Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 19 Oktober 2010

Golok Pembunuh Naga (Penggali Makam) - Karya Tan Tjeng Hun 15 - 26

Sambungan .....
JILID 15
KARENA ucapan kotor yang memaki perempuan pujaannya, maka Hui Kiam telah melupakan dirinya yang sedang terluka, juga melupakan kepandaian musuhnya. Ia segera menggerakkan pedangnya dan berkata dengan suara bengis:
“Orang berbaju lila, kau memaki orang dengan perkataan kotor, ini bukanlah perbuatan seorang gagah.”
“Bocah, kau hanya merupakan barang permainan dalam tangan perempuan rendah itu, apakah kau juga pantas menyebut diri sebagai orang gagah.”
“Tutup mulut orang berbaju lila! Kalau aku tak cincang badanmu, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!”
Orang berbaju lila itu tertawa tergelak-gelak, kemudian berkata:
“Bocah, kau sedang mimpi.”
“Lihat pedang!”
Hui Kiam segera mengayunkan pedangnya, tetapi rasa sakit menyerang ke ulu hatinya, kekuatan tenaga dalamnya terganggu,

sehingga serangannya itu ditarik kembali, badannya terhuyung-huyung, darah hampir keluar dari mulutnya.
Orang berbaju lila itu berkata dengan nada suara dingin:
“Bocah, kau terluka?”
Hui Kiam yang berhadapan dengan musuh besarnya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, hatinya dirasakan sakit itu lebih hebat daripada rasa sakit yang diderita karena luka di badannya.
Apabila ia sekarang binasa di tangan orang berbaju lila itu, kematiannya itu benar-benar sangat mengecewakan.
Orang berbaju lila itu bertanya pula:
“Bocah, bagaimana kau terluka?”
“Ini bukan urusanmu!”
“Apakah kau ditendang dan dilempar kemari setelah dipermainkan sepuas-puasnya oleh perempuan rendah itu?”
“Tutup mulut!”
“Bocah, karena kau muncul di tempat ini, barangkali sudah menjadi kekasihnya. Ia adalah seorang cantik nomor satu dalam rimba persilatan, juga merupakan seorang perempuan yang paling cabul dan paling jahat.”
“Tutup mulut, kau manusia rendah!”
“Aku rendah? Ha, ha, ha, memang benar, aku orang berbaju lila sekarang telah merasa diriku rendah. Tetapi bocah, terus terang kuberitahukan kepadamu, kau masih sangat muda, tampan dan ganteng, ia telah menggunakan kau sebagai alat untuk mengumbar nafsu binatangnya, apakah kau tidak menganggap rendaih?”
Hui Kiam sangat murka, karena ia tidak dapat berbuat apa-apa akhirnya menyemburkan darah segar.
Sambil tertawa menyeramkan orang berbaju lila itu berkata:
“Nampaknya ia masih cinta kepadamu, itu bagus. Aku tiba-tiba berpikir untuk tidak ingin membunuhmu, hanya hendak
memusnahkan kekuatan dan kepandaianmu. Aku akan membuat cacat urat-uratmu, supaya kau tidak bisa melakukan kewajiban sebagai orang laki-laki dan biarlah perempuan rendah itu merasakan penderitaan batin hebat.....”
Dada Hui-Kiam dirasakan mau meledak. Ia berkata dengan suara serak:
“Kau bukan manusia. Sayang aku tidak dapat membunuhmu.”
Pedang di tangannya disambitkan ke arah musuhnya, tetapi karena sudah tidak bertenaga maka perbuatannya itu bagaikan permainan anak-anak saja. Ini sebetulnya hanya merupakan suatu perbuatan yang sekedar untuk mengumbar hawa amarahnya. Ia sendiri juga tahu bahwa perbuatan itu tidak berarti apa-apa.
Orang berbaju lila itu mengulurkan tangannya dan pedang itu dipatahkan menjadi dua, lalu dilemparkan ke tanah.
Mata Hui Kiam gelap, mulutnya kembali menyemburkan darah.
Pada saat itu, tiba-tiba dua bayangan kecil langsing tiba di situ.
Orang berbaju lila itu dengan cepat menyingkir dan sembunyi di belakang batu besar.
Orang yang baru datang itu ternyata adalah dua pelayan perempuan. Satu di antaranya dengan perasaan girang berkata:
“Bagus sudah ketemu. Siaohiap, harap lekas pulang....”
Tiba-tiba matanya dapat melihat empat Utusan Bulan Emas yang sudah menggeletak di tanah sebagai bangkai, hingga dua orang itu mengeluarkan seruan terkejut.
Seorang di antaranya berkata dengan suara gemetar:
“Siaohiap, kaukah yang membinasakan mereka?”
“Bukan aku!”
“Apakah siaohiap terluka?”
“Ya!”
“Siapakah yang membinasakan mereka?”
“Orang berbaju lila.”
Wajah dua perempuan itu berobah seketika. Mereka berseru serentak:
“Siaohiap maksudkan orang berbaju lila?”
“Benar, dia adalah itu orang berbaju lila, yang dipaksa terjun ke dalam jurang oleh ibu majikanmu!”
“Di ... dia ... tidak mati!”
“Bagaimana aku bisa cepat-cepat mati?” demikian seorang berkata dengan nada suara dingin, kemudian disusul oleh munculnya orang baju lila.
Dua pelayan wanita itu terperanjat bagaikan berjumpa dengan hantu, wajahnya mengunjukkan perasaan takutnya, setindak demi setindak mundur ke belakang....
Orang baju lila itu setelah tertawa bergelak-gelakan, lalu menghampiri dua wanita itu dan berkata dengan suara dingin:
“Apakah wanita rendah itu ada di dalam Istana Bidadari?”
Hati Hui Kiam tergerak, apakah yang dimaksudkan Istana Bidadari oleh orang berbaju lila itu adaLah gedung mewah yang berada dalam lembah?
Pelayan perempuan itu menjawab:
“Ibu majikan sudah keluar sehingga sekarang belum kembali!”
“Dan rase tua itu, ada di mana?”
“Di.... bawah gunung!”
Orang berbaju lila itu kembali memperdengarkan suara ketawanya yang mengandung kebencian. Pedang panjang sudah berada di tangannya. Dengan sinar matanya yang bengis ia mengawasi dua perempuan itu, kemudian berkata dengan suara dingin:
“Kau berdua boleh jalan lebih dulu!”
Pedangnya segera berkeltbat, lalu disusul oleh suara jeritan ngeri. Satu di antara dua pelayan perempuan itu sudah roboh binasa.
Satunya lagi dengan ketakutan setengah mati buru-buru kabur.
“Lari kemana!”
Orang berbaju lila itu segera memburu. Kembali terdengar suara jeritan ngeri. Punggung pelayan perempuan itu sudah ditembus oleh ujung pedang.
Hui Kiam yang menyaksikan itu dadanya dirasakan meledak, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Sementara sesosok bayangan orang sudah lari menghampiri.
Orang itu bukan lain dari pada Hek Bwee Hiang. Ketika nampak orang berbaju lila, lalu berkata:
“Kau.... “
Ia cuma dapat mengeluarkan sepatah kata itu saja, kata-kata selanjutnya tiba-tiba berhenti di tenggorokan.
Orang berbaju lila itu berkata dengan suara dingin dan angkuh:
“Rase tua, kau tidak menduga ya?”
Lama sekali Hek Bwee Hiang menjawab:
“Apa kau tidak mati?”
“Saat kematianmu sudah tiba. Hek Bwee Hiang kau sudah tua tapi tak patut sebagai orang tua, biarkan perempuan rendah itu melakukan perbuatan cabul yang merusak akhlak manusia. Kaulah orang pertama yang harus dibinasakan!”
“Kau masih untung lolos dari kematian, seharusnya sembunyikan diri. Mengapa masih berani membuka mulut besar...?”
“Tutup mulut, rase tua! Kematianmu sudah di depan mata, kau belum tahu menyesal. Sekujur badanmu sudah penuh noda, sekalipun mati kau juga tak dapat mencuci bersih noda itu.”
“Orang berbaju lila, aku akan menyaksikan kematianmu yang tidak wajar!”
“Kau tidak dapat menyaksikan lagi!”
Ucapan itu ditutup dengan satu serangan pedang yang ditujukan pada Hek Bwee Hiang.
Hek Bwee Hiang sudah siap, maka baru saja orang berbaju lila itu bergerak, hampir di saat itu juga ia sudah bertindak.
Keduanya merupakan orang kuat yang jarang terdapat dalam rimba persilatan sehingga pertempuran itu merupakan suatu pertempuran hebat dan sengit tidak ada taranya.
Kepandaian orang baju lila ada lebih tinggi, tapi Hek Bwee Hiang yang harus mempertahankan jiwanya, telah menyerang secara nekad sehingga untuk sementara, kedua pihak nampak berimbang.
Sepuluh jurus kemudian Hek Bwee Hiang sudah mulai terdesak, sedangkan serangannya orang berbaju lila itu semakin ganas.
Hek Bwee Hiang terpaksa berlaku nekad sekaligus melancarkan serangan sampai delapan belas kali. Orang berbaju lila itu terpaksa mundur sampai tiga langkah.
Dalam keadaan demikian, Hek Bwee Hiang telah lompat melesat hendak melarikan diri.
Ia bergerak cepat sekali, tapi orang berbaju lila itu bertindak lebih cepat. Dengan dua kali gerakan ia sudah berhasil merintangi kaburnya perempuan tua itu.
Pertempuran hebat itu, dilanjutkan lagi….
Hui Kiam berpikir bolak-balik. Apabila saat itu tidak pergi, tunggu kapan lagi? Apakah harus menantikan kembalinya orang berbaju lila membinasakan dirinya setelah binasakan Hek Bwee Hiang?
Demikian ia segera kabur ke belakang bukit.
Suara beradunya dua senjata, masih terdengar di belakang dirinya, tapi suara itu makin lama makin jauh akhirnya tak terdengar lagi.
Ia dapat menduga bahwa pertempuran itu tidak bisa terlalu lama, paling-paling ia hanya dapat melawan sampai lima puluh jurus saja. Apabila ia jalan terus tentunya akan dapat dikejar oleh orang berbaju lila itu.
Oleh karenanya, maka ia membelok ke kanan masuk ke dalam rimba lebat.
Kekuatan tenaganya tidak mengizinkan melanjutkan perjalanannya. Ia terpaksa mencari-cari tempat untuk sembunyi. Dekat tempat ia berdiri terdapat sebuah lobang gua yang cukup untuk satu orang. la lalu memasuki gua tersebut, kemudian dengan daun pohon ia menutup lobang gua, sehingga tidak dapat dilihat oleh orang sekalipun lewat di sampingnya.
Ia tenangkan pikirannya, mulai bersemedi untuk menyembuhkan lukanya.
Ia coba gunakan ilmu pelajaran menyembuhkan luka dengan kekuatan tenaga dalam yang terdapat dalam kitab Thian Gee po-kip. Berulang-ulang ia coba hingga beberapa puluh kali, baru berhasil menemukan 'kuncinya’.
Dua jam kemudian, ia mulai menggunakan pelajaran ilmu yang baru dapat itu untuk menyembuhkan luka-lukanya.
Memang sangat ajaib pelajaran dalam kitab wasiat itu, hanya dalam setengah jam, lukanya sudah sembuh sama sekali, kekuatan tenaganya juga bertambah satu bagian.
Dari dalam goa dengan melalui sela-sela daun pohon, samar-samar dapat lihat di atas langit ada banyak bintang, suatu tanda bahwa hari sudah mulai malam. Ia berpikir, saat itulah merupakan suatu saat yang paling baik untuk mempelajari ilmu totokan jari tangan dan ilmu gerak kaki.
Ia harus menjernihkan pikirannya lagi untuk mempelajari ilmu itu.
Ia sudah terbenam dalam gerak tipu yang aneh luar biasa itu. Seluruh perhatiannya dipusatkan kepada ilmu silat itu. Entah berapa lama telah berlalu, ia sudah tak ingin makan dan minum.
Ilmu pukulan telapak tangan, ilmu jari tangan dan gerak kaki, sudah berhasil dipahamkan satu-persatu, dan yang terakhir, adalah seluruh pelajaran atau yang merupakan pelajaran bagian penutup dalam kitab wasiat tersebut.
Sampai di sini, berhasillah sudah cita-cita Hui Kiam untuk mendapatkan pelajaran ilmu silat yang merupakan pelajaran lebih tinggi, setiap gerak tipu bertambah kekuatannya kini berlipat ganda daripada sebelum ia memahami pelajaran terakhir dari tempat tersebut.
Ketika ia keluar dari dalam goa, ternyata matahari sudah naik tinggi. Ia rasakan kekuatan tenaga dalamnya banyak ditambah, badannya dirasakan segar, setiap gerakannya dirasakan ringan. Ia sendiri tidak tahu bahwa kepandaiannya mendapat kemajuan begitu pesat, dalam waktu yang sangat singkat seolah-olah sudah berobah seperti dua manusia.
Apakah dalam waktu satu malam itu ia sudah menyelesaikan semua kepandaian yang terdapat dalam kitab wasiat itu?
Agaknya itu tidak mungkin.
Ia keluar dari dalam goa. Tidak jauh dari situ terdapat sebuah aliran sungai kecil. Karena sekujur badannya penuh dengan tanda bekas darah, maka perlu mandi dulu. Pakaiannya yang ia pakai itu adalah pemberian dari Tong hong Hui Bun, sudah tentu ia tidak ingin membuangnya.
Tatkala ia mengawasi mukanya dari air, ia terkejut, sebab di sekitar dagunya dan atas bibirnya sudah tumbuh kumis dan jenggot pendek. Kalau begitu ia sendiri berada di dalam gua setidak-tidaknya sudah lima hari lebih.
Sejenak ia berdiri tertegun, lalu membersihkan darah-darah di sekujur badannya, lalu lari menuju ke puncak gunung.
Tiba di tempat di mana bekas ia bertempur, di tempat itu ternyata sudah kosong. Kecuali tanda darah yang sudah kering, sudah tidak tampak satupun bangkai manusia yang menjadi korban tangan kawanan jahat itu.
Orang berbaju lila itu sudah tentu sudah pergi jauh. Entah bagaimana dengan nasib Hek Bwee Hiang yang bertempur dengannya pada hari itu?
Tiba-tiba matanya dapat melihat seundukan tanah makam yang nampaknya masih baru. Tertariklah hatinya. Ia lalu pergi menghampiri makam itu. Ternyata makam Hek Bwee Hiang, hingga untuk sesaat lamanya ia berdiri tertegun:
Hek Bwee Hiang benar sudah binasa di tangan orang berbaju lila itu. Orang yang mengubur jenazahnya sudah tentu orang-orang dari gedung misterius itu.
Entah Tong Hong Hui Bun sudah pulang atau belum?
Memikirkan perempuan pujaan hatinya itu, timbullah perasaannya ingin menjumpai.
Bersama dengan itu, ia juga ingat encinya itu yang dipaksa oleh orang tua bermata biru untuk menjumpai suhunya. Oleh karena dengan sucinya itu ia sudah berjanji, harus bertemu dalam perjalanan yang menuju ke puncak gunung batu, dan sekarang ia sendiri telah tertunda, mungkin sudah selip waktunya. Lagi pula oleh karena orang berbaju lila itu sudah mengunjukkan diri, perjalanan yang maksudnya hendak menyelidiki orang jahat itu, berarti sudah tidak perlu lagi. Yang paling penting pada saat itu ia berusaha menjumpai sucinya supaya dapat merundingkan soal menuntut balas.
la segera lari menuju ke bawah gunung.
Di hadapannya terbentang sebuah jalan yang menuju ke lembah di mana terdapat gedung misterius itu.
Untuk sesaat lamanya ia merasa sangsi apakah ia harus menjumpai perempuan pujaan hatinya itu atau tidak.
Akal budi kadang-kadang memang mudah ditundukkan oleh perasaan yang sedang merangsang, begitulah keadaan Hui-Kiam pada saat itu. Terdorong oleh perasaan segera ingin menjumpai perempuan pujaan hatinya maka ia memilih jalan yang menuju ke arah lembah itu.
Ketika tiba di dalam lembah, seketika itu ia berdiri tertegun, darahnya juga dirasakan telah membeku, sekujur badannya gemetar.
Bangunan yang megah bagaikan istana itu kini telah berubah menjadi runtuhan puing. Gedung yang megah itu telah hancur lebur.
Siapakah yang menghancurkan gedung itu? Dan di manakah penghuninya? Apakah sudah menjadi korban seluruhnya?
Paras Tong-Hong Hui Bun yang cantik bagaikan bidadari, kembali terbayang dalam otaknya.
Andaikata ia mengalami nasib malang….
Ia tidak berani memikir lagi, pukulan batin itu agaknya ia tidak sanggup menerima, tetapi kemudian ia berpikir lagi, kepandaian Tong Hong Hui Bun sangat tinggi sekali, siapa yang sanggup melukai dirinya, karena berpikir demikian, maka dengan tanpa sadar mulutnya telah mencetuskan perkataan:
“Tidak, tidak mungkin, ia pasti selamat!”
Tiba-tiba satu suara menjawab perkataannya:
“Benar, memang ia tidak mati!”
Mendengar suara itu Hui Kiam terperanjat. Ia membalikkan badan, segera melihat seorang pengemis muda sedang berjalan menghampirinya sambil tertawa cengar-cengir. Bukan lain daripada Sukma Tidak Buyar Ie It Hoan, yang telah muncul dan suka mengunjukkan diri dengan rupa berbeda-beda.
Munculnya Ie It Hoan di tempat itu, sesungguhnya di luar dugaan Hui Kiam, maka ia segera bertanya dengan perasaan terheran-heran.
“Adik Hoa, kau!”
Ie It Hoan lalu menjawab dengan sikapnya yang tidak main-main lagi.
“Toako, cepat sekali gerak kakimu. Aku tadi melihatmu turun dari puncak gunung. Aku mengejar tetapi tak dapat mencapaimu.”
“Bagaimana kau bisa datang kemari?”
“Di dekat sini aku sudah menunggu tiga hari tiga malam lamanya. Aku kira sudah tidak dapat menemukan kau lagi....”
“Disini kau sudah menunggu tiga hari tiga malam?”
“Ya!”
“Untuk apa?”
“Mencari kau!”
“Bagaimana kau tahu aku ada di sini?”
“Sudah tentu tahu. Jikalau tidak, bagaimana aku dapat memakai nama julukan Sukma Tidak Buyar?”
“Bagaimana kau artikan dengan perkataanmu ‘sudah tentu tadi’?”
“Rahasia alam tidak boleh dibocorkan, jikalau tidak selanjutnya tidak manjur lagi.”
Hui Kiam tahu benar sifat nakal dan senang memain pemuda itu, maka ia tidak menanya lebih jauh dan mengalihkan pembicaraan pada lain soal:
“Adik Hoan, tadi kau berkata dia tidak binasa?”
“Dia? Siapakah dia itu?” demikianlah Sukma Tidak Buyar balas bertanya sambil membuka lebar matanya.
Hui Kiam yang sifatnya pendiam, tidak suka bersenda gurau, ketika mendengar perkataan itu wajahnya lalu berubah.
Sukma Tidak Buyar kemudian memberikan penjelasan:
“Apakah yang toako maksudkan adalah si cantik jelita itu? Ia memang benar masih hidup!”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Sewaktu terjadi peristiwa ini ia tidak berada di sini.”
“Ini perbuatan siapa?”
“Orang berbaju lila.”
“Lagi-lagi dia,” berkata Hui Kiam dengan hati panas.
“Kejadian demikian sangat kebetulan. Apabila perempuan cantik itu ada di rumah, betapapun besar keberanian orang berbaju lila itu juga tak berani menghancurkan gedung ini.”
“Bagaimana dengan dia?”
“Tiga hari berselang ia pulang. Setelah mengurus urusan di sini sebentar, ia pergi lagi.”
“Adik Hoan, tahukah asal-usul yang sebenarnya tentang dirinya?”
“Kalau pada sekarang ini aku terangkan, barangkali tidak ada faedahnya bahkan buruk akibatnya.”
“Bagaimana kau bicara selalu suka menyimpan rahasia?”
“Toako, aku juga terpaksa berlaku demikian. Tentang ini harap kau suka memberi maaf.”
“Hm!”
“Toako, adikmu ini ada sedikit perkataan yang tidak boleh tidak akan diucapkan. Terus-terang mungkin ucapan yang mengandung maksud baik akan tidak enak didengar, akan tetapi….”
“Jangan coba berlaku berbelit-belit. Bicaralah terus terang!”
“Perempuan adalah bibitnya bencana. Harap toako suka menggunakan akal budiman untuk melepaskan diri dari libatan asmara. Pentingkanlah keselamatan dunia rimba persilatan!”
“Apakah yang kau maksudkan itu Tong-hong Hui-Bun?”
“Ya!”
“Ini ada hubungan apa dengan keselamatan dunia rimba persilatan?”
“Ada hubungannya. Di kemudian hari toako akan tahu sendiri. Aku sangat khawatir toako akan kehilangan semangat untuk bekerja
bagi kepentingan dunia rimba persilatan. Kecuali itu, cintamu barangkali tidak berakhir dengan baik.”
“Ucapanmu ini berdasarkan atas apa?” tanya Hui Kiam terkejut.
“Adikmu ini hanya menjalankan perintah, untuk sementara tidak dapat membuka rahasia,” berkata Sukma Tidak Buyar sambil tertawa getir.
“Atas perintah siapa?”
“Suhu!”
“Eh, bukankah kau pernah berkata bahwa suhumu sudah menutup mata. Apakah kau dapat perintah dari orang yang sudah meninggal dunia?”
“Toako, hidup atau mati, mengapa kau anggap begitu sungguh-sungguh?”
“Kau semakin lama bicaramu semakin melantur. Dengan terus terang, menyuruhku memutuskan hubungan dengan dia itulah tak mungkin!”
“Baiklah soal ini untuk sementara kita jangan bicarakan lagi!”
“Ada urusan apa kau mencari aku?”
“Urusan penting!”
“Urusan penting apa?”
“Harap toako jawab dulu pertanyaan-pertanyaanku.”
“Tanyalah!”
“Bagaimana dengan perjalananmu ke gunung Kiu-kiong-san?”
“Sedikit berhasil aku sudah dapat menemukan Jin Ong dan sudah membuktikan bahwa senjata jarum melekat tulang memang kepunyaannya. Tetapi perbuatan itu bukan dia yang melakukan. Menurut kabar dan yang sudah dibuktikan oleh seseorang, hal itu adalah perbuatannya orang berbaju lila. Tetapi darimana ia dapatkan jarum itu masih belum berhasil kuselidiki.”
“Untuk dewasa ini paling baik bisa berserikat dengan orang berbaju lila....”
Hui Kiam terperanjat. Ia bertanya:
“Berserikat dengan orang berbaju lila, mengapa?”
“Hubungan orang berbaju lila dengan Persekutuan Bulan Emas sudah bagaikan air dengan api, maka kita harus berserikat dengannya, sama-sama menghadapi Perserikatan Bulan Emas!”
“Hal itu tidak mungkin!”
“Kenapa?”
“Orang berbaju lila itu adalah musuh besar perguruanku!”
“Apakah kau sudah membuktikannya?”
“Sudah terbukti!”
“Bolehkah kiranya kita pentingkan kepentingan umum lebih dulu kemudian urusan pribadi?”
“Apakah sebabnya kita harus berserikat dengannya?”
“Orang berbaju lila itu kepandaiannya tinggi sekali, lagi pula mempunyai pengaruh dan kedudukan kuat.”
“Apakah itu menurut pendapatmu?”
“Bukan, adikmu hanya mendapat perintah untuk menyampaikan ucapan ini!”
“Apakah itu perintah suhumu lagi?”
“Anggaplah begitu!”
Hui Kiam sebetulnya ingin menanyakan siapakah sebetulnya suhunya Sukma Tidak Buyar itu, tetapi karena mengingat pemuda aneh itu selalu mengelakkan setiap pertanyaan yang menyangkut diri suhunya, maka bertanyapun tidak ada gunanya. Ucapan yang sudah keluar dari mulutnya terpaksa ditelan kembali.
“Aku boleh mencoba, tetapi mungkin aku tidak sanggup. Aku khawatir tidak bisa bekerjasama dengan musuh.”
Sukma Tidak Buyar terkejut. Ia berkata:
“Dan lagi, mengenai soal sepotong uang logam itu, apakah kau sudah mendapatkan tanda-tandanya?”
“Sudah beres!”
“Oh! Kalau begitu toako....”
“Kepandaianku sudah mendapat sedikit kemajuan!”
“Bagaimana kalau dibandingkan dengan orang berbaju lila iiu?”
“Sudah boleh digunakan untuk mengimbangi dengan tanpa khawatir!”
“Itu bagus sekali. Sekarang kita balik ke pembicaraan kita semula. Maksudku mencari kau, ialah hendak melakukan suatu urusan besar.”
“Katakanlah!”
Partay-partay rimba persilatan pada dewasa ini, kecuali Siao-lim, Bu-tong dan golongan pengemis, yang lainnya semua sudah dalam genggaman tangan Persekutuan Bulan Emas. Para ketua berbagai-bagai aliran yang menggabungkan diri dengan Persekutuan Bulan Emas, masing-masing telah diangkat sebagai Lengcu pasukan bendera kuning di bawah perintah persekutuan itu.”
Hui Kiam terkejut. Ia bertanya dengan perasaan heran:
“Kalau begitu sudah tidak jauh lagi untuk mencapai maksud Persekutuan Bulan Emas yang hendak menguasai dunia?”
“Bagi siapa yang tidak menurut atau yang tidak setuju dengan maksudnya, semua dimasukkan ke dalam daftar hitam yang akan dibunuh!”
“Oh.”
“Yang paling mengejutkan adalah empat iblis dari Delapan Iblis Negara Thian-tiek, ternyata juga sudah menggabungkan diri dengan persekutuan itu, bahkan sudah diangkat sebagai anggota pelindung hukum yang tertinggi.”
Kembali Hui Kiam dikejutkan oleh berita itu.
“Empat puluh tahun berselang, Delapan Iblis dari Negara Thian-tiek itu sudah terkena serangan jarum melekat tulang Jin Ong, apakah delapan iblis itu kala itu tidak mati?”
“Hal ini aku tidak tahu.”
“Barang siapa yang terkena serangan jarum melekat tulang, kecuali Jin Ong sendiri, tidak ada orang yang bisa menolong. Hal ini benar-benar tidak habis dimengerti. Apakah beritamu ini boleh dipercaya?”
“Seratus persen penuh!”
“Bagaimana kepandaian dan kekuatan empat iblis itu?”
“Tidak di bawah kepandaian orang berbaju lila itu.”
“Kalau begitu hal ini merupakan suatu ancaman yang lebih besar.”
“Dunia rimba persilatan daerah Tiong-goan kini sedang menghadapi hari Kiamat.”
“Maksudmu memberitahukan berita ini kepadaku, apakah.....”
“Aku masih belum berkata soal pokok....”
Hui Kiam mengerutkan keningnya. Ia berkata:
“Apakah yang kau maksudkan dengan soal pokok?”
Dengan sikap dan nada sungguh-sungguh Sukma Tidak Buyar berkata:
“Siu-mo, salah satu dari empat iblis itu, di gunung Bu-leng-san diam-diam telah melatih serombongan algojo. Rombongan pasukan algojo itu dinamakan Im-hong tui.”
“Im-hong-tui? Nama ini sungguh aneh.”
“Pasukan itu terdiri dari serombongan perempuan cantik yang mempunyai bakat baik. Lebih dulu wanita-wanita cantik itu dihilangkan sifat diri masing-masing dengan obat khusus istimewa kemudian dipelajari ilmu yang digunakan untuk memancing
orang-orang kuat dunia Kang-ouw dengan kecantikan parasnya, mereka harus bisa menghisap tenaga laki-laki yang ditumpukan untuk menambah kekuatannya sendiri dalam waktu seratus hari setiap perempuan dalam rombongan perempuan itu, akan menambah tambahan kekuatan tenaga seratus tahun ke atas.
“Perbuatan yang melanggar akhlak kesusilaan ini, pasti dikutuk oleh Tuhan.”
“Selanjutnya wanita-wanita itu akan dididik dengan pelajaran ilmu silat golongan sesat dari Negara Thian-tiek oleh empat iblis itu. Oleh karena wanita-wanita itu sifatnya sudah berobah dari pengaruh obat, hanya mau dengar perintahnya ketua atau pemimpin Persekutuan Bulan Emas seorang saja. Apabila kita membiarkan mereka berhasil melatih pasukan itu, dalam dunia rimba persilatan tidak seorang pun yang dapat membasmi pasukan itu. Berbareng dengan itu, orang-orang kuat dalam rimba persilatan yang digunakan sebagai alat menambah kekuatan bagi wanita-wanita itu semuanya juga akan binasa karena kehabisan tenaganya.”
Hui-Kiam yang mendengarkan itu hatinya bergidik, keringat dingin membasahi badannya.
“Bagaimana sebetulnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu?”
“Ini masih merupakan suatu teka teki.”
“Pasukan Im-hong-tui itu dilatih di tempat mana di gunung Bu-leng-san?”
“Tempat itu letaknya sangat tersembunyi. Kita harus menggunakan waktu untuk mencari.”
“Bagaimana usaha kita sekarang?”
“Kita harus menggunakan akal menyusup diri dalam rombongan itu untuk menggagalkan rencana mereka. Rombongan perempuan itu sebelum berhasil mendapat didikan ilmu dari golongan sesat tidak susah dihadapinya.”
“Mereka toh tidak berdosa?”
“Karena hendak menolong nasib rimba persilatan terhindar dari kehancuran dan mencegah jatuhnya korban jiwa sesama orang-orang rimba persilatan, terpaksa kita menahan sabar!”
“Apakah kita harus berangkat sekarang?”
“Sudah tentu. Makin lekas makin baik. Tindakan selanjutnya, nanti kita bicarakan perlahan-lahan di tengah jalan.
Hui Kiam berpikir sejenak lalu berkata:
“Aku masih ada satu urusan yang belum diselesaikan. Bagaimana kalau kita berjanji bertemu lagi di suatu tempat?”
“Tentang ini….”
“Urusan ini tidak dapat ditunda lagi. Itu berarti aku tidak boleh tidak harus selesaikan dengan segera.”
Sukma Tidak Buyar apa boleh buat menurut keinginan toakonya. Sambil geleng-gelengkan kepala ia berkata:
“Baiklah. Urusan itu toako memerlukan waktu berapa lama?”
“Susah dikatakan. Mungkin satu hari tetapi mungkin juga tiga atau lima hari.”
“Aku akan tunggu kau di kota kecil Ma-kek-cip di bawah kaki gunung Bu-leng-san. Kalau aku belum pernah bertemu dengan kau, aku belum mau pergi.”
“Baiklah!”
“Sekarang aku akan berangkat dulu.”
Mata Hui Kiam kembali ditujukan ke arah gunung yang sudah hancur itu. Rupa-rupa pikiran timbul dalam hatinya. Kejadian yang tidak terduga-duga itu sesungguhnya di luar dugaannya. Dimana perempuan cantik itu sekarang? Kapan selanjutnya dapat berjumpa lagi?
Setelah berdiri termenung sebentar, ia lantas mengikuti jejak Sukma Tidak Buyar. Tatkala tiba di atas jalan raya, dua sahabat itu
akhirnya harus berpisahan. Hui Kiam menuju ke timur, sedang Sukma Tidak Buyar menuju ke Bu leng san.
Dengan hati berat Hui Kiam melakukan perjalanannya. Pikirannya masih belum terlepas dari kejadian yang telah disaksikan itu. Meski ia tahu Tong-hong Hui Bun pasti tidak terganggu keselamatannya, namun sedikit banyak masih dibuat pikiran.
Ketika di waktu senja, ia sudah tiba di bawah kaki gunung Keng-san, tetapi ia tidak melihat bayangan sucinya.
Ia agak gelisah. Menurut perhitungan, sang suci itu sudah tiba di jurang di bawah puncak gunung batu dan seharusnya sudah tentu....
Ia juga menduga bahwa kedatangan orang tua bermata biru itu dengan maksud menuntut dendam kepada Raja Pembunuh. Kepandaian orang-orang tua sedemikian tinggi, apabila si Raja Pembunuh tidak sanggup melawan, Pui Ceng Un barangkali juga tidak luput dari bencana itu.
Ia ingin pergi ke gunung Bu-san untuk mencari tahu, tetapi waktu sudah tidak mengijinkan lagi. Urusan yang harus dilakukan dengan Sukma Tidak Buyar lebih penting.
Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya ia mengambil keputusan untuk menginap di satu kota kecil di bawah kaki gunung Keng-san. Ia minta kepada seorang pelayan rumah penginapan untuk menunggu di jalanan serta mencari kabar apakah dalam beberapa hari ini ada seorang perempuan berbaju hijau yang mengenakan kerudung yang lewat di situ atau pernah melihat menunjukkan diri di kota tersebut.
Semalaman itu ia lewatkan dengan tidak mendapat berita apa-apa. Terpaksa ia melanjutkan tujuan ke gunung Keng-san dengan membawa persediaan makanan kering cukup banyak.
Tiba di tempat yang dituju, tiba-tiba ia teringat makam yang ditemukan di gunung tersebut, karena makam itu tertulis nama ibunya, sehingga selama itu terus merupakan suatu pertanyaan dalam hatinya.
Ia lalu berjalan menuju ke makam tersebut.
Tiba di puncak gunung, sewaktu matanya ditujukan ke jurusan makam itu, hampir saja ia menjerit.
Di depan makam itu, berdiri bayangan seseorang yang membelakangi dirinya. Orang itu ternyata adalah musuh besarnya sendiri, Orang Berbaju Lila.
Rasa dendam dan benci seketika timbul dalam otaknya. Ia sungguh tak menduga, baru berhasil memahami pelajaran ilmu silat yaug sangat tinggi, ia sudah mendapatkan kesempatan untuk melakukan balas dendam terhadap musuh besarnya.
Perkaiaan Sukma Tak Buyar yang minta ia supaya berserikat dengan orang berbaju lila itu untuk menghadapi Bulan Emas, telah lenyap dalam pikirannya. Kecuali menuntut balas dendam, sudah tidak ada pikiran lain.
Maka setindak demi setindak ia geser kakinya mendekati orang berbaju lila itu. Jikalau pada saat itu ada orang yang melihat mukanya, pasti akan terkejut.
Orang berbaju lila itu masih tetap berdiri bagaikan patung, agaknya tidak merasa kedatangan Hui Kiam. Sementara Hui Kiam tidak menggunakan ilmu meringankan tubuh, suara tindakan kaki, sekalipun orang biasa juga dapat mendengar. Namun orang berbaju lila itu agaknya tidak perduli. Ia anggap kepandaian sendiri terlalu tinggi atau memang sengaja tidak mau menghiraukannya.
Hui-Kiam berhenti di tempat terpisah sejarak tujuh delapan langkah di belakangnya. Tetapi orang berbaju lila itu masih tetap tidak bergerak.
Ketenangan luar biasa orang berbaju lila itu sebaliknya malah menimbulkan perasaan curiga Hui-Kiam. Tidak boleh tidak ia menimbang-nimbang kekuatannya lebih dulu.
Namun ia yakin bahwa kepandaiannya sendiri pada saat itu cukup untuk digunakan untuk menghadapi orang berbaju lila. Karena kedatangannya sendiri ke puncak gunung itu adalah ambil keputusan secara tiba-tiba, tidaklah mungkin dapat diduga oleh
orang berbaju lila itu. Apalagi ia sendiri dahulu memang bukan tandingan orang itu. Berhasilnya sendiri memahami ilmu silat dalam kitab Thian Gee Po-kip itu hanya baru terjadi dalam waktu beberapa hari saja, siapapun juga tidak tahu, maka ia mau menduga bahwa biang berbaju lila itu tidak memperhatikan dirinya.
Tiba-tiba ia teringat kedatangannya yang pertama, juga di tempat inilah ia berjumpa dengan orang berbaju lila. Kala itu orang berbaju lila pernah berkata padanya: “Siapapun tidak boleh mengotori tempat ini.....” Perkataan itu sekarang kalau dipikir bukan mustahil mengandung maksud dalam.
Karena pikiran itu, Hui Kiam terpaksa menngendalikan amarahnya. Ia berkata dengan nada suara dingin:
“Orang berbaju lila, kita bertemu lagi!“
Orang berbaju lila itu agaknya terkejut. Ia membalikkan badannya. Sesaat itu ia tercengang, kemudian ia berkata:
“Bagus! Penggali Makam, meski dunia lebar tetapi jalan bagi musuh tidak cukup lebar.”
“Memang begitu!”
Kedatanganmu ini berarti kupu-kupu terbang menerjang api....”
“Belum tentu, aku justru mencari kau. Sungguh tidak kuduga demikian cepat kita bisa berjumpa. Agaknya sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa.”
“Apakah hatimu merasa pedih, istana wanita rendah itu telah kuhancurkan?”
Pertanyaan itu membuat Hui Kiam seketika naik pitam, hampir tidak sanggup menindas perasaan gusarnya. Dengan suara bengis ia membentak:
“Orang berbaju lila, kau jangan coba melukai hati orang dengan kata-kata. Kau nanti akan membayar mahal atas perbuatanmu ini!”
“Ha, ha, bocah, katamu seolah-olah sungguh-sungguh.”
“Orang berbaju lila, kau jangan banyak bicara. Sebelum aku membunuh kau, jawablah pertanyaanku.”
“Sebelum membunuh aku? Ha, ha, ha. Aku ingin lihat sebelum aku membunuh kau, cobalah. Kau bisa berbuat apa? Aku juga ingin dengar apalagi kau ingin katakan?”
“Pada sepuluh tahun berselang karena sejilid kitab Thian Gee po-kip, Kim-te telah mengalami kecelakaan. Mok-tee dan Jui-tee telah terluka, kemudian Hwee-tee dan Tho-tee menderita karena jarum melekat tulang dan pada lima tahun kemudian anak perempuannya Hwe-tee kembali hendak dibinasakan. Apakah semua itu adalah perbuatanmu?”
Orang berbaju lila itu dengan perasaan terkejut dan terheran-heran mundur satu langkah lalu berkata dengan suara gemetar:
“Bocah, sebetulnya siapakah kau ini?”
“Murid keturunan Lima Kaisar!”
“Kau, apakah murid keturunan lima kaisar?”
“Benar!”
“Benarkah Lima Kaisar masih ada mempunyai murid?”
“Keadilan dan kebenaran tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya!”
“Sudah habislah ucapanmu?”
“Kau mau mengaku atau tidak?”
“Aku tidak menyangkal!”
“Bagus sekali. Masih ada, jarum melekat tulang itu dari mana kau dapatkan?”
“Aku belum pernah menggunakan jarum melekat tulang!”
“Apa? Apakah kau belum pernah menggunakan?”
“Tidak, tidak pernah!”
“Mengapa di badan Hwee-te dan Tho-tee terdapat luka dari jarum melekat tulang?”
“Pergilah tanya pada mereka yang sudah mati!”
“Dan lagi pelayan wanita pemilik gedung Istana Bidadari, yang bernama Oey Yu Hong, pada waktu paling belakang ini, juga binasa karena senjata jarum itu, apakah kau tahu?”
“Kau tidak berani mengakui?”
Orang berbaju lila itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
“Bocah, terhadap kau perlu apa aku harus tidak berani mengakui?”
Hui Kiam seketika itu ternganga. Ucapan orang berbaju lila ini mungkin benar, tapi ia sudah mengakui terus terang sebagai orang yang membunuh suhunya dan melukai empat supeknya, sedangkan jarum melekat tulang yang mengenakan suhu dan empat orang supeknya juga tidak salah. Dalam pesan terakhir suhunya pun demikian.
Bahkan ia sendiri pernah menyaksikan kematian suhunya sendiri yang sangat menyedihkan. Siapa lagi yang berbuat jikalau bukan orang ini?”
Orang yang bertempur dengan empat supeknya waktu itu, juga hanya ia seorang, apakah masih ada pembantunya?
Teringat perkara pembantu, maka ia lalu bertanya dengan suara gemetar:
“Orang berbaju lila, kau tidak mengakui menggunakan jarum melekat tulang, dan siapakah yang membantu kau melakukan perbuatan itu?”
“Lucu, untuk apa aku memerlukan bantuan orang?!”
“Kalau begitu mengapa kau tidak berani mengakui?”
“Aku tiada waktu bicara denganmu lagi.”
Pikiran Hui Kiam terus bekerja. Karena «orang berbaju lila itu tidak mau mengakui, pasti ada sebab-sebabnya yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain. Namun karena bukti sudah nyata, mengakui atau tidak sama saja.
“Soal ini sampai di sini dulu. Masih ada satu soal lagi. Belum lama berselang kau dengan menggunakan siasat keji dan rendah, telah membunuh penghuni loteng merah beserta To Liong Kiam-khek Suma-Suan itu karena apa?
Sepasang mata orang berbaju lila itu memancarkan sinar tajam. Dengan suara gemetar ia berkata:
“Bocah, kau tidak perlu tahu.”
“Tetapi aku harus tahu.”
“Kau masih belum pantas, juga percuma saja, sebab kematianmu sudah di depan mata.”
“Kegaiban hanya bisa terjadi satu kali saja, tidak mungkin akan terulang lagi.”
“Itu toh bukan mustahil.”
“Kau jangan mimpi!”
Pada saat itu mata Hui Kiam mengawasi batu nisan di makam itu, kemudian ia bertanya dengan suara gemetar:
“Orang berbaju lila, orang yang dikubur dalam makam ini benarkah Yok-su Sian-cu Hui Un-khing?”
Tubuh orang berbaju lila itu nampak gemetar, sinar matanya mengunjukkan perasaan yang terheran-heran. Lama ia baru berkata:
“Ini ada hubungan apa denganmu?”
Hui Kiam telah dapat kenyataan bahwa dalam urusan ini agak aneh, maka ia telah berkeputusan hendak mencari tahu. Katanya pula dengan nada suara dingin:
“Sudah tentu ada hubungannya denganku!”
“Hubungan apa?”
“Katakanlah, benar apa tidak?”
Dengan sinar mata tajam orang berbaju lila ini menatap wajah Hui Kiam, agaknya hendak menembusi hatinya. Setelah hening sejenak, lantas menjawab dengan nada suara parau:
“Benar orang yang bersemayam di dalam kuburan ini adalah Yok-su Siao-cu Hui Un-khing!”
Hui Kiam di luarnya meskipun masih tetap dengan sikapnya yang dingin dan kaku, tetapi dalam hatinya bergolak hebat. Ia sungguh tidak menduga bahwa di dalam dunia ada kejadian yang sangat ganjil seperti ini. Seorang yang meninggalkan dunia dikubur di dua tempat. Sudah jelas makam di depan matanya itu adalah seratus persen bohong, tetapi mengapa To Liong Kiam-khek harus membuat makam palsu ini? Inilah yang merupakan suatu teka-teki yang harus dicari kuncinya. Satu hal lagi adalah hubungan sebenarnya antara To Liong Kiam-khek Suma Suan dengan ibunya. Apabila kedua teka-teki itu sudah terungkap maka apa sebabnya ia mengikuti dan memakai she ibunya, juga segera menjadi terang.
Setelah berpikir kesana kemari, akhirnya ia bertanya:
“Apakah kuburan ini didirikan oleh To Liong Kiam-khek Suma Suan?”
“Apakah kau tidak pernah membaca surat di atas batu nisan itu? Bukankah sudah jelas diukir namanya?”
“Ada hubungan apa antara Sama Suan dengan Yok-su Sian-cu?”
“Suami istri!”
Hati Hui Kiam tergetar. Ia bertanya pula:
“Benarkah suami istri...?”
Tubuh orang berbaju lila itu kembali gemetar, sinar matanya garang. Katanya pula dengan suara agak tidak tenang:
“Bukan, bukan suami istri....”
“Jawabanmu satu sama lain sangat bertentangan, ini apakah maksudnya?”
“Perlu apakah aku harus memberitahukan kepadamu?”
“Tetapi aku harus ingin tahu!”
“Tadi kau berkata bahwa urusan ini ada hubungannya dengan kau. Coba kau katakana, apakah sangkut pautnya denganmu?”
“Di dalam dunia ini ada berapa Yok-sok Sian-cu Hui Un-khing?”
Orang baju lila itu kembali mengunjukkan sikapnya yang terheran-heran. Jawabnya:
“Sudah tentu hanya satu. Pertanyaanmu ini…!”
Sebelum bertanya lebih jauh, Hui Kiam sudah menyela:
“Kalau benar hanya satu, mengapa dikubur di dua tempat?”
Kini jelas sekali bahwa orang berbaju lila itu sangat terpengaruh oleh pertanyaan Hui Kiam ini, ia maju satu tindak dan menanya dengan suara gemetar:
“Dua tempat?”
“Benar!”
“Kau jangan mengatakan yang bukan-bukan!”
“Tidak perlu aku berbuat demikian.”
“Tidak mungkin, tidak mungkin....”
“Mengapa kau dapat memastikan?”
“Sewaktu Suma Suan mengubur jenazah dan mendirikan makam ini, aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tidak mungkin salah.”
Hui Kiam untuk sesaat berdiri tertegun, ia juga berkata:
“Tidak mungkin.”
“Coba kau katakan apa sebabnya tidak mungkin!”
“Sewaktu jenazah Yok-sok Sian-cu dikubur, bukan saja aku sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tetapi juga turun tangan sendiri!”
“Benarkah ada kejadian demikian?”
“Benar.”
“Aku tidak percaya. Di dalam dunia bagaimana ada suatu kejadian yang sangat ganjil seperti ini.....”
Karena Hui Kiam ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya, terpaksa ia mengakui.
“Mau tidak mau kau harus percaya, sebab aku adalah anak Yok-sok Sian-cu.”
Orang berbaju lila itu bagaikan disambar geledek, sinar matanya menunjukkan perasaan terkejutnya yang tidak kepalang. Sinar mata itu menunjukkan sinar aneh yang tidak dapat dikatakan. Ia berseru dengan suara semakin gemetar:
“Kau adalah anaknya Yok-sok Sian-cu?”
“Ya!”
“Siapakah namamu?”
“Hui Kiam.”
“Hui Kiam... Hui Kiam, kau ikut she ibumu?”
“Benar.”
Orang yang berbaju lila itu tiba-tiba mendongakkan kepala, matanya memandang ke atas, lama tidak bicara, tetapi tubuhnya gemetar. Semua itu dalam matanya Hui Kiam menunjukkan sesuatu pemandangan yang sangat ganjil.
“Coba kau ceritakan bagaimana ia menemui ajalnya?” demikian orang berbaju lila itu akhirnya bertanya pula.
Dalam otak Hui Kiam terbayang pula kejadian pada sepuluh tahun berselang. Kematian ibunya yang menyedihkan, telah menyebabkan dirinya menjadi orang yang hampir tidak
berperasaan, kecuali kebencian dan dendam. Maka ditanyakan demikian, matanya memancarkan sinar kebencian sangat hebat. Ia lalu berkata sambil menggeretak gigi:
“Sepuluh tahun berselang ibu dibinasakan oleh seorang wanita!”
“Seorang wanita?”
“Benar.”
“Bagaimana macamnya wanita itu?”
“Tidak tahu. Kala itu aku bersembunyi di lobang tanah. Sewaktu hendak menutup mata ibu hanya mengeluarkan sepatah kata.”
Orang berbaju lila itu tiba-tiba tertawa bergelak-gelak sambil mendongakkan kepalanya. Ia tertawa bagaikan orang gila tetapi juga seperti menangis lama baru berhenti... kemudian secara tiba-tiba ia membalikkan badan dan menggempur makam itu.
Hui-Kiam merasa heran terhadap perbuatan orang berbaju lila itu, tetapi ia tak merintanginya.
Di antara menggulungnya angin hebat, lantas disusul oleh batu dan tanah yang terbang berhamburan, sekejap mata saja makam itu sudah rata sama sekali.
Dengan nada suara dingin Hui Kiam berkata:
“Mengapa kau menghancurkan makam ini!”
Orang berbaju lila itu membalikkan badannya dan menjawab dengan suara parau:
“Ini adalah makam palsu, sudah seharusnya dihancurkan.”
“Benar atau palsu ada hubungan apa denganmu?”
“Sudah tentu… tidak ada hubungannya denganku. Aku hanya sangat mendongkol karena tertipu.”
“Apa? Tertipu? Kau tertipu oleh siapa?”
Orang berbaju lila itu dengan sepasang matanya yang tajam, terus menatap wajah Hui Kiam. Dalam sinar matanya itu, ternyata menunjukkan perasaan hatinya yang pilu, sehingga membuat Hui
Kiam semakin heran, terutama terhadap perbuatannya yang hampir seperti perbuatannya seorang yang tidak waras pikirannya.
“Kau masih belum menjawab pertanyaanku?” Hui Kiam berkata.
“Dahulu ketika Suma Suan mengetahui istrinya yang sudah mengandung telah dibinasakan oleh musuhnya, bukan kepalang sedihnya. Kemudian tulang-belulangnya dipungut dan ditanam di tempat ini, sungguh tak disangka bahwa itu hanya merupakan suatu tipu muslihat belaka, satu muslihat yang amat keji!”
“Apakah Suma Suan sudah tak mengenal wajah istrinya sendiri?”
“Bagian roman wajah jenazah itu telah dirusak!”
“Oh!”
Kini Hui Kiam seolah-olah sudah mengetahui riwayat tentang dirinya sendiri. Orang baju lila itu berkali-kali mengatakan bahwa Suma Suan adalah suaminya Yok-sok Sian-cu, sudah tentu juga menjadi ayahnya sendiri. Dan antara ayah dan ibu itu, sebetulnya apakah yang telah terjadi? Mengapa berbicara dan akhirnya menjadi musuh? Apa sebabnya ibunya harus menyingkir ke tempat yang sepi? Dan apakah sebabnya pula dalam pesan terakhirnya minta supaya ia membunuh ayahnya itu?
Apakan ucapan orang berbaju lila itu boleh dipercaya?
Ini ada satu soal yang amat penting. Jika ditilik dari kelakuan dan perbuatan yang telah diperlihatkan selama itu, serta penilaian Tong Hong Hui Bun atas dirinya ia merupakan orang gagah yang sangat rendah martabatnya, apakah ucapannya itu boleh dipercaya sebetulnya masih merupakan suatu pertanyaan besar.
“Jika menurut keterangan ini, Suma Suan seharusnya adalah ayahku.”
“Ya!” jawabnya orang berbaju lila itu yang nampaknya semakin sedih.
Sekujur badan Hui-Kiam gemetar. Ia bertanya pula:
“Kau dengan ayah ada hubungan apa?”
“Sahabat!”
“Tetapi kau telah membunuhnya mati!”
“Karena ia harus mati, maka lebih baik siang-siang mati.”
“Apa artinya?”
“Ia tidak pantas perbuatannya terhadap istri dan anaknya sendiri, segala perbuatannya sedikitpun tidak mempunyai prikemanusiaan.”
“Apakah karena itu hingga kau menggunakan dirinya sebagai umpan untuk memancing Penghuni Loteng Merah mati bersama-sama?”
“Hui Kiam, jangan dikatakan lagi.”
“'Penghuni Loteng Merah ada hubungan apa dengannya?”
“Kekasih!”
“Kekasih?”
Hati Hui Kiam merasa perih. Dia sungguh tidak menyangka bahwa dirinya mempunyai seorang ayah demikian, sudah meninggalkan istrinya sendiri dan mencari kekasih perempuan lain. Apabila demikian halnya, apakah tidak bisa jadi bahwa wanita yang membinasakan ibunya adalah penghuni loteng merah itu? Besar kemungkinannya. Sebab seorang perempuan yang ingin mendapatkan kekasih seluruhnya dari seorang laki-laki, ia bisa berbuat dengan tanpa memilih cara. Akan tetapi kini kedua-duanya sudah binasa semua.
Orang berbaju lila itu berkata pula dengan suaranya tetap mengunjukkan perasaan sedih.
“Apakah ibumu pernah menyebut Suma Suan?”
“Ada.”
“Apa kata ibumu?”
“Sebelum menutup mata, ibu meninggalkan pesan kepada aku untuk membunuhnya.”
Dengan badan gemetar orang berbaju lila itu mundur selangkah dan bertanya:
“Menyuruh kau membunuhnya?”
“Tetapi sayang ia sudah binasa!”
“Jikalau tidak, benarkah kau akan membunuhnya?”
Hui Kiam bergidik. Apabila sebelum ia mengetahui keadaan yang sebenarnya, dengan tanpa pikir sedikitpun juga ia dapat membunuhnya, ini berarti merupakan suatu tragedi yang sangat menyedihkan. Tetapi pesan ibunya minta ia supaya membunuh mati orang yang sebetulnya merupakan ayahnya itu, mungkin ada sebabnya. Tetapi orang-orang yang bersangkutan semua sudah tidak ada di dalam dunia, bagaimana teka-teki ini harus dibongkarnya?
Menurut keterangan orang berbaju lila, satu-satunya sebab ialah ibunya itu karena disia-siakan dan kemudian dibunuh oleh kekasih suaminya, sehingga meninggalkan pesan terakhir yang hebat itu, ini sesungguhnya terlalu menakutkan.
“Apakah keterangan ini benar seluruhnya?”
“Sedikitpun tidak salah.”
“Tidak perduli bagaimana To Liong Kiam Khek adalah ayahku, yang mati di tanganmu, ditambah lagi dengan musuh perguruanku, aku sekarang hendak membunuh mati kau, kau tentunya tidak bisa berkata apa.”
Nada suaranya itu bengis dan dingin serta mengandung penuh hawa amarah yang telah meluap.
Di luar dugaan Hui-Kiam orang berbaju lila yang selama itu hendak membinasakan dirinya kini telah menunjukkan sikap yang telah berobah seratus delapan puluh derajat. Jawabnya dengan suara sedih:
“Kau.... bunuhlah!”
“Orang berbaju lila, apakah tidak bisa bersedia melawan?”
Tetapi yang ditanya tidak menjawab. Sejenak kemudian tiba-tiba berkata sendirian:
“Aku masih belum bisa mati kemudian tidak dapat menyelesaikan semua persoalan….”
Hui-Kiam yang sudah naik darah tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Sepuluh tahun lamanya yang ia nanti-nantikan adalah hari di mana ia harus dapat menjumpai musuh besarnya itu, dan musuh besarnya itu kini sudah berada di hadapan matanya, maka ia lalu maju setindak dan berkata:
“Orang berbaju lila, ajalmu sudah tiba. Sebelum kau mati, harap kau suka berkata terus terang tentang jarum melekat tulang itu.”
Orang berbaju lila itu memancarkan sinar matanya yang tajam, kemudian berkata dengan keras:
“Kau berkata Hwee-tee dan Tho-tee badannya terkena senjata jarum melekat tulang?”
“Benar!”
“Apakah itu terjadi sewaktu bertempur dengan aku?”
“Benar!”
“Ini sungguh aneh, sedangkan senjata bagaimana macamnya aku sendiri masih belum tahu.”
''Sekalipun kau menyangkal juga sudah tidak bisa berobah keputusan.”
“Senjata jarum melekat tulang itu kabarnya adalah senjata tunggal Jien Ong ....”
“Jien Ong sudah menjadi padri. Beberapa puluh tahun lamanya belum pernah meninggalkan tempat ibadahnya.”
“Apakah tidak bisa jadi itu dilakukan oleh muridnya?”
“Ia tidak mempunyai murid.”
“Apakah kau sudah melihat Jin Ong?”
“Pernah berjumpa dengannya.”
“Ini sungguh heran....”
“Orang berbaju lila, tidak perduli kau tahu atau tidak, sebagai pembunuh kau sudah tidak salah, dan sekarang serahkanlah jiwamu.”
Orang berbaju lila itu berkata dengan suara bengis:
“Kau bukan tandinganku.”
“Betul atau tidak perkataanmu ini, kau boleh coba dulu, nanti akan kau ketahui sendiri!”
Setelah itu ia lalu mengayun tangannya. Mata beringas parasnya menunjukkan sikap yang menakutkan.
Orang berbaju lila itu segera berkata sambil mengulapkan tangannya:
“Tunggu dulu!”
Hui Kiam terpaksa mengurungkan serangannya. Ia bertanya dengan suara dingin:
“Kau masih ingin meninggalkan pesan terakhir?”
“Hui Kiam, aku perlu nasehatkan kepadamu, kau harus memutuskan hubungan dengan Tong Hong Hui Bun perempuan yang sangat rendah martabatnya itu....”
“Tutup mulut! Ha, ha, ha orang berbaju lila, sampai pada hari mendekati ajalmu kau masih mengeluarkan ucapan ini. Apakah kau anggap itu bisa terjadi?”
“Jikalau kau tidak dengar nasihat, di kemudian hari kau akan menyesal sendiri untuk selama-lamanya!”
“Hal ini tidak perlu kau turut memikirkan!”
“Hui Kiam, kau... tidak bisa jatuh cinta kepadanya….”
“Apakah hanya kau yang bisa, betul tidak? Pada saat ini kau mengeluarkan perkataan demikian, sesungguhnya sangat bodoh sekali, setelah jiwamu nanti melayang apakah keinginan itu akan
terlaksana? Apakah kau dapat mencegah orang lain cintakan dirinya?”
“Hui Kiam, ini adalah nasehatku yang sejujurnya.”
“Maksud baikmu ini akan kuterima dalam hati. Di dalam dunia ini tiada sesuatu perbuatan yang dapat mencegah aku mencintainya.”
“Usianya cukup pantas menjadi ibumu....”
“Aku tidak perduli.”
“Kau jangan paksa aku membunuh kau!”
“Kau hendak membunuh aku ini bukan pertama kalinya. Ucapan ini bukankah ucapan kosong belaka?”
“Hui Kiam, kau nanti akan mengerti. Tahukah kau dia ada hubungan apa dengan Suma Suan?”
Hati Hui Kiam bercekat. Ia bertanya dengan suara agak gemetar:
”Hubungan apa?”
Orang berbaju lila itu sepatah demi sepatah dengan sikap yang sungguh-sungguh berkata:
“Suma Suan setelah istrinya meninggal dunia, pernah melakukan upacara perkawinan dengan perempuan itu....”
Kini adalah giliran Hui Kiam yang bagaikan disambar geledek. Ia mundur sehingga tiga langkah, sekujur badannya gemetar. Apabila perkataan orang berbaju lila ini benar, maka Tong-hong Hui Bun itu berarti ibu tirinya sendiri. Untuk sesaat lamanya, ia berdiri bagaikan patung, hatinya seperti ditembusi oleh sebatang anak panah beracun.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa yang mengandung ejekan, kemudian disusul oleh kata-katanya:
---ooo0dw0ooo---
JILID 16
“ORANG berbaju lila, pandai benar kau mengarang cerita bohong yang bagus sekali. Kau benar-benar merupakan seorang rimba persilatan yang tak tahu malu.”
Suara itu kemudian disusul oleh kedatangan seorang perempuan cantik bagaikan bidadari yang bukan lain dari pada Tong Hong Hui Bun sendiri.
Kedatangan Tong Hong Hui Bun secara tiba-tiba bukan saja mengejutkan orang berbaju lila, tetapi juga mengherankan Hui Kiam.
Tong Hong Hui Bun lebih dulu melancarkan lirikannya yang mengandung penuh arti kepada Hui Kiam, kemudian dengan suara bengis berkata kepada orang berbaju lila:
“Tidak kusangka kau dapat mengarang suatu cerita bohong yang sangat menarik.”
Orang berbaju lila itu memotongnya dengan suatu bentakan keras:
“Perempuan hina, tutup mulutmu, apakah ini kau anggap cerita bohong? Pembalasan terhadap segala perbuatanmu sudah tiba waktunya.”
Tong-hong Hui Bun perdengarkan suara di hidung dan menunjukkan sikapnya yang dingin berkata:
“Oiang berbaju lila, aku tidak kira nyawamu begitu panjang, ternyata kau masih hidup. Selagi aku keluar rumah, kau telah membunuh orang-orangku dan membakar kediamanku. Pada hari ini dan saat ini, aku akan minta keadilan darimu!”
“Ha ha ha, keadilan? Perempuan hina, tak kusangka parasmu yang begitu cantik dan bentuk tubuhmu yang begitu menarik, ternyata mempunyai jiwa yang begitu rendah dan tidak berharga. Kelakuanmu yang sangat cabul dan kejam melebihi daripada ular berbisa....”
“Kau mencari mampus!”
Setelah itu Tong Hong Hui-Bun lalu melancarkan serangannya yang hebat kearah orang berbaju lila.
Dengan cepat orang berbaju lila itu menghunus pedangnya dan menyambut serangan tersebut. Suatu pertempuran seru, sengit dan hebat telah terjadi. Kedua pihak bertekad hendak mengambil jiwa musuhnya, maka setiap serangannya sangat ganas dan mematikan.
Tong-Hong Hui-Bun dengan sepasang tangannya melawan ilmu pedang orang berbaju lila itu yang sudah tidak ada taranya.
Kepandaian itu, benar-benar merupakan suatu kepandaian yang luar biasa.
Dalam waktu sepuluh babak orang berbaju lila itu nampaknya terdesak terus menerus. Beberapa kali jiwanya telah terancam.
Pikiran Hui-Kiam pada saat itu terus berada dalam kekalutan. Ia berusaha menenangkan pikirannya. Setelah berusaha sekuat tenaga, ia baru terlepas dari gangguan pikirannya, kemudian ia berteriak:
“Bohong, bohong! Apa yang diucapkan seluruhnya itu tak boleh dipercaya!”
Teriakannya itu telah mengejutkan dua orang yang sedang bertempur sengit itu, sehingga kedua pihak menghentikan serangannya.
Tong Hong Hui-bun dengan perhatian sangat besar bertanya kepada Hui Kiam:
“Adik, apa katamu?”
Aku kata hahwa apa yang diucapkannya tadi, seluruhnya bohong belaka!” jawabnya Hui Kiam dengan gusar.
“Adik, memang begitu. Aku benar-benar khawatir kau terpedaya olehnya.”
“Kakak, biarlah aku yang membereskannya.”
Orang berbaju lila itu bagaikan orang kalap berkata:
“Perempuan hina, karena kau aku telah membunuh orang mengalirkan darah, dan menjual prikemanusiaanku, sepasang tanganku berlumuran darah….”
“'Itu kesukaanmu sendiri!”
“Apabila kau mempunyai sedikit prikemanusiaan, kau harus hentikan perbuatanmu yang berarti menambah dosamu itu ....”
“Orang berbaju lila, sudah dekat ajalmu kau masih terus mengoceh.”
“Perempuan hina, manusia kau boleh perhina sesukamu, tetapi Tuhan tidak. Tuhan adalah mahaadil, kejahatan dan kebaikan selalu ada timbalannya.”
“Jangan banyak bicara, serahkan jiwamu!”
Tong Hong Hui Bun mengeluarkan bentakan keras. Ia melakukan serangan lagi. Kali ini ia menggunakan tenaga sepenuhnya. Orang berbaju lila itu dengan beruntun mundur beberapa langkah Tong Hong Hui Bun terus mendesak.
Orang berbaju lila merggerakkan tangannya. Pedangnya mengeluarkan sinar gemerlapan. Ia berkata sambil gertakkan gigi:
“Aku akan adu jiwa denganmu!”
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan yang demikian sangat terkejut. Jelas itu adalah suatu tanda pembukaan dari ilmu pedang Bulan Emas. Ia masih ingat bahwa komandan pasukan Persekutuan Bulan Emas Koo Han San dahulu bisa melakukan gerakan itu dengan menciptakan sinar pedang yang berbentuk lima buah bulan sabit. Tetapi sekarang orang berbaju lila ini ternyata dapat menciptakan sembilan sinar yang berbentuk bulan itu. Mengapa dia juga mahir dengan ilmu pedang Bulan Emas? Kalau mau dikatakan ia mempunyai hubungan dengan Persekutuan Bulan Emas, agaknya tidak mungkin, karena pada beberapa hari berselang di puncak gunung dekat lembah gedung kediaman Tong-hong Hui Bun, ia pernah membinasakan empat orang Utusan Bulan Emas.
Belum lagi lenyap pikirannya, pedang orang berbaju lila yang memancarkan banyak sinar bentuk bulan sabit itu, dengan kecepatan bagaikan kilat menerjang Tong-hong Hui Bun.
Tong-hong Hui Bun agaknya tidak berani memandang ringan lawannya, secepat kilat ia melompat mundur, yang tepat ke samping diri Hui Kiam.
Orang berbaju lila itu maju lagi sambil melakukan serangannya.
Hui Kiam sangat murka. Ia menyentil dengan jari tangannya.
Trang! Demikian suara nyaring terdengar. Pedang di tangan orang berbaju lila telah terputus menjadi dua potong o!eh hembusan angin yang keluar dari tangan Hui Kiam.
Dengan sikap terheran-heran orang berbaju lila itu menghentikan gerakannya.
Tong Hong Hui Bun saat itu juga menunjukkan perobahan di atas parasnya yang cantik.
Itu adalah serangan dengan jari tangan yang Hui Kiam dapat pelajari dari dalam kitab Thian Gee Po-kip bagian lanjutannya. Hasilnya yang demikian hebat, ia sendiri juga terperanjat dan terheran-heran. Sungguh tidak diduga bahwa satu jari tangan mempunyai kekuatan demikian dahsyat. Apabila itu mengenakan tubuh manusia, bukankah akan segera binasa?
Orang berbaju lila itu matanya nampak bergerak berulang-ulang, kemudian berkata dengan suara bengis:
“Tong Hong Hui Bun, aku peringatkan kepadamu hentikanlah perbuatanmu yang menumpuk dosa ini.”
Setelah perkataan terakhir itu keluar dari mulutnya, badannya sudah bergerak, dan bagaikan asap saja ia sudah menghilang.
Tong Hong Hui bun mengejar sambil berseru:
“Kau hendak lari kemana?”
Hui Kiam tidak menduga bahwa orang berbaju lila itu akan kabur. Sesaat ia tercengang, pikirannya bekerja. Mengapa ia tidak
memegat dari samping? Karena apabila dibiarkan ia merat, selanjutnya mungkin susah diketemukan lagi.
Oleh karenanya, maka ia lari turun dari samping gunung kemudian memutar balik.
Tak disangka perbuatannya itu ternyata salah besar. Bukan saja tidak berhasil memegat dirinya orang berbaju lila, tetapi juga sudah kehilangan bayangannya Tong-hong Hui Bun. Ia merasa sangat masgul. Ia coba mencari di sekitar tempat itu, tetapi tetap tidak menemukan apa-apa.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu berkeputusan hendak pergi ke bawah jurang puncak gunung batu coba-coba untuk menjumpai sucinya. Apabila tidak bertemu, terpaksa pergi menemui Ie It Hoan untuk menepati perjanjian.
Tiba di bawah jurang, ia coba mencari dan memutar ke sebelah kanan di bawah jurang.
Tempat itu terdapat banyak batu besar yang bentuknya sangat aneh. Pohon-pohon tua daunnya rindang. Ini suatu tanda bahwa tempat itu tidak pernah diinjak oleh manusia.
Dengan susah payah ia baru tiba di bawah jurang belakang puncak gunung. Maksudnya hanya mengharap dapat menjumpai sucinya, sebab orang berbaju lila ternyata masih hidup, hingga tidak perlu diselidiki lagi.
Dari bawah menengok ke atas, hanya lamping bukit yang menjulang tinggi ke langit. Tidak habis mengerti apa sebabnya orang berbaju lila yang dipaksa terjun ke bawah jurang ini tidak sampai mati.
Oleh karena disitu ternyata tidak menjumpai orang yang dicari, terpaksa balik lagi. Ia berpikir mungkin dengan sucinya itu sudah selip waktunya, oleh karena ia sendiri telah terhambat lima enam hari, karena mempelajari ilmu silatnya dan kitab Thian Gee Po-kip, tetapi Pui Ceng Un yang pergi ke gunung Gu-san jika dihitung waktunya sekalipun selisih waktunya juga tidak terlalu banyak.
Mungkin juga, karena orang bermata biru yang pergi menuntut balas kepada Si Raja Pembunuh, dengan adanya pertempuran hebat antara orang tua itu dengan gurunya, sudah tentu ia tak dapat meninggalkan, dan bagaimana kesudahannya pertempuran itu, sesungguhnya susah diramalkan andaikata tak ada perjanjian dengan Ie-It Hoan, Hui-Kiam pasti akan pergi ke gunung Gu-san untuk mencari keterangan.
Pui Ceng Un adalah satu-satunya orang yang masih ada dari keturunan perguruannya. Apabila terjadi apa-apa atas dirinya, benar-benar merupakan suatu hal yang patut disesalkan.
Ia teringat pula pada diri sucinya itu. Karena hasratnya untuk menuntut balas sampai ia rela mukanya sendiri dirusak untuk menjadi muridnya Si Raja Pembunuh. Penderitaan ini sesungguhnya bukan setiap orang yang sanggup menerima.
Ia berpikir bolak-balik, ternyata tidak dapat memecahkan soal itu.
Dengan perasaan sedih ia menengok lagi ke tempat yang suram itu. Selagi hendak berlalu, tiba-tiba terdengar suara seorang tua:
“Jika aku membiarkan engkau terlolos dari tanganku lagi, aku akan segera membunuh diri!”
Bukan kepalang terkejutnya Hui-Kiam. Di tempat yang tidak pernah diinjak oleh kaki manusia ini, ternyata terdapat manusia. Tatkala ia menengok ke arah suara itu, terlihat olehnya seorang tua pendek yang rambutnya putih seluruhnya, berdiri terpisah kira-kira dua tombak dari tempat ia berdiri.
Ditilik dari munculnya orang tua itu di tempat sedekat itu yang tidak diketahui olehnya, dapat diduga betapa tingginya kepandaian orang tua itu.
Maka seketika itu, ia lalu berkata sambil memberi hormat:
“Bagaimanakah sebutan locianpwee yang mulia?”
Mata orang tua pendek itu berputaran sejenak, lalu berkata:
“Eh, bocah, siapakah kau?”
Hui Kiam kini baru dapat melihat dengan tegas bahwa sepasang mata dua orang tua itu ternyata sudah buta. Biji matanya tertutup oleh selapisan putih, hingga ia dapat menduga bahwa orang tua itu sudah menganggapnya sebagai orang yang sedang dicari. Setelah mendengar suaranya baru tahu, bahwa Hui Kiam bukanlah orang yang sedang dicari, maka ia menyatakan perasaan terkejutnya.
Hui-Kiam menjawab:
“Boan-pwee Hui-Kiam!”
“Apakah maksudmu datang kemari?”
“Kucari seseorang!”
“Siapa yang kau cari?”
“Seorang wanita!”
Orang tua pendek itu tiba-tiba mengeluarkan suara tertawanya yang tidak enak didengarnya tetapi demikian nyaring, sehingga memekakkan telinga. Setelah tertawa baru berkata:
“Bocah, tempat ini belum pernah kedatangan manusia. Kau berkata mencari seorang wanita, terang itulah bohong belaka. Katakanlah, kau sebetulnya mendapat perintah siapa?”
“Boan-pwee datang untuk mencari orang ini adalah yang sebenar-benarnya tidak diperintah oleh siapapun juga!”
“Kau masih tidak mau omong terus terang?”
“Inilah keteranganku yang sebenarnya!”
“Hem!”
Setelah mengeluarkan suara itu, tangan si orang tua pendek itu yang pendek tetapi gemuk sudah menyambar demikian cepat dengan gerakannya yang sangat aneh, sehingga sulit bagi orang untuk melakukannya,
Hui Kiam berkelit untuk menyingkirkan dirinya dari serangan tersebut. Kali ini ia menggunakan ilmunya menggerakkan kaki
menurut pelajaran dari kitab Thian Gee Pokip tanpa sedikitpun suara seolah-olah bayangan yang menghilang.
“Eh!” demikian orang tua pendek itu berseru setelah usahanya untuk menangkap Hui Kiam tidak berhasil.
Sebagaimana umumnya, setiap orang buta yang bertindak melakukan apa-apa selalu mengandalkan daya pendengarannya dan perasaannya yang tajam untuk membedakan letaknya. Karena gerakan Hui Kiam tadi bagaikan bayangan yang menghilang, sudah tentu ia tidak dapat mengejar, sehingga saat itu ia berdiri terheran-heran.
“Locian-pwee….”
Baru saja Hui-Kiam membuka mulut, orang tua pendek itu dengan kecepatan bagaikan kilat tangannya sudah menyambar lagi. Tetapi sambaran itu juga dapat dielakkan oleh Hui-Kiam. Jikalau tidak menggunakan gerak kaki yang tidak ada taranya itu, Hui-Kiam benar-benar sulit untuk mengelakkan serangan tersebut.
Untuk kedua kalinya lagi-lagi serangan si orang tua itu mengenai tempat kosong. Keheranannya semakin besar. Jenggotnya yang putih bergerak-gerak, lalu berkata dengan suara keras:
“Sudahlah, sungguh tidak kusangka berkali-kali aku terjungkal di tangannya orang-orang tingkatan muda!”
Tangannya segera menyerang ke atas. Dari tangan itu menghembus gelombang angin. Sebuah batu besar di tempat sejauh tiga tombak terpukul hancur. Jelas bahwa perbuatannya itu dilakukan semata-mata hendak mengumbar hawa amarahnya....
Hui Kiam yang menyaksikan itu, dalam hati juga sangat kagum. Kekuatan tangan semacam itu sesungguhnya jarang tampak. Jika orang tua itu tidak buta matanya, apakah ia sanggup melawannya atau tidak masih merupakan suatu pertanyaan.
Orang tua itu duduk numprah di tanah. Dengan napas tersengal-sengal ia berkata:
“Bocah, kau mau apa, katakanlah?”
“Boanpwee tidak menghendaki apa-apa.”
“Kalau begitu ada keperluan apa kau datang kemari?”
“Mencari orang.”
“Berapa usiamu?”
“Duapuluh tahun.”
“Duapuluh tahun, kau sudah mempunyai kepandaian sedemikian tinggi? Gurumu....”
“Lima Kaisar Rimba Persilatan.”
“Oh! Jadi kau adalah murid Lima Kaisar. Tetapi tidak mungkin kau mempunyai kepandaian sedemikian tinggi”
“Kepandaian Boan-pwee didapat dari tambahan pelajaran lain.”
“Pantas kalau begitu.”
“Apakah Locian-pwee kenal dengan suhu Boan-pwee almarhum?”
“Suhu almarhum?......apakah mereka sudah menutup mata semua?”
“Ya, meninggal di tangan manusia keji rimba persilatan.”
“Astaga!” demikian orang tua berteriak, sehingga Hui Kiam hampir melompat. Kemudian orang tua itu berkata pula:
“Aku kira kau diutus oleh tua bangka itu untuk menyelidiki jejakku....”
Hui Kiam merasa heran. Ia lalu bertanya:
“Siapakah yang locian-pwee maksudkan?”
“Orang yang membikin sepasang mataku buta dengan perbuatannya yang sangat rendah.”
“Ia siapa?”
“Mungkin kau sudah pernah dengar tentang Tiga Raja Rimba Persilatan?”
“Pernah dengar. Kepandaian ilmu silat tiga raja itu kabarnya sudah tak ada taranya. Tentang mereka hampir semua rimba persilatan mengetahuinya!”
“Kepandaiannya sudah tidak ada taranya? Ha, ha, ha! Kalau benar demikian, bagaimana aku berkali-kali mengalami kekalahan?”
Hui Kiam semakin heran. Ia berkata:
“Ucapan locianpwee ini....”
“Tahukah kau siapa aku ini?”
“Itulah yang boanpwee justru ingin tahu!”
“Aku adalah salah satu Tiga Raja itu, namaku Cui Boan Siu dan gelarku Raja dari Tanah atau Tee hong!”
Hui Kiam berseru terkejut. Ia sesungguhnya tak menduga sama sekali bahwa orang tua pendek yang matanya buta ini, adalah salah satu dari Tiga Raja, jago tua luar biasa yang namanya sangat tersohor di dalam rimba persilatan. Tetapi dengan kedudukan dan kepandaian seperti Tee-hong ini, mengapakah bisa mengalami nasib demikian? Siapakah yang membuat buta matanya?
Tertarik oleh rasa ingin tahu, maka selanjutnya ia bertanya:
“Locianpwee adakah Tee-hong?”
“Benar!”
“Siapakah orangnya yang berani membokong locian-pwee?”
Perasaan orang tua itu agaknya terpengaruh oleh pertanyaan tersebut, biji matanya berputaran, lama sekali ia baru berkata sambil menghela napas panjang.
“Ah, sudahlah, aku sebetulnya sudah tidak ada muka menunjukkan diri di hadapan orang tingkatan muda.”
“Jikalau, locian-pwee sudi memberitahukan mungkin boan-pwee bisa memberi sedikit bantuan sesuatu!”
Tee-hong tiba-tiba melompat bangun. Dengan perasaan tergetar ia berkata:
“Apa? Apakah kau ingin mewakili aku untuk membalas dendam?”
“Begitulah maksud Boanpwe.”
“Tetapi.... ah! Sudahlah, kau bukan tandingan mereka.”
Perkataan itu telah membangkitkan sifat Hui Kiam yang gemar membela orang. Ia mulai memperhitungkan kepandaian dan kekuatannya sendiri pada waktu itu tentu sanggup melayani musuh kuat yang manapun juga. Karena ucapan orang tua itu semakin besar keinginannya untuk mengetahui entah betapa tingginya musuh Tee-hong yang dimaksudkannya itu. Maka ia segera berkata:
“Boanpwe mempunyai satu gelar ialah Penggali Makam. Boanpwee sudah bersumpah hendak mengamalkan kepandaian yang boanpwee dapat untuk melakukan perbuatan guna kepentingan rimba persilatan. Boanpwee telah bertekad hendak membasmi segala kejahatan dan menggali makam bagi manusia-manusia yang jahat....”
“Oh, kau beranggapan besar, sahabat kecil aku seorang tua sesungguhnya merasa malu terhadap diriku sendiri, karena di dalam rimba persilatan aku hanya mendapat nama saja tetapi tidak mendirikan pahala apa-apa, percuma saja aku mendapat nama kosong, sebetulnya belum pernah menyumbangkan tenaga bagi rimba persilatan. Ah!”
“Perlu apa locianpwee harus sesalkan diri sendiri...?”
“Sahabat kecil, orang yang menjelaskan diriku adalah Thian Hung atau Raja dari Langit yang dalam barisan nama Tiga Raja menduduki tempat pertama....”
“Oh!”
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam. Ia sungguh tidak menduga bahwa Tiga Raja Rimba Persilatan yang namanya pernah menggetarkan dunia rimba persilatan hampir seratus tahun lamanya, ternyata saling bermusuhan baku hantam sendiri. Kalau ia
bukan mendengar dari mulut Tee-hong sendiri, siapa yang percaya kebenarannya?
Tetapi mengapa? Dalam hal ini pasti ada sebabnya. Maka ia lalu bertanya dengan suara gemetar:
“Thian Hong?”
“Sedikitpun tidak salah. Sahabat kecil agaknya tidak percaya, betul tidak?”
“Bolehkah Boanpwee bertanya apa sebabnya?”
“Tidak ada sebab apa-apa, melainkan ada orang yang namanya sama-sama kesohor dengannya. Kalau mau dikatakan sebabnya sebetulnya hanya karena berebut nama kosong belaka! Ini… ini... benar-benar susah dimengerti.”
“Ya, ini memang susah dipercaya bagi siapapun juga.”
“Bolehkah boan-pwee bertanya, bagaimana kepandaian Thian Hong itu?”
“Masih di atas kepandaianku dan kepandaian Jin Ong!”
Hui Kiam dalam hati berpikir. Thian-Hong karena satu nama kosong telah mencelakakan diri orang sesamanya. Kepandaian dan kedudukannya Thian-Hong, boleh dikatakan sudah merupakan seorang kuat nomor satu, tetapi ternyata masih belum sanggup menghindarkan diri dari keinginannya untuk mendapat nama kosong. Kalau begitu, apakah Jin-Ong yang mengasingkan diri jadi padri juga ada hubungannya dengan Thian-Ong? Namun dalam rimba persilatan belum pernah terdengar kabar munculnya Thian-Ong. Dan apakah maksud yang sebenarnya dengan perbuatannya itu?
Selama beberapa puluh tahun di dalam kalangan rimba persilatan hanya tersiar nama Tiga Raja, tidak pernah terdengar nama Thian Ong yang disiarkan tersendiri. Kalau ia berebut nama, seharusnya ia mengunjukkan diri!
“Urusan dalam dunia kadang-kadang memang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia. Sudah beberapa puluh tahun
kedua mataku dibikin buta. Apa yang sudah lalu biarlah tinggal lalu. Walaupun aku masih merasa sangat penasaran, tetapi rasa dendam sakit hati sudah dilunturkan oleh berlalunya sang waktu. Masa seratus tahun, sebentar saja sudah lalu. Pada akhirnya bukankah tetap merupakan tulang belulang yang berada di dalam tumpukan tanah. Suka menang dan ingin dirinya menjadi seorang kuat, berebut kedudukan dan nama kosong, semua itu akhirnya toh percuma saja. Bukankah kita nanti semua akan terkubur di dalam tanah?”
Dalam hati Hui Kiam sangat heran. Ia berkata:
“Ucapan locian-pwee ini sesungguhnya mengandung filsafat kehidupan yang sangat dalam, hanya….”
Tee-hong segera menyelak:
“Maksud sahabat kecil apakah menganggap bahwa perbuatanku di masa yang lampau dengan perkataanku sekarang ini sangat bertentangan? Betulkah itu?”
“Boan-pwee memang benar mempunyai perasaan demikian.”
“Ya, walaupun aku sering berpikir demikian tetapi keinginan mendapat kemenangan masih belum lenyap dari pemikiranku. Tadi setelah aku tidak berhasil dalam usahaku menangkap kau, barulah aku tersadar sehingga melenyapkan pikiranku yang selalu ingin menang itu.”
Hui Kiam merasa tidak enak. Ia berkata dengan nada menghibur:
“Jikalau locian-pwee tadi sudi menerangkan nama locian-pwee lebih dulu, tidak nanti boan-pwee berani berbuat demikian.”
“Ha, ha, ha, sahabat kecil, kau menempelkan emas di mukaku. Kenyataan sudah cukup membuktikan bahwa orang baru dari tingkatan muda harus diberi kesempatan untuk menggantikan kedudukan orang yang sudah tua. Tadi hanya aku yang memandang diriku sendiri yang terlalu tinggi, apa salahnya dengan kau? Dua kali kuserang kau tidak membalas, ini suatu bukti bahwa kau berlaku sangat hati-hati!”
“Locian-pwee terlalu memuji. Boan-pwee mengetahui keadaan diri sendiri, boleh dikata sedikitpun tidak mempunyai kesabaran hati. Tetapi untuk pertama kali locianpwee mengetahui kedatangan boanpwee, lalu menanyakan maksud kedatanganku, apakah karena menganggap ...?”
“Aku anggap kau mungkin adalah orang yang diutus oleh Thian Hong.”
“Kedatangan boanpwee ini sebetulnya hendak mencari suci boanpwee, entah ....”
“Di sini belum pernah ada orang perempuan yang datang.”
Hui Kiam merasa kecewa. Nampaknya Pui Ceng Un mungkin belum berlalu dari gunung Gu-san. Jikalau tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, tidak mungkin sucinya itu tidak menepati janjinya. Perbuatan orang tua bermata biru yang hendak menuntut balas, sebetulnya sangat mengkhawatirkan. Tetapi ia sendiri tidak dapat membagi dirinya, bagaimana ia harus berbuat? Seandainya hal itu terjadi setelah ia berhasil memahami kepandaian dalam kitab Thian Gee po-kip seluruhnya, keadaan akan berobah lain, setidak-tidaknya sang suci itu tak sampai dipaksa oleh orang tua bermata biru untuk menunjukkan jalan.
Si Raja Pembunuh bukan orang sembarangan. Yang dikhawatirkan ialah orang bermata biru itu akan menggunakan sucinya untuk mengancam Si Raja Pembunuh, sedangkan sifatnya Si Raja Pembunuh itu juga sangat kejam, jikalau ia tidak suka diancam, mungkin akan mengorbankan sucinya.
Berpikir demikian, hatinya bergidik. Ia segera berpikir tidak dapat menunda waktunya lagi. Ia harus segera menjumpai Sukma Tidak Buyar Ie It Hoan, untuk menunda urusan gunung Bu-ling-san dan mencari keterangan keselamatan diri sucinya lebih dulu....
“Locian-pwee, boanpwee ingin minta diri!” demikian ia pamitan kepada orang tua itu.
“Apa? Kau hendak pergi?”
“Ya, boan-pwee khawatir ada terjadi apa-apa atas diri orang yang boan-pwe cari itu....”
“Tunggu dulu!”
“Locianpwee hendak memberi petunjuk apa?”
“Bukan petunjuk, justru aku yang ingin minta pertolonganmu!”
“Jikalau membutuhkan tenaga boanpwee, harap locianpwee perintahkan saja. Boanpwee merasa bangga dapat mencurahkan tenaga membantu locianpwee.”
Teehong sejenak nampak terdiam, kemudian baru berkata dengan suara lambat-lambat:
“Tiga puluh lima tahun berselang, mataku telah dibutakan oleh Thian Hong dengan menggunakan dedaunan sangat berbisa dari daerah luar perbatasan. Aku bersumpah hendak menuntut balas, maka selama tigapuluh tahun lebih ini, dengan tekun aku menciptakan semacam ilmu serangan dengan jari tangan, yang khusus untuk mengorek biji mata orang. Di waktu yang teratur ini, walaupun aku sudah merasa bahwa ilmu yang kuciptakan itu sudah berhasil, tetapi dengan badanku yang sudah cacat ini, sebetulnya sudah tidak sanggup melakukan tindakan menuntut balas itu, maka aku hanya mengharap agar dalam sisa hidupku ini aku dapat menemukan orang yang berjodoh denganku, maka aku akan mewariskan seluruh kepandaianku untuk mewakili aku melakukan pembalasan....”
“Maksud locian-pwee itu apakah....”
“Dengar habis dulu perkataanku ini. Pertemuan secara kebetulan ini memang merupakan jodoh tidak dapat diminta oleh manusia, manusia hidup dalam dunia pada akhirnya pasti akan pulang ke asalnya maka ilmuku ini kutulis di atas dinding dalam goa. Di situ kutinggalkan pesan, apabila ada orang berjodoh yang datang kemari boleh mempelajari ilmu itu serta mengambil kitab pelajaran yang kusimpan baik di gua tempat kediamanku, tetapi dengan syarat menuntut balas bagiku....”
“Oh!”
“Sudah tentu ada kemungkinan semasa aku masih hidup, sudah terkabul keinginanku itu. Mungkin juga setelah aku menutup mata, baru diketemukan orang yang berjodoh. Besar pula kemungkinannya, dengan berlalunya sang waktu aku dan musuhku itu sudah binasa semuanya sehingga pesanku itu akan hilang semua maksud dan tujuannnya.”
“Rencana locianpwee ini sesungguhnya sangat sempurna!”
“Belum lama berselang tatkala aku duduk bersemedi di bawah kaki gunung, tiba-tiba ada satu barang yang jatuh dari atas. Dengan tak disengaja kusambut barang itu. Ternyata adalah satu manusia yang dipaksa terjun oleh musuhnya.”
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam mendengar keterangan itu. Maka ia segera berkata:
“Oh, pantas dia tidak sampai mati!”
Sahabat kecil, kau kenal dengannya?”
“Silahkan locianpwee ceritakan habis dulu.”
“Baiklah. Aku membawanya ke dalam gua kediamanku. Setelah kutanya, aku baru tahu bahwa ia dipaksa terjun oleh musuhnya. Aku lihat kepandaian orang itu sangat tinggi, maka merasa girang bahwa Tuhan tidak sia-siakan pengharapanku, sehingga mendapat kesempatan demikian kebetulan....”
“Maka locian-pwee ambilnya sebagai pewaris kepandaian locian-pwee!”
“Aku memang bermaksud demikian. Tak kusangka dia berhati kejam dan serakah. Di luarnya ia menerima baik dan menyanggupi semua permintaanku, tetapi kemudian secara diam-diam selagi aku tidak menduga sama sekali, ia telah mencuri kitab pelajaran ilmu silatku dan kabur. Sudah tentu pelajaran ilmu jari tangan yang kutulis di atas dinding itu juga sudah didapatkan olehnya, sebab setelah ia pergi aku telah mendapat tahu bahwa tulisan-tulisan yang kuukir di atas dinding itu sudah diratakan olehnya.”
“Waktu pertama kali locian-pwee berjumpa dengan boan-pwee, apakah pertanyaan pertama yang locian-pwee katakan itu adalah kesalahan anggap boan-pwee sebagai orang berbaju lila?”
“Benar, aku kira balik lagi... Orang Berbaju Lila katamu?”
“Ya, ia dinamakan Orang Berbaju Lila!”
“Kau tidak asing dengannya?”
“Dia adalah musuh besar boanpwee. Cepat atau lambat boanpwee hendak membunuhnya!”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata:
“Ini sungguh kebetulan sekali. Permintaan terhadap kau juga adalah supaya minta kembali kitabku dari tangannya. Selain daripada itu, kau juga harus memusnahkan kepandaiannya jari tangan telunjuk dan jari manis, dengan demikian sehingga ia tidak dapat menggunakan ilmu jarinya itu untuk melakukan kejahatan.”
“Boan-pwee pasti akan melakukan tugas yang locian-pwee berikan ini. Selain daripada itu, apabila boanpwee nanti mengetahui di mana adanya Thian Ong, boanpwe akan menggunakan pelajaran apa yang boan-pwee ada berusaha minta kembali dua biji mata locian-pwee.”
Terpengaruh oleh ucapan Hui Kiam yang gagah itu, sekujur badannya gemetar. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Sahabat kecil, aku tidak berani mengharap terlalu banyak....”
“Tidak usah locian-pwee jadikan pikiran. Boan-pwee bergelar Penggali Makam, sudah tentu tidak dapat membiarkan manusia-manusia jahat itu berkeliaran di dalam dunia.”
“Aku merasa malu tidak dapat memberikan apa-apa kepadamu sebagai pernyataan terima kasihku.”
“Ucapan locian-pwee ini sangat berat!”
Orang tua itu berpikir sejenak, tiba-tiba mengulurkan tangannya seraya berkata:
“Mari bersalaman denganku sebagai tanda kepercayaan.”
Hui Kiam tercengang. Ia suka melakukan kewajiban itu sebetulnya karena terdorong oleh jiwanya yang benar, yang tidak dapat membiarkan orang sejahat itu terus tinggal hidup, tetapi orang tua itu mima tanda kepercayaan, apakah benar salah seorang dari Tiga Raja yang berkedudukan sangat tinggi itu tidak akan menganggap rendah dirinya sendiri? Walaupun dalam hati berpikir demikian, tetapi ia masih menyodorkan tangannya.
Tatkala kedua telapakan tangan menempel, tiba-tiba terdengar suara plak....
Hui Kiam cepat-cepat menarik kembali tangannya. Tetapi tiba-tiba merasakan sesuatu kekuatan tenaga hebat yang menggenggam tangannya dengan kencang, bukan kepalang terkejutnya. Selagi hendak mengerahkan kekuatannya untuk menarik kembali tangannya, hawa panas tiba-tiba dirasakan mengalir masuk dari telapakan tangan orang tua ke telapakan tangannya sendiri. Ia segera mengerti apakah sebetulnya telah terjadi. Sebelum ia membuka mulut, orang tua itu tiba-tiba berkata:
“Terimalah dengan baik. Jikalau tidak, kedua pihak akan terluka!”
Hui Kiam tidak berdaya, dalam keadaan demikian mau tidak mau ia harus terima aliran kekuatan tenaga dalam yang diberikan oleh orang tua itu. Apabila ia menarik kembali tangannya, kedua-duanya pasti akan terluka.
Tidak berapa lama hawa panas itu berhenti mengalir. Keduanya lalu melepaskan tangan. Hui Kiam segera berkata:
“Untuk apa perbuatan locian-pwee ini?
“Sahabat kecil, aku tidak dapat minta tolong daripadamu dengan cuma-cuma, maka aku hadiahkan kepadamu kekuatan tenaga dalam yang sudah kupupuk selama tiga puluh tahun, hanya sekedar sebagai tanda terima kasihku,” jawabnya orang tua itu sambil tersenyum.
“Boan-pwee sungguh merasa malu untuk menerimanya!”
“Apakah kau tidak memikirkan bahwa aku juga merasa malu untuk menerima bantuan begitu saja?”
Hui Kiam terpaksa memberi hormat dan berkata:
“Kalau begitu boanpwee mengucapkan banyak-banyak terima kasih!”
“Tidak usah!”
“Andaikata boanpwee berhasil mendapatkan kembali kitab locian-pwee....”
“Dengan kepandaianmu seperti sekarang ini, kitab itu tidak ada gunanya bagimu. Aku minta supaya kau hadiahkan kepada orang yang berjodoh.”
“Boan-pwe akan ingat pesan ini, tidak akan mengecewakan pengharapan locianpwee.”
“Sahabat kecil, masih ada satu hal. Ilmu jari tangan yang kuucapkan itu, harus digunakan dengan kekuatan yang dipusatkan kepada jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri. Itu tidak akan mempengaruhi kepandaian sendiri, jika ilmu itu dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam sudah cukup sempurna, kehebatannya sangat mengejutkan. Satu-satunya jalan untuk memecahkan serangan itu adalah dengan cara begini....”
Sehabis berkata orang tua itu menggunakan tangan kanannya untuk melakukan suatu gerakan dengan beruntun sampai tiga kali.
Hui Kiam ingat betul pelajaran itu. Dengan jari tangan untuk melakukan serangan yang tidak dipengaruhi gerak tangan kanannya, ia menggunakan kepandaiannya sendiri. Ini benar-benar sangat luar biasa.
“Sahabat kecil, apakah kau sudah ingat betul?”
“Sudah. Sekarang boan-pwee minta diri!”
“Semoga kita masih ada jodoh untuk bertemu lagi....”
“Bisa!”
Hui Kiam memberi hormat, kemudian meninggalkan orang tua itu dengan perasaan tilak tega. Nasib manusia memang aneh, ia sendiri adalah murid Lima Kaisar, tetapi secara kebetulan telah mendapat hadiah kekuatan tenaga dalam dari Jin Ong dan Tee-hong, tetapi akhirnya ia harus menghadapi Thian Hong, ini benar-benar merupakan suatu kejadian aneh yang tidak diduga sebelumnya.
Keluar dari gunung Kheng-san, ia mencari jalan yang menuju ke barat. Dalam hatinya masih terkandung sedikit harapan, bisa bertemu lagi dengan sucinya di tengah jalan. Tetapi sepanjang jalan itu pengharapannya itu tidak menjadi kenyataan, hingga perasaannya semakin berat.
Setelah berjalan beberapa lama, tiba-tiba ia ingat bahwa dalam perjalanan itu harus melalui Makam Pedang. Dengan kepandaiannya sendiri pada saat itu, tidak sulit baginya untuk kembali ke Makam Pedang. Ia juga ingin mengetahui siapakah sebetulnya pemilik pedang sakti itu yang disebut oleh Pelindung Pedang.
Maka ia lalu menggerakkan kakinya ke lembah Ciok-beng-san.
Wajah cantik tanpa make-up dari perempuan yang menamakan dirinya sebagai Pelindung Pedang kembali terbayang dalam otaknya, terutama pandangan matanya yang aneh sewaktu berpesan sebelum berpisah membuat jantungnya berdebar.
Orang Berbaju Lila sudah mengaku terus terang atas perbuatannya yang mencelakakan toasupek Hui Kiam, maka gambar peta tempat menyimpan pedang seharusnya berada di tangannya. Tetapi mendadak muncul seorang yang menamakan dirinya sebagai pemilik pedang sakti itu, ini benar-benar merupakan suatu teka-teki. Andaikata Orang Berbaju Lila adalah pemilik pedang sakti, mengapa ia tidak menggunakan pedang sakti itu dalam pengembaraannya di dunia Kang-ouw? Jika dengan pedang sakti itu untuk mengimbangi ilmu pedangnya yang tinggi sekali, bukankah merupakan satu jago tanpa tandingan?
Tiba di tempat yang dituju, dengan tanpa ragu-ragu Hui Kiam berjalan melalui jalan lembah yang sempit itu. Baru saja hendak memasuki sudut lembah, dua orang berpakaian hitam tiba-tiba muncul menghadang.
Hui Kiam merandek, matanya mengawasi kedua orang itu, kemudian berkata dengan nada suara dingin:
“Kalian berdua bermaksud apa?”
Salah satu di antaranya lalu menjawab sambil memberi hormat dengan sikapnya yang menghormat sekali:
“Harap Siao-hiap balik kembali!”
“Mengapa?”
“Kami berdua telah mendapat perintah tidak mengijinkan siapapun juga memasuki lembah ini!”
“Perintah siapa?”
“Beng-cu.”
“Persekutuan Bulan Emas?”
“Ya, ya, ya!”
Hui Kiam naik darah. Dahulu ketika ia datang kemari, komandan pasukan persekutuan itu, Ong Kheng Kauw, telah memimpin orang-orangnya hendak meledakkan Makam Pedang, tetapi akhirnya tidak berhasil. Dan sekarang persekutuan itu kembali mengutus orang-orangnya menjaga tempat itu, tidak mengijinkan orang luar masuk. Nampaknya persekutuan tersebut hendak mendapatkan pedang sakti tersebut. Ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Sebaiknya kalian menyingkir saja!”
“Kami berdua juga mendapat perinlah tidak boleh menganggap siao-hiap sebagai musuh, maka ....”
“Apa pula artinya ini?”
“Entahlah.”
“Minggir!”
“Kami tidak dapat melanggar perintah!”
“Kalau begitu kalian mencari mampus?”
Dua orang berbaju hitam itu merasa serbasalah, maka wajah mereka segera berobah. Seorang lagi lalu berkata:
“Apakah ini juga berarti bahwa siao-hiap telah menyulitkan kedudukan kita?”
“Sedikitpun tidak. Aku bisa berkata, juga bisa berbuat. Kalau kalian tidak memberi jalan, itu berarti mati!”
“Siao-hiap….”
Walaupun dalam hati Hui Kiam merasa heran mengapa pemimpin Persekutuan Bulan Emas memerintahkan anak buahnya tidak boleh bermusuhan dengannya, tetapi itupun tak mengurangi anggapan Hui Kiam terhadap persekutuan tersebut yang selama ini selalu dianggap musuh. Untuk mempercepat waktu, ia tidak mau bicara. Dengan menggunakan kakinya, bagaikan setan sudah berhasil melewati dua orang itu dan memasuki jalanan ke lembah.
Dua orang itu mengejar dengan pedang terhunus.
Hui Kiam membalikkan badannya dan mengayunkan tangannya. Sebentar terdengar seruan tertahan, dua orang itu lalu jatuh roboh di tanah. Dengan tanpa menoleh Hui Kiam melanjutkan perjalanannya.
Tidak berapa lama, ia sudah melalui jalanan lembah itu. Baru saja keluar dari jalanan sempit itu, beberapa bayangan orang sudah mengepung dirinya. Orang-orang itu dipimpin oleh seorang tua berambut putih dengan keadaannya yang amat aneh. Orang tua itu di punggung kirinya tergantung sebuah buli-buli arak yang sangat besar sekali, di punggung sebelah kanannya membawa sebuah kantong besar. Orang tua itu tidak lain daripada si Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng, yang telah menggabungkan diri dengan Persekutuan Bulan Emas dan diangkat sebagai ketua pelindung hukum.
Di sampingnya, adalah delapan jago pedang yang semuanya berpakaian serbahitam.
Hui Kiam memandang rendah martabat orang tua itu. Selain daripada itu, belum lama berselang di luar Loteng Merah, orang tua itu pernah menghadangnya. Hingga saat itu ia masih merasa benci terhadap orang tua itu.
“Ciok Siao Ceng, sudah lama kita tak berjumpa!”
“Sama-sama!”
“Rekening kita seharusnya dibereskan saja!”
“Penggali Makam, kami telah mendapat perintah tidak boleh mempersulit kau. Aku lihat sebaiknya kau berlalu dari sini.”
Sinar mata Hui Kiam yang dingin menatap wajah orang tua itu, kemudian ia berkata:
“Ciok Siao Ceng, dalam usiamu yang setua ini, kau ternyata tak dapat mengendalikan nafsumu sehingga rela menyediakan dirimu membantu melakukan kejahatan. Aku benar-benar merasa sayang terhadap kedudukan dan nama baikmu yang telah kau pertahankan sampai pada usia setuamu ini.”
Manusia gelandangan itu tertawa terbahak-bahak lalu berkata:
“Setiap orang mempunyai pikiran dan tujuan hidup sendiri-sendiri. Penggali Makam, sekali lagi aku berkata padamu, sebaiknya kau berlalu dari sini!”
“Enak sekali kau berkata. Aku juga mempunyai tujuan hidup. Tujuan itu ialah menggali makam bagi kalian orang-orang macammu ini!”
“Kami bukan takut kepadamu, melainkan tidak boleh melanggar perintah yang tak boleh bermusuhan denganmu....”
Hui Kiam sama sekali tidak mau ambil pusing untuk memikirkan apa sebabnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas memerintahkan orang-orangnya untuk tidak bermusuhan dengannya.
“Kau boleh tak memperdulikan perintah itu, sebab hari ini aku sudah bertekad hendak membunuhmu!”
“Kau jangan takabur. Pelindung hukum tertinggi persekutuan kami sekarang sedang melakukan tugas di dalam Makam Pedang. Ia bukan seorang yang mudah diajak bicara seperti kami. Nanti setelah tugasnya selesai, sangat tidak menguntungkan bagi dirimu sendiri.”
Hui Kiam terperanjat, matanya mengawasi ke arah Makam Pedang. Benar saja, dari sana samar-samar terdengar suara saling bentak. Ia tahu bahwa orang yang disebut sebagai pelindung hukum tertinggi, pasti orang yang dikatakan oleh Sukma Tidak Buyar, ialah salah satu dari Delapan Iblis negara Thian-tik.
Iblis itu bisa melalui barisan batu hitam ajaib dan masuk ke dalam Makam Pedang, tentunya sudah paham ilmu memasuki barisan gaib itu.
Dengan kepandaiannya wanita muda yang menyebut dirinya Pelindung Pedang, sekalipun ia mempunyai senjata sakti, barangkali masih belum sanggup melawan kepandaian iblis yang luar biasa tinggi kepandaiannya itu. Jikalau pedang sakti itu terampas olehnya….
Karena berpikir demikian, maka seketika itu hatinya merasa sangat gelisah. Ia segera berkata dengan suara keras:
“Ciok Siao Ceng, rekening kita sebentar kita perhitungkan lagi!”
Setelah mengucapkan demikian, badannya sudah bergerak dengan tiba-tiba....
Manusia Gelandangan berkata sambil menggerakkan tangannya:
“Apakah kau ingin mencari mampus?”
Hui Kiam yang sudah bergerak dipaksa untuk kembali lagi. Delapan jago pedang semuanya telah menghunus pedangnya untuk menghalangi Hui Kiam.
Hui Kiam sangat murka. Dengan nada suara keras ia membentak:
“Kalian mencari mampus!”
Ancaman itu dibuktikan dengan serangannya yang hebat sekali. Berulang-ulang terdengar suara jeritan ngeri. Dua di antara dari delapan jago itu terpental dan tubuhnya melayang ke danau yang airnya sangat dingin itu, dan yang lainnya pada mundur dalam keadaan sangat menyedihkan.
Hui Kiam tidak ingin melakukan pembunuhan lebih banyak jiwa. Badannya melesat lagi tinggi ke atas bagaikan asap melayang memutari semua orang itu dan menuju ke Makam Pedang.
Sebagai orang yang sudah kenal baik, dengan mudah ia dapat melalui barisan batu hitam yang aneh itu.
Di mulut gua, empat laki-laki berpakaian hitam berdiri menjaga dengan pedang terhunus.
Dengan tanpa mengeluarkan suara ia maju menghampiri. Dengan menggunakan ilmu serangan tangan dan jari telah berhasil merobohkan empat orang itu tanpa menimbulkan sedikitpun suara. Setelah membereskan empat orang itu, ia lalu menuju ke kamar batu dalam makam itu.
Apa yang disaksikan olehnya, membuat darahnya naik seketika.
Apa yang disebut sebagai anggota pelindung hukum tertinggi ternyata adalah orang tua bermata biru yang dahulu pernah memaksa Pui Ceng Un mengunjukkan jalan untuk mencari Si Raja Pembunuh. Ia sesungguhnya tidak menduga bahwa orang tua bermata biru itu ternyata adalah salah satu iblis dari Delapan Iblis Negara Thian-tik.
Gadis yang mengaku sebagai pelindung pedang, dengan pedang sakti di tangannya berdiri membelakangi dinding. Parasnya pucat pasi, mulutnya terdapat banyak tanda darah begitu pula pakaiannya juga sudah merah karena darah. Gadis itu masih belum mengetahui kedatangan Hui Kiam. Dengan sinar matanya yang bengis mengawasi orang tua bermata biru itu.
Orang tua bermata biru itu mulutnya mengeluarkan suara tertawanya yang menyeramkan, setindak demi setindak maju mendekati gadis itu.
Dengan kepandaiannya yang sedemikian tinggi seperti orang tua bermata biru itu ternyata masih belum merasa kalau Hui-Kiam sudah berdiri di belakangnya hanya terpisah dua tombak saja. Suatu bukti bahwa kepandaian Hui Kiam pada saat itu sudah mencapai taraf yang sangat tinggi sekali.
Gadis yang sedang berdiri membelakangi dinding itu badannya nampak gemetar. Jelas bahwa ia telah terluka parah, tetapi tangannya yang memegang pedang sakti nampak tegas masih dapat memegang erat-erat. Dengan suara yang sudah agak serak itu ia berkata:
“Iblis tua, kalau kau maju setindak lagi aku akan menusukkan pedang ini!”
“Budak, kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi!”
Setelah mengucap demikian ia terus maju lagi tanpa menghiraukan ancaman gadis itu.
Gadis pelindung pedang itu tubuhnya semakin gemetar, darah hidup keluar dari mulutnya. Dengan suara putus asa ia berkata:
“Ayah, anakmu sudah tidak berdaya lagi!” Kedua tangannya memegang gagang dan ujung pedang. Pedang itu diangkat hendak dipatahkan dengan jalan membenturkan di bagian lututnya.
Orang tua bermata biru itu mengulurkan tangannya menyambar pedang tersebut....
“Jangan bergerak!” demikian suara keras tercetus dari mulut Hui-Kiam. Ia melarang gadis pelindung pedang itu dalam usahanya hendak merusak pedang sakti itu, tetapi suara itu juga mengejutkan orang tua bermata biru sehingga ia harus menarik kembali tangannya dan membalikkan badannya.
Setelah mengetahui siapa orang yang datang, orang tua bermata biru itu lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
“Oh, kau bocah!”
Gadis pelindung pedang itu nampaknya terperanjat, bibirnya bergerak-gerak tetapi tidak mengeluarkan suara dan akhirnya ia jatuh roboh di tanah.
Sambil tertawa dingin Hui Kiam berkata:
“Tidak disangka di sini aku berjumpa denganmu!”
“Bocah, dengan cara bagaimana kau bisa masuk kemari?”
“Aku masuk dengan menggunakan kakiku!”
“Apa maksudmu?”
“'Sama dengan maksudmu!”
“Karena pedang sakti?”
“Tepat!”
“Tetapi di sini sudah ada aku si orang tua. Kedatanganmu ini, berarti cuma-cuma!”
“Belum tentu!”
“Apakah kau masih ingin berebut denganku?”
“Rebut? Ucapan ini sangat keterluan. Kau tokh tidak mempunyai hak atas barang itu sebab pedang sakti ini sudah ada pemiliknya.”
“Ha ha ha, siapakah pemilik pedang sakti?”
“Itulah aku sendiri!”
“Bocah, jikalau bukan karena pesan Bengcu, aku sudah bunuh mati dirimu.”
“Hem! Sekarang barangkali kau sudah tidak mungkin lagi.”
“Apa kau ingin mencoba?”
“Selagi kau masih bisa membuka mulut, mari kita omong-omong lebih dulu. Di dalam barisan Delapan Iblis Negara Thian-tik itu, kau sebetulnya termasuk urutan nomor berapa?”
Orang tua bermata biru itu wajahnya menunjukkan sikap yang bengis. Katanya dengan suara berat:
“Kau bocah ternyata dapat mengetahui asal-usulku. Tidak halangan kuberitahukan kepadamu, aku adalah Hektomu yang mempunyai nama julukan Singa Sakti Bermata Biru!”
“Jadi kau Iblis Singa?”
“Hem, hem!”
“Bagaimana dengan perjalananmu ke gunung Bu-san?”
“Apakah kau kira aku masih dapat membiarkan Si Raja Pembunuh itu hidup lagi? Ha, ha.”
Hati Hui Kiam bercekat. Apa yang ia pikirkan selama itu ialah keselamatan sucinya, maka ia bertanya pula:
“Bagaimana dengan perempuan berkerudung yang menunjukkan jalan kepadamu itu?”
“Budak perempuan itu sangat licin, ia dapat meloloskan diri.”
Hui Kiam menarik napas lega. Matanya mengawasi gadis pelindung pedang yang saat itu telah rebah terlentang di tanah dengan tanpa bergerak namun pedang itu masih belum terlepas dari tangannya, entah sudah mati atau masih hidup masih belum diketahui, dalam keadaan demikian, kalau ia tidak mengusir pergi Iblis Singa itu, sudah tentu ia tidak bisa mendekati, maka ia lalu berkata pula kepada si Iblis Singa:
“Sekarang sudah waktunya untuk turun tangan.”
“Aku sebetulnya tidak maksud ingin membunuh kau….”
“Tetapi aku juga tak mau melepaskan kau!”
“Karena kau paksa aku membunuhmu, terpaksa aku harus melanggar perintah Beng-cu. Bocah, lihatlah seranganku!”
Ucapan itu ditutup dengan satu serangan tangan kosong yang hebat sekali.
Hui Kiam menggunakan gerakan kakinya yang baru berhasil dipelajarinya dari kitab Thian Gee Po kip, hingga begitu bergerak orangnya sudah menghilang, tetapi setelah serangan lewat ia muncul lagi. Dengan cara itu ia undur setombak lebih dari tempat semula ia berdiri, maksudnya ia memancing Iblis Singa itu supaya terpisah lebih jauh dengan gadis pelindung pedang.
Iblis Singa itu mengira Hui Kiam tidak berani menyambut serangannya, lalu melancarkan serangannya yang kedua. Hui Kiam menyingkir lagi. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh kemudian disusul oleh terhamburnya hancuran batu. Ternyata dinding batu dekat pintu telah terbuka satu lubang karena terkena serangan iblis itu.
Karena dua kali serangannya mengenakan tempat kosong, iblis itu sangat murka.
“Bocah, kalau aku tidak berhasil membikin hancur tubuhmu, percuma saja aku mendapat nama julukan Iblis Singa.”
Setelah itu kedua tangannya menyambar badan Hui Kiam.
Hui Kiam kembali menggunakan gerak kakinya yang lincah menghilang ke samping. Dengan cara demikian, dari manapun datangnya iblis itu, tidak usah khawatir dapat melukai diri gadis pelindung pedang.
Kepandaian Iblis Singa benar-benar luar biasa. Dengan cara yang tidak berobah ia terus mengikuti bagaikan bayangan....
Sampai di situ Hui Kiam tidak perlu merasa ragu-ragu lagi. Ia lalu balas menyerang dengan satu jari tangannya.
Reaksi iblis itu ternyata cepat sekali. Agaknya sudah merasakan bahwa sambaran angin jari tangan itu adalah aneh, dengan cepat ia lompat menyingkir. Sekalipun demikian, sambaran angin yang melewati atas kepalanya telah melukai kepala dan menimbulkan rasa sakit.
Andaikata angin itu melalui tempat yang agak rendah sedikit, batok kepala iblis itu niscaya akan terlobang.
Iblis itu semakin murka. Dengan suara keras ia membentak:
“Aku ternyata sudah salah hitung terhadap kepandaianmu!”
Setelah mengucap demikian, kembali mengeluarkan serangannya dengan menggunakan dua tangan....
Kepandaian Hui-Kiam, yang seluruhnya didapatkan dari kitab wasiat Thian-Gee Po-kip karena gerak tipunya yang sederhana dan hanya beberapa jurus saja sudah tentu tidak bisa menurut keinginan lawannya yang bertempur secara melibat. Di antara suara bentakan ia sudah melancarkan serangan dengan menggunakan telapak tangan kosong. Apabila serangannya itu tidak berhasil menundukkan lawannya, maka akibatnya tidak menyenangkan baginya.
Serangan telapak tangan yang digunakan itu, mengandung kekuatan keras dan lunak. Di luarnya sedikitpun tidak tampak kehebatan gerakan itu, tetapi kekuatan yang terkandung dalamnya amat dahsyat sekali, daya kekuatan yang membalik bisa berbeda menurut keadaan dan kekuatan orang yang diserang.
Setelah serangan itu meluncur keluar dari tangannya telah menimbulkan suara kekuatan yang meluncur keluar membuat ruangan kamar itu, seperti tergoncang. Setelah itu terdengar suara seruan tertahan, badan Iblis Singa mundur terhuyung-huyung, mulut dan hidungnya mengeluarkan darah.
Baru pertama kali ini Hui Kiam menggunakan serangan tangan kosong itu, tetapi itu ternyata sudah berhasil membuat salah satu dari Delapan Iblis Negara Thian-tik terluka. Hal ini sesungguhnya di luar dugaannya.
Iblis Singa benar-benar tidak menduga bahwa dalam waktu yang sangat singkat kekuatan dan kepandaian Hui Kiam sudah mendapat kemajuan sedemikian pesat. Serangannya itu membuat ia terheran-heran dan bergidik. Setelah berdiam sejenak, dengan tiba-tiba tangannya bergerak menyambar pedang sakti di tangan gadis pelindung pedang.
Apabila ia berhasil mendapatkan pedang sakti itu, ini berarti Hui Kiam yang menghadapinya dengan tangan kosong sukar dikatakan siapa yang akan jatuh.
Hui Kiam tidak menduga iblis itu setelah terluka masih bisa bergerak sedemikian cepat. Selagi tangan iblis itu sedang menyentuh gagang pedang, Hui Kiam dalam keadaan cemas segera melanjutkan serangannya dengan satu jari tangan.
Serangan itu mengenai lengan tangan Iblis Singa, sehingga pedang sakti yang sudah berada di tangannya jatuh lagi di tanah.
Hui Kiam dengan cepat melancarkan serangannya lagi, sehingga iblis itu terpental dan mundur tiga langkah. Hui Kiam lompat maju dan menyambar pedang sakti ke dalam tangannya.
Tepat pada saat itu, Iblis Singa dari satu sudut dinding menyambar sebuah barang, kemudian melesat keluar dari kamar.
Hui Kiam segera mengejar sambil berseru:
“Hendak lari kemana!”
Iblis itu sebetulnya tidak kabur. Ia berdiri jauh-jauh di mulut gua. Di tangannya kini telah memegang tongkat bambu.
Hui Kiam melompat maju sambil mengangkat pedangnya ia berkata dengan suara dingin:
“Serahkanlah jiwamu!”
Hui Kiam lalu menyerang dengan pedang sakti.
Tongkat di tangan iblis itu membuat satu lingkaran untuk menutup serangan Hui Kiam.
Hui Kiam tidak melanjutkan serangannya. Ia menunggu sampai tongkat lawannya agak miring baru menyerang lagi.
Serangan pedang meluncur, tiba-tiba terdengar suara derak, tongkat di tangan iblis yang beradu dengan ujung pedang, telah terpapas satu kaki panjangnya.
Hampir bersamaan pada saat itu, dari lobang bambu yang terpapas oleh pedang itu, telah menyemburkan kabut putih.
Hui Kiam sudah tidak mendapat kesempatan untuk menyingkir, kabut putih itu mengurung mukanya, kedua matanya dirasakan sakit. Ia tahu bahwa ia tertipu oleh akal keji musuhnya. Dengan perasaan sangat gusar ia melompat mundur beberapa kaki, tetapi seketika itu juga kedua matanya sudah tak dapat melihat apa lagi.
Terdengar suara Iblis Singa yang berkata sambil tertawa bergelak-gelak:
“Bocah, kau sudah terkena racun dedaunan yang kumasukkan dalam tongkat ini. Seumur hidupmu jangan harap kau dapat melihat matahari lagi, ha, ha, ha...!”
Racun dari dedaunan. Tee-hong orang tua pendek yang diketemukan di bawah jurang itu juga dilukai oleh Thian Hong dengan racun itu sehingga kedua matanya buta.
Seketika itu hati Hui Kiam bergidik kegusarannya semakin meluap, tetapi apa daya?
Suara tertawa iblis itu, telah memberi petunjuk kepadanya untuk sasaran serangannya. Maka secepat kilat ia bertindak.
“Serahkan jiwamu!” Demikian ia berseru, pedang sakti di tangannya dengan sepenuh tenaga telah digunakan untuk melakukan serangannya kepada iblis itu.
Sebentar terdengar suara jeritan ngeri, kemudian disusul oleh semburan darah yang menyemprot di muka Hui Kiam, setelah itu terdengar suara kedebukan robohnya Iblis Singa yang sudah tak bernyawa.
Hui Kiam menarik napas lega, tetapi segera disusul oleh suara keluhan. Sepasang matanya kini telah buta, hidup bagaikan mati.
“Oh, mataku! Mataku...!” demikian ia telah berteriak dengan kalap.
---ooo0dw0ooo---
JILID 17
IA kini berada dalam kegelapan, hanya pikirannya yang masih terang. Api kehidupan, juga telah padam.
Kepandaian sudah berhasil didapatkan, pedang sakti sudah berada di tangannya. Akan tetapi, segala-galanya kini telah musnah.
Dendam, kasih dan semua musuh-musuhnya seolah-olah sudah berlalu dari dirinya.
Entah berapa lama sudah berlalu, pikirannya perlahan-lahan mulai tenang kembali, namun otaknya kosong melompong, apapun dia tidak pikir, juga tidak memikirkan.
Dengan hati pilu ia duduk di tanah. Tangannya mengelus-elus pedang sakti itu.
Rasa sakit di kedua matanya perlahan-lahan mulai berkurang, ia sudah dapat membuka kelopak matanya tetapi tidak dapat melihat sesuatu apapun.
Keadaan di sekitarnya gelap gulita dan sunyi senyap.
Tiba-tiba satu suara halus telah mengejutkan dirinya. Sebagai seorang yang sudah berkepandaian yang sangat tinggi dengan sendirinya daya pendengarannya jauh berbeda dengan orang biasa. Suara yang halus itu telah membangkitkan kekuatannya, lalu menegurnya dengan suara dingin:
“Siapa?”
“Aku... Pelindung Pedang!”
“Kau... tidak binasa?”
“Belum binasa, tetapi... belum tentu bisa hidup terus.”
Suara itu sudah berada di belakang dirinya, tetapi ia kini sudah tidak dapat lihat parasnya gadis itu lagi.
“Parahkah luka nona?”
“Hanya tinggal denyutan jantung yang masih belum berhenti...eh, eh! Kau sudah berhasil membunub mati iblis itu?”
“Ya!”
“Oh!”
Suasana sunyi kembali, hingga suara napas Pelindung Pedang terdengar dengan nyata.
Hui kiam tiba-tiba ingat soal yang lama berada dalam otaknya. Apabila gadis pelindung pedang ini benar-benar akan binasa karena lukanya, maka teka-teki itu tidak akan terungkap untuk selama-lamanya. Walaupun pada saat itu ia masih perlu hidup terus atau tidak, masih perlu dipertimbangkan dengan seksama, tetapi soal yang sudah lama ingin diketahuinya itu besar sekali penariknya. Maka ia segera bertanya:
“Nona, bolehkah aku bertanya kepadamu sesuatu hal?”
“Urusan apa?”
“Siapakah pemilik pedang sakti ini?”
“Tidak tahu.”
“Apa? Nona sebagai pelindung pedang, ternyata masih belum tahu siapa pemiliknya, ini benar-benar tidak habis dimengerti. Kalau begitu atas perintah siapa nona melindungi pedang itu?”
“Pesan ayah ibuku!”
“Siapakah ayahmu?”
“Tentang ini, maaf aku tidak dapat memberitahukan kepadamu!”
“Luka nona berat sekali, sudikah nona menerima bantuanku untuk menyembuhkan luka itu?”
Sejenak pelindung pedang itu nampak sangsi, kemudian ia berkata:
“Kau rupanya terluka?”
Hati Hui Kiam merasa sedih, tetapi ia tetap mengendalikan perasaannya dan menjawab sambil kertak gigi:
“Tidak.”
“Kalau begitu mengapa sedari tadi kau duduk saja dan tidak bangun dari tempatmu?”
“Beristirahat.”
“Baik! Aku... terima baik bantuanmu. Lebih dulu kau sudah melepas budi telah menolong jiwaku, tiada halangan ditambah satu kali budi lagi!”
“Kalau begitu harap nona duduk di hadapanku!”
Gadis pelindung pedang itu geser badannya agaknya sangat susah.
Setelah duduk Hui-Kiam mengulurkan tangan kanannya. Baru saja tangan itu menyentuh belakangan punggung gadis itu, tiba-tiba gadis itu berkata dengan nada suara gemetar:
“Tidak, aku tidak bisa menerima!”
Hui Kiam terkejut. Dengan perasaan heran ia tarik kembali tangannya, kemudian bertanya:
“Mengapa?”
Gadis pelindung pedang itu agaknya sangat terpengaruh perasaannya oleh perbuatan gagah Hui-Kiam, ia menjawab dengan suara gemetar:
“Aku berutang budi kepadamu. Jika aku tidak mati, aku berdaya untuk membayar aku tidak berani menerima budi kebaikanmu lagi!”
“Kau seharusnya memberi penjelasan sebab-musababnya.”
“Sebab aku tidak bisa melepaskan tugasku!”
“Melihat pedang sakti?”
“Ya!”
“Dengan keadaan nona seperti sekarang ini, apakah kau masih sanggup melindungi pedang itu? Apa lagi pedang itu kini sudah terjatuh dalam tanganku.”
“Itu soal lain!”
“O! Aku mengerti, nona agaknya terlalu memandang rendah martabatku. Aku hendak menyembuhkan lukamu itu bukan berarti hendak memeras dengan melepas budi.”
“Pendeknya aku tidak bisa!”
“Jikalau luka nona terlalu parah sehingga tidak dapat disembuhkan, edang ini bukankah akan menjadi kepunyaanku?”
“Setidak-tidaknya pikiranku tidak terganggu, sebab itu adalah nasib yang tidak dapat dilawan oleh manusia!”
“Apakah nona berpikir sekalipun kepandaian nona masih cukup kuat seluruhnya, mungkin juga tidak bisa mendapatkan kembali pedang ini?”
“Aku bisa membela dengan jiwaku sampai titik darah penghabisan!”
Tergerak hati Hui Kiam. Ia berkata dengan suara lemah lembut:
“Sebaiknya nona terimalah dulu bantuanku untuk menyembuhkan lukamu. Soalnya lain nanti kita bicarakan lagi, mungkin aku juga dapat merobah pikiranku!”
“Maksudmu, apakah kau hendak melepas pedang sakti ini?”
“Mungkin demikian!”
“Baik, aku menurut!”
“Ada satu hal aku perlu menerangkan lebih dulu....”
“Silahkan!”
“Orang tua bermata biru yang kubunuh itu adalah Iblis Singa, salah satu dari Delapan Iblis Negara Thian-tik!
“O!” gadis itu nampaknya terkejut.
“Empat dari delapan iblis itu sudah diangkat sebagai anggota pelindung hukum tertinggi oleh Persekutuan Bulan Emas, persekutuan itu sudah bertekad hendak memiliki pedang sakti ini. Kalau selama beberapa tahun ini nona bisa melindungi pedang ini
tanpa ada yang mengganggu, itu disebabkan tiada orang yanq mengenali barisan gaib ini, tetapi sekarang Iblis Singa itu sudah bisa masuk, apakah kita bisa menjamin bahwa tiga iblis lainnya itu tidak bisa masuk juga? Maka jika nona masih ingin mengandalkan barisan gaib ini untuk melindungi pedang, kenyataannya sudah tidak memungkinkan lagi ....”
“Maksudmu?”
“Aku tidak ingin pedang pusaka ini diketemukan oleh kawanan iblis, yang akan digunakan untuk menimbulkan pertumpahan darah, apabila keadaan sudah mendesak, sudilah nona merusakkannya?”
““Aku memang akan berbuat demikian!”
“Baik, sekarang mulai!”
Tangannya ditempelkan di bagian jalan darah Beng-bun-hiat lagi. Tenaga dalamnya perlahan-lahan disalurkan ke dalam tubuh si nona.
Kekuatan tenaga dalam Hui Kiam pada waktu ini, sudah boleh dikata tidak ada tandingannya, untuk menyembuhkan luka bagian dalam, tidaklah sukar baginya.
Satu jam kemudian, luka dalam tubuh nona itu sudah sembuh.
Gadis pelindung pedang meloncat bangun, sekonyong-konyong ia menjerit bagai terpagut ular.
“Matamu?”
Hui-Kiam terkejut. Ia menekan perasaan pedih di dalam hatinya. Dangan suara berat dan tenang, ia menjawab:
“Buta!”
“Ini... bagaimanakah sebetulnya?”
“Terkena akal keji Iblis Singa. Ia menyembunyikan racun dedaunan di dalam tongkatnya. Tatkala tongkat itu aku papas dengan pedang, bubuk racun dalam tongkat menyembur keluar dan membutakan mataku!”
Gadis pelindung pedang itu menangis, tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Hui Kiam.
Seketika itu Hui Kiam kelabakan, tindakan nona itu sungguh di luar dugaannya.
“Nona, mengapa... kau berbuat begini?”
“Oleh karena aku, kau telah merusak dirimu sendiri. Pengorbanan dan budi ini, dalam hidupku ini sulit bagi aku untuk membalasnya.”
Hui Kiam sedapat mungkin coba menenangkan pikirannya. Ia berkata dengan suara sedih:
“Nona, kau keliru. Perbuatanku ini bukan semata-mata karena kau ….”
“Tidak! Kau tidak usah membohongi aku, jikalau kau tidak kau, siang-siang aku sudah binasa.”
“Apabila nona coba memikirkan sejenak tentang maksud kedatanganku itu, tidak nanti bisa mengucapkan demikian.”
“Aku tahu, kedatanganmu memang karena pedang sakti itu, akan tetapi kau sudah menolong jiwaku itu tokh tidak salah dan kau sudah berkorban untuk itu tokh juga tidak salah, jikalau kau hanya bermaksud hendak mendapatkan pedang sakti, sedikitpun tidak mempunyai jiwa besar dan perasaan kebenaran setelah kau mendapatkan pedang itu, gampang saja kau pergi!“
Perkataan itu memang masuk di akal, hingga Hui Kiam bungkam. Ia tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk membantah.
Nona itu berkata pula dengan suara sedih:
“Aku bernama Cui Wan Tin, dan kau?”
“Aku Hui Kiam.”
“Oh! Engko Kiam, aku hendak merawatmu seumur hiduip ....”
Bukan kepalang terkejutnya Hui Kiam, sesaat lamanya ia berdiri tertegun lama baru bisa berkata:
“Nona Cui, apa kau kata?”
“Aku cinta kepadamu, aku hendak merawat dirimu seumur hidup!”
“Aku sudah merupakan seorang cacat, tiada harganya ....”
Dengan jari tangannya Cui Wan Tin menekap mulut Hui Kiam, tidak mengijinkan ia mencetuskan perkataannya. Dengan suara gemetar ia berkata:
“Justru karena itu, maka aku hendak mengawani kau seumur hidup. Apakah kau sudi menerimaku?”
“Bukan, sejak pertama kali kau datang kemari aku sudah ...”
“Sudah apa?” ia agak malu untuk mengeluarkannya, akan tetapi maksud dalam perkataan itu jelas sekali dapat dimengerti oleh Hui Kiam.
Hati Hui Kiam kembali tergoncang, tetapi ia segera cepat berpikir. Kalau matanya telah buta, jikalau tidak mempunyai keberanian untuk mengakhiri hidupnya sendiri, maka hari-hari selanjutnya akan merupakan suatu penderitaan dan siksaan yang tak ada habisnya. Kecuali itu dengan matanya yang sudah bercacad, bagaimana dapat menerima cintanya si nona, ini berarti akan mensia-siakan masa remaja nona itu. Seketika itu ia pura-pura berkata dingin, katanya:
“Aku tidak sudi menerima perasaan kasihan siapapun juga!”
“Engko Kiam, ini bukanlah kasihan, melainkan kasih sayang yang sejujurnya.”
“Tetapi aku tidak bisa menerimanya.”
“Apakah kau tidak cinta kepadaku?”
“Ya. Di antara kita belum bisa dikatakan soal cinta,” jawab Hui Kiam sambil gigit bibir.
Cui Wan Tin sangat duka. Air mata mengalir di kedua pipinya. Tangannya memeluk Hui Kiam semakin erat. Dengan suara tegas dan perasaan mantap ia berkata:
“Tidak perduli kau cinta aku atau tidak, tetapi cinta yang tumbuh dalam hatiku adalah sejujurnya itu sudah cukup.”
Dalam hati Hui Kiam bergolak hebat bagaikan gelombang air laut, tetapi di luarnya sedikitpun tidak mengunjukkan kegelisahan dalam hatinya.
“Nona Cui, cinta itu tidak dapat dipaksa, jikalau tidak akan menjadi suatu penderitaan.”
“Engko Kiam, jangan menganggap aku seorang perempuan yang tidak tahu malu, antara kau dengan aku satu sama lain sudah bersentuhan secara begini, apa kau kira tubuhku ini dapat kuberikan kepada orang lain?”
Hati Hui Kiam merasa pedih. Manusia bukanlah batu atau kayu, biar bagaimana masih mempunyai perasaan sebagai manusia, terutama setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan itu, maka cinta kasih yang timbul dari hati sejujurnya semakin besar pengaruhnya cinta demikian, boleh dikatakan satu pengorbanan suci. Akan tetapi dengan apa ia harus menerima pengorbanan orang lain? Maka ia berkata pula dengan nada tetap dingin:
“Anak-anak dari golongan rimba persilatan tidak memandang segala peraturan yang sudah usang itu. Dalam pelajaran kuno yang melarang kaum pria dan wanita tak boleh bersentuhan apabila bukan suami istri, ini cuma berlaku untuk sebagian orang saja, tetapi bagi kita itu sudah merupakan suatu peraturan yang sudah usang .”
“Walaupun demikian cintaku ini bukan berdasar atas itu.”
“Biar bagaimana aku tidak sanggup menerima!”
Paras Cui Wan Tin kembali berubah. Ia berkata dengan suara sedih:
“Apapun katamu dan anggapanmu, tidak akan merubah hatiku!”
Sehabis mengucapkan demikian, ia melepaskan tangannya lalu berbangkit untuk membuang mayatnya Iblis Singa dan empat anak
buahnya. Lima bangkai itu dilemparkan ke dalam danau air dingin, kemudian ia balik lagi ke samping Hui-Kiam seraya berkata:
“Mari kita masuk!”
“Tidak, aku hendak pergi!”
“Pergi? Kedua matamu sudah tidak bisa melihat, kau hendak pergi kemana?”
Ucapan itu bagaikan anak panah beracun yang menancap hulu hatinya. Ya, kemana ia harus pergi? Kedua matanya sudah buta, sudah tidak dapat melihat apa-apa. Ia juga tidak mempunyai rumah tinggal, kemana ia harus menetap?
la sudah tidak sanggup mengendalikan perasaannya lagi. Di wajahnya yang dingin nampak berkerenyut. Ia ingin menangis, tetapi tiada setetespun air mata yang keluar dari matanya.
Ia ingat perjanjiannya dengan Sukma Tidak Buyar, janji itu dalam hidupnya ini sudah tidak dapat ditepati lagi.
la ingat si Orang Berbaju Lila yang merupakan musuh perguruannya, akan tetapi permusuhan itu sudah tidak bisa dituntut selama-lamanya.
Sekonyong-konyong otaknya terbayang bayangan Tong Hong Hui Bun yang cantik jelita. Tetapi sekarang si cantik itu seolah-olah sudah menjadi suatu kenangan yang lalu yang tidak akan dapat dilihat lagi untuk selama-lamanya.
Hatinya tergoncang hebat. Cintanya si cantik jelita itu ia tidak dapat melupakan, juga tidak dapat menyingkirkan dari dalam kenangannya. Akan tetapi apakah ia masih bisa mencintakannya? Sekalipun si cantik itu masih tetap mencintainya, ia juga merasa malu terhadap dirinya sendiri. Seorang cantik bagaikan bidadari, pantaskah mempunyai kekasih seorang bercacat?
Ini agaknya terlalu kejam.
Sudahlah, biarlah kenang-kenangan itu akan tinggal suatu kenangan yang indah!
Keputusan itu diambilnya dengan hati pedih yang tak dapat dibayangkan perasaan orang luar.
Beberapa jam sebelumnya, Hui Kiam datang dengan penuh semangat, tetapi setengah hari kemudian segala-galanya sudah berobah.
“Mari jalan!”
Dengan satu tangan Cui Wan Tin mengambil pedang saktinya di tanah, tangan yang lain menggandeng Hui Kiam. Keadaan itu, benar-benar mirip dengan sepasang merpati.
“Nona Cui ...”
”Engko Kiam, namaku Wan Tin, apakah kau tidak dapat merobah panggilanmu?”
“Ini ...”
“Beratkah perasaanmu? Tidak apa, terserah bagimu bagaimana kau panggil aku tidak apa!”
Nona itu ternyata tidak mengkukuhi pikirannya sendiri, sedapat-dapat ia hendak menenangkan hati kekasihnya maka walaupun hati Hui Kiam keras bagai baja, akhirnya juga dibuat lumer apalagi ia memang bukan seorang berhati dingin, hanya keadaan dan pengalaman hidupnya, membuat ia bersikap dingin terhadap sesamanya, namun demikian ia masih tetap mempunyai perasaan hangat seperti apa yang dimiliki oleh setiap orang hanya perasaan itu ia tindas sendiri jangan sampai meluap, akan tetapi apabila perasaan hangat itu tertarik keluar, maka hangatnya lebih-lebih meluapnya dari pada orang biasa. Maka akhirnya ia tidak sanggup menindas perasaan sendiri dan tercetuslah dari mulutnya perkataan yang sudah dinanti-nantikan oleh Cui Wan Tin:
“Adik Tin!”
Tetapi selanjutnya hanya keluhan napas seorang yang sudah putus harapan.
Bagaimanakah selanjutnya? Ia masih belum dapat memikirkan dengan seksama.
Cui Wan Tin merasa sangat girang mendengar suara panggilan itu, maka ia lalu menarik tangan Hui Kiam, diajak masuk ke dalam kamar batu di dalam gua itu.
Tiba di dalam kamar, ia disuruh duduk di atas suatu pembaringan. Ia tidak dapat lihat bagaimana keadaan dalam kamar itu, akan tetapi ia tahu itu adalah kamar tidur Cui Wan Tin.
“Adik Tin, apakah ini kamar tidurmu?”
“Ya!”
“Bolehkah pindah ke lain kamar?”
“Aku pikir tidak perlu, di tempat ini hanya kau dan aku berdua saja, sekarang begitu nantipun begitu juga!”
Selagi Hui Kiam hendak membuka mulut, Cui Wan Tin sudah berkata lagi:
“Kau beristirahat dulu, aku akan membuat makanan!”
Setelah itu, ia kemudian berlalu dari kamar.
Hui Kiam kembali berada dalam kesunyian sekarang. Ia boleh memikirkan dengan tenang bagaimana harus berbuat terhadap dirinya sendiri. Harus menjadi suami istri dengan Cui Wan-Tin yang berdiam dalam Makam Pedang itu untuk selama-lamanya? Sudah tentu tidak mungkin tinggal seharusnya mengorbankan kebahagiaan Cui-Wan Tin yang masih muda belia untuk mengawani seorang buta.
Apakah ia harus bunuh diri? Ya! Inilah jalan satu-satunya untuk melepaskan diri dari penderitaan.
Akan tetapi, benarkah kematian itu sudah cukup untuk melepaskan penderitaannya? Bagaimana ia harus menghadap kepada arwah suhunya di alam baka? Bagaimana harus menghadap kepada ibu almarhumnya...?
Pikirannya berputaran di antara soal mati atau tidak mati. Berpikir bolak-balik, belum juga menemukan keputusannya.
Pada saat itu Cui Wan Tin datang lagi dengan membawa makanan. Ia bimbing Hui Kiam duduk di pinggir meja dengan penuh kasih sayang ia berkata:
“Engko Kiam, mari kita makan, bagaimana kalau aku yang menyuapimu?”
Hui Kiam merasa sedih, ia menindas jangan sampai air matanya mengalir keluar. Sambil tertawa kecil ia berkata:
“Aku tidak bisa makan!”
“Sedikitpun tidak apa, kau coba hidangan ini kubuat sendiri. Ini adalah jamur yang kuambil dari atas gunung, dan ini....”
la berkata dengan tidak berhentinya, nampaknya sangat gembira sekali. Sudah tentu maksudnya ialah mengharap agar Hui Kiam melupakan penderitaannya. Akan tetapi penderitaan yang terlalu hebat itu, bagaimana dapat dilupakannya?
Hanya tergerak oleh kelakuan yang begitu kasih dan cinta dari Cui Wan Tin, akhirnya Hui Kiam makan juga sedikit.
Pengalamannya ini, boleh dikata ia mimpikan belum pernah impikan. Waktu pertama kali ia berjumpa dengan Tee-hong, reaksinya timbul dalam perasaannya ialah perasaan simpati dan benci terhadap orang yang melakukan kejahatan terhadap diri orang tua itu, tetapi sekarang ia harus merasakan sendiri bagaimana rasanya sebagai seorang buta, hingga ia baru dapat merasakan betapa besar jiwa Tee-hong, betapa kuat iman orang itu. Dengan kedudukan dan nama baiknya dalam dunia rimba persilatan orang tua itu masih sanggup memikul penderitaan sampai beberapa puluh tahun lamanya, bahkan masih sanggup melatih ilmu kepandaian yang hendak digunakan untuk menuntut balas, ini benar-benar tak dapat dilakukan oleh manusia biasa.
Sehabis makan, Cui Wan Tin membersihkan meja makan, dan Hui Kiam mulai berpikir lagi.
Ia teringat diri Tee-hong yang di dalam dunia rimba persilatan dipandang sebagai satu dewa, dari diri Tee-hong teringat pada dirinya sendiri.
Maka berobahlah pikirannya. Pikirannya ingin mati mulai lenyap.
Ia sadar bahwa kematian bukanlah merupakan suatu pembebasan, itu dan hanya merupakan suatu perbuatan pengecut, yang berarti hendak melarikan diri dari kewajiban. Namun demikian, perasaan perih masih tidak bisa lenyap begitu saja. Semua tugas dan kewajiban yang harus diselesaikannya, ia tidak mendapat mengelakkan dari tanggung jawabnya. Setelah tugasnya untuk menuntut balas itu selesai, baru boleh merasa bebas.
Kini ia teringat dengan kenyataannya:
Apakah harus-berlalu, tetapi kemana harus pergi?
Apakah harus berdiam untuk menerima cinta Cui Wan Tin?
Selagi belum dapat mengambil keputusan, Cui Wan Tin sudah masuk lagi.
“Engko Kiam, aku sedang berpikir, di dalam dunia ini ada barang pasti ada satu lawannya. Racun di dalam dedaunan itu meskipun sangat berbisa tetapi juga seharusnya ada obat pemunahnya.”
“Adik Tin, sudah tidak mungkin. Tee-hong yang merupakan salah seorang tokoh dari Tiga Raja Rimba Persilatan, juga buta kedua matanya karena racun dedaunan itu, dengan pengalamannya dan pengetahuannya seorang seperti dia toh masih tidak berdaya.”
“Kau... pernah melihat Tee-hong?”
“ Ya.”
“la dianiaya oleh siapa?”
“Thian Ong.”
“Oh, oh, ini benar-benar merupakan suatu rahasia yang tidak dapat dipikir oleh suatu pikiran yang waras. Mengapa Thian Ong harus menganiaya diri Tee-hong?”
“Hanya karena satu nama kosong saja!”
“Urusan di dalam dunia kadang-kadang tidak dapat dipikir secara pikiran biasa.”
“Aku juga beranggapan demikian.”
“Enko Kiam, aku bersumpah hendak melakukan sesuatu kebaikan untukmu. Aku hendak mencari tabib pandai, sekalipun aku harus menjelajahi seluruh dunia, supaya kedua matamu bisa terang lagi.”
Hui Kiam merasa terharu hingga air matanya mengalir keluar tanpa dapat dikendalikan lagi.
Ia menyambar badan Cui Wan Tin, lama baru berkata:
“Adik Tin, apakah aku begitu berharga sehingga kau berbuat begitu?”
Cui Wan Tin segera menjatuhkan diri ke dalam pelukan Hui Kiam. Dengan suara lemah lembut ia berkata:
“Mengapa tidak?”
“Coba kau ceritakan apa sebabnya!”
“Aku dibesarkan di dalam makam batu ini, hidup seorang diri dalam kesunyian. Sejak pertama kali aku berjumpa denganmu, aku tidak dapat mengendalikan perasaanku sendiri. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh itu.”
“Jodoh? Aku sekarang sudah menjadi orang buta…!”
“Itulah sebabnya aku lebih lebih mencintaimu! Kita boleh berdampingan setiap hari malam, tiada perlu khawatir direbut orang lain.”
“Adik Tin, kau sesungguhnya terlalu bodoh. Apakah kau anggap bisa bahagia?”
“Sudah tentu. Dapat menyintai apa yang dicintai olehnya sendiri itu adalah suatu kebahagiaan yang paling besar!”
Air mata Hui Kiam mengalir semakin deras. Dengan suara terharu ia berkata:
“Adik Tin, yang bahagia adalah aku, kau telah korbankan….”
“Tidak.“
“Aku senantiasa merasa bahwa kebahagiaanku ini datangnya secara mendadak juga di luar dugaan, barangkali ....”
“Kau jangan berkata lagi. Sudah lama aku jatuh cinta kepadamu dan sekarang Tuhan telah mengabulkan keinginanku. Ini memang suatu kebahagiaan yang wajar.”
“Hanya, ah.... aku sesungguhnya merasa tidak enak!”
“Jangan bicarakan soal ini, mari kita bicarakan diri kita masing-masing.”
Bicara soal dirinya, wajah Hui Kiam segera mengunjukkan rasa dukanya. Ada siapa lagi yang mempunyai riwayat hidup yang begitu aneh dan menyedihkan seperti ia? Ibu yang mati teraniaya sehingga sekarang masih belum diketahui siapa pembunuhnya. Ayahnya Suma-Suan, entah terjadi apa sama ibunya? Mengapa ibunya menyuruh ia yang membinasakannya? Tetapi sang ayah itu sudah binasa di tangan Orang Berbaju Lila yang menggunakan akal keji....
“Engko-Kiam, jikalau kau mempunyai riwayat hidup yang menyedihkan, untuk sementara janganlah kau menceritakan!”
“Tidak, adik Tin, untuk menambah pengertian kita satu sama lain, seharusnya kita bicarakan!”
Tiba-tiba Cui-Wan Tin berseru terkejut:
“Ada orang menerjang barisan!”
Hui Kiam agaknya tidak mengerti. Ia lalu bertanya:
“Kau berada di sini, bagaimana bisa kau tahu ada orang menerjang barisan?”
“Di dalam kamar ini aku pasang kaca untuk mengintai keadaan di luar makam hingga apa yang terjadi di luar dapat dilihat dengan nyata!”
“Oh, sayang aku....”
“Orang ini sudah menerjang masuk melewati dua garis pertahanan!”
“Bagaimana orangnya?”
“Seorang wanita!”
“Wanita?”
“Ya, sekarang ia nampaknya sangsi. Nampaknya pengetahuannya tentang barisan ini sangat terbatas, ia tidak berani menerjang masuk lagi. Ia sudah mengundurkan diri... dan berdiri di luar barisan... agaknya sedang memanggil orang. Entah siapa yang dipanggil…”
“Wanita macam bagaimana?”
“Ehm, em! Nampaknya ia cantik sekali, kecantikannya sungguh luar biasa....”
Hui Kiam tergerak hatinya, dengan sendirinya lalu teringat kepada dirinya Tong hong Hui Bun. Maka ia lantas berkata:
“Sayang aku tak dapat melihat!”
“Orang yang coba menerjang masuk barisan itu memang sering ada, aku sudah biasa melihatnya.”
“Adik Tin, apakah masih ada orang lain?”
“Ada, itu beberapa perempuan semacam pelayan.”
“Berpakaian warna apa?”
“Kurang jelas, hanya nampak warnanya gelap.”
Hui Kiam seketika merasa tak tenang.
“Apakah bukan warna kebiru-biruan?”
“Eh! Engko Kiam, bagaimana kau tahu?”
“Aku hanya sedang menduga-duga saja.”
“Kau jangan membohongi aku. Apakah kau kenal dengan wanita itu?”
Kini Hui Kiam tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi, pikirannya mulai kalut. Andaikata benar perempuan yang datang itu
ialah Tong-hong Hui Bun, ia harus berbuat bagaimana? Menjumpainya atau tidak?
“Engko Kiam,. katakanlah!”
“Adik Tin, kau kata perempuan itu sedang memanggil-manggil?”
“Nampaknya iya. Ia terus memanggil-manggil tanpa henti-hentinya....”
“Bolehkah kau keluar untuk mendengar siapa yang dipanggil?”
“Kau kenal dengannya atau tidak?”
“Aku tidak bisa memastikan, ia itu orang dalam dugaanku atau bukan?”
“Baiklah, aku akan keluar untuk melihatnya!”
“Adik Tin, setelah kau dengar tegas segera kembali, jangan bertindak apa-apa terhadapnya.”
Cui Wan Tin selalu menuruti keinginan Hui Kiam, ia segera keluar kamar.
Pikiran Hui Kiam yang sudah mulai tentram kini telah bergolak lagi.
Andaikata benar orang yang datang itu adalah Tong-hong Hui Bun, bagaimana ia harus berbuat?
Ia benar-benar sangat gelisah, bagaikan semut dalam kuali penggorengan.
Walaupun kedua matanya sudah buta, tetapi masih terbayang-bayang paras Tong hong Hui Bun yang cantik jelita, sehingga membuatnya hampir kalap. Ia menarik-narik rambutnya sendiri seolah-olah dengan menyiksa dirinya sendiri itu dapat meringankan penderitaaan batinnya.
To hong Hui Bun sudah menempati hatinya. Ia pernah menyatakan bahwa si cantik jelita itu adalah sebagian dari jiwanya! Akan tetapi pada saat ini, segala-galanya sudah berubah semua!
Pengalamannya yang menyedihkan, telah membuyarkan semua pengharapannya.
Tidak berapa lama, Cu Wan Tin sudah balik ke dalam kamar. Parasnya pucat tetapi Hui Kiam tidak bisa melihat perobahan itu. Begitu bertemu segera berkata:
“Siapa dia?”
“Tidak tahu, dia seorang perempuan sangat cantik sekali. Beberapa perempuan yang lainnya sudah kau tebak jitu, mereka adalah pelayan-pelayan saja,” jawabnya Cui Wan Tin dengan nada suara tidak wajar.
Sekujur badan Hui Kiam gemetar. Katanya:
“Oh! Itulah dia….”
“Dia siapa?”
“Enciku yang berlainan she!”
“Apakah bukan kekasihmu?”
Muka Hui Kiam merah seketika. Ia berpikir tidak seharusnya membohonginya, maka akhirnya mengaku terus terang:
“Ya!”
Paras Cui Wan Tin berubah, duduk termangu-mangu di atas kursinya, parasnya semakin pucat, dalam waktu sekejap mata saja semangat dan keremajaannya yang tumbuh karena kekuatan cinta juga lenyap tanpa bekas.
Hui Kiam lama tidak mendengar suara, segera menyadari bahwa perkataannya tadi sudah melukai hatinya. Ia tidak dapat melihat, tetapi bisa membayangkan bagaimana keadaan Cui Wan Tin pada saat itu. Maka ia lalu berkata dengan suara lemah lembut:
“Adik Tin, jangan susah hati....”
“Aku.... tidak.”
”Jangan kau kira aku tak melihat, tetapi aku dapat membayangkan. Adik Tin, tindakan apa yang dilakukan selanjutnya oleh wanita itu?”
“Dia... dia memanggil namamu!”
“Oh! Ia... ia....”
Hui Kiam mundur dua langkah sehingga badannya terbentur dengan dinding batu. Sekujur badannya gemetar. Ia tidak mengerti entah bagaimana Tong-bong Hui Bun mengetahui dirinya berada di dalam Makam Pedang itu? Dan bagaimana ia bisa datang kemari? Ia masih ingat keduanya antara ia dengan Tong hong Hui Bun, telah berpencaran karena mengejar Orang Berbaju Lila, apakah jejaknya sendiri selalu di bawah pengawasannya? Mengapa ia tidak mengunjukkan muka dulu-dulu?
“Terlambat! Semuanya sudah terlambat, enci!”
Dengan tanpa sadar ia menggumam sendiri.
Air mata mengalir dengan tanpa dirasa. Seorang yang keras hati dan dingin bagaikan baja seperti dia, ternyata telah berubah demikian lemah.
Setelah melalui keheningan yang cukup lama, tiba-tiba ia memperdengarkan suara tertawa terbahak banak....
Ini adalah suatu cara untuk mengumbar perasaan sedihnya, juga suatu tantangan bagi nasibnya sendiri.
Suara tertawa itu pada akhirnya lebih tidak enak daripada suara tangisan.
Cu Wan Tin juga meluncurkan air mata. Entah merasa terharu karena keadaan Hui Kiam ataukah karena mempunyai pikiran lain?
la berbangkit dan memegang pundak Hui Kiam seraya berkata dengan suara duka:
“Engkoh Kiam, kau jangan begitu, ada kalanya orang harus belajar menerima nasib.”
“Ya, ini adalah... nasib….”
“Engko Kiam, beristirahatlah sebentar.”
“Adik Tin, kau gemetar.”
“Aku… aku sedang berpikir, sejak anak-anak aku sudah dipermainkan oleh nasib, setelah aku menerimanya dengan segala kesabaran kemudian seolah-olah aku menemukan sesuatu akan tetapi barang yang baru kuketemukan itu seolah-olah sudah direbut lagi oleh nasib. Aku tidak tahu apakah aku masih sanggup menerima atau tidak?”
Hui Kiam sudah tentu mengerti apa yang dimaksudkan dalam perkataannya itu, selagi hendak menghibur….
Suara panggilan yang menyedihkan, tiba-tiba masuk ke dalam telinganya:
“Hui Kiam, adik, apakah kaudengar suaraku? Apakah kau masih hidup? Jawablah panggilanku.”
Suara itu diulangi berkali-kali. Setiap patah seolah-olah ketukan martil pada hati Hui Kiam!
Itu adalah suatu ilmu yang tertinggi untuk menyampaikan suara ke dalam telinga orang yang dipanggil dari jarak jauh. Jikalau tidak menggunakan ilmu itu, suara tidak akan masuk ke dalam kamar batu itu.
Hati Hui Kiam merasa seperti ditusuk oleh pedang tajam, pembuluh darah sekujur badannya seolah-olah hendak meledak.
Ia sudah hampir menjadi kalap. Katanya dengan nada suara keras:
“Aku harus menengoknya walaupun hanya sebentar saja!”
Cui Wan Tin melepaskan tangannya, ia mundur terhuyung-huyung. Dengan suara sedih ia berkata:
“Engko Kiam, kau harus pergi menengoknya. Pergilah! Aku....”
“Adik Tin, maafkan diriku!”
“Tidak usah kau berkata demikian, aku tadi sudah berkata bahwa ini adalah nasib.”
“Aku hanya ingin menengoknya sebentar saja dan berbicara beberapa patah kata.”
“la cantik bagaikan bidadari, aku malu terhadap diriku sendiri, ia kenal denganmu sebelum aku mengenalmu, dengan apa aku....”
”Adik Tin, aku hanya ingin menengok sekali saja....”
“Engko-Kiam, semoga kau masih ingat diriku jangan kau hapus dari dalam hatimu dengan demikian aku sudah merasa puas aku mencintaimu, selama-lamanya sehingga nyawaku terakhir.”
“Adik Tin, aku bukan hendak meninggalkan kau.”
“Engko-Kiam, aku mempunyai firasat bahwa kau bisa meninggalkan aku!”
“Tidak bisa adik Tin, selama-lamanya aku akan hargai perasaanmu yang agung itu.”
“Ya, aku percaya sekarang biarlah aku bimbing kau keluar!”
Hui-Kiam ternganga, perasaannya yang bergolak hebat segera padam. ‘Dibimbingnya keluar’ kedengarannya sangat mustahil tetapi toh benar suatu kenyataan, ia sendiri yang berjalan harus dibantu orang bagaimana Tong-hongHui Bun boleh melihat keadaannya yang menyedihkan itu apakah ia masih pantas bagi dirinya? Apakah ia harus merusak semua kenang-kenangan yang indah di masa yang lalu?
“'Tidak! tidak bisa!” demikian Hui Kiam berteriak sendiri.
“Engko Kiam, apa yang tidak bisa?”
“Aku tidak bisa menemui dirinya, harap kau beritahukan padanya, bahwa aku... sudah mati!” jawab Hui Kiam duka.
Cui Wan Tin menundukkan kepala untuk berpikir, kemudian berkata:
“Tidak, kau harus pergi menengoknya.”
“Adik Tin, mengapa? Bukankah kau…?”
“Kalau kau tidak menengoknya dan menjelaskan apa yang telah terjadi dalam dirimu, dalam hatimu selama-lamanya akan diudak-aduk oleh bayangan gelap. Kau tidak akan sanggup. Aku juga tidak mengharap untuk melihat kau menderita selama-lamanya karena peristiwa ini. Rantai yang mengikat hatimu itu harus dibuka. Aku tidak pandai bicara, tetapi kau tentu dapat mengerti apa maksud perkataanku ini?”
“Ya, aku mengerti, tetapi aku sudah berpikir bertemu muka hanya berarti menambah penderitaan dan kedukaan bagi kedua pihak. Seandainya, karena ia menganggapku sudah buta sehingga berubah sikap dan perlakuannya seperti yang sudah-sudah, aku tidak akan sanggup menerima penderitaan ini!”
“Tetapi katamu hanya seandainya saja, apabila kau membiarkan bayangan gelap itu berada dalam hatimu itu akan lebih menakutkan!”
“Adik Tin, aku sudah dapat memikirkan.”
Pada saat itu dari luar terdengar pula suara Tong-hong Hui Bun. Suara itu berubah sangat pilu dan bernada putus asa:
“Adik, jikalau kau meninggalkan aku untuk selama-lamanya, seharusnya kau juga mengunjukkan rohmu!”
Suara itu mengunjukkan bagaimana pilunya hati Tong-hong Hui Bun pada saat itu.
Pikiran Hui-Kiam tergoncang lagi. Ia merasa bahwa ia benar-benar harus menemui satu kali saja. Maka ia lalu berkata:
“Adik Tin, bimbinglah aku keluar!”
Cut Wan Tin diam-diam membersihkan air mata yang mengalir di kedua pipinya. Katanya dengan suara terharu: “Marilah!”
Keadaan demikian pada waktu itu mirip dengan pesakitan yang dibawa menghadap hakim. Setiap langkah, hatinya selalu bergoncang dan berdebaran.
Sepanjang jalan keduanya tidak membuka mulut lagi, agaknya tertindih perasaan masing-masing.
Perjalanan itu tidak panjang, dalam waktu sebentar saja sudah berada di pintu barisan. Dengan suara gemetar Cui Wan Tin berkata:
“Engko Kiam, maju ke depan lima langkah sudah keluar dari dalam barisan. Pergilah menengoknya!”
“Kau… tidak ikut aku?”
“Aku tunggu kau di sini.”
Hui Kiam menggenggam erat tangan Cui Wan Tin. Perbuatannya itu mengandung perasaan dan hiburan tanpa batas. Ini juga berarti suatu pernyataan bahwa ia akan kembali di sisinya lagi.
Lama sekali ia tidak dapat menggerakkan kakinya. Ia merasa terganggu dan takut apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suara panggilan kedengarannya sangat dekat sekali, bahkan dapat didengarnya dengan nyata.
“Engko Kiam, kau harus lekas keluar!”
Hui Kiam akhirnya bertindak keluar sambil mengatupkan gigi.
“Ah! Adik!”
Bagaikan angin puyuh, menubruk dirinya, bau harum yang sudah tidak asing lagi bagi Hui Kiam. Tubuhnya yang penuh padat, lengan tangannya yang halus bagaikan tak bertulang, telah merangkul dirinya. Telinga mendengar suara ucapan sangat perlahan yang mengandung getaran hati kegirangan:
“Adik, kukira aku sudah kehilangan kau.”
Hui Kiam sangat bingung, ia tak tahu ia harus berkata apa. Tenggorokannya seperti terkancing. Ia seperti sudah lupa segala-galanya.
Di lain pihak di balik pintu barisan batu itu, Cui Wan Tin sedang berdiri mendekap mukanya sambil menangis tersedu-sedu.
Gadis yatim piatu yang bernasib malang itu hatinya telah hancur luluh.
Sekonyong-konyong Tong Hong Hui Bun berseru terkejut:
“Adik, matamu….”
Ia lalu melepaskan tangannya dan mundur terhuyung-huyung!
Suara itu seolah-olah menarik kembali jiwa Hui Kiam dari lamunannya kepada kenyataan juga bagaikan terjatuh dari angkasa, perasaan pilu keluar dari dalam lubuk hatinya!
Ia tidak melihat paras Tong Hong Hui Bun, sehingga tidak dapat membayangkan bagaimana reaksinya.
Suasana berobah menjadi sunyi.
Lama sekali Hui Kiam baru memecahkan kesunyian itu:
“Mataku sudah buta.”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut kekasihnya!
Hati Hui Kiam bagaikan terjatuh ke dalam gua yang dalam dan tinggi. Ia pikir ia sudah berbuat keliru, tidak seharusnya menjumpai kekasihnya itu. Tetapi sekarang menyesal sudah terlambat.
Di samping duka dan kemenyesalannya, timbul pula sifatnya tinggi hati dan kesombongannya. Katanya dengan nada suara dingin:
“Enci, anggaplah aku sudah binasa!”
Sehabis berkata ia lalu memutar badannya dan balik menuju ke pintu makam.
Cui Wan Tin dapat menyaksikan semua kejadian dengan jelas. Selagi hendak maju menyambut….
Tiba-tiba terdengar suara Tong-hong Hui Bun yang tajam:
“Adik!” tangannya menyambar Hui Kiam.
“Lepaskan aku.”
“Adik, apakah artinya ini?”
“Enci, adikmu yarg dahulu itu sudah mati. Aku hanya merupakan seorang cacat yang tidak berharga.”
“Adik, mengapa kau berkata demikian terhadap aku?” bertanya Tong-hong Hui Bun dengan suara gemetar.
“Enci, lupakanlah yang sudah lalu!”
“Apa? Lupakan yang sudah lalu? Adik, apakah kau kira dapat dilupakan? Kau .... apakah ucapanmu ini keluar dari dalam hati sanubarimu sendiri?”
“Aku... sudah tidak pantas lagi.”
“Tidak pantas? Ha, ha, adik, tenanglah sedikit, dengarlah sedikit kataku, walaupun di luarnya aku kelihatannya masih cantik, tetapi usiaku sebenarnya sudah lanjut, latihan kekuatan tenaga dalam, membuat diriku tetap dalam keadaan awet muda. tapi biar bagaimana aku tak dapat menguasai kekuasaan Tuhan. Akulah sebetulnya yang mencintai kau. Di samping itu, masih ada sebab lain lagi, yang aku tidak mencintai kau. Namun demikian adik, selama hidupku ini untuk pertama kali aku jatuh cinta kepada seseorang dengan setulus hatiku juga kudapatkan cintanya orang itu adalah kau. Aku hanya terperanjat karena terjadinya di luar dugaan, apakah kau kira hatiku sudah berubah?”
Perasaan Hui Kiam pada saat itu telah terombang- ambing oleh ucapan perempuan cantik itu. Air matanya mengalir keluar lalu berkata dengan suara gemetar:
“Enci, maafkanlah aku....”
“Aku tidak sesalkan kau!”
“Enci, aku sudah merasa puas, juga merasa tentram, aku akan ingat selamanya kecintaan ini.”
“Apa kau akan meninggalkan au?”
“Enci, aku tak bisa memberikan kebahagiaan!”
“Adik, kita tidak usah bicara hal ini lagi. Ceritakanlah apa sebetulnya telah terjadi?”
“Aku terkena racun dedaunan dari tangan Si Iblis Singa.”
“Oh! Racun dedaunan...?”
“Ya!”
“Dan di mana Iblis Singa itu sekarang?”
“Sudah kubunuh!”
“Kau… sudah membunuh Iblis Singa?”
“Ya. Apakah enci merasa heran?”
“Memang menurut tafsiranku kepardaianmu tidak nanti sanggup menandingi dirinya!”
“Dengan terus terang, waktu aku berada di kamar rahasiamu, aku sudah berhasil memahami pelajaran ilmu silat dalam kitab Thian Gee Po-kip itu!”
“Oh!”
Paras Tong-hong Hui Bun berubah seketika, tetapi perubahan itu tidak dapat dilihat oleh Hui Kiam.
Sejenak ia berdiam, lalu berkata pula:
“Adik, tindakanmu ini sekali-kali tidak boleh tersiar keluar!”
“Kenapa?”
“Bisa mendatangkan pembalasan yang menakutkan!”
“Aku tidak perduli, sekalipun beberapa iblis itu tidak mencari aku, tetapi aku tetap hendak ....”
Hendak apa ia tidak dapat melanjutkan. Ia telah lupa kepada dirinya sendiri yang sudah buta, apa yang bisa berbuat? Maka akhirnya ia menundukkan kepala.
Tong-hong Hui Bun sudah tentu mengerti bagaimana perasaan kekasihnya itu, maka lalu berkata dengan suara lemah lembut:
“Adik jangan putus asa, aku pasti akan berusaha supaya matamu dapat melihat lagi.”
“Enci, terima kasih atas kecintaanmu, tapi ini adalah satu hal yang tidak mungkin.”
“Apakah kau tidak percaya?”
“Kenyataannya memang begitu!”
“Aku bukan menghibur dirimu dengan perkataan kosong.”
“Apa, apakah benar?”
“Sudah tentu, aku yakin!”
Hui Kiam setelah mendengar ucapan itu hatinya merasa sangat girang. Apa yang tadinya ia tidak percaya ternyata Tong Hong Hui-Bun mengatakan begitu yakin, sudah tentu itu bukanlah bohong. Dengan asal-usulnya yang sangat misterius dan kepandaiannya yang sudah tidak ada taranya, sudah tentu dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Membuat ia bisa melihat lagi ini berarti mengembalikan jiwanya yang akan hilang, bagaimana kalau ia tidak merasa girang? Keadaannya itu seperti juga dengan seorang pesakitan yang sudah dijatuhi hukuman mati mendadak dapat keampunan.
“Adik, keretaku ada di luar lembah ini, kita… ow.ow, aku lupa bertanya kepadamu, apakah karena kabar tentang pedang pusaka itu sehingga kau masuk ke dalam Makam Pedang ini?”
“Ya.”
“Benda itu kepunyaan siapa?”
Hui-Kiam tiba-tiba teringat kepada diri Cui Wan Tin yang mencintainya begitu besar dan tulus hati. Kenyataan telah membuktikan seperti apa yang dikatakan oleh gadis itu. Oleh karena ingin kedua matanya bisa melihat lagi, kini benar-benar akan meninggalkannya. Perbuatannya terhadap diri gadis itu akan merupakan suatu pukulan yang hebat.
“Eh, kau kenapa?”
“Enci, apakah aku harus ikut kau jalan bersama-sama?”
“Sudah tentu.”
“Andaikata aku menunggu kau sampai kau dapatkan obatnya…?”
“Urusan tak semudah itu. Mengapa kau berkata demikian?”
“Aku merasa tidak enak bagaimana harus kita berkata kepada orang yang menjadi pelindung pedang!”
“Pelindung Pedang, siapa?”
“Seorang nona.”
Paras Tong-hong Hui Bun lalu berubah.
“Dalam Makam Pedang itu ada seorang wanita?”
“Adik, aku tidak menduga kau juga adalah seorang romantis.”
“Enci, bukan begitu. Aku... bagaimana harus menjelaskan? Andaikata tidak ada dia, niscaya kau sudah tidak bisa bertemu dengan aku, tidak mungkin aku bisa hidup lagi!”
“Oleh karena merasa hutang budi kau merasa harus membalas budi itu. Apa kau jatuh cinta kepadanya?”
“Istilah menghargai lebih tepat daripada istilah jatuh cinta!”
“Ai! Alangkah hebat Tuhan yang mengatur nasib manusia, aku yang semula mengira bisa mendapatkan dirimu dan cintamu seluruhnya, tidak kusangka....”
“Enci, cintaku terhadap dirimu sedikitpun tidak berubah.”
“Tetapi kau juga cinta kepadanya?”
“Enci harap kau coba memikirkan pengalamanku. Aku sebetulnya sudah berpikir tidak akan menemui kau lagi. Aku malu terhadap diriku sendiri, juga tak ingin merusak kenang-kenanganku yang indah. Tahukah kau bagaimana aku harus menggunakan banyak waktu untuk berpikir sehingga baru dapat mengambil keputusan untuk menemui kau?”
“Baiklah! Dan sekarang kau pikir bagaimana?”
Hui Kiam setelah berpikir bolak-balik, lama baru bisa menjawab:
“Aku harus menjelaskan kepadanya, meninggalkan pesan beberapa kata kemudian aku baru ikut kau pergi!”
“Baik, aku tunggu kau!”
Hui Kiam dengan jalan meraba-raba balik masuk ke dalam makam. Kedatangannya segera disambut oleh Cui Wan Tin yang segera berkata:
“Engko Kiam, kau hendak pergi?”
Suaranya penuh kedukaan.
Hati Hui Kiam merasa sangat tidak enak. Dengan suara berat ia berkata:
“Adik Tin, percayalah kepadaku, aku cinta kepadamu.”
“Ya, mau tak mau aku harus percaya kepadamu, sebab dalam hidupku ini sudah tak ada pilihan lain.”
“Dengarlah keteranganku ....”
“Tidak perlu kau memberi keterangan, aku sudah dengar seluruhnya.”
“Adik Tin, ia berkata bahwa ia yakin dapat menyembuhkan mataku supaya dapat melihat lagi….”
“Engko Kiam, kau tentunya tidak akan melupakan diriku yang bernasib malang ini?”
“Pasti tidak.”
“Aku doakan semoga kau bisa lekas melihat lagi. Aku menunggu kedatanganmu selama-lamanya.”
“Adik Tin, aku tidak bisa menduga aku bisa berlaku begini harus baik-baik menjaga dirimu.”
“Aku bisa, sebab aku hendak menantikan kedatanganmu.”
“Kalau begitu sekarang aku hendak pergi.”
“Engko Kiam ….”
“Adik Tin masih hendak berkata apa lagi?”
Cui Wan Tin memeluk Hui Kiam, ia mencium berulang-ulang. Perbuatan itu segera dibalas oleh Hui Kiam.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya setelah perpisahannya itu? Siapapun tidak ada yang bisa menduga.
Lama sekali, mereka baru berpisah. Kedua-duanya sudah penuh air mata.
“Engko Kiam, aku masih ingin berkata sesuatu yang tidak boleh tidak aku harus keluarkan.”
“Keluarkanlah.”
“Tetapi harap kau jangan salah mengerti bahwa perkataan ini mengandung maksud jahat.”
“Tidak.”
“Encimu itu siapa namanya?”
“Tong Hong Hui Bun.”
“Kedudukannya?”
Tentang ini... ia tidak pernah mengatakan, aku juga tidak menanyakannya.”
“Perhubungan kedua pihak sudah meningkat sampai begitu dalam, tetapi kau masih belum tahu asal-usulnya, ini....”
“Aku hanya tahu ia mempunyai sebuah batu kumala sebagai tanda kepercayaan. Kepandaian ilmu silatnya sudah mencapai ke taraf yang tidak ada taranya.”
“Harap kau berlaku hati-hati!”
“Apakah adik Tin menemukan tanda sesuatu?”
“Sudah beberapa kali ia muncul di tempat ini. Orang-orang berbaju hitam yang sering menjaga di sekitar tempat ini agaknya sangat takut sekali terhadap dirinya....”
“Ini aku tahu. Ada kalanya ia membunuh orang tanpa menggerakkan tangan, hanya dengan beberapa patah kata saja sudah bisa memaksakan orang membunuh diri sendiri!”
“Tetapi aku pernah melihat orang-orang berbaju hitam itu pernah menggunakan cara yang paling hormat dalam sesuatu partai golongan dunia Kang-ouw terhadap dirinya.”
Hati Hui-Kiam tergerak. Orang-orang berbaju hitam yang menjaga sekitar barisan batu hitam ajaib itu adalah anak buah Persekutuan Bulan Emas. Sudah tidak sedikit jumlahnya, Tong Hong Hui Bun membinasakan jiwa orang-orang itu. Maka kalau dikatakan takut memang ada kalau mau dikata menghormat rasanya belum tentu, sebab kedua pihak nampaknya bagaikan air dengan api. Kalau mau dikatakan orang-orang itu menghadap Tong-Hong Hui Bun dengan cara penghormatan yang paling tinggi dalam suatu partai atau golongan, ini sesungguhnya tidak dapat dimengerti.
“Baiklah, aku nanti akan perhatikan!” demikian akhirnya Hui-Kiam berkata:
“Tetapi bukan hanya itu saja!”
“Masih ada apa lagi?”
“Ia mungkin seorang yang kejam!”
Hui-Kiam terperanjat. Ia teringat kelakuan Tong-Hong Hui Bun terhadap musuh-musuhnya memang benar sangat kejam. Kejadian yang sudah disaksikan dengan mata kepala sendiri, kalau menghadapi musuh-musuhnya selalu dibunuh habis-habisan, tak ada satupun yang hidup.
“Apakah adik Tin pernah melihat?”
“Aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri perbuatannya yang membinasakan sepasang kekasih!”
“Sepasang kekasih?”
“Ya, yang perempuan adalah pelayannya sendiri, yang lelaki adalah seorang berbaju hitam. Ia paksa pelayannya itu membunuh mati pemuda berbaju hitam. Pelayan itu berlutut di hadapannya meminta ampun, ingin membunuh diri sendiri, tetapi ia sendiripun
tak tergerak hatinya. Akhirnya sepasang kekasih itu bunuh diri, sesudah binasa bangkainya dilemparkan ke dalam danau.”
Hui Kiam merasa bergidik. Tetapi ia berpikir, mungkin sepasang muda-mudi itu ada sebab-sebabnya yang harus dapat hukuman demikian, karena dalam suatu partay dan golongan dalam dunia Kang-ouw, tidak sedikit yang mempunyai peraturan yang sangat keras. Tetapi walaupun dalam hatinya berpikir demikian, sedang mulutnya berkata:
“Itu benar-benar memang kejam, adik Tin, aku bisa berlaku hati-hati.”
“Kau... boleh pergi.”
“Semoga tak lama kita bisa berjumpa lagi.”
“Kuulangi sekali lagi, engko Kiam, aku akan menantikan kau selama-lamanya.”
“Adik Tin, setiap saat aku akan ingat perkataanmu ini.”
la lalu membalikkan badan berjalan menuju keluar. Dalam hatinya merasa tidak tega meninggalkan tempat itu, tetapi ia menindas perasaannya sendiri, hanya dalam hatinya berjanji dia tidak akan menyia-nyiakan cinta gadis itu.
Sesaat setelah Hui Kiam melangkah keluar, paras si nona berobah seketika. Air mata mengalir deras. Sambil mengawasi berlalunya Hui Kiam, ia menggumam sendiri: Apakah aku sedang mimpi? Ini agaknya terlalu pendek! Apakah dengan demikian aku harus kehilangan dirinya?”
Hui Kiam setelah keluar dari barisan ajaib segera disambut dan digandeng tangannya oleh Tong Hong Hui Bun berjalan menuju keluar lembah.
Sepanjang jalan Tong Hong Hui Bun menanyai Hui Kiam tentang diri Pelindung Pedang.
“Adik, siapakah nama perempuan pelindung pedang itu?”
Hui Kiam meski matanya tidak melihat tetapi pendengarannya rasanya seperti mengisiki dirinya bahwa Tong Hong Hui Bun saat itu mengandung rasa dengki. Maka ia lalu menjawab dengan sabar:
“Ia bernama Cui Wan Tin.”
“Berapa usianya?”
“Kira kira dua puluh tahun.”
“Apakah cantik?”
“Di hadapan enci, perempuan manapun tidak ada yang cantik.”
“Apakah kau menyanjung aku?”
“Kenyataannya memang demikian.”
“Apakah kau cinta kepadanya?”
“Perasaan terima kasihku mungkin lebih banyak daripada perasaan cinta.”
“Aku tidak suka ada orang membagi cintamu.”
Hui Kiam seketika itu membungkam. Kalau mau dikata bahwa ia tidak mencintai Cui Wan Tin, itu sebetulnya merupakan suatu pengakuan yang bertentangan dengan hatinya sendiri. Di samping itu ia juga tidak boleh menjadi seorang yang tidak mempunyai dengan budi dan perasaan. Tetapi kenyataannya cintanya terhadap Tong hong Hui Bun adalah lebih besar daripada cinta kepada Cui Wan Tin.
Kedua orang itu lalu berada dalam keheningan, hanya suara tindakan kaki yang terdengar nyata.
Sampai berakhir pada jalan lembah yang sempit itu, keduanya masih belum membuka mulut,
Berhenti berjalan, telinga mendengar suara kaki kuda, sehingga Hui Kiam tahu bahwa ia telah berada di samping kuda.
Perasaan tak tenang dan menyesal ditambah lagi dengan rasa penderitaan batin karena matanya buta, membuat Hui Kiam merasa sangat pilu hatinya. Akhirnya dengan suara berat ia berkata”
“Enci, adakah harga bagimu sampai kau berlaku begitu terhadap diriku?”
“Adik, apakah maksud pertanyaanmu ini?”
“Kedua mataku sudah buta. Menurut pengetahuanku, racun dari dedaunan yang sangat berbisa itu di dalam dunia ini tak ada orang yang dapat menyembuhkan.”
“Apakah kau tidak percaya kepadaku?”
“Percaya.”
“Kalau percaya, tidak seharusnya kau berkata demikian!”
“Enci, andaikata mataku tidak dapat disembuhkan, apakah kau harus mengawani seorang yang buta untuk selama-lamanya?”
“Adik, kucinta kepadamu dengan setulus hati!”
“Ya, aku tahu perasaanmu. Hanya kalau sampai kejadian begitu, aku tidak akan sanggup menerima penderitaan karena seumur hidupku aku berada dalam kegelapan. Juga aku tidak ingin menghancurkan keberuntunganmu ....”
“Adik, apapun buat aku tidak menjadi soal, aku hanya tidak sanggup menerima apabila kau masih mencintai seorang lain ….”
“Enci, aku… aku tidak dapat mensia-siakan nona she Cui itu! Ia telah menolong aku di waktu aku berada keadaan putus asa dan tidak ada keberanian menghadapi kehidupan lagi! Ia telah bersumpah tidak akan mencintai orang kedua untuk selama-lamanya, maka... maka aku sesungguhnya merasa sulit sekali. Hutangku kepada perasaan hati nurani, tidak dapat dibayar dengan benda apa saja….”
“Maka kau juga bersumpah mencintai dirinya?”
“Keadaan telah memaksa, yang kucintai sebenarnya adalah kau!”
“Sudah, jangan berkata lagi. Mari naik kereta!”
Tong Hong Hui Bun membimbingnya naik ke atas kereta, keduanya duduk berdampingan.
Kereta mulai berjalan. Sebagai kusirnya nampaknya adalah seorang pelayan perempuan muda. Hui Kiam tiba-tiba teringat diri nenek berambut putih Hek Bwe Hiang, tak disangka ia bisa binasa di tangan orang yang berbaju lila.
“Enci, bagaimana dengan usahamu mengejar Orang Berbaju Lila itu?”
“la telah berhasil meloloskan diri!”
“Oh!”
“Tetapi... aku tidak akan membiarkan ia hidup lebih lama lagi.”
---ooo0dw0ooo---
JILID 18
“E N C I, kau jangan membunuhnya!”
“Mengapa?”
“Aku hendak membunuhnya dengan tanganku sendiri.”
Ia teringat bahwa orang yang berbaju lila itu sudah mencuri kitab pelajaran ilmu silat Tee-Hong, juga sudah dapat memahami ilmu serangan jari tangan, apabila ia berhasil mempelajari ilmu silat itu, akan lebih susah dihadapinya.
Karena roda kereta itu berjalan di atas jalan yang tidak rata, dengan sendirinya Hui Kiam dan Tong-hong Hui Bun semakin rapat duduknya, ditambah lagi dengan bau harum yang timbul dari tubuh Tong-hong Hui Bun, membuat Hui Kiam tergoncang hatinya.
Tong Hong Hui Bun tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Hui Kiam dan menangis dengan sedihnya.
Sambil memeluk dan mengelus-ngelus tubuh Tong Hong Hui Bun, Hui Kiam berkata dengan suara cemas:
“Enci, ada apakah?”
“Selama hidupku aku hanya selalu mau menang saja, aku selalu berbuat sesukaku menurut keinginanku, tetapi sekarang aku tiba-
tiba merasa sudah berubah menjadi seorang lemah. Seperti biasanya seorang perempuan yang berhati lemah, aku tidak tahu apa yang aku lakukan ini benar ataukah keliru?”
“Apa yang enci maksudkan dengan perkataan benar atau keliru itu?”
“Yang kumaksudkan adalah perbuatanku!”
“Yang kau maksudkan dengan perbuatan, apakah adalah perbuatan perhubungan dengan aku?”
Tong Hong Hui Bun melepaskan diri dari pelukan Hui Kiam. Ia duduk lagi di tempatnya dan berkata:
“Begitulah kiranya!”
“Enci, kau seharusnya tidak membawaku pergi. Sekarang masih belum terlambat, biarlah aku di sini.”
“Jangan mengoceh!”
“Enci kemudian hari bisa menyesal....”
“Menyesal?” bertanya Tong-hong Hui Bun. Matanya terbuka lebar, kemudian ia berkata kepada diri sendiri: “Ya, mungkin ada satu hari aku akan menyesal. Aku keliru, yah, keliru sekali, suatu kekeliruan yang menakutkan.”
Hati Hui Kiam merasa perih, sekujur badannya dingin. Ia berkata sambil mengatupkan gigi:
“Enci, untuk menghindarkan kemenyesalanmu di kemudian hari, juga untuk memelihara kenang-kenangan indah kita di masa yang lampau, biarlah kita berpisah. Sampai berjumpa lagi....”
“Tidak!”
“Enci....”
“Adik, cintaku terhadap kau tidak berobah. Apa yang aku ucapkan tadi bukan seperti apa yang kau pikirkan!”
“Kalau begitu apakah artinya?” tanya Hui Kiam bingung.
“Aku benci kepada diriku sendiri. Aku tidak berdaya terhadap diriku sendiri!”
“Aku boleh berlalu dari sampingmu, enci. Aku mempunyai cukup keberanian dan ketabahan berbuat demikian!”
“Kau... meninggalkan aku? Apa artinya aku hidup? Untuk pertama kali aku jatuh cinta kepada seseorang dengan setulus hati juga mengharap ini adalah kekasihku yang penghabisan. Adik, kau tidak memahami hatiku. Aku….”
Hui-Kiam benar-benar sangat bingung. Kata-katanya Tong-hong Hui Bun tidak keruan, satu sama lain sangat bertentangan. Apakah ia mempunyai kesulitan? Apakah dia...?
“Ya, memang aku tidak mengerti dirimu. Perkataanmu membuat aku bingung, susah dimengertinya.”
“Adik, sudah sampai di sini saja, jangan bicarakan soal ini lagi!”
“Tetapi biar bagaimana kita tokh harus menjelaskan duduk perkaranya.”
Tong-hong Hui Bun tidak menjawab, ia menggeser badannya semakin rapat kepada Hui Kiam.
Pikiran Hui Kiam sangat kalut, ia tidak tahu apa yang harus dibuatnya. Ia tak dapat menebak isi hati si cantik itu, entah mengandung rahasia apa? Apa yang dikatakan olehnya ‘keliru’ dan menyesal sudah tentu tak ada sebabnya.
Ia berusaha sedapat mungkin menenangkan pikirannya, mengharap supaya bisa terlepas dari kekusutan.
Jika apa yang dikatakan oleh Tonghong Hui Bun, bahwa ia yakin dapat menyembuhkan kedua matanya yang buta itu hanya merupakan kata-kata untuk menghibur dirinya saja, maka akibat yang dideritanya benar-benar sangat menghawatirkan sekali. Penderitaan yang sesungguhnya boleh dikata masih belum dimulai.
Bagaimana harus menghadapi hari depan?
Mulai sekarang seharusnya disiapkan suatu rencana yang konkrit….
Ia mulai merasa bahwa manusia hidup kadang-kadang lebih susah daripada mati.
Cinta, belum tentu merupakan suatu kebahagiaan, bahkan ada kalanya, merupakan suatu siksaan batin yang hebat.
Hingga saat itu ia masih belum mengetahui asal-usul perempuan cantik itu, ini sesungguhnya merupakan suatu hal yang tidak masuk akal, bahkan patut ditertawakan.
Akan tetapi, adat Hui Kiam membuat ia tidak mau menanyakan lebih jauh urusan orang lain yang sukar menjelaskan.
Ia berpikir bolak balik, biar bagaimana tidak bisa mendapat suatu keputusan.
Entah berapa lama telah berlalu, juga entah berapa jauh sudah dilalui, Tong-hong Hui Bun sekonyong-konyong membuka mulut:
“Adik, ada sesuatu hal aku merasa berat membicarakan denganmu.”
“Enci katakan saja!”
“Apakah kau suka masuk menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas?”
Hui Kiam terperanjat. Dengan cepat ia bertanya:
“Mengapa enci mengeluarkan pertanyaan demikian?”
“Untuk kepentingan kedua matamu.”
“Ini ada hubungan apa dengan Persekutuan Bulan Emas?”
“Matamu buta karena racun dedaunan Iblis Singa, racun itu hanya Delapan Iblis yang dapat menyembuhkan. Jika kau menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas, boleh minta obat pemunahnya kepada empat iblis yang lainnya.”
“Tetapi Iblis Singa itu adalah aku yang membinasakan.”
“Kalau kau tidak mengatakan kepada siapapun juga, dan aku juga tidak, siapa yang tahu?”
“Kalau mereka menanyakan sebab musababnya aku kena racun?
“Kau boleh mengatakan karena kesalahan tangan.”
“Aku dengan Persekutuan Bulan Emas ibarat air dengan api, permusuhan itu sudah sangat dalam sekali. Apakah mereka mau menerima?”
“Asal kau suka, semua menjadi tanggung jawabku.”
“Enci dengan Bulan Emas apakah mempunyai hubungan erat?”
“Ada!”
“Tetapi enci juga pernah membinasakan tidak sedikit anak buah Bulan Emas yang terhitung kuat ....”
“Itu adalah soal lain, biar bagaimana Persekutuan itu tidak akan menganggap kau sebagai musuh.”
“Aku tidak mengerti.”
“Di kemudian hari kau akan mengerti.”
“Enci. maafkan aku bicara terus terang. Aku lebih suka buta mataku untuk selama-lamanya tetapi tidak suka menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas!”
Mendengar pernyataan itu Tong-hong Hui Bun tidak terkejut, agaknya jawaban Hui Kiam itu sudah di dalam dugaannya. Maka dengan tenang ia berkata:
“Mengapa?”
“Persekutuan Bulan Emas bercita-cita hendak menguasai dunia, telah menimbulkan banyak pertumpahan darah dalam rimba persilatan. Semua sepak terjangnya, telah dikutuk oleh Tuhan, ditantang oleh manusia. Baik dan jahat tidak bisa hidup bersama-sama, bagaimana aku boleh karena urusanku pribadi, lalu menjual keadilan dan kebenaran rimba persilatan?”
Paras Tong-hong Hui Bun berubah sedemikian rupa, tetapi karena Hui Kiam tak dapat melihat, masih terus melanjutkan kata-katanya:
“Enci, bicaralah terus terang, apakah ini keinginanmu?”
“Adik, andaikata aku berkata ya, bagaimana dengan kau?” jawab Tong-hong Hui Bun sambil menghela napas.
Wajah Hui Kiam nampak berkerenyit beberapa kali, baru berkata:
“Kalau begitu aku terpaksa membuat enci kecewa.”
“Apakah kau lebih suka tidak melihat matahari untuk selama-lamanya, daripada menjadi anggota Bulan Emas?”
“Ya!”
“Kalau sudah tidak perlu berpikir masak-masak lagi?”
“Tidak perlu!”
Suasana hening kembali.
Suara menggelindingnya roda kereta, seolah-olah menggilas hatinya perih sekali.
Pada saat itu, gerak roda kereta mulai lambat kemudian disusul dengan suara kaki kuda seperti menginjak papan. Kiranya kereta itu tengah melalui jembatan kayu.
“Apakah sudah sampai di jembatan panjang?” tanya Tong hong Hui bun dengan suara nyaring.
“Ya, sudah tiba di jembatan panjang....” jawab si kusir kereta. Tetapi sebelum berkata lebih lainjut, awak kereta tiba-tiba terjadi goncangan hebat. Suara jeritan terkejut, suara bunyi kuda dan suara patahnya kayu, terdengar saling menyusul dan kereta itu berputaran kemudian terbalik dan terjun ke dalam sungai....
“Jembatan patah!” berseru Tong-hong Hui Bun, lalu memukul hancur tutup kereta, dan melesat keluar. Di tengah udara ia berjumpalitan kemudian melayang turun ke bagian yang tidak patah.
Bersamaan pada saat itu, kereta berikut kudanya, sudah tercebur ke dalam sungai. Karena air mengalir sangat deras, kuda kereta itu dengan susah payah berenang sambil menyeret awak kereta ke lain tepi.
Pelayan perempuan yang menjadi kusir kereta dengan paras pucat pasi berdiri di lain ujung jembatan yang sudah terpatah menjadi dua.
Tong hong Hui Bun dan pelayan perempuannya agaknya tidak pandai berenang, mereka berdiri melongo tanpa daya.
Ketika nampak kuda sudah tiba di tepi sungai bagian depan, pelayan perempuan itu segera melompat dan menariknya ke atas. Tetapi kecuali kayunya, awak kereta sudah tidak ada lagi.
Paras Tong-hong Hui Bun pucat pasi, badannya gemetaran, mulutnya hanya dapat mencetuskan kata: “Dia... dia....”
Pelayan perempuan itu dengan badan gemetar dan paras ketakutan berlutut di depan majikannya seraya berkata:
“Ibu majikan, ampuni dosa budakmu!”
“Kau menjalankan kereta bagaimana begitu gegabah?”
“Budakmu tidak menduga akan terjadinya peristiwa seperti ini, karena jembatan ini belum lapuk ….”
Paras Tong-hong Hui-Bun berubah seketika, airmata mengalir bercucuran. Ia berkata dengan suara sedih:
“Adik, apakah kau benar-benar akan terpisah denganku?”
Kemudian dengan secara tiba-tiba tangannya bergerak lalu disusul oleh suara jeritan ngeri tubuh pelayan perempuan itu terbang melayang ke dalam sungai, jiwanya melayang seketika itu.
“Ini pasti adalah akal keji yang direncanakan oleh jahanam itu. Tiang dan jembatan tidak lapuk, tidak mungkin patah tanpa sebab. Mengapa ia hendak membunuh Hui Kiam? Tidak mungkin. Tujuannya adalah aku, tidak disangka hendak mencelakakan Hui Kiam. Dengan kepandaian dan kekuatan tenaga dalam Hui Kiam,
seharusnya ia timbul ke permukaan air, tetapi mengapa ... dalam hal ini agaknya ada apa-apa …” demikian To-hong Hui Bun menggumam sendiri. Matanya mengawasi permukaan air sungai, dengan pengharapan dapat menemui Hui Kiam.
Tetapi ia kecewa! Putus harapan!
Ia lari menyusuri tepi sungai sambil berkata kepada diri sendiri:
“Sekalipun orangnya sudah mati seharusnya juga ada bangkainya. Aku tak sayang mengorban segala apa, biar bagaimana harus kucari bangkainya sampai dapat!”
Setelah Tong-hong Hui Bun berlalu jauh, dari bawah jembatan muncul kepala orang yang sudah kuyup. Orang itu celingukan mengawasi keadaan di sekitarnya sejenak, dengan cepat ia berenang ke lain tepi. Di bawah ketiaknya bahkan mengepit tubuh seseorang.
Setelah naik ke darat, dengan cepat lari ke dalam rimba tidak jauh dari jembatan itu.
Di dalam rimba yang lebat tampak dua bayangan orang yang basah kuyup semuanya, satu rebah terlentang di tanah, satu berdiri.
Yang terlentang di tanah bukan lain daripada Hui Kiam yang sudah buta matanya.
Hui Kiam setelah kecebur ke dalam air, meski sudah keburu menutup pernapasannya, tetapi juga sudah kemasukan air ke dalam perutnya. Seorang yarg tidak pandai berenang, betapapun tinggi kepandaian ilmu silatnya, di dalam air akan tidak berdaya sama sekali.
Sekarang ia tahu bahwa dirinya sudah berada di darat. Setelah mengatur pernapasannya sebentar lalu membuka mulut dan bertanya dengan nada suara dingin:
“Sahabat siapa?”
“Toako, inilah aku!” terdengar suara jawaban Sukma Tidak Buyar.
Hui Kiam yang mengenali suaranya Sukma Tidak Buyar segera marah.
”Apakah maksudmu ini?” demikian tegurnya dan segera lompat bangun.
“Toako, dengan terpaksa aku melakukan perbuatan ini, karena keadaan sudah mendesak, aku tidak mendapat akal lain supaya kau bisa meninggalkannya.”
“Bagaimana dengan dia?”
“Jangan khawatir, bajunyapun tak basah!”
“Bukankah kau akan menunggu aku di gunung Bu-leng san? Bagaimana sekarang berada di sini melakukan perbuatan gila-gilaan ini?”
“Karena mendapat berita kilat baru aku lari menuju kemari.”
“Siapa yang memberitahukan berita kilat itu kepadamu ?”
“Suhuku!”
“Suhumu sebetulnya adalah seorang aneh dan misterius, siapakah dia sebetulnya?”
“Toako, sekarang ini belum dapat aku membuka rahasianya.”
Hui Kiam nampak berpikir. Akhirnya berkata sambil menghela napas panjang:
“Ya, dengan cara begini meninggalkan dia baik juga.”
“Toako, kau maafkan aku!”
“Ah! Adik Hoan, semuanya adalah nasib, manusia sedikitpun tak bisa berbuat apa-apa! Aku tahu bagaimana perasaanmu, tetapi....”
“Kenapa?”
“Aku sudah menjadi seorang bercacat, sekarang bisa berbuat apa?”
“Toako, bagaimana duduk perkaranya?”
Hui Kiam lalu menceritakan semua apa yang telah terjadi. Kemudian ia berkata:
“Adik Hoan, apakah terlebih dulu kau sudah tahu yang mataku buta?”
“Ya.”
“Kalau begitu untuk apa yang masih perlu capai hati mencari aku?”
“Atas permintaan orang....”
“Apakah ia adalah suhumu lagi?”
“Dugaanmu keliru!”
“Kalau begitu siapa?”
“Pelindung Pedang!”
Hui-Kiam terperanjat. Katanya:
“Apa? Kau telah menerima permintaan Pelindung Pedang?”
“Benar. Ia minta aku berusaha supaya mengantar pulang kau ke Makam Pedang!”
“Apakah kau sudah masuk ke dalam Makam Pedang?”
“Tidak!”
“Kalau begitu bagaimana?”
“Sebelum kau berlalu, aku sudah sembunyikan diri di tempat tersembunyi. Tidak lama setelah kau berlalu, tiba-tiba aku melihat Pelindung Pedang keluar meronda. Nampaknya ia sangat cemas. Aku segera maju menghampiri dan memberitahukan asal-usulku. Dalam pembicaraan itu ia berkata bahwa ia sudah mendapatkan suatu cara supaya kedua matamu bisa melihat lagi, tetapi ia tidak bisa meninggalkan tempat itu untuk menyusul kau. Maka aku lalu mengunjukkan diri menolong. Bahkan aku sudah menjamin pasti akan susul kau dan dibawa kembali.”
Hati Hui Kiam tergoncang hebat, mengapa Cui Wan Tin mendadak bisa mendapatkan obat untuk menyembuhkan matanya?
Perkataan Ie It Hoan sudah tentu boleh dipercaya, hanya Cui Wan Tin sedang mabok cinta, mungkinkah melihat dirinya dibawa oleh Tong-hong Hui Bun sehingga mendapatkan akal demikian? Supaya dirinya balik kembali di sampingnya?
Tidak perduli bohong atau benar, kecintaan Cui Wan Tin patut dihargai. Selain daripada itu, Tong-hong Hui Bun ingin supaya dirinya menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas untuk menukar obat pemunah racun, ini adalah satu hal yang tidak mungkin dapat diterima.
Sedangkan ia sendiri juga tidak sudi berada di sampingnya. Dalam keadaan buta seperti sekarang ini, maka ke Makam Pedang untuk mengasingkan diri, juga ada baiknya!
Memikir sampai di situ hatinya tenang kembali. Katanya dengan suara duka:
“Adik Hoan, benarkah kau menjamin demikian kepada Pelindung Pedang?”
“Sudah tentu!”
“Apakah kau tidak takut jaminanmu akan merupakan jaminan kosong?”
“Toako, kau jangan lupa siaotee adalah Sukma Tidak Buyar yang sudah terkenal!”
“Baik, hitung-hitung kau yang menang. Sekarang sudah jam berapa?”
“Baru jam enam sore.”
“Jam berapa kita akan berangkat?”
“Sudah tentu di waktu malam, supaya tidak terjadi apa-apa lagi!”
“Kalau begitu apakah kita sudah boleh berangkat?”
“Tetapi toako, kau harus robah dulu roman mukamu....”
“Kenapa?”
“Kaki tangan Persekutuan Bulan Emas tersebar di mana-mana, dalam jarak tiga pal kita pasti sudah dipegat oleh mereka.”
“Apakah kau takut?”
“Bukan takut, tetapi ada harganya kita bentrok dengan mereka. Aku harap supaya kita lekas tiba di Makam Pedang, agar matamu lekas disembuhkan!”
“Seorang laki-laki mengapa takut menunjukkan muka dengan sebenarnya?”
“Tetapi toako, kau sekarang ada muka tetapi tidak ada mata!”
Ucapan itu bagaikan pisau tajam menikam hulu hati Hui Kiam, sehingga sekujur badannya gemetaran. Katanya dengan suara bengis:
“Kalau aku tidak bisa basmi Delapan Iblis dan Persekutuan Bulan Emas, aku bersumpah tidcak mau jadi orang lagi.”
“Toako, itu urusan belakang, sekarang kita harus menghadapi urusan yang sekarang.”
“Aku tidak akan merobah roman mukaku.”
“Toako, kau harus ingat bahwa Penggali Makam sudah hanyut ke dalam sungai, menjadi setan dalam air….”
“Perlu apa? Aku tokh masih hidup?”
“Toako, terus terang kuberitahukan kepadamu jika kaki tangan Persekutuan Bulan Emas mengetahui jejakmu, si cantik jelita Tong hong Hui Bon pasti segera mengejarnya. Ini merupakan satu rintangan besar bagi usaha kita selanjutnya!”
“Dia dengan Bulan Emas ada hubungan apa?”
“Erat hubungan, kedudukannya juga tinggi!”
“Kalau begitu dia juga merupakan salah seorang anggota Bulan Emas?”
“Tentang ini, maaf aku tidak bisa memberitahukannya.”
“Kau bicara selalu suka menyimpan rahasia!”
“Toako, aku berbuat demikian karena terpaksa. Di kemudian hari kau akan mengerti sendiri.”
Hui Kiam benar-benar sangat bingung. Ia masih ingat hari itu Cui Wan Tin pernah berkata bahwa anggota Persekutuan Bulan Emas perlakukan sebagai Tong hong Hui Bun dengan penghormatan tertinggi dalam partay pesilatan maka ucapan le It Hoan itu yang mengatakan bahwa Tong-hong Hui Bun mempunyai kedudukan tinggi dalam persekutuan itu, tentunya dapat dipercaya. Tetapi ia sendiri sebaliknya pernah menyaksikan bagaimana kejamnya Tong Hong Hui Bun membunuh orang-orang Bulan Emas. Bagaimana ia harus ditarik kesimpulan terhadap perbuatannya yang memaksa Koo Han San serta duapuluh lebih anak buahnya menghabiskan jiwanya.
Sedangkan sikap Koo Han San yang ditunjukkan sebelum ia menghabiskan jiwanya betapa hebat kebenciannya? Apakah sebabnya?
“Toako, di sini aku ada sebuah kedok kulit manusia. Kau boleh pakai dan mari kita berangkat,” berkata Sukma Tidak Buyar.
Hui Kiam berpikir, memang benar seperti apa yang dikatakan oleh Ie It Hoan, apabila Tong-hong Hui Bun benar-benar menyusul hal ini akan membuat dirinya telah dijebak, ia pasti tidak akan mau tinggal diam. Hal ini akan membuat meruncingnya keadaan, maka ia terpaksa menerima usul Sukma Tidak Buyar.
“Baiklah, aku turuti keinginanmu.”
Sukma Tidak Buyar lalu mengeluarkan kedok kulitnya dan dipakaikan di muka Hui Kiam.
“Adik Hoan, setelah aku mengenakan kedok ini, aku berobah semacam orang bagaimana?”
“Berobah menjadi seorang rimba persilatan setengah tua.
Pada saat itu dari tempat tidak jauh terdengar suara jeritan ngeri berulang-ulang. Hui Kiam dan Sukma Tidak Buyar terkejut. Setelah suara jeritan itu sirap, keadaan menjadi sunyi lagi.
Sukma Tidak Buyar berkata:
“Toako, kau jangan bergerak kemana-mana, aku akan pergi melihat apa yang telah terjadi?”
“Pergilah, meski mataku buta, tetapi masih sanggup menjaga diriku sendiri.”
“Aku akan pergi segera kembali.”
Sukma Tidak Buyar lompat melesat ke arah suara jeritan tadi.
Sesaat setelah Sukma Tidak Buyar berlalu, sesosok bayangan orang telah muncul dan berhenti sejenak tiga tombak dari tempat Hui Kiam berdiri. Munculnya bayangan itu bagaikan hantu, sedikitpun tidak mengeluarkan suara. Dengan kepandaian Hui Kiam ternyata masih belum merasa dirinya dihampiri bayangan orang itu.
“Hui Kiam!” demikian bayangan orang itu memanggilnya.
Hui Kiam sudah tentu terkejut, dengan sendirinya ia menyiapkan diri untuk menjaga segala kemungkinan, kemudian baru mengejarnya dengan nada suara dingin:
“Sahabat siapa?”
“Orang Menebus Dosa!”
“Apa? Orang Menebus Dosa?”
“Benar. Apa kau merasa asing?”
Dalam terkejutnya, perasaan sedih timbul dalam hati Hui Kiam. Matanya tidak bisa melihat, sedangkan telinganya juga belum membiasakan untuk mengganti kedudukan mata. Nama yang diberitahukan oleh orang itu, sama sekali belum pernah didengarnya, suaranya juga masih asing baginya. Tetapi orang itu bisa memanggil namanya, sedang pada saat itu dia sudah memakai kedok kulit mauusia. Kalau begitu orang itu tentunya sudah lama berada di situ memperhatikan segala gerak-geriknya.
“Tuan ada keperluan apa?” demikian ia balas bertanya.
“Kau harus lekas meninggalkan tempat ini!”
“Mengapa?”
“Tong-hong Hui Bun sudah tahu bahwa dirinya terjebak. Sekarang ia telah mengerahkan orang-orangnya, sedikitnya berjumlah ratusan orang, menjaga jalan-jalan penting di daerah sekitar sini untuk menangkap kau....”
Bukan kepalang terkejutnya ketika Hui Kiam mendengar ucapan itu. Dari manakah asal-usulnya orang yang mengaku Orang Menebus Dosa ini? Mengapa begitu jelas terhadap persoalan yang menyangkut dirinya? Satu sama lain belum mengenal. apa maksudnya ia memberi peringatan ini?
“Apakah maksud tuan mengeluarkan perkataan ini?”
“Kau harus menggunakan kesempatan ini meninggalkan perempuan cabul itu. Inilah satu-satunya jalan yang paling baik bagimu. Jikalau tidak, di kemudian hari akibatnya akan semakin hebat.”
“Tuan sebetulnya siapa?”
“Orang Menebus Dosa!”
“Mengapa tuan mengetahui rahasia ini?”
“Setiap orang rimba persilatan yang pintar semua tahu, apa yang diherankan?”
“Tetapi urusan ini ada hubungan apa dengan tuan?”
“Hui Kiam, ini adalah maksud baikku!”
“Kebaikanmu ini menimbulkan perasaan curiga.”
“Percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri. Sekarang ini, dalam daerah sekitar lima pal sudah tidak ada jejak musuh. Aku sudah menalangi kau untuk membersihkannya.....”
“Suara jeritan ngeri tadi apakah perbuatan tuan?”
“Benar, itu perbuatanku.”
“Mengapa tuan harus berbuat demikian?”
“Menebus dosa!”
“Aku tidak mengerti.”
“Mengerti atau tidak bukan soal. Hidupku terlalu banyak kesalahan, dosaku bertumpuk-tumpuk. Sekalipun aku sudah insaf tetapi belum mencapai ke jalan benar, maka selagi aku masih bernyawa aku hendak melakukan sebanyak mungkin kebaikan untuk menebus dosaku.”
“Aku masih tetap tidak mengerti!”
“Di kemudian hari kau tentu akan mengerti sendiri!”
“Berdasar atas keteranganmu ini, kalau begitu nama tuan yang sebenarnya tentu bukan Orang Menebus Dosa?”
“Hahaha, benar, sebelumnya aku adalah Orang Yang Menumpuk Dosa.”
“Terima kasih atas keteranganmu!”
“Masih ada. Apakah kau mengaku bahwa Tong-hong Kiam-khek Su ma Suan adalah ayahmu?”
Lagi-lagi Hui Kiam dikejutkan oleh perkataan orang itu. Mengapa orang sangat misierius itu mengetahui begitu jelas segala hal yang menyangkut dirinya? Ini sesungguhnya sangat ganjil dan tidak habis dimengerti. Siapakah orang ini?
Seketika itu ia mundur satu langkah dan mendengar dengan suara gemetar:
“Apakah tuan juga mengetahui rahasia yang menyangkutku?”
“Tahu!”
”Anak, dalam dunia ini banyak hal yang bisa terjadi di luar dugaan orang. Sekarang jawablah pertanyaanku.”
Pikiran Hui Kiam seketika bergolak hebat hingga otaknya menjadi kalut. Makam di gunung Keng-san itu sudah rusak di tangannya Orang Berbaju Lila. To-liong Kiam-khek Su-ma Suan juga sudah binasa di akal kejinya Orang Berbaju Lila itu pula bersama-sama Penghuni Loteng Merah. Jika hanya berdasar keterangan yang tertulis di atas batu nisan kuburan, itu tidak bisa dianggap
sepenuhnya bahwa Su-ma Suan ayahnya. Hal ini nampaknya satu sama lain sangat bertentangan. Tetapi orang ini memajukan pertanyaan demikian, maka ia lalu menjawab dengan suara berat:
“Berdasar apa aku harus mengakui?”
“Apakah... kau tidak mau mengakui?”
“Aku bahkan mungkin aku membunuhnya!”
“Tetapi ia sudah mati!”
“Apa tuan juga tahu kalau Su-ma Suan sudah tidak ada di dalam dunia?”
“Tahu, aku tahu lebih jelas daripada siapapun juga!”
“Oh!”
“Balik ke persoalan semula. Aku sudah tidak banyak tempo. Kau sebetulnya mengakui atau tidak?”
“Mengapa tuan menanya demikian?”
“Sudah tentu ada sebabnya.”
“Terhadap diriku tuan kiranya sudah mengetahui dengan jelas?”
“Jelas benar!”
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam. Ia sampai mundur lagi dua langkah.
“Coba tuan ceritakan!”
“Ibumu adalah Hui-Un Kheng yang mempunyai nama julukan Yok-sok Sian-cu. Kau sekarang memakai she ibumu. Ayahmu adalah To-liong Kiam-khek Su-Ma Suan....”
“Berdasar atas apa tuan anggap Su Ma Suan adalah ayahku?”
“Sepuluh tahun berselang aku dengan dia merupakan satu badan!”
“Apakah tuan tidak omong seenaknya saja?”
“Tempo sudah tidak banyak lagi. Aku peringatkan kepadamu, kau harus putuskan perhubunganmu dengan To-hong Hui Bun.”
“Mengapa?”
“Dia mempunyai ilmu awet muda, sebenarnya usianya sudah lebih empat puluh tahun.”
“Itu aku tahu, tetapi tidak menjadi soa!”
“Sudah tentu hal ini tidak penting, tetapi ia pernah menikah dengan Su-ma Suan, inilah yang penting!”
Hati Hui Kiam seperti hendak melompat keluar dari dalam dadanya. Orang Berbaju Lila juga sudah pernah berkata demikian, apakah hal itu benar? Jikalau Su-ma Suan benar adalah ayahnya, maka Tong-hong Hui Bun adalah ibu tirinya sendiri, bukankah itu suatu perbuatan durhaka?
Berpikir sampai di situ ia bergidik, tetapi ia teringat pula bahwa Tong hong Hui Bun sudah mengetahui siapa adanya dia dan asal-usulnya. Dengan kecantikan luar biasa seperti Tong hong Hui Bun, rasanya tidak mungkin ia sengaja melanggar apa yang sudah diketahuinya.
Jikalau hal itu hanya merupakan desas-desus saja, atau akal busuk yang hendak menjelekkan namanya, masih tidak mengapa, akan tetapi apabila itu benar, ini sesungguhnya terlalu menakutkan.
Hanya, ia sekarang sudah menjadi seorang cacat, dan sudah mengambil keputusan hendak meninggalkannya, maka juga tidak perlu diusut lebih jauh.
“Untuk sementara aku mengakui!” demikian akhirnya ia berkata.
“Hui Kiam, ini bukanlah perkataan untuk menakut-nakuti kau, janganlah kau menuruti hatimu sehingga melakukan suatu perbuatan terkutuk yang. akan membuat kau menyesal untuk selama lamanya.”
“Aku mengerti kira-kira sendiri.”
“Baiklah, aku sekarang hendak pergi, mungkin tidak lama kita akan berjumpa lagi. Ini ada sesetel pakaian, setelah kau tukar dengan pakaian ini, kau boleh segera pergi dari sini dengan setan cilik yang cerdik itu!”
Sehabis berkata, ia melemparkan sebungkus pakaian ke tangan Hui Kiam, kemudian menghilang.
Hui Kiam berdiri terpaku, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ini merupakan suatu kejadian yang sangat aneh. Orang itu telah membunuh semua orang yang sedang mencari dirinya, ia mengeluarkan banyak perkataan yang mendebarkan hati, kemudian memberikan pakaian untuk keperluan setelah berganti muka.
Siapakah sebetulnya dia?
Mengapa harus berbuat demikian?
Apakah ia mengetahui persoalan yang belum terjadi? Adakah ia mengetahui bahwa dirinya akan berganti muka dan pakaian, sehingga lebih dulu ia menyediakan pakaiannya?
Tiba-tiba ia teringat kepada gurunya Sukma Tidak Buyar, manusia misterius yang samar-samar disebutkan oleh Sukma Tidak Buyar, juga merupakan seorang yang aneh dan misterius sepak terjangnya. Orang yang mengaku Orang Menebus Dosa ini ada kemungkinan adalah guru Sukma Tidak Buyar. Jikalau tidak, tidaklah mungkin orang itu mengetahui segala persoalan yang mengenai dirinya sehingga sedemikian jelasnya. la adalah seorang yang mengusulkan supaya ia sendiri memutuskan perhubungannya dengan Tong-hong Hui Bun. Jika dugaannya tidak keliru maka kejadian yang dianggapnya aneh itu, sebetulnya tidaklah aneh….
Selagi terbenam dalam lamunannya, telinganya telah menangkap suara desiran angin.
“Siapa?”
“Toako, aku!”
“Adik Hoan, bagaimana keadaan?”
“Di pinggir rimba terdapat delapan bangkai manusia, semua adalah anak buah Persekutuan Bulan Emas!”
“Siapa yang membunuh?”
“Tidak tahu. Kepandaian orang itu nampaknya tinggi sekali, semua mati karena tertotok jalan darahnya. Nampaknya orang yang melakukan perbuatan itu bukan orang sembarangan.”
“Aku sudah tahu siapa yang melakukan perbuatan itu!”
“Apa? Toako sudah tahu ...?”
“Setelah kau pergi tadi ada orang kemari!”
“Siapa?”
“Orang Menebus Dosa!”
“Orang Menebus Dosa… di kalangan Kangouw tiada seorang yang bernama demikian!”
“Bagaimana bentuknya?”
“Adik Hoan, kau toh tahu aku tidak bisa melihat?”
“Ah! Toako, maafkan aku kesalahan omong. Dari golongan mana orang yang mengaku Orang Menebus Dosa itu?”
“Ia tidak menerangkan. Ia hanya memberitahukan julukannya. Ia mengaku bahwa orang-orang itu adalah ia yang membunuh. Dan apa yang aku tidak mengerti ialah orang itu ternyata mengetahui itu semua apa yang telah terjadi atas diriku dan asal-usuIku termasuk apa yang kita berdua hendak lakukan.”
“Ada kejadian serupa ini apakah maksud dan tujuannya?”
“Ia memperingatkan kepada kita, supaya segera meninggalkan tempat ini. Ia bahkan memberikan sesetel pakaian untuk keperluan ganti rugi!”
Sukma Tidak Buyar untuk sesaat berada dalam kebingungan. Katanya dengan perasaan heran:
“Sungguh aneh!”
“Kau tidak tahu siapa dia?”
“Eh! Bagaimana aku bisa tahu?”
“Benarkah kau tidak tahu?”
“Toako, dengar sajapun aku belum pernah ada orang bernama Orang Menebus Dosa!”
Nama julukan itu mungkin diambil sekenanya saja, tidak boleh dipercaya!”
“Bagaimana pandangan toako?”
“Orang yang mengetahui asal-usulku dan mengetahui segala gerak-gerik kita berdua hanya seorang saja!”
“Siapa?”
“Gurumu!”
Sukma Tidak Buyar tertawa terbahak-bahak, lalu berkata:
“Toako, kau keliru, itu bukanlah suhu.”
“Mengapa kau berkata demikian?”
“Saat ini suhu berada di suatu tempat sejauh ratusan pal. Kecuali itu suhu juga tidak akan menggunakan cara demikian untuk mencampur tangan urusan kita ini. Anak buah Bulan Emas yang terbinasa di pinggir rimba itu bukanlah dibunuh oleh suhu. Dari ilmu totokan yang digunakan aku sudah dapat mengenalinya.”
Hui Kiam mengerutkan sepasang alisnya, agaknya sedang berpikir keras, lama tidak berbicara. Kalau benar Orang Menebus Dosa itu bukan gurunya Sukma Tidak Buyar, lalu siapa? Tetapi apa yang dilakukan, kenyataannya orang itu mungkin tidak bermaksud jahat hanya karena satu sama lain masih asing agaknya memang tidak beralasan!”
Sukma Tidak Buyar selanjutnya berkata lagi:
“Toako, tidak perduli apa maksud orang itu, di kemudian hari kita tak khawatir tidak akan berjumpa lagi. Karena ia sudah campur tangan, tidak mungkin ia akan lepas tangan begitu saja. Untuk
sementara sekarang kita boleh kesampingkan dulu soal ini. Kau tukarlah pakaian supaya kita lekas berangkat.
Hui-Kiam menganggukkan kepala. Ia lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang diberikan oleh Orang Yang Menebus Dosa.
Sukma Tidak Buyar berkata sambil tepuk-tepuk tangan:
“Bagus bagus, pakaian panjang berwarna biru ini diambil dengan kedok kulit manusia yang kau pakai sekarang Toako merupakan seorang sastrawan setengah tua yang tidak berhasil menempuh ujian, aku berani kata asal toako tidak membuka mulut siapapun aku tanggung tidak bisa mengenali.”
“Setidak-tidaknya, masih ada satu orang lagi yang mengenali!”
“Apakah yang toako maksudkan Orang Menebus Dosa?”
“Hem!”
“Karena ia memang tahu juga tidak ada gunanya kita mengelabuinya mungkin sekarang ini ia berada di dekat kita, marilah jalan!”
“Adik Hoan, kau jangan terlalu optimis. Racun dari daun itu, orang rimba persilatan daerah Tiong-goan barangkali tiada seorangpun yang dapat menyembuhkan. Apa yang dikatakan oleh Pelindung Pedang, tidak boleh dipercaya.”
Sukma Tidak Buyar tercengang.
“Tiada alasan baginya menipu kau hanya sekedar ingin kau kembali saja!”
“Kau... tidak mengerti!”
“Menurut pemandangan siaotee, dalam hal ini tidak mungkin ia membohong….”
“Jikalau ia bisa menyembuhkan racun itu, mengapa ia tidak mengatakan kepadaku sebelum aku meninggalkannya, sebaliknya memberitahukan kepadamu setelah aku berlalu?”
“Mungkin ia tiba -tiba teringat semacam obat yang dapat menyembuhkan!”
“Tidak mungkin, ia bukan tabib. Setelah aku terluka dan kedua mataku buta, ia nampaknya sangat bingung sedikitpun tidak berdaya bahkan berulang-ulang ia mengatakan bahwa ia….”
“Bahwa ia bagaimana?”
Hui-Kiam tidak mau melanjutkan, tetapi Sukma Tidak Buyar menanyakannya lagi:
“Dia bagaimana?”
Dengan agak kemalu-maluan Hui Kiam menjawab:
“Ia berkata, ia ingin mengawani aku yang sudah bercacat ini untuk seumur hidupnya!”
“Oh, kiranya begitu. Toako benar-benar orang yang sangat betuntung, dimana-mana selalu mendapat kasih wanita.”
“Itulah sebabnya, maka aku berani menduga pasti bahwa maksudnya adalah menyuruh aku pulang kembali ke dalam Makam Pedang. Apa yang dikatakan obat pemunah itu, sebetulnya hanya omong-kosong belaka.”
“Itu belum tentu.”
“Mari kita berangkat!”
Keduanya lalu lari keluar rimba sambil bergandengan tangan. Ketika berada di jalan raya, gerak kaki mereka dipercepat.
Oleh karena kedua mata Hui Kiam sudah buta, sekalipun berkepandaian sangat tinggi, gerakannya juga terhalang. Digandeng oleh Sukma Tidak Buyar, kecepatan jalannya hanya mencapai batas sebagai orang rimba persilatan biasa.
Jalan berdua berapa lama, di hadapannya tiba-tiba terdengar suara bentakan orang:
“Berhenti!”
Dua orang itu dengan sendirinya lalu berhenti. Delapan orang berpakaian hitam memegat di tengah jalan. Orang yang berada di paling depan ternyata adalah seorang perempuan muda yang berpakaian sebagai pelayan.
Sukma Tidak Buyar dengan suara perlahan bisik-bisik di telinga Hui Kiam:
“Sebagai kepala rombongan ini adalah seorang pelayan perempuan muda!”
Hati Hui Kiam tergerak. Sebelum ia menyatakan apa-apa, wanita itu mengawasi kedua orang itu sejenak, lalu berkata:
“Sahabat-sahabat, beritahukanlah asal-usulmu!”
Sukma Tidak Buyar lalu menjawabnya dengan merobah suaranya:
“Aku si orang tua adalah Sukma Tidak Buyar!”
Mendengar suara itu Hui Kiam tahu Sukma Tidak Buyar sedang berperan sebagai seorang tua.
“Tuan bernama Sukma Tidak Buyar?”
“Soal ini aku si orang tua tidak sanggup menjawab.”
“Dan tuan ini?”
“Dia? Bernama Tidak Buyar Sukmanya!”
“Apa, Tidak Buyar Sukmanya?”
“Sedikitpun tidak salah!”
“Tuan jangan jual lagak dengan usiamu yang sudah tua. Jikalau kau tidak mau memberitahukan asal-usulmu yang sebenarnya, jangan pikir dapat melalui jalanan ini....”
“Di waktu tengah malam nona mencegat jalan orang, apakah artinya ini?”
“Tentang ini tuan tidak perlu bertanya.”
“Aku si orang tua karena mengingat kau adalah seorang wanita, maka tidak ingin membuat perhitungan. Jikalau tidak....”
“Jikalau tidak bagaimana?”
“Aku si orang tua tidak akan membiarkan kau mencari onar tanpa alasan!”
“Ini bukanlah mencari onar tanpa alasan. Tuan sebaiknya tahu gelagat sedikit, beritahukanlah asal-usulmu.”
“Bagaimana jikalau aku tak tahu gelagat?”
“Itu berarti tuan mencari penyakit sendiri!”
“Nona mencegat orang berjalan dan menanya demikian melit, setidak-tidaknya tokh harus menerangkan sebab-sebabnya lebih dulu, betul tidak!?”
“Tuan sebaiknya jangan membuang waktu.”
“Aku tadi tokh sudah memberitahukan namaku!”
“Asal dari mana?”
“Asal dari timur, hendak menuju ke barat! Sudah puas?”
“Nampaknya tuan-tuan berdua terpaksa harus ikut denganku ....”
“Hi, hi, apakah nona sedang mengundang kami? Mengundang tamu secara demikian agaknya sangat ganjil!”
Perempuan itu gusar dan memberi perintah kepada orang-orangnya dengan suara keras:
“Bawa pulang!”
Empat dari tujuh orang berpakaian hitam yang berdiri di belakangnya, segera bertindak maju. Dua orang menghampiri Sukma Tidak Buyar, dua orang menghampiri Hui Kiam.
Hui Kiam karena takut diketahui orang-orang itu, ia terus menundukkan kepala. Ketika dua orang berbaju hitam itu mendekatinya, sudah tentu ia berasa tetapi saat itu ia tidak tahu bagaimana harus berbuat? Tidak bertindak, tidak bisa. Kalau bertindak, orang-orang itu adalah anak buah Tong-hong Hui Bun.
Akhirnya ia dapat mengambil keputusan dengan cepat. SukmaTidak Buyar tiba-tiba disambarnya lalu menggunakan gerak kakinya yang luar biasa, hanya sekelebat saja tiba-tiba sudah ada di belakang orang-orang itu. Mulutnya berkata dengan suara cemas:
“Apa masih ada rintangan?”
“Tidak, jalan yang datar lurus menuju ke depan,” jawab Sukma Tidak Buyar.
Tetapi pada saat itu wanita muda itu dan tujuh orang berbaju hitam sudah balik dan menerjang mereka.
Hui Kiam tahu kalau ia tidak bertindak tentu tidak akan bisa meloloskan diri. Andaikata dua matanya tidak buta, sekalipun jumlah orang itu ditambah sepuluh kali, juga jangan harap mampu merintangi dirinya. Maka ia segera melepaskan tangan Sukma Tidak Buyar dan melancarkan satu serangan ke arah orang-orang itu.
Serangan itu ternyata sangat hebat. Ia hanya mendengar suara rintihan beberapa kali, dan orang-orang yang menerjang dirinya terpental balik.
Sukma Tidak Buyar lalu berkata sambil menarik tangan Hui Kiam:
“Toako, kita terpaksa mengambil jalan kecil.”
“Baik!”
Berdua lari sangat cepat, kemudian menuju ke arah semak belukar. Dengan mengambil jalan kecil itu, sudah tentu jalannya agak lambat.
Kira-kira satu jam mereka berlari, lembah Cok-beng-goan sudah tampak di depan matanya. Walau di tengah malam, tetapi bayangan gunung samar-samar dapat dikenali.
Sambil menarik napas lega, Sukma Tidak Buyar berkata:
“Toako, kita sudah hampir sampai!”
“Masih berapa jauh?”
“Kira kira tiga pal!”
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, lalu disusul oleh suara seperti orang tua berkata:
“Kepandaian kalian berdua bagus sekali, tetapi gerak kaki kalian kurang cepat. Mungkin nasib kalian memang begitu.”
Suatu bayangan tinggi besar berada di hadapan mereka. Hui Kiam berdua lalu hentikan kakinya. Karena matanya tidak melihat, terpaksa tidak bersuara.
Sukma Tidak Buyar lalu berkata sambil tertawa:
“Tuan dari mana?”
“Kau tidak usah tanya, sekarang ikut aku jalan!”
“Tuan terlalu sombong!”
“Jangan menimbulkan kemarahanku. Aku nanti bisa mengantarkan jiwamu ke akhirat!”
Sukma Tidak Buyar menggeser kakinya ke samping beberapa langkah, maksudnya ialah untuk menukar tempat dengan Hui Kiam. Ia dapat melihat bahwa orang tua aneh itu, berkepandaian tinggi sekali, ia takut membawa Hui Kiam. Kecuali itu ia dengan Hui Kiam terpisah agak jauh, apa bila perlu, Hui Kiam masih ada kesempatan turun tangan.
“Tuan menghadang perjalanan kami, seharusnya juga memberitahukan apa maksudnya?”
“Apa maksudnya segala. Kalau kau masih sayangi jiwamu, ikutilah aku pergi!”
“Apa tuan kira tuan dapat memaksa kami?”
“Cis, manusia tidak tahu diri, kau boleh coba saja!”
Sebentar kemudian terdengar suara keluhan tertahan lalu disusul oleh suara jatuhnya badan berat di tanah.
Hui Kiam terperanjat. Dengan kepandaiannya seorang seperti Sukma Tidak Buyar, ternyata hanya dalam waktu sekilas saja sudah
dilemparkan oleh musuhnya. Kepandaian orang ini, sesungguhnya hebat sekali. Ia hanya tidak tahu Sukma Tidak Buyar terluka atau tidak, ia khawatir orang itu akan menurunkan tangan berat lagi kepada diri Sukma Tidak Buyar, maka terpaksa bertindak.
“Hebat sekali kepandaian sahabat!” demikian ia berkata.
Akan tetapi ia tidak mendapat jawaban, sebaliknya terdengar pula suara seruanu tertahan yang keluar dari Sukma Tidak Buyar.
Hati Hui Kiam dirasakan hancur remuk, karena ia tidak dapat melihat keadaan, ia juga tidak dapat mengeluarkan serangan secara membabi buta, dalam gusarnya itu ia lalu berteriak:
“Tua bangka, kalau kau berani sambutlah seranganku!”
“Tangkap!”
Hati Hui Kiam seperti tertikam pisau tajam. Dari suara itu ia sudah dapat mengenali letak musuhnya. Tetapi ia takut tindakannya itu tidak berhasil merobohkan lawannya sebaliknya melukai diri Sukma Tidak Buyar. Di telinganya mendengar suara tindakan kaki dan gerakan tangan. Nampaknya orang yang menghadapi Sukma Tidak Buyar bukan cuma seorang tua itu saja.
Pada saat itu terdengar suara Sukma Tidak Buyar yang berkata kepadanya dengan suara gemetar:
“Toako, aku sudah tidak sanggup lagi tetapi kau jangan mengkhawatirkan diriku hanya….”
Suara mendadak terputus. Mungkin saat itu sudah dibikin tidak berdaya oleh musuh-musuhnya.
Hui Kiam sangat murka, tetapi ia tidak berdaya sama sekali, hingga hatinya gelisah, lalu membentaknya dengan suara keras:
“Anjing tua, serahkan jiwamu!”
Di hadapannya merasakan berdesirnya angin lalu terdengar seruan terkejut:
“Eh! Kiranya kau adalah seorang buta.”
Hui Kiam tidak berkata apa-apa, dengan tenaga sepenuhnya ia melakukan serangan ke arah suara itu tadi.
Sebentar terdengar suara gempuran nyaring. Ia sendiri mundur satu langkah, badannya tergoyang-goyang.
Sementara itu terdengar suara orang itu berkata:
“Tidak kusangka kau mempunyai kekuatan demikian hebat.”
Serangannya itu tadi sudah jelas tidak berhasil melukai musuhnya tetapi Hui Kiam tidak mau melepaskan kesempatan yang ada. Sebelum habis bicara orang itu, serangan kedua sudah meluncur dari tangannya.
Kali ini tidak ada reaksi apa-apa. Nampaknya orang tua itu tidak berani menyambut serangannya.
Kehebatannya serangan Thian Gee Ciang adalah meminjam kekuatan tenaga membalik. Apabila yang diserang tidak membalas maka kekuatannya itu tak tampak.
Karena musuhnya tidak membuka mulut, Hui Kiam sudah kehilangan tujuan untuk melakukan serangannya. Maka ia lalu membentak:
“Tua bangka, kau tak berani menyambut!!”
Meskipun mulutnya berbicara, tetapi ia selalu siap sedia untuk menjaga serangan musuh yang dilancarkan secara tiba-tiba.
Dengan tak bersuara sedikitpun juga, musuhnya turun tangan perlahan-lahan, sudah tentu tak terdengar suara sama sekali, tiba-tiba saja terasa jalan darah di Hek-houw-tiat tergetar. Untung ilmu silat yang dipelajari olehnya jauh berbeda seperti umumnya, mengalirnya darah berjalan ke arah balikannya, maka totokan jalan darah biasa baginya tak berguna sama sekali.
Hampir bersamaan, pada saat jalan darahnya tertotok, kedua tangannya dengan kecepatan kilat sudah meIakukan pembalasan.
Suara ‘beleduk’ dan seruan tertahan tercampur oleh jeritan terkejut terdengar di telinganya.
Serangan kali ini ternyata sudah berhasil mengenakan sasarannya. Ia hanya tak tahu bagaimana luka musuhnya.
“Bagus! Kalau aku tak dapat mencincang tubuhmu, percuma saja namaku Iblis Gajah!”
Hui Kiam terperanjat, ia sungguh tak menduga bahwa musuhnya itu adalah iblis Gajah, salah satu dari Delapan Iblis negara Thian-tik yang kini sudah menjadi anggota pelindung hukum tertinggi Persekutuan Bulan Emas. Pantas ia berkepandaian begitu tinggi. Kalau ia sendiri tidak buta kedua matanya, ia tentu tak perlu merasa takut! Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini bagaimana akibatnya, sesungguhnya masih agak sulit diramalkan.
Jikalau ia sendiri tidak buta, iblis itu tak nanti dapat menurunkan tangan keji terhadap dirinya. Sudah jelas bahwa iblis adalah seorang yang membantu Tong-hong Hui Bun untuk mencari dirinya. Bahwa ia sendiri sedang berganti rupa, iblis itu mungkin bisa menurunkan tangan jahat.
Apa yang dihadapinya tidak memberi kesempatan baginya untuk banyak berpikir. Di antara berdesirnya angin, Iblis Gajah itu sudah bertindak.
Karena iblis itu masih bisa bertindak, maka serangannya sendiri tadi terang tidak mengakibatkan luka berat baginya.
Maka terjadilah suatu pertempuran hebat di tengah ladang dalam hutan belukar itu.
Cuaca malam yang gelap gulita bagi seorang buta tidak ada artinya hanya, dalam keadaan kepandaian dan kekuatan kedua pihak selisih tidak seberapa itu, yang rugi sudah tentu adalah Hui-Kiam, karena harus memperhatikan dengan telinganya untuk menjaga serangan musuhnya, dan bagi usahanya menyerang lawannya juga merupakan suatu usaha yang sangat berat.
Sepuluh juius kemudian ia sudah berada dalam keadaan bahaya. Sudah tujuh atau delapan kali dirinya terkena serangan musuh.
Musuhnya itu ternyata amat cerdik. Ia mengeluarkan serangan tanpa berkata atau menimbulkan suara, sehingga membuat Hui-Kiam selalu dikuasai oleh musuhnya.
Keadaan sudah jelas. Paling-paling ia bisa tahan sepuluh jurus lagi.
Pada satu saat tiba-tiba Hui Kiam terkena serangan musuh yang agak berat sehingga dengan badan sempoyongan ia mundur sampai lima langkah. Darah merah menyemburkan keluar dari mulutnya.
Dalam keadaan demikian Iblis Gajah itu kembali mengadakan serangannya, tiga jurus dari kedudukannya yang berlainan.
Hui Kiam berhasil menutup dua kali serangannya, tetapi sudah tidak mampu mengelakkan serangannya yang ketiga. Sekali lagi darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Habislah, demikian ia berpikir. Malam itu dianggapnya sudah tidak mungkin lagi ia dapat terlolos dari bahaya maut.
Saat itu terdengar suara bentakan Iblis Gajah:
“Kalian maju cincang tubuhnya!”
Di antara suara riuh, beberapa pedang mengancam diri Hui Kiam.
Dalam keadaan demikian dengan sendirinya timbullah daya perlawanannya untuk mempertahankan jiwanya. Dengan tanpa ragu-ragu ia mengerahkan seluruh sisa kekuatan tenaganya. Serangan pembalasan yang dilakukan secara nekad itu mengandung kekuatan yang amat dahsyat.
Sewaktu kekuatan tenaga beradu dengan senjata pedang, menimbulkan suara ledakan nyaring kemudian disusul oleh suara jeritan ngeri. Lima orang yang terkenal sebagai jago pedang, yang pada saat itu menyerang Hui Kiam, tiga di antaranya mundur dengan badan sempoyongan, dua di antaranya terpental sejauh tiga tombak dan jatuh di tanah tidak bisa tertolong lagi, sedangkan ia sendiri juga mengeluarkan darah lagi, badannya sempoyongan hendak rubuh.
Ibli Gajah tidak menduga bahwa Hui Kiam dalam keadaan seberat itu masih bisa turun tangan membinasakan dua anak buahnya, nampak sangat murka sehingga mengeluarkan perintah kepada orang-orangnya supaya maju semuanya.
Dengan serentak anak buahnya Iblis Gajah maju semua dengan pedang terhunus.
Hui Kiam yang sudah kehabisan tenaga, tak berdaya menghadapi musuhnya demikian banyak sehingga terpaksa menunggu kematiannya.
Asal ia mau menunjukan wajah aslinya, pasti terhindar dari kematian, tetapi ia tak sudi berbuat demikian.
Dalam keadaan sangat kritis itu tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
“Tahan!”
Semua orang yang sudah akan turun tangan itu segera menarik kembali pedang masing-masing dan mundur beberapa langkah. Iblis Gajah memasang matanya ke arah datangnya suara itu tadi, lalu menegurnya dengan suara bengis:
“Siapa?”
“Orang Menebus Dosa!”
Mendengar nama itu Hui Kiam terkejut. Ia sungguh tidak menyangka bahwa Orang Menebus Dosa itu pada saat itu bisa menunjukkan diri di tempat tersebut.
Iblis Gajah memperdengarkan suara tertawa.
“Keluarlah!” demikian kata iblis itu.
Orang Menebus Dosa ketawa terbahak-bahak dan berkata:
“Iblis Gajah, sombong sekali kau he, di sini ada sebuah kepala singa, kalau kau mau, kau boleh ambil kembali!”
Kepala singa yang dimaksudkan, sudah tentu kepalanya Iblis Singa. Hui-Kiam merasa heran. Iblis Singa sudah dibinasakan
olehnya di dalam barisan batu ajaib dan bangkainya sudah dilemparkan ke dalam danau dingin oleh Cui Wan Tin. Dari mana Orang Menebus Dosa itu mendapatkan kepala Iblis Singa lagi?
Iblis Gajah itu tercengang, tetapi kemudian ia mengerti. Tegurnya pula:
“Apa kau katakan?”
“Aku katakan kepala singa!” jawab Orang Menebus Dosa dengan suara dingin.
Iblis Gajah itu mendengus, dengan kecepatan bagaikan kilat ia loncat menerjang. Sebentar terdengar suara bentakan suara tertawa nyaring, yang kedengarannya makin lama makin jauh.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan terkejut yang keluar dari mulut anak buah Iblis Gajah, menyusul mana Hui Kiam merasa dirinya dibawa pergi orang! Orang itu agaknya berjalan cepat sekali. Karena ia sudah tidak dapat mengendalikan perasaan herannya maka segera menanya:
“Tuan orang pandai darimana?”
“Orang Menebus Dosa!”
“Oh, tuan!”
Hati Hui Kiam merasa kagum dan terheran-heran terhadap tindakan orang itu yang sudah memancing pergi Iblis Gajah, tetapi toh masih bisa balik kembali menolong dirinya. Kecerdikannya dan kepandaian orang itu, benar-benar sangat mengagumkan. Maka ia berkata pula:
“Tuan....”
Tetapi baru berkata demikian, Orang Menebus Dosa agaknya sudah mengerti apa yang hendak dikatakan, maka segera memotongnya:
“Aku akan mengantar kau ke Makam Pedang.”
Betapa terkejut Hui-Kiam pada saat itu. Sesungguhnya sudah dibayangkan, Orang Menebus Dosa ternyata sudah mengetahui
tujuannya dalam perjalanan itu, ini sesungguhnya sangat aneh. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, ia lalu berkata:
“Aku merasa berterima kasih atas pertolongan tuan ini, di kemudian hari aku pasti akan membalas budimu ini, namun demikian, aku juga ingin mengetahui maksud tuan.”
Dengan tenang Orang Menebus Dosa balas menanya:
“Maksud? Apakah yang kau artikan?”
“Andaikata tuan hendak memajukan syarat kepadaku atau......”
“Anak, kau keliru, aku tidak ada maksud juga tidak akan memajukan syarat apa-apa terhadap kau. Bukankah sudah kukatakan bahwa perbuatan ini hanya sekedar untuk menebus dosaku atau setidak-tidaknya meringankan dosa.”
“Di antara tuan dengan aku, boleh dikata sedikitpun tidak ada hubungan apa-apa, dosa apa yang tuan hendak tebus?”
“Sekarang bukan waktunya untuk membicarakan soal ini. Aku telah menggunakan akal memancing si Iblis Gajah berlalu. Iblis itu setelah mengetahui dirinya ditipu, pasti akan balik kembali. Dan kalau kita berjumpa lagi dengannya, bagaimana kesudahannya, susah untuk diduga, maka kita harus selekas mungkin tiba ke Makam Pedang!”
“Tetapi tuan pernah berkata kepada Iblis Gajah, bahwa tuan membawa kepala Iblis Singa.”
“Itu hanya omong kosong belaka. Maksudnya, hendak memancing si Iblis Gajah itu supaya mengejar aku!”
“Bagaimana tuan tahu kalau Iblis Singa itu sudah mati?”
“Waktu pertama kali kau nyatakan pada Tong-hong Hui Bun, dan kedua kali kau menerangkan kepada setan cerdik Sukma Tidak Buyar itu, apa kau tahu benar, sudah tidak ada orang lain yang turut mendengar?”
“Ah! Kalau begitu tuan ternyata senantiasa memperhatikan urusanku….”
“Itu memang.”
“Kawanku Sukma Tidak Buyar kini telah tertangkap, entah bagaimana nasibnya?”
“Kau jangan khawatirkan dirinya, ia tidak akan mati!”
“Mengapa?”
“Setan cilik itu banyak akalnya. Orang yang sangat cerdik sekali, untuk menolong dirinya sendiri tidak menjadi soal.”
“Masih ada satu hal aku minta keterangan.”
“Katakanlah!”
“Iblis Singa itu dapat memasuki Makam Pedang, sudah tentu kenal baik keadaan barisan aneh yang melindungi makam itu, tetapi iblis lainnya mengapa tidak masuk ke dalam Makam Pedang itu lagi?”
“Masuknya Iblis Singa ke dalam barisan aneh itu, hanya menggunakan akal. Ia sendiri sebetulnya tidak mengerti keadaannya barisan aneh itu. Ia menerjang masuk ke dalam barisan itu, kemudian pura-pura menyerah di tawan oleh Pelindung Pedang. Kemudian dengan satu tindakan yang dilakukan di luar dugaan Pelindung Pedang, ia telah berhasil membuat Pelindung Pedang itu tidak berdaya. Begitulah keadaannya!”
“Tuan agaknya sudah mengetahui segala-galanya.”
“Aku hanya tanpa disengaja mendengar Iblis Singa itu pernah mengatakan demikian, maka sesungguhnya tidak mengherankan!”
---ooo0dw0ooo---
JILID 19
“PERSEKUTUAN Bulan Emas sering mengutus orang-orangnya menjaga di luar Makam Pedang itu apakah maksudnya?”
“Pedang sakti?”
“Pedang sakti, tidak bisa keluar dari Makam Pedang, mereka menjaga di luar bukankah berarti….”
”Maksudnya semula ialah mengharapkan ada orang yang bisa menerjang masuk ke dalam makam itu. Setelah orang itu keluar, segera dirampasnya dengan menggunakan kekerasan. Kemudian tempat itu olehnya dijadikan daerah terlarang, tidak mengijinkan orang lain mendekati, supaya mereka mendapat kesempatan perlahan-lahan mempelajari keadaan barisan yang aneh itu.”
“Suatu perbuatan rendah yang sangat memuakkan!”
“Sudah tiba, nampaknya aku harus melakukan pembunuhan lagi!”
Baru saja habis berkata tiba-tiba terdengar suara bentakan orang:
“Siapa? Diam di situ!”
Orang Menebus Dosa itu tidak menghiraukan, sebaliknya malah maju menyerang dengan cepat.
Sebentar kemudian lalu terdengar suara bentakan suara menyambarnya senjata pedang dan suara jeritan ngeri, muka Hui Kiam kecipratan darah yang ditimbulkan bau amis Orang Menebus Dosa itu maju terus, sedikitpun tanpa terhalang gerakannya, tiga kali ia mengalami rintangan, orang yang terbunuh mati olehnya kira-kira sepuluh jiwa lebih dan jalannya pertempuran dapat diduga bahwa orang-orang yang coba merintangi perjalanan Orang Menebus Dosa tidak satupun yang sanggup bertahan dalam tiga jurus.
Dalam waktu sekejap mata saja dua orang itu sudah berada di luar barisan gaib. Orang Menebus Dosa meletakkan Hui Kiam dan berkata:
“Kau masuklah sendiri ke dalam barisan.”
Hui Kiam berkata sambil memberi hormat:
“Budi kecintaan tuan ini, di kemudian hari aku akan membalasnya.”
“Hui-Kiam kau, kau tidak usah mengatakan soal membalas budi, aku hanya mempunyai satu pengharapan apabila kedua matamu nanti bisa sembuh kembali, dan kau muncul lagi di dunia Kang-ouw, jangan kau mengadakan hubungan lagi dengan Tong hong Hui-Bun. “
Tetapi pada saat itu, dari jauh terdengar suara Si Iblis Gajah yang menggeram dengan hebatnya.
Orang Menebus Dosa lalu mendorong tubuh Hui-Kiam seraya berkata:
“Lekas masuk ke dalam barisan!”
Dengan badan sempoyongan Hui-Kiam masuk ke dalam barisan. Badannya segera disambut oleh sepasang tangan halus. Sudah tentu ia tahu siapa gerangan yang menyambutnya, maka lalu berkata dengan hati terharu:
“Apakah adik Tin? Mengapa kau dapat mengenali diriku?”
“Engko Kiam, meskipun kau sudah mengganti pakaian dan rupa, tetapi aku masih dapat mengenali suaramu. Siapakah yang mengantar kau kemari itu?”
“Seorang aneh yang sangat misterius, yang menamakan dirinya sendiri Orang Menebus Dosa. Aku tidak tahu asal-usulnya.”
“Oh! Engko Kiam, mari kita masuk!”
Setelah Hui Kiam berada di dalam kamar batu Makam Pedang itu, lalu berkata:
“Adik Tin, sungguh tidak kusangka, belum sampai setengah hari kita berpisah, sekarang sudah berkumpul lagi.”
“Engko Kiam, dapatkah kita berkumpul selama-lamanya?”
“Dapat!”
“Engko Kiam, dengan cara bagaimana kau kembali kemari?”
“Itu adalah akal cerdiknya adik angkatku Ie It Hoan. Ia menduga pasti kereta yang kutumpangi akan melalui suatu jembatan panjang, terlebih dahulu ia telah memotong kayu tengah-tengah jembatan dan ia sendiri bersembunyi di dalam air untuk menantikan kesempatan baik. Setelah kereta yang kutumpangi itu kecebur ke dalam sungai, ia lalu membawa kabur aku....”
“Dan perempuan itu?......”
“Sesaat sebelum kereta itu kecebur ke dalam sungai, ia sudah merobos keluar dari dalam kereta, sedikitpun tidak terluka!”
“Dan di mana adik angkatmu itu sekarang?”
Hui Kiam lalu menceritakan semua apa yang telah terjadi. Cui Wan Tin sambil menggenggam erat tangan Hui Kiam, berkata dengan suara terharu:
“Engko Kiam, sungguh berbahaya, jikalau bukan Orang Menebus Dosa itu yang memberi pertolongan.... aku benar-benar tidak berani membayangkan bagaimana akibatnya.”
“Semua sudah lalu, hanya hutangku terlalu banyak di kemudian hari entah aku dapat membayar atau tidak....”
“Dapat!”
“Dapat? Sedangkan kedua mataku kini sudah buta ....”
“Engko-Kiam, tahukah kau apa maksudku minta kau kembali?”
“Apakah kau benar-benar sudah mendapatkan obatnya?”
“Apakah kau kira aku menipumu?”
“Tidak… tidak…. hanya, hal ini sesungguhnya di luar dugaanku.”
“Aku mengharap supaya obat ini benar-benar sangat manjur, mudah-mudahan kau dapat melihat lagi.”
Hui-Kiam dapat mendengar dan dapat merasakan bahwa kata-katanya keluar dengan setulus hatinya nampaknya bukanlah bohong, seketika itu ia merasa sangat terharu sekali.
“Adik Tin, di mana kau dapatkan obat ini?”
“Setelah kau pergi aku membersihkan tempat terjadinya pertempuran tadi. Dengan tidak sengaja aku telah menemukan sebotol kecil di samping tongkat Iblis Singa yang sudah terpotong menjadi dua, ketika kupungut dan kuperiksa, di atas botol itu terdapat tempelan kertas yang ada hurufnya bahasa asing. Yang tertulis di situ ternyata cara-caranya mengenai penggunaannya obat itu untuk menyembuhkan racun dari dedaunan itu. Aku lalu menduga bahwa botol itu berisi obat pemunah racun, tetapi aku tidak dapat meninggalkan makam ini untuk pergi mencari kau. Selagi dalam keadaan cemas, kebetulan adik angkatmu mengunjukkan diri di luar barisan. Ia menyebutkan namanya sendiri, maka aku segera minta tolong kepadanya, biar bagaimana harus mencarimu sampai dapat dan segera dibawa ke rumah!”
“Ah! Ini sesungguhnya keajaiban yang terjadi di luar dugaan....”
“Engko Kiam, aku berdoa supaya kau lekas dapat melihat lagi. Mari sekarang kita coba obat itu, kau pikir bagaimana?
“Adik Tin. apa kau dapat membaca huruf negara Thian Tik?”
“Ya, di waktu masih kanak-kanak aku juga pernah diajar oleh ayah, aku hanya mengerti sedikit saja!”
“Bagaimana bisa begitu kebetulan, ini benar-benar sudah takdir, apabila kau tidak mengerti huruf itu, sekalipun kau dapatkan obatnya, bukankah berarti seperti tidak pernah mendapatkan...?”
“Engko Kiam, bukalah kedokmu kau rebah!”
“Baiklah!”
Hui Kiam lalu membuka kedoknya, ia rebah terlentang di atas tempat tidur, jantungnya berdebar keras, dalam hatinya memikirkan tidak lama kemudian, setelah matanya bisa melihat kembali, dengan kepandaiannya yang telah ia miliki ia segera dapat pergi menuntut balas dendam dan melakukan beberapa pekerjaan besar yang berguna bagi dunia rimba persilatan.
Karena matanya tidak melihat, ia hanya mendengar suara bersentuhannya gelas, kiranya Cin Wan Tin saat itu sedang mencampur obatnya.
“Engko Kiam, bukalah matamu, aku akan memberikan obatnya!''
Beberapa tetes air yang dirasakan amat dingin menetes masuk ke dalam kelopak mata.
“Sekarang pejamkan matamu!”
Ketika air obat itu masuk ke dalam matanya, perasaan dingin seolah-olah menembus ke dalam hulu hatinya, menimbulkan rasa nyaman.
“Masih ada dua butir obat pel lagi, kau harus makan.”
Kelakuan Cui Wan Tin itu bagaikan seorang istri bijaksana yang merawat suaminya. Lebih dulu ia membimbing bangun Hui Kiam, lalu memasukkan obat pel ke dalam mulutnya, setelah itu diberikannya segelas air supaya diminumnya kemudian diletakkan lagi di atas pembaringan seraya berkata dengan suara lemah lembut:
“Engko Kiam, kau masih terluka, apakah kau bisa menggunakan tenagamu untuk mengatur pernapasanmu?”
“Bisa, adik Tin, aku... entah bagaimana harus menyatakan terima kasihku kepada.....”
“Engko Kiam, ucapanmu ini kau disimpan saja dalam hatimu. Apakah kau kira maksudku ingin mendapatkan terima kasihmu?”
“Ah! Adik Tin aku....”
Rasa sakit tiba-tiba timbul tidak terduga-duga, sehingga Hui Kiam seketika tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
Cui Wan Tin terkejut dan ketakutan ketika menyaksikan keadaan demikian. Katanya dengan hati bingung:
“Engko Kiam, kau merasa bagaimana?”
“Sakit.... aduh!” jawab Hui Kiam dengan napas terengah-engah. Setelah itu ia lalu pingsan!
Cui Wan Tin semakin bingung, parasnya pucat pasi. Ia menggumam sendiri dengan suara gemetar:
“Apakah obat itu palsu?”
Ia meraba nadi Hui Kiam, ternyata denyutnya lebih cepat daripada biasa.
Dada Hui-Kiam tampak naik turun, mulutnya terbuka, napasnya memburu, keringat di sekujur badannya mengunjukkan warna merah, bibirnya perlahan-lahan menjadi biru, sekujur badannya panas luar biasa.
“Engko-Kiam, engko Kiam, ah!....”
Tidak berhentinya ia memanggil-manggil, air mata mengalir deras badannya gemetaran.
“Panas... panas… sakit….”
Demikian suara lemah yang keluar dari mulut Hui-Kiam. Suara itu hampir tidak kedengaran, tetapi bagi Cui-Wan Tin sudah cukup nyata. Dalam keadaan tidak berdaya terpaksa membuka baju Hui-Kiam, dengan sepotong kain ia mengeringkan air keringat yang keluar tidak berhentinya itu.
Kira-kira setengah jam, panas di badannya mulai turun, orangnya mulai nampak tenang.
Cui Wan Tin saat itu baru merasa bahwa dirinya sendiri juga sudah basah kuyup dengan air keringat dingin sendiri.
Ia membersihkan keringat di badan Hui Kiam tetapi Hui Kiam masih belum ada tanda-tanda sadar. Dia memeriksa napas dan nadinya, seketikca itu seperti putus asa air matanya mengalir deras. Ia berkata dengan suara terisak-isak:
“Engko Kiam, akulah yang mencelakakan dirimu, kalau terjadi apa-apa denganmu, aku juga tidak akan hidup sendiri.”
Nadi Hui Kiam lemah sekali, begitupun nafasnya.
Cui Wan Tin menunggu di sampingnya seolah-olah seorang yang sudah tidak ada sukmanya. Ia duduk tanpa bersuara dan tanpa bergerak, hatinya sudah beku karena kedukaan yang melewati batas. Sang waktu agaknya juga turut berhenti. Ia sudah tidak
merasa lapar atau dahaga juga tidak merasa lelah, ia hanya mengawasi dengan mata saja kepada kekasihnya yang dianggapnya sudah mati. Kadang-kadang mulutnya mengeluarkan suara bagaikan seorang yang mengigau.
Sehari telah berlalu!
Dua hari telah berlalu lagi.
Hari ketiga tepat jam satu tengah hari juga merupakan hari ketiga puluh enam jam setelah Hui Kiam makan obat, ia telah siuman kembali. Ia membuka lebar matanya, dengan pandangan mata agak terheran-heran mengawasi Cui Wan Tin yang duduk bagaikan patung di sampingnya, lama sekali tiba-tiba ia bangun dan duduk, dengan kegirangan yang memuncak berseru:
“Aku sudah bisa melihat! Aku… sudah bisa melihat! Aku sekarang sudah sembuh.”
Mata Cui Wan Tin yang sayu, tiba-tiba memancarkan sinar aneh. Ia mengeluarkan suara bagaikan seorang yang terkejut, lalu jatuh pingsan.
Hui Kiam yang baru sadar, ia masih belum tahu apa yang telah terjadi. Ketika melihat keadaan Cui Wan Tin ia terkejut dan terheran-heran. Ketika ia memeriksa keadaan Ciu Wan Tin, paras gadis itu nampak pucat pasi seperti sudah tidak ada darahnya. Ini membuatnya semakin terkejut, sehingga duduk bingung tanpa daya.
Untung karena terlalu lelah, disebabkan tiga hari tiga malam duduk saja bagaikan patung dengan tanpa makan dan minum, kini karena kegirangan menyaksikan Hui Kiam sadar lagi sehingga menjadi pingsan.
Tidak berapa lama, ia sudah sadar dengan sendirinya. Ia lalu bangun dan duduk, sesaat mengawasi Hui Kiam, kemudian baru memanggilnya dengan suara perlahan:
“Engko Kiam.”
Air mata mengucur deras. Entah itu terlalu kegirangan atau entah karena apa.
“Adik Tin, aku, sudah dapat melihat....”
“Engko Kiam, tiga hari tiga malam, aku kira kau....”
“Apa? Aku sudah tidur tiga hari tiga malam lamanya?”
“Ya.”
“Adik Tin, kau nampaknya kurus.”
“Engko-Kiam, tahukah kau bagaimana girangku pada saat ini?”
“Adik Tin.”
Hui-Kiam dengan tanpa dapat mengendalikan perasaannya sendiri ia lalu memeluk Cui Wan Tin kemudian diciumnya berulang-ulang. Detik-detik yang sangat menggirangkan itu Cui Wan-Tin sudah merasa puas, ia telah mendapatkan apa yang diidam-idamkan. Ciuman Hui Kiam itu merupakan satu bukti tanda kasih sayangnya. Jerih payahnya dan keletihannya serta kesengsaraannya selama itu, sudah mendapat bayaran dalam ciuman itu.
Ciuman itu memang apa yang diharapkannya tetapi juga dirasakan sangat asing. Untuk pertama kali mencicipi rasa buah terlarang yang aneh itu membuat hatinya berdebar keras. Ia merasa gugup, tetapi juga merasa seperti sedang mabuk.
Suatu perasaan aneh, timbul dalam hati Hui Kiam. Dengan perlahan ia mendorong Cui Wan Tin seraya berkata:
“Adik Tin, aku perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatanku!”
Paras Cui Wan Tin nampak merah, nampaknya merasa malu.
“Engko Kiam, aku benar-benar merasa lega. Luka di dalam tubuhmu belum sembuh, tidak seharusnya aku mengganggu kau, beristirahatlah!”
Sehabis berkata, ia melirik dan menunjukkan senyuman yang penuh rasa kasih sayang kepada Hui Kiam, lalu meninggalkannya.
Hui Kiam menyingkirkan segala pikiran, ia duduk dengan tenang untuk bersemedi.
Dua jam kemudian, kekuatan tenaganya sudah pulih kembali.
Cui Wan Tin sudah lama menantikan di sampingnya. Di atas meja sudah tersedia barang hidangan. Keduanya lalu duduk berhadapan untuk makan bersama-sama dengan hati gembira.
Selesai makan, Cui Wan Tin membereskan alat makannya, kemudian duduk berdampingan lagi.
”Engko Kiam, aku kira obat itu salah memakainya sehingga membuatku ketakutan setengah mati.”
“Adik Tin, terlalu banyak sekali apa yang telah kau berikan padaku, sedangkan aku….”
“Tidak! Aku tak suka mendengar kata-kata demikian!“
Hui Kiam tersenyum girang. Sambil menunjuk sebuah kaca tembaga yang tergantung di atas dinding, ia berkata:
“Apakah ini alat yang kau pakai untuk melihat keadaan di luar?”
“Ya, dahulu waktu Thian Gee Siang-jin membangun Makam Pedang ini, benar-benar sudah menggunakan banyak tenaga dan pikiran.”
“Ah! Ada orang datang.”
Hui Kiam memandang ke arah kaca, ia melihat seorang pemuda yang berdandan bagaikan seorang pengemis jalan mondar-mandir di luar barisan. Bayangan yang sudah tidak asing lagi itu, sepintas lalu sudah dikenalnya siapa orang itu. Maka ia segera bangkit dan berkata:
“Adik Tin, itulah adik angkatku Ie It Huan.”
“Oh dia?”
“Ya, ia pandai ilmu mengganti rupa, berkali-kali ia menunjukkan diri dengan muka berlainan.”'
“Apa kau hendak menjumpainya?”
“Kedatangannya pasti ada urusan. Selain daripada itu untuk menghilangkan rasa khawatirnya aku juga perlu menjumpainya.”
“Maaf, aku tidak dapat mengundang ia masuk ke sini!”
“Aku akan keluar menemuinya!”
Sehabis berkata, ia lalu berjalan keluar yang diikuti oleh Cui Wan Tin ....
Begitu keluar dari barisan yang gaib itu, Ie It Hoan segera menyambutnya dengan girang. Sambil melompat kegirangan Sukma Tidak Buyar itu berkata:
“Toako, terima kasih kepada Allah, kau ternyata sudah bisa melihat lagi.”
“Adik Hoan, aku seperti menjelma jadi orang baru lagi.” Kemudian ia berpaling kepada Cui Wan Tin, lalu berkata pula: “Kuperkenalkan. Ini adalah nona Cui Wan Tin. Adik Tin, ini adalah adik angkatku Ie It Hoan!”
Ie It Hoan mengangguk untuk memberi hormat, kemudian berkata:
“Nona Cui, ini adalah kedua kalinya kita bertemu muka, tetapi baru pertama mengenal namamu.”
“Ie Siao-hiap, maafkan aku tidak bisa memperlakukan kau sebagaimana mestinya seorang tuan rumah!” jawabnya Cui Wan Tin sambil tersenyum.
“Ah, itu tokh tidak perlu!”
Hui Kiam lalu berkata:
“Kedatangan adik Hoan ini pastilah ada urusan penting!”
“Toako, maksudku yang pertama adalah ingin tahu bagaimana keadaanmu setelah kau pakai obat pemunah racun itu, dan sekararg ternyata kau sudah dapat melihat seperti biasa lagi, maka ada suatu hal yang tidak boleh tidak aku harus beritahukan padamu.”
“Urusan apa?”
“Apakah kau masih ingat tentang Orang Tua Tiada Turunan itu?”
“Sudah tentu ingat, mengapa?”
“Oleh karena ia hendak menyelidiki musuh toako yang menggunakan tusuk konde emas sebagai senjata gelap, dan di mana adanya To Liong Kiam Khek, ia lalu pergi mengunjungi perkumpulan kaum pengemis. Pagi tadi aku telah menerima berita kilat darinya yang disampaikan oleh seorang anak buah perkumpulan kaum pengemis itu. Katanya Persekutuan Bulan Emas sudah mengeluarkan ultimatum, dalam waktu sepuluh hari perkumpulan kaum pengemis itu harus menggabungkan diri dengan Bulan Emas, jikalau tidak perkumpulan kaum pengemis itu akan dibasmi habis.”
“Ada hal demikian?”
“Anak murid dan anak buah perkumpulan kaum pengemis tersebar di seluruh dunia, sejak mendirikan perkumpulan sendiri belum pernah bertekuk lutut kepada partay siapa juga......
“Dan bagaimana perkumpulan itu hendak mengambi1 langkah selanjutnya?”
“Mereka lebih suka hancur lebur daripada menyerah!”
“Melawan sehingga titik darah yang terakhir?”
““Benar, akan tetapi jika ditilik sama dengan kekuatan Persekutuan Bulan Emas, perkumpulan kaum pengemis itu selanjutnya barangkali akan musnah.”
''Bagaimana pikiran adik Hoan?”
“Meskipun ini adalah urusan perkumpulan kaum pengemis itu tetapi sebaliknya ada sangkut-pautnya dengan nasib seluruh rimba persilatan sehingga kita tidak boleh berpeluk tangan. Menurut pendapatku yang bodoh, kita harus segera pergi ke markas pusat perkumpulan kaum pengemis untuk memberi bantuan tenaga.”
“Bagaimana dengan urusan di gunung Bu-ling san?”
“Terpaksa setelah urusan kaum pengemis ini selesai kita baru bertindak lagi.”
“Apakah masih terburu waktunya?”
“Kiranya tidak menjadi soal.”
“Apakah kita sekarang harus berangkat?”
“Sudah tentu. Lebih lekas lebih baik.”
Hui Kiam lalu berpaling kepada Cui Wan Tin dan berkata dengan suara lemah lembut:
“Adik Tin, aku terpaksa hendak pamitan lagi denganmu....”
Cui Wan Tin dengan muka sedih menyahut:
“Engko Kiam, ini adalah urusan penting, aku tidak dapat merintanginya. Semoga kau bisa menjaga diri sendiri. Selain daripada itu juga harap jangan lupa... bahwa ada orang yang menantikanmu.”
“Adik Tin, aku ingat.”
Ie It Hoan menyela sambil tertawa terkekeh-kekeh:
“Nona Cui, setelah urusan selesai, aku akan mendesak toako supaya lekas kembali di sampingmu.”
Dengan paras kemerah-merahan Cui Wan Tin berkata:
“Ijinkanlah aku membahasakan kau adik Hoan! Adik Hoan, terima kasih kuucapkan lebih dulu.”
”Tidak usah! Tidak usah! Enci, dengan pernyataan terima kasihmu ini sekarang diriku telah terikat.”
Sehabis berkata ia lalu berpaling dan berkata kepada Hui-Kiam:
“Toako, semua ini kau sudah dengar sendiri. Kemudian hari kau jangan mengatakan aku banyak mulut.”
Hui-Kiam tidak menjawab, ia hanya tertawa saja.
“Toako, kedokmu itu sebaiknya kau pakai lagi.”
Hui-Kiam berpikir sejenak lalu mengeluarkan kedoknya serta dipakainya.
Ie It Hoan bantu membereskan kedok kulit manusia yang dipakai oleh Hui-Kiam sehingga rapi, baru berkata:
“Toako, suaramu juga harus dirobah. Mari kuajari caranya merobah suara.”
Sehabis berkata, ia lalu memberi petunjuk bagaimana cara-caranya merobah suara. Hui Kiam segera mengerti. Ia tersenyum untuk memuji kepandaian sang adik itu.
Cui Wan Tin tiba-tiba teringat sesuatu, lalu berkata:
“Engko Kiam, mengenai urusan pedang sakti, apakah kau dapat memahami kesulitanku?”
Disebutnya tentang pedang sakti itu membuat Hui Kiam merasa sulit. Thian Gee Siangjin meninggalkan kitab ilmu silat Thian Gee Po-kip dan gambar peta tempat menyimpan pedang pusaka itu, supaya didapatkan oleh keturunan perguruannya, pedang sakti itu masih terhitung benda perguruannya bahkan toasupeknya sudah kehilangan nyawa oleh karenanya, tetapi dengan keadaan seperti ini, bagaimanapun dia juga tidak dapat memaksa Cui Wan Tin menyerahkan pedang sakti itu, namun pedang itu juga merupakan barang yang harus didapatkannya kembali. Sebab ilmu pedang Thian Gee Kiam Hoat tidak akan dapat mengeluarkan seluruh kedahsyatannya jika tidak dibantu dengan pedang sakti itu.
Cui-Wan Tin menganggap dirinya sebagai pelindung pedang, tetapi ia tidak mengetahui pemilik pedang itu siapa? Orang Berbaju Lila sudah mengaku sebagai pembunuh supeknya, tetapi ia bukan pemilik pedang sakti itu, selain daripada itu ia juga ingkar menggunakan jarum melekat tulang. Semua ini membuat ia tidak dapat menggunakan pikirannya memecahkan persoalannya.
“Adik Tin, apakah kau mengetahui bahwa aku pasti harus mendapatkan pedang sakti itu?”
“Aku tahu, tetapi kau juga mengerti tugasku, pedang sakti ini tidak boleh diserahkan kepada lain orang selain daripada orang yang berhak akan memilikinya!”
“Adik Tin toh tidak tahu siapa yang harus memilikinya?”
“Ya.”
“Kalau begitu bagaimana kau nanti akan membedakannya?”
“Berdasar barang-barang tanda kepercayaan!”
“Barang tanda kepercayaan? Barang apakah?”
“Engko Kiam, tentang ini maaf aku tidak dapat memberitahukan kepadamu. Aku sudah bersumpah lebih baik kukorbankan nyawaku juga tidak akan kubocorkan rahasia ini.”
“Adik Tin, apabila pada suatu hari pemilik pedang sakti itu mengambil pedang itu, bolehkah kau beritahukan siapa orangnya?”
“Tentang ini boleh saja. Apabila sudah tiba waktunya, aku pasti akan beritahukan kepadamu.”
“Baik, sampai di sini saja, adik Tin, harap jaga baik dirimu sendiri, aku hendak pergi.”
Tiba-tiba Ie It Hoan menunjuk ke arah suatu tempat yang tidak jauh dari tepi danau dan berkata:
“Siapakah gerangan nenek tua itu?”
Hui Kiam berpaling, ia segera dapat melihat seorang perempuan tua berpakaian hitam sedang mengawasi keadaan di sekitar tepi danau. Perempuan tua itu, Hui Kiam merasa seperti sudah pernah melihat. Setelah ia coba memikirnya, lalu berkata:
“Oh dia!”
“Siapa?”
“Anak pungut Jien Ong, salah seorang daripada Tiga Raja dalam Rimba Persilatan!”
“Toako kenal dengannya?”
“Kenal sekali saja. Karena Wanita Tanpa Sukma adalah anak pungutnya, kedatangan perempuan tua itu mungkin hendak memindahkan tulang-tulang Wanita Tanpa Sukma!”
Sehabis berkata ia mengawasi Cui Wan Tin, kemudian berkata kepadanya:
“Adik Tin, apakah obat pemunah racun masih bersisa?”
“Masih ada separuh!”
“Bagus sekali, harap kau segera ambil.”
''Apakah ada gunanya?”
“Ya, dahulu mata Tee-hong telah dibikin buta oleh Thian Hong dengan racun serupa itu hingga obat ini sangat berguna baginya. Apabila mata Tee-hong bisa melihat Iagi, pasti ada faedahnya untuk membantu meredakan keadaan rimba persilatan dewasa ini.'“
“Apa? Apakah Thian Hong juga bisa menggunakan racun itu?”
“Keterangan itu diucapkan oleh Tee-hong sendiri, karena aku melihat perempuan tua itu, lalu maka baru teringat kepada diri Tee-hong.”
“Baiklah, sekarang aku pergi mengambilnya!”
Hui Kiam membuka kedoknya, ia lari menghampiri perempuan tua itu lalu berkata sambil memberi hormat:
“Apakah cianpwe masih ingat diri boanpwe?”
Sinar mata tajam perempuan itu menatap Hui Kiam, lalu berkata:
“Oh! Kau! Kedatanganku ini adalah hendak memindah tulang-tulang anak pungutku sekalian menengok sebentar Makam Pedang yang namanya tersiar luas di kalangan rimba persilatan.”
“Boanpwee ingin bertanya, apakah Jin Ong locianpwee baik-baik saja?”
“Kita semua baik-baik saja. Bagaimana hasilnya dengan penyelidikanmu tentang jarum melekat tulang itu?”
“Masih belum selesai penyelidikanku. Di luar dugaan boanpwee menjumpai sesuatu kejadian yang agak aneh.”
“Kejadian apakah itu?”
“Delapan Iblis dari negara Thian-Tik yang dahulu terluka oleh jarum melekat tulang Jin Ong locianpwee, ternyata masih hidup. Empat di antaranya sekarang sudah diangkat sebagai anggota pelindung hukum tertinggi Persekutuan Bulan Emas.”
“Oh, ada kejadian serupa ini. Empat iblis itu telah muncul lagi di daerah Tiong Goan, mungkin bercita-cita hendak menuntut balas!”
“Mungkin. Tetapi Iblis Singa sudah binasa di dalam Makam Pedang, dewasa ini hanya tinggal tiga iblis.”
“Siapa yang membunuh mati Iblis Singa?”
“Itu adalah boanpwe sendiri.”
“Kau..... dapat membinasakan Iblis Singa?”
“Hanya kebetulan saja!”
Perempuan baju hitam itu menatap wajah Hui Kiam sejenak, lalu berkata:
“Kau benar-benar mendapat kurnia Allah. Dalam waktu yang sangat singkat, kau sudah mendapat kemajuan sedemikian pesat. Nampaknya kau pasti menemukan kejadian gaib?”
“Kata cianpwee memang benar,” jawabnya Hui Kiam terus terang, “boanpwee telah mendapat pemberian hadiah dari Tee-hong locianpwee berupa tambahan kekuatan latihan tenaga tiga puluh tahun!”
“Apakah kau juga berjumpa dengan Tee hong?”
“Ya!”
“Di mana?”
“Di dalam goa di bawah puncak gunung batu di gunung Keng-san.”
“Aih! Sungguh tak disangka ia si orang tua masih ada di dalam dunia…“
“Apakah cianpwe kenal?”
“Belum pernah bertemu muka, hanya sering terdengar ayah angkatku yang menyebut namanya.”
“Sayang beliau sekarang sudah buta matanya.”
“Mata Tee-hong sudah buta?”
“Ya, beliau sudah buta karena racun dedaunan yang amat berbisa ....”
“Racun dedaunan? Hem, aku memang pernah mendengarnya. Siapakah pelakunya?”
“Thian Hong!”
Perempuan berbaju hitam itu terperanjat, sehingga mundur satu langkah. Wajahnya berobah dan berkata dengan suara gemetar:
“Lagi-lagi dia!”
Ucapan ‘lagi-lagi dia’ itu, tentunya mengandung rahasia. Tergeraklah hati Hui Kiam, lalu menanya:
“Apakah Thian Hong masih melakukan perbuatan lain yang tidak senonoh?”
“Tahukah kau apa sebabnya sampai ayah angkatku berdiam di gunung Kim-kiong-san menjadi padri?”
“Apakah ini juga ada hubungannya dengan Thian Hong?”
“Dugaanmu benar, itu adalah urusan beberapa puluh tahun berselang. Pada suatu hari, ayah angkatku sedang melatih ilmunya. Thian Hong tiba tiba datang berkunjung, ia berkata apa
yang tersiar luas di dalam dunia rimba persilatan nama Tiga Raja berendeng sama tingginya, itu seharusnya dibagi tingkatannya berdasarkan tinggi tendahnya kepandaian tiga orang itu. Ayah angkatku hanya ganda dengan tertawa, ia tak menghiraukan soal itu. Tetapi Thian Hong bersifat keras hendak mengadu kekuatan
dengan ayah angkatku. Ia bahkan bersumpah, apabila kepandaiannya tidak dapat menandingi kepandaian ayah angkatku ia akan menghapus gelar Thian Hong itu.”
“Itu pasti mengandung maksud jahat.”
“Tetapi ayah angkatku terus menolak, namun Thian Hong minta diadakan pertandingan. Menurut keterangannya apabila kepandaiannya tidak setinggi ayah angkatku sedangkan namanya berada di tingkat yang teratas itu sangat tidak adil juga merupakan suatu penghinaan.”
“Dan akhirnya?”
“Ayah angkatku sudah tidak berdaya karena didesak terus menerus, terpaksa ia menerima baik tetapi dengan perjanjian hanya saling towel saja. Begitulah kedua pihak lalu bertanding. Setelah pertandingan berlangsung seratus jurus lebih, ayah angkatku pura-pura berlaku lengah, maksudnya hendak mengalah untuk mengakhiri pertandingan itu, tetapi Thian Hong ternyata dapat menduga maksud ayah angkatku. Ia mendesak terus, bahkan setiap serangannya ditujukan ke bagian tempat yang berbahaya. Dalam kenyataannya pertandingan itu bukankah pertandingan persahabatan melainkan pertempuran mati-matian. Ayah angkatku menjadi gusar ia telah bertempur dengan pikiran bebas, pertempuran itu berlangsung sampai seribu jurus lebih akhirnya ayah angkatku dikalahkan olehnya, maka saat itu lalu bersumpah selanjutnya tidak akan muncul lagi di dunia Kang-ouw.....”
“Kalau begitu di antara Tiga Raja itu barangkali Tee-hong yang terhitung lebih tinggi jikalau tidak, tidak nanti Thian Hong sampai menggunakan racun yang sangat berbisa itu.....”
“Kenyataannya memang benar begitu.”
“Maksud Thian-Hong hendak menjagoi dunia, maka ia perlu menyingkirkan dua orang lainnya yang dianggapnya bisa menjadi saingannya.”
“Begitu memang yang dikandung dalam hatinya.”
“Tetapi di mana ia sekarang? Jikalau hanya ingin mendapatkan nama kosong saja dia seharusnya sudah terkenal sebagai seorang kuat nomor satu, namun kenyataannya sudah beberapa puluh tahun telah lewat, dia ternyata masih sama keadaannya dengan Tee-hong dan Jin Ong, kedua locianpwee, akhirnya menghilang dari dunia Kang-ouw.”
“Teka-teki ini sulit dimengerti. Mungkin setelah dia melakukan perbuatan itu akhirnya dia telah menyesal sehingga mengasingkan diri.”
“Sekarang ini hanya dengan pengertian demikian saja yang agaknya mendekati kenyataannya.”
“Siapakah saudara itu?”
“Boanpwee Ie It Hoan,” sahut Sukma Tidak Buyar yang ditanya.
“Oh! Aku sekarang hendak pergi dulu untuk mencari jejak Thian-Hong, selain daripada itu juga hendak menyelidiki kemana dan jatuh ke tangan siapa jarum melekat tulang yang menghebohkan itu....”
“Boanpwee juga sedang mencari keterangan untuk mengungkap kedua rahasia ini.”
“Baiklah, aku hendak berangkat lebih dulu. Semoga tidak lama kemudian kita bisa berjumpa lagi.”
Sehabis berkata demikian ia segera berlalu meninggalkan Hui-Kiam.
Cui Wan-Tin sudah mengambil obat pemunah racun dedaunan itu. Ia memberikannya kepada Hui-Kiam.
Hui Kiam menyambutinya dan disimpan ke dalam badannya, lalu meminta diri.
Hui Kiam merasa bahwa Cui Wan Tin sebetulnya sudah banyak berkorban untuk dirinya, terutama kasih cintanya dalam dunia ini tidak ada duanya.
Perasaan kaum wanita memang yang paling halus dan lemah, terutama bagi gadis yang baru tenggelam dalam lautan asmara,
begitulah keadaan Cui Wan Tin, sebelum Hui Kiam dan Ie It Hoan meninggalkannya, ia sudah balik dulu ke dalam Makam Pedang.
Hui Kiam mengawasi berlalunya gadis itu. Dalam hatinya timbul perasaan yang tidak dapat dilukiskan dengan pena.
“Toako, kita boleh berangkat,” demikian Ie It Hoan berkata dengan suara perlahan.
“Emmmm.”
Dua pemuda itu lari keluar lembah. Sepanjang jalan Hui Kiam merasa heran.
“Heran, mengapa kita tidak melihat orang-orang Persekutuan Bulan Emas yang mencegat?” demikian ia bertanya.
“Barangkali penjagaannya dihapuskan.”
“Di mana letaknya pusat perkumpulan kaum pengemis?”
“Semula di kota Khay-hong, lima tahun berselang dipindah ke tempatnya yang sekarang, di gedung Ma kay-goan, di luar kota Lam-yang.”
“Apakah pusat satu perkumpulan boleh dipindah sesukanya?”
“Dalam hal ini bukan tidak ada sebabnya. Ma kay-goan di kota Lam-yang sebetulnya merupakan keluarga terkemuka, kemudian difitnah oleh musuhnya, sehingga seluruh rumah tangganya dihukum mati, kekayaannya disita oleh pemerintah, hanya seorang cucunya bernama Ma Bun Pak yang berhasil menyelamatkan diri, diambil sebagai murid oleh ketua perkumpulan pengemis yang dulu. Pada lima tahun berselang, ia berhasil membikin terang soal fitnahan itu, sehingga harta kekayaannya dikembalikan semuanya. Ma Bun Pak dan hanya bisa mengambil sebuah gedung dan berikut ladangnya, sisanya diberikan kepada keluarga dekat dari leluhurnya! Dan ia sendiri adalah ketua atau pangcu yang sekarang, maka perkumpulan itu dipindahkannya ke gedung itu.”
“Pengetahuanmu sesungguhnya sangat mengagumkan.”
“Toako terlalu memuji !”
“Dari sini ke kota Lam-yang masih memerlukan perjalanan hampir seribu pal, apakah dapat dicapai dalam waktu lima hari?”
“Jikalau kita memotong di jalan, mungkin bisa.”
“Apakah dalam perjalanan kita ini juga akan melalui gunung Keng San?”
“Ya!”
“Itu bagus, aku hendak mampir ke bawah puncak gunung batu dulu untuk memberi obat ini kepada Tee-hong!”
“Mari!”
Keduanya lari menuju ke gunung Keng-san. Jalan itu bagi Hui Kiam sudah tidak asing lagi, maka dengan tanpa rintangan sudah tiba di tempat yang dituju.
Sambil menuding ke suatu tempat, Hui Kiam berkata:
“Inilah tempatnya!”
“Nampaknya ini adalah suatu daerah yang tidak diinjak oleh jejak manusia ....”
“Benar, masih dapat dilalui adik Hoan, aku pikir kau tunggu di sini saja, mungkin Tee-hong nanti keberatan menerima tamu asing!”
“Boleh aku menurut perintahmu, tetapi harap toako lekas kembali.”
“Baik!”
Hui Kiam melesat ke dalam rimba, sebentar saja sudah tiba di tempat di mana dahulu ia berjumpa dengan Tee hong. Tiba-tiba sesosok bayangan orang datang menyambut ke arahnya.
Ketika ia dapat melihat siapa adanya bayangan itu, hawa amarahnya meluap seketika. Bentaknya dengan suara keras:
“Jangan bergerak!”
Bayangan orang itu bukan lain daripada musuh bebuyutannya, si Orang Berbaju Lila.
Orang Berbaju Lila itu belum lama berselang telah dipaksa terjun ke dalam jurang itu oleh Tong-hong Hui Bun. Secara kebetulan tertolong oleh Tee-hong. Tetapi daripada mengucapkan terima kasih, sebaliknya ia malah mencuri kitab pelajaran ilmu silat ciptaan Tee-hong dan serangan tangan yang tak ada tandingannya. Dan kini orang itu berada di tempat ini, sesungguhnya sangat mencurigakan.
Orang Berbaju Lila itu agaknya juga terkejut oleh kedatangan Hui Kiam. Sejenak nampak tercengang, kemudian berkata dengan nada suara dingin:
“Penggali Makam, ada keperluan apa kau datang kemari?”
Hui Kiam terkejut, karena ia sendiri sudah berganti rupa dan pakaian, mengapa Orang Berbaju Lila itu masih dapat mengenalinya?
Seketika itu ia mundur satu langkah seraya berkata:
“Apakah kau masih mengenali aku?”
“Kau sudah lupa merubah suaramu!”
“Dengan tujuan apa kau datang kemari?”
“Apa yang kau artikan dengan istilah ‘tujuan’?”
“Kau telah dipaksa terjun ke dalam jurang ini, jikalau bukan Tee-hong yang menolong, tubuhmu dan tulang-tulangmu pasti sudah hancur. Tidak disangka kau bukan saja tidak ingat budi, sebaliknya kau malah mencuri kitab pelajaran ilmu silatnya dan kabur….”
“Ternyata banyak juga yang kau ketahui!”
“Tuan, rekening antara kita berdua, sekarang kita bikin perhitungan di sini!”
“Terserah!”
“Kau masih belum menerangkan tujuanmu datang kemari!”
“Maksudku hendak mengembalikan kitabnya.”
“Kau hendak mengembalikan kitab ilmu silat yang kau curi itu?”
“Benar, tetapi….”
“Tetapi mengapa?”
“Tidak dapat lagi kukembalikan!”
“Sebabnya?”
“Tee-hong sudah tidak ada lagi di dalam dunia!”
Hui Kiam hampir melompat. Dengan mata beringas dan suara gemetar ia bertanya:
“Apa? Tee-hong locianpwee sudah disiksa?”
“Benar!”
“Bagaimana cara matinya?”
“Mati tertembus pedang di dadanya!”
“Siapa pembunuhnya?”
“Tidak tahu!”
“Ilmu pedangmu sudah tidak ada taranya.”
“Apa maksudmu?”
“Perbuatan kejam, pengecut dan serendah ini kecuali kau, orang lain tidak akan melakukan!”
Orang Berbaju Lila itu mundur satu langkah, katanya:
“Apakah kau anggap kematian Tee-hong aku yang membunuh?”
“Barangkali tidak salah.”
“Aku menyangkal.”
Kemarahan Hui Kiam sudah tidak terkendalikan lagi. Dari jauh ia membawa obat datang kemari maksudnya supaya dapat menolong Tee-hong dari penderitaannya, juga sebagai pembalasan budi yang sudah memberikan tambahan kekuatan latihan tenaga tigapuluh tahun, tetapi tidak disangka Tee-hong sudah binasa secara menyedihkan. Seorang jago kenamaan dari rimba persilatan telah
berakhir dengan demikian menyedihkan, benar-benar sangat disesalkan. Ia lalu berkata sambil menunjukan Orang Berbaju Lila:
“Orang Berbaju Lila, dengan ucapan menyangkal, apa kau kira sudah boleh cuci tangan?”
“Habis mau apa?”
“Sekalipun mati seratus kali kau juga belum cukup untuk menebus dosamu. Aku hendak menggunakan cara yang paling hebat untuk menyiksa kau!”
“Paling banter mati....”
“Aku tidak akan membiarkan kau mati dengan tenang. Kau akan mati lambat-lambat, agar supaya sebelum nyawamu putus masih ada kesempatan untuk merasakan buah kejahatan yang kau tanam sendiri.”
“Hui Kiam, aku tidak menyangkal bahwa permusuhan antara kita berdua tidak dapat didamaikan lagi, tetapi sebagai laki-laki kau harus berani menerima kenyataan.”
“Sebelum kau kubunuh, aku suka mendengarkan pesan terakhirmu.”
Orang Berbaju Lila itu berdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara tenang:
“Dahulu ketika aku membunuh tiga supekmu, pertempuran itu dilakukan secara adil dengan mengandalkan masing-masing kepandaiannya sendiri, sekali-kali tidak menggunakan akal busuk!”
“Kekalahan suhu dan si-supek karena kena serangan jarum melekat tulang secara menggelap, tentang ini, bagaimana kau harus menjelaskan?”
“Aku sudah berkata sama sekali aku tidak tahu bagaimana rupanya jarum melekat tulang itu.”
“Tetapi suhu dan sisupek diserang secara menggelap itu tatkala sedang bertempur denganmu.”
“Hal itu aku tidak tahu.”
“Kau tidak berani mengaku?”
“Ha ha ha, kalau itu memang benar-benar perbuatanku, mengapa aku tidak berani mengaku?”
“Biarlah kita kesampingkan dulu soal ini dulu. Maksudmu bertempur dengan suhu dan supek tujuanmu adalah hendak merampas kitab ilmu silat Thian Gee Po-kip, berdasar atas ini saja sudah cukup bagimu untuk menerima pembalasan dariku.”
“Tentang ini aku akui, aku juga tidak akan mengelakkan tanggung jawabku.”
“Sekalipun kau hendak lari juga sudah tidak bisa lagi. Dan perbuatanmu membunuh Penghuni Loteng Merah bersama To-Liong-Kiam Khek dengan suatu rencana yang keji, rekening ini .....”
“Aku mengakui.”
“Membunuh Tee-hong?”
“Aku tetap menyangkal!”
“Apakah kau kira aku percaya?”
“Tee-hong menemukan ajalnya sedikitnya tiga hari berselang dan aku, aku sendiri tadi pagi baru tiba di sini.”
“Ada bukti?”
“Tiga hari berselang aku ada di kota Lam-yang menolong jiwa Orang Tua Tiada Turunan. Kau boleh pergi membuktikannya sendiri.”
Hui Kiam terkejut, “Kau pernah menolong jiwa Orang Tua Tiada Turunan?”
“Benar, jikalau bukan aku turun tangan, Orang Tua Tiada Turunan sudah mati di tangan Iblis Gajah.”
“Kau katakan Iblis Gajah?”
“Hem! Anggota badan pelindung hukum tertinggi Persekutuan Bulan Emas.”
“Apakah Iblis Gajah sekarang berada di kota Lam-yang?”
“Masih ada anak buahnya yang tergolong berkepandaian cukup tinggi berjumlah kira-kira empat puluh orang!”
“Bagaimana dengan perkumpulan kaum pengemis?”
“Ketuanya tertangkap, anak buahnya mati atau luka berjumlah seratus lebih.”
“Apakah itu benar?”
“Tidak ada perlunya aku membohongi kau.”
Mendengar keterangan itu Hui Kiam merasa mendelu. Kepergiannya sendiri kali ini bersama Sukma Tidak Buyar justru hendak membantu perkumpulan kaum pengemis itu, tidak diduga Persekutuan Bulan Emas sudah turun tangan lebih dulu. Karena pusat perkumpulan kaum pengemis itu kini sudah musnah, maka perjalanannya ini tak berarti lagi.
“Setelah pangcunya ditangkap, bagaimana nasib selanjutnya perkumpulan kaum pengemis itu?”
“Nampaknya hanya satu yang terpaksa harus menyerah kepada Bulan Emas.”
“Di mana adanya ketua kaum pengemis itu?”
“Ditawan dalam pusat perkumpulan kaum pengemis itu, yang sekarang sudah diduduki oleh Iblis Gajah!”
Hui Kiam menganggukkan kepala, dalam hatinya sudah mengambil keputusan, maka memutar pembicaraan ke lain soal:
“Bagaimana dengan jenazah Tee-hong?”
“Sudah kukubur !”
“Harap kau suka menyerahkan kitab ilmu silatnya, sebab aku sudah berjanji akan meminta kembali.”
“Kitab itu sudah kubakar, di hadapan kuburannya.”
“Hem, perbuatanmu memang bagus, dan sekarang aku hendak menagih hutangmu terhadap perguruanku....”
Mata Orang Berbaju Lila itu nampak guram. Dengan suara agak gemetar ia berkata:
“Hui Kiam, hutang ini tidak perlu kau yang turun tangan sendiri untuk menagihnya, aku nanti pasti akan membayar sendiri.....”
Hui Kiam maju menghampiri. Dengan penuh hawa amarah ia berkata:
“Aku hendak bunuh kau dengan tanganku sendiri!”
Orang Berbaju Lila itu berkata sambil mundur satu langkah:
“Aku harap kau suka memberikan sedikit waktu kepadaku, supaya aku dapat membereskan beberapa hutangku pribadi!”
“Tidak bisa!”
“Di samping itu aku juga hendak menyelidiki teka-teki jarum melekat tulang.....”
“Tidak perlu, aku bisa menyelidiki sendiri.”
“Apakah kau tidak boleh tidak harus bertindak?”
“Sudah tentu, tiada alasan bagiku untuk membiarkanmu hidup lagi.”
“Kepandaianmu sekarang mungkin sudah lebih tinggi dariku, tetapi belum tentu kau dapat membunuh aku ....”
“Kenyataan nanti yang akan menjawab!”
“Lihat pedang!”
Di antara suara bentakan, sinar pedang bagaikan segumpalan sinar bintang dengan rapat mengurung Hui Kiam.
Serangan itu dilakukan sedemikian cepat. Karena Hui Kiam tidak membawa senjata ia juga tidak menduga musuhnya itu akan turun tangan secara mendadak, dengan sendirinya ia terpaksa harus melompat mundur.
Hampir serentak pada saat itu Orang Berbaju Lila itu hampir sudah menghilang.
Hui Kiam gusar sekali, ia membentak dengan suara keras:
“Kemana kau hendak lari?!”
Setelah itu dengan cepat ia mengejar. Akan tetapi yang satu karena sengaja mengundurkan diri, dan yang lain bertindak secara tergesa-gesa, sedikit terlambat saja orang berbaju lila itu sudah menghilang di dalam rimba lebat.
Hui Kiam mengejar di dalam rimba, tetapi tidak berhasil menangkapnya. Terpaksa ia balik kembali dan berkata pada diri sendiri dengan hati penasaran.
“Kau sudah tidak bisa kabur. Lain kali apabila berjumpa lagi aku tidak akan memberikan kesempatan sedikitpun juga.”
Ia merasa kepandaian orang berbaju lila ini ternyata sudah lebih maju lagi, mungkin ini ada hubungannya dengan kitab pelajaran Thee-hong. Dengan kepandaian yang sudah dimiliki oleh Orang Berbaju Lila, yang memang sudah menggemparkan dunia rimba persilatan dan sekarang ditambah lagi dengan kepandaian yang didapat dalam kitab Thee-hong, kepandaiannya sudah tentu lebih hebat lagi.
Ia berpikir, ia sendiri andaikata lebih dahulu mengetahui maksud musuhnya itu, tidak nanti memberi kesempatan kepadanya sampai bisa lolos melarikan diri sedemikian mudah.
Hui Kiam berdiri termangu-mangu sejenak. Ia melanjutkan perjalanannya untuk mengunjungi gua tempat kediaman Thee-hong, ternyata mulut gua sudah ditutup oleh sebuah batu besar. Tidak jauh dari luar gua, ada sebuah makam yang masih baru, di atas batu nisannya terdapat tulisan yang berbunyi:
“Di sini dimakamkan jenazah Thee-hong, yang semasa hidupnya merupakan seorang luar biasa dalam rimba persilatan.”
Siapa pembunuh Tee-hong? Apakah maksud dan tujuannya melakukan pembunuhan itu?
Kedua pertanyaan ini selalu berpuiar dalam otaknya Hui Kiam.
Oleh karena Orang Berbaju Lila yang sudah mengubur jenazahnya lagi pula sudah membuktikan bahwa pada tiga hari berselang ia pernah menolong jiwa Orang Tua Tiada Turunan, nampaknya perbuatan kejam ini bukan dilakukan olehnya. Akan tetapi, kematian Tee-hong itu apakah benar terjadi pada tiga hari berselang, ataukah terjadi pada hari ini? Tiada orang yang dapat membuktikan, juga tidak mungkin jenazah itu dikeluarkan lagi dari kuburannya, karena itu merupakan suatu perbuatan tidak patut bagi orang sudah mati. Sebelum menjadi jelas persoalannya, orang berbaju lila itu masih belum terlepas dari sangkaan. Jika ditilik dari adat dan sepak terjangnya, apapun ia dapat melakukannya.
Hui Kiam merasa sedih terhadap nasib seorang jago luar biasa yang pernah mendapat nama harum di kalangan Kang-ouw. Ia juga bertambah kebenciannya terhadap manusia-manusia yang tamak dan rakus serta kejam.
Kematiaan Tee-hong ini, sebetulnya merupakan suatu hal di luar dugaan Hui Kiam.
Setelah ia melakukan penghormatan yang penghabisan di hadapan makamnya, lalu berlalu.
Baru berada di luar lembah, sudah disambut oleh Ie It Hoan.
“Toako, sudah selesai?”
“Tee-hong sudah meninggal!” jawab Hui Kiam sambil menghela napas.
“Apa? Tee-hong sudah meninggal?”
“Ya.”
“Mati secara bagaimana?”
Hui Kiam lalu menceritakan apa yang telah terjadi dalam pertemuannya dengan Orang Berbaju Lila.
Ie It Hoan berdiam sekian lama, akhirnya baru berkata:
“Dimulai dari kematian Sam Goan Lojin, orang-orang berkepandaian tinggi tingkat tua dalam rimba persilatan, dengan
beruntun mengalami nasib buruknya secara aneh. Hal ini rasanya bukan secara kebetulan.”
“Bagaimana menurut pandanganmu?”
“Mungkin ada pembunuhan berencana.”
“Dengan kepandaian Tee hong, meskipun kedua matanya sudah buta, tetapi orang yang mampu membinasakannya, berapakah jumlahnya dapat dicari dalam rimba persilatan?”
“Tetapi biar bagaimana ia toh sudah mati.”
“Kabut yang meliputi rahasia kejahatan ini, aku bersumpah hendak membongkarnya.”
“Toako, ini adalah pedangmu!”
Sehabis berkata, ia memberikan sebilah pedang pusaka berikut rangkanya.
Dengan sikap terheran-heran dan pikiran bingung ia bertanya:
“Dari mana aku mempunyai pedang?”
“Pedang ini hadiah dari Orang Menebus Dosa.”
Hui Kiam semakin heran. Ia menyambut pedang pusaka itu dan berkata dengan suara gemetar:
“Orang Menebus Dosa?”
“Ya.”
“Bagaimana sebetulnya?”
“la menyuruh kita berdua segera berangkat ke kota Lam-yang untuk membebaskan perkumpulan kaum pengemis dari bahaya. Selain daripada itu ia juga berkata, bahwa menggunakan pedang adalah kepandaianmu yang utama, kau tidak boleh membuarg keahlianmu ini, maka ia meninggalkan pedang ini untukmu.”
“Sekarang d i mana orangnya?”
“Ia pergi belum lama berselang.”
“Bagaimana rupanya?”
“Maaf, aku hanya mendengar suaranya, tetapi tidak melihat orangnya. Pedang ini dia letakkan dalam rimba. Waktu hendak berlalu hanya suruh aku nmengambil sendiri ke dalam rimba itu.”
“Apakah kau tidak melihat wajah aslinya?”
“Bayangannya sajapun tidak pernah lihat.”
“Aneh, ia sebetulnya orang golongan mana? Adik Hoan, menurut apa yang aku lihat dialah yang benar-benar merupakan Sukma Tidak Buyar, bagaikan hantu saja segala sepak terjangnya tidak dapat dimengerti oleh pikiran biasa, terutama terhadap diriku ia mengetahui begitu jelas. Ini bukan saja sangat mengherankan, tetapi juga menakutkan.”
“Memang, di hadapan Orang Menebus Dosa, nama julukan ini sudah tidak berarti lagi. Aku pernah berusaha untuk mencuri lihat wajah aslinya, tetapi sedikitpun tidak berhasil. Ia menyampaikan pesannya dengan menggunakan semacam ilmu kepandaian yang tersendiri, agaknya jauh tetapi kedengarannya nyata, sebentar seperti dari arah kiri, sebentar lagi seperti dari arah kanan. Aku sudah memutar otak, dan memeras keringat, tetapi toh masih belum berhasil menemukan jejaknya.”
“Aku memakai nama julukan Penggali Makam, sekarang baru merasa bahwa julukan itu terlalu sombong. Entah berapa banyak orang jahat yang sebetulnya aku dapat mengumpulkannya?”
“Toako, kau jangan berputus asa, Orang Menebus Dosa telah meramalkan kau akan menjadi orang kuat nomor satu dalam dunia….”
“Aku… aih! Di dalam rimba persilatan hanya merupakan seorang yang tak berarti.”
“Toako, kita balik ke pokok pembicaraan kita. Kau periksalah pedang ini.”
Hui Kiam mengeluarkan pedang dari sarungnya dan memeriksanya dengan seksama. Tiba-tiba di gagang pedang ia menemukan ukiran dua huruf kecil yang berbunyi ‘To- liong’.
Ia segera berseru:
“To-liong Kiam!”
Dari pedang itu ia teringat kepada diri To-liong Kiam Khek Suma suan, yang dalam pesan ibunya merupakan orang harus dibunuhnya, tetapi dari apa yang pernah dilihatnya dapat diduga bahwa orang itu adalah ayahnya sendiri.
Orang Berbaju Lila pernah mengaku bahwa ia adalah sahabat karib To-liong Kiam Khek, tetapi mengapa kemudian ia membunuhnya bersama-sama dengan Penghuni Loteng Merah?
Dan apa sebabnya Orang Berbaju Lila harus membunuh Penghuni Loteng Merah dengan akal keji dan kejam itu?
Orang Berbaju Lila itu juga pernah memberitahukan kepadanya bahwa To-liong Kiam Khek dengan TorgHong Hui-Bun pernah menjadi suami istri, dan melarang dirinya mengadakan perhubungan dengan perempuan cantik itu, tetapi sebaliknya ia sudah tergila-gila dan jatuh cinta kepada si cantik itu....
Berapa bagian ucapan Orang Berbaju Lila dapat dipercaya?
Semua ini membikin kalut pikiran Hui Kiam.
Terdengar suara Ie lt Hoan berkata:
“Toako, apakah kau mengetahui asal-usulnya pedang sakti ini?”
“Tidak tahu!”
“Tetapi kau seperti sudah menemukan sedikit keterangan tentang pedang ini, sehingga sikapmu seperti orang kehilangan semangat, betul tidak?”
“Kau bicara jangan berputar-putar!”
“Menurut keterangan Orang Menebus Dosa, pedang ini adalah senjata To Liong Kiam Khek Suma Suan yang membuat namanya menjadi kesohor, juga merupakan barang peninggalannya.”
“Bagaimana?”
“To Liong Kiam Khek adalah ayahmu.”
“Oh!”
Keringat membasahi kening Hui Kiam. Ini adalah suatu fakta yang sangat menakutkan. Ia pernah berusaha untuk menyingkirkan, tetapi nyatanya fakta itu memaksa ia harus menerima fakta itu. Dengan hati pilu ia berkata:
“Orang Menebus Dosa berkata apa lagi?”
“Ia berkata semoga kau dapat menggunakan pedang ini sebaik-baiknya!”
“Bagaimana pedang ini bisa berada di dalam tangannya?”
“Hal ini aku tidak tahu lagi!”
“Adik Hoan, kalau teka teki ini tidak terungkap, aku bisa gila. Bicaralah terus terang, Orang Menebus Dosa itu gurumu atau bukan?”
“Bukan.”
“Jawablah dengan tegas!”
“Betul, jawabanku ini selalu tidak berubah, Orang Menebus Dosa bukan suhuku!”
Benarkah faktanya demikian? Ini sesungguhnya terlalu kejam. Kalau begitu apa yang disebut “iblis wanita... tusuk konde mas…” dalam pesan ibunya, kemungkinan besar yang dimaksudkan adalah Penghuni Loteng Merah. Mungkin sekali ibunya itu karena terlalu benci yang sudah ditinggal oleh suaminya, sehingga dalam pesannya juga menyuruh untuk membinasakan ayahnya sendiri. Dan mungkin oleh karena rasa benci, sehingga ia harus menggunakan she ibunya, tidak memakai she Suma.
Tragedi yang menyedihkan ini, masih untung belum terwujud, jikalau tidak ia sendiri bukankah akan menjadi seorang anak berdosa yang membunuh ayahnya sendiri?
Dan bagaimana pula dengan makam di puncak gunung yang sudah dirusak itu?
Orang Berbaju Lila setelah mendengar keterangan bahwa jenasah yang dikubur itu bukan jenasah orang yang sebenarnya, ia lalu demikian gusar dan merusaknya, mengapa?
la tokh bukan orang yang bersangkutan, yang tertipu juga bukan dia sendiri, tetapi mengapa ia berbuat demikian?
Ini merupakan suatu pertanyaan besar. Nampaknya hendak menjernihkan persoalan ini hanya Orang Menebus Dosa. Tetapi sepak terjangnya orang itu, juga merupakan suatu teka-teki besar. Sayang waktunya sendiri ketemu dengannya kedua matanya sedang buta, kalau tidak ia pasti akan dapat mengenali wajah aslinya.
“Apakah Orang Menebus Dosa menyuruh kau dan aku segera berangkat ke pusat perkumpulan kaum pengemis?”
“Ya!”
“Ia sendiri mungkin tidak akan berpeluk tangan dalam soal ini?”
“Itu sudah tentu.”
“Mari kita berangkat!”
Sehabis berkata ia lalu menggantungkan pedang pusaka di pinggangnya, lalu berlari dengan serentak.
Pikiran Hui Kiam masih kalut, dia mengharap dalam perjalanan ke kota Lam-yang itu bisa bertemu dengan Orang Menebus Dosa, untuk membuka pikirannya yang pepat, jikalau tidak, penderitaan batin itu benar-benar akan membuat ia gila.
---ooo0dw0ooo---
JILID 20
BANYAK persoalan, nampaknya tiada ujung pangkalnya, tetapi agaknya satu sama lain ada perhubungan. Apa yang membingungkan dirinya ialah tidak jalan untuk mengusutnya.
Ini bukan soal dendam dan permusuhan semata-mata, karena di dalamnya masih terselip asal-usul dirinya.
Hari kedua di waktu tengah hari, mereka sudah melalui daerah gunung Keng-san, setelah beristirahat satu malam, mereka melanjutkan perjalanannya.
Sepanjang jalan ramai orang membicarakan soal didudukinya markas perkumpulan kaum pengemis itu.
Setelah berjalan lagi dua hari dua malam tanpa tidur dan istirahat, bagi Hui-Kiam tidak dirasakan apa-apa, tetapi bagi Ie-It Hoan sesungguhnya sudah letih sekali. Sebabnya Hui Kiam dalam keadaan cemas, ia mengerahkan tujuh bagian kepandaiannya untuk melakukan perjalanan itu sedangkan Ie-It Hoan harus menggunakan seluruh kepandaiannya baru dapat mengikuti jejak toakonya. Dengan demikian meskipun Ie-It Hoan juga merupakan seorang berkepandaian cukup tinggi juga hampir tidak sanggup mengikuti.
Setelah Hui Kiam mengetahui itu, dalam hati merasa tidak enak. Di waktu senja ia mencari rumah penginapan untuk menginap. Hal itu memang yang diharap-harapkan oleh Ie-It Hoan, maka tidak memperdulikan pakaiannya sendiri yang berupa seorang pengemis, iapun makan dengan lahapnya.
Di waktu malam suasana amat sunyi. Kira-kira jam dua malam, suasana semakin sunyi. Hui Kiam karena banyak pikiran, ia tidak bisa tidur, dengan seorang diri duduk menghadapi lampu. Tiba-tiba suara rintihan masuk ke dalam telinganya. Ia lalu pasang telinganya. Suara itu keluar dari sebuah kamar, di ujung seberang kamarnya sendiri.
Suara rintihan itu agaknya ditahan sebisa-bisa namun sudah tidak sanggup menahannya. Jikalau bukan di waktu malam yang sunyi benar-benar tidak akan kedengaran.
“Apakah itu tetamu yang sedang sakit, ataukah orang rimba persilatan yang sedang terluka?”
Suara itu terputus-putus, kedengarannya sangat menyedihkan.
Hui Kiam akhirnya tidak dapat mengendalikan perasaannya. Ia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju ke seberang.
Dalam kamar itu gelap-gulita. Begitu berada di dekatnya, suara rintihan itu terdengar semakin nyata. Orang itu agaknya sedang menderita hebat.
Hui Kiam selagi hendak mengetok pintu, di belakangnya tiba-tiba terdengar suara: “St!” yang perlahan sekali. Ketika ia berpaling, ternyata adalah Ie-It Hoan yang entah sekejap sudah berada di belakang dirinya.
“Adik Hoan....”
“St!”
Dengan jari tangan Ie-It Hoan memberi isyarat kepada Hui Kiam supaya jangan bersuara, kemudian tangannya menggapai.
Dengan perasaan heran Hui-Kiam mundur ke samping Ie-It Hoan.
“Apa yang telah terjadi?”
Ie-It Hoan menunjuk dengan jari tangannya. Hui-Kiam melongok ke arah yang ditunjuk olehnya. Seketika itu bulu romanya berdiri mulutnya ternganga.
Di bawah sinar lampu remang-remang, di atas pintu kamar yang mengeluarkan suara rintihan itu, terpancang sepotong pakaian wanita berwarna putih, tetapi pakaian itu terdapat banyak bekas tanda darah yang sangat menyolok mata.
Suara rintihan ditambah dengan sepotong baju berdarah, apalagi kejadian itu di dalam suatu rumah penginapan kecil dekat hutan belukar, keadaan ini sesungguhnya sangat mengerikan.
“Apa yang telah terjadi?” demikian Hui Kiam mengulangi pertanyaannya.
“Mari balik ke kamar kita sendiri....”
“Kau ceritakan di sini bukan sama saja?”
“Toako, suaramu perlahan sedikit!”
“Eh! Kau sebetulnya sedang main sandiwara apa lagi?”
Sikap le It Hoan mengunjukkan perasaan begitu takut bagaikan ada setan di sekitarnya. Ia menyapu keadaan di sekitarnya sejenak, lalu menarik tangan Hui Kiam sejenak balik ke kamarnya sendiri, setelah menutup kamar, dengan sikapnya yang amat tegang ia berkata:
“Toako, kau sudah melihat baju berdarah tadi?”
“Ya! Kenapa?”
“Kita masih ada banyak urusan besar yang belum diselesaikan, tidak ada perlunya mencari orang lagi!”
“Aku tidak mengerti apa maksudnya?”
“Benarkah kau tidak mengerti?” bertanya Ie It Hoan sambil mengerutkan keningnya.
“Kapan aku pernah membohong terhadapmu?”
“Tahukah toako asal-usulnya baju berdarah itu?”
“Apa asal-usulnya?”
“Itu merupakan tanda Hiat-ie Nio-cu....”
“Hiat ie Nio-cu?”
“Ya!”
“Masih sangat asing bagiku.”
“Benarkah toako sedemikian dangkal pengetahuanmu....”
“Dalam soal pengalaman dunia Kang-ouw, aku tidak dapat dibandirgkan denganmu, ini tidak perlu dikatakan lagi.”
“Hiat-ie Nio-cu adalah seorang hantu wanita yang mempunyai hobi membunuh. Pada dua puluh tahun berselang namanya sudah menggetarkan dan menakutkan orang-orang golongan putih. Sudah duapuluh tahun tidak pernah mendengar orang menyebut namanya, sungguh tak disangka malam ini bisa muncul di sini.”
“Baju berdarah itu mengapa harus digantung di pintu kamar?”
“Ini suatu tanda bahwa siapapun dilarang untuk melongok ke dalam kamar itu.”
“Apakah kau tadi mendengar suara rintihan itu?”
“Dengar. Menurut pedengaranku mungkin itu adalah seorang orang tua.”
“Kita sudah menjumpai urusan ini, bolehkah kita campur tangan?”
“Toako, pada duapuluh tahun berselang di dalam rimba persilatan pernah tersiar suatu pepatah yang mengatakan, ‘lebih baik bertemu dengan raja akhirat, jangan sampai berjumpa dengan Nyonya Berdarah’ ....”
“Apakah Nyonya Berdarah itu lebih menakutkan daripada raja akherat?”
“Benar!“
“Mengapa?”
“Hiat-ie Nio-cu adalah seorang yang kejam dan telengas, siapa yang diketemukan olehnya tidak ada yang hidup. Selain daripada itu, caranya membunuh orang juga sangat aneh, boleh dikata merupakan suatu kekejaman dan keganasan yang sudah tidak ada bandingannya....”
“Kalau begitu aku justru lebih ingin belajar kenal dengannya!”
“Tetapi urusan perkumpulan kaum pengemis tidak dapat ditunda lagi!”
“Aku pikir sekarang ada satu orang yang sedang dianiaya, sebagai seorang gagah mana boleh melihat orang dalam bahaya tidak memberi pertolongan? Selain dari pada itu, kalau benar seperti apa yang kau katakan, dosa hantu wanita itu sudah bertumpuk-tumpuk, kalau kita dapat mengakhiri jiwanya, juga merupakan suatu kebajikan bagi kepentingan orang banyak.”
Di luar jendela, suara yang kedengarannya sangat tajam menyeramkan:
“Sungguh sombong!”
Wajah Ie It Hoan berubah seketika.
Hui Kiam membuka pintu kamar. Dengan tenang ia berjalan keluar. Di tengah pelataran di depan jendela, nampak berdiri seorang perempuan tua berambut putih dan bertubuh kurus kering, namun kedua matanya memancarkan sinar tajam. Di atas badannya mengenakan pakaian baju berdarah yang tadi tergantung di depan pintu. Keadaannya pada malam itu, hanya tiga bagian yang mirip manusia, yang tujuh bagian mirip dengan hantu.
“Nyonya adakah Hiat-ie Nio-cu?” demikian Hui Kiam bertanya.
“Benar,” jawabnya dingin.
“Ada keperluan apa?”
“Beri tahukan namamu?”
“Penggali Makam!”
“Jadi… kau adalah Penggali Makam yang baru muncul itu?”
“Benar!”
“Aku seorang tua selamanya tidak akan melepaskan begitu saja kepada orang yang melanggar pantanganku….”
“Begitu juga dengan aku, selamanya juga tidak pernah melepaskan orang-orang jahat yang terjatuh ke dalam tanganku!“
“Kau terlalu sombong!”
“Terserah apa yang kau katakan!”
“Wajahmu tidak cocok dengan apa yang tersiar di luar....”
“Ini bukan soal!”
Pembicaraan mereka, telah mengejutkan para tamu yang menginap dalam rumah penginapan itu, tetapi siapapun tidak ada yang berani keluar melihat atau bersuara, apa lagi yang penakut.
Hiat-ie Nio-cu dengan matanya yang bersinar tajam berputaran di badan Hui Kiam, kemudian berkata:
“Kau bersedia mati dengan cara bagaimana?”
“Menurut pikiranmu?”
“Kupotong-potong tubuhmu dan kubelek perutmu!”
“Apakah kau juga sudah memikirkan bagaimana cara kematianmu sendiri?”
“Hemm!”
Bersama dengan itu kuku jari tangannya kurus kering, lambat-lambat menerkam dada Hui Kiam, kukunya sepanjang satu dim lebih begitu runcing bagaikan lima bilah pedang kecil gerakannya itu sangat lambat sekali, akan tetapi luar biasa anehnya. Dengan kepandaiannya Hui-Kiam pada saat itu ternyata merasa sulit untuk menangkis atau menyingkir.
Ie-It Hoan segera berseru:
“Awas! Kuku jari itu ada racunnya!”
Hui-Kiam terkejut. Dengan menggunakan ilmu gerak kakinya, ia sudah menyingkir jauh ke samping.
“Eh!”
Seruan terkejut Hiat-ie Nio-cu itu, karena dikejutkan oleh tipu Hui-Kiam yang belum pernah disaksikannya itu. Namun demikian ia tidak menarik kembali tangannya, bahkan mengejar terus bagaikan bayangan.
Hui-Kiam juga dikejutkan oleh kepandaian hantu wanita itu. Sekali ia loncat menyingkir kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat jari tangannya menunjuk. Ini adalah serangan yang menggunakan jari tangan menurut ilmu yang ditulis dalam kitab Thian-Gee Po-kip.
Hiat-le Nio-cu benar-benar seorang yang sudah banyak pengalaman, dengan cepat ia membatalkan serangannya dan lompat mundur seraya berkata:
“Penggali Makam, kau benar-benar mempunyai kepandaian yang berarti. Munculnya lagi aku kali ini ke dalam dunia Kang ouw, untuk pertama kali gagal dalam seranganku. Kau murid siapa?”
“Tentang ini kau tidak perlu tanya.”
“Hm, jangan kau kira aku akan merobah maksudku tidak membunuh kau....”
“Sama-sama.”
Pada saat itu terdengar pula suara rintihan. Dengan alis berdiri Hui-Kiam bertanya:
“Siapa yang mengeluarkan suara rintihan di dalam kamar itu?”
“Kau tidak perlu campur tangan.”
“Siapa orangnya yang mendapat kehormatan sampai kau bawa ke dalam kamar ini?”
“Kau tidak perlu tanya!”
“Hiat-ie Nio cu, aku berjuluk: Penggali Makam. Menurut perbuatanmu selama ini, ada harganya bagiku, untuk bertindak terhadap dirimu.”
“Ha ha ha, kau jangan menggonggong seperti anjing gila. Aku setiap membunuh satu orang, di atas baju berdarahku ini kuberi tanda setetes darahnya, dan kau, hanya merupakan setetes darah saja.”
Hui Kiam bergidik. Ditinjau dari keterangannya ini, baju berdarah hantu wanita itu, yang hampir seluruhnya penuh dengan tanda darah, kalau dihitung setetes darah merupakan satu jiwa seorang berkepandaian tinggi, berapa banyak orang rimba persilatan yang binasa di tangannya?!
Karena berpikir demikian, timbul amarahnya. Ia berpaling dan berkata kepada le It Hoan:
“Adik Hoan, kau pergi lihat siapakah yang dianiaya itu?”
“Baik!”
le It Hoan segera bergerak. Hiat-ie Nio-cu membalikkan badannya dan menyambar tubuh le It Hoan, tetapi Hui Kiam yang sudah menduga pasti perempuan itu akan berbuat demikian pada saat yang tepat ia sudah melancarkan satu serangan, Hiat-ie Nio-cu terpental dan mundur terhuyung-huyung. le It Hoan segera melesat ke kamar di seberangnya.
Hiat-ie Nio-cu benar-benar sudah murka. Wajahnya sudah keriputan berkerenyit beberapa kali, lalu membentaknya dengan suara bengis:
“Serahkan jiwamu!”
Sambil membuka kedua tangannya dia menerjang Hui Kiam, nampaknya ia ingin sekaligus dapat membinasakan Hui Kiam.
Hui Kiam sudah siap, menyambut nyonya itu dengan satu serangan hebat.
Terdengar suara benturan keras, Hiat-ie Nio-cu terpental mundur tiga empat langkah, ujung bibirnya mengeluarkan darah, hingga keadaannya semakin menakutkan.
Hui-Kiam maju setindak lagi. Ia berkata dengan suara bengis:
“Sambut sekali lagi seranganku ini!”
Ancaman itu ditutup dengan satu serangan tangan yang lebih hebat....
Tidak kecewa Hiat-ie Nio-cu pernah mendapat nama sebagai hantu yang ganas, hanya dalam satu gerakan saja ia sudah dapat mengukur betapa tinggi dan hebatnya serangan tangan Hui Kiam itu maka kini ia tidak berani menyambuti lagi, ia memiringkan badannya, tangan kanannya bergerak dengan cepat, ilmu jari tangannya disodorkan lempang ke depan, dua kuku jarinya tiba-tiba terlepas dan meluncur lengan cepatnya.
Kepandaian yang sangat ganas ini, benar-benar susah dijaganya.
Hui-Kiam melihat lawannya tidak berani menyambuti serangannya, sudah tentu tidak mencapai maksudnya untuk menjatuhkan perempuan ini. Namun demikian serangan itu ternyata
merupakan suatu serangan luar biasa, sekalipun tidak mengenakan sasarannya dengan tepat tetapi sudah cukup mematikan lawannya.
Pada saat itu dengan serentak terdengar dua kali suara keluhan tertahan, di belakang pundak Hui Kiam terluka oleh kuku jari Hiat-ie Nio-cu seketika itu rasa sakit seperti menusuk ulu hatinya sehingga mengeluarkan keluhan tertahan, diam-diam ia mengeluh semula ia masih mengira musuhnya itu menggunakan senjata rahasia yang kecil bentuknya, tetapi dari perasaannya ia mengetahui bahwa senjata rahasia itu mengandung racun yang sangat berbisa maka ia buru-buru menutup semua jalan darahnya agar racun itu tidak menyerang jantungnya.
Di pihak Hiat-ie Nio-cu, sesaat ketika ia melancarkan serangannya dengan senjata rahasianya yang istimewa itu, juga tersambar oleh serangan tangan Hui Kiam yang hebat, badannya sempoyongan, terdorong mundur ke lain sudut, mulutnya menyemburkan darah.
Tepat pada saat itu, dari dalam kamar terdengar suara jeritan Ie It Hoan.
Hui Kiam terkejut. Dia harus membunuh hantu wanita itu lebih dulu baru bisa pergi menengok Ie It Hoan.
Maka saat itu dengan menahan rasa sakit, ia melesat sambil melancarkan serangannya.
Hiat-ie Nio cu dengan cepat geser badannya menyingkir sejauh delapan kaki.
Hui Kiam karena memforsir tenaganya, racun dalam tubuhnya menjalar, sehingga kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, kaki dan tangannya kejang.
“Penggali Makm, kau telah paksa aku menggunakan senjata 'kuku terbang’ yang tak gampang-gampang kugunakan. Kuberitahukan kepadamu, siapa yang terkena racun senjata itu, tidak satupun yang hidup. Sekalipun dewa juga tidak sanggup bertahan sampai setengah jam, maka aku boleh menunggu kematianmu,” demikian Hiat-ie Nio cu berkata.
Mendengar perkataan itu, Hui Kiam sangat murka. Sambil mengeluarkan geraman hebat, dengan beruntun ia mengeluarkan serangan jari tangan sampai lima kali.
Suara seruan tertahan terdengar beberapa kali dari mulut Hiat-ie Nio-cu. Hantu wanita itu masih dapat mengelakkan empat kali serangan Hui Kiam, tetapi serangan yang ke-lima, ia tidak berhasil mengelakkan lagi. Serangan dahsyat itu membuat separuh bajunya yang sudah penuh tanda darah menjadi merah dengan darahnya sendiri.
Hui Kiam sehabis melakukan serangannya, racun masuk semakin dalam, matanya berkunang-kunang semakin hebat, kekuatan tenaga murninya perlahan-lahan mulai membuyar.
“Habislah!” demikian Hui Kiam dalam hati mengeluh.
Sedangkan Ie It Hoan yang pergi menengok orang sakit itu, setelah mengeluarkan jeritan tadi tak terdengar lagi suaranya. Entah bagaimana keadaannya?
Hui Kiam saat itu dalam keadaan sangat berbahaya. Ia tahu apabila ia menunjukkan kelemahannya, akibatnya terlalu besar.
Karena berpikiran demikian, ia terpaksa mempertahankan dirinya sambil mengatupkan gigi, ia berjalan mengampiri Hiat-ie Nio-cu, mulutnya mengeluarkan ancaman:
“Apa kau tidak ada pesan apa-apa yang perlu kau tinggalkan?”
Perbuatannya itu sebetulnya merupakan satu perbuatannya gertak sambal belaka. Hakekatnya ia sudah tak ada tenaga lagi untuk bertindak terhadap musuhnya.
Sebaliknya dengan Hiat-ie Nio-cu, ia sudah dikejutkan oleh kejadian di luar dugaannya itu.
“Kau tidak takut racun?” demikian ia menegur.
“Racun begini saja, apa yang ia bisa perbuat terhadap diriku? Hiat-ie Nio cu, hari kematianmu sudah tiba!”
Sehabis berkata demikian, ia mengangkat tangannya perlahan-lahan.
Hiat-ie Nio-cu yang lukanya tidak ringan, ia mengerti bahwa ia tidak sanggup menerima serangan itu, maka dengan cepat ia lompat melesat ke atas genteng dan menghilang dalam kegelapan. Sekalipun dalam keadaan terluka parah, ia toh masih bisa bergerak sedemikian gesit. Kepandaian hantu wanita itu benar-benar sangat mengagumkan.
Hui Kiam menyaksikan berlalunya Hiat-ie Nie-cu. Ia menarik napas panjang, badannya terhuyung-huyung lalu duduk di tanah, tidak bisa bangun lagi, keringat dingin membasahi dahinya.
“Toako!” demikian terdengar suara Ie It Hoan yang lari keluar dari kamar.
“Kau tidak apa-apa?”
“Aku….”
“Eh, toako kau kenapa?”
“Aku terkena serangan 'kuku terbang’ Hiat-ie Nio-cu.”
“Aaaa! Ini....”
“Siapa yang terluka dalam kamar itu?”
“Orang Tua Tiada Turunan locianpwee.”
“Apa? Orang Tua Tiada Turunan locianpwee?”
Hui Kiam berusaha hendak berdiri, tetapi baru saja bergerak, sudah duduk lagi.
“Toako, racun dari 'kuku terbang’ itu, bukan saja sangat berbisa, tetapi juga bisa merusak kekuatan tenaga dalam orang.”
“Bagaimana dengan Orang Tua Tiada Turunan locianpwee?”
“Ia telah dipaksa dengan menggunakan siksaan oleh hantu wanita itu supaya mengaku. Lukanya sangat parah!”
“Dipaksa mengaku? Disuruh mergaku apa?”
Pada saat itu tiba-tiba satu benda putih melayang ke arah Ie It Hoan. Sukma Tidak Buyar itu segera menyambarnya. Ternyata adalah gumpalan kertas putih. Entah siapa yang menyambitnya.
“Adik Hoan, apa itu?”
“Hanya segumpal kertas!”
“Coba kau buka apa isinya?”
Ie It Hoan lalu membuka gulungan kertas itu. Setelah dilihatnya tiba-tiba ia berseru girang!
“Toako, kau tertolong!”
“Bagaimana sebetulnya?”
“Berita dari Orang Menebus Dosa!”“
“Lagi-lagi dia! Apa yang ditulisnya?”
“Racun 'kuku terbang' juga dapat disembuhkan dengan obat pemunah racun dedaunan itu!”
Semangat Hui Kiam mendadak terbangun, tetapi badannya sangat letih. Perbuatan Orang Menebus Dosa itu, benar-benar sangat membingungkan.
Perjalanannya sendiri kali ini memang benar dengan membawa obat pemunah racun itu, yang sedianya hendak diberikan kepada Tee-hong untuk mengobati matanya. Tidak disangka Tee-hong sudah mati teraniaya, sehingga pengharapannya tersia-sia. Dan tak disangka lagi bahwa obat itu untuk kedua kalinya telah menolong dirinya sendiri. Apakah itu memang kehendak takdir?
Ia lalu mengeluarkan satu botol kecil dari dalam sakunya, mengeluarkan isinya yang ternyata hanya tinggal dua butir saja. Dengan tanpa ayal lagi, obat itu lalu dimakannya.
le It Hoan menyaksikan dengan hati terharu.
Obat pil itu setelah masuk ke dalam perut, di luar dugaan akibatnya tidak sedemikian hebat seperti dahulu, hanya hawa panas yang terasa dalam perutnya. Sebentar saja, rasa lemas dan sakit di
sekujur badannya sudah lenyap sama sekali, begitupun kekuatan tenaganya, juga sudah pulih seperti biasa. Ia segera melompat bangun dan berkata:
“Adik Hoan, tolong kau ambilkan pedangku, untuk menjaga kedatangan Hiat-ie Nio cu lagi, aku hendak tengok Orang Tua Tiada Turunan!”
Sehabis berkata, ia lalu bergerak menuju ke kamar seberang.
Pelita dalam kamar sudah dinyalakan kembali oleh le It Hoan. Ketika Hui Kiam berada di dalam kamar segera dapat lihat tubuh Orang Tua Tiada Turunan yang penuh darah, rebah terlentang di pembaringan, matanya suram, seolah-olah orang tua biasa yang sedang menderita sakit payah.
“Lociacpwe, aku adalah Hui-Kiam!”
Mata orang tua itu berputaran sejenak, lalu berkata dengan suara dalam:
“Aku tahu!”
“Bagaimana cianpwee bisa terjatuh dalam tangan hantu wanita itu?”
“Ah, panjang ceritanya. Urusan perkumpulan kaum pengemis apakah kau sudah tahu?”
“Ya, justru karena itu boanpwee melakukan perjalanan ke kota Lam-yang!”
“Tidak perlu pergi lagi!”
“Mengapa?”
“Perkumpulan pengemis itu sudah masuk menjadi anggota perkumpulan Bulan Emas. Sesepuhnya Co-Hoa Si Kuping Sakti sudah diangkat sebagai ‘lengcu' bendera kuning....”
Hui-Kiam merasa gusar dan kecewa. Katanya:
“Sungguh tidak disangka, perkumpulan kaum pengemis yang begitu besar pengaruhnya, ternyata sudah bertekuk lutut karena tidak tahan tekanan.”
“Siaohiap, itu diambil karena terpaksa!”
“Terpaksa?”
“Anak murid perkumpulan kaum pengemis tersebar dari dimana-mana. Apabila Persekutuan Bulan Emas melancarkan aksi pembalasan, kau pikir, bagaimana akibatnya?”
“Maka ia terpaksa masuk menjadi anggota.”
“Masih ada pangcu Ma Bun Pok sekarang dijadikan sebagai barang tanggunggan, anak murid kaum pengemis tidak berani menggunakan jiwa pangcunya sebagai barang taruhan!”
“Oh! Melihat gelagat, nampaknya Bulan Emas tidak lama lagi benar-benar akan menguasai dunia rimba persilatan.”
“Belum tentu, ini harus dilihat bagaimana perkembangan selanjutnya. Semua partai persilatan yang masuk menjadi anggota persekutuan itu, semata-mata karena tak sanggup menerima tekanan yang hebat sekali, sehingga terpaksa menurut kehendaknya, bukan dengan suka rela, apabila ada kesempatan mereka bisa memberontak memukul ke dalam.”
Hui Kiam menganggukkan kepala.
“Marilah kita bicarakan urusan yang menyangkut diri locianpwe!”
Saat itu Ie It Hoan masuk ke kamar danmemberikan pedang kepada Hui Kiam kemudian berdiri di luar kamar untuk melakukan penjagaan.
Orang Tua Tiada Turunan memejamkan matanya, kemudian baru membuka suaranya:
“Apakah kau masih ingat, maksudku pergi kepada perkumpulan kaum pengemis?”
“Ingat, terima kasih atas bantuan locianpwe.”
“Setelah aku tiba di perkumpulan kaum pengemis, aku lalu memberitahukan maksud kedatanganku. Permintaanku segera diterima baik oleh ketuanya, Si Kuping Sakti Co Hoa serta merta mengumpulkan anak buah yang pilihan, mereka lalu diberi petunjuk untuk mengadakan penyelidikan yang luas. Suma Suan sejak menghilang, memang betul sehingga sekarang belum ketahuan jejaknya….”
“Suma Suan sudah binasa di tangan Orang Berbaju Lila, dengan menggunakan akal keji.”
“Oh! Sudah berapa lama terjadinya perkara ini?”
“Beberapa bulan berselang!”
“Ya!” Selanjutnya, Hui Kiam menceritakan bagaimana Orang Berbaju Lila itu menggunakan dirinya memancing penghuni Loteng Merah ke dalam gua batu di atas gunung Keng-san dan kemudian gunung diledakkan.
Urusan di dalam dunia memang apa saja bisa terjadi perobahan tanpa diduga-duga.
“Harap locianpwee ceritakan lagi.”
“Tentang tusuk konde emas kepala burung Hong seperti apa yang kau katakan oleh hantu wanita untuk membunuh ibumu, iblis wanita itu adalah ....”
Baru berkata sampai di situ, matanya tiba-tiba membalik, badannya kejang, mulutnya mengeluarkan rintihan.
Hui Kiam sebetulnya masih ingin bertanya, tetapi karena melihat keadaan orang tua itu yang sangat menyedihkan, terpaksa membatalkan maksudnya, lalu berpaling dan berkata kepada Ie It Hoan:
“Adik Hoan.”
Belum menunggu Hui Kiam melanjutkan ucapannya, sudah dipotong oleh le It Hoan:
“Toako, ia terluka parah di bagian dalamnya. Tadi ia pernah mengatakan sedikit kepadamu, Si Iblis Gajah yang kini menjadi anggota pelindung hukum tertinggi Persekutuan Bulan Emas, adalah orang bertanggung jawab dalam perbuatannya yang menumpas perkumpulan kaum pengemis. Locianpwee ini, sebagai tetamu perkumpulan kaum pengemis itu, juga menjadi sasaran serangan mereka. Meskipun sudah berhasil ditolong oleh Orang Berbaju Lila, tetapi ia sudah terluka parah di dalamnya. Demi untuk merawat luka-lukanya dan menghindarkan kejaran musuh, barulah berdiam di rumah penginapan dekat rimba ini, dianggapnya dapat mengelabui musuh-musuhnya, tidak diduga telah diikuti oleh Hiat-ie Nio-cu. Hantu itu dengan menggunakan cara siksaan yang paling kejam supaya mendapat keterangan dari mulutnya ....”
“Apakah Hiat-ie Nio-cu juga menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas?”
“Bukan!”
“Kalau begitu ia paksa orang memberi keterangan apa?”
“Ia menyuruh locianpwe menyerahkan tusuk konde emas berkepala burung Hong, selain itu juga menerangkan asal-usulnya tusuk konde itu!”
Dengan mata beringas dan suara gemetar Hui Kiam berkata:
“la suruh Orang Tiada Turunan locianpwee menyerahkan tusuk konde emas?”
“Ya!”
“Kalau begitu Hiat-ie Nio-cu ini adalah musuh besarku yang membinasakan ibu?”
“Mungkin dugaanmu itu tidak keliru, ia mengaku bahwa tusuk konde emas itu adalah barang kepunyaannya!”
“Ow! Aku tadi salah sudah melepaskannya.”
“Di kemudian hari pasti bisa bertemu lagi.”
Badan Hui-Kiam gemetar, karena musuh besar yang membunuh ibunya sudah diketahui jejaknya, untuk menuntut balas hanya tinggal soal waktu saja. Apa yang tidak dimengerti ialah apa sebabnya Hiat-ie Nio-cu minta tusuk konde emas berkepala burung hong itu kepada Orang Tua Tiada Turunan? Apakah Orang Tua Tiada Turunan sudah menerangkan kepadanya peristiwa yang menyedihkan itu? Ataukah ia sudah mengetahui maksud Orang Tua Tiada Turunan yang minta kepada perkumpulan kaum pengemis menyelidiki dirinya? Sayang….
Sambil mengerutkan keningnya Hui-Kiam berkata:
“Adik Hoan, locianpwe nampaknya sangat menderita, sekarang bagaimana?”
“Aku sudah memberikan kepadanya beberapa buah pil yang sangat mujarab untuk mengobati lukanya, sayang belum kelihatan hasilnya. Hantu wanita itu menggunakan siksaan menotok jalan darahnya, pengobatan cara biasa sama sekali tidak ada gunanya.”
“Tetapi biar bagaimanapun juga kita harus berusaha menyembuhkan luka-lukanya. Aku hendak menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk membantu.”
“Tidak boleh. Lukanya sudah sampai ke bagian ulu hatinya, apabila kemasukan tenaga dari luar, itu berarti mempercepat kematiannya.”
“Kalau begitu ia sudah tidak dapat ditolong lagi?“
Sambil menggaruk-garuk kepalanya Ie It Hoan menjawab:
“Soalnya memang sangat penting, aku sedang mencari daya upaya.”
“Jikalau ia ada apa-apa atas dirinya, akan membuat penyesalan besar bagiku untuk selama-lamanya.”
“Ow! Andaikata....”
“Andaikata apa?”
“Andaikata pada saat ini Orang Merebus Dosa ada di sini, ia mungkin dapat menolongnya.“
“Apakah kau kira Orang Menebus Dosa bisa datang kemari?”
“Seharusnya bisa datang....”
“Mengapa?”
“Menolong orang harus menolong sebenar-benarnya. Sudah satu kali ia menolong diri Orang Tua Tiada Turunan locianpwee, seharusnya ada awal pasti ada akhirnya. Selain dari pada itu, karena ia sudah menunjukkan diri di tempat ini, bahkan sudah memberitahukan kepada kita caranya mengobati atau menyembuhkan racun dari kuku terbang, tidak mungkin ia tidak mengetahui urusan ini.”
“Sukar untuk dikatakan.”
“Bagaimana kita harus bertindak?”
“Kita harus segera balik, harap dapat menjumpai seseorang, jikalau kita menjumpai orang itu segera tertolong.”
“Berjumpa dengan orang bagaimana?”
“Orang itu tidak suka orang lain mengetahui asal-usul dirinya.”
“Lagi-lagi teka-teki. Jikalau tidak berhasil menjumpainya?”
“Ini....”
Hati Hui Kiam sangat cemas, katanya tanpa banyak pikir lagi:
“Tidak bisa, apapun yang harus terjadi aku harus menolongnya.”
Ie It Hoan dengan suara sedih ia berkata:
“Toako, hal ini tidak bisa dipaksa.”
Pada saat itu bibir Orang Tua Tiada Turunan tiba-tiba nampak bergerak. Dengan suara sangat perlahan ia berkata:
“Hui Kiam, dengarlah kataku. ...”
“Cianpwee hendak pesan apa?”
“Hiat-ie Niocu .... adalah musuh besarmu yang membunuh ibumu!”
Hui Kiam tidak dapat menguasai perasaannya yang bergolak hebat. Ia berkata:
“Bagaimana harus menyembuhkan luka locianpwee?”
“Barangkali... sudah tidak tertolong. Kau... dengarlah, aku telah mendapat keterangan anak murid perkumpulan kaum pengemis yang diutus untuk mencari keterangan, bahwa hantu wanita itu kali ini mengunjukkan diri di dunia Kang-ouw lagi setelah dengan senjata tusuk konde emas membinasakan Manusia Romantis Teragung, aku segera menduga pasti bahwa dia adalah orang kau cari itu. Selagi aku menerima utusan untuk mengabarkan kepadamu, sangat kebetulan perkataanku kepada orang itu dapat didengar oleh hantu wanita itu. Demikian, ia... tidak mau melepaskan aku, bahkan sudah membunuh mati orang yang kusuruh membawa berita itu. Ia... sudah mengaku sebagai pemilik tusuk konde emas itu....”
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa menyindir yang jelas keluar dari mulut Hiat-ie Nio cu.
Hantu wanita itu setelah pergi balik kembali.
le It Hoan lebih dulu lompat melesat ke atas genteng. Hui Kiam segera menyusul sambil menghunus pedangnya.
Setelah berada di atas genteng, ternyata tidak tampak bayangan seorangpun juga.
le It Hoan sekonyong-konyong tersadar lalu berkata:
“Celaka, lekas balik ke kamar.”
Hui Kiam juga agaknya ia mendapat firasat jelek, dengan cepat ia melompat turun naik ke kamar. Tiba di dalam kamar, ia berdiri ternganga, ternyata tempat tidur sudah kosong, Orang Tiada Turunan sudah tidak ada di tempatnya. Ia lalu berkata sambil menggentak kaki.
“Sungguh licin hantu wanita itu.”
Dengan suara cemas le It Hoan berkata:
“Toako, Orang Tua Tiada Turunan loocianpwe sudah terjatuh lagi di tangan hantu wanita itu, akibatnya kita tidak dapat bayangkan. Mari kita ....”
“Kita kejar secara berpencaran, kau pikir bagaimana?”
“Baik, kita akan berjumpa di bawah bukit Bu-ling-san.”
“Kit ajangan ayal lagi, mari kita berangkat sekarang juga!”
Karena kedua orang itu tidak membawa barang, setelah balik ke kamarnya membawa barang yang diperlukan dan meninggalkan uang kamar dan makan, lalu keluar melalui lubang jendela ke barat.
Tindakan yang mirip dengan tindakan membabi buta itu, mereka sudah tahu tidak ada gunanya tetapi toh tidak boleh tidak harus dilakukan sekedar menuruti kehendak hati mereka.
Terutama Hui Kiam yang begitu sedih dan marah, karena dengan jatuhnya lagi Orang Tua Tiada Turunan itu ke tangan Hiat-ie Nio-cu, sudah tentu tidak terhindar dari kematian, dan semua itu boleh dikatakan karena urusannya, maka hal ini benar-benar merupakan suatu pukulan hebat bagi dirinya.
Hiat-ie Nio-cu minta tusuk konde emas berkepala burung hong kepada Orang Tua Tiada Turunan, sedangkan tusuk konde itu berada di badan Hui Kiam, apakah maksud dan tujuan hantu wanita itu?
“Musuh yang membunuh ibunya ini sudah merupakan satu musuh terbesar, dan sekarang ditambah lagi dengan perbuatan terhadap Orang Tua Tiada Turunan, ini berarti menumpuk dosanya itu.”
Semula ia salah menduga bahwa Penghuni Loteng Merah adalah pembunuh ibunya, tidak disangka bahwa dugaannya itu keliru semua. Urusan di dalam dunia kadang-kadang memang tidak dapat ditafsir dengan pikiran biasa, entah apa maksud dan tujuan Hiat-ie Nio-cu membunuh ibu Hui Kiam?
Sambil memikirkan persoalan itu, Hui Kiam sudah lari sejarak sepuluh pal, tetapi tidak menemukan bayangan seorangpun juga. Dengan berkepandaian seperti Hiat-ie Nio-cu itu, sesungguhnya juga sulit dikejarnya, apalagi tidak diketahui arahnya, dengan mengejar secara membabi-buta tentu akan membuang tenaga cuma-cuma.
Ia kini benar-benar baru merasakan bahwa seorang sekalipun berkepandaian sangat tinggi jika tidak mempunyai pengalaman dunia Kang-ouw yang cukup luas, boleh dikata hanya berhasil separoh saja. Andaikata kejadian ini, andainya sendiri mempunyai pengalaman luas, tatkala le It Hoan keluar kamar pergi memeriksa, ia sendiri seharusnya jangan bergerak untuk menjaga keselamatan orang yang sakit, dengan demikian Hiat-ie Nio-cu pasti tidak akan berhasil.
Tetapi menyesal sudah tidak ada gunanya. Jiwa Orang Tua Tiada Turunan telah berkorban karena keteledoran.
Ia hanya mengharap supaya orang tua itu suka menerangkan di mana adanya tusuk konde emas itu agar Hiat-ie Nio-cu bisa mencari dirinya. Akan tetapi, pengharapan ini tipis sekali, Orang Tua Tiada Turunan yang belum tahu Hui Kiam sudah berhasil memiliki kepandaian seluruhnya dari kitab Thian Gee Po-kip, pasti tidak akan mau mengaku memberi keterangannya, dengan demikian sudah dapat diduga orang tua itu pasti akan disiksa sampai mati.
Semakin berpikir Hui-Kiam semakin merasa tidak enak terhadap orang tua itu. Peristiwa itu merupakan suatu siksaan batin baginya. Ia menyesal tidak bisa menjumpai hantu wanita. Jikalau tidak, ia pasti akan dicincangnya.
Selagi berjalan, dari jauh tiba-tiba terdengar beberapa kali suara jeritan ngeri.
Dengan cepat ia menghentikan kakinya, matanya mencari ke tempat sekelilingnya.
Terdengar pula suara jeritan ngeri di selang dengan suara saling bentak, jelaslah sudah bahwa di tempat dekat itu ada terjadi pertempuran.
Dengan mengikuti arah datangnya suara, ia bergerak bagaikan binatang kelelawar yang terbang di waktu malam.
Kira-kira setengah pal, di depan matanya tampak sebuah kuil tua. Suara jeritan dan bentakan itu keluar dari dalam kuil itu.
Siapakah yang bertempur di tempat dan waktu seperti ini?
Sesosok bayangan orang tiba-tiba lari menghampiri dengan badan terhuyung-huyung.
Hui Kiam segera membentaknya:
“Diam jangan bergerak!”
Bayangan orang itu dengan badan sempoyongan menghentikan kakinya. Ternyata adalah satu padri muda yang sekujur badannya penuh darah.
Hui Kiam setelah menatap padri itu sejenak, lalu bertanya:
“Siao suhu, apakah yang telah terjadi?”
Dengan sinar mata terheran-heran padri muda itu mengawasi Hui Kiam, kemudian berkata dengan suara gemetar:
“Tuan orang gagah dari mana?”
Nada suara pertanyaan padri itu, sedikitpun tidak mirip dengan orang yang menyucikan diri. Hui Kiam mengerutkan alisnya, sementara dalam hatinya berpikir. Karena pada saat itu ia memakai kedok muka Ie It Hoan yang mungkin sudah pernah dipakainya, maka ia akan meminjam nama julukan adik angkatnya itu.
“Aku adalah Sukma Tidak Buyar!” demikian jawabnya dingin.
Padri muda itu nampaknya terkejut, lalu berkata:
“Tuan Sukma Tidak Buyar?”
“Sedikitpun tidak salah.”
“Ada keperluan apa datang kemari?”
“Eh! Bukankah di sini terjadi pertempuran?”
“Apakah kedatangan tuan karena mendengar suara pertempuran?”
“Tepat!”
“Kalau begitu silahkan balik.”
“Mengapa?”
Badan padri muda itu terhuyung-huyung. Ia tidak menjawab, tapi segera roboh di tanah.
Hui Kiam memeriksa, ternyata nyawanya sudah melayang. Sejenak ia nampak sangsi, kemudian melesat ke pintu kuil.
Di depan pintu kuil terdapat enam buah bangkai manusia, semua mati dalam keadaan remuk batok kepalanya, keadaan itu sangat mengerikan.
Di dalam pintu kembali terdapat tiga buah bangkai yang kematiannya lebih mengerikan, semua bangkai itu dalam keadaan hancur, perutnya diduet sehingga isi perutnya berserakan di tanah.
Hui Kiam melihat sejenak, lalu masuk terus. Di situ terdapat pekarangan yang cukup luas, di dalam pekarangan itu terdapat pula bangkai manusia yang jumlahnya lebih dari lima puluh jiwa.
“Orang yang beribadah mengapa mengalami nasib demikian?”
Selagi Hui Kiam masih dalam keadaan terheran-heran, matanya dapat melihat sesuatu. Ia lalu mengangkat kepala. Di pintu tengah yang menuju ke pekarangan, ada berdiri sesosok bayangan orang yang bentuknya langsing. Dapat diduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang wanita. Apakah wanita itulah yang melakukan kejahatannya?
Ia lalu menghampirinya. Ketika ia mengetahui siapa adanya wanita itu, hampir saja ia menjerit, karena wanita itu bukan lain daripada Siu-Bi, murid kepala Penghuni Loteng Merah.
Saat itu Siu Bi sedang berdiri sambil melintangkan pedangnya. Wajahnya menunjukkan kegusarannya.
Tatkala Penghuni Loteng Merah terjebak dan mati di dalam goa, pengikutnya yang mengikuti hanya Siu Bi seorang yang terhindar dari bahaya. Hui Kiam segera menegurnya:
“Nona Siu.”
Siu Bi nampaknya terperanjat. Dengan perasaan terheran-heran ia bertanya:
“Tuan siapa?”
Hui Kiam kini baru sadar bahwa dirinya sudah ganti muka, maka jawabnya dengan nada suara dingin:
“Sukma Tidak Buyar.“
“Tuan adakah Sukma Tidak Buyar?”
“Benar!”
“Bagaimana tuan tahu aku seorang she Siu?”
“Aku mendapat gelar Sukma Tidak Buyar, apakah nona kira soal itu kudapatkan dengan mudah? Kau adalah murid kepala Penghuni Loteng merah, betul tidak?”
Siu Bi semakin terkejut, ia berkata dengan suara gemetar:
“Dengan maksud apa tuan datang kemari?”
“Apakah orang-orang beribadat ini kau yang membunuh?”
“Sebagian besar benar!”
“Kalau begitu, orang yang melakukan perbuatan ini tidak cuma kau seorang saja?”
“Juga tidak banyak, hanya dua orang saja!”
Pada saat itu, dari ruangan dalam terdengar pula suara jeritan ngeri. Di waktu malam yang sunyi dan keadaan yang menyeramkan itu, suara itu kedengarannya semakin menyeramkan.
“Aku harap nona suka menerangkan apa sebabnya melakukan pembunuhan ini?”
“Kalau aku tidak suka?”
“Siapa yang membunuh harus dibunuhnya. Nona tentunya mengerti faIsafat ini....”
“Eh! Suara tuan kedengarannya tidak asing!”
Hui Kiam tertawa dingin. Sejak ia masuk ke dalam kuil itu, ia tidak merubah suaranya, maka Siu Bi yang mendengarkannya itu tidak merasa asing lagi.
“Perbuatan nona ini, yang nona lakukan terhadap orang yang beribadah agaknya terlalu kejam.”
“Orang beribadah? Hem! Sukma Tidak Buyar, kau nyatakan seorang yang mengetahui segala-galanya sehingga namaku dan asal-usulku juga kau ketahui, tetapi mengapa tidak mengetahui asal-usul kawanan pandri palsu ini?”
“Apa? Padri palsu?”
“Kau tentunya tidak akan dapat menduga kuil Thian-ong-gie ini tempat apa?”
“Tempat apa?”
“Cabang ke-empat Persekutuan Bulan Emas. Kau tentunya tidak menduga, bukan?”
Hui Kiam benar-benar terperanjat. Ia sesungguhnya tidak menduga bahwa kuil itu digunakan sebagai sarang kaum jahat. Kalau begitu kawanan padri yang dibunuh itu, seharusnya adalah anak buah Persekutuan Bulan Emas. Persekutuan yang bercita-cita hendak menguasai dunia, dengan secara ganas menundukkan berbagai partay persilatan dan membunuh orang-orang kuat yang tidak sepaham dengannya. Semua sepak terjangnya itu telah menimbulkan kemarahan orang-orang rimba persilatan.
“Benarkah katamu ini?”
“Percaya atau tidak, terserah kepadamu!”
“Tetapi apakah maksud nona bertindak begitu?”
“Tentang ini tuan agaknya tidak perlu bertanya....”
“Jikalau aku pasti ingin mengetahui?”
“Perlu apa tuan mencari mati?”
“Mencari mati? Mustahil!”
“Aku peringatkan kau sebaiknya kau lekas menarik diri dari sini.”
“Jikalau tidak?”
“Barangkali tidak bisa berlalu dari sini lagi!”
Hui Kiam pada saat itu sudah tentu tidak takut lagi kepada Siu Bi. Sekali lagi ia memperdengarkan suara tertawa dingin, lalu berkata:
“Apakah yang berada di dalam ruangan belakang itu adalah kawau nona?”
“Benar!”
“Siapa?”
“Apakah tuan benar-benar hendak mencari mati?
“Anggaplah begitu!”
“Jikalau aku sebutkan nama orang itu, kematianmu sudahlah pasti!”
“Aku tidak percaya, siapakah orang itu?”
“Hiat-ie Nio-cu!”
Hui Kiam seketika itu darahnya seperti mendidih, nafsunya membunuh berkobar, ia sungguh tidak menyangka di tempat itu akan menemukan orang yang sedang dicari.
“Hiat-ie Nio cu?”
“Hmmm!”
“Bagus sekali, aku justru sedang mencarinya!”
Setelah mengucapkan demikian ia bergerak hendak menerjang.
“Jangan bergerak!” demikian Siu Bi coba mencegah. Tetapi Hui Kiam tidak ambil pusing. Sebentar kemudian ia sudah berada di
dekat pintu pertengahan. Siu Bi segera menggerakkan pedangnya menyerang diri Hui Kiam sambil berseru: “Kau cari mampus!”
Hui Kiam mengibaskan tangannya untuk mengelakkan serangan tersebut, sehingga Siu Bi terdorong mundur. Dengan menggunakan ilmu gerakan kaki yang luar biasa, Hui Kiam berhasil melalui Siu Bi dan terus masuk ke pekarangannya.
Siu Bi setelah menenangkan pikirannya, lalu mengejarnya sambil menghunus pedang.
Dengan cepat Hui Kiam menghunus pedang To-liong Kiam, dengan perlahan menangkis serangan Siu Bi.
Tangkisan itu ternyata hebat sekali, Siu Bi mundur sampai empat langkah baru bisa berdiri tegak, pedang di tangannya hampir terlepas jatuh.
Di dalam ruangan itu kembali terdapat beberapa puluh bangkai manusia.
Seorang padri tua berjubah warna abu-abu terikat di sebuah tiang, mulutnya mengeluarkan suara rintihan. Di depan padri tua itu berdiri orang yang sedang dicari, ialah Hiat-ie Nio-cu si Hantu Wanita Baju Berdarah.
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam mengawasi Siu Bi sejenak lalu berkata kepadanya:
“Aku tidak ingin membunuh kau, menyingkirlah agak jauh sedikit!”
Sehabis berkata ia segera melesat menghampiri hantu wanita itu.
Hiat-ie Nio cu sekonyong-konyong membalikkan badannya. Dengan sinar mata terheran-heran ia menegurnya:
“Kau?”
“Benar, kau tidak menduga tentunya?”
“Ha ha ha, memang benar tidak kusangka malam-malam kau hendak mengantarkan jiwa!”
Dengan mata beringas Hui Kiam menatap wajah hantu wanita. Sepatah demi sepatah ia bertanya:
“Hiat ie Nio-cu, kau perlakukan bagaimana Orang Tua Tiada Turunan?”
“Apa? Apakah anjing tua itu sudah mampus?”
“Aku bertanya kepadamu, bagaimana kau perlakukan dirinya?”
“Omong kosong, bukankah ia berada di kamar rumah penginapan?”
“Hem, sungguh tidak kusangka seorang kenamaan seperti kau juga meniru kelakuan manusia golongan rendah. Kau telah menggunakan akal tipu memancing keluar kita....”
“Aku tidak mengerti apakah katamu?”
“Kau tidak berani mengakui?”
“Bocah, apa kau sedang mengoceh? Aku justru ingin minta keterangan tentang dirinya darimu.”
Hati Hui Kiam tergerak. Nampaknya Orang Tua Tiada Turunan tidak dibawa kabur oleh hantu wanita ini. Tetapi siapakah yang melakukan perbuatan itu? Sedang suara tertawa dingin yang memancing keluar ia sendiri dan Hui Kiam, jelas adalah suaranya hantu wanita ini.
“Tunggu, aku hendak membereskan urusan dengan kepala gundul ini.”
Sehabis berkata, ia lalu berpaling dan berkata kepada padri tua yang terikat di tiang itu.
“Anjing tua, kau mau menjawab atau tidak? Di mana orang berbaju lila itu sekarang berada?”
Kembali Hui Kiam dikejutkan oleh pertanyaan hantu wanita itu. Hantu wanita itu ternyata sedang mencari orang berbaju lila dengan minta keterangan dari padri tua itu. Orang berbaju lila itu juga merupakan salah satu musuhnya, yang sedang dicarinya.
Nampaknya padri tua itu tentu adalah ketua cabang Persekutuan Bulan Emas. Apakah hubungannya dengan orang berbaju lila?
Saat itu terdengar suara jeritan ngeri, kedua daun telinga padri tua itu telah ditarik sehingga putus oleh Hiat-ie Nio-cu.
“Jawab!”
“Aku tidak tahu!”
Tangan kanan Hiat-ie Nio cu menusuk ke ketiak kiri padri tua itu, hingga padri tua itu kembali mengeluarkan suara jeritan ngeri, kemudian menundukkan kepalanya, entah ia sudah mati atau masih hidup. Perbuatan hantu wanita itu benar-benar memang sangat kejam, seluruh penghuni dalam kuil yang sudah dijadikan cabang Bulan Emas itu, nampaknya sudah tidak ada yang hidup.
Hui Kiam agaknya sudah tidak sabar lagi. Dengan suara bengis ia berkata:
“Hiat-ie Nio-cu, aku tidak sabar menunggu lebih lama lagi ....”
Hiat-ie Nio cu berpaling dan berkata kepadanya:
“Aku hendak mengantar kau jalan lebih dulu.”
“Kau sedang mimpi. Kuberitahukan kepadamu, malam ini kau sudah tidak mendapat kesempatan lagi!”
“Bocah, kau jangan berlagak sombong, aku benar-benar tidak tahu dengan cara bagaimana memperlakukan dirimu untuk melampiaskan rasa benciku.”
“Sama-sama! Tetapi ada beberapa hal kau harus bereskan sebelum kau mati.”
“Kau benar-benar mencari mampus!”
Setelah membentak demikian dengan kecepatan bagaikan kilat, tangan Hiat ie Nio-cu menyambar kepala Hui-Kiam.
Hui-Kiam sudah bertekad tidak akan memberikan kesempatan kepada musuhnya itu. Ia sudah siap dengan pedang To-liong Kiamnya, maka sebagai hantu wanita itu sedang bertindak ia sudah
menggerakkan pedangnya. Karena ilmu pedang Thian Gee Kiam Hoat merupakan suatu ilmu pedang yang sangat istimewa, maka gerakan serangan yang dilakukannya itu hebat sekali.
Hiat-ie Nio cu dapat merasakan betapa hebatnya serangan itu, maka ia buru-buru lompat mundur.
Hui Kiam mengejar, ia tarik kembali pedangnya dan berkata:
“Dengan suaru cara yang sangat kejam kau perlakukan Orang Tiada Turunan, apakah maksudmu semata-mata hendak mencari sebuah tusuk konde berkepala burung Hong saja?”
Mula-mula Hiat ie Nio-cu tercengang mendengar pertanyaan itu, kemudian baru menjawab:
“Benar!”
“Mengapa?”
“Apakah itu perlu aku memberitahukan kepadamu?”
“Perlu sekali!”
“Sebabnya?”
“Aku dapat menjawabmu di mana adanya tusuk konde emas yang kau maksudkan itu, akan tetapi kau harus menjawab dulu beberapa pertanyaannya.”
“Kau... tahu, di mana tusuk konde emas itu berada?”
“Tahu!”
“Aku juga ingin bertanya kepadamu....”
“Jawablah dulu pertanyaanku dulu!”
“Katakanlah!”
“Apakah tusuk konde emas berkepala burung Hong itu senjata rahasiamu yang tunggal?”
“Bukan senjata rahasia, melainkan senjata terampuh!”
“Sepuluh tahun berselang, apakah kau pernah menggunakan senjata itu untuk membunuh seorang wanita?”
“Selama duapuluh tahun lamanya baru kali ini aku mengunjukkan diri lagi di dunia Kang-ouw!”
“Apa selama dua puluh tahun itu kau tidak pernah melakukan pembunuhan?”
“Tidak!”
“Kau mempunyai turunan?”
“Ada!”
“Juga pandai menggunakan senjata tusuk konde itu?”
“Tusuk konde emas berkepala burung Hong ini semuanya ada dua buah. Sebuah berada di badanku, yang lain kuberikan kepada anak perempuanku yang sulung....”
Darah Hui Kiam bergolak, ia bertanya dengan suara gemetar:
“Ia bernama siapa?”
“Pek-leng-lie Khong Yang Hong!”
“Pek-leng-lie Khong Yang Hong?”
“Benar!”
“Apakah ia mempunyai tanda konde semacam itu?”
“Benar!”
“Di mana ia sekarang berada?”
Hiat-ie Nio cu tiba-tiba melompat merghampiri.
“Inilah justru yang hendak kutanya kepadamu!” demikian katanya.
Sementara itu Siu Bi tiba-tiba menyela:
“Aku tahu kau siapa, pantas suaramu tadi aku merasa tidak asing lagi.”
Hui Kiam melirik kepadanya sejenak, lalu berkata:
“Nona Siu, kau seharusnya sudah harus mengenalnya baru benar.”
Pada saat itu beberapa bayangan orang tiba-tiba menerobos masuk. Ketika Hui Kiam mengetahui kedatangan orang-orang itu, terperanjatlah ia sehingga mundur empat-lima langkah, sekujur badannya merasa kaku.
Orang yang baru datang itu, bukan lain daripada kekasihnya yang tercantik Tong-hong Hui Bun. Di belakangnya si cantik jelita itu diikuti oleh empat pelayan wanitanya.
Munculnya Tong-hong Hui Bun pada waktu dan tempat seperti ini, sesungguhnya di luar dugaannya.
Pikirannya yang tenang sekian lama tergoncang pula, hampir ia tidak mampu menguasai dirinya sendiri.
Cinta yang sudah begitu mendalam, kenangan indah di masa yang lampau, kembali menggoda hatinya lagi.
Ia tidak mengetahui betapa dalam cintanya kepada si cantik itu, tetapi ia tahu untuk memutuskan percintaan itu tidaklah mungkin dapat dilakukan.
Nasetat yang diterimanya dari banyak orang pada saat bertemu muka dengan perempuan yang mempunyai kecantikan luar biasa itu, seketika telah lenyap seluruhnya.
Usia yang sudah lanjut, asal-usulnya yang sangat misterius, sepak terjangnya yang mendekati kekejaman dan desas-desus mengenai pernilaian martabatnya, semua ini, telah tidak dihiraukan seluruhnya. Cinta, telah menolak segala-galanya, juga menggoyahkan hasratnya yang pernah diputuskannya. Untung, pada saat itu mukanya tidak mudah dikenali, sehingga ia masih mendapat kesempatan untuk berpikir bagaimana harus bertindak.
“Apakah maksud kedatangan Tong hong Kui Bun?”
Perempuan cantik bagaikan bidadari itu, dengan sinar matanya yang tajam menyapu keadaan di situ sejenak. Ketika sinar matanya menatap wajah Hui-Kiam, pemuda itu merasakan kebingungan, hampir tidak bisa bernapas tetapi itu hanya sejenak saja, mata si cantik itu sudah beralih di atas diri Hiat-ie Nio-cu.
Hiat-ie Nio-cu agaknya terpesona, mungkin selama hidupnya ia belum pernah menyaksikan wajah sedemikia cantik.
Tong-hong Hui-Bun membuka mulut, suara yang amat merdu tetapi mengandung hawa nafsu pembunuhan melontar keluar:
“Hiat-ie Nio-cu ganas sekali perbuatanmu.”
Hantu wanita itu masih tetap dengan sikapnya yang galak. Dengan suara seram ia membalas bertanya:
“Kau siapa?”
“Kau jangan perdulikan aku siapa, aku hanya ingin bertanya kepadamu, bagaimana kau harus menyelesaikan hutang darah ini?”
“Kalau begitu, kau adalah orang dari Persekutuan Bulan Emas?”
“Boleh dikata begitu!”
Hui Kiam yang berdiri di samping, hatinya berdebar keras, nampaknya perempuan cantik ini erat sekali hubungannya dengan Persekutuan Bulan Emas. Persekutuan itu merupakan musuh bersama orang-orang rimba persilatan, juga merupakan musuh besarnya sendiri. Bagaimana ia harus menghadapi perkembangan selanjutnya?”
Sementara itu Tong-hong Hui Bun sudah berkata lagi:
“Apakah kau sengaja hendak bermusuhan dengan Persekutuan Bulan Emas?”
“Tidak perduli kawan atau lawan, aku bertindak selalu menuruti pikiran sendiri.”
“Mengapa kau melakukan pembunuhan ini?”
“Kawanan padri yang tidak punya mata ini telah melindungi musuh besarku seorang berbaju lila.”
“Apa? Orang Berbaju Lila musuh besarmu?”
“Benar.”
“Bagaimana kau tahu kawanan padri itu melindungi Orang Berbaju Lila?”
“Ketika aku mengejar Orang Berbaju Lila, orang itu sudah masuk ke dalam kuil ini, dan kemudian menghilang.”
Tong hong Hui Bun setelah berpikir sejenak berkata pula sambil tertawa dingin:
“Kau menjadi algojonya Orang Berbaju Lila.”
“Apa artinya?”
“Orang berbaju lila itu dengan Persekutuan Bulan Emas bagaikan api dengan air. Ia sengaja berbuat demikian, hendak meminjam tanganmu, membikin hancur tangan ini. Tetapi bagaimanapun juga, pembunuhan terhadap orang-orang cabang ini kau harus tanggung jawab sepenuhnya.”
“Bagaimana caranya bertanggung jawab?”
“Hutang darah bayar darah.”
“Hahaha. Suruh aku si nenek membayar hutang darah, ini merupakan satu berita aneh!”
“Bukan berita aneh, kenyataan nanti akan membuktikan perkataanku ini!”
“Aku sesungguhnya tidak tega turun tangan terhadap seorang yang mempunyai kecantikan seperti kau ini....”
“Memaafkan musuh, itu berarti berlaku kejam terhadap diri sendiri.”
“Sungguh tajam lidahmu!”
“Dua orang ini apakah muridmu?”
“Apa, bocah ini bukan orang Persekutuan Bulan Emas?” tanya Hiat-ie Nio-cu sambil menunjuk Hui Kiam.
Mata Tong-hong Hui Bun dialihkan ke wajah Hui Kiam. Katanya dengan suara hambar:
“Sahabat dari golongan mana?”
Hati Hui Kiam seperti mau melompat keluar. Sambil mengatupkan gigi, ia menjawab dengan suara yang sudah dirubah:
'“Sukma Tidak Buyar!”
Tong hong Hui Bun mengamat-amati Hui Kiam dengan seksama. Katanya dengan tenang:
“Sahabat adalah Sukma Tidak Buyar yang selalu berobah-robah muka itu?”
“Benar!” jawab Hui Kiam sambil menganggukkan kepala, selanjutnya ia bertanya: “Dalam Persekutuan Bulan Emas nyonya berkedudukan apa?”
“Tentang ini ... biarlah akan merupakan satu teka-teki bagimu untuk selama-lamanya.”
“Hutang sahabat dengan Bulan Emas juga tidak sedikit, biarlah malam ini kita perhitungkan sekalian.”
---ooo0dw0ooo---
JILID 21
HATI Hui Kiam bergidik, apakah ia sendiri benar-benar harus turun tangan terhadap kekasihnya itu? Ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang sangat ganjil. Tetapi pendirian perempuan cantik itu sudah nyata, berdiri di pihak Persekutuan Bulan Emas. Dan kedatangannya malam ini, sudah jelas karena mendapat kabar terjadinya pertempuran dalam kuil ini. Jika ia hendak menghindarkan pertempuran dengannya, satu-satunya jalan ialah kabur, tetapi persoalan tusuk konde emas berkepala burung hong itu, harus dibereskan lebih dulu....
Mata Tong-hong Hui Bun beralih ke wajah Siu Bie, kemudian berkata kepadanya:
“Nampaknya kau adalah anak murid Penghuni Loteng Merah?”
“Benar!” jawab Siu Bie sambil mengertak gigi.
Tong-hong Hui Bun beralih pula pandangan matanya ke arah Hiat-ie Nio-cu seraya berkata:
“Kau mengejar Orang Berbaju Lila apakah karena hendak membalas dendam Penghuni Loteng Merah?”
Mata Hiat-ie Nio-cu segera menunjukkan kebuasan, katanya dengan suara gemetar:
“Tidak salah!”
“Ada hubungan apa kau dengan Penghuni Loteng Merah?”
“Tidak perlu kau tahu!”
“Hem, aku juga tidak mempunyai kegembiraan untuk mencampuri urusanmu! Di sini ada seratus jiwa lebih, hanya kau berdua yang bisa dibuat ganti, ini terlalu murah. Hiat-ie Nio-cu dua puluh tahun berselang, namamu sudah menggetarkan dunia Kang-ouw karena perbuatanmu yang terlalu kejam dan ganas. Malam itu kau boleh merasakan sendiri bagaimana caranya diperlakukan sekejam itu seperti apa yang dahulu pernah kau lakukan terhadap orang lain.”
Sehabis berkata, ia lalu memberi perintah kepada empat pelayannya:
“Tangkap hidup-hidup!”
“Baik!”
Dengan serentak empat wanita muda maju menjadi dua rombongan, untuk menghadapi Hui Kiam dan Siau Bie.
Ketika empat pelayan wanita itu sudah serempak, suasana menjadi tegang.
Hiat-ie Nio-cu agaknya sudah marah benar-benar. Sambil menggeram hebat dan pentang jari tangannya menubruk Tong-hong Hui Bun.
Begitu dua jago betina itu bertarung, terjadilah suatu pertempuran yang jarang tampak dalam rimba persilatan.
Siu Bie sambil menenteng pedangnya menyambut kedatangan dua pelayan wanita itu. Tiga bilah pedang bagaikan tiga ekor ular
yang baru keluar dari gua, saling tikam dan saling menyambar, hanya sinarnya saja yang tampak berkelebatan.
Hui-Kiam merasa ragu-ragu. Ia sedang memikirkan baik turun tangan atau tidak?
Sebelum dapat meggambil keputusan, dua bilah pedang sudah mengancam dirinya. Ia segera menggeser kakinya bagaikan seekor belut sudah melesat ke lain tempat, menyingkir dari serangan tersebut.
Dua pelayan perempuan itu dikejutkan oleh gerak kaki Hui-Kiam yang luar biasa itu. Mereka segera mengetahui bahwa lawan ini bukanlah lawan sembarangan. Namun demikian, mereka tidak takut, lagi sekali melancarkan serangannya yang lebih hebat.
Dengan tenang Hui-Kiam berkelit kesana kemari. Meski dua pelayan perempuan itu sudah mengeluarkan seluruh kepandaian mereka namun masih belum berhasil menyentuh bajunya.
Siu-Bi yang menghadapi dua lawan, meski sukar merebut kemenangan, tapi juga tidak akan kalah. Untuk sementara keadaan masih berimbang.
Tong-hong Hui Bun dengan Hiat-ie Nio-cu yang merupakan tandingan setimpal, mereka bertempur sengit sekali. Nampaknya kekuatan kedua pihak berimbang, tetapi dari sudut kelincahan, Tong-hong Hui Bun nampak lebih unggul.
Pertempuran berjalan belum beberapa lama, dua pelayan wanita yang melawan Hui Kiam sudah terengah-engah napas mereka. Keringat membasahi sekujur badan, karena lari kesana kemari tanpa berhasil menyentuh Hui Kiam.
Dua pelayan itu tidak menyangka bahwa kepandaian Sukma Tidak Buyar itu ternyata jauh lebih tinggi dari apa yang pernah didengarnya. Lawannya itu sejak mulai pertempuran belum pernah balas menyerang, hanya menggunakan kelincahan gerak kakinya, lari berputar-putaran, seolah-olah tidak pandang ilmu pedang kedua lawannya. Seandainya lawan itu mau turun tangan, mungkin mereka sudah tidak dapat melanjutkan pertempurannya lagi.
Karena Hui Kiarn tidak ingin melukai mereka, tetapi juga tidak mau membuang tempo, maka lalu membentak dengan suara keras.:
“Tahan!”
Seruannya itu berhasil. Dua pelayan wanita itu segera menarik kembali serangannya dan lompat mundur dengan berbareng. Satu di antaranya berkata dengan suara gemetar:
“Sukma Tidak Buyar, apa maksudmu?”
“Aku tidak ingin mengambil jiwa kalian berdua. Kalau kalian tahu diri, lekas mundur ke samping untuk beristirahat!” jawabnya dingin.
Dua pelayan wanita itu meski tahu bukan tandingan lawannya, tetapi di bawah perintah keras Tong-hong Hui-Bun, siapa yang berani mundur?
Satu di antaranya lalu menyahut:
“Apa kau kira ucapanmu ini cukup kuat memerintah kami?”
“Hm! Kalau tidak percaya kalian boleh keluarkan seluruh kepandaian kalian. Kalau kalian sanggup meryambut seranganku sekali saja, aku akan melemparkan pedangku.”
Hati kedua perempuan itu tergerak. Dengan kepandaian mereka berdua yang di dalam kalangan jarang menemukan tandingan, apakah benar sampai tidak mampu menyambut serangan lawannya itu satu kali saja? Kesombongan lawannya itu merupakan satu kesempatan baik, maka mereka berdua saling berpandangan sejenak, satu di antaranya lalu berkata:
“Katamu hanya satu kali saja?”
“Benar, mungkin juga sudah cukup setengah saja!”
“Ucapan ini apa benar?”
“Aku tidak perlu main-main!”
“Kalau begitu silahkan tuan bertindak!”
Hui-Kiam perlahan-lahan mengangkat pedangnya. Katanya dengan suara dingin:
“Avvas, aku hendak mulai!”
Setelah itu, pedangnya diputar dan membuat garis setengah lingkaran.
Dua pelayan itu mungkin karena terlalu tegang perasaannya, kedua-duanya sudah siap dengan pedangnya untuk menuntut serangan Hui-Kiam.
Sesaat kemudian, terdengar suara ‘Trang! Trang!’ lalu disusul oleh dua kali jeritan terkejut. Pedang dua pelayan itu terlepas dari tangannya dan terbang sejauh dua tombak. Orangnya juga terpental mundur satu tombak lebih. Kedua-duanya berdiri terpaku dengan paras pucat pasi.
Hui Kiam hanya sejenak saja melirik kedua lawannya itu, kemudian mengalihkan pandangan matanya ke medan pertempuran yang lain.
Tong-hong Hui-bun agaknya dikejutkan oleh kejadian di luar dugaannya itu, hingga gerakannya agak terlambat. Kesempatan itu memberikan kesempatan bagi lawannya, Hiat-ie Nio-cu, merebut posisi yang menguntungkan. Ia terdesak mundur. Setelah menggunakan tiga rupa gerak tipunya yang terampuh, baru berhasil memperbaiki kedudukannya.
Di lain pihak, Siu-Bi yang melawan dua pelayan wanita, masih berjalan seru dalam keadaan berimbarg.
Hui-Kiam menenangkan pikirannya. Ia mulai menganalisa persoalan yang menyangkut tusuk konde emas berkepala burung hong. Dari ucapan Hiat-ie Nio-cu, taksirannya yang semula nampaknya saling bertentangan, agaknya sudah menemukan sedikit titik terang.
Siu Bie adalah murid kepala Penghuni Loteng Merah, dan munculnya kembali Hiat-ie Nio-cu ke dunia Kang-ouw, hanya semata-mata hendak menuntut balas kepada Orang Berbaju Lila atas kematian Penghuni Loteng Merah. Hiat-ie Nio-cu mengaku bahwa tusuk konde emas termaksud adalah senjata tunggalnya. Menurut dugaan yang sudah-sudah, dimisalkan To Liong Kiam Khek
adalah ayahnya sendiri, dan Penghuni Loteng Merah itu adalah kekasih ayahnya, mungkin karena ingin mendapat cinta kasih sepenuhnya dari sang ayah atau sebab lain, sehingga membunuh ibunya, semua ini mungkin saja bisa terjadi.
Menurut keterangan Hiat-ie Nio-cu, tusuk konde emas itu hanya ada dua buah. Sebuah di badannya sendiri, satu langkah diberikan kepada putri sulungnya Pek-leng lie-Kong Yong Hong. Sedangkan tusuk konde yang digunakan oleh Penghuni Loteng Merah untuk membunuh ibunya mungkin didapatkan dari Pek-leng-lie. Tetapi menurut Hiat-ie-Niocu, Pek leng-lie itu agaknya sudah menghilang tidak diketahui jejaknya, maka ketika-Hiat-ie Nio cu mendengar kabar bahwa Orang Tua Tiada Turunan sedang melakukan penyelidikan tentang siapa pemilik tusuk konde emas itu, sehingga ia turun tangan dan memaksa Orang Tua Tiada Turunan untuk memberitahukan dimana adanya tusuk konde itu.
Dalam hal ini, sudah tentu kalau Pek-leng-lie itu yang melakukan kejahatan tersebut, kemungkinan juga ada.
Pendek kata, Hiat-ie Nio-cu dan putrinya tidak terlepas dari sangkaan tersebut. Kini Penghuni Loteng Merah sudah binasa, maka soal menuntut balas itu cukup ditujukan kepada mereka berdua.
Ia teringat pula kepada diri Orang Tua Tiada Turunan. Hian-ie Nio-cu telah menyangkal membawa lari orang tua itu, kalau begitu siapakah yang melarikan dirinya seorang tua yang sudah terluka parah itu?
Ini kembali merupakan suatu teka-teki yang memusingkan kepala.
Suara rintihan perlahan, telah memutuskan lamunan Hui Kiam. Ia segera dapat melihat Tong-hong Hui Bun yang parasnya sudah berobah dan mundur terhuyung-huyung....
Hiat-ie Nio-cu setelah memperdengarkan suara tertawanya yang mengunjukkan kepuasan hatinya, lalu berkata:
“Sayang parasmu yang cantik ini, akan rusak membusuk bersama-sama dengan daging tubuhmu!”
“Tua bangka, kau menggunakan senjata rahasia beracun apa?” demikian Tong-hong Hui Bun bertanya dengan suara bengis.
“Tidak halangan kuberitahukan kepadamu. Senjata itu bernama kuku terbang. Paling lama kau cuma bisa hidup setengah jam lagi, tetapi jika tidak ingin kau menderita lebih lama, sebaiknya kau turun tangan sendiri untuk mengakhiri hidupmu!”
Dua pelayan yang sedang bertempur dengan Siu Bi segera meninggalkan lawannya, bersama-sama dengan dua pelayan lain lompat melesat ke samping Tong-hong Hui Bun untuk memberi pertolongan kepada majikannya.
Hui Kiam sendiri hampir saja binasa oleh senjata beracun istimewa itu, ketika menyaksikan kekasihnya terluka oleh senjata itu, merasa sangat pilu, juga merasa gemas......
Hiat-ie Nio-cu maju lagi satu langkah.....
Empat pelayan wanita itu dengan serentak mengambil tindakan untuk melindungi Tong-hong Hui Bun.
Hiat-ie Nio-cu ayun tangan kirinya, tangan kanannya menyambar. Tiga pelayan perempuan itu segera terpental mundur, dan yang satu lagi tersambar mukanya.
Pelayan yang malang itu menjerit ngeri, mukanya rusak karena tersambar oleh jari tangan Hiat-ie Nio-cu yang berkuku runcing itu. Ia bergelimpangan di tanah dalam keadaannya sangat mengerikan.
Hampir bersamaan pada waktu pelayan itu tersambar, Tong-hong Hui Bun menggunakan seluruh sisa kekuatan tenaganya melancarkan satu serangan.
Hiat-ie Nio-cu terpental mundur empat lima langkah, sedang Tong-hong Hui Bun setelah melancarkan serangannya itu, badannya sudah sempoyongan hendak roboh.
Keadaan serupa itu sudah pernah dialami sendiri oleh Hui Kiam, karena menggunakan kekuatan tenaga dalam, sehingga racun di dalam tubuhnya menjalar semakin kuat.
Hiat-ie Nio-cu tertawa terbahak-bahak. Ia maju lagi sambil mementang jari tangannya, hendak menyambar Tong-hong Hui Bun.....
“Kau cari mampus!”
Itu adalah suara bentakan yang keluar dari mulut Hui Kiam. Secepat kilat ia telah bertindak, pedangnya menyerang Hiat ie Nio-cu.
Hiat-ie Nio-cu dapat merasakan bahwa serangan Hui Kiam itu luar biasa hbebatnya. Dengan tanpa banyak pikir, ia segera melompat mundur. Meskipun gerakannya itu sudah cukup gesit, tetapi pedang Hui Kiam bergerak lebih cepat.
Di antara suara seruan terkejut, Hiat-ie Nio-cu berdiri di tempat sejauh delapan kaki. Baju berdarahnya robek sebagian, darah merah menetes keluar. Hantu wanita yang biasa menggunakan darah musuhnya untuk menandai bajunya, sekarang baju itu sudah menjadi merah oleh darahnya sendiri. Kalau semula baju itu masih putih dengan bintik-bintik warna merah, tetapi sekarang sudah menjadi merah seluruhnya.
Hui Kiam berpaling kepada Tong-hong Hui Bun dan bertanya kepadanya:
“Bagaimana lukamu?”
Paras Tong-hong Hui Bun pucat pasi, keringat dingin membasahi badannya. Dengan tidak bertenaga dia memandang Hui Kiam sejenak, lalu berkata:
“Kau....mengapa sudi menolong aku?”
Hui Kiam sedih sekali. Ia ingin membuka kedoknya dan memeluk Tong-hong Hui Bun....
Tong-hong Hui Bun sudah berkata lagi:
“Sukma Tidak Buyar, aku.... sebetulnya hendak membunuh kau.”
Hui Kiam sebisa-bisa menindas perasaannya sendiri, supaya suaranya tidak gemetar. Dengan tenang ia menjawab:
“Aku tahu.”
“Kalau begitu kau masih hendak menolong aku?”
“Sebab aku hendak membunuhnya.”
Jawaban itu tidak tepat, tetapi tidak disadari olehnya.
Tong-hong Hui Bun mengunjukkan senyumnya. Ia berkata:
“Aku ingat budimu ini!”
“Tidak perlu!”
“Kekuatanmu sesungguhnya di luar dugaan.”
“Kau terlalu memuji!”'
“Aku harap kau selanjutnya tidak bermusuhan lagi dengan Bulan Emas!”
“Ini barangkali tidak mungkin!”
“Mengingat akan bantuanmu ini, aku beri sedikit nasehat kepadamu. Dalam rimba persilatan dewasa ini tiada orang yang sanggup melawan kekuatan pemimpin Bulan Emas. Bagaimana akibatnya orang yang berani bermusuhan dengan persekutuan itu, kau dapat membayangkan sendiri.”
“Terima kasih atas nasehatmu. Tetapi seorang yang ingin menguasai dunia dengan tangan berlumuran darah, bagaimana akhirnya juga dapat kau bayangkan sendiri. Sejak dahulu kala kejahatan tidak bisa memenangkan kebenaran, keadilan dan kebenaran tidak bisa musnah untuk selama-lamanya.”
Tong-hong Hui Bun agaknya sudah tidak sanggup menahan penderitaannya lagi. Badannya gemetaran, sehingga perlu segera dibimbing oleh pelayan-pelayannya.
Pada saat itu, Hui Kiam baru mengetahui bahwa Hiat-ie Nio-cu dan Siu Bi, sudah menggunakan kesempatan selagi ia bicara dengan Tong-hong Hui Bun diam diam sudah berlalu!
Dengan berlalunya hantu wanita itu, agaknya sulit untuk menemukan lagi, dengan demikian maka teka teki meliputi tusuk konde emas itu, akan diperpanjang waktunya lagi.
Ia juga menyesal, karena seluruh perhatiannya tadi ditujukan kepada Tong-hong Hui Bun, sehingga agak lengah terhadap dirinya hantu wanita itu.
Tiba-tiba ia teringat akan pengalamannya sendiri, maka segera berkata dengan hati cemas:
“Dalam waktu setengah jam, apa kau dapat mencari sesuatu barang?”
Tong-hong Hui Bun coba kuatkan dirinya. Ia bertanya dengan perasaan heran:
“Barang apa?”
“Obat pemunah racun dedaunan!”
“Kau maksudkan obat pemunah racun dedaunan rumput?”
“Benar!”
“Untuk apa?”
“Racun kuku terbang ini, siapapun tidak sanggup bertahan Iebih dari setengah jam, tetapi obat itu dapat menyembuhkan racun yang amat berbisa ini!”
Hingga saat itu, Hui-Kiam baru menyadari gawatnya kejadian ini. Apabila dalam waktu setengah jam tidak mendapatkan obat pemunahnya, Tong-hong Hui-bun pasti akan binasa.
Berpikir demikian, hatinya merasa sangat gelisah. Apabila benar ia akan mati karena racun itu, apakah ia sendiri masih ada keberanian untuk hidup terus!
“Kataku, dalam waktu setengah jam, setengah jam!”
Tong-hong Hui-bun menunjukkan sikap agak bingung. Katanya dengan suara perlahan:
“Boleh!”
“Itu... bagus sekali!”
Dahulu ketika kedua mata Hui-Kiam buta karena racun si Iblis Singa, Tong-hong Hui Bun pernah menyatakan keyakinannya bahwa ia sanggup menyembuhkan matanya, maka dia mengetahui bahwa Tong-hong Hui Bun pasti sanggup mendapatkan obat pemunah itu. Apa yang dikhawatirkan hanya soal waktu, tetapi setelah ia memberi keterangan, kini boleh merasa lega.
Tetapi apa yang ditunjukkan oleh Hui Kiam itu, sangat membingungkan Tong-hong Hui Bun dan para pelayannya, sebab belum lama berselang Hui Bun, merupakan orang yang harus disingkirkan juga, sudah tentu Tong-hong Hui Bun tidak menduga sama sekali bahwa orang yang kini berada di hadapan matanya itu adalah kekasihnya sendiri, si Penggali Makam Hui Kiam.
Tong-hong Hui Bun segera pamitan dengan Hui Kiam. Dia berlalu di bawah bimbingan para pelayannya.
Pelayan wanita yang tadi kena tercakar oleh jari kuku Hiat-ie Nio-cu, entah sekejap sudah putus jiwanya.
Hui Kiam dengan hati pilu mengawasi berlalunya sang kekasih itu. Ia ingin membuka kedoknya sendiri, untuk merawat kekasihnya itu tetapi ia mengendalikan perasaannya. Ia ingat masih banyak urusan yang belum diselesaikan, terutama Cui-Wan Tin, tadi di dalam makam pedang itu, ia merasa, ia harus berlaku hati-hati, jangan sampai menimbulkan rasa dengki Tong-hong Hui-Bun, karena kalau hal itu itu terjadi, akibatnya hebat sekali.
Beberapa lama ia berdiri terpaku, pikirannya sangat kalut.
Akhirnya ia dapat juga mengambil keputusan, lain kali apabila bertemu lagi dengan Tong-hong Hui-Bun, harus minta keterangan kepadanya mengenai hubungannya dengan Persekutuan Bulan Emas dan asal-usulnya yang sebenarnya.
Jikalau kedua belah pihak berdiri berhadapan sebagai musuh, akibatnya sudah dibayangkan.
Ia juga teringat akan diri Sukma Tidak Buyar yang juga mengejar Hiat-ie Nio-cu. Karena hantu wanita itu sudah diketemukan olehnya, sudah tentu Sukma Tidak Buyar tidak mendapatkan apa-apa. Keduanya sudah berjanji akan berjumpa di bawah bukit Bu-ling-san untuk merencanakan usahanya mencegah gerakan Im-hong-tui, yang dipimpin oleh Bi-mo, salah satu dari Delapan Iblis Negara Thian-tik. Apabila gerakan iblis itu berhasil, lebih sulit lagi ditumpasnya.
Kalau hanya dengan satu dua orang saja tidak mungkin dapat mencegah sepak terjang kawanan penjahat yang sudah mulai menjalar pengaruhnya ke seluruh negri itu.
Apabila dilihart dari tindak tanduk Sukma Tidak Buyar, agaknya di belakang layar sudah ada orang kuat golongan benar yang mengatur rencana untuk membasmi kawanan penjahat itu. Kalau itu benar, sesungguhnya merupakan suatu perbuatan yang patut dihargakan.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking.
Hui Kiam terkejut, sambil berseru: “Celaka!” segera lompat melesat keluar dari dalam kuil.
Belum lama Tong-hong Hui Bun bersama pelayannya berlalu, dan Hiat-ie Nio-cu yang sudah menyingkir lebih dulu, ada kemungkinan besar, menyembunyikan diri di dekat tempat itu. Suara jeritan itu sudah terang keluar dari mulut pelayan-pelayan Tong-hong Hui-Bun. Hal itu sudah tentu mencemaskan Hui Kiam.
Begitu tiba di luar kuil, suatu pemandangan yang mengerikan terbentang di adapan matanya.
Dua di antara tiga pelayan Tong-hong Hui Bun sudah mati dalam keadaan mandi darah, yang lainnya berdiri terpaku di tempat sejauh dua tombak sedangkan Tong-hong Hui-Bun rambutnya sedang
dipegang erat-erat oleh si Orang Berbaju Lila, ujung pedang mengancam dadanya.
Hui Kiam seketika itu dadanya dirasakan hampir meledak darahnya naik seketika dengan tanpa ayal ia membentak dengan suara keras:
“Bebaskanlah dia!”
Orang Berbaju Lila itu mengangkat kepala. Matanya memancarkan sinar aneh yang tidak dapat dimengerti oleh Hui-Kiam. Lama baru berkata:
“Apa kau kira mungkin akan kubebaskan?”
Hui Kiam sungguh tidak menduga bahwa orang yang menyerang Tong-hong Hui Bun adalah si Orang Berbaju Lila, bukan Hiat-le Nio-cu seperti yang diduganya semula.
Otang Berbaju Lila itu pernah dipaksa terjun ke dalam jurang oleh Tong-hong Hui Bun dan kini mendapat kesempatan menuntut balas, sudah tentu tidak gampang-gampang melepaskannya.
Orang Berbaju Lila itu merupakan musuh besar perguruannya. Hampir setiap saat Hui Kiam memikirkan hendak menuntut balas dendam.
“Lepaskan!”
“Tidak bisa!”
“Kalau kau berani ganggu seujung rambutnya saja, aku akan cincang tubuhmu!”
“Biar bagaimana kau tokh akan membunuh aku, betul tidak? Tidak perduli aku membunuhnya atau tidak, tokh tidak akan berobah hasratmu.”
Hui Kiam bergidik, apakah Orang Berbaju Lila itu sudah mengetahui siapa dirinya yang sebetulnya? Jikalau tidak, bagaimana ia berani berkata demikian? Untuk membebaskan Tong-hong Hui Bun dari tangannya, nampaknya tidak mudah lagi.
Waktu itu cuaca sudah mulai remang-remang, agaknya sudah mendekati pagi hari.
Orang berbaju lila itu berkata kepada Tong-hong Hui Bun:
“Tong-hong Hui Bun, jikalau kau ingin hidup, kau harus terima baik syaratku.”
Tong-hong Hui Bun yang sudah susah bernapas, berkata dengan suara sangat perlahan sekali:
“Syarat apa?”
“Kau harus bersumpah untuk memutuskan hubunganmu dengan Hui Kiam.”
Tergerak hati Hui Kiam, pikirnya: Orang berbaju lila itu belum tahu wajahku yang sebenarnya, apa maksudnya memajukan syarat itu?
Karena rasa dengki? Ataukah belum dapat melupakan Tong-hong Hui Bun?
Mendengar perkataan itu, Tong-hong Hui Bun menjawab dengan suara bengis:
“Tidak bisa, aku cinta kepadanya. Ia merupakan satu-satunya orang dalam seumur hidupku yang kucinta dengan setulus hati, siapapun tidak dapat....”
Hati Hui Kiam tergetar. Tong-hong Hui Bun yang sedang menghadapi ancaman bahaya maut tetapi masih tetap setia kepada cintanya, apakah kecintaan itu dapat diabaikan begitu saja?
Mata Orang Berbaju Lila nampak beringas. Ia berkata dengan suara keras:
“Perempuan hina, apa kau ingin mencari mati?”
“Kau......bunuhlah! Dia nanti juga membunuhmu sebagai pembalasan atas perbuatanmu ini.”
“Perempuan hina, tahukah kau sedang berbuat apa?”
“Aku tidak perduli.”
“Kalau begitu aku terpaksa harus membunuh kau.”
“Kau bisa menyesal!”
“Setidak-tidaknya lebih baik dari pada membiarkan kau hidup melakukan perbuatan durhaka!”
Darah Hui-Kiam dirasakan mendidih. Ia hampir saja menekan hancur gagang pedang yang dipegangnya. Dalam keadaan demikian ia benar-benar tidak berdaya karena ia khawatir akan mencelakakan diri Tong-hong Hui-bun. Ia tidak berani bertindak tetapi ia juga tidak dapat melihat kekasihnya binasa di tangan orang lain ….
Dalam keadaan tidak berdaya itu, ia telah mengambil keputusan untung-untungan.
Tong-hong Hui-bun sudah terkena racun kuku terbang Hiat-ie Nio-cu yang sangat berbisa perlu segera ditolong pada waktunya, apabila diperpanjang lagi waktunya, sekalipun orang berbaju lila itu tidak bertindak, ia juga tidak bisa hidup lagi.
Maka, dengan diam-diam ia mengerahkan semua kekuatan tenaga dalamnya, dan dipusatkan ke jari tangannya sambil menantikan kesempatan baik.....
Orang berbaju lila itu sekonyong-konyong menghela napas panjang, katanya:
“Aku minta, kau jangan berbuat demikian!”
“Kau suruh aku bersumpah?”
“Benar.”
“Lepaskan aku dulu!”
Orang berbaju lila itu entah disengaja atau tidak, matanya melirik Hui Kiam sejenak lalu berkata:
“Tidak bisa!”
“Kalau tidak bisa sudah saja. Seumur hidup aku belum pernah minta pertolongan orang, mengapa harus minta belas kasihan?”
“Sekalipun kau mati juga masih belum cukup untuk membayar hutang dosamu. Akhiri sendiri jiwamu yang penuh dosa ini!”
Tepat pada saat itu, Hui Kiam melancarkan serangannya dengan jari tangan.
Tindakannya itu boleh dikata sangat berbahaya. Dengan berkepandaian seperti orang berbaju lila itu, kalau ia mau dapat saja mengambil jiwa Tong-hong Hui-bun, di mana ia merasa dirinya sendiri terancam. Sekalipun serangan Hui Kiam itu tepat, tiada mungkin lebih cepat daripada gerakan ujung pedang Orang Berbaju Lila.
Akan tetapi, apa yang terjadi selanjutnya, ternyata di luar dugaan.
Pada saat serangan jari tangan Hui Kiam meluncur keluar, satu-satunya pelayan Tong-hong Hui-Bun yang masih hidup tiba-tiba mengeluarkan suara jeritan melengking. Suara ini bukan saja sudah mengalihkan perhatian Orang Berbaju Lila tetapi juga menutupi suara hembusan angin yang keluar dari jari tangan itu.
“Ow....” demikian terdengar suara yang keluar dari mulut Orang Berbaju Lila yang segera mundur terhuyung-huyung. Bersamaan dengan itu tubuh Tong-hong Hui-Bun, jatuh rubuh di tanah.
Hui-Kiam dengan cepat segera menubruk sambil berseru:
“Serahkan jiwamu!”
Pedangnya segera menerjang dengan menggunakan gerak tipu melempar pecut memutuskan aliran.
Orang Berbaju Lila menyambut serangan itu dengan pedangnya.
Kedua senjata saling beradu, percikan api memancar keluar, bersamaan dengan itu mata Hui Kiam merasa seperti tertutup, dua jari tangan sudah mengancam di depan matanya.
Bukan kepalang terkejutnya, dengan cepat ia menyingkir menggunakan gerak kakinya yang luar biasa itu.
Sesaat itu ia melihat kelebatnya bayangan berbaju lila, yang segera menghilang dari depan matanya.
Tiba-tiba ia teringat gerak tipu serangan yang digunakan oleh orang berbaju lila itu, adalah serangan yang khusus untuk mengorek biji mata musuh ciptaan Tee-hong, yang telah dicurinya.
Dengan menggunakan waktu beberapa puluh tahun Tee-hong baru berhasil menciptakan gerak tipu serangannya itu„ maksudnya ingin mengorek biji mata Thian Hong untuk menunrut balas atas perbuatan yang kejam itu. Ia sebetulnya sudah mendapat petunjuk dari Tee-hong bagaimana harus memecahkan serangan tersebut, akan tetapi dalam keadaan tergesa-gesa ia sudah lupa menggunakan.
Ketika ia ingat itu, ternyata orang berbaju lila itu sudah merat, ia tidak bisa berbuat lain kecuali mengejarnya.
Karena rimba itu sangat lebat, cuaca juga belum terang, sehingga dalam waktu sekejap mata saja sudah kehilangan jejak si Orang Berbaju Lila.
Ia tahu bahwa ia tidak akan berhasil mengejarnya, sementara itu hatinya memikirkan keselamatan diri Tong-hong Hui Bun. Terpaksa ia balik kembali dengan hati penasaran. Tetapi ketika ia balik di tempatnya, ia berdiri dengan mulut ternganga, karena Tong-hong Hui Bun dan pelayannya sudah tidak tampak bayangannya.
Ia berdiri di situ seperti patung, otaknya bekerja memikirkan kembali setiap patah kata si Orang Berbaju Lila yang diucapkan kepada Tong-hong-Hui Bun. Ia coba menganalisa, ia merasa di antara Orang Berbaju Lila dengan Tong-hong Hui Bun, agaknya pernah terjalin suatu perhubungan, rasanya tidak begitu sederhana seperti yang dibantah oleh Tong-hong Hui Bun tempo hari.
Tetapi, ia segera menghibur dirinya sendiri. Perlu apa menyelidiki asal-usul dirinya yang lalu, asal satu sama lain sudah saling menyinta dengan tulus hati sudah cukup. Sekarang, tetapi sekarang dan yang lalu tetap sudah lalu.
Hanya sayang, sekali lagi musuh besarnya itu dapat lolos lagi. Inilah yang membuat hatinya tetap merasa penasaran.
Pada saat itu, sinar matahari pagi sudah mulai menyinari seluruh jagat, suara burung bersahutan di dalam rimba, mengurangi keseraman yang diciptakan oleh penumpahan darah besar-besaran tadi malam.
Sambil menarik napas dalam-dalam Hui Kiam menyimpan pedangnya, lalu meninggalkan tempat tersebut.
Tiba-tiba satu suara yang dikenal memanggilnya:
“Siaohiap, tunggu sebentar!”
Hui Kiam menghentikan kakinya. Ia merasa heran bahwa ia sendiri sudah merobah mukanya mengapa ada orang yang menyebut dirinya siaohiap? Ketika berpaling, bukan kepalang terkejutnya, karena orang yang memanggilnya itu ternyata justru Orang Tiada Turunan yang sedang dicarinya.
Orang tua itu nampaknya sudah pulih kesehatannya, maka ia segera bertanya dengan perasaan heran:
“Cianpwee, kau....”
Orang Tua Tiada Turunan itu batuk-batuk sebentar baru berkata:
“Kau barangkali merasa heran mengapa aku bisa muncul di sini?”
“Ya.”
“Orang yang tadi malam memancing keluar kau berdua dengan menyaru suara tertawanya Hiat-ie Nio cu kemudian membawa lari keluar aku dan menyembuhkan luka-lukaku, adalah orang yang mengaku bernama Orang Menebus Dosa.”
“Orang Menebus Dosa?”
“Benar, ia sendiri yang mengaku begitu. Aku sebetulnya juga hanya dengar suaranya tetapi tidak kelihatan orangnya.”
“Dia... mengapa harus berlaku demikian misterius?”
“Aku sendiri juga tidak mengerti.”
Kembali Hui Kiam harus putar otak. Perbuatan orang yang mengaku sebagai Orang Yang Menebus Dosa itu, sudah jelas memang sengaja menyingkiri dirinya, tetapi mengapa? Dari segala tindak-tanduknya dapat ditarik kesimpulan, bahwa Orang Menebus Dosa itu bukan saja mengetahui jelas asal-usul Hui Kiam, bahkan agaknya tidak jauh terpisah dari dirinya. Hal ini sudah pasti bukan tanpa sebab, tetapi apakah sebabnya?
Orang Tua Tiada Turunan itu berkata pula:
“Orang Menebus Dosa mengatakan bahwa ia ingin agar aku menyampaikan kepadamu....”
“Perkataan apa?”
“Ia minta kau untuk sementara jangan menuntut balas kepada Orang Berbaju Lila.”
“Ow! Ini apa sebabnya?”
“Sebab pada dewasa ini tujuan satu sama lain adalah sama.”
“Bertujuan sama?”
“Ya, terhadap bencana yang dihadapi dunia rimba persilatan pada dewasa ini, dia merupakan salah satu kekuatan yang tidak boleh dibiarkan begitu saja.”
“Orang Berbaju Lila itu berhati kejam dan ganas perbuatannya, kelakuannya rendah, ia tidak pantas turut berbicara dalam soal membasmi kejahatan.”
“Sekalipun seorang jagal ada kalanya juga bisa meletakkan goloknya.”
“Ucapan cianpwee itu apakah dikarenakan merasa besar hutang budi terhadap Orang Menebus Dosa?”
“Siaohiap, kau sesungguhnya terlalu memandang rendah diriku si tua bangka ini. Aku hanya menyampaikan ucapan Orang Menebus Dosa itu saja.”
“Boanpwee minta maaf atas kesalahan omong boanpwee tadi.”
“Ini tidak perlu. Sekarang kita ambil cabang Persekutuan Bulan Emas di tempat ini saja. Orang Berbaju Lila itu menggunakan siasat meminjam tangan Hiat-ie Nio-cu menghancurkan markas dan semua orangnya yang berada di cabang itu. Perbuatannya itu di satu pihak menyingkirkan sebagian pengaruh dan kekuatan lawan, di lain pihak, menambah satu lawan kuat bagi Persekutuan Bulan Emas.”
“Tetapi perbuatan semacam itu, tidak akan dilakukan oleh orang golongan benar.”
“Siaohiap, dengan terus terang pikiranmu itu karena sudah terpengaruh oleh perasaan sentimen!”
“Apakah Boanpwee harus melepaskan musuh perguruan Boanpwe itu”
“Bukan, itu adalah soal lain. Orang Berbaju Lila dahulu telah membunuh tiga supekmu, sekalipun perbuatan itu timbul karena pikiran serakah tetapi biar bagaimana pertempuran itu dilakukan dengan mengandalkan kekuatan dan kepandaian masing-masing. Sementara mengenai suhumu dan supekmu yang terbinasa karena senjata jarum melekat tulang, tentang ini ia telah bersumpah tidak pernah melakukan. Teranglah sudah, di waktu pertempuran sedang berlangsung, diam-diam ada orang lain yang melakukan perbuatan busuk itu. Siapakah orang yang melakukan perbuatan itu, katanya ia sudah mempunyai perkiraan yang mungkin tidak akan keliru....”
“Dalam anggapannya, siapakah orangnya menggunakan senjata jarum melekat tulang itu?
“Sebelum tiba waktunya, ia tidak mau menerangkan.”
“Tapi hutang darah ini?”
“Katanya kemudian hari ini akan menyelesaikannya sendiri!”
Hui-Kiam diam-diam berpikir. le-It Hoan pernah menyampaikan pesan suhunya, supaya berserikat dengan Orang Berbaju Lila untuk menghadapi Persekutuan Bulan Emas. Orang Berbaju Lila itu sendiri juga pernah minta diberi waktu, dan sekarang Orang Tua Tiada Turunan itu kembali membawa usul Orang Menebus Dosa.
Keinginan ketiga pihak ini serupa, apakah di antara mereka sudah ada persetujuan antara satu sama lain. Ataukah pikiran mereka kebetulan ada sama?
“Bagaimana pikiran cianpwee sendiri?”
“Aku percaya perkataan Orang Menebus Dosa itu tidak bohong. Dewasa ini dunia rimba persilatan memang sudah mendekati jurang kemusnahan. Kita harus bersatu pikiran dan tenaga untuk menolong bahaya. Ini memang suatu pikiran yang tepat, maka aku mengharap supaya siaohiap ingat kepentingan umum lebih dahulu baru mengurusi soal prihadi....”
“Boarpwee bukan dewa juga merupakan manusia biasa. Boanpwee khawatir tidak dapat mengendalikan perasaan sendiri!”
“Siaohiap, sahabat-sahabat dunia Kang-ouw yang sepaham pada dewasa ini, semua memandang kau sebagai tiang penegak kebenaran, mereka mengharap kau dapat mencegah bencana yang mengancam ini….”
“Ini sesungguhnya merupakan penilaian yang terlalu tinggi bagi boanpwee!”
“Tidak, dewasa ini meski siaohiap agak kurang dalam pengalaman, tetapi untuk kepandaian ilmu silat, boleh dikata merupakan orang nomor satu dalam barisan golongan kebenaran.”
“Boanpwee bersedia menyumbangkan tenaga tetapi tidak berani menerima pujian ini.”
“Ini tidak penting, tidak perlu dihiraukan terlalu mendalam.”
“Menurut keterangan cianpwe ini, dewasa ini tentunya sudah ada orang yang diam-diam sudah menyusun rencana untuk menghadapi Persekutuan Bulan Emas?”
“Itu memang benar.”
“Mengapa Orang Menebus Dosa tidak mau menampakkan diri?”
“Tentang dia… dia berkata masih mempunyai kesulitan yang tidak bisa dijelaskan!”
“Orang Berbaju Lila itu karena sejilid kitab Thian-khie Po-kip, sudah tidak segan mencelakakan diri suhu dan supek, menteror perkumpulan Sam-goan-pang, membunuh jago kota Go-see membisakan suami-istri Liang gie Sie-seng... dosanya sudah bertumpuk-tumpuk. Orang semacam ini juga berani turut berbicara soal pembasmian kejahatan, bukankah itu merupakan suatu sindiran bagi kaum golongan kebenaran?”
“Ucapan siaohiap ini memang benar. Tetapi aku tadi sudah berkata, seorang jagal ada kalanya juga bisa meletakkan goloknya.”
Hui Kiam berpikir sejenak, baru berkata:
“Boanpwee terima baik permintaan cianpwe untuk sementara akan menahan sabar.”
“Itu bagus, aku si orang tua, di sini atas nama kawan-kawan persilatan, mengucapkan terima kasih banyak-banyak.”
“Ucapan Cian-pwee ini terlalu berat bagi boan-pwee.”
“Bagaimana dengan peristiwa yang ada hubungannya dengan tusuk konde emas berkepala burung Hong.......?”
“Aaaaaaa!” demikian Hui Kiam berseru, kemudian mengangguk dalam-dalam dan berkata dengan sikap menghormat:
“Oleh karena urusan ini sehingga Cianpwe dianiaya oleh hantu wanita itu, boanpwee sesungguhnya merasa sangat tidak enak. Budi Cianpwee ini boanpwee hanya dapat mengucapkan banyak-banyak terima kasih dan akan ingat selama-lamanya.”
“Itu adat istiadat yang sudah usang, sudah tidak usah saja! Kau berkata sudah bertempur dengan Hiat-ie Nio-cu, apakah hantu wanita itu tidak mengatakan soal ini?”
“Ia mengaku bahwa tusuk konde emas berkepala burung hong itu senjata tunggalnya. Semuanva ada dua buah, sebuah ada di badannya sendiri, sebuah lagi disimpan oleh putri sulungnya Pek-leng-lie Khong Yang Hong. Tusuk konde yang sekarang berada di tangan boanpwe ini, tidak usah ditanya sudah tentu adalah tusuk konde yang berada di tangan Pek-leng-lie itu. Jadi orang yang
membunuh ibu, sudah tentu adalah Pek-leng-lie. Menurut tindakan hantu wanita pada dewasa ini, kita boleh menarik kesimpulan bahwa Pek-leng-lie itu tentunya sudah menghilang, maka hantu wanita itu baru memaksa cianpwee untuk memberi keterangan di mana adanya tusuk konde itu....”
Orang Tua Tiada Turunan itu berpikir sejenak, lalu berkata:
“Pek-leng-lie Khong Yang Hong....”
“Apakah cianpwee kenal dengan perempuan itu?”
“Nanti kupikir-pikir dulu....”
Setelah diam agak lama tiba-tiba ia menepok tangan dan berkata pula: “Betul, ada perempuan semacam itu, sekarang aku sudah ingat. Tetapi, ini adalah kejadian yang sudah lama sekali.”
“Coba cianpwee ceritakan.”
“Pada lima belas tahun berselang, ada seorang gadis berusia kira-kira duapuluh tahun, datang berkunjung ke gereja Siao-lim-sie, dengan secara paksa minta pil ‘Tay-goan-tan’. Dalam peristiwa itu pihak Siao-lim-sie banyak yang luka. Menurut keterangan murid-murid Siao lim-sie, gadis itu adalah Pek-leng-lie Khong Yang Hong.”
“Selanjutnya?”
“Sepuluh sesepuh dan delapan anggota pelindung hukum, telah membentuk barisan Lo-han. Dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari tiga malam lamanya, gadis itu akhirnya tertangkap.
Namun demikian, karena Siao-lim-sie mengerahkan tenaga sepuluh sesepuh dan delapan anggota pelindung hukum hanya untuk menghadapi seorang gadis yang masih muda, maka hal itu pada kala itu merupakan suatu kejadian besar dalam sejarah partay persilatan itu. Bagi Siao-lim-sie sendiri, dan juga merupakan suatu kejadian yang belum pernah dialami.”
“Bagaimana setelah Pek-leng-lie tertangkap?”
“Selanjutnya tidak ada kabar lagi tentang diri gadis itu.”
“Menurut dugaan boanpwee, setelah Pek-leng-lie tertangkap, kalau tidak dibunuh mati, tentunya dijebloskan dalam tahanan.”
“Emmm! Itu mungkin! Hanya, ibumu meninggal pada sepuluh tahun berselang.”
“Boanpwee ingin mengunjungi gereja Siao-lim-sie, mungkin bisa dapat sedikit keterangan.”
“Kalau Pek-leng-lie sudah dibinasakan pada lima belas tahun berselang, sudah tentu dia tidak dapat melakukan pembunuhan itu setelah beberapa tahun kemudian. Jikalau ditahan mungkin masih dalam tahanan atau sudah bebas.”
“Cianpwee benar, semua ini asal sudah berada di Siao-lim-sie, dengan sendirinya akan menjadi terang.”
“Apakah kau hendak berangkat sekarang juga?”
“Tidak, boanpwee masih hendak menjumpai Ie It Hoan di bawah gunung Bu-leng-san untuk memenuhi janjinya.”
“Ada urusan apa?”
“Empat dari Delapan Iblis negara Thian Tik dahulu, iblis Singa, iblis Gajah, iblis Pie, dan Iblis Siu, kini sudah menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas dan diangkat sebagai anggata badan pelindung hukum tertinggi.”
“Tentang ini aku sudah tahu!”
“Satu di antara mereka, ialah iblis Pie, kini di gunung Bu-leng-san dengan semacam ilmu hitam melatih serombongan kaum wanita yang dinamakan rombongan Im-hong-tui....”
“Im-hong-tui? Nama ini agak aneh!”
“Kabarnya, barisan Im-hong-tui ini terdiri dari rombongan kaum wanita yang mempunyai bakat sangat bagus. Dengan menggunakan pengaruhnya obat, mereka kehilangan sifat aslinya kemudian dididik ilmu peperangan. Dengan kecantikan paras mereka memancing orang-orang kuat rimba persilatan lalu diisap tenaga murni kaum lelaki yang terjatuh ke dalam tangan mereka
supaya lekas berhasil, setelah itu dididik ilmu hitam. Jika semua latihan itu berhasil, entah bagaimana akibatnya nanti?”
“Ada kejadian demikian, mari kuturut!”
“Ada cianpwee jalan sama-sama sungguh baik!”
''Beritamu ini apakah kau dapatkan dari Ie It-Hoan si setan cilik itu?”
“Ya.”
“Emmmm! Kalau begitu bukan bohong. Mari kita berangkat!”
Hari itu, baru saja lewat tengah hari, kota Lam-shia yang terletak kira-kira seratus pal dari daerah gunung Bu-leng-san, kedatangan tetamu seorang tua berambut putih dan seorang sastrawan miskin setengah tua. Mereka berdua adalah Orang Tua Tiada Turunan dan Hui Kiam yang sudah berganti rupa.
Mereka sebetulnya ingin melanjutkan perjalanannya ke desa Ma kee-cip, tempat yang dijanjikan sebagai tempat untuk pertemuan dengan Ie It Hoan, si Sukma Tidak Buyar. Sebab sepanjang yang didengarnya ramai orang bercerita tentang diadakan 'lui-tay' atau panggung pertandingan ilmu silat di kota Lam-shia, maka mereka menuju ke kota tersebut untuk menonton keramaian itu.
Selagi orang-orang dan partay rimba persilatan sedang terancam oleh Persekutuan Bulan Emas yang hendak menguasai rimba persilatan, ternyata masih ada orang yang mempunyai kegembiraan mengadakan permainan demikian. Bukan mustahil kalau dalam hal ini mengandung maksud tertentu.
Dalam kota ramai orang mondar-mandir, sebagian besar orang-orang Kang-ouw yang jalan mendongakkan kepala dan rnelembungkan dada.
Hui Kiam dan Orang Tiada Turunan karena hanya seorang sastrawan miskin dan seorang tua lanjut usianya, sedikitpun tidak menarik perhatian orang.
Mereka masuk ke sebuah rumah makan untuk mengisi perutnya. Para tamu dalam rumah makan itu sedang ramai membicarakan
urusan pertandingan di atas panggung lui-tay itu. Kiranya pertandingan itu sudah memasuki hari ketiga. Hui Kiam dan Orang Tua Tiada Turunan sebetulnya ingin dengarkan pembicaraan mereka agar mengerti keadaannya, tetapi karena terlalu ramai, hanya sedikit saja yang dapat didengar dari mereka.
Kebetulan seorang pelayan yang membawa makanan untuknya memajukan pertanyaan.
“Tuan-tuan berdua apakah baru tiba di sini?”
“Ya, baru saja sampai!” jawabnya Hui Kiam sambil menganggukkan kepala.
“Ingin menonton pertandingan Lui-tay?”
“Hm, hm!”
“Kedatangan tuan-tuan sangat kebetulan, hari ini boleh menonton dengan puas. Dengan sejujurnya aku sejak dilahirkan di dalam dunia belum pernah….”
“Puas, katamu? Apa maksudmu?”
“Oh! Tuan-tuan kiranya masih belum tahu hari ini taycu (pemimpin atau jagoannya) akan memberikan hadiah kepada pemenang....”
“Apakah yang diherankan?”
Pelayan itu tertawa menyeringai lalu berkata:
“Taysu sejak dimulainya pertandingan itu, hanya sekali menampakkan muka, selanjutnya tidak kelihatan di panggung lagi. Hari ini kabarnya hendak turun tangan sendiri untuk memberikan hadiah kepada yang menang, soal ini menggemparkan seluruh penduduk kota. Tuan-tuan, taycu itu ada aku pikir tentunya entah bidadari siapa yang menjelma di dalam dunia. Kalau manusia biasa, tentu tidak mempunyai kecantikan demikian. Siapa yang melihatnya saja sejenak, pasti akan terbang semangatnya.
“Lho, Taycu seorang wanita?”
“Betul. Ha, ha, ha, bidadari yang turun ke dalam dunia itu kalau aku mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan perempuan secantik itu, tak sia-sia hidupku di dalam dunia.”
Mendengar keterangan pelayan itu, Hui Kiam mengerutkan keningnya. Katanya:
“Siapa yang mendirikan Lui-tay itu?”
“Ini.....ha ha, tidak tahu.”
“Di mana letaknya Lui-tay itu?”
“Di tanah lapang depan wisma pahlawan.”
“Wisma pahlawan?”
“Ya, gedung itu sebetulnya peninggalan seorang pembesar di dalam kota ini, sekarang dirobah jadi wisma pahlawan. Barang siapa yang berkepandaian tinggi dapat memenangkan dalam pertandingan di atas Lui-tay itu, diterima masuk ke dalam wisma pahlawan itu dan akan disambut serta dijamin oleh Taycu sendiri. Ah! Sayang aku tidak mengerti ilmu silat….”
“Di mana letaknya wisma pahlawan itu?”
“Di kota bagian barat. Tuan-tuan boleh mengikuti orang-orang banyak itu ke mana arah mereka berjalan, pasti tidak salah lagi.”
Sebelum meninggalkan tamunya pelayan itu menambahkan keterangannya.
“Ini merupakan suatu kejadian besar di dalam kota ini selama beberapa ratus tahun paling belakang.”
Setelah pelayan itu berlalu, Hui Kiam berkata kepada Orang Tua Tiada Turunan dengan suara perlahan sekali:
“Bagaimana pikiran cianpwee dalam urusan ini?”
Orang Tua Tiada Turunan itu berpikir sejenak baru menjawab:
“Menurut keterangan pelayan tadi itu, taycunya adalah seorang wanita, bahkan wanita yang cantik sekali. Selagi rimba persilatan sedang banyak urusan seperti sekarang ini, kejadian ini pasti
mengandung maksud tertentu. Tidak ada larangan, kita coba pergi menyaksikan, mungkin saja bisa menemukan bahan apa-apa.”
“Kalau begitu mari kita pergi ke sana!”
Keluar dari rumah makan, jalan besar telah sesak. Orang berduyun-duyun menuju ke barat. Hui Kiam berdua juga mengikuti arus manusia itu, berjalan seenaknya....
Dekat tembok kota bagian barat, ada sebuah gedung tua yang sangat besar bentuknya tetapi gedung itu sudah diperbarui. Di pintu gerbang terpancang satu papan merek besar yang terdapat tulisan huruf emas: Wisma Pahlawan.
Di depan pintu, berdiri delapan orang gagah yang masing-masing membawa senjata pedang.
Di depan wisma itu, ada satu lapangan luas. Di satu sudut lapangan itu berdiri satu panggung. Itulah panggung Lui-tay yang digunakan untuk pertandingan ilmu silat.
Di atas panggung itu juga terpancang satu papan merek yang ada tulisannya, ‘mengadakan pertandingan untuk mencari kawan’.
Di bawah panggung, sudah penuh dengan manusia.
Hui-Kiam dan Orang Tua Tiada Turunan mendesak masuk. Di bawah keadaan demikian bagi orang biasa pasti merupakan suatu usaha yang tidak mudah, karena harus berdesak-desak di dalam gelombang manusia.
Tiba-tiba tangan Hui-Kiam merasa ada barang yang disesakkan. Dalam keterkejutannya ia segera berpaling untuk mencari siapa orangnya yang menyesakkan benda itu. Tetapi orang-orang itu semuanya nampak masih asing, sehingga ia tidak tahu siapa yang telah berbuat. Ketika ia memeriksa benda apa yang diberikan itu, ternyata hanya segulung kertas. Dengan perasaan heran ia membuka dan membacanya. Di atasnya tertulis tulisan yang berbunyi:
“Berusahalah menghancurkan Lui-tay ini, untuk menolong kawan-kawan kita yang tidak berdosa.”
Di bawah surat tertanda Orang Menebus Dosa.
Hui-Kiam merasa bingung. Ia berikan surat itu kepada Orang Tua Tiada Turunan seraya berkata:
“Cianpwee, kau pikir bagaimana?”
“Berbuat seperti apa yang tertulis dalam surat itu!”
“Kita harus bertindak?”
“Hem! Di situ bukan saja jelas menyuruh kau berusaha sekuat tenaga, untuk menghancurkan Lui-tay ini.”
“Menolong kawan-kawan yang tidak berdosa, apa maksud perkataan ini?”
“Ini yang merupakan soal pokok, juga teka-teki yang harus kita selidiki, setelah usaha kita selesai pasti akan tahu!”
“Mengapa Orang Menebus Dosa tidak mau mengunjukkan dirinya?”
“Mungkin masih ada keperluan lain yang harus diaturnya sendiri.”
“Ia benar-benar seperti Sukma Tidak Buyar yang selalu mengikuti diriku, agaknya selalu berada di sampingku....”
“Aku percaya tindakan Orang Menebus Dosa ini pasti mengandung maksud dalam, mungkin pertandingan diatas panggung Luitay ini merupakan salah satu maksud jahat Persekutuan Bulau Emas biarlah kita menantikan dulu setelah pertandingan dimulai, kita nanti akan bertindak dengan melihat suasana.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar tiga kali bunyi suara gembreng. Suara riuh orang bicara seketika sirap, semua mata ditujukan ke atas panggung pertandingan.
Seorang laki-laki berpakaian ringkas, keluar dari belakang panggung dan berjalan dengan tindakan perlahan, dari gerak-gerik dan sikap orang itu, mengunjukkan ia ada seorang berkepandaian tinggi yang mempunyai kekuatan luar dan dalam sudah cukup
sempurna. Orang tua itu setelah memberi hormat kepada penonton lalu berkata:
“Aku yang rendah Ma Yu Ciu, hari ini mendapat giliran yang memimpin pertandingan ini. Harap bapak-bapak, saudara-saudara, suka memberi pelajaran. Hari ini taysu kami akan memberikan hadiah sendiri kepada pemenangnya, sekarang silahkan siapa yang hendak mulai lebih dulu!”
Orang-orang di bawah panggung terdengar suara riuh, agaknya sedang memperbincangkan urusan taysu.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang lompat melesat naik ke atas panggung. Ternyata adalah seorang pahlawan muda berusia duapuluh tahun.
Ma-Yu Ciu segera menyambut dan berkata sambil memberi hormat:
“Harap memberitahukan nama dan asal-usul saudara, sekedar untuk memenuhi tata tertib pertandingan!”
“Aku yang rendah bernama Chie-Leng, tidak berpartay!”
“Saudara Chie ingin mengadakan pertandingan cara bagaimana?”
“Dengan sepasang tangan kosong!”
“Silahkan!”
“Tunggu dulu!”
“Ada apa?”
“Jikalau aku yang menang, bolehkah minta pelajaran dari taycu sendiri?”
“Boleh, jikalau saudara dapat menjatuhkan aku dalam tiga jurus, baru berhak menantang taycu!”
“Tiga jurus?”
“Ya, kalau sudah sampai sepuluh jurus itu dihitung seri, saudara juga berhak mendapat undangan untuk masuk ke dalam wisma pahlawan. Semua peraturan ini sudah diterangkan sejak hari
pembukaan pertandingan ini. Saudara barangkali orang luar kota yang baru sampai.”
“Tahu, sekarang mari kita mulai.”
Pemuda itu segera membuka serangannya. Ia mengarah bagian dada lawannya. Gerakan pemuda itu nampaknya sangat aneh. Ma-Yu Ciu nampaknya sangat tenang, ia menantikan sampai tangan lawannya sudah dekat, baru mengerahkan tangannya untuk menangkis.
Kepandaian pemuda itu sesungguhnya cukup hebat, dalam demikian ia masih bisa merobah gerakannya sementara tangan kirinya dengan kecepatan bagaikan kilat memotong dari samping.
Di bawah panggung para penonton memuji gerakan pemuda itu.
Ma Yu Ciu nampaknya juga satu lawan tangguh, tangan kiri yang digunakan untuk menangkis serangan cepat sekali membacok ke bawah sedang tangan kanannya dengan cepat menyambar urat nadi tangan kiri lawannya. Kecepatan orang she Ma itu, sesungguhnya sangat mengagumkan.
Chie Leng mengelakkan dirinya ke belakang tiga kali. tubuhnya hampir rata dengan permukaan lantai panggung, kemudian dengan satu gerakan jumpalitan, dengan beruntun kakinya melakukan tendangan delapan kali, semua tendangan itu ditujukan jalan darah terpenting bagian atas dan tengah anggota badan lawannya. Serangannya itu sangat berbahaya dan ganas, dari sini dapat dilihat kepandaiannya.
Ma Yu Ciu berputaran bagaikan gangsing, kemudian membentak dengan suara keras:
“Pergilah!”
Di antara suara seruan tertahan, Chie Leng dipukul turun ke bawah panggung oleh Ma Yu Ciu dengan satu gerakan aneh. Pemuda itu buru-buru nyerusup lari ke dalam orang banyak.
Ma Yu Ciu lalu berkata sambil bersenyum:
“Siapa lagi yang ingin maju?”
Baru saja menutup mulutnya dari bawah terdengar suara nyaring.
“Aku Gu Ji hendak mengawani kau main-main beberapa jurus!”
Seorang laki-laki bertubuh besar melompat naik ke atas panggung.
“Sahabat....”
“Aku bernama Gu Ji, sahabat-sahabat dunia Kang-ouw memberikan nama julukan aku kerbau besi, aku datang dari luar perbatasan.”
''Menggunakan senjata apa?”
“Sepasang kepalan tangan!”
Jawabnya yang kasar itu menimbulkan suara tertawa riuh.
Ma Yu Ciu berkata sambil memberi hormat:
“Silahkan!”
Gu Ji menggerakkan dua kepalan tangannya. Ia mulai membuka serangan. Meski orang yang kasar, tetapi gerakannya tidak kasar, dengan cara teratur ia menghujani lawannya dengan serangan yang hebat sekali. Itu adalah serangan yang menggunakan kekuatan tenaga luar tetapi sedikitpun sukar dicari lowongannya. Karena hebatnya serangan itu sehingga keadaan di sekitar panggung itu seperti ada angin menyampar.
Ma Yu Ciu juga segera merobah siasatnya. Ia sekarang menggunakan kekerasan untuk menyambuti setiap serangan lawannya sehingga merupakan suatu pertandingan keras lawan keras yang amat seru.
Sebentar saja pertandingan itu sudah berjalan delapan jurus. Ma Yu Ciu yang mendapat kesempatan, tangannya menerobos masuk sampai ke depan dada Gu Ji. Akan tetapi, ia tidak mengerahkan kekuatan tangannya, hanya dalam waktu sekejap mata saja ia merobah lagi gerakannya.
Ma Yu Ciu sengaja melepaskan kesempatan baik untuk merobohkan lawannya, apa sebabnya?
Perbuatannya itu, kecuali Hui Kiam, barangkali tidak ada berapa orang yang dapat melihatnya termasuk Orang Tua Tiada Turunan.
Kemudian terdengar suara tambur berbunyi, lalu ada pengumuman bahwa pertandingan itu berakhir dengan keadaan seri. Selanjutnya Gu Ji diantar oleh dua orang berpakaian hitam, melompat turun dari panggung dan terus menuju ke wisma pahlawan. Para penonton menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
Perasaan curiga timbul dalam hati Hui Kiam. Dilihat sepintas lalu, pertandingan di atas panggung Lui-tay ini tiada apa-apanya yang luar bisa. Kepandaian Gu Ji memang jauh lebih tinggi daripada Chie Leng, sehingga jurus ke delapan baru tampak kelemahannya, tetapi sedikit lowongan itu hanya seorang berkepandaian tinggi semacam Ma Yu Cui yang bisa menggunakan, tetapi Ma Yu Cui yang seharusnya menang ia tidak suka memenangkan pertandingan itu, malah dibikin seri, terang ini adalah perbuatan Ma Yu Cui yang menghargai kepandaian lawannya apa lagi orang she Ma itu juga tidak mengunjukkan sifat-sifat kejahatannya, jadi apa maksud Orang Menebus Dosa menyuruhnya menghancurkan Lui-tay ini untuk menolong kawan sesamanya yang tidak berdosa?
Selagi masih berpikir, seorang setengah tua berusia kira-kira empat puluh tahun, dan berjenggot panjang dengan berpakaian seorang sastrawan, melayang ke atas panggung.
Seperti biasa Ma Yu Ciu menyambut sambil memberi hormat kemudian berkata:
“Silahkan memberitahukan nama dan golongan!”
Sastrawan berjenggot panjang itu membalas hormat sebagaimana layaknya, baru menyahut:
“Aku yang rendah bergelar Sukma Tidak Buyar, tiada berpartay tiada bergolongan!”
Disebutnya nama Sukma Tidak Buyar itu sungguh mengejutkan Hui Kiam, karena nama julukan itu adalah nama julukan yang biasa digunakan oleh Ie It Hoan, apakah sastrawan berjenggot panjang ini adalah Ie It Hoan yang menyaru? Kepandaian Ie It Hoan menyaru sesungguhnya luar biasa, hanya dari luarnya saja orang tidak akan dapat mengetahui, apalagi ia pandai sekali merobah gaya dan logat pembicaraannya, maka juga tidak mudah untuk mengenali dari suaranya.
Setelah mendengar perkataan sastrawan berjenggot panjang itu, wajah Ma Yu Ciu agak berobah. Ia berkata:
“Sahabat bernama Sukma Tidak Buyar?”
“Benar!”
“Sahabat mau menggunakan senjata apa?”
“Sudah cukup dengan sepasang tangan kosong saja!”
“Kalau begitu silahkan saja!”
“Tunggu dulu, aku ingin minta penjelasan lebih dulu!”
---ooo0dw0ooo---
JILID 22
“SILAHKAN!”
“Benarkah bahwa menurut peraturan yang ditetapkan kalau dalam tiga jurus dapat memenangkan pertandingan, lalu diberi hak sebagai penantang Taycu?”
“Tidak salah!”
“Tidak menurut peraturan adalah sahabat yang naik ke atas panggung yang turun tangan lebih dahulu!”
“Kalau begitu susah ini, karena aku yang rendah seumur hidupku belum pernah turun tangan lebih dulu terhadap siapapun juga.”
“Tetapi peraturan tidak boleh dirusak!”
“Kalau begitu terpaksa pertandingan ini kita batalkan, seharusnya tuan yang mengaku kalah, wajah Ma Yu Ciu kembali berobah, ia berkata:
“Hari ini akulah yang mendapat giliran sebagai penantang di atas panggung, sebelum bertanding bagaimara harus mengaku kalah?”
“Kalau begitu tuan harus merobah peraturan, ini supaya turun tangan lebih dulu.”
Ma Yu Ciu setelah berpikir, akhirnya berkata:
“Kalau sahabat kukuh tidak mau turun tangan lebih dulu terpaksa aku yang beitindak.”
“Masih ada lagi yang kuperlu terangkan lebih dulu....”
“Masih ada apalagi?”
“Kalau tuan turun tangan, harus menggunakan seluruh kekuatan tenaga, ingat aku hanya bersedia tiga jurus untuk menetapkan kemenangan atau kekalahan.”
Ma Yu Ciu agaknya sudah tidak sabar lagi. Ia berkata:
“Sahabat juga ingat bahwa kaki dan tangan tidak ada matanya. Apabila kesalahan tangan masing-masing harus menerima nasib!”
“Tentang ini aku mengerti!”
“Nah, sekarang aku hendak mulai!”
Begitu menutup mulutnya, Ma Yu Ciu sudah melancarkan serangannya yang diarahkan ke depan dada Sukma Tidak Buyar, tetapi serangan itu baru sampai di tengah jalan tiba-tiba dirobah gerakannya, dari serangan merobah dari gerak mencakar dengan jari tangan, dengan cepat jari-jari itu mengarah jalan darah terpenting di badan lawannya, sementara tangan kirinya juga menyusul melancarkan serangan dari samping, sekali pukul ia menggunakan dua macam gerak tipu serangan, bukan saja aneh juga ganas dan telengas.
Sukma Tidak Buyar ternyata tidak berkelit atau menyingkir, juga tidak menangkis.
Di bawah panggung banyak suara orang berteriak: “Apakah ini bukan mencari mampus?”
Serangan Ma Yu Cui benar-benar mengenakan Sukma Tidak Buyar dengan telak. Badan Sukma Tidak Buyar terhuyung-huyung hampir saja roboh ke bawah panggung.
Ma Yu Ciu berdiri bingung, karena serangannya dengan dua rupa gerak tipu berlainan itu, cukup untuk merenggut nyawa lawannya, tetapi kini ternyata lawannya itu agaknya tidak terluka.
Sukma Tidak Buyar maju setindak, berdiri di tempat semula, lalu berkata:
“Mari! Jangan berhenti!”
Di bawah panggung terdengar suara riuh. Belum pernah dengar atau menyaksikan ada orang yang bertanding di atas Lui-tay dengan cara membiarkan dirinya dipukul.
Orang Tua Tiada Turunan berkata kepada Hui Kiam:
“Oh dia setan cilik itu!”
“Apakah Ie It Hoan?” Hui Kiam bertanya dengan heran.
“Benar!”
“Boanpwee mengapa tidak tahu?”
“Menerima pukulan dan pura-pura mati, adalah ilmu kepandaian tunggal setan cilik itu dalam rimba persilatan. Hanya dia saja yang mempunyai kepandaian demikian.”
Hui-Kiam segera teringat bagaimana Ie-It Hoan pernah mati beberapa kali tetapi toh bisa hidup lagi. Maka ia lalu tersadar.
“Benar dia, tetapi apakah maksudnya ia naik ke atas panggung?”
Sementara itu di atas panggung Ma-Yu Ciu sudah melancarkan serangannya yang kedua kalinya ia agaknya menggunakan seluruh kekuatan tenaga.
Sementara terdengar suara nyaring disusul dengan suara seruan tertahan, Sukma Tidak Buyar terhuyung-huyung mundur dua langkah,
mulutnya menyemburkan darah.
Hui-Kiam terperanjat sehingga mengeluarkan suara jeritan.
Tetapi sekejap mata kemudian Sukma Tidak Buyar tiba-tiba mengeluarkan suara aneh. Kedua tangannya melancarkan serangan dengan berbareng.
Perbuatan itu, di luar dugaan semua orang. Ma Yu Cui yang sudah menyaksikan lawannya terluka parah dan menyemburkan darah, sudah tentu tidak menduga bahwa lawannya itu masih dapat membalas serangannya dengan secara tiba-tiba. Serangannya itu bahkan mengandung kekuatan tenaga yang hebat sekali.
Tidak ampun lagi, serangan itu mengenakan dengan telak. Ma-Yu-Ciu mengeluarkan seruan tertahan. Mulutnya menyemburkan darah, badannya terhuyung-huyung hampir roboh.
Sukma Tidak Buyar lalu menunduk dan berkata:
“Terima kasih!”
Dari bawah pauggung terdengar suara tepuk tangan riuh dan gegap gempita suara yang memuji.
Wajah Ma-Yu Ciu pucat pasi, tetapi apa boleh buat mengeluarkan perkataan dari mulutnya:
“Kepandaian sahabat benar-benar hebat. Harap kau mendapat kemenangan yang terhormat dari tangannya Taycu sendiri ke belakang panggung.
Tiba-tiba suasana seluruh lapangan menjadi sunyi senyap.
Seorang wanita yang mempunyai kecantikan luar biasa, dalam sekejap sudah berada di tengah-tengah panggung.
Kecantikannya, potongan badannya membuat semua orang yang ada di situ hampir tidak bisa bernapas. Jikalau tidak menyaksikan
dengan mata sendiri siapa pun tidak berani percaya bahwa di dalam dunia ada perempuan begitu cantik.
Setelah hening cukup lama entah siapa yang mengeluarkan suara keluhan napas, lalu disusul oleh suara tepuk tangan dan sorak-sorai, lama masih menggema di udara....
Hui Kiam merasa kepalanya pusing, jantungnya berdenyut keras, darahnya berjalan semakin cepat.
Ya Allah. Taycu yaug menjadi pemimpin atau jagoan utama dalam pertandingan ini ternyata adalah kekasihnya sendiri, Tong-hong Hui-Bun. Hal ini sesungguhnya merupakan suatu hal yang tak terduga-duga.
Mengapa ia mendirikan Lui-tay di kota Lam-shian ini? Apakah maksudnya?
Mengingat ucapan Orang Menebus Dosa, seketika badannya gemetaran.
Sukma Tidak Buyar yang berada di atas panggung menunjukkan sikap tidak senang.
Orang Tua Tiada Turunan menatap wajah Hui-Kiam tetapi tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Jikalau benar Sukma Tidak Buyar yang kini berada di atas panggung itu adalah Ie-It Hoan, jelas ia bukan tandingan Tong-hong Hui Bun. Jika diingat bagaimana perbuatan Tong-hong Hui-Bun terhadap musuh-musuhnya, maka kedudukan Ie-It Hoan sesungguhnya sangat berbahaya.
Karena munculnya Tong-hong Hui Bun membuat Hui-Kiam pandangannya terhadap pertandingan di atas panggung itu berobah seluruhnya. Ia yakin sedalam-dalamnya bahwa dalam hal ini mengandung maksud lain, bukan sekedar hanya pertandingan di atas Lui Tay yang biasa.
Apakah ia harus menurut perkataan Orang Menebus Dosa? Menghancurkan Lui-tay ini?
Tong-hong Hui Bun mengangkat tangannya. Suara yang tadi ramai telah menjadi sirap.
Suara kata-katanya yang keluar dari mulutnya, begitu merdu dan jelas masuk ke dalam telinga setiap orang:
“Tuan-tuan, sahabat ini adalah orang pertama yang menjatuhkan penantang di atas panggung hanya dalam tiga jurus selama tiga hari sejak dimulai pertandingan ini. Menurut peraturan, sahabat ini berhak sebagai penantang Tay-cu.”
Setelah berkata demikian, ia berpaling lalu bertanya kepada Sukma Tidak Buyar:
“Apakah tuan ingin jadi penantangku?”
Sukma Tidak Buyar lama membungkam, akhirnya baru berkata dengan suara tidak lancar:
“Aku.....akan melepaskan hakku.”
Di bawah panggung kembali terdengar suara riuh. Jawaban Sukma Tidak Buyar ini, sesungguhnya di luar dugaan semua orang. Setiap orang memang sudah menantikan saat di mana mereka ingin menyaksikan bagaimana kepandaian Taycu yang molek itu, tetapi dengan jawaban Sukma Tidak Buyar itu, apa yang diharap-harapkan itu ternyata tak akan menjadi kenyataan.
Apakah Sukma Tidak Buyar merasa takut? Ataukah dipengaruhi oleh kecantikan wanita itu?
Di antara penonton itu hanya Hui Kiam seorang yang berpikir lain. Ketika mendengar jawaban itu ia menarik napas lega.
Tong-hong Hui Bun menggapai, dua gadis yang sangat cantik membawa barang hadiah.
Di belakang panggung terdengar suara tetabuhan musik. Dengan tangan sendiri Tong-hong Hui Bun menyematkan bunga merah dan sutra merah di badan Sukma Tidak Buyar.
Selanjutnya Sukma Tidak Buyar diajak masuk ke dalam wisma pahlawan.
Tong-hong Hui Bun memberi hormat kepada para penonton, kemudian berkata:
“Sahabat dari mana lagi yang ingin memberi pelajaran, silahkan naik!”
Sehabis mengucapkan demikian, ia mengundurkan diri ke belakang panggung. Wajah semua penonton menunjukkan rasa kecewa, karena mereka mengharap mendapat kesempatan lebih lama untuk menikmati kecantikan perempuan itu.
Saat itu Ma Yu Ciu muncul di atas panggung lagi.
Orang Tua Tiada Turunan menyentuh Hui Kiam dengan sikutnya seraya berkata:
“Bagaimana, kau ingin mengambil tindakan apa?”
Hui Kiam tersenyum getir tidak menjawab. Pikirannya merasa kalut.
Menghancurkan Lui-tay ini berarti menjatuhkan Lui-tay yang didirikan oleh Tong-hong Hui Bun. Sebelum jelas duduk perkaranya, bagaimana boleh berlaku sembrono?
Orang yang diundang masuk ke dalam wisma pahlawan itu, benarkah Ie It Hoan?
Bagaimana latar belakang wisma pahlawan ini?
Tong-hong Hui Bun mendirikan panggung Lui-tay ini mengandung tujuan lain ataukah dikendalikan orang?
Pada saat itu sudah ada orang yang naik ke atas panggung bertanding dengan Ma Yu Ciu. Tapi Hui Kiam sudah tidak mempunyai perhatian dalam soal itu. Ia hanya memikirkan bagaimana harus menghadapi persoalan ini?
Jikalau ia diperalat oleh Orang Menebus Dosa, bukankah akan mengecewakan dirinya?
Orang Menebus Dosa tidak mau menampakkan diri, juga tidak mengambil tindakan sendiri, sebaliknya menyuruh orang lain yang melakukan, hal ini sesungguhnya tidak habis dimengerti.
Maka ia lalu berkata kepada Orang Tua Tiada Turunan:
“Cianpwee, aku ingin menemui dia untuk beromong-omong sebentar.”
Dia yang dimaksudkan sudah tentu Tong-hong Hui Bun. Orang Tua Tiada Turunan berikir sejenak baru berkata:
“Barangkali kau tidak dapat mengorek keterangan yang sebenarnya?”
“Tetapi boanpwee tidak dapat bertindak serampangan!”
“Hm! Nampaknya terpaksa harus begitu, hanya ….”
“Hanya apa?”
“Maaf aku akan berkata terus-terang. Dewasa ini semua orang rimba persilatan yang sama haluan, meletakkan harapannya di atas dirimu untuk membasmi kawanan orang jahat itu. Harap kau mengingat kepentingan rimba persilatan jangan sampai kena dipengaruhi oleh paras cantik. Kau adalah seorang yang mempunyai bakat dan kecerdikan luar biasa, tidak perlu aku jelaskan kau tentunya sudah mengerti sendiri, kebaikan atau kejahatan bedanya sedikit sekali.”
“Ucapan cianpwee ini, rasanya bukan tak ada sebabnya?”
“Sudah tentu!”
“Kalau begitu cianpwee pasti sudah paham asal -usul dirinya?”
“Dewasa ini, untuk sementara aku harus pegang rahasia!”
“Mengapa?”
“Dalam urusan ini tidaklah pantas aku harus membuka rahasia. Berat sekali resikonya.”
“Kalau begitu berarti menyuruh boanpwe bertindak secara membabi buta?”
Dengan sinar mata aneh Orang Tua Tiada Turunan menatap wajah Hui Kiam:
“Apakah kau percaya kepada diriku si tua bangka ini?”
“Sudah tentu!”
“Kalau begitu aku harap supaya kau berbuat seperti apa yang dikatakan oleh Orang Menebus Dosa. Itu tidak akan salah.”
“Menjatuhkan Lui-tay ini?”
“Aku tidak ingin minta kau berbuat demikian. Ini memang sudah menjadi kodrat manusia bahwa kau tidak sampai hati bertindak demikian, maka bertindaklah menurut pikiranmu sendiri.”
“Boanpwe sekarang hendak menjumpainya.”
“Dengan wajahmu seperti sekarang ini atau wajah aslimu?”
“'Sudah tentu dengan wajah asliku.”
Pada saat itu tiba-tiba ada seorang yang maju menghampiri dirinya dan bertanya kepadanya:
“Apakah tuan seorang she Hui?”
Hui Kiam terkejut, matanya mengawasi orang itu sambil bertanya:
“Ada urusan apa?”
“Ada seorang tuan yang minta aku antarkan surat ini.”
Sehabis berkata tangannya mengangsurkan segulung kertas yang segera disambutnya oleh Hui Kiam.
“Dimana orang yang menyuruh kau mengantarkan surat ini?” demikian Hui Kiam bertanya dengan suara cemas.
“Ow.... barangkali sudah berlalu. Aku tidak kenal dengannya.....”
“Orang itu bagaimana rupanya, bagaimana pakaiannya?”
“Ia.... ada seorang yang hampir bersamaan dengan tuan, tetapi aku tidak terlalu perhatikan sehingga tidak dapat menjelaskan.”
“Baiklah, kau boleh pergi.”
Hui Kiam membuka surat itu. Di atas kertas cuma terdapat beberapa perkataan yang ditulis dengan tergesa-gesa. Surat itu berbunyi:
“Kau hendak mengetahui keadaan yang sebenarnya, lekas keluar benteng kota sebelah barat. Di situ ada sebuah kereta besar tertutup dengan tenda kain hitam. Kau nanti tahu sendiri.”
Surat itu kembali ditanda tangani oleh Orang Menebus Dosa.
Hui Kiam lalu berkata:
“Lagi-lagi dia. Ada apa lagi sekarang?”
Orang Tua Tiada Turunan itu segera melihat surat itu sejenak lalu berkata:
“Nampaknya Orang Menebus Dosa itu sudah berobah tujuannya semula. Mari kita keluar kota.”
Hui Kiam merobek-robek surat itu menjadi berkeping-keping. Ia menerima baik permintaan orang tua itu, lalu keluar dari rombongan orang banyak terus menuju ke pintu kota sebelah barat.
Di sepanjang jalan, Hui Kiam memikirkan persoalan itu. Pikirannya semakin kalut, karena ia sendiri tidak mengerti duduk perkara yang sebenarnya. Ia tidak suka menuruti petunjuk dalam surat Orang Menebus Dosa, dengan secara gegabah untuk menjatuhkan panggung Lui-tay itu. Tetapi pikirannya itu ternyata sudah ditebak jitu oleh Orang Menebus Dosa. Dari sini ternyata bahwa segala gerak-geriknya semua berada di tangan Orang Menebus Dosa itu. Kalau ia benar, sesungguhnya terlalu menakutkan.
Kereta besar dengan tendanya kain hitam bisa memberikan petunjuk yang sebenarnya. Apakah sebenarnya yang ada di dalam kereta itu...?
Setelah keluar dari pintu kota, keadaan di sekitarnya nampak sepi. Kecuali beberapa petani hampir semuanya merupakan daerah rimba. Hutan rimba yang lebat itu terus sampai di bawah bukit. Di situ keadaannya sepi sekali, juga tidak terdapat jalan raya. Bagaimana ada kereta?
Dua orarg itu berjalan seenaknya. Orang Tua Tiada Turunan tiba-tiba berkata sambil menunjuk ke tanah:
“Lihat, apakah ini bukan bekas roda kereta?”
Roda kereta itu memberikan tanda yang jelas di dalam hutan belukar itu, terus menuju ke dalam rimba. Hui Kiam setelah memeriksa tanda bekas toda itu lalu berkata:
“Mari kita periksa mengikuti bekas roda-roda ini.”
Belum lagi menutup mulut, di belakangnya terdengar suara menggelinding kereta. Ketika ia berpaling, matanya segera dapat lihat dua buah kereta besar dengan tutupnya yang berwarna hitam. Kereta itu masing-masing dijalankan oleh seorang yang berpakaian hitam, sedang dilarikan ke jurusannya.
Orang Tua Tiada Turunan memberi isyarat dengan lirikan mata kepada Hui-Kiam. Dua orang itu pura-pura berlaku sebagai orang yang sedang menikmati pemandangan hutan itu, belok ke lain jurusan.
Kereta itu dilarikan cukup kencang, sebentar kemudian sudah masuk ke dalam hutan rimba yang tidak jauh dari tempat Hui Kiam berdiri.
Setelah kereta itu berlalu, Hui-Kiam dan Orang Tua Tiada Turunan baru balik lagi. Mereka lalu bergerak menyusul kereta itu. Baru tiba di pinggiran rimba, tiba-tiba terdengar suara orang membentak: “Berhenti!”
Kemudian dari lain arah muncul empat orang berpakaian hitam.
Hui Kiam berdua menghentikan kakinya. Salah satu dari empat orang berpakaian hitam itu menegurnya dengan suara bengis:
“Kalian berdua ada keperluan apa?”
Dengan sinar mata dingin Hui-Kiam mengawasi orang-orang itu, kemudian balas bertanya:
“Kalian berteriak-teriak mengganggu orang di jalan, apa pula artinya?”
“Sahabat, kau jangan main gila, kalau kau tahu diri lebih baik lekas menyingkir!”
“Jikalau aku tidak mau?”
“Terpaksa akan kupaksa dengan kekerasan!”
“Dengan kekuatan kalian berempat, apa kalian kira sanggup merintangi aku?”
“Kalau begitu, jangan sesalkan kalau kami berlaku kejam. Saudara-saudara, maju dan tangkap mereka!
Empat bilah pedang, dua ditujukan kepada Orang Tua Tiada Turunan dua ditujukan kepada Hui Kiam. Dari gerak serangan mereka, empat orang itu sudah terhitung orang-orang kuat dalam rimba persilatan, sayang lawan yang dihadapinya terlalu tangguh bagi mereka.
Hanya dalam waktu satu serangan saja, dua orang yang menyerang Hui Kiam, sudah roboh tidak berkutik. Dan dua orang yang menyerang Orang Tua Tiada Turunan, juga roboh hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga jurus.
Setelah membereskan empat orangnya lawannya, Hui Kiam dan Orang Tua Tiada Turunan lompat melesat ke dalam rimba.
Kira-kira lima puluh tombak masuk ke dalam rimba, tampak olehnya dua buah kereta besar yang tadi masuk ke dalam rimba sedang berhenti di tanah lapangan seluas kira-kira lima tombak persegi.
Kira-kira sepuluh orang berpakaian hitam sedang menggali lobang. Tidak lama kemudian setelah pekerjaan menggali lobang besar itu selesai, pintu kereta terbuka. Orang-orang berpakaian hitam itu pada naik ke atas kereta. Beberapa sosok bangkai manusia ada yang telanjang bulat, ada yang setengah telanjang, diangkut keluar, dilemparkan ke dalam lobang….
Hui Kiam yang menyaksikan pemandangan itu, darahnya mendidih. Dadanya hampir meledak.
Jadi inilah yang dimaksudkan oleh Orang Menebus Dosa sebagai keadaan yang sebenarnya, ternyata adalah suatu pembunuhan besar-besaran yang sangat kejam dan mengerikan.
Apakah semua korban ini adalah orang-orang kuat yang menang dalam pertandingan di panggung lui-tay, dan yang kemudian diundang ke dalam wisma pahlawan?
Apa yang dikatakan oleh Orang Menebus Dosa, bahwa menghancurkan Lui-tay berarti menolong jiwa sesama kawan yang tidak berdosa, di sini sudah mendapat keterangannya.
Suatu pembunuhan yang sangat kejam, dan sebagai algojo dari pembunuhan ini justru adalah orang yang menjadi idam-idamannya, Tong-hong Hui-Bun.....
Hui Kiam berdiri tertegun. Sesaat sekujur badannya dirasakan kaku.
Adakah hal itu yang sebenarnya? Bagaimana seorang perempuan cantik bagaikan bidadari bisa melakukan perbuatan ganas yang melebihi dari perbuatan iblis? Jikalau itu adalah perbuatan orang lain, dengan mudah Hui Kiam dapat membereskannya. Tetapi sekarang yang tersangkut itu justru orang yang dipandang sebagai kekasihnya.....
“Ini adalah snatu perbuatan sangat kejam yang tidak mempunyai rasa perikemanusiaan,” berkata Orang Tua Tiada Turunan. “Jikalau tidak kita saksikan dengan mata kepala sendiri, siapa yang akan percaya? Siaohiap, tidak salah toh perkataan Orang Menebus Dosa? Jikalau kau bertindak siang-siang mungkin dapat menolong jiwanya orang-orang ini. Tetapi, ah! Celaka!”
“Cianpwee ingat apa?”
“Apakah si setan cilik Ie-It Hoan itu juga terdapat di antara orang-orang yang menjadi korban ini?”
Hui Kiam bagaikan terpagut ular. Ia segera lompat melesat.....
Orang Tua Tiada Turunan dengan cepat mencegahnya seraya berkata:
“Tinggal seorang yang tinggal hidup untuk kita tanya.”
Hui Kiam hampir seperti kaya orang kalap dengan cepat sudah berada di samping lubang:
“Siapa!”
Suara teguran tercampur dengan suara bentakan yang menunjukkan rasa terkejut orang-orang yang sedang melemparkan bangkai-bangkai itu semua pada berhenti dan maju mengurung Hui-Kiam.
Dengan mata membara, Hui-Kiam perlahan-lahan menghunus pedangnya....
Seorang tua berpakaian hitam, yang agaknya selaku pimpinan rombongan orang-orang itu, maju ke depan Hui-Kiam dan bertanya sambil tertawa mengejek:
“Tuan mau apa?”
“Hendak membunuh kalian kawanan anjing yang sudah tidak mempunyai hati manusia itu.”
Demikian Hui-Kiam menjawab dengan suara dingin.
“Tuan....”
Sebelum dapat melanjutkan kata-katanya, orang tua itu sudah mengeluarkan suara jeritan ngeri, tubuhnya terkurung menjadi dua potong. Yang lainnya ketika menyaksikan kejadian tersebut, semangatnya seolah-olah terbang semua, tetapi mereka sudah tidak mendapat kesempatan sama sekali, di mana ujung pedang itu berkelebat, di sini lantas jatuh korban....
Selagi Hui Kiam hendak menghabiskan jiwa semua orang yang berbaju hitam itu, satu tenaga kekuatan tenaga dalam meluncur dari sampingnya untuk menahan serangan Hui Kiam.
“Jangan kau habiskan semuanya. Tinggalkan satu hidup untuk diminta keterangannya!” demikian ia dengar suara Orang Tua Tiada Turunan.
Hati Hui Kiam tergerak. Ia membatalkan serangannya, meninggalkan seorang yang terakhir seperti apa yang diminta oleh Orang Tua Tiada Turunan.
Orang Tua Tiada Turunan lalu menanyakan kepada orang berbaju hitam yang masih hidup itu:
“Beritahukanlah nama dan asal-usulmu?”
Orang berbaju hitam itu meski ketakutan sehingga badannya gemetar, tetapi ia tidak menjawab. Hui Kiam dengan cepat menggunakan pedangnya mengancam orang itu....
Orang Tua Tiada Turunan segera berseru:
“Jangan dibunuh!”
Orang berbaju hitam itu terhuyung-huyung tetapi tidak roboh, juga tiada darah mengucur dari tubuhnya, hanya baju bagian dadanya robek oleh ujung pedang. Di dadanya segera tampak satu tanda yang berbentuk bulan sabit.
Orang Tua Tiada Turunan berseru kaget:
“Ini anak buah Persekutan Bulan Emas!”
Daging di wajah orang berbaju hitam itu beberapa kali berkerenyit, keringat dingin sudah membasahi sekujur badannya.
Dengan nada suara dingin Hui Kiam bertanya:
“Apakah kau tidak menyangkal asal-usulmu apa yang dikatakan oleh locianpwee ini?”
“Benar, aku memang anak buah Persekutuan Bulan Emas!” jawab orang berbaju hitam itu.
“Apakah semua bangkai ini diangkut dari wisma pahlawan?”
Badan orang berbaju hitam itu tiba-tiba menggigil bagai orang kedinginan, kemudian jatuh rubuh di tanah.
Orang Tua Tiada Turunan lalu berkata:
”Orang berkepala batu ini, dalam sekejap sudah menelan racun?”
Hui Kiam tidak bisa berbuat apa-apa. Badannya dirasakan gemetar. Rasanya tidak salah bahwa wisma pahlawan ini merupakan salah satu rencana keji Persekutuan Bulan Emas untuk
membunuh orang pandai rimba persilatan, sedangkan Tong-hong Hui Bun-lah yang merupakan salah seorang pemegang peranan penting dalam rencana itu.
Apakah hubungannya antara ia dengan Persekutuan Bulan Emas? Andaikata ia merupakan salah seorang anggota persekutuan itu tetapi mengapa ia justru membunuh anak buah persekutuan itu yang tidak sedikit jumlahnya? Andaikata bukan, mengapa ia rela bertindak sebagai algojo melakukan perbuatan yang sangat ganas ini?
Orang Tua Tiada Turunan memeriksa muka orang-orang yang menjadi korban pembunuhan itu, kemudian baru berkata sambil menarik napas panjang:
“Masih untung, di antara korban ini tidak terdapat dirinya si setan cilik itu!”
“Dalam rombongan yang akan datang mungkin terdapat dirinya!”
“Mengapa orang-orang ini masih dalam keadaan telanjang?”
“Inilah yang merupakan suatu teka-teki bagi kita!”
“Menurut pikiranku tua bangka, malam ini kita harus mengadakan penyelidikan ke dalam wisma pahlawan.”
“Boanpwee juga mempunyai maksud demikian!”
“Orang yang sudah mati ini tidak berdosa. Kita tidak boleh membiarkan tinggal dalam keadaan begini. Marilah kita kubur jenazah mereka!”
Keduanya lalu turun tangan. Dalam waktu sebentar saja semua bangkai itu sudah dikubur selesai. Mereka lalu menghancurkan kereta besar itu dan mengusir lari kuda yang menariknya setelah semua selesai, mereka balik lagi ke dalam kota. Saat itu sudah senja hari, keduanya menginap di rumah penginapan semula.
Di waktu makan malam, di situ terdapat banyak orang yang sedang makan. Karena ruangan luas, sehingga tidak terlalu berisik.
Hui Kiam berdua, makan minum seenaknya karena maksud mereka hanya untuk melewatkan waktu. Mereka malam itu akan mengadakan penyelidikan di dalam wisma pahlawan.
Kejadian-kejadian selama beberapa hari ini sangat mengganggu pikiran Hui Kiam. Pertandingan di atas panggung Lui-tay, bangkai dalam keadaan telanjang dan Tong-hong Hui Bun, ini merupakan mata rantai yang ada hubungannya dengan satu sama lain. Apakah sebetulnya yang tersembunyi di balik semua kejadian itu?
Orang Tua Tiada Turunan nampaknya juga sedang berpikir keras. Bulu alisnya yang sudah berwarna putih dikerutkan rapat-rapat.
Pada saat itu seorang sastrawan berjenggot panjang dengan tiba-tiba datang. Ia mengawasi keadaan di situ sejenak lalu berjalan menuju ke tempat duduk Hui Kiam dan Orang Tua Tiada Turunan, kemudian berkata:
“Toako, aku sudah menduga pasti kalian berdua tentu akan datang ke kota Lam-sia ini!”
Hui Kiam seketika itu semangatnya terbangun. “Adik Hoan! Kau....”
Pelayan rumah makan itu segera menyediakan cawan mangkok dan sumpit untuk tetamunya yang baru datang itu.
Orang Tua Tiada Turunan lalu berkata sambil melotot matanya:
“Bocah, bukankah kau masuk ke wisma pahlawan?”
Ie It Hoan lebih dulu meneguk araknya sampai tiga cawan, kemudian baru menjawab:
“Ya, aku di sana berputar-putaran, menikmati hidangan yang disediakan dengan sepuas-puasnya.”
“Aku si orang tua justru sedang siap-siap untuk menyambut bangkaimu!”
“Menyambut bangkaiku? Mengapa?”
“Kau ceritakan dahulu dengan cara bagaimana kau bisa keluar dari dalam wisma itu?”
“Boanpwee diajak masuk ke dalam gedung wisma itu, dengan seorang diri makan hidangan lezat yang disediakan, kemudian diantar keluar.”
“Apa di sana kau tidak melihat apa-apa?”
“Hem, hem... hanya dengar suara tertawanya orang-orang laki dan perempuan serta suara ramai seperti dalam medan pesta.”
Orang Tua Tiada Turunan itu menatap wajah Hui-Kiam sejenak, lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata:
“Kau sendiri mengapa tidak dijamu bersama-sama para pahlawan itu, sebaliknya disediakan makanan seorang diri?”
“Soal ini aku sendiri juga tidak mengetahuinya!”
“Apakah di dalam gedung wisma itu kau tidak berjumpa lagi dengan Taycu?”
Ie It Hoan melirik kepada Hui Kiam lalu berkata :
“Tidak, ia hanya mengutus orangnya untuk menyampaikan pesannya. Katanya pada belum lama berselang ia telah menerima budi bantuannya, maka ia menyuruh utusannya untuk menyampaikan terima kasihnya. Boanpwee sendiri hingga saat ini masih belum mengerti apa sebetulnya yang dimaksudkan dalam pesan Taycu itu.”
Hui Kiam segera mengerti. Tatkala Tong-Hong Hui Bun bertempur dengan Hiat-ie Nio-Cu, yang tersebut belakang ini telah melukai Tong-hong Hui Bun dengan kuku terbangnya yang sangat berbisa. Ia segera turun tangan memberi pertolongan. Di kala itu ia yang sudah memakai kedok lain rupa, telah menggunakan nama julukan Sukma Tidak Buyar. Selanjutnya, ia sudah menolong lagi jiwa perempuan cantik itu dari tangan si Orang Berbaju Lila. Nampaknya ia sudah dianggap Sukma Tidak Buyar yang sebenarnya, sehingga perlu membalas budi kepada Sukma Tidak Buyar yang peranannya ini sudah dipegang lagi oleh Ie It Hoan. Tetapi ia tidak mau menjelaskan persoalan itu.
Orang Tua Tiada Turunan bertanya lagi:
“Bocah, apa sebabnya dengan secara gegabah kau turut dalam pertandingan di atas Lui Tay itu?”
“Hanya tertarik oleh perasaan aneh, kemudian baru tahu tidak beres, tetapi sudah tidak keburu menarik diri. Untung.....”
“Untung kau segera melepaskan hakmu, tidak menentang Taycu, itukah yang engkau maksudkan?”
“Betul!”
“Tahukah kau siapa yang tersembunyi di belakang layar permainan itu?”
“Kemudian aku baru tahu kalau panggung Lui-tay itu didirikan oleh Persekutuan Bulan Emas!”
“Apakah setan arak tua itu tidak memberitahukan kepadamu?”
“Baru saja kita mengadakan hubungan!”
“Bocah, bagus sekali perbuatanmu. Di atas panggung kau telah mempertunjukkan kepandaian istimewa untuk menerima gebukan itu, apa kau tidak takut akan menggagalkan rencana si setan arak itu?”
le-It Hoan segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian berkata sambil memberi hormat:
“Boanpwee tahu salah!”
“Ada perintah apalagi dari si setan arak tua?”
Ie It Hoan melirik ke kanan-kiri sejenak, lalu berkata dengan suara sangat perlahan:
“Gedung wisma pahlawan itu diduduki oleh iblis Tie-mo salah satu dari Delapan Iblis Negara Thian-Tik. Mendirikan Lui-tay itu, juga merupakan suatu usul iblis itu. Mereka hendak menggunakan panggung Lui-tay itu untuk menarik banyak orang berkepandaian tinggi supaya digunakan untuk yang akan diambil kekuatan tenaganya yang diperlukan oleh anggota pasukan Im-hong-tui....”
Mata Hui Kiam mendelik. Dengan suara marah ia berkata:
“Pantas semua orang yang menjadi korban itu mati dalam keadaan telanjang.”
Ie It Hoan terkejut. Ia bertanya:
“Dalam keadaan telanjang? Apa sebetulnya telah terjadi?”
Dengan suara perlahan Orang Tua Tiada Turunan menceritakan kepadanya apa yang disaksikannya di dalam rimba sebelah barat kota.
Ie It Hoan mendengar hal itu bulu romanya berdiri. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Ya Allah, sungguh berbahaya sekali. Hanya boanpwee mempunyai keyakinan, terhadap paras cantik boanpwe masih sanggup menahan diri....”
“Hem, kalau sudah tiba waktunya, kau sendiri barangkali sudah tidak akan berdaya. Bagaimaua dengan si setan atak tua, masih ada pesan apa lagi atau tidak?”
“Perjalanan ke gunung Bu-lim-san dibatalkan. Kita harus berusaha menghancurkan wisma pahlawan ini.”
Hui Kiam tiba-tiba menggebrak meja, lalu berkata:
“Sungguh tak disangka ia telah mernbantu Persekutuan Bulan Emas melakukan perbuatan terkutuk ini....”
“Siaohiap, tenanglah sedikit, mari kita mencari tempat untuk merundingkan tindakan kita selanjutnya!” berkata Orang Tua Tiada Turunan.
“Aku harus membunuhnya!” berkata Hui Kiam sambil menggertakkan giginya.
“Semoga toako sanggup turun tangan. Ini akan merupakan suatu kebahagiaan bagi rimba persilatan,” berkata Ie It Hoan dingin.
Dengan sinar mata tajam Hui Kiam menatap Ie It Hoan sejenak. Ie It Hoan buru-buru menundukkan kepalanya.
Sesudah makan dan minum, tiga orang itu berjalan menuju ke luar kota. Mereka berkumpul di suatu tempat yang sepi, untuk merundingkan tindakan yang diambil selanjutnya.
Telah diambil keputusan Ie It Hoan dan Orang Tua Tiada Turunan menunggu di luar kota sebelah barat. Untuk memasuki gedung pahlawan itu, diberikan kepada Hui Kiam sebab gedung wisma itu diduduki oleh Iblis Tie-mo. It It Hoan dan Orang Tua Tiada Turunan semua bukan tandingan iblis itu, sedangkan kepandaian Tong-hong Hui Bun berimbang dengan kepandaian iblis itu, bahkan masih lebih tinggi satu tingkat, ditambah lagi dengan beberapa orang kuat dalam wisma itu yang tidak diketahui berapa banyak jumlahnya. Apabila tiga orang bertindak serentak, ini berarti menambah beban Hui Kiam.
Lagi pula Tong-hong Hui Bun sudah dapat dipastikan tidak akan bertindak terhadap diri Hui Kiam sehingga Hui Kiam boleh menghadapi Iblis Tie-mo dan para pembantunya dengan hati tenang. Apabila It It Hoan dan Orang Tua Tiada Turunan ikut serta, Tong-hong Hui Bun yang terdesak oleh keadaan pasti akan bertindak kejam terhadap mereka.
Bagi Hui Kiam, kalau ia ingin bertindak seorang diri, sebabnya ialah bahwa Tong-hong Hui Bun. Karena dianggapnya harus menyelesaikan hubungan antara ia dengan perempuan cantik itu, apabila ada orang yang ketiga berada di sampingnya, sudah tentu tidak leluasa.
Jam dua malam....
Meskipun malam sudah larut dan banyak orang sedang tidur lelap, tetapi keadaan di gedung wisma pahlawan masih terang benderang dengan sinar lampu. Pesta pora masih berlangsung dengan ramainya. Pemenang-pemenang dalam pertandingan di atas Lui-tay yang dianggap sebagai pahlawan, makan dan minum, lupa daratan, mereka itu ditemani oleh perempuan-perempuan muda yang cantik dan rupawan.
Orang-orang gagah, arak dan perempuan cantik, ditambah lagi dengan nyanyian serta tarian, pesta pora itu merupakan suatu pesta yang penuh kemesuman.
Perlahan-lahan setiap orang telah mabuk oleh arak sehingga hampir melupakan dirinya sendiri. Karena pengaruh air arak itu, mereka sudah melupakan diri sendiri, sehingga medan pesta itu berubah sifatnya. Perbuatan-perbuatan yang mesum telah merupakan suatu pemandangan yang dianggap tidak apa-apa lagi bagi mereka.
Kesopanan dan akal manusia telah terampas. Harga diri sebagai seorang gagah musnah sama sekali. Kelemahan sifat manusia di sini telah ditunjukkan semuanya. Segala-galanya seperti telah terbalik ke jaman purbakala. Perbuatan mereka hampir tidak ada bedanya dengan binatang.
Selagi pesta yang tak senonoh itu sedang berlangsung sangat ramainya, sesosok bayangan putih muncul bagaikan bayangan hantu perlahan-lahan keluar dari tempat gelap. Di bawah sinar lampu terang, ini telah tampak dengan tegas bahwa bayangan itu bukan lain daripada seorang yang berpakaian putih, wajahnya tampan dan potongan badannya tegap sangat menarik. Hanya sayang wajahnya yang tampan itu nampaknya sangat dingin, sedang matanya berapi-api menunjukkan betapa besar kemarahannya yang terpendam dalam hatinya.
Dia bukan lain daripada Penggali Makam Hui Kiam.
Oleh karena hendak menjumpai Tong-hong Hui Bun sendiri, ia telah balik dengan dandanannya semula.
Ia telah menyaksikan orarg-orang gagah yang mendapat kehormatan sebagai pemenang dalam pertandingan dan kemudian dijamu di dalam wisma pahlawan itu. Semua sudah berada dalam keadaan mabuk. Dengan tindakan kaki terhuyung-huyung setiap orang menggandeng pasangan masing-masing ke kamar setiap orang dengan sikap memuakkan. Apa yang dilakukan selanjutnya, tidak perlu disebut lagi. Memang sejak dahulu kala arak itu merupakan suatu umpan yang utama untuk membikin mabuk
korbannya. Apalagi, di samping arak ditambah lagi dengan perempuan cantik, merupakan senjata yang paling ampuh untuk meruntuhkan martabat manusia.
Malam ini atau besok pagi, orang-orang yang dipandang sebagai pahlawan itu, akan mengikuti jejak orang-orang yang sudah menjadi bangkai dalam keadaan telanjang itu.
Hui Kiam sangat marah terhadap rencana busuk yang sangat rendah yang digunakan oleh Persekutuan Bulan Emas. Di samping itu, ia juga menyesalkan orang-orang gagah itu yang tidak mempunyai keteguhan hati. Apakah di antara mereka tiada satupun yang menyadari bahwa itu adalah suatu jebakan yang akan membawa maut?
Tong-hong Hui Bun, perempuan cantik jelita, yang kecantikannya membuat mengiri sesama kaumnya, sungguh tak disangka ia turut merencanakan perbuatan terkutuk itu. Inilah yang mengherankan Hui Kiam.
Mengapa wajah yang demikian cantik di dalamnya hanya suatu moral yang bejad saja?
Berulang-ulang Orang Berbaju Lila memakinya sebagai perempuan rendah, perempuan cabul dan sebagainya. Benarkah begitu?
Banyak orang lewat di sampingnya tetapi tiada seorangpun yang memperhatikan diri Hui Kiam. Mereka semua beranggapan bahwa pemuda itu juga salah satu pahlawan yang mendapat kehormatan menjadi tetamu wisma itu.
Dengan tindakan kaki berat, Hui Kiam menginjak jalanan yang terdiri dari batu itu, sehingga menimbulkan suara yang terbit dari sepatunya.
Seorang lelaki kasar, dalam keadaan mabuk, kedua tangannya memondong seorang perempuan muda, ketika lewat di samping Hui Kiam, lelaki itu merendek dan menegur Hui Kiam:
“Sahabat, bunga indah di hadapan mata kita, mengapa kau masih berlagak seperti seorang alim, tidakkah kau ingin mencicipi keindahan ini?”
Hui Kiam melototkan matanya, pandangan matanya yang dingin dan bengis itu juga mengandung ejekan. Laki-laki itu menundukkan kepala dan berjalan terus sementara mulutnya menggumam sendirian, “Bocah itu tajam sekali sinar matanya, wajahnya juga sangat tampan!”
Ketika Hui Kiam berjalan sampai ke ujung, ternyata itu merupakan sebuah pintu. Di atas terpancang sebuah papan dengan tulisan: “Para tetamu diminta berhenti di sini saja”.
Hui Kiam mengawasi papan sejenak, tetapi ia berjalan terus....
“Sahabat berhenti!” demikian suara telah menegurnya. Seorang pemuda berpakaian sangat perlente muncul dari balik pintu dan menghalang di depan Hui Kiam.
Hui Kiam dengan sendirinya lalu berhenti. Dengan sinar mata tajam ia mengawasinya.
Pemuda itu lalu mengunjukkan perasaan terkejutnya. Entah dikejutkan karena sinar mata tajam Hui Kiam, ataukah dikejutkan oleh wajah yang tampan dan gagah yang dimiliki oleh Hui Kiam. Untuk sesaat lamanya, ia terpaku kemudian baru ia berkata:
“Apakah tuan juga salah satu seorang tetamu di dalam wisma ini?”
“Aku hendak bertemu dengan Taycu!” jawab Hui Kiam dingin:
“Para tetamu hanya boleh berjalan sampai di situ saja....”
“Tetapi aku bukan tetamu dalam gedung ini.”
“Apakah tuan....”
“Aku adalah Penggali Makam!”
Pemuda berpakaian perlente itu terperanjat dan mundur satu langkah kemudian dan berkata dengan suara agak gemetar:
“Benarkah tuan orang yang mempunyai julukan Penggali Makam itu?”
“Benar!”
Pemuda itu setelah mengunjukkan beberapa kali perubahan wajahnya baru berkata:
“Aku yang rendah bernama An Yu Ciu sudah lama mendengar nama besarmu.....”
“Apakah Tong-hong Taycu berada di dalam?”
“Eh, sungguh aneh….”
“Mengapa aneh?”
“Mengapa Tong-hong Taycu tidak beserta dengan tuan…?”
“Aku mencarinya, bukankah itu sama saja?”
“Tetapi ia tidak berdiam di dalam wisma ini.”
“Di mana ia berdiam?”
“Tentang ini... maaf aku tidak dapat memberitahukan.”
“Kalau tidak suka memberitahukan, ataukah tidak berani mengatakan?”
“Bukan tidak berani, aku sebetulnya tidak tahu!”
Hui Kiam berpikir keras. Benar Tong-hong Hui Bun tidak berada di sini, ini juga merupakan suatu kesempatan baik untuk menghancurkan sarang penjahat ini lebih dulu. Dengan tidak adanya perempuan cantik, ia boleh bertindak sesukanya. Maka ia lalu berkata dengan suara dingin:
“Siapa yang bertanggung jawab di sini?”
“Suhuku!”
“Kau murid si iblis Tiee-mo?”
“Tuan bicara harus tahu aturan sedikit!”
“Apakah ini masih kurang aturan?”
“Tuan sebetulnya bermaksud apa?”
“Kujumpai dulu suhumu, nanti kita bicara lagi.”
“Aku sebetulnya karena memandang muka Tong-hong Taycu, maka barulah aku berlaku merendah terhadap tuan.”
“Ini tidak perlu, aku bahkan masih hendak perhitungan dengannya!”
“Orang she Hui, kedatanganmu ini sebetulnya bermaksud apa?”
“Hendak menghancurkan sarang kejahatan dan kemesuman ini!”
An Yu Ciu mengunjukkan wajah bengis. Ia mundur satu langkah dan berkata:
“Apakah perkataanmu ini bukan main-main?”
Sepatah demi sepatah Hui Kiam menjawab:
“Ini adalah sebenar-benarnya!”
“Apakah kau kira sanggup melakukan?”
“Mungkin tidak menjadi soal.”
“Kalau saatnya tiba mungkin Tong-hong Taycu juga tidak sanggup melindunginya....”
“Omong kosong!”
Pada saat itu dari dalam kamar terdengar suara seorang wanita yang menegur:
“Ciu ji, apa yang telah terjadi?”
An Yu Ciu menjawab dengan suara nyaring:
“Suhu, ada orang datang hendak menghancurkan wisma pahlawan!”
“Bagaimana macamnya orang itu?”
“Orangnya Tong-hong Taycu sendiri!”
“Apa? Kau kata siapa?”
“Penggali Makam!”
“Hem, suruh ia masuk. Suhumu ingin minta keterangan darimu.”
An Yu Ciu minggir ke samping dan mempersilahkan Hui Kiam masuk.
Hui Kiam tahu bahwa orang yang berbicara di dalam itu adalah Iblis Tie-mo, maka seketika itu tanpa ragu-ragu ia lalu masuk ke dalam pintu. Berjalan melalui gang yang bertaburkan batu halus-halus, di tengah-tengah taman bunga yang indah ada sebuah bangunan rumah yang indah. Sinar lampu yang terang benderang bagaikan siang hari. Di depan pintu rumah itu, ada berdiri dua wanita muda. Begitu melihat Hui Kiam, semula nampak seperti terkejut kemudian memandangnya dengan mata liar. Satu di antaranya berkata kepada kawannya:
“Pilihan Taycu, benar-benar bukan orang sembarangan.”
Sang kawan melirik kepadanya, lalu berkata:
“Kau jangan coba main gila, pilihan Taycu siapa yang berani menjamahnya?”
AnYu Ciu maju selangkah seraya berkata:
“Tuan tunggu sebentar!”'
Hui Kiam menghentikan kakinya. Ia mendongakkan kepala untuk melihat cuaca. Ia sebetulnya tidak sudi melihat sikap tengik dua perempuan muda itu.
An Yu Ciu berjalan masuk ke kamar. Ketika lewat di depan perempuan itu, dengan lagaknya yang tengik ia menoel pipi dua perempuan muda itu, setelah itu baru melanjutkan jalannya ke dalam kamar.
Hui Kiam di samping memikirkan tindakannya malam itu, ia juga memikirkan nasib orang-orang gagah itu. Setelah mengumbar kepuasannya malam itu, besok akan menggeletak sebagai bangkai yang tidak berdaya.....
Sementara itu An Yu Ciu sudah keluar lagi dan berkata kepadanya:
“Suhu mempersilahkan kau masuk!”
Hui Kiam tahu bahwa pemuda itu bersikap demikian karena hubungan ia sendiri dengan Tong-hong Hui Bun. Tetapi ada hubungan apa antara Tong-hong Hui Bun dengan Persekutuan Bulan Emas?
Ia sudah tidak bisa berpikir banyak lagi karena harus menjumpai iblis Tie-mo.
Dengan tindakan lebar ia masuk ke dalam. Di ruangan tengah ia segera dapat lihat seorang perempuan setengah tua duduk di atas kursi. Perempuan itu meski sudah tidak muda lagi, tetapi masih pandai bersolek. Dari sikap dan dandanannya, telah mengunjukkan tegas kwalitet apa perempuan itu.
Apakah benar perempuan ini adalah Tie-mo, yang merupakan salah satu dari Delapan Iblis Negara Thian Tik?
Kalau dihitung usianya iblis perempuan ini seharusnya sudah merupakan seorang nenek-nenek, tetapi mengapa nampaknya masih seperti perempuan setengah tua?
Hui Kiam berdiri di ambang pintu ruangan. Ia tidak langsung masuk ke dalam. Matanya mengawasi perempuan yang berpakaian serbamerah itu, agaknya menantikan pertanyaan perempuan itu.
Perempuan berbaju merah itu terpesona oleh wajah tampan dan sikap gagah Hui Kiam. Lama sekali ia baru membuka mulut:
“Hui Siaohiap, mengapa tidak sudi masuk? Silahkan. Mari kita bicara secara terus terang.”
“Tidak perlu,” jawab Hui Kiam dingin.
“Kiranya siaohiap sudah tahu asal-usul diriku si orang tua?”
“Mengapa tidak mau masuk?”
“Tidak ada perlunya.”
“Kalau begitu dengan maksud apa siaohiap datang kemari?”
“Ingin belajar kenal dengan cara bagaimana kau melatih pasukan Im-hong Tui?”
Paras perempuan itu berubah seketika, tapi kemudian ia memperdengarkan tertawanya yang genit, kemudian berkata:
“Apakah siaohiap sudah tahu urusan tentang Im-hong Tui?”
“Hem.”
“Siaohiap tentunya tidak akan bermusuhan dengan Tong-hong Taycu, bukan?”
Hui Kiam terkejut: “Ini perlu aku lihat dulu kenyataan, baru dapat menetapkan apa yang harus bertindak selanjutnya.”
“Aku tidak mengerti?”
“Sederhana sekali. Aku selamanya tidak akan melepaskan begitu saja kawan-kawan orang jahat.”
“Hem... beberapa anak buah persekutuan kami telah tewas di dalam rimba sebelah barat.”
“Ya, itu adalah perbuatanku sendiri.”
Iblis wanita itu bangkit dari tempat duduknya lalu berkata:
“Apabila siaohiap benar-benar cinta Tong-hong Taycu, tidak seharusnya berbuat demikian.”
“Bagiku antara cinta dengan benci itu mempunyai garis pemisah yang jelas, aku tidak akan mengabaikan tugasku sebagai orang gagah.”
“Kalau demikian halnya kau beimaksud hendak bermusuhan dengan persekutuan kami, Bulan Emas?”
“Aku memang tidak menyangkal.”
“Apakah kau sudah memikirkan akibatnya?”
“Sudah kupikirkan masak-masak.”
“Kalau begitu kedatanganmu malam ini sudah tentu ada maksudnya?”
“Sudah tentu.”
“Apa maksudmu?”
“Hendak menghancurkan sarang kejahatan ini untuk menuntut balas bagi kawan-kawan yang tidak berdosa dan untuk menegakkan keadilan serta kebenaran dalam persilatan.”
“Ha, ha, ha, ha….”
Iblis Tie-mo itu tertawa terbahak-bahak namun dalam suara tertawanya itu mengandung sikap memandang rendah, juga mengandung nafsu membunuh.
“Apa yang kau tertawakan?” demikian tegur Hui Kiam.
An Yu Ciu yang sejak tadi terus berdiri tenang di samping, tiba-tiba berkata dengan suara nada gusar:
“Penggali Makam, apakah kau sedang menggali makam untukmu sendiri?”
“Kau masih belum pantas berbicara denganku,” demikian jawab Hui Kiam tanpa menoleh.
“Kau terhitung manusia apa? Jikalau bukan karena memandang muka Tong-hong Taycu, sejak tadi aku sudah bunuh kau untuk umpan anjing.”
Hui Kiam perlahan-lahan membalikkan badannya untuk menghadapi An Yu Ciu. Katanya dengan suara dingin:
“Orang pertama yang hendak kubunuh malam ini adalah kau!”
Seraut wajah An Yu Ciu merah membara, matanya memancarkan sinar buas, maju selangkah seraya berkata:
“Tuan mudamu segera akan kirim kau ke akherat. Di sanalah kau nanti boleh membual sesukamu.....”
Iblis Tiee-mo lintangkan tangannya dan berkata kepada muridnya:
“Ciu jie, kau mundur!”
An Yu Ciu dengan sikapnya yang sombong menjawab:
“Suhu, muridmu tidak sanggup menelan kehinaan ini....”
“Kau mundur, nanti akan tahu sendiri!”
An Yu Ciu terpaksa mengundurkan diri tetapi matanya buas, masih tetap ditujukan kepada Hui Kiam.
Iblis Tiee-mo bertindak keluar dari ruangan. Ia menghampiri Hui Kiam dan berkata dengan suara dalam dan perlahan:
“Apakah kau tidak sayang jiwamu sendiri!?”
Hui Kiam membalas dengan tertawa dingin kemudian baru berkata:
“Aku lebih sayang jiwanya sahabat-sahabat rimba persilatan daerah Tiong Goan.”
“Kalau kau memang sengaja mencari mampus, Tonghong Hui Bun tidak akan sesalkan perbuatanmu...”
“Aku hanya melakukan tugasku untuk membasmi kejahatan. Mungkin ia menyesalkan tindakanku terlalu ganas.”
“Kau jangan membual. Tahukah kau bahwa aku membunuh orang bagaikan pekerjaan biasa?”
“Kau iblis dari daerah luar. Kau berani masuk ke daerah Tiong Goan melakukan kejahatan, sehingga banyak jiwa jadi korban keganasanmu. Maka itu kecuali mati sudah tiada jalan lagi bagimu!”
“Bocah, aku hendak cincang tubuhmu....”
Pada saat itu, An Yu Ciu tiba-tiba maju menghampiri suhunya dan berkata:
“Suhu, biarlah muridmu yang menghadapinya!”
“Kau harus berlaku hati-hati.”
“Suhu terlalu banyak pikiran!”
Setelah berkata demikian, tangannya lalu bergerak menyambar dada Hui Kiam.
Gerakannya ini sebetulnya merupakan suatu gerakan biasa. Tetapi gerakan yang keluar dari tangan An Yu Ciu itu, keadaannya sangat berlainan. Gerakan yang sederhana itu, ternyata mengandung serangan sangat ganas. Jika orang manganggap serangan iru serangan biasa, pasti akan terbinasa olehnya.
Hui Kiam juga tahu bahwa kedatangannya seorang diri ke dalam goa harimau malam itu karena harus menghadapi banyak lawan tangguh, ia tidak akan menggunakan kekuatan tenaganya dengan cuma-cuma maka ia sudah memperhitungkan dengan masak-masak. Pada saat serangan si pemuda she An itu tiba, ia segera menutup dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya melancarkan serangan dengan menggunakan jari tangan.
Kepandaian An Yu Ciu ternyata tinggi juga. Ia segera merasakan agak aneh hembusan angin yang keluar dari tangan itu. Ia segera menggeser kakinya, dengan kecepatan luar biasa ia lompat minggir hingga terhindar dari serangan maut itu.
Kepandaian Hui Kiam sudah mencapai taraf yang tinggi. Ketika serangan itu mengenakan tempat kosong, segera menghentikan serangan dari samping itu dengan kecepatan luar biasa.
An Yu Ciu yang berhasil mengelak dari serangan jari tangan, tetapi tidak berhasil menyingkir serangan dari samping itu. Ia sudah tidak keburu menangkis, sehingga serangan itu mengena dengan telak.
Tidak ampun lagi badan An Yu Ciu sempoyongan dan membentur tiang rumah, sehingga ruangan itu menimbulkan getaran hebat. Setelah terhuyung-huyung sejenak baru berhasil pertahankan dirinya, tetapi mulutnya mengeluarkan darah.
Dua perempuan muda yang menyaksikan kejadian itu, wajah mereka pucat seketika, mulutnya mengeluarkan suara jeritan.
Paras Tie-mo berobah. Ia dapat kenyataan bahwa kekuatan Hui Kiam jauh di luar perhitungan.
Sebaliknya dengan Hui Kiam, ia agak merasa kecewa karena tidak berhasil membinasakan lawannya dengan serangan itu. Selagi semua orang dalam keadaan terkejut dan terheran-heran, Hui Kiam sudah mengayunkan pula tangannya, melancarkan serangannya ke arah An Yu Ciu.....
Tie-mo dengan cepat pula melancarkan serangannya dari samping untuk menyambut serangan Hui Kiam itu:
An Yu Ciu menyeka darah yang mengalir di bibirnya dan kemudian menghunus pedangnya.
Tie-mo dengan wajah pucat berkata sambil menuding ke arah Hui Kiam:
“Bocah, kalau aku tak berhasil membunuhmu, percuma aku mendapat nama gelaranku ini!”
“Iblis wanita, kau memang tak pantas menjadi manusia!”
“Serahkan jiwamu!”
Iblis itu segera melancarkan serangannya kepada Hui Kiam. Gerak tipu serangannya itu nampaknya sangat aneh dan ganas seolah-olah sulit untuk dihindarkan.
Hui Kiam menggunakan ilmu gerak kakinya yang amat luar biasa. Bagaikan hantu, ia sudah mengelakkan diri dari serangan tersebut kemudian balas menyerang.
Kebetulan pada saat itu Tiee-mo juga melancarkan serangan lanjutannya, sehingga serangan kedua pihak saling membentur. Setelah menimbulkan suara benturan nyaring, kedua pihak mundur satu langkah.
An Yu Ciu menggunakan kesempatan itu. Pedang di tangannya secepat kilat menikam jalan darah Beng-bun-hiat di belakang punggung Hui Kiam.
Hui Kiam minggir ke samping, kemudian melancarkan satu serangan hebat.
An Yu Ciu memperdengarkan suara jeritan ngeri. Badannya tersapu dan jatuh di pekarangan.
Bersamaan dengan itu, hawa dingin yang luar biasa, menyerang tubuh Hui Kiam dengan tanpa suara. Hui Kiam hanya merasakan dingin sekujur badannya, kemudian kepalanya dirasakan pusing.
Sementara yang mengandung hawa dingin ini, adalah tipu serangan ciptaan Tiee-mo yang dinamakan Tui-hong Im-hong. Siapa yang terkena serangan itu, hawa dingin yang mengandung racun itu segera menyusup melalui urat-urat nadi dan jalan darah. Betapapun tinggi kepandaian orang terkena serangan itu juga tidak akan sanggup bertahan sampai setengah jam lamanya.
Tetapi Hui Kiam yang melatih ilmu kepandaianrya berdasarkan kepandaian dari pelajaran Thian Gee, jalan darah berlainan dengan orang biasa, sehingga racun hawa dingin itu tidak berdaya masuk ke dalam jantung hatinya. Daya perlawanan yang keluar dari badan Hui Kiam, segera mendesak keluar hawa dingin yang mengandung racun itu, maka ia hanya merasa pusing sebentar saja, kemudian pulih seperti biasa.
Tiee-mo yang belum mengetahui itu, masih menegurnya dengan suara seram.
“Bocah, kau bersedia mati dengan cara bagaimana? Aku justru tidak tahu dengan cara bagaimana untuk mengambil jiwamu baru aku merasa puas.”
Hui Kiam memperdengarkan suara dari hidung kemudian berkata:
“Kau sedang mimpi.”
Pada saat itu sepuluh lebih bayangan orang melayang masuk ke dalam pekarangan itu. Salah satu di antara mereka, seorang yang lanjut usianya, maju dan berkata sambil memberi hormat:
“Kami anak buah badan pelindung hukum tunggu perintah.”
“Kalian tunggu saja.”
“Baik.”
“Hem.... bagaimana dengan tamu-tamu yang baru ini?”
“Semua berjalan seperti biasa. Sudah diperintahkan orang untuk memasukkan ke dalam kereta!”
Hui Kiam yang mendengarkan pembicaraan itu, dadanya dirasakan mau meledak. Dalam waktu yang sangat singkat itu, orang-orang gagah itu ternyata sudah binasa di tangan perempuan-perempuan muda itu. Semuanya tidak berdosa, karena mereka sudah lupa diri sendiri dengan pengaruh obat, sehingga berobah menjadi alatnya iblis wanita itu.....
---ooo0dw0ooo---
JILID 23
T I E - M O saat itu juga sudah mengetahui keadaan Hui Kiam yang ternyata sanggup menahan serangannya, maka ia lalu berkata:
“Bocah, kau ternyata sanggup melawan seranganku Tui-hong Im-hong.”
“Iblis perempuan, malam ini kejahatanmu akan berakhir,” jawab Hui Kiam dingin.
“Bocah, apa kau kira berhak berkata demikian?”
“Berhak atau tidak, kenyataannya nanti yaug akan menjawab.”
Iblis wanita itu mundur selangkah. Kedua tangannya perlahan-lahan diangkat naik sampai ke batas dada. Sebentar kemudian kedua telapakan tangannya tiba-tiba membesar dua kali lipat. Telapakan tangan itu berubah hitam, sedangkan parasnya menunjukkan sikap amarahnya yang sudah memuncak.
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan itu, diam-diam bergidik. Ia dapat menduga bahwa musuhnya itu akan mengeluarkan kepandaiannya yang paling ampuh dan sangat berbisa. Kuku terbang Hiat Ie Nio cu yang belum lama berselang yang dihadapinya, masih menggetarkan pikirannya, maka seketika itu ia
segera memusatkan ilmunya Thian Gee Sin-ciang, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Pertempuran kali ini pasti akan merupakan pertempuran antara mati dan hidup.
Sepuluh lebih orang-orang Persekutuan Bulan Bintang berbaris di kedua samping dengan perasaan tegang.
Sementara itu Ao Yu Ciu juga sudah dibawa menyingkir dua orang perempuan muda.
Tie-mo maju satu langkah. Kedua tangannya mendorong lurus ke depan. Hembusan angin yang keluar dari tangannya mengandung hawa hitam.
Hui Kiam yang selalu waspada terhadap serangan yang menggunakan racun, buru-buru menutup pernapasannya. Kakinya segera bergerak melompat ke samping dua tombak lebih, kemudian berdiri di tengah-tengah pekarangan.
Tie-mo memperdengarkan suara tertawanya yang aneh, kemudian melesat tinggi dan menukik ke bawah untuk menerkam.....
Hui Kiam tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk melancarkan serangan. Selagi lawannya bergerak ke atas ia sudah menyerang dengan menggunakan ilmu serangannya Thian Gee Sin Ciang.
Serangan yang meluncur keluar itu, telah membuat terpental diri Tie-mo sehingga melayang turun ke tempat semula.
Hui Kiam mundur lagi. Ia sekarang berada di tempat yang agak luas. Dengan cepat ia menghunus pedang To-liong Kiamnya untuk menghadapi tangan beracun lawannya.
Baru saja pedang terhunus keluar dari sarungnya, kabut hitam yang disertai oleh hembusan angin hebat menggulung ke rah dirinya.
Racun yang tidak dapat ditundukkan oleh hanya kekuatan tenaga saja, maka ia terpaksa harus menyingkir lagi.
Baru saja ia lompat menyingkir tiba-tiba terdengar beberapa kali suara jeritan ngeri. Ternyata sepuluh lebih anak buah Tie-mo yang berdiri di belakang Hui Kiam. Tatkala Hui Kiam lompat di samping, mereka sudah tidak keburu menyingkir, sehingga tujuh di antara mereka segera jatuh roboh dan binasa seketika itu juga.
Apabila Hui Kiam tidak mengandalkan gerakan kakinya yang luar biasa itu, barangkali juga tidak lepas dari serangan tangan beracunnya itu.
Sisanya orang-orang yang masih hidup, sudah merasa ketakutan. Mereka mundur ke dekat pintu.
Tie-mo yang tidak berhasil melukai musuhnya sebaliknya sudah membinasakan tujuh anak buahnya sendiri, seketika itu menjadi kalap. Setelah memperdengarkan suara bentakan keras, ia maju menerjang lagi….
Hui Kiam menghitung tepat gerakan lawannya. Ia bergerak menyingkir, memutar mengitari pohon bunga, kemudian menyerang dari samping.
Tie-mo yang bergerak dengan cepat, tetapi tidak keburu menghentikan kakinya, sementara itu hawa pedang Hui Kiam sudah mengancam dirinya dalam keadaan yang kritis itu dirinya jatuh ke belakang hampir rata dengan tanah, kemudian melesat bagaikan meluncurnya anak panah….
Hui Kiam sudah tentu tidak mau melepaskan begitu saja setiap kesempatan yang didapatkan. Selagi sang lawan dalam keadaan kerepotan seperti itu, ia sudah melancarkan serangan pedangnya dengan gerak tipu Bintang Beterbangan di Langit.
Titik-titik bintang yang menyilaukan mata memenuhi ruangan yang hanya satu tombak persegi itu, sementara hawa pedangnya yang membelah udara menimbulkan perasaan jeri setiap orang yang berada di situ.
Tie-mo yang sama sekali tak mendapat kesempatan melancarkan serangannya, hanya mengandalkan kepandaiannya yang sudah
tinggi sekali ketika mengetahui dirinya terancam, ia cuma bisa merobah gerakan badannya….
Akan tetapi sang waktu tidak memberikan kesempatan lagi baginya.
Selagi badannya melayang turun, satu tangan kanannya sudah terlepas sepotong oleh pedang Hui Kiam sehingga darahnya menyembur keluar.
Karena putusnya tangan itu ia sudah tidak mampu lagi mengerahkan hawa racunnya, hingga tangan itu pulih kembali dengan warna yang biasa.
Hui Kiam bergerak maju. Ujung pedang mengancam dada lawannya. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Iblis, kau harus menerima nasibmu!”
Paras iblis Tie-mo merah padam, tetapi ia sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, sehingga hanya menunggu kematian saja.
Beberapa anggota Persekutuan Bulan Emas yang menjaga pintu, juga tak berdaya. Mereka tidak berani bertindak, juga tak berani mengundurkan diri. Semuanya berdiri terpaku di tempat masing-masing.
Selagi Hui Kiam hendak membinasakan iblis itu, suatu kekuatan hebat tiba-tiba menarik diri Hui Kiam mundur beberapa langkah, sehingga ujung pedangnya dengan sendirinya terpisah agak jauh dari dada si iblis wanita itu. Kesempatan itu digunakan oleh si iblis wanita. Ia lalu melompat mundur delapan kaki.
Bukan kepalang terkejutnya Hui Kiam. Dengan cepat ia memutar tubuhnya. Ternyata seorang tinggi besar yang memakai kerudung di mukanya, berdiri di belakangnya sejarak kira-kira satu tombak jauhnya.
Kedatangan orang berkerudung itu tanpa menimbulkan suara sedikitpun juga, bahkan dapt mengeluarkan kekuatan tenaga
sedemikian hebat menarik mundur dirinya, kekuatan ini sesungguhnya sangat mengejutkan.
Hui Kiam setelah menenangkan pikiran, baru ia berkata:
“Tuan orang kuat dari manakah?”
Orang berkerudung itu sepatah demi sepatah menjawab:
“Aku Lengcu Persekutuan Bulan Emas!”
Hui Kiam terperanjat. Ia mundur sampai tiga langkah, baru bisa berkata:
“Oh, jadi tuan adalah Lengcu Persekutuan Bulan Emas?”
“Benar.”
Hui Kiam benar-benar tak menduga bahwa di sini ia akan berjumpa dengan Lengcu Persekutuan Bulan Emas. Manusia berbahaya ini, telah mengacau balau rimba persilatan sedemikian rupa, sehingga seolah-olah sedang menghadapi hari Kiamat. Pertemuan secara tiba-tiba ini membuat ia untuk sementara menjadi tertegun.
Manusia aneh yang selama itu belum pernah mengunjukkan muka kepada orang luar, adalah pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang ingin menguasai dunia....
Perasaan gusar dan nafsu ingin menentang maksud usaha manusia buas itu mendadak timbul dalam hati Hui Kiam ....
Malam itu apabila ia berhasil membunuh raja iblis ini, maka bencana yang mengancam dunia rimba persilatan dengan sendirinya pasti akan lenyap. Hal ini sesungguhnya sangat berharga dari tindakan apapun juga.
Sampai dimanakah tingginya kepandaian dan kekutan raja iblis ini? Biar bagaimana malam ini harus diuji. Ia sendiri yang sudah berhasil memahami seluruh kepandaian ilmu yang tertulis dalam kitab Thian-Gee Pokip, kalau masih belum mampu menandingi kepandaian raja iblis ini, maka segala usaha dan gerakan untuk membasmi kejahatan, tidak akan membawa harapan banyak.
Malam itu, seharusnya merupakan ujian pertama baginya untuk menguji sampai di mana tinggi kepandaiannya.
Selagi masih berpikir, pemimpin persekutuan itu sudah berkata lagi:
“Apakah kau adalah itu orang yang bernama Hui Kiam dengan gelarnya Penggali Makam?”
“Benar!”
“Betulkah kau sengaja bermusuhan dengan persekutuan kami?”
“Membasmi kejahatan menegakkan keadilan dan kebenaran, itu adalah tugas dan kewajiban setiap orang gagah yang mempelajari ilmu silat!”
“Apakah kau pandang kami sebagai iblis yang memipin kejahatan?”
“Kau boleh tanya kepada dirimu sendiri, apakah sepak terjangmu ini benar atau salah.”
Pemimpin Bulan Emas itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, “Ha, ha, ha, sesungguhnya sangat unik. Untuk pertama kali kami mendengar oraug berani mengucapkan perkataan sedemikian sombong terhadap diri kami!”
“Soal unik bukan cuma itu saja.”
“Hem, hem, Penggali Makam, katakanlah masih ada apa lagi?”
“Aku telah bersumpah hendak mengubur semua jenazah orang-orang jahat di dunia ini!”
“Sombong! Kami sebetulnya tidak tega membunuh kau!”
“Tuan tentunya sudah pernah mendengar orang berkata bahwa memaafkan musuh berarti suatu kekejaman terhadap diri sendiri!”
“Sekarang kau tidak perlu banyak bicara, ceritakanlah apa maksudmu malam-malam datang kemari?”
“Hendak menghancurkan sarang penjahat!”
“Apakah kau yakin dapat melaksanakannya?”
“Aku yakin sedalam-dalamnya!”
“Penggali Makam, kami sesungguhnya merasa sayang terhadap kcpandaianmu ini....”
“Apakah artinya perkataanmu ini?”
“Jikalau kau suka menjadi anggota persekutuan kami, kau pasti bisa malang melintang di dalam rimba persilatan hanya di bawah seorang saja.”
“He, he, aku selamanya tidak sudi di bawah perintah orang!”
“Ini bukan tidak mungkin, satu hari kelak mungkin kau akan menjagoi di dalam dunia ini!”
“Apakah kau bermaksud setelah kau menguasai dunia rimba persilatan, kau hendak menyerahkan kedudukanmu kepada orang lain?”
“Itu tidak mungkin!”
“Aku masih belum mengerti.”
“Jikalau kau suka melepaskan anggapanmu sendiri, dan suka menjadi anggota persekutuan kami, kenyataannya akan membuktikan bahwa soal itu bukan mustahil!”
“Ini agak aneh kedengarannya bagiku!”
“Di dalam dunia tidak ada apa-apa yang aneh, apabila sudah mengerti persoalan: pikirlah dulu masak-masak!”
“Tidak perlu dipikir lagi, aku tidak mempunyai kegemaran untuk menjadi jago, aku hanya bercita-cita untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, supaya selama-lamanya tinggal hidup subur!”
Sinar tajam tampak dari kedua mata orang berkerudung itu melalui dua lobang kecil di bagian matanya, menatap Hui Kiam. Untuk pertama kali Hui Kiam merasakan bahwa siuar mata itu agaknya mengandung wibawa, membuat orang memandangnya tergoncang pikirannya sehingga tanpa disadari Hui Kiam sudah mundur satu langkah akan tetapi kemudian segera mencari apakah sebetulnya telah terjadi. Ia segera menenangkan pikirannya dengan
kekuatan tenaga dalamnya coba menentang pengaruh sinar mata itu.
Kedua pihak saling berpandangan….
Seperempat jam!
Setengah jam!
Sedetik demi sedetik telah berlalu. Dahi Hui Kiam sudah penuh peluh, wajahnya yang merah berubah menjadi pucat.
Muka pemimpin Persekutuan Bulan Emas karena tertutup oleh kain kerudung, tidak dapat dilihat perubahan sikapnya.
Keduanya tidak turun targan, tapi ini adalah lebih hebat daripada pertandingan dengan menggunakan kaki tangan atau senjata tajam.
Mengadu kekuatan semacam ini, juga karena hanya orang berkepandaian tinggi seperti Hui Kiam dan pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang dapat melakukan. Bagi orang yang berkepandaian tinggi yang biasa saja, tidak sanggup melakukan.
Apabila di suatu pihak ada yang kurang teguh pikirannya atau tak cukup kuat tenaganya, tidak usah lawannya turun tangan, sudah cukup menimbulkan luka dalam bagi yang kalah.
Hui Kiam mencoba untuk bertahan sekuat tenaga. Ia berkata kepada diri sendiri bahwa ia tidak boleh kalah, jikalau tidak habislah semua.
Setengah jam sudah berlalu lagi.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas tiba-tiba berseru:
“Untuk sementara kita hentikan dulu.”
Kedua pihak dengan serentak menarik kembali kekuatan masing-masing. Ketua Persekutuan Bulan Emas berkata pula:
“Penggali Makam, kau bisa melukai anggota badan pelindung hukum tertinggi persekutuan kami, ilmu pedangmu pasti bagus sekali. Apakah berani mengadu ilmu pedang dengan kami?”
“Sudah tentu!”
“Tetapi kita lebih dulu harus bicarakan syaratnya!”
“Syarat?”
“Hem, pertandingan itu hanya dibatas tiga jurus saja.”
“Maksudmu bukan begitu saja….”
“Kau ingin bagaimana?”
“Diantara kita berdua cuma boleh ada satu yang berlalu dari sini dalam keadaan hidup!”
“Itu berarti mengadu jiwa?”
“Tepat!”
“Selanjutnya kau tidak dapat membunuh kami bagaimana?”
“Terbunuh!”
“Jikalau kami tidak suka membunuh kau?”
Hui Kiam bungkam. Tiba-tiba ia ingat bahwa sudah beberapa kali pernah mendengar kata orang-orang Persekutuan Bulan Emas telah mendapat perintah tidak boleh bermusuhan dengannya. Kecurigaan itu selama itu belum lenyap dari pikirannya, maka malam ini, selagi
bermusuhan dengan pemimpin Persekutuan Bulan Emas, seharusnya ia mencari tahu sebab-sebabnya.
Setelah berpikir demikian, ia lalu balas bertanya:
“Apa sebabnya Tuan tidak suka membunuhku?”
“Ada dua sebab.”
“Bolehkah kau terangkan apa sebabnya?”
“Pertama, kau merupakan salah seorang berbakat luar biasa selama seratus tahun ini. Aku merasa sayang kalau kau mati begini.”
“Hem! Dan sebab yang lainnya lagi?”
“Pada saat itu belum perlu aku ceritakan, kecuali apabila kau suka menjadi anggota persekutuan kami.”
“Apakah tuan pernah memberi perintah kepada anak buah tuan, tidak boleh bermusuhan denganku?”
“Hal itu memang ada.”
“Mengapa?”
“Berdasarkan atas sebabnya yang kedua, tetapi pada saat ini belum waktunya kuberitahukan kepadamu.”
Hui Kiam tidak berdaya. Karena orang itu tidak mau mengatakan, sudah tentu ia tidak suka bertanya lagi. Bagaimanapun juga pertempuran malam itu merupakan pertempuran antara mati dan hidup, jikalau menang segalanya akan menjadi terang, tetapi jikalau kalah habislah semua-muanya….
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas berkata pula:
“Penggali Makam, kau boleh bertempur secara bebas. Tiga jurus sudah cukup untuk menentukan siapa yang mati dan siapa yang hidup. Sudah tentu ini adalah menurut gerak tipu serangan oleh pihak yang menggunakannya juga kekuatan tenaga dalam dan lain-lainnya merupakan faktor utama untuk merebut kemenangan.”
Hui Kiam pikirannya bekerja keras. Kepandaiannya dalam ilmu pedang, juga hanya tiga jurus saja. Jikalau tiga jurus tidak mendapat kemenangan, selanjutnya tidak usah dibicarakan lagi. Maka ia lalu berkata:
“Aku setuju usulmu itu!”
“Syarat yang kusebutkan tadi, yang kumaksudkan ialah apabila salah satu pihak tidak dapat membinasakan lawannya.”
“Coba tuan jelaskan!”
“Apabila kau bisa menang atau seri, rekening yang terdahulu semua akan kami hapus, lain waktu kita bertanding lagi.”
“Bagaimana andaikata aku yang kalah?”
“Kau harus menjadi anggota persekutuan kami.”
Hui Kiam seketika itu lalu bungkam. Apa pun yang akan terjadi syarat serupa itu juga tidak dapat diterima. Karena apabila ia menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas, ini berarti ia telah membantu kejahatan. Bagaimana ia dapat melakukan? Bukankah ini akan bertentangan dengan cita-cita semula? Berpikir demikian ia lalu menjawab:
“Untuk menjadi anggota persekutuan Bulan Emas, hal ini tidak mungkin sama sekali!”
“Apakah kau sudah bertekad bermusuhan dengan persekutuan kami?”
“Aku tidak menyangkal pertanyaanmu ini!”
“Kau tidak pikir lagi?”
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas perlahan-lahan menghunus pedangnya. Di bawah sinar lampu pelita, pedang itu memancarkan sinarnya yang gemerlapan. Kira-kira setengah kaki dekat ujung pedang ada satu tanda bulan sabit yang memancarkan sinar emas.
Dalam hati Hui Kiam berkata: “Inikah pedang Bulan Emas?”
Persekutuan itu dinamakan Bulan Emas, namanya mungkin diambil dari nama pedang itu.
Keadaan menjadi gawat pada saat pemimpin Bulan Emas menghunus pedangnya. Menghadapi raja iblis rimba persilatan yang sangat misterius itu, hati Hui Kiam merasa agak kurang tentram karena dalam pertempuran itu bukan saja menyangkut mati hidupnya ia sendiri, tetapi juga menyangkut kepentingan dan nasib seluruh rimba persilatan.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu menggerakkan tangannya. Pedang yang berada di tangannya menimbulkan cahaya yang menyilaukan mata.
Hui Kiam terkejut, karena gerakan itu nampaknya sangat aneh dan hebat, tidak kalah dengan gerakan ilmu pedangnya sendiri.
Tubuh tinggi besar pemimpin Persekutuan Bulan Emas maju mendekati Hui Kiam. Dengan suaranya yang nyaring ia berkata:
“Hui Kiam, apakah kau tidak menyesal?”
“Siapa yang kuat akan hidup dan siapa yang lemah akan binasa, inilah tata tertib yang tidak dapat dirubah dalam rimba persilatan. Bagi siapa yang bertempur mati-matian, tidak kenal istilah menyesal.”
“Sayang kepandaianmu yang luar biasa.”
“Tuan terlalu omong besar, membuat aku merasa geli.”
“Apa yang dibuat geli kami jikalau bukan lantaran….”
“Lantaran apa?”
“Lantaran budak itu.”
“Siapa?”
“Tong-hong Hui Bun!”
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, ia mundur satu langkah. Tentang diri Tong-hong Hui Bun tidak ada hubungannya dengan Persekutuan Bulan Emas, dari apa yang disaksikan beberapa kali sudah merupakan sesuatu kenyataan yang tidak dapat dibantah. Tetapi kenyataan yang keluar dari mulut pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu, lain pula sifatnya.
Bagaimanakah asal-usul sebenarnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas ini?
Ada hubungan apa dia dengan Tong-hong Hui Bun?
Tong-hong Hui Bun meskipun mempunyai kecantikan luar biasa, tetapi menurut pengakuannya sendiri bahwa ia mempunyai ilmu supaya dirinya awet muda. Ia sebetulnya sudah berusia empat puluh tahun lebih, tetapi pemimpin Persekutuan Bulan Emas ini menyebutnya budak, ini suatu bukti bahwa pemimpin Bulan Emas ini adalah orang tingkatan tua bagi Tong-hong Hui Bun....
“Ada hubungan apa ia dengan tuan?” demikian ia bertanya.
“Tentang ini seharusnya ia yang memberitahukan kepadamu.”
Hui Kiam tidak berdaya. Akhirnya ia berkata pula:
“Ini sudah tidak penting lagi....”
“Tidak penting?”
“Benar!”
“Maksudmu apakah....”
“Oleh karena keadilan dan kebenaran yang lebih penting daripada perhubungan pribadi, maka malam ini, di antara aku dan tuan harus
bertempur sampai ada salah satu yang mati!”
“Kau tidak memperhitungkan akibatnya?”
“Sudah tentu!”
Pedang di tangan pemimpin Persekutuan Bulan Emas agak gemetar. Pemimpin itu lalu berkata:
“Apakah kau masih ada pesan apa-apa yang kau akan tinggalkan, nanti kami sampaikan?”
Apa yang dimaksud pesan oleh pemimpin itu, sudah tentu pesan terhadap Tong-hong Hui Bun.
Hui Kiam berpikir. Hubungannya antara ia dengan Tong-hong Hui Bun, hanya sedikit saja yang mengetahui. Sungguh tak disangka orang
yang berkedudukan tinggi seperti pemimpin Bulan Emas ini, sudah mengetahui begitu jelas. Ini bukti betapa dalam hubungannya Tong-hong Hui Bun dengan persekutuan itu.
Mendengar pertanyaan itu Hui Kiam lalu memperdengarkan suara tertawa dingin, kemudian berkata:
“Sebaliknya adalah tuan sendiri, apakah ada pesan apa-apa yang perlu ditinggalkan untuk anak buahmu?”
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas agaknya sudah gusar benar-benar. Sepasang sinar matanya tajam menatap wajah Hui Kiam seolah-
olah menembus ke ulu hatinya....
Pada saat itu dua sosok bayangan orang mendekati mereka berdua. Mereka adalah iblis Tiee-mo dan muridnya.
Iblis Tiee-mo dengan sinar matanya buas menyapu Hui Kiam, kemudian berkata kepada pemimpin Bulan Emas:
“Izinkanlah hambamu yang membereskannya!”
Mata pemimpin Bulan Emas masih tetap menatap mata Hui Kiam, sementara itu mulutnya menjawab si iblis Tiee-mo:
“Silahkan kau mundur dulu. Urusan ini biarlah kami sendiri yang menyelesaikan!”
Iblis Tiee-mo nampak tercengang. Ia terpaksa mengundurkan diri bersama muridnya.
Hui Kiam telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya. Dengan sepasang mata yang tajam mengawasi musuh besarnya.
Sebentar kemudian, ia juga sudah menghunus pedangnya. Entah siapa yang bertindak lebih dahulu, tahu-tahu keduanya sudah bergerak dan kemudian berpencar lagi. Daun-daun di atas pohon telah berterbangan tersapu oleh hembusan angin yang keluar dari kedua
pedang itu.
Dalam satu gerakan itu, kekuatan kedua pihak sudah berada di batas tertentu. Kekuatan kedua pihak nampaknya selisih sedikit sekali, tetapi reaksinya bagi kedua pihak jauh berlainan. Pemimpin Bulan Emas dikejutkan oleh kepandaian ilmu pedang Hui Kiam, yang temyata dapat menandingi ilmu pedangnya Bulan Emas yang dianggapnya sudah tanpa tanding. Hal ini sesungguhnya di luar dugaannya semula. Sedangkan bagi Hui Kiam, yang ini hanya merupakan dorongan semangat. Ia tahu bahwa kepandaiannya
sendiri setidak-tidaknya sudah cukup untuk menghadapi pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang sangat berpengaruh itu.
Suasana semakin tegang. Ini merupakan suatu pertempuran dari dua jago yang jarang tampak selama seratus tahun ini. Apalagi masing-masing telah bertekad hendak membinasakan lawannya, maka itu sesungguhnya sangat berbahaya.
Kedua pihak setelah mengadu kekuatan babak pertama, keduanya berpencar lagi dan berdiri bagaikan patung hidup. Masing-masing memusatkan pikiran dan kekuatan tenaganya.
Asal satu pihak lengah saja, segera dapat serangan lawannya yang mematikan.
Dalam suatu pertempurnn pedang kelas tinggi, selalu mengutamakan ketenangan hati, pikiran semangat, dan ketenangan mengendalikan pikirnya. Apabila musuh tidak bergerak, pihaknya sendiri juga tidak bergerak, tetapi begitu melihat musuhnya bergerak, harus bisa bergerak lebih dulu.
Karena kedua pihak yang bertempur malam itu semua adalah ahli pedang nomor satu maka kedua-duanya berpikiran serupa. Masing-masing menantikan kesempatan untuk melancarkan serangannya.
Sang waktu sedetik demi sedetik telah berlalu.
Dalam pertandingan ini bagi Hui Kiam besar sekali sangkut pautnya. Bukan saja akan menyangkut mati hidupnya tetapi juga ada hubunganuya dengan nasib orang-orang seluruh rimba persilatan. Oleh karenanya, dengan sikap sungguh-sungguh ia menerima ujian berat itu.
Suara bentakan singkat, tiba-tiba memecahkan suasana yang sunyi. Di bawah sinar lampu percikan sinar emas bertebaran bagaikan kembang api yang meletus di tengah udara.
Setelah pemandangan itu lenyap, pemimpin Persekutuan Bulan Emas mundur lagi ke tempat semula ia berdiri. Kaki kiri yang digeser mundur ke belakang, melesat ke dalam tanah sampai batas mata kaki.
Di lain pihak badan Hui Kiam nampak sempoyongan. Wajahnya yang tampan nampak pucat.
Suasana sunyi lagi. Masing-masing berdiri lagi bagaikan patung, seolah-olah tak pernah kejadian apa-apa.
Dalam jurus ini, Hui Kiam berada di atas angin.
Pada saat itu cuaca mulai terang, sehingga sinar lampu pelita nampak suram.
Tiba-tiba dari belakang pekarangan terdengar bentakan keras, kemudian disusul oleh suara orang berteriak riuh. Api nampak berkobar. Di pagi hari yang masih belum terang betul diliputi oleh warna kemerah-merahan.
Siapakah gerangan yang berani membakar wisma pahlawan itu?
Kejadian yang tidak terduga-duga ini nampaknya mengejutkan Hui Kiam.
Dalam keadaan serupa itu, bagi orang pandai biasa, mungkin tidak dapat membedakan terkejutnya perasaan Hui Kiam itu, tetapi di mata pemimpin Bulan Emas, ini merupakan suatu kesempatan baik untuk melancarkan serangannya.
Begitulah dengan kecepatan yang luar biasa pemimpin Bulan Emas itu melancarkan serangannya.
Tanpa banyak pikir bahkan boleh dikata timbul dari kemauannya sendiri. Hui Kiam juga dengan kecepatan bagaikan kilat, menangkis serangan itu dengan menggunakan gerak tipunya Satu Tiang Menyangga Langit yang terampuh.
Sudah tentu pada saat itu ia hanya mengambil sikap defensif, bertahan untuk membendung serangan lawannya yang berbahaya itu.
Oleh karena ampuhnya gerak tipu itu, sekalipun sangat sederhana, tetapi dalam keadaan demikian mendesak masih dapat menahan serangan lawannya.
Namun setelah kedua pedang sambil beradu, pedang Tong-liong Kiam Hui Kiam peninggalan ayahnya telah terpapas putung menjadi dua potong.
Maka seketika itu juga semangatnya terbang seolah-olah meninggalkan raganya.
Keringat mengucur deras, wajahnya semakin pucat, badannya gemetar.
Sementara itu ujung pedang pemimpin Persekutuan Bulan Emas sudah mengancam di bagian jalan darahnya yang terpenting.
lni agaknya merupakan suatu akibat yang sudah pasti, maka ia tak terkejut, hanya heran mengapa pemimpin itu tak segera ambil jiwanya. Apakah masih mengandung lain maksud?
Api yang membakar gedung itu berkobar. Seluruh gedung yang luas itu sudah berada di dalam lautan api.
Hui Kiam sambil menindas perasaan gusarnya berkata dengan suara keras:
“Mengapa tidak segera turun tangan?”
“Apakah pedangmu itu pedang To-liong-Kiam?” demikian pemimpin Bulan Emas berkata tanpa menghiraukan pertanyaan Hui Kiam.
Hui Kiam terperanjat. Ia mau menduga bahwa To-liong Kiam Khek pada masa hidupnya pasti jago kenamaan sehingga pedangnya juga sangat terkenal.
Dengan patahnya pedang To-liong Kiam itn, ini adalah suatu bukti bahwa pedang itu adalah terbuat dari besi biasa bukan merupakan pedang pusaka. Hanya karena pedang itu yang digunakan secara mahir sekali sehingga membuat namanya terkenal.
Pedang peninggalan ayahnya yang diberikan oleh Orang Menebus Dosa kini telah rusak di tangannya, ini benar-benar merupakan sesuatu kemenyesalan besar baginya.
Atas pertanyaan pemimpin Bulan Emas itu ia lalu menjawab:
“Benar, ini adalah pedang To-liong Kiam. Kau juga kenal?”
“Darimana kau dapatkan pedang itu?”
“Hadiah dari seorang sahabat!”
“Sahabat.”
“Ya, mengapa? Apakah ada salahnya?”
“Hui Kiam, kau harus mengerti kedudukanmu sekarang ini.”
“Sudah tentu mengerti. Tetapi satu laki-laki boleh dibunuh tetapi tidak boleh dihina. Silahkan bertindak!”
“Sekali lagi kami tegaskan, apabila kau suka menjadi anggota persekutuan kami....”
“Tidak bisa!”
“Kau tidak akan menyesal?”
“Kekalahanku bukan karena kalah kepandaian dan tenaga. Kekalahanku itu semata-mata karena senjataku yang tidak sebanding dengan senjatamu!”
“Kau tidak menerima kalah?”
“Sudah tentu!”
“Dan kalau tidak terima kalah kau mau apa lagi?”
Hui Kiam menggertak gigi. Dengan suara dingin dan sikap tenang sekali ia menjawab:
“Silahkan bertindak!”
“Nampaknya kau benar-benar tidak boleh hidup lagi....” Namun, walaupun mulutnya berkata demikian hatinya tidak segera turun
tangan. Sebentar kemudian, di luar dugaan ia tarik kembali pedangnya dan berkata:
“Kali ini kami bebaskan kau. Hitung-hitung ada satu pemberesan bagi budak itu.”
Sehabis mengucapkan demikian, ia lalu menghilang.
Hui Kiam berdiri terpaku. Apa yang dirasakan dalam hatinya sesungguhnya sulit dilukiskan. Apakah sebetulnya kedudukan Tong-hong Hui Bun dalam Persekutuan Bulan Emas sehingga pemimpinnya sendiri juga mengalah terhadap dirinya?
Api berkobar semakin hebat. Seluruh gedung itu sudah takkan tertolong lagi.
Hui Kiam pelahanu-lahan memungut potongan pedangnya. Hatinya merasa sangat pilu. Barang peninggalan ayahnya seharusnya dihargakan, tetapi sang ayah itu yang dalam hati sanubarinya hanya merupakan bayangan aneh saja, sehingga ia lebih menghargakan Orang Menebus Dosa yang memberikan pedang itu kepadanya.
Karena pedangnya telah patah, ia teringat kepada pedang sakti yang berada di dalam Makam Pedang. Andaikata ia membawa pedang sakti itu, malam itu mungkin pemimpin Bulan Emas tidak akan lolos dari tangannya.
Oleh karenanya, maka hasratnya ingin mendapatkan pedang sakti itu semakin kuat. Ia lalu mengerahkan kepandaiannya menerjang keluar dari dalam lautan api.
Setelah meninggalkan gedung yang sudah terbakar itu, ia lari menuju ke bagian barat pintu kota. Hari itu matahari sudah naik tinggi.
Tiba di tempat yang dijanjikan dengan Ie It Hoan dan Orang Tua Tiada Turunan, sudah disambut oleh Ie It Hoan seraya berkata dengan sikap tergopoh-gopoh:
“Toako, untung kau tidak terjadi apa-apa.”
Hui Kiam agak tercengang, katanya:
“Apa maksudmu?”
“Kau pikir kecuali kau, siapa yang dapat menandingi pemimpin Persekutuan Bulan Emas?”
“Apakah kau tahu?”
“Tahu semuanya. Orang Menebus Dosa benar-benar merupakan seorang peramal yang sangat jitu. Ia berkata bahwa pemimpin Bulan Emas tidak akan membunuh kau….”
“Dia….”
“Kebakaran di gedung wisma pahlawan itu adalah rencananya. Waktu kau berhadapan dengan pemimpin Bulan Emas, ia telah berhasil menghalangi Iblis Tie-mo, sehingga aku mendapat kesempatan untuk berbuat sesuka aku dan akhirnya aku bakar gedung itu.”
“Dimana sekarang Orang Menebus Dosa itu?”
“Sudah pergi!”
“Ia sebetulnya orang dari golongan mana?!”
“Entahlah, ia belum pernah menunjukkan muka. Segala berita dan rencana, semua disampaikan oleh orangnya.”
“Ow… dan di mana sekarang Orang Tua Tiada Turunan locianpwe?”
“Mari ikut aku!”
Dengan berbagai pertanyaan dalam hatinya Hui Kiam mengikuti Ie It Hoan lari menuju ke suatu ladang. Berjalan kira-kira seputuh pal lebih, baru tiba di depan sebuah kuil yang sudah tua. Hui Kiam sudah perhatikan, semua tanda-tanda rahasia dan jebakan sekitar kuil itu yang keadaannya tua dan rusak itu ternyata diadakan demikian keras sesungguhnya di luar dugaannya. Tetapi ia tidak bertanya.
Begitu masuk ke pintu kuil pemandangan di dalam kuil itu menunjukkan seolah-olah kuil itu sudah rusak karena terlalu tua usianya. Di situ jnga tidak terdapat orang merawatnya.
Setelah melalui pendopo yang penuh galagasi, di depan mata Hui Kiam terbentang sebuah pekarangan yang sudah penuh rumput
alang-alang. Di satu sudut pekarangan ada terdapat satu sumur tua.
Ie It Hoan lalu berkata sambil menunjukan sumur tua itu:
“Mari kita lompat masuk ke dalam sumur tua itu!”
“Apa artinya ini?”
“Masuk saja, nanti kau akan tahu sendiri?”
Tanpa banyak bicara lagi, Ie It Hoan lebih dahulu sudah melompat masuk ke dalam sumur tua.
Hui Kiam mau tidak mau juga turut lompat masuk. Sumur itu sedalam kira-kira delapan tombak. Dasar sumur hanya terdapat pasir yang halus, tiada terdapat setetes airpun juga.
Berada di dalam sumur itu, Ie It Hoan segera menggeser sebuah batu yang merupakan dinding sumur. Setelah terdengar suara keretekan, terbukalah sebuah pintu. Di dalam lorong yang panjang samar-samar ada titik sinar lampu.
“Toako, silahkan masuk!” demikian Ie It Hoan berkata:
Hui Kiam semakin heran, tetapi ia tidak menunjukkan perasaan itu, la hanya menganggukkan kepala dan masuk ke dalam pintu.
Berjalan kira-kira sepuluh tombak lebih, di depan matanya terbentang satu ruang luas yang terang benderang dengan sinar lampu. Di situ ternyata sudah terdapat banyak orang. Orang-orang yang moudar-mandir di situ, semuanya mengenakan pakaian berwarna lila.
Di dasar sumur kuil tua itu, ternyata ada suatu tempat yang diperlengkapi demikian rupa, sesunguhnya di luar dugaan.
Kedatangan Hui Kiam itu, segera disambut oleh Orang Tua Tiada Turunan. Berkata orang tua itu:
“Siaohiap? Aku merasa girang kau kembali dalam keadaan selamat. Mari kita omong-omong ke dalam!”
Hui Kiam mengerutkan alisnya. Ia segera bertanya:
“Ini tempat apa?”
“Kalau aku terangkan harap kau jangan kecil hati. Tempat ini adalah kediaman Orang Berbaju Lila yang dirahasiakan!”
Hui Kiam mendadak memancarkan sinar matanya beringas ia bertanya dengan suara gemetar:
“Kediaman Orang Berbaju Lila?”
“Ya!”
“Dimana ia sekarang?”
“Tidak ada di sini!”
“Apakah cianpwee sudah lama mengadakan hubungan dengannya?”
“Tidak, itu hanya si Orang Menebus Dosa yang mengatur, kedatanganku di sini juga belum lama.”
“Maaf boanpwee tidak bisa berdiam lama-lama di sini....”
Orang Tua Tiada Turunan melintang di hadapannya seraya berkata:
“Siaohiap, harap kau pentingkan nasib rimba persilatan. Mengenai permusuhan pribadi, berulang kali Orang Menebus Dosa berkata dan memberi jaminan, setelah membereskan Persekutuan Bulan Emas, ia dapat memerintahkan Orang Berbaju Lila untuk membuat penyelesaian!”
Hui Kiam sebetulnya masih hendak mengatakan sesuatu, tetapi ia membatalkan maksudnya. Ie It Hoan dengan perlahan mendorong kepadanya seraya berkata kepadanya:
“Toako, mari kita masuk melihat-lihat!”
Apa boleh buat, Hui Kiam menuruti kehendak saudara angkatnya. Apa yang disaksikan oleh matanya ia rasakan bulu romanya pada berdiri. Di dalam sebuah kamar ada rebah terlentang beberapa puluh perempuan muda. Ada yang setengah telanjang, ada juga
yang telanjang bulat, semua dalam keadaan tidak sadar agaknya sudah ditotok semua jalan darahnya.
Hui Kiam dengan muka merah membara, berpaling dan bertanya kepada Ie It Hoan:
“Apa yang telah terjadi?”
'“Ini adalah perempuan-perempuan pasukan Im-hong Tui!”
“Apa? Apakah mereka ini perempuan-perempuan yang berada di dalam wisma pahlawan itu?”
“Benar!”
“Mengapa tidak dibunuh saja?”
“Mereka tidak berdosa. Mereka telah dihilangkan sifatnya semula oleh kekuatan obat, hingga dijadikan alat oleh kawanan manusia jahat itu, kalau kita bunuh bukankah itu terlalu kejam?”
“Bagaimana kita harus perlakukan mereka?”
Orang Menebus Dosa hendak mencarikan obat pemunahnya untuk menolong mereka supaya kembali dalam keadaan semula, kemudian diantar pulang ke keluarga masing-masing!”
“Apa semua sudah ada di sini?
“Mungkin sudah semuanya!”
“Sesungguhnya tidak kusangka urusan ini sedemikian mudah diselesaikannya.”
“Toako, Orang Menebus Dosa sudah memasang mata-mata dalam markas musuhnya, di samping itu juga menggerakkan tenaga anak buahnya hampir seratus orang jumlahnya. Sekalipun tindakannya itu berhasil, tapi sudah menempuh bahaya besar. Apabila salah hitung akibatnya hebat sekali. Umpama munculnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu, sebetulnya di luar perhitungan. Untung kau berhasil menahannya. Kalau tidak, rencana kita akan gagal seluruhnya.”
“Aku sendiri hampir mati di bawah tangan pemimpin persekutuan itu....”
“Toako, aku benar-benar sangat khawatir. Untung Tuhan masih melindungi kita.”
“Soal mengenai pasukan lm-hong Tui ini kini sudah boleh dikata selesai!”
“Ya, tapi kita harus siap sedia untuk menghadapi rencana mereka selanjutnya. Masih ada suatu hal yang menguntungkan pihak kita....”
“Hal apa itu?”
“Tong-hong Hui Bun tidak menampakkan diri. Jikalau tidak, mungkin rencana kita ini akan gagal.”
Hui Kiam diam saja, pikirannya terguncang hebat. Kali ini ia masuk ke dalam wisma pahlawan seorang diri maksud sebetulnya hendak mencari Tong-hong Hui Bun. Tidak disangka yang dicari tidak ketemu, sebaliknya hampir mengantar jiwa. Akhirnya malah orang lain yang menghancurkan wisma pahlawan itu. Dipikir-pikir memang sangat malu.
Sementara itu Orang Tua Tiada Turunan juga turut bicara:
“Siaohiap, kiranya kau tentu sudah lapar, mari kita makan dulu.”
Hui Kiam segera menggoyang-goyangkan tanganuya seraya berkata:
“Tidak usah, boanpwee akan segera pergi lagi.”
Ie It Hoan lalu berkata:
“Toako, sentimenmu itu terlalu keras.”
“Ini bukan sentimen. Permusuhan antara aku dengan Orang Berbaju Lila sudah terlalu dalam.”
Orang Tua Tiada Turunan berkata:
“Sebagai seorang laki-laki sejati harap dapat membedakan dengan tegas antara budi dengan musuh. Siaohiap sudah berjanji
hendak mengutamakan kepentingan umum lebih dahulu baru urusan pribadi, maka soal permusuhan itu sebaiknya ditunda dulu, apa salahnya?”
“Boanpwee masih ada dua urusan yang perlu dibereskan dengan segera.”
“Urusan apa?”
“Kesatu, aku harus pergi ke gereja Siaolim-sie hendak menyelidiki jejak Pek-leng-lie untuk mencari pembunuh ibuku, dan kedua hendak ke Makam Pedang untuk minta pedang sakti guna menghadapi pemimpin Bulan Emas.”
“Ini adalah urusan penting kau harus lakukan.”
“Maka boanpwee ingin minta diri.”
Ie It Hoan lalu berkata:
“Apakah toako mengijinkan siaotemu ini ikut?”
“Aku pikir hendak kuurus sendiri.”
“Maksud toako, apakah keberatan jalan bersama-sama dengan siaote?”
“Ini adalah urusanku pribadi, kau jangan salah mengerti.”
“Pertempuran antara kebenaran dan kejahatan sudah tidak akan dapat ditunda lagi, sedangkan toako merupakan orang terpenting dalam pertempuran ini.”
“Aku tidak berani menjadi orang terpenting dalam soal ini, tetapi aku bersedia menyumbaugkan tenaga dan kepandaian, setiap waktu aku bersedia menerima panggilan.”
“Kalau begitu.... toako tidak akan menolak apabila ada urusan penting aku boleh menjumpaimu?”
“Sudah tentu.”
'“Kalau begitu mari siaote antar toako keluar!”
“Baik!”
Hui Kiam lalu memberi hormat dan pamitan pada Orang Tua Tiada Turunan.
Hui Kiam dan Ie It Hoan keluar melalui jalan rahasia lain yang menembus ke bagian belakang kuil tua itu.
Hui Kiam tiba-tiba berkata dengan sikap sungguh-sungguh.
“Adik Hoan, jawablah pertanyaanku.”
“Silahkan toako!”
“Bukankah sudah lama kau tahu asal-usul Tong-hong Hui Bun?”
“Ini… ini... siaote tidak menyangkal, akan tetapi....”
“Bolehkah kau beritahukan kepadaku apa hubungannya antara dia dengan Persekutuan Bulan Emas?”
“Toako, tentang ini....”
“Aku harus mengetahui!”
“Tetapi siaote tidak berani melakukan perbuatan yang melanggar perintah suhu.”
“Kalau aku berjumpa dengannya, ia juga akan memberitahukan kepadaku, ini kan tak ada perlunya untuk dirahasiakan?”
“Ini bukan sengaja aku rahasiakan. Siaote tidak berani memikul tanggung jawab.”
“Tanggung jawab apa?”
“Toako, kalau kau suruh aku mati aku akan mati tanpa mengerutkan alis, tetapi harap toako jangan desak aku untuk melakukan perbuatan ini.”
Hui Kiam tidak berdaya. Jawaban Ie It Hoan sudah jelas kalau ia mendesak lagi berarti akan mengganggu persahabatan mereka. Tetapi soal itu tidak selalu mengganggu pikirannya, benar-benar sangat tidak enak. Setelah berpikir beberapa kali, akhirnya ia berkata:
“Ia pasti berada di tempat sekitar kota Lam Sia. Aku harus segera mencarinya!”
Tepat pada saat itu, dari tempat yang tidak jauh, tiba-tiba terdengar beberapa kali suara bentakan orang perempuan. Suara itu sudah tidak asing bagi Hui Kiam, maka ia segera minta diri kepada adik angkatnya itu.
Secepat kilat ia sudah lompat melesat ke arah datangnya suara bentakan itu.
Untuk sesaat Ie It Hoan berdiri tertegun. Setelah Hui Kiam berlalu, ia segera menyusul.
Di dalam sebuah rimba, di tengah-tengah lapangan ada dua orang sedang bertempur. Tatkala Hui Kiam berada dekat, segera dapat melihat bahwa yang sedang bertempur itu adalah seorang pria dengan seorang wanita.
Sang pria mengenakan baju panjang berwarna lila, mukanya dikerudungi oleh kain berwarna lila juga. Sedang sang wanita berdandan dengan pakaian berwarna lila muda, parasnya cantik, tetapi mengandung nafsu membunuh. Pedang di tangannya bergerak dengan cepat menyerang kepada lawannya, tetapi lawannya, sang pria itu nampaknya terus mengalah. Ia berkelit kesana kemari untuk menyingkirkan serangan pedang, hanya kadang-kadang hanya satu dua kali ia balas menyerang.
Hui Kiam mendekati tempat pertempuran itu tanpa mengeluarkan suara. Setelah menyaksikan siapa orang yang sedang bertempur, seketika itu juga darahnya bergolak.
Sang pria, ternyata adalah musuh besarnya sendiri, si Orang Berbaju Lila, sedang sang wanita bukan lain daripada murid kepala Penghuni Loteng Merah Siu bie.
Orang Berbaju Lila dengan akal keji membinasakan Penghuni Loteng Merah bersama-sama dengan To-liong Kiam Khek. Siu-bie mencari si Orang Berbaju Lila, sudah tentu karena hendak membalas dendam suhunya.
Jikalau ditilik kepandaiannya mereka, sudah tentu Siu-bie bukan tandingan Orang Berbaju Lila. Tetapi Orang Berbaju Lila itu
agaknya tidak mau melukai dirinya, sesungguhnya tidak dapat dimengerti olehnya.
Setelah pertandingan itu berlangsung kira-kira sepuluh jurus, Orang Berbaju Lila itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras:
“Tahan!”
Sementara itu kedua jari tangannya menjepit kedua ujung pedang Siu-bie. Perbuatan itu sesungguhnya sangat mengejutkan, sebab ilmu pedang Siu-bie tidaklah dapat dipandang ringan. Dalam kalangan Kang-ouw, ia sudah terhitung salah satu jago pedang kelas satu.
Siu-bie yang tidak berhasil melepaskan pedangnya dari jepitan jari tangan lawannya tiba-tiba menyerang dengan tangan kirinya sementara mulutnya berseru:
“Orang Berbaju Lila, nonamu bersumpah hendak menuntut balas sakit hati suhu!”
Orang Berbaju Lila itu dengan seenaknya mengangkat tangan kirinya untuk menangkis serangan Siu-bie mo. Katanya dengan nada suara dingin:
“Nona Siu, aku perlu menyelesaikan kepadamu kau akan mendapat kesempatan untuk membalas dendam sakit hati suhumu, tetapi bukan
sekarang!”
Siu-bie menjawab dengan suara bengis:
“Orang Berbaju Lila, semula kau menggunakan To-liong Kiam-khek sebagai umpan. Kau memancing suhu ke dalam gua di atas gunung itu, kemudian kau menguburnya hidup-hidup. Apakah maksudmu? Ada permusuhan apa antara kau dengan suhu? Mengapa kau tega turun tangan demikian kejam?”
Orang Berbaju Lila melepaskan pedang yang dijepit oleh kedua tangannya. Ia mundur beberapa langkah dan berkata dengan suara gemetar:
“Di kemudian hari pasti akan kuselesaikan!”
Hui Kiam segera melompat ke tengah lapangan.
Orang Berbaju Lila berseru: “Kau…” kemudian dengan cepat sudah menghilang.
Hui Kiam membentak dengan suara keras:
”Kau hendak lari kemana?!” segera lari mengejar. Tetapi si Orang Berbaju Lila itu sudah tidak tampak bayangannya lagi sehingga ia terpaksa balik kembali.
Siu-bie yang masih belum berlalu, ketika melihat Hai Kiam balik kembali, segera rnenyongsongnya seraya berkata:
“Kiranya Hui siaohiap.”
“Nona Siu masih ingat kepadaku.”
“Nama Hui siaohiap telah menggemparkan dunia rimba persilatan sehingga Orang Berbaju Lila itu ketakutan dan lari terbirit-birit.”
“Hakekatnya bukan begitu. Kepandaian Orang Berbaju Lila itu tidak boleh dianggap ringan. Pada waktu belakangan ini ia sudah mendapatkan seluruh kepandaian Tee-hong. Jika ia bertempur benar-benar denganku, tidak tahu siapa yang akan kalah.”
“Kalau begitu kenapa lari?”
“Pada dewasa ini orang-orang rimba persilatan golongan kebenaran sedang berusaha mengadakan perlawanan terhadap Persekutuan Bulan Emas, dan Orang Berbaju Lila berdiri di pihak golongan kebenaran....”
“Dengan orang yang mentalitetnya seperti dia kini juga turut berbicara tentang membasmi kejahatan, ini bukankah merupakan suatu lelucon?”
“Ya, tetapi ia sudah menunjukkan perbuatannya yang patut kita hargai. Oleh karenanya maka ia menghindarkan diri jangan sampai kebentrok denganku.”
“Aku juga merasa heran. Terhadap semua seranganku ia tidak membalas. Dengan kekuatan dan kepandaiannya seperti dia, aku tahu bahwa aku bukan tandingannya.”
“Nona Siu, tunggu sajalah kesempatan yang baik.”
Siu-bie menghela napas yang panjang, lalu berkata dengan suara duka:
“Kalau begitu, aku barangkali sudah tidak dapat menuntut balas kematian suhu dan tiga saudaraku, karena perbedaan kekuatan terlalu jauh….”
“Nona Siu, jangan kau berputus asa. Barang siapa yang membunuh pasti akan mati terbunuh pula itu hanya soal waktu saja. Aku percaya hutang darah orang yang berbaju lila yang mengutangkan pasti bukan hanya kita berdua saja.”
“Ya, tetapi aku tidak dapat membinasakan musuh dengan tangan sendiri, biar bagaimana merupakan suatu kemenyesalan.”
“'Nona Siu, aku sebetulnya ingin minta keterangan darimu, tetapi tidak selalu mendapat kesempatan....”
“Siaohiap ingin bertanya apa? Silahkan.”
“Aku hanya ingin bertanya apa hubungannya antara suhumu almarhum dengan To-liong Kiam Khek Suma-suan?”
“Kekasih.”
Mendengar jawaban singkat itu, hati Hui Kiam tergetar. Ia berkata pula:
“Suhumu mengasingkan diri di Loteng Merah itu sudah sepuluh tahun lamanya, apakah sebabnya?”
“Apakah siaohiap ingin tahu?”
“Ya.”
Siu-bie nampak sangat berduka. Ia seperti mau menangis. Dengan suara sedih ia berkata:
“'Hidup suhu telah dikorbankan karena asmara....”
“Boleh nona menjelaskan keadaannya?”
“Ah! Barang siapa yang terlibat dalam asmara pasti akan meninggalkan kemenyesalan. Sepuluh tahun berselang suhu telah berkenalan dengan To-liong Kiam Khek. Mereka berdua saling jatuh cinta, oleh karenanya suhu telah membangun gedung Loteng Merah itu, maksudnya akan dijadikan kediaman sepasang kekasih itu. Setelah Loteng Merah berdiri, suhu minta dikawin secara sah oleh To-liong Kiam Khek. Tapi pada waktu itu To-liong Kiam Khek baru memberitahukan bahwa ia sudah beristri dan beranak pula.....”
“Oh!”
Hui Kiam merasa seperti ditikam oleh pedang tajam. Ini adalah suatu bukti lagi yang amat kuat bahwa antaranya dengan To-liong Kiam Khek masih ada hubungan antara anak dengan ayah. Tapi mengenai hubungan ini dapat menyatakan juga tidak perlu untuk menyatakan. Akhirnya ia bertanya pula:
“Dan selanjutnya?”
“Waktu itu suhu sedih sekali, tetapi perasaan dukanya yang begitu besar sudah tentu tidak dapat dihapus begitu saja, juga tak menyesalkan To-liong Kiam Khek....”
“Suhumu nampak besar sekali cintanya....”
“To-liong Kiam Khek minta suhu menunggu sementara waktu. Ia hendak pulang untuk memperkenalkan istri dan anaknya, kemudian balik lagi untuk hidup bersama-sama. Suhu terima baik dan bersumpah hendak menunggu. Mulai saat itu suhu belum pernah melangkah keluar
dari Loteng Merah....”
“Dan kemudian?”
“la telah pergi tak kembali. Suhu menunggu sehingga bertahun-tahun lamanya dan akhirnya mati di bawah tangan kejam Orang Berbaju Lila.”
“Kalau begitu To-liong Khiam Khek sudah mengecewakan hatinya!”
“Tetapi suhu tidak membencinya. Sepuluh tahun lamanya ia merana, ia hanya sesalkan nasibnya sendiri yang tidak beruntung. Ia masih percaya bahwa kekasihnya itu pasti akan kembali.....”
“Tetapi ia toh tidak kembali.....”
“Ya, aku pernah beranikan diri berkata kepada suhu, seorang lelaki yang tidak setia kepada anak istrinya, mungkinkah setia terhadap diri perempuan lain? Tetapi segera digebah oleh suhu. Suhu masih percaya kekasihnya itu pasti menemukan halangan di luar dugaan. Jikalau tidak pasti tidak akan mengingkari janji.”
Hui Kiam diam-diam berpikir. Dahulu ketika Orang Berbaju Lila menggunakan dirinya untuk menyampaikan pesan kepada Penghuni Loteng Merah, menurut keterangannya, ayah Hui Kiam karena hendak menuntut balas kepada Manusia Teragung, akhirnya dimusnahkan kepandaiannya, dibutakan kedua matanya dan ditawan dalam goa di puncak gunung batu itu dengan demikian sudah tentu tidak bisa
menepati janji Penghuni Loteng Merah. Apakah karena itu maka ibunya timbul salah paham dan dianggapnya ayahnya itu menyia-
nyiakan dirinya dan oleh karena itu pula lalu timbul bencinya, sehingga dalam pesan-pesannya yang terakhir minta ia membunuhnya? Kemungkinan ini ada, juga merupakan keterangan satu-satunya.
Karena berpikir demikian, maka rasa benci terhadap ayahnya telah lenyap seketika. Apa yang menyedihkan ialah ibuuya sehingga pada saat kematiannya masih belum tahu keadaannya yang sebenarnya, sedangkan sang ayah yang dibenci itu pada sepuluh tahun kemudian binasa di tangan Orang Berbaju Lila....
Oleh karena itu pula, rasa bencinya terhadap Orang Berbaju Lila semakin tebal. Musuh terhadap perguruannya, musuh terhadap ibunya telah tertumpuk pada dirinya.
Apa sebab Orang Berbaju Lila harus membunuh Penghuni Loteng Merah?
Ia mengaku merupakan sahabat akrab dengan Hui Kiam, tetapi mengapa harus dibunuh sekalian?
Apakah di dalam ini ada menyangkut soal asmara?
“Nona Siu, apakah maksudnya Orang Berbaju Lila membinasakan suhu dan To-liong Kiam Khek?” demikian ia coba mencari keterangan dari Siu-bie.
“'Entahlah!”
“Umpamanya, suhumu sebelum berkenalan dengan To-liong Kiam Khek apakah pernah berkenalan dengan lelaki lain?”
“Suhu pernah berkata, dalam seumur hidupnya ia cuma kenal dan jatuh cinta kepada To-liong Kiam-khek seorang saja!”
“Tetapi perbuatan Orang Berbaju Lila itu tentu ada sebabnya?”
“Ya, namun ia tidak mau mcnjelaskan, sedangkan aku sendiri juga tidak mempunyai pegangan untuk menduga-duganya.”
“Aku akan berusaha supaya hal ini dapat kubikin terang. Nona Siu, dewasa ini lebih baik kau jangan menjumpainya lagi.”
“Mengapa?”
“Maafkan aku harus berkata terus terang, kau masih bukan tandingannya.”
“Ya, tentang ini aku tahu, tetapi musuh suhu adalah merupakan yang terbesar, bagaimana aku boleh tinggal diam begitu saja?”
“Aku sendiri dengan dia juga mempunyai permusuhan sangat dalam. Satu hari kelak ia pasti akan mendapatkan balasannya yang setimpal.”
Siu-bie menghela napas panjang. Air mata mengalir berlinang membasahi kedua pipinya.
Hui Kiam benar-benar ingin balik kembali ke ruang bawah tanah kuil tua untuk menyelesaikan persoalan dengan Orang Berbaju Lila. Tetapi ia segera teringat bahwa perbuatan itu pasti akan mendapat rintangan dari Orang Tua Tiada Turunan dan Ie It Hoan.
Sedangkan ditilik dari peristiwa yang terjadi di Wisma Pahlawan, pengaruh Orang Berbaju Lila itu sebetulnya tak boleh dipandang ringan. Untuk menghadapi Persekutuan Bulan Emas, menghindari bencana yang mengancam dunia rimba persilatan merupakan salah satu tenaga yang cukup kuat. Karena itu maka untuk menyelesaikan persoalan pribadinya sendiri itu, terpaksa harus menunggu sampai lain waktu.
Karena berpikir demikian maka ia lalu berkata kepada Siu-bie:
“Nona Siu, sampai bertemu lagi, karena masih ada urusan aku hendak jalan lebih dahulu!”
Siu-bie menggerakkan bibirnya, tapi tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, akhirnya baru dapat mengeluarkan perkataan:
“Silahkan!”
Jantung Hui Kiam bergoncang. Seolah-olah hendak menyingkir dari bahaya ia cepat-cepat berlalu, karena dari sikap dan mata Siu-bie, ia dapat merasakan pikiran gadis itu. Sekarang terhadap soal wanita ia mencoba menghindarkan diri sedapat mungkin, sebab Tong-hong Hui Bun dan Cui Wan Tin sudah cukup memusingkan kepalanya, bagaimana ia berani melibatkan diri dalam urusan perempuan lagi?
---ooo0dw0ooo---
JILID: 24
IA sekarang berada di persimpangan jalan. Pergi ke Makam Pedang lebih dulu dan kemudian ke gereja Siao-lim-sie, ataukah balik ke kota Lam-sia untuk mencari Tong-hong Hui Bun?
Selagi masih belum dapat mengambil keputusan, tiba-tiba terdengar suara orang perempuan memanggilnya:
“Siangkong, berhenti dulu!”
Hui Kiam terpaksa berhenti. Dari dalam rimba muncul keluar sesosok bayangan manusia.
Orang itu bukan lain dari pada pelayan perempuannya Tong-hong Hui Bun.
Untuk sesaat lamanya Hui Kiam berdiri tertegun. Ia tidak tahu bagaimana harus berbuat. Pelayan perempuan itu setelah memberi hormat lalu berkata:
“Siangkong, tidak disangka di sini aku akan menjumpai kau.”
“Ada urusan apa?” bertanya Hui Kiam dingin.
“Budakmu telah mendapat perintah majikan, untuk mencari kau.”
“Mencari aku ?”
“Ya, budakmu mendapat perintah mengundang siangkong.”
“Sungguh kebetulan, aku justru hendak mencari dia. Mari tunjukkan jalan.”
Pelayan perempuan itu setelah mengucapkan perkataan baik, lalu lari ke dalam rimba.
Hui Kiam mengikuti di belakangnya. Otaknya masih terbayang peristiwa panggung Lui-tay, wisma pahlawan, bangkai manusia telanjang dan jebakan wanita cantik.
Ia sudah mengambil keputusan bahwa segala persoalan itu, hari ini harus dibereskan.
Setelah melalui rimba lebat sepanjang kira-kira lima pal tibalah di kaki bukit. Di depan matanya segera terbentang sebuah bangunan rumah yang indah berikut pekarangan dan taman bunga yang beraneka warna.
Pelayan itu menghentikan kakinya dan berkata:
“Sudah tiba.”
Hui Kiam juga berhenti. Tiba-tiba seorang lelaki berbaju hitam lari di sampingnya dan menyesapkan segulung kertas ke dalam tangannya....
Pelayan perempuan itu segera berpaling dan menegurnya:
“Siapa?”
Orang berbaju hitam itu sudah berada sejauh tiga tombak, tetapi ketika mendengar teguran itu segera menyahut sambil menundukkan kepala:
“Tecu peronda di bawah perintah anggota pelindung hukum!”
“'Kau berani mati, berani berjalan sembarangan di tempat ini!”
“Ya, teecu tahu salah!”
“Hem! Hati-hati jiwa anjingmu, pergilah!”
“Ya!”
Orang berbaju hitam itu segera berlalu tanpa menengok lagi.
Hui Kiam merasa curiga. Orang berbaju hitam mengaku sebagai peronda terhadap pelayan perempuan itu menyebut dirinya teecu, sikapnya menunjukkan ketakutan sedangkan pelayan wanita itu sendiri hanya merupakan seorang pelayan. Kalau begitu, kedudukan Tong-hong Hui Bun dalam persekutuan itu pasti sangat tinggi.
Tempat apakah ini? Apa yang disesapkan dalam tangannya oleh orang yang berbaju hitam itu tadi?
Hui Kiam tidak sempat untuk memikirkan jawabannya, pelayan itu sudah berkata lagi:
“Siangkong tunggu sebentar, budakmu hendak mengabarkan kepada majikan supaya keluar menyambut.”
Setelah pelayan itu berlalu Hui Kiam membuka gulungan kertas yang ada di tangannya ternyata terdapat tulisan yang berbunyi: ‘Toako, harap berdiri tegak dergan pendirianmu. Ingatlah kepentingan rimba persilatan!’
Hui Kiam segera mengerti itu adalah perbuatan Ie It Hoan. Ia segera menghancurkan kertas itu diam-diam memuji keberanian dan kecerdikan saudara angkatnya itu.
Sementara itu Tong-hong Hui Bun sudah muncul berjalan menghampiri dirinya.
Hui Kiam seolah-olah terpagut ular, sesaat lamanya ia berdiri tertegun.
Tong-hong Hui Bun masih tetap cantik seperti biasa, hanya saat itu seperti diliputi oleh kekesalan hatinya. Hal ini sedikit banyak telah mempengaruhi kecantikannya.
Hui Kiam sedapat mungkin menindas perasaannya yang tergoncang hebat. Ia berkata dengan nada suara dingin:
“Enci, tak disangka kita berjumpa di sini!”
“Ya, memang benar ada saat kejadian di luar dugaan. Mari kita masuk.”
Hui Kiam pada saat itu, karena pikirannya terpengaruh oleh kejadian yang baru saja dialami maka terhadap kekasihnya itu, seperti merasa asing lagi.
Hui Kiam menutup rapat mulutnya. Memasuki rumah yang indah ini, apa yang disaksikannya benar-benar di luar dugaannya. Perlengkapan perabot rumah itu sangat sederhana. Jika dibandingkan dengan istana yang dahulu dibakar oleh Orang Berbaju Lila, perbedaan itu bagaikan langit dan bumi.
“Duduklah!”
Hui Kiam duduk di salah satu kursi warna hijau.
Pelayan wanita itu setelah menyuguhi the wangi lalu mengundurkan diri.
Tong-hong Hui Bun lama memandang Hui Kiam kemudian baru berkata dengan suara dingin:
“Adik, sejak kau terkena racun dedaunan dan kemudian kecebur ke dalam sungai di jembatan panjang, tak sekejap pun aku melupakan dirimu. Hari ini adalah pertemuan kita pertama kali sejak kau mengalami kejadian itu.”
Disebutnya kejadian yang sudah lampau itu, Hui Kiam tergoncang. Lagi ia menindas perasaan itu katanya dengan tenang:
“Ya, untung Tuhan masih melindungi, sehingga aku tidak mati....”
“Tahukah kau bahwa ada orang merusak perhubungan kita?”
“Ini harus dilihat pendirian orang itu!”
“Adik, kau sudah berubah.”
“Yang berubah mungkin enci sendiri!”
“Adik, kau agaknya penasaran….”
Perkataan itu justru mengenakan persoalan yang ada di dalam hati Hui Kiam, maka ia lalu berkata:
“Tentang ini aku tidak menyangkal semuanya!”
Bola mata Tong-hong Hui Bun nampak berputaran kemudian berkata:
“Andaikata hari ini bukan pelayanku yang menjumpai kau....”
“Aku justru sedang mencari kau!”
“Kalau begitu kebetulan sekali, kita berdua boleh bicara terus terang!”
“Inilah yang kuharapkan!”
“Adik, pertama jawablah pertanyaanku, apakah di dalam hatimu masih ada aku?”
Sinar matanya yang tadi begitu dingin kini telah berubah sangat menggiurkan. Pandangan matanya itu, sesungguhnya mengandung daya penarik yang luar biasa. Hati Hui Kiam berdebaran, otaknya yang semula diliputi oleh kabar kecurigaan kini mulai buyar lagi. Terapi budi pekertinya masih amat kuat dan sifatnya yang tinggi hati dan sombong, saat itu juga menguasai dirinya, maka ia segera menjawab dengan tenang:
“Ada, sehingga pada saat kita berpisahan di atas jembatan panjang itu, sedikitpun tidak berubah!”
“Dan sekarang?”
“Kalau mau dikata tergoncang, itu adalah karena kau sendiri yang menjadi gara-garanya.”
Paras Tong-hong Hui Bun menunjukkan beberapa kali perubahan, tetapi ia tidak meyatakan apa-apa. Ini suatu bukti betapa tenang pikirannya untuk menghadapi semua itu. Lama sekali ia baru membuka suara:
“Aku pernah berkata mungkin aku salah, belum mulai sudah melakukan kesalahan!”
Salah apakah yang dimaksudkan? Hubungan antara dia dan Hui Kiam ataukah….
Hui Kiam tidak dapat menduga maksud yang terkandung dalam perkataan perempuan cantik itu. Hakekatnya pada saat itu ia juga sudah tidak mempunyai pikiran untuk mengenali ucapannya itu. Maka ia segera berkata:
“Enci, aku tahu bahwa enci pernah menjadi Taycu di atas panggung Lui-tay yang didirikan oleh Persekutuan Bulan Emas?”
“Benar!”
“Tahukah kau apa latar belakangnya?”
“Sudah tentu tahu!”
“Kau sudah tahu bahwa itu adalah satu perbuatan terkutuk, bukan? Mengapa kau masih melakukannya?”
Dengan tenang dan acuh tak acuh Tong-hong Hui Bun menjawab:
“Ada satu alasan yang harus kulakukan!”
“Alasan apa?”
“Aku adalah salah satu anggota Persekutuan Bulan Emas. Aku mendapat perintah untuk melakukan pekerjaan itu!”
Hui Kiam tercengang, tetapi ia tidak merasa heran. Dari segala tanda-tanda dan tindak-tanduknya memang sudah tahu bahwa Tong-hong Hui Bun mempunyai hubungan dengan Persekutuan
Bulan Emas. Sekarang hanya dibuktikannya dan diakuinya sendiri saja. Maka ia segera mengerti pesan Ie It Hoan. Dalam tulisannya ia mengatakan supaya ia berdiri teguh dengan pendiriannya: kebenaran dan kejahatan memang tak bisa hidup bersama-sama. Ia takut karena urusan pribadinya sehingga melupakan kepentingan umum.
Ia juga merasa bahwa pergaulan antara mereka mungkin keliru, tetapi perasaan itu menimbulkan penderitaan bagi dirinya, sebab cintanya kepada perempuan itu memang setulusnya dan sekarang kedua pihak harus saling berdiri berhadapan sebagai musuh.
Di masa yang lampau pemimpin Persekutuan Bulan Emas pernah memerintahkan anak buahnya jangan bermusuhan dengannya, semua itu kiranya adalah usul Tong-hong Hui Bun.
Tetapi, mengapa ia paksa orang-orangnya seperti Ko Han San, dan Malaikat Bumi dan Langit, dan beberapa puluh utusan Bulan Emas membunuh diri sendiri? Apa pula maksudnya?
Berpikir demikian ia lalu berkata:
“Tentang kedudukanmu seharusnya aku mengetahui, tetapi....”
“Tetapi apa?”
“Kau pernah memaksa Ko Han San dan lain-lainnya orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam persekutuan untuk membunuh diri, apa sebabnya?”
“Sebab mereka harus mati. Aku hanya menjalankan perintah saja.”
“Harus mati?”
“Hem, dalam suatu partay ada mempunyai peraturannya sendiri, negara juga ada undang-undang. Tentang ini kau tidak perlu tahu.”
“Kalau begitu kau jadi taycu itu apakah karena terpaksa?”
“Benar!”
Mata Hui Kiam menatap wajah Tong-hong Hui Bun. Sepatah demi sepatah ia berkata:
“Enci, aku nempunyai suatu permintaan!”
Tong-hong Hui Bun juga dengan sikap sungguh-sungguh ia berkata:
“Permintaan apa?”
“Meninggalkan Persekutuan Bulan Emas.”
“Itu tidak mungkin!” jawabnya tanpa ragu-ragu.
Hui Kiam tiba-tiba bangkit, wajahnya pucat badannya gemetar.
Tong-hong Hui Bun berkata pula dengan suara parau:
“Bagaimana jikalau aku mintamu menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas?”
“Aku minta kau meninggalkan persekutuan itu hanya mengharap supaya kau meninggalkan lejahatan, tetapi kau memajukan permintaan sebaliknya. Ini toch tidak aturan, bukan?”
Tepat pada saat itu dari belakang mereka terdengar suara orang tua berkata:
“Dalam rimba persilatan memang tidak ada soal peraturan.”
Hui Kiam terkejut ia memutar, dan apa yang disaksikannya seketika itu darahnya bergolak jantungnya berdebaran, karena di dekat salah satu pintu, berdiri seorang yang tinggi besar yang mengenakan kerudung.
Orang itu tidak lain dari pada pemimpin Persekutuan Bulan Emas sendiri.
Munculnya pemimpin Bulan Emas secara tiba-tiba itu, sesungguhnya di luar dugaannya.
Pertempuran sengit dan mati-matian yang berlangsung di Wisma Pahlawan terbayang kembali di dalam otaknya.
Pemimpin Bulan Emas itu dengan sinar mata yang tajam menatap Hui Kiam, kemudian mengawasi Tong-hong Hui Bun baru berkata:
“Anak, kau terlalu menuruti hatimu sendiri!”
Tong-hong Hui Bun menundukkan kepala sambil membungkam.
Pemimpin persekutuan itu berdiam sejenak, lalu berkata pula:
“Kau sedang memain aku....” Sekali lagi matanya mengawasi Hui Kiam, lalu berkata pula dengan suara bengis:
“Kau seharusnya siang-siang memberitahukan asal-usulnya kepadaku.”
Kalau diperhatikan pembicaraan mereka, antara pemimpin Bulan Emas dengan Tong-hong Hui Bun ada hubungan yang dalam sekali.
Dengan nada suara dingin Hui Kiam berkata:
“Tuan pemimpin, tidak disangka sedemikian cepat kita berjumpa lagi.”
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu dengan sinar mata yang dalam, kembali menatap wajah Hui Kiam, lalu berkata dengan suara keren.
“Bocah, tadi aku baru tahu dari budak ini asal usul tentang dirimu....”
“Kau sudah tahu kau mau apa?”
“Aku tidak akan melepaskan kau lagi. Hari ini kau pasti mati.”
Hui Kiam sangat murka. Ia berkata dengan suara bengis.
“Apabila nyawaku masih ada, aku juga hendak membunuhmu.”
“Tetapi kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi.”
Pemimpin Bulan Emas itu perIahan-lahan menghunus pedangnya, Bulan Emas.
Hui Kiam tatkala meraba gagang pedangnya, ia baru ingat bahwa pedangnya terkerat menjadi dua potong, karena tadi malam terpapas oleh pedang lawannya. Sebetulnya antara mereka berdua ilmu pedangnya selisih sedikit sekali, tetapi karena pedang Bulan Emas adalah sebilah pedang luar biasa tajamnya, maka dewasa itu berarti ia menghadapi lawannya dengan tangan kosong. Jika
dengan tangan kosong untuk menghadapi pedang tajam itu, sudah tentu tidak menguntungkan dirinya.
Berpikir demikian ia bergidik sendiri.
Sementara itu pedang Bulan Emas sudah diangkat. Hawa pedang menimbulkan hawa dingin di sekitar ruangan itu.
Hui Kiam yang sudah tiada bersenjata, terpaksa mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya pada dua jari tangannya, siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan ....
Paras Tong Hong Hui Bun sebentar-sebentar berubah. Tiba-tiba ia berkata:
“Ayah!”
Ucapan Tong-hong Hui Bun itu bagaikan palu mengetuk hati Hui Kiam. Ia sungguh tak menduga bahwa Tong-hong Hui Bun adalah anak perempuan pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Pantas Ie It Hoan, Orang Tua Tiada Turunan, Orang Menebus Dosa berulang kali memperingatkannya supaya jangan jatuh cinta kepada perempuan cantik itu.
Mengapa mereka tidak mau menjelaskan hubungan ini? Apakah takut setelah dirinya mengetahui keadaan yang sebenarnya akan berbalik di pihak Bulan Emas?
Badan Hui Kiam gemetar. Pantas Tong-hong Hui Bun menolak usulnya untuk meninggalkan Persekutuan Bulan Emas.
Kalau demikian halnya, hubungannya dengan perempuan itu seharusnya lekas diakhiri....
Tetapi manusia bukanlah dewa. Walaupun ia sudah bertekad hendak memutuskan perhubungannya dengan si cantik itu, tetapi begitu berhadapan dengan kenyataannya, ia sudah tidak dapat kendalikan perasaannya sendiri. Betapapun juga, orang susah untuk melepaskan diri dari libatan asmara.
Dengan tanpa disadari matanya melirik kepada Tong-hong Hui Bun....
Hanya sekejap itu saja pedang Bulan Emas dengan kecepatan bagaikan kilat sudah menyerang dirinya.
Hampir saja ia binasa di ujung pedang tajam itu. Tetapi bersamaan pada saat itu, sesuatu kekuatan tenaga dalam meluncur dari sampingnya mendorong dirinya sampai tiga kaki. Dengan demikian ia lolos dari ancaman bahaya.
Orang yang mendorong dirinya itu bukan lain daripada Tong Hong Hui Bun sendiri.
Hui Kiam segera perbaiki posisinya. Serangan meluncur keluar dari dua tangannya.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas menyambut dengan pedangnya. Hembusan angin keluar dari jari tangan itu, menimbulkan suara nyaring. Tubuh pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang tinggi besar nampak mundur terhuyung-huyung.
Kekuatan serangan jari tangan Hui Kiam itu sangat ampuh sekali, dapat menembusi logam dan batu keras. Kalau pedang Bulan Emas itu bukan pedang sakti, sudah pasti akan patah. Tetapi walaupun pedangnya tidak rusak, namun orangnya yang memegang pedang sudah mundur sampai dua langkah. Dapat diduga sampai di mana hebatnya serangan jari tangan itu.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas dengan sinar mata tajam mengawasi Tong-hong Hui Bun, lalu berkata dengan suara bengis:
“Apa artinya perbuatanmu itu?”
“Anakmu... anakmu... tidak dapat mengendalikan perasaan sendiri...” jawab Tong-hong Hui Bun dengan suara gemetar.
“Budak, kau sudah salah satu kali, bagaimana bisa salah lagi?”
“Tetapi....”
“Apakah kau sudah memikirkan akibatnya?”
“Sudah!”
“Kalau begitu kau menyingkirlah!”
“Tidak!”
“'Apakah maksudmu?”
Tong-hong Hui Bun menatap wajah Hui Kiam, lama baru bisa berkata:
“Ayah, ijinkanlah anakmu mengasingkan diri dengan dia, tidak akan muncul lagi di dunia Kang-ouw untuk selama-lamanya!”
Hui Kiam kembali gemetar. Otaknya berpikir keras, perasaannya telah bergolak oleh ucapan itu. Ia sungguh tidak menduga Tong-hong Hui Bun ingin mengasingkan diri dengannya dan tidak mencampuri urusan dunia Kang-ouw lagi ....
Pemimpin Bulan Emas menjawab dengan suara keras:
“Budak, apa kau gila?”
“Tidak, anak sudah berpikir masak-masak. Selama hidup anakmu di dalam dunia ini tidak mendapat kebahagiaan apa-apa, hanya dia….”
“Kau sedang mempermainkan jiwamu sendiri!”
“Sampai mati anak tidak akan menyesal!”
“Budak, tahukah kau sampai batas mana kekuatan tenaga dan kepandaiannya?”
“Ayahmu apabila tidak mengandalkan pedang Bulan Emas ini, masih belum tahu siapa kalah dan siapa menang. Untuk dewasa ini, dalam dunia persilatan sulit untuk mencari orang yang dapat menandingi kekuatannya, apaolagi....”
Apa yang dimaksudkan oleh perkataannya itu tidak dilanjutkan. Percakapan berhenti sampai disitu.
Pada saat itu pesan Ie It Hoan terbayang lagi dalam otaknya Hui Kiam. Semangatnya terbangun. Maka permusuhan perguruannya, permusuhan ibunya dan kepentingan rimba persilatan, telah menguasai dirinya.
Terlintas suatu pikiran hendak kabur karena ia merasakan betapa berat tugas dan kewajiban yang dipikulnya. Ia tidak boleh sembarangan pertaruhkan jiwanya.
Tetapi pada saat itu, pemimpin Bulan Emas sudah melakukan serangannya lagi.
Hui Kiam dengan menggunakan gerakan kakinya yang luar biasa, sudah berada di luar pintu ruangan.
Tetapi sebelum berdiri tegak, pemimpin Bulan Emas sudah mengejar sambil menyerang dengan pedangnya.
Hui Kiam mendorong dengan dua tangannya, melakukan serangan dengan menggunakan gerak tipu Thi Gee Si-koan.
Karena serangan itu dilaksanakan tergesa-gesa, kekuatannya tidak dapat dipusatkan. Hanya karena hebatnya kekuatan tenaga dalam serangan itu, hingga membuat serangan pedang pemimpin Bulan Emas untuk sementara tidak berdaya.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Hui Kiam. Dengan cepat ia melesat keluar. Tanpa pikir lagi segera melarikan diri.
la berlari sepanjang jalanan pegunungan, entah berapa jauh. Setelah di belakang tidak terdengar suara baru berhenti. Ia berpaling, ternyata tidak ada yang mengejar. Ia menarik napas lega, bibirnya menunjukkan senyum getir. Ini adalah untuk pertama kalinya ia lari dari hadapan musuhnya.
Ia tahu peninpin Persekutuan Bulan Emas tentu tidak akan berdiam begitu saja, apalagi mengandalkan senjata pedangnya yang sangat ampuh dengan sendirinya kedudukannya cukup kuat, kalau ia sendiri tidak segera mengambil pedang sakti dari Makam Pedang, sebetulnya tidak sanggup menghadapinya.
Pada saat itu ucapan Tong-hong Hui Bun kepada ayahnya berkumandang lagi dalam telinganya. Pikirannya tergoncang keras. Untuk sesaat lamanya ia berdiri termangu-mangu.
Kecantikan Tong-hong Hui Bun yang bagaikan bidadari terbayang lagi dalam matanya.
Tiba-tiba ia ingat bahwa ia dengan pemimpin Persekutuan Bulan Emas sudah merupakan musuh bebuyutan. Kalau tidak berhasil membunuhnya pasti akan mati terbunuh. Andaikata pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu, pada suatu hari nanti binasa di tangannya, bagaimana perasaan Tong-hong Hui Bun.
Berpikir sampai di situ, perasaan takutnya dan pilu timbul dalam hatinya. Semua itu tidak diperhitungkan olehnya, dan sekarang satu-satunya jalan ialah memutuskan hubungan dengannya....
Lama ia berpikir, akhirnya ia telah mengambil keputusan untuk mengakhiri perhubungannya dengan Tong-hong Hui Bun.
Karena ia sudah mengambil keputusan, pikirannya merasa lega. Ia melanjutkan perjalanannya ke Makan Pedang!
Hari ini, ketika berjalan di bawah kaki gunung Keng-san, tiba-tiba teringat diri ayahnya yang dicelakakan oleh Orang Berbaju Lila bersama Penghuni Loteng Merah. Walaupun ia sendiri belum pernah melihat wajah ayahnya, tetapi hubungan darah daging biar bagaimana masih melekat. Apalagi kalau diingat pedang To-liong Kiam peninggalan ayahnya yang diberikan oleh Orang Menebus Dosa kini telah rusak oleh pedang Bulan Emas, maka ia ingin menengok bekas tempat ayahnya mendapat kecelakaan itu, sekalian untuk menanam pedang itu di tempat tersebut.
Berpikir sampai di sini, ia segera mendaki gunung Keng-san. Di waktu lohor ia sudah di tempat tersebut.
Mengingat dirinya sendiri yang sudah diperalat oleh Orang Berbaju Lila sehingga menjadi pembunuh ayahnya sendiri dan Penghuni Loteng Merah, ia merasa gemas sekali. Ia ingin segera mencari Orang Berbaju Lila untuk membalas dendam.
Tiba di tempat itu ia terkejut, sebab mulut goa yang tertutup oleh batu besar itu ternyata sudah disingkirkan oleh tangan orang.
Siapakah yang membuka tutup dan menyingkirkan batu itu?
Jika ditilik orangnya, orang yang menyingkirkan batu itu pasti menggunakan waktu yang cukup lama. Tetapi apakah maksudnya?
Sejenak ia merasa sangsi. Dengan rupa-rupa pertanyaan dalam hatinya, ia berjalan muncul ke mulut goa ....
Ia sengaja menimbulkan suara. Apabila di dalam goa atau dekat tempat itu ada orang, karena mendengar suaranya pasti akan muncul.
Tiba di depan mulut goa, sesosok bayangan orang tiba-tiba melesat keluar. Hui Kiam terkejut. Ia sudah siap untuk menyerang orang itu. Ketika bayangan orang itu berada di hadapannya lalu berhenti, keduanya seketika itu merasa terkejut.
Ternyata orang yang keluar dari dalam goa itu bukan lain daripada murid kepala Penghuni Loteng Merah Siu-bie.
Hui Kiam yang lebih dulu menegurnya.
“Nona Siu, aku tidak sangka kau berada di sini.”
Siu-bie membereskan rambutnya yang terurai di kedua pipinya, lalu berkata:
“Aku juga tak menduga kau datang kemari.”
“Apakah batu-batu ini nona yang menyingkirkan dari tempatnya?”
“Ya, aku menggunakan waktu satu malam dan setengah hari dan baru berhasil memindahkan batu ini.”
“Apakah nona hendak….”
“Aku bermaksud hendak memindahkan tulang-tulang suhu dan dikumpulkan secara selayaknya!”
“Ow! Apa sudah selesai?”
“Sudah, nah itulah!”
Hui Kiam mengikuti ke arah yang ditunjuk oleh Siu-bie. Benar saja, tidak jauh dari situ ada tanah kuburan yang masih baru. Ia segera bertanya pula:
“Bagaimana dengan tulang-tulang To-liong Kiam-khek?”
“Sungguh aneh, di dalam goa itu hanya ada tulang-tulang suhu, tak terdapat tulang-tulang lainnya....”
Sekujur badan Hui Kiam gemetar. Ia berkata:
“Apa? Di situ tak ada tulang-tulang To-liong Kiam khek?”
“Ya, untuk itu aku melakukan pemeriksaan lama sekali!”
“Ini mana mungkin?”
“Aku juga tak rnengerti. Ketika suhu tiba di dalam gua batu itu, ia pernah mendengar sendiri suaranya To-1iong Kiam khek. Jikalau tidak pasti tidak akan masuk ke gua ini secara gegabah....”
“Ini tak habis dimengerti….”
Setelah itu Hui Kiam lari masuk ke dalam goa. Batu-batu di dalam goa itu masih belum dibersihkan tetapi sudah jelas keadaannya. Di bagian atas banyak yang retak, agaknya bisa roboh di setiap saat.
Goa itu dalamnya kira-kira tiga puluh tombak. Di satu bagian, menunjukkan tempat terjadinya peledakan yang sangat hebat.
Siu Bie ikut masuk ke dalam. Ia berkata sambil menunjuk ke satu tempat:
“Tulang-tulang suhu kudapatkan di tempat ini. Keadaannya masih utuh. Nampaknya waktu terjadi peledakan di mulut goa, mulut goa itu tertutup sehingga suhu mati tidak bisa bernapas....”
Pikiran Hui Kiam sangat kalut. Sudah tentu ia tidak dapat menceritakan kepada Siu-bie bahwa To-liong Kiam Khek itu adalah ayahnya sendiri. Setelah ia melihat keadaan itu sejenak, baru berkata:
“Hal ini kita tidak dapat memikirkan. Nona Siu, sebelumnya kau, apakah ada orang lain yang datang lebih dulu?”
“Tidak, tumpukan batu ini semua aku yang menyingkirkan.”
“Bukankah ini sangat aneh?”
“Rasanya ada satu kemungkinan.”
“Kemungkinan apa?”
“Apakah siaohiap pernah perhatikan bahwa dalam gua ini ada terdapat banyak cabang jalanan?”
“Ah…”
“Lihatlah, di sini ada satu jalan dalam goa ini tidak besar, telah tertutup oleh runtuhan batu yang tidak dapat digeser oleh tenaga manusia mungkin To-liong Kiam-khek terkubur dalam lobang goa ini....”
Sekujur badan Hui Kiam dirasakan kaku. Sedapat mungkin ia menindas perasaannya dan menahan jangan sampai menitikkan air mata!
“Ya, kemungkinan itu memang ada.”
Hui Kiam merasa sedih, karena di masa hidupnya ia belum pernah melihat ayahnya, dan sesudah binasa tidak menemukan tulangnya.
Siu-bie agaknya dapat menduga ada apa-apa dalam hati pemuda itu, maka lalu berkata:
“Mengapa siaohiap agaknya sangat memperhatikan To-liong Kiam Khek?”
“Tidak apa-apa, hanva tertarik oleh perasaan aneh saja,” jawab Hui Kiam membohong.
“Jadi dari jauh siaohiap datang kemari, apakah hanya lantaran tertarik merasa heran saja?”
Pertanyaannya itu hampir Hui Kiam tidak bisa menjawab, tetapi karena sudah tak ada lain jalan, ia terpaksa membohong terus. Sambil menepuk pedang di pinggangnya ia berkata:
“Kedatanganku ini, sudah tentu bukan tidak ada sebabnya….”
“Bolehkah siaohiap memberitahukannya kepadaku?”
“Belum lama berselang, sahabatku telah memberi hadiah pedang ini. Pedang ini bernama To-liong Kiam, katanya adalah peninggalan To-liong Kiam Khek yaug dahulu biasa digunakannya….”
“Ow! To liong Kiam.”
“Beberapa hari berselang, waktu aku bertempur dengan menggunakan pedang ini, pedang ini telah rusak di tangan musuh. Maka kedatanganku kemari ini hendak mengubur pedang ini bersama pemiliknya.”
Dengan perasaan heran Siu-bie mengawasi pedang Hui Kiam, lalu berkata:
“Pedang ini kau dapat dari tangan siapa?”
“Dari Orang Menebus Dosa!”
“Orang Menebus Dosa? Nama julukan ini aku belum pernah mendengarnya. Bagaimana macamnya orang itu?”
“Menyesal sekali, aku sendiri juga belum pernah bertemu muka dengannya. Ia adalah seorang yang sangat misterius. Pedang ini dihadiahkan kepadaku melalui tangan orang lain.”
“Dengan cara bagaimana senjata To-liong Kiam Khek bisa berada di tangan Orang Menebus Dosa itu?”
Tentang ini bagi Hui Kiam sendiri juga masih merupakan suatu pertanyaan maka ia tak dapat menjawabnya:
“Di masa hidupnya mereka adalah sahabat akrab, tetapi sampai di mana hubungan mereka, aku sendiri juga tidak tahu!”
Siu-bie menggeleng-gelengkan kepala, tidak berkata apa-apa.
Hui Kiam tiba-tiba ingat suatu soal yang sangat penting, lalu berkata:
“Nona Siu, tempo hari tergesa-gesa ada suatu hal aku lupa menyatakan kepadamu.”
“Siaohiap katakan saja!”
“Suhumu Penghuni Loteng Merah dengan Hiat-ie Nio-cu mempunyai hubunban apa?”
“Guru dengan murid!”
“Ow! Pantas saja hendak mencari Orang Berbaju Lila untuk membuat perhitungan. Kabarnya Sucomu masih mempunyai seorang anak wanita?”
“Ya, ia bernama Pek-leug-lie Khong Yang Hong!”
“Di mana anak perempuannya itu berada?”
“Sudah menghilang!”
“Apa tidak pernah dengar kabar?”
“Suco sudah mengasingkan diri sudah duapuluh tahun lamanya, sedangkan anak perernpuannya menghilang pada lima belas tahun berselang, sehingga kini tidak ada kabar beritanya.”
“Kenapa?”
“Kabarnya pada lima belas tahun berselang Kang Yang Hong dengan Siao-lim-sie timbul perselisihan.”
“Apakah munculnya kembali Sucomu ke dunia Kang-ouw hanya hendak mencari anak perempuannya?”
“Ya!”
“Ia bagaimana hendak bertindak selanjutnya?”
“Kabarnya Suco sudah berangkat menuju ke Siao-lim-sie!”
“Ow!”
Hui Kiam terperanjat mendengar kabar itu. Dengan adatnya seperti Hiat-ie Nio-cu itu, kedatangannya ke Siao-liem-sie pasti akan menimbulkan pertumpahan darah hebat. Sedangkan Pek-li Khong Yang Hong itu merupakan pemilik tusuk konde berkepala burung Hong mungkin juga adalah pembuuuh ibunya. Dengan demikian, sudah tentu ia tidak membiarkan Hiat-ie Nio-cu berbuat sesukanya. Meski hati Hui Kiam pada saat itu amat gelisah, tetapi di luarnya tenang-tenang saja.
Sebentar kemudian, ia sudah mengambil keputusan hendak mendahului Hiat-ie Nio-cu ke gereja Siao-lim-sie untuk mencari di mana adanya Pek-leng-lie.
Ia lalu bertanya kepada Siu-bie:
“Sudah berapa lama Sucomu pergi ke Siao-liem-sie?”
“Belum lama, kira-kira satu jam berselang!”
Hui Kiam menarik napas lega. Ia yakin dapat mengejar. Matanya mengawasi lubang cabang gua yang tertutup oleh batu itu. Memang benar agaknya susah dibuka oleh tenaga manusia, maka niatnya hendak mencari tulang-tulang ayahnya sudah tidak mungkin lagi. Ia lalu berkata:
“Nona Siu, harap kau suka menyingkir. Aku hendak mengubur pedang ini dan menutup goa!”
Siu-bie menganggukkan kepala dan berjalan keluar ....
Setelah Siu-bie berlalu Hui Kiam baru meloloskan pedangnya. Dengan sikap yang menghormat sekali ia meletakkan pedang itu ke tanah kemudian berlutut. Sambil menangis bercucuran air mata ia berkata sendiri:
“Ayah, anakmu bila dapat menuntut balas bagi ayah! Anakmu juga tidak mampu melindungi pedangmu serta tidak mengubur jenazahmu secara baik-baik. Dosa ini besar sekali, semoga ayah hendak mengampuni!”
Sehabis berdoa ia berbangkit dan berjalan keluar. Tiba di luar gua ia lalu mengangkat tangannya menyerang ke mulut gua sehingga mulut gua itu tertutup rapat lagi.
Selesai melakukan itu baru meninggalkan tempat itu….
Selagi hendak berjalan, Siu-bie menghampiri dan berkata kepadanya:
“Apakah siaohiap hendak pergi sekarang juga?”
“Ya, nona Siu sampai berjumpa lagi.”
“Siaohiap….”
“Nona Siu masih ada pesan apa lagi?”
Kedua pipi Siu-bie nampak merah. Ia berkata dengan suara tidak lancar:
“Siaohiap agaknya masih belum melupakan kejadian waktu pertama kali aku berlaku kasar terhadap siaohiap di hadapan Loteng Merah!”
“Aku sama sekali tiada bermaksud demikian.”
Dimatanya Siu-bie terlintas sinar aneh. Dengan sikap kemalu-maluan ia tersenyum dan berkata:
“Kalau begitu mengapa tergesa-gesa hendak pergi?”
Hati Hui Kiam tergerak, tetapi ia pura-pura tidak mengerti.
“Harap nona sudi memaafkan, karena aku masih ada urusan yang sangat penting, lain waktu saja kita bicara lebih banyak!”
Setelah itu, ia menunduk memberi hormat dan lari turun gunung.
Siu-bie mengawasi berlalunya pemuda itu sambil menghela napas panjang.
Hui Kiam bukan tidak tahu isi hati gadis itu, tetapi bagaimana ia berani bermain api? Cui Wan Tin mempunyai kedudukan penting dalam hati ini, sedangkan Tong-hong Hui Bun membuat hatinya patah....
Setelah meninggalkan gunung Keng-san, ia lari menuju ke lembah Cok-beng-gan. Ia harus berusaha untuk membujuk dan menyadarkan Cui Wan Tin supaya dapat mengambil pedang sakti, jikalau tidak ia pasti akan binasa di tangan pemimpin Bulan Emas.
Dengan berjalan siang malam tanpa istirahat, akhirnya ia tiba di Makam Pedang.
Keadaan di situ tidak terdapat perobahan hanya tiada orang Persekutuan Bulan Emas yang merintangi. Hui Kiam memandang ke arah barisan batu ajaib. Jantungnya berdentang keras. Perkataan
Cui Wan Tin yang penuh kasih sayang, agaknya masih berkumandang dalam telinganya.
Dengan putusnya hubungan dengan Tong-hong Hui Bun, sekarang Cui Wan Tin merupakan kekasih satu-satunya. Ia akan mencintai dirinya dengan setulus hati.
Setelah melalui danau dingin, ia tiba di hadapan barisan batu ajaib.
Kedatangannya segera disambut oleh Cui Wan Tin secara tidak terduga-duga.
Hui Kiam merasa sangat gembira, tetapi juga gugup.
“Adik Tin, kau baik-baik saja?”
Cui Wan Tin mengangkat kepalanya, parasnya nampak pucat.
“Engko Kiam, akhirnya kau kembali.”
Hui Kiam memeluk dirinya dan mengelus-elus pipinya, seraya berkata:
“Adik Tin, kau nampak kurus.”
Muka Cui Wan Tin mengembang air mata tapi ia masih bisa tersenyum. Jawabnya dengan suara parau:
“Engko Kiam, kau pergi juga membawa hatiku. Tahukah kau betapa sukarnya aku melewati hariku sepanjang masa itu?”
Cinta kasihnya dan perhatiannya terhadap pemuda itu, telah ditumpahkan semua dalam ucapannya yang sangat singkat itu.
Hati Hui Kiam merasa tidak enak, sebab kedatangan ini hanya untuk mengambil pedang sakti. Datangnya secara tergesa-gesa, perginya begitu juga. Baru saja berjumpa ia terpaksa harus berpisah lagi. Ini agaknya akan membawa kedukaan lebih hebat baginya.
“Adik Tin, mari kita masuk untuk bicara.”
Cui Wan Tin melepaskan diri dari pelukan Hui Kiam. Mereka berjalan bergandengan. Setelah berada di dalam kamar batu, mereka duduk berendapan.
“Engko Kiam, kau tentunya sudah lapar, biarlah aku masak nasi dulu untukmu....”
“Tidak usah! Di jalanan aku tadi sudah makan, sekarang masih belum lapar. Ada suatu hal ingin kurundingkan denganmu!”
“Hal apa?”
Hui Kiam merasa susah membuka mulutnya tetapi tidak boleh tidak ia harus menyatakan. Maka akhirnya ia berkata:
“Tentang pedang sakti itu!”
Paras Cui Wan Tin berubah. Pikirannya sangat kalut. Parasnya yang sudah pucat bertambah pucat.
“Adik Tin, kau kenapa?” bertanya Hui Kiam. Cui Wan Tin menangis tersedu-sedu, lama baru berkata:
“Engko Kiam, apakah kedatanganmu ini semata-mata hanya karena pedang sakti ini?”
“Adik Tin, aku tidak menyangkal, tetapi cintaku terhadap dirimu masih seperti sediakala!”
“Engko Kiam, aku tidak perlu ribut denganmu tentang soal ini. Sekalipun hatimu berubah akupun tetap mencintai dirimu. Sekalipun dunia akan kiamat cintaku ini takkan berubah.”
“Adik Tin, begitu pula aku.”
“Baiklah, engko Kiam kedatanganmu ini karena semata-mata pedang sakti itu pasti ada syaratnya?”
“Ya, dengan terus terang aku membutuhkan.”
“Engko Kiam, aku tidak dapat melanggar perintah ayah. Kalau kau menghendaki jiwaku, aku akan menyerah kepadamu tanpa ragu-ragu, tetapi pedang ini….”
“Adik Tin, hitung-hitunglah pinjam untuk sementara, setelah kupakai nanti kukembalikan!”
“Aku tidak bisa terima. Seandainya pemiliknya datang aku tak dapat menyerahkan bagaimana?”
Hui Kiam menghela napas panjang. Ia tidak berdaya menghadapi kekasihnya yang kukuh dengan pendiriannya itu.
“Sebetulnya siapakah yang berhak memiliki pedang sakti itu?”
“Aku juga tidak tahu!”
“Setidak-tidaknya kala itu ayahmu pasti meninggalkan pesan!”
“Itu memang ada!”
“Nah, bolehkah kau beritahukan kepadaku?”
“Engko Kiam, aku seharusnya memberitahukan kepadamu, tetapi pesan ayah tidak boleh dilanggar. Harap kau suka memaafkan.”
Hui Kiam menggaruk telinga, ia berkata:
“Adik Tin, jika aku kata bahwa aku adalah orang yang berhak memiliki pedang sakti itu….”
“Kau?!”
“Ya!”
Cui Wan Tin nampak sangat heran. Ia berkata:
“Engko Kiam, aku terhadap kau selalu berlaku jujur dan tulus hati, tetapi kau jangan mempermainkan aku!”
“Tidak, apa yang kukatakan adalah sebenar-benarnya!”
“Aku tidak percaya!”
“Kalau nanti aku menceritakan keadaan yang sebenarnya, kau pasti akan percaya.”
“Kau tidak kata apa-apa lagi, di waktu ayah hendak berlalu, hanya meninggalkan pesan, barang siapa yang dapat memberikan barang bukti tanda kepercayaan, pedang itu boleh kuserahkan padanya!”
“Bukti baraog tanda kepercayaan?”
“Ya!”
“Barang tanda kepercayaan apa?”
“Aku tidak dapat memberitahukan kepadamu!”
“Bagaimana dengan ayahmu?”
Cui Wan Tin nampak bersedih, air mata mengalir turun. Katanya:
“Mungkin sudabh tak ada di dalam dunia!”
“Mungkin? Apakah artinya?”
“Di waktu berlalu ayah pernah berkata jikalau dalam satu tahun ia tak balik lagi pasti sudah mengalami pasti buruk, dan sekarang beberapa tahun sudah berlalu.”
“Siapakah nama ayahmu?”
Cu Wan Tin lama memandang Hui Kiam, baru menjawab dengan suara gemetar:
“Kim-tee Cui Pin. Ia menjadi kepala dalam barisan Lima Kaisar Rimba Persilatan pada masa itu.”
Hui Kiam melompat bangun bagaikan disambar geledek. Katanya dengan suara gemetar:
“Kim-tce Cui Pin?”
Cui Wan Tin juga bangkit dan mundur beberapa tindak. Agaknya dikejutkan oleh perubahan sikap Hui Kiam itu.
“Benar!” demikian jawabnya.
Wajah Hui Kiam nampak berkernyit karena pikirannya tergoncang keras. Lama ia baru berkata:
“Seharusnya aku sudah dapat memikirkan itu, tetapi sudah lupa!”
Paras Cui Wan Tin berubah. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Kau seharusnya ingat apa?”
“Tentang dirimu!”
“Kau....”
“Adik Tin, tahukah kau siapa aku ini?”
“Bukankah kau Hui Kiam si Penggali Makam?”
“Aku maksudkan asal-usul diriku.”
“Siapa?”
“Aku adalah muridnya To-tee Sun Thian Hiat.”
Sekujur badan Cui Wan Tin gemetar. Sekonyong-konyong ia menubruk Hui Kiam dan memegang dua lengannya. Katanya sambil menggoyangkan dua lengan pemuda itu:
:Engkoh Kiam, kenapa dahulu kau tidak menjelaskannya?”
Hui Kiam berusaha menenangkan pikirannya, lalu berkata:
“Sama-sama! Kita tiada kesempatan untuk memberi keterangan!”
Cui Wan Tin berkata sambil memejamkan matanya:
“Ya Tuhan, apakah ini benar?”
Hui Kiam mengeluarkan dua potong uang logam kuno. Ia lalu berkata:
“Adik Tin, kau seharusnya tahu asal-usul uang logam ini?”
Cui Wan Tin ketika menyaksikan benda itu, sekonyong-konyong mundur beberapa langkah dan menyenderkan badannya di dinding. Mulutnya menggumam sendiri:
“Uang logam kuno... benda kepercayaan... pemilik pedang sakti.....”
Mata Hui Kiam terbuka lebar. Katanya dengan suara girang:
“Apakah benda ini yang kau tunggu sebagai tanda kepercayaan?”
“Engko Kiam, aku... hampir gila. Bagaimana dalam dunia ada kejadian begini aneh?”
Hati Hui Kiam berdebaran. Apa yang dimaksudkan oleh Cui Wan Tin sebagai pemilik pedang sakti, ternyata adalah dirinya sendiri. Ini sesungguhnya di luar dugaannya. Untung, selama itu, tak terjadi kejadian hebat karena salah paham.
Seandainya Cui Wan Tin kukuh tidak mau menjelaskan keadaannya yang sebenarnya sedang ia sendiri tak berpikir panjang atau ingat tentang uang logam kuno itu lalu memintanya secara paksa, bagaimana akhirnya?
Waktu pertama kali ia masuk ke dalam Makam Pedang, hampir saja binasa di ujung pedang sakti itu. Kalau mengingat itu semua diam-diam ia juga bergidik.
Ia menenangkan kembali perasaannya dan berkata:
“Menuiut aturan aku seharusnya memanggilmu suci.”
“Tidak, tidak! Usiamu lebih tua daripada usiaku, sebaiknya kita tetap dengan panggilan semula.”
“Adik Tin, duduklah. Tenanglah sedikit.”
“Aku, aku bagaimana bisa tenang...?”
“Duduklah, kita bicara dengan tenang.”
Keduanya duduk lagi. Mereka saling berpandangan dan tersenyum.
“Engko Kiam, beritahukanlah semua pengalamanmu.”
Hui Kiam lalu menceritakan semua pengalamannya sejak ia berguru dengan suhunya. Dan ketika ia menuturkan sampai ke bagian di bawah kaki gunung Tay-hong-san menemukan jenazah Cui Pin ....
Cui Wan Tin lalu menjerit, dan menangis dengan sedihnya. Demikian lama ia menangis. Hui Kiam tahu tidak dapat dicegahnya, maka ia membiarkannya menangis sepuas-puasnya.
Setelah puas menangis, Cui Wan Tin baru berkata dengan suara duka:
“Kalau aku tidak dapat membunuh Orang Berbaju Lila, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!”
“Adik Tin, perkara menuntut balas dendam adalah kewajibanku.”
Cui Wan Tin juga tidak membantah. Ia berdiam sejenak, ia lalu berkata pula:
“Kalau begitu, Lima Kaisar Rimba Persilatan sudah meninggal seluruhnya.”
“Ya.”
“Tadi kau berkata bahwa si-susiok masih ada seorang anak perempuan.”
“Ya, ia bernama Pui Ceng Un. Karena tekadnya hendak menuntut balas, telah mengalami nasib sangat menyedihkan….”
“Coba kau jelaskan duduk perkaranya?”
“Ia telah berguru kepada si Raja Pembunuh, seorang yang sudah terkenal dalam golongan orang jahat. Karena harus menurut perintah iblis, ia telah dirusak mukanya....”
“Ah!”
“Belum lama berselang, si Raja Pembunuh itu terbunuh oleh Iblis Singa, sehingga sekarang aku sendiri tak tahu di mana jejak Pui suci itu.”
“Kita harus berusaha mencarinya.”
“Itu sudah tentu.”
“Kau tadi masih menceritakan tentang jarum melekat tulang.”
Ya, suhu dengan sisupek mati karena jarum melekat tulang. Tetapi Orang Berbaju Lila tetap mengatakan bahwa dalam pertempuran dengan suhu serta sisupek dahulu mengandalkan kepandaian masing-masing. Ia tidak tahu tentang jarum melekat tulang. Aku telah berusaha dan akhirnya menemukan Jien Ong,
pemilik jarum melekat tulang itu. Tetapi sudah beberapa puluh tahun Jien Ong tidak menginjak kaki ke dunia Kang-ouw lagi. Ia bahkan sudah cukur rambut menjadi padri. Maka soal ini hingga kini masih tetap menjadi persoalan. Tetapi aku sudah bersumpah biar bagaimana aku harus menyelidiki persoalan ini.”
“Apakah kau menganggap perkataan Orang Berbaju Lila itu boleh dipercaya?”
“Ia agaknya tak perlu harus menyangkal!”
“Bagaimana dengan kepandaiannya?”
“Hem, hem… dalam rimba persilatan dewasa ini, boleh terhitung salah satu orang terkuat!”
“Apakah kau pernah bertempur dengannya?”
“Ya, tetapi belakangan ini ia nampaknya sengaja menyingkir dariku!”
Selanjutnya lalu Hui Kiam menceritakan bagaimana keadaan rimba persilatan dewasa ini yang sudah bersatu bati dan bertekad hendak menentang usaha Persekutuan Bulan Emas yang hendak menguasai rimba persilatan. Orang-orang yang bertekad maksud itu termasuk juga Orang Berbaju Lila.
Cui Wan Tin menggelengkan kepala dan berkata sambil menarik napas:
“Pertikaian dan pembunuhan dalam rimba persilatan selalu tidak ada habis-habisnya.”
Hui Kiam lalu mengalihkan pembicaraannya ke lain soal. Ia berkata:
“Adik Tin, kau juga ceritakan bagaimana pengalamanmu sendiri?”
“Dahulu ayah telah membawa gambar peta yang terdapat dalam kitab Thian Gie Po kip untuk mencari di mana adanya pedang sakti ini. Setelah mengalami berbagai kesulitan, akhirnya menemukan tempat ini. Karena ayah melihat tempat ini letaknya sangat tersembunyi, sangat cocok digunakan untuk melatih pertandingan,
maka bawa ibu dan aku berdiam di sini, kemudian ayah balik seorang diri untuk menghubungi para susiok sekalian.”
Berkata sampai di sini, ia berdiam sejenak lalu berkata:
“Tidak lama kemudian ayah pulang seorang diri. Katanya empat susiok tidak ingin meninggalkan usaha-usahanya ladang mereka untuk tinggal di sini bersama-sama. Pedang sakti yang sudah diketemukan itu, untuk sementara dibawah perlindungan ayah. Sebab ayah dan empat susiok tidak pernah menerima murid, apalagi kitab pelajaran ilmu silat mengandung arti yang sangat dalam tidak dapat dipelajari dengan secara mudah, kemudian mereka pikir hendak mencari keturunan seorang murid yang berbakat luar biasa, lalu dididik bersama untuk menyambung keturunan kepandaian Lima Kaisar.”
“Jadi para supek sekalian sebelum terjadi peristiwa itu sudah ada maksud mencari murid.”
“Pada waktu itu sisusiok telah menunjukkan uang logam kuno yang selalu disimpan dan tidak pernah terpisah dari badannya, menyatakan di kemudian hari apabila menemukan murid yang berbakat, akan diberikan uang logam itu sebagai tanda kepercayaan untuk memiliki pedang sakti ini. Hal ini telah diperhatikan sebaik-baiknya oleh ayah.”
“Selanjutnya?”
“Setengah tahun kemudian, ayah pergi menengok para susiok yang mempelajari Thian Gie Po-kip itu. Di waktu pergi, ayah meninggalkan beberapa perkataan untuk aku menjaga diri. Tak disangka kepergian ayah itu ternyata tidak kembali lagi untuk selama-lamanya....”
“Urusan di dalam dunia sesungguhnya memang susah diduga.”
“Aku dengan ibu menjaga di tempat ini. Lima tahun kemudian, ibu telah jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Tinggallah aku seorang diri yang harus menuntut penghidupan yang sangat sengsara ini….”
Hui Kiam juga merasa pilu. Ia berkata:
“Adik Tin, untung kau adalah seorang perempuan tabah, kau telah sanggup memikul penderitaan itu.”
Air mata Cui Wan Tin berlinang-linang, tetapi ia masih bisa tersenyum. Dengan sikap agak kemalu-maluan ia berkata:
“Untung aku berjumpa dengan engko Kiam. Ini telah berarti memberikan semangat hidup bagiku dengan sesungguhnya. Jikalau bukan karena pesan ayah yang harus menjaga pedang sakti ini, mungkin jiwaku tidak akan hidup sampai sekarang.”
“Adik Tin, selama aku masih bernyawa, aku tidak akan meninggalkan kau.”
“Engko Kiam.”
Begitu girang perasaan Cui Wan Tin. Ia menjatuhkan diri dalam pelukan Hui Kiam. Hui Kiam juga memeluk dirinya erat-erat.
Untuk sementara mereka telah melupakan segala kesengsaraan dan pengalaman getir selama hidupnya. Mereka sedang terbenam dalam lautan asmara.
Seperti apa yang dikatakan Cui Wan Tin, keturunan Lima Kaisar dan muridnya, total jendral hanya ia tinggal sendiri, Pui Ceng Un dan Hui Kiam tiga orang saja, tidak lebih tidak kurang, sedangkan ia sendiri dengan Hui Kiam hubungannya merupakan saudara seperguruan dan juga merupakan kekasih.
Kedua pemuda-pemudi itu tenggelam dalam lautan asmara. Dalam keadaan demikian masing-masing hampir tak dapat kendalikan perasaannya sehingga hampir saja melakukan perbuatan yarg terlarang....
Untung Hui Kiam segera tersadar. Ia menindas perasaannya, setelah itu mendorong Cui Wan Tin dan berkata kepadanya:
“Adik Tin, dendam musuh kita belum terbalas, lima arwah suhu dan sisupek yang di akhirat tentu belum merasa senang. Sebelum selesai tugas kita, kita.... tidak boleh berlaku sembarangan.”
Cui Wan Tin juga sadar kembali. Sambil menunduk ia berkata dengan suara perlahan:
“Engko Kiam, kau sungguh hebat juga bukan seperti lelaki sembarangan. Pilihan susiok atas dirimu sedikitpun tidak salah… aku merasa sangat malu!”
“Tidak! Adik Tin, kau tidak perlu sesalkan dirimu sendiri. Siapapun juga tidak ada yang salah. Bukankah kita semua masih baik-baik saja?”
Cui Wan Tin tersenyum. Ia melirik kepada Hui Kiam, kemudian menunduk lagi. Sikap kemalu-maluan dari seorang gadis, telah ditunjukkan dengan tegas, sehingga hati Hui Kiam berdebar.
“Adik Tin, di lain ruangan di dalam kamar ini, bukankah itu makam ibumu?”
“Ya, aku masih ingat aku pernah beritahukan kepadamu.”
“Bolehkah aku berziarah ke situ?”
“Apakah kau anggap perlu?”
“Adik Tin, peraturan tidak boleh kita tinggalkan begitu saja.”
Ia lalu bangkit, bersama-sama dengan Cui Wan Tin memasuki ke lain kamar di mana terdapat makam ibu Cui Wan Tin.
Hui Kiam segera bertindak maju dan berlutut di hadapan makam sedang Cui Wan Tin berdiri di samping membalas hormat.
Selesai melakukan upacara penghormatan, Hui Kiam berkata kepada Cui Wan Tin:
“Adik Tin, aku terpaksa harus minta diri darimu lagi!”
Paras Cui Wan Tin berubah. Dia berkata dengan suara sedih:
“Engkoh Kiam, apa kau hendak pergi lagi?”
Dengan suara lembut Hui Kiam menjawab:
“Adik Tin, aku tidak boleh tidak pergi lagi. Untuk mencari jejak musuhku yang membunuh ibu, aku harus pergi ke gereja Siao-lim-sie mencari Hiat-ie Nio-cu, sebelum hantu wanita itu tiba ke sana.”
“Engko Kiam, ini adalah soal penting, aku tidak boleh merintangi kau!”
“Jikalau tidak terpaksa, aku pun tidak akan meninggalkanmu!”
“Tunggu dulu sebentar, aku ambilkan pedang untukmu!”
Cui Wan Tin masuk ke lain kamar. Sebentar ia keluar lagi sambil membawa pedang sakti Thian Gee Sin-kiam. Ia berlutut di hadapan kuburan ibunya. Pedangnya diangkat tinggi di atas kepalanya, mulutnya kemak-kemik mendoa:
“Ayah ibu, anak sudah menyelesaikan tugas yang ayah ibu berikan!''
Hui Kiam sangat terharu menyaksikan keadaan itu. Ia berlutut menyambut pedang itu, sementara mulutnya berkata:
“Suhu, supek sekalian dan supek Bo, teecu bersumpah hendak menggunakan pedang ini untuk menuntut balas dendam perguruan dan menegakkan keadilan serta kebenaran.”
Setelah upacara selesai, dengan tangan sendiri Cui Wan Tin menyarungkan pedang itu di pinggang Hui Kiam. Dengan sikap mesra ia berkata:
“Engko Kiam, aku hendak berdiam di sini mengawasi arwah ibu. Harap kau lekas pulang!”
“Adik Tin, setelah selesai tugasku, aku segera pulang!”
“Baiklah, aku akan menunggumu!”
“Harap kau baik-bak merawat diri. Aku sekarang hendak berangkat!”
“Apakah kau tidak makan sedikit saja?”
“Tidak usah. Waktu sudah mendekat, aku khawatir akan terlantar usahaku!”
Cui Wan Tin dengan sikap berat mengantar Hui Kiam sampai di luar makam. Setelah Hui Kiam berlalu jauh dan tidak terlihat olehnya, ia baru masuk kembali lagi.
Hui Kiam juga merasa sangat berduka. Ia dapat membayangkan bagaimana perasaan Cui Wan Tin seorang gadis yang hidup
menyendiri di dalam ruangan di bawah tanah yang tidak kelihatan sinar matahari. Ini benar-benar merupakan suatu penderitaan yang tidak mudah dijalani oleh setiap orang. Kalau pada waktu sebelumnya, boleh dikata ia harus mentaati pesan ayahnya untuk melindungi pedang sakti itu dan menantikan pemiliknya yang berhak mendapatkan pedang tersebut, tetapi ia sekarang tugasnya itu telah selesai, yang dinantikan hanya kedatangannya sendiri.
Tiba-tiba suatu pikiran timbul dalam otaknya, membuat ia seketika itu merasa khawatir. Apakah tidak mungkin perbuatan Iblis Singa dulu tidak akan terulang lagi?
Pada waktu sebelumnya, Cui Wan Tin masih bisa mengandalkan barisan gaib yarg melindungi Makam Pedang dan pedang saktinya, itu sudah cukup untuk melindungi keselamatan jiwanya. Tetapi sekarang pedang sakti itu sudah dibawa olehnya, ini berarti ia sudah kehilangan senjata untuk melindungi dirinya. Dengan kepandaian yang dipunyai olehnya, ditambah dengan barisan gaib itu, biar orang-orang biasa dalam rimba persilatan tidak perlu dikhawatirkan tetapi apabila ketemu dengan seorang kuat seperti Iblis Singa, inilah yang berbahaya.
Tetapi ia sendiri tidak boleh meninggalkan pedang sakti itu, juga tidak boleh tidak pergi, sedangkan diajak jalan bersarna-sama juga kurang leluasa….
Setelah berpikir bolak balik, akhirnya ia dapat suatu pikiran. Sedapat mungkin ia hendak menyiarkan berita tentang didapatkannya pedang sakti itu. Asal berita itu sudah tersiar luas di dunia Kang-ouw, dengan sendirinya sudah tentu mengurangi perhatian orang-orang dunia Kang-ouw terhadap pedang sakti itu, dan perhatian itu bahkan ada kemungkinan dialihkan pada dirinya sendiri dengan demikian sehingga ia tidak usah khawatir Cui Wan Tin akan mendapat gangguan lagi.
Karena sudah mendapat pikiran demikian, hatinya merasa lega.
Oleh karena hubungan antara ia dengan Cui Wan Tin sudah jelas, begitu juga cintanya juga sudah kokoh hingga hubungannya
terhadap Tong-hong Hui Bun sudah mulai jauh, dan keputusannya hendak mengakhiri hubungannya juga semakin mantap.
---ooo0dw0ooo---
JILID 25
SELAGI ia berjalan seenaknya, tiba-tiba terdengar suara minta ia berhenti.
Hui Kiam merandek. Hatinya diam-diam berpikir nampaknya Persekutuan Bulan Emas masih belum melepaskan pengawasannya terhadap Makam Pedang, tetapi ini sangat kebetulan baginya, karena dengan demikian usahanya untuk menyiarkan berita tentang didapatnya pedang itu, tidak usah repot lagi.
Beberapa bayangan orang muncul keluar dari tempat sembunyi mereka.
Sebagai kepala rombongan itu, tidak asing lagi bagi Hui Kiam, ia adalah Ong Geng Kauw yang menjadi komandan pasukan anak buah Persekutuan Bulan Emas. Di belakang dirinya diikuti oleh enam orang berbaju hitam. Dengan nada suara dingin Hui Kiam berkata:
“Kiranya adalah kau, sudah lama kita tak berjumpa!”
“Sama-sama! Sudah lama aku menantikan kedatanganmu, hampir saja aku merasa kecewa tetapi akhirnya aku menemukan juga.”
“Jadi kau memang menunggu aku?”
“Betul!”
“Ada keperluan apa?”
Mata Ong Geng Kauw ditujukan pada pedang sakti yang tergantung di pinggang Hui Kiam. Katanya dengan sikap cengar-cengir:
“Pedang yang tergantung di pinggangmu itu….”
“Pedang Thian-khi Sinkiam, benda pusaka dalam Makam Pedang.”
“Ha, ha, ha, kau benar-benar seorang jujur.”
“Kalau begitu maksudmu menunggu aku ternyata bohong, yang kau tunggu sebetulnya adalah pedang ini, betul tidak?”
“Memang betul.”
“Larangan yang dikeluarkan oleh pemimpin tidak boleh bermusuhan deugan aku....”
Larangan itu telah dicabut kembali.”
“Bagus!”
“Kau membawa pedang sakti ini berkelana di dunia Kang-ouw barangkali kurang tepat.”
“Mengapa kurang tepat?”
“Kau barangkali akan menjadi pusat incaran perhatian orang banyak.”
“Ini adalah urusanku sendiri, perlu apa kau pikirkan itu?”
“Ini adalah maksud baikku.”
“Maksud baikmu aku terima dengan baik, sebaliknya kau belum menerangkan maksud yang sebenarnya?”
“Kau tentunya tahu sendiri maksud dan tujuan kami yang selalu menjaga Makam Pedang itu?”
“Aku tidak mengerti!”
“Kalau begitu aku boleh beritahukan kepadamu, maksud kami mengadakan penjagaan itu ialah jangan sampai pedang sakti terjatuh kepada tangan lain!”
Hui Kiam meskipun pada saat itu hatinya panas, tetapi ia masih mengendalikan perasaannya. Katanya dengan suara dingin:
“Pedang sudah berada di tanganku, sekarang kau mau apa?”
“Kalau begitu harap kau serahkan pedang itu kepada kami!”
Hui Kiam hampir saja ketawa geli, tetapi kemudian berkata dengan sikap menghina:
“Perkataan ini sesungguhnya tidak tahu malu, juga tidak mengukur tenagamu sendiri!”
“Belum tentu!”
“Jikalau kau mampu melawan satu jurus saja di bawah pedangku ini, pedang ini aku segera berikan padamu”
“Tetapi aku tidak ingin mengadu kekuatan denganmu.”
“Apa itu berarti aku harus menyerahkan begitu saja?”
“Begitulah!”
“Ha, ha, ha, Ong Geng Kauw, Persekutuan Bulan Emas sudah melakukan banyak perbuatan yang menimbulkan bencana rimba persilatan. Kejahatannya itu sudah tak dapat didiamkan lagi, maka aku bermaksud untuk menahan kalian semua supaya tak dapat berlalu dari sini.”
Enam orang berbaju hitam yang berada di belakang Ong Geng Kauw tidak mengunjukkan apa-apa. Sikapnya tenang sekali.
Keadaan itu menimbulkan kecurigaan Hui Kiam. Apakah mereka ada yang diandalkan? Dengan sikap tak berobah Ong Geng Kauw berkata:
“Hui Kiam, tafsiran dan kenyataan merupakan dua soal, aku percaya kau pasti akan menyerahkan pedangmu itu!”
“Orang she Ong, kau ada mempunyai akal keji apa, boleh saja kau keluarkan!”
“He he he, akal keji? Bukan, hanya ada seorang nona mengharap kau menyerahkan pedang ini untuk menolong dirinya.”
Hui Kiam terperanjat. Mungkinkah Cui Wan Tin sudah terjatuh ke dalam tangan mereka?
“Siapa?”
“Saudara seperguruanmu!”
“Siapakah dia?”
“Nah, itu dia kau lihat sendiri!”
Dari belakang batu besar, dua orang berpakaian hitam sedang membawa seorang wanita berpakaian hijau, lalu berhenti di hadapan Hui Kiam terpisah sejauh tiga tombak.
Hui Kiam ketika melihat siapa wanita itu, bukan kepalang terkejutnya sebab wanita yang tertawan itu bukan lain daripada anak perempuan sisupeknya, Pui Ceng Un. Kerudung yang menutupi mukanya sudah tak ada, hingga tampak tegas raut mukanya yang terdapat banyak tanda guratan yang buruk sekali dalam pandangan mata.
Sambil tertawa puas Ong Geng Kauw berkata:
“Bagaimana?”
Hui Kiam bagaikan seorang kalap, ia menghunus pedang saktinya....
Ong Geng Kauw mengangkat tangannya dan berkata:
“Hui Kiam, kau tentunya tidak ingin melihat darah mengalir dari badannya, bukan?”
Pada saat itu salah satu dari dua orang yang menawan Pui Ceng Un, telah meletakkan tangannya di atas kepala gadis itu.
Hui Kiam dengan badan gemetar dan suara bengis ia berkata:
“Kalau aku tidak basmi habis orang-orang Bulan Emas, aku bersumpah tak mau jadi orang.”
“Hui Kiam itu adalah urusan lain, mari sekarang membicarakan urusan ini.”
“Urusan ini?”
“Hem, ini ada soal yang bersifat perdagangan!”
“Ong Geng Kauw, kau sebetulnya mau apa?”
“Dengan pedangmu kau boleh menukar jiwa saudara perempuanmu ini!”
“Kau manusia rendah tak bermalu....”
“Anggaplah begitu!”
“Jikalau aku tak mau?”
“Itu tak mungkin!”
“Mengapa tidak?”
“Ia akan mati di dalam keadaan tak utuh!”
Hui Kiam sangat mendongkol. Percuma saja ia berkepandaian tinggi, karena saat itu ia tak berdaya sama sekali. Ia sungguh tak menduga Pui Ceng Un bisa jatuh di tangan mereka.
Karena gadis itu adalah anak satu-satunya siaupeknya, bagaimana boleh binasa di tangan mereka?
Tetapi pedang sakti Thian-khi Si-kiam juga merupakan barang pusaka sangat penting dalam perguruannya. Suhunya sendiri dan empat supeknya, lantaran pedang itu dan kitab Thian Gee Po-kiep telah mengalami nasibnya yang membawa kematiannya, bagaimana boleh diberikan? Apalagi pedang itu akan digunakan olehnya untuk membereskan persoalan menuntut balas dan membasmi kejahatan.
Betapapun gusarnya pada saat itu, karena Pui Ceng Un berada di tangan mereka, ia tidak berdaya sama sekali.
Hendak membinasakan orang-orang itu baginya sangat mudah sekali, tetapi bagaimana dengan Pui Ceng Un?
Pui Ceng Un sendiri pada saat itu tidak menunjukkan sikap apa-apa. Sinar matanya suram jauh berlainan dengan sikap biasanya. Sudah jelas kalau bukan ditotok jalan darahnya, tentunya sudah dimusnahkan kepandaiannya.
Dahulu dengan mudah ia membikin takut Ko han-san, sehingga dengan rela mengorek biji matanya sendiri dan lari terbirit-birit, sungguh tidak disangka sekarang ia telah terjatuh di tangan musuh-musuhnya.
Yang mengherankan ialah dengan cara bagaimana orang-orang itu dapat mengetahui hubungan ia dengan sucinya itu?
“Ong Geng Kauw, apakah kau sudah dapat memastikan bahwa aku akan menyerah?”
“Sudah tentu, sebab ia adalah keturunan satu-satunya dalam perguruanmu.”
“Dari mana kau tahu?”
“Pertama, ia sudah mengakui sendiri. Kedua, jikalau tidak benar, kau tentunya sudah bertindak sejak tadi.”
“Apakah... dia sudah mengaku?”
Terus terang kuberitahukan padamu, di bawah ilmu sihir pemimpin kami, tiada seorangpun yang mampu mempertahankan rahasia dalam hatinya!”
Sekarang Hui Kiam mau tidak mau percaya keterangan itu, karena ia sendiri juga sudah pernah dipengaruhi oleh ilmu sihir itu oleh Orang Berbaju Lila. Ia tidak menyangka bahwa Persekutuan Bulan Emas juga paham ilmu sihir semacam itu.
“Ong Geng Kauw, bebaskanlah dia!”
“Apa kau anggap kau sanggup melakukan?”
“Aku tidak akan lepaskan pedang sakti ini. Kalian semua yang ada di sini, akan menggantikan jiwa baginya!”
Ong Geng Kau tidak menduga Hui Kiam bisa mengeluarkan pikiran demikian. Seketika itu wajahnya berobah dan mundur dua langkah. Kalau benar Hui Kiam tega mengorbankan Pui Ceng Un, mereka satupun tidak bisa lolos dari bawah tangannya, sebab kepandaian pemuda itu ia sudah tahu benar-benar.
Tetapi benarkah Hui Kiam akan berbuat demikian?
Biar bagaimana Ong Geng Kauw adalah seorang yang banyak pengalaman, setelah berpikir sejenak ia berkata dengan suara dingin:
“Kami hanya bekerja melakukan perintah saja, kau dengar atau tidak terserah kepadamu sendiri!”
Hui Kiam menggerakkan pedangnya….
Tangan orang berbaju hitam juga bergerak di atas kepala Pui Ceng Un, tetapi gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Hui Kiam dengan hati pilu menurunkan lagi pedangnya.
Ong Geng Kauw sudah dapat lihat bahwa Hui Kiam tidak akan mengorbankan jiwa Pui Ceng Un, maka ia mendesak lagi:
“Hui Kiam, jual beli ini, kau tidak boleh tidak harus melakukan. Kalau kau mempunyai kepandaian, di kemudian hari kau masih bisa mengambil kembali pedang ini, tetapi orang yang sudah mati tidak bisa hidup lagi.”
“Kau berani?”
“Mengapa aku tidak berani? Kalau aku tidak berani aku tidak akan menerima tugas ini.”
Hui Kiam tidak berdaya, kecuali menyerah sudah tiada jalan lain lagi baginya.
Sementara itu Ong Geng Kauw lalu berkata:
“Hui Kiam, kau bersedia melakukan jual beli ini atau tidak? Sepatah jawaban sudah cukup jikalau tidak dia akan kubawa kembali. Hanya aku perlu menerangkan lebih dulu, apa yang akan terjadi selanjutnya, susah untuk diduga….”
“Kau hendak perlukan bagaimana?”
“Dia tak akan dibunuh. Meskipun wajahya telah rusak, tetapi ia seorang gadis yang mempunyai dasar kuat, ini besar sekali gunanya!”
Dada Hui Kiam dirasakan hampir meledak, kemarahannya hampir tak dapat dikendalikannya lagi. Ia teringat kepada pasukan Im-hong Tui, juga teringat kepada Delapan Iblis dari Negara Thian-tik yang pandai rupa-rupa ilmu gaib dari golongan sesat. Jikalau Pui Ceng Un jatuh di tangan mereka, akibatnya akan lebih hebat daripada kematian.
Dalam keadaan tidak berdaya, ia hanya memohon kepada suhu dan sisupeknya untuk memberi petunjuk sebaik-baiknya.
Ong Geng Kauw yang menyaksikan Hui Kiam sudah tidak berdaya, lalu berkata:
“Hui Kiam, sampai berjumpa lagi!”
“Tunggu dulu!”
“Apakah kau suka menerima jual beli ini?”
“Aku... terima!”
Dengan susah payah Hui Kiam akhirnya mengeluarkan perkataan itu.
“Kalau begitu kau serahkan dulu pedangmu!”
“Kau bebaskan dulu orangnya atau tidak akan mengingkari janjiku!”
“Dengan kepandaianmu, sudah tentu kau tidak usah khawatir akan mengingkari janji!”
“Maksudmu bagaimana?”
Ong Ceng Kauw agaknya sudah merencanakan lebih dulu. Dengan tanpa banyak pikir ia berkata:
“Setelah kau menyerahkan pedang dan menerima kembali saudara seperguruanmu, kalau kau bertindak hendak merampas pedang, mungkin bukan perkara susah….”
“Dan menurut pikiranmu bagaimana?”
“Kau serahkan dulu pedangmu. Setelah kuperiksa betul atau tidak, pedang itu akan kubawa untuk memberi lapor kepada atasanku. Kau boleh tunggu di sini, tunggu sampai aku kembali aku segera bebaskan saudara!”
Hui Kiam benar-berar sangat murka, tetapi ia tidak berdaya sama sekali. Ini benar-benar merupakan suatu tindakan yang sangat jahat. Apabila pedang sakti terlepas dari tangannya dan apabila pemimpin Persekutuan Bulan Emas muncul secara tiba-tiba, jangan
kata ia sudah tidak mampu menolong jiwa Pui Ceng Un, bahkan jiwanya sendiri mungkin akan dikorbankan.
Tetapi dapatkah melakukan perbuatan itu?
Sementara itu Ong Ceng Kauw sudah mendesak lagi:
“Bagaimana? Aku tidak dapat menunggu lama-lama.”
Hui Kiam tidak berdaya. Ia memasukkan lagi pedangnya ke dalam sarungnya ....
Ong Geng Kauw yang sangat licik lalu berkata:
“Kau lemparkan kemari!”
Hui Kiam agaknya sudah hilang semangatnya, ia sudah hendak melemparkan pedang itu ke arah Ong Geng Kauw.
Pada saat itu tiba-tiba muncul dua orang berpakaian hitam. Satu di antaranya berkata dengan suara keras:
“Perintah dari panji Kim-hoan-kie!”
Dua orang itu lalu mengangkat tinggi di atas kepalanya sebuah panji segitiga, yang terlukis gambar lingkaran emas melingkari bulan sabit.
Panji ini merupakan tanda perintah paling berwibawa dalam Persekutuan Bulan Emas. Kecuali pemimpinnya sendiri, semua anak buahnya harus tunduk.
Ong Geng Kauw dan enam orang berpakaian hitam, semuanya berlutut menyambut panji itu.
Hui Kiam sebaliknya, berdiri bingung di tempatnya.
Orang berpakaian hitam yang memegang panji itu membacakan firmannya sepatah demi sepatah:
“Perintah, orang tawanan segera dibawa balik ke pusat perkumpulan.”
Hui Kiam terkejut, pikirannya bekerja keras. Keadaan sudah mendesak demikian rupa, ia terpaksa harus bertindak tegas. Ia tidak akan membiarkan orang-orang itu membawa pergi sucinya.
Biar bagaimana ia harus bertindak tanpa memperhitungkan akibatnya.
Ong Geng Kauw lama tidak menjawab. Jelas bahwa perintah yang datangnya secara tiba-tiba ini sangat mengejutkan dirinya.
Orang berbaju hitam itu menyimpan lagi panjinya. Keduanya menghampiri Pui Ceng Un dengan maksud mengambil nona itu dari tangan dua orang yang semula menjaga dirinya.
Ong Geng Kauw merasa curiga terhadap kedatangan perintah secara tiba-tiba itu. Lama ia tidak mengeluarkan pertanyaan terima kasih.
Hui Kiam sudah mengambil keputusan, jikalau perlu ia akan berlaku nekad, tidak akan membiarkan sucinya terjatuh di tangan kalangan iblis lagi.
Pada saat itu, Ong Geng Kauw telah membuka mulut:
“Bolehkah aku bertanya, perintah ini diberikan oleh siapa?”
Orang berbaju hitam yang membawa perintah itu menjawab dengan suara gusar:
“Ong Thong-leng, apakah kau berani lawan perintah?”
“Hamba tidak berani.”
“Mengapa kau memajukan pertanyaan demikian?”
“Sebab dalam satu hari ini dengan beruntun hamba menerima perintah yang berlainan!”
“Di mana panji emas ini sampai, itu berarti seolah-olah kedatangan Bengcu sendiri.”
“Hamba tahu.”
“Mengapa kau masih belum menyatakan terima kasih?”
“Ong Geng Kauw mentaati perintah!”
“Silahkan kembali ke posmu sendiri!”
Pada saat itu Ong Geng Kauw baru berani berdiri. Dengan sinar mata yang tajam ia mengawasi dua orang berbaju hitam, kemudian berkata:
“Tuan-tuan berdua apakah ingin membawa tawanan itu sendiri?”
“Benar!”
“Bagaimana tentang keselamatan tawanan?”
“Ong Tong-leng tidak usah khawatir!”
“Bolehkah aku bertanya, di mana sekarang Bengcu berada?”
“Di markas pusat perkumpulan!”
“Apakah tuan-tuan berdua datang dari markas pusat?”
“'Hem!”
Wajah Ong Geng Kauw segera berubah. Dengan suara keras ia berkata:
“Bengcu tidak berada di pusat, kalian kawanan tikus dari mana berani menipu panji emas?”
“Tangkap!”
Dua orang berbaju hitam itu masing-masing menghunus senjatanya. Satu di antaranya dengan cepat mundur sambil menarik diri Pui Ceng Un, yang lain melintangkan pedangnya untuk menghadapi musuhnya.
Dua orang berbaju hitam itu yang semula menawan Pui Ceng Un menerjang lebih dulu. Perbuatan itu segera ditiru oleh enam kawannya.
Kejadian itu di luar dugaan Hui Kiam. Ia sungguh tidak menyangka bahwa panji emas yang merupakan tanda perintah tertinggi itu ternyata adalah palsu.
Di antara suara saling bentak, terjadilah pertempuran kalut.
Dua orang berbaju hitam itu dengan cepat sudah terkurung oleh rombougan anak buah Persekutuan Bulan Emas.
Satu di antaranya segera berseru:
“Penggali Makam, kau tunggu apa lagi?”
Hui Kiam pada saat itu seolah-olah baru sadar dari mimpinya. Sambil mengeluarkan suara bentakan keras, ia menghunus pedang saktinya menyerbu Ong Geng Kauw.
“Ahh…!”
Di antara suara jeritan terkejut, wajah Ong Geng Kauw pucat pasi. Pedang di tangannya hanya tinggal gagangnya saja.
Hui Kiam berkata dengan suara bengis:
“Ong Geng Kauw, serahkan jiwamu!”
Pedang sakti itu bergerak 1agi, lalu disusul oleh suara jeritan ngeri.
Darah segar menyembur. Ong Geng Kauw terpapas putung menjadi dua potong.
Hui Kiam menoleh pun tidak, ia sudah menyerbu ke rombongan orang-orang berbaju hitam.
Suara jeritan ngeri terdengar berulang-ulang, darah merah berhamburan, orang-orang berbaju hitam itu, satu persatu roboh bergelimpangan.
Hanya dalam waktu sekejap mata saja tinggal seorang yang masih hidup, tetapi sudah ketakutan setengah mati, sukmanya seolah-olah sudah terbang dari raganya, ia berdiri bagaikan patung.
Hui Kiam memang sengaja meninggalkan seorang yang diberi hidup, seketika itu lalu berkata kepada orang itu sambil menunjukkan dengan pedangnya:
“Tuan mudamu untuk pertama kalinya mencoba kesaktiannya pedang ini. Karena mengingat jangan sampai membunuh orang yang tiada berdosa, aku biarkan kau hidup. Pergilah!”
Orang berbaju hitam itu bagaikan mendapat keampunan besar, segera lari terbirit-birit.
Dua orang yang membawa perintah palsu itu segera berkata:
“Kegagahan siaohiap, hari ini telah membuka mataku.”
Hui Kiam menyimpan kembali pedang saktinya, lalu menjawab dengan suara merendah:
“Tuan-tuan terlalu memuji. Tuan datang dari mana?”
“Aku yang rendah hanya mendapat perintah untuk menolong nona ini,” menjawab salah seorang di antaranya.
“Atas perintah siapa?”
“Orang Menebus Dosa.”
“Orang Menebus Dosa?” demikian Hui Kiam bertanya dengan suara terkejut.
“Ya.”
Terhadap orang yang mengaku sebagai Orang Menebus Dosa itu, Hui Kiam semakin bingung. Orang itu bukan saja sudah mengetahui ten
tang dirinya, bahkan segala gerak geriknya sedikitpun tidak terlepas dari perhatiannya. Siapakah sebetulnya orang itu? Mengapa ia berlaku demikian misterius?
Orang berbaju hitam itu berkata pula:
“Aku yang rendah telah mendapat perintah untuk membawa nona itu.”
“Apa? Kalian hendak bawa ia pergi?”
“Ya, nona ini sudah terkena racun jahat, sehingga pikirannya menjadi linglung, harus dipunahkan racunnya dengan cepat....”
“Dia .... sudah terkena racun jahat?”
“Siaohiap seharusnya dapat melihat sendiri pikirannya sudah tidak normal lagi.”
“Apakah majikanmu dapat menolong?”
“Begitulah maksudnya.”
Hui Kiam mengalihkan pandangannya ke arah Pui Ceng Un lalu menegur:
'Suci, apa kau masih mengenaliku?”
Mata Pui Ceng Un terbuka lebar memandang lurus. Terhadap pertanyaan Hui Kiam sedikitpun tidak ada reaksinya, seolah-olah satu bangkai hidup.
Hui Kiam merasa sedih, hampir saja menitikkan air mata tetapi ia menahannya. Ia tidak suka mengucurkan air mata di hadapan orang luar.
“Siapakah sebetulnya tuanmu itu?”
“Orang Menebus Dosa.”
“Yang kumaksudkan adalah kedudukannya dan asal-usulnya?”
“Tentang ini, maaf aku tak dapat menjawab!”
Hui Kiam menarik napas panjang. Dengan suara duka ia berkata:
“Sampaikan kepada tuanmu, di sini aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih!”
“Siaohiap tidak perlu banyak aturan!”
“Tuan-tuan berdua mendapat perintah untuk membawa pergi suciku ini?”
“Ya!”
“Apakah tidak takut akan dipegat oleh kaki tangan Persekutuan Bulan Emas?”
“Tentang ini sudah diatur sebaik-baiknya oleh tuanku sendiri!”
Hui Kiam merasa sulit. Ia sebetulnya tidak tega sucinya dibawa oleh orang yang belum dikenalnya, tetapi karena sang suci itu ditolong oleh orang tersebut, apalagi memang benar sucinya itu sudah terkena racun yang ia sendiri tidak sanggup menyembuhkan, maka setelah berpikir agak lama baru berkata:
“Bolehkah aku ingin bertanya kemana kau hendak membawanya pergi?”
“Maaf, aku tidak dapat memberitahukan.”
Hui Kiam agak mendongkol. Katanya:
“Bagaimana jikalau aku tidak setuju tuan-tuan berdua membawanya?”
“Menurut keterangan dari junjunganku, siaohiap pasti tidak akan meuyulitkan kita, sebab nona ini kecuali junjunganku sudah tak ada orang lagi yang bisa menolong!”
Hui Kiam terpaksa bungkam. Tak lama kemudian ia baru mengambil keputusan. Katanya:
“Sampaikan kepada junjunganmu, tentang budinya itu akan kuingat selama-lamanya!”
“Aku yang rendah pasti akan sampaikan!”
“Kalau begitu silahkan!”
Dua orang berbaju hitam itu lalu pamitan kepada Hui Kiam. Salah seorang di antaranya mengempit tubuh Pui Ceng Un dan berlalu meninggalkan Hui Kiam.
Setelah dua orang itu berlalu, Hui Kiam baru melanjutkan perjalanannya menuju ke gunung Siong-san.
Gunung Siong-san, di mana gereja Siao-liem-sie yang sangat terkenal itu telah dibangun di atasnya.
Kuil tua yang lama sudah tersohor dalam rimba persilatan daerah Tiong Goan, waktu itu matahari sudah naik tinggi, tetapi tidak terdengar suara genta berbunyi, begitu pula suara orang membaca kitab suci. Seluruh kuil sunyi senyap. Ini merupakan suatu pemandangan yang belum pernah ada, juga seharusnya tidak ada.
Seluruh kuil yang letaknya di atas bukit Siao-siong di pegunungan Siong-san itu seolah-olah diliputi oleh kabut kedukaan.
Dari bawah kaki gunung sehingga pintu tiada tampak bayangan seorangpun juga. Fakta sudan nyatae, bahwa gereja yang merupakan pusatnya partay Siao-liem Pay yang sangat terkenal dan memegang pimpinan semua partay besar rimba persilatan daerah Tiong Goan tentunya telah mengalami suatu peristiwa besar. Memang benar kenyataannya memang demikian, Siao-liem Pay sedang menghadapi ujian berat, antara utuh dan hancur.
Di hadapan pendopo di tengah-tengah pekarangan gereja anak murid Siao-liem Pay berbagai generasi yang jumlahnya ribuan jiwa, telah duduk berderet dua baris berhadapan satu sama lain, di tengah-tengah terdapat tempat kosong dari pendopo depan terus menuju pendopo Wie-tho-thian.
Dalam pendopo itu juga sudah penuh kepala manusia gundul kelimis. Mereka berdiri berbaris dengan rapi. Suasana nampak suram.
Barisan pertama terdiri dari delapan belas padri, anak murid bagian ‘Lo-han-tong’ yang juga merupakan salah satu tenaga inti dalam partay itu.
Barisan kedua terdiri dari para padri yang menjabat jabatan kepala pelbagai bagian.
Di tengah-tengah, di atas tempat duduk yang terdiri tiga lapis kasur, duduk seorang padri yang lanjut usianya, wajahnya agung, ia sambil memejamkan mata, seolah-olah sedang bersemedi.
Dia adalah Ciang-bun-jin, atau ketua Siao-liem Pay generasi itu, Bu-siang Sian-su.
Di kedua sampingnya, berdiri pengawalnya yang terdiri dari sepuluh orang padri.
Di belakang Bu-siang Sian-su, adalah delapan paderi anggota pelindung hukum. Seorang di belakangnya lagi, juga merupakan barisan yang terakhir, adalah sepuluh paderi yang merupakan anggota sesepuh.
Dalam ruangan yang berkumpul seribu lebih kawanan paderi itu, suasananya nampak amat sunyi. Ini benar-benar sunyi, sehingga jarum jatuh pun bisa terdengar suaranya.
Dalam suasana sunyi itu tiba-tiba terdengar suara Bu-siang Sian-su membuka mulut, suaranya agak gemetar:
“Beberapa hari berselang, Bu-tong-pay sudah mengikuti jejak perkumpulan golongan pengemis Kay-pang menyerah kepada Persekutuan Bulan Emas. Hanya partay kita yang merupakan partay satu-satunya yang belum menyerah.”
Karena perasaannya terpengaruh, ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula:
“Partay kita sejak didirikan oleh Couwsu, kita meskipun pernah mengalami bencana, tetapi berkat perlindungan Budha yang Maha Mulia, bencana ini kita dapat hindarkan. Tetapi kali ini keadaannya sangat berlainan, malapetaka sudah melanda rimba persilatan. Kami sebagai ketua merasa sangat malu, tidak mampu melindungi nasib Siao-liem....”
Kembali ia terdiam, suasana nampak semakin suram tegang.
“Batas waktu sudah akan habis,” demikian Bu-siang Sian-su melanjutkan, “Sekali lagi kami menyampaikan maksud kami semula. Kecuali murid-murid pelindung hukum yang sudah ditunjuk, yang lainnya segera meninggalkan kuil!”
Suasana semakin sunyi, juga semakin gawat! Tetapi tidak ada reaksi apa-apa, semua padri yang hadir di situ tetap membungkam bagaikan patung.
Dengan perasaan sedih Bu-siang Sian-su berkata pula:
“Semoga arwah Cowsu kita dapat memaafkan tindakan kami yang sangat terpaksa ini. Nasib Siao-liem Pay tidak boleh dikorbankan atas tindakan kami ini, maka semua murid partay Siao-liem, kecuali yang sudah mempunyai tempat meneduh, semua harus pergi ke Pho-thian, berusaha untuk membangun kembali kekuatan Siao-liem Pay.”
Kembali tidak terdengar suara sambutan dari semua murid Siao-liem-pay yang hadir di situ. Setiap orang menunjukkan sikap yang merupakan suatu perpaduan daripada perasaan sedih dan kebulatan tekad yang kuat.
Bu siang Sian-su perlahan-lahan bangkit dari tempat duduk. Matanya menyapu semua hadirin sejenak, kemudian berkata dengan suara nyaring:
“Ini adalah perintah, apakah semua anak murid berani menentang?”
“O Mie To Hud!”
Suara memuji nama Budha itu terdengar riuh sebagai jawaban atas pertanyaan ketuanya!
Bu-siang Siansu tidak berdaya, wajahnya berubah seketika.
Ketua anggota sesepuh Ngo-ih lalu berkata:
“Para saudara ingin mempertaruhkan partay kita hingga titik darah yang penghabisan. Semangat jantan ini dapat kita mengerti dan hargakan! Tetapi kita harus melihat dulu keadaannya. Bencana kali ini, bukan hanya mengancam partay Siao-lim saja, melainkan seluruh rimba persilatan. Saudara karena ingin mendapatkan nama baik, rela mengorbankan seluruh partay yang didirikan oleh Cowsu ini bukanlah suatu perbuatan yang patut dipuji. Selain daripada itu, sejak berdiri, partay kita belum pernah terjadi ada murid yang berani menentang perintah. Walaupun peristiwa luar merupakan peristiwa luar biasa, tetapi masih belum diijinkan oleh peraturan partay kita. Maka diharap para saudara pikir dulu masak-masak.”
Bu-siang Siansu membentak dengan suara keras:
“Sesudah keluar perintah, tindakan segera jalankan! Harap saudara segera siap untuk melakukan perintah ini.”
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara genta tiga kali. Dalam keadaan gawat demikian, suara genta itu sesungguhnya sangat menusuk telinga.
Wajah Bu-siang Sian-su berubah seketika. Begitu pula para anggota sesepuh dan lain-lainnya.
Ketegangan telah memuncak.
Pengawal yang berdiri di samping ketuanya segera berkata:
“Batas waktu belum sampai, mengapa....?”
Belum lagi habis ucapannya, di depan pintu pendopo Wie-to-tian, dalam salah satu sudut pekarangan, muncul seorang nenek berambut putih. Nenek itu badannya kurus kering, pakaiannya penuh tanda darah, sepasang matanya memancarkan sinar yang menakutkan sehingga bagaikan hantu yang muncul di siang hari bolong.
Padri Bu-kauw yang bertugas sebagai pengawas gereja, lalu bangkit dan berkata kepada ketuanya:
“Ciangbun suheng, orang yang datang itu adalah Hiat-ie Nio-cu.”
“Kami tahu,” jawab Bu-siang Sian-su.
“Harap suheng mengeluarkan perintah.”
“Tanyakan dulu maksud kedatangannya!”
“Baik.”
Bu-kauw mengundurkan diri pergi menghampiri Hiat-ie Nio-cu.
Semua padri yang hadir di situ setiap orang mengunjukkan perasaan gusarnya, karena menurut peraturan dalam Kuil Siao-lim-sie tidak mengijinkan kaum wanita masuk.
Hiat-ie Nio-cu tidak menghiraukan Bu-kauw, sebaliknya berkata dengan suara nyaring:
“Bu-siang, kau sungguh bertingkah. Apakah aku si nenek harus datang menghadap padamu?”
Semua murid Siao-liem-sie hanya bisa mengawasi dengan mata melotot karena perbuatan Hiat-ie Nio-cu yang masuk ke kuil itu, sudah berarti melanggar peraturan kuil. Apalagi perkataannya yang
tidak sopan itu terhadap ketuanya, perbuatan itu bagi Siao-liem-pay merupakan suatu penghinaan besar.
Bu-kauw yang sudah berada di hadapan Hiat-ie Nio-cu kira-kira delapan langkah, lalu berkata sambil merangkapkan kedua tangannya:
“Liesicu tentunya tahu larangan kuil kami.”
“Larangan apa?” tanya Hiat-ie Nio-cu dingin.
“Kaum wanita dilarang masuk kuil....”
“Omong kosong, kalau aku suka datang, aku harus datang.”
“Kedatangan lisicu ini pasti ada maksudnya?” bertanya Bu-kauw dengan menahan sabarnya.
“Sudah tentu. Suruh Bu-siang yang bicara!”
“O Mie tho hud! Pinceng mendapat perintah di sini sudah menanyakan maksud kedatangan lisicu!”
“Aku bicara selamanya hanya satu kali saja. Kau menyingkir!”
Betapapun sabarnya Bu-kauw juga tidak mudah dihina di hadapan umum, maka lalu berkata dengan sikap keren:
“Liesicu jangan keterlaluan!”
“Apa kau ingin mencari mampus?” jawabnya Hiat-ie Nio-cu sambil tertawa dingin.
Dari dalam rombongan paderi terdengar suara marah.
Setelah memuji nama Budha, Bu-kauw berkata:
“Lie-sicu anggap kuil Siao-liem-sie sebagai apa?”
Wajah Hiat-ie Nio-cu tiba-tiba berubah bengis dan menakutkan. Ia berjalan maju, nampaknya hendak menyerbu ke dalam....
Bu-kauw segera mengangkat kedua tangan. Hiat-ie Nio-cu melanjutkan langkah kakinya, satu tangannya dikibaskan. Gerakan Bu-kauw yang sebetulnya merupakan ancaman saja tapi begitu
melihat nenek itu benar-benar turun tangan, ia segera mengerahkan kekuatan tenaganya, dipusatkan ke dua tangannya.
Dengan demikian sehingga kekuatan kedua pihak saling beradu. Setelah menimbulkan getaran hebat, Bu-kauw mundur terhuyung-huyung sampai empat langkah. Kulit di mukanya berkerenyit beberapa kali, ujung bibirnya mengalirkan darah.
Semua murid Siao-liem-sie pada berdiri. Tetapi karena harus mentaati peraturan, tiada satu pun yang bertindak.
Hiat-ie Nio-cu melalui samping Bu Kauw terus menuju ke pendopo di mana ketua kuil sedang memimpin rapat.
Delapan padri dari anggota pelindung hukum segera berteriak. Mereka terbagi menjadi dua golongan maju merintangi hantu wanita itu.
Hiat-ie Nio-cu menggereng dengan matanya yang aneh.
“Bu-siang, apa kau mendesak aku melakukan pembunuhan di sini?”
Bu-siang Siansu sungguh tidak kecewa menjadi seorang pemimpin. Walaupun dalam hati sangat marah tetapi ia masih menunjukkan sikapnya sebagai pemimpin. Dengan sikap yang tenang dan sabar, melambaikan tangannya seraya berkata:.
“Saudara-saudara pelindung hukum, berikan jalan kepadanya!”
Delapan anggota pelindung hukum itu terpaksa mentaati perintah pemimpin, mereka menyingkir ke kanan dan ke kiri.
Bu-siang Sian-su dengan tenang maju menghampiri hantu wanita itu seraya berkata sambil merangkapkan kedua tangannya:
“Harap siecu suka memberitahukan maksud kedatanganmu!”
“Bu-siang, pada lima belas tahun berselang ada seorang wanita muda yang bernama Pek-leng-lie Khong Yang Hong datang ke kuil Siao-liem Sie untuk minta sebutir pil Tay-hoan-tan telah kalian hina dengan mengandalkan kekuatan jumlah orang kalian yang lebih banyak, betulkah ada kejadian seperti ini?”
Bu-siang Sian-su setelah memuji nama Budha lalu berkata:
“Memang betul ada kejadian ini. Tetapi apa yang dikatakan menghina dengan mengandalkan kekuatan orang banyak, inilah tidak tepat!”
“Tentang ini sekarang jangan dibicarakan dulu. Aku hanya ingin bertanya kepadamu, di mana wanita itu sekarang berada?”
“Maaf, kami tidak dapat menjawab!”
“Apa sebabnya?”
“Dulu Siao-lie Sicu itu minta pil Tay-hong-tan dengan secara kekerasan. Ia telah melukai beberapa puluh anak murid golongan kami. Akhirnya kami terpaksa memerintahkan anak murid kami menangkap dirinya dengan menggunakan barisan Lo-han-tin. Tetapi setelah kami tangkap, sebagai orang beribadah yang selalu mengutamakan kasih sayang sebagai pedoman kita, maka pada akhirnya kami berikan juga obat pil yang diminta itu, dan kemudian membebaskannya....”
“Benarkah begitu?”
“Sebagai orang beribadah dipantang membohong!”
“Dan di mana sekarang orangnya berada?”
“Kami tadi sudah katakan bahwa hal ini kami tidak dapat menjawab.”
“Apakah sudah kau bunuh untuk melenyapkan jejaknya?”
Sekujur badan Bu-siang Sian-su gemetar. Jawabnya:
“Si-cu jangan sembarangan berkata!”
Mata Hiat-ie Nio-cu tiba-tiba nampak beringas. Ia berkata dengan suara bengis:
“Bu-siang, tidak perlu bicara banyak-banyak, hari ini kau harus mempertanggungjawabkan persoalan ini!”
“Kami tidak dapat, juga tidak perlu menanggung jawab!”
“Apakah kau harus cuci tangan begitu saja?”
“Kenyataannya memang demikian!”
“Bu-siang, jikalau sekarang tidak bertanggung jawab soal ini, aku beritahukan kepadamu… hem, aku akan membuka pantangan membunuh secara besar-besaran. Aku akan mencuci kuil Siao-liem ini dengan darah kalian!”
Begitu mendengar ucapan hantu wanita itu, suasana menjadi sangat gawat. Dengan tanpa sadar Bu-siang Sian-su telah mundur satu langkah. Delapan anggota pelindung hukum dan seluruh anggota sesepuh serta semua kepala bagian, sudah siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.
Pada lima belas tahun berselang, anak perempuan Hiat-ie Nio-cu Pek-leng-lie Khong Yang Hong telah mengunjungi kuil Siao-liem-sie untuk minta pil obat Tay-huan-tan. Di situ timbul perselisihan, kemudian jadilah pertempuran hebat. Pek-leng-lie berhasil melukai sepuluh lebih anak murid Siao-liem-sie, tetapi akhirnya ia tertangkap dalam barisan Lo-han-tin.
Sekarang Hiat-ie Nio-cu telah datang sendiri untuk menanyakan anak perempuannya. Kepandaian dan kekuatan Hiat-ie Nio-cu masih jauh lebih tinggi daripada anak perempuannya, sekalipun semua anak murid Siao-lim-sie yang berkepandaian tinggi, barangkali juga masih bukan tandingannya. Tentang ini hampir semua orang dalam hati sudah mengerti, namun demikian mereka toh tidak akan membiarkan hantu wanita itu berbuat sesuka hatinya!
Pada saat itu sudah hampir tengah hari. Batas waktu terakhir yang diberikan oleh Persekutuan Bulan Emas sudah hampir tiba. Ini berarti kuil Siao-lim-sie itu sedang menghadapi bencana besar.
Di bawah ancaman dan tekanan hebat dari dua pihak, antara Hiat-ie Nio-cu dan Bulan Emas, semua orang Siao-liem-pay tidak berani membayangkan bagaimana akibatnya.
Ini adalah merupakan suatu kejadian yang sangat menyedihkan bagi partay golongan orang benar di daerah Tiong Goan, juga menggunakan betapa lemahnya keadaan berbagai partay golongan benar pada waktu itu.
Bu-siang Sian-su sebagai pemimpin dari partay besar itu, selagi menghadapi nasib antara mati dengan hidup dan hancur atau utuh partainya, penderitaan dalam hatinya sesungguhnya tidak dapat kita membayangkannya.
Ia semula memang bermaksud hendak membubarkan sebagian anak muridnya untuk meninggalkan sedikit sisa kekuatan golongan Siao-lim-pay, supaya di kemudian hari bisa bangkit lagi, tetapi karena kedatangannya Hiat-ie Nio-cu, maksud itu telah buyar.
Baik Hiat-ie Nio-cu maupun Persekutuan Bulan Emas, ancaman dan tekanan kepada Siao-lim pay, tidak ada bedanya. Setiap anak murid Siao-liem Pay yang ada di situ semua telah menunjukkan kemarahan. Mereka telah bertekad bulat hendak mempertahankan kuil Siao-liem-sie dan partay Siao-liem Pay hingga titik darah yang terakhir.
Oleh karena kebulatan tekad ini, telah mengurangi rasa takut untuk menghadapi musuh yang lebih kuat.
Hiat-ie Nio-cu memperdengarkan pula suaranya. Katanya yang bengis:
“Bu-siang, bagaimana kau hendak mempertanggungjawabkan?”
“Kami tidak dapat bertanggung jawab!”
“Kalau begitu kau jangan sesalkan aku akan berlaku kejam!”
Begitu menutup mulut, ia segera membentang sepuluh jari tangannya. Bagaikan binatang buas menerkam empat paderi anggota pelindung hukum yang berdiri di barisan depan.
Empat padri anggota pelindung hukum itu mengerakkan tangan dengan serentak untuk menyambut serangan itu.
Dua kali terdengar suara jeritan ngeri. Dua dari empat anggota pelindung hukum itu telah roboh.
Empat anggota pelindung hukum yang lainnya segera maju. Bersama-sama dengan dua anggota pelindung hukum yang pertama, sama-sama melancarkan serangan terhadap dirinya hantu wanita itu.
Delapan anggota pelindung hukum itu, kepandaian mereka hanya di bawah sepuluh anggota sesepuh saja, maka kita dapat membayangkan betapa hebatnya kekuatan enam orang yang bertindak serentak itu.
Tetapi Hiat-ie Nio-cu merupakan suatu hantu wanita yang sudah beberapa puluh tahun namanya yang menggetarkan semua orang rimba persilatan baik dalam golongan putih maupun golongan hitam, kepandaian maupun kekuatan hantu wanita itu, masih jauh lebih tinggi daripada delapan anggota pelindung hukum itu.
Selama pertempuran berlangsung, dua di antara enam pelindung hukum itu, kembali sudah binasa di tangan hantu wanita itu, tetapi di pihaknya hantu wanita sendiri juga terpukul mundur.
Semua anak murid Siao-liem-sie yang ada di situ, telah menyaksikan dengan hati panas dan mata melotot.
Sepuluh anggota sesepuh juga sudah bergerak. Mereka berdiri berbaris di belakang pemimpinnya.
Jatuh korban dan mengalirnya darah di pendopo tempat suci itu, telah menjadikan tempat suci itu berubah menjadi tempat penjagalan yang mengerikan.
Pada saat itu, kembali terdengar suara genta yang seolah-olah merupakan pertanda hari kiamat yang akan dihadapi oleh Siao-liem-sie.
Bu-siang Sian-su yang paling terpengaruh perasaan dan pikirannya. Badannya sampai gemetar. Ia lalu mengeluarkan perintah kepada semua anak muridnya supaya balik ke tempat masing-masing.
Suasana balik seperti keadaan sebelum Hiat-ie Nio-cu muncul, hanya kurang empat anggota pelindung hukum. Jenazahnya empat pelindung hukum itu segera digotong masuk ke dalam.
Hiat-ie Nio-cu yang belum mengerti apa sebabnya, sebaliknya malah berdiri dengan mulut ternganga.
Pada saat itu, delapan orang berpakaian hitam diam-diam sudah muncul di depan pintu. Yang berjalan paling depan tangannya memegang kedua panji kecil berbentuk segi tiga. Ia mengacungkan tinggi-tinggi panji itu, kemudian berkata dengan suara nyaring:
“Utusan Bulan Emas, di sini dengan membawa perintah pemimpin kami minta kepada pemimpin partay Siao-lim pay untuk memberi jawaban terakhir!”
Lama baru terdengar jawaban Bu-siang Sian-su:
“Partay kami tidak akan merusak ajaran dan larangan serta pantangan yang diwariskan oleh Couwsu kami, untuk mengabdi kepada kawanan iblis!”
Utusan yang membawa panji itu menyimpan kembali panjinya, kemudian berkata dengan suara keras:
“Ciangbunjin, apakah ini merupakan jawaban partaymu?”
“Betul!”
“Kau tidak sayang akan terjadi banjir darah di kuil ini?”
Sementara itu banyak orang berpakaian hitam muncul dari berbagai penjuru, sehingga dalam waktu sekejap mata saja sudah merupakan tembok manusia. Orang-orang itu semuanya memegang senjata tajam.
Nampaknya Persekutuan Bulan Emas itu sudah berkeputusan hendak menundukkan Siao-lim-pay dengan kekerasan.
Mata Bu-siang Sian-su perlahan-lahan menyapu kepada semua anak muridnya yang berada di situ. Mukanya telah berobah demikian rupa. Padri tua yang bertindak sebagai pemimpin itu sebetulnya tidak tega mengorbankan nasib murid yang jumlahnya seribu lebih itu, tetapi kecuali menyerah masuk menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas, sudah tentu tiada jalan lain lagi!
Tiba-tiba Hiat-ie Nio-cu berpaling menghadapi delapan orang utusan Bulan Emas.
Delapan utusan itu nampaknya agak terkejut. Utusan yang membawa panji itu, terang sebagai kepala rombongan delapan orang itu, saat itu segera menegurnya:
“Nyonya bukankah Hiat-ie Nio-cu?”
Dengan suara bengis Hiat-ie Nio-cu menjawab:
“Betul! Aku masih ada sedikit perhitungan dengan Bu-siang yang masih belum dibereskan. Kalian menyingkir jauh dulu!”
Delapan utusan itu seketika itu berobah wajahnya. Orang yang bertindak sebagai kepala itu lalu berkata dengan nada suara dingin:
“Nyonya terlalu sombong!”
“Apakah kalian ingin mencari mampus?”
“Belum lama berselang nyonya telah menghancurkan cabang persekutuan kami dan membunuh orang-orangnya, perbuatanmu ini kita masih belum membuat perhitungan denganmu!”
“Apakah dengan kalian sekawanan kelinci ini aku harus membuat perhituongan?”
Tepat pada saat itu tiba-tiba terdengar nada suara yang tajam dan dingin menyahut:
“Hiat-ie Nio-cu, kau jangan omong besar!”
Delapan utusan itu ketika mendengar suara itu, segera menyingkir di kedua samping. Hampir bersamaan pada saat itu, seorang tua bertubuh tinggi besar, telah muncul di situ.
Hiat-ie Nio-cu ketika melihat kedatangan orang itu, wajahnya segera berobah. Katanya dengan nada suara dingin:
“Iblis Gajah, apakah kau masih belum mati?”
'“Ha, ha, aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi!”
“Apakah maksud kedatanganmu ini?”
“Hendak mengirim kawanan padri untuk menghadap kepada Budha!”
Semua anak murid Siaolim-pay mendengarkan percakapan dua orang itu dengan tenang. Meskipun mereka sedang terancam bahaya maut, tetapi tiada satu pun yang menunjukkan perasaan takut, walaupun mereka tahu bahwa mereka tidak ada yang diandal kecuali kebulatan tekad yang hendak hancur bersama-sama musuhnya.
Dengan sikap menghina Hiat-ie Nio-cu |berkata:
“Iblis Gajah, dengan nama, derajat dan kedudukanmu, sungguh tidak kusangka kau juga rela menjadi budak orang!”
Walaupun ucapan iblis itu merupakan suatu penghinaan besar, tetapi Iblis Gajah tidak marah, sebaliknya memperdengarkan suara tertawanya yang aneh, kemudian berkata:
“Nenek tua, kita tidak perlu bicara banyak-banyak. Tadi kau mengatakan hendak membereskan perhitungan dengan Siao-liem-pay, apakah itu betul?”
“Betul!”
“Dengan cara bagaimana kau hendak membereskan perhitungan itu?”
“Kuhendak cuci kuil ini dengan darah mereka untuk menuntut balas anak perempuan itu!”
“Itu bagus sekali, kita justru satu maksud dan satu tujuan. Nah, silahkan!”
Sebagai orang yang berpengalaman, Hiat-ie Nio-cu ketika mendengar perkataan itu segera mengerti maksud Iblis Gajah ku. Maka lalu menjawab sambil berkata:
“Siluman tua, kau jangan mengintip orang dari lubang kunci pintu, sehingga dapat menyaksikan segalanya dengan sepuas-puasnya. Apakah kau kira aku tidak mengerti maksud hatimu yang hendak meminjam tanganku untuk membereskan kawanan kepala gundul itu? Sebaliknya kalian dapat mencapai tujuan kalian tanpa mengeluarkan tenaga, setelah itu kalian baru turun tangan
terhadapku, untuk membuat perhitungan perbuatanku di kuil Thian Ong-sie hari itu, betul tidak?”
“Kecerdasanmu ternyata masih tetap seperti dahulu kala. Tentang perbuatanmu, di kuil Thian Ong-sie itu persekutuan kami sudah pasti hendak minta penanggungan jawabmu. Tetapi andaikata kau ingin menyimpan tenagamu, silahkan kau mundur ke rumah kuil.”
Jawaban itu cukup pedas, satu sama lain nampaknya tidak mau mengalah.
Hiat-ie Nio-cu setelah berpikir sejenak lalu berkata:
“Ijinkan aku untuk bertanya lagi kepada si gundul itu....”
“Silahkan.”
Hiat-ie Nio-cu membalikkan badannya, berjalan menghampiri pemimpin Siao-lim-pay, kemudian berkata:
“Bu-siang, kau tentunya sudah melihat sendiri nasib apa yang akan dihadapi oleh Siao-lim-pay?”
“Sebagai orang dari golongan benar, sebagai orang jantan, partay kami lebih suka hancur lebur tidak sudi menyerah bertekuk lutut di hadapan musuh.”
“Katamu kedengarannya sangat agung. Jawablah terus terang, di mana anak perempuanku itu sekarang? Aku nanti akan keluar dari pertikaian ini.”
“Kami tadi sudah mengatakan, memang benar-benar Pek-leng-lie dahulu pernah ditangkap, tetapi kemudian kami telah memerintah supaya dibebaskan lagi. Bagaimana kami tahu di mana sekarang ia berada?”
“Omong kosong. Mengapa sejak kejadian itu di kalangan Kang-ouw lalu tiada tampak lagi jejak anak perempuan ini?”
“Tentang ini bagaimana aku dapat menjawab?”
“Kalau begitu kau jangan menyesal!”
“Yang menyesal barangkali sicu sendiri.”
Hiat-ie Nio-cu tiba-tiba membalikkan badannya dan berkata pada si Iblis Gajah:
“Tidak halangan apabila kita bergandengan tangan untuk nembereskan keadaan di sini dulu. Urusan kita pribadi nanti kita bicarakan lagi. Bagaimana kau pikir?”
“Begitupun boleh, bertiindaklah.”
Hiat-ie Nio-cu lalu bergerak menerjang pemimpin Siao-lim-pay.....
Enam anggota pelindung hukum segera bertiindak dengan serentak untuk menyambut serangan musuh itu.
Bersamaan dengan itu, enam orang utusan Bulan Emas juga sudah bertindak.
Dari pihak anak murid Siao-liem-sie, ini juga tidak mau tinggal diam lagi. Mereka juga bergerak untuk menghadapi musuhnya.
Sebentar kemudian, terjadilah suatu pertempuran kalut. Suara beradunya senjata tajam yang diseling dengan suara bentak dan jeritan terdengar di sana sini. Darah mulai mengalir, korban juga jatuh saling menyusul.
Suatu pembunuhan besar-besaran yang sangat mengerikan telah berlangsung di ruangan tempat suci itu.
Dalam waktu singkat Hiat-ie Nio-cu sudah berhasil membereskan enam orang lawannya. Sepuluh anggota sesepuh segera bergerak mengurung dirinya....
Jika dilihat jalannya pertempuran, Siao-liem-pay benar-benar akan mengalami nasib kehancurannya.
Orang-orang Persekutuan Bulan Emas mengurung kuil itu di berbagai penjuru. Tiada satupun yang turut bertempur. Mereka hanya berdiri di tempat semula. Maksudnya tidak akan mengijinkan siapapun juga keluar dari kuil itu.
Kawanan padri yang memegang jabatan kepala bagian dalam kuil itu, juga merupakan kawanan padri yang agak kuat. Bertempur
dalam keadaan demikian masih tak dapat mengeluarkan kepandaian masing-masing karena mereka terhalang oleh arusnya banyak manusia.
Iblis Gajah sementara itu sudah bergerak menyerang Bu-siang Sian-su. Karena serangan yang terlalu dahsyat, Bu-siang Sian-su nampak terdesak mundur.
Namun demikian, sebagai pemimpin satu partay besar, sudah tentu juga mempunyai kepandaian yang berarti. Betapapun lihaynya si Iblis Gajah juga tak bisa berbuat apa-apa terhadap Bu-siang Sian-su. Tetapi kenyataan sudah jelas mengunjukkan bahwa jatuhnya Siao-liem-pay hanya soal waktu saja.
Sekalipun Bu-siang Sian-su sanggup melawan Iblis Gajah, tetapi juga tak sanggup menolong nasibnya Siao-lim-pay.
Sementara itu sepuluh anggota sesepuh yang melawan Hiat-ie Nio-cu, tiga di antaranya sudah binasa dan yang empat terluka....
Selagi Siao-lim-pay menghadapi bencana kehancuran, tiba-tiba terdengar suara bentakan bagaikan geledek yang segera mempengaruhi suara pertempuran itu.
Suara bentakan itu bagaikan ketokan palu besar, mengetok hati setiap orang. Jelaslah sudah bahwa orang yang mengeluarkan suara pasti orang yang nempunyai kekuatan tenaga dalam yang sudah sangat sempurna.
Sungguh heran, setelah terdengarnya suara itu, semua orang yang bertempur segera diam dan berhenti.
Pada saat itu dapat dilihat dengan nyata di lantai ruangan yang luas terkapar banyak bangkai manusia. Darah mengalir bagaikan air banjir. Anak murid Siao-liem-pay yang mati terbunuh sedikitnya dua ratus jiwa ke atas.
Semua mata ditujukan ke pendopo Wie-tho-tian, sebab itu merupakan tempat yang harus dilalui bagi siapa yang hendak masuk ke kuil Siao-liem-sie itu.
Seorang berpakaian ringkas berwarna putih, muncul secara tiba-tiba.
Dalam rombongan Utusan Bulan Emas segera terdengar suara orang berkata:
“Penggali Makam?!”
Orang itu benar adalah Hui Kiam.
Jawabnya yang dingin, saat itu menunjukkan kemarahannya yang sudah memuncak. Dengan memegang gagang pedang di pinggangnya, setindak demi setindak ia berjalan ke tengah-tengah ruangan itu.
Munculnya pemuda itu agaknya membawa suara pengaruh dan wibawa yang tak terwujud, tetapi cukup menggetarkan semua orang, sehingga seolah-olah sudah melupakan perbuatan mereka yang bertempur demikian kalut, dan kini pada menyingkir untuk membuka jalan.
Mata Hui Kiam dari jauh menatap si Iblis Gajah dan Hiat-ie Nio-cu dengan bergiliran.
Karena ia berada di tengah-tengah demikian banyak orang, sudah tentu dirinya menjadi pusat perhatian semua mata.
Dengan sinar matanya yang tajam, ia menyapu semua orang yang ada di situ. Setiap mata orang yang beradu dengan sinar matanya seolah- olah ditusuk oleh senjata tajam.
Bagi orang-orang Siao-liem-pay, sebagian besar masih asing terhadap nama julukan Penggali Makam. Sedikit di antaranya juga hanya dengar orang berkata saja, sehingga meninggalkan kesan dalam hati mereka. Tetapi bagi orang-orang Persekutuan Bulan Emas nama julukan itu hampir dikenal oleh semuanya ....
Hiat-ie Nio-cu walaupun dulu pernah bertempur dengan Hui Kiam, tetapi waktu itu Hui Kiam berhadapan dengan mengganti rupa, maka baru kali inilah, untuk pertama kalinya ia melihat wajah aslinya. Dahulu ia pernah melukai Hui Kiam dengan kuku terbangnya yang hancur, maka ia tidak ada rasa takut.
Sebaliknya dengan si Iblis Gajah, yang belum lama berselang pernah melukai Hui Kiam dalam sepuluh jurus, maka masih dianggapnya sebagai pecundangnya.
Waktu itu mata Hui Kiam masih belum sembuh dari butanya. Jikalau bukan Orang Menebus Dosa memancing pergi si Iblis Gajah, Hui Kiam pasti binasa di tangannya.
Karena nama julukan Penggali Makam yang sangat tidak enak didengarnya itu, sehingga juga mengejutkan kawanan padri Siao-lim-sie. Apakah maksud kedatangannya?
Jikalau ia juga bermaksud hendak menuntut balas., maka Siao-lim-sie berarti akan menghadapi ancaman dari tiga pihak. Dengan demikian sudah tentu akan mempercepat kehancurannya.
Suasana pada saat itu meskipun sepi sunyi, tetapi bahkan semakin seram dan menakutkan.
Akhirnya, Bu-siang Sian-su sebagai tuan rumah, sudah seharusnya menanyakan kedatangan tamunya, maka ia segera menegurnya:
“Ada keperluan apa Siao-sicu datang kemari?”
Sambil mengangkat tangan memberi hormat, Hui Kiam menjawab:
“Ada suatu urusan yang hingga kini masih rnerupakan suatu pertanyaan. Boanpwee ingin minta keterangan Ciangbunjin.”
Dari nada suara jawabannya itu, sudah jelas bahwa kedatangan pemuda itu tidak mengandung maksud jahat.
Bu-siang Sian-su berkata dengan suara berat:
“Keadaan kuil kami dewasa ini, Siao-sicu tentunya sudah mengerti sendiri, barangkali tidak dapat memenuhi permintaan Siao-sicu!”
---ooo0dw0ooo---
JILID 26
H U I Kiam menganggukkan kepala. Ia berpikir sejenak, segera mengambil keputusan tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Pertama, ia harus mengusir pergi Hiat-ie Nio-cu lebih dulu, sebab kedatangan hantu wanita itu yang hendak mencari keterangan anak perempuannya masih dapat dimengerti, dan yang paling penting, sebab murid hantu wanita itu ialah Penghuni Loteng Merah dahulu dengan To-liong Kiam Khek, ayahnya pernah ada hubungan kasih, dan sekarang kedua-duanya sudah meninggal. Dengan adanya dua sebab itu maka hari ini ia patut membebaskannya.
Dengan mata menatap wajah Hiat-ie Nio-cu, Hui Kiam berkata dengan nada suara dingin:
“Hiat-ie Nio-cu, harap kau segera meninggalkan tempat ini.”
Hiat-ie Nio-cu perdengarkan suara tertawa mengejek, kemudian berkata:
“Apa? Kau suruh aku meninggalkan tempat ini?”
“Benar.”
“'Bocah, apa maksud permintaanmu ini?”
“Sebab hari ini aku tidak bersedia membunuhmu.”
Jawaban sombong itu, mengejutkan semua orang.
“Kau? Hendak membunuh aku? Ha, ha, ha.”
“Ini toh tidak ada apa-apanya yang menggelikan.”
“Bocah, jikalau aku hendak membunuhmu, bagaimana?”
“Kalau begitu aku terpaksa merubah maksudku semula!”
Hiat-ie Nio-cu tiba-tiba lompat melesat ke hadapan Hui Kiam. Katanya dengan suara dingin:
“Bocah, apakah kau sengaja datang hendak turut mati bersama-sama dengan kawanan kepala gundul ini?”
“Kuulangi sekali lagi, harap kau segera imeninggalkan tempat ini!”
Hiat-ie Nio-cu melototkan matanya. Katanya dengan suara bengis:
“Kuhajar mampus kau dulu.”
Di antara suara bentakan, hantu wanita itu segera mengerakkan dua tangannya….
“Ow ...!”
Demikian suara itu, telah menggetarkan hati setiap orang yang ada di situ, karena mereka segera menyaksikan suatu kejadian yang sangat ganjil. Hiat-ie Nio-cu berdiri dengan badan gemetar. Wajahnya yang sudah keriputan nampak semakin buruk dan menakutkan, sedangkan lengan bagian kanannya, telah terputung batas pundak, terjatuh di tempat tiga kaki depan dirinya. Darah mengucur deras dari bekas lukanya.
Sementara pedang sakti Thian Gee Po-kiam Hui Kiam masih tetap dalam keadaan gerakan menyabet, tetapi berhenti di tengah jalan, sedangkan wajahnya yang dingin dan mengandung nafsu membunuh masih tetap tidak berubah. Tiada seorang pun dapat melihat bagaimana dia menghunus pedangnya dan bagaimana melakukan serangannya.
Di pihaknya Persekutuan Bulan Emas, mulai si Iblis Gajah ke bawah, menunjukkan sikap keheran-heranan.
Demikian pula dari pihaknya kawanan padri Siao-lim-pay.
Akan tetapi, perubahan yang terjadi di muka orang-orang kedua pihak itu sangat berbeda maksudnya. Kalau satu pihak dikejutkan oleh perbuatan pemuda itu, sedang di lain pihak ini merupakan suatu dorongan bagi semangatnya.
Terjadinya perubahan itu, sesungguhnya di luar dugaan kawanan padri Siao-lirn-sie yang semula sudah putus harapan. Dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, Penggali Makam dalam satu gerakan
saja sudah berhasil merobohkan Hiat-ie Nio-cu dalam keadaan terluka parah. Ini berarti menyingkirkan satu ancaman berat.
Sebabnya Hui Kiam melakukan perbuatan ganas itu dalam waktu sekejap karena ia tidak dapat membiarkan Hiat-ie Nio-cu mendapat kesempatan menggunakan senjata ampuhnya kuku terbang beracun itu. Sudah tentu, tidak hanya itu sudah cukup dalam arti kata memandang muka kepada hbantu wanita itu, sebab jikalau tidak, Hiat-ie Nio-cu pada saat itu pastilah sudah menggeletak sebagai mayat.
Hiat-ie Nio-cu mengulur tangan kirinya menotok ke beberapa bagian jalan darahnya untuk menghentikan mengalirnya darah, kemudian ia memungut lengan tangannya yang telah terputung itu. Dengan wajah yang penuh kebencian mengawasi Hui Kiam, lalu berkata kepada Bu-siang Sian-su:
“Bu-siang, urusan di antara kita belum beres.”
Walaupun dalam kealaan terluka parah, sikap bengis dan kejam hantu wanita itu masih tetap menimbulkan rasa ngeri bagi yang menyaksikannya.
Sehabis berkata demikian, ia membawa lengannya yang penuh darah, berjalan keluar dengan tindakan lebar....
Hui Kiam memang tiada maksud hendak mengambil jiwanya, maka ia menurunkan pedang dan membiarkannya pergi.
Si Iblis Gajah tiba-tiba bergerak menghadang di hadapan Hiat-ie Niocu.
“Kau mau apan?”
“Hiat-ie Nio-cu, perbuatanmu yang telah menghancurkan cabang persekutuan kami, sekarang bagaimana kau hendak membereskan?”
“Bagaimana membereskannya?”
“Utang darah harus dibayar dengan darah!”
“Anjing, tindakanmu ini berarti mendorong orang yang berada dalam keadaan luka....”
“Terserah bagaimana kau katakan. Kalau kau hendak pergi, tinggalkanlah dulu jiwamu!”
Kejadian itu benar-benar di luar dugaan semua orang. Bagi Siao-liem-pay, ini merupakan suatu keajaiban, sebab itu berarti menarik kembali nasib Siao-liem-pay dari kehancuran. Walaupun bagaimana kesudahannya masih belum dapat diduga, tetapi bagaimanapun juga keadaannya sudah tidak berbahaya seperti tadi lagi. Kini musuh kuat sudah kurang seorang, yang terpenting adalah tindakan apa yang akan diambil oleh Penggali Makam selanjutnya.
Sekujur badan Hiat-ie Nio-cu gemetar, bagaikan seekor binatang buas yang terluka.
Hui Kiam segera bertindak. Ia menghadapi si Iblis Gajah dan berkata kepadanya:
“Biarkan ia pergi!”
Iblis Gajah itu agaknya terperanjat. Katanya:
“Bocah, apakah artinya perbuatanmu ini?”
“Aku suruh kau melepaskanya!”
“Hutangmu sendiri dengan persekutuan kami, apakah….”
“Apakah kaupun ingin menagih?”
“Benar!”
“Nampaknya hutang ini kau tidak akan dapat menagihnya. Aku bahkan sengaja hendak menambah hutangku lagi. Di kemudian hari, biar pemimpinmu sendiri yang datang menagih.”
“Bocah, kau sungguh sombong!”
Sehabis berkata demikian, tiba-tiba tangannya bergerak menyerang ke arah Hiat-ie Nio-cu. Dalam keadaan parah demikian, sudah tentu Hiat-ie Niocu tidak dapat menghindarkan serangan itu.
Iblis Gajah itu sesungguhnya kejam, tetapi juga rendah perbuatannya. Ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk membereskan Hiat-ie Nio-cu.
“Kau cari mampus!” demikian bentak Hui Kiam. Secepat kilat melancarkan serangannya dengan menggunakan jari tangan yang ditujukan di kedua mata Iblis Gajah.
Hembusan angin yang keluar dari jari tangan itu bagaikan anak panah yang meluncur dengan hebatnya.
Iblis Gajah itu terpaksa harus melindungi dirinya lebih dulu. Dengan cepat menarik kembali serangannya dan menggeser kakinya satu langkah.
Walaupun terhindar dari serangan Hui Kiam, tetapi seorang Utusan Bulan Emas yang berdiri di belakangnya, telah jatuh roboh karena dadanya tertembus oleh serangan Hui Kiam tadi.
Hui Kiam maju setindak lagi mendekati si Iblis Gajah.
Iblis Gajah merasa ngeri oleh sikap Hui Kiam yang galak itu. Dengan tanpa sadar ia mundur satu langkah.
Hiat-ie Nio-cu hendak meninggalkan tempat itu lagi....
Dua dari antara Utusan Bulan Emas telah bergerak dengan pedang mereka menyerang Hiat-ie Nio-cu.
Terdengar dua kali jeritan ngeri yang menggetarkan hati semua orang yang ada di situ.
Tanpa menoleh sedikitpun juga, Hui Kiam berdiri sambil mengacungkan ujung pedangnya ke bawah, seolah-olah belum pernah digunakan tetapi ujung pedang masih berlumuran darah.
Dua orang Utusan Bulan Emas yang menyerang Hiat-ie Nio-cu tadi sudah menggeletak di tanah dalam keadaan tak bernyawa.
Ilmu pedang semacam itu, kecuali hanya satu dua orang saja di antara mereka, jangankan pernah dilihatnya, sedangkan mendengar pun belum pernah.
Apa yang telah terjadi sudah jelas menunjukkan bahwa pemuda Penggali Makam itu dengan Persekutuan Bulan Emas, sudah berhadapan dengan musuh. Para padri Siao-liem-sie diam-diam merasa lega dan mengucapkan syukur kepada Budha, sedangkan di pihak orang-orang Persekutuan Bulan Emas timbullah kegemparan hebat.
Hiat-ie Nio-cu yaog dikejutkan oleh kejadian itu, sejenak agaknya ia merasa tertegun, tetapi kemudian ia berkata dengan suara keras:
“Penggali Makam, aku tidak sudi menerima budimu ini!”
Mata Hui Kiam masih tidak bergeser dari badan Iblis Gajah. Dengan tanpa menoleh ia menjawab:
“Aku tidak ingin kau menerima budiku! Di kemudian hari apabila berjumpa lagi, mungkin aku akan membunuhmu!”
“Mengapa tidak sekarang?”
“Karena aku memandang muka Penghuni Loteng Merah yang sudah meninggal, kali ini aku bebaskan kau!”
“Mengapa?”
“Tentang ini kau tidak perlu bertanya lagi!”
“Kau telah mengutungi lengan tanganku, dendam sakit ini aku pasti akan menuntut balas!”
“Setiap waktu aku menantikan kedatanganmu!”
“Sampai ketemu lagi!”
Kali ini ketika Hiat-ie Nio-cu berlalu sudah tiada orang yang berani merintangi lagi. Sementara itu pendopo Wie-tho-tian masih tetap terkurung rapat oleh orang-orang Persekutuan Bulan Emas tetapi tidak ada yang bertindak. Mereka hanya mengawasi berlalunya Hiat-ie Nio-cu dengan tanpa bisa berbuat apa-apa. Sudah tentu walaupun Hiat-ie Nio-cu sudah terlalu parah, tetapi cukup tenaga untuk menghadapi orang-orang Persekutuan Bulan Emas dari golongan kelas dua atau tiga.
Hantu wanita itu sudah berlalu, tetapi suasana masih tetap tegang, masih tetap diliputi oleh rasa kekhawatiran.
Biji mata Iblis Gajah berputaran beberapa kali, kemudian dengan tiba-tiba berkata:
“Penggali Makam, senjatamu itu bukankah pedang sakti dari Makam Pedang itu?”
“Benar, ini adalah pedang sakti Thian Gee Im-kiam!” jawab Hui Kiam dingin.
Begitu mendengar disebutnya pedang sakti itu, mata semua orang terbelalak. Jikalau bukan si Iblis Gajah yang menanyakan itu, siapapun tak dapat menduga bahwa pedang yang nampaknya tidak menarik itu adalah pedang sakti dari Makam Pedang yang menggemparkan itu.
Saat itu timbullah perasaan tamak dalam hati Iblis Gajah yang ingin mendapatkan pedang sakti itu.
Hanya iblis tua itu saja yang berani berpikir demikian.
Hui Kiam dalam hati sudah bertekad hendak menyingkirkan iblis itu. Dalam pertempuran antara golongan benar dan sesat, membunuh satu lawan berarti mengurangi satu tenaga kejahatan. Selain daripada itu, perbuatan iblis tua itu yang ditunjukkan pada hari ini, sekalipun mati juga masih belum cukup untuk menebus dosanya.
Di pihak Siao-liem-pay, setiap orang menantikan perubahan yang akan terjadi. Hakekatnya di antaranya semua murid-murid Siao-lim-pay, sesungguhnya juga sulit didapatkan seorangpun yang sanggup melawan kekuatan Utusan Persekutuan Bulan Emas, jangankan untuk menghadapi Iblis Gajah. Maka pada saat itu mereka juga tidak menunjukkan sikap apa-apa,
Tetapi diam-diam mereka sudah menaruh harapan kepada diri Hui Kiam, supaya dapat mnghindarkan bencana yang mengancam Siao-liem-sie.
Dengan nada suara yang masam dingin Hui Kiam berkata:
“Iblis Gajah, kalian Delapan Iblis setelah terkena senjata jarum melekat tulang Jin Ong, ternyata masih hidup dan masih berani melakukan kejahatan, ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian ajaib di luar dugaan semua orang.”
Ucapan itu telah menimbulkan kebencian si Iblis Gajah. Wajahnya yang sudah bengis, berubah semakin menakutkan. Jawabnya dengan suara gusar:
“Kali ini aku dan saudara-saudaraku turun gunung lagi, maksudku adalah hendak menagih hutang ini!”
“Nampaknya maksudmu itu tidak akan tercapai!”
“Bocah, apa artinya perkatanmu ini?”
“Sebab kematianmu hari ini sudah pasti.”
Wajah Iblis Gajah tiba-tiba berubah. Ia membentak dengan suara bengis:
“Setan cilik, hari ini aku akan telan kau hidup-hidup.”
“Tidak usah banyak bicara. Hunuslah pedangmu, jagalah dirimu baik-baik.”
Sejenak Iblis Gajah merasa ragu-ragu, tetapi akhirnya ia hunus juga pedangnya.
Dengan mata melotot Hui Kiam berkata:
“Iblis tua, jikalau dalam tiga jurus kau tidak mati, hari ini kau terhitung satu-satunya orang yang sanggup melalui rintangan dari pedang ini.”
Iblis Gajah mengayunkan pedangnya, tetapi kemudian menurunkan kembali lalu berkata:
“Tunggu dulu, aku ingin menanyaimu….”
“Kalau kau ada pesan apa-apa, tidak halangan sekarang kau terangkan.”
“Tadi kau telah menyebutkan tentang dirinya Jien Ong si anjing tua itu.”
“Benar, tapi kau berkata agak sedikit sopan.”
“Di mana sekarang ia berada?”
“Pertanyaanmu ini tidak ada gunanya. Sekalipun kau tahu di mana Jien Ong berada, juga percuma.”
“Mengapa?”
“Kau tidak akan bisa hidup lagi, apalagi berlalu dari sini!”
“Hem!”
“Iblis Gajah, jikalau dalam tiga jurus kau tidak mati, aku nanti akan memberitahukan di mana adanya Jin Ong.”
“Benarkah?”
“Aku tidak akan berdusta terhadapmu.”
“Bocah, jikalau aku kesalahan tangan, bukankah itu berarti aku akan kehilangan seorang yang dapat menunjukkan jalan bagiku untuk mencari Jin Ong?”
“Percayalah, hal itu takkan terjadi!”
Ini telah menjadi suatu kenyataan. Apabila Iblis Gajah tidak membereskan Hui Kiam lebih dulu, sudah tentu tidak dapat melanjutkan tindakan terhadap Siao-lim-pay, untuk menunaikan tugasnya. Ditambah lagi permusuhan yang sudah ada antara Hui Kiam dengan Persekutuan Bulan Emas dan pedang sakti yang ada di tangan anak muda itu membuat Iblis Gajah tak mempunyai pilihan lain. Selain dari pada itu Hui Kiam menantang terang-terangan. Dengan derajat dan kedudukannya iblis itu tidak mungkin tidak akan menyambut tantangan itu.
Tetapi iblis tua yang namanya sudah terkenal sejak enam puluh tahun berselang, terhadap pemuda yang baru berusia dua puluhan tahun itu, masih belum yakin untuk merebut kemenangan.
Apa yang telah terjadi atas diri Hiat-ie Niocu, membuat hatinya merasa bimbang.
Akan tetapi anak panah yang sudah siap dibusurnya toh tak boleh tidak harus dilepaskan. Iblis Gajah segera mengerahkan kekuatan tenaganya. Ia lalu melancarkan serangannya sambil membentak:
“Serahkan jiwamu!”
Hui Kiam sudah tentu juga tak berani berlaku gegabah. Ia juga menggunakan sepenuh tenaga untuk menyambut serangan itu.
Pedang itu ternyata belum sampai beradu satu sama lain, hanya hawanya saja yang baru saling bentur, tetapi toh sudah menimbulkan suara hebat. Hembusan angin yang timbul ternyata begitu hebat pengaruhnya, sehingga orang-orang yang berada di tempat sekitar tiga tombak, terpaksa harus mundur.
Jurus pertama berkesudahannya seri.
Semua orang yang berada di situ, telah dikejutkan oleh kejadian yang luar biasa itu sehingga semuanya mengawasinya dengan mata dan mulut terbuka lebar.
Hui Kiam mengeluarkan suara bentakan keras:
“Sambutlah jurus kedua ini!”
Jurus kedua dari ilmu pedang Thian Gee Kiam-hoat, dilancarkan dengan menggunakan kekuatan tenaga seratus persen penuh.
Semua orang dari Persekutuan Bulan Emas hatinya merasa kecut menyaksikan gerak tipu serangan yang luar biasa itu,
Iblis Gajah juga merasa ngeri, tetapi ia terpaksa menyambut serangan itu dengan sepenuh tenaga.
Tatkala kedua senjata saling beradu timbullah suara amat ngeri. Pedang di tangan Iblis Gajah patah menjadi beberapa potong, jatuh berhamburan di tanah. Di tangannya hanya tinggal gagang pedangnya saja. Tubuhnya yang tinggi besar lemah dan gemetar. Wajahnya yang bengis berubah menjadi pucat pasi menakutkan.
Semua orang menyaksikan hampir tidak bisa bernapas.
Sebentar kemudian Iblis Gajah menyemburkan darah segar dari mulutnya. Sepotong gagang pedang yang tergenggam di tangannya jatuh di tanah.
Ujung pedang Hui Kiam perlahan-lahan diarahkan ke ulu hati lawannya….
Iblis Gajah bagaikan patung, sedikitpun tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Ia berdiri diam tidak bergerak.
Terang bahwa iblis itu telah terluka parah dalam tubuhnya oleh serangan pedang sakti tanpa tandingan itu, sehingga sudah tak mempunyai tenaga perlawanan lagi.
Pada saat yang kritis demikian, tiga orang Utusan Bulan Emas telah melancarkan serangan dari sudut yang berlainan dengan maksud untuk menolong jiwa Iblis Gajah.
Hui Kiam dengan cepat membalikkan badannya sambil menggerakkan pedang di tangannya. Gerakaan yang nampaknya sangat sederhana itu sebctulnya justru merupakan tipu yang paling dahsyat dari ilmu pedang Thian Gee Kiam-hoat.
Hampir bersamaan dengan gerakannya itu, terdengar pula suara jeritan ngeri. Seorang utusan yang melancarkan serangannya tadi telah tertikam dadanya oleh ujung pedang Hui Kiam lalu jatuh roboh dan binasa seketika itu juga. Dua yang lain yang bergerak belakangan terluput dari bahaya, mereka hanya terpental mundur oleh hawa pedang itu.
Iblis Gajah yang merupakan salah seorang kuat yang pernah mendapat nama dalam kalangan Kang-ouw, biar bagaimana bukan oleh orang sembarangan. Hanya dalam waktu sekejap itu saja, sudah cukup untuk digunakan mengambil tindakan. Dengan menggunakan kedua tangannya ia melancarkan satu serangan hebat. Serangan itu merupakan serangan yang terakhir untuk menolong jiwanya, maka ia telah menggunakan seluruh sisa kekuatan tenaganya. Sudah tentu serangan demikian itu lebih hebat dari serangan biasa.
Hui Kiam menyambut serangan itu dengan pedangnya, sehingga buyar ke empat penjuru. Tetapi hidungnya dapat mencium bau aneh. Seketika itu kepalanya pusing, badannya tergoncang.
Sepintas lalu dalam otaknya teringat akan serangan beracun, maka seketika itu hatinya berdebar. Tentang racun itu seharusnya waspada, tetapi ternyata ia sudah melalaikan itu. Untung Iblis Gajah itu tidak menggunakan racun dari dedaunan. Jikalau tidak, entah bagaimana akibatnya.
la buru-buru menggunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk menutup jalan darahnya guna mencegah menjalarnya racun.
Iblis Gajah sambil memperdengarkan suara yang aneh berkata:
“Bocah, kau sudah terkena racunku yang merupakan kabut beracun. Dalam waktu singkat nyawamu akan melayang. Sekalipun kau menggunakan kekuatan tenaga dalam menutup jalan darahmu, paling-paling juga hanya bisa hidup setengah jam lagi.”
Hati Hui Kiam tergoncang hebat. Terhadap racun, ia sedikitpun tiada daya.
Iblis Gajah itu berkata pula:
“Sebelum putus napasmu, kau beritahukanlah tempat kediaman Jien Ong.”
Perubahan yang terjadi secara tidak terduga-duga itu, membuat kawanan padri Siao-liem-pay saling berpandangan dengan perasaan heran. Oleh karena kematian empat orang dari enam Utusan Bulan Emas sedangkan Iblis Gajah juga terluka parah, maka orang-orang Bulan Emas yang mengurung pendopo kuil itu paling-paling hanya orang-orang golongan kelas dua atau kelas tiga saja. Ini berarti tekanan tenaga yang mengancam Siao-liem-sie sudah banyak berkurang. Apabila Bu-siang Siansu mengambil keputusan melawan mati-matian, nasib Siao-liem-pay mungkin masih dapat tertolong....
Bu-sian Sian-su yang menyaksikan kejadian demikian, benar saja ia segera mengambil keputusan dengan cepat. Ia mengeluarkan perintah kepada semua untuk muridnya supaya siap untuk mengadakan perlawanan.
Sementara itu Iblis Gajah masih tetap mengawasi Hui Kiam. Dengan suara yang bengis ia berkata lagi:
“Penggali Makam, kau dengar perkataan atau tidak?”
Hui Kiam hanya dapat memandang musuhnya dengan mata beringas.
Iblis Gajah terus mendesak:
“Kau boleh coba jalankan pernapasanmu, lihat kekuatanmu masih ada berapa? Aku peringatkan padamu, jikalau kau sembarangan menggunakan kekuatan tenaga dalammu, ini berarti mempercepat kematianmu!”
Hui Kiam diam-diam mengatur pernapasannya. Ia merasa bahwa kekuatannya tidak kurang suatu apapun juga hanya karena beberapa bagian jalan darahnya tertutup untuk menahan masuknya racun, tiba-tiba ia teringat bahwa ilmu pelajaran yang dipelajarinya berbeda dengan pelajaran biasa meskipun terkena racun yang bagaimanapun tak akan mati dalam waktu setengah jam, apalagi dengan keadaan badan sendiri sekarang ini, rasanya masih cukup untuk membinasakan musuhnya.
Oleh karena itu, pedang di tangannya menunjukkan sikap untuk melancarkan serangan. Ia berkata dengan suara gemetar:
“Iblis tua, racunmu tak akan bisa berbuat apa-apa terhadap diriku. Kau jangan merasa bangga. Jurus ketiga masih ada, apa kau tahu benar bahwa kau masih bisa hidup?”
“Bocah, kau boleh coba turun tangan!”
“Sambutlah serangan terakhir ini!”
Ucapan itu segera disusul dengan serangan pedangnya dengan kecepatan bagaikan kilat.
Iblis Gajah memperdengarkan suara tertawa aneh, dengan cepat segera melompat mundur.
Akan tetapi, ia ternyata sudah salah menghitung kekuatan tenaga Hui Kiam. Ia juga terlalu percaya pada keampuhan senjata
racunnya. Itulah sebabnya ia menganggap bahwa serangan terakhir Hui Kiam itu tentunya tak berarti apa-apa ....
Hui Kiam yang nampaknya seperti orang terluka memang semua tak menduga akan dapat melakukan serangan hebat itu.
Semua orang yang ada di situ pada menahan napas menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Bu-siang Sian-su mengibaskan lengan jubahnya. Ia berkata dengan suara keras kepada anak muridnya:
“Bertindak!”
Begitu mendengar perintah itu, tiga orang anggota sesepuh yang masih belum luka segera menerjang kepala Iblis Gajah, sedangkan semua kepala bagian masing-masing memberi komando untuk menyerbu kepada orang-orang Persekutuan Bulan Emas.
Pertempuran mati-matian telah terulang.
Tepat pada saat itu tubuh Iblis Gajah yang tinggi besar nampak roboh di tanah. Batok kepalanya yang lebih besar daripada manusia biasa menggelinding jauh, sedang darah menyembur keluar dari lehernya.
Salah satu dari barisan Delapan Iblis negara Thian-tik yang sekian tahun lamanya namanya sangat terkenal, dengan demikian tamatlah riwayatnya. Ia merupakan orang kedua yang mati di ujung senjata pedang sakti Thian Gee sin Kiam sesudahnya Iblis Singa.
Kiranya serangan Hui Kiam tadi sudah menebas putus kepala Iblis Gajah. Kalau sedemikian lama masih belum jatuh, ini satu bukti betapa tajamnya pedang sakti itu dan betapa tingginya ilmu pedang Hui Kiam.
Setelah tubuh Iblis Gajah itu roboh, semua orang baru mengeluarkan suara terkejut dengan keheran-heranan.
Tetapi pada saat itu mata Hui Kiam dirasa sudah berkunang-kunang, tenaganya mulai lenyap. Racun yang berada dalam dirinya agaknya sudah dicegah menjalarnya.
Sekalipun pemimpinnya sudah binasa, tetapi orang-orang berbaju hitam itu semua merupakan tenaga pilihan dalam Persekutuan Bulan Emas, dalam pertempuran itu masih mengunjukkan keganasannya.
Hui Kiam mencoba berusaha untuk mempertahankan dirinya. Ia dapat melihat dua orang Utusan Bulan Emas yang melawan tiga orang anggota sesepuh Siao-liem-sie, ternyata masih menunjukkan keunggulannya. Jikalau mereka dibiarkan saja, walaupun Siao-liem-sie tidak sampai hancur tetapi juga akan mengalami kerugian besar.
Hui Kiam dengan sisa tenaganya yang masih ada, lompat melesat menerjang kedua utusan itu. Dengan tidak banyak bicara ia menggerakkan pedangnya, dalam waktu sekejap saja dua utusan itu sudah binasa di ujung pedangnya.
Dengan kematian dua utusan yang termasuk orang kuat, besar sekali pengaruhnya bagi orang-orang Persekutuan Bulan Emas lainnya. Mereka sudah mulai terdesak, satu persatu dibinasakan oleh kawanan padri kuil Siao-liem-sie. Yang masih hidup, segera lari tunggang-langgang untuk menyelamatkan jiwanya sendiri.
Kawanan padri Siao-liem-sie juga tidak mengejar. Mereka membiarkan musuhnya kabur.
Hui Kiam yang sudah terkena racun, karena dua kali menggunakan kekuatan tenaganya, racun menjalar semakin cepat, sehingga badannya sempoyongan, keringat dingin mengalir keluar.
Karena ia merupakan satu-satunya orang yang menjadi pusat perhatian orang yang ada di situ, keadaan itu sudah tentu tidak dapat mengelabui mata orang.
Tiga anggota sesepuh segera menghampirinya. Satu di antaranya lalu berkata dengan suara cemas:
“Siao-sicu, kau telah terluka.”
Hui Kiam coba mempertahankan diri. Ia menjawab dengan suara gemetar:
“Aku....terkena racun!”
“Racun!” demikian tiga anggota sesepuh itu serentak berseru.
Bu-siang Sian-su memerintahkan anak muridnya untuk mengubur orang-orang yang terbinasa dan mengobati anak muridnya yang terluka. Setelah selesai memberikan perintahnya, baru menghampiri Hui Kiam, kemudian berkata sambil merangkapkan dua tangannya:
“Siao-sicu dengan seorang diri telah menolong nasib kuil dan partay kami dari bahaya kehancuran, maka dengan ini kami atas nama semua murid Siao-liem-pay untuk mengucapkan terima kasih banyak-banyak.”
Hui Kiam balas menghormat seraya berkata:
“Siansu jangan berkata begitu.”
Partay Siao-lim-pay selama itu merupakan suatu partay besar dan sebagai pemimpin semua partay golongan benar dalam rimba persilatan daerah Tionggoan. Meskipun dewasa itu kekuatannya agak mundur, tetapi dengan kedudukan pemimpin suatu partai besar, maka ucapan Bu-siang Sian-su tadi bagi Hui Kiam sebetulnya merupakan suatu penghormatan besar!
Bu-siang Sian-su tiba-tiba dapat melihat keadaan Hui Kiam yang tidak sewajarnya.
“Siao sicu, kau….”
“Boanpwe terkena racun berbisa Iblis Gajah tadi!”
“Racun! Racun apa?”
“Racun berupa kabut yang sangat berbisa!”
“Ah!”
Bu-siang Sian-su terkejut. Agaknya ia kenal baik dengan racun itu, maka ia segera memerintahkan kepada tiga anggota sesepuh, supaya Hui Kiam dibawa ke dalam kamar.
Hui Kiam menolak. Ia berkata:
“Tidak usah, boanpwe ingin... minta diri!”
“Tidak! Racun berkabut ini, kami dahulu pernah dengar. Kata suhu.....”
Berkata sampai di situ, ia tidak melanjutkan lagi.
Hui Kiam lalu berkata:
“Siapa terkena racun itu sudah tiada obatnya. Dalam waktu setengah jam pasti akan binasa!”
Tiga anggota sesepuh itu terperanjat, wajah mereka berubah. Bu-siang Sian-su setelah memuji nama Budha lalu berkata dengan suara berat:
“Karena menolong kuil kami dari bencana kehancuran sehingga Siao sicu terkena racun ini, maka biar bagaimana kami pasti hendak berusaha untuk menyembuhkan racun ini!”
“Tahukah Ciangbunjin dengan obat apa dapat memunahkan racun ini?”
“Tentang ini.....”
Hui Kiam sudah tentu tahu bahwa tindakan Bu-siang Sian-su itu hanya karena hendak membalas budi, sebetulnya juga tidak yakin benar dapat menghindarkan dirinya dari kematian. Maka kalau toch memang benar mesti mati, perlu apa harus mengotori tempat suci itu? Bukankah lebih baik selagi masih bisa jalan, pergi saja ke tempat sepi untuk menantikan ajalnya dengan tenang?
Karena berpikir demikian maka ia berkata sambil tertawa getir:
“Kuil ini baru saja mengalami pertempuran hebat, perlu diadakan pembersihan, maka boanpwee ingin berusaha sendiri....”
“Apakah siao-sicu yakin dapat menyembuhkan lukamu?”
“Terserah kepada nasib.”
“Tetapi....”
“Ciangbunjin masih ada petunjuk apa?”
Bu-siang Siansu nampak ragu-ragu, tapi akhirnya ia mentabahkan hatinya dan berkata dengan suara sedih:
“Siao-sicu barangkali tidak bisa turun dari gunung ini!”
Hui Kiam matanya dirasakan gelap, badannya sempoyongan hingga hampir tak dapat berdiri tetapi ia sudah mengambil keputusan tidak ingin menyusahkan kawanan padri itu maka ia menjawab dengan mantap.
“Budi kebaikan siansu, boanpwee terima kasih banyak-banyak. Tetapi boanpwee sudah mempunyai rencana sendiri.”
“Tetapi kami anggap itu tidak baik?”
Tiba-tiba Hui Kiam teringat akan maksud kedatangannya ke kuil itu. Meski tahu ajalnya telah dekat, tetapi ia masih ingin mendapat kesenangan. Ia menenangkan pikirannya dan berkata:
“Kedatangan boanpwee ini sebetulnya ingin menanyakan sesuatu....”
“Silahkan, kami pasti akan memberi keterangan apa yang kami tahu.”
“Itu adalah soalnya Pek-leng-lie Khong Yang Hong yang pada lima belas tahun berselang datang seorang diri ke kuil ini.”
“O! Lie-sicu pada waktu terjadinya itu, hari itu juga sudah kami bebaskan dari gunung ini!”
Hui Kiam merasa kecewa, tetapi perasaan itu hanya sepintas lain saja timbul dalam hatinya sebab kekecewaan itu sekarang sudah tidak penting lagi baginya. Ia sudah merupakan seorang yang sudah hampir mati. Semua dendam permusuhan dan budi kebaikan juga akan musnah bersama-sama jiwanya.
Maka ia lalu mengangkat tangan memberi hormat seraya berkata:
“Boanpwee mohon diri!”
Ia segera membalikkan badannya berjalan keluar. Tetapi berjalan belum sampai satu tombak ia sudah jatuh roboh di tanah.
“Ah!”
Bu-siang Sian-su dan tiga anggota sesepuh serta beberapa anak murid Siao-liem-pay memperdengarkan suara seruan terkejut.
Dua anggota sesepuh lari memburu. Dengan seorang sebelah ia membimbing Hui Kiam yang saat itu nampak sudah tak ingat lagi.
Wajah Bu-siang Sian-su berubah pucat pasi. Mulutnya berulang-ulang menyebut nama Budha.
Hari itu apabila tidak kedatangan Hui Kiam, kuil Siao-liem-sie pasti tidak luput dari nasib kehancurannya. Mungkin partay besar yang pernah terkenal namanya itu, selanjutnya akan lenyap dari dunia rimba persilatan. Kecuali Hui Kiam, barangkali tak mendapatkan lagi orang lain yang mempunyai kekuatan tenaga untuk menghindarkan bencana tersebut. Jikalau Hui Kiam mati oleh karenanya, boleh ia telah berkorban bagi Siao-liem-sie. Maka Busiang Sian-su yang saat itu menjabat sebagai pemimpinnya, kita dapat membayangkan bagaimana perasaannya pada saat itu.
“Lekas bawa ia ke dalam kamar!” demikian ia perintahkan kepada dua anggota sesepuh itu.
Tiba-tiba satu suara terdengar dari luar kuil:
“Tay-hweshio, apakah Siao-liem-sie turut bergabung untuknya?”
Seorang tua berambut putih dengan sebuah buli-buli di punggung kanan dan pundak kiri tergantung kantong besar, telah muncul dengan tiba-tiba di belakang orang tua itu diikuti oleh delapan orang berbaju hitam.
Bu-siang Sian-su dan tiga anggota sesepuh terkejut ketika melihat kedatangan orang tua itu. Seorang di antara tiga anggota sesepuh lalu berkata:
“Ciok siecu, apa maksud kedatanganmu ini?”
Orang tua itu memang benar adalah Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng yang kini menjabat ketua pelindung hukum Persekutuan Bulan Emas.
Semua anak murid yang sedang membersihkan lantai kuil itu, buru-buru meninggalkan kewajibannya dan maju mengurung.
Suasana kembali tegang.
Delapan orang berpakaian hitam yang mengikuti Manusia Gelandangan itu, setiap orang mengawasi kawanan padri Siao-liem-sie dengan mata beringas.
Dengan sinar mata yang tajam Manusia Gelandangan itu menatap wajah Bu-siang Sian-su kemudian berkata dengan suara keras:
“Ciangbunjin, serahkan dia padaku!”
“Tidak bisa!” jawab Bu-siang Sian-su tegas.
“Ia masih ada waktu setengah jam lagi untuk hidup!”
“Bagaimana dengan maksud Ciok-siecu?”
“Tak usah merepotkan kalian untuk rnengadakan upacara penguburan segala!”
“Kami kata tak bisa!”
“Apakah kau tak memikirkan apa akibatnya?”
Ucapan itu mengandung ancaman. Dengan tanpa dipikirkannya lagi Bu-siang Siansu segera menjawab:
“Betul!”
“Kalau begitu sudah pasti ia akan mati,” berkata Manusia Gelandangan sambil tertawa dingin.
“Maksud sicu apakah....”
“Kalau kau serahkan kepadaku aku jamin ia tidak akan mati.”
“Apakah aku harus menyerahkan dirinya kepada musuh?”
“Anggaplah begitu!”
“Bagaimana kalian hendak melakukannya?”
“Itu adalah urusan persekutuan kami. Tay-hweeshio tidak perlu tanya.”
“Kuulangi lagi jawabanku. Tidak bisa.”
“Apakah Tay-hweeshio menghendaki aku turun tangan?”
“Kami bersedia bertempur.”
“Hem, Siao-liem-sie berapapun banyaknya padri juga akan musnah....”
Dari berbagai penjuru terdengar suara pernyataan amarah dari kawanan padri. Pembunuhan akan terulang lagi.
Ingatan Hui Kiam masih belum hilang seluruhnya, ia masih mengenali Ciok Siao Ceng. Rasa bencinya sudah sangat mendalam, tetapi saat itu ia masih tidak dapat menyatakan kemarahannya sebab untuk membuka mulutpun sudah tidak mempunyai tenaga.
Manusia Gelandangan lalu memberi perintah kepada orang-orangnya untuk membawa pergi Hui Kiam.
Empat orang yang berpakaian hitam telah menerjang kepada dua anggota sesepuh yang membimbing Hui Kiam. Empat lagi masing-masing berdiri di tempat sendiri-sendiri sambil melintangkan pedangnya. Sedangkan Manusia Gelandangan tiba-tiba melancarkan serangan ke arah Bu-siang Sian-su.
Sisa anak murid Siao-liem-sie yang masih ada segera bergerak memberi perlawanan.
Dengan demikian pertempuran hebat berkobar lagi. Beberapa jurus kemudian, Bu-siang Sian-su tetdesak mundur, sedangkan empat orang berpakaian hitam yang turun tangan lebih duiu, saat itu sudah berhasil mendesak mundur dua anggota sesepuh dan menguasai diri Hui Kiam.
Manusia Gelandangan yang maksudnya telah tercapai, lalu memerintahkan orang-orangnya menghentikan pertempuran.
Orang-orang kedua pihak segera berhenti bertempur. Dalam pertempuran yang singkat itu kawanan padri Siao-liem-sie terluka sepuluh orang lebih, untung tiada yang binasa.
Manusia Gelandangan memasukkan tangannya ke dalam kantong besar itu. Dari dalam mengeluarkan sebuah benda bundar berwarna merah, ia berkata dengan suara bengis:
“Ini adalah bom Pek-lek-tan. Manusia tidak sanggup mempertahankan dirinya dari ledakan bom ini, maka ciangbunjin suruhlah mereka mundur.”
Dada Bu-siang Sian-su dirasakan hampir meledak, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa dengan hati mendongkol ia memerintahkan anak muridnya mundur sejauh satu tombak lebih tetapi masih tetap dengan kedudukannya yang mengurung, agaknya tidak sayang melakukan pertempuran lagi.
Manusia Gelandangan berkata pula:
“Ciangbunjin, pil obat Tay-hoan-tan kuil Siao-liem-sie dapat menyambung nyawanya dua jam lagi.”
“Apa artinya?”
“Harap ciangbunjin berikan dua butir kepadaku.”
“Apakah supaya kalian ada waktu untuk permainkan diriku?”
“Ini adalah satu jalan untuk menolong dirinya.”
“Siapa mau percaya ucapanmu ini?”
“Percaya atau tidak, terserah kepadamu sendiri.”
“Kami lebih suka melihatnya mati tetapi tak suka menyerahkan kepadanya ke tangan iblis.”
Manusia Gelandangan berkata sambil mengancam dengan senjata peledaknya:
“Benda permainan semacam ini semuanya ada lima buah. Untuk meratakan kuil Siao-liem-sie tak menjadi soal.”
“Kuil kami lebih baik hancur untuk membela kebenaran tetapi tidak akan menyerah dengan ancaman!”
“Ciangbunjin, kau nanti akan menyesal!”
“Tidak.”
“Sekalipun seluruh anak murid kuil Siao-liem-sie turut mengorbankan jiwa, juga tak dapat menolongnya. Ciangbunjin, kau pikirlah baik-baik.”
Bu-siang Sian-su berdiam dan berpikir sejenak. Agaknya ia telah tersadar, maka lalu berkata:
“Apakah Persekutuan Bulan Emas tidak mengijinkan ia mati?”
“Tadi aku toh sudah mengatakan.”
“Hendak menolong?”
“Tidak salah.”
“Apa maksudnya?”
“Ciangbunjin, sudah tidak ada waktu lagi!”
Bu-siang Sian-su lalu berpaling dan memerintahkan pengawalnya untuk mengambil dua butir pil Tay-hoan-tan.
Semua anak murid Siao-liem-sie, telah dikejutkan oleh keputusan pemimpinnya itu.
Tidak lama kemudian seorang padri telah memberikan pil itu kepada pemimpinnya. Bu-siang Sian-su lalu memasukkan pil itu ke dalam mulut Hui Kiam.
Manusia Gelandangan lalu memerintahkan orang-orangnya membawa pergi Hui Kiam.
Empat orang berpakaian hitam lalu membawanya pergi.
Manusia Gelandangan berkata kepada Bu-siang Sian-su dengan nada suara dingin:
“Persekutuan kami tidak akan membiarkan musuhnya hidup. Ciangbunjin, kau tunggu saja!”
Sehabis berkata demikian, ia membawa empat anak bualnnya berlalu meninggalkan kuil tersebut.
Bu-siang Sian-su termangu-mangu beberapa lama, kemudian berkata dengan suara nyaring:
“Perhatian semua anak murid. Setelah semua urusan selesai, kecuali anak murid yang telah kami tunjuk tinggal di dalam kuil, yang lainnya harus meninggalkan kuil ini. Soalnya yang lainnya,
nanti setelah kami berunding dengan para sesepuh, akan mengeluarkan petunjuk lagi.”
Semua anak murid Siao-liem-sie lalu bubaran untuk melakukan kewajiban masing-masing.
Ketua anggota sesepuh Ngo-ien-taysu dengan sikap yang sungguh-sungguh berkata kepada Bu-siang Sian-su:
“Ciangbunjin, siao-sicu itu berbudi besar terhadap kuil kita. Seharusnya kita tolong dirinya supaya terhindar dari bahaya, tetapi
mengapa ciangbunjin menyerahkannya kepada Manusia Gelandangan?!”
“Sebab kami mendapat firasat baik!”
“Tolong jelaskan firasat apakah itu!”
“Kalau ia berdiam di dalam kuil pasti binasa, tetapi kalau kuberikan kepada Manusia Gelandangan belum tentu akan binasa!”
“Sebabnya?”
“Seorang yang mempunyai bakat luar biasa seharusnya bukanlah orang sembarangan. Kami juga melihat dia bukanlah seorang yang pendek umurnya.”
“Tetapi dari kejadian dan perbuatan yang dilakukan Siok-sicu itu ada kemungkinan Persekutuan Bulan Emas akan menggunakan kekejaman lagi untuk menyiksa dirinya….”
“Apakah Tianglo tadi tidak dapat melihat tanda-tanda yang mencurigakan?”
“Tidak!”
“Pertama, Ciok siaocu dengan kedudukan yang tinggi begitu tiba lalu menyatakan maksudnya hendak minta orang. Ini sudah jelas bahwa tujuannya hanya terhadap pemuda itu saja. Tidak perduli dengan maksud apa ia menghendaki sie-cu itu, tetapi apabila Penggali Makam tidak sampai mati, niscaya masih ada kesempatan hidup baginya. Kedua, Iblis Gajah yang berkedudukan sebagai anggota pelindung hukum tertinggi, seharusnya dihormat oleh
orang-orang Persekutuan Bulan Emas. Tetapi, Ciok siaocu dan anak buahnya ketika berlalu dari sini, tidak membawa jenasahnya. Ini adalah suatu bukti bahwa Persekutuan Bulan Emas hanya menggunakan tenaga iblis itu saja, sedikitpun tak ada perasaan hormat atau menjunjung tinggi persahabatan.
Maka persekutuan itu belum tentu hendak menuntut balas bagi Iblis Gajah. Ketiga, ucapan Ciok siaocu selagi hendak meninggalkan kami mengatakan bahwa persekutuan itu tak akan melepaskan orang yang dipandang sebagai musuhnya. Ucapan itu kalau kita tinjau dari sudut buruk, ini merupakan ucapan yang mengandung ancaman. Tetapi kalau kita tinjau dari sudut baik, dia seolah-olah bermaksud memperingatkan kita supaya mengawasi diri. Inilah pandangan kami.”
“Apakah berdasarkan pemandangan itu maka ciangbunjin mengambil keputusan membubarkan anak murid kita untuk menghindarkan tindakan pembalasan kejam dari Persekutuan Bulan Emas?”
“Tepat!”
“Tetapi bagaimana apabila kenyataan nanti merupakan kebalikannya dari apa yang kita bayangkan?”
“Semoga jangan sampai begitu!”
“Apabila Penggali Makam mendapat siksaan hebat, ini berarti bahwa ia telah berkorban untuk Siao-liem-sie, bagaimana kita nanti mesti menghadapi orang-orang rimba persilatan? Dan di mana akan kita taruh muka kita?”
Wajah Bu-siang Sian-su segera berubah. Ia berkata:
“Tiauglo tak usah banyak bicara. Kami yakin bahwa Penggali Makam pasti tak akan mengalami kematian!”
“Semoga demikian!” berkata Ngo-in taysu sambil memuji nama Budha.
Mari kita kembali kepada Hui Kiam yang dibawa oleh Ciok Siao Ceng. Dalam keadaan gusar dan sakit hati, ingatannya yang sedikit masih ada akhirnya lenyap seluruhnya.
Ketika ia tersadar kembali, ia telah mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan yang empuk. Kepalanya masih dirasakan pusing, badannya lemas sehingga bergerak sedikit saja juga hampir tak bertenaga. Dengan berusaha sekuat tenaga ia menggeser badannya ke pinggir pembaringan. Sinar pelita membuat kabur matanya perlahan-lahan dapat melihat di hadapan sebuah meja dekat jendela tampak bayangan belakang seorang wanita berbadan langsing.
Siapakah bayangan itu?
Tempat apakah itu?
Hui Kiam berusaha menenangkan pikirannya. Akhirnya ia telah membuktikan bahwa itu bukan mainan atau khayalan. Perlahan-lahan dari bayangan belakang itu ia dapat menerka siapa dia adanya orang itu. Seketika itu hatinya dirasakan hampir melompat keluar, keringat dingin mengucur keluar.
Apa yang harus diperbuatnya kini?
Apakah maksud mereka membawanya kemari?
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?
Belum lama berselang, hampir tiap detik setiap menit ia memikirkan diri si ‘dia’. Tetapi sekarang sebaliknya ia ingin menyingkir. Andaikata ia mempunyai tenaga untuk bergerak, tanpa ragu-ragu lagi ia pasti akan meninggalkan tempat itu.
Ia pernah tergila-gila kepadanya. Tetapi sekarang kenyataan telah memaksanya mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dengannya. Sebab ‘dia’ adalah putrinya pemimpin Persekutuan Bulan Emas yang menjadi musuh utama rimba persilatan, dan celakanya, ‘dia’ juga turut ambil bagian melakukan perbuatan yang terkutuk dan disumpahi oleh semua orang rimba persilatan. Ini justru merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
Memutuskan perhubungan cinta kasih yang sudah sangat mendalam mudah sekali diucapkan juga enak sekali kedengarannya, tetapi penderitaan batin bagi orang yang bersangkutan takkan dapat dirasakan oleh orang luar. Manusia adalah makhluk yang berperasaan, sejak dahulu kala hingga sekarang, berapakah jumlahnya yang dapat memikirkan benar -benar dengan akal yang sebat-sebat?
Bayangan di depan matanya itu membalikkan badannya. Di bawah sinar pelita, wajahnya yang cantik agaknya lebih cantik. Kecantikannya menyilaukan mata, hanya di balik wajah yang cantik itu samar-samar diliputi perasaan dingin.
Hui Kiam setelah mengalami goncangan hebat dalam hatinya, akhirnya ia seperti orang yang tak berpikiran lagi. Orang berada keadaan demikian, akal budinya memang mudah dikaburkan.
Hui Kiam tidak merasa berhutang karena mendapatkan dirinya masih hidup. Ia tahu bahwa kalau sampai pada saat itu dirinya masih bisa mempertahankan jiwanya, itu semata-mata karena khasiat pil Tay-hoan-tan kuil Siao-liem-sie yang sangat mujijat, sedangkan racun dalam tubuhnya masih belum lenyap. Bagaimana akibatnya, masih susah diduga.
la memejamkan matanya, sedikitpun tidak berani bergerak. Karena teraling oleh kelambu, bayangan perempuan itu tidak dapat tahu bahwa ia sudah sadar.
Pada saat itu, seorang pelayan wanita diam-diam masuk ke dalam kamar, lalu berkata dengan suara perlahan-lahan:
“Ibu majikan, apakah ia belum sadar?”
Bayangan itu yang bukan lain daripada Tong-hong Hui Bun, menjawab dengan suara sedih:
“Aku tidak tahu bagaimana harus berbuat!”
“Apakah Beng-cu tahbu bahwa ia di tangan ibu majikan?”
“Mungkin tahu!”
“Maksud Beng-cu?”
“Tidak mengijinkan ia hidup lagi!”
“Ibu majikan seharusnya segera mengambil keputusan!”
“Tetapi... aku cinta kepadanya!”
“Maaf, budakmu berkata terus terang. Pikiran Beng-cu adalah betul.”
“Jadi harus membunuhnya?”
“Ibu majikan adalah seorang cerdik, tentunya dapat memikirkan akibat yang menakutkan di kemudian hari.”
“Tetapi aku tidak bisa turun tangan.”
“Ia mungkin tidak akan sadar lagi untuk selama-lamanya. Tidak perlu ibu majikan turun tangan!”
“Tetapi....”
“Harap ibu majikan pikir masak-masak, sebentar Beng-cu datang.”
“Kau keluarlah!”
Pelayan perempuan itu melirik ke atas pembaringan sejenak lalu mengundurkan diri dan menutup pintu kamar.
Tong-hong Hui Bun berdiri termangu-mangu mengawasi Hui Kiam yang dianggapnya belum sadar. Mukanya menunjukkan perubahan berulang-ulang. Mungkin ia sedang memikirkan suatu keputusan menolong atau membinasakannya.
Hui Kiam melirik. Semua gerak-gerik Tong-hong Hui Bun telah dilihatnya, tetapi semua itu sudah tidak membangkitkan reaksi pada dirinya. Ucapan pelayan perempuan tadi memang betul, tidak perlu orang lain turun tangan, apabila batas waktu telah tiba, ia juga akan binasa.
Dari sela-sela kelopak mata Tong-hong Hui Bun nampak mengembang butiran air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya.
Hui Kiam yang menyaksikan pemandangan yang menyedihkan itu, tergeraklah hatinya.
Apa yang ia sedang pikirkan? Mengapa ia menangis?
Tong-hong Hui Bun menggeser kakinya menghampiri pembaringan. Ia membuka kelambu. Dengan mata sayu memandang Hui Kiam sejenak, kemudian berkata dengan suara sedih:
“Adik, mengapa aku jatuh cinta terhadapmu? Mengapa pula kau berkedudukan demikian? Salah, sejak permulaan sudah salah, tetapi aku tidak mempunyai keberanian untuk membenarkan kesalahan ini....”
Ia menundukkan kepala dengan perlahan mencium pipi Hui Kiam. Ciuman itu hampir meruntuhkan pikiran dan semangat Hui Kiam.
“Adik, bencilah aku! Supaya kau tidak terlalu menderita, aku terpaksa membantu kau mengakhiri hidupnya!”
Darah sekujur badan Hui Kiam dirasakan semakin cepat mengalir. Dalam hatinya timbul perasaan seperti terkoyak-koyak. Wanita yang pernah menjadi kekasihnya, sekarang hendak turun tangan mengakhiri hidupnya sendiri, betapakah kejam nasib itu?
Apakah ia harus melawan? Tidak mempunyai tenaga! Ya! Matilah! Biar dengan cara demikian mengakhiri hidupnya.
Mati terbunuh oleh orang yang dicintai, atau mati karena racun, meskipun ada bedanya, tetapi akhirnya toh sama saja.
Ia tidak bergerak menantikan ajalnya.
Tong Hong Hui Bun mengangkat tangannya. Jari manisnya ditujukan kepada pelipis kiri Hui Kiam. Hanya satu totokan ringan saja sudah cukup untuk mengakhiri jiwa Hui Kiam dan semua persoalan dengan sendirinya akan menjadi beres.
Jari perempuan cantik itu gemetar hebat, lama tidak dapat melanjutkan gerakannya….
Parasnya berubab pucat pasi, pikirannya bergerak-gerak, sinar matanya yang menggiurkan berubah demikian guram. Dalam waktu sekejap itu, seolah-olah ia sudah berubah menjadi lain rupa.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang amat perlahan, kemudian terdengar suara pelayan wanita itu:
“Ibu majikan, Beng-cu datang berkunjung.”
Paras Tong-hong Hui Bun berubah pucat. Sambil menggigit bibir, jari tangannya meluncur ke arah Hui Kiam. Sesaat ketika ujung jari hendak menyentuh jalan darah di pelipis kiri Hui Kiam, tiba-tiba ia menariknya kembali. Dengan suara perlahan yang hampir tidak kedengaran ia berkata:
“Adik, aku tak sanggup bertindak, tetapi mungkin juga tidak dapat menolongmu. Aku sekarang berikan kepadamu sebutir obat pemunah racun sebagai tanda cintaku. Hidup atau mati, tergantung kepada nasibmu sendiri!”
Dengan cepat dari dalam sakunya dikeluarkannya sebutir pil, dimasukkan ke mulut Hui Kiam, kemudian meninggalkannya.
Seorang tinggi besar yang berkerudung di mukanya, telah muncul di dalam kamarnya.
“Ayah!” demikian Tong-hong Hui Bun berkata menyambut orang itu.
“Anak, keberanianmu terlalu besar!”
“Ayah, kau.....”
“Aku bertanya kepadamu, dari tangan Ciok Siao Ceng kau menahan bibit bahaya ini, apakah maksudmu?”
Tong-hong Hui Bun menundukkan kepala menjawab dengan suara gemetar.
“Anakmu tidak sanggup mengendalikan perasaan sendiri!”
“Kau seorang anak yang durhaka. Dengan perbuatan ini berarti kau sengaja hendak menghancurkan usaha yang dibangun oleh ayah sendiri!”
“Anakmu tidak berani!”
“Dan lagi, apabila rahasia kita terbuka, dengan kepandaian dan kekuatannya pada dewasa ini, tahukah kau apa akibatnya?”
Dengan tak dirasa sekujur badan Tong-hong Hui Bun gemetaran. Ia mundur satu tindak.
Sang ayah itu berkata pula:
“Tahukah kau sampai di mana gilanya perbuatanmu ini? Tahukah kau bahwa kau sedang bermain dengan api?”
“Ayah!”
“Minggir!”
“Kau?”
“Dia tidak boleh tidak harus mati.”
“Anakmu ingin memajukan satu permintaan!”
“Permintaan apa?”
“'Biarlah anakmu sendiri… yang turun tangan mengakhiri hidupnya!”
Hui Kiam seolah-olah dicemplungkan ke dalam kuali minyak mendidih. Hatinya hancur lebur.
Dengan suara keras sang ayah berkata:
“Kau jangan coba main gila…!”
Sehabis berkata demikian, ia mendorong Tong-hong Hui Bun kemudian berjalan menghampiri pembaringan,
Tong-hong Hui Bun yang menyaksikan itu, lalu memanggil ayahnya dengan suara sedih:
“Ayah, benarkah kau hendak membunuhnya?!”
“Apakah aku perlu main-main?”
“Lebih baik kau bunuh anakmu lebih dulu!”
“Benarkah kau sehingga mati belum mau insaf?”
“Ia sudah terkena racun Iblis Gajah, sehingga sudah merupakan seorang yang sudah mendekati kematiannya….”
“Tetapi ayahmu hendak turun tangan sendiri untuk menghabiskan jiwanya!”
Hui Kiam yang rebah terlentang di pembaringan hanya pura-pura pingsan. Semua pembicaraan antara ayah dan anak itu didengarnya jelas sekali. Cinta kasih Tong-hong Hui Bun yang begitu besar terhadap dirinya merupakan suatu penderitaan batin yang sangat hebat, sebab kenyataan telah menunjukkan bahwa percintaan itu biar bagaimana harus diputuskan.
Tetapi manusia tetap manusia. Bagaimana dapat menghilangkan perasaannya? Betapapun juga tindakan itu merupakan suatu tindakan yang tidak mudah dilakukan oleh siapapun juga.
Sementara itu obat pemunah racun yang diberikan oleh Tong-hong Hui Bun dengan tergesa ternyata sudah menunjukkan kedahsyatannya. Perasaan lemas di badannya dengan cepat telah lenyap, kekuatan tenaga dalamnya sudah mulai normal lagi. Selain disebabkan karena latihannya yang sempurna, juga karena berkat khasiatnya dua pil Tay-hoan-tan yang dipandang sebagai barang pusaka kuil Siao-lim-sie.
Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan racun dari dalam badannya dan memulihkan kembali kekuatan tenaganya.
Apabila pada saat itu pemimpin Persekutuan Bulan Emas benar-benar turun tangan, masih belum mempunyai kekuatan tenaga untuk melawan sebab kekuatan pemimpin itu masih terlalu tinggi baginya. Dalam keadaan yang sudah pasti mati, ia telah mendapat sedikit kesempatan untuk hidup, sudah tentu ia tidak akan melepaskannya begitu saja.
Di satu pihak ia berusaha mengeluarkan seluruh kekuatan, di lain pihak ia mengharapkan Tong-hong Hui Bun menghalangi ayahnya untuk bertindak.
Jaraknya antara mati dan hidup pada saat itu dirasakan pendek sekali harapannya.
Dalam keadaan putus asa Hui Kiam belum pernah merasa takut menghadapi kematian. Tetapi di mana masih mendapat sedikit kesempatan hidup, ia bcrusaha sekuat tenaga untuk mengejarnya kesempatan itu.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas sudah mengangkat tangannya. Ia mengayunkan ke arah pembaringan, tetapi kemudian tiba-tiba ditarik kembali dan berkata kepadanya:
“Budak, aku melupakan suatu urusan besar….”
Tong-hong Hui Bun yang menyaksikan orang yang dicintainya itu segera akan binasa di tangan ayahnya sendiri, hatinya hancur luluh. Ketika mendengar perkataan ayahnya, segera bertanya dengan perasaan bingung.
---ooo0dw0ooo---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar