Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 19 Oktober 2010

Golok Pembunuh Naga (Penggali Makam) - Karya Tan Tjeng Hun 27 - Tamat

Sambungan ....

JILID 27
“URUSAN APA?"
“Bukankah ia sudah mendapatkan pedang sakti Thian kie Sin-kiam?"
"Ya !"
“Dimana pedang itu sekarang?"
"Itu disana!"
Tong-hong Hui Bun menjawab sambil menunjuk kedinding gi belakang pembaringan.
Hui Kiam seketika itu sangat gelisah, apabila pedang sakti itu jatuh ditangan pemimpin Bulan mas, habislah segalanya. Sekalipun kekuatannya sendiri sudah pulih juga susah untuk melawan kekuatan pemimpin itn. Apabila ia tidak menggunakan pedang sakti itu, maka ia tidak mampu mengeluarkan seluruh kepandaiannya
dengan ilmu pedangnya, lebih tak berdaya untuk menghadapi pedang Bulan mas pemimpin itu.
Tetapi biar bagaimana ia juga tidak mungkin mengambil pedang itu dari atas dinding tembok, sebab apabila ia bergerak sedikit saja tidak nanti dapat lolos dari serangan pemimpin Bulan mas yang mematikan.
Karena kegelisahan dalam hatinya itu keringat mengalir sangat deras diluar dugaan sisa racun yang masih dalam dirinya, semakin cepat terdepak keluar dari dalam tubuhnya.
Dengan suara gemetar pemimpin Bulan mas itu berkata:
"Coba kau ambil untuk kulihatnya!"

Dengan badan lesu Tong hong Hui Bun rnenggerakan kakinya, dari atas dinding tembok ia mengambil pedang sakti....
Hui Kiam sudah tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lagi, ia tidak menghiraukan kekuatan tenaganya yang masih belum pulih kembali, dengan kecepatan bagatkan kilat melancarkan serangan dengan telapak tangan dan jari tangan.
Perbuatannya iiu sesungguhnya diluar dugaan siapapun juga.
Pemimpin Bulan mas sama sekali tidak menduga tindakan Hui Kiam itu, menghadapi serangan demikian hehat, secara tergesa-gesa ia balas menyerang sambil mundur tiga langkah, sehingga kakinya menubruk meja, hingga meja itu terbalik pelitanyapun padam.
Hui Kiam sudah lompat turun dari pembanngannya, kemudian menyambar pedang saktinya dari tangan Tong hong Hui Bun.
Entah disengaja atau tidak. Tong hong Hui Bun membiarkan pedangnya diambil dengan mudah.
Meskipun pelitanya sudah padam, tetapi di dalam mata Hui Kiam yang sudah berkepandaian demikian tinggi sedikitpun tidak merintangi pandangan matanya lagi.
Sepasang mata pemimpin Bulan mas memancarkan sinarnya yang bengis dan menakutkan sudah terang bahwa kemarahannya sudah memuncak. Sedangkan Tonghong Hui Bun berdiri termangu-margu ditempatnya tak bergerak juga tak sepatah perkataanpun yang keluar dari mulutnya, perasaan hatinya sangat kalut.
Hui Kiam tidak melepaskan kesempatan untuk memulihkan kekuatan tenaganya sekalipun kesempatan itu hanya amat singkat saja. ia memeggang pedang saktinya dengan sikap hendak membuka serangan, diam-diam mengatur pernapasannya untuk memusatkan kekuatan tenaga dalamnya.
Keadaan dalam kamar itu meskipun luas, tetapi karena disitu terdapat pembaringan dan meja kursi, maka sisanya yang terluang hanya tinggal seluas kira kira satu tombak persegi saja
Tiga orang itu berdiri dalam posisi saling berhadapan, dengan bentuk segi tiga.
Sementara itu pemimpin persekutuan Bulan mas juga sudah menghunus pedangnya.
Dalam ruangan kamar yang tidak berapa luasnya itu, sesaat itu telah diliputi oleb suasana pembunuhan dan kematian.
Suasana nampak sunyi sepi.
Semakin lama waktunya saling berhadapan dalam keadaan demikian semakin menguntungkan Hui Kiam.
Dengan nada suara dingin pemimpin Bulan mas. berkata kepada anaknya:
"Btidak hina. apakah kau sudah memberikan obat pemunah kepadanya?''
Tong-hong Hui Bun tidak menjawab. Deugan mata tidak tergeser dari Hui Kiam pemimpin itu melanjutkan kata-katanya.
"Btidak hina akibat dari perbuatanmu yang menuruti hatimu sendiri ini. akan membuat habis segala usaha yang kupupuk dengan susah payah sekian lamanya, kau jangan sesalkan aku tidak mempunyai perasaan sebagai ayah daripada dikemudian hari kau
akan mengalami kematian yang mengerikan. lebih baik kau sekarang habiskan jiwamu sendiri, nah bertindaklah”
Badan Tong-hong Hui Bun gemetar parasnya pucat pasi, dengan sinar mata yang sayu memandang Hui Kiam.
Hati Hui Kjuid sangat kalut, dengan tanpa dirasa mulutnya menyetuskan perkataan:
"Cici, kau tidak boleh mati!"
"Bocah apakah kau pikir masih bisa hidup?" berkata pemimpin Bulan mas dengan suaranya yang menakutkan sekali.
”Malam ini kita harus rnelakukan Suatu pertempuran yang menentukan!"
"Aku bersumpeh tidak akan membiarkau kau hidup lebih dari satu jam!"
"Aku pikir juga begitu."
"Mari kepekarangan luar!”
"Silahkan!"
Dua orang itu segera keluar dari dalam kamar menuju kepekarangan.
Pekarangan itu dilapisi batu berwarna hijau tempatnya luas sekali.
Tong-hong Hui Bun juga ikut keluir. ia ber kata kepada dua pelayan wanita yang berada dipintu pekarangan:
"Keluarkan perintah, menutup pekarangan tengah dan belakang!"
"Baik!"
Dua pelayan wanita itu segera berlalu Apakah sebetulnya tempat ini? Dilihat bentuk bangunannya, agaknya merupakan rumah penginapan, tetapi juga tidak mirip. Kalau mau dikata tempat itu adalah markas pusatnya persekutuan itu, atau gedung cabangnya, perlu apa perintahkan orang-orangnya untuk menutup.....
Hui Kiam tidak ingin memikirkan soal itu. apa yang dihadapinya sekarang, ialah ia harus menghadapi pertempuran mati-matian itu dengan sepenuh tenaga,
Kedua pihak sama-sama tangguh semua tidak menunjukkan rasa takut.
Meskipun dalam lapangan itu hanya terdapat tiga orang saja, tetapi seluruh lapangan itu seolah olah sudah diliputi ketegangan yang luar biasa.
Ini adalah suatu pertempuran mati matian antara kekuatan tenaga dan ketajaman otak dan keteguhan semangat, sedikit lengah saja, dapat mengakibatkan kematian.
Dalam suatu penandingan antara dua jago yang berkepandaian sangat tinggi, apabila kekuatan dan kepandaian kedua pihak selisih tidak banyak, kematian dan kemenangan dapat diputuskan dalam waktu sekejap saja, sebab kekuatan kedua pihak sudah mencapai suatu batas maksimum, bagaimanapun menyerang, sulit untuk merebut kemenangan, maka yang terpenting adalah mencari kelengahan dipihak lawan nya, apabila mendapat kesempatan sedikit saja segera melakukan serangan yang mematikan. Demikian keadaan Hui Kiam dan pimpinan Bulan mas pada waktu itu.
Hampir satu jam lamanya, kedua pihak sama sama tidak bergerak, namun demikian kekuatan dan semangat yang digunakan oleh ke dua pihak cukup banyak.
Justru karena demikian maka Hui Kiam tidak berhasil memulihkan seluruh kekuatannya bahkan sebaliknya.
Perlahan- lahan ia merasakan tekanan keras ini adalah suatu tanda yang menakutkan, apabila keadaan demikian berlangsung terus, maka, akibatnya, dalam waktu satu jam semangat nya akan tunrun!
Satu-satunya jalan, hanya segera melakukan serangan.
Karena pikirannya bekerja, semangatnya sedikit banyak turut terganggu, bagi pemimpin persekutuan Bulan mas, ini sudah merupakan suatu kesempatan baik untuk bertindak.
Sudah tentu pikiran Hui Kiam dan tindakan juga hampir timbul dan melakukan dalam waktu bersamaan.
Kedua senjata ampuh kedua pihak saling beradu, dalam benturan ini menimbulkan percikan api.
Meskipun kedua belah pihak hampir tidak ketahuan siapa yang mau bertindak lebih dulu, tetapi sedikit perbedaan tokh ada juga, pihak pemimpin persekutuan Bulan mas yang beitindak lebih dulu, juga justru kerena perbedaan yang sedikit itu saja, maka Hui Kiam terpental mundur dua langkah.
Hampir bersamaan waktunya masing-masing mata ditujukan kepada senjatanya sendiri karena senjata yang digunakan masing-masing merupakan senjata sakti dari jaman purbakala, maka dalam pertempuran yang mengunakan seluruh kekuatan tenaga itu, dapat di lihat senjata siapa yang lebih baik atau ampuh.
Hui Kiarn setelah mengawasi pedangnya sendiri dengan cepat mengarahkan perhatiannya kepada lawannya.
Tubuh pemimpin Bulan mas tampak sedikit bergetar, ia telah dapat kenyataan bahwa pedang Bulan mas yang dipandang sebagai jiwanya sendiri, ternyata sudah terdapat sedikit gompal, dengan demikian pemimpin yang berambisi besar ingin menguasai seluruh rimba persialtan telah menjadi kalah, disamping itu, tekadnya hendak membinasakan Hui Kiam semakin bulat, karena tindakan itu kecuali menyingkirkan satu bahaya dan rintangan besar bagi usahanya, juga berarti akan mendapatkan sebilah pedang pusaka dan jaman purbakala, berdasar dua tujuan ini saja sudah cukup baginya untuk mencapai maksud nya.
Karena mukanya tertutup oleh kain kerudung sehingga tidak dapat dilihat perobaban apa yang terjadi diwajahnya itu. tetapi dan sinar matanya yang menembus dan lubang Kain kerudung itu. sudah cukup untuk rnengukur sampai dimana perasaannya,
"Serahkan jiwamu!"
Demikian pemimpin itu berseru, pedang Bulan mas bergerak sekelebat, dengan memancarkan sinar kuning yang berbentuk Bulan sabit, dengan hebatnya mengancam Hui Kiam.
Tong-hong Hui-Bun yang menyaksikan itu parasnya berubah seketika.
Sambil menggigit bibir, Hui Kiam mengeluarkan gerak tipunya yang paling hebat. gerak tipu serangan itu, boleh dikata merupakan gerak tipu paling dasyat dan segala gerak tipu serangan berbagai ilmu silat, ampuh digunakan untuk menyerang tetapi juga kokoh kuat untuk menjaga serangan, dalam taktik defensif gerak tipu ini merupakan suutu taktik yang rapat tak mudah ditembusnya, dan keistimewaannya gerak ini, dalam posisi defensif mengandung gerak tipu menyerang apabila sang lawan lebih kuat, biar bagaimana juga tak dapat merobohkannya, dan kalau kekuatan lawannya berimbang, pasti dapat rnerebut kemenangan dan apabila menghadapi musuh yang agak lemah, tak nanti dapat lolos dari serangan kematian.
Namun demikian ilmu pedang Bulan mas Juga merupakaci suatu ilmu pedang luar biasa yang jarang ada dalam rimba persilacan.
Kembali dua pedang itu saling beradu, dalam waktu yang sangat singkat dua senjata itu sudah beradu tidak kurang dari tiga puluh kali, setiap kali merupakan hantaman-hantaman yang amat dahsyat.
Akhirnya kedua pihak, masing-masing mundur satu langkah, ini merupakan suatu bukti bahwa dalam pertempuran jurus itu, kekuatan dua pihak ternyata berimbang.
Apabila kekuatan Hui Kiam sudah pulih Seluruhnya, keadaan tidak demikian.
Setelah mereka mundur istirahat sebentar, keduanya maju lagi. mereka sama-sama mempunyai satu tujuan, ialah hendak mengakhiri pertempuran itu dalam waktu selekas mungkin.
Sejurus demi sejurus telah berlangsung, tiba tiba dari medan pertempuran itu terdengar suara seruan tertahan, dua orang yang bertempur sengit itu terpencar mundur satu tombak lebih, ptidak
Hui Kiam mengucurkan darah, sedangkan depan dada pemimpin persekutuan Bulan mas juga penuh darah ternyata kedua duanya telah terluka.
Dalam beberapa jurus yang sangat singkat kedua pihak sudah mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing yang paling ampuh juga mengeluarkan tenaga sepenuhnya, maka waktu mundur untuk mengaso, keduanya menggunakan kesempatan itu untuk mengatur pernapasannya mereka nampaknya gemetar, seolah olah baru habis melakukan pertempuran sengit yang lama dalam waktu beberapa jam lamanya.
Sejenak setelah berada dalam keadaan yang demikian, keduanya bergerak lagi, setindak demi setindak mendekati sehingga sejarak dekat sekali.
Terdengar pula suara beradunya kedua senjata, kedua bayangan orang terpental terhuyung-huyung, kali ini terpisahnya agak lebih jauh kira-kira dua tombak lebih, suara bernapas dua orang terdengar nyata.
Wajah Hui Kiam putih bagaikan kertas sudah kehilangangan sikapnya yang angkuh seperti semula.
Muka pemimpin persekutuan Bulan mas yang tertutup oleh kain kerudung hanya tampak sinar matanya saja yang sudah guram, tubuhnya yang besar gemetar hebat.
Hanya Tong-hong Hui Bun yang masih berdiri tegak ditemparnya bagaikan patung, pikirannya sangat kalut karena kedua orang yang sedang bertempur mati matian itu, satu adalah ayahnya, dan yang lain adalah kekasihnya, ia tidak ingin kekasihnya terbunuh, juga tak ingin ayahnya mendapat celaka. Ia tak dapat memilih satu diantaranya, kedua-duanya sama beratnya. Andaikata hatinya tidak dipengaruhi asmara, saat itu asal ia turun tangan, sudah pasti Hui Kiam akan binasa.
Tetapi, apakah ia bisa berbuat demikian?
Suasana semakin tegang, kedua pihak mulai bergerak lagi.
Kedua duanya perlahan lahan saling mendekati, kemudian secepat kilat keduanya saling menyerang lagi.
Kali ini agak berkurang banyak kekuatan tenaga mereka masing masing mundur terhuyung huyung lagi beberapa langkah, kemudian kedua duanya jatuh dan duduk lemas ditanah. Mulut Hui Kiam mengalir darah, wajahnya nampak bengis, sedangkan kain kerudung yang menutupi muka Pemimpin persekutuan Bulan mas sudah basah kuyup seluruhnya.
Kedua pihak sama sama berusaha untuk berdiri lagi, tetapi ternyata tidak berhasil, hingga terpaksa duduk lagi, nampaknya kedua pihak semua sudah kehabisan tenaga, bahkan terluka parah bagian dalamnya.
Dalam pertempuran antara kedua jago pedang yang sama kuatnya, memang menghamburkan tenaga dalam tidak sedikit maka kekuatan tenaga dalam dihamburkan oleh kedua orang ini, sesungguhnya besar sekali.
Hui Kiam mengerti keadaannya sendiri, apabila musuhnya masih ada sedikit tenaga saja ia sendiri pasti tidak akan bisa lolos dan tangannya, dan apabila ia sendiri juga masih mempunyai sedikit kekuatan, pasti juga dapat membinasakan lawannya.
Meskipun ancaman maut iru sama-sama mereka hadapi, akan tetapi keadaan luka tidak mengijinkan mereka untuk memikirkan bagaimana harus menyingkir dari kematian itu.
Sedangkan dipihak Tong hong Hui Bun, bagaimanapun gilanya sudah tidak akan melindungi musuh yang membunuh ayahnya.
Dalam hati Hui Kiam berpikir, apabila ia sendiri dengan pemimpin persekutuan Bulan mas mati bersama-sama mungkin dunia rimba persilatan akan tenang dan tentram, pengurbanan itu masih ada harganya, yyalaupun permusuhan dan dendam sakit hatinya sendiri belum terbalas tetapi untuk kepentingan dan keselamatan rimba persilatan dan masyarakat pengorbanan seorang tidak berarti baginya.
Karena berpikir demikian, semangatnya timbul kembali, dengan cepat ia mencoba berusaha memulihkan kembali sekuatnya, ia mengharap sebelum pihak lawannya pulih kembali kekuatannya, ia dapat menggunakan sisa tenaganya yang masih ada, untuk menghabiskan riwayatnya biang keladi bencana rimba persilatan.
Piiran semacam itu sekejap telah melupakan kepada sang kekasih yang mempunyai kecantikan bagaikan bidadari itu. ia tidak boleh tidak harus melemparkan jauh-jauh pikiran terhadap kekasihnya, karena itu ia harus menghindarkan diri jangan sampai terbunuh, apa yang terbentang dihadapan matanya sekarang ini hanya antara mati dan hidup.
Tiba tiba terdengar suara pemimpin persekutuan Bulan mas kepada Tong-Long Hui Bun
"Bunuh dia."
Ucapan itu diluar dugaan Hui Kiarn, apabila Tong hong Hui Bun benar-benar turun tangan terhadap dirinya karena takut kepada ayahnya, maka habislah riwayatnya sendiri, ia terkejut dan ketakutan, tetapi semua itu sudah tidak ada gunanya lagi. ia mengerti harapan untuk hidup dari kematian memang sudah tidak ada harapan, satu satunya yang ada pada saat itu ialah supaya dapat mati bersama-sama dengan pemimpin kejahatan itu, dengan Kemauan dapat merobah nasib rimba persilatan, maka ia harus mempertahankan sedapat mungkin untuk berusaha sekuat tenaga, tetapi kalau sudah tidak bisa, ya apa boleh buat itu terserah kepada takdir.....
Tong hong Hui Bun ketika mendengar perinth ayahnya, sejenak nampak terkejut, kedua matanya terbuka lebar, bibirnya pucat pasi badannya gemetar.
Sementara itu terdengar pula ucapap pemimpin persekutuan Bulan mas,
”Btidak hina kau dengar atau tidak?"
"Ayah, aku....."
"Bunuh dia! ”
Badan Tong hong Bui Bun bergoncang goncang. tetapi kakinya tidak bergerak.
"Btidak apa kau inginkan aku memanggil orang untuk turun taugan?"
Hui Kiam memejamkan matanya, ia tidak menghiraukan itu semua, ia terus berusaha memulihkan tenaga .
Tong hong Hui Bun akhirnya menggeser kakinya perlahan-lahan, kaki dirasakan berat sekali, bagaikan seorang yang berjalan menuju ketiang gantungan, sebab ia disuruh menghabiskan jiwa kekasihnya sendiri yang paling di cintai dalam seumur hidupnya.
Dalam jarak yang sangat pendek itu, seolah olah terpisah beberapa pal jauhnya, ia mengeluarkan banyak tenaga baru berhasil mendekati Hui Kiam.
"Ayoh segera turun tangan!" demikian perintah ayahnya.
Ia berdiri bagaikan patung air mata nya bercucuran.
”Btidak, apakah kau berani melawan perintah? '
"Ayah. . . aku minta kau supaya mengijinkan anakmu bersamanya mengundurkan diri dari dunia Kang-ouw, tidak akan muncul-muncul lagi!”
”Tidak bisa."
"Ayah. ..."
"Aku tidak mempunyai anak perempuan durhaka seperti kau ini. pikirlah usiamu sendiri, pikirlah apa yang kau perbuat selama beberapa tahun ini? Kau lupa masih ada yang lain yang tidak puas sebelum mendapatkan dirimu, kalau kau mati memang sudah seharusnya, tetapi aku tidak dapat membiarkan kau merusak cita-citaku karena kebodohanmu sendiri, kau jangan kira aku tidak tega turun tangan membunuh kau....”
Tong hong Hui Bun agaknya terpengaruh hatinya oleh kata kata ayahnya itu ia menguatkan hatinya, tangannya diangkat naik.
Sepasang mata Hui Kiam terbuka lebar menatap paras Tong-hong Hui Bun. Sikaprya nampak bingung tetapi tak mengandung kebencian!
Jantung Tong-hong Hui Bun tergoncang hebat, badannya gemetar, tangan yang sudah di angkat naik berhenti ditengah udara, ia tidak dapat melanjutkan gerakannya. Air mata mengalir deras tidak dapat dibendung lagi.
Suatu kekuatan entah darimana datangnya, membuat Hui Kiam berdiri dengan mendadak! Dengan tanpa sadar Tong hong Hui Bun mundur satu langkah, tangannya masih terangkat tinggi keatas tetapi tidak bergerak.
Pemimpin persekutuan Bulan mas juga berbangkit perlahan lahan, bentaknya dengan suara bengis,
"Minggir."
Tong-tong Hui Bun tidak bergerak, tangan nya perlahan lahan diturunkan kembali.
Sepasang mata Hui Kiam memancarkan sinarnya beringas lagi, wajahnya yang pucat pasi nampaknya demikian dingin kaku, ia mengawasi Tong hong Hui Bon sejenak pedangnya diangkat diatas dada, berjalan menghampiri pemimpin Bulan mas.
Suasana mulai gawat lagi.
Pemimpin persekutuan Bulan mas nampaknya masih belum pulih kembali kekuatan tenaganya ia masih belum mempunyai kekuatan untuk menghadapi serangan yang akan dilancarkan oleh Hui Kiam itu ia menancapkan pedangnya ditanah untuk menunjang dirinya, mulutnya mengeluarkan suara geraman, tangannya dimasukan kedalam saku.
Hui Kiam terperanjat, ia tahu bahwa musuhnya itu pasti hendak menggunakan senjata rahasia, ia tidak boleh membiarkan musuhnya mendapat kesempatan untuk bertindak, maka badannya segera bergerak melesat...,,,,..
”Kau...” demikian terdengar suara seruan Tong hong Hui Bun yang segera menggerakkan tangannya.
Hui Kiam yang menggunakan sisa kekuatan tenaganya yang baru mulai pulih, untuk memburu pemimpin persekutuan Bulan mas mungkin masih bisa, tetapi untuk melawan kekuatan tenaga Tong-hong Hui Bun itulah tidak mungkin lagi.
Tanpa ampun lagi Hui Kiam terpental sejauh tiga tombak dan jatuh roboh ditanah, mulutnya menyambyrkan darah segar.
Pemimpin persekutuan Bulan mas berkata dengan suara bengis:
"Hui Kiam dia masih belum mati."
"Tidak bisa hidup lagi!" jawab Tong-hong Hui Bun dengan suara gemetar.
"Kau buktikan, supaya aku tahu!'
"Ini.... buktinya . . , . "
"Kau totok lagi jalan darah kematiannya.”
"Ayah. dia tidak akan bisa hidup lagi,...”
”Hem, bem."
Pemimpin persekutuan Bulan mas mengangkat kakinya berjalan menuju ketempat dimana Hui Kiam rebah dan terlentang, ia hendak membuktikan sendiri kematian pemuda itu, karena tidak percaya kepada anaknya, ia hanya percaya kepada diri sendiri.
Paras Tong hong Hui Bun berobah pucat, karena ia tahu Hui Kiam tidak mati, pukulannya tadi memang kelihatannya hebat, tetapi sebetulnya ia memperhitungkan dengan tepat tidak akan membahayakan jiwanya, akan tetapi, ia tidak berdaya untuk menghalangi tindakan ayahnya.
Hui Kiam sudah tidak sadar, apa yang terjadi ia sudah tidak tahu sama sekali.
Tiba-tiba dipekarangan depan terdengar beberapa suara bentakan orang, lalu disusul oleh suara jeritan yang sangat mengerikan.
Tidak berapa lama bayangan orang menerjang masuk ketempat itu, seorang yang masuk dulu adalah seorang berpakaian warna lila, memakai kerudung kain lila dimukanya. Orang itu bukan lain daripada orang berbaju lila. Dibelakangnya diikuti oleh orang tua tada turunan. Ie It Hoan dan delapan orang lagi yang bersenjatakan pedang.
Kawanan pelayan wanita yang semula menjaga ditempat tersembunyi, segera muncul keluar kawanan pelayan itu ternyata ada delapanbelas orang banyaknya ....
Saat itu dari empat penjuru terdengar suara bentakan dan pertempuran yang sangat riuh. nampaknya orang-orang dari pihak berbaju lila tidak sedikit jumlahnya.
Tong-hong Hui Bun dengan cepat menyambar pedang Bulan mas dari tangan ayahnya....
Orang berbaju lila lompat melesat kehadapan pemimpin persekutuan Bulan mas:
Pemimpin persekutuan Bulan mas itu nampaknya sangat heran, bentaknya dengan suara gemetar:
"Kau ?”
Sementara Ie It Hoan dengan cepat sudah mendukung tubuh Hui Kiam.
Sedangkan delapan orang yang mengikuti orang berbaju lila sudah mulai bertempur dengan delapan orang pelayan wanita.
Orang tua tiada turunan berkata kepada Ie it Hoan.
"Bocah lekas lari. biarlah aku yang melindungi."
Baru saja berkata demikian pedang Bulan mas ditangan Tong-hong Hui Bun sudah menyambar kearahnya, serangannya ada begitu hebat dan ganas, dengan seorang berkepandaian demikian
tinggi seperti Orang tua tiada turunan, juga masih belum berani gegabah menyambut serangan itu, ia berkelit dan melompat mundur satu tombak lebih
Hampir bersamaan pada saat itu, pedang Tong hong Hui Bun, balik menyerang kepada Ie It Hoan yang baru saja hendak kabur, oleti karena kekuatan maupun kepandaian Ie It Hoan yang baru saja hendak kabur, oleh karena kekuatan maupun kepandaian Ie It Hoan jauh lebih dibawah Tong-hong Hui Bun, sudah tentu ia tidak berani melawan dan balik mundur.
Tong hong Hui Bun karena khawatir pedangnya akan melukai Hui Kiam, maka tidak melancarkan serangannya yang mematikan, tetapi tangan Kirinya sudah bergerak menyertai gerakan pedangnya, sehingga dengan mudah dapat merebut Hui Kiam dari tangan Ie It Hoan!
Sementara itu orang tua tiada turunan sudah dikeroyok o!eh tiga orang pelayan wanita.
Tong-hong Hui Bun menggerakkan pedang nya lagi, mendesak mundur Ie It Hoan sehingga dua tombak lebih dua orang pelayan perempuan segera maju menyerang Ie It Hoan.
Sesaat kemudian terjadilah pertempuran sengit didalam pekarangan itu.
Tong-hong Hui Bun mengawasi lima orang pelayan yang berdiri disampingnya lalu berkata kepada mereka:
"'Bawa dia pergi, dengan jiwa kalian kau melindungi keselamatannya!"
Lima pelayan itu segeia menerima baik perintah majikannya, salah satu diantaranya menggendong diri Hui Kiam, dengan dilindungi oleh empat orang lari menuju ke pintu samping.
Orang tua tiada turunan bersama Ie It Hoan dengan serentak melancarkan serangan hebat, setelah berhasil mendesak mundur lawannya, mereka melepaskan diri dan mengejar kelima pelayan wanita yang membawa lari Hui Kiam.
Mari sekarang kita tengok orang berbaju lila, yang menghampiri pemimpin Bulan mas, ia berkata dengan suara gemetar: "Tonghong Bengcu, sekarang aku harus membahasakan kau dengan sebutan ini...." .
"Kau mau apa? ”
"Ada ayah demikian jahat seperti kau ini, maka barulah melahirkan anak perempuan jahat bagaikan ular berbisa, karena perbuatan terkutuk itu Tuhan juga tidak akan membiarkan ia membuat sesukanya sekarang, aku tidak akan menuntut balas dendam tentang permusuhan pribadiku, aku hanya hendak membunuh kau untuk menolong nasib rimba persilatan dari keganasan!"
Pemimpin persekutuan Bulan mas yang saat itu sedang terluka parah, ia tahu tidak berdaya menghadapi orang berbaju lila maka ketika mendengar perkataan itu segera mundur satu langKah dan berkata.
"Kau berani?"
Orang berbaju lila memperdengarkan suara tertawanya yang mengandung sipat hinaan lalu berkata:
"Bengcu, sudah tiba waktunya untuk kau sadar dari mimpimu."
Tangannya lalu bergerak dan menyerang ke arah dada pemimpin persekutuan Bulan mas,..
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang berkata:
"Kau benar-benar berani!"
Lalu disusul dengan berkelebatnya sinar pedang kearah Orang berbaju lila, sehingga Orang berbaju lila terpaksa menarik serangannya dan melompat kesamping.
Tong-hong Hui Bun, segera muncul dan menghadang didepan ayahnya.
Ketika orang berbaju lila lompat melesat kesamping, sudah menghunus pedangnya, kemudian berkata dengan suara bengis:
"Perempuan hina, aku sekarang hendak mencincang tubuhmu.”
Untuk sesaat Tong-hong Hui Bun nampak tertegnn kemudian berkata dengan suara agak gemetar.
'Malam ini aku tidak membiarkan kau lolos dari pedangku."
"Perempuan hina kau sedang bermimpi serahkanlah jiwamu." jawab Orang berbaju lila sambil tertawa terbahak-bahak.
Ia lalu membuka serangannya, dengan satu gerak tipu yang ganas menikam kearah Tong hong Hui Bun.
Bukan kepalang terkejut Tocg-hong Hui Bun ia telah mendapat kenyataan bahwa kepandaian Orang berbaju lila ini jauh lebih maju dari pada yang sudah lalu, gerakan tangannya yang begitu aneh hampir hampir membuat ia tidak percaya, maka dengan cepat ia segera mengangkat pedangnya untuk menyambut serangan tersebut.
Orang berbaju lila agaknya juga tahu tajam nya pedang mas itu, tidak menantikan sampai pedangnya beradu, ia sudah merobah gerak tipunya. dalam lima jurus ia sudah berhasil mendesak Toug hong Hui Bun sedemikian rupa, jikalau ia tidak takut beradu senjatanya dengan senjata pusaka purbakala ditangan Tong hong Hui Bun, sehingga tak leluasa melancarkan serangannya, didalam ilmu jurus itu, sekalipun Tong-hong Hui Bun tidak mati, tetapi setidak-tidaknya juga akan terluka parah.
Pemimpin Bulan mas yang menyaksikan g rakan pedang Orang berbaju lila lalu berseru:
'Ini adalah ilmu pedang Hian-hong Kiam-hoat warisan Tee-hong."
Sambil melanjutkan serangannya Orang ber baju lila menjawab dengan suara bengis:
"Sedikitpun tidak salah, kalau kau tahu itu lebih baik, aku hampir saja lupa mewakili Tee hong menagih hutang darimu"
"Apa katamu?"
"Mewakili Tee-hong menagih hutangmu, kau tahu bagaimana uau harus membayarnya?"
”He, be, be, aku tahu!" Setelah mendengarkan suara tertawanya yang menusuk telinga, keadaan pemimpin Bulan mas bergerak, tangan kanannya diangkat tinggi kemudian menggulung, gerakannya itu tak mengandung kekuatan sedikitpun juga, tetapi luar biasa anennya.
Badan orang berbaju lila itu terbuyung-huyung, ia berkata dengan suara agak gemetar
"Kiranya adalah kau . . . sekarang aku baru mengerti . . . kau . . , "
”Seharusnya dari dulu kau sudah mengerti!”
"Baik”
Tong-hong Hui Bun menggunakan kesempatan itu melakukan serangan pembalasan dengan beruntun ia melancarkan serangannya yang mematikan.
Orang berbaju lila ini lalu memerintahkan kepada orang-orangnya:
"Saudara-saudara mundur!"
Dengan sekaligus ia melancarkan tiga kali serangan yang mematikan, sehingga Tong hong Hui Bun terdesak mundur sedikitpun tidak dapat balas menyerang.
Dalam pertempuran tadi, dua pengikut Orang berbaju lila terbinasa sedangkan dipihak pelayan wanita ada lima orang lebih yang roboh. sisanya orang orang berbaju lila setelah mendengar perintah 'mundur' lalu mengundurkan diri.
Orang berbaju lila lalu bergerak meninggalkan Tong hong Hui Bun dua orang pelayan yang coba merintangi dibinasakannya dalam waktu sekejap saja.
Sambil berseru: ' Kau tidak bisa kabur lagi!' Tong-hong Hui Bun lompat melesat mengejar Orang berbaju lila.
Setelah mengalami pertempuran sengit yang cukup lama kecuali beberapa orang pelayan wanita tak tampak seorang anak buah persekutuan Bulan mas yang masuk kedalam pekarargan itu, ini satu bukti betapa keras perintah persekutuan Bulan mas.
Suara pertempuran diluar pekarangan juga mulai sirap, nampaknya semua sudah mengundurkan diri.
Mari sekarang kita tengok keadaan Hui Kiam setelah sadar ia telah mendapatkan dirinya rebah terlentang dipembarigan dalam sebuah kamar yang diatur sedemikian rapi dan bersih, kepalanya masih dirasakan pusing, otaknya dil\rasakan kosong melompong, melibat keadaan disekitarnya setiap benda didalam kamar itu tidak terlepas dari perhatiannya, perlahan lahan, ingatannya kembali lagi. .. .
Apakah ia sedang bermimpi?
Tempat apakah ini?
Apakah dirinya sendiri.
Tiba-tiba ia bertanya kepada dirinya sendiri:
"Apakah aku masih hidup?'
Satu suara yaog halus lembut segera menjawab:
"Siangkong, kau sudah sadar?"
Hui Kia, terperanjat, ia hendak duduk, tetapi baru bergerak rasa sakit ditubuhnya memaksanya menjatuhkan dirinya lagi. ia hanya dapat mencari dengan matanya, saat itu seorang pelayan perempuan muda sedang menghampiri tempat tidurnya, hatinya lalu bercekat, karena ia tahu bahwa dirinya masih berada ditangan Tong hong Hui Bun, ia hanya ingat selagi ia hendak melakukan serangan teihadap persekutuan Bulan mas. telah terpental oleh serangan Tong-hong Hui Bun, dan apa yang terjadi selanjutnya ia sudah tidak tahu lagi.
Pertama, ia ingat kepada pedang pusakanya Thian Gee Sin Kiam yang dipandang sangat penting bagaikan jiwanya sendiri maka mata nya segera mencari kesekitatnya. . .
”Siaogkt»ng mencari apa?”
"Pedangku ..."
*Itu didinding, belakang Siangkong!"
"Oh!"
Hatinya merasa lega, kemudian ia berkata pula:
"lni tempat apa?"
"Kamar menginap sementara ibu majikan kita."
"Dimana sekarang ia berada?"
"Masih dikantor cabang...." berkata sampai disitu pelayan itu tiba-tiba diam.
”Kantor cabang? Apakah itu adalah tempat tadi malam kita bertempur?"
"Ya itulah kantor cabang kedua persekutuan kita”
”Bagaimana aku bisa berada disini?
”Kita telah mendapat perintah untuk mengantar Siangkong kemari."
"Mengapa ibu majikanmu tidak membunuh aku ?'
"Tentang ini...Siangkong tentunya tahu sendiri, seumur hidupnya Ibu majikan hanya bicara dengan sungguh hati terhadap seseoang, orang itu ialah Siangkong sendiri."
Hui Kiam terperanjat, berdiam sejenak, kemudian bertanya pula:
"Dan dimana Bengcumu sekarang berada ?”
"Setelah Siangkong pingsan, Oraug berbaju lila tiba-tiba menyerbu dengari orang orangnya ..."
"Orang berbaju lila?"
"Ya ..."
”Dan selanjutnya?"
”Kita telah meninggalkan tempat itu selagi pertempuran masih berjalan, bagaimana keaadaan selanjutnya kita masih belum tahu."
Hui Kiam timbul suatu perasaan tidak enak sejak Orang berbaju lila itu mencuri kepandaian ilmu silat Tee hong, kepandaiannya sudah mendapat banyak kemajuan, kalau ia berani melakukan penyerbuan ke cabang persekutuan Bulan mas sudah pasti mempunyai rencana yang sempurna, apabila pemimpin persekutuan Bulan mas mati ditanganoya, ini sudah tentu merupakan suatu kejadian yang menggembirakan, tetapi Tong hong Hui Bun mempunyai permusuhan hebat dengannya ia pasti tidak akan melepaskannya begitu saja, dengan kepandaiannya Tong hong Hui Bun mungkin masih dapat melepaskan diri, tetapi hingga sekarang masih belum tampak bayangannya entah apa yang terjadi sebetulnya.
Hui Kiam sejak peristiwa pertandingan di panggung Lui tay, ia sudah berkeputusan hendak memutuskan hubungan asmara dengan Tong hong Hui Bun, tetapi hingga saat itu ia masih terjalin sedikit hubungan yang masih belum terputus benar-benar, maka terhadap keselamatan dirinya, sedikit banyak ia masih memperhatikannya,
Apalagi Tong hong Hui Bun sudah menolong lagi dirinya, apabila ia tidak menahan dirinya dari tangan manusia gelandangan, tetapi terjatuh ditangan pemimpin Bulan mas. ia pasti sudah mati. Dan apabila ia tak diberi obat pemunah, juga sudah lama mati. karena racun Iblis Gajah lagi pula apabila ia tidak berani menentang perintah ayahnya, juga sudah mati didalam pekarangan cabang persekutuan Bulan mas , . .
Ini bukan berarti ia merasa menanggung budi melainkan karena budi itu timbul lagi rasa cintanya yang sudah mulai muncul.
Seorang jantan tulen yang memang bersipat tegas untuk membedakan antara budi dengan musuh, dengan ditambahnya budi itu maka persoalannya menjadi lebih sulit.
Akan tetapi peibuatan pemimpin persekutuan Bulan mas yang mengganas dan ambisinya yang begitu besar hendak menguasai rimba persilatan merupakan suatu usaha kejahatan yang tidak dapat
dibiarkan begitu saja, dalam kenyataanuya antara kejahatan dan kebenaran ini sudah melupakan seperti api dengan air, kalau ia tidak membunuhnya, pasti akan terbunuh, sudah tidak ada jalan lain lagi.
Tetapi penjahat itu justru menjadi ayah kekasihnya, dalam keadaan demikian mungkin kah perhubungan asmara itu bisa kekal ?
Perkembangan yang akan terjadi selanjutnya antara ia dengan perempuan cantik itu, entah akan berubah bagaimana?
Kalau ia memikirkan itu semua pikirannya, kalut sehingga badannya gemetar:
Bagaimana harus berbuat.
Ia berpikir terus berpikir bolak balik hatinya satu jalan saja yang dapat diambil jalan itu ialah ia harus berlalu dari sini sebelum bertemu muka lagi dengannya. Nanti setelah sudah membalas dendam semua sakit hatinya, dan melenyapkan ancaman rimba persilatan dalam suasana tenang tentram itu barulah membayar hutang budinya. . .
Tiba-tiba ia teringat akan Ciu Wan Tin gadis yang mencintai dirinya begitu besar yang kini masih menantikan kedatangan didalam makam pedang, terhadap anak piatu toa supeknya itu sudah merupakan suatu kewajiban dan keharusan baginya untuk melindunginya.
Berpikir sampai disitu ia merasakan dirinya seperti berada ditengah tengah api yang sedang berkobar. Penderitaan dalam bathin jauh lebih bebat dari penderitaan badan.
Ia lalu mengambil keputusan, tidak memperdulikan apa yang akan terjadi dikemudian hari yang penting adalah membereskan persoalan dihadapan matanya.
Pertama, ia harus menyembuhkan luka-luka nya lebih dulu, supaya kepandaian dan kekuatannya pulih kembali jikalau tidak semuanya berarti nol besar.
Maka ia lalu berkata dengan suara hambar:
"Nona, aku ingio beristirahat scbentai, harap supaya jangan diganggu”
"Kalau begitu aku tadi telah mengganggu siangkong.” berkata pelayan itu sambil tertawa.
"Bukan, bukan itu maksudku aku hanya mengharap jangan terlalu sering mengurusi diriku”
”Luka dalam siangkong tidak ringan . . ."
"Aku tahu!”
"Sayang, ibu majikan belum pulang, obati untuk menyembuhkan luka ..."
"Tidak perlu"
”Apakah siangkong ingin makan sedikit dulu?”
”Tidak usah!”
"Kalau begitu aku mohon dilindung, apabila siangkong perlu apa apa, boleh mengetok lonceng didekat pembaringan itu!"
"Ow!"
Pelayan wanita itu lalu mengundurkan diri dan menutup pintu kamarnya.
Hui Kiam menenangkan pikirannya, ia bersemedi sambil terlentang tdak lama kemudian rasa sakit dalam tubuhnya perlahan lahan telah hilang, napasnya berjalan seperti biasa, hawa hangat mengalir menyusuri seluruh tubuhnya.
Pulihnya kembali demikian cepat kekuatannya sesungguhnya diluar dugaannya, ia segera mengerti itu pasti hasiatnya dua pel tay-hoan tan yang ia pernah telannya, ia merasa sangat girang ia segera bangun dan duduk melanjutkan semedi.
Dua jam kemudian, badan Hui Kiam sudah terasa segar kembali, kekuatan tenaganya sudah pulih semua, ia lalu turun dari pembaringan, dari sinar matahari yang masuk dari lubang jendela,
waktu itu ternyata sudah lewat tengah hari tetapi keadaan sunyi senyap tidak terdengar sedikitpun suara orang, juga tidak tampak bayangan seorangpun juga.
Ketika dilihat keadaan yang demikian kebanyakan Tong hong Hui Bun masih belum pulang.
Hui Kiam pikir, inilah suatu kesempatan baik baginya untuk berlalu.
Maka ia mengambil pedang saktinya yang tergantung didinding tembok, setelah diperiksa sejenak, lalu digantung dipinggangnya, dengan tak disengaja, di kaca melihat bayangannya sendiri ternyata sekujur badannya yang penuh dengan darah, la lalu mengerutkan keningnya kalau ia muncul di tempat umum dalam keadaan seperti itu. bukankah akan mengejutkan orang? Tetapi kamar itu adalah kamar sementara Tong-hong Hui Bun. darimana didapatkannya pakaian lelaki?
Apabila tempat itu merupakan suatu tempat atau desa yang sunyi sepi masih tidak halangan, tetapi apabila sebuah kota ramai, bukankah berabe?
Sesaat lamanya ia merasa bingung.
la mondar-mandir didalam kamar tanpa sadar, tangannya membuka pintu lemari.
Begitu terbuka, ia melengak, sungguh aneh dalam lemari tergantung beberapa potong pakaian panjang kaum pria, yang lebih mengherankan pakaian itu semuanya, berwarna lila.
Ini sangat mengherankan, kepunyaan siapa kah pakaian pria ini, ia masih ingat bahwa dengan mengandalkan ilmu awet mudanya, sehingga Tong hong Hui Bin masih dapat mempertahankan kecantikannya padahal ia sudah merupakan seorang perempuan, yang usianya lebih dari empat puluh tahun.
Ia dipanggil ibu majikan oleh pelayan-pelayannya, Sudah tentu sudah bersuami dan pakaian-pakaian ini mungkin peninggalan suaminya.
Siapakah lelaki yang menjadi suaminya itu?
Belum pernah menyambutnya. , , ,
la teringat kembali diri orang berbaju lila apa yang telah terjadi dimasa yang silam, terbayang lagi dalam otaknya. ......,
Orang berbaju lila itu pernah beberapa kali memaksanya supaya memutuskan hubungannya dengan Tong hong Hui Bun,
Ia juga telah memaki perempuan hina ke pada Tong hong Hui Bun.
Diatas puncak gunung dekat gua batu. Tong hong Hui Bun telah paksa orang berbaju lila terjun kedalam jurang,
Berulang-ulang Tong-hong Hui Bun menyangkal pernah mengadakan hubungan dengan orang berbaju lila, bhikan ia mengatakan sebagai menusia busuk dalam rimba persilatan.
Siapakah yang benar?
Dari manakah pakaian berwarna lila ini?
la merasa telah terhina cintanya yang suci murni telah di nodakan
Apakah dibalik wajah yang cantik molek bagaikan bidadari itu, hanya merupakan satu jiwra seorang jahat dan busuk ?
Wajah Hui Kiam yang tampan seketika berubah menjadi pucat pasi otot-otot kelihatan menonjol keluar.
Sejenak kemudian, amarahnya mulai reda ia tertawa sendiri baik juga. anggaplah semua itu sebagai satu impian buruk, betapapun halnya ia tokh sudah mengambil keputusan hendak memutuskan hubunganya dengan perempuan cantik itu, perlu apa menyusahkan hatinya sendiri?
Sakit bati ibunya masih belum terbalas, begitupun sakit hati suhunya.
Sahabat-sahabat dunia rimba persilatan menaruh pergharapan besar atas dirinya apabila ia terpila-gila oleh kecantikan seorang
perempuan bermoral rendah, apakah masih pantas dengan kedudukannya sebagai seorang gagah?
Ia telah insaf, lalu membuka bajunya yang penuh darah, ia ganti dengan pakaian warna lila itu, kemudian menggantung kembali pedang saktinya pada pinggangnya, dengan tindakan lebar berjalan keluar dari kamarnya.
Diluar kamar, terbentang pekarangan yang mempunyai pemancangan, indah, disitu terdapat banyak tanaman bunga dan bangunan yang sangat indah.
Heran, tetap tidak tampak bayangan seorangpun juga.
Mendadak matanya terbuka lebar, bulu romanya dirasakan berdiri, hatinya hampir melompat keluar
Darah berceceran ditanab, bangkai manusia berserakan disana sini, ada bangkai pelayan psrempuan, ada juga bangkai orang berpakaian hitam, pemandangan itu sangat mengerikan.
Ia lalu lompat melesat mengitari pekarangan itu. keluar dari pintu pekarangan, kembali terdapat suatiu pekarangan luas, disitu juga terdapat banyak bangkai manusia bergelimpangan.
Ia berdiri bingung, sungguh tidak menyangj ka bahwa dalam waktu sangat singkat itu telah terjadi pertumpahan darah begitu besar. Siapakah gerangan yang menyerbu tempat ini?
Nampaknya dalam gedung ini sudah tidak terdapat seorangpun yang masih hidup. Dengan kepandaian orang-orang persekutuan Bulan mas dan pelayan wanita itu, tidaklah mungkin demikian mudah dibunuh habis oleh musuhnya Kalau itu benar. entah bagaimana kepandaian dan kekuatan musuhnya itu ?
Dan apakah maksud orasig tiu melakukan pembunuhan besar-besaran ini?
Mengapa ia sendiri tidak tahu?
Ia memikirkan semua kejadian itu, hampir saja melompat, ya! Mengapa musuh itu tidak turun tangan terhadap dirinya? Mengapa
pedang saktinya yang menjadi perebutan oieh hampir semua orang Kang ouw tidak ada yang mengganggu?
Semua ini agaknya sangat mustahil, tetapi kenyataannya memang benar:
Ia mengharap dapat menemukan orang hidup untuk diminta keterangannya tetapi seorangpun tidak diketemukan.
Nanti setelah Tong hong Hui Bun pulang dan menyaksikan keadaan demikian entah bagaimana reaksinya?
Dengan tindakan berat ia berjalan keluar diri pekarangan gedung itu Begitu berada diluar ia baru tahu bahwa bangunan itu terletak disebuab kaki gunung, disekitarnya tiada terdapat sebuah bangunan rumahpun juga, tempat ini letaknya terpencil dan sepi sekali didepan pintu pekarangan, terdapat banyak pohon cemara, sehingga dari jauh seperti sebuah rimba didalam rimba itu kembali terdapat banyak bangkai manusia,
Dibakarnya gedung kediaman Tong hong Kui Bun yang lama, kejadian itu terbayang pula dalam otak Hui Kiam, pikirnya, apakah ini perbuatan orang berbaju lila lagi?
Kemungkinan itu besar sekali, dengan kesukaannya orang berbaju lila terhadap warna lila. Hui Kiam segera menarik kesimpulan apabila pakaian warna lila yang tergantung dalam lemari itu adalah kepunyaan orang berbaju lila ini merupakan bukti bahwa antara orang ber baju lila dengan Tong hong Hui Bun terjalin suatu hubungan luar biasa, hubungan itu mungkin hubungan suami istri, mungkin juga hubungan kekasih, hanya sedemikian itu maka orang berbaju lila baru mengetahui tempat tempat, kediaman Tong hong Hui Bun yang sangat dirahasiakan, dan dengan demikian pula, sehingga ia dapat bertindak dengan leluasa.
Jikalau dugaannya itu tidak keliru, menurut keterangan pelayan wanita itu, katanya Orang berbaju lila bersama serombongan anak buahnya menyerbu gedung cabang itu, sedang kan Tong hong Hui Bun hingga saat itu masih belum kelihatan bayangannya, ada kemungkinan sudah celaka ditangan Orang berbaju lila.
Berpikir sampai disitu, semacam perasaan aneh timbul dalam hatinya; tidak peduli bagai mana keadaannya sekarang ini, diwaktu yang lalu ia sudah pernah cinta kepada perempuan itu, sudah melupakan suatu kenyataan, juga merupakan kenyataan pula.
Kecantikan Tong-hong Hui Bun yang biasa menimbulkan iri hati bagi siapa yang melihatnya terbayang pula dalam otaknya, sehingga dengan tanpa sadar semangatnya seolah-olah terbang melayang.
Dari Tong hong Hui Bun ia teringat kepada diri pemimpin persekutuan Bulan mas.
Pemimpin persekutuan Bulan mas itu pernah bertempur hebat dengannya, satu sama lain sudah terluka parah, kalau benar Orang berbaju lila melakukan penyerbuan secara mendadak, kepala penjahat itu pasti tak luput dari cengkraman tangan orang berbaju lila. dan kalau itu benar, maka rimba persilatan dikemudian hari akan terlepas dari ancaman bahaya.
Dengan demikian, berarti pula saatnya untuk membuat perhitungan dengan Orang berbaju lila juga sudab tiba.
Yang terakhir tinggal dua persoalan mengenai kemana jatuhnya tusuk konde mas berkepala burung Hong dan jarum melekat tulang yang masih merupakan teka-teki
Jikalau semua persoalan sudah selesai maka ia akan meninggalkan diri dengan Cui Wao Tin didalam makam pedang itu, tidak akan muncul lagi didunia Kang-ouw.
Berpikir sampai disifu. ia tersenyum sendiri
Tiba-tiba dari suatu tempat tidak jauh terdengar suara orang tertawa dingin:
Hui Kiam terkejut, ia segera menyerbu kearah datangnya suara itu, tetapi ternyata tidak menemukan seorangpun juga, ia baru merasa terheran heran, suara itu terdengar pula dan kali ini sudah berada sejauh sepuluh tombak dihadapannya.
Ia merasa penasaran kembali melompat melesat ketempat itu, ia hanya dapat melihat berkelebatnya satu bayangan orang yang kemudian menghilang, ia semakin penasaranya lalu mengejarnya.
Bayangan orang itu mempunyai kepandaian yang mengejutkan, hanya beberapa kali berkelebat sudah melalui dan menghilang beberapa tikungan dijalan pegunungan.
Hui Kiam terus mengejar dengan ilmu kepandaian meringankan tubuhnya.
Setelah melalui tikungan terakhir, bayangan orang itu lenyap kedalam rimba.
Teranglah bahwa orang itu sengaja memancing dirinya untuk mengejar sampai disitu, tanpa menghiraukan pantangan yang ada pada orang-orang rimba persilatan yang segan memasuki kedalam rimba lebat yang ada musuh nya, cepat sekali ia menyerbu kedalam rimba.
Rimba itu sangat lebar, keadaan didalaminya amat gelap, apabila orang itu bersembunyi dan tidak bergerak, susah untuk diketahui nya.
Hui Kiam memusatkan pandangan matanya untuk mencarinya tetapi ia tak dapat melihat apa-apa, sehingga akhirnya ia berkata dengan keras:
"Sahabat dari mana mengapa melakukan perbuatan rendah demikian rupa, apakah takut diketahui oleh orang?"
Segera terdengar jawaban seorang tua: "Aku si orang tua ada disini!"
Hui Kiam tanpa menoleh, dengan mengandalkan daya pendengarannya, segera menyerbu ketempat suara itu.
"Bocah bagus sekali kepandaianmu!" demikian satu suara menegurnya, seorang berambut putih dengan wajahnya yang luar biasa telah berdiri dihadapannya.
Orang tua itu mengenakan pakaian panjang berwarna kuning, sepatu dan kaos kaki putih tangannya membawa sebatang tongkat,
rotan kasar dan hitam wamanya. sepasang matanya memancarkan sinar tajam,
Hui Kiam mengawasi orang tua itu sejenak. lalu berkata kepadanya:
"Apakah locianpwe memanggil boanpwe?"
"Boleh kata begitu!"
"Peristiwa berdarah didalam gedung itu...,"
"Jangan bicarakan soal itu!"
„Bagaimana sebutan locianpwe yang mulia?:
"Satu manusia agung dalam dunia!"
Sepasang mata Hui Kiam terbuka lebar, wajahnya menunjukan kemurkaan katanya dengan nada suara yang dingin:
"Kau adalah manusia agung dalam dunia?"
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak dan berkata;
"Sedikitpun tidak salah "
Hui Kiam sambil menggigit bibir perlahan lahan menghunus pedang saktinya. Kata kata Orang berbaju lila yang diucapkan kepadanya ketika disuruh memancing keluar penghuni Lonceng merah, menggema pula didalam telinganya, Kata-kata itu diantaranya, mengatakan bahwa pada sepuluh tahun berselang, manusia agung didalam dunia itu karena hendak menuntut balas muridnya, telah memusnahkan kepandaian To liong Kiam Khek dan membutakan kedua matanya, kemudian disekap dalam gua diatas puncak gunung batu itu,.,............
Dari bukti bukti yang didapat kemudian telah ternyata bahwaTo-liong Kiam Khek adalah ayahnya sendiri, walaupun karena pesan ibu nya sehingga dalam hatinya pernah timbul kesan tidak baik terhadap ayah yang belum pernah dilihatnya itu, tetapi sang ayah itu sudah binasa ditangan Orang berbaju lila yang menggunakan akal keji, biar bagaimana hutang darah itu pasti dituntutnya.
Manusia agung itu ketika menyaksikan perbuatan Hui Kiam yang agak ganjil lalu menegurnya:
''Kau mau apa!"
"Hendak membunuh kau si tua bangka !" jawab Hui Kiam dingin
"Hendak membunuh aku? Apa sebabnya!" bertanya manusia Agung itu dengan wajah tidak berubah.
"Sepuluh tahun berselang kau pernah menggunakan siksaan yang sangat kejam terhadap Tong-hoog Kiam Khek Su Ma Suan ..."
"Tunggu dulu, kau katakan Suma Suan?"
"Benar"
”Ada hubungan apa antara kau dengan dia?”
"Ayah dan anak."
"Ini tidak benar, dia adalah seorang she Suan, sedang kau seorang she Hui. bagaimana jadi ada hubungannya antara ayah dan anak?"
Hui Kiam terperanjat, mengapa orang tua ini juga mengetahui bahwa dirinya seorang she Hui.
"Tentang ini kau tidak boleh perlu tahu."
"Lucu sekali, mengapa aku tidak boleh perlu tabu, kau hendak membunuh aku, sekalipun aku mati juga harus tahu dulu siapa orangnya yang membunuh aku.',
"Kau jawab saja ada kejadian itu atau tidak?"
"Tidak ."
" Kau... .tidak beiani mengaku?"
”Ha, ha, ha. apakah artinya tidak berani itu? kau benar- benar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya, diwaktu dahulu lima kasar itu ketika melihat aku. juga masih menaruh hormat, kau terhitung orang yang keberapa dalam barisan lima kaisar itu?"
Mendengar disebutnya lima kaisar. Hui Kiam semakin marah, hingga saat itu ia masih belum berhasil melaksanakan penututan balas dendam terhadap suhu dan supeknya itu.....
Manusia agung itu berkata pula: "Bocah adatmu dan kepandaianmu, benar benar melebihi lima kaisar dimasa yang lampau arwah lima kaisar dialam baka boleh merasa puas. Sekarang aku hendak menanyamu, apa yang kau katakan tadi apakah ada dasarnya?”
”Sudah tentu ada!"
"Berdasar apa?"
”Aku mendengar dan mulut orang berbaju lila sendiri"
"Siapa itu orang berbaju lila?" Hui Kiam terdiam, memang sehingga saat itu, ia sendiri juga masih belum tahu bagaimana asal usulnya Orang berbaju lila itu, sedang kan mukanya saja belum pernah melihatnya, tetapi ini tidak penting, dikemudian hari ia pasti akan dapat membuka kedoknya orang itu dan sekarang ia hanya ingin menagih hutang untuk ayahnya, maka setelah berdiam sejenak lalu berkata:
'"Tidak perduli siapa orang berbaju lila itu aku hanya ingin bertanya kenyataannya "
"Kau toh tidak tahu asal usul orang itu, bagaimana kau tahu perkataannya boleh dipercaya?"
”Aku hanya ingin menanyakan kenyataannya'
”Aku sudah mengatakan tidak ada kejadian semacam itu”
"Benarkan kau tidak mau mengaku? '
"Jikalau aku berkata bahwa orang berbaju lila itu membunuh mati lima kaisar apakah kau percaya ? '
”Percaya?"
"Sebabnya?”
”Sebab orang berbaju lila itu sudah mengakui sendiri!"
"Menurut apa yang aku tahu hanya mengaku pernah berkelahi dengan lima kaisar itu tetapi menyangkal melakukan pembunuhan!"
"Mengapa kau tahu ?"
”Tentu teka teki mengenai jarum melekat tulang sehingga kini toh masih belum terungkap "
Hui Kiam terkejut mundur satu langkah, ia heran mengapa orang tua itu mengetahui juga rahasia itu? Sedangkan ia yakin benar bahwa semua rahasia itu tidak mungkin tersiar kedunia Kang ouw.
”Bagaimana kau mengetahui rahasia ini?"
---ooo0dw0ooo---
JILID 28
“BOCAH, apakah aku si orang tua tak ada harganya kau sebut locianpwee, mengapa kau selalu menggunakan perkataan kau-kau saja yang kedengarannya sangat tidak enak!”
“Sekarang kau sudah tak pantas lagi!”
“Kau masih belum tepat dianggap seorang gagah dan cakap.”
“Kau jangan coba mengelakkan persoalannya. Aku tanya kepadamu, bagaimana kau mengetahui rahasia ini?”
“Di dalam dunia tiada rahasia yang benar-benar merupakan rahasia, kecuali tidak membungkam.”
“Kalau begitu kau telah mencuri dengar?”
“Tidak halangan kau mengatakan begitu!”
“Kalau begitu kau adalah seorang segolongan dengan Orang Berbaju Lila?”
“Aku tak menyangkal!”
Hui Kiam dapat berpikir dengan cepat. Dalam peristiwa di gedung kediaman Tong-hong Hui Bun itu, orang tua ini pasti turut ambil bagian. Manusia Agung ini menyiksa ayahnya lebih dulu, dan
kemudian dibinasakan oleh Orang Berbaju Lila. Kedua orang itu sudah terang merupakan satu komplotan, kenyataannya sudah begitu sehingga tak perlu banyak bicara.
Oleh karena berpikir demikian, ia tak mau menghiraukan segala keterangan orang tua itu. Pedang di tangannya menunjuk ke bawah. Ini suatu sikap hendak membuka serangan. Katanya dengan suara gemetar:
“Manusia Agung dalam Dunia, sekarang aku hendak turun tangan, kau siap?”
“Apakah kau pasti menghendaki jiwaku?”
“Sudah tentu!”
“Tanpa menunjukkan alasannya?”
“Tidak ada apa-apa yang perlu kutanyakan.”
“Kalau begitu kau boleh turun tangan!”
“Kau mengaku telah menyiksa To-liong Khiam Khek?”
“Sama sekali tidak pernah terjadi kejadian itu, bagaimana soal mengaku itu?”
“Orang Berbaju Lila itu dengan akal keji telah membinasakan Penghuni Loteng Merah bersama To-liong Khiam Khek, sedangkan kau dengan dia merupakan satu komplotan, bukankah ini sudah cukup jelas dan bukti?”
“Perkara di dalam dunia mungkin tidak begitu sederhana seperti apa yang kau gambarkan.”
“Tidak perduli sederhana atau rumit, barang siapa yang melakukan pembunuhan harus mengganti dengan jiwanya, barang siapa yang berhutang harus membayar!”
“Aku tidak membunuh orang dan juga tidak punya hutang uang!”
“Sekalipun kau mcnyangkal juga tidak akan merobah pendirianku!”
“Seorang yang tidak dapat membedakan mana yang salah dan yang benar, yang baik dan yang buruk, belum terhitung seorang gagah yang sempurna!”
Ucapan orang tua ini mengejutkan Hui Kiam. Ia hampir tak dapat membedakan orang tua itu kawan atau lawan. Semua ucapannya memang sangat beralasan, tetapi dendam sakit hati harus dituntut, bagaimana tahu kalau ucapan orang itu hanya merupakan ucapan licin yang hendak menundukkan hatinya?
“Kalau begitu apakah kau seorang gagah?”
“Boleh dikata begitu!”
“Dalam soal apa aku tidak dapat membedakan yang salah dan yang benar, yang baik dan yang buruk?”
“Kau hanya percaya ucapan Orang Berbaju Lila sepihak saja, sudah menuduh aku sebagai pembunuh. Buat orang lain, masih tidak apa-apa tetapi bagi kau yang berkepandaian sedemikian tinggi dan akan menjadi seorang penting dalam rimba persilatan, jikalau dalam segala hal kau dasarkan dengan pandanganmu sendiri, serta berbuat menurut sesuka hatimu, maka dunia pasti akan menjadi kalut!”
Hui Kiam kembali dikejutkan oleh uraian itu, tetapi ia masih berkata dengan nada suara dingin:
“Jadi kau tetap menyangkal?”
“Benar.”
“Kau penasaran?”
“Sudah tentu!”
“Baik. Tidak sulit untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, rekening untuk sementara aku tangguhkan.”
Orang tua itu tertawa bergelak-gelak, lalu berkata:
“Em! Ternyata masih bisa diajar. Masih ada lagi, seorang laki-laki harus dapat membedakan budi kebaikan dengan kebencian,
tidak boleh mengeluarkan perkataan kotor, ini merusak nama baik seorang gagah….”
Adat Hui Kiam sudah banyak berubah kalau dibandingkan dengan waktu pertama ia muncul di dunia Kang-ouw, semua ini adalah berkat pengalamannya, maka ketika ia mendengar perkataan itu lalu berkata dengan suara datar:
“Bagaimana kalau aku sebut kau tuan?”
'“Mengapa kau tidak menyebut seperti kau baru melihat aku tadi?”
“Sebelum keadaan yang sebenarnya menjadi terang, tuan masih belum pantas mendapat sebutan locianpwee!”
“Ha, ha, ha! Betul juga! Aku tidak akan berkukuh lagi.”
“Sekarang kita balik lagi kepada persoalan yang sebenarnya. Tuan pancing aku datang kemari pasti ada maksudnya?”
“Sudah tentu!”
“Kalau begitu tuan jelaskan apa maksudnya?”
“Kau harus memutuskan perhubungan dengan perempuan she Tong-hong itu!”
Hui Kiam terperanjat. “Adakah hanya ucapan itu saja tuan perlu mencari aku?”
“Boleh dikata begitu.”
“Urusan pribadiku ada hubungan apa dengan tuan?”
“Memang benar itu adalah urusan pribadimu, tapi aku juga pikir untuk kebaikanmu sendiri.”
“Apa sebabnya?”
Wajah orang tua itu berubah menjadi demikian angker dan agung. Katanya dengan suara sungguh-sungguh:
“Kau sudah mengaku bahwa To-liong Kiam Khek Su Ma Suan adalah ayahmu?”
“Benar!”
“Kalau begitu kau dengarlah, Tong-hong Hui Bun dahulu pernah menjadi istri Su Ma Suan!”
Hui Kiam ketika mendengar keterangan itu, ia rasakan seolah-olah disambar geledek. Ia mundur terhuyung-huyung beberapa langkah, kemudian berkata dengan suara seperti orang kalap:
“Kau bohong!”
“Aku si orang tua di dalam rimba persilatan juga pernah mendapat kedudukan dan sedikit nama baik, perlu apa harus berkata tak karuan terhadap kau seorang tingkatan muda?”
Sekujur badan Hui Kiam gemetar. Benarkah keterangan itu? Kalau itu benar, ini terlalu menakutkan. Untung ia sendiri belum pernah melakukan perbuatan di luar batas terhadap perempuan cantik itu, jikalau tidak bukankah akan merupakan suatu kemenyesalan untuk seumur hidupnya?
Apakah nasihat Orang Tua Tiada Turunan dan guru Ie It Hoan juga berdasar alasan itu?
Keringat dingin mengucur membasahi badannya.
Dari semua kenyataan ini telah membuktikan bahwa perempuan itu memang benar-benar seorang perempuan genit yang sudah rusak moralnya. Betapakah tidak sesuai dengan yang luarnya sedemikian cantiknya?
Wajah Hui Kiam berubah begitu pucat dan menakutkan. Dia berdiri terpaku bagaikan patung, tiada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Manusia Agung itu berkata pula:
“Apakah kau sudah pernah melakukan perbuatan tidak pantas dengan perempuan itu?”
“Belum!”
“Itu bagus, masih belum terlambat untuk memperbaiki kedudukannya.”
“Apakah.....semua itu benar adanya?”
“Aku si orang tua mempertaruhkan derajat dan nama baikku.”
“Kalau demikian halnya, ayahku itu ternyata adalah seorang gagah yang kurang baik budinya.”
“Boleh dikata begitu. Dalam hidupnya ia sudah banyak berdosa, sekalipun mati juga masih belum cukup untuk menebus dosanya.”
Perkataan itu sesungguhnya bagi Hui Kiam, untuk pertama kalinya ia mendengar perkataan orang itu yang mengeritik perbuatan ayahnya di masa hidup. Menurut penilaian Manusia Agung ini, ayahnya merupakan satu iblis yang amat jahat. Apakah karena itu sehingga dalam pesan ibunya juga menjurus membunuh ayahnya sendiri? Kalau begitu pesan itu bukanlah tidak ada sebab.
Dengan Penghuni Loteng Merah yang sudah mengadakan perhubungan, begitu juga dengan Tong-hong Hui Bun, dengan demikian jadi teranglah sudah bahwa ibunya disia-siakan oleh ayahnya sendiri. Dari sini dibuktikan bagaimana sifat sang ayah itu. Dan yang lain? Entah perbuatan jahat apalagi yang dilakukan dalam kalangan Kang-ouw?
Sebagai satu anak, ia harus mencari keterangan yang sebenarnya. Apabila hanya terhadap kaum wanita saja, itu hanya terhitung soal kepribadiannya yang kurang baik, tetapi jika melakukan kejahatan terhadap masyarakat, maka tidak boleh menyesalkan orang lain mengutuknya.
“Aku ingin tahu apa maksudnya dengan perkataanmu sudah terlalu banyak dosanya tadi?”
Manusia Agung itu menghela napas panjang, kemudian baru menjawabnya:
“Di kemudian hari kau akan mengerti sendiri.”
“Tetapi aku ingin tahu sekarang.”
“Waktunya belum tiba, aku tidak ingin bicara dulu!”
“Tuan jangan lupa bahwa aku adalah anaknya!”'
“Apa arti perkataanmu ini?”
“Tuan harus bertanggung jawab terhadap ucapanmu sendiri. Aku tidak akan menuduh sembarangan, tentang ucapan tuan tadi sudah pasti ada dasarnya, jikalau tidak, ini berarti suatu penghinaan bagi diriku.”
“Apabila kenyataan memang begitu, bagaimana?”
“Aku tidak akan berkata apa-apa.”
“Jikalau tidak?”
“Tuan harus memberi keadilan.”
“Bagaimana kalau rekening ini juga kita tangguhkan dulu sampai kemudian hari?”
“Maaf, aku ingin tahu sekarang juga.”
“Nampaknya pertempuran ini tidak dapat dihindarkan lagi....”
“Apakah tuan menghendaki pertempuran sebaliknya tidak suka menerangkan keadaan yang sebenarnya?”
“Bukan tidak suka, melainkan tidak bisa!”
“Dalam pertempuran ini merupakan pertempuran mati-matian, ataukah hanya menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah saja sudah cukup?”
Dengan acuh tak acuh Manusia Agung itu menjawab:
“Kau berbuat melihat gelagat saja.”
“Kalau begitu jangan sesalkan aku berlaku ganas. Nanti jangan kau katakan lagi sikapku kurang jantan....”
“Bocah, apakah kau menginginkan bertempur dengan sungguh-sungguh?”
“Sambutlah pedangku ini.”
Hui Kiam segera melancarkan serangannya dengan menggunakan sepenuh-penuh kekuatan tenaganya.
Manusia Agung segera menyambut dengan tongkat rotan di tangannya. Gerakan senjata rotannya sangat aneh, ia agaknya mengambil sikap menutup tidak akan melakukan serangan balasan.
Waktu kedua senjata itu saling beradu ternyata menimbulkan suara nyaring, seolah-olah bunyi beradunya dua senjata besi.
Keduanya begitu saling mengadu kekuatan lalu terpencar. Hui Kiam merasakan tangannya kesemutan, sedangkan tongkat rotan di tangan Manusia Agung hampir terlepas terbang.
Manusia Agung memeriksa sebentar tongkat rotannya. Ternyata tempat di mana dua senjata tadi beradu, terdapat satu gompalan, sehingga alisnya yang putih nampak mengkeru. Katanya dengan suara gemetar:
“Sungguh pedang yang sangat bagus. Tongkatku ini untuk pertama kali dalam seumur hidupku mendapat kerusakan.”
Hui Kiam diam-diam juga terkejut. Keampuhan pedang saktinya itu, sekalipun pedang Bulan Emas kepunyaan pemimpin Bulan mas
yang sudah terkenal tajamnya juga tidak terluput dari kerusakan waktu beradu dengan senjatanya, tetapi tongkat yang merupakan tongkat rotan itu tidak terpapas putung hanya mendapat sedikit kerusakan saja, ini merupakan suatu bukti bahwa tongkat itu bukan barang sembarangan yang tidak dapat dirusakkan oleh senjata biasa.
Karena dikagumkan oleh senjata tongkat itu, maka ia lalu berkata:
“Tongkat tuan ini juga merupakan barang pusaka!”
Manusia Agung itu agaknya sayang sekali terhadap tongkatnya itu. Ia memeriksa sekali lagi, kemudian baru menjawab:
“Barang pusaka sudah mendapat kerusakan, bagaimana boleh dianggap barang pusaka lagi?”
“Tidak terpapas putung sesungguhnya juga merupakan suatu keajaiban.”
“Hem!”
“Sekarang sambutlah seranganku yang kedua!”
Jurus kedua itu Hui Kiam juga menggunakan tenaga sepenuhnya. Hampir setiap bagian jalan darah orang itu semua berada di bawah ancaman pedang Hui Kiam.
Orang itu juga mengetahui hebatnya serangan itu. Ia tahu tiada guna ia menyingkir apalagi balas menyerang, maka dengan sepenuh tenagnuya ia menjaga seluruh jalan darah dan anggota badannya. Dalam serentetan serangan, kedua senjata itu kembali telah beradu hampir sepuluh kali lebih.
Manusia Agung dengan kaki terhuyung-huyung mundur sampai empat lima langkah. Tongkatnya menunduk ke tanah, rambut dan jenggotnya yang putih berterbangan, wajahnya pucat pasi, napasnya terputus-putus.
Dua kali Hui Kiam turun tangan tidak berhasil melukai lawannya, ini suatu bukti bahwa orang tua itu merupakan seorang kuat lagi di sampingnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas, tetapi apabila pertempuran itu berlangsung terus, asal ia melancarkan serangannya dengan sepenuh tenaga, orang tua itu sekalipun tidak mati juga akan terluka. Seketika itu ia berkata dengan nada suara dingin:
“Sekarang tuan rasanya boleh menerangkan.”
“Tidak!”
“Apakah tuan percaya sanggup menyambut seranganku yang ketiga?”
“Sekalipun aku harus terluka, juga ingin berkenalan lagi dengan gerak tipumu ini!”
“Tetapi pedang ini tiada matanya, ada kemungkinan Tuan nanti akan tidur untuk selama-lamanya?”
“Adakah kau bermaksud hendak membunuh aku?”
“Tuan sendiri yang memaksa aku berbuat demikian!”
“Bagaimana apabila aku sanggup menyambut seranganmu yang ketiga?”
“Itu tidak murgkin!”
“Bocah, apakah kau sudah yakin benar?”
“Hampir begitu!”
“Nah, kau boleh turun tangan!”
Hui Kiam bergerak maju. Ia melancarkan lagi serangannya dengan pedang saktinya....
Maksud Hui Kiam hanya ingin supaya orang tua itu memberitahukan kelakuan ayahnya di masa hidupnya. Mengapa dikatakan sekalipun ayahnya mati juga tidak cukup untuk menebus dosanya?
Sebelum ia melancarkan serangannya, ia peringatkan lagi kepada orang tua itu:
“Tuan, kau masih ada kesempatan....”
“Kau jangan mengharap aku tunduk di bawah ancaman pedangmu!”
“Tuan nanti bisa menyesal.”
“Yang akan menyesal mungkin kau sendiri!”
Wajah Hui Kiam berubah. Ia sudah bertekad tidak akan membiarkan lawannya lolos dari bawah pedangnya.
Pada saat itu dari dalam rimba tiba-tiba terdengar satu suara yang sudah tidak asing baginya:
“Hui Kiam, kau tidak boleh berlaku tidak sopan terhadap seorang tingkatan tua!”
Hui Kiam dengan sinar mata tajam mengawasi ke arah datangnya suara itu, lalu berkata:
“Siapa?”
“Orang Menebus Dosa!”
Munculnya manusia misterius itu benar-benar di luar dugaan Hui Kiam.
Dari suaranya orang itu, ia sudah mengenali bahwa suara itu memang benar keluar dari mulut Orang Menebus Dosa.
Dari suaranya, Orang Menebus Dosa ini agaknya sangat menghormati Manusia Agung itu.
Akan tetapi derajat orang dan soal permusuhan adalah lain sifatnya. Sekalipun orang tua itu ada seorang yang mempunyai kedudukan baik dan dihormati oleh seluruh orang rimba persilatan, juga tidak dapat mengurangi rasa dendam yang timbul karena kebenciannya.
Apa sebabnya manusia misterius itu dengan tiba-tiba melarang ia turun tangan terhadap Manusia Agung? Ini rasanya bukan hal kebetulan. Ada kemungkinan kedua pihak merupakan orang sekomplotan, sebab kedua-duanya sama-sama mengetahui baik semua rahasia tentang dirinya. Apabila rahasia ini tidak dapat dibongkar, itu akan merupakan suatu penderitaan bagi hatinnya.
Setelah berpikir demikian, ia lalu berkata:
“Mengapa tuan tak mau menampakkan diri?”
Terdengar suara jawaban Orang Menebus Dosa:
“Kita masih belum tiba waktunya untuk saling bertemu muka!”
“Mengapa?”
“Di kemudian hari kau akan mengerti sendiri.”
“Mengapa tuan berlaku demikian misterius?”
“Aku berbuat begini karena terpaksa!”
“Apakah untuk bertemu muka juga ada batas waktunya?”
“Sudah tentu!”
Hui Kiam menarik napas, matanya mengawasi Manusia Agung itu. Orang tua itu menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap kedatangan Orang Menebus Dosa itu, seolah-olah sudah berada
dalam dugaannya. Ini suatu bukti bahwa Orang Menebus Dosa sudah lama sembunyikan diri di dekat situ, maka Manusia Agung itu tenang-tenang saja menghadapi dirinya.
Kecuali itu, Orang Menebus Dosa ini mungkin juga turut ambil bagian dalam pembunuhan besar-besaran di gedung cabang Persekutuan Bulan Emas itu. Dari kepandaian dua orang ini yang sudah diketahuinya, sekalipun Tong-hong Hui Bun berada di situ, barangkali juga tidak sanggup melawan.
Tong-hong Hui Bun adalah anak perempuan pemimpin Persekutuan Bulan Emas, sedangkan Persekutuan Bulan Emas itu merupakan musuh bersama orang-orang rimba persilatan. Kalau cabangnya ataupun markasnya ditumpas memang tak ada harganya mendapat simpatinya.
Demikian ia berpikir, lalu berkata pula:
“Apakah tuan turut ambil bagian dalam pembunuhan di gedung bawah kaki gunung itu?”
“Benar, tempat yang merupakan sumber kejahatan itu kita harus rnembasminya satu persatu.”
“Apakah ini juga merupakan sebahagian tindakan terhadap Persekutuan Bulan Emas?”
“Boleh dikata begitu. Kau tentunya toh tidak akan merasa simpatik terhadap sepak terjangnya?”
“Aku tidak simpatik, tetapi aku pernah menerima budi anak perempuan pemimpin persekutuan itu….”
“Hui Kiam, apakah kau ingin membalas budi?”
“Apakah seorang gagah tidak boleh mempunyai pikiran demikian?” demikian Hui Kiam balas menanya.
Manusia Agung itu tiba-tiba menyela:
“Kau pikir bagaimana hendak membalas budi itu?”
“Itu ada urusan pribadiku,” jawab Hui Kiam dingin.
“Kau toh tidak akan berbalik memusuhi orang-orang golongan benar?”
“Pendirianku tetap teguh, tidak perlu tuan pikirkan.”
“Itu bagus, aku merasa senang sekali mendengar perkataanmu ini.”
“Tetapi urusan kita masih belum selesai?”
Terdengar pula suaranya Orang Menebus Dosa:
“Hui Kiam, sukakah kau dengar perkataanku?”
“Silahkan.”
“Jangan bermusuhan dengan locianpwee. Segala sebab dan akibat, dalam waktu yang singkat kau nanti akan mengetahui sendiri.”
Sepak terjang Orang Menebus Dosa ini meskipun sangat misterius, tetapi terhadap Hui Kiam pernah memberi banyak pertolongan, sehingga boleh dikata Hui Kiam banyak hutang budi terhadapnya. Betapapun juga budi itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Maka setelah berpikir sejenak, lalu berkata:
“Dengan memandang tuan, aku tidak berkata apa-apa!”
“Kalau begitu aku merasa sangat bersyukur.”
“Tuan terlalu merendah. Aku telah menerima budi terlalu banyak darimu, sehingga sekarang aku masih belum berani menyatakan hendak membalas budi itu.”
Setelah hening sejenak, terdengar pula suaranya Orang Menebus Dosa yang kedengarannya sangat aneh:
“Hui Kiam, apakah tadi kau sudah mendengar nasehat lo-cianpwee itu?”
Nasehat yang dimaksudkan itu, sudah tentu tentang hubungannya dengan Tong-hong Hui Bun dengan ayahnya To-liong Khiam Khek Su-ma Suan. Hati Hui Kiam pedih sekali sehingga seketika itu mukanya nampak suram. Jawabnya dengan sedih:
“Apakah itu suatu kenyataan?”
“Seratus persen benar!”
Ucapan itu keluar dari mulutnya Orang Menebus Dosa. Hui Kiam mau tidak mau harus percaya. Mengenai dirinya sendiri, Tong-hong Hui Bun tidak mungkin tidak tahu, akan tetapi mengapa ia masih bisa jatuh cinta kepada dirinya? Bahkan begitu sungguh hati dan besar sekali cintanya itu? Apakah maksudnya? Bukankah ini merupakan suatu perbuatan yang terkutuk?
“Aku percaya akan dapat membuktikan kebenarannya ini!”
“Apakah kau ingin mencari keterangan dari Tong-hong Hui Bun sendiri?”
“Ya!”
“Hui Kiam, kau barangkali tidak tahu benar tentang dirinya. Kau hati-hati jangan sampai melakukan tindakan yanp membuat sesal seumur hidupmu dan merupakan satu tragedi yang tragis.”
Badan Hui Kiam gemetar. Katanya dengan suara terharu:
“Terima kasih atas nasehatmu!”
“Lagi, apakah kau suka berjanji untuk sementara jangan menuntut balas dendam dulu kepada Orang Berbaju Lila?”
“Aku.....terima.....”
“Baik, apakah kau ingat kamar rahasia Orang Berbaju Lila di bawah tanah itu?”
“Ingat!”
“Kalau begitu kau segera berangkat ke tempat itu. Sudah tiba waktunya akan mengeluarkan pengumuman menggempur Persekutuan Bulan Emas.”
Ini merupakan suatu peristiwa besar dalam rimba persilatan. Ini merupakan suatu pertempuran antara golongan kebenaran dengan golongan sesat. Pertempuran ini, akan merubah nasib rimba
persilatan. Maka seketika itu semangat Hui Kiam terbangun. Ia masukkan pedang ke dalam sarungnya, kemudian berkata:
“Aku turut perintahmu!”
“Sampai ketemu lagi!”
Suara itu kedengaran sangat jauh, mungkin sudah berlalu.
Sambil mengurut jenggotnya yang putih, Manusia Agung itu berkata:
“Bocah, kau mendapat kurnia Allah menemukan pengalaman gaib sehingga menjadi tulang punggung dalam pertempuran untuk menegakkan kebenaran dan keadilan ini. Semoga kau baik-baik membawa dirimu.”
Perkataan orang tua itu mengandung anjuran dan dorongan semangat Hui Kiam, juga merupakan suatu pujian dan penghargaan atas kepandaian anak muda itu. Terlepas dari soal perbincangan antara kedua orang tadi, dengan kedudukan dan derajat seperti Manusia Agung itu, telah mengucapkan perkataan demikian terhadap Hui Kiam yang masih muda belia, sesungguhnya juga merupakan suatu kehormatan sangat besar bagi pemuda gagah itu. Untuk menunjukkan bahwa dirinya benar seorang gagah, sudah tentu ia harus menyatakan apa-apa. Maka ia lalu berkata sambil rnemberi hormat:
“Aku yang rendah tidak berani menerima pujianmu. aku hanya tahu menyumbangkan tenaga untuk membela pihak yang benar.”
“Kalau begitu, rimba persilatan boleh merasa bersyukur dan beruntung menjelmakan seorang kuat seperti kau ini. Nah, sampai berjumpa lagi!”
Sehabis mengucap demikian, lalu menghilang.
Hui Kiam berdiri bingung memikirkan apa-apa yang telah terjadi tadi, kemudian sudah berlalu meninggalkan rimba tersebut.
Matahari sudah mulai silam, burung-burung beterbangan pulang ke kandang, suatu tanda sudah hampir malam lagi.
Hui Kiam tidak mempunyai pikiran untuk menikmati pemandangan alam di waktu senja itu. Ia masih membuka langkahnya melanjutkan perjalanannya ke arah berlawanan dengan bukit itu.
Selagi masih berjalan, tiba-tiba terdengar suara orang berkata kepadanya:
“Jangan pergi!”
Mendengar suara itu Hui Kiam segera mengetahui orangnya.
Dalam cuaca yang samar, sesosok bayangan langsing berada di hadapan matanya. Orang itu adalah Tong-hong Hui Bun sendiri. Saat itu parasnya nampak agak pucat. Dengan sikap yang berbeda dengan biasanya, ia menatap wajah Hui Kiam tanpa bicara apa-apa.
Sikap demikian itu, baru pertama kali ini Hui Kiam menghadapinya. Dengan tanpa sadar ia mundur satu langkah dan menegurnya:
“Kau….”
“Sebutan saja kau juga sudah berubah?” berkata Tong-hong Hui Bun dingin.
Hui Kiam ingat nasehat Orang Menebus Dosa dan lain- lainnya. Ia rasakan seperti terguyur air dingin, sesaat itu ia benar-benar tidak tahu bagaimana harus membuka mulut.
“Kau sudah tidak sudi memanggilku enci, tetapi aku masih tetap panggil kau adik, perbuatanmu sesungguhnya terlalu kejam,” berkata Tong-hong Hui Bun.
Pikiran Hui Kiam yang masih kusut, ketika mendengar perkataan itu segera balas bertanya tanpa dipikir:
“Peerbuatan apa yang kau maksudkan terlalu kejam?”
“Adik, kau jangan berlagak pura-pura tidak tahu.”
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.”
“Aku bertanya padamu, dalam hal mana aku berlaku tidak patut terhadapmu sehingga kau berbuat demikian terhadap diriku?”
Hui Kiam seperti tersadar, katanya:
“Aku kira kau akan berpura-pura seterusnya,” demikian Tong-hong Hui Bun memotong dengan suara bengis.
“Apakah kau kira itu perbuatanku?”
“Kecuali kau, barangkali tidak ada orang lagi yang mampu membunuh sekian banyak orang kuat.”
“Kau keliru.”
“Aku… keliru? Hem! Aku harap supaya kau dapat menjelaskan.”
“Itu adalah perbuatan orang lain.”
“Orang lain siapa?”
Sudah tentu Hui Kiam tidak dapat memberitahukan tentang diri Orang Menebus Dosa dan lain-lainnya, sebab itu merupakan suatu perbuatan khianat terhadap sesama orang rimba persilatan. Maka ia menjawab dengan tegas:
“Tidak tahu!”
Tong-hong Hui Bun gemetar karena menahan hawa arnarahnya.
“Kau tidak tahu?”
“Mengapa aku harus tahu?”
“Adik, kau tidak mau mengaku terus terang?”
“Mengaku apa?”
“Membunuh orang.”
“Aku tidak melakukan itu, bagaimana harus mengaku?”
“Kalau begitu kau harus tunjukkan, siapa yang melakukan itu?”
Jikalau pertanyaan itu diajukan pada waktu yang lalu, mungkin Hui Kiam dapat memberikan secara terus terang. Tetapi sekarang keadaan sudah berlainan. Nasehat Orang Menebus Dosa dan
Manusia Agung seolah-olah duri beracun menusuk ulu hatinya, dan duri beracun itu sudah cukup merupakan apa yang terjadi terhadap perempuan itu di masa yang lalu juga membuat perasaannya terhadap kecantikan perempuan itu, timbul reaksi kebalikannya. Dengan nada suara kaku dan dingin ia berkata:
“Aku sudah berkata bahwa aku tidak tahu.”
“Kalau begitu harap kau suka menerangkan. Kau yang sebetulnya sedang terluka parah, bagaimana sekarang sembuh kembali seperti biasa?”
“Aku sembuhkan lukaku dengan kekuatan tenaga dalamku.”
“Anggaplah begitu, mengapa kau tidak turut terbunuh?”
“Mungkin tujuan orang itu bukan diriku.”
“Jadi kau mengawasi dengan berpeluk tangan orang-orangku dibunuh seperti hewan?”
“Pembunuhan itu terjadi ketika aku sedang bersemedhi untuk menyembuhkan luka-luka dalamku. Setelah aku sembuh dari lukaku baru aku mengetahui kejadian ini.”
“Apakah kau kira aku merasa puas dengan keteranganmu ini?”
“Percaya atau tidak terserah kepadamu!”
“Adik, lantaran kau hampir saja aku putus perhubungan dengan ayahku. Aku telah berniat dan berusaha untuk kebaikanmu dan keselamatanmu, sehingga aku selalu menutupi sikap dan perbuatanmu yang memusuhi persekutuan kami. Untuk kau aku tidak sayang berkorban, justru karena aku cinta kepadamu. Tetapi, sebaliknya kau.....”
Berkata sampai di situ ia menangis dengan sehingga tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
Semua itu merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh Hui Kiam. Tetapi nasehat yang bagaikan duri beracun itu telah membuat dingin dan beku hati Hui Kiam. Maka ia berkata dengan sikap yang masih tetap dingin:
“Aku tidak menyangkal semua kebenaranmu!”
“Kalau begitu mengapa kau membalas dengan sikap demikian?”
“Aku tidak...” jawab Hui Kiam bagaikan orang kalap.
Tong-hong Hui Bun dikejutkan oleh sikap Hui Kiam itu. Ia bertanya pula dengan suara gemetar.
“Adik, betulkah itu bukan perbuatanmu?”
“Bukan!”
“Apakah kau.... masih tetap cinta kepadaku?”
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, sepasang matanya terbuka lebar, lama tidak dapat menjawab.
Paras Tong-hong Hui Bun semakin pucat, matanya memancarkan sinar kebencian, dengan suara bengis tetapi perlahan ia berkata:
“Kau telah berubah. Kau menipu hatiku, kemudian kau melemparkannya dan menginjaknya bagaikan sampah yang tidak berharga.”
“Aku... tidak….”
“Perlu apa menyangkal?”
“Aku mengaku, memang benar aku sudah berubah. Tidak boleh tidak aku harus berubah.”
Tong-hong Hui Bun bergerak maju mendekati Hui Kiam dua langkah. Katanya:
“Aku mengerti, kau tentunya sudah jatuh cinta pada gadis di dalam Makam Pedang itu. Oleh karena itu maka kau mendapatkan pedang sakti itu.”
“Aku tidak menyangkal bahwa aku cinta kepadanya.”
“Bagus! Adik, encimu dengan terus terang beritahukan kepadamu. Barang yang aku tidak bisa dapatkan, aku hendak merusaknya. Siapa pun tidak akan mendapatkannya. Aku bisa berlaku dengki, juga bisa berbuat kejam. Ya, aku pernah mencintai
seseorang, tetapi ketika aku mengetahui bahwa diriku tertipu, aku bisa melakukan pembalasan secara hebat....”
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula:
“Apakah aku cantik? Ya, tentunya kau tak akan menyangkal. Aku juga merasa bangga dengan kecantikanku ini. Tetapi aku sendiri telah mengetahui bahwa aku sudah bukan seorang perempuan muda lagi. Meskipun aku mempunyai ilmu sehingga aku tetap awet muda, tetapi biar bagaimana aku tidak dapat melawan kehendak Tuhan. Usiaku yang sudah menanjak tua, tidak bisa kembali muda lagi. Seumur hidup aku hanya mencintai seorang laki-laki dengan setulus hati. Laki-laki itu juga merupakan kekasihku yang terakhir. Laki-laki itu adalah kau….”
Jantung Hui Kiam tergunrcang hebat. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah.
Tong-hong Hui Bun melanjutkan kata-katanya:
“Aku telah memberikan kepadamu segala-galanya. Aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi. Adik, encimu seorang yang bisa mencinta tetapi juga bisa membenci berapa dalam cintanya dan berapa dalam bencinya, mengertikah kau maksudku?”
Dengan tanpa sadar Hui Kiam menggigil. Ucapan perempuan itu begitu dingin dan kejam, tetapi juga mengunjukkan betapa besar cinta kasih terhadap dirinya ini.
Cinta yang sudah mendalam, kebenciannya juga lebih mendalam lagi. Rasa benci yang timbul dari akibat rasa cinta yang gagal, adalah kebencian yang lebih daripada segala rasa benci.
Hati Hui Kiam mulai goncang lagi. Memang tiada alasan baginya untuk menyatakan bahwa cinta Tong-hong Hui Bun adalah palsu, akan tetapi duri beracun yang sudah masuk ke dalam otaknya lebih besar pengaruhnya.
Andaikata hanya karena pendirian masing-masing yang bertentangan antara benar dan sesat, mungkin ia tidak akan berlaku demikian tegas, karena segala sesuatunya bisa berubah, hanya hatinya sudah terluka tidak bisa disembuhkan lagi.
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
“Apakah kau sudah dengar semuanya apa yang aku katakan tadi?”
“Sudah!”
“Kalau begitu kau jawablah! Mengapa kau tidak bicara?”
“Tahukah kau asal usul diriku ?”
“Tahu, bahkan sangat jelas sekali.”
“Kalau kau sudah tahu, mengapa kau tidak merubah perbuatanmu?”
Tong-hong Hui-bun berdiam sejenak, baru menjawab:
“Itu adalah soal yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Aku....”
“Apa, kau kata tidak ada hubungannya?”
“Sudah tentu !”
“Berapa banyak sebetulnya yang telah kau ketahui?”
“Tahu semuanya!”
“Coba kau ceritakan!”
“Dari mulut Orang Berbaju Lila aku tahu bahwa kau adalah murid Lima Kaisar Rimba Persilatan. Kau telah menganggap dirimu sebagai orang dari golongan kebenaran dan memandang persekutuan kami sebagai musuh...!”
“Masih ada lagi?”
“Kau adalah anak To-liong Kiam Khek Su Ma Suan!”
”Jadi kau... juga tahu?”
“Tadi aku sudah kata bahwa aku tahu semuanya.”
Jawaban itu sesungguhnya di luar dugaan Hui Kiam. Tong-hong Hui Bun ternyata sudah mengetahui asal-usul dirinya, tetapi mengapa tidak merasa malu terhadap dirinya sendiri? Kalau begitu
nasehat Orang Menebus Dosa dan lain-lainnya bukankah omong kosong belaka? Apakah dalam hal ini ada terselip soal apa-apa lagi? Tetapi biar bagaimana, ini adalah merupakan persoalan besar, yang tidak boleh tidak harus dijernihkan.
Karena berpikir demikian maka ia segera berkata:
“Kau dengar kabar di dalam rimba persilatan tersiar desas desus….”
“Desas desus apa?”
“Kau pernah mempunyai hubungan suami istri dengan ayahku.”
Ucapan itu dengan susah payah baru keluar dari mulut Hui Kiam. Setelah ucapan itu keluar dari mulutnya, sepasang matanya terus menatap wajah Tong-hong Hui Bun, agaknya hendak menembus hatinya.
Paras Tong hong Hui Bun pucat pasi, ia mundur hingga tiga langkah.
Hui Kiam yang menyaksikan itu, lalu membentaknya dengan suara keras:
“Betulkah ada kejadian itu?!”
Tong-hong Hui Bun masih berdiam, bibirnya bergerak-gerak, lama baru bisa berkata:
“Siapa mengatakan?”
“Kau jangan perduli siapa yang berkata. Kau katakan saja betul atau tidak?”
Keringat dingin sudah membasahi sekujur badan Hui Kiam, darahnya seperti sudah berhenti mengalir. Betapa hebat dan menakutkan kejadian itu, apabila itu benar adanya, bagaimana ia harus bertindak selanjutnya?
Kemarahan yang timbul dalam hati Hui Kiam hampir saja ia menjadi kalap.......
Tiba tiba Tong-hong Hui Bun berseru:
“Omong kosong! Itu fitnahan belaka......”
“Apa? Kau kata omong kosong?”
“Ya, satu fitnahan keji.”
“Kau menyangkal?”
“Adik, siapa yang berkata demikian?”
“Tentang ini tidak perlu aku beritahukan kepadamu.”
“Orang Berbaju Lila, betul tidak?”
“Jangan tanya siapa. Kau harus menerangkan hal yang sebenarnya, sebetulnya ada kejadian itu atau tidak?”
“Tidak.”
“Benarkah?”
“Benar, aku sedikitpun tidak bobong!”
Hui Kiam mulai kusut lagi pikirannya. Ia percaya kepada Orang Menebus Dosa dan Manusia Agung. Kecuali mereka berdua, masih ada lagi gurunya Ie It Hoan yang sangat misterius itu.
Tetapi Tong-hong Hui Bun jupa tidak mungkin merupakan seorang perempuan yang begitu rendah moralnya. Sebetulnya keterangan pihak manakah yang dapat dipercaya? Karena ayahnya sudah meninggal dunia, sudah tentu tidak mungkin diminta keterangannya.
Ia berdiri terpaku, semangatnya entah kemana terbangnya.
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
“Betapakah kejinya fitnahan itu? Adik, kau percayakah fitnahan itu?”
“Mau tidak mau aku harus percaya!”
“Mengapa?”
“Sebab kesalahan ini tidak bisa diperbaiki lagi, kita juga harus jaga jangan sampai terjadi!”
“Tetapi aku juga tidak menyangkal. Adik, terlepas dari soal ini, dengan kecantikan yang aku miliki memang sudah cukup membuat orang iri hati. Di samping itu ada juga orang yang ingin memfitnah diriku berbagai cara. Coba kau pikir, To-liong Kiam khek bukan orang sembarangan, jikalau aku mempunyai hubungan suami-istri dengannya, mengapa di dunia Kangouw tiada orang yang mengatakan, hanya seorang saja yang menceritakan kepadamu, kau seharusnya tokh bisa pikir sendiri.”
Pikiran Hui Kiam telah goyah. Ucapan perempuan itu memang benar. Dalam kalangan Kang-ouw, belum pernah ada orang yang menyebutkan soal itu. Berulang-ulang Tong-hong Hui Bun mengatakan itu fitnahan semata-mata, kemungkinan itu memang ada, karena orang mengatakan soal itu, semua adalah orang-orang sekomplotan. Tentang gurunya Ie It Hoan sehingga saat itu dia hanya tahu ada tetapi belum pernah melihat rupanya. Adalah orang itu yang paling dulu mengucapkan berserikat dengan Orang Berbaju Lila untuk melawan orang-orang Persekutuan Bulan Emas.
Tentang Orang Berbaju Lila tidak usah dikata, karena ia dengan Tong-hong Hui Bun sudah lama timbul perselisihan.
Ditinjau dari sudut ini persoalan ini sesungguhnya agak rumit.
Tetapi apakah maksud orang-orang itu perlu merusak hubungan antara ia dengan Tong-hong Hui Bun?
Andaikata maksud mereka takut melihat dirinya terlibat dalam asmara sehingga mengabaikan tujuannya untuk membela kebenaran atau sampai dirinya masuk ke dalam pelukan Persekutuan Bulan Emas hingga membahayakan rimba persilatan maka mereka perlu dengan menggunakan rupa-rupa tindakan yang sangat rendah untuk memutuskan hubungannya dengan Tong-hong Hui Bun. Kalau itu benar, ini berarti bahwa orang-orang itu telah memandang rendah kepribadiannya, juga merupakan suatu perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang-orang gagah.
Kini pikirannya telah teralih pula kepada pertikaian-pertikaian antara orang-orang golongan benar dan golongan sesat.
Pergerakan membasmi kejahatan sudah akan dimulai, sedangkan ia sendiri dengan pemimpin Persekutuan Bulan Emas sudah merupakan musuh lama. Ditilik dari pendirian masing-masing, ia sendiri merupakan satu tiang yang kuat dalam barisan golongan benar. Tong-hong Hui Bun adalah anak perempuan pemimpin Persekutuan Bulan Emas, tidak perduli dipandang dari sudut manapun juga, hubungan antara ia dan perempuan cantik itu memang seharusnya diakhiri.
Setelah berpikir demikian ia berkata dengan suara berat dan perlahan:
“Tidak sulit untuk mencari keterangan hal yang sebenarnya. Aku bersumpah hendak menyelidiki soal ini!”
“Apakah kau tidak percaya perkataanku?” berkata Tong-hong Hui Bun dengan muka pucat pasi.
“Ini sudah tidak penting lagi!”
“Tidak penting mengapa?”
Hui Kiam berusaha menenangkan perasaannya. Dengan nada suara tegas ia berkata:
“Enci, memang betul kita sudah pernah mengadakan perhubungan, tetapi untung masih belum melanggar batas peraturan dan adat istiadat. Tidak perduli bagaimana asal-usul diri kita, apa yang sudah lampau simpanlah di dalam hati....”
Tong-hong Hui Bun tiba-tiba mundur satu langkah. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Maksudmu apakah kita hapuskan hubungan cinta kasih kita?”
Hui Kiam merasa berat, tetapi diam-diam dikeraskan hatinya. Akhirnya ia menganggukkan kepala seraya berkata:
“Ya, hubungan antara kita harus diakhiri.”
Sepasang mata Tong-hong Hui Bun yang menggiurkan dan memikat hati, kini telah berubah seluruhnya. Mata itu
memancarkan sinar yang menakutkan. Bibirnya nampak gemetar, pipinya berkenyit, lama baru bisa berkata:
“Kau katakan... harus diakhiri?”
“Ya.”
“Memang benar, seharusnya yang kita akhiri hubungan itu, tetapi... sekarang... tidak bisa.”
Perkataan yang terakhir itu diucapkan demikian tegas seolah-olah tidak dapat diganggu gugat lagi.
Hui Kiam merasa sangat sedih, tetapi ia harus memegang teguh pendiriannya. Asal ia dapat mengendalikan perasaannya, tindakan menimbulkan akibat yang menakutkan, keputusan yang demikian itu memang berat bagi Hui Kiam.
“Mengapa tidak bisa?”
“Sudah terlambat.”
“Terlambat! Apa artinya?”
Tong-hong Hui Bun dengan tangannya yang halus membereskan rambutnya yang terurai di pundaknya. Dengan suara berat dan hampa ia berkata:
“Hui Kiam, aku sudah tidak berdaya menolong diriku sendiri.”
Hui Kiam seolah-olah disambar geledek. Pikirannya kalut, matanya berkunang-kunang. Ia gemetaran karena ia merasa bahwa akal budinya hampir runtuh. Semula ia mengira dengan kekerasan hati ia dapat menembusi rintangan yang sangat berat itu, tetapi kenyataannya tidak begitu mudah.
Nasehat Orang Menebus Dosa, berkumandang lagi di dalam telinganya. Lebih baik percaya daripada tidak, pikiran itu merupakan suatu dorongan yang kuat untuk menguatkan kelemahan hatinya. Ia coba menenangkan pikirannya, lalu berkata:
“Kenyataan telah menunjukkan bahwa kita mau tidak mau harus berpisah!”
“Apakah kau suka masuk dalam perangkap akal keji orang lain?”
“Tidak-tidak!”
“Kalau begitu karena apa?”
“Kau harus tahu, antara aku dengan ayahmu sudah merupakan musuh bebuyutan.”
“Tetapi itu toh masih bisa diperbaiki!”
“Sudah tidak mungkin lagi!”
“Aku akan membujuk ayahku supaya melepaskan pendiriannya.”
“Tetapi aku tak bisa merubah pendirianku.”
“Pendirianmu yang memusuhi persekutuan kami?”
“Kenyataan sudah begitu jelas, dunia rimba persilatan seolah-olah sudah menghadapi hari kiamat karena perbuatan ayahmu. Sepak terjangnya selama ini, telah menimbulkan kegusaran seluruh rimba persilatan, siapa yang tidak ingin tunduk kepada kejahatan, harus berdiri di pihak yang benar.”
“Aku tidak ingin menundukkan kau dengan kata-kata, tetapi aku ulangi lagi ucapanku yang lama. Kita boleh mengasingkan diri, tak akan mengetahui urusan dunia Kang-ouw lagi.”
“Kalau begitu aku juga akan mengatakan bahwa itu sudah terlambat!”
“Terlambat bagaimana?”
“Aku sudah berjanji hendak bertempur akan membela di pihak yang benar.”
“Kalau begitu... perhubungan antara kita... habislah sudah?”
“Jangan kau menggunakan istilah habis, seharusnya kau menggunakan istilah diakhiri.”
Tong-hong Hui Bun tiba-tiba tertawa bagaikan orang gila. Suara tertawanya itu demikian tajam seolah-olah menusuk telinga juga seolah-olah menikam hati Hui Kiam.
Lama sekali, suara tertawa itu baru berhenti dan berkata lagi dengan nada suaranya yang berlainan:
“Adik, sebutan ini sehingga mati aku tidak akan berubah. Dahulu aku pernah berkata, mungkin aku keliru, sejak permulaan sudah keliru, mungkin aku sedang berjalan menuju kehancuran dan kemusnahan, tetapi aku tidak akan merubah perjalananku, biarlah aku musnah! Kau dengan aku, adik, adalah kau yang paksa aku berbuat demikian. Dalam hidupku, aku cuma tahu dua soal, cinta dan benci!”
Hui Kiam kembali gemetaran.
Cinta dan kebencian!
Apa yang ia lakukan? Apakah ia sendiri yang salah? Ataukah ia gila?
“Ha, ha, ha. Adik, pada suatu ketika kau dan aku musnah bersama-sama, bersatu untuk selama-lamanya. Tiada suatu kekuatan apapun yang dapat memisahkan kita. Sudah tentu orang-orang yang kubenci, yang berusaha hendak memisahkan kita, akan mendapat ganjaran yang setimpal. Adik, biarlah untuk sementara kita berpisah! Ha, ha, ha....”
Setelah mengucapkan demikian ia sudah bergerak dan menghilang dari hadapan Hui Kiam. Hanya suara tertawanya yang menyeramkan yang masih kumandang di udara.
Hui Kiam seperti seorang bingung berdiri di tempatnya. Ia seolah-olah sedang berada dalam impian buruk.
Otaknya dirasakan kosong melompong, apapun ia sudah tidak dapat memikirkan.
Hari sudah gelap, keadaan sunyi sepi. Hanya sinar bintang di langit yang merupakan penerangan satu-satunya dalam suasana yang gelap gulit.
Suara burung malam kedengarannya sangat mengerikan telah menggugah Hui Kiam dari mimpinya. Perasaan takut timbul dalam
hatinya. Perasaan itu ia belum pernah rasakan pada waktu sebelumnya.
Tong-hong Hui Bun telah meninggalka dirinya dengan penuh kebencian. Perbuatan apakah yang akan dilakukan terhadap dirinya?
Apakah ia akan melakukan pembalasan atas cintanya yang tidak terbalas?
Siapapun tidak akan menduga bahwa cinta kasih itu akan berakhir demikian buruk!
Ditilik dari perbuatannya sejak ia memaksa Orang Berbaju Lila terjun ke dalam jurang dan membunuh orang-orangnya sendiri dengan cara yang sangat kejam, Tong-hong Hui Bun memang merupakan seorang perempuan yang berhati kejam. Ditinjau dari sudut ini, tidak dapat disangkal lagi bahwa ia bukan saja akan melakukan pembalasan atas dirinya, tetapi juga akan melampiaskan kebenciannya kepada orang-orang yang ada hubungannya dengan Hui Kiam. Tetapi pertempuran untuk membasmi kejahatan sudah akan dimulai, satu sama lain memang sudah saling berhadapan sebagai musuh. Tindakan pembalasan Tong-hong Hui Bun tidak perlu ditakuti, hanya terjadinya perubahan itu sedikit banyak menimbulkan perasaan duka bagi Hui Kiam.
Untuk pertama kali Hui Kiam merasa khawatir dan takut, tetapi ia dapat mengatakan apa yang harus ditakuti?
Tong-hong Hui Bun telah menyangkal dengan keras pernah menjadi isteri ayah Hui Kiam, tetapi perkataan Orang Menebus Dosa dan yang lain-lainnya tidak mungkin salah semuanya. $oal ini ia harus selidiki sendiri sehingga menjadi terang.
Kekasih yang juga merupakan ibu tirinya sendiri. Betapakah kejam dan menakutkannya soal ini, meskipun hubungan itu bisa diputuskan, dan dengan sendirinya telah berakhir, tetapi itu masih merupakan suatu penderitaan hatin yang tidak mudah dihapus.
Persoalan ini hanya Orang Menebus Dosa, Orang Berbaju Lila, Manusia Agung dan gurunya Ie It Hoan yang dapat menjawab.
Setelah lama berpikir, ia baru melanjutkan perjalanannya.
Hari itu ia tiba di suatu bukit yang terpisah tidak jauh dengan kota Lam-shia. Ia taksir malam hari itu juga bisa tiba ke kuil tua yang merupakan pusat markasnya Orang Berbaju Lila yang dirahasiakan itu.
Sepanjang pinggir jalan di kaki gunung itu terdapat beberapa ratus rumah kediaman rakyat sehingga merupakan suatu perkampungan kecil.
Hui Kiam mencari rumah penginapan untuk bermalam. Ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk memikirkan rencana selanjutnya. Kali ini ia hendak berserikat dengan Orang Berbaju Lila, sama-sama melawan kekuatan Persekutuan Bulan Emas.
Terhadap kekuatan sendiri dan kekuatan lawan ia masih belum jelas. Menurut tafsirannya yang akan bertindak sebagai pemimpin dalam pihaknya sendiri tentunya gurunya Ie It Hoan.
Tetapi hingga saat itu, ia cuma mengetahui adanya orang yang sangat misterius itu dengan segala tindak-tanduknya yang aneh. Selainnya ia tidak tahu lagi.
Ia berserikat dengan musuhnya, sebetulnya merupakan suatu tindakan yang sangat terpaksa, maka sedapat mungkin ia harus mengendalikan perasaannya sendiri.
Tiba-tiba ia teringat dua soal. Dalam pikiran kalutnya tadi ia sudah lupa menanyakan hingga sekarang ia merasa menyesal.
Pertama, sucinya Pui Ceng Un telah dibawa pergi oleh orang suruhan Orang Menebus Dosa untuk diberi pertolongan. Ia terkena racun yang membikin orang hilang ingatan oleh orang-orang Persekutuan Bulan Emas, entah bisa sembuh atau tidak? Dan sekarang di mana ia berada?
Kedua, ia telah lupa menanyakan kepada Tong-hong Hui Bun tentang asal-usulnya pakaian laki- laki warna lila dalam kamarnya itu.
Seandainya kala itu ia memajukan pertanyaan, mungkin dapat menangkap rahasia tentang hubungan perempuan itu dengan Orang Berbaju Lila.
Ditinjau dari fakta-fakta yang hingga saat itu telah diketahuinya, di antara Tong-hong Hui Bun dengan Orang Berbaju Lila, agaknya pernah terjalin hubungan apa-apa bukan semata-mata karena tergila-gila atas kecantikan seperti apa yang dikatakan oleh perempuan cantik itu. Selain daripada itu, waktu pertama kali muncul, Orang Berbaju Lila itu pernah menggunakan ilmu pedang Bulan Emas, ini juga merupakan suatu kejadian aneh yang tidak mungkin suatu hal kebetulan saja. Selagi masih hanyut dalam lamunannya sendiri, telinganya tiba-tiba mendengar suara orang memuji Buddha:
“Omitohud!”
Tanpa disengaja Hui Kiam mengangkat kepala. Matanya segera dapat melihat seorang padri wanita setengah tua dengan kantong hijau di punggungnya dan serenceng tasbe di tangannya berdiri di depan pintu. Ia pikir, padri wanita itu tentunya sedang minta sedekah.
Rumah penginapan merangkap rumah makan itu tidak luas. Di sebelah kanan pintu masuk terdapat ruang dapur. Di belakang dapur itu terdapat beberapa puluh meja dan kursi.
Hui Kiam yang duduk di sudut kiri menghampiri pintu, dapat melihat keadaan di luar dan dalam dengan nyata. Apalagi saat itu tetamu yang makan tidak banyak sehingga penglihatannya tidak terhalang.
Ia mengawasi sejenak. Selagi hendak minum lagi, mendadak merasakan gelagat tidak baik. Ketika ia mengawasi lagi, padri wanita itu ternyata sedang mengawasi dirinya dengan sinar mata yang tajam.
Aneh, demikian ia pikir. Padri wanita yang masih asing baginya itu, mengapa mengawasi dirinya dengan penuh perhatian demikian rupa? Dari sinar matanya yang tajam dapat diduga bahwa padri
wanita itu tentu orang rimba persilatan. Apakah kenal dengan dirinya? Ataukah….?
Tanpa disadari tangannya meraba-raba gagang pedang di pinggangnya. Pikirnya: apakah padri wanita itu ‘menaksir’ pedangku ini?
Diam-diam ia merasa geli, dianggapnya paderi wanita itu tidak tahu diri.
Seorang pelayan menghampiri padri wanita itu dan menyapanya:
“Apakah suthay hendak minta sedekah?”
“Hendak mencari orang,” jawabnya singkat.
“Mencari orang?”
“Ya!”
“Mencari siapa?”
“Siaosiecu yang duduk di sudut ruangan itu!”
Paderi wanita itu mengaku tahu di mana adanya Pek-leng-lie. Nampaknya rahasia tentang tusuk konde kepala burung Hong itu segera akan terbuka.
Tetapi satu sama lain masih asing, mengapa perlu datang mencari dirinya? Dalam hal ini pasti bukan tidak ada sebabnya….
Jalan tidak berapa lama, mereka sudah berlalu jauh dari perkampungan itu.
Paderi wanita itu tiba-tiba membelok mengambil jalan ke arah pegunungan.
Hui Kiam terus mengikuti di belakangnya sejarak beberapa langkah saja, saat itu ia lalu bertanya:
“Suthay, di sini rasanya boleh suthay menceritakan perkara itu!”
“Jangan kesusu, kita sudah akan segera tiba di tempatnya!” jawabnya tanpa menoleh:
“Tempatnya! Tempat apa?”
“Itulah tempat mensucikan diri pinnie.”
“Oh!”
Hui Kiam tidak berkata apa-apa lagi. Ia terus mengikuti di belakang padri wanita itu, sementara itu dalam hatinya telah mengambil suatu ketetapan. Apabila paderi wanita ini benar-benar mengetahui di mana adanya Pek-leng-lie, demi kepentingan menuntut balas dendam ibunya ia akan mengorek keterangannya dari padri wanita itu tanpa memperhitungkan apa akibatnya. Tetapi apabila paderi wanita itu mengandung maksud lain, ia pasti tidak akan melepaskan begitu saja.
Tidak lama kemudian tibalah di suatu tempat yang terdapat sungai. Di tepi sungai itu penuh pohon bunga Tho. Orang yang masuk di dalam daerah tersebut, seolah-olah berada dalam tengah-tengah taman bunga itu, yang saat itu sudah tumbuh buahnya.
Memasuki taman buah Tho kira-kira lima pal, di situ tampak dinding tembok berwarna merah. Setelah berada dekat, baru diketahui bahwa itu adalah sebuah kuil yang sangat indah bentuknya. Di pintu depan kuil itu terpancang sebuah papan yang terdapat tiga huruf besar PEK THO AM yang ditulis dengan tinta emas.
Nama kuil ini sesungguhnya tepat sekali dengan keadaan dan pemandangan alam tempat itu. Paderi wanita itu berhenti dan berpaling seraya berkata kepada Hui Kiam:
“Inilah tempat mensucikan diri bagi pinnie. Silahkan sicu masuk ke dalam!”
Setelah berkata demikian ia mengajak Hui Kiam masuk ke dalam.
Menurut kebiasaan umum, di dalam kuil paderi wanita atau biara, sebetulnya terlarang bagi kaum laki-laki masuk di dalamnya, tetapi paderi wanita itu ternyata sudah melanggar tata-tertib ini mengajak seorang laki-laki masuk ke dalam biara, sudah tentu mengandung maksud tertentu ....
Tiba di ruangan, paderi wanita itu menyilahkan Hui Kiam duduk.
---ooo0dw0ooo---
JILID 29
HUI KIAM menganggukan kepala, ia duduk disebuah kursi dalam ruangan tamu itu. Belum berapa lama, seoraug padri wanita muda itu, hatinya terperanjat paras padri wanita itu agaknya pernah melibatnya, tetapi ia sudah tak ingat lagi dimana pernah bertemu.
Padri wanita yang masih muda itu mempunyai potongan raut muka yang cantik sekali, berada didalam kuil itu seolah-olah pelayannya dewi Koan-im yang menjelma ke dunia.
Padri perempuao muda itu meletakkan cawan tehnya, kemudian mengundurkan diri, parasnya tidak mengunjukkan perubahan sikap apa-apa.
Hui Kiam berpaling lagi mengawasi Hoan ceng yang duduk dihadapannya, kemudian bertanya:
"Apakah Suthay ketua kuil ini?"
"Benar'!"
”Oleh karena aku masih ada urusan penting yang perlu segera diurus, tidak bisa berdiam lama-lama, harap Suthay suka segera memberi keterangan seperti apa yang Sathay janjikan."
Paderi wanita itu mengangkat cawannya dan berkata:
"Sicu minum teh dulu, ini adalah teh wangi keluaran dari daerah ini yang namanya sudah lama terkenal, meskipun bukan barang berharga tetapi juga bukan sembarang teh.”
Hui Kiam terpaksa bersabar, ia minum teh nya, bau harum dari teh itu dirasakan menusuk hidungnya, teh itu berwarna hijau, nampaknya memang benar bukan teh sembarangan air teh, itu membawa rasa segar dalam tenggorokkannya sehingga ia perlu mengeluarkan pujian:
"Sesungguhnya teh ini enak sekali!"
Hoan-ceng menyalakan dupa diatas mejanya asap dupa itu mengeluarkan bau harum sehingga sebentar saja bau harum itu sudah memenuhi ruangan tamu tersebut.
Hui Kiam setelah minum tehnya berkata: "Tadi suthay berkata bahwa maksud mengajak aku kemari adalah hendak memberitahukan jejak Pek-leng-lie? " ia menjawabnya tenang.
Sikap tenang padri wanita itu menimbulkan rupa-rupa dugaan dalam hati Hui Kiam. Tetapi sebagai orang yang berkepandaian tinggi dan keberanian besar, ia tak merasa takut, lalu melanjutkan pertanyaannya: "Mengapa suthay mengetahui aku nginap dirumah penginapan itu?”
”Pinnie tadi sudah berkata bahwa inilah yang dinamakan jodoh, kita bertemu secara tak terduga duga."
"Ini sesungguhnya sangat aneh ..."
"Pinnie juga mempunyai kesan demikian!
"Suthay mengajakku datang kemari, apakah semata-mata hanya hendak memberi tahu jejak Pek-leng lie saja?"
"Benar."
"Tetapi bagaimana suthay tahu kalau aku sedang mencari jejak Pek-leng lie?"
"Karena apa yang sicu lakukan digereja siao liem-sie itu sudah tersiar luas dikalangan Kang ouw."
"Oh, suthay hendak memberi tahukan kabar itu pasti ada sebabnya?"
"Sebabnya sudah tentu ada!"
"Bolehkah aku bertanya apa sebabnya?"
Paras Hoanceng-segera berubah menjadi dingin jawabnya:
"Benarkah sicu pernah menabas kutung lengan tangan Hiat-ie Niocu?"
"Ya!"
”Tahukah sicu hubungan Hiat ie Nio cu dengan Pak leng lie?"
”Tahu, mereka berdua adalah ibu dengan anak!"
Hoan-ceng kembali tersenyum yang susah di duga orang apa maksudnya, kemudian berkata:
"Ada urusan apa sicu mencari Pek-leng-lie?"
Sejenak Hui Kiam nampak ragu ragu, kemudian berkata:
"Untuk mencari keterangan tentang peristiwa yang lama!"
”Peristiwa lama! Peristiwa apakah itu?"
"Tentang ini... . maaf aku tidak dapat memberiiahusannya."
”Tetapi sicu tokh ingin mengetahui jejak Pek leng-lie dari mulut pinnie?"
"Itu adalah suthay sendiri yang mencari aku."
"Itu memang betul ....”
”Suthay dengan aku satu sama lain masih belum saling kenal mengenal, suthay hendak memberitahukan jejak Pek leng-lie, pasti ada sebabnya?"'
”Apakah yang sicu maksudkan dengan perkataan itu?”
"Andaikata, tujuan ataukah ancaman syarat ataukah lainnya . . . ."
"Sicu sungguh cerdik, sudah dapat memikirkan sampai disitu, tujuan dan syarat kedua-duanya memang ada."
”Bolehkah suthay memberi sedikit keterangan?"
Hoan ceng berpikir sejenak, kemudian berkata;
'"Lebih dulu kita bicarakan soal syarat, itu adalah suara pikiran yang baru saja timbul dari hati pinnie, harap sicu terangkan dulu apa sebabnya sicu mencari Pek-leng lit?”
Hui Kiam merasa sulit, ini adalah suatu rahasia yang sangat penting, seandainya padri wanita itu mempunyai maksud tertentu, akan membawa akibat sangat luas, maka setelah berpikir ia lalu berkata sambil mengerutkan keningnya;
”Pertanyaan suthay dalam urusan ini apakah tertarik oleh perasaan heran, ataukah....,"
”Anggaplah begitu."
"Bolehkah kiranya....."
"Sicu jangan lupa bahwa ini merupakan syarat mutlak."
Hui Kiam menarik napas, nampaknya tidak boleh tidak ia harus menerangkan juga, maka akhirnya ia berkata:
"Pada sepuluh tahun berselang ada seorang yang binasa karena senjata rahasia tusuk konde mas berkepala burung Hong, dan senjata rahasia ini, kabarrya miliknya Pek-leng-lie."
Paras Hoan-ceng menunjuksan sedikit perobahan, katanya:
”Siapakah yang binasa karena senjata itu?”
"Ibuku almarhum!"
"Siapakah ibu almarhum sicu itu?"
"Yok sok Sian-cu Hui-un Kheng !”
Hoan ceng tiba-tiba bangkit, ia berkata dengan suara gemetar:
"Apa? Sicu adakah anak laki laki To-long Kiam Khek Su-ma Suan?”
Hui Kiam terperanjat, ia sungguh tidak menduga bahwa padri wanita itu dapat menyebut nama ayahnya, maka ia juga bangkit dan berkata :
"Apakah suthay kenal dengan ayah ibu almarhum ?"
"Sicu,,...berkata ayah bibi almarhum apakah Su-ma Suan juga sudah meningnggal”
"Ya !"
"Meninggal dengan cara bagaimana?"
"Terbinasa bersama sama seorang perempuan yang menamakan diri Penghuni loteng merah karena perbuatan Orang berbaju lila."
Paras Boan ceng berubah, badannya gemetar matanya terus menatap wajah Hui Kiam,
Sikap demikian sangat mengherankan Hui Kiam, apakah sebetulnya hubungan padri wanita itu dengan ayahnya? Nampaknya padri wanita ini bukan saja telah mengena! ayah bundanya tetapi mungkin masih terjalin hubungan apa apa didalamnya.
Hoan ceng agaknya berusaha mengendalikan perasaannya, diwajahnya beberapa kali telah berubah, nampaknya mengandung kebencian tetapi juga kedukaan, akhirnya kedua matanya memancarkan sitiar kebencian yang meluap luap, ia berkata sambil mengatupkan gigi
'Bagaimana macamnya Orang berbaju lila itu?
"Tidak tahu, ia adalah seorang, yang selalu berpakaian warna lila, dan memakai kerudung berwarna lila juga,"
”Apakah kau ingin menuntut balas dendam kepadanya?"
"Sudah tentu"
"Tadi kau berkata bahwa Yok-sok Sian cu terbunuh karena senjata rahasianya tusuk konde mas itu."
"Apakah kau anggap pasti itu adalah perbuatan Pek leng-lie?'
"Itulah yang aku perlu selidiki sendiri."
"Hem!"
"Suthay dengan ibu almarhum dahulu."
"Kita jangan bicarakan soal ini dulu jika kau ingin tahu maksud dan tujuan pinni mencari kau untuk memberi keterangan soal ini.”
Hui Kiam yang benar-benar tidak mengerti maksud yang dikandung dalam hati Paderi wanita itu, maka ketika mendengar perkataan itu, ia segera menjawabrya:
"Sudah tentu aku ingin tahu."
“Duduklah”
Dengan perasaan heran Hui Kiam mengawasi paderi wanita itu, akhirnya ia duduk di atas kursi singa itu”
Hoan ceng menambah dupa dalam pendupaan asap yang sudah mulai buyar kini mengepul lagi.
Hui Kiam merasakan badannya agak letih dalam hati merasa heran, karena sekarang ia merasa lelah karena habis melakukan perjalanan jauh tetapi dengan kepandaian dan kekuatannya pada saat itu, tidak akan timbul perasaan demikian . . . , .
Hoan-ceng berkata sambil menuding pedang dipinggang Hui Kiam.
"Apakah pedang itu pedang Thian Khie Le Kiam yang menggemparkan itu.?”
Hui Kiam diam-diam lalu berpikir. mungkin inilah tujuan padri wanita itu.
Dengan seketika ia menjawabnya dengan nada suara dingin:
”Benar, ini adalah pedang sakti Thian Khie se Kiam!”
”Apakah dengan sicu menabas buntung lengan tangan Hiat le Nio-cu?”
”Betul,"
”Kalau begitu dengarlah dengan pedang ini untuk membereskan perhitungan, inilah maksud dari tujuan pinnie!"
Hui Kiam bangkit, sepasang matanya melotot dengan nada suara dingin ia lalu berkata;
"Apakah suthay hendak menuntut balas terhadap aku atas perbuatanku yang menabas buntung lengan tangan Hiat-ie Nin-cu!"
”Sedikitpun tidak salah!”
”Dengan cara bagaimana?”
”Aku minta kau bayar hutang itu ditambah dengan bunganya, kutungilah kedua lenganmu?”
”Apakah suthay kira suthay sanggup melakukan perbuatan ini?”
”Sudah tentu!”
”Kalau begitu apa yang kau katakan tentang Pek leng-lie itu, hanya merupakan omonganmu kosong melompong belaka!”
”Bukan kosong!”
”Kalau begitu. . ”
”Kau. . . .siapa?”
”Pinnie adalah perempuan yang pada sepuluh tahun berselang disebut Pek Leng-lie Khong Yang Hong itu.”
Sekujur badan Hui Kiam dirasakan gemetar ini adalah suatu kejadian yang sama sekali tidak pernah diduganya......
Hoan ceng berkata pula: "Kau tentunya tidak menduga bukan?"
Hui Kiam teringat Kematian ibunya yang menyedihkan dan pesannya yang selama sepuluh tahun ini tidak pernah terhapus dari dalam otaknya, rnaka sesaat itu meluaplah napsunya membunuh, wajahnya menunjukkan sikapnya yang dingin dan kaku lagi, dengan suara dingin ia menjawab:
"Memang benar aku tidak menduganya."
"Mengapa kau tidak memakai she Su-ma sebaliknya memakai she Hiu ?"
”Ini bukan urusanmu, aku hanya ingin bertanya kepadamu apakah kau yang membunuh mati ibuku?"
"Bukan."
"Kau rupanya hendak menyangkal?”
"Tidak perlu aku menyangkal”
"Dari dalam sakunya Hui Kiam mengeluarkan tusuk konde mas berkepala burung Hong ia mengunjukkan benda itu kepada Hong-ceng seraya beikata dengan suara bengis:
"Apakah ini milikmu?'
"'Memang betul!"
"Mengapa kau tidak berani mengakui perbuatanmu sendiri?"
”Sebab aku belum pernah melakukan perbuatan itu.”
”Dan bagaimana halnya tentang tusuk konde mas ini?”
”Tentang ini pinnie harus memberitahukan kepadamu dengarlah, pada lima belas tahun berselang, ada kakak beradik dalam satu penguruan dengan serentak jatuh cinta kepada seorang pria. tetapi satu sama lain tidak mengetahui kalau masing-masing jatuh cinta kepada diri satu orang dan lelaki itu bergaul diantara kedua kakak beradik dalam sepenguruan itu, dengan senangnya, tetapi rahasia itu akhirnya diketahui oleh perempuan yang rrenjadi suci nya. oleh karena sifat lelaki itu yang memang romantis, lelaki itu bukan saja beristri, tetapi juga dengan bersamaan pula ia mempermainkan hati kedua gadis yang masih putih bersih sang suci itu, dalam keadaan murka pengi bertanya kepada lelaKi itu, keduanya semula ribut mulut kemudian mengadu kekuatan, perbuatan lelaki itu meskipun rendah, tetapi hati nya tidak jahat, diwaktu bertempur segan menurunkan tangan kejam."
Berkata sampai disitu paderi wanita itu berdiam, seolah-olah sedang mengumpulkan kembali ingatannya, setelah berdiam cukup lama, ia berkata:
"Kepandaian lelaki itu memang berimbang dengan kepandaian sang suci itu, dengan demikian, dia telah salah hitung, sang suci itu dalam keadaan murka sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, maka akhirnya terluka parah, sang suci itu dalam hati sebenarnya masih cinta kepada lelaki itu, maka ia merasa menyesal atas perbuatannya sendiri, kejadian itu telah diketahui oleh sang Sumoy, karena ia sendiri tidak berhasil untuk melepaskan diri dari jaring asmara, cintanya yang sudah sangat mendalam terhadap lelaki itu,
maka akhirnya bukan saja sudah memaafkan perbuatan lelaki itu, bahkan untuk menyembuhkan lukanya, ia perlu pengi sendiri kekuil Siao lim sie, untuk meminta obat pel Tay-boan tan.”
"Oh !"
Hui Kiam sudah tahu apa yang diceritakan itu maka ia mendengarkan dengan sabar.
Dengan rada suara penuh rasa gemas Hoan ceng melanjutkan ceritanya.
"Untuk mendapatkan pel yang sangat mujarab itu, perempuan yang menjadi sumoy itu, hampir saja binasa didalam kuil Siao-lim sie. tetapi akhirnya tercapailah juga maksudnya, dan lelaki itu setelah sembuh dari lukanya. bukan saja tidak menyatakan terima kasihnya kepada sang sumoy, sebaliknya memberikan selluruh cintanya kepada Sang suci, perobahan sikap yang terjadi diluar dugaan itu telah membuat patah hati sang sumoy sehingga akhirnya sang sumoy itu mencucikan diri!"
Hui Kiam untuk sesaat lamanya tidak tahu bagaimana harus membuka mulut, sebab lelaki itu adanya ayahnya sendiri, sedangkan perrempuan yang menjadi suci itu sudah tentu yang dimaksudkan adalah penghuni loteng merah itu. sedangkan yang menjadi sumoy sudah tentu adalah Hoan-ceng.
Akan tetapi dalam penuturan Hoan ceng tidak pernah menyebut tentang tusuk Konde mas itu, oleh karena tusuk konde mas itu telah mengakibatkan kematian ibunya, sudah tentu Hui Kiam tidak bisa melepaskan begitu saja.
Dengan nada suara penuh amarah Hon ceng berkata pula.
"Sudah sepuluh tahun lebih pinnie mencucikan diri, hati pinnie sebetulnya sudah tenang jernih bagaikan air danau, kau telah melukai ibuku, disamping itu juga membangkitkan kebencian terhadap Su-ma Siiau!'
"Orang yaog kau benci semua sudah tidak ada didalam dunia lagi ! "
”Sekarang pinnie sudah terjerumus lagi kedalam kedosaan dalam hidupku ini sudah tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. . .”
Suara paderi wanita yang kedengarannya sangat menakutkan itu, membuat hati Hui Kiam menggigil.
Dari penuturan paderi wanita itu, Hui Kiam dapat membayangkan potongan muka ayahnya dimasa muda, karena mempunyai potongan muka yang tampan, dan berkepandaian tinggi, dimana mana ada kekasihnya, tetapi ternyata berperasaan sangat tipis sehingga menimbulkan banyak kericuhan dalam asmaranya.
Hoan-ceng berkata dengan suara bengis: ”Aku benci kepadanya untuk selama lamanya!”
Kata-kata dan sikap padri wanita itu sudah bukan merupakan seorang yang mencucikan diri.
Hui Kiam tidak ingin menyaksikan keadaan demikian itu. berlangsung terus maka ia mengalihkan pertanyaan kelain soal tusuk konde.
"Suthay belum menyebutkan tusuk konde mas berkepala burung Hong itu . ..."
"Tusuk konde mas itu adalah barangku yang Kuberikan kepada Su-ma Suan sebagai tanda mata yang selama iiu belum kuminta kembali hanya itu saja keteranganku tentang tusuk konde.”
Hati Hui Kiam tengoncang hebat, apakah orang yang membunuh ibunya itu adatah ayahnya sendiri? Rasanya ini tidak mungkin? Didalam dunia dimana ada makhluk manusia berhati srigala yang demikian rupa buasnya? Apa lagi diwaktu hendak menutup mata sang ibu Itu sempat mengucapkan perkataan iblis wanita, tusuk konde mas.....
”Apakah suthay dalam hal ini hendak cuci tangan begitu saja?"
"Penggali makam aku tidak perlu cuci tangan lagi kau sudah masuk perangkap tidak perlu aku berbuat demikian”
”Aku tidak percayai”
'Kalau begitu kau tanyalah sendiri kepada ayalmu yang berada dalam tanah!"
”Hoan ceng kau dapat membuktikan ?"
”Ucapan seorang yang sudah mencucikan diri sudah cukup dianggap sebagai bukti”
”Tiada guna kau menyangkal!”
"Kau mau apa?"
'Aku akan membunuhmu untuk membalas dendam saku hati ibu!"
"Kaku begitu bau boleh coba turun tangan!”
Hui Kiam yang sudah meluap marahnya segera menghunus pedang saktinya dan berkata suara gemetar:
"Kalau aku sudah turun tangan kau sudah tidak mendapat kesempatan lagi!"
Hoan ceng mendengarkan suara dari hidung katanya dengan suara mengejek
"Kau coba saja!”
H»i Kiam maju selangkah, ia mengangkat pedangnya, seketika itu ia baru mengetahui bahwa kedua tangannya tidak bertenaga kekuatan tenaga dalamnya sedikitpun tidak ada, ia merasa terkejut dan segera mengerti bahwa dirinya sudah terjebak dalam tangan wanita itu, maka segera berkata dengan suara bengis,
"Hoan ceng kau telah menggunakan suatu akal yang sangat memalukan .”
”Penggali makam memalukan atau tidak aku sudah tidak hiraukan lagi. maksudku hanya menagih hutang kepadamu, teh yang kau minum tadi didalanmya kucampuri obat yang bisa memunahkao kepandaianmu. sedangkan asap dupa ini adalah asap dupa menyabut nyawa yang sangat terkenal itu, Sekarang, kau sedialah membayar hutangmu! Tetapi, ada suatu hal perlu aku
menerangkan, orang yang membinasakan ibumu bukanlah aku, apa yang aku ceritakan tadi semua adalah benar."
Hui Kiam mau tidak mau harus percaya, memang benar, tidak ada perlunya Hoan ceng harus membohong atau menyangkal. Karena dirinya pada saat itu sudah tidak dapat lolos dari tangan padri wanita itu..
Pada suat itu tiba-tiba muncul bayangan seseorang.
Ketika Hui Kiam nampak siapa adanya bayangan orang itu, semangatnya dirasakan seperti terbang, dengan badan sempoyongan kakinya menendang sebuah kursi dan ia sendiri juga hampir roboh, hawa dingin yang luar biasa dirasakan disekujur badannya.
Bayangan orang yang baru muncul itu bukan lain daripada Hiat-ie Niocu yang sudah terkutung lengan tangan kirinya, Dengan munculnya hantu wanita itu, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hiat-ie Nio cu menunjukkan parasnya yang bengis dan menakutkan muka itu tidak dapat dilupakan selama lamanya.
"Bocah aku sudah berkata, bahwa dendam sakit hati itu aku hendak menuntutnya, kau tentunya masih belum lupa bukan?" demikian hantu wanita itu berkata.
Hui Kiam menggertakan gigi tidak menjawab. Hari itu sewaktu terjadi peristiwa dikuil Siao lim-sie, kaiena Hui Kiam mengingat kedatangnya, dan mengingat pula hubungan luar biasa antara ayahnya dengan penghuni loteng merah, dan karena mengingat penghuni loteng mtran itu adalah mund hantu wanita itu hari itu sudah binasa didalam gereja Siao liem-sie. Selain dari pada itu, hari itu apabila ia tidak datang kegereja Siao liem sie, hantu waniita itu juga sudah pasti binasa ditangan iblis Gajah. Dan sekarang, semua tidak ada gunanya maka ia menganggap tidak perlu membuka mulut.
Hiat ie Nio cu berkata pula:
"Mengingat perbuatanmu yang sudah membantu aku didalam gereja Siao liem-sie itu hari ini aku tidak akan mengambil jiwamu, aku hanya hendak menguntung! kedua lengan tanganmu tunailah sudah hutangmu!”
'Hiat ie-Nio cu, hari itu dalam kuil Siao-liem sie aku seharusnya membunuh mati diri mu ."
"Apa kau menyesal?"
"Aku telah mengabaikan pepatah kuno bahwa menumpas kejahatan harus sampai diakar akarnya .”
"Tetapi sekarang sudah terlambat."
Setelah berkata demikian hantu wanita itu berjalan mendekati Hui kiam.
Hui Kiam pada saat itu sekujur badannya sudah lemah, kekuatan tenaga untuk membela diri saja juga sudah tidak ada, maka ia hanya menunggu kematiannya tanpa dapat berbuat apa apa.
Tiba tiba dari kuil terdengar suara jeritan melengking, Hiat ie Nio cu dan Hoan ceng terperanjat, mereka saling berpandangan sejenak seolah oiah saling menanya apa sebetulnya telah terjadi?
Sesosok bayangaa orang muncul dengan tiba-tiba dan berkata dengan suara ketakutan: "Orang berbaju lila!"
Hiat-ie Nio cu bertanya dengan suara keras "'Apakah orang berbaju lila yang mencela'kakan suhumu itu?' "Benar!'
"Dimana?"
'Dalam rimba pohon bunga cho itu. kedatangannya itu agaknya tidak disengaja ia tak tahu sucow berada disini, tetapi ia sudah melihat cucu mundmu ini .... "
Hiat-ie Nio cu lalu berkata kepada Hoan ceng:
"Hong-jie, mari kita pengi, kita tak dapat melepaskannya begitu saja harus menuntut balas sakit hati sucimu.'*
Ibu dan anak itu lalu lari keluar dari kuil Hui Kiam sudah melihat dengan tegas bahwa orang yang datang menyampaikan kabar itu adalah Siu Bie, murid kepala penghuni loteng merah, selagi dalam hatinya merasa heran mengapa orang berbaju lila itu bisa dacang kemari. Siu Bie sudah berada didekatnya dan berkata dengan tengesa-gesa:
"Siang-kong, mengingat hubungan suhu almarhum dengan ayah Siang-kong, aku tidak boleh tidak menempuh bahaya ini, kau lari dari pintu sudut kiri pendopo. disana ada orang yang akan menantikan kedatanganmu, aku takut sucow nanti curiga, maka aku harus menyusulnya!"
Setelah berkata demikian ia buru-buru lari keluar.
Hui Kiam sudah tidak sempat memikirkan soal lainnya, dengan cepat ia keluar dari ruangan itu, dan lari menuju kepintu yang ditunjuk oleh Siu Bie.
Setelah keluar dari pintu itu, disitu terdapat satu pekarangan kecil, dibelakangnya lagi adalah pagar tembok, selagi berada dalam ke sangsian, sesosok bayangan orang muncul tiba
Tiba dihadapanrya yang ternyata adalah paderi wanita muda yang menyuguh teh kepadanya, saat itu padri wanita itu menundukkan roman gugup dan perasaan tegang.
"Apakah Hui-siaohiap masih ingat diri sianni?"
'Kau. ... adalah...
"Kakekku adalah Sam Goan lojin.'"
"Ah! Nona adalah nona Tan-hiang Kun, pantas aku tadi merasa seperti pernah melihatnya.”
Munculnya Tan-hiang Kun sebagai padri wainita sesungguhrya diluar dugaan Hui Kiam.
”Gelar sianni adalah Khie Tin!"
"Oh!
"Siauhiup mari ikut sianni. apabila ketahuan oleh suhu bahwa ini adalah suatu akal untuk memancing keluar suhu, habislah semuanya“
Jikalau demikian halnya, maka berita atas munculnya orang berbaju lila, itu ternyata bohong belaka, ia hanya tidak tahu mengapa Tan hiang Kun berani menempuh bahaya besar untuk menolong dirinya?
Ia mengikuti Tan-hiang Kun masuk kedaalam sebuah kamar yang bertumpukan banyak kelakar, Tan-hiang Kun menutup pintu lebih dulu mengintai dari lubang pintu kemudian baru memberikan dua obat pel kepada Hui Kiam segera berkata :
"Ini adalah obat pemunahnya harap lekas dimakan, jangan bergerak, nanti sianni akan mencari kesempatan untuk membantu siaubiap meloloskan diri."
Hui Kiam segera menelan dua butir obat pel itu, sulit dibayangkan bagaimana bersukurnya pada waktu itu ia sungguh tidak menduga sama sekali bahwa Hoan ceng itu adalah jelmaan dari pada diri Pek leng-lie. yang juga tak tahu bahwasannya dalam teh dan dupa itu ada racunnya.
Waktu Siu Bie yang mengikuti diri Tan hiang Kun hendak mencucikan diri didalam biara itu semuanya diluar dugaannya.
Sesaat kembali apa yang telah terjadi dimana ia baru muncul didunia Kang ouw, oleh karena hendak menyelidiki musuhnya, ia pengi mendatangi perkampungan Ie hun San chung dalam perjalanan ia telah diperalat oleh wanita tanpa sukma dengan kepala bakal pengantin dia yang akan menjadi suami Tan hiang kun mengantarkan barang antaran dalam pesta perkawinan hingga menerbitkan huru-hara besar, setelah Sam Goan lo jin dan ayah Tan hiang Kun telah binasa, dan perkampungan itu telah musnah entah oleh perbuatan tangan jahat siapa.
Menghadapi wanita muda bernasib malang itu, ia menghela napas.
Ketika obat itu masuk kcdalam perutnya, segera nampaklah khasiatnya, dalam waktu sangat singkat sekali kekuatan tenaganya sudah pulih kembali.
Tidak lama kemudian diluar kamar terdengar suara orang bicara, tetapi karena letak nya terlalu jauh, lagi pula terpisah ruangan. maka tidak terdengar nyata, ia dapat menduga bahwa dalam pembicaraan itu apaknya sedang mencari keterangan tentang munculnya orang berbaju lila dan apa sebabnya Hui Kiam bisa menghilang secara tiba-tiba.
Selagi Hui Kiam masih memikirkan soal ini tiba tiba terdengar suara jeritan ngeri.
Ia terkejut, apakah perbuatan Tan-hiang Kun yang mencuri obat pemunah itu telah ketahuan?
Dengan tanpa ragu-ragu lagi Hui Kiam segera membuka pintu kamar dan lompat melesat keatas genteng ruangan tetamu, ketika menyaksikan apa yang telah terjadi, dadanya di rasakan hampir meledak, diatas tanah menggeletak bangkai Siu Bi dalam keadaan remuk batok kepalanya, sebelah tangan Hiat-ie Nio-cu masih terdapat tanda darah.
Disanping, berdiri Tan-hiang Kun dalam keadaan ketakutan setengah mati, wajahnya pucat pasi badannya gemetar.
Saat itu Hiat-ie Nio cu sedang menanyakan lepadanya dengan suara bengis:
"Jawab. dirnana bocah itu kau sembunyikan ?”
Tan-hiang Kun tidak menjawab ia tetap berdiri dengan badan gemetar.
Hoan-ceng lalu berkata:
"Tidak usah tanya tanya lagi, kekuatan dan kepandaian bocah itu sudah tidak ada karena pengaruh obat. rasanya tidak mungkin ia bisa terbang jauh, murid durhaka ini berani melakukan perbuatan demikian, sudah seharusnya dihukum mati!"
Sewaktu ucapan yang terahir itu keluar dari mulutnya, ia sudah menghampiri Tan hiang Kun
Dengan rasa ketakutan Tan-hiang Kun mundur beberapa langkah.
”Jangan bergerak" demikian terdengar suara bentakan keras, yang kemudian disusul oleh Hui Kiam yang melayang turun dari atas dan berdiri menghalang dihadapan Tan-biang Kun.
Hiat-ie Nio-cu dan Hoan ceng terperanjat, mereka mundur beberapa langkah.
Hoan-ceng berkata dengan suara gemetar: "Apakah . . . kekuatanmu masih ada?"
"Tidak disangka seorang yang sudah mensucikan diri masih mempuayai hati demikian jahat dan kejam, sipat manusia benar-benar susah diraba."
Hiat le Niocu menyela dengan suara bengis. "Bocah, selama masih hidup nenekmu pasti akan menuntut dendam sakit hati ini.*'
Mata Hui Kiam menyapu Hiat-ie Nio cu sejenak, kemudian berkata:
"Aku sudah mengampuni dirimu satu kali dari kematianmu. itu karena semata-mata memandang muka dan kebaikan Penghuni loteng merahi"
"Aku sebaliknya sudah bersumpah hendak mengambil jiwamu."
"Kau barangkali sudah tidak dapat melakukan lagi!"
”Bocah, kau coba saja !'
Ucapan hantu wanita icu ditutup dengan satu serangan bebat.....
Hui Kiam sudah pernah merasakan racunnya kuku terbang hantu wanita itu, ia sudah bertekad tidak akan memberi kesempatan kepadanya menggunakan senjatanya yang ampuh itu, maka begitu bengerak sudah menggunakan serangan yang mematikan.
Suara jeritan mengerikan keluar dari mulut Hiat ie-Nio cu sebentar kemudian badan hantu wanita itu nampak terhuyung huyung mata nya melotot satu tangannya yang diangkat ke atas masih terkatung ditengah udara, sedang-kan badannya gemetar, berkernyit, lama sekali baru jatuh roboh ditanah, darah menyembur keluar dari dadanya.
"Kau telah membunuh ibuku! "demikian terdengar suara jeritan Hoan ceng bagaikan orarjg kalap, kemudian melancarkan serangannya dengan menggunakan telapak dan jari tangan dengan serentak.
Pedang Hui Kiam memutar kebawab dan kemudian menyontek keatas, gerakan yang nampaknya sangat sederhana ini, namun mengandung gerak tipu yan sangat ampuh untuk menutup dirinya dan serangan yang dilancarkan oleh lawannya, juga sewaktu-waktu dapat melancarkan serangannya yang dapat mengambil jiwa musuhnya. Tetapi karena ia tiada maksud hendak mengambil jiwa paderi wanita itu, sebab dimasa hidupnya Su-ma Suan, ialah ayahnya sendiri pernah berhutang budi kepadanya.
Sementara itu, Tan-hiang Kun masih berdiri bagaikan patung menyaksikan semua kejadian itu.
"Hoan-ceng, aku tidak ingin mengambil jiwamu." demikian Hui Kiam berseru.
"Tetapi aku bersumpah jikalau tidak berhasil mengambil jiwamu, aku tidak mau jadi manusia lagi- Su rna Soan sudah mati, kaulah yang seharusnya menggantikannya membayar hutangnya.”jawab Hoan-ceng dengan suara bengis.
"Dimasa hidupnya ayah memang berlaku keterlaluan terhadap dirimu, tetapi sekarang toh sudah meninggal ....."
"Tetapi rasa benci ini tidak dapat dihapus selama-lamanya”
"Jangan lupa bahwa kau adalah orang yang sudah mencucikan diri."
"Aku sudah berdosa, tidak bersedia memperbaiki diriku lagi."
Satu tangannya bengerak, tetapi tidak mengadung kekuatan.
Sebelum Hui Kiam sempat berpikir, hidung nya dapat mencuim bau harum, seketika itu juga bumi yang diinjaknya merasa seperti berputar, maka ia segera berseru: "Racun."
Belum lagi menutup mulutnya, satu kekuatan tenaga menyerang hebat kepada dadanya.
Hui Kiam mengeluarkan seruan tertahan, badannya mundur tiga langkah, mulutnya mengeluarkan darah.
"Serahkan jiwamu.' demikian terdengar suara Hoan ceng, lima jari tangannya dipentang bagaikan gaetan, menyambar batok kepala Hui Kiam.
Gerak tipu serangannya itu sangat aneh dan ganas tampaknya, mungkin Siu-Bi terbinasa akibat serangan ini.
Hui Kiam meski sudah terkena racun, tetapi berkat latihan kekuatan tenaganya yang telah sempurna, daya tahannya sangat menakjubkan, dengan sendirinya dalam pandangan matanya yang samar samar karena sudah mulai gelap, ia mengeluarkan serangannya dengan gerak tipunya bintang bertebaran dilangit.
Telinganya hanya menangkap suara jeritan yang mengerikan, badan Hoan ceng sempoyongan dan akhirnya jatuh roboh dalam keadaan mandi darah.
Hui Kiam sendiri juga merasa gelap matanya sehingga roboh ditanah.
Ketika ia tersadar kembali pertama yang dilihatnya adalah raut muka yang dingin dia adalah Tan Hiang Kun yang sudah bergelar Khie Tim.
Hui Kia berdiri, kecuali kepalanya yang masih dirasakan berat, tidak punya perasan apa-apa lagi. Sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata kepada Tan Hiang Kun :
”Terima kasih atas pertolongan nona ”
"Kau sudah boleh pengi.” jawab Khie Tim dengan nada suara dingin,
"Nona . . . . "
"Siaonie sekarang bernama Khie Tim!"
Perobahan sikap secara mendadak ini sangat membingungkan Hui Kiam.
Khie Tim memejamkan matanya, ia menenangkan pikirannya, masih dengan nada yang dingin ia berkata :
”Belum lama berselang, didalam istana rahasia atas bantuan sicu, siaonie terlepas dari tangan kejam itu majikan Tong-Hong Hui Bun, hari ini hitung-hitung sebagai membayar kembali hutang budi siaonie kepada sicu, dan untuk selanjutnya sudah tidak ada hutang-hutang lagi. Kematian suhu mungkin atas kesalahannya sendiri, tetapi biar bagaimana adalah merupakan orang yang mencucikan diri siaonie. Siaonie tidak bersedia menuntut balas, tetapi untuk selanjutnya akan menutup pintu untuk mencari kebenaran, sicu sekarang kau boleh pengi!"
Hui Kiam tidak dapat menjawab ia berjalan perlahan lahan hatinya tak merasa enak.
Su Bi sudah mati, Tan hiang Kun masuk biara menjadi paderi, demikianlah akhirnya penghidupan kedua wanita itu.
Hiat-ie Nio cu yang seumur hidupnya sudah menimbun banyak dosa. kematiannya tak perlu disayangkan. hanya kematian Hoan ceng membuat tidak enak perasaan Hui Kiam.
Ia teringat kembali cerita Hoan ceng, tusuk konde mas berkepala burung Hong itu adalah barangnya yang dahulu diberikan kepada ayahnya sebagai tanda mata cinta kasih antara mereka apakah benar ayahnya begitu tega hati membunuh isterinva sendiri?"
Ini sesunggunnya terlalu menakutkan, hati nya seperti dikoyak koyak.
Jikalau demikian halnya, ini benar-benar merupakan suatu tragedi yang sangat tragis. Tragedi ini tidak dapat diucapkan
dengan mulut, juga tidak boleh masuk kedalam telinga siapapun juga, hanya ditelannya sendiri bicara diam-diam sehingga berakhir jiwanya.
Pesan ibunya kembali berkumandang dalam telinganya: 'Iblis wanita... tusuk konde mas bunuhlah.To-liong Khiam-khek!"'
Dirasa hidupnya ibunya belum pernah menyebut ayahnya, dan ia harus mengikuti she ibunya tetapi tidak memakai she ayahnya, suatu bukti bagaimana bencinya ibu itu kepada suaminya, tetapi apa sebabnya? Apakah hanya semata mata karena ditelantarkan saja?
Iblis wanita dalam pesan ibunya, apakah yang dimaksudnya ini adalah Pek-leng lie ? ?
Sang ibu sudah meninggal dunia, begitu pula sang ayah, idem dito Pek leng lie.
Teka teki yang sangat kejam itu, nampak nya tidak akan terungkap lagi orang yang sebagai anaknya, hanya akan merasa menyesal seumur hidup.
Sekalipun di kemudian hari masih ada ke sempatan untuk membuktikan bahwa kematian ibunya itu terbunuh oleh suaminya, apa yang ia bisa berbuat terhadapnya?
Hui Kiam untuk pertama kali mengucurkan air mata kesedihan karena memikirkan nasibnya.
Semacam perasaan kosong timbul dalam p kirannya, ia bertanya pada diri sendiri:
"Apa adanya dalam penghidupan? Apakah artinya? Semuab hanya kosong melompong. Semangatnya dalam waktu sekejap itu seolah olah sudah runtuh.
Semua budi kebaikan, cinta kasih, dendam sakit hati dan permusuhan, seolah-olah juga sudah kehilangan artinya semula, ia kini telah memahami apa sebabnya ada orang yang mencukur rambutnya menjadi padri atau pergi mengasingkan diri ke tempat yang sunyi,
Apa yang terbentang dihadapan matanya adalah kekosongan bagaikan lautan yang tak ada ujung pangkalnya. Kemana harus pergi?
Keluar dari rimba pohon bunga Trio dan daerah pegunungan, tibalah dijalan raya. Bagaikan setan gentayangan Hui Kiam menggerakkan kakinya, jalarnya limbung, kepalanya menunduk kebawah, ia telah kehilangan semua kegagalannya yang ada pada dirinya.
"Siaugkong tak kusangka bisa berjumpa denganmu lagi!" demkian pula terdengar suara seorang wanita menegurnya, sehingga Hui Kiam tersadar dari lamunannya.
Ketika ia mengangkat kepala, seorang pelayan perempuan muda berdiri dihadapannya. pelayan itu, adalah salah satu pelayan Tong hong Hui Buo, karena jumlah pelayan Tong-hong Hiu Bun entah berapa banyak, ia sendiri juga tidak jelas, hanya dalam ingatannya sudah banyak jumlahnya yang mati aiau luka-luka, terhadap pelayan-pelayan itu Hui Kiam tidak dapat menyebutkan namanya satu persatu dalam matanya ada yang dikenal baik olehnya, dan ada juga yang baru melihat hanya satu dua kali saja dan pelayan wanita yang dihadapan nya itu merupakan salah seorang pelayan yang sudah dikenalnya.
Ia teringat bahwa ia sudah memutuskan hubungannya dengan Tong-hong Hui Bun tiada artinya melanjutkan hubungan lagi kecuali itu pada saat itu pikirannya juga sedang kusut sekali, maka sedapat mungkin ia hendak menghindari segala hubungannya dengan orang luar!
Ia hanya mengawasi pelayan itu sejenak, mulutnya tidak berkata apa-apa. bahkan hendak melanjutkan perjalanannya....
"Siangkong!" demikian pelayan itu memanggil lagi dengan perasaan heran, kemudian menyusul dan menghadang dihadapanya seraya berkata.
"Benarkah siangkong telah mengambil keputusan demikian tegas terhadap ibu majikan?”
Hui Kiam terpaksa menghentikan kakinya, katanya dengan suara dingin:
"Apa maksudmu?"
Pemuda itu menyibirkan mulutnya, dengan sikap yang agak marah ia berkata:
"Apakah siangkong hendak memutuskan hubungan dengan ibu majikan untuk selama lamannya?"
"Begitulah ”
”Apakah siangKong sedikitpun juga tidak merasa berat dalam hati siangkong?"
"Karena keadaan memaksa, tidak boleh tidak harus begitu."
Pelayan ini berkata dengan menunjukan sikap berduka:
Tak disangka cinta kasih ibu majikan yang demikian besar, ternyata tersia-sia belaka”
Hati Hui Kiam tergoncang, ia teringat sewaktu perpisahan dengan Tong-hong Hui Bun semua ucapannya yang menyedihkan dan ancamannya yang mengerikan, sekarang kalau di ingat ia juga merasa bengidik. Tong-tong Hui Bun sudah menyatakan hendak menuntut balas hendak musnah bersama sama, juga hendak menyulitkan kedudukan orang-orang yang berhubungan dengannya, pula hubungannya dengan sang ayah. masih tetap merupakan suatu teka teki...,"
Memikirkan itu semua, maka ia berkata dengan sikap yang dingin seolah olah sudah tak mempunyai perasaan:
”Hidup manusia tidak tertentu kalau ada jodoh bisa bersatu kalau tiada jodoh terpaksa beipisah tidak perlu kita pandang terlalu serius !"
"Ini...rasanya tidak mirip kata-kata siangkong pada waktu biasanya""
"Mirippun baik, tidak mirip juga tidak apa, kenyataannya memang demikianl"
"Apakah siangkong tidak ingin menjumpai majikan untuk penghabisan kalinya?"
"Untuk penghabisan kali, katamu!”
"Ya, sebab ia sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi didalam dunia!"
Hui Kiam terperanjat biar bagaimana Tong hong Hui Bun pernah menempati dalam hati nya bayangannya tidak mudah dihapus dalam ingatannya.
"Apa, apakah dia, sudah mau mati?"
”Ya.”
"Ini agaknya tidak mudah, kita tokh baru berpisab belum lama?"
"Memang langitpun setiap saat bisa terjadi perobahan?'
"Apa yang telah terjadi?"
"Karena siangkong, ibu majikan telah di hukum oleh bengcu. sehingga terluka parah, jikalau bukan menggunakan kesempatan untuk kabur niscaya jiwanya sudah melayang. Sekarang ibu majikan sudah tiada harapan untuk hidup lagi, dalam keadaan tidak sadar selalu menyebut siangkong, maka kita berpencaran pergi untuk mencari siangkong .."
"Apakah itu kehendaknya?"
"Bukan, itu adalah kemauan kita sendiri!'
Hui Kiam menundukkan kepalanya untuk berpikir, lama sekali tidak beikata apa-apa ia tak tahu harus pergi menemuinya atau tidak? '
Pelayan wanita itu berkata pula dengan suaranya:
”Apakah siangkong merasa berat untuk menjenguk bekas kekasih siangkong yang sudah mendekati ajalnya?"
Hui Kiam mengangkat kepala, katanya sambil menggertak gigi:
"Baiklah aku bendak pengi menengoknya di mana berada sekarang?"
"Dikota Lam shia!"
Mendengar disebutnya kota itu, peristiwa pertandingan diatas panggung Lui-thay, terbayang lagi dalam otaknya maka segera bertanya:
"Apakah diwisma pahlawan?"
"Bukan wisma pablawan sudah hancur menjadi tumpukan puing, ibu majikan berdiam disebuah satu tempat yang tersembunyi."
„Kau bawa aku '."
"Baik!"
Keduanya lalu berjalan diatas jalan raya tidak lama kemudian, sebuah kereta berkuda, tiba tiba lari mendatangi kearah mereka, ketika tiba sejarak beberapa tombak dihadapapan mereka, kereta itu mendadak berhenti pintu kereta terbuka, dari dalam melompat seseorang yang ternyata juga seorang pelayan wanita.
Hui Kiam terkejut, dia bertanya kepada pelayan disamping dirinya:
„Apakah artinya ini?“
"Minta siangkong naik kekereta!"
"Kedatangan kereta ini mengapa demikian kebetulan?"'
"Siangkong jangan terlalu banyak curiga. kereta serupa ini sedikitnya ada sepuluh buah yang dijalankan diberbagai jalanan penting sekitar kota ini "
Hui Kiam setelah berpikir sejenak akhirnya naik keatas kereta, dua pelayan waivia itu juga turut naik, dan sebentar kemudian kereta itu sudah dilarikan lagi.
Didalam kereta Hui Kiam masih merasakan pikirannya kusut, sedikitpun tidak merasa tenang.
Kereta itu berjalan terus, cuaca perlahan lahan mulai gelap dan akhirnya gelap sama sekali, suatu tanda bahwa malam telah tiba.
Kereta nu masih melanjutkan perjalanannya ditafsir mungkin sudah berjalan beberapa puluh pal jauhnya.
Hui Kiam yang berada didalam kereta, dari sela-sela lubang keretanya masuk penerangan sinar lampu, telinganya menangkap suara orang banyak sehingga ia menduga bahwa kereta itu sudah memasuki kota Lam-shia.
Jalan Kereta mulai perlahan, suara kaki kuda terdengar nyata.
Suara ramai itu perlahan telah lenyap akhirnya hanya terdengar suara kaki kuda, mungkin kereta itu sudah memasuki jalanan dalam gang yang sunyi.
Tidak lama kemudian, kereta telah berhenti. Hui Kiam melompat turun, dihadapannya ada sebuah bangunan yang acaknya sudah lama tidak terawat, dari dalam rumah itu nampak ada sinar pelita, sedangkan kamar lainnya keadaannya gelap sekali,
Untuk pertama kali, ia menyaksikan kediaman Tong-bong Hui Bun yang demikian buruk keadaannya
Seorang pelayan wanita menyambut kedatangannya dan berkata padanya sambil menunjuk salah satu kamar dalam rumah itu.
”Silahkan siangkong masuk!.'
Sehingga saat itu perasaan Hui Kiam hari mulai tengerak pikirnya, entah bagaimana keadaan luka Tong-hong Hui Bun! Dan bagaimana nanti setelah bertemu muka?
Memasuki ruangan rumah itu, keadaan rumah jtu ternyata sangat kotor, diatas sebuah meja persegi ada sebuah lilin, yang memancarkan sinarnya yang lemah, sehingga keadaan rumah itu sangat suram.
Pelayan wanita itu berkata sambil menunjuk kekamar sebelah kanan
"Didalam !"
Hui Kiam masuk kedalarn kamar yang di tunjuk ketika dia menyaksikan keadaan dalam kamar darahnya dirasakan mendidih, ia berdiri terpaku dengan mata terbuka lebar.
Dalam kamar itu keadaannya sangat bersih di tengah ada sebuah meja makan yang sudah penuh dengan arak dan hidangan, penerangan juga cukup, oleh karena lubang jendela ditutup dengan kain hitam, maka sinar pelita tak kelihatan dari luar sedangkan Tong-hong Hui Bun nampak duduk dengan tenang sambil menunjukkan senyumnya yang berseri-seri dan sangat menggiurkan.
"Adik, kau akhirnya datang juga.” demi kian Tong-hong Hui Bun berkata dengan suara merdu.
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, lama sekali ia baru membuka mulut: "Apakah artinya ini”
"Adik, kau duduklah dulu, tenanglah sedikit."
"Kitanya apa yang dikatakan hampir mati itu ternyata hanya.....”
"Ucapan itu memang tidak salah, kenyataan nya juga tidak bohong"
"Kau.... sebetulnya sedang main sandiwara apa?"
Tong-hong Hui Bun masih menunjukkan senyumnya, dibawah sinar lampu, nampaknya semakin cantik dan menggiurkan, sambil menunjukkan sebuah kursi dibahapannya, ia berkata dengan suara lemah lembut:
"Adik, apakah kau tidak suka duduk untuk beromong omong?"
"Aku tidak sempat.'
"Duduk sebentar saja toh boleh "
''Kalau kau ingin bicara silahkanlah kalau tidak aku hendak pergi lagi"
"Adik." Mata Tong tong Hui Bun memancarkan sinar aneh dengan nada suara bagaikan mengigau ia melanjutkan ucapannya:
"Segala-galanya sudah berlalu, malam ini aku minta kau beromong-omong denganku dengan tenang, sekalipun sejenak saja juga tak halangan."
"Kau mempunyai maksud apa?"
"Maksud? Sedikitpun tidak ada aku hanya mengharap sebelum sandiwara ini berakhir, kita mengulangi kembali hubungan mesra kita untuk sejenak saja, kalau toh harus terpisah-berpisahlah secara senang, jikalau tidak terlalu menyedihkan, kuulangi lagi, ini adalah pertemuan kita yang terakhir, aku sudah memberikan seluruh cinta kasihku kepadamu dan aku sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi, apakah kau rnerasa sayang . . . . "
Hati Hui Kiam mulai tengoncang. api cinta yang sudah mulai padam kini telah menyala lagi, ia ingin menindas tetapi agaknya tidak sanggup.
"Kau kata ... ini adalah pertemuan yang .terakhir, apakah artinya?"
Sambil tertawa getir Tong-hong Hui Bun Berkata:
"Sebab untuk selanjutnya kita takkan bisa berkumpul lagi seperti sekarang ini."
"Kenapa?”
”Sebab semuanya akan berakhir pada malam ini”.
”Yang kau maksudkan itu apakah tentang hubungan kita ataukah .... "
”Semua termasuk didalamnya!'
”Kau sebetulnya hendak berbuat apa?”
"Aku undang kau mengawani aku makan dan minum arak. '
Dalam hati Hui Kiam timbul perasaan curiga sebab katanya yang tidak terang dan tidak tanduknya yang aneh, sedikit banyak sudah menunjukan suatu gambaran apakah yang akan terjadi selanjutnya? Tetapi kecurigaan itu masih susah untuk dibuktikannya.
"Aku harap kau suka berkata berterus terang tentang maksud dan tujuanmu yang sebenarnya!"
"Aku cinta kepadamu dengan setulus hati ku, aku sudah pernah menikah, pernah mencinta orang, juga pernah dicinta, tetapi aku belum pernah mencintakan orang demikian setulus hati seperti terhadap dirimu, dalam hidupku cinta kasih ini merupakan barang satu satunya yang paling berhanga bagiku, sekalipun itu merupakan suatu kesalahan besar atau suatu kedosaan akan tetapi yang lalu biarlah tinggal lalu, baiknya aku sudah tidak mempunyai harapan yang akan datang lagi, maka itu aku hendak berkumpul sekali lagi denganmu.”
Hui Kiam akhirnya tak berdaya mengukuhi pikirannya sendiri lagi, namun demikian dalam hatinya sudah waspada, ia hanya ingin melayani sejenak, kemudian melanjutkan perjalanannya lagi
Maka ia lalu duduk ditempat yang ditunjuk.
Tong-hong Hui Bun menuangkan arak putih dalan dua cawan, kemudian berkata:
”Adik, mari kita minum bersama-sama!"
Hui Kiam sedikit ragu ragu, tetapi ia akhir nya minum juga arak itu.
Setelah mengeringkan cawan yang pertama. Tong hong Hui Bun menuangkan lagi araknya seraya berkata:
"satu cawan lagi!"
Masing masing mengeringkan satu cawan lagi. kedua pipi Tong-hong Hui Bun sudah nampak kemerah-merahan, kelihatannya semakin cantik, sepasang matanya memancarkan sinar api membara.
Sebaliknya dengan Hui Kiam, ia merasakan tidak enak ia harus menindas rasa cintanya yang berkobar lagi, juga harus berusaha melawan jangan sampai terpikat oleh kecantikan Tong hong Hui Bun, ia harus menjaga jangan sampai akal budinya terpengaruh,
maka ia tundukan kepalanya tidak berani memandang langsung kearah Tong-bong Hui Bun.
Perempuan cantik mengangkat, cawannya lagi sambil berkata:
"Adik inilah cawan yang ketiga, juga merupakan cawan yang terahir!"
"Baik!'-
Hui Kian minum habis lagi arahnya.
”Dan sekarang adik marilah kita makan ala kadarnya !"
"Aku pikir tidak usah saja!"
"Apakah kau berat dalam pertemuan penghabisan ini memanggil aku enci?'
Biar Hui Kiam bengerak beberapa kali, tetapi tidak sepatah perkataan yang keluar dari mulutnya, suatu perasaan aneh timbul dalam hatinya, bukankah ia juga pernah jatuh cinta kepada perempuan cantik itu, tetapi cinta kasih itu harus dimusnahkan oleh kenyataan, ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengahiri cintanya itu. Dipandang dari sudut pendirian masing masing, satu sama lain saling bertentangan, dipandang dari sudut dirinya sendiri, nasehat orang menebus dosa itu besar sekali mempengaruhi hatinya, meskipun Tong hong Hui Bun tetap menyangkal pernah menjadi istrinya ayahnya, tetapi biar bagaimana soal ini merupakan persoalan sangat penting, sekali salah bertindak, akan membuat penyesalan seumur hidupnya.
Jikalau benar ayahnya pernah berhubungan suami istri dengan Tong-hong Hui Bun, maka ini berarti bahwa perempuan cantik itu adalah ibu tirinya sendiri.
Pikirannya itu membuat yang sudah akan menyerah dihadapan itu berbangkit kembali, ia segera berkata dengan nada suara dingin:
”Biarlah semua yang sudah lalu itu kita kubur dalam hati sendiri!"
Paras Tong-hong Hui Bun segera berobah, ia berkata dengan suara kalap.
"Tidak mungkin dikubur, siapakah yang mampu mengubur perasaanku, itulah tak mungkin!"
"Bukankah kau tadi mengatakan bahwa semuanya kita harus akhiri malam ini?"
"Ya. semuanya akan berakhir hanya satu hal yatg tak dapat diakhiri!"
”Apakah yang tidak d»pat diakhiri?”
"Kebencianku!"
Hui Kiam bengidik katanya dengan suara gemetar.
”Kebencian! Siapa yang kau benci?”
Sepatah demi sepatah Tong-hong Hui Buu mulai menjawab:
"Benci kepadamu, benci kepada setiap orang juga benci kepada diriku sendiri."
"Apa akibatnya kebencian itu?"
”Aku hendak menuntut balas."
"Jadi inikah maksud dan tujuanmu yang sebenarnya pada malam ini?"
"Sedikitpun tidak salah!"
Hui Kaim segera bangkit, tetapi badannya tengoncang-goncang terpaksa duduk lagi, ia merasakan gelagat tidak baik, kepalanya dirasakan berat, matanya berkunang-kunang, pandanganya juga mulai kabur.
Ia memukul meja api lilin diatas meja lalu padam hingga keadaan dalam kamar itu gelap gulita, tetapi pikirannya masih belum hilang sama sekali, ia coba berusaha untuk berdiri sambil berkata:
"Tong-hong Hui Bun; kau.,..hendak berbuat apa?"
Dengan nada suara mengejek Tong-hong Hui Bun menjawab:
"Adik, apakah kau masih ingat apa yang aku katakan ketika kita berpisah? Aku hendak menuntut balas, ha, ha, ha....."
Hui Kiam saat itu merasa lelah dan ngantuk. pikirannya kusut
Terdengar pola suara Tong liong Hui Bun berkata:
”Adik, apakah kau membenci aku?”
"Aku. aku benci, aku hendak membunuh..'
"Adik, karena menyinta kau sehingga hampir gila jikalau tiada denganmu aku tidak bisa hidup lagi,...”
”Enci ..”
“Ah adikku yang baik”
Saat itu api lilin menyala legi. paras Tong hong Hui Bun nampak merah, matanya nampak merah, matanya memancarkan sinar berapi api.
Hui Kiam sepasang matanya mengawasi Tong-rorsg Hui Bun dari kepala sampai ke-ujung kaki perlahan lahan matanya memancarkan sinar liar, wajahnya merah membara, otot otot dijidatnya nampak nonjol, napasnya memburu.
Dengan sekonyong-konyong ia membentang ke dua lengannya, kakinya menggeser menghampiri Tong-hong Hui Bun mulurnya mengeluar kan kata-kata hampir tidak kedengaran:
”Enci. aku cinta kepadamu!"
Tong-hong Hui Bun kembali menunjukkan senyumnya yang menggiurkan tetapi mengandung kekejaman, tetapi saat itu Hui Kiam sudah tidak dapat kendalikan perasaannya sendiri perasaan dan akal budinya semua sudah dipengaruhi oleh napsu birahinya.
Bagaikan harimau kelaparan ia menubruk Tong-hong Hui Bun, kemudian memondongnya dan diletakkan diatas pembaringan.
Tapi masih kamar itu-itu juga, sambil menghadapi meja y«ng penuh hidangan. Tong-hong Hui Bun duduk berhadapan dengan Hui Kiam seolah-olah pengantin baru.
Apa yang berbeda ialah sinar matahari sudah masuk kekamar melalui lubang jendela, suatu tanda bahwa hari sudah terang.
Rambut Tong-hong Hui Bun nampak kusut, sikapnya semakin menggiurkan sebaliknya dengan keadaan Hui Kiam, pemuda itu seperti orang linglung.
"Adik aku akhirnya mendapatkan dirimu."
"Hem. Ya.'
”Adik, sukakah kau hidup selama lamanya denganku?”
''Sudah tentu enci, seumur hidupku ini, tidak akan berpisah lagi denganmu!"
"Apakah kan masih ingat sidia?'
"Sidia siapa''
---ooo0dw0ooo---
JILID 30
”PEREMPUAN muda dalam makam pedang itu"
Hui Kiam menundukkan kepala untuk berpikir, dalam ingatannya agaknya samar-samar terbayang bayangan sesemang, tetapi itu tidak nyata, juga agaknya sangat jaub. Ia memikir kan sedalam dalamnya, perlahan-lahan raut muka pucat tetapi cantik, muncul dalam otaknya, tetapi itu banya sepintas lalu saja, sewaktu ia angkat kepala dan matanya menatap Tong-hong Hui Bun, bayangan itu lenyap lagi, hingga ia menggeleng gelengkan kepala dengan perasaan duka lalu ia berkata: "Mengapa aku tidak ingat lagi?"
"Jangan banyak berpikir, sudahlah lupakan saja dia."
”Ya, melupakan.....nya....."
Pada saat itu sesosok bayangan tinggi besar masuk kedalam kamar.
Hui Kiam mendadak bangkit dan menghunus pedang saktinya.
Tong-hong Hui Bun sejera mencegahnya sambil kerkata:
"Adik, jangan bengerak sembarangan mundurlah!"
Sungguh heran Hui Kiam saat itu benar benar dengar kata, ia memasukkan lagi pedang nya dan mundur kepinggir pembaringan tetapi sepasang matanya masin memancarkan sinar bengis.
Seolah olah sikap seekor binatang buas yang terpaksa tunduk oleh sikap orang yang melatih nya.
Orang yang baru datang itu bukan lain dari pada pemimpin persekutuan Bulan mas, ia muncul masih dengan memakai kerudung di-mukanya .
"Anak benarkah kau berani melakukan perbuatan terkutuk itu?"
Tong hong Hui Bun menundukkan kepala tidak menjawab.
"Kau sungguh durhaka, budak hina benar ketika menghendaki ayahmu membikin putung badanmu menjadi dua potong."
Tong-long Hui Bun mengingkar kepala, dua butir air mata menetes keluar dari ujung matanya.
"Ayah" hanya itu saja yang keluar dari mulutnya.
Hui Kiam agaknya dikejutkan oleh ucapan itu, seperti ingat sesuatu, ia coba berusaha mengumpulkan ingatannya, tapi tak berhasil. Ia hanya dapat mengenali kedudukan dan siapa adanya orang tinggi besar itu, tapi apa hubungan dengan dirinya, ia sudah tidak ingat lagi.
Pemimpin persekutuan bulan mas itu berkata dengan suara bengis :
"Budak hioa, kau habiskan jiwamu!"
"Tidak!"
"Kau berani melawan perintah?'
"Ayah, ia sudah......."
Mata pemimpin persekutuan Bulan mas menatap kearah Hui Kiam sejenak, lalu berkata; "Apa kau sudah. . . .”
"Ya!"
"Kau ingin berbuat apa selanjutnya?"
"la boleh ayah gunakan untuk menyingkirkan segala rintangan "
"Em! Tetapi, budak, perbuatanmu ini tak dapat dibenarkan ......”
”Ayah, ayah tokh sudah tahu adat anakmu lebih baik aku kecewakan orang lain, tetapi aku tidak ijinkan orang lain mengecewakan dirinya!”
"Ini bukan soal mrngecewakan atau tidak mengecewakan tahukah kau berapa besar dosa mu atas perbuatanmu itu.
"Anak lebih suka nanti kalau binasa masuk kedalam neraka, tapi diwaktu masih hidup tidak sudi mengalah sedikitpun juga!'*
"Aw! Anak ibumu yang sudah menutup mata sebetulnya terlalu baik sekali sedangkan kau.”
"Apakah gunanya jadi terlalu baik? Akhir nya tokh mati muda juga!"
"'Budak, apakah kau berani menyalahkan ayahmu?"
"Kenyatannya memang demikian.'"
"Hmm! Baiklah! Tiada harimau yang makan anaknya sendiri, sebetulnya aku akan bunuh mati dirimu, tetapi sudahlah, budak, kau harus berjanji suka melakukan dua urusan bagi ayahmu."
"Harap ayah perintahkan seja."
"Kesatu, perbuatan semacam ini tidak boleh kau lakukan lagi ."
"Anakmu memang sudah berpikir begitu."
"Kedua, selanjutnya kau harus...........'
"Ya, ia sudah merupakan bangkai hidup.”
"Sekarang ayahmu hendak pergi, ingat dua soal ini."
”perlukah anak mengantar?"
"Tidak usah." Setelah berkata demikian pemimpin Bulan mas itu lalu berlalu.
Hui Kiam hanya dapat membuka lebar matanya, apa yang diperbincang oleh ayah dan anaknya tadi ia tidak mengerti sama sekali, ia neiasa bahwa dirinya agaknya sudah berubah, tetapi berubah bagaimana dan mengapa bisa beiubah ia sendiri tidak tahu.
"Adik, duduklah." demikian ia mendengar suara Tong bong Hi»i Bun.
Hui Kiam menurut dan duduk ditempatnya lagi,
"Adik, kau sekarang merasa bagaimana?'"
"Aku hanya ingm membunuh orang." jawabnya dingin,
"Baik, sukakah kau hidup bersama dengan encimu?"
"Ya, aku telah bersumpah,"
"Tetapi ada orang yang merasa kurang senang?"
"Siapa?"
"Orang berbaju lila, masih ada lagi orang tua tiada turunan. . . dan lain-lainnya."
"Tungu dulu, kau katakan Orang berbaju lila, biarlah kupikir dulu. . . hem, seorang yang memakai kerudung berwarna lila, ya tidak salah, itulah dia, agaknya aku bermusuhan dengannya... aku bisa mencarinya."
"Adik. apakah kau tahu tempat persembunyiannya orang itu?"
Hui Kiam mengerutkan keningnya untuk berpikir, lama sekali baru kerkata :
”Kuil tua itu yang sudah rusak......ya, ada tempat semacam itu, tetapi ....”
"Adik, kau pikirlah perlahan lahan, kau pasti pikirkan tempat itu dan kau harus menyingkirkan manusia jahat itu."
Hui Kiam kepal kedua tangannya matanya terbuka lebar mengawasi keatas, pikirannya bekerja keras, bayangan orang satu persatu muncul dalam ingatannva. perlahan lahan ingatannya
kembali sebahagian, tapi banyak bagian yang kecil kecil sudah tidak teringat lagi. Tiba tiba ia berkata:
"Sekarang aku ingat!"
"Dimana"
"Tidak jauh dari sini tempat berada dalam tanah abu dapat mencarinya, tetapi tidak dapat mengatakan dimana tempatnya.”
"Disana ada berapa banyak orang?"
"Tidak sedikit mungkin seratus lebih, tetapi mungkin juga lebih dari itu."
'Apakah itu merupakan sarang Orang berbaju lila?”
"Ya”
Tiba tiba Hui Kiam teringat soal pertempuran antara golongan benar dengan golongan jahat, meskipun samar samar tetapi ia mempunyai kesan bahwa persekutuan Bulan mas itu adalah musuhnya, sedangkan ia sendiri berdiri dipihak golongan yang benar, baru saja sikapnya menunjukan perubahan, segera diketahui Tong-bong Hui Bun, maka lalu bertanya:
"Adik, kau memikir apa?"
"Aku.....aku teringat kepada persekutuan Bulan mas........”
"Adiu, kau jangan pikirkan urusan yang tidak penting itu, lebih baik kita bicarakan urusan kita sendirian, pertama. Orang berbaju lila itu harus disingkirkan, kedua, orang yang membantunya, juga tidak boleh dilepaskan begitu saja."
Oleh karena ucapan itu, pikiran Hui Kiam telah berubah pula, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata:
"Aku pasti dapat melakukan."
"Adik, ada suatu hal kau harus ingat."
"Enci, katakanlah."
"Kalau kau nanti sudah bertempur dengan Orang berbaju lila ia pasti mengajukan banyak alasan, suruh kau menghentikan pertempuran."
”Enci, kecuali kau, perkataan siapapun aku tidak percaya.'
"Benaikah?"
"Apakah aku perlu membohong?"
"Mari adik, minumlah arak ini untuk kebahagian kita berdoa, semoga kau, berhasil."
Sebuah, kereta dilarikan menuju kepintu kota sebelah barat, setiba diluar kota, kereta itu berhenti, dari dalam kereta melompat seorang pemuda gagah tampan berpakaian putih dengan sikapnya yaig tidak wajar, dipinggang pemuda itu tengantung sebilah pedang kuno. pemuda itu adalah Hui Kiam. sipenggali makam yang baru meninggalkan Tong-hong Hui Bun.
Hui Kiam mengawasi keadaan tempat disekitarnya sambil berpikir keras. kemudian lompat melesat dan lari menuju kesuatu tempat. Belum berapa lama, tiba-tiba terdengar suara orang menegurnya:
"Toako berhentilah sebentar."
Hui Kiam merandek, seorang pemuda berpakaian compang-camping bagaikan pengemis maju menghampiri dan berkata dengan gembira:
”Toako, akhirnya kau datang juga, semua sedang mengharap kedatanganmu."
Pengemis itu bukan lain daripada sukma tidak buyar Ie It Hoan.
Hui Kiam memandang Ie It Hoan sejenak, baru berkata agak sangsi:
"Apakah kau Ie It Hoan?"
Sikap itu sangat mengherankan Ie it Hoan, dengan perasaan terkejut ia berkata:
"Toako kau kenapa?"
"Tidak apa-apal"
"Mengapa siotee mu sendiri kau sudah tidak mengenali lagi?"
"Ow! adiK Hoan sangat menyesal, apakah orang berbaju lila ada?''
"Ada! Sucimu Pui Ceng Un juga sedang mengnarap kedatanganmu ,,..”
"Pui Ceng Un?"
Kembali Ie it-hoan merasa terheran-beran, ia telah mendapat firasat tidak baik mungkin terjadi apa-apa terhadap diri Hui Kiam.
”Toako kau sebetulnya mengalami kejadian apa?”
Hui Kiam seolah olah tidak mendengar pertanyaan itu. seluruh pikirannya ditujukan kepada Pui Ceng Un lama sekali ia baru berkata: ”Aku ingat ia telah perlah terkena racun sehingga kepandaiannya musnah, kemudian adalah orang menebus dosa yang mengutus orangnya untuk memberi pertolongan kepadanya mengapa ia berada ditempatnya Orang berbaju lila?"
"Tentang ini ia nanti bisa memberitahukan kepadamu."
”Baik. aku akan membawanya pergi!”
”Apa toako hendak bawanva pergi ?”
”Sudah tentu bagaimana ia bisa tinggal bersama-sama dengan orang berbaju lila."
Ucapan dan kelakuan Hui Kiam itu sangat mengherankan Ie It Hoan, betapapun cerdiknya Sukma tidak buyar itu juga tak dapat menebak sebab musabab perubahan itu.
Mereka berjalan berendeng dengan membungkam satu sama lain, akhirnya Ie It Hoan coba mengorek keterangan:
"Selama bebeiapa hari ini toako kemana saja?"
”Tentang ini tidak perlu kau tahu!“
„Bagaimana dengan persoalan tusuk konde mas berkepala burung Hong itu? Apakah toako sudah mendapat sedikit keterangan?”
Hui Kiam merandek dengan tiba tiba, ia bertanya dengan terheran heran
”Tusuk konde mas apa?"
”Toako kau kenapa?” tanyanya sambil mengkerutkan keningnya.
”Tadi kau berkata tusuk konde mas berkepala burung Hong? Coba aku pikir dulu. apakah ada persoalan seperti itu? Oh ya, aku sudah menemukan Pek leng lie Khong Yang Hong, ia sudah binasa ....”
"Sudah binasa?"
”Em, akulah yang membunuh !”
”Aku haturkan selamat bahwa toako sudan berhasil menuntut balas dendam ibumu . . . ”.
”Bukan dia bukan pembunuhnya, hanya tusuk konde mas itu adalah miliknya, itu memang benar.” berkata Hui Kiam sambil melototkan matanya.
”Kalau begitu siapakah pembunuhnya?” bertanya le lt Hoan bingung
"Tidak tahu”
le It Hoan ada pemuda cerdik, ia sudah merasa bahwa keadaan Hui Kiam tidak beres hal ini perlu segera dicari tahu sebab sebabnya.
"Toako pengerakan kita kali ini, menang atau kalah tengantung ditangan mu!'' katanya sambil tertawa ha ha h' h i.
”Pengerakan? Pergerakan apa?”
”Kalau begitu kedatangan toako ini untuk apa ?”
”Mernbusuh orang?'
Ie It Hoan terperanjat sekujur badannya gemetar tanyanya;
”Membunuh orang? Siapa yang kau hendak bunuh?”
”Orang berbaju lila dan kawan kawannya!”
”Bukankah toako sudah bersedia bahwa rekening diperhitungkan belakangan? ”
”Omong kosong!”
Hui Kiam menunjukkan sikap beringas sehingga Ie It Hoan diam-diam bergidik. Kini telah membuktikan bahwa kecurigaannya itu tak salah, Hui Kiam telah berubah bahkan perubahannya itu datangnya secara mendadak.
Dilihat keadaan dari kelakuannya, pikiran dan akal budinya agaknya sudah terpengaruh oleh semacam kekuatan entah kekuatan gaib apa.
Ini merupakan soal sangat gawat, pertempuran membasmi kejahatan dan menegakkan kebenaran sudah akan mulai, Hui Kiam merupakan satu-satunya orang yang kepandaian dan kekuatannya dapat melawan pemimpin persekutuan Bulan mas. Karena pertempuran itu menyangkut nasib seluruh rimba persilatan, maka hanya boleh menang tidak boleh kalah.
Seekor burung kucinta terbang diatas kepalanya, ia telah mendapat firasat bahwa keadaan sudah sangat gawat.
Maka ia perlu mengambil tindakkan tegas dan tepat, ia lalu berkata sambil menunjuk kedalam rimba:
"Toako, kita jalan dari situ?'
"Kenapa?"
"Sebab kamar rahasia dibawah sumur untuk kita mengadakan pertemuan rahasia itu kini sudah dihancurkan,"
"Mengapa dihancurkan?"
”Sebab sudah diketahui oleh orang luar”.
"Benarkah!"
”Bagaimana siaote berani membohongi toako?”
”Jikalau aku nanti mengetahui ucapanmu ini tidak jujur aku akan binasakan kau lebih dulu!" berkata Hui Kiam sambil melototkan matanya.
Kembali Ie It Hoan bergidik, tetapi ia ma sih keraskan kepala.
"Terserah bagaimana toako hendak menghukum siaote!'
"Nah, Kau tunjukan jalannya!”
"Toako ikut aku!'*
Ie It Hoan berjalan lebih dulu. ia lari menunjuk kedalam rimba. Didalam rimba itu tak ada jalan, ia membelok.ketimur dan kebarat mulutnya berseri-seri tanpa irama, sebentar kemudian, tibalah disuatu tempat lapangan, ia lalu berhenti dan berkata:
"Toako disinil"
Hui Kiam mengawasi keadaan disekitarnya dengan mata beringas, kemudian bertanya:
"Mengapa tidak tampak bayangan seorang pun juga?"
"Sebentar mereka akan menunjukkan diri." berkata le It Hoan dengan suara tidak wajar.
'Kenapa kau tidak mengajakku ke tempat nya? "
"Inilah tempatnya!"
"Bohong, lapangan ini nampaknya belum di urus orang. sedikitpun tidak ada bekasnya, sedangkan anak buah orang berbaju lila itu sedikitnya ada seratus jiwa, apakah tiada tempat yang lebih tepat untuk tempat pertemuan ? '
"Toako........."
"Tutup mulut, aku tebas batang lehermu dulu, baru pergi ketempat bawah sumur itu untuk membuat perhitungan!"
Wajah Ie It Hoan berubah seketika, dengan-perasaan ketakutan ia mundur beberapa langkah, ia tahu bahwa pada saat itu pikiran Hui Kiam sudah tidak waras, tidak bisa diajak bicara menurut pikiran orang waras. Dengan kepandaiannya itu Ie It Hoan pasti sulit lolos
dari tangannya, betapapun cerdiknya Ie It Hoan pada saat itu juga tidak berdaya sama sekali.
Hui Kiam perlahan lahan menghunus pedang nya nampaknya benar-benar ia akan turun tangan.
Dengan perasaan cemas Ie It Hoan mengawasi keadaan disekitarnya, kemudian berkata dengan suara cemas.
"Toako kau dengar dulu keterangan siaotee mu.....”
Hui Kiam sudah menunjukkan sikap hendak menyerang.
Keringat dingin mengucur deras dibadan Ie It Hoan .....
Dalam keadaan amat kritis itu, tiba-tiba terdengar suara orang tua:
"Jangan bertindak ”
Hampir bersamaan pada saat itu, seorang tua kurus kering berambut putih melesat masuk kedalam lapangan, It Hoan menghapus keringat dingin yang membasahi dahinya lalu menjatuhkan dirinya ditanah, kemudian berkata dengan nada suara ketakutan:
”Locianpwee, aku sipengemis kecil hampir saja kehilangan jiwa!”
Hui Kiam memandang orang tua itu sejenak. Kemudian berkata dengan nada suaranya yang ketus dingin:
"Adakah kau orang tua tiada turunan Locianpwee”
Orang tua tiada turunan itu mengawas le it hoan dengan perasaan bingung, kemudian matanya ditujukan kepada Hui Kiam, barulah ia mengajukan pertanyaanya;
"Hui Siaolap, kalian berdua ada urusan apa?"
le it hoan segera menjawab: ”Locianpwee toako mungkin salah paham ia hari ini datang hendak membunuh orang'." Sehabis berkata demikian, dengan diam diam ia menghirang dalam rimba.
"Apa? Hendak membunuh orang?"
"Benar, kedatanganku ini memang hendak membunuh orang. Mengapa orang berbaju lila tidak menampakkan diri?" Berkata Hui Kiam dingin.
"Apakah kedatanganmu ini semata mata hanya hendak membunuh orang berbaju lila saja?"
"Emmm, masih ada orang-orang sekelompoknya!"
"Termasuk aku siorang tua juga?"
"Mungkin!"
"Kenapa'”
"Harus mampus"
"Kenapa harus mampus?"
"Aku tidak tempo untuk mengadu lidah."
Orang tua tiada turunan sudah banyak makan asam garam didunia Kang Ouw, menyaksikan keadaan Hui Kiam, dalam hati sudah mengerti sebahagian, maka dengan tetap tenang ia berkata:
"Apakah siaohiap masih ingat nasehat orang menebus dosa?"
"Orang menebus dosa, hmm! Sama juga harus dibunuh!"
"Dia dengan saohiap agaknya toh tidak bermusuhan apa apa?"
Hui Kiarn agaknya sudah tidak dapat diajak bicara secara wajar, karena ia tahu pertanyaan itu sudah dijawab, bukan mundur malah semakin marah,
"Suruh mereka keluar semua, akan kubereskan kalian, sekarang aku tidak waktu menunggu lama-lama!"
”Mengapa siaohiap tidak menjelaskan dahulu sebab apa mereka harus dibunuh?"
”Nampaknya aku terpaksa akan turun tangan lebih dulu kepada dirimu!"
Pedangnya segera bengerak menyerang orang tua tiada turunan. Karena orang tua itu sudah waspada, maka baru saja Hui Kiam
bengerak ia sudah lompat menyingkir, namun demikian karena ilmu pedangnya Thian Kie Kiam Hoat adalah ilmu pedang luar biasa, sekali pun orang tua tiada turunan sudah berlaku gesit, tetapi baju panjang bagian bawahnya tak urung terpapas juga sepotong, hampir saja kakinya juga kena tersambar ujung pedang itu.
Hui Kiam berkata sambil tertawa mengejek ”Kalau kau sanggup mengelakan sekali lagi, itu berarti umurmu masih panjang, maka hari ini boleh kulepaskan dengan keadaan hidup."
la bergerak maju lagi, pedangnya sudah di angkat.. ...
"Tahan!" demkian terdengar suara bentakan keras, sinar pedang meluncur dari samping setelah terdengar suara benturan nyaring ujung pedang Kui Kiam tengetar, sehingga tidak mengenakan sasarannya.
Dengan demikian tertolonglah Orang tua tiada turunan dari bahaya maut, orang yang turun tangan menolongnya itu, ternyata ada lah orang berbaju lila.
Ie It Hoan juga pada saat itu menunjukkan diri lagi.
Mata Hui Kiam segera beradu dengan mata Orang berbaju lila, seketika itu hawa amarah nya meluap, katanya dengan suara bengis:
"Orang berbaju lila akhirnya kau menunjukkan diri juga."
”Hui Kiam apakah kau mendapat perintah dari Tong hong Hui Bun siperempuan cabul itu datang kemari hendak membunuh orang?” bertanya Orang berbaju lila dengan suara gemetar .
"Kau berani menghinanya aku hendak cing cang tubuhmu menjadi bubur "
Badan Orang berbaju lila gemetar, katanya dengan suara gusar:
"Hui Kiam aku bersedia dibunuh olehnya sendiri, bawalah aku menjumpainya....'
”Aku akan bawa balok kepalamu menjumpai dia
Pedang Hui Kiam memancarkan sinar gemerlapan, dengan disertai oleh suara rrengaung pedang itu menyambar orang berbaju lila.
Orang berbaju lila menggerakkan tangannya pedang ditangannya juga mengeluarkan sinar gemerlapan menyambut pedang Hui Kiam.
Setelah terdengar beberapa suara nyaring. Orang berbaju lila lompat mundur empat lima langkah, pedang ditangannya tinggal gagangnya saja.
Hui Kiam maju mengancam dengan pedang nya lagi. sikapnya sangat menakutkan.
Sebelum Hui Kiam bertindak tiba-tiba terdengar suara orang memuji budha: ”O Mie To Hud!"
Seorang padri tua beralis putih melayang turun ketanah lapangan.
Dengan suara sedih Orang berbaju lila itu berkata:
"Locianpwe, hati dan pikiran pemuda ini sudah dikendalikan oleh pengaruhnya obat. kita harus tangkap hidup hidup baru bisa dimusnahkan racunnya.”
Padri tua yang baru datang itu adalah Jien Ong yang sekarang sudah mencucikan diri dan bergelar Kak Hui.
Dada Hui Kiam saat itu sudah dipenuhi oleh hawa amarah yang ia sendiri juga ridak mengerti, sepasang matanva merah membara sambil berputaran matanya ia berkata dengan suara bengis;
"Padri tua, kau juga boleh maju sekalian!”
Kak Hui ,berkata sambil rangkapkan kedua tangannya:
”O Mie To Hud. apakah sicu sudah tidak mengenali lolap lagi?"
"Perlu apa aku harus mengenalimu, serahkan jiwamu!"
Ucapan Hui Kiam itu ditutup dengan serangannya yang hebat.
Kak Hui mengibaskan lengan jubahnya yang mengeluarkan hembusan angin, bersamaan dengan itu orangnya juga lompat menyingkir dengan satu gerakan yang aneh.
Tatkala hembusan angin itu beradu dengan sinar pedang, Hui Kiam hanya merandek sebentar kemudian meancarkan serangannya lagi........,
Kak Hui terpaksa mundur lagi beberapa langkah.
Hui Kiam tidak mau menggendorkan serangannya, bagaikan bayangan ia mendesak terus, suatu pertempuran hebat telah berlangsung sinar pedang telah beradu dengan kekuatan tenaga dalam yang berubah hembusan angin hebat, sehingga daun daun pohon di.sekitar lapangan berterbangan.
Akan tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama, hanya tujuh atau delapan gebrakan, Kak Hui sudah sangat berbahaya keadaannya, ia terus mindur, jiwanya terancam.
Orang berbaju lila menggapaikan tangannya kepada orang tiada turunan, kedua duanya lalu turut ambil bagian, dengan demikian, Hui Kiam telah dikerubuti oleh tiga orang jago tua.
Oleh karena Kui Kiam menggunakan senjata jaman purbakala yang luar biasa tajamnya ditambah lagi dengan ilmu pedangnya yang aneh dan ganas, sekalipun menghadapi tiga lawan Juga masih bisa melayani dengan leluasa.
Sememara itu Ie It Hoan berdiri sebagai penontonnya, wajah sebentar-bentar nampak berobah.
Pertempuran sengit semacam ini, siapapun tidak dapat menduga bagaimana kesudahannya namun tidak peduli siapa yang terluka, ini berarti merupakan suatu kerugian besar bagi kekuatan tenaga barisan yang hendak membasmi kejahatan
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri ber-ulang-ulang dan jauh semakin dekat.
Ie It Hoan lalu berseru: "Ada musuh kuat menyerbu!" Baru saja menutup mulut, telah muncul dua bayangan orang,
Orang yang datang itu, ternyata adalah pemimpin persekutuan Bulan mas bergsma putri nya Tong-hong Hui Bun.
Begitu tiba ditempai itu, pemimpin Bulan mas segera menghentikan pertempuran itu. Hui Kiam sambil menunjukan tertawanya menghampiri Tong-hong Hui Bun seraya berkata; "Enci bagaimana kau juga datang ”
Tong-hong Hui Bun melirik kepada orang berbaju lila, mulutnya menjawab pertanyaan Hui Kiam:
"Adik, aku takut kau tidak sanggup melawan musuh yang jumlahnya lebih banyak, maka lalu menyusul kemari."
"Untuk menghadapi orang-orang semacam ini apa sebabnya."
Dengan mata beringas Orang berbaju lila menunjuk dan berkata kepada Tong-hong Hui Bun.
"Perempuan hina, dari dulu sampai sekarang, tak ada seorangpun mempunyai moralnya demikian bejat seperti kau. manusia kau boleh perlakukan sesukanya, tetapi Tuhan Allah tak jikalau kau nanti tidak mendapat hukuman yang setimpal, benar benar Tuhan tidak berlaku adil.'
"Orang berbafu lila, aku sudah tidur dalam satu pembaringan dengannya. kau mau apa?" demikian Tong Hong Hui Bun berkaca sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Badan Orang berbaju lila sempoyongan, mulutnya menyemburkan darah, hingga kain lila yang mengerudungi mukanya menjadi merah oleh darah.
Tong-hong Hui Bun berkata puia sambil menepuk nepuk pundak Hui Kiam.
"Adik, kau masih menunggu apa lagi?"
Hui Kiam segera menghadapi Orang berbaju bla dan menyerang dengan pedangnya.....
Orang berbaju lila seolah tidak tahu dirinya terancam ia masih, berdiri bagaikan patung.
Dalam keadaan kritis tiba-tiba kelihatan berkelebatnya sesosok bayangan orang, lalu dengan berkelebatnya sinar hitam, pedang Hui Kiam yang menyerang orang berbaju lila, telah beradu dengan senjata yang warna hitam' jengat, dan seketika itu juga Hui Kiam ter pental mundur tiga langkah.
Orang yang menunjukkan diri menolong orang berbaju lila dari bahaya kematian, adalah seorang tua yang berwajah luar biasa orang tua itu mengenakan pakaian baju kasar berwarna kuning, tangannya memegang seba tang tongkat rotan kasar berwarna hitam, dia adalah manusia Agung yang belom lama berselang pernah bertempur dengan Hui Kiam.
Tong hong Hui Bun terkejut, mungkin ia belum pernah melihat orang tua aneh itu. tetapi dari gerakan orang tua itu yang ternyata sudah bisa menyingkirkan pedang sakti Hui Kiam, pastilah bukan orang sembarangan. Setelah sejenak ia merasa heran lalu berkata sambil menunjukkan senyum yang menggiurkan;
"Siapa nama tuan yang mulia ?'
Manusia Agung itu menarik napas panjang ia tidak langung menjawab pertanyaan Tong hong Hui Bun, sebaliknya menggumam sendiri:
"Perempuan-durhaka, perempuan durhaka."
Mata Hui Kiam nampak beringas, dengan tanoa bicara ia sudah menyerang dengan pedang nya. Manusia Agung menyambut dengan tongkatnva, kembali terjadi suatu pertempuran sengit yang tidak ada taranya.
Senjata Hui Kiam adalah pedang sakti Tiao Khie-sin Kiam, kecuali pedang Bulan masnya pemimpin persekutuan Bulan mas dan tongkat rotan hitam manusia Agung itu, sudah tiada senjata lain lagi yang mengimbangi keampuhan senjata Hui Kiam itu. Maka juga hanya manusia Agung itu sajalah merupakan satu satunya orang yang masih bisa melawan Hui Kiam.
Di lain pihak, pemimpin persekutuan Bulan mas telah berhadapan dengan Kak Hui ia berkata sambil tertawa terbabak-babak :
"Tidak disangka orang yang sudah menyucikan diri juga masih menyeburkan diri dalam urusan keduniawian."
Kak Hui setelah memuji nama Buddha baru berkata:
"Lautan dosa tiada tepinya, alangkah baik nya apabila segera insyaf kembali, manusia bidup paling lama hanya seratus tahun pada akhirnya raga kita ini akan membusuk didalam tanah kau dengan aku sama-sama merupakan orang-orang yang sudah tidak lama lagi harus menghadap Tuhan.........'"
Pemimpin persekutuan bulan mas segera memotong peikataan Kak Hui.
"Sahabat, kau tokh sudah tahu benar filsapat ini, mengapa pula kau turun gunung lagi?"
"Itu semata mata karena hendak menyelesaikan soal lama!"
"Ha ha ha, hari ini akan mengantarkan kau pergi menghadap Tuhanl"
"O Mie To Hud!"
"Meskipun Budha itu adalah kasih sayang tetapi barangkali juga tidak dapat menolong diri mu, kau telah meninggalkan pertapaanmu ini sudah berarti takdir bagi dirimu!"
”Perbuatan yang berlawanan dengan kehendak Tunan, ini merupakan suatu perbuatan terkutuk yang tidak dapat dibenarkan siapapun”
"Sahabat, kenyataan akan memberitahukan kepadamu kehendak Tuhan ataukah perbuatan manusia yang benar!"
"Nampaknya lolap terpaksa akan membuka pantangan......"
”Bagus katamu, jaga dirimu, aku sekarang hendak turun tangan."
Pedang Bulan mas pertahan-lahan digerak-kan, Kak Hui menyambut serangan itu hanya dengan menggunakan lengan jubahnya Kedua pihak mulailah bertarung sengit.
Sambil bertempur pemimpin persekutuan Bu lan mas itu berkata :
"Sahabat,tlidak kusangka kau sudah berhasil melatih ilmu kekuatan tenaga hawa Ceng kie, ha ha ha ha....."
Dipihakiiya, orang berbaju lila, sementara itu juga dia sudah menyerbu Tong-hong Hui Bun, karena merasa gemas, ia menyerang demikian hebat setiap serangannya ditujukan kebagian jalan darah terpenting badan Tong hong Hui Bun, nampaknya ia telah bertekad hendak membinasakan perempuan cantik, tapi Tong-hong Hui Bun juga bukan seorang lemah ia segera balas menyerang, serangan kedua pihak sama-sama ganasnya dan kejamnya. Pertempuran dua orang inilah yang merupakan pertempuran yang paling seru.
Sementara itu orang tua tiada turunan dan le It Hoan yang berdiri sebagai penonton, telah memusatkan perhatiannya kepada Manusia Agung.
Pertempuran itu meski hanya terdiri dari tiga kelompok, tetapi semuanya merupakan tokoh-tokoh terkuat dalam rimba persilatan, tidaklan heran kalau pertempuran itu merupakan suatu pertempuran sengit yang sudah tidak ada taranya.
Pertempuran itu juga merupakan pertempuran antara kebenaran dan kejahatan.
Baru pertama kali inilah pemimpin persekutuan Bulan mas menunjukkan diri dihadapan umum.
Orang berbaju lila yang nampaknya paiing ganas, ia melakukan serangannya secara nekad ia hanya menyerang tetap tidak perhitungkan penjagaan dirinya, dalam keadaan demikian. tak heran kalau Tong-hong Bui Bun segera terdesak muruur tanpa bisa membalas serangan.
Tiba-tiba seorang berpakaian perlente muncul didalam kalangan, sambil menunjukkan seyumnnya berseri seri orang itu berkata kepada Tong-hong Hui Bun.
"Siaohan, kau mundurlah, biarlah suhumu yang membereskannya !"
Sambil berbicara orang itu menggerakkan tangannya. suatu kepandaian tenaga dalam menghembus keluar memisahkan Tong hong Hui Pun dan Orang berbaju lila yang sedang bertempur setingkat ilmunya.
Orang berbaju lila dengan mata beringas mengawasi orang itu. kemudian berkata dengan suara gemetar!
"Sie mo, kedatanganmu sangat kebetulan, tempat ini akan menjadi kediamanmu untuk selama- lamanya!"
Siu-mo masih tetap dengan wajahnya berseri-seri, katanya dengan sikap menghina:
"Asal kau sanggup melakukan, aku juga senang tempat ini."
Siu-mo itu adalah salah satu dari delapan! iblis negara Thian-tik yang bersama sama dengan Bie-mo, iblis singa, iblis Gajah, diangkat sebagai anggauta pelindung hukum tertinggi persekutuan Bulan mas, kepandaian Siu-mo adalah yang paling tinggi diantara delapan iblis itu, iblis Singa dan iblis Gajah semua binasa di tangan Hui Kiam. Iblis Siu-mo ini meskipun usianya sudah lanjut, tetapi karena mempunyai ilmu menjaga diri, sehingga kelihatannya masih seperti orang berusia empat puluh lebih, ilmu awet muda Tong hong Hui Bun adalah pelajaran dari iblis itu, maka ia bahasakan suhu kepada iblis itu.
Orang berbaju liia telah kehilangan kesempatan membunuh Tong-hong Hui Bun, sehingga ia merasa gemas kepada iblis itu, katanya dengan suara bengis:
"Iblis tua, hari kematianmu sudah tiba!" Siu mo memperdengarkan suara dari hidung lebih dulu ia berkata kepada pemimpin persekutuan Bulan mas.
"Bengcu, kepala gundul itu biarlah tinggal hidup !"
Kemudian ia baru berkata kepada Orang berbaju lila dengan sikap tegang; "Sekarang kau boleh mulai!" Setelah berkata demikian, ia sudah mementang sepuluh jari tangannya, dengan Suatu gerakkan yang sangat aneh ia menyambar orang berbaju lila. Dengan cepat orang berbaju lila menangkis dengan tangan kirinya,
tangan kanan menyerang dari samping. Kedua orang itu begitu bergerak, segera melakukan pertempuran mati matian.
Tong-hong Hui Bun rupanya telah yakin bahkan Siu-mo pasti dapat mengambil jiwa orang berbaju lila maka ia geser kakinya menghampiri Hui Kiam dan berkata kepadanya dengan suara nyaring;
”Adik apakah kau tidak sanggup membereskan tua bangka ini? Perlukah bantuan enci mu? ...“
Hui Kiam merasa tersinggung oleh ucapan itu, sifat sombongnya lalu timbul, tetapi karena pikiran dan semangatnya terpengaruh oleh pengarubnya obat, kekuatannya hanya mencapai kebatas tak lebih tinggi dari biasanya.
„Tidak perlu, dalam waktu tiga jurus aku akan mengambil jiwanya!"
Gerak pedangnya segera dirobah. menyerang lawannya dengan hebat.
Manusia Agung yang sudah merasa berat menghadapi Hui Kiam. kini diserang secara hebat seketika itu sudah terdesak mundur sampai tiga langkah.
Hui Kiam menyusul dengan serangannya jurus kedua.
Wajah Manusia Agung berobah, ia tidak sanggup membendung serangannya itu. terpaksa mundur lagi sampai empat lima langkah.
Keadaan itu mencemaskan Ie It Hoan, dia terpaksa mengeraskan hatinya, siap sedia apa bila perlu dia hendak membantu Manusia Agung.
Pasangan lawan antara pemimpin Bulan mas dengan Kak Hui, nyata pemimpin Bulan masih yang nampak unggul,
Perhatian orang tua tiada turunan kini di tujukan kediri Tong-hong Hui Bun, ia harus waspada serangan menggelap perempuan itu.
Siu mo dan orang berbaju lila berimbang kekuatannya, untuk sementara belum diketahui siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Sementara itu Hui Kiam sudah menyusul dengan serangannya jurus ketiga, serangan itu biar bagaimana manusia teragung pasti tidak sanggup menyambutnya.....
Selagi dalam keadaan sangat berbahaya Ie It Hoan mengayun tangannya. . . .
Serentak, pada saat itu tiba tiba terdengar suara seruan nyaring! "Hui Kiam, tahan!'
Seruan itu mengejutkan Hui Kiam, kesempatan iiu digunakan oleh Manusia ter-Agung yang segera lompat menyingkir, seorang wanita berpakaian hijau dan berkerudung melayang turun kehadapau Hui Kiam.
Hui Kiam meskipun sudah hampir hilang ingatannya tetapi karena ditengah perjalanan pernah mendengar perkataan Ie It Hoan. maka begitu melihat wanita berbaju hijau itu segera dapat mengenali sispa orangnya, ia segera menarik kembali serangannya dan berkata: 'Adakah kau Pui-suci?"
Dengan perasaan cemas dan mendongkol Pui Geng Un berkata:
"Sutee, apakah kau sudah gila?”
Sementara itu terdengar suaranya Tong-hong Hui Bun kepada Hui Kiam:
"Adik, bunuhlah dia!"
Hui Kiam berpaling, sinar matanya terbentur dengan Tong-hong Hui Bun, seketika itu pikirannya kalut lagi, begitu juga nafsunya membunuh segera timbul.....
Mauusia ter-Agung menggerakkan tongkatnya melancarkan serangan kepada Tong-hong Hui Bun .
Hui Kiam yaog menyaksikan Itu segera mengangkat pedangnya .....
Pui Ceng Un tiba-tiba hatinya tengerak, ia berkata dengau suara cemas :
"Sutee! sutee! aku adaiah Pui-sucimu, apakah kau sudah tidak kenal lagi?"
Pikiran Hui Kiam yang sudah kalut, agaknya terlintas suatu ingatan, dengan sendirinya pedangnya diturunkan kebawah
Manusia ter-Agung melakukan serangan bertubi tubi sehingga Tong hong Hui Bun yang didesak sedemikian rupa sama sekali tak dapat kesempatan untuk membuka mulut.
Pui Ceng Un melanjutkan perkataannya:
"Sutee, dengarlah ucapanku ..." saat itu juga ia sudah berada disamping Hui Kiam.
Sedikit ingatan Hui Kiam tadi agaknya menyadarkan sedikit hati Hui Kiam yang sudah kusut, ia berkata dengan pikiran yang masin bingung:
"Suci, kau harus berlalu dari sini."
”Ya." sahut sang suci, tetapi badannya di geser semakin dekat kepada Hui Kiam.
Tangan Pui Ceng Un meraba sarung pedang dipinggang Hui Kiam lalu berkata:
"Sute apakah ini pedang Thian Thie Sio Kiam peninggalan toasupek."
Hui Kiam menganggukkan kepala seraya berkata:
"Suci, kau minggir, tunggu aku membereskan "
Dengan cepat Pui Ceng Un tangannya menotok badan Hui Kiam, hingga seketika itu juga Hui Kiam roboh ditanah.
Sebetulnya Hui Kiam yang mempelajari ilmu silat menurut kitab Thian Gee Po kiu, mengalirnya darah berlainan dengan keadaan biasa, ilmu totokan biasa bagi trya tidak ada gunanya sama sekali, tentang ini diketahui dengar jelas oleh le It Hoan dan orang berbaju
lila, sebaliknya dengan Pui Geng Un, ia malah tidak mengetahui sama sekali. Ia mengiira bahwa tindakannya itu sangat cerdik. tetapi ia tidak tahu bahwa perbuatan itu sangat berbahaya, apabila Hui Kiam mengetahui dirinya dibokong, pasti akan melakucan tindakan pembalasan yang menakutkan, tetapi untung selagi ia hendak turun tangan, telinganya mendengar suara aneh yang menunjukkan kepadanya jalan darah mana yang harus ditotoknya itu, maka Hui Kiam lalu roboh
le It Hiari seperti sudah mendapat petunjuk ketika Hui Kiam roboh, dengan cepat segera menyambutnya dan dibawa kabur kedalam rimba.
Orang tua tiada turunan dan Pui Ceng Un segera menyusul.
Tong-hong Hui Bun juga sudah menyaksikan kejadian diluar dugaan itu, tetapi karena diserang hebat oleh manusia ter-Agung. untuk menjaga dirinya sendiri masih sulit, sudah tentu tidak mendapat kesempatan untuk memberikan pertolongannya.
Pada saat ini Kak Hui yang ditekan hebat oleh ilmu pedang pemimpin persekutuun Bulan mas, sudah nampak kewalahan.
Sedangkan dipihaknya Siu-mo dengan orang berbaju lila, juga sudah makin kelihatan siapa yang lebih unggul, orang berbaju lila terus mundur, sedangkan Siu-mo terus mendesak dengan serangannya yang hebat....
Mari kita tengok kepada Ie It hoan yang membawa lari Hui Kiam. tiba disuatu tempat yang sangat tersembunyi ia baru berhenti dan meletakkan Hui Kiam ditanah.
Pui Ceng Un lalu berkaca dengan cemas, "Sekarang bagaimana?"
'Kita harus menunggu kedatangan Orang berbaju lila dahulu, baru mencari pikiran lagi,” berkata Ie It Hoan sambil mengepal-ngepalkan tangannya.
Oreng tua tiada turunan setelah berpikir sejenak lalu berkata :
"Biarlah aku yaog menggantikannya!"
Sebabis mengucap demikian, orang tua itu lompat melesat dan menghilang.
Pui Ceng Un mengawasi Hui Kiam yang menggeletak ditanah. berkata dengan suara gemetaran.
”Ini benar-berir ada suatu kejadian yang tidak terduga-duga."
"Perbuatan perempuan itu, kekejamannya sesungguhnya sudah tidak ada tandingannya." berkata Ie It Hoan sambit tertawa getir "Jikalau bukan karena burung kucica yang memberikan firasat kepadaku, ruangan rahasia di bawah sumur itu mungi'n sudah dimusnahkan oleh musuh....aku sudah curiga toako mungkin dibikin hilang pikirannya oleh pengaruh obat beracun, setelah seekor burung kuoica terbang diatas kepalaku, aku segera mendapat firasat bahwa dibelakang toako ada orang yang mengikuti, maka segera aku mencari akal mengajak toako berputaran kedalam rimba ini, disamping itu dengan nada rahasia aku menyarnpaikan kabar kepada orang dalam kamar rahasia, jikalau orang tua tiada turunan lambat setindak saja, jiwaku barangkali sudah melayang dipedang toako. .."
”Ini masih terhitung suatu keberuntungan bagi kita.”
"Entah bagaimana keadaan dimedan perternpuran itu?"
"Ada beberapa locianpwe yang menahan orang orang itu, mungkin tidak akan menimbulkan akibat yang membahayakan....."
Tetapi Pui Ceng Un tidak beranggapan demikian, ia berkata:
"Susah dikata, kalau hanya dipandang dari sudut kekuatan bertempur, mungkin kedua pihak berimbang, tetapi andaikata musuh menggunakan lain akal, kita tidak dapat menduga apa yang akan terjadi selanjutnya."
Ie It Hoan mengangguk anggukkan kepala dan berkata:
"Siaote hanya khawatir Orang tua tiada turunan locianpwee tidak dapat menggantikan kedudukan Orang berbaju lila. karena kepandaian Siu-mo, didalam persekutuan Bulan mas hanya dibawah pemimpinnya seorang saja, kecuali apabila manusia ter-Agung
locianpwee berhasil membereskan perempuan jalang itu, mungkin keadaan bisa berobah."
"Tetapi bagaimana apabila musuh masih ada bala bantuan lagi?"
"Kalau begitu hari ini merupakan pertempuran besar antara gotongan kebenaran dan golongan kejahatan."
Sekarang hanya mengharap supaya orang berbaju lila dengan cepat memulihkan kembali keadan Hui sutee karena kecuali dia, sudah tidak ada orang lagi yang dapat mengimbangi kepandaian pemimpin Bulan mas......"
"Ya !"
"O Ya' Adik Hoan, kau katakan anak perempuan toasupek Cui Wan Tin dengan Hui sute."
"Kasihan gadis itu, aku jupa tidak tahu apakah toako nanti tak akan mengecewakannya?"
"Kalau ia berani, akulah orang pertama yang tidak akan mengampuni kesalahannya.”
"Enci Cui berdiam seorang diri didalam makam pedang itu, katanya karena ingin mendampingi arwah ibunya”
Mata Pui Ceng Un nampak suram, ia menundukkan kepala, ucapan pemuda itu telah membangkitkan perasaan sedih terhadap nasibnya sendiri.
Ie It Hoan segera mengetahui gelagat itu, ia mengalihkan pembicaraannya kesoal lain.
"Pos-pos penjagaan kita yang dirusak oleb musuh tidak kurang dari sepuluh tempat."
”Pemimpin persekutuan Bulan mas itu turun tangan sendiri. maksudnya sudah tentu hendak menggunakan tenaga Hui sutee, untuk menumpas bahaya yang mengancam kepada dirinya.”
Sekarang kita balik lagi kepada orang tua tiada turunan, ketika orang tua itu tiba dimedan pertempuran, terjadilah suatu perobaban sangat besar.
Kak Hui dengan baju penuh darah berdiri disamping, sudah terang ia telah terluka ditangan pemimpin persekutuan Bulan mas.
Siu mo dan orang berbaju lila, masih bertempur mati-matian tetapi orang berbaju lila nampaknya sudah kehabisan tenaga, sedikitpun sudah tidak bisa melakukan serangan pembalasan sedangkan dipihaknya Siu-mo kelihatannya masih garang.
Sementara itu Manusia ter-Agung sudah berhasil menundukan Tong hong Hui Bun.
Pemimpin persekutuan Bulan mas berdiri berhadapan dengan Manusia ter Agung, mata nya memancarkan sinar beringas yang sangat menakutkan.
Orang tua tiada turunan ketika menyaksikan keadaan demikian, dianggapnya itulah merupakan suatu kesempatan baik untuk menggantikan orang berbaju lila. Ia segera geser kakinya berjalan menghampirinya ....
Saat itu tiba tiba terdengar suara bentakan pemimpin Bulan mas:
"'lepaskan dia!'
'Apakah tuan sanggup dia tidak seharusnya dibunuh mati?' Jawab Manusia Ter Agung dingin
”Jikalau kau berani mengganggu seujung rambutnya saja, aku nanti akan membunuh seribu orang sebagai gantinya” Berkata pemimpin Bulan mas sambil menggerak-gerakan pedangnya.
Ancaman pemimpin itu kedengarannya sangat seram sekali, sehingga membikin berdiri bulu roma bagi siapa yang mendengarkannya.
Pada saat itu dimedan pertempuran terdengar suara jeritan yang mengerikan Siu-mo menekap mukanya dengan kedua tangannya, darah mengalir keluar dari sela sela jari tangannya.
Orang berbaju lila agaknya digetarkan hati nya oleh hasil dari serangannya, badannya nampak gemetar, sementara itu semua orang yang ada disitu, satupun tidak tau dengan secara bagaimana ia yang semula terdesak telah berhasil melukai lawannya.
'Mataku' mataku......"Demikian terdengar suara jeritan Siu-mo yang mengerikan
Ketika Siu-mo menurunkan tangannya diwajahnya tertampak dua lobang yang berlumuran darah, kedua matanya sudah rusak seluruhnya.
Serangan yang digunakan oleh Orang berbaju lila, adalah gerak tipu jari tangan yang dapat dicurinya dari kitab pelajaran ilmu silat Tee-horig, hari itu untuk pertama kalinya ia gunakan, ia juga tak menyangka membawa hasil memuaskan, sehingga satu iblis yang sudah lama malang melintaag melakukan kejahatan telah roboh ditanah.
Pemimpin persekutuan Bulan mas memperdengarkan suara geraman hebat ia menyerbu Orang berbaju lila.
Orang berbaJu lila yang telah bertempur sengit sekian lamanya dengan Iblis Siu-mo, kekuatan tenaganya sudah terhambur tak sedikit. sudah tentu tidak sanggup melawan lagi, maka sewaktu hembusan angin yang keluar dari pedung pemimpin persekutuan Bulan mas menyambarnva, ia sudah mundur terhuyung-huyung sejauh hampir sepuluh langkah.
Orang tua tiada turunan melancarkan serangan tangan kosong dari samping, hingga memaksa pemimpin persekutuan Bulan mas merobah serangannya, ia kini ditujukan serangannya itu kepada orang tua tiada turunan. Menghadapi serangan hebat orang tua tiada turunan terpaksa mundur.
Pemimpin persekutuan Bulan mas setelah mendesak mundur Orang tua tiada turunan badannya memutar bagaikan titiran, pedang ditangan kanannya melancarkan serangan hebat sehingga Orang berbaju lila terpaksa lompat kesamping hampir serentak pada saat itu, tangan kirnya menyambar dengan cepat.
Terdengar seruan tertahan, tangan Orang berbaju lila sudah terpegang oleh pemimpin persekutuan Bulan mas.
Kak Hui dan Orang tua tiada turunan lompat melesat bersama . . , , .
"Jangan bergerakl" demikian pemimpin Bulan mas berseru, ujung pedang diletakkan atas-leher Orang beibaju lila.
Kak Hui dan orang tua tiada turunan terpaksa membatalkan maksudnya menyerang pernimpin persekutuan Bulan mas;
Iblis Siu-mo berkata dengan suara keras:
'"Beng-nu, aku hendak. . . membalas dendam ini dengan tanganku sendiri.'
Belum lagi pemimpin persekutuan Bulan mas membuka mulut. Manusia ter-Agung berkata dengan nada suara dingin:
"Sahabat, ular berbisa ini belum terlepas dari ancaman tanganku."
Setelah mengucap demikian ia gelandang dirinya Tong-hong Hui Bun.
Pemimpin persekutuan Bulan mas hanya dapat menyaksikan dengan mata melotot
Pada saat itu, seandai Kak Hui dan Orang tua tiada turunan hendak menghabiskan jiws Iblis Siu-mo, sebenarnya sangat mudah sekali.
Tetapi kedua orang tua itu masing-masing menghargai dirinya sendiri sudah tentu tidak suka melakukan perbuatan yang sangat merendahkan martabat itu.
Manusia teragung berkata pula : "Sahabat, hari ini kedua fihak jangan bertindak apa apa, kita tukar tawanan bagaimana!"
Biji mata pemimpin bulan mas berputaran, katanya dengan suara bengis:
"Ini enak saja bagi kalian....."
"Sama-sama! ' sahut manusia Teragung sambil tertawa terbahak-bahak.
Lama pemimpin persekutuan Bulan mas itu berpikir, akhirnya ia berkata:
"Kau lepaskan!"
Dengan tanpa ragu ragu Manusia Teragung membebaskan Tong-hong Hui Bun. kemudian berkata:
"Sahabat, sebagai laki-laki kau harus bisa menepati janjimu!”
Pemimpin Bulan mas juga rnelepaskan tangannya Orang berbaju lila dengan sikap murung berjalan sambil menundukan kepala sementara itu Tong-hong Hui Bun juga balik kepada ayahnya.
Orang berbaju lila baru berjalan kira sepuluh langkah, badannya terhuyung huyung dan kemudian roboh ditanah.
Kak Hui dan orang Tua tiada turunan berseru dengan serentak wajih mereka berubah Orang tua tiada turunan segera menghampiri dan membimbing bangun Orang berbaju lila, yang saat itu matanya sudah guram badannya gemetar.
Kak Hui segera membentak dengan suara keras:
"Sahabat, kau ternyata sedemikian rendah. Lolap sangat menyesal atas perbuatanmu itu!”
Pemimpin persekutuan Bulan mas itu memperdengarkan suara ketawanya yang mengejek kemudian berkata:
"Rendah atau tidak tiada berarti apa apa aku sudah tidak dapat membiarkan ia hidup sampai lebih lama lagi didunia! Nah nanti ketemu lagi !"
Setelah berkata demikian tangannya menarik iblis Siu mo yang sulah menjadi buta bersama-sama anaknya bertiga meninggalkan rimba tersebut.
Menghadap keadaan Orang berbaju lila. hanya Manusia teragung seorang yang tenang-tenang saja sejak tadi ia tidak pernah membuka mulut.
Orang tua tiada turunan segera menegurnva "Apakah pertukaran tawanan itu diakhiri begini saja ?"
"Tunggu sija mereka pasti segera kembali' Jawab Manusia Teragung tenang.
”Apa Sicu kau......." berkata Kak Hui dengan alis berdiri.
"Tay-hwee-shio indah yang dinamakan tahu keadaan sendiri juga tahu keadaan musuh, aku sudah menduga ia pasti akan berbuat demikian'
Baru saja menutup mulutnya, benar saja segera melihat tindakan pemimpin Bulan mas yang lari balik sambil memondong anaknya, kemudian dengan mata mendelik berkata kepada Manusia Teragung.
”Orang she Teng, sungguh berani mati kau berani main gila dihadapanku!"
"Sama-sama!" jawab Manusia tetagung acuh tak acuh.
"Kau.....sebetulnya perlakukan dirinya bagaimana?"
”Dan kau sendiri? Apakah yang telah kau perbuat dengannya?"
"Totok perbatasan antara jalan darah Im dan Yang."
"ha, ha, ha, kau sungguh cerdik dengan tindakan memutuskan kedua jalan darah ini akan mengakibatkan orang kehilangan kekuatan tenaga murninya.”
Kak Hui pada saat itu sudah berada dihadapan Orang berbaju lila, ia menotok tiga kali dengan beruntun, Orang berbaju lila itu menarik napas panjang, kemudian melompat bangun.
Manusia teragung berkata sambil tertawa terbahak babak,
”Bengcu, apakah kau sudah pernah rnendengar permainan menguasai jalan darah dalam waktu tertentu!"
"Kau. ..,.."
"Nah, siiabkan diulang. Dalam waktu tak lama lagi,„tanpa kau buka totokan jalan darat itu akan terbebas sendirinya.”
Pemimpin Bulan mas itu membanting-banting kakinya lalu berlalu dengan cepatnya.
Orang berbaju lila lalu berkata dengan cemas:
"Bagairnaoa dengan anak itu . . . "
"Ia berada didalam rimba itu untuk menantikan pertolonganmu, mari ikut aku." berkata Orang tua tiada turunan.
Orang berbaju lila dengan sikapnya menghormat berkata kepada Manusia ter Agung dan Kak Hui:
"Harap kedua locianpwee balik dulu kekamar rahasia untuk beristirahat.''
Setelah berkata demikian ia lalu mengikuti Orang tua tiada turunan lari kedalam rimba.
'Tidak lama kemudian mereka sudah tiba dimana Hui Kiam telah rebah terlentang, kedatangan mereka segera disambar oleh Pui Ceng Un dan le It Hoan, mereka meskipun masing masing tidak membuka mulut, tetapi perasaan hatinya sudah tampak tegas dalam sinar mata masing-masing.
Orang berbaju lila segera memeriksa keadaan Hui Kiam, kemudian ia berkata sambil menggertak gigi:
"Dugaanku ternyata tidak meleset bocah ini telah dikendalikan oleh pengaruhnya obat Bwe sin-wan dan long sin-tan, dua macam obat sangat berbisa yang hasiatnya menghilangkan semangat dan ingatan serta membuat orang yang makannya menjadi buas. Untung bocah ini mempunyai dasar yang sudah kokoh dan sempurna, jikalau tidak, ia sudah berubah menjadi seorang bangkai hidup yang tiada gunanya, hmm ini kalau bukannya nona Pui yang menggunakan akal cerdik telah menundukkannya, sungguh tidak tahu bagaimana akibatnya,"
Pui Ceng Un berkata:
'"Entah siapa yang memberikan petunjuk dengan suara kedalam telinga supaya aku menotok jalan darah sampingnya, jikalau tidak, mungkin aku sendiri yang akan menjadi korban pertama.....'
'Orang itu adalah suhu,' berkata Ie It JHoan dengan suara datar.
"Suhumu sebetulnya siapa? Mengapa hingga saat ini belum mau menunjukkan muka?" Bertanya Pui Ceng Un.
Ie It Hoan mengunjukkan sikap tidak berdaya, lalu berkata:
"Enci Un pada dewasa ini masih belum waktunya untuk kuberitahukan!”
Sementara itu orang tua tiada turunan dengan hati gelisah berkata kepada Orang berbaju lila.
''Bagaimana,dapatkah kau merjolongnya?"'
Orang berbaju lila tidak menjawab, badannya gemetar.
Pui Ceng Un merasa sedih ia bertanya dengan suara duka:
"Apakah sudah tidak dapat ditolong?"
Orang berbaju lila menganggukkan kepala masih tetap tak membuka mulut,, Ie It hoan dan Pui Ceng Un bertanya dengan berbareng;
"Apa, sudah tidak tertolong lagi?'
---ooo0dw0ooo---
JILID 31
O R A N G Tua Tiada Turunan lalu berkata dengan suara berat:
“Kau katakan dia sudah tidak tertolong lagi?”
Orang Berbaju Lila masih mengawasi Hui Kiam sambil menundukkan kepala. Air matanya mengalir keluar. Ia menjawab dengan nada suara aneh:
“Ya!”
“Kau pernah menolong nona Pui yang terkena racun menghilangkan ingatan, apakah….?”
“Racun menghilangkan ingatan mudah dipunahkan, tetapi obat untuk menghilangkan sifat buas bagaikan serigala susah dicari, justru dia sudah makan dua rupa racun itu!”
“Maksudmu apakah hendak membiarkan ia hidup terus secara begini?”
“Tidak!”
“Dan kau bagaimana hendak berbuat?”
“Obat racun yang terbuat dari nyalinya serigala itu apabila tak dikeluarkan dari dalam badannya, akan merubah semua sifatnya. Ia hanya mau dengar perintah seorang saja, tak dapat membedakan yang baik dengan yang jahat, kawan atau lawan, hanya orang yang memberikan racun padanya yang bisa membunuh orang tanpa berkesip, dengan kepandaian dan kekuatan seperti dia, apabila digunakan oleh orang yang mempunyai ambisi besar dan maksud jahat, cianpwe boleh bayangkan sendiri apa akibatnya di kemudian hari….”
Puj Ceng Un yang mendengar keterangan itu menangis dengan sedihnya, badannya gemetar.
Ie It Hoan menunjukkan sikap sangat berduka yang belum pernah terjadi pada sebelumnya. Biar bagaimana ia dengan Hui Kiam mempunyai persahabatan sangat dalam, menyaksikan sahabat baiknya demikian rupa, bagaimana ia tidak bersedih.
Orang Tua Tiada Turunan berkata dengan sikapnya masih tetap tenang:
“Menurut kata ini, bukankah ia akan menjadi orang jahat?”
“Ya.”
“Paling baik bukankah dihabiskan saja jiwanya?”
“Aku tidak berani memikirkan, juga tidak berani mengatakan, tetapi mungkin itu hanya satu-satunya cara yang paling tepat.”
Pui Ceng Un menyela dengan suara bengis:
“Hendak membunuhnya?”
Ie It Hoan mendongakkan kepala ke atas, dan tampak sepasang matanya basah dengan air matanya.
Orang Tua Tiada Turunan lalu berkata:
“Apakah kau sendiri yang hendak turun tangan membunuhnya?”
Orang Berbaju Lila mengangkat mukanya. Dari dua lobang di bagian matanya tampak sinar matanya yang menakutkan.
Hui Kiam rebah di tanah dengan tenang. Ia berada dalam keadaan tidak ingat orang, sudah tentu tidak tahu ada orang yang membicarakan soal mati hidupnya.
Orang Tua Tiada Turunan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Suara tertawanya itu demikian nyaring, sangat berbeda dengan kebiasaannya.
Pui Ceng Un dan Ie It Hoan telah dikejutkan oleh suara tertawa itu. Mereka tidak mengerti mengapa orang tua itu tertawa. Dalam keadaan seperti sekarang ini, hampir semua orang diliputi oleh perasaan duka, tetapi sebaliknya ia malah tertawa seperti orang gila, ini sesungguhnya merupakan kejadian aneh.
Sinar mata Orang Berbaju Lila nampak guram ketika mendengar suara Orang Tua Tiada Turunan itu, badannya juga gemetar. Mungkin ia sudah mengerti sebab-sebabnya orang tua itu tertawa.
Lama sekali, Orang Tua Tiada Turunan baru berhenti tertawa. Dengan nada suara bengis dan sungguh-sungguh:
“Ada sedikit perkataan yang tidak boleh tidak akan kuucapkan.”
Orang Berbaju Lila itu berbangkit dan bertanya:
“Cianpwee hendak memberi nasehat apa?”
“Maksudmu bukankah hendak membinasakannya?”
Orang Berbaju Lila itu mundur dua langkah, lalu berkata dengan suara duka:
“Cianpwee, hanya ini rupa-rupanya merupakan jalan satu-satunya.”
“Hem! Apakah karena takut dia akan membawa bencana bagi rimba persilatan?”
“Ya.”
“Apakah bukan karena persoalan pribadi?”
“Persoalan pribadi? ... Apakah yang cianpwee maksudkan ....?”
“Andaikata racun nyali serigala yang mengeram dalam tubuhnya nanti akan merubah sifatnya menjadi iblis ganas, memusnahkan saja kepandaiannya, itu adalah cara yang paling baik. Dengan membuat begini saja aku sudah anggap keterlaluan, sebaliknya kau masih hendak membinasakannya.”
Mata Pui Ceng Un dan Ie It Hoan ditujukan kepada Orang Berbaju Lila. Mereka ingin tahu bagaimana ia harus menjawab.
Orang Berbaju Lila menundukkan kepala. Lama sekali ia baru mengangkat kepala dan berkata:
“Seorang yang belajar ilmu silat, apabila dimusnahkan kepandaiannya, sekalipun hidup tetapi juga seperti mati. Apalagi meskipun kepandaiannya sudah musnah, tetapi racun belum hilang, siapa tahu ia nanti dapat melakukan perbuatan yang menakutkan?”
“Sungguh cerdik kau menyanggah! Kalau kepandaiannya sudah musnah, ia masih bisa berbuat apalagi? Lagi pula jikalau racun itu belum bilang, ingatan dan pikirannya masih belum kembali, bagaimana bisa terjadi hidup seperti mati?”
“Biar!”
“Apakah kau tidak menganggap bahwa perbuatan itu terlalu kejam baginya?”
“Keadaan sudah mendesak, kita tidak boleh tidak berbuat demikian!”
“Apakah kau memang sengaja tidak mau menolong dirinya?” berkata Orang Tua Tiada Turunan dengan suara sengit sambil menunjuk Orang Berbaju Lila.
Orang Berbaju Lila terkejut, kedua matanya memancarkan sinar aneh. Katanya dengan suara gemetar:
“Bagaimana Cianpwee mempunyai pikiran demikian?”
“Bukti sudah nyata, bagaimana kau dapat mengelabui mataku?” jawabnya sambil tertawa dingin.
“Boanpwe tidak mengerti....”
“Di dalam dunia tiada suatu racunpun yang tidak dapat dipunahkan. Tentang racun Bit-sin-wan, kau sekarang sudah ada obatnya, tentang racun Long-sim-tan juga pasti ada obat pemunahnya, hanya obat pemunah itu tentu saja berada di tangan orang yang memberikan racunnya. Mengapa kau tidak mencari pikiran keras dengan cara bagaimana harus mendapatkan obat pemunah itu?”
Orang Berbaju Lila itu mundur lagi satu tindak, berkata dengan suara gelagapan:
“Kenyataannya memang kita tidak dapat melaksanakan, sebab tiada seorangpun yang bisa mendapatkan obat pemunah dari tangan pemimpin Bulan Emas.”
“Segala hal tergantung kepada manusia. Ada harganya atau tidak engkau lakukan.”
“Ini….”
“Maksudmu tidak terlepas dari mataku. Oleh karena sepatah perkataan Tong-hong Hui Bun, kau lalu tega hati hendak membinasakannya?”
Pui Ceng Un dan Ie It Hoan bagaikan terkena strom listrik. Perhatian kedua pemuda itu terhadap diri Hui Kiam sama-sama besarnya. Ucapan yang mengejutkan itu agaknya mengandung arti yang menakutkan, tetapi saat itu mereka masih belum dapat memahami.
Orang Berbaju Lila menunjukkan sikap yang agak ganjil. Sambil mengepal kedua tangannya berulang-ulang digerakkan ke atas, ia berkata seperti orang sudah kalap:
“Boanpwee tidak tahu bagaimana harus berbuat?”
Pernyataan itu berarti ia sudah mengakui bahwa tuduhan Orang Tua Tiada Turunan itu benar.
Ini benar-benar sangat mengejutkan.
Sambil mengawasi Orang Berbaju Lila, Orang Tua Tiada Turunan itu berkata:
“Perempuan itu berkata bahwa ia sudah mengadakan gabungan rahasia dengan bocah ini, apakah kau percaya?”
“Dia memang dapat melakukan itu.”
“Anggaplah begitu, tetapi bukanlah dia yang berdosa! Apalagi, itu baru ucapan sepihak saja.”
“Cianpwee, berkata ini.....”
“Sekarang tidak perlu kita meributkan soal ini. Kau harus berusaha menolong dirinya.”
Orang Berbaju Lila itu lama berdiam, kemudian lalu berkata:
“Hendak mendapatkan obat pemunah dari tangan pemimpin Bulan Emas, kenyataannya memang tidak mungkin lagi....”
“Apakah tahu resepnya obat pemuda itu?”
“Tahu, hanya.... ada semacam ramuan obatnya terpenting yang susah dicari!”
“Coba kau sebutkan namanya!”
“Hiat-ay!”
“Apa itu Hiat-ay?” bertanya Orang Tua Tiada Turunan. Setelah sesaat lama terheran-heran baru berkata pula:
“Barang mustika yang mujijat, kadang-kadang bisa ketemu tetapi tidak dapat dicari. Nampaknya kita hanya berusaha ke arah Persekutuan Bulan Emas itu saja.”
Ie It Hoan lalu berkata:
“Boanpwe mempunyai suatu akal.”
“Bocah, kecerdikan dan akal muslihatmu tidak kalah daripada setan pemabukan tua itu, coba kau ceritakan,” berkata Orang Tua Tiada Turunan.
“Boanpwe akan mengganti rupa sebagai Hui Kiam, lalu masuk ke Persekutuan Bulan Emas untuk bertindak sambil menantikan kesempatan.”
Orang Berbaju Lila segera berkata:
“Itu tidak mungkin.”
“Kenapa?” bertanya Orang Tua Tiada Turunan.
“Pertama, bentuk badannya jauh berbeda dengan Hui Kiam. Menyaru mengganti muka memang bagus, tetapi bentuk badan orang tidak mudah dirubah. Sekalipun dapat mengelabuhi tetapi itu hanya untuk sementara saja. Ke dua, kepandaian dan kekuatan juga masih terlalu jauh, setiap saat bisa terbuka rahasianya. Dan ke tiga, kepergianmu kali ini pedang sakti Thian Khie Sin Kiam merupakan barang yang harus dibawa, apabila rahasiamu terbuka, orang dan barang akan musnah semuanya.”
“Kalau begitu kita sudah tiada harapan lagi?”
“Kedua tua bangka itu mungkin….”
“Boanpwe sudah berkata dengan mereka berdua. Semua tidak tahu kemana harus dicari tetumbuhan yang dinamakan Hiat-ay itu.”
Pui Ceng Un tiba-tiba menyela:
“Boanpwe pernah mendengar ada semacam tetumbuhan yang dinamakan Hiat-ouw-co.”
“Benar, Hiat-ouw-cu adalah nama gantinya Hiat-ay. Dari mana nona dengar?” bertanya Orang Berbaju Lila.
“Suhu pernah mengatakan itu.”
“Di mana kita mencarinya?”
“Di dalam goa si Raja Iblis di gunung Kui-im-san. Dahulu suhu karena minta daun tumbuhan itu, hampir saja mengantarkan jiwa di dalam goa tersebut.”
“Apakah suhumu pernah mendapatkan daun pepohonan itu?”
“Tidak, hanya berhasil menyelamatkan jiwanya.”
“Apakah barang itu ada pemiliknya?”
“Ya.”
“Sudah cukup kalau kita mengetahui tempatnya.”
“Itu belum tentu.”
“Kenapa?”
“Gunung Kui-im-san merupakan suatu tempat terpencil. Apabila kita tak mengenal jalannya, di setiap tempat setiap saat bisa mendapat bahaya. Selangkahpun sulit akan bertindak.”
“Apakah nona tahu jalan ke gunung itu?”
“Dulu pernah dengar cerita suhu.”
“Kalau begitu nona harap suka menunjukkan jalannya….”
“Boanpwee ingin pergi sendiri.”
“Barang yang ada pemiliknya, apalagi tempat itu sangat berbahaya, bagaimana nona boleh pergi menempuh bahaya besar…?”
“Harap cianpwe jangan lupa bahwa dia adalah sute boanpwee. Untuk menolong dia adalah kewajiban boanpwee sebagai sucinya.”
Ie It Hoan berkata dengan sikap sangat gembira:
“Enci Un, biarlah siaote pergi bersama-sama denganmu.”
“Kau tidak boleh.”
“Aku... tidak boleh?”
“Ya. Sebab di gunung Kui-im-san itu ada semacam larangan yang melarang laki-laki masuk ke gunung tersebut. Siapa yang melanggarnya, bisa pergi tidak bisa kembali.”
“Betulkah kejadian serupa itu?” bertanya Ie It Hoan yang agaknya tidak percaya.
“Aku tidak perlu membohongi kau,” jawab Pui Ceng Un sambil menganggukkan kepala.
Ie It Hoan nampak berpikir, kemudian berkata:
“Begini saja Enci Un, siaute ikut mengawanimu. Setiba di tempat tersebut, kau mendaki ke atas gunung, dan aku menunggu di luar daerah pegunungan.”
“Hem! Begitupun baik!”
Orang Berbaju Lila berkata:
“Nona Pui memerlukan waktu beberapa lama?”
“Apabila tiada halangan, dalam waktu sepuluh hari aku sudah bisa kembali.”
“Jikalau begitu aku harus bawa Hui Kiam ke kamar rahasia untuk menantikan kabar baik darimu.”
“Baik.”
“Padahal orang Persekutuan Bulan Emas sangat membencinya, keselamatanmu di sepanjang jalan….”
“Boanpwee bisa berlaku hati-hati!”
Ie It Hoan lalu berkata sambil menepuk dada:
“Jangan khawatir, jika hanya untuk mengelabuhi mata orang, itu adalah keahlianku. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa.”
Orang Tua Tiada Turunan berkata:
“Bocah, akal bulus semacam itu aku percaya kepadamu, tetapi kau jangan sampai lupa daratan, karena dalam soal ini menyangkut kepentingan banyak orang. Kau sudah pikirkan atau tidak?”
“Boanpwee tahu!”
“Baiklah, kalian berdua lekas balik untuk membereskan barang-barang yang kalian perlu pakai. Malam ini juga harus berangkat.”
Hari itu udara cerah. Di atas jalan raya ada sepasang lelaki dan wanita setengah tua berpakaian seperti orang desa, berjalan dengan cepatnya menuju ke arah gunung Soat-hong-san. Kecepatan bergeraknya benar-benar sangat mengejutkan siapa yang melihatnya.
Mereka berdua adalah Ie It Hoan dan Pui Ceng Un yang sudah mengganti rupa dan pakaian, yang hendak pergi ke gunung Kui-im-san untuk minta tetumbuhan yang dinamakan Hiat-ay. Gunung Kui-im-san itu terletak di tengah-tengah gunung Pek-hoa-san di sebelah selatan gunung Soat-hong-san.
Selagi berjalan, Ie It Hoan berkata dengan suara perlahan:
“Kita telah diikuti!”
“Aku tahu. Kita berjalan terlalu cepat, sudah tentu menimbulkan perasaan curiga. Entah orang dari golongan mana orang yang menguntit kita itu?”
“Kita jangan ambil pusing!”
Pada saat itu dari belakang mereka tiba-tiba terdengar suara orang berkata:
''Tunggu sebentar! Sungguh gesit gerakan kalian.”
Ie It Hoan dan Pui Ceng Un terpaksa berhenti dan membalikkan badan. Enam orang berpakaian hitam yang masing-masing membawa pedang sudah maju mengurung. Satu di antaranya seorang tua bermuka merah mengawasi mereka sejenak baru berkata:
“Sahabat-sahabat dari mana?”
Ie It Hoan setelah mengawasi orang tua itu lalu berkata:
'“Tuan apakah sesepuh dari partai Heng-san-pay yang bernama Hui-hoa-ciu Ouw Ceng?”
Orang tua itu nampaknya terkejut dan terheran-heran, lalu menjawab:
“Aku si orang tua adalah pemegang kuasa cabang Persekutuan Bulan Emas daerah gunung Heng-san!”
“Oh! Kalau begitu tuan adalah orang pertama yang menduduki kursi kekuasaan ini. Aku yang rendah sungguh kurang ajar tidak mengetahui kedatangan tuan yang terhormat.”
Orang tua itu balas bertanya dengan nada suara dingin:
“Bagaimana nama sebutan sahabat yang mulia?”
“Satu pion yang tidak bernama, tidak perlu menyebut nama!”
“Sahabat terlalu merendahkan diri. Ditilik dari gerakan kaki kalian berdua tentunya bukan orang-orang sembarangan. Hanya si orang tua yang matanya sudah lamur, tidak mengetahui siapa sebetulnya kalian ini.”
Pui Ceng Un yang nampaknya sudah tidak sadar lalu berkata:
“Ouw! Lengcu ada keperluan apa?”
“Apakah kalian berdua adalah suami isteri?”
“Kentutmu!”
“Orang perempuan, bagaimana enak saja memaki orang seenaknya saja!?”
“Dan kau mau apa?!”
Ie It Hoan karena khawatir akan menghambat perjalanannya, maka buru-buru berkata:
“Lengcu menghentikan kami berdua suci dan sute, pasti ada keperluan.”
“Beritahukan dulu namamu?”
Pui Ceng Un yang pernah menjadi murid si Raja Pembunuh, sifatnya sedikit banyak ketularan sifat gurunya. Mendengar perkataan itu, segera dijawabnya dengan nada suara ketus dan dingin:
“Kau tidak berhak!”
Hui-hoa-ciu Ouw Ceng merasa malu, seketika itu timbul amarahnya. Maka segera berkata dengan suara bengis:
“Aku si orang tua karena memandang kau adalah kaum wanita....”
“Pui! Jangan berlagak seperti seorang satria padahal kau rela menjadi pembantunya orang jahat melakukan kejahatan terhadap sesama kawan rimba ptisilatan, dan kau masih belum merasa malu dengan nama baikmu yang pernah menjadi sesepuh dari partay golongan baik-baik.”
“Kau mencari mampus?”
“Yang mencari mampus justru kau sendiri!”
Ie It Hoan diam-diam mengeluh, karena ia tahu bahwa pengaruh Persekutuan Bulan Emas besar sekali, orang-orangnya tersebar hampir di pelosok dunia. Apabila mereka datang menyerbu, meskipun tidak perlu ditakuti, dan ini berarti akan menelantarkan urusan penting juga berarti memperpanjang waktu penderitaan Hui Kiam. Tetapi kejadian sudah terjadi, ia juga tidak berdaya.
Orang tua itu menghunus pedangnya. Perbuatan itu segera ditiru oleh kawan-kawannya.
Di dalam partay Heng-San-Pay, Ouw Ceng merupakan jago pedang nomor satu, di kalangan Kang-ouw juga terhitung salah seorang jago pedang kenamaan. Ilmu pedangnya yang dinamakan Hui-hoa Kiam-hoat demikian rupa hebatnya sehingga mendapat gelar Hui-hoa-ciu yang berarti tangan bunga beterbangan.
Ie It Hoan berkata dengarn suara nyaring:
“Orang She Ouw, bicara dulu terus terang baru berkata lagi. Apakah maksudmu yang sebenarnya?”
Orang tua itu menatap wajah Pui Ceng Un seraya berkata:
“Orang-orang yang mencurigakan, semua harus diminta keterangan asal-usulnya.”
“Apakah dunia rimba persilatan sudah dikuasai oleh Persekutuan Bulan Emas?”
“Kau tahu itu sudah cukup.”
Mata Pui Ceng Un memancarkan sinar gusar. Ia berkata dengan nada suara dingin:
“Ouw-Ceng, jikalau kau mampu menyambut seranganku satu jurus saja, nonamu akan ampuni jiwamu!”
Siapa tahu bahwa perkataan ‘nonamu’ itu merupakan suatu kesalahan besar, karena pada saat itu ia sudah menyaru sebagai seorang perempuan setengah tua, bagaimana menyebut diri sendiri ‘nonamu’? Di samping itu suaranya juga menunjukkan suara orang yang masih muda, jelaslah sudah bahwa perempuan itu sedang menyaru.
Dalam keadaan amarah Ouw Ceng tidak mencari keterangan siapa adanya perempuan itu. Dengan tanpa banyak bicara pedangnya segera bergerak melakukan serangan....
Sebentar kemudian terdengar suara jeritan ngeri. Wajah Ouw Ceng sudah hancur dan berlumuran darah. Keadaannya sangat mengerikan.
Pui Ceng Un perlahan-lahan menarik tangannya. Ujung jari tangannya masih penuh tanda darah.
Lima orang orangnya Ouw Ceng ketika menyaksikan keadaan demikian, semua merasa ketakutan, sehingga sudah lupa bertindak juga lupa melarikan diri. Mereka berdiri terpaku di tempatnya.
Ie It Hoan lalu berkata:
“Enci Un, mari kita melanjutkan perjalanan!”
“Aku sudah menyelesaikan tugas membasmi kejahatan. Manusia-manusia semacam ini, entah sudah berapa banyak mengalirkan darah sahabat-sahabat kita dalam rimba persilatan?”
Pada saat itu terdengar pula suara jeritan berulang-ulang. Dalam satu gerakan Pui Ceng Un sudah menamatkan jiwa lima orang berbaju hitam yang lainnya dalam keadaan serupa dengan Ouw Ceng.
Ie It Hoan meskipun dalam hati tidak setuju tindakan sekejam itu, tetapi ia tidak bisa berkata apa-apa hanya minta supaya lekas melanjutkan perjalanannya.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang berkata:
“Jangan pergi dulu.”
Sesosok bayangan orang berpakaian hitam meluncur turun di hadapan mereka. Orang itu setelah mengawasi lima bangkai yang menggeletak di tanah, kemudian menatap wajah Pui Ceng Un seraya berkata:
“Cara membunuh orang si Raja Pembunuh benar-benar sangat kejam. Apakah nona seorang she Pui?”
Pui Ceng Un dikejutkan oleh pertanyaan orang itu. Dari sinar mata orang itu, dapat diduga bahwa orang itu berkepandaian tinggi sekali, tetapi ia tidak takut. Jawabnya dengan terus terang:
“Benar, nonamu adalah seorang she Pui. Kau siapa?”
“Utusan nomor tiga belas.”
“Algojo Persekutuan Bulan Emas....”
Ie It Hoan kembali diam-diam mengeluh. Dengan munculnya Utusan Bulan Emas ini, orang-orang persekutuan tersebut tentunya bukan hanya ia seorang saja, dan orang yang sudah terpilih mendapat pangkat sebagai utusan persekutuan itu termasuk tenaga terpilih dari orang-orang rimba persilatan.
Utusan nomor tiga belas itu berkata sambil tertawa dingin:
“Nona Pui, siapa tuan ini?”
Utusan tiga belas itu matanya melirik kepada Ie It Hoan.
Karena urusan sudah berubah demikian rupa, biar bagaimana sudah susah sembunyikan dirinya lagi. Ie It Hoan juga mengatakan terus terang:
“Aku ini adalah Sukma Tidak Buyar.”
“Bagus sekali. Kalian berdua merupakan tetamu penting yang akan diundang oleh persekutuan kita.”
Setelah berkata demikian tangannya bergerak. Sebuah tanda yang berupa benda yang dapat mengeluarkan asap berwarna biru meluncur ke udara.
Nyatalah sudah bahwa utusan nomor tiga belas itu telah mengetahui bahwa kepandaiannya sendiri tak sanggup melawan murid si Raja Pembunuh dan Sukma Tidak Buyar, maka ia perlu melepaskan tanda SOS yang berupa anak panah berapi yang dapat mengeluarkan sinar dan asap biru.
Ie It Hoan sangat cerdik, ia sudah mengetahui dengan jelas keadaan pada saat itu. Apabila kepandaian bala bantuan yang akan datang itu berimbang dengan utusan nomor tiga belas itu, sudah pasti akan terjadi suatu pertempuran sengit, dengan demikian berarti akan menghambat perjalanannya. Dan apabila kepandaian bala bantuan itu lebih tinggi daripada utusan ini, susah diduga akibatnya. Apalagi orang-orang Persekutuan Bulan Emas bukan hanya mengandalkan kepandaian ilmu silat saja, segala akal dan perbuatan bisa dilakukan. Dengan kepandaiannya ia sendiri dengan Pui Ceng Un mungkin masih dapat meloloskan diri, tetapi apa selanjutnya yang akan terjadi, susah untuk diduga. Maka ia harus mengambil tindakan dengan tepat.
“Enci Un, waktu kita sangat berharga, tugas kita sangat berat, kita tidak boleh bertindak salah!” demikian ia berkata.
Pui Ceng Un sudah tentu mengerti ucapan pemuda itu.
Sementara itu Utusan nomor tiga belas masih belum memikirkan untuk bertindak, karena ia sedang menantikan kedatangan bala bantuan. Ia mengharap tindakannya sekaligus bisa berhasil.
Oleh karena hubungan dengan Hui Kiam, kedudukan Pui Ceng Un di mata utusan itu dipandangnya penting sekali.
Kedua pemuda itu saling berpandangan sejenak, keduanya lalu menyerbu.
Utusan nomor tiga belas itu dengan cepat menghunus pedangnya untuk membendung dirinya dari serangan. Jelas bahwa ia tiada bermaksud untuk bertempur mati-matian, maksudnya hanya hendak mengulur waktu. Ilmu pedangnya yang digunakan untuk menjaga diri benar-benar sulit dicari lowongannya.
Ie It Hoan yang tidak berhasil mencari tempat kosong untuk melancarkan serangannya, untuk sesaat juga tidak berdaya.
Tidak demikian dengan Pui Ceng Un. Ia masih tetap melancarkan serangannya, sehingga utusan itu terpaksa mundur.
Kenyataannya apabila pertempuran itu tidak lekas berakhir, akibatnya memang runyam.
Pui Ceng Un dengan beruntun melancarkan serangannya yang mematikan. Utusan nomor tiga belas yang harus menjaga diri mati-matian, akhirnya terbukalah suatu lowongan. Kesempatan ini sudah tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh It It Hoan, maka segera melancarkan serangannya dengan sepenuh tenaga.
Utusan nomor tiga belas itu melompat mundur sejauh tiga tombak. Maksudnya masih tetap hendak mengulur waktu.
Pui Ceng Un membentak dengan suara keras:
“Tidak dapat membereskan dirimu, percuma menjadi murid si Raja Pembunuh!”
Sambil berseru demikian, badannya bergerak bagaikan bayangan menusuk di antaranya berkelebatnya sinar pedang....
Sebentar kemudian suara jeritan ngeri keluar dari mulut utusan nomor tiga belas itu, kemudian badan utusan itu roboh di tanah dalam keadaan hancur muka dan kepalanya.
Ie It Hoan lalu berkata sambil menunjuk ke sebuah rimba yang tidak jauh dari tempatnya:
“Enci Un, lekas!”
Kedua-duanya segera lompat melesat masuk ke dalam rimba.
Di kedua ujung jalan raya, saat itu sudah tampak bayangan manusia....
Ie It Hoan yang sudah berada di dalam rimba, lalu berkata dengan suara cemas:
“Enci Un, kita lekas ganti pakaian lagi. Kita jalan berpencaran. Kau jalan menuju ke utara mengitari rimba ini, dan belok lagi ke timur. Kita bertemu di depan.”
Pui Ceng Un segera membuka kedok di mukanya, ia menukar dengan yang lain. Begitu juga dengan pakaiannya, ia segera menukarnya sehingga sudah berubah menjadi seorang perempuan desa tua, yang sebentar kemudian sudah menghilang ke dalam rimba.
Mata Ie It Hoan berputaran, seolah-olah mencari apa-apa. Kemudian ia melihat seorang penebang kayu sedang berjalan ke arahnya sambil memikul kayunya. Pikirannya terbuka seketika. Ia menghampiri dan secepat kilat menotok jalan darah tukang kayu itu.
Tukang penebang kayu itu belum tahu apa yang telah terjadi, sudah roboh pingsan.
Ie It Hoan segera mendukungnya dan disandarkan di bawah sebatang pohon besar. Ia mengeluarkan sepotong uang perak, dimasukkan ke dalam saku tukang penebang kayu itu seraya berkata:
“Sahabat, aku terpaksa menyusahkan dirimu. Duduklah kira-kira setengah jam. Uang ini sebagai ganti kerugianmu.”
Tukang penebang kayu itu dalam hati mengerti, tetapi tidak bisa membuka mulut, bergerak juga tidak bisa.
Ie It Hoan memikul kayu itu dengan cepat meninggalkan tempat itu. Baru saja keluar dari rimba, tiga orang berbaju hitam sudah datang menghampiri.
Ie It Hoan yang memang berpakaian sebagai orang desa, dengan memikul kayu sudah tentu tidak menimbulkan curiga. Dengan tindakan lebar ia berjalan terus menuju ke jalan raya.
Sepanjang jalan itu, sedikitnya ia menjumpai sepuluh rombongan lebib orang berpakaian berwarna hitam itu.
Berjalan kira-kira tiga pal, ia lemparkan kayunya, lalu mengambil jalan kecil lagi untuk bertemu dengan Pui Ceng Un. Kemudian melanjutkan perjalanan ke gunung Pek Ma-San. Di waktu senja, sudah memasuki daerah pegunungan, mereka membawa bekal sedikit makanan, malam itu juga terus memasuki pegunungan.
Esok hari pagi-pagi sekali, dua orang itu sudah tiba di atas puncak bukit. Pui Ceng Un lalu berkata sambil menunjuk ke depan:
“Gunung yang tertutup oleh kabut dan awan itu adalah gunung Kui-im-san. Gua raja iblis itu terdapat di bawahnya.”
Ie It Hoan mengawasi gunung yang ditunjuk oleh Pui Ceng Un itu. Ia segera melihat beberapa gunung anakan besar kecil yang tak sedikitu jumlahnya, berdiri berderet-deret bagaikan biji catur. Satu di antaranya, sebentar nampak nyata sebentar menghilang. Nama gunung Kui-im yang berarti bayangan setan, memang tepat.
“Apakah Enci Un hendak berangkat sekarang juga?” demikian ia bertanya.
“Sudah tentu, waktu sangat berharga, kau tunggu aku di sini saja!”
“Siaote....”
“Ada apa?”
“Siaote benar-benar tidak tega Enci Un pergi seorang diri untuk menempuh bahaya!” berkata Ie It Hoan dengan sikap sungguh-sungguh.
“Memang benar, dalam perjalanan ini memang menempuh bahaya, tetapi bahaya ini tidak boleh tidak aku harus menempuhnya. Hui sute adalah murid Ngo-tee satu-satunya. Kepandaian Ngo-tee tergantung di tangannya, jangan sampai lenyap dari muka bumi. Tugas menuntut balas bagi perguruannya, juga terletak di atas pundaknya. Di samping itu, pertempuran antara golongan baik dan golongan jahat sudah akan dimulai. Para locianpwe dan para sahabat dunia rimba persilatan menaruh harapan besar kepada dirinya. Ia boleh dikata adalah tiangnya rimba persilatan pada dewasa ini. Sesungguhnya ada harganya
untuk mengorbankan segala apa untuknya,” berkata Pui Ceng Un dengan suara agak gemetar.
''Benarkah aku tidak boleh jalan bersama?”
“Benar!”
“Apakah Enci Un yakin benar bisa mendapatkan tumbuhan Hiat-ay itu?”
“Susah dikata!”
“Seandainya….”
Pui Ceng Un berusaha menindas perasaannya yang bergolak hebat, ia berkata dengan tenang:
“Adik Hoan, besok pagi setelah matahari terbit, apabila kau tidak melihat aku keluar dari gua itu, kau segera pulang menyampaikan kabar, minta kepada para locianpwe itu supaya mencari daya upaya lain.”
Mata Ie It Hoan menampak merah. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Enci Un, besok pagi apabila aku tidak nampak kau keluar, aku....”
“Bagaimana?”
“Menerjang masuk ke dalam goa!”
Sesaat Pui Ceng Un tercengang, kemudian ia berkata dengan sikap dan suara bengis:
“Kau ingin mati mudah sekali, tetapi Hui Kiam harus hidup, harus sembuh. Maka kau harus pulang untuk memberi kabar!”
Mata Ie It Hoan berkaca-kaca, tetapi ditahan jangan sampai mengeluarkan air mata. Katanya dengan suara gemetar:
“Baiklah, aku hendak pulang, tetapi aku bisa datang lagi.“
“Datang lagi untuk mengantar nyawa?”
“Mati, apa yang harus ditakuti?”
Pui Ceng Un tergerak hatinya oleh ucapan pemuda itu. Pikirannya merasa kusut. Sudah tentu ia dapat memahami pikiran pemuda itu. Akan tetapi, sesuatu pikiran yang sudah lama ada dalam hatinya, membuatnya bertahan terus untuk mengendalikan setiap godaan. Ketika mendengar perkataan itu, ia berkata dengan suara sedih:
“Adik Hoan, perlu apa kau berbuat begitu?”
“Enci Un, setiap manusia mempunyai kemauan sendiri-sendiri.”
Badan Pui Ceng Un gemetar, hatinya merasa pilu. Tetapi ia terpaksa harus mengambil keputusan yang mungkin menambah kedukaan Ie It Hoan.
“Aku hanya mengucapkan seandainya saja,” demikian ia berkata.
“Siaotee tahu.”
“Selain daripada itu, aku juga tidak ingin hutang budi orang!”
“Enci Un, sekarang.... sekarang.....”
“Kenapa?”
“Bolehkah siaotemu mengeluarkan kata-kata yang sudah lama tersimpan dalam hati siaote?“
Pui Ceng Un sudah tentu membayangkan perkataan apa yang hendak diucapkan. Ia ingin mendengarnya tetapi ia tidak mau dengar! Ia keraskan hatinya, lalu berkata:
“Tidak, usahaku sekarang harus lekas menyelesaikan tugasku. Jikalau ada untung aku bisa pulang, nanti kita bicarakan lagi perlahan-lahan?”
Ie It Hoan menunjukkan sikap sangat berduka. D«ngan nada suara yang minta dikasihani, ia berkata:
“Enci Un, siaote harus menerangkan sekarang juga.”
'“Aku tidak suka mendengar. Aku toh tidak minta kau ikut, adalah kau sendiri yang ingin turut kemari.”
“Enci Un....”
“Aku hendak pergi!”
Setelah demikian Pui Ceng Un melesat ke bawah puncak gunung. Begitu tiba di bawah ia menengok ke atas, hanya dapat melihat sesosok bayangan orang samar-samar berdiri di atas puncak. Dalam hatinya merasa pilu, air matanya mengalir keluar. Ia berkata kepada diri sendiri:
“Adik Hoan, aku telah melukai hatimu, tetapi aku tidak pantas menerima cintamu. Parasku tidak dapat dilihat orang untuk selama-lamanya!”
Ia toh ingat akan tugasnya, maka segera mengkesampingkan semua pikirannya dan terus lari menuju ke jalan lembah. Ia memutari jalanan dalam lembah yang banyak tikungannya, akhirnya tibalah di mulut selat yang tiada terdapat tumbuh-tumbuhan sedikitpun juga. Di atas dinding batu gunung terdapat tulisan dengan huruf-huruf besar yang sangat menyolok.
Daerah terlarang bagi kaum pria! Siapa yang melanggar akan dihukum mati!
Hati Pui Ceng Un berdebaran. Ia membuka kedoknya, sehingga tampak wajah aslinya yang buruk dan banyak tanda cacat. Ia masih tetap mengenakan pakaiannya berwarna hijau, begitu pun kerudung mukanya yang berwarna hijau muda juga dipakainya lagi. Dengan memberanikan hati ia melesat memasuki mulut selat itu.
Jalanan yang merupakan terowongan sangat panjang dan gelap serta terdapat banyak cabang. Karena dia sudah tidak menghiraukan jiwanya sendiri, maka ia menenangkan kembali pikirannya untuk mengingat-ingat penuturan suhunya dahulu tentang keadaan dalam terowongan itu. Dengan tindakan sangat perlahan ia maju terus.
Dalam kabut yang amat tebal, samar-samar tampak banyak bayangan orang. Ia tahu bahwa itulah bayangan batu-batu runcing yang terdapat di dinding terowongan itu, maka ia tidak menghiraukannya sama sekali.
Berjalan hampir satu jam lamanya, tidak melihat suatu gerakan apa-apa.
Dari keadaan jalan dalam terowongan itu, ia dapat menduga bahwa tempat di mana ia berada sudah jauh lagi dari goa Raja Iblis seperti dituturkan oleh gurunya.
Bentuk dan roman muka penghuni dalam goa itu seperti apa yang dituturkan oleh gurunya dahulu, telah terbayang dalam otaknya, dan lamunannya terpeta satu bayaongan orang berwajah buruk penuh tanda luka, berambut putih, berpakaian warna-warni, berkepandaian sangat tinggi dan bersifat kejam.
Jantung hatinya berdebar semakin keras, bernapasnya juga mulai sesak.
Akan tetapi ia sedikitpun tidak mempunyai rasa takut. Untuk kepentingan Hui Kiam, ia menempuh bahaya ini tanpa menghiraukan jiwanya sendiri hanya satu sebab karena Hui Kiam adalah satu-satunya murid keturunan Lima Kaisar Rimba Persilatan.
Dengan tiba-tiba kabut yang tebal itu telah lenyap. Di hadapan matanya tampak mulut gua yang besar. Kabut yang demikian tebal itu agaknya terhalang sejarak lima tombak oleh semacam kekuatan yang tidak terwujud. Ini benar-benar merupakan sesuatu kejadian langka yang tidak habis dimengerti.
Pui Ceng Un berdiri tegak di depan. Keringat dingin dengan tanpa dirasa telah mengucur keluar. Dia berada dalam keadaan demikian, akhirnya ia memberanikan hati dan berkata:
“Siaoli Pui Ceng Un, seorang muda tidak berguna dari kalangan Kang-ouw. Karena ada sedikit urusan, ingin menjumpai Tongcu.”
Dari dalam terowongan menggema suara Pui Ceng Un yang memantul balik. Selain itu, tak ada reaksi.
la mengulangi sekali lagi ucapannya itu tadi:
Tiba-tiba satu suara yang bernada dingin dan tidak jelas terdengar di belakang dirinya.
“Apa kau datang hendak mengantar jiwa?”
Bulu roma Pui Ceng Un dirasakan berdiri. Ia mengepal dua tangannya, dengan cepat membalikkan badannya. Sesaat itu mulutnya ternganga, matanya terbuka lebar.
Di hadapannya berdiri seorang perempuan tua yang wajahnya jelek sekali dan penuh tanda cacat dengan rambut putih serta pakaiannya berwarna-warni. Manusia yang berbentuk demikian, bagi orang yang berkeberanian kecil pasti akan mati ketakutan, karena manusia semacam itu sebenarnya tidak patut disebut sebagai manusia lagi.
Wajah Pui Ceng Un sendiri yang telah rusak, meskipun juga berubah buruk, tapi kalau dibanding dengan wajah nenek itu, ternyata masih jauh lebih bagus.
Nenek itu mulutnya nampak bergerak-gerak, mengeluarkan suara samar-samar tetapi masih bisa didengar:
“Ada keperluan apa kau datang kemari?“
Pui Ceng Un seolah-olah baru sadar dari mimpinya. Ia lalu memberi hormat dan berkata:
“Boanpwe Pui Ceng Un dengan setulus hati datang kemari hendak....”
“Kau terangkan saja ada keperluan apa?”
“Minta sedikit Hiat-ay!”
“Hiat....”
“Ya.”
“Kak, kak, kak, kak!” demikian terdengar suara tertawanya bagaikan burung hantu, sehingga membuat bulu roma berdiri. Setelah memperdengarkan suara tertawanya yang aneh itu baru berkata:
“Di sini tak ada Hiat-ay, hanya satu macam….”
“Apa?”
“Kematian! Kak, kak. kak...”
Pui Ceng Un merasa seperti disiram oleh air dingin tetapi ia masih kendalikan perasaannya.
“Harap locianpwee berlaku murah hati dan kasihanilah....”
“'Nenekmu ini seumur hidupnya tidak kenal apa artinya kasihan. Budak, karena kau sudah datang kemari, terimalah nasibmu.”
“Apakah locianpwe tak sudi memberikan?”
“Hem, tidak bisa.”
Sesaat itu Pui Ceng Un telah kehilangan akal. Mati ia tidak takut karena kedatangannya ini memang sudah diberitahunya akan menempuh bahaya, maka ia tidak memikirkan soal kematiannya. Ia hanya ingat bagaimana racun di dalam tubuh Hui Kiam tidak dikeluarkan, ini berarti mati lebih baik daripada hidup….
Lama ia berdiri dalam keadaan bingung. Ia tidak tahu bagaimana harus membuka mulut lagi.
Tiba-tiba terdengar pula pertanyaan nenek aneh itu:
“Kau minta Hiat-ay untuk keperluan apa?”
“Untuk menolong orang.”
“Siapa orangnya yang hendak kau tolong?”
“Sutee dalam seperguruan!”
“Apakah dia kekasihmu?”
“Bukan! Hubungan kami hanya terbatas kepada saudara seperguruan saja.”
“Bagaimana kau tahu di sini ada Hiat-ay?”
Otak Pui Ceng Un bekerja keras. Kalau didengar dari perkataan nenek itu agaknya sudah mulai ada sedikit perbaikan, tetapi orang aneh dengan sikapnya yang aneh sulit sekali untuk diduga pikirannya. Oleh karena kedatangannya itu sudah tidak memikirkan mati hidupnya sendiri, sekalipun ia menerangkan asal-usul diri sendiri yang sebenarnya juga tiada halangan. Tiba-tiba ia ingat bahwa tempat itu merupakan tempat terlarang bagi kaum pria,
dengan cara bagaimana dahulu gurunya bisa keluar dalam keadaan hidup? Tentang ini dahulu gurunya belum pernah menerangkan secara terus terang. Dalam hal ini mungkin terselip sesuatu. Jikalau ia menerangkan asal-usul dirinya mungkin dapat mengungkap tabir yang menutupi rahasia ini, dan mungkin pula akan terjadi perubahan yang tidak diduganya.
Karena berpikir demikian ia lalu berkata dengan terus terang:
“Adalah suhu yang memberitahukan!”
”Siapa suhumu?”
“Si Raja Pembunuh.”
“Apa? Si Raja Pembunuh ...?!”
“Bagaimana dia tahu?”
“Karena... suhu pernah datang kemari!”
“Bohong, di sini tiada seorang lelaki yang datang kemari bisa balik lagi dalam keadaan hidup. Selama aku berdiam di sini, sudah ada duabelas lelaki yang mati di sini. Di antara mereka yang datang tiada terdapat si Raja Pembunuh.“
Pui Ceng Un tercengang. Apakah ucapan suhu itu bohong? Akan tetapi bagaimana keadaan dan cara jalannya menuju ke gua ini sama benar dengan penuturannya, bagaimana bisa membohong?
“Tetapi inilah sesungguhnya, jikalau tidak boanpwee juga tidak akan bisa sampai di sini dalam keadaan selamat!”
Perempuan aneh itu nampak berpikir, kemudian ia berkata:
“Siapa namanya?”
“Oet tie Siang!”
Badan nenek itu gemetar, mukanya yang buruk nampak berkerenyit. Perubahan sikap secara mendadak ini mengejutkan Pui Ceng Un.
“Katamu Oet-tie Siang adalah suhumu?”
“Ya!”
“Apakah... ia sudah meninggal?”
Tiba-tiba nenek itu menyambar pergelangan tangan Pui Ceng Un. Tindakan yang tidak terduga-duga itu sudah tentu tidak dapat dielakkan oleh Pui Ceng Un, sehingga mudah tangannya tergenggam oleh nenek itu.
“Ya, suhu meninggal pada beberapa bulan berselang!”
“Meninggal dengan cara bagaimana ?”
“Terbunuh oleh musuhnya, ialah si Iblis Singa, salah satu dari Delapan Iblis negara Thian-tik!”
Lama sekali tidak terdengar suara nenek itu. Tangannya mencekam pergelangan tangan Pui Ceng Un masih belum dilepaskan.
Suasana sepi sunyi dan menyeramkan.
Pui Ceng Un yang menantikan sekian lama masih belum mendengar pertanyaan apa, terpaksa bertanya.
“Apakah locianpwe dengan suhu….”
“Tutup mulut!” demikian nenek itu membentak setelah hening sejenak lalu menggumam sendiri:
“Memang harus mampus, bagus sekali kematiannya.”
Pui Ceng Un bergidik. Ucapan nenek itu kedengarannya tak mengandung maksud baik.
Dengan sinar mata tajam nenek itu menatap Pui Ceng Un, kemudian berkata dengan bengis:
“Dia berkata bagaimana tentang diriku?”
Untuk sesaat Pui Ceng Un merasa bingung, tetapi kemudian ia segera mengerti.
“Boaopwee justru ingin bertanya kepada locianpwee ada hubungan apa dengan suhu almarhum?”
“Hubungan? Hem! Aku tidak membunuhnya namun dia sudah mati, dan sekarang kau datang sendiri maka aku juga hendak membunuhmu!”
Pui Ceng Un hampir tidak dapat mengendalikcn perasaan gusarnya, tetapi akhirnya ia masih bcrlaku sabar, karena kepandaiannya sendiri tidak sanggup menandingi kepandaian nenek itu. Dan yang terpenting adalah, selagi masih bisa bernapas, ia tetap akan berusaha mendapatkan Hiat-ay untuk menolong diri Hui Kiam. Jikalau tidak mengingat kepentingan diri Hui Kiam, dengan sifatnya Pui Ceng Un yang sudah ketularan sifat gurunya, sudah tentu tidak bisa berlaku jinak. Maka setelah menenangkan pikirannya ia baru berkata :
“Apakah locianpwe mempunyai permusuhan dengan suhu?”
Nenek aneh itu memperdengarkan suara tertawanya yang aneh dan menyeramkan, kemudian baru berkata dengan suaranya yang mengandung perasaan gemas:
“Selamanya aku hendak menghancurkan bangkainya!”
Kembali Pui Ceng Un terpaksa bungkam. Ia tak dapat mengatakan apa-apa.
“Budak, mengapa kau harus memakai kerudung di mukamu?”
Pertanyaan itu bagaikan sengatan kumbang di diri Pui Ceng Un. Ia menjawab dengan lesu:
“Sebab boanpwe berparas cantik.”
”Jadi kau cantik? Sebelum aku membunuhmu aku ingin melihat bagaimana kecantikanmu.”
Tanpa banyak bicara kain kerudung yang menutupi muka Pui Ceng Un ditariknya dan dirobek menjadi berkeping-keping.
“Astaga!” Demikian nenek itu berseru terkejut. Ia melepaskan tangannya dan mundur beberapa langkah. Matanya memandang tajam kemudian berkata:
“Tidak salah, memang inilah perbuatannya. Dia mengapa hendak merusak wajahmu?”
“Karena peraturan. Peraturan menerima murid.”
“Peraturan? Ha ha ha. Suatu peraturan yang bagus sekali.”
Setelah berkata demikian, ia menyambar tangan Pui Ceng Un lagi, kemudian ditariknya lari masuk ke dalam goa.
Dalam goa itu terdapat tiga kamar batu. Hanya satu kamar yang keadaan ruangannya teraag. Nenek aneh itu meletakkan diri Pui Ceng Un di ruangan tengah yang luas, kemudian ia sendiri duduk di atas kursi dan bertanya dengan nada suara dingin:
“Badak, apakah kau mempunyai kekasih?”
Pui Ceng Un tidak dapat menebak apa maksud nenek itu bertanya demikian, tetapi biar bagaimana ia harus menjawabnya. Ketika mendengar pertanyaan itu, dalam otaknya terbayang wajah seorang pemuda tampan, tetapi sebentar sudah lenyap lagi. Dengan suara tegas ia menjawab:
“Tidak!”
“Benar-benar tidak?”
“Ini rasanya tidak perlu untuk membohong. Tidak ya tidak!”
“Apakah kau memikirkan saja pun tidak?”
“Aku adalah manusia, sudah tentu juga bisa memikirkan soal itu, tetapi aku tidak boleh memikirkan, juga tidak ingin memikirkan!”
“Mengapa?”
“Aku tidak pantas. Tidak pantas mencintai orang, juga tidak pantas dicintai orang.”
Wajah buruk nenek tua itu terjadi perubahan. Tetapi agak sulit untuk membedakan perubahan itu karena tertawa atau gusar ataukah tergerak pikirannya….
“Apakah kau membenci suhumu yang sudah mampus itu yang telah memberikan hadiah semacam ini kepadamu?”
“Tidak!”
“Katakan benci, lekas!”
“Tidak!”
“Mengapa kau tak membencinya?”
“Suhu merusak wajahku itu adalah peraturannya yang telah digariskan, dan aku juga rela. Apabila aku harus mengatakan benci, aku akan membenci kepada nasibku sendiri. Aku tidak mengeluh, juga tidak meoyesalkan orang.”
Nenek itu berkata dengan suara bengis:
“Apa itu nasib? Nasib adalah di tanganmu sendiri. Jikalau sekarang aku hendak membunuhmu, apakah itu juga nasib?”
“Ya, boleh dikata begitu.”
“Apabila kau tidak datang kemari, apakah kau bisa mati?”
“Tetapi aku toh sudah datang kemari.”
“Kalau sekarang aku membunuhmu, apakah kau juga tidak membenci?”
“Tidak.”
“Aku ingin kau membenci. Semakin dalam rasa bencimu semakin baik.”
Ucapan itu bagaikan ucapan yang sudah gila yang sudah tidak waras pikirannya, sehingga membuat orang serba salah tidak tahu bagaimana harus menjawab.
“Aku tidak benci, aku tak pantas untuk membenci!” Demikian akhirnya Pui Ceng Un menjawab.
“Mengapa tidak pantas?”
“Jikalau dalam hatiku sudah timbul perasaan benci, aku seharusnya merusak apa yang kubenci. Tetapi kepandaianku tidak dapat menandingi kepandaianmu!”
“Bagus! Bagus! Satu jawaban yang bagus sekali. Ini barulah perasaan benci yang sebenar-benarnya. Jikalau tidak bisa membenci secara demikian, lebih baik tidak membenci. Budak, sekarang aku tidak ingin membunuhmu lagi. Sebelum pikiranku berubah, kau lekas pergi dari sini.”
Pui Ceng Un memandang dengan sinar mata dingin kepada nenek aneh itu, sejenak kemudian berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala:
“Aku tidak mau pergi.”
“Kau... tidak mau pergi? Apakah kau ingin mati?”
“Penghidupan bagiku sudah kehilangan artinya. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang jngin kulakukan. Kalau itu tidak dapat kulakukan, apa halangan kalau aku harus mati?”
Biji mata nenek itu berputaran beberapa kali, kemudian berkata:
“Urusan apa yang kau tidak dapat melakukan?”
“Soal untuk mendapatkan Hiat-ay.”
“Demikian pentingnya sutemu itu bagimu?”
'“Bukan terhadap aku, tapi itu adalah terhadap perguruanku. Apalagi terhadap nasib seluruh rimba persilatan sangat penting sekali.”
“Untuk apa kau hendak meminta Hiat-ay?”
“Untuk dibuat campuran obat ramuan untuk memunahkan racun Long-sin-tan.”
“Apakah ia terkena racun Long-sin tan?”
“Ya.”
“Siapa yang menggunakan racun itu?”
“Putri pemimpin Persekutuan Bulan Emas Tong-hong Hui Bun, seoraug siluman perempuan.”
“Sudah lama aku tak menceburkan diri dalam dunia Kang-ouw, siapa pemimpin itu aku sudah tidak tahu. Sebaliknya aku mendadak
merasa senang terhadapmu. Sekarang begini saja, aku akan memberikan sebatang Hiat-ay dan kau harus melakukan beberapa pekerjaan untukku....”
Terjadinya perubahan ini benar-benar di luar dugaau Pui Ceng Un. Maka ia berkata dengan perasaan sangat girang:
“Silahkan Cianpwee memberikan perintah saja, boanpwee pasti akan melakukan.”
“Bagus. Kau tolong carikan seseorang untukku, karena aku masih ada hutang kepada orang itu aku harus mesti bayar lunas hutangku kepadanya.”
Nada suara Pui Ceng Un saat itu juga berubah merendah. Sikapnya juga menunjukkan sungguh-sungguh dan menghormat.
“Siapakah orangnya yang locianpwee ingin cari itu?”
“Kau dengarlah, aku nanti akan ceritakan satu kisah. Duduklah.”
“Boanpwee bersedia mendengarnya.”
Setelah itu ia lalu duduk di salah satu kursi di dekatnya.
Nenek itu nampaknya sangat berduka, akan tetapi nada suaranya masih tetap dingin, hanya sedikit banyak mengandung rasa terharu.
“Kisah ini terjadi pada empat puluh tahun berselang. Kala itu, di dalam rimba persilatan ada seorang perempuan yang mempunyai kecantikan luar biasa, dengan kepandaiannya yang tinggi sekali, sehingga kawan kawan dunia Kang-ouw menamakannya Bidadari.... berparas cantik dan berkepandaian tinggi.”
“Ow! Nama julukan bidadari itu dulu boanpwe pernah dengar dari ayah. Kalau tidak salah bidadari itu bernama Thi Hong Gie.”
“Kau jangan menyela! Dengarkan baik-baik. Bersamaan waktunya dalam rimba persilatan muncul seorang gagah berwajah tampan. Dalam suatu pertandingan persahabatan di antara orang-orang gagah, pemuda gagah itu berhasil mengalahkan dua puluh delapan lawannya, sehingga namanya seketika itu juga menjadi terkenal. Karena wajahnya yang tampan, oleh sahabat-sahabat
dunia Kang-ouw dia diberi nama julukan Giok-bin Sin-liong. Di dalam suatu kesempatan, perempuan cantik itu berkenalan dengan pemuda gagah dan tampan itu. Satu sama lain lalu jatuh cinta.”
Berkata sampai di situ, ia berhenti sejenak. Parasnya yang penuh tanda cacat terlintas warna merah. Kemudian ia melanjutkan penuturan.
“Tidak lama kemudian, dua muda-mudi itu menjadi suami istri. Kejadian pada waktu itu merupakan suatu peristiwa romantis yang menggemparkan dunia Kang-ouw. Banyak pemuda rimba persilatan yang merasa iri hati, sudah tentu juga menimbulkan perasaan dengki.”
Pui Ceng Un sangat tertarik oleh cerita itu. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Terdengar pula nenek itu melanjutkan ceritanya:
“Setahun kemudian, pada saat hari terjadilah suatu kejadian yang tidak biasa. Giok-bin Sin Liong Cho Hong di dalam perjalanan pulang ke rumahnya, telah dicegat oleh tiga jago pedang muda yang tidak diketahui asal-usulnya. Terjadilah suatu pertempuran dengan satu melawan tiga. Ketika bidadari yang cantik dan gagah itu mendengar kabar dan menyusul ke tempat kejadian, ternyata Giok-bin Sin Liong sudah rebah di tanah dalam keadaan terluka parah. Dalam murkanya sang istri itu lalu bertempur dengan tiga jago pedang itu.”
“Oh! Dan selanjutnya?”
“Jangan menolak, sudah tiga bulan lamanya Giok-bin Sin Liong rebah di atas pembaringan. Setelah sembuh dari luka-lukanya, terjadilah suatu kejadian yang sangat menakutkan. Ternyata saat itu meskipun lukanya sudah sembuh, tetapi ia sudah kehilangan kemampuannya sebagai seorang lelaki. Ia telah menjadi impoten. Maka sejak saat itu pasangan suami istri yang membuat iri hati banyak orang itu sudah berubah menjadi suami istri dalam arti kata hanya tinggal namanya saja ....”
Pui Ceng Un mukanya merasa panas mendengar penuturan itu.
“Perhubungan demikian, berlangsung terus beberapa tahun lamanya ....”
Pui Ceng Un lalu menyela dan memberi pujian:
“Cinta kasihnya bidadari itu patut dihargakan!”
“Tutup mulutmu, dengar ceritaku. Bidadari yang masih muda belia itu, disuruh menjalani penghidupan yang amat kering itu, sebenarnya memang susah. Pada saat itu, masuklah seorang pemuda gagah lain yang baru rnuncul di kalangan rimba persilatan. Dengan berbagai cara dan akal muslihat, jago muda itu memancing dan memikat bidadari itu, akhirnya salah pikir karena tidak mampu mengendalikan godaan hatinya, telah nelakukan perhubungan gelap dengan jago muda itu.”
“Kejadian ini agaknya sulit untuk menyalahkan pihak yang mana?” Demikian Pui Ceng Un menyelak pula.
---oo0dw0ooo---
JILID 32
“SETELAH kejadian tersebut, bidadari cautiK itu amat menyesal atas perbuatanya sendiri. Dengan terus terang ia memberitahukan kepada suaminya, semua apa yang telah terjadi. Suami itu karena mengetahui cacat kepada dirinya sendiri, akhirnya telah memaafkan perbuatan istrinya, akan tetapi sejak saat itu hubungan suami istri itu sudah timbul sedikit keretakan. Bayangan gelap ini membuat mereka masing-masing berada dalam penderitaan batin yang sangat berat.”
“Dan selanjutnya?” Demikian Pui Ceng Un bertanya.
Nenek aneh itu melototkan matanya, lalu berkata pula:
“Bidadari cantik itu sejak melakukan perhubungan gelap dengan jago muda itu, ternyata sudah mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Tetapi anak itu di mata suaminya sudah tentu merupakan duri. Dengan demikian keretakan suami istri itu semakin lama semakin dalam. Pada delapan belas tahun berselang, bidadari
cantik itu akhirnya pergi meninggalkan suaminya sambil membawa anaknya ia ingin mengasingkan diri untuk merawatnya ....”
Nada suaranya telah berubah, air mata mengalir keluar.
“Tetapi… Tuhan rupanya tidak mau mengampuni perempuan yang sudah berdosa. Anaknya yang susah payah dirawatnya itu, kemudian meninggal dunia karena kesalahan makan buah beracun....”
“Aaaa!” demikian Pui Ceng Un berseru.
Setelah hening cukup lama, nenek itu baru melanjutkan ceritanya:
“Sejak kejadian itu, satu-satunya pengharapan bidadari cantik itu telah musnah. Menyesal, membenci, kedukaan dan kesepian telah mengubah sifatnya yang semula. Ia ingin merusak dirinya sendiri tetapi ia tak mempunyai ketabahan hati untuk berbuat demikian. Urusan belum habis, pemuda yang pernah memancing dirinya dan menjerumuskannya ke jurang kedosaan itu, tiba-tiba datang mencarinya. Waktu itu pemuda itu usianya tidak muda lagi, dan bidadari tahu oleh karena akibat perbuatannya sendiri yang hendak merusak dirinya sudah merupakan seorang perempuan yang sudah banyak ubannya, sehingga tak secantik seperti dahulu lagi….”
Saat itu Pui Ceng Un sudah mulai dapat menduga siapa orangnya yang menjadi peranan utama dalan kisah itu, maka ia tidak berani menyela lagi.
Nenek itu berdiam sejenak untuk menindas perasaannya, demikian berkata pula:
“Setelah kedua pihak saling bertemu, bidadari cantik itu memberitahukannya tentang kematian anaknya, tapi laki-laki itu ternyata sedikitpun tidak tergerak hatinya. Seolah-olah ia menganggap sepi kejadian itu. belum lagi duduk ia sudah hendak berlalu. Semua omongan manis di waktu dahulu, seolah-olah bukan keluar dari mulut lelaki di hadapannya itu. Lelaki itu telah merusak penghidupannya, sebaliknya merasa tidak bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Dalam keadaan menyesal
dan benci, bidadari itn telah mengambil keputusan menghabiskan jiwa lelaki itu .... Ia turun tangan lebih dahulu, tetapi lelaki itu tak membalas, sehingga bidadari itu hatinya lemas lagi, tidak tega membunuhnya....”
Paras jelek nenek itu nampak berkerenyit beberapa kali. Dalam matanya Pui Ceng Un pada saat itu, paras nenek itu sudah tidak begitu buruk seperti semula.
Tak disangka bahwa itu adalah akal muslihatnya. Sebab ia sudah tahu bahwa kepandaiannya tidak sanggup melawan kepandaian bidadari itu. Selagi bidadari itu masih ragu-ragu dan bimbang pikirannya, lelaki itu tiba-tiba menggunakan tangannya yang ganas, dengan cara yang menakutkan, telah merusak paras bidadari itu.”
Pui Ceng Un saat itu tidak dapat mengendalikan perasaannya, maka lalu berseru:
“Lelaki sialan!”
Nenek itu melanjutkan ceritanya dengan nada suara meluap-luap.
“Bidadari itu bukan seorang sembarangan. Dalam keadaan terluka, ia masih dapat melakukan serangan pembalasan. Dengan cara yang serupa ia merusak wajah laki-laki itu. Tetapi akhirnya karena luka parah di mukanya, bidadari itu sudah tidak mempunyai tenaga untuk membinasakan laki-laki itu, sehingga laki-laki itu meloloskan diri.”
“Selama sepuluh tahun lebih ini, kebencian bidadari itu terhadap lelaki buas itu sedikitpun tidak luntur, bahkan semakin mendalam. Tetapi ia tidak pergi mencarinya untuk menuntut balas, sebab ia sudah tak mempunyai keberanian lagi untuk menjumpai kawan-kawan lamanya.”
Pui Ceng Un merasa sangat terharu. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Locianpwe kiranya mempunyai riwayat hidup yang demikian memilukan hati!”
“Coba kau tebak, siapakah lelaki yang kurusak wajahnya itu?”
“Boanpwe tidak bisa menebak!”
“Dia adalah gurumu sendiri.”
Pui Ceng Un mendadak lompat dari tempat duduknya. Ia sangat terkejut, sehingga lama tidak bisa berbicara.
“Ini adalah hadiah pemberian suhumu. Ini adalah bidadari berparas cantik dan berkepandaian tinggi yang dahulu kecantikannya pernah menggemparkan dunia Kang-ouw!”
“Locianpwe....”
“Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi setiap aku berkata satu kali. Biarlah penderitaan ini menebus dosa perbuatanku. Aku berdosa terhadap Giok-bin Sin Liong Cho Hong, aku hendak membayar hutang kepadanya. Jikalau tidak, sekalipun aku mati juga tidak bisa menutup mata. Orang yang aku ingin kau cari itu adalah dia, suruhlah dia datang kemari.”
“Boanpwe berjanji pasti hendak melakukannya.”
“Apabila dia sudah tidak ada di dalam dunia, kau harus mencari di mana kuburannya.”
“Ya!”
“Baiklah, kisah ini sudah berakhir. Di sini kau menginap satu malam dulu, besok siang kau boleh turun gunung.”
“Menginap satu malam?”
“Hm! Hiat-ay itu setelah dipetik, harus dimatangkan dulu dengan api, jikalau tidak akan lumer tertiup angin.”
“Oh! Kalau begitu di sini boanpwe ucapkan banyak-banyak terima kasih lebih dahulu.”
Malam itu telah dilewatkan tanpa kejadian apa-apa. Nenek itu menggunakan waktu satu malam dan setengah hari, baru mengeringkan Hiat-ay itu, lalu diberikannya kepada Pui Ceng Un. Setelah menyimpan baik-baik Pui Ceng Un segera minta diri.
Dalam perjalanannya itu telah berhasil demikian memuaskan, benar-benar di luar dugaannya.
Sepanjang perjalanan pulang itu, perasaan Pui Ceng Un dirasakan sangat berat. Di satu pihak ia merasa kasihan dan bersimpati pada nenek itu, di lain pihak ia sungguh merasa sebal terhadap sifat dan kelakuan gurunya sendiri.
Selagi masih berjalan, di hadapannya tampak seseorang bayangan orang yang lari ke arahnya. Oleh karena kabut tebal, ia tidak dapat melihat tegas wajah orang itu.
“Berhenti!” demikian ia mengeluarkan seruan.
“Enci Un....”
“Apakah Adik Hoan?”
“Ya.”
Pui Ceng Un segera maju menghampiri. Sambil menarik tangan Ie It Hoan, ia lari dengan cepatnya sementara itu mulutnya berkata:
“Kau benar-benar mencari mati. Kau sudah berani masuk ke daerah terlarang ini.”
Namun demikian dalam lubuk hatinya merasa sangat terharu, sebab ia mengerti bahwa perbuatan pemuda itu semata-mata hanya karena dirinya.
Setelah keluar dari mulut selat dan tiada melihat bayangan nenek itu, hatinya baru merasa lega. Pui Ceng Un mengenakan kedoknya lagi dan memakai pakaian penyamarannya. Dengan tidak sabar Ie It Hoan bertanya:
“Bagaimana?”
“Beruntung kita berhasil.”
“Oh! Terima kasih kepada Tuhan.”
“Mari kita jalan!”
“Enci Lo, bagaimana jalannya sampai kau berhasil mendapatkan benda itu?”
Pui Ceng Un tidak suka menjelaskan, sebab dalam kisah itu menyangkut gurunya sendiri yang sudah meninggal dunia. Setelah berpikir sejenak ia berkata sambil berjalan:
“Aku harus menggunakan banyak waktu dan kata-kata untuk menundukkan hati nenek itu. Hampir aku binasa di tangannya. Untung wajahku ini telah menolong aku, akhirnya ia menerima baik permintaanku, tetapi memajukan satu syarat.”
“Syarat apa?''
“Untuk mencari keterangan dirinya seseorang masih hidup atau sudah mati!”
“Bagaimana orangnya?”
“Giok-bin Sin Liong Cho Hong!”
Ise It Hoan mendadak berhenti, ia berkata dengan suara gemetar:
“Enci Un, kau katakan Giok-bin Sin Liong Cho Hong?”
Pui Ceng Un juga dikejutkan oleh sikap Ie It Hoan itu. Ia berkata dengan perasaan heran:
“Betul. Apakah kau kenal orang itu?”
“Coba kau tebak siapa Giok-bin Sin-liong Cho Hong itu?”
“Siapa?”
“Dia adalah orang yang sekarang dikenal dengan nama julukannya Orang Tua Tiada Turunan!”
“Aaaaaaaaa!”
Pui Ceng Un sangat girang. Ia tak menduga dengan demikian mudah sudah berhasil menemukan orang yang dicari oleh nenek dalam goa itu. Tetapi jikalau ia ingat penuturan nenek itu, hatinya merasa sedih. Siapa menduga bahwa Oraug Tua Tiada Turunan mempunyai riwayat hidup yang demikian menyedihkan? Apabila ia mendapat kabar tentang diri bekas istrinya itu, apakah suka pergi
menjumpainya? Dan apa yang akan terjadi setelah kedua orang tua itu bertemu?
Pui Ceng Un sedang memikirkan sesuatu maka menanyanya dengan perasaan heran:
“Nenek itu mengajukan syarat demikian sebagai gantinya untuk kau mendapatkan Hiat-ay, nyata sekali betapa besar keinginannya hendak berjumpa dengan Orang Tua Tiada Turunan locianpwe. Di dalam hal ini entah terselip rahasia apa?”
“Coba kau tebak siapakah nenek penghuni goa Raja Iblis itu?”
“Bagaimana aku dapat menebaknya?”
“Dia adalah istri Orang Tua Tiada Turunan locianpwe yang pada delapan belas tahun lalu telah meninggalkannya dengan membawa anaknya!”
“Oh! Ini benar-benar satu hal di luar dugaan kita semua. Kalau begitu nama julukan orang tua itu boleh dihapus!”
Pui Ceng Un sebetulnya hendak menceritakan apa yang telah didengarnya, tapi ia berpikir karena urusan itu menyangkut urusan pribadi orang lain, bagaimana boleh disiarkan? Maka ucapan yang sudah akan dikeluarkannya, segera ditelan kembali, kemudian berkata dengan sekenanya:
“Hm! Sesungguhnya sangat unik!”
“Enci Un, tiada turunan berubah menjadi mempunyai turunan, orang sudah tua nama julukannya yang dahulu, Giok-bin Sin-liong sudah tidak tepat lagi, sebaiknya dirubah menjadi Orang Tua Mempunyai Turunan, entah bagaimana ia nanti gembiranya?”
Dalam hati Pui Ceng Un berpikir, mungkin dia nanti akan menangis, bagaimana bisa merasa gembira?
Tetapi perkataan itu tidak boleh diucapkan. Ia segera ingat suatu persoalan yang mengganggu pikirannya. Dengan bekas kekasih pada beberapa puluh tahun berselang ini telah berjumpa lagi dalam usianya yang sudah lanjut, tetapi akhirnya sudah terang ini akan merupakan suatu tragedi yang menyedihkan, seharusnya
diusahakan untuk mencegah terjadinya tragedi itu. Satu-satunya cara untuk mencegah ialah nanti sesudah Hui Kiam sembuh, biarlah dia mengawani Orang Tua Tiada Turunan pergi ke goa itu. Dengan kepandaian Hui Kiam, sudah tentu dapat mencegah tindakannya nenek itu ….
Karena berpikir demikian maka ia lalu berkata dengan sikap sungguh-sungguh:
“Adik Hoan, urusan ini untuk sementara jangan diberitahukan dulu kepada Orang Tua Tiada Turunan locianpwee!”
“Kenapa?”
“Karena dalam hal ini mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga. Nanti setelah aku memikirkan caranya yang paling baik untuk menyelesaikan soal ini, baru diberitahukannya, juga jangan kau ceritakan kepada siapapun juga!”
“Enci Un agaknya masih menyimpan rahasia apa-apa….”
“Kau benar-benar sangat cerdik, di kemudian hari kau akan mengetahui sendiri. Sekarang mari kita jalan.”
Ie It Hoan terpaksa menurut, hingga keduanya melanjutkan perjalanannya pulang.
Menurut janji yang ditetapkan semula, mereka akan kembali dalam waktu sepuluh hari. Hari itu adalah hari yang ke sepuluh, Ie It Hoan dan Pui Ceng Un dengan jalan memutar kota Lam-shia langsung menuju ke basis pangkalan Orang Berbaju Lila di luar kota bagian barat.
Tiba di tempat sejarak tiga pal dekat kuil tua itu, seperti biasa Ie It Hoan mengeluarkan tanda rahasia untuk menghubungi orang-orang yang menjaga di pos penjagaan, sementara mulutnya masih menjaga-jaga lagu rakyat tanpa irama, tetapi heran, dari pos penjagaan tidak ada reaksi apa-apa.
Jelaslah sudah bahwa di tempat itu sudah terjadi sesuatu.
Keduanya lalu berhenti. Mereka saling berpandangan. Tiba-tiba dengan kecepatan bagaikan kilat Pui Ceng Un lompat melesat ke
dalam sebelah kirinya, kemudian di dalam rimba itu terdengar beberapa kali suara jeritan ngeri. Ie It Hoan segera menyusul. Di situ ia baru dapat melihat empat orang berpakaian hitam sudah binasa di tangan Pui Ceng Un dalam keadaan remuk kepala masing-masing.
Ie It Hoan membuka baju salah satu di antaranya. Di depan dada bangkai itu terdapat tanda bulan sabit. Ia segera mengetahui siapa adanya orang-orang itu? Dengan alis berdiri ia berkata:
“Ini adalah orang-orang Persekutuan Bulan Emas.”
“Bagaimana dengan pos penjagaan kita?”
“Siaote khawatir pangkalan kita itu apakah sudah diduduki oleh mereka.”
“Tidak mungkin. Dengan orang-orang angkatan tua yang berkepandaian tinggi dan cerdik seperti Kak Hui locianpwe dan lain-lainnya, rasanya tak mungkin sampai tidak bisa mempertahankan kedudukannya.”
“Akan tetapi orang-orang yang menjaga pos penjagaan ini sudah diganti dengan orang-orang dari pihak musuh.”
“Ini hanya bagian garis luar saja!”
“Enci Un tadi seharusnya jangan membunuh mati semua. Tinggalkan salah seorang untuk diminta keterangannya.”
“Ini mudah sekali. Di dalam daerah sekitar ini tentunya bukan cuma mereka empat orang saja.”
Kini mereka berjalan menuju ke timur. Kira-kira sepuluh tombak mereka berjalan, dengan cepat memutar ke sebelah barat. Tiba-tiba terdengar suara seruan tertahan, seorang berbaju hitam sudah tertangkap oleh Pui Ceng Un. Orang itu dilemparkan ke samping empat orang berbaju hitam yang sudah menjadi bangkai itu, lalu berkata:
“Ceritakan apa tugasmu!“
Oraong berbaju hitam itu menyaksikan kematian kawannya yang mengerikan, saat itu sudah terbang semangatnya. Ia lalu menjawab dengan suara gemetar:
“Mengawasi sepuluh pal sekitar daerah ini.”
“Mengawasi apa? “
“Untuk mencari sarang Orang Berbaju Lila.”
Pui Ceng Un mengawasi Ie It Hoan sambil menganggukkan kepala, kemudian dengan satu kali pukulan orang itu sudah roboh binasa.
Dengan cepat Ie It Hoan membuka pakaian dua bangkai orang itu kemudian dikumpulkan di suatu tempat dan ditutupi dengan daun-daun kering.
Sekalipun Ie It Hoan tidak berkata apa-apa, Pui Ceng Un juga sudah tahu maksudnya. Keduanya segera memakai pakaian orang-orang sehingga saat itu mereka berubah menjadi orang-orang Persekutuan Bulan Emas. Masing-masing mengambil sebuah pedang kemudian lari menuju kuil tua itu.
Sepanjang jalan samar-samar dapat melihat bayangan orang berbaju hitam bergerak-gerak.
Ie It Hoan lalu berkata dengan suara perlahan:
“Enci Un, nampaknya kuil tua itu sudah di bawah pengawasan yang ketat. Kita terpaksa masuk melalui jalan rahasia di belakang kuil. Aku akan berusaha mengalihkan perhatian orang-orang yang mengawasi itu, kau mencari kesempatan untuk masuk.”
“Baik!”
Ketika mereka berjalan hampir mendekati kuil, Ie It Hoan memberikan isyarat dengan matanya. Pui Ceng Un lalu memutar ke belakang kuil, sedangkan Ie It Hoan lari ke samping.
Dengan bantuan pohon-pohon lebat yang terdapat di tempat itu, Pui Ceng Un berhasil menyusup ke belakang kuil. Tiba di tempat tersebut sudah ada orang yang menegurnya:
“Siapa?”
“Orang sendiri!”
“Orang sendiri siapa, mana tandanya?
Tepat pada saat itu, dari tempat tak jauh terdengar suara jeritan mengerikan. Suara jeritan itu saling menyusup dari arahnya yang berlainan sehingga semua orang-orang yang menjaga di pos penjagaan yang tersembunyi pada muncul keluar.
Pui Ceng Un segera dapat menduga ini pasti perbuatannya Ie It Hoan yang banyak akal itu. Ia tidak mau membuang kesempatan dengan cepat menyerbu ke arah suatu tempat yang tertutup oleh sebuah batu besar. Selagi hendak membuka pintu rahasia yang terdapat di bawah batu besar….
Satu suara yang sangat perlahan tiba-tiba berkata kepadanya:
“Jangan gegabah, ada orang mengawasi perbuatanmu!”
Bukan kepalang terkejut Pui Ceng Un, ketika ia mengangkat kepala, di belakang batu itu ternyata berdiri seorang tua aneh. Orang tua itu pundak kirinya tergantung satu buli-buli arak yang besar, dan pundak kanannya menggantung satu kantong besar. Dia bukan lain daripada Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng yang menjabat pangkat kepala bagian pelindung hukum Persekutuan Bulan Emas.
Ia mundur dua langkah dan menegurnya:
“Tuan bermaksud apa?”
Manusia Gelandangan mengulapkan tangannya, memberi tanda supaya Pui Ceng Un jangan buka suara, kemudian tangannya menunjuk ke kiri dan berkata dengan suara keras:
“Mengurung ke sebelah kiri!”
Sebentar terdengar suara gerakan orang. Benar saja, di situ terdapat banyak orang yang sedang mengintai.
“Boleh masuk, lekas!” demikian orang tua itu berkata pula.
Pui Ceng Un terheran-heran. Ia tak tahu Manusia Gelandangan itu sedang bersandiwara apa. Nampaknya orang tua aneh itu sudah mengetahui pintu rahasia ini, tetapi mengapa ia membantu pihaknya?
“Lekas, budak!” demikian orang tua itu berkata pula.
Pui Ceng Un lebih heran lagi. Mengapa orang tua itu sudah mengetahui bahwa dirinya seorang perempuan? Apakah ia sengaja main sandiwara untuk mengetahui rahasianya membuka pintu rahasia itu?
Karena timbulnya perasaan curiga terhadap orang tua itu, maka segera angkat tangan dan menyambar kepala orang tua itu.
Sebelum ia bertindak, tiba-tiba terdengar suara Ie It Hoan:
“Enci Un lekas!”
Pui Ceng Un segera menarik tangannya dan pada saat itu juga Ie It Hoan sudah berada di depan matanya. Dengan gerak tangannya yang sangat gesit ia membuka pintu rahasia itu, lalu menarik tangan Pui Ceng Un dan melompat ke dalam batu besar itu tertutup lagi seperti biasa.
“Kau lagi main sandiwara apa?” demikian Pui Ceng Un menegurnya.
“Untuk mengejar waktu, jangan sampai diketahui oleh musuh.”
“Manusia Gelandangan itu adalah kepala bagian pelindung hokum Persekutuan Bulan Emas.”
“Siaotee tahu.”
“Kalau begitu perbuatanmu, bukankah terang-terangan sudah memberitahukan kepadanya bagaimana caranya membuka pintu rahasia ini?”
“Jangan khawatir, kalau mereka berani masuk itu berarti mengantar jiwa. Obat peledak yang ada di dalam goa ini sudah cukup untuk merusak segala-galanya.”
Hati Pui Ceng Un meski merasa curiga tetapi tidak bertanya lagi, karena saat itu pikirannya sudah melayang ke diri Hui Kiam. Ini semata-mata karena hubungannya persaudaraan dalam satu perguruan, tidak mengandung maksud lain.
Orang pertama yang menyambut kedatangannya adalah Orang Berbaju Lila.
Begitu bertemu muka dengan Orang Berbaju Lila segera bertanya:
“Cianpwee, bagaimana keadaan Hui sute?”
“Ia masih disekap dalam kamar tahanan!”
“Apa, disekap dalam tahanan?”
“Totokannya di dalam darahnya lama tidak terbuka, bisa melemahkan kekuatan tenaganya, juga bisa membawa akibat cacat seumur hidup, maka totokan jalan darah itu harus dibuka dulu. Tetapi kekuatan tenaganya tiada seorangpun yang dapat mengimbangi, kecuali disekap dalam kamar tahanan dengan pintu besi yang kokoh kuat, sudah tidak ada jalan lain yang lebih baik. Bagaimana dengan Hiat-ay?”
“Masih untung aku tidak mengecewakan pengharapan semua orang. Aku sudah berhasil mendapatkannya!”
“Aaaa! Kalau begitu aku harus mengucapkan banyak terima kasih kepada nona.”
“Cianpwe terlalu merendah. Siaolie hanya melakukan kewajiban saja.”
“Mari!”
“Daerah seputar sepuluh pal tempat kita ini apakah sudah dikuasai oleh orang-orang Persekutuan Bulan Emas?”
“Benar, sejak pertempuran hebat pada sepuluh hari berselang, musuh telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapi kita, maka kita terpaksa mundur ke kamar rahasia ini.”
“Kalau begitu berarti bahwa kita sudah putus perhubungan dengan dunia luar ?”
“Tidak! Meskipun jalan rahasia melalui sumur tua di dalam kuil ini sudah ditutup, tapi masih ada lima jalanan yang berlainan untuk kita menghubungkan dengan dunia luar. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan.”
Sementara itu Pui Ceng Un sudah berada di ruangan tamu. Di situ telah duduk menanti Orang Tua TiadaTurunan, Kak Hui taysu, Manusia Teragung dan beberapa orang yang mempunyai kedudukan baik di kalangan Kangouw.
Begitu Pui Ceng Un Ie It Hoan muncul, semua orang pada berlari dari tempat duduknya dan mengawasi mereka dengan sinar mata bertanya-tanya. Jelas sekali betapa besar perhatian mereka terhadap keselamatan diri Hui Kiam. Hal ini bagi Pui Ceng Un yang sebagai sucinya, sudah tentu merasa sangat terharu. Ia merasa turut bangga terhadap perhatian juga penghargaan yang begitu besar itu.
Dua orang itu setelah memberi hornat kepada semua orang yang berada di situ, Pui Ceng Un lalu mengeluarkan Hiat-ay dan diberikan kepada Orang Baju Lila, sementara itu matanya melirik kepada Orang Tua Tiada Turunan.
Orang Berbaju Lila yang bertindak sebagai tuan rumah, lalu berkata:
“Kalian berdua tentunya sudah lelah. Beristirahatlah dahulu. Aku akan segera membuat obatnya, dalam satu jam sudah selesai!”
Pui Ceng Un dan Ie It Hoan keluar dari ruangan tetamu dan lari menuju ke kamar tahanan.
Kamar tahanan itu merupakan kamar batu yang kokoh kuat, ditambah lagi dengan tiga lapis terali besi. Orang yang betapapun tinggi kepandaiannya, dan kuat tangannya juga tidak dapat jebol. Kamar itu dahulu sebetulnya dipakai sebagai kamar tawanan atau murid-murid padre dalam kuil itu yang melanggar peraturan kuil.
Penjaga kamar tahanan ketika melihat kedatangan mereka segera membuka pintu besinya.
Setelah melalui pintu besi, mereka segera melihat Hui Kiam.
“Toako!” demikian Ie It Hoan berseru.
“Sutee!” demikian Pui Ceng Un menegurnya.
Hui Kiam mengawasi mereka berdua sejenak lalu berkata sambil menggertak gigi:
“Pui Ceng Un, bagus sekali perbuatanmu. Kau telah berkomplot dengan musuh untuk menghadapi aku. Jikalau aku tidak mati aku pasti menghajarmu. Ie It Hoan, demikian juga dengan kau!”
Pui Ceng Un merasa sedih. Hui Kiam yang sudah terpengaruh oleh pengaruhnya obat beracun, sudah tentu tak dapat diajak bicara wajar, juga tidak ada gunanya dijelaskan duduknya perkara. Satu-satunya jalan hanya menantikan sampai Orang Berbaju Lila berhasil membuatkan obat pemunahnya. Ia lalu memberi isyarat dengan mata kepada Ie It Hoan kemudian mengundurkan diri. Dapat diduga bagaimana berat perasaan dalam hati mereka.
Di belakang mereka terdengar suara geram Hui Kiam yang sangat hebat, terali besi juga bergetar, seolah-olah binatang buas hendak melepaskan diri dari kurungan.
Dua jam kemudian, penjaga kamar tahanan itu seperti biasa mengantarkan barang makanan untuk Hui Kiam. Tetapi malam itu berbeda dengan biasanya, di samping barang hidangan masih ada sepoci arak.
“Siao-hiap, di sini ada sepoci arak. Adalah hambamu yang mencuri bawa masuk.”
“Arak?”
“Ya, sukakah siaohiap minum arak?”
“Kau kata hendak membuka pintu besi ini, mengapa?”
Penjaga itu berkata dengan suara sangat perlahan:
“Siaohiap, nanti tengah malam pasti.”
“Baik, setelah aku nanti keluar dari kamar tawanan ini, aku tidak akan mengambil jiwamu.”
Arak dan barang hidangan itu dimasukkan satu-persatu ke kamar tawanan Hui Kiam melalui sela-sela terali besi. Hui Kiam mengambil poci arak lalu ditenggaknya sampai kering.
Penjaga kamar tahanan itu berkata sambil tertawa terbahak-bahak.
“Siaohiap, arak ini keras sekali, kau harus rebah sebentar!”
Sehabis berkata, penjaga itu undurkan diri dan mengunci dua lapis terali besi yang berada dalam kamar itu.
Tiba-tiba Hui Kiam menggeram dan berseru:
“Bangsat, bagus sekali perbuatanmu. Kau ternyata hendak meracuni aku!”
Kedua tangannya secara kalap memukul terali besi. Kekuatan tangannya sangat besar, membuat terali besi itu menggetar hebat.
Pada saat itu bayangan orang satu persatu muncul di luar terali besi. Setiap orang menunjukkan sikapnya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung meledak. Semua orang terperanjat, ternyata dinding batu yang dilapisi oleh terali besi telah roboh. Oleh karena terali besi itu berlapis tidak dengan jarak antara jauh, maka terali besi bagian dalam yang roboh telah menindih terali besi bagian yang ke dua.
Hui Kiam bagaikan binatang buas yang sudah terluka masih belum menghentikan tindakannya yang kalap itu.
Sebentar kemudian, kekuatan tenaganya perlahan-lahan mulai berkurang dan akhirnya ia jatuh roboh di tanah.
Semua orang saat itu baru bisa menarik napas lega.
Ia lalu diangkat dan dipindahkan ke dalam kamar batu yang bersih dan diperlengkapi dengan perabot yang sangat mewah.
Ie It Hoan berkata dengan perasaan terheran-heran:
“Sungguh tidak disangka bahwa kekuatan obat pemunah itu sedemikian hebat….”
“Kalau tidak demikian hebat tak dapat mengeluarkan racun yang mengeram dalam tubuhnya!” berkata Orang Berbaju Lila.
“Apakah sekarang sudah tidak dikhawatirkan lagi?”
“Hem, setengah jam kemudian, ia akan tersadar. Aku pikir, biarlah kau seorang saja yang mendatangi!”
“Kalau ia sudah sadar, apakah tidak mungkin….”
“Tidak mungkin lagi, kalau ia sudah sadar itu berarti sudah sembuh hanya keadaan badannya masih lemah.”
“Mari kita keluar!”
Semua orang satu persatu meninggalkan kamar itu. Ie It Hoan menutup pintu kamar, kemudian duduk di atas sebuah kursi dekat pembaringan untuk melihat perubahan selanjutnya. Kalau mengingat bagaimana perubahan kalap Hui Kiam tadi karena pengaruhnya obat, hatinya berdebaran. Apabila nanti ia sadar dan berbuat begitu lagi atau kekuatan obat pemunah tidak seperti apa yang diharapkan, maka akibatnya akan lebih hebat lagi. Karena perasaan itu ia lalu menggeser kursinya untuk mendekati pintu apabila benar Hui Kiam mengamuk lagi supaya ia mempunyai kesempatan untuk kabur.
Waktu setengah jam itu, dirasakan oleh Ie It Hoan seperti satu hari.
Hui Kiam menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, kemudian membuka matanya:
Ie It Hoan segera lompat berdiri. Kita tidak dapat bayangkan bagaimana ketakutannya pada waktu itu.
Keadaan Hui Kiam seperti seorang yang baru bangun tidur, otaknya kosong melompong. Ia mengawasi keadaan dalam kamar dengan mata sayu….
Ie It Hoan mengawasinya dengan penuh ketakutan. Ia tak berani buka suara menegurnya:
Hui Kiam berusaha keras mengendalikan pikirannya. Ia teringat sedikit-sedikit apa yang telah terjadi, tetapi tiada dapat mengingat seluruhnya. Hanya samar-samar ia masih ingat melakukan pertempuran hebat dan pernah ditawan.
Lama sekali, Ie It Hoan yang sudah tidak sabar. Akhirnya ia membuka mulut:
“Toako, kau rasa bagaimana?”
Hui Kiam turun dari pembaringan, tetapi ia sudah tak bertenaga. Ia berdiri terhuyung-huyung, kemudian duduk lagi di atas pembaringan. Ia bertanya dengan perasaan heran:
“Adik Hoan, apa yang telah terjadi?”
Ie It Hoan kini baru berani mendekatinya. Ia menjawab sambil tertawa getir:
”Panjang ceritanya. Toako beristirahatlah dulu sebentar....”
“Tidak, aku ingin tahu sekarang juga!”
Ie It Hoan tak bisa berbuat lain lalu menceritakan sejak ia bertemu mendapat lihat gelagat tidak beres dari perubahan sikap Hui Kiam maka tak berani mengajak masuk ke dalam kamar rahasia, kemudian terjadilah pertempuran hebat di dalam rimba, sehingga akhirnya ia ditawan dan Pui Ceng Un pergi mencarikan obat pemunahnya….
Hui Kiam setelah mendengar penuturan Ie It Hoan, pikirannya mulai terang kembali. Ia kini telah ingat bagaimana di tengah jalan ia berpapasan dengan seorang pelayan yang minta kepadanya menemui Tong-hong Hui Bun untuk penghabisan kali, lalu ia dijamu oleh perempuan cantik itu di salah satu rumah tua dan kemudian….
Berpikir sampai di situ, mendadak ia lompat bangun. Sepasang matanya merah membara, mukanya beberapa kali berubah. Di bawah pengaruh obat perangsang, ia telah melakukan perhubungan tidak pantas dengan Tong-hong Hui Bun.
Perubahan sikap tiba-tiba ini kembali menakutkan Ie It Hoan. Ia mengira obat itu timbul lagi pengaruhnya, maka ia menanyakan dengan suara gemetar:
“Toako, kau…!?”
Hui Kiam memukul kepalanya sendiri dengan kepalan tangannya, lalu berkata dengan suara gusar:
“Aku... aku rusaklah sudah.”
“Apamu yang rusak?”
“Aku telah dirusak oleh perempuan jahat bagaikan ular berbisa itu. Ya, aku masih ingat ia pernah menyatakan hendak menuntut balas ketika aku menyatakan hendak memutuskan perhnbungan dengannya. Sungguh tidak kusangka ia telah melakukan pembalasan dengan cara demikian. Aku seharusnya ingat itu, tetapi ternyata sudah tidak ingat lagi....”
“Toako, bolehkah kau ceritakan agak jelas sedikit?”
“Kalau aku tidak membunuhnya, aku bersumpah tidak mau jadi orang!”
“Toako ….”
“Tentang itu sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Apakah di sini tempat rahasia itu?”
“Ya.”
“Tolong kau carikan Pui suci, minta ia datang kemari….”
“Sutee, aku ada di sini!”
Bersamaan dengan itu Pui Ceng Un sudah masuk ke dalam kamar dengan muka masih tertutup oleh kerudung kain hijaunya.
Hui Kiam segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan sucinya seraya berkata:
“Suci, lantaraa diriku yang telah memalukan nama baik perguruan kita, kau sampai mencarikan obat dengan menempuh bahaya demikian besar....”
Pui Ceng Un yang tidak menduga kedatangannya disambut secara demikian, saat itu sudah tentu gelagapan. Ia buru-buru segera berlutut juga dan berkata:
“Sute, mengapa kau berlaku demikian?”
Dua orang itu berdiri lagi. Hui Kiam lalu bertanya dengan suara berat:
“Suci, apakah kau ditolong oleh Manusia Menebus Dosa?”
“Ya!”
“Bagaimana kau bisa berada di sini?”
“Karena... Orang Menebus Dosa itu juga merupakan salah satu anggota dari sini.”
“Aku sungguh tidak mengerti bagaimana kesabaran bisa berdiam bersama-sama dengan Orang Berbaju Lila? Ia adalah musuh perguruan kita, sedang si supek sendiri juga mati di tangannya. Sebagai turunan si supek, kau merupakan satu-satunya orang yang langsung memikul kewajiban untuk menuntut balas….”
Sejenak Pui Ceng Un nampak tercengang, sikapnya menunjukkan ragu-ragu dan akhirnya ia membungkam.
“Suci, kau kenapa?”
“Tidak apa-apa sute, dewasa ini kita hanya mementingkan tugas kita untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan, tentang permusuhan kita pribadi untuk sementara jangan dibicarakan dulu!”
“Perkataan suci ini agaknya bukan keluar dari hati nurani suci sendiri.”
“Kenapa kau berkata demikian?”
“Jika ditilik dari beranimu, tak mungkin bisa berubah demikian cepat juga tak mungkin mempunyai kesabaran begitu besar menindas perasaanmu sendiri.”
“Sutee, banyak perkara yang tidak dapat ditimbang dengan pemikiran biasa. Praktek dan teori ada kalanya sangat berlainan!”
“Ucapan suci ini pasti ada sebabnya?”
“Boleh dikata begitu!”
“Apakah sebabnya?”
Pada saat itu si Orang Tua Tiada Turunan juga sudah masuk ke dalam kamar.
Tiga anak muda itu segera memberi hormat kepada Orang Tua Tiada Turunan. Orang tua itu duduk di atas kursi, ia berkata kepada Pui Ceng Un:
“Kau beritahukan kepadanya apa yang telah kau ketahui!”
Pui Ceng Un menenangkan pikirannya, lama baru bisa berkata:
“Sute, kuperlihatkan kepadamu suatu barang lebih dulu!”
Dari dalam sakunya ia mengeluarkan serupa barang. Diletakkan di telapakan tangannya kemudian diberikan kepada Hui Kiam. Setelah Hui Kiam menyaksikan barang itu, ia berseru terkejut:
“Ini adalah jarum sakti melekat tulang senjata tunggal milik Jin Ong locianpwe!”
“Benar. Tahukah kau darimana jarum ini?”
“Darimana suci dapatkan itu?”
“Apakah kau masih ingat sewaktu kau kena senjata beracun dari tangan Iblis Gajah dan kemudian terjatuh di tangan Tong-hong Hui Bun setelah itu kau telah bertempur mati-matian dengan pemimpin Bulan Emas, lalu Orang Berbaju Lila dan kawan-kawannya datang menyerbu secara tiba-tiba.”
“Ingat, mengapa?”
“Orang Berbaju Lila pada waktu itu terluka oleh senjata rahasia pemimpin Bulan Emas.”
“Peristiwa ini ada hubungan apa dengan jarum melekat tulang?”
“Sudah tentu ada hubungnnya?”
Hui Kiam seketika itu terbangun semangatnya. Teka-teki mengenai jarum melekat tulang itu sudah lama membingungkan pikirannya. Orang Berbaju Lila itu pernah menyangkal menggunakan jarum itu, sedangkan pemiliknya yang asli ialah Jin Ong yang telah merubah nama julukannya menjadi Kak Hui setelah ia menjadi padri, juga tidak mengetahui bagaimana keadaan sebetulnya, maka ketika mendengar Pui Ceng Un berkata demikian hatinya rasa bergerak.
“Ada hubungan apa?”
“Senjata rahasia yang mengenai Orang Berbaju Lila pada waktu itu, adalah senjata rahasia jarum melekat tulang, juga jarum yang sekerang berada dalam tanganku ini.”
Ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian aneh yang tidaik terduga-duga, tidak heran kalau saat itu Hui Kiam demikian terkejutnya sehingga matanya terbuka lebar dan berkata dengan suara gemetar:
“Apa? Benarkah pemimpin Bulan Emas melukai Orang Berbaju Lila dengan senjata jarum melekat tulang?”
“Sedikitpun tidak salah!”
“Ini adalah sesungguhnya merupakan suatu kejadian yng sangat ganjil.”
“Justru karena itu, barulah mengundang Kak Gui locianpwe turun gunung untuk menerima kembali separuhnya serta menolong Orang Berbaju Lila.”
“Dengan cara bagaimana pemimpin Bulan Emas bisa mendapatkan senjata itu?”
“Menurut hasil daripada perundingan beberapa locianpwe, hanya ada satu pengertian!”
“Pengertian apa?”
“Dahulu ketika Kak Hui locianpwe melukai Delapan Iblis negara Thian-tik dengan senjata jarum itu….”
“Tentang ini aku tahu!”
“Tetapi delapan iblis itu tidak mati, dan hari ini beberapa puluh tahun kemudian setelah kejadian itu, empat di antara delapan iblis itu telah muncul lagi di kalangan Kang-ouw, bahkan sudah menjabat jabatan anggota pelindung hukum tertinggi Persekutuan Bulan Emas….”
“Lalu?”
“Penjelasan ini berdasar keadaan Delapan Iblis Negara Thian-tik yang dahulu terkena senjata itu, kemudian mereka telah ditolong oleh pemimpin Persekutuan Bulan Emas, jarum itu dikeluarkan dari tubuh mereka, dengan demikian, maka delapan buah jarum itu terjatuh di tangan pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Delapan iblis itu yang merasa menanggung budi sudah tentu ingin membalasnya, demikianlah maka mereka menyediakan tenaga untuk membantu pemimpin persekutuan itu dalam usahanya, hendak menguasai seluruh rimba persilatan….”
“Kalau begitu, pembunuh yang sebetulnya adalah pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu?”
“Benar!”
“Bukankah ini berdasar atas dugaan saja?!
“Kenyataannya memang sudah jelas.....”
“Pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu bisa mengeluarkan dan menggunakan senjata jarum itu, tentang ini....”
“Tahukah kau siapa sebetulnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu?”
“Siapa?”
“Dia adalah Thian Hong, salah seorang dalam barisan Tiga Raja Rimba Persilatan!”
Hui Kiam terperanjat mendengar perkataan itu!
“Jadi dia adalah Thian Hong?”
“Hem, hem!”
Hui Kiam hampir tidak percaya kepada telinga sendiri, karena hal itu benar-benar ada di luar dugaannya. Seorang gagah kenamaan yang pernah dijunjung tinggi oleh dunia rimba persilatan adalah satu penjahat besar yang membawa bencana seluruh rimba persilatan. Pantas saja ia mempunyai kepandaian sedemikian tinggi.
Hui Kiam lalu mengingat kembali semua peristiwa yang terjadi. Pertama ia memaksa Jin Ong mengasingkan diri menjadi padri. Kemudian ia membuat kedua mata Tee-hong sampai buta dengan racun dedaunan. Pada akhirnya ia masih tidak melepaskan begitu saja sehingga orang tua itu mati terbunuh. Lalu muncul lagi Orang Berbaju Lila karena kitab pusaka Thian Gee-po-kip, telah bertempur dengan Lima Kaisar. Kesempatan itu telah digunakan olehnya untuk menurunkan tangan jahat sehingga Lima Kaisar itu terkena senjata jarum melekat tulang. Dengan demikian satu persatu ia telah menyingkirkan lawan-lawannya yang dianggapnya dapat menghalangi untuk usahanya meguasai dunia.
Ini juga membuktikan bahwa keinginannya hendak menguasai dunia itu, ternyata sudah lama dipikirkannya.
Kemudian Sam Goan Lo-jin dengan anaknya, suami istri Liang-gee Sie-seng, juga dari Goosie, tangan seribu dan lain-lain telah mati dengan beruntun, ini merupakan kelanjutannya untuk menyingkirkan rintangan yang dikiranya hendak menghadapi usahanya.
Yang tidak dimengerti, ialah mengapa saudara perempuan istrinya Liang-gee Sie-seng Oiy Yu Hong, juga terbinasa di bawah senjata jarum itu. Oiy Yu Hong adalah Tong-hong Hui Bun, apakah karena hendak menutup mulutnya saja, sampai pemimpin Persekutuan Bulan Emas perlu menggunakan senjata jarum sakti yang ampuh itu?
Dan lagi, Orang Berbaju Lila itu pernah mengaku membinasakan Sam Goan lo-jin dan lain-lainnya. Ia juga pernah menggunakan ilmu pedang Bulan Emas. Bagaimana sebetulnya?
Karena berpikir demikian, maka ia lalu berkata:
“Suci, tentang kelakuan dan perbuatan Orang Berbaju Lila itu, aku mengharap bisa mengerti.”
Pui Ceng Un lalu memberi keterangan:
“Dahulu, Orang Berbaju Lila itu karena serakah, ia telah merampas kitab pusaka Thian Gee po-kip dengan kekerasan ini memang benar. Tetapi dalam pertempuran itu ia berlaku secara jantan mengandalkan kepandaian dan kekuatannya sendiri untuk mendapatkan kitab pusaka itu, sedikitpun tidak melakukan serangan menggelap.”
“Bagaimana tentang kematian toasupek di bawah gunung Tay-hong-san?”
“Ia mengaku di kemudian hari ia akan membereskan persoalan tersebut!”
“Apakah kau percaya?”
“Percaya!”
“Berdasar atas apa?”
“Tentang ini di kemudian hari kau akan mengetahui sendiri!”
“Mengapa tidak sekarang?”
“Persoalan menyangkut terlalu luas, sekarang belum tiba waketunya untuk menerangkan.”
“Banyak orang gagah dari golongan benar mati terbunuh, semua ini adalah perbuatannya. Ia toh tidak menyangkal.”
“la mengaku pernah menjadi algojo Persekutuan Bulan Emas.”
“Kalau begini dengan persekutuan itu ia mempunyai hubungan luar biasa?”
“Benar, tetapi sekarang ia sudah insaf. Ia hendak menyumbangkan tenaga dan kepandaiannya untuk kepentingan golongan benar, sekedar untuk menebus dosanya.”
“Baiklah, enci Un, tentang ini untuk sementara tidak perlu kita bicarakan.”
Hui Kiam lalu berpaling dan berkata kepada Orang Tua Tiada Turunan:
“Locianpwe, ada satu hal boanpwe minta supaya locianpwe memberi keterangan sejujurnya.”
Orang Tua Tiada Turunan menganggukkan kepala:
“Katakanlah, kalau aku tahu pasti aku akan menerangkan.”
“Ayahku To-liong Khiam-khek Su-ma Suan dahulu apakah benar pernah ada hubungan suami-istri dengan Tong-hong Hui Bun?”
Orang tua itu sejenak merasa terkejut, selagi hendak membuka mulut tiba-tiba terdengar suara ledakan hebat, kamar itu seolah-olah hendak roboh. Akhirnya empat orang itu terperanjat.
Suara ledakan itu disusul pula oleh suara tanda bahaya, kemudian suara orang berkata yang amat nyaring:
“Pintu rahasia telah diledakkan, musuh sudah menyerbu ke dalam ruangan di bawah tanah….”
Perubahan yang terjadi tidak terduga-duga ini untuk menmbulkan rasa panik.
Orang Tua Tiada Turunan yang pertama menerjang keluar!
Hui Kiam mengawasi keadaan di sekitarnya sebentar, lalu berkata dengan suara keras:
“Di mana pedangku?”
“Di sini!” demikian dengan cepat Ie It Hoan menyahut dan membuka lemari di dalam dinding tembok batu kemudian memberikan pedangnya kepada Hui Kiam.
Begitu segera keluar dari dalam kamar, di dalam lorong banyak orang berbaju hitam tengah bertempur sengit dengan orang-orangnya Orang Berbaju Lila. Di suatu tempat tak jauh dari itu, keadaannya terang benderang, batu dan tanah bertumpukan, kamar
rahasia itu sudah terbuka, hingga kelihatan dari luar. Dari dalam ruangan di bawah tanah itu masih kelihatan asap yang mengepul dari kuil tua itu.
Orang-orang berbaju hitam dalam jumlah banyak sekali sudah menyerbu masuk melalui lobang ledakan itu.
Dalam waktu singkat, ruangan bawah tanah itu sudah berubah menjadi medan pertempuran hingga suara pekikan, suara jeritan dan suara beradunya senjata bercampur aduk menjadi satu.
Hui Kiam menyerbu bagaikan banteng mengamuk dengan pedang terhunus. Bagaikan membabati rumput, siapa yang terbabat oleh oleh pedangnya segera roboh tanpa ampun lagi.
Sementara itu Ie It Hoan dan Pui Ceng Un sudah menyerbu dari lain pintu.
Penyerbuan Hui Kiam telah menimbulkan banyak korban bagi orang-orang berbaju hitam. Bangkai berserakan di tanah, sehingga orang-orang berbaju hitam yang berada di luar ketika menyaksikan keadaan demikian, tidak berani masuk lagi.
Hui Kiam berdiri di depan lobang pintu yang sudah bobol karena ledakan. Dengan sikapnya yang keras itu, tiada seorang yang berani mendekati.
Sementara itu, di dalam ruangan bawah tanah masih berlangsung pertempuran hebat.
Sesosok bayangan orang tinggi besar dengan memakai kerudung mukanya, telah muncul dekat lobang pintu. Orang itu adalah pemimpin Persekutuan Bulan Emas sendiri.
Hui Kiam segera naik pitam, dengan cepat lari menyerbunya.
Sambil menggerakkan pedang Bulan Emasnya, pemimpin Bulan Emas itu menyambut serbuan Hui Kiam. Meski Hui Kiam dicecer demikian hebat, tetapi kemarahannya yang sudah meluap telah melupakan segala-galanya. Ia melawan mati-matian dengan ilmu pedangnya yang sangat ampuh itu.
Dalam suatu pertarungan hebat, badan Hui Kiam terpental, pundaknya dirasakan sakit tetapi ia masih terus bertahan. Ketika melayang turun ke tanah, baru ketahuan bahwa pundaknya terluka kena pedang lawannya. Darah mengucur deras. Ia buru-buru menotok dengan tangan kiri untuk menghentikan mengalirnya darah.
Dalam keadaan demikian pemimpin Bulan Emas melakukan serangannya lagi.
Hui Kiam menggunakan gerak tipunya yang kedua untuk balas menyerang.
Kini adalah giliran pemimpin Bulan Emas yang terdesak sehingga mundur dua langkah.
Sambil menggeram hebat, pemimpin itu menghardik:
“Bocah, kau benar-benar panjang umur!”
“Kau tidak perlu merahasiakan dirimu lagi. Kerudungmu itu sekarang kau boleh buka,” berkata Hui Kiam dingin. “Thian-hong, kedokmu sudah terbuka, sudah waktunya kau sadar dari mimpimu yang gila itu!”
Pemimpin Bulan Emas mundur lagi satu langkah. Katanya dengan suara bengis:
“Benar, aku memang Thian-hong, seorang yang paling berkuasa dalam rimba persilatan.”
“Aku merasa kasihan terhadap nasibmu.”
“Jangan banyak bicara, serahkan jiwamu!”
“Tunggu dulu, lebih dulu aku hendak menerangkan. Hari ini aku hendak membunuhmu ada tiga sebab. Pertama, untuk menyingkirkan bencana rimba persilatan. Kedua, untuk menuntut balas terhadap Lima Kaisar Rimba Persilatan dan ketiga, untuk menagih hutangmu kepada Tee-hong locianpwe.”
“Bocah, apakah kau sedang mimpi?”
Ucapan itu ditutup dengan satu serangan pedang yang amat dahsyat.
Hui Kiam menyambut dengan sepenuh tenaga. Baru tiga jurus, ia sudah berhasil mendesak pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu mundur beberapa langkah.
Di luar dugaan, tiba-tiba pemimpin itu mengeluarkan bentakan keras: “Rebah!’ dan berbareng dengan itu, dua bagian jalan darah Hui Kiam merasakan seperti tersengat binatang lebah kemudian kepalanya dirasakan pusing, sehingga jatuh roboh di tanah.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas tertawa terbahak-bahak. Pedangnya meluncur ke arah Hui Kiam yang sudah rebah tidak berdaya....
Tiba-tiba terdengar suara beradunya dua senjata. Pedang pemimpin Bulan Emas yang akan menamatkan jiwa Hui Kiam itu tertahan oleh senjata yang bentuknya hitam jengat. Orang yang menahannya itu adalah Manusia Teragung dengan senjata istimewanya yang berupa tongkat rotan hitam, juga hanya senjata Manusia Teragung itulah yang tidak takut pedang pusakanya pemimpin Bulan Emas.
Sepuluh lebih bayangan orang tiba saling susul. Mereka itu adalah Kak Hui, Orang Berbaju Lila, Orang Tua Tiada Turunan, Pui Ceng Un dan lain-lainnya….
Pui Ceng Un segera melesat ke tempat di mana Hui Kiam jatuh menggeletak.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas masih penasaran. Ia menikam Hui Kiam lagi dengan pedangnya, tetapi juga sudah disingkirkan oleh Manusia Teragung.
Pui Ceng Un, dengan cepat mendukung Hui Kiam dibawa keluar dari medan pertempuran.
Manusia Teragung berkata dengan suara nyaring:
“Dia sudah terkena dua buah jarum melekat tulang, harap Kak Hui taysu segera memberi pertolongan!”
Dengan sinar matanya yang tajam Kak Hui taysu menatap wajah pemimpin Bulan Emas, kemudian berkata kepadanya:
“Perbuatanmu sesungguhnya terlalu kejam, sayang Tuhan tidak mengijinkan kehendakmu. Ruangan di bawah tanah itu sangat luas, jalanan rahasia bagian jaring, kau tidak berhasil mengubur hidup-hidup lolap dan lain-lainnya, ini suatu bukti bahwa perbuatanmu yang terkutuk itu telah ditentang oleh Tuhan yang Maha Esa, sekarang kau ingin balik juga sudah terlambat!”
“Dahulu kau seharusnya sudah kubunuh sekalian. Sekarang kalau aku ingat, nampaknya hatiku kala itu kurang kejam!” sahut pemimpin Bulan Emas, seakan menyesal waktu dulu tidak membunuh paderi tua itu sekalian.
“Jahanam, delapan buah jarum melekat tuIang itu sudah kau pakai semua, bukan? Dan sekarang Kak Hui taysu ingin supaya kau juga merasakan bagaimana orang yang terkena senjata itu,“ berkata Orang Berbaju Lila dengan suara keras.
Ucapan Orang Berbaju Lila itu mau tidak mau sangat mengejutkan pemimpin Bulan Emas itu. Jika benar Kak Hui taysu turun tangan, maka hari itu ia benar-benar kedudukannya sangat berbahaya sekali, maka tanpa banyak bicara lagi ia lalu membalikkan badan dan kabur.
Melihat pemimpinnya kabur, anak buahnya juga ikut lari terbirit-birit.
Tetapi kawan-kawannya yang berada di dalam ruangan tanah, tiada satupun yang bisa keluar. Semua sudah menggeletak menjadi bangkai.
Wajah Hui Kiam saat itu pucat pasi, badannya gemetar, hanya dengan mengandal latihan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah cukup sempurna dan latihan ilmu silatnya yang berlainan dengannya, telah berhasil menahan jarum itu tidak sampai masuk ke dalam tulangnya. Kalau bukan Hui Kiam, mungkin sudah lama mati.
Kak Hui taysu lalu memerintahkan Pui Ceng Un supaya Hui Kiam direbahkan di atas tanah dalam keadaan terlentang, kemudian menotok delapan belas bagian jalan darahnya terpenting. Setelah itu, telapak tangannya ditempelkan di tempat terluka. Dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam, jarum itu perlahan-lahan diangkat keluar dari tubuhnya.
Begitu jarum itu terangkat keluar dari tubuhnya, Hui Kiam segera melompat bangun untuk memberi hormat dan menyatakan terima kasih kepada Kak Hui taysu.
“Tidak usah,” demikian Kak Hui-taysu berkata: “Lolap sudah bertekad hendak menarik kembali seluruh jarum itu kemudian akan lolap musnahkan supaya tidak akan membawa bencana rimba persilatan lagi. Sayang jarum yang ada di tubuh suhumu sekalian, lolap sudah tidak berdaya menariknya kembali lagi.”
Hui Kiam melirik kepada Orang Berbaju Lila. Orang Berbaju Lila itu segera menundukkan kepalanya.
Dalam hati Hui Kiam timbul semacam perasaan yang tidak dapat dilukiskan. Di hadapan musuh besarnya, sebetulnya berat baginya untuk mengendalikan perasaannya, akan tetapi, orang yang sekarang berdiri di hadapannya itu ternyata merupakan satu kawan dalam seperjuangan. Ia masih ingat ucapan bahwa seorang gagah harus mempunyai mentaliteit sebagai orang gagah. Yah, sekalipun berhadapan dengan musuh besarnya, juga harus berlaku sportif, tidak perlu mencaci-maki seperti kelakuan seorang gila.”
Karena berpikir demikian maka akhirnya ia dapat menenangkan hatinya.
“Taysu, sudah tiba saatnya untuk bertindak. Harap taysu memberi petunjuk,” demikian Orang Tua Tiiada Turunan berkata:
“Lolap adalah seorang pertapaan yang tak mencampuri urusan dunia. Hanya suatu ‘sebab’ pada masa yang silam, terpaksa menerjunkan diri lagi ke dalam dunia yang penuh kekotoran ini, bagaimana lolap boleh melanggar haknya tuan rumah yang seharusnya bertindak sebagai pemimipinnya...” jawab Kak Hui taysu sambil memuja nama Budha.
Otang Tua Tiada Turunan terpaksa mengangkat pundak lalu berpaling dan berkata kepada Manusia Teragung:
“Kalau begitu, tugas berat ini hanya andalah yang sanggup memikulnya!”
“Bagaimana kalau anda sendiri?” Manusia Teragung balas menanya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Aku sendiri lebih tidak berani menjamah selain daripada itu juga tidak mempunyai kepandaian dan kecakapan sebagai pemimpin!”
“Anda keliru. Dalam pekerjaan membasmi kejahatan melindungi kebenaran, tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan, membasmi kejahatan dengan keadilan. Ini bukanlah mengenai urusan pribadi perseorangan, inilah urusan dan usaha serta kewajiban kita bersama.”
“Terima kasih atas keteranganmu, dan bagaimana menurut pandangan anda bagaimana kita harus lakukan!'
Manusia Teragung itu memejamkan matanya kemudian berkata:
“Kali ini dalam penyerbuan tiba-tiba oleh pihak musuh, di pihak kita mengalami kerusakan dan kehilangan tenaga serta jiwa hampir seratus orang, cukup besar pengaruhnya bagi kita. Untung kekuatan tenaga inti kita tak sampai tergoyah. Menurut pendapatku, kewajiban kita pada dewasa ini terlebih dulu harus mengubur jenazah saudara-saudara kita yang terbinasa dan merawat yang terluka. Setelah itu semua selesai, kita menantikan saat yang terakhir juga yang paling baik untuk bertindak.”
Hui Kiam segera menyela:
“Bolehkah boanpwe bertanya, apakah yang locianpwe maksudkan, dengan saat yang paling baik itu?”
---ooo0dw0ooo---
JILID 33
“NANTI pada waktu Persekutuan Bulan Emas mengadakan pertemuan besar untuk mendirikan perserikatannya secara resmi, kita segera bergerak. Gerakan kita ini pasti akan mendapat sambutan dari sebahagian besar partai-partai golongan kebenaran atau orang-orang yang selama ini terpaksa menyerah karena tekanan perserikatan itu. Kita dapat pastikan bahwa gerakan kita ini sekaligus pasti akan berhasil menumpas manusia jahat itu!”
“Kapankah waktunya untuk mendirikan persekutuan itu?”
“Tidak lama lagi. Kita harus sabar menantikan daangnya berita itu!”
“Di manakah sebetulnya letak pusat persekutuan tersebut?”
“Sekarang ini masih belum boleh diumumkan!”
“Mengapa?”
“Sebab takut karena menarik selembar rambut akan menggerakkan sekujur badan!”
Hui Kiam diam, sudah tentu ia mengerti maksud ucapan itu, dikhawatirkan ada orang yang karena tidak sabar menunggu lalu menimbulkan onar, sehingga mengejutkan setiap musuh dan merusak seluruh rencana, sedangkan orang yang berani melakukan perbuatan demikian, mungkin justru dirinya sendiri.
Manusia Teragung agaknya sudah dapat menebak isi hati pemuda itu, maka ia berkata dengan sungguh-sungguh:
“Bocah, dalam pertempuran yang akan datang, semua akan tergantung kepala dirimu, aku si orang tua dan lain-lainnya telah mengerti dengan baik kepandaian dan kekuatan sendiri siapapun bukan merupakan tandingan persekutuan itu!”
“Locianpwee terlalu memuji, boanpwee hanya merupakan salah satu anggota dalam barisan penegak kebenaran ini, sudah tentu harus mencurahkan seluruh kepandaian dan kekuatan bagi kita bersama?”
Pada saat itu sesosok bayangan orang tiba-tiba lari masuk. Hui Kiam begitu melihat segera mengetahui bahwa orang itu adalah Ie It Hoan.
Ie It Hoan sebetulnya juga turut bertempur dalam ruangan di bawah tanah, tetapi mengapa saat itu muncul dari jurusan luar, pemuda yang banyak akalnya dan susah ditebak tindak tanduknya, benar-benar mirip dengan nama julukannya Sukma Tidak Buyar.
Begitu melihat Hui Kiam, Ie It Hoan lalu berkata dengan napas masih memburu:
“Toako, aku baru saja mendapat suatu berita….”
“Berita apa?”
“Tadi pagi Tong-hong Hui Bun dengan membawa delapan anak buahnya yang merupakan pelayannya yarg terkuat, pergi menuju ke Makam Pedang.”
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam ketika mendengar berita itu. Ia segera teringat diri Cui Wan Tin yang demikian dalam mencintai dirinya. Hui Kiam yang di saat itu boleh dikata sudah mengetahui jelas bagaimana sifat kelakuan Tong-hong Hui Bun ternyata benar-benar lebih jahat daripada ular berbisa, barang yang tidak bisa dapatkan, atau barang yang dibencinya, ia harus merusaknya. Kepergiannya ke Makam Pedang itu kecuali hendak menyingkirkan Cui Wan Tin, sudah pasti tidak ada maksud lain. Gadis piatu itu merupakan keturunau satu-satunya toa-supek Hui Kiam juga merupakan satu-satunya kekasih pada dewasa ini ......
“Apakah berita ini dapat dipercaya kebenarannya?”
“Toako, apakah siaote perlu main gila terhadapmu?” jawab si Sukma Tidak Buyar sambil mengerutkan alisnya.
Pui Ceng Un merasa gelisah, katanya:
“Apa maksud perempuan jahat itu pergi kesana?”
“Kecuali hendak menyingkirkan enci Cui, masih ada apa lagi? Sedangkan ia tokh sudah tahu bahwa pedang sakti ini sudah berada dalam tanganku.”
“Mengapa dia?”
“Sebab ia tahu bahwa enci Cui adalah kekasih toako!”
“Aku harus segera berangkat kesana. Jikalau tidak pasti akan terjadi suatu peristiwa yang menyedihkan!” berkata Hui Kiam dengan perasaan gusar.
“Makam pedang itu dilindungi oleh barisan gaib yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang,” berkata Pui Ceng Un dengan hati cemas.
“Dia sudah mendapat keterangan dan penjelasan dari Iblis Sin Mo bagaimana cara-caranya masuk ke dalam barisan gaib itu, justru karena hal itu berita kepergiannya ke sana itu telah bocor,” berkata Ie It Hoan.
“Sutee, aku akan pergi bersama!” berkata Pui Ceng Un.
Hui Kiam menganggukkan kepala lalu berkata kepada Kak Hui Taysu dan lain-lainnya:
“Locianpwee sekalian, untuk sementara boanpwee ingin mohon diri dulu!”
Orang Tua Tiada Turunan melirik kepada Orang Berbaju Lila sejenak kemudian berkata kepada Hui Kiam:
“Siaohiap, ini urusan penting. Kita tak dapat merintangimu, tetapi kau harus lekas pergi dan lekas kembali. Aku usulkan paling baik kau binasakan saja iblis wanita itu!”
“Boanpwee nanti akan melakukan itu!”
“Pakaianmu harus ganti dulu, dengan berpakaian yang penuh darah seperti ini, nanti kau akan mengejutkan orang-orang yang melihatnya….”
“Boanpwe mengerti. Di tengah perjalanan nanti boanpwee akan tukar pakaian!”
“Di sepanjang jalan kau harus awas ada orang yang akan membokong!”
“Terima kasih!”
“Pergilah!”
Baru saja Ie It Hoan hendak berkata lagi, Orang Tua Tiada Turunan segera berkata sambil menggapaikan tangannya:
“Bocah, kau jangan memikirkan apa-apa lagi. Kau tidak bisa pergi, jikalau tidak siapa yang harus ditugaskan untuk menjadi mata-mata dan mencari keterangan dari pihak musuh?”
“Boanpwe tak akan pergi, hanya ingin mengantar toako saja untuk beberapa pal saja.”
“Itu tidak ada gunanya!”
Hui Kiam dan Pui Ceng Un memberi hormat dan minta diri pada semua orang, lalu pergi menuju ke Makam Pedang. Ie It Hoan juga mengikuti di belakangnya.
Orang Berbaju Lila menghela napas panjang. Orang Tua Tiada Turunan menyaksikan dengan penuh rasa simpati.
Hui Kiam bertiga bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, dalam waktu sekejap sudah lari sejauh empat lima pal. Hui Kiam mendadak berhenti dan berkata kepada Ie It Hoan:
“Adik Hoan, aku ingin bertanya kepadamu.”
Ie It Hoan segera berhenti, tetapi Pui Ceng Un dia sudah jalan sejauh sepuluh tombak dari mereka, hanya berhenti di pinggir jalan untuk menunggu.
“Toako hendak bertanya apa?”
“Apakah kau pernah dengar hubungan antara ayah di masa masih hidup dengan Tong-hong Hui Bun?”
“Tentang ini…. Memang pernah dengar.”
“Apakah itu benar?”
“Siaote tidak berani menjamin, tapi mungkin itu tidak salah.”
“Lagi, apakah Orang Berbaju Lila itu dulu merupakan salah satu anggota daripada Persekutuan Bulan Emas?”
“Ya, bahkan kedudukannya cukup tinggi.”
“Mengapa kemudian ia berkhianat terhadap Persekutuan Bulan Emas?”
“Tentang ini....aku tidak tahu! Hanya....”
“Hanya apa?”
“Sebahagian bekas anak buahnya yang setia kepada dirinya, telah berkorban karena perbuatannya itu, seperti Ko Han-san dan lain-lainnya, jikalau tidak orang-orang itu di kemudian hari merupakan suatu kekuatan yang tidak boleh dipandang ringan dan yang bisa memberi banyak hanya bantuan dari dalam untuk pihak kita.”
Hui Kiam saat itu baru sadar, apa sebabnya Tong-hong Hui Bun di kala itu memaksa Ko Han-san dan lain-lain menghabiskan jiwanya sendiri. Waktu itu ia selalu merasa curiga, mengapa mereka saling bunuh-membunuh sendiri, tetapi sekarang setelah mendengar keterangan dari Ie It Hoan, ia baru mengetahui bahwa orang-orang yang dibinasakan itu semua adalah komplotannya Orang Berbaju Lila.
”Kalau demikian halnya, Orang Berbaju Lila tentunya masih ada komplotannya yang berada di dalam Persekutuan Bulan Emas?”
“Ya!”
“Pantas beritanya tentang persekutuan itu diketahuinya demikian jelasnya.”
“Masih ada faktor lainnya, tentang gerak-gerik persekutuan itu, sebagian besar sudah berada di tangan orang-orang pihak kita.”
“Faktor lain apa yang kau maksud?”
“Tentang ini maaf siaote tidak dapat memberitahukan.”
“Lagi-lagi kau main teka-teki. Aku sekarang hendak menanyamu lagi, di manakah letaknya pusat Persekutuan Bulan Emas itu?”
“Hanya Orang Berbaju Lila yang tahu.”
“Tetapi dia tidak pernah mengumumkan.”
“Saatnya belum tiba.”
“Toako....”
“Ada apa?”
Sesaat wajah Ie It Hoan kemerah-merahan. Lama ia berdiam, kemudian baru berkata:
“Ada suatu urusan siaote minta… bantuan toako.”
“Urusan apa, kau ceritakanlah. Jangan berlaku seperti anak perawan yang kemalu-maluan, aku tak mempunyai banyak waktu lagi.”
Ie It Hoan melirik kepada Pui Ceng Un yang berdiri sepuluh tombak lebih terpisah dengannya, lalu berkata dengan suara perlahan:
“Adalah soal enci Un itu….”
“Dia mengapa?”
Setelah Ie It Hoan menunjukkan sikapnya kemalu-maluan, barulah berkata:
“Dahulu waktu cici Un terkena racun, telah dibawa kemari untuk ditolong….”
“O ya,” demikian Hui Kiam memotongnya, “Kau jawab dulu pertanyaanku, mengapa Orang Menebus Dosa hingga saat ini belum menunjukkan diri?”
“la tidak suka menunjukkan muka di hadapan orang banyak.”
“Berapa banyak yang kau mengetahui tentang dirinya?”
“Hampir semuanya.”
“Kalau begitu kau….”
“Toako, aku pernah menerima baik permintaannya sebelum tiba saatnya tidak akan membocorkan rahasianya.”
Hui Kiam menarik napas panjang katanya:
“Sudahlah, teruskan perkataanmu.”
Ie It Hoan mengawasi Hui Kiam sejenak, baru mengutarakan maksudnya yang semula:
“Setelah enci Un dibawa kemari selama diberikan pertolongan, beberapa locianpwee itu itu telah menunjuk siaote yang harus menunggu dan merawatnya.”
“Apakah Orang Berbaju Lila dan lain-lainnya di bawah ini boleh dikata merupakan daerah terlarang bagi kaum wanita?”
“Teruskan!”
“Ini… sudah tentu, selama hari itu banyak urusan-urusan kecil dalam pergaulan hidup manusia, kadang-kadang tidak dapat dihindarkan….”
“Em! Bagi kita asal masing-masing berlaku jujur dalam urusan kecil tak perlu direcoki.”
Berkata sampai di situ, tiba-tiba diam, ia tak dapat melanjutkan, karena pikirannya tiba-tiba teringat kejadian yang tidak patut dengan Tong-hong Hui Bun, akibat perbuatan itu bagaimana selanjutnya, sekarang ini belum diketahui, tetapi biar bagaimana martabatnya sendiri dibikin ternoda oleh perempuan cantik yang jahat itu, sekalipun hal ini bukan kemauannya sendiri, tetapi biar bagaimana noda itu tidak dapat dihapus begitu saja,
Ie It Hoan melanjutkan ucapannya:
“Siaotee......merasa sangat bersimpati terhadap dirinya dan pengalaman hidupnya yang menyedihkan, sebab kita berdua sama-sama merupakan anak-anak piatu yang hidup sebatang kara di dalam dunia ini.”
“Lalu bagaimana kalau sudah merasa simpati?”
“Siaotee... pikir... ingin....”
“Ingin apa?”
Ie It Hoan menundukkan kepala, sepatah katapun tidak keluar dari mulutnya.
Hui Kiam sudah tidak sabar lagi, ia berkata:
“Apa sebetulnya yang kau ingin ucapkan, terus terang saja. Jikalau tidak aku akan melanjutkan perjalananku.”
Ie It Hoan mengangkat kepalanya, agaknya sudah mengambil keputusan tetap. Maka akhirnya ia berkata:
“Aku bersedia mengawalinya untuk seumur hidup!”
Hui Kiam terperanjat. “Oh, kau berkata hampir setengah harian, maksudmu hanya hendak mengatakan kau cinta kepadanya!?”
“Ya!”
“Bagaimana dengan ia sendiri?”
“Justru inilah yang siaote ingin minta bantuan toako!”
“Apakah ia tidak menyatakan apa-apa?”
“Sebentar panas sebentar dingin, tidak menerima juga tidak menolak, sehingga membuat aku sangat menderita!”
“Adik Hoan, sesuatu barang di dalam dunia ini, semua boleh kita dapatkan dengan berbagai macam cara, hanya menyintai sedikitpun tidak boleh dipaksa!”
“Tentang itu aku tahu. Toako, aku hanya ingin mengetahui cinta kepadaku atau tidak. Andaikata karena mukanya bercacat sehingga ia harus menindas perasaannya sendiri, hal itu tidak perlu, sebab siaote tidak memikirkan soal mukanya!”
“Apakah kau menyintainya?”
“Ya. Tuhan boleh menjadi saksi.”
“Adik Hoan, kau harus pikir dulu masak-masak. Soal ini merupakan soal kebahagiaan seumur hidup bagi kedua pihak, tidak boleh menuruti bisikan hati yang timbul dalam waktu sepintas lalu. Jikalau tidak, di kemudian hari akan membawa akibat buruk yang sangat menakutkan!”
Dengan sikap bersungguh-sungguh Ie It Hoan menjawab:
“Toako, sudah lama siaote memikirkan persoalan itu. Pikiranku ini sudah tetap, siaote yakin tidak akan berubah!”
“Baiklah, aku terima baik permintaanmu untuk berusaha memberi bantuan sepenuh tenaga!”
“Terima kasih toako!”
“Sekarang kau boleh balik!”
“Ya!”
Setelah berkata demikian, ia lambai-lambaikan tangannya kepada Pui Ceng Un seraya berkata:
“Enci Un, sampai kita berjumpa lagi!”
Hui Kiam menunggu sampai Ie It Hoan sudah tidak kelihatan bayangannya, baru menghampiri Pui Ceng Un yang segera ditegurnya lebih dahulu oleh sang suci:
“Apa yang dikatakan?”
Hui Kiam menerangkan pikirannya. Ia pura-pura berkata tenang, lalu menjawab:
“Tidak apa-apa, ia hanya minta aku untuk menanyakan kepada suci!”
“Menanyakan soal apa?”
“Ia berkata, hatinya telah merana, ia ingin mengetahui bagaimana sikap suci terhadapnya.”
Pui Ceng Un terdiam, lama baru berkata dengan nada suara dingin:
“Aku tidak pantas.”
“Tidak pantas, apa artinya?”
“Kau toh sudah tahu, mengapa pura-pura bertanya?”
“Suci maksudkan, apakah karena muka suci yang cacat itu?”
“Em, nasibku sudah ditentukan oleh peraturan si Raja Pembunuh ketika aku mengambil keputusan bersedia menjadi muridnya.”
“Suci, perlu apa suci menyusahkan diri sendiri, dengan setulus hati ia....”
“Ya aku tahu. Justru karena itu aku lebih merasa tidak pantas. Coba pikir, aku tokh tidak mungkin berdiam dengannya selalu memakai kerudung muka ini, sedangkan wajah asliku malu untuk dilihat orang, lama kelamaan, bukankah akan menimbulkan perasaan jemu dan menyesal?”
“Tetapi ia menyatakan dengan tegas tidak akan terjadi hal demikian.”
“Sute, aku tidak suka menimpakan penderitaanku sendiri kepada orang lain. Aku selamanya belum pernah memikirkan untuk memperbaiki nasibku. Aku berterima kasih atas simpatinya terhadapku, tetapi aku tidak dapat menerimanya.”
“Suci, dia....”
“Perkataanku cukup sampai di sini saja tak perlu dibicarakan lagi. Aku sangat khawatir akan keselamatan suciku yang belum pernah bertemu muka itu. Kita harus melakukan perjalanan supaya lekas tiba di sana. Sedikit terlambat saja, akan membuat kemenyesalan untuk seumur hidup.”
Ucapan sang suci itu bagaikan ujung pisau belati menikam hulu hatinya, maka segera berkata sambil menganggukkan kepala:
“Mari kita lekas berangkat.”
Baru saja bergerak, di belakangnya tiba-tiba terdengar suara orang memanggil:
“Toako, tunggu dulu!”
Kiranya itu adalah Ie It Hoan yang balik kemari.
“Ada urusan apa?”
Ie It Hoan mengawasi Pui Ceng Un sejenak dengan perasaan tidak enak, kemudian baru berkata dengan tergesa-gesa:
“Aku lupa suatu persoalan besar.”
“Soal apa?”
“Aku lupa memberitahukan kepada toako apabila berjumpa dengan orang-orang Persekutuan Bulan Emas, ada orang menunjukkan kode rahasianya secara begini....”
Ia berkata sambil mengacungkan tangan kirinya. Jari tangan telunjuk dan jempolnya membuat satu lingkaran kecil, tiga jari lainnya diluruskan. Kemudian ia berkata pula:
“Ini adalah kode rahasia untuk mengetahui bahwa orang yang sedang dihadapinya adalah orang sendiri, jangan sampai terjadi kesalahan yang menimbulkan pertumpahan darah antara kawan.”
“Baik, aku tahu!”
“Sampai kita bertemu lagi!”
Hari itu di waktu senja, di jalan lembah sempit di luar Makam Pedang, telah kedatangan dua tetamu sepasang muda mudi. Mereka adalah Hui Kiam dan Pui Ceng Un.
Sambil menunjuk ke jalan lembah yang sempit itu, Hui Kiam berkata kepada sucinya:
“Kita sudah tiba. Setelah kita melalui jalan lembah yang sempit ini, adalah danau air dingin dan Makam Pedang itu.”
“Apakah kita tidak terlambat?” bertanya Pui Ceng Un cemas:
“Mari kita lekas berjalan!”
Baru saja mereka tiba di mulut lembah, segera terdengar suara bentakan orang:
“Jangan maju lagi!”
Hui Kiam dan Pui Ceng Un menghentikan tindakannya. Dua pelayan wanita yang masih muda menghalang di mulut lembah. Dua pelayan itu setelah mengetahui siapa adanya dua tetamu yang baru tiba itu wajah mereka berubah seketika. Satu di antaranya lalu berkata:
“Oh, kiranya adalah Hui siangkong.”
“Di mana ibu majikan kalian?” bertanya Hui Kiam dingin.
Dua pelayan itu mundur dua langkah, tidak menjawab.
“Minggir!” bentak Hui Kiam dengan keras.
Salah satu dari dua pelayan itu memasukkan tangannya ke dalam saku. Hui Kiam tahu bahwa pelayan itu hendak memberi kabar dengan tanda rahasia, hawa amarahnya meluap. Seketika tanpa memberi kesempatan sedikitpun juga kepadanya, ia sudah bertindak serentak dengan Pui Ceng Un, hingga dua pelayan itu sebentar sudah terbinasa dalam tangan mereka.
Hui Kiam berdua segera melanjutkan perjalanannya.
Keluar dari jalan lembah yang sempit itu tibalah mereka di tepi danau air dingin.
Seberang danau, terdapat sebuah batu hitam tinggi besar yang berdiri berderet-deret. Itulah barisan batu ajaib yang terkenal kemukzizatannya.
Di luar barisan itu, enam pelayan wanita sedang menjaga dengan berdiri atau duduk.
Hui Kiam yang berjalan di muka, lari mengitari danau diikuti oleh Pui Ceng Un.
Enam pelayan itu ketika mengetahui kedatangan mereka, serentak berdiri bersiap-siap. Satu di antaranya lalu berkata dengan suara gemetar:
“Mengapa dia juga bisa datang kemari?”
“Lekas beri kabar kepada ibu majikan!” berkata yang lainnya.
Tetapi sebelum mereka bertindak, Hui Kiam sudah berada di hadapan mereka, sehingga enam pelayan itu terperanjat. Satu di antaranya segera mengayunkan tangan kirinya sembari membuat lingkaran dengan jari jempol dan telunjuk.
“Hui siangkong, harap beritahukan maksud kedatanganmu.”
Kini tahulah Hui Kiam bahwa Tong-hong Hui Bun sudah masuk ke dalam Makam Pedang. Maka seketika itu hatinya dirasakan hampir melompat keluar.
Dengan tanpa menjawab, Hui Kiam segera menghunus pedangnya. Dalam waktu sekejapan saja, pelayan-pelayan wanita itu sudah tamat riwayatnya, tinggal satu yang menegur dengan kode gerakan tangan, segera berkata dengan suara cemas:
“Siaohiap, lekas!”
Hui Kiam menyatakan terima kasih kepada pelayan itu, kemudian melesat ke dalam barisan dengan diikuti oleh Pui Ceng Un.
Dalam kamar batu di dalam Makam Pedang, Cui Wan Tin dengan sekujur badan mandi darah, berdiri menyender di dinding batu, sedangkan Tong-hong Hui Bun nampak berdiri di hadapannya sambil mengancam ujung pedangnya ke depan dadanya. Paras Tong-hong Hui Bun saat itu nampak sangat kejam, sehingga berubahlah seluruhnya kecantikan yang dimilikinya.
Keadaan itu serupa dengan keadaan sewaktu Cui Wan Tin menghadapi ancaman Iblis Gajah, yang memaksanya supaya menyerahkan pedang saktinya.
Dengan sangat hati-hati Hui Kiam menyelinap masuk. Ketika matanya mengawasi Cui Wan Tin, hatinya merasa lega, karena Cui Wan Tin ternyata masih belum mati. Namun demikian ia juga tidak berani bertindak secara gegabah, sebab betapapun gesitnya ia bergerak juga tidak dapat merintangi tindakan Tong-hong Hui Bun yang cukup dengan menusukkan ujung pedangnya ke dalam dada Cui Wan Tin.
Baik Cui Wan Tin maupun Tong-hong Hui Bun, semua tidak mengetahui kedatangan Hui Kiam itu.
Wajah Cui Wan Tin pucat putih bagaikan kertas, luka di badannya membuat tubuhnya gemetar. Apa yang tampak dalam pancaran sinar matanya, bukanlah rasa takut atau kebencian, melainkan rasa sedih dan duka.
“Mengapa kau harus membunuh aku baru merasa puas?” demikian terdengar ia bertanya kepada Tong-hong Hui Bun.
“Sebab dia mencintaimu!” jawab Tong-hong Hui Bun dingin.
“Kau... tidak mengijinkan dia menyintai aku?”
“Benar!”
“Aku tidak melarang dia mencintai kau karena kau jauh lebih cantik daripadaku sehingga aku merasa sedikitpun tidak berhak untuk merasa dengki terhadapmu.”
“Cantik? Hahahaha....”
Suara tertawa itu kini dalam telinga Hui Kiam telah berubah seluruhnya. Suara itu seolah-olah suara burung hantu di waktu malam atau srigala di tengah hutan.
Setelah berhenti tertawa, Tong-hong Hui Bun berkata pula:
“Cantik, apa gunanya kecantikan? Dia toh tidak mencintai aku....”
“Apa? Dia tidak mencintaimu?”
“Tidak, dia memang cinta aku, tetapi hatinya telah berubah. Dia sekarang sudah putus hubungan denganku!”
Di wajah Cui Wan Tin yang pucat terlintas suatu senyuman. Meskipun di bawah ancaman pedang, masih menunjukkan betapa gembira perasaannya. Begitu besar cintanya terhadap Hui Kiam, cinta suci murni yang terbit dari hati setulusnya. Maka cintanya itu melupakan dirinya sendiri dalam bahaya, sehingga Hui Kiam yang menyaksikan itu, hampir saja ia mengeluarkan air mata.
“Jangan bangga dulu,” berkata Tong-hong Hui Bun. “Meskipun dia sudah berubah terhadap diriku, namun dia sudah mengadakan perhubungan sebagai suami istri dengan aku.”
Senyum di bibir Cui Wan Tin lenyap seketika diganti dengan getaran bibir, akan tetapi ia segera berkata dengan suara duka:
“Aku tidak sesalkan kepadanya asal ia suka.”
“Sedemikian dalamkah cintamu terhadapnya?”
Hui Kiam hampir menyerbu, tetapi ia masih bersabar. Ia harus menantikan suatu kesempatan yang paling baik untuk menolong kekasihnya dari ujung senjata. Ia tidak boleh berlaku gegabah.
Cui Wan Tin nampaknya malah semakin tenang. Katanya:
“Mungkin lebih dalam daripada apa yang kau bayangkan.”
“Maka aku juga semakin benci terhadapmu,” berkata Tong-hong Hui Bun bengis.
“Kau boleh memiliki dia....”
“Sudah terlambat.”
“Terlambat? Apa maksudmu?”
“Aku sudah bertekad hendak mengambil jiwanya.”
“Kau ... hendak membunuhnya?”
“Benar, tanpa pilih cara aku bersumpah harus membunuhnya.”
“Tetapi... kau toh pernah mencintainya? Sekarang kau hendak membunuh aku, bukankah juga karena....”
“Kau keliru, barang yang aku tidak bisa dapatkan, orang lain jangan harap memilikinya. Kau telah menyerobot cintaku, maka aku harus membunuhmu lebih dulu. Andaikata di kemudian hari aku tidak berhasil membunuh dia, kau sudah tidak bisa mendapatkan dirinya lagi.”
Betapa kejam dan hebatnya pengakuan itu.
Cui Wan Tin hampir tidak sanggup pertahankan badannya yang menyender. Air matanya saat itu baru mulai mengalir keluar.
Terdengar pula ucapannya Tong-hong Hui Bun:
“Perkataanku sudah habis. Apakah kau benci aku? Apakah kau akan mati penasaran? Itulah yang memang aku harapkan!”
“Aku masih hendak menanyakan suatu hal.”
“Katakanlah!”
“Kau akan membunuh aku juga akan membunuh dia, akhirnya kau akan mendapatkan apa?
“Aku? Ha ha ha! Apapun aku tidak akan dapat. Aku hanya ingin menuntut balas, supaya semuanya musnah. Biarlah kematian yang mengakhiri segala-galanya. Cinta sejati yang kuinginkan dalam hidupku, hingga sekarang aku masih belum dapatkan. Apa yang ada padaku hanya kebencian, kebencian, kebencian.”
“Kau... semuanya hanya merupakan kebencian, bagaimana orang lain terhadapmu?”
“Aku ingin supaya semua orang membenciku. Semakin dalam mereka membenciku, itulah semakin baik. Apa yang aku sekarang butuhkan kecuali benci sudah tidak apa-apa lagi.”
Cui Wan Tin mendadak berteriak histeris:
“Benci! Benar, aku juga seharusnya membenci. Membenci orang lain, juga membenci diriku sendiri!”
Tong-hong Hui Bun tertawa bangga, kemudian berkata:
“Itu benar. Membencilah! Aku paling senang menyaksikan orang mati dalam kebencian. Kau boleh membawa kebencianmu ke dalam liang kubur! Sekarang akan menusukkan pedang ini perlahan-lahan ke dalam ulu hatimu. Pandanglah wajahku. Gunakanlah semua kebencianmu untuk membenci aku, sehingga putus nyawamu....”
Nampaknya ia benar-benar hendak turun tangan.
Hui Kiam sangat gelisah. Tetapi jika pada saat itu ia bertindak atau bersuara, biar bagaimana sudah tak dapat mencegah perbuatan kejam Tong-hong Hui Bun yang seolah-olah sudah menjadi gila. Namun demikian, apakah ia dapat menyaksikan Cui Wan Tin disiksa oleh perempuan jahat itu?
Dalam keadaan cemas dan gusar, ia telah mendapat suatu pikiran nekad.
Dengan sangat hati-hati dan perlahan sekali ia menggunakan jari tangannya untuk menghancurkan batu kecil, kemudian dengan sangat hati-hati dan perlahan sekali dilemparkan ke samping.
Hancuran batu itu terbang dari tangannya tanpa menerbitkan suara. Ketika hancuran batu itu tiba di tanah, menerbitkan suara sangat ringan yang hampir tidak kedengaran.
Tong-hong Hui Bun tiba-tiba menoleh.
Bukan kepalang girangnya Hui Kiam karena usahanya telah berhasil. Secara kilat ia bergerak sambil melancarkan satu serangan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Tong-hong Hui Bun tidak menduga sama sekali adanya perubahan itu, sehingga terhuyung-huyung badannya.
Sementara itu Hui Kiam sudah rintangkan dirinya di hadapan Cui Wan Tin.
Tetapi Tong-hong Hui Bun juga bukan bangsa lemah. Seolah-olah tanpa dipikir lagi, badannya yang terhuyung-huyung bergerak setengah memutar sambil melontarkan pedangnya. Dalam keadaan demikian ia masih dapat melakukan serangan pembalasan yang tidak mudah dilakukan oleh orang lain, hal itu sudah tentu di luar dugaan Hui Kiam. Dalam keadaan cemas, terpaksa ia melintangkan pedangnya untuk menangkis.
Tetapi apa yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaannya sama sekali.
Pedang yang dilontarkan oleh Tong-hong Hui Bun tadi ternyata cuma merupakan satu serangan pura-pura saja, karena berbareng dengan dilontarkannya serangan pedang itu, tangan kirinya dengan kecepatan bagaikan kilat telah bergerak menyambar pergelangan tangan Cui Wan Tin.
Ketika Hui Kiam menyadari, ternyata sudah terlambat. Pergelangan tangan Cui Wan Tin sudah tergenggam di tangan Tong-hong Hui Bun.
“Kalau kau berani mengganggu seujung rambutnya saja, aku nanti akan cincang tubuhmu menjadi berkeping-keping!” berseru Hui Kiam dengan suara keras.
Tong-hong Hui Bun sambil membawa Cui Wan Tin menyingkir sejauh delapan kaki sehingga terpisah sejarak satu tombak lebih dengan Hui Kiam.
“Lepaskan tanganrnu!” demikian Hui Kiam mengancam.
“Hui Kiam, kau sudah berpikir, apakah kau kira aku takut ancamanmu?”
Pada saat itu Cui Wan Tin baru tahu siapa orangnya yang datang di hadapannya. Maka segera memanggil dengan suara gemetar
“Engko Kiam, kau... akhirnya datang juga!”
“Adik Tin, di sini ada aku, jangan takut!” jawab Hui Kiam.
Kulit wajah Tong-hong Hui Bun nampak berkerenyit beberapa kali. Sinar matanya bagaikan tajamnya pedang, seolah-olah hendak menembusi hati orang. Itu adalah suatu tanda bagaimana perasaan bencinya pada saat itu. Sikap itu tidak akan dilupakan untuk seumur hidupnya bagi siapa yang menyaksikannya.
“Hui Kiam, aku ingin kau menyaksikan bagaimana caranya ia menutup mata. Aku ingin kau merasakan bagaimana rasanya kebencian!”
“Perempuan hina, asal kau berani, aku akan beset kulitmu hidup-hidup!”
“Perempuan hina? Ahahaha! Adik, sekarang kau memaki aku perempuan hina, ingatkah kau malam yang indah itu? Meski hanya satu malam kita menjadi suami istri, tetapi itu sudah cukup menjadi kenangan untuk selama-lamanya. Kau sesungguhnya seorang laki-laki yang tidak berperasaan.”
Darah Hui Kiam bergolak hebat, hampir saja muntah keluar dari mulutnya.
“Kau... benar-benar bukan manusia!”
Tong-hong Hui Bun mengerlingkan matanya. Katanya dengan nada mengejek:
“Aku bukan manusia? Dan kau sendiri? Apakah kau masih terhitung manusia? Adik, kau sudah pikirkan masak-masak atau belum?”
Hui Kiam sudah hampir gila. Ia tidak dengar jelas apa yang diucapkan oleh Tong-hong Hui Bun. Pikirannya sudah dipusatkan ke satu tujuan. Ialah dengan bagaimana harus menolong jiwa Cui Wan Tin?
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
“Adik, kau sudah tak memanggil enci lagi?”
“Akan kubunuh kau!” demikian Hui Kiam berteriak kalap.
Pedangnya bergerak menyerang Tong-hong Hui Bun....
Tong-hong Hui Bun mendorong Cui Wan Tin sehingga Hui Kiam menarik kembali serangannya. Jikalau Hui Kiam tak bertindak, Cui Wan Tin pasti menjadi korban pertamanya.
Hui Kiam sangat marah, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap perempuan jahat itu.
“Hui Kiam, mengapa kau tidak berani turun tangan?” demikian Tong-hong Hui Bun bertanya dengan nada mengejek.
Cui Wan Tin lalu berkata dengan suara bengis.
”Engko Kiam, jangan pedulikan diriku, bunuh saja dia!”
“Ia tidak berani, ia juga tidak ingin kau mati,” berkata Tong-hong Hui Bun sambil tertawa dingin.
Dada Hui Kiam dirasakan hampir meledak. Otot-ototnya menonjol keluar, air peluh bercucuran, matanya merah membara.
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
“Adik, mari kita berunding tentang syarat-syaratnya, kau pikir bagaimana?”
“Kau katakan apa syaratnya?”
“Sederhana sekali, kau serahkan pedang saktimu untuk menukar jiwanya, nah itu saja.”
“Tidak bisa.”
“Kau tentunya tidak ingin dia mati, bukan? Kalian ada mempunyai hubungan sebagai saudara seperguruan, juga sebagai kekasih.”
Hui Kiam merasa penasaran bila tak dapat membunuh perempuan itu. Rasa benci dalam hatinya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi ia toh tidak berdaya, karena Cui Wan Tin berada dalam tangannya.
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
“Pedang kau masih mempunyai kepandaian untuk merebut kembali, tetapi orang kalau sudah mati tidak bisa hidup kembali, kau mengerti atau tidak?”
Wajah Hui Kiam merah padam, badannya gemetar! Memang benar, kehilangan pedang bisa direbut kembali tetapi orang yang sudah mati tidak bisa hidup kembali. Namun demikian, apabila pedang sakti itu terpisah dari tangannya, niscaya ia sendiri sudah tidak berdaya untuk melawan musuh besar satu-satunya, pemimpin Persekutuan Bulan Emas apalagi untuk merebut kembali dari tangannya, sudah tentu tak mungkin lagi! Sekalipun terhadap Tong-hong Hui Bun saja, apabila pedang sakti itu berada di tangannya ia juga belum yakin dapat mengalahkan perempuan itu atau tidak? Apabila dari luar kedatangan bala bantuan, bagaimana akibatnya sungguh tidak dapat dibayangkan ....
“Adik, encimu sudah tidak dapat menunggu lama-lama lagi!”
“Tutup mulut! Siapa ada adikmu?
“Sekarang memang bukan, tetapi yang sudah lalu toh betul, bukan?”
“Di dalam dunia susah untuk mencari perempuan begitu jahat dan tidak tahu malu seperti kau ini....”
“Tidak perlu banyak bicara lagi. Nah, kita berjumpa lagi sampai di lain waktu.”
Perempuan itu memegang erat-erat tangan Cui Wan Tin, lalu ditarik keluar....
“Jangan pergi!”
“Jadi kau sudah terima baik?”
“Kau hendak berbuat apa terhadapnya?”
“Tidak apa-apa, aku hendak bawa pulang ke markas, kemudian kita akan pikirkan lagi bagaimana harus membereskannya.”
“Kau berani?”
“Dalam hal ini tidak ada persoalan berani atau tidak berani. Asal kau berani bergerak, aku akan bunuh dia lebih dulu.”
Hui Kiam tidak berdaya, maka akhirnya ia terima baik syarat itu. Katanya dengan suara dingin:
“Aku terima baik syaratmu ini.”
“Kalau begitu, kau serahkan pedangmu lebih dulu, lalu kau menunggu di sini. Setelah aku berlalu dari sini dalam keadaan selamat, kuakan lepaskan ia kembali. Aku jamin tidak akan mengganggu seujung rambutnyapun juga, bagaimana?”
Cui Wan Tin menyemburkan darah merah dari mulutnya, kemudian berkata dengan suara bengis:
“Jikalau kau hendak menyerahkan pedang saktimu, lebih dulu harus membunuh aku.”
“Adik Tin, tindakanku semata-mata hanya demi kepentinganmu,” berkata Hui Kiam dengan nada suara duka.
“Tidak bisa, barang peninggalan perguruan kita itu adalah didapatkan dengan susah payah pengucuran darah, apabila kau berbuat demikian sekalipun aku sudah jadi setan juga tidak akan mengampuni perbuatanmu. Arwah ayah dan empat susiok yang ada di alam baka juga tidak akan memaafkannya.”
Kata-kata itu diucapkan dengan nada sangat bernafsu dan semangat kejantanan. Hui Kiam yang mendengarkan, hatinya seperti ditusuk dengan ujung belati. Sesaat itu ia merasa bimbang tidak tahu bagaimana harus berbuat.
Cui Wan Tin berkata pula:
“Kematianku tidak perlu dibuat sayang, tetapi kau harus menggunakan pedang ini untuk menuntut balas dendam dan membasmi setiap orang jahat dalam rimba persilatan. Nah, sekarang kau boleh turun tangan.”
Dengan mata merah Hui Kiam menjawab:
“Adik Tin, aku... tak bisa. Aku benar-benar tak sanggup!”
“Hui Kiam, atas nama ayah dan kedudukan sebagai suci, aku perintahkan kau untuk turun tangan!”
Tong-hong Hui Bun menotok jalan darah Cui Wan Tin, hingga gadis itu tidak bisa bicara lagi, hanya mengawasi dengan sepasang matanya yang penuh kebencian. Dari ujung bibirnya masih mengeluarkan darah.
Hati Hui Kiam hancur luluh. Ia tahu apabila keadaan itu terus berlangsung secara demikian ia sendiri pasti akan gila. Ia pikir bolak-balik ucapan Cui Wan Tin. Ia merasa bahwa ia sendiri tak seharusnya menempuh bahaya sebesar itu untuk melakukan perbuatan yang bodoh itu, sebab dengan orang berhati jahat seperti Tong-hong Hui Bun, apabila ia benar-benar sudah menyerahkan pedang saktinya kemudian lalu main gila, bagaimana harus bertindak, bukankah membuat penyesalan untuk seumur hidup?
Nafsunya memburu yang begitu berat dapat dilihat dari sinar matanya yang penuh kebencian. Akhirnya ia telah mengambil keputusan yang tetap.
Tong-hong Hui Bun yang menyaksikan sikap Hui Kiam itu, dalam hati juga merasa jeri. Dengan tanpa disadari ia sudah mundur dua langkah seraya berkata:
“Hui Kiam, sepatah kata sudah cukup, kau terima baik atau tidak syarat ini?”
Ketika sinar mata Hui Kiam beradu dengan sinar mata Cui Wan Tin yang penuh kebencian, telah membulatkan tekad Hui Kiam, maka itu menjawabnya sepatah demi sepatah:
“Tidak bisa!”
“Apakah kau menghendaki kematiannya?”
“Kau akan mendapatkan pembalasan yang setimpal. Aku akan membuatmu mati perlahan-perlahan. Darahmu yang penuh racun itu akan kukeluarkan setetes demi setetes sehingga habis. Aku hendak membelah dadamu, aku akan menyaksikan bagaimana macam nyalimu!”
“Apakah... kau tidak akan menyesal?”
“Tidak.”
Tong-hong Hui Bun tidak berdaya. Perempuan yang cantik bagaikan bidadari tetapi hatinya kejam dan jahat melebihi ular berbisa mempunyai cara berpikir sangat kejam, setelah berpikir bolak-balik akhirnya ia mengambil suatu keputusan. Katanya dengan nada suara dingn:
“Hui Kiam, aku tarik kembali syaratku….”
Hui Kiam terheran-heran, mengapa?
“Aku telah merobah pendirianku yang semula!”
“Haha! Tong-hong Hui Bun, kiranya kau juga takut mati.”
“Kalau begitu kau ternyata keliru menilai orang!”
“Mengapa kau merobah pendirianmu?”
“Karena apabila aku binasa bersama-sama dengannya sedangkan kau sendiri masih hidup, aku sangat penasaran, maka aku hendak tetap hidup untuk menyaksikan kematiannya juga.”
Ucapan itu kedengarannya membangunkan bulu roma, tetapi memang sebenarnya.
“Aku percaya kebenaran ucapanmu ini. Orang semacam kau ini sudah tentu tidak akan mau mati begitu saja. Dan sekarang kau berpikir bagaimana?”
“Hui Kiam, kau tentunya tidak akan menyangkal, apabila tidak ada aku kau tidak bisa hidup sampai sekarang, juga tidak akan mendapat kepandaian seperti apa yang kau miliki sekarang.”
Hui Kiam diam. Itu memang benar, beberapa kali Tong-hong Hui Bun pernah menolong jiwanya dari ayahnya yang kejam, maka ia berkata dengan terus terang:
“Aku tidak akan menyangkal, kenyataan tetap kenyataan!”
“Sekarang, aku tidak bermaksud minta kau kasihani. Aku juga tidak perlu akan menggunakan dia sebagai barang tawanan!”
Setelah berkata demikian, benar saja perempuan itu lalu membebaskan Cui Wan Tin.
Cui Wan Tin yang sudah terluka parah lagipula ia masih berusaha mempertahankan dirinya sekian lama, sebetulnya sudah tak sanggup berdiri lebih lama. Hanya perasaan penasaran dan kebenciannya yang membuat ia tetap bertahan. Tetapi sekarang setelah bebas dari tangan musuhnya, tidak sanggup lagi untuk mempertahankan dirinya. Badannya terhuyung-huyung dan kemudian duduk lemas di tanah.
Kejadian itu benar-benar di luar dugaan Hui Kiam. Tetapi ia tidak berani berlaku lengah, ia harus waspada terhadap Tong-hong Hui Bun yang mempunyai banyak akal busuk.
Sementara itu Tong-hong Hui Bun sudah melanjutkan ucapannya:
“Kuulangi sekali lagi, apabila aku tidak binasa, aku bersumpah pasti akan membunuhmu. Jikalau kau takut, sekarang kau boleh turun tangan membunuhku. Jikalau tidak, aku sekarang hendak pergi.”
Setelah berkata demikian, dengan sinar mata yang dingin ia menatap Hui Kiam tanpa berkedip.
Pikiran Hui Kiam seketika itu menjadi kalut. Dibunuhnya ataukah dibebaskan? Ia telah menimbang lagi masak-masak segala budi dan permusuhan antara ia dengan perempuan itu. Pada saat itu ucapan Manusia Teragung mengenai jiwanya seorang kesatria, kembali mendengung di dalam telinganya.
Tindakan Tong-hong Hui Bun kali ini sungguh cerdik. Lebih dulu ia mengutarakan maksudnya sendiri, untuk menutup mulut Hui Kiam, kemudian ia menyebut budinya yang pernah menolong jiwa Hui Kiam, untuk menggerakkan hatinya, dan yang terakhir, ia telah membebaskan Cui Wan Tin dengan kemampuannya sendiri, untuk membuktikan bagaimana jiwa dan kelakuannya yang agaknya benar-benar sudah berubah. Ia sudah menduga dengan pasti reaksi Hui Kiam, sebab terhadap seseorang yang tinggi hati dan berjiwa seperti Hui Kiam, tindakan itu pasti berhasil.
Hakekatnya, mau tidak mau ia harus bertindak demikian, sebab ia sudah tahu bahwa usahanya hendak menggunakan diri Cui Wan Tin untuk memaksa Hui Kiam sudah tidak berhasil. Sikap Hui Kiam jelas sudah memberitahukan kepadanya bahwa pemuda itu akan turun tangan tanpa memperhitungkan nasib Cui Wau Tin lagi. Ia mengetahui bahwa kepandaiannya sendiri pada saat itu tidak sanggup melawan Hui Kiam sedangkan ia tidak rela mati sebelum maksudnya tercapai.
Kemudian, semua telah berakhir seperti apa yang diharapkan.
Dengan wajah beberapa kali berubah, akhirnya Hui Kiam berkata:
“Kau pergilah! Hari ini aku mengampuni jiwamu, hingga demikian antara budi dan permusuhan kita berdua sudah impas. Yang masih ada hanya dendam. Di lain waktu apabila berjumpa lagi, aku pasti akan membunuhmu!”
Tong-hong Hui Bun pura-pura bersikap menentang:
“Aku bukan minta belas kasihanmu. Kalau kau mau sekarang pun kau boleh turun tangan!”
“Lekas enyah dari sini!”
“Apakah kau tidak akan menyesal?”
“Seorang laki-laki tetap akan pegang janjinya, perlu apa merasa menyesal!”
“Kalau begitu aku sekarang hendak pergi!”
Setelah perempuan itu berlalu, Hui Kiam termangu-mangu. Ia pernah tergila-gila terhadapnya, sungguh tidak diduga akhirnya terjadi perubahan demikian rupa. Tetapi kalau ia ingat bagaimana di bawah pengaruh obat perangsang ia melakukan perbuatan tidak patut dengannya, ia lalu bergidik. Apabila benar perempuan itu mempunyai hubungan suami-istri dengan ayahnya, itu berarti bahwa perempuan itu ibu tirinya sendiri. Melakukan hubungan gelap dengan ibu tiri, bagaimana selanjutnya dia ada muka untuk hidup lagi?
Benarkah Tong-hong Hui Bun sudah mengetahui asal-usul diri Hui Kiam akan tetapi masih melakukan perbuatan binatang itu? Ini rasanya tak mungkin, tetapi ucapan dan nasihat Orang Tua Tiada Turunan serta lain-lainnya hampir semuanya serupa, semua itu maksudnya ialah supaya ia teguhkan tekadnya dalam usahanya menumpas kejahatan. Apakah karena maksud itu, sehingga orang-orang itu perlu membuat cerita bohong yang menakutkan itu? Apabila itu benar, meskipun tujuan mereka baik, tetapi rasanya tak dapat dimaafkan....
“Engko Kiam, pada saat ini kita benar-benar seperti berjumpa lagi dari lain dunia.”
Demikian terdengar suaranya Cui Wan Tin sehingga Hui Kiam baru ingat bahwa gadis itu masih duduk di tanah. Ia mengawasinya sejenak lalu menghampirinya dan mendukungnya ke dalam tempat tidurnya, kemudian berkata kepadanya dengan dengan nada penuh kasih sayang:
“Adik Tin, aku sungguh menyusahkan kau!?”
“Engko Kiam, aku bisa berada lagi di sampingmu, apapun yang telah terjadi tidak penting lagi bagiku,” berkata Cui Wan Tin dengan
penuh mesra, katanya sambil memegang kedua lengan tangan Hui Kiam.
Hui Kiam tidak sanggup mengendalikan perasaannya sendiri, ia mencium pipi gadis itu seraya berkata:
“Masih ingat!”
“Dan sekarang kau sudah balik kembali!”
“Ya, namun demikian budi aku belum berhasil membalasnya. Permusuhan dan dendam sakit hati juga belum berhasil menuntutnya. Kedatangan ini karena aku mendapat berita bahwa kau dalam keadaan bahaya ....”
“Kalau begitu… masih hendak meninggalkan aku lagi?”
“Aku cepat akan balik lagi ke sampingmu!”
“Tidak! Aku hendak ikut kau bersama-sama berkelana di dunia Kang-ouw. Sejak kau meninggalkan aku, aku melewatkan hari-hariku seperti bertahun-tahun lamanya. Aku benar-benar merasa takut... akan kehilangan kau berarti tidak ada aku….”
“Adik Tin!” Hui Kiam tak dapat melanjutkan ucapannya, sepasang matanya sudah basah.
Cui Wan Tin berkata pula:
“Engko Kiam, sudikah kau membawa aku pergi?”
“Adik Tin, bukankah kau hendak mengawani arwah ibumu, sehingga tidak bersedia meninggalkan tempat ini?”
“Engko Kiam, aku tidak tahu bagaimana sepi, aku sudah biasa aku hanya tak sanggup menyiksa batinku karena selalu memikirkan dirimu. Perbuatanku yang akan berlalu dari sini, pasti dimaafkan oleh ibu!”
Dua butir air mata mengalir keluar dari matanya.
Hui Kiam menundukkan kepala memberikan ciuman hangat. Sekarang ia sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Ia boleh mencurahkan seluruh cinta kasihnya kepada kekasihnya itu.
Tiba-tiba ia melompat bangun seraya berkata:
“Celaka! Mengapa aku berlaku begini gegabah!”
“Kau maksudkan apakah tidak seharusnya aku melepaskan perempuan itu?” bertanya Cui Wan Tin bingung.
“Bukan, bukan....”
“Kalau begitu karena apa?”
“Anak perempuan si-supek Pui Ceng Un tadi datang bersamaku....”
“Oh! Sekarang dji maonakah dia?”
“Aku hanya tujukan perhatianku untuk menolong jiwamu, sebaliknya sudah melalaikan dirinya, sedangkan ia tak paham barisan batu gaib ini....”
“Kebanyakan ia masih terkurung di dalam barisan batu....”
Gadis itu hendak bangun, tetapi mulutnya mengeluarkan rintihan dan kemudian jatuh lagi.
“Adik Tin, lukamu tidak ringan, kau jangan banyak bergerak, biarlah aku saja yang pergi....”
“Kau boleh melihat dulu dari kaca rahasia di dalam kamar sebelah itu. Apabila ia berada di dalam barisan batu, kau dapat menyaksikan dengan jelas!”
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Tiba di kamar sebelah, dengan penasaran Hui Kiam melihat keadaan dalam barisan dari kaca rahasia itu. Semua keadaan dalam barisan gaib itu, sampaipun bangkainya lima pelayan wanita yang berada di luar barisan, juga dapat dilihat dengan nyata, tetapi tidak tampak bayangan Pui Ceng Un. Bukan kepalang terkejutnya pada saat itu. Dengan hati sangat gelisah ia lari keluar. Ia memasuki barisan gaib itu untuk mencari, tetapi tetap tidak menemukan jejaknya.
Ia lalu berpikir, mungkin karena tidak mengerti ilmu barisan itu, hingga Pui sucinya itu tidak ikut masuk.
Terpaksa ia lari keluar dari dalam barisan. Keadaan seluruh pemandangan danau air dingin tertampak di hadapan matanya, tetapi ia tetap tidak dapat melihat bayangan sucinya. Menurut logika, kalau ia tidak masuk dalam barisan, seharusnya menunggu di luarnya. Mengapa sekarang tidak tampak bayangannya? Apakah ia sudah berlalu lebih dulu…?
Ia teringat kepada Tong-hong Hui Bun yang belum lama berlalu, seketika itu ia bergidik.
Dalam soal ilmu kepandaian, kepandaian mereka berdua selisih tak jauh. Setidak-tidaknya, Pui Ceng Un masih bisa mengundurkan diri dalam keadaan selamat. Yang dikhawatirkan ialah akal busuk dan tangan ganas Tong-hong Hui Bun.
Pada saat itu, dari belakang gundukan batu sejauh dua tombak, tiba-tiba terdengar suara rintihan yang sangat lemah.
Hati Hui Kiam semakin cemas. Ia segera melompat melesat ke arah datangnya suara itu.
Tiba di tempat itu, ia menjerit. Di tempat itu ada rebah menggeletak dirinya pelayan wanita dengan kode tanda tangan sebagai kawan sendiri, dalam keadaan menyedihkan. Nampaknya jiwa pelayan itu sudah tak dapat ditolong lagi.
“Nona! Nona!” demikian Hui Kiam memanggil berulang-ulang.
Pelayan wanita itu tidak menjawab. Hanya suara rintihan lemah yang keluar dari mulutnya.
Hui Kiam lalu menggerakkan jari tangannya menotok beberapa bagian jalan darah badan perempuan itu, kemudian menyalurkan kekuatan tenaganya ke dalam tubuhnya.
Pelayan wanita itu tiba-tiba membuka matanya. Ia menatap Hui Kiam dengan pandangan mata sayu.
Hui Kiam mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa jiwa perempuan itu sudah tak tertolong lagi, terpaksa ia bertanya:
“Nona terluka di tangan siapa?”
Bibir pucat perempuan itu bergerak-gerak. Dengan susah payah baru ia dapat mengeluarkan suaranya yang sangat lemah.
“Tong-hong... Hui Bun....”
“Mengapa ia berlaku demikian kejam terhadap nona?”
“Karena ....”
“Nona., apakah kau adalah orang yang disuruh menjadi mata-mata oleh Orang Berbaju Lila?”
“Ya.”
“Apakah ia telah mengetahui rahasiamu?”
“Aku ... karena hendak mencegah dia….”
“Mencegah dia bagaimana?”
“Kawanmu.... Nona Pui itu telah....”
Hui Kiam terperanjat, ia bertanya dengan suara gemetar:
“Apakah ia telah dibunuh olehnya?”
“Tidak... ia telah dibawa pergi.”
“Apakah nona Pui tidak memberikan perlawanan?”
“Dia... dibawa keluar dari dalam barisan gaib!”
Hui Kiam mendongakkan kepala, tiada sepatah kata keluar dari mulutnya karena kelalaiannya sendiri yang hanya mempertahankan keselamatan Cui Wan Tin telah melupakan bahwa sucinya itu tak mengenal cara memasuki barisan itu. Kini telah menjadi jelas bahwa sucinya itu pasti mengikuti dirinya masuk ke dalam barisan tetapi tak berhasil mengikuti jejaknya sehingga terkurung di dalam barisan. Waktu Tong-hong Hui Bun berlalu dari dalam Makam Pedang, telah berpapasan dengannya di dalam barisan sehingga akhirnya tertangkap dan dibawa pergi. Apabila di luar barisan, Tong-hong Hui Bun pasti tidak demikian mudah menangkapnya, setidak-tidaknya pasti terjadi pertempuran sengit.
Pui Ceng Un telah terjatuh di dalam tangannya, susah dibayangkan bagaimana akibatnya.
Sekarang satu-satunya jalan baginya harus ditempuh ialah menyusul secepat mungkin.
“Nona, perempuan hina itu entah kemana perginya?”
Tidak ada jawaban. Ketika Hui Kiam memeriksanya, pelayan itu ternyata sudah putus nyawanya. Hui Kiam lari balik lagi ke dalam kamar Cui Wan Tin.
Cui Wan Tin menyaksikan sikap Hui Kiam, ia mendapat firasat tak enak. Maka segera menegurnya lebih dulu:
“Bagaimana dengan Pui sumoy?”
“Kalau tahu bakal terjadi kejadian semacam ini, seharusnya aku sudah bunuh mati perempuan hina itu. Pui suci terkurung di dalam barisan, telah tertangkap dan dibawa lari oleh perempuan hina itu.”
“Dibawa lari?”
“Ya. Adik Tin, bagaimana dengan lukamu, apakah kau dapat menyembuhkan sendiri?”
“Boleh....”
“Aku harus segera pergi mengejar, hanya terpaksa harus meninggalkan kau.”
“Engko Kiam, aku dilahirkan seolah-olah sudah ditakdirkan tidak bisa terlepas dari penderitaan. Kau pergilah, kalau luka segera sembuh aku bisa keluar sendiri.”
“Tidak, tidak, adik Tin, di dunia Kang-ouw banyak bahaya, hidupmu sudah cukup menderita. Kau di sini menemani arwah ibumu, menantikan kedatanganku. Tidak lama lagi aku bisa balik kembali dan lain kali kalau balik aku tidak akan meninggalkan kau lagi.”
“Engko Kiam, menantikan kau?”
“Ya, menantikan aku. Apakah kau mau?”
“Engko Kiam, aku... akan menantimu. Harap perpisahan kali ini tak akan terlalu lama.”
”Adik Tin, aku akan berusaha selekas mungkin menyelesaikan tugasku. Aku akan segera kembali untuk berkumpul denganmu!”
“Aku, aku… Engko Kiam, aku mendadak merasa takut.”
“Takut apa?”
“Aku sendiri juga tidak tahu apa sebabnya, aku hanya merasa takut.”
“Adik Tin, jangan takut. Aku tahu, sebab terlalu lama kau hidup dalam kesunyian seperti ini maka kau merasa takut, betul bukan? Jangan takut, tidak lama lagi aku akan kembali di sampingmu, tidak akan berpisah lagi untuk selama-lamanya.”
“Benarkah kau tidak akan meninggalkan aku untuk selamanya?”
“Sudah tentu adik yang baik. Aku tidak tega berpisah denganmu.”
Cui Wan Tin tertawa. Hui Kiam tidak dapat mengendalikan perasaannya, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.
“Adik Tin, aku terpaksa tidak dapat merawat lukamu, harap kau....”
“Engko Kiam, kau pergilah dengan hati lega, aku dapat mengurus diriku sendiri.”
“Aku khawatir musuh-musuhmu itu akan datang lagi.”
---ooo0dw0ooo---
JILID 34
“TIDAK apa, dalam kesunyianku selama sepuluh tahun ia ini, aku menemukan keajaiban barisan itu, asal aku merubah sedikit saja, sudah tidak ada orang yang bisa masuk lagi.”
“Mengapa kau tidak melakukannya itu sejak dahulu?”
“Aku baru menemukan pada waktu belakangan ini saja.”
“Oh! Adik Tin, harap kau baik-baik jaga dirimu, aku hendak pergi.”
Sekali lagi Hui Kiam memberi ciuman hangat, kemudian baru meninggalkannya. Dalam hati telah berjanji, ia tidak akan meninggalkannya terlalu lama. Sudah sekian tahun lamanya ia hidup menyendiri dalam kesunyian, hal ini tak dapat dilakukan oleh siapapun juga orangnya yang masih berusia demikian muda. Dahulu karena menerima perintah ayahnya yang harus melindungi pedang sakti dan menantikan pemiliknya, tetapi sekarang ia akan menantikan kembalinya sang kekasih.
Hui Kiam panas dan gelisah. Ia harus pergi menyusul Pui sucinya, tetapi kemana harus menyusul?
Sewaktu ia lari ke jalan raya, tiba-tiba melihat sesosok bayangan orang berdiri menyender di sebuah batu besar di pinggir jalan. Baru melihat dandanannya ia sudah berseru dengan perasaan girang:
“Suci, kiranya kau ada di sini!”
Bagaikan seorang yang mendapatkan barang berharga, demikian girang perasaan hati Hui Kiam pada saat itu. Maka ia segera lari menghampirinya.
Akan tetapi apa yang terjadi? Ketika Hui Kiam sudah berada sangat dekat, tiba-tiba ia menjerit, matanya berkunang-kunang, hampir saja roboh di tanah.
Ternyata Pui Ceng Un telah berdiri menyender dalam keadaan tak bernyawa. Di depan dadanya masih terdapat banyak tanda darah, tetapi belum membeku. Sepasang matanya terbuka lebar. Meskipun tak bersinar tapi masih dapat dilihat bagaimana rasa bencinya pada waktu belum putus nyawanya. Di samping jenazahnya, di lamping potongan batu, terdapat sebaris huruf yang tertulis dengan darah:
“Adik, inilah yang pertama. Aku hendak membunuh habis semua orang yang ada hubungan dengan kau, kau membencilah! Dalam hidupku aku cuma kenal dua perkara, ialah cinta dan benci. Kalau
bukan cinta aku harus benci, membenci sampai ke akar-akarnya tanpa meninggalkan bekas.”
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, nyawa dan semangatnya seolah-olah sudah meninggalkan raganya.
Hui Kiam berlutut di hadapan sucinya. Air mata mengucur deras. Ia menjawab:
“Suci, akulah yang membunuhmu, akulah algojonya!”
Tetapi sang suci itu sudah mati, biar bagaimana sudah tidak bisa hidup kembali!
Entah berapa lama telah berlalu, pikirannya perlahan-lahan telah pulih kembali. Wajahnya yang tampan telah menjadi dingin angkuh seperti biasanya, bahkan lebih dari itu.
Bunuh! Aku harus bunuh mati dia berikut semua orang Persekutuan Bulan Emas! Demikian ia menggumam sendiri.
Tidak lama kemudian matahari sudah terbenam di ufuk barat. Hui Kiam baru mulai menggali tanah untuk mengubur jenazah sucinya.
Selesai mengubur, ia berlutut di hadapan kuburannya dan menyatakan sumpahnya hendak menuntutkan balas untuknya.
Dalam dada Hui Kiam saat itu hanya dipenuhi oleh rasa dendam dan kebencian, tidak ada perasaan apa-apa lagi.
Seandainya ia tidak lengah dan mengajak sucinya masuk ke dalam barisan, sang suci itu pasti tidak akan mengalami kematiannya yang menyedihkan.
Seandainya ia tidak memegang derajatnya sebagai seorang gagah yang berjiwa besar dan membunuh Tong-hong Hui Bun pada waktu itu juga, sang suci pasti juga tidak akan binasa.
Akan tetapi nasi sudah menjadi bubur, menyesal tak ada gunanya.
Akhirnya, dengan hati kosong dan pikiran limbung Hui Kiam lari menuju keluar gunung.
Bagaikan seekor kelelawar, Hui Kiam terbang di waktu tengah malam. Agaknya hanya dengan cara demikian ia mengurangi kesedihannya. Ia lari tanpa tujuan, hanya lari, lari terus lari.
Tetapi manusia mempunyai semacam kodrat, tidak perlu dalam keadaan mabuk atau gila, dengan sendirinya bisa lari menuju ke tempat yang mempunyai kesan paling dalam dalam hatinya. Begitulah dengan keadaannya Hui Kiam, meskipun nampaknya lari tanpa tujuan, tetapi ia menuju ke arah pulang ke tempat darimana ia berangkat.
Matahari terbit, matahari terbenam dan kemudian terbit lagi.
Tenaga manusia biar bagaimana ada batas-batasnya. Letih membuat ia sadar, lapar dan dahaga datang saling susul. Maka setelah menenangkan pikirannya, ia singgah di satu perkampungan kecil untuk mengisi perutnya.
Rumah makan di perkampungan jauh berbeda keadaannya dengan rumah makan di kota besar, di situ hanya terdapat daging kambing atau sapi dan daging kering untuk teman nasi. Dalam pikiran pepat, Hui Kiam minum arak secawan demi secawan, agaknya sengaja ingin mabuk.
Kala itu hari masih pagi. Dalam ruangan makan hanya terdapat dua tiga orang tamu saja. Mereka makan dengan tergesa-gesa, tiada satupun yang memperhatikan Hui Kiam yang sikapnya agak aneh.
Sudah enam poci arak masuk ke dalam perutnya, tetapi ia masih minta ditambah lagi.
“Tuan ingin tambah arak lagi?” demikian pelayan rumah makan bertanya.
“Apakah kau sudah tuli?!”
“Heh! Hamba takut tuan tidak kuat, sebab arak keluaran tempat ini sudah terkenal kerasnya.”
“Bohong!”
“Betul tuan.”
Hui Kiam bersikeras. Pelayan itu terpaksa menambah araknya lagi.
Betul saja, mata Hui Kiam mulai berkunang-kunang hingga dalam hatinya menggumam: Apakah benar aku sudah mabuk?

Akan tetapi, ia masih terus minum secawan demi secawan melalui tenggorokannya.
Ia memang sengaja minum sepuas-puasnya, hendak melenyapkan kedukaan dalam hatinya. Tetapi kedukaan yang sudah menggores terlalu dalam itu tidak mudah dihapus. Maka semakin banyak ia minum arak, kedukaannya semakin bertambah.
Dalam keadaan demikian timbullah pikirannya ingin melihat darah. Darah musuhnya.
Seorang laki-laki setengah umur berdandan sebagai sastrawan dengan wajahnya seperti orang berpenyakitan, dia masuk ke rumah makan itu. Setelah matanya menyapu sejenak lalu menuju dan duduk di depan meja Hui Kiam. Sang pelayan segera menyediakan arak dan hidangan.
Laki-laki itu segera menuang arak dan diminumnya tanpa malu-malu lagi.
Hui Kiam sangat mendongkol. Ia menegurnya dengan suara dingin:
“Apa artinya perbuatan tuan ini?”
“Sahabat kecil, apakah kau sayang dengan satu cawan arak saja?” demikian laki-laki berpenyakitan itu balas bertanya.
“Tuan jangan coba-coba cari mampus!”
“Sahabat kecil, apakah lantaran satu cawan arak saja kau hendak membunuh orang?”
“Begitulah, sekarang aku justru ingin membunuh orang!”
Hui Kiam bangkit, tetapi kepalanya mendadak dirasakan berat, bumi yang diinjak seperti berputar, sehingga badannya terhuyung-
huyung. Terpaksa ia duduk lagi. Dalam hatinya berpikir: Apakah aku benar-benar sudah mabuk?
Laki-laki setengah umur itu berkata pula:
“Apakah sahabat kecil adalah Hui siaohiap yang mempunyai nama julukan Penggali Makam itu?”
“Benar.”
“Kaluu begitu sungguh kebetulan sekali. Aku yang rendah Teng Coan. Sudah lama aku mengagumi siaohiap, sayang tidak mendapat kesempatan untuk bertemu muka. Tadi di luar aku yang rendah telah mendengar pembicaraan orang yang hendak berlaku tidak baik terhadap siaohiap, maka aku yang rendah sengaja memberanikan diri....”
“Siapa yang akan berlaku jahat padaku?” bertanya Hui Kiam sambil menatap laki-laki itu dengan matanya yang sudah merah.
“Orang ini besar sekali pengaruhnya!”
“Siapa?”
“Minumlah dulu, nanti kau akan kuberitahukan....” katanya laki-laki itu kemudian menuangkan arak ke dalam cawan. Ia sendiri juga mengisi cawannya, kemudian diangkat dengan dua tangannya seraya berkata: “Mari!”
Hui Kiam melirik laki-laki berpenyakitan itu sejenak kemudian mengangkat cawannya. Selagi hendak diminumnya, tiba-tiba cawan di tangannya itu hancur berantakan disambit oleh tangan jail. Araknya mengepulkan asap, baju-baju yang tersiram arak itu juga meninggalkan bekas berlubang-lubang.
Laki-laki berpenyakitan itu tiba-tiba mengayunkan tangannya menyerang Hui Kiam. Karena serangan itu dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat, apalagi Hui Kiam masih belum sadar benar-benar hingga reaksinya tak secepat dari biasanya, serangan itu nampaknya tak dapat dihindarkan lagi.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri. Laki-laki berpenyakitan itu mendadak rubuh terjengkang.
Hui Kiam yang baru tersadar segera dapat lihat sebatang bambu sumpit menancap di pelipis laki-laki itu. Jelaslah sudah bahwa ada orang yang menolong dirinya secara menggelap. Matanya berputaran mengawasi orang-orang yang masih ada di situ, akan tetapi beberapa tamu yang masih ada ternyata sedang makan dan mengawasi kejadian itu dalam keadaan terkejut. Tidak jauh di tempat ia duduk, berdiri seorang pelayan yang sangat mencurigakan.
Hui Kiam mengawasinya sebentar lalu bertanya padanya:
“Kaukah?”
Pelayan itu dengan sikapnya bagaikan orang dungu balas bertanya:
“Hamba ada apa?”
“Oh, oh! Tuhan, bagaimana hamba berani membunuh orang? Ini… ini…” Tiba-tiba ia berteriak: “Tolong, tolong! Ada orang membunuh!”
Beberapa tamu yang masih ada, cepat-cepat meninggalkan tempatnya dan lari keluar. Tetapi para pegawai rumah makan itu termasuk tukang masaknya, bahkan menyaksikan kejadian itu dengan sikap acuh tak acuh.
Hui Kiam berdiri bingung. Siapakah yang menghancurkan cawan di tangannya dan kemudian dengan menggunakan sumpit bambu membunuh laki-laki setengah umur itu?
Setelah semua tetamu pada berlalu, pelayan yang mencurigakan dan yang tadi berteriak itu menggapai kepada Hui Kiam seraya berkata:
“Toako, mari ke dalam!”
Ia lalu berjalan dan masuk ke sebuah pintu yang tertutup oleh tirai.
Hui Kiam ketika mendengar suara itu segera mengetahui siapa adanya pelayan yang mencurigakan itu, maka segera mengikutinya.
Di belakang pintu bertirai itu ternyata sebuah pekarangan yang tidak seberapa luas. Pelayan itu menyambut kedatangan Hui Kiam sambil tertawa berseri-seri.
“Toako, sungguh berbahaya, untung berhasil.”
Pelayan itu bukan lain daripada si Sukma Tidak Buyar yang menyaru.
“Apakah sebetulnya?”
“Toako, orang yang bernama Teng Coan itu tadi, adalah orang yang sangat berbahaya. Kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada siaote. Jikalau bukan karena perhatiannya dipusatkan kepadamu, sumpitku itu tadi sudah tentu tidak dapat menamatkan jiwanya.”
“Dia orang dari golongan mana?”
“Dia adalah anggota pelindung hukum cabang ke-lima Persekutuan Bulan Emas.”
“Apakah kedatangannya memang sengaja hendak membohong aku?”
“Bagaimana kau bisa berada di sini menyaru sebagai pelayan?”
“Rumah makan ini adalah kepunyaan salah seorang anak buah Orang Berbaju Lila yang digunakan sebagai tempat atau pos penghubung!”
“Oh! Kiranya begitu....”
Ie It Hoan tiba-tiba menanya dengan sikap gelisah:
“Enci Un bukankah jalan bersama-sama dengan toako, mengapa...?”
Wajah Hui Kiam berubah gusar, dingin, tetapi matanya mengembang air.
Sikap itu mengejutkan Ie It Hoan, tanya pula dengan perasaan cemas:
“Toako, bagaimana dengan dia?”
“Sudah meninggal!”
Jawaban itu bagaikan geledek di siang hari bolong. Ie It Hoan saat itu berdiri terpaku dengan mata dan mulut terbuka lebar. Ia terhuyung-huyung hampir rubuh, kemudian baru terdengar suara teriakannya:
“Dia... telah meninggal?!”
“Ya, ia sudah meninggal,” jawab Hui Kiam sedih.
“Bagaimana cara kematiannya?”
“Aku yang membunuh!”
Ie It Hoan mundur beberapa langkah, lama baru berkata:
“Kau... telah membunuhnya?”
Hui Kiam membuka lebar matanya tidak menjawab.
“Toako, kau... kau... mengapa membunuhnya?”
Hui Kiam menarik napas, ia tetap membungkam, agaknya sedang berusaha menindas perasaannya.
Sekujur badan Ie It Hoan gemetaran matanya memancar sinar kebencian. Tiba-tiba ia berkata:
“Aku hendak mengadu jiwa denganmu!”
Dengan tenaga sepenuhnya ia meninju dada Hui Kiam.
Hui Kiam mengeluarkan seruan tertahan, badannya terhuyung-huyung mundur dua langkah, mulutnya mengeluarkan darah. Ie It Hoan sebaliknya, berdiri bingung mengawasi dengan mata terbuka lebar. Ia sungguh tidak menduga Hui Kiam tidak mengelak dan membalas serangannya. Ia menerima dirinya dihajar demikian rupa.
“Balaslah! Bunuhlah aku! Aku memang bukan lawanmu, mengapa kau tidak membunuhku?”
Hui Kiam tersenyum sedih, kemudian baru berkata:
“Adik Hoan, aku rela kau hajar. Meskipun bukan aku yang turun tangan sendiri, tetapi kematiannya itu disebabkan karena aku.”
“Katakan, bagaimana ia binasa?”
“Ia telah terkurung di dalam barisan batu ajaib. Aku telah lalai bahwa dia tidak paham ilmu barisan itu, aku hanya tujukan perhatianku kepada keselamatan Cui suci. Untung aku keburu datang, sehingga Cui suci terhindar dari kematian. Tidak seharusnya aku melepaskan Tong-hong Hui Bun sehingga Pui suci kemudian terbunuh olehnya.”
“Jadi diakah yang membunuhnya?”
“Ya.”
“Dimana jenazahnya?”
“Sudah kukubur.”
“Kalau begitu untuk melihat wajahnya yang terakhir saja aku sudah tidak bisa lagi.”
Ie It Hoan mengepal-ngepal tangan dan menyambak-nyambak rambutnya sendiri, air mata mengalir bercucuran.
Dengan suara sedih Hui Kiam berkata:
“Adik Hoan, utang darah ini aku sudah bersumpah pasti hendak menagihnya.”
“Tidak, aku hendak turun tangan sendiri untuk membunuhnya....”
“Kau bukan tandingannya…!”
“Kalau aku mati aku bisa berjumpa lagi dengan enci Un.”
“Adik Hoan, tenanglah, kedukaanku tidak lebih ringan daripadamu, karena di samping kehilangan suciku, aku masih menderita batin karena kealpaanku....”
“Sudahkah kau sampaikan maksudku...?”
“Aku sudah beritahukan kepadanya. Ia hanya berkata ia tidak pantas, tetapi aku sudah dapat lihat bahwa ia juga mencintaimu.”
Ie It Hoan membalikkan badannya, ia melesat keluar melalui dinding tembok pekarangan. Dengan cepat Hui Kiam menghalanginya seraya bertanya: “Kau hendak kemana?”
“Hendak membunuh perempuan jalang itu!”
“Apakah kau sudah gila?!”
“Biarlah!”
“Adik Hoan, kenapa hendak membunuhnya?”
“Cabang ke-lima persekutuan itu letaknya di satu kuil kira-kira sepuluh pal dari sini. Mungkin dia masih berdiam di sana. Jikalau tidak, tidak nanti akan terjadi usaha pembunuhan Teng Coan atas dirimu....”
Hui Kiam menganggukkan kepala. “Jalan, mari kau tunjuk jalannya!”
Belum lama mereka berjalan, Ie It Hoan tiba-tiba menghentikan kakinya dan berkata:
“Toako, aku ingin bicara sebentar!”
Hui Kiam juga menghentikan kakinya. Ia bertanya dengan perasaan heran:
“Kali ini siaote pergi, takkan sudah sebelum berhasil membunuh musuh, maka bagaimana kesudahannya masih belum dapat diduga. Ada suatu hal yang tidak boleh tidak aku hendak menyerahkan padamu lebih dulu.”
“Jangan berkata yang bukan-bukan, mari jalan!”
“Tidak! Ini sangat penting, juga merupakan tugas Enci Un yang belum diselesaikan!”
“Oh! Urusan apa?”
“Sewaktu Enci Un pergi ke gua Raja Iblis di gunung Kui-im-san untuk minta obat buat toako, pernah terima baik syarat yang diajukan oleh penghuni goa itu.”
“Syarat-syarat apa?”
“Enci Un telah berjanji kepada penghuni goa itu untuk mencari seorang yang bernama Giok-bin Sin Liong Cho Hong.”
“Nama dan gelar ini….”
“Oh!”
“Dia adalah Orang Tua Tiada Turunan.”
“Perghuni goa itu bernama Thio Hong Ge. Dahulu julukannya Bidadari Cantik Berkepandaian tinggi, juga adalah istri Orang Tua Tiada Turunan cianpwee yang dahulu pergi meninggalkannya!”
“Mengapa begitu kebetulan sekali? Orang Tua Tiada Turunan locianpwee pasti girang sekali.”
“Tidak, ia masih belum tahu!”
“Mengapa?”
“Menurut keterangan Enci Un, mungkin bisa terjadi hal-hal yang tak terduga, maka kita pikirkan dulu sebaik-baiknya baru nanti diberitahukan kepadanya. Tetapi, Enci Un... sudah tidak dapat memikirkan pikiran lagi, maka soal ini aku minta toako yang menyelesaikannya. Menurut pikiran siaote, sebaiknya toako ikut padanya pergi ke gunung Kui-im-san, kemudian toako bisa bertindak dengan melihat gelagat.”
“Bisa terjadi hal-hal yang tidak terduga?”
“Kita masih susah untuk menduganya.”
“Bagaimana keterangan yang sejelasnya?”
“Semula Enci Un tidak mau memberi keterangan, sebab dalam peristiwa ini menyangkut guru Enci Un, ialah si Raja Pembunuh Ue-tie Siang, kemudian ia memberitahukan juga kepada siaote.”
Ia lalu menceritakan apa yang telah didengarnya dari Pui Ceng Un.
Hui Kiam lalu berkata sambil menganggukkan kepala:
“Baiklah, aku nanti akan urus. Sekarang mari kita jalan!”
“Pihak musuh banyak mata-mata tersebar di mana-mana, wajah toako pasti tidak akan terlepas dari mata mereka.”
“Masih berapa jauh letaknya cabang persekutuan itu?”
“Tidak sampai satu jam kita bisa tiba di sana.”
“Kita harus menyerbu dengan kecepatan secepat-cepatnya, sudah tentu mereka tidak mendapat kesempatan untuk menyampaikan kabar, sebab mereka pasti tidak tahu tindakan kita.”
“Baik.”
Dua orang itu lari lagi untuk melanjutkan perjalanannya. Sebentar kemudian di depannya terbentang sebuah rimba lebat. Ie It Hoan lalu menunjuk rimba itu seraya berkata:
“Toako, kuil itu terletak di dalam rimba itu! Kalau kita maju lagi, pasti diketahui oleh mereka.”
“Hem! Lekas!”
Hui Kiam dengan cepat melesat ke arah rimba. Begitu tiba di luar rimba, ia sengaja perlahankan gerakannya supaya Ie It Hoan dapat menyusulnya.
“Siapa? Jangan maju!” demikian Hui Kiam mendengar suara teguran. Empat orang berbaju hitam sudah menghalang di depannya. Satu di antaranya setelah menatap wajah Hui Kiam, lalu berseru:
”Penggali Makam!”
Sejak Hui Kiam berlalu dari Makam Pedang, karena kematian sucinya sepanjang hari kecemasan dan kemarahannya terus disimpan dalam hatinya. Dan sekarang ia telah mendapat kesempatan untuk mengumbar hawa nafsunya, maka segera menghunus pedang saktinya mendekati empat orang itu.
Empat orang berbaju hitam itu ketakutan. Mereka mundur beberapa langkah.
Hui Kiam lalu berpaling dan berkata kepada Ie It Hoan:
“Adik Hoan, mulai sekarang, jangan tinggalkan seorangpun hidup, bunuh!”
Begitu menutup mulut, lalu terdengar suara jeritan ngeri. Empat orang berbaju hitam itu masih belum sempat bertindak apa-apa, semua sudah mati di ujung pedang Hui Kiam.
Sebuah jalanan yang terbuat dari batu hijau, terus menuju ke pintu kuil. Begitu mendengar suara jeritan ngeri, beberapa puluh orang berpakaian hitam segera lari keluar dari dalam kuil. Dengan cepat Hui Kiam menyambut kedatangan mereka. Dengan tanpa banyak bicara ia sudah gerakkan pedangnya untuk menyapu orang-orang itu.
Sementara itu Ie It Hoan juga sudah bertindak dengan serangannya bagaikan binatang terluka.
Suara jeritan ngeri terdengar saling susul, hanya dalam waktu yang sangat singkat saja semua orang itu sudah menggeletak menjadi bangkai.
Kemudian terdengar riuh suara tanda bahaya. Dari empat penjuru muncul banyak orang. Dalam waktu sekejap mata saja, orang-orang itu sudah merupakan tembok manusia. Seorang tua yang jenggot dan rambutnya sudah putih dan di belakangnya diikuti tiga orang tua lain serta empat orang setengah umur, maju menghampiri Hui Kiam.
“Tuan....”
“Aku yang rendah adalah Penggali Makam!”
“Aku Ong-sin Hong, ketua cabang kelima Persekutuan Bulan Emas!”
“Suruh Tong-hong Hui Bun perempuan hina itu keluar!”
Orang-orang yang berada di situ, ketika mendengar disebutnya nama Penggali Makam, wajah mereka semua berubah.
Wajah Ong-sin Hong sendiri juga terjadi perubahan. Tetapi ia masih berusaha menenangkan pikirannya, kemudian bertanya:
“Kedatangan siaohiap ada keperluan apa?”
“Suruhlah perempuan itu keluar!”
“Pemilik tanda batu kumala pusaka tidak ada di sini!”
“Apakah itu benar?”
“Aku si orang tua tidak perlu berkata sembarangan.”
“Perbuatan Teng Coan atas perintah siapa?”
Ong-sin Hong terperanjat. Ia mundur beberapa langkah, mulutnya tidak bisa menjawab:
Hui Kiam menggerak-gerakkan pedangnya. Ia berkata dengan nada dan sikap sangat dingin:
“Kau bereskanlah jiwamu sendiri!”
Ong-sin Hong perdengarkan suara tertawa dingin dan berkata:
“Penggali Makam, kau sungguh sombong!”
Tiga orang tua yang berdiri di belakang Ong-sin Hong tiba-tiba bergerak maju dengan sikap menentang.
Deogan kecepatan bagaikan kilat pedang Hui Kiam telah bergerak. Entah dengan cara bagaimana ia melakukan serangannya, tiga orang tua itu sudah roboh terjengkang. Tiga butir kepala manusia menggelinding sejauh beberapa kaki, darah masih menyembur dari leher mereka.
Semua yang ada di situ dikejutkan oleh kejadian itu. Suara seruan terkejut terdengar dari mulut mereka.
Dengan sinar mata yang menakutkan Hui Kiam mengawasi Ong Sin Hong seraya berkata:
“Sekarang tiba giliranmu!”
Ong Sin Hong yang sudah ketakutan setengah mati, ketika mendengar ucapan itu, ia segera menghunus pedangnya sambil memerintahkan orang pertengahan umur itu maju bersama.
Empat laki-laki pertengahan umur itu segera memencarkan diri ke kanan dan ke kiri sambil menyerang dengan pedangnya,
ditambah dengan pedang Ong-sin Hong sendiri, hingga dengan demikian Hui Kiam telah dihujani serangan pedang dari lima penjuru.
Sementara itu Ie It Hoan juga sudah bergerak menyerbu tembok manusia itu.
Pembunuhan besar-besaran kembali telah berlangsung di dalam rimba itu.
Dengan menggunakan ilmu pedangnya yang luar biasa Hui Kiam telah berhasil menebas putung lima batang pedang yang menyerang dirinya, sehingga yang tergenggam dalam tangan lima musuhnya hanya tinggal gagangnya saja sedangkan pedang sakti Hui Kiam saat itu sudah menembusi dada Ong-sin Hong.
Empat laki-laki pertengahan umur itu mungkin seumur hidupnya belum pernah menyaksikan pertempuran semacam itu, sehingga mereka berdiri terpaku bagaikan patung.
Hui Kiam perlahan-lahan mencabut pedangnya sehingga badan Ong-sin Hong roboh di tanah.
Di empat penjuru terdengar suara riuh. Ie It Hoan sudah tidak tampak bayangannya dalam arus manusia itu.
Hui Kiam menyaksikan keadaan itu sejenak. Ia menggerakkan lagi pedangnya, empat laki-laki setengah umur itu dengan tanpa berdaya sama sekali, satu persatu tamat riwayatnya di ujung pedang Hui Kiam. Selesai membereskan empat musuhnya itu, Hui Kiam menyerbu ke dalam gelombang arus manusia itu.
Dalam waktu yang sangat singkat, suara jeritan ngeri terdengar saling susul, darah merah membanjiri tanah. Di mana pedang sakti Hui Kiam bergerak, di situ telah jatuh korban. Pedaug itu bergerak bagaikan angin menyapu daun.
Semua anak buah cabang Persekutuan Bulan Emas itu lari ketakutan.
Hui Kiam yang sedang panas hatinya, lari kesana kemari, bagaikan seorang gila membunuh semua orang-orang yang menyelamatkan diri. Begitu juga keadaanya dengan Ie It Hoan, perbuatan kedua pemuda itu sedang melampiaskan semua kemarahannya kepada orang-orang itu.
Ketika suara jeritan telah reda, dalam rimba di depan kuil, bangkai bertumpuk-tumpuk, darah membanjir di mana-mana.
Yang beruntung bisa menyelamatkan diri mungkin sedikit sekali jumlahnya.
Ie It Hoan dengan napas tersengal-sengal berkata sambil mengawasi Hui Kiam yang sekujur badannya penuh tanda darah.
“Toako, perempuan jalang itu tidak ada di sini. Kalau ia ada, sejak tadi ia telah, menampakkan diri.”
“Belum tentu. Kuduga sebelum ia yakin dapat menandingi aku, ia pasti tidak akan berani menampakkan muka.”
“Mari kita mengadakan penggeledahan ke dalam kuil.”
“Baik!”
Dan pemuda yang sudah kalap itu menyerbu ke dalam kuil, tetapi mereka tidak menemukan bayangan seorangpun juga, sudah terang mereka pasti sudah kabur semuanya.
“Toako, nampaknya siaote sulit untuk membalas dendam Enci Un dengan tangan siaote sendiri....” berkata Ie It Hoan dengan penuh penasaran.
“Adik Hoan, siapapun yang dapat membinasakan musuhnya, semua serupa saja. Kau sebetulnya apakah tahu atau tidak, di mana letaknya pusat Persekutuan Bulan Emas itu?”
“Toako, aku tidak boleh mengatakan, tetapi sekarang tidak boleh tidak siaote harus membuka rahasia ini. Pada dewasa ini, kecuali berusaha untuk menuntut balas sakit hati Enci Un, semuanya aku tidak pikirkan lagi….”
“Katakanlah, di mana letaknya tempat itu?”
“Di….”
Sebelum menyebutkan nama tempat itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan Hui Kiam.
“Siapa, lekas keluar!”
Ie It Hoan terkejut, ia membatalkan maksudnya. Sesosok bayangan orang muncul dari sudut pintu.
Orang itu ternyata adalah Orang Tua Tiada Turunan.
Orang Tua Tiada Turunan itu mengawasi Hui Kiam sejenak, kemudian matanya beralih pada Ie It Hoan, lalu berkata:
“Bocah, apakah kau ingin menjadi seorang berdosa dalam rimba persilatan?”
Ie It Hoan mundur satu langkah. Terhadap orang tua ini ia merasa hormat dan takut tetapi juga segan menghadapinya.
Orang Tua Tiada Turunan berkata pula:
“Jangan kau mengumbar nafsumu sendiri sehingga menggagalkan urusan besar yang menyangkut nasib banyak orang sesama rimba persilatan. Apakah kau juga ingin menjerumuskan Setan tua pemabukan ke jurang kenistaan?”
Bukan satu kali ini Hui Kiam dengar dari mulut Orang Tua Tiada Turunan menyebut nama julukan Setan tua pemabukan itu. Ia tahu bahwa yang dimaksudkan dengan setan tua pemabukan itu adalah guru Ie It Hoan, tetapi bagaimana sebetulnya rupa orarg tua itu, ia tidak tahu sedangkan Ie It Hoan sendiri sikapnya juga tidak tegas, ia tidak mau menerangkan keadaan gurunya sekalipun Hui Kiam ingin tahu, tetapi ia tidak suka bertanya.
Benar saja ucapan orang tua itu seketika telah meredakan amarah Ie It Hoan, lalu berkata dengan suara sedih:
“Tahukah locianpwee bahwa nona Pui Ceng Un sudah meninggal dunia?”
“Aku sudah mendapat kabar. Memang ini suatu kejadian yang sangat menyedihkan, tetapi kita sebagai orang-orang gagah yang menyediakan tenaga untuk membela keadilan, seharusnya juga dapat memikirkan nasib mereka yang entah berapa banyak jumlah yang sudah dibikin susah oleh mannsia jahat itu. Kita juga harus menunjukkan perhatian dan kemarahan kita bagi mereka. Apalagi semua peristiwa yarng menyedihkan ini masih terus berlangsung di tempat yang berlainan. Kalau kita ingin menghentikan peristiwa yang menyedihkan ini, harus memusatkan semua kekuatan dan tenaga untuk menolong rimba persilatan dari bencana.”
Ucapan yang penuh semangat dari orang tua gagah yang berjiwa besar itu, mau tidak mau Ie It Hoan harus mengakui kebenarannya.
Sudah tentu, ucapan itu juga ditujukan kepada Hui Kiam secara tidak langsung.
Hui Kiam juga mengerti maksud ucapan orang tua itu, tetapi sebagai seorang yang beribadat tinggi, ia tidak mau menyatakan apa-apa. Selain dari pada itu, karena kematian Pui Ceng Un disebabkan karena kelalaiannya, maka penderitaan batin itu, dirasakan lebih berat. Penderitaan batin itu membuat dirinya hampir gila. Ucapan Orang Tua Tiada Turunan itu meskipun benar, tetapi ia toh tak dapat menyesali tindakannya sendiri dan tindakan Ie It Hoan yang terpengaruh oleh kematian Pui Ceng Un. Ia mengalihkan pembicaraan ke lain soal:
“Mengaopa cianpwe bisa berada di sini?”
“Mencarimu untuk suatu urusan yang besar.”
“Urusan besar?”
“Benar, satu urusan besar. Ini adalah urusan besar yang akan menentukan kalah atau menang dalam pertempuran antara
golongan kebenaran dan golongan jahat yang akan berlangsung, dan urusan ini hanya kaulah yang dapat menyelesaikannya.”
“Bolehkah aku bertanya urusan besar apakah itu?”
“Sebelum aku menjelaskan, kau harus menerima baik satu soal.”
“Apakah yang boanpwe harus terima baik?”
“Segala tindakanmu harus menurut rencana yang telah ditetapkan, tidak boleh bertindak menurut kemauan sendiri. Apakah kau sanggup?”
Hui Kiam bersangsi, tetapi kemudian ia berkata:
“Boonpwe terima baik.”
“Hui siaohiap, kau harus mengambil keputusan bulat. Tidak perduli dalam keadaan bagaimana, kau dapat mengendalikan dirimu.”
“Apa yang boanpwe sudah terima baik, pasti boanpwe akan mentaati.”
“Baiklah, atas nama seluruh kawan-kawan rimba persilatan, lebih dahulu aku ucapkan banyak terima kasih.”
“Itu boanpwe tidak sanggup menerima. Harap locianpwe suka memberi penjelasannya.”
Orang Tua Tiada Turunan itu mengawasi keadaan di sekitarnya sejenak, lalu berkata:
“Kita meninggalkan tempat ini dulu. Kita harus menjaga di balik tembok itu ada telinganya.”
Karena kuil itu merupakan tempat cabang kelima Persekutuan Bulan Emas, meskipuu dewasa ini tidak tampak jejak manusia, tetapi di situ terdapat banyak pintu dan ruangan, apabila ada orang bersembunyi, tidak mudah dilihatnya, maka kekhawatiran Orang Tua Tiada Turunan memang pada tempatnya. Ini juga merupakan suatu bukti bahwa perkataan yang hendak diucapkan
itu pasti sangat penting. Hui Kiam dan Ie It Hoan sudah tentu menurut.
Tiga orang itu keluar dari dalam kuil. Setelah melalui rimba, tibalah di suatu tempat yang terbuka. Meskipun jejak mereka mudah terlihat, tetapi tidak usah khawatir ada orang yang berani mencuri dengar suarauya.
Barulah Orang Tua Tiada Turunan itu menyatakan maksudnya:
“Kita pergi mengunjungi seorang luar biasa rimba persilatan yang sedikit sekali diketahui orang....”
“Orang luar biasa, siapa?”
“Bu-lim Cin-kun Sun It Hoa.”
“Bu-lim Cin-kun Sun It Hoa? Nama ini masih sangat asing, belum pernah dengar orang menyebutnya.”
“Tadi aku sudah berkata bahwa orang tua ini di dalam rimba persilatan namanya tidak kesohor, tetapi ia adalah seorang satu jaman dengan Tiga Raja Rimba Persilatan, bahkan mungkin munculnya di dunia Kang-ouw lebih dulu daripada Tiga Raja, kalau dihitung usianya sudah seratus tahun lebih!”
“Kita hendak mengunjunginya?”
“Benar.”
“Untuk apa?”
“Ini sangat penting, sebab empat dari Delapan Iblis Negara Thian-tik yang diangkat sebagai anggota badan pelindung tertinggi Persekutuan Bulan Emas, tiga di antaranya sudah binasa, hanya tinggal Iblis Bi-mo seorang. Meskipun anggota Persekutuan Bulan Emas banyak sekali, tetapi yang berkepandaian tinggi sekali, jumlahnya tidak seberapa. Maka pemimpin persekutuan itu sudah mengutus orang kepercayaannya Ie Khi Kun pergi membujuk Bu-lim Cin Kun dengan membawa barang pusaka yang sangat berharga, minta
supaya orang tua itu turun gunung membantu usahanya, dan dijanjikan kedudukan wakil pemimpin dalam persekutuan itu….”
“Oh!”
“Ie Khie Kun kini sudah bergerak menuju ke perjalanannya....”
“Kalau begitu apakah maksud kita hendak mengunjunginya?”
“Harap supaya dia tidak akan digunakan atau diperalat oleh Persekutuan Bulan Emas!”
“Bagaimana kelakuan Bu-lim Cin-kun itu?”
“Tidak terlalu jahat, tetapi juga belum termasuk golongan baik-baik!”
“Kepandaiannya?”
“Dahulu berimbang dengan Tiga Raja dari Rimba Persilatan. Selama beberapa puluh tahun ini, sudah tentu bertambah tinggi.”
“Jika sudah terima baik undangan Persekutuan Bulan Emas, bagaimana kita harus berbuat?”
“Bunuh saja!”
“Dibunuh?”
“Benar, itulah sebabnya maka harus pergi!”
“Bagaimana seandainya kekuatan dan kepandaian boanpwee tak dapat membunuhnya?”
“Kalau begitu ini berarti dia sudah tanpa tandingan. Dengan munculnya dia di pihak Persekutuan Bulan Emas, itu berarti kekuatan Bulan Emas itu bagaikan harimau tumbuh sayap, dan kita tidak perlu bicara tentang pertempuran menegakkan keadilan itu, karena sudah pasti akan kalah!”
Semangat Hui Kiam terbangun. Katanya dengan nada bernafsu:
“Dimana sekarang dia berada?”
“Kabarnya mengasingkan diri di lembah Hui-seng-kok di gunung Suat-hong-san!”
“Gunung Suat-hong-san, bukankah itu...?”
Ie It Hoan tiba-tiba menyela, tetapi baru sepatah kata mendadak bungkam.
“Gunung Suat-hong-san, mengapa?” bertanya Orang Tua Tiada Turunan sambil melototkan matanya.
Ie It Hoan hanya memandang Hui Kiam, tidak menjawab.
“Bocah, kau jangan coba main gila terhadap aku si orang tua. Apa yang kau sedang pikirkan, lekas kau beritahukan!” berkata Orang Tua Tiada Turunan dengan suara keras.
“Tidak... apa-apa. Boanpwe pernah pergi ke gunung Soat-hong-san, tetapi tidak tahu di mana letaknya lembah Hui-seng-kok itu?”
“Bocah, kau jangan coba mengelabui mata aku si orang tua, kelakuanmu dan gurumu aku sudah tahu dengan baik. Katakanlah, apa sebetulnya yang telah terjadi?”
Ie It Hoan kembali memandang ke arah Hui Kiam.
Orang Tua Tiada Turunan yang bermata jeli segera mengerti bahwa dalam soal ini pasti ada sebabnya, maka ia lalu berkata kepada Hui Kiam:
“Mungkin Hui siaohiap tahu pikiran bocah ini?”
Hui Kiam merasa sulit, dalam hati menyesalkan Ie It Hoan terlalu banyak mulut. Sungguh tak disangka, Ie It Hoan yang terkenal cerdik dan banyak akalnya, juga bisa melakukan kesalahan. Karena gunung Kui-im-san itu merupakan sebagian daripada gunung Suat-hong-san, maka kepergiannya ke lembah Hui-seng-kok itu mungkin akan melalui gunung Kui-im-san, sehingga Ie It Hoan kelepasan mulut.
Kisah tentang bidadari cantik yang diceritakan oleo Ie It Hoan, segera berputaran dalam otak Hui Kiam. Ia sebetulnya tak ingin menceritakan lebih dulu kepada Orang Tua Tiada Turunan, takut akan timbul hal-hal yang tak diingini sehingga mempengaruhi jalannya pertempuran nanti. Tetapi sekarang dengan kealpaan Ie It Hoan itu, tidak boleh tidak ia harus menceritakan terus terang, sekalian untuk menyelesaikan tugas Pui Ceng Un.
“Boanpwe tahu,” demikian akhirnya ia menjawab.
“Toako, nanti saja kita bicarakan lagi.”
Ie It Hoan buru-buru menyela dengan suara cemas.
“Bocah, tutup mulutmu!” berkata Orang Tua Tiada Turunan sambil mengulapkan tangannya.
Ie It Hoan menyesal telah terlanjur berkata. Pikirannya merasa tidak enak.
“Cianpwe, tahukah di mana letak Gua Raja Iblis di gunung Kui-im-san?” bertanya Hui Kiam.
“Pernah dengar, tetapi kurang jelas,” jawab Orang Tua Tiada Turunan agak heran.
“Penghuni Gua Raja Iblis itu mengharapkan bisa bertemu muka dengan locianpwe.”
“Ingin bertemu muka denganku? Untuk apa?”
“Hal ini boanpwe tidak tahu.”
“Bagaimana orangnya penghuni gua itu?”
“Tentang ini nanti setelah locianpwe bertemu muka segera mengetahui sendiri, maka boanpwe tak dapat menceritakan lebih dulu.”
“Emm, sewaktu Nona Pui Ceng Un memintakan tanaman Hiat-ay bagimu, berita ini seharusnya dialah yang menyampaikan kepadaku, tapi entah kenapa ia tidak mau menceritakan?”
“Suci mempunyai pertimbangan lain. Ia menantikan suatu kesempatan baik, baru akan memberitahukan kepada locianpwe. Tapi sekarang ia sudah tiada, maka soal ini terpaksa boanpwe yang menyampaikannya, locianpwe tidak perlu tanya apa sebabnya. Di dalam perjalanan kita ke lembah Hui-seng-kok, tentu akan melalui gunung Kui-im-san. Boanpwe minta supaya kita mengurus dulu persoalan Bu-lim Cin-kun. Persoalan locianpwe itu nanti kita bicarakan lagi.”
Orang Tua Tiada Turunan mengerutkan keningnya beberapa kali, terpaksa ia menerima usul Hui Kiam.
“Apakah kita berangkat sekarang juga?” bertanya Hui Kiam.
“Sudah tentu, bahkan kita harus mengejar waktu, sebaiknya bisa tiba lebih dulu sebelum utusan Persekutuan Bulan Emas itu tiba.”
“Kita jalan bertiga?”
“Ya, kita mengambil jalan kecil, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga menghambat waktu.”
“Bukankah maksud kita hanya mencegah agar Bu-lim Cin-kun jangan sampai diperalat oleh pemimpin Persekutuan Bulan Emas?”
“Sebaiknya kita dapat membujuk orang tua itu supaya turut mengambil bagian di pihak kita. Tetapi, aku juga rasanya tidak mungkin karena orang tua itu bukan saja tidak mempunyai pendirian tetap, tetapi juga adatnya sangat aneh.”
“Mungkin Persekutuan Bulan Emas juga tidak mudah membujuknya.”
“Susah dikata. Pertama, persekutuan itu bertekad hendak menguasai dunia, apabila ia diangkat sebagai wakil pemimpin, itu berarti bahwa kedudukannya hanya di bawah seorang saja. Kedua, antara dia dengan Jing-ong, pernah terjadi perselisihan paham, mungkin ia akan menggunakan kesempatan ini untuk membuat perhitungan. Ketiga, pilihan pemimpin Bulan Emas
atas dirinya, mungkin mengandung maksud lain, yang sengaja berserikat dengannya, hal ini nanti setelah tiba waktunya harus diketahui….”
“Kata locianpwee apabila perlu kita binasakan saja dirinya?”
“Ya. Membunuh seorang untuk menolong ribuan jiwa orang yang tak berdosa, tidak terhitung suatu perbuatan KEJAM!”
“Kalau begitu, marilah kita berangkat!”
Di daerah gunung Suat-hong-san yang luas, selama dua hari ini tertampak tiga bayangan orang menjelajahi setiap pelosok dari daerah pegunungan itu. Agaknya sedeag mencari sesuatu.
Mereka itu ternyata adalah Hui Kiam, Ie It Hoan dan Orang Tua Tiada Turunan.
Waktu itu, mereka sedang beristirahat di suatu mulut lembah yang tertutup lebat oleh daun-daunan, lalu terdengar ucapan Orang Tua Tiada Turunan:
“Lembah ini merupakan tempat terakhir yang kita belum jelajahi. Apabila masih tidak berhasil, terpaksa kita cari ke tempat lain.”
“Nampaknya kita sudah terjatuh ke belakangnya utusan Bulan Emas!” sahut Hui Kiam sambil mengerutkan keningnya.
“Apa boleh buat. Selama dua hari ini kita sudah menjelajahi seluruh pelosok gunung menurut petunjuk yang kita terima. Seharusnya tidak jauh di sekitar daerah ini.”
“Coba kita periksa ke dalam lembah.”
Mereka bertiga lalu memasuki jalan lembah yang tertutup lebat oleh daun pohon. Berjalan kira-kira satu pal lebih, di hadapan mereka terbentang suatu pemandangan alam yang luar biasa. Puncak-puncak bukit batu berdiri berderet-deret, merupakan suatu jalan aneh. Lamping bukit dan dasar lembah seluruhnya merupakan batu-batu gunung bagaikan diatur oleh
tangan manusia. Kecuali lumut hijau, tidak terdapat tumbuhan lain. Pemandangan alam itu menimbulkan rasa seram.
Bertiga saling berpandangan, mereka maju terus. Baru saja menginjak lembah yang tanahnya berupa batu, terdengarlah suara berisik sehingga mereka berhenti. Begitu mereka berhenti jalan, suara itu juga sirap, tetapi tidak tertampak bayangan orang.
“Dalam lembah ada orang!” demikian Ie It Hoan berkata.
Dari dalam jalan lembah itu segera terdengar suara mengaung: “Dalam lembah ada orang! Dalam lembah ada orang!”
Orang Tua Tiada Turunan mengacungkan tangannya memberi tanda supaya jangan bersuara, kemudian dengan suatu gerakan sangat hati-hati melompat balik ke tempat semula. Hui Kiam dan Ie It Hoan yang agaknya juga tersadar, segera meniru perbuatan orang tua itu.
“Ini mungkin suara yang memantul balik,” berkata Hui Kiam.
“Memang benar, sudah tidak salah lagi, lembah inilah yang disebut lembah Hui-seng-kok. Benar-benar merupakan suatu tempat luar biasa!” berkata Orang Tua Tiada Turunan sambil menganggukkan kepala.
“Bagaimana tindakan kita selanjutnya?”
“Menurut keadaan serupa ini, apabila kita masuk bersama-sama ke dalam lembah, baru beberapa tindak saja barangkali sudah diketahui oleh pihak sana. Dan apabila utusan Persekutuan Bulan Emas sedang berada dalam lembah, bukankah akan mengejutkan mereka? Hal demikian mungkin dapat menimbulkan kejadian di luar dugaan kita. Maka menurut pendapatku, ilmu meringankan tubuh Hui siaohiap yang sudah mencapai taraf kesempurnaan apabila berjalan di atas batu berlumut itu, jangan sampai menyentuh batunya, sudah tentu tidak akan menimbulkan suara echo, setelah berada di dalam
lembah, siaohiap boleh bertindak melihat gelagat. Aku dan Ie It Hoan nanti akan menyusul belakangan.”
Hui Kiam memeriksa keadaan di sekitarnya sebentar, baru berkata:
“Baiklah, boanpwe turut perintah locianpwee!”
“Kau harus ingat baik-baik prinsip kita: boleh pakai kita pakai, tapi kalau ia keras kepala masih menolak, kau boleh bunuh saja!”
“Boanpwee ingat!”
“Lagi, apabila kau menemukan utusan Bulan Emas sudah ada di sana, jangan kau mengejutkan mereka juga jangan bertindak.”
“Mengapa?”
“Ada keperluan lain. Nah, sekarang kau boleh jalan.”
Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang didapatkan dari pelajaran dalam kitab pusaka Thian-khi Po-kip, Hui Kiam melesat ke tengah udara, kemudian melayang turun ke atas batu berlumut, lalu berjalan di atasnya dengan sangat hati-hati sehingga tidak menimbulkan suara.
Orang Tua Tiada Turunan yang menyaksikan kepandaian Hui Kiam itu, diam-diam juga memberi pujian. Demikian pula Ie It Hoan.
Dengan sangat hati-hati Hui Kiam masuk ke dalam lembah, jangan sampai menerbitkan suara. Setelah melalui tiga tikungan, di hadapan matanya terbentang rimba bambu. Dalam rimba bambu itu samar-samar tampak sebuah bangunan rumah yang terbuat dari batu.
Dengan sangat hati-hati Hui Kiam mendekati rumah batu yang bentuknya aneh itu.
Bagian muka rumah batu itu terdapat sebuah pintu yang hanya dapat dimasuki oleh seorang saja. Dua samping pintu
terdapat dua buah lobang kecil, mungkin itulah jendelanya. Seluruh rumah batu itu sudah berlumutan, nampaknya seperti gundukan tanah kuburan.
Hui Kiam berhasil mendekati lobang jendela. Ia melongok ke dalam. Perabot dalam rumah itu sangat sederhana, hanya terdapat sebuah balai dari bambu, sebuah meja batu, beberapa bangku yang juga terbuat daripada batu.
Dalam ruangan rumah itu ada tiga orang sedang duduk berunding. Orang yang duduk di atas balai bambu, adalah seorang tua pendek kurus berambut putih. Duduk di atas bangku batu adalah seorang tua berusia kira-kira limapuluh tahun, sikapnya garang. Seorang lagi adalah seorang laki-laki berusia kira-kira tigapuluh tahun. Orang ini mengenakan pakaian berwarna hitam.
Hui Kiam menduga bahwa orang tua yang duduk di atas balai bambu, pastilah Bu-lim Cin-kun sendiri, sedang orang tua yang sikapnya garang itu sudah tentu adalah utusan Persekutuan Bulan Emas. Ie Khie Kun, dan laki-laki berbaju hitam itu tentunya adalah anak buah Bulan Emas.
Di atas meja, ada sebuah kotak kayu warna merah dan sebilah pedang berikut sarungnya. Pada saat itu, Ie Khie Kun sedang berbicara dengan Bu-lim Cin-kun:
“Sun locianpwe, bagaimana pikiran locianpwe?”
“Aku si orang tua sudah tidak ingin mengetahui urusan dunia Kang-ouw lagi,” jawab orang tua itu, yang benar memanglah Bu-lim Cin-kun.
“Pemimpin kami kali ini mengutus aku yang rendah, dengan hati setulusnya mengharap locianpwe supaya sudi turun gunung untuk membantu mencurahkan tenaga, bekerja sama-sama dalam usaha untuk mempersatukan dunia rimba persilatan. Di samping itu, juga minta bantuan locianpwe untuk menghadapi si tua bangka Jin-ong.”
“Jin-ong! Kau katakan Jin-ong?”
“Ya, dia kini sudah menyucikan diri. Nama gelarnya Kak Hui.”
Mata Bu-lim Cin-kun tiba-tiba memancarkan sinar tajam. Ia berkata seolah-olah terhadap dirinya sendiri:
“Sungguh tidak disangka masih hidup. Hutangnya satu pedang terhadapku pada waktu dahulu, aku ingin menagihnya, tetapi…. Hahaha! Dia sekarang mungkin tidak sanggup melawan aku dalam waktu tiga jurus.”
Ie Khie Kun menunjuk kotak merah di atas meja dan berkata:
“Kotak itu berisi sebatang ‘Liat-yan-cie’. Harap locianpwe suka menerimanya dengan senang hati.”
“Liat-yan-cie? Ha ha ha! Usiaku sudah hampir seratus tahun, tak kusangka masih mempunyai keberuntungan mendapatkan barang berharga ini .... Hahahaaa….”
Hui Kiam tak tahu benda apa yang dinamakan Liat-yan cie itu, tetapi dari sikap Bu-lim Cin-kun yang demikian girang, ia dapat menduga benda itu pasti sangat berharga.
Ie Khi Kun berkata pula:
“Harap locianpwe suka periksa pedang ini.”
Setelah itu ia mengambil pedang dari atas meja, diperiksanya sarung pedang itu sebentar, kemudian dihunusnya.
Hui Kiam hampir berteriak. Ia terkejut dan terheran-heran. Sungguh tak disangka pemimpin Bulan Emas sudi memberikan pedang pusakanya sebagai hadiah untuk mengundang Bu-lim Cin-kun.
“Pedang sakti Bulan Emas, pedang dewata dari jaman purba.”
“Sungguh tajam pandangan locianpwe. Pedang ini adalah barang tersayang pemimpin kami yang tak pernah lepas dari badannya dan kini dibawakan olehku sebagai tanda kepercayaan.”
Bu-lim Cin-kun memeriksa pedang itu. Tiba-tiba ia berkata:
“Sayang….”
“Sayang apa!?”
“Pedang ini sudah cacat.”
“Apakah yang locianpwee maksudkan adalah tiga bekas gompal junjungan itu?”
“Ehmm! Pedang sakti hanya tinggal namanya saja.”
“Tidak! Pedang ini tajam sekali, dapat memapas besi bagaikan tanah lempungan, bukan hanya nama kosong belaka hanya kebentur dengan musuhnya….”
“Apa musuhnya?”
“Belakangan ini di dunia Kang-ouw muncul seorang tokoh angkatan muda. Ia mendapatkan sebilah senjata luar biasa, namanya pedang sakti Thian-khie Sin-kiam. Pedang itulah yang merusak pedang ini....”
“Betulkah ada kejadian serupa ini?”
“Nanti setelah locianpwee turun gunung, segera dapat mengetahui sendiri.”
“Pedang Thian-khie Sin-kiam!” demikian Bu-lim Cin-kun menggumam sendiri sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Tiba-tiba ia berkata dengan suara keras:
“Sahabat Thian-hong suruh kau membawa pedang ini apa maksudnya?”
“Pemimpin kami tahu bahwa locianpwe gemar senjata yang aneh-aneh, maka sengaja mengutus aku yang rendah untuk menyampaikan berita ini.”
“Hmmm! Sungguh berani, jadi maksudnya menyuruh aku turun tangan sendiri?”
“Tokoh angkatan muda yang memiliki pedang sakti itu kepandaiannya hebat sekali, pemimpin kami sendiri juga agak jeri.”
“Murid siapa?”
“Murid Lima Kaisar rimba persilatan, namanya Hui Kiam, julukannya Penggali Makam.”
“Bagus! Bagus! Oleh karena ‘Liat-yang-cie’ ini dan untuk mendapatkan pedang sakti Thian-khie Sin-kiam itu, ada harganya bagiku turun gunung satu kali. Hanya, tentang kedudukan wakil pemimpin, aku tak mempunyai kegembiraan sama sekali!”
“Ya, ya. Kapan locianpwee hendak berangkat?”
“Kau pulang dulu, dalam tiga atau lima hari ini aku pasti datang!”
“Kalau begitu ijinkanlah aku yang rendah mohon diri.”
Ketika utusan itu keluar, Hui Kiam menyelinap ke belakang rumah. Pikirnya, ditilik dari tingkah lakunya, Bu-lim Cin-kun ini bukanlah orang golongan baik. Melihat Liat-yang-cie saja sudah tergerak hatinya, mendengar pedang Thian-khie Sin-kiam itu lalu timbul keserakahannya. Dengan orang seperti dia ini diajak berunding soal kebenaran dan keadilan, sesungguhnya sia-sia belaka.
Ia berpikir pula, apabila saat itu merampas pedang Bulan Emas dari tangan Ie Khie Kun, ini berarti mengutungi sebelah lengan pemimpin Bulan Emas. Dalam pertempuran pembasmian kejahatan nanti, sangat bermanfaat.
Selagi hendak bertindak, telinganya dapat menangkap suara echo undakan kaki Ie Khie Kun dan anak buahnya, yang sudah lari keluar lembah.
Tiba-tiba di belakang dirinya terdengar suara orang menegur dengan nada dingin:
“Bocah, keberanianmu besar sekali. Kau berani masuk kemari.”
Hui Kiam terperanjat. Ia tahu bahwa jejaknya telah diketahui oleh orang tua itu. Ini merupakan suatu bukti bahwa Bu-lim Cin-Kun benar-benar bukanlah orang sembarangan. Seketika itu ia membalikkan badannya, ia lihat Bu-lim Cin-kun berdiri di belakangnya sejarak kira-kira dua tombak. Orang tua itu tinggi badannya tidak cukup lima kaki, kurus kering, rambut kepalanya yang sudah putih seluruhnya awut-awutan tidak terurus, hanya sinar matanya yang tajam, menakutkan.
“Adakah tuan yang disebut Bu-lim Cin-kun?”
“Bocah, perlu apa kau tanya lagi? Kau dapat memasuki lembah ini tanpa menimbulkan suara, nampaknya kepandaianmu cukup tinggi juga. Beritahukan namamu!”
“Aku yang rendah adalah Penggali Makam!”
“Apa? Jadi kau... adalah Penggali Makam yang tadi pernah disebutkan oleh utusan Bulan Emas?”
“Benar.”
Mata Bu-lim Cin-kun yang tajam melirik ke arah pedang sakti di pinggang Hui Kiam.
Hui Kiam berkata dengan nada suara dingin:
“Pedangku ini adalah pedang sakti Thian Khie Sin Kiam!”
“Oh! Ada perlu apa kau datang kemari?”
“Hanya ingin memberi sedikit nasehat kepada Tuan.”
“Nasehat apa?”
“Jangan turun gunung.”
“Mengapa?”
“Sebab Persekutuan Bulan Emas merupakan persekutuan orang-orang golongan jahat yang akan membawa bencana rimba
persilatan. Perbuatannya itu sudah lama dikutuk oleh seluruh orang rimba persilatan. Kehancuran persekutuan itu hanya soal waktu saja. Tuan sudah berusia lanjut, tak ada perlunya turut campur tangan membantu melakukan kejahatan.”
Dengan mata tidak terpisah dari pedang sakti, Bu-lim Cin-kun berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
“Bocah, apakah kedatanganmu hanya untuk mengucapkan perkataan ini saja?”
“Benar.”
“Dengan pendirian apa kau mengucapkan perkataan ini?”
“Hanya untuk kepentingan umum dan kebenaran serta keadilan.”
“Aku si orang tua seumur hidupku tidak mengerti apakah itu kepentingan umum atau kepentingan pribadi. Kau menghendaki aku membatalkan maksudku boleh saja, tetapi ada syaratnya!”
Hui Kiam yang memang sudah menduganya tapi ia masih berlaku pura-pura tak mengerti:
“Apa syaratnya?”
“Sederhana sekali, kau tinggalkan pedang saktimu itu!”
“Apakah tuan anggap tuan dapat berbuat demikian?”
---ooo0dw0ooo---
Jilid 35
“HA HA HA, bocah, bau air tetekmu masih belum hilang, kau sudah berani berbicara dengan orang tua. Dengan sikapmu demikian, kau benar-benar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi.”
“Jikalau aku mengatakan tidak bisa, bagaimana?”
“Kau masih belum pantas mengucapkan perkataan ini di hadapanku!”
“Belum tentu!”
“Aku si orang tua tidak perlu banyak bicara denganmu.”
Setelah mengucapkan demikian, ia lalu mengacungkan tangannya, kemudian sesosok bayangan orang dengan cepat muncul di sampingnya. Ternyata ada seorang laki-laki pertengahan umur yang mukanya buruk sekali.
Laki-laki setengah umur itu dengan sinar matanya yang tajam mengawasi Hui Kiam, kemudian memandang Bu-lim Cin-kun.
Bu-lim Cin-kun lalu berkata dengan nada suaranya yang tak enak didengarnya:
“Bocah, sudahkah kau pikir masak-masak atau belum? Kalau kau suka meninggalkan pedangmu, aku akan mengampuni dosamu sehingga kau boleh keluar dari sini dalam keadaan hidup.”
“Sudah kupikir masak-masak, tidak bisa!”
“Kau sudah tak ada kesempatan lagi lho!”
“Aku juga ingin mengatakan sekali lagi kepada tuan dengan sungguh-sungguh. Hidup atau mati hanya tergantung pada keputusan sendiri, harap tuan pikir baik-baik nasehatku tadi.”
”Ha ha ha, anak yang tak tahu diri.”
“Jadi tuan tidak perlu menimbang lagi?”
“Aku sedang memikirkan dengan cara bagaimana harus membereskan kau.”
“Baik, inilah pengakuanmu sendiri. Kau jangan sesalkan bila aku sampai berlaku kejam terhadapmu.”
“Apa kau juga pantas mengucapkan demikian?”
Sekali lagi ia memberi isyarat dengan tangannya kepada laki-laki muka buruk itu. Serta merta laki-laki muka buruk itu menyerbu Hui Kiam dengan gayanya bagaikan seekor singa menerkam kambing.
Dengan kecepatan bagaikan kilat kedua tangannya menyambar dengan gerak tipunya yang aneh dan ganas luar biasa.
Hui Kiam melesat mundur, hampir saja dirinya kesambar.
Laki-laki itu dengan suaranya yang terdengarnya hanya aa uu saja, untuk kedua kalinya melakukan serangannya. Dari suaranya itu dapat diketahui bahwa laki-laki bermuka buruk itu adalah seorang gagu.
Serangannya kali ini, lebih hebat dari serangan yang pertama.
Hui Kiam menangkis dengan gerak tipunya yang ampuh, membuat laki-laki muka buruk itu terpental mundur tiga empat langkah.
Pada saat itu, jalanan yang menuju lembah itu terdengar suara tindakan orang berjalan. Hui Kiam bertiga tujukan matanya keluar pintu. Sebentar kemudian tertampak dua bayangan orang dengan cepat sudah tiba di hadapan mereka. Dua orang itu bukan lain daripada Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan.
Ketika dua orang itu tiba, Bu-lim Cin-kun lalu berkata sambil tertawa cekikikan:
“Kiranya yang datang hendak mencari mampus bukan hanya kau bocah seorang saja.”
Otang Tua Tiada Turunan berkata sambil memberi hormat:
“Selamat bertemu.”
“Orang tua, beritahukan namamu.”
“Aku yang rendah adalah Orang Tua Tiada Turunan.”
“Apakah kalian bertiga merupakan serombongan?”
“Benar.”
“Kalian memilih tempat ini sebagai kuburan, benar-benar sangat tepat.”
Orang Tua Tiada Turunan memandang Hui Kiam, seolah-olah menanyakan hasil perundingannya.
Dengan nada suara dingin Hui Kiam berkata:
“Cianpwee, tak ada gunanya kita berbicara dengannya.”
Dari ucapan pemuda itu, segera dapat diketahui bahwa pembicaraan mereka telah gagal.
Laki-laki gagu bermuka buruk itu, karena dua kali menyerang Hui Kiam telah gagal, nampaknya sangat penasaran. Otot-otot di pelipisnya nampak menonjol, matanya beringas, hanya saja yang dapat mengeluarkan aa uu kemudian melancarkan serangannya yang ketiga kalinya.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan aneh. Badan si gagu itu terhuyung-huyung, kemudian jatuh di tanah menyemburkan darah.
Bu-lim Cin-kun nampaknya marah sekali. Sepasang matanya memancar sinar yang menakutkan….
Pedang sakti di tangan Hui Kiam sudah balik dalam keadaan semula seperti bersiap-siap hendak melakukan serangan. Darah segar masih menetes dari ujungnya. Orang tidak tahu bagaimana tadi ia menghunus pedangnya dan melakukan serangannya.
Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan dengan serentak mundur beberapa langkah. Apa yang akan terjadi selanjutnya, sudah tidak perlu dikatakan lagi.
Bu-lim Cin-kun mulai menggerakkan kakinya. Gerakan itu perlahan tetapi mantap.
Suasana di luar gubuk batu itu nampak tegang dan menyeramkan.
Hui Kiam masih berdiri tegak dengan sikapnya yang dingin bagaikan sebuah patung. Pedang di tangannya tampak gemetar. Ini suatu tanda bahwa ia telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke awak pedang.
Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan yang berdiri di samping, hampir tidak berani bernapas.
Bu-lim Cin-kun dari dalam tenggorokannya mengeluarkan suara geram yang hampir tidak terdengar. Kemudian badannya bergerak dan tangannya melancarkan serangan.
Hui Kiam menyambuti serangan itu dengan gerak tipunya Bintang Beterbangan di Langit.
Bu-lim Cin-kun benar-benar seorang tokoh yang sangat tangguh. Serangannya tadi yang nampaknya sangat ganas ternyata hanya gerak tipu belaka, karena baru setengah jalan serentak dengan bergeraknya Hui Kiam, ia lompat melesat, sehingga serangan Hui Kiam yang sudah terkenal ampuhnya itu dielakkan dengan baik.
Ketika serangan Hui Kiam meluncur keluar, badan Bu-lim Cin-kun yang berada di tengah udara memutar, dan melancarkan serangan dari atas dengan kedua tangannya.
Di bawah serangan yang hebat itu Hui Kiam menarik kembali serangannya. Bu-lim Cin-kun masih tetap mengapung di tengah udara, bagaikan seekor burung raksasa berputaran di atas, kemudian melancarkan serangannya untuk ke dua kalinya.
Hui Kiam diam-diam terkejut. Gerak tipunya dirubah menjadi gerak tipu Satu Tiang Menunjang Langit, dari bawah mnyerang ke atas.
Gerak tipu ini merupakan gerak tipu yang paling aneh, juga yang paling hebat dalam tiga jurus ilmu pedangnya Hui Kiam,
karena gerak tipu ini mengandung daya ofensif dan defensif yang sama-sama hebatnya.
Bu-lim Cin-kun dengan cepat melayang turun ke tanah, hingga serangan Hui Kiam kembali tidak berhasil mengenai sasarannya.
Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan yang menyaksikan itu berdebar hatinya. Ditinjau dari kepandaiannya Bu-lim Cin-kun ini ternyata tidak di bawahnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Kecuali pemimpin Bulan Emas dan Cin-kun, apakah masih ada orang yang bisa mengalahkan dua kali serangan Hui Kiam yang hebat, tanpa terluka?
Hui Kiam sudah tentu juga mengetahui bahwa orang tua yang sebagai lawannya itu merupakan lawan kuat kedua yang pernah ia dijumpainya sejak ia berhasil mendapat kepandaiannya yang sekarang ini.
Sebaliknya Bu-lim Cin-kun terlebih-lebih terkejutnya karena kepandaiannya sendiri yang dianggapnya tanpa tandingan, ternyata masih selisih sedikit dengan seorang anak muda saja.
Hui Kiam sudah kembali lagi dengan sikapnya semula, ujung pedang menunjuk ke bawah. Persiapan melakukan serangan dengan sikap demikian itu jarang tampak dalam pelajaran ilmu silat.
Badan Bu-lim Cin-kun mendadak menunduk. Bentuk badannya yang memang sudah pendek dan kurus nampaknya semakin pendek kecil bagaikan satu anak-anak yang tingginya tidak lebih dari tiga kaki. Tetapi Hui Kiam tak berani berlaku gegabah, karena perubahan sikap semacam ini adalah permulaan untuk menggunakan semacam ilmu kepandaian tunggal.
Memang benar demikian halnya. Bu-lim Cin-kun setelah menundukkan badannya, kedua tangannya bergerak berulang-ulang membuat satu lingkaran....
Dari gerakan itu meghembuskan kekuatan hawa memutar bagaikan gelombang arus atau badai yang menggulung hebat.
Hui Kiam menggerakkan pedang saktinya. Ia ingin menggunakan kekuatan hawa pedangnya untuk melawan kekuatannya yang bagaikan badai itu. Tapi kekuatan hawai bagaikan badai itu sudah tentu mempunyai semacam kekuatan untuk menahan kekuatan lawannya dengan demikian hingga pedang sakti Hui Kiam kehilangan kegesitannya dan hilang pula daya kekuatannya.
Kekuatan hawa bagaikan badai itu menggulung semakin hebat, sehingga menimbulkan gelombang yang amat dahsyat.
Karena hebatnya gelombang itu, sehingga banyak pohon bambu yang terjebol berikut akar-akarnya.
Badan Hui Kiam ikut terbawa berputaran. Betapapun ia berusaha, masih tidak berhasil menahan arusnya kekuatan itu.
Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan yang sementara itu sudah mundur ke tempat sejauh tiga tombak, hanya dapat menyaksikan keadaan itu dengan perasaan gelisah. Apabila Hui Kiam tidak dapat melawan, nasib mereka juga sangat berbahaya.
Ie It Hoan berkata dengan hati cemas:
“Cianpwe, toako nampaknya sudah tidak berdaya sama sekali menghadapi serangan aneh orang tua itu.”
“Dia tidak mungkin dikalahkan dengan mudah!”
“Itu kepandaian ilmu apa?”
“Kepandaian ilmu silat tidak ada batasnya. Ilmu kekuatan yang baru setiap waktu ada orang yang berhasil menciptakan, terutama ilmu kepandaian yang merupakan ciptaan tunggal semacam ini, kecuali penciptanya sendiri jarang diketahui oleh orang lain. Orang tua itu sudah mengasingkan diri beberapa puluh tahun lamanya, siapa yang tahu itu adalah kepandaian apa?”
“Apabila toako....”
Ucapan Ie It Hoan yang belum dijelaskan itu, tetapi sudah cukup dimengerti oleh Orang Tua Tiada Turunan, hingga dalam hati diam-diam juga bergidik. Ia ingat akan tugasnya dalam perjalanan ini gagal atau berhasilnya ikut menyangkut nasib seluruh rimba persilatan, maka dengan cara bagaimana ia dapat membiarkan begitu saja? Apabila ia menantikan sampai Hui Kiam benar-benar dikalahkan semua telah terlambat….
Karena berpikir demikian, maka ia segera memasang kuda-kuda. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya dipusatkan di kedua tangannya, kemudian dilancarkan ke dalam gulungan hawa itu.
Dengan kekuatan tenaga Orang Tua Tiada Turunan yang dilancarkan sepenuh tenaga, dapat dibayangkan betapa hebatnya kekuatan itu. Akan tetapi tidak demikian kenyataannya. Ketika kekuatan tenaga itu meluncur keluar dan beradu dengan kekuatan hawa dalam ke gelombang itu, seketika telah musnah tanpa bekas. Yang lebih mengherankan ialah serangannya orang tua itu sebaliknya malah membantu kekuatan tenaga yang menggulung, sehingga badan Hui Kiam berputar semakin cepat.
Ie It Hoan yang melihat gelagat tidak baik lantas berseru supaya Orang Tua Tiada Turunan menghentikan serangannya.
Orang Tua Tiada Turunan juga sudah mengetahui keadaannya yang aneh itu. Ia sangat terkejut dan terheran-heran, seketika itu ia berdiri tanpa berdaya.
Hui Kiam yang berputaran merasa pusing kepalanya, keringatnya mengucur membasahi sekujur badannya. Tidak usah dikata bagaimana gelisah pikirannya, tetapi ia tidak boleh mengendorkan kekuatannya. Ia harus menggunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk melawan tenaga hawa yang berputaran itu, jikalau tidak ia pasti akan berputar terus tanpa daya. Ia tahu apabila kekuatan tenaga dalamnya sudah habis, hanya tinggal menunggu kematiannya saja. Dalam keadaan yang demikian otaknya terus bekerja untuk mencari jalan dengan cara bagaimana harus menggagalkan serangan musuhnya yang aneh itu….
Dalam keadaan demikian, pedang sudah kehilangan khasiatnya, gerak tipunya juga tidak dapat digunakan sama sekali.
Akan tetapi Hui Kiam bertiga tidak tahu, pada saat itu yang paling gelisah bahkan justru Bu-lim Cin-kun sendiri, karena menggunakan ilmu semacam itu kekuatan tenaga murni yang dihamburkan sesungguhnya tidak sedikit. Ia sungguh tidak menduga bahwa Hui Kiam mempunyai daya bertahan demikian hebat sampai dapat bertahan demikian hebat. Ia sampai dapat bertahan sekian lama masih belum dapat ditundukkan oleh kekuatan hawa yang memutar itu. Apabila keadaan demikian itu berlangsung lebih lama ia sendiri pasti tidak sanggup melanjutkan serangannya lagi. Apabila hal itu telah terjadi, karena kekuatan tenaga murninya sudah hampir habis, bagaimana dapat menahan serangan balasan lawannya?
Hui Kiam yang memutar otak untuk mencari jalan keluar, akhirnya diketemukannya suatu jalan yang paling tepat. Tetapi ia harus berani menempuh bahaya karena mati hidupnya tergantung dengan tindakannya kali ini berhasil atau tidaknya menggagalkan serangan lawannya yang aneh itu.
Ia mulai pusatkan kekuatan tenaga dalamnya, tetapi menghentikan daya perlawanannya sehingga badannya berputaran bagai titiran.
Bu-lim Cin-kun sangat girang sehingga memperdengarkan suara tertawanya yang bangga.
Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan terkejut. Wajah mereka berubah seketika. Dengan tanpa sadar sudah mengeluarkan jeritan terkejut.
Hui Kiam yang membiarkan dirinya diputar demikian hebat, dengan tiba-tiba ia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya lalu memutar badannya lalu melesat keluar dari gelombang putaran tenaga itu. Setelah berada di luar gelombang tenaga, dengan cepat memasukkan pedang ke
dalamnya kemudian dengan kedua tangan ia melancarkan serangan dengan menggunakan ilmunya Thian Khie sin Ciang.
Ilmu Thian Khie sin Ciang ini mempunyai daya luar biasa. Apabila menemukan daya pertahanan lebih kuat, pengaruhnya daya membalik semakin hebat.
Setelah serangan Hui Kiam meluncur keluar, tiba-tiba terdengar suara ledakan hebat bagaikan gunung pecah.
Setelah suara ledakan itu sirap, mulut dan hidung Bu-lim Cin-kun mengeluarkan banyak darah, sekaligus kumis dan jenggot putih telah berubah merah seluruhnya. Sepasang matanya memancar sinar buas yang menakutkan, wajah tuanya yang penuh keriput di pipinya diliputi perasaan seram.
Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan waktu itu baru merasa seperti terjatuh dari tengah udara.
Hui Kiam menghampiri Bu-lim Cin-kun. Ia berkata dengan nada suara yang dingin:
“Mengingat kau adalah seorang tokoh terkuat dari angkatan tua, aku tak ingin kau binasa di ujung pedangku....”
Orang Tua Tiada Turunan lalu berkata dengan suara keras:
“Bunuh saja!”
Hui Kiam berpaling dan mengawasi sejenak kepada Orang Tua Tiada Turunan, kemudian melanjutkan kata-katanya:
“Toako boleh totok jalan darahnya sendiri. Musnahkan semua kepandaianmu, baik-baik melewatkan sisa hidupmu.”
“Bocah, tidak bisa!” jawab Bu-lim Cin-kun bengis.
“Apakah kau ingin aku turun tangan?”
“Kau boleh turun tangan, tetapi kau harus menerangkan dulu sebab-sebabnya.”
“Sebabnya? Sederhana sekali, sebab tuan sudah menerima baik permintaan Thian Hong akan turun gunung dan membantu usahanya melakukan kejahatan di dalam rimba persilatan.”
“Hanya itu saja?”
“Itu saja sudah cukup.”
“Ha ha ha. Bocah, tahukah kau apakah aku sudah pasti suka dijadikan alat orang lain?!”
“Tetapi kau tadi tokh bisa menerima baik sendiri.”
“Terima baik adalah satu hal sendiri, tetapi aku melakukan atau tidak itu adalah soal lain.”
“Ucapanmu ini sesungguhnya sangat merendahkan kedudukanmu sebagai orang rimba persilatan.”
“Aku sekarang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan. Kalau kau hendak turun tangan tidak perlu mencari alasan banyak-banyak.”
Hui Kiam sebaliknya merasa serba salah. Ia dengan orang tua itu tidak mempunyai permusuhan apa-apa hingga benar merasa berat untuk mengambil jiwa orang tua yang usianya sudah lanjut semacamnya.
Ie It Hoan berkata dengan nada suara dingin:
“Toako, apabila kau tadi tidak berhasil mengalahkannya, pada saat ini kita bertiga sudah tamat riwayatnya. Tiada seorangpun yang akan berbicara soal jiwa ‘besar’ denganmu.”
Orang Tua Tiada Turunan menyambungnya:
“Karena perasaan kasih sayangmu, nanti akan membawa bencana seluruh rimba persilatan!”
Ie It Hoan berkata pula:
“Toako, jenazah enci Un masih belum dingin.”
Ucapan itu membangkitkan kebencian dan amarah Hui Kiam. Ia teringat tulisan darah di dinding batu. Darah itu adalah darah Pui Ceng Un, sucinya sendiri. Tiba-tiba ia berubah bagaikan orang lain, wajahnya yang dingin diliputi oleh hawa nafsu pembunuhan. Dia ingat bahwa Tong-hong Hui Bun hendak membunuh habis orang-orang yang ada hubungan dengan dirinya, mengapa ia sendiri tak boleh membunuh orang-orang yang ada hubungan dengan Persekutuan Bulan Emas?
Sekejap kemudian, pedang saktinya sudah berada dalam tangannya.
Bu-lim Cin-kun mundur satu langkah.
Hui Kiam tidak berkata apa-apa lagi. Kebencian dan nafsunya membunuh telah bangkit kembali karena kematian Pui Ceng Un yang sangat menyedihkannya. Pedang di tangannya sebentar digerakkan dan dimasukkan kembali ke sarungnya.
Bu-lim Cin-kun hanya menjerit sebentar, batok kepalanya sudah jatuh menggelinding di tanah sejauh satu tombak, tubuhnya perlahan-lahan jatuh di tanah.
Orang Tua Tiada Turunan berpaling dan berkata kepada Ie It Hoan:
“Beset kulit muka berikut rambut kepalanya mereka berdua yang merupakan guru dan murid!”
“Beset kulit mukanya untuk apa?” Ie It Hoan balas bertanya dengan perasaan heran.
“Kau lakukan dulu nanti baru bertanya lagi. Ini adalah usul setan tua pemabukan, tak ada hubungannya denganku.”
Apa boleh buat, Ie It Hoan melakukan perintah orang tua itu.
Orang Tua Tiada Turunan lalu berkata kepada Hui Kiam:
“Mari kita beristirahat di dalam rumah!”
Hui Kiam menurut bersama-sama orang tua itu masuk ke dalam rumah aneh yang terbuat dari batu itu. Ia masih dapat melihat bahwa kotak kayu merah masih ada di atas meja, lalu bertanya:
“Cianpwe, benda apa yang dinamakan Liat- yan-cie itu?”
“Apa katamu?”
'“Liat-yan-cie!”
“Dari mana kau dengar nama itu?”
“Nah! Itu adalah benda yang berada di dalam kotak merah ini. Barang itu merupakan barang hadiah yang dibelikan oleh pemimpin Persekutuan Bulan Emas kepada Bu-lim Cin-kun!”
“Oh! Barang semacam ini boleh dikata adalah barang pusaka sangat berharga yang jarang ada. Aku juga hanya pernah dengar saja namanya tetapi belum pernah melihat rupanya.”
Ia lalu membuka kotak merah itu. Bau harum yang keluar dari dalam kotak itu dalam waktu sekejap sudah memenuhi dalam ruangan batu itu. Di dalam kotak itu, ada sebatang rumput aneh yang rupanya seperti batu kumala putih bersinar bening.
Hui Kiam setelah melihatnya barang aneh itu, karena tertarik oleh perasaan ingin tahu maka ia bertanya pula:
“Di mana berharganya Liat-yang-cie ini?”
Orang Tua Tiada Turunan itu berkata sambil menghela napas:
“Durhaka, tetapi tokh masih terhitung barang berharga.”
“Yang boanpwe tanyakan adalah apa sebabnya barang ini dianggap berharga?”
“Di jaman purbakala setiap raja rnempunyai banyak istri dan selir, kaisar itu kebanyakan menggunakan Liat-yang-cie ini tetap malam hidup bersenang-senang dengan para selirnya yang berjumlah banyak. Sekalipun lelaki yang usianya sudah lanjut
dan tenaganya sudah berkurang tetapi setelah makan barang ini, segera pulih lagi tenaga kekuatan mudanya. Bagaimana khasiatnya barang ini kau tentunya bisa mengerti sendiri. Bu-lim Cin-kun ini yang merupakan orang tiada mempunyai pendirian tentu, bagaimana tidak tergerak hatinya?”
Hui Kiam setelah berpikir sejenak, lalu memukul hancur kotak itu berikut isinya, kemudian berkata:
“Barang ini ditinggalkan bisa membawa bencana, sebaiknya dihancurkan saja.”
Orang Tua Tiada Turunan menganggukkan kepala memuji tindakan pemuda itu.
Hui Kiam tiba-tiba ingat sewaktu di dalam ruangan kamar rahasia Orang Berbaju Lila pernah mengajukan pertanyaan kepada Orang Tua Tiada Turunan, kemudian karena diserang secara mendadak oleh pemimpin Persekutuan Bulan Emas, sehingga orang tua itu belum sempat menjawabnya dan kinilah merupakan kesempatan yang paling baik, maka ia segera mengajukan lagi pertanyaan itu:
“Cianpwe, boanpwe hendak mengajukan pertanyaan hari itu. Tolong cianpwe beri tahukan apakah benar ayah almarhum dahulu pernah mempunyai hubungan suami istri dengan Tong-hong Hui Bun?”
Sejenak Orang Tua Tiada Turunan itu melengak, kemudian berkata:
“Mengapa kau selalu menanyakan soal itu?”
“Boanpwe harus mengetahui dengan pasti, ya atau tidak?”
“Apakah kau tak percaya dengan perkataanku?”
“Bukan tidak percaya. Karena urusan ini sangat penting, maka boanpwe ingin mendapat bukti yang nyata.”
“Kau ingin mendapatkan bukti orang atau bukti barang?”
“Yang manapun juga boleh.”
“Soal ini boleh dibicarakan lagi setelah selesai urusan Persekutuan Bulan Emas!”
“Boanpwe ingin tahu sekarang juga!”
Dengan sinar mata tajam orang tua itu menatap wajah Hui Kiam, kemudian berkata dengan suara berat:
“Apakah.... kau dengannya benar-benar….”
Ia tidak melanjutkan perkataannya. Sudah terang ia harap supaya Hui Kiam mengerti sendiri lalu memberikan jawabannya.
Hati Hui Kiam merasa perih tetapi ia berusaha menenangkan pikirannya, lama baru ia berkata:
“Boanpwe hanya ingin membuktikan rahasia ini!”
“Tetapi kau masih belum menjawab pertanyaanku.”
“Boanpwe juga belum memberikan bukti kepada boanpwee!”
“Ini....”
“Cianpwe, maaf boanpwe hendak berterus terang, apakah dalam soal ini masih ada hal-hal yang perlu dirahasiakan?”
“Apakah maksudmu itu hendak menanyakan mengandung maksud lain?”
“Memang benar boanpwe berpikiran demikan. Misalnya ayah dahulu benar pernah mempunyai hubungan suami istri dengan perempuan hina itu, mengapa di dalam dunia Kang-ouw tiada orang yang mengatakan, sedangkan kedua pihak merupakan bukan orang yang tak terkenal namanya...?”
“Adakalanya ada sesuatu urusan belum tentu bisa tersiar di kalangan Kang-ouw, apabila orang-orang yang bersangkutan sengaja merahasiakan perbuatannya.”
Perasaan curiga Hui Kiam semakin besar. Dalam hatinya mengharap bahwa soal itu merupakan desas-desus yang sengaja
disiarkan oleh orang-orang tertentu, dengan maksud tertentu pula. Maka ia bertanya lagi:
“Perkataan cianpwe yang semula, apakah ini berdasar?”
“Sudah tentu!”
'“Boanpwe ingin tahu!”
Orang Tua Tiada Turunan berpikir sejenak, lalu berkata:
“Apabila aku kata benar ada kejadian itu, apakah kau hendak merubah pendirianmu itu?”
Hui Kiam memikir bolak-balik pertanyaan orang tua itu. Akhirnya ia menarik suatu kesimpulan, bahwa apa yang diduganya semula ternyata tidak salah. Kiranya Orang Tua Tiada Turunan, Orang Berbaju Lila dan Orang Menebus Dosa merupakan orang-orang sehaluan. Perkataan mereka yang diucapkan kepadanya tak lain hanya untuk memperteguh tekadnya sendiri untuk melawan Persekutuan Bulan Emas.
Dikhawatirkan karena hubungannya dengan anak perempuan persekutuan itu sehingga merubah pendiriannya, lagi apabila ditimbang dengan pikiran waras betapapun rendah moralnya Tong-hong Hui Kiam juga tidak akan melakukan perbuatan amoral terhadap seorang laki-laki yang diketahui sebagai anak tirinya sendiri.
Karena berpikir demikian, hatinya mulai lega. Tetapi urusan ini masih perlu dibikin terang, maka ia segera berkata:
“Perempuan hina itu sekalipun mati seratus kali juga dapat mengimbangi dosanya, bagaimana boanpwee sampai berubah pendiriannya?”
“ltu bagus!”
“Akan tetapi…”
“Akan tetapi apa?”
“Biar bagaimana soal ini harus dibikin terang!”
“Tentang ini harap kau sabar dulu, biar Orang Menebus Dosa yang memberi keterangan kepadamu. Kau pikir bagaimana?”
Hui Kiam diam-diam berpikir, jawaban orang tua ini terang hendak mengelakkan tanggung jawabnya, tetapi agar supaya jangan sampai menyulitkan kedudukan orang tua itu, terpaksa ia menerima baik.
Siapakah sebetulnya Orang Menebus Dosa? Hingga saat itu ia masih belum tahu sama sekali.
Pada saat itu Ie It Hoan dengan kedua tangan berlumuran darah masuk ke dalam rumah. Dengan muka masam ia berkata kepada Orang Tua Tiada Turunan:
“Cianpwee, dua lembar kulit muka dua orang itu, boanpwee sudah beset semuanya.”
“Masih ada dua pekerjaan yang kau harus lakukan. Pertama, kau buka pakaian korban itu, kemudian kubur jenazahnya, jangan meninggalkan bekas. Kedua, dua lembar kulit muka itu kau segera membuatnya menjadi kedok muka.”
Ie It Hoan berkata sambil mengerutkan keningnya:
“Untuk membuat kedok kulit manusia memerlukan banyak waktu….”
“Ini juga usul dari suhumu. Tidak perduli menggunakan berapa banyak waktu, kau harus kerjakan. Pergilah, jangan banyak bicara!”
Ie It Hoan terpaksa berlalu dengan perasaan segan.
Hui Kiam dengan pikiran terheran-heran bertanya:
“Membuat kedok kulit manusia dengan kulit muka Bu-lim Cin-kun dan muridnya, sebetulnya untuk apa?”
Orang Tua Tiada Turunan menunjukkan tertawanya yang misterius kemudian berkata:
“Besar sekali gunanya. Kau segera dapat mengetahui dirinya sendiri. Dan sekarang adalah menjadi giliranmu untuk memberitahukan kepadaku urusan yang kau bicarakan di tengah jalan itu….”
“Cianpwee maksudkan apakah urusan di gunung Kui-im-san itu?”
“Benar.”
Lama Hui Kiam menenangkan pikirannya, kemudian baru berkata:
“Ketika suci pergi ke Gua Raja Iblis untuk minta tumbuhan Hiat-ay, pernah menerima baik permintaan penghuni gua itu. Soal itu sekarang boanpwe sampaikan kepada locianpwe!”
“Apakah urusan itu ada hubungannya denganku?”
“Ya, penghuni gua itu ingin sekali bertemu muka dengan cianpwee!”
“Apa? Ingin bertemu muka denganku?”
“Ya!”
“Siapa penghuni gua itu?”
“Nanti setelah cianpwe bertemu muka dengannya segera dapat mengetahuinya sendiri.”
“Apakah Pui Ceng Un pernah menyebut ada maksud apa penghuni gua itu ingin bertemu muka denganku?”
“Hal ini... ia hanya mengatakan bahwa penghuni gua itu adalah kawan lama cianpwe, di samping itu juga minta supaya boanpwee mengawasi cianpwee pergi bersama-sama!”
Orang Tua Tiada Turunan berpikir sejenak, kemudian berkata:
“Apakah dari sini untuk ke sana tidak jauh perjalanannya?”
“Tidak jauh! Ie It Hoan tahu jalannya.”
“Baiklah, setelah urusan di sini selesai, kita pergi bersama-sama.”
Hui Kiam diam-diam merasa bersedih memikirkan nasib orang tua itu, tetapi ia tidak boleh mengutarakan apa-apa lebih dulu kepadanya.
Ie It Hoan setelah mengumpulkan jenazah dua orang itu, mulailah pekerjaannya membuat kedok kulit manusia. Tiga orang itu makan ransum kering yang telah dibawanya dan bermalam di dalam gubuk itu. Esok harinya, pembuatan kedok kulit manusia telah selesai.
Orang Tua Tiada Turunan menyuruh Ie It Hoan membawa bekas pakaian Bu-lim Cin-kun dan muridnya, kemudian keluar dari lembah itu melanjutkan perjalanannya ke gunung Kui-im-san.
Di waktu senja, mereka sudah berada di gunung itu.
Ie It Hoan lalu berkata:
“Keadaan alam di tempat ini sangat aneh, gunung seolah-olah bertumpukan dengan gunung lain lembah terdapat di sana-sini, seolah-olah suatu barisan gaib yang membingungkan. Dahulu hampir saja aku tidak dapat keluar dari tempat ini. Daripada kita menempuh bahaya, lebih baik minta toako menyampaikan kabar kedatangan locianpwe dengan menggunakan suara yang disampaikan dengan kekuatan tenaga dalam, minta supaya penghuni gua itu keluar untuk menemui.”
Hui Kiam mengawasi Orang Tua Tiada Turunan sejenak, seolah-olah minta pendapatnya.
Orang Tua Tiada Turunan itu menganggukkan kepala dan berkata:
“Begitupun boleh, kita harus minta bertemu menurut aturan, jangan sampai kehilangan muka!”
Hui Kiam lalu memusatkan kekuatan tenaga dalamnya dan berkata ke dalam lembah:
“Orang yang tongcu minta datang, kini ingin bertemu!”
Berulang-ulang hingga tiga kali ia mengucapkan perkataan itu, kemudian berdiam menantikan jawabannya.
Tidak lama kemudian dari dalam lembah terdengar suara seolah-olah menusuk telinga.
“Beritahukan namanya orang yang datang itu!”
Hui Kiam lalu minta Orang Tua Tiada Turunan yang memberitahukan namanya sendiri.
Orang Tua Tiada Turunan itu lalu berkata:
“Aku adalah Orang Tua Tiada Turunan!”
“Nama aslimu?”
Hui Kiam segera berkata:
“Cianpwe harus memberitahukan nama dan julukan yang dahulu.”
Wajah orang tua itu berkernyit beberapa kali, jelas ia merasa berat untuk menyebutkan nama asli dan julukannya yang lama. Setelah berdiam sebentar, ia balas bertanya:
“Sahabat siapa? Mengapa tidak memberitahukan namamu lebih dahulu?”
Dari dalam lembah itu terdengar suara yang kedengarannya sangat aneh:
“Tidak salah, aku kenali suaramu. Masuklah!”
Orang Tua Tiada Turunan sejenak merasa ragu-ragu kemudian berjalan menuju ke lembah.
Hui Kiam memberi isyarat kepada Ie It Hoan supaya menunggu, kemudian ia sendiri lompat melesat bagaikan burung elang melayang di belakang Orang Tua Tiada Turunan.
Ketika memasuki jalanan yang kedua sisinya terapit oleh bukit, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras:
“Berhenti!”
Tetapi hanya terdengar suaranya, tidak tampak orangnya. Orang Tua Tiada Turunan dan Hui Kiam lalu berhenti bertindak.
Terdengar pula suara orang tadi.
“Siapa anak muda itu? Aku hanya hendak bertemu dengan seorang saja.”
Hui Kiam buru-buru berkata:
“Boanpwe Hui Kiam, sute Nona Pui yang hari itu datang kemari dan kemudian telah menerima janji locianpwee untuk mencari jejak seseorang. Dia sudah mendapat kecelakaan, dalam pesannya minta boanpwe supaya bersama locianpwe ini datang untuk memenuhi janji!”
“Tidak usah, kau keluarlah.”
“Riwayat cianpwe dan segala-galanya sudah diberitahukan oleh sucie almarhum, rasanya tidak perlu dirahasiakan lagi. Sucie almarhum minta boanpwee datang bersama-sama dengan locianpwee ini untuk memenuhi janji. Betapa pedih perasaannya, mungkin cianpwee dapat membayangkan sendiri.”
Sunyi, tak terdengar suara jawaban apa-apa. Dengan perasaan terheran-heran Orang Tua Tiada Turunan memandang Hui Kiam, kemudian dengan tiba-tiba ia berseru.
Cepat ia lompat melesat dengan diikuti oleh Hui Kiam.
Di hadapan mereka samar-samar tampak sesosok bayangan orang, agaknya sedang menunjuk jalan. Hui Kiam diam-diam memperhatikan jalanan yang dilalui supaya jika perlu dapat meloloskan diri.
Tidak berapa lama, tibalah di hadapan sebuah gua. Di mulut gua itu terpancang sebnah tulisan yang menyolok: GUA RAJA IBLIS.
Dengan tanpa ragu-ragu Orang Tua Tiada Turunan lari masuk ke dalam gua. Hui Kiam tetap mengikuti di belakangnya.
Dalam gua itu nampak duduk seorang perempuan berkerudung dengan pakaiannya beraneka warna.
Orang Tua Tiada Turunan begitu masuk ke dalam, ketika berhadapan dengan wanita berpakaian beraneka warna itu, sekujur badannya gemetar lemas tidak bisa membuka mulut.
Hui Kiam berdiri di sampingnya dengan mulut membisu. Ia merasa tidak perlu turut bicara, sebab ia sudah mengetahui seluruh kisahnya.
Wanita berkerudung itu berkata dengan suaranya yang lirih tetapi penuh emosi:
“Cho Hong, mengapa kau tidak bicara?”
“Ada keperluan apa kau minta aku datang kemari?”
“Hendak bicara sepatah kata saja denganmu!”
“Hanya untuk keperluan bicara sepatah kata saja?”
“Ya.”
“Katakanlah.”
Dengan suara sedih wanita itu berkata:
“Aku salah. Aku berdosa. Seharusnya aku sudah lama mati untuk menebus dosaku, tapi karena aku ingin supaya kau tahu bahwa aku sudah menyesali, maka aku bertahan dan hidup terus hingga hari ini. Selama beberapa tahun ini, aku hidup merana, hidup dalam kemenyesalan, tetapi semua itu kuanggap sebagai pembalasan atas perbuatanku. Aku tidak minta ampun kepadamu, juga tak berhak untuk mendapat ampun, aku ingin menebus dosaku di hadapanmu.”
Badan Orang Tua Tiada Turunan gemetar semakin hebat. Wajahnya yang sudah keriputan berkernyit beberapa kali, sepatah katapun tak keluar dari mulutnya. Kita tidak tahu bagaimana perasaannya pada waktu itu, entah sedih ataukah gemas?
Wanita berkerudung itu tidak terdengar suaranya lagi. Ia duduk tenang bagaikan patung.
Lama sekali, barulah Orang Tua Tiada Turunan membuka mulut:
“Hong Gie, apakah hanya itu beberapa patah kata saja?”
Tiada jawaban.
Hui Kiam tiba-tiba berteriak: “Darah!”
Darah merah, setetes demi setetes menetes turun dari wajah wanita yang tertutup oleh kain kerudung.
Tubuh Orang Tua Tiada Turunan sempoyongan hampir jatuh di tanah. Ia menubruk dan membuka kerudung di muka wanita itu.
“Aaaaa!”
Demikianlah Orang Tua Tiada Turunan dan Hui Kiam berseru dengan serentak.
Apa yang tampak di hadapan mereka, adalah seraut muka bagaikan muka setan yang menakutkan. Muka itu penuh tanda luka. Darah merah keluar dari lubang hidung dan mulutnya, sepasang biji matanya yang melotot keluar sudah tiada bercahaya lagi.
Sambil menundukkan kepala, Hui Kiam berkata:
“Tidak disangka Thio locianpwe telah menghabiskan jiwanya sendiri dengan jalan memutuskan urat nadinya sendiri. Boanpwee tidak keburu memberi pertolongan, sehingga tak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang menyedihkan ini....”
Dengan air mata bercucuran dan suara terisak-isak Orang Tua Tiada Turunan berkata:
“Manusia yang sudah berbuat dosa, memang susah untuk mendapat keampunan. Bagus! Kematianmu bagus sekali! Sandiwara di atas panggung penghidupan ini, berakhirlah sudah. Kalau kita tahu akan ada kejadian seperti hari ini, mengapa dahulu….” ucapan putus sampai di situ, kemudian berpaling dan berkata kepada Hui Kiam.
“Bagaimana dengan mukanya?”
Hui Kiam terpaksa menuturkan hubungan asmara antara wanita itu dengan Raja Pembunuh Oe-tie Siang yang berakhir sangat menyedihkan.
Orang Tua Tiada Turunan lalu mengulapkan tangannya dan berkata lagi:
“Siaohiap, kau boleh pulang!”
Hui Kiam terperanjat. Tanyanya:
“Bagaimana dengan cianpwee?”
Dalam waktu sangat singkat itu, Orang Tua Tiada Turunan seolah-olah sudah berubah bagaikan seorang tua biasa. Ia tampak sangat lemah badannya.
“Permainanku sudah selesai, aku tidak akan muncul lagi di dunia Kang-ouw. Dia adalah istriku. Karena telah bermain api membakar dirinya sendiri, ia menyesal setelah terlambat. Tetapi dengan kematian ia menebus dosanya, aku masih dapat memaafkannya. Di sini di tempatku bersemayam seumur hidup, kita bisa berada dalam satu liang kubur dengannya, juga terhitung masih sebagai suami istri!” demikianlah orang tua itu berkata dengan suara sedih.
Hui Kiam juga merasa pilu. Ia sangat bersimpati kepada orang tua yang hidupnya sangat tak beruntung itu, tetapi ia tidak
bisa berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menghiburnya dengan kata-kata:
“Yang sudah lalu biarlah ia berlalu, cianpwee....”
“Keputusanku sudah tetap, tak usah banyak bicara!”
“Cianpwee dahulu pernah mengajar boanpwee sebagai seorang gagah supaya mengutamakan kepentingan dunia rimba persilatan. Pada dewasa ini kita sedang menghadapi pertempuran untuk membasmi kejahatan....”
“Aku si orang tua tidak mempunyai kepandaian apa-apa, biasanya hanya gembar-gembor membantu memberi semangat saja, segala-galanya sudah ada Orang Menebus Dosa yang mengurus rencana dan dalam pertempuran itu nanti tergantung kepada dirimu sendiri. Beberapa hari lagi, adalah waktunya Persekutuan Bulan Emas mengundang semua orang-orang gagah untuk mendirikan perserikatan dengan resmi. Kau dengan Ie It Hoan harus menyaru sebagai Bu-lim Cin-kun dan muridnya, pergi kepada Persekutuan Bulan Emas untuk memenuhi undangannya, kemudian bergerak dari dalam. Aku doakan semoga usahamu itu berhasil baik.”
Kini barulah Hui Kiam mengerti apa sebabnya Orang Tua Tiada Turunan menyuruh Ie It Hoan membuat kedok kulit manusia dengan kulit mukanya Bu-lim Cin-kun dan muridnya serta membuka pakaian mereka.
“Apakah Cianpwe tetap berdiam di sini?”
“Ya! Mengenai teka-teki yang meliputi segala urusan yang bersangkutan dengan dirimu, nanti akan diterangkan oleh Orang Menebus Dosa. Kepergianmu dengan Ie It Hoan kali ini, harus ingat baik-baik suatu pepatah, apabila tidak sabar dalam urusan kecil, niscaya akan merusak rencana besar, maka itulah kau sekali-kali jangan bertindak menuruti kemauan hati dan emosi. Berhasil atau gagalnya dalam gerakan ini tergantung kepada dirimu. Tindakan selanjutnya, orang lain yang akan berhubungan denganmu, dan lagi tentang orang yang
membunuh ibumu dengan tusuk konde emas berkepala burung Hong….”
Sekujur badan Hui Kiam gemetar. Belum lagi selesai ucapan orang tua itu sudah dipotong:
“Siapa?”
“Orang Menebus Dosa nanti bisa memberitahukan kepadamu.”
“Apakah dia tahu?”
“Benar, ia tahu. Sekarang kau boleh pergi.”
Hui Kiam tahu bahwa orang tua itu pada saat ini sudah padam semangatnya, tiada guna untuk dibujuk lagi. Maka ia hanya berkata:
“Kalau begitu boanpwe kini hendak mohon diri. Boanpwe pasti melaksanakan tugas menurut garis pelajaran yang cianpwee telah berikan tadi itu. Setelah tugas selesai, boanpwe nanti akan berkunjung lagi.”
Setelah itu ia berlutut untuk memberi hormat. Orang Tua Tiada Turunan cepat-cepat membimbing bangun. Hui Kiam ingat bahwa wanita tua yang dahulu adalah bidadari cantik itu pernah memberi Hiat-ay kepadanya, maka ia juga berlutut dan bersujud di depan jenazahnya.
Selesai memberi hormat, ia keluar dari gua itu dengan hati pilu.
Ie It Hoan yang sudah menunggu dengan hati tidak sabaran, begitu melihat segera maju menyambut seraya bertanya:
“Bagaimana hasilnya?”
Hui Kiam dengan hati pilu menceritakan apa yang telah terjadi. Ie It Hoan yang mendengarkannya berulang-ulang menghela napas.
Hening sejenak, Ie It Hoan lalu berkata:
“Toako, mari kita bersiap melakukan penyamaran.”
Hui Kiam setelah berpikir sejenak, lalu berkata:
“Adik Hoan menurut bentuk dan tinggi badan harus menyaru sebagai Bu-lim Cin-kun, aku menyaru sebagai muridnya yang gagu itu.”
“Bukankah ini berarti akan merendahkan diri toako? “
“Omong kosong! Sebaliknya denganmu, kau harus ingat baik-baik segala kelakuan dan gerak-gerik serta nada suara orang tua yang aneh itu, jangan sampai terbuka rahasia kita.”
“Bagaimana dengan pedang sakti toako?”
“Kita bungkus dengan kain.”
Jalan yang menuju ke bukit Bu-leng-san hari itu ramai keadaannya. Berbagai macam dan golongan orang-orang rimba persilatan berduyun-duyun berjalan ke satu jurusan yang sama.
Di antara rombongan orang-orang itu, terdapat dua orang yang sangat menarik perhatian banyak orang. Dua orang itu yang satu adalah seorang tua kurus kecil dengan rambutnya yang sudah putih seluruhnya dan yang lain adalah seorang laki-laki setengah umur yang berperawakan tegap tapi wajahnya buruk sekali. Laki-laki berwajah buruk itu membawa barang yang dibungkus oleh kain. Barang itu nampaknya semacam senjata.
Mereka berdua adalah Hui Kiam dan Ie It Hoan yang sudah menyaru sebagai Bu-lim Cin-kun dan muridnya.
Bu-lim Cin-kun sudah beberapa puluh tahun mengasingkan diri, maka sepanjang jalan tiada seorangpun yang mengenalinya.
Hari itu adalah hari didirikannya Persekutuan Bulan Emas. Orang yang datang untuk menghadiri upacara itu semua adalah orang-orang yang mewakili berbagai partay dan golongan serta jago-jago dari berbagai pelosok dunia.
Bagian tengah gunung Bu-leng-san, di tempat jalanan bersilang yang menuju ke daerah pegunungan itu, didirikan sebuah pintu gerbang yang dipajang indah. Di tengah-tengah terpancang huruf-huruf besar yang merupakan tulisan: DUNIA MERUPAKAN SATU KELUARGA BESAR. Di bagian tengah-tengah pintU gerbang ada tanda yang berbentuk bulan sabit.
Masuk tidak jauh dari pintu gerbang itu, kedua sampingnya dibangun delapan buah bangunan rumah untuk tempat menginap para tamu.
Di sepanjang jalan sekitar daerah itu terdapat banyak orang berpakaian hitam yang bertugas sebagai penjaga keamanan dan menyambut kedatangan tetamu.
Semua tetamu yang di tempat itu disambut oleh mereka. Setelah beristirahat dan makan di dalam bangunan itu, barulah melanjutkan perjalanannya ke atas gunung.
Hui Kiam dan Ie It Hoan yang juga tiba di tempat tersebut dengan rombongan banyak orang segera disambut oleh seorang berbaju hitam. Sambil memberi hormat orang itu menegurnya seperti biasa:
“Tuan wakil dari golongan mana?”
Ie It Hoan melototkan matanya dan berkata:
“Aku si orang tua tidak berpartay juga tidak mempunyai golongan. Aku mewakili diriku sendiri.”
Wajah orang berbaju hitam itu berubah seketika, tapi ia masih tetap mengendalikan dirinya dan berkata sambil tertawa berseri-seri.
“Harap tuan memberitahukan nama dan menunjukkan surat undangan.”
“Nampaknya aku dan muridku terpaksa harus kembali!”
“Tuan sudah datang kemari, biar bagaimana harus sedikit memberi keterangan!”
“Keterangan? Keterangan apa?”
“Datang dari mana?”
“Aku tidak suka dengan tata cara semacam ini. Beritahukan kepada pemimpinmu bahwa aku si orang tua sudah balik lagi!”
Setelah itu benar-benar ia memutar badannya dan berjalan.
Empat orang berbaju hitam bergerak dengan serentak menghalangi mereka, sedangkan orang yang menyambuti tadi masih berkata:
“Tuan jangan pergi dulu!”
“Eh, apakah kamu hendak menahanku?”
“Ada kemungkinan.”
“Kalau begitu apakah kalian mencari mampus!?”
Empat laki-laki itu seketika maju mengurung dengan wajah penuh amarah.
Hui Kiam segera turun tangan dengan cepat. Tangannya menyambar seorang di antaranya lalu dilemparkan keluar. Tiga yang lainnya lalu menghunus pedang masing-masing….
Beberapa orang wakil yang datang ke tempat itu telah maju pula mengurung.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan:
“Tidak boleh berlaku tidak sopan terhadap Sun cianpwee.”
Seorang tua yang pakaiannya sangat aneh, muncul di hadapan orang banyak.
Hui Kiam segera mengenali bahwa orang tua itu adalah Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng. Seketika itu matanya nampak beringas. Tetapi perubahan sikapnya tak menarik perhatian orang.
Ciok Siao Ceng terlebih dulu memberi hormat dan berkata kepada wakil yang sudah maju berkerumun:
“Tuan-tuan silahkan beritirahat di pondok dulu, tidak ada urusan apa-apa!”
Kemudian ia berpaling pada Ie It Hoan dan menunduk seraya berkata:
“Aku yang rendah adalah Ciok Siao Ceng kepala anggota pelindung hukum Persekutuan Bulan Emas, atas perintah pemimpin kami, datang menyambut kedatangan tuan, dan minta maaf atas kesalahan pemimpin kami yang tak datang menyambut sendiri!:
“Akh, kau terlalu merendah!” demikian jawab Ie It Hoan.
Orang berbaju hitam yang dilempar keluar saat itu sudah balik kembali bersama-sama tiga orang yang sudah siap hendak bertindak. Ketika menyaksikan gelagat tidak baik, mereka merasa malu sendiri sehingga dengan cepat mengeluyur pergi.
“Silahkan tuan segera ke pusat markas kami!” demikianlah Manusia Gelandangan berkata dengan sikap menghormat sekali. Kemudian tangannya menggapai, dua orang berbaju hitam dengan membawa sebuah tandn datang mrenghampiri.
“Silahkan naik ke atas tandu!”
Ie It Hoan dengan tanpa berkata apa-apa terus naik ke tandu.
Manusia Gelandangan lalu menegur pada empat orang berbaju hitam. Katanya dengan suara bengis:
“Kau ditugaskan untuk apa, mengapa berani berbuat dosa terhadap tetamu terhormat bengcu kita?”
Empat orang itu dengan badan gemetar berkata dengan sikap menghormat dan ketakutan:
“Maafkan kesalahan kami!”
Beberapa wakil yang masih ada di situ menyaksikan kejadian itu dengan sikap terheran-heran. Mereka tak dapat menduga siapa adanya tetamu orang tua yang aneh itu.
Manusia Gelandangan segera memberi perintah kepada dua orang yang menggotong tandu supaya berangkat, kemudian ia sendiri bersama Hui Kiam mengikuti di belakangnya.
Sepanjang jalan, rombongan itu banyak menarik perhatian orang.
Kira-kira sepuluh pal mendaki jalan pegunungan di hadapan tampak sebuah jalannya yang diapit oleh lereng gunung, sehingga merupakan sebuah pintu alam. Di hadapan pintu, berdiri berderet delapan belas orang yang masing-masing membawa senjata pedang. Orang-orang itu ketika menyaksikan Manusia Gelandangan dengan serentak semua memberi hormat.
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan itu, diam-diam menyumpahi orang tua itu.
Melalui pintu itu adalah sebuah jalan sepanjang kira-kira lima puluh tombak. Setelah melalui jalanan itu, di antara lereng gunung terdapat sebuah lapangan yang luas. Satu sudut lapangan itu terdapat bangunan rumah berderet-d«ret. Di tengah-tengah lapangan di bangun sebuah panggung tinggi. Di situ banyak orang berkumpul yang jumlahnya beberapa ratus orang.
Tandu itu telah melalui tanah lapang, terus menuju ke hadapan sebuah bangunan gedung besar. Di sinilah tandu itu baru berhenti.
Di hadapan gedung besar itu penjagaan keras sekali, tetapi di matanya Hui Kiam, semua itu tak ada harganya sama sekali.
Setelah Ie It Hoan turun dari tandu, tandu itu segera disingkirkan.
Beberapa puluh orang muncul di tangga gedung besar. Yang berjalan paling depan adalah pemimpin Persekutuan Bulan Emas sendiri. Ia kini tidak mengenakan kerudung lagi, ia muncul di hadapan umum dengan wajah aslinya. Di sampingnya adalah Tong-hong Hui Bun yang saat itu nampaknya lebih cantik. Di
belakangnya terdapat banyak orang dari golongan padri, imam, manusia biasa, padri wanita, pengemis, lelaki perempuan tua dan muda, komplit semuanya ada. Nampaknya orang-orang itu adalah kepala setiap bagian yang tadinya merupakan pemimpin atau ketua berbagai partai dan golongan, yang kemudian menyerah kepada Persekutuan Bulan Emas.
Dari caranya pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang sudah keluar menyambut sendiri, suatu bukti betapa besar penghargaan pemimpin Bulan Emas terhadap Bu- lim Cin-kun, tetapi dalam mata dan hati Ie It Hoan dan Hui Kiam saat itu yang menyaru sebagai Bu-lim Cin-kun dan muridnya, sudah tentu tidak merasa bangga.
Siapapun tidak akan menduga bahwa Bu-lim Cin-kun dan muridnya yang kini berhadapan dengan pemimpin Bulan Emas ternyata hanya barang tiruan belaka.
Ketika Hui Kiam menyaksikan Tong-hong Hui Bun, hampir saja tidak dapat kendalikan rasa bencinya, tetapi dia harus bersabar menindas perasaannya sendiri, satu-satunya jalan ialah tidak mengawasi perempuan itu. Ia menngikuti di belakang Ie It Hoan, matanya ditujukan kepada orang-orang gagah yang dahulu berkedudukan sebagai pemimpin atau ketua berbagai partai dan golongan.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas ketika menampak kedatangan Bu-lim Cin-kun yang palsu, tertawa terbahak-bahak kemudian berkata sambil memberi hormat:
“Saudara Sun, sudah lama kita tak jumpa, selama itu kiranya baik-baik saja. Hari ini aku mendapat kunjungan saudara Sun, benar-benar sangat girang sekali.”
Ie It Hoan memperdengarkan suara ketawanya yang aneh, kemudian berkata:
“Saudara Tong Hong, saudara terlalu memuji diriku si orang tua yang tidak berguna ini sehingga aku merasa malu sendiri!”
“Dan saudara ini....”
“Oh, dia adalah muridku. Mempunyai mulut tidak bisa bicara, tapi telinganya masih bisa mendengar. Jadi gagu namun tidak tuli!”
“Silakan masuk!”
Pemimpin itu lalu minggir ke samping dan segera ditiru oleh orang-orang yang berdiri di belakangnya.
Hati Ie It Hoan berdebar, tetapi dalam keadaan demikian ia harus berlaku tabah. Setelah berlaku merendah sebentar, lalu berjalan memasuki ruangan, sedangkan Hui Kiam terus berdiri di belakangnya.
Setelah semua orang duduk di tempatnya masing-masing, barulah pemimpin Persekutuan Bulan Emas memperkenalkan Bu-lim Cin-kun palsu kepada orang-orangnya.
Sudah tentu nama ini segera menarik perhatian semua orang, sebab dalam rimba persilatan belum pernah seorangpun yang dapat penghormatan demikian dari pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang hendak menguasai dunia.
Bu-lim Cin-kun yang berperawakan kecil dan kurus, duduk berdampingan dengan pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang perawakannya tinggi besar, nampaknya sangat tidak berimbang, tetapi siapapun tidak berani memandang rendah.
Di sebelah kiri Bu-lim Cin-kun, duduk Tong-hong Hui Bun. Hui Kiam yang berdiri di belakang Ie It Hoan yang memegang peranan Bu-lim Cin-kun, hanya terpisah beberapa kaki saja dengan perempuan cantik itu, sudah tentu dapat mencium bau harum yang keluar dari badannya. Semua itu dirasakan bagaikan siksaan bagi Hui Kiam, sehingga hampir saja tidak dapat mengendalikan perasaannya.
Ie It Hoan dengan meniru suara tertawanya Bu-lim Cin-kun, saat itu ia berkata:
“Aku si orang tua memberi selamat kepada bengcu yang sudah berhasil mempersatukan dunia rimba persilatan!”
“Akh, aku mana berani menerima penghormatan semacam itu. Kami hanya karena mengingat semua partay dan golongan masing-masing hendak memperkuat kedudukan sendiri, sehingga selalu timbul pertikaian dan pembunuhan tak habis-habisnya, kami tanpa mengukur kekuatan sendiri, telah berusaha untuk mempersatukan dunia rimba persilatan supaya sama-sama mempelajari ilmu kepandaian dan mengamankan rimba persilatan. Semua ini berkat bantuan para saudara yang telah menyumbangkan tenaganya. Sementara mengenai kedudukan ketua... kami pikir hendak menyerahkan kepada saudara Sun....”
Ucapan itu tidak perduli benar atau bohong sesungguhnya sudah mengejutkan semua orang-orang gagah yang ada di situ.
Sementara itu Ie It Hoan cepat menjawab sambil menggoyang-goyangkan tangannya:
“Kalau bengcu berkata demikian, aku terpaksa mohon diri.”
“Apakah saudara Sun anggap ucapan kami tadi bukan dengan sejujurnya?”
“Bukan itu yang kumaksudkan. Aku Sun It Hoa mempunyai kebijaksanaan dan kepandaian apa? Ucapan itu membuat aku merasa malu. Hari aku telah mendapat undangan bengcu, ini saja tidak cukup membuat aku merasa berhutang budi. Aku hanya ingin turut meramaikan saja. Setelah upacara selesai aku hendak kembali ke gunung, tidak ingin kedudukan apa-apa.”
---ooo0dw0ooo---
Jilid: 36 TAMAT
U C A P A N itu justru yang diharapkan oleh pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Maka ia lalu tertawa terbahak-bahak kemudian ia menyatakan terima kasihnya.
Saat itu Tong-hong Hui Bun mulai bicara dengan suaranya yang merdu:
“Orang-orang yang berusaha merintangi usaha besar ini terdiri dari rombongan orang-orang yang dipimpin oleh Manusia Teragung dan Orang Berbaju Lila. Di antara orang-orang mereka yang merupakan lawan yang paling berbahaya, adalah seorang dari angkatan muda yang menamakan diri Penggali Makam, sedang namanya sendiri adalah Hui Kiam....”
Semua mata ditujukan kepada perempuan cantik bagaikan bidadari itu. Kecantikannya yang menyilaukan mata, sesungguhnya sangat mempesona semua orang yang hadir.
Hui Kiam diam-diam merasa gemas. Dari mulut perempuan itu ia mengetahui bahwa Manusia Teragung itu adalah guru Orang Berbaju Lila. Hal ini sesungguhnya di luar dugaannya.
le lt Hoan pura-pura tak tahu, bertanya:
“Bengcu, apakah ini putrimu?”
“Benar, dia adalah putriku.”
“Sungguh cantik, juga berbakat baik.”
“Saudara Sun terlalu memuji.”
“Pemuda yang tadi disebut Penggali Makam itu orang dari golongan mana?”
“Dia adalah murid Lima Kaisar Rimba Persilatan.”
“Dengan kekuatan dan kepandaian bengcu apakah….”
Sambil tersenyum masam pemimpin Persekutuan Bulan emas berkata:
“Ilmu Siang-sim Hian-kang saudara Sun mungkin bisa menundukkannya.”
Ilmu Sian-sim Hiang-kang. Ketika Hui Kiam mendengar itu segera ia teringat ilmu yang digunakan oleh Bu-lim Cin-kun
sewaktu bertempur dengannya. Memang benar, andaikata waktu itu Hui Kiam tidak mendapat akal cerdik untuk melepaskan diri dari serangan ilmu itu, benar-benar ia sudah mati di tangannya.
Semua orang yang di situ, karena takut oleh pengaruh pemimpin Persekutuan Bulan Emas, tiada seorangpun yang berani membuka mulut. Mereka hanya mengekor saja.
Hui Kiam yang menyaksikan itu merasa terharu. Rimba persilatan daerah Tionggoan sampai mengalami nasib yang menyedihkan itu bukanlah tak ada sebabnya. Apa yang biasanya digunakan partay-partay besar ternama, sebetulnya hanya nama kosong belaka. Partay-partay besar yang dahulunya sangat jaya itu ternyata keadaannya sudah rontok, tiada orang kuat dan pandai yang melanjutkan usaha bekas suhu-suhunya, sehingga mengalami nasib seperti ini.
Pada saat itu dari jauh terdengar suara genta.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas segera berkata:
“Upacara pembentukan persekutuan akan segera dimulai. Setelah upacara selesai kita nanti akan minum-minum sepuasnya, dan sekarang mari kita pergi ke tempat upacara.”
Tiba-tiba seorang pelayan wanita tiba di belakang Tong-hong Hui Bun bicara bisik-bisik dengannya. Paras Tong-hong Hui Bun mendadak berubah, buru-buru berkata kepada ayahnya. Pemimpin Bulan Emas yang mendengarnya hanya tertawa dingin. Setelah berpikir sejenak, baru berkata:
“Para lengcu dan para tetamu yang terhormat, kami persilahkan berangkat ke tempat upacara lebih dulu. Kami masih ada urusan penting yang harus dibereskan, nanti akan menyusul belakangan. Ciok Siao Ceng harap berdiam di sini sebentar!”
Orang-orang yang ada di situ setelah memberi hormat lalu meninggalkan ruangan.
Dengan alis berdiri Ie It Hoan pura-pura bertanya:
“Bengcu ada utusan penting apakah?”
“Tidak halangan saudara Sun, diam di sini dulu.”
Demikian jawaban pemimpin Bulan Emas yang kemudian duduk lagi di tempatnya.
Dalam ruangan pada saat itu hanya tinggal ia sendiri bersama putrinya, Bu-lim Cin-kun tiruan bersama muridnya dan Manusia Gelandangan.
“Ciok Siao Ceng!” demikian pemimpin Bulan Emas berkata:
“Ya, kami ada di sini,” jawab Ciok Siao Ceng.
Ie It Hoan diam-diam mengulurkan tangannya ke belakang menarik Hui Kiam, tapi Hui Kiam tak mengerti apa maksudnya. Ia hanya merasa dan mendapat firasat akan terjadi sesuatu.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas berkata sambil tertawa masam.
“Kami selalu anggap pandangan mata kami tak salah, tetapi sungguh tak diduga bisa terdapat kesalahan. Ciok Siao Ceng, sungguh besar keberanianmu, kau berani berlaku sebagai mata-mata dalam persekutuan kami!”
Hati Hui Kiam tergerak. Ia segera menduga bahwa maksud Ie It Hoan menarik dirinya mungkin menyuruh ia tertindak dengan melihat gelagat. Sebetulnya dengan waktu pertama kali ia berjumpa dengan Manusia Gelandangan di pusat perkumpulan Sam-goan-pang, kesannya terhadap orang tua itu tidak jelek. Tapi kemudian Ciok Siao Ceng yang melihat harta telah melupakan dirinya, lalu menggabungkan diri dengan Persekutuan Bulan Emas. Semula ia merasa curiga, kemudian merasa benci, dan sekarang agaknya tersadar. Mata-mata? Mungkinkah jago tua itu berbuat demikian sudah mempunyai perhitungannya sendiri?
Ciok-siao Ceng berkata dengan suara gemetar: “Bagaimana bengcu bisa berkata demikian. Hamba benar-benar tidak mengerti.”
Tong-hong Hui Bun memperdengarkan suara di hidung, lalu berkata:
“Ciok Cong-hok-hoat, ada orang telah melihat kau yang membunuh anak buah kita yang menjaga pintu rahasia, dan kemudian kau diam-diam membuka pintu rahasia itu….”
“Siapa?”
“Anggota badan pelindung hukum tertinggi!”
Hui Kiam terkejut. Apa yang dikatakan anggota pelindung hukum tertinggi oleh Tong-hong Hui Bun, yang dimaksudkan pastilah Iblis Bi Mo karena empat dari delapan Iblis dari negara Thian-tik yang menjabat kedudukan itu, tiga di antaranya sudah binasa. Yang masih ada hanya Bi Mo seorang saja.
Mata Ciok Siao Ceng melirik kepada Hui Kiam dan Ie It Hoan sejenak, kemudian berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
“Memang benar, aku mengakui melakukan perbuatan itu.”
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas tiba-tiba berdiri. Sambil memukul meja ia berkata:
“Orang she Ciok, apa maksudmu?”
“Thian-hong yang terhormat, impianmu hendak menguasai dunia kini seharusnya dihancurkan!” jawab Ciok Siao Cing tidak takut.
“Kami akan bunuh kau lebih dulu!”
Ie It Hoan segera mengacungkan tangannya dan berkata:
“Tunggu dulu!”
Sinar mata pemimpin Bulan Emas yang tajam berputaran, kemudian berkata:
“Bagaimana menurut pikiran saudara Sun?”
Dengan nada suara dingin dan lambat-lambat Ie It Hoan berkata:
“Karena dia sudah mengaku membuka pintu rahasia, jelas sekali sudah ada musuh yang menyelinap masuk. Seharusnya ditanya dulu berapa banyak musuh yang sudah menyelinap masuk, dan orang-orang dari golongan mana musuh itu, supaya kita bisa siap-siap untuk rnenghadapinya. Jikalau tidak, bisa menghebohkan dan mengacaukan upacara pembentukan perserikatan ini, bukankah akan membuat buah tertawaan rimba persilatan?”
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas menepuk tangan. Tak lama kemudian Ie Khie Kun segera muncul di hadapannya. Sambil membongkokkan badan memberi hormat, orang itu berkata:
“Hamba menghadap bengcu!”
“Tidak perlu banyak peradatan. Keluarkan perintah atas nama kami. Upacara ditunda dahulu. Semua anak buah persekutuan kita berkumpul ke masing-masing pos penjagaannya sendiri untuk menantikan perintah. Selanjutnya wakil-wakil dari seluruh cabang berkumpul di masing-masing tempat sendiri. Tetamu-tetamu yang agak terkenal, untuk sementara dipersilahkan masuk ke tempat penginapan. Kau pimpin semua anak buah kita segera bergerak melakukan penyelidikan. Barang siapa yang tidak jelas asal usulnya, bunuh saja habis perkara.”
“Baik, hamba menerima perintah.”
Ie It Hoan lalu berpaling dan berkata kepada Hui Kiam:
“Pergi kau menjaga pintu ruangan ini. Barang siapa yang berani keluar masuk secara sesukanya dalam ruangan ini, kau bunuh saja.”
Ucapan itu, pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang lainnya ternyata sudah tidak dapat membedakan bahwa dalam ucapan
itu ada mengandung maksud tertentu, sebab kalau dipikirkan masak-masak ini berarti suatu perintah untuk memblokir ruangan itu.
Hui Kiam segera bergerak bediri melintang di pintu ruangan.
Ie Khie Kun selagi hendak keluar dari ruangan untuk melakukan perintah pemimpinnya, ketika tiba di pintu, tiba-tiba dia menjerit dengan suara mengerikan. Ternyata sudah dihajar mampus oleh Hui Kiam.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang menyaksikan kejadian itu lantas berteriak:
“Sun lt Hoa, apakah artinya ini?”
“Oh, kesalahan tangan. Muridku pasti salah dengar maksud perkataanku tadi. Perintahku tadi kumaksudkan orang luar yang keluar masuk dalam ruangan ini segera dibunuh,” jawab Ie It Hoan acuh tak acuh.
Tong-hong Hui Bun memperdengarkan suara dari hidung. Ia menyerbu ke pintu ruangan....
Hui Kiam sudah tidak dapat kendalikan perasaannya lagi. Tadi karena waktunya belum tiba ia terpaksa menindas perasaannya. Tetapi sekarang, tibalah saat baginya untuk bergerak sesukanya. Maka ia segera memutar tangannya menyambut serangan Tong-hong Hui Bun.
Tidak ampun lagi Tong-hong Hui Bun terpental balik sambil mengeluarkan seruan terharu.
Ie It Hoan melesat dari tempat duduknya, berdiri bahu-membahu dengan Ciok-siao Ceng.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas berseru:
“Kiranya kau adalah sekomplotan!”
Dengan sikap yang angkuh dan dingin Manusia Gelandangan berkata kepada pemimpin Persekutuan Bulan Emas:
“Bengcu yang terhormat, sejak dahulu kala barang siapa yang berbuat jahat dan banyak melakukan perbuatan yang melanggar hukum Tuhan pasti hancur. Kebenaran dan keadilan tidak bisa dimusnahkan begitu saja.”
Dengan muka merah membara pemimpin Persekutuan Bulan Emas berkata:
“Ciok-siao Ceng, kau masih belum pantas berkata demikian terhadap kami.”
Pemimpin ini tidak berani segera bertindak terhadap Manusia Gelandangan, sebab ia masih merasa khawatir terhadap Bu-lim Cin-kun tiruan itu. Sudah tentu ia tidak menduga sama sekali bahwa orang yang benar-benar ditakuti justru adalah orang gagu bermuka buruk yang menjaga di pintu itu.
Hui Kiam perlahan-perlahan membuka pedangnya yang dibungkus dengan kain kemudian pedang itu ditarik keluar dari sarungnya. Ketika berada di tangannya, mata Hui Kiam memancar sinar yang menakutkan.
Tong-Hong Hui Bun yang menyaksikan pedang itu lalu berseru:
“Thian Khie Sin Kiam!”
Seruan itu mengejutkan pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Matanya dialihkan ke arah Hui Kiam, karena pedang sakti itu merupakan satu-satunya pedang yang dapat mengalahkan pedangnya sendiri. Tetapi dengan cara bagaimana pedang itu bisa terjatuh di tangan murid Bu-lim Cin-kun? Apa sebabnya Bu-lim Cin-kun mendadak berobah sikapnya, berdiri di pihak musuh? Maksudnya ia mengundang Bu-lim Cin-kun, justru disuruh menghadapi Hui Kiam, tidak disangka malah menambah kekuatan musuh yang lebih menakutkan. Dari semua tanda-tanda ini, sudah terang bahwa musuh lebih dulu sudah menyusun suatu rencana yang sangat rapi. Maka apa yang terjadi hari ini masih belum tahu bagaimana akibatnya, apakah
usahanya yang direncanakan dengan susah payah selama berapa puluh tahun itu, akan ludes dalam satu hari saja?”
Pada saat itu beberapa puluh orang berpakaian hitam datang mengeroyok ke ruangan itu. Ketika menyaksikan laki-laki muka buruk yang berdiri bagaikan malaikat dan bangkainya Ie Khie-kun yang menggeletak di tanah, semua berhenti, menunjukkan sikap terheran-heran.
Suara bentakan keras terdengar dari lapangan tempat upacara kemudian disusul oleh suara hiruk-pikuk dan berteriaknya orang saling membunuh, seolah-olah sedang menghadapi medan pertempuran. Pertempuran dahsyat antara dua golongan benar-benar sudah dimulai.
Wajah pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang keren dan angkuh nampak berkernyit beberapa kali, kemudian berkata dengan suara keras:
“Sun It-hoa, kau kawan ataukah lawan?”
“Bengcu yang terhormat, kuberitahukan kepadamu bahwa aku berdiri di pihak yang benar.”
Demikian Ie It Hoa menjawab sambil tertawa dingin.
“Baik!”
Pemimpin itu segera menghunus pedang Bulan Emas menyerang Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan.
Keadaan Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan sesungguhnya sangat berbahaya. Mereka sudah tentu tidak dapat mengelakkan serangan pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang dilakukan dengan hati panas itu.
Hui Kiam yang berdiri di luar pintu terpisah dengan mereka sedikitnya masih tiga tombak jauhnya, tetapi ia sedikitpun sudah tak bisa menunda lagi. Dengan tanpa ragu-ragu, cepat bagaikan kilat melancarkan serangannya kepada pemimpin Persekutuan Bulan Emas dengan ilmu serangan jari tangannya.
Suara ledakan nyaring terdengar. Hembusan angin yang keluar dari jari tangannya telah beradu dengan pedang sehingga serangan pedang itu terhambat. Dalam saat yang sangat kritis dan berbahaya itu telah digunakan sebaik-baiknya oleh Manusia Gelandargan dan Ie It Hoan, yang segera jatuhkan diri dan menggelinding ke depan pintu.
Anak buah Persekutuan Bulan Emas yang berada di luar pintu kini mulai menyerbu.
Hui Kiam mengamuk bagaikan banteng terluka. Pedang saktinya bergerak berulang-ulang, banyak korban telah jatuh. Dalam waktu sekejap mata lima orang sudah roboh binasa. Dengan demikian anak buah Persekutuan Bulan Emas merasa jerih, sehingga serangan mereka tertahan.
Maksud Hui Kiam hanya mencegah agar pemimpin Persekutuan Bulan Emas dan Tong-hong Hui Bun jangan sampai keluar dari ruangan. Maka setelah berhasil menahan anak buah Bulan Emas, ia tidak menggeser kakinya dan tetap berdiri di tempatnya.
Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan saat itu sudah berada di luar ruangan, sehingga di dalam ruangan itu hanya tinggal pemimpin Persekutuan Bulan Emas dan anak perempuannya.
Scmentara itu pertempuran di lapangan tempat upacara semakin seru.
Sambil menghunus pedangnya, pemimpin Bulan Emas menyerbu ke pintu.
“Balik!” demikian Hui Kiam membentak dengan suara keras. Dengan mengayunkan pedangnya, ia menyambut kedatangan pemimpin persekutuan itu.
Setelah terdengar suara keras beradunya kedua pedang sakti itu, Hui Kiam mundur dua langkah, sedangkan pemimpin Bulan Emas terdesak balik lagi ke dalam ruangan.
Dari gerakan pedangnya, Tong-hong Hui Bun sudah mengenali bahwa si gagu bermuka buruk itu adalah Hui Kiam. Maka ia segera berseru:
“Dia adalah Hui Kiam si bocah itu!”
Hui Kiam membuka kedok di mukanya dan berkata dengan suara gemetar:
“Perempuan hina, sudah tiba hari terakhirmu!”
Paras Tong-hong Hui Bun yang cantik saat itu sudah berubah bagaikan hantu. Melihat gelagat tidak baik, ia coba menyingkir dari pintu samping....
Tiba-tiba sesosok bayangan orang kecil langsing melayang ke arahnya. Ia segera mengayunkan tangannya. Ketika bayangan orang itu jatuh di tanah, ternyata tidak mengeluarkan suara apa-apa. Kiranya bayangan orang yang melayang ke arahnya tadi adalah bangkainya seorang pelayan wanita. Terang sudah dilemparkan oleh tangan jahil yang sengaja ditujukan padanya.
Serentak pada saat Tong-hong Hui Bun balik ke dalam ruangan karena terhalang oleh sambitan bangkai tadi, sesosok bayangan orang muncul di samping pintu. Dia bukan lain daripada Orang Berbaju Lila.
Tong-hong Hui Bun terkejut. Ia mundur beberapa langkah seraya berkata:
“Kau … kau….”
Orang Berbaju Lila tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
“Perempuan hina, baik atau jahat pada akhirnya tentu mendapat balasannya. Itu hanya soal waktu saja!”
Tidak lama kemudian, Kak Hui taysu juga muncul.
Dengan demikian pemimpin Bulan Emas dan anaknya sudah terkurung dalam ruangan kamar, tiada jalan lagi untuk keluar.
Ie It Hoan juga pada saat itu telah membuka kedoknya. Sambil tertawa cengar-cengir ia berkata:
“Aku yang rendah adalah bernama Sukma Tidak Buyar!”
Mata pemimpin Persekutuan Bulan Emas melotot. Wajahnya berobah sangat menakutkan.
Sementara itu, pertempuran di lapangan sudah meluas sekitar ruangan kamar itu, hingga suara bentakan, jeritan dan rintihan terdengar nyata.
Pemimpin Bulan Emas seolah-olah sudah mendapat firasat bahwa impiannya hendak menguasai dunia cepat akan buyar.
Beberapa orang berpakaian hitam berhasil menyerbu ke depan ruangan. Rombongan itu dikepalai oleh Iblis Bi Mo. Dengan tanpa banyak bicara, iblis itu sudah menyerbu Hui Kiam yang berdiri di tengah-tengah pintu.
Hui Kiam menyambut dengan pedangnya. Dalam waktu tiga jurus, Bi Mo sudah terdesak mundur....
Pemimpin Bulan Emas saat itu segera menyerang Kak Hui taysu.
Tong-hong Hui Bun juga sudah turun tangan menyerang Orang Berbaju Lila.
Sedangkan Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan menyerbu kepada anak buah perserikatan Bulan Emas.
Dengan demikian, terjadilah pertempuran hebat yang terdiri dari beberapa kelompok.
Rasa benci yang meluap melewati takaran, membangkitkan nafsu membunuh Hui Kiam. Semakin berkobar dendam yang sudah lama disimpan di dalam hatinya, saat itu sudah tiba
waktunya untuk diudal keluar. Dengan pedang saktinya, ia mengumbarkan nafsu dan melampiaskan dendamnya.
Jurus ke empat dan ke lima Bi Mo masih sanggup menahan serangan Hui Kiam yang menggila. Tetapi dalam jurus ke enam, ia tidak sanggup lagi. Badannya tertabas kutung menjadi dua potong. Tamatlah riwayatnya.
Pada saat itu, beberapa puluh anak buah Persekutuan Bulan Emas terkuat, sudah berhasil merobos masuk ke dalam ruangan.
Hui Kiam dengan merah membara, melesat masuk ke dalam sambil memutar pedangnya. Dalam waktu sekejap mata saja, beberapa puluh anak buah Persekutuan Bulan Emas itu sudah disapu habis.
Kak Hui taysu yang melawan pemimpin Persekutuan Bulan Emas seorang diri, karena kepandaiannya agak rendah setingkat, keadaannya sangat berbahaya.
Hui Kiam setelah membereskan semua lawannya, segera maju dan menahan serangan pemimpin Bulan Emas dan minta supaya Kak Hui taysu mundurkan diri.
Kak Hui taysu meninggalkan lawannya, menyerbu keluar untuk membantu Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan.
Dengan kepandaian dan kekuatan Kak Hui taysu, meski belum cukup untuk menghadapi pemimpin Bulan Emas, tetapi untuk menghadapi anak buah persekutuan itu lebih dari cukup. Sebentar saja, barisan anak buah Persekutuan Bulan Emas sudah berantakan.
Pertempuran ini merupakan satu pertempuran besar yang belum pernah terjadi dalam rimba persilatan selama seratus tahun ini. Yang ambil bagian hampir meliputi tokoh-tokoh terkuat berbagai partay dan orang-orang pilihan dari rimba persilatan serta jago-jago dari berbagai generasi.
Suatu hal yang tidak diduga oleh pemimpin Persekutuan Bulan Emas adalah semua wakil berbagai partay rimba persilatan yang
dahulu sudah menyerah kepada persekutuan itu kini telah berbalik membantu pihak Orang Berbaju Lila.
Pertempuran yang semua terdiri dari beberapa kelompok itu, kini kecuali rombongan Manusia Gelandangan, yang berhadapan dengan anak buah Persekutuan Bulan Emas yang jumlahnya jauh lebih banyak, hanya tinggal pasangan lawan antara Hui Kiam dengan pemimpin Persekutuan Bulan Emas dan Orang Berbaju Lila yang berhadapan dengan Tong-hong Hui Bun.
Pasangan lawan antara Hui Kiam dengan pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang keadaannya jauh berbeda dengan pertempuran biasa.
Mereka berdiri berhadapan dengan mata beringas. Masing-masing menantikan lowongan untuk melakukan serangan yaug mematikan kepada lawannya.
Dilihatnya Orang Berbaju Lila saat itu sudah mendesak Tong-hong Hui Bun sehingga tidak mampu balas menyerang sama sekali.
Keadaan Tong-hong Hui Bun sangat menyedihkan. Rambutnya awut-awutan, badannya penuh darah. Kecantikannya yang memikat hati setiap lelaki, kini sudah lenyap sama sekali.
Di antara suara Orang Berbaju Lila, tubuh Tong-hong Hui Bun rubuh tersungkur, menindih dan menghancurkan tiga buah kursi tetapi ia masih berusaha untuk berdiri. Dengan susah payah ia coba merayap bangun. Napasnya terputus putus.
Orang Berbaju Lila maju menghampiri. Ujung pedang mengancam dadanya sembari berkata dengan suara bengis:
“Perempuan hina, akhirnya kau harus menebus dosamu dengan cara seperti ini….”
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang menyaksikan keadaan putrinya, pikirannya terganggu.
Inilah suatu kesempatan yang baik yang dinantikan oleh Hui Kiam. Dengan cepat pedang di tangannya bergerak melakukan serangan.
Setelah terdengar suara ‘trang’ beradunya dua pedang yang diselang dengan suara keluhan tertahan, pedang di tangan pemimpin Bulan Emas telah terpapas kutung di tengah-tengahnya, ujungnya terjatuh di tanah. Sedangkan dadanya pemimpin itu terdapat tanda luka sedalam setengah kaki, dan mengucur keluar.
Hui Kiam sama sekali tak mempehitungkan bagaimana akibatnya serangan itu. Dengan cepat ia lompat ke arah Orang Berbaju Lila dan menyontek pedang Orang Berbaju Lila yang mengancam Tong-hong Hui Bun. Katanya dengan suara gemetar:
“Kau minggir.”
Orang Berbaju Lila mundur satu langkah. Katanya dengan suara bengis:
“Hui Kiam, kau mau apa?”
“Aku hendak membunuhnya dengan tanganku sendiri!”
“Kau tidak boleh...” berkata Orang Berbaju Lila dengan badan gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan yang keluar dari mulut Hui Kiam. Badannya terhuyung-huyung hampir jatuh. Sepotong pedang pemimpin Persekutuan Bulan Emas menembus pundak sehingga ke atas dada hanya setengah dim lagi mengenai bagian jantung.
Jikalau perhatian Hui Kiam tidak dipusatkan kepada diri Tong-hong Hui Bun, tidak nanti dapat dibokong oleh pemimpin Bulan Emas itu.
Orang Berbaju Lila dengan cepat menusukkan pedangnya ke ulu hati Tong-hong Hui Bun.
Tatkala pedang dicabut keluar dari dalam dada Tong-hong Hui Bun, perempuan cantik itu rubuh terkulai di tanah. Sebelum menarik napas yang penghabisan, ia masih dapat mengucapkan kata-kata:
“Kau… kau... sudah merasa puas....”
Ia telah binasa. Sukmanya yang jahat meninggalkan raganya yang cantik bagaikan bidadari.
Mata Hui Kiam merasa berat. Badannya sempoyongan.
“Toako!” Demikian terdengar suara seruan Ie It Hoan yang segera membimbing Hui Kiam ke satu sudut. Setelah mencabut potongan pedang yang menancap di pundaknya, dengan cepat menotok bagian jalan darahnya untuk menghentikan mengalirnya darah. Setelah itu ia berikan beberapa butir obat pil kepadanya.
“Toako, tiada halangan apa-apa?”
“Aku tidak akan mati karena hanya pedang ini saja.”
Ie It Hoan memutar badannya dan menghampiri Tong-hong Hui Bun. Kemudian ia menghajar dengan tangannya, sehingga paras Tong-hong Hui Bun yang pernah menimbulkan tergila-gila banyak pemuda, berikut kepalanya telah hancur berantakan.
Ie It Hoan dalam sikap setengah berlutut, mulutnya berkemak-kemit: “Enci Un, aku sudah balaskan sakit hatimu.”
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang sudah menyerbu ke ambang pintu akhirnya terpaksa balik kembali.
Manusia Teragung dengan tongkat rotan hitam di tangannya bersama Kak Hui taysu melintang di tengah pintu.
Di belakang mereka berdua, masih ada para wakil berbagai partay persilatan dan anak buah Orang Berbaju Lila yang masih hidup. Akan tetapi setiap orang hampir sudah penuh tanda
darah. Dengan sinar mata penuh kebencian, menatap pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu.
Orang Berbaju Lila melemparkan pedang panjangnya. Ia menghampiri dan berdiri di hadapan pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Sambil menuding dengan jari tangan ia berkata:
“Tua bangka jahanam, kau sekarang mengerti apa artinya keberaran dan keadilan. Karena hendak memenuhi keinginanmu untuk menguasai dunia, kau telah kehilangan sifat kemanusiaanmu. Dengan tindakan yang sangat kejam, kau perlakukan sesamamu.”
“Anjing, kau masih belum pantas!” bentak pemimpin Persekutuan Bulan Emas.
“Tutup mulut! Sekarang soal pertama yang aku hendak lakukan adalah mewakili Tee-hong locianpwee menagih hutang kepadamu, karena kau telah membutakan kedua matanya kemudian menghabiskan jiwanya. Aku sudah berjanji hendak menagih hutang ini, gunakan satu jurus serangan ilmu jari tangan. Ilmu ini dinamakan koan-jit-cuan-gwat, locianpwee yang dipelajarinya setelah kedua matanya buta....”
Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak dengan gaya luar biasa anehnya.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas walaupun berkepandaian tinggi sekali, tetapi agaknya tidak berdaya menghadapi serangan yang belum pernah dilihatnya itu. Sebelum ia berhasil menangkis serangan itu, dan jari tangan Orang Berbaju Lila sudah menancap dalam matanya dan menggerakkan keluar biji matanya, sehingga dua mata itu merupakan dua lubang yang berlumuran darah.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas sambil mengeluarkan suara jeritan yang mengerikan mundur terhuyung-huyung dan
menyender ke tembok ruangan. Tubuhnya yang besar gemetar tidak hentinya.
Tetapi Orang Berbaju Lila sendiri juga terpental jatuh di tanah karena serangan pembalasan pemimpin persekutuan itu, tetapi dengan cepat ia sudah berdiri lagi.
Sementara itu suara pertempuran di luar ruangan dalam sekejap sudah reda, hanya kadang-kadang terdengar satu dua kali suara rintihan, rintihan orang-orang yang terluka.
Hui Kiam yang sudah pulih kembali kekuatannya maju menghampiri pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Katanya dengan suara bengis:
“Tua bangka, dahulu yang menyerang secara menggelap kepada empat dari Lima Kaisar Rimba Persilatan dengan menggunakan senjata jarum melekat tulang, apakah itu perbuatanmu?”
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas tiba-tiba memperdengarkan suara tertawanya bagaikan orang gila.
Untuk kedua kalinya Hui Kiam membentaknya:
“Jawab pertanyaanku!”
Lama sekali pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu baru berhenti tertawa, kemudian berkata dengan suara serak:
“Karena kesalahan satu tindak, telah mengakibatkan kesalahan seluruhnya. Seharusnya aku bertindak lebih kejam lagi. Seandainya waktu itu aku tidak meninggalkan hidup seorang korban dari perbuatanku, tidak nanti akan mengalami kejadian seperti hari ini.”
Kak Hui taysu lalu berkata setelah memuji nama Buddha:
“Kau sudah cukup kejam, tetapi dasar sifat jahatmu sudah terlalu dalam, sehingga sudah hampir mati juga masih belum mau insaf.”
Hui Kiam mengajukan pertanyaannya yang kedua:
“Tua bangka, aku menghendaki kau mengaku dari mulutmu sendiri, benarkah kau yang melakukan perbuatan itu?”
“Ya, benar!” jawabnya sambil menggerakkan tangannya, dan kemudian menggumpal asap putih meluncur keluar dari tangannya.
Orang Berbaju Lila lalu berseru:
“Awas racun dari dedaunan!”
Hui Kiam yang sudah siap siaga, selagi tangan pemimpin itu bergerak, ia sudah lompat melesat sejauh beberapa tombak.
Tatkala kabut putih itu buyar, Hui Kiam balik kembali dan berkata lagi dengan suara keras:
“Tua bangka, kau sekarang boleh menyerahkan jiwamu!”
Pedang sakti Hui Kiam bergerak, badan pemimpin Persekutuan Bulan Emas terdapat beberapa puluh tanda luka, sehingga sekujur tubuhnya penuh darah. Dalam keadaan demikian pemimpin itu telah jatuh dan dengan demikian tamatlah sudah riwayatnya seorang berambisi besar yang hendak menguasai seluruh dunia.
Di luar ruangan terdengar suara kegirangan dari semua orang-orang yang merasa bersyukur atas kematian orang jahat itu.
Hui Kiam mulai reda hawa nafsu membunuhnya. Rasa bencinya yang meluap juga mulai buyar.
Ie It Hoan maju menghampirinya, dengan suara terharu memanggil kepadanya:
“Toako!”
Dengan rasa penuh bersyukur Hui Kiam mengawasinya dengan tidak berkata apa-apa.
Ie It Hoan menunjuk Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng yang saat itu sedang melangkah masuk ke dalam ruangan seraya berkata:
“Toako, marilah siaote memperkenalkan toako dengan guru siaote!”
Hui Kiam agaknya dikejutkan oleh perkataan Ie It Hoan itu. “Oh! Jadi Ciok cianpwee itu adalah suhumu?”
“Ya, suhu sudah lama mengetahui bahwa rimba persilatan akan menghadapi bencana besar, maka ia rela dirinya dicaci maki dihiua oleh semua sahabat dan orang-orang rimba persilatan, pura-pura menyerah kepada Persekutuan Bulan Emas. Maksudnya hendak melakukan pekerjaan sebagai mata-mata di dalam persekutuan itu supaya dapat menghindarkan bencana itu. Maka dari itu semua gerakan dan tindakan Persekutuan Bulan Emas lebih dahulu tidak diketahui oleh siaote, itu adalah berita yang disampaikan oleh suhu.”
Hui Kiam ternganga. Ia menghampiri Manusia Gelandangan, lalu memberi hormat seraya berkata:
“Boanpwe tidak tahu bahwa Ciok cianpwe sedang menjalankan tugas berat untuk menyelamatkan dunia rimba persilatan. Atas kesalahan dahulu, harap locianpwee memaafkannya.”
Manusia Gelandangan menepuk pundak Hui Kiam seraya berkata:
“Bocah, kau tidak berdosa apa-apa. Aku dahulu waktu pertama kali melihat kau di gedungnya Sam Goan lojin, aku sudah tahu bahwa kau bukan orang sembarangan, di kemudian hari kau pasti akan menjadi tiang penegak kebenaran dalam rimba persilatan. Ha ha ha, benar saja pandanganku tidak salah. Bocah, kalau aku katakan kau sebagai orang pertama dalam rimba persilatan, rasanya tidak terlalu berlebih-lebihan!”
Hui Kiam yang luka di pundaknya belum sembuh, ketika ditepak, timbul pula rasa sakitnya, tetapi ia menahan rasa sakit itu, ketika mendengar perkataan orang tua itu lalu berkata:
“Cianpwee terlalu memuji!”
“Em, em! Peraturan kita tidak boleh buang, oleh karena kau dengan Ie It Hoan adalah merupakan saudara angkat, aku terima sebutan cianpwee ini!”
Hui Kiam teringat sifat dan adat aneh orang tua itu, hampir saja ia merasa geli.
Ie It Hoan berkata kepada suhunya:
“Suhu, oleh karena suhu berpesan wanti-wanti harus memegang rahasia, toako terhadapku tidak mau mengerti. Hal ini benar-benar membuatku sangat penasaran!”
“Bocah, tutup mulutmu, jangan membikin malu di hadapan orang banyak!”' jawab Manusia Gelandangan sambil melototkan matanya.
“Suhu, bagaimana selanjutnya kita harus membereskan persoalan ini?”
“Ini adalah urusan Manusia Teragung dengan muridnya!”
Hui Kiam tiba-tiba teringat kepada dendam sakit hati ibunya. Di wajahnya timbul pula nafsunya hendak membunuh, lalu berpaling dan berkata kepada Orang Berbaju Lila:
“Urusan di antara kita sudah tiba waktunya untuk dibereskan!”
“Ya, aku sudah siap hendak menyelesaikan persoalan itu!” berkata Orang Berbaju Lila tenang.
Ie It Hoan segera menyela dengan suara cemas:
“Toako, kau kira cianpwee ini....”
Orang Berbaju Lila mengangkat tangannya, mencegah Ie It Hoan melanjutkan perkataannya. Katanya:
“Hiantit, kau tidak boleh sembarangan membuka mulut!”
Manusia Gelandangan baru berkata:
“Biarlah aku Ciok Siao Ceng yang mendamaikan, bagaimaua?”
Orang Berbaju Lila berkata sambil menggelengkan kepala:
“Dalam urusan ini siapapun tidak dapat mendamaikan, hanya….” Matanya lalu beralih kepada Hui Kiam dan berkata: “Kita bicara di lain tempat, bagaimana?”
“Boleh,” jawab Hui Kiam dingin.
Orang Berbaju Lila berkata pula kepada Manusia Gelandangan:
“Harap kau dengan muridmu bertindak sebagai saksi!”
“Baik!”
Orang Berbaju Lila lalu berkata kepada Manusia Teragung:
“Suhu....”
Manusia Teragung dengan wajah pucat bertanya:
“Ada urusan apa?”
“Maafkan muridmu yang telah berdosa, urusan di sini selanjutnya mohon suhu bersama Kak Hui cianpwee yang membereskan!” berkata Orang Berbaju Lila dengan suara duka.
“Apakah kau tetap hendak berbuat menurut rencanamu yang semula?”
“Ya... murid di sini hendak mengucap terima kasih lebih dulu kepada suhu!”
Setelah berkata demikian Orang Berbaju Lila lalu berlutut di hadapan Manusia Teragung.
Kak Hui taysu setelah memuji nama Budha lalu berkata:
“Manusia yang telah bertobat masih dapat pengampunan Tuhan Yang Maha Esa. Semoga sicu bertindak menurut usul lolap.”
“Boanpwe akan berusaha sedapat mungkin,” berkata Orang Berbaju Lila dengan suara gemetar.
Semua pembicaraan itu, kecuali orang-orang yang bersangkutan, tidak seorangpun mengerti apa yang dimaksudkan, hanya Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan, dua orang yang sangat cerdik itu dapat menduga sebahagian, sehingga wajah mereka nampak sangat serius.
Dengan tanpa disadari mata Hui Kiam ditujukan kepada jenazah Tong-hong Hui Bun yang sudah tidak keruan macamnya itu. Dalam hatinya timbul semacam perasaan yang tidak dapat dilukiskan oleh kata-kata.
Ia, Tong-hong Hui Bun, boleh dikata merupakan perempuan cantik utama dalam rimba persilatan, jnga seorang perempuan jahat, kejam dan cabul.
Dia pernah tergila-gila terhadap Hui Kiam dan cinta itu telah dibalas dengan cinta pula oleh Hui Kiam.
Tetapi kemudian perempuan itu telah menggunakan pengaruhnya obat menjerumuskan Hui Kiam ke dalam neraka.
Kenyataan memang kejam, juga jahat dan buruk. Cinta yang dahulu kini telah berubah kebencian yang memuncak, sehingga terciptalah tragedi sangat menyedihkan itu. Akan tetapi tragedi itu masih belum berakhir….
Pada saat itu seorang perempuan setengah tua berpakaian hitam masuk ke dalam ruangan. Setelah menyaksikan keadaan dalam ruangan sejenak lalu berkata:
“Biang keladinya sudah mati, semuanya sudah berakhir!”
Perempuan itu bukan lain daripada ibu angkat Wanita Tanpa Sukma, juga merupakan anak angkat Kak Hui taysu sebelum ia menjadi padri.
“Bagaimana keadaan di luar?” bertanya Kak Hui taysu.
“Anak sudah memeriksa ke segala pelosok. Semua orang yang bersalah sudah tiada yang hidup kecuali orang yang terluka dan yang sudah insaf kesalahannya. Yang dapat meloloskan diri jumlahnya sangat sedikit sekali, rasanya tidak akan membuat bencana!”
“Berapa banyak korban bagi kedua pihak?”
“Pihak musuh kematian kira-kira empat ratus jiwa, yang terluka seratus lebih. Di pihak kita yang mati juga ada kira-kira dua ratus orang, dan yang terluka tidak sampai seratus orang. Di antara korban itu satu pertiga adalah wakil-wakil berbagai partai rimba persilatan!”
“O Mi To Hud. Ini adalah suatu bencana terbesar dalam rimba persilatan selama seratus tahun ini.”
Kemudian ia berpaling dan berkata kepada Manusia Teragung:
“Urusan di sini selanjutnya sicu tolong membereskan. Lolap hendak bertapa untuk memikirkan dosa lolap, maka dengan ini lolap mohon diri.”
Kemudian dia berkata pula kepada Hui Kiam dan Orang Berbaju Lila:
“Dosa bagaikan lautan, lekaslah kembali ke tepi. Semoga sicu berdua dapat memahami kehendak Tuhan Yang Maha Esa.”
Setelah berkata demikian, padri tua ini merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat kepada semua orang yang berada di situ.
Semua orang yang ada di situ membalas hormat sambil membungkukkan badan.
Setelah Kak Hui taysu dan anak pungutnya berlalu, Orang Berbaju Lila segera berkata dengan nada suara dingin:
“Mari kita pergi.”
Manusa Teragung dengan suara terharu berkata kepada Orang Berbaju Lila:
“Murid durhaka, ingat pesan suhumu, kau harus berusaha baik-baik untuk menyelesaikan persoalan ini.”
“Ya,” jawab Orang Berbaju Lila dengan nada suara sedih.
Ia berjalan lebih dahulu dengan diikuti oleh Hui Kiam dan Manusia Gelandangan dengan muridnya. Sekeluarnya dari ruangan itu, lalu lari menuju keluar lembah.
Manusia Teragung menghela napas panjang.
Semua orang yang ada di situ telah menyaksikan berlalunya empat orang itu dengan perasaan terheran-heran. Tiada satupun yang tahu apakah sebetulnya mereka hendak lakukan.
Hui Kiam berempat setelah keluar dari jalan lembah, lari menuju ke sebuah bukit.
Tiba di atas bukit, Hui Kiam berdiri berhadapan dengan Orang Berbaju Lila.
Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan berdiri di samping dengan perasaan gelisah.
Dalam suasana yang penuh misterius itu, juga diliputi oleh perasaan tegang.
Setelah melalui keheningan yang cukup lama, baru terdengar suara Manusia Gelandangan:
“Ijinkan aku untuk berkata beberapa patah kata saja.”
Orang Berbaju Lila mengangkat ke atas tangannya seraya berkata:
“Saudara Ciok, semua sudah tidak ada gunanya. Harap kalian berdua sebagai saksi saja, sekali-kali jangan turut campur tangan….”
“'Apakah kau tidak boleh tidak harus bertindak menurut rencanamu semula?”
“Ya. Ini adalah takdir yang telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, tidak dapat dilawan oleh kehendak manusia.”
“Kau gila......”
“Tidak! Harap saudara Ciok dapat memahami perasaanku.”
Ie It Hoan juga berkata dengan suara gemetar:
“Toako….”
Tetapi baru berkata demikian sudah dicegat oleh Orang Berbaju Lila:
“Kau tidak boleh campur bicara!”
Ie It Hoan terpaksa diam, hanya mukanya saja menunjukkan perasaan hatinya yang gelisah.
Hui Kiam berkata sambil menggertak gigi:
“Sekarang anda boleh membuka kain kerudung di mukamu!”
Orang Berbaju Lila tidak berkata apa-apa, ia membuka kerudung di mukanya. Di balik kerudung itu ternyata merupakan seraut wajah seorang laki-laki setengah umur yang sangat tampan, hanya dari kedua matanya menunjukkan perasaan hatinya yang diliputi oleh kedukaan.
Hui Kiam tercengang. Dalam bayangannya dianggapnya muka Orang Berbaju Lila yang ditutup oleh kain kerudung itu tentunya sangat buruk, tak disangka dugaan itu meleset jauh. Tetapi semua ini tidak mempengaruhi tekadnya yang hendak menuntut balas dendam. Maka ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Sekarang anda boleh mulai memberi keterangan.”
Wajah Orang Berbaju Lila beberapa kali telah berubah, kedukaan dalam hatinya nampak semakin besar, lama sekali ia baru membuka suara:
“Ada beberapa hal aku perlu menerangkan lebih dahulu.”
“Katakanlah.”
“Pertama, dahulu karena aku ingin memenuhi nafsu Tong-hong Hui Bun yang mempunyai hobi mengumpulkan segala kitab pusaka pelajaran ilmu silat, setelah aku mengetahui bahwa kitab pusaka Thian Gee pokip berada di tangan Lima Kaisar Rimba Persilatan, timbullah pikiranku hendak merampasnya.”
“Em.”
“Kaisar Boh Tee dan Cui Tee, memang benar binasa di bawah pedangku, tetapi itu di dalam suatu pertempuran secara adil.”
Hui Kiam tidak dapat menahan sabar. Ia memotong sambil menggertak gigi:
“Meskipun kau katakan tadi, tetapi maksudmu tidak bersih.”
“Sementara jarum melekat tulang yang mengenai diri suhumu Tho Tee dan supekmu Hwee Tee, kiranya kau sudah tahu sendiri bahwa itu adalah perbuatan pemimpin Persekutuan Bulan Emas Thian Hong.”
“Tentang ini aku tahu.”
“Sementara itu Toa-supekmu Kim Tee sebaliknya telah binasa di tangan Thian Hong.”
“Dengan kepandaian yang kau miliki pada waktu itu, kau dapat membinasakan dua supek, apa yang kau katakan sebagai pertempuran adil, sesungguhnya sangat mencurigakan?”
“Kau benar, setelah hal itu terjadi aku baru tahu bahwa mereka berdua lebih dulu sudah terkena serangan jarum melekat tulang maka kepandaian dan kekuatannya jauh berkurang.”
“Menurut keteranganmu ini, jadi semua dosa itu harus ditimpahkan kepada diri Thian-hong seorang saja?”
“Tidak! Aku tidak ada maksud untuk mengelakkan tanggung jawab.”
“ Aku kira kau juga tak dapat mengelakkan!”
“Kedua, peristiwa pembunuhan Sam-goan-pang, Ouw-yang Hong dan Liang-khie-si-seng suami istri serta lain-lainnya, semua itn adalah aku yang melakukan atas perintah Thian-hong!”
“Siapa pula yang membunuh Oey Yu Hong dengan jarum melekat tulang?”
“Itu adalah perbuatan Tong-hong Hui Bun si perempuan hina itu.”
“Bagaimana dengan kematian yang menyedihkan atas diri Penghuni Loteng Merah dengan ayah almarhum?”
Orang Berbaju Lila memejamkan matanya, lama ia baru menjawab dengan suara sedih:
“Sudah tentu aku!”
“Kau pernah berkata bahwa kau adalah sahabat baik ayah almarhum, mengapa kau melakukan perbuatan sekeji itu atas dirinya?”
“Sebab ia seharusnya mendapatkan kematian semacam itu.”
“Mengapa ia harus mendapat kematian?”
“Sebab ia meninggalkan anak istrinya, melakukan perbuatan yang melanggar hukum Tuhan. Perbuatannya itu tidak dapat diampuni oleh siapapun juga, mengapa tak harus dibunuh?”
“Tutup mulut! Tentang itu tidak seharusnya kau membunuh secara demikian, karena aku lihat tujuan yang utama agaknya ditujukan kepada Penghuni Loteng Merah, itu apa sebabnya?”
Orang Berbaju Lila untuk sesaat bungkam, akhirnya berkata sambil menggertak gigi:
“Keteranganku di sini sudah habis….”
“Jadi kau anggap sudah habiskah keteranganmu?”
“Sudah habis!”
“Sekarang aku hendak membunuhmu, kau tentunya tidak akan sesalkan perbuatanku?”
“Kau... bunuhlah!”
Ie It Hoan tiba-tiba menjerit:
“Toako jangan!”
Manusia Gelandangan juga berseru dengan suara gemetar:
“Hui Kiam, mengapa kau tidak bertanya dulu asal-usulnya orang?”
Orang Berbaju Lila berkata dengan nada suara bengis:
“Ciok Siao Ceng, apakah kau menghendaki aku mati penasaran?”
“Ini terlalu kejam, tidak seharusnya kau....”
“Aku hendak menyelesaikan, tak demikian tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan ini.”
“Tetapi....”
“Tutup mulut!”
Hui Kiam yang pada saat itu pikirannya sudah diliputi oleh perasaan dendam karena kematian ayah bundanya dan suhunya serta kawan-kawan rimba persilatan, sama sekali tak dapat memikir percakapan antara dua orang itu yang mengandung rahasia dan banyak mencurigakan, serta sikap Orang Berbaju Lila yang jauh berbeda daripada kebiasaannya. Ia lalu berkata:
“Kali ini tindakanmu terhadap pergerakan untuk membasmi Persekutuan Bulan Emas guna menghindarkan bencana yang mengancam rimba persilatan, jasamu tak dapat dilupakan, tetapi itu hanya terhitung suatu perbuatan untuk menebus dosa atas segala perbuatanmu di waktu yang lampau, sementara itu mengenai hutang jiwa terhadap keluargaku dan perguruanku, kau harus membayar dengan darahmu!”
Manusia Gelandangan berteriak dengan suara keras:
“Aku tidak akan tinggal diam untuk membiarkan terjadinya peristiwa yang menyedihkan ini. Hui Kiam, ia adalah....”
Tetapi semua usaha orang tua itu ternyata sia-sia belaka, sebelum habis ucapannya, ia dengar suara jeritan ngeri. Orang Berbaju Lila sudah roboh di tanah dengan lobang di dada.
Sementara itu Hui Kiam masih berdiri tegak dengan pedang di tangannya. Ujung pedangnya masih meneteskan darah segar.
Ie It Hoan berkata dengan suara parau:
“Toako, kau.... salah.”
Manusia Gelandangan berkata sambil menghela napas:
“Demikianlah kehendak Tuhan! Manusia bisa berbuat apa? Apa yang akan terjadi, biar bagaimana tidak dapat dicegah lagi.”
Setelah berkata demikian, ia membungkukkan badan menotok beberapa bagian jalan darah badan Orang Berbaju Lila untuk menghentikan mengalirnya darah, kemudian berkata kepadanya:
“Kau tak seharusnya bertindak demikian.”
Wajah Orang Berbaju Lila terlintas senyum getir kemudian terdengar suaranya yang halus hampir tidak kedengaran:
“Aku... sudah merasa puas, inilah... suatu... tindakan.... untuk... menebus dosaku!”
Hui Kiam tiba-tiba berpaling dan bertanya kepada Ie It Hoan:
“Mengapa sejak tadi aku tidak melihat Orang Menebus Dosa?”
Dengan air mata berlinang-linang Ie It Hoan berkata dengan suara duka:
“Itulah dia!”
Hui Kiam terperanjat. Katanya dengan suara terharu:
“Apakah dia Orang Menebus Dosa?”
“Benar, Orang Menebus Dosa, dengan kematian telah menebus dosanya!”
“Ia tetap harus mampus!” berkata Hui Kiam dengan melawan perasaan hatinya.
“Kaulah yang harus mampus!” berkata Manusia Gelandangan dengan suara bengis.
Hui Kiam mundur satu langkah. Katanya dengan suara dingin:
“Perkataan Cianpwe ini agaknya kurang dipikir….”
Manusia Gelandagan menghela napas panjang, kemudian berkata:
“Anak, tahukah kau dia siapa?”
“Dia adalah algojo, pembunuh nomor wahid, penjahat besar, orang yang berupa muridnya Manusia Teragung….”
“Tutup mulut! Dia adalah ayahmu sendiri, To-liong Kiam Khek Su-ma Suan.”
Hui Kiam pada saat itu seperti disambar geledek. Ia mundur beberapa langkah kemudian bertanya dengan suara gemetar:
“Apa?”
Dengan wajah pucat pasi Ie It Hoan berkata:
“Ia adalah ayahmu sendiri, To-liong Kiam Khek.”
“Tidak mungkin, tak mungkin, dia adalah….”
Hui Kiam berteriak-teriak bagaikan orang kalap. Matanya dirasakan gelap, pedang di tangannya terlepas jatuh, badannya juga hampir rubuh!
Dalam waktu sekejap itu kaki dan tangannya seolah-olah dipereteli, tubuhnya seolah-olah ditusuk barang tajam, jiwanya juga seolah-olah terbang meninggalkan raganya.
Pada saat itu, otaknya dirasakan kosong melompong, semua pikiran dirasakan tidak ada. Perasaannya menjadi beku.
Ini suatu kejadian yang menakutkan, juga suatu kenyataan yang sangat kejam. Sebagai anak telah membunuh ayahnya sendiri, ini merupakan suatu kejadian yang belum pernah ada di dalam rimba persilatan. Pedang anaknya telah tersiram oleh darah ayahnya.
Mata Orang Berbaju Lila yang suram, mengeluarkan dua butir air mata. Bibirnya bergerak-gerak.
“Suruh dia kemari,” demikian kata-kata yang hampir tidak kedengaran keluar dari mulutnya.
Manusia Gelandangan dengan nada suara yang tidak berubah, berkata kepada Hui Kiam:
“Hui Kiam, kemari! Dengarlah pesan ayahmu yang terakhir.”
Hui Kiam menyemburkan darah dari mulutnya. Apa yang telah terjadi semua seperti impian. Ya, satu impian buruk yang nenakutkan, tetapi benar-benar merupakan sesuatu kenyataan yang tidak bisa dibantah lagi.
Dengan badan sempoyongan ia menghampiri ayahnya, lalu menjura dan berlutut di hadapannya. Air mata mengalir deras.
Manusia Gelandangan berkata dengan suara gemetar:
“Tenanglah sedikit, waktunya tidak banyak lagi.”
Hui Kiam mengangkat kepalanya, dengan menggunakan kekuatan yang paling besar baru dapat mengeluarkan perkataan dari mulutnya.
“Ayah, sekalipun mati seratus kali anakmu juga tidak dapat menebus dosa ini.”
Semangat Orang Berbaju Lila agaknya terbangun dengan mendadak. Dengan suara yang lemah dan gemetar ia berkata:
“Anak, ayahmulah yang harus menerima kematian ini. Sebetulnya aku pikir hendak membiarkan selamanya menganggap bahwa To-liong Kiam Khek sudah binasa di dalam gua di puncak gunung batu itu, akan tetapi, demikianlah akhirnya kehendak Tuhan, benar-benar merupakan suatu hal yang patut disesalkan, kau tidak perlu menyusahkan dirimu sendiri, kau tidak salah, justru ayahmu sendiri yang harus mati, seharusnya siang-siang harus mati, ibumu dengan secara tidak langsung telah binasa di tanganku.”
“Ibu….”
“Kau sudah tahu sendiri, tusuk konde emas yang berkepala burung Hong itu adalah barang Pek-leng-lie yang diberikan kepadaku. Sungguh tidak disangka kemudian telah dicuri oleh Tong-hong Hui Bun dan digunakan sebagai senjata untuk membunuh ibumu. Tong-hong Hui Bun memang mempunyai sifat iri hati yang tidak ada taranya. Ia tidak mengijinkan orang lain membagi kekasihnya. Aku telah dibikin mabuk oleh kecantikannya sehingga menuju ke perjalanan untuk menghancurkan diriku sendiri. Penghuni Loteng Merah juga merupakan salah satu korban kelakuanku, semua ini sudah tiada alasan bagiku untuk hidup terus. Hanya, terhadap kau, terhadap ibumu, kemenyesalanku membuat aku mati tidak bisa meram.”
“Ayah!”
“Perempuan hina itu telah menggunakan jenazah seorang perempuan muda, katanya ibumu telah dibinasakan orang. Aku percaya kebenarannya, sehingga aku membuat kuburan di atas
gunung itu. Ketika aku mengetahui asal-usulnya dirimu, semuanya sudah terlambat. Anak, kau seorang she Hui, she Su-ma bagimu merupakan suatu kehinaan, kau lupakan itu, aku tidak takut!”
Ucapannya berhenti dengan mendadak. Kepalanya terkulai dan untuk yang kesekian kalinya ia pingsan lupa diri.
Hui Kiam menjerit, mulutnya kembali menyemburkan darah segar, hatinya hancur luluh selagi masih tetap dalam keadaan berlutut. Ia merasakan seolah-olah dirinya di lain dunia. Semuanya nampak guram, seram menyedihkan, sepi sunyi….
Entah berapa lama telah berlalu, Hui Kiam masih terus berlutut bagaikan orang yang sudah kehilangan semangat.
Ie It Hoan yang merasa kasihan lalu maju menghampiri dan berkata:
“Toako, sudahlah, jangan terlalu bersedih. Pikirkan hari kemudianmu.”
Hui Kiam mendadak lompat bangun. Dengan suara seperti orang kalap berkata:
“Aku bukan manusia, aku adalah binatang, aku bukan manusia ....”
Tiba-tiba ia memungut pedang saktinya. Pedang itu digunakan untuk menggorok lehernya sendiri ....
Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan dengan serentak menjerit. Keduanya menerjang. Hui Kiam sambil mengacungkan pedangnya, berkata deogan suara bengis:
“Jangan mendekati aku!”
Sikap dan suaranya demikian bengis, sehingga suhu dan murid itu terpaksa membatalkan maksudnya dan mundur beberapa langkah.
Hui Kiam memandang pedang di tangannya. Tiba-tiba ia ingat bahwa pedang itu adalah benda pusaka peninggalan perguruannya, seharusnya ada pemberesannya, jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain. Karena berpikir demikian, maka pedang itu dimasukkan lagi ke dalam sarungnya.
Manusia Gelandangan dan Ie It Hoan ketika menyaksikan Hui Kiam sudah membatalkan maksudnya hendak nembunuh diri, baru menarik napas lega.
Hui Kiam kemudian mengangkat tubuh ayahnya, dan secepat kilat lalu turun dari puncak bukit.
“Toako! Toako!” demikian Ie It Hoan berseru sambil mengejar. Tetapi ia dan Manusia Gelandangan tidak berhasil mengejarnya, sebentar saja Hui Kiam sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.
T A M A T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar