Jilid
: 4
Haruslah
diketahui, kitab pusaka Cing khu hun pit merupakan benda mestika yang
menjadi incaran dan diidam-idamkan oleh setiap jago persilatan di
dunia ini, sesungguhnya apa yang dikatakan Giam In kok benar, kitab
pusaka tersebut betul-betul tersimpan di daerah penting miiik kantor
cabang Kay pang untuk kota Kim-leng, sudah dapat dipastikan kawanan
jago lihay dari berbagai aliran dan golongan tentu akan
berbondong-bondong mendatangi tempat tersebut.
Padahal
kekuatan yang dimiliki pihak Kay pang di kantor cabang kota Kim leng
ini terbatas sekali, tak disangkal lagi, peristiwa ini sudah pasti
akan mendatangkan banyak kerepotan dan kesulitan bagi kaum pengemis
tersebut.
Tan
Kim sadar bahwa persoalan yang mereka hadapi merupakan suatu
peristiwa besar yang gawat dan berakibat besar bagi perkumpulan-nya,
cepat-cepat dia bertanya lagi:
"Engkoh
cilik, darimana kau bisa tahu kalau kitab pusaka Cing khu hun pit
tersebut berada ditempat kami?"
"Sebelum
kujawab pertanyaanmu itu, pertama-tama aku ingin bertanya lebih dulu,
berapa banyakkah tugu peringatan yang berada dikolong langit dewasa
ini yang berbentuk sebesar batu peringatan disini?"
"Hanya
ada satu!"
"Nah,
itulah dia! Aku rasa kalian pasti sudah mendengar bukan bahwa
dalam setahun belakangan ini seringkali di temukan ada orang sedang
membongkar tugu peringatan kuno yang tinggi besar terutama di wilayah
utara maupun selatan sungai Tiang-hung serta di kedua belah sisi
sungai Huang-hoo! Nah, sesungguhnya mereka semua sedang mencari jejak
kitab pusaka yang tak ternilai harganya itu!"
"Jadi
kau yang telah melakukan semua perbuatan aneh itu....?" seru Tan
Kim keheranan.
"Tepat
sekali! Dari sini, tentunya kau dapat membuktikan bukan bahwa apa
yang telah kukatakan barusan sama sekali bukan bermaksud untuk kalian
semua... lebih baik lagi sebelum mati, kalian tidur dulu didalam peti
mati itu, jadi kalau sudah mampus nanti tak perlu menyusahkan orang
lain untuk menggotongkan tubuh kalian masuk peti...."
Tan
Kim tidak meladeni ejekan bocah tersebut, setelah menghela napas
panjang katanya:
"Aaaaai....
siapa yang menyimpan barang mestika, dia akan mendatangkan bencana
bagi dirinya..... apa yang mesti kulakukan sekarang?"
Dengan
wajah penuh amarah si pengemis kadasan maju ke muka, lalu sembari
mengayunkan tongkat menggebuk anjingnya dia berteriak keras:
"Hmmmm,
nampaknya kau si bajingan cilik sengaja hendak mendatangkan bencana
buat kami..... sudah puluhan tahun lamanya kami berdiam di lembah
tugu peringatan ini, tapi belum pernah kujumpai kitab pusaka macam
itupun muncul di tempat ini!"
"Naaah....!
Kalau begitu, bisa jadi kitab pusaka tersebut telah diambil oleh
kalian kawanan pengemis sialan yang jelek seperti kunyuk.... kalau
begini, usaha sauya jadi sia-sia belaka...."
Pengemis
kudisan tertawa dingin, dia tahu, demi keselamatan markas besar ini,
terpaksa bocah itu harus selekasnya disingkirkan dari muka bumi,
sebab kalau berita itu sampai keburu kesiar luas di dalam dunia
persilatan, bencana besar tentu akan mengancam mereka semua.
Diiringi
suara bentakan yang amat keras, dia memutar toya penggebuk anjingnya
sambil menerjang maju ke muka.
Sesungguhnya
diantara beberapa orang pengemis itu, Huan Kay sian merupakan
pengemis tua yang berhati paling ramah dan penuh welas kasih, namun
berhubung ketua cabangnya sudah turun tangan, sudah barang tentu dia
tak berani berpeluk tangan belaka.
Dikerubuti
oleh beberapa orang jago tua itu, lambat laun Glam In kok menjadi
naik darah juga, dengan amarah yang berkobar dia segera membentak
nyaring, kemudian secara beruntun dia lancarkan serangan balasan
secara bertubi-tubi, setiap serangan yang dilepaskan disertai juga
dengan deruan angin pukulan yang tajam dan kuat.
Sebagaimana
diketahui, ilmu tongkat penggebuk anjing yang dimiliki perkumpulan
Kay pang dewasa ini merupakan ilmu warisan dari cousu perguruan-nya
yakni Ang cit kong, bukan saja jurus-jurus serangan-nya amat tangguh,
bahkan memiliki pula banyak perubahan yang sama sekali tak terduga.
Apalagi
ilmu toya tersebut dimainkan sendiri olah Tan Kim sebagai seorang
ketua cabang, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya serangan tersebut.
Giam
In kok yang harus menghadapi serangan-serangan lawan-nya hanya
mengandalkan tangan kosong belaka, sudah barang tentu bukan
tandingan.
Selangkah
demi selangkah ia terdesak mundur terus ke belakang, makin lama dia
terdesak semakin mendekati ujung kanal berbatu karang itu, andaikata
bocah itu tak mampu membetulkan posisinya dalam waktu singkat,
niscaya dia akan tercebur kedalam sungai dengan ombak yang sedang
menggulung dengan derasnya itu.
Mendadak,
disaat yang amat kritis inilah.....
Dari
tepi kanal meluncur datang sesosok bayangan manusia, menyusul
kemudian bergema suara bentakan keras yang memecahkan keheningan.....
"Tahan!"
Segulung
angin pukulan yang berhawa dingin dan amat menusuk tulang telah
menggulung kearah lima orang pengemis itu dengan dahsyatnya.
Begitu
mengetahui siapa yang datang, kelima orang pengemis tua itu berseru
tertahan kemudian cepat-cepat melarikan diri meningalkan tempat itu.
Giam
In kok menjadi tercengang, dia tak mengira kalau pengemis-pengemis
lihay yang sedang mengerubutinya itu serentak kebur terbirit-birit
setelah bertemu dengan pendatang itu.
Tanpa
terasa dia berpaling ke arah orang itu, ternyata orang yang baru saja
munculkan diri itu adalah seorang lelaki berjubah panjang yang kurus
kering hingga tinggal kulit pembungkus tulang, biarpun begitu, dia
justru memiliki sepasang mata yang memancarkan cahaya tajam, begitu
tajamnya sampai menggidikkan hati siapa pun yang melihatnya.
Kendatipun
bocah itu tahu bahwa dia telah diselamatkan oleh orang itu, tak urung
hatinya tercekat juga selelah menyaksikan raut wajahnya yang begitu
menyeramkan, tanpa terasa bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Orang
itu melirik sekejap ke arah Giam In kok dengan pandangan dingin,
kemudian katanya dengan suara yang menyeramkan:
"Nah
anak kecil, katakan sejujurnya, benarkah apa yang barusan yang telah
kau utarakan tadi?"
Semenjak
kemunculan orang itu, Giam In kok telah menduga kalau kedatangannya
sudah pasti ada hubungan-nya dengan masalah kitab pusaka.
Padahal
dia telah menduga bahwa kemungkinan besar kitab pusaka yang sedang
dicari-cari berada diatas dinding yang berlukiskan pemandangan alam
dalam ruang gua, namun dia tak ingin mengatakan rahasia tersebut
kepada orang itu.
Karenanya
setelah memberi hormat, katanya:
"Empek
yang gagah, terima kasih banyak atas bantuan yang telah kau berikan
kepada ku, apa yang telah kukatakan tadi, setiap patah kata adalah
kejadian yang sesungguhnya!"
"Bagus
sekali, kalau begitu mari sekarang juga kita pergi mencari kitab
pusaka itu"
"Tapi...
tempat itu merupakan pusat kekuatan dari perkumpulan Kay pang cabang
kota Kim leng...."
Orang
itu tertawa dingin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia cengkeram
panggung Giam In kok kemudian dibawa lari meninggalkan tempat
tersebut.
Waktu
itu, ke lima orang pengemis tua dari perkumpulan Kay pang cabang kota
Kim leng sedang melarikan diri sejauh setengah li, ketua secara
tiba-tiba terasa datangnya sambaran desingan angin tajam dari arah
belakang, serentak mereka berpaling kebelakang, dengan cepat mereka
jumpai orang yang ditakuti itu sudah berada hanya sepuluh kaki
dibelakang mereka sambil membopong tubuh bocah tersebut.
Tan
Kim segera memutar tongkat penggebuk anjingnya sambil bersiap sedia
menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan, begitu juga dengan
ke empat pengemis lain-nya, kemudian ia baru menegur dengan lantang:
"Kwoe
ciaapwoe, apakah kau sedang mengejar kami berlima.....?"
"Hmmm,
masa tujuanku tidak kalian ketahui?"
Sambil
menjawab dengan suara yang menyeramkan, orang itu langsung
melancarkan sebuah pukulan dahsyat kedepan.
Kelima
orang pengemis itu serentak membentak bersama-sama, lima batang
tongkat bersama-sama diayunkan kemuka membentuk serangkaian cahaya
tajam yang melapisi seluruh angkasa, diantara gerakan ini terasa
desingan angin tajam membuat pasir dan debu beterbangan memenuhi
seluruh angkasa. Mendadak orang itu mendengus dingin, tenaga
serangannya ditambah dengan dua bagian lebih hebat dan.....
"Blaaaammmm....!"
Ditengah
suara benturan yang maha dahyat, ke lima orang pengemis itu terpental
jauh kebelakang dan mundur sejauh tiga langkah lebih dengan
sempoyongan.
Tan
Kim membentak keras, dengan mengerahkan segenap kekuatan yang
dimiiikinya bersama-sama ke empat rekan pengemis lain-nya, mereka
sekali lagi melancarkan seuah serangan yang maha dahsyat.
"Hmmm....!
Tampaknya kalian memang sudah bosan hidup..." jengek orang ini
sambil tertawa seram.
Ia
segera menurunkan tubuh Giam In kok keatas tanah, kemudian sepasang
telapak tangan-nya diayunkan bersama-sama kedepan.
Ditengah
benturan yang amat keras, tubuh ke lima orang pengemis tua itu
bagikan layang-layang yang putus benang langsung terpental kebelakang
dan roboh terkapar diatas tanah untuk tidak bangkit kembali.
"Hmmmmm!
Nyata kalau nama besar si Raja akhirat pencabut nyawa memang bukan
nama kosong belaka!"
Suara
pujian yang bernada mengejek itu tiba-tiba berkumandang datang dari
arah belakang.
Ketika
Giam In kok berpaling kebelakang, nampaklah dibelakang mereka entah
sejak kapan telah muncul dua orang jago lihay, yang satu bertubuh
pendek sedangkan yang lain berperawakan sedang, dengan wajah
menyeringai seram kedua orang itu berdiri kaku disana.
Giam
In kok menjadi sangat ketakutan, dia kuatir kalau dua orang jago yang
baru datang itu akan menyerobot dirinya, cepat-cepat dia melompat
kesamping untuk menyelamatan diri.
Dalam
pada itu, jagoan yang dipanggil Raja akhirat pencabut nyawa itu telah
tertawa dingin tiada hentinya, kemudian berkata:
"Sam
cun eng! Apakah kaupun bermaksud mencampuri urusanku.....?"
"Haaahhh...
Haabhh.... haaahh..." si kate tertawa tergelak, "kitab
pusaka Cing khu hun pit merupakan kitab pusaka yang di idam-idamkan
dan diincar oloh setiap jago yang berada didalam dunia persilatan,
jangan lagi aku memang ingin memperolehnya, bahkan orang lainpun
hampir semuanya berminat sekali dengan kitab itu....."
"Betul"
sambung pula si jago berperawakan sedang dengan cepat, "jangan
lupa, aku si Ku tua pun berhasrat juga dengan benda mestika itu....."
Raja
akhirat pencabut nyawa segera menarik wajahnya dan berubah membesi,
lalu sambil tertawa seram katanya:
"Heeehhh.....
heeehhh.... heeehhh.... tua bangka she Ku, aku kuatir apa yang kau
dambakan itu hanya akan menjadi sia-sia belaka"
"Hey
si Raja akhirat pencabut nyawa, jangan kau anggap ilmu silatmu telah
berhasil mencapai tingkatan yang sangat hebat, maka kau tak memandang
sebelah matapun terhadap diriku, kalau kau berani pentang bacot lagi
disini, jangan salahkan bila hari ini aku serta si kate she Ting akan
bekerja sama lebih dulu untuk mengantar kau pulang ke rumah
nenekmu!!"
Raja
akhirat pencabut nyawa merasa terperanjat juga setelah mendengar
ancaman itu, ia sadar apabila kedua orang lawannya itu sampai bekerja
sama, niscaya dia bakal menderitaa kekalahan total ditangan mereka.
Oleh
sebab itu tanpa banyak berbicara lagi dia melompat kesamping Giam In
kok dan segera menyambar tubuhnya.
Kakek
she Ku itu membentak keras, tubuhnya menerjang maju ke muka dengan
cepat, telapak tangan-nya langsung dihantamkan ke dada lawan....
Raja
akherat pencabut nyawa menarik napas panjang-panjang, mendadak
tubuhnya menyusut mundur sejauh berapa kaki kebelakang, kemudian
serunya dengan mata melotot besar:
"Tua
kangka she Ku, jadi kau benar-benar bermaksud menantang aku untuk
berduel?"
"Kalau
sudah tahu, buat apa mesti banyak bertanya lagi....?" jawab
lawan-nya ketus.
"Benar
sobat Ku, perkataanmu memang tepat sekali."
Si
kate Sam cun teng segera menimpali, "aku memang merasa ada
baiknya untuk membereskan si manusia jahanan ini lebih dahulu!"
Giam
In kok yaag mengikuti jalan-nya peristiwa itu, diam-diam merasa
kegelian pikirnya:
"Bagus....
bagus sekali, andaikata kawanan jago-jago lihay ini saling
gontok-gontokan sendiri sehingga berkobar pertarungan yang seru, maka
akulah yaag akan menjadi nelayan yang beruntung. Haaah... haaahh....
haaaah... orang-orang itu memang amat lucu, masa kitab pusaka itu
belum lagi ditemukan, mereka telah saling baku hantam sendiri, nah
inilah kesempatan yang paling baik bagiku untuk Bmelarikan diri,
kalau sekarang tidak kabur, apa lagi yang mesti kutunggu....?"
Memanfaatkan
kesempatan disaat situasi sedang diliputi ketegangan sementara ketiga
orang jago lihay itu sudah saling berhadapan untuk melangsungkan
pertarungan, tiba-tiba saja bocah itu membalikkan badan kemudian
melarikan diri secepatnya meninggalkan
tempat kejadian....
Melihat
Giam In kok melarikan
diri dari tempat itu, Si Raja
akherat pencabut nyawa segera membentak
keras dan siap melakukan pengejaran.
Tapi
Sam cun teng
telah menghardik keras:
"Berhenti!
Mau kabur kemana kau?"
Sebuah
pukulan yang amat keras segera dilancarkan kedepan.
Dengan
tibanya ancaman tersebut, otomatis jalan pergi Raja akherat
pencabut nyawa pun menjadi terhadang, dalam keadaan begini terpaksa
dia harus menyelamatkan diri terlebih dulu.
Kemudian
dengan penuh amarah Raja akherat pencabut nyawa membentak keras:
"Sebetulnya
apa yang hendak kau lakukan?"
"Hmmm!
Kau anngap kami tak tahu apa yang hendak kau lakukan? Bukankah kau
hendak pergi mencari kitab pusaka itu bersama si bocah ciiik tadi?"
"Hey.....
lucu amat kau ini, siapa bilang dia sedang mencari kitab pusaka? Kau
anggap kitab tersebut tersimpan di mana?"
"Bukankah
berada di bawah batu tugu peringatan?" jengek Sam cun teng
dengan cepat.
"Betul,"
sambung pula si kakek she Ku, aku juga mendengar kitab pusaka itu
berada di bawah batu tugu peringatan, apa salahnya bila kita
bersama-sama mencari dan mengambii keluar kitab pusaka itu lebih
dulu, kemudian baru kita tentukan siapa diantara kita yang lebih
berhak memiliki kitab itu?"
"Akuuuur....!
Suatu usul yang sangat bagus....."
"Justru
karena itulah kita harus membekuk setan cilik tadi lebih dulu"
seru Raja akherat pencabut nyawa dengan suara mendongkol, "kalau
kita gagal membekuk si setan cilik itu, bagaimana mungkin bisa kita
ketahui pusaka itu berada dimana?"
"Kalau
memang begitu, mari kita kejar bocah itu bersama-sama....."
Dalam
pada itu Giam In kok telah melarikan diri sejauh empat-lima puluh
kaki lebih dari tempat semula, ketika dia berpaling dan menyaksikan
ada tiga sosok bayangan manusia sedang meluncur ke arahnya dengan
gerakan yang begitu cepat, dia menjadi amat terperanjat....
Walaupun
dia tahu bahwa maksud tujuan ketiga orang itu tak lebih hanya
menyuruh dia menunjukkan tempat disimpannya kitab pusaka itu, tapi
andaikata kitab pusaka itu benar-benar berhasil ditemukan, apa yang
dapat diperbuat olehnya?
Berada
dalam keadaan begini, ia segera mempercepat larinya untuk melarikan
diri menuju ke dalam hutan lebat yang terbentang tak jauh di depan
sana.
Dalam
waktu singkat Raja akhirat pencabut nyawa telah menyusul pula sampai
di tepi hutan itu, sambil tertawa dingin terdengar ia mengejek:
Hey
setan cilik, kalau kau tidak segera menunjukkan diri dari dalam
hutan, jangan salahkan kubakar hutan ini sampai rata dengan
tanah...."
Tapi
sebelum perkataan itu habis diutarakan keluar, tiba-tiba terdengar
suara ujung baju yang terhembus angin berkelebat lewat dari sisi
tubuhnya.
Ketika
dia berpaling dengan cepat, tampaklah Sam cun teng, si manusia kate
itu sedang bergerak cepat menuju ke depan tanpa berpaling barang
sekejap pun.
Menyaksikan
hal ini, satu ingatan segera melintas lewat didalam benaknya, segera
pikirnya:
"Aaaah,
bukankah dia sudah tahu kalau kitab pusaka Cing khu hun pit tersimpan
di bawah batu tugu peringatan? Rasanya tidak terlalu sulit baginya
untuk membongkar daerah disekitar sana"
Berpikir
sampai disitu, dia menjadi kuatir sekali apabila lawan-nya berhasil
mendapatkan kitab pusaka itu lebih dulu, tanpa menggubris Giam In kok
lagi yang bersembunyi di balik hutan, dia memutar badan lalu menyusul
dibelakangnya sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Menanti
bayangan tubuh beberapa orang itu sudah lenyap dari pandangan mata,
Giam In kok baru berani munculkan diri dari tempat persembunyian-nya,
gumamaya kemudian sambil menepuk menepuk dada:
"Oooooh....
sungguh berbahaya... betul-betul mendebarkan hatiku...."
Sekali
pun selembar jiwanya berhasil ditemukan kembali, akan tetapi Giam In
kok merasa sangat murung, apalagi setelah dilihatnya orang-orang yang
mengincar kitab pusaka itu hampir semuanya memiliki kepandaian silat
yang jauh lebih hebat dari pada dirinya.
"Kalau
mereka semua begitu lihay, lantas apa yang bisa kuharapkan dalam
pencarian ini....?" demikian dia berpikir didalam hati.
Membayangkan
kembali jerih payahnya selama satu tahun terakhir ini, dengan susah
payah ia berhasil menemukan letak batu peringatan besar, siapa tahu
belum lagi kitab tersebut sempat dicari, sekarang telah kedahuluan
orang lain.
Bisa
dibayangkan betapa putus asa dan kecewanya bocah she Giam itu
sekarang.
Seandainya
bisa menangis, dia ingin menangis sejadi-jadinya untuk melampiaskan
semua rasa sedih dan kecewa yang mencekam perasaan-nya saat ini.
Mendadak
ia teringat kembali dengan kelima orang pengemis yang terhajar oleh
si Raja akherat pencabut nyawa sehingga roboh terkapar di atas tanah
itu.
"Bagaimana
nasib mereka sekarang?" ingatan tersebut segera melintas didalam
benaknya.
Kemudian
dia pun berpikir lebih jauh:
"Apa
salahnya kalau kuperiksa keadaan dari ke lima orang pengemis tua itu?
Siapa tahu kalau mereka sudah mati dan dalam tubuh mereka tertinggal
kitab pusaka ilmu silat seperti apa yang kutemukan dari saku dua
orang jago lihay beberapa waktu berselang?"
Kemudian
setelah tarik napas, pikirnya lagi:
"Yaa,
biarpun ilmu toya penggebuk anjing dari Kay-pang tidak termasuk ilmu
silat yang maha dahsyat dalam dunia persilatan, tapi andaikata setiap
pelajaran silat yang ada di dunia ini berhasil kupelajari
satu-persatu, lama kelamaan kepandaian silatku tentu akan menjadi
hebat dengan sendirinya?"
Berpikir
sampai disitu, Giam In kok segera membalikkan badan dan berjalan
kembali ke tempat kejadian.
Ketika
kelima orang pengemis tua itu di periksa keadaan-nya dengan seksama,
maka segara ditemuinya Huan Kay sian yang baik hati itu masih hangat
tubuhnya dan belum putus nyawa, kendatipun keadaan-nya sudah payah
sekali.
Dengan
cepat dia mengeluarkan ilmu pertabiban ajaran Gak Pun leng untuk
memeriksa keadaan lukanya, kemudian menurut bagian-bagian penting
ditubuh pengemis tua itu dengan seksama.
Sepertanak
nasi kemudian, pernapasan Huan Kay sian mulai berjalan lancar
kembali, pelan-pelan dia membuka matanya dan melirik sekejap ke arah
orang yang telah menolong jiwanya itu.
Setelah
mengetahui siapakah orang itu, dengan napas terengah-engah pengemis
tua itu berkata:
"Engkoh
cilik, tolong ambilkan obat didalam saku ku...."
Giam
In kok tidak menampik permintaan itu, dia merogoh ke dalam saku
pengemis tua itu dan mengeluarkan berapa
macam obat dari kantongnya, kemudian dibawa kehadapan
Huan Kay sian dan membiarkan
pengemÃs itu memilih sendiri. Menanti obat
itu sudah ditelan, Giam In kok baru
membantunya lagi untuk mengurut urat
penting ditubuhnya.
Beberapa
saat kemudian Huan Kay sian sudah dapat memaksakan diri untuk duduk,
ketika menyaksikan rekan-rekan-nya sudah mati semua, dengan airmata
bercucuran ia segera berkata:
"Engkoh
ciiik, perkataanmu memang benar, perkumpulan kami benar-benar sudah
diancam kemusnahan gara-gara peristiwa ini, dimanakah gembong iblis
itu sekarang?"
"Mereka
telah berangkat menuju ke tugu batu peringatan itu.....!"
Huan
Kay sian segara menghela napas sedih:
"Aaaaai...
habis sudah.... habis sudah riwayat kami...... gembong iblis itu akan
melakukan pembunuhan massal terhadap segenap anggota perkumpulan
kami...."
Mendadak
ia seperti teringat akan sesuatu, segera tanyanya kembali:
"Barusan
kau mengatakan "mereka"? Apakah masih ada gembong iblis
lainnya lagi selaiu iblis tersebut?"
Giam
In kok manggut-manggut, secara ringkas dia pun menceritakan kembali
apa yang telah terjadi barusan.
Huan
Kay sian menjadi berseri-seri karena gembira setelah mendengar
penuturan itu, segegera serunya:
"Moga-moga
saja ke tiga orang gembong iblis itu saling gonton-gontokan dan
bunuh-membunuh sendiri.... engkoh cilik! Di
didalam saku ketua cabang kami terdapat kitab catatan ilmu
Hang liong sip pat ciang serta Tah sau pang hoat,
biarlah kuhadiahkan semuanya itu untukmu, semoga kau dapat
membalaskan dendam sakit hati kami semua dikemudian hari. Ingatlah
dengan kejadian tragis yang menimpa Kay pang hari ini...."
“Tapi....
tapi... aku toh bukan anggota perkumpulanmu, mana boleh kuterima ilmu
silat yang amat hebat itu dengan begitu saja?"
"Kau
tak usah merendah dan tak perlu berpikir yang bukan-bukan, ketahuilah
aku sudah terkena ilmu pukulan beracun dari Raja akherat pencabut
ayawa, sekalipun aku telah menelan obat penawar racun, itu
pun hanya memungkinkan jiwaku bertahan selama
dua-tiga hari lagi...."
Mendengar
hal ini, kembali satu ingatan melintas dalam benak Giam In kok,
cepat-cepat dia mendekati mayat Tan Kim seraya menggeledah sakunya,
dari situ dia berhasil mendapatkan kitab catatan ilmu silat serta
tanda kekuasaan seorang ketua.
Kemudian
sambil kembali ke sisi Huan Kay sian, katanya lagi sambil tertawa:
"Asal
ada waktu dua sampai tiga hari, hal ini sudah lebih dari cukup,
cianpwee tidak bakal mati karena luka yang baru kau derita itu.....
percayalah!"
"Apakah
kau mempunyai Lengci berusia seribu tahun atau cairan mestika
lain-nya?" tanya pengemis tua itu tercengang.
"Tidak,
tapi aku mempunyai mutiara penolak racun yang sangat mujarab"
Berkilat
sepasang mata Huan Kay sian setelah mendengar perkataan itu, segera
serunya:
"Sekarang,
benda itu berada dimana?"
"Mari
boanpwee gendong dirimu berangkat kesana....!"
Giam
In kok tidak membuang waktu lagi, sambil membopong tubuh pengemis she
Huan itu berangkatlah mereka menuju ke kuburan baru dimana dia
menyimpan barang-barang mestika miliknya.
Siapa
tahu ketika kuburan itu dibongkar, ternyata benda-benda miliknya
telah hilang lenyap tak berbekas.
Bocah
itu menjadi amat terperanjat, dengan gemas bercampur kheki dia
mencaci maki kalang kabut:
"Entah
bajingan cilik darimana yang telah mencuri barang-barangku...?
Hmmm, kalau sampai berhasil kubekuk batang lehernya, pasti akan
kujotos dia sampai hancur lebur semua tulang belulang tubuhnya...."
Baru
saja perkataan itu diucapkan, tiba tiba dari atas dahan sebuah pohon
yang rindang telah melompat turun seorang nona cilik berbaju hijau
yang berusia sebelas-dua belas tahunan.
Dengan
tangan kiri memegang buntalan kecil dan tangan kanan dipakai untuk
menuding ke arah bocah itu, dia balas mengumpat:
"Hey
tuyul kecil! Kalau lagi pentang mulut jangan seenaknya saja,
huuuuh....! Siapa sih yang sudih merampok barang rongsokan milikmu
itu, hmmm! Tadi, bukankah kau bilang mau meremukkan tulang badanku?
Ayoh, kalau memang punya keberanian, remukkan badanku sekarang juga!"
Ketika
melihat orang yang barusan munculkan diri sambil memegangi bungkusan
miliknya itu adalah seorang nona cilik, Giam In kok segera tertawa
cengar-cengir, katanya kemudian:
"Ooooh....rupanya
enci yang baik hati dan berwajah cantik yang telah mengambil buntalan
milikku..... hiiiihh.... hiiihh.... hiiih.... cici, kembalikan
mutiaraku itu, sebab aku perlu untuk menolong jiwa seseorang, maaf
deh kalau aku sudah salah menganggap cici sebagai pencuri, tentunya
kau tidak keberatan bukan.....?"
Termakan
olah sebutan "cici" yang begitu hangat, si nona cilik itu
segera mencibirkan bibirnya.
"Ciiis....!
Mungkin hanya setan tuyul yang mau mengambil barangmu itu, nih!
Ambillah kembali barang milikmu, aku tak punya waktu lagi untuk ribut
denganmu. Selamat tinggal, aku harus segera berangkat untuk menonton
orang yang lagi berkelahi!"
Setelah
melemparkan bungkusan kecil itu di dekat kaki Giam In kok, ia segera
menggebaskan kuncirnya lalu beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Giam
In kok lalu berdiri melongo, lama sekali dia baru bisa mengucapkan
terima kasih, tapi sayang si nona telah berlalu dari situ dan tidak
mendengar perkataan-nya lagi.
Dengan
cepat bocah itu mengambil keluar mutiara penolak racun-nya dan
ditempelkan diatas jalan darah sim kan hiat di tubuh Huan Kay sian
dengan maksud memunahkan racun yang mengeram dalam tubuh pengemis tua
itu.
Lebih
kurang setengah perminum teh kemudian, Huan Kay sian telah merasakan
tubuhnya menjadi segar kembali, dia tahu racun yang mengeram di dalam
tubuhnya telah dipunahkan, maka sambil menggembalikan mutiaranya itu,
katanya:
"Engkoh
cilik, kalau toh kau memang memiliki mutiara yang demikian berharga
itu, mengapa tidak kau bawa serta didalam saku mu?"
Mendengar
pertanyaan tersebut, maka secara ringkas Giam In kok menceritakan
rencananya untuk mencari kitab pusaka dalam markas Kay pang, lalu
dijelaskan pula karena takut jejaknya ketahuan maka semua benda
miliknya telah ditanam kedalam kuburan tersebut agar selamat....
Huan
Kay sian menjadi sangat kagum atas kecerdikan bocah itu, dia memuji
tiada hentinya atas kehebatan-nya.
Cepat-cepat
Giam In kok bertukar pakaian dan merubah kembali raut wajahnya
menjadi bentuk lain, kemudian selesai berdandan dia baru berkata
sambil tertawa:
"Bocah
perempuan tadi mengatakan hendak pergi menonton orang berkelahi, arah
yang dituju pun tanah lembah tugu peringatan, bisa jadi mereka
benar-benar telah bertarung, mari kita segera berangkat kesitu!"
Setelah
selembar jiwanya berhasil diselamatkan oleh bocah itu, Huan Kay sian
sadar bahwa semua tanggung jawab dan keselamatan segenap anggota kaum
pengemis yang berada di kota Kim leng telah terjatuh diatas
pundaknya.
Karena
itulah setelah mendengar ajakan tersebut, sudah barang tentu ia tak
dapat menampik.
Dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, berangkatlah
mereka menuju ke lembah tugu peringatan.
Dalam
pada itu, daerah disekisar markas besar perkumpulan Kay pang telah
berubah menjadi sangat mengerikan, banyak sekali kawanan pengemis
yang terkapar di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Darah
kental dan ceceran isi perut serta benak berceceran memenuhi seluruh
permukaan tanah, sedangkan mereka yang menderita luka merintih
kesakitan tiada hentinya.
Huan
Kay sian menjadi sibuk sekali, dengan obat luka yang tersedia dia
harus bekerja keras untuk menyelamatkan jiwa anak buahnya yang
terluka.
Setelah
berusaha dengan sepenuh tenaga, akhirnya ada dua-tiga puluh orang
pengemis yang berhasil diselamatkan jiwanya dari cengkeraman malaikat
elmaut.
Ketika
persoalan ini ditanyakan, mereka baru tahu bahwa sebagian besar
anggota Kay pang telah mati terbunuh atau terluka ditangan si Raja
akhirat pencabat nyawa serta dua orang gembong iblis lain-nya,
kemudian setelah ketiga gembong iblis itu saling bertarung dan
gontok-gontokan satu sama lainnya, akhirnya ketiga orang gembong
iblis itu berhasil diusir oleh seorang nenek.
Dengan
perasaan sangat gelisah cepat-cepat Giam In kok bertanya:
"Apakah
mereka berhasil membawa kabur sesuatu benda yang berhasil
diperolehnya dari bawah tugu
ini?"
Para
anggota Kay pang yang selamat sama-sama termenung sebentar,
kemuian menggelengkan kepalanya berulang kali.
Ketika
urusan yang dihadapi Huan Kay sian telah selesai dikerjakan, diapun
segera menemani Giam In kok untuk melakukan
pencarian disekitar tugu peringatan itu, akan tetapi usaha
pencarian yang mereka lakukan tidak berhasil mendapatkan
apa-apa, tiada sesuatu benda apapun yang berhasil mereka dapatkan.
Akhirnya
sorot mata Giam In kok yang tajam itu tertarik oleh beberapa baris
syair yangg tertera diatas dinding batu itu.
Ketika
dibaca, ternyata syair tersebut berbunyi demikian:
"Kentongan
ketiga disaat bulan purnama, bayangan pagoda jauh memanjang.
Tepi
sungai Cin ci hoo tersisa puing tugu yang berserakan.
Benda
mungil indah menawan.
Bulan
purnama jangan sampai terlambat.”
Bocah
itu mengulangi kembali syair tersebut sampai beberapa kali, tiba-tiba
ia berguman seorang diri:
"Mungkinkah
didalam dunia persilatan terdapat sebuah sungai yang bernama Cin ci
hoo?"
"Yaa,
betul, memang terdapat sebuah sungai yang bernama Cin ci hoo....!"
sahut Huan Kay sian dengan cepat, "sungai tersebut terletak
disebelah selatan kota Siau hun shia, menurut cerita kuno yang
tersiar di kalangan rakyat jelata, katanya wanita paling cantik
didaratan Tionggoan tempo dulu, See-si, pernah membuang air bekas air
mandinya kedalam sungai dan akibatnya sejak kejadian tersebut air
sungai itu menyiarkan bau harum yang semerbak, karena itulah sejak
saat itu sungai tadi dinamakan sungai Cin ci hoo. Pemandangan yang
terukir diatas dinding ini tak lain melukiskan pemandangan alam di
sungai Cin ci hoo. Dimana pada tepi sungai terdapat sebuah pagoda
yang indah menawan, tapi.... mungkinkah syair tersebut berkaitan
dengan kitab pusaka itu?"
Giam
In kok termenung sambil berpikir beberapa saat lamanya, kemudian
sahutnya sambil manggut-manggut:
"Yaa,
kalau dipikir-pikir dan diselami kembali dengan seksama, rasanya
syair tersebut memang berkaitan dengan rahasia kitab pusaka Cing khu
hun pit tersebut. Apakah locianpwee mau ikut pergi ke sungai Cin ci
hoo untuk mencari kitab pusaka itu?"
Dengan
cepat Huan Kay sian menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya:
"Tidak,
aku sama sekali tidak berhasrat untuk mencari kitab pusaka itu, akan
tetapi andaikata engkoh cilik membutuhkan bantuanku, biar badan mesti
hancur dan nyawa mesti melayang, aku pasti akan membantu dalam
pencarianmu itu."
"Gara-gara
sejilid kitab pusaka Cing khu hun pit, sudah begitu banyak jago yang
mati atau terluka secara mengenaskan, kalau toh cianpwee tidak
berhasrat untuk ikut kesitu hal ini memang lebih bagus lagi, biar ku
musnahkan juga pemandangan alam serta syair yang tertera diatas
dinding itu!"
Tanpa
membuang waktu lagi, Giam In kok segera mencabut keluar pedang pendek
serta senjata telapak tangan bajanya, lalu membacok lukisan dan
tulisan itu kalang kabut....
Batu
karang segera berguguran keatas tanah, dalam waktu singkat semua
lukisan dan tulisan yang tertera disana sudah hancur berantakan dan
musnah dari pandangan.
Pada
saat itulah, tiba-tiba dari arah depan sana bergema datang suara
bentakan yang amat keras:
"Besar
amat nyali mu!"
Giam
In kok merasa amat terkejut dan
segera menghentikan bacokan-nya, ternyata Raja akherat pencabut nyawa
telah berdiri di didinya entah sejak kapan, dengan perasaan hati yang
keder, cepat-cepat bocah itu mundur selangkah kebelakang.
Raja
akhirat pencabut ayawa melirik sekejap ke arah
lukisan diatas dinding yang sebagian besar
sudah ancur dan punah itu, kemudian sambil
berpaling kembali ke arah Giam In kok,
serunya sambil tertawa dingin:
"Bajingan
cilik, kebetulan sekali kau pun berada
disini, ayoh cepat jawab, sebetulnya kitab pusaka itu di
simpan di mana?"
"Eeeeei,
lucu amat perkataanmu tadi, dari mana aku tahu kitab pusaka
itu berada dimana?"
"Hmmmm,
aku memang tahu kalau kau pun belum
berhasil mengetahui secara pasti dimanakah kitab pusaka Cing
khu hun pit itu dipendam, tapi apa
pula maksudmu merusak lukisan yang tertera diatas dinding
batu itu""
"Sauya
senang berbuat demikian, mau apa kau?"
"Hmmm....!
Dihadapan si Raja akhirat pencabut nyawa pun kau berani berkepala
batu? Lihatlah, akan ku ringkus dirimu lalu kurenggangkan seluruh
otot-otot yang berada di dalam badanmu, akan kulihat apakah kau akan
tetap membungkam atau tidak.....?"
Giam
In kok mendengus dingin, serunya pula:
"Hmmmm!
Kau tahu, siapakah aku sebenarnya? Mengapa kau justru bertanya
tentang kitab pusaka itu dariku?"
"Huuuuh,
biarpun kau si setan ciiik sudah hancur dan berubah menjadi apapun,
suara mu saat ini sama sekali tidak berbeda dengan suaramu sewaktu
berada di kanal Yan ci ki tadi.... hmmmm! Hayo cepat berbicara,
sebetulnya kau bersedia mengaku atau tidak?"
Suara
bentakan nyaring tiba-tiba berkumandang datang dari luar pintu,
disusul kemudian tampak meluncur datang sebatang anak panah pendek
yang menyambar tiba diiringi desingan angin tajam yang amat
memekikkan telinga.
Serangan
tersebut langsung mengancam iga dari Raja akhirat pencabut nyawa.
Mendengar
suara desingan tersebut, Giam In kok segera memanfaatkan kesempatan
yang sangat baik itu, telapak tangan bajanya didorong ke depan,
menghajar dada lawan, sementara pedang pendeknya langsung membacok ke
arah pinggang.
Huan
Kay sian sendiri pun berniat membalas dendam bagi rekan-rekannya yang
tewas ditangan gembong iblis itu, pada saat yang bersamaan dia
mengirim juga ddua buah pukulan yang amat gencar ke arah depan.
Sekali
pun ilmu silat yang dimiliki si Raja akhirat pencabut nyawa sangat
lihay, namun setelah menghadapi serangan gabungan yang datang dari
segala penjuru itu, dia pun tak berani bertindak secara gegabah,
cepat-cepat dia menggerakkan bahunya lalu menerobos mundur
kebelakang.
Dengan
gerakan-nya ini, otomatis bidikan anak panah yang sedang mengincar
tubuhnya itu segera bertumbukan dengan senjata telapak tangan baja
dari Giam In kok sehingga mencelat kesamping.
"Traaangg....!"
Suara
banturan nyaring yang mtmekikkan telinga segera berkumandang
memecahkan keheningan,
Giam
In kok kuatir bila pihak lawan menggunakan kesempatan yang sangat
baik ini untuk melukai Huan Kay sian, karenanya walaupun serangan-nya
mengenai sasaran yang kosong, namun dia tidak berani melakukan
pengejaran lebih jauh.
Dengan
cepat tubuhnya bergerak maju selangkah kedepan serta menghadang
dihadapan tubuoh pengemis tua itu, pedang pendeknya segera diputar
membentuk segumpal cahaya tajam dan secara langsung ditusukan ke
tubuh si Raja akherat pencabut nyawa yang berada dihadapan tubuhnya.
Si
Raja akhirat pencabut nyawa menjadi gusar sekali, sambil menahan rasa
geram di hatinya, ia segera membentak keras-keras:
"Bocah
keparat, kau benar-benar seorang manusia yang tak tahu diri, hmmmmm!
Tunggu saja tanggal main-nya, akan kubereskan sibudak cilik itu lebih
dahulu, kemudian baru giliran mu untukk pulang kerumah nenekmu!"
Sejak
mendengar suara bentakan nyaring yang berkumandang datang dari luar
gua tadi, Giam In kok sudah tahu kalau orang yang membidikkan anak
panah pendek kearah gembong iblis tadi, tak lain adalah si nona cilik
yang pernah mencuri bantalan-nya tadi.
Ia
pun sadar betapa berbahayanya membiarkan gadis itu menghadapi lawan
seorang diri, sebab walaupun ilmu silat yang dimilikinya terhitung
cukup hebat, namun tanpa memiliki mutiara penolak racun, mustahil
bagi gadis itu untuk menghadapi pukulan beracun lawan-nya.....
Maka
dengan perasaan yang amat gelisah, dia berteriak keras-keras:
"Hey
iblis tua, iblis bangkotan yang hampir mampus, jangan lari dulu!"
Dengan
menghimpun tenaga dalamnya sebesar sepuluh bagian, dia mengirim
sebuah pukulan dengan jurus harimau ganas menerkam mangsa,
angin serangan segera menderu-deru, diiringi debu dan pasir yang
beterbangan, serangan itu langsung menyelonong kedepan.
Raja
akhirat pencabut nyawa sudah pernah menyaksikan bocah itu bertarung
melawan lima orang pengemis tua ketika berada dikanal Yan ci ki tadi,
tapi ia tak menyangka kalau bocah itu memiliki daya serangan yang
lebih tangguh setelah bersenjatakan telapak tangan baja, terpaksa
dengan perasaan apa boleh buat dia segera mengirim pala sebuah
pukulan yang tak kalah dahsyatnya untuk membenduug datangnya ancaman
tersebut.
Setelah
terjadi benturan yang amat keras tubuh si Raja akhirat pencabut nyawa
tergetar amat keras, sedang tubuh Giam In kok tergetar mundur sejauh
tiga langkah lebih.
Dengan
cepat bocah itu menghimpun kembali tenaganya dan sekali lagi
melancarkan sebuah serangan dahsyat kedepan.
Ditengah
beterbangan-nya debu, pasir dan batuan kerikil sehingga membuat
kaburnya suasana disekeliling tempat itu, sulit rasanya bagi si Raja
akhirat pencabut nyawa untuk melihat jelas jejak musuhnya.
Mendadak
segulung angin pukulan yang maha dahsyat menyambar kearah badan-nya,
hal ini membuat hatinya amat terperanjat, buru-buru sepasang telapak
tangannya didorong kedepan melepaskan sebuah pukulan dahsyst,
sementara tubuhnya segera mundur ke belakang.
Siapa
tahu, baru saja tubuhnya mundur kebalik sebuah celah yang sempit
terletak dibalik batu tugu itu, mendadak dari atas kepalanya
berkumandang datang suara bentakan nyaring, menyusul kemudian terasa
segulung desingan angin tajam menyambar datang dari atas
kepalanya.....
Tak
terlukiskan rasa gusar dan gemas si Raja akherat pencabut nyawa
menghadapi keadaan seperti ini, dengan cepat dia menggerakkan bahunya
untuk menghindarkan diri dari ancaman yang baru datang, kemudian
kakinya menjejak keatas tanah dan tubuhnya melambung keudara serta
hinggap diates sebuah batu cadas.
Dari
situ ia saksikan sesosok bayangan tubuh yang berpotongan mungil
sedang menyelinap kebelakang sebuah batu cadas yang amat besar, hal
ini membuat hati si gembong iblis ini menjadi semakin gusar.
Ia
segara membentak kemudian sambil melakukan pengejaran kearah bayangan
kecil itu, sebuah pukulan gencar dilontarkan.
Ternyata
bayangan tubuh yang kecil itu amat lincah dan gesit sekali, dengan
suatu gerakan tubuh yang enteng, ia sudah melayang kearah batu cadas
lain sambil melepaskan kembali sebuah bacokan keras kearah lawan-nya.
Dalam
dugaan si Raja akhirat pencabut nyawa, tubrukan-nya itu pasti akan
berhasil mengenai sasaran.
Siapa
tahu pada saat terakhir bocah perempuan itu memutar tubuhnya ditengah
udara sambil melancarkan sebuah serangan gencar kearahnya, ia jadi
sangat terperanjat, cepat-cepat ia berjumpalitan ditengah udara untuk
melepaskan diri dari datangnya ancaman tersebut, lalu badan-nya
meloncat sejauh lima tombak kebelakang.
Sebagai
seorang jago lihay yang berhati kejam dan tak berperikemanusiaan,
setelah berulang kali di permainkan dan disergap secara bertubi-tubi,
hawa amarahnya segera terkobar dan sukar dikendalikan lagi, hawa
napsu membunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya.
Dengan
sorot matanya yang tajam menyapu sekeliling tempat itu tapi bayang
dari tubuh gadis cilik itu sudah tak tampak lagi, tanpa terasa
pikirnya dalam hati:
"Aaaah!
kemana perginya bocah perempuan tadi? Masa dalam sekejap mata saja
bisa hilang, aku tak percaya kalau budak ingusan itu dapat menyusup
ke dalam tanah!"
Dengan
sorot mata yang tajam, ia segera melakukan pencarian disekitar tempat
itu, tiba-tiba dari ujung tikungan sana berkelebat lewat sesosok
bayangan kecil, ia segera menerjang ke arah tempat itu, tapi baru
saja tubuhnya mencapai tikungan tadi, segulung angin pukulan yang
tajam tahu-tahu sudah menerjang keluar dan langsung menghajar
dadanya.
Gembong
iblis itu jadi kaget dan buru-buru meloncat mundur kebelakang.
Sekarang
ia baru melihat bahwa orang yang menyergap dirinya barusan tak lain
adalah si bocah lelaki yang mengetahui tentang rahasia kitab pusaka
tersebut.
Tentu
saja iblis ini tak sudi melepaskan korban-nya dengan begitu saja.....
Sambil
tertawa seram ia berkelebat kemuka dan menghadang jalan mundar Giam
In kok, kemudian tegurnya dengan suara dingin:
"Hey
bocah keparat, hayo cepat mengaku, kau simpan dimana kitab pusaka
itu?"
Giam
In kok tidak menjawab, ia segera mendengus dingin.
Raja
akherat pencabut nyawa merasa amat gemas, kalau bisa dia ingin
membinasakan bocah lelaki itu dalam sekali pukulan, tetapi diapun
ingin mengetahui rahasia tentang kitab pusaka tersebut, maka dengan
sorot mata yang bengis, selangkah demi selangkah dia maju menghampiri
lawan-nya, lalu sambil menyilangkan telapak tangannya didepan dada
guna menghadapi segala kemungkinan, ia membentak:
"Hei
setan cilik! Jangan kau anggap dengan sebuah telapak tangan baja
serta sebilah pedang pendek, kau lantas dapat melawan tenaga pukulan
hasil latihanku selama puluhan tahun, terus terang kukatakakan kepada
mu, jika serangan ini kuteruskan, tanggung engkau akan mampus secara
mengenaskan, tapi seandainya engkau bersedia mengatakan dimana kitab
pusaka itu disimpan, bahkan jika kitab pusaka itu berhasil
kudapatkan, engkau pun pasti akan mendapat bagian....."
Belum
habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba tubuh Giam In kok telah
disambar oleh seseorang dan segera dibawa kabur dari situ.
Cepat-cepat
Raja akherat pencabut nyawa menyusul ke depan, ternyata orang yang
melarikan bocah itu tak lain adalah si manusia kate Sam Cung Teng,
saking mendongkolnya iblis itu membentak keras dan segera mengejar
dari belakang.
Sesungguhnya
ilmu silat yang dimiliki manusia kate Sam Ceng Teng amat tinggi, tapi
karena ia harus membawa beban yang berat secara otomatis tubuhnya
jadi tidak selincah biasa.
Baru
saja tubuhnya keluar dari mulut selat, Raja akherat pencabut nyawa
telah berhasil menyusul serta menghadang jalan pergi si manusia kate
itu, serunya kemudian sambil menyeringai seram:
"Hmmm....!
manusia cebol, ingin kulihat, kau masih hendak kabur kemana lagi?
haha... hahaa....kalau bocah itu tidak kau serahkan padaku, jangan
salahkan kalau aku akan bertindak keji terhadap dirimu!"
Rupanya
si manusia kate Sam cun teng tahu akan bahaya yang sedang mengancam
keselamatan-nya, cepat-cepat ia mundur ksebelakang seraya mengancam:
"Rsja
akhirat pencabut nyawa! kalau engkau berani maju kedepan selangkah
lagi, aku segera akan mencekik setan cilik ini sampai mati!"
Mendengar
ancaman tersebut Raja akhirat pencabut nyawa nampak tertegun,
kemudian dia tertawa seram.
"Haaahh....
haaaahh.... haaahh.... kalau mau kau bunuh silahkan, paling-paling
kita bubar dan siapapun jangan harap bisa mendapatkan kitab pusaka
itu.... ayo cepat cekik sampai mati kalau berani!"
Mendadak
dari belakang sebuah batu besar berkumandang suara gelak tertawa yang
amat keras, lalu tampak kakek she Ku berjalan keluar dari tempat
persembunyian-nya sambil berseru:
"Kalian
dua orang bajingan tengik benar-benar licik, dan berhati busuk,
dengan bersusah payah aku harus bertarung melawan nenek tua sialan
itu, sebaliknya kalian disini malah saling memperebutkan sandera....
Tindakan kalian ini benar-benar kurang adil.... aku dengar, kitab
pusaka Cing khu hun pit terbagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari
bagian atas, tengah dan bawah. Bagaimana kalau kita bagi saja secara
adil dengan seorang mendapatkan satu bagian?"
Rupanya
Raja akherat pencabut nyawa sadar bahwa kitab pusaka itu tak mungkin
diperolehnya seorang diri, terpaksa jawabnya:
"Baiklah!
aku setuju kalau kitab pusaka itu dibagi secara adil.... Sam cun
teng! bebaskan dulu jalan darah darah setan cilik itu agar kita bisa
bertanya padanya!"
Jilid
5
"TENTU
saja jalan darahnya harus dibebaskan!" sahut Sam cun teng sambil
menepuk pinggang Giam In kok yang tertotok.
Giam
In kok benar-benar seorang bocah yang nekad, begitu jalan darahnya
dibebaskan, dengan suatu gerakan yang mendadak tapi cepat bagaikan
kilat, senjata telapak tsngan baja ditangan-nya langsung dihantamkan
keatas dada manusia cebol Sam cun teng, sedangkan pedang pendek
ditangan kirinya diayunkan dengan gerakan "gunting kumala
memotong bunga", membacok pinggang Raja akherat pencabut nyawa.
Mimpipun
manusia kate Sam cun teng tak pernah menyangka kalau bocah cilik itu
bakal menyerang dirinya, setelah jalan darah lemas yang ditotok
olehnya, karena jaraknya demikian dekat, maka tak mungkin lagi
baginya untuk menghindarkan diri, tak ampun bahu kirinya segara
terhajar telak oleh serangan itu sehingga tubuhnya tergetar dengan
sempoyongan.
Raja
akherat pencabut ayawa sendiripun tak pernah menyangka kalau Giam In
kok bakal melencarkan serangan kearahnya, melihat datangnya cahaya
berkilauan mengancam tubuhnya, ia segera berusaha menghindar serta
secepatnya meloncat kebelakang.
Sekalipun
gerakan menghindar itu dilakukan dengan cepat sekali, namun tak urung
juga pedang lawan masih sempat menyambar jubah luar bagian dadanya
sehingga tali kolorpun ikut terbabat kutung, dengan cepat iblis itu
memegang celana sendiri dan menghindar kebelakang.
Setelah
serangan-nya berhasil mengenai sasaran, Giam In kok tak berani
bertempur lebih jauh, pedangnya diputar kencang sehingga membentuk
kuntum bunga, sementara tubuhnya buru-buru mengundurkan diri dari
situ.
Bayangan
manusia berkelebat lewat, tiba-tiba kakek tua she Ku itu menghadang
jalan perginya sambil melancarkan sebuah pukulan yang memaksa Giam In
kok mundur ketempat semula, setelah itu serunya sambil tertawa
terbahak-bahak:
"Haaah...
haaah... haha.... bocah cilik, kau jangan mencoba melarikan diri
lagi, kita toh tak pernah terikat oleh dendam atau sakit hatipun atau
kau bersedia mengatakan dimana kitab pusaka itu disembunyikan, aku
pasti akan melindungi keselamatanmu!"
"Sauya
tidak tahu!" teriak Giam In kok dengan marah.
Pedangnya
segera dikebaskan kemuka sambil menerjang keluar dari tempat itu.
Napsu
membunuh segera menyelimuti wajah kakek tua she Ku itu, ia tertawa
seram, laksana sambaran kilat telapak tangan-nya melancarkan sebuah
bacokan kearah depan.
Dari
mimik wajah lawan-nya yang menyeringai seram, Giam In kok sudah
menduga bahwa pihak lawan akan melancarkan serangan yang mematikan,
buru-buru telapak tangan bajanya disilangkan didepan dada untuk
menangkis datangnya ancaman tersebut.
Segulung
hawa pukulan keras dan kuat menerjang datang menghantam dadanya,
bocah itu segera berteriak:
"Aduuuuh......mati
aku!"
Tiba-tiba
dari samping meluncur datang pula segulung angin pukulan yang tajam
mendorong tubuh Giam In kok sehingga mundur beberapa tombak dari
tempat semula.
"Blaaaaaaammm......!"
Dari
belakang tubuhnya segera terdengar suara benturan keras yang
memekikkan telinga, disusul kemudian terdengar Sam Cun Teng memaki
dengan penuh kemarahan:
"Ku
loji, apakah kau sengaja hendak mengacau?"
Sementara
itu Giam In kok berhasil menenangkan diri,
diam-diam ia memaki dalam hati:
"Huuuuh...
rupanya ketiga orang itu sama-sama merupakan manusia jahanam...."
Dengan
cepat ia menjejakan kakinya keatas tanah lalu kabur dari tempat itu
secepatnya.
Raja
akherat pencabut nyawa tertawa panjang, bagaikan kuda terbang ia
melayang diudara melewati atas batok kepala bocah itu, sepasang
lengan-nya segera melancarkan serangkaian serangan dashyat yang
mengancam sepuluh buah jalan darah penting ditubuh bocah itu.
Sudah
hampir setahun lamanya Giam In Kok mempelajari ilmu kepandaian dari
empat orang jago lihay, hasilnya ternyata tidak sia-sia belaka,
dengan gerakan burung manyar
terbang
menembusi ombak, dia meloncat sejauh tiga tombak lebih dari tempat
semula, kemudian dengan suatu gerakan yang manis bocah itu berhasil
meloloskan diri dari ancaman sepuluh jari pembetot sukma dari gembong
iblis tersebut.
Pada
saat yang amat keritis itulah dari arah depan kembali muncul sesosok
bayangan manusia, terayata orang itu adalah seorang nenek tua yang
rambutnya telah beruban semua, sambil tertawa seram kedengaran ia
berkata:
"Bocah
cilik tak usah takut! Lak Jiu Sian Nio akan melindungi keselamatan
jiwamu!"
Ketika
Giam In Kok merasa suara itu seperti dikenal olehnya, ia segera
berpikir sebentar dan akhirnya menghentikan larinya.....
Dalam
pada itu dewi bertangan keji sudah menuding kearah raja akherat
pencabut nyawa sambil memaki:
"Hmmm!
kalian tiga orang tua bangkotan benar-benar tak tahu malu, jika usia
kalian digabungkan sudah mencapai dua ratus tahun lebih tapi nyatanya
masih punya muka untuk menganiaya seorang bocah cilik, hmm, muka
kalian benar-benar tebal seperti badak, tak tahu malu!"
Raja
akherat pencabut nyawa segera tertawa dingin.
"Heeeehh...
heeeeh... heeeehh... nenek Song! jangan kau anggap kami jeri padamu,
tempo hari kau bisa memporoleh untung lantaran kami bertiga baru saja
melangsungkan pertarungan sengit, tapi sekarang.....hmm! hmm! kalau
engkau berani banyak tingkah, jangan salahkan kalau aku orang she
Kwik tak akan berlaku sungkan-sungkan!"
"Bagus
sekali, labrak saja dia sampai mampus" hasut Sam cun teng sambil
tertawa, "yang seorang mengaku sebagai dewi, yang seorang lagi
mengaku sebagai raja akherat, rasanya kalian berdua memang pantas
untuk saling mengukur tenaga"
"Aku
serta Ku lo ji akan bertindak sebagai saksi untuk kalian berdua!"
Lak
Jiu Sian Nio tertawa dingin.
"Engkau
tak perlu menghasut aku si nenek dengan ucapan yang memanaskan hati,
aku tak doyan hasutan semacam itu!"
"Song
locianpwee!" Giam In kok segera berseru, "jangan terjebak
oleh siasat licik mereka, biarkan aku yang menghadapi raja akherat
gadungan ini....!"
"Engkau
tidak takut terhadap pukulan telapak beracun-nya?"
"Jangan
kuatir nek, aku kebal terhadap segala macam pukulan beracun yang
bagaimanapun juga, tanggung monyet tua itu dapat kuhajar sampai
mampus!"
Sementara
kedua belah pihak sudah pasang kuda-kuda siap bertempur, si bocah
perempuan tadi telah menyusul tiba disana bersama-sama Huan Kay sian,
sambil monyongkan mulutnya bocah perempuan itu sambil mengejek:
"Idih.....tak
tahu malu, pintarnya cuma mengibul! barusan aku lihat engkau lari
terbirit-birit karena ketakutan....."
Tentu
saja bocah perempuan itu tak tahu kalau Giam In kok sengaja kabur
keluar dari gua tugu tadi berhubung ia kuatir kalau Raja akherat
melukai para pengemis dari perkumpulan kay pang dengan pukulan
beracun-nya.
Mendengar
sindiran tersebut, hawa amarahnya segera berkobar, sambil
mendengus serunya:
"Hmmm!
kau tak usah menyindir lihat saja kelihayanku nanti!"
Dengan
langkah lebar dia melewati Lak jin Sian nio, kemudian sambil
mempersiapkan senjata telapak tangan bajanya dia bersiap melancarkan
serangan maut kearah Raja akherat.
Sudah
berapi kali Raja akherat pencabut nyawa bertempur melawan Giam In
kok, ia tahu tenaga dalam yang dimiliki bocah cilik dihadapannyi itu
cukup tangguh, namun ia tak sudi beradu kepandaian dengan seorang
bocah cilik dihadapan orang banyak, maka sambil menghindar serunya
seraya tertawa dingin:
"Heeeehh....
heeeehh.... nenek Song! apakah kau akan membiarkan bocah cilik ini
menghantar kematian diujung telapak tanganku?"
"Kalau
engkau merasa takut, lebih baik sipat ekor dan enyah saja dari
sini....!" ejek Lak jin Sian nio sambil tertawa dingin. Lalu
setelah berhenti sebentar, sambungaya lebih jauh:
"Engkoh
cilik! selama aku berada disini, dia tak akan berani mengapa-apakan
dirimu, bertarunglah dengan hati lega!"
Giam
In kok mengiakan, pedang dan senjata telapak tangan bajanya serentak
bergerak kedepan melancarkan serangan gencar.
Rupanya
bocah ini bermaksud memamerkan kepandaian-nya dihadapan nona cilik
itu, begitu turun tangan, segenap kepandaian silat yang berhasil
dipelajarinya dari kitab catatan milik telapak tangan sakti Giam tok
serta monyet sakti dari selat Wu nia segera dikeluarkan semua dengan
hebatnya.
Tampak
angin pukulan menderu-deru, cahaya pedang berkilauan memenuhi
angkasa, dengan gagah tubuhnya yang kecil menerjang kehadapan sang
lawan.
"Bangsat
cilik! rupanya kau sudah bosan hidup!" bentak Raja akherat
pencabut nyawa dengan penuh amarah.
Ia
tak berani bertindak gegabah, sepasang telapak tangan-nya segera
disilangkan didepan dada untuk membendung datangnya ancaman, kemudian
ia menerjang kemuka dan balas mengirim sebuah serangan.
Setelah
menyaksikan kehebatan bocah cilik itu, kini nona cilik tersebut tak
berani memandang rendah lagi, dengan pandangan kagum ia berbisik:
"Nek!
setahun berselang bocah ini belum memiliki kepandaian sehebat ini,
kenapa tenaga dalamnya bisa secepatnya meningkat hingga sempurna
seperti sekarang?"
"Buli-buli
berwarna emas yang pernah kau lihat tempo hari berisikan cairan
kemala yang tak ternilai harganya, seandainya isi cairan itu sudah
diminum olehnya, maka tak usah heran kalau tenaga dalamnya dapat
memperoleh kemajuan yang begitu pesat dalam waktu yang singkat"
Sementara
itu Sam cun teng si manusia kate itu sudah selesai berunding dengan
kakek she Ku, mereka berdua segera maja ke depan sambil berseru:
"Nenek
Song! rasanya tidak pantas kalau kita hanya menganggur, hadapilah
kami berdua!"
Air
muka Lak Jiu Sian Nio berubah menjadi amat dingin, sambil mengirim
satu sapuan dengan toyanya ia berseru kepada nona cilik itu:
"Anak
Yan, cepat mundur kebelakang!"
Rupanya
kakek she Ku serta manusia cebol Sam cun teng (paku tiga senti) sudah
menyadari akan kelihayan musuhnya, kedua orang itu segera mundur
kebelakang untuk mempersiapkan senjata masing-masing. Lak Jiu Sian
Nio membentak keras, setelah mengundurkan nona cilik itu, ia maju
kedepan dan menerjang kearah dua orang itu sambil memutar toyanya.
Dalam
waktu singkat bayangan toya yang berlapis-lapis telah memenuhi
angkasa, terjadilah suatu pertarungan sengit antara ketiga orang itu.
Yan
ji yang berada disamping arena tidak tinggal diam, ia segera
mengambii keluar sebuah busur kecil dan memasang sebatang anak panah
diatas gendawanya, lalu diincar nya musuh-musuhnya dengan harapan
biaa membidik salah satu diantaranya dari sisi kalangan.
Tiba-tiba.....
"Sreeet!"
Anak
panah itu telah dibidikan kearah punggung Raja akherat pencabut nyawa
yang sedang bertempur sengit.
Dalam
pada itu Raja akherat pencabut nyawa sedang merasa amat gelisah
karena serangan-nya gagal untuk membekuk bocah cilik itu, ketika
mendengar datangnya suara desiran angin tajam yang mengancam tiba, ia
menjadi kaget dan buru-buru menyingkir kesamping.
Menggunakan
kesempatan yang sangat baik ini, Giam In kok menerjang maju kedepan
sambil mengirimkan satu pukulan dengan senjata telapak tangan
bajanya....
"Braak!"
Tak
ampun lagi serangan itu bersarang diatas bahu kirinya dengan telak.
Gembong
iblis itu menjerit kesakitan dan melompat mundur sejauh beberapa
tombak kebelakang, ia sadar jika tidak melawan dengan menggunakan
senjata niscaya dirinya akan kalah.
Dari
dalam sakunya dia mengambil keluar sepasang senjata roda emasnya,
lalu sambil membentak keras ia maju kembali
kedepan
Dengan
memancarkan cahaya emas yang menyilaukan mata, seketika itu juga
senjata roda emas itu mengurung seluruh badan Giam In kok dengan
rapatnya.
Glam
In kok jadi gugup bercampur kaget tatkala dilihatnya dari empat
penjuru secara tiba-tiba muncul cahaya roda emas yang menyilaukan
mata, segera jeritnya:
"Aduh....
celaka, aku bisa mati terkena serangan roda emas itu...."
Raja
akherat pencabut nyawa tertawa terkekeh-kekeh:
"Heeehhh...
heeehhh... heeehhh... setan cilik! kalau kau tidak membuang
senjatamu, jangan salahkan kalau kuhancurkan tubuh mu dengan roda
emas ini hingga hancur lumer seperti perkedel!"
"Monyet
jelek, jangan mimpi kalau sauya bersedia menyerah kalah, kalau kau
memang mampu menjadikan aku perkedel..... ayo, silahkan dicoba! kalau
kau mampu, sungguh-sungguh hebat!"
"Heeeh...
heeehhh... heeehhh... tak ku nyana kau amat gagah, baiklah! akan
kupenuhi apa yang kau harapkan!"
Sambil
berkata ia segera menerjang maju kedepan dan memperketat serangannya.
"Sret....
sreeet.....!"
Tiba-tiba
berdesing beberapa batang anak panah yang diiringi suara desiran
tajam datang serta mengancam tubuhnya, menyusul kemudian suara
bentakan nyaring bergema memecahkan kesunyian, tampak sesosok
bayangan tubuh yang kecil mungil menerjang masuk kedalam gelanggang.
Rupanya
Yan-ji menjadi sangat kuatir setelah melihat keadaan Giam In kok, si
bocah lelaki yang sedang bertempur itu terancam jiwanya oleh serangan
roda emas milik iblis tua tersebut, ia merasa dialah yang salah
karena telah memancing gembong iblis itu menggunakan senjata
tajamnya, maka melihat bocah itu terancam, iapun segera terjun
kedalam gelanggang.
Raja
akherat pencabut nyawa benar-benar merasa
sangat gusar, hardiknya keras-keras:
"Budak
sialan, setiap kali kau selain menggagalkan pekerjaanku!"
"Hmmm......
akan kubereskan lebih dahulu kau si budak sialan....."
Telapak
tangan-nya diayunkan kedepan, dengan cepat dan menghantam tubuh
Yan-ji yang sedang menerjang kedepan.
Lak
jiu Sian Nio yang sedang bertarung segera menjerit kaget ketika
menyaksikan nona itu terancam bahaya, toyanya segera diputar kencang
memperkencang serangan-nya untuk mendesak mundur kedua musuhnya,
kemudian ia meloncat kesamping nona cilik itu dan berusaha menolong
jiwanya.
Gerakan
nenek itu sangat cepat, tapi ada orang lain yang jauh lebih cepat
daripada dirinya, disaat yang amat kritis itulah Giam In kok
membentak keras, dengan mengerahkan segenap tenaga, dia tangkis roda
emas lawan dengan sekuat tenaga, kemudian telapak tangan bajanya
langsung disodok kearah ulu hati Raja akherat pencabut nyawa.
"Blaaaaaammm......!"
Benturan
keras memecahkan kesunyian, Giam In kok yang harus beradu tenaga
dengan Raja akherat pencabut nyawa seketika merasakan badan-nya
bergetar keras serta terlempar ketengah udara.
Sebaliknya
Raja akherat pencabut nyawa pun tak pernah menyangka kalau bocah
lelaki ini mampu menggagalkan serangan roda emasnya dan berhasil
menyelamatkan nyawa budak itu, setelah tergetar mundur tiga langkah
kebelakang ia berdiri termangu-mangu.
Hanya
Yan ji seorang yang sama sekali tidak terluka apa-apa, ia berdiri
dengan wajah tertegun.
Lak
jiu Sian Nio meloncat ketengah udara serta menyambar tubuh Giam In
kok yang sedang mencelat diudara itu kemudian serunya:
"Yan
ji pergilah lebih dahulu dari sini!"
Mendengar
seruan tersebut, Raja akherat pencabut nyawa, Sam cun teng serta
kakek she Ku segera mengerti bahwa lawannya hendak kabur dari situ,
dengan cepat mereka mengepung disekeliling gelanggang sambil
bersiap-siap menghadang lawan-nya yang akan kabur.
"Kawan-kawan
Kay pang, hayo maju!" mendadak Huan Kay sian berteriak dengan
cepat.
Beberapa
puluh orang jago pengemis yang baru saja sembuh dari lukanya dengan
cepat maju kedepan dan menyebarkan diri disekeliling gelanggang,
dengan cepat tiga orang gembong ibiis itu pun terkurung rapat.
Dengan
pandangan menghina, Raja akherat pencabut nyawa mendengus dingin,
kepada Lak jiu Sian Nio ujarnya kemudian dengan nada dingin:
"Nenek
Song! bila kau masih ingin hidup beberapa tahun lagi, lepaskan setan
cilik itu, dan bawalah budak setan itu dari sini..... tapi kalau kau
sudah bosan hidup...... hehehe.... kami akan menghantar dirimu untuk
pulang kampung!"
Giam
In kok meronta dari cekalan Lak jiu sian nio, kemudian begitu
meloncat turun dari bopongan, serangan-serangan gencar yang mematikan
segera dilancarkan kembali kearah Raja akherat pencabut nyawa.
Melihat
bocah itu kembali melancarkan serangan, Lak jiu sian nio tak man
ketinggalan, ia segera memutar toyanya dan melancarkan pula
serangan-serangannya kearah kakek she Ku serta Sam cun teng.
Yan-ji
tak tinggal diam, dia segara menggape kearah Huan Kay sian seraya
katanya:
"Kalian
bantulah nenekku, biar aku membantu setan cilik itu!"
Selesai
berkata, tanpa menunggu jawaban lagi, ujung pedangnya segera
berkelebat menusuk jalan darah Yang Kwau hiat dibelakang tubuh Raja
akherat pencabut nyawa.
Pertarungan
yang berlangsung segera terbagi menjadi dua kelompok, kelompok
pertama terdiri dari Giam In Kok serta Yan-ji yang menggencet Raja
akherat pencabut nyawa, sedangkan rombongan kedua adalah Lak jiu Sian
nio yaag bekerja sama dengan kawanan pengemis mengepung Kakek she Ku
serta Sam cun teng si manusia cebol.
Biarpun
Raja akherat pencabut nyawa mempunyai senjata roda emas yang besar
serta berkekuatan luar biasa, akan tetapi dalam menghadapi tenaga
gabungan dari dua orang bocah yang berbadan kecil tapi lincah itu
lama-kelamaan jadi kerepotan juga, banyak jurus-jurus serangan yang
biasanya disegani orang karena keampuhan-nya kini menjadi sama sekali
tak berguna.
Dilain
pihak, kakek she Ku serta sam cun teng yang mengerubuti Lak jui Sian
nio sebenarnya sudah berada diatas angin, akan tetapi dengan ikut
sertanya Huan Kay sian serta pengemis lain-nya dalam pertarungan itu,
dengan cepat mereka malah terdesak di bawah angin.
Bentakan
keras serta bentrokan senjata nyaring memekikan telinga segera
berkumandang hingga sejauh belasan li dari tempat kejadian.
Tiba-tiba
terdengar suara bentakan nyaring manggeletar diudara, lalu dari luar
gelanggang muncul kembali seorang tosu tua yang berwajah gagah dengan
memakai jubah iman berlukiskan pat-kwa.
Dengan
sorot mata yang tajam imam tua itu menyapu sekejap kearah pertarungan
yang sedang berlangsung, lalu sambil tertawa terbahak-bahak katanya:
"Selamat
berjumpa! selamat berjumpa! rupanya perjalanan pinto kali ini tidak
sia-sia belaka, bisakah aku bertanya karena persoalan apa sehingga
kalian saling bergebrak begitu seru?"
Dalam
sekilas pandangan saja Lak jiu Sian nio telah mengenali orang yang
barusan datang itu, ia adalah Ngo hong tojin yang ditakuti oleh
setiap orang sejak tiga puluh tahun berselang, hatinya menjadi sangat
terperanjat....
Raja
akherat pencabut nyawa sendiri pun tahu bahwa Ngo Hong Tojin
merupakan se orang imam yang berhati keji, apabila dalam keadaan
seperti ini ia sampai membantu pihak yang manapun maka pthak yang
lain pasti akan menderita kekalahan.
Maka
sambil menuding kearah Giam In kok ia
segera berseru:
"Kenapa
tidak kau tanyakan saja langsung kepada bocah cilik itu?"
Tlba-ttba
air muka Ngo Hong tojin berubah hebat, bentaknya:
"Kurang
ajar, kenapa kau malah menyuruh pinto menanyakan persoalan ini kepada
seorang bocah cilik? Kau anggap akupun seorang bocah cilik yang masih
ingusan?"
Sam
cun teng menjadi amat gelisah, ia kuatir apabila musuh yang disegani
ini salah paham, buru-buru sambungnya:
"Tojin,
apa yang diucapkan saudara Kwik memang benar, kalau totiang ingin
memperoleh hasil yang memuaskan, silahkan tanya kepada setan cilik
itu"
"Baiklah!
biarlah kali ini pinto melanggar kebiasaan" seru Ngo Hong tojin
kemudian, ia berpaling kearah bocah tersebut sambil tertawa katanya:
"Hei,
bocah cilik! rupanya kau memang berjodoh dengan pinto, nah! sekarang
katakan padaku mengapa kau sampai berkelahi dengan manusia-manusia
bangkotan itu? Aka pasti akan memberi kepatutan serta penyelesaian
yang seadil-adilnya!"
Giam
In kok tidak tahu siapakah tosu tua tersebut tapi ia segera
mengangguk setelah mendengar ucapan tersebut.
"Beberapa
orang tua bangka yang sudah hampir mampus itu memaksa aku untuk
memberitahukan dimanakah kitab pusaka Cing khu hun pit disimpan,
padahal sudah kukatakan bahwa kitab itu disimpan dibawah batu tugu
besar, tapi mereka tak mau percaya, karenanya kami segera saling
bertarung, sedang si nenek tua serta pengemis dari Kay pang membantu
diriku!"
"Oooooohhh....!"
"Tak
aneh dalam setahun belakangan ini banyak sekali tugu peringatan serta
batu nisan dipelbagai tempat yang dicongkel orang, sudah kuduga kalau
persoalan ini pasti ada hubungannya dengan suatu rahasia besar,
ternyata dugaanku tak meleset" seru Ngo Hong tojin seperti baru
memahami sesuatu, "lalu bagaimana sekarang? Apakah kitab pusaka
Cing khu hun pit telah berhasil di dapatkan?" tanya Ngo Hong
tojin.
Raja
akherat pencabut nyawa tertawa dingin.
"Hehee...
hehee... hehee... andaikata kitab pusaka tersebut benar-benar dibawah
tugu batu tersebut, sejak dulu sudah kami ambil! Memangnya kami harus
menunggu sampai kau datang?"
"Lalu
berada di manakah kitab pusaka itu sekarang?"
"Dalam
saku setan cilik itu!"
Kontan
saja Giam In kok
mendengus dingin.
"Hmm!
atas dasar apa kau mengatakan kalau kitab pusaka itu berada dalam
sakuku?" teriaknya gusar.
"Dengan
mata kepala sendiri aku saksikan kau merusak ukiran yang berada pada
dinding batu, seandainya dibalik ukiran tersebut tak ada rahasia
apa-apa, mengapa kau rusak ukiran tadi?"
Seolah-olah
telah memahami sesuatu, kembali Ngo Hong tojin mengangguk seraya
berkata:
"Ooh....!
kiranya begitu, kalau memang begitu kalianpun tak usah ribut-ribut
lagi, bukankah kitab pusaka itu tidak berada dibawah tugu peringatan?
dan berarti urusan inipun tak ada sangkut pautnya dengan pihak Kay
pang, untuk sementara waktu biarlah bocah ini..."
"Kau
hendak membawa kabur bocah cilik itu?" seru Raja akherat
pencabut nyawa sambil maju selangkah kedepan.
"Kau
tak puas?"
Raja
akherat pencabut nyawa saling bertukar pandangan sekejap dengan kakek
she Ku serta Sam cun teng, kemudian sambil membentak keras ketiga
orang itu serentak maju bersama-sama.
Ngo
Hong tojin sama sekali tak gentar menghadapi kerubutan itu, malah
sambil tersenyum ia berpaling kearah Giam In kok seraya serunya:
"Mundurlah
beberapa langkah kebelakang lebih dulu, setelah pinto hajar beberapa
cecunguk ini sampai kocar-kacir, kita bersama-sama pergi mengambil
kitab pusaka tersebut!"
"Jangan
mimpi disiang bolong tosu bau!" hardik kakek she Ku dengan
marah.
Dengan
cepat badan-nya menerjang kemuka lebih dulu, telapak tangan-nya
langsung diayunkan kedepan, segulung angin pukulan yang amat dahsyat
pun segera menyapu keluar.
Ngo
Hong tojin bersuit nyaring, ia cengkeram tubuh Giam In kok kemudian
meloncat mundur sejauh sepuluh tombak lebih dari tempat semula.
Paku
tiga senti atau Sam cun teng buru-buru menerjang maju kedepan dan
dengan sekuat tenaga ia mengirim satu pukulan dahsyat kedepan,
sementara Raja akherat pencabut nyawa serta kakak she Ku
masing-masing melancarkan pula satu pukulan dari samping kiri dan
kanan.
Air
muka Ngo Hong tojin berubah hebat, telapak tangan-nya bekerja cepat
menyapu kekiri dan kanan kemudian menyodok pula kedepan dengan
dahsyatnya, dalam waktu yang singkat tiga buah serangan gencar yang
mengancam tubuhnya berhasil dipunahkan sama sekali hingga lenyap tak
berbekas.
Giam
In kok yang berdiri kurang lebih lima tombak dibelakang Ngo Hong
tojin diam-diam merasa kagum sekali atas kelihayan ilmu silat yang
dimiliki imam tua itu, pikirnya didalam hati:
"Seandainya
aku dapat mengangkat imam tua ini sebagai guruku, rasanya tidak sulit
untuk memukul roboh bajingan tua yang telah melukai ayahku dan
merampas ibuku......"
Belum
habis ingatan tersebut berkelebat lewaty dalam benaknya, tiba-tia ia
melihat Lak Jin Sian nio mengangguk kearahnya sambil tersenyum,
diikuti serentetan suara bisikan yang lembut seperti bisikan nyamuk
bergema disis telinganya.
"Bocah
cilik, cepatlah kabur dari sini, hidung kerbau itupun bukan manusia
baik-baik, dia berhati kejam dau tak jauh berbeda dengan
manusia-manusia durjana lain-nya... ayo cepat kabur!"
Giam
In kok merasa sangat terperanjat, ia sadar apabila dirinya kabur
dengan begitu saja niscaya tosu tua itu akan menjadi curiga dan akan
menangkap dirinya kembali.
Maka
sembari bersorak-sorak memuji kelihayan tosu itu, diam-diam ia pasang
mata dan memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu, dengan
seksama ia menanti gembong-gembong iblis itu sampai terlibat dalam
pertarungan yang sengit, baru ia secara diam-diam pergi dari situ
dengan secepatnya.
Ia
kabur masuk kedalam hutan dan disuatu tempat yang sepi dan
tarsembunyi, bocah ini segera berdandan serta merubah raut wajahnya
dengan mempergunakan obat pemberian Gak Pun Leng tempo hari, sebentar
kemudian ia sudah berubah menjadi seorang bocah yang lain.
Tanpa
membuang waktu lagi berangkatlah ia menuju ke kota Sian Seng.
Sepanjang
perjalanan Giam Ia kok tidak menemui kesulitan apapun juga, beberapa
hari kemudian tibalah ia di kota Sian Seng dan langsung menuju ketepi
sungai Cin ci hoo, dimana pada sebuah bukit ditemuinya sebuah pagoda
bertingkat tujuh.
Diam-diam
bocah ini merasa sangatt gembira, pikirnya:
"Aaaah....!
Thian maha adil, akhirnya aku berhasil juga menemukan tempat yang
kucari!"
Belum
jauh ia berjalan menuju ke pagoda itu, tiba-tiba dari suatu tempat
yang tak jauh dari sisi tubuhnya terdengar seseorang berkata dengan
suara merdu dan nyaring:
"Mama!
bukankah kau pernah berkata bahwa pagoda itu sering memancarkan
cahaya tajam, mungkinkah disitu bersembunyi siluman rase atau setan?"
"Mana
ada setan atau siluman dikolong langit ini" jawab perempuan yang
lain dengan cepat, "biasanya tentu ada manusia-manusia dari
kalangan persilatan yang sedang bermain gila disana!"
Mendengar
pembicaraan tersebut, diam-diam Giam In
kok berseru tertahan, pikirnya:
"Aduuuh
celaka, jangan-jangan beberapa gembong iblis itu sudah pada
berdatangan kemari?"
Dengan
cepat ia melirik sekejap ke arah mana berasalnya suara itu. tampaklah
dibalik pepohonan bambu yang rindang, secara lamat-lamat berdiri dua
orang perempuan yang berbadan langsing, rupanya mereka merupakan ibu
dan anaknya yang sedang mengamati pagoda bertingkat tujuh itu.
Giam
In kok ragu-ragu sebentar, akhirnya dia melanjutkan perjalanan-nya
menuju kearah pagoda tersebut.
Baru
saja ia melewati pepohonan bambu itu sejauh beberapa langkah
tiba-tiba terdengar nona cilik itu berseru kembali sambil tertawa:
"Ibu
coba lihat ada setan cilik yang sedang berjalan menuju ke pagoda
tersebut, jangan-jangan dia merupakan komplotan dari siluman rase
serta setan itu!"
"Huus!
jangan bicara sembarangan" tegur perempuan setengah baya yang
berada disisinya, "dia adalah seoraug kongcu-ya, anak seorang
kaya, mana mungkin berkomplot dengan bangsa setan?"
Setelah
berhenti sebentar, ia berseru kembali dengan lantang:
"Hey,
engkoh cilik, apakah kau datang dari kota? Mengapa tak ada orang tua
yang menemani dirimu? Tahukah kau bahwa daerah disekitar sini
seringkali terjadi peristiwa yang mengerikan? Disini banyak setan
yang berkeliaran!"
Giam
In kok segera maju menghampiri perempuan itu sambil memberi hormat.
"Terima
kasih atas petunjuk bibi, aku baru pertama kali berkunjung ke kota
Sian Seng, jadi tidak kuketahui kalau disini sering ada setan yang
berkeliaran...."
"Oooh.....
rupanya kau bukan penduduk sini, tak heran kalau kau tak mengetahui
kejadian di tempat ini, tapi usiamu masih begitu muda, apakah orang
tuamu tidak kuatir membiarkan kau pergi seorang diri? Ooh ya,
siapakah namamu?"
"Aku
she In bernama Kok Hui!"
Nona
cilik yang berada disisi ibuuya itu berpaling serta mencibirkan
bibirnya sambil berseru:
"Ciiss.......!
mengapa kau tidak berterus terang saja? Bukankah kau bernama Giam In
kok?"
Giam
In kok tertegun, kemudian buru-buru jawabnya:
"Eei......
nama orang masa harus diganti-ganti dengan seenaknya? namaku ini
pemberian orang tuaku loo...!"
Nona
cilik itu kembali mendengus.
"Hmm!
kalau kau mengatakan nama tak boleh diganti dengan seenaknya, kenapa
justru namamu berulang kali kau ganti-ganti terus?"
"Aku
benar-benar bernama In Kok Hui, buat apa sih membohongi dirimu....?"
Perempuan
setengah baya yang selama ini membungkam tiba-tiba tersenyum dan
berkata:
"Engkoh
ciiik, kau tak usah mengelabuhi kami lagi, aku sudah tahu kalau
namamu yang sebenarnya adalah Giam In kok, kemudian kau rubah jadi
Kok In Hui, dan ketika berada di kota Kim Leng kau rubah lagi namamu
menjadi In Kok Hui....."
"Ya
siapa tahu dikemudian hari nanti mungkin namamu akan kau rubah lagi
menjadi Hui In Kok!" sambung nona cilik itu dengan wajah
cemberut.
Giam
In Kok tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia segera tertawa
tergelak-gelak.
Berada
dihadapan perampuan setengah baya yang berdandan sebagai petani yang
berusia tiga puluhan ini, dia merasa hatinya begitu lega dan
sedikitpun tidak merasa takut, apalagi wajahnya begitu ramah dan
kelihatan-nya sangat menaruh perhatian kepada nya, hal ini memberi
kesan yang sangat baik bagi bocah tersebut.
Terdengar
perempuan itu berkata lagi sambil
tersenyum:
"Engkoh
cilik rupanya kau jarang sekali mengadakan hubungan dengan orang
persilatan, tentunya kaupun tak tahu akan kejadian yang sedang
berlangsung dalam sungai telaga dewasa ini, padahal julukanmu sebagai
bocah bermuka seribu sudah tersebar luas diseluruh dunia persilatan,
penyaruanmu tak mungkin bisa mengelabuhi orang lagi!"
Mendengar
perkataan tersebut, terpaksa Giam In Kok tertawa jengah, bisiknya
kemudian:
"Bolehkah
aku tahu siapakah nama bibi? dan dari mana bibi bisa tahu tentang
diriku dengan begitu jelas?"
"Aku
she Song!" ujar perempuan itu memperkenalkan diri, kemudian
sambil menuding nona cilik itu terusnya, "dia she Ciang bernama
Bong ji, ia mempunyai seorang kakak misan yang bernama Cung Yan ji,
aku rasa nona cilik itu pasti sudah pernah kau jumpai bukan?"
"Ooh....!
rupanya Song locianpwee yang memberitahukan segala sesuatunya kepada
bibi, tak aneh kalau bibi bisa mengetahui nama yang aku gunakan
sewaktu aku berada di kota Kim Leng!" seru Giam In kok cepat.
Ciang
Toa Nio segera tertawa.....
"Orang
bilang kau adalah seorang bocah ajaib, tampaknya otakmu memang
benar-benar cerdas, baru saja aku berbicara soal kepala kau sudah
dapat menebak ekornya, aku rasa jauh-jauh kau kesini tentu ada
hubungan-nya desgan kitab pusaka itu bukan? tak heran kalau dalam
beberapa hari belakangan ini nampak banyak sekali jago pesilatan yang
datang kemari, coba kau lihat sampai-sampai pagoda itupun setiap
malam bermandikan cahaya!"
Paras
muka Giam In kok segera berubah sebat setelah mengetahui bahwa banyak
jago persilatan yang ikut berdatangan disitu, buru-buru serunya :
"Bibi,
bolehkah aku bertanya manusia macam apa saja yang telah berdatangan
kemari?"
Ciang
Toa Nio termenung sebentar, kemudian setelah memandang sekejap ke
arah pagoda tujuh tingkat itu, ia menjawab:
"Untuk
mengetahui persoalan itu, mari kita bicarakan saja di rumahku....."
Selesai
berkata ia menggandeng Bong ji di tangan kiri dan Giam In kok
disebelah kanan, sambil beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Beberapa saat kemudian, sampai lah mereka didepan sebuah tembok
pekarangan yang sangat tinggi yang mengelilingi tujuh delapan buah
rumah petak yang kecil.
Begitu
masuk kedalam halaman, suara anjing dan ayam yang gaduh kedengaran
menyambut kedatangan mereka.
Meskipun
rumah-rumah itu terbuat dari batu bata yang amat sederhana akan
tetapi pemandangan alam disekitarnya tampak indah menawan, karena
letaknya memang berada di tepi sungai Cin Ci hoo dengan pohon Yang
liu yang berjajar-jajar.
Baru
saja Giam In kok melangkah masuk kedalam ruang tamu, dari baiik
horden segera terdengar seseorang berkata sambil tertawa:
"Coba
lihat, si tolol yang kuceritakan itu telah datang, cepatlah kalian
keluar untuk melihat tampangnya!"
Gelak
tertawa nyaring segera terdengar di seluruh ruangan, menyusul
kemudian muncullah sekelompok bocah cilik yang berusia sebaya dengan
mereka.
Melihat
kesemuanya itu Giam In kok tertawa.
"Baiklah....
anggap saja aku memang tolol...." serunya.
"Yan-ji,
bagaimana caranya kau kabur sampai disini?"
Yan
ji mencibirkan bibirnya, lalu setelah berpikir sebentar dia menjawab:
"Setelah
kau pergi, mereka semua segera menghentikan pertarungan-nya dan
mengejar dirimu, menurut Huan Kay sian, si pengemis tua itu, ia
bilang kepada nenek bahwa kemungkinan besar kau akan datang ke sungai
Cin Ci hoo, maka kami pun segera memotong jalan dan segera datang
kamari lebih dahulu...."
Meskipun
sepasang bocah cilik ini sudah dua kali bertemu muka, namun setiap
kali bertemu, belum pernah mereka punya kesempatan bercakap-cakap,
dan sekarang mereka punya kesempatan seperti itu, tentu saja
pembicaraan diantara mereka berdua berlangsung sangat intim,
Ciang
Toa Nio yang menyaksikan tingkah laku kedua bocah itu segera tertawa
geli, serunya:
"Cerewet
amat kailan berdua, persis seperti burung gereja! kalau mau bicara
nanti saja setelah berada di ruang belakang!"
Sesudah
berada di ruang belakang, muncul lah beberapa orang lelaki dan
perempuan baik tua mau pun anak-anak semuanya menyambut keluar, Ciang
Toa Nio segera memperkenalkan Giam In kok kepada mereka. Serta merta
semuanya memuji tiada hentinya akan kecerdasan bocah itu. Nenek she
Ciang itu menepuk bahu Giam In kok lalu berkata:
"Bocah
cilik, daripada mencari kesusahan buat diri sendiri, lebih baik kau
berdiam saja dirumah kami!"
Belum
tempat Giam In Kok menjawab, dari tempat kejauhan tiba-tiba terdengar
suara bentakan keras....
Mendengar
bentakan nyaring itu, nenek Ciang segera berseru:
"Aduh
celaka, mungkin besanku sudah berjumpa dengan mereka!"
Sambil
mengambil toyanya dia bangkit berdiri dan siap menerjang keluar guna
memberi bantuan.
Giam
In Kok yang menyaksikan hal itu buru-buru mencegah, serunya:
"Nek,
kau tak usah keluar, biarlah aku yang menghadapi mereka serta
memancing mereka pergi dari sini, sebab tujuan mereka tak lain adalah
kitab pusaka tersebut!"
Mari
kutemani dirimu!" teriak Yan ji dengan
cepat.
"Jangan!
kalau kau muncul bersama aku, maka iblis sialan itu pasti akan
menyusahkan juga semua orang yang berada disini!"
Dari
sakunya ia mengambil keluar buli-buli emas serta telapak tangan
bajanya, lalu sambil meletakkan keatas meja katanya:
"Tolong
simpankan barang-barangku ini!"
Kemudian
tanpa banyak bicara lagi ia meloncat keluar halaman, dengan mengikuti
aliran sungai ia berlari menuju kearah mana berasalnya suara bentakan
itu.
Sedikitpun
tidak salah, dari tempat kejauhan ia saksikan Raja akherat pescabut
nyawa, manusia cebol Sam cun teng serta kakek she Ku yang berjulukan
siau bin hau atau harimau senyum sedang mengerubuti Lak jiu Sian Nio
dengan serunya, pertarungan itu berlangung tak seimbang, hingga
menyebabkan nenek itu terdesak hebat.
Menyaksikan
itu Giam In kok segera tertawa terbahak bahak.
Ketika
mendengar gelak tertawa seorang berkumandang datang dari sisi
kalangan, manusia cebol paku tiga senti atau Sam cun tung segera
meninggakan gelanggang pertarungan dan secepat kilat meluncur ke arah
mana berasalnya suara itu.
Raja
akherat pencabut nyawa serta Siau bin hau atau kakek she Ku itu takut
kalau Sam cun teng berhasil mendahului mereka dalam mendapatkan
rahasia kitab pusaka itu, maka sambil membentak nyaring kedua orang
itu pun segera meninggalkan gelanggang pertarungan dan mengejar dari
belakang.
Lak
jiu Sian Nio sendiripun tak tahu siapakah bocah cilik itu, buru-buru
ia pun menyusul dibelakang.
Meskipun
tenaga dalam yang dimiliki Giam In kok sangat sempurna, tapi
bagaimanapun juga ia belum pernah mendapat pendidikan langsung dari
seorang jago kenamaan, ditambah pula dia pun tidak berlatih secara
tekun, tentu saja sulit baginya untuk melepaskan diri dari pengejaran
para jago lihay itu......
Akan
tetapi ia mempunyai rencana lain, setelah berlari beberapa tombak
kemudian bocah itu pnra-pura tidak kuat berlari lebih jauh lagi,
sambil memutar badan dengan napas tersengal-sengal serunya cepat:
"Ada
urusan apa kalian mengejar sauya?"
Sam
cun teng tiba paling duluan, ketika dilihatnya bocah cilik yang
berada dihadapan-nya masih asing sekali baginya, ia nampak tertegun
dan segera ujarnya:
"Siapakah
kau?"
Sebelum
Giam In kok sempat menjawab, Raja akherat pencabut nyawa telah
menyusul datang, segera bentaknya:
"Beranikah
kau mengatakan bahwa kau bukan Giam In kok, Kok In Hui atau In Kok
Hui?"
Giam
In Kok menggelengkan kepalanya berulang kali.
"A......aku....aku
tak mengerti apa yang sedang kau ucapkan!" serunya dengan wajah
seolah-olah kebingungan.
"Biar
kugeledah sakunya!" seru Siau bin hau dengan cepat.
"Apa
yang hendak kau geledah?" teriak Giam In kok sambil mundur
selangkah kebelakang.
Siau
bin hau sama sekali tidak banyak bicara, jari tengahnya segara
disentilkan kedepan menotok jalan darah bocah itu, sementara
tangan-nya yang lain merogoh kedalam sakunya dan mengambil keluar
sebilah pedang pendek.
Umpatnya
kemudian dengan suara nyaring:
"Setan
cilik! kau benar-benar licik sekali, hampir saja aku tertipu olehmu!"
Setelah
menepuk bebas jalan darahnya yang tertotok, ia menghardik kembali:
"Kalau
kau tidak segera mengaku ddimanakah kitab pusaka itu tersimpan,
sekarang juga aku akan turun tangan terhadapmu!"
"Kitab
pusaka apaan?" Giam In Kok tetap berlagak pilon, "ooii.....cepat
kembalikan pedang itu kepadaku!"
"Darimana
kau dapatkan pedang ini?"
"Seorang
bocah cilik yang membawa sebuah buatalan kain, sebuah buli-buli emas
serta membawa senjata telapak tangan baja telah menghadiahkan pedang
ini kepadaku!"
"Dimanakah
bocah itu sekarang? kenapa ia menghadiahkan pedang pendek itu
kepadamu?"
"Ia
bertanya kepadaku dimanakah letak goa Gi hiat, setelah kutunjukkan
letaknya, ia segera pergi serta menghadiahkan pedang pendek ini
kepadaku!"
Tiga
orang ibiis itu setengah percaya, setengah tidak, setelah saling
bertukar pandangan sekejap tiba-tiba Sam cun teng berkata sambil
tertawa dingin:
"Baiklah!
untuk sementara wakta aku percaya dengan perkataanmu itu, tapi ingat
kalau di goa Gi hiat kami tidak menemukan seorang manusiapun, maka
akan kulemparkan tubuhmu kedalam liang tersebut!"
Demikianlah,
Sam cun teng segera mengempit tubuh Giam In Kok di bawah ketiaknya,
lalu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya berangkatlah mereka
menuju kegca Gi Hiat.
Tetapi
setelah tiba digoa Gi hiat, kecuali goa yang dalam dan gelap sehingga
tak nampak dasarnya, tak nampak sesosok bayangan manusia pun yang
berada disitu, Siau bin hau melongok sekejap kearah dalam goa,
tiba-tiba hatinya merasa bergidik sekali, dengan gusar ia segera
membentak:
"Setan
cilik kau berani membohongi aku? akan kujagal dirimu lebih dahulu!"
"Eeeii...
eeeei... bukankah kalian berkata hendak mencari kitab pusaka....?"
teriak Giam In Kok pura-pura terperanjat, "jangan-jangan dia
sudah masuk kedalam goa untuk mencari barang pusaka itu? kalau kalian
tidak masuk kedalam goa darimana bisa tahu kalau ia sudah berada
disitu atau belum?"
"Belum-belum
kalian Kok malah menyalahkan aku?"
"Ehmm.....!
betul juga perkataanmu itu" kata Raja akherat pencabut nyawa
sambil mengangguk, "bagaimana pun juga kita toh sudah tiba digoa
Gi hiat, tak ada salahnya kalau kita selidiki sampai kedasar goa,
siapa tahu kalau apa yang dikatakan setan cilik ini memang benar!"
Sam
cun teng termenung dan berpikir beberapa
saat lamanya, kemudian ia mengangguk.
"Baiklah,
mari kita berangkat!"
Sambil
mengempit tubuh Giam In Kok. berangkatlah mereka memasuki lubang goa
itu.
"Eeei...!
Tunggu sebentar!" tiba-tiba Siau bin hau berteriak lagi sambil
merampas tubuh Giam In Kok dari bopongan manusia cebol itu, kemudian
lanjutnya lebih jauh:
"Sam
cun teng, badanmu kecil serta kerdil sekali, engkaulah manusia yang
paling cocok untuk masuk kedaiam goa serta mencari bocah keparat itu,
biarlah cecunguk kecil ini aku yang membopong masuk kedalam goa, Kwik
loji mengikuti dibelakangku untuk melindungi bocah ini, dengan
demikian kita semua tak usah saling mencurigai lagi bukan!"
Tanpa
berunding lagi Sam cun teng serta Raja akherat pencabut nyawa segera
menyetujui usul tersebut, sedangkan Giam In Kok paling merasa gembira
diantara beberapa orang itu, sebab dia memang sengaja hendak
memancing ketiga orang iblis itu masuk kedalam goa untuk menempuh
bahaya, sementara otaknya berputar kencang mencari akal untuk
meloloskan diri dari tempat itu.
Dengan
susah payah dan entah sudah melewati berapa banyak kesulitan akhirnya
tiga orang iblis itu berhasil memasuki goa tersebut, goa itu makin
lama semakin sempit dimana pada ujung goa tadi terdengarlah suara
gemericiknya air yang amat deras.
Sam
cun teng segera berteriak keras:
"Aduuh
celaka... didepan ada air!"
Sambil
berseru, buru-buru badannyamundur selangkah kebelakang.
Rupanya
jalan dalam lorong dalam goa itu tiba-tiba menekuk kedalam sehingga
terciptalah sebuah liang yang aangat besar dan penuh berisi air
dengan aliran yang deras, mereka membawa obor sebagal penerangan
namun tepi sebelah depan sama sekali tak terlihat, yang nampak hanya
air melulu dengan hawa yang sangat dingin hingga menusuk tulang.
Dengan
penuh kegusaran Sam cun teng segera berpaling kebelakang, serunya
lantang:
"Setan
cilik! kau benar-benar terkutuk dan minta disembelih, sekarang
katakanlah dimana orang itu?"
"Kalau
orang itu berhasrat mencari kitab pusaka, masa ia tak dapat
meneruskan perjalanan-nya menuju kedasar goa?"
"Didalam
liang ini penuh dengan air dingin, kita
bisa melocat turun, tapi belum tentu bisa
merambat naik lagi, kau anggap dia sudah
tak sayang dengan nyawa sendiri?"
"Kalau
dia merupakan seorang manusia yang rakus, apa salahnya untuk
mengorbankan nyawa sendiri demi kitab pusaka?"
"Pluung....!
plung!"
Ditengah
bentakkan keras, terdengar dua sosok badan
tercebur kedalam liang yang penuh berisi air itu.
Kemudian
terdengarlah Siua bin hau berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Haaaa...
haaah.... haaah.... selama beberapa hari belakangan ini, kedua orang
mahkluk tua ini selalu saja berusaha untuk menyaingi aku dalam
memperebutkan kitab pusaka, haaah... haaaah... sekarang rasain
kelihayan ku, kalian tak akan bisa hidup lagi....."
Jilid
: 6
GIAM
IN KOK jadi amat terkejut setelah melihat perbuatan Siau bin hau itu,
ia tak mengira kalau Raja akherat pencabut nyawa serta Sam cun teng
dapat dibereskan olehnya dengan begitu gampang, tanpa sadar tubuhnya
gemetar keras.
"Bocah
cilik, kau tak usah takut" kata Siau bin hau lagi sambil tertawa
menyeringai, "kedua orang bangkotan itu sudah sepantasnya mampus
secara mengerikan, aku tak akan menggebuki dirimu, tapi kau harus
berterus terang mengatakan kepadaku dimanakah kitab pusaka itu
disimpan, pokoknya kalau aku berhasil, engkaupun akan mendapat
kebaikan!"
"Darimana
aku bisa tahu kitab pusaka itu disembunyikan dimana? aku..... sama
sekali tak mengerti akan ucapaamu itu!"
"Kau
tak usah bermain licik dihadapanku lagi" kembali Siau bin hau
berkata sambil tertawa misterius, "kalau kau mengatakan kau
bukan Kok In hui, sekarang juga kulemparkan tubuhmu kedalam liang
berair dingin itu!"
"Aku
she Go bernama Cin Kong, penduduk kota Sian teng, kalau kau tidak
percaya mari kita pulang kerumahku, aku bisa membuktikan bahwa
rumahku ada disitu....siapa sih Kok In hui itu? kenapa kau terus
menuduh aku sebagai Kok In hui?"
Air
maka siau bin
hau berubah hebat, tiba tiba bentaknya:
"Tutup
mulutmu! meskipun kau si setan cilik licik sekali dan banyak akal,
tapi sayang penyaruanmu masih kurang sempurna, aku tidak percaya
kalau ada orang yang bersedia menghadiahkan pedang mustikanya kepada
orang lain, lagipula ketika aku mengambil pedangmu dari atas pinggang
tadi telah kukenali bahwa ikat pinggang yang kau pergunakan sekarang
ternyata sama sekali tak berbeda dengan ikat pinggang yang kau
pergunakan tempo hari, masa Kok in hui juga menghadiahkan tali
kolornya kepadamu?"
Melihat
rahasianya sudah ketahuan, terpaksa Giam In kok tertawa getir:
"Kau
memang seorang bajingan tua yang teliti dan cermat, baiklah setelah
sauya terjatuh ketanganmu sekarang tentu saja perkataan yang lain
dapat kukatakan lagi, kalau ingin mendapatkan kitab pusaka tersebut,
mari kita kembali ketepi sungai Cin ci hoo!"
"Sungai
Cin ci
hoo? dibagian sebelah mana?"
"Ooh,
rupanya kau hendak membunuh aku pula ditempat itu, setelah aku
berterus terang nanti?"
"Sungguh
tak nyana, kau si setan cilik memiliki akal yang begitu licin, sampai
soal yang kecilpun tidak luput dari pengamatan mu, baiklah! kalau kau
dapat menemukan kitab pusaka Cing khu Hun Pit tersebut maka aku akan
mewariskan segenap kepandaian ilmu silat yang kumiliki padamu!"
"Ehmm....!
lumayan juga syarat yang dia ajukan" pikir Giam In kok didalam
hati, setelah aku berhasil mempelajari kepandaian ilmu silatnya,
dikemudian hari aku masih punya kesempatan untuk membereskan dirinya
dari muka bumi....."
Maka
dengan wajah berseri-seri dia segera ikut serta dibelakang Siau bin
hau dan kembali ketepi sungai Cin Ci Hoo.
Ditengah
perjalanan bocah itu bertanya:
"Apakah
kau sudah melihat bait syair yang tertera diatas dinding tugu
tersebut?"
"Lihat
sih sudah melihat, cuma aku tak tahu apakah isi bait syair yang
pertama?"
"Justru
kunci paling penting dari rahasia itu terletak pada bait syair yang
pertama, karena itulah syair tersebut aku hapus dari atas dinding
agar tidak diketahui orang, kalau kau mau tahu, baiklah kuberitahu
kepadamu, syair tersebut berbunyi demikian:
"Kentongan
ketiga dibulan purnama, bayangan bintang jauh memanjang"
"Kau
tahu apa artinya?" tanya Siau bin hau.
"Aduuuh....
masa syair seperti itu saja kan tak bisa memecahkan? artinya kalau
kentongan ketiga sudah tiba bukankah diatas permukaan air akan muncul
bayangan hitam? nah! pada saat itulah kita bisa mempergunakan
petunjuk dari bayangan pohon atau bayangan gunung yang tertera diatas
air sebagal ancar-ancar untuk mencari letak kitab pusaka tersebut,
jika kita gali tempat itu niscaya kitab pusaka Cing Khu hun pit dapat
kita temukan dengan mudah"
"Kau
si bocah cilik memang berotak encer dan cerdik sekali" puji Siau
bin hau sambil menghela napas panjang, "kuakui bahwa kecerdasan
otakku belum dapat menandingimu".
"Baiklah!
perduli kitab pusaka itu berhasil kita temukan atau tidak aku pasti
akan mewariskan semua kepandaian silatku kepadamu!"
Giam
In kok merasa amat girang sekali, setelah mendengar perkataan itu,
buru-baru serunya:
"Tapi
aku tak bisa menganggap kau sebagai guruku!"
"Kenapa?"
"Sebab
aku sudah mempunyai dua orang suhu, yakni si telapak tangan sakti
dari Giam tok serta si monyet sakti dari selat Wu sia!"
Siau
bin hau termenung sebentar, kemudian mengangguk.
"Baiklah,
mau mengangkat diriku sebagai guru atau tidak itu bukan urusan yang
penting, asal kau dapat mengingat ku terus itu sudah lebih dari
cukup"
"Kalau
kita memang harus menanti sampai kentongan, sedang sekarang masih
terlalu pagi, bagaimana kalau kita pergi mencari makan lebih dahulu?
kemudian akan kuwariskan ilmu langkah naga lompat harimau kepadamu,
agar dalam melakukan perjalanan nanti gerakan tubuhmu bisa jauh
lebih cepat"
"Horee....
bagus sekali, bagus sekali.... aku
memang paling suka belajar ilmu silat" teriak Giam In kok
kegirangan, "tapi.... masih ingatkah
kau dengan baik syair tersebut?"
"Haaah...
haaaaah...haaaah... meskipun aku sudah tua
tapi daya ingatanku masih belum berkurang, bukankah bait syair yang
tertera diatas dinding batu itu berbunyi demikian:
“Kentongan
ketiga bulan purnama, bayangan bintang jauh memanjang.
Tepi
sungai Cin ci hoo tersisa puing tugu yang berserakan....
Benda
mungil indah menawan, bulan purnama janganlah terlalu disiakan.....”
"Betul
bukan? aku yakin daya ingatanku masih tajam!"
"Engkau
memang hebat!" puji Giam In kok sambil
tertawa.
"Yang
dimaksudkan bulan purnama pada bait syair yang terakhir menunjukkan
bahwa waktunya adalah malam tanggal lima belas, mungkin juga berarti
malam bulan delapan tanggal lima belas pada kentongan ketiga, ini
baru tanggal dua puluh, kalau dihitung berarti kita masih mempunyai
waktu dua puluh lima hari lagi sebelum dapat turun tangan"
Siau
bin hua memuji kecerdikan bocah itu tiada hentinya, dalam kenyataan
mimpipun ia tak menyangka kalau bocah cilik yang umurnya paling
banter baru dua belas tahun itu sudah merubah bait syair pertama tadi
sehingga artinya sama sekali berbeda, bahkan bocah itupun mempunyai
rencana untuk melenyapkan dirinya dari muka bumi....
Rembulan
yang bersembunyi dibalik kegelapan yang mencekam seluruh jagad,
perlahan-lahan munculkan diri dan memancarkan sinarnya yang berwarna
keperak-perakan....
Sudah
hampir duapuluh hari Giam In kok mengikuti Siau bin hau berkeliaran
di sekitar sungai Cin ci hoo, bahkan sudah banyak ilmu silat yang
berhasil dia pelajari, malam itu mereka muncul kembali ditepi sungai
Cin ci hoo untuk mencari kitab pusaka.
Akan
tetapi, ketika mereka tiba ditempat tujuan, tiba-tiba dari tempat
kejauhan terdengar suara bentakan nyaring menggema memecahkan
kesunyian, rupanya disana telah terjadi pertarungan ysug seru antara
kelompok jago persilatan.
Giam
In kok yang menyaksikan kejadian itu diam-diam tertawa geli, namun
diapun merasa agak risau juga, gumamnya seorang diri:
"Mereka
pasti bertempur karena memperebutkan kitab pusaka Cing Khu Hun pit,
tetapi, secara bagaimana mereka bisa tahu kalau kitab pusaka itu
berada disungai Cin ci hoo dan untuk mencarinyapun harus datang pada
bulan delapan tanggal lima belas?"
"Jangan-jangan
merekapun sudah mengunjungi batu tugu itu serta membaca ukiran syair
yang masih tersisa diatas dinding batu?"
"Benar!"
seru bocah itu dengan cepat, "meskipun ukiran itu sudah
kuhapuskan akan tetapi tetap masih ada bekasnya yang tak dapat
hilang, mereka pasti berhasil membaca syair tersebut dari bekas-bekas
yang kusayati itu!"
Giam
In Kok sendiripun menyadari, sekalipun tulisan-nya sudah terhapus
akan tetapi asalkan masih ada bekas-bekasnya maka tidak suitt bagi
seseorang jago lihay untuk mengenali kembali tulisan itu, tanpa sadar
ia bergumam kembali:
"Semoga
saja mereka terpengaruh oleh kitab pusaka itu, dan gagal untuk
memecahkan rahasia dari bait syair itu!"
Siau
bin hau tertegun lalu menggeleng.
"Mungkin
merekapun juga seperti diriku, hanya dapat memecahkan sebagian saja
dari bait syair tersebut!" katanya.
"Seandalnya
mereka hanya berhasil memecahkan separuh saja dari bait syair itu,
tak mungkin kedatangan mereka ditempat ini dilakukan persis pada
tanggal lima belas, yang kumaksudkan rahasia besar adalah hubungan
antara menggesernya bintang dengan bayangan hitam yang tertera
dibumi!"
Dimulut
Giam In Kok berbicara dengan Siau bin hau, sementara sorot matanya
menyapu kearah para jago yang sedang melangsungkan pertarungan itu,
kemudian dia melirik pula kearah pagoda tujuh tingkat jaug berada
tidak jauh dari gelanggang pertarungan.
Suasana
disana gelap gulita dan sama sekali tidak cocok dengan perkataan Bong
ji yang mengatakan bahwa pagoda tersebut memancarkan cahaya tajam
diwaktu malam.
Sementara
para jago bulim yang hadir disitu kecuali Ngo Hong tojin yang tak
nampak batang hidungnya, keluarga Ciang Toa Nio serta Lak jiu Sian
Nio sekalian juga tidak nampak disitu.
Kalau
dikatakan Lak jin Sian Nio serta keluarga Ciang Toa Nio bersembunyi
dirumah, hal ini masih masuk diakal, tapi Ngo Hong tojin ternyata
tidak nampak batang hidungnya, kejadian ini benar-benar sangat tak
masuk akal.....
Dalam
pada itu, dalam gelanggang pertarungan telah muncul kembali seorang
pria pertengahan, sambil melangkah ketengah kalangan ia berseru
lantang:
"Aku
sastrawan selaksa racun Lie Liang ingin mengajak Gak sianceng untuk
bertempur, apakah Gak sianceng bersedia memberi petunjuk?"
Dari
antara jago-jago lihay yang hadir di sekitar tempat itu segera
muncullah seorang kakek tua yang membawa cangkul istimewa, sambil
tertawa tergelak kakek itu segera maju ketengah gelanggang, dia bukan
lain adalah tabib sakti dari gunung Lam san, Gak Pun Leng adanya.
Menyaksikan
peristiwa itu, Giam Ia kok segera berseru tertahan:
"Aduh
celaka! mutiara penolak racun miliknya berada ditanganku, dia hendak
mengandalkan apa untuk melawan orang itu? di tinjau dari julukannya
sebagai sastrawan selaksa racun, keahliannya tentu didalam hal ilmu
beracun.... aku harus mewakili Gak cianpwee untuk melawan orang itu!"
Tubuhnya
siap meloncat keluar dari balik semak betukar, tapi Siau bin hau
segera menarik tangannya sambil menghardik:
"Mengapa
kau? buat apa sih berlagak sok gagah-gagahan? biarkan saja beberapa
orang itu saling bertarung sampai mampus semuanya, toh keadaan
seperti itu malah sangat menguntungkan posisi kita!"
"Tidak
bisa jadi, Gak cianpwee pernah melepaskan budi kepadaku, aku harus
menolong dirinya...."
"Hmm!
kalau kau berani keluar dari tempat persembunyian, akan kubunuh
dirimu lebih dahulu!"
Sudah
hampir sebulan lamanya Giam In kok berkumpul dengan Sian bin hau,
kendatipun sudah banyak ilmu silat milik lawan yang berhasil
dipelajarinya, akan tetapi terhadap tingkah lakunya yang keji dan tak
kenal perikemanusiaan itu dalam hatinya masih menaruh kesan jelek,
dan diapun tahu bahwa manusia tersebut hanya tahu mementingkan diri
sendiri.
Maka
setelah diancam oleh lawannya, ia pun lantas berkata:
"Baik...
baik, tidak pergi ya tidak pergi, padahal aku ngeri juga kalau harus
dibunuh...."
Ketika
Siau bin hau melepaskan kembali cekalan-nya karena mengira bocah itu
benar-benar sudah keder, tiba-tiba Giam In kok menjejakkan kakinya
keatas tanah dan kabur dari tempat persembunyian-nya.
Siau
bin hau membentak keras, ia segera mengejar
dari belakang.
Tapi
sayang Giam In kok yang sekarang bukanlah Giam In kok dulu, dia sudah
memiliki ilmu silat dari lima orang jago, latihannya sudah mencapai
satu tahun lebih dan cairan kumala dari buli-buli emas sudah menambah
tenaga dalamnya sehingga jalan darah penting Hian kwan-nya berhasil
ditembusi.
Tentu
saja Siau bin hau tak mampu menyusul dirinya, sekalipun dia sendiri
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Dalam
pada itu, sastrawan selaksa racun serta Gak Pun leng sndah bersiap
siap melakukan pertarungan, ketika mendengar suara bentakan nyaring,
mereka segera berpaling.
Tampaklah
sesosok bayangan kecil meluncur datang bagaikan bayangan burung nuri,
sementara dibelakangnya menyusul sesosok bayangan tubuh yang tinggi
besar mengejarnya.
Tabib
sakti dari gunung Lam San yang pertama-tama mengenali dulu kalau
bayangan kecil yang sedang berlarian mendekat adalah bocah cilik yang
pernah belajar silat pada dirinya dulu,
sebab gerakan tubuh yang dipergunakan
adalah ilmu miliknya.
Buru-buru
dia maju menyongsong kedatangan-nya, lalu setelah melepaskan Giam In
kok melewati sisinya, kepada Siau bin hau hardiknya keras-keras:
"Berhenti!kenapa
kau menganiaya seorang bocah cilik?"
"Bangsat
minggir!" teriak Siau bin hau dengan gusar, telapak tangan-nya
diayunkan kedepan melancarkan sebuah bacokan.
Menyaksikan
datangnya ancaman yang begitu hebat, buru-buru tabib sakti dari
gunung Lam san
menyilangkan telapak tangan-nya untuk menangkis.
Rupanya
didalam serangan itu Siau bin hau telah mempergunakan segenap
kekuatan-nya.....
"Blaaam....!"
Ditengah
benturan yang amat keras, tabib sakti dari
gunung Lam san segera merasakan lengan-nya jadi kaku dan linu, tanpa
dapat dibendaag lagi badan-nya mundur tiga langkah kebelakang dengan
sempoyongan.
Dengan
cepat ia dapat mengenali kembali siapakah lawannya, cangkul obat yang
berada ditangan kanan segera diputar kencang, dan dengan membeatuk
selapis cahaya hitam ia melancarkan kembali terjangan-nya kearah
depan.
Siau
bin hau sadar bahwa ilmu silatnya masih bukan tandingan lawan, maka
dari itu, begitu turun tangan tadi ia telah mengerahkan
segenap kekuatan tubuhnya, kini melihat pihak lawan menggerakkan
senjatanya untuk menggencet dirinya, ia tak berani bertindak secara
gegabah lagi, buru-buru teriaknya keras:
"Ei...
eei... tunggu dulu! jangan menyerang
dulu....!"
Sambil
berteriak ia cabut sepasang pedang terkaitnya dari punggung dan
diputar didepan dada untuk melindungi diri dari ancaman bahaya.
Sementara
itu bocah ajaib bermuka seribu Giam In kok telah tiba dihadapan
sastrawan selaksa racun, setelah memberi hormat ujarnya sambil
tertawa:
"Sudah
lama aku mengagumi akan kehebatan Lie cianpwee didalam ilmu beracun,
aku yang rendah Go Ceng kang mohon beberapa jurus dari mu!"
Para
jago yang berkumpul disana sebagian besar adalah jago-jago kenamaan,
terhadap ilmu beracun dari sastrawan selaksa racun boleh dibilang
pada menaruh rasa jeri, ketika mereka saksikan ada seorang bocah yang
tiba-tiba menantang sastrawan selaksa racun untuk bergebrak, sebagian
jago-jago itu pada melongo dan berdiri saling berpandangan dengan
wajah tak habis mengerti.
Sastawan
selaksa racun sendiri merasa amat geli tatkala melihat ada seorang
bocah cilik munculkan diri untuk menantang ia bertarung, sambil
tertawa tergelak katanya:
"Hahaaa...
hahaa.... hahaa.... bocah cilik, nyalimu benar-benar besar sekali,
engkau anak murid siapa? dan siapa nama ayahmu?"
"Aku
tak punya guru, juga tak punya ayah!"
"Huuuh...!
omong kosong, kalau tak ada guru masih punya kemungkinan, tapi kalau
tak punya ayah dari mana kau bisa jadi manusia?"
"Ooh....ayah
sih tentu ada, cuma sampai sekerang aku masih belum tahu siapakah
ayahku yang sebenarnya, maka untuk sementara waktu aku harus berkata
bahwa aku tak punya ayah!"
"Kalau
memang begitu, kau tak usah menantang aku untuk bergebrak lagi,
angkat saja aku menjadi ayah angkatmu, tentu akan kuwariskan seluruh
ilmu silatku kepadamu?"
"Tidak....
tidak.... aku tak mau belajar ilmu silat.... aku malas...."
"Berani
tak mau? Kuhajar pantatmu!"
"Huuh....!
belum tentu kau mampu.... kalau tak
percaya, silahkan kau coba...."
Tabib
sakti dari gunung Lam san, Gak Pun Leng jadi amat gelisah ketika
dilihatnya Giam In kok benar-benar akan bertarung melawan sastrawan
selaksa racun.
Sambil
menarik kembali cangkul obatnta, ia segera meninggalkan Siau bin hau
dan berlarian mendekat sambil teriaknya dengan suara lantang
"Engkoh
cilik, jangan turun tangan secara gegabah!"
Kemudian
kepada sastrawan selaksa racun, ia menambahkan:
"Engkoh
cilik ini adalah muridku, ia pernah belajar silat atas bimbinganku,
aku harap engkau jangan mengganggu dirinya!"
Sastrawan
selaksa racun agak tertegun, kemudian serunya:
"Kalau
dia benar-benar pernah belajar ilmu silat darimu, kenapa sewaktu
kutanyakan barusan dia mengatakan kalau tak punya guru dan tak punya
ayah?"
"Dia
merupakan muridku juga!" seru Siau bin hau sambil meloncat maju
kedepan.
Seketika
itu juga kejadian ini mencengangkan semua jago yang hadir didalam
arena, mereka tak mengira kalau bocah sekecil itu pernah belajar
silat dari seorang jago kalangan lurus dan seorang jago dari kalangan
sesat, banyak diantara mereka segera berbisik-bisik dan membicarakan
persoalan itu, sementara sastrawan selaksa racun sendiri hanya
berdiri melongo tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Tabib
sakti dari gunung Lam san telah mengetahui bahwa Giam In kok pernah
belajar silat dari tiga orang jago sebelum berjumpa dengan dirinya,
dia merasa tak aneh kalau bocah itn belajar pula dari Siau bin hau,
maka sambil tertawa segera ujarnya lagi:
"Ku
lo ji, lebih baik jangan menempelkan emas diatas muka sendiri,
ketahuilah meskipun kau pernah mewariskan ilmu silat mu kepadanya,
itu bukan berarti bahwa dia sudah menjadi muridmu!"
"Lain
itu dengan dasar apa kau mengatakan bahwa dia adalah anak muridmu?"
teriak Siau bin hau marah.
"Berdasarkan
ia telah belajar ilmu pertabiban dariku!"
"Diapun
belajar ilmu silat andalanku, apakah dia tidak pantas kalau kukatakan
sebagai muridku?"
Sastrawan
selaksa racun tertawa geli menyaksikan peristiwa itu, segera serunya
cepat:
"Kalian
berdua tak usah saling berebut lagi, bocah ini telah menantang aku
untuk bertempur, maka aku hendak menerimanya sebagai putra
angkatku....!"
Sementara
para jago saling ribut dan saling memperebutkan bocah itu, tiba-tiba
dari sisi kalangan berkumandang datang seruan seseorang dengan
diiringi gelak tertawa yang amat nyaring.
Orang
itu adalah seorang kakek tua yang bertubuh kurus lagi jangkung, orang
kangouw menyebut dia sebagai In Lui Tan hiap atau manusia rakus dari
kolong langit.
"Hahaaa...
hahaa... hahaa... sungguh lucu, sungguh lucu.... suatu pertarungan
yang sebetulnya untuk memperebutkan kitab pusaka ini telah berubah
menjadi suatu pertarungan memperebutkan bocah.... sudah seratus tahun
aku hidup dikolong langit namun sampai sekarang juga belum berputra,
aku lihat bocah ini sangat berbakat bagus lagi pula sudah memiliki
ilmu silat aliran sesat maupun lurus, karena itu dia paling cocok
bagiku sebagai manusia yang tak berpihak kegolongan sesat maupun
lurus, bagaimana kalau diberikan kepadaku saja?" seraya berkata,
dengan cepat badan-nya menerjang masuk kedalam gelanggang.
Diam-diam
tabib sakti dari gunung Lam san merasa terkejut ketika melihat
manusia paling rakus dikolong langit turut campur didalam perebutan
bocah ini, ia melirik sekejap kearah Giam In kok kemudian kepada jago
yang tinggi kurus itu ujarnya:
"Ooh
cianpwe! seandainya kau berhasrat untuk mengambil bocah ini sebagal
putramu, hal ini berarti suatu keberuntungan besar bagi dirinya,
hanya saja apakah dia bersedia atau tidak untuk dijadikan putramu?"
Sebenarnya
ucapan itu sengaja diutarakan oleh Gak Pun Leng dengan tujuan agar
Giam In kok menampik permintaan orang itu, siapa tahu Giam In kok
telah salah menduga, dia mengira dirinya diijinkan untuk menerima
permintaan tersebut, apalagi setelah mendengar tabib sakti itu
memanggil cianpwee kepadanya, maka sambil tertawa haahaa hihii
serunya:
"Hiiihiii....
hihiiii.... hihlii.... oh cianpwee mau menerima aku sebagai putra
angkatnya sedang selaksa racun juga akan menerimaku sebagai anak
angkatnya, lalu aku harus memilih yang mana enaknya? tentu saja aku
tak bisa kalau harus mempunyai dua ayah sekaligus, ei... ei...
bagaimana kalau kalian bertarung lebih dahulu? siapa yang menang
dialah yang akan menjadi ayah angkatku?"
Sastrawan
selaksa racun jadi naik pitam setelah mendengar perkataan itun kontan
saja dia mengumpat:
"Setan
cilik, kau benar-benar licik, berani benar main licik
dihadapanku..."
Sebaliknya
manusia paling rakus segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah...
hahaa....haaaah... kenapa kau mengatakan dia licik? justru perbuatan
itu menunjukkan bahwa ia sebenarnya amat cerdik!"
Sastrawan
selaksa racun semakin gusar dibuatnya, dengan muka hijau membesi
teriaknya:
"Tua
bangka ceking, jangan kau anggap aku jeri kepadamu! nah rasakan
kelihayan ku ini....!"
Sembari
berseru telapak tangan kirinya segera diayunkan kedepan, segulung
kabut beracun yang tipis dengan cepat meluncur kearah depan.
Manusia
paling rakus dikolong langit mendengus dingin, ditunggunya sampai
kabut racun itu tiba dihadapan-nya, kemudian ia tiup kencang-kencang
kabut tadi....
Bagaikan
terhembus angin puyuh, kabut beracun yang dilancarkan sastrawan
selaksa racun tadi seketika buyar dan lenyap tak berbekas.
Giam
In kok jadi terkejut bercampur keheranan setelah melihat kejadian
itu, sebaliknya sastrawan selaksa racun itu menjadi tertegun beberapa
saat lamanya, kemudian ia mendorong kembali sepasang telapak
tangan-nya kearah depan dengan menghimpun sepuluh bagian tenaga
dalamnya.
Gulungan
angin puyuh yang disertai hembusan kabut beracun sekali lagi meluncur
kearah depan.
Manusia
paling rakus dikolong langit segera mengebutkan ujung bajunya sambil
melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
Seakan-akan
terhadang oleh sebuah dinding hawa yang tak berwujud, kabut beracun
yang dipancarkan sastrawan selaksa racun itu seketika membumbung
setinggi sepuluh tombak keangkasa, kemudian memantul kembali dan
berbalik mengurung tubuh sastrawan itu sendiri.
"Rupanya
ilmu silat yang dimiliki si manusia rakus jauh lebih hebat daripada
kepandaian si makhluk beracun itu" pikir Giam In Kok didalam
hati kecilnya.
"Tapi....
apa sebabnya ia hanya bertahan belaka, dan sama sekali tak
melancarkan serangan balasan?"
Dilihat
dari kemampuan manusia paling rakus dari kolong langit sewaktu
memunahkan datangnya ancaman yang begitu dahsyat tadi bocah itu
segera berpendapat bahwa kakek bertubuh ceking itu sebenarnya
mempunyai kekuatan yang cukup untuk mencabut nyawa sastrawan selaksa
racun, andaikata dia menghendaki.
Tapi
nyatanya ia hanya bertahan belaka tanpa melancarkan serangan balasan,
tentu saja kejadian ini amat mencengangkan hatinya.
Pertarungan
berlangsung makin seru, semua jago telah mengalihkan perhatian-nya
ketengah arena pertarungan, pada saat itulah secara tiba-tiba Giam In
kok merasakan datangnya desiran angin tajam yaag mengancam batok
kepalanya.
Ia
terkejut dan sekuat tenaga meloncat maju kedepan.
Suara
bentakan keras menggema memenuhi angkasa, dengan suatu gerakan yang
cepat manusia rakus dari kolong langit segera menyentilkan jarinya
sambil melancarkan sebuah totokan kilat kearah belakang bocah itu.
Giam
In kok merasakan berkelebatnya desiran angin tajam yang melewati sisi
tubuhnya, menyusul kemudian terdengar seseorang menjerit kesakitan.
Ketika
ia berpaling, tampaklah Siau bin hau telah memuntahkan darah segar,
sementara badan-nya mencelat mundur kebelakang.
Manusia
rakus dari kolong langit segera tertawa dingin:
"Kurang
ajar! apa sih yang kau andalkan untuk bermain curang dihadapanku?
hmmm! coba peristiwa ini berlangsung beberapa tahun berselang, sudah
sedari tadi kuhajar tubuhmu sampai hancur dan remuk seperti
perkedel....!"
Sebenarnya
Siau bin hau termasuk seorang jago kelas satu didalam dunia
persilatan akan tetapi belum setengah gebrakan saja ia sudah keok
ditangan si manusia rakus, peristiwa ini tentu saja amat mengejutkan
hati para jago yang berada disekeliling tempat itu, tanpa sadar bulu
kuduk mereka pada bangun berdiri.
"Huuuh....!
tua bangka sialan....." umpat Giam In Kok didalam hati.
Tapi
ketika teringat kembali akan hubungan mereka selama setengah bulan
terakhir ini, dimana sudah banyak pelajaran silat yang dipelajari
olehnya, sekalipun hal itu didasarkan atas suatu tujuan tertentu,
namun ia toh merasa tak tega membiarkan kakek she Ku itu mati konyol
dengan begitu saja.
Maka
setelah sangsi sebentar, akhirnya dia maju kedepan dan berkata
setelah memberi hormat kepada manusia rakus dari kolong langit:
"Orang
tua, apakah kau punya obat mujarab nntuk menyembuhkan luka dalam?"
"Kau
berniat menyelamatkan jiwanya?"
"Ya,
keadaannya amat mengenaskan, aku memang ingin menolong jiwanya...."
"Baiklah!
memandang diatas wajahmu, kuhadiahkan sebutir obat Ban leng wan untuk
dirinya!"
Dari
dalam sakunya manusia rakus dari kolong langit segera mengambil
keluar sebutir pil dan segera diserahkan kepada bocah itu.
Dalam
pada itu.....
Dari
balik pagoda tingkat tujuh, secara diam-diam telah melayang keluar
sesosok tubuh, orang itu merupakan seorang imam tua, tanpa
menerbitkan sedikit suarapun, tubuhnya menyelinap masuk diantara jago
yang mengerumuni disekitar sana.
Setelah
menelan obat Ban leng wan, perlahan-lahan Siau bin hau mendusin dari
pingsan-nya, mendadak sepasang tangan-nya ditekan keatas permukaan
tanah, lalu setelah berjumpalitan diudara ia kabur menuja kearah
kerumunan para jago sambil berteriak keras-keras:
"Bila
kalian menghendaki kitab pusaka itu, jangan lepaskan setan cilik
itu!"
Giam
In kok sangat kaget, ia tahu bila rahasia asal-usulnya sampai
diketahui semua orang, maka bukan saja para jago dari kalangan sesat
tak akan melepaskan dirinya, bahkan para jago dari kalangan luruspun
akan mengejarnya kemanapun ia pergi.
Maka
setelah melihat Siau bin hau berteriak keras sambil kabur dari situ,
ia segera mengejar dibelakangnya.
"Berhenti!"
beatak seorang tosu tua secara mendadak sambil uenghadang jalan
perginya, sebuah pukulan yang keras segera dilancarkan kearah
dadanya.
Giam
In kok tidak menjadi gugup, telapak tangan-nya disilangkan didepan
dada un tuk menangkis datangnya ancaman tersebut, kemudian badannya
menyelinap kearah samping berusaha meloloskan diri.
Tapi
serangan itu datangnya sangat berat dan mantap sekali, tangkisan-nya
bukan saja menolong malahan membuat badannya mundur dengan
sempoyongan, dengan cepat ia berpaling kebelakang.
Tampaklah
Ngo Hong tojin dengan wajah mengerikan berdiri kaku disitu, ia
semakin terperanjat, sehingga cepat-cepat berusaha melarikan diri
dari situ.
"Bocah
cilik, engkau tak usah takut!" teriak manusia rakus dari kolong
langit.
Dia
menyingkir kesamping membiarkan bocah cilik itu lewat disisi
tubuhnya, kemudian sambil menghadang jalan pergi Ngo Hong tojin
serunya sambil tertawa serak:
"Tosu
hidung kerbau, kau berani mengganggu putra angkatku? hmmm....!
rupanya kau sudah makan nyali harimau, berani benar!"
"Bangsat
tua! Kau tak usah berlagak sok dihadapanku!" balas Ngo Hong
tojin sambil tertawa dingin.
"Orang
lain mungkin jeri terhadapmu, tapi pinto, sedikitpnn tak takut
terhadap dirimu!"
"Oooh.....!
jadi kau hendak menantang aku?"
"Kenapa?
Kau aaggap aku jeri kepadamu!"
Giam
In kok sendiripun menyadari bahwa dibawah kepangan musuh tangguh yang
ada disekeliling tempat itu, hanya mengintil dibelakang manusia rakus
saja dia baru ada harapan untuk lolos dari mara bahaya, maka dengan
suara lantan segera serunya:
"Ayah
angkat, mari kita pergi saja dari sini! buat apa mangurusi
orang-orang itu?"
Dipanggil
ayah angkat olah bocah itu, manusia paling rakus dikolong langit
menjadi girang sekali, sehingga tak dapat menguasahi diri lagi dia
tertawa terbahak-bahak.
"Hahaa....
hahaa.... hahaa.... bocah bagus, bocah pintar..... bagus sekali, mari
kita pergi dari sini, aku tanggung tak seorang manusiapun yang berani
menganiaya dirimu lagi!"
Ngo
Hong tojin tertawa nyaring, dia berjalan masuk kedalam gelanggang dan
berkata dengan wajah membesi:
"Setan
rakus, engkau jangan jumawa dan tidak pandang sebelah matapun
terhadap orang lain, kalau ingin membawa setan cilik itu, tanya dulu
kepada pinto, setuju atau tidak?"
"Hehee...
hehee... hehee... jika kau ingin menjadi dewa, gampang sekali....
sekarang juga akan kuhantar kau pulang ke nirwana!" jengek
manusia rakus dari kolong langit sambil tertawa dingin.
"Baik
akan kubuktikan kebenaran dari perkataanmu itu!"
Kemudian
kepada para jago yang hadir dalam arena serunya lantang:
"Aku
harap saudara sekalian bersedia menjadi saksi, aku hendak menantang
manusia rakus dari kolong langit untuk bertanding ilmu silat!"
Manusia
rakus dari kolong langit segera berpaling pula kearah Giam In kok
sambil berkata:
"Bocah,
mundurlah kebelakang! akan kugebah pergi tosu hidung kerbau ini lebih
dahulu,baru kemudian kita pergi dari sini!"
Semua
jago yang hadir ditempat itu rata-rata tahu bahwa kedua orang jago
lihay itu sama-sama merupakan jagoan yang punya kepandaian tinggi,
seandainya benar benar terjadi pertarungan maka keadaannya pasti luar
biasa sekali.
Tanpa
terasa masing-masing orang pada mundur sejauh puluhan tombak dari
tempat semula, sehingga muncullah sebuah gelanggang yang amat luas.
walaupnn
berhadapan dengan musuh tangguh, manusia rakus dari kolong langit
masih tetap cengar-cengir sambil tertawa haha... hihi..., kepada Ngo
Hong tojin teriaknya:
"Hidung
kerban bau, ayo majulah....!
silahkan
kau menyerang lebih dulu, aku akan mengalah tiga jurus untukmu!"
"Siapa
yang menyuruh kau mengalah?" bentak Ngo Hong tojin dengan gusar.
Rambutnya
pada berdiri bagaikan landak, Sementara matanya melotot bulat
memancarkan cahaya berapi-api, begitu selesai berkata tubuhnya
menerjang kedepan bagaikan banteng terluka, telapak tangan-nya
langsung dibacokan kearah depan.
Segelung
angin puyuh yang amat keras segera berhembus kearah depan, dalam
waktu singkat sekitar sepuluh tombak disekeliling tempat itu segera
diliputi oleh hawa dingin yang menggidikan hati.
Manusia
rakus dari kolong langit meloncat ketengah udara dan melewati atas
batok kepala lawan-nya lalu melayang turun kurang lebih lima tombak
dibelakangnya, sambil tertawa ia menggoda:
"Hidung
kerbau bau.... sudah tiga puluh tahun kau berlatih silat, ternyata
hasilnya tidak lebih hanya kentut busuk.... huh....! tak heran kalau
baunya bukan kepalang!"
Merah
jengah selembar wajah Ngo Hong tojin setelah mendengar ejekan
tersebut, ia tak menyangka kalau pihak lawan sedemikian gesitnya
sampai-sampai pukulan yang dilancarkan dengan segenap tenagapun
mengenai sasaran kosong, dengan cepat diapun melancarkan sebuah
pukulan kembali kedepan.
"Weeas.....!"
Deruan
angin taupan melanda seluruh permukaan bumi, begitu dasyat datangnya
ancaman itu sehingga para jago yang berada disamping arenapun ikut
merasakan dadanya sesak.
Manusia
rakus dari kolong langit segera menarik kembali serangan-nya untuk
menghindar kesamping, akan tetapi serangan Jari Ngo Hong tojin dengan
cepat meluncar datang mengancam dadanya, dalam keadaan begini
terpaksa ia memgenjotkan badan dam melayang ke udara, desiran amgim
tajam dengan hebatnya menyambar hebat dari bawah kakinya.
Dengan
menggunakan suata gerakan aneh tapi jitu, Ngo Hong lojin segera
membendung jalan mundur pihak lawan-nya, sementara dengen
serangan-serangan yang gencar sepasang telapak tangan-nya bekerja
cepat saling melancarkan serangan-serangan yang mematikan.
Agaknya
manusia rakus dari kolong langit tak berani bertindak gegabah,
menghadapi ancaman-ancaman yang mematikan itu, tubuhnya tepaksa
seringkali melayang keudara untuk menghindarkan diri.
Ujung
telapak tangan-nya menyodok kearah kiri sebentar lagi membabat
kekanan, semua gerakan digunakan secara aneh
sekali, semua serangan dilancarkan tanpa menimbulkan desiran
angin tajam, namun semua ancaman yang dilepaskan Ngo hong lojin
berhasil dibendung olehnya.
Dalam
waktu singkat, beberapa puluh jurus telah berlangsung, pertarungan
antara kedua jago lihay itu semakin sengit.
Giam
In kok yang berada disisi kalangan terpaksa harus mengerahkan segenap
kemampuan-nya untuk mengikuti jalan-nya pertarungan tersebut,
diam-diam ia merasa girang dan kagam atas kepandaian yang dimiliki
kedua orang itu, namun diapun merasa murung, takut kalau manusia
rekus menderita kekalahan ditangan lawan-nya.
Dalam
pada itu Siau bin hau telah berteriak
kembali dengan suara lantang:
"Bila
kalian menginginkan kitab pusaka Cing Khu hun pit, tangkap dulu bocah
keparat tersebut...."
Begitu
ucapan tersebut diutarakan keluar, sastrawan selaksa racun, siluman
rase dari Sian yan serta sekalian jago-jago lihay dari kalangan sesat
bersama-sama membentak keras! belasan sosok bayangan manusia itu
serentak bergerak kedepan menerjang kearah Giam In kok.
Menyaksikan
kejadian itu, tabib sakti dari gunung Lam sansekalian jago-jago dari
kalangan lurus pun ikut membentak keras sama-sama menerjang kedepan
untuk membendung datangnya serangan itu.
Mendadak
terdengar suara panjang yang menyeramkan menggema memecahkan
kesunyian, lalu tampak sesosok bayangan manusia menyambar masuk
kedalam gelanggang pertempuran secepat kilat.
Beberapa
kali jeritan ngeri segera berkumandang diudara, ketika semua orang
berpaling untuk menyaksikan apa yaag telah terjadi, nampaklah empat
orang jago lihay dari kalangan sesat yang sedang mengerubuti Giam In
kok sudah roboh terkapar diatas tanah, sedangkan bocah itu sendiri
tahu-tahu sudah dibawa kabur oleh manusia rakus dari kolong langit.
Ngo
hong tojin jadi amat gusar sekali sehingga air mukanya berubah jadi
hijau membesi, dia membentak keras lalu mengejar dari belakang.
Agaknya
Manusia rakus dari kolong langit sudah menduga bahwa pihak lawan
pasti akan melakukan pengejaran, sekuat tenaga dia kabur menuju
kedalam hutan belantara yang lebat.
Dia
memang sengaja memilih jalan yang sempit dengan pepohonan yang lebat
untuk menyembunyikan diri, maka tak selang beberapa saat kemudian Ngo
Hong tojin telah tertinggal olehnya sehingga tidak nampak batang
hidungnya lagi.
Entah
beberapa lama ia sudah berlarian ditengah hutan, sementara itu fajar
telah menyingsing.....
Kendatipun
manusia rakus dari kolong langit merupakan salah seorang diantara
lima tokoh maha sakti dari kolong langit, namun setelah berlarian
semalaman suntuk napasnya menjadi tersengal-sengal juga, keringat
telah membasahi seluruh tubuhnya.
Menaati
mereka sudah tiba di bukit gunung Thian Tay-san, kakek itu baru
menurunkan bocah itu dari gendongan-nya.
Sambil
menyeka air keringat yang membasahi tubuhnya, ia berkata seraya
tertawa:
"Akhirnya
aku berhasil juga menyelamatkan dirimu dari mara bahaya, tapi aku
yakin para jago dari kalangan lurus serta sesat pasti akan
membuntuti dirimu terus menerus, sebab mereka pasti mengira kitab
pusaka Cing Khu Hun Pit akan terjatuh ketanganku.... hahaa...
hahaa.... haaah... padahal aku sama sekali tak berminat dengan kitab
pusaka itu, sudah puluhan tahun lamanya aku mengembara dalam dunia
persilatan, kini usiaku sudah tua sekali...."
Belum
habis perkataan itu diutarakan keluar, mendadak dari balik hutan
telah berkumandang datang suara gelak tertawa yang amat keras dan
amat menusuk pendengaran.
Paras
muka manusia rakus dari kolong langit segera berubah hebat, buru-buru
dia ambil keluar sebuah bungkusan kecil dari dalam sakunya, dan
segera disusupkan kedalam tangan Giam In kok sambil bisiknya lirih:
"Sebentar
lagi aku bakal melangsungkan pertarungan yang sengit melawan
seseorang, cepat-cepatlah kau kabur masuk kedalam hutan!"
Giam
In Kok sendiripun sadar bahwa situasi yang dihadapinya sekarang agak
serius, karena dalam gelak tertawa yang nyaring itu, dia saksikan
banyak sekali daun pada dahan pohon berguguran keatas tanah,
buru-buru dia sambut bungkusan kecil itu dan di masukkan kedalam
saku.
"Gi
hu, kau tidak ikut kabur dari sini?" tanya bocah itu kemudian
dengan cemas.
Manusia
rakus dari kolong langit menggeleng.....
"Aku
tak takut menghadapi orang itu, sebab dia adalah salah seorang
diantara lima manusia aneh dikolong langit, sedari dulu di antara
kami memang sudah ada dendam sakit hati!"
Ketika
menyaksikan sesosok bayangan manusia telah melayang tiba dihadapan
mukanya maka dengan cepat ia menyambut kedatangan orang itu dan
berseru sambil tertawa:
"Setan
hweesio! ada urusan apa kau datang kemari?"
Ternyata
orang yang barusan muncul merupakan seorang padri berjubah hijau
berkepala gundul dengan perawakan badan yang kurus sekali seperti
bambu, matanya cekung kedalam dengan sorot mata berwarna hijau, air
mukanya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apapun.
Setelah
tiba dihadapan manasia rakus dari kolong langit, sinar matanya
segera berputar memandang sekejap kearah Giam In kok, kemudian
katanya:
"Saudara
tua, aku rasa dalam mata seorang ahli tak akan kemasakan batu
kerikil, dihadapan orang budiman lebih baik kita berbicara secara
blak-blakan, kedatangan pinceng bukan lain disebabkan oleh bocah
cilik itu, tapi.... kau tak usah kuatir, kita masih bisa merundingkan
masalah ini secara baik-baik dan diselesaikan secara damai!"
"Bagaimana
cara kita berunding? Hey hwesio setan, katakanlah isi hatimu...."
seru manusia rakus sambil tertawa.
"Pincang
tahu bahwa engkau sudah menganggap bocah itu sebagai putra angkatmu,
sudah tentu aku tak ingin merampas bocah itu dengan kekerasan, aku
hanya ingin meminjamnya beberapa hari saja, bila kitab pusaka itu
berhasil kutemukan, bocah ini pasti akan kukembalikan kepadamu!"
"Kalau
aku tidak bersedia meminjamkan-nya kepadamu? lantas apa yang hendak
kau lakukan?" jengek manusia rakus dari kolong langit dengan
muka sinis.
"Hmm!
selamanya pinceng mengatakan satu tetap satu, dua tetap dua tidak
pernah kuurungkan rencana yang telah kususun.... hehee... hehee...
hehee.... kau berani tidak meminjamkan-nya kepadaku?"
"Aku
justru sengaja tak akan meminjamkan kepadamu, kenapa? mau berkelahi?"
"Hey,
saudara tua, aku ingin bertanya kepadamu," ujar hweesio kurus
itu dengan wajah menyeramkan, "setelah kau melakukan perjalanan
semalam suntuk sambil membopong bocah itu, mampukah kau untuk
melayani serangan-seranganku?"
Pertaayaan
ini dengan cepat mengenai penyakit dalam hati manusia rakus dari
kolong langit, akan tetapi sebagai seorang jago kenamaan tentu saja
ia tak mau mengaku dengan begitu saja.
Maka
sambil mendengus dingin segera serunya:
"Hmm!
kau tak usah menggertak aku dengan persoalan semacam itu, ketahuilah
bahwa sedikitpun aku tidak jeri menghadapi dirimu, paling banter kita
berdua akaa sama-sama menderita luka!"
"Bagus!
kalau begitu pinceng akan menghantar dirimu untuk melakukan
perjalanan lebih dahulu!"
Manusia
rakus dari kolong langit tak mau membuang waktu dengan begitu saja,
dia segera membentak keras:
"Sambutlah
seranganku ini!" bersamaan dengan bentakan tadi, sebuah pukulan
yang gencar dilepaskan kearah depan.
Sekalipun
semalam suntuk ia telah melakukan perjalanan, numun bagaimanapun juga
dia merupakan seorang jago yang berkepandaian lihay, serangan yang
dilancarkan tetap tangguh dan memiliki kekuatan yang luar biasa
sekali....
Hweesio
itn sama sekali tidak bergerak dari tempat semula, dinantikan-nya
pukulan itu sampai hampir mengenai tubuhnya, dan pada saat itulah
tubuhnya baru melayang sejauh tiga tombak dari tempat semula untuk
menghindarkan diri dari serangan yang dilancarkan manusia rakus,
kemudian sambil tertawa terbahak-bahak katanya:
"Saudara
tua, kenapa serangan hawa lunakmu telah berubah jadi serangan hawa
keras? tampaknya kau sudah dekat saat akhirmu....! Hahaa... hahaa...
haah ... bagus sekali, pinceng akan membuat kau keok bagaikan anjing
mencium tanah".
Sambil
mengejek badan-nya laksana kilat meloncat kesamping Giam In kok serta
melancarkan serangan kearahnya.
Jarak
antara Giam In kok dengan hweesio itu sebenarnya masih terpaut kurang
lebih lima enam tombak, disamping itu, bocah tersebut pun sama sekali
tak menyangka kalau hweesio itu mempunyai gerakan tubuh yang begitu
cepat.
Dia
hanya merasakan bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu
pergelangaa tangan kirinya sudah dicengkeram oleh pihak lawan.
Bocah
itu meronta sekuat tenaga, dengan segenap tenaga dia kirim- satu
pukulan ke arah tubuh lawan-nya.
"Lepas
tangan!" bentak manusia rakus dari kolong langit dengan keras.
Tubuhnya
segera maju kedepan, dengan cepat telapak tangan-nya langsung
membabat ulu hati hweesio tersebut.
Rupanya
padri kurus itu sama sekali tak menyangka kalau Giam In kok merupakan
bocah keras kepala, tak dapat dihindari lagi pukulan itu bersarang
telak diatas dadanya, membuat ia mendengus berat, melihat ancaman
yang dilancarkan manusia rakus dari kolong langit meluncur datang
pula kearah-nya. cepat-cepat ia melompat kesamping.
Menggunakan
kesempataa itulah, dengan gemas padri kurus itu menarik pergelangan
tangan Giam In kok....
"Kraaak!"
Persendian
tulang pergelangan tanggan bocah itu segera terlepas, dan saking
sakitnya bocah itu menjerit keras dan jatuh tak sadarkan diri.
Manusia
rakus dari kolong langit semakin gusar, dia kerahkan segenap
kepandaian yang dimilikinya untuk mengencet tubuh musuhnya serta
menyerang habis-habisan.
Padri
kurus itu merasa tidak leluasa untuk menghadapi manusia rakus dari
kolong langit dengan Giam In kok masih ada dicekalan-nya, dengan
cepat bocah itu didorong hingga jatuh terjungkal keatas tanah, lalu
makinya:
"Bangsat
sialan, rupanya kau mencari penyakit buat diri sendiri....! Manusia
seperti kau tak boleh diberikan hidup di kolong langit, hari ini
pinceng akan melakukan pembunuhan secara besar-besaran!"
Manusia
rakus dari kolong langit sama sekali tidak menanggapi ucapan
lawan-nya, yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya
mengusir padri kurus itu sehingga dia mempunyai kesempatan untuk
menyelamatkan jiwa Giam In kok, serangan yang dilancarkan semakin
ketat dan gencar.
Demikian,
pertarungan yang amat serupun segera berlangsung ditempat itu, debu
dan pasir bertebaran diatas tanah, begitu seru jalan-nya pertarungan
itu sehingga menggetarkan hati setiap orang yang sempat menyaksikan
peristiwa itu.
Sang
surya telah muncul dari ufuk sebelah timur, pertarungan yang sedang
berlangsung diantara dua orang jago itu masih berjalan dengan
sengitnya, hanya saja keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka
dan napaspun telah tersengal-sengal, hal ini menunjukkan bahwa mereka
telah kehabisan tenaga.
Giam
In kok yang jatuh tak sadarkan diri, perlahan-lahan mendusin dari
pingsan-nya, ia merasakan tulang pada pergelangan tangan kirinya
sakit sekali seperti diiris-iris sehingga tak tahan lagi berteriak
keras:
"Aduuuh
mak.... sakiiit!!" Jeritan ini mengetarkan hati kedua jago
silat yang sedang saling bergebrak itu.
Disatu
pihak si hweesio itu mengira bocah itu hendak kabur sehingga jalan
pikiran-nya segera bercabang karena hendak menangkap kembali bocah
tadi, sedang dipihak lain si manusia rakus dari kolong langit merasa
memikul tanggung jawab yang amat besar atas keselamatan bocah itu,
dia harus melindungi jiwanya lebih dulu ketimbang keselamatan jiwanya
sendiri.
Dalam
keadaan seperti ini, kedua belah pihak sama-sama merasa gelisah dan
tanpa sadar sambil membentak keras masing-masing melancarkan sebuah
pukulan yang amat keras dengan mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya.
"Braaak......blaaam!"
Ditengah
seruan tertahan, tampak dua sosok bayangan tubuh saling bertambrakan
satu sama lainnya, kemudian terpental jauh kebelakang.
Padri
kurus itu menggelinding kesisi tebing dan jatuh kedalam jurang yang
amat dalam, sebaliknya tubuh manusia rakus dari kolong langit
terpental sesisi badan Giam In kok, karena terhadang oleh tubuh bocah
itu, ia terhenti dan segera muntah darah kental berwarna hitam,
setelah berkelejit sebentar, tubuhnya tak berkutik lagi.
Jilid
: 7
GIAM
IN KOK, karena terbentur oleh tubuh seseorang, segera terhindar dari
pingsan-nya dan membuka mata....
Akan
tetapi ketika menyaksikan manusia rakus dari kolong langit terkapar
disisi tubuhnya, ia jadi terperanjat, buru-buru ia melompat bangun
dari atas tanah, lalu sambil menahan rasa sakit pada pergelangan
tangan kirinya, ia periksa denyut nadi orang tua itu, meskipun bocah
itu belum pernah belajar ilmu memeriksa nadi dari Gak Pun Leng, namun
dari kitab catatan yang pernah dimilikinya ia sudah pernah membaca
tentang kepandaian tersebut, maka dengan dasar ilmu pengetahuan-nya
itulah ia pegang denyutan nadi manusia rakus dan memeriksanya dengan
seksama.
Tapi
dengan cepat ia temukan bahwa denyut nadinya sudah putus dan kakek
rakus itu sudah tak bernyawa lagi, bocah itu segera menghela napas
dan menangis tersedu-sedu.
Beberapa
saat kemudian ia baru teringat bahwa ada kemungkinan si hweesio setan
itu akan kembali lagi kesana, apalagi bila ia cuma menderita ringan,
apa jadinya nanti apabila dirinya berhasil ditangkap kembali?
Setelah
berpikir sebentar, akhirnya diapun memeriksa pergalangan tangan kiri
sendiri yang patah, kemudian sesudah mengetahui bahwa lukanya enteng
sekali dan hanya persendian-nya hanya terlepas, sambil mengertak
gigi, ia sambung kembali persendian tulangnya.
Kemudian
dia menggali sebuah lubang dnn mengubur jenasah jago tua itu disana,
setelah memberi hormat, berlalulah bocah itu dari tempat kejadian.
Dari
dalam bungkusan milik kakek rakus dari kolong langit, ia menemukan
sejilid kitab serta beberapa butir pil hui tun wan.
Sebagai
seorang bocah yang pernah mempelajari obat-obatan, Giam In Kok
mengenali Hui tun wan tersebut sebagai obat yang paling mujarab untuk
menyembuhkan luka atau keracunan, buru-buru ia telan sebutir pil itu
dan segera duduk bersemedi.
Beberapa
saat kemudian rasa sakit yang diderita pada pergelangan tangan-nya
sudah makin berkurang, untuk mengisi waktu diapun membuka kitab
catatan yang ditinggalkan oleh kakek rakus.
Isi
kitab catatan itu ternyata berupa catatan ilmu silat yang terdiri
dari ilmu Ki Kang, ilmu meringankan badan serta ilmu-ilmu telapak
tangan dari pelbagai partai persilatan, semua catatan disertai pula
dengan penjelasan yang amat terang dan terperinci.
Bocah
itu segera terbayang kembali tingkah laku manusia rakus dari kolong
langit terhadap dirinya, ia merasa meskipun perkenalan-nya deagan
kakek itu baru berlangsung semalam, akan tetapi kebebasan dirinya
telah ditebus oleh kakek itu dengan selembar nyawanya, Lagipula
diapun meninggalkan kitab catatan ilmu silat kepadanya, perduli
manusia rakus itu merupakan seorang jagoan dari kaum sesat atau
lurus, yang jelas ia telah berhutang budi kepadanya.
"Baik!
suatu ketika aku hendak membalaskan dendam berdarah ini, akan kucari
hwesio setan itu dan kubunuh dirinya sampai mati!"
Tapi
bocah itupun sadar, dengan kepandaian-nya yang dimiliki saat ini,
masih jauh kemungkinan baginya untuk membalaskan dendam sakit hati
itu, apalagi tipis harapan baginya untuk bisa ikut serta didalam
perebutan kitab pusaka Cing Khu Hun Pit di tepi sungai Cin Ci Hoo
melawan para jago bu lim yang rata-rata berkepandaian lihay itu.
Dengan
termangu-mangu bocah itu duduk terpekur dibawah sebuah pohon,
pikirnya dalam hati:
"Sebenarnya
saat untuk mengambil pusaka itu adalah tiap bulan delapan tanggal
lima belas! Semoga saja bukan pada setiap bulan purnama.....! Kalau
tidak, bukankah kitap pusaka itu sudah berhasil didapatkan oleh para
jago kemarin malam? Kalau sampai Kitab Pusaka Cing Khu Hun Pit itu
terjatuh ketangan orang lain, bukankah jadi berabe?"
Sesudah
termenung sebentar, dia berpikir kembali:
"Aah....!
semoga saja yang dimaksudkan didalam syair tersebut adalah bulan
delapan tanggal lima belas, jadi kalau dihitung masih ada tiga bulan
lamanya, menggunakan kesempatan ini aku harus baik-baik melatih diri
serta menguasai ilmu silat yang ditinggalkan kakek rakus itu...."
Begitulah
setelah mempertimbangkan untung ruginya, bocah itu merasa tak ada
gunanya untuk kembali ketepi sungai Cin ci hoo, maka diapun segera
berangkat masuk kedalam hutan dan secara tekun tiap hari melatih diri
dalam ilmu silat.
Tiga
bulan berlalu dengan cepatnya.....
Malam
itu udara cerah dan bulan bersinar dengan terangnya, berangkatlah
Giam In kok menuju ketepi sungai Cin ci hoo.
Ia
jumpai disekitar sungai itu sunyi dan sepi sekali, tak nampak sesosok
bayangan manusiapun yang berada disitu, hal itu membuat dia nampak
girang.
Perlahan-lahan
ia berjalan ketepi sungai dan menelusuri pantai terus hingga tiba
dikampung keluarga Ciang yang pernah dikunjungi tempo hari, namun
kini tempat itu sudah tinggal puing-puing yaug berserakan.
Kejadian
ini sangat mengejutkan hatinya, dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya dia lari mendekati kampung keluarga Ciang itu.
Suasana
amat sepi, tembok rumah sudah pada hancur dan tinggal puing-puing
belaka, sungguh tak nyana hanya berpisah selama tiga bulan saja
ternyata ditempat ini telah terjadi perubahan yang cukup besar.....
"Apa
yang telah terjadi?" ingatan tersebut berkelebat di dalam benak
Giam In kok, "mungkinkah keluarga mereka sudah tertimpa
musibah....? ataukah mereka memang sengaja membakar rumahnya untuk
mengelabui pengawasan musuh?"
Bagaimanapun
juga bocah itu merasa sedih sekali, ia berdiri mematung di tempat itu
sampai beberapa waktu lamanya, ketika tiba-tiba teringat olehnya
untuk mencari tulang belulang yang mungkin masih tertinggal disana.
Dia
cabut keluar pedang pendeknya lalu menggali setiap tempat yang
dicurigai olehnya, akan tetapi yang berhasil ia temukan disitu hanya
sisa tempayan, kursi meja yang sudah tak terpakai, tak nampak
sepotong tulang manusia pun yang tertinggal disana.
Akhirnya
pada suatu sudut tembok ia berhasil menggali sebuah benda yang
memancarkan cahaya keemasan, ketika tempat itu digali lebih jauh maka
tampaklah buli-buli emas serta senjata telapak tangan bajanya
berceceran disana.
Hal
ini sangat menggirangkan hatinya, ia masih ingat ketika benda-benda
tersebut dititipkan kepada keluarga Ciang, benda itu diletakkan
diatas meja, ternyata sekarang benda itu ditemukan berada pada sudut
halaman belakang, hal ini menunjukam bahwa dibalik kejadian tersebut
masih terselip satu rahasia besar.
Pikirnya
dalam hati:
"Baiklah!
kalau memang ditempat ini tak kutemukan sisa kerangka manusia, itu
berarti bahwa mereka sekeluarga telah kabur dari ini, mungkin karena
tergesa-gesa maka buli-buli emas serta senjata telapak tangan baja
milikku tak sempat dibawa serta..... atau mungkin benda milikku ini
paling gampang memancing kecurigaan musuh, maka buli-buli emas
serta senjata telapak tangan baja itu dipendam didalam tanah....
buli-buli bisa dipakai untuk menyimpan obat, dapat pula digunakan
untuk menyimpan arak juga air, apa salahnya kalau kuisi buli-buli ini
dengan air sungai Cin ci hoo sebagai peringatan akan tempat ini...."
Dia
lari menuju ketepi sungai dan membersihkan buli-buli emas serta
senjata telapak tangan bajanya dari noda, kemudian setelah
menyelipkan senjatanya pada pinggang dia membuka penutup buli-buli
itu serta memenuhinya dengan air.
Tiba-tiba.....
Cahaya
bulan menyinari buli-buli itu dan membiaskan pantulan cahaya yang
membekas diatas permukaan air, tampaklah sebuah pemandangan aneh
didepan matanya.
Dengan
tajam bocah itu mengawasi pemandangan yang tertera disitu, ia merasa
pemandangan yang tertera didepan mata itu agak mirip dengan
pemandangan ditepi sungai Cin ci hoo, hanya saja letak dari tugu batu
serta pagoda tujuh tingkat terletak berkebalikkan.
Dia
memperhatikan pemandangan itu sekali lagi dengan seksama, tanpa
terasa bocah itu berseru tertahan dan berguman seorang diri:
"Ooh....!
rupanya ditempat sinilah kitab pusaka itu disimpan, kalau tiada
penemuan terduga ini sekalipun kucari selama satu tahun lagipun belum
tentu bisa kutemukan!"
Penutup
buli-buli itu segera dibuka dan air yang memenuhi tadi segera
ditumpahkan kembali, dari balik buli-buli kembali ia temukan secarik
kertas kecil, ketika kertas itu di buka ternyata isinya hanya
berupa sebuah syair belaka, syair tersebut berbunyi demikian:
"Kekasih
telah pergi, kekasih pergi menempuh bahaya....
Aku
tak bisa berbuat lain kecuali berdoa kepada Thian yang maha kuasa....
Semoga
engkau diberkahi rejaki dan selamat....
Dikala
malam tiba aku bermimpi berjumpa dengan engkau....
Tapi
hingga kini kita tak pernah saling bersua kembali...."
Tulisan
itu indah dan rapih sekali, jelas merupakan tulisan seorang wanita,
tapi siapakah dia?
Kalau
dibilang syair tersebut ditulis oleh Cung yan ji, masa seorang nona
cilik yang baru berusia dua belas tahun sudah berpikiran
begini
dewasa, maka ia sudah tahu kata rindu dan kekasih, lagi pula dengan
wataknya yang nakal dan begitu terbuka, tidak mungkin nona itu akan
menulis syair seperti itu.
Kalau
dibilang syair itu ditulis oleh Ciang Bong ji, hal itu semakin tak
masuk diakal, nona itu baru berusia sepuluh tahun lebih, bahkan masih
berat meninggalkan ibunya, nona seperti itu belum tentu mengerti arti
rindu dan cinta, apalagi kata-kata kekasih!
Mungkin
syair itu ditulis oleh ibunya Bong ji? tapi apa sebabnya syair
tersebut di titipkan kedalam buli-bulinya?
Giam
In kok berpikir sebentar, dia merasa bahwa syair tersebut sama sekali
tak ada hubungannya dengan dia, maka kertas tadi segera dimasukan
kedalam saku, setelah mencuci bersih cupu-cupu emas itu serta mengisi
dengan air sungai, maka dengan mengikuti petunjuk yang didapat dari
pemandangan alam tadi berangkatlah bocah itu menelusuri sungai Cin Ci
hoo.
Kentongan
ketiga baru saja menjelang datang, udara pada malam itu cerah sekali
karena bulan purnama dan bintang bertaburan diangkasa, seorang diri
Giam In kok duduk disisi tugu dan mengawasi bayangan pagoda tujuh
tingkat yang tertera diatas permukaan air.
Lama
sekali ia berdiri termaugu-mangu, akhirnya dengan gerakan katak kaget
ia meloncat terjun kedalam air.... byuuur...... dengan cepat badannya
menyelam kedalam air.
Setelah
lama sekali mengamat-amati pemandangan diatas air, bocah itu
menemukan bayangan pagoda tujuh tingkat yang berada dalam air tepat
menunjukkan diatas sebuah batu besar yang ujungnya menjulang diatas
air, jika Cing Cin sangjin tiada maksud untuk membohongi generasi
yang akan datang maka kitab pusaka Cing Khu Hun Pit tersebut pasti
disembuyikan dibawah batu cadas dalam air sungai tersebut.
Dengan
cepat ia menyelam kedalam sungai tersebut, makin menyelam semakin
dalam dan air dalam sungai makin terasa lebih dingin, akhirnya ia
berhasil juga mencapai dasar batu cadas itu.
Dengan
sekuat tenaga dia mencoba mengangkat batu cadas itu dari atas tanah,
namun batu itu beratnya luar biasa seakan-akan telah berakar disitu,
kendatipun ia sudah mengarahkan tenaga yang dimiliki namun batu cadas
itu sama sekali tak bergerak barang sedikitpun juga.
Akhirnya
ia kehabisan napas hingga terpaksa harus harus muncul kembali diatas
permukaan air untuk menghirup udara.
Tiba
tiba.... dari tepi pantai seberang berkumandang datang seruan
seseorang yang disertai gelak tertawa keras:
"Haaah...
haah... haah... sungguh aneh sekali, diudara yang begini dingin,
ternyata ada orang yang bermain air didalam sungai!"
Giam
In Kota yang berhasil menangkap ejekan itu, diam-diam merasa amat
terperanjat, sebab dari seruan orang itu ia dapat menarik kesimpulan
bahwa tenaga dalam yang dimiliki orang itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan.
Buru-buru
dia berpaling kebelakang....
Saat
itulah terdengar kembali suara mendengung bergema diangkasa:
"Jangan-jangan
orang itu sudah menemukan letak kitab pusaka itu?" dari logat
suaranya, Giam In kok mengenalinya sebagai Ngo Hong tojin, ia segera
menyeka butiran air dari kelopak matanya, dan berpaling kearah mana
berasalnya suara tadi, sedikitpun tidak salah, orang itu mengenakan
jubah imam dan memang benar-benar Ngo Hong tojin adanya.
Bocah
itu segera berpura-pura berenang lebih dahulu diatas permukaan air,
kemudian menyelam kembali dan mendekati batu cadas tersebut.
Kali
ini ia telah mempersiapkan pedang pendeknya, dengan mengerahkan
segenap tenaga yang dimilikinya batu cadas itu dibacok sehingga
gempil jadi beberapa bagian, kemudian dengan sekuat tenaga
didorongnya kearah samping....
"Blaaam!
kali ini dorongan-nya berhasil, sebagian batu cadas yang berada pada
bagian atas kena didorong olehnya sehingga berguling kearah
samping.....
Ia
segera mengerahkan tenaganya lagi dan berusaha sekuat tenaga
mendorong pula batu bagian bawah, sehingga berguling kesamping.
Diatas permukaan tanah muncullah sebuah lapisan batu yang berbentuk
persegi empat.
Giam
In Kok berusaha mendobrak lapisan batu berbentuk segi empat tadi,
akan tetapi batu itu tak bergeming, terpaksa ia munculkan diri
kembali diatas permukaan air.
Terdengar
Ngo Hong tojin tertawa seram dan berkata:
"Heeeeh...
heeeh... heeeeh... sudah kuduga dari tadi, bahwa pastilah engkau si
kunyuk kecil yang sedang mencari kitab pusaka ditempat ini, ternyata
dugaanku sedikitpun tidak salah! baiklah pinto tak akan menyusahkan
dirimu, menanti kitab pusaka Cing Khu hun pit berhasil kau dapatkan,
kita pelajari kitab itu bersama-sama, dengan begitu kita berdua akan
sama-sama mendapat keuntungan!"
"Huuuh....
tosu siluman, enak benar kalau bicara!" pikir Giam In kok dalam
hati dengan perasaan mendongkol, "kalau kitab pusaka Cing Khu
Hun Pit tidak berhasil ku dapatkan masih mendingin, kalau berhasil
kudapatkan..... sauya tentu akan menyembunyikan ditempat lain, siapa
yang kesudian untuk menyerahkan kepadamu?"
Meskipun
dalam hati menyumpah, tapi karena mengetahui akan kelihayan musuhnya
maka sambil tertawa bocah itu menjawab:
"Baiklah....
aku setuju sekali dengan usulmu, aku dengar kitab kitab pusaka Cing
Khu Hun Pit merupakan sebuah kitab aliran agama Too, belum tentu aku
bisa memahami artinya, apabila totiang bersedia memberi petunjuk
kepadaku, niscaya aku akan mendapat banyak manfaatnya!"
Ngo
Hong tojin jadi sangat kegirangan, dengan cepat ia berseru:
"Bocah
cilik, engkau memang sangat cerdik dan pintar sekali, tidak malu
semua orang Kangouw menyebutmu sebagai bocah ajaib muka seribu,
asalkan benar-benar kitab pusaka itu berhasil kau dapatkan, pinto
tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk memberi petunjuk kepadamu!"
Giam
In kok mengiakan dengan cepat kemudian sekali lagi dia menyelam
kedasar sungai, dengan pedang tajamnya ia menggali lekukan yang dalam
sekali disekeliling batu berbentuk segi empat itu, kemudian sepasang
telapaknya dimasukkan kedalam celah-celah lubang yang dibuatnya tadi
dan sekuat tenaga ia menarik batu itu keatas.
"Byuuur....!"
Gelombang
keras mengelegar dalam air sungai, lapisan batu berbentuk segi empat
itu berhasil juga ditarik sehingga tersingkir dari tempat semula,
tetapi pada saat itu pula gelombang air sungai yang keras akibat
goncangan batu tadi mendorong tubuhnya sehingga terhisap masuk
kedalam sebuah liang besar dibawab batu tadi.
Haruslah
diketahui liang tersebut letaknya berada di bawah lapisan batu
persegi empat yang amat berat tadi, setelahbatunya tersingkir dari
tempat semula, dengan sendirinya air sungai segera menerobos masuk
kedalam liang tersebut hingga menimbulkan pusaran air yang kencang
sekali.
Tekanan
udara didasar sungai pun semakin besar, dalam keadaan begitu Giam In
kok yang berat badan-nya enteng sekali, tentu saja tak sanggup
melawan kekuatan alam yang maha besar tadi, badannya segera terhisap
oleh pusaran air dan terseret masuk kedalam liang tersebut.
Bocah
itu jadi ketakutan setengah mati, sukmanya terasa melayang karena
saking kagetnya dalam keadaan demikian ia sudah tak sempat memikirkan
tentang soal kitab pusaka lagi, seluruh pernapasan-nya cepat-cepat
ditutup dan tubuhnya dibiarkan terseret masuk kedalam liang goa itu.
Pusaran
angin yang amat kencang tadi mula-mula menenggelamkan badannya
kedalam liang tersebut, kemudian menyeretnya sampai sejauh ratusan
tombak dari mulut goa, akhirnya bocah itu tersangkut diatas sebuah
batu cadas yang besar dan penuh lumut hijau.
Dasar
nasibnya masih mujur, bocah itu berhasil memegang batu cadas itu
kencang-kencang, lalu menggunakan kesempatan tersebut badan-nya
segera merangkak naik keatas tebing batu yang berada disisinya hingga
mencapai ketinggian beberapa tombak dan akhirnya dia berdiri didalam
sebuah goa yang gelap gulita.
Setelah
menarik napas panjang, diam-diam ia bersyukur didalam hati kerena
jiwanya tidak turut terseret ke alam baka oleh genangan air sungai
yang amat deras itu.....
Setelah
mengamati sebentar daerah disekelilingnya, bocah itu melanjutkan
kembali langkahnya mendaki bukit karang itu, makin berjalan semakin
jauh dan ia temukan batu cadas yang tajam berserakan kemana-mana,
disebuah jalan kecil yang sempit dan berliku-liku membentang entah
sampai kemana.....
Tiba-tiba.....
Serentetan
cahaya tajam memancar masuk dari balik dinding batu karang sebelah
depan.
Giam
In Kok merasa terkejut bercampur girang, untuk beberapa saat lamanya
ia berdiri tertegun.
"Cahaya
apakah itu?" pikirnya dalam hati. "Sinar mutiara? ataukah
sorot dari mata binatang buas?"
Dengan
cekatan bocah itu menjatuhkan diri bertiarap diatas tanah, dengan
tajam ia mengawasi cahaya tajam itu, ketika ditunggunya sampai lama
belum menunjukkan gerak-gerik apapun, perlahan-lahan ia baru berani
melanjutkan langkahnya maju kedepan.
Sekarang
bocah itu berhasil melihat dengan jelas bahwa cahaya tajam yang
memancar keluar dari balik dinding itu bukan lain adalah sebuah kotak
kumala yang terletak diatas sebuah batu cadas, cahaya tajam tadi
memancar keluar dari kotak tersebut.
Giam
In kok segera mendekati kotak itu dan mengambilnya dari atas batu
cadas tadi, cahaya tajam terasa makin menyilaukan mata.
Ia
segera membersihkan permukaan kotak kumala itu dari debu, maka
terbacalah beberapa tulisan diatas kotak yang berbunyi demikian:
"Cahaya
malam diatas dinding, kitab Cing Khu dimana tersimpan, barang siapa
yang berjodoh, silahkan mengambilnya"
Giam
In kok menjadi terkejut bercampur kegirangan, tanpa terasa ia berseru
terheran.
"Aaaih....!
bukankah isi kotak kemala ini kitab pusaka Cing Khu Hun Pit?
horee...... aku berhasil mendapatkan kitab-kitab ini..... aku
berhasil mendapatkan kitab pusaka ini...."
Ia
segara meletakkan kembali kotak kumala itu keatas batu, kemudian
menjalankan penghormatan sebanyak dua belas kali, setelah itu dia
baru membuka kotak kumala tadi yang ternyata isinya terdiri dari tiga
jilid kitab dengan panjang tiga cun, lebar dua cun pada masing-masing
kitab terteralah tulisan besar yang berbunyi:
"Kitab
agama Too".
“Kitab
seni" dan
“Kitab
silat"
Disamping
itu bocah tersebut menemukan pula secarik kertas yang isinya
kira-kira menganjurkan agar orang yang berhasil mendapatkan kitab
pusaka itu agar merendamkan diri didalam air dingin dalam gona
Gi-hiat, dan selama lima tahun lamanya harus menyelami pula
kepandaian lain, jika semua kepandaian sudah berhasil dipelajari maka
dianjurkan agar kitab pusaka itu dimasukkan kembali kedalam kotak
kumala dan dibuang kedalam liang berair dingin tersebut, kemudian
dianjurkan pula untuk mencari cairan kumala yang diisikan kedalam
buli-buli emas dan dipendam kembali diatas tanah sehingga pada
generasi yang akan datang masih ada orang yang mendapatkan serta
dapat mewarisi kepandaian tersebut.
Kemudian
dalam surat tadi diterangkan pula bahwa dalam goa Gi hiat telah
disediakan ransum kering untuk jangka lima tahun lamanya, serta
sebuah batu mutiara yang terang sehingga waktu malampun suasana
disana tetap terang benderang.
Giam
In kok sangat kegirangan, tapi dengan cepat sepasang ailsnya berkerut
kembali.
Meskipun
ia pernah berkunjung ke goa Gi hiat, tapi ia masih ragu benarkah
jalan sempit didalam gua rahasia ini berhubungan dengan goa Gi hiat?
tapi bocah itu percaya bahwa Cing Khu sangjin pasti tak akan
membohongi orang.
Setelah
menyimpan kembali kitab itu kedalam kotak kumala, dengan meminjam
cahaya tajam yang dipancarkan keluar dari kotak kumala tadi
berangkatlah bocah itu menembusi goa-goa sempit yang terbentang
dihadapan-nya dan melanjutkan perjalanan melewati jalan yang ada.
Entah
berapa lama ia sudah berjalan dan entah sudah berapa puluh li yang ia
sudah lewati, ditengah kesunyian yang mencekam lorong rahasia dibalik
batu-batu cadas itu, mendadak ia mendengar ada seseorang berseru
tertahan lalu menegur dengan suara kaget:
"Aaah!
ternyata engkaupun berada disini?"
Giam
In kok sama sekali tak menyangka kalau secara tiba-tiba bisa muncul
seseorang didalam goa rahasia itu, saking terkejutnya hampir saja ia
jatuh pingsan.
Terdengar
orang itu tertawa seram dan berseru:
"Hehee....
heeeeh.... hehee.... setan cilik! kenapa kaupun berada disini?
eeei.....! rupanya kau sudah mendapatkan kitab pusaka Cing Khu Hun
Pit....? ayo cepat serahkan kotak kumala itu kepadaku!"
Giam
In kok tertegun, setelah mengamat-amati sang pendatang itu beberapa
saat lamanya, ia segera mengenali orang itu sebagai Raja akherat
pencabut nyawa yang telah diceburkan kedalam lubang air dingin dalam
gua Gi hiat oleh kakek she Ku tempo hari, diam-diam ia merasa
terkejut sekali.
Tampaklah
gembong iblis itu berwajah mengerikan sekali, sekujur badannya tumbuh
buih berwarna kuning, sepasang matanya berwarna hijau dan nampak
mengerikan sekali.
Tanpa
terasa iapun terbayang kembali akan siasatnya untuk membohongi tiga
jago lihay itu beberapa waktu berselang, bocah itu segera mendengus
dingin dan berkata:
"Tidak
susah untuk memperhatikan kotak ini kepadamu, tapi kau harus tahu
bahwa aku telah mempertaruhkan selembar nyawaku untuk memperoleh
kotak kosong ini, apakah kau suka menerima sebuah kotak kosong?
"Kau
berani membohongi aku?" bentak Raja akherat pencabut nyawa
dengan gusar.
"Eeeiii....
eeeiii... jangan marah dulu ya, apa gunanya sih aku membohongi
dirimu? masa kau tak bisa periksa sendiri isi kotak ini?"
"Lalu
kitab pusaka Cing Khu Hun Pit itu didapatkan siapa?"
"Sudah
dibawa kabur oleh Siau bin hau, dia bawa lari ketiga jilid kitab
pusaka Cing Khu Hun Pit itu kemudian ia serahkan kotak kosong ini
kepadaku, ketika aku sedang lengah ia telah mendepak tubuhku sehingga
tercebur kedalam air, dengan susah payah aku lantas merangkak kesini,
coba lihat! bukankah badanku basah kuyup?"
Dengan
sorot mata yamg tajam Raja akherat pencabut nyawa mengamati sekujur
badan bocah itu, ia melihat seluruh tubuhnya memang basah kuyup, maka
dengan mendongkol serunya:
"Tua
bangka she Ku itu memang benar-benar menggemaskan sekali....
seandainya aku berhasil melepaskan diri dari kurungan, pertama-tama
anjing kuning itulah yang akan kubunuh lebih dahulu!"
"Andaikata
ilmu sakti yang terdapat didalam kitab pusaka Cing Khu Hun Pit telah
berhasil ia pelajari, masa kau mampu untuk memenangkan dirinya?"
"Hmm,
sebuah pukulanku yang keras cukup menghancurkan badan-nya sehingga
gepeng seperti perkedel, cuma yang paling menggemaskan sekarang
adalah aku tak bisa keluar dari sini!"
"Eei
kok lucu sekali! bukankah kau bisa masuk kemari, kenapa sekarang kau
tak bisa keluar lagi? tempo hari kau masuk lewat pintu mana?"
"Oooh.....!
jadi kau tidak tahu?" seru Raja akherat pencabut nyawa
keheranan.
"Darimana
aku bisa tahu?" jawab Giam In kok berlagak seakan-akan tidak
mengerti.
Haruslah
diketahui, ketika bocah itu membohongi Raja akherat pencabut nyawa
bertiga tempo hari, raut wajahnya telah dirubah sehingga sama sekali
berbeda dengan raut wajahnya yang sekarang pada saat ini, tentu saja
gembong iblis itu tak pernah menyangka kalau dia sebenarnya sedang
ditipu habis-habisan oleh bocah cilik yang cerdik itu.
Terdengar
Raja akherat pencabut nyawa berseru tertahan sesudah mendengar
perkataan itu, katanya:
"Oooh....!
yaa, aku lupa... bukan kau yang mengikuti kejadian tersebut,
melainkan setan cilik itu yang tahu!"
"Setan
cilik siapa sih? dimana ada setan cilik datang kemari?"
"Aah!
kau tak usah banyak mulut dan bertanya melulu, eei.... aku mau tanya,
ini hari sudah tanggal berapa?"
"Kalau
bukan malam tanggal lima belas bulan delapan, tentulah pagi harinya
tanggal enam belas bulan delapan"
"Apa?
sudah tanggal enam belas bulan delapan?" seru Raja akherat
pencabut nyawa dengan kaget, "jadi kalau begitu aku sudah tiga
bulan lamanya berada disini?"
"Darimana
aku bisa tahu, kalau kau sudah datang tiga bulan atau setengah tahun
berselang! tapi kalau kau memang sudah tiga bulan lamanya berada
disini, selama ini kau makan apa untuk mengisi perut?"
"Makan
apa? tentu saja makan daging manusia!"
Begitu
ucapan tersebut diucapkan keluar, dengan hati tercakat Giam In kok
mundur satu langkah kebelakang, katanya dengan suara gemetar:
"Aduuuh
mak.... tolong... masa ada orang makan daging manusia? hihii....!
masa daging manusia bisa dimakan? hmm... rupanya kau sengaja
menakut-nakuti aku!"
"Heeeeh...
heeeh... heeeeh... siapa yang membohongi kau? kalau perut sudah lapar
ada apa saja terpaksa harus dimakan, siapa tahu kalau beberapa waktu
lagi aku akan menelan pula dagingmu!"
"Oooh...
ooh... kau pandai sekali bergurau!"
"Bergurau?
empat bulan berselang kami berjumpa dengan seorang setan cilik yang
hampir sebaya usianya dengan dirimu, ia membawa Siau bin hau, Sam cun
teng serta aku datang ke gua Gi hiat untuk mencari dirimu, siapa tahu
Siau bin hau mempunyai maksud jahat terhadap kami, ketika kami
sedang berada dalam keadaan tidak siap ia telah mendepak aku serta
Sam cun teng sehingga tercebur kedalam liang air yang dalam sekali,
untung kami tercebur kedalam air sehingga tidak sampai menemui
ajal...!"
"Jadi
kalau begitu Sam cun teng cianpwee pun seharusnya masih berada
disini?"
Raja
akherat pencabut nyawa tertawa dingin.
"Heeeeh...
heeeh... heeeh... setan cilik, apakah kau hendak mengadu domba
diantara kami?" ejeknya, "ketahuilah sekalipun kau sebut
Sam cun teng cianpwee sampai seribu kalipun dia tak akan dapat
menolong dirinn lagi, karena ia sudah mati kubunuh dan dagingnya
sudah kumakan untuk pengisi perut!"
Mula-mula
Giam In Kok terkesiap, kemudian sambil tertawa serunya:
"Aaah...!
kau bohong, aku tidak percaya dengan perkataanmu itu, engkau pasti
sedang mengigau, omonganmu itu tentu omongan setan yang tak bisa
dipercaya!"
"Omongan
setan?" ejek gembong iblis itu dengan seram, "setelah
sampai saatnya kumakan dirimu nanti, kau baru akan tahu jika
perkataanku bukan hanya omong kosong belaka, tempat diluar adalah
dunianya manusia makan manusia, manusia membunuh manusia, apa
salahnya kalau akupun makan beberapa orang manusia disini? untung di
tempat ini terdapat mata air yang berhawa dingin, mayat yang disimpan
disini tak akan rusak atau menjadi busuk!”
“Mula-mula
ditempat ini masih terdapat beberapa sosok mayat sehingga kami berdua
bisa makan secara berdua, kemudian kami terpaksa harus saling berebut
untuk mendapatkan makanan... hehee... hehee... hehea... siapa suruh
Sam cun teng tak tahu diri? dalam gusarnya aku lantas bunuh dirinya
sampai mati sehingga jatah daging manusia yang kumilikipun bertambah
banyak, barusan daging manusia itu sudah habis, aku sedang kesal
karena tak punya simpanan daging lagi hoho...hoho... tak nyana kau
mengantarkan diri kemari, sayang sekarang aku belum lapar... kalau
tidak hehe... hehe....hehe...."
Perkataan
itu diakhiri dengan gelak tertawa yang lantang dan mengerikan sekali.
Diam-diam
Giam In kok mengawasi perubahan air mukanya, melihat gembong iblis
itu berkata dengan wajah sungguh-sungguh ia segera menyadari bahwa
apa yang diucapkan Raja akherat pencabut nyawa bukan hanya omong
kosong belaka, hawa murninya diam-diam dihimpun kedalam telapak
tangan dan pada suatu kesempatan yang sama sekali tak terduga ia
melancarkan sebuah babatan dahsyat kearah depan.
Untuk
mempertahankan hidupnya didunia ini, maka ia melancarkan serangan
dengan segeaap kekuatan yang dimilikinya.....
"Weeeees!"
Ketika
desingan angin pukulan yang amat tajam itu menyambar kedepannya,
bocah itu segera secepatnya juga menerjang kearah musuhnya.
Mimpipun
Raja akherat pencabut nyawa tak pernah menyangga kalau Giam In kok
berani turun tangan lebih dahulu, bahkan tenaga dalam yang
dimilikinya sudah bertambah sempurna, dalam gugupnya ia segera
silangkan sepasang tangan-nya untuk menangkis.
"Blaaam
.....!"
Bentrokan
yang keras menimbulkan suara ledakan ditengah angkasa, Raja akherat
pencabut nyawa segera merasakan separuh badan-nya jadi kaku dan
sakit, dengan sempoyongan ia mundur beberapa langkah kebelakang.
Melihat
serangan-nya berhasil mamaksa pihak musuh mundur dengan sempoyongan,
keberanian
Giam In kok semakin menebal, kotak kemala yang berada dicakalan-nya
segera dibuang kebelakang, kemudian dengan menggerakkan sepasang
telapak tangan-nya dia melancarkan serangan yang semakin gencar.
Tubuhnya
menerjang maju kedepan dan desingan angin pukulan menderu-deru
membuat seluruh liang bawah tanah bergetar keras.
Dengan
gerakan keras lawan keras, Raja akherat pencabut nyawa menyambut
datangnya semua serangan itu dengan ngotot, ia merasa tenaga dalam
yang dimiliki bocah itu jauh melebihi kepandaian-nya, hal ini membuat
hatinya tercekat dan bulu romanya pada berdiri, cepat-cepat ia
membentak keras:
"Tunggu
sebentar!"
Semakin
bertarung Giam In kok merasakan kegembiraan-nya semakin meningkat,
diiringi gelak tertawanya yang sangat nyaring, telapak tangan-nya
bekerja cepat tanpa berhenti barang sekejappun, bersamaan itu pula ia
mencaci maki:
"Apanya
yang tunggu sebentar? sauya akan membalaskan dendam buat empat orang
pengemis dari kota Kim leng yang mati ditanganmu, aku hendak membalas
dendam juga untuk kematian Sam cun teng, di samping itupun aku
hendak....."
Ia
berhenti sebentar, tiba-tiba bentaknya:
"Akupun
hendak makan dagingmu!"
Sebagai
penutup kata, sepasang telapak tangan-nya dengan sekuat tenaga segera
didorong kearah depan.
"Bluummm.....!"
Benturan
keras terjadi lagi ditempat itu, tubuh Raja akherat berputar berulang
kali diudara dan mencelat sejauh lima tombak lebih jauh dari tempat
semula.....
"Pluuuung!"
Tak
ampun lagi badan-nya tercebur kedalam sumber air dingin.
Melihat
musuhaya tercebur kedalam air dingin, Giam In kok segera bertepuk
tangan kegirangan, sambil tertawa terpingkal-pingkal serunya:
"Rasain
lu sekarang! aku telah menolong kau untuk pulang kealam baka guna
menjumpai Raja akherat pencabut nyawa yang sesungguhnya...hmm!
bisa-bisanya mengatakan hendak makan dagingku? benar-benar tak tahu
diri!"
Dengan
hawa murni disiapkan dalam sepasang telapak tangannya bocah itu
berjaga-jaga ditepi mata air, ia bersiap-siap andaikata lawan-nya
munculkan diri kembali dari permukaan air maka sebuah pukulan dasyat
akan segera dilancarkan kembali.
Tetapi
rupanya gembong iblis itu tak tahan menghadapi pukulan dasyatnya
yang sudah mempergunakan tenaga sebesar sepuluh bagian itu, setelah
berguling sebentar ditnugah pusaran air dingin, perlahan-lahan
mayatnya tenggelam kedasar mata air tersebut.
Bocah
itu jadi kegirangan sekali, dia merasa tenaga dalamnya pada saat ini
sudah sempurna, ia merasa kepandaian silatnya paling tidak telah
berada tingkatan kelas satu dalam dunia persilatan, sambil tertawa
bangga gumamnya:
"Raja
akherat pencabut nyawa sudah berhasil kusingkirkan, sekarang tinggal
Giam Ong Hui seorang... cuma sudah mampukah aku untuk membinasakan
dirinya dalam satu pukulan? tapi terlalu enak kalau dibiarkan mati
dalam sekejap mata...aku harus menyiksanya lebih dahulu....."
Begitulah
dengan senang hati ia memungut kembali kotak kemalanya, lalu dengan
seksama mencari letak dari gudang ransum yang dimaksudkan oleh Cing
Khu sangjin.
Untuk
menemukan sisa ransum tersebut ternyata bukan suatu pekerjaan yang
gampang, Giam In kok harus membuang banyak waktu dan tenaga untuk
menemukan tempat penyimpan tersebut, setelah bersusah payah akhirnya
ia berhasil menemukan sebuah liang goa kecil diantara celah-celah
batu cadas yang berserakan disitu, ketika bocah itu menyusup masuk
kedalam goa tadi ternyata dibalik lorong sempit itu terdapat sebuah
ruang batu yang luasnya delapan depa namun dalam ruang batu itu tidak
nampak ransum kering apapun jaga bahkan tiada benda apapun yang
nampak disitu, tetapi setelah diselidiki dengan seksama lagi, maka
ditemukanlah banyak biji-bijian yang tahan lama serta bernama "ransum
kering sisa Raja Gi"
Demikianlah
sejak hari itu Giam In kok pun berdiam didalam goa rahasia tersebut
sambil mempelajari kitab pusaka Cing Khu Hun pit.
Waktu
berlalu dengan cepatnya, tanpa terasa lima tahun sudah lewat....
Dari
seorang bocah cilik yang berusia sebelas tahun, Giam In kok pun sudah
tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang berusia enam belas tahunan,
ilmu silat yang di milikinya pada saat ini boleh dibilang sangat
lihay sekali.
Seperti
apa yang dipesan oleh Cing Khu sangjin dalam surat wasiatnya sebelum
Giam In kok meninggalkan goa rahasia tadi, ia masukkan kembali kitab
pusaka itu kedalam kotak kemala dan diceburkan kedalam mata air
dingin, kemudian dengan mengerahkan tenaga ilmu saktinya ia menerobos
keluar lewat lorong rahasia didalam goa Gi hiat, hanya dalam beberapa
saat saja ia telah berada kembali ditepi sungai Cin ci hoo, ia segera
mengunjungi tempat disekitar sana, mengunjungi kembali perkampungan
keluarga Ciang yang sudah tinggal puing-puing itu dan berjalan hilir
mudik disekitar pantai dimana untuk pertama kalinya dulu ia
menerjunkan diri kedalam sungai....
Dengan
termangu-mangu Giam In kok memandang air yang mengalir dengan
tenangnya itu, pelbagai ingatan berkelebat dalam benaknya....
Balas
dendam lebih dahulu? ataukah menyelidiki asal usulnya lebih dahulu?
Atau
pergi mencari Thian Bu seperti apa yang dipesan oleh si telapak
tangan sakti dari Thian tok?
"Tidak!
dengan kepandaian silat yang kumiliki sekarang, rasanya tidak terlalu
sulit untuk membinasakan bangsat Giam Ong hui didalam sebuah pukulan"
pikir pemuda itu didala hati, "aku harus segera berangkat menuju
kampung Ang sim san ceng dan membekuk bajingan tua itu, setelah itu
menyelidiki dari mulanya, bukankah jauh lebih gampang?"
Setelah
mempertimbangkan berulang kali akhirnya dia mengambil keputusan untuk
mencari Giam Ong hui iebih dahulu, maka berangkatlah Giam In kok
menuju kearah perkampungan tersebut.
Sang
surya baru saja muncul diufuk sebelah timur, Cahaya keemas-emasan
memancar keempat penjuru, membuat seluruh jagad jadi terang
benderang.
Pada
saat itulah diluar perkampungan Ang sim san ceng muncul seorang
pemuda tampan berusia enam belas tahunan, dilihat dari gerakan
tubuhnya yang enteng dapat di ketahui bahwa ilmu silat yang dimiliki
orang itu sangat lihay.
Setelah
berhenti sebentar didepan pintu, pemuda itu segera melanjutkan
perjalanan-nya memasuki perkampungan tersebut.
Tiba-tiba.....
Dari
samping pintu perkampungan muncul seorang lelaki kekar yang
menghadang jalan perginya sambil membentak:
"Berhenti!
kau hendak mencari siapa?"
"Si
Peng! masa akupun tidak kau kenali?" bentak pemuda itu dengan
dahi berkerut.
Lelaki
kekar yang disebut "Si Peng" itu nampak tertegun, setelah
mengamat raut wajah pemuda itu beberapa saat lamanya, ia baru
menyahut:
"Ooooh...rupanya
Ngo san ya (tuan kelima), tujuh tahun tak pernah berjumpa, sungguh
tak nyana engkau sudah tumbuh menjadi dewasa... tak aneh kalau aku
sampai tak mengenali dirimu!"
Tidak
menanti jawaban dari pemuda itu lagi, dengan suara lantang ia segera
berteriak keras-keras:
"Tuan
muda kelima telah pulang!"
Seruan
itu sambung menyambung, hingga jauh keruang dalam... dan dalam waktu
yang singkat, semua isi perkampungan sudah tahu kalau tuan muda
kelima telah kembali.
Menyaksikan
tingkah laku pengawalnya itu, Giam In kok tersenyum, ujarnya:
"Kenapa
sih musti dilaporkan kedalam....? masa aku tak dapat masuk sendiri
kedalam perkampungan?"
"Tuan
muda kelima! peraturan dalam perkampungan sekarang sudah berubah,
siapa pun dilarang memasuki kampung secara sembarangan tanpa memberi
laporan lebih dahulu!"
"Kurang
ajar! masa kepala kampung sendiripun harus melaporkan diri lebih
dahulu setiap kali akan keluar atau masuk?"
Pertanyaan
ini membuat Si Peng tertegun, untuk beberapa saat lamanya ia
membungkam dan tak tahu apa musti dijawab.
Beberapa
saat kemudian dari dalam perkampungan muncullah serombongan manusia
yang berdandan sebagai tukang pukul yang dipimpin oleh seorang pria
kekar yang penuh berotot, Giam In kok segera mengenali orang itu
sebagai burung belekok berjidad merah Wan Jing cu seorang jago
kepercayaan bekas ayahnya Giam Ong hui.
Sementara
itu Wan Jing cu telah tiba di depan pintu, setelah mengamati sebentar
pemuda yang berada dihadapan-nya ia tampak tertegun lalu merangkap
tangannya memberi hormat.
"Oooh....
rupanya san-cengcu benar-benar telah kembali, lima tahun tak pernah
berjumpa, aku rasa engkau tentu telah berhasil mempelajari kitab
pusaka Cing Khu hun pit bukan?"
Giam
In kok mendengus dingin, ia masih ingat ketika berada ditepi sungai
cin ci hoo lima tahun yang lalu, tukang pukul kepercayaan dari
ayahnya ini terlihat pula diantara jago yang berkerumun disitu, maka
dengan parasaan muak ia menjawab:
"Memangnya
apa urusan-nya denganmu?"
Wan
Jing cu tertawa licik.
"Sudah
kulaporkan kedatanganmu, sebentar lagi cengcu pasti akan munculkan
disini untuk menyambut kedatanganmu!"
"Apakah
aku tak dapat masuk sendiri?"
"Giam
cengcu, telah menganggap dirimu sendiri sebagai orang luar, masa
memanggil ayah sendiri sebagai cengcu, ini menandakan kalau hubungan
antara ayah dan anak sudah putus, sebelum mendapat perintah dari
cengcu, kami tak berani melepaskan kau masuk kedalam perkampungan!"
Meskipun
diluaran Giam In kok barcakap-cakap dengan tukang pukul tersebut,
telinganya yang tajam berhasil menangkap suara gaduh didalam
perkampungan, dia tahu pihak lawan tentu sedang mempersiapkan sesuatu
rencana busuk untuk menghadapi dirinya, ia segera tertawa dingin dan
tidak berbicara lagi.
Kurang
lebih seperminum teh kemudian, dari balik pintu perkampungan muncul
seorang pemuda yang berusia dua puluhan, sambil memandang kearah Giam
In kok teriaknya:
"Ngo
te! ayah memerintahkan kau untuk bertamu diruang Beng lun tong....!"
Giam
In kok mengenali orang itu sebagai Giam In si, putra sulung dari Giam
Ong Hui, dia segera mengiakan dan mengikuti dlbelakangnya masuk
kedalam kampung.
Ruang
Beng lun tong merupakan ruang pengadilan bagi perkampungan Ang sim
san ceng untuk menyelesaikan persoalan besar, pada saat itu ada
delapan orang petugas ruang pengadilan yang telah siap dengan
pentungan ditangan, sementara anggota perkampungan yang lain-nya
berjaga-jaga disekitar sana dengan ketat.
Giam
Ong Hui duduk ditengah ruangan di atas sebuah kursi kebesaran yang
dilapisi oleh kulit harimau, disamping kursi kebesaran duduk istri
serta kelima selirnya, salah satu diantara mereka nampak sedang
menangis tersedu-sedu.
Dibelakang
tubuh kepala kampung itu berdiri dua belas dayang yang berparas
cantik rupawan, disebelah barat duduk seorang kakek tua yang
mempunyai sepasang mata yang amat tajam.
Setelah
malangkah masuk kedalam ruang Beng lun tong, dengan pandangan yang
sinis Giam In kok menyapu sekejap tempat itu, kemudian mendengus
dingin.
Giam
Ong Hui jadi gusar sekali ketika dilihatnya pemuda itu sama sekali
tak memandang sebelah matapun terhadap dirinya, dengan wajah merah
padam dan mata melotot besar hardiknya:
"Anak
durhaka, ayo cepat berlutut diatas tanah!"
Giam
In kok segera tertawa dingin setelah mendengar seruan itu, dia
mengejek:
"Huuuuh.....!
kau masih pnnya muka untuk mengaku sebagai bapakku? benar-benar
manusia bermuka tebal, aku tak sudi mempunyai seorang bapak seperti
kau, kamu memang bangsat tua yang harus dicincang sampai mati,
kedatangan Sauya hari ini tidak lain adalah untuk membereskan jiwa
anjing mu itu!"
Perempuan
yang sedang menutupi wajahnya sambil menangis tersedu-sedu itu
tiba-tiba menengadah keatas, dengan wajah yang basah kuyup oleh air
mata ia berteriak keras:
"Anak
Kok! apakah kau sudah gila? kenapa kau maki ayahmu sendiri sebagai
bangsat? kenapa kau mengucapkan kata-kata yang tidak genah seperti
itu? ayo cepat berlutut!"
Dengan
pandangan sangsi Giam In kok memandung sekejap kearah perempuan itu,
kemudian sambil maju kedepan dan menjatuhkan diri berlutut sapanya:
"Ibu....!"
"Anakku,
kau masih kenal dengan ibumu?" tanpa terasa air mata jatuh
berlinang membasahi wajahnya, perlahan-lahan ia bangkit berdiri dan
hendak maju kedepan.
Tetapi
sebelum perempuan itu sempat melangkah maju, Giam Ong Hui telah
menarik tangan-nya sambil membentak keras:
"Buat
apa kau bersikap welas asih terhadap bocah durhaka itu? jangan kau
gubris lagi dirinya!"
Mendengar
ucapan itu, tiba-tiba hawa amarah yang berkobar dalam dada Giam In
kok kembali memuncak, ia meloncat bangun dari atas tanah, dengan
pandangan mata yang tajam bentaknya:
"Bajingan
tua! kenapa kau merampas ibuku? ayo jawab! kenapa kau culik ibuku dan
kau paksa ia jadi istrimu?"
Begitu
ucapan tersebut diutarakan keluar, bukan saja Giam Ong Hui yang
terperanjat, perempuan-perempuam itupun merasakan tubuhnya gemetar
keras bahkan diantara empat orang lainnya kelihatan ada dua orang
yang nampak agak tertegun.
Setelah
termangu beberapa saat lamanya, perempuan itu kembali membentak
keras:
"Anak
Kok! jangan kurang ajar, siapa yang mengajari kau berkata begitu?
siapa yang mengatakan kalau aku diculik dan dipaksa menjadi istri
ayahmu?"
"Ibu
tak usah tahu, aku hanya ingin mengetahui apakah kau memang rela dan
bersedia dikawini olehnya?"
Dengan
perasaan apa boleh buat perempuan itu mengangguk.
Giam
In kok mendengus penuh kegusaran, dengan muka merah padam serunya
lagi:
"Jadi
kau sebenarnya punya berapa suami?"
"Sebuah
pelana bisa digunakan pada selaksa kuda, tapi seekor kuda tak dapat
diberi dua pelana, suamiku tentu saja hanya ayahmu seorang, mana
mungkin aku mempunyai beberapa suami?"
"Lalu
siapakah ayahku yang sebenarnya?"
Perempuan
itu menangis semakin menjadi.
"Ooh....!
anakku, selama beberapa tahun menggelandang ditempat luaran, kau
sudah ketempelan setan dari mana? kenapa datang-datang lantas
mengajukan pertanyaan yang sama sekali membingungkan hati itu
kepadaku? tentu saja ayahmu yang sebenarnya adalah Loo cengcu yang
sekarang daduk di hadapanmu!"
Giam
In kok mendengus dingin.
"Hmmm
lalu siapakah si telapak tangan sakti dari Giam tok?"
"Siapa
si telapak tangan sakti dari Giam tok? aku sama sekali tidak kenal
dengan orang itu!" jawab perempuan tersebut keheranan.
Sementara
itu empat orang istri dan selir lainnya yang duduk dikursi samping
saling berpandangan sekejap, namun mereka semua tetap membungkam
dalam seribu bahasa.
Giam
Ong hui yang cepat naik darah sekarang sudah tak dapat membendung
hawa amarahnya lagi, ia segera membentak keras:
"Anak
durhaka! ayo cepat berlutut untuk menerima hukuman! didengar dari
perkataanmu itu aku sudah tahu bahwa kau ditipu oleh si telapak
tangan sakti dari Giam tok....! hmm! kalau kau berani tidak berlutut,
akan kuhajar lututmu hingga hancur!"
Giam
In kok menjengek dingin, sambil mendengus dingin kembali ia berseru:
"Aku
tidak sudi berlutut dihadapan orang yang sama sekali tidak kuketahui
hubungan-nya dengan diriku, kalau kau bisa membuktikan bahwa aku
adalah putra kandungmu, sekarang juga aku akan bunuh diri di
hadapanmu!"
Giam
Ong hui dengan cepat melompat bangun dari kursi kebesaran-nya,
mukanya merah padam dan matanya melotot karena gusar, tapi sebentar
kemudian ia sudah duduk kembali, dengan gemas kakinya didepakkan
keatas tanah, sambil serunya:
"Engkau
memang anak durhaka, anak terkutuk! semakin besar semakin kurang ajar
dan tak tahu aturan, siapapun tahu kalau ibumu melahirkan kau setelah
kawin dengan aku, mulai kecil kupelihara dirimu hingga dewasa, bukti
apa lagi yang hendak kau cari?"
"Hehee...
hehee... hehee... memang benar ibuku kawin dengan kau, juga benar
kalau kalianlah yang membesarkan aku, tetapi aku merasa yakin bahwa
aku bukan putra kandungmu.....!"
"Omong
kosong! bentak Giam Ong hui keras-keras.
Jilid
: 8
"AKU
sama sakali tidak omong kosong! diantara saudara-saudaraku, akulah
yang tak pernah kau perhatikan, aku kau anak tirikan, kau tak pernah
memberi pelajaran silat kepadaku, akupun
tak pernah kau sayang seperti saudara-saudara yan lain, beranikah kau
menetes darah dihadapan orang banyak untuk memastikan bahwa kita
berasal dari satu darah?"
Mendengar
tantangan untuk menetes darah dihadapan umum guna membuktikan
hubungan, air muka Giam Ong hui seketika berubah hebat. Dengan penuh
kegusaran ia loncat dari kursinya, lalu sambil menuding kearah pemuda
itu dia memaki:
"Bocah
keparat, anak durhaka! rupanya kau benar-benar hendak memberontak
sehingga menantang untuk menetes darah guna membuktikan hubungan! Su
Nio! anak durhaka yang kau lahirkan itu benar-benar menjengkelkan
sekali, kau harus turun tangan untuk membekuk dirinya!"
Perempuan
itu jadi kaget, air mukanya berubah jadi pucat pias, dengan sedih
katanya:
"Kok
ji! cepatlah menyerah dan menbiarkan aku membelenggu tanganmu, apakah
kau hendak paksa diriku untuk turun tangan sendiri?"
"Sebelum
duduk perkaranya dibuat beres, aku tak sudi membiarkan diriku dibekuk
dan dijagal orang!"
Tiba-tiba
Giam Ong hui tertawa dingin.
"Baik,
aku mau membuktikan, setelah di buktikan aku ingin melihat apa yang
hendak ia katakan lagi?"
Kepada
seorang pelayan yang berdiri dibelakangnya ia berseru:
"Siapkan
semangkuk air jernih!"
Beberapa
saat kemudian pelayan itu telah muncul kembali dengan membawa
semangkuk air benih.
Giam
Ong Hui segera berteriak:
"Su
Nio! kau teteskan dahulu darahmu kedalam mangkuk!"
Perempuan
itu tak berani bicara, perlahan-lahan ia mendekati meja dan mencabut
pisau belati, pada ujung jarinya ia membuat sebuah
luka, beberapa tetes darah segar
segera mengalir keluar dan menetes
kedalam mangkuk berisi air
tadi.
Giam
Ong Hui segera
menerima pula belati itu dan
membuat sebuah mulut luka pada diujung
jarinya, beberapa tetes darah
kedalam mangkuk dan
bercampar baur dengan darah
perempuan tersebut, kemudian sambil
berpaling kearah Giam In kok bentaknya:
"Binatang!
ayoh cepat maju kemari untuk menetes darah!"
Giam
In kok mendengus dingin, dari dalam sakunya ia mengambil keluar
senjata telapak tangan bajanya, sementara serot matanya melirik
sekejap kearah ibunya serta Giam Ong Hui,
dia berharap dari perubahan wajah kedua orang tua itu berhasil
menemukan beberapa tanda yang mencurigakan.
Tetapi
ibunya menundukkan kepalanya memandang darah yang sedang bercampur
dalam mangkuk, terhadap tingkah lakunya sama sekali tidak menaruh
perhatian, sedangkan Giam Ong hui pun sama sekali tidak memperhatikan
senjata itu, hal ini membuat ia berhasil membuktikan bahwa ibunya
memang rela dikawini oleh Giam Ong hui.
Tiba-tiba
terdengar kepala kampung dari perkampungan Ang sim san ceng itu
membentak keras:
"Binatang,
ayo cepat maju!"
"Hmm!
sepasang laki perempuan yang tak tahu malu, umpat Giam In kok dalam
hati.
Setelah
mengetahui bahwa ibunya bersedia kawin lagi dengan Giam Ong hui tanpa
paksaan, timbullah rasa muak didalam hati pemuda tersebut terhadap
ibunya.
Tanpa
banyak bicara lagi ia segera melukai jarinya dengan senjata telapak
tangan bajanya, kemudian meneteskan darahnya kedalam mangkuk.
Ketika
darah segar menetes masuk ke dalam mangkuk tersebut, darah kental
yang mengalir keluar dari ujung jari Giam In kok yang terluka tadi
segera menggumpal menjadi satu dengan darah segar dari Giam Ong hui
suami istri dan kemudian menyebar luas keseluruh permukaan mangkuk.
Hal
ini membuktikan bahwa diantara Giam In kok dengan Giam Ong Hui memang
mempunyai hubungan darah.
Untuk
sesaat lamanya Giam In kok berdiri menjublak dan tak mampu
mengucapkan sepatah katapun, air mukanya berubah menjadi pucat pias
bagaikan mayat.
Sebaliknya
Giam Ong hui kelihatan bangga sekali, dengan senyum mengejek
menghiasi ujung bibirnya ia membentak keras:
"Binatang,
anak durhaka! sekarang apa yang hendak kau ucapkan lagi....?"
Habis
berkata telapak tangan-nya segera dilancarkan kedepan melancarkan
sebuah tamparan keras.
Jarak
diantara kedua orang itu boleh dibilang sangat dekat sekali, lagi
pula Giam In kok sama sekali tidak menduga kalau pihak musuh bakal
melakukan serangan terhadap dirinya, tak dapat dihindari lagi tabokan
tersebut dengan telak bersarang diatas pipinya.
"Plooook....!"
Ditengah
benturan yang sangat keras, Giam In kok mundur kebelakang dengan
sempoyongan, diatas pipinya yang tampan muncullah sebuah bekas
telapak tangan yang merah dan membengkak besar.
Melihat
pemuda itu ditampar, perempuan yang berada disamping Giam Ong
hui segera berteriak keras:
"Jangan
pukul anakku..... jangan kau hajar anakku.....!"
Sambil
berteriak, sepasang tangannya memeluk pinggang Giam Ong Hui
erat-erat.
Giam
Ong Hui jadi semakin naik pitam, kembali ia membentak keras:
"Kalau
binatang ini tidak dihajar sampai mampus, rasa mendongkol didalam
hati kecilku rasanya sudah dihilangkan, kau tak usah menghalangi
diriku lagi, hendak kuhajar bocah durhaka itu sampai babak-belur!"
Sementara
Giam In kok yang kena ditampar pipinya merasakan pipinya panas, linu,
dan sakit, akan tetapi ia tetap berdiri tertegun sambil memikirkan
untuk dapat memecahkan persoalan ini.
Tiba-tiba
bayangan manusia berkelebat lewat didepan mata, dengan amat gesit ia
segera berkelit kesamping.
Segera
tampak olehnya paras muka ibunya yang kelima pucat pias bagaikan
mayat, tubuhnya bergetar keras, dan sambil melirik adik keenamnya,
Giam In kian, ia memandang kearahnya dengan sikap yang begitu sedih.
Lagi-lagi
suatu kejadian yang sangat aneh! Apa hubungannya persoalan ini dengan
"ngo Nio" ibunya yang kelima? apa sebabnya perempuan itu
menunjukkan wajah yang begitu sedih dan sengsara?
Walanpun
Giam In kok merasa bahwa peristiwa ini sangat mencengangkan hatinya
dan nampaknya aneh, akan tetapi tiada waktu baginya untuk berpikir
lebih jauh, ia hanya merasa bahwa peristiwa tersebut amat
mencurigakan hatinya.
Sementara
itu Giam Ong Hui telah mendorong tubuh ibunya kesamping, lalu maju
kedepan sambil melancarkan kembali sebuah serangan, serangannya kali
ini dengan mudah sekali berhasil dihindari olehnya.
Giam
Ong Hui jadi semakin gusar sehingga air mukanya berubah jadi hijau
membesi, hardiknya dengan penuh kemarahan:
"Binatang!
kau masih belum juga berlutut untuk menerima kematian? Kau hendak
menunggu apa lagi?"
Giam
In kok menjejakkan kakinya dan melayang keluar dari ruang pengadilan
melewati atas kepala para jago yang memenuhi ruangan tersebut,
setelah berada di halaman, sambil bertolak pinggang makinya:
"Bajingan
tua she Giam! Kalau kau berani keluar ruangan, sauya pasti akan
menghajar dirimu sampai mampus.... ayo! Kalau kau bukan cucu
kura-kura janganlah bersembunyi terus....!"
Dua
sosok bayangan manusia bersama-sama melayang keluar dari dalam
ruangan, mereka adalah dua orang kakek tua yang tadi duduk disebelah
barat.
Terdengar
salah seorang dari kakek tua yang tampangnya macam orang tolol itu
tertawa dingin dengan suara yang amat menyeramkan, serunya:
"Bangsat
cilik, kau betul-betul kurangajar dan tak tahu diri, kau anggap aku
tak mampu untuk mengobati kebejatan moralmu?"
"Huuh....!
jangan dianggap dengan kekuatan yang kau miliki itu maka kamu sudah
mampu untuk mengurusi diriki? aku nasehati kau, lebih baik jangan
mencampuri urusan ini, daripada mendatangkan celaka bagi dirimu
sendiri.....!"
"Meneteskan
darah untuk membuktikan hubungan keluarga telah dilakukan, dan hasil
dari pemeriksaan tadi membuktikan bahwa kalian memang mempunyai
hubungan darah antara satu dengan yang lain-nya, kalau kau masih tak
tahu diri dan berusaha memberontak lagi, maka hal ini menunjukkan
bahwa kau adalah seorang bajingan, seorang bajingan yang mendurhakai
ayah sendiri, manusia macam kau ini memang pantas untuk dibunuh oleh
siapa pun juga, aku pun tak akan berpeluk tangan belaka membiarkan
kau jual lagak terus ditempat ini!"
"Tahukah
kau bahwa pembuktian hubungan tadi sudah terjadi suatu
kecurangan....?"
Pada
waktu itu kebetulan Giam Ong Hui diiringi semua orang yang lain
sedang berjalan keluar dari dalam ruangan, mendengar perdebatan
antara Giam In kok dengan kakek berwajah tolol itu, ia segera
menyambung dengan suara setengah membentak:
"Semua
orang yang hadir dalam ruangan menyaksikan pembuktian tersebut dengan
mata kepala sendiri, kecurangan apa lagi yang kau maksudkan? Kurang
ajar, rupanya kau memang sengaja hendak mencari urusan dengan
kami....."
Giam
In kok tertawa dingin, katanya:
"Heeeh...
heeehh... heeehh... ibuku melahirkan aku, tentu saja darahku dapat
bercampur dengan darah ibuku, padahal dengan ibuku, kau adalah suami
istri, tentu saja darah kalian dapat bercampur pula, tetapi aku yakin
seyakin-yakin-nya bahwa aku bukanlah anak kandung dari seorang
bajingan tua macam kau.... kalau kau memang jantan, beranikah kau
membuktikan hubungan darah satu lawan satu dengan diriku?"
Giam
Ong hui tidak menyangka kalau pemuda itu bisa mengejukan usul untuk
membuktikan darah antara dia dengan dirinya, air mukanya kembali
berubah jadi merah padam, bentaknya:
"Berani
benar kau memaki aku sebagai bajingan tua, engkau memang anak durhaka
yang pantas mendapat hukuman mati, bukti apa lagi yang kau inginkan?
kalau mau bukti lebih baik pulang saja keakherat!"
Sebagai
penutup kata, ia menerjang maju kedepan dan melancarkan sebuah
babatan kearah anak muda itu.
Rupanya
tindakan dari Giam Ong hui ini sudah berada dalam dugaan Giam In kok,
namun ia tak sudi menyambut datangnya serangan tersebut dengan keras
lawan keras, dengan lincah badan-nya berkelit kesamping ibunya, ia
berteriak keras:
"Ibu,
ikutlah dengan aku kabur dari sini.... buat apa kau hidup menanggung
derita ditempat yang terkutuk ini?"
Sepasang
tangan-nya dipentangkan dan segera memeluk pinggang ibunya.
Perempuan
ini jadi amat terperanjat, sehingga badannya mundur selangkah
kebelakang, sembari goyangkan tangan-nya berulang kali, serunya
dengan nada gelisah:
"Kau
pergilah seorang diri.... cepatlah kau berlalu dari sini.... jangan
kau gubris diriku lagi....!"
Dengan
cepat Giam Ong Hui menyusul kedepan, telapak tangannya diayunkan
berulang kali serta melancarkan beberapa pukulan dahsyat, makinya
dengan hati jengkel bercampur marah:
"Binatang!
kalau kau tak kubunuh dengan tanganku sendiri, aku betul-betul merasa
sangat tak puas, hmm! kau hendak kabur kemana?"
Giam
In kok tidak menjadi gentar menghadapi serangan yang dilancarkan
secara bertubi-tubi itu, dengan mengeluarkan ilmu gerakan tubuh
ajaran dari manusia rakus dari kolong langit, badannya berputar
bagaikan roda kereta, kendatipun Giam Ong Hui melancarkan
pukulan-pukulan dengan gencar dan sepenuh tenaga, akan tetapi tak
sebuah pukulanpun yang berhasil mampir diatas tubuhnya.
Pemuda
itu segera tertawa dingin, serunya:
"Heeeeeh...
hehee... heeeh... bajingan tua, kalau sauya ingin membereskan jiwa
anjingmu maka sekali tepuk jiwa anjingmu sudah akan melayang
meninggalkan raga, tapi aku tidak akan berbuat demikian lebih dahulu,
karena aku hendak menyelidiki persoalan ini sampai jelas, kemudian
baru akan membuat perhitungan dengan dirimu.....! huh! belum apa-apa
kau sudah jadi gusar karena malu, manusia macam apakah dirimu
itu....? sungguh memuakkan"
"Bangsat....
terkutuk... binatang rendah! bukan saja kau sudah tak maui ayahmu
lagi bahkan memaki-maki dengan seenakmu sendiri.... kau memang
bangsat cilik, kalau bukan aku yang menjadi ayahmu, lalu siapakah
ayahmu?" bentak Giam Ong hui semakin gusar, sehingga air mukanya
berubah menjadi merah padam dan matanya melotot besar bagaikan gundu.
Wajahnya
nampak mengerikan sekali.
"Kau
tak usah tahu siapakah ayahku yang sebenarnya, pokoknya yang jelas
aku bukan anakmu, kau adalah bajingan tua yang akan mampus!"
Giam
In si putra sulung dari Giam Ong hui tak kuat menahan diri lagi,
sedari tadi ia sudah marah karena sikap adiknya yang kelimanya ini,
sekarang ia sudah tak kuat membendung lagi, sehingga meloncat keluar
dari kerumunan orang.
"Ngo
te! Kau berani menghina dan mencaci maki ayah sendiri? Kurang ajar,
akan kuhajar dirimu sebagai pelajaran atas kekurang ajaran mu itu!"
Ketika
masih berada dalam perkampungan Ang sim san ceng tempo dulu, Giam In
kok sudah kenyang dianiaya dan disiksa oleh kakak sulungnya ini,
melihat pemuda itu tampil kedepan, rasa dendam lamanya segera
timbul kembali, dengan nada dingin, ia segera mengejek:
"Mau
apa kau ikut campur didalam urusan ini? hmm, aku lihat ibumu pun sama
juga nasibnya seperti ibuku, ibumu pasti dirampas oieh bajingan tua
itu dan dipaksa dijadikan istrinya, apakah kau masih punya muka ribut
dengan aku? aku anjurkan kepadamu lebih baik urusi dahulu keadaan
ibumu.... dari pada dipakai terus oleh bajingan tua itu, lebih baik
berontak saja.....!"
"Omong
kosong!" bentak Giam In si dengan gusar, ia maju kedepan dan
segera melepaskan satu pukulan.
"Huh!
cuma punya kepandaian kaki kucing pun berani main kasar? kau masih
belum pantas untuk beradu tenaga denganku!"
Sambil
berkata, dengan suatu gerakan yang amat cepat, Giam In kok
mencengkeram pergelanggan tangan pemuda itu, kemudian dalam sekali
ayunan tubuhnya bagaikan sebuah bola saja segera mencelat ke udara
dan melayang sejauh sepuluh tombak lebih dari tempat semula.
Haruslah
diketahui, meskipun usia Giam In kok masih muda, akan tetapi ia sudah
menguasahi seluruh ilmu silat keluarganya, di samping itu diapun
telah belajar silat dari sepuluh manusia bengis, dan sembilan manasia
jelek, kepandaian silat yang dimilikinya saat ini boleh dibilang
sangat tinggi dan merupakan jago terlihay diantara seangkatan-nya.
Siapa
tahu satu jurus belum sempat dilalui, ia sudah terjatuh pecundang di
tangan lawan, bahkan tubuhnya dilemparkan keudara bagaikan sebuah
bola, kejadian ini kontan saja mengejutkan hati semua hadirin,
sehingga untuk beberapa saat lamanya tak seorang manusiapun bersuara.
Beberapa
saat kemudian, dari samping kalangan baru muncul kembali seorang
perempuan tua yang berusia lima puluhan, dengan wajah penuh kegusaran
ia membentak:
"Sin
Nio! Kalau kau tak mampu untuk mendidik anakmu, maka aku akan
segera...."
"Kau
mau apa?" bentak Giam In kok sambil tertawa dingin sebelum nenek
itu menyelesaikan kata-katanya.
Sambil
berseru keras tubuhnya menerjang nenak itu dengan suatu serangan
gencar, tentu saja perempuan tua itu bukan tandingan-nya, hanya dalam
satu gebrakan saja tubuhnya kembali terlempar keluar dari gelanggang
pertarungan.
Menghina
orang tua, menganiaya saudara, mengejek ibu adalah dosa yang paling
tak terampunkan di kolong langit, dan semua itu dosa.
Kakek
totol yang berwajah bodoh seperti tak pernah sekolah itu tiba-tiba
membentak keras, suaranya begitu nyaring sehingga seruangan bergetar
keras, dengan gerakan yang enteng bagaikan sehelai kapas ia meloncat
kehadapan Giam In kok, kemudian menatap wajah pemuda itu dengan sinar
matanya yang berwarna hijau.
"Kalau
kau berani bermain kasar lagi, jangan salahkan kalau aku akan
mewakili ayahmu untuk memberi pelajaran serta pendidikan yang keras
kepadamu!" katanya membentak.
"Locianpwee!
Kau tak perlu turun tangan sendiri," sela Giam Ong Hui dengan
cepat, "untuk menghadapi bangsat ini, biarlah anak buahku saja
yang melayani dirinya....."
Bersamaan
dengan selesainya perkataan itu, sepuluh manusia bengis sembilan
manusia jelek segera munculkan diri ditengah gelanggang dan mengepung
pemuda itu dengan ketat.
Giam
In kok sendiri menyadari jika hari ini ia tidak mengeluarkan seluruh
kepandaian silatnya yang ampuh, maka akan sulit baginya untuk
meloloskan diri dari sini dalam keadaan selamat, lagipula demi
keselamatan jiwa ibunya dimasa mendatang, dia harus mendemontrasikan
kelihayan-nya.
Karena
punya pemikiran demikian, maka iapun bersikap gagah dan sedikitpun
tak gentar menghadapi kerubutan itu, kendatipun para jago lihay sudah
mengepung di sekeliiing tubuhnya, akan tetapi ia masih tampak tenang
dan tertawa dingin tiada hentinya.
Jago
berwajah tolol segera maju kedepan, ia sudah melihat bahwa ilmu silat
yang dimiliki Giam In kok sangat lihay, sekalipun dikeroyok belum
tentu pemuda itu dapat dibekuk, buru-buru teriaknya:
"Kalian
jangan turun tangan lebih dahulu, biarlah aku yang menghadapi bocah
ini!"
Setelah
mengundurkan jago-jago itu, ia berpaling kearah Giam In kok dan
berkata:
"Bocah
cilik, bukankah kau ahli waris dari setan rakus tua....? sekarang
berada dimanakah si setan rakus tua itu?"
"Hmm!
kedatangan sauya hari ini adalah untuk menyelidiki asal usulku serta
menuntut keadilan dari bajingan tua itu, aku tak ada waktu untuk
ribut-ribut dengan bangkai tua seperti tampangmu itu, aku anjurkan
kepadamu lebih baik janganlah mencari penyakit buat diri sendiri!"
"Besar
amat nyalimu bangsat.... tahukah kau siapakah aku ini?"
"Bangkai
tua!" jawab pemuda itu dengan cepat.
Si
kakek berwajah merah cerah yang berada disisi kalangan segera tertawa
terbahak-bahak sambil menjawab:
"Hahaa...
haaahh... hahaa... tepat, tepat sekali perkataanmu itu, dia memang
bangkai tua!"
Paras
muka Kakek berwajah tolol itu seketika berubah jadi merah darah, ia
segera membentak:
"Bangsat
cilik! Kau terlalu kurang ajar, terimalah sebuah pukulanku.....!"
Mendadak
dari kerumunan orang banyak disisi kalangan, terdengar seseorang
menjerit keras dan lari ketengah kalangan sambil memohon:
"Locinpwee,
aku harap sudilah kau memandang wajahku dan janganlah kau lukai
dirinya!"
Giam
Ong Hui naik pitam, apalagi setelah dilihatnya bahwa perempuan yang
menjerit itu merupakan selirnya yang ke lima, ia segera menyusul maju
kedepan sambil menghardik keras:
"Enyah
kau perempuan sialan!"
Sebuah
tendangan dengan cepat di lancarkan kearah depan.
Giam
In kok pun menjadi naik pitam sewaktu menyaksikan Giam Ong hui
bersikap begitu kasar terhadap wanita, sambil membentak dia
melancarkan sebuah babatan yang tajam.....
"Braaaak.....!"
Ditengah
benturan nyaring, terdengar Giam Ong Hui menjerit nyeri karena
kesakitan, kaki kirinya segera terhajar sampai patah oleh serangan
itu, tubuhnyapun segera jatuh terkapar diatas tanah.
Semua
orang jadi kaget bercampur gempar, mereka pada memburu maju kedepan
sambil melindungi keselamatan Giam Ong hui serta berjaga-jaga
terhadap segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Sebenarnya
pada waktu itu si kakek berwajah tolol berdiri diantara Giam In kok
dengan Giam Ong-Hui, tetapi berhubung serangan yang dilancarkan bocah
itu sangat oepat bagaikan sambaran kilat, maka tak sempat baginya
untuk menahan ataupun menangkis ancaman tersebut, tanpa terasa
wajahnya berubah jadi merah karena malu, tanpa pikir panjang lagi
sebuah pukulan segera dilancarkan kedepan.
Meskipun
serangan ini dilancarkan dalam keadaan tergesa-gesa, tapi angin
pukulan yang dihasilkan ternyata cukup ampuh, debu dan pasir
segera menyelimuti seluruh kalangan.
Giam
In kok sendiripun tak berani bertindak gegabah menghadapi serangan
lawan apalagi setelah ia tahu, bahwa kakek berwajah tolol itu berasal
satu tingkatan dengan manusia rakus dari kolong
langit, menyaksikan datangnya serangan tersebut ia segera menghimpun
tujuh bagian tenaga dalamnya dan segera menangkis dengan keras lawan
keras.
"Blaaaaammm.....!"
Ditengah
bentrokan yang mengelegar memenuhi seluruh angkasa, muncullah sebuah
liang besar yang dalamnya mencapai tiga depa diatas permukaan tanah.
Tangan
kakek tolol itu segera tergetar keras dan mundur
beberapa tombak kebelakang dengan sempoyongan..
Ia
segera melompat maju ketempat semula, lalu bentaknya kembali:
"Bocah
keparat! Kau menang lihay! sambutlah lagi sebuah serangan dahsyatku
ini!"
Tampaknya
didalam melancarkan serangan yang kedua ini dia telah menggunakan
segenap kemampuan yang dimilikinya, tampak angin pukulan segera
menyapu seluruh permukaan bumi, pada batu hijau diatas alas tanahpun
muncullah sebuah celah panjang yang sangat dalam.
Didalam
bentrokan yang berlangsung belum lama berselang, Giam In kok tahu
bahwa tenaga dalam yang dimiliki pihak lawan tidak jauh lebih
sempurna dari kepunyaan-nya, ia tak ingin melakukan pembunuhan yang
tak berguna disitu, maka terhadap datangnya serangan kedua ini pemuda
tersebut sama sekali tak berniat membendungnya dengan keras lawan
keras.
Tubuhnya
segera meloncat ketengah udara dan melewati diatas kepala kakek tua
itu, sambil teriaknya:
"Ibu...."
Pemuda
itu bermaksud membawa lari ibunya dari sana, kemudian setelah
menanyai duduk perkara yang sebenarnya, ia baru akan melakukan
pembalasan dendam.
Siapa
tahu ketika ia berpaling kearah samping, terlihatlah bukan saja Giam
Ong hui telah ditolong orang bahkan ibunya serta para selir
lain-nyapun sudah pada melarikan diri dari sana.
Satu
ingatan dengsn cepat berkelebat dalam benaknya, ia menganggap ibunya
pasti sudah ditangkap oleh anak buah Giam Ong hui serta dibawa kabur
dari sana.
Buru-buru
ia meloncat kedepan dan menangkap seorang dayang yang tak sempat
melarikan diri, lalu bentaknya keras-keras:
"Ibuku
berada dimana?"
Rupanya
cekalan-nya terlalu kuat sehingga dayang itu kesakitan, sebelum
sempat menjawab, sambil menjerit kesakitan dayang itu sudah jatuh tak
sadarkan diri.
Terpaksa
ia lepaskan dayang tadi dan berusaha menangkap dayang yang lain,
tetapi pada saat itulah sembilan manusia ganas telah menerjang maju
secara berbareng, delapan belas buah telapak tangan sama-sama
melancarkan sebuah pukulan dahsyat kearah depan.
Merasakan
datangnya ancaman yang kuat, pemuda itu segera mengenjotkan badan-nya
dan melayang keangkasa lalu meluncur kearah depan dengan cepatnya.
Tapi....
baru saja ia melayang turun kebawah, dua angin pukulan yang tajam
kembali meluncur datang.
Giam
In kok mengenali serangan tersebut dilancarkan oleh kakek berwajah
tolol serta kakek bermuka merah, ia segera membentak gusar:
"Bajingan
tua yang tak tahu malu, hmm, beraninya cuma main bopong dari
belakang....!"
Sepasang
telapak tangan-nya segera diluruskan kedepan dan menyambut ancaman
tersebut dengan keras lawan keras.
"Blaaaam....!"
Tiga
gulung angin pukulan saling membentur satu sama lain-nya hingga
menimbulkan suara ledakan keras, tubuh kedua orang kakek itu segera
terpental kebelakang dan terduduk, sebaliknya Giam In kok sendiri tak
mampu berdiri tegak dan terjatuh diluar dinding pekarangan.
Sepuluh
manusia bengis serta sembilan manusia jelek bersama-sama membentak
keras, masing-masing berebut maju kedepan dengan senjata terhunus,
pukulan dahsyat pun dilancarkan dari tempat kejauhan.
Giam
In kok mendengus dingin menyaksikan tindakan lawan, serunya dengan
suara menyeramkan:
"Kalian
manusia-masusia jahanam yang membantu bajingan tua berbuat kejahatan,
hati-hatilah dengan batok kepala kalian itu....! Hmmm! hari ini
kalian tak usah kuatir, sauya tak akan membinasakan jiwa anjing
kalian..... katakanlah pada bajingan tua she Giam tersebut,
seandainya ibuku sampai mengalami hal-hal yang tidak beres atau
cedera karena siksaan yang paling berat sehingga mati tak bisa
hiduppun tak dapat.... heeeh.... heeeh..... heeeh.... sekarang sauya
akan pergi menyelidiki asal usulku lebih dahulu. Suatu ketika aku
pasti akan kembali untuk membuat perhitungan.....!"
Selesai
berkata, telapak tangannya segera disapu kearah depan dengan disertai
angin pukulan yang kencang....
Giam
In kok bersuit nyaring, diantara seruan tertahan para jago yang
termakan oleh serangan-nya itu, laksana sambaran kilat tubuhnya
meloncat ke udara kemudian berlalu dari sana dengan cepatnya.
Ia
merasa mendongkol bercampur gemas, untuk melampiaskan perasaan
hatinya itu, ia berlari sekencang kencangnya menuju kedepan.
Entah
berapa jauh ia sudah lari, gerakan tubuhnya baru berhenti setelah
dirasakan dadanya sesak serta kakinya lemas.
Dengan
pandangan termangu-mangu, sorot mataya menyapu sekejap kearah
sekeliling tempat itu, kemudian menghela napas dan berguman seorang
diri:
"Aku
harus pergi kemana?"
Dalam
dugaan anak muda itu, asal perkampungan Ang sim san ceng sudah
dikunjungi dan Giam Ong Hui berhasil dibekuk maka dengan mudah sekali
dia akan berhasil menyelidiki asal usulnya serta menuntut balas bagi
sakit hatinya, atau seandainya hal tersebut tak dapat dilaksanakan,
maka paling tidak ibunya akan berhasil ditolongnya.
Siapa
tahu bukan saja dalam perkampungan Ang sim
san ceng terdapat dua orang jago persilatan
yang sangat lihay, bahkan Giam Ong Hui
dengan membawa serta ibunya telah kabur kedalam ruang rahasia, hal
ini membuat pemuda itu jadi pusing tujuh
keliling.
Sudah
tentu ia tidak takut untuk menyerbu masuk kedalam ruang rahasia,
tetapi diapun tahu bahwa perkampungan Ang sim san
ceng merupakan salah satu diantara empat perkampungan yang
paling berbahaya dikolong langit, bukan saja alat rahasianya amat
lihay, bahkan banyak alat jebakan terpasang disekitar
kampung.
Pemuda
itu kuatir apabila dirinya terperosok kedalam perangkap lawan
sehingga bukan saja dendam ayahnya tak dapat terbalaskan, penghinaan
terhadap ibunyapun tak dapat dituntut.
Dalam
keadaan demikian ia segera mengambil keputusan untuk mengundurkan
diri lebih dahulu dari sana, untuk kemudian mencari kesempatan lain
guna melakukan pembalasan.
Sambil
melanjutkan perjalanan-nya pemuda itu berpikir terus guna memecahkan
persoalan itu.... tiba-tiba dihadapan matanya berkelebat lewat
sesosok bayangan manusia.
Buru-buru
ia menengadah keatas, tampaklah bayangan manusia itu bagaikan
segulung hembusan angin berkelebat lewat di hadapan-nya.
"Sungguh
aneh sekali!" pikir pemuda itu kemudian dengan perasaan heran,
"kenapa orang itu melakukan dengan begitu tergesa-gesa?"
Sebenarnya
pemuda itu bukanlah merupakan seorang manusia yang suka mencampuri
urusan orang lain, akan tetapi berhubung gerakan tubuh orang itu
terasa amat dikenal olehnya, maka timbullah kecurigaan dalam hati
kecilnya.
"Saudara,
harap tunggu sebentar!" buru-buru serunya.
Orang
itu sama sekali tidak berhenti, bahkan berpalingpun tidak, hanya
ujarnya:
"Ayahku
sedang menjumpai kesulitan, maaf aku tak dapat membuang waktu terlalu
lama..."
Sambil
berseru ia tetap melanjutkan perjalanan-nya menuju kedepan.
Giam
In kok semakin curiga, ia segera mengenjotkan badan-nya mengejar dari
belakang, setetah berhasil menyusul dibelakang tubuh orang itu
buru-buru katanya lagi:
"Saudara,
tolong tanya apa hubunganmu dengan si tabib sakti dari gunung Lam
san?"
Orang
itu mengelak, kemudian balik bertanya:
"Bolehkah
aku mengetahui dahulu siapakah nama siauhiap?"
"Siau
te bernama Kok In Hui!"
"Oooh.....
rupanya kau! aku yang bodoh bernama Gak Beng!"
"Gak
Beng, bolehkah aka tahu kesulitan apakah yang sedang dihadapi oleh
Gak cianpwee?"
"Persoalan
ini timbul gara-gara sebuah cangkul obat yang dicuri Kang Yong pada
tujuh tahun berselang, rupanya Kang Yong sadar bahwa dia bukan
tandingan ayahku serta empat bersaudara she Kim dari perkampungan
Cian liong san ceng, maka selama beberapa tahun setelah peristiwa itu
dia bersembunyi terus, kemudian ketika ia berhasil mendapat tahu
kalau ayahku telah bentrok dengan sastrawan selaksa racun sewaktu
berada ditepi sungai Cin ci ho tempo hari ia segera mendatangi
sastrawan selaksa racun dia mengangkat dirinya sebagai gurunya...."
Giam
In kok segara tertawa dingin setelah mendengar penuturan tersebut,
selanya:
"Huuuh....!
sastrawan selaksa racunpun belum tentu bisa menangkan Gak Pun leng
cianpwee, apalagi muridnya....."
"Loo-te
kau tak tahu! Kang Yong bersedia menjadi muridnya sastrawan selaksa
racun karena ia ingin belajar ilmu beracun-nya"
“Bahkan
selama lima tahun terakhir ini diapun telah mengangkat seorang
gembong iblis yang disegani orang sejak lima puluh tahun terakhir ini
sebagai gurunya, orang itu bernama Cian jiu jin mo manusia iblis
bertangan seribu, aku dengar katanya ia mempunyai kepandaian silat
yang amat tinggi”
“Dalam
melakukan pembalasan dendamnya kali ini Iblis bertangan seribu ikut
serta didalam gerakan tersebut!"
"Bagaimanakah
ilmu silat yang dimiliki iblis bertangan seribu itu
kalau dibandingkan dengan lima manusia aneh dari kolong
langit?"
"Sulit
dikatakan, meskipun lima manusia aneh sangat lihai namun kejadian itu
sudah berlangsung lima puluh tahun berselang, bila dihitung-hitung
aku rasa iblis bertangan seribu jauh lebih cepat punya nama ketimbang
mereka"
Giam
In kok termenung sebentar, setelah itu katanya:
"Baiklah,
kebetulan siaute memang ingin menjumpai ayahmu untuk menanyakan kabar
berita seseorang, mari kita berangkat
bersama!"
Gak
Beng jadi kegirangan....
"Kalau
kau si bocah ajaib bermuka seribu bersedia ikut berangkat kesitu
bersama-sama aku, aku yakin iblis bertangan seribu tentu akan
menemukan tandingan-nya, bukan-nya aku sedang menyombongkan diri,
kecuali lima manusia dari kolong langit rasanya memang sulit untuk
menemukan seorang jago yang mampu menyusul diriku dalam jarak
setengah li, hal ini membuktikan pula kalau kepandaian silat yang
dimiliki loo te sudah mencapai puncak kesempurnaan, apa sih yang
hendak kau tanyakan pada ayahku?"
"Siaute
headak mencari tahu tentang jejak seorang yang bernama Thian Bu,
apakah Gak Beng pernah mendengar tentang nama orang ini?"
Gak
Beng termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian
menggeleng kepalanya.
"Belum
pernah kudengar nama orang itu, tapi loo te tak usah putus asa,
kemungkinan besar ayahku mengetahui jejak orang itu!"
Dua
orang japo muda itupan segera melanjutkan perjalanan-nya siang malam
tak henti-hentinya, kecuali membeli ransum kering dan berhenti
sebentar untuk melepaskan lelah, hampir tak sedikltpun berhenti.
Pada
malam hari ketiga, akhirnya Lam san muncul juga didepan mata, dari
kejauhan terlihatlah di kaki bukit cahaya api menggulung membumbung
tinggi ke angkasa.
Melihat
gulungan cahaya api di tempat kejauhan ini Gak Bung berseru kaget,
tiba-tiba teriaknya:
"Aduuuh
celaka....!"
"Gak
heng, jangan gugup atau kaget lebih dahulu" buru-baru Giam In
kok menghibur, "meskipun keadaan lebih banyak bahaya dari pada
rejeki, tetapi belum tentu ayanmu mendapat celaka ditangan lawan,
lanjutkan perjalanan perlahan-lahan, biar siaute memburu kesana lebuh
dahulu...."
Setelah
memberi pesan wanti-wanti, pemuda itu segera mengerahkan
kepandaiannya dan berlalu lebih dahulu, dalam beberapa kali loncatan
saja ia telah meninggalkan Gak Beng jauh dibelakang.
Malam
telah kelam, bintang bertebaran di angkasa.... angin malam berhembus
sepoi-sepoi membuat udara terasa unyaman.
Dengan
gerakan tubuh yang cepat Giam In kok memburu kearah tempat kebakaran
yang sedang berkobar ditempat kejauhan, diantara jilatan api yang
membara terselip pula bau daging yang hangus.
Suasana
disekeliiing tempat itu sunyi senyap, tak nampak sesosok bayangan
manusiapun, agaknya setelah berhasil membakar rumah tinggal Gak Pun
leng, kawanan penjahat itu lantas kabur meninggalkan tempat tersebut.
Dengan
sedih Giam In kok berdiri termangu-mangu memandang puing-puing yang
berserakan, tanpa terasa ia teringat kembali akan budi kebaikan yang
pernah diberikan tabib sakti dari gunung Lam-san kepadanya.
Dengan
sebatang ranting pohon pemuda itu memasuki puing-puing bekas
kebakaran tadi, dengan hati-hati ia singkirkan arang yang telah
hangus ditanah itu, ia hendak mencari kerangka tubuh dari keluarga
Gak Pun leng agar bisa dikebumikan sebagaimana mestinya.
Tetapi
dari balik puing-puing yang berserakan itu kecuali beberapa ekor
bangkai ayam yang hangus terbakar, tidak tampak ada kerangka manusia
yang berada disana.
Kemana
perginya tabib sakti dari gunung Lam san sekeluarga? mungkinkah
mereka telah menyingkir lebih dahulu sebelum kejadian itu, ataukah
mereka telah diculik oleh para penjahat?
Beberapa
waktu sudah lewat tanpa terasa Gak Beng yang menyusul dari
belakangpun belum juga tiba disana, suasana tetap sunyi senyap
bagaikan ditengah kuburan.
Ditengah
keheningan yang mencekam seluruh jagad itulah, tiba-tiba dari tempat
kejauhan berkumandang datang suara aneh yang amat keras dan
mencekatkan hati siapapun yang meadengar.
Pemuda
itu segera menduga bahwa gelak tertawa tersebut bisa jadi berasal
dari kaum penjahat yaag datang mencari gara-gara, itu berarti jika
pihak lawan baru tiba pada saat ini, sedikit banyak membuat hatinya
agak tenang.
Dengan
bersikap acuh tak acuh pemuda itu menengadah keatas memandang bintang
yang bertaburan diangkasa, terhadap datangnya gelak tertawa itu dia
sama sekali tidak menggubris.
Gelak
tertawa aneh itu makin lama berkumandang semakin dekat, akhirnya
terdengarlah desiran angin tajam meluncur datang lewat disisi
tubuhnya.
"Hey,
kawan setelah datang kemari kenapa tidak segera unjukan dirimu? buat
apa main sembunyi segala?" tegur Giam In kok kemudian sambil
tertawa nyaring.
Dengan
gerakan yaag sangat enteng orang itu meloncati puing-puing bekas
kebakaran itu dan tiba dibelakang pemuda tersebut, lalu terdengar
orang itu berseru tertahan sambil menegur:
"Siapakah
kau? kemana perginya orang-orang yang
berdiam ditempat ini?"
Mulanya
Giam In kok menyangka bahwa orang yang munculkan diri itu kalau
bukan golok kilat dibalik senyuman Kang yong, tentulah sastrawan
selaksa racun Lin Liang, siapa sangka ketika ia putar badan-nya maka
tampaklah olehnya orang yang barusan munculkan diri itu berwajah
asing sekali baginya, sehingga tanpa terasa diapun menegur:
"Siapa
pula dirimu? cepat katakan!"
Orang
itu tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya pula:
"Apakah
kau termasuk salah seorang anggota dari keluarga Gak Loo-ji?"
"Boleh
dibilang begitu, tapi boleh dibilang juga tidak!"
"Lalu
kemana perginya Gak Loo-jie?"
"Aku
justru hendak menanyakan soal ini kepadamu!"
"Bangsat!
ketahuilah bahwa aku sedang bertanya kepadamu, bukan-nya menjawab
baik-baik malah balik bertanya seenaknya, hmmm! apakah kau sudah
bosan hidup?"
"Bosan
hidup atau tidak, itu bukan urusanmu dan kaupun belum tentu mampu
untuk mengatur soal mati hidupku! sebelum itu aku ingin bertanya
lebih dahulu, siapakah kau? dan berhargakah untuk bertarung melawan
aku? Kalau kau merasa kau memang pantas untuk melawan diriku, pasti
akan kubuktikan dihadapanmu bahwa aku bosan hidup atau tidak!"
Orang
itu segera tertawa seram.....
"Hehea....
kurangajar, dihadapan Sin mo iblis sakti pun kau berani bicara
seenaknya....."
Giam
In kok tidak menggubris orang itu, lalu tegurnya:
"Ada
urusan apa kau datang kemari?"
Sebelum
iblis sakti sempat menegur, tiba-tiba telinganya yang tajam sempat
menangkap suara gemerisik lirih dari atas pohon, maka segera ujarnya:
"Siapa
itu yang berada diatas pohon?"
Giam
In kok mengira Gak Beng yang datang, buru-buru teriaknya:
"Apakah
Gak heng yang di pohon?"
"Hehee....
hehee.... hehee.... siapa itu Gak Beng?" ejek seseorang dari
atas pohon sambil tertawa dingin, sesosok bayangan manusia dengan
cepat melayang turun keatas tanah.
Giam
In kok segera berpaling, ia lihat orang yang barusan saja melayang
turun dari atas pohon bukan lain adalah golok kilat di
balik senyaman Kang Yong, dibawah ketiaknya mengempit tubuh
seseorang yang ternyata bukan lain adalah Gak Beng yang ketinggalan
tadi.
Melihat
rekan-nya tertangkap, pemuda itu jadi gusar dan segera bentaknya
keras-keras:
"Kang-loo
ji! Lepaskan saudara Gak dari cekalanmu!"
"Siapa
kau?" tanya Kang Yong tertegun.
"Siapakah
aku tak usah kau campuri, ayo cepat lepaskan saudara Gak dari
cekalanmu!"
"Heeeeh...heheee...
heheee... bangsat cilik, enak benar kau kalau ngomong, pentang dulu
matamu lebar-lebar siapa yang kau hadapi ini....!"
Giam
In kok mendengus dingin, laksana kilat tubuhnya menerjang kedepan dan
mengirim satu babatan ketubuh lawan, sementara tangan kirinya
menangkap tubuh Gak Beng yang berada di ketiak orang serta
dirampasnya dan kemudian cepat-cepat melompat mundur kebelakang.
Gerakan
ini dilakukan dengan amat cepat, baru saja Kang Yong hendak menangkis
datangnya ancaman, tahu-tahu tawanan-nya sudah di rampas orang, ia
jadi mendongkol sekali, sehingga mencak-mencak seperti monyet kena
terasi, sambil membentak ia menerjang maju kedepan dan telapak
tangan-nya diayunkan kembali siap mengirim pukulan.
Manusia
aneh yaag menyebut dirinya sebagai ibiis sakti segera maju menyambut
datangnya ancaman tersebut, kemudian bentaknya:
"Tunggu
sebentar!"
Sebenarnya
kepandaian silat yang dimiliki Kang Yong termasuk tidak lemah, akan
tetapi setelah tertangkis oleh orang itu tubuhnya segera mundar
selangkah kebelakang dengan sempoyongan, dengan kaget ia bertanya:
"Siapakah
kau? mengapa kau campuri urusan aku orang tua?"
"Hahaa....
haaaa... hahaa.... dihadapan ku kau berani menyabut dirimu sebagai
orang tua? coba lihat dahulu berapa usiamu? Hmm....! benar-benar
manusia tak tahu diri!"
Setelah
berhasil merebut Ga Beng dari cengkeraman musuh, Giam In kok segera
menepuk jalan darahnya yang tertotok, kemudian menggunakan kesempatan
dikala dua orang lawan-nya sedang berbicara ia berlalu dari sana
sambil membopong tubuh rekan-nya.
Dari
depan tiba-tiba meluncur keluar sesosok bayangan hitam menghadang
jalan pergi pemuda itu, sebuah pukulan yang gencar dan tajam telah
dilepaskan kearah dadannya.
Dengan
gesit Giam In kok meloncar ketengah udara, begitu lolos dari ancaman
tersebut diapun segera mengirim satu pukulan dahsyat kearah
lawan-nya.
"Blaaaamm...!"
Ledakan
keras menggelegar di udara menimbulkan pusingan angin berputar, debu
dan pasir seketika beterbangan memenuhi seluruh udara.
Walaupun
terhindar dari ancaman mara bahaya, akan tetapi dengan terjadinya
bentrokan tersebut maka tubuh Giam In kok pun dipaksa untuk melayang
kembali keatas tanah.
"Keparat
cilik!" terdengar orang itu menegur sambil tertawa dingin.
"Jangan
coba-coba untuk meloloskan diri dari cengkramanku.... hmm! kau anggap
kami semua tak mampu untuk menahan dan membekuk manusia seperti
dirimu?"
Melihat
orang yang menghadang jalan perginya adalah sastrawan selaksa recun
Lie Liang, hawa amarah yang berkobar dadam dada Giam In kok seketika
memuncak, ia turunkan Gak Beng keatas tanah lalu teriaknya
keras-keras:
"Tua
bangka she Lie, jangan takabur dulu! janganlah kau anggap ilmu
pukulan beracun yang kau miliki itu lihay, sambut dulu pukulan
dahsyat dari sauya mu ini!"
Sembari
berkata bayangan telapak tangan berkelebat kedepan, segulung desiran
angin tajam segera menyapu tubuh sastrawan tersebut.
Merasakan
datangnya pukulan tersebut, sastrawan selaksa racun merasa hatinya
tercekat, ia segera meloncat muadur beberapa tombak kebelakang, lalu
tegurnya:
"Siapa
kau?"
"Bocah
ajaib bermuka seribu!"
"Aaah!
kiranya kau....." jerit satrawan selaksa racun Lie Liang dengan
terperanjat.
Sebelum
ucapan-nya selesai diutarakan, angin pukulan yang dilancarkan pemnda
itu sudah meluncur datang....
"Blaaammm.....!"
Dengan
telak dadanya terhajar sehingga badan-nya mencelat sejauh sepuluh
tombak kebelakang dan muntah darah segar.
Giam
In kok tertawa terbahak-bahak, serunya
lantang:
"Haaah...
hahaa.... hahaa.... tua bangka she Lie, kau tak pernah menyangka
bukan kalau pada suatu hari tubuhmu bakal kuhajar sampai muntah
darah?"
"Hmmm!
bocah keparat, kalau bicara jangan terlalu takabur dan sama sekali
tak pandang sebelah matapun terhadap orang lain, ketahuilah, akupun
mampu merobohkan dirimu!"
Ucapan
tersebut muncul secara tiba-tiba dengan suara yang amat menyeramkan,
disusul munculnya seorang manusia berbadan tinggi dengan muka
mengerikan berdiri di tepi kalangan, sejak kapan orang itu munculkan
diri ternyata tak seorang manusiapun yang mengetahui.
Setelah
tiba diarena, dengan sorot mata yang tajam orang itu menyapu kembali
sekeliling tempat itu lalu ujarnya:
"Diantara
jago-jago angkatan muda yang banyak berkeliaran didalam dunia
persilatan hanya engkaulah yang pantas untuk menerima pukulan, nah!
bersiap sedialah untuk menerima tiga buah pukulanku!" Giam In
kok tertawa.
"Kalau
kutinjau dari sikapmu yang berlagak sok tua, bila tebakanku tidak
salah maka semestinya engkau adalah manusia yang disebut Cian jiu jin
mo iblis manusia bertangan seribu, bukankah begitu? tapi.... aku
harap engkau suka berpikir lebih dahulu secara masak-masak, mampukah
kau menghadapi tiga buah serangan yang sauya lancarkan?"
Rupanya
orang yang barusan munculkan diri itu memang iblis manusia bertangan
seribu, ketika asal usulnya berhasil ditebak, ia nampak tertegun,
kemudian sambil tertawa terbahak-bahak serunya:
"Hahaa...
hahaa... hahaa... sungguh tidak malu engkau disebut sebagai bocah
ajaib bermuka seribu, mampukah aku menghadapi ketiga buah seranganmu
itu rasanya tak usah kita persoalkan sekarang, aku pun ingin bertanya
kepadamu berapa sih berat pukulanmu itu sehingga berani bicara
sembarangan?"
Sebelum
Giam In kok sempat menjawab, manusia yang menyebut dirinya sebagai
iblis sakti itu tiba-tiba melayang ketengah gelanggang, kemudian
sambil memandang kearah iblis manusia bertangan seribu tegurnya
sambil tertawa:
"Ah....!
rupanya saudara Suma telah datang, selamat berjumpa selamat
berjumpa....."
"Ini
namanya berjodoh" sambang Giam In kok dari samping sambil
tertawa tergelak, "yang satu menyebut-nyebut dirinya sebagai
iblis sakti, sedang yang lainnya menyebut dirinya sebagai iblis
manusia, bagaimana kalau kalian berdua coba-coba bergebrak lebih
dahulu? aku ingin tahu iblis sakti yang jauh lebih unggul ataukah
manusia iblis yang lebih ampuh!"
Dalam
pada itu Gak Beng yang ikut mendengarkan pembicaraan tersebut jadi
ketakutan setengah mati, dengan suara berbisik ia segera berkata:
"Loo-te!
carilah akal untuk segera melarikan diri dari sini, engkau tak usah
memikirkan keselamatanku lagi, aku rela menyusul ayahku untuk kembali
kealam baka!"
"Kau
benar-beonar tolol sekali" ujar Giam In kok sambil tertawa geli,
"ayahmu toh belum mati, kenapa kau hendak menyusul ke alam baka?
apakah kau sudah bosan hidup?"
"Tapi....
ta... pi... rumahku sudah terbakar habis!"
"Benar,
dan beberapa ekor ayam pun ikut terbakar sampai hangus!" sambung
Giam In Kok cepat.
"Kalau
memang begitu kita harus cepat-cepat melarikan diri dari sini.....!"
"Tidak!
kita tak boleh melarikan diri lebih dahulu, sampai sekarang kita
masih belum tahu apa sebabnya ayahmu melakukan siasat bakar rumah,
siapa tahu dari pembicaraan pihak lawan kita akan berhasil
mendapatkan sedikit petunjuk yaag berharga!"
Sebenarnya
Giam In kok mengharapkan kedua orang iblis itu saling bertarung satu
sama lain-nya, sehingga Gak Beng mendapat kesempatan untuk melarikan
dari tempat itu, akan tetapi rupanya kedua orang iblis itupun saling
jeri satu sama lainnya, buktinya setelah mengucapkan kata-kata
merendah merekapun bercakap-cakap diiringi gelak tertawa.
Terdengar
manusia iblis bertangan seribu berkata sambil tertawa:
"Oooh...!
rupanya Su Gong loo ji juga berada disini, tapi tentunya kau bukan
berasal satu rombongan dengan becah cilik itu bukan?"
Iblis
sakti melirik sekejap ke arah Giam In kok serta Gak Beng lalu
menggeleng.
"Kedatanganku
kemari adalah untuk mencari Gak Pun Leng, sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan orang itu."
"Ada
urusan apa kau mencari si tua bangka itu?"
"Seorang
sahabatku yang bernama Song Cin Poo mengidap suatu penyakit yang
aneh sekali, aku sengaja datang kemari untuk mengundang Gak loo ji
agar menyembuhkan penyakit dari sahabatku ini!"
Setelah
berhenti sebentar, ia menengadah memandang manusia iblis tajam-tajam,
lalu sambungnya:
"Dan
kau? ada urusan apa kau datang kemari?"
Manusia
iblis bertangan seribu agak tertegun sebentar, kemudiam sambil
menuding kearah golok kilat dibalik senyuman Kang Yong jawabnya:
"Sungguh
memalukan kalau dibicarakan, kedatanganku disini justru hendak
membuat perhitungan dengan Gak Pun Leng atas tingkah-lakunya tempo
dulu terhadap muridku serta keponakan Lie Liang, kami datang kemari
adalah untuk mencabut jiwa anjingnya...."
"Waaaah....
bagaimana baiknya?" seru Iblis sakti dengan cepat.
"Sejak
tiga hari berselang aku telah mengutus orang untuk datang kemari
mengirim barang hadiah, itu berarti mulai saat itu Gak Pun Leng telah
menjadi tamu terhormatku, Suma Looko! bagaimana kalau kau suka
memandang diatas wajahku dan lepas tangan untuk beberapa hari
lamanya?"
"Benar!"
teriak Giam In kok dari samping sambil bertepuk tangan. "Selamanya
memang manusia sudah sepantasnya mengalah untuk malaikat sakti....
manusia iblis harus mengalah untuk iblis sakti...."
"Hmmm!
boceh cilik, lebih baik kau tak usah mencampuri urusan orang
lain...." tukas manusia iblis bertangan seribu dengan ketus.
Kepada
iblis sakti ia lantas menyambung lebih jauh:
"Tadi
aka masih merasa keheranan, kenapa Gak Pun
Leng membakar rumahnya sendiri dan
kabur dari sini, rupanya Suheng loo ko yang telah
menakut-nskuti dirinya sehingga dia jeri, tapi
tak usah kuatir, bukankah putra tunggalnya Gak Beng masih berada
disini? Ia tak mungkin berani melarikan diri keujung langit."
Jilid
9 Kakak beradik she Thian
"Siapakah
Gak Beng itu?" tanya iblis sakti dengan cepat.
"Itu.......
manusia yang berada dibelakang bocah cilik tersebut!"
Iblis
sakti segera berpaling, ia jumpai Gak Beng adalah seorang lelaki yang
berusia tiga puluhan, dengan girang segera katanya:
"Oooh...
rupanya dialah yang bersama Gak Beng, aai.... orang she Gak,
kemarilah!"
Gak
Beng hendak maju
kedepan, tapi Giam In kok segera
menarik tangannya sambil berbisik
lirih:
"Jangan
kesana!"
Kebetulan
sekali pada waktu itupun manusia iblis
bertangan seribu sedang berseru:
"Tunggu
sebentar! untuk sementara waktu aku bisa
saja menyerahkan Gak Beng ketangan loo ko,
agar Gak Pun Leng bisa dipancing
kemunculan-nya untuk menyembuhkan sahabatmu
itu, tapi engkau harus berjanji pula, jika urusan telah selesai maka
ia tak boleh dibiarkan pergi, tapi harus diserahkan padaku!"
Iblis
sakti termenung beberapa saat lamanya, kemudian mengangguk.
"Baiklah!
begitupun tak ada ruginya bagiku, kita
tetapkan demikian saja...."
Gak
Beng jadi ketakutan setengah mati, air mukanya berubah jadi pucat
pias bagaikan mayat, sedang tubuhnya gemetar keras.
Sebaliknya
Giam In kok segera berseru sambil tertawa tergelak:
"Hahaa....haaah...
haaah.... suatu penawaran yang bagus sekali, sayang sauya tidak
bersedia menerima penawaran tersebut, kalian mau apa.....?"
Iblis
sakti tertawa panjang, dengan biji matanya yaag jeli ia memperhatikan
diri Giam In kok beberapa saat lamanya, kemudian ujarnya:
"Bocah
cilik, sungguh hebat sekali kau! aku kagum dengan keberanianmu....
tapi sayang kau agak terlambat dilahirkan di kolong langit, tentunya
kau belum pernah mendengar tentang jago-jago lihay dikolong langit
yang disebut orang sebagai It sian satu dewa, Ji hud dua
Buddha, Sam te tiga imam, Su mo empat Iblis, Ngo
ki lima manusia serta lak yau enam siluman bukan?
Ketahuilah sekarang, It sian si dewa sakti sudah mengasingkan diri,
dua Buddha tak diketahui jejaknya, Sam to tiga imam tak kedengaran
beritanya sedang empat iblis ada dua diantaranya hadir disini, apakah
kau merasa mampu untuk menghadapi serangan kami?"
Diam-diam
Giam In kok terkejut pula setelah mendengar bahwa Ngo ki lima manusia
aneh hanya berada dalam urutan yang kelima, sekalipun begitu rasa
kagetnya sama sekali tidak diutarakan keluar, ia tertawa keras dan
menyambung dengan cepat:
"Eei....!
perkataanmu masih ada kekurangannya, kenapa kau tidak sertakan namaku
si bocah ajaib bermuka seribu diantara deretan nama jago jago lihay
itu....?"
Iblis
sakti termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian ia
menjawab:
"Belum
pernah kudengar tentang julukan seperti itu... sejak kapan julukanmu
itu tersiar didalam dunia persilatan?"
Dalam
pada itu sastrawan selaksa racun yang dihantam oleh Giam In kok
sehingga darah bergolak didalam dadanya, harus duduk bersemedi
beberapa saat lamanya untuk pulihkan kesehatan badan-nya, tapi semua
pembicaraan yang sedang berlangsnng dalam gelanggang dapat didengar
semua olehnya dengan jelas.
Pada
saat itulah dia berseru dengan lantang:
"Setan
cilik itu merupakan anak murid dari Gak loo ji, dia merupakan anak
angkat dari manusia rakus dari kolong langit, namanya yang sebenarnya
adalah Giam In kok dengan julukan bocah ajaib bermuka seribu!"
"Heeeh...
heeeh... heeeh... kalau dia memang anak murid dari Gak Pun Leng,
manusia ini tak boleh dibiarkan berlalu dari sini...." seru
iblis sakti sambil tertawa seram.
Giam
In kok memutar sepasang biji mata nya, lalu tertawa dan berkata:
"Kalau
sauya mau pergi maka setiap saat aku bisa berlalu dari sini, namun
Gak suhengku masih berada disini, aku tak tega membiarkan ia diganggu
oleh kalian semua, biarkan kuantar dia pergi dahulu dari tempat ini!"
"Kalian
berdua tak usah pergi lagi dari sini, tinggal saja bersama aku.....!"
seru iblis sakti dengan suara keras.
Giam
In kok tersenyum....
"Boleh
saja tinggal disini," katanya, "tapi aku hendak menerangkan
lebih dahulu, Gak suhengku sama sekali tak pernah belajar ilmu
pertabiban apa-apa dari ayahnya, ia tidak banyak gunanya untukmu
karenanya selama dia berada disisi kalangan, aku harap tak seorang
manusiapun yang coba-coba mengganggu dirinya!"
"Hahaa....
hahaa... hahaa... kau tak usah kuatir, tentang soal ini, barang siapa
berani mengganggu dirinya maka aku akan memberikan pelajaran yang
setimpal kepadanya"
"Baiklah
kalau begitu! seru Giam In kok.
Kemudiam
sambil berpaling kearah Gak Beng ia segera berbisik lirih:
"Bersiap-siaplah
Gah Beng! dalam melancarkan pukulan nanti, aku akan menghantar kau
menuju kedalam hutan, berusahalah melarikan diri dari tempat ini dan
tak usah menggubris diriku lagi, karena aku mempunyai kemampuan untuk
melarikan diri dari sini!"
Gak
Bang mengangguk tanda mengerti.
Begitulah,
sementara kawanan jago lihay itu sedang menduga-duga rahasia apa yang
sedang dirundingkan Giam In kok dengan Gak Beng, tiba-tiba pemuda itu
membentak keras:
"Pergi!"
Dengan
menyalurkan hawa murninya yang kuat sepasang telapak tangan-nya
segera mendorong tubuh Gak Beng sehingga mencelat sejauh beberapa
tombak dari tempat semula, dan dengan lincah sekali lelaki itu segera
melarikan diri masuk kedalam hutan.
Iblis
sakti jadi teramat gusar ketika menyaksikan peristiwa itu, dengan
muka merah padam hardiknya:
"Bangsat
kau berani membohongi aku?"
Diiringi
deruan angin tajam, telapak tangan-nya segera diayunkan kedepan.
Giam
In kok tertawa panjang, sepasang telapak tangannya segera mendayung
kebelakang, dengan meminjam tenaga pukulan yang dipancarkan oleh
iblis sakti itu, ibaratnya perahu layar yang terhembus angin, dengan
enteng sekali badan-nya meluncur ke arah hutan dimana Gak Beng sedang
melarikan diri.
Begitu
mencapai tepi hutan, tangan-nya bergerak cepat menyambar tubuh Gak
Beng yang sedang lari itu dan segera kabur kedalam hutan.
Tertegun
hati iblis sakti menyaksikan angin pukulan yang dilancarkan olehnya
telah dimanfaatkan oleh pemuda itu untuk kabur, bebsrapa saat
kemudian ia baru berseru:
"Aaah....
! sungguh tak kunyana kalau bajingan cilik itu adalah anak murid dari
Cing Khu sangjin, mataku benar-benar sudah melamur!"
"Ayo
Mari kita kejar!" teriak manusia iblis bertangan seribu cepat,
ia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan melakukan
pengejaran.
Sesungguhnya
Giam In kok memiliki ilmu meringankan tubuh
yang amat sempurna, tetapi berhubung ia harus membopong tubuh seorang
lelaki seperti Gak Beng maka dengan sendirinya gerakan tubuhnya jadi
melamban.
Belum
jauh ia melarikan diri, desiran angin tajam sudah datang dari
belakang, ia segera berpaling kebelakang, tatkala menyaksikan iblis
sakti dan manusia iblis sudah hampir mendekati, buru-buru ia
berseru:
"Gak-heng
kau tak usah menguatirkan keselamatanku, cepatlah melarikan diri dari
sini!"
Setelah
melepaskan Gak Bang dari gendongannya, si anak
muda itu segera membalikkan badan dan menghadang jalan pergi gembong
iblis sambil ujarnya:
"Mengapa
sih kalian berdua mengejar diriku? apakah badan kalian sudah merasa
gatal dan kepingin digebuki?"
"Kau
adalah anak murid dari Cing Khu sangjin," seru manusia bertangan
seribu dengan suara keras. "Karenanya, pada malam ini jiwamu
harus ditinggalkan disini!"
"Bocah
keparat! kau berani membohongi diriku," teriak iblis sakti pula
dengan suara keras, "aku tak akan mengampuni jiwamu lagi, kau
harus merasakan bagaimana menderitanya seseorang yang berani
membohongi diriku....!"
"Hahaa....
hahaa.... hahaa.... kalian tak usah jual lagak dan omong besar lagi,
hari ini justru sauya lah yang hendak membasmi kaum iblis dari muka
bumi, ayo siapa kah diantara kalian berdua yang ingin mampus lebih
dahulu?"
Dua
buah telapak tangan-nya segera diayunkan kedepan melancarkan
serangan.
Kalau
angin pukulan si iblis sakti berhawa panas dan bersifat keras
sedangkan hawa pukulan dari manusia iblis lunak serta berhawa dingin,
hampir bersamaan waktunya dua angin pukulan yang amat dahsyat itu
bersama-sama menumbuk diatas dada Giam In kok.
Menghadapi
datangnya ancaman itu, pemuda tersebut tak berani bertindak gegabah,
tubuhnya meloncat satu tombak kesamping lalu serunya:
"Mari...mari....
kesini saja kalau mau bertempur, tempat disitu terlalu sempit...."
Tubuhnya
segera berkelebat secepatnya kabur kearah yang berlawanan dengan arah
yang ditempuh oleh Gak Beng.
Setelah
hawa kegusaran-nya dikobarkan oleh Giam In kok, dalam keadaan begitu
kedua orang iblis tersebut sudah tidak mem perdulikan tentang diri
Gak Beng lagi, dengan kencang mereka membuntuti dibelakang Giam In
kok.
Meskipun
dua orang Iblis mempunyai urutan nama diatas lima orang manusia aneh,
tetapi gerukan tubuh mereka masih belum berhasil menandingi kelihayan
anak muda itu, kendatipun kejar-mengejar telah berlangsung hampir
mencapai satu kentongan lamanya, namun kedua orang itu masih belum
mampu menyusul Giam In kok sehingga berada pada
jarak setengah tembok.
Dalam
pada itu fajar telah menyingsing diufuk sebelah timur, sang surya
memancarkan sinarnya yang keemas-emasan keseluruh jagad, pada saat
itulah dibalik pepohonan yang lebat meluncur datang dua sosok
bayangan tubuh yang tinggi besar.
Jubah
lebar yang dikenakan dua orang itu panjang sekali, sehingga hampir
menutupi kaki mereka, namun gerakan tubuhnya cepat dan aneh sekali,
dalam waktu singkat mereka sudah berhasil mencapai jarak sepuluh
tombak dibelakang pemuda itu.
Sejak
kemunculan-nya tadi, Giam In kok sudah mengetahui bahwa gerakan kedua
orang itu luar biasa sekali, ia takut pihak lawan merupakan jago-jago
kalangan sesat yang berpihak pada dua orang iblis itu, untuk
menghindarkan hal-hal yang tak diinginkan, tubuhnya segera melayang
kesamping dengan maksud kabur lewat jalan kecil yang berada disisi
hutan.
Siapa
tahu orang yang berada disebelah kiri itu rupanya telah menebak
maksud hatinya, baru saja pemuda itu berbelok kesamping, dengan
langkah yang sigap ia sudah meloncat kedepan sana menghadang jalan
perginya.
"Eeei....
tunggu sebentar" tegurnya, "mengapa kau lari
terbirit-birit?"
Dari
pertanyaan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa orang itu tidak
bermaksud jelek terhadap dirinya, tetapi dengan adanya penghadangan
tersebut dengan cepat pasti iblis sakti serta manusia iblis bertangan
seribu berhasil menyusul dibelakangnya.
Iblis
sakti segera mengenjotkan badan-nya melayang keudara setelah melewati
tubuh Giam In kok ia menghadang dihadapan-nya sambil berkata diiringi
gelak tertawanya:
"Hahaa....
hahaa.... hahaa....bocah keparat, sekarang kau sudah tak mampu lagi
untuk kabur dari sini!"
Sementara
orang yang menghadang jalan pergi Giam In kok tadi pun sempat agak
tercengang setelah menyaksikan kemunculan manusia iblis bertangan
seribu, serunya tertahan:
"Oooo...!
rupanya saudara Suma juga berada disini...."
Giam
In kok jadi kaget ketika mengetahui bahwa kedua belah pihak saling
mengenal satu sama lain-nya, tanpa banyak bicara ia kirim satu
pukulan gencar kearah orang yang berada dihadapan-nya dengan harapan
bisa merebut jalan untuk melarikan diri.
Orang
itu mendengus dingin, telapak tangan-nya segera disilangkan didepan
dada untuk menangkis datangnya ancaman tersebut.
Tapi
sayang orang itu terlalu memandang enteng diri Giam In kok,
dianggapnya musuh hanya merupakan seorang pemuda ingusan, maka ilmu
silatnya tentu belum luar biasa, kerana itu dalam tangkisan itupun
tidak semua tenaga yang dimilikinya dipergunakan.
"Blammmm......
!!"
Ditengah
benturan yang sangat keras, tubuhnya yang tinggi besar segera
tergetar mundur sejauh lima langkah kebelakang dengan sempopongan.
Rekannya
yang lain jadi amat gusar, menyaksikan sahabatnya dihajar orang,
dengan air muka berubah bentaknya:
"Kurang
ajar, kau berani bermain kasar dengan kami?"
Lengan-nya
menyambar kedepan dan langsung mencengkeram bahu sianak muda itu.
Giam
In kok berkelit kesamping menghindarkan diri dari ancaman itu, tapi
manusia iblis yang kebetulan berada disampingnya segera melancarkan
sebuah pukulan kedepan.
Meskipun
dikerubuti oleh dua orang jago lihay, Giam In kok sama sekali tidak
gentar, sepasang lengan-nya segera disapu keluar sambil berseru:
"Rasakan
jurus sakti membasmi iblis milikku ini!"
Ilmu
silat dari Cing Khu sangjin benar-benar luar biasa sekali, sekalipun
tenaga dalam yang dipergunakan Giam In kok tidak penuh namun sapuan
tersebut cukup mengetarkan seluruh permukaan bumi.
Diantara
benturan yang nyaring, dua orang jago lihay yang sedang melancarkan
serangan itu segera terdesak mundur satu langkah kebelakang.
Kemudian
dengan sorot mata yang tajam Giam In kok menyapu sekejap sekeliling
tubuhnya, ia temukan dirinya sudah terkepung rapat-rapat oleh
jago-jago tersebut, jelas suatu pertarungan sengit tak dapat
dihindarinya lagi.
Dalam
keadaan begini, ia segera mengempos tenaga
dan tertawa nyaring, serunya:
"Hahaa....
haha.... bagus, bagus sekali! rupanya kalian memang merupakan
kawasan iblis dan siluman, tapi sebelum bertempur sebutkan dulu siapa
nama kalian, agar sauya bisa tahu siapa saja yang sudah kubunuh dari
muka bumi....!"
Manusia
iblis bertangan seribu Suma-heng segera tertawa dingin.
"Hehee....
hehee.... hehee.... apa lagi yang ingin kau ketahui? kami adalah dua
dari empat iblis serta dua siluman, cukup jelas bukan keterangan ini?
hmmm! siapa suruh kau menjadi anak murid Cing Khu Sangjin? kalau
sudah berani menjadi muridnya, maka kaupun sudah sepantasnya berani
membereskan persengketaan yang sudah terjadi antara kami dengan setan
gurumu itu sebelum ia menemui ajalnya....!"
"Tapi
kau tak usah kuatir, sekali aku she
Suma telah berjanji untuk mengalah tiga jurus kepadamu, aku tetap
akan mengalah kepadamu, nah! lancarkanlah seranganmu!"
"Hmm!
siapa yang suruh kau mengalah tiga jurus kepadaku?" dengus Giam
In kok dengan nada dingin, "Sauya adalah ahli waris dari
mendiang guruku, sudah sepantasnya kalau
akulah yang akan mengalah tiga jurus
untukmu....!"
Manusia
iblis bertangan seribu Suma Heng amat gusar sekali, ia merasa ucapan
itu merupakan suatu penghinaan baginya, dengan sorot mata yang tajam
ia menatap pemuda itu tanpa berkedip, sementara napsu membunuh
menyelimuti seluruh wajahnya.
Ia
bersuit nyaring... secara tiba-tiba
tubuhnya melambung tinggi keangkasa, kemudian diantara berkembangnya
bayangan telapak tangan diudara, desiran tajam meluncur kebawah
laksana petir yang menyambar kebumi.
Rupanya
iblis ini ingin menunjukkan kelihayan-nya dihadapan iblis sakti serta
dua siluman lain-nya, dalam pemikiran-nya asal dalam satu jurus
gebrakan saja ia mampu membikin keok ahli waris dari Cing Khu sangjin
ini, maka pamornya akan semakin meningkat, maka begitu turun tabgab
ia segera mengeluarkan jurus serangan yang paling ampuh.
"Blaamm!
blaamm!"
Beberapa
benturan keras menggeletar diudara, pada daerah seluas lima tombak
disekeliling gelanggang muncullah belasan buah liang kecil yang
terletak tak beraturan, pusaran angin yang membawa terbang pasir dan
debu mencapai ketinggian lima tombak lebih.
Giam
In kok yang berada didalam kurungan angin puyuh itu tertawa
terbahak-bahak:
"Haaah...
haaah.... hahaa... julukannya memang hebat, katanya manusia iblis
bertangan seribu, tapi mana buktinya? kenapa liang yang dibuat dalam
tanah banya tujuh puluh buah saja? wah.... kalau dibandingkan dengan
angka seribu, masih selisih jauh sekali...."
Kelihayan
manusia iblis bertangan seribu justru terletak pada keampuhan
permainan ilmu telapak tangan-nya, bila serangan-nya dilancarkan maka
seolah-olah terdapat seribu tangan yang berubah menjadi jaringan
telapak tangan yang mengurung tubuh lawan-nya dibawah serangan
tersebut, disamping itu diapun pandai melepaskan senjata rahasia
beracun yang tak terduga oleh lawan, atas keampuhan-nya inilah ia
diberi julukan si tangan seribu.
Siapa
tahu, meskipun Giam In kok berhasil
terkurung dibawah jaringan telapak tangan-nya yang sangat ketat,
bukan saja pemuda situ
gagal dilukai oleh serangan ampuhnya, bahkan pihak
lawan malah mampu menghitung ketujuh puluh dua buah liang
kecil yang dihasilkan oleh serangan-nya, hal
itu membuat iblis itu jadi jengah sekali hingga air mukanya
berubah jadi merah padam, dengan penuh
kegusaran kembali hardiknya:
"Bangsat
cliik, kau jangan keburu bangga dulu!"
Sekarang
telapak tangan-nya berputar kencang dan menari kembali diangkasa,
berpuluh-puluh buah cahaya tajam yang menyilaukan mata dan diiringi
desiran angin tajam serentak menyerang sekujur tubuh Giam In kok.
Menyaksikan
manusia iblis bertangan sakti Suma Heng telah mengeluarkan ilmu silat
andalan-nya untuk merobohkan musuh, iblis sakti serta kedua orang
siluman itn saling berpandangan sekejap dengan mulut membungkam,
sementara dalam hati kecilnya mereka berpikir:
"Sungguh
hebat serangan-nya ini, dari empat penjuru muncul cahaya tajam yang
disertai desiran angin tajam, waah.... bagaimana caranya untuk
menghindarkan diri?"
Ketika
berpuluh-puluh cahaya tajam yang membawa desiran angin tajam itu
menembusi lingkaran tubuh pemuda itu, tiba-tiba berhembuslah segulung
angin puyuh yang maha dahsyat, seketika itu juga kilatan cahaya
tersebut tersapu lenyap semua ditengah udara.
Terdengar
Giam In kok tertawa terbahak-bahak sambil mengejek:
"Hahaa....
hahaa.... hahaa.... manusia iblis bertangan seribu masih belum pantas
menggunakan julukan itu, tangan seribu?.... hahaa.... hahaha....
senjata rahasia yang kau lancarkan belum mencapai angka seribu,
baru tujuh ratus batang belaka.... aku lihat lebih baik julukanmu
dirubah jadi iblis manusia bertangan tujuh ratus saja...."
Semua
orang jadi melongo dan termangu-mangu mendengar ejekan tersebut, dari
sini semakin bisa dibuktikan bahwa kepandaian silat yang dimiliki
pemuda itu benar-benar luar biasa sekali.
Dua
orang manusia siluman saling bertukar pandangan sekejap, kemudian
mereka merogoh kedalam sakunya dan mencabut keluar senjata tajam
masing-masing.
Sementara
itu manusia iblis bertangan seribu Sama Heng telah membentak kembali,
setelah serangan keduanya gagal, tangan-nya kembali diayunkan kedepan
melepaskan jarum-jarum berbisa, bersamaan itu pula badan-nya maju
kedepan dan berusaha menghantam tubuh pemuda itu.
Dua
orang manusia siluman yang berada disisi kalanganpun tak ambil diam
belaka, tangan mereka diayunkan berbareng,
sebuah cahaya emas dan sebuah cahaya hijau dengan membawa desiran
angin tajam dengan cepatnya meluncur kedalam gelangang.
Mauusia
bertangan seribu Suma Heng terkesiap hatinya, dengan ketakutan ia
menjejakkan kakinya keatas tanah, kemudian meloncat mundur sejauh
tujuh tombak kebelakang.
Debu
dan pasir memenuhi angkasa, ditengah kilatan cahaya yang menyilaukan
mata tiba-tiba berkumandang suara suitan panjang.
Giam
In kok bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya
meluncur sepuluh tombak ketengah udara, dibawah kilauan cahaya terang
segulung tenaga tekanan yang maha dahsyat menggencet tubuh iblis
manusia bertangan seribu yang sedang menerjang masuk kedalam
gelanggang itu.
Giam
In kok segara melayang turun keatas tanah, lalu sambil
tertawa haaa haaaa kembali ejeknya:
"Hey
iblis bertangan tujuh ratus, bagaimana sih? bukankah Sauya sudah
mengalah tiga jurus kepadamu? kenapa kau begitu tak becus sehingga
digebuk satu kali saja sudah ketakutan?"
Si
iblis sakti yang selama ini membungkam terus disisi
kalangan, diam-diam memutar otak dan berupaya untuk menghadapi
pemuda yang bergelar bocah ajaib bermuka seribu ini.
Ia
tahu Cing Khu sangjin pernah meninggalkan cairan kumala didalam
buli-buli emas yang bisa menambah tenaga dalam seorang sebesar enam
puluh tahun hasil latihan, tetapi ia merasa
tak usah jeri menghadapi bocah tersebut, sebab ia yakin dengan tenaga
dalamnya sebesar seratus tahun hasil latihan masih lebih dari cukup
untuk mengatasinya.
Ia
segera meloncat maju kedepan dan menghadang dihadapan manusia iblis
bertangan seribu sambil serunya:
"Bocah
cilik sambutlah seranganku!" Giam In kok tertawa dingin, dia
memutar telapak tangan-nya siap menyambut datangnya ancaman tersebut.
Tetapi
sebelum ia sempat turun tangan, tiba-tiba dari atas pohon melayang
turun dua sosok bayangan manusia, salah satu diantaranya yakni
seorang dara berbaju hijau dengan alis berkenyit telah membentak
dengan nyaring:
"Hmm!
mengandalkan jumlah banyak mengerubuti seorang bocah cilik....
mentang-mentang sudah tua lantas berani menganiaya orang muda....
huuh! tak kusangka kalau kalian manusia-mauusia yang punya nama besar
dikolong langit sebenarnya tak lain hanya manusia-manusia bermuka
tebal yang tak tahu malu!"
Waktu
itu manusia iblis bertangan seribu Suma Heng sedang merasa gusar dan
mendongkol sekali, iapun sedang gelisah karena rasa mendongkolnya
tidak tersalurkan, melihat dihadapan mereka tiba-tiba muncul dua
orang dara muda yang akan mencampuri urusan-nya, dengan penuh
kegusaran segera teriaknya keras-keras:
"Budak
sialan, darimana kalian datang? siapa suruh kalian berdua meacampuri
urusanku?"
Giam
In kok sendiripun diam-diam melirik sekejap kearah dua orang itu, ia
jumpai kedua orang gadis itu berusia antara enam belas tahunan, yang
satu mengenakan pakaian ringkas berwarna hijau sedang yang lain
memakai pakaian ringkas berwarna merah, sebilah pedang panjang nampak
tersoren diatas bahunya.
Kalau
dilihat dari tampangnya, pamuda itu merasa kagum karena dua orang
dara itu kelihatan gagah sekali, tapi ditinjau dari gerakan tubuhnya,
ia tahu bahwa ilmu silat mereka tidak terlalu lihay, dalam hati
segera pikirnya:
"Dua
orang ini benar-benar mencari penyakit buat diri sendiri, suka
mencampuri urusan orang lain, Hm! jika mereka tidak datang keadaanku
masih mendingan, justru dengan kedatangan mereka aku malah tak
sanggup melarikan diri....."
Berpikir
sampai disini buru-buru ia berseru:
"Cici
berdua, harap mundur saja kebelakang, beberapa gembong iblis itu
lihay sekali, belum tentu kalian berdua merupakan tandingan
mereka....!"
Dara
yang berbaju merah itu segera mencibirkan bibirnya setelah mendengar
perkataan itu, lalu serunya:
"Aaah....!
apa sih lihaynya mereka, kau tak usah kuatir lihatlah kami berdua
akan menghajar beberapa orang cecunguk itu sehingga babak
belur.....!"
Habis
berkata ia segera menggerakkan sepasang telapak tangan-nya yang putih
bagaikan salju itu dan menyerobot kehadapan manusia iblis bertangan
seribu, sebuah pukulan gencar segera dilancarkan.
Melihat
gerakan tangan yang digunakan dara cantik berbaju merah itu, manusia
iblis bertangan seribu buru-buru menyingkir kesamping lalu hardiknya
secara lantang:
"Eeeei....
eeei.... tunggu sebentar, bukankah jurus serangan yang kau gunakan
itu merupakan ilmu silat dari iblis bumi Suto heng, siapakah kau?
jangan salah paham..... kami ini merupakan sahabat dari iblis
bumi......"
Kontan
saja Giam In kok berpikir keras didalam hati kecilnya:
"Bagus
sekali.... rupanya mereka memang terdiri dari golongan tikus serta
ular....wah ! kalau sampai terjadi pertarungan tentu ramai sekali
keadaan-nya...."
Pemuda
itu jadi kegirangan, dia ingin menyaksikan jago-jago dari kalangan
hitam itu saling bertarung sendiri.
Siapa
tahu dara berbaju merah itu segera mendengus dingin dan mencaci maki:
"Tua
bangka celaka, mungkin matamu sudah melamur dan tak bisa melihat
dengan jelas gerakan ilmu silat orang.... coba lihat dulu dengan
jelas apakah jurus serangan yang kami gunakan merupakan ilmu silat
dari iblis bumi? apakah hanya suto Hong saja yang dapat mempergunakan
kepandaian seperti itu....?"
Haruslah
diketahui Suto Hong serta Suto Liong adalah kakak beradik yang
masing-masing menduduki posisi sebagai iblis langit serta iblis bumi,
setelah kedua orang dara itu menyangkal bahwa mereka mempunyai
hugungan dengan Suto Hong, itu berarti
bahwa merekapun tak ada hubungan-nya dengan
Suto Liong.
Salah
satu diantara siluman yang bermuka putih bersih, dengan gaya seorang
banci segera melangkah maju kedepan, lalu berkata sambil tertawa
cengar-cengir:
"Kalau
memang nona cilik berdua tak ada hubungan-nya dengan suto loo ko dari
iblis langit, bagaimana kalau serahkan saja kepadaku untuk
mengurusinya?"
Dara
berbaju hijau itu menjadi amat gusar setelah melihat tingkah laku
orang itu, sambil membentak keras katanya:
"Eeeii...
banci! kau tidak mirip laki, tidak mirip juga perempuan, sebenarnya
manusia apakah dirimu itu?"
"Hiiiih...
hiiih... hiiiih... aku yang muda bernama Koan Ki! indah bukan
namaku?" jawab siluman banci itu sambil tetap cengar-cengir
seperti kuda.
Giam
In kok jadi geli juga menyaksikan tingkah laku siluman banci yang
telah ditaksir berusia lima puluh itu, tak tahan lagi pemuda itu
segera tertawa terbahak-bahak.
Sebaliknya
paras muka dara berbaju hijau, itu mula-mula jadi merah padam setelah
mendengar lawannya menyebutkan namanya tapi kemudian dengan wajah
pucat pias bagaikan mayat dia mencabut keluar pedang panjangnya yang
tersoren di atas punggung.
Lalu
sambil memutar senjatanya membentuk sekilas cahaya keperak-perakan,
ia menerjang maju kedepan.
Koan
Ki mengegos kesamping, pada kesempatan itu tangannya meraba pinggul
dara baju hijau itu sambil berseru memuji:
"Aduuh....
mak.... lunak ....empuk....sedap!"
Dara
berbaju hijau itu merasa malu bercampur gusar, air mukanya berubah
jadi merah bagaikan kepiting direbus, dengan gemas ia meludah diatas
tanah, kemadian hawa murninya disalurkan kedalam senjata, sehingga
ujung pedang itu memancarkan cahaya
berkilat dan berubah menjadi warna hijau tua....
Koan
Ki sangat terperanjat ketika menyaksikan hal itu, tanpa sadar ia
berteriak keras:
"Ah!
ilmu pedang dari keluarga Thian"
Sesudah
mengetahui asal usul dari ilmu pedang yang dipergunakan lawannya,
siluman banci Koan Ki tak berani bertindak gegabah, sepasang
tangannya segera mengepal kencang-kencang, dalam waktu singkat
kepalan itupun berubah jadi putih berkilaun.
Sementara
itu si dara berbaju hijau tadi telah merubah permainan pedangnya,
terlihatlah segumpal cahaya hijau kehitam-hitaman yang amat
menyilaukan mata mengurung tubuhnya ditengah kalangan, kian lama
cahaya itu berubah semakin tajam, sehingga akhirnya cahaya hijau yang
mengitari sekeliling tubuh Koan Ki berubah jadi hijau muda yang
tajam.
Berulang
kali Koan Ki melancarkan serangan-nya untuk mendesak mundur gadis
berbaju hijau itu, tapi setiap kali angin pukulan-nya gagal untuk
menembusi kurungan hawa pedang lawan, sebaliknya ia malah memancing
kegusaran lawan, akibatnya serangan yang dilancarkan dara itu semakin
gencar.
Ketika
mendengar tentang ilmu pedang keluarga Thian disinggung orang, Giam
In kok merasakan hatinya tergerak, tanpa sadar ia berteriak keras:
"Cici
baju merah, apakah kalian benar-benar she Thian?"
"Kalau
kami she Thian lantas mau apa kau?" jawab gadis berbaju merah
itu dengan ketus.
"Kalau
memang she Thian, hal ini kebetulan sekali! siaute akan membantu
kalian untuk menghajar gembong iblis tersebut!"
Oleh
karena kedua orang gadis ini she Thian, pemuda tersebut segera
menduga kalau mereka pasti ada hubungannya dengan Thian Bu, sebab
Thian Bu kalau bukan seorang jago lihay yang punya nama benar di
kolong langit, tidak mungkin telapak tangan sakti dari Giam tok
menyuruh ia mencari jago lihay tersebut.
Oleh
sebab itulah dia lantas mengambil keputusan untuk membantu dua orang
gadis itu dalam keadaan apapun juga, agar dengan demikian kabar
berita mengenai Thian Bu berhasil didapatkan.
Sementara
ita gadis berbaju merah itu segera mencibirkan bibirnya setelah
mendengar perkataan itu, segera serunya:
"Ciiis!
tak tahu malu, kami berdua yang datang membantu dirimu, ataukah kau
yang datang membantu kami berdua?"
Giam
In kok jadi geli juga, sambil tertawa ujarnya kembali:
"Baiklah,
perduli siapa membantu siapa, pokoknya yang penting kita semua adalah
satu nyawa!"
"Ciiis......!
siapa yang kesudian menjadi satu nyawa dengan tampangmu itu?"
kembali dara berbaja merah itu berseru dingin.
Iblis
sakti yang mengikuti semua pembicaraan tersebut tak dapat menahan
rasa gelinya lagi, ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaa....
haaaah.... haaaah.... kepaat cilik! sayang sekali kau ingin menjilat
pantat kuda yang kau jilat justru kakinya, siapa suruh kau
bertindak kurang hati-hati....? aku lihat lebih baik kalian tak usah
bergurau terus-menerus, ketahuilah bahwa aku sedang membutuhkan
tenagamu untuk menyembuhkan penyakit aneh yang diderita oleh
sahabatku, aku sama sekali tidak bermaksud untuk membinasakan
dirimu!"
"Kurang
ajar, siapa yang jadi kuda? kau samakan diriku seperti kuda.....?"
bentak dara berbaju merah itu dengan gusar.
Bersamaan
dengan selesainya perkataan itu ia segera menerjang kedepan sambil
melancarkan sebuah serangan kilat.
Iblis
sakti sama sekali tidak memandang sebelah matapun terhadap serangan
dara berbaju merah itu, menanti angin pukulan itu tadi hampir
mengenai tubuhnya, tiba-tiba ia mengegos kesamping, lalu menerjang
kedepan mendekati Giam In kok.
Dalam
pada itu, sianak muda itu sendiripun sedang menguatirkan keselamatan
dara berbaju merah itu, dia takut dara tersebut bukan tandingan dari
iblis sakti dan akan menderita luka ditangan-nya, tidak menunggu
lawan-nya melancarkan serangan lagi, begitu iblis sakti mendekati
tubuhnya, ia segera menerjang maju sambil mengirim satu pukulan
gencar.
Ilmu
sakti ajaran dari Cing Khu sangjin benar-benar lihay sekali, dalam
waktu singkatt pohon dan tumbuh-tumbuhan tumbang terhembus angin
puyuh, pasir dan debu berterbangan memenuhi seluruh angkasa, begitu
kalut suasananya sehingga hampir saja susah untuk melihat bayangan
manusia yang berkelebat didepan mata.
Air
muka iblis sakit berubah hebat karena kagetdan saking tercekatnya,
buru-buru dia mundur tujuh-delapan tombak jauhnya dari tempat semula,
setelah berhasil menenangkan hatinya, segenap kepandaian segera
dikeluarkan untuk membendung datangnya ancaman tersebut.
Dara
berbaja merah itupun terkejut bercampur tercengang, setelah
menyaksikan jalan-nya pertarungan antara iblis sakti melawan Giam In
kok.
Beberapa
saat lamanya, ia memutar biji matanya dan mengalihkan pandangannya
untuk menyaksikan pertarungan yang sedang berlangsung antara dara
berbaju hijau melawan Koan Ki banci tersebut.
Siapa
tahu ketika ia berpaling, hampir saja dara berbaju merah itu tertawa
cekikikan saking gelinya.
Ternyata
dara berbaju hijau dan siluman banci Koan Ki telah menghentikan
pertarungan-nya, saperti
pula para jago lain, pada saat itu dengan mata melotot dan
mulut melongo, kedua orang itu sedang menyaksikan jalan-nya
pertarungan antara Giam In kok melawan
iblis sakti.
Pertarungan
yang sedang berlangsung itu rupanya merupakan pertarungan paling
sengit yang pernah berlansung di kolong langit, sehingga semua orang
begitu terpesonanya untuk mengikuti jalan-nya pertarungan itu.
Diam-diam
dara berbaju merah itu mendekati sisi
dara berbaju hijau, kemudian menepuk bahunya.
Dara
berbaju hijau itu terlonjak kaget dan segera berpaling kebelakang,
tetapi setelah mengetahni siapakah yang telah menepuk bahunya itu,
sambil mencibirkan bibirnya ia mengomel:
"Cici,
kau benar benar jahat sekali, sampai kaget setengah mati aku!"
"Hmm!
coba lihat keadaanmu yang termangu-mangu seperti orang yang
kehilangan sukma, kalau bajingan tua she Koan itu menghajar badanmu,
bukankah sejak tadi kau sudah tergeletak tak bernyawa lagi?"
Koan
Ki berada kurang lebih satu tombak dari mereka, dengan sendirinya
perkataan tersebut dapat didengar olehnya, ia segera tersenyum:
"Hihiii....
hihiii.... hihiii... kailan tak perlu kuatir, sebelum pertarungan ini
selesai berlangsung dan menang kalah belum ditentukan, aku tidak akan
membukakan pakaian untuk kalian berdua!"
"Anjing
biadab!" maki dara berbaju merah itu dengan jengah sehingga air
mukanya berubah jadi merah padam.
Ia
segera mencabut keluar pedangnya, kemudian diputar sedemikian rupa
sehingga menimbulkan suara desiran tajam, sambil menerjang maju
kedepan, sebuah tusukan kilat segera dilancarkan.
Pada
saat itu siluman banci Koan Ki sama sekali
tidak menaruh perhatian terhadap kedua nona
tersebut, menyaksikan datangnya tusukan kilat dari lawan-nya,
dia menjadi gugup setengah mati, dalam waktu singkat tubuhnya sudah
terdesak mundur beberapa langkah kebelakang.
Mendadak......
Suara
pekikan nyaring berkumandang memenuhi
angkasa, suara itu tinggi melengking dan
amat memekikkan telinga.
Belum
habis suara pekikan tersebut menggema diudara, kembali terjadi
ledekan dahsyat menggeletar di seluruh permukaan bumi, dalam waktu
singkat kembali terjadi gumpalan debu yang menyebar keangkasa. dua
saaok bayangan manusia nampak saling meluncur keluar dari gelanggang.
Dara
berbaju marah itu amat terperanjat, rupanya pertarungan yang sedang
berlangsung telah berhenti.
Di
tengah jeritan kaget yang memecahkan kesunyian, terlihatlah lima
sosok manusia secara terpisah masing-masing menyerbu kearah Giam In
kok serta iblis sakti.
Meskipun
didalam serangan mautnya tadi Giam In kok berbasil memukul mundur
iblis sakti, akan tetapi dia sendiripun tak mampu mempertahankan
dirinya, dengan sempoyongan badannya tergetar mundur beberapa langkah
kebelakang.
Hampir
pada saat yang bersamaan nona berbaju merah serta nona berbaju hijau
itu tiba disisi anak muda tersebut, dengan nada penuh perhatian
mereka segera menegur melirih:
"Bagaimana
keadaanmu? apakah kau menderita luka?"
Giam
In kok hanya merasa kaget saja oleh sentakan keras akibat benturan
keras tadi. Setelah mengepos tenaga dan berhasil berdiri tegak ia
menghembuskan napas panjang, kemudian menggeleng dan tertawa getir.
"Cici!
berilah sebutir obat Sian huan wan kepadanya!" kata sinona
berbaju hijau itu tiba-tiba.
Nona
berbaju merah itu mengiakan dan segera mengambil keluar sebuah botol
porselen kecil dari dalam sakunya.
Dalam
pada itu Giam In kok telah mengatur pernapasannya satu kali, ia
merasa golakan darah panas dalam rongga dadanya telah berhasil
ditenangkan kembali, karena merasa tidak terluka buru-buru ia
berseru:
"Terima
kasih untuk perhatian cici berdua, tak usah kau membuang obat mujarab
milikmu dengan sia-sia"
"Huuh...!
obat ini toh sudah kuambil keluar, masa kau suruh aku menyimpan-nya
kembali?" omel nona berbaju merah itu sembari
mencibirkan bibirnya yang kecil, "ayo cepat terima!"
Giam
In kok merasa senang sekali menyaksikan
kelincahan serta kemanjaan nona berbaju merah itu, dia merasa tak
enak hati untuk menolak kebaikan orang, maka sambil
tersenyum ia segera menerima pemberian obat mujarab tersebut
dan kemudian dimasukkan kedalam sakunya.
"Eeei...!
kenapa tidak kau telan?" tegur nona berbaju
hijau itu dengan nada tercengang.
"Aaah....
biar kusimpan dulu obat ini, nanti saja kalau aku benar-benar
menderita luka, obat ini pasti akan kutelan"
Debu
dan pasir yang beterbangan diangkasa perlahan-lahan sirap dan
pemandangan disekeliling tempat itupun dapat terlihat kembali dengan
nyata, tampaklah diatas permukaan tanah muncul sebuah celah sebesar
tiga depa dengan panjang lima depa, inilah akibat benturan angin
pukulan yang dilancarkan oleh pemuda tersebut.
Iblis
sakti duduk bersila diatas tanah, agaknya ia telah menderita luka
dalam yang cukup parah dan pada saat ini sedang mengatur
pernapasan-nya untuk menyembuhkan luka tadi, disisi tubuhnya
berdirilah manusia iblis bertangan sakti Suma Heng serta dua siluman
lain-nya.
Terdengar
nona berbaju hijau itu tertawa ringan kemudian menegur:
"Eaei...
siapa sih yang barusan bergbrak melawan dirimu? apakah kau kenal?"
"Aku
dengar ia berjulukan Iblis sakti, orang-orang itu menyebut dia
sebagai tua bangka Su Gong, entah siapa namanya?"
"Aaah....!
jadi dia adalah Su Gong Wan?"
"Mungkin
saja begitu," sahut pemuda itu sambil tersenyum, "cici
rupanya pengetahuan mu jauh lebih luas ketimbang aku!"
"Huuuh....!
mereka toh Iblis-iblis kenamaan yang terderet namanya diantara
jago-jago kenamaan dunia persilatan, siapa saja kenal siapakah iblis
langit, iblis bumi, manusia iblis serta iblis sakti!"
"Eeeiii
cici, aku dengar tadi kalian she Thian, kenalkah kalian dengan
seorang jago tua yang bernama Thlan Bu?"
"Oooh...
dia? dia adalah kakekku!" jawab nona berbaju hijau itu setelah
ragu-ragu sejenak.
Rupanya
si nona berbaju merah tidak senang hatinya karena adiknya terlalu
ceroboh dan menjawab pertanyaan orang tanpa dipikir dahulu beberapa
kali, ia mengerling kearah nona tersebut.
Buru-buru
Giam In kok berseru kembali:
"Cici,
kau tak usah menaruh curiga terhadapku, siaute sama sekali tidak
bermaksud jahat terhadap dia orang tua, justru aku hendak menyambangi
dirinya”
"Lalu
siapakah engkau?"
"Aku
she In bernama Kok Hui!"
"Aaah....!
jadi engkaulah si bocah ajaib bermuka seribu itu?"
"Julukan
itu hanya pemberian orang-orang kepadaku, padahal muka siaute kan
cuma satu? coba lihat, masa aku punya muka seribu?"
Baru
saja perkataan itu selesai diucapkan keluar, tiba-tiba dari tengah
udara telah berkumandang datang suara pekikan nyaring, disusul
terlihatlah serentetan cahaya kuning keemas-emasan dan cahaya
kehijau-hijauan yang amat menyilaukan mata meluncur datang pada saat
yang bersamaan, desiran tajam langsung mengancam batok kepalanya.
Ternyata
dua orang siluman yang selama ini berdiri disisi
iblis sakti itu telah manfaatkan kesempatan yang sangat baik
dikala pemuda itu sedang bercakap-cakap untuk melancarkan serangan
yang mematikan.
Giam
In kok sendiri sama
sekali tidak menyangka kalau pada saat itu
manusia iblis bertangan seribu serta dua orang siluman
tersebut akan melancarkan serangan berbareng kearahnya, baru saja
ingatan berkelebat dalam benaknya, serangan yang maha dahsyat itu
sudah tiba diatas batok kepalanya.
"Cepat
mundur!" buru-buru dia membentak keras.
Segenap
hawa murni yang dimilikinya segera dihimpan kedalam sepasang telapak
tangan-nya, lalu dengan pukulan In goan ceng khi, sepasang
tangannya segera mendorong ke atas untuk membendung datangnya
serangan gabungan tersebut.
"Blaaaaammm.....!
Blaaaammm....!"
Ledakaa
dahyat yang menggelegar diudara segera menimbulkan goccangan yang
amat keras diseluruh permukaan bumi.
Manusia
iblis bertangan seribu, dua orang manusia siluman serta dua orang
gadis muda itu segera terpental sejauh beberapa tombak dari
gelanggang pertarungan, kemudian jatuh terkapar diatas tanah.
Iblis
sakti yang sedang duduk bersemedi pada jarak kurang lebih belasan
tombak dari sisi kalangan pun rupanya terpengaruh juga oleh gelombang
angin tekanan akibat serangan dahsyat dari It goan ceng khi
tersebut.
Tak
dapat diampuni lagi, tubuhnya segera menggelinding sejauh lima tombak
lebih dari tempat semula.
Giam
In kok sendiripun tidak berhasil mendapatkan keuntungan apa-apa dari
bentrokan tersebut, karena ia harus mengerahkan pukalan It goan ceng
khi tersebut dalam keadaan tergesa-gesa guna membendung datangnya
angin pukulan serta serangan senjata rahasia yang dilancarkan manusia
iblis serta ke dua orang manusia siluman tersebut.
Darah
segar didalam rongga dadanya segera bergolak keras, dan tak dapat
dicegah lagi, dia memuntahkan darah segar dan tak bisa berkutik lagi.
Kendatipun
pada saat terjadinya bentrokan tersebut, kedua orang dara manis itu
berada di belakang tubuh sang pemuda itu, namun tubuh mereka ikut
terpental juga kebelakang dengan cukup keras sehingga terbanting
keras keras diatas tanah, mereka harus menunggu beberapa saat ke
mudian hingga rasa pusing mereka hilang baru dapat merangkak bangun
kembali dari atas tanah dengan bersusah payah.
"Sreeeet....!
sreeeet....!"
Tiba-tiba
terdenger suara langkah kaki manusia berkumandang datang dari tempat
kejauhan, makin lama suara itu kedengaran semakin mendekat.
Ketika
si dara berbaju merah itu membuka sedikit matanya untuk mengintip,
maka tampaklah dua orang lelaki sedang berjalan mendekati kearah
mereka semua.
Ke
dua orang itu adalah seorang lelaki bertubuh kurus dan bertubuh
gemuk, usia mereka berdua diantara tiga-empat puluh tahunan, tak
nampak senjata tajam yang tergantung ditubuh kedua orang itu, namun
kalau ditinjau dari gerak langkah mereka yang begitu enteng, bisa
diduga bahwa mereka berdua mengerti akan kepandaian silat.....
Begitu
tiba di tempat kejadian, lelaki bertubuh gemuk itu segera memandang
sekejap ke sekeliling gelanggang, kemudian berseru tertahan:
"Aaaaah....!
Apa yang telah terjadi?" teriaknya keheranan, "mengapa di
tempat ini terdapat empat orang kakek, seorang pemuda dan dua orang
bocah perempuan yang tergeletak di atas tanah?"
Lelaki
yang bertubuh kurus kering itu segera tertawa seram, suaranya tajam
dan dingin sehingga tidak enak didengar.
"Heeeeh....hehee....
hehee... itu namanya nasib kita berdua sedang beruntung, bukankah
kebetulan sekali kitapun berdua? dua orang gadis itu bisa kita pakai
seorang satu....?"
"Perkataan
Gou heng sedikitpun tidak salah, rupanya mereka semua telah menderita
luka yang cukup parah, lebih baik kiya bereskan dulu tua-tua bangka
serta bocah lelaki itu, dengan demikian kita pun bisa menikmati
kelezatan tubuh ke dua bocah perempuan itu dengan hati tenang!"
"Aaaah!
itu gampang sekali!" jawab lelaki kurus yang dipanggil sebagai
Goa heng tadi, "untuk membereskan manusia-manusia itu kita cukup
menggebrak batok kepala mereka! ayo kita segera turun tangan
bersama-sama...."
Nona
berbaju merah itu dapat mengikuti semua pembicaraan itu, kontan saja
menjadi naik pitam, saking gusarnya hampir saja dadanya terasa mau
meledak.
Tetapi
ia tahu tenaga dalamnya belum pulih kembali seperti sedia kala dan
tak boleh bergerak secara sembarangan, dalam hati iapun mengambil
keputusan asal salah seorang diantaranya berani mendekati dirinya
maka ia akan memencarkan serangan yang mematikan.
Terdengar
lelaki gemuk itu berkata kembali:
"Sejak
dulu sampai sekarang kaum gadis muda hanya menyukai kaum pemuda,
disini ada seorang lelaki muda yang terkapar ditanah, mungkin dia
merupakan satu rombongan dengan dua orang gadis itu, lebih baik kita
punahkan dulu jiwanya, agar gadis itupun tak usah menguatirkan
kekasihnya marah lagi kalau badan mereka kita pakai!"
Sambil
berkata selangkah demi selangkah ia mendekati Giam In kok dan siap
melakukan pukulan yang mematikan.
Nona
berbaju merah itu jadi amat terperanjat sekali, setelah mengetahui
bahwa orang itu hendak turun tangan membinasakan Giam In kok, tanpa
perduli kekuatan badannya apakah sudah pulih apa belum, ia segera
mengenjotkan badannya meloncat bangun dan membentak keras:
"Bajingan
tengik, serahkan jiwa anjingmu!"
Sambil
menerjang maju kedepan, pedangnya dengan cepat dibabat kearah tubuh
lelaki gamuk itu.
Ilmu
silat yang dimiliki pria gamuk itu ternyata tidak lemah, menyaksikan
datangnya ancaman ia segara meloncat beberapa langkah kesamping untuk
meloloskan diri, kemudian sambil tartawa terbahak-bahak serunya:
"Hahaa....
hahaa .... hahaa .... bocah manis, jangan marah dan jangan
sembarangan menggerakkan tubuhmu, hati-hatilah kalau sampai tulang
Ku-kit mu terluka.... wah! bisa berabe loo... kalau bermain diranjang
nanti kau bisa kehilangan kenikmatan...."
Tulang
Ku kit hiat terletak dibawah jalan darah Tiang kek disebut juga
tulang kemanisan dan letaknya diantara kedua belah paha, mendengar
mulut orang itu kotor sekali, karuan saja nona berbaju merah itu
semakin gusar, dengan air muka merah padam karena jengah, teriaknya
keras-keras:
"Bangsat!
mulutmu kotor sekali, rupanya kau sadah bosan hidup!"
Ilmu
pedangnya segera dikembangkan, maka terlihatlah berkuntum-kuntum
bunga padang yang bersamaan waktunya meluncur kedepan.
Pria
gemuk itu mula-mula terperanjat sekali ketika menyaksikan jurus-jurus
serangan yang dilancarkan nona berbaju merah ita sangat ampuh dan
luar biasa sekai, tetapi lama-kelamaan ia dapat merasakan juga kalau
tenaga serangan-nya sangat lemah dan belum pulih seperti sedia kala.
Sampil
meloncat mundur kebelakang, ia segera merogoh kedalam sakunya dan
mencabut keluar sebuah cambuk kulit ular yang panjangnya mencapai
tujuh depa, teriaknya kemudian:
"Bocah
perampuan! kalau kau tak mau mendengarkan nasehatku, baiklah! rasakan
dulu kelihayan cambuk sakti dari Liong toaya!"
Meskipun
kepandaian silat yang dimiliki nona berbaju merah itu sangat lihay,
akan tetapi dalam keadaan tenaga dalam yang di miliki belum pulih
kembali kekuatan-nya, ia hanya bisa bertarung dalam posisi seimbang
dengan pria gemuk itu.
Terdengar
pria she Goa itu tiba-tiba tertawa sambil berseru!
"Liong
loo toa, ayo kerahkan tenagamu untuk membendung bocah perempuan
tersebut, jangan biarkan dia melarikan diri dari sini, aku hendak
membinasakan bocah lelaki itu lebih dahulu!"
Sambil
berkata ia meloncat kehadapan Giam In kok dan secepatnya mengayunkan
telapak tangan-nya kebawah.
"Bangsat,
lihat serangan!" nona berbaju hijau yang menggeletak disempang
pemuda itu tiba-tiba membentak keras.
Bayangan
hijau berkelebat didepan mata, sebuah babatan pedang tahu-tahu sudah
mengancam pinggangnya.
Pria
kurus she Goa itu sangat terperanjat, ia segera meloncat mundur
kebelakang sambil melancarkan sebuah pukulan kedepan, bersamaan itu
pula dia mencabut keluar sebuah senjata rotan lemas yang panjangnya
bebarapa depa, lalu sambil menegangkan senjata tersebut, sebuah
tusukan kitat dilancarkan mengancam jalan darah Poh long hiat dibadan
sang gadis.
Nona
berbaju hijau itu keadaannya jauh menguntungkan daripada nona berbaju
merah tadi, karena ia lebih lama mengatur pernapasan maka tenaga
dalam yang berhasil dipulihkan pun sudah mencapai separuh bagian,
dalam keadaan begini ia sama sekali tak pandang sebelah matapun
terhadap lawan-nya.
Ditengah
bentakan nyaring, cahaya pedang menggulung kearah depan....
"Kraak....
kraaak.....!"
Ditengah
dentingan nyaring, senjata rotan ditangan pria she Goa itu sudah
terbabat putus jadi dua bagian, menggunakan kesempatan itulah sebuah
tusukan kilat berhasil menembusi ulu hatinya.
Jilid
10 : Siapa ayah Giam In Kok?
PRIA kurus itu menjerit kesakitan, kemudian badan-nya terkapar diatas tanah dengan bermandikan darah segar yang mengucur keluar dari tubuhnya, setelah berkelejitan sebentar akhirnya binasalah orang itu.
Pria gemuk she Liong yang sedang bertempur melawan nona berbaju merah itu jadi amat terperanjat menyaksikan rekan-nya menemui ajalnya diujung pedang lawan, ia jadi ketakutan setengah mati, setelah melancarkan serangan yang gencar untuk mendesak lawan-nya, buru-buru ia memutar badan-nya dan secepatnya berusaha melarikan diri dari situ.
Nona berbaju merah itu berdiri tertegun sejenak sebelum ia sempat berpikir untuk melakukan pengejaran, nona berbaju hijau itu telah membentak keras dan segera meluncur kedepan.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggema diudara, sesosok bayangan manusia meloncat ketengah udara dan melayang ke dalam gelanggang, dalam sekejap mata orang itu sadah tiba dihadapan Giam In kok.
Nona berbaju merah serta nona berbaju hijau itu jadi amat terperanjat, mereka mengenali bayangan manusia yang melayang datang itu bukan lain adalah iblis sakti yang telah selesai semedinya.
Pada saat yaag bersamaan mereka segera meloncat pula kesamping pemuda itu, lalu sambil membentak keras, sepasang pedangnya disilangkan didepan dada untuk membendung datangnya ancaman tersebut.
Iblis sakti Su Gong wan tersenyum, katanya:
"Kalian berdua tak usah kuatir, aku bukanlah manusia yang senang bermain perempuan, akupun tiada maksud untuk mencabut jiwa pemuda tersebut, aku anjurkan lebih baik kalian berdua segeralah berlalu dari sisi, sebab jika manusia she Koan serta she Chee itu sampai sadar kembali dari pingsannya, mungkin mereka akan menyusahkan kalian berdua, ketahuilah bahwa merekaa gemar sekali bermain perempuan!"
"Perduli amat apa yang hendak dilakukan orang itu terhadap kami, pokoknya selama kami berdua masih berada disini aku tidak mengijinkan engkau membawa pemuda tersebut!" bentak dara berbaju hijau itu.
"Hmm! tahukah kau siapakah aku? berani benar kalian mengucapkan kata-kata yang begitu kasar terhadap diriku?"
"Perduli amat siapakah dirimu, kalau berani maju selangkah lagi kedepan, nonamu segera akan menghadiahkan sebuah tusukan pedang keatas tubuhmu!"
"Kurang ajar, rupanya kau sudah bosan hidup dan hendak mencari penyakit buat diri sendiri, baiklah! Kalau kau bersikeras terus dengan pendirianmu itu, jangan salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap kalian!"
Hawa amarah telah berkobar didalam benak iblis sakti Su Gong Wan, dengan sorot mata yang berkilat perlahan-lahan dia mengangkat sepasang tangan-nya ketengah udara.
Suasana menjadi tegang dan kritis sekali, setiap saat pukulan gencar dari iblis sakti itu bakal mencabik-cabik tubuh dua orang gadis muda tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba Giam In kok yang menggeletak diatas tanah meloncat bangun, kemudian laksana kilat melancarkan sebuah pukulan dahsyat keatas tubuh iblis sakti.
"Weeees....!"
Angin pukulan menyambar lewat dari bawah pedang kedua orang nona tersebut, sementara ibiis sakti Su Gong Wan masih berdiri dengan wajah tertegun, tahu-tahu angin pukulan itu sudah mengancam bawah lambungnya, dalam keadaan begitu buru-buru dia menyilangkan tangan-nya untuk menangkis datangnya ancaman tersebut.
Kembali terjadi bentrokan keras menggelegar memecahkan kesunyian ditengah udara terdengar seruan tertahan, kedua belah pihak sama-sama roboh terjengkang keatas tanah.
Nona berbaju merah itu jadi amat terperanjat menyaksikan pemuda itu roboh kembali keatas tanah, buru-buru ia maju kedepan menghampirinya.
Sebaliknya nona berbaju hijau itu jauh lebih kaget lagi terutama sekali ketika dilihatnya manusia iblis bertangan seribu serta dua orang siluman telah mendusin kembali dari semedinya, dengan cepat ia berseru:
"Cici cepat bopong dia dan kita secepatnya berlalu dari sini.... lihatlah, beberapa ibiis itu telah mendusin dari semedinya....!"
Nona berbaju merah itu sadar, betapa gawatnya situasi yang terbentang dihadapan mereka pada saat ini, tanpa pikir panjang lagi ia segera memasukkan kembali pedangnya kedalam sarung, kemudian sambil membopong tubuh Giam In kok berangkatlah, mereka meninggalkan tempat itu.
Sepanjang perjalanan kedua orang nona itu kabur secepat-cepatnya. taupa berhenti, entah berapa lama mereka sudah berlari ketika nona berbaju hijau itu berpaling dan melihat tak ada orang yang menyusul mereka, hatinya baru merasa lega, sambil menghembuskan napas panjang serunya:
"Cici! mari kita beristirahat sebentar, aduh.... aku sudah lelah.... sekali....."
"Kita menuju kesnaa saja!" jawab nona berbaju merah itu sambil menuding hatan lebat yang tidak jauh dari hadapan mereka.
"Aku pun hendak memeriksa dulu luka yang diderita orang ini, jangan-jangan dia sudah mati?"
Setelah berada didalam hutan, kedua orang nona itu segera membaringkan tubuh Giam In kok keatas tanah ketika pernapasan-nya diperiksa, terasalah denyutan nadinya sudah lemah sekali.
Menyaksikan keadaan tersebut, nona berbaju merah itu menghela napas panjang, serunya setelah termenung sebentar:
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Bagaimana kalau kita berikan sebutir pil Siau huan wan kadalam mulutnya.....?"
"Baiklah, berikan sebutir pil Siau huan wan, aku lihat luka dalam yang dideritanya cukup parah"
Kedua orang nona itu segera mengambil keluar obat mujarab dan masing-masing segera memasukkan kedalam mulut Giam In kok, kemudian menguruti pula jalan darahnya.
Kurang lebih seperminum teh kemudian, Giam In kok telah sadar kembali dari pingsan-nya, setelah membuka matanya ia segera berseru:
"Ooooh...! cici yang baik, untung kalian telah melolong jiwaku, untuk kesemuanya ini aku merasa sangat berterima kasih..."
"Ciiis! siapa sih yang suruh kau banyak bicara?" seru nona berbaju hijau itu.
Giam In kok tertawa getir.
"A....ku.... aku.... mau...."
"Eeei.... gimana sih kamu ini?" tukas nona berbaju hijau itu lagi dengan nada mengomel, "aku kan suruh kau jangan banyak bicara dulu, siapa suruh kau bicara terus?"
"Apakah kau hendak duduk bersemedi untuk mengatur pernapasan?" tanya nona berbaju merah itu dengan halus sekali.
Rupanya tabiat nona berbaju merah ini jauh lebih halus dan ramah bila dibandingkan dengan nona berbaju hijau yang kasar itu.
Giam In kok dengan mulut terbungkam segera mengangguk:
"Huuuh... kamu ini gimana sih?" kembali nona berbaju hijau itu mengomel, "kalau waktunya bicara ksu tak mau, kalau tidak disuruh bicara malah omong terus...."
Noca berbaju merah itu jadi geli dan tak tahan ia segera tertawa cekikikan.
Setelah menelan dua butir pil pemberian nona itu dan jalan darahnya telah diuruti oleh mereka berdua, sebenarnya keadaan sudah jauh lebih baikan, apalagi sekarang, setelah duduk bersemedi mengatur pernapasan selama satu jam lebih, maka seluruh kekuatan tubuhnya boleh dibilang telah pulih kembali seperti sedia kala.
Ketika dilihatnya kedua orang nona muda itu masih berjaga-jaga disisi tubuhnya, ia merasa amat berterima kasih sekali, buru-buru serunya:
"Cici berdua, kalian memang orang baik, budi kebaikan yang telah cici berikan kepadaku tak akan kulupakan untuk selamanya"
"Eeeeiii....kau tak usah membicarakan budi atau tidak lagi," tukas nona berbaju hijau itu tidak sabar, "aku hanya ingin mengetahui, bagaimana sih ceritanya hingga kau bertempur melawan manusia-manusia iblis itu?"
"Kalau dibicarakan sungguh panjang sekali ceritanya, tapi sebelum itu bolehkah aku tahu nama cici berdua?"
"Aaaaaa....! pakai segala adat dan tata-cara yang tetek bengek, kalau mau tahu nama kami tanyakan saja secara langsung, pakai basa-basi segala....."
"Aku she Thian bernama Lan, dan dia adikku bernama Thian Hui, kami dilahirkan pada hari yang sama, tangga1 serta tahun yang sama juga!"
Setelah mengetahui nama mereka berdua, Giam In kok pun segera membicarakan pula masalah mengenai Thian Bu.
Terdengar nona berbaju hijau atau Thian Hui ini segera bertanya dengan nada tercengang:
"Ada urusan apa sih kau menanyakan tentang dia orang tua?"
"Aku ingin mengajukan beberapa persoalan kepadanya, termasuk juga aku ingin mengatahui siapa ayahku yang senanarnya...."
Berbicara sampai disini Giam in kok segera menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya.
Sebagai penutup kata, dengan sinar mata penuh permohonan ia berkata:
"Cici berdua, karena itu aku harap cici suka memberitahukan kepadaku dimanakah kakek kalian itu berdiam?"
Thian Lan menghela napas panjang setelah termenung sebentar katanya:
"Aaaiii.....! kalau dibicarakan sesungguhnya, mungkin jawahanku ini akan mengecewakan mu, tapi apa boleh buat, sebab apa yang kukatakan ini merupakan keadaan yang sebenarnya, hingga kinipun kami bardua sedang berusaha menemukan kakek Thian Bu, sebab sudah banyak tahun kakek tak pernah pulang kerumah!"
Sedikitpun tidak salah, ketika Giam In kok mendengar perkataan itu ia kelihatan sangat kecewa sekali.
Thian Lan segera berkata kembali:
"Sejak lima puluh tahun berselang, dia orang tua sudah meninggalkan kampung halaman, dia berkelana didalam dunia persilatan, selamaa ini ia belum pernah sekalipun pulang kerumah, kami sendiripun tidak tahu apakah dia orang tua masih hidup atau sudah mati, tapi baru-baru ini dirumah kami telah terjadi suatu peristiwa aneh sekali, karena peristiwa itulah maka kami sekeluarga segera keluar rumah untuk mencari jejaknya serta mencari tahu duduk perkara yang sebenarnya"
"Peristiwa aneh apa yang telah terjadi?" tanya Giam In kok keheranan.
Tiba-tiba air muka Thian Lan berubah jadi merah jengah, ia segara menundukkan kepalanya dan membungkam.
Sedangkan Thian Hui yang berada disisinya segera berteriak:
"Rupanya kejadian itu ada sangkut pautnya dengan dirimu!"
"Ada sangkut pautnya dengan aku?" tanya Giam In kok terperanjat.
Thian Lan segera mengerling sekejap kearah adiknya maksudnya agar dia membungkam, tapi Thian Hui sama sekali tak ambil peduli, suaranya yang merdu bagaikan keliningan perak meluncur kembali dari mulutnya:
"Aku hanya menduga bahwa urusan itu kemungkinan besar ada hubungan-nya dengan dirimu, sebab pada sebulan berselang diruang tengah rumah kami secara tiba-tiba muncul sebuah lukisan yang berpemandangan sangat indah, dalam lukisan tadi terlukis banyak sekali jago-jago bulim, akan tetapi kebanyakan diantara mereka sudah mati, yang masih tertinggal hanya seorang perempuan cantik yang sedang hamil dengan memancarkan rasa gugup dan kaget serta dua pria yang sedang bertempur sengit diantara mayat-mayat yang bergelimpangan ditanah.
Bukankah lukisan tersebut mirip sekali dengan kisah yang baru saja kau tuturkan kepada kami?"
"Aaah! benar, cerita itu memang mendekati kemiripan" jawab Giam In kok setengah menjerit, "kemungkinan besar perempuan hamil itu memang ibuku, sedangkan dua orang pria yang sedang bertempur itu salah satu diantaranya adalah ayahku!"
Dimanakah lukisan itu sekarang? ada urusan apa kalian mencari kakekmu?"
"Lukisan itu berada diruamah kami! sedang kami sekeluarga keluar rumah untuk mencari kakek, karenua dibelakang lukisan tersebut tertulis nama kakek kami, karena itu bisa diduga lukisan itu kalau bukan dihantar sendiri oleh kakek kami, tentulah dia telah mengutus seseorang yang ada hubungan-nya dengan dirinya untuk menghantar lukisan itu kerumah, atau mungkin juga seorang musuh besar kakek yang mengirim lukisan itu kerumah, karena itulah kami harus menyelidiki persoalan ini hingga jelas!"
Giam In kok termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian ia bertanya:
"Enci yaug manis, bagaimana seandainya aku punya hasrat untuk berkunjung kerumah kalian? apakah cici berdua mengijinkan aku pergi kesana?"
"Apa salahnya?"
Maka perjalanan pun segera dilakukan siang dan malam dengan cepatnya, dalam perkiraan Giam In kok asal lukisan itu telah dilihat olehnya, dua orang dalam lukisan itu dapat dikenali, maka tidak sudah baginyaa untuk meraba asal usulnya.
Setelah asal usulnya diketahui, maka diapun bisa membuktikan pula kalau Giam Ong Hui memang benar-benar telah merampas ibunya dari tangan ayahnya, serta telah mamaksannya untuk menjadi selirnya, dalam keadaan begini ia dapat pulang keperkampungan Ang sim san ceng untuk membalas dendam serta membinasakan musuh besarnya.
Demikianlah, dengan perasaan sedih, gembira bercampur tegang sampailah si anak muda itu digedung keluarga Thian.
Siapa tahu ketika lukisan pemandangan itu dibuka dan diperhatikan dengan seksama, Giam In kok segera berseru kaget dan berdiri menjublak dengan mata terbelalak serta mulut melongo.
Ternyata dua orang pria yang sedang bertempur sengit itu bukan lain adalah Giam Ong Hui serta si telapak tangan Giam Tok, sebaliknya perempuan hamil yang sedang memandang perkelahian itu dengan kaget dan gugup bukan ibunya, melainkan ibunya yang kelima Leng Siang In.
Penemuan yang diperolehnya secara tiba-tiba ini seketika mengidikkan hatinya, dengan bukti yang berada didepan mata saat ini menunjukkan bahwa bahwa dia bukan putra dari telapak sakti dari Giam Tok seperti apa yang diduganya semula, sebab perempuan yang hamil itu merupakan istri kelima dari Giam Ong Hui atau ibunya yang kelima.
Dengan perkataan lain hal ini menunjukkan pula bahwa ia sebenarnya merupakan putra kandung Giam Ong Hui yang selama ini dianggapaya sebagai bajingan tua yang hendak dibunuhnya, bulu kuduknya segera bangun berdiri membuat air mukanya berubah pucat pias bagaikan mayat.
"Aaah....! rupanya aku benar-benar anak durhaka, ayah sendiri telah kumaki habis-habisan bahkan hendak kubinasanan pula...."
Thian Lan yang berada disisinya jadi amat terperanjat setelah menyaksikan perubahan wajah si anak muda itu, buru-buru tegurnya:
"Eeeeii.... kenapa kau?"
Dalam waktu singkat rasa sedih, menyesal, benci, pedih bercampur aduk dalam benak Giam In kok, ia tak bisa melukiskan bagaimanakah perasaan hatinya pada saat ini.
Sekarang dia baru tahu bahwa perempuan yang diperebutkan oleh si telapak tangan sakti dari Giam Tok dengan Giam Ong Hui bukanlah ibunya melainkan ibunya yang kelima Lang Siang In.
Perduli bagaimanakah tabiat serta tingkah laku Giam Ong Hui, namun yang jelas ia ayah kandungnya, ayah yang menciptakan dia hidup dikolong langit, tapi ia telah menganggap ayahnya sebagai musuh bahkan telah mengutungi pula kakinya... rasa berdosa dan menyesal semakin berkecamuk dalam benaknya, membuat pemuda itu merasa mau lagi tetap hidup dikolong langit, maka dia bertekad akan mengakhiri hidupnya....
Ketika Thian Lau menegur dirinya, pemuda itu segera sadar kembali dari lamunan-nya, namun ia tak tahu apa yang musti dikatakan pada saat itu, setelah menghela napas panjang katanya:
"Tiada perkataan lain yang dapat kukatakan lagi, aku hanya bisa berkata selamat tinggal dan sampai jumpa lagi pada penitisan yang akan datang....!"
Tidak menantikan reaksi dari kedua orang nona itu lagi, ia segera mengenjotkan badan-nya berlari keluar dari ruangan.
Thian Hui tertegun, kemudian serunya:
"Cici! rupanya ia hendak mengambil keputusan pendek, coba ingatlah dia berkata, sampai jumpa pada penitisan yang akan datang?"
"Cepat kita kejar!" sahut Thian Lan kemuudian sambil meloncat keluar.
Ketika mereka tiba ditempat luaran, bayangan tubuh Giam In kok sudah lenyap dari pandangan, mereka segara meloncat naik keatap rumah, pada belasan meter di depan sana terlihatlah sesosok titik hitam sedang berlari menjauh.
Rupanya Giam In kok telah menduga bahwa kedua orang nona itu pasti akan mengejar dirinya, maka setelah meninggalkan gedung keluarga thian, dis segara mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang paling sempurna untuk berlalu dari situ.
Dengan kecepatan gerak tubuhnya, tentu saja kedua orang nona itu tak mampu untuk menyusulnya.
Sang surya telah tenggelam disebelah barat, kegelapan mulai mencekam seluruh jagad.
Pada sebuah lereng gunung yang jauh dari keramaian dunia, tampaklah sesosok bayangan manusia berlarian seperti banteng gila menuju keatas sebuah tanah bukit terjal.
Kemana dia hendak pergi? tak seorangpun yang tahu....
Sebuah jurang yang lebat menghadang jalan perginya, si anak muda itu segera menghentikan langkahnya.
Meskipun pemuda itu kagat karena tiba-tiba dihadapan mukanya muncul sebuah jurang dengan batu cadas yang berserakan didasarnya, namun ia tidak gentar mati, sebab ia sudah bertekad untuk mengakhiri hidupnya dikolong langit ini.
Setelah berdiri termangu-mangu beberapa saat lamanya diatas tebing tersebut, pemuda itu bergumam seorang diri:
"Aaaah.....! biarlah aku mati saja, aku adalah anak durhaka yang telah menghina dan menyakiti ayah sendiri.... biarlah aku mati tanpa liang kubur.... biarlah mayatku hancur karena menumbuk batu cadas dan hanyut oleh aliran air sungai yang dibawah...." Ia termangu-mangu kembali, air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya, kemudian guman-nya kembali:
"Aaaah! tidak, aku tak boleh mati ditempat ini, aku harus kembali kerumah dan mati dihadapan ayahku, agar ia jadi puas dan tenang hatinya, karena aku anak durhaka telah menebus dosa dengan kematian....."
Tapi ingatan lain segera membuatnya berubah pikiran:
"Tidak....keadaan itu jauh lebih tidak baik, seandainya ayah tidak membiarkan aku mati, bukankah aku tak bisa hidup sebagai manusia dikolong langit? Lagi pula.... kalau aku sampai bunuh diri dihadapan ayah, ibu pasti sangat bersedih hati... ia tentu akan terluka hatinya menyaksikan peristiwa tersebut....."
"Aaaai....! mati ada yang enteng bagaikan bulu, tapi ada pula yang berat bagaikan gunung Tay-san"
"Mati....? sebenarnya kematianku ini akan merupakan kematian yang enteng atau berat?... tidak enteng juga tidak berat....?"
"Mati.... pojoknya mati, perduii amat dengan entang atau berat kematianku ini, enteng juga boleh, berat juga boleh... hanya orang yang menggotong peti mati yang tahu badanku berat atau enteng..."
Berapa kali dia hendak menerjunkan diri kedalam jurang, tapi hatinya selalu diliputi keraguan, karena meskipun sudah berjam-jam ia berdiri ditepi puacak namun kerjanya hanya berguman seorang diri.
Tiba-tiba dan sisi tebing terdengar seseorang tertawa cekikikan, lalu berkata:
"hiiih... hiiiih.... hiiiih.... rupanya ada orang yang datang kemari untuk belajar ilmu meringankan tubuh? coba lihatlah dia sedang mencoba menirukan gayanya burung walet terjun ke jurang..."
"Huuuuh! Jangan ngomong sembarangan, aku lihat ia bukan lagi sedang menirukan burung walat terbang diangkasa, mungkin diapun seperti kita, datang kemari untuk mencari tempat yang baik untuk mengubur mayatnya yang nanti setelah mati!"
"Asal ia terjun kebawah jurang, bukankah kematian langsung datang menjemput dirinya?"
"Siapa bilang pasti mati? kalau tangan atau kakinya saja yang kutung? bukankah sepanjang hidup malah akan menderita sengsara?"
Giam In kok dapat menangkap suara pembicaraan itu berasal dari seorang bocah lelaki dan seorang bocah perempuan, ketika ia mendengar bocah sekecil itu hendak cari mati, ia segera menghela napas dan berbisik:
"Sayang.... sayang sekali.... "
Pemuda itu merasa sayang sekali kalau kedua orang bocah yang masih berusia begitu muda hendak mencari kematian, sebenarnya dia hendak mendekati kedua orang bocah itu untuk menanyai apa sebabnya mereka hendak mecari mati, tetapi setelah pembicaraan itu didengar lebih jauh, baru ia sadar bahwa kedua bocah itu sengaja sedang mempermainkan dirinya, tanpa terasa hawa gusar berkobar dalam benaknya.
"Aku mau mati toh urusanku sendiri, apa sangkut pautnya dengan kalian.....?" teriaknya.
Dari balik pohon segera berkumandang suara bocah perempuan itu menjawab:
"Kami datang kemari memang sengaja untuk menyaksikan engkau mati, ayolah cepat melompat... ayo cepat melompat....!"
Tiba-tiba dari seberang bukit sana berkumandang seruan teriakan seorang perempuan:
"Li jin apakah kau sedang bertengkar dengan Cuan ji? eeei... kalau bertengkar boleh, tapi jangan bunuh diri segala, Cuan-ji kau tak boleh meloncat turun!"
Rupanya perempuan diseberang sana mengira bocah-bocah itu yang akan terjun kedalam jurang.
Bocah perempuan itu segera tertawa dan menjawab:
“Ibu! yang mau meloncat kedalam jurang bukan Cuan ji serta Li ji melainkan seorang engkoh kecil yang sudah tak ingin hidup......"
"Kalau memang orang lain yang hendak mencari mati, biarkanlah saja dia meloncat turun kedalam jurang!"
Bocah perempuan itu segera menggandeng tangan bocah lelaki itu seraya berjalan menghampiri ibunya.
Giam In kok dapat menangkap semua pembicaraan itu dengan jelas, dari suara perempuan itu diseberang sana yang begitu terdengar nyaring, ia tahu bahwa orang tersebut mempunyai tenaga dalam yang amat sempurna, bila ia benar-benar terjun kedalam jurang dan sampai tertolong olehnya, maka rasa malunya tentu tak terlukiskan lagi.... hal ini membuat pemuda itu sangsi.
Setelah termenung sejenak lamanya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia segera lari menuruni bukit tersebut.
Tiba tiba dari belakang pohon besar suara bocah perempuan itu berkumandang lagi:
"Aku berani tebak, engkoh itu pasti akan pergi kesungai dan mencari mati disitu, sebab air sungai sedang mengalir dengan derasnya...."
Giam In kok sama sekali tak menggubris sindiran bocah itu, dia meneruskan larinya menuruni bukit, dan sampailah ia ditepi sungai dengan batu cadas yang tajam.
Ia melongok kedalam sungai, maka terlihatlah aliran air sangat deras sekali dengan disana sini nampak batu karang mencuat keatas.
Giam In kok segera berpikir didalam hati:
"Kalau aku terjun kesungai, niscaya jiwaku bakal melayang meninggalkan ragaku..... badanku pasti akan hancur karena menumbuk batu karang yang tajam, air sangai yang deras akan mencuci bersih semua dosaku, biarlah pada penjelmaan yang akan datang aku bisa hidup lebih bahagia....."
Sesudah mengambil keputusan, diapun berjalan mendekati tepi sungai dan siap terjun kedalamnya.
Pada saat itulah mendadak dari tempat kejauhan sana ia mendengar ada seseorang yang sedang berseru dengan suara tertahan, dan suara itu terasa amat dikenalnya, orang itu berkata begini:
"Ibu! coba lihat bukankah orang itu Ngo-ko?"
Giam In kok segera berpaling, ia melihat ibunya yang ke lima Leng Siang in serta putranya Giam In Kiam secara tiba-tiba muncul dari balik batu cadas, segera teringatlah oleh pemuda itu akan apa yang di lihatnya dalam lukisan di gedung keluarga Thian, pemuda itu merasa berkewajiban untuk menyampaikan apa yang dilihatnya itu kepada mereka berdua.
Berpikir demikian diapun mengurangkan niatnya untuk terjun ke sungai.
Dalam pada itu, Lang Siang In telah berteriak keras:
"Kok ji, jangan terjun kesungai..... kau jangan bunuh diri....!"
Sambil berseru, dengan cepat perempuan itu lari menghampiri si anak muda itu.
"Ngo nio, kenapa kalian pun bisa tiba disini? dimanakah ayahku?" tanya Giam In kok dengan cepat.
"Siapa yang kau maksudkan sebagai ayahmu?" tanya Lang Siang In dengan cepat.
"Giam cengcu!"
"Giam cengcu? bajingan tua itu bukan ayahmu!"
"Aaah! tidak mungkin, dia memang ayahku, aku tahu bahwa tempo hari telapak tangan sakti dari Giam Tok telah salah menculik diriku, karena itulah aku mengira dia adalah ayahku tapi sekarang baru aku tahu bahwa telapak sakti dari Giam Tok itu sebenarnya bekas suamimu, dan akupun mengetahui bahwa aku sebenarnya merupakan putra kandung dari Giam Ong Hui..... menginggat aku telah menghabiskan cairan kemala milik telapak sakti dari Giam tok, maka aku tak akan menyusahkan kalian berdua, sekarang aku akan mengembalikkan senjata telapak baja ini kepada kalian, cepat-cepatlah kalian melarikan diri dari sini.... jangan sampai tertangkap oleh ayahku!"
Lang Siang In menangis tersedu-sedu, dengan air mata bercucuran hingga membasahi seluruh pipinya ia berkata:
"Kok ji terima kasih atas maksud baikmu itu.... tapi aku berani bersumpah bahwa kau bukan anaknya Giam Ong Hui, sebab bajingan itu telah mengatakan sendiri kepada ku, dan ucapanku ini tak bakal salah lagi!"
"Sungguhkah itu?"
"Aku tentu tak akan membohongi dirimu!"
"Lalu siapakah ayahku yang sebenarnya?"
"Apakah ibumu tidak menerangkan kepadamu?" Leng Siang In balik bertanya.
Pamuda itu menggeleng.
"Ibu tak pernah memberitahukan apa-apa kepadaku.... tapi... tapi Ngo nio tidak membohongi aku bukan?"
"Buat apa aku mambohongi dirimu? sejak kau pulang kampung dan menimbulkan keonaran, aku telah mengenali senjata telapak tangan baja yang berada ditanganmu itu, dan akupun telah mengetahui bahwa mendiang suamiku telah salah menculik anaknya.... dia mengira tentu kaulah putra kandungnya, tapi pada waktu itu aku tak berani menerangkan hal ini kepadamu, karena bajingan tua itu mencaci maki ibumu karena sudah melahirkan anak seperti kau yang telah mengakibatkan kakinya patah, mungkin ibumu takut jiwanya terancam maka ia bersikeras mengatakan bahwa kau merupakan anaknya, dalam keadaan apa boleh buat itulah bajingan tua itu menceritakan suatu rahasia yang amat besar..."
"Rahasia besar apa?" tanya Giam In kok dengan hati tegang.
"Rupanya setelah berhasil melatih ilmu pukulan bayangan darah, sum sum dalam tubuhnya telah mengalami perubahan besar, yang mana mengakibatkan ia tak bisa punya anak lagi, kejadian itu sudah berlangsung semenjak dua puluh tahun berselang!"
"Oooh....! makanya tidak aneh kalau ia saling suka merebut istri orang lain yang sedang hamil, apakah lootoa In si juga bukan anak kandungnya?"
"Siapa yang tahu tentang persoalan ini? ketika ibumu masuk kedalam perkampungan Ang sim san ceng akupun belum berada disitu, setengah tahun kemudian aku baru tiba disana dan ketika itu In si sudah berusia tujuh, delapan tahunan, benarkah ia anak kandungnya, mungkin hanya ibu In si yang mengetahui rahasia ini"
Setelah mendengar penjelasan dari Leng Sian in, kesadaran Giam In kok pun kembali pulih seperti sedia kala, sekarang ia baru tahu apa sebabnya air muka Giam Ong Hui berubah hebat ketika menantang dirinya untuk meneteskan darah untuk membuktikan hubungan darah, sekarang urusan telah jelas dan ternyata ia memang bukan putra kandungnya.
Teringat kembali tindakan barusan, pemuda itu merasa bulu kuduknya pada bangun berdiri, seandainya Long Siang in tidak muncul tepat pada waktunya, mungkin saat ini ia sudah mati didalam sungai...
Tanpa terasa ia menggertakkan giginya kencang-kencang dan berseru penuh kebencian:
"Aku bersumpah akan menuntut balas atas diri bajingan tua itu, akan ku cincang tubuhnya jadi hancur berkeping-keping.... sebelum jiwa anjingnya kucabut, aku merasa tak puas!"
Leng Siang In menghela napas panjang.
"Aaai.... Kok ji, sekalipun kau pulang keperkampungan sekarang juga, tak akan kau temukan dirinya..."
"Tapi.... bukankah ia masih berada dalam perkampungan Ang sim san ceng....?"
"Tidak! tiga hari setelah kau membuat keonaran dalam perkampungan, ia telah membubarkan semua tukang pukul yang ada disana dan membawa pergi kami beberapa orang serta dayang, dikala suasana sedang kalut dan kacau balau itulah, kami berhasil melarikan diri dari cengkeramnya....!"
Giam In kok menghela napas sedih, air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Kok ji! kau tak usah menangis ataupun bersedih hati" hibur Leng Siang In dengan suara lirih, "siksaan batin memang tak dapat dihindari lagi oleh ibumu, tetapi selembar jiwanya tak akan terancam bahaya, sebab bajingan tua itu hendak mempertahankan selembar jiwanya agar ia bisa menuduh kau sebagai anak durhaka yang tidak berbakti!"
"Sungguh aneh sekali, kalau memang ia sudah tidak menganggap aku sebagai putranya, kenapa ia hendak menuduh aku sebagai anak durhaka yang tak berbakti?"
"Ketika ia memaki ibumu, kebetulan kejadian itu berlangsung dikamar sebelahku, tak ada orang lain yang mendengar kecuali aku!"
"Eeeem.... ! sekalipun harus mencari keujung langit atau dasar lautanpun, aku hendak mencari bajingan tua itu sampai ketemu!"
"Kok ji, dimanakah kau telah berjumpa dengan ayahnya Kian ji? dapatkah kau menceritakan pengalamanmu itu kepada kami?"
Gian In kok tak ingin menutupi kisah yang sebenarnya, maka diapun menceritakan apa yang dialaminya selama ini.
Mendengar kisah tersebut, Leng Siang In menangis tersedu-sedu, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Giam In kok, hingga membuat anak muda itu terkejut dan segera ikut menjatuhkan diri berlutut diatas tanah, buru-buru serunya:
"Toa nio, jangan berlutut.... Kok ji tidak berani menerimanya!"
"Tidak! engkaulah yang telah mengebumikan jenasah suamiku, sudah sepantasnya kalau kau menerima sebuah penghormatan ku.... Kian ji! ayo cepat berlutut dan mengucapkan terima kasih atas budi yang telah diberikan kepada kita berdua!"
Mendenggar perkataan itu Giam In Kian segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.
Giam In kok jadi semakin gelisah, sehingga ia tak tahu apa yang musti dilakukan, buru-buru teriaknya:
"Toa nio, cepat bangun....!"
"Aku masih mempunyai satu persoalan yang hendak kumohonkan padamu, apakah Kok ji suka mengabulkan-nya?" kata Leng Siang In kemudian dengan air mata bercucuran.
"Kok ji lelah mendapat budi kebaikan dari Giam tayhiap, sejak semula aku telah menganggap ia sebagai ayahku dan Toa nio sebagai ibuku, bila Toa nio ada perkataan silahkan diutarakan keluar, Kok ji pasti akan menurutinya....!"
Dibalik kemurungan yang menyelimuti wajah Leng Siang In segera terlintas senyum kegirangan, sambil menahan sesenggukkan, segera ujarnya:
"Asal kau bersedia memenuhi permintaan ku, hal itu sudah lebih dari cukup bagi diri ku, semoga saja kau bisa memandang diatas wajah ayahnya dan bersedia mewariskan ilmu silat kepada adik Kianmu....."
"Tentu saja aku bersedia mewariskan ilmu silatku untuk adik Kian" sela Giam In kok dengan cepat, "malah Kok ji merasa menyesal karena cairan kumala dalam buli-buli telah diminum habis, sebenarnya cairan kemala itu lebih pantas kalau diminum oleh adik Kian.... sekarang rasanya aku memang hanya bisa mewariskan ilmu silatku kepadanya sambil mencari kesempatan untuk membantu meningkatkan tenaga dalamnya...."
"Kok ji, kau memang berbudi luhur dan baik hati, Thian pasti akan melindungi dirimu sehingga suatu hari kau bisa berkumpul kembali dengan ibuma....!"
Dengan air mata bercucuran Leng Siang In memeluk tubuh Giam In kok kedalam pelukan-nya, kemudian ujarnya lagi:
"Kian Ji, dengarlah baik-baik perkataanku ini! selama enam belas tahun ibumu menanggung derita dan penghinaan, tujuanku tidak saja hanya ingin menyaksikan kau tambah dewasa serta membalas dendam bagi ayahmu, kau harus menghormati serta mendengarkan perkataan dari engkoh Kok mu dan engkau harus menganggap dirinya sebagai ganti orang tuamu, dengan demikian hatiku baru bisa tenteram!"
"Ibu, Kian ji mengerti!" jawab Giam In Kian cepat.
"Baiklah, kalau kau memang bisa menuruti perkataanku itu, ibumu bisa pergi dengan hati tenang!"
Selesai berkata, tiba-tiba ia mendorong tubuh Giam In kok kesamping, sementara ia sendiri segera menggunakan kesempatan tersebut untuk menerjunkan diri kedalam jurang.
Giam In kok tidak menyangka kalau perempuan itu bakal melakukan tindakan yang begitu nekat, dalam keadaan yang tidak berjaga-jaga tubuhnya yang didorong jatuh terjungkal keatas tanah, menanti ia berhasil meloncat bangun dari atas tanah, tubuh Leng Siang In telah lenyap dibalik jurang.
Buru-buru ia menerjang tubuh Giam In Kian dan memegangi erat-erat sambil berseru:
"Adik Kian, tabahkan hatimu...."
Giam In Kian sangat gelisah, ia berteriak-teriak memanggil ibunya namun ditengah udara hanya berkumandang suara ibunya yang amat lirih:
"Anak Kian, baik-baiklah hidup jadi manusia, hari ini ibu akan mati dengan mata meram!"
Terdengar percikan bunga api bermuncratan keudara, tubuh Leng Siang in yang tercebur kedalam sungai seketika tertelan ombak dan lenyap tak berbekas.
Giam In kok tak dapat berbuat apa-apa kecuali mendekap tubuh adiknya sambil menangis sedih.
Malam sangat gelap, bintang bertaburan diangkasa... waktu menunjukkan kentongan ketiga dan angin malam berhembus lewat, membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Tiba-tiba Giam In kok tersentak kaget, ia merasa tanggung jawab yang diembankan diatas bahunya terasa amat berat, buru-buru serunya:
"Adik Kian! jangan menangis terus.... menangis bukanlah suatu tindakan yaag tepat untuk menyelesaikan persoalan, kita harus mencari suatu tempat yang terpencil letaknya untuk berdiam, mulai besok akan kuwariskan seluruh ilmu silat yang pernah ku pelajari kepadamu!"
Giam In Kian tidak berkata apa-apa, ia segera menjatuhkan diri berlutut kearah sungai dan menjalankan penghormatan sebanyak sambilan kali sebagai tanda penghormatan terakhir bagi ibunya, kemudian dengan sedih katanya:
"Sejak aku serta ibuku berhasil melarikan diri kesini, kami selalu bersembunyi dibawah batu besar itu, didalam tanah itu terdapat sebuah ruang rahasia kecil!"
"Oooh..... ya? kalau begitu mari kita periksa ruangan tersebut!"
Maka berangkatlah Giam In kok dan Giam In Kian menuju kebawah batu besar tersebut, tempat itu merupakan sebuah celah batu sempit dan berliku-liku letaknya, ketika mereka menerobos masuk kedalam, muncullah sebuah goa batu seluas beberapa depa, dalam ruang goa itu terdapat meja yang terbuat dari batu serta sebuah lubang kecil yang dapat dipakai untuk mengawasi sungai.
Menyaksikan kesemuanya itu, Giam In kok tercengang, segera ujarnya:
"Kalau dilihat keadaan tempat ini, rupanya ada orang yang pernah berdiam disini, bagaimana cara kalian menemukan tempat tersebut?"
"Ketika kami tiba disekitar tempat ini, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, kami segera mencari tempat untuk berteduh, dan secara tak sengaja kami menemukan tempat ini!"
"Kalau begitu bagus sekali, kita bisa berlatih ilmu siiat diatas tebing.... dan kalau malam kita bisa tidur disini.... eei.... bau apa ini? ehmm harumnya....."
Setelah mencium bau tersebut, Giam In kok segera memasang mata baik-baik dan memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, ia merasa bau harum itu aneh sekali dan semakin dicium baunya semakin tebal. Seluruh ruangan sudah diperiksa dengan seksama, namun tiada suatu bendapun yang mencurigakan hatinya, pemuda itu mulai tercengang dan merasa tak habis mengerti.
Bau harum itu kian lama kian bertambah tebal, sehingga Giam In Kian pun dapat mencium bau tersebut, tiba-tiba serunya:
"Engkoh Kok! rupanya bau harum ini berasal dari balik gua batu itu.... ayo kita periksa keadaan disana!"
Giam In kok segera mendusin, dengan cepat ia berjalan menuju kearah goa kecil yang bisa dipergunakan untuk memandang sungai, ternyata dugaan Giam In kian tidak salah, bau harum itu memang benar-benar berasal dari balik lubang itu.
Lubang batu itu luasnya hanya beberapa depa dangan tebal tiga depa, sekarang pemandangan disungai dapat terlihat dengan jelas, akan tetapi pemandangan dikedua belah sisinya sama sekali tak kelihatan.
Sstu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya, ia segera melepaskan pakaian-nya, membiarkan pedang pendek serta buli-buli emas masih tergantung dipinggangnya, setelah menarik napas panjang dia mengerahkan tenaganya untuk menyusutkan badan-nya hingga menjadi kecil.
Diiringi tarikan napas panjang tubuhnya menyesut kian lama kian bertambah kecil sehingga akhirnya berubah jadi kecil sekali hingga menyerupai seorang bocah berusia empat lima tahunan, pada saat itulah badan-nya segera merangkak masuk lewat lubang tadi.
Setelah menerobos masuk lewat lubang tersebut, ia dapat menyaksikan pemandangan
disekitar sana dengan lebih seksama, ternyata disana terdapat serangakai tumbuhan rotan hijau yang menggelantung dari ujung kiri melingkar kekanan, pada ujung rotan hijau tersebut tumbuhlah sebiji buah hijau sebesar kepalan tangan, dibawah sorot cahaya rembulan terlihatlah buah itu memancarkan cahaya hijau yang amat menyilaukan mata.
"Aaah....! buah ajaib..." teriak Giam In kok dalam hati kecilnya.
Dari kitab catatan buku pertabiban milik tabib sakti dari gunung Lam-san yang pernah dipelajarinya, dia tahu bahwa buah naga rotan yang berwarna hijan merupakan suatu buah langka dengan khasiat yang luar biasa, bila orang biasa yang makan buah itu maka badannya akan menjadi sehat dan awet muda, sebaliknya kalau orang itu berkepandaian silat maka tenaga dalamnya akan mendapat kemajuan yang pesat.
Giam In kok segera mengambil keputusan untuk memetik buah langka tadi untuk dihadiahkan kepada Giam In Kian.
Ia segera menerobos keluar dari lubang tadi dan mulai merambat pada tumbuhan rotan itu, mendadak hatinya merasa terperanjat, ternyata dihadapan buah langka warna hijau tadi melingkarlah seekor ular berbisa sebesar lengan yang tubuhnya memancarkan cahaya tajam.
Ia tahu, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya tidak sukar baginya untuk melayang kesana serta memetik buah tersebut, tetapi dihadapan-nya justru terdapat seekor ular bermata satu yang menjaga buah tadi, hal ini membuat ia jadi serba salah.
Ular bermata satu itu merupakan ular yang sangat berbisa, bila terpagut oleh taringnya yang beracun, jiwanya niscaya akan melayang meninggalkan raganya.
Dalam pada itu, ular berbisa bermata satu itu sudah merambat dua depa lebih kedepan, saat ini jaraknya dengan buah langka tadi tinggal lima depa lagi, pemuda itu tahu jika dia merasa ragu-ragu lagi maka ular berbisa itu yang akan mendahului dia untuk mencaplok buah tadi.
Giam In kok segera mengambil keputusan dalam hatinya, bagamanapun juga ia bertekad hendak memiliki buah langka itu, sekalipun mara bahaya bakal mengancam jiwanya.
Setelah berpikir sebentar, dia segara mengenjotkan badan-nya dan meluncur kearah buah tadi.
Jarak antara buah berwarna hijau itu dengan ujung lubang didinding batu karang lebih kurang erpaut belasan tombak jauhnya, sekalipun begitu dengan kecepatan gerak tubuh yang dimiliki Giam In kok, hanya dalam sekali kelebatan saja ia telah tiba di tempat tujuan.
Siapa tahu, baru saja tangan-nya hendak menyambar buah berwarna hijau tadi, tiba-tiba....
"Waeeeesss!"
Segulung kabut berwarna kuning telah menyembur keluar dan datang mengancam tubuhnya.
Rupanya sejak permulaan tadi Giam In kok telah menduga kalau ular bermata satu itu akan menyemburkan bisanya, dengan cepat tubuhnya merendah kebawah dan telapak kirinya melancarkan sebuah babatan kearah kabut kuning tadi, sementara tangan kanan-nya cepat-cepat menyambar buah tersebut.
Termakan oleh angin pukulan-nya yang gencar, kabut kuning yang disemburkan oleh ular bermata satu itu segera menyebar keudara dan hilang terhembus angin.
Dengan telak pula buah naga rotan tadi tersambar oleh tangan-nya.
Tetapi dengan kejadian ini Giam In kok terperosok dalam keadaan bahaya, karena harus melakukan serangan uutuk membuyarkan kabut kuning tadi, ia telah mengerahkan tenaga dalamnya jauh lebih besar, rotan tempat ia pegang sebagai penyangga badan-nya tak kuat menahan berat badannya lagi dan.....
"Kreaaaakkk!"
Tali rotan itu terputus jadi beberapa bagian.
Termakan oleh getaran tersebut, buah yang berada ditangan-nya segera terlepas dan jatuh kedalam jurang.
"Aduuuh celaka!" teriak Giam In kok.
Sepasang kakinya segera menjejak keatas dinding batu dan laksana kilat tubuhnya meluncur kedepan menyambar buah tadi, meski pun buah tersebut akhirnya tertangkap juga, namun tubuhnya sudah terlanjur terjerumus kebawah dan jatuh kedalam jurang.
Tampaknya pemuda itu bakal mati tertelan air sungai yang mengalir dengan derasnya itu....
Pada saat yang keritis itulah tiba-tiba dari tengah udara menyambar datang seekor burung rajawali raksasa, dengan cepatnya burung itu menyambar ikat pinggangnya dan membawanya terbang keangkasa.
Giam In kok merasa amat terperanjat, hingga berkeringat dingin, tanpa terasa badan-nya sudah basah oleh keringat, diam-diam ia bersyukur karena tubuhnya tidak jadi tertelan oleh aliran sungai yang deras itu, namun hatinya tetap tidak lega, sebab sekarang tubuhnya sedang dibawa terbang seekor burung besar.
Burung rajawali itu terbang beberapa saatnya diudara, kemudian membawanya turun keatas sebidang tanah datar diatas dinding batu karang itu.
Giam In kok berdiri termangu-mangu, ia tak tahu apa yang musti dilakukan olehnya, sebelum ia sempat berbuat sesuatu, burung tadi sudah terbang kembali menuju tebing dimana tadi ia berada.
Tak selang beberapa saat kemudian burung itu muncul kembali dan kali ini di atas punggung burung tadi duduk seorang kakek.
Dengan cepat kakek tadi meloncat turun ketanah setelah burung itu dekat dengan Giam In kok, lalu sambil mengawasi pemuda itu dengan tajam kakek itu berkata:
"Hey, bocah rupanya kau telah berhasil mendapatkan buah langka itu? tahukah kau, bahwa aku sudah beberapa bulan lamanya berada disini untuk menantikan masaknya buah tersebut?"
"Cianpwee... sia.... siapakah kau?"
"Engkau tak usah tahu siapakah aku, ketahuilah bahwa aku menolong dirimu barusan karena di tanganmu membawa buah langka itu, jika tidak, hmmm.... perduli amat mau mati atau tidak....!"
"Tapi.... tapi.... cianpwee, aku dapat buah ini dengan bersusah payah dan lagi mempertaruhkan jiwa ragaku, masa kau hendak memintanya dengan begitu saja?"
"Hmmm, menempuh bahaya atau tidak itu bukan urusanku, seandainya buah itu tidak keburu kau ambil, akupun bisa memetiknya dengan amat mudah sekali!"
Giam In kok jadi terdesak, ia tak takut menghadapi kakek penunggang rajawali itu, tapi ia merasa sungkan untuk menghadapi karena merasa jiwanya sudah diselamatkan oleh burung rajawalinya.
Setelah memutar otak beberapa saat lamanya, pemuda itupun segera berseru:
"Aaaaah, belum tentu cianpwee! bukankah disitu masih ada seekor ular bermata satu yang sangat beracun? apakah kau merasa mampu untuk menghadapi ular tersebut?"
Kakek penunggang burung rajawali itu segera menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaah... haaah... ular bermata satu? ular tersebut telah kubunuh hingga hancur, dan racun-nya kini telah mengotori seluruh permukaan sungai, barang siapa berani minum air sungai itu maka dia bakal mati keracunan!"
Giam In kok tahu musuhnya itu sangat lihay, besar kemungkinan buah langka itu akan dirampas olehnya, maka menggunakan kesempatan dikala kakek itu sedang berbicara dengan penuh perasaan bangga, diam-diam ia membuka buli-buli emasnya, kemudian dengan cepat ia memeras buah tadi menjadi cairan dan diisikan kedalam buli-buli tersebut.
Semua tingkah lakunya itu dilakukan sangat cepat, cekatan dan sama sekali tidak meninggalkan bekas, menanti kakek itu telah menyelesaikan kata-katanya, buah tadi pun sudah dirubahnya menjadi cairan.
PRIA kurus itu menjerit kesakitan, kemudian badan-nya terkapar diatas tanah dengan bermandikan darah segar yang mengucur keluar dari tubuhnya, setelah berkelejitan sebentar akhirnya binasalah orang itu.
Pria gemuk she Liong yang sedang bertempur melawan nona berbaju merah itu jadi amat terperanjat menyaksikan rekan-nya menemui ajalnya diujung pedang lawan, ia jadi ketakutan setengah mati, setelah melancarkan serangan yang gencar untuk mendesak lawan-nya, buru-buru ia memutar badan-nya dan secepatnya berusaha melarikan diri dari situ.
Nona berbaju merah itu berdiri tertegun sejenak sebelum ia sempat berpikir untuk melakukan pengejaran, nona berbaju hijau itu telah membentak keras dan segera meluncur kedepan.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggema diudara, sesosok bayangan manusia meloncat ketengah udara dan melayang ke dalam gelanggang, dalam sekejap mata orang itu sadah tiba dihadapan Giam In kok.
Nona berbaju merah serta nona berbaju hijau itu jadi amat terperanjat, mereka mengenali bayangan manusia yang melayang datang itu bukan lain adalah iblis sakti yang telah selesai semedinya.
Pada saat yaag bersamaan mereka segera meloncat pula kesamping pemuda itu, lalu sambil membentak keras, sepasang pedangnya disilangkan didepan dada untuk membendung datangnya ancaman tersebut.
Iblis sakti Su Gong wan tersenyum, katanya:
"Kalian berdua tak usah kuatir, aku bukanlah manusia yang senang bermain perempuan, akupun tiada maksud untuk mencabut jiwa pemuda tersebut, aku anjurkan lebih baik kalian berdua segeralah berlalu dari sisi, sebab jika manusia she Koan serta she Chee itu sampai sadar kembali dari pingsannya, mungkin mereka akan menyusahkan kalian berdua, ketahuilah bahwa merekaa gemar sekali bermain perempuan!"
"Perduli amat apa yang hendak dilakukan orang itu terhadap kami, pokoknya selama kami berdua masih berada disini aku tidak mengijinkan engkau membawa pemuda tersebut!" bentak dara berbaju hijau itu.
"Hmm! tahukah kau siapakah aku? berani benar kalian mengucapkan kata-kata yang begitu kasar terhadap diriku?"
"Perduli amat siapakah dirimu, kalau berani maju selangkah lagi kedepan, nonamu segera akan menghadiahkan sebuah tusukan pedang keatas tubuhmu!"
"Kurang ajar, rupanya kau sudah bosan hidup dan hendak mencari penyakit buat diri sendiri, baiklah! Kalau kau bersikeras terus dengan pendirianmu itu, jangan salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap kalian!"
Hawa amarah telah berkobar didalam benak iblis sakti Su Gong Wan, dengan sorot mata yang berkilat perlahan-lahan dia mengangkat sepasang tangan-nya ketengah udara.
Suasana menjadi tegang dan kritis sekali, setiap saat pukulan gencar dari iblis sakti itu bakal mencabik-cabik tubuh dua orang gadis muda tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba Giam In kok yang menggeletak diatas tanah meloncat bangun, kemudian laksana kilat melancarkan sebuah pukulan dahsyat keatas tubuh iblis sakti.
"Weeees....!"
Angin pukulan menyambar lewat dari bawah pedang kedua orang nona tersebut, sementara ibiis sakti Su Gong Wan masih berdiri dengan wajah tertegun, tahu-tahu angin pukulan itu sudah mengancam bawah lambungnya, dalam keadaan begitu buru-buru dia menyilangkan tangan-nya untuk menangkis datangnya ancaman tersebut.
Kembali terjadi bentrokan keras menggelegar memecahkan kesunyian ditengah udara terdengar seruan tertahan, kedua belah pihak sama-sama roboh terjengkang keatas tanah.
Nona berbaju merah itu jadi amat terperanjat menyaksikan pemuda itu roboh kembali keatas tanah, buru-buru ia maju kedepan menghampirinya.
Sebaliknya nona berbaju hijau itu jauh lebih kaget lagi terutama sekali ketika dilihatnya manusia iblis bertangan seribu serta dua orang siluman telah mendusin kembali dari semedinya, dengan cepat ia berseru:
"Cici cepat bopong dia dan kita secepatnya berlalu dari sini.... lihatlah, beberapa ibiis itu telah mendusin dari semedinya....!"
Nona berbaju merah itu sadar, betapa gawatnya situasi yang terbentang dihadapan mereka pada saat ini, tanpa pikir panjang lagi ia segera memasukkan kembali pedangnya kedalam sarung, kemudian sambil membopong tubuh Giam In kok berangkatlah, mereka meninggalkan tempat itu.
Sepanjang perjalanan kedua orang nona itu kabur secepat-cepatnya. taupa berhenti, entah berapa lama mereka sudah berlari ketika nona berbaju hijau itu berpaling dan melihat tak ada orang yang menyusul mereka, hatinya baru merasa lega, sambil menghembuskan napas panjang serunya:
"Cici! mari kita beristirahat sebentar, aduh.... aku sudah lelah.... sekali....."
"Kita menuju kesnaa saja!" jawab nona berbaju merah itu sambil menuding hatan lebat yang tidak jauh dari hadapan mereka.
"Aku pun hendak memeriksa dulu luka yang diderita orang ini, jangan-jangan dia sudah mati?"
Setelah berada didalam hutan, kedua orang nona itu segera membaringkan tubuh Giam In kok keatas tanah ketika pernapasan-nya diperiksa, terasalah denyutan nadinya sudah lemah sekali.
Menyaksikan keadaan tersebut, nona berbaju merah itu menghela napas panjang, serunya setelah termenung sebentar:
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Bagaimana kalau kita berikan sebutir pil Siau huan wan kadalam mulutnya.....?"
"Baiklah, berikan sebutir pil Siau huan wan, aku lihat luka dalam yang dideritanya cukup parah"
Kedua orang nona itu segera mengambil keluar obat mujarab dan masing-masing segera memasukkan kedalam mulut Giam In kok, kemudian menguruti pula jalan darahnya.
Kurang lebih seperminum teh kemudian, Giam In kok telah sadar kembali dari pingsan-nya, setelah membuka matanya ia segera berseru:
"Ooooh...! cici yang baik, untung kalian telah melolong jiwaku, untuk kesemuanya ini aku merasa sangat berterima kasih..."
"Ciiis! siapa sih yang suruh kau banyak bicara?" seru nona berbaju hijau itu.
Giam In kok tertawa getir.
"A....ku.... aku.... mau...."
"Eeei.... gimana sih kamu ini?" tukas nona berbaju hijau itu lagi dengan nada mengomel, "aku kan suruh kau jangan banyak bicara dulu, siapa suruh kau bicara terus?"
"Apakah kau hendak duduk bersemedi untuk mengatur pernapasan?" tanya nona berbaju merah itu dengan halus sekali.
Rupanya tabiat nona berbaju merah ini jauh lebih halus dan ramah bila dibandingkan dengan nona berbaju hijau yang kasar itu.
Giam In kok dengan mulut terbungkam segera mengangguk:
"Huuuh... kamu ini gimana sih?" kembali nona berbaju hijau itu mengomel, "kalau waktunya bicara ksu tak mau, kalau tidak disuruh bicara malah omong terus...."
Noca berbaju merah itu jadi geli dan tak tahan ia segera tertawa cekikikan.
Setelah menelan dua butir pil pemberian nona itu dan jalan darahnya telah diuruti oleh mereka berdua, sebenarnya keadaan sudah jauh lebih baikan, apalagi sekarang, setelah duduk bersemedi mengatur pernapasan selama satu jam lebih, maka seluruh kekuatan tubuhnya boleh dibilang telah pulih kembali seperti sedia kala.
Ketika dilihatnya kedua orang nona muda itu masih berjaga-jaga disisi tubuhnya, ia merasa amat berterima kasih sekali, buru-buru serunya:
"Cici berdua, kalian memang orang baik, budi kebaikan yang telah cici berikan kepadaku tak akan kulupakan untuk selamanya"
"Eeeeiii....kau tak usah membicarakan budi atau tidak lagi," tukas nona berbaju hijau itu tidak sabar, "aku hanya ingin mengetahui, bagaimana sih ceritanya hingga kau bertempur melawan manusia-manusia iblis itu?"
"Kalau dibicarakan sungguh panjang sekali ceritanya, tapi sebelum itu bolehkah aku tahu nama cici berdua?"
"Aaaaaa....! pakai segala adat dan tata-cara yang tetek bengek, kalau mau tahu nama kami tanyakan saja secara langsung, pakai basa-basi segala....."
"Aku she Thian bernama Lan, dan dia adikku bernama Thian Hui, kami dilahirkan pada hari yang sama, tangga1 serta tahun yang sama juga!"
Setelah mengetahui nama mereka berdua, Giam In kok pun segera membicarakan pula masalah mengenai Thian Bu.
Terdengar nona berbaju hijau atau Thian Hui ini segera bertanya dengan nada tercengang:
"Ada urusan apa sih kau menanyakan tentang dia orang tua?"
"Aku ingin mengajukan beberapa persoalan kepadanya, termasuk juga aku ingin mengatahui siapa ayahku yang senanarnya...."
Berbicara sampai disini Giam in kok segera menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya.
Sebagai penutup kata, dengan sinar mata penuh permohonan ia berkata:
"Cici berdua, karena itu aku harap cici suka memberitahukan kepadaku dimanakah kakek kalian itu berdiam?"
Thian Lan menghela napas panjang setelah termenung sebentar katanya:
"Aaaiii.....! kalau dibicarakan sesungguhnya, mungkin jawahanku ini akan mengecewakan mu, tapi apa boleh buat, sebab apa yang kukatakan ini merupakan keadaan yang sebenarnya, hingga kinipun kami bardua sedang berusaha menemukan kakek Thian Bu, sebab sudah banyak tahun kakek tak pernah pulang kerumah!"
Sedikitpun tidak salah, ketika Giam In kok mendengar perkataan itu ia kelihatan sangat kecewa sekali.
Thian Lan segera berkata kembali:
"Sejak lima puluh tahun berselang, dia orang tua sudah meninggalkan kampung halaman, dia berkelana didalam dunia persilatan, selamaa ini ia belum pernah sekalipun pulang kerumah, kami sendiripun tidak tahu apakah dia orang tua masih hidup atau sudah mati, tapi baru-baru ini dirumah kami telah terjadi suatu peristiwa aneh sekali, karena peristiwa itulah maka kami sekeluarga segera keluar rumah untuk mencari jejaknya serta mencari tahu duduk perkara yang sebenarnya"
"Peristiwa aneh apa yang telah terjadi?" tanya Giam In kok keheranan.
Tiba-tiba air muka Thian Lan berubah jadi merah jengah, ia segara menundukkan kepalanya dan membungkam.
Sedangkan Thian Hui yang berada disisinya segera berteriak:
"Rupanya kejadian itu ada sangkut pautnya dengan dirimu!"
"Ada sangkut pautnya dengan aku?" tanya Giam In kok terperanjat.
Thian Lan segera mengerling sekejap kearah adiknya maksudnya agar dia membungkam, tapi Thian Hui sama sekali tak ambil peduli, suaranya yang merdu bagaikan keliningan perak meluncur kembali dari mulutnya:
"Aku hanya menduga bahwa urusan itu kemungkinan besar ada hubungan-nya dengan dirimu, sebab pada sebulan berselang diruang tengah rumah kami secara tiba-tiba muncul sebuah lukisan yang berpemandangan sangat indah, dalam lukisan tadi terlukis banyak sekali jago-jago bulim, akan tetapi kebanyakan diantara mereka sudah mati, yang masih tertinggal hanya seorang perempuan cantik yang sedang hamil dengan memancarkan rasa gugup dan kaget serta dua pria yang sedang bertempur sengit diantara mayat-mayat yang bergelimpangan ditanah.
Bukankah lukisan tersebut mirip sekali dengan kisah yang baru saja kau tuturkan kepada kami?"
"Aaah! benar, cerita itu memang mendekati kemiripan" jawab Giam In kok setengah menjerit, "kemungkinan besar perempuan hamil itu memang ibuku, sedangkan dua orang pria yang sedang bertempur itu salah satu diantaranya adalah ayahku!"
Dimanakah lukisan itu sekarang? ada urusan apa kalian mencari kakekmu?"
"Lukisan itu berada diruamah kami! sedang kami sekeluarga keluar rumah untuk mencari kakek, karenua dibelakang lukisan tersebut tertulis nama kakek kami, karena itu bisa diduga lukisan itu kalau bukan dihantar sendiri oleh kakek kami, tentulah dia telah mengutus seseorang yang ada hubungan-nya dengan dirinya untuk menghantar lukisan itu kerumah, atau mungkin juga seorang musuh besar kakek yang mengirim lukisan itu kerumah, karena itulah kami harus menyelidiki persoalan ini hingga jelas!"
Giam In kok termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian ia bertanya:
"Enci yaug manis, bagaimana seandainya aku punya hasrat untuk berkunjung kerumah kalian? apakah cici berdua mengijinkan aku pergi kesana?"
"Apa salahnya?"
Maka perjalanan pun segera dilakukan siang dan malam dengan cepatnya, dalam perkiraan Giam In kok asal lukisan itu telah dilihat olehnya, dua orang dalam lukisan itu dapat dikenali, maka tidak sudah baginyaa untuk meraba asal usulnya.
Setelah asal usulnya diketahui, maka diapun bisa membuktikan pula kalau Giam Ong Hui memang benar-benar telah merampas ibunya dari tangan ayahnya, serta telah mamaksannya untuk menjadi selirnya, dalam keadaan begini ia dapat pulang keperkampungan Ang sim san ceng untuk membalas dendam serta membinasakan musuh besarnya.
Demikianlah, dengan perasaan sedih, gembira bercampur tegang sampailah si anak muda itu digedung keluarga Thian.
Siapa tahu ketika lukisan pemandangan itu dibuka dan diperhatikan dengan seksama, Giam In kok segera berseru kaget dan berdiri menjublak dengan mata terbelalak serta mulut melongo.
Ternyata dua orang pria yang sedang bertempur sengit itu bukan lain adalah Giam Ong Hui serta si telapak tangan Giam Tok, sebaliknya perempuan hamil yang sedang memandang perkelahian itu dengan kaget dan gugup bukan ibunya, melainkan ibunya yang kelima Leng Siang In.
Penemuan yang diperolehnya secara tiba-tiba ini seketika mengidikkan hatinya, dengan bukti yang berada didepan mata saat ini menunjukkan bahwa bahwa dia bukan putra dari telapak sakti dari Giam Tok seperti apa yang diduganya semula, sebab perempuan yang hamil itu merupakan istri kelima dari Giam Ong Hui atau ibunya yang kelima.
Dengan perkataan lain hal ini menunjukkan pula bahwa ia sebenarnya merupakan putra kandung Giam Ong Hui yang selama ini dianggapaya sebagai bajingan tua yang hendak dibunuhnya, bulu kuduknya segera bangun berdiri membuat air mukanya berubah pucat pias bagaikan mayat.
"Aaah....! rupanya aku benar-benar anak durhaka, ayah sendiri telah kumaki habis-habisan bahkan hendak kubinasanan pula...."
Thian Lan yang berada disisinya jadi amat terperanjat setelah menyaksikan perubahan wajah si anak muda itu, buru-buru tegurnya:
"Eeeeii.... kenapa kau?"
Dalam waktu singkat rasa sedih, menyesal, benci, pedih bercampur aduk dalam benak Giam In kok, ia tak bisa melukiskan bagaimanakah perasaan hatinya pada saat ini.
Sekarang dia baru tahu bahwa perempuan yang diperebutkan oleh si telapak tangan sakti dari Giam Tok dengan Giam Ong Hui bukanlah ibunya melainkan ibunya yang kelima Lang Siang In.
Perduli bagaimanakah tabiat serta tingkah laku Giam Ong Hui, namun yang jelas ia ayah kandungnya, ayah yang menciptakan dia hidup dikolong langit, tapi ia telah menganggap ayahnya sebagai musuh bahkan telah mengutungi pula kakinya... rasa berdosa dan menyesal semakin berkecamuk dalam benaknya, membuat pemuda itu merasa mau lagi tetap hidup dikolong langit, maka dia bertekad akan mengakhiri hidupnya....
Ketika Thian Lau menegur dirinya, pemuda itu segera sadar kembali dari lamunan-nya, namun ia tak tahu apa yang musti dikatakan pada saat itu, setelah menghela napas panjang katanya:
"Tiada perkataan lain yang dapat kukatakan lagi, aku hanya bisa berkata selamat tinggal dan sampai jumpa lagi pada penitisan yang akan datang....!"
Tidak menantikan reaksi dari kedua orang nona itu lagi, ia segera mengenjotkan badan-nya berlari keluar dari ruangan.
Thian Hui tertegun, kemudian serunya:
"Cici! rupanya ia hendak mengambil keputusan pendek, coba ingatlah dia berkata, sampai jumpa pada penitisan yang akan datang?"
"Cepat kita kejar!" sahut Thian Lan kemuudian sambil meloncat keluar.
Ketika mereka tiba ditempat luaran, bayangan tubuh Giam In kok sudah lenyap dari pandangan, mereka segara meloncat naik keatap rumah, pada belasan meter di depan sana terlihatlah sesosok titik hitam sedang berlari menjauh.
Rupanya Giam In kok telah menduga bahwa kedua orang nona itu pasti akan mengejar dirinya, maka setelah meninggalkan gedung keluarga thian, dis segara mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang paling sempurna untuk berlalu dari situ.
Dengan kecepatan gerak tubuhnya, tentu saja kedua orang nona itu tak mampu untuk menyusulnya.
Sang surya telah tenggelam disebelah barat, kegelapan mulai mencekam seluruh jagad.
Pada sebuah lereng gunung yang jauh dari keramaian dunia, tampaklah sesosok bayangan manusia berlarian seperti banteng gila menuju keatas sebuah tanah bukit terjal.
Kemana dia hendak pergi? tak seorangpun yang tahu....
Sebuah jurang yang lebat menghadang jalan perginya, si anak muda itu segera menghentikan langkahnya.
Meskipun pemuda itu kagat karena tiba-tiba dihadapan mukanya muncul sebuah jurang dengan batu cadas yang berserakan didasarnya, namun ia tidak gentar mati, sebab ia sudah bertekad untuk mengakhiri hidupnya dikolong langit ini.
Setelah berdiri termangu-mangu beberapa saat lamanya diatas tebing tersebut, pemuda itu bergumam seorang diri:
"Aaaah.....! biarlah aku mati saja, aku adalah anak durhaka yang telah menghina dan menyakiti ayah sendiri.... biarlah aku mati tanpa liang kubur.... biarlah mayatku hancur karena menumbuk batu cadas dan hanyut oleh aliran air sungai yang dibawah...." Ia termangu-mangu kembali, air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya, kemudian guman-nya kembali:
"Aaaah! tidak, aku tak boleh mati ditempat ini, aku harus kembali kerumah dan mati dihadapan ayahku, agar ia jadi puas dan tenang hatinya, karena aku anak durhaka telah menebus dosa dengan kematian....."
Tapi ingatan lain segera membuatnya berubah pikiran:
"Tidak....keadaan itu jauh lebih tidak baik, seandainya ayah tidak membiarkan aku mati, bukankah aku tak bisa hidup sebagai manusia dikolong langit? Lagi pula.... kalau aku sampai bunuh diri dihadapan ayah, ibu pasti sangat bersedih hati... ia tentu akan terluka hatinya menyaksikan peristiwa tersebut....."
"Aaaai....! mati ada yang enteng bagaikan bulu, tapi ada pula yang berat bagaikan gunung Tay-san"
"Mati....? sebenarnya kematianku ini akan merupakan kematian yang enteng atau berat?... tidak enteng juga tidak berat....?"
"Mati.... pojoknya mati, perduii amat dengan entang atau berat kematianku ini, enteng juga boleh, berat juga boleh... hanya orang yang menggotong peti mati yang tahu badanku berat atau enteng..."
Berapa kali dia hendak menerjunkan diri kedalam jurang, tapi hatinya selalu diliputi keraguan, karena meskipun sudah berjam-jam ia berdiri ditepi puacak namun kerjanya hanya berguman seorang diri.
Tiba-tiba dan sisi tebing terdengar seseorang tertawa cekikikan, lalu berkata:
"hiiih... hiiiih.... hiiiih.... rupanya ada orang yang datang kemari untuk belajar ilmu meringankan tubuh? coba lihatlah dia sedang mencoba menirukan gayanya burung walet terjun ke jurang..."
"Huuuuh! Jangan ngomong sembarangan, aku lihat ia bukan lagi sedang menirukan burung walat terbang diangkasa, mungkin diapun seperti kita, datang kemari untuk mencari tempat yang baik untuk mengubur mayatnya yang nanti setelah mati!"
"Asal ia terjun kebawah jurang, bukankah kematian langsung datang menjemput dirinya?"
"Siapa bilang pasti mati? kalau tangan atau kakinya saja yang kutung? bukankah sepanjang hidup malah akan menderita sengsara?"
Giam In kok dapat menangkap suara pembicaraan itu berasal dari seorang bocah lelaki dan seorang bocah perempuan, ketika ia mendengar bocah sekecil itu hendak cari mati, ia segera menghela napas dan berbisik:
"Sayang.... sayang sekali.... "
Pemuda itu merasa sayang sekali kalau kedua orang bocah yang masih berusia begitu muda hendak mencari kematian, sebenarnya dia hendak mendekati kedua orang bocah itu untuk menanyai apa sebabnya mereka hendak mecari mati, tetapi setelah pembicaraan itu didengar lebih jauh, baru ia sadar bahwa kedua bocah itu sengaja sedang mempermainkan dirinya, tanpa terasa hawa gusar berkobar dalam benaknya.
"Aku mau mati toh urusanku sendiri, apa sangkut pautnya dengan kalian.....?" teriaknya.
Dari balik pohon segera berkumandang suara bocah perempuan itu menjawab:
"Kami datang kemari memang sengaja untuk menyaksikan engkau mati, ayolah cepat melompat... ayo cepat melompat....!"
Tiba-tiba dari seberang bukit sana berkumandang seruan teriakan seorang perempuan:
"Li jin apakah kau sedang bertengkar dengan Cuan ji? eeei... kalau bertengkar boleh, tapi jangan bunuh diri segala, Cuan-ji kau tak boleh meloncat turun!"
Rupanya perempuan diseberang sana mengira bocah-bocah itu yang akan terjun kedalam jurang.
Bocah perempuan itu segera tertawa dan menjawab:
“Ibu! yang mau meloncat kedalam jurang bukan Cuan ji serta Li ji melainkan seorang engkoh kecil yang sudah tak ingin hidup......"
"Kalau memang orang lain yang hendak mencari mati, biarkanlah saja dia meloncat turun kedalam jurang!"
Bocah perempuan itu segera menggandeng tangan bocah lelaki itu seraya berjalan menghampiri ibunya.
Giam In kok dapat menangkap semua pembicaraan itu dengan jelas, dari suara perempuan itu diseberang sana yang begitu terdengar nyaring, ia tahu bahwa orang tersebut mempunyai tenaga dalam yang amat sempurna, bila ia benar-benar terjun kedalam jurang dan sampai tertolong olehnya, maka rasa malunya tentu tak terlukiskan lagi.... hal ini membuat pemuda itu sangsi.
Setelah termenung sejenak lamanya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia segera lari menuruni bukit tersebut.
Tiba tiba dari belakang pohon besar suara bocah perempuan itu berkumandang lagi:
"Aku berani tebak, engkoh itu pasti akan pergi kesungai dan mencari mati disitu, sebab air sungai sedang mengalir dengan derasnya...."
Giam In kok sama sekali tak menggubris sindiran bocah itu, dia meneruskan larinya menuruni bukit, dan sampailah ia ditepi sungai dengan batu cadas yang tajam.
Ia melongok kedalam sungai, maka terlihatlah aliran air sangat deras sekali dengan disana sini nampak batu karang mencuat keatas.
Giam In kok segera berpikir didalam hati:
"Kalau aku terjun kesungai, niscaya jiwaku bakal melayang meninggalkan ragaku..... badanku pasti akan hancur karena menumbuk batu karang yang tajam, air sangai yang deras akan mencuci bersih semua dosaku, biarlah pada penjelmaan yang akan datang aku bisa hidup lebih bahagia....."
Sesudah mengambil keputusan, diapun berjalan mendekati tepi sungai dan siap terjun kedalamnya.
Pada saat itulah mendadak dari tempat kejauhan sana ia mendengar ada seseorang yang sedang berseru dengan suara tertahan, dan suara itu terasa amat dikenalnya, orang itu berkata begini:
"Ibu! coba lihat bukankah orang itu Ngo-ko?"
Giam In kok segera berpaling, ia melihat ibunya yang ke lima Leng Siang in serta putranya Giam In Kiam secara tiba-tiba muncul dari balik batu cadas, segera teringatlah oleh pemuda itu akan apa yang di lihatnya dalam lukisan di gedung keluarga Thian, pemuda itu merasa berkewajiban untuk menyampaikan apa yang dilihatnya itu kepada mereka berdua.
Berpikir demikian diapun mengurangkan niatnya untuk terjun ke sungai.
Dalam pada itu, Lang Siang In telah berteriak keras:
"Kok ji, jangan terjun kesungai..... kau jangan bunuh diri....!"
Sambil berseru, dengan cepat perempuan itu lari menghampiri si anak muda itu.
"Ngo nio, kenapa kalian pun bisa tiba disini? dimanakah ayahku?" tanya Giam In kok dengan cepat.
"Siapa yang kau maksudkan sebagai ayahmu?" tanya Lang Siang In dengan cepat.
"Giam cengcu!"
"Giam cengcu? bajingan tua itu bukan ayahmu!"
"Aaah! tidak mungkin, dia memang ayahku, aku tahu bahwa tempo hari telapak tangan sakti dari Giam Tok telah salah menculik diriku, karena itulah aku mengira dia adalah ayahku tapi sekarang baru aku tahu bahwa telapak sakti dari Giam Tok itu sebenarnya bekas suamimu, dan akupun mengetahui bahwa aku sebenarnya merupakan putra kandung dari Giam Ong Hui..... menginggat aku telah menghabiskan cairan kemala milik telapak sakti dari Giam tok, maka aku tak akan menyusahkan kalian berdua, sekarang aku akan mengembalikkan senjata telapak baja ini kepada kalian, cepat-cepatlah kalian melarikan diri dari sini.... jangan sampai tertangkap oleh ayahku!"
Lang Siang In menangis tersedu-sedu, dengan air mata bercucuran hingga membasahi seluruh pipinya ia berkata:
"Kok ji terima kasih atas maksud baikmu itu.... tapi aku berani bersumpah bahwa kau bukan anaknya Giam Ong Hui, sebab bajingan itu telah mengatakan sendiri kepada ku, dan ucapanku ini tak bakal salah lagi!"
"Sungguhkah itu?"
"Aku tentu tak akan membohongi dirimu!"
"Lalu siapakah ayahku yang sebenarnya?"
"Apakah ibumu tidak menerangkan kepadamu?" Leng Siang In balik bertanya.
Pamuda itu menggeleng.
"Ibu tak pernah memberitahukan apa-apa kepadaku.... tapi... tapi Ngo nio tidak membohongi aku bukan?"
"Buat apa aku mambohongi dirimu? sejak kau pulang kampung dan menimbulkan keonaran, aku telah mengenali senjata telapak tangan baja yang berada ditanganmu itu, dan akupun telah mengetahui bahwa mendiang suamiku telah salah menculik anaknya.... dia mengira tentu kaulah putra kandungnya, tapi pada waktu itu aku tak berani menerangkan hal ini kepadamu, karena bajingan tua itu mencaci maki ibumu karena sudah melahirkan anak seperti kau yang telah mengakibatkan kakinya patah, mungkin ibumu takut jiwanya terancam maka ia bersikeras mengatakan bahwa kau merupakan anaknya, dalam keadaan apa boleh buat itulah bajingan tua itu menceritakan suatu rahasia yang amat besar..."
"Rahasia besar apa?" tanya Giam In kok dengan hati tegang.
"Rupanya setelah berhasil melatih ilmu pukulan bayangan darah, sum sum dalam tubuhnya telah mengalami perubahan besar, yang mana mengakibatkan ia tak bisa punya anak lagi, kejadian itu sudah berlangsung semenjak dua puluh tahun berselang!"
"Oooh....! makanya tidak aneh kalau ia saling suka merebut istri orang lain yang sedang hamil, apakah lootoa In si juga bukan anak kandungnya?"
"Siapa yang tahu tentang persoalan ini? ketika ibumu masuk kedalam perkampungan Ang sim san ceng akupun belum berada disitu, setengah tahun kemudian aku baru tiba disana dan ketika itu In si sudah berusia tujuh, delapan tahunan, benarkah ia anak kandungnya, mungkin hanya ibu In si yang mengetahui rahasia ini"
Setelah mendengar penjelasan dari Leng Sian in, kesadaran Giam In kok pun kembali pulih seperti sedia kala, sekarang ia baru tahu apa sebabnya air muka Giam Ong Hui berubah hebat ketika menantang dirinya untuk meneteskan darah untuk membuktikan hubungan darah, sekarang urusan telah jelas dan ternyata ia memang bukan putra kandungnya.
Teringat kembali tindakan barusan, pemuda itu merasa bulu kuduknya pada bangun berdiri, seandainya Long Siang in tidak muncul tepat pada waktunya, mungkin saat ini ia sudah mati didalam sungai...
Tanpa terasa ia menggertakkan giginya kencang-kencang dan berseru penuh kebencian:
"Aku bersumpah akan menuntut balas atas diri bajingan tua itu, akan ku cincang tubuhnya jadi hancur berkeping-keping.... sebelum jiwa anjingnya kucabut, aku merasa tak puas!"
Leng Siang In menghela napas panjang.
"Aaai.... Kok ji, sekalipun kau pulang keperkampungan sekarang juga, tak akan kau temukan dirinya..."
"Tapi.... bukankah ia masih berada dalam perkampungan Ang sim san ceng....?"
"Tidak! tiga hari setelah kau membuat keonaran dalam perkampungan, ia telah membubarkan semua tukang pukul yang ada disana dan membawa pergi kami beberapa orang serta dayang, dikala suasana sedang kalut dan kacau balau itulah, kami berhasil melarikan diri dari cengkeramnya....!"
Giam In kok menghela napas sedih, air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Kok ji! kau tak usah menangis ataupun bersedih hati" hibur Leng Siang In dengan suara lirih, "siksaan batin memang tak dapat dihindari lagi oleh ibumu, tetapi selembar jiwanya tak akan terancam bahaya, sebab bajingan tua itu hendak mempertahankan selembar jiwanya agar ia bisa menuduh kau sebagai anak durhaka yang tidak berbakti!"
"Sungguh aneh sekali, kalau memang ia sudah tidak menganggap aku sebagai putranya, kenapa ia hendak menuduh aku sebagai anak durhaka yang tak berbakti?"
"Ketika ia memaki ibumu, kebetulan kejadian itu berlangsung dikamar sebelahku, tak ada orang lain yang mendengar kecuali aku!"
"Eeeem.... ! sekalipun harus mencari keujung langit atau dasar lautanpun, aku hendak mencari bajingan tua itu sampai ketemu!"
"Kok ji, dimanakah kau telah berjumpa dengan ayahnya Kian ji? dapatkah kau menceritakan pengalamanmu itu kepada kami?"
Gian In kok tak ingin menutupi kisah yang sebenarnya, maka diapun menceritakan apa yang dialaminya selama ini.
Mendengar kisah tersebut, Leng Siang In menangis tersedu-sedu, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Giam In kok, hingga membuat anak muda itu terkejut dan segera ikut menjatuhkan diri berlutut diatas tanah, buru-buru serunya:
"Toa nio, jangan berlutut.... Kok ji tidak berani menerimanya!"
"Tidak! engkaulah yang telah mengebumikan jenasah suamiku, sudah sepantasnya kalau kau menerima sebuah penghormatan ku.... Kian ji! ayo cepat berlutut dan mengucapkan terima kasih atas budi yang telah diberikan kepada kita berdua!"
Mendenggar perkataan itu Giam In Kian segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.
Giam In kok jadi semakin gelisah, sehingga ia tak tahu apa yang musti dilakukan, buru-buru teriaknya:
"Toa nio, cepat bangun....!"
"Aku masih mempunyai satu persoalan yang hendak kumohonkan padamu, apakah Kok ji suka mengabulkan-nya?" kata Leng Siang In kemudian dengan air mata bercucuran.
"Kok ji lelah mendapat budi kebaikan dari Giam tayhiap, sejak semula aku telah menganggap ia sebagai ayahku dan Toa nio sebagai ibuku, bila Toa nio ada perkataan silahkan diutarakan keluar, Kok ji pasti akan menurutinya....!"
Dibalik kemurungan yang menyelimuti wajah Leng Siang In segera terlintas senyum kegirangan, sambil menahan sesenggukkan, segera ujarnya:
"Asal kau bersedia memenuhi permintaan ku, hal itu sudah lebih dari cukup bagi diri ku, semoga saja kau bisa memandang diatas wajah ayahnya dan bersedia mewariskan ilmu silat kepada adik Kianmu....."
"Tentu saja aku bersedia mewariskan ilmu silatku untuk adik Kian" sela Giam In kok dengan cepat, "malah Kok ji merasa menyesal karena cairan kumala dalam buli-buli telah diminum habis, sebenarnya cairan kemala itu lebih pantas kalau diminum oleh adik Kian.... sekarang rasanya aku memang hanya bisa mewariskan ilmu silatku kepadanya sambil mencari kesempatan untuk membantu meningkatkan tenaga dalamnya...."
"Kok ji, kau memang berbudi luhur dan baik hati, Thian pasti akan melindungi dirimu sehingga suatu hari kau bisa berkumpul kembali dengan ibuma....!"
Dengan air mata bercucuran Leng Siang In memeluk tubuh Giam In kok kedalam pelukan-nya, kemudian ujarnya lagi:
"Kian Ji, dengarlah baik-baik perkataanku ini! selama enam belas tahun ibumu menanggung derita dan penghinaan, tujuanku tidak saja hanya ingin menyaksikan kau tambah dewasa serta membalas dendam bagi ayahmu, kau harus menghormati serta mendengarkan perkataan dari engkoh Kok mu dan engkau harus menganggap dirinya sebagai ganti orang tuamu, dengan demikian hatiku baru bisa tenteram!"
"Ibu, Kian ji mengerti!" jawab Giam In Kian cepat.
"Baiklah, kalau kau memang bisa menuruti perkataanku itu, ibumu bisa pergi dengan hati tenang!"
Selesai berkata, tiba-tiba ia mendorong tubuh Giam In kok kesamping, sementara ia sendiri segera menggunakan kesempatan tersebut untuk menerjunkan diri kedalam jurang.
Giam In kok tidak menyangka kalau perempuan itu bakal melakukan tindakan yang begitu nekat, dalam keadaan yang tidak berjaga-jaga tubuhnya yang didorong jatuh terjungkal keatas tanah, menanti ia berhasil meloncat bangun dari atas tanah, tubuh Leng Siang In telah lenyap dibalik jurang.
Buru-buru ia menerjang tubuh Giam In Kian dan memegangi erat-erat sambil berseru:
"Adik Kian, tabahkan hatimu...."
Giam In Kian sangat gelisah, ia berteriak-teriak memanggil ibunya namun ditengah udara hanya berkumandang suara ibunya yang amat lirih:
"Anak Kian, baik-baiklah hidup jadi manusia, hari ini ibu akan mati dengan mata meram!"
Terdengar percikan bunga api bermuncratan keudara, tubuh Leng Siang in yang tercebur kedalam sungai seketika tertelan ombak dan lenyap tak berbekas.
Giam In kok tak dapat berbuat apa-apa kecuali mendekap tubuh adiknya sambil menangis sedih.
Malam sangat gelap, bintang bertaburan diangkasa... waktu menunjukkan kentongan ketiga dan angin malam berhembus lewat, membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Tiba-tiba Giam In kok tersentak kaget, ia merasa tanggung jawab yang diembankan diatas bahunya terasa amat berat, buru-buru serunya:
"Adik Kian! jangan menangis terus.... menangis bukanlah suatu tindakan yaag tepat untuk menyelesaikan persoalan, kita harus mencari suatu tempat yang terpencil letaknya untuk berdiam, mulai besok akan kuwariskan seluruh ilmu silat yang pernah ku pelajari kepadamu!"
Giam In Kian tidak berkata apa-apa, ia segera menjatuhkan diri berlutut kearah sungai dan menjalankan penghormatan sebanyak sambilan kali sebagai tanda penghormatan terakhir bagi ibunya, kemudian dengan sedih katanya:
"Sejak aku serta ibuku berhasil melarikan diri kesini, kami selalu bersembunyi dibawah batu besar itu, didalam tanah itu terdapat sebuah ruang rahasia kecil!"
"Oooh..... ya? kalau begitu mari kita periksa ruangan tersebut!"
Maka berangkatlah Giam In kok dan Giam In Kian menuju kebawah batu besar tersebut, tempat itu merupakan sebuah celah batu sempit dan berliku-liku letaknya, ketika mereka menerobos masuk kedalam, muncullah sebuah goa batu seluas beberapa depa, dalam ruang goa itu terdapat meja yang terbuat dari batu serta sebuah lubang kecil yang dapat dipakai untuk mengawasi sungai.
Menyaksikan kesemuanya itu, Giam In kok tercengang, segera ujarnya:
"Kalau dilihat keadaan tempat ini, rupanya ada orang yang pernah berdiam disini, bagaimana cara kalian menemukan tempat tersebut?"
"Ketika kami tiba disekitar tempat ini, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, kami segera mencari tempat untuk berteduh, dan secara tak sengaja kami menemukan tempat ini!"
"Kalau begitu bagus sekali, kita bisa berlatih ilmu siiat diatas tebing.... dan kalau malam kita bisa tidur disini.... eei.... bau apa ini? ehmm harumnya....."
Setelah mencium bau tersebut, Giam In kok segera memasang mata baik-baik dan memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, ia merasa bau harum itu aneh sekali dan semakin dicium baunya semakin tebal. Seluruh ruangan sudah diperiksa dengan seksama, namun tiada suatu bendapun yang mencurigakan hatinya, pemuda itu mulai tercengang dan merasa tak habis mengerti.
Bau harum itu kian lama kian bertambah tebal, sehingga Giam In Kian pun dapat mencium bau tersebut, tiba-tiba serunya:
"Engkoh Kok! rupanya bau harum ini berasal dari balik gua batu itu.... ayo kita periksa keadaan disana!"
Giam In kok segera mendusin, dengan cepat ia berjalan menuju kearah goa kecil yang bisa dipergunakan untuk memandang sungai, ternyata dugaan Giam In kian tidak salah, bau harum itu memang benar-benar berasal dari balik lubang itu.
Lubang batu itu luasnya hanya beberapa depa dangan tebal tiga depa, sekarang pemandangan disungai dapat terlihat dengan jelas, akan tetapi pemandangan dikedua belah sisinya sama sekali tak kelihatan.
Sstu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya, ia segera melepaskan pakaian-nya, membiarkan pedang pendek serta buli-buli emas masih tergantung dipinggangnya, setelah menarik napas panjang dia mengerahkan tenaganya untuk menyusutkan badan-nya hingga menjadi kecil.
Diiringi tarikan napas panjang tubuhnya menyesut kian lama kian bertambah kecil sehingga akhirnya berubah jadi kecil sekali hingga menyerupai seorang bocah berusia empat lima tahunan, pada saat itulah badan-nya segera merangkak masuk lewat lubang tadi.
Setelah menerobos masuk lewat lubang tersebut, ia dapat menyaksikan pemandangan
disekitar sana dengan lebih seksama, ternyata disana terdapat serangakai tumbuhan rotan hijau yang menggelantung dari ujung kiri melingkar kekanan, pada ujung rotan hijau tersebut tumbuhlah sebiji buah hijau sebesar kepalan tangan, dibawah sorot cahaya rembulan terlihatlah buah itu memancarkan cahaya hijau yang amat menyilaukan mata.
"Aaah....! buah ajaib..." teriak Giam In kok dalam hati kecilnya.
Dari kitab catatan buku pertabiban milik tabib sakti dari gunung Lam-san yang pernah dipelajarinya, dia tahu bahwa buah naga rotan yang berwarna hijan merupakan suatu buah langka dengan khasiat yang luar biasa, bila orang biasa yang makan buah itu maka badannya akan menjadi sehat dan awet muda, sebaliknya kalau orang itu berkepandaian silat maka tenaga dalamnya akan mendapat kemajuan yang pesat.
Giam In kok segera mengambil keputusan untuk memetik buah langka tadi untuk dihadiahkan kepada Giam In Kian.
Ia segera menerobos keluar dari lubang tadi dan mulai merambat pada tumbuhan rotan itu, mendadak hatinya merasa terperanjat, ternyata dihadapan buah langka warna hijau tadi melingkarlah seekor ular berbisa sebesar lengan yang tubuhnya memancarkan cahaya tajam.
Ia tahu, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya tidak sukar baginya untuk melayang kesana serta memetik buah tersebut, tetapi dihadapan-nya justru terdapat seekor ular bermata satu yang menjaga buah tadi, hal ini membuat ia jadi serba salah.
Ular bermata satu itu merupakan ular yang sangat berbisa, bila terpagut oleh taringnya yang beracun, jiwanya niscaya akan melayang meninggalkan raganya.
Dalam pada itu, ular berbisa bermata satu itu sudah merambat dua depa lebih kedepan, saat ini jaraknya dengan buah langka tadi tinggal lima depa lagi, pemuda itu tahu jika dia merasa ragu-ragu lagi maka ular berbisa itu yang akan mendahului dia untuk mencaplok buah tadi.
Giam In kok segera mengambil keputusan dalam hatinya, bagamanapun juga ia bertekad hendak memiliki buah langka itu, sekalipun mara bahaya bakal mengancam jiwanya.
Setelah berpikir sebentar, dia segara mengenjotkan badan-nya dan meluncur kearah buah tadi.
Jarak antara buah berwarna hijau itu dengan ujung lubang didinding batu karang lebih kurang erpaut belasan tombak jauhnya, sekalipun begitu dengan kecepatan gerak tubuh yang dimiliki Giam In kok, hanya dalam sekali kelebatan saja ia telah tiba di tempat tujuan.
Siapa tahu, baru saja tangan-nya hendak menyambar buah berwarna hijau tadi, tiba-tiba....
"Waeeeesss!"
Segulung kabut berwarna kuning telah menyembur keluar dan datang mengancam tubuhnya.
Rupanya sejak permulaan tadi Giam In kok telah menduga kalau ular bermata satu itu akan menyemburkan bisanya, dengan cepat tubuhnya merendah kebawah dan telapak kirinya melancarkan sebuah babatan kearah kabut kuning tadi, sementara tangan kanan-nya cepat-cepat menyambar buah tersebut.
Termakan oleh angin pukulan-nya yang gencar, kabut kuning yang disemburkan oleh ular bermata satu itu segera menyebar keudara dan hilang terhembus angin.
Dengan telak pula buah naga rotan tadi tersambar oleh tangan-nya.
Tetapi dengan kejadian ini Giam In kok terperosok dalam keadaan bahaya, karena harus melakukan serangan uutuk membuyarkan kabut kuning tadi, ia telah mengerahkan tenaga dalamnya jauh lebih besar, rotan tempat ia pegang sebagai penyangga badan-nya tak kuat menahan berat badannya lagi dan.....
"Kreaaaakkk!"
Tali rotan itu terputus jadi beberapa bagian.
Termakan oleh getaran tersebut, buah yang berada ditangan-nya segera terlepas dan jatuh kedalam jurang.
"Aduuuh celaka!" teriak Giam In kok.
Sepasang kakinya segera menjejak keatas dinding batu dan laksana kilat tubuhnya meluncur kedepan menyambar buah tadi, meski pun buah tersebut akhirnya tertangkap juga, namun tubuhnya sudah terlanjur terjerumus kebawah dan jatuh kedalam jurang.
Tampaknya pemuda itu bakal mati tertelan air sungai yang mengalir dengan derasnya itu....
Pada saat yang keritis itulah tiba-tiba dari tengah udara menyambar datang seekor burung rajawali raksasa, dengan cepatnya burung itu menyambar ikat pinggangnya dan membawanya terbang keangkasa.
Giam In kok merasa amat terperanjat, hingga berkeringat dingin, tanpa terasa badan-nya sudah basah oleh keringat, diam-diam ia bersyukur karena tubuhnya tidak jadi tertelan oleh aliran sungai yang deras itu, namun hatinya tetap tidak lega, sebab sekarang tubuhnya sedang dibawa terbang seekor burung besar.
Burung rajawali itu terbang beberapa saatnya diudara, kemudian membawanya turun keatas sebidang tanah datar diatas dinding batu karang itu.
Giam In kok berdiri termangu-mangu, ia tak tahu apa yang musti dilakukan olehnya, sebelum ia sempat berbuat sesuatu, burung tadi sudah terbang kembali menuju tebing dimana tadi ia berada.
Tak selang beberapa saat kemudian burung itu muncul kembali dan kali ini di atas punggung burung tadi duduk seorang kakek.
Dengan cepat kakek tadi meloncat turun ketanah setelah burung itu dekat dengan Giam In kok, lalu sambil mengawasi pemuda itu dengan tajam kakek itu berkata:
"Hey, bocah rupanya kau telah berhasil mendapatkan buah langka itu? tahukah kau, bahwa aku sudah beberapa bulan lamanya berada disini untuk menantikan masaknya buah tersebut?"
"Cianpwee... sia.... siapakah kau?"
"Engkau tak usah tahu siapakah aku, ketahuilah bahwa aku menolong dirimu barusan karena di tanganmu membawa buah langka itu, jika tidak, hmmm.... perduli amat mau mati atau tidak....!"
"Tapi.... tapi.... cianpwee, aku dapat buah ini dengan bersusah payah dan lagi mempertaruhkan jiwa ragaku, masa kau hendak memintanya dengan begitu saja?"
"Hmmm, menempuh bahaya atau tidak itu bukan urusanku, seandainya buah itu tidak keburu kau ambil, akupun bisa memetiknya dengan amat mudah sekali!"
Giam In kok jadi terdesak, ia tak takut menghadapi kakek penunggang rajawali itu, tapi ia merasa sungkan untuk menghadapi karena merasa jiwanya sudah diselamatkan oleh burung rajawalinya.
Setelah memutar otak beberapa saat lamanya, pemuda itupun segera berseru:
"Aaaaah, belum tentu cianpwee! bukankah disitu masih ada seekor ular bermata satu yang sangat beracun? apakah kau merasa mampu untuk menghadapi ular tersebut?"
Kakek penunggang burung rajawali itu segera menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaah... haaah... ular bermata satu? ular tersebut telah kubunuh hingga hancur, dan racun-nya kini telah mengotori seluruh permukaan sungai, barang siapa berani minum air sungai itu maka dia bakal mati keracunan!"
Giam In kok tahu musuhnya itu sangat lihay, besar kemungkinan buah langka itu akan dirampas olehnya, maka menggunakan kesempatan dikala kakek itu sedang berbicara dengan penuh perasaan bangga, diam-diam ia membuka buli-buli emasnya, kemudian dengan cepat ia memeras buah tadi menjadi cairan dan diisikan kedalam buli-buli tersebut.
Semua tingkah lakunya itu dilakukan sangat cepat, cekatan dan sama sekali tidak meninggalkan bekas, menanti kakek itu telah menyelesaikan kata-katanya, buah tadi pun sudah dirubahnya menjadi cairan.
Dengan
berpura-pura kaget, ia segera berseru:
"Aaah....!
bagaimana nasib orang-orang itu kalau mereka sampai minum air sungai
tersebut? kau benar-benar keji cianpwee, mereka toh tidak bersalah,
mengapa kau tega benar untuk mencelakai orang banyak?"
Kakek
penunggang rajawali itu tertawa tergelak, serunya kemudian:
"Itu
bukan urasanmu dan lebih baik kau tak usah mencampurinya, sekarang
lebih baik kita bicarakan saja soal buah yang berwarna hijau itu....
apakah kau memang benar-benar tak mau menyerahkan kepadaku?"
"Tidak!"
jawab Giam In kok sambil tertawa, "sekalipun kau bunuh akupun
tak mungkin kuserahkan padamu!"
Rupanya
kakek itu menjadi sangat marah dan mengumbar hawa amarahnya, tapi
dengan cepat ia menjadi tenang kembali, katanya kemudian:
"Baiklah,
bagaimana kalau kutukar buah itu dengan kepala ular bermata satu yang
berhasil kubunuh itu?"
"Dimanakah
kepala ular itu?"
"Dalam
sakuku, apakah kau bersedia" kata kakek itu kegirangan
"Jangan keburu senang dulu! aku tidak berjanji untuk memenuhi keinginanmu itu...."
"Jangan keburu senang dulu! aku tidak berjanji untuk memenuhi keinginanmu itu...."
Kakek
itu tak bisa membendung hawa amarahnya lagi, ia segera menerjang maju
sambil melancarkan satu pukulan dahsyat.
Giam
In kok tak mau menyambut datangnya ancaman tersebut dengan kekerasan,
setelah disambutnnya serangan tersebut, ia pura-pura jatuh terduduk
diatas tanah.
Menggunakan kesempatan itulah, Giam In kok menyambar sebuah batu merah, lalu digenggam ditangan lalu berlagak seolah-olah buah itu masih berada digenggaman-nya.
Menggunakan kesempatan itulah, Giam In kok menyambar sebuah batu merah, lalu digenggam ditangan lalu berlagak seolah-olah buah itu masih berada digenggaman-nya.
Kemudian
sambil merangkak bangun ujarnya:
"Waaah....!
kau memang lihay sekali, aku merasa tak mampu untuk menahan serangan
mu itu.... tampaknya buah langka ini bakal terjatuh ketanganmu....
baiklah!
Daripada
aku kena kau hajar sampai babak belur, silahkan kau menerima buah ini
dari tanganku!"
Sambil
berkata pemuda itu perlahan-lahan bergeser ketepi sungai.
Kakek penunggang rajawali itu jadi kegirangan setengah mati, sambil maju menghampiri pemuda itu katanya:
Kakek penunggang rajawali itu jadi kegirangan setengah mati, sambil maju menghampiri pemuda itu katanya:
"Nah,
begitu baru anak pintar, ayo cepat bawa kemari buah itu....."
"Ambillah
buah itu didalam sungai...!"
Tiba-tiba
pemuda itu tertawa geli sambil melemparkan batu tadi kedalam
sungai.
Dengan cepat batu itu tenggelam kedalam sungai dan lenyap tak berbekas.
Kakek itu segera tertawa bengis, ia maju melancarkan sebuah pukulan sedang mulutnya berseru:
Dengan cepat batu itu tenggelam kedalam sungai dan lenyap tak berbekas.
Kakek itu segera tertawa bengis, ia maju melancarkan sebuah pukulan sedang mulutnya berseru:
"Hmmm!
buah itu sudah kau buang kedalam sungai, sebagai gantinya maka kau
harus menyerahkan buli-buli emas yang tergantung dipinggangmu itu
untuk ku!"
Glam
In kok tertawa nyaring, ia menyingkir kesamping dan
menjawab:
"Eeeei.... eei.... bukankah tadi yang kau minta adalah buah langka berwarna hijau itu, kenapa sekarang kau malah meminta buli-buliku?"
"Eeeei.... eei.... bukankah tadi yang kau minta adalah buah langka berwarna hijau itu, kenapa sekarang kau malah meminta buli-buliku?"
"Setan cilik! sebenarnya kau bersedia memberi kepadaku atau tidak?"
Giam
In kok tertawa terbahak-bahak.
"Hahaa....
hahaa.... haaaah.... bajingan tua, kalau memang kau merasa mempunyai
kemampuan, silahkan untuk dicoba mengambilnya sendiri!"
Sambil
berkata ia segera memutar badan-nya menuju kearah bukit karang yang
terbentang dihadapan-nya.
Agaknya
kakek iti sudah dibikin gusar oleh tipuan serta ejekan anak muda
tersebut, sambil membentak keras dengan suaranya bagaikan guntur itu
ia segera mengejar dari belakang.
Bersambung
ke Jilid 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar