Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 21 Oktober 2010

Hina Kelana - Chin Yung - Bagian 120-140

sambungan

Bab 120. Matinya Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong

Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur, tampaknya seperti Lim Peng-ci melompat ke sana dan mengadang di depan kuda Bok Ko-hong, tapi segera pemuda itu kelihatan sedang kebas-kebas kipasnya dan duduk tenang di tempatnya seperti tidak pernah meninggalkan bangkunya.

Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Bok Ko-hong menggertak agar kudanya cepat lari.

Namun bagi tokoh-tokoh kelas wahid seperti Lenghou Tiong, Ing-ing dan Ih Jong-hay, dengan jelas mereka dapat melihat Lim Peng-ci telah menjulur tangannya mencolok dua kali kepada kuda Bok Ko-hong, tentu ada apa-apa yang telah dikerjainya.

Benar juga, baru saja Bok Ko-hong melarikan kudanya beberapa langkah, sekonyong-konyong kuda itu menubruk cagak gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk itu menjadi ambruk.

Cepat Ih Jong-hay melompat keluar gubuk, sedangkan kepala Lenghou Tiong dan Lim Peng-ci penuh teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Gi-lim membersihkan rumput-rumput yang menutup kepala Lenghou Tiong itu.

Dengan mata melotot Lim Peng-ci menatap Bok Ko-hong, tertampak orang bungkuk itu ragu-ragu sejenak, lalu melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Segera kudanya berlari lagi ke depan, tapi segera kepala menumbuk batang pohon, terdengar kuda itu meringkik panjang dan roboh terkapar dengan kepala penuh darah.

Begitu aneh kelakuan kuda itu, terang disebabkan kedua matanya sudah buta dan dengan sendirinya karena dikerjai Peng-ci dengan kecepatan luar biasa tadi.


Perlahan-lahan Peng-ci melempit kipasnya dan membersihkan rumput kering yang berserakan di atas pundaknya, lalu berkata, “Orang buta menunggang kuda pecak, sungguh berbahaya kalau menghadapi jurang di tengah malam.”

Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, “Sombong benar kau bocah ini, ternyata kau memang boleh juga. Ih-pendek bilang kau mahir Pi-sia-kiam-hoat, boleh coba kau pertunjukkan kepadaku.”

Kudanya dibutakan, dia tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, sungguh harus diakui kesabarannya yang luar biasa.

“Ya, memangnya akan kuperlihatkan padamu,” sahut Peng-ci. “Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu rasanya tidak lebih kecil daripada Ih Jong-hay itu.”

Baru sekarang Bok Ko-hong terkejut, sungguh tidak nyana bahwa pemuda perlente di depannya sekarang ini adalah putranya Lim Cin-lam. Diam-diam Bok Ko-hong menimbang, “Dia berani menantang diriku, dengan sendirinya ada sesuatu yang dia andaikan. Ngo-gak-kiam-pay mereka sekarang sudah bergabung, kawanan nikoh dari Hing-san-pay ini dengan sendirinya adalah bala bantuannya.”

Mendadak tangannya membalik terus mencengkeram ke arah Gak Leng-sian, ia pikir jumlah musuh terlalu banyak, sedangkan anak perempuan ini memangnya adalah istri bocah she Lim ini, kalau dia berada di dalam cengkeramanku masakah bocah she Lim ini berani berkutik?

Tak tersangka cengkeramannya tidak kena sasaran, sebaliknya angin tajam menyambar dari belakang, pedang seorang telah menebasnya. Cepat Bok Ko-hong mengegos ke samping, dilihatnya penyerang itu ternyata Gak Leng-sian adanya.

Rupanya Ing-ing telah memotong tali peringkus Leng-sian tadi dan telah membukakan hiat-to yang tertutuk. Karena masih terasa kesemutan berhubung sekian lamanya hiat-to tertutuk, pula lukanya terasa sakit, maka setelah tebasannya memaksa Bok Ko-hong melompat mundur, lalu Leng-sian tidak melancarkan serangan susulan meski dalam hati sangat gemas.

Dengan mengejek Peng-ci lantas berkata, “Hm, sebagai tokoh persilatan yang ternama, sungguh tidak tahu malu perbuatanmu. Sekarang kalau kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menjura tiga kali padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali, dengan demikian akan kuberi hidup padamu untuk setahun lagi. Setahun kemudian aku akan mencari kau lagi untuk menagih utang nyawamu. Nah, mau?”

Dahulu di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, demi menyelamatkan jiwa, Peng-ci yang waktu itu menyamar sebagai orang bungkuk juga pernah merangkak dan menjura tiga kali sambil memanggil “kakek” tiga kali kepada Bok Ko-hong. Perbuatan itu sudah tentu suatu hinaan besar baginya, cuma waktu itu dia dalam keadaan menyamar sehingga orang lain tidak mengenalnya. Namun begitu dia tidak pernah melupakan hinaan mahabesar itu. Sekarang ilmunya sudah jadi, sudah tentu segala macam dendam besar kecil di masa dahulu harus dituntutnya satu per satu dengan jelas.

Kembali Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, sudah begini tua hidup Bok-yaya, tapi belum pernah kulihat seorang sombong semacam kau. Biarpun sekarang kau yang menjura padaku dan memanggil tiga kali kakek padaku juga jiwamu takkan kuampuni.”

Sudah tentu Bok Ko-hong tidak tahu bahwa anak muda di hadapannya ini justru sudah pernah menjura dan memanggil “kakek” padanya di waktu dahulu. Maka perlahan-lahan ia melolos pedangnya, katanya, “Ih-pendek, kalau mau berkelahi boleh kalian tosu melawan nikoh, bocah kurang ajar ini boleh serahkan padaku saja.”

Ia khawatir kalau kawanan nikoh Hing-san-pay ikut turun tangan, sedangkan Ih Jong-hay diketahui juga termasuk musuh Lim Peng-ci, kalau orang Jing-sia-pay dapat menghadapi Hing-san-pay, mustahil dirinya tidak mampu melawan seorang anak muda sebagai Lim Peng-ci.

Maka terdengar Ih Jong-hay menjawab, “Pihak Hing-san-pay sejak tadi sudah menyatakan takkan memihak mana-mana. Nona yang menolong Gak-siocia tadi juga bukan orang Hing-san-pay.”

Padahal pernyataan Hing-san-pay takkan memihak siapa-siapa hanya ditujukan kepada Jing-sia-pay saja, sudah tentu tidak termasuk Bok Ko-hong. Tapi Ih Jong-hay sengaja mencampuradukkannya agar Bok Ko-hong dapat melayani musuh besarnya tanpa khawatir.

Bok Ko-hong menjadi girang, katanya, “Baik sekali kalau begitu. Urusan hari ini adalah bocah ini yang mencari perkara padaku dan bukan aku yang mencari dia. Para kawan Hing-san-pay hendak menjadi saksi agar kelak di dunia Kangouw takkan timbul cerita bahwa si bungkuk menganiaya anak muda.”

Sambil berkata perlahan-lahan pedang pun sudah terlolos. Bentuk pedangnya ternyata sangat aneh, yaitu melengkung. Orangnya bungkuk, pedangnya juga bungkuk.

Dengan memegang kipas, tangan lain mengangkat sedikit ujung bajunya yang panjang, dengan gaya berlenggang Lim Peng-ci lantas mendekati Bok Ko-hong. Orang yang dilalui oleh Peng-ci segera mengendus bau harum yang sedap.

Pada saat lain tiba-tiba terdengar dua kali jeritan, Ih Jin-ho dan Pui Jin-ti dari Jing-sia-pay mendadak roboh terkulai dengan dada mengucurkan darah.

Tanpa terasa orang banyak sama mengeluarkan suara kaget. Sudah jelas Peng-ci terlihat menuju ke arah Bok Ko-hong, entah cara bagaimana mendadak kedua murid Jing-sia-pay yang dilaluinya itu telah dibinasakan.
Selesai membunuh orang, perlahan-lahan Peng-ci simpan kembali pedangnya. Hanya tokoh-tokoh besar seperti Lenghou Tiong dan sebagainya yang masih melihat berkelebatnya pedang, orang lain boleh dikata tidak tahu cara bagaimana Peng-ci melolos pedangnya jangankan melihat caranya menyerang. Keruan semua orang tak terkatakan kagumnya di samping waswas pula.

Menghadapi Peng-ci yang semakin mendekat itu, badan Bok Ko-hong semakin menunduk, memangnya dia bungkuk, kini mukanya menjadi hampir mendekat tanah. Sekonyong-konyong Bok Ko-hong meraung seperti serigala menyalak, ia terus menyeruduk ke depan, pedangnya yang bengkok itu lantas menyambar ke pinggang Peng-ci.

Cepat sekali Peng-ci pindahkan kipasnya ke tangan kiri, tangan lain segera melolos pedang terus menusuk ke dada musuh. Serangannya bergerak lebih lambat, tapi tiba lebih dulu kepada sasarannya, cepat lagi jitu. 
Kembali Bok Ko-hong mengerang, tubuhnya terus melompat ke sana. Ternyata baju kapas di bagian dadanya sudah berlubang sehingga kelihatan bulu dadanya yang lebat.

Serangan Peng-ci itu kalau maju dua-tiga senti lagi, seketika dada Bok Ko-hong pasti berlubang. Semua orang sampai berseru kaget dan sama melongo.

Sekali gebrak saja Bok Ko-hong sudah hampir direnggut maut, namun dasarnya dia memang ganas, sedikit pun ia tidak gentar, berulang-ulang ia mengerang pula dan kembali menubruk maju.

Rada di luar dugaan Peng-ci bahwa serangannya tadi tidak kena sasarannya, diam-diam ia mengakui kehebatan si bungkuk yang terkenal itu. “Sret-sret-sret”, kembali ia melancarkan serangan kilat, terdengar suara “trang-trang” yang nyaring, serangan-serangan kena ditangkis semua oleh si bungkuk.

Peng-ci mendengus, makin cepat pedangnya bergerak. Berkali-kali Bok Ko-hong terpaksa melompat ke atas dan mendekam ke bawah, pedangnya yang bengkok itu pun diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud sebuah jaringan sinar perak.

Setiap kali pedang Peng-ci menusuk masuk jaringan sinar pedang lawan dan terkadang membentur pedang lawan yang bengkok itu, maka tangan Peng-ci sendiri lantas terasa kesemutan, nyata sekali tenaga dalam lawan jauh lebih kuat daripadanya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedang sendiri akan tergetar lepas. Karena itu Peng-ci tidak berani gegabah lagi, ia berusaha mengincar lubang kelemahan musuh untuk memberi serangan maut.

Namun Bok Ko-hong hanya memutar pedang sendiri sedemikian kencangnya, sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Peng-ci juga tak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya mendudukkan Peng-ci pada tempat yang tak terkalahkan, sekalipun belum dapat menjatuhkan lawan, namun Bok Ko-hong sudah jelas tidak mampu balas menyerang.

Semua orang dapat menilai, asal Bok Ko-hong bermaksud balas menyerang, itu berarti jaringan sinar pedangnya akan memberi peluang bagi serangan kilat Lim Peng-ci, jika terjadi demikian, maka sukar bagi Bok Ko-hong untuk menangkis.

Cara Bok Ko-hong memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya paling membuang tenaga dalam, namun di tengah sinar pedangnya yang rapat itu Bok Ko-hong menggerung-gerung pula tanpa berhenti mengikuti gerak pedangnya, hal ini menambahkan ketangkasannya yang mengagumkan. Beberapa kali Peng-ci bermaksud membobol jaringan sinar pedang musuh, tapi selalu didesak kembali oleh pedang rawan yang bengkok itu.

Sekian lamanya Ih Jong-hay mengikuti pertarungan hebat itu, dilihatnya jaringan sinar pedang si bungkuk mulai mengkeret, makin ciut, ini menandakan tenaga dalam Bok Ko-hong sudah mulai payah. Tanpa ayal lagi, ia bersuit nyaring terus menerjang maju, “sret-sret-sret” tiga kali, cepat ia menyerang tempat mematikan di punggung Lim Peng-ci.

Ketika Peng-ci terpaksa memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang, segera Bok Ko-hong ayun pedangnya yang bengkok itu untuk menebas kaki lawan.

Kalau menurut etiket dunia persilatan, dua tokoh ternama seperti Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau, sungguh suatu perbuatan yang memalukan.

Hanya saja sepanjang jalan orang-orang Hing-san-pay telah menyaksikan cara Peng-ci membunuh anak murid Jing-sia-pay secara tidak kenal ampun, jelas Ih Jong-hay akhirnya juga akan menjadi korbannya, maka kini mereka pun tidak heran melihat dua tokoh ternama itu mengeroyok Peng-ci, mereka malah anggap kejadian itu adalah lumrah. Sebab kalau kedua tokoh itu tidak bergabung, cara bagaimana mereka masing-masing mampu melawan ilmu pedang Peng-ci yang sukar diukur itu?

Gerak pedang Bok Ko-hong segera berubah, selain bertahan sekarang ia pun menyerang, Peng-ci menjadi girang malah, kira-kira belasan jurus kemudian, mendadak kipas di tangan kiri ikut bergerak, gagang kipas membalik terus menusuk ke depan dengan cepat luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas menonjol keluar sebatang jarum tajam, tepat Tiau-goan-hiat di paha kanan Bok Ko-hong tertusuk.

Bok Ko-hong terkejut, cepat pedangnya menyampuk, namun tetap kalah cepat daripada gerak serangan Peng-ci itu, hiat-to bagian kaki itu terasa kesemutan. Ia tidak berani sembarangan bergerak, sedangkan pedang diputar kencang untuk melindungi tubuh. 
Tapi lambat laun kedua kaki terasa lemas, tanpa kuasa ia bertekuk lutut.

“Hahaha! Baru sekarang kau menjura padaku ....” Peng-ci bergelak tertawa sambil menangkis serangan Ih Jong-hay, lalu menyambung, “namun sudah terlambat!”
Trang,” kembali ia menangkis serangan musuh dan kontan balas menyerang satu kali.

Meski kedua kaki Bok Ko-hong berlutut ke bawah, namun pedangnya yang bengkok itu tetap digunakan menyerang tanpa berhenti. Rupanya ia menginsafi bahwa kekalahan pihaknya sudahlah pasti, maka setiap jurus serangannya selalu menggunakan cara nekat, bila perlu siap gugur bersama musuh.

Keadaan menjadi berbeda sama sekali, kalau mula-mula Bok Ko-hong hanya bertahan tanpa menyerang, sekarang dia berbalik hanya menyerang tanpa menjaga diri lagi. Ia sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, dengan demikian untuk sementara Peng-ci menjadi tak bisa mengapa-apakan dia.

Ih Jong-hay juga menyadari keadaan yang gawat antara hidup dan mati, jika dalam belasan jurus tak bisa mengalahkan lawan, sekali Bok Ko-hong terjungkal, maka dirinya yang tertinggal lebih-lebih tidak mampu berkutik lagi. Karena, itu ia percepat serangannya secara membadai.

Sekonyong-konyong Peng-ci tertawa panjang, tiba-tiba pandangan Ih Jong-hay menjadi gelap, matanya tak bisa melihat apa-apa lagi, menyusul kedua bahunya juga terasa dingin, kedua lengannya telah mencelat berpisah dengan tubuhnya.

Terdengar Peng-ci tertawa histeris, katanya, “Aku takkan membunuh kau, biar kau buntung dan buta pula, biar kau mengembara di Kangouw sebatang kara, anak muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh seluruhnya agar di dunia ini hanya tertinggal musuhmu saja dan tiada seorang pun sanak kadangmu.”

Ih Jong-hay merasakan lengannya yang buntung itu sakit tidak kepalang, ia tahu perlakuan Peng-ci terhadap dirinya itu jauh lebih kejam daripada sekali tusuk membinasakan dia. Dalam keadaan cacat begitu apa artinya hidup di dunia ini? 
Paling-paling malah akan menerima hinaan dan siksaan habis-habisan dari pihak musuh. Karena pikiran demikian, ia menjadi kalap, ia perhatikan arah suara Peng-ci, lalu menyeruduk ke sana.

Peng-ci terbahak-bahak sambil berkelit ke samping. Tak terduga, saking senangnya karena sakit hatinya sudah terbalas, ia menjadi lengah, tanpa sadar cara menghindarnya itu berbalik mendekati Bok Ko-hong malah.

Tentu saja Bok Ko-hong tidak sia-siakan kesempatan baik itu, ia ayun pedangnya menebas sekuatnya, ketika Peng-ci menangkis dengan pedangnya, tahu-tahu kedua kakinya telah dirangkul sekencangnya oleh Bok Ko-hong.

Keruan Peng-ci terkejut, dilihatnya berpuluh murid Jing-sia-pay serentak memburu maju, cepat kedua kakinya meronta sekuatnya, namun rangkulan Bok Ko-hong sedemikian kencangnya laksana tanggam, tanpa pikir Peng-ci lantas menusuk ke punggung Bok Ko-hong yang bungkuk itu.

“Blus”, mendadak air hitam muncrat keluar dari punggung yang bengkok itu, baunya bacin memuakkan.

Karena kejadian yang sama sekali tak terduga ini, dengan sendirinya Peng-ci pancal kedua kakinya dengan maksud hendak melompat pergi buat menghindari semprotan air bacin itu, tapi ia lupa bahwa kedua kakinya masih dipeluk sekuatnya oleh Bok Ko-hong, seketika mukanya tersemprot oleh air hitam yang bau itu, bahkan sakitnya tidak kepalang sehingga dia menjerit.

Kiranya air bau itu adalah air beracun yang luar biasa, sungguh tidak nyana bahwa di punggung yang bengkok itu tersembunyi kantong air berbisa. Dengan tangan kiri menutupi muka yang kesakitan, kedua matanya sukar dipentang lagi, hanya pedangnya berulang-ulang digunakan membacok menikam tubuh Bok Ko-hong.
Bacokan dan tikaman Peng-ci itu cepat luar biasa, sama sekali Bok Ko-hong tidak sempat berkelit. Hakikatnya ia pun tidak ingin menghindar, sebaliknya semakin kencang dia merangkul kedua kaki Peng-ci.

Pada saat itulah, berdasarkan suara kedua orang itu, Ih Jong-hay mengincar tepat arahnya, dia terus menubruk maju, karena kedua tangannya sudah buntung, dia gunakan mulut untuk menggigit. Secara kebetulan pipi kanan Peng-ci dengan tepat kena digigit dan tak dilepaskan lagi.

Ketiga orang menjadi saling bergumul dalam keadaan kalap, lambat laun ketiganya menjadi sadar tak-sadar. 
Serentak anak murid Jing-sia-pay memburu maju untuk menyerang Lim Peng-ci.
Pertarungan sengit itu dapat diikuti Lenghou Tiong dengan jelas dari dalam kereta. Semula ia pun terkejut menyaksikan pertempuran mati-matian itu, kemudian ketika melihat Peng-ci bergumul dengan kedua musuhnya dan tak bisa berkutik, sedangkan anak murid Jing-sia-pay telah memburu maju, tanpa pikirkan keadaan sendiri yang terluka, segera ia melompat keluar dari keretanya, ia jemput sebatang pedang di atas tanah yang berlumuran darah, menyusul “sret-sret-sret” beberapa kali, semuanya mengenai pergelangan tangan anak murid Jing-sia-pay, maka terdengarlah suara gemerencing nyaring jatuhnya senjata orang-orang Jing-sia-pay itu.

Melihat Lenghou Tiong sudah turun tangan, segera Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh dan lain-lain juga ikut menerjang maju dan mengelilingi Lenghou Tiong.

Terdengar suara mengerang Bok Ko-hong yang kalap tadi mulai mereda, sebaliknya pedang Lim Peng-ci masih terus menikam ke punggung musuh itu. Sekujur badan Ih Jong-hay penuh darah dengan tetap menggigit pipi Peng-ci.

Sehabis menyelamatkan Peng-ci, Lenghou Tiong merasa badannya lemas dan terhuyung-huyung, cepat Gi-ho dan lain-lain memayangnya. Melihat pergumulan mati-matian antara Peng-ci bertiga itu, anak murid Hing-san-pay sama merasa ngeri, tiada seorang pun yang berani memisahkan mereka.

Selang tidak lama, mendadak Peng-ci mendorong sekuatnya dengan tangan kiri, tubuh Ih Jong-hay tertolak mencelat, tapi berbareng Peng-ci juga menjerit kesakitan, pipi kanan sudah berlubang dengan darah yang bercucuran, nyata sepotong daging pipinya telah digigit mentah-mentah oleh Ih Jong-hay.

Bok Ko-hong sudah mati sejak tadi, tapi dia masih tetap merangkul kencang kedua kaki Peng-ci. Terpaksa Peng-ci menggagap tepat lengan Bok Ko-hong, maklum kedua matanya sukar dipentang karena sakit perih berhubung semprotan air berbisa dari punggung musuh tadi, lalu pedangnya memotong kedua lengan si bungkuk, dengan demikian barulah dia terlepas.

Melihat keadaan Peng-ci yang seram itu, tanpa terasa anak murid Hing-san-pay sama melangkah mundur. Beramai-ramai anak murid Jing-sia-pay lantas mendekati Ih Jong-hay untuk memberi pertolongan sehingga tiada satu pun yang mengurusi musuh lagi.

Tiba-tiba anak murid Jing-sia-pay itu menangis dan berteriak-teriak, “Suhu, Suhu! Engkau jangan meninggalkan kami!”

“O, Suhu meninggal! Suhu sudah meninggal!”

Peng-ci tertawa terbahak-bahak, teriaknya histeris, “Sakit hatiku sudah terbalas!”

Anak murid Hing-san-pay kembali mundur beberapa langkah karena merasakan suasana yang seram itu. Gi-ho lantas memapak Lenghou Tiong kembali ke keretanya, Gi-jing dan The Oh membuka pembalut lukanya untuk membubuhi obat lagi.

Perlahan-lahan Leng-sian mendekati Peng-ci, katanya, “Adik Peng, aku mengucapkan selamat atas terbalasnya sakit hatimu.”

Tapi Peng-ci masih bergelak tertawa seperti orang gila dan berteriak-teriak, “Sakit hatiku sudah terbalas, sudah terbalas!”

Melihat kedua mata Peng-ci terpejam, dengan suara lembut Leng-sian bertanya, “Bagaimana dengan kedua matamu? Air berbisa itu harus dicuci.”

Peng-ci melenggong sejenak, tubuhnya terhuyung dan hampir-hampir jatuh. Cepat Leng-sian memayangnya dan membawanya ke warung gubuk tadi, ia mencari satu panci air jernih terus diguyurkan ke muka Peng-ci.

Mendadak Peng-ci menjerit, agaknya merasa sakit dan perih luar biasa, sampai-sampai anak murid Jing-sia-pay terkejut mendengar jeritan seram itu.

“Siausumoay,” kata Lenghou Tiong. “Ambil obat ini untuk Lim-sute, bawa dia ke dalam kereta kami untuk mengaso.”

“Ba ... banyak terima kasih,” sahut Leng-sian.

Mendadak Peng-ci berteriak, “Tidak, tidak perlu! Orang she Lim akan mati atau hidup apa sangkut pautnya dengan dia?”

Lenghou Tiong tercengang, pikirnya, “Bilakah aku bersalah padamu? Mengapa kau begini benci padaku?”

Dengan suara halus Leng-sian coba membujuk sang suami, “Obat luka Hing-san-pay terkenal sangat mujarab, kalau orang sudi mem ....”

“Orang sudi apa?” bentak Peng-ci dengan gusar.

Leng-sian menghela napas, kembali ia mengguyur perlahan muka Peng-ci. Sekali ini Peng-ci hanya menjengek tertahan dengan menahan sakit, ia tidak menjerit lagi, tapi segera ia berkata, “Hm, kau selalu mengatakan kebaikannya, dia memang sangat memerhatikan dirimu, kenapa kau tidak ikut pergi dengan dia saja? Buat apa kau mengurus diriku?”

Kata-kata Peng-ci ini benar-benar mengejutkan anak murid Hing-san-pay sehingga mereka saling pandang dengan melongo. Mereka tahu Lenghou Tiong selalu ingat akan hubungan baik sebagai sesama saudara seperguruan, maka tanpa menghiraukan keadaan sendiri yang payah dia berusaha menolong ketika melihat mereka terancam bahaya. Dengan jelas semua orang menyaksikan jiwa Peng-ci diselamatkan oleh Lenghou Tiong, mengapa Peng-ci bicara sekasar itu?

Gi-ho yang pertama-tama tidak tahan, dengan suara keras ia mendamprat, “Orang telah menyelamatkan jiwamu bukannya terima kasih sebaliknya tanpa kenal malu kau bicara tidak keruan?”

Lekas Gi-jing menarik Gi-ho agar tidak mengomel lebih lanjut. Namun Gi-ho masih muring-muring.

Dalam pada itu Leng-sian sedang mengusap luka di pipi Peng-ci dengan saputangannya. Di luar dugaan, mendadak tangan kanan Peng-ci terus mendorong dengan kuat sehingga Leng-sian yang tidak berjaga-jaga itu jatuh terbanting.

Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, “Kenapa kau ....” tapi segera teringat olehnya bahwa Peng-ci dan Leng-sian sudah menjadi suami istri, kalau suami istri bertengkar adalah tidak pantas orang luar ikut campur, apalagi kata-kata Peng-ci tadi jelas rada sirik padanya. Bahwasanya dirinya menaruh cinta pada siausumoaynya ini tentu juga diketahui Peng-ci, maka tidaklah enak jika dirinya sekarang terlibat dalam pertengkaran mereka.

Meski kedua mata Peng-ci tidak dapat melihat sesuatu lagi, namun suara pembicaraan orang dapat didengarnya dengan jelas, dengan menjengek ia lantas menanggapi dampratan Gi-ho tadi, “Hm, kau bilang aku tidak tahu malu? Sesungguhnya siapakah yang tidak tahu malu.”

Mendadak ia tuding ke sana dan melanjutkan, “Si pendek she Ih ini dan si bungkuk she Bok itu, lantaran ingin mendapatkan Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami, dengan segala jalan mereka berusaha merebut dan mencelakai ayah-bundaku, meski cara mereka cukup keji masih dapat dikatakan perbuatan orang Kangouw yang jahat, tapi, hm, mana ada yang berbuat seperti ayahmu ....” ia tuding Leng-sian, lalu menyambung, “ayahmu yang menamakan dirinya Kun-cu-kiam Gak Put-kun, dia telah menggunakan caranya yang rendah dan licik untuk merebut kiam-boh keluarga Lim kami.”

Saat itu Leng-sian lagi merangkak bangun, mendengar ucapan Peng-ci itu, badannya gemetar dan kembali jatuh terduduk, jawabnya dengan terputus-putus, “Mana ... mana bisa jadi hal begitu?”

“Hm, perempuan hina dina,” jengek Peng-ci. “Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing diriku, Gak-toasiocia dari ketua Hoa-san-pay sudi kawin dengan anak sebatang kara yang tak punya tempat tinggal lagi, coba katakan apa tujuannya? 
Bukankah demi untuk mendapatkan Pi-sia-kiam-boh keluarga kami? Dan sekarang kiam-boh itu sudah didapatkan, lalu untuk apalagi orang she Lim macamku ini?”

Saking tak tahan Leng-sian menangis keras, ratapnya, “Kau ... kau jangan memfitnah orang tak berdosa, jika begitu tujuanku sebagaimana kau tuduhkan, biarlah aku di ... dikutuk dan mati tak terkubur.”
Dengan licik kalian memasang perangkap, semula aku masih terselubung dan tidak tahu,” kata Peng-ci pula. “Tapi sekarang sesudah kedua mataku buta mendadak aku dapat melihat dengan jelas malah. Coba, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud tujuan tertentu, kenapa ... kenapa, hm, sesudah kita menikah, mengapa begitu caranya kau meladeni aku? Memangnya aku ... hm, tak perlu kukatakan lagi, kau sendiri tentu paham.”
Wajah Leng-sian tampak merah, jawabnya, “Hal ini kan tidak ... tidak dapat menyalahkan aku. Kau ... kau sendiri ....” perlahan ia mendekati Peng-ci, lalu menyambung, “Sudahlah, jangan kau pikir hal-hal yang tidak keruan, pendek kata sedikit pun tidak berubah perasaanku terhadapmu dari dulu sampai sekarang.”

Peng-ci hanya mendengus saja tanpa berkata.

Leng-sian berkata pula, “Marilah kita pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu. Apakah matamu akan sembuh atau tidak, bila aku Gak Leng-sian mempunyai pikiran yang menyeleweng, biarlah aku akan mati terlebih ngeri daripada seperti Ih Jong-hay ini.”

“Hm, siapa tahu apa yang sedang kau rancangkan atas diriku, tidak perlu kau omong manis padaku,” jengek pula Peng-ci.

Leng-sian tidak menjawabnya lagi, ia berkata kepada Ing-ing, “Cici, bolehkah aku meminjam sebuah kereta kalian?”

“Boleh saja,” sahut Ing-ing. “Apakah perlu satu-dua Suci dari Hing-san-pay mengawal perjalanan kalian?”

“Ti ... tidak usah,” jawab Leng-sian dengan terguguk-guguk. “Banyak terima kasih.”

Ing-ing lantas menyeretkan sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Leng-sian.

“Marilah naik ke atas kereta!” kata Leng-sian sambil perlahan-lahan memapah bahu Peng-ci.

Tertampak Peng-ci ogah-ogahan, namun kedua matanya tak bisa melihat apa-apa, setiap langkah pun susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia naik juga ke atas kereta.

Segera Leng-sian melompat ke tempat kusir di atas kereta, ia manggut-manggut kepada Ing-ing, lalu cambuknya gemeletar dan melarikan keretanya ke jurusan barat. Sekejap pun dia tidak memandang ke arah Lenghou Tiong.

Pandangan Lenghou Tiong terus mengikuti kepergian kereta itu yang semakin menjauh, ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata berlinang-linang di kelopak matanya. 
Pikirnya, “Kedua mata Lim-sute sudah buta, Siausumoay terluka pula. Dalam keadaan begitu apakah mereka takkan mengalami halangan di tengah perjalanan yang jauh itu? Jika di tengah jalan kepergok lagi anak murid Jing-sia-pay, apakah mereka mampu melawan?”

Dilihatnya anak murid Jing-sia-pay telah membenahi jenazah Ih Jong-hay, lalu berangkat menuju ke selatan. Walaupun arahnya berlainan dengan Peng-ci dan Leng-sian, tapi siapa berani menjamin rombongan Jing-sia-pay itu takkan memutar haluan di tengah jalan terus mengejar ke jurusan Peng-ci berdua?

Lenghou Tiong coba menyelami apa yang dipercakapkan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian tadi, ia merasa di dalam hubungan suami-istri itu tentu mengandung berbagai rahasia yang sukar diketahui oleh orang luar. Yang jelas, bahwasanya hubungan kedua suami-istri itu kurang harmonis adalah dapat dipastikan. Teringat sang siausumoay yang masih muda belia dan disayang oleh ayah-bundanya laksana mutiara, para saudara seperguruan juga sangat hormat dan menghargainya, tetapi ia harus mendapat siksaan lahir batin dari sang suami sendiri, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi sedih dan mencucurkan air mata

Perjalanan mereka hanya mencapai belasan li saja lantas bermalam di suatu kuil bobrok. Tertidur sampai tengah malam, beberapa kali Lenghou Tiong terjaga oleh impian buruk. 
Dalam keadaan setengah sadar telinganya mendengar suara bisikan yang halus, “Engkoh Tiong! Engkoh Tiong!”

Lenghou Tiong terjaga bangun, didengarnya suara Ing-ing sedang berkata pula, “Marilah keluar, ada yang hendak kubicarakan.”

Yang digunakan Ing-ing adalah ilmu mengumandangkan gelombang suara sehingga suaranya terdengar dari dekat, tapi orangnya sejak tadi sudah di luar rumah.

Segera Lenghou Tiong berbangkit dan keluar kuil itu, dilihatnya Ing-ing duduk di undak-undakan batu sambil bertopang dagu sedang termenung-menung. Lenghou Tiong mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Suasana malam sunyi senyap, sekitar mereka tiada suara sedikit pun.

Selang agak lama baru Ing-ing membuka suara, “Engkau mengkhawatirkan Siausumoaymu bukan?”

“Ya,” sahut Lenghou Tiong. “Banyak persoalan yang membikin orang sukar mengerti.”

“Kau mengkhawatirkan dia diperlakukan kurang baik oleh suaminya?” kata Ing-ing pula

Lenghou Tiong menghela napas, jawabnya kemudian, “Urusan suami-istri mereka, orang lain mana bisa ikut campur?”

“Bukankah kau khawatir kalau anak murid Jing-sia-pay menyusul dan mencari perkara kepada mereka?” tanya Ing-ing.

“Orang Jing-sia-pay tentu sakit hati atas kematian guru mereka, pula melihat musuhnya suami-istri dalam keadaan terluka, kalau mereka menyusul buat menuntut balas, rasanya bukanlah sesuatu yang aneh.”

“Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?”

Kembali Lenghou Tiong menghela napas, katanya, “Dari nada Lim-sute tadi, agaknya dia rada sirik kepadaku. Meski aku hendak menolong mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membikin retak hubungan baik suami-istri mereka.”

“Ini cuma salah satu di antaranya. Tapi kau masih mempunyai rasa khawatir lain, khawatir akan membikin aku kurang senang, betul tidak?”

Lenghou Tiong angguk-angguk, ia pegang tangan kiri Ing-ing dengan erat, telapak tangan nona itu terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, “Ing-ing, di dunia ini aku hanya mempunyai dikau seorang, jika di antara kita juga timbul sesuatu rasa curiga, lalu apa artinya lagi menjadi manusia?”

Perlahan-lahan Ing-ing menggelendot di bahu Lenghou Tiong, katanya kemudian, “Jika demikian pikiranmu, lalu di antara kita masakah bisa timbul rasa curiga segala? Urusan jangan terlambat, kita harus menyusul ke sana secepatnya, jangan sampai menimbulkan rasa penyesalan bagi hidupmu ini hanya karena ingin menghindarkan rasa curiga.”

Mendengar kata-kata “meninggalkan penyesalan selama hidup”, seketika Lenghou Tiong terkesiap dan seakan-akan terbayang kereta Peng-ci sedang dikepung oleh belasan orang Jing-sia-pay dengan senjata terhunus, tanpa terasa badannya rada gemetar.
Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur, tampaknya seperti Lim Peng-ci melompat ke sana dan mengadang di depan kuda Bok Ko-hong, tapi segera pemuda itu kelihatan sedang kebas-kebas kipasnya dan duduk tenang di tempatnya seperti tidak pernah meninggalkan bangkunya.
Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Bok Ko-hong menggertak agar kudanya cepat lari.

Namun bagi tokoh-tokoh kelas wahid seperti Lenghou Tiong, Ing-ing dan Ih Jong-hay, dengan jelas mereka dapat melihat Lim Peng-ci telah menjulur tangannya mencolok dua kali kepada kuda Bok Ko-hong, tentu ada apa-apa yang telah dikerjainya.

Benar juga, baru saja Bok Ko-hong melarikan kudanya beberapa langkah, sekonyong-konyong kuda itu menubruk cagak gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk itu menjadi ambruk.

Cepat Ih Jong-hay melompat keluar gubuk, sedangkan kepala Lenghou Tiong dan Lim Peng-ci penuh teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Gi-lim membersihkan rumput-rumput yang menutup kepala Lenghou Tiong itu.

Dengan mata melotot Lim Peng-ci menatap Bok Ko-hong, tertampak orang bungkuk itu ragu-ragu sejenak, lalu melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Segera kudanya berlari lagi ke depan, tapi segera kepala menumbuk batang pohon, terdengar kuda itu meringkik panjang dan roboh terkapar dengan kepala penuh darah.

Begitu aneh kelakuan kuda itu, terang disebabkan kedua matanya sudah buta dan dengan sendirinya karena dikerjai Peng-ci dengan kecepatan luar biasa tadi.

Perlahan-lahan Peng-ci melempit kipasnya dan membersihkan rumput kering yang berserakan di atas pundaknya, lalu berkata, “Orang buta menunggang kuda pecak, sungguh berbahaya kalau menghadapi jurang di tengah malam.”

Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, “Sombong benar kau bocah ini, ternyata kau memang boleh juga. Ih-pendek bilang kau mahir Pi-sia-kiam-hoat, boleh coba kau pertunjukkan kepadaku.”

Kudanya dibutakan, dia tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, sungguh harus diakui kesabarannya yang luar biasa.

“Ya, memangnya akan kuperlihatkan padamu,” sahut Peng-ci. “Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu rasanya tidak lebih kecil daripada Ih Jong-hay itu.”

Baru sekarang Bok Ko-hong terkejut, sungguh tidak nyana bahwa pemuda perlente di depannya sekarang ini adalah putranya Lim Cin-lam. Diam-diam Bok Ko-hong menimbang, “Dia berani menantang diriku, dengan sendirinya ada sesuatu yang dia andaikan. Ngo-gak-kiam-pay mereka sekarang sudah bergabung, kawanan nikoh dari Hing-san-pay ini dengan sendirinya adalah bala bantuannya.”

Mendadak tangannya membalik terus mencengkeram ke arah Gak Leng-sian, ia pikir jumlah musuh terlalu banyak, sedangkan anak perempuan ini memangnya adalah istri bocah she Lim ini, kalau dia berada di dalam cengkeramanku masakah bocah she Lim ini berani berkutik?

Tak tersangka cengkeramannya tidak kena sasaran, sebaliknya angin tajam menyambar dari belakang, pedang seorang telah menebasnya. Cepat Bok Ko-hong mengegos ke samping, dilihatnya penyerang itu ternyata Gak Leng-sian adanya.

Rupanya Ing-ing telah memotong tali peringkus Leng-sian tadi dan telah membukakan hiat-to yang tertutuk. Karena masih terasa kesemutan berhubung sekian lamanya hiat-to tertutuk, pula lukanya terasa sakit, maka setelah tebasannya memaksa Bok Ko-hong melompat mundur, lalu Leng-sian tidak melancarkan serangan susulan meski dalam hati sangat gemas.

Dengan mengejek Peng-ci lantas berkata, “Hm, sebagai tokoh persilatan yang ternama, sungguh tidak tahu malu perbuatanmu. Sekarang kalau kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menjura tiga kali padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali, dengan demikian akan kuberi hidup padamu untuk setahun lagi. Setahun kemudian aku akan mencari kau lagi untuk menagih utang nyawamu. Nah, mau?”

Dahulu di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, demi menyelamatkan jiwa, Peng-ci yang waktu itu menyamar sebagai orang bungkuk juga pernah merangkak dan menjura tiga kali sambil memanggil “kakek” tiga kali kepada Bok Ko-hong. Perbuatan itu sudah tentu suatu hinaan besar baginya, cuma waktu itu dia dalam keadaan menyamar sehingga orang lain tidak mengenalnya. Namun begitu dia tidak pernah melupakan hinaan mahabesar itu. Sekarang ilmunya sudah jadi, sudah tentu segala macam dendam besar kecil di masa dahulu harus dituntutnya satu per satu dengan jelas.

Kembali Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, sudah begini tua hidup Bok-yaya, tapi belum pernah kulihat seorang sombong semacam kau. Biarpun sekarang kau yang menjura padaku dan memanggil tiga kali kakek padaku juga jiwamu takkan kuampuni.”

Sudah tentu Bok Ko-hong tidak tahu bahwa anak muda di hadapannya ini justru sudah pernah menjura dan memanggil “kakek” padanya di waktu dahulu. Maka perlahan-lahan ia melolos pedangnya, katanya, “Ih-pendek, kalau mau berkelahi boleh kalian tosu melawan nikoh, bocah kurang ajar ini boleh serahkan padaku saja.”

Ia khawatir kalau kawanan nikoh Hing-san-pay ikut turun tangan, sedangkan Ih Jong-hay diketahui juga termasuk musuh Lim Peng-ci, kalau orang Jing-sia-pay dapat menghadapi Hing-san-pay, mustahil dirinya tidak mampu melawan seorang anak muda sebagai Lim Peng-ci.

Maka terdengar Ih Jong-hay menjawab, “Pihak Hing-san-pay sejak tadi sudah menyatakan takkan memihak mana-mana. Nona yang menolong Gak-siocia tadi juga bukan orang Hing-san-pay.”

Padahal pernyataan Hing-san-pay takkan memihak siapa-siapa hanya ditujukan kepada Jing-sia-pay saja, sudah tentu tidak termasuk Bok Ko-hong. Tapi Ih Jong-hay sengaja mencampuradukkannya agar Bok Ko-hong dapat melayani musuh besarnya tanpa khawatir.

Bok Ko-hong menjadi girang, katanya, “Baik sekali kalau begitu. Urusan hari ini adalah bocah ini yang mencari perkara padaku dan bukan aku yang mencari dia. Para kawan Hing-san-pay hendak menjadi saksi agar kelak di dunia Kangouw takkan timbul cerita bahwa si bungkuk menganiaya anak muda.”

Sambil berkata perlahan-lahan pedang pun sudah terlolos. Bentuk pedangnya ternyata sangat aneh, yaitu melengkung. Orangnya bungkuk, pedangnya juga bungkuk.

Dengan memegang kipas, tangan lain mengangkat sedikit ujung bajunya yang panjang, dengan gaya berlenggang Lim Peng-ci lantas mendekati Bok Ko-hong. Orang yang dilalui oleh Peng-ci segera mengendus bau harum yang sedap.

Pada saat lain tiba-tiba terdengar dua kali jeritan, Ih Jin-ho dan Pui Jin-ti dari Jing-sia-pay mendadak roboh terkulai dengan dada mengucurkan darah.

Tanpa terasa orang banyak sama mengeluarkan suara kaget. Sudah jelas Peng-ci terlihat menuju ke arah Bok Ko-hong, entah cara bagaimana mendadak kedua murid Jing-sia-pay yang dilaluinya itu telah dibinasakan.
Selesai membunuh orang, perlahan-lahan Peng-ci simpan kembali pedangnya. Hanya tokoh-tokoh besar seperti Lenghou Tiong dan sebagainya yang masih melihat berkelebatnya pedang, orang lain boleh dikata tidak tahu cara bagaimana Peng-ci melolos pedangnya jangankan melihat caranya menyerang. Keruan semua orang tak terkatakan kagumnya di samping waswas pula.

Menghadapi Peng-ci yang semakin mendekat itu, badan Bok Ko-hong semakin menunduk, memangnya dia bungkuk, kini mukanya menjadi hampir mendekat tanah. Sekonyong-konyong Bok Ko-hong meraung seperti serigala menyalak, ia terus menyeruduk ke depan, pedangnya yang bengkok itu lantas menyambar ke pinggang Peng-ci.

Cepat sekali Peng-ci pindahkan kipasnya ke tangan kiri, tangan lain segera melolos pedang terus menusuk ke dada musuh. Serangannya bergerak lebih lambat, tapi tiba lebih dulu kepada sasarannya, cepat lagi jitu. 
Kembali Bok Ko-hong mengerang, tubuhnya terus melompat ke sana. Ternyata baju kapas di bagian dadanya sudah berlubang sehingga kelihatan bulu dadanya yang lebat.

Serangan Peng-ci itu kalau maju dua-tiga senti lagi, seketika dada Bok Ko-hong pasti berlubang. Semua orang sampai berseru kaget dan sama melongo.

Sekali gebrak saja Bok Ko-hong sudah hampir direnggut maut, namun dasarnya dia memang ganas, sedikit pun ia tidak gentar, berulang-ulang ia mengerang pula dan kembali menubruk maju.

Rada di luar dugaan Peng-ci bahwa serangannya tadi tidak kena sasarannya, diam-diam ia mengakui kehebatan si bungkuk yang terkenal itu. “Sret-sret-sret”, kembali ia melancarkan serangan kilat, terdengar suara “trang-trang” yang nyaring, serangan-serangan kena ditangkis semua oleh si bungkuk.

Peng-ci mendengus, makin cepat pedangnya bergerak. Berkali-kali Bok Ko-hong terpaksa melompat ke atas dan mendekam ke bawah, pedangnya yang bengkok itu pun diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud sebuah jaringan sinar perak.

Setiap kali pedang Peng-ci menusuk masuk jaringan sinar pedang lawan dan terkadang membentur pedang lawan yang bengkok itu, maka tangan Peng-ci sendiri lantas terasa kesemutan, nyata sekali tenaga dalam lawan jauh lebih kuat daripadanya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedang sendiri akan tergetar lepas. Karena itu Peng-ci tidak berani gegabah lagi, ia berusaha mengincar lubang kelemahan musuh untuk memberi serangan maut.

Namun Bok Ko-hong hanya memutar pedang sendiri sedemikian kencangnya, sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Peng-ci juga tak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya mendudukkan Peng-ci pada tempat yang tak terkalahkan, sekalipun belum dapat menjatuhkan lawan, namun Bok Ko-hong sudah jelas tidak mampu balas menyerang.

Semua orang dapat menilai, asal Bok Ko-hong bermaksud balas menyerang, itu berarti jaringan sinar pedangnya akan memberi peluang bagi serangan kilat Lim Peng-ci, jika terjadi demikian, maka sukar bagi Bok Ko-hong untuk menangkis.

Cara Bok Ko-hong memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya paling membuang tenaga dalam, namun di tengah sinar pedangnya yang rapat itu Bok Ko-hong menggerung-gerung pula tanpa berhenti mengikuti gerak pedangnya, hal ini menambahkan ketangkasannya yang mengagumkan. Beberapa kali Peng-ci bermaksud membobol jaringan sinar pedang musuh, tapi selalu didesak kembali oleh pedang rawan yang bengkok itu.

Sekian lamanya Ih Jong-hay mengikuti pertarungan hebat itu, dilihatnya jaringan sinar pedang si bungkuk mulai mengkeret, makin ciut, ini menandakan tenaga dalam Bok Ko-hong sudah mulai payah. Tanpa ayal lagi, ia bersuit nyaring terus menerjang maju, “sret-sret-sret” tiga kali, cepat ia menyerang tempat mematikan di punggung Lim Peng-ci.

Ketika Peng-ci terpaksa memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang, segera Bok Ko-hong ayun pedangnya yang bengkok itu untuk menebas kaki lawan.

Kalau menurut etiket dunia persilatan, dua tokoh ternama seperti Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau, sungguh suatu perbuatan yang memalukan.

Hanya saja sepanjang jalan orang-orang Hing-san-pay telah menyaksikan cara Peng-ci membunuh anak murid Jing-sia-pay secara tidak kenal ampun, jelas Ih Jong-hay akhirnya juga akan menjadi korbannya, maka kini mereka pun tidak heran melihat dua tokoh ternama itu mengeroyok Peng-ci, mereka malah anggap kejadian itu adalah lumrah. Sebab kalau kedua tokoh itu tidak bergabung, cara bagaimana mereka masing-masing mampu melawan ilmu pedang Peng-ci yang sukar diukur itu?

Gerak pedang Bok Ko-hong segera berubah, selain bertahan sekarang ia pun menyerang, Peng-ci menjadi girang malah, kira-kira belasan jurus kemudian, mendadak kipas di tangan kiri ikut bergerak, gagang kipas membalik terus menusuk ke depan dengan cepat luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas menonjol keluar sebatang jarum tajam, tepat Tiau-goan-hiat di paha kanan Bok Ko-hong tertusuk.

Bok Ko-hong terkejut, cepat pedangnya menyampuk, namun tetap kalah cepat daripada gerak serangan Peng-ci itu, hiat-to bagian kaki itu terasa kesemutan. Ia tidak berani sembarangan bergerak, sedangkan pedang diputar kencang untuk melindungi tubuh. 
Tapi lambat laun kedua kaki terasa lemas, tanpa kuasa ia bertekuk lutut.

“Hahaha! Baru sekarang kau menjura padaku ....” Peng-ci bergelak tertawa sambil menangkis serangan Ih Jong-hay, lalu menyambung, “namun sudah terlambat!”
Trang,” kembali ia menangkis serangan musuh dan kontan balas menyerang satu kali.

Meski kedua kaki Bok Ko-hong berlutut ke bawah, namun pedangnya yang bengkok itu tetap digunakan menyerang tanpa berhenti. Rupanya ia menginsafi bahwa kekalahan pihaknya sudahlah pasti, maka setiap jurus serangannya selalu menggunakan cara nekat, bila perlu siap gugur bersama musuh.

Keadaan menjadi berbeda sama sekali, kalau mula-mula Bok Ko-hong hanya bertahan tanpa menyerang, sekarang dia berbalik hanya menyerang tanpa menjaga diri lagi. Ia sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, dengan demikian untuk sementara Peng-ci menjadi tak bisa mengapa-apakan dia.

Ih Jong-hay juga menyadari keadaan yang gawat antara hidup dan mati, jika dalam belasan jurus tak bisa mengalahkan lawan, sekali Bok Ko-hong terjungkal, maka dirinya yang tertinggal lebih-lebih tidak mampu berkutik lagi. Karena, itu ia percepat serangannya secara membadai.

Sekonyong-konyong Peng-ci tertawa panjang, tiba-tiba pandangan Ih Jong-hay menjadi gelap, matanya tak bisa melihat apa-apa lagi, menyusul kedua bahunya juga terasa dingin, kedua lengannya telah mencelat berpisah dengan tubuhnya.

Terdengar Peng-ci tertawa histeris, katanya, “Aku takkan membunuh kau, biar kau buntung dan buta pula, biar kau mengembara di Kangouw sebatang kara, anak muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh seluruhnya agar di dunia ini hanya tertinggal musuhmu saja dan tiada seorang pun sanak kadangmu.”

Ih Jong-hay merasakan lengannya yang buntung itu sakit tidak kepalang, ia tahu perlakuan Peng-ci terhadap dirinya itu jauh lebih kejam daripada sekali tusuk membinasakan dia. Dalam keadaan cacat begitu apa artinya hidup di dunia ini? 
Paling-paling malah akan menerima hinaan dan siksaan habis-habisan dari pihak musuh. Karena pikiran demikian, ia menjadi kalap, ia perhatikan arah suara Peng-ci, lalu menyeruduk ke sana.

Peng-ci terbahak-bahak sambil berkelit ke samping. Tak terduga, saking senangnya karena sakit hatinya sudah terbalas, ia menjadi lengah, tanpa sadar cara menghindarnya itu berbalik mendekati Bok Ko-hong malah.

Tentu saja Bok Ko-hong tidak sia-siakan kesempatan baik itu, ia ayun pedangnya menebas sekuatnya, ketika Peng-ci menangkis dengan pedangnya, tahu-tahu kedua kakinya telah dirangkul sekencangnya oleh Bok Ko-hong.

Keruan Peng-ci terkejut, dilihatnya berpuluh murid Jing-sia-pay serentak memburu maju, cepat kedua kakinya meronta sekuatnya, namun rangkulan Bok Ko-hong sedemikian kencangnya laksana tanggam, tanpa pikir Peng-ci lantas menusuk ke punggung Bok Ko-hong yang bungkuk itu.

“Blus”, mendadak air hitam muncrat keluar dari punggung yang bengkok itu, baunya bacin memuakkan.

Karena kejadian yang sama sekali tak terduga ini, dengan sendirinya Peng-ci pancal kedua kakinya dengan maksud hendak melompat pergi buat menghindari semprotan air bacin itu, tapi ia lupa bahwa kedua kakinya masih dipeluk sekuatnya oleh Bok Ko-hong, seketika mukanya tersemprot oleh air hitam yang bau itu, bahkan sakitnya tidak kepalang sehingga dia menjerit.

Kiranya air bau itu adalah air beracun yang luar biasa, sungguh tidak nyana bahwa di punggung yang bengkok itu tersembunyi kantong air berbisa. Dengan tangan kiri menutupi muka yang kesakitan, kedua matanya sukar dipentang lagi, hanya pedangnya berulang-ulang digunakan membacok menikam tubuh Bok Ko-hong.
Bacokan dan tikaman Peng-ci itu cepat luar biasa, sama sekali Bok Ko-hong tidak sempat berkelit. Hakikatnya ia pun tidak ingin menghindar, sebaliknya semakin kencang dia merangkul kedua kaki Peng-ci.

Pada saat itulah, berdasarkan suara kedua orang itu, Ih Jong-hay mengincar tepat arahnya, dia terus menubruk maju, karena kedua tangannya sudah buntung, dia gunakan mulut untuk menggigit. Secara kebetulan pipi kanan Peng-ci dengan tepat kena digigit dan tak dilepaskan lagi.

Ketiga orang menjadi saling bergumul dalam keadaan kalap, lambat laun ketiganya menjadi sadar tak-sadar. 
Serentak anak murid Jing-sia-pay memburu maju untuk menyerang Lim Peng-ci.
Pertarungan sengit itu dapat diikuti Lenghou Tiong dengan jelas dari dalam kereta. Semula ia pun terkejut menyaksikan pertempuran mati-matian itu, kemudian ketika melihat Peng-ci bergumul dengan kedua musuhnya dan tak bisa berkutik, sedangkan anak murid Jing-sia-pay telah memburu maju, tanpa pikirkan keadaan sendiri yang terluka, segera ia melompat keluar dari keretanya, ia jemput sebatang pedang di atas tanah yang berlumuran darah, menyusul “sret-sret-sret” beberapa kali, semuanya mengenai pergelangan tangan anak murid Jing-sia-pay, maka terdengarlah suara gemerencing nyaring jatuhnya senjata orang-orang Jing-sia-pay itu.

Melihat Lenghou Tiong sudah turun tangan, segera Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh dan lain-lain juga ikut menerjang maju dan mengelilingi Lenghou Tiong.

Terdengar suara mengerang Bok Ko-hong yang kalap tadi mulai mereda, sebaliknya pedang Lim Peng-ci masih terus menikam ke punggung musuh itu. Sekujur badan Ih Jong-hay penuh darah dengan tetap menggigit pipi Peng-ci.

Sehabis menyelamatkan Peng-ci, Lenghou Tiong merasa badannya lemas dan terhuyung-huyung, cepat Gi-ho dan lain-lain memayangnya. Melihat pergumulan mati-matian antara Peng-ci bertiga itu, anak murid Hing-san-pay sama merasa ngeri, tiada seorang pun yang berani memisahkan mereka.

Selang tidak lama, mendadak Peng-ci mendorong sekuatnya dengan tangan kiri, tubuh Ih Jong-hay tertolak mencelat, tapi berbareng Peng-ci juga menjerit kesakitan, pipi kanan sudah berlubang dengan darah yang bercucuran, nyata sepotong daging pipinya telah digigit mentah-mentah oleh Ih Jong-hay.

Bok Ko-hong sudah mati sejak tadi, tapi dia masih tetap merangkul kencang kedua kaki Peng-ci. Terpaksa Peng-ci menggagap tepat lengan Bok Ko-hong, maklum kedua matanya sukar dipentang karena sakit perih berhubung semprotan air berbisa dari punggung musuh tadi, lalu pedangnya memotong kedua lengan si bungkuk, dengan demikian barulah dia terlepas.

Melihat keadaan Peng-ci yang seram itu, tanpa terasa anak murid Hing-san-pay sama melangkah mundur. Beramai-ramai anak murid Jing-sia-pay lantas mendekati Ih Jong-hay untuk memberi pertolongan sehingga tiada satu pun yang mengurusi musuh lagi.

Tiba-tiba anak murid Jing-sia-pay itu menangis dan berteriak-teriak, “Suhu, Suhu! Engkau jangan meninggalkan kami!”

“O, Suhu meninggal! Suhu sudah meninggal!”

Peng-ci tertawa terbahak-bahak, teriaknya histeris, “Sakit hatiku sudah terbalas!”

Anak murid Hing-san-pay kembali mundur beberapa langkah karena merasakan suasana yang seram itu. Gi-ho lantas memapak Lenghou Tiong kembali ke keretanya, Gi-jing dan The Oh membuka pembalut lukanya untuk membubuhi obat lagi.

Perlahan-lahan Leng-sian mendekati Peng-ci, katanya, “Adik Peng, aku mengucapkan selamat atas terbalasnya sakit hatimu.”

Tapi Peng-ci masih bergelak tertawa seperti orang gila dan berteriak-teriak, “Sakit hatiku sudah terbalas, sudah terbalas!”

Melihat kedua mata Peng-ci terpejam, dengan suara lembut Leng-sian bertanya, “Bagaimana dengan kedua matamu? Air berbisa itu harus dicuci.”

Peng-ci melenggong sejenak, tubuhnya terhuyung dan hampir-hampir jatuh. Cepat Leng-sian memayangnya dan membawanya ke warung gubuk tadi, ia mencari satu panci air jernih terus diguyurkan ke muka Peng-ci.

Mendadak Peng-ci menjerit, agaknya merasa sakit dan perih luar biasa, sampai-sampai anak murid Jing-sia-pay terkejut mendengar jeritan seram itu.

“Siausumoay,” kata Lenghou Tiong. “Ambil obat ini untuk Lim-sute, bawa dia ke dalam kereta kami untuk mengaso.”

“Ba ... banyak terima kasih,” sahut Leng-sian.

Mendadak Peng-ci berteriak, “Tidak, tidak perlu! Orang she Lim akan mati atau hidup apa sangkut pautnya dengan dia?”

Lenghou Tiong tercengang, pikirnya, “Bilakah aku bersalah padamu? Mengapa kau begini benci padaku?”

Dengan suara halus Leng-sian coba membujuk sang suami, “Obat luka Hing-san-pay terkenal sangat mujarab, kalau orang sudi mem ....”

“Orang sudi apa?” bentak Peng-ci dengan gusar.

Leng-sian menghela napas, kembali ia mengguyur perlahan muka Peng-ci. Sekali ini Peng-ci hanya menjengek tertahan dengan menahan sakit, ia tidak menjerit lagi, tapi segera ia berkata, “Hm, kau selalu mengatakan kebaikannya, dia memang sangat memerhatikan dirimu, kenapa kau tidak ikut pergi dengan dia saja? Buat apa kau mengurus diriku?”

Kata-kata Peng-ci ini benar-benar mengejutkan anak murid Hing-san-pay sehingga mereka saling pandang dengan melongo. Mereka tahu Lenghou Tiong selalu ingat akan hubungan baik sebagai sesama saudara seperguruan, maka tanpa menghiraukan keadaan sendiri yang payah dia berusaha menolong ketika melihat mereka terancam bahaya. Dengan jelas semua orang menyaksikan jiwa Peng-ci diselamatkan oleh Lenghou Tiong, mengapa Peng-ci bicara sekasar itu?

Gi-ho yang pertama-tama tidak tahan, dengan suara keras ia mendamprat, “Orang telah menyelamatkan jiwamu bukannya terima kasih sebaliknya tanpa kenal malu kau bicara tidak keruan?”

Lekas Gi-jing menarik Gi-ho agar tidak mengomel lebih lanjut. Namun Gi-ho masih muring-muring.

Dalam pada itu Leng-sian sedang mengusap luka di pipi Peng-ci dengan saputangannya. Di luar dugaan, mendadak tangan kanan Peng-ci terus mendorong dengan kuat sehingga Leng-sian yang tidak berjaga-jaga itu jatuh terbanting.

Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, “Kenapa kau ....” tapi segera teringat olehnya bahwa Peng-ci dan Leng-sian sudah menjadi suami istri, kalau suami istri bertengkar adalah tidak pantas orang luar ikut campur, apalagi kata-kata Peng-ci tadi jelas rada sirik padanya. Bahwasanya dirinya menaruh cinta pada siausumoaynya ini tentu juga diketahui Peng-ci, maka tidaklah enak jika dirinya sekarang terlibat dalam pertengkaran mereka.

Meski kedua mata Peng-ci tidak dapat melihat sesuatu lagi, namun suara pembicaraan orang dapat didengarnya dengan jelas, dengan menjengek ia lantas menanggapi dampratan Gi-ho tadi, “Hm, kau bilang aku tidak tahu malu? Sesungguhnya siapakah yang tidak tahu malu.”

Mendadak ia tuding ke sana dan melanjutkan, “Si pendek she Ih ini dan si bungkuk she Bok itu, lantaran ingin mendapatkan Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami, dengan segala jalan mereka berusaha merebut dan mencelakai ayah-bundaku, meski cara mereka cukup keji masih dapat dikatakan perbuatan orang Kangouw yang jahat, tapi, hm, mana ada yang berbuat seperti ayahmu ....” ia tuding Leng-sian, lalu menyambung, “ayahmu yang menamakan dirinya Kun-cu-kiam Gak Put-kun, dia telah menggunakan caranya yang rendah dan licik untuk merebut kiam-boh keluarga Lim kami.”

Saat itu Leng-sian lagi merangkak bangun, mendengar ucapan Peng-ci itu, badannya gemetar dan kembali jatuh terduduk, jawabnya dengan terputus-putus, “Mana ... mana bisa jadi hal begitu?”

“Hm, perempuan hina dina,” jengek Peng-ci. “Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing diriku, Gak-toasiocia dari ketua Hoa-san-pay sudi kawin dengan anak sebatang kara yang tak punya tempat tinggal lagi, coba katakan apa tujuannya? 
Bukankah demi untuk mendapatkan Pi-sia-kiam-boh keluarga kami? Dan sekarang kiam-boh itu sudah didapatkan, lalu untuk apalagi orang she Lim macamku ini?”

Saking tak tahan Leng-sian menangis keras, ratapnya, “Kau ... kau jangan memfitnah orang tak berdosa, jika begitu tujuanku sebagaimana kau tuduhkan, biarlah aku di ... dikutuk dan mati tak terkubur.”
Dengan licik kalian memasang perangkap, semula aku masih terselubung dan tidak tahu,” kata Peng-ci pula. “Tapi sekarang sesudah kedua mataku buta mendadak aku dapat melihat dengan jelas malah. Coba, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud tujuan tertentu, kenapa ... kenapa, hm, sesudah kita menikah, mengapa begitu caranya kau meladeni aku? Memangnya aku ... hm, tak perlu kukatakan lagi, kau sendiri tentu paham.”
Wajah Leng-sian tampak merah, jawabnya, “Hal ini kan tidak ... tidak dapat menyalahkan aku. Kau ... kau sendiri ....” perlahan ia mendekati Peng-ci, lalu menyambung, “Sudahlah, jangan kau pikir hal-hal yang tidak keruan, pendek kata sedikit pun tidak berubah perasaanku terhadapmu dari dulu sampai sekarang.”

Peng-ci hanya mendengus saja tanpa berkata.

Leng-sian berkata pula, “Marilah kita pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu. Apakah matamu akan sembuh atau tidak, bila aku Gak Leng-sian mempunyai pikiran yang menyeleweng, biarlah aku akan mati terlebih ngeri daripada seperti Ih Jong-hay ini.”

“Hm, siapa tahu apa yang sedang kau rancangkan atas diriku, tidak perlu kau omong manis padaku,” jengek pula Peng-ci.

Leng-sian tidak menjawabnya lagi, ia berkata kepada Ing-ing, “Cici, bolehkah aku meminjam sebuah kereta kalian?”

“Boleh saja,” sahut Ing-ing. “Apakah perlu satu-dua Suci dari Hing-san-pay mengawal perjalanan kalian?”

“Ti ... tidak usah,” jawab Leng-sian dengan terguguk-guguk. “Banyak terima kasih.”

Ing-ing lantas menyeretkan sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Leng-sian.

“Marilah naik ke atas kereta!” kata Leng-sian sambil perlahan-lahan memapah bahu Peng-ci.

Tertampak Peng-ci ogah-ogahan, namun kedua matanya tak bisa melihat apa-apa, setiap langkah pun susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia naik juga ke atas kereta.

Segera Leng-sian melompat ke tempat kusir di atas kereta, ia manggut-manggut kepada Ing-ing, lalu cambuknya gemeletar dan melarikan keretanya ke jurusan barat. Sekejap pun dia tidak memandang ke arah Lenghou Tiong.

Pandangan Lenghou Tiong terus mengikuti kepergian kereta itu yang semakin menjauh, ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata berlinang-linang di kelopak matanya. 
Pikirnya, “Kedua mata Lim-sute sudah buta, Siausumoay terluka pula. Dalam keadaan begitu apakah mereka takkan mengalami halangan di tengah perjalanan yang jauh itu? Jika di tengah jalan kepergok lagi anak murid Jing-sia-pay, apakah mereka mampu melawan?”

Dilihatnya anak murid Jing-sia-pay telah membenahi jenazah Ih Jong-hay, lalu berangkat menuju ke selatan. Walaupun arahnya berlainan dengan Peng-ci dan Leng-sian, tapi siapa berani menjamin rombongan Jing-sia-pay itu takkan memutar haluan di tengah jalan terus mengejar ke jurusan Peng-ci berdua?

Lenghou Tiong coba menyelami apa yang dipercakapkan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian tadi, ia merasa di dalam hubungan suami-istri itu tentu mengandung berbagai rahasia yang sukar diketahui oleh orang luar. Yang jelas, bahwasanya hubungan kedua suami-istri itu kurang harmonis adalah dapat dipastikan. Teringat sang siausumoay yang masih muda belia dan disayang oleh ayah-bundanya laksana mutiara, para saudara seperguruan juga sangat hormat dan menghargainya, tetapi ia harus mendapat siksaan lahir batin dari sang suami sendiri, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi sedih dan mencucurkan air mata

Perjalanan mereka hanya mencapai belasan li saja lantas bermalam di suatu kuil bobrok. Tertidur sampai tengah malam, beberapa kali Lenghou Tiong terjaga oleh impian buruk. 
Dalam keadaan setengah sadar telinganya mendengar suara bisikan yang halus, “Engkoh Tiong! Engkoh Tiong!”

Lenghou Tiong terjaga bangun, didengarnya suara Ing-ing sedang berkata pula, “Marilah keluar, ada yang hendak kubicarakan.”

Yang digunakan Ing-ing adalah ilmu mengumandangkan gelombang suara sehingga suaranya terdengar dari dekat, tapi orangnya sejak tadi sudah di luar rumah.

Segera Lenghou Tiong berbangkit dan keluar kuil itu, dilihatnya Ing-ing duduk di undak-undakan batu sambil bertopang dagu sedang termenung-menung. Lenghou Tiong mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Suasana malam sunyi senyap, sekitar mereka tiada suara sedikit pun.

Selang agak lama baru Ing-ing membuka suara, “Engkau mengkhawatirkan Siausumoaymu bukan?”

“Ya,” sahut Lenghou Tiong. “Banyak persoalan yang membikin orang sukar mengerti.”

“Kau mengkhawatirkan dia diperlakukan kurang baik oleh suaminya?” kata Ing-ing pula

Lenghou Tiong menghela napas, jawabnya kemudian, “Urusan suami-istri mereka, orang lain mana bisa ikut campur?”

“Bukankah kau khawatir kalau anak murid Jing-sia-pay menyusul dan mencari perkara kepada mereka?” tanya Ing-ing.

“Orang Jing-sia-pay tentu sakit hati atas kematian guru mereka, pula melihat musuhnya suami-istri dalam keadaan terluka, kalau mereka menyusul buat menuntut balas, rasanya bukanlah sesuatu yang aneh.”

“Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?”

Kembali Lenghou Tiong menghela napas, katanya, “Dari nada Lim-sute tadi, agaknya dia rada sirik kepadaku. Meski aku hendak menolong mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membikin retak hubungan baik suami-istri mereka.”

“Ini cuma salah satu di antaranya. Tapi kau masih mempunyai rasa khawatir lain, khawatir akan membikin aku kurang senang, betul tidak?”

Lenghou Tiong angguk-angguk, ia pegang tangan kiri Ing-ing dengan erat, telapak tangan nona itu terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, “Ing-ing, di dunia ini aku hanya mempunyai dikau seorang, jika di antara kita juga timbul sesuatu rasa curiga, lalu apa artinya lagi menjadi manusia?”

Perlahan-lahan Ing-ing menggelendot di bahu Lenghou Tiong, katanya kemudian, “Jika demikian pikiranmu, lalu di antara kita masakah bisa timbul rasa curiga segala? Urusan jangan terlambat, kita harus menyusul ke sana secepatnya, jangan sampai menimbulkan rasa penyesalan bagi hidupmu ini hanya karena ingin menghindarkan rasa curiga.”

Mendengar kata-kata “meninggalkan penyesalan selama hidup”, seketika Lenghou Tiong terkesiap dan seakan-akan terbayang kereta Peng-ci sedang dikepung oleh belasan orang Jing-sia-pay dengan senjata terhunus, tanpa terasa badannya rada gemetar.

Bab 121. Rahasia Leluhur Lim Peng-ci yang Aneh

Segera Ing-ing berkata pula, “Akan kubangunkan Gi-ho dan Gi-jing berdua Suci, hendaknya kau suruh mereka pulang dulu ke Hing-san, kita diam-diam mengawal perjalanan siausumoaymu habis itu baru pulang ke Hing-san.”

Sesudah bangun, semula Gi-ho dan Gi-jing rada khawatir melihat keadaan Lenghou Tiong masih belum sehat, namun melihat tekadnya sudah bulat buat menolong orang terpaksa mereka tidak berani banyak omong lagi, mereka menyediakan sebungkus obat luka, lalu mengantar keberangkatan mereka berdua.

Ing-ing membedakan arah dengan baik, lalu melarikan keretanya ke jurusan barat laut, ia tahu jalan ke Hoa-san itu hanya sebuah jalan besar, rasanya takkan kesasar. Kereta itu ditarik empat ekor keledai yang kuat, perjalanan cukup cepat di tengah malam sunyi hanya terdengar suara berdetaknya kaki keledai dan berkeriang-keriutnya roda kereta.
Alangkah rasa terima kasih hati Lenghou Tiong, demi diriku, segala apa pun dia mau melakukannya. Sudah jelas dia mengetahui aku mengkhawatirkan Siausumoay, segera dia mengajak aku berangkat mengawalnya.

Wahai Lenghou Tiong betapa beruntung dan bahagianya kau mendapatkan istri cantik dan berbudi seperti ini. 
Demikian pikirnya.

Ing-ing melarikan kereta keledai itu dengan cepat. Berapa li kemudian laju kereta itu menjadi lambat lagi.

“Kukira cara yang paling baik untuk melindungi sumoaymu bila terancam bahaya supaya tidak diketahui olehnya biarlah kita menyamar saja,” kata Ing-ing.

“Benar, boleh engkau menyaru sebagai si berewok lagi, Ing-ing.”

“Tidak, penyamaranku itu tentu sudah diketahui sumoaymu ketika di Hong-sian-tay tempo hari,” sahut Ing-ing.

“Habis cara bagaimana kita harus menyamar?” tanya Lenghou Tiong.

“Kau tunggu sebentar,” kata Ing-ing. Habis itu ia terus melompat turun dari kereta dan berlari menuju sebuah rumah petani di depan sana. Dengan enteng ia melintasi pagar rumah itu, menyusul terdengar suara anjing menggonggong, tapi hanya sekali saja lantas bungkam. Agaknya binatang itu telah kena dilumpuhkan oleh Ing-ing.

Tidak lama kemudian Ing-ing telah lari kembali dengan membawa satu bungkus pakaian. Ia lompat ke atas kereta dan tertawa terbahak-bahak setelah menaruh bungkusan itu di sisinya.

Lenghou Tiong coba memeriksa pakaian itu, benarlah memang pakaian petani tua, lebih-lebih pakaian mak tani yang sangat longgar itu tampaknya sudah jauh ketinggalan zaman, selain pakaian Ing-ing mencolong pula topi buat kaum laki-laki serta ikat kepala buat kaum wanita, ada pula sebuah honcoe (cangklong dengan gagang panjang).

Segera Ing-ing mengambil pakaian mak tani itu dan dipakai sendiri di atas pakaian semula, ikat kepala dipasang pula di atas kepala, lalu kedua tangannya menggosok-gosok sedikit tanah dan kemudian diusapkan di muka sendiri, habis itu barulah ia bantu Lenghou Tiong menyamar.

Berdiri berhadapan, jarak mereka berdua hanya belasan senti saja, napas Ing-ing terasa mengembus perlahan, hati Lenghou Tiong menjadi syur dan setengah mabuk, sungguh ia ingin peluk si nona dan menciumnya. Tapi segera teringat olehnya akan pribadi Ing-ing yang sangat prihatin itu, sedikit pun tidak pernah bertingkah atau bicara hal-hal yang tidak pantas, kalau sampai membuatnya marah, sungguh akibatnya sukar dibayangkan. Karena itu ia berusaha mengekang perasaan sebisanya.

Kilasan sinar mata Lenghou Tiong yang aneh itu ternyata diketahui juga oleh Ing-ing, dengan tersenyum ia mengusap muka pemuda itu dengan kotoran tanah sambil berkata, “Cucu yang baik, beginilah baru Nenek mau sayang padamu!”

Lenghou Tiong pejamkan mata sekalian dan merasa tangan si nona yang halus itu mengusap kian-kemari di mukanya, alangkah syur rasanya nikmat sekali, sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap tanpa berhenti.

Selang sejenak, berkatalah Ing-ing, “Sudahlah, pada malam gelap begini tentu sumoaymu takkan mengenalimu asalkan kau tidak buka suara.”

Habis itu mendadak ia tertawa pula terpingkal-pingkal.

Semula Lenghou Tiong bingung tapi kemudian ia pun bertanya, “Adakah kau lihat sesuatu yang lucu di rumah petani itu?”

“Bukan melihat sesuatu yang lucu,” jawab Ing-ing. “Kedua petani yang tinggal di sana adalah suami istri yang sudah tua. Ketika aku melompat ke dalam rumahnya segera aku diterjang seekor anjing, syukur aku sempat menggaploknya sekali hingga binatang itu roboh kelengar, tapi suara gonggong anjing itu telah membikin kakek dan nenek petani itu terjaga bangun. Terdengar si nenek berkata, ‘He, bapaknya A Yu, jangan-jangan ada pencuri.’ Lalu terdengar si kakek menjawab, ‘Ah, Si Hitam sudah diam, mana bisa ada pencuri!’ Tiba-tiba si nenek tertawa dan berkata, ‘Mungkin pencuri itu meniru caramu dahulu, bila tengah malam menggeremet ke rumahku, selalu kau membawa sepotong daging untuk umpan anjingku.’.”

“Ah, si nenek itu rada-rada berengsek, masakah dia memakimu sebagai pencuri secara tidak langsung,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. Ia tahu Ing-ing rada pemalu, maka ia sengaja pura-pura tidak tahu bahwa kedua suami istri petani itu sedang mengisahkan urusan asmara mereka masa dahulu, dengan demikian Ing-ing akan terus bercerita, kalau tidak, bisa jadi si nona takkan menuturkan lagi apa yang didengarnya di rumah petani itu.

Dengan tertawa Ing-ing lantas menjelaskan, “Yang dimaksudkan si nenek petani itu adalah kejadian sebelum mereka kawin....” sampai di sini tiba-tiba ia cambuk keledai dan melarikan keretanya lagi.

“Kejadian sebelum mereka kawin?” Lenghou Tiong menegas. “Tentunya kelakuan mereka sangat baik, biarpun berada bersama dalam kereta di tengah malam buta tentu juga mereka tidak berani saling peluk dan berciuman.”

“Cis!” Ing-ing mencemoohkan, lalu tidak bicara lagi.

“O, adik yang baik, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan, ceritakanlah terus!” pinta Lenghou Tiong.

Namun Ing-ing diam saja. Di tengah malam gelap hanya terdengar suara berdetaknya kaki keledai yang nyaring.

Lenghou Tiong coba memandang ke depan, cahaya bulan menyinari jalan raya yang lurus dan lebar diselimuti kabut tipis remang-remang, perlahan kereta keledai itu menyusup ke tengah kabut lalu pemandangan di kejauhan tak tertampak lagi, bahkan Ing-ing yang duduk di sisinya seakan-akan juga terbungkus oleh kabut yang tipis itu.

Saat itu baru permulaan musim semi, bau harum bunga hutan sayup-sayup mewangi menyegarkan semangat. Sudah lama Lenghou Tiong tidak minum arak, tapi keadaannya sekarang tiada ubahnya dalam keadaan rada-rada mabuk.

Ing-ing diam saja, tapi selalu mengulum senyum, rupanya ia sedang mengenangkan apa yang didengarnya dari percakapan suami istri petani tua itu. Kata si kakek. “Malam itu aku tidak dapatkan daging terpaksa main curi seekor ayam tetangga dan kubawa sebagai umpan anjingmu. O ya, apa namanya anjing itu?”

Si nenek menjawab, “Namanya Si Belang!”

“Benar, Si Belang,” kata si kakek. “Setelah diberi ayam, dia menjadi jinak dan diam saja, dengan sendirinya ayah-ibumu juga tidak tahu. 
Dan pada malam itu juga jadilah si A Yu kita.”

“Hm, kau hanya tahu senang sendiri tanpa ambil pusing pada susah payah orang lain,” si nenek mengomel. “Kemudian setelah perutku menjadi besar, tahukah kau bahwa aku digebuki Ayah hingga hampir-hampir mampus.”

“Untung juga perutmu lantas tumbuh besar, rupanya perutmu berdiri di pihakku, kalau tidak masakah bapakmu sudi membiarkan dirimu diperistri seorang miskin seperti diriku? 
Waktu itu aku justru mengharapkan perutmu lekas besar!”

Mendadak si nenek marah, dampratnya, “Setan alas! Kiranya waktu itu kau memang sengaja membikin perutku menjadi besar, mengapa kau tidak bicara terus terang waktu itu dan baru mengaku sekarang? Aku tidak... tidak dapat mengampunimu.”

“Ah jangan ribut lagi! A Yu sekarang pun sudah dewasa, buat apa kau ribut-ribut lagi?”

Habis itu karena khawatir Lenghou Tiong menunggunya terlalu lama, Ing-ing tidak berani mendengarkan terus, lekas ia menyambar beberapa potong pakaian dan barang lain, lalu kabur setelah menaruh sepotong perak di atas meja. Agaknya suami istri petani itu sudah tua, pula sedang asyik membicarakan masa muda mereka yang mesra sehingga tidak tahu sama sekali bahwa rumahnya telah kebobolan.

Teringat kepada percakapan suami-istri petani itu wajah Ing-ing jadi merah, untung di tengah malam gelap, kalau tidak, tentu malu bila dilihat oleh Lenghou Tiong.

Ia tidak mempercepat lagi keledainya, perlahan keledai itu memperlambat langkahnya. Tidak lama kemudian sampailah di tepi sebuah danau, rindang oleh pepohonan, air danau kemilauan tertimpa oleh cahaya bulan.

“Engkoh Tiong, apakah engkau tertidur?” tanya Ing-ing perlahan.

“Ya, aku sudah tidur, aku sedang mimpi,” sahut Lenghou Tiong.

“Mimpi apa?” tanya Ing-ing.

“Mimpi aku membawa sepotong daging dan menggeremet ke tempat tinggalmu di Hek-bok-keh untuk memberi makan pada anjingmu,” kata Lenghou Tiong.

“Buset! Dasar orang tidak beres, maka impianmu juga tidak beres,” omel Ing-ing dengan tertawa.

Kedua muda-mudi itu duduk berendeng di atas kereta sambil memandangi air danau, tanpa terasa Lenghou Tiong menjulurkan sebelah tangannya untuk memegang tangan Ing-ing. Rada gemetar tangan si nona tapi tidak mengelak.

“Bila dapat begini selamanya dan tidak berkecimpung lagi di dunia persilatan yang berbau darah, biarpun menjadi dewa rasanya juga tidak sebahagia demikian ini,” pikir Lenghou Tiong.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tiba-tiba Ing-ing bertanya.

Dengan terus terang Lenghou Tiong mengatakan apa yang terpikir olehnya itu.

Ing-ing balas menggenggam erat-erat tangan Lenghou Tiong dan berkata, “Engkoh Tiong, sungguh aku merasa sangat bahagia.”

“Demikian pula aku,” sahut Lenghou Tiong.

“Meski engkau memimpin para kesatria menyerbu ke Siau-lim-si, walaupun aku sangat berterima kasih, tetapi rasanya tidak segembira sekarang,” kata Ing-ing. “Engkau menyerbu Siau-lim-si untuk menolong diriku lebih banyak terdorong oleh rasa setia kawan sesama orang Kang-ouw. Tapi sekarang yang kau pikir hanyalah diriku seorang tanpa terkenang kepada siausumoaymu....”

Mendengar disebutnya “siausumoaymu”, seketika hati Lenghou Tiong tergetar dan merasa harus lekas menyusul sang siausumoay yang mungkin sedang terancam bahaya itu.

Tapi Ing-ing berkata pula dengan perlahan, “Sampai saat ini barulah aku percaya bahwa dalam pandanganmu, dalam hatimu ternyata lebih memberatkan diriku daripada siausumoaymu.”

Habis itu, ia menarik tali kendali sehingga keledai itu melangkah kembali ke tengah jalan raya, ketika cambuk berbunyi, segera binatang itu berlari pula dengan cepat ke depan.

Sekaligus lebih 20 li telah lalu, keledai itu sudah mulai lelah lagi dan memperlambat larinya. Setelah membelok dua tikungan, tertampaklah di depan ladang jagung yang luas di tepi jalan, di bawah cahaya rembulan ladang luas itu laksana sutra hijau terbentang di bumi raya ini.
Ketika diperhatikan ke depan sana, dari jauh tampak sebuah kereta berhenti di tepi jalan sana.

“Agaknya itulah kereta yang ditumpangi Lim-sute,” kata Lenghou Tiong.
Coba kita mendekatinya dengan perlahan,” Ing-ing sambil membiarkan keretanya maju dengan lambat sehingga jaraknya makin mendekat dengan kereta di depan itu.

Tidak lama, tertampaklah dengan jelas di samping kereta itu ada seorang berjalan kaki sendirian, ternyata Lim Peng-ci adanya. Terlihat pula kereta itu menggeser beberapa gelinding ke depan, orang yang menjadi kusir tentulah Gak Leng-sian kalau dilihat dari belakang.

Lenghou Tiong terheran-heran, segera ia menarik tali kendali untuk menghentikan keretanya, dengan suara tertahan ia bertanya, “Mengapa bisa begitu?”

“Kau tunggu di sini, biar aku menyusul ke sana untuk melihatnya,” kata Ing-ing. Segera ia menyusup ke tengah ladang jagung lebat itu terus menyusur ke depan untuk kemudian memutar ke arah kereta Lim Peng-ci.

Sesudah dekat, ia coba mengikuti jalan kereta dengan menerobos tanaman jagung itu. Terdengar Lim Peng-ci sedang berkata, “Kiam-boh sudah kuserahkan seluruhnya kepada ayahmu, kenapa kau masih mengikuti aku saja?”

“Kau selalu curiga pada ayahku yang mengincar kiam-bohmu segala, sungguh tidak beralasan,” demikian Gak Leng-sian menjawab. “Coba pikirkan, waktu mula-mula kau masuk Hoa-san-pay kami, tatkala itu apakah kau membawa kiam-boh segala? Tapi sejak itu, aku sudah... sudah baik denganmu, masakah karena itu kau tuduh aku bermaksud tertentu terhadap dirimu.”

“Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami terkenal di seluruh jagat, banyak orang tidak menemukannya pada ayahku, dengan sendirinya sasaran berikutnya adalah diriku. Dari mana aku bisa yakin bahwa kau tidak disuruh ayah-ibunya agar membaiki diriku?”

“Jika kau pikir begitu, apa mau dikata lagi. Terserah!” sahut Leng-sian dengan tersenggak-sengguk.

“Memangnya aku salah menuduhmu?” Peng-ci menjadi marah. “Bukankah Pi-sia-kiam-boh akhirnya dari tanganku jatuh pada ayahmu? Pendek kata, betapa pun juga untuk memperoleh Pi-sia-kiam-boh setiap orang harus mengerahkan sasarannya kepada diriku. Hm, apakah dia Ih Jong-hay, Bok Ko-hong, atau Gak Put-kun, hm, apa bedanya? Hanya saja Gak Put-kun yang berhasil dan dia yang menjadi raja, Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong gagal, maka mereka menjadi pecundang.”

“Kata-katamu yang menghina ayahku itu, lalu kau anggap aku ini orang macam apa?” kata Leng-sian dengan gusar. “Coba kalau bukan... kalau bukan... hm....”

Mendadak Peng-ci berdiri tegak dan berseru, “Kau mau apa? Kalau bukan mataku buta dan terluka tentu akan kau binasakan aku, begitu bukan maksudmu? Mataku ini kan tidak buta pada hari ini saja!”

“Jadi kau maksudkan perkenalanmu padaku dan hubungan baik kita dari dahulu itu disebabkan kau buta?”

“Benar,” jawab Peng-ci. “Dari mana kau tahu bahwa kedatanganmu ke Hokciu dengan pura-pura membuka kedai arak ternyata mempunyai rencana jangka panjang, tujuanmu yang utama sesungguhnya hanya Pi-sia-kiam-boh belaka. Kau telah digoda oleh bocah she Ih dari Jing-sia-pay padahal ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada dia, namun kau pura-pura lemah dan memancing aku ikut turun tangan membelamu. Wahai Lim Peng-ci, dasar matamu memang buta, hanya sedikit kepandaianmu yang menyerupai cakar ayam saja berani menonjolkan diri menjadi pahlawan pelindung si cantik segala. Apalagi kau adalah anak gadis kesayangan ayah-bundamu, kalau bukan karena sesuatu tujuan yang penting masakah mereka mau membiarkanmu keluyuran di luar dan menjadi penjual arak yang rendah segala.”

“Yang disuruh ke Hokciu oleh Ayah sebenarnya adalah Jisuko. Aku cuma terdorong oleh keinginan pesiar saja, maka berkeras minta ikut berangkat bersama Jisuko.”

“Hm, ayahmu sangat keras mengawasi anak muridnya, bila dia anggap tidak pantas, biarpun kau berlutut dan menangis tiga hari tiga malam juga takkan dia luluskan. Sudah tentu lantaran dia juga tidak percaya penuh kepada Jisuko, makanya kau dikirim sekalian untuk mengawasinya.”

Leng-sian terdiam, ia pikir apa yang diterka Peng-ci bukan tiada beralasan nama sekali. Selang sejenak barulah ia buka suara pula, “Baiklah, percaya atau tidak terserahlah padamu. Yang pasti ketika aku datang ke Hokciu belum pernah kudengar nama Pi-sia-kiam-boh segala. Aku cuma dengar Ayah mengatakan bahwa orang-orang Jing-sia-pay telah dikerahkan ke timur dan mungkin merugikan Hoa-san-pay kita, maka aku dan Jisuko ditugaskan menyelidiki gerak-gerik mereka.”

Peng-ci menghela napas, agaknya perasaannya rada lunak kembali, katanya, “Baiklah, biar aku percaya lagi satu kali padamu. Akan tetapi keadaannya sudah menjadi begini, buat apa kau ikut pada diriku? Hanya resminya saja kita ini suami-istri, tapi praktiknya toh tidak. Kau masih tetap berbadan perawan, sebaiknya kau... kembali kepada Lenghou Tiong saja.”

Mendengar kata-kata “Resminya kita adalah suami-istri, tapi praktiknya tidak. Kau masih tetap berbadan perawan”, keruan Ing-ing terkejut, katanya dalam hati, “Mengapa bisa begitu?”

Tapi segera mukanya menjadi merah dan menganggap seorang agak perempuan tidaklah pantas mencuri dengar percakapan pribadi suami-istri orang, apalagi ingin mencari tahu “mengapa bisa begitu” segala, benar-benar tidak pantas.

Karena itu segera ia bermaksud tinggal pergi, tapi baru putar tubuh, rasa ingin tahunya mendorongnya mendengarkan lebih lanjut percakapan Leng-sian dan Peng-ci itu.

Terdengar Leng-sian sedang berkata dengan perasaan hampa, “Baru tiga hari kita menikah segera kutahu engkau sangat benci padaku, biarpun satu kamar dengan aku, namun engkau tidak sudi satu tempat tidur dengan aku. Jika engkau tidak sudi satu tempat tidur dengan aku kenapa... kenapa pula engkau menikahi diriku?”

“Aku... aku tidak benci padamu,” sahut Peng-ci sambil menghela napas.

“Kau tidak benci padaku? Tapi mengapa siang hari engkau pura-pura baik sekali padaku, bila malam hari berada di kamar engkau lantas bersikap dingin, satu patah kata pun tidak mau bicara denganku. Berulang kali ayah-ibu tanya padaku bagaimana engkau memperlakukan diriku dan selalu kujawab sangat baik....” Sampai di sini mendadak ia menangis keras-keras.

Peng-ci lantas melompat ke atas kereta dan memegangi bahu Leng-sian, katanya dengan suara bengis, “Kau bilang ayah-ibumu berulang kali menanyakan bagaimana aku memperlakukan dirimu, apakah benar hal ini?”

“Sudah tentu benar, buat apa aku bohong?” sahut Leng-sian.

“Sudah jelas aku memperlakukan dirimu tidak baik, selamanya belum pernah tidur seranjang denganmu. Kenapa kau katakan aku sangat baik padamu?”

“Sekali aku sudah menikah denganmu, dengan sendirinya aku adalah orang keluarga Lim,” jawab Leng-sian dengan mencucurkan air mata. “Yang kuharapkan semoga tidak lama lagi engkau akan berubah pikiran. Aku mencintaimu dengan segenap jiwaku, mana boleh aku mencerca suami sendiri, betul tidak?”

Untuk sejenak Peng-ci tidak bersuara, hanya mengertak gigi dengan rasa gemas, kemudian ia berkata pula dengan perlahan, “Hm, tadinya kusangka ayahmu sayang padamu sehingga berlaku murah hati pula padaku, tak tahunya yang menutupi kejelekanku. Jika kau tidak berkata demikian tentang diriku, mungkin sejak dulu-dulu jiwaku sudah melayang di puncak Hoa-san.”

“Mana bisa jadi begitu?” ujar Leng-sian. “Pengantin baru, biarpun terjadi sedikit selisih paham juga tidak mungkin sang mertua lantas membunuh menantunya.”

“Dia ingin membunuh aku bukan karena aku tidak baik padamu, tapi lantaran aku telah belajar Pi-sia-kiam-hoat,” kata Peng-ci dengan gemas.

“Hal ini sungguh membuat aku tidak paham,” kata Leng-sian. “Selama beberapa hari ini kiam-hoat yang dimainkanmu dan Ayah benar-benar sangat aneh dan luar biasa lihainya. Ayah berhasil merebut kedudukan ketua Ngo-gak-pay, kau berhasil pula membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, apakah... apakah ilmu pedang yang kalian mainkan adalah Pi-sia-kiam-hoat?”

“Benar, itulah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami,” jawab Peng-ci. “Dengan ilmu pedang mahalihai itulah leluhurku Lim Wan-tho mendirikan Hok-wi-piaukiok dan disegani oleh kesatria dunia persilatan pada zamannya.”

“Akan tetapi engkau selalu... selalu mengaku tidak pernah belajar ilmu pedang itu!”

“Mana aku berani mengaku terus terang,” jawab Peng-ci. “Lenghou Tiong yang berhasil merebut kasa (jubah hwesio) itu di Hokciu, tapi rupanya sudah takdir, dia gagal memperolehnya, kasa yang tertuliskan Pi-sia-kiam-boh itu malah jatuh di tangan ayahmu....”

“Tidak, tidak mungkin,” seru Leng-sian. “Ayah bilang kiam-boh itu telah dikangkangi Toasuko, Ayah memaksa dia mengembalikannya padamu, tapi Toasuko membangkang.”

“Hm,” Peng-ci menjengek.

Maka Leng-sian berkata pula, “Ilmu pedang Toasuko mahasakti, bahkan Ayah pun bukan tandingannya. 
Apakah mungkin yang dia mainkan itu bukan Pi-sia-kiam-hoat? Bukan hasil pelajaran dari Pi-sia-kiam-boh keluarga Lim kalian?”

Kembali Peng-ci mendengus, lalu berkata, “Biarpun Lenghou Tiong itu licin tapi kalau dibandingkan ayahmu boleh dikata masih ketinggalan jauh. Pula ilmu pedangnya kacau-balau, mana bisa dibandingkan dengan Pi-sia-kiam-hoat kami? Bukankah dalam pertandingan di depan Hong-sian-tay di Ko-san dia terluka oleh pedangmu?”

“Dia... dia sengaja mengalah padaku,” kata Leng-sian dengan suara rendah.

“Hm, alangkah dalam cintanya padamu,” jengek Peng-ci.

Kata-kata ini kalau didengar Ing-ing sehari sebelumnya mungkin si nona jatuh kelengar saking gusarnya. Akan tetapi semalam kedua orang telah bicara dengan mesra di tepi danau, kedua orang telah saling mengutarakan isi hati masing-masing, maka sekarang Ing-ing malah merasa bahagia. Pikirnya, “Dahulu dia memang sangat baik padamu, tetapi sekarang dia jauh lebih baik padaku.”

Terdengar Leng-sian berkata pula, “Kiranya yang dimainkan Toasuko itu bukan Pi-sia-kiam-hoat tapi mengapa Ayah selalu menyalahkan dia mencuri Pi-sia-kiam-boh sehingga menjadikan salah satu tuduhan untuk memecatnya dari Hoa-san-pay. Jika demikian jadi aku... aku salah sangka padanya.”

“Hm, salah sangka apa segala,” jengek Peng-ci. “Lenghou Tiong memangnya tidak bermaksud merebut kiam-boh keluarga kami, tapi praktiknya dia sudah merebutnya. Hanya saja ibarat maling ketemu begal, dalam keadaan terluka dan jatuh pingsan, ayahmu menggerayangi kiam-boh itu dari tubuhnya, kemudian menuduh dia sengaja menggelapkan kiam-boh. 
Ini namanya maling berteriak maling....”

“Maling apa segala? Kenapa pakai kata-kata tak enak didengar begitu?” ujar Leng-sian dengan gusar.

“Hm, apa perbuatan ayahmu itu enak didengar? Mengapa aku tidak boleh omong?” dengus Peng-ci.

Leng-sian menghela napas, katanya kemudian, “Ketika di Gang Matahari tempo hari memang kasa itu direbut oleh komplotan penjahat Ko-san-pay, syukur Toasuko membinasakan kedua orang jahat itu dan merampas kembali kasa itu, tapi tak bisa menuduh dia ingin mengangkangi kasa itu. Toasuko memiliki jiwa besar dan hati jujur, sejak kecil ia tidak pernah serakahi milik orang lain. Maka aku menjadi sangsi ketika Ayah menuduhnya mengangkangi kiam-bohmu, hanya saja kiam-hoatnya mendadak maju dengan pesat hal ini pun membikin aku sehingga ikut-ikutan percaya.”
Dia begitu baik, kenapa kau tidak ikut padanya saja?” kata Peng-ci pula.

“Adik Peng-ci, sampai saat ini ternyata engkau masih belum bisa menyelami perasaanku,” jawab Leng-sian. “Sejak kecil Toasuko dibesarkan bersamaku, dalam pandanganku dia tidak lebih adalah kakakku belaka. Aku menghormat dan mengasihi dia sebagai kakak, selamanya tidak pernah menganggapnya sebagai kekasih. Sebaliknya sejak kau datang ke Hoa-san, dalam waktu singkat saja kita lantas begitu cocok satu sama lain, satu detik tidak bertemu saja rasanya tidak betah. Cintaku padamu selamanya takkan berubah.”

“Kau memang rada berbeda daripada ayahmu, kau... kau lebih mirip ibumu,” kata Peng-ci dengan nada halus, nyata hatinya rada terharu oleh cinta murni Leng-sian itu.

Kedua orang terdiam sejenak, kemudian Leng-sian berkata pula, “Adik Peng, cukup mendalam ciri ayahku dalam pandanganmu, selanjutnya kalian berdua tentu sukar hidup damai bersama. Pendek kata aku sudah menjadi orang keluarga Lim, ke mana pun kau pergi aku pasti ikut. Lebih baik kita mencari suatu tempat damai yang jauh dan hidup bahagia untuk selamanya di sana.”

“Hm, muluk-muluk saja pikiranmu,” jengek Peng-ci. “Sekali aku sudah membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, maka berita ini tentu sudah tersebar ke mana-mana, dengan sendirinya pula ayahmu akan mengetahui aku telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dan tidak nanti dia mau membiarkan aku hidup di dunia ini.”

Bab 122. Lim Peng-ci Kebiri Diri Sendiri untuk Meyakinkan Ilmu

Leng-sian menghela napas, katanya, “Adik Peng, engkau mengatakan Ayah mengincar kiam-bohmu, kenyataan memang demikian, aku pun takkan membela Ayah, tapi engkau menuduh dia hendak membunuhmu lantaran engkau mahir Pi-sia-kiam-hoat, kurasa hal ini tidak masuk di akal. Pi-sia-kiam-boh memangnya adalah milik keluarga Lim kalian, jika engkau mempelajari ilmu pedangmu adalah layak sekali, betapa pun Ayah tidak dapat membunuhmu hanya karena alasan itu.”

“Kau bicara demikian lantaran belum kenal pribadi ayahmu dan juga tidak tahu macam apakah Pi-sia-kiam-boh itu,” kata Peng-ci.

“Bahkan terhadap hatimu aku pun sungguh tidak paham,” kata Leng-sian.

“Ya, tidak paham, kau memang tidak paham! Buat apa mesti paham?” kata Peng-ci mulai aseran pula.
Leng-sian tidak berani banyak omong lagi, katanya kemudian, “Marilah kita berangkat saja.”

“Ke mana?” tanya Peng-ci.

“Kau suka ke mana, ke situlah aku akan ikut, biarpun ke ujung langit sekalipun aku tetap bersamamu,” jawab Leng-sian tegas.

“Apa betul ucapanmu ini? Apa pun yang terjadi kelak kau jangan menyesal.”

“Aku sudah bertekad menjadi istrimu, sebelumnya aku sudah ambil keputusan bagi kehidupanku seterusnya, mana bisa merasa menyesal? Matamu terluka, rasanya masih dapat disembuhkan, umpama tak bisa pulih kembali juga aku akan selalu mendampingimu, melayanimu, sampai saat terakhir hidup kita berdua.”

Ucapan Leng-sian yang penuh perasaan ini sangat mengharukan Ing-ing, ia merasa Gak Leng-sian sebenarnya adalah nona yang sangat baik, hanya saja bernasib malang sehingga tingkah lakunya terkadang rada-rada aneh.

Terdengar Peng-ci mendengus, agaknya masih kurang percaya akan tekad Gak Leng-sian itu.

Dengan suara halus Leng-sian berkata pula, “Adik Peng, agaknya engkau masih sangsi pada diriku. Biarlah malam ini juga aku me... menyerahkan diriku padamu, dengan begitu dapatlah kiranya kau percayai diriku. Biarlah malam ini juga kita bermalam pengantin di sini, marilah kita menjadi suami istri yang sesungguhnya dan selanjutnya... selanjutnya kita pun menjadi suami istri yang sebenarnya....”

Makin lama makin lirih suaranya sehingga akhirnya tak terdengar.

Kembali Ing-ing merasa heran dan kikuk oleh ucapan Leng-sian itu. Segera ia bermaksud tinggal pergi agar tidak menyaksikan “praktik” menjadi suami istri sebagaimana dikatakan Gak Leng-sian itu, dalam hati ia pikir Nona Gak ini benar-benar tidak tahu malu, masakah di tengah jalan raya sampai hati melakukan hal begituan.

Sekonyong-konyong terdengar Lim Peng-ci berteriak, suaranya seram bengis, menyusul lantas membentak, “Enyah sana! Jangan dekat-dekat ke sini.”

Keruan Ing-ing terkejut dan tidak tahu apa yang terjadi, hal apa yang membuat Lim Peng-ci menjadi beringas?

Menyusul terdengar pula suara tangisan Leng-sian, lalu Peng-ci membentaknya lagi, “Enyah sana, enyah yang jauh! Aku lebih suka dibunuh ayahmu daripada kau ikut diriku.”

“Mengapa engkau menghina diriku sedemikian rupa, sesungguhnya apa... apa kesalahanku?” tanya Leng-sian sambil menangis.

“Aku... aku...” Peng-ci tertegun, lalu melanjutkan, “Kau... kau....” tapi lantas bungkam pula.

“Apa yang hendak kau katakan, bicaralah terus terang,” pinta Leng-sian. “Jika memang aku bersalah atau engkau tak dapat memaafkan kesalahan ayahku, asal kau bicara terus terang, tanpa engkau bertindak apa-apa segera aku akan bunuh diri di hadapanmu.”

“Sret”, segera ia melolos pedangnya.

“Aku... aku...” kembali Peng-ci berkata dengan tergegap. Selang sejenak, lalu ia menghela napas panjang dan menyambung, “Ya, memang bukan salahmu, sesungguhnya aku sendiri yang tidak baik.”

Kembali Leng-sian menangis sedih, ya malu, ya gemas, ya cemas.

Akhirnya Peng-ci berkata, “Baiklah, akan kukatakan terus terang padamu.”

“Memangnya, biar kau pukul diriku atau bunuh sekalipun aku rela, asalkan jangan kau bikin orang merasa bingung,” kata Leng-sian.

“Karena kau tidak berhati palsu terhadap diriku, maka akan kukatakan terus terang padamu agar selanjutnya kau tak mengharap-harapkan lagi atas diriku,” kata Peng-ci.

“Sebab apa?” tanya Leng-sian bingung.

“Sebab apa? Tentunya kau tahu Pi-sia-kiam-hoat sangat terkenal di dunia persilatan sehingga tokoh-tokoh ilmu pedang seperti ayahmu dan Ih Jong-hay juga mengincarnya dengan segala daya upaya, akan tetapi mengapa ilmu pedang ayahku sebaliknya begitu rendah? Dianiaya orang juga tidak mampu melawan? Kenapa bisa begitu, apa sebabnya.”

“Mungkin bakat Kongkong kurang atau sejak kecil mungkin badannya lemah. Anak murid keturunan jago silat tidak selamanya berilmu silat tinggi pula.”

“Bukan begitu. Biarpun ilmu pedang ayahku sangat rendah, paling-paling disebabkan latihannya kurang, tenaga dalamnya lemah. 
Akan tetapi Pi-sia-kiam-hoat yang dia ajarkan padaku pada hakikatnya salah semua.”
Ini benar-benar aneh,” ujar Leng-sian.

“Kalau kuceritakan tentu tak aneh lagi. Apakah kau tahu orang macam apakah sebenarnya moyangku yang bernama Lim Wan-tho itu?”

“Tidak tahu,” sahut Leng-sian.

“Asalnya dia adalah seorang hwesio.”

“O, kiranya seorang cut-keh-jin (orang yang meninggalkan rumah). Banyak juga tokoh-tokoh persilatan ternama yang pada hari tua sering kali meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi hwesio.”

“Tapi moyangku tidak meninggalkan rumah pada hari tua, dia justru menjadi hwesio lebih dulu baru kemudian kembali ke masyarakat ramai.”

“Tentang masa muda moyang kita itu apakah kau dengar dari cerita Kongkong?” tanya Leng-sian.

“Tidak, selamanya Ayah tak pernah bercerita, bahkan beliau sendiri mungkin juga tidak tahu. Ruangan sembahyang kediaman kami yang dulu di Gang Matahari di Kota Hokciu itu pernah kita datangi pada malam itu, kau masih ingat bukan?”
Ya,” sahut Leng-sian.

“Sebab apa Pi-sia-kiam-boh itu tertulis di atas kasa? Soalnya beliau tadinya adalah seorang hwesio sebuah biara, di sana beliau dapat mencuri baca kiam-boh itu, lalu diturun dengan ditulis pada kasa yang dipakainya itu. Setelah beliau kembali menjadi preman, di rumah kediamannya diadakan pula sebuah ruangan Buddha dan tetap melakukan ibadatnya dengan taat.”

“Gagasanmu cukup masuk di akal. Namun bukan mustahil kiam-boh itu diperoleh moyang kita dari seorang padri sakti dan kiam-boh itu memang tertulis di atas kasa. 
Jadi moyang kita memperoleh kiam-boh itu dengan cara yang jujur dan terang.”

“Bukan begitu,” ujar Peng-ci.

“Bila engkau mempunyai dugaan lain, tentu engkau ada alasannya,”

“Aku tidak menduga secara ngawur, tapi moyang Lim Wan-tho sendiri yang mencatat kisahnya di atas kasa.”

“O, kiranya demikian,” kata Leng-sian.

“Pada akhir kiam-boh yang dia turun dari hasil curi lihat itu dengan jelas ditulis oleh beliau, bahwa tatkala itu beliau masih menjadi hwesio di kuil itu dan tanpa sengaja melihat kiam-boh tersebut, lalu diturunnya di atas kasa serta dibawa pulang. Beliau memperingatkan dengan sangat bahwa ilmu pedang itu terlalu keji dan merugikan orang yang melatihnya, yang melatihnya pasti akan putus keturunan, oleh karena itu beliau menganjurkan jangan sembarangan meyakinkan ilmu pedang tersebut.”

“Akan tetapi beliau sendiri toh melatihnya juga.”

“Tadinya aku pun berpikir begitu,” kata Peng-ci. “Seumpama ilmu pedang itu terlalu keji dan sulit, namun setelah moyang sendiri meyakinkannya toh masih kawin dan beranak, tetap punya keturunan.”

“Benar. Cuma besar kemungkinan beliau kawin dan punya anak lebih dulu, kemudian baru meyakinkan ilmu pedang.”

“Pasti tidak begitu. Setiap orang persilatan di dunia ini betapa pun lihainya, bila sekali sudah tahu jurus pertama Pi-sia-kiam-hoat, maka pasti ingin tahu pula jurus kedua, lalu ingin tahu pula jurus ketiga dan seterusnya. 
Sekalipun tahu akibatnya akan sangat merugikan dirinya pasti takkan digubrisnya.”

Mendengar sampai di sini, Ing-ing menjadi teringat kepada ucapan ayahnya bahwa Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya berasal dari suatu sumber yang sama dengan Kui-hoa-po-tian yang menjadi pusaka agamanya. Pantas ilmu pedang Gak Put-kun dan Lim Peng-ci sedemikian mirip dengan kepandaian Tonghong Put-pay. Ayahnya juga pernah mengatakan bahwa ilmu silat dalam kitab Kui-hoa-po-tian itu lebih banyak merusak daripada mendatangkan manfaat bila meyakinkannya. Sekali membaca ilmu pedang atau ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka itu, biarpun tahu akibatnya bisa celaka toh sukar untuk menahan rasa ingin mempelajarinya. Rupanya Ayah sejak mula sama sekali tidak membuka kitab itu, dengan demikian beliau menjadi tidak terjerumus, sungguh suatu tindakan yang tepat dan bijaksana.

Tetapi segera terpikir pula olehnya, “Lalu mengapa Ayah menurunkan kitab pusaka itu kepada Tonghong Put-pay?”

Pertanyaan itu segera terjawab, “Tentu pada waktu itu Ayah telah mengetahui maksud buruk Tonghong Put-pay, maka sengaja menyerahkan kitab pusaka itu padanya untuk menjerumuskan dia. Hiang-sioksiok mengira Ayah kena dipikat oleh Tonghong Put-pay sehingga merasa khawatir. Padahal orang cerdik dan lihai seperti Ayah mana bisa dikelabui orang dengan begitu saja? Hanya saja segala sesuatu juga bergantung pada takdir, Tonghong Put-pay ternyata turun tangan lebih dulu, Ayah ditawan dan dikurung di gua di dasar danau. Syukur Tonghong Put-pay tidak teramat kejam, bila waktu itu Ayah terus dibunuhnya, tentu Ayah tiada kesempatan buat menuntut balas. Padahal terbunuhnya Tonghong Put-pay juga terjadi secara untung-untungan saja, tentu Ayah, Hiang-sioksiok, dan diriku sudah terbunuh oleh Tonghong Put-pay. Dan kalau waktu itu tiada Nyo Lian-ting yang sengaja kusiksa untuk memencarkan perhatian Tonghong Put-pay (tak terkalahkan) tentu pula akan tetap put-pay dia.”

Berpikir sampai di sini ia menjadi rada kasihan terhadap nasib Tonghong Put-pay. “Meski Ayah dikurung olehnya namun aku diperlakukan tidak jelek dan cukup terhormat di Tiau-yang-sin-kau, malahan sekarang ayahku sendiri yang menjadi kaucu aku tidak punya kekuasaan seperti tempo hari. Tapi, ai, aku sudah memiliki Engkoh Tiong, buat apa menginginkan kekuasaan apa segala seperti dahulu,” demikian terpikir pula olehnya.

Teringat kepada kejadian-kejadian yang telah lalu, ia sendiri menjadi terkesiap pula pada jalan pikiran sang ayah, bahkan sampai sekarang ayahnya masih tidak mau mengajarkan kepada Engkoh Tiong cara memunahkan tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh, yaitu tenaga yang disedotnya dari orang lain dengan Gip-sing-tay-hoat. Menurut kata ayahnya, bila Lenghou Tiong mau masuk agamanya baru akan mengajarkan ilmu memunahkan hawa murni liar itu kepadanya, bahkan akan diumumkan kepada segenap anggota bahwa Lenghou Tiong adalah calon penggantinya, namun Lenghou Tiong ternyata tidak mau tunduk, hal ini membuatnya ikut serbasusah. Begitulah, di tempat sembunyinya ternyata yang terpikir oleh Ing-ing hanya diri Lenghou Tiong belaka.

Saat itu Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci juga terdiam semua. Selang tak lama barulah Peng-ci membuka suara, “Begitulah moyang Wan-tho menemukan ilmu pedangnya.”

“Sekalipun ilmu pedang yang dilatihnya akan menimbulkan malapetaka tentu pula akan waktu cukup lama. Maka moyang Wan-tho sempat kawin dan punya anak, hal ini tentu terjadi sebelumnya timbul bencana baginya.”

“Bukan. Semula aku juga berpikir begitu, tapi kemudian aku lantas tahu bukan begitu halnya. Moyang Wan-tho menikah dan punya anak justru terjadi sebelum beliau memperoleh kiam-boh.”

“Ah, mana bisa begitu?” ujar Leng-sian.

“Sudah tentu jadi, waktu itu beliau masih menjadi hwesio. 
Bahwasanya hwesio tidak boleh beristri adalah jelas, tapi punya anak kan boleh. Kalau kakek adalah putra kandung moyang Wan-tho, maka tentu kakek adalah putranya yang tidak sah, tegasnya anak haram dari hubungan gelap. Kukira sebabnya moyang Wan-tho terpaksa kembali ke masyarakat ramai tentu disebabkan persoalan pribadinya itu. Mungkin rahasianya terbongkar dan terpaksa beliau harus angkat kaki.”

“Tapi moyang Wan-tho adalah seorang kesatria, seorang tokoh termasyhur, mungkin... mungkin takkan berbuat demikian.”

“Sebab apa?” tanya Peng-ci dengan tak acuh.

“Kaum kesatria tulen harus dapat berbuat apa yang tak bisa diperbuat oleh orang biasa. Sesudah melihat kiam-boh pusaka itu, mungkin moyang Wan-tho sanggup menahan diri dan tidak lantas melatihnya. Sesudah kawin dan punya anak barulah beliau mulai berlatih.”

“Dan bagaimana dengan kesanggupanku menahan diri?” tanya Peng-ci tiba-tiba.

“Kau... sudah tentu sangat hebat,” sahut Leng-sian.

“Ketika di Kota Heng-san, di rumah Lau Cing-hong, aku menyaru sebagai orang bungkuk, aku terpaksa menjura kepada Bok Ko-hong dan memanggil kakek padanya, soalnya karena aku menanggung sakit hati yang belum terbalas sehingga aku terima dihina untuk menunggu kesempatan yang baik bagiku.”

“Seorang laki-laki sejati harus bisa menahan perasaan, betapa pun hebatnya moyang Wan-tho mungkin juga tidak sesabar dirimu,” ujar Leng-sian.

“Waktu aku melihat Pi-sia-kiam-boh, tatkala itu sudah dekat hari pernikahan kita, beberapa kali aku berpikir akan kawin lebih dulu denganmu, habis itu baru mulai berlatih ilmu pedang itu. Akan tetapi ilmu pedang yang tertera dalam kiam-boh itu ternyata mempunyai daya tarik yang luar biasa sehingga setiap jago silat tak mampu menguasai nafsu ingin belajar bila melihatnya. Karena itu, akhirnya aku mengebiri diri sendiri demi untuk meyakinkan ilmu pedang....”

“Hah! Engkau... mengebiri diri sendiri untuk meyakinkan ilmu pedang jahanam itu?” Leng-sian menegas sambil melonjak.

“Benar,” jawab Peng-ci dengan dingin. “Kunci pertama pada pembukaan Pi-sia-kiam-boh itu menyebutkan bahwa jika ingin menjagoi dunia persilatan, pertama harus kebiri diri sendiri lebih dulu.”

“Mengapa harus beg... begitu?” tanya Leng-sian dengan suara lemah.

“Pi-sia-kiam-boh itu harus dimulai dengan berlatih lwekang, kalau tidak kebiri dahulu, sekali mulai berlatih serentak hawa nafsu akan berkobar-kobar, akibatnya menjadi cau-hwe-jip-mo, (kelumpuhan), lalu mati kaku.”

“O, kiranya demikian,” kata Leng-sian dengan lirih, hampir-hampir tak terdengar.

Dalam hati Ing-ing juga berucap, “O, kiranya demikian!”

Baru sekarang ia paham mengapa seorang tokoh mahabesar seperti Tonghong Put-pay akhirnya terima memakai baju perempuan, menyulam dan melayani orang macam Nyo Lian-ting dengan mesra, kiranya semua itu adalah gara-gara meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, akibatnya berubah menjadi banci.

Terdengar Gak Leng-sian menangis tersedu-sedan, katanya dengan suara tak lancar, “Jadi ayahku juga... juga telah berubah seperti... seperti engkau....”
Jika sudah meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat mana bisa terkecuali?” jawab Peng-ci. “Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan ternama, bila perbuatan ayahmu yang kebiri sendiri itu tersiar, bukankah akan ditertawai setiap orang Kang-ouw? Sebab itulah, bila dia mengetahui aku juga meyakinkan ilmu pedang ini, pasti aku akan dibunuhnya. Berulang kali dia tanya tentang perlakuanku terhadap dirimu, justru dia ingin tahu apakah aku masih mampu berbuat begituan atau sudah kebiri juga. Coba kalau waktu itu kau kelihatan menyesali diriku, sudah lama nyawaku melayang.”

“Dan sekarang dia tentu sudah tahu,” kata Leng-sian.

“Tentu saja. Setelah aku membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, dalam waktu beberapa hari saja tentu akan tersiar luas di dunia Kang-ouw,” kata Peng-ci dengan bangga.
Jika betul seperti katamu, bisa jadi Ayah benar-benar takkan mengampuni dirimu. Lalu sebaiknya ke mana kita harus sembunyi?” ujar Leng-sian.

“Kita?” Peng-ci menegas. “Kau sudah tahu keadaanku sekarang dan masih mau mengikut aku?”

“Sudah tentu. Karena terpaksa, kau pun tak dapat disalahkan. Adik Peng, cintaku padamu dari awal sampai akhir tetap sama. Nasibmu sungguh harus dikasihani....”

Belum habis ucapannya, mendadak ia menjerit dan melompat ke bawah kereta, agaknya didorong oleh Lim Peng-ci.

Lalu terdengar Peng-ci berkata dengan gusar, “Aku tidak tahu dikasihani, siapa yang minta kasihan padamu? Ilmu pedang sudah berhasil kuyakinkan, apa lagi yang kutakuti sekarang? Jika Gak Put-kun mengejar kemari untuk membunuh diriku, lebih dulu dia harus mampu mengalahkan pedangku.”

Leng-sian diam saja.

Maka terdengar Peng-ci menyambung pula, “Nanti kalau luka mataku sudah sembuh, aku Lim Peng-ci akan menjagoi dunia persilatan, apakah dia Gak Put-kun, Lenghou Tiong, dan ketua-ketua dari apa yang disebut Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay segala semuanya bukan tandinganku lagi.”
Diam-diam Ing-ing membatin dengan gusar, “Kalau matamu sudah sembuh? Huh, matamu yang sudah buta itu bisa sembuh?”

Sebenarnya dia rada kasihan terhadap nasib Peng-ci yang malang itu, tapi demi menyaksikan sikapnya yang kasar dan tak berperasaan terhadap istrinya sendiri, pula mendengar ucapannya yang sombong itu, mau tak mau timbul rasa gemas dalam hati Ing-ing.

Terdengar Leng-sian menghela napas, lalu berkata, “Kau pun perlu mencari tempat untuk tinggal sementara, sembuhkan dulu luka matamu.”

“Aku sudah tentu mempunyai cara menghadapi ayahmu,” kata Peng-ci.

“Keadaanmu dan Ayah sama saja, tentu kalian tidak perlu khawatir salah satu akan menyiarkan ciri pihak lain,” ujar Leng-sian.

“Hm, terhadap pribadi ayahmu, aku jauh lebih kenal daripadamu,” jengek Peng-ci. “Mulai besok, terhadap setiap orang yang kujumpai tentu akan kuberi tahukan hal ini.”

“Buat apa mesti berbuat begitu? Bukankah kau sendiri....”

“Buat apa? Justru inilah caranya menyelamatkan jiwa ragaku. Akan kukatakan kepada setiap orang yang kujumpai dan tidak lama dengan sendirinya akan tersiar pula ke telinga ayahmu. Setelah dia mengetahui aku sudah membeberkan rahasianya, tentu dia tidak perlu lagi membunuh aku untuk menutupi rahasianya, malahan sebaliknya dia akan berusaha menyelamatkan jiwaku.”
Jalan pikiranmu sungguh sangat aneh,” kata Leng-sian.

“Kenapa merasa aneh? Apakah ayahmu kebiri diri sendiri atau tidak, sekali pandang saja tentu akan ketahuan. Tapi kalau mendadak aku mati secara tidak terang, tentu setiap orang akan menuduh ayahmu sebagai pembunuh diriku.”

Leng-sian menghela napas, ia paham apa yang dikatakan Peng-ci itu memang tidak salah. Ia menjadi serbasusah. Jika Peng-ci benar mulai menyebarkan rahasia diri ayahnya, itu berarti runtuhlah nama baik ayahnya selama ini. Sebaliknya kalau Peng-ci tidak bicara, itu berarti akan membahayakan diri pemuda itu sendiri.

“Sekalipun mataku buta, tapi hatiku tidak buta,” kata Peng-ci pula. “Walaupun selanjutnya aku tak bisa melihat apa-apa lagi, namun aku tidak menyesal karena sakit hati ayah bunda sudah terbalas. Dahulu Lenghou Tiong menyampaikan pesan terakhir Ayah padaku, katanya benda-benda leluhur yang berada di kediaman lama di Gang Matahari itu sekali-kali jangan diperiksa dan dilihat, katanya itulah pesan wasiat dari leluhur. Tapi sekarang aku sudah memeriksa dan membaca dengan jelas benda tinggalan leluhur itu, meski aku melanggar pesan leluhur, namun dapat membalas sakit hati ayah-bunda. Kalau aku tidak berbuat demikian, Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami hanya punya nama kosong belaka, orang-orang Hok-wi-piaukiok hanya kaum pendusta belaka.”

“Dahulu engkau dan Ayah sama mencurigai Toasuko dan menuduh dia mengambil Pi-sia-kiam-boh, katanya dia memalsukan pesan Kongkong....”

“Biarpun keliru menuduh dia lalu mau apa?” sela Peng-ci. “Bukankah waktu itu kau sendiri pun mencurigai dia?”

Leng-sian menghela napas perlahan, katanya, “Waktu itu engkau belum lama kenal Toasuko, adalah layak jika engkau berprasangka padanya. Tapi aku dan Ayah sebenarnya tidak pantas mencurigai dia. Di dunia orang yang benar-benar dapat memercayai Toasuko hanyalah Ibu seorang.”
Siapa bilang hanya ibumu seorang?” demikian Ing-ing membantahnya di dalam batin.

Terdengar Peng-ci menjengek, “Hm, ibumu memang benar-benar sayang kepada Lenghou Tiong. Lantaran bocah itu, entah berapa kali ayah-ibumu bertengkar.”

“Ayah dan Ibu bertengkar karena Toasuko? Padahal Ayah dan Ibu selamanya tidak pernah cekcok, dari mana engkau mendapat tahu?”

“Hm, selamanya tidak pernah cekcok? Itu cuma permainan sandiwara saja,” jengek Peng-ci. “Sampai hal-hal demikian Gak Put-kun juga memakai kedok untuk menutupi kemunafikannya. Dengan telingaku sendiri aku mendengar mereka bertengkar, mana bisa keliru.”

“Aku tidak bilang kau keliru, aku hanya merasa heran,” ujar Leng-sian. “Mengapa aku tidak tahu atau mendengar, sebaliknya engkau malah mendengar pertengkaran mereka.”

“Tiada alangannya kalau sekarang kuceritakan kepadamu,” kata Peng-ci. “Ketika di Hokciu tempo hari, ketika orang Ko-san-pay berhasil merebut kasa pusaka moyang, tapi mereka itu kena dibinasakan pula oleh Lenghou Tiong dan dengan sendirinya kasa itu jatuh ke tangan Lenghou Tiong. Akan tetapi dia juga terluka parah dan jatuh pingsan, ketika aku menggeledah badannya ternyata kasa itu sudah hilang entah ke mana?”

“Kiranya di Hokciu dahulu itu kau telah menggeledah badan Toasuko,” kata Leng-sian.

“Memang, ada apa?” tanya Peng-ci.

“Tidak apa-apa,” jawab Leng-sian.

Dalam hati Ing-ing merasa kasihan kepada Leng-sian yang mendapatkan suami selicik dan seculas itu, tentu banyak kesukaran yang akan dideritanya kelak.

Terdengar Peng-ci berkata lagi, “Kalau kasa itu tidak berada pada Lenghou Tiong tentu telah diambil oleh ayah-ibumu, maka sepulangnya di Hoa-san diam-diam aku lantas menyelidiki gerak-gerik ayahmu, namun permainan ayahmu benar-benar sangat rapi, sedikit pun tiada memberi petunjuk yang mencurigakan. Waktu itu ayahmu jatuh sakit, sudah tentu tiada seorang pun yang tahu apa penyakitnya, lebih-lebih tak tahu bahwa begitu membaca Pi-sia-kiam-boh dia lantas kebiri diri sendiri untuk meyakinkan ilmu pedang. Setiap malam aku berusaha mencari tahu rahasia ayah-ibumu itu, aku ingin mengetahui di mana kiam-boh itu disembunyikan dari percakapan ayah-ibumu.”

“Setiap malam kau sembunyi di tepi tebing curam itu?” Leng-sian menegas.

“Ya,” sahut Peng-ci.

“Engkau benar-benar amat sabar dan telaten,” ujar Leng-sian.

“Demi menuntut balas sakit hati, terpaksa harus begitu,” kata Peng-ci.

Kiranya tempat tinggal Gak Put-kun di puncak Hoa-san itu dibangun di tepi sebuah tebing curam yang disebut “Thian-seng-kiap”. Di bawah tebing itu adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, sungguh suatu tempat yang sunyi dan sangat berbahaya. Orang luar mengira Gak Put-kun dan istrinya suka kepada kesunyian agar dapat menyelami ilmu silat lebih tinggi, padahal Gak Put-kun mempunyai perhitungan lain.

Soalnya sejak Hoa-san-pay terpecah menjadi dua sekte, yaitu Kiam-cong dan Khi-cong, maka Gak Put-kun khawatir kalau sisa-sisa sekte Kiam-cong menyergapnya untuk menuntut balas. Sebab itulah ia sengaja tinggal di tempat yang amat curam dan berbahaya itu. Untuk mencapai Thian-seng-kiap yang terletak di puncak yang tinggi itu hanya dihubungkan dengan sebuah jalan kecil yang melingkar-lingkar. Bila orang lain tentunya sukar mendatangi tempat kediaman Gak Put-kun, namun Lim Peng-ci diketahui sebagai menantu kesayangan ketua Hoa-san-pay itu, dengan sendirinya tiada seorang pun yang curiga bila melihat Peng-ci menuju ke Thian-seng-kiap.

Begitulah terdengar Peng-ci menutur pula, “Berturut-turut belasan malam aku menunggu, tapi tiada terdengar sesuatu yang menarik. Suatu malam kudengar ibumu berkata pada ayahmu, ‘Suko, kulihat air mukamu akhir-akhir ini rada-rada berubah, apakah akibat gangguan Ci-he-sin-kang yang meyakinkan itu? Hendaknya kau dapat membatasi dirimu dan terburu nafsu ingin lekas mencapai tujuan sehingga menimbulkan kesukaran malah.’ Ayahmu tertawa dan menjawab, ‘Ah, tidak apa-apa, lancar sekali latihanku.’

“Tapi ibumu tidak percaya, katanya, ‘Jangan membohongi aku. Apa sebabnya suaramu akhir-akhir ini rada-rada berubah, bernada melengking tajam, lebih mirip suara perempuan.’ Ayahmu menjawab, ‘Hus, ngaco-belo! Selamanya suaraku juga begini?’ Kudengar suaranya memang tajam melengking dan benar-benar mirip orang perempuan bawel yang lagi uring-uringan.”

“Lalu ibumu berkata pula, ‘Masakah masih bilang tidak berubah? Selama ini belum pernah kau bicara sekasar ini kepadaku. Suko, sesungguhnya ada urusan apa yang menyulitkanmu, hendaklah kau katakan terus terang padaku. 
Sudah berpuluh tahun kita menjadi suami-istri mengapa kau dustai aku?’

“Ayahmu menjawab, ‘Urusan apa yang menyulitkan aku? Pertemuan di Ko-san sudah dekat waktunya, Co Leng-tan bermaksud mencaplok keempat aliran yang lain, paling-paling hal inilah yang membikin hatiku rada kesal.’ – ‘Kukira ada persoalan lain lagi,’ kata ibumu.
Ayahmu menjadi aseran, katanya dengan suara melengking, ‘Kau memang suka curiga. Selain itu ada persoalan lain apa lagi?’ – ‘Kalau kukatakan hendaklah engkau jangan naik pitam, kutahu engkau telah salah menuduh Anak Tiong,’ kata ibumu. – ‘Anak Tiong?’ ayahmu menegas. ‘Dia bergaul dengan orang Mo-kau dan main cinta dengan nona she Yim dari agama iblis itu, hal ini diketahui siapa pun juga, masakah aku keliru menyalahkan dia?’.”

Mendengar kata-kata Gak Put-kun yang diuraikan kembali oleh Lim Peng-ci menyangkut dirinya, wajah Ing-ing menjadi panas, seketika timbul rasa hangat dalam hatinya.

Sementara itu terdengar Peng-ci berkata pula, “Ibumu menjawab, ‘Dia bergaul dengan orang Mo-kau sudah tentu hal ini bukan fitnah, yang kumaksudkan adalah engkau menuduh dia mencuri Pi-sia-kiam-boh milik Anak Peng itu.’ – ‘Memangnya kiam-boh itu tidak dicuri olehnya? Bukankah kau menyaksikan sendiri ilmu pedangnya mendadak maju dengan pesat, bahkan lebih lihai daripadaku,’ kata ayahmu.

“Ibumu menjawab pula, ‘Bisa jadi dia memperoleh penemuan aneh, aku berani memastikan dia pasti tidak ambil Pi-sia-kiam-boh. Biarpun watak Anak Tiong suka ugal-ugalan, tapi sejak kecil dia punya sifat yang suka terus terang, tidak sudi berbuat hal-hal yang memalukan. Sejak Anak Sian bergaul rapat dengan Anak Peng dan mengesampingkan dia, orang yang berwatak angkuh seperti dia, sekalipun Anak Peng mempersembahkan kiam-boh kepadanya juga tak sudi diterima olehnya.’.”

Sungguh tidak kepalang rasa senang Ing-ing mendengar kata-kata demikian, saking senangnya ia berharap akan segera dapat merangkul Gak-hujin untuk menyatakan terima kasih padanya. Ia pikir Nyonya Gak itu memang tidak sia-sia membesarkan Engkoh Tiong sejak kecil, segenap orang Hoa-san-pay hanya engkau seorang yang kenal pribadi Engkoh Tiong. Melulu berdasarkan kata-kata penilaian pribadi Engkoh Tiong itu saja, kelak bila ada kesempatan tentu akan kuberi balas jasa yang pantas, demikian pikirnya pula.

Dalam pada itu, Peng-ci sedang menyambung ceritanya, “Ayahmu telah mendengus, katanya, ‘Jika demikian, jadi kau malah merasa menyesal karena kita telah memecat bocah durhaka itu dari perguruan kita?’ – Ibumu menjawab, ‘Jika dia melanggar peraturan dan dipecat, sudah tentu siapa pun tak dapat membelanya. Engkau tuduh dia bergaul dengan orang Mo-kau kan sudah cukup beralasan, buat apa mesti memfitnah dia mencuri kiam-boh? Padahal engkau sendiri jauh lebih tahu daripadaku, dengan jelas kau tahu dia tidak ambil kiam-boh keluarga Lim itu.’ – Ayahmu mendadak berteriak, ‘Dari mana kau tahu?’.”

Karena suara Peng-ci juga tajam melengking, di tengah malam sunyi suaranya yang menirukan jerit gusar Gak Put-kun itu menjadi seperti burung hantu yang menyeramkan.

Bab 123. Rahasia Munculnya Lo Tek-nau

Selang sejenak barulah Peng-ci meneruskan pula, “Dengan perlahan ibumu berkata, ‘Sudah tentu aku tahu, sebab kiam-boh itu justru kau sendiri yang mengambilnya.’ – Dengan gusar ayahmu menjerit pula, ‘Maksudmu men... men....’ tapi hanya sekian saja ucapannya dan mendadak bungkam.

“Suara ibumu sangat tenang, katanya pula, ‘Dalam keadaan pingsan tempo hari, ketika aku membubuhi obat pada luka Anak Tiong, kulihat dalam bajunya tersimpan sepotong kasa yang penuh tulisan mengenai ilmu pedang. Ketika untuk kedua kalinya aku memberi obat padanya ternyata kasa itu sudah tidak ada, waktu itu Anak Tiong masih belum sadar kembali. Selama itu di dalam kamar selain kita berdua tiada orang ketiga lagi, dan yang pasti aku sendiri tidak ambil kasa bertulis ilmu pedang itu.’

“Beberapa kali ayahmu bermaksud menyela, tapi hanya menyebut dua-tiga saja secara samar-samar dan tidak melanjutkan. Sebaliknya suara ibumu tambah halus dan berkata pula, ‘Suko, ilmu pedang Hoa-san-pay ada keistimewaannya sendiri. Ci-he-sin-kang juga lain daripada yang lain, dengan ilmu sakti ini pun cukup kuat bagi kita untuk menjagoi dunia persilatan, sebenarnya tidak perlu lagi mencuri belajar ilmu dari aliran lain. Hanya saja akhir-akhir ini Co Leng-tan sangat bernafsu mencaplok keempat aliran lain sesama Ngo-gak-kiam-pay kita, betapa pun Hoa-san-pay yang berada di bawah pimpinanmu tidak boleh jatuh ke dalam cengkeraman Co Leng-tan. 
Asalkan kita berserikat dengan Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay, empat lawan satu kukira pihak kita tetap lebih kuat. Seumpama akhirnya kita tak bisa menang sedikitnya kita masih sanggup hantam mereka habis-habisan di Ko-san nanti, berada di akhirat juga kita tidak malu terhadap leluhur Hoa-san-pay kita.’.”

Mendengar sampai di sini, diam-diam Ing-ing memuji Nyonya Gak itu benar-benar seorang kesatria wanita yang hebat, jauh lebih terhormat dan terpuji daripada suaminya.
Maka terdengar Leng-sian berkata, “Apa yang dikatakan Ibu itu memang tiada salahnya.”

Peng-ci mendengus, katanya, “Tapi waktu itu ayahmu sudah mendapatkan kiam-bohku dan sudah mulai meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, mana dia mendengar nasihat Sunio?”

Dengan menyebut “sunio” (ibu guru) secara mendadak, hal ini menunjukkan hati Lim Peng-ci masih mengindahkan dan menghormati Gak-hujin.

Kemudian ia melanjutkan ceritanya, “Waktu itu ayahmu telah menjawab, ‘Ucapanmu itu benar-benar pandangan kaum wanita belaka. Melulu mengandalkan kegagahan dan main hantam saja toh tiada gunanya bagi urusan yang lebih penting.’ – Ibumu diam sejenak, lalu berkata, ‘Sebenarnya boleh juga tujuanmu buat menyelamatkan Hoa-san-pay dengan segala daya upaya. Hanya saja itu... itu Pi-sia-kiam-hoat pasti lebih banyak rugi daripada untungnya bila melatihnya, anak cucu keluarga Lim mengapa tiada yang meyakinkan ilmu pedang leluhurnya? Maka kunasihatkan sebaiknya dapat menahan hasrat dan jangan berlatih ilmu pedang itu.’ – Dengan suara keras ayahmu menjawab, ‘Dari mana kau tahu?... Kau selalu mengintip gerak-gerikku?’ – ‘Untuk mengetahuinya aku tidak mesti mengintip dirimu,’ sahut ibumu, ‘akhir-akhir ini suaramu banyak berubah, hal ini dapat dilihat oleh siapa pun juga, masakah kau sendiri tidak tahu.’

“Ayahmu masih mendebat lagi, ‘Selamanya suaraku juga begini.’ – Ibumu berkata, ‘Setiap pagi di atas bantalmu tentu terdapat rontokan rambut kumis, engkau melihatnya sendiri? Sudah lama aku melihatnya, hanya tidak kukatakan,’ sahut ibumu. ‘Kumis jenggot palsu yang kau tempelkan mungkin dapat mengelabui orang lain, tapi mana bisa mengelabui sumoaymu yang berdampingan denganmu selama belasan tahun dan bahkan menjadi istrimu selama berpuluh tahun ini?’

“Karena merasa rahasianya terbongkar, ayahmu tidak membantah lagi. Selang sejenak barulah dia bertanya, ‘Apakah orang lain ada juga yang tahu?’ – ‘Tidak,’ jawab ibumu. – ‘Bagaimana dengan Anak Sian dan Anak Peng?’ tanya pula ayahmu. – ‘Mereka juga tidak tahu,’ kata ibumu. Lalu ayahmu berkata, ‘Baik, aku menuruti nasihatmu. Kasa ini nanti kita cari jalan untuk diserahkan kepada Peng-ci, kemudian kita berusaha pula mencuci bersih kesalahan yang dituduhkan kepada Anak Tiong. 
Mulai malam ini aku pun takkan meyakinkan lagi ilmu pedang yang menyesatkan ini.’ Ibumu menjadi girang, katanya, ‘Itulah yang paling baik. Cuma ilmu pedang keluarga Lim itu jelas merugikan siapa pun yang melatihnya, mana boleh kiam-boh ini diperlihatkan kepada Peng-ci? Kukira lebih baik dimusnahkan saja.’”

“Tentunya Ayah tidak setuju,” ujar Leng-sian. “Kalau beliau setuju memusnahkan kiam-boh itu tentu... tentu takkan terjadi seperti sekarang ini.”

“Kau salah terka. Waktu itu ayahmu justru setuju memusnahkan kiam-boh itu,” kata Peng-ci. “Aku sendiri pun terkejut, segera aku bermaksud bersuara untuk mencegahnya, sebab kiam-boh itu adalah milik keluarga Lim kami, ayahmu tidak ada hak untuk memusnahkannya. Pada saat itu juga kudengar daun jendela dibuka, lekas-lekas aku mendak ke bawah, tiba-tiba sesuatu benda dilemparkan keluar, ternyata kasa merah itu yang dibuang, menyusul jendela lantas ditutup kembali. Melihat kasa itu melayang ke bawah di sebelahku, kalau didiamkan tentu akan jatuh ke dalam jurang, tanpa pikir lagi segera aku meraihnya dan untung sekali kasa itu berhasil kupegang, walaupun aku sendiri hampir-hampir terperosot ke dalam jurang.”
Diam-diam Ing-ing berpikir, “Kau akan benar-benar beruntung bilamana tidak berhasil meraih kembali kasa maut itu.”

“O, jadi Ibu mengira Ayah telah membuang kasa yang bertuliskan kiam-boh itu ke dalam jurang, padahal sebelumnya Ayah telah menghafalkan ilmu pedang di luar kepala sehingga praktis kasa itu sudah tiada artinya lagi baginya, sebaliknya engkau malah berhasil pula mempelajari ilmu pedang itu, bukan?”

“Benar,” sahut Peng-ci.

“Rupanya itu sudah takdir,” kata Leng-sian pula. “Agaknya semuanya itu sudah diatur oleh Thian Yang Mahaadil agar engkau dapat membalas sakit hati Kongkong dan Popo.”

“Akan tetapi masih ada suatu hal yang membingungkan aku, beberapa hari terakhir ini aku telah berusaha memecahkan soal ini, tapi biarpun kepalaku pecah memikirkannya tetap sukar dimengerti,” kata Peng-ci. “Yaitu apa sebabnya Co Leng-tan juga dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat.”

“O,” hanya sekian Leng-sian bersuara secara tak acuh, tampaknya ia tidak ambil pusing apakah Co Leng-tan itu mahir Pi-sia-kiam-hoat atau tidak.

Sebaliknya Peng-ci lantas berkata pula, “Kau tidak pernah belajar Pi-sia-kiam-hoat, maka tidak tahu di mana letak kehebatan ilmu pedang itu. Tempo hari waktu Co Leng-tan bertempur melawan ayahmu di Hong-sian-tay, ketika pertarungan mereka sudah memuncak, ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata Pi-sia-kiam-hoat semua. Hanya saja permainan Co Leng-tan mula-mula tampak teratur dan hebat, namun akhirnya semakin kacau, setiap jurus seakan-akan sengaja mengalah kepada ayahmu, syukur ilmu pedangnya memang mempunyai dasar yang kuat sehingga pada detik-detik paling berbahaya ia masih sanggup mengelak, tapi tetap sukar terlepas dari lingkaran ancaman Pi-sia-kiam-hoat lawan dan akhirnya matanya kena dibutakan oleh ayahmu. Coba kalau dia menggunakan Ko-san-kiam-hoat dan dikalahkan oleh ayahmu, maka hal ini adalah masuk di akal karena Pi-sia-kiam-hoat memang tiada tandingannya di dunia ini. Soalnya yang membingungkan aku adalah dari mana Co Leng-tan dapat belajar Pi-sia-kiam-hoat dan mengapa pula kepalang tanggung ilmu pedang yang dipelajarinya itu?”

Sampai di sini Ing-ing merasa tiada sesuatu lagi yang menarik dalam percakapan kedua muda-mudi itu. Ia pikir Pi-sia-kiam-hoat yang dipahami Co Leng-tan itu besar kemungkinan hasil curian dari Tiau-yang-sin-kau kami. Pi-sia-kiam-hoat yang dipelajari Tonghong Put-pay jauh lebih lihai dari Gak Put-kun, bila kau menyaksikan pasti akan bikin kepalamu pecah tiga kali juga sukar memahami persoalannya. Demikian pikirnya.

Pada saat ia hendak menyingkir itulah, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan kuda sedang mendatangi. Khawatir terjadi apa-apa atas diri Lenghou Tiong, cepat Ing-ing meninggalkan tempat Leng-sian itu dan kembali ke keretanya sendiri.

“Engkoh Tiong, ada orang datang!” katanya lirih.

“Eh, kau mencuri dengar lagi tentang orang bawa daging untuk umpan anjing di rumah si gadis, bukan? Kenapa kau mendengarkan sekian lama?” dengan tertawa Lenghou Tiong mengolok-olok.

Ing-ing menjadi teringat kepada permintaan Gak Leng-sian tadi yang ingin berbuat “begituan” dengan Lim Peng-ci di dalam kereta agar mereka bisa menjadi “suami-istri resmi”, seketika wajah Ing-ing menjadi merah jengah. Jawabnya kemudian, “O, mereka... mereka sedang bicara cara... cara berlatih Pi-sia-kiam-hoat.”

“Ah, cara bicaramu gelagapan, tentu ada sesuatu yang menarik. Ayo naik ke sini, coba ceritakan padaku lebih jelas,” pinta Lenghou Tiong.

“Tidak, tidak mau!” sahut Ing-ing.

“Kenapa tidak mau?” Lenghou Tiong memaksa.

“Tidak mau ya tidak mau,” kata Ing-ing.

Sementara itu suara berdetak kaki kuda yang riuh tadi sudah makin mendekat.

“Dari jumlahnya tentunya mereka adalah sisa-sisa anak murid Jing-sia-pay, rupanya mereka benar-benar menyusul kemari untuk menuntut balas.”

Segera Lenghou Tiong bangkit duduk, ia mengajak mendekati kereta Gak Leng-sian itu. Ing-ing mengiakan. Ia tahu Lenghou Tiong teramat mengkhawatirkan keselamatan Leng-sian, kalau tidak menyaksikan sendiri nona itu lolos dari bahaya dengan selamat, sesaat pun dia takkan merasa tenteram. Maka Ing-ing lantas menurunkan Lenghou Tiong dari kereta.

Ketika kaki Lenghou Tiong menyentuh tanah, lukanya menjadi kesakitan, tubuhnya terhuyung dan cepat memegang roda kereta. Sejak tadi keledai penarik kereta itu diam saja, kini keretanya sedikit bergerak, disangkanya suruh menarik kereta lagi, segera binatang itu menegak kepala dan bermaksud meringkik.

Namun Ing-ing cukup cepat, pedangnya lantas menebas sehingga kepala keledai terpenggal sebelum bersuara.

Diam-diam Lenghou Tiong memuji akan kehebatan Ing-ing itu, bukan karena kecepatan pedangnya, tapi ketegasan tindakannya.

Sementara itu terdengar suara derapan kuda tadi sudah makin mendekat, segera Lenghou Tiong melangkah cepat ke depan.

Ing-ing pikir kalau terlalu cepat, Lenghou Tiong tentu akan membikin lukanya kesakitan lagi. Segera ia menyusulnya dan berkata, “Engkoh Tiong, maaf!”

Tanpa menunggu jawaban ia terus cengkeram baju tengkuk dan punggungnya lalu angkat ke atas, segera ia lari cepat menyusur tanaman jagung yang lebat itu dengan ginkang yang tinggi.

Lenghou Tiong menjadi geli dan berterima kasih pula. Sungguh keterlaluan dirinya sebagai ketua Hing-san-pay ternyata dicengkeram oleh seorang gadis mirip anak kecil saja, kalau dilihat orang tentu bisa runyam. Tapi kalau Ing-ing tidak ambil tindakan demikian, bila orang-orang Jing-sia-pay keburu tiba lebih dulu, tentu Siausumoay akan celaka. Rupanya tindakan Ing-ing ini dilakukan karena dapat menyelami apa yang dikhawatirkannya ini.

Tidak lama kemudian jarak kedua pihak sudah makin mendekat. Ing-ing coba melongok keluar tanaman jagung, dalam kegelapan tertampak satu barisan obor sedang mendatang melalui jalan raya itu.

“Berani benar mereka ini mengejar musuh dengan membawa obor,” kata Ing-ing. Tapi segera ia berseru pula, “Wah, celaka! Jangan-jangan mereka hendak membakar kereta dengan api!”

“Lekas kita mencegat di depan mereka agar mereka tidak dapat kemari,” kata Lenghou Tiong.

“Jangan buru-buru, untuk menolong dua orang saja rasanya kita masih mampu,” ujar Ing-ing.

Lenghou Tiong tahu kepandaian Ing-ing cukup tinggi. Ih Jong-hay sudah mati, sisa orang-orang Jing-sia-pay tentu tidak perlu ditakuti lagi.

Kira-kira belasan meter dari tempat kereta Gak Leng-sian itu barulah Ing-ing menurunkan Lenghou Tiong, katanya dengan suara tertahan, “Kau duduk saja di sini!”

Sementara itu terdengar Leng-sian sedang berkata di dalam keretanya, “Musuh sudah hampir tiba, benar juga kawanan tikus dari Jing-sia-pay.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Peng-ci.

“Rupanya mereka anggap kita terluka maka secara berani mereka datang dengan membawa obor,” sahut Leng-sian.

“Mereka membawa obor-obor?” Peng-ci menegas. Ternyata pikirannya lebih cerdik daripada Gak Leng-sian, segera ia berkata pula, “Lekas turun ke bawah, kawanan tikus itu akan membakar kereta ini!”

Cepat Leng-sian melompat turun dari keretanya lalu memegang tangan Peng-ci untuk membantunya melompat turun pula. Mereka menyingkir ke pinggir jalan dan menyusup ke tengah tanaman jagung, jaraknya cuma belasan meter saja dari tempat sembunyi Ing-ing dan Lenghou Tiong.

Dalam pada itu orang-orang Jing-sia-pay sudah tiba dan mengepung kereta Gak Leng-sian. Seorang di antaranya lantas berteriak, “Lim Peng-ci, bangsat kau! 
Apa kau ingin menjadi kura-kura (istilah makian bagi germo)? Mengapa kau mengkeret, coba tongolkan kepalamu sini!”

Tapi keadaan dalam kereta sunyi senyap tiada jawaban. 
Segera seorang di antaranya berkata, “Mungkin dia sudah melarikan diri dengan meninggalkan kereta ini.”

Tiba-tiba api obor memecah kegelapan, sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari dalam kereta menjulur keluar sebuah tangan, obor ditangkapnya terus dilemparkan kembali ke arah si pelempar tadi.

Keruan orang-orang Jing-sia-pay menjadi panik dan berteriak, “Bangsat, anjing itu berada di dalam kereta!”

Bahwa dari dalam kereta bisa menjulur keluar tangan seorang, hal ini tidak saja membikin heran Ing-ing dan Lenghou Tiong, bahkan Leng-sian juga tak terkatakan kagetnya. Telah sekian lama dia bicara dengan Lim Peng-ci, sama sekali tak terkira olehnya bahwa di dalam keretanya bersembunyi orang lain. Kalau melihat cara orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, agaknya ilmu silatnya tidaklah rendah.

Obor yang dilemparkan anak murid Jing-sia-pay berturut-turut ada beberapa buah dan semuanya dapat dilempar kembali oleh orang di dalam kereta itu, maka orang Jing-sia-pay yang lain tidak berani melempar obor lagi, mereka mengelilingi kereta dari jauh sambil berteriak-teriak. Ada yang memaki, “Anak kura-kura itu tidak berani keluar, besar kemungkinan dia terluka parah dan hampir mampus!”

Di bawah cahaya obor tertampak dengan jelas bahwa tangan itu kurus kering dengan urat yang menonjol di sana-sini, terang tangan seorang tua dan sama sekali bukan tangan Lim Peng-ci atau Gak Leng-sian.

Orang-orang Jing-sia-pay menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Namun terdorong oleh hasrat menuntut balas kematian guru mereka, terpaksa mereka harus bertindak. Sekonyong-konyong pedang mereka sama menusuk ke dalam kereta.

Tapi mendadak sesosok tubuh meloncat keluar menembus atap kereta dengan sinar pedang gemilapan, tahu-tahu orang itu sudah melompat ke belakang barisan orang-orang Jing-sia-pay, begitu pedangnya bekerja, kontan dua murid Jing-sia-pay menggeletak.

Kelihatan orang itu memakai baju kuning seperti dandanan orang Ko-san-pay, tapi mukanya berkedok kain hijau, hanya tertampak sepasang matanya yang bersinar tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya bergerak amat cepat, hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Jing-sia-pay yang lain dirobohkan pula.

Tangan Lenghou Tiong menggenggam tangan Ing-ing, kedua orang mempunyai pikiran yang sama. “Yang dimainkan itu pun Pi-sia-kiam-hoat.”

Tapi kalau melihat perawakannya terang orang ini bukan Gak Put-kun, Lim Peng-ci, dan Co Leng-tan bertiga, kini ada orang keempat pula yang dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini dengan sendirinya sangat mengejutkan.

Dengan suara perlahan Gak Leng-sian berkata kepada Peng-ci, “Adik Peng, yang dimainkan orang ini tampaknya serupa ilmu pedangmu.”

“He, dia... dia juga dapat memainkan ilmu pedangku? Kau tidak... tidak keliru?” sahut Peng-ci.

Tengah bicara, kembali tiga orang Jing-sia-pay terkena pedang pula. Kini Lenghou Tiong dan Ing-ing sudah dapat melihat jelas. Meski jurus ilmu pedang yang dimainkan orang itu pun termasuk Pi-sia-kiam-hoat, tapi ketangkasannya selisih terlalu jauh dibanding Tonghong Put-pay, dibanding Gak Put-kun dan Lim Peng-ci juga belum memadai, hanya saja ilmu silat orang itu sendiri rupanya cukup tinggi, jauh lebih kuat daripada anak murid Jing-sia-pay maka orang itu masih lebih unggul meski dikerubut orang banyak.

“Ilmu pedangnya tampaknya sama dengan ilmu pedangmu, hanya saja tidak secepat engkau,” kata Leng-sian pula kepada Peng-ci.

“Gerakannya kurang cepat? Ini terang tidak cocok dengan inti ilmu pedang kami,” kata Peng-ci. “Akan tetapi siapa... siapa dia? Mengapa dapat memainkan kiam-hoat itu?”

Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba seorang Jing-sia-pay dadanya ditembus oleh pedang orang itu. Menyusul orang itu menggertak keras, pedangnya ditarik dan menebas pula, kontan seorang di belakangnya terkutung sebatas pinggang. Orang-orang Jing-sia-pay yang lain menjadi jeri dan sama melompat mundur.

Kembali orang itu menggertak keras sekali terus menerjang maju. Mendadak seorang Jing-sia-pay menjerit ketakutan sambil putar tubuh dan lari sipat kuping. Kawan-kawannya menjadi jeri dan beramai-ramai kabur.

Orang itu tampaknya rada lelah juga. Dari napas orang yang rada memburu itu, Lenghou Tiong dan Ing-ing dapat menduga dalam pertempuran sengit tadi orang itu cukup banyak membuang tenaga, besar kemungkinan malah terluka dalam pula.

Setelah terengah-engah sebentar, orang tua baju kuning itu simpan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang, lalu berseru, “Lim-siauhiap dan Lim-hujin, aku diperintahkan Co-ciangbun dari Ko-san untuk datang memberi bantuan.”

Dari suaranya yang bernada rendah dan serak itu agaknya dalam mulut mengulum sesuatu sehingga ucapannya menjadi tidak jelas.

“Banyak terima kasih atas bantuan Anda, mohon tanya siapa nama Anda yang mulia?” sahut Peng-ci sambil keluar dari tempat sembunyinya bersama Leng-sian.

Orang itu berkata pula, “Co-ciangbun mendapat tahu bahwa Lim-siauhiap bersama nyonya disergap musuh di tengah jalan dan terluka parah, maka aku diperintahkan mengawasi Lim-siauhiap berdua untuk mencari suatu tempat tetirah yang baik, tanggung takkan dapat ditemukan oleh ayah-mertuamu.”

Baik Lenghou Tiong dan Ing-ing maupun Lim Peng-ci dan Leng-sian sama heran dari mana Co Leng-tan mendapat keterangan sejelas itu. Sementara beberapa obor di atas tanah masih menyala, sinar api berguncang-guncang, sebentar terang sebentar guram.

Peng-ci lantas menjawab, “Maksud baikmu sungguh aku sangat berterima kasih. Tentang merawat luka rasanya aku masih sanggup mengatasinya dan tidak berani bikin repot padamu.”

Orang tua itu berkata pula, “Tapi kedua mata Lim-siauhiap terkena racun si bungkuk, sukar sekali kiranya untuk bisa melihat kembali, kalau engkau tidak diobati sendiri oleh Co-ciangbun, bisa jadi... bisa jadi mata Lim-siauhiap juga sukar dipertahankan.”

Sejak kedua matanya terkena air beracun dari punuk Bok Ko-hong, baik mata maupun muka Peng-ci terasa kaku dan gatal tak terkatakan, saking geregetan hampir-hampir ia cukil kedua biji mata sendiri, syukur ia masih mampu bertahan sebisa mungkin, maka ia pun percaya apa yang dikatakan orang tua itu memang bukan untuk menakut-nakuti belaka.

Setelah termenung sejenak, kemudian Peng-ci menjawab, “Sebab apa Co-ciangbun menaruh kasihan sedemikian mendalam padaku? Silakan menjelaskan lebih dulu, kalau tidak, sukar kiranya bagiku untuk menerimanya.”

Orang itu tertawa terkekeh, lalu berkata pula, “Sama-sama dendam dan punya musuh yang sama, ini saja sudah seperti sanak kadang sendiri. Kalau Gak Put-kun sudah tahu Lim-siauhiap meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, biarpun Siauhiap berusaha menyingkir ke ujung langit sekalipun juga akan diuber olehnya. Kini dia sudah menjadi ketua Ngo-gak-pay, kekuasaannya besar, pengaruhnya luas, engkau seorang diri mau ke mana lagi... Hehe, putri kandung kesayangan Gak Put-kun senantiasa mendampingimu siang dan malam, sulit berjaga terhadap musuh di samping bantal....”

“Jisuko, ternyata dirimu!” mendadak Leng-sian berteriak.

Teriakan Leng-sian ini menggetarkan hati Lenghou Tiong pula. Dari suara orang tua yang samar-samar serak itu memang dirasakan seperti sudah dikenalnya, kini setelah diteriaki Gak Leng-sian, seketika ia pun sadar bahwa orang tua itu memang betul Lo Tek-nau adanya, yaitu bekas murid kedua Gak Put-kun.

Dari Leng-sian dulu Lenghou Tiong mendengar bahwa Lo Tek-nau terbunuh oleh musuh di Hokciu, jika begitu, jadi kabar itu ternyata tidak betul.

“Hm, budak yang cukup cerdik, dapatlah kau mengenali suaraku,” kata orang tua itu dengan nada dingin. Sekarang ia tidak bicara dengan suara yang dibikin-bikin, maka jelas suaranya memang suara Lo Tek-nau asli.

“Jisuko, di Hokciu, kau pura-pura mati dibunuh musuh, kalau begitu, tentunya... tentunya kaulah yang membunuh Patsuko bukan?” tanya Peng-ci.

Lo Tek-nau hanya mendengus saja tanpa menjawab.

“Ya, tentu... tentu luka di punggung Peng-ci ini pun perbuatanmu, padahal selama ini aku telah salah menuduh Toasuko,” teriak Leng-sian. “Hm, bagus sekali perbuatanmu. Rupanya kau sengaja membunuh seorang lain dan mencacah mukanya hingga hancur lalu kau dandani dengan pakaianmu sehingga setiap orang mengira kau telah mati dibunuh musuh.”

“Rekaanmu memang tidak salah,” jawab Lo Tek-nau. “Kalau tidak begitu, mustahil aku takkan dicurigai Gak Put-kun bila mendadak aku menghilang? Hanya saja luka bacokan di punggung Lim-siauhiap itu bukanlah perbuatanku.”
Bukan kau? Memangnya masih ada orang lain?” jengek Leng-sian.

“Juga tidak termasuk orang lain, justru adalah ayahmu sendiri,” kata Lo Tek-nau.

“Persetan!” teriak Leng-sian. “Kau sendiri yang berbuat, tapi memfitnah orang lain. Tanpa sebab musabab mengapa ayahku membacok Adik Peng?”

“Soalnya waktu itu ayahmu telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh dari Lenghou Tiong,” kata Tek-nau. “Kiam-boh itu adalah milik keluarga Lim, maka orang pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu justru adalah kau punya Adik Peng ini. Bila Lim Peng-ci masih hidup di dunia ini, mana ayahmu dapat meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dengan baik?”

Ucapan Lo Tek-nau ini membikin Leng-sian menjadi bungkam. Dalam hati kecilnya ia percaya apa yang dikatakan itu memang masuk di akal. Tapi bahwasanya sang ayah tega menyergap Peng-ci secara keji hal ini tetap sukar untuk dipercaya.

Maka setelah mengucap “persetan” beberapa kali, lalu ia berkata pula, “Jika ayahku hendak membunuh Adik Peng, mustahil sekali bacok tidak membuatnya meninggal.”

“Bacokan itu memang benar dilakukan oleh Gak Put-kun, ucapan Jisuko memang tidak keliru,” tiba-tiba Peng-ci menimbrung.

“Mengapa kau... kau pun berkata demikian?” ujar Leng-sian.

“Ketika kena bacokan pedang Gak Put-kun, lukaku sangat parah, aku tahu tidak mampu melawan, maka begitu roboh segera aku pura-pura mati tanpa bergerak lagi, waktu itu aku tidak tahu bahwa yang menyerang itu adalah Gak Put-kun, guruku yang ‘tersayang’ itu, hehe!” jengek Peng-ci. 
Dalam keadaan hampir tak sadar, samar-samar kudengar suara Patsuko memanggil ‘Suhu!’. Agaknya panggilan Patsuko sendiri.”

“Kau maksudkan Patsuko juga... juga dibunuh oleh ayahku?” Leng-sian menegas dengan terkejut.

“Memang begitulah adanya,” jawab Peng-ci. “Kudengar sehabis Patsuko memanggil Suhu, lalu dia menjerit ngeri. Aku sendiri lantas jatuh pingsan.”

“Saat itu Gak Put-kun sebenarnya hendak menambahi sekali bacok lagi padamu,” sambung Lo Tek-nau. “Untung bagiku aku telah mengintip perbuatannya, di tempat sembunyi perlahan aku berdehem sehingga membikin keder Gak Put-kun, lekas-lekas ia kembali ke kamarnya. Jadi suara dehemanku itulah yang menyelamatkan jiwamu, kau tahu tidak, Lim-siauhiap?”

“Kalau Ayah benar bermaksud mencelakaimu, kesempatan selanjutnya kan cukup... cukup banyak, mengapa beliau tidak turun tangan pula?” ujar Leng-sian.

“Hm, kemudian dengan sendirinya aku cukup waspada, sehingga tiada kesempatan turun tangan baginya,” jengek Peng-ci. “Ada juga bantuanmu, setiap hari kau selalu berada bersamaku, sehingga membikin dia tidak leluasa untuk membunuh diriku.”

“Kiranya... kiranya engkau menikah dengan aku hanya... hanya menggunakan diriku sebagai... sebagai tameng belaka,” kata Leng-sian sambil menangis terguguk-guguk.

Peng-ci tidak pedulikan tangisan Leng-sian itu, ia berkata terhadap Lo Tek-nau, “Lo-heng, sejak kapan engkau mengadakan hubungan dengan Co-ciangbun?”

“Co-ciangbun adalah Insu (guruku yang berbudi), aku adalah murid beliau yang ketiga,” jawab Tek-nau.

“O, kiranya kau telah ganti perguruan,” kata Peng-ci.

“Aku tidak ganti perguruan,” Tek-nau berkata. “Sejak dulu aku memang murid Ko-san-pay, hanya selama ini aku ditugaskan Insu masuk ke Hoa-san-pay, tujuannya tiada lain adalah menyelidiki ilmu silat Gak Put-kun serta gerak-gerik setiap orang Hoa-san-pay.”

Baru sekarang Lenghou Tiong paham persoalannya. Ketika Lo Tek-nau masuk Hoa-san-pay memang diketahui sudah mahir ilmu silat, hanya yang diperlihatkan tampaknya adalah ilmu silat gado-gado dari berbagai golongan, sama sekali tak terduga dia adalah murid pilihan Ko-san-pay. Rupanya memang sudah lama Co Leng-tan merencanakan pencaplokan keempat aliran yang lain dan telah menaruh mata-matanya di mana perlu, maka soal Lo Tek-nau membunuh Liok Tay-yu serta mencuri kitab Ci-he-sin-kang menjadi tidak perlu diherankan lagi. Hanya saja orang cerdik sebagai gurunya itu, ternyata kena diselomoti Lo Tek-nau.

Dalam pada itu Lim Peng-ci sedang bicara, “O, kiranya begitu dan jasa Lo-heng tentu tidak kecil setelah berhasil membawa kitab Ci-he-sin-kang dan Pi-sia-kiam-hoat ke Ko-san sehingga Co-ciangbun berhasil meyakinkan ilmu sakti.”

Lenghou Tiong dan Ing-ing sama mengangguk sependapat dengan ucapan Peng-ci itu, sebabnya Co Leng-tan dan Lo Tek-nau dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat tentu begitulah adanya. Nyata otak Lim Peng-ci dapat bekerja dengan cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat itu.

Lo Tek-nau lantas menjawab, “Terus terang saja Saudara Lim, kita berdua, juga Insu kami telah sama-sama ditipu oleh keparat Gak Put-kun itu. Orang ini benar-benar culas dan keji, kita sama-sama tertipu olehnya.”

“Ehm, aku paham,” ujar Peng-ci. “Tentu Pi-sia-kiam-boh yang dicuri Lo-heng itu adalah palsu yang sengaja dibikin oleh Gak Put-kun, sebab itulah....”

“Kalau tidak begitu masakah pertandingan di Hong-sian-tay itu si bangsat Gak Put-kun mampu mengalahkan guruku?” kata Lo Tek-nau dengan mengertak gigi. “Kiam-boh yang kuperoleh itu ternyata banyak yang kurang, terutama... terutama bagian-bagian yang penting, sehingga kiam-hoat yang kami latih meski bagus, tapi tidak mampu meyakinkan lwekang yang mengimbangi ilmu pedang yang hebat itu.”

“Tiada gunanya juga biarpun meyakinkan lwekang dari ilmu pedang itu,” ujar Lim Peng-ci dengan menghela napas. Ia tahu bahwa Gak Put-kun telah sengaja mengurangi beberapa bagian yang merupakan kunci untuk meyakinkan lwekang yang dapat mengimbangi Pi-sia-kiam-hoat itu, seperti bagian menyuruh kebiri lebih dulu bila mau menjadi jago pedang nomor satu.

Bab 124. Gak Leng-sian Mati di Ujung Pedang Suami Sendiri

Begitulah dengan gemas Lo Tek-nau berkata pula, “Rupanya aku menyelundup ke dalam Hoa-san-pay sejak awal sudah diketahui oleh Gak Put-kun, hanya dia pura-pura tidak tahu dan berbalik mengawasi tingkah lakuku, dia sengaja membiarkan kiam-boh palsu dicuri olehku sehingga ilmu pedang yang diyakinkan guruku jadinya tidak lengkap. Kemudian pada pertarungan yang menentukan itu dia memancing guruku memainkan ilmu pedang itu untuk menghadapi ilmu pedang palsu yang tidak sempurna, dengan sendirinya dia pasti menang. Kalau tidak, jabatan ketua Ngo-gak-pay mana bisa jatuh ke tangannya.”

“Ya, Gak Put-kun benar-benar culas dan licik, kita sama-sama telah terjeblos ke dalam perangkapnya,” kata Peng-ci dengan menghela napas.

“Tapi guruku adalah seorang yang bijaksana, meski aku telah bikin runyam urusannya, namun tiada satu patah kata pun dia tegur diriku,” tutur Tek-nau. “Namun sebagai murid dengan sendirinya hatiku tidak tenteram, biarpun masuk lautan api atau naik gunung pisau juga aku akan berusaha membinasakan keparat Gak Put-kun untuk membalas sakit hati Insu.”

Ucapan terakhir itu dilontarkan dengan tegas dan gemas, nyata sekali tidak kepalang rasa dendam kesumatnya terhadap Gak Put-kun.

Peng-ci tidak menanggapi, ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang.

Maka Lo Tek-nau berkata pula, “Kedua mata Insu telah rusak, saat ini beliau tinggal menyepi di puncak barat Ko-san bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Gak Put-kun dan Lenghou Tiong. Bila Lim-siauhiap mau ikut aku ke sana sebagai satu-satunya ahli waris Pi-sia-kiam-bun dari Hokciu tentu Insu akan menyambutmu dengan segala kehormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat disembuhkan, kalau tidak dapat, tinggal saja di sana bersama Insu untuk sama-sama memikirkan cara-cara menuntut balas sakit hati kita yang mahabesar ini, bukankah jalan ini paling baik?”

Tertarik juga hati Lim Peng-ci, ia pikir kedua matanya tentu sukar untuk bisa disembuhkan, tapi kalau bisa berkumpul dengan orang-orang yang senasib yang sama-sama buta matanya tukar pikiran cara menuntut balas, jalan ini memang paling baik. Cuma ia pun kenal pribadi Co Leng-tan, bila tiada maksud tujuan tertentu mustahil mendadak begitu baik hati padanya. Maka ia lantas menjawab, “Maksud baik Co-ciangbun sungguh aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Lo-heng dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap.”

Maksudnya bila pihak Lo Tek-nau ada tujuan apa-apa, hendaknya buka harga secara terus terang dan kalau perlu boleh tawar-menawar.

Lo Tek-nau bergelak tertawa, katanya, “Lim-siauhiap ternyata orang yang suka berpikir secara terbuka, agar kelak kita dapat bekerja sama lebih erat tentu akan kujelaskan secara terus terang. Soalnya aku mendapatkan kiam-boh yang tidak sempurna dari Hoa-san, kami guru dan murid tertipu dengan sendirinya kami tidak rela. Sepanjang jalan telah kusaksikan Lim-siauhiap memperlihatkan kesaktian ilmu pedang yang hebat untuk membunuh Bok Ko-hong, Ih Jong-hay, dan begundalnya sehingga musuh-musuhmu lari terbirit-birit, nyata sekali engkau sudah memperoleh ajaran asli dari Pi-sia-kiam-hoat itu. Sungguh aku sangat kagum dan juga... dan juga sangat mengiler....”

Peng-ci dapat menangkap maksud orang. Jawabnya kemudian, “Apakah maksud Lo-heng hendak minta aku memperlihatkan kiam-boh asli kepada kalian?”

“Sebenarnya orang luar tidaklah pantas mengincar milik keluargamu itu,” kata Tek-nau. “Tapi hendaklah Lim-siauhiap maklum, dalam keadaan seperti Insu dan Lim-siauhiap sekarang terang tiada mampu membunuh keparat Gak Put-kun itu kecuali kalau Insu dan aku dapat mempelajari Pi-sia-kiam-hoat yang asli.”

Sesungguhnya Peng-ci memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan mata buta itu. Apalagi sekarang kalau dirinya menolak tentu Lo Tek-nau akan gunakan kekerasan untuk membunuhnya dan Leng-sian, dan kiam-boh akhirnya tetap akan terampas.

Tiba-tiba ia mendapat akal, segera berkata, “Co-ciangbun sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Sebabnya keluarga Lim kami hancur dan aku sampai menjadi cacat adalah gara-gara perbuatan Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, tapi tipu muslihat yang dirancangkan Gak Put-kun terhitung pula sebab-sebab pokok, maka keinginanku membunuh Gak Put-kun tiada ubahnya seperti kalian guru dan murid. 
Maka kalau kita berserikat sudah tentu Pi-sia-kiam-hoat akan kuperlihatkan kepada kalian.”

Lo Tek-nau sangat senang, katanya, “Lim-siauhiap ternyata sangat berbaik hati, sungguh kami sangat berterima kasih bila dapat melihat keaslian Pi-sia-kiam-boh, selanjutnya Lim-hengte akan menjadi kawan akrab sebagai saudara sendiri.”

“Terima kasih,” kata Peng-ci. “Sesudah kita sampai di Ko-san, segera Pi-sia-kiam-boh yang asli itu akan kuuraikan seluruhnya di luar kepala.”

“Menguraikan di luar kepala?” Lo Tek-nau menegas.

“Ya,” jawab Peng-ci. “Hendaknya Lo-heng maklum bahwa kiam-boh asli itu oleh leluhurku telah ditulis pada sebuah kasa. Kasa itu telah diserobot oleh Gak Put-kun, dari situ dapatlah dia mencuri ilmu pedang keluargaku. Tapi kemudian secara kebetulan sekali kasa itu jatuh kembali ke tanganku. Karena kukhawatir diketahui oleh Gak Put-kun, maka aku telah menghafalkan isi kiam-boh itu di luar kepala, lalu kasa itu kumusnahkan. Bila kusimpan kasa itu, sedangkan aku selalu didampingi seorang istri setia begini, apakah mungkin aku dapat hidup sampai sekarang?”

Sejak tadi Gak Leng-sian hanya mendengarkan saja tanpa bicara, kini mendengar sindiran itu, kembali ia menangis sedih, katanya dengan terguguk, “Kau... kau kenapa....”

Namun ia tidak sanggup melanjutkan pula.

Karena Lo Tek-nau tadi sembunyi di dalam kereta, maka ia mendengar semua percakapan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian, ia percaya apa yang dikatakan Peng-ci itu memang bukan olok-olok belaka, segera ia berkata, “Baiklah, apakah sekarang juga kita lantas berangkat ke Ko-san?”

Tanpa pikir lagi Peng-ci mengiakan.

“Kita harus membuang kereta dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil,” kata Lo Tek-nau. “Sebab kita bukan tandingannya.”

Lalu ia berpaling kepada Gak Leng-sian dan bertanya, “Siausumoay, kau akan membantu ayah atau membantu suami?”

“Aku tidak membantu siapa pun juga!” sahut Leng-sian tegas. “Aku... aku memang bernasib buruk, besok juga aku akan cukur rambut dan meninggalkan rumah, apakah dia ayah atau dia suami, selanjutnya aku takkan berjumpa lagi dengan mereka.”
Jika kau menjadi nikoh ke Hing-san, di situ memang tepat tempatnya bagimu,” kata Peng-ci.

“Lim Peng-ci!” teriak Leng-sian dengan gusar. “Apakah kau sudah lupa? Dahulu kau hampir mampus, kalau tidak ditolong Ayah tentu jiwamu sudah melayang di tangan Bok Ko-hong, mana kau dapat hidup sampai saat ini? Seumpama ayahku berbuat sesuatu kesalahan, aku Gak Leng-sian toh tidak berbuat sesuatu yang tidak betul padamu? Apakah artinya kau berkata demikian itu?”

“Apa artinya? Aku cuma ingin membuktikan tekadku kepada Co-ciangbun,” sahut Peng-ci suaranya bengis buas.

Menyusul itu, sekonyong-konyong terdengar Leng-sian menjerit ngeri, agaknya telah mengalami kecelakaan. Tanpa pikir Lenghou Tiong dan Ing-ing melompat keluar dari tempat sembunyinya. Berbareng Lenghou Tiong berteriak, “Lim Peng-ci, jangan mencelakai Siausumoay!”

Dalam keadaan menyamar, di tengah malam pula, sebenarnya Lo Tek-nau mengenalnya. Keruan kagetnya setengah mati, hampir-hampir sukmanya meninggalkan raganya.

Saat ini yang paling ditakuti Lo Tek-nau hanya Gak Put-kun dan Lenghou Tiong berdua. Maka tanpa pikir lagi segera ia cengkeram bahu Lim Peng-ci terus mencemplak seekor kuda tinggalan orang Jing-sia-pay tadi dan segera dilarikan sekencang-kencangnya.

Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Gak Leng-sian, Lenghou Tiong tidak sempat berpikir untuk mengejar musuh. Dilihatnya Leng-sian menggeletak di tempat kusir di atas kereta, dadanya tertancap sebatang pedang, ketika diperiksa pernapasannya keadaannya sudah payah, lemah sekali denyut nadinya.

“Siausumoay! Siausumoay!” Lenghou Tiong berseru.

“Apakah... apakah Toasuko?” jawab Leng-sian lemah.

“Ya... ya, aku!” seru Lenghou Tiong kegirangan.

Segera ia bermaksud mencabut pedang yang menancap di dada Leng-sian itu, tapi Ing-ing keburu mencegahnya. Hampir separuh mata pedang itu masuk dalam tubuh Leng-sian, kalau pedang dicabut pasti akan mempercepat kematiannya, terang Leng-sian sukar diselamatkan lagi, Lenghou Tiong menjadi berduka, serunya sambil menangis, “Siau... Siausumoay!”

“Toasuko, engkau berada di sampingku, sungguh baik sekali,” kata Leng-sian dengan suara lemah. “Adik Peng, apakah... apakah dia sudah pergi?”

“Jangan khawatir, aku pasti membunuh dia untuk membalas sakit hatimu,” kata Lenghou Tiong dengan geregetan.

“Tidak, jangan!” kata Leng-sian. “Matanya sudah buta, hendak kau bunuh dia, tentu dia tidak sanggup melawan. Aku... aku ingin kembali ke tempat Ibu.”

“Baik, akan kubawa kau menemui Sunio,” kata Lenghou Tiong.

Melihat keadaan Leng-sian yang semakin payah itu, terang jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa terasa Ing-ing juga mengucurkan air mata.

“Toasuko,” kata Leng-sian pula dengan lemah, “engkau selalu sangat baik padaku, tapi aku... aku bersalah padamu. Aku... akan meninggal dengan segera. Aku ingin mohon se... sesuatu padamu, hendaknya kau dapat... dapat meluluskan permintaanku ini.”

“Kau takkan meninggal, aku akan berusaha menyembuhkanmu,” ujar Lenghou Tiong. “Silakan bicara, aku pasti akan memenuhi permintaanmu.”

“Tetapi... tapi engkau tentu tak dapat menerima, hal ini akan membikin engkau pen... penasaran....” 
suaranya makin lirih, napasnya juga makin lemah.

“Aku pasti meluluskan permintaanku, katakan saja,” jawab Lenghou Tiong.

“Toasuko, suamiku... Adik Peng, dia... dia sudah buta, kas... kasihan dia,” kata Leng-sian dengan terputus-putus. “Dia sebatang kara di dunia ini, semua... semua orang me... memusuhi dia. Toasuko... sesudah aku mati, harap... harap engkau menjaga baik-baik dia, jangan... jangan sampai dia dianiaya orang lagi....”

Lenghou Tiong melengak, sama sekali tak terduga bahwa Gak Leng-sian yang sudah dekat ajalnya itu tetap tidak melupakan cintanya terhadap Lim Peng-ci, suami yang tega membunuh istri sendiri itu. Padahal kalau bisa Lenghou Tiong ingin membekuk Peng-ci pada saat itu juga untuk mencencangnya hingga hancur luluh, kelak tidak mungkin pula dia mau mengampuni jiwa manusia rendah itu, mana dia mau menerima permintaan Leng-sian itu agar menjaganya malah?

Maka dengan gusar Lenghou Tiong menjawab, “Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak berbudi itu, mengapa... mengapa kau masih memikirkan dia?”

“Toasuko,” kata Leng-sian, “dia... dia tidak sengaja hendak membunuh aku, hanya... karena takut pada Ayah, dia terpaksa... terpaksa memihak Co Leng-tan dan aku... aku ditusuknya sekali... 
Toasuko, aku mohon... mohon padamu... agar men... menjaga dia dengan baik....”

Di bawah cahaya rembulan, wajah Leng-sian tampak rada pucat, sinar matanya guram, namun penuh memperlihatkan rasa memohon. Padahal sejak kecil permintaan apa pun juga dari Leng-sian belum pernah ditolak oleh Lenghou Tiong, apalagi permintaan Leng-sian sekarang ini adalah permintaan pada saat menjelang ajalnya, permintaan yang terakhir dan juga permintaan yang paling sungguh-sungguh.

Sesaat itu darah dalam rongga dada Lenghou Tiong menjadi bergolak. Ia tahu sekali terima permintaan Leng-sian itu, maka selanjutnya pasti akan banyak akibatnya dan mungkin akan banyak pula memaksa dirinya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya.

Tapi menghadapi wajah dan suara Leng-sian yang penuh rasa memohon itu, Lenghou Tiong tidak tega untuk menolak, segera ia mengangguk dan berkata, “Baiklah, aku menerima permintaanmu, jangan khawatir!”

Mendengar itu, tanpa terasa Ing-ing mencela, “Mana... mana boleh kau menerimanya!”

Dengan kencang Leng-sian menggenggam tangan Lenghou Tiong, katanya, “Toasuko, banyak... banyak terima kasih... aku tak perlu... tak perlu khawatir lagi....”

Mendadak sorot matanya memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum penuh tanda merasa puas. Lenghou Tiong juga merasa puas melihat kegembiraan Leng-sian itu, ia merasa cukup berharga biarpun kelak harus menghadapi kesulitan-kesulitan mahabesar.

Tapi mendadak terdengar Leng-sian berdendang perlahan. Seketika dada Lenghou Tiong seperti digodam, sebab didengarnya lagu yang dinyanyikan Leng-sian itu kiranya adalah lagu rakyat daerah Hokkian, jelas lagu ajaran Lim Peng-ci yang berasal dari Hokkian itu.

Dahulu ketika Lenghou Tiong dihukum kurung di puncak Hoa-san, perasaannya sangat pedih ketika mendengar Leng-sian menyanyikan lagu daerah itu. Kini kembali Leng-sian menyanyi pula, terang sedang mengenangkan masa percintaannya dengan Peng-ci di Hoa-san dahulu. Suara Leng-sian melemah, tangannya yang menggenggam tangan Lenghou Tiong juga makin kendur dan akhirnya terbuka, mata perlahan terpejam, nyanyian berhenti napasnya juga lantas putus.

Hati Lenghou Tiong serasa mendelong, seketika dunia seakan-akan runtuh saat itu, ia ingin menangis keras-keras, tapi tak dapat bersuara. Ia peluk tubuh Leng-sian yang sudah tak bernyawa itu dan bergumam perlahan, “Siausumoay, jangan khawatir, Siausumoay! 
Akan kubawa kau ke tempat ibumu, pasti tiada seorang pun yang berani memusuhimu.”

Ing-ing melihat punggung Lenghou Tiong basah kuyup dengan darah, terang lukanya kambuh lagi, tapi dalam keadaan demikian ia tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya.

Sambil memondong jenazah Leng-sian, dengan sempoyongan Lenghou Tiong melangkah ke depan sembari menggumam, “Jangan khawatir Siausumoay, akan kubawa kau kepada ibumu!”
Tapi mendadak kakinya menjadi lemas dan terguling lalu tak sadarkan diri lagi.

Entah sudah berapa lama, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara nyaring kecapi yang membikin pikirannya menjadi segar. Suara kecapi itu mengalun lembut berulang, kedengaran lagunya sudah dikenalnya dan enak sekali rasanya. Seluruh tubuh terasa tak bertenaga sampai-sampai kelopak mata pun malas untuk membukanya, ia berharap akan senantiasa dapat mendengarkan suara kecapi itu tanpa berhenti.

Dan suara kecapi itu ternyata benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Selang tak lama, sayup-sayup Lenghou Tiong kembali terpulas lagi.

Ketika untuk kedua kalinya ia mendusin, telinganya tetap mendengar suara nyaring kecapi yang merdu, malahan hidung mengendus bau harum bunga yang semerbak. Waktu ia membuka mata, di depannya penuh bunga beraneka warna, Ing-ing sedang menabuh kecapi membawakan lagu “Penenang Jiwa”, agaknya dirinya terbaring dalam sebuah gua.

Segera ia bermaksud bangun duduk, tapi Ing-ing keburu menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira penuh rasa kasih sayang. Sesaat itu Lenghou Tiong merasa sangat bahagia, ia tahu Ing-ing yang membawanya ke gua ini ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian siausumoaynya yang mengenaskan itu. Kembali hatinya berduka, tapi lambat laun dari sorot mata Ing-ing yang lembut mesra itu ia merasa terhibur, kedua orang saling pandang tanpa bicara sampai sekian lamanya.

Perlahan Lenghou Tiong mengelus tangan Ing-ing, tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu terendus pula bau sedap daging panggang. Ing-ing lantas angkat setangkai kayu, di atas tangkai itu tersunduk beberapa ekor kodok panggang.

“Kembali hangus!” katanya dengan tersenyum.

Lenghou Tiong bergelak tertawa teringat kepada kejadian dahulu ketika mereka juga makan kodok panggang di tepi sungai. Makan kodok dua kali, tapi dalam waktu sekian lama itu telah banyak mengalami macam-macam kejadian, namun mereka berdua masih tetap berkumpul menjadi satu.

Sejenak kemudian Lenghou Tiong menjadi berduka pula teringat kepada Gak Leng-sian. Ing-ing memayangnya bangun, katanya sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua, “Di situlah Nona Sian beristirahat untuk selamanya.”

“Banyak... banyak terima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong dengan menahan air mata. Dalam hati ia pun merasa rikuh, lalu sambungnya pula, “Ing-ing, aku terkenang kepada Siausumoay, hendaklah engkau jangan marah.”

“Sudah tentu aku takkan marah, masing-masing orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan punya suka-duka pula,” jawab Ing-ing.

Lalu dengan suara lirih ia melanjutkan, “Dahulu ketika aku mula-mula jatuh hati padamu justru disebabkan uraianmu tentang cintamu terhadap siausumoaymu. Bila engkau seorang pemuda yang beriman tipis dan tak berbudi, tentu aku takkan menghargai dirimu. Sebenarnya... sebenarnya Nona Sian adalah seorang nona yang baik, cuma saja dia tidak... tidak ada jodoh denganmu. Jika engkau tidak dibesarkan bersama dia sedari kecil, besar kemungkinan sekali lihat dia akan suka padamu.”

“Tak mungkin,” sahut Lenghou Tiong setelah merenung sejenak. “Siausumoay paling kagum terhadap Suhu, lelaki yang dia suka harus pendiam dan kereng seperti ayahnya itu. Aku hanya bermain baginya, selamanya dia tidak... tidak menghargai diriku.”

“Mungkin kau benar. Lim Peng-ci justru mirip gurumu, tampaknya prihatin, tapi jiwanya justru begitu kotor.”

“Tapi pada saat terakhir Siausumoay tetap tidak percaya Lim Peng-ci benar-benar mau membunuhnya, dia masih tetap mencintai Peng-ci sepenuh hati. Tapi juga ada... ada baiknya, dia tidak meninggal dalam kedukaan. Ya, aku ingin melihat kuburannya.”

Segera Ing-ing memayangnya keluar gua. Tertampak kuburan itu bagian atas ditumpuki batu dengan rajin, suatu tanda Ing-ing tidak sembarangan menguburkan Gak Leng-sian. Diam-diam Lenghou Tiong sangat berterima kasih. Dilihatnya pula di depan kuburan terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipapas tangkai dan daunnya, pada kulit dahan pohon terukir tulisan, “Tempat istirahat Hoa-san-lihiap, Nona Gak Leng-sian.”

Kembali Lenghou Tiong mencucurkan air mata, katanya sedih, “Mungkin Siausumoay lebih suka dipanggil Nyonya Lim.”

“Manusia tak berbudi seperti Lim Peng-ci itu, kalau Nona Gak tahu di alam baka pasti takkan sudi menjadi nyonyanya,” ujar Ing-ing. Dalam hati ia membatin, “Sayang engkau tidak tahu bahwa dia dan Lim Peng-ci hanya resminya saja suami-istri, tapi praktiknya tidak.”

Tempat di mana mereka berada adalah sebuah lembah dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi, suara burung berkicau merdu merayu, sungguh suatu tempat yang sangat permai.

“Biarlah kita tinggal sementara di sini, sambil menyembuhkan lukamu, dapat pula kita menemani kuburan Nona Gak,” kata Ing-ing.

Lenghou Tiong mengiakan dengan senang.

Begitulah mereka lantas tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Lenghou Tiong hanya terluka luar saja, hanya belasan hari saja lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya. Setiap hari Ing-ing mengajarkan dia menabuh kecapi, dasarnya Lenghou Tiong memang pintar, ia belajar dengan tekun pula, maka kemajuannya cukup pesat.

Beberapa hari pula, satu pagi ketika Lenghou Tiong bangun, dilihatnya kuburan Gak Leng-sian telah tumbuh tunas rumput yang hijau. Hati Lenghou Tiong kembali berduka menghadapi kuburan siausumoaynya itu.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seruling yang merdu, cepat ia menoleh, dilihatnya Ing-ing sedang meniup seruling dengan duduk di atas batu padas. Lagu yang dibawakannya adalah “Penenang Jiwa” yang sering dibunyikannya sejak dahulu. Ia coba mendekati si nona, dilihatnya seruling itu terbikin dari bambu yang masih baru, terang baru saja Ing-ing membuatnya.

Segera ia pun memangku kecapi dan mulai menabuhnya mengikuti irama seruling Ing-ing. Selesai membawakan satu lagi, semangat terasa banyak lebih segar. Kedua orang saling pandang dengan tertawa.

“Bagaimana kalau kita berlatih lagi ‘Hina Kelana’ mulai sekarang?” kata Ing-ing.

“Lagu ini sangat sukar, entah kapan aku baru dapat menyamaimu,” ujar Lenghou Tiong. “Dahulu aku pernah mendengar lagu ini dibawakan oleh Lau-susiok dari Heng-san-pay dan Kik-tianglo dari Tiau-yang-sin-kau kalian, yang satu meniup seruling dan yang lain menabuh kecapi, paduan suara seruling dan kecapi sungguh sangat enak didengar. Menurut Lau-susiok, lagu ‘Hina Kelana’ memang digubah dengan paduan suara seruling dan kecapi.”

“Ya, engkau menabuh kecapi dan aku meniup seruling, kita mulai berlatih secara perlahan, latihan dua orang bersama tentu akan lebih cepat maju daripada latihan sendirian,” kata Ing-ing.

Begitulah belasan hari selanjutnya mereka lantas tekun berlatih menabuh kecapi dan meniup seruling di tengah lembah indah itu, untuk sementara mereka terlupa kepada sinar pedang dan bayangan darah di dunia Kang-ouw. Kedua orang sama-sama merasa kalau dapat hidup berdampingan di lembah itu hingga hari tua, maka rasanya tak kecewalah hidup mereka ini.

Akan tetapi kejadian di dunia ini memang sering bertentangan dengan harapan manusia.

Suatu hari lewat tengah hari, setelah Lenghou Tiong berlatih sekian lamanya dengan Ing-ing, tiba-tiba ia merasa pikiran kusut dan sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya salah petik.

“Tentu engkau lelah, silakan mengaso saja dulu,” ujar Ing-ing.

“Lelah sih tidak, entah mengapa, pikiran tidak tenteram,” kata Lenghou Tiong. “Biar kupergi petik buah tho, petang nanti kita berlatih lagi.”

“Baiklah cuma jangan terlalu jauh,” kata Ing-ing.

Lenghou Tiong tahu di sebelah timur lembah itu banyak tumbuh pepohonan tho, waktu itu adalah musimnya, segera ia menuju ke sana. Kira-kira sepuluhan li jauhnya, benarlah di depan terbentang hutan tho yang lebat dengan buahnya yang sudah merah.

Tanpa pikir lagi ia terus memetik buah-buah itu sampai ratusan. Pikirnya, “Kalau biji buah tho ini kelak tumbuh pula menjadi pohon, tentu lembah ini akan penuh pohon tho dan jadilah sebuah tho-kok (lembah tho), dan aku dan Ing-ing bukankah akan berubah menjadi Tho-kok-ji-sian? Kelak kalau Ing-ing juga melahirkan enam anak laki-laki, kan mereka akan menjadi Tho-kok-lak-sian cilik?”
Teringat kepada Tho-kok-lak-sian, ia menjadi tertawa geli sendiri.

Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya dari jauh ada suara keresak-keresek, suara orang berjalan. Ia terkejut dan cepat mendekam ke bawah. Pikirnya, “Aneh, di lembah sunyi ini kenapa ada orang? Jangan-jangan yang dituju adalah aku dan Ing-ing?”

Selang sejenak, sayup-sayup didengarnya suara seorang sedang berkata, “Apakah kau tidak keliru? Apakah benar keparat Gak Put-kun itu menuju ke sini?”

Lalu terdengar suara seorang lagi menjawab, “Menurut penyelidikan Su-hiangcu, katanya putri Gak Put-kun mendadak menghilang di sekitar sini, di tempat lain sama sekali tidak tampak jejak anak dara itu, maka dapat dipastikan anak dara itu bersembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya. Dapat diduga pula siang atau malam Gak Put-kun pasti akan mencarinya ke sini.”

Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa orang-orang itu sedang mengincar jejak Gak Put-kun. Ia menjadi berduka pula. Pikirnya, “Kiranya mereka mengetahui Siausumoay terluka, tapi tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Selama sebulan ini aku dan Ing-ing hidup tenteram di sini, sebaliknya Siausumoay tentu sedang dicari orang banyak, terutama Suhu dan Sunio.”

Lalu terdengar suara orang tua pertama tadi berkata pula, “Jika dugaanmu tidak salah dan Gak Put-kun benar-benar akan datang, maka kita perlu pasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini.”

Orang kedua yang bersuara rada serak menjawab, “Seumpama Gak Put-kun tidak segera datang, setelah kita atur seperlunya tentu juga akan dapat memancing kedatangannya.”

“Akalmu sungguh hebat Sik-hengte, bila usaha kita berhasil, tentu akan kulaporkan Kaucu dan kau akan segera naik pangkat,” kata orang tua yang pertama.

“Terima kasih, Kat-tianglo, segala sesuatu masih diharapkan bantuanmu,” jawab orang kedua.

Tahulah Lenghou Tiong sekarang, kiranya orang-orang itu adalah anggota Tiau-yang-sin-kau dan berarti anak buah Ing-ing pula. Pikirnya, “Betapa pun tinggi kepandaian mereka mana dapat melawan kepandaian Suhu sekarang? Paling baik kalau mereka saling hantam asalkan tidak mengganggu ketenteraman kami.”

Segera terpikir pula olehnya, “Suhu adalah orang mahacerdik, masakah orang-orang macam kalian ini juga mampu menjebak suhuku? Sungguh terlalu tidak tahu diri.”

Pada saat lain, tiba-tiba dari jauh ada suara tepukan tangan tiga kali. Orang she Sik lantas berkata, “Toh-tianglo dan lain-lain sudah tiba pula.”

Segera orang yang dipanggil Kat-tianglo tadi membalas tiga kali tepukan tangan. 
Lalu terdengar suara langkah kaki yang ramai, empat orang berlari datang dengan cepat. Dua orang di antaranya rada ketinggalan, agaknya ginkang mereka lebih rendah. Tapi sesudah dekat, Lenghou Tiong lantas dapat mendengar bahwa kedua orang yang rada ketinggalan itu disebabkan mereka menggotong sesuatu benda berat.

Dengan girang Kat-tianglo lantas berseru, “He, Toh-laute berhasil menangkap anak dara keluarga Gak itu kiranya? Sungguh tidak kecil jasamu ini!”

Lalu terdengar seorang bersuara lantang menjawab, “Orang keluarga Gak sih memang benar, cuma bukan anak daranya melainkan babonnya, biangnya!”

“He!” terdengar Kat-tianglo bersuara kejut-kejut girang. “Jadi bininya Gak Put-kun yang kena kau tangkap?”

Bab 125. Kelicikan Gak Put-kun yang Memalukan

Mendengar orang yang ditawan gembong-gembong Mo-kau itu adalah ibu gurunya, sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, segera ia bermaksud menerjang ke luar untuk menolongnya. Tapi segera ia ingat dirinya tidak membawa pedang, tanpa pedang kepandaiannya sukar menandingi tokoh-tokoh sebagai Kat-tianglo dan kawan-kawannya itu. Karena itu ia menjadi cemas.

Kemudian terdengar Kat-tianglo bertanya pula, “Ilmu pedang Nyonya Gak itu cukup lihai, cara bagaimana Saudara Toh menangkapnya? Ah, tahulah aku, pakai obat, bukan?”

Toh-tianglo tertawa, jawabnya, “Perempuan ini masuk sebuah hotel dalam keadaan seperti orang linglung, tanpa pikir ia terus makan minum. Orang suka memuji betapa hebat bininya Gak Put-kun, nyatanya juga orang ceroboh begini.”

Diam-diam Lenghou Tiong sangat gusar karena ibu gurunya dihina, ia pikir sebentar akan kubinasakan semua. Cuma saja tidak membawa senjata, kalau dapat merampas sebatang pedang segala urusan tentu akan dapat dibereskan.

Terdengar pula Kat-tianglo berkata, “Setelah bini Gak Put-kun kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah diselesaikan. Saudara Toh, persoalan sekarang adalah cara bagaimana memancing Gak Put-kun ke sini.”

“Lalu bagaimana bila dia sudah terpancing kemari?” tanya Toh-tianglo.

Kat-tianglo merenung sejenak, lalu menjawab, “Kita gunakan bininya sebagai sandera dan paksa dia menyerah. Suami-istri Gak Put-kun terkenal sangat rukun dan baik, tentu dia tak berani membangkang.”

“Benar juga Saudara Kat,” kata Toh-tianglo. “Khawatirnya kalau Gak Put-kun itu berhati kejam, cintanya kepada sang istri tidak mendalam, tidak setia pula, maka bagi kita menjadi rada runyam.”

“Ya, ini memang... memang... Eh, eh, bagaimana pendapatmu, Saudara Sih?” tanya Kat-tianglo tiba-tiba.

“Di hadapan kedua Tianglo, Cayhe merasa tidak hak bicara dan terserah saja,” sahut orang she Sih.

Sampai di sini, tiba-tiba dari arah barat sana ada suara orang bertepuk tangan tiga kali, dari suara tepukan tangan yang berkumandang hingga jauh itu dapat dipastikan lwekang orang itu pasti tidak rendah.

“Ah, Pau-tianglo sudah datang,” ujar Toh-tianglo.

Dalam sekejap saja tertampak dua orang berlari datang dari jurusan barat sana dengan cepat luar biasa.

“Eh, Bok-tianglo juga ikut datang,” kata Kat-tianglo.

Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh. Tampaknya kedua orang yang baru datang ini berkepandaian lebih tinggi daripada Kat dan Toh-tianglo. Kalau bersenjata tentulah tidak perlu gentar, tapi bertangan kosong, inilah yang susah.

Dalam pada itu terdengar Kat-tianglo sedang menyambut kedatangan kedua kawannya, “Selamat datang Pau, Bok-tianglo. Saudara Toh telah berjasa besar, dia berhasil membekuk istri Gak Put-kun.”

“Wah, bagus! Selamat! Selamat!” kata seorang tua di antaranya dengan girang.

Lenghou Tiong merasa suara satu-dua gembong Mo-kau itu seperti sudah dikenalnya, ia pikir barangkali dikenal ketika di Hek-bok-keh dahulu.

Dengan lwekang Lenghou Tiong yang tinggi ia dapat mendengar jelas suara percakapan orang-orang itu, cuma dia tidak berani melongok untuk mengintip. Ia tahu orang-orang itu adalah gembong-gembong Mo-kau yang lihai, sedikit bersuara saja pasti akan ketahuan.

Sementara itu Kat-tianglo lagi berkata, “Pau dan Bok-tianglo, kami di sini sedang berunding cara bagaimana memancing Gak Put-kun ke sini agar kita dapat menawannya.”

“Lalu bagaimana rencana kalian?” tanya seorang tianglo yang baru datang itu. Dari suaranya yang berwibawa itu dapat diduga tentu Pau-tianglo adanya. Suara Pau-tianglo inilah yang dirasakan sudah dikenal baik oleh Lenghou Tiong.

“Seketika kami masih belum mendapatkan akal yang bagus,” ujar Kat-tianglo. “Tapi dengan tibanya Pau dan Bok-tianglo, tentu akan diperoleh akal baik. Kabarnya dia telah membutakan kedua mata Co Leng-tan dengan ilmu pedangnya yang hebat sehingga menjagoi kalangan pertandingan di Ko-san tempo hari. Konon dia telah memperoleh Pi-sia-kiam-hoat asli dari keluarga Lim, maka jangan kita memandang enteng padanya. Sebaiknya kita mencari suatu jalan yang sempurna untuk menghadapinya.”

“Ya, dengan kekuatan kita berempat rasanya belum tentu akan kalah, tapi juga belum tentu dapat menang,” ujar Toh-tianglo.
Kukira Pau-tianglo tentu sudah punya perhitungan, silakan katakan saja,” ujar Bok-tianglo.

“Mesti aku sudah memperoleh suatu akal, tapi hanya akal biasa saja, mungkin akan ditertawai kalian,” kata Pau-tianglo.

“Pau-tianglo terkenal sebagai gudang akal Tiau-yang-sin-kau kita, buah pikiranmu pasti sangat baik,” seru Bok, Kat, dan Toh-tianglo berbareng.

“Akalku ini sebenarnya suatu cara yang bodoh,” ujar Pau-tianglo. “Kita gali saja suatu liang yang dalam, di atasnya ditutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak kelihatan sesuatu tanda apa-apa, lalu kita tutuk hiat-to penting perempuan ini dan menaruhnya di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Gak Put-kun. 
Bila dilihatnya sang bini menggeletak di situ, tentu dia akan berlari-lari datang menolongnya dan... blong... auuuh....” sambil bicara ia pun bergaya seperti orang kejeblos ke dalam lubang, maka tertawalah ketiga tianglo tadi dan lain-lain.

“Akal Pau-tianglo sungguh hebat, ditambah lagi kita berempat sembunyi di tepi liang jebakan itu, begitu Gak Put-kun kejeblos, serentak empat senjata kita menutup rapat mulut lubang sehingga tiada memberi kesempatan padanya untuk melompat naik ke atas,” kata Bok-tianglo dengan tertawa.

“Ya, namun dalam hal ini masih ada kesukaran juga,” ujar Pau-tianglo.

“Kesukaran?” Bok-tianglo menegas. “Ah, benar, tentu Pau-heng khawatir ilmu pedang Gak Put-kun itu terlalu aneh, sesudah kejeblos ke dalam lubang masih sukar bagi kita untuk membekuk dia?”

“Dugaan Bok-heng memang tepat,” kata Pau-tianglo. “Sekali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Kaucu adalah menghadapi tokoh utama Ngo-gak-kiam-pay yang baru bergabung itu, mati atau hidup kita sukar diperhitungkan. Bila kita dapat gugur bagi tugas adalah sesuatu yang gemilang, hanya saja nama baik dan kewibawaan Kaucu yang akan kita rugikan. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan itu rasanya kita masih perlu menambahkan sedikit apa-apa.”

“Aha, ucapan Pau-tianglo benar-benar sangat cocok dengan seleraku,” seru Toh-tianglo. “Aku membawa ‘Pek-hoa-siau-hun-san’ (Bubuk Penghilang Ingatan) dalam jumlah cukup, boleh kita tebarkan bubuk ini di antara daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Gak Put-kun kejeblos, tentu dia akan menarik napas panjang-panjang untuk berusaha melompat ke atas, akan tetapi... hahaha....” sampai di sini kembali mereka bergelak tertawa bersama.

“Nah, urusan jangan ditunda, silakan lekas atur seperlunya,” kata Pau-tianglo. “Di mana sebaiknya lubang jebakan itu digali?”

“Dari sini ke barat, kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan kecil yang berbahaya, sebelahnya jurang yang curam, sebelah lain adalah dinding tebing yang tinggi. Bila Gak Put-kun benar-benar datang kemari, tak bisa tidak dia harus melalui jalan itu.”

“Bagus, marilah kita meninjau ke sana,” ajak Pau-tianglo sambil mendahului melangkah pergi, segera orang-orang lain mengikut di belakangnya.

Lenghou Tiong pikir untuk menggali lubang jebakan tentu takkan dapat diselesaikan mereka dalam waktu singkat, sebaiknya aku lekas pergi memberitahukan Ing-ing, setelah ambil pedang akan kukembali ke sini untuk menolong Sunio.

Begitulah setelah gembong-gembong Mo-kau itu sudah pergi jauh, segera ia memutar balik ke arah datangnya tadi. Beberapa li jauhnya, tiba-tiba didengarnya suara keletak-keletuk, suara menggali tanah. “Kiranya di sinilah lubang jebakan yang akan mereka gali itu,” demikian ia membatin.

Segera Lenghou Tiong sembunyi di balik pohon, ia coba mengintip ke sana. Benarlah empat anggota Mo-kau sedang sibuk menggali tanah. Kini jaraknya sudah dekat, seorang dapat dilihatnya dari arah samping, ia menjadi terkejut. Kiranya orang ini adalah Pau Tay-coh yang pernah dikenalnya di Bwe-cheng di tepi Se-ouw, Hangciu, dahulu. Pantas mereka memanggilnya Pau-tianglo, kiranya adalah Pau Tay-coh.

Dahulu Lenghou Tiong telah menyaksikan Pau Tay-coh membereskan Ui Ciong-kong dengan sekali hantam saja, ilmu silatnya sangat tinggi. Memang Pau Tay-coh merupakan tandingan yang kuat bagi Gak Put-kun, sungguh pilihan yang tepat cara Yim Ngo-heng mengirimkan jagonya.

Cara orang-orang Mo-kau itu menggali tanah juga rada aneh. Mereka tidak membawa pacul atau sekop dan sebagainya, maka senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya lantas digunakan sebagai penggali. Lebih dulu mereka mendongkel tanah, lalu dengan tangan mereka mengorek tanah yang sudah gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu, tapi dasar ilmu silat mereka tinggi, tenaga mereka kuat, maka hasil galian mereka pun cukup cepat.

Lantaran jalan yang harus dilaluinya terhalang oleh galian tanah orang-orang Mo-kau itu, terpaksa Lenghou Tiong tak dapat lewat ke sana untuk mengambil pedang dan mencari Ing-ing. Ia heran, sudah jelas mereka mengatakan akan menggali lubang di tepi tebing yang curam sana, mengapa sekarang ganti tempat? Tapi segera ia pun paham duduknya perkara, tentunya jalan di pinggir tebing itu batu-batu padas belaka, dengan sendirinya sukar menggali lubang di sana. Rupanya Kat-tianglo itu tidak punya otak dan cuma sembarangan omong saja.

Dalam pada itu didengarnya suara Kat-tianglo sedang berkata dengan tertawa, “Usia Gak Put-kun itu sudah lanjut, tapi bininya ternyata masih begini muda dan cantik pula.”

“Muda kau bilang? Kutaksir sudah lebih 40,” Toh-tianglo menanggapi dengan cengar-cengir. “Eh, kalau Kat-heng ada minat, nanti bila Gak Put-kun sudah kita bekuk, biarlah kita laporkan Kaucu dan boleh kau ambil perempuannya?”

“Mengambilnya sih tidak perlu, untuk main-main saja kukira masih boleh juga,” kata Kat-tianglo dengan tertawa.

Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, ia pikir kawanan anjing yang berani menghina ibu guru ini nanti pasti akan kubinasakan satu per satu.

Lantaran suara tertawa Kat-tianglo itu kedengaran sangat menjijikkan, tanpa terasa Lenghou Tiong melongok untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata Kat-tianglo itu sedang mencubit sekali di pipi Gak-hujin. Rupanya Gak-hujin tidak mampu bergerak berhubung hiat-to tertutuk, maka orang-orang Mo-kau itu serentak tertawa gembira.

“Wah, tampaknya, Kat-heng sudah tidak sabar lagi, apakah kau berani ‘bereskan’ perempuan ini di sini juga?” kata Toh-tianglo dengan tertawa.

Dengan murka seketika Lenghou Tiong bermaksud menerjang keluar tanpa peduli diri sendiri tak bersenjata.

Tapi lantas terdengar Kat-tianglo menjawab, “Kenapa tidak berani? Soalnya aku khawatir menggagalkan tugas yang dibebankan Kaucu kepada kita.”

“Ya, memang,” ujar Pau Tay-coh dengan nada dingin. “Sekarang Kat-tianglo dan Toh-tianglo silakan pergi memancing kedatangan Gak Put-kun, diperkirakan satu jam lagi segala sesuatu di sini sudah selesai diatur.”

Berbareng Kat-tianglo dan Toh-tianglo mengiakan. Lalu mereka berlari ke jurusan utara.

Kepergian kedua orang itu membikin suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi, yang terdengar hanya suara tanah digali saja, terkadang suara Bok-tianglo yang memberi petunjuk ini dan itu.

Lenghou Tiong tidak berani bergerak di tempat sembunyinya di tengah semak-semak rumput. Ia pikir Ing-ing tentu akan khawatir bila sampai sekian lamanya dirinya tidak kembali. Kalau Ing-ing menyusul kemari, tentu dia dapat menyelamatkan Sunio, sebab orang-orang Mo-kau ini tentu akan tunduk kepada perintah tuan putri mereka. Dengan demikian dirinya juga terhindar dari pertarungan dengan gembong-gembong Mo-kau. 
Berpikir sampai di sini, ia merasa makin lama tertahan di situ menjadi lebih baik malah.

Tidak lama, didengarnya orang-orang Mo-kau itu sudah selesai menggali, di atas lubang galian mulai dipasangi ranting kayu dan rumput, ditaburi pula bubuk racun, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput pula. Pau Tay-coh berenam lantas menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan kedatangan Gak Put-kun.

Lenghou Tiong mengincar baik-baik sepotong batu di sebelahnya dan telah ambil keputusan tetap bila nanti sang suhu tampaknya akan kejeblos lubang jebakan, segera ia akan melemparkan batu besar itu ke lubang itu, dengan demikian gurunya tentu takkan masuk perangkap musuh.

Begitulah, dalam suasana sunyi baik Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan begundalnya sama pasang kuping untuk mendengarkan kalau ada suara lari Gak Put-kun yang sedang mengejar Kat dan Toh-tianglo berdua.

Agak lama kemudian, di tempat jauh tiba-tiba terdengar suara jeritan orang satu kali, tapi bukan suara orang lelaki melainkan suara orang perempuan, jelas Lenghou Tiong mengenali itulah suaranya Ing-ing.

Lenghou Tiong menjadi serbabingung, entah jeritan Ing-ing itu disebabkan kepergok Gak Put-kun atau kaget bertemu dengan Kat-tianglo berdua?
Tidak lama lantas terdengar suara orang berlari mendatangi, satu di depan dan seorang lagi di belakang. Terdengar suara Ing-ing sedang berteriak, “Engkoh Tiong, gurumu hendak membunuh kau, jangan kau keluar!”

Lenghou Tiong terkejut, ia tidak paham mengapa gurunya hendak membunuhnya?

Dalam pada itu Ing-ing lagi berteriak-teriak pula, “Engkoh Tiong, lekas lari kau, gurumu hendak membunuh kau!”

Lalu muncullah nona itu dalam keadaan rambut kusut masai, tangan menghunus pedang, tapi berlari-lari ketakutan dikejar Gak Put-kun dari belakang.

Tampaknya belasan langkah lagi Ing-ing akan kejeblos ke dalam lubang perangkap yang digali orang-orang Mo-kau tadi, keruan Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan lain-lain sama kelabakan dan bingung.

Sekonyong-konyong Gak Put-kun melompat ke depan, sekali cengkeram dapatlah ia pegang punggung si Ing-ing, kedua tangan nona itu terus ditelikung ke belakang. Seketika Ing-ing tak bisa berkutik lagi, pedangnya jatuh ke tanah.

Gerak Gak Put-kun itu sungguh cepat luar biasa. Lenghou Tiong dan Pau Tay-coh sama sekali tidak sempat memberi pertolongan. Ilmu silat Ing-ing sendiri sebenarnya juga sangat tinggi, tapi ternyata tidak mampu melawan, sekali dipegang lantas kena.

Keruan Lenghou Tiong menjadi khawatir, hampir-hampir ia berteriak. Namun si Ing-ing masih berseru padanya, “Engkoh Tiong, lekas lari, gurumu hendak membunuh kau!”

Air mata memenuhi kelopak mata Lenghou Tiong saking terharunya, ternyata Ing-ing hanya memikirkan keselamatannya tanpa menghiraukan bahaya sendiri.

Dalam pada itu Gak Put-kun telah menutuk beberapa kali hiat-to bagian punggung Ing-ing sehingga nona itu terkapar tak berkutik. Pada saat itulah Gak Put-kun melihat istrinya juga menggeletak di sebelah sana tanpa bergerak.

Ternyata Gak Put-kun tidak menjadi gelisah, dengan tenang ia periksa keadaan sekitarnya dan ternyata tiada sesuatu yang mencurigakan. Dasarnya Gak Put-kun memang sangat cerdik, melihat sang istri menggeletak di situ, terang di sekitarnya penuh tersembunyi bahaya yang mengancam, bahkan ia tidak berusaha mendekati dan menolong sang istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar kepada Ing-ing, “Yim-toasiocia, keparat Lenghou Tiong itu membunuh putri kesayanganku, tentunya kau pun ambil bagian atas perbuatan itu bukan?”

Kembali Lenghou Tiong terkejut, ia tidak habis paham mengapa gurunya menuduhnya membunuh siausumoaynya?

Maka terdengar Ing-ing sedang menjawab, “Lim Peng-ci yang membunuh putrimu, apa sangkut pautnya dengan Lenghou Tiong? Kau terus menuduh Lenghou Tiong yang membunuh putrimu, sungguh fitnahan belaka.”

Gak Put-kun bergelak tertawa, katanya, “Lim Peng-ci adalah menantuku, masakah kau tidak tahu? Mereka adalah pengantin baru, alangkah cinta kasih mereka, mana bisa suami membunuh istrinya sendiri?”

“Lim Peng-ci telah menggabungkan diri kepada Ko-san-pay, demi memperoleh kepercayaan Co Leng-tan untuk membuktikan tekadnya bermusuhan dengan kau, maka dia sengaja membunuh anak perempuanmu,” tutur Ing-ing.

“Hahaha, omong kosong belaka!” kembali Gak Put-kun mengakak. “Kau bilang Ko-san-pay? 
Hah, di dunia ini mana ada Ko-san-pay lagi? Ko-san-pay susah terlebur ke dalam Ngo-gak-pay, di dunia persilatan kini nama Ko-san-pay sudah hapus, mana bisa Lim Peng-ci menggabungkan diri kepada Ko-san-pay? Pula Co Leng-tan sekarang terhitung bawahanku, hal ini cukup diketahui Peng-ci, buat apa dia meninggalkan bapak mertuanya yang menjadi ketua Ngo-gak-pay, sebaliknya malah mengekor kepada seorang buta, seorang Co Leng-tan yang sukar membela dirinya sendiri. Biarpun orang yang paling goblok di dunia ini rasanya juga takkan berbuat demikian.”

“Masa bodoh jika kau tidak percaya, boleh kau cari Lim Peng-ci dan tanya sendiri padanya,” kata Ing-ing.

Mendadak suara Gak Put-kun berubah bengis, katanya, “Yang kucari saat ini bukanlah Lim Peng-ci, tapi Lenghou Tiong. Setiap orang Kang-ouw kini sama mengatakan Lenghou Tiong telah memerkosa anak perempuanku, lantaran anak perempuanku melawan sekuatnya dan akhirnya dibunuh olehnya. Sekarang kau mengarang cerita untuk menutupi dosa Lenghou Tiong, jelas kau juga bukan manusia baik-baik.”

Ing-ing hanya mendengus saja tanpa menjawab.

Lalu Gak Put-kun berkata pula, “Yim-toasiocia, ayahmu adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, pantasnya aku takkan membikin susah padamu. Tapi demi untuk memaksa munculnya Lenghou Tiong, bisa jadi aku terpaksa menggunakan sedikit hukuman atas dirimu. 
Aku akan memotong dulu telapak tangan kirimu, lalu telapak tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan habis itu kaki kanan. Dalam keadaan demikian bila Lenghou Tiong mempunyai perasaan tentu dia akan muncul.”
Hm, masakah kau berani?” jengek Ing-ing dengan suara keras. “Kau berani mengganggu seujung rambutku, Ayah pasti akan membikin bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali.”

“Aku tidak berani katamu?” sahut Gak Put-kun dengan tertawa. “Sret,” ia terus lolos pedangnya yang tergantung di pinggang.

Lenghou Tiong tidak tahan lagi, segera ia menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan berseru, “Suhu, Lenghou Tiong berada di sini!”

Ing-ing menjerit kaget dan cepat berseru pula, “Lekas lari, lekas! Dia tak berani mencelakai diriku!”

Namun Lenghou Tiong menggeleng sambil maju pula, katanya, “Suhu....”

“Bangsat kecil, kau masih ada muka buat memanggil suhu padaku?” bentak Gak Put-kun dengan suara bengis.

Dengan menahan air mata mendadak Lenghou Tiong berlutut dan berkata, “Tuhan sebagai saksi, selamanya Lenghou Tiong sangat menghormati Nona Gak, pasti tidak berani berlaku kasar sedikit pun. Lenghou Tiong merasa utang budi kepada suami-istri kalian yang telah membesarkan diriku, jika kau hendak membunuh aku, silakan lakukan saja.”

Ing-ing menjadi khawatir, serunya, “Engkoh Tiong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan, dia sudah kehilangan sifat manusia, kenapa kau tidak lekas pergi saja!”

Air muka Gak Put-kun mendadak beringas, ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, “Apa arti ucapanmu tadi?”

“Demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kau sendiri telah... telah membikin dirimu menjadi... menjadi tidak keruan seperti setan iblis,” sahut Ing-ing. “Engkoh Tiong, apakah kau masih ingat tentang Tonghong Put-pay? Mereka sudah gila semua, jangan kau anggap mereka orang normal.”

Yang dipikirkan Ing-ing hanyalah semoga Lenghou Tiong lekas lari, meski ia insaf ucapannya itu pasti akan membangkitkan kemurkaan Gak Put-kun kepadanya, namun hal ini tak dipedulikan lagi.

Dengan nada dingin Gak Put-kun bertanya pula, “Kata-katamu yang aneh itu kau dengar berasal dari mana?”

“Lim Peng-ci sendiri yang bilang begitu,” jawab Ing-ing. “Kau telah mencuri Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim, memangnya kau sangka dia tidak tahu? Waktu kau melempar kasa yang bertuliskan Pi-sia-kiam-boh itu, saat mana Peng-ci bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkap kasa itu, sebab itulah dia... dia juga telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kalau tidak mana bisa dia membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong? Cara bagaimana dia meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya ia pun tahu cara bagaimana kau meyakinkannya pula. Nah, Engkoh Tiong, apakah kau tidak dengar suara Gak Put-kun yang mirip perempuan ini. Dia... dia sama saja dengan Tonghong Put-pay sudah... sudah abnormal.”

Ing-ing sendiri mendengar dengan jelas percakapan antara Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian di dalam keretanya, sedangkan Lenghou Tiong tidak dengar, sebab itulah Ing-ing berusaha menyadarkan Lenghou Tiong agar mengetahui orang yang dihadapinya sekarang bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan seorang aneh yang sudah abnormal, seorang gila yang tidak mungkin diajak bicara tentang budi kebaikan segala.

Benar juga, sorot mata Gak Put-kun mendadak tambah beringas, katanya, “Yim-siocia, sebenarnya aku hendak mengampuni jiwamu, tapi karena ucapanmu yang tidak keruan macam itu, terpaksa aku bereskan nyawamu. Maka janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau akan mampus.”

“Lekas pergi, Engkoh Tiong, lekas!” Ing-ing berteriak-teriak pula.
Sementara itu tertampak Gak Put-kun sudah mulai angkat pedangnya. Lenghou Tiong kenal kelihaian sang guru, sekali pedangnya bergerak, jiwa Ing-ing tentu akan melayang. Maka cepat ia berteriak, “Kalau mau bunuh orang bunuhlah aku, jangan mencelakai dia!”

Tiba-tiba Gak Put-kun menoleh ke arah Lenghou Tiong dan menjengek, “Hm, kau cuma mempelajari beberapa jurus cakar kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia Kang-ouw? 
Hm, pegang pedangmu, akan kuhajar kau, biar kau mati dengan rela.”

“Sekali... sekali-kali tidak berani bergebrak dengan Su... dengan kau!” jawab Lenghou Tiong.

“Dalam keadaan demikian kau masih coba berlagak dungu apa?” bentak Put-kun dengan gusar. “Dahulu, ketika di atas kapal di Hongho, ketika di Ngo-pah-kang pula, kau sengaja berkomplot dengan kawanan bangsat untuk membikin malu padaku, tatkala mana sudah timbul niatku hendak membunuh kau, tapi kutahan sampai sekarang, boleh dikata untung bagimu. Waktu di Hokciu kau pun jatuh di tanganku, kalau bukan istriku juga berada di sana tentu sudah lama kutamatkan riwayatmu. Lantaran salah hitung dahulu itu sehingga akibatnya malah mengorbankan anak perempuanku di tangan bangsat macam kau.”

“Aku tidak... tidak....” sahut Lenghou Tiong dengan tergagap.

“Siapkan pedangmu!” bentak Put-kun dengan murka. “Jika kau mampu mengalahkan pedangku, seketika kau akan dapat membunuh aku, kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni kau. Perempuan siluman Mo-kau ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu.”

Habis berkata pedangnya terus menebas ke leher Ing-ing.

Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa pikir Lenghou Tiong menjemput sepotong batu terus disambitkan ke dada Gak Put-kun, berbareng itu ia terus menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping, pedang Ing-ing yang jatuh di tanah itu disambarnya, menyusul ia terus menusuk ke iga kanan Gak Put-kun.

Jika serangan Gak Put-kun tadi diarahkan kepada Lenghou Tiong, maka pemuda itu pasti tidak menangkis dan rela terbunuh oleh sang guru. Tapi karena Gak Put-kun terlalu gemas terhadap Ing-ing yang telah membongkar rahasianya, tanpa pikir serangannya ditujukan kepada nona itu lebih dulu. Melihat hal demikian sudah tentu betapa pun Lenghou Tiong tidak bisa tinggal diam. Dilihatnya di bawah ketiak kanan Gak Put-kun adalah tempat yang terbuka, maka Lenghou Tiong lantas menyerang tempat itu untuk memaksa lawan menarik kembali serangannya bila ingin menyelamatkan diri lebih dulu.

Benar juga, cepat Gak Put-kun menarik pedangnya untuk menangkis. Tapi susul-menyusul Lenghou Tiong lantas menyerang pula tiga kali, terpaksa Gak Put-kun melangkah mundur dua-tiga tindak dengan rasa kejut dan heran.

Maklumlah, sejak Lenghou Tiong berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, ditambah lagi himpunan tenaga dalam beberapa tokoh silat kelas wahid yang diperolehnya secara kebetulan, yaitu yang disedotnya dengan Gip-sing-tay-hoat, kini tenaga-tenaga dalam itu dipancarkan melalui permainan pedangnya, keruan lengan Gak Put-kun tergetar hingga kesemutan.

Bab 126. Korban Seorang Istri bagi Suami Pengecut

Begitu lawan didesak mundur, segera Lenghou Tiong membalik sebelah tangannya hendak membuka hiat-to Ing-ing yang tertutuk.

“Jangan urus diriku, awas!” seru Ing-ing. Berbareng sinar putih mengilat, pedang Gak Put-kun sudah menusuk tiba.

Lenghou Tiong sudah kenal ilmu pedang yang dimainkan Tonghong Put-pay, Gak Put-kun, dan Lim Peng-ci bertiga. Ia tahu sekali pedang lawan menusuk, meski di tengah serangan itu ada lubang kelemahannya, tapi lantaran cepat luar biasa seperti bayangan setan, kalau bermaksud balas menyerang ke arah titik lemah musuh itu tentu diri sendiri sudah terkena pedang lebih dulu. Sebab itulah tanpa pikir Lenghou Tiong lantas menyungkitkan pedangnya ke atas, berbareng ia menusuk perut Gak Put-kun secepat kilat.

Agar tidak mati konyol, terpaksa Gak Put-kun melompat mundur sambil memaki, “Keji amat bangsat kecil!”

Padahal sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Lenghou Tiong sejak kecil seharusnya Gak Put-kun kenal watak pemuda itu. Bila dia tidak ambil pusing akan serangan balasan Lenghou Tiong itu dan melainkan meneruskan serangannya, tentu jiwa Lenghou Tiong sudah dibikin melayang olehnya.

Soalnya, biarpun yang digunakan Lenghou Tiong adalah siasat hancur bersama atau gugur bersama musuh, sesungguhnya dalam hati ia tidak pernah melupakan budi kebaikan sang guru, sekali-kali dia tidak menusuk sungguh-sungguh perut gurunya itu. Jadi dalam hal ini Gak Put-kun yang licik dan kotor itu telah salah hitung, mengukur orang lain atas diri sendiri, sehingga dia kehilangan suatu kesempatan bagus untuk membinasakan Lenghou Tiong.

Permainan pedang Gak Put-kun tambah gencar setelah beberapa jurus tak bisa mengalahkan lawan. Dengan tangkas Lenghou Tiong juga menghadapi dengan penuh semangat. Semula dia pikir kalau kalah paling-paling dirinya akan terbunuh di tangan guru sendiri, tapi lantas teringat Ing-ing yang telah melukai hati Gak Put-kun dengan ucapan tadi, sebelum nona itu juga terbunuh tentu akan disiksa lebih dulu. Sebab itulah Lenghou Tiong pantang menyerah lagi dan bertempur sekuat tenaga.

Setelah beberapa puluh jurus, jurus-jurus serangan Gak Put-kun tambah ruwet, Lenghou Tiong menghadapi dengan memusatkan perhatiannya, lambat laun pikirannya menjadi “plong”, menjadi paham. Yang ditatap sekarang hanyalah titik ujung pedang lawan saja.

Hendaklah maklum bahwa inti Tokko-kiu-kiam itu adalah “makin kuat pihak musuh makin kuat pula pihak sendiri.” Dahulu waktu bertanding dengan Yim Ngo-heng di penjara dasar Danau Se-ouw, tak peduli bagaimana Yim Ngo-heng menyerang dengan macam-macam perubahan selalu Lenghou Tiong dapat melayaninya dengan jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal ilmu silat Yim Ngo-heng boleh dikata jarang ada bandingannya, tapi dia harus mengakui kehebatan ilmu pedang Lenghou Tiong.

Kini Lenghou Tiong sudah berhasil pula meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, betapa hebat tenaga saktinya sukar diukur lagi. Sebaliknya Pi-sia-kiam-hoat meski aneh, tapi belum lama dipelajari oleh Gak Put-kun, dia belum hafal sebagaimana Lenghou Tiong meyakinkan Tokko-kiu-kiam. Karena itu, setelah lebih ratusan jurus, cara Lenghou Tiong melayani lawannya sudah tak perlu pikir lagi. Betapa pun aneh perubahan jurus serangan Pi-sia-kiam-hoat selalu disambut dengan jurus serangan yang sama anehnya.

Dalam pandangan Gak Put-kun sekarang betapa ruwet perubahan ilmu pedang Lenghou Tiong dirasakan jauh lebih ruwet daripada dirinya, rasanya biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan tetap lahir jurus-jurus serangan baru.

Terpikir demikian, timbul rasa jerinya seketika. Pikirnya pula, “Perempuan siluman Mo-kau ini telah membongkar rahasia caraku meyakinkan ilmu pedang, bila hari ini aku tak dapat membereskan mereka, kelak cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas di kalangan Kang-ouw, lalu apakah aku ada muka buat menjabat ketua Ngo-gak-pay lagi? Agaknya segala rencana yang kurancang sejak dahulu akan buyar seluruhnya.”

Karena pikiran gelisah, serangan-serangannya menjadi tambah ganas.

Akan tetapi pertandingan di antara jago kelas tinggi paling mengutamakan ketenangan dan kesabaran. Begitu pikirannya kacau, seketika permainan pedangnya menjadi rada terganggu. Padahal Pi-sia-kiam-hoat unggul dalam hal kecepatan, setelah ratusan jurus tak bisa mengalahkan musuh, dengan sendirinya dia mulai patah semangat, ditambah lagi perhatiannya terpencar karena hati gelisah, daya tekanan pedangnya menjadi banyak berkurang.

Begitulah sedikit kelemahan Gak Put-kun itu segera dapat dilihat oleh Lenghou Tiong. Memang asas utama Tokko-kiu-kiam adalah mengincar baik-baik titik kelemahan ilmu silat lawan, lalu titik kelemahan itu dimasuki, sekali hantam memperoleh kemenangan.

Kini pertarungan mereka sudah berlangsung mendekati dua ratusan jurus. Ciri dari ilmu pedang aliran mana pun juga di dunia ini adalah pada suatu ketika jurus ilmu pedang masing-masing pasti akan berakhir dan kalau belum dapat mengalahkan musuh, terpaksa harus mengulangi permainannya dari awal. Dan di sinilah titik kelemahan Gak Put-kun itu dapat dilihat oleh Lenghou Tiong, yaitu pada tiap-tiap kali dia menebas, selalu bagian ketiak kanan memperlihatkan titik kelemahan yang tak terjaga. Melihat ada kesempatan buat menang, diam-diam Lenghou Tiong bergirang.

Melihat ujung mulut Lenghou Tiong sekilas mengulum senyum, Gak Put-kun menjadi terkejut malah. Pikirnya, “Mengapa bangsat cilik ini tersenyum? Apakah dia sudah mendapatkan jalan untuk mengalahkan diriku?”

Diam-diam ia lantas mengerahkan tenaga dalam, tiba-tiba ia mendesak maju dan mendadak melompat mundur lagi, lalu mengelilingi Lenghou Tiong dengan cepat, serangannya tambah gencar secara membadai.

Begitu cepat Gak Put-kun berputar sehingga Ing-ing yang menggeletak di tanah itu tidak dapat melihat jelas ke mana serangan Gak Put-kun itu ditujukan, akhirnya dia merasa kepala pusing dan muak laksana orang mabuk kapal.

Setelah belasan jurus lagi, tertampak jari tangan kiri Gak Put-kun menuding ke depan, pedang di tangan kanan ditarik. Lenghou Tiong tahu serangan lawan segera akan diulangi lagi. Sementara Lenghou Tiong sudah merasa lelah setelah bertempur sekian lamanya, maklum dia baru sembuh dari luka parah. Namun ia sadar bahwa keadaan sangat gawat, di bawah serangan Gak Put-kun yang gencar dan cepat itu, sedikit lengah saja jiwa sendiri pasti akan melayang, bahkan Ing-ing akan ikut menjadi korban. Sebab itulah ketika melihat serangan lawan akan diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan lawan, tempat yang diarah tepat merupakan titik kelemahan jurus serangan Gak Put-kun itu.

Rupanya gerakan demikian inilah yang diketemukan Lenghou Tiong, yaitu menyerang titik kelemahan musuh sebelum serangan musuh dilancarkan. Karena didahului, sebelum Gak Put-kun sempat mengganti jurus lain, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah menyambar tiba. Keruan Gak Put-kun menjerit kaget, suaranya penuh rasa kejut, gusar pula dan putus asa pula.

Saat itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah berada di bawah ketiak lawan, bila pedang didorong ke depan, tentu tubuh Gak Put-kun akan tertembus. Tapi mendadak ia mendengar jeritan tajam Gak Put-kun itu, seketika ia terkejut sadar, “Ah, kenapa aku sampai lupa, dia kan guruku, mana boleh aku mencelakai dia?”

Segera ia tahan pedangnya dan berkata, “Kalah-menang sudah jelas, bagaimana kalau kita sudahi pertandingan ini, paling perlu men... nolong Sunio lebih dulu!”

“Baiklah!” dengan muka pucat sebagai mayat Gak Put-kun menjawab.

Tanpa pikir Lenghou Tiong terus membuang pedangnya dan menoleh untuk melihat Ing-ing. Di luar dugaan, sekonyong-konyong Gak Put-kun menggertak sekali, pedangnya menyambar secepat kilat mengarah pinggang kiri Lenghou Tiong.

Tempat yang diarah itu sangat berbahaya. Dalam kejutnya cepat Lenghou Tiong bermaksud menjemput kembali pedangnya, namun sudah terlambat, “bles”, pedang lawan telah menancap di belakang pinggangnya.

Gak Put-kun kegirangan, ia cabut pedangnya dan kembali menebas ke bawah. Lekas-lekas Lenghou Tiong menjatuhkan diri dan menggelinding pergi. Tapi Gak Put-kun lantas mengejar dan kembali membacok. Untung Lenghou Tiong sempat mengelak pula. “Trang”, bacokan Gak Put-kun itu mengenai tanah, hanya beberapa senti jaraknya dari kepala Lenghou Tiong.

Sambil menyeringai Gak Put-kun angkat pedangnya pula, kembali ia melangkah maju, sekali bacok ia pikir kepala Lenghou Tiong pasti akan dipenggalnya sekarang.
Tak terduga, mendadak sebelah kakinya menginjak tempat lunak, “blong,” tubuhnya terus kejeblos ke bawah. Ia bermaksud menggenjot ke atas dengan ginkang yang tinggi, namun sesaat itu dirasakan langit dan bumi seakan-akan berputar, lalu tak sadarkan diri lagi, ia terbanting ke dalam lubang perangkap itu.

Lenghou Tiong benar-benar lolos dari lubang jarum, hampir-hampir mati konyol. Ia coba merangkak bangun sambil mendekap luka di pinggang belakang.

Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak sana, “Toasiocia! Seng-koh!”

Lalu beberapa orang tampak berlari-lari mendatangi, mereka adalah Pau Tay-coh, Bok-tianglo, dan lain-lain.

Sedapat mungkin Lenghou Tiong mendekati Ing-ing dan bertanya, “Dia... dia menutuk hiat-to bagian mana?”

“Apakah kau tidak... tidak apa-apa?” tanya Ing-ing khawatir.

“Jangan khawatir, aku takkan mati,” sahut Lenghou Tiong.

“Binasakan bangsat keparat itu!” mendadak Ing-ing berteriak. Yang dimaksudkan ialah Gak Put-kun.

Cepat Pau Tay-coh mengiakan.

Namun Lenghou Tiong lantas mencegahnya, “Jang... jangan!”

Melihat kecemasan Lenghou Tiong itu, Ing-ing berkata pula, “Baiklah, boleh tangkap saja dia.”

Ia tidak tahu bahwa di dalam lubang perangkap itu sudah ditaburi pula obat bius, ia khawatir Gak Put-kun akan melompat kembali ke atas dan tentu akan sukar dilawan.

Maka terdengar Pau Tay-coh mengiakan pula. Ia tidak berani menjelaskan bahwa lubang perangkap itu adalah hasil kerjanya, sebab sejak tadi ia menyaksikan tuan putri mereka diuber-uber dan ditawan oleh Gak Put-kun, tapi mereka takut mati dan tidak berani keluar menolong, dosa mereka ini kalau diusut tentu bisa dihukum mati.

Begitulah Pau Tay-coh lantas melompat ke dalam lubang, ia ketok kepada Gak Put-kun dengan gagang goloknya, seumpama Gak Put-kun tidak pingsan oleh obat bius tentu juga akan semaput oleh ketokannya yang cukup keras itu. Kemudian Pau Tay-coh menyeret Gak Put-kun ke atas, dengan cekatan sekali ia tutuk pula beberapa hiat-to penting di tubuh ketua Ngo-gak-pay itu, lalu diringkus pula kaki dan tangannya dengan tambang. Sudah kena bius, diketok pula kepalanya, lalu hiat-to ditutuk, diringkus lagi dengan tambang, biarpun kepandaian Gak Put-kun setinggi langit juga tak bisa lolos.

Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, kedua orang merasa baru sadar dari impian buruk. Selang agak lama barulah Ing-ing menangis. Lenghou Tiong mendekatinya dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit ini, mereka merasakan hidup ini belum pernah seindah sekarang. Perlahan-lahan Lenghou Tiong membukakan hiat-to Ing-ing yang tertutuk tadi.

Ketika tiba-tiba ia melihat sang sunio masih menggeletak di sana, barulah ia ingat dan berteriak kaget, cepat ia mendekati Gak-hujin dan membukakan hiat-to yang tertutuk sambil minta maaf.

Apa yang terjadi tadi seluruhnya telah disaksikan oleh Gak-hujin, ia cukup kenal pribadi Lenghou Tiong yang sangat menghormat dan sayang kepada Gak Leng-sian, ia yakin pemuda itu pasti tidak berani mengganggu seujung rambut pun atas diri gadisnya itu, maka tuduhan Lenghou Tiong memerkosa dan membunuh Leng-sian benar-benar omong kosong dan fitnah belaka. Apalagi ia menyaksikan pula betapa cinta dan setia Lenghou Tiong terhadap Ing-ing, mana mungkin pemuda itu melakukan hal-hal yang tidak senonoh.

Gak-hujin juga menyaksikan suaminya telah dikalahkan Lenghou Tiong, tapi pemuda itu tidak tega menyerang lebih lanjut, sebaliknya sang suami malah mendadak menyerangnya dari belakang secara keji, perbuatan pengecut demikian biarpun orang dari kalangan hek-to juga tidak sudi melakukannya, tapi seorang ketua Ngo-gak-pay yang terhormat ternyata tega berbuat begitu, sungguh pengecut, sungguh memalukan. Sesaat itu Gak-hujin menjadi putus asa dan merasa tiada artinya lagi hidup ini. Dengan hambar ia coba tanya Lenghou Tiong, “Anak Tiong, apakah benar Anak Sian dibunuh oleh Peng-ci?”

Hati Lenghou Tiong menjadi sedih, air matanya bercucuran, sahutnya dengan terguguk-guguk, “Tecu... aku... aku....”

“Dia tidak anggap tecu padamu, aku masih tetap mengakui kau sebagai tecu (murid),” ujar Gak-hujin. “Jika kau sudi, aku pun tetap ibu gurumu.”

Lenghou Tiong sangat terharu, ia menyembah sambil berseru, “Sunio! Sunio!”

Perlahan-lahan Gak-hujin membelai rambut Lenghou Tiong sambil mengalirkan air mata. Katanya dengan lirih, “Jadi tidak salah tentunya apa yang dikatakan Yim-siocia ini bahwa Peng-ci telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dan kini telah menggabungkan diri pada Co Leng-tan, sebab itulah dia membunuh Anak Sian.”

“Ya, begitulah,” sahut Lenghou Tiong.

“Coba kau balik ke sana, kuperiksa lukamu,” kata Gak-hujin pula.

Lenghou Tiong mengiakan sambil memutar tubuhnya. Lalu Gak-hujin menyobek baju bagian punggung pemuda itu, ditutuknya hiat-to sekitar tempat luka itu, lalu bertanya, “Obat luka Hing-san-pay tentunya kau bawa, bukan?”

“Ya, ada,” jawab Lenghou Tiong. Segera Ing-ing mengambilkan obat yang dimaksud dari baju Lenghou Tiong dan diserahkan kepada Gak-hujin.

Lebih dulu Gak-hujin membersihkan darah di tempat luka, lalu dibubuhi obat, dikeluarkannya saputangan sendiri yang putih bersih untuk menutup luka itu, lalu gaun sendiri dirobek sepotong sebagai pembalut.

Biasanya Lenghou Tiong menganggap Gak-hujin sebagai ibu sendiri, hatinya sangat terhibur melihat dirinya diperlakukan sedemikian baik, rasa sakit lukanya sampai terlupa meski sebenarnya cukup parah.

“Kelak tugas membunuh Lim Peng-ci untuk menuntut balas bagi Anak Sian dengan sendirinya harus diserahkan padamu,” kata Gak-hujin kemudian.

“Tapi Siau... Siausumoay telah pesan sebelum meninggal agar aku melindungi Lim Peng-ci, hal ini telah kusanggupi, maka urusan ini... sungguh serbasusah bagiku,” kata Lenghou Tiong.

“Ai, dasar karma, karma!” ujar Gak-hujin sambil menghela napas panjang. Lalu sambungnya pula, “Anak Tiong, selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu baik hati!”

Lenghou Tiong mengiakan. Mendadak tengkuknya terasa hangat-hangat basah, seperti tertetes barang cairan. Waktu ia menoleh, dilihatnya muka Gak-hujin putih pucat. Ia terkejut dan menjerit, “Sunio!”

Waktu ia berbangkit dan memegangi Gak-hujin, ternyata di dada nyonya itu sudah menancap sebilah belati, tepat menancap di bagian jantung, seketika juga nyonya itu sudah binasa.

Tidak kepalang kejut Lenghou Tiong hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ing-ing juga terperanjat sekali, cuma dia tiada hubungan kekeluargaan apa-apa dengan Gak-hujin, walaupun kejut dan menyesalkan kejadian itu, namun tidak terlalu berduka, segera ia pun memayang Lenghou Tiong yang tampak lemas itu. Selang sejenak barulah Lenghou Tiong dapat bersuara tangis.

Melihat kejadian sedih yang menimpa kedua muda-mudi itu, Pau Tay-coh pikir tentu banyak kata-kata mesra akan diucapkan mereka, ia tidak berani mengganggu di situ, segera ia mengangkat Gak Put-kun dan mengundurkan diri agak jauh ke sana bersama Bok-tianglo dan lain-lain.

“Untuk apa mereka me... menangkap suhuku?” kata Lenghou Tiong.

“Kau masih panggil suhu padanya?” ujar Ing-ing.

“Sudah biasa,” sahut Lenghou Tiong. “Kenapa Sunio membunuh diri? Mengapa... mengapa beliau membunuh diri?”

“Sudah tentu disebabkan durjana Gak Put-kun itu,” kata Ing-ing dengan gemas. “Apa gunanya mempunyai suami pengecut dan tidak malu seperti dia itu, kalau tidak membunuhnya, ya terpaksa membunuh diri. Kita harus lekas binasakan Gak Put-kun untuk membalas sakit hati ibu gurumu.”

Tapi Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu pula, katanya, “Kau bilang dia harus dibunuh? Betapa pun dia kan pernah menjadi guruku?”

“Meski dia pernah gurumu, pernah membesarkan kau, tapi sudah berapa kali dia bermaksud mencelakai kau, antara budi dan sakit hati sudah klop dan hapus, sebaliknya budi kebaikan ibu gurumu belum lagi kau balas. Coba pikir, apakah kematian ibu gurumu bukan disebabkan perbuatannya?”

Lenghou Tiong menghela napas, katanya dengan pilu, “Budi Sunio rasanya sukar kubalas selama hidup ini. Seumpama aku tidak utang budi lagi kepada Gak Put-kun, betapa pun aku tidak dapat membunuh dia.”

“Tidak perlu kau yang turun tangan,” ujar Ing-ing. Mendadak ia berseru, “Pau Tay-coh!”

“Ya, Toasiocia!” sahut Pau Tay-coh. Segera ia bersama Bok-tianglo mendekati tuan putrinya.

“Apakah Ayah yang menugaskan kalian ke sini?” tanya Ing-ing.

“Benar,” sahut Pau Tay-coh dengan penuh hormat. “Atas titah Kaucu, hamba bersama Kat, Toh, dan Bok-tianglo bertiga bersama sepuluh saudara lain ditugaskan menangkap Gak Put-kun dengan cara apa pun juga.”

“Di mana Kat dan Toh-tianglo?” tanya Ing-ing pula.

“Tadi mereka pergi memancing kedatangan Gak Put-kun dan sampai sekarang belum kembali, mungkin... mungkin mereka....”

“Coba kau geledah badan Gak Put-kun,” kata Ing-ing.

Pau Tay-coh mengiakan dan segera mulai menggeledah. Hasilnya dari baju Gak Put-kun dikeluarkannya sebuah panji sutra kecil, itulah panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay. Selain itu ada pula sejilid buku tipis, belasan tahil emas perak, dan dua potong medali tembaga.

Dengan suara gemas Pau Tay-coh lantas berkata, “Lapor Toasiocia, Kat-tianglo dan Toh-tianglo memang benar telah dicelakai oleh keparat ini, dalam bajunya diketemukan dua medali kebesaran kedua tianglo kita itu.”

Habis berkata ia terus ayun kakinya menendang, “krak”, kontan sebuah tulang iga Gak Put-kun tertendang patah.

“Jangan aniaya dia!” seru Lenghou Tiong.

“Ambil air dingin, siram dia biar siuman,” perintah Ing-ing pula.

Orang she Sih tadi lantas membuka kantong air yang tergantung di pinggangnya, air dingin terus disiramkan ke muka Gak Put-kun.

Sejenak kemudian, sambil bersuara kesakitan Gak Put-kun membuka matanya, ia tak bisa berkutik, terpaksa hanya melotot saja.

“Orang she Gak, apakah kau yang membunuh kedua tianglo kami?” tanya Ing-ing. Sedang Pau Tay-coh melempar-lempar kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga mengeluarkan suara nyaring.

Melihat dirinya berada di bawah cengkeraman musuh dan tak bisa terhindar dari kematian, dengan gusar Gak Put-kun lantas memaki, “Memang aku yang membunuh mereka. Anggota Mo-kau yang jahat setiap orang berhak membunuhnya.”

Segera Pau Tay-coh bermaksud menendang pula, tapi lantas teringat kata-kata Lenghou Tiong tadi yang melarangnya menganiaya tawanan itu, ia tahu hubungan Lenghou Tiong dengan sang kaucu sangat baik, juga calon suami sang toasiocia, maka ia tidak berani menentang kata-kata Lenghou Tiong tadi.

“Hm,” Ing-ing lantas menjengek, “kau menganggap dirimu adalah ketua golongan beng-bun-cing-pay segala, akan tetapi perbuatanmu entah berapa kali lebih kotor dan rendah daripada anak buah Tiau-yang-sin-kau kami, tapi kau secara tidak tahu malu berani memaki kami sebagai orang jahat. Malahan istrimu sendiri merasa malu atas perbuatanmu, ia lebih suka membunuh diri daripada menjadi istrimu, apakah kau masih punya muka buat hidup terus di dunia ini.”

“Perempuan siluman sembarangan omong, sudah jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan dia membunuh diri,” damprat Gak Put-kun.

“Coba dengarkan, Engkoh Tiong, betapa tidak tahu malu ucapannya,” kata Ing-ing.

“Ing-ing, aku ingin mohon sesuatu padamu,” kata Lenghou Tiong.

“Aku tahu kau hendak minta agar kulepaskan dia, hendaklah tahu bahwa ringkus harimau lebih gampang daripada melepaskan harimau,” sahut Ing-ing. “Orang ini berhati keji dan berjiwa culas, ilmu silatnya tinggi pula, kelak kalau kau kepergok dia mungkin takkan gampang membekuk dia lagi.”

“Sekali ini hubunganku sebagai murid dan guru dengan dia sudah putus,” kata Lenghou Tiong. “Ilmu pedangnya aku pun sudah paham seluruhnya, jika dia berani mencari aku lagi, maka aku pun tidak kenal ampun lagi padanya.”

Ing-ing tahu pasti Lenghou Tiong tidak mengizinkan dia membunuh Gak Put-kun, asalkan selanjutnya Lenghou Tiong benar-benar putuskan segala hubungan baik dengan Gak Put-kun, maka bila ketemu lagi kelak juga tidak perlu gentar. Segera ia menjawab, “Baiklah, hari ini boleh kita mengampuni jiwanya. Nah, Pau-tianglo, Bok-tianglo, dan para saudara dalam agama, selanjutnya kalian boleh siarkan di kalangan Kang-ouw bahwa Gak Put-kun telah kita bekuk, lalu kita ampuni dia. Siarkan pula bahwa Gak Put-kun telah rela membikin cacat dirinya sendiri demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, sekarang dia sudah setengah gila, laki-laki bukan perempuan tidak, supaya hal ini dimaklumi oleh para kesatria di seluruh jagat.”

Serentak Pau-tianglo dan lain-lain mengiakan bersama. Sedangkan air muka Gak Put-kun tampak pucat pasi, kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar mata yang penuh kebencian dan dendam.

“Hm, kau dendam padaku, memangnya aku tidak tahu?” jengek Ing-ing sambil ayun pedangnya untuk memotong tambang yang mengikat badan Gak Put-kun itu, ia mendekati tawanan itu dan membuka sebuah hiat-to di bagian punggung. Lalu tangan kanan menahan di mulut ketua Ngo-gak-pay itu, tangan kiri menepuk perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Gak Put-kun membuka mulut dan tahu-tahu di dalam mulut sudah bertambah satu biji obat, berbareng itu terasa hidungnya menjadi buntu, tak bisa bernapas. Rupanya tangan Ing-ing telah memencet lubang hidungnya. Keruan Gak Put-kun terpaksa harus membuka mulut untuk bernapas, tanpa ayal lagi Ing-ing lantas kerahkan tenaga dalam sehingga pil di dalam mulut Gak Put-kun itu terdorong ke dalam perutnya.

Dengan suara perlahan Ing-ing lalu membisiki dia, “Awas, jangan sekali-kali kau muntahkan, jika membangkang segera kuputuskan seluruh urat nadimu dengan Siau-tiong-jiu-hoat.”

Pada waktu Ing-ing memutuskan tali ringkusan Gak Put-kun dan membuka hiat-to tadi dia sengaja berdiri membelakangi Lenghou Tiong sehingga pil yang dijejalkan ke dalam mulut Gak Put-kun itu tak dilihat oleh pemuda itu. Dan sesudah telan pil itu, Gak Put-kun menjadi ketakutan sebab ia tahu pil itu adalah obat pembusuk badan yang paling terkenal dari Toan-ngo-ciat, yakni hari yang biasa disebut Peh-cun, tanggal 5 bulan 5 hitungan Imlek, diharuskan minum obat penawar untuk menangguhkan bekerjanya kuman racun obat itu. Kalau tidak, maka kuman racun akan menyusup ke dalam otak sehingga sakitnya tak terperikan, bahkan terus menggila melebihi anjing gila.

Selain itu Gak Put-kun juga tahu ilmu Siau-tiong-jiu-hoat dari Mo-kau, yaitu semacam ilmu tiam-hiat yang dapat menutuk putus urat-urat nadi terpenting sehingga sang korban akan lemas lunglai seperti tak bertulang lagi, tapi justru tidak sampai mati, maka dapat dibayangkan derita yang harus dirasakan.

Dalam keadaan tak berkutik, betapa pun cerdik pandai dan licik culasnya Gak Put-kun, pucat juga wajahnya dan keringat dingin membasahi dahinya.

Begitulah kemudian Ing-ing berpaling, dan berkata kepada Lenghou Tiong, “Engkoh Tiong, tutukan Pau-tianglo tadi rada berat, kini sudah kubuka kembali hiat-to yang tertutuk itu, sebentar lagi dia baru dapat berjalan lagi.”

“Banyak terima kasih padamu,” sahut Lenghou Tiong.

Dalam hati Ing-ing merasa geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Gak Put-kun, tapi betapa pun juga apa yang dilakukan itu adalah demi kebaikan sang kekasih.

Selang sejenak, Ing-ing yakin pil tadi sudah hancur di dalam perut Gak Put-kun dan tidak mungkin ditumpahkan keluar, habis itu barulah dia melancarkan kembali hiat-to Gak Put-kun yang lain sambil membisikinya, “Setiap hari Toan-ngo tiap tahun boleh kau datang ke Hek-bok-keh, aku akan memberi obat penawarnya padamu.”

Bisikan itu lebih meyakinkan Gak Put-kun lagi bahwa obat yang ditelannya tadi memang betul “pil pembusuk tubuh” dari Mo-kau, tanpa kuasa badannya menjadi gemetar, katanya, “Jadi pil ini adalah... adalah....”

“Benar, kau harus diberi selamat,” kata Ing-ing. “Obat mujarabku itu tidak mudah membuatnya, dalam agama kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian tinggi saja yang memenuhi syarat untuk minum obat dewa itu. Betul tidak, Pau-tianglo?”

“Betul,” sahut Pau Tay-coh. “Atas anugerah Kaucu pernah juga Siokhe minum obat dewa itu, maka selamanya Siokhe sangat setia dan tunduk, malahan Kaucu juga menaruh kepercayaan penuh kepada Siokhe, sungguh tiada terkatakan manfaat daripada obat dewa tersebut.”

Lenghou Tiong terkejut juga, katanya, “He, kau memberikan obat....”

“Ah, mungkin saking kelaparan sehingga dia makan barang apa saja yang dilihatnya,” kata Ing-ing dengan tersenyum. “Nah, Gak Put-kun, selanjutnya kau harus berusaha membela kepentingan Engkoh Tiong dan aku, hal ini akan berfaedah bagimu.”

Tidak kepalang benci Gak Put-kun, pikirnya, “Jika perempuan siluman cilik ini kebetulan mengalami sesuatu atau dibunuh orang, maka yang akan konyol tentulah diriku. Bahkan dia tidak sampai mampus, tapi terluka parah umpamanya sehingga tidak dapat pulang ke Hek-bok-keh pada hari Toan-ngo, lalu ke mana aku dapat mencari dia?”

Berpikir demikian, kembali ia menjadi khawatir dan gemetar pula.

Lenghou Tiong menghela napas, ia pikir dasar Ing-ing berasal dari Mo-kau sehingga tingkah lakunya juga rada-rada berbau “jahat”. Tapi apa yang diperbuatnya sesungguhnya demi kepentingannya sehingga tak dapat pula menyalahkan dia.

“Pau-tianglo,” kata Ing-ing kemudian, “kau pulang ke Hek-bok-keh dan lapor kepada Kaucu, katakan ketua Ngo-gak-pay yang dihormati, Gak Put-kun, Gak-siansing, kini telah menggabungkan diri ke dalam agama kita dengan setulus hati, obat dewa Kaucu sudah diminumnya sehingga dia tidak mungkin berkhianat lagi.”

Sebenarnya Pau Tay-coh sedang sedih sebab bingung entah cara bagaimana harus memberi pertanggungan jawab kepada sang kaucu atas tugas yang diberikan padanya, yaitu tugas menangkap Gak Put-kun. Kini melihat Gak Put-kun telah dicekoki pil sakti oleh Ing-ing, ia menjadi girang dan yakin sang kaucu pasti akan bergirang bila diberi laporan apa yang terjadi itu. Begitulah ia lantas mengiakan atas perintah Ing-ing tadi.

Lalu Ing-ing berkata pula, “Karena Gak-siansing sudah masuk anggota kita, mengenai hal-hal yang merugikan nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di luaran. Tentang pil dewa yang telah dimakannya lebih-lebih jangan dibocorkan. Orang ini mempunyai kedudukan amat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan tangkas pula dalam segala hal, kelak Kaucu tentu akan memanfaatkan tenaganya.”

Kembali Pau Tay-coh mengiakan pesan Ing-ing itu.

Melihat keadaan Gak Put-kun yang serbakonyol itu, Lenghou Tiong ikut merasa menyesal, meski dirinya tadi hendak dibinasakan oleh Gak Put-kun, tapi mengingat budi kebaikan selama likuran tahun, selama itu hubungan mereka seperti ayah dan anak, kini mendadak berubah menjadi musuh, sungguh ia merasa sedih. Sebenarnya ia bermaksud mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Gak Put-kun, tapi tenggorokan serasa terkancing dan sukar bicara.

“Pau-tianglo,” kata Ing-ing pula, “bila kalian pulang ke Hek-bok-keh, sampaikanlah hormat baktiku kepada ayah dan juga kepada Hiang-sioksiok, katakan kepada beliau-beliau itu bahwa nanti kalau... kalau dia... dia Lenghou-kongcu sudah sembuh lukanya barulah kami akan pulang ke sana.”

Bab 127. Muslihat Keji Gak Put-kun

Terhadap nona lain tentu Pau Tay-coh akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji sebagaimana lazimnya terhadap muda-mudi yang sedang dirundung asmara, tapi terhadap Ing-ing mana dia berani bicara begitu, maka memandang saja tidak berani melainkan membungkuk memberi hormat dan mengiakan belaka dengan sikap sungguh-sungguh. Ia tahu tuan putrinya itu pemalu, khawatir orang menertawai dia jatuh cinta kepada Lenghou Tiong sehingga banyak orang Kang-ouw pernah menjadi korban perasaan si nona yang aneh itu.

Begitulah Pau Tay-coh lantas mohon diri dan berangkat pergi bersama kawan-kawannya. Sikap hormatnya terhadap Lenghou Tiong bahkan melebihi hormatnya kepada Ing-ing. Ia tahu semakin hormat kepada Lenghou Tiong tentu akan semakin menambah kegirangan hati Ing-ing. Sebagai kawakan Kang-ouw dan sudah kenyang pengalaman hidup, sudah tentu Pau Tay-coh dapat menyelami jiwa anak gadis pada umumnya.

Terakhir tinggal Gak Put-kun yang masih berdiri mematung di situ, Ing-ing lantas berkata, “Gak-siansing, kau pun boleh pergi saja. Tentang jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Hoa-san untuk dikebumikan di sana?”

Gak Put-kun menggeleng, sahutnya, “Mohon tolong kalian berdua, boleh dikubur saja di sini.”

Habis berkata, tanpa memandang lagi kepada Lenghou Tiong maupun Ing-ing, segera ia melangkah pergi dengan cepat, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik semak-semak pohon sana.

Setelah mengalami malapetaka yang hampir merenggut nyawa Lenghou Tiong dan Ing-ing tadi, cinta kasih di antara mereka telah bertambah lebih kekal lagi. Kedua orang saling pandang, lalu saling berpelukan dengan mesra.

Menjelang magrib, selesailah mereka mengubur Gak-hujin di sebelah kuburan Gak Leng-sian. Kembali Lenghou Tiong menangis dengan sedih.

Esok paginya, Ing-ing tanya keadaan luka Lenghou Tiong.

“Sekali ini tidak terlalu parah, tak perlu khawatir,” kata pemuda itu.

“Baiklah kalau begitu, tempat kita ini sudah diketahui orang, kupikir dua-tiga hari lagi kita harus pindah tempat,” ujar Ing-ing.

“Benar juga,” kata Lenghou Tiong. “Siausumoay sudah ditemani ibunya, tentu dia takkan kesepian lagi.”

Lalu Ing-ing mengeluarkan sejilid buku tipis, itulah benda yang diketemukan Pau Tay-coh ketika menggeledah badan Gak Put-kun. Katanya kemudian, “Ini adalah Pi-sia-kiam-boh yang mengakibatkan Hoa-san-pay kalian kocar-kacir, sungguh suatu bibit bencana.”

Habis berkata ia terus robek-robek buku itu hingga hancur, lalu dibakar di depan makam Gak-hujin.

“Pada dasarnya Suhu adalah orang baik, tapi demi untuk meyakinkan ilmu pedang sesat ini, akhirnya sifatnya berubah lain sama sekali,” kata Lenghou Tiong.

“Memang tidak salah ucapanmu,” kata Ing-ing. “Kalau kiam-boh ini tetap beredar di dunia Kang-ouw, sungguh akan menimbulkan malapetaka yang tak terhingga. Kita sudah membakar sejilid kiam-boh ini, tapi Lim Peng-ci masih memegang kiam-boh yang asli. Cuma kukira dia takkan seluruhnya diuraikan kepada Co Leng-tan dan Lo Tek-nau. Anak she Lim itu pun bukan orang bodoh, mana dia mau memberikan kiam-boh berharga itu kepada orang lain?”

“Mata Co Leng-tan dan Lim Peng-ci sudah buta semua, bila benar Lim Peng-ci mau mengajarkan ilmu pedang itu, paling-paling hanya bisa mengajar dengan uraian mulut saja, tidak mungkin kiam-boh itu ditulis kembali. Tapi Lo Tek-nau tidak buta, dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiga orang itu adalah manusia-manusia licik dan licin, mereka berkumpul menjadi satu, tentu juga tidak terhindar dari pertarungan tipu-menipu, akhirnya entah bagaimana jadinya. Cuma dua lawan satu, mungkin Lim Peng-ci akan kecundang.”

“Apakah kau benar-benar akan berusaha membela Lim Peng-ci?” tanya Ing-ing.

Lenghou Tiong menjawab sambil memandang kuburan Leng-sian, “Tidak seharusnya aku menyanggupi kepada Siausumoay akan membela Lim Peng-ci. Orang ini lebih kejam daripada binatang, pantasnya kucincang tubuhnya hingga hancur luluh, mana aku akan membantu dia pula? Hanya saja aku sudah berjanji kepada Siausumoay, bila aku ingkar janji, di alam baka tentu dia takkan tenteram.”

“Ketika masih hidup dia tidak tahu siapakah yang benar-benar baik padanya, sesudah di alam baka seharusnya dia tahu,” kata Ing-ing. “Maka dia tentu pula tidak menginginkan kau melindungi Lim Peng-ci.”

“Sukar dipastikan,” ujar Lenghou Tiong. “Cinta Siausumoay terhadap Peng-ci sudah terlalu mendalam, biarpun tahu ia sendiri dibunuh oleh suaminya itu toh tidak tega membiarkan hidup suaminya merana dalam keadaan buta.”

Diam-diam Ing-ing membatin, “Tidak salah juga ucapanmu ini, seumpama aku, tidak peduli bagaimana sikapmu terhadap diriku toh aku akan tetap mencintai kau dengan segenap jiwa ragaku.”

Begitulah setelah istirahat beberapa hari lagi, luka baru Lenghou Tiong itu sudah hampir sembuh seluruhnya. Setelah memberi hormat di depan makam Gak-hujin dan Leng-sian, lalu berangkatlah mereka.

Mereka masih berada dalam wilayah Holam, agar tidak dikenali orang, mereka tetap menyamar, yang satu menyamar sebagai pak tani, yang lain sebagai gadis tani.

Lenghou Tiong mengkhawatirkan para anak murid Hing-san-pay yang terdiri dari kaum wanita semua, ia menyatakan harus menuju ke Hing-san dahulu, setelah menyerahkan jabatan ketua kepada Gi-jing barulah dia akan berkelana ke mana pun juga bersama Ing-ing atau kemudian memilih suatu tempat menetap yang abadi.

“Lalu urusan Lim Peng-ci itu cara bagaimana kau akan bertanggung jawab terhadap mendiang siausumoaymu?” tanya Ing-ing.

“Ya, urusan ini memang paling memusingkan kepalaku,” kata Lenghou Tiong sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. “Tapi sebaiknya jangan kau singgung-singgung dahulu, biarlah kulakukan menurut keadaan saja.”

Ing-ing tersenyum dan tidak membicarakannya lagi.

Begitulah mereka lantas menyewa sebuah kereta terus menuju ke utara. Suatu hari sampailah mereka di wilayah Soasay, kira-kira tujuh atau delapan hari lagi baru dapat sampai di Hing-san. Malam itu mereka menginap di Kota Seng-peng-tin.

Sepanjang jalan selalu Ing-ing minta tinggal berpisah dengan Lenghou Tiong pada hotel yang lain. Lenghou Tiong tahu nona itu pemalu, khawatir kepergok kenalan dan menimbulkan cerita iseng. Padahal mereka sudah tinggal bersama selama belasan hari di pegunungan sunyi, kalau orang mau omong iseng tentu juga sudah ramai disiarkan. Apalagi kelak kau dan aku sudah jelas bakal menjadi suami istri, peduli apa terhadap omongan iseng orang lain? Demikian pikir Lenghou Tiong. Namun dia pun tidak mau membantah keinginan Ing-ing itu dan menuruti saja. Untungnya Seng-peng-tin cukup ramai dan ada beberapa buah hotel, maka di sini pun mereka tetap tinggal terpisah pada dua hotel.

Sampai tengah malam, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar suara beberapa orang sedang berdebat dengan suara tertahan. Bahwasanya orang bertengkar dalam hotel di tengah malam adalah kejadian biasa, akan tetapi yang menarik perhatian Lenghou Tiong adalah suara seorang yang kasar berulang-ulang menyebut “Hing-san-pay”. Mestinya Lenghou Tiong sudah hampir pulas, ketika mendengar “Hing-san-pay” disinggung, seketika ia terjaga dan segera pasang kuping.

Orang-orang yang sedang bicara itu tinggal di kamar seberang halaman sana, semuanya bicara dengan suara tertahan, tapi bagi Lenghou Tiong yang kini telah memiliki lwekang tinggi dapat didengarnya cukup jelas. Terdengar suara seorang perempuan sedang berkata, “Kita telah tinggal sekian lamanya di Hing-san, maka dapat dikatakan kita pernah menjadi orang Hing-san-pay pula. Sekarang kita harus kembali ke sana untuk menggempur Hing-san-pay, cara bagaimana kita akan bicara bila ketemu Lenghou-kongcu?”

Lenghou Tiong terkejut dan heran, mereka pernah tinggal di Hing-san, tapi sekarang akan menyerang Hing-san-pay, apa sebabnya?

Maka terdengar orang yang bersuara kasar tadi menanggapi, “Thio-hujin, kau orang perempuan memang suka ragu-ragu. Meski kita pernah tinggal di paviliun Hing-san, tapi kita kan bukan nikoh, mana dapat dikatakan orang Hing-san-pay? Lenghou-kongcu selamanya tiada hubungan apa-apa dengan kita, sebabnya kita mau menjunjung dia adalah karena terdorong oleh hormat kita kepada Seng-koh. Padahal sekarang kabarnya Seng-koh sudah marah dan putus hubungan dengan dia lantaran Lenghou Tiong memerkosa serta membunuh Nona Gak dari Hoa-san-pay itu.”

Mendengar nama “Thio-hujin”, segera Lenghou Tiong ingat bahwa kelompok ini mula-mula dijumpainya di Lembah Hongho, kelompok mereka seluruhnya ada tujuh orang, selain Thio-hujin masih ada Tong-pek-siang-ki (Dua Aneh Tong dan Pek), Tiang-hoat-thau-to Siu Siong-lian, seorang hwesio piara rambut, lalu Giok-leng Tojin, Say-po Hwesio, serta Siang-coa-ok-gik Giam Sam-seng Si Pengemis Galak Berular Dua. Ketujuh orang ini pun pernah mengincar Pi-sia-kiam-boh dan pernah mengerubuti ketua Jing-sia-pay, yaitu Ih Jong-hay, kemudian kelompok ini pun pernah ikut menyerbu Siau-lim-si dan tinggal di Hing-san. Orang yang bersuara kasar tadi adalah Siu Siong-lian, thauto berambut.

Terdengar Thio-hujin berkata pula, “Kabar di kalangan Kang-ouw kebanyakan adalah omong kosong belaka. Buktinya Hing-san-pay banyak anak murid yang muda lagi cantik, sedikit pun Lenghou Tiong tidak pernah bertingkah buruk, masakah dia malah memerkosa Nona Gak? Apalagi Seng-koh berpuluh kali lebih cantik daripada Nona Gak, sedemikian mendalam Seng-koh jatuh cinta padanya. Maka berita bohong itu sesungguhnya cuma bikin kotor telinga saja.”

“Kaum wanita kalian memang tidak paham akan hati lelaki,” ujar Siu Siong-lian dengan tertawa. “Watak kaum lelaki, kalau punya satu ingin punya dua, punya dua ingin punya empat. Biarpun Seng-koh secantik bidadari juga sukar menjamin takkan timbul minat Lenghou Tiong terhadap perempuan lain.”

“Tak peduli apa katamu, yang jelas suruh aku membunuhi anak buah Lenghou Tiong, aku pasti tidak mau,” sahut Thio-hujin.

“Kau tidak mau, sukar juga orang memaksa kau,” kata Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua, “Cuma kau jangan lupa, Gak-siansing memegang Hek-bok-leng (medali kayu hitam) tanda perintah Yim-kaucu, resminya dia ketua Ngo-gak-pay, tapi diam-diam dia sudah masuk Tiau-yang-sin-kau, dia memberi tugas kepada kita justru karena mendapat perintah dari Yim-kaucu.”

“Ia pun berjanji akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita bilamana tugas kita sudah selesai,” Siu Siong-lian menambahkan. “Gak-siansing terkenal dengan julukan Kun-cu-kiam, kukira tidak mungkin dia ingkar janji. Masakah dia tidak sayang kepada julukannya yang diperolehnya dengan susah payah selama berpuluh tahun?”

Thio-hujin merenung sejenak, kemudian berkata, “Jika begitu, baiklah kita ada rezeki dibagi rata, ada kesukaran dipikul bersama.”

Serentak keenam orang yang lain bersorak gembira.

“Baik sekali jika Thio-hujin sudah setuju,” kata Giok-leng Tojin. “Tentang Lenghou Tiong, tak peduli apakah dia benar memerkosa dan membunuh Nona Gak atau tidak, sekalipun Seng-koh suka padanya, betapa pun dia adalah orang Tiau-yang-sin-kau juga, masakah dia berani membangkang terhadap Hek-bok-leng sang kaucu? Kalau kita sudah tumpas Hing-san-pay, andaikan dia tidak terima, boleh dia bicara dengan Yim-kaucu dan Gak-siansing.”

“Menurut Gak-siansing, katanya orang-orang yang dikirim ke Hing-san telah diteliti dan dipilih dengan baik, jadi tidak setiap teman kita yang pernah tinggal di Hing-san mendapatkan tugas ini,” kata Siu Siong-lian. “Saat ini, rombongan-rombongan yang berangkat lebih dulu agaknya sudah sampai di Hing-san.”

“Memang,” kata Say-po Hwesio. “Jika setiap orang dikirim ke sana dan setiap orang diberi ajaran Pi-sia-kiam-hoat, maka ilmu pedang ini tentu tidak menarik lagi.”

“Ya, memang tidak begitu. Menurut Gak-siansing, setelah usaha kita berhasil, Pi-sia-kiam-hoat itu hanya diajarkan kepada kita bertujuh serta Hoat-put-liu-jiu Yu Siok. Selain kedelapan orang ini tiada seorang pun yang mendapat bagian lagi. Maka kita diharuskan menutup mulut supaya orang lain tidak iri,” kata Giok-leng Tojin.

“Aneh, Hoat-put-liu-jiu Yu Siok yang sok itu, mengapa Gak-siansing justru penujui dia?” ujar Thio-hujin.

“Hal ini sukar dijelaskan,” kata Giok-leng. “Bisa jadi Yu Siok itu pintar bicara yang manis-manis sehingga Gak-siansing tertarik, bisa pula lantaran dia pernah berjasa sesuatu bagi Gak-siansing.”

Untuk seterusnya apa yang dibicarakan ketujuh orang itu adalah hal-hal yang tidak penting, tapi rupanya semakin mengobrol semakin senang mereka, katanya kelak bila mereka sudah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, maka mereka bertujuh pasti akan malang melintang di dunia Kang-ouw. Seorang Gak Put-kun yang mahir Pi-sia-kiam-hoat saja sudah sehebat itu, apalagi tujuh orang sekaligus. Sampai akhir obrolan mereka, dengan suara keras mereka lantas memanggil pelayan agar membawakan arak dan daharan, agaknya mereka ingin bikin pesta semalam suntuk.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Mereka mengatakan guruku memegang Hek-bok-leng dan menugaskan mereka membasmi Hing-san-pay. Apakah mungkin dalam beberapa hari ini Suhu telah menggabung kepada Tiau-yang-sin-kau. Ah, rasanya tidak mungkin. O ya, Pau Tay-coh itu membawa Hek-bok-leng, tampaknya di tengah jalan dia telah dibunuh oleh Suhu sehingga Hek-bok-leng itu terampas. Karena tertawan dan mendapat siksaan di lembah itu tempo hari, sudah tentu Suhu sangat dendam, maka untuk melampiaskan dendam dan untuk melenyapkan saksi, begitu meninggalkan lembah pegunungan itu Suhu lantas membinasakan Pau Tay-coh dan kawan-kawannya. Bila aku sendiri yang menghadapi keadaan demikian tentu juga akan berbuat cara sama dengan membunuh mereka.”

Lalu terpikir lagi olehnya, “Lantas sebab apa Suhu hendak menumpas Hing-san-pay? Ya, mungkin dia dendam padaku, tapi tidak mampu melawan aku, pada saat aku belum sembuh dari luka parah, sekaligus ia hendak menghancurkan Hing-san-pay untuk menjatuhkan pula namaku. Dia telah dicekoki pil maut oleh Ing-ing, selama hidup selanjutnya berarti berada di bawah cengkeraman seorang nona cilik, lalu apa artinya menjadi manusia demikian? Mungkin ia menjadi nekat karena dia sekarang tinggal sebatang kara, daripada hidup tersiksa ada lebih baik membunuh diri saja, tapi, sebelumnya dia ingin menghancurkan Hing-san-pay lebih dulu sekadar pelampias dendam.”

Ia berpikir sebagai Gak Put-kun, ia merasa apa yang akan dilakukannya itu memang tiada salahnya, maka tanpa terasa timbul juga solidaritasnya kepada Gak Put-kun. Terpikir pula, “Jika kuberi tahukan hal ini kepada Ing-ing, tentu dia akan gusar dan takkan memberi obat penawar kepada Suhu. Jalan yang paling baik adalah mengenyahkan dulu kawanan penyusup ini dari Hing-san, habis itu baru mencari akal untuk melayani Suhu.”

Teringat olehnya kata-kata Siu Siong-lian bahwa penyusup-penyusup itu dikirim secara berombongan, tentunya mereka baru turun tangan bilamana semua rombongan sudah lengkap berada di Hing-san, jadi sementara ini Hing-san belum gawat, biarlah kubicarakan besok saja dengan Ing-ing. Setelah ambil ketetapan demikian, ia tidak mengikuti lagi pembicaraan Siu Siong-lian dan kawan-kawannya itu melainkan terus berbaring dan tidur.

Besoknya pagi-pagi ia sudah mendatangi hotel Ing-ing dan sarapan bersama si nona. Ia pikir demi keselamatan Suhu, sebaiknya apa yang didengarnya semalam jangan diberitahukan dulu kepada Ing-ing. Maka sambil makan ia pun berkelakar dengan mengada-ada, “Kau dan aku masih belum melakukan upacara nikah....”

Baru sekian ucapannya, seketika wajah Ing-ing merah jengah dan mengomel, “Cis, siapa yang mau main upacara nikah padamu?”

“Kelak toh mesti jadi, bukan?” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. “Jika kau tidak mau, aku akan tangkap dan paksa kau.”

“Pagi-pagi kau sudah bicara angin-anginan begini,” kata Ing-ing dengan tersenyum.

“Ini urusan mahapenting, menyangkut kehidupan selamanya,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Eh, Ing-ing, ketika di lembah gunung tempo hari tiba-tiba kupikir kelak bila kita sudah kawin, paling baik kita punya berapa orang anak? Menghadapi tho-kok (lembah tho) di sana itu aku menjadi terbayang bilamana kelak lahir enam Tho-kok-lak-sian kecil, kan sangat menarik?”

Ing-ing melototi Lenghou Tiong sambil mengikik geli, namun dalam hati merasa manis sekali.

Lenghou Tiong berkata pula, “Kita bersama-sama menuju ke Hing-san, orang-orang yang berpikiran kotor jangan-jangan akan mengira kita sudah kawin sehingga sembarangan omong, hal ini tentu akan membikin marah padamu.”

Ucapan ini kena benar di lubuk hati Ing-ing, sahutnya, “Benar. Syukur kita sekarang sudah menyamar begini, orang lain tentu tak dapat mengenali kita lagi.”

“Kau terlalu cantik, betapa pun menyamar juga tetap menarik perhatian orang,” ujar Lenghou Tiong. “Menurut pendapatku, setiba di Hing-san sebaiknya aku tidak muncul dulu, tapi menyaru seorang yang tidak menarik untuk menyelidiki keadaan di sana. Jika keadaan Hing-san aman sentosa, maka aku akan perlihatkan diri dan menyerahkan kedudukan ketua kepada orang lain, habis itu, kita bertemu lagi di suatu tempat yang dirahasiakan untuk kemudian pergi dari sana tanpa diketahui siapa pun.”

Ing-ing tahu sebabnya Lenghou Tiong bicara begitu adalah untuk menyesuaikan dengan wataknya yang pemalu, sungguh hatinya sangat senang, segera ia menjawab, “Baiklah. Cuma untuk menemui para suthay di Hing-san sana, agar tidak mencolok paling baik kalau kau pun cukur rambut dan menyaru menjadi suthay, tanggung orang takkan curiga. Eh, tampaknya kau akan sangat cantik juga bila menyamar sebagai nikoh cilik. Hayolah Engkoh Tiong, coba kudandani kau.”

Lenghou Tiong tertawa dan goyang-goyang tangannya, katanya, “Jangan, jangan! Setiap kali melihat nikoh, setiap kali pula kalah judi. Bila aku menyamar sebagai nikoh tentu akan sial selamanya, aku tidak mau. Cuma untuk menghindarkan perhatian, memang perlu aku menyaru sebagai orang perempuan. Tapi sekali aku membuka suara tentu pula akan ketahuan. Maka paling baik aku menyamar seorang bisu tuli. Apakah kau masih ingat kepada seorang yang tinggal di Sian-kong-si, itu biara yang dibangun terapung di antara dua puncak di belakang Kian-seng-hong di Hing-san itu?”

“Aha, bagus sekali, memang di Sian-kong-si itu ada seorang babu tua, bisu lagi tuli, kita pernah bertempur sengit di sana, tapi perempuan tua itu sedikit pun tidak dengar. Kita tanya padanya, dia juga cuma melongo saja tak bisa menjawab. Apakah kau ingin menyamar sebagai dia?”

“Benar,” sahut Lenghou Tiong.

“Baiklah, mari kita pergi membeli pakaian, segera aku mendandani kau,” kata Ing-ing.

Dengan dua tahil perak Ing-ing berhasil membeli seikat cemara, disisirnya dengan baik, lalu dipasang di atas kepala Lenghou Tiong, pakaian bekas yang baru dibeli lantas ditukarkan pakaian petani yang dipakai itu, maka berubahlah dia menjadi seorang perempuan. Kemudian mukanya diberi pupur yang kekuning-kuningan, di sana-sini ditutul lagi beberapa tahi lalat, kulit mukanya sebelah kanan ditarik ke bawah dan ditempel dengan sepotong koyok sehingga alis kanan ikut tertarik menyerong ke bawah, mulutnya juga rada merot. Waktu Lenghou Tiong bercermin, sampai dia pun hampir-hampir tidak mengenal dirinya sendiri.

“Nah, luarnya sudah berubah, hanya tingkah lakumu masih perlu dilatih, kau harus berlagak bodoh, berlagak tolol, macam orang linglung. Yang paling penting, bila ada orang mendadak menggertak di belakangmu, jangan sekali-kali kau melonjak terkejut sehingga rahasia penyamaranmu terbongkar.”

“Berlagak tolol bagiku adalah hal paling gampang, pura-pura bodoh memangnya adalah keahlianku,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.

Sepanjang jalan Lenghou Tiong lantas menyamar sebagai babu tua yang bisu dan tuli sebagai latihan pendahuluan dan agar tidak ketahuan bila ketemu orang lain. Kedua orang tidak bermalam di hotel lagi, tapi mencari kelenteng rusak atau biara bobrok untuk bermalam. Terkadang Ing-ing sengaja menggertak di belakang Lenghou Tiong, namun pemuda itu ternyata tidak kaget dan anggap tidak dengar.

Tidak seberapa hari sampailah mereka di kaki Hing-san, mereka berjanji akan bertemu kembali di sekitar Sian-kong-si tujuh hari kemudian. Lalu Lenghou Tiong menuju ke Kian-seng-hong dan Ing-ing pesiar dan mencari kesenangan sendiri di sekitar pegunungan indah itu.

Setiba di Kian-seng-hong, hari sudah petang. Lenghou Tiong pikir bila langsung menuju ke biara tempat kediaman Gi-jing dan lain-lain tentu penyamarannya itu akan dicurigai. Ia pikir paling baik menyelidiki secara tersembunyi saja.

Segera ia mencari suatu gua sepi untuk tidur. Waktu mendusin sang dewi malam sudah menghias di tengah cakrawala, segera ia menuju ke Bu-sik-am, biara induk di puncak Kian-seng-hong.

Setiba di pinggir pagar tembok, ia melihat di balik sebuah jendela masih ada cahaya lampu, ia mendekatinya dengan hati-hati, ia menggunakan air ludah untuk membasahi kertas perapat jendela itu, melalui lubang kertas yang menjadi basah itu dia mengintip ke dalam. Kiranya di dalam adalah sebuah kamar yang sunyi, rupanya kamar mendiang Ting-sian Suthay di kala melakukan tirakatan. Di atas meja di dalam kamar itu ternyala sebuah pelita minyak, tampak jelas di atas meja ada tiga tempat abu, itulah tempat pemujaan bagi arwah Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay. Melihat keadaan yang sunyi dan hampa di dalam kamar itu, pilu juga rasa hati Lenghou Tiong.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara nyaring benturan senjata. Tergerak hati Lenghou Tiong, “Musuh sudah datang, apakah Siu Siong-lian dan rombongannya sudah mulai bergerak?”

Ia meraba pedang pendek yang terselip di pinggangnya, cepat ia berlari menuju ke arah datangnya suara benturan senjata.

Kiranya suara itu datang dari sebuah ruangan kira-kira belasan meter di sebelah Bu-sik-am, dari balik jendela ruangan itu pun tampak sinar lampu yang cukup terang.

Ketika sampai di pinggir ruangan itu, terdengar suara benturan senjata tambah nyaring dan kerap. Waktu Lenghou Tiong mengintip pula, seketika ia merasa lega. Rupanya Gi-ho dan Gi-lim berdua sedang berlatih ilmu pedang, Gi-jing dan The Oh berdua tampak berdiri di pinggir mengikuti latihan itu.

Yang dilatih Gi-ho dan Gi-lim itu adalah ajaran Lenghou Tiong tempo hari, yaitu Hing-san-kiam-hoat yang ditemukan di dinding gua di puncak Hoa-san dahulu itu. Tampaknya permainan kedua orang itu sudah rada matang. Pedang Gi-ho diputar semakin cepat, suatu kali ketika Gi-lim rada lena, tahu-tahu ujung pedang Gi-ho sudah menusuk sampai di depan dadanya, untuk menangkis terang tidak keburu lagi, Gi-lim menjerit lesu.

“Kembali kau kalah lagi, Sumoay,” kata Gi-ho sambil mengacungkan ujung pedang di depan dada Gi-lim.

Gi-lim menunduk malu, jawabnya, “Siaumoay sudah berlatih sekian lamanya, tapi masih tiada kemajuan.”

“Sudah lebih maju daripada latihan yang lalu,” kata Gi-ho. “Marilah kita coba-coba lagi.”

Akan tetapi tiba-tiba Gi-jing menyela, “Siausumoay mungkin sudah lelah, silakan pergi tidur saja bersama The-sumoay, besok boleh berlatih pula.”

Gi-lim mengiakan sambil menyimpan kembali pedangnya, lalu memberi hormat kepada Gi-jing dan Gi-ho, kemudian bersama The Oh keluar dari ruangan latihan itu.

Waktu Gi-lim membalik tubuh, Lenghou Tiong dapat melihat wajahnya yang kurus dan pucat, ia pikir, “Siausumoay ini selalu berhati murung saja.”

Kemudian tampak Gi-ho merapatkan pintu ruangan latihan itu dan saling geleng-geleng kepala dengan Gi-jing. Sesudah suara tindakan Gi-lim dan The Oh terdengar menjauh barulah Gi-ho berkata, “Kulihat hati Siausumoay selalu tak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda adalah pantangan besar bagi orang beribadat seperti kita ini. Entah cara bagaimana kita harus menasihatkan dia.”

“Memang sukar untuk menasihatkan dia,” kata Gi-jing. “Paling penting kalau ada kesadaran diri sendiri.”

“Aku tahu apa sebabnya hati Siausumoay tak bisa tenang, yang senantiasa terkenang olehnya adalah....”

“Di tempat suci ini hendaklah Suci jangan bicara hal-hal demikian,” kata Gi-jing sebelum ucapan Gi-ho lebih lanjut. “Sebenarnya tiada halangannya membiarkan Siausumoay insaf sendiri bilamana kita tidak buru-buru ingin menuntut balas sakit hati Suhu.”

“Dahulu Suhu sering mengatakan bahwa segala apa di dunia ini sudah suratan takdir, harus mengikuti menurut apa adanya, sedikit pun tak boleh dipaksakan. Kulihat Siausumoay adalah orang yang berperasaan, sebenarnya dia tidak cocok memasuki dunia agama seperti kita ini.”

Gi-jing menghela napas, jawabnya, “Aku pun pernah memikirkan soal ini. Cuma saja Hing-san-pay pada akhirnya harus ada seorang dari kalangan agama kita sendiri untuk memegang jabatan ketua. Lenghou-suheng sudah berulang-ulang menyatakan bahwa dia hanya sementara saja menjabat ciangbunjin kita. Tapi yang terpenting adalah keparat Gak Put-kun itu telah mencelakai Suhu dan Susiok....”

Mendengar sampai di sini, tidak kepalang kejut Lenghou Tiong, ia heran mengapa Gi-jing secara tegas mengatakan Gak Put-kun yang mencelakai guru mereka?

Terdengar Gi-jing menyambung kata-katanya tadi, “Kalau sakit hati mahabesar ini tidak lekas kita balas, kita sebagai anak murid beliau-beliau itu tentu tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan.”

“Tidak cuma kau saja yang tidak sabar, mungkin aku lebih gelisah daripada kau tentang pembalasan sakit hati guru kita,” kata Gi-ho. “Baiklah, mulai besok aku akan mempercepat dan pergiat latihannya.”

“Tapi juga jangan terlalu dipaksakan,” kata Gi-jing. “Kulihat beberapa hari terakhir ini semangat Siausumoay rada mundur.”

Gi-ho mengiakan. Lalu kedua orang membereskan senjata-senjata dan memadamkan pelita, kemudian kembali ke kamar masing-masing untuk tidur. Rupanya Gi-jing meski terhitung sumoay, tapi pintar dan bisa berpikir, maka setiap urusan penting Gi-ho suka mengajaknya berunding.

Di tempatnya mengintai, Lenghou Tiong menjadi heran mengapa mereka menuduh Gak Put-kun mencelakai guru dan paman gurunya, dan mengapa pula demi untuk menuntut balas, demi untuk menerima penyerahan jabatan ketua Hing-san-pay, maka siausumoay mereka mesti disuruh giat berlatih ilmu pedang?

Ia coba merenungkan hal itu, tapi tidak juga paham. Perlahan-lahan ia meninggalkan tempat itu sambil berpikir cara bagaimana besok harus minta keterangan kepada Gi-lim akan persoalan aneh itu.

Mendadak terkilas suatu pikiran dalam benaknya, hampir-hampir ia berteriak, katanya di dalam hati, “Ah, aku seharusnya memikirkan hal ini sejak dulu-dulu. Mengapa mereka sudah lama mengetahui hal ini, sebaliknya hal ini tak pernah kupikirkan?”

Ia menyelinap ke pinggir tembok di luar sebuah rumah kecil, ia berdiri mepet dinding agar bayangannya tidak kepergok orang, habis itu barulah ia memikirkan pula hal itu dengan cermat. Ia coba mengenangkan kembali keadaan kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay di Siau-lim-si dahulu itu. Menurut penglihatannya waktu itu, tiada sesuatu luka yang ditemukan di tubuh kedua suthay tua itu, pula tidak terluka dalam atau mati keracunan, jadi kematiannya sungguh sangat aneh.

Kemudian setelah meninggalkan Siau-lim-si, di dalam gua waktu berteduh dari hujan salju pernah Ing-ing memberitahukan padanya bahwa ketika di Siau-lim-si dia telah membuka baju kedua suthay itu untuk memeriksa lukanya, dilihatnya pada ulu hatinya ada satu titik merah bekas tusukan jarum, terang itulah luka yang mengakibatkan kematian kedua suthay, hanya saja tusukan pada ulu hati Ting-sian Suthay itu rada menceng sedikit, makanya seketika Ting-sian belum putus napasnya waktu itu.

Menurut perkiraan, kalau jarum itu ditusukkan ke dalam ulu hati, maka serangan itu terang dilakukan secara berhadapan, jadi orang yang mencelakai kedua suthay itu jelas adalah tokoh kelas wahid.

Teringat hal itu, tanpa terasa kedua tangan Lenghou Tiong menahan dinding dengan badan rada gemetar, pikirnya, “Tatkala mana Tonghong Put-pay sudah mati, orang yang mampu membinasakan kedua Suthay dengan sebatang jarum kecil hanya orang yang telah berhasil meyakinkan Kui-hoa-po-tian atau Pi-sia-kiam-hoat. Sedangkan Pi-sia-kiam-hoat yang diyakinkan Co Leng-tan itu adalah palsu, tidak sempurna, selain itu hanya guruku dan Lim Peng-ci saja berdua. Sedangkan waktu itu Lim Peng-ci baru saja memperoleh Pi-sia-kiam-hoat, belum lagi berhasil meyakinkannya, ini terbukti waktu bertemu dengan Lim Peng-ci sesudah meninggalkan Siau-lim-si dahulu suara Peng-ci belum lagi banci.”

Terpikir sampai di sini, tanpa terasa jidatnya berkeringat dingin. Ia tahu tatkala itu yang mampu menggunakan sebatang jarum kecil dan membinasakan kedua suthay utama Hing-san-pay dari depan tiada orang lain lagi kecuali Gak Put-kun. Teringat pula cara bagaimana Gak Put-kun berusaha secara berencana agar dapat menjadi ketua Ngo-gak-pay dan sengaja membiarkan Lo Tek-nau menyelundup ke dalam perguruannya selama belasan tahun tanpa membuka kepalsuannya, akhirnya sengaja membiarkan Lo Tek-nau membawa lari sejilid kiam-boh palsu untuk menjebak Co Leng-tan, akibatnya dengan mudah kedua mata Co Leng-tan kena dibutakan olehnya. Lantaran Ting-sian dan kawan-kawannya berkeras menentang peleburan Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, maka Gak Put-kun telah mencari kesempatan untuk membunuhnya sehingga mengurangi pihak penentang peleburan Ngo-gak-kiam-pay yang dirancangnya itu.

Bab 128. Intrik Gak Put-kun Terhadap Hing-san-pay

Lenghou Tiong merenungkan kembali percakapannya dengan Ing-ing di gua itu tentang pengalamannya di Siau-lim-si, di mana dia telah kena ditendang dengan keras oleh Gak Put-kun, ia tidak terluka, sebaliknya tulang kaki Gak Put-kun sendiri patah malah. Hal ini sangat mengherankan Ing-ing, katanya ayahnya (Yim Ngo-heng) juga tidak habis paham atas kejadian itu. Sebab seperti diketahuinya di dalam tubuh Lenghou Tiong sudah banyak bertambah dengan lwekang yang disedotnya dari beberapa tokoh silat kelas tinggi, namun untuk bisa menggunakan campuran lwekang itu buat menyerang lawan diperlukan latihan yang cukup, padahal waktu itu Lenghou Tiong belum mencapai taraf demikian. Kini kalau dipikir, jelas Gak Put-kun sengaja pura-pura, sengaja diperlihatkan kepada Co Leng-tan agar saingannya itu menilai rendah kepandaiannya dan lengah.

Dan benar juga usaha Co Leng-tan dengan susah payah untuk menggabungkan Ngo-gak-kiam-pay akhirnya cuma sia-sia saja, orang lain yang menarik keuntungannya.

Setelah memahami apa yang terjadi itu, kemudian ia membatin, “Betapa pun Suhu bermaksud mencelakai aku tetap takkan kulupakan budi kebaikannya selama mendidik aku 20-an tahun. Dengan sendirinya aku sendiri tak dapat membunuhnya, namun anak murid Hing-san-pay yang berhasrat menuntut balas juga tak dapat kurintangi. Hanya saja ilmu silat Suhu sekarang sudah lain daripada dahulu, betapa pun Gi-jing dan lain-lain berlatih rasanya selama hidup mereka ini juga tak mampu mengalahkan suhuku. Beberapa jurus ilmu pedang yang kuajarkan kepada mereka itu pun terang bukan tandingan Pi-sia-kiam-hoat.”

Ia pikir Gi-lim sekarang tentu sudah tidur, biarlah aku pergi ke paviliun di seberang sana untuk melihat apakah rombongan Siu Siong-lian dan kawan-kawannya sudah datang belum.

Paviliun yang dahulu ditunjuk sebagai tempat penampungan orang-orang Kang-ouw yang ikut Lenghou Tiong ke Hing-san itu terletak di Thong-goan-kok, suatu lembah di lereng Hing-san dan jauhnya ada belasan li juga. Dengan berlari-lari enteng Lenghou Tiong terus menuju ke sana, ketika sampai di lembah itu hari pun sudah terang tanah. Lebih dahulu ia mengaca dirinya di tepi sebuah sungai kecil, memeriksa keadaan pakaian, sesudah tiada tanda-tanda yang mencurigakan barulah ia menuju paviliun itu.

Ia mengitari pintu depan, baru saja hendak masuk melalui pintu samping, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di dalam.

Dahulu orang-orang Kang-ouw campuran itu ditampung oleh Lenghou Tiong di situ, setiap hari Lenghou Tiong mengobrol, main judi dan minum arak bersama mereka, meski tengah malam juga selalu ramai suasana di situ. Kemudian Yim Ngo-heng memberi perintah agar orang-orang itu pergi dari situ, maka sepilah keadaan lembah itu.

Kini mendengar kembali suara ramai itu, Lenghou Tiong tidak menjadi senang, sebaliknya malah khawatir. Dari apa yang didengarnya dari percakapan Thio-hujin dan kawan-kawannya itu, jelas mereka bermaksud buruk terhadap Hing-san-pay, kalau mereka tidak mau disuruh pergi secara halus terpaksa harus main kekerasan, dan dari kawan tentu akan menjadi lawan. Bila Lenghou Tiong harus mencelakai bekas teman-teman itu, rasanya serbasusah.

Dalam pada itu terdengar orang banyak sedang berteriak-teriak di dalam rumah, “Sungguh aneh! Keparat! Perbuatan siapa ini?”

“Ya, bangsat benar! Kapan dilakukannya hal ini? Mengapa tiada seorang pun yang tahu?”

“Eh, mereka ini kan bukan jago lemah, mengapa kena diselomoti orang tanpa menjengek sedikit pun?”

Dari suara ribut-ribut itu Lenghou Tiong dapat menduga di situ tentu terjadi sesuatu yang luar biasa. Segera ia menyelinap masuk, dilihatnya di pekarangan dalam dan serambi samping sana penuh berdiri orang, semuanya menengadah, memandang ke pucuk pohon yang amat tinggi di tengah halaman itu.

Waktu Lenghou Tiong juga mendongak ke atas, seketika ia pun terheran-heran. Dilihatnya pucuk pohon yang tingginya belasan meter itu tergantung delapan orang, yaitu Siu Siong-lian dan Thio-hujin bertujuh ditambah lagi seorang yang berpakaian perlente dan dikenalnya sebagai Hoat-put-liu-jiu Yu Siok. Hiat-to kedelapan orang ini tertutuk, kaki dan tangan ditelikung ke belakang dan diikat, lalu digantungkan di atas pohon sehingga kontal-kantil ke sana kemari.

Bahkan tertampak pula ada dua ekor ular sepanjang dua meteran sedang merambat di atas badan kedelapan orang itu. Terang itulah “hewan” piaraan Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua.

Tidaklah menjadi soal bila ular-ular itu merambati badan Giam Sam-seng yang menjadi majikannya, tapi ketika ular-ular itu menggerayangi badan Siu Siong-lian dan lain-lain, mereka menjadi ketakutan dan jijik pula, celakanya mereka tak bisa bicara dan berkutik.

Tiba-tiba seorang meloncat ke atas, yaitu Keh Bu-si, dengan sebilah belati ia memotong tali yang menggantung Tong-pek-siang-ki. Kontan kedua orang itu anjlok ke bawah, syukur seorang yang pendek gemuk lantas menangkap tubuh mereka. Penyelamat ini adalah Lo Thau-cu. Dalam sekejap saja Keh Bu-si sudah berhasil menolong kedelapan orang itu ke bawah dan membuka hiat-to mereka yang tertutuk.

Begitu bebas, kontan Siu Siong-lian mencaci maki dari kakek moyang tujuh belas keturunan dan kata-kata yang paling kotor. Tapi mendadak kedelapan orang itu saling pandang dengan sikap yang lucu, ada yang kaget, ada yang tertawa, ada yang geli.

Waktu Coh Jian-jiu memeriksa mereka, kiranya di dahi mereka masing-masing tertulis satu huruf. Coh Jian-jiu coba menerapkan huruf-huruf itu, hasilnya adalah dua kalimat yang artinya, “Muslihat keji sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian.”

Sebagai orang licin dan berpengalaman, Yu Siok dan lain-lain sudah paham apa artinya kalimat-kalimat itu. Hanya Say-po Hwesio yang kasar itu terus mencaci maki, “Muslihat keji ketahuan apa? Memangnya mengawasi jiwa anjing siapa?”

Lekas Giok-leng Tojin mencegah ucapan kawannya itu lebih lanjut, lalu menghapus huruf di jidat sendiri dengan air ludah.

Lenghou Tiong tidak habis heran menyaksikan itu, pikirnya, “Kiranya secara diam-diam sudah ada orang kosen yang telah membongkar muslihat mereka. Alangkah baiknya jika sekiranya aku tidak perlu turun tangan sendiri.”

Terdengar Coh Jian-jiu lagi bertanya, “Yu-heng, entah cara bagaimana kalian berdelapan kena diselomoti orang, dapatkah kau menceritakan?”

Yu Siok tersenyum, jawabnya, “Sungguh memalukan bila dikatakan. Semalam Cayhe tidur dengan sangat nyenyak, entah mengapa tahu-tahu hiat-to sudah tertutuk orang dan tergantung tinggi di atas pohon ini, bangsat yang menyelomoti kami itu besar kemungkinan memakai obat bius dan sebagainya, kalau tidak, diriku yang tidak becus sih lumrah, tapi tokoh-tokoh yang serbacerdas tangkas sebagai Giok-leng Tojin, Thio-hujin, dan lain-lain ini masakah juga kena diselomoti orang?”

Thio-hujin hanya mendengus saja. Ia tidak suka banyak bicara, segera ditinggal ke dalam untuk mencuci muka dan disusul oleh Giok-leng Tojin dan kawan-kawannya.

Begitulah orang banyak itu masih ramai membicarakan kejadian aneh itu, mereka anggap penuturan Yu Siok tadi tidak lengkap dan tidak sejujurnya. Sebab kalau benar dibius, mustahil berpuluh orang yang tidur di ruangan itu hanya beberapa orang tertentu saja yang kena pengaruh obat bius dan yang lain tidak. Selain itu mereka pun tidak paham apa arti kalimat “muslihat keji sudah ketahuan”, entah muslihat keji apa yang dimaksudkan. Macam-macam pendapat dan dugaan timbul di antara orang banyak itu.

Mendengar itu, hati Lenghou Tiong sangat terhibur. Ia pikir kalau orang-orang itu ikut dalam komplotan Siu Siong-lian itu tentunya mereka mengetahui muslihat keji apa yang akan dikerjakan. Tampaknya orang yang ditugaskan Gak Put-kun ke sini hanya sebagian kecil di antara mereka. Hanya entah siapakah orang kosen yang telah menggantung kedelapan orang di pucuk pohon itu?

Dalam pada itu terdengar seorang di antaranya berkata dengan tertawa, “Untung sekali hari ini Tho-kok-lak-koay tidak berada di sini, kalau mereka di sini tentu urusan akan tambah ramai.”

“Dari mana kau tahu mereka tidak berada di sini? Keenam orang itu suka gila-gilaan, bukan mustahil apa yang terjadi ini adalah perbuatan mereka,” kata seorang lagi.

“Tidak, pasti bukan perbuatan mereka,” ujar Coh Jian-jiu.

“Bagaimana Coh-heng mengetahuinya?” tanya orang pertama tadi.

“Meski ilmu silat Tho-kok-lak-sian cukup tinggi, namun isi perut mereka sangat terbatas,” kata Coh Jian-jiu. “Jangankan mereka tidak mampu menulis kalimat-kalimat itu, untuk menulis dua huruf ‘muslihat keji’ saja kutanggung mereka tidak bisa.”

Semua orang sama mengakak dan menyatakan ucapan Coh Jian-jiu itu memang tidak salah. Mereka terus mengobrol tentang kejadian lucu dan aneh itu sehingga tiada seorang pun yang memerhatikan babu tua dungu samaran Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong sengaja mengambil sepotong kain lap untuk membersihkan ruangan itu dengan kepala menunduk, tapi diam-diam ia mengawasi gerak-gerik orang-orang itu.

Dari para kesatria yang tinggal di situ hampir seluruhnya dikenal oleh Lenghou Tiong, orang yang dasarnya pendiam memang sukar untuk diketahui isi hatinya, tapi bagi orang yang pembawaannya kasar dan suka omong, bila sekarang mendadak berubah menjadi pendiam atau sengaja main sembunyi-sembunyi, maka orang itu perlu dicurigai.

Begitulah ia coba mengingat-ingat gerak-gerik setiap orang itu. Ia pikir kalau orang-orang yang ikut serta dalam muslihat keji itu cuma sebagian kecil, maka sebagian besar lainnya akan cukup kuat untuk mengatasinya bilamana terjadi serangan mendadak sehingga anak murid Hing-san-pay tidak perlu dikhawatirkan keselamatannya. Malahan yang pasti akan menjadi korban mungkin adalah sebagian teman-teman yang berada di paviliun ini. Tapi dengan kejadian digantungnya kedelapan orang di pucuk pohon adalah suatu peringatan yang baik bagi semua orang agar waspada menghadapi segala kemungkinan.

Lewat tengah hari, tiba-tiba terdengar perang berteriak-teriak di luar, “Aneh, sungguh aneh! Lekas kemari, coba lihat apa lagi itu?”

Serentak orang banyak itu berlari-lari keluar. Lenghou Tiong juga ikut dari belakang, dilihatnya beberapa li di sebelah sana ada beberapa puluh orang sedang mengerumuni sesuatu. Waktu Lenghou Tiong sampai di sana, dilihatnya orang banyak sedang ramai memperbincangkan kejadian itu. Kiranya ada belasan orang berduduk tak bergerak di kaki gunung situ, jelas hiat-to mereka tertutuk semua. Pada dinding batu-batu padas tertampak beberapa tulisan yang artinya kembali seperti apa yang tertulis di jidat Siu Siong-lian berdelapan. Tulisan itu dicoret dengan air tanah liat, tampaknya belum kering, tentunya belum lama ditulis.

Para kesatria menjadi ragu-ragu apakah mesti membuka hiat-to orang-orang itu atau tidak. Segera ada orang menggeser belasan orang itu untuk mengenali siapa-siapa mereka itu. Ternyata di antara mereka yang tertutuk tak berkutik itu termasuk Boh-pak-siang-him, kedua beruang dari utara yang doyan makan daging manusia. Selain itu ada lagi dua orang gembong Mo-kau, mereka adalah Pau Tay-coh dan Bok-tianglo.

Lenghou Tiong rada terkejut melihat mereka, kalau kedua gembong Mo-kau itu belum mati, maka Hek-bok-leng yang diperoleh Gak Put-kun itu terang bukan berasal dari Pau Tay-coh dan Bok-tianglo berdua.

Keh Bu-si tampak tampil ke muka dan mengurut beberapa kali di punggung Boh-pak-siang-him untuk membuka ah-hiat (hiat-to yang bikin bisu) mereka, tapi hiat-to lain tidak dijamahnya dan tetap membiarkan mereka tak bisa bergerak. Lalu Keh Bu-si bertanya, “Ada sesuatu yang membingungkan, maka Cayhe ingin minta keterangan kepada kalian. Coba terangkan, sesungguhnya kalian berdua telah ikut serta dalam muslihat rahasia apa, hal inilah yang ingin diketahui oleh para kawan kita.”

“Benar, benar! Muslihat apa yang kalian kerjakan, coba jelaskan!” seru orang banyak secara serentak.

“Muslihat kakek moyangnya tujuh belas turunan, muslihat maknya anak kura-kura!” kontan si Oh-him, Si Beruang Hitam, mencaci maki.

“Habis kalian ditutuk oleh siapa-siapa? Tentu boleh kau jelaskan urusan?” tanya Coh Jian-jiu pula.

“Kalau aku tahu sih mendingan,” sahut Pek-him, Si Beruang Putih. “Tadi kami sedang jalan-jalan di sini, tahu-tahu punggung ditutuk orang, lalu tak bisa berkutik. Keparat, kalau benar laki-laki sejati seharusnya berkelahi dari depan, main sergap, hm, macam kesatria apa? Bangsat!”

“Jika kalian tidak mau bicara terus terang, ya sudahlah,” kata Coh Jian-jiu. “Cuma urusan ini sudah terbongkar, kukira akan gagal dikerjakan. Bagi kita semua hendaklah berlaku waspada saja.”

“Coh-heng,” seorang berseru, “mereka tidak mau mengaku terus terang, biarkan mereka tinggal di sini saja, biarkan lapar tiga-hari tiga-malam supaya tahu rasa.”

“Benar,” seorang lagi menanggapi. “Jika kau membebaskan mereka, jangan-jangan orang kosen itu akan marah padamu dan kau sendiri yang akan digantung di atas pohon, kan bisa runyam.”

“Memang tidak salah,” kata Keh Bu-si. “Eh, Saudara-saudara, bukan Cayhe tidak mau menolong kalian, soalnya Cayhe sendiri juga merasa takut.”

Oh-him dan Pek-him saling pandang, lalu sama mencaci maki, cuma yang dimaki tiada keruan juntrungannya, mereka tidak berani memaki Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya secara terang-terangan, sebab kalau sampai membikin marah pihak lawan tentu mereka sendiri yang bakal celaka berhubung tak bisa berkutik sama sekali.

Begitulah Keh Bu-si lantas tinggal pergi. Sesudah berkerumun sejenak sambil omong ini-itu sebentar, orang-orang lain juga ikut bubar. Di antara orang-orang itu tentu pula ada begundalnya Boh-pak-siang-him, hanya saja mereka tidak berani memberi pertolongan dalam keadaan demikian bilamana mereka tidak mau ketahuan siapa diri mereka.

Perlahan-lahan Lenghou Tiong sudah berjalan kembali ke paviliun tadi. Baru sampai di luar halaman, terdengar di dalam ada suara orang tertawa geli. Ketika Lenghou Tiong melongok ke dalam, ternyata semua orang sedang memandang ke atas. Waktu ia ikut mendongak, ternyata di atas pohon kembali bergantungan dua orang. Waktu diperhatikan, kiranya kedua orang sial itu adalah Dian Pek-kong dan Put-kay Hwesio.

Keruan Lenghou Tiong sangat heran. Put-kay adalah ayah Gi-lim Sumoay, Dian Pek-kong juga diakui sebagai murid Gi-lim. Betapa pun mereka berdua pasti tidak punya niat mencelakai pihak Hing-san-pay. Sebaliknya kalau Hing-san-pay ada kesulitan tentu mereka akan membantu malah. Tapi mengapa mereka pun digantung orang di atas pohon, hal ini benar-benar membikin Lenghou Tiong tidak habis paham. Gambaran yang telah digagas Lenghou Tiong semula kini menjadi buyar sama sekali setelah melihat Put-kay dan Dian Pek-kong juga mengalami nasib yang sama seperti Siu Siong-lian berdelapan. Sekilas terbayang suatu pikiran dalam benaknya, “Put-kay Taysu bersifat lucu dan lugu, biasanya tiada sengketa apa-apa pada lain orang, mengapa dia pun digantung orang di atas pohon? Tentu ada orang sengaja main gila padanya. Untuk menangkap Put-kay rasanya tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja. Besar kemungkinan adalah Tho-kok-lak-sian.”

Tapi lantas terpikir pula dari apa yang dikatakan Coh Jian-jiu tadi, memang tidak salah bahwa Tho-kok-lak-sian tidak mampu menulis kalimat-kalimat sebagus itu.

Begitulah dengan penuh tanda tanya ia melangkah ke dalam halaman. Di tengah suara tertawa riuh orang banyak, dilihatnya di atas tubuh Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong terjulur seutas pita kuning yang bertulisan. Tertampak pita di atas tubuh Put-kay itu tertulis: “Manusia yang paling doyan perempuan, laki-laki berhati palsu nomor satu di dunia ini.”

Kemudian dilihatnya pita di atas tubuh Dian Pek-kong bertuliskan: “Manusia yang tidak becus bekerja, orang yang paling sembrono nomor satu di dunia ini.”

Pikiran pertama yang timbul dalam benak Lenghou Tiong sesudah membaca tulisan kedua pita itu adalah, “Cara pasang kedua pita itu keliru tempat. Mestinya kedua pita itu harus tukar tempat antara Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong. Mana bisa Put-kay Hwesio dikatakan ‘manusia yang paling doyan perempuan’? Orang yang paling doyan perempuan harus dialamatkan kepada Dian Pek-kong. Sedangkan sebutan ‘orang paling sembrono’ masih boleh juga diberikan kepada Put-kay. Dia tidak pantang membunuh, tidak pantang makan dan minum, segala apa pun dia gegares. Sesudah menjadi hwesio juga berani cari nikoh sebagai istri, perbuatannya memang sembrono. Cuma sebutan ‘tidak becus bekerja’ rasanya rada janggal dan entah apa maksudnya?”

Kalau melihat kedua pita itu masing-masing terikat di leher kedua orang itu agaknya bukan dipasang dalam keadaan tergesa-gesa, maka tidak keliru tempat tentunya.

Para kesatria menjadi gempar pula menyaksikan keadaan Put-kay berdua itu, banyak di antaranya juga merasa heran melihat tulisan kedua pita. Mereka berpendapat bahwa manusia yang paling doyan perempuan di dunia ini selain Dian Pek-kong rasanya tiada orang lain lagi, mengapa hwesio gede ini bisa melebihi Dian Pek-kong?

Keh Bu-si dan Coh Jian-jiu berunding sejenak dengan suara perlahan, mereka pun merasa kejadian itu rada-rada luar biasa. Mereka pun tahu Put-kay Hwesio adalah teman baik Lenghou Tiong, mereka pikir Put-kay harus ditolong turun lebih dulu.

Segera Keh Bu-si melompat ke atas pohon, ia mengiris putus tali pengikat kedua orang itu. Berbeda dengan Siu Siong-lian dan Boh-pak-siang-him yang terus mencaci maki, ternyata Put-kay dan Dian Pek-kong bungkam saja dengan lesu.

“Mengapa Taysu juga tertimpa nasib malang ini?” dengan suara perlahan Keh Bu-si bertanya.

Put-kay tidak menjawab melainkan cuma geleng-geleng kepala saja. Ia coba melepaskan pita di lehernya itu, dipandangnya sekian lama tulisan di atas pita itu, kemudian mendadak ia menangis keras sambil membanting-banting kaki.

Kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Seketika suara orang banyak menjadi lenyap dan sama memandangi Put-kay dengan melongo heran. Put-kay masih terus menangis sambil memukul-mukul dada sendiri, makin menangis makin berduka.

“Thaysuhu, janganlah kau menyesal,” Dian Pek-kong coba membujuk. “Kebetulan saja kita disergap lawan, kita harus menemukan keparat itu dan mencincang dia....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tangan Put-pay menampar ke belakang, “plok”, kontan Dian Pek-kong terpental beberapa meter jauhnya dan hampir-hampir roboh terjungkal, tapi sebelah pipinya seketika merah bengep.

“Bajingan!” Put-kay memaki. “Kita digantung di sini adalah sebagai ganjaran atas dosa kita, kau... kau berani sekali, masakah kau hendak membunuh orang.”

Karena tidak tahu seluk-beluknya, tapi dari ucapan thaysuhunya itu Dian Pek-kong dapat menduga orang yang menggantung mereka di atas pohon itu tentulah orang tokoh luar biasa sehingga thaysuhu itu sendiri merasa segan padanya. Terpaksa Dian Pek-kong hanya menunduk dan berulang mengiakan.

Untuk sejenak Put-kay termenung di tempatnya, habis itu kembali ia menangis lagi sambil menghantam dada sendiri. Kemudian mendadak tangannya menggampar lagi ke belakang, kembali Dian Pek-kong hendak dihajar.

Untung gerak tubuh Dian Pek-kong sangat cepat, ia keburu menghindarkan gamparan itu, teriaknya, “Thaysuhu!”

Sekali menggampar tidak kena, Put-kay juga tidak mengudak lagi, tapi tangannya terus diputar balik, “plak”, dengan keras menghantam di atas sebuah meja batu di tengah halaman itu. Kontan batu kerikil bercipratan. Kedua telapak tangan Put-kay segera menghantam pula secara bergantian disertai jerit tangis, makin menghantam makin keras, dalam sekejap saja meja batu yang keras itu telah hancur menjadi beberapa potong kecil.

Melihat betapa dahsyat tenaga pukulannya, semua orang sama terkejut, tiada seorang pun yang berani mencuit, sebab khawatir bila Put-kay lantas mengamuk padanya, sekali kepala kena dihantam tentu akan hancur luluh. Memangnya kepala siapa yang bisa lebih keras daripada meja batu itu.

Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan Keh Bu-si hanya saling pandang dengan bingung.

Melihat gelagat kurang baik itu, segera Dian Pek-kong berkata, “Harap kalian jaga thaysuhuku, aku akan pergi mengundang Suhu.”

Mendengar itu, Lenghou Tiong pikir jangan sampai dirinya dicurigai Gi-lim bilamana siausumoay itu nanti datang. Ia sudah pernah menyamar sebagai perwira tentara, sudah pernah menyaru sebagai petani, tapi semuanya kaum lelaki, sekarang dia menyaru sebagai babu tua, seorang perempuan, rasanya sangat kikuk dan canggung, ia sendiri pun tidak yakin akan penyamarannya itu dan khawatir rahasianya terbongkar.

Segera ia sembunyi dulu di dalam kamar penimbun kayu bakar di belakang. Ia pikir Boh-pak-siang-him dan lain-lain masih mematung di sana, dapat diduga Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya ada niat pergi mendengarkan percakapan mereka malam nanti. Maka sesudah kenyang tidur sebentar aku pun coba-coba mendengarkan ke sana.

Memangnya Lenghou Tiong sudah sangat mengantuk karena semalam tidak pernah tidur, sambil layap-layap terpulas ia dengar suara tangis Put-kay Hwesio yang aneh dan lucu itu.

Waktu bangun hari sudah gelap, ia mencari sedikit makanan di dapur, ternyata tiada seorang pun yang pedulikan dia. Setelah menunggu lagi agak lama, ketika suasana sudah sunyi, lalu ia memutar ke belakang gunung dan perlahan-lahan mendekati tempat ditutuknya Boh-pak-siang-him dan komplotannya itu. Sesudah dekat, ia berjongkok di seberang sebuah kali kecil, di situlah ia pasang telinga mendengarkan.

Tidak lama kemudian lantas terdengar suara pernapasan orang banyak di sebelah depan sana, sedikitnya ada belasan orang yang tersebar di sekitar situ. Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli bahwa bukan cuma Keh Bu-si dan kawan-kawannya saja yang timbul pikiran buat mencuri dengar percakapan Boh-pak-siang-him, bahkan orang lain juga punya pikiran demikian, nyata orang cerdik di dunia ini tidaklah sedikit. Diam-diam Lenghou Tiong juga mengakui kecerdikan Keh Bu-si, dia hanya membuka hiat-to bisu kedua orang pemakan daging manusia itu, tapi sengaja tidak membuka hiat-to Pau Tay-coh dan lain-lain, kalau tidak tentu Pau Tay-coh yang pintar itu akan melarang Boh-pak-siang-him bicara bila mereka membuka mulut.

Benar juga, terdengar Pek-him sedang marah-marah dan memaki, “Nenek moyangnya, begini banyak nyamuknya, bisa-bisa darahku akan terisap habis. Nyamuk busuk, nyamuk bangsat, terkutuklah delapan belas keturunan nenek moyangmu!”

“Aneh,” Oh-him menanggapi dengan tertawa, “nyamuk kok cuma menggigit kau dan tidak menggigit diriku, entah apa sebabnya.”

“Sebabnya karena darahmu berbau, nyamuk tidak doyan darahmu,” sahut Pek-him mendongkol.

“Ya, aku lebih suka darahku berbau daripada digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus,” ujar Oh-him.

Kembali Pek-him mencaci maki kalang kabut.

Diam-diam Lenghou Tiong membayangkan bagaimana rasanya orang digigit beratus-ratus, bahkan beribu-ribu nyamuk sekaligus, tapi badan tak bisa berkutik, memang rasanya tidak dapat dikatakan enak.

Sesudah puas mengumpat ke kanan dan ke kiri, kemudian Pek-him berkata, “Bila aku dapat bergerak dengan bebas lagi, orang pertama yang akan kucari untuk bikin perhitungan adalah Keh Bu-si si bangsat itu, akan kututuk juga hiat-tonya, lalu kugigit pahanya, akan kumakan daging pahanya itu sedikit demi sedikit.”

“Kalau aku lebih suka makan daging para nikoh cilik itu, kulitnya halus, dagingnya putih, tentu jauh lebih lezat dan gurih,” ujar Oh-him.

“Tapi Gak-siansing telah menyatakan para nikoh itu tidak boleh dimakan, harus ditangkap ke Hoa-san,” kata Pek-him.

“Jumlah nikoh cilik itu ada beratus-ratus, kalau kita makan dua-tiga orang di antaranya masakah bisa ketahuan?” ujar Oh-him.

Mendadak Pek-him mencaci maki lagi dengan suara keras, “Bangsat! Anak jadah!”

“Kau tidak mau makan nikoh boleh terserah, mengapa memaki orang?” jawab Oh-him dengan gusar.

“Aku tidak memaki kau, aku memaki nyamuk,” sahut Pek-him.

Selagi Lenghou Tiong merasa geli mendengarkan dagelan yang lucu itu, tiba-tiba ada suara keresek-keresek perlahan di belakangnya, ada orang perlahan-lahan mendekatinya. Pendatang ternyata langsung menuju ke arahnya, sesudah berada di belakangnya, orang itu pun berjongkok dan perlahan-lahan menarik lengan bajunya.

Lenghou Tiong terkejut, pikirnya, “Siapakah dia ini? Jangan-jangan penyamaranku diketahui olehnya?”

Ia coba menoleh, di bawah sinar bulan yang remang-remang tiba-tiba tertampak sebuah wajah yang cantik, kiranya Gi-lim adanya.

Kembali Lenghou Tiong terkejut dan bergirang pula, ia menduga tentu jejaknya telah diketahui oleh Gi-lim. Dilihatnya Gi-lim menggerakkan dagunya ke samping, mulutnya yang kecil dimoncongkan untuk memberi tanda ke arah sana, lalu lengan baju Lenghou Tiong ditarik-tarik lagi sebagai tanda ingin bicara dengan dia ke tempat yang agak jauhan di sebelah sana.

Lenghou Tiong rada bingung, tapi dilihatnya Gi-lim sudah mendahului berjalan ke sana, terpaksa ia pun mengikut di belakangnya.

Bab 129. Rahasia Put-kay Hwesio yang Aneh

Begitulah Lenghou Tiong mengikuti ajakan Gi-lim. Keduanya terus berjalan ke jurusan sana tanpa buka suara sedikit pun.

Setelah menyusuri sebuah jalanan sempit, akhirnya mereka keluar dari lembah itu, tiba-tiba terdengar Gi-lim berkata, “Kau sendiri tidak dapat mendengar pembicaraan orang, buat apa kau berada di sana?” Ucapan ini agaknya tidak ditujukan kepadanya melainkan cuma menggumam sendiri saja.

Namun Lenghou Tiong merasa tercengang, katanya di dalam hati, “Apa artinya dia bilang aku tidak dapat mendengar percakapan orang? Dia bicara dibalik atau benar-benar tak mengenali penyamaranku?” Tapi mengingat Gi-lim biasanya tidak pernah bergurau padanya, besar kemungkinan memang belum tahu samarannya itu.

Gi-lim terus berjalan menikung ke utara, setelah melintasi suatu tanjakan, akhirnya mereka sampai di tepi sebuah sungai kecil.

Dengan suara perlahan Gi-lim berkata pula, “Biasanya kita suka bicara di sini, apakah kau sudah bosan pada kata-kataku?” Menyusul ia lantas tertawa, katanya, “Selamanya kau tak bisa mendengar ucapanku, tentu aku takkan bicara padamu.”

Melihat nada Gi-lim yang sungguh-sungguh itu, yakinlah Lenghou Tiong bahwa dirinya memang disangka benar-benar sebagai si nenek tua penunggu Sian-kong-si itu. Tiba-tiba timbul pikirannya yang jail, ia menjadi ingin tahu apa yang akan dibicarakan oleh Gi-lim.

Setiba di bawah pohon, Gi-lim mengajaknya duduk di atas sepotong batu panjang, Lenghou Tiong sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tertampak jelas.

Gi-lim termangu-mangu memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir-hampir Lenghou Tiong bertanya urusan apakah yang membikin risau hati Gi-lim yang masih muda belia itu? Syukur dia keburu menahan perasaannya.

Terdengar Gi-lim membuka suara perlahan, “Nenek bisu, engkau sangat baik, aku sering mengajak kau ke sini dan mengutarakan isi hatiku kepadamu, selamanya kau tidak merasa jemu, selalu menunggu uraianku dengan sabar. Sebenarnya tidak pantas aku membikin repot padamu, tapi engkau memang sangat baik padaku, mirip benar ibu kandungku sendiri. Aku tidak punya ibu, jika punya, apakah kiranya aku berani bicara padanya seperti kubicarakan padamu ini?”

Mendengar sumoay cilik itu hendak membeber isi hatinya, Lenghou Tiong merasa tidak pantas mendengarkan rahasia orang dengan cara menipunya, segera ia berbangkit dan bermaksud melangkah pergi.

Namun Gi-lim lantas menarik lengan bajunya dan berkata, “Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?” Suaranya penuh nada kecewa.

Lenghou Tiong memandang sekejap padanya, tertampak wajahnya yang sayu, sinar matanya penuh rasa memohon, tanpa kuasa hatinya menjadi lemas, pikirnya, “Air mukanya tampak kurus, isi hatinya bila tak terbeberkan bisa jadi akan mengakibatkan jatuh sakit. Biarkan kudengarkan apa yang akan diceritakan, asalkan dia tetap tak mengenali samaranku tentu dia takkan malu.” Karena itu perlahan-lahan ia duduk kembali.

“Nenek bisu, engkau baik sekali,” kata Gi-lim perlahan sambil merangkul pundaknya, “hendaklah kau menemani aku duduk sebentar di sini, engkau tidak tahu betapa kesalnya hatiku.”

Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, rupanya sudah suratan takdir bahwa hidupnya ini tidak terlepas dari “nasib nenek”. Dahulu ia keliru sangka Ing-ing sebagai nenek, sekarang dirinya juga disangka sebagai nenek oleh Gi-lim. Dahulu ia memanggil entah berapa ratus kali nenek kepada Ing-ing, sekarang Gi-lim membayarnya dengan panggilan nenek pula. Ini namanya ada ubi ada talas.

Dasar watak Lenghou Tiong memang suka ugal-ugalan, urusan apa pun terkadang tak dianggap sesuatu yang penting olehnya. Padahal Gi-lim sedang bicara padanya dengan penuh perasaan, sebaliknya diam-diam ia merasa geli dan hampir-hampir bergelak tertawa.

Sudah tentu Gi-lim tidak tahu apa yang dipikirkan si “nenek”, ia berbicara terus, “Pagi tadi ayahku hampir-hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu? Dia dikerek tinggi-tinggi di atas pohon entah oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula plakat yang menyatakan Ayah sebagai manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal selama hidup ayahku hanya memikirkan ibuku seorang saja, entah apa dasarnya tuduhan pada ayahku bahwa dia paling doyan perempuan. Tentu orang menempel plakat itu secara ngawur telah salah tempel plakat yang mestinya ditempel pada badan Ayah. Padahal seumpama salah tempel, robeklah plakat itu dan buang saja habis perkara, kan tidak perlu gantung diri segala.”

Lenghou Tiong terkejut dan merasa geli pula. Ia heran mengapa Put-kay Taysu hendak bunuh diri? Gi-lim mengatakan ayahnya hampir mati gantung diri, jadi Put-kay pasti masih hidup.

Lalu Gi-lim menyambung pula, “Ketika Dian Pek-kong berlari-lari ke Kian-seng-hong untuk mencari diriku, kebetulan dia kepergok oleh Gi-ho Suci, Dian Pek-kong dianggap melanggar peraturan berani sembarangan datang ke Kian-seng-hong, tanpa banyak bicara Gi-ho Suci terus lolos pedang dan menyerangnya, hampir-hampir saja jiwa Dian Pek-kong melayang, sungguh berbahaya sekali.”

Lenghou Tiong masih ingat perintahnya yang melarang kaum lelaki yang tinggal di paviliun di puncak seberang naik ke Kian-seng-hong tanpa izinnya, apalagi nama Dian Pek-kong terkenal busuk, sedangkan Gi-ho terkenal berwatak keras, maka tidak heran begitu kepergok terus main senjata. Cuma ilmu silat Dian Pek-kong jauh lebih tinggi daripada anak murid Hing-san, jelas Gi-ho tidak mampu membunuhnya.

Selagi ia hendak mengangguk tanda membenarkan ucapan Gi-lim tadi, syukur ia lantas menyadari akan penyamarannya. Pikirnya, “Tak peduli apa yang dia katakan, apakah benar atau tidak, sama sekali aku tidak boleh menggeleng atau mengangguk sebab si nenek bisu-tuli pasti takkan mendengar apa pun yang dia ucapkan.”

Begitulah Gi-lim lantas menyambung lagi, “Ketika Dian Pek-kong sempat menerangkan maksud kedatangannya, sementara itu Gi-ho Suci sudah menyerangnya belasan kali, untung tidak terjadi cedera apa-apa. Begitu menerima berita segera aku pun memburu ke lembah sini, tapi Ayah sudah tidak kelihatan. Waktu kutanya orang di sini, katanya Ayah sedang menangis dan mengamuk pula di kamarnya, siapa pun tidak berani bicara dengan dia, habis itu Ayah lantas menghilang entah ke mana.

“Aku mencarinya di sekitar lembah ini, akhirnya kutemukan dia di belakang gunung sana, kulihat beliau tergantung tinggi-tinggi di atas pohon. Aku menjadi khawatir, cepat aku melompat ke atas pohon, kulihat seutas tali menjerat di lehernya, agaknya napasnya sudah hampir putus, syukur berkat Buddha dapatlah aku datang pada saat yang tepat. Kuturunkan Ayah dan sadarlah beliau, kami lantas saling rangkul dan menangis.

“Kulihat di leher Ayah masih tetap tergantung secarik kain yang tertulis: ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini’ segala. Kukatakan kepada Ayah, ‘Orang itu sungguh jahat, berulang dia menggantung engkau. Salah tempel kain tertulis ini juga tidak dibetulkan.’

“Sambil menangis Ayah berkata, ‘Bukan digantung orang, tapi aku sendiri yang menggantung diri. Aku... aku tidak ingin hidup lagi,’ Aku menghiburnya, ‘Ayah, tentunya engkau diserang mendadak oleh orang itu, karena kurang waspada engkau kecundang, tapi juga tidak perlu sedih. Biarlah kita mencari dia untuk tanya dia, kalau tak bisa memberi alasan yang tepat, kita juga pegang dia dan gantung dia, lalu kain juga kita gantung pada lehernya.’

“Tapi Ayah menjawab, ‘Plakat ini ditujukan padaku, mana boleh digantung pada orang lain. Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan memang betul adalah diriku, Put-kay Hwesio, mana ada orang lain yang melebihi aku? Anak kecil, jangan sembarang omong kalau tidak tahu.’

“Coba, Nenek bisu, bukankah aneh sekali ucapan Ayah itu? Maka aku lantas tanya beliau, ‘Ayah, kau bilang kain plakat ini tidak keliru pasang?’ – ‘Sudah tentu tidak,’ jawab Ayah. ‘Aku... aku berdosa terhadap ibumu, maka aku ingin segera mati saja, kau jangan urus diriku, aku benar-benar tidak ingin hidup lagi.’.”

Lenghou Tiong masih ingat cerita Put-kay Hwesio, katanya dia mencintai ibunya Gi-lim, tapi lantaran si dia adalah seorang nikoh, maka Put-kay lantas meninggalkan rumah menjadi hwesio. Menurut jalan pikiran Put-kay, hanya hwesio yang layak beristrikan nikoh.

Padahal peristiwa demikian benar-benar aneh dan ajaib tiada taranya. Perjodohan yang janggal ini akhirnya tentu terjadi perubahan, katanya kemudian Put-kay merasa berdosa kepada ibunya Gi-lim, bisa jadi karena kemudian dia yang punya kekasih lain, maka dia mengaku sebagai “manusia tak berperasaan, orang paling doyan perempuan”. Berpikir sampai di sini, Lenghou Tiong merasa sudah rada jelas duduknya perkara tentang diri Put-kay.

Didengarnya Gi-lim sedang bertutur pula, “Karena Ayah menangis dengan sangat sedih, maka aku ikut-ikutan menangis. Sebaliknya Ayah lantas menghibur aku malah, katanya, ‘Anak manis, jangan menangis, jangan menangis! Kalau Ayah mati nanti, tentu kau akan sebatang kara di dunia ini dan siapa lagi yang akan menjaga dirimu?’

“Kata-katanya itu membikin tangisku semakin keras. Kemudian Ayah berkata pula, ‘Baiklah, aku tidak jadi mati saja. Cuma, rasanya menjadi tidak enak terhadap mendiang ibumu?’ Aku coba bertanya, ‘Sebenarnya apa dosa Ayah terhadap Ibu?’

“Ayah menghela napas lalu menjawab dengan sedih, ‘Sebagaimana sudah kau ketahui, tadinya ibumu adalah nikoh, sekali melihat ibumu aku lantas tergila-gila, betapa pun aku harus memperistrikan dia. Tapi ibumu menyatakan keberatan karena dia sudah menjadi nikoh, khawatir dicerca oleh sang Buddha.’

“Kukatakan aku yang akan tanggung akibatnya, kalau sang Buddha marah biarlah aku yang dikutuk. Ibumu menjawab bahwa orang partikelir seperti diriku adalah pantas kawin dan punya anak, tapi ibumu sudah menyucikan diri, bila punya pikiran menyeleweng tentu akan dimarahi sang Buddha.

“Kupikir ucapannya cukup beralasan juga, tapi aku sudah bertekad akan mengawini ibumu, untuk menghindarkan derita ibumu bila dihukum masuk neraka kelak, biarlah aku menjadi hwesio, kalau mau marah biarlah sang Buddha marah padaku, seumpama masuk neraka juga kami suami-istri akan masuk bersama.”

Baru sekarang Lenghou Tiong mengerti sebabnya Put-kay Hwesio, kiranya dia ingin memikul beban bakal istrinya. Jika demikian mengapa kemudian dia menyeleweng lagi? Demikian timbul pertanyaan lagi dalam hatinya.

Terdengar Gi-lim melanjutkan, “Aku lantas tanya Ayah, ‘Kemudian engkau menikahi Ibu tidak?’ – ‘Sudah tentu menikah, kalau tidak dari mana kau dilahirkan?’ sahut Ayah. ‘Cuma memang salahku, pada waktu kau berumur tiga bulan, aku memondongmu berjemur sinar matahari di depan pintu....’ – ‘Berjemur sinar matahari apa salahnya?’ tanyaku. – ‘Ya, soalnya juga kebetulan saja,’ tutur ayahku. ‘Waktu itu ada seorang perempuan muda jelita lewat di depan rumah kita dengan menunggang kuda, ketika lihat seorang hwesio besar macamku membopong orok, ia memandang heran kepada kita sambil memuji, ‘Mungil benar orok ini!’ Sudah tentu yang dipuji adalah dirimu. Aku jadi senang dan menjawab, ‘Ini adalah anakku sendiri.’

“Alis perempuan muda itu melototi aku sambil bertanya, ‘Kutanya dengan baik, kenapa berulang kau menggoda aku, apakah kau sudah bosan hidup?’ Aku menjawab, ‘Menggoda bagaimana, memangnya hwesio bukan manusia, makanya tidak boleh punya anak? Kalau kau tidak percaya akan kubuktikan padamu.’ Tak terduga perempuan itu tambah marah, segera ia lolos pedang terus melompat turun dan menyerang diriku, bukankah perbuatannya itu keterlaluan?”

Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, ia pikir Put-kay tidak pantang bicara apa saja yang ingin dia ucapkan, tapi bagi pendengaran orang lain kata-katanya itu dirasakan sebagai kata-kata kurang ajar. Seorang hwesio memondong anak bayi memang sudah janggal. Kalau kawin dan punya anak, kenapa tidak piara rambut saja?

Dalam pada itu Gi-lim masih terus bercerita, “Kukatakan pada Ayah, ‘Ya, nyonya cantik itu memang rada galak. Sudah jelas aku adalah anakmu, ini kan tidak bohong, kenapa dia lolos senjata menyerang padamu?’ Jawab Ayah, ‘Maka cepat aku berkelit menghindarkan serangannya, kataku, ‘He, kenapa kau menyerang orang tanpa sebab? Anak ini kalau bukan anakku, memangnya anakmu?’ Ternyata ucapanku ini membikin perempuan itu tambah murka, berulang ia menusuk. Dari ilmu pedangnya kulihat dia orang dari Hoa-san-pay.’.”

Lenghou Tiong terperanjat, ia merasa heran mengapa orang perempuan yang dikatakan itu adalah orang Hoa-san-pay?

Gi-lim meneruskan pula, “Bahwasanya perempuan itu orang Hoa-san-pay, maka lantas timbul perkiraanku tentulah Nona Gak, itu siausumoay Lenghou-toako, Nona Gak itu memang punya perangai berangasan. Akan tetapi segera aku tahu dugaanku keliru, sebab usia Nona Gak sebaya dengan diriku. Waktu itu aku baru berumur tiga bulan, tentunya Nona Gak juga masih bayi.”

“Ayah berkata pula, ‘Setelah serangannya tak bisa mengenai diriku, dia menyerang lebih gencar. Sudah tentu aku tidak gentar padanya, aku cuma khawatir dia melukaimu. Ketika dia menusuk untuk kedelapan kalinya, mendadak kutendang dia hingga terjungkal.’

‘Dia merangkak bangun terus mencaci maki hwesio jahat yang tidak tahu malu, kotor dan rendah, suka goda perempuan! Pada saat itulah ibumu pulang dari cuci pakaian di tepi sungai, dia mendengar caci maki itu. Setelah memaki, perempuan itu terus pergi dengan naik kudanya. Ketika aku ajak bicara ibumu, dia ternyata tidak menjawab, melainkan terus menangis. Kutanya dia apa sebabnya menangis, dia tidak menggubris padaku.’

‘Besok paginya ibumu lantas menghilang. Di atas meja tertinggal secarik kertas yang bertuliskan kalimat: ‘Manusia tak berperasaan, suka main perempuan’. Aku membawamu dan mencari ibumu ke segenap penjuru, tapi tak bisa menemukannya lagi.’

“Aku bilang, ‘Mungkin Ibu mendengar caci maki perempuan itu dan menyangka engkau benar-benar telah menggoda perempuan itu.’ Ayah menjawab, ‘Ya, bukankah tuduhan yang tak berdasar? Tapi kemudian setelah kupikir-pikir lagi rasanya tuduhan itu pun ada dasarnya, sebab pada waktu kulihat perempuan itu, lantas timbul pikiranku bahwa perempuan itu cantik, coba pikir, kalau aku sudah punya istri seperti ibumu dalam hatiku sebaliknya memuji kecantikan wanita lain, bahkan mulutku sampai mengucap demikian tidakkah ini bukti aku memang tak berperasaan, suka kepada setiap perempuan?’”

Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa ibu Gi-lim ternyata sangat cemburuan, sudah tentu di dalam peristiwa ini telah terjadi salah paham, mestinya kalau dia mau tanya persoalannya lebih dulu segala urusan akan menjadi jelas.

Terdengar Gi-lim berkata pula, “Aku lantas tanya Ayah, ‘Kemudian engkau menemukan Ibu tidak?’ Ayah menjawab, ‘Aku telah mencarinya ke mana-mana, tapi tak bisa menemukannya. Kupikir ibumu adalah nikoh, tentu dia masuk kembali ke biara, maka setiap biara selalu kudatangi. Ketika kutemui gurumu, Ting-yat Suthay, beliau sangat tertarik akan kemungilanmu, tatkala itu kau sedang sakit lagi, maka beliau lantas minta aku menitipkan dirimu di biaranya agar kau tidak ikut menderita kubawa kian-kemari.’.”

Menyinggung Ting-yat Suthay, kembali Gi-lim merasa sedih dan mencucurkan air mata, katanya, “Sejak kecil aku ditinggalkan Ibu, berkat Suhu yang telah membesarkan aku, akan tetapi sekarang Suhu meninggal pula dicelakai orang, orang yang mencelakainya adalah guru Lenghou-toako, bukankah hal ini membikin aku menjadi serbasusah? Seperti diriku, sejak kecil Lenghou-toako juga sudah tidak punya ibu, ia pun dibesarkan oleh gurunya. Cuma dia lebih menderita daripada diriku, selain tak punya ibu, bahkan ayah juga tidak punya. Dengan sendirinya dia sangat menghormati gurunya, kalau aku membalas dendam Suhu dengan membunuh guru Lenghou-toako itu, entah akan betapa sedihnya Lenghou-toako. Menurut cerita Ayah, setelah diriku dititipkan di biara Suhu, kemudian Ayah mencari pula setiap biara di dunia ini, sampai-sampai tempat-tempat terpencil di daerah Mongol, Tibet, dan lain-lain juga telah didatangi, namun tetap tak memperoleh sedikit pun kabar Ibu.

“Maka dapat ditarik kesimpulan bisa jadi ibuku sudah membunuh diri lantaran menyesal pada kelakuan Ayah. O, Nenek bisu, tentunya ibuku adalah wanita yang berjiwa sangat keras, dia telah berkorban bagi Ayah dengan menanggung noda karena mau dikawin oleh Ayah, tapi baru melahirkan aku, lantas melihat Ayah menggoda perempuan lain dan dicaci maki sebagai orang yang rendah dan tak tahu malu, sudah tentu Ibu tambah marah dan putus asa mempunyai suami begitu, makanya beliau lantas ambil keputusan pendek dengan membunuh diri.”

Lenghou Tiong baru tahu bahwa di balik kejadian itu kiranya masih ada persoalan-persoalan begitu.

Gi-lim bertutur pula, “Kemudian aku tanya Ayah siapakah perempuan Hoa-san-pay yang bikin celaka orang lain itu? Ayah menjawab, ‘Perempuan itu cukup terkenal juga, ialah bininya Gak Put-kun, kutahu hal ini dari pedang yang dia tinggalkan di atas tanah itu, pada pedang itu ada ukiran namanya. Karena tidak dapat menemukan ibumu, saking gemasnya aku lantas pergi ke Hoa-san untuk mencari Gak-hujin, maksudku hendak membunuhnya untuk melampiaskan dongkolku. Setiba di Hoa-san, kulihat dia sedang memondong bayi perempuan yang kelihatan sangat mungil, aku menjadi teringat pada dirimu, sehingga tidak tega turun tangan, maka kuampuni dia.’ Ketahuilah Nenek bisu, bayi perempuan itu adalah Nona Gak, sumoay cilik Lenghou-toako. Mengingat Lenghou-toako sedemikian menyukai siausumoaynya, sudah tentu dia adalah bayi yang sangat menarik.”

Teringat kepada Gak-hujin dan Gak Leng-sian yang kini telah berbaring untuk selamanya di lembah pegunungan sunyi itu, hati Lenghou Tiong menjadi berduka.

Terdengar Gi-lim bicara lagi, “Setelah Ayah menjelaskan, barulah aku tahu mengapa Ayah begitu sedih melihat plakat yang bertuliskan: ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan’. Kutanya Ayah, ‘Apakah tulisan yang ditinggalkan Ibu di atas meja itu sering kau perlihatkan kepada orang lain? Kalau tidak mengapa ada orang lain yang mengetahui tulisan itu?’

“Ayah berkata, ‘Sudah tentu tidak, aku pun tidak bercerita kepada siapa pun. Memang aneh, selama ini dia hendak menuntut balas padaku, kalau tidak mengapa dia tidak tulis kata-kata lain tapi justru menulis kata-kata seperti pernah ibumu tulis? Kutahu ibumu hendak menagih jiwa padaku, baiklah, biar aku ikut pergi bersama dia. Memangnya aku sudah mencari dia, kalau bisa bertemu dengan dia di akhirat adalah kebetulan malah bagiku. Cuma badanku terlalu berat, waktu aku gantung diri, hanya sebentar saja tali gantungan lantas putus, untuk kedua kalinya aku hendak menggorok leher sendiri, tapi pisau yang biasanya kubawa itu mendadak hilang. Ai, benar-benar runyam, ingin mati pun tidak mudah.’

“Kemudian aku berkata, ‘Engkau keliru, Ayah, justru sang Buddha memberkati agar tidak membunuh diri, makanya tali putus sendiri dan pisau hilang mendadak. Kalau tidak, saat ini tentu aku tidak bisa berhadapan lagi dengan engkau.’ Ayah bilang betul juga ucapanku, besar kemungkinan sang Buddha ingin menghukumnya lebih lama menderita di dunia fana ini. Lalu aku berkata pula, ‘Semula kukira kain plakat yang tergantung di leher Dian Pek-kong itu kukira tertukar denganmu, makanya aku sedemikian marah.’ Ayah menjawab, ‘Mana bisa keliru? Dahulu Dian Pek-kong pernah berlaku kurang ajar padamu, bukankah itu tepat dengan tulisan plakatnya? Kusuruh dia menjadi perantara agar bocah Lenghou Tiong itu menikahimu, tapi dia selalu ogah-ogahan dan tak bisa melaksanakan tugasnya, bukankah ini berarti ‘tidak becus bekerja’ seperti tulisan plakat itu? Jadi apa yang tertulis di plakat baginya itu memang sangat cocok dan tepat.’ Aku berkata, ‘Ayah, aku akan marah bilamana kau suruh Dian Pek-kong melakukan hal-hal yang tidak layak itu. Hendaknya diketahui, mula-mula Lenghou-toako menyukai siausumoaynya, kemudian dia suka kepada Yim-toasiocia dari Mo-kau. Meski dia juga sangat baik padaku, tapi selamanya tidak pernah menaruh perhatian padaku.’.”

Ucapan terakhir ini membikin Lenghou Tiong rada menyesal, memang semula ia tidak merasakan cinta Gi-lim kepada dirinya, kemudian lambat laun ia pun mengetahui hal itu, namun dirinya memang benar-benar sebagaimana dikatakan Gi-lim sekarang, mula-mula menyukai Siausumoay, kemudian cintanya dicurahkan kepada Ing-ing, selama itu berkelana kian-kemari, jarang sekali teringat kepada Gi-lim.

Begitulah terdengar Gi-lim berkata pula, “Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ayah menjadi gusar, dia mencaci maki Lenghou-toako, katanya, ‘Bocah Lenghou Tiong itu memang buta-melek, ada biji mata tapi tak bisa melihat, sungguh lebih goblok daripada Dian Pek-kong. Jelek-jelek Dian Pek-kong masih tahu akan kecantikan putriku, tapi Lenghou Tiong justru tidak mau tahu, benar-benar orang paling goblok di dunia ini.’

“Masih banyak kata-kata kotor yang dia lontarkan ke Lenghou-toako, sukar bagiku untuk menirukannya. Dia mengatakan pula, ‘Hm, kau kira siapa orang paling buta di dunia ini? Dia bukan Co Leng-tan, melainkan Lenghou Tiong! Biar mata Co Leng-tan dibutakan orang, tapi Lenghou Tiong jauh lebih buta daripada dia.’

“Coba, Nenek bisu, kan tidak betul ucapan Ayah itu, mana boleh dia mencaci maki Lenghou-toako cara begitu? Aku lantas berkata, ‘Ayah, Nona Gak dan Nona Yim entah berapa ratus kali lebih cantik daripada anakmu ini, pula Anak sudah meninggalkan rumah, Anak telah pasrahkan diri kepada sang Buddha. Anak cuma berterima kasih atas budi pertolongannya serta kebaikannya terhadap Suhu, sebab itulah Anak senantiasa terkenang padanya!’

“Ayah berkata pula, ‘Kalau sudah masuk agama mengapa tidak boleh kawin! Jika semua orang perempuan di dunia ini memeluk agama dan tidak kawin serta punya anak, kan di dunia ini takkan ada manusia lagi. Buktinya ibumu adalah nikoh, tidakkah dia kawin dengan hwesio semacam aku serta melahirkan engkau?’ Aku menjawab, ‘Ayah, jangan lagi kita bicara urusan ini, bagiku akan lebih... lebih suka tak dilahirkan saja oleh Ibu.’.”

Sampai di sini, suara Gi-lim menjadi rada sesenggukan. Selang sejenak, baru ia menyambung pula, “Lalu aku menyatakan pada Ayah bila dia menyatakan hal itu kepada Lenghou-toako, maka selamanya aku takkan bicara lagi dengan Ayah, bahkan tak mau bertemu pula. Bila Dian Pek-kong menyampaikan hal ini kepada Lenghou-toako, maka akan kuminta Gi-ho dan Gi-jing Suci agar melarang dia datang ke Hing-san. Ayah kenal watakku yang teguh, melihat tekadku sudah bulat begitu beliau termangu-mangu sejenak lalu menghela napas dan pergi.

“O, Nenek, kepergian Ayah sekali ini entah bila baru akan datang menjenguk diriku lagi? Entah pula beliau akan membunuh diri lagi atau tidak? Sungguh aku menjadi khawatir. Syukur kemudian aku dengar Ayah baik-baik saja. Selesai itu, tiba-tiba kulihat beberapa orang ini menuju ke lembah sini secara mencurigakan, mereka sembunyi di tengah semak-semak rumput, entah apa yang diperbuat mereka. Diam-diam aku menguntit ke sini untuk mengintai, tapi malah kutemukan engkau. Nenek bisu, engkau tak mahir ilmu silat, juga tidak dapat mendengar pembicaraan orang, bila kau kepergok orang kan sangat berbahaya. Selanjutnya jangan coba-coba lagi main sembunyi di semak rumput begitu. Memangnya kau kira sedang main sembunyi-sembunyi seperti anak kecil?”

Mendengar sampai di sini, hampir-hampir saja Lenghou Tiong bergelak tertawa. Ia pikir siausumoay ini benar-benar masih kekanak-kanakan sehingga menganggap orang lain juga masih kanak-kanak saja.

“Akhir-akhir ini Gi-ho dan Gi-jing Suci selalu menyuruh aku giat belajar pedang,” kata Gi-lim pula. “Menurut cerita Cin Koan Sumoay dia pernah mendengar Gi-ho dan Gi-jing Suci berunding dengan beberapa suci yang lain, mereka menyatakan Lenghou-toako tentu tak mau menjadi ketua Hing-san-pay untuk selamanya, sedangkan Gak Put-kun adalah musuh pembunuh guru dan susiok kita, dengan sendirinya Hing-san-pay kita tidak sudi dilebur ke dalam Ngo-gak-pay, sebab itulah mereka ingin aku menjadi ciangbunjin. Nenek bisu, waktu itu sedikit pun aku tidak percaya cerita Cin Koan Sumoay itu. Tapi Cin-sumoay berani bersumpah bahwa apa yang diceritakan itu tidak dusta. Katanya, menurut pertimbangan para suci yang berunding itu, dalam angkatan murid Hing-san-pay yang pakai nama Gi, diriku paling baik dengan Lenghou-toako, kalau aku yang menjadi ketua, tentu paling cocok dengan kehendak Lenghou-toako.

“Jadi mereka mendukung diriku, semuanya adalah demi Lenghou-toako. Mereka berharap aku meyakinkan ilmu pedang dengan baik dan membunuh Gak Put-kun, dengan demikian tentu tiada seorang pun yang keberatan bila aku diangkat sebagai ketua Hing-san-pay. Dengan penjelasan ini, barulah aku percaya. Cuma jabatan ketua itu rasanya terlalu berat bagiku. Ilmu pedangku biar kulatih sepuluh tahun lagi juga tak bisa melebihi Gi-ho dan Gi-jing Suci, untuk membunuh Gak Put-kun lebih-lebih tidak mungkin, memangnya pikiranku sedang kusut, terpikir urusan ini hatiku tambah bingung. Coba, Nenek bisu, apa yang mesti kulakukan sekarang?”

Bab 130. Gi-lim Membeberkan Isi Hatinya

Baru sekarang Lenghou Tiong tahu duduknya perkara, pantas Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain begitu giat mengawasi latihan Gi-lim sebagaimana pernah dilihatnya itu, kiranya mereka berharap kelak Gi-lim yang akan mewarisi jabatan ketua Hing-san-pay. Sungguh jerih payah mereka itu harus dipuji dan juga suatu tanda penghormatan mereka terhadap diriku. Demikian pikirnya.

Dengan perasaan hambar Gi-lim lalu berkata pula, “Nenek bisu, sering kukatakan padamu bahwa aku senantiasa terkenang kepada Lenghou-toako, siang terkenang, malam terkenang, mimpi juga selalu mengimpikan dia. Teringat olehku waktu dia menolong diriku tanpa menghiraukan bahaya akan jiwa sendiri. Sesudah dia terluka, kupondong dia melarikan diri. Teringat olehku dia minta aku mendongeng baginya, lebih-lebih sering teringat olehku ketika aku dan dia ti... tidur bersama di suatu ranjang di rumah apa itu di Kota Heng-san, satu selimut kami pakai bersama. Nenek bisu, kutahu engkau tak bisa mendengar, maka aku takkan malu mengatakan hal-hal itu padamu. Jika tak kukatakan, rasanya aku bisa gila. Kubicara denganmu, kupanggil nama Lenghou-toako, maka untuk beberapa hari hatiku akan merasa tenteram.”

Ia merandek sejenak, lalu dengan perlahan memanggil, “Lenghou-toako!”

Suara panggilan itu sedemikian halus, lembut mesra, sungguh penuh rasa rindu yang meresap, tanpa terasa tubuh Lenghou Tiong bergetar. Ia tahu sumoay itu ternyata bersembunyi rasa cinta yang sedemikian menggetarkan sukma.

Pikirnya, “Bila aku belum punya Ing-ing, rasanya tidak dapat lagi aku mengingkari dia dan pasti akan menikahi siausumoay ini. Dia sedemikian mendalam mencintai aku, selama hidupku ini cara bagaimana harus kubalasnya?”

Begitulah perlahan Gi-lim menghela napas, lalu berkata pula, “Nenek bisu, Ayah tidak memahami perasaanku, Gi-ho, Gi-jing, dan suci lain juga tidak memahami diriku. Aku merindukan Lenghou-toako hanya karena aku tak bisa melupakan dia. Aku pun tahu bahwa pikiranku ini tidak pantas, sebagai nikoh mana boleh aku memikirkan seorang lelaki, apalagi dia adalah ciangbunjin dari perguruan sendiri? Setiap hari aku selalu berdoa agar sang Buddha menolong diriku, membantu agar aku melupakan Lenghou-toako.

“Setiap hari aku membaca kitab yang mengajarkan agar memandang segala apa di dunia fana ini sebagai khayal belaka, biarpun cantik jelita, gagah cakap, akhirnya juga tinggal tulang belulang saja. Apakah artinya kemewahan dan kesenangan, orang hidup tiada ubahnya seperti impian belaka. Ajaran dalam kitab sudah tentu betul, akan tetapi... akan tetapi... apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berdoa dan memohon semoga Buddha Yang Maha Pengasih memberkati Lenghou-toako selalu selamat dan supaya dia terikat jodoh dengan Yim-siocia, hidup bahagia sampai tua, selama hidup riang gembira. Jika selama hidup Lenghou-toako selalu gembira, maka semuanya akan baik pula.”

Ucapannya sungguh-sungguh dan penuh ketulusan hati, dengan segenap jiwa raga mengharapkan hidup Lenghou Tiong selalu selamat bahagia sambil memegangi lengan baju si “nenek bisu”, lalu ia memandang ke langit, katanya kemudian, “Hari sudah larut malam, aku harus pulang, hendaklah kau pun pulang saja.”

Berbareng ia mengeluarkan dua potong kue dan ditangselkan ke tangan Lenghou Tiong sambil menyambung pula, “Nenek bisu, mengapa hari ini engkau tidak memandang diriku, apakah badanmu kurang sehat?”

Setelah menunggu sejenak dan tidak mendapatkan jawaban, kemudian Gi-lim bergumam sendiri, “Memangnya engkau tak bisa mendengar, tapi aku tanya padamu, sungguh bodoh aku ini.”

Perlahan lalu ia berbangkit dan melangkah pergi.

Lenghou Tiong masih duduk dan menyaksikan bayangan Gi-lim menghilang dalam kegelapan malam. Ia coba mengingat kembali apa yang diucapkan Gi-lim tadi, kata Gi-lim yang meresap itu sungguh sangat menggetar kalbunya, tanpa terasa ia termangu-mangu sendirian.

Entah sudah berapa lama lagi, ketika ia berpaling dan memandang air sungai, ia menjadi kaget ketika melihat dalam air ada dua bayangan, dua bayangan orang yang sama sedang duduk berendeng di atas batu. Ia mengira pandangan sendiri kabur, ia kucek-kucek mata sendiri dan memandang pula, tetap dua bayangan orang yang dilihatnya. Seketika ia berkeringat dingin dan tidak berani menoleh.

Dilihatnya bayangan dalam air itu jelas berada di belakangnya tepat, asal sekali tangan bergerak seketika dirinya akan dibereskan, dalam keadaan demikian ia benar-benar terkesima saking kagetnya sehingga tidak berpikir harus berusaha melompat ke depan.

Orang itu tahu-tahu berada di belakangnya tiada tanpa tiada suara, sedikit pun dirinya tidak terasa, maka dapat dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang. Seketika timbul pikiran dalam benaknya, “Setan tentunya!”

Berpikir tentang setan, seketika terasa ngeri pula. Untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian baru memandang lagi ke dalam air sungai.

Air sungai yang mengalir perlahan tenang membikin bayangan remang-remang itu tidak jelas tertampak, tapi kedua bayangan terang satu rupa, sama-sama memakai baju wanita yang berlengan longgar, kundai di atas kepala juga sama, terang dua bayangan yang kembar.

Makin dirasakan makin ngeri Lenghou Tiong, jantung berdetak keras seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya. Sekonyong-konyong entah dari mana datangnya keberanian, mendadak ia menoleh sehingga tepat muka berhadapan muka dengan setan itu.

Setelah melihat jelas, tanpa terasa ia menarik napas panjang, dilihatnya orang di hadapannya ini adalah seorang wanita setengah umur, lamat-lamat dapat dikenalinya sebagai si babu bisu-tuli yang menjaga Sian-kong-si itu. Tapi cara bagaimana perempuan ini sampai di belakangnya tanpa disadarinya sedikit pun, hal ini sungguh membuatnya heran tidak kepalang.

Rasa ngeri dan takut Lenghou Tiong lenyap segera, tapi rasa heran sedikit pun tidak berkurang, segera ia berkata, “O, Nenek bisu, kiranya engkau, sungguh bikin kaget padaku.”

Ia dengar suara sendiri rada gemetar, biarpun dikatakan tidak takut, tapi agaknya masih diliputi juga rasa takut.

Dilihatnya gelung nenek bisu-tuli itu dihias sebuah tusuk kundai, bajunya berwarna abu-abu pucat, jelas serupa dengan dandanan sendiri, segera ia berkata pula, “Nenek bisu, harap maaf. Daya ingat Ing-ing sungguh hebat, dia masih ingat dandananmu, maka dia telah menyamarkan diriku sehingga mirip saudara kembarmu.”

Dilihatnya air muka si nenek bisu kaku dingin tidak mengunjuk rasa gusar juga tidak ada rasa senang, entah apa yang terpikir dalam benaknya. Diam-diam Lenghou Tiong membatin. “Orang ini sungguh aneh, aku menyamar sebagai dia dan kepergok olehnya, rasanya aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini.”

Segera ia berbangkit, ia memberi hormat kepada nenek itu dan berkata, “Sudah larut malam aku mohon diri dulu.” Ia lantas putar tubuh dan melangkah ke arah datangnya tadi.

Tapi baru beberapa langkah saja mendadak di depannya sudah berdiri satu orang yang merintangi jalannya. Siapa lagi kalau bukan si nenek bisu-tuli itu. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu sudah berada di depannya.

Keruan kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, ia tahu malam ini benar-benar ketemu seorang kosen, celaka dirinya justru menyamar seperti si nenek, sudah tentu hal ini menimbulkan kemarahannya.

Maka Lenghou Tiong lantas memberi hormat pula dan berkata, “Maaf, Nenek, Cayhe berbuat salah, biarlah kuganti pakaian, nanti kudatang lagi ke Sian-kong-si untuk minta maaf.”

Nenek itu tetap kaku tidak berperasaan tidak mengunjuk sikapnya atau tidak.

“Ah, ya, engkau tentunya tidak mendengar ucapanku,” kata Lenghou Tiong. Lalu ia berjongkok dan menulis di atas tanah dengan jari: “Maaf, lain kali tidak berani lagi.”

Waktu ia tegak kembali, dilihatnya si nenek tetap berdiri mematung, sedikit pun tidak memandang kepada apa yang dituliskannya.

Sambil menunjuk tulisan-tulisan di atas tanah itu, dengan suara keras Lenghou Tiong berseru, “Maaf, lain kali tidak berani lagi!”

Tapi nenek itu tetap tidak bergerak, sungguh mirip patung belaka.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Wah, celaka, mungkin dia buta huruf!” Berulang-ulang ia lantas membungkuk-bungkuk badan, tangannya memberi isyarat-isyarat dan berlagak melepas pakaian dan menanggalkan kundai, lalu memberi hormat pula sebagai tanda minta dimaafkan.

Namun nenek itu tetap diam saja, sedikit pun tidak bergerak, entah tidak paham maksudnya atau memang sengaja tidak menggubrisnya.

Lenghou Tiong kehabisan akal, ia garuk-garuk kepala sendiri yang tidak gatal. Sambil miringkan tubuh segera ia menyelusup lewat di samping si nenek.

Baru saja kakinya bergerak, mendadak nenek itu pun menggeliat dan tahu-tahu sudah mengadang pula di depannya. Lenghou Tiong terkesiap, katanya pula, “Maaf!” Berbareng ia melangkah ke kanan, tapi menyusul ia terus meloncat lewat ke sebelah kiri. Baru saja kakinya menancap tanah, tahu-tahu si nenek sudah berdiri di depan lagi dan merintangi jalannya.

Tentu saja Lenghou Tiong tidak terima. Berulang-ulang ia melompat beberapa kali, makin lama makin cepat, namun selangkah pun si nenek tidak mau ketinggalan, selalu dapat mencegat jalan perginya.

Lenghou Tiong menjadi tidak sabar, melihat nenek itu masih merintangi jalannya, tangan kiri segera mendorong pundak orang. Tapi baru saja jarinya hendak menempel tempat sasaran, mendadak tangan si nenek yang kurus kering memotong ke bawah, menebas pergelangan tangannya.

Lekas Lenghou Tiong menarik tangan, walaupun begitu cepat ia menarik tangan tidak urung punggung tangan juga keserempet oleh jari kecil si nenek, rasanya sakit laksana disayat pisau.

Lantaran merasa bersalah, Lenghou Tiong tidak berani menempur si nenek, yang dia harapkan hanya lekas tinggal pergi saja. Cepat ia menunduk dan bermaksud menyelinap lewat di sisi orang. Tapi baru saja tubuhnya bergerak tiba-tiba angin pukulan sudah menyambar, nenek itu telah menghantamnya dengan telapak tangan.

Cepat Lenghou Tiong mengegos, tapi serangan itu teramat cepat, “plak”, pundak kena terpukul. Sebaliknya nenek itu pun tergeliat. Kiranya pada saat hantaman si nenek kena sasarannya, berbareng “Gip-sing-tay-hoat” dalam tubuh Lenghou Tiong memberi reaksi sehingga tenaga pukulan lawan tersedot.

Sekonyong-konyong tangan lain si nenek mengulur tiba pula, kini jarinya yang lentik kurus bagai cakar ayam itu menusuk kedua matanya.

Dengan terperanjat lekas Lenghou Tiong mendak ke bawah untuk menghindar, dengan demikian punggungnya menjadi tidak terjaga, kalau kena digebuk lagi tentu celaka. Untung nenek itu rupanya juga sudah kapok terhadap “Gip-sing-tay-hoat”, nyatanya tidak berani menyerang pada kesempatan yang ada itu, sebaliknya tangan kanan lantas mencukil balik ke atas malah untuk tetap menyerang kedua mata Lenghou Tiong. Jelas si nenek sudah ambil ketetapan akan terus menyerang biji mata lawan yang lemah, betapa pun lihainya Gip-sing-tay-hoat tentu tak bisa dikerahkan melalui biji mata, asal biji mata kena dicolok pasti akan buta.

Terpaksa Lenghou Tiong angkat tangan buat menangkis, tapi nenek itu lantas putar tangannya, jarinya lantas mencakar mata kirinya. Waktu Lenghou Tiong menangkis pula, mendadak jari kanan si nenek mencolok telinganya.

Beberapa kali serangan nenek itu dilakukan dengan cepat luar biasa, setiap serangan caranya lucu, lebih mirip cara berkelahi perempuan bawel kampungan, cuma tempat yang diarah justru berbahaya, caranya cepat pula, hanya beberapa jurus saja Lenghou Tiong sudah terdesak mundur terus.

Memangnya Lenghou Tiong tidak mahir main pukulan dan tendangan, coba kalau si nenek tidak gentar terhadap Gip-sing-tay-hoat sehingga tidak berani mengadu tangan dengan dia, dapat dipastikan Lenghou Tiong sudah kenyang digebuk sejak tadi.

Setelah bergebrak beberapa jurus lagi, Lenghou Tiong tahu dalam hal permainan tangan dan kaki masih selisih jauh dengan lawan, kalau tidak lolos pedang pasti sukar meloloskan diri. Segera ia bermaksud mencabut gagang pedang pandak yang terselip di pinggangnya. Tapi baru saja tangan menyentuh gagang pedang, nenek itu seakan-akan sudah tahu maksudnya, dengan cepat luar biasa segera ia melancarkan serangan beberapa kali, terpaksa Lenghou Tiong berkelit ke sana dan mengegos ke sini sehingga tidak sempat melolos pedangnya.

Melihat tipu serangan si nenek makin lama semakin keji, padahal selamanya tiada permusuhan apa-apa, namun orang tidak segan-segan membutakan matanya, Lenghou Tiong merasa keadaannya sangat berbahaya, mau tak mau ia harus selamatkan diri. Mendadak ia menggertak keras, dengan tangan kiri mengaling-alingi kedua mata sendiri, tangan kanan segera meraba pinggang buat mencabut pedang, ia pikir biar kena dipukul atau ditendang lawan asalkan pedang sendiri dapat dilolos keluar.

Tak tersangka, pada saat demikian itu, sekonyong-konyong kepala terasa kencang, rambut kena dijambak orang, menyusul kedua kaki lantas meninggalkan tanah, tubuh terapung, terang telah diangkat oleh si nenek. Habis itu lantas terasa langit berputar dan bumi terbalik, tubuh berputar cepat di udara, rupanya si nenek telah menjambak rambutnya terus diangkat dan diayun sekuatnya, makin lama makin cepat.

“He, he, apa yang kau lakukan?” Lenghou Tiong berkaok-kaok, kedua tangan mencakar dan memukul serabutan, pikirnya hendak mencengkeram lengan si nenek. Tapi mendadak iga kanan-kiri terasa pegal, rupanya hiat-to bagian tersebut tertutuk, menyusul hiat-to bagian punggung, pinggang, dada, dan leher kena ditutuk, kontan sekujur badan Lenghou Tiong terasa lemas dan tak bisa berkutik lagi.

Lebih celaka lagi si nenek ternyata tidak mau berhenti, tubuhnya dianggap sebagai bandulan saja, masih diayun terus dan diputar dengan cepat.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Selama hidupku, sudah banyak menemui hal-hal yang aneh, tapi pengalaman sial seperti sekarang dijadikan kitiran oleh orang boleh dikata baru pertama kali ini terjadi.”

Nenek itu terus memutarnya sehingga Lenghou Tiong kepala pusing dan mata berkunang-kunang dan hampir pingsan, habis itu barulah puas. “Bluk”, dengan keras ia banting Lenghou Tiong ke tanah.

Sebenarnya Lenghou Tiong tidak punya rasa permusuhan dengan si nenek, tapi sekarang dia kena dikerjai hingga setengah mati, dengan sendirinya dia sangat gusar. Segera ia mencaci maki, “Perempuan busuk, perempuan keparat, coba kau sejak mula kutusuk beberapa lubang.”

Nenek itu memandangnya dengan sikap dingin, air mukanya tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.

“Berkelahi terang kalah, kalau aku tidak membalas dengan mencaci maki rasanya akan terlalu rugi,” demikian pikir Lenghou Tiong. “Tapi kini aku tidak bisa berkutik, jika dia tahu aku memakinya, tentu aku akan disiksa lebih hebat.”

Segera ia mendapat suatu cara yang baik, ia memaki tapi mukanya tertawa-tawa, “Perempuan bangsat, perempuan busuk, sadar memang jahat, makanya Thian menciptakanmu menjadi bisu dan tuli, tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis, mirip orang gila, sekalipun binatang juga lebih beruntung daripadamu.”

Semakin mencaci maki dengan kata-kata yang keji, semakin riang pula tertawanya. Sebenarnya ia cuma pura-pura tertawa, maksudnya supaya si nenek tuli itu tidak mencurigai dia sedang memakinya. Tapi kemudian demi melihat si nenek sama sekali tidak memberi reaksi, akalnya membawa hasil, ia menjadi senang sehingga tertawa terbahak-bahak.

Perlahan nenek itu mendekati dia, mendadak sebelah tangannya menjambak pula rambutnya terus diseret ke depan sana. Jalannya makin lama makin cepat. Karena hiat-to tertutuk, tapi daya rasa Lenghou Tiong tidak menjadi hilang, ia merasa kesakitan karena badan tergosok-gosok di atas tanah. Dengan gemas ia mencaci maki pula tanpa berhenti, namun sekarang dia tak bisa tertawa lagi.

Nenek itu menyeretnya ke atas gunung, dari keadaan setempat Lenghou Tiong melihat tempat yang dituju adalah Sian-kong-si. Kini Lenghou Tiong sudah tahu dengan pasti bahwa orang yang mengerjai Put-kay Hwesio, Dian Pek-kong, Boh-pak-siang-him, Pau Tay-coh, Siu Siong-lian, dan lain-lain tentu juga nenek bisu-tuli ini. Padahal dahulu dirinya pernah datang ke Sian-kong-si dan melihat nenek ini, namun sedikit pun tidak tahu orang memiliki kepandaian sedemikian hebat, boleh dikatakan terlalu goblok. Sampai-sampai kaum ahli seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang juga tidak mencurigai dia, maka harus dipuji kepandaian si nenek ini mengelabui orang.

Lantas terpikir pula oleh Lenghou Tiong, “Jika si nenek ini juga menggantung aku di atas pohon seperti Put-kay Taysu dan lain-lain, lalu menempel plakat pula di atas tubuhku dengan tuduhan sebagai manusia yang paling cabul dan sebagainya, padahal sebagai ketua Hing-san-pay, sekarang aku berdandan begini pula, wah, tentu akan malu besar. Untung dia menyeret aku ke Sian-kong-si, biarlah dia menggantung aku di sana dan dihajar, asal tidak malu di depan umum masih mendingan.”

Dasar watak Lenghou Tiong memang terbuka, ia anggap biar sial toh tidak sampai kehilangan muka habis-habisan, masih boleh dibilang mendingan, tapi lantas terpikir olehnya, “Entah dia sudah mengetahui asal usul diriku atau tidak? Jangan-jangan dia tahu aku adalah ketua Hing-san-pay maka sengaja memberi layanan istimewa daripada yang lain.”

Sepanjang jalan ia diseret, keruan badannya babak belur tergosok-gosok oleh batu pegunungan, untung mukanya menghadap ke atas sehingga tidak cacat.

Setiba di Sian-kong-si, nenek itu menyeretnya ke dalam ruangan tengah, pintu kuil ditutup, lalu diseret pula ke atas loteng apung di puncak kuil, yaitu tempat yang dahulu pernah digunakan berunding dengan Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang.

“Wah, celaka,” diam-diam Lenghou Tiong mengeluh, soalnya Leng-kui-kok, nama loteng di atas itu adalah tempat terapung di atas jurang yang tak terhitung dalamnya, di luar ada sebuah jembatan gantung dan mungkin di sinilah si nenek akan menggantung dirinya. Padahal Sian-kong-si itu jarang didatangi manusia, kalau dirinya digantung di sana sehingga mati kelaparan, wah, rasanya boleh dibayangkan.

Setiba di Leng-kui-kok, nenek itu terus banting dia di situ, lalu tinggal pergi. Sambil menggeletak di lantai Lenghou Tiong coba-coba menerka sebenarnya macam apakah si nenek itu, tapi sukar ditebak, ia hanya menduga bisa jadi seorang tokoh angkatan tua Hing-san-pay, mungkin adalah pelayan guru Ting-cing atau Ting-yat Suthay masa dahulu. Tapi entah cara bagaimana nenek itu mendapat tahu tipu muslihat Siu Siong-lian dan lain-lain sehingga membekuk mereka dan dikerek di atas pohon.

Berpikir sampai di sini hati Lenghou Tiong rada lega, pikirnya pula, “Sebagai ketua Hing-san-pay tentu dia akan mengingat orang sendiri dan takkan membikin susah padaku.”

Tapi lantas terpikir lagi, “Dalam penyamaranku seperti ini jangan-jangan dia tak mengenali diriku. Jika dia sangka aku orang jahat segolongan dengan Thio-hujin dan lain-lain yang sengaja menyamar seperti dia untuk menjadi mata-mata di sini dengan muslihat yang akan merugikan Hing-san-pay, wah, bisa jadi ia akan memberi ‘layanan istimewa’ padaku, bisa runyam bila aku disiksa nanti.”

Ia dengar suara tindakan yang mendaki tangga loteng, ternyata nenek itu telah naik ke atas lagi dengan tangan membawa seutas tambang, segera Lenghou Tiong ditelikung kaki dan tangannya, lalu diikat kencang-kencang, dikeluarkannya pula sepotong kain kuning dan digantungkan di leher Lenghou Tiong.

Sudah tentu Lenghou Tiong sangat tertarik untuk mengetahui apa yang tertulis pada kain plakat itu. Akan tetapi pada saat itu juga pandangannya menjadi gelap, kedua matanya telah ditutup oleh si nenek dengan sepotong kain hitam.

“Cerdik benar nenek ini,” demikian pikir Lenghou Tiong. “Dia tahu aku ingin sekali membaca apa yang tertulis di atas kain, tapi sengaja membikin aku tak bisa melihatnya. Kecerdasan nenek ini sungguh jauh melebihi orang biasa. Tapi, hah, Lenghou Tiong sudah terkenal sebagai pemuda yang bangor, tentu apa yang tertulis di atas kain ini tiada kata-kata yang baik bagiku, buat apa aku membacanya?”

Tiba-tiba ia merasa kaki dan tangannya yang terikat ditelikung itu tertarik kencang, tubuh lantas terapung ke atas, ternyata sudah dikerek tinggi-tinggi di atas belandar. Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, segera ia mencaci maki pula.

Meski dia suka ugal-ugalan, tapi pikirannya juga cukup cermat, pikirnya, “Kalau aku hanya mencaci maki serabutan, tetap tidak dapat menolong diriku. Sebaiknya aku mengerahkan tenaga perlahan untuk melancarkan hiat-to yang tertutuk, bila aku sudah pegang senjata tentu akan dapat mengatasi nenek itu, aku pun akan gantung dia di tempat yang tinggi, akan kugantung pula kain kuning pada lehernya, lalu apa yang harus kutulis pada plakat itu? Nenek jahat nomor satu di dunia ini? Ah, kurang tepat menyebut dia sebagai nomor satu di dunia, bisa jadi dia malah akan girang. Biarlah kutulis saja: ‘Nenek jahat nomor ke-17 di dunia ini’, biar kepalanya pecah memikirkan siapa lagi ke-16 nenek jahat lain yang lebih tinggi derajatnya daripada dia sendiri.”

Ia coba pasang telinga, tak terdengar lagi suara orang bernapas, agaknya nenek itu sudah pergi.

Setelah digantung terkatung-katung di situ selama beberapa jam, perut Lenghou Tiong mulai keroncongan, ketika ia coba mengerahkan tenaga, eh, terasa hiat-to sudah mulai lancar. Selagi bergirang di dalam hati sekonyong-konyong tubuhnya terguncang, “bluk”, dengan keras ia terbanting di atas loteng, ternyata si nenek telah melepaskan tambang kerekan. Tapi sejak kapan nenek itu datang sedikit pun Lenghou Tiong tidak mendengar.

Nenek itu lantas lepaskan kain hitam penutup matanya, hiat-to bagian lehernya belum lancar sehingga sukar menunduk untuk membaca tulisan plakat, hanya pada huruf paling bawah sekilas terlihat adalah huruf “nio” yang berarti perempuan.

Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh pula, ia percaya dengan huruf itu tentu si nenek benar-benar menyangka dia sebagai perempuan. Kalau dia menuliskan kata-kata yang anggap dia sebagai pemuda porno, bajingan tengik, atau manusia rendah segala adalah tidak menjadi soal baginya, tapi menganggapnya sebagai perempuan, wah, ini benar-benar runyam, konyol.

Dilihatnya si nenek mengambil sebuah mangkuk, ia pikir barangkali si nenek memberi minum teh atau arak padanya. Paling baik dia menyuguhkan arak padaku, demikian ia membatin.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong kepala terasa panas tersiram air mendidih, ia menjerit kesakitan. Ternyata isi mangkuk itu adalah air mendidih dan oleh si nenek disiramkan begitu saja pada kepalanya.

Dengan murka Lenghou Tiong memaki, “Nenek bangsat, apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?”

Tapi lantas terlihat si nenek mengeluarkan pula sebilah pisau cukur.

Keruan Lenghou Tiong terperanjat, segera terdengar suara “krik-krik”, kulit kepalanya serasa sakit perih, ternyata si nenek sedang mencukur rambutnya.

Kejut dan gusar pula Lenghou Tiong, ia tidak tahu apa maksud tujuan nenek gila itu. Tapi hanya sebentar saja, kepalanya terasa sudah gundul kelimis, rambut telah dicukur bersih oleh si nenek.

“Bagus, hari ini Lenghou Tiong benar-benar telah menjadi hwesio. Ah, tidak tepat, aku memakai baju perempuan, harus disebut menjadi nikoh,” demikian ia berpikir.

Tapi hatinya terasa ngeri juga ketika teringat olehnya Ing-ing pernah berkelakar menyuruh dia menyamar sebagai nikoh saja, ternyata ucapannya itu menjadi kenyataan. Bukan mustahil nenek jahat ini telah mengetahui siapa diriku dan anggap seorang lelaki tidak pantas menjadi ketua Hing-san-pay, maka tidak cuma mencukur rambutku saja, bahkan akan... akan kebiri aku punya alat vital, supaya aku tidak bisa membikin kotor tempat suci ini. Wah, nenek gila ini rupanya dapat berbuat apa pun juga. Sungguh nahas, agaknya hari ini aku Lenghou Tiong harus terima nasib, tapi jangan sekali-kali aku meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat.

Selesai mencukur kepala Lenghou Tiong, nenek itu sapu bersih pula rambut yang berserakan di lantai itu.

Lenghou Tiong merasa keadaan sudah gawat, cepat ia mengerahkan tenaga dalam sekuatnya, ia coba bobol hiat-to yang tertutuk itu.

Selagi merasa beberapa hiat-to yang tertutuk itu mulai lancar, tiba-tiba bagian punggung dan bahunya kesemutan pula, hiat-to bagian tersebut kembali ditutuk si nenek pula.

Seketika Lenghou Tiong seperti balon gembos, ia menghela napas panjang, rasanya lemas, sampai-sampai caci maki juga sungkan dilontarkan lagi.

Si nenek lantas menanggalkan kain plakat yang bergantungan di leher Lenghou Tiong itu dan ditaruh di samping sana.

Baru sekarang Lenghou Tiong dapat melihat jelas apa yang tertulis di kain itu, yakni: “Si buta nomor satu di dunia ini, perempuan jahat yang bukan lelaki dan bukan perempuan.”

Serentak Lenghou Tiong mengeluh pula, “Wah, celaka! Kiranya nenek gila ini cuma pura-pura bisu dan dapat bicara, kalau tidak, dari mana dia mengetahui makian Put-kay Taysu padaku sebagai orang buta nomor satu di dunia ini? Hanya ada dua kemungkinan, dia mencuri dengar ketika Put-kay Taysu bicara dengan Gi-lim atau dia mencuri dengar ketika Gi-lim bicara padaku tadi. Atau bisa juga kedua kali dia mencuri dengar semua.”

Berpikir sampai di sini, segera ia berteriak, “Sudahlah, kau tidak perlu menyamar dan pura-pura lagi, kau bukan orang tuli.”

Tapi nenek itu tetap tidak peduli, sebaliknya terus menggerayangi tubuh Lenghou Tiong hendak membuka pakaiannya.

“He, hei! Apa yang hendak kau lakukan?” Lenghou Tiong berkaok-kaok dengan khawatir. Ia tidak tahu apakah si nenek benar-benar tidak dapat mendengar atau sengaja pura-pura tidak mendengar. Yang jelas segera terdengar suara “brat-bret”, bajunya telah ditarik begitu saja oleh si nenek itu hingga robek menjadi dua belah dan terlepas dari tubuhnya.

“He, jika kau mengganggu seujung rambutku saja tentu akan kucencang tubuhmu hingga hancur luluh,” teriak Lenghou Tiong gusar. Tapi lantas terpikir olehnya, “Bukan saja seujung rambut, bahkan dia sudah mencukur habis seluruh rambutku.”

Tertampak si nenek mengambil sepotong batu asah pisau, diteteskan beberapa tetes air di atas batu asah itu, lalu dipakai mengasah pisau cukur. Sejenak kemudian pisau cukur itu ditaruhnya di samping, dari saku dikeluarkannya sebuah botol porselen kecil, rupanya isi botol itu adalah obat luka paling mustajab bikinan Hing-san-pay yang juga telah dikenal dengan baik oleh Lenghou Tiong sendiri.

Kemudian si nenek menyiapkan pula beberapa potong kain putih, yakni guna pembalut luka. Padahal Lenghou Tiong tidak merasa punya luka baru. Melihat cara si nenek menyiapkan segala perlengkapan itu, jelas akan melakukan sesuatu operasi apa-apa pada tubuhnya.

Selesai menyiapkan semua itu, kedua mata si nenek menatap tajam Lenghou Tiong. Selang sejenak, ia angkat tubuh Lenghou Tiong dan diletakkan di atas meja, lalu memandangnya pula dengan sikap kaku tak berperasaan.

Lenghou Tiong sudah kenyang pengalaman dalam pertempuran macam apa pun, sekalipun terluka parah dan terkepung musuh, belum pernah ia merasa jeri dan gentar, tapi kini menghadapi seorang nenek demikian, dalam hati timbul rasa takut yang tak terkatakan.

Perlahan si nenek angkat pisau cukurnya, di bawah cahaya lilin yang berkelip-kelip, pisau cukur yang tajam itu gemilapan, butir keringat dingin penuh menghias dahi Lenghou Tiong, alangkah ngerinya bila dia membayangkan sebentar lagi “anunya” akan dikebiri oleh si nenek.

Sekonyong-konyong terkilas satu pikiran dalam benaknya, tanpa pikir lagi ia berteriak, “Engkau... adalah bininya Put-kay Hwesio!”

Tubuh nenek itu tampak tergetar dan mundur selangkah, katanya kemudian, “Da... dari mana... kau tahu?”

Suaranya parau kering, ucapannya sekata demi sekata dan kaku, mirip benar dengan anak kecil yang baru belajar omong.

Bab 131. Rahasia Gi-lim dan Kekonyolan Put-kay Hwesio

Ketika mengucapkan kata-katanya tadi, Lenghou Tiong memang tidak pernah berpikir panjang, setelah ditanya balik oleh si nenek barulah ia berpikir mengapa diri sendiri bisa menarik kesimpulan demikian?

Tapi ia lantas menjengek, “Hm, sudah tentu aku tahu, sudah sejak tadi aku tahu.”

Namun dalam hati sebenarnya ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Ya, dari mana aku mendapat tahu hal itu? O, ya, tentu disebabkan plakat yang dia gantungkan di leher Put-kay Taysu itu. Pada plakat itu tertulis tuduhan kepada Put-kay sebagai manusia paling tak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan, soal ini, selain Put-kay sendiri di dunia ini hanya istrinya saja yang tahu, lain tidak.”

Karena pikiran demikian, segera Lenghou Tiong berseru pula, “Hm, justru kau sendiri masih selalu terkenang kepada manusia yang tidak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan sebagai Put-kay, kalau tidak, waktu dia gantung diri hendak cari mampus, kenapa kau potong tali gantungannya? Dia mau menggorok leher sendiri, kenapa kau sembunyikan pisaunya? Huh, manusia yang tak berperasaan, orang yang paling suka main perempuan begitu, biarkan dia mampus saja, buat apa kau urus lagi?”

“Hm, kalau dia mampus secara begitu cepat dan enak, kan terlalu mudah bagi dia,” jengek si nenek.

“Ya, aku tahu, dia harus diperas dulu tenaga dan pikirannya, biarkan dia kelabakan setengah mati mencari dari ujung sini ke pojok sana, dari utara mencari ke selatan, selama berpuluh tahun dia mencarimu, tapi engkau sengaja sembunyi di sini dengan hidup tenang, dengan demikian barulah engkau merasa puas!”

“Memangnya, dengan begitu baru setimpal dengan dosanya,” ujar si nenek. “Dia sudah menikahi aku, kenapa dia menggoda perempuan lain pula?”

“Siapa yang bilang dia menggoda perempuan lain?” tanya Lenghou Tiong. “Orang cuma memandang dan memuji putrimu lalu Put-kay juga memandang dan memuji orang, ini kan lumrah, kenapa dianggap berdosa?”

“Seorang laki-laki kalau sudah beristri, jika dia memandang, mengincar perempuan lain lagi, hal ini dilarang keras,” kata si nenek.

Lenghou Tiong merasa nenek ini benar-benar terlalu aneh, masakah orang pandang-memandang saja menimbulkan rasa cemburunya yang begini hebat. Segera ia berdebat, “Dan kau sendiri sudah menjadi istri orang, mengapa kau pandang laki-laki juga?”

Nenek itu menjadi gusar, sahutnya, “Bilakah aku memandang laki-laki? Ngaco-belo!”

“Bukankah sekarang juga engkau sedang memandang diriku? Memangnya aku bukan laki-laki tulen?” kata Lenghou Tiong. “Padahal Put-kay hanya memandang orang beberapa kejap saja, sebaliknya engkau malah sudah menjambak rambutku, sudah meraba kepalaku, ini berarti telah melanggar larangan suci itu. Untung engkau hanya menyentuh kulit kepalaku saja, tidak meraba wajahku, kalau tidak, pasti engkau akan dihukum berat oleh sang Buddha Koan-im.”

Ia pikir nenek ini jarang bergaul dengan umum, tentu pengetahuannya kurang-kurang, maka perlu digertak supaya dia tidak sembarangan menganiaya diriku, apalagi kalau dia benar-benar memotong barangku yang tidak bisa dicari gantinya ini.

Tapi lantas terdengar nenek itu menjawab, “Hm, untuk memotong kepalamu juga aku tidak perlu menyentuh badanmu.”

“Kalau mau memotong kepalaku, boleh silakan saja lekas!” sahut Lenghou Tiong.

“Hm, ingin kubunuhmu, tidak boleh secepat begini,” ujar si nenek. “Sekarang ada dua jalan bagimu, kau boleh pilih sesukamu. Pertama, kau harus lekas mengawini Gi-lim sebagai istrimu, jangan bikin dia hidup merana dan akhirnya mati sengsara. Sebaliknya kalau kau tetap berlagak tak mau menurut, segera aku kebiri dirimu, biar kau berubah menjadi siluman yang serbakonyol, lelaki bukan, perempuan tidak alias banci. Nah, jika kau tidak mengawini Gi-lim, maka kau takkan mampu kawin dengan perempuan busuk lain yang tidak tahu malu.”

“Gi-lim memang benar seorang nona baik, tapi di dunia ini selain dia masakah semua nona adalah perempuan busuk yang tidak tahu malu?” jawab Lenghou Tiong.

“Kukira begitulah, andaikan baik juga terbatas,” kata si nenek, “Nah, kau mau terima syaratku atau tidak, lekas katakan!”

Sudah belasan tahun si nenek pura-pura tuli dan berlagak bisu, sudah sekian lama tidak pernah bicara sehingga lidahnya sudah rada kaku, kini setelah bicara sebentar barulah ucapannya mulai lancar kembali.

Begitulah Lenghou Tiong lantas menjawab, “Gi-lim Sumoay adalah teman baikku, jika dia tahu engkau memperlakukan aku cara begini tentu dia akan marah.”

“Asal kau menikahi dia sebagai istri, dia tentu akan girang dan segala kemarahan tentu pula akan lenyap,” kata si nenek.

“Dia adalah orang beragama yang saleh, sudah bersumpah takkan menikah, bila sampai pikirannya menyeleweng tentu akan dimarahi sang Buddha.”

“Bila kau menjadi hwesio, tentu tidak cuma dia sendiri saja yang akan dimarahi sang Buddha. Aku telah mencukur rambutmu, memangnya kau kira tiada gunanya?”

Lenghou Tiong terbahak-bahak saking gelinya, katanya, “O, kiranya engkau mencukur rambutku adalah ingin aku menjadi hwesio, lalu mengawini si nikoh cilik. Lakimu dulu berbuat begitu, jadi sekarang kau pun minta aku menjiplak caranya itu? Apakah ini tidak melanggar hak cipta lakimu?”

“Ya, begitulah maksudku, melanggar hak cipta orang atau tidak adalah tanggung jawabku,” sahut si nenek.

“Tapi di dunia ini teramat banyak orang yang berkepala gundul, kepala gundul tidak berarti pasti hwesio, bukan?”

“Soal ini gampang saja, akan kuselomot kepalamu dengan api dupa sehingga terdapat sembilan bekas selomotan api. Kepala gundul memang tidak selalu adalah hwesio, tapi kepala gundul ditambah dengan bekas selomotan api dupa adalah tanda pengenal kaum hwesio, bukan?” Habis berkata segera si nenek hendak mulai “bekerja”.

“Eh, nanti dulu, sebentar lagi,” lekas-lekas Lenghou Tiong mencegah. “Suruh orang menjadi hwesio harus secara sukarela, masa ada cara paksa begini?”

“Hanya ada dua pilihan, menjadi hwesio atau menjadi thaykam (orang kebiri, dayang istana raja),” kata nenek.

Lenghou Tiong menjadi khawatir, kelakuan nenek ini angin-anginan, segala apa mungkin diperbuatnya, paling perlu sekarang harus cari akal untuk mengulur waktu. Maka ia lantas menjawab, “Bila aku dijadikan thaykam, jangan-jangan pada suatu saat mendadak pikiranku berubah dan kepingin mengawini Gi-lim Sumoay, lalu bagaimana? Kan bisa runyam? Hidup kami berdua bukankah akan tersiksa?”

“Orang persilatan seperti kita ini harus blakblakan terhadap sesuatu, bicara tegas, berbuat cepat, mana boleh ragu-ragu dan mencla-mencle. Mau jadi thaykam ya jadi thaykam dan ingin jadi hwesio ya jadi hwesio, seorang laki-laki sejati kenapa harus plinplan seperti kau?”

“Tapi kalau jadi thaykam tak dapat dikatakan lagi sebagai laki-laki sejati,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Persetan!” omel si nenek. “Kita sedang bicara urusan penting, bukan lagi bergurau, tahu?”

Lenghou Tiong menyengir. Pikirnya, “Gi-lim Sumoay cantik molek, cintanya juga mendalam terhadapku, bila dia jadi istriku adalah suatu kebahagiaan bagiku. Tapi hatiku sudah lama terisi oleh Ing-ing, mana boleh aku mengingkari dia? Nenek gila ini memaksa aku secara kasar, seorang jantan biarpun mati juga pantang menyerah.”

Karena pikiran demikian segera ia menjawab, “Nenek, coba kau jawab dulu pertanyaanku. Seorang laki-laki yang tidak berperasaan, tidak beriman, suka main perempuan, orang begini baik tidak?”

“Masakah perlu tanya lagi? Orang demikian sudah tentu lebih kotor daripada babi dan anjing, percuma saja menjadi manusia,” jawab si nenek.

“Nah, itu dia,” kata Lenghou Tiong. “Gi-lim Sumoay adalah nona cantik, sangat baik pula padaku, kenapa aku tidak ingin memperistrikan dia? Soalnya sudah lama aku mempunyai ikatan jodoh dengan seorang nona lain. Nona ini telah menanam budi mahabesar atas diriku, seumpama diriku kau cencang hingga hancur luluh juga tidak mungkin aku mengingkari dia. Sebab kalau aku mengingkari dia, bukankah aku akan berubah menjadi manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan? Bukankah gelar nomor satu yang diperoleh Put-kay Taysu itu akan kurebut?”

“Nona yang kau maksudkan itu tentunya Yim-toasiocia dari Mo-kau, yaitu nona yang pernah menolongmu waktu kau dikepung anggota Mo-kau dahulu itu, betul bukan?” tanya si nenek.

“Benar, memang dia adanya, engkau sendiri pun sudah melihatnya,” kata Lenghou Tiong.

“Gampang urusannya jika begitu,” ujar si nenek. “Akan kusuruh Nona Yim itu membuang dirimu, anggap saja dia yang mengingkarimu dan bukan kau yang mengingkari dia.”

“Dia pasti takkan mengingkari diriku, dia sudah sudi menyelamatkan aku tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, maka aku pun bersedia berkorban baginya. Aku pasti takkan mengingkari dia dan dia pun pasti takkan mengkhianati aku.”

“Kalau urusan sudah mendesak, kukira ia pun tak bisa berbuat apa-apa,” ujar si nenek lagi. “Di paviliun Hing-san sana banyak sekali laki-laki busuk, boleh dicari salah seorang untuk menjadi suaminya.”

“Ngaco-belo!” damprat Lenghou Tiong dengan gusar.

“Apa kau sangka aku tak bisa melaksanakan hal itu?” tanya si nenek. Segera ia melangkah keluar, terdengar pintu kamar sebelah dibuka, lalu si nenek kembali lagi dengan membawa seorang anak perempuan dengan kaki-tangan terikat telikung, siapa lagi kalau bukan Ing-ing.

Keruan Lenghou Tiong terkejut, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Ing-ing juga jatuh dalam cengkeraman si nenek. Tapi ia pun merasa lega ketika melihat keadaan Ing-ing baik-baik saja tanpa terluka apa-apa. “Kau pun berada di sini, Ing-ing!” serunya.

“Ya, aku sudah mendengar seluruh percakapan kalian,” sahut Ing-ing dengan tersenyum. “Engkau menyatakan takkan mengingkari diriku, sungguh aku sangat senang.”

“Di hadapanku tak boleh omong hal-hal yang tidak tahu malu begitu,” bentak si nenek. “Nona cilik, katakan saja terus terang, kau inginkan hwesio atau jadi....”

Muka Ing-ing menjadi merah, jawabnya, “Huh, omonganmu ini benar-benar tidak tahu malu.”

“Ya, aku sudah memikirkan secara cermat, kupercaya bocah Lenghou Tiong ini sukar meninggalkanmu untuk disuruh mengawini Gi-lim,” kata si nenek.

“Bagus! Sejak kau mulai buka mulut, hanya ucapan inilah yang paling baik,” sorak Lenghou Tiong.

“Baiklah, biar aku pun berbuat sesuatu yang lebih baik lagi,” kata si nenek. “Aku mau mengalah sedikit, tapi bikin enak bocah Lenghou Tiong ini. Biarlah dia mengawini kalian berdua sekaligus. Jadi cuma ada dua kemungkinan, dia boleh jadi hwesio saja dan punya dua istri atau menjadi thaykam tanpa istri. Hanya saja sesudah kalian menikah, kau tidak boleh menyakiti anak perempuanku. Kalian dua istri sama-sama derajat, tiada istri pertama atau istri kedua. Namun Gi-lim boleh memanggil cici padamu mengingat usiamu memang lebih tua beberapa tahun.”

“Tapi aku....” baru saja Lenghou Tiong hendak bicara, tahu-tahu si nenek sudah menutuk hiat-to yang membuatnya menjadi bisu.

Menyusul si nenek menekan hiat-to Ing-ing, lalu berkata, “Sekali aku sudah ambil keputusan, maka kalian tiada hak bicara lagi. Hm, masakah kau tidak senang, sekaligus mendapat dua istri yang cantik molek? Coba, bangsat gundul Put-kay itu sungguh tidak becus, anak perempuannya sakit rindu, tapi dia cuma gelisah dan kelabakan saja tanpa berdaya. Sebaliknya aku cuma turun tangan sedikit saja segala urusan lantas beres.”

Habis berkata, segera ia melangkah pergi pula.

Lenghou Tiong dan Ing-ing hanya saling pandang dengan menyengir saja, bicara tidak dapat, hendak memberi isyarat juga tak bisa bergerak.

Sementara itu sang surya baru saja menongol di ufuk timur, sinarnya yang terang memancar masuk melalui jendela. Lenghou Tiong menatap wajah Ing-ing yang cantik menggiurkan itu. Dilihatnya sinar mata si nona sedang menatap pisau cukur yang terlempar di lantai serta botol obat dan kain pembalut yang tertaruh di atas bangku, air mukanya berseri-seri, jelas menandakan nona itu sedang menertawai Lenghou Tiong yang hampir-hampir saja dikebiri.

Tapi segera sorot mata si nona beralih dan menunduk kepala dengan wajah bersemu merah, agaknya ia merasa malu karena urusan begitu tidak pantas diucapkan, bahkan juga tidak pantas dipikirkan.

Melihat wajah si nona yang kikuk malu itu, tanpa terasa hati Lenghou Tiong berguncang, terbayang olehnya, “Coba kalau saat ini tubuhnya dapat bebas bergerak, sebaliknya dia tak bisa berkutik, sungguh aku ingin mendekatinya, memeluk dan menciumnya. Betapa pun dia akan merasa malu toh tak bisa mengelak.”

Dilihatnya sinar mata Ing-ing perlahan menggeser ke arahnya, ketika sinar mata kedua orang kebentrok, cepat Ing-ing berpaling, pipi yang bersemu merah tadi sebenarnya sudah hilang tapi sekarang mendadak timbul lagi.

“Cintaku terhadap Ing-ing adalah suci dan teguh, selamanya takkan berubah,” pikir Lenghou Tiong. “Tapi kalau nenek gila itu memaksa aku menikahi Gi-lim, demi mencari selamat, terpaksa aku menurut untuk sementara, bila dia sudah melepaskan hiat-to dan aku sudah pegang senjata, maka aku takkan gentar lagi padanya. Betapa pun hebat kepandaian nenek jahat ini kalau dibandingkan Co Leng-tan, Yim-kaucu, dan lain-lain tentu masih selisih jauh. Lebih-lebih dalam hal ilmu pedang, tentu tak mampu menandingi aku. Dia unggul dalam hal kegesitan pergi-datang tanpa suara dan melakukan sergapan mendadak. Tapi kalau berkelahi sungguh-sungguh, kuyakin Ing-ing akan dapat mengalahkan dia, bahkan Put-kay Hwesio juga lebih kuat daripada dia.”

Ia termenung-menung sendiri, sekilas dilihatnya Ing-ing juga sedang memandangnya lagi. Cuma sekarang si nona tidak merasa malu-malu lagi, agaknya sudah tidak memikirkan hal thaykam segala. Sorot mata si nona dari wajah Lenghou Tiong beralih ke atas dengan tersenyum simpul, terang Ing-ing sedang menertawai kepalanya yang gundul itu. Jadi tidak berpikir soal thaykam, tapi sekarang menertawakan hwesio.

Lenghou Tiong sendiri ingin tertawa, cuma mulutnya saja entah mengap dan tak dapat mengeluarkan suara. Dilihatnya Ing-ing tambah senang tertawanya, tiba-tiba biji mata si nona tampak mengerling aneh, memperlihatkan air muka yang nakal, berwajah mengejek lalu memicingkan sebelah matanya menyusul memicing sekali lagi.

Sudah tentu Lenghou Tiong tidak tahu apa maksud si nona itu, dilihatnya si nona kembali main mata lagi dua kali. Mau tak mau terpikir olehnya. “Dia mengedip dua kali, apa artinya? Ah tahulah aku, tentu dia sedang mengejek aku yang dipaksa mengawini dua istri.”

Segera ia pun balas main mata dengan memicingkan mata kiri satu kali sambil memperlihatkan sikap yang serius, Maksudnya hendak mengatakan. “Aku cuma kawin denganmu seorang saja, pasti tidak akan ambil istri kedua.”

Tapi Ing-ing tampak menggeleng kepala perlahan sambil mata kiri mengedip satu kali. Ia bermaksud menggeleng kepala sedikit keras untuk menunjukkan tekadnya, cuma seluruh tubuh tertutuk terlalu banyak, sukar mengeluarkan tenaga, terpaksa memperlihatkan sikap dan air muka yang sungguh-sungguh dan setulusnya.

Ing-ing kelihatan mengangguk perlahan, sorot matanya beralih pula ke tempat pisau cukur, lalu perlahan menggeleng lagi. Mungkin maksudnya hendak mengatakan, “Aku tahu tekadmu, tapi harus ingat, jangan-jangan kau akan dikebiri oleh pisau cukur itu.”

Lenghou Tiong tidak memberi reaksi lagi, ia cuma menatap tajam kepada si nona, sinar mata Ing-ing kemudian juga menggeser dan saling pandang dengan dia.

Jarak kedua muda-mudi itu ada dua-tiga meter jauhnya, namun dari pandangan empat mata itu, tiba-tiba pikiran satu sama lain seakan-akan terbaca masing-masing, mereka merasa bicara atau tidak adalah sama saja, yang penting kedua pihak sama-sama memahami perasaan masing-masing, maka mereka tiada sangsi sedikit pun, bukan saja mereka tidak pikirkan lagi apakah Gi-lim harus dikawin atau tidak, bahkan juga tidak penting bagi mereka apakah akan menjadi hwesio atau jadi thaykam, malahan baik hidup atau mati bagi mereka berdua juga tidak menjadi soal, yang pasti mereka berdua sudah bersatu hati, satu perasaan, hal ini sudah puas bagi mereka, saat yang mereka hadapi ini dirasakan seperti sudah kekal, abadi, sekalipun langit runtuh dan bumi ambruk juga takkan merampas saat bahagia demikian ini.

Begitulah kedua orang saling pandang dengan penuh rasa mesra, entah sudah lewat berapa lama lagi tiba-tiba terdengar suara tangga loteng berbunyi, ada orang naik lagi ke atas loteng barulah rasa mesra kedua orang yang tak terperikan itu mulai buyar dan mendusin dari alam bahagia yang tak terbatas itu.

Terdengar suara seorang perempuan muda sedang berkata, “Nenek bisu, untuk apa kau bawa aku ke sini?”

Terang itulah suara Gi-lim.

Lalu terdengar dua orang memasuki kamar sebelah dan duduk, lalu si nenek berkata dengan perlahan, “Jangan lagi kau memanggil aku nenek bisu, aku sama sekali tidak bisu.”

“Hahh, jadi... jadi... engkau tidak... tidak bisu? Engkau sudah sembuh?” seru Gi-lim dengan terkejut.

“Memangnya aku bukan orang bisu,” sahut si nenek.

“Jika begitu kau pun... kau pun tidak tuli, kau... kau dapat mendengar... mendengar ucapanku?” Gi-lim menegas pula, nadanya memperlihatkan rasa kejut dan heran tak terhingga.

“Kenapa kau takut, Nak!” kata si nenek. “Jika aku dapat mendengar ucapanmu kan lebih baik?”

Untuk pertama kalinya Lenghou Tiong mendengar nada ucapan si nenek itu penuh mengandung rasa kasih sayang, hal ini menandakan hati orang tua itu bukanlah batu, nyatanya di depan putri kandung sendiri akhirnya mengalir juga perasaan kasih sayang seorang ibu.

Namun Gi-lim rupanya masih sangat terperanjat, dengan suara rada gemetar ia menjawab, “Ti... tidak, aku... aku akan pergi saja!”

“Nanti dulu, duduklah sebentar lagi,” kata si nenek. “Aku ingin bicara sesuatu hal penting padamu.”

“Tidak, aku... aku tidak mau dengar,” jawab Gi-lim. “Engkau... engkau telah menipu aku, selama ini kusangka engkau tak dapat mendengar, maka.... maka aku bicara macam-macam padamu. Ternyata... ternyata engkau menipu aku.”

Suaranya parau dan terputus-putus, tampaknya hampir menangis.

Perlahan si nenek menepuk bahu Gi-lim, katanya dengan suara halus, “Anak baik, anak manis, jangan khawatir, aku tidak sengaja menipumu, aku hanya khawatir kau jatuh sakit menahan perasaanmu, maka membiarkan kau bicara agar hatimu lebih lapang. Selama aku berada di Hing-san sini selalu menyamar sebagai orang bisu dan tuli, hal ini tidak diketahui oleh siapa pun maka bukan maksudku menipumu saja.”

Gi-lim menangis dengan tersedu-sedu. Dengan suara halus kembali si nenek berkata, “Aku hendak bicara sesuatu urusan bagus padamu, setelah mendengar tentu kau akan girang?”

“Apakah urusan ayahku?” tanya Gi-lim.

“Tentang ayahmu? Huh, peduli dia akan mampus atau hidup,” jengek si nenek. “Yang akan kubicarakan adalah urusan Lenghou-toakomu.”

“Tidak engkau jang... jangan singgung-singgung dia lagi, aku... aku takkan menyinggung dia lagi untuk selanjutnya,” kata Gi-lim dengan suara terputus-putus. “Sudahlah, aku akan pulang untuk sembahyang.”

“Jangan, tunggu dulu, dengarkan uraianku,” kata si nenek. “Lenghou-toakomu bilang padaku bahwa sesungguhnya dalam hati dia sangat menyukaimu, jauh lebih suka padamu daripada Yim-siocia dari Mo-kau, boleh dikata berpuluh kali lipat lebih suka padamu daripada terhadap nona Mo-kau itu.”

Lenghou Tiong memandang sekejap pada Ing-ing, dalam hati ia memaki, “Perempuan tua bangka, pembohong paling besar di dunia ini!”

Dalam pada itu terdengar Gi-lim sedang menghela napas lalu berkata, “Engkau tidak perlu dusta padaku. Ketika mula-mula aku kenal dia, Lenghou-toako hanya menyukai dia punya siausumoay seorang, kemudian sesudah siausumoaynya meninggalkan dia dan kawin dengan orang lain, lalu dia melulu menyukai Yim-siocia saja, cintanya juga kelewat-lewat, dalam lubuk hatinya juga melulu Yim-siocia saja seorang.”

Kembali sinar mata Lenghou Tiong kontak dengan sinar mata Ing-ing, dalam hati kedua orang sama-sama merasakan nikmat dan bahagia sekali.

Terdengar si nenek lagi berkata, “Sebenarnya diam-diam dia sangat menyukaimu, hanya saja kau adalah seorang cut-keh-lang, dia adalah ketua Hing-san-pay pula, maka dia tidak dapat mengutarakan isi hatinya. Tapi kini dia sudah mengambil keputusan, sudah menggantungkan cita-cita, sudah bertekad akan mengawinimu, sebab itulah dia sudah cukur rambut dulu dan menjadi hwesio.”

“Hahhh!” kembali Gi-lim menjerit kaget. “Tidak... tidak bisa jadi! Tidak... tidak boleh jadi! Harap kau suruh... suruh dia jangan menjadi hwesio.”

“Sudah terlambat,” sahut si nenek dengan gegetun. “Kini dia sudah menjadi hwesio. Katanya betapa pun dia harus memperistrikan kau. Kalau gagal, dia akan bunuh diri atau akan menjadi thaykam saja.”

“Menjadi thaykam?” Gi-lim menegas. “Apa thaykam itu?”

Nenek itu menjadi sulit juga untuk menerangkan arti thaykam, ia hanya mendengus, lalu berkata, “Thaykam adalah dayang yang melayani kaisar dan keluarganya, kaum hamba yang tidak terhormat.”

“Tapi Lenghou-toako adalah orang yang tinggi hati, orang yang suka kebebasan, mana dia sudi menjadi pelayan kaisar segala?” ujar Gi-lim. “Kukira menjadi kaisar sekalipun dia tidak mau, jangankan lagi melayani sang kaisar. Maka pasti dia tidak mungkin menjadi thaykam.”

“Menjadi thaykam juga tidak sungguh-sungguh harus melayani kaisar segala, itu cuma perumpamaan saja,” kata si nenek. “Orang yang sudah menjadi thaykam selama hidupnya tak bisa punya anak lagi.”

“Ah, masakah begitu? Aku tidak percaya,” kata Gi-lim. “Kelak bila Lenghou-toako kawin dengan Yim-toasiocia, dengan sendirinya mereka akan punya beberapa anak yang mungil. Mereka berdua sama-sama cakap, putra-putri mereka tentu juga bagus dan menyenangkan.”

Lenghou Tiong coba melirik Ing-ing, dilihatnya kedua belah pipi si nona bersemu merah, di antara rasa malunya terlihat rasa senang yang tak terhingga.

Dalam pada itu agaknya si nenek menjadi gusar, katanya dengan suara keras, “Sekali kukatakan dia tak bisa punya anak, maka pasti dia takkan punya anak. Jangankan anak, beristri juga tidak dapat. Dia sudah bersumpah berat, mau tak mau dia harus mengawini dirimu.”

“Tapi aku tahu dalam hatinya cuma terisi oleh Yim-siocia seorang,” kata Gi-lim.

“Dia sudah mengawini Yim-siocia dan juga mengawinimu, paham tidak?” kata si nenek. “Jadi seluruhnya dia punya dua istri. Lelaki di dunia ini banyak yang punya tiga istri dan beberapa gundik, jangankan cuma dua istri saja.”

“Ah, tidak, tidak bisa,” kata Gi-lim. “Dalam hati seseorang kalau sudah mencintai siapa, maka yang dia pikirkan juga cuma orang itu melulu, pagi dipikir malam terkenang, waktu makan terkenang tatkala tidur juga terkenang, mana bisa dia memikirkan lagi orang kedua. Seperti halnya Ayah, sejak Ibu meninggalkan dia, maka beliau telah menjelajahi segenap pelosok dunia ini untuk mencari Ibu. Di dunia ini masih banyak wanita lain, kalau seorang boleh punya dua istri mengapa Ayah tidak kawin lagi dengan perempuan lain?”

Seketika nenek itu terdiam, agaknya kata-kata Gi-lim itu dirasakan ada benarnya juga. Dia menghela napas, lalu berkata, “Semula ayahmu berbuat salah, mungkin kemudian dia... dia merasa menyesal.”

“Sudahlah, aku akan pulang saja,” kata Gi-lim. “Nenek, bila engkau bicara pada orang lain tentang Lenghou-toako ingin mengawini aku segala, bisa jadi aku tidak... tidak mau hidup lagi.”

“Apa sebabnya? Dia memang ingin mengawinimu, masakah kau tidak suka malah?” tanya si nenek.

“Tidak, tidak!” jawab Gi-lim. “Hatiku senantiasa memikirkan dia, aku selalu berdoa agar dia diberkati hidup bahagia dan gembira, semoga dia bebas dari kesukaran dan lepas dari bencana, biar terkabul cita-citanya menjadi suami-istri dengan Yim-toasiocia. Mungkin engkau tidak paham hatiku, Nenek, yang kuharapkan asalkan hati Lenghou-toako merasa senang, mereka bahagia, maka aku pun akan merasa senang dan bahagia.”

“Jika dia tidak berhasil mengawinimu, maka dia pasti takkan senang dan tidak bahagia, menjadi manusia mungkin juga tiada artinya,” ujar si nenek.

“Ai, semuanya memang salahku, kukira engkau tidak dapat mendengar, maka banyak kuceritakan hal-hal mengenai Lenghou-toako,” kata Gi-lim. “Dia adalah pahlawan besar pada zaman kini, seorang kesatria pujaan, sebaliknya aku cuma seorang nikoh cilik yang tak berarti. Dia pernah bilang padaku bahwa setiap kali ketemu nikoh, bila judi pasti kalah. Melihat aku saja membuatnya sial, mana bisa dia mengawini aku malah? Aku sudah pasrahkan diriku ke dalam agama Buddha, aku harus menghilangkan segala pikiran keduniawian, aku tak dapat memikirkan hal-hal begitu lagi. Nenek, selanjutnya engkau jangan menyinggung-nyinggung lagi, seterusnya aku pun takkan... takkan menemuimu pula.”

Agaknya si nenek menjadi kelabakan, katanya, “Kau budak cilik ini memang aneh dan membingungkan. Lenghou Tiong sudah menjadi hwesio demi dirimu, dia sudah menyatakan harus mengawinimu, bila Buddha marah biarlah dia yang dimarahi.”

Gi-lim menghela napas, sahutnya, “Apakah mungkin dia punya jalan pikiran seperti ayahku? Tentu tidak. Ibuku cantik dan cerdik, perangainya halus orangnya ramah, boleh dikata wanita yang paling baik di dunia ini. Ayahku menjadi hwesio demi ibuku adalah pantas tapi aku... aku sedikit pun tak bisa memadai diri ibuku.”

Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, pikirnya, “Ibumu cantik cerdik, rasanya kurang tepat, perangainya halus, lebih-lebih tidak sesuai. Dibandingkan dirimu, harus dikatakan sedikit pun ibumu tak bisa memadaimu.”

Dalam pada itu terdengar si nenek lagi bertanya. “Dari mana kau dapat tahu?”

“Tentu saja tahu,” sahut Gi-lim. “Setiap kali Ayah bertemu dengan aku, beliau selalu bercerita tentang kebaikan Ibu, tentang budi pekerti Ibu yang halus, selamanya Ibu tidak pernah marah dan memaki orang, selama hidup Ibu tak pernah menyakiti orang, bahkan seekor semut pun tak pernah terinjak olehnya. Katanya biarpun seluruh wanita baik di dunia ini bergabung menjadi satu juga tak bisa membandingi ibuku seorang.”

“Be... betulkah dia berkata demikian? Ah... mungkin... mungkin pura-pura saja,” kata si nenek dengan suara rada gemetar, suatu tanda perasaannya rada terguncang.

“Sudah tentu betul,” sahut Gi-lim. “Aku adalah anak perempuannya, masakah Ayah mendustai diriku?”

Seketika suasana di Leng-kui-kok itu menjadi sunyi senyap, agaknya nenek itu tenggelam dalam lamunannya.

“Nenek, aku akan pulang,” kata Gi-lim kemudian. “Selanjutnya aku takkan menemui Lenghou-toako lagi, hanya setiap hari aku berdoa semoga Dewi Koan-im suka memberkahi dia.”

Lalu terdengar suara tindakan perlahan turun ke bawah.

Agak lama berselang barulah si nenek seperti tersadar dari impian, terdengar ia bergumam perlahan, “Masakah dia mengatakan aku adalah wanita paling baik di dunia ini? Dia telah menjelajahi segenap pelosok dunia ini untuk mencari aku? Jika begitu, dia bukan lagi manusia yang tak berperasaan, bukan orang yang doyan perempuan?”

Sekonyong-konyong ia berseru keras-keras, “Gi-lim, Gi-lim! Di mana kau?”

Namun Gi-lim sudah pergi jauh. Nenek itu berteriak lagi beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, segera ia berlari-lari ke bawah loteng.

Dia lari dengan tergesa-gesa dan cepat, tapi suara tindakannya tetap perlahan sekali, hampir-hampir tak terdengar, suatu tanda ginkangnya memang luar biasa.

Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, seketika macam-macam pikiran berkecamuk dalam benak mereka. Sinar sang surya memancar tiba melalui jendela, pisau cukur yang tajam itu berkelip-kelip kemilauan. Diam-diam Lenghou Tiong merasa bersyukur bahwa bencana yang mengancamnya tadi ternyata telah terhindar secara begitu saja.

Bab 132. Antara Mati dan Hidup

Tiba-tiba terdengar di bawah Sian-kong-si itu ada suara orang bicara, cuma jaraknya jauh maka tak jelas terdengar. Selang sejenak, terdengar ada orang mendekati kuil itu.

“Ada orang datang!” seru Lenghou Tiong. Karena seruan ini barulah ia tahu hiat-to bisu yang tertutuk si nenek tadi kiranya sudah terlepas.

Di antara berbagai hiat-to di tubuh manusia, “ah-hiat” atau hiat-to bisu adalah hiat-to yang paling cetek, dasar tenaga dalamnya jauh lebih kuat daripada Ing-ing, maka dia dapat melepaskan diri lebih dulu dari tutukan itu.

Tertampak Ing-ing mengangguk perlahan. Segera Lenghou Tiong bermaksud menggerakkan tangan dan kaki, tapi ternyata belum dapat berkutik. Terpaksa ia berkata dengan suara tertahan, “Mungkin musuh, kita harus lekas melepaskan hiat-to yang tertutuk.”

Kembali Ing-ing mengangguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan. Dari suara di bawah itu agaknya ada tujuh atau delapan orang yang telah memasuki Sian-kong-si.

Lenghou Tiong pikir, “Semoga mereka naik ke Sin-coa-kok sebelah sana saja, semakin lama semakin ada harapan aku akan dapat membuka hiat-to sendiri.”

Akan tetapi harapan ternyata bertentangan dengan kenyataan, beberapa orang itu justru menaiki tangga yang menuju ke atas Leng-kui-kok.

Terdengar seorang di antaranya yang bersuara kasar sedang berkata, “Setan saja tidak ada di Sian-kong-si ini, apanya yang mesti dicari?”

Terang itulah suara Siu Siong-lian.

Keruan Lenghou Tiong terkejut dan heran, “Dia? Untuk apa dia mencari ke sini? Masakah gerakan mereka sudah berhasil?”

Menyusul terdengar Say-po Hwesio sedang berkata, “Perintah dari atasan, lebih baik kita menurut saja.”

Sembari bicara beberapa orang itu lantas naik ke tingkat kedua.

Sekuatnya Lenghou Tiong mengerahkan tenaga dalam untuk menerjang hiat-to yang tertutuk, akan tetapi tenaga dalamnya yang utama asalnya diperoleh dari orang lain, meski tenaga dalamnya sangat kuat, namun tidak lama dan tidak dapat digunakan secara leluasa, semakin terburu-buru, semakin macet.

Dalam pada itu terdengar Giam Sam-seng lagi berkata, “Gak-siansing mengatakan bila kita sudah berhasil, beliau akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita, kulihat ucapannya ini sukar dipercaya. Coba pikir, orang yang berjuang ke Hing-san sini tak terhitung banyaknya, kita juga belum berjasa apa-apa, mengapa Gak-siansing melulu berjanji akan menurunkan kiam-hoat itu kepada kita?”

Tengah bicara beberapa orang di antaranya sudah sampai di tingkat ketiga, begitu pintu didorong, segera tertampak Lenghou Tiong dan Ing-ing dikerek di atas belandar dengan kaki tangan tertelikung. Berbareng mereka menjerit kaget tercampur heran.

“He, mengapa Yim-toasiocia berada di sini?” kata si licin Yu Siok. “O, ada lagi seorang hwesio.”

“Siapakah yang berani kurang ajar begini terhadap Yim-toasiocia?” seru Thio-hujin. Segera ia mendekati Ing-ing dan bermaksud melepaskan tali ikatannya.

“Jangan, tunggu dulu, Thio-hujin!” seru Yu Siok.

“Tunggu apa lagi?” tanya Thio-hujin.

“Biar kupikirkan dulu dengan lebih masak,” sahut Yu Siok. “Melihat gelagatnya, tampaknya Yim-siocia diringkus orang sehingga tak bisa berkutik, ini benar-benar aneh bin ajaib.”

“He, ini bukan hwesio, tapi dia adalah... adalah... Lenghou-ciangbun, Lenghou Tiong, Lenghou-kongcu adanya!” tiba-tiba Giok-leng Tojin berseru kaget.

Serentak orang-orang itu berpaling ke arah Lenghou Tiong, maka dia lantas dikenali seketika. Biasanya kedelapan orang itu sangat hormat dan segan terhadap Ing-ing, terhadap Lenghou Tiong juga sangat jeri, maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja, tiada seorang pun berani mengemukakan pendapat.

Sejenak lagi, mendadak Giam Sam-seng dan Siu Siong-lian bicara berbareng, “Ini dia, kita benar-benar berjasa besar!”

“Benar!” sambung Giok-leng Tojin. “Mereka hanya dapat membekuk beberapa orang nikoh cilik, buat apa? Dapat membekuk ketua Hing-san-pay barulah benar suatu jasa mahabesar.”

Thio-hujin yang telanjur mengulurkan tangan hendak membuka tali ringkusan Ing-ing tadi tidak lantas ditarik kembali tangannya, ia tanya, “Lantas bagaimana?”

Di bawah pengaruh wibawa Ing-ing, kedelapan orang itu merasa segan juga untuk tidak menolong melihat Ing-ing dalam keadaan begitu. Tapi mereka sama-sama mempunyai suatu pikiran pula, “Jika Yim-toasiocia dilepaskan, jangankan Lenghou Tiong tak bisa ditawan, bahkan jiwa kita ini akan segera melayang, lantas bagaimana baiknya?

Dengan cengar-cengir kemudian Yu Siok membuka suara, “Kata peribahasa, hati kecil bukan jantan, tidak kejam bukan laki-laki. Bukan jantan masih boleh juga, tidak menjadi laki-laki rasanya sayang, terlalu sayang!”

“Apakah kau maksudkan kesempatan ini harus kita gunakan untuk bereskan mereka, bunuh orang buat tutup mulut?” tanya Giok-leng Tojin.

“Bukan aku yang mengatakan, kaulah yang berkata demikian,” jawab Yu Siok.

Mendadak dengan suara bengis Thio-hujin menghardik, “Kita semua utang budi kepada Seng-koh, siapa yang berani kurang ajar terhadap beliau, akulah orang pertama yang tidak terima.”

“Bila kau lepaskan dia sekarang, apakah kau sangka dia mau terima kebaikanmu?” kata Siu Siong-lian. “Selain itu apakah dia mau membiarkan kita membekuk Lenghou Tiong?”

“Jelek-jelek kita juga pernah menggabungkan diri ke dalam Hing-san-pay, sekarang kita melawan dan memberontak kepada ketua sendiri, ini namanya khianat!” seru Thio-hujin, berbareng tangannya menjulur lagi hendak membuka ringkusan Ing-ing.

“Tunggu dulu!” bentak Siu Siong-lian dengan suara bengis.

“Kau bicara dengan membentak, memangnya kau hendak menggertak orang?” jawab Thio-hujin dengan gusar.

“Sret”, dengan cepat Siu Siong-lian mengeluarkan goloknya.

Namun gerakan Thio-hujin juga sangat sengit, tahu-tahu dia sudah melolos keluar belatinya, “sret-sret”, tali yang mengikat kaki dan tangan Ing-ing kena dipotong putus. Ia pikir ilmu silat Ing-ing sangat tinggi, semua orang yang berada sekarang ini bukan tandingannya, asalkan tali ringkusannya dilepaskan, biarpun ketujuh orang itu mengerubutnya sekaligus juga tidak perlu gentar.

Dalam pada itu Siu Siong-lian juga tidak tinggal diam, segera goloknya membacok ke arah Thio-hujin. Namun Thio-hujin juga tidak kurang cepatnya, “sret-sret” tiga kali, kontan ia desak Siu Siong-lian melangkah mundur lagi.

Melihat Ing-ing sudah terlepas dari ringkusan tali, orang-orang lain menjadi jeri dan sama mundur ke pinggir, segera mereka bermaksud melarikan diri. Tapi ketika melihat Ing-ing yang menggeletak itu tak bisa berkutik, tidak terus melompat bangun, barulah mereka tahu bahwa hiat-to nona masih tertutuk, serentak mereka melangkah maju lagi.

“Hehe, sebenarnya kita semua adalah sahabat baik, buat apa mesti main senjata segala, kan cuma bikin susah kedua pihak saja?” kata Yu Siok dengan cengar-cengir.

“Kalau hiat-to Nona Yim sudah terbuka, apakah jiwa kita dapat dipertahankan?” teriak Siong-lian. Habis berkata kembali ia menerjang Thio-hujin lagi.

Jangan dikira tubuh Siu Siong-lian itu tinggi besar, senjatanya juga berat, tapi di bawah serangan Thio-hujin dari jarak dekat thauto itu sedikit pun tidak lebih unggul dan berulang-ulang bahkan terdesak mundur.

“E-eh, jangan berkelahi, jangan berkelahi, ada urusan dibicarakan saja dengan baik-baik,” kata Yu Siok sambil tertawa dan mendekati kalangan dengan mengebas-ngebas kipasnya.

“Minggir sana! Jangan mengganggu orang!” bentak Siu Siong-lian.

“Baik, baik!” sahut Yu Siok dengan tetap tertawa, ia putar kembali, tapi sekonyong-konyong kipasnya bekerja, terdengar Thio-hujin menjerit ngeri, tahu-tahu kipas Yu Siok yang gagangnya terbuat dari baja itu telah menancap di tenggorokan nyonya malang itu.

“Ai, ai, sudah kukatakan kita semua adalah kawan sendiri dan buat apa main senjata, tapi kau tetap tidak menurut, bukankah terlalu mementingkan diri sendiri?” kata Yu Siok sambil menarik kipasnya, kontan darah segar menyembur keluar dari leher Thio-hujin.

Apa yang terjadi ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, Siu Siong-lian melompat mundur dengan terkejut sambil memaki, “Sontoloyo, kiranya anak kura-kura ini membantu aku.”

“Tidak bantu dirimu, apakah mesti bantu orang lain?” sahut Yu Siok dengan tertawa. Ia berpaling dan berkata kepada Ing-ing, “Yim-toasiocia, engkau adalah putri kesayangan Yim-kaucu. Kita semua segan padamu lantaran menghormati ayahmu. Tapi keseganan kita lebih banyak disebabkan kau memegang obat penawar pil maut yang pernah kami makan. Kalau obat pemunah itu diberikan kepada kami, maka Seng-koh macam dirimu menjadi tiada artinya lagi.”

“Benar, benar, ambil obat penawarnya dan bunuh dia!” seru keenam orang lain beramai-ramai.

“Tapi kita harus bersumpah dahulu barang siapa membocorkan peristiwa ini, biarlah dia akan mati membusuk oleh ratusan racun pil maut yang telah dimakannya,” kata Giok-leng Tojin.

Beberapa orang itu sudah tiada pilihan lain kecuali membunuh Ing-ing, cuma mereka memang sangat takut kepada Yim Ngo-heng, bila peristiwa ini diketahui ketua Mo-kau itu, betapa pun luasnya dunia ini rasanya akan sukar mendapatkan tempat sembunyi bagi mereka. Maka tanpa sangsi-sangsi lagi mereka lantas mengangkat sumpah.

Lenghou Tiong tahu bila sumpah mereka itu selesai, tentu Ing-ing akan segera dibunuh mereka. Cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk menerjang beberapa tempat hiat-to yang tertutuk, tapi ternyata tiada sesuatu tanda hiat-to bersangkutan akan lancar kembali. Keruan ia menjadi gelisah.

Ia coba memandang Ing-ing, dilihatnya si nona juga sedang memandangnya dengan penuh rasa mesra, sedikit pun tiada mengunjuk rasa khawatir dan gentar.

Legalah hati Lenghou Tiong, pikirnya, “Biarpun kami berdua akan mati, bahagia juga rasanya jika kami berdua dapat mati bersama pada saat dan tempat yang sama pula.”

“Ayolah, lekas turun tangan,” seru Siu Siong-lian kepada Yu Siok.

“Kukira lebih baik Siu-heng saja yang turun tangan, biasanya Siu-heng terkenal sigap dan tegas menghadapi setiap urusan, maka silakan engkau saja yang turun tangan,” kata Yu Siok.

“Bangsat, kau tidak turun tangan segera kubunuh kau,” damprat Siu Siong-lian.

“Kalau Siu-heng tidak berani, biar kita minta Giam-heng saja yang turun tangan,” ujar Yu Siok dengan tertawa.

“Nenekmu,” Siu Siong-lian memaki pula. “Mengapa aku tidak berani? Soalnya hari ini orang she Siu tidak ingin membunuh orang.”

“Sebenarnya siapa pun yang turun tangan adalah sama saja, kan tidak bakal ada orang yang membocorkan kejadian ini,” kata Giok-leng Tojin.

“Jika begitu, bagaimana kalau Giok-leng Toheng saja yang turun tangan?” ujar Say-po Hwesio.

“Ai, kenapa mesti ogah-ogahan begitu? Jika siapa pun tidak percaya kepada orang lain, marilah kita sama-sama lolos senjata dan berbareng kerjakan senjata kita pada tubuh Yim-toasiocia saja,” seru Giam Sam-seng.

Orang-orang ini adalah manusia jahat dan kejam, tapi juga pengecut. Pada saat menentukan untung-rugi bagi diri sendiri sedapat mungkin mereka ingin mengelakkan tanggung jawab kepada orang lain.

“Nanti dulu,” Yu Siok menyesal pula. “Biar kuambil dulu obat penawarnya.”

“Kenapa kau yang mengambilnya?” kata Siu Siong-lian. “Setelah kau ambil tentu kau akan menggunakan obat pemunah itu sebagai alat pemerasan terhadap teman-teman lain. Biar aku saja yang ambil.”

“Kau yang ambil? Lalu siapa yang percaya kau takkan memeras teman lain?” sahut Yu Siok tak terima.

“Sudahlah, jangan buang-buang waktu lagi!” seru Giok-leng Tojin. “Bila terlalu lama, jangan-jangan dia punya hiat-to terbuka sendiri, kan urusan bisa runyam. Paling perlu binasakan dia dahulu baru nanti membagi obat penawarnya.”

“Sret”, segera Giok-leng mendahului lolos pedang, yang lain beramai-ramai juga lantas siapkan senjata masing-masing dan merubung di sekitar Ing-ing.

Melihat ajal sudah tiba, dengan mata tanpa berkedip Ing-ing memandang Lenghou Tiong, teringat saat-saat bahagia selama berdampingan dengan pemuda itu, tersembul senyuman mesra pada wajahnya.

“Sekarang aku akan menyebut satu-dua-tiga lalu kita turun tangan bersama!” seru Giam Sam-seng. “Nah, mulai! Satu... dua... tiga!”

Begitu kata-kata tiga diucapkan, serentak tujuh bentuk senjata menyambar ke arah tubuh Ing-ing sekaligus. Siapa duga, di tengah gemerlapnya sinar pedang dan golok, ketujuh senjata itu tanpa komando serentak berhenti di depan badan Ing-ing dalam jarak kira-kira belasan senti.

“Pengecut!” omel Siu Siong-lian. “Kenapa tidak diteruskan? Huh, selalu ingin orang lain yang membunuh agar diri sendiri tidak menanggung dosanya.”

“Dan kau sendiri juga kenapa begitu?” jawab Say-po Hwesio. “Golokmu juga berhenti setengah jalan, kenapa tidak hinggap di tubuh Yim-siocia jika kau memang pemberani?”

Kiranya ketujuh orang itu sama-sama punya pikiran busuk, berjiwa licik. Setiap orang mengharapkan orang lain yang membunuh Ing-ing agar senjata sendiri tidak perlu bernoda darah. Soalnya memang tidaklah mudah bila mendadak mereka disuruh membunuh seorang yang selama ini sangat dihormat dan ditakuti seperti Ing-ing.

“Baiklah, kita ulangi kembali!” seru Siu Siong-lian. “Sekali ini kalau ada yang menahan senjata, maka dia adalah bangsat anak lonte, anjing, babi! Nah, aku yang memberi komando. Satu... dua... tiga....”

Belum lagi kata “tiga” disebut, mendadak Lenghou Tiong berseru, “Pi-sia-kiam-hoat!”

Serentak ketujuh orang itu menoleh demi mendengar istilah itu. Ada empat di antaranya lantas tanya berbareng, “Kau bilang apa?”

Memang maksud tujuan kedatangan mereka ini yang diharap tiada lain adalah Pi-sia-kiam-boh, kitab rahasia pelajaran Pi-sia-kiam-hoat.

Bahwasanya Gak Put-kun membutakan Co Leng-tan dengan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini telah menggemparkan dunia persilatan, hal ini pula membikin ketujuh orang ini kagum tak terhingga. Maka demi mendengar nama ilmu pedang itu, serentak mereka melenggong.

“Pi-sia-kiam-hoat, ilmu pedang mahaagung. Latih dulu kiam-khi, lalu latih kiam-sin. Khi dan sin sudah kuat, ilmu pedangnya akan sempurna dengan sendirinya. Cara bagaimana menimbulkan kiam-khi (kekuatan pedang), cara bagaimana melahirkan kiam-sin (kesaktian pedang)? Rahasia keajaibannya boleh dicari di dalam kitab ini,” demikian Lenghou Tiong bergumam sendiri pula.

Setiap ia menyebut satu kalimat, serentak ketujuh orang itu menggeser langkah ke arahnya, selesai dia menyebut enam-tujuh kalimat, tahu-tahu ketujuh orang itu sudah meninggalkan Ing-ing dan kini sudah mengitari Lenghou Tiong malah.

“Apakah ini... ini yang terdapat di dalam Pi-sia-kiam-boh?” tanya Siu Siong-lian ketika Lenghou Tiong tidak melanjutkan lagi uraiannya.

“Bukan Pi-sia-kiam-boh, memangnya kau kira Sia-pi-kiam-boh?” sahut Lenghou Tiong.

“Coba uraikan lanjutannya,” pinta Siu Siong-lian.

Lenghou Tiong juga tidak menolak, segera ia menyebut lagi dua-tiga kalimat, tapi lantas berhenti.

“Ayo teruskan, teruskan!” desak Say-po Hwesio. Sedangkan Giok-leng Tojin tampak komat-kamit mengulangi kalimat yang disebut Lenghou Tiong itu, agaknya dia sedang menghafalkannya di luar kepala.

Padahal Lenghou Tiong belum pernah membaca isi Pi-sia-kiam-hoat, apa yang dia uraikan itu sama sekali bukan Pi-sia-kiam-hoat segala, melainkan beberapa kalimat kata pengantar Hoa-san-kiam-hoat, hanya saja dia sengaja mengubah beberapa kata-kata di antaranya. Tapi Siu Siong-lian dan lain-lain tidak pernah kenal Hoa-san-kiam-hoat, pula mereka memang sudah keranjingan Pi-sia-kiam-hoat, maka demi mendengar uraian Lenghou Tiong itu, seketika mereka tergila-gila dan ingin mengetahui lebih banyak.

Dengan sengaja Lenghou Tiong menjual murah kembali, ia menyebut lagi beberapa kalimat, sampai di sini ia mulai tahan harga. Ia pura-pura lupa, lalu berlagak mengingat-ingat, tapi tetap tak dapat menutur lebih lanjut.

“Di mana kiam-bohnya?” dengan tidak sabar Say-po Hwesio dan lain bertanya.

“Kiam-bohnya... yang pasti tidak berada padaku,” sahut Lenghou Tiong sambil pura-pura melirik sebagian perut sendiri. Keruan hal ini menimbulkan curiga orang banyak. Serentak dua buah tangan menggerayangi bajunya, yang satu adalah tangan Say-po Hwesio dan yang lain adalah tangan Siu Siong-lian.

Tapi sekonyong-konyong terdengar Say-po Hwesio dan Siu Siong-lian menjerit ngeri, kepala Say-po Hwesio yang gundul itu hancur luluh, otaknya muncrat, sedangkan punggung Siu Siong-lian tertembus pedang, ternyata mereka masing-masing telah kena dibereskan oleh Giam Sam-seng dan Giok-leng Tojin.

“Hm, dengan susah payah kita telah mencari kiam-bohnya, akhirnya diketemukan di sini, tapi kedua anak kura-kura ini bermaksud mengangkanginya, masa di dunia ini ada urusan begini enak?” kata Giam Sam-seng dengan tertawa dingin. Menyusul “blang-blang” dua kali, kontan ia tendang kedua sosok mayat itu hingga mencelat ke pinggir.

Tujuan Lenghou Tiong pura-pura menyebut Pi-sia-kiam-boh tadi adalah karena melihat Ing-ing dalam keadaan bahaya, sedapat mungkin ia mencari akal buat membelokkan perhatian orang-orang itu, dengan demikian dia berharap dapat mengulur waktu, syukur dalam pada itu hiat-to sendiri atau Ing-ing dapat dilancarkan kembali. Tak tersangka akalnya ternyata sangat manjur, bukan saja ketujuh orang itu dapat dipancing meninggalkan Ing-ing, bahkan mereka dipermainkan hingga saling membunuh, tujuh orang ini tinggal lima orang saja, tentu saja Lenghou Tiong sangat senang di dalam hati.

“Sabar dulu,” tiba-tiba Yu Siok menyela lagi. “Apakah kiam-boh ini benar berada pada Lenghou Tiong atau tidak belum tahu dengan pasti, sebab tiada seorang pun di antara kita yang melihatnya, tapi kita sendiri sudah saling ingin membunuh, bukankah akan merugikan....”

Belum habis ucapannya dia sudah dipelototi, Giam Sam-seng menegurnya pula, “Hm, kau anggap kami tidak sabar, kau merasa tidak senang, bukan? Barangkali kau ingin mengangkangi sendiri kiam-boh ini?”

“Mengangkangi sendiri sih tidak berani, siapa yang ingin meniru hwesio gundul yang kepalanya hancur ini, memangnya enak kalau begini?” sahut Yu Siok. “Soalnya kita mempunyai tujuan bersama, kiam-boh yang terkenal di seluruh jagat ini setiap orang tentu ingin melihatnya. Maka apa salahnya kalau kita miliki bersama?”

“Benar,” ujar Tong-pek-siang-ki. “Siapa pun tidak boleh mengangkangi, biarlah kita membacanya bersama nanti.”

Padahal di dalam hati setiap orang sama timbul hasrat untuk mengangkangi sendiri kiam-boh yang termasyhur itu. Soalnya keadaan tidak mengizinkan, asal seorang ingin mengangkangi, empat orang yang lain tentu akan mengerubutnya bersama, maka dapat diramalkan nasibnya pasti akan menuju ke akhirat.

Di antara kelima orang ini, Yu Siok dan Giok-leng Tojin termasuk orang yang lebih cerdik dan dapat berpikir, kedua orang ini mempunyai pikiran yang sama, yakni, “Biarlah aku tidak ikut turun tangan dan cuma tinggal menonton saja, paling baik kalau di antara mereka saling cekcok dan bunuh-membunuh, paling akhir barulah aku turun tangan, dengan demikian aku dapat mengeduk hasilnya dengan mudah.”

Tapi Giam Sam-seng ternyata tidak bodoh, katanya kepada Yu Siok, “Baiklah, biar kau saja yang mengambil kiam-boh itu dari baju orang she Lenghou.”

Namun Yu Siok menggeleng dengan tersenyum, “Tidak usah ya! Aku sekali-kali tidak punya niat mengangkangi sendiri kiam-boh itu, bahkan juga tidak punya hasrat akan membacanya paling dulu. Biar Giam-heng saja mengambilnya, nanti aku cuma numpang baca sedikit saja, rasanya sudah puas bagiku.”

“Jika begitu, kau saja yang mengambilnya,” kata Giam Sam-seng kepada Giok-leng.

“Kukira lebih baik Giam-heng sendiri saja,” jawab Giok-leng Tojin.

Ketika Giam Sam-seng memandang Tong-pek-siang-ki, ternyata kedua orang itu pun menggeleng kepala, suatu tanda mereka pun enggan.

Nyata kelima orang itu cukup menyadari siapa saja yang mengulur tangan ke dalam baju Lenghou Tiong hal ini berarti punggungnya tak terjaga, bila keempat orang lain serentak menyergapnya pasti sukar menyelamatkan diri.

Begitulah dengan suara gusar Giam Sam-seng lantas mengomel, “Hm, apa pikiran kalian berempat anak kura-kura ini memangnya aku tidak tahu? Kalian ingin aku mengambil kiam-bohnya, lalu kalian akan menyergap diriku. Hm, orang she Giam sekali-kali tidak sudi ditipu mentah-mentah. Orang she Yu, kau saja yang mengambilnya.”

Yu Siok mundur dua langkah, katanya dengan tertawa seraya kebas-kebas kipasnya, “Hehe, tidak usah ya...!”

Kelima orang sama tidak mau tertipu, satu sama lain tidak yakin akan dapat menang bila menggunakan kekerasan, maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja, keadaan menjadi buntu.

Lenghou Tiong khawatir perhatian kelima orang itu beralih pula kepada Ing-ing, maka ia coba membuka suara, “Eh, kalian tidak perlu terburu-buru, biar aku mengingat-ingatnya lagi. O, ya, kalau tidak keliru, beginilah kalimat selanjutnya: Pedang Pi-sia muncul, bunuh bersih habis-habisan, tidak habis makan sendiri... eh, keliru, tidak habis... tidak habis jual lagi... eh, keliru pula. Wah, konyol, isi kiam-boh ini memang terlalu dalam maknanya sehingga sukar dipahami.”

Padahal Lenghou Tiong sengaja mengoceh tak keruan, sebaliknya yang dipikir kelima orang itu hanya mendapatkan kiam-boh melulu, mereka tidak perhatikan ocehan Lenghou Tiong yang ngawur itu, sebaliknya mereka makin getol mendapatkan kitab yang diidam-idamkan itu.

Dengan tak sabar segera Giam Sam-seng mengangkat goloknya, lalu berseru, “Baiklah, biar aku yang mengambil kiam-boh itu dari baju bocah she Lenghou itu. Tapi untuk itu kalian berempat harus menyingkir keluar pintu sebagai jaminan keselamatanku.”

Tong-pek-siang-ki tanpa bicara terus mengundurkan diri keluar. Dengan cengar-cengir Yu Siok juga ikut jejak kedua kawannya itu. Hanya Giok-leng Tojin saja yang merasa sangsi dan cuma mundur dua-tiga langkah.

“Kau pun enyah keluar sana!” bentak Giam Sam-seng.

“Apa-apaan main bentak-bentakan? Memangnya aku gentar padamu? Mau keluar atau tidak kan bergantung padaku, dengan hak apa kau memerintah aku?” jawab Giok-leng dengan gusar. Tapi tidak urung ia pun mengundurkan diri ke luar pintu.

Begitulah dengan mata tanpa berkedip keempat orang itu terus mengawasi gerak-gerik Giam Sam-seng, mereka yakin berada di dalam Leng-kui-kok yang setengah terapung di udara itu tiada jalan lain untuk meloloskan diri kecuali melalui tangga yang menurun ke bawah itu, maka mereka tidak khawatir Giam Sam-seng akan kabur dengan menggondol kiam-boh yang diperolehnya.

Segera Giam Sam-seng berdiri mungkur, membelakangi Lenghou Tiong dan mengawasi keempat orang di luar pintu itu seakan-akan khawatir keempat teman itu serentak menyergapnya berbarengan. Dengan tangan kiri Giam Sam-seng menjulur ke belakang untuk menggagap saku baju Lenghou Tiong.

Akan tetapi meski sudah menggagap sini dan meraba sana, nyatanya tiada sesuatu benda apa pun yang disentuhnya. Ia masih penasaran, ia gunakan mulut untuk menggigit golok, tangan kiri digunakan mencengkeram dada Lenghou Tiong, tangan kanan terus menggagap pula saku pemuda itu.

Di luar dugaan, sedikit tangan kirinya mengeluarkan tenaga, seketika ia merasa tenaga dalam sendiri mengalir keluar melalui tangan kiri sendiri.

Ia terkejut dan lekas-lekas hendak menarik kembali tangannya, namun tangan itu seperti kena lem saja, melekat di tubuh Lenghou Tiong, betapa pun dibetot sukar lagi ditarik kembali.

Keruan ia tambah khawatir dan buru-buru mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menarik diri. Tapi lebih celaka lagi baginya, semakin kuat dia mengerahkan tenaga, semakin cepat dan deras pula tenaga dalamnya bocor keluar. Semakin dia meronta dengan mati-matian, semakin membanjir keluar tenaga dalamnya laksana air bah yang sukar dibendung.

Ketika Lenghou Tiong terkurung dalam penjara di bawah danau di Hangciu dahulu, tanpa sengaja dia pernah menyedot tenaga dalam Hek-pek-cu dengan Gip-sing-tay-hoat yang baru saja diyakinkannya. Kini pada detik yang berbahaya, kembali disaluri pula oleh tenaga dalam musuh, keruan ia sangat girang. Tapi dia sengaja berkata, “He, kenapa kau pencet nadi dadaku? Lekas lepaskan, biar kuuraikan kunci ilmu pedang itu padamu.”

Lalu ia pura-pura menggerakkan bibir seperti orang sedang bicara.

Melihat demikian, Giok-leng berempat yang siap di luar pintu itu mengira Lenghou Tiong benar-benar sedang menguraikan isi kiam-boh kepada Giam Sam-seng, mereka merasa akan rugi jika tidak ikut mendengarkan. Maka serentak mereka lari ke hadapan Lenghou Tiong.

“Ya, ya, buku itulah kiam-boh yang kau cari, keluarkan saja, biar dibaca orang banyak!” seru Lenghou Tiong sengaja. Padahal tangan Giam Sam-seng sudah melekat pada tubuhnya, mana bisa ditarik keluar.

Namun Giok-leng Tojin menyangka Giam Sam-seng benar-benar telah menemukan kiam-boh yang digagap dalam baju Lenghou Tiong. Disangkanya pula Giam Sam-seng tidak mau mengeluarkan kiam-boh yang ditemukan, tapi ingin mengangkanginya sendiri. Sudah tentu ia tidak tinggal diam, segera ia pun menjulurkan tangan ke dalam baju Lenghou Tiong, kontan tangannya juga lengket, tenaga dalamnya juga mengocor keluar dengan derasnya.

“He, he, kalian berdua jangan berebut, nanti kiam-boh bisa robek dan tak bisa dibaca lagi!” demikian Lenghou Tiong sengaja memberi isyarat, menyusul sinar kuning berkelebat, dua batang tongkat tembaga mengemplang dari atas. Tanpa ampun lagi, kepala Giam Sam-seng dan Giok-leng Tojin pecah berantakan, otak pun berceceran.

Begitu kedua orang itu mati, tenaga dalam mereka pun buyar, kedua tangan mereka yang lekat di tubuh Lenghou Tiong juga lantas terlepas, tergeletaklah mayat mereka berdua.

Sekonyong-konyong Lenghou Tiong mendapatkan saluran tenaga dalam orang, maka hiat-to yang tadinya tertutuk itu kena diterjang hingga tertembus dan lancar kembali seketika.

Betapa hebat tenaga dalam Lenghou Tiong yang sudah ada, sedikit menggunakan tenaga kontan tali yang mengikat tangannya lantas putus sendiri, segera ia pegang gagang pedangnya seraya berkata, “Ini kiam-bohnya berada di sini, siapakah yang mau ambil?”

Rupanya otak Tong-pek-siang-ki kurang cepat kerjanya, mereka belum mengetahui bahwa kedua tangan Lenghou Tiong sudah terlepas dari ringkusan, mereka menjadi girang malah ketika mendengar Lenghou Tiong menawarkan kiam-boh, tanpa pikir mereka terus mengulurkan tangan masing-masing untuk menerimanya.

Tapi mendadak sinar perak menyambar, bukannya kiam-boh yang diserahkan, sebaliknya terdengar suara “crat-cret” dua kali, tangan kanan masing-masing telah tertebas buntung sebatas pergelangan dan jatuh ke lantai. Keruan Tong-pek-siang-ki menjerit ngeri sambil melompat mundur.

Lenghou Tiong lantas mengerahkan tenaga pada kakinya sehingga tali pengikat kaki juga diputuskan, menyusul ia lantas melompat ke depan Ing-ing lalu berkata kepada Yu Siok, “Sekali ilmu pedang sudah manjur, serentak bunuh bersih habis-habisan! Nah, Yu-heng, itulah kalimat kunci Pi-sia-kiam-hoat, kau ingin membaca kiam-bohnya tidak?”

Bab 133. Ketololan Tho-kok-lak-sian dan Kedogolan Put-kay Hwesio

Betapa pun licik dan licin Yu Siok, tidak urung mukanya menjadi pucat seperti mayat, dengan suara gemetar ia menjawab, “Ter... terima kasih, aku tidak... tidak ingin membacanya!”

“Ah, jangan sungkan-sungkan, baca saja kan tidak apa-apa toh?” ujar Lenghou Tiong dengar tertawa. Berbareng ia tepuk-tepuk dan urut-urut punggung serta pinggang Ing-ing untuk membuka hiat-to si nona yang tertutuk.

Dengan badan gemetar Yu Siok berkata, “Lenghou... Lenghou-kongcu, Leng... Lenghou-tayhiap, engkau... engkau... engkau...” mendadak ia bertekuk lutut dan menyembah, lalu melanjutkan, “Siaujin (hamba) memang pantas dihukum mati, asalkan Seng... Seng-koh dan Ciangbunjin ada perintah, biarpun ke lautan api atau terjun air mendidih juga... juga hamba takkan menolak.”

“Kabarnya Tiau-yang-sin-kau ada obat yang enak sekali, setiap orang yang sudah makan obat itu akan selalu ketagihan,” dengan tertawa Lenghou Tiong meledek.

Berulang-ulang Yu Siok menjura, katanya, “Seng-koh dan Ciangbunjin mahabijaksana, Siaujin mohon ampun dan izinkan Siaujin menebus dosa dengan mengabdi segenap jiwa raga....”

Tiba-tiba Ing-ing melihat Tong-pek-siang-ki masih berdiri sejajar di situ, meski masing-masing orang sudah terkutung sebelah tangannya dan darah masih mengucur, namun tiada sedikit pun rasa gentar tertampak pada wajah mereka.

Ing-ing lantas bertanya, “Apakah kalian suami-istri?”

Tong-pek-siang-ki itu memang terdiri dari laki-perempuan, yang lelaki bernama Ciu Koh-tong, yang perempuan bernama Go Pek-eng, meski kedua orang resminya bukan suami-istri, tapi selama 20-an tahun mereka hidup bersama di dunia Kang-ouw, praktiknya adalah suami-istri.

Maka dengan ketus Ciu Koh-tong menjawab, “Kami telah jatuh di tanganmu, mau dibunuh atau hendak disembelih boleh silakan saja, buat apa banyak bertanya segala?”

Ing-ing sangat suka kepada sifatnya yang angkuh itu, dengan dingin ia berkata pula, “Aku tanya kalian apakah suami-istri bukan?”

“Kami bukan suami-istri nikah, tapi selama 20-an tahun kami hidup lebih bahagia daripada suami-istri resmi,” sahut Go Pek-eng.

“Di antara kalian berdua hanya seorang saja yang jiwanya dapat diampuni,” kata Ing-ing. “Kalian masing-masing sudah cacat sebelah tangan dan akan...” teringat kepada ayah sendiri juga buta sebelah, ia tidak melanjutkan lagi, setelah merandek sejenak barulah menyambung, “Nah, bolehlah kalian turun tangan membunuh salah seorang, sisa seorang lagi boleh pergi dengan bebas.”

“Baik,” seru Tong-pek-siang-ki berbareng, tongkat mereka bergerak, masing-masing mengemplang batok kepala sendiri.

“Nanti dulu!” seru Ing-ing sambil putar pedangnya, “trang-trang” dua kali, tongkat kedua orang kena ditangkis.

“Biar aku membunuh diri saja, Seng-koh sudah menyatakan akan membebaskan kau, kenapa kau tidak mau?” seru Ciu Koh-tong kepada kawannya.

“Aku saja yang mati dan biar kau yang hidup, kenapa mesti berebutan?” sahut Go Pek-eng.

“Bagus, cinta kalian memang teguh sejati, sungguh aku sangat menghargai kalian,” kata Ing-ing. “Nah, kalian tiada satu pun kubunuh, lekas kalian membalut tangan kalian yang buntung itu.”

Girang sekali Tong-pek-siang-ki, cepat mereka membuang tongkat masing-masing dan berusaha membalut tangan pihak lain.

“Tapi ada sesuatu, kalian harus melaksanakannya dengan taat,” kata Ing-ing pula.

Berbareng Tong-pek-siang-ki mengiakan.

“Begini,” kata Ing-ing, “setelah pergi dari sini, kalian harus segera mengadakan upacara nikah secara resmi. Kalian sudah hidup bersama, kalau tidak menikah secara resmi kan....” mestinya ia hendak mengatakan “kan tidak pantas”, tapi lantas teringat dirinya juga sudah sekian lamanya bergaul dengan Lenghou Tiong dan juga belum menikah secara resmi, maka wajahnya menjadi merah jengah.

Tong-pek-siang-ki saling pandang sekejap, lalu keduanya memberi hormat dan mengucapkan terima kasih.

“Dengan budi luhur Seng-koh kalian telah diampuni, bahkan mengingatkan kepentingan kehidupan kalian,” timbrung Yu Siok yang sok itu. “Sungguh rezeki kalian tidak kecil, memangnya aku sudah tahu Seng-koh sangat baik hati terhadap bawahannya.”

“Kedatangan kalian ke Hing-san ini sebenarnya atas perintah siapa dan ada rencana muslihat apa?” tanya Ing-ing.

“Hamba telah tertipu oleh si keparat anjing Gak Put-kun,” tutur Yu Siok. “Katanya dia mendapat titah Hek-bok-leng dari Yim-kaucu yang menugaskan dia menangkap segenap nikoh Hing-san-pay untuk digiring ke Hek-bok-keh.”

“Katanya usaha kalian berhasil?” tanya Ing-ing. “Sebenarnya bagaimana persoalannya?”

“Ada orang menaruh racun di dalam beberapa buah sumur di atas gunung sini sehingga tidak sedikit nikoh Hing-san-pay yang terbius itu,” tutur Yu Siok. “Banyak juga di antara anggota yang tinggal di paviliun ikut jatuh terbius. Saat ini sudah sebagian digiring menuju ke Hek-bok-keh.”

“Adakah orang-orang yang terbunuh?” tanya Lenghou Tiong.

“Beberapa anggota yang tinggal di paviliun sana telah menjadi korban, tapi... tapi mereka bukan teman Lenghou-tayhiap,” tutur Yu Siok.

Lenghou Tiong manggut-manggut merasa lega.

“Marilah kita turun dari sini,” ajak Ing-ing.

Lenghou Tiong mengiakan sambil menjemput pedang tinggalan Say-po Hwesio tadi, katanya dengan tertawa, “Bila ketemu perempuan galak itu harus coba-coba mengukur tenaganya.”

“Banyak terima kasih atas pengampunan Seng-koh dan Lenghou-tayhiap,” kata Yu Siok yang mengira dirinya tak dipersoalkan lagi.

“Ah, jangan rendah hati,” ujar Ing-ing, sekonyong-konyong pedang pendek di tangan kiri disambitkan “crat”, kontan menancap di dada Yu Siok, manusia yang selama hidupnya suka sok itu seketika melayang jiwanya.

Lenghou Tiong dan Ing-ing lalu turun dari loteng itu, suasana pegunungan sunyi senyap, hanya terdengar suara burung berkicau. Ing-ing mengikik tawa setelah melirik sekejap ke arah Lenghou Tiong.

“Mulai hari ini Lenghou Tiong sudah cukur rambut dan menjadi hwesio, sejak kini sudah meninggalkan khalayak ramai, maka di sinilah kita berpisah,” kata Lenghou Tiong sambil menghela napas.

Ing-ing tahu pemuda itu hanya bergurau saja, tapi karena cintanya yang mendalam, tanpa merasa hatinya tergetar khawatir, katanya, “Engkoh Tiong, janganlah kau bergurau se... secara begini, aku... aku....”

Lenghou Tiong menjadi terharu, ia pura-pura keplak kepala gundul sendiri dan berkata pula, “Tapi karena ada seorang istri cantik jelita demikian, si hwesio terpaksa kembali ke dunia ramai lagi.”

“Cis, marilah kita bicara hal yang penting saja,” omel Ing-ing dengan tertawa. “Menurut Yu Siok tadi, sebagian anak murid Hing-san-pay sudah digiring pergi, bila sampai di Hek-bok-keh tentu sukar untuk menolongnya, bahkan akan merusak hubungan baik antara aku dan Ayah....”

“Ya, bahkan lebih merusak hubungan baik antara aku sebagai menantu dengan bapak mertua,” sambung Lenghou Tiong.

Ing-ing melirik si pemuda, namun hatinya terasa manis sekali.

“Urusan jangan terlambat, marilah kita lekas menyusul ke sana untuk menolong para kawan,” ajak Lenghou Tiong.

“Ya, sapu bersih seluruhnya, jangan diberi sisa agar Ayah tidak tahu,” kata Ing-ing. Sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas.

Lenghou Tiong dapat memahami perasaannya, sebab urusan sepenting ini tentu tidaklah gampang mengelabui mata telinga Yim Ngo-heng, namun diri sendiri menjabat ketua Hing-san-pay, kini anak buahnya ditawan orang, masakan boleh tinggal diam tanpa menolongnya? Si nona memang sudah bertekad membela pihaknya, sekalipun melawan perintah ayah juga siap sedia.

Mengingat urusannya sudah lanjut begini, segala sesuatu harus ada suatu ketegasan juga, Lenghou Tiong lantas ulur tangan kiri untuk menggenggam erat-erat tangan kanan Ing-ing. Semula si nona hendak meronta, tapi melihat sekitarnya sepi tiada seorang lain pun, akhirnya diam saja membiarkan tangannya dipegang Lenghou Tiong.

“Ing-ing, aku paham perasaanmu,” kata Lenghou Tiong. “Urusan ini tentu akan membikin kalian anak dan ayah berselisih paham, sungguh aku merasa tidak enak di hati.”

“Jika Ayah memikirkan diriku tentu takkan turun tangan terhadap Hing-san-pay,” kata Ing-ing sambil menggeleng perlahan. “Menurut dugaanku, caranya menghadapi kau agaknya tiada bermaksud buruk.”

Seketika Lenghou Tiong dapat menangkap maksud ucapan Ing-ing itu, katanya, “Ya, agaknya ayahmu sengaja menangkap anak buahku sebagai alat pemeras agar aku masuk Tiau-yang-sin-kau.”

“Benar,” ujar Ing-ing. “Sesungguhnya Ayah sangat suka padamu, apalagi kau adalah satu-satunya ahli waris ilmu saktinya.”

“Aku sudah pasti tidak sudi masuk Sin-kau,” kata Lenghou Tiong. “Aku menjadi muak dan ngeri bila mendengar sanjung puji anggota Sin-kau kalian terhadap ayahmu.”

“Ya, aku tahu, makanya aku pun tak pernah membujuk kau masuk menjadi anggota,” kata Ing-ing. “Bila kau masuk Sin-kau, kelak engkau diangkat menjadi kaucu, siang-malam kau akan selalu mendengar ucapan sanjung puji yang membikin risi dirimu itu, maka sifatmu pasti juga akan berubah dan takkan seperti sekarang ini. Contohnya, sejak Ayah pulang kembali ke Hek-bok-keh, pribadinya sudah berubah dengan cepat.”

“Tapi kita pun tak boleh membikin marah pada ayahmu,” ujar Lenghou Tiong, berbareng ia genggam pula tangan kiri si nona, lalu menyambung, “Ing-ing, setelah kita bebaskan anak buah Hing-san-pay, segera kita melangsungkan pernikahan, kita tidak perlu gubris tentang keputusan orang tua, tentang perantara comblang segala. Biarlah kita berdua mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hidup mengasingkan diri takkan ikut campur urusan luar, yang kita utamakan melulu bikin anak saja.”

Semula Ing-ing mendengarkan dengan termangu, air mukanya bersemu merah, hatinya girang tak terkatakan. Tapi demi mendengar kata-kata terakhir, ia terkejut, sekuatnya ia meronta dan melepaskan kedua tangannya yang dipegang Lenghou Tiong itu.

“Setelah menjadi suami istri kan mesti punya anak?” dengan tertawa Lenghou Tiong menjelaskan.

“Jika engkau sembarang omong lagi, tiga hari aku takkan bicara dengan kau,” ancam Ing-ing.

Lenghou Tiong cukup kenal watak si nona yang berani berkata berani berbuat, maka terpaksa ia menjawab dengan menyengir, “Baiklah, urusan penting harus kita selesaikan dulu. Marilah kita coba menjenguk ke Kian-seng-hong sana.”

Dengan ginkang yang tinggi mereka lantas mendaki puncak gunung itu. Setiba di sana, ternyata kuil induk tiada seorang pun, tempat tinggal para anak murid juga kosong melompong, isi rumah berserakan di sana-sini, pedang golok juga tercecer tak keruan. Syukur tiada terdapat noda darah, agaknya tidak sampai jatuh korban.

Mereka coba ke paviliun di Thong-hoa-kok, di situ juga tiada seorang pun. Hanya di atas meja masih penuh macam-macam daharan dan arak. Seketika Lenghou Tiong ketagihan minum, tapi mana dia berani minum seceguk sisa arak itu? Katanya, “Perut sudah lapar, marilah kita tangsel perut dulu ke bawah gunung.”

Setiba di bawah gunung hari sudah jauh lewat tengah hari, di suatu rumah makan kecil mereka tangsel perut sekenyangnya. Ing-ing merobek sepotong kain baju Lenghou Tiong untuk membungkus kepalanya yang kelimis itu.

“Ya, harus begini, kalau tidak, wah, jangan-jangan disangka seorang hwesio menculik anak gadis orang,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

Begitulah mereka lantas berangkat ke arah Hek-bok-keh dengan cepat. Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba terdengar di balik gunung sana sayup-sayup ada suara orang membentak dan memaki, waktu mereka berhenti dan mendengarkan dengan cermat, kedengarannya adalah suara Tho-kok-lak-sian.

Cepat mereka menyusul ke arah suara itu, lambat laun suara-suara itu terdengar semakin jelas, memang betul adalah suara Tho-kok-lak-sian.

“Entah keenam mestika hidup ini sedang cekcok dengan siapa?” kata Ing-ing dengan suara tertahan.

Setelah membelok suatu tanah tanjakan, mereka lantas sembunyi di balik pohon, terdengar Tho-kok-lak-sian masih membentak-bentak sambil mengepung satu orang sedang bertempur dengan sengit. Orang itu bergerak dengan cepat luar biasa, hanya tertampak sesosok bayangan menyelinap kian-kemari di antara keenam lawannya. Ketika diperhatikan, kiranya adalah ibu Gi-lim, yaitu si nenek penjaga Sian-kong-si yang pura-pura bisu-tuli itu.

Sejenak kemudian, terdengar suara “plak-plok” beberapa kali, Tho-kin-sian dan Tho-sit-sian lantas berkaok-kaok, nyata masing-masing telah kena ditampar oleh si nenek.

Melihat si nenek, Lenghou Tiong menjadi girang, bisiknya kepada Ing-ing, “Ini namanya bayar kontan keras! Biarlah aku pun cukur bersih rambutnya,”

Segera ia bersiap-siap, bilamana Tho-kok-lak-sian kewalahan ia akan melompat keluar untuk membantu.

Dalam pada itu terdengar suara “plak-plok” berulang-ulang, keenam saudara dogol itu berturut-turut kena digampar oleh nenek itu. Tho-kok-lak-sian sangat murka, maksud mereka hendak memegang kaki dan tangan lawan agar dapat membesetnya menjadi empat potong.

Tapi gerakan si nenek memang cepat sekali laksana bayangan setan, beberapa kali tampaknya Tho-kok-lak-sian hampir berhasil pegang kaki atau tangannya, tapi selalu terpaut satu-dua senti dan si nenek keburu lolos. Habis itu kembali mereka kena tempelengan lagi.

Rupanya si nenek juga sadar akan kelihaian keenam lawannya, ia pun khawatir kehabisan tenaga dan akhirnya bisa tertangkap oleh lawannya.

Tidak lama kemudian, nenek itu merasa sukar memperoleh kemenangan, cepat ia membuka serangan pula “plak-plok-plak-plok”, berturut-turut ia gampar lagi muka empat lawannya, habis itu mendadak ia melompat ke belakang terus melarikan diri.

Gerak larinya benar-benar secepat kilat, hanya dalam sekejap saja sudah berada berpuluh meter jauhnya, biarpun Tho-kok-lak-sian membentak-bentak dan berkaok-kaok, namun sukar untuk menyusulnya.

Sekonyong-konyong Lenghou Tiong melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil melintangkan pedang dan membentak, “Lari ke mana?”

Sinar putih berkelebat, segera ujung pedang mengarah leher si nenek.

Karena serangan yang mengarah tempat mematikan itu, si nenek terkejut, dengan sebelah tangan ia coba mencengkeram pedang lawan. Namun Lenghou Tiong lantas miringkan pedangnya ke samping untuk menusuk bahu kanan si nenek. Dalam keadaan tak bisa berkelit lagi, terpaksa si nenek melompat mundur.

Tapi Lenghou Tiong lantas menusuk maju pula sehingga nenek itu terpaksa mundur lagi selangkah. Dengan pedang di tangan, jelas si nenek tak mampu menandinginya. “Sret-sret-sret”, kembali Lenghou Tiong mendesak mundur si nenek beberapa langkah. Kalau dia mau habiskan jiwanya, dengan gampang saja riwayat si nenek bisa ditamatkan.

Melihat itu, Tho-kok-lak-sian bersorak gembira, sementara itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah menuding di depan dada si nenek dan membuatnya tak berani bergerak lagi. Pada saat itulah Tho-kok-lak-sian terus memburu maju, empat orang di antaranya serentak memegang kedua kaki dan kedua tangan si nenek terus diangkat ke atas.

“Jangan mencelakai jiwanya!” bentak Lenghou Tiong.

Tapi Tho-hoa-sian masih penasaran, ia tampar sekali muka si nenek.

“Kerek saja dia!” seru Lenghou Tiong.

“Ya, benar, mana talinya?” seru Tho-kin-sian.

Tho-kok-lak-sian tidak satu pun membekal tali, di tengah hutan belukar juga sukar mencari tali, Tho-hoa-sian dan Tho-kan-sian berusaha mencari di sekitar situ, ketika mendadak pegangan mereka rada kendur, segera si nenek meronta melepaskan diri, ia menggelundung di atas tanah terus memberosot pergi.

Baru saja si nenek bermaksud melarikan diri sekencangnya, sekonyong-konyong punggung terasa tertusuk sesuatu yang tajam, terdengar Lenghou Tiong berkata dengan tertawa, “Berhenti!”

Nyata ujung pedangnya telah mengancam punggung si nenek.

Sama sekali si nenek tidak menyangka ilmu pedang Lenghou Tiong bisa sedemikian hebat, ia menjadi gentar dan terpaksa tidak berani bergerak.

Segera Tho-kok-lak-sian memburu maju, enam jari bekerja bersama, masing-masing menutuk satu tempat hiat-to di tubuh si nenek. Sambil meraba pipi yang bengep kena gambaran si nenek tadi segera Tho-kan-sian bermaksud balas menampar.

Lenghou Tiong merasa tidak enak hati bila ibu Gi-lim sampai teraniaya, cepat ia berseru, “Nanti dulu, biarlah kita kerek dia saja di atas pohon.”

Mendengar itu, Tho-kok-lak-sian sangat senang, tanpa disuruh lagi segera mereka mengelotoki kulit batang pohon untuk dipintal menjadi tali. Lalu Lenghou Tiong coba tanya mereka sebab musababnya mereka berkelahi dengan si nenek.

“Kami berenam sedang berak di sini, selagi menguras perut dengan senangnya, tiba-tiba perempuan ini berlari ke sini,” demikian Tho-ki-sian menutur. “Datang-datang perempuan ini terus bertanya, ‘Hai, apakah kalian melihat seorang nikoh cilik?’ – Bicaranya kasar, pula mengganggu isi perut kami yang hampir terkuras bersih....”

Mendengar penuturannya yang menjijikkan itu, Ing-ing mengerut kening dan berjalan menyingkir ke sana.

Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas berkata, “Ya, perempuan ini memang tidak kenal sopan santun pergaulan.”

“Sudah tentu kami tidak gubris padanya dan suruh dia lekas enyah,” Tho-ki-sian melanjutkan. “Tapi perempuan ini terus main pukul dan beginilah kami lantas berhantam dengan dia. Coba kalau Lenghou-hengte tidak lekas datang tentu dia sudah lolos.”

“Juga belum tentu mampu lolos dia,” sanggah Tho-hoa-sian. “Kita kan sengaja membiarkan dia lari beberapa langkah, lalu menyusulnya, supaya dia gembira sia-sia.”

“Ya, di bawah tangan Tho-kok-lak-sian tidak pernah terjadi musuh dapat lolos, kami pasti dapat membekuk dia kembali,” sambung Tho-sit-sian.

“Cara kami ini namanya kucing mempermainkan tikus,” Tho-kin-sian menambahkan.

Lenghou Tiong kenal watak mereka yang tidak mau kalah, betapa pun ingin menjaga gengsi. Maka ia pun tidak heran dan malah memuji akan kehebatan mereka.

Dalam pada itu tali sudah selesai dipintal dari kulit pohon, segera kaki dan tangan si nenek ditelikung dan diikat kencang, lalu dikerek di atas pohon.

Dengan pedangnya yang tajam Lenghou Tiong menebang dari atas batang pohon sehingga terpapas sepanjang dua-tiga meter, lalu dengan pedang ia gores beberapa huruf yang berbunyi: “Gentong cuka nomor satu di dunia ini.”

“Lenghou-hengte, mengapa perempuan ini disebut gentong cuka nomor satu di dunia? Apakah kepandaiannya minum cuka sangat hebat?” tanya Tho-kin-sian. “Ah, aku tidak percaya, boleh coba kita lepaskan dia, aku ingin berlomba dengan dia.”

“Minum cuka adalah kata olok-olok,” Lenghou Tiong menerangkan. “Kalian Tho-kok-lak-sian adalah pahlawan yang tiada bandingannya, perempuan itu mana sanggup menandingi kalian, buat apa berlomba apa segala.”

Dasar Tho-kok-lak-sian memang suka dipuji, keruan mereka menjadi senang, dengan tertawa gembira mereka mengiakan.

“Sekarang aku ingin tanya keenam Tho-heng,” kata Lenghou Tiong pula. “Sebenarnya kalian melihat Gi-lim Sumoay atau tidak?”

“Apakah kau maksudkan nikoh cilik jelita dari Hing-san-pay itu?” sahut Tho-ki-sian. “Nikoh cilik itu sih kami tidak lihat, tapi hwesio besar ada dua yang kami lihat.”

“Seorang adalah ayah si nikoh cilik dan satu lagi adalah muridnya,” sambung Tho-kok-lak-sian.

“Di mana mereka sekarang?” tanya Lenghou Tiong.

“Mereka sudah lewat ke sana kira-kira sejam yang lalu,” tutur Tho-yap-sian. “Mereka mengajak kami minum arak di kota depan sana, kami bilang habis berak segera menyusul. Siapa tahu perempuan ini keburu datang dan merecoki kami.”

Tiba-tiba hati Lenghou Tiong tergerak, katanya, “Baiklah, kalian boleh menyusul nanti, biar aku pergi ke sana dahulu.”

Ia tahu Ing-ing suka kepada kebersihan dan tidak ingin berada bersama keenam orang dogol itu, maka cepat ia mengajak Ing-ing berangkat.

“Kau tidak cukur rambut perempuan itu, tentunya karena kau mengingat diri Gi-lim Sumoaymu,” kata Ing-ing dengan tertawa. “Dan balas dendammu jadinya cuma terbalas tiga bagian saja.”

Setelah berjalan belasan li jauhnya, tibalah mereka di suatu kota yang cukup ramai, pada rumah makan kedua dapatlah diketemukan Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong sedang duduk menyanding daharan dan minuman. Melihat Lenghou Tiong dan Ing-ing, kedua orang itu berseru girang, cepat Put-kay menyuruh pelayan menambahkan daharan dan arak.

Ketika Lenghou Tiong tanya mereka ada kejadian apa, Dian Pek-kong lantas menutur, “Karena kejadian yang memalukan di Hing-san itu, aku minta Thaysuhu lekas-lekas pergi saja dari sana.”

Dari uraian Dian Pek-kong itu Lenghou Tiong menarik kesimpulan mereka berdua belum tahu tentang diculiknya anak murid Hing-san-pay. Untuk menyelamatkan anak murid Hing-san-pay tanpa diketahui oleh Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong pikir paling baik dirinya turun tangan secara diam-diam bersama Ing-ing, semakin sedikit diketahui orang luar semakin baik.

Maka ia lantas berkata kepada Put-kay, “Taysu, aku ingin minta bantuanmu untuk menyelesaikan sesuatu urusan, apakah kau mau?”

“Mau saja, lekas katakan,” sahut Put-kay.

“Tapi urusan ini perlu dirahasiakan, cucu-muridmu ini sekali-kali tidak boleh ikut campur,” kata Lenghou Tiong.

“Apa susahnya? Akan kusuruh dia menyingkir sejauh mungkin dan dilarang mengganggu urusanku, kan beres segalanya?” ujar Put-kay.

“Baiklah. Sekarang dengarkan, dari sini ke timur sana kira-kira belasan li jauhnya, pada sebatang pohon yang tinggi ada seorang teringkus dan dikerek tinggi di atas....”

“Keparat, kembali perbuatan bangsat piaraan biang anjing lagi,” kontan Put-kay memaki dengan gusar.

Lenghou Tiong meringis tanpa bisa berbuat apa, katanya dalam hati, “Buset, jadi di hadapanku kau memaki aku terang-terangan.”

Tapi ia lantas berkata pula kepada Put-kay, “Orang yang dikerek tinggi di atas pohon itu adalah temanku, aku minta bantuanmu agar pergi ke sana untuk menolongnya.”

“Apa susahnya untuk berbuat demikian?” ujar Put-kay. “Tapi mengapa kau sendiri tidak menolongnya?”

“Terus terang, temanku itu adalah seorang perempuan,” kata Lenghou Tiong dengan sengaja menahan suara sambil mengerotkan mulutnya ke arah Ing-ing, “Aku merasa tidak leluasa karena berada bersama Yim-siocia.”

“Hahahaha!” Put-kay bergelak tertawa. “Ya, ya, tahulah aku! Tentunya kau takut kalau-kalau Yim-toasiocia minum cuka (maksudnya cemburu).”

Ing-ing melotot sekejap kepada mereka berdua. Tapi dengan tertawa Lenghou Tiong berkata pula kepada Put-kay, “Justru perempuan itulah suka cemburuan. Dahulu suaminya cuma memandang sekejap saja kepada seorang nyonya dan memujinya sepatah tentang kecantikan nyonya itu, tapi perempuan itu lantas minggat tanpa pamit, akibatnya membikin susah suaminya mencari ke seluruh pelosok selama belasan tahun dan tetap tidak ketemu.”

Mendengar kata-kata Lenghou Tiong itu, makin melotot pula biji mata Put-kay, napasnya juga memburu, katanya dengan terputus-putus, “Apakah dia... dia... dia....” tapi tak sanggup dilanjutkannya.

“Kabarnya sampai sekarang suaminya masih terus mencarinya dan tetap belum bertemu,” sambung Lenghou Tiong.

Sampai di sini, tertampak Tho-kok-lak-sian naik ke atas loteng rumah makan itu dengan bersenda gurau. Tapi Put-kay seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka, kedua tangannya memegang erat-erat lengan Lenghou Tiong dan menegas, “Apakah ben... benar katamu ini?”

“Dia sendiri yang berkata padaku,” sahut Lenghou Tiong. “Katanya, biarpun suaminya berhasil menemukan dia, biarpun berlutut dan menyembah padanya juga dia tak mau berkumpul kembali dengan sang suami. Sebab itulah bila kau melepaskan dia, segera dia akan kabur. Gerak tubuh perempuan itu teramat cepat, hanya sekejap mata saja dia sudah lenyap.”

“Aku pasti takkan... takkan mengedip mata, pasti tidak,” ujar Put-kay.

Bab 134. Menyusuri Jejak Musuh

Kutanya dia pula mengapa tidak mau bertemu dengan suaminya, dia bilang suaminya adalah manusia paling tidak berperasaan di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan, biarpun bertemu kembali juga tiada gunanya.”

Mendadak Put-kay berteriak satu kali, segera ia putar tubuh hendak lari pergi. Namun Lenghou Tiong keburu menariknya dan membisikinya, “Akan kuajarkan suatu akal bagus padamu, tanggung dia takkan dapat melarikan diri.”

Put-kay terkejut dan bergirang, ia tertegun sejenak, mendadak ia berlutut dan menyembah beberapa kali kepada Lenghou Tiong sambil berkata, “Lenghou-hengte, o, tidak, Lenghou-ciangbun, Lenghou-kongkong, Lenghou-suhu, kumohon engkau lekas mengajarkan akal bagus itu kepadaku, biarlah aku meng... mengangkat kau sebagai guruku.”

“Ah, mana aku berani, lekas bangun!” sahut Lenghou Tiong dengan menahan geli. Lalu ia menarik bangun Put-kay sambil berbisik di tepi telinganya, “Nanti bila sudah kau turunkan dia dari atas pohon, jangan sekali-kali kau buka tali ringkusannya, lebih-lebih jangan membuka hiat-to yang tertutuk, tapi kau pondong dia ke suatu hotel, sewa satu kamar di situ. Nah, coba kau pikirkan sendiri, dengan cara bagaimana supaya seorang perempuan tidak berani lari keluar hotel?”

Put-kay menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala sendiri yang gundul, katanya, “Aku... aku tidak tahu.”

“Gampang saja,” kata Lenghou Tiong. “Belejeti pakaiannya. Dalam keadaan telanjang bulat masakah dia berani lari keluar?”

Put-kay menjadi girang, ia bertepuk tangan dan berseru, “Bagus! Akal bagus! Suhu, budi kebaikanmu....” tidak sampai habis ucapannya, terus saja ia melompat keluar melalui jendela dan lenyaplah dalam sekejap.

“Eh, sungguh aneh kelakuan hwesio gede itu? Mau apa dia pergi secara begitu terburu-buru?” kata Tho-kin-sian.

“Tentu dia kebelet berak, makanya terburu-buru,” kata Tho-kin-sian.

“Tapi kenapa dia menyembah kepada Lenghou-hengte dan memanggil suhu, padanya?” ujar Tho-hoa-sian. “Sudah tua begitu masakah berak saja perlu diajar oleh orang lain?”

“Berak ada sangkut paut apa dengan tua-mudanya usia?” bantah Tho-yap-sian. “Apakah anak umur tiga tahun bisa berak sendiri tanpa diajarkan orang tua?”

Ing-ing tahu pembicaraan keenam orang dogol itu makin lama tentu semakin tak keruan, maka ia lantas memberi isyarat kepada Lenghou Tiong dan meninggalkan rumah makan itu.

“Keenam Tho-heng,” seru Lenghou Tiong sebelum pergi, “biasanya kalian terkenal ahli minum arak tanpa ada tandingan, maka silakan kalian minum sepuas-puasnya di sini, aku sendiri tidak sanggup minum banyak-banyak, terpaksa berangkat lebih dulu.”

Karena dipuji sebagai ahli minum arak, Tho-kok-lak-sian menjadi senang, dalam anggapan mereka bila tidak minum habis beberapa guci rasanya akan berdosa kepada Lenghou Tiong yang telah memujinya. Maka beramai-ramai mereka menjawab, “Ya, kesanggupanmu minum arak tentu saja selisih jauh dengan kami. Baiklah, boleh kau berangkat dahulu, setelah kami kenyang minum segera kami menyusul.”

Lalu seorang lagi berteriak, “Hai, pelayan! Lekas bawakan enam guci arak enak!”

Begitulah, cukup Lenghou Tiong mengucapkan satu kalimat saja sudah dapat menghindarkan diri dari recokan keenam manusia dungu itu.

Setiba di luar rumah makan, dengan menahan tawa Ing-ing berkata kepada Lenghou Tiong, “Kau telah memulihkan hubungan suami istri orang, jasamu sungguh tak terbatas. Hanya saja cara yang kau ajarkan dia rasanya agak... agak....” sampai di sini mendadak wajahnya menjadi merah dan menunduk jengah.

Lenghou Tiong hanya memandangi si nona dengan tertawa tanpa buka suara.

Setelah keluar kota, sudah sekian jauhnya Lenghou Tiong masih tetap tersenyum saja sambil memandangi Ing-ing.

“Melihat apa? Apakah tidak kenal lagi padaku?” omel si nona.

“Aku lagi berpikir, perempuan itu pernah mengerek aku di atas pohon, maka satu dibalas satu, aku pun mengerek dia di atas pohon,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Dia mencukur rambutku, aku balas dia dengan menyuruh suaminya membelejeti dia hingga telanjang bulat, inilah satu lawan satu namanya.”

“Satu lawan satu katamu?” si nona menegas dengan melirik dan tersenyum.

“Ya, semoga Put-kay Taysu tidak sembrono dan tidak main kasar, semoga mereka suami-istri dapat berkumpul kembali dengan bahagia,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Tapi, awas, lain kali bila ketemu lagi dengan perempuan itu tentu kau boleh rasakan pembalasannya.”

“Aku membantu mereka suami-istri berkumpul kembali, dia justru harus berterima kasih padaku,” sahut Lenghou Tiong. Lalu ia pandang beberapa kejap lagi kepada Ing-ing sambil cengar-cengir, sikapnya sangat aneh.

“Apa yang kau tertawakan lagi?” tanya si nona.

“Aku pikir entah apa yang akan dikatakan Put-kay Taysu di dalam kamar hotel nanti,” sahut Lenghou Tiong.

“Tapi mengapa kau memandangi aku saja?” omel Ing-ing. Tiba-tiba ia dapat menangkap maksud Lenghou Tiong. Rupanya pemuda “bergajul” ini sedang membayangkan betapa suasana di kamar hotel di kala Put-kay Hwesio membelejeti pakaian istrinya hingga telanjang bulat. Pikirannya melayang ke kamar hotel, tapi yang dipandang adalah dirinya, maka dapat dibayangkan apa yang terpikir di dalam benak pemuda itu. Seketika wajah Ing-ing menjadi merah, segera ia hendak memukul Lenghou Tiong.

Cepat Lenghou Tiong mengegos, katanya dengan tertawa, “E-eh, bini pukul suami, ini namanya perempuan jahat!”

Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara-suara mendesing nyaring perlahan, Ing-ing kenal itu adalah suara suitan penghubung antara sesama anggota Tiau-yang-sin-kau.

Ing-ing memberi tanda kepada Lenghou Tiong dengan beberapa gerak tangan, lalu mengajaknya berlari ke arah datangnya suara suitan tadi.

Tidak jauh, tertampaklah seorang yang berdandan sebagai pelayan restoran berlari datang dari jurusan barat sana. Tempat sekitar situ cukup lapang, tiada tempat baik untuk bersembunyi. Orang itu rada tercengang ketika mendadak kepergok dengan Ing-ing.

Terpaksa orang itu memberi hormat kepada Ing-ing sambil menyapa, “Hu-hiangcu Ih Tiong dari Thian-hong-tong di dalam agama menyampaikan salam hormat kepada Seng-koh. Hidup Kaucu sepanjang masa, merajai Kang-ouw sampai akhir zaman!”

Ing-ing mengangguk. Menyusul tertampak dari arah timur sana muncul pula seorang tua yang pendek kecil, berbaju warna cokelat tua, dandanannya mirip hartawan kampungan. Dengan langkah cepat ia mendekati Ing-ing dan memberi hormat, katanya, “Cin Peng-hui menyampaikan sembah bakti kepada Seng-koh, semoga Seng-koh hidup bahagia.”

“Engkau juga berada di sini, Cin-tianglo?” tanya Ing-ing, ia kenal baik Cin Peng-hui sebagai satu di antara kesepuluh tianglo di dalam agama.

Dengan hormat Cin Peng-hui menjawab, “Hamba ditugaskan Kaucu mencari berita di sekitar sini. Ih-hiangcu, adakah sesuatu berita yang kau peroleh?”

“Lapor Seng-koh dan Cin-tianglo,” tutur Ih Tiong, “pagi ini hamba ketemu dengan rombongan Ko-san-pay yang berjumlah ratusan orang di bawah pimpinan putra Co Leng-tan yang bernama Co Hui-eng, katanya mereka menuju ke Hoa-san.”

“Jadi benar-benar mereka menuju ke Hoa-san?” Cin Peng-hui menegas.

“Ada urusan apa orang-orang Ko-san-pay pergi ke Hoa-san?” sela Ing-ing.

“Menurut berita yang diperoleh Kaucu, kabarnya sejak Gak Put-kun menjabat ketua Ngo-gak-pay lantas ada maksud memusuhi agama kita, akhir-akhir ini tampaknya sedang sibuk menghimpun anak murid dari Ngo-gak-kiam-pay untuk berkumpul di Hoa-san. Melihat gelagatnya ada kemungkinan mereka bermaksud menyerang Hek-bok-keh kita secara besar-besaran,” tutur Cin Peng-hui.

“Betulkah demikian?” ujar Ing-ing, ia merasa sangsi jangan-jangan Cin Peng-hui yang tua dan kecil-kecil licin ini sengaja mengelakkan tanggung jawab, padahal mungkin dia yang memimpin penangkapan anak murid Hing-san-pay. Hanya apa yang dikatakan Ih Tiong tampaknya bukan pura-pura, agaknya di dalam persoalan ini memang ada sesuatu persoalan. Segera Ing-ing berkata pula, “Lenghou-kongcu sendiri adalah ketua Hing-san-pay, mengapa dia tidak tahu-menahu tentang apa yang kau katakan tadi, sungguh aneh.”

“Hamba mendapat keterangan bahwa anak murid Thay-san dan Heng-san-pay sudah menuju ke Hoa-san, hanya pihak Hing-san-pay saja yang belum tampak bergerak,” tutur Cin Peng-hui. “Menurut perintah yang kuterima dari Hiang-cosu kemarin, katanya Pau-tianglo dengan anak buahnya sudah menyusup ke paviliun Hing-san untuk menyelidiki keadaan di sana, hamba diperintahnya menghubunginya di sekitar sini. Kini hamba sedang menunggu berita dari Pau-tianglo.”

Ing-ing saling pandang sekejap dengan Lenghou Tiong dengan rada sangsi, bahwasanya Pau-tianglo menyusup ke Hing-san memang tidak salah, Cin Peng-hui jelas tidak bohong dalam hal ini, lantas apa yang dia katakan tadi apa memang betul semua?

Cin Peng-hui lantas memberi hormat kepada Lenghou Tiong dan minta maaf, “Hamba hanya melaksanakan tugas saja, dari itu mohon Lenghou-ciangbun jangan marah.”

Lenghou Tiong membalas hormat dan berkata, “Tidak lama lagi aku dan Yim-siocia akan menikah....”

Mendengar itu, dengan muka merah Ing-ing sampai berseru kaget, ia tidak menyangka Lenghou Tiong akan mengumumkan hal demikian di depan orang lain, tapi ia pun tidak membantahnya.

Maka Lenghou Tiong lantas melanjutkan, “Karena itu, sebagai orang muda sudah tentu kami ikut bertanggung jawab terhadap perintah bapak mertua sebagaimana sedang dilaksanakan oleh Cin-tianglo sekarang.”

Dengan wajah gembira Cin Peng-hui dan Ih Tiong lantas mengucapkan selamat kepada Ing-ing dan Lenghou Tiong berdua. Dengan jengah Ing-ing berjalan menyingkir ke sana.

Lalu Cin Peng-hui menutur pula, “Sering Hiang-cosu memberi pesan kepada hamba dan Pau-tianglo agar jangan sekali-kali berlaku kasar terhadap anak murid Hing-san-pay, hanya boleh mencari berita saja, dilarang main kekerasan, maka hamba pasti akan menurut perintah dengan taat.”

Sekonyong-konyong di belakang sana suara seorang perempuan menyela dengan tertawa, “Ilmu pedang Lenghou-kongcu tiada tandingannya di dunia ini, bahwa Hiang-cosu suruh kalian jangan main kekerasan sebenarnya adalah demi keselamatan kalian sendiri.”

Waktu Lenghou Tiong memandang ke sana, dari semak-semak pohon sana muncul seorang perempuan, kiranya adalah Na Hong-hong, itu ketua Ngo-tok-kau yang cantik. “Eh, kiranya kau, Na-kaucu!” sapanya.

“Engkau baik-baik, Lenghou-kongcu,” Na Hong-hong juga menyampaikan salam kepada Lenghou Tiong. Habis itu mendadak ia berpaling kepada Cin Peng-hui dan menegur, “Jika kau ingin menyapa padaku lekas silakan, mengapa mesti pakai mengerut kening segala.”

“Ah, mana aku berani,” sahut Peng-hui. Ia tahu sekujur badan perempuan ini penuh benda berbisa, lebih baik jangan direcoki. Segera ia mendekat Ing-ing dan berkata, “Cara bagaimana hamba harus bertindak selanjutnya terhadap urusan di sini, mohon Seng-koh memberi petunjuk.”

“Lakukan saja sesuai perintah Kaucu,” sahut Ing-ing.

Cin Peng-hui mengiakan dengan hormat. Bersama Ih Tiong mereka lantas mohon diri.

Setelah ketua orang itu pergi, Na Hong-hong berkata kepada Lenghou Tiong, “Para nikoh Hing-san-pay telah dibekuk orang, mengapa kalian tidak lekas pergi menolongnya?”

“Kami baru saja menyusul dari Hing-san, sepanjang jalan tidak tampak jejak musuh,” kata Lenghou Tiong.

“Jalan ini bukan jurusan ke Hoa-san, kalian telah kesasar,” ujar Na Hong-hong.

“Ke Hoa-san?” Lenghou Tiong menegas. “Jadi mereka ditawan ke Hoa-san? Kau sendiri melihatnya?”

“Di paviliun Hing-san kemarin aku merasa air teh yang kuminum rada aneh, aku pun diam saja tanpa membongkar rasa curigaku itu, setelah orang-orang lain sama roboh aku pun pura-pura roboh tak sadarkan diri,” tutur Na Hong-hong.

“Ya, memangnya, main racun terhadap Na-kaucu dari Ngo-sian-kau sama saja main kapak dengan tukang kayu,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.

Na Hong-hong tertawa senang, katanya, “Keparat-keparat itu memang rada-rada tidak tahu adat bukan?”

“Dan tidak kau balas mereka dengan beberapa cekokan racun pula?” tanya Lenghou Tiong.

“Masakah aku sungkan-sungkan kepada mereka? Tentu saja aku balas mereka secara kontan,” sahut Na Hong-hong. “Eh, ada dua bangsat malah mengira aku benar-benar jatuh pingsan, mereka mendekati aku dan bermaksud main gila dan menggerayangi tubuhku, kontan mereka kubinasakan dengan racun. Sisanya menjadi ketakutan dan tidak berani mendekat, katanya aku sudah mati toh masih penuh racun.”

Habis berkata ia pun tertawa geli.

“Kemudian bagaimana?” tanya Lenghou Tiong.

“Untuk mengetahui permainan apa yang akan mereka lakukan, aku tetap pura-pura tidak sadarkan diri,” tutur Na Hong-hong. “Kemudian kawanan bangsat ini turun dari Kian-seng-hong dengan menculik satu rombongan nikoh cilik, kulihat yang mengepalai kawanan bangsat ini adalah suhumu, Gak-siansing. Lenghou-toako, tampaknya gurumu itu rada-rada tidak beres. Tempo hari waktu engkau menyelamatkan jiwaku di depan Siau-lim-si, jelas gurumu itu berhasrat membunuh kau. Kini engkau menjabat ketua Hing-san-pay, tapi dia malah memimpin anak buahnya datang ke sini dan sekaligus menangkap sekian banyak nikoh bawahanmu, caranya ini bukankah sengaja hendak memusuhi kau?”

Lenghou Tiong tidak menanggapinya, ia tahu Na Hong-hong adalah wanita suku Miau yang pada umumnya berwatak polos, lugu, apa yang ingin dikatakannya segera diucapkan tanpa pikir.

“Melihat perbuatannya itu sungguh aku sangat gemas,” tutur Na Hong-hong pula. “Pada waktu itu juga aku bermaksud meracun dia biar mampus. Tapi kemudian kupikir entah bagaimana pikiranmu terhadap gurumu itu, andaikan perlu mampuskan dia rasanya juga tidak perlu terburu-buru, setiap saat dapat kulaksanakan.”

“Kau selalu mengingat akan diriku, aku harus berterima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong.

“Ah, biasa,” ujar Na Hong-hong. “Kudengar pula percakapan mereka bahwa mumpung engkau tiada di atas Hing-san, maka mereka harus lekas-lekas pergi agar tidak kepergok olehmu bila engkau pulang. Tapi ada lagi yang berkata bahwa sayang engkau tiada di Hing-san, kalau ada dan sekaligus engkau ditawan pula, maka bereslah segala urusan. Huh, enak saja mereka bicara!”

“Aku selalu didampingi oleh adikmu ini, rasanya tidaklah gampang jika mereka hendak menangkap diriku,” kata Lenghou Tiong.

Na Hong-hong sangat senang, katanya dengan tertawa, “Boleh dikata beruntung bagi mereka, coba mereka berani mengganggu seujung rambutmu, hm, sedikitnya akan kuracun mampus mereka seratus orang.”

Lalu ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, “Yim-toasiocia, janganlah engkau minum cuka (maksudnya jangan cemburu), aku anggap Lenghou-toako seperti saudara sendiri saja.”

Wajah Ing-ing menjadi merah, ia pun tahu watak Na Hong-hong yang polos itu, dengan tersenyum ia menjawab, “Lenghou-kongcu sendiri sering bicara padaku tentang dirimu, katanya engkau sangat baik padanya.”

“Bagus sekali kalau begitu!” seru Na Hong-hong kegirangan. “Sebenarnya aku khawatir kalau-kalau dia tidak berani menyebut namaku di hadapanmu.”

“Katanya kau pura-pura tak sadarkan diri, tapi mengapa bisa lolos dari cengkeraman mereka?” tanya Ing-ing.

“Lantaran takut kepada tubuhku yang beracun mereka tiada seorang pun yang berani menyentuh diriku,” tutur Na Hong-hong pula. “Ada di antaranya menyarankan agar aku dibacok mati saja dengan golok, ada pula yang mengusulkan membunuh aku dengan senjata rahasia, akan tetapi di mulut mereka bicara demikian, namun tiada seorang pun yang berani turun tangan, lalu beramai-ramai mereka kabur. Aku telah mengikuti jejak rombongan mereka, setelah yakin mereka menuju ke jurusan Hoa-san, segera aku berusaha mencari Lenghou-toako untuk menyampaikan berita penting ini.”

“Sungguh aku harus berterima kasih padamu, kalau tidak ketemu kau, tentu kami akan kecelik menuju ke Hek-bok-keh,” kata Lenghou Tiong. “Sekarang urusan tidak boleh ditunda-tunda lagi, marilah kita lekas menyusul ke Hoa-san.”

Begitulah mereka bertiga lantas membelok ke barat dan melanjutkan perjalanan kilat, tapi sepanjang jalan ternyata tiada menampak sesuatu tanda yang mencurigakan.

Lenghou Tiong dan Ing-ing sama ragu-ragu dan heran, sepantasnya rombongan yang berjumlah ratusan orang sepanjang jalan tentu meninggalkan jejak, mustahil tiada orang yang melihatnya kecuali kalau jalan yang ditempuh bukanlah jalan ini.

Pada hari ketiga, di suatu rumah makan kecil diketemukan empat orang Heng-san-pay, yaitu murid angkatan kedua yang belum pernah ikut hadir dalam pertemuan di Ko-san, maka mereka tidak kenal Lenghou Tiong dan lain-lain, sebaliknya melihat dandanan mereka segera Lenghou Tiong kenal asal-usul mereka dan ternyata tujuan mereka memang pergi ke Hoa-san. Diam-diam Lenghou Tiong mengikuti percakapan mereka. Bahkan melihat kegembiraan mereka itu, agaknya di Hoa-san terdapat banyak harta karun yang sedang menunggu kedatangan mereka untuk mengambilnya.

Terdengar seorang di antaranya berkata, “Syukur Wi-suheng sangat baik hati dan sudi mengirim kabar kepada kita, untung juga kita berada di Holam sehingga masih sempat menyusul ke sana. Sedangkan para suheng dan sute yang berada di Heng-san tentu tidak beruntung seperti kita.”

“Tapi kita juga jangan gembira lebih dahulu, paling penting kita harus menyusul selekasnya ke sana,” demikian seorang lagi menanggapi. “Urusan demikian ini kukira setiap saat bisa terjadi perubahan.”

Lenghou Tiong menjadi sangat ingin tahu ada urusan apa yang begitu menarik sehingga keempat orang itu begitu berhasrat menuju ke Hoa-san secara terburu-buru, tapi keempat orang itu sama sekali tidak menyinggung soal yang dimaksudkan mereka itu.

“Apakah perlu robohkan mereka dengan racun untuk dimintai keterangan?” tanya Na Hong-hong kepada Lenghou Tiong.

Tapi mengingat kebaikan Bok-taysiansing, Lenghou Tiong merasa tidak pantas membikin susah anak muridnya, maka jawabnya, “Kukira kita tidak perlu ganggu mereka, asalkan kita lekas berangkat ke Hoa-san dan tentu akan mengetahui persoalannya.”

Na Hong-hong mengiakan, segera mereka melanjutkan perjalanan mendahului keempat murid Heng-san-pay itu.

Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kaki gunung Hoa-san. Saat itu hari sudah magrib, namun Lenghou Tiong yang dibesarkan di pegunungan itu sudah tentu sangat hafal keadaan setempat, katanya, “Marilah kita naik ke atas melalui jalan kecil di belakang gunung, tentu takkan ketemu orang lain.”

Hoa-san terkenal paling curam di antara kelima gunung (ngo-gak), jalan kecil di belakang gunung lebih-lebih terjal dan sukar didaki. Syukur ilmu silat ketiga orang sama-sama tinggi, tebing yang terjal bukan rintangan bagi mereka, walaupun begitu ketika mereka mencapai puncak Hoa-san tertinggi sementara itu pun sudah lewat tengah malam.

Lenghou Tiong membawa kedua temannya langsung menuju ke ruangan besar, keadaan di situ ternyata gelap gulita, mereka coba pasang kuping, keadaan pun sunyi senyap. Waktu mendatangi tempat tinggal para murid Hoa-san-pay, di situ juga kosong melompong. Ketika Lenghou Tiong menyalakan geretan api, kamar yang kosong itu penuh debu, beberapa kamar yang diperiksa semuanya serupa, hal ini menandakan anak murid Hoa-san-pay sudah lama tidak pulang ke Hoa-san.

Na Hong-hong menjadi kikuk karena tidak sesuai dengan laporannya, katanya, “Apa barangkali aku tertipu oleh kawanan bangsat itu? Mereka bilang datang ke Hoa-san sini, tapi sebenarnya menuju ke tempat lain?”

Lenghou Tiong juga merasa sangsi dan khawatir, teringat olehnya kejadian menyerbu Siau-lim-si dahulu, waktu itu mereka pun menyerbu tempat kosong, lalu menghadapi bahaya, jangan-jangan Gak Put-kun kembali menggunakan tipu muslihat lama itu? Tapi sekarang mereka hanya bertiga, umpama masuk perangkap juga gampang untuk meloloskan diri, yang dikhawatirkan adalah para anak murid Hing-san-pay itu, jangan-jangan mereka dikurung di suatu tempat yang dirahasiakan dan sukar lagi diketemukan mengingat sudah sekian hari mereka digiring kemari.

“Coba kita memencarkan diri untuk mencarinya, satu jam lagi kita berkumpul kembali di sini,” kata Na Hong-hong.

Lenghou Tiong setuju akan usul itu, ia pikir kepandaian menggunakan racun Na Hong-hong teramat lihai, tentu tiada seorang pun yang sanggup menghadapi dia, tapi ditambahkan pesan pula, “Orang lain tidak kau takuti, tapi bila ketemu guruku hendaklah kau hati-hati terhadap gerak pedangnya yang cepat luar biasa.”

Na Hong-hong menjadi terharu mendengar pesan yang penuh simpatik itu, jawabnya, “Baiklah Toako, aku tahu.”

Lalu ia keluar dari ruangan itu dan memisahkan diri.

Lenghou Tiong bersama Ing-ing memeriksa lagi ke beberapa tempat lain, sampai-sampai tempat tinggal pribadi Gak Put-kun di Thian-kim-kiap juga diselidiki, namun tetap tiada seorang pun diketemukan.

“Keadaan ini sungguh mengherankan,” kata Lenghou Tiong kepada Ing-ing, “biasanya kalau orang-orang Hoa-san-pay kami turun gunung, sedikitnya tertinggal beberapa orang sebagai penjaga rumah, mengapa sekarang tiada seorang pun yang tinggal di sini?”

Paling akhir mereka mendatangi tempat tinggal Gak Leng-sian yang terletak di sebelah Thian-kim-kiap, jadi berdampingan tidak jauh dari tempat tinggal Gak Put-kun.

Sampai di depan pintu, Lenghou Tiong menjadi terharu dan mencucurkan air mata mengenangkan masa kecilnya yang selalu bermain bersama sumoay cilik itu, namun sekarang sang sumoay sudah meninggal untuk selamanya.

Ia coba mendorong pintu, ternyata dipalang dari dalam. Ing-ing lantas melompati pagar dan membuka palang pintu. Mereka masuk ke ruangan dalam dan menyalakan lilin yang terdapat di atas meja. Keadaan ruangan kamar itu pun kosong melompong dan penuh debu, bahkan perabot yang pantas di kamar anak perempuan juga tiada terdapat satu pun. Padahal Siausumoay belum lama menikah dengan Lim-sute, apa barangkali mereka mempunyai kamar pengantin baru lain dan tidak tinggal lagi di sini? Demikian pikir Lenghou Tiong.

Ia coba periksa laci meja, di dalam laci banyak tersimpan mainan anak-anak sebangsa boneka, binatang-binatang kecil dari kayu, gundu, dan lain-lain, itulah mainan yang pernah mereka gunakan dahulu di waktu kecil, semuanya masih tersimpan baik-baik di situ. Lenghou Tiong menjadi pedih teringat kepada masa lalu dan masa kini, siausumoaynya kini sudah berada di alam baka, tanpa terasa ia mencucurkan air mata pula.

Agar Lenghou Tiong tidak lebih berduka, Ing-ing memadamkan api lilin dan mengajaknya keluar. Katanya kemudian, “Engkoh Tiong, di atas Hoa-san ini ada suatu tempat yang besar kepentingannya dalam hidupmu, maukah kau membawa aku ke sana?”

“O, yang kau maksudkan adalah Su-ko-keh (karang dosa),” kata Lenghou Tiong. “Baiklah, marilah kita ke sana.”

Segera ia mendahului jalan di depan dan menuju ke puncak karang, di mana dahulu ia pernah dihukum menyendiri oleh gurunya. Karena jalanan sudah hafal, meski letak puncak itu di belakang gunung dan jaraknya tidak dekat, namun tiada seberapa lama sampailah mereka di situ.

Setiba di atas puncak itu, sambil gandeng tangan Ing-ing berkatalah Lenghou Tiong, “Aku pernah tinggal di gua ini....” baru sekian bicaranya, tiba-tiba terdengar suara “creng-creng” dua kali, dari dalam gua mengumandangkan suara benturan senjata yang nyaring.

Keruan mereka terkejut, cepat mereka memburu ke depan gua, menyusul lantas terdengar jeritan orang, agaknya terluka, mereka kenal suara itu seperti suara Bok-taysiansing dari Heng-san-pay.

“Seperti suara Bok-supek, marilah kita lekas masuk melihatnya,” kata Lenghou Tiong.

Segera mereka melolos senjata dan berlari masuk ke dalam gua. Bagian depan gua tiada terdapat orang, tapi lorong yang menembus ke dalam gua sana tertampak ada cahaya api.

Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Bok-taysiansing, tanpa pikir Lenghou Tiong terus melompat ke dalam sana, tapi ia menjadi tertegun dan hati tergetar, tertampak di dalam gua itu terang benderang oleh berpuluh-puluh obor, sedikitnya ada ratusan orang sedang asyik memandangi gerak ilmu silat yang terukir di dinding gua itu. Karena asyik benar perhatian semua orang itu kepada ukiran di dinding sehingga suasana menjadi sunyi senyap.

Ketika mendengar jeritan ngeri Bok-taysiansing tadi, Lenghou Tiong dan Ing-ing membayangkan bila mereka menerjang ke dalam gua, keadaan di dalam gua yang akan mereka saksikan kalau tidak gelap gulita tentu adalah pertarungan mati-matian dan banjir darah. Siapa tahu sekarang keadaan di dalam gua ternyata terang benderang, bahkan penuh berdiri orang dan sedang memandangi ukiran dinding dengan asyiknya.

Bagian belakang gua itu agak luas, meski berdiri ratusan orang masih kelihatan ada tempat luang, hanya saja orang sebanyak itu berdiri bungkam sebagai mayat hidup, tampaknya menjadi seram.

Ing-ing coba berdiri merapat Lenghou Tiong. Melihat air muka si nona rada pucat dan menunjuk rasa takut, perlahan-lahan Lenghou Tiong merangkul pinggangnya.

Dari dandanan ratusan orang yang berbeda-beda itu, sedikit diperhatikan segera dapat diketahui mereka terdiri dari anak murid Ko-san-pay, Thay-san-pay, dan Heng-san-pay. Di antaranya adalah orang tua yang sudah beruban, ada pula orang muda yang masih gagah perkasa. Jelas banyak tokoh-tokoh terkemuka dari ketiga aliran itu pun ikut hadir di sini, hanya anak murid Hoa-san-pay dan Hing-san-pay tidak tampak berada di situ.

Sedikit memikir Lenghou Tiong lantas paham persoalannya. Orang-orang ketiga aliran itu sama-sama sedang memandangi ukiran dinding, tapi mereka berkelompok di antara golongannya sendiri-sendiri, tidak bercampur aduk. Orang Ko-san-pay memandangi gerak ilmu pedang Ko-san-kiam-hoat yang terukir di dinding, begitu pula orang-orang Thay-san-pay dan Heng-san-pay juga asyik mengikuti gerak tipu ilmu silat golongan masing-masing yang terukir itu.

Tiba-tiba Lenghou Tiong ingat kepada percakapan keempat murid Heng-san-pay yang diketemukan di rumah makan kecil dalam perjalanan itu, katanya mereka mendapat berita penting dan buru-buru menyusul ke Hoa-san sini, yang mereka maksudkan tentunya adalah berita tentang diketemukannya ilmu pedang mukjizat yang terukir di dinding gua Hoa-san ini.

Lenghou Tiong coba pandang sekeliling situ, ternyata tiada tampak Bok-taysiansing, di dalam gua juga tiada tanda-tanda baru terjadi pertarungan, akan tetapi suara benturan senjata dan jeritan ngeri tadi sekali-kali bukan salah dengar, jangan-jangan Bok-taysiansing dicelakai di bagian belakang gua sana?

Untuk mencapai jalan belakang gua harus menyusuri orang banyak itu, di antara orang-orang itu hanya orang-orang Heng-san-pay tidak bermusuhan dengan Lenghou Tiong, sedangkan orang-orang Thay-san-pay dan Ko-san-pay besar kemungkinan akan mempersulit padanya. Apalagi kalau Ing-ing dikenali mereka, tentu akan menimbulkan persoalan. Segera ia berkata kepada Ing-ing dengan suara tertahan, “Kau tunggu saja di sini, biar kumasuk ke sana untuk melihatnya.”

Ing-ing mengangguk. Meski suara Lenghou Tiong sangat perlahan, namun dalam suasana yang sunyi senyap itu suaranya tetap terdengar oleh orang lain, serentak beberapa orang menoleh dan melotot padanya. Namun orang-orang itu segera berpaling kembali untuk mengikuti ukiran di dinding pula, agaknya ajaran ilmu silat yang terukir itu besar sekali daya tariknya.

Dengan langkah perlahan Lenghou Tiong menyelinap di tengah orang banyak itu, semula ia pun kebat-kebit, khawatir timbul keonaran, tapi demi teringat bahwa ilmu silat yang terukir itu cukup dipahaminya, betapa pun juga bukan tandingan Tokko-kiu-kiam yang telah diyakinkannya dengan masak, segera semangatnya terbangkit, hatinya menjadi mantap dan melangkah maju dengan tabah.

Sekonyong-konyong terdengar seorang di belakangnya membentak, “Kau bukan murid Ko-san-pay, mengapa kau mengikuti ukiran dinding ini?”

Bab 135. Pergulatan Antara Mati dan Hidup di Dalam Gua

Waktu Lenghou Tiong berpaling, dilihatnya seorang tua berbaju kuning sedang melotot kepada seorang laki-laki jangkung pertengahan umur, bahkan sambil mengacungkan ujung pedangnya ke dada si jangkung.

Tapi si jangkung telah menjawab dengan tertawa, “Bilakah aku memandangi ukiran yang kau katakan itu?”

“Kau berani menyangkal?” damprat orang tua itu. “Mendingan jika kau cuma ingin mencuri ilmu pedang Ko-san-pay kami, tapi mengapa kau memandangi gerak tipu silat yang khusus digunakan untuk membobol ilmu pedang Ko-san-pay kami?”

Lenghou Tiong tahu dinding gua itu terukir macam-macam ilmu silat Ngo-gak-kiam-pay yang hebat, selain itu juga terukir cara mematahkan ilmu silat kelima aliran itu, yaitu ukiran yang sengaja dibuat oleh kesepuluh Mo-kau-tianglo (tokoh-tokoh tua Mo-kau), semuanya merupakan ilmu silat yang khas untuk mengalahkan ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay itu. Jadi kalau ada orang sengaja mengikuti ilmu silat yang khas untuk mengalahkan ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay itu, dengan sendirinya orang-orang kelima aliran itu tak bisa terima, termasuk di antaranya orang-orang Ko-san-pay.

Begitulah, karena bentakan orang tua itu, serentak beberapa orang Ko-san-pay yang lain mengepung si jangkung di tengah dengan senjata terhunus.

“Sama sekali aku tidak paham akan ilmu pedang kalian, andaikan aku memandang ukiran cara mengalahkan ilmu pedang kalian juga tiada gunanya,” demikian si jangkung berusaha membela diri.

“Pendek kata, dengan memandangi ukiran dinding ini tentu pula kau tidak punya niat baik,” kata kakek dengan bengis.

“Tapi ketua Ngo-gak-pay, Gak-siansing, telah sudi mengundang kita ke sini untuk memandang berbagai ilmu pedang yang terukir di dinding ini, beliau tidak pernah menetapkan bagian mana yang boleh dilihat dan bagian mana dilarang melihat,” sahut si jangkung dengan siap siaga.

“Jelas kau tidak punya maksud baik terhadap Ko-san-pay kami dan hal ini tak dapat kami biarkan,” kata si kakek.

“Ngo-gak-kiam-pay telah dilebur menjadi satu, yang ada kini hanya Ngo-gak-pay, mana ada Ko-san-pay pula?” sahut si jangkung dengan angkuh. “Bila Ngo-gak-kiam-pay tidak terlebur menjadi satu masakah Gak-siansing mengizinkan kita semua ini terobosan di dalam gua Hoa-san sini, apalagi untuk mendalami ilmu pedang yang terukir ini.”

Jawaban ini membikin si kakek menjadi bungkam. Mendadak seorang murid Ko-san-pay mendorong keras pundak belakang si jangkung sambil membentak, “Mulutmu memang pintar bicara ya?”

Sekonyong-konyong tangan si jangkung membalik sehingga pergelangan murid Ko-san-pay itu kena digaet terus disengkelit, kontan murid Ko-san-pay itu terbanting jatuh.

Pada saat itulah terdengar di tengah orang-orang Thay-san-pay juga ada orang membentak, “Siapa kau? Berani kau memakai serangan Thay-san-pay kami dan mencampurkan diri di sini untuk mencuri lihat Thay-san-kiam-hoat yang terukir di dinding ini?”

Menyusul itu tertampak seorang muda berbaju seragam Thay-san-pay berlari cepat keluar, namun segera ia diadang oleh seorang sambil membentak, “Berhenti! Siapa kau, berani kau mengacau di sini?”

Anak muda itu tidak menjawab, tapi pedangnya terus menusuk sambil menerjang ke depan. Tapi si pengadang mengegos sambil mencolok kedua mata lawan. Terpaksa si anak muda melompat mundur. Namun si pengadang lantas memburu maju, kembali tangannya menjulur ke depan untuk menyerang kedua mata lawan.

Lantaran diserang dari dekat, pedang si anak muda sukar digunakan menangkis, terpaksa ia melompat mundur lagi. Segera si pengadang menyapu dengan sebelah kakinya, untung si anak muda keburu meloncat ke atas. Tapi tidak urung dadanya terkena pukulan, “bluk”, kontan ia terguling dan muntah darah. Dari belakang dua murid Thay-san-pay telah memburu maju dan membekuknya.

Sementara itu di sebelah sana si jangkung sudah terkepung oleh empat-lima orang murid Ko-san-pay dan sedang diserang dengan gencar. Ilmu pedang si jangkung tampaknya sangat lihai, tapi jelas bukan orang dari Ngo-gak-kiam-pay.

Serentak beberapa orang Ko-san-pay yang menonton di pinggir berteriak, “Keparat ini bukan orang Ngo-gak-kiam-pay kita, tapi mata-mata musuh yang ikut menyusup ke sini.”

Karena terjadi pertempuran dua kelompok, seketika suasana di dalam gua yang tadinya sunyi senyap, berubah menjadi kacau-balau.

Dalam keadaan ribut itu Lenghou Tiong pikir adalah kesempatan baik baginya untuk mencari Bok-taysiansing. Segera ia menyelinap maju lagi ke lorong sana, tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang keras laksana gugur gunung dahsyatnya. Banyak orang sama menjerit kaget dan takut.

Lenghou Tiong terkejut, cepat ia putar balik, dilihatnya debu pasir bertebaran di dalam gua itu, ia tidak pikirkan buat mencari Bok-taysiansing lagi, tapi yang perlu segera didampingi adalah Ing-ing. Akan tetapi suasananya telah berubah menjadi kacau, orang-orang berlari serabutan, senjata menyambar tak kenal arah, yang kelihatan hanya debu pasir belaka, di mana Ing-ing waktu itu tak kelihatan lagi.

Sekuatnya Lenghou Tiong berdesak-desakan di tengah orang banyak, beberapa kali ia harus berkelit dan menghindari serangan senjata yang entah datang dari mana. Ketika ia dapat mencapai mulut gua, maka mengeluhlah dia, mulut gua itu sudah merapat tertutup oleh sepotong batu yang beratnya entah berapa puluh ribu kati, jadi pintu gua itu telah tersumbat menjadi buntu, sekilas itu ia tidak melihat sesuatu lubang keluar-masuk pada mulut gua tadi.

“Ing-ing! Ing-ing! Di mana kau?” seru Lenghou Tiong.

Sayup-sayup ia seperti mendengar Ing-ing menyahutnya satu kali di kejauhan, suaranya seperti datang dari ujung masuk lorong tadi, hanya saja sukar dibedakan dengan jelas karena terganggu oleh suara ribut beratus-ratus orang itu.

Ia merasa heran mengapa Ing-ing bisa berada di ujung lorong sana? Tapi setelah dipikir lagi segera ia pun paham duduknya perkara, tentunya waktu batu raksasa penyumbat gua itu dijatuhkan ke bawah, Ing-ing yang mestinya dapat melarikan diri tidak mau meninggalkan diriku. Ketika aku menerjang balik untuk mencarinya, dia juga menerjang ke sana untuk mencari aku.

Karena itu, segera Lenghou Tiong putar balik lagi ke mulut lorong belakang gua tadi.

Dalam keadaan kacau-balau karena jalan keluar tersumbat oleh batu raksasa, beberapa puluh obor yang berada di dalam gua tadi ada sebagian besar dibuang oleh yang memegang dan sebagian pula menjadi padam, ditambah lagi debu pasir memenuhi gua itu, pemandangan menjadi remang-remang seperti berkabut tebal.

“Gua tersumbat! Gua tersumbat!” demikian orang-orang itu berteriak khawatir beramai-ramai.

“Tentu tipu muslihat si keparat Gak Put-kun itu!” teriak pula seorang dengan murka.

“Benar!” seorang lagi menanggapi dengan mengertak gigi. “Bangsat itu memancing kita ke sini untuk melihat ilmu pedang neneknya....”

Begitulah beberapa puluh orang beramai-ramai hendak mendorong batu raksasa itu, tapi batu itu laksana sebuah bukit, sedikit pun tidak bergerak meski beberapa puluh orang itu mendorong sepenuh tenaga dan terkentut-kentut.

“Lekas! Lekas keluar melalui lorong belakang sana!” terdengar orang berteriak pula.

Sebelumnya memang sudah ada orang lain berpikir demikian, likuran orang sudah berbondong-bondong lari ke sana dan berjubel-jubel memenuhi ujung lorong bawah tanah itu. Padahal lorong yang digali oleh kapak salah seorang gembong Mo-kau yang terkurung di gua itu hanya tiba cukup dilalui satu orang saja, kini likuran orang berjubelan di situ dan berebut dulu, tentu saja sukar dimasuki lubang sekecil itu. Dan karena keributan itu, kembali belasan obor menjadi padam lagi.

Di tengah orang banyak itu ada dua laki-laki kekar telah mendesak maju sekuatnya dengan menyisihkan orang-orang lain, mereka terus menyusup maju ke mulut lorong. Tapi mulut lorong itu sangat sempit, lantaran kedua orang juga berebut duluan, “blang”, keduanya sama-sama benjut terbentur dinding, tiada seorang pun yang mampu masuk lubang lorong itu.

Tiba-tiba laki-laki sebelah kanan ayun tangannya, kontan laki-laki sebelah kiri menjerit ngeri, dadanya tertancap oleh sebilah belati, menyusul laki-laki sebelah kanan mendorongnya minggir, dengan cepat ia sendiri lantas menerobos ke dalam lubang itu disusul oleh yang lain-lain secara dorong-mendorong dan tarik-menarik, masing-masing sama berebut menyelamatkan diri lebih dulu.

Maklumlah, jalan keluar gua itu sudah tersumbat buntu, kini tinggal sebuah lubang penyelamat saja dan tiada jalan keluar lain, dengan sendirinya setiap orang ingin berusaha keluar lebih dulu dari gua maut itu. Biarpun di dinding gua itu terukir berbagai ilmu pedang yang bagus, tapi kalau mati konyol di dalam gua, betapa pun bagusnya ilmu silat itu juga tiada gunanya.

Tiba-tiba ada orang menjerit kaget, “Tulang orang mati! Tulang orang mati!”

Menyusul tangan seorang mengacungkan sekerat tulang paha orang mati, dalam keadaan remang-remang tampaknya menjadi seram dan mendirikan bulu roma.

Karena kehilangan Ing-ing, Lenghou Tiong sedang cemas dan khawatir, ketika mendengar teriakan orang itu, ia tahu tulang itu adalah kerangka tulang gembong-gembong Mo-kau yang mati di dalam gua itu. Terkilas suatu pikiran dalam benaknya, “Kesepuluh tokoh Mo-kau itu sia-sia saja memiliki ilmu silat setinggi langit, nyatanya mereka juga terjebak dan terkubur di dalam gua ini, jangan-jangan nasib buruk demikian juga akan menimpa diriku dan Ing-ing sekarang? Bila kejadian ini memang sengaja diatur oleh suhuku, maka jadinya benar-benar sangat berbahaya.”

Dilihatnya orang banyak sedang berdesakan di mulut lorong, saking gelisahnya mendadak timbul pikiran membunuh dalam benak Lenghou Tiong, pikirnya, “Orang-orang ini hanya menghalang-halangi saja, mereka harus dibinasakan semua barulah aku dan Ing-ing dapat lolos dengan selamat.”

Segera ia pegang pedang dan bermaksud membunuh orang yang paling dekat di sebelahnya, tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda menjambak-jambak rambut sendiri dengan badan gemetar dan muka pucat, tampaknya ketakutan setengah mati, seketika timbul pula rasa kasihan dalam benak Lenghou Tiong, pikirnya, “Aku dan dia adalah kawan senasib yang terjebak oleh perangkap musuh, seharusnya aku bahu-membahu bersama dia untuk mencari jalan keluar, mana boleh aku membunuh dia untuk mencari selamat sendiri?”

Karena itu pedang yang sudah dilolos setengah itu segera dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.

Dalam pada itu terdengar orang-orang itu sedang berteriak-teriak, “Hayo, lekas masuk ke sana, lekas!”

“He, kenapa diam saja, lekas merangkak ke depan!”

Lalu beberapa orang yang tidak sabar lantas mencaci maki, “Keparat, kenapa diam saja, apa kau sudah mampus di situ?”

“Tarik saja, tarik kembali saja!”

Ternyata laki-laki kekar tadi belum lagi menerobos masuk lubang lorong sejak tadi, kedua kakinya masih ketinggalan di sebelah kiri, agaknya dia juga menghadapi jalan buntu di sebelah sana, hanya saja tidak mau mundur kembali.

Dua orang yang berteriak-teriak tadi benar-benar tidak sabar lagi, mereka masing-masing membetot sebelah kaki laki-laki itu terus ditarik sekuatnya. Mendadak berpuluh orang menjerit berbareng, yang terbetot kembali ternyata sesosok tubuh yang sudah tak berkepala lagi, pada leher tubuh tak berkepala itu masih menyemburkan darah segar, kepala laki-laki kekar itu ternyata sudah dipenggal orang di dalam lorong sana.

Pada saat itulah Lenghou Tiong melihat di sudut gua sana berduduk satu orang, di bawah cahaya obor yang remang-remang samar-samar seperti Ing-ing adanya. Saking girangnya ia terus berlari ke sana, tapi baru beberapa langkah ia lantas tertumbuk pada gerombolan orang banyak. Sekuatnya Lenghou Tiong mendesak dan menghalau, namun keadaan orang-orang itu sudah panik dan kacau, mereka sudah kehilangan pikiran sehat, seperti orang kalap saja mereka menerjang kian-kemari tak menentu, ada yang putar senjatanya menyerang serabutan, ada yang berteriak-teriak seperti orang gila, ada yang bergumul tak mau lepas, ada yang merangkak-rangkak di atas tanah sambil mengerang-erang.

Baru saja Lenghou Tiong melangkah dua-tiga tindak lagi segera kedua kakinya kena dirangkul orang. Ia tabok satu kali di atas kepala orang itu, kontan orang itu menjerit kesakitan, tapi bukannya lepaskan rangkulannya, bahkan memeluk terlebih kencang.

“Lepaskan, kalau tidak segera kubunuh kau!” bentak Lenghou Tiong.

Tapi mendadak betisnya terasa sakit, rupanya digigit orang itu. Terkejut dan gusar pula Lenghou Tiong, dilihatnya keadaan orang-orang itu sudah seperti gila semua, obor di dalam gua semakin sedikit, kini tinggal dua batang obor saja yang masih menyala, malahan tidak dipegang orang, tapi jatuh di tanah.

“Ambil obor itu, ambil obor itu, lekas!” seru Lenghou Tiong.

Namun seorang tojin gemuk terbahak-bahak sambil angkat sebelah kakinya, kontan sebatang obor itu diinjaknya hingga padam. Tanpa pikir lagi Lenghou Tiong lolos pedangnya, sekali tebas ia bikin tubuh orang yang merangkul kedua kakinya itu kutung menjadi dua. Sekonyong-konyong pandangannya menjadi gelap, segala apa tidak tertampak lagi. Rupanya api obor yang terakhir kini pun sudah padam.

Begitu obor padam seluruhnya, suasana dalam gua seketika menjadi sunyi pula, semuanya kebingungan oleh perubahan yang mendadak ini, sekejap kemudian, kembali keributan terjadi, orang-orang itu berteriak-teriak dan menjerit-jerit laksana orang gila semua.

“Keadaan demikian jelas tiada harapan bisa keluar dengan hidup, syukurlah aku dapat mati bersama Ing-ing,” terpikir demikian, daripada takut, sebaliknya Lenghou Tiong menjadi senang malah, ia coba menggeremet maju menuju ke tempat Ing-ing tadi.

Tapi baru beberapa langkah, mendadak dari samping ada orang berlari dan menumbuknya dengan keras. Rupanya tenaga dalam orang itu sangat kuat, tumbukannya keras pula sehingga Lenghou Tiong keseruduk mundur dan hampir jatuh terduduk. Syukur ia masih keburu menahan tubuhnya dan memutar kembali, segera ia merembet lagi ke tempat Ing-ing berduduk tadi. Apa yang terdengar olehnya hanya suara jerit tangis dan bentakan melulu disertai suara nyaring benturan berpuluh senjata.

Dalam keadaan gelap gulita, semua orang menjadi bingung dan gelisah, hampir semuanya sudah setengah gila ingin mencari selamat sendiri-sendiri. Ada yang bisa berpikir panjang dan berhati sabar, tapi menghadapi sambaran senjata orang lain yang setiap saat bisa mampir di atas tubuhnya, maka terpaksa ia pun putar senjata untuk menjaga diri, jalan lain tidak ada kalau ingin selamat.

Dari itu yang terdengar hanya suara benturan senjata yang riuh dan jerit teriak ngeri tak terputus-putus, menyusul ada orang merintih kesakitan dan mencaci maki, terang banyak di antaranya telah terluka oleh serangan ngawur dari kawan sendiri.

Menghadapi keadaan begitu, biarpun ilmu pedang Lenghou Tiong lebih tinggi lagi juga tak berdaya, setiap saat ia pun dapat terluka oleh serangan yang sukar diketahui dari mana datangnya.

Tiba-tiba tergerak pikirannya, segera ia pun lolos pedang dan diputarnya dengan kencang untuk melindungi badan bagian atas, selangkah demi selangkah ia menggeser ke dinding gua, asalkan dinding gua bisa teraba, dengan jalan mepet dinding tentu akan banyak terhindar bahaya-bahaya yang mengancam. Orang yang dilihatnya seperti Ing-ing tadi berduduk di sudut sana, bila merembet dinding ke sana akhirnya tentu dapat bergabung lagi dengan si nona.

Dari tempat berdiri Lenghou Tiong itu ke dinding gua sebenarnya cuma belasan meter saja jaraknya, akan tetapi terhalang oleh lautan senjata itu terpaksa ia harus hati-hati kalau tidak mau lekas masuk kubur.

“Jika mati di bawah pedang seorang tokoh persilatan akan terasa rela dan berharga bagiku, tapi keadaan sekarang dapat mati secara mendadak tanpa diketahui siapa dan bagaimana caranya menyerang, bisa jadi yang membinasakan aku hanyalah seorang keroco kelas kambing dunia persilatan, sungguh, menghadapi keadaan demikian, sekalipun Tokko-tayhiap hidup kembali pasti juga akan mati kutu dan tak berdaya,” demikian pikir Lenghou Tiong.

Teringat kepada Tokko Kiu-pay, itu tokoh yang menciptakan Tokko-kiu-kiam, sembilan gerak tipu ilmu pedang yang mukjizat, seketika pikirannya menjadi terang, “Ya, keadaan sekarang hanya ada dua pilihan, aku terbunuh secara tak jelas siapa pembunuhnya atau aku juga membunuh orang lain secara ngawur. Lebih banyak seorang yang kubunuh berarti mengurangi bahaya yang mengancam jiwaku sendiri.”

Segera ia putar pedangnya, ia mainkan gerak tipu “Boh-ci-sik” (cara mematahkan serangan senjata rahasia) dari Tokko-kiu-kiam, berturut-turut ia menyabet ke kanan-kiri dan muka-belakang.

Gerak pedang “Boh-ci-sik” ini sedemikian tepat dan rapatnya, sekalipun terjadi hujan senjata rahasia juga sukar untuk mengenai tubuhnya.

Begitulah, sekali pedangnya bergerak, kontan beberapa orang di dekatnya menjerit, menyusul pedangnya terasa menusuk tubuh seorang pula, dari suara jeritannya yang tertahan kedengaran adalah suara orang perempuan.

Keruan Lenghou Tiong terkejut, tangannya menjadi lemas dan pedang hampir-hampir terlepas dari cekalan. “Jangan-jangan dia Ing-ing, apa barangkali aku telah membunuh Ing-ing!” demikian hatinya menjadi tidak tenteram. Segera ia berteriak, “Ing-ing, Ing-ing! Apakah kau ini?”

Akan tetapi perempuan itu sudah tak bersuara lagi. Sebenarnya Lenghou Tiong sangat hafal suaranya Ing-ing, apakah jeritan tertahan tadi suara Ing-ing atau bukan mestinya sangat gampang dibedakan. Tapi lantaran suasana di dalam gua sedemikian kacaunya, keadaan hiruk-pikuk dan riuh gemuruh, jeritan perempuan tadi juga sangat perlahan, saking cemasnya ia menjadi rada linglung dan merasa suara itu seperti suaranya Ing-ing.

Ia coba memanggil lagi beberapa kali dan tetap tidak mendapatkan jawaban, ia coba berjongkok untuk meraba lantai. Tak terduga, entah dari mana datangnya, sekonyong-konyong pantatnya kena ditendang orang. Kontan Lenghou Tiong mencelat ke sana, selagi tubuhnya terapung di udara, paha kiri terasa kesakitan pula, kembali kena disabet oleh ruyung seorang.

Dengan sebelah tangan mendekap kepalanya, “bluk”, tahu-tahu kepala membentur dinding batu, untung sebelumnya kepalanya telah dilindungi tangan, kalau tidak kepalanya bisa pecah. Walaupun begitu, baik kepala maupun tangan, paha dan pantat, semuanya kesakitan, tulang serasa retak.

Setelah tenangkan diri, kembali ia berseru memanggil, “Ing-ing! Ing-ing!”

Namun tiada sesuatu jawaban, sebaliknya suara sendiri kedengaran sudah serak seakan-akan suara orang merintih dan menangis tak berair mata.

Tak terkatakan rasa cemas dan sedihnya, mendadak ia berteriak, “Aku telah membunuh Ing-ing! Akulah yang membunuh Ing-ing!”

Dengan kalap ia putar pedangnya dan menerjang maju, kontan beberapa orang terguling menjadi korban.

Di tengah suara yang ribut itu, tiba-tiba terdengar suara “creng-creng” dua kali, suara kecapi yang nyaring. Meski suara kecapi itu sangat lirih, tapi dalam pendengaran Lenghou Tiong benar-benar menggetar sukma laksana halilintar menggelegar.

“Ing-ing! Ing-ing!” ia berteriak saking girangnya, karena dorongan hati itu, seketika ia bermaksud menerjang ke arah suara kecapi itu. Tapi segera ia menginsafi bahwa tempat suara kecapi itu jaraknya cukup jauh, untuk mendekati tempat yang berjarak belasan meter itu rasanya jauh lebih berbahaya daripada berkelana beribu-ribu li di dunia Kang-ouw.

Suara kecapi itu terang dipetik oleh Ing-ing. Kalau dia masih selamat, aku sendiri mana boleh menempuh bahaya dan mati konyol, bila kami berdua tak dapat mati bersama secara tangan bergandeng tangan, maka akan menyesal tak terhingga biarpun di akhirat nanti.

Segera Lenghou Tiong mundur dua tindak agar punggung mepet dinding, ia anggap tempat demikian jauh lebih aman daripada berdiri di tempat terbuka. Tiba-tiba terasa angin menyambar, ada orang putar senjata menerjang tiba. Tanpa pikir Lenghou Tiong menusuk dengan pedangnya, tapi baru pedangnya bergerak, ia merasa tindakannya itu keliru.

Maklumlah, letak intisari kelihaian Tokko-kiu-kiam dalam hal mengincar titik kelemahan silat musuh, di situ ada lubang segera dimasuki dan sekaligus mengalahkan lawan. Tapi kini dalam keadaan gelap gulita, tampang musuh saja tidak kelihatan, apalagi gerak serangannya, lebih-lebih mengenai titik kelemahannya, maka Tokko-kiu-kiam menjadi tiada gunanya dalam keadaan demikian.

Untung Lenghou Tiong dapat menyadari keadaan itu dengan cepat, begitu pedang bergerak segera ia mengegos pula ke samping. Benar juga, segera terdengar suara “krak” yang keras, menyusul terdengar suara benturan dan jeritan. Dapat diduga senjata penyerang itu lebih dulu menusuk dinding, senjata patah dan menancap di tubuh sendiri, lalu jatuh tersungkur.

Untuk sejenak Lenghou Tiong tertegun, ia menduga orang itu tentu sudah mati karena tiada mengeluarkan suara lagi. Pikirnya, “Dalam keadaan gelap gulita, betapa pun tinggi ilmu silatku juga tiada bedanya seperti jago silat kelas kambing. Terpaksa aku harus bersabar untuk menunggu kesempatan bergabung dengan Ing-ing.”

Sementara itu, suara sambaran senjata dan teriakan-teriakan sudah mulai banyak berkurang, tentunya dalam waktu singkat itu telah jatuh korban yang tidak sedikit. Ia coba putar pedang di depan untuk menjaga diri kalau-kalau mendadak diserang orang. Dalam pada itu suara kecapi tadi kedengaran timbul lagi lalu lenyap pula tanpa irama, kembali Lenghou Tiong merasa khawatir, jangan-jangan Ing-ing terluka atau pemetik kecapi itu bukan si nona?

Selang agak lama kemudian suara teriakan dan bentakan mulai mereda, hanya di atas lantai tidak sedikit orang yang merintih-rintih dan mencaci maki, terkadang juga masih ada suara benturan senjata dan suara bentakan, semuanya timbul dari tempat yang mepet dinding. Agaknya banyak pula yang berdiri mepet dinding sehingga dapat menyelamatkan diri, tentu orang-orang itu termasuk yang berilmu silat tinggi dan berotak cerdik.

“Ing-ing, di mana kau?” seru Lenghou Tiong.

Terdengar kecapi berbunyi di depan sana seperti memberi jawaban. Tanpa pikir Lenghou Tiong lantas melompat ke sana, ketika kaki kiri menyentuh tanah terasa menginjak sesuatu yang lunak, nyata tubuh seorang telah diinjaknya. Kontan angin tajam menyambar, senjata seorang telah menyerangnya.

Syukur tenaga dalam Lenghou Tiong sangat tinggi, meski tak tampak gaya serangan lawan, tapi dapat diketahui tepat pada waktunya sehingga dia keburu melompat kembali ke tempat semula. Pikirnya, “Di atas lantai penuh berbaring orang, ada yang sudah mati dan ada yang terluka parah, sukar untuk dilintasi begitu saja.”

Terdengar suara angin menyambar kian-kemari, rupanya orang-orang yang berdiri mepet dinding juga sedang memutar senjatanya untuk menjaga diri, dalam sekejap itu kembali ada beberapa orang menggeletak pula mati atau terluka.

Tiba-tiba terdengar suara seorang tua berseru, “Wahai kawan-kawan, dengarkan dulu kata-kataku! Kita terjebak oleh tipu muslihat Gak Put-kun, menghadapi bahaya ini kita harus bersatu untuk mencari selamat, tidak boleh memutar senjata dan saling bunuh sendiri!”

Serentak beberapa orang menanggapi, “Benar! Benar!”

Dari suara-suara itu Lenghou Tiong dapat mendengar orang-orang itu berdiri mepet dinding semua. Rupanya mereka bisa berpikir dengan tenang sehingga tidak menyerang secara ngawur lagi.

“Aku adalah Giok-ciong-cu dari Thay-san-pay,” demikian suara orang tua tadi berseru pula. “Sekarang diharap kawan-kawan simpan kembali senjata masing-masing, sekalipun tertubruk orang dalam kegelapan juga jangan main menyerang. Apakah kawan-kawan dapat memenuhi permintaanku ini?”

Serentak orang banyak menjawab, “Ya, dapat! Memang begitulah seharusnya!”

Lalu tak terdengar lagi suara bergeraknya senjata, menyusul terdengar suara senjata masing-masing dimasukkan ke sarungnya. Sejenak kemudian keadaan menjadi sunyi.

“Sekarang hendaklah kawan-kawan bersumpah bahwa kita takkan saling mencelakai di dalam gua ini, siapa yang melanggar sumpah tentu akan terkubur di sini,” seru Giok-ciong-cu pula. “Sebagai pelopor, aku Giok-ciong-cu dari Thay-san-pay mendahului bersumpah demikian.”

Segera orang-orang lain ikut bersumpah seperti Giok-ciong-cu. Pikir mereka, “Giok-ciong-cu ini sungguh pintar. Kalau kita bersatu padu mungkin masih ada harapan buat lolos dari sini, kalau tidak, tentu semuanya akan mati konyol di sini.”

Begitulah kemudian Giok-ciong-cu berseru pula, “Bagus dan terima kasih, kawan! Sekarang silakan memberitahukan nama masing-masing.”

“Aku si anu dari Heng-san-pay!” demikian seorang mendahului berteriak.

“Cayhe si itu dari Thay-san-pay!”

“Dan aku si ini dari Ko-san-pay!” begitulah masing-masing sama menyebut namanya sendiri-sendiri, ternyata semuanya adalah tokoh-tokoh terkemuka dari ketiga aliran besar itu.

Sesudah semua orang memperkenalkan diri, paling akhir Lenghou Tiong juga berseru, “Cayhe Lenghou Tiong dari Hing-san-pay!”

“Hah, kiranya ketua Hing-san-pay Lenghou-tayhiap juga berada di sini, sungguh baik sekali!” seru para kesatria itu dengan nada gembira dan terhibur.

Dalam kegelapan Lenghou Tiong hanya menyengir saja, pikirnya, “Aku sendiri ikut konyol, apanya yang baik sekali?”

Tapi ia pun paham bahwa para kesatria itu sangat kagum kepada ilmu silatnya yang tinggi, dengan ikut sertanya dia terkurung di situ akan berarti harapan untuk lolos menjadi lebih banyak.

Tiba-tiba Giok-ciong-cu bertanya, “Mohon tanya Lenghou-ciangbun, mengapa Hing-san-pay kalian hanya engkau sendiri yang datang ke sini?”

Rupanya ia menyangsikan Lenghou Tiong akan berbuat apa-apa yang merugikan mereka mengingat Lenghou Tiong berasal dari Hoa-san-pay dan bekas murid kesayangan Gak Put-kun. Apalagi ratusan orang yang terkurung di situ tiada anak murid Hoa-san-pay dan Hing-san-pay kecuali Lenghou Tiong seorang, hal ini mau tak mau menimbulkan curiga.

“Cayhe ada seorang teman...” sampai di sini ia berseru pula, “Ing....” tapi baru satu kata saja segera teringat olehnya bahwa Ing-ing adalah putri kesayangan Yim-kaucu dari Mo-kau yang selama ini dimusuhi oleh golongan lain yang menamakan dirinya cing-pay, maka sebaiknya sekarang jangan menimbulkan gara-gara lagi dalam persoalan ini.

“Adakah di antara kawan-kawan membawa geretan api? Harap nyalakan dulu obor!” seru Giok-ciong-cu.

“Betul, betul!” sorak orang banyak dengan gembira. “Ya, ya, mengapa kita menjadi pikun dan tidak pikirkan hal ini sejak tadi? Hayo lekas nyalakan obor!”

Padahal dalam kekacauan tadi yang terpikir oleh mereka hanya menyelamatkan diri sendiri, siapa yang punya kesempatan untuk menyalakan obor? Sebab begitu meleng tentu akan terbunuh oleh orang lain.

Segera terdengar suara “tek-tik-tek-tik” beberapa kali, ada orang sedang membuat api dengan batu, begitu api menyala, semua orang lantas bersorak gembira.

Sekilas pandang Lenghou Tiong melihat dinding gua itu penuh berdiri orang, semuanya berlepotan darah, ada sebagian masih menghunus senjata, rupanya orang-orang ini lebih suka berhati-hati daripada ambil risiko dibunuh orang, biarpun semua orang sudah bersumpah, tapi lebih baik menjaga segala kemungkinan.

Lenghou Tiong melangkah ke dinding sebelah depan sana dengan maksud hendak mencari Ing-ing. Pada saat itulah di tengah orang banyak itu mendadak ada orang membentak, “Mulai!”

Berbareng itu beberapa orang berpedang lantas menyerbu dari lorong gua sana.

“Hai, siapa itu?” teriak para kesatria sambil melolos senjata untuk melawan. Hanya beberapa gebrak saja keadaan kembali gelap gulita, api yang menyala tadi telah padam lagi.

Dengan suatu lompatan kilat Lenghou Tiong melayang ke dinding di depan sana, terasa dari sebelah kanan ada senjata menyerang tiba. Dalam kegelapan sukar untuk menangkis, terpaksa ia mendekam ke bawah. “Trang”, golok membacok di dinding.

Ia pikir penyerang itu belum tentu akan menyerangnya dengan sungguh-sungguh, tapi mungkin hanya untuk menjaga diri saja karena dia sendiri mendadak melompat tiba. Maka untuk sejenak ia mendekam di bawah tanpa bergerak. Setelah membacok beberapa kali tidak kena sasarannya, lalu orang itu pun berhenti.

Tiba-tiba terdengar pula seorang berseru memberi aba-aba, “Mampuskan semua kawanan anjing itu, satu pun jangan diberi hidup!”

Menyusul belasan suara mengiakan.

Bab 136. Matinya Co Leng-tan dan Lim Peng-ci

Menyusul pula beberapa orang berteriak, “He, itu suara Co Leng-tan! Ya, dia Co Leng-tan!”

“Suhu! Suhu! Tecu berada di sini!” demikian ada orang berseru, rupanya dia dari Ko-san-pay, anak-murid Co Leng-tan sendiri.

Dari suara orang yang memberi perintah tadi memang Lenghou Tiong juga dapat mengenalnya sebagai suaranya Co Leng-tan. Ia menjadi heran mengapa ketua Ko-san-pay yang sudah buta itu juga berada di dalam gua ini? Jika demikian, agaknya dialah yang memasang perangkap ini dan bukan guruku.

Demikianlah, meski beberapa kali Gak Put-kun bermaksud membunuhnya, tapi selama 20-an tahun ini hubungan guru dan murid yang menyerupai ayah dan anak kandung sendiri sudah mendarah daging dan terukir dalam-dalam di lubuk hatinya sehingga benar-benar sukar dihapuskan. Maka begitu terpikir bahwa tipu muslihat ini bukan dibuat oleh Gak Put-kun, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi senang dan terhibur, ia merasa kalau mesti mati di tangan Co Leng-tan akan beratus kali lebih menyenangkan daripada mati di tangan guru sendiri.

Dalam pada itu terdengar Co Leng-tan sedang menjawab dengan suara dingin, “Hm, kalian masih ada muka buat panggil suhu padaku? Tanpa permisi padaku kalian lantas datang ke Hoa-san sini, perbuatan kalian yang durhaka dan khianat ini mana dapat kuampuni, dalam perguruanku mana boleh ada murid murtad macam kalian?”

Seorang yang bersuara lantang lantas menjawab, “Suhu, ketika di tengah jalan Tecu mendengar kabar bahwa di gua Hoa-san ini ada ukiran jurus ilmu silat mukjizat dari golongan kita, Tecu khawatir bila pulang ke Ko-san dan lapor dahulu kepada Suhu tentu akan makan waktu terlalu banyak dan mungkin ukiran di dinding akan telanjur dihapus orang, sebab itulah Tecu cepat-cepat memburu ke sini. Maksud Tecu bila sudah melihat ilmu pedang yang terukir ini, dengan sendirinya akan segera pulang untuk melaporkan semuanya kepada Suhu.”

“Hm, kau anggap aku sudah buta, bila sudah berhasil mempelajari ilmu pedang bagus apakah kau masih mau mengaku diriku sebagai gurumu?” jengek Co Leng-tan. “Kalian harus bersumpah setia kepada Gak Put-kun, habis itu baru kalian diizinkan melihat ukiran ilmu silat di sini, betul tidak?”

“Be... betul, Tecu memang pantas mati, hanya saja kami terpaksa harus tunduk kepada perintahnya sebagai ketua Ngo-gak-pay, Tecu tidak menyangka jahanam itu akan menjebak kami secara keji,” sahut murid Ko-san-pay itu.

“Suhu,” sambung seorang lain, “mohon engkau membebaskan kami, pimpinlah kami untuk mencari keparat Gak Put-kun dan bikin perhitungan kepadanya.”

“Hm, enak saja cara berpikirmu,” jengek Co Leng-tan. Setelah merandek sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, “Lenghou Tiong, jadi kau pun berada di sini? Sesungguhnya untuk apa kau datang ke sini?”

“Tempat ini adalah bekas tempat tinggalku, datang ke sini atau tidak adalah hakku sendiri, peduli apa dengan kau?” jawab Lenghou Tiong.

“Huh, kematianmu sudah di depan mata, kau masih kepala batu dan begini kasar terhadap orang tua,” jengek Co Leng-tan.

“Kau memakai tipu muslihat keji dan mencelakai para kesatria jujur, perbuatanmu ini pantas dibinasakan oleh siapa saja, mana kau ada harganya mengaku orang tua segala?” balas Lenghou Tiong.

“Peng-ci, pergilah kau membinasakan dia!” kata Co Leng-tan.

Dalam kegelapan terdengar seorang mengiakan, jelas suaranya Lim Peng-ci.

Lenghou Tiong terkejut, pikirnya, “Kiranya Lim Peng-ci juga berada di sini. Dia dan Co Leng-tan sudah buta semua, selama ini mereka tentu sudah biasa berlatih memainkan pedang secara buta, menggunakan telinga sebagai pengganti mata, kepandaian mereka dalam hal ketajaman telinga pasti sangat hebat. Dalam kegelapan seperti sekarang ini keadaan menjadi terbalik, aku menjadi seperti orang buta, sebaliknya mereka malah seperti orang melek, cara bagaimana aku dapat menandingi mereka?”

Seketika ia berkeringat dingin dan terpaksa tidak berani bersuara, yang diharap semoga mereka tidak tahu tempat di mana dia berdiri.

Terdengar Lim Peng-ci berseru, “Lenghou Tiong, selama ini kau merajalela di dunia Kang-ouw, tidak kepalang wibawamu, tapi hari ini kau toh mati di tanganku, haha, haha!”

Seram dan mendirikan bulu roma suara tawanya itu sambil selangkah demi selangkah mendekati tempat Lenghou Tiong.

Rupanya dalam tanya-jawab Lenghou Tiong dengan Co Leng-tan tadi, tempat berdirinya telah dapat didengar dengan jelas oleh Lim Peng-ci. Seketika suasana di dalam gua itu sunyi senyap, yang terdengar hanya suara tindakan kaki Lim Peng-ci, setiap dia melangkah satu tindak, setiap kali pula Lenghou Tiong menyadari jiwanya satu tindak lebih dekat dengan pintu akhirat.

“Nanti dulu!” sekonyong-konyong ada orang berteriak. “Keparat Lenghou Tiong itu yang membutakan kedua mataku sehingga aku cacat untuk selamanya, biarlah aku... aku yang membinasakan bangsat ini.”

Menyusul belasan orang lain menyatakan persetujuan seruan orang pertama itu, lalu mereka juga melangkah maju beramai-ramai.

Tergetar hati Lenghou Tiong, ia tahu orang-orang ini adalah korban tusukan pedangnya ketika terjadi pertarungan di kelenteng kuno tengah malam buta itu.

Tempo hari di tengah jalan lereng gunung Ko-san belasan orang ini juga sudah pernah dipergokinya, tapi telah dibikin kocar-kacir oleh Put-kay Hwesio. Orang-orang ini sudah lama buta, ketajaman telinga mereka tentu luar biasa. Seorang Lim Peng-ci saja sukar dilawan apalagi bertambah pula belasan orang buta ini, tentu lebih-lebih susah dilawan.

Terdengar suara tindakan mereka semakin mendekat, dengan menahan napas diam-diam Lenghou Tiong menggeser beberapa langkah ke samping. Segera terdengar suara “trang-trang” beberapa kali, beberapa pedang orang-orang itu telah kena menusuk dinding tempat berdirinya tadi. Untung belasan orang itu menyerang bersama, suara tindakan mereka bercampur aduk sehingga suara geseran Lenghou Tiong tak terdengar, tiada satu pun yang tahu ke mana dia berpindah tempat.

Perlahan-lahan Lenghou Tiong berjongkok, dirabanya sebatang pedang di atas lantai, segera ia lemparkan ke depan. Maka terdengarlah suara jeritan, seorang telah roboh terkena lemparan pedang itu. Serentak belasan orang itu menerjang maju, di tengah benturan senjata yang ramai, terjadilah pertempuran sengit antara mereka dengan orang banyak. Berulang-ulang terdengar bentakan dan jeritan, dalam sekejap saja ada beberapa orang roboh binasa. Sebenarnya kepandaian orang-orang di situ tidaklah lemah, tapi dalam kegelapan mereka menjadi bukan tandingan kawanan orang buta itu.

Di tengah suasana ribut itu Lenghou Tiong lantas menggeser lagi beberapa langkah ke kiri, ia meraba dinding di sekitar situ tiada orang lalu berjongkok. Pikirnya, “Co Leng-tan membawa Peng-ci dan kawanan orang buta itu ke sini, terang dia sengaja memasang perangkap ini untuk membinasakan semua orang yang ada di sini dalam keadaan gelap gulita ini. Hanya saja dari mana dia dapat mengetahui letak gua ini?”

Tapi ia lantas paham duduknya perkara. Tempo hari siausumoaynya telah mengalahkan tokoh-tokoh Thay-san-pay dan Heng-san-pay dengan ilmu pedang mukjizat yang terukir di dinding gua ini. Kalau siausumoaynya sudah datang ke gua ini, dengan sendirinya Lim Peng-ci tahu pula akan gua ini.

“Lenghou Tiong, kenapa kau tidak berani perlihatkan dirimu? Huh, main sembunyi-sembunyi, macam orang gagah apakah kau ini?” demikian Peng-ci berteriak mengolok-olok.

Keruan Lenghou Tiong naik pitam, segera ia bermaksud melabrak musuh, tapi cepat ia dapat menahan diri, pikirnya, “Sebelum aku ketemukan Ing-ing buat apa aku mengadu jiwa dengan dia? Apalagi aku sudah berjanji kepada Siausumoay akan menjaga baik-baik orang she Lim ini, bila aku bertempur dengan dia dan terbunuh tentu penasaran, sebaliknya kalau kubunuh dia juga salah bagiku.”

“Bunuh semua pengkhianat di dalam gua ini, habis itu Lenghou Tiong tentu pula tak dapat mengelakkan diri,” seru Co Leng-tan.

Dalam sekejap segera ramai pula suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini. Lenghou Tiong tetap berjongkok sehingga tiada orang yang dapat menyerangnya. Ia coba pasang kuping untuk mendengarkan kalau-kalau ada suaranya Ing-ing. Ia pikir si nona biasanya sangat cerdik, dalam keadaan terancam bahaya begini tentu takkan membunyikan suara kecapi, semoga perempuan yang kutusuk tadi bukanlah dia.

Begitulah ia terus mendengarkan dengan cermat, ternyata pertarungan para kesatria dengan kawanan orang buta itu telah terjadi dengan amat sengit, sambil bertempur riuh ramai pula suara bentakan dari makian, berulang-ulang ia dengar suara orang memaki dengan istilah “persetan nenekmu”.

Makian “persetan nenekmu” itu kedengarannya lain daripada yang lain. Pada umumnya orang memaki suka bilang “persetan emakmu” atau “persetan maknya”, jarang orang menggunakan istilah “persetan nenekmu”. Ia heran apakah orang yang memaki itu berasal dari suatu daerah yang biasa menggunakan istilah makian demikian?

Tapi setelah didengarkan lagi, akhirnya Lenghou Tiong menemukan sesuatu yang janggal, makian “persetan nenekmu” itu selalu dilontarkan oleh dua orang berbareng, bahkan setelah mengucapkan makian itu, adu senjata kedua orang itu lantas berhenti. Sebaliknya kalau yang memaki cuma satu orang, maka pertarungan itu pun terus berlangsung.

Setelah dipikir lagi, pahamlah Lenghou Tiong akhirnya. “Rupanya makian ini adalah kode rahasia di antara orang-orang buta itu untuk membedakan kawan atau lawan.”

Didengarnya suara makian “persetan nenekmu” itu makin lama makin ramai, sebaliknya suara benturan senjata dan suara bentakan tambah mereda, terang orang-orang Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Ko-san-pay telah habis terbunuh semua. Tapi selama itu ia tetap tidak mendengar sesuatu suara Ing-ing, ia menjadi khawatir kalau-kalau Ing-ing benar-benar telah terbunuh olehnya sendiri, tapi juga bersyukur si nona tidak menjadi korban keganasan kawanan orang buta itu.

Selang tak lama, suara pertempuran mulai berhenti. Terdengar Co Leng-tan berseru, “Beramai-ramai membunuh lagi satu keliling gua ini!”

Orang-orang buta itu mengiakan. Lalu terdengar suara sambaran pedang yang menderu-deru di sana-sini. Ada dua kali pedang orang-orang buta itu mampir ke tubuh Lenghou Tiong, tapi keburu ditangkisnya sambil tekan suara dan ikut memaki, “Persetan nenekmu!”

Ternyata suara tiruannya itu tak diketahui musuh dan amanlah dia, suara sambaran pedang dan makian orang-orang buta itu berlangsung terus sampai sekian lamanya, suara lain sama sekali tidak terdengar.

Lenghou Tiong benar-benar sangat cemas dan hampir-hampir menangis akan keselamatan Ing-ing, sungguh ingin sekali ia berteriak memanggil si nona.

“Berhenti!” Co Leng-tan memberi aba-aba pula. Orang-orang buta itu serentak berhenti di tempat masing-masing. Dengan terbahak-bahak Co Leng-tan lalu berkata pula, “Para murid khianat ini kini sudah tertumpas semua. Orang-orang ini sungguh tidak tahu malu, lantaran ingin belajar ilmu pedang mereka rela bersumpah setia kepada keparat Gak Put-kun itu. Kini bangsat cilik Lenghou Tiong tentu juga sudah mampus di bawah pedang kalian. Hahahaha! Wahai Lenghou Tiong, di mana kau? Kau sudah mampus, bukan?”

Lenghou Tiong diam-diam saja dengan menahan napas.

Co Leng-tan berkata pula, “Peng-ci, orang yang paling kau benci sekarang sudah mampus, tentu kau merasa puas bukan?”

“Ya, semuanya berkat perhitungan masak Co-heng, dengan cara pengaturan perangkap yang sempurna,” sahut Peng-ci.

Baru sekarang Lenghou Tiong mengetahui Lim Peng-ci telah bersaudara dengan Co Leng-tan. Rupanya demi mendapatkan Pi-sia-kiam-boh, maka Co Leng-tan bersikap sebaik ini kepada pemuda itu.

“Tapi kalau jalan rahasia masuk gua ini tidak kau beri tahukan padaku, tentu sukar pula membalas dendam bagi kita,” kata Co Leng-tan.

“Sungguh sayang dalam kekacauan ini aku tak dapat membinasakan bangsat Lenghou Tiong dengan tanganku sendiri,” kata Peng-ci.

“Tak peduli siapa yang membunuh dia toh sama saja,” ujar Co Leng-tan dengan suara tertahan. “Marilah kita lekas keluar, mungkin saat ini keparat Gak Put-kun itu sedang berada di luar gua, mumpung hari belum terang kita beramai-ramai mengerubutnya, dalam kegelapan tentu sangat menguntungkan kita.”

Terdengar Peng-ci mengiakan, lalu ramailah suara tindakan orang, rombongan mereka masuk ke lorong belakang sana dan makin lama makin menjauh, sebentar saja tiada suara apa-apa lagi.

“Ing-ing, di manakah kau?” seru Lenghou Tiong dengan suara tertahan.

“Sssst, jangan keras-keras aku berada di sini,” tiba-tiba di atas kepalanya ada orang mendesis.

Saking girangnya seketika kedua kaki Lenghou Tiong terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai.

Ketika kawanan orang buta tadi mengamuk dengan serangan mereka yang ganas, tempat yang paling aman memang tiada lain daripada sembunyi di tempat ketinggian sehingga pedang musuh sukar mencapainya, hal ini sebenarnya gampang saja diketahui setiap orang, cuma pada saat gawat, pikiran semua orang menjadi bingung sehingga sama sekali tidak memikirkan hal demikian.

Begitulah Ing-ing lantas melompat turun, segera Lenghou Tiong memburu maju dan memeluknya erat-erat. Saking girangnya kedua orang sama mencucurkan air mata. Perlahan-lahan Lenghou Tiong mencium pipi si nona dan mendesis, “Tadi aku benar-benar sangat khawatir bagimu.”

Dalam kegelapan Ing-ing tidak mengelakkan ciuman Lenghou Tiong itu, jawabnya dengan perlahan, “Ketika kau memaki orang ‘persetan nenekmu’, aku lantas kenal suaramu.”

Lenghou Tiong tertawa geli, tanyanya kemudian, “Kau tidak terluka apa-apa, bukan?”

“Tidak,” jawab Ing-ing.

“Semula aku tidak merasa khawatir ketika mendengar suara kecapi. Tapi setelah suara kecapi berhenti, aku menusuk roboh pula seorang perempuan, aku jadi kelabakan dan khawatir sekali bagimu.”

“Sama sekali kau tak dapat membedakan suaraku dengan suara orang lain, begitu kau suka bilang senantiasa memikirkan diriku.”

“Ya, ya, memang aku pantas dipukul,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa sambil pegang tangan si nona untuk menampar pipinya.

“Sebenarnya sejak tadi-tadi aku sudah melompat ke tempat tinggi itu, tapi khawatir diketahui orang, tak dapat pula bersuara memanggil kau, terpaksa aku menyambitkan sebuah mata uang tembaga untuk menimpuk kecapiku yang ketinggalan di lantai dengan harapan kau akan mengetahui keadaanku.”

“O, kiranya demikian. Ai, engkau mendapatkan calon suami yang polos, sungguh Yim-toasiocia yang sial,” kelakar Lenghou Tiong dengan tertawa. “Makanya tadi aku merasa heran kecapi yang kau bunyikan itu mengapa tanpa irama, kenapa tidak membawakan lagu ‘Hina Kelana’? Dan kemudian mengapa kau tidak membunyikan kecapi lagi?”

“Aku terlalu miskin, hanya beberapa duit saja yang berada di saku dan beberapa sambitan habislah duitku,” tutur Ing-ing dengan tertawa.

Sampai di sini, sekonyong-konyong di mulut lorong sana ada suara orang mendengus. Keruan Lenghou Tiong dan Ing-ing sama berteriak kaget, dengan sebelah tangan merangkul si nona dan tangan yang lain memegang pedang segera Lenghou Tiong membentak, “Siapa itu?”

“Aku, Lenghou-tayhiap!” sahut orang itu dengan suara dingin, siapa lagi kalau bukan Lim Peng-ci adanya. Menyusul lantas terdengar suara tindakan orang banyak di jalan lorong itu, terang kawanan orang buta tadi kini telah kembali lagi.

Diam-diam Lenghou Tiong memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh, seharusnya terpikir olehnya kelicikan Co Leng-tan, mana dia mau pergi begitu saja, tentu dia pura-pura berangkat bersama begundalnya, tapi diam-diam sembunyi di ujung sana untuk mendengarkan gerak-gerik di dalam gua. Lantaran dapat berkumpul kembali dengan Ing-ing setelah menghadapi detik-detik berbahaya tadi, saking girangnya mereka menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa musuh tangguh setiap saat mungkin akan muncul kembali.

“Naik ke atas!” tiba-tiba Ing-ing membisiki Lenghou Tiong sambil tarik lengannya. Berbareng kedua orang lantas meloncat ke atas.

Tadi Ing-ing sembunyi di atas batu karang yang mencuat di dinding gua itu, maka ia tahu di mana letak batu karang itu dalam kegelapan, ia masih dapat hinggap dengan tepat di atas batu itu. Tapi Lenghou Tiong, telah menginjak tempat kosong, tubuhnya jatuh kembali ke bawah. Syukur Ing-ing keburu menarik sebelah tangannya dan diseret ke atas.

Batu karang yang menonjol di dinding gua itu luasnya kurang dari satu meter, kedua orang berjubel di situ boleh dikata kurang leluasa. Diam-diam Lenghou Tiong merasa syukur si nona dapat bertindak dengan cepat, dengan berdiri di atas tentu tidak gampang dikepung dan dikerubut oleh kawanan orang buta itu.

“Kedua setan cilik itu meloncat ke atas,” terdengar Co Leng-tan berkata.

“Ya, di depan sana!” sahut Peng-ci.

“Lenghou Tiong, apakah kau akan sembunyi di atas situ untuk selamanya?” seru Co Leng-tan.

Tapi Lenghou Tiong diam-diam saja tanpa menjawab, ia insaf bila bersuara tentu tempat berpijaknya akan diketahui musuh. Dengan tangan kanan menghunus pedang, tangan kiri merangkul pinggang Ing-ing yang ramping. Ing-ing sendiri tangan kiri memegang pedang pendek, tangan kanan juga digunakan merangkul pinggang Lenghou Tiong. Kedua orang merasa sangat puas dan terhibur, mereka dapat berkumpul bersama, sekalipun nanti mesti mati juga takkan menyesal.

Sekonyong-konyong terdengar Co Leng-tan membentak dengan suara keras, “Biji mata kalian dibutakan oleh siapa, masakah kalian sudah lupa?”

Serentak belasan orang buta itu menjadi murka, mereka menggerung terus melompat ke atas sambil ayun pedang mereka menusuk dan menebas secara ngawur.

Lenghou Tiong dan Ing-ing diam saja, serangan orang-orang buta itu menjadi sia-sia tak menemukan sasaran. Ketika orang-orang buta itu melompat lagi untuk kedua kalinya, salah seorang sudah menubruk maju, hanya satu meteran di depan batu karang yang menonjol itu. Dari suara angin loncatan orang buta itu, segera Lenghou Tiong menusuk dengan pedangnya dan tepat mengenai dada musuh. Kontan orang buta itu menjerit dan terbanting ke bawah.

Dengan demikian tempat sembunyi Lenghou Tiong berdua lantas ketahuan, serentak beberapa orang melompat ke atas dan menyerang berbareng.

Dalam kegelapan meski Lenghou Tiong dan Ing-ing tak dapat melihat gerakan musuh, tapi batu karang yang menonjol itu tingginya tiga-empat meter dari permukaan tanah, orang yang melompat ke atas tentu membawa desingan angin yang mudah dibedakan, maka Lenghou Tiong berdua memapak serangan musuh-musuh itu dan kontan membinasakan dua orang lagi.

Untuk sementara orang-orang buta itu menjadi jeri dan kapok, mereka sama menengadah ke atas sambil mencaci maki, tapi tak berani menyerang lagi.

Setelah saling tarik urat sejenak, mendadak angin santer menyambar tiba, dua orang melompat tiba dari kanan-kiri, cepat Lenghou Tiong dan Ing-ing menusuk dengan pedang masing-masing, “trang-trang”, empat pedang beradu dengan keras. Lengan Lenghou Tiong terasa pegal, pedang hampir-hampir terlepas dari cekalan. Maka tahulah dia penyerang itu ternyata Co Leng-tan adanya.

Di sebelah lain Ing-ing juga menjerit, pundaknya terkena pedang musuh sehingga si nona hampir-hampir terperosot jatuh ke bawah, untung Lenghou Tiong keburu merangkulnya lebih kencang. Dalam pada itu kedua orang itu telah melompat lagi ke atas dan kembali melancarkan serangan. Cepat pedang Lenghou Tiong menusuk orang yang menyerang Ing-ing itu, ketika kedua pedang kebentur, mendadak orang itu mengubah gerakan pedangnya dengan cepat, yaitu pedangnya terus memotong ke bawah menggesek batang Lenghou Tiong.

Tahulah Lenghou Tiong bahwa lawannya itu tentu Lim Peng-ci adanya, cepat ia menarik tubuh untuk mengelak, terasa angin tajam menyambar lewat pedang Peng-ci itu terus menebas ke arah Ing-ing.

Dalam keadaan tubuh terapung, sekali lompat ternyata Peng-ci sanggup melancarkan tiga kali serangan secara berturut-turut, sungguh tidak kepalang lihainya Pi-sia-kiam-hoat yang termasyhur itu.

Khawatir Ing-ing terluka, tanpa pikir Lenghou Tiong melompat turun bersama Ing-ing, dengan punggung mepet dinding ia putar pedangnya dengan kencang agar musuh tidak berani mendekat.

Tiba-tiba terdengar Co Leng-tan tertawa panjang sambil menusuk dengan pedangnya, “trang”, kembali kedua pedang beradu. Kontan tubuh Lenghou Tiong tergetar, terasa suatu arus tenaga dalam menyalur tiba melalui batang pedangnya, tanpa terasa ia menggigil dingin. Seketika teringat olehnya pertarungan sengit antara Yim Ngo-heng dengan Co Leng-tan di Siau-lim-si dahulu, waktu itu Yim Ngo-heng telah menyedot tenaga dalam Co Leng-tan dengan “Gip-sing-tay-hoat” yang ampuh, tak terduga tenaga dalam Co Leng-tan yang mahadingin itu lihai luar biasa, hampir-hampir saja Yim Ngo-heng mati beku oleh tenaga dalam mahadingin yang disedotnya dari tubuh Co Leng-tan itu.

Sekarang kembali Co Leng-tan melakukan hal yang sama, sudah tentu Lenghou Tiong tidak mau masuk perangkap, cepat ia mengerahkan tenaga menolak keluar, saking keras membanjir keluarnya tenaga dalam, tanpa kuasa jari tangannya menjadi kendur, pedang terlepas dari cekalannya.

Padahal segenap kepandaian Lenghou Tiong terletak pada pedangnya itu, tanpa senjata di tangan boleh dikata kepandaiannya tiada artinya lagi. Maka cepat ia berjongkok dan meraba-raba di lantai, ia pikir di dalam gua itu menggeletak ratusan mayat, di atas lantai tentu juga banyak terserak senjata, asalkan dapat menjemput sesuatu senjata, baik golok maupun pedang tentu akan dapat dipakai menahan serangan musuh untuk sementara.

Tak terduga apa yang teraba oleh tangannya adalah muka seorang mati yang sudah kaku dan dingin, tangannya menjadi berlepotan darah pula. Cepat ia merangkul Ing-ing dan menggeser ke pinggir dua tindak, “cring-cring”, pedang Ing-ing yang pendek itu dapat menangkis serangan dua musuh. Tapi segera terdengar pula suara “trang” yang lebih keras, pedang pendek itu juga terbentur dengan senjata musuh yang lain dan mencelat lepas.

Keruan Lenghou Tiong menjadi khawatir, buru-buru ia meraba-raba lantai lagi, kini ada sesuatu yang teraba tangannya, rasanya seperti sepotong toya pendek. Dalam keadaan bahaya itu ia pun tidak sempat memeriksa benda itu, ketika terasa angin keras menyambar tiba, pedang musuh menebas datang lagi, segera ia menangkisnya dengan toya pendek itu. “Krek”, toya pendek itu tertebas putus satu bagian.

Pada waktu ia menaikkan kepala untuk mengegos, mendadak di depan mata meletik beberapa titik sinar. Beberapa titik cahaya itu meski sangat lemah namun di dalam gua yang gelap gulita itu percikan cahaya itu laksana sebuah bintang kejora terang di atas langit. Samar-samar bentuk tubuh dan sinar pedang musuh dapat dibedakan.

Tanpa terasa Lenghou Tiong dan Ing-ing bersorak gembira, dalam pada itu tertampak pedang Co Leng-tan menusuk tiba pula, segera Lenghou Tiong angkat toya pendek itu menonjok leher lawan. Tempat yang diarah memang merupakan titik kelemahan serangan musuh.

Tak tersangka, biarpun mata Co Leng-tan sudah buta namun dia masih sanggup menghadapi serangan lihai itu secara gesit, cepat ia melompat mundur sambil mencaci maki dengan rasa penasaran.

Kesempatan itu segera digunakan oleh Ing-ing untuk menjemput sebatang pedang, lalu ia serahkan pedang itu kepada Lenghou Tiong dan ganti mengambil toya pendek itu, segera ia putar toya pendek itu dengan kencang sehingga titik-titik cahaya putih hijau gemerdep tak terputus-putus.

Serentak semangat Lenghou Tiong terbangkit, menghadapi pilihan antara mati dan hidup itu, ia tidak mau kenal ampun lagi, pedangnya bekerja cepat, mulutnya juga memaki, “Persetan nenekmu!” dan kontan seorang buta kena ditusuknya mampus.

Ternyata kerja pedangnya jauh lebih cepat daripada makiannya, baru enam kali dia memaki “persetan nenekmu”, ternyata tiga belas orang buta yang tersisa itu sudah dibinasakan seluruhnya. Beberapa orang buta itu rupanya otaknya agak bebal, ketika mendengar Lenghou Tiong memaki “persetan nenekmu”, ia mengira kawan sendiri, buat apa bertempur lagi. Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih banyak lagi tahu-tahu lehernya sudah tertusuk pedang Lenghou Tiong, seketika dia “persetan ke akhirat untuk menemui neneknya”.

Rupanya Co Leng-tan dan Lim Peng-ci menjadi bingung, mereka saling tanya berbareng, “Ada apa? Apakah ada api?”

“Benar!” bentak Lenghou Tiong, berbareng ia serang Co Leng-tan tiga kali.

Cara mendengarkan angin membedakan serangan musuh Co Leng-tan benar-benar hebat sekali, berturut-turut ia tangkis ketiga kali serangan Lenghou Tiong itu. Sebaliknya Lenghou Tiong merasa lengannya sakit pegal, kembali suatu arus hawa dingin menyalur tiba melalui batang pedang. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, cepat ia berdiri tegak dan tahan senjata, sedikit pun ia tidak bergerak lagi, diam saja.

Karena tidak mendengar sesuatu gerak-gerik lawan, Co Leng-tan menjadi kelabakan, dengan gelisah ia putar pedangnya dengan kencang untuk melindungi segenap hiat-to tubuhnya.

Sementara itu Ing-ing masih terus putar toya pendek tadi dengan santer, dari percikan lelatu yang timbul dari toya itu Lenghou Tiong dapat membedakan musuh dengan cukup jelas, perlahan-lahan ia putar pedangnya ke arah lengan kanan Lim Peng-ci, sedikit demi sedikit ia julurkan senjatanya ke depan.

Lim Peng-ci coba pasang kuping untuk mendengarkan arah datangnya serangan lawan, akan tetapi pedang Lenghou Tiong itu dijulurkan dengan sangat perlahan dan sedikit demi sedikit, mana ada suara yang dapat terdengar?

Tampaknya ujung pedang sudah tinggal belasan senti saja dari sasarannya, mendadak Lenghou Tiong mendorong secepatnya ke depan, “cret”, kontan otot tulang tangan kanan Peng-ci putus semua.

Peng-ci menjerit keras-keras, pedang terlepas dari cekalan, dengan kalap ia terus menubruk maju. Tapi pedang Lenghou Tiong lantas bekerja, lagi, “sret-sret” dua kali, kaki kanan-kiri Lim Peng-ci tertusuk pula. Dibarengi dengan caci maki yang penuh dendam tanpa ampun lagi Peng-ci roboh terguling.

Waktu Lenghou Tiong berpaling ke arah Co Leng-tan, di bawah cahaya percikan lelatu yang remang-remang tertampak gembong Ko-san-pay yang sudah buta itu sedang mengertak gigi, mukanya beringas menakutkan.

“Orang ini adalah biang keladi dari huru-hara dunia persilatan yang terjadi selama ini, dosanya tidak dapat diampuni!” demikian pikir Lenghou Tiong. Sekonyong-konyong ia bersuit nyaring, pedangnya bekerja cepat. Betapa pun lihainya Co Leng-tan, di bawah serangan Tokko-kiu-kiam yang lihai boleh dikata mati kutunya. Sekaligus bagian dahi, leher, dan dada terkena tiga tusukan pedang Lenghou Tiong.

Habis itu Lenghou Tiong lantas melompat mundur sambil gandeng tangan Ing-ing, dilihatnya Co Leng-tan berdiri mematung sejenak, lalu roboh ke depan, pedangnya ternyata sudah terputar balik dan menembus perut sendiri.

Setelah tenangkan diri, Lenghou Tiong coba memandang toya pendek di tangan Ing-ing yang memercikkan titik cahaya itu, namun cahaya lelatu yang terpantul terlalu lemah sehingga tak jelas benda apakah sebenarnya “toya” itu.




Bab 137. Binasanya Gak Put-kun

Khawatir kalau Lim Peng-ci melakukan serangan kalap lagi, segera Lenghou Tiong menendang sekali di pinggangnya dan menutuk hiat-to bagian itu, kemudian barulah ia menggeledahi badan orang mati untuk mencari batu api. Berturut-turut tiga orang telah digerayanginya, tapi semuanya bersaku kosong. Tiba-tiba teringat olehnya, kontan ia memaki, “Keparat, orang buta sudah tentu takkan membawa batu ketikan api segala.”

Pada mayat berikutnya barulah, ia menemukan batu api dan akhirnya dapat membikin api. Tapi sesudah terang, kedua orang lantas menjerit berbareng. Ternyata benda yang dipegang oleh Ing-ing itu adalah sekerat tulang yang sebagian sudah terlepas. Segera Ing-ing melemparkan tulang itu.

Maka pahamlah Lenghou Tiong akan sebab musababnya, katanya, “Ing-ing jiwa kita telah diselamatkan oleh Locianpwe dari Sin-kau ini.”

“Locianpwe dari Sin-kau apa maksudmu?” tanya Ing-ing.

“Dahulu sepuluh orang tianglo dari Sin-kau kalian pernah menyerbu ke Hoa-san sini, tapi mereka terjebak dan terkurung di dalam gua ini untuk selamanya sehingga tertinggal kesepuluh jerangkong di sini. Tulang yang kau pegang tadi adalah tulang paha, entah tulang tianglo yang mana. Tanpa sengaja telah kujemput tadi, untung juga, sebagian kena dipapas oleh pedang Co Leng-tan, dari tulang orang mati itulah tepercik api fosfor yang biasanya dianggap sebagai api setan, jadi api setan itulah yang telah menolong kita.”

Ing-ing menghela napas lega, ia lantas memberi hormat ke arah tulang tadi dan berkata, “Kiranya Locianpwe dari agama sendiri, maaf!”

Lalu Lenghou Tiong mencari dua obor dan disulut, kemudian ia mengajak Ing-ing lekas keluar dari situ. Dengan menyeret Lim Peng-ci, segera ia mendahului berjalan melalui lorong gua itu.

Ing-ing masih ingat Lenghou Tiong pernah berjanji kepada Gak Leng-sian akan menjaga keselamatan Lim Peng-ci, seorang pendekar sejati harus bisa pegang janji, maka ia pun dapat mengerti bilamana Lenghou Tiong harus memenuhi permintaan Gak Leng-sian pada waktu ajalnya tempo hari. Begitulah ia pun tidak bicara apa-apa, sambil membawa kecapi yang sudah rusak ia pun ikut di belakang Lenghou Tiong.

Baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tiba-tiba tertampak sesosok tubuh tak bernyawa menggeletak di situ, kiranya ialah Bok-taysiansing dari Heng-san-pay dengan sebelah tangan memegang rebab dan tangan lain memegang pedang pula. Pada kening, muka, dada, dan perut Bok-taysiansing penuh dengan luka, mungkin di jalan lorong yang sempit itulah Bok-taysiansing telah mati dikerubut oleh kawanan orang buta.

Teringat akan budi kebaikan Bok-taysiansing kepada dirinya, kini orang tua itu mati secara mengerikan di situ, hati Lenghou Tiong menjadi pilu, segera ia menyisihkan mayat Bok-taysiansing ke pinggir, lalu memberi hormat dan berkata, “Bok-supek, setelah Wanpwe keluar dari gua ini dengan selamat, kelak pasti akan kembali ke sini untuk menguburkan jenazah engkau.”

Mereka terus menyusuri lorong yang sempit itu, dengan penuh kewaspadaan Lenghou Tiong siapkan pedang, ia pikir Co Leng-tan yang licin itu tentu menyuruh orang berjaga di jalanan itu. Di luar dugaan, sampai ujung lorong itu tetap tiada seorang yang terlihat.

Lorong gua itu dahulu sering didatangi oleh Lenghou Tiong, keadaan di situ sudah sangat hafal baginya. Perlahan-lahan ia mendorong balok batu yang menutup lubang keluar lorong gua itu. Seketika matanya menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya mereka bertempur sekian lamanya di dalam gua, tanpa terasa hari sudah terang sejak tadi.

Ternyata di luar lorong itu tiada seorang pun, segera Lenghou Tiong menarik Peng-ci dan melompat keluar, segera disusul pula oleh Ing-ing. Alangkah segar rasa mereka setelah menghirup udara segar, mereka merasa kini benar-benar sudah berada di tempat yang aman.

“Dahulu kau dihukum kurung oleh gurumu, apakah di gua inilah kau tinggal?” tanya Ing-ing.

“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Di situ pula aku mendapatkan ajaran ilmu pedang dari Hong-thaysusiokco. Entah beliau masih tinggal di sekitar sini atau tidak? Entah keadaan beliau juga sehat walafiat atau tidak? Marilah kita coba mencarinya, ada beberapa segi ilmu pedang yang kuingin minta petunjuk dari beliau.”

“Menurut ayahku, katanya di dunia ini hanya ilmu pedang Hong-thaysusiokcomu saja yang dapat lebih tinggi dari beliau, maka terhadap moyang-gurumu itu Ayah menyatakan sangat kagum. Marilah kita lekas pergi mencarinya,” sahut Ing-ing.

Segera Lenghou Tiong simpan kembali pedangnya, ia lepaskan Lim Peng-ci, lalu bersama Ing-ing mereka keluar dari gua itu.

Akan tetapi baru saja melangkah keluar mulut gua, sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat di atas kepala mereka, rasanya seperti ada benda apa-apa yang menimpa turun. Cepat mereka melompat untuk menghindar. Namun sudah terlambat, ternyata sebuah jala ikan yang besar telah menelungkup rapat seluruh badan mereka.

Keruan mereka terkejut, cepat mereka melolos pedang untuk memotong jala ikan itu, tapi aneh, jala itu entah terbuat dari apa, ternyata tidak mempan dipotong oleh pedang.

Pada saat lain kembali sebuah jala menyambar lagi dari atas sehingga tubuh mereka terbungkus lebih rapat. Menyusul dari atas gua melompat turun seorang sambil menarik sekuatnya tali jala ikan itu, maka dalam sekejap saja jala itu sudah mengencang.

“He, Suhu!” seru Lenghou Tiong kaget.

Kiranya orang itu tak lain tak bukan adalah Gak Put-kun.

Setelah Gak Put-kun menarik kencang tali jala, maka Lenghou Tiong dan Ing-ing menjadi mirip dua ekor ikan besar yang masuk jaring. Semula mereka masih meronta-ronta, tapi akhirnya menjadi tak bisa berkutik.

Kaget dan bingung pula Ing-ing sehingga tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Tiba-tiba dilihatnya wajah Lenghou Tiong tersenyum simpul, sikapnya sangat senang. Diam-diam Ing-ing heran. “Jangan-jangan dia ada akal buat meloloskan diri?” pikirnya.

Dalam pada itu terdengar Gak Put-kun berkata dengan menyeringai, “Bangsat cilik, dengan riang gembira kau keluar dari gua situ, tentunya kau tidak mengira akan tertimpa bencana bukan?”

“Itu pun bukan sesuatu bencana segala,” sahut Lenghou Tiong tak acuh. “Manusia akhirnya harus mati. Kini aku dapat mati bersama dengan istriku tercinta, maka hatiku merasa sangat senang.”

Baru sekarang Ing-ing tahu, kiranya tersenyum simpul di wajah Lenghou Tiong adalah karena merasa bahagia dapat mati bersama dia.

“Bangsat cilik,” Gak Put-kun memaki pula, “kematianmu sudah di depan mata, mulutmu masih bisa saja mengoceh.”

Habis berkata, dengan tali jala ia ikat tubuh kedua orang dengan lebih kencang.

“Kau benar-benar sangat baik hati padaku,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Sudah tahu kami berdua takkan berpisah untuk selamanya, maka kau sengaja mengikat kami suami-istri sedemikian kencangnya. Memang orang yang paling tahu akan isi hatiku di dunia ini hanyalah engkau Gak-siansing seorang, maklumlah, memang engkaulah yang membesarkan aku sedari kecil.”

Dia sengaja omong macam-macam dengan maksud mengulur waktu, siapa tahu akan mendapat akal untuk membebaskan diri. Selain itu ia pun berharap Hong Jing-yang dapat muncul mendadak untuk menolongnya.

Tentu saja Gak Put-kun sangat gemas, dampratnya pula, “Bangsat cilik, sejak kecil kau memang suka membual tak keruan, watak maling ini ternyata tidak berubah hingga kini. Biarlah kupotong dulu lidahmu agar nanti kalau kau sudah mati tidak perlu masuk neraka.”

Mendadak sebelah kakinya melayang ke pinggang Lenghou Tiong, seketika hiat-to bisu tertutuk sehingga Lenghou Tiong tak bisa bersuara pula. Lalu Gak Put-kun berkata kepada Ing-ing, “Yim-toasiocia, kau ingin aku membunuh dia lebih dulu atau bunuh kau lebih dulu.”

“Kau suka bunuh siapa lebih dulu boleh silakan, apa bedanya bagiku?” sahut Ing-ing. “Yang pasti obat pemunah pil sakti yang pernah kuberikan padamu itu hanya ada tiga biji padaku.”

Mendengar “pil sakti” itu, seketika air muka Gak Put-kun berubah pucat. Menurut rencananya mestinya ia hendak membunuh dulu Lenghou Tiong dan Ing-ing, habis itu baru menggeledah tubuh Ing-ing untuk mencari obat penawar pil racun yang pernah ditelannya dahulu itu.

Maklumlah Gak Put-kun sangat jeri terhadap kedua muda-mudi ini. Lenghou Tiong mahir Gip-sing-tay-hoat, hal ini lebih-lebih membuatnya ketakutan. Mesti dia telah menggunakan kesempatan bagus pada waktu kedua orang itu keluar gua dan mendadak menjebaknya dengan jala ikan yang terbuat dari benang emas, tapi selama kedua orang itu belum mati, setiap saat ada kemungkinan mereka akan terlepas dan melakukan serangan balasan padanya. Kini mendengar Ing-ing menyatakan padanya hanya terdapat tiga biji obat penawar, itu berarti kalau dia membunuh kedua muda-mudi itu, ia sendiri pun hanya dapat hidup lagi selama tiga tahun, sesudah tiga tahun, bilamana racun obat mulai bekerja, racun itu akan menyerang otak, dia akan menjadi gila, kematiannya akan tersiksa lebih dulu, hal inilah yang membuatnya kepala pusing memikirkannya selama ini.

Begitulah, betapa pun dia dapat menahan perasaannya, tidak urung tubuhnya rada gemetar juga oleh ucapan Ing-ing tadi, katanya kemudian, “Baiklah, marilah kita mengadakan suatu jual-beli. Aku akan mengampuni kematian kalian asalkan kau mengatakan padaku caranya membuat obat penawar.”

“Haha, biarpun usiaku masih muda dan pengalamanku cetek, tapi aku cukup kenal pribadi Gak-siansing dari Hoa-san-pay yang termasyhur,” jawab Ing-ing dengan tak acuh. “Bilamana ucapanmu dapat dipercaya, tentunya kau takkan berjuluk sebagai Kun-cu-kiam.”

“Hm, selama kau bergaul dengar Lenghou Tiong, rupanya hasilnya adalah cara menirukan mengoceh tak keruan,” jengek Gak Put-kun. “Jadi tegasnya kau tak mau mengatakan caranya meracik obat penawar itu?”

“Sudah tentu takkan kukatakan,” jawab Ing-ing tegas. “Biarlah tiga tahun lagi kami akan menyambut kedatanganmu di pintu gerbang akhirat sana. Cuma waktu itu wajahmu tentu sudah berlainan dengan sekarang, entah anggota badanmu akan tetap utuh seperti kini atau tidak, jangan-jangan aku akan pangling padamu.”

Merinding juga Gak Put-kun oleh kata-kata itu, ia tahu apa yang dimaksudkan si nona adalah kelak bilamana racun di dalam tubuhnya mulai bekerja, maka sekujur badannya akan membusuk atau dalam keadaan gila ia akan merobek muka sendiri hingga hancur luluh.

Dari ngeri dan takut ia menjadi kalap, serunya dengan gusar, “Seumpama badanku kelak akan hancur, paling tidak kau sudah tiga tahun celaka lebih dulu daripadaku. Kini aku pun takkan membunuh kau, aku cuma potong saja kuping dan hidungmu, akan kusayat-sayat wajahmu yang cantik molek itu, akan kulihat apakah kekasihmu yang tercinta ini masih tetap menyukai siluman seperti kau atau tidak.”

Habis berkata, “sret”, ia terus melolos pedangnya.

Ing-ing sampai menjerit kaget. Mati tidaklah menakutkan baginya, tapi kalau benar mukanya disayat-sayat sehingga rusak, lalu terlihat oleh Lenghou Tiong, hal ini sungguh akan menjadi penyesalan bagi hidupnya.

Walaupun hiat-to bisu Lenghou Tiong tertutuk sehingga tak bisa bicara, tapi tangan dan kakinya, masih dapat bergerak. Ia pun paham isi hati Ing-ing, dengan sikunya ia senggol si nona, lalu dua jarinya ia bergerak mencolok kedua mata sendiri.

Kembali Ing-ing menjerit, serunya khawatir, “Jangan, Engkoh Tiong!”

Sebenarnya Gak Put-kun tidak sungguh-sungguh hendak merusak wajah Ing-ing yang cantik itu, hal ini cuma digunakan sebagai alat pemeras saja agar si nona mau mengaku resep pembuatan obat penawar. Kalau Lenghou Tiong sampai membutakan kedua mata sendiri, maka langkahnya yang jitu itu menjadi tak berguna lagi.

Maka dengan cepat luar biasa sebelah tangannya lantas menjulur, dari luar jala ikan itu ia pegang pergelangan tangan Lenghou Tiong sambil membentak, “Berhenti!”

Begitu anggota badan kedua orang tersentuh segera Gak Put-kun merasa tenaga dalam sendiri bocor keluar dari tubuhnya. Ia menjerit kaget dan cepat meronta dengan tujuan melepaskan tangannya. Akan tetapi sudah terlambat, tangan sendiri seperti melengket di pergelangan tangan Lenghou Tiong.

Tanpa ayal lagi Lenghou Tiong lantas membalik tangannya, kini berbalik ia berhasil mencengkeram tangan Gak Put-kun, menyusul ia lantas kerahkan Gip-sing-tay-hoat, berangsur-angsur ia sedot tenaga dalam Gak Put-kun ke tubuhnya sendiri.

Saking gugupnya Gak Put-kun terus ayun pedang di tangan lain untuk menebas tubuh Lenghou Tiong. Akan tetapi Lenghou Tiong keburu membetot sehingga tubuh Gak Put-kun terseret maju, tebasan pedangnya kena di atas tanah.

Tenaga dalam Gak Put-kun masih terus membanjir keluar, ketika ia bermaksud membacok lagi dengan pedangnya, namun rasanya sudah lemas lunglai, lengan saja hampir-hampir tak kuat diangkat. Sebisanya ia coba angkat pedangnya, dengan ujung pedang ia arahkan kening Lenghou Tiong, lengan dan pedang gemetar hebat, perlahan-lahan ditusukkan ke depan.

Ing-ing menjadi khawatir, ia bermaksud menggunakan jari untuk menyelentik batang pedang Gak Put-kun, namun kedua lengannya tertindih oleh badan Lenghou Tiong, jala ikan itu terikat dengan kencang pula, meski dia sudah berusaha meronta sekuatnya tetap sukar menarik keluar tangannya yang tertindih itu.

Tangan kiri Lenghou Tiong sendiri juga terjepit oleh Ing-ing dan tak dapat bergeser. Dalam keadaan kepepet tiba-tiba ia mendapat akal, segera ia mengerahkan Gip-sing-tay-hoat pada bagian kening, ia berharap bilamana ujung pedang lawan menyentuh kening sendiri, melalui pedang lawan itulah ia akan menyedot tenaga dalam Gak Put-kun, dengan demikian tusukan pedang lawan akan gagal pula. Tapi tujuannya akan berhasil atau tidak sukar dipastikan, soalnya dalam keadaan terpaksa, berusaha sedapat mungkin daripada mati konyol tak berdaya.

Tertampak ujung pedang lawan sudah makin mendekat keningnya, tiba-tiba teringat olehnya, “Aku telah membunuh Co Leng-tan dengan gerakan pedang yang lambat, begitu pula caraku melukai Lim Peng-ci, kini Suhu juga membunuh aku dengan cara yang sama, sungguh cepat amat datangnya pembalasan.”

Gak Put-kun sendiri merasakan tenaga dalamnya dengan cepat terkuras keluar, ujung pedangnya juga tinggal beberapa senti saja di muka kening Lenghou Tiong, ia menjadi cemas dan bergirang pula. Ia berharap tusukan pedangnya dapat membinasakan Lenghou Tiong, sekalipun tenaga dalamnya yang hilang sukar ditarik kembali lagi, sedikitnya ada sebagian yang masih rapat dipertahankan dan tentu masih dapat berlatih lagi dari awal.

Pada saat genting itulah, sekonyong-konyong dari belakang seorang gadis menjerit dengan suara tajam, “He, apa yang kau lakukan? Lekas lepaskan pedangmu!”

Berbareng itu terdengar suara orang berlari-lari datang.

Melihat ujung pedangnya tinggal dua-tiga senti saja sudah dapat membinasakan Lenghou Tiong, mati-hidup sendiri kini juga tergantung kepada hasil tusukannya itu, sudah tentu ia tidak mau mengurungkan serangannya. Sekuat sisa tenaga ia coba dorong pedangnya ke depan, rasanya ujung pedang sudah menyentuh kening sasarannya. Tapi pada saat itu juga punggungnya terasa dingin, sebilah pedang telah menusuk punggungnya hingga menembus ke dada.

“Lenghou-toako, engkau tak apa, bukan?” terdengar suara gadis itu berseru pula. Kiranya Gi-lim adanya.

Lenghou Tiong tak dapat membuka suara, maka Ing-ing yang menjawabnya, “Siausumoay, Lenghou-toako tidak apa-apa.”

“Syukurlah kalau begitu,” seru Gi-lim bergirang. Tiba-tiba ia tercengang dan berkata pula dengan melongo, “He, dia Gak-siansing! Aku... aku telah membunuh dia!”

“Benar,” kata Ing-ing. “Selamatlah, kau telah berhasil menuntut balas atas orang yang membunuh gurumu. Harap kau melepaskan tali pengikat jala ini untuk membebaskan kami.”

“O, ya, ya!” sahut Gi-lim. “Jadi aku... aku telah mem... membunuh dia?”

Biarpun orang persilatan, tapi dasar hatinya kecil, melihat Gak Put-kun menggeletak di sini dengan berlumuran darah, ia menjadi takut hingga lemas badannya, ia pegang tali jala dan bermaksud membukanya, namun kedua tangan terasa gemetar dan tak bertenaga, beberapa kali ia coba membuka ikatan tali jala, tapi sukar membukanya.

Pada saat itulah dari sebelah sana tiba-tiba ada orang membentak, “Nikoh cilik, kau berani membunuh orang tua, kau harus terima hukuman yang setimpal!”

Berbareng seorang tua berbaju kuning lantas berlari tiba dengan pedang terhunus, kiranya adalah Lo Tek-nau.

“Celaka! Siausumoay bukan tandingan jahanam ini!” keluh Lenghou Tiong di dalam hati.

Cepat Ing-ing berseru, “Siausumoay, lekas lolos pedang dan melawannya!”

Mula-mula Gi-lim tertegun, tapi segera ia cabut pedang di tubuh Gak Put-kun, sementara itu Lo Tek-nau sudah lantas melancarkan serangan tiga kali berturut-turut. Gi-lim dapat menangkis serangan itu, tapi serangan ketiga telah menyerempet bahu kirinya sehingga terluka.

Tertampak serangan-serangan Lo Tek-nau semakin cepat, beberapa jurus serangannya lapat-lapat mirip dengan Pi-sia-kiam-hoat, hanya saja latihannya belum sempurna, cuma gayanya saja sama, tapi kecepatannya berbeda jauh sekali bilamana dibandingkan Lim Peng-ci.

Namun kepandaian Lo Tek-nau memang cukup tinggi, pengalaman banyak, ilmu pedangnya mencakup Ko-san-kiam-hoat dan Hoa-san-kiam-hoat, ditambah lagi akhir-akhir ini berhasil mempelajari sedikit Pi-sia-kiam-hoat, tentu saja Gi-lim bukan tandingannya. Untunglah akhir-akhir ini Gi-lim juga giat meyakinkan Hing-san-kiam-hoat, kemajuannya juga cukup pesat, maka untuk sementara dia masih dapat menandingi lawannya.

Mula-mula ia rada gugup oleh serangan lawan yang cepat itu sehingga bahunya terluka, tapi demi teringat bila dirinya kalah, maka nasib Lenghou Tiong dan Ing-ing tentu celaka. Ia pikir musuh hendak membunuh Lenghou-toako, biarlah dia harus melangkahi dulu mayatku.

Dengan tekad akan membela Lenghou Tiong sekalipun dirinya harus mati, maka caranya bertempur menjadi nekat juga tanpa pikirkan risiko lagi.

Menghadapi pertarungan sengit secara mati-matian ini, seketika Lo Tek-nau menjadi sukar mengalahkan Gi-lim, terpaksa ia mencaci maki kalang kabut, “Nikoh cilik, keparat kau! Maknya, berani mati ya kau!”

Melihat cara bertempur Gi-lim yang nekat itu, meski untuk sementara dapat bertahan, tapi sesudah lama tentu akan kalah juga. Segera Ing-ing berusaha membebaskan diri, ia coba menggeser tubuhnya sehingga tangan kiri dapat digunakan membuka hiat-to Lenghou Tiong yang tertutuk itu, lalu ia merogoh pedang pendeknya yang terselip di pinggang.

“He, Lo Tek-nau, barang apakah di belakangmu itu?” seru Lenghou Tiong.

Namun Lo Tek-nau cukup berpengalaman, di kala bertempur mati-matian begitu tentu saja dia tidak mau menoleh begitu saja oleh karena seruan Lenghou Tiong itu. Ia tidak ambil pusing terhadap kata-kata Lenghou Tiong, sebaliknya pergencar serangan-serangannya.

Dengan memegang pedangnya Ing-ing bermaksud menyambitkan senjata itu dari dalam jala, namun Gi-lim berdiri membelakanginya dan menempur Lo Tek-nau dari jarak dekat, kalau sambitannya sedikit menceng tentu akan mengenai Gi-lim malah.

Tiba-tiba terdengar Gi-lim menjerit lagi, rupanya bahunya terkena pula senjata musuh. Kalau luka pertama tadi hanya ringan saja, maka luka kedua ini rada parah sehingga darah bercucuran.

“Eh, ada monyet!” Lenghou Tiong berseru pula. “Ah, monyet itu kukenal, itulah monyet piaraan Laksute dahulu. He, monyet yang baik, lekas menubruk keparat itu, gigit mampus dia! Itulah bangsat pembunuh majikanmu!”

Seperti diketahui, demi untuk mencuri kitab pusaka Ci-he-sin-kang milik Gak Put-kun, memang Lo Tek-nau telah membunuh Liok Tay-yu, murid keenam Hoa-san-pay. Liok Tay-yu itu biasanya memang suka piara kera, ke mana pun pergi selalu membawa seekor kera kecil yang hinggap di atas pundaknya. Sesudah Liok Tay-yu mati, kera kecil itu pun entah menghilang ke mana.

Kini mendengar Lenghou Tiong berseru tentang monyet, seketika Lo Tek-nau mengirik bulu kuduknya. Pikirnya, “Bila binatang itu benar-benar menubruk ke tubuhku dan menggigit diriku, repot juga bagiku untuk mengusirnya.”

Maka tanpa pikir lagi pedangnya terus membacok ke belakang. Tiba-tiba tertampak di samping tebing sana ada beberapa ekor kera sedang meloncat kian-kemari, jaraknya cukup jauh dari tempatnya, entah di antara kera-kera itu apakah betul terdapat kera piaraan Liok Tay-yu dahulu itu?

Pada saat itulah segera Ing-ing menyambitkan pedang pandaknya, “serrr,” pedang itu menyambar ke tengkuk Lo Tek-nau secepat kilat.

Cepat juga cara Lo Tek-nau mengelak, sedikit mendak ke bawah, pedang Ing-ing menyambar lewat di atas kepalanya. Tapi mendadak pergelangan kaki kirinya terasa kencang terlibat oleh seutas tali, bahkan tali itu lantas terbetot sehingga tubuhnya sukar dikuasai, ia jatuh terjerembap.

Kiranya dalam keadaan gawat itu, Lenghou Tiong tidak sia-siakan waktu Lo Tek-nau mendekam ke bawah buat menghindarkan pedang tadi, ia tidak sempat membuka jala ikan lagi, tapi tali jala yang cukup panjang itu terus diayunkan untuk melibat kaki lawan dan menariknya hingga jatuh.

Habis itu, berbareng Lenghou Tiong dan Ing-ing berseru, “Lekas bunuh dia, lekas!”

Gi-lim lantas angkat pedangnya hendak memenggal kepala Lo Tek-nau. Tapi dasar wataknya memang welas asih, hatinya kecil pula, waktu membunuh Gak Put-kun tadi hanya terdorong oleh hasratnya ingin menolong Lenghou Tiong, tanpa pikir ia terus menusuk. Tapi sekarang ketika pedangnya hampir mengenai Lo Tek-nau, tiba-tiba perasaannya tak tega, bacokannya menjadi menceng, “crat”, pundak kanan Lo Tek-nau yang terbacok.

Tulang pundak Lo Tek-nau seketika terbacok putus, pedang terlepas dari cekalan. Khawatir Gi-lim menyerang lagi, dengan menahan sakit Lo Tek-nau lantas melompat bangun, setelah meronta dan terlepas dari libatan tali jala tadi, secepat terbang ia terus kabur ke bawah karang.

Sekonyong-konyong dari sebelah karang sana muncul dua orang, seorang perempuan yang jalan di depan lantas membentak, “He, kau yang memaki anak perempuanku tadi, ya?”

Ternyata perempuan itu adalah ibu Gi-lim, si nenek yang berlagak bisu-tuli di Sian-kong-si itu.

Tanpa menjawab Lo Tek-nau lantas angkat kaki hendak menendang, namun gerak tubuh nenek itu sukar dilukiskan cepatnya, hanya sedikit berkelit, “plok”, tahu-tahu Lo Tek-nau malah kena ditempeleng satu kali.

“Kurang ajar!” damprat si nenek. “Tadi kau memaki ‘maknya’ padanya, aku inilah emaknya, jadi makianmu itu sama dengan memaki aku!”

“Cegat dia, tahan dia! Jangan lepaskan dia!” seru Lenghou Tiong.

Sebenarnya si nenek sudah angkat tangannya hendak menabok kepala Lo Tek-nau, bila pukulannya dijatuhkan, pasti jiwa Lo Tek-nau akan melayang. Tapi demi mendengar seruan Lenghou Tiong itu, si nenek berbalik naik pitam dan menjerit, “Setan alas kecil, aku justru sengaja lepaskan dia!”

Berbareng ia terus memberi jalan kepada Lo Tek-nau sambil mendepak pantatnya satu kali.

Seperti lolos dari neraka saja, Lo Tek-nau terus lari sipat kuping turun dari puncak gunung itu.

Orang yang ikut di belakang si nenek bukan lain daripada Put-kay Hwesio, dengan tertawa ia mendekati Lenghou Tiong, katanya, “He, masih banyak tempat bermain yang baik, mengapa kalian suka main sembunyi-sembunyi di dalam jala?”

“Lekas membuka jala ikan itu, Ayah, lepaskan Toako dan Cici,” seru Gi-lim.

Tapi si nenek menyela dengan muka bersungut, “Aku masih harus bikin perhitungan dengan setan cilik itu, jangan lepaskan dia!”

“Hahahahaha!” Lenghou Tiong bergelak tertawa. “Suami-istri naik tempat tidur, sang comblang ikut syur! Kalian suami-istri telah berkumpul kembali mengapa tidak mengucapkan terima kasih kepadaku yang menjadi comblangnya ini?”

Namun nenek itu malah menendang sekali di tubuh Lenghou Tiong, rupanya ia merasa gemas karena telah dipermainkan oleh Lenghou Tiong, ia memaki, “Aku berterima kasih dengan sekali tendangan padamu!”

“Hai, Tho-kok-lak-sian, lekas kemari menolong aku!” tiba-tiba Lenghou Tiong berteriak dengan tertawa.

Nenek itu paling sirik terhadap Tho-kok-lak-sian, mendengar seruan Lenghou Tiong itu, ia terkejut dan menoleh. Sementara itu Lenghou Tiong lantas mengeluarkan tangannya dari dalam jala untuk membuka talipati yang mengikat jala dan membiarkan Ing-ing merangkak keluar. Ketika ia sendiri juga mau keluar mendadak si nenek membentaknya, “Tidak boleh keluar!”

Bab 138. Kepandaian Dian Pek-kong yang Khas Endus Bau Wanita

Tidak boleh juga, tidak apa-apa, di dalam jala ikan ada duniaku sendiri. Biarlah aku tidur nyenyak di sini. Seorang laki-laki sejati sanggup mengkeret dan dapat menonjol, kalau mengkeret masuk jala, bila menonjol akan keluar jala. Apa artinya bagiku soal-soal begini, aku Lenghou....” baru Lenghou Tiong mau mengoceh lagi sekilas dilihatnya mayat Gak Put-kun menggeletak di situ. Meski bekas gurunya itu berkali-kali hendak mencelakainya, tapi mengingat selama likuran tahun dirinya dibesarkan olehnya, betapa pun budi kebaikan itu sukar dinilai. Coba kalau tidak disebabkan kitab Pi-sia-kiam-hoat, mungkin di antara guru dan murid tak sampai terjadi permusuhan begini. Teringat sampai di sini, wajahnya yang tertawa tadi seketika berubah, hatinya tertekan, sekonyong-konyong air mata berlinang-linang dan mengucur tak tertahan lagi.

Agaknya si nenek belum dapat memahami perasaan Lenghou Tiong, ia masih marah-marah dan memaki, “Bangsat cilik, kalau tidak kuhajar kau, rasanya tak terlampias benciku padamu!”

Habis berkata segera ia angkat tangan hendak menampar muka Lenghou Tiong, syukurlah Gi-lim lantas berseru mencegah, “Mak, jangan....”

Sementara itu tangan Lenghou Tiong sudah bertambah sebilah pedang, kiranya Ing-ing yang menyodorkan kepadanya ketika dia termangu-mangu memandangi mayat Gak Put-kun tadi.

Begitu pedangnya menuding, segera ia menusuk ke hiat-to penting di pundak kanan si nenek, terpaksa orang tua itu mundur selangkah.

Melihat Lenghou Tiong berani melawannya bahkan balas menyerang, nenek itu tambah marah, gerak tubuhnya secepat angin, tangan menghantam dan kaki menendang, berulang-ulang ia melancarkan tujuh atau delapan kali serangan.

Namun Lenghou Tiong dapat melawannya dengan tidak kalah cepatnya, meski masih di dalam jala, tapi pedangnya selalu mengancam tempat-tempat bahaya di tubuh si nenek, hanya saja setiap kali ujung pedang hampir mengenai sasarannya segera tarik kembali.

Begitu Tokko-kiu-kiam dimainkan boleh dikata tiada tandingannya di dunia ini, kalau saja Lenghou Tiong tidak memberi kelonggaran, tentu si nenek sudah mati beberapa kali sejak tadi.

Setelah bergerak beberapa jurus lagi, akhirnya nenek itu menghela napas panjang, ia menyadari ilmu silat sendiri masih selisih jauh dengan Lenghou Tiong, ia berhenti menyerang dengan air muka bersungut.

Cepat Put-kay Hwesio melerainya, “Niocu (istriku), kita semua adalah teman sendiri, buat apa cekcok.”

“Peduli apa dengan kau?” bentak si nenek dengan gusar. Segera ia bermaksud melampiaskan dongkolnya kepada Put-kay.

Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah membuang pedangnya dan menerobos keluar dari jala ikan, katanya dengan tertawa, “Jika kau ingin memukul aku untuk melampiaskan marahmu, boleh silakan pukul saja.”

Tanpa permisi nenek itu benar-benar menempeleng sekali di muka Lenghou Tiong, tapi pemuda itu hanya tertawa saja tanpa menghindar.

“Kenapa kau tidak menghindar?” omel si nenek dengan gusar.

“Aku tidak mampu menghindarinya, apa mau dikata?” sahut Lenghou Tiong tertawa.

Nenek itu mendengus, segera sebelah tangan diangkat lagi, tapi tidak jadi dipukulkan.

Sementara itu Ing-ing sedang menarik tangan Gi-lim dan berkata padanya, “Siausumoay, syukur engkau datang tepat pada waktunya untuk menolong kami. Cara bagaimana kau dapat sampai di sini?”

“Aku dan para suci telah kena ditawan oleh orang-orangnya,” sahut Gi-lim sambil menuding mayat Gak Put-kun. “Aku dan ketiga suci dikurung di suatu gua, tadi Ayah dan Ibu telah menolong keluar kami. Kemudian kami, Ayah, Ibu, aku, dan Si Tidak Boleh Tidak Pantang (maksudnya Dian Pek-kong) serta ketiga suci, beramai-ramai menolong keluar pula para suci dari berbagai tempat kurungan mereka. Ketika aku sampai di bawah tebing sini kudengar ada orang bicara di atas dan kedengaran seperti suaranya Lenghou-toako, maka aku lantas naik ke sini untuk melihatnya.”

“Kami telah mencari ke berbagai tempat dan tiada menemukan seorang pun, tak tahunya kalian dikurung di dalam gua,” kata Ing-ing.

“Si bangsat tua baju kuning tadi adalah orang yang paling jahat, sungguh tidak rela hatiku bilamana dia sampai lolos,” kata Lenghou Tiong sambil menjemput kembali pedangnya, lalu menambahkan, “marilah kita lekas mengejarnya.”

Mereka berlima lantas turun dari puncak karang itu, tidak lama kemudian terlihatlah Dian Pek-kong dan tujuh murid Hing-san-pay sedang memanjat ke atas dari lembah sana, di antaranya terdapat juga Gi-jing. Setiap orang merasa gembira setelah dapat berkumpul kembali dengan selamat.

Dalam hati Lenghou Tiong tidak habis heran mengapa Dian Pek-kong malah mengetahui bahwa di lembah gunung itu ada sebuah gua, padahal sekeliling Hoa-san boleh dikata dikenal dengan hafal sekali olehnya, tapi belum pernah diketahuinya tentang adanya gua di bawah sana. Karena itu Lenghou Tiong sengaja menjawil Dian Pek-kong agar jalan perlahan dan ketinggalan di belakang oleh rombongan orang banyak. Lalu Lenghou Tiong bertanya, “Dian-heng, aku sendiri tidak mengetahui bahwa di lembah pegunungan Hoa-san ini ada gua rahasia lain, tapi kau malah mengetahuinya, sungguh aku merasa tidak habis mengerti dan kagum sekali padamu.”

“Sebenarnya juga tidak perlu dibuat heran,” ujar Dian Pek-kong dengan tersenyum.

“O, tentu kau menangkap salah seorang murid Hoa-san-pay, lalu paksa dia mengaku gua rahasia itu?” kata Lenghou Tiong.

“Bukan begitu halnya,” sahut Dian Pek-kong.

“Habis dari mana kau mendapat tahu gua itu, coba memberi petunjuk padaku,” pinta Lenghou Tiong.

Tiba-tiba sikap Dian Pek-kong kelihatan kikuk dan rikuh, sahutnya kemudian dengan tersenyum, “Kurang pantas bila kuterangkan hal ini, maka lebih baik tak kukatakan saja.”

“Kita berdua sama-sama petualang Kang-ouw yang suka bangor, apanya yang sopan?” ujar Lenghou Tiong. “Sudahlah, lekas kau terangkan saja.”

“Jika kukatakan, hendaklah Lenghou-ciangbun jangan marah,” kata Dian Pek-kong.

“Aku harus berterima kasih padamu karena kau telah menyelamatkan orang-orang Hing-san-pay kami, mana bisa aku marah padamu malah?” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.

Maka dengan suara tertahan Dian Pek-kong berkata, “Terus terang, sebagaimana Lenghou-ciangbun sudah tahu bahwa aku mempunyai sifat yang buruk. Tapi sejak kepalaku digunduli oleh Thaysuhu dan aku diberi nama agama ‘Put-ko-put-kay’ (Tidak Boleh Tidak Pantang), maka dengan sendirinya pantangan main perempuan tak dapat kulanggar lagi....”

Teringat kepada nama aneh pemberian Put-kay Hwesio kepada Dian Pek-kong itu, tanpa terasa Lenghou Tiong tersenyum geli.

Dian Pek-kong tahu apa yang sedang dipikir oleh Lenghou Tiong, mukanya menjadi merah, katanya pula, “Tapi kepandaian yang telah kuyakinkan sedari dulu tidak menjadi terlupa. Betapa pun jauhnya, asal di situ ada perempuan berkumpul, tentu Cayhe dapat... dapat merasakannya.”

Lenghou Tiong terheran-heran. “Bagaimana kau bisa? Bagaimana caranya?” tanyanya.

“Aku pun tidak tahu bagaimana caranya, rasanya seperti dapat mengendus bau yang timbul dari badan perempuan, bau yang berbeda daripada kaum lelaki,” kata Pek-kong.

“Hahahaha! Dian-heng benar-benar seorang genius!” puji Lenghou Tiong dengan bergelak tertawa.

“Ah, mana, mana!” sahut Dian Pek-kong.

“Kepandaian Dian-heng itu adalah karena banyak berbuat hal-hal yang buruk, dikumpulkan dari pengalaman dan gemblengan, tidak nyana kini dapat digunakan untuk menolong anak murid Hing-san-pay kami,” kata Lenghou Tiong pula dengan tertawa.

Waktu itulah Ing-ing menoleh ke belakang, mestinya ia hendak bertanya apa yang dibicarakan dan membuat Lenghou Tiong tertawa, tapi demi tampak sikap Dian Pek-kong yang kikuk dan aneh itu, ia menduga tentu bukan membicarakan hal-hal yang baik, maka urunglah ia bertanya.

Sekonyong-konyong Dian Pek-kong berhenti di situ dan berkata, “He, di sekitar sini rasanya seperti ada anggota Hing-san-pay kalian.”

Habis itu, ia mengendus-endus dengan kuat beberapa kali, lalu melangkah ke arah semak-semak di bawah lereng sana sambil munduk-munduk mencari sesuatu, perbuatannya itu mengingatkan orang pada anjing pemburu yang mencari jejak buruannya.

Selang tak lama, mendadak ia bersorak gembira dan berseru, “Ini dia, di sini!”

Tempat yang dia tuding adalah tumpukan belasan potong batu besar, setiap potong batu itu beratnya dua-tiga ratus kati sedikitnya, segera ia bekerja keras, sepotong batu besar itu lantas disingkirkan dari tempatnya.

Cepat Put-kay Hwesio dan Lenghou Tiong ikut membantu, sebentar saja belasan potong batu besar itu telah disingkirkan, di bawahnya ternyata ada sepotong balok batu. Ketika mereka mengangkat balok batu itu, tertampaklah sebuah lubang gua, di dalam gua terbaring beberapa nikoh, jelas mereka adalah murid Hing-san-pay seluruhnya.

Lekas Gi-jing dan dua orang sumoaynya melompat turun ke dalam gua dan mengangkat keluar saudara-saudara seperguruannya itu. Sudah lima-enam orang digotong keluar, di dalam gua ternyata masih ada yang lain, semuanya dalam keadaan payah. Cepat mereka menyeret keluar semua murid Hing-san-pay yang terkurung itu, di antaranya terdapat Gi-ho, The Oh, Cin Koan, dan lain-lain, gua sesempit itu ternyata terkurung 30-an orang, coba lewat semalam lagi, bukan mustahil semuanya sudah menjadi bangkai di situ.

Teringat kepada betapa kejamnya sang suhu, mau tak mau Lenghou Tiong merasa ngeri juga. Segera ia memuji Dian Pek-kong, “Dian-heng, kepandaianmu sungguh lain daripada yang lain, para suci dan sumoay ini tersembunyi di bawah tanah sedalam ini, tapi kau dapat mengendusnya, sungguh aku sangat kagum padamu.”

“Sebenarnya juga tidak perlu heran,” kata Dian Pek-kong. “Untunglah di antara mereka ada susiok dan supek dari kalangan preman....”

“Susiok dan supek siapa?” tanya Lenghou Tiong. Tapi segera ia pun tahu apa artinya itu, katanya pula, “O ya, kau adalah murid Gi-lim Sumoay, hampir aku lupa.”

“Bila yang terkurung di dalam gua melulu terdiri dari para susiok dan supek nikoh, maka sukarlah bagiku untuk menemukannya,” tutur Dian Pek-kong.

“O, rupanya ada perbedaan besar antara orang preman dan orang agama,” kata Lenghou Tiong.

“Sudah tentu banyak bedanya,” ujar Dian Pek-kong. “Perempuan dari keluarga preman tubuhnya ada bau gincu dan pupur yang wangi.”

Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Kiranya yang diendus-endus dengan keras oleh hidung Dian Pek-kong adalah bau gincu dan pupur wangi kaum wanita itu.

Begitulah beramai-ramai Gi-jing, Gi-lim, dan lain-lain lantas sibuk menyadarkan para saudara seperguruannya yang payah itu, setelah diberi minum air jernih, akhirnya semuanya sadar kembali.

“Yang kita selamatkan ini belum ada sepertiga dari saudara-saudara kita,” kata Lenghou Tiong. “Maka dari itu, Dian-heng, harap engkau pertunjukkan kesaktianmu, marilah kita mencari lagi saudara-saudara yang lain.”

Dalam pada itu si nenek sedang melirik kepada Dian Pek-kong dengan penuh rasa curiga, tiba-tiba ia bertanya, “Cara bagaimana kau mengetahui orang-orang ini terkurung di sini? Besar kemungkinan kau berada di sekitar sini ketika mereka disekap di sini, bukan?”

“Tidak, tidak,” cepat Dian Pek-kong membantah. “Aku senantiasa ikut Thaysuhu ke mana pun beliau pergi, tak pernah meninggalkan selangkah pun dari sisi beliau.”

“Kau senantiasa ikut di sisinya?” si nenek menegas dengan muka cemberut.

Diam-diam Dian Pek-kong mengeluh karena ucapannya yang keseleo itu. Pikirnya, mereka suami-istri tua baru saja berkumpul kembali, sepanjang jalan banyak menimbulkan hal-hal yang lucu, ya menangis ya tertawa, ya bertengkar, ya mesra, semuanya itu telah dilihat dan didengar olehnya sendiri. Kini kalau si nenek guru ini sampai marah lantaran malunya, tentu diriku bisa celaka. Maka cepat ia menjawab, “O, bukan begitu maksudku. Selama setengahan tahun ini Tecu selalu mendampingi Thaysuhu, tapi kira-kira puluhan hari yang lalu Tecu telah berpisah dengan beliau dan baru hari ini kita bersua kembali di sini.”

Sudah tentu si nenek setengah percaya setengah sangsi, tanyanya pula, “Lalu cara bagaimana pula kau mengetahui para nikoh ini terkurung di dalam gua sini?”

“Tentang ini... ini....” seketika Dian Pek-kong menjadi sukar memberi jawaban.

Pada saat itulah tiba-tiba di lereng gunung sana bergema suara trompet yang ramai, menyusul suara genderang bergemuruh laksana beribu-ribu prajurit berderap di medan perang. Seketika semua orang menjadi tercengang.

“Ayahku datang!” demikian Ing-ing membisiki Lenghou Tiong.

“O....” mestinya ia hendak mengatakan “kiranya bapak mertuaku yang datang!” tapi tiba-tiba ia merasa tidak enak berkata demikian dan urung diucapkan.

Setelah genderang berderu, sejenak kemudian trompet berbunyi pula dengan nyaring. Habis itu mendadak suara genderang dan trompet itu berhenti serentak, suara belasan orang sama berteriak, “Paduka Yang Mulia Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau tiba!”

Tenaga dalam belasan orang itu sangat kuat, suara teriakan mereka seketika menggema angkasa lembah pegunungan hingga menimbulkan suara kumandang yang gemuruh.

Belum lenyap kumandang suara pertama itu, menyusul terdengar pula suara orang banyak berteriak-serentak, “Hidup Yim-kaucu!”

Dari suara gemuruh yang menggetar bumi itu, jumlah orang yang berteriak serentak itu sedikitnya ada beberapa ribu orang.

Selang sebentar, kumandang suara itu mulai mereda, lalu ada seorang berseru dengan lantang, “Tiau-yang-sin-kau Yim-kaucu mahabijaksana dan juru penyelamat ada perintah: Hendaklah para ciangbunjin dari Ngo-gak-kiam-pay beserta para anak muridnya menaati perintah supaya berangkat dan berkumpul di Tiau-yang-hong!”

Setelah orang itu mengulangi tiga kali titah sang kaucu itu, selang sejenak, lalu ia menyambung lagi, “Para Hiangcu dan wakilnya hendaklah memimpin anak buah masing-masing mengadakan pemeriksaan di segenap puncak gunung, jaga keras jalan keluar-masuk, orang tak berkepentingan dilarang jalan mondar-mandir. Yang melanggar perintah boleh bunuh saja tanpa perkara.”

Segera ada dua-tiga puluh orang mengiakan perintah itu, tentu mereka adalah ke-12 hiangcu dari Tiau-yang-sin-kau beserta wakil-wakilnya.

Lenghou Tiong saling pandang sekejap dengan Ing-ing, ia paham apa artinya perintah Yim-kaucu itu, hal mana berarti setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay diharuskan pergi ke Tiau-yang-hong untuk menghadap kepada sang kaucu. Ia pikir Yim-kaucu adalah ayah Ing-ing, bila nanti aku menikah dengan Ing-ing toh mesti pergi menemuinya.

Karena itu ia lantas berkata kepada Gi-ho dan lain-lain, “Masih ada sebagian saudara kita yang terkurung, hendaklah Dian-heng ini menjadi penunjuk jalan, marilah kita lekas menolong keluar mereka. Yim-kaucu adalah ayah Yim-siocia, rasanya beliau takkan bikin susah kita. Aku dan Yim-siocia akan pergi dulu ke puncak timur sana, setelah saudara-saudara kita sudah berkumpul semua, hendaklah beramai-ramai bergabung di puncak timur sana.”

Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, dan lain-lain sama mengiakan, mereka ikut Dian Pek-kong pergi mencari teman-teman lain yang masih terkurung di berbagai tempat.

Tiba-tiba si nenek mengomel, “Aku justru tak sudi pergi menghadap dia, ingin kulihat cara bagaimana orang she Yim itu membunuh diriku tanpa perkara!”

Lenghou Tiong tahu wataknya si nenek yang sukar diajak bicara, seumpama dia mau pergi menemui Yim Ngo-heng, bukan mustahil nanti akan menimbulkan gara-gara malah, maka ia pun tidak merintanginya, segera ia memberi hormat kepada Put-kay Hwesio dan si nenek, bersama Ing-ing lantas menuju ke puncak timur.

Ada tiga puncak paling tinggi di pegunungan Hoa-san, masing-masing terdiri dari puncak timur, puncak selatan, dan puncak barat. Puncak timur mempunyai nama resmi sebagai Tiau-yang-hong (Puncak Menyongsong Surya). Sebabnya Yim Ngo-heng memilih Tiau-yang-hong sebagai tempat pertemuan dengan para kesatria dari Ngo-gak-kiam-pay sudah tentu mempunyai arti yang mendalam.

Sambil jalan berendeng dengan Ing-ing, berkatalah Lenghou Tiong, “Ayahmu menyuruh orang-orang Ngo-gak-kiam-pay berkumpul di Tiau-yang-hong, apakah mungkin orang-orang dari berbagai aliran itu sekarang berada di Hoa-san sini?”

“Di antara pemimpin-pemimpin Ngo-gak-kiam-pay itu, dalam sehari saja tadi telah mati tiga orang, yaitu Gak-siansing, Co Leng-tan, dan Bok-taysupek,” kata Ing-ing. “Thay-san-pay belum diketahui ada pengangkatan ketua baru, maka di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya tinggal kau seorang saja yang menjabat ketua.”

“Ya, di antara tulang punggung Ngo-gak-kiam-pay, kecuali Hing-san-pay, selebihnya sudah hampir tewas semua di gua belakang Su-ko-keh itu, sedangkan anak murid Hing-san-pay sendiri juga baru terkurung dalam keadaan payah, maka aku menjadi khawatir....”

“Kau khawatir ayahku menumpas habis Ngo-gak-kiam-pay kalian pada kesempatan baik sekarang ini?” Ing-ing menegas.

Lenghou Tiong mengangguk sambil menghela napas, katanya, “Sebenarnya beliau tidak perlu turun tangan juga orang-orang Ngo-gak-kiam-pay sudah tiada artinya lagi baginya.”

“Perhitungan ayahku sekali ini benar-benar sangat jitu,” kata Ing-ing. “Gak-siansing telah memancing berbagai tokoh inti dari Ngo-gak-kiam-pay untuk masuk ke gua di Hoa-san sini untuk melihat ilmu pedang yang terukir di dinding, tujuannya hendak menumpas tokoh-tokoh terkuat dari aliran-aliran lain agar dia dapat menjabat ketua Ngo-gak-pay dengan aman, dengan demikian tiada tokoh dari aliran lain yang mampu mendampingi dia. Tak terduga kesempatan itu telah digunakan juga oleh Co Leng-tan dengan mengajak segerombolan orang buta dan bermaksud membinasakan Gak Put-kun di gua yang gelap itu.”

“Kau bilang Co Leng-tan bermaksud membunuh guruku dan bukan diriku yang diincar?” Lenghou Tiong menegas.

“Dia tidak menduga akan kedatanganmu ke sini,” sahut Ing-ing. “Sebab ilmu pedangmu sudah mahahebat, sudah lama kau melebur jurus-jurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu, dugaan sendirinya kau takkan tertarik oleh umpan yang dia pasang itu. Bahwasanya kita masuk juga ke gua itu hanya karena kebetulan saja.”

“Memang benar. Padahal Co Leng-tan juga tiada bermusuhan apa-apa dengan aku, sebaliknya Suhu telah membutakan kedua matanya, telah merebut pula kedudukan ketua Ngo-gak-pay, hal-hal inilah menjadi dendam kesumat baginya.”

“Rasanya terlebih dahulu Co Leng-tan pasti sudah mengatur tipu daya apa-apa untuk memancing Gak-siansing masuk ke gua itu, habis itu baru membunuhnya dalam keadaan gelap gulita. Tapi entah apa sebabnya agaknya tipu muslihatnya ketahuan oleh Gak-siansing sehingga berbalik menanti di mulut gua, lalu menangkap tawanannya dengan jala ikan. Kini Co Leng-tan dan gurumu sudah meninggal semua, seluk-beluk urusan ini secara terperinci mungkin tiada seorang pun yang tahu.”

Lenghou Tiong manggut-manggut dengan rasa pilu.

Lalu Ing-ing berkata pula, “Agaknya, sudah lama sekali Gak-siansing merencanakan tipu muslihatnya untuk memancing kedatangan tokoh-tokoh inti Ngo-gak-kiam-pay ke dalam gua itu. Tempo hari, waktu pertandingan di puncak Ko-san, kau punya siausumoay, Gak-siocia itu sekaligus telah mengalahkan jago-jago Thay-san-pay, Heng-san-pay, Ko-san-pay, dan Hing-san-pay dengan menggunakan ilmu pedang dari golongan-golongan itu sendiri, sudah tentu kepandaiannya yang tak terduga itu sangat menarik perhatian orang. Hanya anak murid Hing-san-pay saja yang tidak tertarik oleh kepandaian Gak-siocia itu, sebab kau sudah mengajarkan ilmu pedang Hing-san-pay yang kau peroleh dari ukiran di dinding gua itu kepada mereka, sedangkan orang-orang Heng-san-pay, Ko-san-pay, dan Thay-san-pay dengan sendirinya berusaha mencari tahu dari mana Gak-siocia dapat mempelajari ilmu pedang mereka yang lihai itu. Di situlah Gak-siansing sengaja membocorkan sedikit rahasianya, lalu menentukan hari serta membuka pintu lebar-lebar gua belakang di puncak Hoa-san itu. Tentu saja jago dari ketiga aliran itu lantas membanjir ke sana dan berebut mendahului masuk ke gua itu.”

“Ya, orang persilatan seperti kita ini memang paling tertarik kepada ilmu silat, begitu mendengar di mana ada ilmu silat yang istimewa, biarpun menghadapi bahaya besar juga ingin lihat sampai di mana kehebatan ilmu silat tersebut, apalagi menyangkut ilmu silat tertinggi dari perguruan sendiri, tentu saja harus dicari sampai ketemu. Sebab itulah tokoh-tokoh semacam Bok-taysupek yang biasanya acuh tak acuh akhirnya juga menjadi korban tipu muslihat suhuku.”

“Agaknya Gak-siansing sudah menduga Hing-san-pay kalian takkan datang ke sini, sebab itu dia mengatur tipu daya lain, dengan obat tidur kalian dibius, lalu ditawan ke Hoa-san sini.”

“Ya, aku menjadi tidak paham, mengapa Suhu mengeluarkan tenaga sebanyak itu untuk menawan orang-orang kami ke sini, padahal perjalanan cukup jauh, di tengah jalan juga mudah terjadi sesuatu, kalau dia membunuh anak buah Hing-san-pay kami di tempat itu juga kan semuanya akan menjadi beres?” setelah merandek sejenak, lalu Lenghou Tiong menyambung, “Ah, pahamlah aku, kalau anak murid Hing-san-pay dibunuh habis, hal ini berarti Ngo-gak-pay akan menjadi pincang tanpa Hing-san-pay. Sedangkan Suhu ingin menjadi ketua Ngo-gak-pay, tanpa Hing-san-pay berarti jabatannya itu tidak sempurna, tidak sesuai dengan namanya.”

“Sudah tentu, apa yang kau katakan itu adalah satu faktor, tapi kukira masih ada satu faktor lain yang lebih besar,” ujar Ing-ing.

“Apa itu?” tanya Lenghou Tiong.

“Paling baik kalau kau dapat ditangkap, dengan begitu akan dapat dipakai menukar sesuatu padaku,” tutur Ing-ing. “Kalau tidak begitu, dengan menawan seluruh anak buah Hing-san-pay kalian ke sini sebagai alat pemeras padamu, tentu saja aku takkan tinggal diam dan terpaksa akan memberikan barang yang dia minta.”

“O ya, tahulah aku!” seru Lenghou Tiong sambil menepuk paha. “Yang diinginkan guruku adalah obat penawar pil pembusuk tubuh yang kau cekokkan padanya itu.”

“Setelah Gak-siansing telan obat itu, dengan sendirinya dia tidak tenteram siang dan malam, betapa pun berusaha hendak memunahkan racun yang mengeram di dalam tubuhnya itu. Dia tahu, hanya melalui dirimu barulah obat penawar dapat diperoleh.”

“Ya, sebab aku adalah jantung hatimu, hanya diriku saja yang dapat ditukarkan dengan obat penawar darimu.”

Ing-ing menyemprotnya, “Cis, tak malu, puji-puji diri sendiri!”

Begitulah kedua orang terus melanjutkan perjalanan sambil bicara, mereka telah berada di suatu jalanan sempit yang menanjak ke atas, karena sempitnya dan curamnya jalan, kedua orang tak dapat jalan berendeng.

“Kau jalan di muka,” kata Ing-ing.

“Lebih baik kau saja jalan di depan, bila kau jatuh terperosot akan kupeluk kau,” ujar Lenghou Tiong.

“Tidak, kau saja jalan dahulu, pula tak boleh menoleh ke belakang, apa yang Nenek katakan, kau harus menurut!” kata Ing-ing dengan tertawa.

“Baiklah, aku akan jalan lebih dulu. Tapi kalau aku jatuh terperosot kau mesti peluk diriku.”

“Tidak, tidak!” cepat Ing-ing berseru, rupanya ia khawatir Lenghou Tiong pura-pura jatuh dan sengaja main gila padanya, segera ia mendahului jalan ke atas.

Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya mereka sampai di atas Giok-li-hong, Lenghou Tiong lantas menunjuk tempat-tempat yang indah di “Puncak Gadis Ayu” itu. Ing-ing tahu tempat-tempat indah itu dahulu tentu sering menjadi tempat bermain antara Lenghou Tiong dengan Gak Leng-sian, maka sekali pandang saja ia lantas meninggalkan tempat yang disebutkan itu tanpa tanya-tanya lagi.

Turun dari Giok-li-hong atau Puncak Gadis Ayu itu, setelah memutar sebuah belokan lagi, jalan menanjak ke atas adalah sebuah jalan kecil yang menuju Tiau-yang-hong. Tertampak di lereng atas sana penuh berdiri pos-pos penjagaan, seragam anggota Tiau-yang-sin-kau terdiri dari tujuh warna dan mengikuti panji komando dalam warna masing-masing, disiplinnya tertampak sangat keras, jauh lebih tertib dan angker dibandingkan keadaan di Hek-bok-keh dahulu.

Diam-diam Lenghou Tiong harus mengakui kepemimpinan Yim-kaucu yang hebat itu, beribu-ribu anak-buahnya itu ternyata dapat melakukan tugasnya dengan sangat tertib, beda jauh sekali daripada dahulu waktu dirinya memimpin beberapa ribu orang menyerbu Siau-lim-si yang kacau-balau itu.

Melihat kedatangan Ing-ing, anggota-anggota Tiau-yang-sin-kau sama membungkuk tubuh sebagai tanda hormat, terhadap Lenghou Tiong mereka pun memberi hormat yang sama. Panji komando setingkat demi setingkat dikibarkan dari bawah puncak hingga atas puncak untuk memberi lapor kepada Yim Ngo-heng.

Melihat setiap tempat yang strategis di sekitar Tiau-yang-hong itu terjaga oleh anggota Tiau-yang-sin-kau yang beribu-ribu jumlahnya, jelas Yim Ngo-heng telah mengerahkan segenap kekuatannya, seumpama para ketua Ngo-gak-kiam-pay tidak mati, jago-jago kelima aliran itu pun kumpul di Hoa-san sini, tapi kini harus menghadapi lawan yang begini kuat, mungkin juga sukar membendung serbuan musuh, apalagi sekarang keadaan sudah morat-marit, betapa pun tidak ada harapan akan mampu melawannya. Melihat gelagatnya jelas Ngo-gak-kiam-pay sudah mendekati ambang kebangkrutan, terpaksa segalanya terserah kepada takdir dan terima nasib, bila Yim Ngo-heng hendak membunuh habis orang-orang Ngo-gak-kiam-pay, dirinya tidak nanti menyelamatkan diri sendiri, terpaksa angkat senjata melakukan perlawanan mati-matian, biarlah gugur bersama anak murid Hing-san-pay di puncak Hoa-san ini. Demikian pikir Lenghou Tiong.

Meski Lenghou Tiong cukup pintar dan cerdik, tapi dia tidak biasa main tipu daya, tidak berbakat memimpin pekerjaan besar dan menghadapi kejadian hebat, kini menghadapi kehancuran Hing-san-pay secara total, ia merasa tidak punya akal untuk menyelamatkannya, biarlah segala sesuatu terserah keadaan, menyerah kepada nasib.

Terpikir olehnya Ing-ing mempunyai hubungan darah dengan Yim-kaucu, paling-paling si nona tidak membela pihak mana pun, tentunya tak dapat membantu dirinya dan memusuhi ayahnya sendiri. Maka ia lantas tenangkan pikiran, terhadap anggota-anggota Tiau-yang-sin-kau yang siaga di sepanjang jalan itu dianggap sepi saja, ia tetap berkelakar dengan Ing-ing atau membicarakan keindahan alam pegunungan Hoa-san yang mereka lalui itu.

Berbeda dengan Lenghou Tiong, pikiran Ing-ing menjadi kusut dan sedih, ia tidak dapat bersikap tak acuh seperti Lenghou Tiong, sepanjang jalan ia justru memeras otak mencari akal untuk membantu bakal suami itu. Ia menduga kedatangan ayahnya pasti tidak menguntungkan Hing-san-pay, terpaksa harus tunggu dan lihat serta berbuat menurut keadaan nanti, mungkin saja ada jalan baik bagi kedua pihak.

Begitulah mereka terus mendaki puncak itu, setiba di atas, mendadak trompet berbunyi disertai suara petasan, menyusul bergema pula suara genderang dan tetabuhan lain sebagaimana layaknya bunyi musik di kala menyambut tamu agung.

“Hehe, bapak mertua menyambut kedatangan sang menantu sayang!” kata Lenghou Tiong dengan suara perlahan sambil tertawa.

Ing-ing melotot padanya, dalam hati ia merasa sedih di samping mendongkol terhadap sikap Lenghou Tiong yang tak acuh itu, pada saat demikian masih sempat berkelakar segala.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa seorang, lalu serunya dengan lantang, “Toasiocia, Lenghou-hiante, kalian sudah ditunggu sekian lamanya oleh Kaucu.”

Berbareng itu seorang tua jangkung berjubah ungu lantas memapak maju dengan wajah berseri-seri, siapa lagi dia kalau bukan Hiang Bun-thian.

“He, Hiang-toako, baik-baikkah engkau? Sungguh aku sangat rindu padamu,” kata Lenghou Tiong dengan gembira.

“Di Hek-bok-keh sering aku mendengar berita baik tentang dirimu yang malang melintang di dunia persilatan, aku pun ikut gembira bagimu dengan mengeringkan isi cawanku sebagai pujianku padamu, selama ini entah sudah berapa guci arak yang kuhabiskan bagi kebahagiaanmu,” kata Hiang Bun-thian dengan tertawa. “Hayolah, kita lekas menghadap Kaucu!”

Bab 139. Jiwa Kesatria Hing-san-pay yang Tak Tertaklukkan

Habis berkata, segera ia gandeng tangan Lenghou Tiong dan diajak menuju ke suatu panggung batu yang menjulang tinggi di atas puncak itu. Di sebelah timur panggung batu itu terdapat lima tiang batu yang berjajar dalam bentuk seperti telapak tangan, tinggi seluruhnya beberapa puluh meter tingginya, pada jari tengah yang paling tinggi itu, di pucuk jari batu itu tertaruh sebuah kursi besar, seorang duduk di atas kursi itu, dia Yim Ngo-heng adanya.

Ing-ing mendekati telapak tangan batu raksasa itu, sambil menengadah ia pun menyapa, “Ayah!”

Dengan memberi hormat, Lenghou Tiong juga lantas berkata, “Wanpwe Lenghou Tiong menyampaikan sembah hormat kepada Kaucu!”

Yim Ngo-heng bergelak tertawa, katanya, “Bagus sekali kedatanganmu ini, kita adalah orang sekeluarga, tidak perlu banyak adat. Hari ini aku hendak menemui para kesatria seluruh jagat, bicara dulu urusan dinas, kemudian baru bicara urusan keluarga. Hian... Hiante silakan duduk di situ.”

Mula-mula Lenghou Tiong menyangka Yim Ngo-heng hendak memanggil “hiansay” (menantu sayang) padanya, tapi rupanya belum resmi, maka mendadak memanggilnya “hiante” (saudara) saja, melihat gelagatnya, terang Yim Ngo-heng sangat setuju mengenai perjodohan dirinya dengan Ing-ing, apalagi ucapannya tadi memakai “kita adalah orang sekeluarga” dan “bicara urusan dinas dulu baru bicara urusan keluarga” segala, jelas dirinya telah dipandang sebagai anggota keluarga sendiri oleh kaucu itu.

Tentu saja hati Lenghou Tiong sangat girang, ia berdiri tegak kembali. Tapi mendadak dalam perut timbul suatu arus hawa dingin terus menerjang ke atas, seluruh badan menjadi menggigil seperti kejeblos ke dalam sungai es.

Ing-ing terkejut, cepat ia memburu maju dan bertanya, “Kenapa kau?”

“Aku... aku....” ternyata sukar bagi Lenghou Tiong untuk membuka suara.

Meski duduk begitu tinggi, jaraknya berpuluh meter, tapi pandangan Yim Ngo-heng sungguh amat tajam, segera ia bertanya, “Apakah kau telah bergebrak dengan Co Leng-tan?”

Lenghou Tiong mengangguk.

“Tidak menjadi soal,” ujar Yim Ngo-heng. “Kau telah menyedot hawa dingin beracun dari dia, sebentar kalau hawa dingin itu buyar tentu kau akan sehat kembali. Mengapa Co Leng-tan belum tiba?”

“Co Leng-tan memasang perangkap keji hendak membikin susah Lenghou-toako dan aku, akhirnya dia telah dibinasakan oleh Lenghou-toako,” tutur Ing-ing.

“Ooo!” Yim Ngo-heng rada melongo, meski air mukanya tak tertampak jelas karena tempat duduknya yang tinggi, tapi dari suaranya itu jelas penuh rasa kecewa yang tak terhingga.

Ing-ing tahu akan perasaan sang ayah. Hari ini secara besar-besaran sang ayah mengerahkan kekuatannya ke sini dengan tujuan hendak menaklukkan Ngo-gak-kiam-pay secara total. Co Leng-tan merupakan musuh bebuyutan ayahnya selama ini, kini tak dapat menyaksikan musuh besar itu bertekuk lutut mengaku kalah padanya, dengan sendirinya merasa menyesal.

Segera Ing-ing menggenggam tangan kanan Lenghou Tiong, disalurkan tenaga dalam sendiri untuk membantu pemuda itu menolak hawa dingin berbisa. Tangan Lenghou Tiong yang lain dipegang oleh Hiang Bun-thian. Kedua orang mengerahkan tenaga sekaligus, segera Lenghou Tiong merasa hawa dingin dalam tubuhnya membuyar lambat laun.

Ketika bertempur di Siau-lim-si dahulu, hawa dingin berbisa Co Leng-tan itu juga tersedot tidak sedikit oleh Yim Ngo-heng, akibatnya di tanah bersalju Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing ikut terbeku menjadi manusia salju.

Bedanya sekarang Lenghou Tiong hanya menyedot sedikit hawa dingin berbisa Co Leng-tan itu melalui persentuhan pedang, waktunya sangat singkat, hawa dingin yang tersedot itu juga terbatas, maka cuma sebentar saja ia tidak menggigil lagi.

“Sudah baik, terima kasih,” katanya kemudian kepada Hiang Bun-thian dan Ing-ing.

“Adik cilik, begitu mendengar panggilanku, segera kau naik ke sini, sungguh bagus sekali kau!” kata Yim Ngo-heng. Lalu ia berpaling kepada Hiang Bun-thian dan berkata pula, “Mengapa orang-orang keempat pay yang lain hingga kini masih belum datang?”

“Coba hamba mendesaknya lagi!” jawab Hiang Bun-thian. Lalu ia memberi tanda dengan angkat sebelah tangannya, segera ada delapan orang tua berseragam kuning berbaris ke depan puncak gunung itu dan berteriak bersama, “Yim-kaucu mahabijaksana dari Tiau-yang-sin-kau memberi perintah agar semua orang Thay-san-pay, Ko-san-pay, Heng-san-pay, dan Hoa-san-pay segera menghadap ke puncak ini. Para Hiangcu diharuskan mendesak mereka selekasnya, jangan lengah!”

Kedelapan orang tua itu sama memiliki tenaga dalam yang kuat, suara mereka serentak berkumandang hingga jauh dan terdengar di setiap puncak gunung sekitarnya. Maka terdengarlah dari berbagai penjuru suara berpuluh orang menjawab berbareng, “Turut perintah! Semoga Kaucu panjang umur, memerintah Kang-ouw selamanya!”

Suara sahutan itu terang berasal dari para hiangcu yang dimaksudkan.

Lalu Yim Ngo-heng berkata pula dengan tersenyum, “Lenghou-ciangbun, silakan duduk di sebelah sana.”

Lenghou Tiong melihat sebelah barat telapak tangan batu yang menegak itu berbaris lima buah kursi, setiap kursi dilandasi dengan kain sutra yang terdiri dari pancawarna dan setiap kain sutra itu bersulaman sebuah puncak gunung.

Di antara Ngo-gak-kiam-pay sebenarnya Ko-san-pay adalah kepalanya, Hing-san-pay terhitung paling buncit menurut urut-urutannya, tapi kini tempat duduk Hing-san-pay justru diputar balik menjadi tempat duduk utama, habis itu baru Hoa-san-pay, sedangkan Ko-san-pay malah diberi tempat duduk paling akhir. Terang Yim Ngo-heng sengaja mengangkat tinggi diriku dan sengaja pula hendak menghina Co Leng-tan. Demikian pikir Lenghou Tiong.

Memangnya Co Leng-tan, Gak Put-kun, dan Bok-taysiansing bertiga sudah mati semua, maka Lenghou Tiong juga tidak perlu sungkan-sungkan lagi, ia membungkuk tubuh dan mengiakan, lalu berduduk di atas kursi berlandaskan kain sutra hitam dengan sulaman puncak gunung Kian-seng-hong di Hing-san.

Suasana di atas Tiau-yang-hong menjadi sunyi senyap, semua orang menunggu dengan tenang.

Selang agak lama Hiang Bun-thian memberi perintah agar kedelapan orang tua tadi berteriak sekali lagi, tapi tetap tiada orang naik ke atas situ.

“Orang-orang itu benar-benar tidak tahu diri, sekian lamanya mereka masih belum datang memberi sembah kepada Kaucu, suruhlah orang kita sendiri naik dulu ke sini!” seru Hiang Bun-thian kemudian.

Kedelapan orang tua berseragam kuning tadi lantas berseru serentak, “Saudara-saudara dari pulau-pulau, gua-gua, gunung-gunung, dan berbagai organisasi sungai dan laut disilakan naik ke atas Tiau-yang-hong sini untuk menghadap Kaucu!”

Baru saja kata “kaucu” habis diucapkan, serentak di sekitar puncak gunung situ bergema suara jawaban, “Taat!”

Begitu hebat suara ramai itu hingga gemuruh laksana bunyi geluduk yang menggetar lembah gunung.

Lenghou Tiong terperanjat mendengar suara yang riuh ramai itu, dari suara gemuruh itu dapat ditaksir sedikitnya diteriakkan oleh dua-tiga puluh ribu orang. Padahal tadinya lembah gunung sekitar situ sunyi senyap, tahu-tahu bergema suara orang sebanyak itu, terang sebelumnya telah sengaja disembunyikan oleh Yim Ngo-heng dengan tujuan hendak membikin keder pihak Ngo-gak-kiam-pay supaya tidak berani melakukan perlawanan.

Begitulah dalam sekejap saja orang-orang membanjir menuju Tiau-yang-hong dari berbagai penjuru. Meski jumlah orang itu sangat banyak, tapi sama sekali tidak mengeluarkan suara berisik. Setiap orang berdiri di tempat masing-masing secara rajin, tampaknya mereka sudah terlatih dengan baik sebelumnya.

Yang naik ke atas puncak itu hanya dua-tiga ribu orang saja, semuanya tergolong punya kedudukan sebangsa pangcu, cecu, tongcu, tocu, dan sebagainya, sedang anak buahnya dengan sendirinya menunggu di lereng gunung sana.

Sekilas pandang Lenghou Tiong melihat sebagian besar di antara orang-orang itu adalah jago-jago Kang-ouw yang dahulu pernah di bawah komandonya ikut menyerbu ke Siau-lim-si, dilihatnya Na Hong-hong, Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, Keh Bu-si, dan lain-lain juga berada di antara orang banyak itu. Tapi orang-orang itu hanya adu pandang saja dengan Lenghou Tiong, semuanya cuma bersenyum saja sebagai tanda memberi salam, tapi tiada seorang pun yang berani bersuara menyapa.

Ketika Hiang Bun-thian angkat sebelah tangannya, lalu memberi tanda suatu lingkaran ke depan, beribu-ribu orang itu serentak berlutut dan berteriak, “Hamba sekalian menyampaikan sembah bakti kepada Kaucu penyelamat dan mahabijaksana. Semoga Kaucu panjang umur dan memerintah Kang-ouw selamanya!”

Teriakan beribu orang yang memiliki kepandaian tinggi itu disusul dengan semua orang yang berada di lereng gunung sana, keruan suara mereka benar-benar menggetar langit dan mengguncangkan bumi.

Yim Ngo-heng duduk diam-diam saja di tempatnya, sehabis orang-orang itu berteriak memujanya barulah ia mengangkat tangannya sebagai tanda menerima sanjung puji anak buahnya itu, katanya, “Saudara-saudara tentu lelah, silakan bangun!”

“Terima kasih, Maha-kaucu!” seru beribu-ribu orang itu berbareng sambil berbangkit.

Melihat sanjung puji anggota Tiau-yang-sin-kau yang lebih memuakkan daripada dahulu mereka menyanjung Tonghong Put-pay, bahkan sekarang mereka menambahkan sebutan “maha-kaucu” kepada Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong merasa merinding oleh sanjung puji yang berlebih-lebihan itu.

Sekonyong-konyong ia merasa perutnya kesakitan, pandangan menjadi gelap dan hampir-hampir jatuh pingsan, lekas-lekas ia pegang tepian kursi dengan kencang sambil menggigit bibir hingga berdarah karena menahan rasa sakit luar biasa itu. Ia tahu sejak mempelajari Gip-sing-tay-hoat, meski dia sudah bersumpah takkan menggunakan ilmu itu, tapi di dalam gua yang gelap itu dan ketika mendadak terjaring oleh jala Gak Put-kun, dalam keadaan gawat pilihan antara hidup dan mati itu, terpaksa ia menggunakan ilmu jahat itu, akibatnya badan sendiri ikut menderita.

Sekuatnya ia menahan rasa sakit agar mulut tidak sampai bersuara merintih, karena itu keningnya lantas penuh butir-butir keringat, sekujur badan gemetar, otot daging wajahnya berkerut-kerut, suatu tanda betapa penderitaan yang dia rasakan, hal ini segera dapat diketahui bagi setiap orang yang melihatnya. Begitu pula Coh Jian-jiu dan lain-lain juga sedang memandang padanya penuh perhatian dan khawatir.

Ing-ing mendekatinya dan berkata padanya dengan suara tertahan, “Engkoh Tiong, aku berada di sisimu!”

Andaikan di tempat yang sepi tentu dia sudah pegang tangan pemuda itu untuk menghiburnya, tapi di bawah beribu-ribu pasang mata itu, terpaksa ia hanya dapat mengucapkan kata-kata itu saja.

Lenghou Tiong lantas menoleh dan memandang Ing-ing sekejap, perasaannya terasa terhibur sedikit. Teringat olehnya apa yang pernah dikatakan Yim Ngo-heng di Hangciu dahulu, katanya setelah Lenghou Tiong mempelajari “Gip-sing-tay-hoat” dan berhasil mengumpulkan macam-macam tenaga murni dari orang lain ke dalam tubuh sendiri, pada suatu hari kelak himpunan tenaga-tenaga murni yang bermacam-macam itu pasti akan bergolak dan setiap kali bergolak akan semakin lihai daripada sebelumnya dan hal ini berarti badan sendiri akan tersiksa.

Dahulu sebabnya Yim Ngo-heng menyerahkan kedudukan kaucu kepada Tonghong Put-pay juga lantaran waktu itu ia tersiksa oleh macam-macam tenaga murni yang berkumpul dalam tubuhnya itu, ia harus berusaha mencari jalan keluar untuk memunahkannya, karena itu terpaksa ia harus mengesampingkan segala urusan, akhirnya dia malah kena dipecat dan dikurung oleh Tonghong Put-pay di bawah danau di Hangciu.

Selama terkurung di bawah danau barat di Hangciu itulah, akhirnya Yim Ngo-heng berhasil meyakinkan cara memunahkan hawa murni yang mengamuk di dalam tubuhnya itu. Maka dengan syarat Lenghou Tiong harus masuk ke dalam Tiau-yang-sin-kau barulah ia mau mengajarkan ilmu sakti padanya. Tapi ketika itu Lenghou Tiong tegas-tegas menolak kehendak Yim Ngo-heng itu, soalnya sejak kecil ia telah dididik membenci Mo-kau dan tidak mungkin bergaul dengan agama sesat itu.

Tapi akhir-akhir ini setelah menyaksikan perbuatan-perbuatan Co Leng-tan dan guru sendiri yang pernah menamakan diri mereka sebagai guru besar dari aliran-aliran suci, namun apa yang dilakukan mereka ternyata jauh lebih culas dan keji daripada orang-orang Mo-kau. Apalagi setelah mengikat janji dengan Ing-ing, perbedaan tentang cing-pay dan sia-pay baginya sudah menjadi hambar. Terkadang juga timbul pikirannya, umpama Yim-kaucu mengharuskannya lagi masuk agama, baru mengizinkan Ing-ing menikah padanya, maka tanpa banyak cincong ia pun menerima syarat itu.

Dasar wataknya memang suka apa adanya, segala unsur tak pernah dianggapnya sungguh-sungguh, apakah harus masuk agama atau tidak sebenarnya juga tidak menjadi soal. Tapi tempo hari ketika menyaksikan cara anggota Mo-kau menjilat-jilat dan memuja Tonghong Put-pay serta Yim Ngo-heng secara memuakkan, hal inilah yang menimbulkan antipatinya, ia merasa tidak sudi diperbudak dan menjadi penjilat serendah itu.

Kini melihat pula cara Yim Ngo-heng menggunakan dirinya, lagaknya jauh lebih hebat daripada maharaja mana pun, padahal betapa konyolnya Yim Ngo-heng waktu terkurung di dasar danau dahulu, kini kaum kesatria Kang-ouw ternyata diperlakukan sedemikian hina, sungguh terlalu.

Begitulah segala pikiran Lenghou Tiong bergejolak sendiri, tiba-tiba terdengar seruan seorang, “Lapor Maha-kaucu, anak murid Hing-san-pay telah tiba!”

Maka tertampaklah Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, dan murid-murid Hing-san-pay yang lain bahu-membahu naik ke atas puncak situ. Put-kay Hwesio dan istrinya serta Dian Pek-kong juga ikut di belakang.

Segera seorang tertua Tiau-yang-sin-kau berseru, “Para kawan silakan memberi sembah kepada Maha-kaucu!”

Melihat Lenghou Tiong juga berduduk di samping situ, Gi-jing tahu Yim Ngo-heng adalah bakal mertua sang ketua, ia pikir antara cing-pay dan sia-pay mestinya tak mungkin hidup bersama, tapi mengingat Lenghou Tiong, biarlah aku memberi hormat sebagai kaum yang lebih muda.

Lalu ia mendekati telapak tangan batu raksasa itu, ia memberi hormat dengan membungkuk tubuh dan berkata, “Wanpwe dari Hing-san-pay memberi salam hormat kepada Yim-kaucu!”

“Berlutut dan menyembah!” bentak tianglo tadi.

“Cut-keh-lang seperti kami ini hanya menyembah kepada Buddha, menyembah kepada Suhu, tapi tidak menyembah kepada orang biasa,” sahut Gi-jing dengan lantang.

“Maha-kaucu bukan orang biasa, beliau adalah nabi, adalah dewa, adalah Buddha!” seru pula tianglo itu.

Gi-jing lantas berpaling ke arah Lenghou Tiong, tertampak pemuda itu menggeleng kepala, segera Gi-jing berkata pula, “Mau bunuh boleh bunuh, yang pasti anak murid Hing-san-pay tidak menyembah kepada orang biasa!”

Mendadak Put-kay Hwesio terbahak-bahak, serunya, “Ucapan tepat, ucapan bagus!”

“Kau berasal dari perguruan dan aliran mana? Mau apa datang ke sini!” tanya Hiang Bun-thian dengan gusar.

Dilihatnya anak murid Hing-san-pay tidak mau menyembah kepada Yim Ngo-heng sehingga keadaan menjadi tegang, kalau orang-orang Hing-san-pay itu diperlakukan kasar, rasanya tidak enak terhadap Lenghou Tiong, sebab itulah dia sengaja bicara keras kepada Put-kay Hwesio untuk mengalihkan perhatian Yim Ngo-heng tentang pembangkangan anak murid Hing-san-pay.

Maka terdengar Put-kay menjawab dengan tertawa, “Hwesio gede sudah biasa berkeliaran ke mana-mana, tidak masuk perguruan dan juga tidak beraliran, aku datang ke sini karena ingin melihat ramai-ramai.”

“Pertemuan sekarang ini hanya dihadiri oleh orang-orang Ngo-gak-kiam-pay dengan Tiau-yang-sin-kau, orang luar tidak boleh ikut mengacau di sini, kau lekas pergi saja dari sini,” kata Hiang Bun-thian. Ucapannya ini boleh dikata sangat halus mengingat kedatangan Put-kay bersama orang-orang Hing-san-pay, sedikit-banyak tentu ada hubungan baik di antara mereka, maka Hiang Bun-thian tidak ingin membikin malu padanya.

Tak terduga Put-kay lantas menjawab, “Hoa-san ini bukan milik Mo-kau kalian, aku ingin datang ke sini, peduli apa dengan kalian, kecuali orang-orang Hing-san-pay, tiada seorang yang berhak mengusir aku.”

Istilah “Mo-kau” merupakan kata pantangan bagi Tiau-yang-sin-kau, orang dunia persilatan umumnya hanya di belakang saja berani mengucapkan kata “Mo-kau”, kalau berhadapan tiada seorang pun yang berani mengucapkan istilah itu kecuali pihak yang tegas-tegas sudah bermusuhan.

Dasar watak Put-kay Hwesio memang tidak kenal apa artinya pantangan, apa yang dia pikir, itulah yang dia ucapkan. Apalagi ia menjadi mendongkol ketika Hiang Bun-thian mengusirnya, tanpa pikir ia terus membantah tanpa menghiraukan siapa lawan, sedikit pun ia tidak gentar.

Dengan menahan gusar Hiang Bun-thian berpaling kepada Lenghou Tiong dan bertanya, “Lenghou-hiante, siapakah hwesio gila ini, ada hubungan apa dengan pay kalian?”

Lenghou Tiong sendiri sedang merasakan kesakitan perutnya yang seperti disayat-sayat, dengan suara terputus-putus ia menjawab, “Put-kay... Put-kay Taysu ini....”

Dalam pada itu Yim Ngo-heng juga sangat gusar ketika mendengar Put-kay berani menyebut “Mo-kau”, ia khawatir Lenghou Tiong akan mengatakan hwesio gede itu ada hubungan baik dengan Hing-san-pay, jika demikian halnya tentu sukar untuk membunuhnya, maka sebelum Lenghou Tiong selesai menjawab, segera ia membentak, “Binasakan saja hwesio gila itu!”

Serentak delapan orang tua berseragam kuning mengiakan, sekaligus mereka menubruk maju dan mengerubuti Put-kay.

“He, kalian hendak main keroyok ya?” Put-kay berkaok-kaok sambil menghadapi kedelapan lawannya.

“Tidak malu!” maki si nenek, istri Put-kay alias ibu Gi-lim. Segera ia pun melompat maju menggabungkan diri dengan Put-kay, dengan punggung menempel punggung mereka layani seorang musuh.

Kedelapan tianglo itu adalah jago kelas satu di dalam Tiau-yang-sin-kau, ilmu silat mereka tidak di bawah Put-kay dan si nenek, dengan delapan lawan dua, hanya beberapa kali gebrak saja mereka sudah berada di atas angin.

Melihat itu, Dian Pek-kong tak bisa tinggal diam, segera ia lolos goloknya dan ikut menerjang ke dalam kalangan pertempuran. Begitu pula Gi-lim, segera ia pun membantu ayah-ibunya. Tapi ilmu silat mereka berdua masih jauh di bawah musuh-musuhnya, dua di antara kedelapan tianglo itu memisahkan diri untuk melayani mereka. Dengan ilmu goloknya yang cepat masih mendingan bagi Dian Pek-kong, tapi Gi-lim menjadi kewalahan menghadapi serangan lawan yang gencar.

“Nan... nanti dulu!” seru Lenghou Tiong sambil memegang perutnya yang kesakitan, sebelah tangan lantas melolos pedang pula.

Begitu pedangnya bergerak, sekaligus delapan gerakan dilontarkan, kontan kedelapan tianglo itu dipaksa mundur. Gerak ilmu pedang Tokko-kiu-kiam yang lihai itu selalu mengarah tempat mematikan di tubuh lawan, betapa pun kedelapan tianglo itu tidak sanggup menangkisnya sehingga terpaksa melompat mundur.

Sambil setengah berjongkok, dengan suara terputus-putus Lenghou Tiong berkata kepada Yim Ngo-heng, “Yim... Yim-kaucu, sudilah memandang diriku dan membiarkan mereka....” saking menahan sakit perutnya, kata “pergi” tidak sanggup diucapkannya lagi.

Melihat keadaannya, Yim Ngo-heng tahu macam-macam hawa murni dalam tubuh pemuda itu telah bergolak lagi. Ia tahu pemuda itu adalah pemuda idam-idaman putrinya, tidak mendapatkan Lenghou Tiong pasti putrinya tidak mau menikah, dirinya sebenarnya juga sayang dan suka kepada pemuda cakap dan berbakat ini, apalagi dirinya tidak punya anak laki-laki, kelak malah diharapkan Lenghou Tiong akan mewariskan kedudukan kaucu darinya.

Karena itu, ia lantas mengangguk dan berkata, “Baiklah, karena Lenghou-ciangbun yang mintakan ampun bagi kalian, biarlah aku memberi kelonggaran.”

Segera Hiang Bun-thian melompat maju, kedua tangan bekerja cepat, berturut-turut ia tutuk hiat-to Put-kay Hwesio dan istrinya serta Dian Pek-kong dan Gi-lim berempat. Betapa cepat cara dia bergerak boleh dikata luar biasa dan sukar dibayangkan, meski gerak tubuh si nenek biasanya mahacepat toh juga tidak dapat meloloskan diri dari tutukan Hiang Bun-thian itu.

Semula Lenghou Tiong terkejut dan berseru, “Hiang... Hiang....”

“Jangan khawatir,” cepat Hiang Bun-thian menjawabnya dengan tertawa, “Kaucu sudah menyatakan memberi ampun kepada mereka.”

Lalu ia berpaling kepada anak buahnya dan berseru, “Maju sini delapan orang!”

Serentak delapan orang lelaki berseragam hijau mengiakan dan maju ke depan menunggu perintah lebih lanjut.

“Empat lelaki dan empat perempuan!” kata Hiang Bun-thian.

Empat orang di antaranya segera mengundurkan diri dan empat orang anggota perempuan menggantikan maju ke depan.

“Keempat orang ini bicara tidak pantas, dosa mereka seharusnya dihukum mati,” kata Hiang Bun-thian. “Tapi Maha-kaucu cukup bijaksana dan bermurah hati, mengingat permintaan Lenghou-ciangbun, mereka tidak diberi hukuman. Maka gendong saja mereka ke bawah gunung, lepaskan hiat-to mereka dan bebaskan di sana.”

Kedelapan orang itu mengiakan sambil memberi hormat.

Hiang Bun-thian lantas menambahkan dengan suara tertahan, “Mereka adalah sobat baik Lenghou-ciangbun, jangan berbuat kasar kepada mereka.”

Kembali kedelapan orang itu mengiakan. Dua orang menggotong seorang segera mereka membawa pergi Put-kay berempat.

Melihat Put-kay berempat terhindari dari kematian, Lenghou Tiong dan Ing-ing merasa lega. Segera Lenghou Tiong mengucapkan terima kasih, saking sakit perutnya ia terjongkok di tempatnya dan tidak sanggup berdiri.

Maklumlah, dalam sekejap saja ia telah melontarkan Tokko-kiu-kiam yang hebat itu, tenaganya menjadi banyak terbuang sehingga rasa sakit perutnya bertambah hebat.

Diam-diam Hiang Bun-thian merasa khawatir, tapi lahirnya dia tidak menunjukkan sesuatu tanda apa-apa, katanya dengan tertawa, “Apakah Lenghou-hiante merasa kurang enak badan?”

Sejak Lenghou Tiong membantunya menempur berbagai kesatria dari Kang-ouw dahulu itu, dia telah mengikat persaudaraan dengan pemuda itu, meski kedua orang jarang berkumpul, namun hubungan mereka tetap abadi, segera ia pegang tangan Lenghou Tiong dan memayangnya duduk di atas kursi tadi. Diam-diam ia mengerahkan tenaga murni sendiri untuk membantu Lenghou Tiong menolak pergolakan hawa murni di dalam tubuh.

Padahal Lenghou Tiong memiliki ilmu Gip-sing-tay-hoat, dengan perbuatan Hiang Bun-thian itu sama artinya membiarkan tenaga murninya disedot, maka cepat Lenghou Tiong mengebaskan tangan Hiang Bun-thian dari berkata, “Jangan Hiang-toako! Aku... aku sudah sembuh!”

Dalam pada itu Yim Ngo-heng sedang tanya anak buahnya, “Di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya Hing-san-pay saja yang hadir dalam pertemuan ini, anggota-anggota keempat pay yang lain ternyata berani membangkang dan tidak hadir, maka kita tak bisa sungkan-sungkan lagi kepada mereka!”

Pada saat itulah, tiba-tiba seorang tua berseragam kuning berlari ke atas puncak situ, setiba di depan telapak tangan batu raksasa itu ia lantas menyembah dan melapor, “Lapor Maha-kaucu, di dalam gua Su-ko-keh diketemukan beberapa ratus mayat. Di antaranya terdapat ketua Ko-san-pay, Co Leng-tan, ketua Heng-san-pay, Bok-taysiansing, selain itu banyak pula jago-jago Ko-san-pay, Heng-san-pay, dan Thay-san-pay, tampaknya mereka mati karena saling membunuh.”

“O, Bok-taysiansing dari Heng-san-pay juga mati di sana, tidak salah lihat?” kata Yim Ngo-heng.

“Hamba memeriksa sendiri, pasti tidak salah lihat,” jawab tianglo itu. “Malahan Giok-seng-cu, Giok-ciong-cu dan jago-jago Thay-san-pay yang lain juga terdapat di antara mayat-mayat itu.”

Yim Ngo-heng merasa kurang senang, katanya, “Bagaimana bisa terjadi begitu?”

“Bahkan di luar gua itu ditemukan pula sesosok mayat,” tianglo itu menambahkan.

“Mayat siapa?” tanya Yim Ngo-heng dengan cepat.

“Setelah hamba periksa dengan teliti, akhirnya dapat diketahui dengan pasti mayat itu adalah ketua Hoa-san-pay, yaitu Gak Put-kun, Gak-siansing, yang baru-baru ini memenangkan kedudukan ketua Ngo-gak-kiam-pay itu.”

Agaknya tianglo itu mengetahui kelak Lenghou Tiong akan menduduki tempat penting di dalam agama sendiri, sedangkan Gak Put-kun adalah gurunya, maka di waktu menyebut Gak Put-kun dia tidak berani pakai kata-kata kasar.

Sama halnya dengan kedelapan tianglo tadi, selain ilmu pedang Lenghou Tiong memang hebat, tapi sebenarnya juga disebabkan para tianglo itu merasa sungkan melawannya, kalau tidak, dengan kepandaian kedelapan tianglo yang lihai itu tidak mungkin terdesak mundur hanya oleh sekali gebrak saja dari Lenghou Tiong.

Begitulah Yim Ngo-heng menjadi lesu dan seakan-akan kehilangan sesuatu demi mendengar Gak Put-kun sudah mati, ia coba tanya lagi, “Kiranya dia... siapakah yang membunuh dia?”

Tianglo tadi menjawab, “Ketika hamba memeriksa keadaan gua Su-ko-keh tadi, kemudian mendengar di gua belakang itu adalah suara orang bertempur, segera hamba melihatnya ke sana, ternyata ada serombongan anak murid Hoa-san-pay sedang bertempur mati-matian dengan sekawanan tojin dari Thay-san-pay, dari caci maki kedua pihak itu terdengar masing-masing pihak menuduh pihak lain membunuh guru pihak sendiri. Kedua pihak bertempur dengan sengit dan sama-sama jatuh korban tidak sedikit. Akhirnya mereka hampir mati semua, sisanya tinggal beberapa orang saja, lalu hamba tawan, kini mereka menunggu di bawah puncak untuk menantikan keputusan Kaucu.”

“Jadi Gak Put-kun dibunuh oleh pihak Thay-san-pay?” kata Yim Ngo-heng. “Di dalam Thay-san-pay mana ada jago selihai itu yang mampu membunuh Gak Put-kun?”

Tiba-tiba di antara anak murid Hing-san-pay seorang berseru, “Tidak! Gak Put-kun dibunuh oleh seorang sumoay dari Hing-san-pay kami!”

Pembicara ini ternyata Gi-jing adanya.

“Siapa sumoaymu itu?” tanya Yim Ngo-heng.

“Dia tidak berada di sini lagi,” sahut Gi-jing. “Gak Put-kun telah membikin celaka ciangbunjin, guru, dan susiok kami, setiap anak murid Hing-san-pay kami membencinya sampai tulang sumsum. Syukurlah, berkat lindungan Buddha, melalui tangan seorang sumoay kami hari ini biang keladi daripada segala kejahatan itu telah dapat dibinasakan sehingga terbalaslah sakit hati kami.”

“O, kiranya begitu!” kata Yim Ngo-heng. “Ya, boleh dikata dosa tak berampun, utang harus bayar.”

Nada ucapannya ternyata sangat hambar dan kecewa.

Hiang Bun-thian dan para tianglo sejawatnya juga saling pandang dengan perasaan kurang gembira.

Maklum, kedatangan pihak Tiau-yang-sin-kau ke Hoa-san kali ini, sebelumnya memang telah direncanakan dengan sangat rapi, semua jago-jago terkemuka dalam agama beserta anak buahnya serta organisasi dari berbagai tempat yang dibawahinya dikerahkan seluruhnya, tujuannya sekaligus Ngo-gak-kiam-pay harus ditaklukkan, seumpama Ngo-gak-kiam-pay tidak mau menyerah dan berani melawan, maka mereka harus ditumpas dan dimusnahkan oleh pihak Tiau-yang-sin-kau. Dengan begitu Yim Ngo-heng dan agama yang dipimpinnya akan termasyhur dan menggetarkan dunia. Habis itu akan ditumpas pula Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, maka tiada satu golongan atau aliran mana pun dari pihak cing-pay yang dapat melawannya lagi, sejak itu Tiau-yang-sin-kau akan memerintah Kang-ouw untuk selamanya, dasar yang kuat itu dengan demikian akan terpupuk di puncak Tiau-yang-hong di atas Hoa-san ini.

Siapa duga tiga tokoh-tokoh terkemuka Ngo-gak-pay seperti Co Leng-tan, Gak Put-kun, Bok-taysiansing, serta tokoh-tokoh inti dari Thay-san-pay kini ternyata sudah mati semua dengan saling membunuh, malahan anak murid keempat pay itu kini hanya bersisa sedikit pula. Hal ini berarti rencana rapi yang telah diatur oleh Yim Ngo-heng akhirnya menemukan kegagalan.

Karena itulah, makin dipikir makin gusarlah Yim Ngo-heng, mendadak ia berteriak, “Coba giring ke sini semua itu kawanan anjing Ngo-gak-kiam-pay yang belum mampus itu!”

Tianglo yang melapor tadi cepat mengiakan, lalu berlari-lari ke bawah puncak untuk menyampaikan perintah sang kaucu.

Sementara itu pergolakan perut Lenghou Tiong yang menyiksa tadi sudah mulai mereda. Ketika mendengar Yim Ngo-heng berteriak agar “kawanan anjing Ngo-gak-pay yang belum mampus” itu supaya digiring ke sini, meski maksud Yim Ngo-heng bukan hendak memakinya, tapi apa pun juga Hing-san-pay termaksud di dalam Ngo-gak-pay, dengan sendirinya ia merasa tidak enak oleh kata-kata itu.


Bab 140. Lenghou Tiong Tetap Menolak Masuk Mo-kau

Tidak lama kemudian, terdengarlah suara bentakan dan makian, dua-tiga tianglo tampak memimpin anak buahnya menggiring beberapa puluh anak murid Ko-san, Hoa-san, Heng-san, dan Thay-san-pay naik ke atas situ.

Anak murid Hoa-san-pay memangnya tidak banyak, sedangkan sebagian besar jago-jago Ko-san-pay, Heng-san-pay, dan Thay-san-pay sudah mati terbunuh tadi, maka jumlah sisa mereka ternyata tinggal tujuh likur saja alias 27 orang, bahkan semuanya tergolong “bu-beng-siau-cut”, jago-jago yang kurang terkenal, malahan hampir semuanya terluka.

Keruan Yim Ngo-heng merasa sebal, sebelum rombongan mereka mendekat, dengan gusar ia lantas membentak, “Buat apa kawanan anjing tak berguna itu? Bawa turun sana, lekas!”

Cepat tianglo-tianglo itu mengiakan pula dan lekas-lekas menggiring tawanannya turun ke bawah puncak.

Yim Ngo-heng mencaci maki lagi beberapa kata, mendadak ia bergelak tertawa, katanya, “Ngo-gak-kiam-pay ini boleh dikata kualat dan harus mampus, tanpa susah-susah, tidak perlu keluar tenaga, sedikit pun kita tak usah turun tangan, tahu-tahu mereka sudah bunuh-membunuh dan mampus semua, sejak kini di dunia Kang-ouw takkan terdapat nama mereka lagi.”

Serentak para tertua Tiau-yang-sin-kau membungkuk tubuh dan berseru, “Ya, berkat perbawa Maha-kaucu yang agung, kawanan tikus celurut itu ternyata musnah dengan sendirinya.”

Lalu Hiang Bun-thian berkata pula, “Di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya Hing-san-pay saja yang paling menonjol yang lain daripada yang lain, semua itu berkat pimpinan Lenghou-ciangbun yang bijaksana. Selanjutnya Hing-san-pay dan Sin-kau kita adalah orang sendiri, setubuh dan senapas, merasakan kebahagiaan bersama. Selamat kepada Kaucu karena mendapatkan seorang kesatria muda yang berbakat tiada bandingannya sebagai pembantu utama.”

Yim Ngo-heng bergelak tertawa, katanya, “Ya, benar, ucapan Hiang-cosu memang tidak salah. Nah, saudara cilik Lenghou, mulai hari ini Hing-san-pay kalian boleh dibubarkan saja. Para suthay dari golonganmu itu boleh dipilih secara bebas, mau ikut Hek-bok-keh tentu akan kami sambut dengan tangan terbuka atau kalau ingin tetap tinggal di Hing-san sini juga tidak menjadi soal. Orang yang pernah tinggal di paviliun Hing-san ini boleh dianggap sebagai pasukan pribadi Hu-kaucu bagimu, bagus bukan? Hahahahaha!”

Begitulah ia lantas terbahak-bahak dengan suara keras hingga menggetar lembah gunung dan menimbulkan kumandang suara yang tak berhenti-henti.

Mendengar istilah “hu-kaucu” (wakil kaucu), semua orang sama melengak, tapi sejenak kemudian lantas terdengar suara sorak-sorai yang gemuruh, dari segenap penjuru, berkumandanglah seruan, “Lenghou-tayhiap menjadi Hu-kaucu Sin-kau kita, sungguh bagus sekali!”

“Selamatlah Maha-kaucu mendapatkan seorang pembantu yang tepat!”

“Selamat Maha-kaucu! Selamat Hu-kaucu!”

“Hidup Maha-kaucu, hidup Hu-kaucu!”

Para anggota Tiau-yang-sin-kau itu mengetahui Lenghou Tiong adalah bakal menantu sang kaucu, kini secara terang-terangan telah disebut pula sebagai calon hu-kaucu, maka kelak orang yang pasti akan menggantikan Yim Ngo-heng tiada lain lagi kecuali Lenghou Tiong pula, apalagi mereka pun tahu watak Lenghou Tiong yang ramah dan mudah diajak bicara, kelak bila dia naik takhta menjadi kaucu tentu semua anak buahnya akan lebih aman daripada sekarang yang setiap saat selalu khawatir ada kemungkinan difitnah orang atau takut bikin marah sang kaucu dan dihukum mati.

Selain golongan pertama itu, sebagian di antara mereka adalah jago-jago Kang-ouw yang dahulu pernah ikut Lenghou Tiong menyerbu Siau-lim-si, mereka sudah pernah berjuang bersama pemuda itu, banyak di antaranya merasa utang budi pula padanya, sebab itulah boleh dikata tiada seorang pun yang tidak gembira demi mendengar keputusan Yim Ngo-heng tadi.

Begitulah Hiang Bun-thian juga lantas mengucapkan selamat kepada Lenghou Tiong, katanya, “Selamatlah Hu-kaucu, marilah kita minum satu cawan dahulu sebagai ucapan selamat atas kehadiranmu ke dalam Sin-kau kita, habis itu kita akan minum lagi arak bahagia perkawinanmu dengan Yim-toasiocia, ini namanya urusan baik jadi berlipat, rezeki datang berganda.”

Akan tetapi perasaan Lenghou Tiong sendiri ternyata sedang bingung, dalam hati kecilnya ia cukup sadar bahwa urusan ini sekali-kali tidak boleh jadi, tapi tidak tahu cara bagaimana harus menolaknya, terpikir olehnya bilamana dirinya menolak kehendak Yim Ngo-heng, hal itu berarti perjodohannya dengan Ing-ing akan gagal dan putus pula. Dalam gusarnya bukan mustahil Yim Ngo-heng akan membunuhnya malah.

Bahwasanya kematian dirinya tidak menjadi soal, tapi anak murid Hing-san-pay yang lain mungkin juga akan binasa semua di sini. Hal inilah yang membuatnya ragu-ragu. Harus tegas-tegas menolaknya sekarang atau menerimanya untuk sementara ini sampai anak murid Hing-san-pay sudah terhindar dari bahaya?

Ia coba berpaling ke arah anak murid Hing-san-pay, dilihatnya macam-macam sikap mereka, ada yang berwajah gusar, ada yang lesu tak bersemangat, ada yang bingung kehilangan akal.

Tiba-tiba terdengar salah seorang tianglo seragam kuning berseru, “Di bawah pimpinan Maha-kaucu kita dengan Hu-kaucu baru yang bijaksana, kita pasti dapat menumpas Siau-lim-pay, memusnahkan Bu-tong-pay, tanpa diserang Kun-lun-pay dan Go-bi-pay juga pasti akan runtuh dengan sendirinya, sedang Jing-sia-pay, Kong-tong-pay, dan sebangsanya lebih-lebih tiada artinya lagi, tak perlu disentuh juga akan jatuh sendiri. Hidup Maha-kaucu, panjang umur seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya! Hidup Hu-kaucu, bahagialah untuk selamanya!”

Sebenarnya pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut dan sukar menemukan pilihannya. Tapi demi mendengar sanjung puji tianglo itu, ia merasa bila dirinya terima kehendak Yim Ngo-heng itu, maka setiap hari dirinya juga akan mendengar istilah sanjung puji yang lucu itu. Karena itu, tanpa terasa tertawa sendiri.

Suara tertawanya itu jelas mengandung nada sinis, nada mengolok-olok, nada menghina, hal ini dapat ditangkap oleh setiap orang yang punya pikiran jernih. Keruan seketika suasana di puncak Tiau-yang-hong itu menjadi sunyi.

“Lenghou-ciangbun,” Hiang Bun-thian membuka suara, “Kaucu telah mengangkat kau sebagai hu-kaucu, itu berarti kedudukanmu di dunia persilatan hanya di bawah seorang saja dan di atas beratus ribu orang, atas kemurahan hati Kaucu itu lekas kau mengucapkan terima kasih kepada beliau.”

Sekonyong-konyong hati Lenghou Tiong jadi terbuka, pikirannya menjadi terang, tanpa ragu-ragu lagi ia terus berbangkit, serunya lantang menghadap ke atas, “Yim-kaucu, Wanpwe ada dua persoalan ingin diutarakan kepada Kaucu.”

“Silakan bicara saja,” sahut Yim Ngo-heng dengan tersenyum.

“Pertama Wanpwe pernah menerima tugas berat dari ketua Hing-san-pay yang dahulu, yaitu Ting-sian Suthay, Wanpwe diharuskan menjabat ketua Hing-san-pay, selama ini Wanpwe merasa tidak dapat membawa kemajuan apa-apa bagi Hing-san-pay, tapi juga pasti takkan membawa Hing-san-pay ke dalam Tiau-yang-sin-kau, kalau sampai Wanpwe berbuat demikian, kelak apakah Wanpwe ada muka buat bertemu dengan Ting-sian Suthay di alam baka? Inilah soal pertama. Soal kedua adalah urusan pribadi, aku mohon Kaucu sudi menjodohkan putri kesayanganmu sebagai istriku.”

Waktu mendengarkan Lenghou Tiong menguraikan persoalan pertama tadi, semua orang merasa khawatir Yim Ngo-heng akan marah mendadak dan urusan bisa menjadi runyam. Tapi demi mendengar persoalan kedua yang dikemukakan itu, seketika semua orang saling pandang dengan tertawa.

Yim Ngo-heng terbahak-bahak, katanya, “Soal pertama mudah saja diselesaikan, kau boleh menyerahkan kedudukan ketua Hing-san-pay kepada salah seorang suthay. Kau sendiri masuk Sin-kau, soal Hing-san-pay akan ikut masuk atau tidak, boleh dirundingkan lagi. Tentang urusan kedua, bahwasanya kau dan Ing-ing sudah cocok satu sama lain, siapakah yang tidak tahu akan hubungan kalian yang akrab ini? Ya, sudah tentu aku mengizinkan dia menjadi istrimu, kenapa kau masih sangsi lagi. Hahahahaha!”

Serentak orang-orang Tiau-yang-sin-kau sama mengikuti suara sang kaucu dan sama bergelak tertawa gembira.

Lenghou Tiong berpaling ke arah Ing-ing, dilihatnya kedua pipi si nona bersemu merah, rasa girangnya tertampak jelas sekali. Sesudah semua orang tertawa gembira, kemudian Lenghou Tiong berkata dengan suara lantang, “Banyak terima kasih atas maksud baik Kaucu yang telah mengajak Wanpwe masuk ke dalam agama kalian, bahkan memberi kedudukan sedemikian tinggi dan terhormat, tapi Wanpwe sudah biasa hidup bebas, seorang yang tidak dapat taat kepada peraturan, kalau masuk agama kalian tentu pula akan membikin runyam urusan penting Kaucu. Maka setelah kupikirkan masak-masak kukira lebih baik Kaucu menarik kembali keputusan Kaucu tadi.”

Tidak kepalang gusarnya Yim Ngo-heng, dengan ketus ia berkata, “O, jadi kau sudah pasti tak mau masuk Sin-kau?”

“Ya, begitulah!” sahut Lenghou Tiong dengan tegas tanpa ragu-ragu sedikit pun.

Keruan semua orang ikut tercengang mendengar jawaban itu.

Segera Yim Ngo-heng berkata pula, “Dalam tubuhmu pernah terhimpun macam-macam hawa murni orang lain, baru saja penyakitmu sudah kumat, maka untuk selanjutnya setiap tiga bulan atau setengah tahun satu kali tentu akan kumat pula, bahkan sekali makin hebat daripada kali yang lain dan untuk dapat memunahkan hawa murni yang menjadi penyakit dalam tubuhmu itu di seluruh dunia ini hanya aku seorang saja yang tahu caranya.”

“Tentang hal ini memang dahulu Kaucu sudah menyinggungnya ketika berada di Bwe-cheng di Hangciu dahulu,” sahut Lenghou Tiong. “Wanpwe tadi sudah merasakan bagaimana akibat bergolaknya macam-macam hawa murni dalam tubuh itu, rasanya memang benar-benar sangat tersiksa dan lebih baik mati saja daripada menderita. Tapi seorang laki-laki pengelana Kang-ouw, soal mati-hidup, senang dan susah adalah soal biasa, seharusnya tidak perlu banyak dipersoalkan lagi.”

“Hm, keras juga mulutmu,” jengek Yim Ngo-heng. “Hari ini segenap Hing-san-pay kalian sudah berada dalam genggamanku, umpama seorang pun takkan kulepaskan atau satu pun tidak boleh turun dari gunung ini dengan hidup, kukira hal ini semudah aku membalik telapak tanganku sendiri.”

“Dengan kepandaian Kaucu yang mahasakti, Wanpwe percaya apa yang Kaucu katakan memang mudah terlaksana,” sahut Lenghou Tiong dengan tegas. “Tapi biarpun Hing-san-pay terdiri dari kaum wanita semua, menghadapi segala sesuatu selamanya juga tidak pernah gentar. Jikalau Kaucu hendak membunuh kami, biarlah kita berhadapan dahulu, sampai mati pun Hing-san-pay pantang mundur.”

Segera Gi-jing angkat tangannya memberi tanda, serentak anak murid Hing-san-pay sama berdiri di belakang Lenghou Tiong.

“Kita semua hanya tahu menaati perintah Ciangbunjin, mati pun tidak gentar,” seru Gi-jing.

“Benar, mati pun pantang mundur!” sahut para murid Hing-san-pay berbareng.

The Oh berseru juga, “Betapa pun jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kita hanya sedikit, pula kita sudah masuk perangkap, bilamana orang-orang Kang-ouw mengetahui cara bagaimana Hing-san-pay menghadapi musuh tanpa gentar, biarpun nanti kita harus mati juga akan meninggalkan nama yang harum.”

Yim Ngo-heng menjadi gusar, ia berbalik terbahak-bahak sambil menengadah, lalu serunya, “Jika sekarang aku membunuh kalian, tentu aku akan dituduh telah menjebak kalian dan membikin susah kalian secara licik. Nah, Lenghou Tiong, boleh kau pimpin anak buahmu pulang ke Hing-san, dalam waktu sebulan aku sendiri pasti akan mendatangi kalian. Tatkala mana bila di atas Hing-san masih bisa tersisa seekor anjing atau seekor ayam yang hitam, anggaplah aku orang she Yim ini yang tidak becus!”

“Hidup Maha-kaucu! Panjang umur seribu tahun memerintah Kang-ouw selamanya! Bunuh habis orang Hing-san-pay, anjing ayam pun tak terkecuali!” demikian orang-orang Tiau-yang-sin-kau serentak bersorak gemuruh.

Dengan kekuatan dan pengaruh Tiau-yang-sin-kau sekarang, apakah pihak Hing-san-pay akan dimusnahkan di Hing-san sendiri atau sekarang juga dibunuh habis, selisihnya hanya soal waktu saja dalam perjalanan ke Hing-san. Tak peduli pihak Hing-san-pay akan pulang ke Hing-san untuk mengatur penjagaan pertahanan toh pihak Tiau-yang-sin-kau pasti mampu membunuhnya hingga habis bersih.

Dahulu Ngo-gak-kiam-pay bermusuhan dengan Tiau-yang-sin-kau yang disebut Mo-kau oleh mereka, kelima aliran bahu-membahu dan bantu-membantu, aliran mana ada kesulitan, empat aliran yang lain segera memberi bantuan, meski begitu, selama berpuluh tahun paling-paling juga cuma dapat bertahan saja. Walaupun di antara kelima pay itu berturut-turut timbul juga tunas-tunas baru dan pimpinan baik, ada juga rencana akan memusnahkan Tiau-yang-sin-kau sekaligus, tapi selama ini belum pernah berhasil, bahkan mengalahkannya pun tidak. Apalagi sekarang Ngo-gak-kiam-pay hanya tinggal Hing-san-pay, dengan sendirinya tidak mampu melawan kebesaran Tiau-yang-sin-kau. Tentang ini orang-orang Hing-san-pay cukup tahu diri, begitu pula orang-orang Tiau-yang-sin-kau juga tahu. Ucapan Yim Ngo-heng akan membabat orang-orang Hing-san-pay secara habis-habisan, bahkan seekor anjing dan seekor ayam juga takkan dibiarkan hidup, ancaman ini sesungguhnya bukan omong besar belaka.

Padahal di dalam hati Yim Ngo-heng kini sudah ada perhitungan tertentu, ia pikir meski ilmu pedang Lenghou Tiong sangat lihai, tapi seorang diri betapa pun kekuatannya terbatas, Hing-san-pay boleh dikata tiada artinya lagi baginya. Yang justru menjadi pertimbangan Yim Ngo-heng sebenarnya adalah Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay.

Menurut perhitungan Yim Ngo-heng, setelah Lenghou Tiong pulang ke Hing-san, tentu dia akan minta bantuan kepada Siau-lim dan Bu-tong, dan kedua pay besar ini tentu juga akan mengirim jago-jago pilihan untuk membantunya. Dalam keadaan demikian ia justru tidak menyerang ke Hing-san, sebaliknya secara mendadak ia akan menyerbu Bu-tong-san, ia akan memasang tiga perangkap pula di antara jalanan Siau-sit-san (pegunungan tempat Siau-lim-si berdiri) ke Bu-tong-san.

Jarak Bu-tong-san dan Siau-lim-si hanya beberapa ratus li saja, kalau Bu-tong-pay ada kesukaran, tentu Siau-lim-pay yang berdekatan itu yang akan dimintai bantuan. Sedangkan pada saat itu sebagian jago pilihan Siau-lim-si telah dikirim ke Hing-san, sisanya pasti akan keluar semua untuk membantu Bu-tong-pay. Dalam keadaan demikian pihak Tiau-yang-sin-kau sekaligus akan membobol dulu pangkalan kuat Siau-lim-pay, Siau-lim-si akan dibakar, habis itu perangkap yang telah dipasang serentak berbangkit memotong barisan musuh, digempur dari muka dan belakang, tentu para padri Siau-lim-si yang hendak menolong Bu-tong-pay itu akan terbasmi seluruhnya. Habis itu barulah Bu-tong-san akan dikepung, tapi tidak lantas melancarkan serangan. Dia sengaja menunggu bila jago-jago Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay yang pergi membantu Hing-san-pay itu menerima berita buruk dan bergegas-gegas kembali ke Bu-tong-san, dalam keadaan pihak mereka lelah dan pihak sendiri penuh tenaga itulah akan dilakukan sergapan di tengah jalan dan hasilnya pasti sangat memuaskan. Habis itu soal menyerang Bu-tong-san dan menumpas Hing-san boleh dikata akan terlaksana dengan sangat mudah.

Betapa tajam otak Yim Ngo-heng dan lihai tipu dayanya sungguh jarang terdapat di dunia persilatan selama beratus-ratus tahun ini, dalam sekejap saja dia sudah menentukan tipu apa yang bakal digunakan untuk menumpas Bu-tong dan Siau-lim-pay, dua aliran persilatan yang terbesar dan musuh yang terbesar. Menurut perhitungannya, siasatnya ini sembilan dari sepuluh bagian pasti akan berhasil. Jadi penolakan Lenghou Tiong akan masuk agamanya meski membikin malu padanya di hadapan anak buah sendiri, tapi lantaran itu juga tujuan Tiau-yang-sin-kau akan mencaplok aliran-aliran persilatan lain dan memerintah Kang-ouw untuk selamanya akan menjadi terkabul, maka betapa rasa girang Yim Ngo-heng sungguh sukar dilukiskan.

Air mata Ing-ing sudah sejak tadi berlinang-linang di kelopak matanya, kini tak tertahan lagi lantas bercucuran.

“Jika aku ikut kau ke Hing-san berarti aku tidak berbakti kepada orang tua,” kata Ing-ing dengan terisak-isak. “Kalau aku mengingkari kau, berarti pula aku tidak setia. Bakti dan setia sukar tercapai bersama. Engkoh Tiong, O, Engkoh Tiong, sejak kini janganlah kau memikirkan diriku, sebab....”

“Kenapa?” tanya Lenghou Tiong.

“Sebab jiwamu toh takkan lama lagi dan aku pun pasti takkan hidup lebih lama sehari pun daripadamu,” kata Ing-ing.

“Ayahmu sudah berjanji sendiri akan menjodohkan kau kepadaku, beliau adalah Kaucu mahabijaksana, mana boleh tidak pegang teguh akan janjinya sendiri? Biarlah sekarang juga aku menikahi kau di sini, saat ini juga kita akan terikat menjadi suami-istri.”

Ing-ing menjadi melengak. Meski dia sudah kenal Lenghou Tiong sebagai pemuda petualang yang berani berkata berani berbuat, tapi tidak pernah menduga akan bicara blakblakan demikian di hadapan orang banyak. Keruan ia menjadi kikuk, air mukanya menjadi merah, sahutnya, “Mana... mana boleh jadi begini?”

Lenghou Tiong terbahak-bahak, katanya, “Jika begitu biarlah kita berpisah saja sekarang.”

Ia pun cukup kenal pikiran Ing-ing, pada waktu Yim Ngo-heng menggempur Hing-san nanti dan dirinya terbunuh maka si nona juga pasti akan membunuh diri untuk mengikutnya di alam baka, hal ini sudah pasti akan terjadi dengan sendirinya, betapa pun sukar dicegah. Tapi kalau sekarang si nona mau meninggalkan pandangan kolot umumnya dan bersedia menikah padanya di atas Tiau-yang-hong ini juga, dengan demikian kedua orang akan sama-sama masuk Hing-san-pay, cukup beberapa hari saja mereka menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru, habis itu kedua orang akan mati bersama dan mereka pun tidak perlu menyesal lagi akan hidup mereka.

Namun hal ini sesungguhnya memang terlalu luar biasa dan menyimpang daripada adat istiadat umum, tidaklah menjadi soal bagi petualang seperti diriku ini, tapi pasti takkan diperbuat oleh Yim-toasiocia yang masih taat kepada adat ini, apalagi jika jadi demikian tentu si nona akan menanggung nama jelek sebagai putri yang membangkang dan tidak berbakti kepada orang tua.

Karena pikiran itulah Lenghou Tiong lantas bergelak tertawa pula, ia lantas memberi hormat kepada Yim Ngo-heng, lalu memberi salam pula kepada Hiang Bun-thian dan para tianglo sekeliling situ, serunya, “Lenghou Tiong akan menantikan kunjungan kalian di Kian-seng-hong!”

Habis berkata ia terus putar tubuh dan melangkah pergi.

“Nanti dulu!” tiba-tiba Hiang Bun-thian berseru. “Ambilkan arak! Lenghou-hiante, hari ini kita harus minum sepuas-puasnya, mungkin kelak tiada kesempatan lagi.”

“Bagus, bagus! Hiang-toako memang benar-benar kawan sepaham akan kegemaranku!” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.

Kedatangan Tiau-yang-sin-kau ke Hoa-san ini segalanya telah diatur dengan rapi, termasuk pula segala macam perbekalan yang perlu. Maka begitu Hiang Bun-thian minta arak, segera anak buahnya membawa beberapa guci arak ke hadapannya, tutup guci dibuka dan arak lantas dituang ke dalam mangkuk. Tanpa banyak omong Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong lantas adu mangkuk dan sama-sama menghabiskan isi satu mangkuk.

Tiba-tiba di antara orang banyak tampil seorang tua pendek gemuk, ternyata Lo Thau-cu adanya, serunya, “Lenghou-kongcu, budi pertolonganmu dahulu tak pernah kulupakan untuk selamanya, biarlah sekarang aku pun menyuguhkan satu mangkuk padamu.”

Habis berkata ia pun adu mangkuk dan minum bersama Lenghou Tiong.

Padahal Lo Thau-cu hanya seorang Kang-ouw yang hidup bebas, kedudukannya sudah tentu tak bisa disejajarkan dengan Hiang Bun-thian, kini Lenghou Tiong tegas-tegas menolak masuk Tiau-yang-sin-kau, secara terang-terangan ia telah memusuhi Yim Ngo-heng pula, tapi orang Kang-ouw yang tiada ternama sebagai Lo Thau-cu juga berani menyuguh arak kepada Lenghou Tiong, hal ini berarti pula dia berani melawan kehendak Yim Ngo-heng, bukan mustahil sebentar lagi jiwanya akan melayang. Tapi dia ternyata lebih berat kepada rasa setia kawan daripada jiwa sendiri, terang ia tidak memikirkan mati atau hidupnya sendiri lagi.

Begitulah para kesatria menjadi kagum juga melihat keberanian Lo Thau-cu itu. Maka menyusul Coh Jian-jiu, Keh Bu-si, Na Hong-hong, dan kawan-kawannya satu per satu juga tampil ke depan untuk mengadu mangkuk arak dengan Lenghou Tiong.

Sama sekali Lenghou Tiong tidak menolak suguhan mereka, setiap mangkuk ia minum habis sehingga berpuluh mangkuk arak telah ditenggaknya dan nyatanya kawan-kawan yang ingin minum bersama dia masih terus antre tak terputus-putus. Alangkah besar hati Lenghou Tiong melihat betapa cara teman-teman itu menghargai dirinya, ia merasa hidup ini tidaklah sia-sia, segera ia angkat tinggi-tinggi mangkuknya dan berseru lantang, “Terima kasih atas maksud baik kawan-kawan sekalian, sayang kekuatanku minum terbatas, hari ini aku tidak sanggup minum lagi lebih banyak. Biarlah lain hari bila kawan-kawan ikut menyerbu ke Hing-san, aku akan menunggu kalian di kaki Hing-san dengan arak-arak enak, di situlah kita boleh minum sepuas-puasnya, habis itu baru kita bertempur!”

Sembari berkata, isi mangkuknya lantas ditenggaknya pula.

“Lenghou-ciangbun sungguh seorang yang suka bicara blakblakan!” seru para kesatria berbareng.

“Ya, kalau sudah kenyang minum dan mabuk barulah kita bertempur serabutan, menarik juga tentunya!” demikian ada yang menambahkan.

Lalu Lenghou Tiong membuang mangkuknya, dengan berjalan sempoyongan ia lantas turun ke bawah gunung diikuti oleh Gi-ho, Gi-jing, dan anak murid Hing-san-pay yang lain.

Di waktu para kesatria sedang minum arak bersama Lenghou Tiong, Yim Ngo-heng ternyata tersenyum-senyum saja, tapi di dalam hati ia sedang membikin rekaan secara terperinci akan siasatnya menggempur Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay nanti. Terutama cara bagaimana harus pura-pura menyerang Hing-san untuk memancing bantuan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, ia pikir rencananya itu harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan curiga pihak lawan yang terkenal tidak kalah cerdiknya itu. Dan ketika Lenghou Tiong turun ke bawah dalam keadaan mabuk, maka rencana dalam batinnya juga sudah selesai dibentuk, hanya tinggal pelaksanaannya saja.

Selain itu juga terpikir olehnya, “Kawanan bangsat ini berani menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong di hadapanku, perbuatan mereka harus diberi hukuman secara setimpal, biarlah utang mereka ini kucatat dahulu, kini aku masih memerlukan tenaga mereka, nanti kalau Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, dan Hing-san-pay sudah kutumpas seluruhnya, maka orang-orang yang menyuguh arak kepada Lenghou Tiong ini pasti akan menerima ganjarannya.”

Tiba-tiba terdengar Hiang Bun-thian berseru, “Dengarkan, kawan-kawan! Bahwasanya Maha-kaucu sudah tahu kebandelan Lenghou Tiong dan tidak tahu maksud baik orang, tapi Kaucu masih coba membujuknya dengan ramah tamah, semua ini jelas disebabkan kebesaran jiwa Kaucu, suka kepada orang berbakat. Tapi sebenarnya masih ada suatu maksud yang mendalam yang tak bisa dipahami oleh orang kasar sebagai Lenghou Tiong itu. Kini tanpa susah-susah kita telah dapat menumpas Ko-san, Thay-san, Hoa-san, dan Heng-san-pay, seterusnya Tiau-yang-sin-kau pasti akan lebih termasyhur, lebih terhormat, lebih disegani!”

“Benar! Hidup Maha-kaucu! Semoga panjang umur dan memerintah Kang-ouw selamanya!” teriak orang banyak dengan bergemuruh.

Setelah suara teriakan orang-orang itu mereda, kemudian Hiang Bun-thian melanjutkan, “Di dunia persilatan sekarang tinggal Siau-lim dan Bu-tong-pay, kedua pay yang masih tetap merupakan ancaman bagi kau kita. Untuk ini Kaucu sengaja atur siasat bagus, pilihannya jatuh pada diri Lenghou Tiong, melalui bocah itu kita akan dapat sapu bersih Siau-lim-pay dan menumpas Bu-tong-pay. Perhitungan Kaucu mahajitu, rencananya sangat rapi. Beliau sudah menduga pasti Lenghou Tiong tak mau masuk kau kita dan kini ternyata benar, bocah itu menolak bujukan Kaucu. Bahwasanya kita menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong, hal ini pun merupakan salah satu siasat Kaucu.”

“O, kiranya begitu!” seru orang banyak. Lalu beramai-ramai mereka berteriak lagi. “Hidup Maha-kaucu kita, panjanglah umur beliau seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya!”

Hiang Bun-thian yang sudah bergaul berpuluh tahun dengan Yim Ngo-heng, maka ia cukup kenal pribadi sang kaucu, bahwasanya tadi terdorong oleh rasa persaudaraan, tanpa pikir dirinya menyuguhkan arak perpisahan kepada Lenghou Tiong, hal ini tentu tidak disukai oleh Yim Ngo-heng. Bagi dirinya masih tidak menjadi soal, mengingat hubungan baik sang kaucu padanya, tapi orang-orang lain seperti Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan sebagainya juga ikut-ikutan menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong, perbuatan itu bukan mustahil akan mendatangkan bencana bagi jiwa mereka. Apalagi dilihatnya air muka Yim Ngo-heng sebentar terang sebentar guram tak tentu, maka ia lantas sengaja mengarang suatu rentetan kata-kata sanjung puji untuk menutupi kejadian tadi, harapannya dengan ucapannya itu dapatlah menolong Lo Thau-cu dan lain-lain dari kematian. Sebab dengan ucapan-ucapan Hiang Bun-thian tadi, bukan saja sama sekali tidak mengurangi wibawa Yim Ngo-heng, bahkan menjunjung tinggi kepemimpinannya yang hebat.

Dan ternyata Yim Ngo-heng menjadi senang sekali mendengar kata-kata Hiang Bun-thian itu, diam-diam ia mengakui betapa pun Hiang Bun-thian tidak sia-sia sebagai tangan kirinya, pembantu utama yang tepercaya dan nyatanya dia pula yang paling dapat memahami isi hatinya. Tapi meski dia tahu aku ingin menyapu bersih Siau-lim-pay dan menumpas Bu-tong-pay, bagaimana caranya dan siasat yang telah kuatur terang ia tak dapat menerkanya. Siasatku ini akan kujalankan selangkah demi selangkah, sebelum dilaksanakan, Hiang-cosu sekalipun takkan kuberi tahu secara terperinci. Demikianlah pikir Yim Ngo-heng.

Dalam pada itu seorang tianglo berseru pula, “Dengan kepemimpinan Maha-kaucu, segala urusan besar di dunia sudah lama berada dalam perhitungan beliau, apa yang beliau katakan tentu tidak salah, apa yang beliau perintahkan segera kita kerjakan juga, pasti takkan keliru.”

“Ya, asalkan sebuah jari Maha-kaucu bergerak segera kita lakukan apa pun perintahnya, ke lautan api atau ke dalam minyak mendidih juga kita takkan menolak,” sambung seorang lagi.

“Kaucu mahabijaksana, baik kepintarannya maupun ketangkasannya tiada bandingannya baik oleh kaum cerdik pandai dan nabi sekalipun dari zaman dahulu kala sampai sekarang,” teriak seorang tianglo yang lain.

Dan begitulah keadaan menjadi riuh ramai oleh teriakan semboyan dan sanjung puji yang tak terputus-putus diselang-seling dengan sorakan, “Hidup Kaucu! Panjang umur seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya! Hancurkan Siau-lim-si, sapu bersih Bu-tong-pay!”

Menghadapi sorak-sorai anak buahnya itu, walaupun Yim Ngo-heng tahu juga bahwa sanjung puji itu terkadang berlebih-lebihan dan tidak masuk di akal, akan tetapi di dalam hati kecilnya ia merasa puas, merasa syur.

Dengan wajah berseri-seri ia lantas berbangkit dari tempat duduknya. Melihat sang kaucu berdiri, semua orang serentak mendekam ke bawah memberi sembah. Dalam sekejap saja suasana di atas Tiau-yang-hong berubah menjadi sunyi senyap.

Yim Ngo-heng terbahak-bahak, katanya, “Semoga keadaan abadi seperti ha....” sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah serak. Ia coba mengerahkan tenaga dan mengatur napas, ia hendak mengucapkan “hari ini” yang belum sempat tercetus dari mulutnya itu, tapi dada terasa kejang, betapa pun kata-kata itu sukar diucapkan. Dengan tangan kanan menahan dada, ia berusaha menekan darah panas yang telah naik ke tengah kerongkongannya, terasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang silau oleh cahaya matahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar