malam panjang pun ada akhirnya.

Pho Ang-soat berhenti, mengawasi kabut pagi nan putih bagai sari, mulai mengepul di antara rumpun kembang dan bambu. Malam nan panjang ini, akhirnya dilewatinya begitu saja.

Berapa lama lagi dia kuat bertahan? Lelah, lapar dan dahaga, kepala sakit seperti hampir pecah, bibirnya pun sudah merekah saking keringnya.

Bahwasanya dia sendiri tidak tahu dimana sekarang dirinya berada? Tidak tahu pagar bambu keluarga siapakah itu? Kebun atau taman kembang milik siapa?

Sudah lama dia berjalan, di sini dia berhenti, karena dia mendengar petikan kecapi. Suara kecapi yang kedengaran kosong mendengung di udara, suara yang datang dari alam gaib.

Sebetulnya dia tidak ingin berhenti di sini, entah kenapa tahu-tahu dia sudah berhenti sendiri. Alunan kecapi yang mengambang itu seperti panggilan sanak-kadang di tempat nan jauh. Dia tidak punya sanak tiada kadang, tapi waktu mendengar kecapi ini, nuraninya seperti terketuk oleh suatu kekuatan yang gaib. Lalu dia merasakan dirinya seperti terbaur dan bersenyawa dengan alunan kecapi itu, perkara pembunuhan dan kejadian darah mengalir dalam sekejap ini telah berubah jauh, sudah sirna.

Sejak dia membunuh kakak beradik keluarga Ni, belum pernah dia merasa longgar seperti ini meski hanya sekali saja. “Creng”, mendadak suara kecapi terputus, dari dalam kebun cilik berkumandang suara seorang, “Sungguh tak nyana di luar pintu ada seorang yang juga gemar musik, kenapa tidak silakan masuk dan duduk di dalam sambil menikmati suara kecapi?”

Tanpa pikir Pho Ang-soat segera mendorong pintu terus beranjak masuk. Kembang tidak terlalu banyak di dalam taman, pohon pun jarang-jarang, gubuk pun hanya dibangun tiga petak. Seorang tua beruban dengan pakaian kain kasar sudah berdiri menyambut kedatangannya sambil bersoja.

Pho Ang-soat balas menjura, katanya, “Tamu tidak diundang, mana berani mendapat sambutan Lotiang sendiri?”

Orang tua itu tersenyum, “Tamu agung gampang diperoleh, kawan sekegemaran susah didapat, jika tidak menyambut sendiri, bukankah tidak sopan dan kurang hormat? Hanya orang yang tidak tahu sopan santun dan tata kehormatan, mana boleh dia belajar memetik kecapi?”

“Betul,” ucap Pho Ang-soat.

“Silakan.”

Di dalam gubuk terdapat ranjang tinggi, meja pendek di atasnya, di atas meja pendek itulah tergeletak sebuah kecapi. Kecapi yang berbentuk kuno, kelihatannya sudah berusia ribuan tahun, ujung buntut kecapi kelihatan gosong seperti bekas terbakar.

“Bukankah ini Kiau-bwe-khim, kecapi nomor satu di dunia yang turun-temurun sejak zaman dahulu kala?”

Orang tua itu tersenyum, katanya, “Tajam benar pandangan tuan.”

“Kalau begitu tentu Lotiang adalah Ciong-taysu?”

“Losiu memang she Ciong.”

Kembali Pho Ang-soat membungkuk badan. Sejak hidup di rantau, baru pertama kali ini dia bersikap hormat terhadap orang, namun yang dia hormati bukan orangnya, tapi adalah kepandaiannya memetik kecapi yang tiada bandingan di seluruh jagat.

Seni khusus yang bernilai tinggi, watak kemanusiaan yang tunggal dan luhur, keduanya patut dihormati oleh setiap insan manusia.

Meja pendek itu mengkilap bersih, Ciong-taysu membuka sepatu, lalu naik ke atas ranjang, duduk bersimpuh, lalu berkata, “Silakan duduk.”

Pho Ang-soat tidak duduk.

Kotoran dan noda darahnya sudah cukup lama tidak dibersihkan.

Ciong-taysu berkata, “Walau hanya ada meja dan kecapi ini di dalam kamarku, tapi orang yang bisa masuk ke sini bisa dihitung dengan sebelah jariku.” Dia menatap Pho Ang-soat,
“Tahukah kau kenapa aku mengundangmu masuk?”

Pho Ang-soat menggeleng.

“Karena aku dapat melihat, meski pakaianmu dekil, hatimu justru bersih bagai kaca, lalu kenapa pula kau harus merendahkan dirimu?” Maka Pho Ang-soat pun berduduk.

Ciong-taysu tersenyum, jari-jarinya mulai bergerak memetik senar, “Cring”, suara kecapi yang mengambang kosong kembali merasuk ke dalam sanubari Pho Ang-soat. Tangannya masih menggenggam goloknya, tapi mendadak dia merasa golok yang dipegangnya sudah tiada artinya lagi bagi dirinya. Baru pertama kali ini hatinya dirangsang oleh perasaan yang ganjil seperti ini.

Suara kecapi seakan-akan membuainya ke alam lain, dimana tidak ada golok, tiada arti sial. Manusia kenapa harus membunuh manusia? Bukan saja awak sendiri membunuh, juga memaksa orang lain membunuh orang: Jari-jari Pho Angsoat yang menggenggam gagang golok sudah mengendor.

Sebetulnya ketahanan Pho Ang-soat sudah mendekati keruntuhan, namun di tengah irama kecapi ini dia sudah memperoleh kebebasan. Pada saat itulah, di kejauhan mendadak juga terdengar suara “cring” sekali, kedengarannya juga suara kecapi. Walau suaranya jauh, namun jelas terdengar.

Jari-jari Ciong-taysu yang sedang memetik kecapi mendadak bergetar, “krak”, lima senar putus bersama.

Air muka Pho Ang-soat berubah seketika.

Alam semesta mendadak berubah hening lelap seperti tiada kehidupan, Ciong-taysu duduk mematung tidak bergerak, semangatnya kelihatan luluh, seakan kehilangan sesuatu, tampangnya kelihatan mendadak lebih tua sepuluh tahun.

Maka Pho Ang-soat bertanya, “Taysu apakah kau mendengar firasat jelek?”

Ciong-taysu diam saja, seperti tidak mendengar, juga tidak bersuara, dari jauh kembali terdengar suara “Cring” sekali lagi, keringat dingin seketika berketes-ketes di jidatnya, ketika suara kecapi berbunyi lagi, orang tua yang semula tabah dan tenang serta saleh ini mendadak melompat bangun, hanya dengan sepasang kaos putih saja dia terus menerjang keluar.

Pho Ang-soat ikut keluar.

Keluar dari gang panjang ini, tiba di jalan raya yang panjang pula, di ujung jalan raya ini ada sebuah pasar. Saat itu sedang ramainya orang berbelanja, hari masih pagi. Di dalam pasar berkumpul berbagai jenis orang, penuh berbagai suara yang berpadu.

Orangnya adalah orang awam, suaranya juga suara biasa, lalu untuk apa Ciong-taysu yang tidak biasa ini ke tempat ini, apa yang dicarinya?

Sepasang kaos kakinya yang putih, yang biasanya tidak pernah kena debu sekarang sudah kotor, dia berdiri melenggong celingukan ke kanan-kiri, seperti nyonya muda yang kehilangan dompet uangnya.

Khim-sin (kecapi sakti) yang terkenal di dunia ini, kenapa berubah begini rupa?

Pho Ang-soat bukan orang yang cerewet, kini tak tahan dia bertanya, “Taysu, apakah yang kau cari?”

Ciong-taysu membesi mukanya, wajahnya menampilkan mimik yang aneh, agak lama baru dia menjawab, “Aku hendak mencari seorang, aku harus menemukan orang ini.”

“Siapa dia?”

“Seorang kosen yang tiada bandingan di zaman ini.”

“Dia kosen dalam hal apa?”

“Kecapi.”
“Permainan kecapinya lebih tinggi dari Taysu?”

Ciong-taysu menghela napas panjang, katanya rawan, “Sekali kecapinya berkumandang, cukup membuatku tidak berani bicara tentang kecapi seumur hidup.”

Pho Ang-soat terkesiap, katanya, “Taysu sudah tahu dimana orang ini?”

“Suara kecapi terdengar dari sini, maka orangnya juga pasti di sini.”

“Di sini kan pasar.”

“Justru di sini pasar baru dapat memperlihatkan kelihaiannya.”

“Kenapa?”

Pandangan Ciong-taysu menatap jauh ke depan, seperti kehilangan tapi juga seperti memperoleh sesuatu, “Karena meski raganya berada di dunia fana, tapi batinnya berada jauh di luar lapisan mega, segala benda segala persoalan di dunia fana ini sudah tiada yang bisa mempengaruhi ketenangan hatinya bak permukaan air bening.”

Pho Ang-soat termenung, pelan-pelan dia mengangkat kepala, mendadak berkata keras, “Apakah yang Taysu maksud adalah dia?”

Di dalam pasar ada tempat khusus yang menjual daging, pasar besar kecil dan dimana saja pasti ada yang menjual daging. Ada yang menjual daging pasti ada jagal. Dimana saja seorang jagal pasti beranggapan dirinya luar biasa, merasa daging yang dijajakan lebih baik dan mahal dari milik orang
lain. Karena dia bisa memotong sendiri, karena dia tidak takut darah mengalir.

Sekarang jagal itu sedang memotong daging, memotong daging di atas bangku besar dan tinggi, di bawah bangku itulah duduk menggelendot miring seseorang. Seorang berbaju putih yang bermalas-malasan di situ. “

Padahal tempat itu kotor dan basah, nyonya yang berbelanja semua mengenakan sepatu tinggi, tapi orang ini tidak peduli, begitu saja dia mendeprok di tanah sambil merem-melek. Di atas pangkuannya menggeletak sebuah kecapi, gelagatnya dia sedang memetik kecapi, tapi senar kecapinya tidak berbunyi.

Ciong-taysu langsung mendekat ke depan orang sambil berdiri tegak penuh hormat, lalu membungkuk sembilan puluh derajat. Sementara orang itu sedang mengawasi jari tangan sendiri, angkat kepala pun tidak.

Sikap Ciong-taysu ramah dan hormat, dia mengaku diri sebagai murid, “Tecu Ciong Le.”

Si baju putih berkata tawar, “Bukankah si kecapi sakti Ciong-taysu?”

Keringat dingin membasahi jidat Ciong-taysu pula, katanya dengan suara tersendat, “Petikan senar kecapi Kuncu berkumandang sudah tiada bandingan di kolong langit, kenapa tidak diulang sekali lagi?”

“Aku takut,” ujar si baju putih. Ciong-taysu melongo,

“Takut? Takut apa?”

“Aku takut bila kau mati membenturkan kepalamu di atas Kiau-bwe-khim.”

Ciong-taysu menundukkan kepala, keringat dingin mengucur deras, namun dia masih bertanya, “Kuncu datang darimana?”

“Datang dari jauh, namun tak tahu kemana harus pergi.”

“Mohon tanya she dan nama besarmu?”

“Tak usah bertanya, aku hanyalah seorang Khim-thong (kacung kecapi) saja.”

Khim Thong? Orang selihai ini terima menjadi kacung orang lain? Lalu siapa yang setimpal punya kacung kecapi seperti dia?

Ciong-taysu tidak percaya, kenyataan ini membuat otaknya butek dan tak bisa membayangkan duduk perkara sebenarnya, tak tahan dia bertanya pula, “Dengan bakat dan kemampuan Kuncu, kenapa harus menjadi orang bawahan?”

Tawar suara orang baju putih, “Karena aku memang bukan tandingannya.”

“Siapa dia?” mendadak Pho Ang-soat bertanya.

Orang baju putih tertawa tawar, katanya, “Kalau aku sudah tahu siapa kau, pasti kau pun sudah tahu siapa aku.”

“KongcuGi?”desisPhoAng-soat, tangannya menggenggam kencang gagang goloknya.

“Ternyata kau memang tahu,” ujar orang baju putih tertawa.

Secepat kilat mendadak Pho Ang-soat turun tangan, dia pegang tangan orang, siapa tahu mendadak Ciong-taysu menubruk datang, dengan kencang dia memeluk lengan Pho Ang-soat, teriaknya, “Jangan kau melukai tangan ini, inilah tangan yang tiada bandingannya di seluruh jagat.”

Orang baju putih bergelak tertawa.

Si jagal yang sedang memotong daging mendadak mengayun parang di tangannya membacok kepala Pho Angsoat. Di sebelah penjual daging adalah penjual sayuran, dengan timbangan dia menutuk Ki-bun, Ciang-tay dan Hian-ki, tiga Hiat-to besar di tubuh Pho Ang-soat.

Seorang nyonya yang menjinjing keranjang belanja juga angkat keranjangnya mengepruk kepala Pho Ang-soat. Kebetulan di sebelah belakang lewat seorang yang memikul dua keranjang ayam hidup, dengan pikulannya dia menyapu pinggang Pho Ang-soat.

Mendadak sinar golok berkelebat, “Klak”, pikulan putus, keranjang hancur, timbangan terpotong jadi dua, parang besar itu mencelat terbang, kurungan tangan masih memegang kencang gagang parang itu. Unggas yang ada di dalam keranjang besar beterbangan, pasar yang biasa tenang kini menjadi ribut dan gempar. Kejadian hanya sekejap, tapi orang baju putih yang duduk santai di bawah bangku itu ternyata sudah menghilang.

Orang-orang di pasar merubung maju, semua ingin tahu apa yang terjadi di sini, tapi tukang jagal, penjual sayur, penjual ayam berbareng menyelinap hilang di kerumunan orang banyak.
Suara kecapi terdengar berkumandang di tempat jauh.

Pho Ang-soat menyibak orang banyak dan beranjak pergi, ternyata terlampau banyak orang di pasar yang berkerumun ini hingga susah bagi Pho Ang-soat untuk menemukan orang yang ingin dicari, tapi dia mendengar pula suara kecapi itu.

Darimana arah datangnya suara kecapi ke sana dia melangkah, langkahnya tidak cepat.

Suara kecapi yang mengambang di udara susah dibedakan darimana datangnya, siapa pun susah menentukan arah, lalu apa gunanya berjalan cepat? Tapi Pho Ang-soat tidak berpeluk tangan, asal di depan masih terdengar suara kecapi, maka dia melangkah ke depan.

Ternyata Ciong-taysu mengintil di belakangnya, kaos kakinya yang putih sudah sobek, malah telapak kakinya pun sudah lecet dan melepuh, entah berapa lama mereka putarkayun tanpa tujuan.

Sang surya merambat semakin tinggi, mereka sudah lama meninggalkan pasar, keluar kota, hembusan angin bertiup di musim semi, sawah ladang yang menghijau dengan padi yang belum masak tampak menari dan melambai, gununggemunung di kejauhan seperti bernapas turun naik, mayapada selembut dada seorang dara yang lembut, mereka maju terus masuk ke dalam pelukannya.

Gunung menghijau tampak di empat penjuru, sebuah sungai mengalir tenang, suara kecapi seolah-olah berkumandang dari dasar air yang dalam.

Mereka sudah menjelajah gunung melampaui sungai, tibalah di pinggir sebuah danau kecil, di pinggir danau berdiri sebuah rumah kecil.

Di dalam rumah terdapat sebuah meja dan kecapi, senar kecapi seperti masih mengumandangkan sisa getaran suaranya, di bawah kecapi tertindih secarik kertas, di atasnya tertulis, “Golok gumpil kecapi putus, bulan purnama kembang layu, Kongcu bagai nama, terbang melayang ke langit sembilan”.

Ciong-taysu menghadap ke alam semesta yang terbentang luas di depannya, lama dia menepekur, akhirnya perlahan berkata, “Tempat ini sungguh amat baik, orang yang bisa tinggal di sini lebih baik menetap saja, bagi yang tidak bisa, kenapa harus pergi?”

Pho Ang-soat mengawasinya dari kejauhan, menunggu dia bicara lebih lanjut.

Ciong-taysu menepekur lagi, kemudian katanya pula, “Aku sudah tidak akan pergi lagi.”

“Tidak ingin pergi atau tidak boleh pergi?” tanya Pho Angsoat.

Ciong-taysutidakmenjawab,tapidiaberbalik menghadapinya, tanyanya, “Menurut penglihatanmu, berapa usiaku?”

Rambut kepalanya sudah ubanan, raut mukanya juga sudah dipenuhi kerut-merut tanda ketuaan, hidup menderita serba kekurangan, maka dia menjawab pertanyaannya sendiri, “Sejak muda aku sudah berhasil angkat nama, tahun ini aku baru berusia tiga puluh enam.”

Pho Ang-soat menatap wajahnya yang penuh keriput dan rambutnya yang ubanan, walau tidak berkomentar apa pun, namun tidak menampilkan rasa kaget atau heran.

Ciong-taysu tertawa, katanya, “Aku tahu, kelihatannya aku pasti sudah amat tua, sejak lama aku memang sudah beruban.” Senyumnya penuh kegetiran hidup, lanjutnya, “Karena keringat dan darahku sudah kering, walau dalam permainan kecapi aku memperoleh keahlian yang tidak mungkin dicapai orang lain, meski dalam mimpi memperoleh ketenteraman hidup dan mahkota kebesaran, namun kecapi itu sendiri juga telah menghisap seluruh jerih-payahku, darah, keringat dan tulang sumsumku.”

Pho Ang-soat mengerti apa yang diartikan dalam ucapannya.

Seseorang bila hidupnya sudah tenggelam di dalam suatu persoalan atau kegemaran, maka dia seperti menjalin suatu hubungan kental dengan iblis.

Apa yang kau inginkan, aku bisa berikan seluruhnya kepadamu, maka apa yang kau miliki seluruhnya juga harus kau berikan kepadaku, termasuk jiwa raga dan sukmamu.

Ciong-taysu berkata, “Sebetulnya itu merupakan timbalbalik yang cukup adil, maka tiada yang perlu kusesalkan, tapi sekarang....” Dia menatap Pho-ang-soat dan melanjutkan, “Kau belajar ilmu golok, jika kau pun seperti diriku, demi golokmu kau telah mempertaruhkan segala milikmu, mendadak kau menyadari bahwa orang lain hanya dalam jangka sekejap mampu merobohkan engkau, lalu bagaimana sikapmu? Apa yang akan kau lakukan?”

Pho Ang-soat tidak menjawab.

Ciong-taysu menghela napas, katanya pula perlahan, “Soal-soal begini tentu kau tidak akan paham, bagimu sebatang golok tetap sebatang golok, tiada makna lain.”

Pho Ang-soat ingin tertawa, tertawa terbahak-bahak, tapi dia tidak bisa tertawa.

Sebatang golok tetap sebatang golok, lalu siapa bisa meresapi makna dan manfaat golok itu terhadap dirinya?

Bukankah dia sudah punya hubungan intim dengan iblis, bukankah berarti dia juga harus mempertaruhkan segala miliknya?

Lalu apa yang telah diperolehnya?

Mungkin tiada orang kedua di dunia ini yang lebih paham tentang persoalan ini daripadanya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa, karena air getirnya telah meresap ke dalam tulangnya, ditumpahkan keluar juga tidak bisa lagi.

Ciong-taysu tertawa, katanya, “Bagaimanapun juga kau bisa bertemu denganku, terhitung ada jodoh juga, biarlah kupetik sebuah lagu untukmu.”

“Selanjutnya?”

“Jika kau ingin pergi, silakan kau pergi.”

“Kau tidak mau pergi?”

“Aku? Aku bisa kemana lagi?”

Akhirnya Pho Ang-soat tahu apa maksud seluruhnya, di sini tempat baik, dia sudah siap menguburkan jazadnya di tempat ini. Bagi dirinya, kehidupan ini sudah bukan lagi kebebasan, gengsi dan ketenaran, sebaliknya adalah penghinaan, suatu yang memalukan, maka hidupnya sudah tidak ada artinya lagi.

“Creng”, senar kecapi mulai bergema lagi.

Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya, menyelimuti lembah pegunungan ini.

ooooOOoooo

Suara kecapinya sendu dan memilukan, seperti seorang dayang tua yang sudah kenyang hidup dalam belenggu sedang menceritakan kehidupan yang penuh derita ini kepada manusia, meski kehidupan itu terselip rasa senang dan gembira, namun hanya sekejap seperti sirnanya mega, hanya
duka-lara saja yang melekat abadi pada dirinya. Begitulah kehidupan manusia yang pendek, siapa pun pada akhirnya pasti akan mati.

Lalu apa artinya manusia hidup?

Kenapa harus berjuang, bergelut dan ulet? Kenapa harus sakit dan menderita? Kenapa susah dimengerti bahwa hanya kematianlah yang bisa mencapai ketenteraman nan abadi?

Suara kecapi membuat pikiran orang tenggelam ke alam yang berbeda, menceritakan bagaimana damai dan indahnya kematian itu, keadaan damai dan keindahan yang tidak mungkin bisa dilukiskan dengan rangkaian kata-kata, hanya irama kecapinya inilah yang bisa melimpahkan.

Karena dia kini sudah tenggelam di alam mimpi kematian, malaikat kematian seakan membantu dia memetik kecapinya itu, membujuk orang untuk meninggalkan dunia fana ini, meninggalkan segala kerisauan dan keduniawian, pergi keimpian kematian dan memperoleh ketenteraman dan damai abadi.

Di sana tiada siksa derita, tak usah pula bergelut, berjuang dan berkelahi, bertarung dengan sesama manusia. Di sana tiada pembunuhan, tiada yang memaksa orang untuk membunuh. Jelas hal semacam ini takkan mungkin dilawan oleh manusia umumnya.

Tangan Pho Ang-soat sudah bergetar, bajunya sudah basah-kuyup oleh keringat dingin.

Kalau kehidupan memang begini memilukan, kenapa harus bertahan hidup?

Jari-jarinya menggenggam gagang golok makin mengencang, apakah dia sudah siap mencabut golok? Mencabut golok untuk membunuh siapa?

Hanya dia sendiri yang dapat membunuh Pho Ang-soat dan hanya Pho Ang-soat yang mampu membunuh dirinya sendiri.

Suara kecapi makin memilukan, lambat-laun gunung itu makin gelap, tiada penerangan, tiada harapan. Suara kecapi seperti memanggil, seolah-olah dia melihat Binggwat-sim dan Yan Lam-hwi. Apakah mereka sedang membujuknya untuk menikmati keindahan nan damai.

ooooOOoooo

Bab 21. Lolos Dari Kurungan

Akhirnya Pho Ang-soat mencabut goloknya. Sinar golok berkelebat, yang dipenggal bukan kepala orang, tetapi kecapi itu.

Kenapa kecapi ini harus dibacok?

Ciong-taysu mengangkat kepala, mengawasinya dengan pandangan kaget, bukan saja heran dan bingung, juga amat marah. Golok sudah kembali ke sarungnya.

Pho Ang-soat sudah duduk, wajahnya yang pucat di kegelapan seperti diukir dari batu kali, keras, kekar, dingin namun agung.

Ciong-taysu berkata, “Umpama permainan kecapiku tidak patut dinikmati, tapi kecapi ini kan tidak bersalah, mengapa kau tidak memenggal kepalaku sekalian?”

“Kecapi tidak berdosa, orangnya pun tidak berdosa, daripada manusia mati, biarlah kecapi yang jadi korban.”

“Aku tidak mengerti.”

“Kau harus mengerti, tapi memang banyak persoalan yang tidak kau ketahui,” dengan dingin dia meneruskan, “kau hanya tahu kehidupan manusia yang pendek saja, akhirnya juga akan mati, tapi kau tidak tahu, untuk mati juga ada berbagai cara.”

Mati seperti kembali ke tempat asalnya, mati secara ksatria, mati akan menjadi kenangan sepanjang masa, sudah tentu hal-hal begini juga dimengerti oleh Ciong-taysu.

Pho Ang-soat berkata, “Seseorang dilahirkan dan harus hidup, umpama harus mati, maka matilah secara gemilang, mati dengan hati tenteram dan damai.”

Seseorang hidup bila tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang harus dikerjakan, mana mungkin dia bisa mati dengan tenteram? Makna dari kehidupan, yaitu perjuangan dan harus berjuang sampai titik darah penghabisan, asal paham akan hal ini, maka kehidupan ini bukanlah tiada artinya.

ooooOOoooo

Duka dan kesedihan hidup manusia memang diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk mengatasinya.

“Tapi hidupku ini hanya semacam kenistaan.”

“Karena itu kau harus berusaha melakukan sesuatu yang berarti, cucilah segala kenistaanmu itu, kalau tidak, umpama sekarang kau mati, kau tetap mati dalam kenistaan.”

Mati bukan suatu cara yang baik untuk menyelesaikan segala persoalan, hanya lelaki berjiwa lemah, berjiwa kerdil saja yang tidak kuat mengalami pukulan, menghadapi ujian hidup, maka larilah dia dari kehidupan ini, kematian itulah cara yang ditempuhnya untuk membebaskan diri.

“Imbalan yang kupertaruhkan di atas golokku ini pasti tidak lebih ringan, lebih sedikit darimu, tapi aku tidak pernah memperoleh hiburan, ketenangan, kebesaran dan ketenaran seperti yang kau miliki, yang kudapatkan hanyalah permusuhan dan penghinaan, dalam pandangan orang lain kau adalah seorang sakti dalam permainan kecapi, bagiku tidak beda dengan seorang algojo.”

“Tapi kau masih ingin bertahan hidup?”

“Asal aku masih bisa hidup, maka aku harus hidup, orang lain ingin aku mati, maka aku harus berjuang untuk hidup,” demikian kata Pho Ang-soat, “hidup ini bukan suatu yang memalukan, bukan kenistaan, hanya mati sajalah yang memalukan.”

Wajahnya yang pucat memancarkan cahaya, kelihatan lebih gagah, kereng, lebih agung. Kini dia tidak lagi mirip algojo yang seluruh badannya berlepotan darah dan jorok.

Sekarang dia telah memperoleh kehidupan yang murni, puncak kehidupan yang sejati, diperoleh dari siksa derita dan “pukulan lahir batin yang tidak mungkin diterima dan ditahan oleh manusia lain. Karena semakin besar pukulan yang diterimanya, semakin besar pula daya perlawanannya.

Tenaga perlawanan ini akhirnya berhasil membebaskan dirinya dari belenggu yang pernah dia ciptakan sendiri. Satu hal ini jelas tidak pernah diduga dan dipikirkan oleh Kongcu Gi.

Ciong-taysu pun tidak menduga, tapi waktu dia mengawasi Pho Ang-soat, rona matanya tidak lagi mengandung rasa kaget, heran dan marah, tapi menampilkan rasa hormat. Tak tahan dia bertanya, “Apakah kau pun ingin melakukan seuatu yang berguna untuk mencuci penghinaan dan rasa malumu.”

“Sekuat tenaga aku sedang berusaha melakukannya.”

“Kecuali membunuh orang, apa pula yang sudah kau lakukan?”

“Paling sedikit aku sudah melakukan satu hal,” suaranya penuh keyakinan, “paling tidak aku sudah memperlihatkan satu bukti kepadanya, aku tidak pernah takluk, juga tidak mudah terpukul roboh olehnya.”

“Dia, dia siapa?”

“Kongcu Gi.”

Ciong-taysu menghela napas panjang, ujarnya, “Seseorang bisa punya seorang kacung kecapi seperti itu, pasti dia seorang yang luar biasa.”

“Memang demikian.”

“Tapi kau ingin membunuhnya?”

“Betul.”

“Apakah membunuh orang termasuk suatu pekerjaan yang berguna?”

“Jika orang itu hidup, orang lain akan menderita, mengalami penindasan, penyiksaan. Jika aku membunuhnya, maka aku sudah melakukan sesuatu pekerjaan yang bermanfaat, sesuatu yang mulia.”

“Kenapa kau belum melaksanakan keinginanmu itu?”

“Karena aku tidak bisa menemukan dia.”

“Kalau dia seorang luar biasa, pasti dia seorang ternama, bagaimana kau tidak dapat menemukan dia?”

“Walau namanya terkenal di seluruh dunia, namun jarang ada orang melihat wajah aslinya.”

Inipun suatu hal yang aneh, seseorang semakin ternama, orang yang melihatnya semakin jarang, makin sedikit.

Hal ini sepantasnya juga dimaklumi oleh Ciong-taysu, karena dia pun seorang yang terkenal di jagat ini, orang yang bisa bertemu dengan dia juga amat sedikit. Tapi dia tidak berkomentar apa-apa, Pho Ang-soat juga tidak mau banyak bicara, apa yang perlu dia katakan sudah habis diucapkannya.

Pho Ang-soat berdiri, “Aku hanya ingin supaya kau tahu, walau tempat ini amat baik, tapi bukan tempat yang tepat bagi kita untuk tinggal terlalu lama.”

Meskipun di luar amat gelap, dia tetap tidak mau tinggal di situ.

Asal lahir batin bersih, kenapa harus takut kegelapan? Perlahan dia beranjak keluar, gaya jalannya masih kelihatan kaku, berat dan sukar, namun pinggangnya lurus, badannya tegak dan dada membusung.

Ciong-taysu mengawasi punggungnya, mendadak dia berseru, “Tunggu sebentar!”

Pho Ang-soat berhenti.

Ciong-taysu berkata, “Apa betul kau ingin bertemu dengan Kongcu Gi?”

Pho Ang-soat mengangguk.

“Kalau begitu kau harus tinggal di sini, biar aku yang pergi.”

“Kenapa? Kau tahu dia akan kemari?”

Ciong-taysu tidak menjawab, namun mendahului melangkah pergi.

“Darimana kau tahu? Siapa kau sebenarnya?”

Mendadak Ciong-taysu berpaling, katanya sambil tertawa, “Kau kira siapa aku? Mimik tawanya aneh misterius, badannya mendadak telah lenyap ditelan kegelapan, seperti sudah bersenyawa dengan tabir malam. Terdengar suaranya berkumandang di kejauhan, “Asal kau bersabar dan mau menunggu di sini, pasti kau dapat bertemu dengan dia.”

“Kau kira siapa aku?” Memangnya dia bukan Ciong-taysu? Apakah dia Khim-thong yang tulen? Kalau tidak, mana mungkin dia tahu dimana dan kemana jejak Kongcu Gi.

Pho Ang-soat tidak berani memastikan, karena dia tidak pernah melihat wajah asli Ciong-taysu, tidak pernah melihat Khim-thong.

Apakah betul Kongcu Gi akan datang kemari? Inipun tidak berani dia pastikan, namun dia sudah berkeputusan untuk tinggal di sini, hanya inilah kesempatan satu-satunya bagi dirinya, sumber yang mungkin dapat untuk menemukan jejaknya.

Malam sudah larut, di pegunungan yang sunyi tiada terdengar suara apa pun. Mutlak tiada suara atau sesuatu suara yang menakutkan, seseorang yang dicekam keheningan seperti ini pasti sudah tidur.

Pho Ang-soat sudah tidur, sudah tidur bukan berarti sudah nyenyak, sudah pulas dibuai impian.

Lampu tidak terpasang di dalam rumah kecil ini, kecuali sebuah kecapi, satu meja, dan sebuah ranjang, dalam rumah ini tiada benda lain lagi.

Pho Ang-soat kelaparan, juga lelah, dia ingin tidur, selama beberapa tahun ini, derita bagi seorang yang susah tidur teramat menyiksa, bila dapat tidur pulas, meski hanya sekejap, sudah merupakan keberuntungan dan itu memang menjadi keinginannya yang terbesar.

Kenapa sesunyi ini? Kenapa nagin pun tiada? Terpaksa dia sengaja terbatuk-batuk beberapa kali, hampir tak tertahan dia ingin bergumam, bicara kepada diri sendiri.

Pada saat itulah mendadak dia mendengar suara “Cring, ering”. Itulah suara kecapi. Kecapi di atas ranjang, kecuali dirinya, di rumah ini tiada orang lain, tiada orang memetik senar kecapi, bagaimana mungkin kecapi itu bisa berbunyi?

Terasa oleh Pho Ang-soat rasa dingin yang tiba-tiba muncul di punggungnya, tak tahan dia membalik tubuh mengawasi kecapi di atas ranjang. Di bawah penerangan sinar bintang yang redup dingin, senar kecapi kelihatan cukup jelas dalam jarak yang tidak begitu jauh.

Senar kecapi berbunyi lagi, beruntun beberapa nada suara, seperti seorang pemusik yang sedang menyetel alat musiknya. Lalu siapakah yang sedang memetik senar kecapi? Siluman kecapi atau setan penunggu gunung ini?

Pho Ang-soat melompat secara mendadak, maka dilihatnya di luar jendela ada sesosok bayangan samar-samar. Bayangan manusiakah? Atau bayangan setan? Orang di luar jendela mana bisa memetik senar kecapi di dalam rumah, di atas ranjang?

“Tenaga jari yang hebat,” jengek Pho Ang-soat dingin.

Bayangan hitam di luar jendela seperti kaget, sebat sekali dia mundur ke belakang.

Pho Ang-soat lebih cepat, boleh dikata tanpa persiapan atau membuat ancang-ancang, orangnya sudah menerobos keluar bagai anak panah menyambar.

Bayangan hitam di luar melambung ke udara, terus bersalto seperti gerakan setan, seperti segumpal asap pula, dan mendadak sirna di tengah kegelapan.

Gunung sunyi sepi, sinar rembulan terasa dingin.

Pho Ang-soat maju lebih jauh, tiada seorang pun dilihatnya, waktu dia menoleh, matanya tertumbuk pada sebuah lampu yang menyala. Sinar lampu bagi api setan yang bergoyanggoyang.

Lampu berada di dalam rumah, siapakah yang berada di dalam rumah menyulut lampu?

Pho Ang-soat tidak mengembangkan Ginkang, perlahan dia beranjak balik, lampu tidak padam, lampu berada di atas meja ternyata sudah putus, putus rata seperti diiris pisau layaknya.

Di dalam rumah tetap tiada orang, di bawah kecapi tertindih secarik kertas yang berisi tulisan berbunyi: “Kalau sekarang tidak pergi, orang putus bagai kecapi ini”. Gaya tulisannya amat baik, amat elok dan enak dipandang, dengan gaya tulisan yang tertindih di kertas di bawah kecapi tadi, jelas hasil tulisan satu orang. Lalu dimana orangnya?

PhoAng-soat duduk menghadapi lampu yang memancarkan cahayanya, mendadak sorot matanya
memancarkan cahaya. Hanya setan atau dedemit yang bisa pergi datang bagai angin tanpa meninggalkan bekas, padahal dia tidak percaya bahwa di dunia ini ada setan segala. Jika di dunia ini tiada setan, maka di dalam rumah ini pasti ada lorong bawah tanah atau dinding lain, kemungkinan sekali letaknya di sekitar ranjang batu ini.

Dalam menyelidiki soal beginian, Pho Ang-soat bukan terhitung seorang ahli, tapi dia amat mahir. Akal bulus yang sering digunakan orang-orang Kangouw kebanyakan diketahui dengan baik, alat-alat rahasia dengan berbagai perangkap yang rumit juga diketahuinya, maka untuk mencari lorong bawah tanah atau adanya alat rahasia di balik dinding dan sebagainya bukan pekerjaan yang sulit bagi dirinya.

Apakah Kongcu Gi sudah datang? Datang dari lorong bawah tanah?

Pho Ang-soat memejamkan mata, mengatur pernapasan, dia benamkan perasaannya supaya tenang dan longgar, hanya dengan ketenangan baru panca-indranya lebih tajam, daya tangkap dan serap otaknya akan lebih runcing .

Maka dia mulai mencari, tapi tidak menemukan apa-apa.

Kalau sekarang tidak pergi, orang putus seperti kecapi.

Kalau aku tidak bisa menemukan kau, akhirnya juga pasti kau yang mencariku. Kenapa tidak kutunggu kau di sini saja, mari buktikan cara bagaimana kau akan memutus badanku seperti putusnya senar kecapi ini?

Perlahan Pho Ang-soat duduk, sumbu lampu dia bersihkan dan nyala api menjadi lebih terang, penerangan selalu membawa semangat dan membangkitkan gairah orang, tidur seperti tidak punya jodoh dengan dirinya.

Suatu waktu dia ingin tidur, namun tidak bisa tidur. Orang yang memutus senar kecapi setiap saat bisa keluar dari lorong bawah tanah atau dari balik dinding, lalu memenggal tubuhnya menjadi dua seperti senar kecapi.

Apakah betul orang itu Kongcu Gi adanya? Orang macam apakah sebetulnya Kongcu Gi itu? Sambil menerawang Pho Ang-soat menggenggam goloknya, dengan menunduk dia mengawasi golok yang dipegangnya, terasa dirinya seperti makin lemas, makin lunglai dan lelah, makin tenggelam dan terbenam ke dalam sarung goloknya. Mendadak dia tertidur.

Malam makin kelam, lampu menyala, lidah api tidak lagi bergerak, menyala tenang.

Dunia dalam keadaan damai tenteram, tiada bencana, tiada pertumpahan darah, juga tiada suara brengsek.

Waktu Pho Ang-soat tersadar, dia tetap duduk di atas kursi. Entah berapa lama dia pulas di atas kursi. Namun begitu dia membuka mata, yang terlihat pertama kali adalah goloknya, golok masih tergenggam di tangannya, sarung golok yang hitam legam, tampak mengkilap ditimpa sinar pelita. Mungkin dia hanya terlena sekejap saja, karena pelupuk matanya terasa amat berat, betapapun dia adalah manusia biasa, bukan robot, manusia perkasa matanya pun pasti akan mengalami kelelahan dan terlena meski hanya sekejap.

Namun bila golok tetap di tangan, apapun dia tidak perlu gentar. Tapi begitu dia mengangkat kepala, hatinya seketika tenggelam, seperti tenggelam di dasar danau yang dingin. Dia masih duduk di kursi semula, golok masih terpegang di tangannya, tapi dirinya sekarang tidak duduk di dalam rumah gubuk di tengah puncak gunung yang belukar itu.

Pandangan pertama yang terlihat olehnya adalah sebuah gambar lukisan, lukisan panjang melintang empat tombak tujuh kaki yang digantung pada dinding di depannya.

Panjang dinding atau luas rumah ini sudah tentu tidak hanya empat tombak tujuh kaki, kecuali gambar lukisan itu, dinding yang dikapur bersih putih laksana salju tergantung berbagai jenis alat senjata, di antaranya ada sebuah kampak batu raksasa dari zaman purba, ada pula tombak panjang
beronce ungu milik Soa Jeng di zaman Ciankok yang selalu digunakan merobohkan musuh di medan laga. Ada pula Cengliong-yam-gwat-to, gaman yang digunakan Bu-seng Koan-tekun di zaman Sam Kok, ada pula Cwa-hou-lan dan Hou-singkiam gaman luar biasa yang jarang terlihat di kalangan Kangouw.

Di antara senjata yang tergantung di atas dinding itu, paling banyak adalah golok. Golok tunggal, golok rangkap Yan-hapto, Kui-thau-to, Kim-pwe-gan-san-to, Sia-to, Kui-hoan-to, Jikkim-hi-ling-to ... malah ada juga sebtang Thian-ong-cam-kui-to yang panjangnya setombak lebih.

Tapi yang paling mengejutkan Pho Ang-soat adalah sebilah golok hitam, golok yang mirip dengan yang di genggaman tangannya. Beratus jenis senjata dari zaman dahulu sampai zaman mutahir ternyata digantung di atas dinding seluruhnya, maka dapatlah dibayangkan, betapa besar dan luas rumah ini.

Padahal seluruh lantai rumah ini dilembari permadani tebal buatan negeri Persia, hingga terasa rumah sebesar ini hangat dan nyaman.

Agaknya setiap benda yang terpajang di dalam rumah ini sudah diseleksi, diperiksa secara teliti, selama hidup Pho Angsoat tak pernah terbayang dan belum pernah berkunjung ke tempat semewah ini.

Dia tidak habis mengerti, cara bagaimana dirinya bisa berada di tempat ini? Jelas ini bukan mimpi, tapi jauh lebih seram, lebih aneh, lebih ajaib dan brutal dari mimpi yang sesungguhnya.

Tangan yang menggenggam golok sudah terasa dingin, gagang goloknya sudah basah oleh keringat dingin yang merembes di telapak tangannya. Tapi dia tidak menjerit kaget, tidak berlari keluar, dia tetap duduk tenang dan diam di kursinya, bergerak pun tidak.

Bahwa orang itu mampu membawanya ke tempat ini tanpa diketahui setan dan malaikat, maka amat mudah membunuhnya kalau mau. Bahwa kenyataan dirinya masih hidup kenapa harus lari dari kenyataan ini? Kenapa harus bersusah-payah beraksi?

Mendadak seorang bergelak tertawa di luar pintu, katanya, “Pho-kongcu sungguh amat tabah dan tenang.”

Ketika pintu terbuka, di tengah gelak tawanya, yang beranjak masuk ternyata adalah Ciong-taysu.

Tapi keadaan Ciong-taysu sekarang sudah agak berubah, jubah belacu yang biasa dipakainya sekarang berganti jubah sutra, rambut ubannya juga sudah disemir hitam, demikian pula kerut-mukanya agak jarang, sehingga wajahnya kelihatan lebih muda dua puluh tahun.

Dingin-dingin saja Pho Ang-soat menatapnya sekilas, ternyata reaksi kaget atau mimik heran pun tidak diperlihatkan olehnya, seolah-olah dia sudah menduga di tempat ini dia akan bertemu dengan dia.

Ciong-taysu menyembah dan menjura, katanya, “Cayhe Ji Khim, menyampaikan sembah hormat kepada Pho-kongcu.”

Jadi orang inilah Ji Khim yang tulen, dia pulalah kacung harpa Kongcu Gi, jadi kacung harpa yang muncul di dalam pasar itu tidak lain hanyalah figuran yang membantu dia menyelesaikan permainan sandiwaranya.

Tujuan permainan sandiwara itu hanya ditujukan kepada Pho Ang-soat seorang, padahal macam apa tampang Ji Khim asli hakikatnya Pho Ang-soat tidak pernah melihatnya, maka sandiwara di pasar itu betul-betul diperankannya dengan baik dan amat memuaskan.

Apakah permainan sandiwara itu hanya untuk membuat Pho Ang-soat terlena dan tenggelam dalam alam pikirannya setelah mendengar alunan lagu yang menyedihkan itu? Sehingga dia merasa kecewa dan putus-asa, lalu menggorok leher sendiri dengan goloknya?

Sekarang bila golok ini tercabut pula, yakin yang digorok pasti bukan lehernya sendiri. Melihat dia memegang golok hitamnya, di kejauhan Ji Khim sudah menghentikan langkahnya, katanya mendadak, “Tempat apakah ini? Kenapa aku bisa berada di sini?” Dia tertawa, lalu menyambung, “Seharusnya Pho-kongcu yang mengajukan pertanyaan ini, tapi Pho-kongcu tidak buka suara, terpaksa biar aku saja yang bertanya.” Pertanyaannya sendiri, memang pantas kalau dia pula yang menjawab.

Tak nyana mendadak Pho Ang-soat buka suara dingin, “Inilah tempat baik, bahwa aku sudah berada di sini, kenapa harus bertanya bagaimana aku bisa kemari?

Ji Khim melengak, serunya, “Apa betul Pho-kongcu tidak ingin bertanya?”

“Tidak,” cepat jawaban Pho Ang-soat.

Ji Khim mengawasinya sekian lama, lalu katanya bimbang, “Apakah Pho-kongcu ingin membunuhku dengan sekali tabas? Lalu menerjang keluar pintu.”

“Tidak.”

“Apakah Pho-kongcu tidak ingin pergi?”

“Tidak gampang aku kemari, kenapa harus pergi?”

Ji Khim kembali melenggong. Waktu dia masuk tadi, dia mengira Pho Ang-soat pasti kaget dan gugup, tak nyana yang kaget dan gugup sekarang justru dia sendiri.

“Duduk!” bentak Pho Ang-soat.

Ji Khim lantas duduk.
Di atas sebuah meja kecil panjang pendek berukir kembang, permukaan meja dilapisi batu jade, terdapat sebuah kecapi, itulah Kiau-bwe-khim yang tiada bandingan di kolong langit sejak zaman dulu sampai sekarang.

“Silakan petik satu lagu untuk kudengar,” pinta Pho Angsoat.

“Ya,” Ji Khim mengiakan.

“Tring,creng,”senar kecapi mulai dipetik mengumandangkan suara yang merdu, lagu yang dipetik kali ini sudah tentu bukan lagi melankolik yang mendatangkan rasa perih dan kepedihan sehingga mengundang putus asa, namun irama kecapi sekarang bernada riang gembira dalam suasana kemewahan dan kemegahan, seumpama seorang yang sekarat dekat ajalnya, bila mendengar lagu ini pasti tidak ingin mati, demikian pula pemetiknya, sudah tentu dia tidak ingin mati.

Mendadak Pho Ang-soat bertanya, “Apakah Kongcu Gi juga berada di sini?”

Ji Khim tidak langsung menjawab, namun irama kecapinya mendadak merendah lembut dengan tekukan suara yang seolah-olah menjawab, “Ya, benar.”

“Apakah dia pun ingin bertemu dengan aku?” tanya Pho ang-soat pula.

“Ya, benar,” kembali suara kecapi mewakili Ji Khim menjawab.

Pho Ang-soat juga cukup ahli dalam mendengar nada lagu, baru saja dia hendak bertanya, di luar mendadak berkumandang suara yang aneh dan ganjil, nadanya sumbang, cepat dan cekak, runcing dan seram, meski terputus-putus tapi suara itu berbunyi terus.

Ji Khim tampak bergetar, mendadak senar harpanya putus dua utas. Suara nyaring melengking yang pendek dan cepat itu ternyata seperti membawa tenaga sedot yang luar biasa. Siapa pun yang mendengar suara ini seketika akan merasa tenggorokan kering, jantung berdebar lebih keras, perut seperti kejang dan mengkeret.

Pho Ang-soat pun tidak terkecuali.

Berubah rona muka Ji Khim, mendadak dia berjingkrak berdiri terus melangkah lebar keluar.

Pho Ang-soat tidak mencegah, selamanya dia tidak melakukan sesuatu yang tidak perlu, dia harus tumplek seluruh perhatian dan semangatnya, sedapat mungkin untuk mempertahankan ketenangannya.

Senjata-senjata yang tergantung di atas dinding seperti memancarkan cahaya yang dingin, gambar lukisan sepanjang empat tombak tujuh kaki itu jelas adalah sebuah lukisan yang antik dan tak ternilai harganya. Tapi jangankan melihat, melirik sekali lagi pun tidak, dia harus mengkosentrasikan seluruh semangat, pikirannya tak boleh lena atau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya.

Tapi seolah-olah dia susah mengkosentrasikan diri, suara nyaring pendek dan runcing itu masih terus berbunyi, bagai sebuah palu besi sedang memukul urat syarafnya.

Ketika gelang pintu berbunyi karena tersentuh, baru Pho Ang-soat memperhatikan, di belakang masih terdapat sebuah pintu, seorang perempuan baju putih yang cantik tengah berdiri di luar pintu mengawasi cirinya, raut wajahnya kelihatan mirip dengan Coh Giok-cin, tapi dia bukan Coh Giok-cin.

Dia lebih cantik, lebih rupawan dari Coh Giok-cin, kecantikannya seperti agung dan segar, senyumannya welas asih dan lembut, gayanya lebih mempesona, tak urung Pho Ang-soat yang tidak doyan perempuan inipun melirik dua kali ke arahnya.

Kini dia sudah beranjak masuk, lalu menutup daun pintu dengan hati-hati, lewat di samping Pho Ang-hoat, lalu melangkah ke tengah ruangan. Baru kemudian membalik menghadapnya, katanya sambil tersenyum, “Aku tahu, kau inilah Pho Ang-soat. Tapi kau tidak tahu siapa aku adanya?”

Suaranya seperti orangnya, agung dan lembut, namun katakata yang dilontarkan ternyata sederhana dan terus terang. Jelas dia bukan perempuan yang suka bermuka-muka, perempuan yang banyak tingkah.

Pho Ang-soat memang tidak tahu siapa perempuan ini.

Perempuan itu memperkenalkan diri, “Aku she Coh, boleh terhitung majikan perempuan tempat ini, maka kau boleh memanggilku Coh-hujin, kalau kau merasa panggilan ini berlebihan, boleh kau panggil aku apa saja, meja atau kursi juga tidak jadi soal.” Dia tersenyum lebih manis, “Meja memang adalah gelaranku, setiap teman baikku suka memanggil aku dengan gelaran itu.”

“Coh-hujin,” dingin suara Pho Ang-soat. Dia bukan teman perempuan ini, dia tidak pernah punya teman.

Sudah tentu Coh-hujin tahu maksudnya, tawanya tetap gembira, “Makanya orang sering bilang kau ini orang aneh, kau memang demikian.”

Pho Ang-soat diam saja, diam adalah pengakuan. Cohhujin mengerling tajam, katanya, “Apa kau tidak ingin tanya kepadaku, pernah apa Coh Giok-cin dengan aku?”

“Tidak perlu aku bertanya.”

“Apa betul tiada sesuatu urusan di dunia ini yang dapat menyentuh sanubarimu?”

Pho Ang-soat tutup mulut, bila dia menolak menjawab suatu pertanyaan, biasanya dia bungkam, bibirnya dikatupkan rapat.

Coh-hujin menghela napas, katanya, “Semula kupikir paling tidak kau pasti meneliti senjata-senjata yang ada di sini, bagi mereka yang pernah kemari, tiada satu pun yang tidak tertarik oleh koleksi senjata yang sekian banyaknya ini.” Memang jarang ada kesempatan sebaik ini bagi kaum persilatan umumnya.

Mendadak Coh-hujin membalik dan beranjak ke depan dinding, menarik sebatang pedang yang berbentuk kuno sederhana, warna hitam legam yang terbuat dari besi, katanya, “Kau kenal tidak siapakah yang menggunakan pedang ini?”

Hanya sekilas Pho Ang-soat melirik, segera menjawab pula, “Inilah pedang milik Kwe Siong-yang.” Sebetulnya dia tidak ingin bersuara, entah kenapa tak tertahan akhirnya dia bicara, karena dia tidak mau dianggap orang yang tidak punya pengetahuan.

“Memang kau berpandangan tajam,” puji Coh-hujin. Nada pujian lebih banyak dan merasa kagum, dahulu Siong-yangthi-kiam malang melintang di kolong langit, di dalam daftar alat senjata tercantum nomor empat, memang hanya sedikit kaum persilatan yang tidak kenal pedang besi hitam ini.

Coh-hujin berkata, “Walau ini hanya pedang tiruan yang mirip dengan aslinya, tapi bentuk, bobot, panjang pendek dan ukuran tebalnya, malah bahan bukunya juga terbuat dari bahan yang sama, boleh dikata hampir seratus persen mirip dengan Siong-yang-thi-kiam.” Senyumannya menampilkan rasa bangga, “Sampai pun ronce pedang ini, juga dibuat sendiri oleh nyonya besar keluarga Kwe yang masih hidup sampai sekarang, kecuali pedang besi warisan keluarga mereka, di kolong langit ini mungkin takkan bisa ditemukan pedang kedua tiruan seperti ini.”

Dia gantung pedang besi itu di tempat asalnya, lalu menurunkan sebuah cambuk panjang, cambuk yang juga hitam mengkilap laksana seekor ular sakti.

Pho Ang-soat sudah bersuara sebelum ditanya, “Itulah gaman Sebun Yo, Pian-sin-coa-pian, dalam daftar senjata tercantum nomor tujuh.”

Coh-hujin tertawa, katanya, “Kalau kau mengenal cambuk ular ini, sudah tentu kau pun kenal Kim-kong-tho-koay milik Cukat Kong.” Dia kembalikan cambuk panjang, lalu mengambil sepasang Lui-sing-tui dari pinggir Kim-kong-thikoay.

“Hong-bi-siang-liu-sing,” seru Pho Ang-soat, “dalam daftar senjata tercantum nomor tiga puluh empat.”

“Pandangan tajam,” puji Coh-hujin. Nada pujiannya bertambah tebal pula, mendadak dia beranjak ke pojok dinding mengambil sepasang gelang besi, katanya, “Dahulu Kim-ci-pang menggetarkan dan merajai Bu-lim. Sang Pangcu Siangkoan Kim-hong merajai dunia, inilah Liong-hong-sianghoan miliknya.”

“Bukan,” seru Pho Ang-soat.

“Bukan?” Coh-hujin melengak kaget.

“Itulah Te-jing-hoan (gelang banyak cinta), senjata tunggal dari murid Thi-hoan-bun dari barat laut.”

“Senjata peranti membunuh orang, kenapa dinamakan gelang banyak cinta?”

“Karena begitu dia melilit atau menggantol senjata lawan, maka tidak akan terlepas lagi, bagai seorang dimabuk asmara.” Wajahnya yang pucat mendadak menampilkan mimik yang ganjil, lalu melanjutkan, “Lantaran cinta, seseorang bisa gila, umpama laut kering batu membusuk, cinta ini takkan berubah hingga ajal. Bukankah seorang yang dimabuk asmara juga sering membunuh orang.”

Coh-hujin menghela napas, katanya, “Cinta memang abadi, sebelum ajal cinta takkan padam, ada kalanya cinta bukan saja membinasakan orang lain, juga membunuh diri sendiri.”

“Kukira biasanya membunuh diri sendiri lebih besar kemungkinannya.”

Coh-hujin mengangguk perlahan, katanya, “Betul, biasanya memang sering membunuh diri sendiri.”

Keduanya berhadapan sekian lamanya, akhirnya Coh-hujin tersenyum lebar, katanya, “Adakah senjata yang tidak kau kenal di sini?”

“Tiada,” sahut Pho Ang-soat.

“Setiap senjata yang ada di sini semua punya riwayat sendiri-sendiri, dahulu pernah menggemparkan dunia persilatan, untuk mengenal mereka memang bukan suatu hal yang sukar.”

“Memangnya tiada sesuatu persoalan yang sulit di dunia ini?”

“Sayang sekali ada sementara gaman yang sudah pernah menggetar dunia, membunuh orang tak terhitung banyaknya, namun belum pernah ada seorang yang pernah melihat bentuk asli senjata itu, umpamanya...”

“Pisau terbang milik Li Sun-hoan.”

“Betul, pisau terbang milik Siau-li, selama disambitkan tak pernah luput, Siangkoan Kim-hong yang diagulkan tiada bandingan di kolong langit inipun akhirnya mampus oleh pisau terbang itu, memang patut diagulkan sebagai pisau nomor satu sejagat,” setelah menghela napas, dia menambahkan, “sayang sekali sampai detik ini tiada orang yang pernah melihat bentuk asli pisau itu.”

Pisau hanya berkelebat sekali, tahu-tahu sudah menancap di tenggorokan, lalu siapa dapat melihat bentuk pisau itu, entah panjang, pendek, tebal atau tipis bila jiwa orang itu sudah ajal oleh tusukan pisau itu?

Coh-hujin menghela napas, katanya, “Oleh karena itu, sampai sekarang hal ini masih merupakan teka-teki terbesar di kalangan Bu-lim, kami sudah berjerih-payah, mengorbankan banyak tenaga, pikiran dan harta benda, tetap tak berhasil membuat pisau terbang yang mirip aslinya, sungguh harus disesalkan.”

“Di antara sekian banyak senjata, kurasa masih kurang satu jenis senjata lagi.”

“Khong-jiok-ling (bulu merak) maksudmu?”

“Betul.”

“Tiada sesuatu yang sempurna seratus persen di dunia ini, syukur akhirnya kami memiliki golok ini,” mendadak dia meraih sebatang golok hitam legam dari dinding.

Sinar berkelebat, golok itu sudah keluar sarung, bukan saja bentuk panjang, lebar dan bobotnya sama, sisi tajam goloknya pun terdapat tiga gumpilan.

Coh-hujin tersenyum lebar, katanya, “Aku tahu golok ini bukan untuk pameran, mungkin kau sendiri pun jarang melihat atau memeriksanya.”

Saking pucatnya, kulit muka Pho Ang-soat menjadi bening seperti tembus cahaya, katanya dingin, “Aku tahu, ada kalanya sementara orang pun demikian.”

“Orang maksudmu?” Coh-hujin menegas.

“Sementara orang walau sudah menggetarkan Kangouw, membunuh orang tak terhitung banyaknya, namun selamanya tiada orang pernah melihat wajah aslinya, umpamanya ...”
“Kongcu Gi?”

“Betul, Kongcu Gi.”

Coh-hujin tertawa pula, katanya, “Apa betul selamanya kau tidak pernah melihatnya?”

Tawanya seperti amat ganjil, amat misterius.

Tapi jawaban Pho Ang-soat ternyata amat cekak dan sederhana, “Tidak pernah.”

Coh-hujin tertawa, katanya, “Sekarang kau sudah berada di sini, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan dia, kenapa tergesa-gesa?”

“Sampai kapan baru dia mau menemui aku?”

“Segera.”

“Kalau sudah menjelang, kenapa sampai sekarang dia masih sibuk berlatih mencabut golok?” demikian jengek Pho Ang-soat dingin. Suara yang sumbang, pendek dan nyaring menusuk itu masih terus berbunyi, sekali dan sekali terus berulang. Apakah itu suara golok tercabut dari sarung?

Pho Ang-soat berkata pula, “Permainan golok mempunyai ribuan perubahan dan laksaan variasi, mencabut golok tidak lebih hanya gerakan sederhana di antara permainan golok itu.”

“Gerakan itu berapa lama kau melatihnya?” tanya Cohhujin.

“Tujuh belas tahun,” jawab Pho Ang-soat.

“Hanya satu gerakan yang mudah dan sederhana itu, kau meyakinkan tujuh belas tahun?”

“Aku amat gegetun kenapa tidak bisa berlatih lebih lama lagi.”

“Kalau kau boleh meyakinkan selama tujuh belas tahun, kenapa dia tidak boleh latihan seperti itu?”

“Karena umpama kau dapat berlatih satu dua hari lebih lama juga tak berguna.”

Dengan tersenyum Coh-hujin menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengan Pho Sng-soat, katanya, “Kali ini kau keliru.”

“Keliru?”

“Dia bukan sedang mencabut golok.”

“Bukan?”

“Dia sedang mencabut pedang,” ujar Coh-hujin kalem. “Selama seratus tahun belakangan ini, ahli pedang di kalangan Kangouw sekarang selebat hutan, ilmu pedang yang baru diciptakan ada sembilan puluh tiga macam, ribuan perubahan laksaan variasi, masing-masing memiliki kelihaian dan keampuhannya sendiri, betapa aneh dan ganjil gerak permainannya, boleh dikata sukar dibayangkan dengan akal sehat, tapi gerakan mencabut pedang, kenyataan hanya ada satu macam.”

“Bukan hanya satu macam, tapi hanya satu macam yang paling cepat.”
“Tapi untuk menemukan yang paling cepat itulah yang bukan pekerjaan gampang.”

“Gerakan yang paling sederhana adalah jenis yang tercepat itu.”

“Tapi harus melalui gemblengan ribuan perubahan dan laksaan variasi hingga akhirnya dibulatkan menjadi sederhana.”

Seluruh perubahan dalam permainan ilmu silat memang sukar untuk menelurkan perubahan yang tercepat itu.

Coh-hujin berkata, “Sudah lima tahun dia menggembleng diri, baru menemukan satu cara, hanya satu gerakan yang paling gampang, dia pun sudah berlatih selama tujuh belas tahun, sampai sekarang dia masih berlatih, setiap hari paling sedikit pasti berlatih tiga jam.”

Jari-jemari Pho Ang-soat menggenggam kencang gagang goloknya, matanya mulai memicing sipit.

Coh-hujin menatapnya tajam, kerlingannya yang lembut dan hangat tadi kini berubah setajam pisau, katanya tegas, “Tahukah kau untuk apa dia menggembleng diri dengan latihan seberat itu?”

“Untuk menghadapi aku?”

“Kau keliru lagi.”

“Oh?”

“Dia bukan harus menghadapimu, jadi bukan melulu untuk menghadapi kau seorang saja.”

Akhirnya Pho Ang-soat mengerti, katanya, “Ya, dia akan menghadapi seluruh jago-jago kosen di seluruh jagat ini.”

Coh-hujin manggut-manggut, katanya, “Betul, karena dia bertekad ingin menjadi orang nomor satu di seluruh jagat ini.”

Pho Ang-soat tertawa dingin, katanya, “Memangnya dia berpendapat asal aku dikalahkan, maka dia bakal menjadi orang nomor satu di jagat ini?”

“Sejauh ini dia memang berpendapat demikian.”

“Dia pasti keliru dan akan menyesal.”

“Kukira dia tidak salah.”

“Di kalangan Kangouw tak terhitung jago-jago kosen, terutamaorang-orangpandaiberjiwaanehyang mengasingkan diri di atas pegunungan, entah betapa banyak di antara mereka yang memiliki kungfu lebih tinggi dari aku

“Tapi kenyataan sampai sekarang belum ada satu pun di antara mereka yang dapat mengalahkan engkau ...”

Terkatup mulut Pho Ang-soat, ini memang kenyataan.

“Aku tahu, untuk mengalahkan kau memang bukan tugas yang mudah, dari sekian banyak orang yang pernah datang kemari, kau adalah satu yang paling istimewa.”

Tak tahan Pho Ang-soat bertanya, “Sudah berapa banyak orang pernah datang kemari?”

Coh-hujin mengesampingkan pertanyaan ini, katanya, “Koleksi senjata yang tergantung di atas dinding, bukan saja dikumpulkan secara lengkap, semua adalah barang murni, bagi setiap insan persilatan, siapa takkan memandangnya beberapa kali, hanya kau seorang yang kelihatannya tidak tertarik sama sekali.” Setelah menghela napas, dia pun menyambung, “Dan anehnya, gambar lukisan inipun tidak kau pandang barang sekejap.”

“Kenapa aku harus melihatnya?”

“Bila kau mau melihatnya, kau akan paham sendiri.”

“Kalau akhirnya dia pasti akan melihatnya, kenapa harus terburu nafsu?” mendadak seorang menyeletuk.

Suara yang wajar dan sopan, menandakan bahwa orang ini berpendidikan dan tahu adat. Terlalu banyak adat adalah munafik, atau boleh dikata sebagai sikap yang berlebihan, suara ini justru kedengarannya membawa nada hangat penuh persahabatan yang simpati, dan simpati itu hampir mendekati kekejaman. Jika dalam mayapada ini terdapat suatu kekuatan yang mampu menghancurkan segala kehidupan dan benda yang ada, maka dapat dipastikan kekuatan itu akan timbul dari persahabatan yang simpati itu.

Hanya manusia macam Kongcu Gi saja yang mungkin mempunyai rasa simpati yang menakutkan ini. Jelas dia pun amat mengharapkan bertemu dengan Pho Ang-soat, dia tahu saat-saat pertemuan itu adalah saat-saat kehancuran pula, satu di antara kedua orang ini pasti akan runtuh dan hancur.

Sekarang dia sudah berada di belakang Pho Ang-soat, bila tangannya memegang pedang, sembarang waktu dia bisa menusuk ke tempat mematikan di tubuh Pho Ang-soat.

ooooOOoooo 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar