Bab 7. Duel
Di pojok taman sebelah timur ada sebuah pintu kecil. Tadi Pho Ang-soat
masuk dari sana. Sekarang Toh Lui pun masuk dari pintu kecil itu.
Mereka tidak melompati tembok. Jalanan kecil berliku sudah lenyap ditelan
suburnya rumput-rumput liar, bila beranjak melewati rerumputan, jaraknya pun
akan lebih pendek, tapi mereka justru lebih suka menyusuri jalanan kecil yang
berliku-liku.
Langkah mereka perlahan, begitu berjalan pasti tidak akan berhenti.
Dipandang dari berbagai sudut, kedua orang ini mempunyai beberapa persamaan,
tapi jelas mereka bukan manusia sejenis, ini terbukti dari golok mereka, bila
melihat golok mereka, maka tampak jelas perbedaannya.
Sarung golok Toh Lui dihiasi zamrud dan permata yang kemilau, golok Pho
Ang-soat berwarna hitam legam. Tapi masih ada titik persamaan dari kedua golok
ini, keduanya adalah golok, golok untuk membunuh orang. Lalu adakah persamaan
pula di antara kedua orang ini? Ada, keduanya adalah manusia, manusia yang
ingin membunuh manusia.
Jam empat belum tiba, namun saat mencabut golok sudah tiba. Golok tercabut
jiwa pun melayang, kalau bukan kau yang mampus, akulah yang mati.
Langkah Toh Lui akhirnya berhenti, berhadapan dengan Pho Ang-soat,
berhadapan dengan golok Pho Ang-soat yang tiada bandingannya di kolong langit
ini. Besar tekadnya untuk membunuh orang yang satu ini di bawah goloknya, namun
satu-satunya orang yang dihormati, dikagumi juga adalah musuh yang dihadapinya
sekarang.
Seolah-olah Pho Ang-soat berada di suatu tempat yang amat jauh, jauh di
ufuk langit, saat segumpal mega kebetulan menutupi matahari, sang surya telah
lenyap, tidak kelihatan, tapi matahari selamanya tidak pernah mati. Bagaimana
dengan manusia?
Akhirnya Toh Lui bersuara, “Aku she Toh bernama Lui.”
“Aku tahu,” sahut Pho Ang-soat.
“Aku datang terlambat.”
“Aku tahu.”
“Aku sengaja supaya kau menunggu, supaya kau tidak sabar dan risau sehingga
aku lebih leluasa membunuhmu.”
“Aku tahu.”
Mendadak Toh Lui tertawa, katanya, “Sayang aku melupakan satu hal.” Tawanya
getir, katanya pula, “Waktu aku membuat kau menunggu kedatanganku, aku sendiri
juga menunggu.”
“Aku tahu.”
“Apa pun kau tahu?”
“Paling sedikit aku masih tahu satu hal.”
“Coba katakan.”
“Sekali golokku berkelebat, jiwamu pasti melayang.” Jarijari Toh Lui
mendadak mengencang, kelopak matanya juga mengkerut, lama kemudian baru ia
bertanya, “Kau yakin?”
“Yakin sekali.”
“Kalau begitu kenapa kau tidak segera mencabut golokmu?”
Beberapa menit telah berselang, mega mendung sehingga cahaya mentari tidak
kelihatan lagi, cuaca buruk menjadikan hawa menjadi lembab dan dingin.
Inilah saat yang paling tepat untuk membunuh orang.
Bing-gwat-sim berada di Bing-gwat-lau, berada di Binggwat-kong (jalan bulan
purnama).
Waktu Ibu jari dan Merak memasuki Bing-gwat-kong, kebetulan serangkum angin
menyampuk muka mereka, angin yang dingin namun menyejukkan.
Ibu jari menarik napas dalam, katanya tersenyum, “Cuaca hari ini sungguh
bagus sekali untuk membunuh orang, sekarang juga saat yang paling baik untuk
melaksanakan pembunuhan itu. Setelah membunuh orang, aku masih bisa mandi air
panas dengan santai, lalu minum arak sepuasnya,”
Merak berkata, “Lalu mencari pelacur untuk diajak tidur.”
Ibu jari tertawa riang, matanya menyipit, “Ada kalanya aku sampai perlu
ditemani dua tiga orang sekaligus.”
Merak ikut tertawa, katanya, “Kau pernah bilang Bing-gwatsim juga seorang
pelacur.”
“Siapa bilang dia bukan?”
“Malam ini apakah kau tidak ingin mencarinya.”
“Malam ini tidak.”
“Lho, kenapa?”
Ibu jari tidak menjawab secara langsung, katanya, “Pelacur itu ada
bermacam-macam.”
“Dia termasuk macam yang mana?”
“Kebetulan dia termasuk macam yang tidak kusukai. Aku tidak punya selera
terhadapnya.”
“Wah, kenapa?” Merak menegas.
Ibu jari menghela napas, katanya sambil tertawa getir, “Karena di antara
banyak perempuan yang pernah kulihat, pernah kuajak main di ranjang, yang
paling menakutkan justru dia, bila aku memejamkan mata, dia pasti akan
membunuhku.”
“Kalau kau tidak memejamkan mata?”
“Umpama aku tidak memejamkan mata, dia tetap akan membunuhku.”
“Aku tahu kungfumu amat hebat.”
“Akan tetapi sedikitnya masih ada dua perempuan di dunia ini yang mampu
membunuhku.”
“Bing-gwat-sim satu di antaranya? Lalu siapa yang kedua?”
“Ni-jisioca, Ni Hwi.”
Baru saja dia habis bicara, lantas terdengar suara tertawa nyaring yang
menghambur merdu laksana kelintingan.
Gang panjang ini dipagari tembok tinggi, di atas tembok tumbuh rerumputan
dan pohon-pohon mini. Musim semi belum lewat, maka tetumbuhan pun subur meski
tumbuh di atas tembok. Tawa nyaring berkumandang dari balik pepohonan mini
sana.
“Gendut edan, bagaimana kau tahu kalau aku mendengar percakapanmu?”
“Aku tidak tahu,” segera Ibu jari menyangkal.
“Eh, lalu kenapa kau menjilat pantat?” suaranya merdu, orangnya cantik,
gerakan Ginkangnya jauh lebih indah, mempesona lagi. Waktu dia melangkah turun
dari atas tembok laksana segumpal mega, seperti kelopak kembang. Kelopak
kembang mawar yang baru saja melayang jatuh karena hembusan angin sejuk.
Waktu Ibu jari melihat bayangannya, tahu-tahu orangnya telah lenyap.
Bayangan Ni-jisiocia menyelinap hilang di balik rimbunnya pepohonan, Ibu jari
tetap memicingkan mata, namun senyumnya makin lebar, tambah riang.
“Dia itukah Ni-jisiocia?” Ibu jari memperkenalkan.
“Kenapa dia mendadak muncul lalu lenyap pula,” tanya Merak.
“Karena dia ingin memberitahu, dia lebih tinggi, lebih unggul dari
Bing-gwat-sim,” sorot mata Ibu jari masih tertuju ke arah dimana bayangan tadi
lenyap, “oleh karena itu selanjutnya kita boleh tak usah kuatir berhadapan
dengan Yan Lam-hwi.”
“Masih ada satu hal aku tidak mengerti.”
“Hal apa?”
“Kenapa kita harus membunuh Yan Lam-hwi?” Merak seperti mengorek
keterangan. “Siapakah dia sebetulnya? Kenapa tiada insan persilatan di Kangouw
yang jelas tentang asal-usulnya?”
“Lebih baik kau jangan banyak bertanya,” sikap Ibu jari mendadak serius,
“jika kau betul-betul ingin tahu, kuanjurkan sebelumnya kau mempersiapkan satu
barang.”
“Aku harus mempersiapkan apa?”
“Peti mati.”
Merak tidak bertanya lagi, waktu dia mengangkat kepala, kebetulan mega
hitam menutupi bulan purnama.
Waktu mega itu menyelimuti gang putri malam, Bing-gwatsim juga sedang duduk
menghadap jendela menyulam kembang. Yang disulam juga kembang mawar, seperti
mawar yang lagi mekar di luar jendela, mawar yang mekar di musim semi, memang
kelihatan segar semerbak.
Yan Lam-hwi tidur telentang di atas ranjang tanpa bergerak, wajahnya
kelihatan pucat seperti muka Pho Angsoat.
Angin menghembus di luar jendela, angin malam mulai dingin.
Mendadak Bing-gwat-sim mendengar suara mereka, langkah mereka lebih ringan
dari angin, suara mereka lebih dingin dari angin malam.
“Lekas suruh Yan Lam-hwi turun, kalau dia tidak turun, biar kami yang ke
atas.”
Bing-gwat-sim menghela napas, dia tahu Yan Lam-hwi tidak mungkin turun,
maka dia tahu mereka pasti akan naik ke atas loteng.
Karena bukan Yan Lam-hwi yang ingin membunuh mereka, justru mereka yang
ingin membunuh Yan Lam-hwi, karena itu Yan Lam-hwi boleh tidur santai dan
nyaman di atas ranjang, mereka justru harus membawa senjata, menyusuri jalan
raya memasuki gang, mengetuk pintu dan naik tangga ke loteng, supaya tidak
kehilangan kesempatan baik membunuh orang, mereka harus bekerja kilat.
Siapakah sebetulnya yang lebih agung antara yang membunuh dan yang dibunuh?
Siapa pula yang yang lebih kotor dan hina? Siapa pun tiada yang bisa menjawab.
Bing-gwat-sim menunduk melanjutkan sulamannya. Dia tidak mendengar suara
langkah, juga tidak mendengar ketukan pintu, namun dia sudah tahu ada orang di
luar pintu.
“Silakan masuk!” kepala tidak terangkat, badannya tidak bergerak, “pintu
tidak terpalang, dorong saja.”
Pintu hanya dirapatkan, jelas sekali dorong pun akan terpentang lebar, tapi
orang justru tidak berani mendorongnya.
“Kalian kemari hendak membunuh orang, memangnya orang yang bakal menjadi
korban kalian yang harus membukakan pintu menyambut kalian?”
Suaranya lembut, namun bagi pendengaran Ibu jari dan Merak ternyata setajam
jarum.
Cuaca hari ini baik untuk membunuh orang, saat inipun tepat untuk membunuh
orang, hati mereka memang sedang riang, sedang berselera. Akan tetapi sekarang
mereka justru seperti tidak senang, karena korban yang akan mereka bunuh justru
kelihatan lebih kalem, tidak ambil peduli, sikapnya lebih luwes, maka mereka
berdiri mematung seperti orang linglung di luar pintu, jantung mereka pun
berdetak satu kali lipat lebih cepat.
Kenyataan membunuh orang bukan suatu tugas yang menyenangkan.
Merak menatap Ibu jari, Ibu jari juga mengawasi Merak, kedua orang ini seperti
sedang bertanya kepada diri sendiri, “Apakah benar Yan Lam-hwi keracunan?
Apakah dalam rumah ada perangkap untuk menjebloskan mereka?”
Padahal mereka tahu, asal pintu didorong terbuka, segala persoalan juga
akan segera terjawab dan beres. Akan tetapi mereka tidak mengulur tangan.
“Bila kalian masuk, tolong jangan membuat ribut,” suara Bing-gwat-sim lebih
lembut, “Yan-kongcu sudah keracunan, sekarang sedang tidur nyenyak, jangan
sampai kalian membuatnya siuman.”
Mendadak Ibu jari tertawa, katanya, “Dia teman Yan Lamhwi, dia tahu kita
datang untuk membunuh Yan Lam-hwi, agaknya justru kuatir bila kita tidak berani
masuk membunuh Yan Lam-hwi, coba katakan bagaimana pendapatmu?”
Dingin suara Merak, “Karena dia seorang perempuan, kapan saja perempuan
siap menjual atau mengingkari lelaki yang dicintainya.”
“Tidak benar.”
“Coba katakan apa sebabnya?”
“Karena dia tahu semakin dia mengoceh begitu, kita semakin curiga dan tidak
berani masuk malah.”
“Ya, masuk akal, agaknya kau selalu lebih unggul tentang perempuan.”
“Lalu apa pula yang kita tunggu?”
“Kutunggu kau membuka pintu.”
“Kau yang ingin membunuh orang,” kata Ibu jari.
“Kau yang membuka pintu.”
“Apakah selamanya kau tidak mau menempuh bahaya?” tanya Ibu jari sambil
tertawa.
“Ya, memang begitu.” sahut Merak.
“Kerja sama dengan orang sejenismu memang menyenangkan, karena kelak kau
pasti lebih panjang umur, bila aku sudah mati, paling tidak kau masih bisa
mengubur mayatku.” Sembari tersenyum dia mengulur tangan dan mendorong perlahan,
pintu pun terbuka. Bing-gwat-sim tetap menyulam di pinggir jendela, seperti
orang mampus Yan Lam-hwi rebah di atas ranjang.
Ibu jari menghela napas lega, katanya, “Silakan masuk.”
“Kau tidak mau masuk?”
“Tugasku hanya membuka pintu, kaulah yang ingin membunuh orang, tugasku
sudah selesai, sekarang tiba giliranmu bekerja.”
Merak menatapnya lama, katanya tiba-tiba, “Ada satu hal ingin aku
beritahukan kepadamu.”
“Sekarang boleh kau katakan,” ujar Ibu jari.
Dingin suara Merak, “Setiap kali melihat tampangmu, hatiku lantas jijik,
ingin muntah, paling sedikit tiga kali pernah timbul hasratku ingin
membunuhmu.”
Ternyata Ibu jari masih bisa tertawa, katanya, “Syukur yang hendak kau
bunuh sekarang bukan aku, tapi adalah Yan Lamhwi.”
Merak diam saja.
Maka Ibu jari memperlebar daun pintu dan mendesak, “Silakan.”
Ketenangan menyelimuti rumah ini, cuaca agak guram, rembulan pun
bersembunyi-di balik mega.
Sekarang jam empat hampir tiba.
Akhirnya Merak melangkah masuk, waktu kakinya beranjak ke dalam, tangannya
sudah tersembunyi di dalam lengan baju, jari-jarinya sudah menyiapkan
Khong-jiok-ling. Khong-jiok-ling
yang halus mengkilap dan dingin, senjata rahasia terampuh di dunia untuk
membunuh manusia. Mendadak keyakinan menambah tebal kepercayaan pada diri
sendiri.
MendadakBing-gwat-simmengangkatkepala menatapnya, senyum manis menghiasi
wajahnya waktu dia menyapa, “Kau inikah Merak?”
“Apakah Merak menggelikan?” Jengek Merak. “Tapi kau tidak mirip merak,
betul-betul tidak mirip.”
“Kau juga tak mirip pelacur.” Bing-gwat-sim tertawa manis.
“Menjadi pelacur juga bukan sesuatu yang menggelikan.”
“Kecuali itu justru ada satu hal yang menggelikan.”
“Apakah itu?”
“Kau tidak mirip Khong-jiok (Merak), tapi kau adalah Khongjiok. Aku tidak
mirip pelacur, tapi aku tulen adalah pelacur, keledai memang mirip kuda, tapi
bukan kuda,” lalu dengan tersenyum dia menambahkan, “masih banyak
kemiripankemiripan yang sama di dunia ini.”
“Sebetulnya apa yang ingin kau katakan?” ujar Merak.
“Umpamnya,” kata Bing-gwat-sim, “Am-gi yang kau bawa jelas mirip
Khong-jiok-ling (bulu merak), tapi kenyataan justru bukan.”
Merak tertawa lebar, tertawa tergelak-gelak. Hanya seseorang yang mendengar
sesuatu yang benar-benar menggelikan, sesuatu yang brutal dan tidak masuk akal
baru akan tertawa sebinggar ini.
Bing-gwat-sim berkata, “Sebetulnya hatimu sendiri juga curiga akan hal ini,
karena sejak mula kau sudah merasakan kekuatan dan perbawanya tidak sehebat itu
dan lebih menakutkan seperti yang tersiar luas di luaran, karena itu tidak
berani kau gunakan Am-gimu itu untuk menghadapi Pho Angsoat.”
Kalau Merak masih tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan kaku, tawa yang
dipaksakan.
Bing-gwat-sim berkata pula, “Sayang sekali, curiga yang terpendam di dalam
benakmu itu selama ini tidak bisa dibuktikan, tidak berani dibuktikan.”
Merak bertanya, “Apakah kau mampu?”
“Aku bisa membuktikan, hanya aku yang bisa, karena...”
“Karena apa?”
Tawar suara Bing-gwat-sim, “Khong-jiok-ling seperti yang kau bawa itu, di
sini aku masih punya beberapa biji, setiap saat bila kau mau, masih bisa kuberi
satu atau dua kepadamu.”
Berubah air muka Khong-jiok atau Merak.
Ibu jari yang di luar pintu juga berubah air mukanya.
“Sekarang juga aku bisa memberimu satu biji, nah ambil,” dari dalam lengan
bajunya sekali ulur tangan memang dikeluarkan sebuah bumbung bundar kuning emas
yang mengkilap, seenaknya saja dia lempar bumbung emas itu kepada Merak, serupa
orang yang banyak duit melempar sekeping uang kepada pengemis yang minta
sedekah.
Merak mengulur tangan meraihnya, hanya dipandang dua kali dan dibolak-balik
tiga kali, mimik mukanya seperti seorang yang perutnya ditendang secara telak.
“Coba kau periksa apakah Khong-jiok-ling yang kau pegang itu mirip dengan
milikmu yang kau simpan itu?”
Khong-jiok tidak menjawab, tidak usah menjawab. Siapa pun bila melihat
tampangnya sekarang, pasti dapat meraba jawabannya.
Diam-diam Ibu jari menyurut mundur.
Mendadak Merak menoleh, katanya sambil menatap tajam,
“Kenapa tidak kau turun tangan membunuhku?”
Ibu jari tertawa meringis, katanya, “Kita kan kawan, kenapa aku harus
membunuh engkau?”
“Karena aku hendak membunuhmu, sebetulnya aku ingin membunuhmu, maka
sekarang kau harus kubunuh.”
“Tapi sebaliknya aku justru tidak ingin membunuhmu, karena bahwasanya aku
sendiri tidak perlu turun tangan,” ternyata Ibu jari masih bisa tertawa,
tertawa sambil memicingkan mata. “Di kalangan Kangouw hanya ada seorang yang
tahu bahwa kau bukan Merak asli, tidak lebih dari tiga jam, kau akan menjadi
Merak yang sudah mati.”
“Sayang sekali kau melupakan satu hal,” sinis suara Merak.
“Aku melupakan apa?” Ibu jari melengak.
“Umpama benar Khong-jiok-ling di tanganku ini tiruan, tapi untuk membunuhmu
kurasa cukup berlebihan.”
Seketika mengejang tawa Ibu jari, mendadak tubuhnya menerobos keluar,
reaksinya sudah amat cepat, sayang masih terlambat sedetik.
Bumbung kuning emas di tangan Merak tiba-tiba menyemburkan cahaya benderang
yang menyilaukan mata. Laksana pancaran mentari sebelum terbenam, seindah lembayung
yang menghias angkasa sehabis hujan.
Tubuh Ibu jari yang buntak itu masih terapung di udara sudah terbenam
ditelan cahaya yang indah semarak itu, seumpama segulung pasir yang jelek
mendadak tergulung oleh damparan ombak yang indah mempesona. Bila cahaya
benderang menakjubkan itu sirna, jiwanya pun melayang.
Umpama guntur menggelegar di angkasa, rintik hujan pun berhamburan dari
tengah mega.
Akhirnya Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, “Ucapanmu memang benar,
meski Khong-jiok-ling ini palsu, kekuatannya masih mampu untuk membunuh orang.”
Merak membalik badan, menatapnya dan berkata, “Oleh karena itu aku pun bisa
membunuhmu dengan bulu merak ini.”
“Aku tahu, Ibu jari pun telah kau bunuh untuk menyumbat mulutnya, maka kau
pun tidak akan membebaskan diriku.”
“Bila kau sudah mati, tiada orang tahu bahwa Khong-jiokling ini adalah
tiruan.”
“Kecuali aku memang tiada orang tahu rahasia ini.”
“Toh Lui akan menepati janji setelah jam tiga, setelah kubunuh kau, masih
ada waktu bagiku memburu ke sana, siapa yang bakal menang dalam duel itu tidak
menjadi soal, dia pun akan mati di tanganku.”
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, “Rencanamu memang cermat, sayang
sekali aku pun melupakan satu hal.”
Merak tutup mulut, dia sedang menunggu keterangan lebih lanjut.
“Kenapa kau lupa tanya kepadaku bagaimana aku bisa tahu kalau
Khong-jiok-ling itu tiruan?”
“Ya, bagaimanan aku bisa tahu?” Merak segera bertanya.
Tawar suara Bing-gwat-sim, “Hanya aku yang tahu rahasia ini, karena
pencipta Khong-jiok-ling tiruan ini adalah aku.”
Merak terlongong.
“Kalau aku mampu menciptakan Khong-jiok-ling tiruan dan sembarangan
kuserahkan sebuah kepadamu, sudah tentu aku punya cara yang manjur untuk
memecahkannya.”
Pucat muka Merak, tangan pun mulai gemetar. Dia bisa membunuh orang,
mungkin bukan lantaran dia mempunyai Khong-jiok-ling, tapi lantaran dia
mempunyai keyakinan hati dan tangan yang mantap. Sekarang kedua bekalnya ini
sudah hancur.
“Sengaja aku membiarkan kesempatan itu supaya kau menemukan Khong-jiok-ling
yang pertama itu, sudah lama aku memilih beberapa calon, pilihan akhirnya jatuh
pada dirimu untuk kujadikan Merak, karena tidak banyak insan persilatan di
Kangouw yang memenuhi syarat untuk kujadikan Merak, dan kau orang yang
terbanyak memenuhi beberapa syarat itu, karena itu aku pun tidak akan
membiarkan kau mati begitu saja, namun sorot matanya mendadak berubah setajam
pisau,
“Bila kau ingin melanjutkan menjadi Merak, maka kau harus tunduk kepadaku,
seperti Merak patuh kepada majikannya, Jika kau sangsi, sekarang boleh kau coba
menyerangku.”
Kedua tangan Merak saling genggam memegang bumbung kuning emas itu, namun
masih terus gemetar. Mengawasi kedua tangan sendiri, mendadak dia membungkuk
dan muntah-muntah.
“Aku tidak mencabut golok, karena aku yakin aku pasti menang,” suara Pho
Ang-soat seperti berkumandang dari balik mega yang jauh di angkasa, “seseorang
bila mau membunuh orang, sering kali dia seperti memohon sesuatu kepada orang,
perbuatannya menjadi hina dan kotor, karena dia tidak betul-betul yakin pasti
menang, maka dia akan gugup dan gelisah, kuatir kehilangan kesempatan.”
Jarang dia bicara sebanyak dan sepanjang ini, sepatah demi sepatah
diucapkan perlahan seperti kuatir Toh Lui tidak tahu artinya, karena dia tahu
setiap patah kata yang diucapkan laksana sebilah pisau mengiris sanubari Toh
Lui.
Tubuh Toh Lui memang mengejang, sampai pun suaranya juga serak, “Jadi kau
yakin pasti menang, maka kau tidak gelisah?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Lalu sampai kapan baru kau akan mencabut golokmu?” tanya Toh Lui.
“Bila kau mencabut golokmu.”
“Jika aku tidak mencabut golokku?”
“Kau pasti akan mencabut golokmu, malah besar hasratmu untuk segera
mencabutnya.”
Karena kau yang ingin membunuh aku, bukan aku yang ingin membunuh kau, maka
kau akan benar-benar mati, jiwamu akan melayang seketika bukan di saat aku
mencabut golok, tapi di saat kau mencabut golokmu sendiri.
Otot hijau sudah menghias punggung tangan Toh Lui yang menggenggam golok.
Sekarang dia belum mencabut golok, namun dia tahu, cepat atau lambat dia pasti
akan mencabutnya.
Air hujan yang dingin menetes di atas badannya, menetes di mukanya, dia
berhadapan dengan Pho Ang-soat, berhadapan dengan jago golok sakti yang tiada
bandingannya di kolong langit ini, alam pikirannya mendadak terbayang pula akan
masa lalu, masa kanak-kanaknya dulu, masa kanakkanak
yang jorok penuh kemiskinan.
Bila hujan turun, jalanan becek, dengan kaki telanjang dia harus
berlari-lari di tanah becek itu, karena di belakangnya ada orang sedang mengejarnya.
Waktu itu dia lari dari sebuah Piau-kiok, karena dia mencuri sepasang sepatu
milik seorang Piausu yang baru saja dibeli, sepatu itu teramat besar bagi dia,
belum jauh dia melarikan diri, sepatu itu sudah terlepas terbang dan
tertinggal.
Namun Piausu itu memberi ampun kepadanya, begitu kecandak, dirinya lantas
dibelejeti dan digantung di atas pohon, dengan rotan sekujur badannya dihajar
babak-belur.
Sekarang dia berhadapan dengan Pho Ang-soat, kembali hatinya merasakan
derita yang menyiksa seperti waktu dirinya dihajar dulu. Derita dan gejolak
hati yang tidak akan bisa terlupakan selama hidup.
Hujan makin lebat, tanah di sekitar mereka sudah mulai becek. Mendadak dia
mencopot sepasang sepatu yang baru dibelinya seharga delapan belas tahil,
dengan telanjang kaki dia berdiri di tengah tanah yang becek.
Pho Ang-soat seolah-olah sudah berubah menjadi Piausu yang menghajarnya
dengan rotan dulu, merupakan perlambang derita dan gejolak perasaan.
Mendadak dia berteriak, menyobek hancur pakaian sendiri, keadaannya mirip
orang gila. Dengan bertelanjang dada ia mencak-mencak dan berteriak-teriak
kalap di tengah tanah becek. Belenggu dan tekanan batin yang selama ini
terbenam dalam sanubarinya, dalam sekejap ini telah bebas dan lepas, maka dia
mencabut golok.
Saat dia mencabut golok adalah saatnya kematian, maka dia pun mati. Mati
bukan saja suatu gejolak, suatu derita dan tak mungkin selama hidup bakal
diperolehnya sekaligus, hanya setelah dia mengalami kematian baru akan
mendapatkan segalanya.
ooooOOoooo
Hujan sudah reda.
Jalanan kecil itu tetap becek, Pho Ang-soat beranjak di atas jalanan kecil,
tangannya tetap memegang golok. Golok sudah kembali ke sarungnya, darah sudah
dibersihkan, golok tetap hitam legam. Matanya juga gelap, pekat dan dalam, cukup
untuk menyembunyikan rasa kasihan dan duka-lara hatinya.
Secercah sinar mentari menembus gumpalan mega, mungkin itulah secercah
cahaya terakhir untuk hari ini.
Cahaya mentari menyinari pucuk tembok, seorang terdengar tertawa cekikikan
di balik tembok, suaranya merdu nyaring, namun membawa nada sindiran.
Ni Hwi muncul di bawah pancaran mentari.
“Tidak baik, jelek.”
Apa yang jelek?
Pho Ang-soat tidak bertanya, langkahnya pun tidak berhenti. Tapi kemana dia
pergi, Ni Hwi selalu mengintil.
“Duel kalian pun tidak menarik, sebetulnya ingin kusaksikan permainan
golokmu, tak nyana kau justru menggunakan muslihat.”
Tanpa ditanya dia langsung menjelaskan, “Kau suruh Toh Lui mencabut
goloknya lebih dulu, kelihatannya kau mengalah kepadanya, padahal itu adalah
muslihatmu.”
Kenapa dikatakan muslihat? Walau tidak bertanya, namun langkah Pho Ang-soat
sudah berhenti.
“Golok terbenam di dalam sarung dan jarang terlihat, siapa pun tiada yang
tahu apakah golokmu tajam atau tumpul, bila golok sudah keluar, ketajamannya
pun telah nyata, siapa pun tak berani melawan ketajamannya, karena itu sebilah
golok hanya akan terasa bobotnya di saat dia akan dicabut dan belum tercabut.”
Lekas dia menambahkan pula, “Tentu kau jelas dan mengerti akan hal ini, maka
kau suruh Toh Lui mencabut lebih dulu ...”
Pho Ang-soat mendengarkan dengan cermat, mendadak dia menukas, “Itupun ilmu
golok, bukan muslihat.”
“Bukan. Kau bilang bukan?”
“Ilmu golok berbeda dan masing-masing memiliki keunggulan, namun
kegunaannya justru sama dan hanya satu.”
Sikap Ni Hwi serius, katanya, “Apakah begitu puncak kemahiran ilmu golok?”
“Kurasa bukan.”
“Harus mencapai taraf apa baru terhitung mencapai puncak kemahiran ilmu
golok?”
Pho Ang-soat mengancing mulut, beranjak lebih jauh.
Sinar surya benderang, hanya sinar mentari terakhir terasa paling
cemerlang, demikian pula jiwa manusia.
Lama Ni Hwi terlongong di atas tembok, lalu menggumam sendiri, “Apakah ilmu
goloknya telah mencapai taraf tanpa perubahan?”
Sinar surya yang benderang mendadak menjadi guram pula.
Tanpa perubahan, bukankah berarti telah mencapai taraf tertinggi adanya
perubahan itu? Maka golok itu sendiri apakah masih ada harganya untuk
dipertahankan?
Pho Ang-soat menghela napas, karena soal ini dia pun tidak mampu menjawab.
Kalau sang surya sudah terbenam di ujung barat, bayangan Ni Hwi telah
lenyap tak keruan parannya. Tapi surya tetap ada, demikian pula Ni Hwi tetap
hidup, yang lenyap dalam sekejap ini hanyalah kesannya saja, kesan dalam benak
Pho Ang-soat secara pribadi.
Pho Ang-soat mendorong daun pintu kecil di pojok tembok sana, lalu
melangkah keluar perlahan, baru saja dia mengangkat kepala, dilihatnya
Bing-gwat-soat di atas loteng.
Lekas Pho Ang-soat menunduk pula.
“Kau menang?” mendadak Bing-gwat-sim bertanya.
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia masih hidup, itulah jawabannya.
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, “Buat apa, ya, buat apa?”
“Buat apa?” Pho Ang-soat tidak mengerti.
“Kau tahu kau pasti menang, buat apa kau pergi? Dia tahu jiwanya bakal
mampus, buat apa dia datang?” persoalan yang perlu dipecahkan dengan memeras
keringat dan mengencerkan otak ini, ternyata mampu dijawab oleh Pho Ang-soat,
“Karena dia adalah Toh Lui dan aku adalah Pho Ang-soat.”
Penjelasannya seumpama golok miliknya, sekali tabas telak mengenai sasaran
yang tepat dari persoalan ini.
Bing-gwat-sim ternyata belum puas, katanya, “Apakah lantaran di dunia ini
ada Pho Ang-soat, maka Toh Lui harus mati,”
“Bukan,” pendek dan tegas jawaban Pho Ang-soat.
“Jadi maksudmu.....”
“Kalau di dunia ini ada Toh Lui, maka Toh Lui harus mati.”
Walau jawabannya kelihatannya susah dimengerti, sebenarnya justru teramat
sederhana, tapi juga masuk akal. Kalau tiada kehidupan, darimana datangnya
kematian? Kalau sudah ada kehidupan pasti juga akan terjadi kematian?
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, “Agaknya terhadap persoalan mati
hidup manusia, pandanganmu terlalu tawar.” Pho Ang-soat tidak menyangkal.
“Hidup mati orang lain sudah tentu kau memandangnya tawar, maka kau
tinggalkan Yan Lam-hwi di sini.”
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, baru perlahan dia bertanya, “Apakah Merak
pernah kemari.”
“Ehm,” Bing-gwat-sim bersuara dalam mulut. “Bukankah Yan Lam-hwi masih
hidup?” Kembali Bing-gwat-sim mengiakan.
“Kutinggalkan dia di sini, mungkin karena aku tahu bahwa dia tidak akan
mati.”
“Tapi kau ....”
“Asal maksud kalian semula belum berubah, janjiku semula juga tidak akan
berubah.”
“Janji apa yang pernah kau berikan kepadaku?”
“Akan kubawa kalian ke Khong-jiok-san-ceng.” Bersinar mata Bing-gwat-sim,
“Sekarang juga berangkat?”
“Sekarang juga berangkat.”
Bing-gwat-sim berjingkrak, berpaling pula dan berkata dengan tertawa manis,
“Apakah aku harus tetap mengenakan topeng ini?”
Dingin suara Pho Ang-soat, “Bukankah sekarang kau sudah mengenakan
topengmu?”
ooooOOoooo
Bab 8. Khong-Jiok-San-Ceng
Wajah manusia memangnya juga sebuah topeng, topeng yang mudah berubah
menyesuaikan situasi dari yang empunya.
Siapa pula yang dapat menebak rahasia yang terbenam di dalam sanubari orang
dari mimik mukanya? Adakah topeng yang benar-benar bagus sebagus wajah manusia?
Manusia yang punya kedudukan makin tinggi yang terpandang dan diagungkan,
dengan adanya topeng yang dikenakan di wajahnya justru makin sukar orang
melihatnya.
Waktu berhadapan dengan Jiu Cui-jing, dalam hati Binggwat-sim bertanya
kepada diri sendiri, “Topeng macam apakah yang dikenakan di mukanya?”
Peduli topeng apa yang dipakainya, bahwa majikan Khongjiok-san-ceng sendiri
keluar menyambut kedatangan mereka, betapapun adalah suatu hal yang
menggembirakan.
Bulu merak yang indah, Khong-jiok-san-ceng nan megah.
Gentingnya berwarna hijau pupus, ditimpa sinar mentari menjelang magrib
kelihatan lebih mengkilap laksana zamrud, undakan panjang yang bersusun seindah
batu jade masuk melalui tembok-tembok tinggi laksana emas, tempat ini
seolah-olah tersusun dari kepingan-kepingan mutiara atau permata lainnya.
Di bawah pohon dalam taman, beberapa ekor merak sedang mondar-mandir, di
tengah empang angsa sedang berenang santai. Beberapa gadis berpakaian kain
kembang warna-warni berjalan-jalan di atas rerumputan yang empuk, menghilang di
tengah gerombolan kembang, lenyap ditelan keindahan taman yang berwarna-warni.
Hembusan angin membawa bau harum yang memabukkan, di kejauhan seperti ada
seorang meniup seruling, mayapada ini seperti diliputi kedamaian.
Tiga lapis pintu besar di luar maupun di dalam perkampungan terpentang
lebar, tiada seorang pun yang menjaganya.
Jiu Cui-jing berdiri di undakan terbawah di depan pintu, mengawasi Pho
Ang-soat dengan tenang. Dia seorang yang serba hati-hati, serba kolot, bicara
atau bekerja pantang membocorkan rahasia, umpama hatinya amat senang, juga
tidak pernah diperlihatkan di wajahnya.
Melihat kedatangan Pho Ang-soat, dia hanya tertawa tawar, sapanya, “Aku
tidak menduga kau bakal kemari, tapi kedatanganmu memang kebetulan.”
“Kenapa kebetulan?” tanya Pho Ang-soat.
“Malam ini tempat ini akan kedatangan tamu, kebetulan bukan tamu
sembarangan.”
“Siapa?”
“Kongcu Gi.”
Pho Ang-sot mengancing mulut, wajahnya tidak menampilkan perubahan
perasaan, demikian pula Bing-gwatsim ternyata juga adem-ayem.
Jiu Cui-jing meliriknya sekali lalu mengawasi Yan Lam-hwi yang digotong
masuk.
“Mereka ini temanmu?” tanyanya.
Pho Ang-soat tidak menjawab, tapi juga tidak menyangkal. Bahwasanya mereka
kawan atau lawan? Mereka sendiri pun sukar membedakan.
Ternyata Jiu Cui-jing juga tidak banyak bertanya, sedikit miringkan tubuh
dia berkata, “Silakan, silakan masuk.”
Dua orang menggotong Yan Lam-hwi menaiki undakan panjang, Bing-gwat-sim
mengikut di belakang, tiba-tiba dia berhenti menatap Jiu Cui-jing, katanya,
“Kenapa Cengcu tidak bertanya untuk apa kami kemari?”
Jiu Cui-jing menggeleng kepala. Kalau kalian adalah teman Pho Ang-soat,
maka aku tidak perlu bertanya, kalau tidak mau bertanya, maka tak usah buka
mulut. Biasanya dia memang tidak suka berbicara.
Bing-gwat-sim justru tidak mau menutup mulut, katanya,
“Umpama Cengcu tidak bertanya, akulah yang akan menerangkan.”
Karena dia bicara, terpaksa Jiu Cui-jing mendengarkan.
“Kedatangankamikemari,pertama,untuk menyembunyikan diri dari bencana,
kedua, mohon pengobatan, entah Cengcu sudi tidak memeriksa dulu penyakitnya?”
Akhirnya Jiu Cui-jing bertanya, “Penyakit apa?”
“Penyakit hati.”
Jiu Cui-jing mendadak menoleh dan menatapnya, “Sakit hati hanya dapat
disembuhkan dengan kebatinan.”
“Aku tahu
Baru dua patah kata terucap dari mulut Bing-gwat-sim, Yan Lam-hwi yang
berada di atas gotongan mendadak melompat bangun terus menerjang dengan kecepatan
kilat. Demikian pula Bing-gwat-sim pun turun tangan.
Seorang berdiri di depan Jiu Cui-jing yang lain berdiri di belakangnya,
jadi dari depan dan belakang menyergap, sekali turun tangan jalan mundur Jiu
Cui-jing telah dicegatnya buntu. Bahwasanya tiada jurus silat apa pun di dunia
ini yang serba sempurna, namun sergapan kedua orang ini justru amat sempurna,
amat tepat dan telak. Tiada seorang pun yang mampu melawan atau menyingkir,
bahwasanya tiada seorang pun yang mengira bahwa mereka mendadak bakal
menyergap.
Gerakan mereka sudah menjamin bahwa sergapan ini tak lain merupakan suatu
rencana yang sudah dipikir masakmasak dan teliti, sergapan itu sendiri pasti
juga sudah dilatih bersama berulangkali sehingga mahir betul.
Oleh karena itu majikan Khong-jiok-san-ceng yang menggetar dunia ini tak
memiliki kesempatan untuk bergerak, tahu-tahu sudah dibekuk di depan pintu
gerbang rumah sendiri. Hanya dalam sekejap mata mereka sudah menutuk delapan
Hiat-to penting di sendi tulang antara kedua lengan dan kakinya.
Jiu Cui-jing juga tidak terjungkal jatuh, karena mereka memapahnya berdiri.
Walau tubuhnya kaku mengejang, sikapnya ternyata masih tenang, orang yang masih
bisa bersikap setenang ini dalam keadaan seperti ini, dicari di seluruh pelosok
dunia juga sukar menemukan sepuluh orang.
Sergapan mereka berhasil gemilang namun telapak tangan Bing-gwat-sim
berkeringat dingin, perlahan dia menghembuskan napas, lalu melanjutkan
perkataannya yang belum selesai tadi, “Karena aku juga tahu cara pengobatan
seperti apa yang kau ucapkan tadi, maka kami kemari mencarimu.”
Ternyata melirik pun Jiu Cui-jing tidak ke arahnya, matanya mantap dingin
ke arah Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat sendiri juga diam tidak menunjukkan reaksi.
“Kau tahu untuk apa mereka kemari?” tanya Jiu Cui-jing.
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
“Tapi kau justru membawa mereka kemari.”
“Karena aku juga ingin melihat untuk apakah sebetulnya mereka kemari.”
Hanya beberapa patah tanya jawab ini, suasana yang semula diliputi
kedamaian di dalam taman ini seketika berubah diliputi hawa membunuh. Hawa
membunuh yang keluar dari empat puluh sembilan batang pedang dan golok,
bayangan pedang dan golok tampak bergerak, namun orangnya tiada yang bergeming.
Kalau Cengcu mereka sudah dibekuk musuh, dijadikan sandera, siapa berani
bertindak secara gegabah.
Tiba-tiba Jiu Cui-jing menghela napas, katanya; “Yan Lamhwi, Yan Lam-hwi,
kenapa kau melakukan perbuatan ini?”
Di luar dugaan Yan Lam-hwi melengak, katanya, “Kau sudah tahu siapa
diriku?”
“Delapan puluh li daerah sekitar perkampungan merupakan daerah terlarang
perkampungan merak, begitu kau memasuki daerah terlarang, aku lantas tahu
asal-usul dan riwayatmu.”
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Kelihatannya Khong-jiok-san-ceng
memang bukan tempat yang boleh sembarangan dibuat mondar-mandir.”
“Karena aku tahu jelas seluk-belukmu, maka kau bertindak.”
“Kau tidak menduga, bukan?”
“Sesungguhnya memang tidak kuduga.”
“Sebenarnya aku sendiri tidak menduga,” ucap Yan Lamhwi tertawa getir.
Lekas Bing-gwat-simmenimbrung,“Soalnya juga terpaksa, penyakitnya memang
cukup parah.”
“Aku punya obat untuk menyembuhkan dia?” tanya Jiu Cuijing.
“Kau punya, hanya kau yang punya,” sahut Bing-gwat-sim.
“Obat apakah itu?”
“Sebuah rahasia.”
“Rahasia? Rahasia apa?”
“Rahasia Bulu merak.”
Terkancing mulut Jiu Cui-jing.
“Bukan maksud kami hendak mengancam dan menekan kau, kami hanya ingin
barter.”
“Dengan apa kau hendak barter?”
“Juga sebuah rahasia, rahasia tentang Bulu merak.”
ooooOOoooo
Malam telah tiba, lampu pun menyala.
Rumah itu amat tenang dan bersih serba rapi, ini menandakan bahwa Jiu
Cui-jing seorang pengagum seni, seni dekorasi, perabotnya serba antik dan
mewah. Sayang sekali para tamunya ini tiada yang punya hasrat menikmati dekorasi
rumahnya yang megah ini.
Begitu masuk rumah, Bing-gwat-sim lantas bicara ke titik persoalan,
“Sebenarnya aku juga tahu, Khong-jiok-ling (bulu merak) sudah hilang sejak
moyangmu pada generasi Jiu Hong-go.”
Inipun sebuah rahasia, rahasia yang tidak diketahui oleh insan persilatan
mana pun di dunia ini.
Pertama kali melihat Jiu Cui-jing terkesiap, katanya,
“Darimana kau tahu?”
Bing-gwat-sim berkata, “Karena Jiu Hong-go pernah membawa sketsa gambar
Khong-jiok-ling mencari seorang, minta bantuannya untuk membikin sebuah
Khong-jiok-ling.”
Sketsa gambar Khong-jiok-ling itu sendiri juga merupakan suatu rahasia,
karena dalam sketsa itu dilukiskan bentuk dan rahasia pembuatan
Khong-jiok-ling.
Tiada orang tahu Khong-jiok-ling ada lebih dulu atau sketsa gambar merak
itu ada lebih dulu? Tapi siapa pun akan berpendapat dengan adanya sketsa gambar
merak itu, dengan mudah akan bisa dibuat pula sebuah atau berapa saja yang
dikehendaki Khong-jiok-ling yang sama.
“Tapi cara berpikir demikian sebetulnya keliru,” ujar Binggwat-sim.
“Darimana kau tahu kalau cara berpikir begitu salah?”
“Menciptakan Am-gi yang menggunakan peralatan rahasia merupakan ilmu yang
rumit, tinggi dan mendalam. Bukan saja penciptanya harus mempunyai jari-jari
tangan yang tahu cara bagaimana mencampur kadar logam dan seluk-beluk tentang
Am-gi yang akan dibuatnya.”
“Yang dicari Jiu Hong-go sudah tentu adalah seorang pandai besi yang ahli,
malah pandai besi nomor satu di jagat ini,” ujar Bing-gwat-sim.
Jiu Cui-jing berkata, “Pandai besi nomor satu sejagat pada masa itu, konon
justru seorang perempuan, yaitu Ji-hujin dari keluarga Tong dari Sujwan.
“Racun dan Am-gi keluarga Tong konon sudah menjagoi dunia selama empat
ratus tahun, kepandaiannya sudah menjadi tradisi yang diturunkan kepada
menantu, tidak kepada putri kandung sendiri. Ji-hujin adalah menantu tertua
keluarga Tong masa itu, karya sulamannya dan buatan Am-ginya waktu itu
diagulkan sebagai kepandaian tunggal yang tiada taranya, maka waktu itu dia
dijuluki Siang-coat.”
Bing-gwat-sim berkata, “Namun Ji-hujin berjerih-payah selama enam tahun
hingga rambut kepalanya pun ubanan karena terlalu banyak memeras otak, namun
tidak mampu dia membikin sebuah Khong-jiok-ling yang mirip aslinya.”
Jiu Cui-jing mengawasinya, menunggu ceritanya lebih lanjut.
Bing-gwat-sim mengeluarkan sebuah bumbung bundar mengkilap kuning emas,
lalu melanjutkan, “Selama enam tahun, walau dia berhasil membuat empat pasang
Khong-jiokling, luarnya dan susunan peralatan di dalamnya meski mirip dengan
gambar aslinya, sayang sekali hasil karyanya itu tidak digdaya seperti
Khong-jiok-ling yang tulen, karena Khong-jiokling yang tulen mempunyai kekuatan
hebat yang tidak mungkin bisa diterima oleh nalar manusia lumrah, kekuatan
magis.”
“Itukah salah satu di antaranya?” tanya Jiu Cui-jing mengawasi bumbung
kuning di tangan Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim mengangguk sambil mengiakan.
“Belakangan ini di kalangan Kangouw muncul seorang yang menamakan diri
Merak.”
“Bulu merak miliknya itu juga salah satu di antaranya.”
“Kaukah yang memberikan kepadanya?”
“Secara tidak langsung kuberikan kepadanya, namun secara kebetulan saja
kubiarkan dia menemukan.”
“Karena kau sengaja supaya orang-orang Kangouw tahu rahasia tentang
hilangnya bulu merak itu.”
Bing-gwat-sim mengaku.
Jika Khong-jiok-ling muncul di tangan orang, sudah tentu bulu merak itu
sudah tidak berada di perkampungan merak pula. “Kenapa kau berbuat demikian?”
tanya Jiu Cui-jing.
“Karena sejak mula aku curiga akan satu hal.”
“Hal apa yang kau curigai?”
“Bulu merak merupakan urat jantung kehidupan, kejayaan perkampungan merak,
para Cengcu Khong-jiok-san-ceng turun-temurun beberapa generasi semuanya adalah
orang teliti, tabah dan cakap, maka…….”
“Maka kau tidak percaya bahwa Khong-jiok-ling itu hilang.”
Bing-gwat-sim mengangguk, “Konon bulu merak itu hilang dari tangan Jiu
It-hong, ayah kandung Jiu Hong-go, Jiu It-hong berbakat besar, berilmu tinggi
serba pandai, bagaimana mungkin dia melakukan kecerobohan yang berakibat fatal
ini? Dia sengaja berbuat demikian, mungkin hanya untuk menguji sampai dimana
taraf reaksi putranya.”
Walau analisanya masuk akal, namun tak mungkin bisa dibuktikan. Maka dia
berkata lebih lanjut, “Sengaja aku membocorkan rahasia ini, supaya musuh-musuh
Khong-jioksan-ceng yang sudah turun-temurun itu berlomba datang menyerbu
kemari.”
“Yang datang tetap tiada yang bisa hidup dan keluar dari sini,” dingin
suara Jiu Cui-jing, bangga namun juga sinis.
“Oleh karana itu aku yakin bahwa dugaanku tidak meleset, Khong-jiok-ling
pasti masih berada di tanganmu.”
Jiu Cui-jing tutup mulut, namun sepasang matanya setajam mata burung elang
menatap wajah Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim segera menambahkan, “Kemudian Jiu Hong-go tidak menemui
Ji-hujin lagi, karena dia sudah menemukan pula Khong-jiok-ling yang asli.”
Lama Jiu Cui-jing menepekur, katanya kemudian perlahan, “Semestinya dia
tidak perlu menemui Ji-hujin.”
“Tapi Jiu Hong-go percaya kepada Ji-hujin, sebelum Jihujin menikah, mereka
sudah lama berhubungan sebagai kawan.”
Jiu Cui-jing tertawa dingin, jengeknya, “Memang tidak sedikit orang yang
mau menjual kawan sendiri dalam dunia ini.”
“Tapi Ji-hujin tidak mengingkari persahabatan mereka, kecuali beberapa
tertua dari keluarga Tong yang lurus, tiada orang lain tahu akan rahsia ini.”
Makin mencorong cahaya mata Jiu Cui-jing, katanya, “Dan kau? Pernah apa
pula kau dengan keluarga Tong?”
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Waktu aku membeberkan rahasia ini, memang
aku sudah siap membeber pula rahasia diriku.” Lalu perlahan dia menyambung,
“Aku adalah putri sulung keluarga Tong angkatan tertua, nama asliku adalah Tong
Lam.”
“Anak keturunan keluarga Tong kenapa sudi hidup di kalangan pelacuran?”
“Walau keluarga Tong kami menggunakan racun dan Amgi, namun peraturan
keluarga kami jauh lebih ketat, lebih keras dan disiplin dibanding tujuh
perguruan besar dari aliran lurus, putra-putri keluarga Tong, selamanya suka
mencampuri urusan Bu-lim yang tidak semestinya,” suaranya tenang tapi tegas.
“Tapi kami sudah bertekad untuk melakukan sesuatu yang menggemparkan.”
“Apa tujuan kalian?”
“Kelaliman, hanya itu tujuan kami.”
“Menentang kelaliman?”
“Betul, menentang kelaliman.”
“Kami tidak berani melanggar peraturan keluarga, supaya gerakan kita
leluasa, terpaksa aku bersembunyi dalam kalangan pelacuran, selama tiga tahun
ini, kami sudah menghimpun suatu kekuatan besar untuk menentang kelaliman,
sayang sekali sejauh ini kekuatan kita pun belum memadai.”
Yan Lam-hwi tiba-tiba menimbrung, “Karena organisasi lawan lebih ketat dan
keras, kekuatan mereka pun lebih besar.”
“Siapa pemimpin mereka?” tanya Jiu Cui-jing.
“Seorang yang pantas dibunuh.”
“Dia itulah penyakit hatimu.”
Yan Lam-hwi diam, diam artinya mengakui.
“Kau hendak memakai Khong-jiok-ling milikku untuk membunuhnya?”
“Kelaliman ditumpas dengan kelaliman, pembunuhan dicegah dengan membunuh.”
Jiu Cui-jing menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat pula, mendadak dia
berkata, “Bukalah Hiat-to di kakiku, mari ikuti aku.”
Setelah melewati gambar dinding besar dan indah itu, mereka menerobos hutan
bambu serta rumpun kembang anggrek, melewati jembatan bambu sembilan liku, maju
lebih jauh pula, sinar pelita mulai jarang-jarang. Taman yang gelap terasa sepi
lengang dan seram, sehingga sinar api pun
menjadi guram gelap. Dibanding gedung-gedung berloteng yang megah dan
angker di bilangan depan, di sini seperti berada di dunia yang lain.
Rumah besar di sini juga serba gelap, dingin lembab dan menggiriskan. Di
dalam rumah dipasang ratusan dian, sinar api yang kelap-kelip seumpama api
setan, di belakang setiap dian berdiri sebuah Ling-pay, di atas Ling-pay
tertulis namanama almarhum, nama tokoh besar yang belum lama ini masih malang
melintang di Kangouw. Melihat deretan Ling-pay ini, sikap Bing-gwat-sim
kelihatan serius dan khidmat.
Dia tahu mereka adalah para korban yang mati di bawah Khong-jiok-ling, dia
mengharap di sini akan ditambah lagi sebuah Ling-pay dengan satu nama, “Kongcu
Gi”.
“Leluhur kita kuatir bila anak cucunya terlalu ganas membunuh manusia, maka
di sini didirikan tempat penyimpanan perabuan mereka, supaya arwah mereka
tenteram dan masuk surga.”
Maka selanjutnya mereka mulai memasuki urat nadi Khong-jiok-san-ceng,
mereka masuk lewat sebuah lorong, lorong yang berbelak-belok, terali besi yang
mereka lewati entah ada berapa lapis.
Tanpa bersuara mereka terus beranjak di belakangnya, seolah-olah mereka
sedang memasuki sebuah kuburan raksasa peninggalan raja-raja pada dinasti
ribuan tahun yang lampau, gelap dingin, lembab juga serba misterius.
Pintu besi terakhir ternyata terbuat dari papan baja setebal tiga kaki,
beratnya ada laksaan kati.
Di atas pintu ini terdapat tiga belas lubang kunci.
“Semula tiga belas kunci berada di tangan tiga belas orang, tapi sekarang
teman yang patut dipercaya betul-betul makin jarang. Maka sekarang mereka
tinggal enam orang, semua adalah orang-orang tua yang sudah beruban, di
antaranya ada keturunan dekat atau famili keluarga Khong-jiok-san-ceng sendiri,
ada pula sesepuh dunia persilatan yang sudah kenamaan di Bu-lim. Asal-usul dan kedudukan
mereka berbeda, namun persahabatan mereka serta loyalitasnya terhadap
Khong-jiok-san-ceng cukup membuat Jiu Cui-jing percaya kepada mereka. Demikian
pula kungfu kalian lebih meyakinkan lagi,” Jiu Cui-jing menjelaskan.
Cukup Jiu Cui-jing menepuk tangannya dua kali, enam orang segera muncul
seperti gerakan setan, pendatang yang paling cepat ternyata bermata tajam bagai
mata elang, gerakgeriknya juga seringan dan setangkas elang, mukanya yang sudah
tergembleng di bawah hujan dan terik matahari penuh dihiasi codet bekas bacokan
yang malang melintang tidak keruan, kalau tidak salah, dia bukan lain adalah
Put-si-sin-eng Kongsun To yang dahulu pernah menggetarkan padang pasir di luar
perbatasan.
Kunci terikat pada rantai di atas badannya, kunci terakhir ternyata berada
di tangan Jiu Cui-jing.
Dengan cermat Bing-gwat-sim memperhatikan dia membuka kunci terakhir, waktu
dia menoleh pula, bayangan keenam orang itu sudah tidak kelihatan, seumpama
setan dedemit yang sengaja diutus dari neraka oleh para leluhur keluarga Jiu
yang berkuasa di perkampungan ini.
Di belakang pintu besi tebal ternyata adalah sebuah rumah batu, dindingnya
sudah lumutan, di sini tersulut enam lentera.
Cahaya api guram dingin dan menyeramkan, di empat penjuru terdapat rak
senjata, seperti pajangan saja terdapat berbagai jenis senjata tajam, di
antaranya malah ada yang belum pernah terlihat oleh Yan Lam-hwi, entah itu
senjata yang pernah digunakan leluhur keluarga Jiu atau gaman yang dipakai
musuh mereka, bahwa senjata itu masih utuh dan tersimpan di sini, namun jiwa
raga mereka sudah tiada, tulangbelulangnya pun sudah tak tersisa lagi.
Jiu Cui-jing mendorong sebuah batu raksasa pula, di dalam dinding batu
ternyata tersembunyi sebuah almari besi, apakah Khong-jiok-ling tersimpan di
dalam almari besi ini?
Semua menahan napas, mengawasinya membuka almari besi itu, lalu dengan laku
hormat mengeluarkan sebuah kotak kayu cendana yang berukir indah dan kuno.
Tiada yang menduga bahwa yang tersimpan di dalam kotak kayu bukan Khong-jiok-ling,
tapi adalah selembar kulit tipis yang sudah kuning seperti malam.
Bing-gwat-sim tidak ingin menyimpan rasa kecewanya, katanya sambil mengerut
alis, “Apakah ini?”
Sikap Jiu Cui-jing serius dan hormat, sahutnya kereng, “Inilah wajah
seorang.”
Bing-gwat-sim terkesiap, tanyanya, “Apakah kulit yang dibeset dari wajah
seseorang?”
Jiu Cui-jing manggut-manggut, sorot matanya diliputi kedukaan, katanya
rawan, “Karena orang ini kehilangan suatu barang yang amat penting, merasa malu
untuk hidup lebih lanjut, sebelum bunuh diri dia meninggalkan pesan, menyuruh
orang membeset kulit mukanya sebagai peringatan bagi anak keturunannya kelak.”
Dia tidak menjelaskan nama orang itu namun semua tahu siapa yang dia
maksud. Bahwa Jiu It-hong dikabarkan mendadak mati, peristiwa ini pernah
menimbulkan rasa curiga kaum persilatan masa itu, sampai sekarang baru rahasia
itu dibongkar oleh Jiu Cui-jing.
Merinding sekujur badan Bing-gwat-sim, agak lama kemudian baru dia menghela
napas panjang, katanya, “Peristiwa ini sebetulnya tidak perlu kau beberkan di
hadapan kita.”
“Sebetulnya memang pantang untuk kubeberkan,” ucap Jiu Cui-jing dengan
suara berat, “tapi aku ingin supaya kalian percaya, bahwa sejak lama
Khong-jiok-ling sudah tidak berada di Khong-jiok-san-ceng.”
Bing-gwat-sim bertanya, “Tapi bagaimana dengan orang-orang yang mati di
perkampungan merak ini.”
“Membunuh orang banyak caranya,” Jiu Cui-jing menukas dingin, “tidak pasti
harus menggunakan Khong-jiok-ling.”
Mengawasi kulit manusia di dalam kotak kayu cendana, terbayang dalam benak
Bing-gwat-sim bagaimana orang itu gugur secara ksatria untuk menebus dosa
kesalahannya, lalu timbul penyesalan dalam hatinya, semestinya dirinya tidak
kemari saja. Demikian pula Yan Lam-hwi, dia kelihatan juga amat menyesal.
Pada saat itulah terdengar suara “Blam” yang cukup keras, pintu besi
setebal itu telah menutup sendiri. Menyusul terdengar pula suara “Klik, klik,
klik” secara beruntun tiga belas kali, tiga belas lubang kunci di sebelah luar
ternyata sudah digembok.
Berubah air muka Bing-gwat-sim.
Yan Lam-hwi juga menghela napas, katanya, “Bukan saja tidak pantas kami
kemari, juga tidak patut tahu rahasia ini, lebih tidak pantas lagi secara
sembrono main terobos di hadapan arwah para Cianpwe yang menghuni tempat ini, kami
memang patut mampus.”
Jiu Cui-ing mendengarkan dengan tenang, tiada perubahan di wajahnya.
Yan Lam-hwi berkata pula, “Tapi jiwaku ini sudah menjadi milik Pho
Ang-soat, Pho Ang-soat tidak pantas ikut mati sini.”
“Aku juga tidak harus mati,” jengek Jui Cui-jing tiba-tiba.
Yan Lam-hwi melotot dengan kaget. Bing-gwat-sim menyela,
“Ini bukan kehendakmu?”
“Bukan,” sahut Jiu Cui-jing tegas.
Bing-gwat-sim makin kaget, serunya, “Lalu siapa yang mengunci pintu dari
luar? Tempat serahasia ini, orang luar mana bisa masuk kemari?”
“Sedikitnya masih ada enam orang,” sahut Jiu Cui-jing.
“Tapi mereka adalah sahabatmu.”
“Aku pernah bilang, tidak sedikit manusia di dunia ini yang mau menjual
kawan.”
Sekarang baru Pho Ang-soat bersuara, “Satu di antara keenam orang itu pasti
adalah pengkhianat.”
“Siapa yang kau maksud?” tanya Bing-gwat-sim.
Pho Ang-soat tidak menjawab, malah bertanya pada Jiu Cui-jing, “Yang
membuka kunci pertama apakah Kongsun To?”
Jiu Cui-jing mengangguk, mulutnya mengiakan.
Baru sekarang Bing-gwat-sim bertanya, “Apakah Put-si-sineng (elang sakti
yang tidak pernah mati) Kongsun To yang sudah hampir mati beberapa kali itu?”
Jiu Cui-jing mengiakan saja.
Yan Lam-hwi bertanya, “Lawan duelnya yang terakhir bukankah Kongcu Gi?”
“Betul,” sahut Jiu Cui-jing.
Yan Lam-hwi memandang Bing-gwat-sim, Bing-gwat-sim menatap Pho Ang-soat,
ketiga orang ini terkancing mulutnya. Soal ini tidak perlu ditanyakan lagi.
Bahwa Kongsun To lolos dari tangan Kongcu Gi, kejadian itu memang sudah dianggap
kejadian ajaib dunia persilatan. Baru sekarang mereka sadar kejadian itu bukan
lagi ajaib, karena Kongcu Gi sengaja mengampuni jiwa Kongsun To, sekaligus
merangkulnya untuk dijadikan kambrat di dalam melaksanakan tipu dayanya.
Sekarang persoalan terpenting satu-satunya adalah adakah jalan keluar kedua
dari tempat ini?
“Tidak ada,” jawaban Jiu Cui-jing cekak tapi jelas, gudang harta mana
mungkin dibuatkan pintu kedua?
Setelah menghela napas panjang pula, sekujur tubuh Binggwat-sim terasa
lemas lunglai, arwahnya seolah-olah meninggalkan jazad kasarnya.
Kamar ini ditutup oleh daun pintu besi setebal tiga kaki dengan dinding
tebal enam kaki, peduli manusia mana pun yang terkurung di dalam kamar batu
seperti ini, satu hal yang masih bisa mereka lakukan adalah menunggu kematian.
Mendadak Yan Lam-hwi bertanya pula, “Apakah di sini ada arak?”
“Ada,” sahut Jiu Cui-jing. “Hanya seguci, seguci arak beracun.”
“Arak beracun juga mending daripada tiada arak?” ujar Yan Lam-hwi tertawa.
Bagi seorang yang kerjanya hanya menunggu kematian, apa salahnya minum arak
beracun? Maka Yan Lam-hwi menemukan guci arak itu, dengan bernafsu dia membuka
tutupnya yang tersegel, mendadak sinar golok berkelebat, guci arak itupun
hancur.
Pho Ang-soat berkata dingin, “Jangan lupa jiwamu ini milikku, mau mati
akulah yang harus turun tangan.”
“Kapan kau akan turun tangan?” tanya Yan Lam-hwi.
“Kalau betul-betul sudah putus asa,” sahut Pho Ang-soat.
“Sekarang masih adakah harapan hidup bagi kita?”
“Bila manusia masih hidup, maka harapan itu tetap ada.”
Yan Lam-hwi tertawa lebar, serunya, “Bagus, baiklah, selama aku masih
hidup, tidak akan kulupakan nasehatmu ini.”
Pho Ang-soat tidak banyak bicara lagi, perhatiannya tertuju ke rak-rak
senjata yang berada di empat penjuru itu, entah apa sebabnya dia kelihatan
tertarik sekali. Perlahan dia beranjak ke sana, setiap senjata pasti diperiksa
dan ditelitinya dengan seksama.
ooooOOoooo
Kamar batu yang lembab basah ini lambat-laun terasa pengap dan gerah, Jiu
Cui-jing meniup padam tiga lentera, mendadak dilihatnya Pho Ang-soat menarik
keluar sebatang Cu-coat-pian (ruyung ruas bambu) dari rak senjata. Ruyung tiga
ruas seperti bambu ini terbuat dari baja murni, bobotnya teramat berat, namun
bentuknya kelihatan tidak seberat bobotnya.
Lama Pho Ang-soat menimang-nimang ruyung itu, tanyanya kemudian,
“Darimanakah senjata ini?”
Jiu Cui-jing tidak lantas menjawab, dari dalam almari dia mencari sejilid
buku catatan yang cukup tebal, setelah meniup debunya, mulai dia membalik halaman
demi halaman sampai belasan lembar, baru perlahan dia bersuara, “Itulah
peninggalan Hay Tang-kay.”
“Hay Tang-kay dari Pi-lik-tong di Kanglam?” Pho Ang-soat menegas.
Jiu Cui-jing mengangguk, katanya, “Senjata api dari Pi-liktong menjagoi
segala macam senjata rahasia di dunia ini, namun sejak Khong-jiok-ling muncul
dalam percaturan dunia persilatan, perbawa mereka semakin pudar dan menurun,
karena itu Hay Tang-kay mengumpulkan kambrat-kambratnya menyerbu kemari,
maksudnya hendak menghancurkan Khong-jiok-san-ceng, sayang sekali sebelum dia
bertindak, jiwanya sudah melayang oleh bulu merak.”
Mendadak bercahaya mata Pho Ang-soat, tanyanya menegas, “Dia belum turun
tangan sudah mati di bawah Khong-jiok-ling.”
Jiu Cui-jing manggut-manggut, katanya, “Kejadian meski sudah seratus tahun
yang lampau, namun di dalam buku ini peristiwa itu dicatat dengan jelas.”
Bing-gwat-sim berkata, “Pernah juga aku mendengar tentang Bu-lim Cianpwe
ini, kuingat nama julukannya adalah Pi-lik-pian (ruyung geledek).”
Perlahan Pho Ang-soat mengangguk, kembali dia mulai beranjak menyusuri
dinding. Tangan kanan memegang golok, tangan kiri menggenggam ruyung, namun
matanya terpejam, gayanya berjalan meski lucu, rona mukanya justru setenang
padri agung yang sedang semadi. Semua menahan napas,
mengawasi gerak-geriknya, keheningan mencekam seluruh kamar batu ini.
Mendadak sinar golok berkelebat pula, cahayanya kelihatan lebih terang dari
tabasan di waktu menghancurkan guci di tangan Yan Lam-hwi tadi. Jelas untuk
bacokan kali ini Pho Ang-soat telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, walau
matanya terpejam, goloknya ternyata tepat menusuk celahcelah batu di atas
dinding. Dia tidak melihat dengan mata, namun melihat dengan hati, dengan
perasaan, dengan insting.
Sekali tusuk, seluruh batang goloknya ternyata amblas ke dalam dinding.
Pho Ang-soat menarik napas panjang, golok segera dicabut, setelah dia ganti
Cu-coat-pian di tangan kirinya sekarang yang menusuk, amblas pula ke lubang
dimana tadi goloknya membuat lubang di atas dinding.
Pada saat itulah terdengar ledakan menggelegar, Cu-coatpian ternyata
meledak di dalam celah-celah dinding. Dinding yang dibangun dengan batu-batu
persegi sebesar enam kaki itu ternyata berguguran dan ambruk oleh getaran
dahsyat dari ledakan itu.
Lekas sekali keadaan kembali menjadi tenang, sepi lengang, dinding yang
semula rapi kini sudah ambrol dan bolong.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, dengan suara tawar dia
berkata, “Senjata api buatan Pi-lik-tong dari Kanglam memang nyata tiada bandingannya
di dunia.”
JiuCui-jing, Bing-gwat-sim dan YanLam-hwi mengawasinya diam saja, sorot
mata mereka diliputi rasa kagum dan hormat.
“Darimana kau tahu kalau di dalam Cu-coat-pian ada tersimpan bahan
peledak?”
“Aku tidak tahu,” sahut Pho Ang-soat. “Aku hanya merasa bobotnya tidak
semestinya seringan itu, oleh karena itu aku menduga di dalamnya tentu kosong,
kebetulan aku teringat pula pada nama Hay Tang-kay.”
Pertempuran besar yang terjadi waktu Hay Tang-kay bersama kawan-kawannya
menyerbu Khong-jiok-san-ceng memang terkenal sebagai pertempuran paling besar
di Bu-lim kala itu. Seluruhnya ada tujuh puluh dua pertempuran dahsyat yang
terkenal di kalangan persilatan masa itu, paling sedikit ada tujuh kali terjadi
di Khong-jiok-san-ceng.
Kenyataan sampai sekarang Khong-jiok-san-ceng masih berdiri sampai
sekarang, masih jaya dan digdaya. Akan tetapi begitu mereka keluar dari lubang
bekas ledakan itu, segera mereka melihat Khong-jiok-san-ceng yang tak pernah
ambruk meski sudah mengalami beberapa kali bencana ini sekarang sudah menjadi
puing-puing yang rata dengan bumi, sembilan lapis bangunan beruntun, tiga puluh
enam gedung berloteng seluas delapan puluh li, seluruhnya sudah terbakar habis
tinggal puing-puing saja yang masih mengepulkan asap.
Aliran darah masih belum kering, Jiu Cui-jing sekarang sedang berdiri di
antara genangan darah tak jauh dari puingpuing itu.
Bangunan seluas delapan puluh li jauhnya yang sudah bertahan selama tiga
puluh turunan dengan lima ratus jiwa manusia, kini sudah hancur lebur. Hancur
secara aneh, lenyap secara mesterius.
Jiu Cui-jing tidak bergerak, juga tidak mengucurkan air mata, dendam
kesumat ini sudah tidak bisa ditawarkan dengan hanya cucuran air mata. Sekarang
yang terpikir hanyalah ingin mengucurkan darah.
Sayang dia tidak melihat dan tidak tahu siapa penyebab bencana ini.
Cuaca buruk, tanah seluas ribuan li kecuali mereka berempat, seolah-olah
tiada kehidupan lain.
Yan Lam-hwi berdiri jauh di sana, sikapnya kelihatan lebih menderita dan
duka daripada Jiu Cui-jing.
Sudah lama Pho Ang-soat menatapnya, katanya dingin, “Kau sedang menyesal
dan bertobat, semua adalah garagaramu sehingga bencana ini terjadi?”
Yan Lam-hwi manggut-manggut, beberapa kali ingin bicara namun selalu batal,
kontradiksi dalam sanubarinya sedang bergelut dengan batinnya sehingga dia
merasa amat menderita. Akhirnya dia tidak tahan dan tercetuslah perkataannya,
“Inilah yang ketiga.”
“Yang ketiga?” Pho Ang-soat menegas.
“Pertama di Hong hong-kip, kedua, di taman kembang keluarga Ni dan sekarang
adalah yang ketiga,” Yan Lam-hwi bicara cepat karena dia sudah berkeputusan
untuk membeberkan segala rahasia ini secara terbuka.
“Di dunia sekarang ini, orang yang memiliki kungfu paling tinggi bukan kau,
tapi adalah Kongcu Gi,” dia bicara secara jujur, “golokmu memang sudah hampir
mencapai tiada taranya, tapi ini mempunyai satu ciri.”
“Dan kau?” Pho Ang-soat balas bertanya.
“Yang kuyakinkan adalah Sim-kiam (hati pedang), Gi-kiam (arti pedang),
dimana hati mempunyai selera, apa pun tiada yang dapat membendungnya. Itulah
salah satu jenis puncak kesempurnaan dari ilmu pedang, jika latihan berhasil
mencapai taraf yang tiada taranya, maka ilmunya itu tidak akan mendapat
tandingan di seluruh jagat.”
“Dan kau gagal melatihnya?”
“Ilmu pedang itu laksana sebuah pintu yang mempunyai tiga belas kunci...
jelas aku sudah memperoleh seluruh kuncinya, tapi setelah aku membuka kunci
kedua belas, kunci terakhir justru tidak kutemukan,” dengan tertawa getir Yan
Lam-hwi berkata lebih lanjut, “oleh karena itu, setiap kali turun tangan, aku
selalu merasa tenaga tidak memadai dengan hasrat keinginan. Ada kalanya sekali
tusuk jelas telak mengenai sasaran, namun pada detik terakhir ternyata meleset
hampir satu dim.”
“Bagaimana dengan Kongcu Gi?” tanya Pho Ang-soat.
“Bukan saja kungfunya sudah sempurna, malah tiada titik kelemahan yang
dapat dibuat sasaran. Di kolong langit ini, mungkin hanya ada dua benda yang
dapat menandingi dia.”
“Pertama ialah Khong-jiok-ling?” Pho Ang-soat menegas.
“Kedua ialah Thian-te-kiau-ceng-im-yang-tay-pi-bu.”
Dalam buku ini tercatat tujuh jenis kungfu yang paling hebat, jahat dan
lihai sejak zaman dulu hingga sekarang. Konon waktu buku ini selesai ditulis,
dari langit hujan darah, tengah malam setan pun menjerit tangis, penulisnya
setelah mengakhiri huruf terakhir juga mati dengan tumpah darah.
Sudah tentu Pho Ang-soat juga pernah mendengar legenda ini.
“Tapi setelah buku itu berhasil ditulis lantas lenyap tak keruan parannya,
bahwasanya tiada kaum persilatan di Kangouw yang pernah melihat atau
membacanya.”
Yan Lam-hwi berkata, “Memang sudah lama buku ini putus turunan, artinya
tidak keruan parannya, tapi belakangan ini memang betul-betul telah muncul.”
“Muncul dimana?” Pho Ang-soat menegas.
“Di Hong-hong-kip.”
Setahun yang lalu dia pun pernah ke Hong-hong-kip untuk mencari buku itu,
kebetulan waktu itu Pho Ang-soat juga berada di sana.
“Waktu itu aku juga mengira kehadiranmu di sana juga lantaran buku itu,
maka aku beranggapan bahwa kau juga sudah mau diperalat serta menjadi antek
Kongcu Gi, maka aku tidak segan turun tangan kepadamu.”
Tapi dia yang kalah, kalau dia ingin membunuh Pho Angsoat, Pho Ang-soat
justru tidak membunuhnya, karena itu terjadilah rangkaian cerita yang
berkepanjangan ini.
“Setelah pertempuran dengan kau itu, hati luluh semangat lumpuh, dua jam
kemudian baru aku putar balik ke Honghong-kip.”
Waktu itu Hong-hong-kip ternyata sudah menjadi kota mati, Kongcu Gi telah
menyikat dan membantai seluruh penghuni kota kecil itu, agaknya dia pun tidak
berhasil, sehingga terjadilah peristiwa kedua yang mengerikan.
“Pagi hari itu, empat di antara Ni-si-jit-kiat (tujuh ksatria keluarga Ni)
juga berada di Hong-hong-kip, mereka datang secara terburu-buru dan pergi
dengan tergesa-gesa, sebetulnya tidak menarik perhatian orang lain, namun aku
tidak tahan untuk tidak menemui mereka, ingin aku mencari berita, tak nyana
karena kedatanganku, terjadi perubahan pada taman besar yang tersohor sejak
tiga belas turunan kakek-moyang mereka, taman itu telah hancur-lebur menjadi
tempat yang tak berguna lagi.” Sesaat dia berpikir, lalu menambahkan, “Pada
hari itu juga, pertama kali aku bertemu dengan Bing-gwat-sim, waktu itu dia
baru pindah ke sana belum genap lima hari.”
Mengepal kedua tinju Pho Ang-soat, agak lama kemudian dia berkata perlahan,
“Walau sampai sekarang kau sendiri belum pernah melihat buku Tay-pi-bu itu,
namun akibatnya justru teramat fatal, entah berapa jiwa dan harta telah hancur
karenanya.”
Yan Lam-hwi juga mengepal tinju, desisnya geram, “Oleh karena itu aku harus
mengganyang Kongcu Gi, untuk membalaskan sakit hati para korban itu.”
“Karena itu pula dia pun harus membunuhmu.”
Mereka tidak melanjutkan pembicaraan ini, karena Jiu Cuijing sudah beranjak
perlahan mendekat. Wajahnya tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa, demikian
pula sepasang matanya yang semula tajam berkilat kelihatan hambar dan lengang.
Berdiri di hadapan mereka, lama dia diam saja seperti patung, lalu dengan
suara seperti mengigau berkata, “Seluruh warga keluarga Jiu sudah mati, namun
mayat mereka seluruhnya lengkap, hanya kurang satu saja.”
“Kongsun To?” Pho Ang-soat menegas.
Jiu Cui-jing mengangguk, katanya, “Untuk menyikat habis keluarga Jiu bukan
pekerjaan yang gampang, pihak mereka juga pasti akan jatuh korban, namun korban
musuh seluruhnya sudah disingkirkan.”
Yan Lam-hwi menyelutuk, “Sepak terjang mereka memang bersih dan cekatan,
tidak meninggalkan bekas dan jejak.”
“Tapi orang sebanyak itu tak mungkin bisa lenyap begitu cepat, peduli
dengan cara apa pun mereka menyingkir, sedikit banyak pasti akan meninggalkan
jejak, jejak itulah sumber penyelidikan kita,” demikian Pho Ang-soat
mengutarakan pendapatnya.
Jiu Cui-jing menatapnya, sorot matanya menampilkan rasa kagum, katanya
mendadak, “Istriku sering sakit, di dalam kota ada pula seorang biniku,
sekarang dia sedang hamil, jika dia melahirkan seorang putra, maka dialah
keturunan keluarga Jiu kami satu-satunya.” Perlahan dia melanjutkan, “Dia she
Co bernama Giok-cin, ayahnya bernama Co Tong-lay, seorang Piausu.”
Pho Ang-soat diam mendengarkan, setiap patah kata didengarnya dengan penuh
perhatian.
Setelah menghela napas panjang Jiu Cui jing berkata pula, “Persoalan ini
sepantasnya kubereskan sendiri, tapi aku sudah tidak mampu lagi, bila aku harus
bertahan hidup, kelak di alam baka aku tetap malu bertemu dengan para leluhur
Jiu kita.”
Yan Lam-hwi segera meraung galak, serunya beringas, “Kau tidak boleh mati,
memangnya kau tidak ingin menuntut balas?”
Mendadak Jiu Cui-jing tertawa, tawa yang lebih mengenaskan dari tangisan,
“Menuntut balas? Kau suruh aku menuntut balas? Tahukah kau orang macam apa
Kongcu Gi sebetulnya? Tahukah kau berapa kekuatan yang tergenggam di
tangannya?”
Sudah tentu Yan Lam-hwi tahu, tiada orang lain yang tahu sejelas dirinya.
Kecuali Jit-toa-kiam-pay yang sudah punya sejarah keemasan, mereka bersama
Kay-pang dalam kalangan Kangouw, masih ada tiga puluh sembilan organisasi yang
mempunyai kekuatan besar. Paling sedikit separo di antaranya mempunyai ikatan
atau hubungan erat dengan Kongcu Gi, di antaranya pula sedikitnya ada sembilan
organisasi yang langsung berada di bawah kekuasaan Kongcu Gi.
Jago-jago kosen dalam Bu-lim, entah betapa banyak yang telah diperalat dan
sudi menjadi anteknya. Di antara para pengawal pribadinya, ada dua orang yang
memiliki kungfu yang susah diukur.
Sudah siap Yan Lam-hwi menuturkan apa yang dirinya ketahui, namun Jiu
Cui-jing sudah tidak ingin mendengar. Dia masih berdiri tidak bergerak, namun
dari tujuh lubang panca indranya mendadak mengucurkan darah segar.
Waktu dia terjungkal roboh, kebetulan di kejauhan berkumandang kokok ayam
yang pertama.
Letak Khong-jiok-san-ceng diapit dua gunung, sungai lebar terbentang luas
di belakangnya. Gunung cukup tinggi, keadaan belukar jelas tidak mungkin
dilalui mereka yang menggotong para korban, arus sungai juga jelas, ombak
bergolak, perahu tak mungkin bisa menyeberang.
Perkampungan merak terjaga ketat dan keras, semuanya berkepandaian tinggi,
untuk mengganyang mereka seluruhnya, paling sedikit memerlukan lima puluhan
tenaga jago-jago silat kelas wahid. Umpama benar orang-orang itu datang dari
arah gunung dan menyeberang sungai, untuk mengundurkan diri jelas hanya arah
depan paling leluasa.
Di depan adalah hutan lebat, jalan raya lapang dan lebar, namun kenyataan
tiada bekas tapak kaki kuda atau bekas tergilasnya roda kereta, tapak kaki
manusia juga tidak kelihatan.
Bing-gwat-sim mengertak gigi, katanya, “Apa pun hari ini kita harus dapat
menemukan orang ketiga.”
“Kecuali Co Giok-cin dan Kongsun To, masih ada siapa lagi?” tanya Pho
Ang-soat.
“Merak,” sahut Bing-gwat-sim, “dia sudah tunduk kepadaku, kusuruh dia
kembali menjadi agen rahasia pihak kita, dia pasti dapat memberi sedikit
keterangan kepada kita.”
Yan Lam-hwi menjengek, katanya, “Sayang sekali setiap keterangan yang.dia
berikan bukan mustahil merupakan perangkap.”
“Perangkap?” Bing-gwat-sim menegas.
“Kau bilang dia jeri terhadapmu, tapi aku berani bertaruh dia pasti lebih
takut terhadap Kongcu Gi, jika bukan dia yang membocorkan rahasia kami,
bagaimana mungkin Kongcu Gi secepat ini tahu kami berada di
Khong-jiok-san-ceng, mungkinkah serbuan mereka juga begini kebetulan.”
Bing-gwat-sim menggreget gemas, desisnya, “Bila analisamu benar, lebih
besar hasratku untuk mencarinya.”
“Tapi orang pertama yang kita cari bukan dia?” ujar Pho Ang-soat, “tapi Co
Giok-cin.”
Tiada orang kenal Co Giok-cin, tapi Co Tang-lay justru seorang yang
terkenal sebagai setan arak.
Saat itu dia sedang mabuk, tubuhnya meringkuk di bawah pohon yang rindang
dalam pekarangan, namun begitu mendengar nama Jiu Cui-jing, mendadak dia
berteriak dan memaki, “Bintang tua itu, kuanggap dia sebagai teman. Sekarang
diam-diam dia justru malah menggremet putriku...”
Mereka tidak menyumbat mulutnya, makin kotor cacimakinya, makin membuktikan
bahwa persoalan ini memang benar terjadi, asal dapat mempertahankan anak
keturunan Jiu Cui-jing ini, umpama dia harus mencaci tiga hari tiga malam juga
tidak jadi soal.
Tapi putrinya justru tidak betah tinggal di rumah lagi, dia minggat tak keruan
parannya, secarik kertas dia taruh di atas meja riasnya, seorang nona cilik
yang menguncir rambut panjangnya sedang mendekap meja menangis terisak-isak.
Surat di atas kertas itu berbunyi: “Putrimu tidak berbakti, membikin kotor
nama baik keluarga, demi orok yang kukandung ini, tak mungkin aku menebus dosa
dengan kematian ....”.
Nona cilik itu memberi keterangan, “Terpaksa Siocia minggat, aku tak
berhasil menahannya.”
“Kau tahu dia pergi kemana?”
“Kalau aku tahu, sudah tentu aku menyusulnya, buat apa aku berada di sini
sendirian.”
Kalau dalam rumah ada setan arak, siapa pun takkan sudi tinggal di sana,
maka terpaksa mereka meninggalkan rumah itu. Tapi mereka harus menemukan Co
Giok-cin, dunia seluas ini kemana mereka harus mencari seorang?
Mendadak Bing-gwat-sim berkata, “Ada satu tempat pasti dapat menemukan
dia.”
Yan Lam-hwi segera bertanya, “Di tempat mana?”
“Kalau ayahnya tidak tahu tentang hubungan gelap ini, Jiu Cui-jing tentu
sudah menyediakan suatu tempat untuk pertemuan mereka secara tetap.”
Kalau majikan sebuah toko kain yang berdagang kecilkecilan dapat memelihara
seorang gundik yang cantik, masih muda lagi apalagi seorang Cengcu
Khong-jiok-san-ceng.
Sayang sekali tempat pertemuan gelap itu pasti amat rahasia, Jiu Cui-jing biasanya
juga bekerja amat teliti dan hatihati, kecuali mereka sendiri yang tahu, lalu
siapa pula yang mengetahui?
“Pasti ada orang lain yang tahu.”
“Siapa?”
“Nona cilik berkuncir itu,” Bing-gwat-sim bicara dengan penuh keyakinan.
“Hubungan antara Siocia dengan pelayan pribadinya ada kalanya seperti hubungan
kakak beradik yang intim, kalau aku yang melakukan perbuatan itu, jelas tidak
akan bisa mengelabui Sing-song.” Sing-song adalah nama nona cilik berkuncir
itu.
“Dilihat wajahnya serta lirikan matanya, kelihatan bahwa nona cilik itu
cerdik pandai, tadi dia hanya bersandiwara dan sengaja ditunjukkan di depan
kita, dalam jangka setengah jam, secara diam-diam dia pasti akan pergi
menemuinya. Inilah rekaan Bing-gwat-sim dalam hati, jadi pikirannya ini tidak
dia utarakan.
Kenyataan memang demikian, setengah jam kemudian nona cilik itu diam-diam
menyelinap keluar dari pintu belakang, secara sembunyi-sembunyi berlari
memasuki sebuah gang sempit di sebelah kiri. Diam-diam Bing-gwat-sim
menguntitnya, Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga menguntit Bing-gwat-sim.
“Seorang gadis perawan apa pun tidak leluasa bergerak, oleh karena itu
tempat dimana dia sering mengadakan pertemuan gelap dengan kekasihnya pasti
tempat yang tak jauh dari rumahnya,” dugaan Bing-gwat-sim memang tidak keliru,
tempat itu memang terletak di sebuah gang sempit yang terletak di ujung jalan
raya sebelah timur, tembok tinggi pintu sempit, dimana ada sebuah pekarangan
kecil yang sepi bersih, di dalam pekarangan tumbuh sepucuk pohon murbai, di pinggir
tembok sana berderet belasan vas kembang dengan bunga beraneka warna yang
sedang mekar.
Pintu sempit itu tidak terkunci atau terpalang dari dalam, hanya dirapatkan
saja seperti sengaja menunggu kedatangan nona cilik ini, setelah longak-longok
ke sekelilingnya, lalu mendorong pintu menyelinap masuk, dari sebelah dalam dia
tutup serta dipalang lagi.
Kembang yang mekar itu seperti berlomba kecantikan memancarkan bau harum
semerbak, daun pohon gemersik ditiup angin, tiada bayangan orang di dalam pekarangan
bersih ini.
“Kau masuk dulu, kami menunggu di luar.”
Bing-gwat-sim tahu kedua lelaki ini pasti tidak mau ikut terobosan di kamar
seorang gadis, karena mereka adalah lelaki sejati, lelaki tulen, lelaki di
antara lelaki.
Mereka mengawasi Bing-gwat-sim melompati tembok terus masuk ke dalam,
menunggu sekian lamanya, harum kembang merangsang hidung menyegarkan badan.
Pekarangan ini sepi dan lengang, namun mendadak terdengar sebuah jeritan,
itulah jeritan Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim bukan jenis perempuan yang mau sembarangan menjerit kecuali
menghadapi sesuatu yang mengerikan.
Penerangan dalam rumah agak guram, nona cilik yang menguncir rambutnya
tampak mendekam di meja, kuncir rambutnya yang panjang dan legam itu melingkar
di lehernya, menjerat tenggorokannya, kaki tangannya sudah dingin.
Kaki tangan Bing-gwat-sim juga dingin berkeringat, katanya gegetun, “Kita
datang terlambat.”
Nona cilik itu sudah mati terjerat lehernya, Co Giok-cin pun tidak
kelihatan bayangannya. Tiada orang yang bisa bunuh diri dengan menjerat leher
dengan kuncir rambutnya sendiri, lalu siapakah pembunuhnya?
Kedua tangan Yan Lam-hwi saling genggam, desisnya, “Hubungan rahasia Jiu
Cui-jing dengan Co-Giok-cin agaknya bukan rahasia yang tidak diketahui orang
lain.”
Karena itu anak buah Kongcu Gi bertindak selangkah lebih cepat dari mereka.
Wajah Pho Ang-soat masih pucat, namun matanya mulai membara, dengan teliti
dia mencari, dia berharap pembunuh itu meninggalkan bekas atau sesuatu yang
tidak disengaja karena tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Sedikit kelalaian
musuh merupakan sumber penyelidikan yang berharga dan itu cukup sebagai bekal
yang tidak akan diabaikan oleh Pho Ang-soat, kali ini hampir saja dia
mengabaikan kesempatan itu, karena kelalaian musuh atau sumber penyelidikan itu
terlampau nyata, seperti sengaja dipaparkan di depan mata.
Di atas meja rias berdiri sebuah cermin berbentuk hati, seseorang menggores
tiga huruf yang ditulis dengan gincu di permukaan kaca, tulisannya terlalu
kasar, jelas Co Giok-cin meninggalkan tulisan itu dalam keadaan gugup dan
terburuburu, sementara penculiknya juga tidak memperhatikan tulisan
tangan di kaca itu.
Kenapa sesuatu yang nyata justru jarang diperhatikan oleh orang? Padahal
gincu itu berwarna merah, merah seperti darah, tiga huruf itu berbunyi
“Jik-yang-koan”.
Jik-yang-koan adalah nama yang terlalu umum, banyak biara yang dihuni
kawanan Tosu bernama Jik-yang-koan, kebetulan di kota ini hanya ada satu
Jik-yang-koan.
“Darimana dia bisa tahu kalau mereka hendak membawanya ke Jik-yang-koan?”
“Mungkin secara tidak sengaja dia mencuri dengar percakapan musuh, atau di
antara penculiknya itu ada Tosu dari Jik-yang-koan, dia dilahirkan di sini,
sejak kecil dan tumbuh dewasa di sini pula, tidak heran kalau dia betul kenal
mereka.
Betul atau tidak, mereka harus ke sana, umpama musuh mengatur jebakan di
sana, mereka juga harus coba meluruk ke sana.
Di pekarangan luar Jik-yang-koan ternyata juga tumbuh sepucuk pohon yang
rindang, pohon yang sama yang tumbuh di pekarangan kecil itu, sama tinggi sama
besar dan sama rimbunnya.
Asap dupa tampak mengepul di ruang pemujaan, tiada bayangan orang, tapi
mereka tiba di pekarangan belakang, mereka mendengar percakapan orang.
Pekarangan yang sepi, suara orang yang dingin, hanya mengucap dua patah
kata, “Silakan masuk.”
Suara itu berkumandang dari kamar semadi di sebelah kiri, orang yang di
dalam kamar seperti sengaja sedang menunggu kedatangan mereka. Agaknya di sini
memang ada perangkap, namun kapan mereka pernah gentar menghadapi perangkap
musuh? Tanpa pikir Pho Ang-soat langsung beranjak ke sana, pintu setengah
dirapatkan, hanya sekali dorong lantas terbuka.
Di dalam kamar ada empat orang.
Asal dia berpendapat harus melakukan tugasnya, asal golok berada di
tangannya, meski di depan ada barisan berkuda laksaan jumlahnya juga dia tidak
akan mundur selangkah pun, apalagi hanya empat orang.
Keempat orang itu, seorang sedang minum arak, dua orang sedang main catur,
seorang lagi pemuda berbaju merah darah dengan sebilah pisau kecil sedang
mengerik dan membersihkan kuku jarinya.
Dalam kamar tidak dinyalakan lampu, rona muka pemuda ini mirip pisau di
tangannya, putih semu hijau, warna hijau itulah yang mengerikan.
Salah satu dari dua orang yang bermain catur, ternyata memang seorang Tosu,
rambut dan jenggotnya sudah ubanan, namun raut mukanya ternyata masih segar dan
memerah seperti wajah anak kecil. Lawan bermainnya berpakaian hijau berkaos
kaki putih, dandanannya sederhana, sebentuk cincin yang dipakai di jarinya
ternyata adalah sebuah batu jade dengan permata yang tak ternilai harganya.
Mendadak Pho Ang-soat memicingkan mata, ujung matanya kedutan, wajahnya
yang pucat mendadak bersemu merah yang ganjil. Karena orang yang sedang minum
arak sambil menundukkan kepala sekarang perlahan mengangkat kepalanya. Melihat
wajah orang ini, kaki tangan Bing-gwat-sim seketika dingin berkeringat.
Seraut wajahnya yang penuh codet bekas bacokan senjata tajam, mata elang
hidung betet, siapa lagi kalau bukan Put-sisin-eng Kongsun To. Kongsun To juga
sedang mengawasi mereka, mata elangnya yang mencorong seperti membayangkan
senyum sinis yang sadis, serunya, “Silakan duduk.”
Dalam kamar semadi ini ternyata masih ada tiga kursi kosong, Pho Ang-soat
juga tidak sungkan, langsung dia berduduk.
Menjelang pertempuran antara mati hidup, kalau bisa menyimpan sedikit
tenaga juga pasti bermanfaat sekali. Karena itu Yan Lam-hwi dan Bing-gwat-sim
juga duduk, mereka juga insyaf sekarang sudah tiba saatnya detik-detik yang
bakal menentukan antara mati dan hidup.
ooooOOoooo
Bab 9. Satu Bacokan Mempertaruhkan Nyawa
Keheningan mencekam, hanya terdengar hembusan angin lalu di pekarangan,
pemuda yang sedang membersihkan kuku jarinya tetap berdiri tidak memperlihatkan
perubahan mimik mukanya, yang sedang main catur juga asyik dengan biji-biji
caturnya, jangan kata melirik, mengangkat kepala pun tidak.
Bing-gwat-sim tidak sabar lagi, serunya, “Kedatangan kami bukan ingin
menonton orang main catur.”
Kongsun To menjadi juru bicara mereka, katanya, “Aku tahu kalian mencari
diriku, akulah yang mencuci bersih Khongjiok-san-ceng dengan darah, kalian
tidak salah mencariku.”
Jari tangan Bing-gwat-sim menggenggam kencang, kuku jarinya sudah amblas ke
kulit dagingnya, katanya, “Dan mereka bertiga?”
Kongsun To tidak menjawab langsung, tapi dia memperkenalkan dulu pemuda
yang sedang membersihkan kuku jarinya, “Inilah Si-bu Kongcu dari keluarga Siau
di Lokyang.”
Seperti sengaja mau pamer, dia menjelaskan lebih terperinci, “Maksud dari
Si-bu (empat tanpa) adalah pisau terbangnya tanpa tandingan, membunuh orang
tanpa hitungan, bila sudah bermusuhan tanpa kenal belas kasihan.”
“Masih ada satu lagi, tanpa apa?”
“Umpama tidak bermusuhan juga tanpa kenal kasihan,” Kongsun To menjelaskan
lebih lanjut, “dia masih punya julukan aneh yang cukup panjang yaitu, naik ke
langit masuk ke bumi mencari Siau Li, bertekad bulat membunuh Yap Kay.”
Dahulu Li cilik si pisau terbang Li Sun-hoan pernah menggetarkan dunia,
setiap kali pisau terbangnya disambitkan, selamanya tidak pernah ditimpukkan
sia-sia, kebesaran jiwanya, kecemerlangan namanya, sampai sekarang belum ada
orang yang bisa melampaui, Yap Kay memperoleh ajaran murninya, mewarisi
kepandaianya, malang melintang di Bu-lim selama tiga puluh tahun, walau tidak
pernah salah membunuh seorang pun, tapi tiada orang yang berani mengusiknya.
Bing-gwat-sim berkata, “Pemuda yang berdarah dingin ini bukan saja yakin
dapat membunuh Yap Kay, malah dia pun ingin bertanding dengan Li Sun-hoan?”
“Agaknya memang demikian,” ujar Kongsun To.
“Besar juga pambeknya,” ucap Bing-gwat-sim tertawa.
“Orang yang pambeknya besar, umumnya tidak berkecil hati.”
“Agaknya memang demikian,” giliran Bing-gwat-sim mengiakan.
“Sebetulnya keliru,” kata Kongsun To sambil tertawa.
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Makin besar mulut kepandaiannya makin
rendah, bukankah banyak orang-orang kerdil seperti itu di kalangan Kangouw?”
Gelak tawa Kongsun To seperti bernada mengadu domba, namun tawa
Bing-gwat-sim justru bernada menantang, ucapannya itu sengaja dia lontarkan
kepada Siau Si-bu.
Pemuda jumawa itu justru seperti tidak mendengar ucapannya, wajahnya tetap
dingin kaku seperti tidak ambil peduli akan ocehan orang lain. Pisau di
tangannya bergerak amat lamban, setiap gerakan dilakukan teramat hati-hati,
seperti kuatir pisau yang tajam itu mengiris luka jari tangannya. Tangannya
kelihatan bersih dan tenang, jarijarinya tumbuh panjang terpelihara dan mantap.
Selamanya tidak pernah Pho Ang-soat memperhatikan tangan orang lain,
sekarang dia justru sedang memperhatikan jari-jari orang, setiap gerakan jari
orang diperhatikan dengan seksama. Mengiris dan membersihkan kuku bukan suatu
yang menarik, tidak patut dibuat tontonan.
Tapi Siau Si-bu kelihatan menjadi tidak tenang karena diawasi, mendadak
dia. berkata dingin, “Melihat orang mengiris kuku, mendingan kau melihat orang
bermain catur.”
Kongsun To tertawa lebar, serunya, “Apalagi yang sedang bermain catur
adalah juara catur di seluruh negeri periode tahun ini.”
Bing-gwat-sim mengedipkan mata, katanya, “Apakah Totiang ini pemilik
Jik-yang-koan?”
Kongsun To seperti ingin mengadu domba pula, sengaja dia bertanya, “Dalam
biara mana ada Toa-lopan (jurangan) segala?”
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Koancu (pemimpin biara) di dalam sebuah
biara adalah Toa-lopan, mucikari adalah Toalopannya para pelacur. Nama
Toa-lopan, siapa pun boleh saja menggunakannya.”
Tojin rambut putih sedang memegang sebuah biji catur, sebelum meletakkan
biji caturnya, mendadak dia mengangkat kepala, tertawa kepadanya, katanya,
“Betul aku adalah Toalopan tempat ini.”
Bing-gwat-sim tertawa manis, katanya, “Bagaimana dagangan di sini
belakangan ini?”
“Ya, masih mending, cukup lumayan, sembarangan waktu selalu ada saja
nyonya-nyonya pikun atau lelaki goblok bergerombol atau perseorangan yang
datang bersembahyang di sini, tidak jarang mereka memberi derma untuk keperluan
biara kami, terutama setiap hari raya di musim semi, wah, keuntungan yang masuk
sungguh luar biasa,” nada bicaranya betul-betul mirip seorang juragan.
Bing-gwat-sim tertawa riang, katanya, “Toa-lopan umumnya memang suka
berkelakar, suka humor, siapa nyana Toa-lopan yang satu ini juga amat jenaka.”
Tojin ubanan berkata, “Yah, aku ini memang seorang yang tidak punya
pantangan.” Dia pun tertawa riang.
Tawa Bing-gwat-sim justru mendadak seperti dipaksakan, “Tanpa pantangan?
Toa-lopan, kau she apa?”
“Aku she Nyo,” sahut Tojin ubanan.
“Nyo Bu-ki?” seru Bing-gwat-sim.
“Agaknya benar.”
Bing-gwat-sim tidak bisa tertawa lagi. Dia tahu tentang orang ini.
Tiga puluh tahun yang lalu, Nyo Bu-ki pernah sejajar dengan Butong
Ciangbun, dan ternama bersama Pa-san Tocu, sebagai salah satu dari
Jit-toa-khiam-khek (tujuh jago besar ilmu pedang) tanpa aliran. Dia juga tahu
empat kata pameo untuk menjuluki Tojin yang satu ini, pertama berbunyi 'tanpa
pantangan' dan diakhiri dengan 'tanpa pantangan' pula. Jarang orang tahu
keempat patah pameo itu. 'Tanpa pantangan, tertawa membunuh orang, kalau ingin
membunuh orang, tanpa pantangan'.
Konon bila orang ini bersikap dingin kepadamu, dia malah menganggap kau
sebagai sahabat, bila dia ramah-tamah dan tertawa sopan kepadamu, umumnya hanya
ada satu maksud, yaitu dia hendak membunuhmu. Konon bila dia mau membunuh
orang, bukan saja tanpa pantangan, peduli famili atau saudara kandung sendiri
juga tidak terkecuali, umpama naik ke langit masuk ke bumi juga kau akan
dikejar sampai jiwamu melayang.
Tadi dia sudah tertawa, sekarang juga masih tertawa. Lalu kapan dia siap
turun tangan? Maka Bing-gwat-sim mengawasinya, sekejap pun tidak berani lena.
Tak nyana Nyo Bu-ki malah menoleh pula, “Tak”, biji catur yang dipegangnya
itu ditaruh di papan catur, namun begitu biji catur itu dia taruh, lekas sekali
dia mengebaskan lengan bajunya menyapu minggir semua biji-biji catur itu,
serunya sambil menghela napas, “Kenyataan kau memang seorang juara, Pinto
mengaku kalah saja.”
Lelaki setengah umur berbaju hijau dan berkaos putih berkata, “Permainan
kali ini karena terpencar perhatianmu oleh gangguan orang, mana boleh mengaku
kalah begitu saja?”
Nyo Bu-ki berkata, “Sekali salah langkah, seluruhnya berantakan, kenapa
tidak boleh dianggap kalah?” Lalu dia menghela napas serta menambahkan,
“Apalagi main catur seperti juga latihan pedang, pikiran harus konsentrasi,
tidak boleh membagi perhatian, bila pikiran terpencar, mana boleh diagulkan
sebagai jago kosen?”
Kongsun To tertawa, katanya, “Untunglah meski Totiang waktu main catur
dapat diganggu konsentrasinya, namun di kala main pedang pasti akan penuh
keyakinan.”
Nyo Bu-ki berkata tawar, “Syukurlah memang demikian, maka Pinto sampai
sekarang masih dapat mencari hidup di dunia ini.”
Laki-laki baju hijau menghela napas, katanya, “Celakanya meski dalam
bermain catur aku dapat mencurahkan seluruh perhatian, bila bertanding pedang
justru pikiranku tidak keruan.”
Bing-gwat-sim bertanya, “Kau she apa?”
“Tidak boleh tahu, tidak boleh tahu,” kata orang baju hijau.
“Kenapa tidak boleh dikatakan?” Bing-gwat-sim menegas.
“Karena aku sebenarnya seorang keroco, aku hanya seorang kacung catur
belaka.”
“Kacung catur? Kacung catur siapa?”
Yan Lam-hwi tertawa, selanya, “Majikan kacung sudah tentu adalah Kongcu.”
Orang baju hijau itu seperti baru melihatnya, segera dia tertawa, katanya
sambil menjura, “Kiranya Yan-kongcu.”
“Sayang aku bukan Kongcumu.”
“Apakah belakangan ini Kongcu masih sering bermain catur?”
“Menyelamatkan jiwa juga masih terburu-buru, mana ada tempo bermain catur?”
“Cayhe justru ingin main catur, jiwa pun boleh dikorbankan, buat apa harus
melarikan diri?”
Yan Lam-hwi tertawa lebar, orang baju hijau tersenyum, ternyata kedua orang
ini sebelumnya sudah kenal satu dengan yang lain. Kalau begini tampang si
kacung, lalu orang macam apa pula sang majikan (Kongcu)?
“Apakah kongcumu belakangan ini masih sering main catur?” Yan Lam-hwi
bertanya.
“Sudah tidak pernah lagi.”
“Dia tidak main catur lagi, tentu bukan untuk menyelamatkan jiwa,
sebaliknya dia menuntut jiwa orang lain.”
Orang baju hijau tertawa lebar, Yan Lam-hwi tersenyum, apakah orang yang
mereka perbincangkan ini Kongcu Gi? Apakah Yan Lam-hwi dan Kongcu Gi sebetulnya
juga teman?
Orang baju hijau menjura pula, katanya, “Silakan Kongcu duduk lagi, Cayhe
mohon diri.”
“Kenapa kau tidak duduk lagi?”
“Aku datang untuk main catur, bila catur tidak bisa dimainkan, buat apa aku
tinggal?”
“Buat membunuh orang?”
“Membunuh orang? Siapa yang mau membunuh orang?”
“Aku,” mendadak Yan Lam-hwi menarik muka, matanya menatap dingin kepada
Kongsun To, “Orang yang ingin kubunuh adalah kau.”
Sedikitpun Kongsun To tidak merasa di luar dugaan, dia menghela napas
malah, katanya, “Kenapa setiap orang ingin membunuh aku?”
“Karena terlalu banyak manusia yang jadi korban keganasanmu.”
“Orang yang ingin membunuh aku juga tidak sedikit, namun sampai sekarang
aku masih hidup, masih segar bugar, masih panjang umur.”
“Ya kau sudah terlalui tua, mungkin hari inilah saat tibanya kematianmu.”
“Hari ini memang saat kematian, namun entah saat kematian siapa?” Kongsun
To bicara dengan nada memelas, sikapnya tetap tenang, namun nada bicaranya
mengandung hasutan, membakar amarah orang, membangkitkan emosi lawan, sengaja
menyakiti hati orang. Mungkin karena dia
pandai membawa diri dan berbuat demikian, maka sampai sekarang dia masih
hidup. Atau mungkin pula dia seorang yang semestinya sudah mati puluhan kali,
tapi tetap hidup, maka dalam menghadapi kematian dia tetap berlaku tenang dan
tabah.
Jelas Yan Lam-hwi bukan tandingannya dalam hal ini, perlahan dia melolos
pedang dari balik bajunya. Jong-hwikiam (Pedang mawar).
Pedang mawar adalah pedang lemas, biasanya melilit pinggang di dalam balik
pakaiannya, sarung pedangnya yang juga lemas entah terbuat dari anyaman apa dan
diwarnai dengan apa pula? Yang jelas warnanya juga merah, merah seperti
sekuntum mawar merah yang mekar, merah laksana darah musuh.
Melihat pedang ini, terunjuk rasa kagum dan hormat Kongsun To dari sinar
matanya, katanya, “Aku tahu tentang pedang ini, digembleng ratusan kali,
ditempa ribuan kali pula, bisa lemas dapat kaku, senjata tajam yang jarang ada
di dunia.”
“Aku juga tahu gantolanmu,” ucap Yan Lam-hwi.
Cakar elang memang menakutkan, namun senjata elang yang paling ampuh justru
bukan cakarnya, tapi paruhnya. Gantolan yang dipakai Kongsun To dinamakan paruh
elang, entah bentuk, bobot dan cara penggunaannya jauh berbeda dengan gantolan
yang sering terlihat di kalangan Kangouw.
Yan Lam-hwi tahu orang bersenjata paruh elang, namun dia belum pernah
melihatnya.
“Mana gantolanmu?” tanyanya.
Kongsun To tertawa, katanya, “Kapan kau pernah melihat seorang memetik kembang
dengan gantolan?”
“Memetik kembang?” Yan Lam-hwi menegas. “Apakah mawar bukan kembang?”
Orang baju hijau mendadak menyelutuk, “Jika kau ingin memetik mawar, maka
jangan kau lupa kalau mawar ada durinya, bukan saja dapat menusuk tangan, juga
dapat menusuk hati orang.”
Kongsun To berkata, “Aku sudah tidak punya hati untuk ditusuk.”
“Tapi tanganmu masih ada dan tanganmu boleh ditusuk,” orang baju hijau
mendesak.
“Kalau dia melukai tanganku, akan kulukai hatinya.”
“Dengan apa kau hendak melukai hatinya?”
“Dengan orang.”
“Orang? Siapa?”
“Co Giok-cin.”
“Jadi kalau dia melukai kau, kau akan membunuh Co Giokcin?”
Kongsun To mengangguk, katanya, “Co Giok-cin tidak boleh mati, maka aku pun
belum saatnya mampus, hanya dia saja yang boleh mati.”
Orang baju hijau berkata, “Dalam duel nanti, kau sudah menempatkan diri
pada posisi yang tidak terkalahkan?”
“Memangnya perlu diragukan?” ujar Kongsun To sambil mengawasi Yan Lam-hwi
dengan tersenyum, “Oleh karena itu sekarang kau harus mengerti, hari ini saat
kematian siapa?”
“Saat kematianmu,” bentak Yan Lim-hwi, suaranya lebih dingin, “Orang mati
takkan bisa membunuh orang, aku ingin mempertahankan jiwa Co Giok-cin, maka
jiwamu harus melayang lebih dulu.”
Kongsun To menghela napas, katanya, “Agaknya kau belum jelas duduk
persoalannya, karena tadi aku sudah mengucapkan sepatah kata, kau tidak
mendengar.”
“Aku sudah mendengar,” orang baju hijau berkata.
“Apa yang kukatakan?” tanya Kongsun To.
“Tadi kau bilang, begitu kau melihat darah, Co Giok-cin akan segera kau
bunuh,” orang baju hijau menjelaskan.
“Kepada siapa tadi aku bilang?”
“Aku tidak kenal siapa dia, hanya tahu kau memanggilnya Jari telunjuk.”
“Dimana dia sekarang?”
“Sudah pergi membawa Co Giok-cin.”
“Kemana mereka?”
“Aku tidak tahu.”
“Siapa yang tahu?”
“Agaknya tiada yang tahu,” ujar orang baju hijau.
“Memang tiada seorang pun yang tahu,” Kongsun To tersenyum mengawasi Yan
Lam-hwi. “Sekarang apakah kau sudah paham seluruhnya.”
Yan Lam-hwi mengangguk, ternyata sikapnya tetap tenang dan wajar.
Maka Kongsun To bertanya, “Hari ini saat kematian siapa?”
“Saat kematianmu,” Yan Lam-hwi menjawab tegas.
Kongsun To menggeleng kepala dengan tersenyum getir, “Agaknya bukan saja
orang ini keras kepala, kukuh dan juga goblok, ternyata sejauh ini dia masih
belum mengerti.”
“Kaulah yang belum mengerti, karena dihitung seribu kali, diulang selaksa
kali, kau tetap melupakan satu hal.”
“Ah, apa begitu?”
“Kau lupa aku tidak boleh mati dan tidak ingin mati, apalagi jika aku mati,
Co Giok-cin tetap tidak bisa tertolong, karena itu kenapa aku harus mandah kau
bunuh? Kenapa tidak aku saja yang membunuhmu?”
Kongsun To melenggong, katanya kemudian, “Kalau kedua pihak sama-sama tidak
boleh mati, coba katakan, lalu bagaimana baiknya?”
“Keluarkan gantolanmu, lawanlah pedangku, dalam sepuluh jurus, jika aku
tidak bisa mengalahkan engkau, akan kuserahkan satu jiwa kepadamu.”
“Jiwa siapa?”
“Jiwaku.”
“Bagus, kalau kau dapat mengalahkan aku, aku berikan berikan satu jiwa
kepadamu?”
“Sudah tentu, imbalan harus setimpal.”
“Jiwa siapa yang kau kehendaki? Jiwa Co Giok-cin?”
“Akan kusaksikan kau menyerahkan dia di hadapanku dengan laku hormat dan
sopan.”
Kongsun To menepekur sebentar, lalu tanyanya kepada orang baju hijau, “Apakah
perkataan ini langsung diucapkan oleh mulut Yan Lam-hwi?”
Orang baju hijau mengangguk sambil mengiakan. “Apakah Yan Lam-hwi seorang
yang dapat dipercaya?”
“Sepatah katanya senilai ribuan
tahil emas, mati pun dia tidak menyesal.”
Tiba-tiba Kongsun To tertawa, tertawa lebar, “Sebenarnya obrolan panjang
lebarku ini memang menunggu pernyataannya ini.” Ketika gelak tawanya terhenti,
gantolan pun sudah berada di tangannya.
Gantolan yang mengkilap terang, seterang mata elang, setajam paruh elang,
walau bobotnya cukup berat, namun gerak perubahannya teramat lincah dan enteng.
Kongsun To tersenyum, katanya, “Tahukah kau dimana kegunaan gantolanku
ini?”
“Coba terangkan,” tantang Yan Lam-hwi.
Kongsun To mengelus pucuk gantolannya yang runcing, katanya, “Walau bobot
gantolan ini cukup berat, di dalam rumah juga dapat dimainkan secara wajar,
entah bagaimana dengan pedangmu?”
“Jika aku terdesak keluar kamar ini, anggaplah aku yang kalah.”
Kongsun To tertawa lebar, serunya, “Bagus, tidak lekas kau cabut pedangmu,
mau tunggu apa lagi?”
“Tidak perlu.”
“Tidak perlu?”
“Pedang di dalam sarung juga dapat membunuh orang, lalu kenapa harus
dicabut? Setelah tercabut, kemungkinan malah tidak bisa untuk membunuh orang.”
“Lho, kenapa?”
“Karena letak yang paling menakutkan dari pedang ini bukan pada mata
pedangnya, tapi terletak pada sarung pedangnya.”
Kongsun To tidak mengerti, “Apakah sarung pedang lebih tajam dari mata
pedang?”
Yan Lam-hwi mengelus sarung pedangnya yang merah, katanya, “Tahukah kau dengan
apa aku mewarnai sarung pedangku ini?”
Kongsun To tidak tahu.
“Dengan getah mawar darah.”
Agaknya Kongsun To juga tidak tahu apa itu mawar darah, bahwasanya belum
pernah dia mendengar jenis kembang ini.
Maka Yan Lam-hwi menerangkan, “Mawar darah adalah kembang mawar yang selalu
kusiram dengan lima jenis darah beracun.”
“Lima jenis darah beracun? Jenis panca bisa apakah itu?”
“Jit-jun-im-coa, Pek-coat-bu-siong, Jian-lian-ham-hian, Jikhwe-tok-koat.”
“Dan satu lagi?”
“Satu lagi ialah darah dari durjana yang khianat.”
Kali ini Kongsun To ternyata tidak bisa tertawa lagi.
Yan Lam-hwi berkata lebih lanjut, “Lima jenis kejahatan itulah yang akan
ditumpas oleh pedang mawar, jika berhadapan dengan orang yang berbakti,
pembesar setia, ksatria dan pahlawan bangsa, pedang ini justru tidak mampu
dikembangkan.”
“Lalu perbawa sarung pedang?” tanya Kongsun To.
Yan Lam-hwi tidak menyangkal, “Bila berhadapan dengan kelima bisa, sukma
kembang dari mawar darah akan hidup di atas pedang.” Dia menatap Kongsun To,
lalu meneruskan, “Bila kau salah satu dari panca bisa itu, kau akan mencium
suatu aroma wangi secara aneh, maka sukma kembang dari mawar darah secara di
luar sadarmu akan mencabut sukmamu.”
Kongsun To tertawa lebar, codet bekas bacokan di mukanya tampak berkerut
laksana ulat yang meringkel, seperti ular yang saling lilit.
“Kau tidak percaya?” Yan Lam-hwi mengancam.
“Kalau pedangmu ada sukma kembang, gantolanku juga ada.”
“Ada apa?”
“Setan gentayangan perenggut sukma,” gelak tawanya berderai seram, wajahnya
menyeringai sadis, “Entah berapa banyak setan gentayangan hasil gantolanku ini,
kini seluruhnya sedang menunggu aku mencarikan korban pengganti mereka, supaya
mereka lekas menitis kembali.”
“Aku percaya, aku pun bisa membayangkan, yang paling mereka harapkan untuk
ditemukan adalah sukmamu.”
“Kenapa tidak segera kau turun tangan?” tantang Kongsun To. “Sekarang aku
sudah turun tangan.”
Tawa Kongsun To seketika sirna, ular-ular di kulit mukanya itu seperti
mendadak dicekik lehernya, dan sekali betot jiwanya seketika melayang.
Pedang Yan Lam-hwi memang sudah mulai bergerak, gerakannya amat lambat,
gerakannya seperti membawa irama yang aneh menakjubkan, seolah-olah kelopak
kembang mawar yang bertaburan ditiup angin musim semi.
Gerakan pedang ini bukan saja tidak tepat, juga tidak punya kecepatan yang
menggiriskan, seluruhnya tidak memperlihatkan setitik pun perbawanya yang mampu
membunuh jiwa orang.
Kongsun To tertawa dingin, gantolannya menyerang, serangannya cepat dan
tepat. Pertempuran besar kecil menentukan mati-hidup selama beberapa tahun ini
menjadikan dia menyederhanakan gantolannya, maka setiap kali menyerang dia
yakin berhasil.
Tapi sekali ini, serangan gantolannya itu justru tergulung ke dalam irama
pedang mawar yang mengandung nada aneh mengalun, seumpama kulit kerang yang
tajam tergulung ombak dan tenggelam di dalam lautan. Bila ombak menyurut, maka
perbawa serangannya pun sirna tak berbekas. Maka hidungnya lantas mengendus
serangkum bau wangi yang magis, pandangannya mendadak berubah serba merah
segar, kecuali warna merah yang menyala itu, tiada warna lain, seperti tabir
merah yang mendadak terbentang di depan matanya.
Jantungnya bergetar, dengan gantolan di tangan, dia menyingkap tabir merah
itu, lalu menusuknya agar berlubang bolong, namun reaksinya sudah terlalu
lamban, gerakannya berat. Ketika tabir merah itu sirna, pedang mawar sudah
mengancam tenggorokannya.
Baru sekarang dia merasa tenggorokannya mendadak kering, mulutnya getir,
rasa letih juga merangsang sekujur badan, begitu lelahnya sampai badan lemas
dan hampir muntah-muntah.
“Trang”, gantolannya jatuh di tanah.
Nyo Bu-ki menarik napas panjang, jelas barusan dia pun seperti mengalami
sendiri apa yang dirasakan oleh Kongsun To, akan tekanan misterius yang
terpancar dari pedang mawar. Empat puluh tahun dia belajar dan meyakinkan
pedang, ternyata tidak tahu dan tak mampu melihat jelas ilmu pedang apa yang
dikembangkan Yan Lam-hwi.
Orang baju putih juga menghembus napas pendek, gumamnya, “Inikah Sin-kiam
(pedang hati)? Betul-betul tumbuh sukma kembang di atas pedang?”
Yan Lam-hwi berkata, “Belum lagi tumbuh, hanya siuman sekilas saja,” ujar
Yan Lam-hwi.
“Jika betul-betul tumbuh?” tanya orang baju hijau.
Sikap Yan Lam-hwi tampak serius, katanya perlahan, “Sukma kembang hidup,
keinginan pun pasti tercapai, umpama harus mati, aku pun boleh berlega hati.”
Orang baju hijau berkata, “Bila sukma kembang tumbuh, pasti ada orang
mati?”
“Ya, pasti mati.”
“Siapa yang mati?”
“Sedikitnya ada dua orang, yang satu aku, seorang lagi adalah dia tidak
melanjutkan, orang baju hijau juga tidak mendesak.
Kedua orang ini mendadak menampilkan rona aneh di muka mereka, mendadak
keduanya tertawa bersama.
Yan Lam-hwi tertawa gembira, pedang mawar tetap mengancam tenggorokan
Kongsun To, dia tahu, segera dia akan bertemu dan melihat Co Ciok-cin.
“Siapkan kereta dan kedua, suruh orangmu mengantar nona Co naik kereta,
lalu antar kami keluar.”
Syarat yang diajukan diterima oleh Kongsun To.
Dengan tersenyum lebar Bing-gwat-sim berdiri, dalam hati dia menghela
napas, syukur sekali mereka tidak gagal.
Siau Si-bu tetap membersihkan kuku jarinya, jari-jari tangannya tetap
tenang, tidak goyah, sorot matanya yang semula dingin ternyata sudah
menampilkan rasa gelisah.
Karena Pho Ang-soat terus mengawasinya, di waktu Yan Lam-hwi bergebrak,
sorot matanya tidak berkedip, berpaling pun tidak. Kecuali sepasang tangan
pemuda ini, seolah-olah tiada sesuatu persoalan di dunia ini yang patut
dipandangnya.
Otot hijau sudah merongkol di punggung tangan Siau Si-bu, seakan-akan dia
sudah mengerahkan banyak tenaga baru mempertahankan ketenangan kedua tangannya
itu. Gerak geriknya masih lamban, gayanya pun tidak berubah, bisa berbuat
seperti apa yang dilakukan sekarang sebetulnya juga bukan soal sepele.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, “Tanganmu amat tenang dan mantap.”
“Selamanya tidak pernah goyah,” tawar suara Siau Si-bu.
“Gerakanmu pasti juga cepat, dan lagi begitu pisau lepas dari tangan,
kemampuan pisau itu sendiri masih mengandung perubahan.”
“Kau bisa melihatnya?”
“Kulihat kau melempar pisau dengan tiga jari tanganmu, maka di atas mata
pisaumu itu kau tinggalkan tenaga pusaran, aku juga dapat melihat kau melempar
pisau dengan tangan kiri mengarah ke samping baru menyerang sasaran.”
“Bagaimana kau bisa melihatnya?”
“Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah tangan kirimu amat besar
tenaganya.”
“Pandangan tajam, patut dipuji,” dingin nada Siau Si-bu, namun wajahnya
tampak kelam.
“Pisau bagus,” puji Pho Ang-soat.
“Memang pisau bagus,” jumawa sikap Siau Si-bu.
“Walau pisaumu bagus, tapi masih bukan tandingan Yap Kay.”
Gerak-gerik Siau Si-bu mendadak berhenti.
Akhirnya Pho Ang-soat pun berdiri, katanya, “Bila pisau terbang Yap Kay
disambitkan, di dunia ini paling hanya seorang yang dapat menggagalkannya.”
Merongkol pula otot di punggung tangan Siau Si-bu, desisnya tajam,
“Bagaimana pisauku?”
Tawar suara Pho Ang-soat, “Dalam rumah ini sedikitnya ada tiga orang yang
dapat menggagalkan serangan pisaumu.”
“Kau salah satu di antaranya?”
“Sudah tentu, memangnya harus disangsikan?” tegas jawaban Pho Ang-soat,
perlahan dia membalik badan, tanpa berpaling dia beranjak keluar.
Siau Si-bu mengawasi dia keluar, ternyata dia tidak bergerak, juga tidak
bicara. Pisau masih berada di tangan, namun pisaunya pasti tidak sembarangan
disambitkan.
Dia tertawa dingin sambil mengawasi tapak kaki di atas tanah.
Tapak yang ditinggalkan kaki Pho Ang-soat cukup dalam, waktu dia melangkah
keluar dari pintu itu, seluruh kekuatan badannya telah terpusatkan. Karena dia
harus memusatkan seluruh tenaganya, bersiap menyambut timpukan pisau Siau
Si-bu, tapi pisau Siau Si-bu tidak disambitkan.
Ketika Pho Ang-soat berada di luar pintu, dia menengadah menghela napas
panjang, kelihatannya dia amat kecewa, bukan saja kecewa, juga mendelu.
Mendadak disadarinya bahwa pemuda ini jauh lebih menakutkan dari musuh mana
pun yang pernah dihadapinya.
Tadi dia sudah tahu gaya mempermainkan pisau orang, maka dia memancingnya
supaya pemuda ini turun tangan. Kalau sekarang dia turun tangan, dia yakin
dirinya masih mampu menyambut serangannya.
Siapa tahu ketenangan pemuda ini ternyata jauh lebih mantap dari pisau di
tangannya itu, lebih menakutkan pula.
“Tiga tahun lagi, bila dia turun tangan, apakah aku masih mampu menyambut
serangannya?” batin Pho Ang-soat.
Di depan berkumandang ringkik kuda, pekarangan kecil ini masih dalam
suasana tenang, mendadak gemuruh emosi Pho Ang-soat, ingin rasanya dia berbalik
membunuh pemuda itu. Tapi dia tidak berpaling, perlahan dia melangkah keluar.
Yang berjalan paling depan adalah Yan Lam-hwi dan Kongsun To, pedang mawar
masih mengancam tenggorokan Kongsun To, Yan Lam-hwi menghadap, ke arahnya,
selangkah demi selangkah mundur ke belakang.
Kongsun To justru tidak mau berhadapan muka, matanya dipejamkan, keadaannya
seperti seorang yang menggiring si buta dengan sebatang bambu.
Tapi si buta yang satu ini sungguh amat berbahaya, sedikit lena pun tidak
boleh, karena sekilas saja akibatnya bisa fatal, maka dia tidak boleh
mengendorkan kewaspadaan.
Yang terakhir keluar dari kamar semadi adalah Bing-gwatsim, baru saja
hendak mempercepat langkah menyusul Pho Ang-soat, mendadak Nyo Bu-ki muncul di
sampingnya, katanya, “Tahukah kau tempat apa di belakang tembok itu?” Bing-gwat-sim
menggeleng.
Nyo Bu-ki tertawa, katanya, “Segera juga kau akan tahu.” Melihat orang ini
tertawa, tangan Bing-gwat-sim berkeringat dingin.
Nyo Bu-ki malah menyurut mundur, dengan tersenyum dia mengangguk, pada saat
itulah dari balik tembok pendek sana sekaligus muncul sembilan orang. Sembilan
orang tiga belas jenis Am-gi, setiap jenis sedikitnya ada tiga buah, suara
jepretan gendewa atau bekerjanya alat-alat rahasia seperti berpadu, tiga
puluhan bintik sinar dingin selebat hujan memberondong datang.
Reaksi Bing-gwat-sim tidak lamban, begitu jepretan gendewa berbunyi, dia
pun sudah mengembangkan Ginkangnya.
Tabir cahaya golok datang laksana kilat cepatnya telah membantu merontokkan
sebagian besar Am-gi yang menyerang. Bing-gwat-sim kembangkan gerakannya
berkelit ke kiri, sehingga sisa Am-gi yang masih menyambar tiada yang mengenai
tubuhnya, baru saja dia menghela napas lega, sebilah pedang tahu-tahu sudah
menusuk ketiak kanannya, hampir dia tidak merasakan sakit sama sekali.
Mata pedang dingin dan runcing, dia hanya merasa tubuhnya mendadak menjadi
dingin, dilihatnya Pho Ang-soat yang pucat itu mendadak menampilkan mimik yang
aneh dan lucu, mendadak tangannya diulur menarik dirinya. Kejap lain dia sudah
jatuh ke dalam pelukan Pho Ang-soat.
Nyo Bu-ki menggunakan sebatang pedang Siong-bun-kokiam, pedangnya itu
sekarang sudah terlolos dari sarungnya, ujung pedang masih meneteskan darah.
Matanya menatap darah di ujung pedangnya, wajahnya mendadak berubah tidak
berekspresi sama sekali.
Sekali sergap pasti kena.
Dia sudah memperhitungkan bahwa Pho Ang-soat pasti mencabut golok sudah
diperhitungkan ke arah mana Binggwat-sim akan menyingkir, maka di sanalah
pedangnya sudah menunggu, setiap gerakan, setiap posisi yang paling ruwet
sekalipun sudah berada dalam perhitungannya yang cermat, dia sudah
memperhitungkan satu kali tusuk pasti kena.
Sembilan orang yang barusan muncul dari balik tembok pendek kini sudah
tidak kelihatan lagi, Pho Ang-soat tidak mengejar mereka, hanya memandang
dingin kepada Nyo Buki.
Yan Lam-hwi juga sudah berhenti, tangannya yang memegang pedang tampak
gemetar.
Mendadak Nyo Bu-ki berkata, “Lebih baik kau berhati-hati, jangan kau
melukainya, jika dia mati, Co Giok-cin juga pasti akan mati.”
Yan Lam-hwi mengertak gigi, desisnya, “Kau ini seorang jago pedang yang
kenamaan, tempat ini adalah biara tetirahmu, dengan cara keji dan kotor kau
membokong serta melukai seorang perempuan, sebetulnya kau ini barang apa?”
Tawar suara Nyo Bu-ki, “Aku adalah Nyo Bu-ki, aku ingin membunuhnya.”
Orang baju hijau berdiri jauh di samping pintu kamar semadi, katanya
setelah menghela napas, “Jika ingin membunuh orang, selalu tanpa pantangan, Nyo
Bu-ki ternyata memang Nyo Bu-ki.”
Kata Nyo Bu-ki pula, “Kalau sekarang aku tidak membunuhnya, kesempatan baik
ini terabaikan begini saja, kelak mungkin tiada kesempatan kedua.”
Pho Ang-soat menatapnya, satu tangan menggenggam golok, tangan yang lain
memeluk Bing-gwat-sim yang pingsan, terasa olehnya badan Bing-gwat-sim sudah
mulai dingin.
“Kalian ingin menuntut balas kematiannya?” Nyo Bu-ki menantang.
Sepatah kata pun Pho Ang-soat tidak bicara, dia mulai mundur ke belakang.
Yan Lam-hwi mengawasi Bing-gwat-sim dalam pelukan Pho Ang-soat, lalu
menatap Kongsun To yang terancam di ujung pedangnya.
Kongsun To tetap memejamkan mata, mukanya yang penuh codet mirip selembar
topeng.
Mendadak Yan Lam-hwi juga mulai mundur.
Ternyata Nyo Bu-ki tidak merasa heran, katanya tawar,
“Kereta kuda sudah disiapkan, Co Giok-cin sudah menunggu di atas kereta,
semoga kalian selamat sepanjang jalan.”
Yan Lam-hwi berseru, “Kau tidak kuatir setelah naik kereta aku akan
membunuh Kongsun To?”
Nyo Bu-ki berkata, “Kenapa aku harus takut? Mati hidup Kongsun To ada
sangkut-paut apa dengan diriku?” Mendadak dia membalik tubuh terus beranjak ke
arah kamar semadi, waktu tiba di depan pintu dia menarik orang baju hijau,
katanya pula, “Hayolah kita bermain catur lagi.”
Orang baju hijau segera mengangguk, katanya sambil tersenyum, “Aku kemari
memang ingin main catur.”
Kereta kuda memang sudah lengkap tersedia.
Seorang nyonya muda yang hamil, tengah duduk di pojok sambil menunduk
sesenggukan.
Pho Ang-soat membawa Bing-gwat-sim naik ke atas kereta, pedang mawar masih
mengancam tenggorokan Kongsun To.
“Buka matamu,” hardik Yan Lam-hwi beringas.
Kongsun To segera membuka mata.
Yan Lam-hwi menatapnya, katanya penuh kebencian, “Sebetulnya ingin aku
membunuhmu.”
“Tapi kau tidak akan turun tangan,” kalem suara Kongsun To, “karena kau
adalah Yan Lam-hwi yang boleh dipercaya.”
Lama Yan Lam-hwi menatapnya pula, mendadak kakinya melayang menendang
perutnya.
“Huk”, Kongsun To segera meliuk badan, perlahan badannya menjungkir roboh
seperti udang kepanasan. Air mata, ingus dan keringat dingin bercucuran
bersama.
Tanpa memandangnya lagi Yan Lam-hwi berputar menghadap sais kereta,
katanya, “Lajukan kereta ke depan, sekejap pun tidak boleh berhenti, jika kau
berani main gila, jangan kau lupa bahwa pedangku berada di belakangmu.”
Kabin kereta besar dan luas, tempat duduknya juga empuk, sais yang pegang
kendali juga ahli pada bidangnya, kereta kuda ini memang cukup menyenangkan,
siapa pun yang duduk di dalam kereta ini akan merasa nyaman, tapi sekarang
mereka yang berada di dalam kereta tiada yang merasa gembira.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, “Seharusnya aku sudah membunuh Siau Si-bu.”
“Tapi kau tidak turun tangan,” kata Yan Lam-hwi. “Karena aku agak kuatir,
maka “Maka kau terlambat.”
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Kalau mau membunuh orang, tanpa
pantangan kesempatan diabaikan, selamanya takkan kembali pula.” Perkataannya
perlahan, setiap patah katanya seperti dikunyah lebih dulu.
Lama Yan Lam-hwi menepekur, baru kemudian dia berkata, “Kesempatanku untuk
membunuh Kongsun To mungkin juga susah kucari lagi.”
“Untung Bing-gwat-sim belum mati, nona Co juga selamat tidak kurang
apa-apa.”
Co Giok-cin yang duduk di pojok tiba-tiba menyeka air mata, menatapnya,
lalu berkata, “Kau inikah Pho Ang-soat?”
Pho Ang-soat manggut-manggut.
Co Giok-cin terharu, “Aku belum pernah melihatmu, tapi sering kudengar Jiu
... Jiu-toako bicara tentang dirimu, dia sering bilang kau adalah teman
satu-satunya yang dapat dipercaya, dia pun sering bilang
“Bilang apa?”
“Selalu dia berpesan wanti-wanti, bila aku tertimpa suatu bencana di saat
dia tidak mampu melindungi diriku, aku disuruh mencarimu, maka wajahmu dia
lukiskan amat terperinci.” Kepalanya tertunduk serta terisak lagi, “Yang tidak
terduga, sekarang aku masih hidup, dia malah Sampai di sini isak tangisnya
makin keras, lalu mendekam di tempat duduk dan menangis tergerung-gerung.
Dia seorang perempuan cantik, kecantikannya termasuk anggun, lembut dan
lemah, perempuan jenis inilah yang gampang menarik belas kasihan orang lain.
Walaupun Binggwat-sim pintar dan keras hati, kalau Pho Ang-soat tidak segera
menutuk Hiat-tonya mencegah darah mengalir terlalu banyak, sekarang mungkin
jiwanya sudah melayang.
Mengawasi mereka, Yan Lam-hwi menghela napas, “Apa pun yang terjadi,
jelek-jelek kita sudah bekerja sekuat tenaga sebagai pertanggungan jawab kita
kepada Jiu-cengcu.”
“Tiada pertanggungan jawab,” tiba-tiba Pho Ang-soat berkata.
“Tiada?” Yan Lam-hwi berteriak setengah tidak percaya.
Setajam pisau Pho Ang-soat menatap perempuan di sampingnya, suaranya
dingin, “Nona ini bukan Co Giok-cin, pasti bukan.”
ooooOOoooo
Bab 10. Perubahan
Isak tangis mendadak berhenti, Co Giok-cin mengangkat kepala memandang Pho
Ang-soat dengan pandangan kaget, “Aku bukan Co Giok-cin? Kenapa kau bilang aku
bukan Co Giok-cin?”
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaannya, malah bertanya tentang persoalan
yang tidak pantas dia ketahui, “Sudah berapa bulan kau hamil?”
Co Giok-cin ragu-ragu, akhirnya menjawab, “Tujuh bulan.”
“Kau sudah hamil tujuh bulan, tapi ayahmu baru tahu hubungan gelapmu ini,
memangnya dia buta?”
“Dia tidak buta, dia bukan ayah kandungku,” suaranya mengandung rasa benci
dan penasaran. “Aku sudah lama tahu akan hal ini, aku kenal Jiu Cui-jing juga
dia yang mengatur, karena Jiu Cui-jing adalah tokoh besar dalam kalangan Kangouw,
Cengcu dari Khong-jiok-san-ceng, seorang yang paling dikagumi oleh
Lau-congpiauthau.”
“Lau-congpiauthau?” Yan Lam-hwi menimbrung, “Lau Tinkok dari Tin-wan
Piaukiok? Apakah ayahmu Piausu Tin-wan Piaukiok?”
“Semula memang betul,” sahut Co Giok-cin.
“Dan sekarang?” Yan Lam-hwi mendesak.
“Dia terlalu banyak minum arak, Piaukiok mana pun pasti tidak mau mempunyai
Piausu yang sering mabuk seperti dia.”
“Jadi Lau Tin-kok telah memecatnya?” Yan Lam-hwi bertanya.
Co Giok-cin mengangguk, katanya, “Lau-congpiauthau sih tidak melarang anak
buahnya minum arak, tapi setelah minum arak seorang Piausu sejawatnya dianggap
perampok yang mau membegal, sebelah tangannya dibacok buntung lagi, bukankah
perbuatannya keterlaluan.”
“Jadi hendak memperalat hubunganmu dengan Jiu Cui-jing, untuk memulihkan
kedudukannya di Tin-wan Piaukiok?” tanya Yan Lam-hwi.
“Memang besar keinginannya sampai hampir gila, umpama aku ini putri
kandungnya juga tidak segan-segan dia berbuat demikian.”
“Sayang Jiu Cui-jing tidak sudi berbuat demikian, Lau Tinkok juga bukan
manusia yang cupat pikiran, mementingkan hubungan tidak memikirkan kepentingan
umum.”
“Oleh karena itu walau setiap bulan Jiu Cui-jing menyokong seratus tahil
perak untuk beli arak, dia masih belum puas, setiap kali mabuk, selalu berusaha
menyiksa aku.”
“Hingga pagi hari ini kau betul-betul tidak tahan lagi?”
“Aku ini seorang perempuan, namanya saja adalah putrinya, apa pun yang dia
lakukan terhadapku, aku harus menerima dan menelan kegetiran ini, tapi pagi
hari ini...”
“Pagi hari ini apa yang dilakukannya?”
“Dia hendak memukul anak dalam kandunganku supaya gugur, dia melarang aku
melahirkan anak Jiu Cui-jing karena ... karena dia sudah mendengar berita buruk
dari Khong-jioksan-ceng.”
Yan Lam-hwi terkesiap, katanya dengan mata terbeliak, “Peristiwa itu
terjadi semalam, tidak mungkin dia bisa tahu secepat itu.”
“Tapi kenyataan dia sudah tahu.”
Masam muka Yan Lam-hwi, lebih pucat dari muka Pho Ang-soat.
Hanya sejenis orang yang bisa memperoleh berita dengan cepat, berita kilat.
Umpama semalam dia tidak ikut meluruk ke Khong-jiong-san-ceng, tidak menjadi
algojo, pasti juga ikut penjaga atau kurir.”
“Jika aku melihat orang sebanyak itu dibantai secara kejam, setelah pulang
pasti juga ingin minum arak sampai mabuk,” demikian kata Yan Lam-hwi.
Sejak tadi Pho Ang-soat diam saja, mendadak dia bertanya, “Kau kenal Lau
Tin-kok? Dia orang macam apa?”
“Usaha Tin-wan Piaukiok makin besar, cabangnya juga luas, untuk menjadi
seorang Piausu Tin-wan Paukiok diperlukan ujian yang cukup berat.”
“Dia pandai memilih orang.”
“Pegawainya semua pilihan, jago-jago kelas satu,” sahut Yan Lam-hwi.
Mengepal jari-jari Pho Ang-soat.
Co Giok-cin berkata, “Kungfu ayah angkatku tidak lemah, jikalau arak tidak
membuatnya rusak, bukan mustahil suatu ketika dia bisa diangkat menjadi
Congpiauthau.”
Dingin perkataan Pho Ang-soat, “Menjadi Congpiauthau sukar, membunuh orang
mudah.”
“Kau kira dia juga salah seorang pembunuhnya?” tanya Yan Lam-hwi.
“Kalau bukan pembunuh juga pembantu kejahatan.”
“Kalau begitu, marilah kita mencarinya.”
“Waktu naik kereta tadi sudah kuberi pesan, jalan yang kita tempuh sekarang
juga menuju ke sana,” ujar Pho Ang-soat, lalu dipandangnya Co-Giok-cin, “Karena
itu aku harap apa yang kau katakan semuanya benar.”
Co Giok-cin balas menatapnya, pembohong tidak akan berani balas menatap
matanya, juga tidak akan memperlihatkan sikap yang wajar begini.
Yan Lam-hwi menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat, seperti ada pendapat
yang ingin dia kemukakan. Sebelum dia buka suara, seorang sudah berkata dengan
keras, “Sekarang jangan kita pulang ke rumah keluarga Co.”
Ternyata Bing-gwat-sim sudah siuman, dia terlalu banyak mengeluarkan darah,
badannya teramat lemah, kelihatannya dia harus mengerahkan sisa tenaganya untuk
melontarkan perkataannya tadi.
Yan Lam-hwi meletakkan badannya supaya tidur lebih enak, lalu bertanya,
“Kenapa kita tidak boleh pulang ke rumah keluarga Co?”
Napas Bing-gwat-sim memburu, katanya, “Karena di sana sekarang pasti sudah
ada perangkap keji.” Besar hasratnya mengemukakan apa yang terkandung dalam
hatinya, sehingga wajahnya yang pucat bersemu merah, “Kongsun To tentu tidak
berpeluk tangan, tentu dia juga menduga bahwa kita pasti akan pergi ke rumah Co
Tang-lay, orang mereka banyak, semuanya jago-jago lihai, aku sendiri sudah
terluka parah.”
Yan Lam-hwi mencegahnya banyak bicara, “Aku mengerti maksudmu, Pho Ang-soat
juga pasti maklum.”
“Kalian tidak mengerti,” kata Bing-gwat-sim ngotot, “bukan demi diriku, aku
juga tahu dengan kekuatan kalian berdua mungkin kuat menghadapi mereka, tapi
bagaimana dengan nona Co? Kalian harus menghadapi pedang Nyo Bu-ki, gantolan
Kongsun To, harus waspada pula pada pisau terbang Siau Si-bu, mana punya
kesempatan untuk melindunginya?”
Pho Ang-soat tidak bersuara, juga tidak memberi reaksi.
Bing-gwat-sim mengawasinya, katanya, “Kali ini kau harus tunduk pada
usulku, sekarang kau harus lekas menghentikan kereta ini dan putar balik.”
“Tidak perlu,” pendek jawaban Pho Ang-soat.
“Dan ... kenapa tidak kau dengar usulku?” Bing-gwat-sim amat menyesal.
Wajah Pho Ang-soat tetap kaku, katanya tawar, “Karena jalan raya ini bukan
menuju ke rumah keluarga Co.”
Bing-gwat-sim melengak, serunya, “Bukan? Bagaimana bisa bukan?”
“Karena aku suruh dia membawa kereta ini keluar kota, mana berani dia
menempuh jalan lain?”
Lega hati Bing-gwat-sim, katanya, “Ternyata jalan pikiranmu sama dengan
aku.”
Dingin dan keras tegas suara Pho Ang-soat, “Selamanya aku tidak pernah
mempertaruhkan jiwa orang untuk menempuh bahaya.”
“Tapi tadi kau......”
“Tadi aku bilang demikian hanya untuk mencoba dan menjajaki hati nona Co
saja.”
Sebelum dia bicara habis, kereta mendadak berhenti, sang kusir melongok ke
belakang dan berkata dengan mengunjuk tawa berseri, “Sekarang sudah berada di
luar kota, kemana lagi Pho-tayhiap akan pergi?”
Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasi wajah orang yang berseri itu,
tiba-tiba dia bertanya, “Bukankah yang kau latih kungfu dari
Sian-thian-bu-kek-pay?”
Tawa si kusir mendadak kaku, sahutnya, “Hakikatnya hamba tidak pernah
latihan kungfu segala.”
Pho Ang-soat tidak menghiraukan jawabannya, tanyanya pula, “Tio Bu-kek, Tio
Bu-liang bersaudara apakah ayah dan pamanmu? Atau gurumu?”
Si kusir menatapnya dengan terbelalak kaget, seperti mendadak melihat setan
yang menakutkan. Dia memang mahir sebagai kusir, sejak tadi duduk tenang
memegang kendali, bukan saja tidak melakukan gerakan apa pun, dia pun tunduk
pada perintah, sungguh dia tidak habis mengerti, makhluk aneh yang bermuka
pucat ini, bagaimana bisa membongkar asal-usulnya.
Pho Ang-soat berkata, “Kulit dagingmu mengkilap, poriporimu kelihatan
lembut berhimpit, sehingga mirip sesuatu barang yang direndam dalam minyak,
hanya seorang yang pernah meyakinkan Khikang tunggal dari Sian-thian-bu-kekpay
saja baru memperlihatkan gejala-gejala kulit tangan yang berbeda.”
Tajam benar pandangan makhluk aneh ini, akhirnya si kusir menghela napas,
katanya tertawa getir, “Cayhe Tio Ping, Tio Bu-kek adalah ayahku.”
“Bukankah kau masih punya nama lain dan biasa dipanggil Jari telunjuk?”
tanya Pho Ang-soat pula.
Terpaksa Tio Ping mengangguk, dia insyaf di hadapan makhluk aneh ini
hakikatnya dia tidak bisa berbohong lagi.
Pho Ang-soat berkata, “Menilai keluarga dan asal-usulmu, ternyata kau
melakukan kejahatan yang memalukan, sepantasnya aku mewakili Sian-thian-bu-kek
membersihkan nama baik perguruannya.”
Berubah air muka Tio Ping, katanya tergagap, “Tapi aku…..”
Pho Ang-soat tidak memberi kesempatan dia bicara, “Jika kau bukan putra
tunggal Tio Bu-kek, sekarang kau sudah mampus di bawah kereta.”
Dia duduk di dalam kereta, tidak bergerak. Jari-jari yang paling lincah
pada tangan setiap orang adalah jari telunjuk. Seorang yang duduk di dalam
kereta tidak bergerak, bagaimana mungkin bisa membunuh Tio Ping yang lincah
seperti Jari telunjuk? Akhirnya Tio Ping insyaf akan hal ini, maka tubuhnya
sudah siap melambung.
Pho Ang-soat berkata, “Hari ini aku tidak membunuhmu, aku hanya menuntut
supaya kau tinggalkan jari tanganmu yang sering kau gunakan membunuh orang.”
Mendadak Tio Ping tertawa lebar, katanya, “Maaf saja, jari tanganku masih
berguna, mana bisa kuberikan kepadamu.”
Mendadak sinar golok berkelebat, darah pun muncrat.
Berbareng tubuh Tio Ping juga melambung pergi, mendadak dilihatnya sebuah
tangan berlompatan darah melayang jatuh dari tengah udara.
Dia masih belum tahu bahwa kurungan tangan itu adalah tangannya sendiri,
sambaran golok teramat cepat, dia masih belum merasakan sakit, dia malah sedang
tertawa.
Bila tangan itu sudah jatuh di tanah, baru dia sadar bahwa tangannya sudah
kurang satu. Gelak tawa berubah jeritan, orangnya juga terbanting keras.
Sinar golok lenyap, golok sudah masuk ke sarung, Pho Ang-soat tetap duduk
di dalam kereta, tidak tampak bergerak.
Pergelangan tangan yang buntung dimasukkan ke dalam lengan baju, dengan
tangan yang masih utuh Tio Ping berpegang pada sisi kereta serta meronta
berdiri, lalu menatapnya.
“Tidak lekas kau enyah,” desis Pho Ang-soat.
Tio Ping mengertak gigi, katanya, “Aku tidak akan pergi, aku ingin melihat
golokmu.”
“Golokku bukan untuk tontonan.”
“Tanganku sudah buntung, berilah kesempatan padaku untuk melihat golokmu.”
Lama Pho Ang-soat menatapnya, mendadak dia pun berkata, “Baik, lihatlah.”
Golok berkelebat, rambut bertebaran. Itulah rambut Tio Ping.
Setelah dia melihat rambut itu berserakan di tanah, sinar golok pun telah
lenyap. Golok sudah kembali ke dalam sarung, dia tetap tidak melihat golok itu.
Saking ketakutan, kulit daging mukanya mendadak berkerut dan kedutan, dia menyurut
mundur dengan sempoyongan, mulutnya memekik histeris, “Kau bukan manusia, kau
iblis laknat, yang kau pakai juga golok setan...”
Golok yang hitam, mata yang hitam pula.
Co Giok-cin juga sedang mengawasi golok itu, lama dia melamun, sorot matanya
menampilkan ketakutan dan ngeri. Golok hitam ini seolah-olah sudah bersenyawa
dengan Pho Ang-soat, seperti salah satu anggota badannya saja.
Co Giok-cin coba bertanya, “Pernahkah kau meletakkan golokmu ini?”
“Tidak.”
“Bolehkah aku melihatnya?”
“Tidak boleh.”
“Pernah kau perlihatkan kepada orang lain?” tanya Co Giok-cin. “Apa betul
itu golok iblis?”
Pho Ang-soat berkata, “Iblisnya tidak di dalam golok, tapi di dalam hati,
hanya orang yang hatinya ada iblis, maka dia tidak akan luput dari sambaran
golokku ini.”
Tiada orang bergerak, kereta itupun berhenti.
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Agaknya sekarang kita tiada tempat
tujuan tertentu lagi.”
“Ada saja,” sahut Pho Ang-soat.
“Kemana?”
“Kembali ke Khong-jiok-san-ceng.”
Yan Lam-hwi tercengang, katanya, “Kembali ke Khong-jioksan-ceng? Masih ada
apa di sana?”
“Masih ada kamar rahasia di bawah tanah.”
Yan Lam-hwi segera maklum, katanya, “Maksudmu Binggwat-sim harus
bersembunyi di sana untuk menyembuhkan luka-lukanya?”
“Tiada orang menyangka dia berada di sana, di sana hanya ada jalan buntu,
tempat yang mematikan.”
“Ya, tempat yang mematikan untuk bertahan hidup?”
“Begitulah.”
“Kita tetap naik kereta ini?”
“Kereta kuda tidak akan membocorkan rahasia, juga tidak akan menjual jiwa
kita.”
“Benar, hanya manusia menjual manusia, maka kau mengusir Tio Ping. Sekarang
siapa yang akan pegang kendali?”
“Engkau.”
Dinding kamar bawah tanah itu meski berlubang oleh ledakan dahsyat itu,
tempat lain masih tetap kokoh dan kuat, masih rapi dan tiada perubahan.
“Sekarang jalan keluar masuk satu-satunya kamar rahasia hanyalah lubang
ini.”
“Ya, hanya boleh keluar, tidak boleh masuk.”
“Lho, kenapa?” tanya Lam-hwi.
“Karena Bing-gwat-sim masih punya Khong-jiok-ling.”
“Khong-jiok-ling miliknya masih berguna?”
“Siapa bilang tidak berguna.”
“Asal dia memegang Khong-jiok-ling dan berjaga di sini, siapa pun takkan
berani masuk.”
“Ya, pasti tidak ada yang berani.”
“Bagaimanapun aku tetap mengharap tiada orang lain kemari.” Co Giok-cin
tidak tahan, dia bertanya, “Apakah kalian hendak meninggalkan dia di sini
seorang diri?”
“Tidak,” sahut Pho Ang-soat pendek. “Siapa yang akan menemani dia?”
“Kau.”
“Dan Kalian? Kalian mau pergi kemana?”
“Pergi membunuh orang,” desis Pho Ang-soat.
“Membunuh orang-orang yang membunuh orang itu?” tanya Co Giok-cin.
“Kongsun To pasti akan menuntut balas, aku pun tidak akan membiarkan dia
hidup.”
Co Giok-cin mengawasi golok di tangannya, katanya, “Orang yang membunuh
orang bukankah di dalam hatinya juga dirangsang iblis?”
“Benar.”
“Apakah dia pasti tidak akan mampu terhindar dari sambaran golokmu?”
“Pasti tidak.”
Mendadak Co Giok-cin berlutut, air matanya bercucuran, “Aku mohon kepadamu,
bawalah jantung hatinya kembali, aku ingin bersembahyang kepada arwah ayah anak
yang berada dalam kandunganku.”
Pho Ang-soat menatapnya, katanya mendadak, “Aku bisa melaksanakan hal itu,
kau sebaliknya tidak pantas berkata demikian.”
“Kenapa?”
“Karena omongan itupun mengandung hawa membunuh.”
“Kau kuatir orok dalam kandunganku ketularan hawa membunuh itu?”
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Bocah yang punya hawa membunuh, setelah
dewasa pasti gemar membunuh orang.”
Gemeratak gigi Co Giok-cin, katanya pula, “Kuharap dia bisa membunuh orang,
membunuh kan lebih baik daripada dibunuh.”
“Kau lupa satu hal.”
“Katakan!”
“Orang yang membunuh orang, cepat atau lambat akhirnya juga dibunuh orang.”
ooooOOoooo
Kamar batu di bawah tanah itu bukan saja gelap, juga lembab, meja kursi
terbuat dari batu, keras dan dingin.
Bing-gwat-sim ternyata duduk dengan enak, karena sebelum pergi, kasur
bantal di dalam kereta sudah dipindahkan ke dalam kamar baru ini. Co Giok-cin
juga kebagian tempat duduk yang empuk.
Setelah Pho Ang-soat pergi, tak tertahan dia menghela napas, “Sungguh tak
nyana dia adalah seorang yang teliti dan cermat.”
Bing-gwat-sim berkata, “Dia memang orang aneh, Yan Lam-hwi juga aneh, tapi
mereka adalah manusia, manusia jantan, laki-laki sejati.”
“Kelihatannya mereka amat baik terhadapmu,” tanya Co Giok-cin.
Bing-gwat-sim tertawa dipaksakan, katanya, “Aku juga baik terhadap mereka.”
“Tapi akhirnya kau harus menentukan pilihanmu, seorang perempuan tak
mungkin sekaligus menikah dengan dua lakilaki.”
“Aku sudah memilih.”
“Siapa yang kau pilih?”
“Aku memilih diriku sendiri,” tawar suara Bing-gwat-sim, seorang perempuan
memang tidak boleh sekaligus kawin dengan dua pria, tapi kan boleh tidak kawin
dengan keduanya.”
Co Giok-cin segera tutup mulut, dia tahu Bing-gwat-sim tidak ingin
membicarakan soal jodoh lagi.
Bing-gwat-sim mengelus Khong-jiok-ling di tangannya, jarijari tangannya
dingin, lebih dingin dari bumbung emas itu, hatinya sedang dirundung gejolak
perasaan. Apakah karena percakapannya dengan Co Giok-cin barusan sehingga
mengorek isi hatinya?
Agak lama kemudian mendadak Co Giok-cin bertanya, “Apakah yang kau pegang
itu benar-benar Khong-jiok-ling?”
“Bukan yang asli.”
“Bolehkah aku melihatnya?”
“Tidak boleh.”
“Kenapa?”
“Walau Khong-jiok-ling ini bukan yang asli, tapi dia juga alat untuk
membunuh orang, tetap punya hawa untuk membunuh orang, aku tidak ingin orok
dalam kandunganmu ketularan hawa membunuh.”
Co Ciok-cin mengawasinya, mendadak tertawa, katanya,“Kau kenapa aku
tertawa?”
“Entahlah.”
“Mendadak kusadari nadamu bicara amat mirip Pho Angsoat, maka....”
“Maka kenapa?”
“Jika kau harus menikah, kupikir kau pasti menikah dengan dia.”
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Untung aku tidak pasti harus menikah.”
“Tapi aku harus menikah.”
“Kenapa?”
“Karena anak dalam kandunganku, aku aku tidak akan membiarkan dia lahir
tanpa ayah.”
“Siapa yang kau pilih untuk menjadi ayahnya?”
“Sudah tentu harus seorang lelaki sejati, seorang lelaki yang mampu
melindungi kami.”
“Lelaki seperti Pho Ang-soat begitu?”
Ternyata Co Giok-cin tidak menyangkal.
“Tahukah kau, dia itu tidak punya belas kasihan.”
Co Giok-cin tertawa sendu, katanya, “Punya atau tidak belas kasihan,
memangnya siapa yang dapat membedakan?”
“Kita tetap naik kereta ini?”
“Ya.”
“Siapa pegang kendali?”
“Engkau.”
“Kenapa aku lagi?”
“Karena aku tidak bisa.”
“Kenapa setiap patah katamu selalu membuatku melenggong?”
“Karena aku selalu bicara jujur.”
Terpaksa Yan Lam-hwi naik ke atas kereta, mengayun cemeti, katanya, “Coba
saksikan ini, bukan tugas berat atau sukar. Siapa pun bisa, kenapa kau tidak
belajar?”
“Kalau setiap orang bisa, setiap orang bisa pegang kendali keretaku, buat
apa aku belajar.”
Kembali Yan Lam-hwi melenggong, “Ucapanmu memang selalu jujur, selalu masuk
akal, aku jadi ingin suatu ketika berbohong ala kadarnya.”
“Kenapa?”
“Karena omongan jujur kedengarannya tidak seenak dan senikmat omongan
bualan.”
Kereta itu bergerak maju, lama sekali menempuh perjalanan, Pho Ang-soat
masih terus terpekur, mendadak dia bertanya, “Kau kenal orang yang menemani Nyo
Bu-ki bermain catur itu?”
Yan Lam-hwi manggut-manggut, katanya, “Dia bernama Ku Ki (catur sewaan),
salah seorang panglima besar Kongcu Gi.”
“Konon pembantunya ada empat tokoh besar, yaitu yang dinamai dengan harpa,
catur, menulis dan menggambarkan.”
“Bukan empat, tapi lima orang tokoh besar, yaitu Gi Khim, Ku Ki, Ong Su, Go
Hoat dan Siau Kiam.”
“Kau pernah melihat kelima orang itu?”
“Pernah kulihat tiga, waktu itu Kongcu Gi belum menemukan Gi Khim dan Siau
Kiam.”
“Waktu itu kapan?”
Yan Lam-hwi tutup mulut.
“Bukankah di saat kau sering bertemu dengan Kongcu Gi?”
Yan Lam-hwi tetap tutup mulut.
“Kau tahu rahasianya, siapa-siapa jago kosen yang dikuasainya kau juga
hapal, jadi sebelum ini kalian sering berhubungan?”
Yan Lam-hwi tidak menyangkal, memang tidak bisa menyangkal. “Sebetulnya
pernah apa di antara kalian?”
“Orang lain selalu bilang setiap patah katamu bagai emas, kenapa hari ini
aku menjadi bosan mendengar ocehanmu.”
“Karena kau tidak bisa berbohong, juga tidak berani bicara jujur.”
“Sekarang yang ingin kubicarakan adalah kau, bukan aku.”
“Yang ingin kubicarakan justru dirimu.”
“Apakah kita tak bisa berbincang persoalan lain? Sampai sekarang aku masih
belum tahu kemana tujuanmu?”
“Kau tahu, untuk membunuh manusia, sudah tentu harus mencarinya ke tempat
dimana dia mengatur perangkapnya.”
“Maksudmu ke rumah Co Tang-lay?”
“Dahulu memang.”
“Sekarang bukan?”
“Orang yang sudah mati takkan punya rumah.”
“Jadi Co Tang-lay sekarang sudah mati?”
“Oleh karena itu tempat itu hanyalah sebuah perangkap belaka.”
“Aku jadi mengharap semoga orang-orang buruan itu sekarang masih berada di
sana.”
“Pantasnya mereka belum pergi, untuk menjadi seorang pemburu, pelajaran
pertama yang harus dihapalkan adalah bersabar.”
Co Tang-lay memang sudah mati, mayatnya sudah kaku, sudah dingin.
Ini bukan kejadian di luar dugaan, bila membunuh untuk mencari sesuap nasi,
pelajaran pertama yang harus diresapi adalah menutup mulutnya. Bila kau pernah sekali
ikut aksi mereka, sembarang waktu kemungkinan mulutmu bakal ditutup oleh
mereka.
Dalam anggapan mereka, jiwa seseorang tidak lebih berharga dari seekor
anjing liar. Begitulah keadaan Co Tang-lay sekarang, keadaannya lebih
mengenaskan dari kematian seekor anjing liar di bawah pohon.
Pho Ang-soat mengawasi dari kejauhan, sorot matanya diliputi rasa duka dan
kasihan. Nyawa memang berharga, kenapa manusia justru banyak yang tidak bisa
menghargai nyawa?
Dia merasa simpati kepada orang yang menjadi korban ini, mungkin karena
dahulu dia pun hampir musnah karena “arak”. Arak itu tidak jelek, persoalannya
terletak pada awakmu sendiri, jika kau suka tenggelam dalam air kata-kata yang
berlimpah, tak bisa membangkitkan semangat juang sendiri, maka tiada manusia di
dunia ini yang bisa menolongmu.
Kesan sanubari Yan Lam-hwi mungkin tidak sedalam dia, dia masih muda,
hatinya masih diliputi cita-cita, angan-angan muluk. Maka dia ingin bertanya,
“Perangkapnya di sini, mana pemburunya?”
Pho Ang-soat masih diam.
Dari pojok rumah mendadak terdengar sebuah bentakan, “Lihat pisau!”
Selarik sinar pisau laksana sambaran kilat meluncur lurus ke punggungnya.
Pho Ang-soat tidak berkelit, tidak bergerak. Yang bergerak hanya goloknya.
“Ting”, kembang api pun berpijar, selarik sinar pisau melambung tinggi ke
angkasa, kelihatannya seperti menembus tiga lapis mega dan lenyap ditelan
angkasa.
Golok Pho Ang-soat kembali ke sarungnya.
Yan Lam-hwi menghela napas lega, katanya, “Gelagatnya paling sedikit masih
kurang seorang.”
“Aku sudah tahu, dia telah belajar bersabar.”
Setelah berlangsung percakapan ini, maka tampak sinar golok melayang jatuh,
waktu jatuh, sinar yang semula satu berubah menjadi dua, seperti batu meteor
jatuh di tanah. Itulah sebilah pisau, pisau terbang.
Mata pisau beradu dengan mata golok, kekuatan benturan yang keras
menyebabkan pisau kecil itu mencelat ke udara mencapai puluhan tombak. Pisau
terbang sepanjang empat dim sekarang telah putus menjadi dua keping.
Siapa dapat membayangkan atau mengukur betapa dahsyat kekuatan dan
kecepatan luncuran pisau terbang itu? Tapi Pho Ang-soat mengayun golok ke
belakang, pisau terbang itu telah dipukulnya mencelat dan jatuh. Pisau terbuat
baja yang tajam luar biasa ternyata telah ditabasnya putus menjadi dua.
Di belakang rumah seorang menghela napas, katanya, “Memang ilmu golok yang
tiada keduanya di dunia, kau memang tidak membual.”
Perlahan Pho Ang-soat membalik badan, katanya, “Kenapa kau belum pergi?”
Begitu dia membalik, lantas melihat Siau Si-bu, Siau Si-bu beranjak keluar
dengan tangan kosong, katanya dingin, “Di antara empat 'tanpa' Siau-kongcu,
tiada 'tanpa tahu malu', umpama aku harus pergi juga aku akan pergi secara
terangterangan.” Tangannya sudah tidak memegang pisau, bagai gadis belia yang mendadak
bertelanjang bulat, sehingga tangannya kerepotan bergerak naik turun entah
harus diletakkan dimana. Akan tetapi dia tidak lari.
Pho Ang-soat menatapnya, katanya, “Kau hanya punya sebatang pisau?”
“Hari ini yang kuhadapi adalah kau, maka aku hanya membawa sebatang pisau.”
“Kenapa?”
“Karena aku tahu pisau pertama juga pisau terakhir, maka serangan pisauku
tadi harus menggunakan seluruh kemampuan, setakar tenagaku.”
“Terlebih dulu kau menempatkan dirimu pada posisi yang mematikan, sehingga
waktu turun tangan tidak menghiraukan segala akibatnya?”
“Ya, demikian,” kata Siau Si-bu, “apalagi serangan pisauku itu pasti dan
harus mengenai sasaran, jika sekali tidak kena, diulang seribu kali juga tidak
berguna.”
Pho Ang-soat menatapnya, mendadak dia mengulap tangan, katanya, “Ucapanmu
memang bagus, baiklah, kau boleh pergi.”
“Kau membebaskan aku?” tanya Siau Si-bu.
“Kali ini aku tidak akan membunuhmu, karena kau mengucapkan dua patah
kata.”
“Dua patah kata apa?”
“Lihat pisau.”
Sebelum pisau terbang disambitkan, bersuara memberi peringatan jelas ini
bukan sepak terjang menusia rendah, manusia hina dina.
“Golokku hanya membunuh manusia yang hatinya disetir iblis, pisaumu juga
ada setannya, tapi hatimu bersih.”
Tangan Siau Si-bu mendadak saling genggam, sorot matanya mendadak
menampilkan rona aneh, agak lama kemudian baru dia berkata perlahan, “Jika aku
tidak mengatakan kedua patah kata tadi, apakah kau mampu mematahkan pisau
terbangku tadi?”
“Kau menyesal?”
“Bukan menyesal, tapi hanya ingin tahu duduk perkara sebenarnya saja.”
Pho Ang-soat menatapnya pula, pandangannya penuh selidik, katanya dingin,
“Kalau kau tidak mengucap kedua patah kata tadi, sekarang kau sudah mati.”
Sepatah kata tidak bicara lagi, Siau Si-bu segera putar badan beranjak
pergi, bukan saja langkahnya cepat, dia pun tidak menoleh.
Di pojok belakang rumah seorang menghela napas, katanya, “Umpama dia tidak
menyesal, kau justru yang akan menyesal.”
Seorang berjalan keluar dengan langkah perlahan, berbaju hijau berkaos kaki
putih, siapa lagi kalau bukan Ku Ki.
“Aku harus menyesal? Apa yang harus kusesalkan?”
Ku Ki berkata, “Menyesal karena kau tidak membunuhnya.”
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang. Dua kesempatan dia dapat
membunuh pemuda angkuh itu, tapi dua kesempatan baik itu dia abaikan begitu
saja.
Ku Ki berkata, “Kesempatan baik diabaikan, selamanya tidak akan terulang
lagi, jika ingin membunuh orang, sebaiknya tidak tanpa pantangan.” Setelah
tertawa dia menambahkan, “Kali ini kau tidak membunuhnya, lain kali mungkin kau
yang akan mati di tangannya.”
Pho Ang-soat mengawasinya, katanya tertawa dingin, “Dan kau? Pantas tidak
sekali ini aku membunuhmu?”
“Itu harus dinilai. Aku akan melihat apakah kau akan menggasak bagian
tanganku atau ingin mencaplok naga di pojok kananku? Kunilai pula kau pegang
biji putih atau biji hitam?”
Pho Ang-soat tidak paham, dia tidak pernah main catur. Hanya orang yang
suka iseng saja yang suka main catur, bila iseng Pho Ang-soat selalu mencabut
golok.
Maka Ku Ki terpaksa tertawa sendiri, katanya, “Maksudku, kau tidak akan
bisa membunuhku, kau hanya bisa membunuh caturku, karena aku hanya pandai main
catur, apalagi permainan inipun sudah kalian mainkan sebelumnya, hakikatnya kau
tidak mampu mencaplok biji-biji caturku.”
Dengan tersenyum dia menjura hormat, lalu berjalan lenggang-kangkung lewat
di samping Pho Ang-soat. Dia tahu Pho Ang-soat tidak akan membunuhnya, karena
sedikit pun dia tidak bersiaga, siapa pun bisa membunuhnya, tapi Pho Ang-soat
tidak termasuk “siapa pun”, Pho Ang-soat tetap Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi mengawasi dia berlalu, mendadak dia tertawa, katanya, “Agaknya
langkahmu kali ini tidak meleset.”
“Tapi hari ini beruntun aku dikalahkan tiga babak,” ujar Ku Ki.
“Dikalahkan Nyo Bu-ki?” tanya Yan Lam-hwi.
“Hanya dia yang dapat mengalahkan aku.”
“Kenapa?”
“Karena main catur dia pun mirip membunuh manusia, tanpa pantangan, aku
sebaliknya punya ganjalan hati, ada sesuatu yang kukuatirkan.”
“Apa yang kau kuatirkan?”
“Aku kuatir kalah.”
Hanya orang yang takut kalah saja setiap main catur akan selalu kalah
dengan penasaran, makin kuatir kalah makin sering kalah, semakin kalah semakin
takut main.
Hanya orang yang hatinya diliputi ketakutan baru akan membunuh orang yang
tidak pantas dibunuh, takut terhadap keadilan, takut terhadap kebenaran.
ooooOOoooo
Malam telah larut.
Malam selalu datang tanpa terasa, tabir malam tahu-tahu telah menyelimuti
jagat raya.
Ku-ki beranjak keluar pintu, mendadak dia menoleh, katanya, “Kuanjurkan
kalian tidak usah lama-lama di sini.”
“Di sini sudah tiada orang?” tanya Yan Lam-hwi.
“Yang hidup sudah tiada, yang mati ditinggalkan.”
“Kongsun To dan lain-lain tidak berada di sini?”
“Bahwasanya mereka tidak pernah kemari, karena mereka tergesa-gesa hendak
pergi ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Darimana tadi kalian datang, ke sanalah mereka pergi.”
Yan Lam-hwi masih ingin bertanya, dia sudah keluar pintu, Yan Lam-hwi
mengejar keluar pintu, bayangannya sudah tidak kelihatan.
Terdengar suaranya berkumandang di kejauhan, “Konon di kala Merak mati,
Bing-gwat-sim juga akan mengiringinya tenggelam, tenggelam ke dalam bumi,
tenggelam ke lautan ...”
ooooOOoooo
Bab 11. Dimana-Mana Terang Bulan
Larut malam, jagat raya gelap gulita.
Malam ini tiada rembulan (Bing-gwat), apakah Bing-gwat telah mati malam
ini?
Yan Lam-hwi membedal kudanya, Pho Ang-soat justru duduk diam di sampingnya.
Kereta yang bagus, kabin kereta yang berat. “Kenapa kita harus naik kereta.”
“Karena kita punya kereta.”
“Kudanya sudah letih, kuda yang sudah lelah tak kuat ditunggangi dua orang,
tapi masih kuat menarik kereta.”
“Karena kereta pakai roda?”
“Betul.”
“Kita juga punya kaki, kenapa tidak lari?”
“Karena kita juga sudah lelah, tenaga kita harus dipertahankan.”
“Dipertahankan untuk membunuh orang?”
“Asal ada orang yang patut dibunuh, tidak asal bunuh orang.”
Merak memang sudah mati.
Khong-jiok-san-ceng bukan lagi Khong-jiok-san-ceng yang dulu. Malam kelam
masih dihiasi beberapa kerlipan bintang yang jarang-jarang, sinar bintang
itulah yang menyinari puingpuing itu, kelihatannya sunyi dan seram.
Kuda yang dilarikan kencang sejauh ratusan li akhirnya roboh.
Kamar batu di bawah tanah itu sudah kosong, tidak dihuni seorang pun,
kosong melompong, barang-barang yang bisa bergerak di sini seluruhnya telah
diangkut.
Cahaya api tanpa bergerak, karena tangan Yan Lam-hwi yang memegang obor
gemetar.
Konon di waktu Merak mati. Bing-gwat-sim pun akan mengiringnya tenggelam.
Yan Lam-hwi mengertak gigi, katanya, “Bagaimana mereka bisa tahu? Darimana
tahu kalau orangnya ada di sini?”
Tangan Pho Ang-soat yang memegang golok tidak gemetar, kulit mukanya justru
kedutan, wajah yang pucat merah membara, merah yang aneh, merah menakutkan.
“Waktu kita kemari, di belakang pasti tidak ada yang menguntit,
siapakah...”
“Keluar,” mendadak Pho Ang-soat meraung.
“Kau suruh aku keluar,” Yan Lam-hwi terbeliak.
Pho Ang-soat tidak bicara lagi, ujung mulutnya sudah berkerut-merut.
Yan Lam-hwi mengawasinya dengan kaget, mundur selangkah demi selangkah.
Pho Ang-soat sudah terkapar, begitu roboh sekujur badannya lantas mengejang
dan menggelepar seperti dihajar cambuk yang tidak kelihatan, menghajar dan
menghajar terus, karena kesakitan, tubuhnya itu sudah meringkel dan meronta
seperti cacing kepanasan, seperti udang kering, tenggorokannya mengeluarkan
gerangan rendah seperti binatang buas yang sekarat sebelum ajal, “Aku salah,
akulah yang salah…”
Sebelah tangannya mencengkeram dan mencakar tanah, bagai seorang yang
hampir mati tenggelam berusaha menangkap sebatang kayu terapung yang hakikatnya
tidak ada. Tanah itu dilapisi batu, kukunya pecah, tangannya sudah mulai
mengeluarkan darah. Tangannya yang satu lagi tetap memegang kencang goloknya,
golok masih tetap golok, golok tidak kenal balas kasihan, maka golok itu abadi.
Yan Lam-hwi tahu dia pasti pantang keadaannya yang menderita dan penyakit
anehnya ini diketahui orang lain. Tapi Yan Lam-hwi tidak keluar, karena dia
tahu, walau golok masih tetap golok, namun Pho Ang-soat dalam keadaan seperti
ini bukan lagi Pho Ang-soat biasanya.
Sekarang siapa pun yang masuk kemari, sekali bacok dengan mudah dapat
membunuhnya. Kenapa yang Maha Kuasa harus menyiksanya sedemikian rupa? Kenapa
manusia seperti dia harus mengidap penyakit seaneh ini?
Sekuat Yan Lam-hwi menekan emosinya supaya air mata tidak meleleh.
Obor sudah padam, karena dia tidak tega menyaksikan keadaannya. Tangannya
sudah menggenggam pedang di bawah bajunya.
Lubang di atas dinding itu kelihatannya seperti mata tunggal binatang buas
yang jahat di kegelapan seperti dalam dongeng. Dia bersumpah, sekarang siapa
pun yang berani menerjang masuk dari lubang itu, maka dia harus mampus di bawah
pedangnya, dia yakin dapat melakukan hal ini.
Tiada orang masuk dari lubang itu, namun di tengah kegelapan mendadak
terbit sinar api. Darimana datangnya sinar api?
Yan Lam-hwi mendadak menoleh, bara sekarang dilihatnya pintu besi yang
terkunci tiga belas itu entah sejak kapan tanpa mengeluarkan suara telah
merenggang. Sinar api menyorot masuk dari luar pintu, perlahan pintu terbuka
lebar, maka muncullah lima orang.
Dua orang mengangkat dua obor berdiri di luar pintu, tiga orang yang lain
beranjak masuk dengan langkah lebar.
Orang pertama pergelangan kanannya dibalut kain putih, dengan kain sutra
menggantungnya di depan dada, tangan kiri memegang terbalik sebatang
Hou-sing-kiam, sorot matanya memancarkan dendam dan kebencian. Seorang di
sebelahnya mengenakan jubah Tosu dan bertopi keagamaan, langkahnya mantap dan
tegap, jelas hatinya dilembari keyakinan. Orang terakhir mukanya dihiasi codet
bekas bacokan, ujung mulutnya mengulum senyum, namun kelihatannya culas dan
kejam.
Serasa tenggelam hati Yan Lam-hwi, rasa getir dan pahit bergolak dalam
perutnya seperti hendak muntah.
Seharusnya dia ingat orang lain tidak mungkin bisa membuka tiga belas kunci
di pintu besi itu, namun Kongsun To pasti bisa, jadi lubang di atas dinding itu
bukan lagi jalan keluar masuk satu-satunya di kamar batu ini. Mereka tidak
memikirkan hal ini, mereka terlalu terburu-buru oleh keyakinan sehingga
melalaikan titik kelemahan ini, melakukan kesalahan yang amat fatal.
Mendadak Kongsun To mengulur sebelah tangannya, pelan-pelan membuka telapak
tangannya, maka tampak Khong-jiok-ling yang mengkilap kuning itu di telapak
tangannya. Khong-jiok-ling terjatuh di tangannya, bagaimana dengan
Bing-gwat-sim? Sekuatnya Yan Lam-hwi menahan diri supaya tidak muntah.
Kongsun To tersenyum, katanya, “Tidak pantas kalian suruh dia memegang
Am-gi ini menghadap ke lubang di atas dinding, kami manusia bukan tikus, bukan
saja tidak bisa membuat lubang, juga tidak akan menerobos dari lubang.” Tawanya
amat riang, lalu melanjutkan, “Jika dia tumplekkan seluruh perhatiannya
menghadap ke lubang, mungkin tidak
mudah bagi kami untuk masuk kemari.”
Tak tahan Yan Lam-hwi menghela napas, katanya menyesal, “Aku yang salah.”
“Kau memang salah, seharusnya kau sudah membunuhku,” jengek Kongsun To.
Nyo Bu-ki berkata tawar, “Karena itu selanjutnya kau harus selalu ingat
nasehatku. Jika ingin membunuh orang harus tanpa pantangan.”
“Kenapa kau memberi nasehat kepadanya malah, kalau dia punya kesempatan
lagi, bukankah aku bakal mampus.”
“Apa mungkin dia memperoleh kesempatan kedua?” sinis suara Nyo Bu-ki.
“Tidak, pasti tidak.”
Nyo Bu-Ki menggeleng kepala, katanya, “Sekarang orang yang bisa dia bunuh
hanyalah dirinya sendiri, tapi dia juga masih bisa membunuh Pho Ang-soat.”
Kongsun To berkata, “Pho Ang-soat bagian Tio Ping, dia bergerak saja tidak
bisa.”
Yan Lam-hwi mengawasi mereka, terasa suara mereka seperti berkumandang di
tempat yang jauh. Seharusnya dia memusatkan seluruh perhatian dan tenaga untuk
menghadapi mereka. Dia harus tahu detik-detik kritis yang menentukan mati hidup
ini, musuh jelas tidak akan memberi kelonggaran dan mengampuni jiwanya, dia
sendiri juga tidak boleh mundur, tidak boleh menyerah. Umpama ada kesempatan
mundur, dia pasti tidak akan mau mundur.
Mendadak dia justru merasa amat lelah, apakah lantaran dia sendiri insyaf
bahwa kemampuannya sendiri jelas bukan tandingan kedua lawan tangguh ini?
Bing-gwat-sim sudah tenggelam, malaikat golok yang tidak pernah kalah kini
juga sudah roboh, rebah dalam keadaan sekarat, adakah harapan yang dapat
diraihnya?
Kongsun To sedang bertanya pada Tio Ping, “Siapakah yang memotong
tanganmu?”
“Pho Ang-soat,” desis Tio Ping penuh dendam.
“Ingin tidak kau menuntut balas?”
“Ingin sekali.”
“Dengan cara apa kau ingin menghadapinya?”
“Aku punya caraku sendiri?”
“Kenapa sekarang tidak lekas kau turun tangan? Memangnya kau tidak tahu
bahwa sekarang adalah
kesempatan paling baik?” desak Kongsun To.
Nyo Bu-Ki berkata, “Kesempatan hanya datang sekali dan tidak akan terulang
selamanya, bila Pho Ang-soat sudah siuman dan sadar berarti kau sudah terlambat
bertindak.”
“Sekarang kau tidak perlu kuatir terhadap Yan Lam-hwi,” Kongsun To
menghasut.
“Kenapa?” Tio Ping percaya.
“Karena bila dia berani bergerak, Pho Ang-soat akan segera berubah jadi
merak,” ujar Kongsun To. “Jadi merak?”
“Bulu merak sebumbung penuh ini peduli menancap di badan siapa saja, maka
orang itu akan segera menjadi merak, merak yang mati tentunya.”
Tio Ping tertawa, ujarnya, “Tapi aku tidak ingin dia lekas mati.”
“Ya, aku pun demikian.”
Mendadak Tio Ping meletakkan Hou-sing-kiam di tangannya terus menerjang
maju, sekali jambak dia renggut rambut Pho Ang-soat, dengan lutut terangkat dia
hajar jidat orang, menyusul telapak tangannya terayun membacok tengkuknya,
begitu kepala Pho Ang-soat terkulai, kaki Tio Ping pun menendang Pho Ang-soat,
bentaknya bengis, “Buka matamu dan lihat siapa aku.”
Otot hijau di atas jidat Pho Ang-soat tampak merongkol, bukan saja dia
tidak bisa melawan, napasnya pun megapmegap.
Tio Ping menyeringai dingin, “Kau memotong tanganku, dengan tanganku ini
akan kucekik putus lehermu.”
Otot hijau di jidat Yan Lam-hwi juga merongkol, keadaannya juga hampir
susah bernapas.
Kongsun To menyeringai sadis katanya, “Kenapa tidak kau tolong temanmu?
Apakah kau ingin berdiri saja menonton kematiannya?”
Yan Lam-hwi tidak bergerak.
Yan Lam-hwi tahu kalau dia bergerak, Pho Ang-soat akan lebih cepat mati.
Tapi dia tidak boleh tidak harus bertindak.
Dengan sebelah tangannya yang utuh Tio Ping sedang menghajar muka Pho
Ang-soat pergi datang, agaknya tidak akan segera mencabut jiwanya, tapi penghinaan
ini akan terasa lebih menyiksa daripada mati.
Yan Lam-hwi menggenggam pedang di balik bajunya, keringat mengucur di
mukanya, mendadak dia berkata, “Umpama kalian bisa membunuh dia, belum tentu
mampu membunuhku.”
“Apa kehendakmu?”
“Kalian harus membebaskan dia.”
“Dan kau?”
“Biar aku yang mati.”
“Bukan saja kami ingin kau pun mampus, dia pun tidak boleh hidup.”
“Kalau mau membunuh orang, tanpa pantangan,” jengek Nyo Bu-ki.
Lenyap seringai sadis Kongsun To, mendadak dia menghardik, “Tio Ping, bunuh
dia sekarang juga.”
Tio Ping mengertak gigi, seluruh tenaga dia kerahkan ke sikunya.
Pada saat itulah mendadak sinar golok berkelebat. Itulah golok Pho
Ang-soat, golok yang tiada bandingan di kolong langit.
Mereka mengira adu otak kali ini mereka pasti menang, karena mereka
melupakan satu hal. Tangan Pho Ang-soat masih menggenggam kencang goloknya.
Pada saat yang hampir sama, Yan Lam-hwi juga mendadak menyayun tangan,
cahaya pedang yang merah menyala langsung mengulung ke arah Kongsun To.
Pedang Nyo Bu-Ki juga sudah keluar dari sarung, cara dia mencabut pedang
sangat mahir dan lincah, serangannya telak dan manjur, pedangnya menusuk
sasaran mematikan di tubuh Yan Lam-hwi. Umpama Yan Lam-hwi dapat membunuh
Kongsun To dengan pedangnya, dia sendiri juga pasti mati di bawah pedang Nyo
Bu-ki. Terpaksa dia harus membalikkan pedang menyelamatkan jiwa sendiri.
Sigap sekali Kongsun To, setelah lolos dari tabir cahaya pedang yang lebat
bagai hujan darah, dia melambung ke udara bersalto beberapa kali kemudian
meluncur keluar pintu.
Pedang panjang Nyo Bu-ki dituntun keluar, badan bergerak mengikuti gerak
pedang, dia pun ikut melesat keluar.
Sudah tentu Yan Lam-hwi tidak membiarkan musuh merat, baru saja dia
bergerak hendak mengudak keluar, mendadak didengarnya sebuah jeritan disusul
bentakan bengis, “Sambut.”
Sesosok bayangan orang menubruk terbang ke dalam, rambut awut-awutan,
mukanya berlepotan darah, siapa lagi kalau bukan Co Giok-cin.
Walau pedang Yan Lam-hwi secepat kilat, pandangannya pun tajam, baru saja
pedangnya menusuk, segera dia kendorkan tenaga menarik tangan.
Setengah menjerit Co Giok-cin sudah menubruk badannya.
“Biang”, pintu besi tebal itupun tertutup rapat. Di luar segera terdengar
suara “klik, klik, klik” beruntun, tiga belas kunci telah dikunci seluruhnya,
kecuali Kongsun To, tiada orang di dunia ini yang mampu membuka pintu besi itu.
Yan Lam-hwi membanting kaki, tidak menghiraukan Co Giok-cin yang roboh di
tanah, dia membalik tubuh terus menerobos ke lubang dinding.
“Jagalah nona Co, akan kupenggal kepala Kongsun To dan kuserahkan
kepadamu,” katanya.
Kalau golok Pho Ang-soat sudah keluar sarung, apa pula yang perlu dia
kuatirkan di sini. Sekarang hanya satu tekadnya, membunuh orang, membunuh orang
yang membunuh.
Darah masih menetes dari ujung golok.
Tio Ping terkapar di bawah goloknya, Co Giok-cin rebah di sampingnya, asal
dia mengangkat kepala, akan melihat darah yang menetes di ujung goloknya. Darah
segar menetes di atas batu, muncrat menjadi ceceran yang menggiriskan.
Pho Ang-soat berdiri tidak bergerak, mengawasi darah menetes di ujung
goloknya, kali ini golok ternyata tidak langsung kembali ke sarungnya.
Co Giok-cin meronta bangun dan duduk di sampingnya, matanya lengang
mengawasi goloknya. Sungguh sangat besar keinginannya untuk melihat dimanakah
letak kemujizatan golok ini? Waktu gokok ini membunuh orang, seolah sudah
diberi tuah oleh para malaikat di langit, tapi juga seperti pernah dikutuk oleh
para iblis di neraka.
Tapi dia kecewa, batang pedang yang panjang sempit sedikit melengkung, mata
golok yang tajam dan mengkilap dengan jalur lekukan darah yang tidak begitu
dalam, kecuali gagang goloknya yang hitam, bentuk dari golok ini kelihatannya
tiada beda dengan golok umumnya.
Co Giok-Cin menghela napas, katanya, “Bagaimanapun juga, akhirnya aku toh
melihat golokmu. Apakah aku harus berterima kasih kepada orang yang mati di
bawah golokmu ini?” Perkataannya kelam dan perlahan, seperti sedang menggumam
sendiri.
Dia hanya ingin supaya Pho Ang-soat maklum, apa yang ingin dia lakukan,
pasti bisa dilaksanakan dengan baik. Tapi setelah dia melontarkan kata-katanya,
segera dia sadar bahwa dirinya telah berbuat salah, karena dia sudah melihat
mata Pho Ang-soat.
Sebelum ini sepasang mata ini kelihatannya amat lelah, amat berduka,
sekarang ternyata berubah lebih tajam dan dingin dari mata pisau. Tanpa sadar
Co Giok-cin menurut mundur, tanyanya dengan suara memelas, “Ada yang salah
dengan ucapankanku?”
Pho Ang-soat menatapnya, seperti harimau kumbang menatap mangsanya, setiap
saat akan menerkamnya. Tapi setelah semua merah di mukanya sirna, dia hanya
menghela napas, katanya, “Kita salah semua, kesalahanku lebih menakutkan dari
kau, kenapa aku harus menyalahkanmu?”
“Kau pun salah?” Co Giok-cin memancing keterangan.
“Kau salah omong, aku salah membunuh orang.”
Co Giok-cin mengawasi mayat di tanah, “Kau tidak pantas membunuhnya?
Bukankah dia hendak membunuhmu?”
“Kalau dia benar ingin membunuh, yang menggeletak jadi mayat sekarang
adalah aku.” Kepalanya tertunduk, sorot matanya diliputi duka dan sesal.
“Dia tidak membunuhmu, apakah membalas budi kebaikanmu, karena tempo hari
kau tidak membunuh dia?” Pho Ang-soat menggeleng.
Jelas ini bukan jawaban, peduli tangan siapa pun bila kau potong, cara yang
tepat untuk membalas budi kebaikan orang itu terhadapmu adalah memotong buntung
tanganmu. Mungkin ini hanya suatu perasaan terima kasih yang ganjil, terima
kasih kepadamu lantaran kau telah membuatnya sadar dan meresapi sesuatu yang
sebelum ini tidak atau belum pernah dia pikirkan, berterima kasih kepadamu
karena telah mempertahankan gengsi, harga dirinya.
Pho Ang-soat dapat meresapi perasaan hatinya, namun tak kuasa dia utarakan,
sering terjadi adanya ikatan batin yang aneh dan ruwet, namun siapa pun sukar
menjelaskan dimana anehnya, bagaimana pula ruwetnya.
Darah di ujung golok sudah kering.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, “Inilah yang pertama, juga yang terakhir.”
“Aku tahu,” ucap Co Giok-cin. “Pertama kali ini kau salah membunuh orang,
juga yang terakhir.”
“Kau keliru lagi, orang yang sering membunuh orang, setiap saat mungkin
saja salah membunuh.”
“Jadi maksudmu ...”
“Inilah pertama kali kau melihat golokku, juga yang terakhir,” ucap Pho
Ang-soat tegas.
Golok akhirnya masuk ke sarung.
Co Giok-cin memberanikan diri berkata dengan tertawa, “Golok itu tidak
bagus, tidak lebih hanyalah sebatang golok biasa saja.”
Pho Ang-soat tidak ingin bicara lagi, baru saja membalik tubuh, mukanya
yang pucat mendadak berkerut dan kedutan lagi, “Bagaimana kau bisa melihat
golokku?”
Co Gok-cin segera menjawab, “Golokmu berada di depan mataku, aku toh tidak
buta kenapa tidak bisa melihatnya?”
Jawaban yang masuk akal, tapi dia melupakan satu hal.
Kamar batu ini hakikatnya gelap gulita, tiada setitik sinar api pun, gelap
pekat.
Sejak umur lima tahun Pho Ang-soat sudah mulai latihan golok, kamar gelap
yang rapat, pengap dan panas, sinar dupa yang menyala berkelap-kelip,
berhari-hari hingga bertahuntahun. Dia giat berlatih sepuluh tahun baru bisa
melihat semut yang merambat di kamar gelap, sekarang walaupun dia melihat jelas
wajah Co Giok-cin, karena dia pernah latihan, maka dia pun tahu hal ini jelas
bukan pekerjaan yang gampang. Lalu bagaimana mungkin Co Giok-cin bisa melihat
goloknya? Tanpa terasa tangan Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya.
Mendadak Co Giok-cin tertawa, katanya, “Mungkin belum pernah kau pikir, ada
sementara orang sejak lahir sudah dibekali mata malam.”
“Dan kau satu di antaranya?”
“Bukan saja mataku dapat melihat di tempat gelap, aku pun bisa menembus
rongga dada orang melihat apa isi hatinya,” senyumannya berubah pudar.
“Sekarang dalam hatimu tentu sedang berpikir, aku ini bukan Co Giok-cin asli,
sudah tentu kau tidak menganggap aku ini siluman, tapi kemungkinan adalah
mata-mata Kongsun To, bukan mustahil pula seorang pembunuh perempuan yang lihai
dan terkenal, kemungkinan besar pula Bing-gwat-sim telah aku jual, karena tiada
orang tahu kami berdua bersembunyi di sini.”
Pho Ang-soat diam saja, berarti sependapat.
Co Giok-cin mengawasinya, matanya berkaca-kaca, katanya, “Kenapa kau selalu
tidak percaya kepadaku? Kenapa?”
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, katanya, “Mungkin kau tidak pantas sepandai
ini.”
“Kenapa tidak pantas? Lagi-lagi seperti Jiu Cui-jing, mana bisa mencari bini
yang bodoh untuk melahirkan keturunannya?”
Terkatup mulut Pho Ang-soat.
Sebaliknya Co Giok-cin tak berhenti bicara, “Anak yang kulahirkan pasti
juga pintar, oleh karena itu aku tidak ingin begitu dia lahir sudah tidak punya
ayah, aku tidak bisa membuatnya merana dan menderita, penuh penyesalan seumur
hidupnya kelak.”
Muka Pho Ang-soat kedutan pula. Dia maklum pula apa maksud perkataannya,
karena sejak dilahirkan dia pun tidak pernah punya ayah. Seorang bocah pandai
yang tidak punya ayah itu sudah merupakan tragedi, setelah dia tumbuh dewasa
pasti akan membuat orang lain melakukan banyak peristiwa tragis. Karena dendam
dan kebencian yang bersemayam dalam sanubarinya jauh lebih besar dari rasa
kasih sayang.
Akhirnya Pho Ang menghela napas, katanya, “Kau bisa mencari seorang ayah
untuk anakmu.”
“Aku sudah menemukan.”
“Siapa?”
“Engkau.”
Kamar batu itu makin gelap, di tempat gelap pekat ini jawaban itu
kedengarannya berkumadang di tempat yang teramat jauh.
“Hanya kau yang setimpal menjadi ayah anakku, hanya kau mampu melindungi
bocah ini hingga tumbuh dewasa, kecuali kau tiada orang lain lagi yang
setimpal.”
Pho Ang-soat berdiri kaku ditelan kegelapan, terasa setiap jengkal kulit
dagingnya seperti mengeras kaku.
Ternyata Co Giok-cin melakukian tindakan yang amat mengejutkan sanubarinya
pula, mendadak dia meraih Housing-kiam milik Tio Ping, katanya, “Kalau kau
menolak, lebih baik anak dalam kandunganku ini mati dalam perut.”
“Sekarang?” pekik Pho Ang-soat tertahan.
“Ya, sekarang juga, karena aku sudah merasakan dia akan segera lahir,”
walau dia berusaha menahan diri, namun wajahnya sudah kelihatan pucat dan
berkerut-kerut menahan sakit.
Derita seorang perempuan di kala melahirkan, memang merupakan salah satu
derita yang tidak mungkin ditahan dalam kehidupan manusia.
Pho Ang-soat lebih kaget, serunya, “Tapi kau pernah bilang, kandunganmu
baru tujuh bulan, kan belum genap.”
Co Giok-cin tertawa getir dengan menahan napas, katanya, “Anak biasanya
memang nakal dan tidak mau mendengar nasehat, apalagi anak yang masih dalam
kandungan, bila dia mau lahir, siapa pun takkan bisa mencegahnya.” Tawa
getirnya berubah menjadi seringai kesakitan, namun diliputi rasa hangat dan
kasih sayang ibunda yang sukar dilukiskan.
Dengan suara perlahan dia menyambung, “Mungkin karena dia ingin lekas
melihat dunia atau mungkin juga aku diguncangkan oleh orang-orang itu,
maka....”
Dia tidak kuat meneruskan ucapannya, rasa sakit yang bergelombang di
perutnya membuatnya merinding dan menggelepar. Tangannya masih memegang kencang
Housing-kiam, seperti Pho Ang-soat waktu menggenggam goloknya tadi. Agaknya dia
sudah bertekad bulat.
Pho Ang-soat tergagap, “Aku ... aku boleh menjadi ayah angkatnya.”
Seolah-olah dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan keberaniannya melontarkan
kata-kata itu, suaranya pun serak.
“Ayah angkat tidak bisa mewakili ayah, jelas tidak bisa?”
“Lalu apa kehendakmu?”
“Aku ingin supaya kau mempersunting aku jadi istrimu. Anakku baru resmi
menjadi anakmu,” rasa sakit merangsang pula. Dengan mengertak gigi dia unjuk
tawa dipaksakan. “Jika kau tidak setuju, aku juga tidak akan menyalahkan kau,
cuma aku mohon kau kubur mayat kami di pekuburan Khong-jioksian-ceng.”
Apakah ini pesan terakhir? Jika Pho Ang-soat menolak lamarannya, dia akan
segera mati?
Pho Ang-soat tertegun, dia sering berhadapan dengan musuh yang paling
menakutkan, menghadapi bahaya besar yang hampir merenggut nyawanya, tapi belum
pernah dia mengalami kesulitan seperti sekarang.
Kematian Jiu Cui-jing boleh dikata lantaran dirinya, Co Giok-cin boleh
dianggap sebagai istri Jiu Cui-jing. Tapi dilihat dari sudut lain, bahwa
kematian Jiu Cui-jing juga lantaran dirinya hingga Khong-jiok-san-ceng yang
sudah berdiri selama hampir empat ratus tahun hancur-lebur dalam sekejap, kini
Jiu Cui-jing hanya meninggalkan satu keturunan, apa pun pengorbanannya adalah
pantas kalau dia melindungi Co Giokcin, biarlah dia melahirkan secara wajar dan
lancar, melindunginya hingga bocah tumbuh dewasa. Mungkinkah dia menolaknya?
Gelombang sakit semakin sering dan pendek, rasa sakit itu juga makin parah,
mata tajam Hou-sing-kiam sudah mengiris robek baju luarnya.
Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan yang menyiksa hatinya, “Baiklah,
aku terima.”
“Kau bersedia manjadi suamiku.”
“Ya, aku mau menjadi suamimu.”
Apakah tetap keputusannya? Tiada orang dapat memastikan, dia sendiri pun
tidak bisa, namun dalam keadaan seperti itu dia sudah tidak punya pilihan lain.
Dengus napas, rintihan dan jerit kesakitan ... mendadak seluruhnya
berhenti, menjadi hening lelap seperti tiada kehidupan.
Selanjutnya meledaklah tangisan nyaring dan merdu dari jabang bayi yang
memecah kesunyian, membawa kehidapan baru di jagat raya ini.
Tangan Pho Ang-soat berlepotan darah, namun darah kehidupan. Kali ini dia
membawa dengan tangannya, membawa kehidupan, bukan kematian, kehidupan yang
menyala.
Mengawasi tangan sendiri, terasa hatinya pun melonjaklonjak menyambut
kehidupan baru yang baru tumbuh.
Mayat Tio Ping masih di pinggir, dia mati di bawah golok Pho Ang-soat, hanya
dalam sekejap dia sudah merenggut jiwa orang. Tapi sekarang tumbuh pula jiwa
baru, jiwa segar yang lebih bergairah. Derita dan duka-lara seketika sirna
setelah pecahnya tangis jabang bayi. Bau darah yang penuh dosa
tadi, sekarang sudah tercuci oleh darah kehidupan yang baru.
Dalam jangka yang pendek ini, dia mengantar jiwa seorang mangkat, namun
lekas sekali menyambut pula datangnya nyawa baru di dunia ini.
Pengalaman serba aneh ini membawa reaksi yang keras dan segar dalam
sanubarinya sehingga jiwanya sendiri juga jelas menampakkan perubahan, berubah
lebih semangat, hidup dan bergairah. Karena dia sudah mengalami suatu pencurian
darah seumpama seekor merak yang sudah
mengalami pencurian api dan memporeleh kehidupannya yang baru untuk kedua
kalinya. Walau pengalaman ini cukup menyiksa, namun merupakan proses
pertumbuhan jiwa dan nyawa, merupakan syarat yang paling mahal, tak ternilai
dan tidak boleh kurang. Karena itulah kehidupan manusia.
Patah tumbuh hilang berganti, yang tua mati yang muda tumbuh, begitulah
kehidupan. Sampai detik ini baru Pho Angsoat terhitung paham, baru mengerti
akan pengalamannya yang baru ini, meresapi betul-betul.
Mendengarkan tangis nyaring serta jiwa kecil yang meronta di tangannya,
mendadak dia merasakan ketenangan jiwa dan rasa gembira yang selama ini belum
pernah dia rasakan. Akhirnya dia sadar bahwa keputusannya memang benar, tiada
persoalan apa pun di dunia ini yang lebih penting dari lahirnya jiwa. Makna
kehidupan seseorang, bukankah merupakan penyambung kehidupan jiwa di mayapada
ini?
Dengan suaranya yang lemah Co Giok-cin bertanya, “Lelaki atau perempuan?”
“Lelaki juga perempuan,” sahut Pho Ang-soat, suaranya terdengar gembira,
nadanya aneh. “Kuhaturkan selamat kepadamu, kau melahirkan sepasang bayi
dampit.”
Co Giok-cin menghela napas puas dan lega, wajahnya yang lelah kelihatan
rona bahagia, katanya dengan tersenyum, “Aku pun harus memberi selamat
kepadamu, jangan lupa kau adalah ayah mereka.” Ingin dia mengulur tangan
membopong putra-putrinya, namun kondisinya masih terlalu lemah, tangan pun tak
mampu diangkatnya.
Pada saat itulah terdengar suara gemuruh disertai getaran dahsyat seperti
gunung ambruk, batu sebesar gajah berdentam memukul lantai kamar batu ini,
pecahan batu laksana anak panah muncrat kemana-mana dari lubang dinding,
satu-satunya jalan untuk keluar ternyata sudah tersumbat rapat dari luar.
Hampir tidak tahan Pho Ang-soat akan meraung keras.
Bayi baru lahir, jiwanya yang baru sedang tumbuh, apakah mereka harus ikut
menyambut datangnya kematian.
ooooOOoooo
Bab 12. Antara Mati-Hidup
Gelap pekat, sunyi senyap, tiada sinar tiada suara, semua ini tiada
menakutkan, yang betul-betul amat menakutkan adalah tiada harapan. Mereka suah
terjeblos ke dalam jurang kematian.
Kedua bayi itu tidak menangis lagi, mereka sedang minum susu, hanya di saat
mereka menetek, terasa betapa besar gairah hidupnya. Akan tetapi berapa lama
hidup mereka bisa bertahan?
Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya pula, namun menghadapi jurang
kematian yang penuh jebakan ini, goloknya itu takkan mampu berbuat apa-apa,
dalam keadaan seperti ini sepantasnya dia menghibur Co Giok-cin, namun dia
tidak tahu apa yang harus diucapkan, pikirannya ruwet.
Biasa pandangannya terlalu tawar akan perbedaan mati dan hidup, namun dia
tidak tega melihat kedua bayi kecil itu. Walau dia bukan ayah kandung mereka,
namun dalam sekejap tadi antara mereka sudah terjalin suatu ikatan yang aneh,
ikatan yang lebih erat, lebih intim dan mesra dari hubungan ayah dan anak
kandung sendiri, perasaan itu serba ruwet dan ganjil, lantaran perasaan itu
yang hanya dimiliki manusia, maka dunia ini bisa tumbuh, bisa berkembang.
Mendadak Co Giok-cin berkata, “Dari Bing-gwat-sim aku dengar kalian juga
pernah terkurung di sini? Kalau dahulu kau punya akal untuk meloloskan diri,
sekarang pasti kau punya akal untuk keluar.” Matanya memancarkan sinar,
diliputi sinar harapan.
Pho Ang-soat tidak tega membuat harapannya padam, namun dia pun tidak ingin
supaya dia tahu akan kenyataan sebenarnya.
“Tempo hari kami dapat lolos, karena di dalam sini ada alat untuk
merobohkan dinding,” batinnya.
Sekarang kamar batu ini sudah kosong, kecuali mereka berempat, ditambah
sesosok mayat. Mayat itu sudah kaku dingin, cepat atau lambat, mereka juga akan
menjadi mayat juga.
Pandangan Co Giok-cin masih menampilkan setitik harapan, katanya, “Sering
aku dengar orang bilang, golokmu adalah senjata paling tajam dan ampuh di jagat
ini.”
Mengawasi golok di tangan sendiri, suara Pho Ang-soat mengandung kebencian,
“Inilah senjata untuk membunuh orang, bukan untuk menolong orang.” Yang
dibencinya bukan orang lain tapi diri sendiri, asal kedua bayi cilik itu bisa
bertahan hidup, dia rela mengorbankan apa pun, melakukan apa saja. Tapi dia
justru tidak bisa berbuat apa-apa.
Setitik harapan yang terkandung dalam benak Co Giok-cin terpaksa pudar,
namun dia masih berusaha tertawa meski dipaksakan, katanya, “Sedikitnya kita
masih punya satu harapan.” Malah dia yang menghibur Pho Ang-soat, “Yan Lam-hwi
suruh kau menunggunya di sini, dia pasti kembali ke sini.”
“Jika dia mau pulang, tentu sudah pulang sejak tadi, umpama sekarang dia
sudah kembali, tentu beranggapan bahwa kita sudah tidak berada di sini.”
Co Giok-cin tutup mulut, dia tahu apa yang dikatakan Pho Ang-soat memang
kenyataan, Yan Lam-hwi pasti tidak menduga bahwa mereka cukup lama berada di
dalam kamar batu ini, lebih tidak menduga bahwa Pho Ang-soat akan terkubur
hidup-hidup di sini.
Ketajaman telinga Pho Ang-soat serta reaksinya memang hebat, siapa pun bila
melakukan suatu aksi di sebelah atas, pasti tidak dapat mengelabuinya. Lalu
siapa bakal menduga bahwa saat itu dia sedang sibuk menyambut kelahiran dua
nyawa cilik mungil sekaligus? Siapa pula yang mau memikirkan bahwa di dalam
sini ada jerit tangis orok yang baru lahir? Banyak kejadian di dunia ini memang
jarang terduga sebelumnya, kejadian nyata kadang-kadang justru lebih
menakjubkan daripada dongeng.
Anak-anak mulai menangis lagi.
Telapak tangan Pho Ang-soat berkeringat, mendadak dia teringat dia bisa
melakukan sesuatu untuk mereka. Sesuatu yang sebetulnya tidak sudi dia lakukan
meski jiwanya harus berkorban. Tapi sekarang dia harus melakukan, dia dipaksa
oleh keadaan untuk melakukan.
Tio Ping seorang kawakan Kangouw, setiap orang kawakan yang sering
berkelana di Kangouw pasti banyak membekal barang-barang penting untuk
memberikan pertolongan darurat. Menguras barang milik seorang yang sudah mati,
bila dipikir sebetulnya Pho Ang-soat sudah muntah-muntah, apalagi sekarang dia
sendiri yang harus melakukan, tapi kenyataan sekarang dia sedang melakukannya.
Dia mengeluarkan sebuah obor kecil, segulung tali panjang, sekeping
belerang untuk mengusir setan atau ular, sebotol obat untuk luka pukulan dan
bacokan, Jinsom yang sudah pernah dikunyah, serenceng kunci, sekuntum kembang
mutiara, beberapa keping uang emas, beberapa lembar cek dan sepucuk surat.
Mutiara dan emas adalah benda-benda berharga yang sering diperebutkan
secara tidak halal oleh manusia umumnya, malah tidak segan-segan sementara
orang mempertaruhkan jiwa raga sendiri untuk merebut barangbarang itu, namun
sekarang benda berharga ini tidak berharga lagi.
Bukankah inipun semacam sindiran?
Kondisi yang lemah setelah kelahiran, bayi-bayi itupun perlu air susu ibu,
siapa pun pasti tahu Co Giok-cin sekarang memerlukan Jinsom itu Tanpa bicara
Pho Ang-soat melolos golok memotong bagian yang sudah terkunyah. Pertama kali
ini dia mencabut goloknya hanya untuk suatu benda yang tidak bernyawa, namun
untuk kedua kalinya Co Giok-cin melihat goloknya
Agaknya sekarang dia tidak peduli lagi, garis pemisah antara hubungannya
dengan Co Giok-cin agaknya sudah putus sejak terjadinya kelahiran dua insan di
dunia ini. Sekarang antara kedua orang ini sudah terjalin suatu ikatan batin
yang tak teraba, tak terlihat.
Co Giok-cin tidak menyinggung hal ini, tanpa bersuara dia terima Jinsom
itu, matanya menatap kembang mutiara itu. Itulah sekuntum Bo-tan, setiap
mutiara mulus dan bercahaya, berkat keahlian si pembuat, meski di tempat gelap
juga kelihatan betapa indah dan antiknya.
Matanya bercahaya pula, betapapun dia seorang perempuan. Daya tarik mutu
manikan memang tak bisa ditahan oleh perempuan mana pun.
SesaatPhoAng-soat bimbang, akhirnya dia mengangsurkan kepadanya.
Mungkin dia tidak harus berbuat demikian, tapi dalam keadaan seperti
sekarang kenapa dia tidak memberi kesempatan supaya dia merasakan ketenteraman,
riang dan senang? Meski rasa senang itu hanya sedikit, hanya sekejap.
Co Giok-cin tertawa lebar, tawanya mirip tawa bocah mendapat permen yang
sudah lama dia dambakan.
Di tengah isak tangisnya, kedua orok itu akhirnya tertidur pula.
“Kau pun harus tidur,” bujuk Pho Ang-soat.
“Aku tidak mengantuk.”
“Asal kau pejamkan mata, pasti bisa tertidur.”
Pho Ang-soat tahu dia amat lelah, lelah dalam kondisi yang lemah, dia
banyak kehilangan darah, mengalami berbagai kejadian yang menakutkan lagi.
Akhirnya pelupuk matanya terpejam juga, dia tenggelam dalam tidur pulas di
kegelapan yang manis dan tenteram.
Diam-diam Pho Ang-soat mengawasi mereka, ibu dan anaknya yang sedang tidur
nyenyak, adalah gambaran bahagia yang amat mengesankan, lukisan yang indah,
tapi sekarang .... Dia menggigit bibir, bertekad untuk tidak mengucurkan air
mata.
Dia memasang obor, pemandangan yang terlihat pertama adalah tulisan di sampul
surat itu.
“Kepada yang terhormat, Yan Lam-hwi adikku, dari Gi.”
Gi? Kongcu Gi? Apakah Kongcu Gi titip surat ini supaya diserahkan kepada
Yan Lam-hwi?
Adikku? Sebetulnya ada hubungan apakah di antara mereka?
Pho Ang-soat menekan keinginannya, melempit surat dan disimpan dalam
kantong bajunya.
Tio Ping tidak punya kesempatan menyerahkan surat ini, selanjutnya dia
mengharap dirinya masih ada kesempatan bertemu dengan Yan Lam-hwi. Namun dia
juga tahu harapan ini terlalu kecil.
Bagi Pho Ang-soat, kecuali surat dan Jinsom itu, barangbarang yang dia
temukan dari badan Tio Ping hakikatnya tidak berharga. Karena dia melalaikan
satu hal dari badan lelaki seperti Tio Ping, semestinya tidak pantas menemukan
kembang mutiara, bila dia teringat akan hal ini, ternyata sudah terlambat.
Ibu dan kedua anaknya masih tidur nyenyak, dalam kegelapan mendadak
terdengar suatu suara yang aneh, suara gaib.
Lekas Pho Ang-soat menyalakan obor, maka tampak olehnya beberepa ekor ular
menerobos ke pojok kiri yang gelap sana, agaknya mereka tidak tahan mencium bau
belerang.
Kamar batu di bawah tanah ini sudah pasti tiada lubang anginnya lagi, maka
hawa di sini makin pengap dan kotor, sehingga bau belerang terlalu menusuk
hidung.
Seketika Pho Ang-soat menemukan satu hal yang menakutkan, mungkin sebelum
mereka mati kelaparan, mereka sudah mati tercekik karena kehabisan hawa.
Terutama anak-anak, anak-anak belum mempunyai daya tahan untuk menyesuaikan
diri dalam keadaan seperti ini.
Pada saat itu pula mendadak dia menemukan sesuatu kejadian, kejadian yang
mengobarkan semangatnya. Beberapa ekor ular itu setelah menerobos ke pojok kiri
sana lantas lenyap, berarti di tempat ini pasti ada jalan keluar.
Di atas dinding batu di pojok kiri sana ternyata memang ada celah-celah retakan
dinding, entah sebelum ini memang sudah ada atau retak karena terjadinya
getaran dahsyat tadi? Dia bukan ular, dia tidak tahu bagian luar dinding ini di
permukaan tanah atau terpendam di dalam bumi. Tapi setelah ada setitik harapan,
maka dia tidak akan mengabaikannya, maka dia mencabut goloknya.
Waktu Co Giok-cin bangun, sudah lama Pho Ang-soat menggali dinding, lubang
di dinding sudah semakin besar, umpama seekor kucing besar juga sudah bisa
keluar masuk.
Sayang sekali mereka bukan kucing juga bukan tikus.
Anak-anak bangun dan menangis, setelah menangis, pulas pula. Co Giok-cin
membuka baju luarnya dan digelar di lantai, perlahan dia turunkan kedua anaknya
yang pulas, lalu meronta berdiri secara diam-diam.
Pho Ang-soat sedang istirahat, napasnya agak memburu, pakaiannya
basah-kuyup, bagi orang yang sudah tidur mungkin tidak merasakan, tapi
tenaganya sudah terkuras terlalu banyak, udara yang pengap membuat napasnya
megap-megap, hampir dia tidak tahan lagi.
Dia harus lekas meloloskan diri, maka dia kerahkan tenaga, bekerja lebih
keras dan cepat, mendadak “Trang”, goloknya gumpil sedikit karena terbentur
batu. Golok ini sudah menjadi
salah satu anggota badannya, salah satu bagian dari jiwa raganya, tapi
kedua tangannya tidak pernah berhenti.
Co Giok-cin menggigit sekerat Jinsom, tanpa bersuara dia angsurkan ke
depannya.
Pho Ang-soat menggeleng, katanya, “Anak-anak harus menetek, kau lebih
memerlukan dari aku.”
Pilu suara Co Giok-cin, “Tapi jika kau ambruk, siapa pula yang bisa hidup?”
Pho Ang-soat mengertak gigi, goloknya gumpil pula. Air mata Co Giok-cin
bercucuran.
Semula senjata ini tiada bandingannya di seluruh jagat, cukup membuat siapa
pun berubah air mukanya, nyali pendekar ciut, tapi sekarang kenyataan dia tidak
lebih kuat dari pacul atau linggis. Sungguh tragedi yang amat kejam, tragedi
yang mengenaskan? Sudah tentu Pho Ang-soat merasakan hal ini, kenyataan memang
sudah hampir ambruk.
Tiba-tiba kedua tangan Co Giok-cin terulur maju, di kedua telapak tangannya
berisi sumber air abadi. Pho Ang-soat membuka mulut, air abadi lantas meluncur
ke dalam perutnya, rasa harum dan manis yang tak bisa dilukiskan merasuk ke
dalam sanubarinya. Air abadi itu adalah air susu Co Giok-cin.
Padahal Pho Ang-soat sudah bersumpah tidak akan mengucurkan air mata, namun
sekarang air matanya sudah tidak terbendung lagi.
Pada saat itulah, dari celah-celah lubang itu ada sesuatu benda menjulur
masuk, ternyata itulah sebilah pedang, pedang merah segar. Di ujung pedang
terikat secarik kain, di atasnya tertulis huruf darah, “Aku belum mati, kau pun
tak boleh mati”.
Kedua orok itu menangis lagi, suara tangisnya yang keras bergema,
melambangkan kehidupan yang menggelora.
ooooOOoooo
Sinar surya menerangi jagat raya.
Akhirnya kedua orok itu melihat sinar matahari.
Terbit secercah harapan dalam benak Pho Ang-soat, semoga anak yang hidup
dalam kegelapan bisa tumbuh dewasa di bawah cahaya matahari.
“Sebetulnya aku sudah pergi, aku sudah pergi tiga kali.”
“Tapi tiga kali pula kau kembali.”
“Aku sendiri tidak tahu kenapa aku kembali, semula aku kira kalian tidak
mungkin berada di dalam,” Yan Lam-hwi tertawa, “tak pernah terbayang olehku
meski dalam mimpi, bahwa suatu ketika Pho Ang-soat juga akan terkubur
hiduphidup.” Tawanya ramah dan riang, bukan tawa sinis, karena hatinya
benar-benar sedang gembira. Katanya pula, “Terakhir kali sebenarnya aku sudah
bertekad akan pergi.”
“Kenapa kau tidak segera pergi?”
“Karena mendadak aku mendengar suatu suara yang amat aneh, suara seperti
seorang yang lagi tersedak.”
“Suara golok gumpil yag beradu dengan batu di dalam tanah.”
“Golok siapa?”
“Golokku.”
Berdiri alis Yan Lam-hwi, mulutnya ternganga, dengan terbelalak kaget dia
mengawasi Pho Ang-soat, lebih kaget bila mendadak dia melihat bumi di bawah kakinya
merekah.
Pho Ang-soat malah tertawa, katanya, “Golokku kan juga sama seperti golok
lain, golok biasa.”
“Bagaimana tanganmu?” tanya Yan Lam-hwi.
“Tanganku masih utuh,” sahut Pho Ang-soat.
“Asal tanganmu masih utuh, golok yang gumpil sekalipun tetap dapat membunuh
orang.”
Seketika sirna tawa Pho Ang-soat, “Orangnya?”
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya tertawa getir, “Orangnya masih ada,
sayang aku tidak tahu dimana mereka.”
Di kejauhan sana ada sebuah kereta kuda, namun tiada orang.
“Kau datang naik kereta itu?” tanya Pho Ang-soat.
“Tiga kali aku mondar-mandir naik kereta. Aku tidak suka jalan kaki, kalau
bisa naik kereta, aku pasti tak pernah jalan.”
“Hanya karena tidak suka jalan, bukan karena kakimu?” tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menatapnya, tiba-tiba menghela napas, “Kenapa aku selalu tak
bisa mengelabui engkau?”
Kedua orok itu dibungkus dengan baju luar Pho Ang-soat, sejauh ini Yan
Lam-hwi tetap menekan rasa ingin tahunya, dia tidak bertanya hal ini, karena
Pho Ang-soat juga tidak menyinggungnya. Dia tahu watak Pho Ang-soat, suatu hal
bila tak ingin atau pernah dia singgung kepadamu, lebih baik kau pura-pura
tidak tahu saja.
Dengan tersenyum manis Co Giok-cin menyapa kepadanya, “Paman Yan, kenapa
kau tidak melihat anak kami?”
Sungguh Yan Lam-hwi tidak tahan lagi, tanyanya bingung, “Anak kalian?”
Co Giok-cin melirik ke arah Pho Ang-soat, katanya, “Apakah dia tidak
memberitahu kepadamu?”
“Memberitahu apa kepadaku?”
Makin manis senyum Co Giok-cin, katanya, “Anak ini yang satu she Jiu, yang
lain she Pho, yang laki mewarisi marga keluarga Jiu, bernama Jiu Sian-jing.
Yang perempuan ini lahir lebih dulu, dia bernama Pho Siau-an.” Sorot matanya
menampilkan rasa bangsa dan puas, hal ini sudah kami bicarakan bersama-sama, kami
sudah...” Dengan jengah akhirnya dia menunduk malu.
Yan Lam-hwi menatapnya, lalu mengawasi Pho Ang-soat pula, rasa kaget yang
terbayang di wajahnya lebih besar dibanding waktu dia mendengar suara golok
gumpil tadi.
Dengan kalem Pho Ang-soat menoleh, lalu menarik kencang popok orok-orok
itu, katanya, “Kenapa kalian tidak naik kereta lebih duhulu.”
Co Giok-cin sudah naik dan duduk di dalam kereta, Yan Lam-hwi dan Pho
Ang-soat baru berjalan menghampiri. Kedua orang ini cukup lama tidak buka
suara, akhirnya Pho Ang-soat bertanya, “Kau tidak mengira bukan?”
Terpaksa Yan Lam-hwi mengunjuk tawa, katanya, “Masih banyak kejadian di
dunia ini yang sering membuatku tidak mengira.”
“Kau menentang?”
“Kurasa kau punya alasan, mungkin ...”
“Jika sang waktu bisa berputar balik, aku akan tetap berbuat demikian,
anak-anak itu tidak boleh tidak punya ayah, apa pun seseorang harus menjadi
ayahnya.”
Lebar tawa Yan Lam-hwi, katanya, “Kecuali kau, sungguh tak bisa terpikir
olehku, siapa yang setimpal menjadi ayah kedua orok ini.” Langkahnya lambat,
gaya berjalannya seperti berubah mirip Pho Ang-soat, malah sering
terbatuk-batuk.
Mendadak Pho Ang-soat berhenti, menatap dengan tajam, lalu katanya, “Ada
berapa banyak lukamu?”
“Tidak banyak.”
Mendadak Pho Ang-soat turun tangan menarik pakaiannya, dadanya yang bidang
dan kekar, ternyata terdapat dua jalur luka. Luka merekah berwarna ungu, mirip
gores lukisan yang dibubuhi warna.
Memicing mata Pho Ang-soat, katanya, “Inilah Thian-coatte-biat
Toa-jik-yang-jiu?”
“Oya,” Yan Lam-hwi bersuara dalam mulut.
“Pahamu terkena Toh-kut-ting atau Soh-hun-ciam?”
Yan Lam-hwi tertawa getir, ujarnya, “Jika Soh-hun-ciam, apakah sekarang aku
masih bisa berdiri?”
“Ada orang Sing-siok-hay barat datang kemari?”
“Hanya datang satu.”
“Yang datang To-jing-cu atau Bu-jing-cu?” tanya Pho Angsoat.
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Terluka di tangan To-jing-cu akhirnya
pasti mampus.”
“Toh-ku-ting itu masih menancap di pahamu?”
“Sekarang pahaku hanya bolong satu,” ujar Yan Lam-hwi, waktu tangannya
merogoh kantong, sebuah senjata rahasia yang kemilau sudah berada di telapak
tangannya, kalau seluruh senjata rahasia yang ada di dunia ini dipilih sepuluh
di antaranya yang paling ganas dan menakutkan, maka Toh-kutting ini pasti satu
di antaranya.
Ternyata Yan Lam-hwi masih tertawa-tawa, katanya, “Untung nasibku masih
mujur, dia menimpukkan tiga belas Toh-kut-ting, aku hanya kena satu, untungnya
aku hanya terluka kulit daging, tidak mengenai Hiat-to atau sendi tulang, maka
lariku masih lebih cepat dari mereka, kalau tidak, umpama To-jing-cu tidak
membunuhku, Nyo Bu-ki juga pasti merenggut nyawaku.”
Ternyata tawanya masih kelihatan riang, “Boleh kuberitahu satu rahasia
kepadamu, kemampuan untuk membunuh orang memang aku bukan tandinganmu, tapi
kepandaian untuk melarikan diri, aku yakin nomor satu di dunia ini.”
Tangan Pho Ang-soat juga sedang merogoh saku, setelah dia bicara habis, di
ujung jarinya terselip sepucuk surat, katanya, “Bacalah setelah duduk di dalam
kereta.”
“Siapa pegang kendali?”
“Aku.”
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Seingatku dulu kau tidak pernah menjadi
kusir.”
“Sekarang aku sudah pandai.”
“Kapan kau belajar menjadi kusir?”
Pho Ang-soat menatapnya, lalu balas bertanya, “Apakah dulu kau sudah pandai
melarikan diri?”
Yan Lam-hwi berpikir sejenak, lalu menggeleng kepala. “Sejak kapan kau
belajar melarikan diri?”
“Bila dipaksa untuk melarikan diri.”
Pho Ang-soat menutup rapat mulutnya, dia yakin Yan Lamhwi sudah maklum akan
maksudnya. Seorang bila keadaan memaksa harus melakukan sesuatu, maka dia bisa
melakukannya.
ooooOOoooo
Surat itu cukup panjang, semuanya ada tiga lembar. Sebelum naik kereta Yan
Lam-hwi sudah merobek sampul suratnya, biasanya dia memang terburu napsu.
Ternyata Pho Ang-soat amat tabah dan sabar, dia tidak bertanya apa yang
tertulis dalam surat itu.
Agaknya surat itu membawa berita yang amat menarik, karena sambil membaca,
Yan Lam-hwi tertawa riang Tawa riang yang mengandung cemoohan. Mendadak dia
berkata,
“Agaknya Kongcu Gi seorang yang amat baik, perhatiannya terhadapku teramat
besar.”
Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.
“Dia membujukku supaya lekas meninggalkan engkau, karena sekarang kau sudah
dipandang sebagai penyakit menular yang amat jahat, siapa pun tersentuh olehmu
pasti dia tertimpa bencana dan akhirnya sekarat.” Yan Lam-hwi tertawa lebar,
“Malah dia pun mencantumkan sebuah daftar.”
“Sebuah daftar?”
“Daftar nama-nama orang yang ingin membunuh kita, dalam daftar ini,
orang-orang yang ingin membunuh kau satu orang lebih banyak dari yang ingin
membunuh aku.”
“Hanya seorang kan tidak banyak.”
“Umumnya memang tidak dianggap banyak, tapi juga tidak sedikit, cuma harus
dilihat siapa seorang yang kelebihan ini,” mimik tawanya kelihatan tidak
senang, “Kalau kunilai secara obyektif, orang yang ingin membunuh kau ini
bahwasanya tidak boleh dihitung satu.”
“Dihitung berapa?”
“Sedikitnya dihitung sepuluh orang.”
“Apakah Bu-jing-cu dari Sing -siok-hay?”
“Kalau dibanding dengan orang yang satu ini, paling banyak Bu-jing-cu hanya
boleh dianggap bocah yang baru pandai membunuh orang.”
“Siapakah orang itu?”
Yan Lam-hwi sudah duduk di atas kereta, pintu ditutup seperti takut dirinya
terjungkal jatuh, katanya, “Orang ini juga menggunakan golok, golok istimewa.”
“Golok apa?” tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menutup pintu lebih rapat, lalu sepatah demi sepatah dia
menyebut nama golok itu, “Thian-ong-cam-kui-to.”
Kabin kereta itu cukup lebar, Co Giok-cin merebahkan putrinya
dipangkuannya, putranya dia peluk dengan kedua tangan, mata menatap Yan
Lam-hwi, akhirnya tak tahan dia bertanya, “Sebetulnya golok macam apakah
Thian-ong-camkui-to itu!”
Yan Lam-hwi tertawa paksa, katanya, “Terus terang, bahwasanya golok itu
tidak boleh dianggap sebatang golok.”
“Dianggap sepuluh batang?” Co Giok-cin menegas.
Yan Lam-hwi tidak langsung menjawab, dia malah balas bertanya, “Kau pernah
melihat pisau Siau Si-bu?”
Co Giok-cin berpikir sejenak, katanya sambil mengangguk, “Aku pernah
melihat orangnya, dia selalu membersihkan kuku jarinya dengan pisau.”
“Sidikitnya harus ada lima ratus batang pisau seperti itu, baru bisa dibuat
sebatang Thian-ong cam-kui-to.”
Co Giok-cin merinding, serunya, “Lima ratus batang pisau?”
“Kau tahu,” tanya Yan Lam-hwi, “berapa banyak orang yang mati dalam
segebrak oleh goloknya?”
“Dua? Tiga? Lima?” tanya Co Giok cin.
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Dalam segebrak pernah sekaligus dia
membunuh dua puluh tujuh orang, batok kepala setiap korbannya terbelah dua.”
Berubah air muka Co Giok-cin, orok dipeluknya lebih kencang, sorot matanya
menatap keluar jendela, katanya dengan tersenyum menyengir, “Apakah kau sengaja
hendak menakuti aku?”
Yan Lam-hwi tertawa getir, katanya, “Jika kau pernah melihat golok itu,
pasti kau akan maklum apakah aku sengaja membuatmu takut atau tidak.” Mendadak
dia menoleh, katanya pula dengan tertawa, “Tapi kau pasti tidak akan bisa
melihatnya, semoga Thian yang Maha kuasa melindungimu,
apa pun jangan sampai kau melihatnya.”
Co Giok-cin tidak bertanya lagi, karena dia sudah melihat suatu kejadian
aneh, katanya, “Coba lihat di sana, ada sebuah roda kereta.”
Roda kereta sebetulnya tiada yang lucu atau mengherankan, tapi kenapa roda
kereta yang satu ini bisa menggelinding sendiri ke depan?
Tak tahan Yan Lam-hwi melongok keluar, seketika berubah air mukanya,
serunya, “Itu roda kereta ini.”
Belum habis dia bicara, kereta sudah mendoyong ke pinggir, terus menerjang
miring keluar jalan raya.
Kembali Co Giok-cin menjerit, “Coba lihat. Kenapa di depan ada kuda
buntung?”
Kuda buntung? Mana ada kuda buntung di dunia ini, aneh bin ajaib, kenyataan
yang mengerikan, karena kuda buntung itu masih terus berlari ke depan, lari
hanya dengan dua kaki depannya. Mendadak darahnya menyembur dan muncrat bagai
sambaran panah, setelah lari tujuh langkah baru kuda buntung itu ambruk, isi
perutnya tercecer dan terseret di jalan raya.
“Awas!” teriak Yan Lam-hwi. Belum lenyap suaranya, tahutahu kereta itu
sudah terpental mumbul ke udara dan terbalik seperti berakrobatik.
Yan Lam-hwi menubruk maju sambil memeluk seorang anak Co Giok-cin,
berbareng sebelah kakinya menendang terbuka pintu kereta. Sebuah tangan terulur
ke dalam, didengarnya suara Pho Ang-soat berkata, “Tarik kencang.”
Dua tangan saling gendong dan tarik, Pho Ang-soat menarik Yan Lam-hwi,
sementara Yan Lam-hwi memeluk Co Giok-cin dan seorang anaknya.
Di tengah bentakan nyaring, mereka sudah mencelat terbang keluar. “Biang”,
suara keras menggetar bumi, kereta itu sudah hancur menubruk sebatang pohon.
Lohor.
Cuaca cerah, sinar matahari cemerlang.
Sinar mentari yang menyegarkan menerangi jalan raya besar itu, mendadak
segumpal mega tiba, sehingga cahaya mentari tertutup, seolah-olah sang surya
pun tidak tega melihat peristiwa yang baru saja terjadi di jalan raya.
Kereta itu sudah remuk, kuda penarik kereta pun terpotong menjadi dua,
bagian belakang bangkai kuda itu masih terikat di depan kereta, bagian
kepalanya ternyata sudah menggeletak di tengah jalan raya.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi?
Dengan kencang Co Giok-cin memeluk kedua anaknya supaya tidak menangis.
Walau dia masih bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi, tapi sungguh dia
teramat takut, begitu takutnya sehingga lupa sakit. Padahal sekujur badan dan
tulang-tulangnya seperti dibetot dan copot, tapi rasa takut telah membuatnya
pati rasa, maka selanjutnya dia mulai muntah-muntah.
Seorang laki-laki penebang kayu yang masih muda sedang berdiri di pinggir
jalan di bawah pohon, mendadak dia pun ikut muntah-muntah. Tadi dia pun sedang
melangkah keluar dari dalam hutan, hendak menyeberang jalan raya ini, namun
segera dia menyurut mundur dan menunggu, karena dilihatnya sebuah kereta
berkuda sedang berlari kencang mendatangi.
Yang memegang kendali adalah seorang bermuka pucat, seolah-olah begitu
besar keinginannya supaya kereta kuda ini dalam sekejap menempuh delapan ratus
li perjalanan.
“Memangnya orang ini buru-buru hendak melayat,” demikian gerutu penebang
kayu muda itu dalam hati, namun sebelum dia bergerak lagi, mendadak dilihatnya
sinar golok berkelebat. Sebetulnya dia tidak melihat jelas dan tidak bisa
membedakan apakah yang berkelebat barusan sinar golok atau kilat menyambar.
Tapi dia melihat selarik sinar terang melesat terbang dari dalam hutan di
seberang sana, jatuh di punggung kuda yang menarik kereta.
Kuda gagah yang sedang berlari kencang menarik kereta, mendadak terpotong
menjadi dua. Bagian kepalanya ternyata berpisah dengan bagian pantatnya, bagian
kepala masih bisa berlari dengan kedua kaki depannya. Lalu apa pula yang terjadi
selanjutnya hakikatnya penebang kayu ini tidak melihat, dia berdiri menjublek
tidak percaya bahwa apa yang barusan disaksikan adalah kejadian nyata. Dia
hanya mengharap apa yang disaksikannya ini hanya sebuah impian, impian buruk.
Tapi dia sudah mulai muntah-muntah.
ooooOOoooo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar