Bab
18. Saat Cinta Mengental, Perasaan Pun Menipis
Kuah yang segar hangat terasa
mengalir dalam tenggorokannya, perutnya yang mengkeret lambat-laun mulai
mengendor, seperti tanah yang kering disiram air, mendapat kebutuhan yang
mendesak.
Waktu pertama kali Pho Ang-soat
membuka mata, pertama yang dilihatnya adalah tangan yang putih dan kecil.
Tangan yang memegang sebuah sendok kecil sedang menyuapi kuah hangat itu ke
dalam mulutnya.
Melihat dia membuka mata, segera
dia mengunjuk senyum gembira, “Inilah kuah ayam yang sengaja kusuruh nenek
sebelah yang mencuci pakaian itu menggodoknya, konon bisa menambah sehat badan,
agaknya memang manjur.”
Pho Ang-soat ingin menutup mulut,
tapi sesendok kuah yang kental kembali diangsurkan ke depan mulutnya, sungguh
tidak enak dia menolak. Dengan tertawa dia berkata pula, “Kalau dibicarakan
memang aneh dan lucu. Selama hidupku ini belum pernah aku merawat orang lain,
juga tiada orang yang pernah memperhatikan diriku?”
Gubuk kecil ini hanya terdapat
sebuah jendela kecil, sang surya tetap memancarkan cahayanya yang benderang di
luar rumah. Pandangannya sudah beralih dari muka Pho Ang-soat, melongok
mengawasi cahaya surya di luar jendela. Cahaya matahari benderang, namun sorot
matanya malah guram. Apakah dia terkenang akan masa lalu, di kala dia hidup
sebatangkara, tiada orang menjaga, merawat dan membimbingnya? Jelas masa lalu
itu dirinya tidak menikmati hidup sengsara di bawah terik matahari, mungkin
selama hidupnya dulu belum pernah sehari pun dia lewatkan di bawah pancaran
sinar mentari.
Agak lama kemudian baru perlahan
dia melanjutkan,
“Sekarang baru aku tahu, peduli
kau dirawat orang atau orang merawatmu, ternyata begitu ... adalah peristiwa
yang baik.”
Dia gadis yang tidak pernah
mengecap pendidikan, tidak banyak yang diketahuinya, maka cukup lama kemudian
baru dia merasa tepat menggunakan “baik” itu untuk melukiskan perasaan dirinya.
Pho Ang-soat dapat memaklumi
perasaannya, jelas itu tidak cukup dilukiskan dengan huruf “baik” belaka.
Karena di dalamnya mengandung kepuasan, selamat dan bahagia, karena dia merasa
selanjutnya dirinya tidak akan kesepian. Bukan berarti dia mendambakan
perawatan dan perlindungan orang lain, namun asal dirinya bisa merawat orang
lain, maka hidupnya ini sudah puas, sudah senang.
Mendadak Pho Ang-soat bertanya,
“Siapa namamu? Nama aslimu sendiri.”
Dia tertawa pula, dia senang bila
orang lain bertanya namanya, karena ini pertanda dia sudah menganggap dirinya
sebagai manusia. Seorang manusia tulen, seorang yang berdikari, bukan lagi
sebagai alat orang lain, juga bukan barang permainannya. Dengan tertawa dia
berkata, “Aku she Ciu, bernama Cui-thing, dulu orang sering memanggil aku
Siau-thing.”
Pertama kali ini Pho Ang-soat
menemukan tawanya yang tulus dan wajar, karena dia sudah mencuci bersih pupur
dan gincu di muka dan bibirnya, yang tampak sekarang adalah wajahnya yang asli.
Dia tahu Pho Ang-soat sedang mengawasi dirinya. “Di waktu aku tidak merias
diri, apakah wajahku tidak kelihatan seperti nenek?”
“Tidak mirip,” sahut Pho
Ang-soat.
Tawa Siau-thing lebih riang,
katanya, “Kau memang seorang yang aneh, aku tidak mengira kau datang
mencariku.” Lalu keningnya berkerut, “Waktu kau datang, keadaanmu amat
menakutkan, semula aku mengira kau sudah hampir mati, apa pun yang kutanyakan,
kau bilang tidak tahu, tapi begitu aku menyentuh golokmu, lantas mau
memukulku.”
Matanya lantas menatap golok
hitam di tangannya itu.
Pho Ang-soat diam saja, dia pun
tidak bertanya lagi, sudah lama dan biasa dia menghadapi gerakan tutup mulut
orang lain. Maka terhadap persoalan apa pun, dia tidak pernah memberikan
harapan yang besar. Terhadap dunia yang tidak kenal kasihan ini hakikatnya dia
sudah tidak mempunyai angan-angan dan tiada mendambakan apa pun. Sampai pun
siapa namanya dia pun tidak bertanya, karena ....
“Aku tahu kau adalah orang baik,
meski pernah memukulku sekali, namun kau tidak menghina dan menganiayaku
seperti laki-laki lain, tanpa sebab kau sudah memberi aku uang sebanyak itu.”
Bagi dirinya, kejadian ini sudah merupakan budi besar dan menenteramkan
hatinya, sudah cukup untuknya merasa berhutang budi dan berterima kasih
selamanya.
“Uang yang kau berikan itu,
sepeser pun tidak kugunakan, umpama setiap hari makan ayam juga cukup digunakan
sampai lama, maka kau harus tinggal di sini, setelah penyakitmu sembuh baru kau
boleh pergi.” Lalu dia genggam tangan Pho Ang-soat, “Jika sekarang kau mau
pergi, pasti aku amat sedih, amat sengsara.”
Bagi pandangan orang lain dia
adalah perempuan jalang yang rendah dan hina, untuk lima tahil bersedia menjual
diri, tapi terhadap Pho Ang-soat dia tidak memohon apa-apa, asal dia diberi
kesempatan untuk merawatnya, maka hatinya akan puas. Dibanding perempuan yang
menganggap dirinya suci dan agung, lalu siapa lebih suci? Lebih agung? Siapa
pula yang hina-dina?
Dia menjual diri karena dia harus
hidup, memangnya siapa yang tidak ingin hidup?
Pho Ang-soat memejamkan mata,
mendadak dia bertanya, “Di sini ada arak tidak?”
Siau-thing menjawab, “Aku tidak
menyimpan arak, tapi aku bisa pergi membelinya.”
“Baik, kau beli, aku tidak
pergi.”
Orang sakit tidak boleh minum
arak, kenapa dia mau minum? Apakah lantaran hatinya dirundung kerisauan dan
derita? Tapi minum arak bukan cara yang baik untuk menyelesaikan persoalan, apa
manfaatnya minum arak terhadap dirinya?
Hal ini Siau-thing tidak pernah
memikirkan, biasanya dia memang jarang menggunakan otak, memang tiada yang
perlu dipikir, keinginannya pun tidak besar. Asal dia mau tinggal di sini,
dirinya disuruh beli apa pun tidak menjadi soal.
Manusia hidup harus mengobarkan
semangat mengejar cita-cita, lakukan apa yang ingin kau lakukan secara sadar,
tidak boleh patah arang, menyesali nasib sendiri dan menjebloskan diri ke
lumpur yang lebih dalam. Tidak pernah dia mau memahami nasehat atau petuah ini.
Karena dia sudah lama bernapas
dalam lumpur, sudah lama bergelimang kotoran dalam kehidupan yang serba jorok
ini, selama ini belum pernah ada seorang pun yang memberi kesempatan kepadanya,
supaya dia merangkak keluar, membersihkan badan dan berdiri.
Bagi dirinya, jiwa dan kehidupan
tidak seruwet yang dianggap dan dipandang orang lain, kehidupan bukan sesuatu
yang mahal, tinggi nilainya. Kehidupan tidak pernah memberikan manfaat apa-apa
bagi dirinya, kenapa pula dia harus menaruh banyak harapan dan mengejar
angan-angan?
Pho Ang-soat sudah mabuk, entah
berapa kali dia jatuh bangun, berapa kali mabuk? Orang bila mabuk, maka dia
pasti akan melakukan banyak perbuatan yang mengherankan, perbuatan di luar
nalar manusia.
Tapi dia tidak menyesal, tidak
mengeluh, tidak bertobat. Dia menerima dan menerima.
Dia minta arak, segera dia beli,
beli sekali dan sekali lagi, ada kalanya tengah malam buta-rata terpaksa dia
harus menggedor pintu warung arak. Bukan saja dia tidak pernah mengomel,
mengeluh, keinginannya pasti dituruti, tidak pernah dia menunjukkan sikap
kurang senang.
Cuma belakangan ini bila dia
pergi membeli arak, cukup lama baru pulang, padahal letak penjual arak tidak
jauh jaraknya.
Ada kalanya otak Pho Ang-soat
jernih dan sadar, namun tidak pernah dia bertanya kenapa dia pergi begitu lama?
Padahal uang yang dia berikan hari itu hanyalah pecahan uang perak yang tidak
seberapa jumlahnya, karena hanya itu pula miliknya. Selama ini dia hidup
miskin, semiskin dirinya
yang sebatangkara ini. Tapi dia
tidak pernah bertanya darimana dia mendapat uang untuk membeli arak. Dia tidak
boleh bertanya, tidak berani bertanya.
Siau-thing juga tidak pernah
tanya tetek-bengek, namun pernah melimpahkan sepatah kata yang takkan pernah
terlupakan selama hidupnya.
Malam itu dia minum arak, malam
sudah larut, setelah agak sinting dia berkata, “Walau aku tidak tahu apa-apa,
aku tahu kau pasti amat menderita.”
Menderita? Apakah perasaannya
sekarang cukup dilukiskan hanya dengan “menderita” saja?
Suatu hari dia kelihatan gembira,
karena hari itu adalah hari ulang tahunnya, sengaja dia membeli arak lebih
banyak dari biasanya, malah dia pun membeli seekor ayam babon gemuk yang
belakangan ini sudah jarang mereka nikmati bersama.
Tapi waktu dia pulang, si dia
sudah pergi. Pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
Botol arak jatuh dan hancur
berantakan, dia berdiri menjublek di pinggir ranjang, dari siang sampai malam,
bergeming dari tempatnya pun tidak. Di atas bantal masih tertinggal seutas
rambutnya, dia menggulungnya, lalu dibungkus serta disembunyikan dalam dadanya,
lalu dia keluar membeli arak pula.
Hari ini adalah hari ulang
tahunnya. Seorang selama hidup berapa kali akan merayakan ulang tahun? Kenapa
dia tidak boleh mabuk?
Pho Ang-soat tidak mabuk, selama
dua hari ini dia tidak mabuk.
Selama dua hari ini dia terus
melangkah ke depan tak pernah berhenti, bukan saja tanpa tujuan, juga tidak
menentu arahnya. Hanya satu keinginannya, lekas pergi, pergi ke tempat yang
jauh, meninggalkan dia makin jauh makin baik.
Mungkin mereka sudah terbenam,
tapi dia tidak tega untuk menyeretnya lebih dalam. Perpisahan memang
mendatangkan duka-lara, tapi dia masih muda, betapapun besar derita itu
akhirnya juga akan silam, akhirnya akan lekas dilupakan. Ketahanan orang muda
terhadap penderitaan biasanya memang lebih kuat, bila terseret lagi,
kemungkinan dia tidak akan bisa bangkit lagi.
Bila lelah, dimana saja dia boleh
merebahkan diri untuk tidur, lalu mulai melangkah pula ke depan. Sebutir nasi
pun tidak masuk perutnya, dia hanya minum sedikit air. Jenggotnya sudah tumbuh
kasar seperti duri landak, dari jauh sudah tercium bau apek dan busuk badannya.
Dia sedang menyiksa diri,
menyiksa diri sendiri dengan sekuat tekadnya. Sekarang hampir tak terpikir lagi
“si dia” dalam benaknya, hingga suatu saat dia mendadak menemukan selembar sapu
tangan kecil di dalam bajunya.
Sapu tangan sutra dihiasi bunga
warna merah, itulah salah satu di antara benda miliknya yang paling berharga.
Sapu tangan itu membungkus lembaran uang kertas yang jumlahnya tidak kecil dan
beberapa keping emas murni.
Uang dan emas ini dia temukan di
tubuh Jari telunjuk yang hari itu meregang jiwa, dia menyimpannya ke dalam
saku, kejadian itu sudah lama dia lupakan. Waktu penyakitnya kumat, sekujur
badan bergetar, meronta dan berkelejetan, hingga barang-barang dalam kantongnya
tercecer keluar, Siau-thing memungut dan mengumpulkannya serta membungkusnya dengan
sapu tangan sutra dihiasi bunga warna merah yang amat disayanginya ini.
Demi mengejar lima tahil perak
dia rela menjual dirinya, malah demi memperoleh imbalan sebotol arak. Tapi
barangbarang berharga ini, jangan kata menyentuh, memakainya, menyinggung pun
dia tidak pernah. Dia rela menjual diri sendiri, sepeser pun tidak menggunakan
uangnya.
Hati Pho Ang-soat seperti
disayat-sayat, mendadak dia berjingkrak serta berlari pula seperti banteng
kesurupan, berlari balik ke arah gubuk kecil itu.
Tapi dia sudah tidak di sana.
Di depan gubuk kecil itu berjejal
banyak orang, berbagai jenis manusia, di antaranya masih ada opas yang
berseragam biru bertopi tinggi dengan bulu angsa terselip di pinggir topinya.
“Apakah yang terjadi?” dia
bertanya pada orang, orang itu tidak menghiraukan dirinya, untung seorang
pengemis yang setengah sinting mendeprok di tanah menganggap dia sebagai kawan
sejenis.
“Gubuk ini sebetulnya ditinggali
seorang pelacur, kemarin malam ternyata dia minggat, maka tuan opas memburu
kemari hendak menangkapnya.
“Kenapa dia akan ditangkap?
Kenapa dia melarikan diri?”
“Karena dia membunuh orang.”
Membunuh orang? Gadis yang bajik,
lemah dan harus dikasihani itu bagaimana mungkin berani membunuh orang?
“Siapa yang dia bunuh?”
“Juragan arak di ujung gang luar
itu,” si pengemis bicara sambil mengepal tinju. “Babi gendut itu memang pantas
dibuat mampus.”
“Kenapa harus membunuhnya?”
“Dia sering ke sana membeli arak,
semula membeli dengan uang, tapi dia minum terlalu banyak, hingga lupa melayani
lelaki, bila sudah ketagihan arak, terpaksa dia barter, dengan kemulusan
tubuhnya dia membarter sebotol arak, menyerahkan dirinya kepada babi gendut
itu.”
Pengemis itu tertawa, katanya,
“Karena babi gendut itu tidak tahu apa kerjanya, maka dia menaksirnya, kemarin
malam entah kenapa seorang diri dia lari ke warung arak itu dan minum di sana,
minum sepuasnya, minum sampai mabuk, sudah tentu babi gendut itu amat senang,
dia mengira memperoleh kesempatan baik, mumpung dia mabuk, maka dia ingin
menunggangi genduk manis itu. Siapa tahu meski biasa dia menjual diri, justru
tidak menyerah kepada babi gendut itu, di waktu babi gendut itu menggunakan
kekerasan, dia ambil golok jagal di atas meja terus membelah batok kepala babi
gendut itu hingga mampus seketika.”
Pengemis ini masih ingin
bercerita, tapi orang yang mendengarkan ternyata sudah lenyap entah kemana.
Terpaksa pengemis itu tertawa getir sambil geleng-geleng, gumamnya, “Memang
banyak kejadian aneh di zaman ini, seorang pelacur ternyata telah membunuh
orang daripada dia harus mencopot celana, coba bayangkan apakah tidak lucu dan
menggelikan?”
Sudah tentu pengemis ini merasa
lucu dan geli, tapi kalau dia tahu seluk-beluk dan asal mula serta latar
belakang peristiwa ini, mungkin dia akan mendekam di tanah menangis
tergerung-gerung.
Pho Ang-soat tidak menangis,
tidak meneteskan air mata.
Warung arak di ujung gang itu
sedang berduka cita, tapi Pho Ang-soat menerobos masuk, diambilnya seguci arak,
mulut guci dia tabas remuk dengan telapak tangannya. Tiada orang berani
mencegahnya, lalu seguci arak itu ditenggaknya sendiri sampai habis, lalu dia
roboh terkapar di pinggir selokan di sebuah lorong.
Entah kenapa dia tidak menjajakan
dirinya lagi?
Entah kenapa dia lari ke warung
arak itu minum sendirian sampai mabuk, namun pantang diperkosa oleh babi gendut
itu?
Sebetulnya lantaran apa dia
berbuat demikian? Siapa tahu?
Mendadak Pho Ang-soat menjerit
keras, “Aku tahu ... aku tahu.”
Kalau sudah tahu memangnya
kenapa? Setelah tahu hatinya hanya akan lebih menderita, dia sudah lari, tapi
kemana dia bisa lari? Paling dari mulut buaya ini ke mulut buaya yang lain,
bukan mustahil nasibnya akan lebih jelek, lebih menderita daripada mulut buaya
semula.
Pho Ang-soat masih ingin minum,
dia belum mabuk, karena dia masih bisa memikirkan beberapa hal ini.
Karena siapa Bing-gwat-sim dan
Yam Lam-hwi mati?
Karena siapa Siau-thing harus
melarikan diri?
Segera dia meronta bangun dengan
langkah sempoyongan menerobos keluar ke jalan besar, kebetulan seekor kuda
sedang dibedal di tengah jalan raya. Kuda gagah itu terkejut sampai meringkik,
penunggangnya membentak murka sambil melecutkan cambuknya.
Cambuk lemas selincah ular itu
ternyata sudah terpegang oleh jari-jari tangan Pho Ang-soat. Meski sedang
mabuk, sedang kalap dan menyiksa diri sendiri sedemikian rupa, betapapun dia
tetap Pho Ang-soat.
Penunggang kuda itu menarik
cambuknya sekuat tenaga, tiada seorang pun yang mampu merebut sesuatu dari
tangan Pho Ang-soat. “Taaaas”, cambuk itu patah. Pho Ang-soat masih berdiri
tidak bergeming, sebaliknya penunggang kuda itu terjengkang ke belakang terus
terjungkal dan jatuh telentang dari pelana. Ternyata reaksinya cukup cekatan,
sebelum punggungnya menyentuh bumi, kakinya sudah memancal pedal hingga
tubuhnya melejit mumbul dan bersalto sekali di tengah udara.
Kuda itu berlari ketakutan, orang
itu kini sudah berdiri tegak di tempatnya, dengan kaget dia mengawasi Pho
Ang-soat. Pho Ang-soat tidak memandangnya, melirik pun tidak.
Sekarang yang terpandang dalam
pelupuk matanya hanyalah seguci arak, seguci arak yang dapat membuatnya mabuk
dan melupakan segala derita dan nestapa ini. Dia beranjak pergi dari depan
orang ini, gaya langkahnya memang berat dan aneh, kaku lagi.
Sorot mata orang ini mendadak
memancarkan cahaya aneh, pandangan ganjil seperti mendadak dia melihat setan
menakutkan, namun segera dia berteriak, “Tunggu dulu!”
Pho Ang-soat tidak menghiraukan
seruannya.
Mendadak orang itu membalik
tangan mencabut pedang, dengan gesit pedangnya menusuk iga Pho Ang-soat.
Gerakannya enteng, cepat dan lincah, jelas dia seorang ahli pedang yang tangguh
di Bu-lim. Tapi ujung pedangnya masih terpaut tujuh dim dari badan Pho
Ang-soat, golok Pho Angsoat sudah berkelebat. Sinar golok menyambar, darah pun
menyembur, batok kepalanya ternyata sudah terbelah dua.
Sebelum orangnya roboh, golok
sudah kembali ke dalam sarungnya, ternyata langkah Pho Ang-soat tidak pernah
berhenti, sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa, melirik pun tidak ke arah
korbannya.
Dia membunuh orang, membunuh ada
berbagai cara. Belum pernah dia membunuh orang dengan cara sekeji ini, dia
membunuh karena terpaksa, karena didesak oleh keadaan. Padahal dia bukan
seorang algojo, seolah-olah bukan dia yang membelah kepala orang itu.
Kalau bukan dia, lalu siapa?
“Dia mengambil golok jagal di
atas meja, sekali bacok dia membelah kepala babi gemuk itu menjadi dua”. Sudah
jauh dia melangkah, mayat orang yang barusan terbunuh sudah tidak kelihatan, tapi
mendadak dia berhenti, lalu muntahmuntah.
Setelah habis isi perutnya, sudah
tentu dia harus minum, yang diminum jauh lebih banyak dari yang dimuntahkan.
Malam telah larut, dalam warung
itu ternyata masih banyak orang, karena siapa pun dia bila sudah masuk kemari,
maka dia dilarang pergi. Karena Pho Ang-soat sudah sesumbar,
“Aku yang mentraktir, kalian
harus menemani aku minum, siapa pun tidak boleh pergi.”
Badannya membawa bau busuk dan
anyirnya darah, tapi tangannya juga menggenggam segebung uang kertas dan
kepingan emas.
Bau badannya cukup membuat orang
mual dan benci, bau darah menciutkan nyali orang, sebaliknya segebung uang
membuat orang menaruh hormat dan munduk-munduk kepadanya, karena itu tiada
seorang pun yang berani pergi.
Secangkirdia habiskan,hadirin
jugaharus menghabiskan secangkir. Dari luar ternyata masuk lagi dua orang,
hakikatnya dia tidak melihat orang macam apa sebetulnya kedua orang ini.
Tapi kedua orang ini menatapnya
malah, satu di antaranya melangkah maju dan duduk di depannya.
“Hayo keringkan!” diangkatnya
satu cangkir, lalu dihabiskan sekali tenggak, ternyata hadirin tiada yang
melihat kehadirannya, melirik pun tiada.
Mendadak orang itu tertawa
bingar, katanya, “Bagus, kau kuat minum.”
“Ehm, ya, aku kuat minum.”
“Kuat minum, permainan golokmu
juga hebat.”
“Ilmu golok hebat,” ujar Pho
Ang-soat.
“Kalau tidak salah kau pernah
bilang, ilmu golok yang dapat membunuh orang adalah ilmu golok yang bagus,”
kata orang itu. “Aku pernah bilang demikian?”
Orang itu manggut-manggut,
mendadak bertanya,
“Tahukah kau siapa yang kau bunuh
tadi?”
“Tadi aku pernah membunuh orang?
Siapa yang kubunuh?”
Orang itu menatapnya, sorot mata
yang mengandung tawa sinis, tawa yang menghina, tawa yang menggugah seorang
yang sudah mabuk, katanya, “Yang kau bunuh tadi adalah saudara tua iparmu.”
Pho Ang-soat mengerut kening,
seperti memeras otak memikirkan bagaimana dirinya bisa punya saudara tua ipar?
Orang itu segera mengingatkan, “Memangnya kau sudah lupa bahwa kau pernah
kawin? Engkoh binimu bukankah saudara tua iparmu?”
Pho Ang-soat berpikir pula sekian
lamanya, lalu manggutmanggut dan menggeleng pula seperti mengerti, tapi juga
seperti tidak paham.
Mendadak orang itu menuding orang
yang datang bersama dia, serunya, “Tahukah kau siapa dia?”
Yang datang bersama dia adalah
seorang perempuan, berdiri dekat meja kasir di kejauhan sana, dengan dingin dia
menatap Pho Ang-soat.
Perempuan ini masih muda, sangat
cantik, rambutnya yang mengkilap legam, matanya yang bening bercahaya, gadis
idaman setiap orang tua yang mendambakan putri secantik ini, lelaki mana yang
tidak senang punya adik seayu ini, gadis rupawan yang ingin dimiliki oleh
setiap pemuda yang sudah mulai kasmaran.
Tapi waktu dia menatap Pho
Ang-soat, pandangannya penuh memancarkan rasa benci dan dendam. Akhirnya Pho
Ang-soat juga menatapnya sekilas, seperti kenal tapi juga seperti tidak
mengenalnya.
Orang itu tertawa, katanya,
“Gadis itu adalah adik binimu.” Kuatir Pho Ang-soat tidak paham segera dia
menjelaskan, “Adik binimu juga adik ipar, adik lelaki yang kau bunuh tadi.”
Pho Ang-soat mulai minum lagi,
keadaannya seperti ruwet, makin bingung dan kacau, dia ingin minum sebanyaknya
supaya otaknya jernih, pikirannya terbuka.
Orang itu bertanya pula, “Tahukah
kau, apa yang ingin dia lakukan sekarang?”
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
Orang itu berkata, “Dia ingin
membunuhmu.”
Mendadak Pho Ang-soat menghela
napas, gumamnya, “Kenapa setiap orang ingin membunuh aku?”
Orang itu tertawa, katanya,
“Memang betul, dalam rumah ini duduk tiga belas orang, paling sedikit ada tujuh
orang ingin membunuhmu.”
“Aku sudah mati?”
“Kau belum mati, karena mereka
menunggu bila kau sudah mabuk baru akan turun tangan.”
“Menungguku mabuk?” gumam Pho
Ang-soat pula. “Bagaimana mungkin aku bisa mabuk, minum tiga hari tiga malam
aku juga tidak akan mabuk.”
Orang itu menyeringai, ujarnya,
“Umpama harus menunggu tiga hari tiga malam juga sia-sia belaka, maka sekarang
mereka siap turun tangan.”
Pada saat itulah mendadak
berkumandang suara “prang”, sebuah cangkir arak terbanting hancur di lantai.
Orang yang semula memegang cangkir, sekarang sudah memegang golok pembelah
gunung yang tebal punggungnya.
ooooOOoooo
Waktu orang ini menerjang ke arah
Pho Ang-soat, sebatang tombak berantai, sebilah Tan-ling-to dan sebatang
Siang-bun-kiam sudah menerjang tiba bersama.
Pemuda yang berpedang itu matanya
merah membara, mulutnya mendesis geram, “Tangan hitam menuntut balas,
saudara-saudara persilatan yang tiada sangkut-pautnya jangan turut campur.”
Sebelum habis dia bicara,
mendadak dia tertegun, demikian pula keempat temannya menjublek. Kelima orang
ini seperti mendadak berubah menjadi patung batu, semua berdiri tegak tak
bergerak, karena senjata di tangan mereka mendadak telah lenyap. Lima batang
senjata mereka ternyata sudah pindah ke tangan orang yang duduk di depan Pho
Angsoat.
Begitu kelima orang ini bergerak,
dia pun bergerak, tangan kiri menepuk pundak, sementara tangan kanan sudah
merebut gaman orang. Kelima orang ini merasa pandangannya mendadak kabur, di
tengah berkelebatnya bayangan orang, senjata di tangannya ternyata sudah
lenyap.
Sebat sekali orang itu sudah
duduk kembali di kursinya, perlahan dia taruh kelima batang senjata itu di atas
meja, lalu berkata dengan tersenyum, “Aku bukan orang persilatan, tentu aku
boleh turut campur.”
Pemuda berpedang itu mendamprat
gusar, “Siapa kau?”
“Namaku biasanya tidak kuberitahu
kepada orang mati.”
“Siapa orang mati?” semprot
pemuda itu.
“Kau,” jawab orang itu tegas.
Sebetulnya dia masih berdiri diam di tempatnya, tapi begitu lenyap suaranya,
kelima orang itu mendadak berubah pucat air mukanya, darah sekujur badannya
mendadak mengalir kering, tulang belulangnya pun seperti dibetot. Laki-laki
yang masih segar dan kuat, mendadak berubah menjadi kuyu dan kering, mendadak
roboh semuanya.
Ternyata Pho Ang-soat seperti
tidak melihat kejadian ini.
Orang itu menghela napas,
katanya, “Kuwakili kau membunuh orang-orang ini, umpama kau tidak merasa
berhutang budi dan tidak mengucap terima kasih kepadaku, paling tidak kau harus
memuji tindakanku.”
“Kenapa aku harus memuji?”
“Memangnya kau tidak tahu dengan
kungfu apa aku membunuh mereka?”
“Aku tidak tahu.”
“Itulah salah satu dari dua jenis
ilmu yang masih diwarisi umat persilatan dari
Thian-te-kiau-ceng-im-yang-toa-pi-jiu.”
“O? Masa?”
“Inilah Thian-coat-te-biat
Toa-siu-hun-jiu.”
“O?”
“Masih ada sejenis lagi, ialah
yang sudah kau yakinkan, yaitu Thian-ih-te-coan Toa-ih-hiat-hoat,” dengan
tertawa dia lalu meneruskan, “kau bisa menggeser Hiat-to satu dim dari tempat
semula, sedikitnya kau sudah sembilan puluh persen meyakinkan ilmu ini, sudah
mendekati kesempurnaan.”
“Dan kau? Kau siapa?” tanya Pho
Ang-soat.
Orang itu menjawab, “Aku adalah
To-jing-jin dari Sing-siokhay barat, paling tidak aku lebih punya cinta
daripada kau.”
Akhirnya Pho Ang-soat mengangkat
kepala, menatapnya, seperti baru sekarang dia tahu di depannya duduk satu
orang. Senyum orang ini lembut dan ramah, wajahnya alim, alisnya tegak berdiri,
kelihatannya memang seorang yang romantis, laki-laki yang gampang menanam cinta
dimana dia berada.
“To-jing-jin (orang yang
kebanyakan cinta) juga membunuh orang?”
“Bila cinta sudah kental cinta
akan luntur, lantaran cintaku terlalu banyak terlalu kental, maka sekarang
lebih tipis dari kertas,” To-jing-jin tersenyum, “tapi selamanya belum pernah
aku membunuh orang tanpa alasan. Kubunuh mereka, karena aku tidak ingin kau
mati di tangan mereka.”
“Kenapa?” tanya Pho Ang-soat.
“Karena aku mengharap kau mati di
tanganku saja.”
“Apa benar itu keinginanmu?”
“Begitu besar keinginanku sampai
aku sendiri ingin mati.”
Perempuan yang berdiri jauh di
depan meja kasir mendadak buka suara, “Karena bila dia bisa membunuhmu, maka
aku akan kawin dengan dia.”
“Coba lihat,” ucap To-jing-jin,
“usiaku sudah tiga puluh lima, sampai sekarang belum punya bini, sudah tentu belum
punya anak, ajaran leluhur mengatakan tidak punya keturunan tanda tak berbakti
terhadap orangtua, yakin kau tidak ingin aku ini menjadi laki-laki yang tidak
berbakti bukan?”
“Dia pasti membantu usahamu,”
seru gadis muda itu.
“Bagaimana kau tahu?” tanya
To-jing-jin.
Gadis itu bilang, “Aku pernah
melihat dia turun tangan tiga kali, goloknya semula memang seperti dihuni oleh
setan.”
“Tapi sekarang?” To-jing-jin
menegas.
“Setan di goloknya itu sekarang
sudah pindah ke sanubarinya.” Sengaja To-jing-jin bertanya, “Bagaimana bisa
pindah?”
“Karena dua hal.”
“Karena arak dan perempuan
maksudmu?”
Gadis itu mengangguk, “Karena
kedua hal ini, dahulu agaknya dia pernah hampir mati sekali.”
“Tapi kenyataan sekarang dia
masih hidup.”
“Karena dia punya seorang kawan.”
“Yap Kay?”
“Sayang, sekarang Yap Kay entah
berada dimana?”
“Kalau begitu bukankah keadaannya
sekarang amat berbahaya?”
“Bahaya sekali!”
“Menurut penilaianmu apakah aku
mampu melawan goloknya?”
“Toa-siu-hun-jiu bila kau
lancarkan, setan pun dapat kau tangkap, apalagi sebatang golok yang tidak
dihuni setan.”
“Umpama aku mampu menangkap
goloknya, bukankah tanganku akan tertabas buntung?”
“Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Karena caramu menangkap berbeda,
bahwasanya tanganmu tidak usah menyentuh goloknya.”
“Berapa lama aku bisa
menangkapnya?”
“Tak usah lama-lama, karena waktu
itu sebelah tanganmu yang lain sudah merenggut nyawanya.”
“Kalau begitu bukankah orang ini
sudah tamat?”
“Dia masih punya setitik
harapan.”
“Harapan apa?”
“Asal dia mau memberitahukan dua
hal kepada kita, kita tidak usah menyentuhnya.”
“Dua hal apa?”
“Dimana bulu merak sekarang?
Dimana Thian-te-kiauceng-im-yang-toa-pi-jiu?”
“Jika dia memiliki bulu merak,
kalau sudah meyakinkan ilmu di dalam Toa-pi-jiu itu, bukankah kita sendiri yang
bakal tamat?”
“Mungkin tangannya sekarang sudah
tidak setenang dulu, sudah tidak mampu menggunakan Khong-jiok-ling (bulu
merak), walau dia sudah meyakinkan Toa-ih-hiat-hoat, tapi sudah tidak sempat
atau tidak mampu meyakinkan ilmu yang lain.”
“Dilihat keadaannya memang jelas
tak mungkin dia meyakinkan ilmu yang lain.”
“Ya, hanya minum arak saja
satu-satunya kepandaian yang masih dia pelajari.”
“Pelajaran minum arak agaknya
cukup baik latihannya.”
“Sayang sekali manfaat
satu-satunya dari kungfu ini adalah merubah dia menjadi setan arak, setan arak
yang mampus.”
Setiap patah kata pembicaraan
kedua orang ini laksana jarum yang menusuk hulu hatinya, seolah-olah mereka
ingin sekaligus menusukkan jarum sebanyak itu ke hulu hatinya supaya dia
tersiksa, menderita, makin lemah, supaya semangatnya runtuh.
Sayang jarum-jarum tajam itu
justru seperti menusuk di atas permukaan batu, karena Pho Ang-soat tidak
memberi reaksi sedikitpun. Pho Ang-soat sudah pati rasa. Maksud pati rasa
adalah sudah tidak jauh dari runtuh total, tidak jauh dari kematian.
To-jing-jin menghela napas,
katanya, “Gelagatnya dia sudah bertekad tidak mau buka mulut?”
Gadis itu menghela napas,
katanya, “Mungkin dia ingin menunggu setelah jiwa menjelang mangkat baru mau
buka mulut.”
“Apakah sekarang belum tiba
saatnya?”
“Bila kau turun tangan, maka
tibalah saatnya.”
Maka To-jing-jin turun tangan,
tangannya putih dan lencir, mirip jari-jari tangan perempuan. Gerakan tangannya
pun gemulai dan lembut, seperti gadis yang sedang memetik kembang, kembang
kecil yang segar namun gampang rontok.
Betapapun perkasanya seorang, di
bawah tangannya dia akan berubah selemah kembang yang rontok ini. Kelihatan
tangannya bergerak lamban, namun laksana sorotan sinar yang lembut, bila sudah
melihatnya ternyata dia sudah tiba.
Tapi tidak demikian kali ini,
sebelum tangannya tiba, golok sudah keluar dari sarangnya. Sinar golok berkelebat,
maka tangannya seperti juga kelopak kembang yang rontok tadi, ternyata dia
betul-betul menangkap golok itu. Apakah sebelah tangannya akan segera merenggut
nyawa Pho Ang-soat? Seperti tadi dia merenggut sukma dan mengeringkan darah
orang-orang itu tadi?
Jari-jari tangan rontok seperti
kelopak kembang, tangan yang merenggut sukma. Golok yang tak mampu dipegang
oleh manusia, tapi terpegang oleh tangan yang satu ini. Sayang sekali tangan
menakutkan macam apa pun, berada di bawah golok ini, maka dia akan menjadi
lemah dan mudah rontok seperti kelopak kembang itu.
Sinar golok berkelebat, darah pun
muncrat. Tangan sudah terbelah menjadi dua, batok kepala juga terbelah menjadi
dua.
Mata gadis itu terbelalak besar
membundar, pelupuk matanya kedutan, mulut pun terkancing.
Bahwasanya dia tidak melihat
golok itu, tahu-tahu golok sudah kembali ke sarungnya, seperti kilat berkelebat
lenyap ditelan kegelapan, tiada orang dapat melihatnya. Dia hanya melihat wajah
Pho Ang-soat yang pucat bening.
Pho Ang-soat sudah berdiri,
melangkah pergi, gaya jalannya masih kelihatan kaku dan berat. Langkahnya
kelihatan sempoyongan, ternyata dia sudah mabuk. Segala sesuatu dari
gerak-geriknya, sikap dan keadaannya yang mabuk ternyata tampak amat
menakutkan.
Saking takut terasa darah sendiri
seperti hampir beku, tapi dia mendadak tertawa, katanya, “Apa kau tidak
mengenalku? Aku adalah Ni-jisiocia, Ni Hwi, bukankah kita teman baik?”
Pho Ang-soat tidak menghiraukan
dia, hanya menatapnya canang, mengawasi orang lewat di depannya, sorot matanya
dibayangi rasa ketakutan. Apa pun yang terjadi dia tidak bisa membiarkan
laki-laki ini hidup di dunia ini, selama laki-laki ini hidup, dia akan mati,
mati di tangannya.
Keputusannya ini mungkin tidak
tepat, tidak benar, padahal gadis ini berotak cerdik pandai, tapi rasa takut
kadang kala bisa menyebabkan kesadaran orang pudar, seorang bisa kehilangan
pikiran jernih karena takut, tapi dia tidak pernah lupa bahwa dirinya adalah
Thian-hoa-li. Kecuali dirinya, tiada orang kedua di dunia Kangouw yang bisa
menggunakan senjata rahasia yang ampuh dan ganas ini.
Senjata rahasia itu disambitkan,
bukan saja kelopak kembang dapat melukai orang, di dalam kelopak kembang
ternyata tersembunyi pula jarum-jarum beracun yang mematikan. Seluruhnya Ni Hwi
hanya membawa tiga belas kuntum Thian-hoa-li, dia tidak membawa terlalu banyak
Am-gi. Dengan senjata rahasianya ini seluruhnya dia baru pernah memakainya tiga
kali, setiap kali memakai hanya menggunakan sekuntum. Sekuntum sudah lebih dari
cukup untuk menamatkan jiwa musuh.
Tapi sekarang tiga belas kuntum
itu dia timpukkan seluruhnya, lalu tubuhnya melejit mundur ke belakang, umpama
serangannya gagal, paling tidak dia bisa mengundurkan diri. Selama ini dia amat
bangga akan Ginkangnya sendiri, sayang sekali golok sudah keluar saat itu juga.
ooooOOoooo
Bab 19. Sang Algojo
Sinar golok berkelebat, darah pun
muncrat.
Ni Hwi melihat berkelebatnya
sinar golok ini, malah dia pun melihat muncratnya darah, darah yang menyembur
dari tengah-tengah kedua matanya. Melihat semburan darah ini, seperti melihat
setan, seperti seorang menyaksikan kedua kakinya mendadak copot dari badannya,
dan kaki itu menendang awak sendiri. Malahan dia seperti merasakan
mata kirinya sudah melihat mata
kanan sendiri. Memangnya siapa yang meresapi perasaannya ini?
Tiada seorang pun.
Hanya orang hidup yang mempunyai
perasaan, kepala yang sudah terbelah menjadi dua pasti takkan bisa punya
perasaan lagi. Seorang yang batok kepalanya sudah terbelah menjadi dua
sebetulnya takkan bisa melihat apa pun di dunia ini. Jika bukan lantaran
sambaran golok itu teramat cepat, di kala golok tajam itu membacok tiba, daya
pandangnya juga belum mati, maka dia masih sempat melihat sesuatu yang terjadi dalam
sekejap itu, sekejap yang terakhir.
Berapa lamakah sekejap itu?
Tragisnya, umumnya manusia sebelum meninggal dalam sekejap itu, ternyata dapat
memikirkan banyak persoalan yang biasanya takkan terpikir habis sehari semalam.
Sekarang apakah Ni Hwi telah memikirkannya? Juga tiada orang tahu. Sudah tentu
dia sudah tidak mungkin menjelaskan.
Ni Ping, tiga puluh tahun.
Putra kedua Cong-tin-kek-cu Ni
Po-hong, bergaman pedang panjang, salah seorang tunas muda di kalangan Kangouw
yang berpedang paling cepat dan ternama.
Seorang diri, belum menikah.
Setelah Ni-keh-tay-wan bubar dan
terobrak-abrik, sering menetap di Giok-hiang-wan, di tempat Pek-ji-giok,
pelacur terkenal. Tanggal 19 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Ni Ping.
ooooOOoooo
Ni Hwi, 20 tahun
Putri kedua Cong-tin-kek-cu,
cerdik pandai, banyak akalnya, Ginkangnya juga amat tinggi, Thian-hoa-li adalah
Am-gi tunggal keluarganya yang teramat jahat, pernah membunuh tiga orang sekali
serang.
Seorang diri, belum menikah.
Malam tanggal 18 bulan 4, Pho
Ang-soat membunuh Ni Hwi.
ooooOOoooo
To-jing-jin, 35 tahun.
Semula she Oh, riwayatnya tidak
jelas, sejak kecil masuk perguruan Sing-siok-hay di bilangan Barat, sejak
remaja kungfunya sudah kelihatan menonjol, ilmu Thian-coat-te-biat
Toa-siu-hun-jiu merupakan salah satu dari ilmu pusaka Bu-lim, korban yang jatuh
di tangannya tak terhitung banyaknya.
Seorang diri, belum menikah.
Bulan 3 masuk ke perbatasan,
memperkosa dan membunuh enam wanita.
Tanggal 19 bulan 4 malam, Pho
Ang-soat membunuh Tijing-jin. Lo Siau-hou, 42 tahun.
Begal tunggal yang malang
melintang di Ho-say, bergaman golok, amat sombong dan suka mengagulkan diri,
menganggap dirinya sebagai golok tercepat di seluruh Kangouw.
Seorang diri, tidak menikah.
Tanggal 21 bulan 4, Pho Ang-soat
membunuh Lo Siau-hou.
ooooOOoooo
Nyo Bu-li, 44 tahun.
Adik sepupu Pek-hun Koancu Nyo
Bu-ki, murid Kun-lun, Hwi-liong-cap-pwe-sek adalah kemahirannya, berjiwa sempit
berhati culas, dendam pasti dibalas, punya tabiat seperti engkohnya, Nyo Bu-ki,
membunuh orang tidak usah takut.
Sejak muda sudah Jut-keh (menjadi
Tosu), belum menikah. Tanggal 22 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Nyo Bu-li.
Im-jip-te, 30 tahun dan Kim-jip-bok, 33 tahun.
Korban yang dibunuh kedua orang
ini tak terhitung banyaknya, julukannya Ngo-hing-siang-sat, kungfunya aneh dan
penuh misteri.
Watak kedua orang ini kikir,
tamak dan loba, sepeser pun tak mau rugi, beberapa tahun belakangan sudah
menjadi kaya raya.
Im-jip-te kemaruk paras ayu,
hidung belang. Kim-jip-bok impoten.
Tanggal 23 bulan 4, Pho Ang-soat
membunuh Im-jip-te dan Kim-jip-bok.
ooooOOoooo
Cukat Toan, 50 tahun.
Ahli waris Lo It-to dari
Koan-say, dingin dan mudah curiga, kegemarannya membunuh orang. Sudah lama
membujang.
Pernah kawin tiga kali, ketiga
isterinya mati di ujung goloknya sendiri.
Tidak punya keturunan.
Tanggal 24 bulan 4, Pho Ang-soat
membunuh Cukat Toan. It-cu-hoa-jian-li-hiang, 29 tahun.
Begal pemetik kembang
(pemerkosa), ahli Ginkang dan obat bius.
Belum menikah.
Tanggal 25 bulan 4, Pho Ang-soat
membunuh Jian-li-hiang.
ooooOOoooo
Di dalam buku tebal itu masih
banyak bahan keterangan, itu hasil kerja dua orang yang berdiri di depannya,
merekalah yang mengumpulkan bahan-bahan itu dari berbagai pihak dan tempat.
Dia hanya membalik beberapa
lembar, lalu enggan membaca lagi.
Kedua orang yang berdiri itu
seorang berpakaian putih kaos putih, dia bukan lain adalah Ku Ki, seorang lagi
berjubah kelabu bersih dan rapi, dia bukan lain adalah si Hwesio gila yang
menjaga Thian-liong-si, sekarang sikapnya tidak seperti orang gila lagi.
Sikap kedua orang ini tampak
ramah dan hormat, namun sikapnya terhadap mereka juga lembut, seperti menteri
yang setia terhadap junjungannya.
Walaupun mereka berdiri di depan,
tapi di antara mereka terpaut sebuah meja yang lebar. Memang dimana dan kapan
saja, dia selalu terpaut dalam jarak tertentu dengan orang lain. Walau
senyumannya ramah dan kalem, namun selamanya tiada orang berani menyinggung dan
menyalahi dirinya, karena dia adalah tokoh yang paling kaya di Bu-lim, dia
adalah Kongcu Gi.
Dalam rumah terasa nyaman dan
tenteram, setiap perabot yang ada di dalam rumah ini semuanya adalah barang
pilihan dan berkualitas, di pajang di tempat yang cocok dan serasi.
Barang-barang yang ada di atas
meja ternyata tidak banyak, kecuali buku tebal berisi laporan, hanya ada
sebilah pedang panjang yang dibungkus dengan sutra kuning.
Kembang mekar semerbak di luar
jendela, tiada suara orang, dalam rumah hanya mereka bertiga. Di kala dia tidak
bicara, bernapas pun mereka tidak berani keras-keras, mereka tahu Kongcu Gi
suka ketenangan.
Buku laporan itu sudah tertutup
lagi.
Akhirnya Kongcu Gi menghela
napas, katanya, “Kenapa kalian selalu ingin aku melihat barang-barang itu?”
Dengan dua jarinya dia dorong buku laporan itu ke depan mereka, seolah-olah
takut kecipratan noda darah dan hawa membunuh di atas buku itu, lalu dia
menambahkan, “Kenapa tidak kalian laporkan langsung kepadaku saja, selama
beberapa hari ini dia sudah membunuh berapa orang?”
Ong Hoat mengawasi Ku Ki.
Ku Ki menjawab, “Dua puluh tiga
orang.”
Kongcu Gi mengerut kening,
katanya, “Tujuh belas hari membunuh dua puluh tiga orang?” Ku Ki mengiakan.
Kongcu Gi menghela napas,
katanya, “Apakah orang yang dia bunuh tidak terlalu banyak?”
“Ya, terlalu banyak.”
“Kabarnya kawan main caturmu, Nyo
Bu-ki, juga terpenggal tangannya olehnya?”
“Ya,” sahut Ku Ki.
“Nyo Bu-li ingin menuntut balas
sakit hati engkohnya, maka dia mencari Pho Ang-soat?.”
“Ya,” kembali Ku Ki mengiakan.
“Lo Siau-hou pasti merasa dirinya
lebih hebat, untuk berebut nama, maka dia menantangnya bertanding kecepatan
mencabut golok.”
“Betul”
“Kenapa Cukat Toan membunuh
ketiga bininya?”
“Karena ketiga bininya itu
tertawa dengan lelaki lain.”
“Kedua orang ini, seorang tidak
tahu dirinya, yang lain terlalu cemburu, orang-orang macam mereka takkan mampu
bekerja, bukan mustahil hanya akan meninggalkan urusan, selanjutnya kalian jangan
menarik orang-orang sejenis mereka ke dalam perkumpulan kita.”
Ku Ki dan Ong Hoat mengiakan
bersama.
Sikap Kongcu Gi kelihatan lebih
kalem, katanya, “Tapi aku juga tahu ilmu golok mereka memang tidak lemah.”
“Benar.”
“Toa-siu-hun-jiu dari
Sing-siok-hay, boleh terhitung suatu kungfu yang amat lihai. Konon beberapa
hari belakangan ini keadaan Pho Ang-soat semakin lesu dan pesimis, hampir
setiap hari dia tenggelam dalam mabuk araknya.”
“Ya.”
“Tapi para algojo yang kalian
undang ini, justru segebrak pun tidak mampu melawannya.”
Ku Ki tidak berani buka suara,
mengiakan pun tidak berani. Kongcu Gi justru menunggu jawabannya, setiap
pertanyaan yang diajukan, jawabannya harus tegas dan jelas dan harus dijawab.
Tanpa jawaban berarti pertanyaan tidak patut diperhatikan.
Akhirnya Ku Ki menjawab, “Walau
dia banyak minum, tapi tangannya teramat kokoh dan tenang.”
“Jadi arak tidak membawa pengaruh
terhadapnya?”
“Hanya sedikit.”
“Apa pengaruhnya?”
“Serangannya malah lebih kejam dan
beringas.”
Kongcu Gi menepekur sejenak,
katanya perlahan, “Kupikir dia pasti amat marah, maka goloknya lebih
menakutkan.”
Ku Ki tidak bertanya kenapa, di
hadapan Kongcu Gi dia hanya menjawab, tidak boleh bertanya.
Kongcu Gi melanjutkan, “Karena
amarah adalah sejenis kekuatan, kekuatan yang dapat mendorong manusia melakukan
banyak urusan.”
Ku Ki mengawasinya, sorot matanya
diliputi rasa kagum dan hormat.
Memang dia tidak pernah memandang
ringan musuhnya.
Analisa dan keputusannya pasti
benar dan tepat.
Seluk-beluk musuh, mungkin dia
lebih jelas dari musuh itu tahu akan seluk-beluk sendiri.
Maka dia sukses, suksesnya jelas
bukan lantaran nasib baik.
Kongcu Gi menghela napas,
katanya, “Hal itulah yang paling menakutkan.”
Ku Ki tidak bertanya, hanya
mendengarkan.
Kongcu Gi berkata pula, “Bergerak
belakangan menundukkan lawan lebih dulu, jelas mutlak lebih menakutkan daripada
bergerak dulu merobohkan musuh.”
“Betul.”
“Kau tahu kenapa demikian?”
“Karena bila jurus serangan sudah
dilancarkan, di saat serangan akan dilancarkan dan belum dilancarkan, tenaganya
paling lemah, di saat sekejap itulah goloknya sudah memutus jiwa lawan.”
“Orang lain mampu tidak berbuat
demikian?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Sekejap itu lekas sekali sudah
lenyap, kecuali dia, jarang ada yang bisa menangkap dan memanfaatkan kesempatan
sekejap itu.”
Kongcu Gi tersenyum, katanya,
“Kelihatannya kungfunya ada kemajuan.”
“Ya, maju sedikit,” sahut Ku Ki,
dia tidak berani merendah atau berpura-pura, siapa pun di hadapannya harus
bicara jujur.
Senyum Kongcu Gi tampak riang,
katanya, “Apa kau tidak ingin mencoba betapa cepat goloknya itu?”
“Tidak ingin.”
“Kau insyaf bukan tandingannya?”
“Menurut apa yang kulihat dan
kutahu, di kolong langit ini hanya ada dua orang mampu menundukkan dia.”
“Satu di antaranya sudah tentu
adalah Yap Kay.”
“Benar.”
“Seorang lagi adalah aku.”
“Betul.”
Pelan-pelan Kongcu Gi berdiri
melangkah ke depan jendela, mendorong daun jendela, bau kembang yang semerbak
di taman segera merangsang hidung. Dia berdiri diam dan tenang, tidak bergerak
tidak bersuara.
Ku Ki dan Ong Hoat tidak berani
bergeming.
Lama kemudian baru dia berkata perlahan,
“Ada satu hal mungkin kalian tidak tahu.”
Ku Ki tidak berani bertanya.
“Aku tidak suka membunuh orang,
selama hidup ini, belum pernah membunuh orang dengan kedua tanganku.”
Ku Ki tidak perlu heran, ada
sementara orang membunuh orang tidak perlu turun tangan sendiri.
Kongcu Gi berkata, “Tiada orang
yang mampu menundukkan dia, paling aku juga hanya dapat membunuhnya.”
Karena dia mirip sebatang golok,
golok baja, kau bisa memutuskannya, tapi takkan bisa membuatnya bengkok.
Kongcu Gi berkata pula, “Tapi aku
sekarang belum ingin melanggar kebiasaan membunuh orang.”
Karena masih ada segi-segi yang
dia kuatirkan.
Dia adalah seorang laki-laki,
pendekar ternama yang terkenal sebagai laki-laki budiman, setia dan penuh cinta
kasih kepada sesamanya, kebesaran namanya itu tidak mudah diperoleh, maka dia
perlu berhati-hati.
Karena itu dia tidak membunuh
orang, tidak boleh membunuh Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat bukan manusia durjana,
bukan manusia yang harus dibunuh menurut anggapan kebanyakan orang.
Kongcu Gi berkata, “Oleh karena
itu sekarang aku biarkan dia membunuh orang, makin banyak yang dibunuh makin
baik.”
“Sampai kapan dia harus
membunuh?”
“Membunuh dan membunuh sampai
kebanyakan orang merasa perlu membunuhnya, biar saja membunuh sampai dia
menjadi gila sendiri.”
Kongcu Gi berkata, “Karena itu
sekarang kita masih bisa memberi dorongan supaya dia membunuh lebih banyak
orang lagi.” Dia berpaling mengawasi mereka, “Malah kita harus berusaha mencari
orang supaya dibunuh olehnya.”
“Biar aku yang mengatur,” sahut
Ku Ki.
“Siapa kira-kira yang akan kau
cari supaya dia bunuh?” tanya Kongcu Gi.
“Orang pertama adalah Siau
Si-bu,” sahut Ku Ki. “Kenapa kau memilih orang ini?”
“Karena sekarang dia sudah
berubah.”
“Kukira kau pasti masih bisa
berusaha mencari orang yang lebih menarik untuk dibunuhnya,” dengan tersenyum
dia menambahkan lebih kalem, “sekarang aku sudah menemukan salah satu yang
paling menarik.”
ooooOOoooo
Harum semerbak bau kembang itu
memenuhi taman, Kongcu Gi menggendong tangan sedang berjalan-jalan di dalam
taman, di antara rumpun kembang yang mekar bersolek. Hatinya sedang riang, dia
percaya anak buahnya pasti dapat melaksanakan tugas yang dia perintahkan,
perintah untuk membunuh orang. Tapi dia sendiri tidak pernah turun tangan,
tidak pernah membunuh orang.
Malam tenang, malam sudah larut.
Pho Ang-soat tidak bisa pulas,
tidak bisa tidur memang cukup merisaukan, tapi bila tidur dia akan lebih
menderita.
Seorang bila tidur di atas
ranjang papan yang keras dan dingin, di dalam kamar dipenuhi bau apek, bau
busuk yang menyesakkan napas, dengan mata mendelong mengawasi langit-langit
yang mulai keropos dan kotor, bolak-balik memikirkan kenangan masa lalu yang
semestinya tidak perlu dibayangkan lagi.
Para gelandangan yang tidak punya
akar di suatu tempat, duka-lara dan derita mereka siapa mau memahami, mau
meresapi? Maka dia lebih suka menjadi gelandangan di kegelapan malam seperti
setan gentayangan.
Ada sementara rumah yang masih
menyala lampunya, apa yang dilakukan orang-orang di dalam rumah itu selarut
malam ini? Kenapa tidak tidur? Apakah suami isteri sedang makan tengah malam,
makan sisa makanan yang masih ada sore tadi setelah mereka kecapaian mengecap
surga dunia? Atau mereka terjaga oleh tangis sang orok, ayah atau bunda sedang
mengganti pakaiannya karena basah oleh ompol?
Kehidupan ini meski biasa bagi
orang-orang awam, namun kesenangan dan bahagia yang mereka resapi, takkan
mungkin bisa dinikmati oleh orang seperti Pho Ang-soat.
Mendengar jerit tangis bayi,
hatinya mulai sakit, seperti diiris-iris. Dia ingin minum arak lagi, walau arak
tidak dapat mengobati segala derita, paling tidak dapat membuat seseorang
sementara melupakan siksa derita itu.
Di ujung jalan kecil di tengah
kegelapan sana, ada sebuah lampu gantung bergoyang-goyang. Seorang tua
kelihatan sedang duduk malas di bawah lampu remang-remang itu sambil menikmati
araknya.
Sudah tiga puluh lima tahun dia
berjualan mi di sini, dari pagi dia sudah mulai sibuk ke pasar membeli tulang
yang murah untuk kuah sayur, mi dan segala keperluan untuk campuran masakan mi
yang dijualnya, saat magrib dia sudah mulai berjualan hingga esok pagi.
Selama tiga puluh lima tahun,
kehidupannya ini tidak berubah. Kegemaran satu-satunya ialah bila malam telah
larut, setelah yang datang makan semakin jarang, baru dia punya kesempatan
minum arak seorang diri. Setelah minum arak, baru dia merasa dirinya telah
masuk ke dalam dunianya sendiri. Dunia nan damai dan indah, dunia yang bersih
dan suci, di sini tiada manusia makan manusia. Walau dunia ini penuh khayal,
namun baginya sudah terasa cukup, merasa puas, seseorang asal dia bisa
mempertahankan sedikit khayalan, maka dia sudah cukup puas.
Pho Ang-soat sekarang sudah di
bawah lampu gantung dengan cahayanya yang redup itu.
“Berikan aku dua kati arak,” asal
bisa mabuk, minum arak sembarangan pun tidak jadi soal.
Di pinggir pikulan mi, terdapat
tiga meja yang dibuat sederhana dari papan, setelah dia duduk, baru dia sadar
bukan dia seorang yang sedang duduk di tempat penjual mi ini.
Di meja yang lain masih ada
seorang lelaki kekar, semula dia sedang melahap mi panas dalam mangkuk besar,
minum arak dengan mangkuk besar pula, kini ternyata berhenti, dengan kaget dia
mengawasi Pho Ang-soat. Dia kenal setan penyakitan yang bermuka pucat ini,
karena dia pernah dihajar oleh setan penyakitan sialan ini. Kejadian di rumah
reyot di lokasi pelacuran kelas rendah, di rumah gadis berkalung kembang melati
itu.
Arak yang sudah masuk perutnya
agaknya tidak sedikit, dengan tertawa menyengir setengah sinting mendadak dia
berdiri, lalu menghampirinya dan berkata, “Tak nyana kau pun suka minum, sudah
selarut ini, seorang diri keluar mencari arak, maka takaran minummu tentu
besar.”
Pho Ang-soat tidak peduli.
Laki-laki kekar itu berkata, “Aku
tahu kau membenciku, tapi aku mengagumimu, kelihatannya kau memang mirip setan
penyakitan, yang benar adalah seorang laki-laki sejati, laki-laki gagah.”
Pho Ang-soat tetap tidak
mempedulikannya, betapapun tebal mukanya, terpaksa dia menyengir kuda, lalu
berputar hendak balik ke tempatnya. Siapa tahu saat itulah mendadak Pho
Ang-soat berkata, “Duduk!”
Seseorang umpama dia sudah biasa
hidup sebatangkara dan kesepian, ada kalanya dia akan merasa jemu, tersiksa dan
tak tahan lagi. Mendadak timbul keinginannya supaya seseorang duduk di
sampingnya menemani dia, peduli siapa dia dan macam apa, laki-laki dungu
berotak kerbau juga tidak jadi soal, karena hanya orang dungu yang berotak
kerbau saja tidak akan dapat menyentuh penderitaannya yang tersekam sekian lama
di relung hatinya yang paling dalam.
Lelaki itu kegirangan, segera dia
duduk serta berseru lantang, “Kasih sepiring buntut babi lagi dan dua kepala
bebek.” Lalu dengan tertawa dia menyambung, “Sayang sekali kepala bebek itu
sebelumnya sudah dipotong orang, kalau aku sendiri yang memotongnya, pasti
lebih beres dan sedap.”
Penjual mi yang tua usia itu
agaknya juga terpengaruh oleh kerasnya arak, matanya melirik, katanya, “Kau
sering memotong kepala bebek?”
Laki-laki itu menjawab, “Kepala
bebek atau kepala manusia sering kupotong.” Lalu dia tepuk dada, “Bukan aku
membual, soal memotong kepala, dalam daerah seluas ratusan li di sini mungkin
aku nomor satu.”
“Apa kerjamu?” tanya si orang
tua.
“Aku ini algojo. Algojo nomor
satu di kota ini dan tiga belas karesidenan. Ada orang mengundang aku untuk
memenggal kepala, sedikitnya harus mengupah aku seratus tahil perak padaku.”
“Kau mau memenggal kepala orang,
dia harus bayar uang kepadamu malah?” si orang tua bertanya dengan melotot.
“Kalau diberi sedikit aku tidak
mau mengerjakan.”
“Berdasar apa kau bekerja?”
Laki-laki itu mengulur jari-jari
tangannya yang gede, katanya, “Berdasar kedua tanganku dengan Kui-thau-to
milikku yang berat bobotnya.” Lalu dia menirukan cara dan gaya orang memenggal,
“Sekali penggal, orang yang terpenggal kepalanya ada yang tidak tahu kalau
kepalanya sudah berpisah dari lehernya.”
“Ulur kepala dipenggal, mengkeret
kepala juga dipenggal, berdasar apa pula orang harus memberi uang kepadamu?”
“Karena daripada lama tersiksa,
lebih baik lekas mati, kalau aku yang memenggal kepalanya, paling tidak dia
mati tanpa merasakan jiwanya telah melayang.”
“Memangnya orang lain tidak mampu
sekali penggal kepala orang terpental jatuh?”
“Kau masih ingat tidak anak muda
yang tempo hari kuajak jajan mi di sini?”
“Dia kenapa?”
“Dia juga seorang algojo, untuk
mencari duit, dia berlatih beberapa tahun dengan semangka, setelah yakin
dirinya sudah cukup mahir, waktu datang kemari dia pandang sebelah mata
kepadaku.”
“Lalu?”
“Waktu pertama kali dia maju ke
tengah gelanggang, baru dia insyaf adanya sesuatu yang tidak beres.”
“Apanya yang tidak beres?”
“Di tengah arena ada hawa
membunuh dan kewibawaannya sendiri, mungkin mimpi pun kau tak pernah
memikirkannya, setiba di tengah arena kaki lemas lutut goyah, setelah mengayun
golok delapan kali, kepala orang masih belum mau putus dari lehernya, saking
kesakitan pesakitan itu berkelejetan dan meronta-ronta tak keruan,” setelah
menghela napas dia meneruskan, “coba kau bayangkan, seorang yang terbacok
delapan kali belum mati, bagaimana rasanya?”
Pucat muka lelaki tua itu,
katanya, “Bila kau yang memenggal, cukup sekali bacok saja.”
“Tanggung hanya sekali bacok,
bersih dan beres.”
“Memenggal kepala apakah
memerlukan kepandaian?”
“Ilmu kepandaian yang diperlukan
memang teramat besar.”
Laki-laki
tua itu mengangkat cawan arak dan pocinya ke meja sini, duduk di sampingnya,
katanya, “Coba kau ceritakan.”
Laki-laki kekar berkata, “Bukan
saja harus berpandangan tajam, gerakan golok itupun harus cepat, sebelum turun
tangan harus dibikin jelas lebih dulu, siapakah orang yang akan kau penggal
lehernya.”
“Lho, kenapa?”
“Karena ada sementara orang
pembawaannya punya nyali besar, di waktu kepalanya terpenggal, pinggangnya
masih tegak berdiri, lehernya juga tidak mengkeret, memenggal kepala orang
seperti ini paling mudah.” Setelah memperoleh pendengar, ceritanya makin
bernafsu, lebih senang, “Tapi ada pula orang yang bernyali kecil, setiba di
gelanggang, tulangnya menjadi lemas, celananya pun basah dan bau, ditarik pun
tidak mudah.”
“Kalau dia merangkak di tanah,
apakah kau tidak mampu memenggal kepalanya?”
“Tidak bisa dipenggal.”
“Kenapa?”
“Karena tulang di bagian belakang
leher lebih keras, kau harus menemukan dulu letak sela-sela ruas tulangnya,
baru sekali bacok akan memenggal putus kepalanya,” lalu dia menambahkan, “kalau
aku sudah tahu pesakitan yang harus kupenggal kepalanya seorang jahat maka aku
harus mempersiapkan diri lebih dulu.”
“Mempersiapkan apa?”
“Biasanya aku mencekok dulu
beberapa cangkir arak, untuk membesarkan nyalinya, tapi tidak boleh mencekoknya
sampai mabuk, maka sebelumnya aku pun harus mencari tahu apa dia suka minum
arak.”
“Lalu?”
“Setiba di tengah gelanggang,
bila dia tetap tak berani mengulur lehernya, maka aku akan menendang
pinggangnya, begitu kepalanya bergerak, golokku segera menyambar, bergegas aku
harus mengeluarkan bakpao yang sudah kusiapkan sebelumnya.”
“Untuk apa kau membawa bakpao?”
“Begitu kepala terpenggal jatuh,
bakpao itu harus segera kugunakan untuk menyumpal lubang lehernya.”
“Untuk apa?”
“Karena aku harus mencegah darah
yang menyembur dari lehernya mengotori badanku, besar atau kecil bakpao itu
adalah sama karena dia bisa menghisap darah, bila penonton sudah bubar, bakpao
itu tetap hangat, mumpung masih panas aku lantas melahapnya.”
Bertaut alis laki-laki tua,
tanyanya, “Kenapa harus makan bakpao itu?”
“Karena makan bakpao berdarah
dapat menambah nyali,” setelah menenggak dua teguk arak dia meneruskan dengan
tertawa, “pekerja seperti kami ini, bila terlalu banyak membunuh orang,
akhirnya bisa bernyali kecil juga, mula pertama malamnya tidak bisa tidur,
akhirnya ada yang menjadi gila malah.”
“Gila sungguhan?” tanya laki-laki
tua.
“Suhuku sendiri juga gila. Dua
puluh tahun dia menjadi algojo, ternyata gila. Mulutnya selalu mengigau katanya
ada setan yang datang membuat perhitungan dengan dia, mau memenggal kepalanya.
Suatu hari, dia masukkan kepala sendiri ke dalam tungku yang membara.”
Laki-laki tua menatapnya,
akhirnya menghela napas, katanya, “Arak yang kau minum hari ini biar aku yang
traktir.”
“Kenapa?”
“Karena tidak mudah kau peroleh
uangmu itu, kelak kau pasti juga akan menjadi gila.”
“Kau mau mentraktir, kalau aku
tidak mau, sia-sia aku minum, tapi aku pasti tidak akan gila.”
“Kenapa?”
“Karena aku senang dengan
pekerjaanku.”
“Kau benar-benar suka?”
“Orang lain membunuh orang
berarti melanggar hukum, aku membunuh orang malah terima bayaran, tugas ringan
dan menguntungkan seperti ini, kemana pula aku bisa mendapatkannya?” mendadak dia
menoleh ke arah Pho Angsoat, katanya, “Dan kau? Bidang apa kerjamu?”
Pho Ang-soat tidak menjawab,
perutnya seperti mengkeret, seperti diplintir, seperti mau muntah.
Dari tempat gelap mendadak
seorang berkata dingin, “Dia seperti kau, dia pun seorang algojo.”
Malam panjang sudah akan
berakhir. Sebelum fajar akan tiba saatnya paling gelap, orang itu berdiri di
tempat yang paling gelap sana.
Laki-laki kekar itu terperanjat,
serunya, “Maksudmu dia juga seorang algojo?”
Bayangan orang di tempat gelap
itu manggut-manggut, katanya, “Cuma dia belum bisa menandingi kau.”
“Dalam hal apa dia tidak bisa
menandingi aku?”
“Bagimu, membunuh orang adalah
tugas sepele, pekerjaan enteng, kau mendapat upah lagi.”
“Dan dia?”
“Setelah membunuh orang dia malah
amat menderita, sekarang dia sudah tidak bisa tidur.”
Mula pertama menjalankan tugas,
malamnya tidak bisa tidur, akhirnya bisa jadi gila.
“Dia pernah membunuh banyak
orang.”
“Yang dulu tidak dihitung, dalam
tujuh belas hari ini dia sudah membunuh dua puluh tiga orang.”
“Dia membunuh memperoleh duit
tidak?”
“Tidak.”
“Tidak mendapat duit, menderita
lagi, tapi dia masih ingin membunuh?”
“Benar.”
“Selanjutnya dia masih ingin
membunuh?”
Bayangan di tempat gelap itu
berkata, “Bukan saja kelak masih ingin membunuh, sekarang juga dia mau
membunuh.”
Tegang laki-laki kekar itu,
tanyanya, “Sekarang dia mau membunuh siapa?”
“Membunuh aku,” suara orang di
tempat gelap menjawab.
ooooOOoooo
Bab 20. Taysu Dan Kacung Pembawa
Kecapi
Tampak orang itu mulai melangkah
keluar dari tempat gelap, melangkah perlahan ke bawah penerangan lampu. Raut
mukanya juga pucat, hampir sepucat Pho Ang-soat, pucat bening. Matanya
bersinar, namun membayangkan kehampaan.
Dengan terbelalak laki-laki kekar
itu mengawasinya, tanyanya, “Kau tahu dia hendak membunuhmu, kau masih berani
kemari?”
“Aku harus kemari.”
“Kenapa?”
“Karena aku pun ingin
membunuhnya.”
“Juga harus membunuhnya?”
Orang itu manggut-manggut,
katanya, “Setiap orang selama hidupnya pasti pernah melakukan sesuatu yang
tidak ingin dia lakukan, karena dia tidak diberi pilihan lain.”
Laki-laki kekar mengawasinya,
lalu mengawasi Pho Angsoat, kelihatan amat heran, kaget dan bingung, persoalan
seperti ini memang sukar dimengerti oleh orang seperti dirinya. Tapi dia sudah
merasakan adanya hawa membunuh.
Tanah lapang di dalam jalan
sempit di depan warung lakilaki tua ini mendadak seperti berubah jadi ajang
pembunuhan. Hawa membunuh yang dia resapi di sini sekarang ternyata lebih keras
dibanding hawa membunuh di gelanggang hukuman, dimana dia sering menjadi
algojo.
Pandangan orang yang keluar dari
tempat gelap kini sudah beralih ke arah Pho Ang-soat, rona matanya begitu
hambar dan sendu. Seorang yang tidak punya rasa cinta, tidak selayaknya
memiliki perasaan serawan itu.
Siau Si-bu adalah orang yang
tidak punya cinta, mendadak dia menghela napas, katanya, “Kau harus tahu
semestinya aku tidak ingin kemari.”
Pho Ang-soat tetap bungkam.
Agaknya dia sudah mabuk, sudah
sinting, beku dan pati rasa, malah jari-jari tangannya yang memegang golok
itupun tidak setenang semula. Tapi tangannya masih memegang golok, golok hitam.
Golok itu tak pernah berubah, golok itu abadi.
Siau Si-bu mengawasi goloknya,
katanya, “Aku yakin akan datang suatu hari pasti dapat mematahkan golokmu.”
Pho Ang-soat pernah berkata, “Aku
akan menunggumu.”
Siau Si-bu berkata pula,
“Sebetulnya aku pun ingin menunggu hari itu baru akan kucari kau.”
Mendadak Pho Ang-soat bersuara,
“Maka tidak layak kau datang sekarang.”
“Tapi aku sudah datang.”
“Kalau sudah tahu tidak pantas
kau datang, kenapa tetap kemari?”
Siau Si-bu tertawa, tawa yang
mencemooh, tawa sindiran,
“Apa kau tidak pernah melakukan
sesuatu yang kau tahu, tidak pantas kau lakukan sesuatu itu?”
Pho Ang-soat tutup mulut. Dia
pernah melakukan.
Ada sementara persoalan kau tahu
tidak pantas kau lakukan, namun kau justru harus melakukan, kau sendiri pun
tidak mungkin mengekang dirimu sendiri.
Karena persoalan itu seolah-olah
mempunyai daya tarik yang tak mungkin bisa kau lawan.
Kecuali itu ada sementara
persoalan yang tidak pantas kau lakukan sudah kau kerjakan, tapi lantaran
situasi dan kondisi memaksamu, untuk menyingkir atau lari dari kenyataan itupun
sudah tidak mampu lagi.”
“Sudah tiga kali aku mencarimu,
tiga kali aku akan membunuhmu, tiga kali pula kau melepas aku pergi.”
Pho Ang-soat membungkam pula.
“Aku tahu sejak mula kau tidak
ingin membunuhku.”
Pho Ang-soat mendadak bertanya,
“Kau juga tahu kenapa aku tidak ingin membunuhmu?”
“Karena sudah lama kau belum
ketemu tandingan, kau pun ingin menunggu akan datang suatu hari yang menentukan
itu, ingin membuktikan apakah aku mampu mematahkan golokmu.” Pho Ang-soat diam.
Malang melintang tiada tandingan
ternyata bukan sesuatu yang menggembirakan seperti yang dibayangkan kebanyakan
orang, seseorang bila dia sudah tidak ketemu tandingan lagi, dia akan lebih
kesepian daripada seorang yang tidak punya teman.
Siau Si-bu berkata, “Tapi aku
tahu sekarang, kau sudah tidak sabar menanti lagi, kali ini kau harus
membunuhku.”
“Kenapa?” Pho Ang-soat menegas.
“Karena kau sudah tidak mampu
mengendalikan dirimu sendiri.”
Pandangannya kosong hampa,
kelihatannya seperti mata orang mati, namun senyumannya masih mengandung
cemoohan, “Karena sekarang kau bukan lagi Pho Ang-soat yang dahulu.”
Sekarang kau tidak lebih hanya
seorang algojo.
Beberapa patah kata ini tidak dia
ucapkan, karena pisau terbangnya sudah melesat, cepat, telak dan mematikan.
Walau dia tahu timpukan pisau terbangnya ini dapat dipatahkan oleh Pho
Ang-soat, waktu turun tangan dia kerahkan seluruh kekuatannya.
Karena dia setia, paling tidak,
dia setia terhadap pisaunya. Arti dari kesetiaan ini adalah semangat yang
luhur, semangat yang tidak pernah luntur, tidak pernah goyah, bila tidak
kepepet dan memang tiada harapan sama sekali takkan membuang kesempatan
terakhir. Takkan mengabaikan usaha terakhir meski itu hanya setitik saja. Untuk
melakukan hal ini memang tidak mudah.
Siapa pun asal dia bisa melakukan
hal ini, apa pun yang dia lakukan pasti berhasil, pasti sukses. Sayang sekali
dia sudah tidak punya kesempatan, karena dia menempuh jalan yang tidak harus
dia lalui, karena Pho Ang-soat sudah melolos goloknya.
Sinar golok berkelebat, batok
kepala menggelundung jatuh di tanah, darah segar menyembur bagai kabut merah
berkembang di bawah lampu yang guram, sinar lampu menjadi merah, tapi muka
orang menjadi pucat, menjadi hijau malah.
Sekujur badan laki-laki kekar itu
menggigil, darah dalam tubuhnya seperti membeku, napas pun seperti berhenti.
Dia juga menggunakan golok, tidak sedikit pula orang yang pernah dibunuhnya.
Tapi sekarang setelah dia melihat
tabasan golok Pho Angsoat ini, baru dia menyadari gaman yang digunakannya
selama ini hakikatnya bukan golok. Malah dia merasakan dahulu dirinya belum
pernah membunuh orang, tidak terhitung membunuh orang.
Cahaya lampu menguning lagi.
Waktu dia mengangkat kepala, Pho Ang-soat sudah tidak di bawah lampu lagi,
tempat yang tidak terjangkau oleh penerangan lampu tetap gelap.
“Sebenarnya aku bisa tidak
membunuhnya, kenapa aku membunuhnya juga?” Pho Ang-soat mengawasi golok di
tangannya, mendadak dia sadar kenapa Siau Si-bu harus datang.
Karena dia tahu Pho Ang-soat
sudah tidak bisa mengendalikan diri sendiri, dia mengira bisa memperoleh
kesempatan untuk mengalahkan Pho Ang-soat.
Dia ingin lekas mencoba, maka dia
sudah tidak tahan untuk menunggu hari yang pernah dijanjikan dulu.
Menunggu memang amat menyiksa
perasaan, apalagi dia masih muda, masih berjiwa panas.
Analisa Pho Ang-soat memang tidak
salah, dia pun tahu bahwa dirinya tidak salah, lalu siapakah yang salah?
Peduli siapa yang salah, tekanan
jiwanya dan beban yang harus dipikulnya sudah tidak bisa menjadi ringan, karena
orang yang dia bunuh sebelum ini tidak ingin dia bunuh.
“Apakah betul aku sudah tidak
mampu mengendalikan diriku sendiri? Apakah betul aku sudah menjadi algojo
picisan? Apakah akhirnya aku betul-betul akan menjadi gila?”
Meja sebesar itu ternyata
mengkilap, tidak berdebu sedikitpun, dalam rumah yang besar ini juga tiada
sedikitpun suara.
Kongcu Gi sedang termenung.
“Siau-si-bu sudah pergi?” tadi
dia bertanya demikian. “Ya.”
“Dengan cara apa kalian
menganjurkan dia pergi?”
“Kami memberi gambaran supaya dia
merasa punya kesempatan untuk membunuh Pho Ang-soat.”
“Akhirnya?”
“Akhirnya Pho Ang-soat telah
membunuhnya.”
“Dia turun tangan lebih dulu?”
“Ya.”
Sekarang Kongcu Gi sedang
termenung, yang menjadi persoalan pemikirannya sudah tentu adalah Pho Ang-soat,
memang hanya seorang Pho Ang-soat yang setimpal dibuat pikiran oleh Kongcu Gi.
Kecuali Pho Ang-soat, sekarang boleh dikata hampir tiada orang lain yang bisa
menarik perhatiannya.
Hari sudah petang, aroma kembang
yang semerbak terbawa angin, akhirnya Kongcu Gi tertawa, katanya, “Dia masih
membunuh orang, tetap sekali tabas menamatkan jiwa orang, tapi dia sendiri
sudah hampir tamat.” Lalu dia bertanya,
“Kau tahu kenapa dia bakal lekas
tamat?”
Yang dipandang bukan Ku Ki yang
berdiri di depannya, tapi orang yang berdiri di belakangnya. Tiada yang
memperhatikan orang ini, karena dia terlalu pendiam, terlalu awam, mirip
bayangan atau duplikat Kongcu Gi. Tiada orang mau memperhatikan bayangan, tapi
pertanyaan Kongcu Gi tadi tidak ditujukan kepada Ku Ki, tapi ditujukan kepada
orang ini.
Apakah persoalan yang tidak mampu
dijelaskan oleh Ku Ki, orang ini mampu menjelaskan? Apakah yang dia tahu lebih
banyak dari Ku Ki?
“Seseorang bila sudah tiba
saatnya hampir tamat, maka dia pasti akan memperlihatkan lubang kelemahannya.”
“Lubang kelemahan?”
“Ya, lubang seperti yang terdapat
di tanggul sebelum jebol.”
“Jadi Pho Ang-soat sudah
memperlihatkan lubang kelemahannya?” Kongcu Gi bertanya.
“Sebetulnya dia tidak ingin
membunuh Siau Si-bu, dia pernah mengampuni jiwa Siau Si-bu tiga kali, kali ini
ternyata dia sudah tidak mampu mengendalikan diri.”
“Itulah kelemahannya?”
“Betul!”
Tawa Kongcu Gi amat riang,
“Sekarang apakah kita masih perlu mengantar orang supaya dibunuh olehnya?”
“Boleh diantar satu lagi.”
“Siapa?”
“Dia sendiri,” bahasa yang
digunakan bayangan itu memang khas, “Di kolong langit ini, hanya dia sendiri
yang mampu membunuh Pho Ang-soat, dan hanya Pho Ang-soat yang mampu membunuh
dirinya sendiri.”
Kejadian apa yang lebih kejam
dari membunuh orang? Memaksa orang bunuh diri lebih kejam dari membunuh orang,
karena untuk itu memerlukan proses yang lebih panjang, lebih menyiksa.
Malam amat panjang, amat
menakutkan. Tapi malam panjang pun ada akhirnya.
Pho Ang-soat berhenti, mengawasi
kabut pagi nan putih bagai sari, mulai mengepul di antara rumpun kembang dan
bambu. Malam nan panjang ini, akhirnya dilewatinya begitu saja.
Berapa lama lagi dia kuat
bertahan? Lelah, lapar dan dahaga, kepala sakit seperti hampir pecah, bibirnya
pun sudah merekah saking keringnya.
Bahwasanya dia sendiri tidak tahu
dimana sekarang dirinya berada? Tidak tahu pagar bambu keluarga siapakah itu?
Kebun atau taman kembang milik siapa?
Sudah lama dia berjalan, di sini
dia berhenti, karena dia mendengar petikan kecapi. Suara kecapi yang kedengaran
kosong mendengung di udara, suara yang datang dari alam gaib.
Sebetulnya dia tidak ingin
berhenti di sini, entah kenapa tahu-tahu dia sudah berhenti sendiri. Alunan
kecapi yang mengambang itu seperti panggilan sanak-kadang di tempat nan jauh.
Dia tidak punya sanak tiada kadang, tapi waktu mendengar kecapi ini, nuraninya
seperti terketuk oleh suatu kekuatan yang gaib. Lalu dia merasakan dirinya
seperti terbaur dan bersenyawa dengan alunan kecapi itu, perkara pembunuhan dan
kejadian darah mengalir dalam sekejap ini telah berubah jauh, sudah sirna.
Sejak dia membunuh kakak beradik
keluarga Ni, belum pernah dia merasa longgar seperti ini meski hanya sekali
saja. “Creng”, mendadak suara kecapi terputus, dari dalam kebun cilik
berkumandang suara seorang, “Sungguh tak nyana di luar pintu ada seorang yang
juga gemar musik, kenapa tidak silakan masuk dan duduk di dalam sambil
menikmati suara kecapi?”
Tanpa pikir Pho Ang-soat segera
mendorong pintu terus beranjak masuk. Kembang tidak terlalu banyak di dalam
taman, pohon pun jarang-jarang, gubuk pun hanya dibangun tiga petak. Seorang
tua beruban dengan pakaian kain kasar sudah berdiri menyambut kedatangannya
sambil bersoja.
Pho Ang-soat balas menjura,
katanya, “Tamu tidak diundang, mana berani mendapat sambutan Lotiang sendiri?”
Orang tua itu tersenyum, “Tamu
agung gampang diperoleh, kawan sekegemaran susah didapat, jika tidak menyambut
sendiri, bukankah tidak sopan dan kurang hormat? Hanya orang yang tidak tahu
sopan santun dan tata kehormatan, mana boleh dia belajar memetik kecapi?”
“Betul,” ucap Pho Ang-soat.
“Silakan.”
Di dalam gubuk terdapat ranjang
tinggi, meja pendek di atasnya, di atas meja pendek itulah tergeletak sebuah
kecapi. Kecapi yang berbentuk kuno, kelihatannya sudah berusia ribuan tahun,
ujung buntut kecapi kelihatan gosong seperti bekas terbakar.
“Bukankah ini Kiau-bwe-khim,
kecapi nomor satu di dunia yang turun-temurun sejak zaman dahulu kala?”
Orang tua itu tersenyum, katanya,
“Tajam benar pandangan tuan.”
“Kalau begitu tentu Lotiang
adalah Ciong-taysu?”
“Losiu memang she Ciong.”
Kembali Pho Ang-soat membungkuk
badan. Sejak hidup di rantau, baru pertama kali ini dia bersikap hormat
terhadap orang, namun yang dia hormati bukan orangnya, tapi adalah
kepandaiannya memetik kecapi yang tiada bandingan di seluruh jagat.
Seni khusus yang bernilai tinggi,
watak kemanusiaan yang tunggal dan luhur, keduanya patut dihormati oleh setiap
insan manusia.
Meja pendek itu mengkilap bersih,
Ciong-taysu membuka sepatu, lalu naik ke atas ranjang, duduk bersimpuh, lalu
berkata, “Silakan duduk.”
Pho Ang-soat tidak duduk.
Kotoran dan noda darahnya sudah
cukup lama tidak dibersihkan.
Ciong-taysu berkata, “Walau hanya
ada meja dan kecapi ini di dalam kamarku, tapi orang yang bisa masuk ke sini
bisa dihitung dengan sebelah jariku.” Dia menatap Pho Ang-soat,
“Tahukah kau kenapa aku
mengundangmu masuk?”
Pho Ang-soat menggeleng.
“Karena aku dapat melihat, meski
pakaianmu dekil, hatimu justru bersih bagai kaca, lalu kenapa pula kau harus
merendahkan dirimu?” Maka Pho Ang-soat pun berduduk.
Ciong-taysu tersenyum,
jari-jarinya mulai bergerak memetik senar, “Cring”, suara kecapi yang mengambang
kosong kembali merasuk ke dalam sanubari Pho Ang-soat. Tangannya masih
menggenggam goloknya, tapi mendadak dia merasa golok yang dipegangnya sudah
tiada artinya lagi bagi dirinya. Baru pertama kali ini hatinya dirangsang oleh
perasaan yang ganjil seperti ini.
Suara kecapi seakan-akan
membuainya ke alam lain, dimana tidak ada golok, tiada arti sial. Manusia
kenapa harus membunuh manusia? Bukan saja awak sendiri membunuh, juga memaksa
orang lain membunuh orang: Jari-jari Pho Angsoat yang menggenggam gagang golok
sudah mengendor.
Sebetulnya ketahanan Pho Ang-soat
sudah mendekati keruntuhan, namun di tengah irama kecapi ini dia sudah
memperoleh kebebasan. Pada saat itulah, di kejauhan mendadak juga terdengar
suara “cring” sekali, kedengarannya juga suara kecapi. Walau suaranya jauh,
namun jelas terdengar.
Jari-jari Ciong-taysu yang sedang
memetik kecapi mendadak bergetar, “krak”, lima senar putus bersama.
Air muka Pho Ang-soat berubah
seketika.
Alam semesta mendadak berubah
hening lelap seperti tiada kehidupan, Ciong-taysu duduk mematung tidak
bergerak, semangatnya kelihatan luluh, seakan kehilangan sesuatu, tampangnya
kelihatan mendadak lebih tua sepuluh tahun.
Maka Pho Ang-soat bertanya,
“Taysu apakah kau mendengar firasat jelek?”
Ciong-taysu diam saja, seperti
tidak mendengar, juga tidak bersuara, dari jauh kembali terdengar suara “Cring”
sekali lagi, keringat dingin seketika berketes-ketes di jidatnya, ketika suara
kecapi berbunyi lagi, orang tua yang semula tabah dan tenang serta saleh ini
mendadak melompat bangun, hanya dengan sepasang kaos putih saja dia terus
menerjang keluar.
Pho Ang-soat ikut keluar.
Keluar dari gang panjang ini,
tiba di jalan raya yang panjang pula, di ujung jalan raya ini ada sebuah pasar.
Saat itu sedang ramainya orang berbelanja, hari masih pagi. Di dalam pasar
berkumpul berbagai jenis orang, penuh berbagai suara yang berpadu.
Orangnya adalah orang awam,
suaranya juga suara biasa, lalu untuk apa Ciong-taysu yang tidak biasa ini ke
tempat ini, apa yang dicarinya?
Sepasang kaos kakinya yang putih,
yang biasanya tidak pernah kena debu sekarang sudah kotor, dia berdiri
melenggong celingukan ke kanan-kiri, seperti nyonya muda yang kehilangan dompet
uangnya.
Khim-sin (kecapi sakti) yang
terkenal di dunia ini, kenapa berubah begini rupa?
Pho Ang-soat bukan orang yang
cerewet, kini tak tahan dia bertanya, “Taysu, apakah yang kau cari?”
Ciong-taysu membesi mukanya,
wajahnya menampilkan mimik yang aneh, agak lama baru dia menjawab, “Aku hendak
mencari seorang, aku harus menemukan orang ini.”
“Siapa dia?”
“Seorang kosen yang tiada
bandingan di zaman ini.”
“Dia kosen dalam hal apa?”
“Kecapi.”
“Permainan kecapinya lebih tinggi
dari Taysu?”
Ciong-taysu menghela napas
panjang, katanya rawan, “Sekali kecapinya berkumandang, cukup membuatku tidak
berani bicara tentang kecapi seumur hidup.”
Pho Ang-soat terkesiap, katanya,
“Taysu sudah tahu dimana orang ini?”
“Suara kecapi terdengar dari
sini, maka orangnya juga pasti di sini.”
“Di sini kan pasar.”
“Justru di sini pasar baru dapat
memperlihatkan kelihaiannya.”
“Kenapa?”
Pandangan Ciong-taysu menatap
jauh ke depan, seperti kehilangan tapi juga seperti memperoleh sesuatu, “Karena
meski raganya berada di dunia fana, tapi batinnya berada jauh di luar lapisan
mega, segala benda segala persoalan di dunia fana ini sudah tiada yang bisa
mempengaruhi ketenangan hatinya bak permukaan air bening.”
Pho Ang-soat termenung,
pelan-pelan dia mengangkat kepala, mendadak berkata keras, “Apakah yang Taysu
maksud adalah dia?”
Di dalam pasar ada tempat khusus
yang menjual daging, pasar besar kecil dan dimana saja pasti ada yang menjual
daging. Ada yang menjual daging pasti ada jagal. Dimana saja seorang jagal
pasti beranggapan dirinya luar biasa, merasa daging yang dijajakan lebih baik
dan mahal dari milik orang
lain. Karena dia bisa memotong
sendiri, karena dia tidak takut darah mengalir.
Sekarang jagal itu sedang
memotong daging, memotong daging di atas bangku besar dan tinggi, di bawah
bangku itulah duduk menggelendot miring seseorang. Seorang berbaju putih yang
bermalas-malasan di situ. “
Padahal tempat itu kotor dan
basah, nyonya yang berbelanja semua mengenakan sepatu tinggi, tapi orang ini
tidak peduli, begitu saja dia mendeprok di tanah sambil merem-melek. Di atas
pangkuannya menggeletak sebuah kecapi, gelagatnya dia sedang memetik kecapi,
tapi senar kecapinya tidak berbunyi.
Ciong-taysu langsung mendekat ke
depan orang sambil berdiri tegak penuh hormat, lalu membungkuk sembilan puluh
derajat. Sementara orang itu sedang mengawasi jari tangan sendiri, angkat
kepala pun tidak.
Sikap Ciong-taysu ramah dan
hormat, dia mengaku diri sebagai murid, “Tecu Ciong Le.”
Si baju putih berkata tawar,
“Bukankah si kecapi sakti Ciong-taysu?”
Keringat dingin membasahi jidat
Ciong-taysu pula, katanya dengan suara tersendat, “Petikan senar kecapi Kuncu
berkumandang sudah tiada bandingan di kolong langit, kenapa tidak diulang
sekali lagi?”
“Aku takut,” ujar si baju putih.
Ciong-taysu melongo,
“Takut? Takut apa?”
“Aku takut bila kau mati
membenturkan kepalamu di atas Kiau-bwe-khim.”
Ciong-taysu menundukkan kepala,
keringat dingin mengucur deras, namun dia masih bertanya, “Kuncu datang
darimana?”
“Datang dari jauh, namun tak tahu
kemana harus pergi.”
“Mohon tanya she dan nama
besarmu?”
“Tak usah bertanya, aku hanyalah
seorang Khim-thong (kacung kecapi) saja.”
Khim Thong? Orang selihai ini
terima menjadi kacung orang lain? Lalu siapa yang setimpal punya kacung kecapi
seperti dia?
Ciong-taysu tidak percaya,
kenyataan ini membuat otaknya butek dan tak bisa membayangkan duduk perkara
sebenarnya, tak tahan dia bertanya pula, “Dengan bakat dan kemampuan Kuncu,
kenapa harus menjadi orang bawahan?”
Tawar suara orang baju putih,
“Karena aku memang bukan tandingannya.”
“Siapa dia?” mendadak Pho
Ang-soat bertanya.
Orang baju putih tertawa tawar,
katanya, “Kalau aku sudah tahu siapa kau, pasti kau pun sudah tahu siapa aku.”
“KongcuGi?”desisPhoAng-soat,
tangannya menggenggam kencang gagang goloknya.
“Ternyata kau memang tahu,” ujar
orang baju putih tertawa.
Secepat kilat mendadak Pho
Ang-soat turun tangan, dia pegang tangan orang, siapa tahu mendadak Ciong-taysu
menubruk datang, dengan kencang dia memeluk lengan Pho Ang-soat, teriaknya,
“Jangan kau melukai tangan ini, inilah tangan yang tiada bandingannya di
seluruh jagat.”
Orang baju putih bergelak
tertawa.
Si jagal yang sedang memotong
daging mendadak mengayun parang di tangannya membacok kepala Pho Angsoat. Di
sebelah penjual daging adalah penjual sayuran, dengan timbangan dia menutuk
Ki-bun, Ciang-tay dan Hian-ki, tiga Hiat-to besar di tubuh Pho Ang-soat.
Seorang nyonya yang menjinjing
keranjang belanja juga angkat keranjangnya mengepruk kepala Pho Ang-soat.
Kebetulan di sebelah belakang lewat seorang yang memikul dua keranjang ayam
hidup, dengan pikulannya dia menyapu pinggang Pho Ang-soat.
Mendadak sinar golok berkelebat,
“Klak”, pikulan putus, keranjang hancur, timbangan terpotong jadi dua, parang
besar itu mencelat terbang, kurungan tangan masih memegang kencang gagang
parang itu. Unggas yang ada di dalam keranjang besar beterbangan, pasar yang
biasa tenang kini menjadi ribut dan gempar. Kejadian hanya sekejap, tapi orang
baju putih yang duduk santai di bawah bangku itu ternyata sudah menghilang.
Orang-orang di pasar merubung
maju, semua ingin tahu apa yang terjadi di sini, tapi tukang jagal, penjual
sayur, penjual ayam berbareng menyelinap hilang di kerumunan orang banyak.
Suara kecapi terdengar
berkumandang di tempat jauh.
Pho Ang-soat menyibak orang
banyak dan beranjak pergi, ternyata terlampau banyak orang di pasar yang
berkerumun ini hingga susah bagi Pho Ang-soat untuk menemukan orang yang ingin
dicari, tapi dia mendengar pula suara kecapi itu.
Darimana arah datangnya suara
kecapi ke sana dia melangkah, langkahnya tidak cepat.
Suara kecapi yang mengambang di
udara susah dibedakan darimana datangnya, siapa pun susah menentukan arah, lalu
apa gunanya berjalan cepat? Tapi Pho Ang-soat tidak berpeluk tangan, asal di
depan masih terdengar suara kecapi, maka dia melangkah ke depan.
Ternyata Ciong-taysu mengintil di
belakangnya, kaos kakinya yang putih sudah sobek, malah telapak kakinya pun
sudah lecet dan melepuh, entah berapa lama mereka putarkayun tanpa tujuan.
Sang surya merambat semakin
tinggi, mereka sudah lama meninggalkan pasar, keluar kota, hembusan angin
bertiup di musim semi, sawah ladang yang menghijau dengan padi yang belum masak
tampak menari dan melambai, gununggemunung di kejauhan seperti bernapas turun
naik, mayapada selembut dada seorang dara yang lembut, mereka maju terus masuk
ke dalam pelukannya.
Gunung menghijau tampak di empat
penjuru, sebuah sungai mengalir tenang, suara kecapi seolah-olah berkumandang
dari dasar air yang dalam.
Mereka sudah menjelajah gunung
melampaui sungai, tibalah di pinggir sebuah danau kecil, di pinggir danau
berdiri sebuah rumah kecil.
Di dalam rumah terdapat sebuah
meja dan kecapi, senar kecapi seperti masih mengumandangkan sisa getaran
suaranya, di bawah kecapi tertindih secarik kertas, di atasnya tertulis, “Golok
gumpil kecapi putus, bulan purnama kembang layu, Kongcu bagai nama, terbang
melayang ke langit sembilan”.
Ciong-taysu menghadap ke alam
semesta yang terbentang luas di depannya, lama dia menepekur, akhirnya perlahan
berkata, “Tempat ini sungguh amat baik, orang yang bisa tinggal di sini lebih
baik menetap saja, bagi yang tidak bisa, kenapa harus pergi?”
Pho Ang-soat mengawasinya dari
kejauhan, menunggu dia bicara lebih lanjut.
Ciong-taysu menepekur lagi,
kemudian katanya pula, “Aku sudah tidak akan pergi lagi.”
“Tidak ingin pergi atau tidak
boleh pergi?” tanya Pho Angsoat.
Ciong-taysutidakmenjawab,tapidiaberbalik
menghadapinya, tanyanya, “Menurut penglihatanmu, berapa usiaku?”
Rambut kepalanya sudah ubanan,
raut mukanya juga sudah dipenuhi kerut-merut tanda ketuaan, hidup menderita
serba kekurangan, maka dia menjawab pertanyaannya sendiri, “Sejak muda aku
sudah berhasil angkat nama, tahun ini aku baru berusia tiga puluh enam.”
Pho Ang-soat menatap wajahnya
yang penuh keriput dan rambutnya yang ubanan, walau tidak berkomentar apa pun,
namun tidak menampilkan rasa kaget atau heran.
Ciong-taysu tertawa, katanya,
“Aku tahu, kelihatannya aku pasti sudah amat tua, sejak lama aku memang sudah
beruban.” Senyumnya penuh kegetiran hidup, lanjutnya, “Karena keringat dan
darahku sudah kering, walau dalam permainan kecapi aku memperoleh keahlian yang
tidak mungkin dicapai orang lain, meski dalam mimpi memperoleh ketenteraman
hidup dan mahkota kebesaran, namun kecapi itu sendiri juga telah menghisap
seluruh jerih-payahku, darah, keringat dan tulang sumsumku.”
Pho Ang-soat mengerti apa yang
diartikan dalam ucapannya.
Seseorang bila hidupnya sudah
tenggelam di dalam suatu persoalan atau kegemaran, maka dia seperti menjalin
suatu hubungan kental dengan iblis.
Apa yang kau inginkan, aku bisa
berikan seluruhnya kepadamu, maka apa yang kau miliki seluruhnya juga harus kau
berikan kepadaku, termasuk jiwa raga dan sukmamu.
Ciong-taysu berkata, “Sebetulnya
itu merupakan timbalbalik yang cukup adil, maka tiada yang perlu kusesalkan,
tapi sekarang....” Dia menatap Pho-ang-soat dan melanjutkan, “Kau belajar ilmu
golok, jika kau pun seperti diriku, demi golokmu kau telah mempertaruhkan
segala milikmu, mendadak kau menyadari bahwa orang lain hanya dalam jangka
sekejap mampu merobohkan engkau, lalu bagaimana sikapmu? Apa yang akan kau
lakukan?”
Pho Ang-soat tidak menjawab.
Ciong-taysu menghela napas,
katanya pula perlahan, “Soal-soal begini tentu kau tidak akan paham, bagimu
sebatang golok tetap sebatang golok, tiada makna lain.”
Pho Ang-soat ingin tertawa,
tertawa terbahak-bahak, tapi dia tidak bisa tertawa.
Sebatang golok tetap sebatang
golok, lalu siapa bisa meresapi makna dan manfaat golok itu terhadap dirinya?
Bukankah dia sudah punya hubungan
intim dengan iblis, bukankah berarti dia juga harus mempertaruhkan segala
miliknya?
Lalu apa yang telah diperolehnya?
Mungkin tiada orang kedua di
dunia ini yang lebih paham tentang persoalan ini daripadanya, tapi dia tidak
mengatakan apa-apa, karena air getirnya telah meresap ke dalam tulangnya,
ditumpahkan keluar juga tidak bisa lagi.
Ciong-taysu tertawa, katanya,
“Bagaimanapun juga kau bisa bertemu denganku, terhitung ada jodoh juga, biarlah
kupetik sebuah lagu untukmu.”
“Selanjutnya?”
“Jika kau ingin pergi, silakan
kau pergi.”
“Kau tidak mau pergi?”
“Aku? Aku bisa kemana lagi?”
Akhirnya Pho Ang-soat tahu apa
maksud seluruhnya, di sini tempat baik, dia sudah siap menguburkan jazadnya di
tempat ini. Bagi dirinya, kehidupan ini sudah bukan lagi kebebasan, gengsi dan
ketenaran, sebaliknya adalah penghinaan, suatu yang memalukan, maka hidupnya
sudah tidak ada artinya lagi.
“Creng”, senar kecapi mulai
bergema lagi.
Tabir malam sudah menyelimuti
jagat raya, menyelimuti lembah pegunungan ini.
ooooOOoooo
Suara kecapinya sendu dan
memilukan, seperti seorang dayang tua yang sudah kenyang hidup dalam belenggu
sedang menceritakan kehidupan yang penuh derita ini kepada manusia, meski
kehidupan itu terselip rasa senang dan gembira, namun hanya sekejap seperti
sirnanya mega, hanya
duka-lara saja yang melekat abadi
pada dirinya. Begitulah kehidupan manusia yang pendek, siapa pun pada akhirnya
pasti akan mati.
Lalu apa artinya manusia hidup?
Kenapa harus berjuang, bergelut
dan ulet? Kenapa harus sakit dan menderita? Kenapa susah dimengerti bahwa hanya
kematianlah yang bisa mencapai ketenteraman nan abadi?
Suara kecapi membuat pikiran
orang tenggelam ke alam yang berbeda, menceritakan bagaimana damai dan indahnya
kematian itu, keadaan damai dan keindahan yang tidak mungkin bisa dilukiskan
dengan rangkaian kata-kata, hanya irama kecapinya inilah yang bisa melimpahkan.
Karena dia kini sudah tenggelam
di alam mimpi kematian, malaikat kematian seakan membantu dia memetik kecapinya
itu, membujuk orang untuk meninggalkan dunia fana ini, meninggalkan segala
kerisauan dan keduniawian, pergi keimpian kematian dan memperoleh ketenteraman
dan damai abadi.
Di sana tiada siksa derita, tak
usah pula bergelut, berjuang dan berkelahi, bertarung dengan sesama manusia. Di
sana tiada pembunuhan, tiada yang memaksa orang untuk membunuh. Jelas hal
semacam ini takkan mungkin dilawan oleh manusia umumnya.
Tangan Pho Ang-soat sudah
bergetar, bajunya sudah basah-kuyup oleh keringat dingin.
Kalau kehidupan memang begini
memilukan, kenapa harus bertahan hidup?
Jari-jarinya menggenggam gagang
golok makin mengencang, apakah dia sudah siap mencabut golok? Mencabut golok
untuk membunuh siapa?
Hanya dia sendiri yang dapat
membunuh Pho Ang-soat dan hanya Pho Ang-soat yang mampu membunuh dirinya
sendiri.
Suara kecapi makin memilukan,
lambat-laun gunung itu makin gelap, tiada penerangan, tiada harapan. Suara
kecapi seperti memanggil, seolah-olah dia melihat Binggwat-sim dan Yan Lam-hwi.
Apakah mereka sedang membujuknya untuk menikmati keindahan nan damai.
ooooOOoooo
Bab 21. Lolos Dari Kurungan
Akhirnya Pho Ang-soat mencabut
goloknya. Sinar golok berkelebat, yang dipenggal bukan kepala orang, tetapi
kecapi itu.
Kenapa kecapi ini harus dibacok?
Ciong-taysu mengangkat kepala,
mengawasinya dengan pandangan kaget, bukan saja heran dan bingung, juga amat
marah. Golok sudah kembali ke sarungnya.
Pho Ang-soat sudah duduk,
wajahnya yang pucat di kegelapan seperti diukir dari batu kali, keras, kekar,
dingin namun agung.
Ciong-taysu berkata, “Umpama
permainan kecapiku tidak patut dinikmati, tapi kecapi ini kan tidak bersalah,
mengapa kau tidak memenggal kepalaku sekalian?”
“Kecapi tidak berdosa, orangnya
pun tidak berdosa, daripada manusia mati, biarlah kecapi yang jadi korban.”
“Aku tidak mengerti.”
“Kau harus mengerti, tapi memang
banyak persoalan yang tidak kau ketahui,” dengan dingin dia meneruskan, “kau
hanya tahu kehidupan manusia yang pendek saja, akhirnya juga akan mati, tapi
kau tidak tahu, untuk mati juga ada berbagai cara.”
Mati seperti kembali ke tempat
asalnya, mati secara ksatria, mati akan menjadi kenangan sepanjang masa, sudah
tentu hal-hal begini juga dimengerti oleh Ciong-taysu.
Pho Ang-soat berkata, “Seseorang
dilahirkan dan harus hidup, umpama harus mati, maka matilah secara gemilang,
mati dengan hati tenteram dan damai.”
Seseorang hidup bila tidak mampu
melaksanakan pekerjaan yang harus dikerjakan, mana mungkin dia bisa mati dengan
tenteram? Makna dari kehidupan, yaitu perjuangan dan harus berjuang sampai
titik darah penghabisan, asal paham akan hal ini, maka kehidupan ini bukanlah
tiada artinya.
ooooOOoooo
Duka dan kesedihan hidup manusia
memang diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk mengatasinya.
“Tapi hidupku ini hanya semacam
kenistaan.”
“Karena itu kau harus berusaha
melakukan sesuatu yang berarti, cucilah segala kenistaanmu itu, kalau tidak,
umpama sekarang kau mati, kau tetap mati dalam kenistaan.”
Mati bukan suatu cara yang baik
untuk menyelesaikan segala persoalan, hanya lelaki berjiwa lemah, berjiwa
kerdil saja yang tidak kuat mengalami pukulan, menghadapi ujian hidup, maka
larilah dia dari kehidupan ini, kematian itulah cara yang ditempuhnya untuk
membebaskan diri.
“Imbalan yang kupertaruhkan di
atas golokku ini pasti tidak lebih ringan, lebih sedikit darimu, tapi aku tidak
pernah memperoleh hiburan, ketenangan, kebesaran dan ketenaran seperti yang kau
miliki, yang kudapatkan hanyalah permusuhan dan penghinaan, dalam pandangan
orang lain kau adalah seorang sakti dalam permainan kecapi, bagiku tidak beda
dengan seorang algojo.”
“Tapi kau masih ingin bertahan
hidup?”
“Asal aku masih bisa hidup, maka
aku harus hidup, orang lain ingin aku mati, maka aku harus berjuang untuk
hidup,” demikian kata Pho Ang-soat, “hidup ini bukan suatu yang memalukan,
bukan kenistaan, hanya mati sajalah yang memalukan.”
Wajahnya yang pucat memancarkan
cahaya, kelihatan lebih gagah, kereng, lebih agung. Kini dia tidak lagi mirip
algojo yang seluruh badannya berlepotan darah dan jorok.
Sekarang dia telah memperoleh
kehidupan yang murni, puncak kehidupan yang sejati, diperoleh dari siksa derita
dan “pukulan lahir batin yang tidak mungkin diterima dan ditahan oleh manusia
lain. Karena semakin besar pukulan yang diterimanya, semakin besar pula daya
perlawanannya.
Tenaga perlawanan ini akhirnya
berhasil membebaskan dirinya dari belenggu yang pernah dia ciptakan sendiri.
Satu hal ini jelas tidak pernah diduga dan dipikirkan oleh Kongcu Gi.
Ciong-taysu pun tidak menduga,
tapi waktu dia mengawasi Pho Ang-soat, rona matanya tidak lagi mengandung rasa
kaget, heran dan marah, tapi menampilkan rasa hormat. Tak tahan dia bertanya, “Apakah
kau pun ingin melakukan seuatu yang berguna untuk mencuci penghinaan dan rasa
malumu.”
“Sekuat tenaga aku sedang
berusaha melakukannya.”
“Kecuali membunuh orang, apa pula
yang sudah kau lakukan?”
“Paling sedikit aku sudah
melakukan satu hal,” suaranya penuh keyakinan, “paling tidak aku sudah
memperlihatkan satu bukti kepadanya, aku tidak pernah takluk, juga tidak mudah
terpukul roboh olehnya.”
“Dia, dia siapa?”
“Kongcu Gi.”
Ciong-taysu menghela napas
panjang, ujarnya, “Seseorang bisa punya seorang kacung kecapi seperti itu,
pasti dia seorang yang luar biasa.”
“Memang demikian.”
“Tapi kau ingin membunuhnya?”
“Betul.”
“Apakah membunuh orang termasuk
suatu pekerjaan yang berguna?”
“Jika orang itu hidup, orang lain
akan menderita, mengalami penindasan, penyiksaan. Jika aku membunuhnya, maka
aku sudah melakukan sesuatu pekerjaan yang bermanfaat, sesuatu yang mulia.”
“Kenapa kau belum melaksanakan
keinginanmu itu?”
“Karena aku tidak bisa menemukan
dia.”
“Kalau dia seorang luar biasa,
pasti dia seorang ternama, bagaimana kau tidak dapat menemukan dia?”
“Walau namanya terkenal di
seluruh dunia, namun jarang ada orang melihat wajah aslinya.”
Inipun suatu hal yang aneh,
seseorang semakin ternama, orang yang melihatnya semakin jarang, makin sedikit.
Hal ini sepantasnya juga
dimaklumi oleh Ciong-taysu, karena dia pun seorang yang terkenal di jagat ini,
orang yang bisa bertemu dengan dia juga amat sedikit. Tapi dia tidak
berkomentar apa-apa, Pho Ang-soat juga tidak mau banyak bicara, apa yang perlu
dia katakan sudah habis diucapkannya.
Pho Ang-soat berdiri, “Aku hanya
ingin supaya kau tahu, walau tempat ini amat baik, tapi bukan tempat yang tepat
bagi kita untuk tinggal terlalu lama.”
Meskipun di luar amat gelap, dia
tetap tidak mau tinggal di situ.
Asal lahir batin bersih, kenapa
harus takut kegelapan? Perlahan dia beranjak keluar, gaya jalannya masih
kelihatan kaku, berat dan sukar, namun pinggangnya lurus, badannya tegak dan
dada membusung.
Ciong-taysu mengawasi
punggungnya, mendadak dia berseru, “Tunggu sebentar!”
Pho Ang-soat berhenti.
Ciong-taysu berkata, “Apa betul
kau ingin bertemu dengan Kongcu Gi?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Kalau begitu kau harus tinggal
di sini, biar aku yang pergi.”
“Kenapa? Kau tahu dia akan
kemari?”
Ciong-taysu tidak menjawab, namun
mendahului melangkah pergi.
“Darimana kau tahu? Siapa kau
sebenarnya?”
Mendadak Ciong-taysu berpaling,
katanya sambil tertawa, “Kau kira siapa aku? Mimik tawanya aneh misterius,
badannya mendadak telah lenyap ditelan kegelapan, seperti sudah bersenyawa
dengan tabir malam. Terdengar suaranya berkumandang di kejauhan, “Asal kau
bersabar dan mau menunggu di sini, pasti kau dapat bertemu dengan dia.”
“Kau kira siapa aku?” Memangnya
dia bukan Ciong-taysu? Apakah dia Khim-thong yang tulen? Kalau tidak, mana
mungkin dia tahu dimana dan kemana jejak Kongcu Gi.
Pho Ang-soat tidak berani
memastikan, karena dia tidak pernah melihat wajah asli Ciong-taysu, tidak
pernah melihat Khim-thong.
Apakah betul Kongcu Gi akan
datang kemari? Inipun tidak berani dia pastikan, namun dia sudah berkeputusan
untuk tinggal di sini, hanya inilah kesempatan satu-satunya bagi dirinya,
sumber yang mungkin dapat untuk menemukan jejaknya.
Malam sudah larut, di pegunungan
yang sunyi tiada terdengar suara apa pun. Mutlak tiada suara atau sesuatu suara
yang menakutkan, seseorang yang dicekam keheningan seperti ini pasti sudah
tidur.
Pho Ang-soat sudah tidur, sudah
tidur bukan berarti sudah nyenyak, sudah pulas dibuai impian.
Lampu tidak terpasang di dalam
rumah kecil ini, kecuali sebuah kecapi, satu meja, dan sebuah ranjang, dalam
rumah ini tiada benda lain lagi.
Pho Ang-soat kelaparan, juga
lelah, dia ingin tidur, selama beberapa tahun ini, derita bagi seorang yang
susah tidur teramat menyiksa, bila dapat tidur pulas, meski hanya sekejap,
sudah merupakan keberuntungan dan itu memang menjadi keinginannya yang
terbesar.
Kenapa sesunyi ini? Kenapa nagin
pun tiada? Terpaksa dia sengaja terbatuk-batuk beberapa kali, hampir tak
tertahan dia ingin bergumam, bicara kepada diri sendiri.
Pada saat itulah mendadak dia
mendengar suara “Cring, ering”. Itulah suara kecapi. Kecapi di atas ranjang,
kecuali dirinya, di rumah ini tiada orang lain, tiada orang memetik senar
kecapi, bagaimana mungkin kecapi itu bisa berbunyi?
Terasa oleh Pho Ang-soat rasa
dingin yang tiba-tiba muncul di punggungnya, tak tahan dia membalik tubuh
mengawasi kecapi di atas ranjang. Di bawah penerangan sinar bintang yang redup
dingin, senar kecapi kelihatan cukup jelas dalam jarak yang tidak begitu jauh.
Senar kecapi berbunyi lagi,
beruntun beberapa nada suara, seperti seorang pemusik yang sedang menyetel alat
musiknya. Lalu siapakah yang sedang memetik senar kecapi? Siluman kecapi atau
setan penunggu gunung ini?
Pho Ang-soat melompat secara
mendadak, maka dilihatnya di luar jendela ada sesosok bayangan samar-samar.
Bayangan manusiakah? Atau bayangan setan? Orang di luar jendela mana bisa memetik
senar kecapi di dalam rumah, di atas ranjang?
“Tenaga jari yang hebat,” jengek
Pho Ang-soat dingin.
Bayangan hitam di luar jendela
seperti kaget, sebat sekali dia mundur ke belakang.
Pho Ang-soat lebih cepat, boleh
dikata tanpa persiapan atau membuat ancang-ancang, orangnya sudah menerobos
keluar bagai anak panah menyambar.
Bayangan hitam di luar melambung
ke udara, terus bersalto seperti gerakan setan, seperti segumpal asap pula, dan
mendadak sirna di tengah kegelapan.
Gunung sunyi sepi, sinar rembulan
terasa dingin.
Pho Ang-soat maju lebih jauh,
tiada seorang pun dilihatnya, waktu dia menoleh, matanya tertumbuk pada sebuah
lampu yang menyala. Sinar lampu bagi api setan yang bergoyanggoyang.
Lampu berada di dalam rumah,
siapakah yang berada di dalam rumah menyulut lampu?
Pho Ang-soat tidak mengembangkan
Ginkang, perlahan dia beranjak balik, lampu tidak padam, lampu berada di atas
meja ternyata sudah putus, putus rata seperti diiris pisau layaknya.
Di dalam rumah tetap tiada orang,
di bawah kecapi tertindih secarik kertas yang berisi tulisan berbunyi: “Kalau
sekarang tidak pergi, orang putus bagai kecapi ini”. Gaya tulisannya amat baik,
amat elok dan enak dipandang, dengan gaya tulisan yang tertindih di kertas di
bawah kecapi tadi, jelas hasil tulisan satu orang. Lalu dimana orangnya?
PhoAng-soat duduk menghadapi
lampu yang memancarkan cahayanya, mendadak sorot matanya
memancarkan cahaya. Hanya setan
atau dedemit yang bisa pergi datang bagai angin tanpa meninggalkan bekas, padahal
dia tidak percaya bahwa di dunia ini ada setan segala. Jika di dunia ini tiada
setan, maka di dalam rumah ini pasti ada lorong bawah tanah atau dinding lain,
kemungkinan sekali letaknya di sekitar ranjang batu ini.
Dalam menyelidiki soal beginian,
Pho Ang-soat bukan terhitung seorang ahli, tapi dia amat mahir. Akal bulus yang
sering digunakan orang-orang Kangouw kebanyakan diketahui dengan baik,
alat-alat rahasia dengan berbagai perangkap yang rumit juga diketahuinya, maka
untuk mencari lorong bawah tanah atau adanya alat rahasia di balik dinding dan
sebagainya bukan pekerjaan yang sulit bagi dirinya.
Apakah Kongcu Gi sudah datang?
Datang dari lorong bawah tanah?
Pho Ang-soat memejamkan mata,
mengatur pernapasan, dia benamkan perasaannya supaya tenang dan longgar, hanya
dengan ketenangan baru panca-indranya lebih tajam, daya tangkap dan serap
otaknya akan lebih runcing .
Maka dia mulai mencari, tapi
tidak menemukan apa-apa.
Kalau sekarang tidak pergi, orang
putus seperti kecapi.
Kalau aku tidak bisa menemukan
kau, akhirnya juga pasti kau yang mencariku. Kenapa tidak kutunggu kau di sini
saja, mari buktikan cara bagaimana kau akan memutus badanku seperti putusnya
senar kecapi ini?
Perlahan Pho Ang-soat duduk,
sumbu lampu dia bersihkan dan nyala api menjadi lebih terang, penerangan selalu
membawa semangat dan membangkitkan gairah orang, tidur seperti tidak punya
jodoh dengan dirinya.
Suatu waktu dia ingin tidur,
namun tidak bisa tidur. Orang yang memutus senar kecapi setiap saat bisa keluar
dari lorong bawah tanah atau dari balik dinding, lalu memenggal tubuhnya
menjadi dua seperti senar kecapi.
Apakah betul orang itu Kongcu Gi
adanya? Orang macam apakah sebetulnya Kongcu Gi itu? Sambil menerawang Pho
Ang-soat menggenggam goloknya, dengan menunduk dia mengawasi golok yang
dipegangnya, terasa dirinya seperti makin lemas, makin lunglai dan lelah, makin
tenggelam dan terbenam ke dalam sarung goloknya. Mendadak dia tertidur.
Malam makin kelam, lampu menyala,
lidah api tidak lagi bergerak, menyala tenang.
Dunia dalam keadaan damai
tenteram, tiada bencana, tiada pertumpahan darah, juga tiada suara brengsek.
Waktu Pho Ang-soat tersadar, dia
tetap duduk di atas kursi. Entah berapa lama dia pulas di atas kursi. Namun
begitu dia membuka mata, yang terlihat pertama kali adalah goloknya, golok
masih tergenggam di tangannya, sarung golok yang hitam legam, tampak mengkilap
ditimpa sinar pelita. Mungkin dia hanya terlena sekejap saja, karena pelupuk
matanya terasa amat berat, betapapun dia adalah manusia biasa, bukan robot,
manusia perkasa matanya pun pasti akan mengalami kelelahan dan terlena meski
hanya sekejap.
Namun bila golok tetap di tangan,
apapun dia tidak perlu gentar. Tapi begitu dia mengangkat kepala, hatinya seketika
tenggelam, seperti tenggelam di dasar danau yang dingin. Dia masih duduk di
kursi semula, golok masih terpegang di tangannya, tapi dirinya sekarang tidak
duduk di dalam rumah gubuk di tengah puncak gunung yang belukar itu.
Pandangan pertama yang terlihat
olehnya adalah sebuah gambar lukisan, lukisan panjang melintang empat tombak
tujuh kaki yang digantung pada dinding di depannya.
Panjang dinding atau luas rumah
ini sudah tentu tidak hanya empat tombak tujuh kaki, kecuali gambar lukisan
itu, dinding yang dikapur bersih putih laksana salju tergantung berbagai jenis
alat senjata, di antaranya ada sebuah kampak batu raksasa dari zaman purba, ada
pula tombak panjang
beronce ungu milik Soa Jeng di
zaman Ciankok yang selalu digunakan merobohkan musuh di medan laga. Ada pula
Cengliong-yam-gwat-to, gaman yang digunakan Bu-seng Koan-tekun di zaman Sam
Kok, ada pula Cwa-hou-lan dan Hou-singkiam gaman luar biasa yang jarang
terlihat di kalangan Kangouw.
Di antara senjata yang tergantung
di atas dinding itu, paling banyak adalah golok. Golok tunggal, golok rangkap
Yan-hapto, Kui-thau-to, Kim-pwe-gan-san-to, Sia-to, Kui-hoan-to,
Jikkim-hi-ling-to ... malah ada juga sebtang Thian-ong-cam-kui-to yang
panjangnya setombak lebih.
Tapi yang paling mengejutkan Pho
Ang-soat adalah sebilah golok hitam, golok yang mirip dengan yang di genggaman
tangannya. Beratus jenis senjata dari zaman dahulu sampai zaman mutahir
ternyata digantung di atas dinding seluruhnya, maka dapatlah dibayangkan,
betapa besar dan luas rumah ini.
Padahal seluruh lantai rumah ini
dilembari permadani tebal buatan negeri Persia, hingga terasa rumah sebesar ini
hangat dan nyaman.
Agaknya setiap benda yang
terpajang di dalam rumah ini sudah diseleksi, diperiksa secara teliti, selama
hidup Pho Angsoat tak pernah terbayang dan belum pernah berkunjung ke tempat
semewah ini.
Dia tidak habis mengerti, cara
bagaimana dirinya bisa berada di tempat ini? Jelas ini bukan mimpi, tapi jauh
lebih seram, lebih aneh, lebih ajaib dan brutal dari mimpi yang sesungguhnya.
Tangan yang menggenggam golok
sudah terasa dingin, gagang goloknya sudah basah oleh keringat dingin yang
merembes di telapak tangannya. Tapi dia tidak menjerit kaget, tidak berlari
keluar, dia tetap duduk tenang dan diam di kursinya, bergerak pun tidak.
Bahwa orang itu mampu membawanya
ke tempat ini tanpa diketahui setan dan malaikat, maka amat mudah membunuhnya
kalau mau. Bahwa kenyataan dirinya masih hidup kenapa harus lari dari kenyataan
ini? Kenapa harus bersusah-payah beraksi?
Mendadak seorang bergelak tertawa
di luar pintu, katanya, “Pho-kongcu sungguh amat tabah dan tenang.”
Ketika pintu terbuka, di tengah
gelak tawanya, yang beranjak masuk ternyata adalah Ciong-taysu.
Tapi keadaan Ciong-taysu sekarang
sudah agak berubah, jubah belacu yang biasa dipakainya sekarang berganti jubah
sutra, rambut ubannya juga sudah disemir hitam, demikian pula kerut-mukanya
agak jarang, sehingga wajahnya kelihatan lebih muda dua puluh tahun.
Dingin-dingin saja Pho Ang-soat
menatapnya sekilas, ternyata reaksi kaget atau mimik heran pun tidak
diperlihatkan olehnya, seolah-olah dia sudah menduga di tempat ini dia akan
bertemu dengan dia.
Ciong-taysu menyembah dan
menjura, katanya, “Cayhe Ji Khim, menyampaikan sembah hormat kepada
Pho-kongcu.”
Jadi orang inilah Ji Khim yang
tulen, dia pulalah kacung harpa Kongcu Gi, jadi kacung harpa yang muncul di
dalam pasar itu tidak lain hanyalah figuran yang membantu dia menyelesaikan
permainan sandiwaranya.
Tujuan permainan sandiwara itu
hanya ditujukan kepada Pho Ang-soat seorang, padahal macam apa tampang Ji Khim
asli hakikatnya Pho Ang-soat tidak pernah melihatnya, maka sandiwara di pasar
itu betul-betul diperankannya dengan baik dan amat memuaskan.
Apakah permainan sandiwara itu
hanya untuk membuat Pho Ang-soat terlena dan tenggelam dalam alam pikirannya
setelah mendengar alunan lagu yang menyedihkan itu? Sehingga dia merasa kecewa
dan putus-asa, lalu menggorok leher sendiri dengan goloknya?
Sekarang bila golok ini tercabut
pula, yakin yang digorok pasti bukan lehernya sendiri. Melihat dia memegang
golok hitamnya, di kejauhan Ji Khim sudah menghentikan langkahnya, katanya
mendadak, “Tempat apakah ini? Kenapa aku bisa berada di sini?” Dia tertawa,
lalu menyambung, “Seharusnya Pho-kongcu yang mengajukan pertanyaan ini, tapi
Pho-kongcu tidak buka suara, terpaksa biar aku saja yang bertanya.”
Pertanyaannya sendiri, memang pantas kalau dia pula yang menjawab.
Tak nyana mendadak Pho Ang-soat
buka suara dingin, “Inilah tempat baik, bahwa aku sudah berada di sini, kenapa
harus bertanya bagaimana aku bisa kemari?
Ji Khim melengak, serunya, “Apa
betul Pho-kongcu tidak ingin bertanya?”
“Tidak,” cepat jawaban Pho
Ang-soat.
Ji Khim mengawasinya sekian lama,
lalu katanya bimbang, “Apakah Pho-kongcu ingin membunuhku dengan sekali tabas?
Lalu menerjang keluar pintu.”
“Tidak.”
“Apakah Pho-kongcu tidak ingin
pergi?”
“Tidak gampang aku kemari, kenapa
harus pergi?”
Ji Khim kembali melenggong. Waktu
dia masuk tadi, dia mengira Pho Ang-soat pasti kaget dan gugup, tak nyana yang
kaget dan gugup sekarang justru dia sendiri.
“Duduk!” bentak Pho Ang-soat.
Ji Khim lantas duduk.
Di atas sebuah meja kecil panjang
pendek berukir kembang, permukaan meja dilapisi batu jade, terdapat sebuah
kecapi, itulah Kiau-bwe-khim yang tiada bandingan di kolong langit sejak zaman
dulu sampai sekarang.
“Silakan petik satu lagu untuk
kudengar,” pinta Pho Angsoat.
“Ya,” Ji Khim mengiakan.
“Tring,creng,”senar kecapi mulai
dipetik mengumandangkan suara yang merdu, lagu yang dipetik kali ini sudah
tentu bukan lagi melankolik yang mendatangkan rasa perih dan kepedihan sehingga
mengundang putus asa, namun irama kecapi sekarang bernada riang gembira dalam
suasana kemewahan dan kemegahan, seumpama seorang yang sekarat dekat ajalnya,
bila mendengar lagu ini pasti tidak ingin mati, demikian pula pemetiknya, sudah
tentu dia tidak ingin mati.
Mendadak Pho Ang-soat bertanya,
“Apakah Kongcu Gi juga berada di sini?”
Ji Khim tidak langsung menjawab,
namun irama kecapinya mendadak merendah lembut dengan tekukan suara yang
seolah-olah menjawab, “Ya, benar.”
“Apakah dia pun ingin bertemu
dengan aku?” tanya Pho ang-soat pula.
“Ya, benar,” kembali suara kecapi
mewakili Ji Khim menjawab.
Pho Ang-soat juga cukup ahli
dalam mendengar nada lagu, baru saja dia hendak bertanya, di luar mendadak
berkumandang suara yang aneh dan ganjil, nadanya sumbang, cepat dan cekak,
runcing dan seram, meski terputus-putus tapi suara itu berbunyi terus.
Ji Khim tampak bergetar, mendadak
senar harpanya putus dua utas. Suara nyaring melengking yang pendek dan cepat
itu ternyata seperti membawa tenaga sedot yang luar biasa. Siapa pun yang
mendengar suara ini seketika akan merasa tenggorokan kering, jantung berdebar
lebih keras, perut seperti kejang dan mengkeret.
Pho Ang-soat pun tidak
terkecuali.
Berubah rona muka Ji Khim,
mendadak dia berjingkrak berdiri terus melangkah lebar keluar.
Pho Ang-soat tidak mencegah,
selamanya dia tidak melakukan sesuatu yang tidak perlu, dia harus tumplek
seluruh perhatian dan semangatnya, sedapat mungkin untuk mempertahankan
ketenangannya.
Senjata-senjata yang tergantung
di atas dinding seperti memancarkan cahaya yang dingin, gambar lukisan
sepanjang empat tombak tujuh kaki itu jelas adalah sebuah lukisan yang antik
dan tak ternilai harganya. Tapi jangankan melihat, melirik sekali lagi pun
tidak, dia harus mengkosentrasikan seluruh semangat, pikirannya tak boleh lena
atau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya.
Tapi seolah-olah dia susah
mengkosentrasikan diri, suara nyaring pendek dan runcing itu masih terus
berbunyi, bagai sebuah palu besi sedang memukul urat syarafnya.
Ketika gelang pintu berbunyi
karena tersentuh, baru Pho Ang-soat memperhatikan, di belakang masih terdapat
sebuah pintu, seorang perempuan baju putih yang cantik tengah berdiri di luar
pintu mengawasi cirinya, raut wajahnya kelihatan mirip dengan Coh Giok-cin,
tapi dia bukan Coh Giok-cin.
Dia lebih cantik, lebih rupawan
dari Coh Giok-cin, kecantikannya seperti agung dan segar, senyumannya welas
asih dan lembut, gayanya lebih mempesona, tak urung Pho Ang-soat yang tidak
doyan perempuan inipun melirik dua kali ke arahnya.
Kini dia sudah beranjak masuk,
lalu menutup daun pintu dengan hati-hati, lewat di samping Pho Ang-hoat, lalu
melangkah ke tengah ruangan. Baru kemudian membalik menghadapnya, katanya
sambil tersenyum, “Aku tahu, kau inilah Pho Ang-soat. Tapi kau tidak tahu siapa
aku adanya?”
Suaranya seperti orangnya, agung
dan lembut, namun katakata yang dilontarkan ternyata sederhana dan terus
terang. Jelas dia bukan perempuan yang suka bermuka-muka, perempuan yang banyak
tingkah.
Pho Ang-soat memang tidak tahu
siapa perempuan ini.
Perempuan itu memperkenalkan
diri, “Aku she Coh, boleh terhitung majikan perempuan tempat ini, maka kau
boleh memanggilku Coh-hujin, kalau kau merasa panggilan ini berlebihan, boleh
kau panggil aku apa saja, meja atau kursi juga tidak jadi soal.” Dia tersenyum
lebih manis, “Meja memang adalah gelaranku, setiap teman baikku suka memanggil
aku dengan gelaran itu.”
“Coh-hujin,” dingin suara Pho
Ang-soat. Dia bukan teman perempuan ini, dia tidak pernah punya teman.
Sudah tentu Coh-hujin tahu
maksudnya, tawanya tetap gembira, “Makanya orang sering bilang kau ini orang
aneh, kau memang demikian.”
Pho Ang-soat diam saja, diam
adalah pengakuan. Cohhujin mengerling tajam, katanya, “Apa kau tidak ingin
tanya kepadaku, pernah apa Coh Giok-cin dengan aku?”
“Tidak perlu aku bertanya.”
“Apa betul tiada sesuatu urusan
di dunia ini yang dapat menyentuh sanubarimu?”
Pho Ang-soat tutup mulut, bila
dia menolak menjawab suatu pertanyaan, biasanya dia bungkam, bibirnya
dikatupkan rapat.
Coh-hujin menghela napas,
katanya, “Semula kupikir paling tidak kau pasti meneliti senjata-senjata yang
ada di sini, bagi mereka yang pernah kemari, tiada satu pun yang tidak tertarik
oleh koleksi senjata yang sekian banyaknya ini.” Memang jarang ada kesempatan
sebaik ini bagi kaum persilatan umumnya.
Mendadak Coh-hujin membalik dan
beranjak ke depan dinding, menarik sebatang pedang yang berbentuk kuno
sederhana, warna hitam legam yang terbuat dari besi, katanya, “Kau kenal tidak
siapakah yang menggunakan pedang ini?”
Hanya sekilas Pho Ang-soat
melirik, segera menjawab pula, “Inilah pedang milik Kwe Siong-yang.” Sebetulnya
dia tidak ingin bersuara, entah kenapa tak tertahan akhirnya dia bicara, karena
dia tidak mau dianggap orang yang tidak punya pengetahuan.
“Memang kau berpandangan tajam,”
puji Coh-hujin. Nada pujian lebih banyak dan merasa kagum, dahulu
Siong-yangthi-kiam malang melintang di kolong langit, di dalam daftar alat
senjata tercantum nomor empat, memang hanya sedikit kaum persilatan yang tidak
kenal pedang besi hitam ini.
Coh-hujin berkata, “Walau ini
hanya pedang tiruan yang mirip dengan aslinya, tapi bentuk, bobot, panjang
pendek dan ukuran tebalnya, malah bahan bukunya juga terbuat dari bahan yang
sama, boleh dikata hampir seratus persen mirip dengan Siong-yang-thi-kiam.”
Senyumannya menampilkan rasa bangga, “Sampai pun ronce pedang ini, juga dibuat
sendiri oleh nyonya besar keluarga Kwe yang masih hidup sampai sekarang,
kecuali pedang besi warisan keluarga mereka, di kolong langit ini mungkin takkan
bisa ditemukan pedang kedua tiruan seperti ini.”
Dia gantung pedang besi itu di
tempat asalnya, lalu menurunkan sebuah cambuk panjang, cambuk yang juga hitam
mengkilap laksana seekor ular sakti.
Pho Ang-soat sudah bersuara
sebelum ditanya, “Itulah gaman Sebun Yo, Pian-sin-coa-pian, dalam daftar
senjata tercantum nomor tujuh.”
Coh-hujin tertawa, katanya,
“Kalau kau mengenal cambuk ular ini, sudah tentu kau pun kenal
Kim-kong-tho-koay milik Cukat Kong.” Dia kembalikan cambuk panjang, lalu
mengambil sepasang Lui-sing-tui dari pinggir Kim-kong-thikoay.
“Hong-bi-siang-liu-sing,” seru
Pho Ang-soat, “dalam daftar senjata tercantum nomor tiga puluh empat.”
“Pandangan tajam,” puji
Coh-hujin. Nada pujiannya bertambah tebal pula, mendadak dia beranjak ke pojok
dinding mengambil sepasang gelang besi, katanya, “Dahulu Kim-ci-pang
menggetarkan dan merajai Bu-lim. Sang Pangcu Siangkoan Kim-hong merajai dunia,
inilah Liong-hong-sianghoan miliknya.”
“Bukan,” seru Pho Ang-soat.
“Bukan?” Coh-hujin melengak kaget.
“Itulah Te-jing-hoan (gelang
banyak cinta), senjata tunggal dari murid Thi-hoan-bun dari barat laut.”
“Senjata peranti membunuh orang,
kenapa dinamakan gelang banyak cinta?”
“Karena begitu dia melilit atau
menggantol senjata lawan, maka tidak akan terlepas lagi, bagai seorang dimabuk
asmara.” Wajahnya yang pucat mendadak menampilkan mimik yang ganjil, lalu
melanjutkan, “Lantaran cinta, seseorang bisa gila, umpama laut kering batu
membusuk, cinta ini takkan berubah hingga ajal. Bukankah seorang yang dimabuk
asmara juga sering membunuh orang.”
Coh-hujin menghela napas,
katanya, “Cinta memang abadi, sebelum ajal cinta takkan padam, ada kalanya
cinta bukan saja membinasakan orang lain, juga membunuh diri sendiri.”
“Kukira biasanya membunuh diri
sendiri lebih besar kemungkinannya.”
Coh-hujin mengangguk perlahan,
katanya, “Betul, biasanya memang sering membunuh diri sendiri.”
Keduanya berhadapan sekian
lamanya, akhirnya Coh-hujin tersenyum lebar, katanya, “Adakah senjata yang
tidak kau kenal di sini?”
“Tiada,” sahut Pho Ang-soat.
“Setiap senjata yang ada di sini
semua punya riwayat sendiri-sendiri, dahulu pernah menggemparkan dunia
persilatan, untuk mengenal mereka memang bukan suatu hal yang sukar.”
“Memangnya tiada sesuatu
persoalan yang sulit di dunia ini?”
“Sayang sekali ada sementara
gaman yang sudah pernah menggetar dunia, membunuh orang tak terhitung
banyaknya, namun belum pernah ada seorang yang pernah melihat bentuk asli
senjata itu, umpamanya...”
“Pisau terbang milik Li
Sun-hoan.”
“Betul, pisau terbang milik
Siau-li, selama disambitkan tak pernah luput, Siangkoan Kim-hong yang diagulkan
tiada bandingan di kolong langit inipun akhirnya mampus oleh pisau terbang itu,
memang patut diagulkan sebagai pisau nomor satu sejagat,” setelah menghela
napas, dia menambahkan, “sayang sekali sampai detik ini tiada orang yang pernah
melihat bentuk asli pisau itu.”
Pisau hanya berkelebat sekali,
tahu-tahu sudah menancap di tenggorokan, lalu siapa dapat melihat bentuk pisau
itu, entah panjang, pendek, tebal atau tipis bila jiwa orang itu sudah ajal
oleh tusukan pisau itu?
Coh-hujin menghela napas,
katanya, “Oleh karena itu, sampai sekarang hal ini masih merupakan teka-teki
terbesar di kalangan Bu-lim, kami sudah berjerih-payah, mengorbankan banyak
tenaga, pikiran dan harta benda, tetap tak berhasil membuat pisau terbang yang
mirip aslinya, sungguh harus disesalkan.”
“Di antara sekian banyak senjata,
kurasa masih kurang satu jenis senjata lagi.”
“Khong-jiok-ling (bulu merak)
maksudmu?”
“Betul.”
“Tiada sesuatu yang sempurna
seratus persen di dunia ini, syukur akhirnya kami memiliki golok ini,” mendadak
dia meraih sebatang golok hitam legam dari dinding.
Sinar berkelebat, golok itu sudah
keluar sarung, bukan saja bentuk panjang, lebar dan bobotnya sama, sisi tajam
goloknya pun terdapat tiga gumpilan.
Coh-hujin tersenyum lebar,
katanya, “Aku tahu golok ini bukan untuk pameran, mungkin kau sendiri pun
jarang melihat atau memeriksanya.”
Saking pucatnya, kulit muka Pho
Ang-soat menjadi bening seperti tembus cahaya, katanya dingin, “Aku tahu, ada
kalanya sementara orang pun demikian.”
“Orang maksudmu?” Coh-hujin
menegas.
“Sementara orang walau sudah
menggetarkan Kangouw, membunuh orang tak terhitung banyaknya, namun selamanya
tiada orang pernah melihat wajah aslinya, umpamanya ...”
“Kongcu Gi?”
“Betul, Kongcu Gi.”
Coh-hujin tertawa pula, katanya,
“Apa betul selamanya kau tidak pernah melihatnya?”
Tawanya seperti amat ganjil, amat
misterius.
Tapi jawaban Pho Ang-soat
ternyata amat cekak dan sederhana, “Tidak pernah.”
Coh-hujin tertawa, katanya,
“Sekarang kau sudah berada di sini, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan
dia, kenapa tergesa-gesa?”
“Sampai kapan baru dia mau
menemui aku?”
“Segera.”
“Kalau sudah menjelang, kenapa
sampai sekarang dia masih sibuk berlatih mencabut golok?” demikian jengek Pho
Ang-soat dingin. Suara yang sumbang, pendek dan nyaring menusuk itu masih terus
berbunyi, sekali dan sekali terus berulang. Apakah itu suara golok tercabut
dari sarung?
Pho Ang-soat berkata pula,
“Permainan golok mempunyai ribuan perubahan dan laksaan variasi, mencabut golok
tidak lebih hanya gerakan sederhana di antara permainan golok itu.”
“Gerakan itu berapa lama kau
melatihnya?” tanya Cohhujin.
“Tujuh belas tahun,” jawab Pho
Ang-soat.
“Hanya satu gerakan yang mudah
dan sederhana itu, kau meyakinkan tujuh belas tahun?”
“Aku amat gegetun kenapa tidak
bisa berlatih lebih lama lagi.”
“Kalau kau boleh meyakinkan
selama tujuh belas tahun, kenapa dia tidak boleh latihan seperti itu?”
“Karena umpama kau dapat berlatih
satu dua hari lebih lama juga tak berguna.”
Dengan tersenyum Coh-hujin
menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengan Pho Sng-soat, katanya, “Kali ini
kau keliru.”
“Keliru?”
“Dia bukan sedang mencabut
golok.”
“Bukan?”
“Dia sedang mencabut pedang,”
ujar Coh-hujin kalem. “Selama seratus tahun belakangan ini, ahli pedang di
kalangan Kangouw sekarang selebat hutan, ilmu pedang yang baru diciptakan ada
sembilan puluh tiga macam, ribuan perubahan laksaan variasi, masing-masing
memiliki kelihaian dan keampuhannya sendiri, betapa aneh dan ganjil gerak
permainannya, boleh dikata sukar dibayangkan dengan akal sehat, tapi gerakan
mencabut pedang, kenyataan hanya ada satu macam.”
“Bukan hanya satu macam, tapi
hanya satu macam yang paling cepat.”
“Tapi untuk menemukan yang paling
cepat itulah yang bukan pekerjaan gampang.”
“Gerakan yang paling sederhana
adalah jenis yang tercepat itu.”
“Tapi harus melalui gemblengan
ribuan perubahan dan laksaan variasi hingga akhirnya dibulatkan menjadi
sederhana.”
Seluruh perubahan dalam permainan
ilmu silat memang sukar untuk menelurkan perubahan yang tercepat itu.
Coh-hujin berkata, “Sudah lima
tahun dia menggembleng diri, baru menemukan satu cara, hanya satu gerakan yang
paling gampang, dia pun sudah berlatih selama tujuh belas tahun, sampai
sekarang dia masih berlatih, setiap hari paling sedikit pasti berlatih tiga
jam.”
Jari-jemari Pho Ang-soat
menggenggam kencang gagang goloknya, matanya mulai memicing sipit.
Coh-hujin menatapnya tajam,
kerlingannya yang lembut dan hangat tadi kini berubah setajam pisau, katanya
tegas, “Tahukah kau untuk apa dia menggembleng diri dengan latihan seberat
itu?”
“Untuk menghadapi aku?”
“Kau keliru lagi.”
“Oh?”
“Dia bukan harus menghadapimu,
jadi bukan melulu untuk menghadapi kau seorang saja.”
Akhirnya Pho Ang-soat mengerti,
katanya, “Ya, dia akan menghadapi seluruh jago-jago kosen di seluruh jagat
ini.”
Coh-hujin manggut-manggut,
katanya, “Betul, karena dia bertekad ingin menjadi orang nomor satu di seluruh
jagat ini.”
Pho Ang-soat tertawa dingin,
katanya, “Memangnya dia berpendapat asal aku dikalahkan, maka dia bakal menjadi
orang nomor satu di jagat ini?”
“Sejauh ini dia memang
berpendapat demikian.”
“Dia pasti keliru dan akan
menyesal.”
“Kukira dia tidak salah.”
“Di kalangan Kangouw tak
terhitung jago-jago kosen, terutamaorang-orangpandaiberjiwaanehyang
mengasingkan diri di atas pegunungan, entah betapa banyak di antara mereka yang
memiliki kungfu lebih tinggi dari aku
“Tapi kenyataan sampai sekarang
belum ada satu pun di antara mereka yang dapat mengalahkan engkau ...”
Terkatup mulut Pho Ang-soat, ini
memang kenyataan.
“Aku tahu, untuk mengalahkan kau
memang bukan tugas yang mudah, dari sekian banyak orang yang pernah datang
kemari, kau adalah satu yang paling istimewa.”
Tak tahan Pho Ang-soat bertanya,
“Sudah berapa banyak orang pernah datang kemari?”
Coh-hujin mengesampingkan
pertanyaan ini, katanya, “Koleksi senjata yang tergantung di atas dinding,
bukan saja dikumpulkan secara lengkap, semua adalah barang murni, bagi setiap
insan persilatan, siapa takkan memandangnya beberapa kali, hanya kau seorang
yang kelihatannya tidak tertarik sama sekali.” Setelah menghela napas, dia pun
menyambung, “Dan anehnya, gambar lukisan inipun tidak kau pandang barang
sekejap.”
“Kenapa aku harus melihatnya?”
“Bila kau mau melihatnya, kau
akan paham sendiri.”
“Kalau akhirnya dia pasti akan
melihatnya, kenapa harus terburu nafsu?” mendadak seorang menyeletuk.
Suara yang wajar dan sopan, menandakan
bahwa orang ini berpendidikan dan tahu adat. Terlalu banyak adat adalah
munafik, atau boleh dikata sebagai sikap yang berlebihan, suara ini justru
kedengarannya membawa nada hangat penuh persahabatan yang simpati, dan simpati
itu hampir mendekati kekejaman. Jika dalam mayapada ini terdapat suatu kekuatan
yang mampu menghancurkan segala kehidupan dan benda yang ada, maka dapat
dipastikan kekuatan itu akan timbul dari persahabatan yang simpati itu.
Hanya manusia macam Kongcu Gi
saja yang mungkin mempunyai rasa simpati yang menakutkan ini. Jelas dia pun
amat mengharapkan bertemu dengan Pho Ang-soat, dia tahu saat-saat pertemuan itu
adalah saat-saat kehancuran pula, satu di antara kedua orang ini pasti akan
runtuh dan hancur.
Sekarang dia sudah berada di
belakang Pho Ang-soat, bila tangannya memegang pedang, sembarang waktu dia bisa
menusuk ke tempat mematikan di tubuh Pho Ang-soat.
ooooOOoooo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar