Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 21 Oktober 2010

Hina Kelana - Chin Yung - Bagian 101-119

sambungan

Bab 101. Lenghou Tiong Mengetuai Kaum Nikoh

Setelah membedakan arah, Lenghou Tiong terus menuju ke Siau-lim-si lagi. Menjelang magrib tibalah di tempat tujuan. Ia menyatakan maksud kedatangannya kepada hwesio penyambut tamu dan mohon dibolehkan mengusung jenazah Ting-sian dan Ting-yat Suthay pulang ke Hing-san.

Setelah dilaporkan, kemudian hwesio penyambut tamu memberitahukan, “Menurut Hongtiang, jenazah kedua suthay sudah diperabukan dan sekarang sedang dilakukan sembahyangan oleh segenap penghuni biara ini. Tentang abu jenazah kedua suthay selekasnya akan kami antar ke Hing-san.”

Lenghou Tiong anggap keterangan itu memang beralasan, ia minta diperbolehkan memberi hormat kepada abu kedua suthay, habis itu baru mohon diri karena Hong-ting Taysu toh tidak mau menemuinya.

Sampai di bawah gunung salju masih belum juga reda, malamnya ia mengendon pada rumah seorang petani. Besoknya ia terus menuju ke utara. Di suatu kota kecil ia membeli seekor kuda, sementara itu cuaca sudah terang.

Karena lengan kiri masih terasa kaku, maka perjalanannya rada terganggu, setiap hari hanya ditempuh beberapa puluh li saja lantas mencari tempat penginapan. 
Ia menurutkan ajaran Yim Ngo-heng untuk melancarkan jalan darah lengannya. Sepuluh hari kemudian urat nadi lengannya telah lancar kembali.


Beberapa hari lagi, siangnya ia mampir di suatu restoran untuk minum arak. Tatkala mana sudah dekat tahun baru, suasana tampak ramai, orang berlalu-lalang berbelanja untuk persiapan perayaan tahun baru. Sambil minum arak sendirian di atas loteng restoran itu, Lenghou Tiong terkenang kepada masa lampau, bila dekat tahun baru, biasanya ia dan saudara-saudara seperguruan suka membantu ibu-gurunya untuk membersihkan pekarangan, memajang ruangan, dan sebagainya, semuanya dalam suasana riang gembira. Tapi sekarang seorang diri ia minum arak kesepian di rantau orang.

Selagi kesal, tiba-tiba terdengar suara tangga berbunyi, ada orang banyak sedang naik ke atas. 
Malahan seorang sedang berkata, “Haus benar, marilah kita minum dulu di sini.”

“Seumpama tidak haus kan juga boleh minum?” ujar yang lain.

“Haus dan minum kan bersangkutpautan satu sama lain, kenapa dipotong-potong,” sahut seorang lagi.

Mendengar percakapan yang bertele-tele itu segera Lenghou Tiong tahu siapa yang datang, cepat ia berseru, “Keenam Tho-heng, lekas kemari minum bersama aku!”

Serentak terdengarlah suara gedubrakan, Tho-kok-lak-sian telah melompat ke atas bersama dan mengelilingi Lenghou Tiong, ada yang pegang tangannya, ada yang pegang bahunya, ada pula yang pegang bajunya. Beramai-ramai mereka berteriak, “Aku yang ketemukan dia!”

“Aku yang pegang dia paling dulu!”

“Suaraku yang pertama didengar Lenghou-kongcu, maka aku yang ketemukan dia lebih dulu!”

“He, apa-apaan kalian ini?” tanya Lenghou Tiong dengan tertawa heran.

Tiba-tiba Tho-hoa-sian berlari ke pinggir jendela dan berseru, “Hei, Nikoh cilik, Nikoh tua, dan dara jelita! Aku telah ketemukan Lenghou-kongcu, lekas serahkan seribu tahil perak!”

Tho-ki-sian ikut lari ke tepi jendela dan berteriak, “Bukan dia, tapi aku yang pertama memegang Lenghou-kongcu! Lekas serahkan seribu tahil yang kalian janjikan!”

Dalam pada itu Tho-kan-sian dan Tho-sit-sian juga tidak mau kalah, sambil masih memegangi Lenghou Tiong mereka berteriak-teriak, “Tidak, aku yang lihat dia paling dulu!”

“Aku yang ketemukan dia!”

Maka terdengarlah suara seorang wanita berseru di luar restoran, “Benarkah kalian telah menemukan Lenghou-tayhiap?”

“Benar! Aku yang menemukan dia! Lekas serahkan uang! Ada uang ada barang!” demikian Tho-kok-lak-sian berkaok-kaok.

Di tengah ramai-ramai itu terdengarlah suara orang menaiki tangga loteng, orang pertama yang muncul adalah murid Hing-san-pay, Gi-ho, di belakangnya ikut pula empat nikoh dan dua nona muda, mereka adalah The Oh dan Cin Koan. Melihat Lenghou Tiong benar-benar berada di situ, ketujuh orang itu sangat girang, ada yang memanggil “Lenghou-tayhiap”, ada yang memanggil “Lenghou-toako”, ada pula yang memanggil “Lenghou-kongcu”.

Tho-kan-sian tiba-tiba mengadang di tengah-tengah mereka dan berkata, “Mana uangnya? Ada uang ada barang! Tanpa seribu tahil perak takkan kuserahkan orangnya.”

“Keenam Tho-heng,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa, “sebenarnya bagaimana ada soal seribu tahil perak apa segala?”

“Di tengah jalan tadi mereka bertemu dengan kami,” tutur Tho-ki-sian. 
Mereka tanya kepada kami apa melihat kau. Kukatakan sementara tidak. Tidak lama lagi tentu akan ketemu.”

“Paman ini bohong!” tiba-tiba Cin Koan menyela. “Tadi dia menjawab, ‘Lenghou Tiong punya kaki sendiri, saat ini mungkin dia berada di ujung langit, ke mana kami bisa menemukan dia?’”

“Tidak, tidak! Kami bisa meramalkan apa pun yang bakal terjadi, sebelumnya kami sudah tahu akan menemukan Lenghou-kongcu di sini!” bantah Tho-hoa-sian.

“Sudahlah, aku dapat menerka, tentunya para sumoay ini memang sedang mencari aku dan mereka minta kalian bantu mencarikan, lalu kalian membuka harga dengan upah seribu tahil perak, betul tidak?” sela Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Salah mereka sendiri tidak pandai tawar-menawar,” ujar Tho-kan-sian. “Mereka begitu royal, dimintai upah seribu tahil perak, tanpa menawar mereka terus terima baik asalkan Lenghou-tayhiap dapat diketemukan. Janji ini kan telah kalian terima?”

“Benar, memang kami telah berjanji akan menghadiahkan seribu tahil perak asalkan kalian dapat menemukan Lenghou-toako,” kata Gi-ho.
Nah, sekarang bayar,” kata Tho-kok-lak-sian bersama sambil menjulurkan sebelah tangan masing-masing.

“Orang beragama seperti kami mana bisa membawa sekian banyak,” kata Gi-ho. “Silakan kalian berenam ikut ke Hing-san untuk menerimanya nanti.”

Sebenarnya Gi-ho menyangka keenam orang dogol itu mungkin sungkan ikut ke Hing-san yang jauh itu, tak terduga Tho-kok-lak-sian lantas menjawab, “Baik, kami akan ikut ke Hing-san untuk menerima pembayaran, jangan kalian utang lho!”

“Wah, selamatlah kalian telah tertimpa rezeki nomplok,” kata Lenghou Tiong.

“Ah, lumayanlah, terima kasih!” sahut Tho-kok-lak-sian.

Mendadak Gi-ho bertujuh sama menyembah kepada Lenghou Tiong dengan wajah sedih.

“He, kenapa kalian berbuat demikian?” tanya Lenghou Tiong terkejut dan membalas hormat.

“Tecu Gi-ho dan para sumoay menyampaikan sembah bakti kepada Ciangbunjin,” kata Gi-ho.

“O, jadi kalian sudah tahu? Silakan bangun untuk bicara,” kata Lenghou Tiong.

“Benar, bicara sambil berlutut begitu tentu tidak leluasa,” Tho-kin-sian menimbrung.

“Keenam Tho-heng,” kata Lenghou Tiong, “sekarang aku sudah termasuk orang Hing-san-pay, kami ada urusan yang mesti dirundingkan, maka kalian silakan minum arak di sebelah sana, kalian tidak boleh mengganggu jika kalian tidak mau kehilangan seribu tahil perak.”

Sebenarnya Tho-kok-lak-sian bermaksud mengoceh lagi, tapi demi mendengar kata-kata terakhir itu, mereka lantas bungkam dan terpaksa menyingkir ke meja di pojok sana buat makan-minum sendiri.

Setelah Gi-ho bertujuh bangun, demi teringat kepada kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay, kembali mereka menangis sedih.

“Eh, aneh, bicara baik-baik begitu kenapa mendadak menangis?” tiba-tiba Tho-hoa-sian mengoceh.

Tapi ketika Lenghou Tiong mendelik padanya, Tho-hoa-sian menjadi ketakutan dan lekas-lekas mendekap mulutnya sendiri.

“Tempo hari waktu Lenghou-toako... O, Ciangbunjin, mendarat dan tidak kembali ke kapal lagi, kemudian datang Bok-susiok dari Heng-san-pay memberi tahu kepada kami bahwa Ciangbunjin telah pergi ke Siau-lim-si untuk mencari Ting-sian dan Ting-yat Susiok. Setelah berunding, kami bermaksud ikut menyusul ke sana. Tak terduga di tengah jalan kami sudah ketemu belasan tokoh Kangouw yang membicarakan cara engkau menyerbu Siau-lim-si bersama para kesatria dan menduduki biara agung itu.

“Seorang tua pendek gemuk di antaranya mengaku she Lo, katanya Ting-sian Susiok berdua telah tewas di Siau-lim-si, sebelum wafat katanya Ciangbun-susiok telah minta engkau mewarisi kedudukan ciangbun kaum kita dan engkau sudah menerimanya dengan baik. Pesan demikian itu katanya telah didengar oleh orang banyak....” sampai di sini suara Gi-ho menjadi terputus-putus oleh karena tangisnya yang memilukan. Keenam sumoaynya juga ikut menangis sedih.

“Ya, waktu itu Ting-sian Suthay memang telah minta aku memikul tugas berat ini,” kata Lenghou Tiong. “Tapi mengingat aku adalah seorang lelaki, namaku juga tidak baik, semua orang tahu aku adalah pemuda berandalan, mana pantas untuk menjadi ketua Hing-san-pay? Cuma keadaan pada waktu itu memang sangat mendesak, jika aku tidak menerima, tentu mati pun Ting-sian Suthay tidak tenteram hatinya. Ai, aku menjadi serbasusah.”

“Tapi... tapi kami semuanya sangat mengharapkan engkau mengetuai Hing-san-pay kita,” kata Gi-ho.

“Ciangbun-suheng,” sela The Oh, “engkau pernah memimpin kami dalam pertempuran, tidak cuma satu kali saja engkau telah menyelamatkan kami. Setiap murid Hing-san-pay cukup kenal engkau sebagai seorang kesatria dan laki-laki sejati. Meski engkau adalah orang lelaki, tapi di dalam peraturan perguruan kita toh tidak pernah melarang diketuai oleh kaum lelaki.”

Gi-bun, seorang nikoh setengah tua juga ikut bicara, “Kami menjadi sangat sedih ketika mendengar wafatnya kedua susiok, tapi demi mengetahui engkau yang bakal menjabat ciangbunjin kita sehingga Hing-san-pay tidak sampai musnah begitu saja, hati kami menjadi lega dan sangat terhibur.”

“Suhuku telah dicelakai orang, kedua susiok juga telah tewas di tangan musuh,” demikian Gi-ho menyambung, “dalam waktu beberapa bulan saja tiga tokoh utama Hing-san-pay dari angkatan ‘Ting’ telah wafat susul-menyusul, tapi siapa pembunuhnya sama sekali tidak diketahui. Ciangbun-suheng, sungguh sangat tepat jika engkau menjabat ciangbunjin kita, selain engkau rasanya sukarlah untuk menuntut balas bagi ketiga orang tua kita.”

“Benar,” sahut Lenghou Tiong sambil mengangguk. “Tugas berat menuntut balas bagi ketiga losuthay adalah di atas bahuku.”

Lalu The Oh bicara lagi, “Setelah mendengar berita duka wafatnya kedua susiok, segera kami menuju Siau-lim-si. Tapi di tengah jalan ketemu Bok-taysusiok lagi, katanya engkau sudah meninggalkan Siau-sit-san, kami dianjurkan lekas mencari jejakmu.”

“Bok-taysusiok mengatakan makin cepat menemukan engkau akan makin baik,” sambung Cin Koan. “Kata beliau, terlambat sedikit menemukan engkau mungkin sekali engkau sudah dibujuk orang masuk Mo-kau. Padahal antara cing-pay dan sia-pay jelas tidak bisa hidup berdampingan, Hing-san-pay akan kehilangan seorang ciangbunjin pula.”

“Cin-sumoay memang suka bicara tanpa pikir, masakah Ciangbun-suheng sudi masuk Mo-kau secara begitu mudah?” ujar The Oh.

“Ya, tapi memang begitulah kata Bok-taysusiok,” sahut Cin Koan.

Dalam hati Lenghou Tiong mengakui akan kebenaran perhitungan Bok-susiok itu, apa yang sudah terjadi memang benar hampir saja ia masuk Tiau-yang-sin-kau. Waktu itu kalau Yim-kaucu tidak memancingnya dengan alasan akan mengajarkan kunci lwekang padanya, tapi membujuknya dengan hati tulus, karena merasa utang budi dan juga mengingat kebaikan Ing-ing, bukan mustahil dirinya akan terima dengan baik ajakannya dan akan masuk ke Mo-kau bila urusan Hing-san-pay sudah diselesaikan.

“O, dengan demikian maka kalian lantas menyediakan seribu tahil perak sebagai upah kepada siapa saja yang bisa membekuk Lenghou Tiong?” katanya kemudian.

“Membekuk Lenghou Tiong? Masakah kami berani berbuat demikian?” kata Cin Koan dengan tertawa meski air matanya masih meleleh di pipinya.

“Setelah mendengar pesan Bok-taysusiok waktu itu kami lantas membagi setiap tujuh orang menjadi satu kelompok untuk mencari Ciangbun-suheng,” sambung The Oh. “Untunglah tadi kami telah bertemu dengan Tho-kok-lak-sian, mereka membuka harga seribu tahil perak bagi dirimu. Padahal jangankan cuma seribu tahil, sekalipun sepuluh ribu tahil perak juga akan kami beri asalkan Ciangbun-suheng dapat diketemukan.”

“Sebagai ketua kalian, rasanya aku tidak bisa memberi manfaat apa-apa bagi kalian, hanya tentang minta sedekah kepada golongan hartawan kikir dan pembesar korup rasanya banyak yang bisa kuajarkan kepada kalian,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum.

Ketujuh murid Hing-san-pay menjadi tersenyum geli karena teringat kepada kejadian di Hokkian tempo hari, di sana mereka telah diajari cara bagaimana minta sedekah kepada Pek-pak-bwe, itu hartawan kikir yang terkenal.

Lalu Lenghou Tiong berkata pula, “Baiklah, kalian jangan khawatir lagi. Sekali Lenghou Tiong sudah berjanji kepada Ting-sian Suthay pasti takkan mungkir janji. Ketua Hing-san-pay sudah pasti akan kujabat. Setelah kita makan kenyang segera kita berangkat ke Hing-san.”

Di waktu makan Lenghou Tiong bersatu meja bersama Tho-kok-lak-sian. Ia pun tanya keenam orang itu guna apa seribu tahil perak yang mereka minta itu.

“Soalnya Ya-niau-cu (Si Kucing Malam) Keh Bu-si terlalu miskin dan akan bangkrut, dia telah bertaruh seribu tahil perak dengan kami....”

Belum habis Tho-kan-sian bicara, Tho-hoa-sian lantas memotong, “Mana bisa Si Kucing Malam itu menang taruhan dengan kami.”

Dalam hati Lenghou Tiong pikir yang kalah tentunya kalian maka ia pun bertanya, “Taruhan tentang apa?”

“Yang dipertaruhkan ada sangkut pautnya dengan dirimu,” tutur Tho-kin-sian. “Kami menduga kau pasti tidak mau menjadi ketua Hing-san-pay, tapi....”

“Si Kucing Malam yang menduga kau tidak sudi menjadi ketua Hing-san-pay,” sela Tho-sit-sian, “sebaliknya kami bilang seorang laki-laki harus bisa pegang janji. Kau telah berjanji kepada nikoh tua itu untuk menjadi ketua Hing-san-pay, hal ini telah didengar setiap kesatria di jagat ini, mana bisa lagi orang mungkir janji.”

“Menurut Si Kucing Malam, katanya engkau sudah biasa bertualang, tidak lama lagi tentu akan kawin dengan Seng-koh dari Mo-kau, mana mau kasak-kusuk dengan kaum nikoh lagi,” sambung Tho-ki-sian.

Lenghou Tiong tahu Keh Bu-si sangat hormat kepada Ing-ing, tidak mungkin dia berani menyebut “Mo-kau” segala, tentu Tho-kok-lak-sian telah memutar balik persoalannya. Maka ia tanya pula, “Dan kalian lantas bertaruh seribu tahil perak?”

“Benar,” sahut Tho-kin-sian. “Dan pada pagi tadi kami lantas ketemu nikoh-nikoh yang sedang mencari engkau itu, katanya engkau akan dipapak untuk menjabat ketua Hing-san-pay mereka maka jelaslah kami akan menangkan taruhan seribu tahil perak.”

“Dan kalian kasihan kepada Si Kucing Malam yang miskin itu, maka kalian berusaha mendapatkan seribu tahil perak untuk dia agar dia bisa bayar kekalahannya kepadamu?” kata Lenghou Tiong.

“Tepat, dugaanmu benar-benar sangat tepat,” seru Tho-hoa-sian.

“Sama pandainya seperti aku menduga sesuatu,” sambung Tho-sit-sian.

Lenghou Tiong tidak menggubrisnya lagi. Habis makan rombongan mereka lantas berangkat ke Hing-san.

Suatu hari sampailah mereka di kaki Hing-san. Rupanya anak murid Hing-san-pay sudah menerima berita lebih dulu dan beramai-ramai sudah memapak kedatangan mereka. Begitu melihat Lenghou Tiong, segera berlutut memberi hormat dan cepat dibalas oleh Lenghou Tiong. Semuanya merasa berduka ketika bicara tentang wafatnya Ting-sian dan Ting-yat Suthay.

Lenghou Tiong melihat Gi-lim berada di antara para murid itu dengan wajah pucat dan agak kurus daripada dulu. Segera ia bertanya, “Gi-lim Sumoay, apakah akhir-akhir ini kau kurang sehat?”

“Ya, baik-baik saja,” sahut Gi-lim dengan mata basah.

Begitulah beramai-ramai mereka lantas menuju ke atas Hing-san.

Kediaman kaum Hing-san-pay itu ternyata sangat sederhana. Induk biaranya cuma sebuah biara kecil saja dan disebut Bu-sik-am, di sekeliling biara itu ada 20-30 buah rumah genting yang merupakan tempat tinggal para murid. Seperti si cebol ketemu raksasa bila Bu-sik-am ini dibandingkan dengan Siau-lim-si yang megah itu.

Masuk ke dalam biara itu, Lenghou Tiong melihat yang dipuja adalah Dewi Koan-im berjubah putih, ruangan terawat sangat bersih dengan serbasederhana. Lebih dulu Lenghou Tiong sembahyang di depan patung Dewi Koan-im, lalu Ih-soh bertindak sebagai penunjuk membawanya ke kamar yang biasa dipakai Ting-sian Suthay untuk semadi, keadaan kamar itu pun bersih tanpa sesuatu pajangan, hanya sebuah kasuran bundar kecil terletak di lantai, di sisinya sebuah bok-hi (kentungan kecil berbentuk ikan) yang sudah tua, selain itu tiada benda lain lagi.

Watak Lenghou Tiong suka bergerak dan biasa hidup di tempat ramai, dia gemar minum arak pula, mana bisa disuruh hidup di tempat sesunyi ini? Katanya kemudian kepada Ih-soh, “Meski aku menjabat ketua di sini, tapi aku tidak menjadi nikoh, juga para suci dan sumoay di sini adalah kaum wanita semua, hanya aku saja seorang lelaki, tentu aku menjadi rikuh. Maka sebaiknya kau sediakan sebuah rumah yang agak berjauhan dari sini, biarlah aku tinggal di sana bersama Tho-kok-lak-sian.”

Ih-soh mengiakan, katanya, “Di sebelah barat sana ada empat buah rumah yang biasa digunakan sebagai tempat tamu. Kalau Ciangbunjin setuju bolehlah sementara tinggal di sana saja. Lain hari kita dapat membangun rumah kediaman baru bagi Ciangbunjin.”

“Bagus sekali tempat itu, buat apa bangun rumah baru segala?” ujar Lenghou Tiong. 
Ia pikir memangnya aku mau menjadi ciangbunjin di sini selama hidup? Asalkan nanti sudah ada calon ketua yang tepat kan dapat kuserahkan kedudukan ini kepadanya dan aku akan kembali hidup berkelana secara bebas gembira di dunia Kangouw.

Rumah tamu yang dimaksud itu ternyata tiada ubahnya seperti rumah kaum petani kaya dengan perlengkapan meja kursi, tempat tidur dengan kasur, walaupun kasar juga, tapi sudah lebih mendingan daripada kamar kediaman Ting-sian Suthay yang kosong itu.

“Eh, ke mana perginya Tho-kok-lak-sian?” tanya Lenghou Tiong.

“Sedang minum arak di rumah belakang,” sahut Ih-soh.

“He, di sini tersedia arak?” tanya Lenghou Tiong dengan girang.

“Tidak cuma arak saja, bahkan arak pilihan,” ujar Ih-soh. “Ketika Gi-lim Sumoay mengetahui Ciangbunjin akan tiba, dia bilang padaku kalau tiada disediakan arak enak, mungkin jabatan ketuamu ini takkan lama dipangku, maka malam-malam kami kirim orang turun gunung untuk membeli belasan guci arak enak sebagai persediaan.”

Lenghou Tiong merasa tidak enak, katanya, “Ai, hidup kaum kita biasanya sangat sederhana, tapi untuk diriku seorang mesti membuang biaya sebanyak ini, sebenarnya tidak perlu.”

“Ciangbunjin jangan khawatir,” sela Gi-jing. “Uang sedekah yang diperoleh dari Pek-pak-bwe dahulu masih sisa cukup banyak, untuk uang minum Ciangbunjin rasanya masih cukup untuk sepuluh tahun lamanya.”

Begitulah malamnya Lenghou Tiong lantas minum sepuas-puasnya bersama Tho-kok-lak-sian. Besok paginya dia berunding dengan Gi-jing, Ih-soh, dan lain-lain tentang cara bagaimana memulangkan abu tulang Ting-sian dan Ting-yat Suthay serta cara menuntut balas bagi kematian ketiga suthay tua itu.

Gi-jing berkata, “Ciangbun-suheng menjadi ketua baru, hal ini harus diumumkan kepada sesama teman dunia persilatan, juga mesti kirim utusan untuk memberitahukan Co-supek selaku Bengcu Ngo-gak-kiam-pay.”

“Huh, justru keparat-keparat Ko-san-pay itulah yang mencelakai suhu dan susiok kita, buat apa kita memberitahukan mereka apa segala?” dengus Gi-ho dengan gusar.

“Kita tak boleh mengabaikan adat istiadat,” ujar Gi-jing. “Bila kelak kita sudah selidiki dengan jelas, kalau memang betul ketiga guru kita dicelakai oleh pihak Ko-san-pay, tatkala mana beramai-ramai kita di bawah Ciangbun-suheng pasti akan membikin perhitungan dengan mereka.”

“Ucapan Gi-jing Suci memang benar,” kata Lenghou Tiong. “Cuma jabatan ketua ini, terang sudah jadi kujabat, buat apa pakai tata adat segala?”

Ia masih ingat ketika dahulu gurunya menjabat ketua Hoa-san-pay, upacara yang diselenggarakan sungguh sangat ramai, kawan-kawan bu-lim yang datang memberi selamat juga tak terhitung banyaknya. Ia pun teringat kepada peristiwa Lau Cing-hong dari Heng-san-pay ketika mengadakan upacara mengundurkan diri, waktu itu Kota Heng-san juga berjubel dengan orang-orang bu-lim. Sekarang dirinya diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, kalau yang datang memberi selamat hanya sedikit akan berarti kehilangan muka, sebaliknya kalau pengunjung teramat banyak, tentunya akan menertawakan pula melihat seorang laki-laki diangkat menjadi ketua kaum nikoh.

Rupanya Gi-jing paham perasaan Lenghou Tiong, katanya kemudian, “Kalau Ciangbun-suheng sungkan mengundang teman-teman dunia persilatan, maka tidak perlu kita mengundang para peninjau upacara. Namun kita harus juga menetapkan suatu hari resmi pengangkatanmu sebagai ciangbunjin dan dipermaklumkan kepada semua pihak.”

Lenghou Tiong pikir Hing-san-pay adalah satu di antara Ngo-gak-kiam-pay, kalau upacara pengangkatan ketua baru dilaksanakan dengan terlalu sederhana rasanya akan merugikan pamor Hing-san-pay sendiri maka ia terima baik saran Gi-jing itu. Hanya dia minta agar Gi-jing memilih suatu hari baik dalam waktu tidak lama lagi.

Gi-jing mengambil buku primbon untuk memilih hari baik, setelah diteliti, akhirnya ia mengajukan hari tanggal 16 bulan dua. Lenghou Tiong pikir makin singkat waktunya tentu makin sedikit pengunjung-pengunjung yang sempat datang. Maka ia terima baik penetapan hari itu. Segera beberapa murid ditugaskan pergi ke Siau-lim-si untuk menjemput abu tulang kedua suthay, berbareng menyampaikan surat edaran.

Kepada murid-murid yang diutus itu dia beri pesan agar tidak menyiarkan urusannya secara berlebihan, kepada para ciangbunjin dari berbagai golongan dan aliran yang diberi tahu itu agar dikatakan bahwa sakit hati tewasnya kedua suthay belum terbalas, dalam keadaan berkabung, maka pengangkatan ketua baru tidak dilakukan upacara apa-apa, maka para ciangbunjin itu tidak perlu mengirim peninjau dan sebagainya.

Setelah mengirimkan para murid itu, Lenghou Tiong berpikir pula, “Sebagai ketua Hing-san-pay, seharusnya aku memahami ilmu pedang Hing-san-pay dengan lebih baik.”

Maka anak murid Hing-san-pay lantas dikumpulkan dan suruh setiap orang memainkan ilmu pedang yang telah dipelajari mereka. Dari ilmu pedang anak murid itu Lenghou Tiong dapat menarik kesimpulan bahwa ilmu pedang Hing-san-pay memang bagus, tapi lebih mengutamakan bertahan hanya pada saat-saat tak terduga mendadak melancarkan serangan maut.

Sejak mempelajari Tokko-kiu-kiam, Lenghou Tiong dapat mengetahui titik kelemahan pada jurus serangan musuh mana pun juga. Maka menurut pandangannya Hing-san-kiam-hoat boleh dikata ilmu pedang yang mempunyai kelemahan yang sangat sedikit. Kalau bicara kekuatan bertahan hanya di bawah Thay-kek-kiam-hoat Bu-tong-pay saja, pada serangan maut pada waktu tertentu secara mendadak sebaliknya lebih bagus daripada Thay-kek-kiam-hoat.

Teringat olehnya pada dinding gua di puncak Hoa-san dahulu itu ada sejurus Hing-san-kiam-hoat yang sangat bagus dan jauh lebih lihai daripada ilmu pedang yang diperlihatkan Gi-jing dan kawan-kawannya sekarang. Walaupun begitu toh Hing-san-kiam-hoat bagus itu telah dibobolkan juga oleh lawan menurut ukiran di dinding gua itu. Maka untuk perkembangan Hing-san-pay di masa mendatang rasanya perlu perbaikan dasar-dasar ilmu pedangnya yang lebih kuat.

Ia jadi teringat lagi kepada ilmu pedang yang pernah dilihatnya dari Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay yang jauh lebih bagus dari Gi-jing dan lain-lain, tampaknya kepandaian ketiga suthay tua itu masih ada sebagian besar belum diajarkan kepada anak muridnya. Sekarang ketiga suthay itu telah tewas berturut-turut dalam waktu beberapa bulan saja, terang macam-macam ilmu silatnya yang bagus itu akan lenyap juga.

Melihat Lenghou Tiong termenung-menung tak bicara, berkatalah Gi-ho, “Ciangbun-suheng, kepandaian kami tentu saja masih sangat hijau, maka diharapkan petunjuk-petunjukmu yang berharga.”

“Ada suatu jurus Hing-san-kiam-hoat, entah ketiga suthay tua pernah mengajarkan kepada kalian atau belum?” kata Lenghou Tiong. Lalu ia pinjam pedang Gi-ho serta memainkan ilmu pedang Hing-san-pay yang pernah dilihatnya pada dinding gua dahulu itu.
Ia mainkan pedangnya dengan sangat lambat agar dapat diikuti dengan jelas oleh para murid. Hanya beberapa gerakan saja para murid itu sudah sama bersorak memuji. Ternyata setiap gerakannya selalu meliputi inti kekuatan ilmu pedang yang hebat dengan perubahan-perubahan yang aneh, entah betapa lebih hebat daripada ilmu pedang yang telah mereka pelajari. Sungguh ilmu pedang yang baru dan hebat ini membikin semangat mereka terbangkit dan merasa bangga. Selesai Lenghou Tiong memainkan ilmu pedangnya, serentak para murid menyembah ke hadapannya dengan penuh kekaguman.

Gi-ho berkata, “Ciangbun-suheng, jelas ilmu pedang ini adalah Hing-san-kiam-hoat kita, mengapa selamanya kami belum pernah melihatnya, entah dari mana engkau mempelajarinya?”

“Aku melihatnya pada ukiran yang berada di suatu gua,” sahut Lenghou Tiong. “Jika kalian ingin belajar bolehlah kuajarkan kepada kalian.”

Para murid sangat girang, beramai mereka mengucapkan terima kasih.

Seharian itu Lenghou Tiong lantas mengajarkan tiga jurus kepada mereka dengan memberikan penjelasan di mana letak kehebatan ketiga jurus itu, lalu para murid disuruh berlatih sendiri.

Meski cuma 3 jurus permulaan ilmu pedang itu, namun cukup luas dan dalam untuk dipahami, sekalipun murid-murid terpandai seperti Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain juga memakan waktu lima-enam hari untuk memahaminya, apalagi murid-murid muda seperti The Oh, Cin Koan, dan lain-lain, mereka perlu beberapa hari lebih lama.

Sampai hari kesepuluh, kembali Lenghou Tiong mengajarkan dua jurus pula. Begitulah meski ilmu pedang itu hanya terdiri dari beberapa jurus saja, tapi diperlukan waktu hampir sebulan barulah anak murid Hing-san-pay itu dapat mempelajarinya dengan baik.

Selama sebulan itu utusan-utusan yang dikirim pergi itu berturut-turut sudah pulang, semuanya memperlihatkan muka yang suram, waktu lapor kepada Lenghou Tiong juga tergagap-gagap bicaranya. Namun Lenghou Tiong juga tidak tanya secara mendalam. Ia tahu anak murid itu tentu telah banyak mendapat cemooh dan ejekan, misalnya mengolok-olok kaum nikoh muda sekarang mengangkat seorang laki-laki muda sebagai ketua dan macam-macam lagi. Tapi Lenghou Tiong telah menghibur mereka dengan kata-kata halus dan suruh mereka belajar ilmu pedang baru kepada teman-teman yang lain, kalau kurang jelas boleh tanya langsung padanya.

Utusan yang dikirim ke Hoa-san adalah Ih-soh dan Gi-bun yang cukup berpengalaman. Jarak Hoa-san dan Hing-san tidak terlalu jauh, seharusnya mereka dapat pulang lebih dulu daripada utusan yang lain, tapi sekarang utusan-utusan lain sudah pulang, sebaliknya Ih-soh dan Gi-bun malah belum kembali. Sementara itu tanggal 16 bulan dua sudah makin mendekat dan Ih-soh serta Gi-bun tetap tidak tampak pulang, Lenghou Tiong lantas kirim lagi dua murid yang lain, Gi-kong dan Gi-beng, untuk menyusul ke Hoa-san.

Bab 102. Lenghou Tiong Dilarang Menjabat Ciangbunjin Hing-san-pay oleh Co Leng-tan

Karena menduga takkan kedatangan tamu, maka para murid juga tidak menyiapkan tempat pondokan dan makanan bagi tetamu. Mereka cuma sibuk menggosok lantai, mengapur dinding, dan bikin pembersihan di mana perlu. Masing-masing anak murid itu pun membuat baju dan sepatu baru. The Oh dan lain-lain juga membuatkan suatu setel jubah hijau bagi Lenghou Tiong untuk dipakai pada hari upacara nanti.

Pagi-pagi hari tanggal 16 bulan dua, waktu Lenghou Tiong bangun, dilihatnya suasana puncak Kian-seng-hong di Hing-san itu benar-benar meriah. Anak murid Hing-san-pay itu ternyata sangat rajin mengatur perayaan yang akan dilangsungkan itu. Lenghou Tiong merasa terharu, “Lantaran diriku sehingga kedua suthay tua mengalami nasib malang, tapi anak muridnya tidak menyalahkan aku, sebaliknya malah menghargai diriku sedemikian rupa. 
Maka kalau tidak dapat membalaskan sakit hati kematian ketiga suthay tua, percumalah aku menjadi manusia.”

Selagi melamun sambil memandangi salju yang menyelimuti puncak gunung di kejauhan, tiba-tiba di jalanan yang menuju ke atas itu terdengar hiruk-pikuk serombongan orang. Padahal Kian-seng-hong biasanya tenang dan sunyi, selamanya tak pernah terdengar suara ribut demikian. Biarpun Tho-kok-lak-sian yang suka geger itu pun tidak sampai gembar-gembor seramai itu, apalagi kedengarannya jumlahnya jauh lebih banyak daripada enam orang.

Tengah heran, terdengarlah suara langkah orang banyak, beberapa ratus orang telah membanjir ke atas puncak situ. Seorang paling depan terus berseru, “Terimalah ucapan selamat kami, Lenghou-kongcu! Bahagialah engkau hari ini!”

Orang itu pendek lagi gemuk, siapa lagi kalau bukan Lo Thau-cu. Di belakangnya tampak ikut Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, Ui Pek-liu, dan lain-lain.

Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, cepat ia memapak maju sambil berkata, “Aku menerima pesan terakhir Ting-sian Suthay dan terpaksa mengetuai Hing-san-pay, sesungguhnya aku tidak berani bikin repot para kawan. Mengapa kalian malah datang semua ke sini?”

Lo Thau-cu dan rombongannya ini pernah ikut Lenghou Tiong menggempur Siau-lim-si, setelah mengalami pertarungan mati-matian itu di antara mereka sudah terjalin persahabatan yang kekal. 
Maka beramai-ramai mereka lantas merubung maju sambil mengelu-elukan Lenghou Tiong dengan mesranya.

“Setelah mendengar kabar bahwa Lenghou-kongcu telah berhasil menyelamatkan Seng-koh, semua orang menjadi sangat girang,” demikian Lo Thau-cu berkata. “Tentang Kongcu akan menjabat ketua Hing-san-pay, hal ini sudah tersiar dengan menggemparkan Kangouw, maka siapa pun sudah mengetahuinya. Dari sebab itulah kami datang mengucapkan selamat padamu.”

“Kami adalah tamu-tamu yang tidak diundang, maka Hing-san-pay tentu tidak menyediakan ransum bagi orang-orang kasar seperti kami ini, maka soal makanan dan arak kami telah bawa sendiri dan sebentar juga akan tiba,” sambung Ui Pek-liu.

“Wah, bagus sekali!” kata Lenghou Tiong dengan girang. Ia pikir suasana demikian menjadi mirip sekali dengan pertemuan besar di Ngo-pah-kang dahulu.

Tengah bicara kembali ada beberapa ratus orang membanjir ke atas lagi.

“Lenghou-kongcu,” kata Keh Bu-si dengan tertawa, “kita adalah orang sendiri, maka anak murid perempuanmu yang lemah lembut itu tidak perlu meladeni orang-orang kasar seperti kami ini. 
Biarlah kita pakai acara bebas, kami akan melayani kami sendiri.”

Sementara itu suasana di atas Kian-seng-hong sudah ramai sekali, murid Hing-san-pay sama sekali tak menduga akan kedatangan tamu sedemikian banyak, banyak di antara mereka ikut gembira. Tapi beberapa di antaranya yang lebih tua dan berpengalaman merasa tamu-tamu itu dikenalnya sebagai tokoh-tokoh kalangan sia-pay yang biasanya tidak kenal-mengenal dengan pihak Hing-san-pay, tak terduga hari ini berbondong-bondong telah sama datang, apalagi ciangbunjin baru itu kelihatan sangat akrab menyambut kedatangan mereka, mau tak mau anak murid Hing-san-pay yang lebih tua itu merasa serbabingung.

Siangnya muncul pula beberapa laki-laki yang membawa ayam, itik, kambing, dan kerbau, sayur-mayur dan beras tepung, rupanya itulah perbekalan rombongan Lo Thau-cu yang dikatakan tadi.

Lenghou Tiong pikir Hing-san-pay memuja Dewi Koan-im, sekarang dirinya baru saja menjabat ketua sudah lantas sembelih kambing dan potong kerbau, rasanya terlalu mencolok dan tidak enak terhadap leluhur Hing-san-pay. Segera ia perintahkan rombongan tukang masak itu memindahkan “dapur umum” ke pinggang gunung yang agak jauh. Walaupun begitu asap dan bau masakan daging itu toh teruar juga ke atas puncak. Keruan para nikoh sama mengerut kening.

Setelah makan siang, para tamu sama duduk memenuhi pelataran di depan biara induk. Lenghou Tiong sendiri duduk di ujung barat, para murid Hing-san-pay sama berdiri di belakangnya menurut urut-urutan usia dan tingkatan masing-masing.

Selagi upacara akan dimulai, tiba-tiba terdengar suara seruling, serombongan orang muncul pula ke atas puncak mengiringi dua orang tua berbaju hitam. Seorang tua yang berada paling depan itu berseru, “Tonghong-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau mengutus kedua Kong-beng-sucia untuk memberi selamat kepada Lenghou-tayhiap yang diangkat menjadi ketua Hing-san-pay. Semoga Hing-san-pay berkembang lebih jaya dan wibawa Lenghou-tayhiap lebih gemilang di dunia persilatan.”

Mendengar ucapan itu, semua orang sama berseru gempar. Sedikit-banyak orang-orang Kangouw seperti Lo Thau-cu dan lain-lain itu ada hubungannya dengan Mo-kau, malahan banyak di antaranya telah minum “Sam-si-nau-sin-tan” yang diberi Tonghong Put-pay, yaitu obat racun yang bekerja secara berkala. 
Maka begitu mendengar “Tonghong-kaucu” disebut, mereka menjadi sangat ketakutan.

Kebanyakan di antara mereka pun kenal kedua kakek utusan Tonghong Put-pay itu, yang di sebelah kiri, yaitu yang bicara tadi, bernama Kah Po, bergelar “Wi-bin-cun-cia”, Si Duta Agung Muka Kuning. Sedangkan kakek sebelah kanan bernama Siangkoan In, berjuluk “Tiau-hiap”, Si Pendekar Rajawali.

Kah Po dan Siangkoan In adalah pembantu utama dan merupakan tangan kanan-kiri Tonghong Put-pay, tinggi ilmu silat mereka jauh di atas tokoh-tokoh sebangsa pangcu atau congthocu umumnya. Si Muka Kuning Kah Po asalnya adalah Pangcu Wi-soa-pang di Lembah Hongho, selama berpuluh tahun malang melintang di wilayah kekuasaannya entah sudah jatuhkan betapa banyak kaum kesatria dan jago persilatan. Kemudian dia ditaklukkan oleh Tonghong Put-pay, lalu masuk Mo-kau dan menjadilah pembantu utama ketua Mo-kau itu.

Sekarang Tonghong Put-pay mengutus kedua pembantu utamanya datang ke Hing-san, hal ini boleh dikata suatu penghargaan tertinggi bagi Lenghou Tiong. Maka semua orang lantas berdiri demi tampak datangnya Kah Po dan Siangkoan In.

Lenghou Tiong juga lantas memapak ke depan, katanya, “Selamanya Cayhe belum kenal Tonghong-kaucu, banyak terima kasih atas kunjungan Tuan-tuan berdua.”
Ia melihat muka Kah Po kuning seperti malam, kedua pelipisnya menonjol. Sedangkan sinar mata Siangkoan In tampak berkilat tajam, nyata sekali lwekang kedua orang sangatlah tinggi.

Begitulah Kah Po lantas bicara pula, “Hari bahagia Lenghou-tayhiap ini mestinya Tonghong-kaucu bermaksud datang sendiri buat memberi selamat, cuma beliau sedang sibuk menghadapi macam-macam pekerjaan sehingga sukar membagi waktu, untuk ini mohon Lenghou-tayhiap sudi memberi maaf.”

“Ah, mana aku berani,” sahut Lenghou Tiong. Dalam hati ia pikir kalau melihat lagak utusan Tonghong Put-pay ini, agaknya Yim-kaucu belum berhasil merebut kembali kedudukan kaucunya. Dan entah bagaimana keadaan Yim-kaucu itu bersama Hiang-toako serta Ing-ing.

Dalam pada itu Kah Po tampak miringkan tubuhnya dan mengacungkan sebelah tangan ke belakang sambil berkata, “Sedikit oleh-oleh ini adalah tanda mata dari Tonghong-kaucu, mohon Lenghou-ciangbun sudi menerimanya.”

Dan di tengah suara tetabuhan dan tiupan seruling terlihatlah ratusan orang menggotong empat puluh buah peti besar ke depan. Setiap peti itu digotong oleh empat laki-laki kekar, melihat tindakan penggotong-penggotong yang berat itu dapat dibayangkan isi peti tentu juga tidak ringan.

Cepat Lenghou Tiong berkata, “Ah, kunjungan Tuan-tuan berdua saja bagi Lenghou Tiong sudah merupakan suatu kehormatan besar, masakah Cayhe berani pula menerima hadiah sebesar ini. Harap disampaikan kepada Tonghong-kaucu bahwa Cayhe mengucapkan banyak terima kasih. Pada umumnya anak murid Hing-san-pay hidup secara sederhana sehingga tidak memerlukan barang-barang semewah dan sebanyak ini.”

“Jika Lenghou-ciangbun tidak sudi menerima, maka Cayhe dan Siangkoan-heng yang menjadi serbasusah,” ujar Kah Po. Lalu ia berpaling kepada Siangkoan In dan bertanya, “Betul tidak, Saudaraku?”

“Betul!” kata Siangkoan In. Sungguh di luar dugaan, begitu keras dan lantang suaranya sehingga anak telinga orang-orang lain serasa tergetar. Mungkin dia sendiri pun tahu suaranya teramat keras, maka biasanya dia tidak banyak bicara, sejak datangnya tadi juga baru sekarang ia mengucapkan sebuah kata “betul” itu.

Lenghou Tiong menjadi serbaberat menghadapi persoalan ini. Hing-san-pay adalah golongan cing-pay yang tidak bisa hidup bersama Mo-kau. Apalagi Yim-kaucu dan Ing-ing selekasnya juga akan meluruk dan bikin perhitungan kepada Tonghong Put-pay, mana boleh aku menerima sumbanganmu pula? Demikian ia menimbang-nimbang.

Kemudian ia berkata pula, “Harap Kah-heng berdua suka sampaikan kepada Tonghong-siansing bahwa sumbangannya ini sekali-kali tak berani kuterima. Bila kalian tidak mau membawa pulang barang-barang sumbangan ini, terpaksa Cayhe menyuruh orang mengantar ke sana.”

Kah Po tersenyum, jawabnya, “Apakah Lenghou-ciangbun mengetahui apa isi ke-40 peti ini?”

“Sudah tentu tidak tahu,” sahut Lenghou Tiong.

“Bila Lenghou-ciangbun sudah melihat isinya tentu takkan menolak lagi,” ujar Kah Po dengan tertawa. “Sesungguhnya isi ke-40 peti itu juga tidak seluruhnya adalah sumbangan Tonghong-kaucu, tapi sebagian harus diserahkan kepada Lenghou-ciangbun sendiri, antaran kami ini boleh dikata mengembalikan barangnya kepada pemiliknya saja.”

Lenghou Tiong menjadi heran. “Apa, kau bilang barangku? Barang apakah itu?” tanyanya bingung.

Kah Po maju selangkah dan bicara dengan suara tertahan, “Sebagian besar di antaranya adalah pakaian, perhiasan, dan barang-barang keperluan sehari-hari yang ditinggalkan Yim-siocia di Hek-bok-keh, sekarang Tonghong-kaucu menyuruh kami antar ke sini agar bisa dipakai oleh Yim-siocia. Sebagian pula di antaranya adalah sumbangan Kaucu kepada Lenghou-ciangbun dan Yim-siocia, oleh karena itu harap Lenghou-ciangbun jangan sungkan-sungkan lagi dan sudi menerimanya. Haha!”

Watak Lenghou Tiong memang suka blakblakan dan tidak suka pelungkar-pelungker, melihat maksud sumbangan Tonghong Put-pay itu memang sungguh-sungguh, apalagi sebagian barang-barang itu adalah milik Ing-ing, maka ia pun tidak menolak lagi, sambil bergelak tertawa ia berkata, “Haha, baiklah kuterima. Banyak terima kasih.”

Pada saat itulah seorang murid perempuan tampak mendekati dan melapor, “Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay datang sendiri untuk memberi selamat.”
Lenghou Tiong terkejut, cepat ia memburu ke sana untuk menyambut. Dilihatnya Tiong-hi Tojin bersama delapan muridnya sedang naik ke atas. Lenghou Tiong membungkukkan tubuh memberi hormat dan menyapa, “Atas kunjungan Totiang ini, sungguh Lenghou Tiong merasa sangat berterima kasih.”

“Lenghou-laute dengan bahagia diangkat sebagai ketua Hing-san-pay, berita ini sungguh sangat menggirangkan Pinto,” sahut Tiong-hi Tojin. “Kabarnya Hong-ting dan Hong-sing Taysu dari Siau-lim juga akan datang memberi selamat. Entah mereka berdua sudah tiba belum?”

Keruan Lenghou Tiong tambah tercengang, sahutnya, “Wah, ini... ini....”

Pada saat itulah jalan pegunungan itu tampak muncul pula serombongan hwesio, dua orang paling depan jelas adalah Hong-ting dan Hong-sing Taysu.

“Tiong-hi Toheng, cepat amat langkahmu sehingga mendahului kami,” seru Hong-ting Taysu dari jauh.

Cepat Lenghou Tiong memapak ke depan dan berseru, “Kunjungan kedua Taysu sungguh suatu kehormatan besar bagi Lenghou Tiong.”

Dengan tertawa Hong-sing Taysu menjawab, “Lenghou-siauhiap, kau sendiri sudah tiga kali berkunjung ke Siau-lim-si, sekarang kami balas berkunjung satu kali ke Hing-san sini kan cuma sekadar kunjungan timbal balik saja.”
Begitulah Lenghou Tiong menyongsong rombongan-rombongan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay itu ke atas. Melihat ketua-ketua dari Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sendiri yang datang, hal ini sungguh membikin para jagoan Kangouw sama terperanjat. Kah Po dan Siangkoan In saling pandang sekejap, mereka anggap tidak tahu saja kedatangan Tiong-hi Tojin, Hong-ting Taysu, dan rombongannya.

Lalu Lenghou Tiong menyilakan Hong-ting dan lain-lain ke tempat duduk yang paling terhormat. Dalam hati ia tidak habis pikir kunjungan tetamunya yang luar biasa itu. Ia ingat dahulu waktu suhunya menjabat ketua Hoa-san-pay, pihak Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay hanya kirim utusan untuk mengucapkan selamat. Sekarang ketua-ketua kedua aliran teragung di dunia persilatan ini ternyata sudi berkunjung sendiri padanya, apakah mereka benar-benar datang memberi selamat atau masih ada maksud tujuan lain?

Sementara itu tamu-tamu yang berdatangan masih tidak terputus-putus, kebanyakan adalah jago-jago yang pernah ikut menggempur Siau-lim-si tempo hari. Menyusul utusan-utusan Kun-lun-pay, Tiam-jong-pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, Kay-pang, dan lain-lain juga tiba dengan membawa sumbangan-sumbangan dan kartu ucapan selamat dari ketua masing-masing.

Begitu banyak tamu-tamu yang datang itu ternyata tiada terdapat utusan-utusan dari Ko-san-pay, Hoa-san-pay, dan Thay-san-pay.

Dalam pada itu terdengarlah suara petasan yang ramai, rupanya sudah tiba waktunya upacara dilangsungkan. 
Lenghou Tiong berbangkit dan memberikan hormat kepada para hadirin sambil mengucapkan sepatah dua kata pengantar. Di tengah suara tetabuhan kecer dan keleningan, anak murid Hing-san-pay mulai berbaris ke tengah pelataran dengan dipimpin oleh keempat murid tertua, yaitu Gi-ho, Gi-jing, Gi-cin, dan Gi-cit. Keempat murid tertua itu menghadap ke depan Lenghou Tiong dan memberi hormat. Gi-ho berkata, “Keempat alat keagamaan ini adalah pusaka warisan dari cikal bakal Hing-san-pay Hiau-hong Suthay, biasanya berada di bawah penguasaan ciangbunjin, maka ciangbunjin baru sekarang, Lenghou-suheng, diharap sudi menerimanya.”

Lenghou Tiong mengiakan. Lalu keempat murid tertua itu menyerahkan alat-alat keagamaan yang mereka bawa itu kepada Lenghou Tiong. Yaitu sejilid kitab, sebuah bok-hi (kentung kecil berbentuk ikan dari kayu), serenceng tasbih, dan sebatang pedang pendek.

Rada kikuk juga Lenghou Tiong diharuskan menerima bok-hi dan tasbih segala, soalnya dia toh tidak pernah sembahyang dan baca kitab. Tapi terpaksa diterimanya sambil menunduk.

Lalu Gi-jing membuka sebuah kitab dan berseru, “Empat pantangan besar Hing-san-pay. Pertama, pantang membunuh yang tak berdosa. Kedua, pantang membikin onar dan melakukan kejahatan. Ketiga, dilarang membangkang atasan dan berkhianat. Keempat, dilarang bergaul dengan golongan sesat dan penjahat. Untuk mana hendaklah Ciangbun-suheng memberi teladan dan memimpin para Tecu dengan bijaksana.”

Kembali Lenghou Tiong mengiakan. Tapi dalam hati ia pikir larangan keempat tentang tidak boleh bergaul dengan golongan sesat dan orang jahat segala rasanya sukar dijalankan. Yang jelas tetamu yang hadir sekarang ada sebagian besar terdiri dari golongan sia-pay.

Kemudian Gi-cin berkata, “Sekarang silakan Ciangbun-suheng masuk biara untuk sembahyang kepada arwah para leluhur Hing-san-pay kita.”

Lenghou Tiong mengiakan lagi. Tapi sebelum dia melangkah, tiba-tiba dari jalan sana ada orang berteriak, “Perintah dari Co-bengcu Ngo-gak-kiam-pay bahwa Lenghou Tiong tidak boleh menyerobot kedudukan ketua Hing-san-pay.”

Lenyap suara itu, muncul secepat terbang lima orang, di belakangnya menyusul pula beberapa puluh orang. Kelima orang di depan itu masing-masing membawa sebuah panji sulam. Itulah panji persekutuan Ngo-gak-kiam-pay.

Kira-kira beberapa meter di depan Lenghou Tiong, kelima orang itu lantas berdiri berjajar. Yang berdiri di tengah adalah seorang pendek gemuk, berwajah kekuning-kuningan dan berusia 50-an.

Segera Lenghou Tiong mengenal orang itu sebagai Lim Ho yang berjuluk “Tay-im-yang-jiu”, yaitu salah seorang tokoh terkemuka Ko-san-pay. Waktu bertarung di daerah Holam tempo hari kedua tangan Lim Ho pernah ditembus oleh tusukan pedang Lenghou Tiong. Jadi di antara mereka sudah terikat permusuhan.

“O, kiranya Lim-heng adanya,” demikian Lenghou Tiong menyapa.

Lim Ho mengebaskan panji yang dipegangnya itu, katanya, “Hing-san-pay adalah anggota Ngo-gak-kiam-pay, maka harus tunduk kepada perintah Co-bengcu.”

“Tapi setelah aku menjabat ketua Hing-san-pay, apakah selanjutnya masih menjadi anggota Ngo-gak-kiam-pay atau tidak masih harus kupikirkan dulu,” sahut Lenghou Tiong dengan tersenyum.

Sementara itu, beberapa puluh orang di belakang tadi juga sudah merubung tiba. 
Kiranya terdiri dari anak murid Ko-san-pay, Heng-san-pay, Hoa-san-pay, dan Thay-san-pay. Delapan orang Hoa-san-pay adalah para sute Lenghou Tiong, orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain juga sebagian besar sudah dikenalnya. Beberapa puluh orang itu berbaris menjadi empat kelompok, semuanya siap siaga dan tidak buka suara.

Lim Ho lantas bicara pula, “Selamanya Hing-san-pay diketuai oleh kaum nikoh. Sebagai orang lelaki mana boleh Lenghou Tiong melanggar peraturan Hing-san-pay yang sudah turun-temurun ratusan tahun ini?”

“Peraturan dibuat oleh manusia dan tentu pula dapat diubah oleh manusia, hal ini adalah urusan dalam Hing-san-pay kami, orang luar tidak perlu ikut campur,” sahut Lenghou Tiong.

Serentak pula terdengar caci maki Lo Thau-cu dan kawan-kawannya kepada Lim Ho, “Huh, urusan Hing-san-pay sendiri, peduli apa dengan Ko-san-pay kalian?”

“Hm, bengcu apa segala? Bengcu kentut anjing!”

“Hayolah lekas enyah dari sini saja!”

“Orang-orang yang bermulut kotor ini kerja apakah di sini?” tanya Lim Ho kepada Lenghou Tiong.

“Mereka adalah kawan-kawanku yang hadir mengikuti upacara,” sahut Lenghou Tiong.

“Itu dia,” kata Lim Ho. “Coba katakan padaku, apa larangan keempat dari peraturan Hing-san-pay kalian?”

“Larangan keempat itu menyatakan dilarang bergaul dengan orang jahat,” sahut Lenghou Tiong sengaja. “Memang, manusia semacam Lim-heng sudah tentu takkan digauli oleh Lenghou Tiong.”

Maka gemuruhlah suara tawa orang ramai, banyak di antaranya berteriak-teriak, “Nah, lekas enyah dari sini manusia jahat!”

Lim Ho terpaksa berpaling dan bicara kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, “Kedua Tayciangbun adalah tokoh yang diagungkan pada dunia persilatan zaman ini, sekarang mohon memberi penilaian yang adil. Dengan mendatangkan setan iblis sebanyak ini, bukankah Lenghou Tiong sudah melanggar peraturan Hing-san-pay yang melarang bergaul dengan kaum penjahat. Tampaknya Hing-san-pay yang punya nama baik selama beratus-ratus tahun ini akan runtuh begitu saja, masakah Locianpwe berdua dapat tinggal diam?”

“Tentang ini... ini....” kata Hong-ting Taysu sambil berdehem, ia pikir ucapan orang she Lim ini memang beralasan, sebagian besar yang hadir ini memang tergolong orang sia-pay, masakah Lenghou Tiong harus disuruh mengusir orang-orang sebanyak itu?

Pada saat itulah tiba-tiba dari jalanan sana berkumandang suara seorang perempuan, “Yim-siocia dari Tiau-yang-sin-kau tiba!”
Terkejut dan girang Lenghou Tiong tak terkira, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, “He, Ing-ing juga datang!”

Cepat ia menyongsong ke ujung jalan sana, dilihatnya dua lelaki kekar menggotong sebuah tandu sedang mendaki ke atas secepat terbang. Di belakang tandu mengikuti empat dayang berbaju hijau.

“Lihatlah, sampai tokoh terkemuka Mo-kau juga datang, bukankah sudah jelas bergaul dengan kaum jahat?” ejek Lim Ho dengan suara keras.

Sementara itu demi mendengar kedatangan Ing-ing, sebagian besar jago-jago yang hadir itu pun sama menyongsong ke jalanan sana sambil bersorak gemuruh.

Diam-diam orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain sama kebat-kebit melihat kekuatan lawan yang jauh lebih besar itu, kalau sampai terjadi pertempuran tentu sukar dibayangkan bagaimana jadinya.

Dalam pada itu tandu kecil telah sampai di tengah pelataran dan diturunkan ke tanah, di mana tirai terbuka, keluarlah seorang gadis jelita berbaju hijau muda. Siapa lagi dia kalau bukan Ing-ing.

“Seng-koh! Hidup Seng-koh!” serentak para jago bersorak sembari membungkukkan tubuh. Jelas mereka sangat hormat dan segan kepada Ing-ing, tapi rasa girang mereka pun timbul dari lubuk hati yang setulusnya.

“Kau pun datang, Ing-ing?” Lenghou Tiong menyapa sambil mendekati dengan tersenyum.

“Hari ini adalah hari bahagiamu, mana boleh aku tidak datang?” sahut Ing-ing dengan senyuman manis. Pandangannya menyoroti sekelilingnya melintasi muka setiap hadirin, lalu ia sedikit membungkuk tubuh kepada Hong-ting dan Tiong-hi berdua dan berseru, “Hongtiang Taysu, Ciangbun Totiang, terimalah salamku!”

Hong-ting dan Tiong-hi sama membalas hormat sambil berpikir, “Betapa pun akrabnya dengan Lenghou Tiong mestinya jangan datang kemari, sekarang Lenghou Tiong benar-benar dibuatnya serbasusah.”

Tiba-tiba Lim Ho berseru pula, “Nona ini adalah tokoh penting dari Hek-bok-keh, betul tidak, Lenghou Tiong?”

“Benar, mau apa?” sahut Lenghou Tiong.

“Larangan keempat Hing-san-pay menetapkan ‘dilarang bergaul dengan kaum jahat’. Bila kau tidak putuskan hubungan dengan manusia-manusia sesat dan jahat ini tidak boleh kau menjadi ketua Hing-san-pay,” kata Lim Ho.

“Tidak boleh ya tidak boleh, memangnya kenapa?” jawab Lenghou Tiong.

Alangkah mesranya perasaan Ing-ing mendengar ucapan itu. Tanyanya kemudian, “Dari manakah kawan ini? Berdasarkan apa dia mencampuri urusan Hing-san-pay kalian?”

“Dia mengaku diutus oleh Co-ciangbun dari Ko-san-pay, panji yang dia pegang itu adalah panji kebesaran Co-bengcu,” kata Lenghou Tiong. “Hm, janganlah cuma sebuah panji kecil begitu, sekalipun Co-ciangbun datang sendiri juga tidak berhak mencampuri urusan Hing-san-pay kami.”

“Tepat,” kata Ing-ing sambil mengangguk. Ia menjadi gemas juga bila teringat kelicikan Co Leng-tan ketika pertandingan di Siau-lim-si tempo hari sehingga membikin ayahnya terluka dan hampir-hampir celaka. Ia berkata pula, “Siapa bilang itu panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay? Dia penipu....” belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tubuhnya melesat ke sana, tahu-tahu sebelah tangannya sudah bertambah sebilah pedang pendek, secepat kilat terus menikam ke dada Lim Ho.

Sama sekali Lim Ho tidak menduga bahwa gadis jelita itu sedemikian gapah, tanpa sesuatu petunjuk apa-apa tahu-tahu lantas menerjangnya. Untuk menangkis terang tidak sempat lagi, terpaksa Lim Ho mengegos ke samping. Ia tidak menduga serangan Ing-ing itu cuma serangan pancingan belaka, baru saja tubuhnya menggeser, tahu-tahu pegangannya terasa kendur, panji yang terpegang di tangan kanannya dirampas oleh si nona.

Gerak tubuh Ing-ing tidak lantas berhenti, berturut-turut pedangnya menikam lima kali dan sekaligus lima buah panji sulam sudah dirampasnya. Gerakan yang dia gunakan sama, lima kali serangan selalu sama, namun cepat luar biasa sehingga sebelum lawan sempat berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu panji mereka sudah berpindah tangan. Lalu Ing-ing memutar ke belakang Lenghou Tiong, katanya, “Engkoh Tiong, panji-panji ini semuanya palsu. Mana bisa dikatakan panji Ngo-gak-kiam-pay, ini kan Ngo-tok-ki (Panji Pancabisa) milik Ngo-sian-kau.”

Waktu dia membentang kelima panji sulam yang dipegangnya itu, tertampak dengan jelas panji-panji itu masing-masing tersulam gambar ular, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak yang berbisa. Jadi sama sekali bukan panji Ngo-gak-kiam-pay.

Lim Ho dan kawan-kawannya melongo, terkejut dan tak bisa bicara. Sebaliknya Lo Thau-cu dan kawan-kawannya lantas bersorak memuji. Mereka tahu begitu merampas panji-panji lawan segera Ing-ing menukarnya dengan Ngo-tok-ki. Cuma bekerja Ing-ing itu teramat cepat sehingga tiada seorang pun melihat cara bagaimana dia bisa menukar panji-panji yang berlainan itu.

“Na-kaucu!” seru Ing-ing.

Segera seorang wanita cantik berdandan suku bangsa Miau tampil ke depan dan menjawab, “Adakah Seng-koh memberi perintah?”

Dia bukan lain adalah Na Hong-hong, ketua Ngo-tok-kau yang terkenal.

“Ngo-tok-ki agamamu ini mengapa bisa jatuh di tangan orang Ko-san-pay?” tanya Ing-ing.

“Anak murid Ko-san-pay ini adalah teman-teman akrab anak buah perempuanku, mungkin mereka telah pakai kata-kata manis dan membujuknya sehingga Ngo-tok-ki agama kami ini tertipu olehnya,” jawab Na Hong-hong dengan tertawa.

“O, begitu. Ini kukembalikan panji-panjimu,” kata Ing-ing sambil melemparkan kelima buah panji itu.

“Terima kasih Seng-koh,” sahut Na Hong-hong sembari menyambuti panji-panji itu.

“Perempuan siluman, di depanku juga berani pakai permainan gila begitu, lekas kembalikan panji-panji kami,” Lim Ho mendamprat.

“Kau ingin Ngo-tok-ki, kenapa tidak minta kepada Na-kaucu saja?” ujar Ing-ing.

Dengan mendongkol terpaksa Lim Ho berpaling kepada Hong-ting dan Tiong-hi, katanya, “Hongtiang Taysu dan Tiong-hi Totiang, hendaklah kalian berdua tokoh agung sudi memberi keadilan.”

“Tentang peraturan Hing-san-pay memang... memang ada satu pasal yang melarang bergaul dengan orang jahat,” kata Hong-ting. “Cuma... cuma hari ini banyak kawan Kangouw yang hadir mengikuti upacara sehingga terpaksa Lenghou-ciangbun tak bisa menutup pintu dan membikin malu tamunya....”

“Apakah orang seperti... seperti dia itu juga kawan Lenghou Tiong?” seru Lim Ho sambil menuding seorang di tengah orang banyak.

Ternyata orang yang ditunjuk itu adalah “Ban-li-tok-heng” Dian Pek-kong yang terkenal sebagai maling cabul yang jahat.

“Dian Pek-kong, kau mau apa datang ke Hing-san sini?” tanya Lim Ho dengan bengis.

“Cayhe datang ke sini untuk berguru,” jawab Dian Pek-kong.

“Berguru?” Lim Ho menegas.

“Betul,” sahut Pek-kong. Tiba-tiba ia mendekati Gi-lim, lalu berlutut dan menyembah, “Suhu, terimalah hormat muridmu, Dian Pek-kong.”

Keruan wajah Gi-lim merah malu. “Kau... kau....” dengan tergagap ia mengegos ke samping untuk menghindari hormat orang.

Semua orang menjadi terheran-heran melihat seorang laki-laki tinggi besar sebagai Dian Pek-kong itu kok memanggil suhu kepada Gi-lim yang muda jelita itu. Seluk-beluk ini hanya diketahui oleh Lenghou Tiong saja karena pertaruhan kata-kata yang pernah diucapkan di masa dahulu, sungguh tidak nyana Dian Pek-kong benar-benar telah menyembah dan mengangkat Gi-lim sebagai suhu.

“Ya, kalau Dian-siansing benar-benar mau insaf dan kembali ke jalan yang benar, apa salahnya? Betul tidak, Hong-ting Taysu?” ujar Ing-ing. “Bukankah sang Buddha mengatakan, siapa pun yang mau menyadari kesalahannya akan diberi jalan pembaruan. Betul tidak?”

“Benar,” sahut Hong-ting. “Secara sadar Dian-siansing mengabdikan diri ke dalam Hing-san-pay, ini benar-benar suatu keuntungan bagi dunia persilatan.”

“Nah, dengarkan, kawan-kawan. Kedatangan kita hari ini adalah untuk mengabdi ke dalam Hing-san-pay, asalkan Lenghou-ciangbun sudi menerima, maka kita lantas terhitung anak buah Hing-san-pay. Dan kalau sudah menjadi anak buah Hing-san-pay apakah dapat dianggap sebagai kaum jahat?” seru Ing-ing.

Baru sekarang Lenghou Tiong paham, rupanya kedatangan Ing-ing dan orang banyak itu memang berencana untuk membelanya. Ia merasa sangat kebetulan dengan bertambahnya anak buah kaum laki-laki itu, sebab dia memang lagi serbaragu-ragu karena mesti mengetuai kaum nikoh itu. Dengan suara lantang ia lantas tanya, “Gi-ho Suci, apakah dalam peraturan pay kita adalah larangan menerima anggota lelaki?”

“Larangan menerima anggota lelaki sih memang tidak ada, cuma... cuma....” rada bingung juga Gi-ho, ia merasa tidak enak juga karena Hing-san-pay mendadak harus bertambah anggota lelaki sebanyak itu.

Bab 103. Seksi Istimewa Hing-san-pay

Lenghou Tiong lantas menyambung, “Jika kalian mau menjadi anggota Hing-san-pay, ya boleh juga. Cuma kalian tidak perlu mengangkat guru segala, cukup dianggap sudah menjadi anggota. Untuk selanjutnya Hing-san-pay boleh mengadakan suatu... eeh suatu... suatu ‘seksi istimewa’. Kukira Thong-goan-kok di sebelah sana adalah suatu tempat tinggal yang baik bagi kalian.”

Thong-goan-kok adalah suatu lembah tidak jauh di sebelah Kian-seng-hong, puncak Hing-san tertinggi di mana biara induk Hing-san-pay berada. Meski jarak lembah itu tidak jauh, tapi untuk menuju ke puncak Kian-seng-hong harus melalui jalanan yang terjal dan berbahaya. Dengan menempatkan orang-orang kasar itu di lembah terpencil itu maksud Lenghou Tiong ialah untuk memisahkan mereka dari para nikoh.
Mendengar keputusan Lenghou Tiong itu, Hong-ting Taysu manggut-manggut dan berkata, “Baik sekali cara mengatur ini. Dengan masuknya para sobat ini ke dalam Hing-san-pay dan terikat pula oleh tata tertib Hing-san-pay, hal ini benar-benar suatu peristiwa menyenangkan bagi dunia persilatan.”

Karena tokoh seperti Hong-ting Taysu juga berkata demikian, mau tak mau Lim Ho tidak berani merintangi lagi, terpaksa ia mengemukakan perintah kedua dari Co Leng-tan, katanya, “Bengcu Ngo-gak-kiam-pay ada perintah pula agar pada pagi hari tanggal 15 bulan tiga nanti setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay hendaknya berkumpul di Ko-san untuk memilih ciangbunjin dari Ngo-gak-pay. Hendaknya perintah ini dipatuhi dan datang tepat pada waktunya.”

“Ngo-gak-pay? Jadi gabungan Ngo-gak-kiam-pay sudah ditetapkan? Siapakah yang mengambil prakarsa peleburan ini?” tanya Lenghou Tiong.
Yang jelas Ko-san, Heng-san, Thay-san, dan Hoa-san-pay sudah setuju,” sahut Lim Ho. “Jika Hing-san-pay kalian punya pendirian berbeda, maka itu berarti kalian bermusuhan dengan keempat pay yang lain dan berarti pula kau mencari penyakit sendiri.”

Lalu ia menoleh dan tanya kepada orang Thay-san-pay yang ikut datang bersamanya itu, “Betul tidak?”

“Betul!” serentak berpuluh orang yang berdiri di belakangnya menjawab.

Lim Ho mendengus dan tidak bicara pula, ia putar tubuh terus melangkah pergi.

“Eh, Lim-losu, kau kehilangan panji, cara bagaimana kau akan menjawab bila ditanya oleh Co-bengcu?” tiba-tiba Na Hong-hong berseru sambil tertawa. “Ini, kukembalikan saja panjimu!”

Berbareng itu sebuah panji bersulam terus dilemparkan ke arah Lim Ho.

Memangnya Lim Ho lagi kesal karena kehilangan leng-ki (panji mandat) tadi, ketika tiba-tiba Na Hong-hong melemparkan sehelai panji kecil ke arahnya, ia pikir ini tentu kau punya Ngo-tok-ki, buat apa aku mengambilnya? Namun saat itu panji kecil itu sudah menyambar ke mukanya, tanpa pikir ia terus menangkapnya. Tapi mendadak ia menjerit sendiri sambil melemparkan pula panji kecil itu. Terasa telapak tangannya panas seperti terbakar. Waktu diperiksa, ternyata telapak tangan telah berubah hitam biru, jelas panji itu berbisa. Jadi dia telah kena dikibuli Ngo-tok-kau. Keruan ia terkejut dan murka, terus saja ia memaki, “Bedebah! Perempuan hina....”

Dengan tertawa Na Hong-hong menyela, “Lekas kau panggil ‘Lenghou-ciangbun’ dan minta belas kasihannya, habis itu segera kuberi obat penawarnya bila kau tidak ingin kehilangan sebelah tanganmu yang akan membusuk dalam waktu singkat.”

Lim Ho cukup kenal betapa lihainya cara Ngo-tok-kau menggunakan racun, hanya ragu-ragu sejenak saja telapak tangan sudah terasa kaku dan mulai kehilangan daya rasa. Ia pikir segenap kepandaianku adalah terletak pada kedua tangan, bila kehilangan tangan itu berarti cacat untuk selamanya. Karena cemasnya itu, terpaksa ia berseru, “Lenghou-ciangbun, kau... kau....”
Apakah begitu caranya mohon ampun?” ejek Na Hong-hong dengan tertawa.

“Lenghou-ciangbun, Cayhe telah berlaku kasar padamu, harap dimaafkan dan mohon... mohon engkau sudi memberikan obat... obat penawarnya,” pinta Lim Ho dengan terputus-putus.

Lenghou Tiong tersenyum, katanya kemudian, “Nona Na, kasihan padanya, boleh berikan obat penawarnya!”

Dengan tertawa Na Hong-hong lantas memberi isyarat kepada seorang pengiring perempuan, segera pengiring itu mengeluarkan sebungkus kecil dan dilemparkan kepada Lim Ho. Dengan tersipu-sipu Lim Ho menangkap bungkusan kecil itu, lalu berlari pergi di bawah gelak tertawa mengejek orang banyak.

“Para kawan, kalau kalian sudah mau tinggal di Thong-goan-kok, maka kalian harus taat kepada tata tertib pay kita,” seru Lenghou Tiong dengan lantang. “Sekarang kalian adalah orang Hing-san-pay, sudah tentu kalian bukan lagi orang-orang sia-pay, tapi selanjutnya kalian harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang luar.”

Serentak rombongan Lo Thau-cu dan lain-lain mengiakan dengan bergemuruh.

Lalu Lenghou Tiong menyambung, “Bila kalian ingin minum arak dan makan daging sih boleh-oleh saja, cuma orang-orang yang tidak pantang makan untuk selanjutnya dilarang naik ke Kian-seng-hong sini, termasuk aku sendiri, semua peraturan harus dipatuhi.”

“Siancay! Memang tempat Buddha yang suci ini janganlah dikotori,” ujar Hong-ting Taysu sambil menyebut Buddha.

“Baiklah, sekarang telah selesai aku diangkat menjadi ciangbunjin,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tentunya semua orang sudah lapar, lekas siapkan daharan, hari ini kita semua ciacay (makanan sayur-sayuran), besok barulah kita makan minum lagi di Thong-goan-kok.”

Selesai dahar, Hong-ting Taysu berkata, “Lenghou-ciangbun, Lolap dan Tiong-hi Toheng ingin berunding sedikit dengan engkau.”

Lenghou Tiong mengiakan. Ia pikir apa yang akan dibicarakan kedua tokoh terkemuka itu tentulah urusan penting. Padahal di puncak Kian-seng-hong ini terlalu banyak orang dan bukan suatu tempat bicara yang baik. Segera ia perintahkan Gi-ho dan lain-lain melayani tetamu, lalu ia berkata kepada Hong-ting dan Tiong-hi, “Di sebelah puncak ini ada sebuah gunung bernama Cui-peng-san, tebing pegunungan itu sangat terjal dan licin, di atas gunung ada kuil bernama Sian-kong-si, tempat ini termasuk salah satu pemandangan alam yang indah di Hing-san. 
Bilamana kedua Cianpwe ada minat, bagaimana kalau kita pesiar ke sana.”

Dengan rendah hati Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin menerima baik undangan itu dan menyatakan sudah lama mengagumi tempat termasyhur dengan pemandangan alamnya yang indah itu.

Begitulah Lenghou Tiong lantas membawa kedua tamunya menuruni Kian-seng-hong, sampai di bawah Cui-peng-san, ketika mendongak ke atas, tertampak di puncak gunung dua buah rumah mencuat di angkasa seakan-akan terapung di udara, sesuai benar dengan namanya “Sian-kong-si”, Kuil Mengapung di Udara.
Dengan ginkang yang tinggi ketiga orang lantas mendaki ke atas dan tibalah di kuil itu. Sian-kong-si itu terdiri dari dua buah bangunan, masing-masing bertingkat tiga, jarak kedua bangunan itu ada belasan meter dan di antara kedua bangunan itu dihubungkan dengan jembatan gantung.

Kuil itu ditunggui seorang perempuan tua. Melihat kedatangan Lenghou Tiong bertiga, perempuan tua itu hanya melongo saja, tidak menyapa juga tidak memberi hormat.

Belasan hari yang lalu Lenghou Tiong sudah pernah berkunjung ke tempat ini bersama Gi-ho dan lain-lain dan diketahui penjaga perempuan ini tuli dan bisu. Maka ia pun tidak menggubrisnya, tapi bersama Hong-ting dan Tiong-hi mengelilingi bangunan indah itu, kemudian menuju ke jembatan gantung.

Jembatan itu cuma selebar satu meteran, kalau orang-orang biasa berdiri di tengah jembatan itu tentu akan merasa seakan-akan berdiri di tengah udara, mungkin seketika kaki lantas lemas dan tak berani bergerak. Tapi mereka bertiga adalah jago silat kelas wahid, berada di atas jembatan yang luar biasa itu mereka malah merasa bebas lepas, pikiran lapang menggembirakan.

Setelah menikmati pemandangan alam yang menakjubkan itu, kemudian berkatalah Hong-ting Taysu, “Lenghou-ciangbun, apa maksud tujuan kedatangan Lim-losu dari Ko-san-pay tadi?”
Menyampaikan perintah Co-bengcu, Wanpwe dilarang menjabat ketua Hing-san-pay,” jawab Lenghou Tiong.

“Apa sebabnya Co-bengcu melarang kau menjadi ketua Hing-san-pay?” tanya Hong-ting.

“Mungkin karena Wanpwe pernah bersikap kasar padanya ketika di kuil agung Siau-lim-si tempo hari, maka Co-bengcu menjadi benci dan dendam kepadaku,” kata Lenghou Tiong. “Apalagi Wanpwe pernah merintangi rencananya dalam usaha melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi suatu pay yang besar.”

“Mengapa kau merintangi rencananya itu?” tanya Hong-ting pula.

Lenghou Tiong melengak, seketika merasa sukar untuk memberi jawaban. Akhirnya ia hanya bisa mengulangi, “Mengapa aku merintangi rencananya?”

Maka Hong-ting bertanya lagi, “Apakah kau merasa usahanya melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu adalah rencana yang tidak baik.”

“Tatkala itu Wanpwe tidak pernah memikirkan apakah usahanya itu baik atau tidak baik, hanya saja untuk maksud tujuannya itu Ko-san-pay telah mengancam Hing-san-pay agar menerimanya, bahkan menyaru sebagai anggota Mo-kau untuk menculik anak murid Hing-san-pay, Ting-cing Suthay dikerubut pula secara keji, secara kebetulan Wanpwe memergoki perbuatan mereka itu, Wanpwe merasa penasaran dan memberi bantuan kepada Hing-san-pay. Kupikir kalau peleburan Ngo-gak-kiam-pay adalah suatu usaha yang baik, mengapa Ko-san-pay tidak berunding secara terang-terangan dengan para pemimpin Ngo-gak-kiam-pay yang lain, tapi pakai cara-cara licik dan keji?”
Pandanganmu memang betul,” ujar Tiong-hi Tojin sambil manggut-manggut. “Co Leng-tan memang punya ambisi besar dan ingin menjadi tokoh bu-lim nomor satu. Tapi ia sadar pribadinya sukar mengatasi orang banyak, maka terpaksa ia gunakan tipu muslihat licik.”

Hong-ting menghela napas, lalu menyambung, “Co-bengcu sebenarnya seorang serbapintar dan merupakan tokoh bu-lim yang sukar dicari bandingannya. Cuma ambisinya terlalu besar dan bernafsu hendak menjatuhkan nama Siau-lim dan Bu-tong-pay, untuk maksud tujuan ini terpaksa ia menggunakan macam-macam jalan.”

“Bahwasanya Siau-lim-pay adalah pemimpin dunia persilatan, hal ini telah diakui secara umum selama beratus-ratus tahun,” kata Tiong-hi. 
Di bawah Siau-lim-pay bolehlah dihitung Bu-tong-pay, selanjutnya adalah Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, dan lain-lain. Lenghou-hiante, berdiri dan berkembangnya suatu aliran dan golongan adalah hasil usaha jerih payah tokoh kesatria masing-masing aliran itu, ilmu silat yang diciptakan adalah kumpulan dan gemblengan selama bertahun-tahun dari sedikit demi sedikit. Tentang bangkitnya Ngo-gak-kiam-pay adalah kejadian 60-70 tahun terakhir ini, walaupun cepat perkembangannya, namun dasarnya tetap di bawah Kun-lun-pay, Go-bi-pay, dan lain-lain, lebih-lebih tak dapat dibandingkan dengan ilmu silat Siau-lim-pay yang termasyhur.”

Lenghou Tiong mengangguk dan membenarkan.

Lalu Tiong-hi meneruskan, “Di antara berbagai aliran dan golongan itu terkadang memang muncul juga satu-dua cerdik pandai dan menjagoi pada zamannya. Tapi melulu tenaga seorang dua saja toh tetap sukar mengatasi kesatria-kesatria dari berbagai golongan dan aliran itu. Ketika Co Leng-tan mula-mula menjabat ketua Ngo-gak-kiam-pay, waktu itu juga Hong-ting Taysu sudah meramalkan dunia persilatan selanjutnya tentu akan banyak urusan. 
Dan dari tingkah laku Co Leng-tan beberapa tahun terakhir ini, nyata benar ramalan Hong-ting Taysu memang tidak meleset.”

“Omitohud!” Hong-ting menyebut Buddha sambil merangkap kedua tangannya.

Lalu Tiong-hi menyambung pula, “Menjadi bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay adalah langkah pertama usaha Co Leng-tan. 
Langkah kedua adalah melebur kelima aliran menjadi satu dan tetap diketuai olehnya. Sesudah Ngo-gak-kiam-pay terlebur menjadi satu, dengan sendirinya kekuatan tambah besar dan secara tidak resmi sudah dapat berjajar dengan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Kemudian dia tentu akan maju selangkah lagi dengan mencaplok Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, Jing-sia-pay, dan lain-lain sehingga ikut terlebur semua. Lebih jauh dia tentu akan mencari perkara kepada Tiau-yang-sin-kau, bersama Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sekaligus Tiau-yang-sin-kau akan ditumpasnya.”

Dalam lubuk hati Lenghou Tiong yang dalam timbul semacam rasa khawatir, katanya kemudian, “Sungguh sukar dilakukan usaha-usaha sebesar itu, buat apa dia mesti bersusah payah untuk mencapai maksudnya itu?”

“Hati manusia sukar diukur, segala apa di dunia ini, betapa sukarnya tentu juga ada orang yang ingin mencobanya,” ujar Tiong-hi. “Soalnya kalau Co Leng-tan dapat menumpas Tiau-yang-sin-kau, maka saat itu boleh dikata dia akan dipuja oleh orang-orang persilatan sebagai pemimpin besar. Untuk selanjutnya tentunya tidak sukar baginya buat mencaplok pula Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay.”

“O, kiranya Co Leng-tan ingin dipuja dan memimpin seluruh dunia persilatan,” kata Lenghou Tiong.

“Itulah dia!” sahut Tiong-hi dengan tertawa. “Tatkala mana mungkin dia ingin menjadi raja pula dan sesudah menjadi raja mungkin ingin hidup abadi tak pernah tua. Inilah sifat manusia yang serakah, sifat yang tidak kenal puas, sedari dahulu kala memang demikianlah manusia yang berkuasa dan banyak pula yang hancur karenanya.”

Lenghou Tiong terdiam sejenak, katanya kemudian, “Orang hidup paling-paling beberapa puluh tahun saja, buat apa mesti bersusah payah begitu? Co Leng-tan ingin menumpas Tiau-yang-sin-kau dan ingin mencaplok Siau-lim serta Bu-tong-pay, untuk mana entah betapa banyak korban akan timbul?”

“Benar, sebab itulah tugas kita bertiga cukup berat, kita harus mencegah agar maksud Co Leng-tan itu tidak terlaksana untuk menghindarkan banjir darah di dunia Kangouw,” seru Tiong-hi.

“Wah, mana Wanpwe dapat disejajarkan dengan kedua Cianpwe, pengetahuan Wanpwe teramat cetek dan terima di bawah pimpinan kedua Cianpwe saja,” kata Lenghou Tiong.

“Tempo hari kau memimpin para kesatria ke Siau-lim-si untuk memapak Yim-siocia, nyatanya tiada satu benda pun yang kalian ganggu di Siau-lim-si, untuk itu Hongtiang Taysu merasa utang budi kebaikanmu,” kata Tiong-hi pula.

Muka Lenghou Tiong menjadi merah, jawabnya, “Wanpwe tempo hari memang sembrono, mohon dimaafkan.”

“Sesudah rombongan kalian pergi, Co Leng-tan dan lain-lain juga mohon diri, tapi aku masih tinggal beberapa hari di Siau-lim-si dan mengadakan pembicaraan panjang dengan Hongtiang Taysu dan sama-sama mengkhawatirkan ambisi Co Leng-tan yang tak kenal batas itu,” kata Tiong-hi. “Kemudian kami masing-masing menerima berita tentang dirimu diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, maka kami berkeputusan akan datang kemari, pertama untuk memberi selamat kepadamu, kedua juga untuk berunding soal-soal ini.”

“Kedua Cianpwe teramat menghargai Wanpwe, sungguh Wanpwe sangat berterima kasih,” ujar Lenghou Tiong.

“Lim Ho itu menyampaikan perintah Co Leng-tan, katanya pagi hari tanggal 15 bulan tiga segenap anggota Ngo-gak-kiam-pay harus berkumpul di puncak Ko-san untuk memilih ketua Ngo-gak-pay, sebenarnya hal ini sudah dalam dugaan Hongtiang Taysu,” kata Tiong-hi lebih lanjut. “Cuma saja kita tidak menduga sedemikian cepat hal itu akan dilakukan oleh Co Leng-tan. Dia menyatakan hendak memilih ketua Ngo-gak-pay, seakan-akan peleburan Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu sudah terjadi dengan pasti. Sebenarnya menurut perkiraan kami, dengan watak Bok-taysiansing yang aneh itu, tokoh Heng-san-pay itu pasti tak mau mengekor kepada Co Leng-tan. Watak Thian-bun Tojin dari Thay-san-pay juga sangat keras, tentu dia pun tidak sudi di bawah perintah Co Leng-tan. Gurumu Gak-siansing selamanya juga sangat mementingkan sejarah perkembangan Hoa-san-pay, betapa pun terhapusnya Hoa-san-pay tentu bukan keinginannya. Hanya Hing-san-pay saja, sayang ketiga tokoh utamanya, ketiga suthay tua berturut-turut telah wafat, anak muridnya tentu tidak mampu melawan Co Leng-tan, bisa jadi Hing-san-pay akan dapat ditundukkan begitu saja. Tak terduga sebelum wafat Ting-sian Suthay sudah mempunyai pendirian tegas, dia telah menyerahkan jabatan ketua kepada Lenghou-laute. 
Sekarang asalkan Hoa-san, Heng-san, Thay-san, dan Hing-san-pay bersatu padu dan tidak mau dilebur menjadi Ngo-gak-pay segala, maka muslihat Co Leng-tan tentu akan gagal total.”

“Tapi kalau melihat sikap Lim Ho menyampaikan perintah Co Leng-tan tadi, agaknya Thay-san, Heng-san, dan Hoa-san-pay sudah berada di bawah pengaruh Ko-san-pay Co Leng-tan,” ujar Lenghou Tiong.
Benar,” kata Tiong-hi sambil mengangguk. “Memang tindakan gurumu Gak-siansing juga membuat kami merasa bingung. Kabarnya keluarga Lim dari Hokciu ada seorang muda yang menjadi murid gurumu, entah betul tidak?”

“Ya, Lim-sute itu bernama Lim Peng-ci,” tutur Lenghou Tiong.

“Konon leluhurnya menurunkan sebuah kitab Pi-sia-kiam-boh yang telah lama tersiar di dunia Kangouw, katanya ilmu pedang yang tercantum dalam kitab pusaka itu sangat hebat, tentunya Lenghou-laute juga pernah mendengar hal ini?” tanya Tiong-hi.

Lenghou Tiong mengiakan, lalu ia menceritakan pengalamannya tempo hari, cara bagaimana ia menemukan sebuah jubah di kediaman lama keluarga Lim di Hokciu, lalu dikerubut oleh orang-orang Ko-san-pay sehingga dirinya terluka dan jatuh pingsan, dan seterusnya.

Tiong-hi Tojin termenung sejenak, kemudian berkata pula, “Menurut aturan, setelah gurumu menemukan jubah itu tentunya akan dikembalikan kepada Lim-sute-mu.”
Akan tetapi kemudian sumoayku toh minta lagi Pi-sia-kiam-boh padaku,” kata Lenghou Tiong. “Tempo hari waktu di Siau-lim-si, ketika Co Leng-tan bertanding melawan Yim-kaucu, Co Leng-tan telah menggunakan jarinya sebagai pedang, menurut Hiang-toako, Hiang Bun-thian, katanya yang dimainkan itu adalah Pi-sia-kiam-hoat. Pengetahuan Wanpwe teramat cetek, entah apa yang dimainkan Co Leng-tan itu betul Pi-sia-kiam-hoat atau bukan, untuk mana mohon kedua Cianpwe sudi memberi petunjuk.”

Tiong-hi memandang sekejap ke arah Hong-ting Taysu, katanya, “Seluk-beluk persoalan ini silakan Taysu menjelaskannya untuk Lenghou-laute.”

Hong-ting mengangguk, katanya, “Lenghou-ciangbun, pernahkah kau mendengar nama ‘Kui-hoa-po-tian’?”

“Pernah kudengar cerita guruku, katanya ‘Kui-hoa-po-tian’ adalah kitab pusaka yang paling berharga dalam ilmu silat,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma sayang katanya kitab itu sudah lama lenyap di dunia persilatan dan entah berada di mana. Kemudian Wanpwe pernah mendengar pula dari Yim-kaucu, katanya beliau pernah menyerahkan ‘Kui-hoa-po-tian’ kepada Tonghong Put-pay. 
Jika demikian, maka kitab pusaka itu sekarang tentunya berada pada Tiau-yang-sin-kau.”

“Ya, tapi itu cuma setengah bagian saja dan tidak lengkap,” kata Hong-ting.

Lenghou Tiong mengiakan, ia pikir sebentar lagi tentu suatu peristiwa besar dunia persilatan di masa lampau pasti akan terurai dari mulut Hong-ting Taysu.

Terlihat Hong-ting memandang jauh ke depan, lalu berkata pula, “Hoa-san-pay pernah terbagi dengan Khi-cong dan Kiam-cong, apakah kau sendiri mengetahui apa sebabnya perguruanmu itu sampai terpecah menjadi dua sekte?”

Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, “Wanpwe tidak tahu, mohon penjelasan Cianpwe.”

“Bahwasanya tokoh-tokoh angkatan tua Hoa-san-pay pernah saling bunuh-membunuh lantaran terpecahnya menjadi Khi-cong dan Kiam-cong, hal ini tentunya kau mengetahui, bukan?”

“Benar, cuma suhu tak pernah menerangkan secara jelas,” sahut Lenghou Tiong.

“Pertarungan di antara saudara seperguruan sendiri tentunya bukan suatu peristiwa yang baik, sebab itulah mungkin Gak-siansing tidak suka banyak bercerita,” ujar Hong-ting. “Tentang pecahnya Hoa-san-pay menjadi dua sekte, kabarnya juga disebabkan oleh Kui-hoa-po-tian. Menurut cerita yang tersiar, katanya Kui-hoa-po-tian itu dikarang bersama oleh sepasang suami istri. Adapun nama kedua orang kosen itu sudah tak bisa diketahui lagi, ada yang bilang nama sang suami itu mungkin ada sebuah huruf ‘kui’ dan sang istri pakai nama ‘hoa’, maka hasil karya mereka bersama itu diberi nama ‘Kui-hoa-po-tian’, tapi semuanya itu cuma dugaan saja. Yang jelas diketahui hanya suami istri itu semula sangat baik dan saling cinta-mencintai, tapi kemudian entah sebab apa keduanya telah berselisih paham. Waktu mereka menciptakan ‘Kui-hoa-po-tian’ itu usia mereka diperkirakan baru empat puluhan, ilmu silat mereka sedang berkembang dengan pesat. Sesudah cekcok, sejak itu keduanya menghindari untuk bertemu satu sama lain, karena itu pula sejilid kitab pusaka yang hebat itu pun terbagi menjadi dua. Selama ini kitab yang dikarang oleh sang suami disebut ‘Kian-keng’ (Kitab Langit) dan ciptaan sang istri disebut ‘Kun-keng’ (Kitab Bumi).”

“Kiranya Kui-hoa-po-tian itu terbagi lagi menjadi kitab Kian dan Kun, baru sekarang Wanpwe mendengar untuk pertama kalinya,” ujar Lenghou Tiong.

“Tentang nama kitab itu sebenarnya cuma pemberian orang-orang bu-lim saja,” kata Hong-ting. “Selama dua ratusan tahun ini, agaknya sangat kebetulan juga, selama itu belum pernah ada seorang dapat membaca isi kedua kitab itu sehingga meleburnya menjadi satu. Bahwa menyimpan kedua kitab itu sekaligus sudah pernah terjadi. Ratusan tahun yang lalu ketua Siau-lim-si di Poh-thian Hokkian, Ang-yap Siansu namanya, pernah sekaligus memegang kedua kitab tersebut. Ang-yap Siansu pada zamannya terhitung seorang tokoh yang mahapintar dan cerdik, menurut tingkat ilmu silat dan kecerdasannya, seharusnya tidak susah baginya untuk melebur ilmu silat dari kedua kitab Kian dan Kun itu. Tapi menurut cerita murid beliau, katanya Ang-yap Siansu belum pernah memahami seluruh isi kitab-kitab itu.”

“Agaknya isi kitab itu sangat dalam sehingga tokoh mahacerdas seperti Ang-yap Siansu juga tidak mampu memahaminya,” kata Lenghou Tiong.

“Ya,” Hong-ting mengangguk. “Lolap dan Tiong-hi Toheng tidak punya rezeki sehingga tak pernah melihat kitab pusaka itu. Alangkah baiknya bila dapat melihat sekadar membaca isinya saja walaupun kami tidak mampu memahami ajarannya.”

“Wah, rupanya Taysu menjadi kemaruk kepada urusan duniawi lagi,” kata Tiong-hi dengan tersenyum. “Orang yang belajar silat seperti kita orang bila melihat kitab pusaka demikian tentu akan lupa makan dan lupa tidur, tapi kepingin sekali untuk menyelaminya. Akibatnya bukan saja mengganggu, bahkan mendatangkan kesukaran-kesukaran hidup kita. Maka adalah lebih baik kalau kita tidak sempat membaca kitab pusaka itu.”

Hong-ting terbahak, katanya, “Ucapan Toheng memang benar. Tentang ilmu silat yang tertera di dalam kedua kitab Kian dan Kun itu mempunyai pengantar dasar yang berbeda, bahkan terbalik menurut cerita. Konon ada dua saudara seperguruan Hoa-san-pay pernah sempat mengunjungi Siau-lim-si di Hokkian, entah cara bagaimana mereka telah dapat membaca kitab Kui-hoa-po-tian itu.”

Dalam hati Lenghou Tiong membatin mana mungkin kitab pusaka demikian itu diperlihatkan kepada tetamu oleh pihak Siau-lim-si, tentunya kedua tokoh Hoa-san-pay itu mencuri baca. Hanya Hong-ting Taysu sengaja bicara dengan istilah halus sehingga tidak memakai kata-kata “mencuri lihat”.

Dalam pada itu Hong-ting menyambung pula, “Mungkin waktunya terburu-buru, maka kedua orang Hoa-san-pay itu tidak sempat membaca seluruh isi kitab sekaligus, tapi mereka berdua membagi tugas, masing-masing membaca setengah bagian. Kemudian sesudah pulang ke Hoa-san, lalu mereka saling menguraikan oleh-oleh masing-masing dan tukar pikiran. Tak terduga apa yang mereka kemukakan, satu sama lain ternyata tiada yang cocok, makin dipaparkan makin jauh bedanya. Sebaliknya kedua orang sama-sama yakin akan kebenaran apa yang telah dibacanya sendiri dan anggap pihak lain yang salah baca atau sengaja tidak mau dikemukakan terus terang. Akhirnya kedua orang lantas berlatih secara sendiri-sendiri, dengan demikian Hoa-san-pay menjadi terpecah menjadi dua sekte, yaitu Khi-cong dan Kiam-cong. Kedua suheng dan sute yang tadinya sangat akrab itu akhirnya berubah menjadi musuh malah.”

“Kedua Locianpwe kami itu tentunya adalah Lin Siau dan Cu Hong beberapa angkatan yang lalu itu,” kata Lenghou Tiong.

Kiranya Lin Siau adalah cikal bakal sekte Khi-cong dari Hoa-san-pay dan Cu Hong adalah cikal bakal Kiam-cong, yaitu kedua tokoh Hoa-san-pay yang mencuri baca Kui-hoa-po-tian di Siau-lim-si Hokkian sebagaimana diceritakan Hong-ting. 
Pecahnya Hoa-san-pay itu terjadi pada puluhan tahun yang lalu.

“Begitulah, maka kemudian Ang-yap Siansu mengetahui juga akan bocornya Kui-hoa-po-tian itu,” tutur Hong-ting lebih lanjut. “Beliau tahu isi kitab pusaka itu terlalu luas dan dalamnya sukar dijajaki, ia sendiri tidak berhasil meyakinkan ilmunya meski sudah berpuluh tahun menyelaminya. Tapi sekarang Lin Siau dan Cu Hong hanya membacanya secara kilat, yang dipahami hanya samar-samar saja, akibatnya tentu malah celaka. Karena itu ia lantas mengutus murid kesayangannya yang bernama To-goan Siansu ke Hoa-san untuk menasihatkan Lin Siau dan Cu Hong agar jangan meyakinkan ilmu silat dari kitab yang mereka baca itu.”

“Tentunya kedua Locianpwe dari Hoa-san itu tidak mau menurut,” kata Lenghou Tiong.
Hal ini juga tak bisa menyalahkan mereka berdua,” ujar Hong-ting. Coba pikir, orang persilatan seperti kaum kita, sekali mengetahui rahasia sesuatu ilmu silat yang hebat tentu saja ingin sekali meyakinkannya. Tak terduga, kepergian To-goan Siansu ke Hoa-san itu telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang panjang.”

“Apakah Lin dan Cu berdua cianpwe itu telah berlaku tidak baik kepada beliau?” tanya Lenghou Tiong.
Bukan begitu, malahan Lin dan Cu berdua sangat menghormat kedatangan To-goan Siansu,” kata Hong-ting. “Mereka mengaku terus terang telah mencuri baca Kui-hoa-po-tian dan minta maaf, tapi di samping itu mereka pun minta petunjuk kepada To-goan tentang ilmu silat yang terbaca dari kitab pusaka itu. Mereka tidak tahu bahwa To-goan sendiri sama sekali tidak tahu ilmu silat yang tertulis dalam kitab itu meski To-goan adalah murid kesayangan Ang-yap Siansu. Namun To-goan juga tidak mengatakan hal itu, dia mendengarkan uraian mereka dari isi kitab yang dibacanya di Siau-lim-si itu, sebisanya ia memberi penjelasan, tapi diam-diam ia mengingat di luar kepala dari apa yang diuraikan Lin dan Cu itu.”

“Dengan demikian To-goan Siansu malahan memperoleh isi kitab pusaka itu dari Lin dan Cu berdua cianpwe?” kata Lenghou Tiong.

“Benar,” jawab Hong-ting sambil mengangguk. “Cuma apa yang diingat oleh Lin dan Cu dari apa yang mereka baca itu memangnya tidak banyak, sekarang harus menguraikan pula, tentu saja mengalami potongan lagi. Konon To-goan Siansu tinggal delapan hari di Hoa-san barulah mohon diri. Tapi sejak itu ia pun tidak pulang ke Siau-lim-si lagi di Hokkian.”

Lenghou Tiong menjadi heran, “Dia tidak pulang ke Siau-lim-si, lalu pergi ke mana!”

“Inilah tiada orang yang tahu,” jawab Hong-ting. “Cuma tidak lama kemudian Ang-yap Siansu lantas menerima sepucuk surat dari To-goan Siansu yang memberitahukan bahwa dia takkan pulang ke Siau-lim-si lagi karena timbul hasratnya untuk hidup kembali di masyarakat ramai.”

Sungguh tak terkatakan heran Lenghou Tiong, ia anggap kejadian demikian sungguh di luar dugaan siapa pun juga.

“Berhubung dengan peristiwa itu, terjadilah selisih paham di antara Ang-yap Siansu dengan pihak Hoa-san-pay, tentang perbuatan murid Hoa-san-pay mencuri baca Kui-hoa-po-tian juga lantas tersiar di dunia Kangouw,” tutur pula Hong-ting. “Selang berapa puluh tahun kemudian terjadi juga sepuluh tianglo dari Mo-kau menyerbu ke Hoa-san.”

“Sepuluh tianglo Mo-kau menyerbu Hoa-san? Hal ini belum pernah kudengar,” kata Lenghou Tiong.

“Kalau dihitung, waktu kejadian itu gurumu sendiri belum lagi lahir,” ujar Hong-ting. “Sepuluh gembong Mo-kau menyerbu Hoa-san, tujuannya adalah Kui-hoa-po-tian itu. Tatkala itu kekuatan Hoa-san-pay lemah dan tidak mampu melawan gembong-gembong Mo-kau itu. 
Terpaksa Hoa-san berserikat dengan Thay-san, Heng-san, Ko-san, dan Hing-san-pay sehingga lahir nama Ngo-gak-kiam-pay. Pertama kali terjadilah pertempuran sengit di kaki gunung Hoa-san, hasilnya gembong-gembong Mo-kau itu mengalami kekalahan besar. Tapi lima tahun kemudian, kesepuluh gembong Mo-kau itu berhasil meyakinkan inti ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay dan meluruk kembali ke Hoa-san....”

Mendengar sampai di sini, teringatlah Lenghou Tiong kepada tengkorak-tengkorak yang dilihatnya di dalam gua di puncak tertinggi Hoa-san tempo hari, begitu pula ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu. Tanpa terasa ia bersuara kejut.

Hong-ting melanjutkan pula, “Sekali ini kedatangan kesepuluh gembong Mo-kau itu memang sudah disiapkan, mereka sudah punya cara-cara untuk mematahkan setiap ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay. Maka pertempuran kedua ini sangat merugikan Ngo-gak-kiam-pay sehingga sejilid salinan Kui-hoa-po-tian jatuh ke tangan orang Mo-kau. Hanya saja kesepuluh gembong Mo-kau itu pun tidak dapat meninggalkan Hoa-san dengan hidup, dapat dibayangkan pertarungan yang terjadi itu tentu sangat dahsyat.”

Cerita Hong-ting ini mengingatkan kembali pada Lenghou Tiong akan tengkorak-tengkorak yang dilihatnya di dalam gua Hoa-san itu. Pikirnya, “Apakah tengkorak-tengkorak itu adalah gembong-gembong Mo-kau? Kalau tidak, mengapa mereka mengukir tulisan di dinding gua dan mencaci-maki Ngo-gak-kiam-pay?”

Melihat Lenghou Tiong termangu-mangu, Hong-ting bertanya, “Apakah kau mendengar cerita ini dari gurumu?”

“Tidak pernah,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma Wanpwe pernah menemukan sebuah gua di puncak Hoa-san, di sana terdapat beberapa rangka tulang belulang serta beberapa tulisan yang terukir di dinding.”

“Hah, ada hal demikian? Apa arti tulisan itu?” tanya Hong-ting.

“Arti tulisan itu mencaci-maki Ngo-gak-kiam-pay, terutama Hoa-san-pay,” jawab Lenghou Tiong.

“Masakah Hoa-san-pay dapat membiarkan tulisan-tulisan demikian tanpa menghapusnya?” ujar Hong-ting.

“Gua itu kutemukan secara tidak sengaja, orang lain tiada yang tahu,” tutur Lenghou Tiong. Lalu ia pun menceritakan pengalamannya dahulu serta apa yang dilihatnya di dalam gua, yaitu seorang telah menggunakan kapak untuk menggali gua sampai sedalam beberapa ratus kaki, akhirnya mati kehabisan tenaga meski tinggal beberapa kaki lagi gua itu sudah bisa ditembus keluar.

“Orang memakai kapak? Apa barangkali Hoan Siong, itu gembong Mo-kau yang berjuluk ‘Tay-lik-sin-mo’ (Iblis Sakti Bertenaga Raksasa),” kata Hong-ting.

“Benar, benar!” kata Lenghou Tiong. “Memang di antara tulisan-tulisan yang terukir di dinding itu disebut-sebut juga nama Hoan Siong dan Tio Ho, katanya mereka yang mematahkan Hing-san-kiam-hoat di situ.”

“Tio Ho? Dia adalah ‘Hui-thian-sin-mo’ (Iblis Sakti Juru Terbang) di antara kesepuluh gembong Mo-kau itu!” seru Hong-ting. 
Bukankah dia memakai senjata lui-cin-tang (semacam palu)?”

“Hal ini kurang jelas,” sahut Lenghou Tiong. “Cuma di lantai gua sana memang ada sebuah lui-cin-tang. Aku masih ingat tulisan yang terukir di dinding gua itu, katanya yang mematahkan Hoa-san-kiam-hoat adalah dua orang she Thio yang bernama Thio Seng-hong dan Thio Seng-in.”

“Memang benar,” kata Hong-ting. “Thio Seng-hong dan Thio Seng-in adalah dua bersaudara, masing-masing berjuluk ‘Kim-kau-sin-mo’ (Iblis Sakti Si Kera Emas) dan Pek-goan-sin-mo (Iblis Sakti Orang Hutan Putih). Konon senjata mereka adalah toya.”

“Benar,” kata Lenghou Tiong. “Menurut ukiran di dinding, memang di situ dilukiskan Hoa-san-kiam-hoat dikalahkan oleh toya mereka.”

Bab 104. Asal Usul Pi-sia-kiam-hoat

Kalau dipikir menurut ceritamu, agaknya kesepuluh gembong Mo-kau itu masuk perangkap Ngo-gak-kiam-pay, mereka terpancing ke dalam gua sehingga tidak mampu lolos,” kata Hong-ting.

“Ya, Wanpwe juga berpikir demikian,” jawab Lenghou Tiong. “Dari sebab itu gembong-gembong Mo-kau itu merasa penasaran, lalu mereka mengukir tulisan untuk mencaci maki Ngo-gak-kiam-pay serta melukiskan jurus-jurus ilmu silat mereka yang telah mengalahkan ilmu pedang Ngo-gak-kiam-hoat agar diketahui angkatan yang akan datang, supaya angkatan berikutnya mengetahui kematian mereka itu bukan kalah tanding, tapi terjebak oleh tipu muslihat musuh. Hanya saja di samping beberapa tulang itu terdapat pula beberapa batang pedang yang jelas adalah senjata dari pihak Ngo-gak-kiam-pay.”

Hong-ting merenung sejenak, katanya kemudian, “Itulah sukar diketahui seluk-beluknya, bisa jadi gembong-gembong Mo-kau itu merampasnya dari orang-orang Ngo-gak-kiam-pay. Tentu apa yang kau temukan di gua itu sampai kini belum pernah kau ceritakan kepada orang lain?”

“Tidak pernah,” jawab Lenghou Tiong. “Bahkan kepada suhu dan sunio juga belum sempat kuberi tahu berhubung macam-macam kejadian selanjutnya.”

“Ilmu pedangmu yang hebat itu apakah juga hasil pelajaranmu dari lukisan-lukisan di dinding gua itu?” tanya Hong-ting.

“Bukan. Tentang ilmu pedang Wanpwe, selain ajaran suhu kupelajari pula dari Hong-thaysiokco.”

Hong-ting manggut-manggut. Sekian lamanya mereka bicara, sementara itu sang surya sudah hampir terbenam di ufuk barat yang merah membara.

“Kesepuluh gembong Mo-kau itu akhirnya tewas semua di Hoa-san, tapi Kui-hoa-po-tian yang ditulis oleh Lin Siau dan Cu Hong juga kena digondol oleh orang Mo-kau,” kata Hong-ting pula. “Maka kitab yang diberikan Yim-kaucu kepada Tonghong Put-pay itu tentulah catatan tokoh-tokoh Hoa-san itu. Memangnya catatan mereka itu tidak lengkap, mungkin yang mereka catat itu masih kalah luas daripada apa yang diselami oleh Lim Wan-tho.”

“Lim Wan-tho?” Lenghou Tiong menegas.

“Ya, dia adalah moyang Lim-sute-mu, pendiri Hok-wi-piaukiok yang terkenal dengan ke-72 jurus Pi-sia-kiam-hoat itu,” kata Hong-ting.

“Apakah Lim-cianpwe ini pun pernah membaca Kui-hoa-po-tian itu?” tanya Lenghou Tiong.

“Dia... dia adalah To-goan Siansu, itu murid kesayangan Ang-yap Siansu,” Hong-ting menerangkan.

Hati Lenghou Tiong tergetar, katanya, “O, kiranya demikian. Ini benar-benar... rada....”

“Aslinya To-goan Siansu memang she Lim sesudah kembali preman, dia lantas memakai she asalnya,” kata Hong-ting.

“Kiranya moyang Lim-sute yang terkenal dan disegani karena ke-72 jurus Pi-sia-kiam-hoat itu adalah To-goan Siansu, hal ini sungguh tak... tak terduga sama sekali,” ujar Lenghou Tiong. Seketika adegan-adegan ketika Lim Cin-lam hampir meninggal dunia di kelenteng bobrok di luar Kota Heng-san dahulu itu terbayang-bayang pula di dalam benaknya.

“To-goan dan Wan-tho, kedua nama ini hanya terputar balik saja dengan ucapan yang hampir sama, jadi sesudah To-goan Siansu kembali preman, dia lantas menggunakan she aslinya dengan nama yang dibalik dari nama agamanya, kemudian ia pun menikah dan punya anak serta mendirikan piaukiok, namanya juga telah menggegerkan dunia Kangouw. Pendirian Lim-cianpwe itu sangat lurus, meski dia mengusahakan piaukiok, tapi dia suka membela keadilan dan suka menolong sesamanya tiada ubahnya ketika dia masih menjadi hwesio. Sudah tentu tidak lama kemudian Ang-yap Siansu mengetahui juga bahwa Lim-piauthau itu adalah bekas muridnya, tapi kabarnya di antara guru dan murid itu selanjutnya toh tiada saling berhubungan.”

“Lim-cianpwe itu memperoleh intisari Kui-hoa-po-tian dari uraian Lin dan Cu berdua cianpwe Hoa-san-pay, lalu dari mana pula asal usulnya Pi-sia-kiam-hoat yang terkenal itu?” tanya Lenghou Tiong. “Padahal Pi-sia-kiam-hoat yang dia turunkan kepada anak-cucunya toh tiada sesuatu yang bisa dipuji.”

“Toheng,” tiba-tiba Hong-ting berkata kepada Tiong-hi, “tentang ilmu pedang kau adalah ahlinya dan jauh lebih paham daripadaku. Tentang seluk-beluk ini hendaklah kau yang bercerita saja.”

“Ucapanmu ini bisa membikin marah padaku bila kita bukan sobat lama,” ujar Tiong-hi dengan tertawa. “Masakah kau mengolok-olok aku dalam hal ilmu pedang, padahal soal ilmu pedang pada zaman ini siapakah yang bisa melebihi Lenghou-siauhiap?”

“Meski ilmu pedang Lenghou-siauhiap sangat hebat, tapi pengetahuan tentang ilmu ini toh jauh untuk memadai dirimu,” ujar Hong-ting. “Kita adalah orang sendiri dan bicara secara blakblakan, buat apa pakai sungkan-sungkan segala.”

“Ah, padahal pengetahuanku tentang ilmu pedang masih jauh untuk disebut mahir,” kata Tiong-hi. “Tentang Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim sekarang yang rendah dibanding dengan Pi-sia-kiam-hoat Lim Wan-tho yang pernah menggetarkan Kangouw, memang mencolok sekali bedanya. Dahulu ketua Jing-sia-pay yang disegani di daerah Siamsay pernah dikalahkan oleh Lim Wan-tho, tapi sekarang ilmu pedang Jing-sia-pay malah jauh lebih kuat daripada ilmu pedang keluarga Lim, di balik hal ini tentu ada sebab-sebab tertentu. Soal ini sudah lama kurenungkan, malahan pasti juga telah menjadi bahan pemikiran setiap peminat ilmu pedang di dunia persilatan.”

“Sebabnya keluarga Lim-sute hancur dan berantakan, ayah-bundanya tewas secara mengenaskan semua itu juga disebabkan belum terpecahkannya tanda tanya ini,” kata Lenghou Tiong.

“Benar,” jawab Tiong-hi. “Nama Pi-sia-kiam-hoat terlalu hebat, namun kepandaian Lim Cin-lam toh sangat rendah, perbedaan mencolok ini mau tak mau menimbulkan pemikiran orang bahwa dalam hal ini pastilah Lim Cin-lam yang terlalu dungu dan tidak mampu mempelajari ilmu silat leluhurnya yang lihai itu. Lebih jauh orang tentu berpikir bila Pi-sia-kiam-boh itu jatuh di tanganku tentu akan dapat menyelami ilmu pedang Lim Wan-tho yang gilang-gemilang di masa lampau itu. Lenghou-laute, selama ratusan tahun ini tokoh yang terkenal dengan ilmu pedang memangnya tidak melulu Lim Wan-tho seorang saja, tapi Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Kun-lun-pay, dan lain-lain semuanya mempunyai ahli waris sendiri-sendiri, orang luar tentu tidak sudi mengincar ilmu pedang keluarga Lim, soalnya kepandaian Lim Cin-lam terlalu rendah seumpama anak kecil yang membawa emas dan berkeliaran di tengah pasar, tentu saja menarik perhatian setiap orang untuk mengincar emasnya itu.”

“Lim-cianpwe itu toh murid kesayangan Ang-yap Siansu, maka dia tentu sudah memiliki pula ilmu silat Siau-lim-pay yang hebat, tentang Pi-sia-kiam-hoat apa segala, bukan mustahil cuma namanya saja yang sengaja dia berikan, tapi sesungguhnya adalah ilmu silat Siau-lim-pay yang dia ubah sedikit di sana-sini.”

“Memang banyak orang juga berpikir demikian,” kata Tiong-hi. “Tapi Pi-sia-kiam-hoat memang sama sekali berbeda daripada ilmu silat Siau-lim-pay, setiap orang yang mengerti ilmu pedang dengan segera akan tahu bila melihatnya. Hah, orang yang mengincar kiam-boh keluarga Lim itu walaupun banyak, tapi akhirnya toh si katai dari Jing-sia-pay adalah orang paling berengsek, dialah yang turun tangan paling dulu. Cuma meski si katai she Ih itu cukup cekatan, namun otaknya rada bebal, mana bisa dibandingkan gurumu Gak-siansing yang pendiam, tapi tinggal menarik keuntungannya.”

“Ap... apa yang kau maksudkan, Totiang?” tanya Lenghou Tiong, air mukanya rada berubah.

Tiong-hi tersenyum, jawabnya, “Setelah Lim Peng-ci itu masuk perguruan Hoa-san, dengan sendirinya Pi-sia-kiam-boh itu pun dibawanya serta ke situ. Kabarnya Gak-siansing punya seorang putri tunggal yang juga akan dijodohkan kepada Lim-sute-mu itu, betul tidak? Hah, sungguh suatu muslihat jangka panjang yang sempurna.”

Semula Lenghou Tiong kurang senang karena Tiong-hi menyinggung nama baik Gak Put-kun, tapi kemudian mendengar Tiong-hi mengatakan suhunya itu bermuslihat jangka panjang, tiba-tiba ia teringat kepada kejadian dahulu, waktu itu sang guru telah mengutus Lo Tek-nau menyamar menjadi seorang kakek dan bersama siausumoaynya membuka sebuah kedai arak di luar Kota Hokciu, tatkala itu ia tidak tahu apa maksud tujuannya, tapi sekarang demi dipikir jelas tujuannya adalah untuk mengawasi Hok-wi-piaukiok. Padahal kepandaian Lim Cin-lam sudah diketahui sangat rendah, lalu buat apa usaha gurunya itu kalau bukan mengincar Pi-sia-kiam-boh. Hanya saja cara gurunya itu adalah pakai akal, tidak pakai kekerasan seperti Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong.

Lalu Lenghou Tiong berpikir pula, “Siausumoay adalah anak gadis muda belia, mengapa suhu membiarkan dia menonjolkan diri di muka umum dan tinggal di kedai arak itu dalam waktu cukup lama?”

Berpikir sampai di sini merindinglah perasaannya, mendadak ia mengerti duduknya perkara, “Kiranya jauh sebelum Lim-sute kenal siausumoay memang suhu telah sengaja mengatur dan menghendaki siausumoay dijodohkan kepada Lim-sute.”

Melihat air muka Lenghou Tiong berubah-ubah masam, Hong-ting dan Tiong-hi tahu pemuda itu biasanya sangat menghormati sang guru, tentu kata-katanya tadi rada menyinggung perasaannya. Maka Hong-ting berkata pula, “Apa yang kukatakan tadi hanya obrolanku dengan Tiong-hi Toheng saja dan cuma dugaan pula. Padahal gurumu itu di dunia persilatan terkenal sebagai kesatria yang alim, mungkin kami yang telah salah raba dan tidak tepat menilainya.”

Tiong-hi Tojin hanya tersenyum saja. Sebaliknya pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut, ia berharap apa yang dikatakan Hong-ting tadi tidaklah betul, tapi dalam lubuk hatinya yang dalam toh merasa setiap kata padri sakti itu memang benar. Selang sejenak barulah ia bertanya, “Tempo hari ketika di Siau-lim-si, Co-bengcu telah menempur Yim-kaucu dan menggunakan jari sebagai pedang, menurut Hiang-toako, katanya yang dia mainkan adalah Pi-sia-kiam-hoat. Tentang hal ini mohon Totiang sudi memberi penjelasan pula.”

“Hal ini aku sendiri pun tidak habis paham,” sahut Tiong-hi. “Bisa jadi Co Leng-tan telah memengaruhi gurumu dan telah merampas kiam-boh pusakanya, atau mungkin pula gurumu yang mengajak menyelami bersama ilmu pedang sakti itu dengan Co Leng-tan, sebab kepandaian Co Leng-tan dan kecerdasannya lebih tinggi daripada gurumu, bila dipelajari dua orang bersama tentu akan bermanfaat pula bagi gurumu. Lagi pula cara Co Leng-tan memainkan jarinya sebagai pedang itu apakah benar Pi-sia-kiam-hoat adanya juga sukar dipastikan.”

“Pi-sia-kiam-hoat dari keluarga Lim-sute boleh dikata sudah kami kenal,” ujar Lenghou Tiong. “Apa yang dimainkan Co-bengcu tempo hari itu memang ada beberapa jurus rada-rada mirip, tapi beberapa jurus di antaranya sama sekali berlainan.”

Lalu teringat pula apa yang dikatakan Lim Cin-lam di kelenteng bobrok di luar Kota Heng-san ketika mendekati ajalnya dahulu, maka berkata pula Lenghou Tiong, “Paman Lim ayah Lim-sute itu rupanya juga berpikiran sempit. Dia minta aku menyampaikan pesan terakhirnya, tapi khawatir pula kalau-kalau aku mencuri baca kiam-boh pusaka keluarganya.

“Paman Lim telah disiksa oleh orang Jing-sia-pay, kemudian dianiaya pula oleh Bok Ko-hong, dipaksa mengaku tentang kitab pusakanya itu, ketika Tecu menemukan dia, Paman Lim sudah dalam keadaan payah. Dia minta Tecu menyampaikan pesan kepada Lim-sute, katanya ada benda-benda yang tertanam di rumah kediaman lama di Hokciu adalah benda pusaka leluhurnya, Lim-sute disuruh menjaganya dengan baik. Benda yang dimaksudkan itu adalah jubah yang terdapat Pi-sia-kiam-boh... Ah, benar, aku menjadi ingat bahwa Lim-cianpwe itu asalnya adalah hwesio, makanya, di rumah kediamannya yang lama itu ada sebuah ruangan Buddha dan kiam-boh yang dia tinggalkan tertulis pula pada jubahnya.”

“Ya, kalau dipikir, tentunya apa-apa yang dia dengar dari uraian Lin Siau dan Cu Hong dari Hoa-san-pay itu kemudian dia catat di atas jubahnya, memang waktu itu dia masih menjadi hwesio,” kata Tiong-hi.

“Sungguh menertawakan pula, ketika memberi pesan, Paman Lim itu menambahkan lagi peringatan, katanya leluhurnya itu meninggalkan petunjuk bahwa orang yang bukan anak-cucunya tidak boleh membuka dan melihat isi pusakanya, kalau melanggar pesan ini tentu akan mendatangkan malapetaka. Dengan peringatan ini nyata Paman Lim itu khawatir aku mengangkangi benda pusaka mereka itu, maka lebih dulu aku telah ditakut-takuti.”

“Pesannya itu apakah kemudian kau teruskan kepada Lim-sute-mu?” tanya Tiong-hi.

“Aku sudah berjanji, sudah tentu kulaksanakan,” jawab Lenghou Tiong.

“Sampai sekarang rahasia ilmu silat yang tercantum di dalam Kui-hoa-po-tian itu sudah terbagi-bagi, di tangan Mo-kau ada sebagian, di tangan Gak-siansing ada sebagian pula, dan agaknya Co-bengcu dari Ko-san-pay juga memiliki sebagian,” kata Hong-ting. “Yang dikhawatirkan adalah ambisi Co Leng-tan yang tidak kenal batas, kalau dia mengetahui bahwa apa yang dia miliki tidaklah lengkap, tentu dia berniat membasmi Mo-kau dan mencaplok Hoa-san-pay pula agar Kui-hoa-po-tian dapat dimilikinya secara lengkap. Dan dunia persilatan selanjutnya tentu takkan aman lagi.”

“Kedua Locianpwe tentu mempunyai pandangan luas, kalau menurut kejadian di Siau-lim-si tempo hari, apakah jelas di antara ilmu silat yang diperlihatkan Co Leng-tan itu terdapat unsur-unsur ilmu silat dari Kui-hoa-po-tian?” tanya Lenghou Tiong.
Hong-ting berpikir sejenak, kemudian berkata kepada Tiong-hi, “Bagaimana pendapat Toheng?”
Kita berdua sama-sama belum pernah melihat Kui-hoa-po-tian itu,” jawab Tiong-hi. “Tapi menurut jalan pikiran yang sehat, rasanya Ko-san-kiam-hoat tak mungkin melahirkan jurus ilmu pedang demikian, bahkan Co Leng-tan sendiri betapa pun tidak dapat menciptakannya.”

“Benar,” ujar Hong-ting. “Cuma Co Leng-tan sekalipun sudah melihat Kui-hoa-po-tian atau Pi-sia-kiam-boh, yang dapat dia pahami tentu juga terbatas, sebab itulah ia pun bukan tandingan Yim-kaucu. Tanggal 15 bulan depan dia telah mengundang semua anggota Ngo-gak-kiam-pay untuk berkumpul di Ko-san untuk memilih pemimpin Ngo-gak-pay, entah bagaimana pendapat Lenghou-siauhiap atas soal ini.”

“Apanya yang perlu dipilih? Jabatan ketua tentunya bukan orang lain kecuali Co Leng-tan sendiri,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum.

“Apakah Lenghou-siauhiap juga setuju?” tanya Hong-ting.

“Mereka Ko-san-pay, Heng-san-pay, Thay-san-pay, dan Hoa-san-pay sudah ada persepakatan lebih dulu, andaikan Hing-san-pay tidak setuju tiada gunanya,” jawab Lenghou Tiong.

“Menurut pendapatku, begitu datang hendaklah Lenghou-siauhiap terus menentang penggabungan Ngo-gak-kiam-pay itu, kukira tidak semua orang menyetujui pendirian Ko-san-pay mereka,” kata Hong-ting. “Seumpama penggabungan itu sudah tidak dapat ditarik kembali, maka soal ciangbunjin harus ditentukan dengan bertanding ilmu silat. Bila Lenghou-siauhiap mau berusaha sepenuh tenaga, dalam hal ilmu pedang tentu kau dapat mengalahkan Co Leng-tan dan biar sekalian kau duduki jabatan ciangbunjin itu.”

“Tapi aku... aku....” Lenghou Tiong melengak bingung.

“Aku pun sependapat dengan Hongtiang Taysu,” sela Tiong-hi Tojin. “Namun kami pun sudah pernah tukar pikiran tentang dirimu yang terkenal tidak menaruh minat dalam hal kedudukan segala. Bila kau menjabat ketua Ngo-gak-pay, bicara terus terang, tentu tata tertib Ngo-gak-pay akan menjadi kendur, para anggota tentu lebih bebas bertindak dan hal ini pun bukan sesuatu yang baik bagi dunia persilatan....”

“Hahaha, ucapan Totiang memang tepat,” seru Lenghou Tiong dengan tertawa. “Aku Lenghou Tiong memang benar seorang petualang yang kurang tertib hidupnya dan suka pada kebebasan.”

“Hidup kurang tertib tidak terlalu membahayakan orang lain, tapi ambisi yang besar justru banyak mencelakakan orang,” ujar Tiong-hi. “Bila Lenghou-laute menjadi ketua Ngo-gak-pay, pertama, tentu takkan menggunakan kekerasan untuk menumpas Mo-kau, kedua, juga takkan mencaplok Siau-lim dan Bu-tong-pay kami. Ketiga, besar kemungkinan kau pun tak berminat untuk melebur golongan-golongan lain seperti Go-bi-pay, Kun-lun-pay, dan lain-lain. Bicara terus terang, kunjungan kami ke Hing-san ini di samping memberi selamat kepadamu sesungguhnya juga demi kebaikan beribu-ribu kawan persilatan baik dari sia-pay maupun dari cing-pay.”
Omitohud! Semoga bencana besar dapat dihindarkan demi keselamatan sesama kita,” kata Hong-ting.

Lenghou Tiong merenung sejenak, lalu berkata, “Jika demikian pesan kedua Cianpwe, sudah tentu Lenghou Tiong tidak berani menolak, tapi hendaklah kedua Cianpwe maklum pula bahwa Wanpwe masih terlalu hijau dalam segala hal, menjabat ketua Hing-san-pay saja sudah terlalu, apalagi menjadi ketua Ngo-gak-pay, mungkin akan lebih ditertawai oleh kesatria di seluruh jagat. Sebab itulah Wanpwe sekali-kali tidak menginginkan menjadi ketua Ngo-gak-pay, cuma pada tanggal 15 bulan tiga nanti Wanpwe pasti akan hadir ke Ko-san untuk mengubrak-abriknya, betapa pun niat Co Leng-tan untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay harus digagalkan. Biasanya Lenghou Tiong tidak mahir berbuat sesuatu yang baik, tapi disuruh membikin onar tanggung beres.”

“Melulu membikin onar saja juga kurang baik, dalam keadaan terpaksa, kukira kau pun jangan menolak untuk diangkat menjadi ciangbunjinnya,” kata Tiong-hi.

Namun Lenghou Tiong terus geleng-geleng kepala.

“Jika kau tidak berebut kedudukan ketua dengan Co Leng-tan, akhirnya tentu dia yang diangkat sehingga jadilah Ngo-gak-kiam-pay terlebur menjadi satu dan orang pertama yang pasti akan dibereskan oleh Co Leng-tan tentulah kau sendiri,” ujar Tiong-hi.

Lenghou Tiong terdiam. Katanya kemudian sambil menghela napas, “Bila demikian jadinya, ya, apa mau dikata lagi.”

“Seumpama kau dapat menghindarkan diri, tapi apakah anak buahmu akan kau tinggalkan begitu saja? Bagaimana kalau Co Leng-tan menyembelihi anak murid tinggalan Ting-sian Suthay yang kau pimpin sekarang ini, apakah kau juga akan tinggal diam?” tanya Tiong-hi.

“Tidak bisa!” seru Lenghou Tiong sambil gebrak langkan di sampingnya.

“Selain itu, rasanya gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu dari Hoa-san-pay itu tentu juga takkan terhindar dari akal licik Co Leng-tan dalam waktu tidak lama, satu per satu mereka tentu juga akan menjadi korban keganasan Co Leng-tan, apakah hal ini kau juga akan tinggal diam?”

Hati Lenghou Tiong tergetar, jawabnya dengan hormat kepada kedua tokoh itu, “Terima kasih atas petunjuk kedua Cianpwe, Wanpwe pasti akan berbuat sebisanya.”

“Tanggal 15 bulan tiga nanti Lolap dan Tiong-hi Toheng tentu juga akan berkunjung ke Ko-san sekadar ikut membantu Lenghou-siauhiap,” kata Hong-ting.

“Bila kedua Cianpwe juga hadir, betapa pun Co Leng-tan tak berani berbuat sewenang-wenang,” kata Lenghou Tiong.

Selesai berunding legalah hati mereka. Dengan tertawa akhirnya Tiong-hi berkata, “Marilah kita kembali saja, ciangbunjin baru menghilang sekian lamanya, tentu mereka sedang bingung menantikan kau.”

Dari tengah jembatan gantung itu mereka lantas putar balik, tapi baru beberapa langkah, sekonyong-konyong mereka sama berhenti lagi. Lenghou Tiong lantas membentak, “Siapa itu?”

Rupanya tiba-tiba ia mendengar di ujung jembatan sana terdengar pernapasan orang banyak, terang di dalam Leng-kui-kok (Loteng Kura-kura Sakti) pada Sian-kong-si di sebelah kiri itu tersembunyi orang.

Baru saja Lenghou Tiong membentak, serentak terdengar suara gedubrakan, beberapa daun jendela Leng-kui-kok tampak didobrak orang, berbareng menongol keluar jendela belasan batang ujung panah yang diarahkan kepada mereka bertiga. Pada saat yang hampir sama di Sin-coa-kok (Loteng Ular Sakti) di belakang mereka juga terjadi hal yang serupa, daun jendela juga didobrak dan belasan ujung panah sama mengincar ke arah mereka.

Hong-ting, Tiong-hi, dan Lenghou Tiong adalah tiga tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman ini, biarpun berpuluh panah itu diarahkan kepada mereka, pemanahnya juga tentu bukan sembarangan orang, namun keadaan demikian toh tak bisa mengapa-apakan mereka. Soalnya sekarang mereka berada di tengah jembatan gantung, di bawahnya adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, luas jembatan itu juga cuma beberapa kaki saja, ditambah lagi mereka tidak membawa senjata sama sekali, menghadapi keadaan yang luar biasa secara mendadak ini, mau tak mau terkejut juga mereka.

Sebagai tuan rumah, dengan cepat Lenghou Tiong lantas mengadang ke depan, bentaknya pula, “Kaum celurut dari mana, mengapa tidak tampakkan diri?”

Terdengarlah suara bentakan seorang, “Panah!”

Cepat Lenghou Tiong bertiga mengayunkan lengan baju masing-masing dengan kencang. Tapi yang terbidik dari jendela itu ternyata bukan anak panah, tapi adalah belasan jalur panah air, air itu menyembur keluar dari ujung panah tadi dan diarahkan ke atas udara. Warna air kehitam-hitaman. Menyusul terendus bau busuk yang aneh, seperti bau bangkai yang sudah membusuk dan menyerupai pula bau udang atau ikan busuk, bau yang memuakkan itu hampir-hampir saja membikin Lenghou Tiong tumpah-tumpah walaupun lwekang mereka sangat tinggi.

Sesudah air hitam tadi disemburkan ke udara, kemudian titik-titik air itu bertaburan ke bawah seperti hujan. Ada beberapa tetes jatuh di atas langkan (pagar kayu) jembatan, dalam sekejap saja langkan itu tampak membusuk dan membekas lubang-lubang kecil, nyata lihai luar biasa air busuk itu.

Meski Hong-ting dan Tiong-hi sudah berpengalaman, tapi air berbisa sehebat itu belum pernah mereka lihat. Kalau anak panah atau senjata rahasia biasa rasanya sukar mengenai diri mereka biarpun mereka tak bersenjata, tapi menghadapi air racun yang bisa menghancurkan benda-benda yang tertetes ini boleh dikata mereka mati kutu, sebab asal tubuh mereka kecipratan setitik saja mungkin kulit daging mereka akan terus membusuk sampai ke tulang.

Kedua tokoh itu saling pandang sekejap, kelihatan air muka masing-masing berubah hebat, dari sorot mata mereka tampak timbul rasa jeri mereka. Padahal biasanya hendak membuat jeri kedua tokoh besar ini boleh dikata mahasulit.

Setelah air racun tadi disemburkan, lalu di balik jendela sana seorang berseru lantang, “Air berbisa ini hanya disemburkan ke udara, kalau sekiranya disemprotkan ke tubuh kalian, lalu bagaimana akibatnya?”

Lalu belasan ujung panah tadi kelihatan mulai menggeser ke bawah dan kembali diarahkan kepada Lenghou Tiong bertiga.

Jembatan gantung itu panjangnya belasan meter yang menghubungkan Leng-kui-kok dan Sin-coa-kok di kanan-kiri, sekarang di dalam kedua loteng itu sama terpasang pesawat semprot air berbisa, bila pesawat-pesawat itu dikerjakan serentak, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga mereka bertiga sukar menyelamatkan diri.

Mendengar suara orang tadi, sedikit memikir saja Lenghou Tiong lantas ingat siapa dia, cepat ia berseru, “Hah, katanya Tonghong-kaucu mengirim utusan untuk mengantar kado padaku, kado yang dia kirim ini sungguh luar biasa!”

Kiranya orang yang bicara di Leng-kui-kok tadi memang betul adalah Kah Po, itu utusan Tonghong Put-pay. Karena suaranya telah dikenali Lenghou Tiong, dengan bergelak tertawa ia pun berkata, “Pintar sekali Lenghou-kongcu, dalam sekejap saja dapat mengenali suara Cayhe. Orang pintar tentu tidak mau telan pil pahit, jelas sekarang Cayhe sudah berada di atas angin dengan sedikit tipu muslihat licik kami, maka sementara ini maukah Lenghou-kongcu menyerah kalah saja?”

Wi-bin-cun-cia Kah Po, Si Muka Kuning dari Mo-kau ini sengaja bicara di muka dan mengakui dirinya memakai tipu muslihat licik, dengan demikian ia tidak perlu takut didamprat oleh Lenghou Tiong akan akal busuknya itu.

Dengan tarikan lwekang yang hebat, Lenghou Tiong bergelak tertawa, suaranya menggetar angkasa pegunungan dan berkumandang, katanya, “Aku dan kedua cianpwe dari Siau-lim dan Bu-tong-pay mengobrol iseng di sini, kukira yang ada di sini adalah teman baik semua sehingga tiada mengadakan penjagaan apa-apa sehingga kena diselomoti oleh Kah-heng, sekarang apa mau dikata, tidak mengaku kalah juga tak bisa lagi.”

“Baik sekali jika begitu,” kata Kah Po. “Selamanya Tonghong-kaucu sangat menghormati tokoh angkatan tua dunia persilatan, beliau juga sangat menghargai tunas angkatan muda. Apalagi Yim-siocia sejak kecil tinggal bersama Tonghong-kaucu, melulu mengingat pada Yim-siocia saja masakah kami berani berlaku kasar kepada Lenghou-kongcu.”

Lenghou Tiong mendengus dan tidak menanggapi. Sebaliknya Hong-ting dan Tiong-hi telah memeriksa keadaan sekitarnya ketika Lenghou Tiong bertanya-jawab dengan Kah Po. Mereka melihat belasan bedil air sama diacungkan ke arah mereka, bila mereka turun tangan berbareng umpamanya, andaikan sebagian musuh dapat dirobohkan, tapi sukar rasanya untuk membersihkan musuh yang tak diketahui berapa banyaknya. Asal salah satu bedil air racun itu sempat menyemburkan airnya, jiwa ketiga orang tentu melayang seketika. Karena itu mereka hanya saling pandang belaka, dari sorot mata mereka mempunyai suatu pendapat yang sama: tidak boleh bertindak secara gegabah.

Dalam pada itu terdengar Kah Po bicara pula, “Jika Lenghou-kongcu sudah mau mengaku kalah, maka segala persoalan menjadi beres. Ketika berangkat aku dan Siangkoan-hiante telah dipesan oleh Tonghong-kaucu agar mengundang Lenghou-kongcu beserta Hongtiang Taysu dari Siau-lim dan Ciangbun Totiang dari Bu-tong sudi mampir ke Hek-bok-keh untuk tinggal barang beberapa hari. Sekarang kalian bertiga kebetulan berada di sini semua, maka kalau sekarang juga kita berangkat bersama, bagaimana pendapat kalian?”

Kembali Lenghou Tiong mendengus, ia pikir di dunia ini masakah ada urusan seenak ini, asalkan pihaknya bertiga diberi kesempatan meninggalkan jembatan gantung itu, untuk mengatasi Kah Po dan begundalnya boleh dikata pekerjaan yang tidak sulit.

Benar juga, segera terdengar Kah Po menyambung, “Namun ilmu silat kalian bertiga teramat tinggi, bila di tengah jalan kalian ganti pikiran dan tidak mau menuju ke Hek-bok-keh, maka sukarlah bagi kami untuk menunaikan tugas, tanggung jawab yang berat ini terpaksa menyuruh aku meminjam tiga belah tangan kanan kepada kalian.”

“Pinjam tiga belah tangan kanan?” Lenghou Tiong menegas.

“Benar,” jawab Kah Po. “Silakan kalian bertiga menebas tangan kanan sendiri-sendiri, dengan demikian legalah hati kami.”

“Hahahahaha! Kiranya demikian keinginanmu,” seru Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tonghong Put-pay rupanya takut kepada ilmu silat kami bertiga, maka sengaja memasang perangkap ini untuk memaksa kami menebas tangan kanan sendiri, jika kehilangan tangan kanan dengan sendirinya kami tidak mampu main pedang lagi dan dia boleh tidur dengan nyenyak tanpa khawatir lagi.”

“Tidur nyenyak tanpa khawatir sih mungkin juga tidak,” kata Kah Po. “Yang jelas Yim Ngo-heng akan kehilangan bala bantuan yang kuat sebagai Lenghou-kongcu, maka kekuatannya tentu akan menjadi jauh lebih lemah.”

“Hm, kata-katamu benar-benar blakblakan tanpa tedeng aling-aling,” ujar Lenghou Tiong.

“Cayhe seorang pengecut tulen,” jawab Kah Po. Lalu ia lantangkan suaranya, “Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang, kalian lebih suka mengorbankan sebelah tangan atau lebih ingin jiwa melayang di sini?”

“Baiklah,” jawab Tiong-hi. “Tonghong Put-pay ingin pinjam tangan, biarlah kita pinjamkan padanya. Cuma kami tidak membawa sesuatu senjata, untuk menebas lengan menjadi sukar.”

Baru habis ucapannya, tiba-tiba sinar putih gemerdep, sebuah gelang baja terlempar dari jendela sana. Bulat tengah gelang baja itu mendekati satu kaki (antara 30 senti) dengan pinggiran yang tajam. Di tengah gelang ada satu palangan yang digunakan pegangan tangan, bentuk gelang demikian adalah sejenis senjata yang tidak terdaftar dalam senjata umum, biasanya dipakai sepasang gelang baja semacam ini dan disebut “kian-kun-goan”.

Karena Lenghou Tiong berdiri paling depan, maka cepat ia tangkap gelang baja itu.
Ia meringis melihat senjata itu dan mengakui kelicikan Kah Po. Pinggiran gelang baja itu sangat tajam, sekali bergerak saja sebelah lengan pasti akan tertebas kutung. Tapi kalau diputar, lantaran bentuknya bundar kecil, betapa pun sukar menahan air yang disemprotkan.

“Jika kalian sudah setuju, nah, lekas kerjakan!” bentak Kah Po dengan suara bengis, “Jangan kalian mengulur-ulur waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan. Aku akan menghitung dari satu sampai tiga! Jika kalian tidak lekas mengutungi lengan sendiri, serentak air racun akan disemburkan! Satu....”

Di bawah ancaman Kah Po itu, terpaksa Lenghou Tiong mencari jalan keluar, katanya dengan suara lirih kepada kedua kawannya, “Aku akan menerjang ke depan, harap kedua Cianpwe ikut di belakangku!”

“Jangan!” kata Tiong-hi.

Dalam pada itu Kah Po telah berseru pula, “Dua!”

Lenghou Tiong angkat gelang baja tadi, ia pikir Hong-ting dan Tiong-hi adalah tamu, betapa pun tak boleh membikin susah kedua orang itu. Kalau musuh mengucapkan “tiga” nanti segera kusambitkan gelang baja ini, lalu kuterjang sambil putar lengan baju, asalkan air berbisa itu semua tersemprot ke tubuhku, maka kedua locianpwe itu tentu ada kesempatan untuk lolos.

Sementara itu Kah Po telah berseru pula, “Semuanya siap, hitungan terakhir ‘tiga’!”

Pada saat yang sama itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang perempuan di dalam Leng-kui-kok itu, “Nanti dulu!” menyusul sesosok bayangan hijau melayang tiba dan mengadang di depan Lenghou Tiong. Ternyata Ing-ing adanya.

Sebelah tangan Ing-ing tampak goyang-goyang di belakang tubuhnya, lalu serunya menghadap ke sana, “Kah-sioksiok, betapa cemerlangnya nama Wi-bin-cun-cia di dunia Kangouw, mengapa sekarang melakukan perbuatan rendah seperti ini?”

“Urusan ini... Toasiocia, harap engkau menyingkir dulu, janganlah ikut campur!” jawab Kah Po.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ing-ing pula. “Tonghong-sioksiok suruh kau bersama Siangkoan-sioksiok mengantar kado untukku, mengapa kau kena disogok oleh Co Leng-tan dan berbalik memusuhi ketua Hing-san-pay?”

“Siapa bilang aku terima sogok dari Co Leng-tan?” Kah Po menyangkal. “Aku mendapat perintah rahasia Tonghong-kaucu agar menangkap Lenghou Tiong.”

Bab 105. Lolos dari Lubang Jarum

Jangan kau mengaco-belo tak keruan,” bentak Ing-ing. “Ini, Tiat-bok-leng (kayu besi tanda pengenal) Kaucu berada padaku. Menurut perintah Kaucu, Kah Po telah mengadakan persekutuan jahat, hendaklah setiap anggota segera menangkap dan membunuhnya bila melihatnya, untuk mana hadiah disediakan.”

Habis berkata ia terus acungkan tangannya tinggi-tinggi, benar juga sepotong kayu hitam yang dikenal sebagai Tiat-bok-leng memang betul dia pegang.

Kah Po menjadi gusar dan segera memberi aba-aba, “Lepas panah!”

“Kau berani?” Ing-ing balas membentak. “Apakah Tonghong-kaucu suruh kau membunuh aku?”

“Kau membangkang perintah Kaucu....”

Tapi Ing-ing lantas menyela, “Siangkoan-sioksiok, tangkap dulu pengkhianat Kah Po itu dan kau segera naik pangkat menjadi Kong-beng-cosu.”

Kedudukan Kah Po memang lebih tinggi setingkat daripada Siangkoan In, padahal kepandaian Siangkoan In lebih tinggi, hal ini memangnya sudah membuatnya sirik, sekarang ada seruan Ing-ing, mau tak mau ia menjadi tergerak hatinya dan ragu-ragu pula. Sudah tentu ia pun mengetahui Ing-ing adalah putri Yim-kaucu yang dahulu, biasanya Tonghong-kaucu sangat menghargainya, walaupun akhir-akhir ini tersiar kabar Yim-kaucu tampil lagi di dunia Kangouw dan bermaksud merebut kembali kedudukan kaucu, ia menduga di antara Tonghong-kaucu dan Yim-siocia tentu juga akan terjadi perselisihan. Tapi kalau sekarang disuruh memerintahkan anak buahnya menyemprotkan air berbisa kepada Ing-ing, hal ini pun tak bisa dilakukan olehnya.

Dalam pada itu Kah Po memberi aba-aba pula, “Panah!”

Namun anak buahnya itu selama ini memandang Ing-ing sebagai malaikat dewata yang dipuja, apalagi terlihat padanya memegang Tiat-bok-leng, tentu saja mereka tidak berani sembarangan bertindak padanya.

Di tengah suara yang tegang itu, sekonyong-konyong di bawah loteng Leng-kui-kok itu ada orang berseru, “Api! Api! Kebakaran!”

Menyusul terlihatlah sinar api menganga disertai mengepulnya asap dari bawah.

“Keji benar kau, Kah Po!” seru Ing-ing. “Mengapa kau menyalakan api untuk membakar anak buahmu sendiri?”

“Ngaco-be....” namun belum habis Kah Po membantah, cepat Ing-ing menyela pula, “Lekas padamkan api dahulu!”

Berbareng ia terus mendahului menerjang ke sana, kesempatan baik ini segera diikuti oleh Lenghou Tiong, Hong-ting, dan Tiong-hi bertiga untuk berlari ke depan. Serentak mereka membobol jendela dan menerjang ke dalam.

Begitu mereka menyerbu ke dalam loteng, maka lumpuhlah seluruh alat pesawat panah air berbisa tadi. Lenghou Tiong menerjang ke arah altar terus menyambar sebuah tatakan lilin yang berujung tajam, sekali ia entakkan tatakan lilin, sepotong lilin yang masih menancap di situ terus mencelat dan merobohkan seorang anak buah Kah Po. Menyusul tatakan lilin lantas bekerja pula, hanya sekejap saja enam-tujuh orang telah dibinasakan pula. Di sebelah sana Hong-ting dan Tiong-hi juga sedang melabrak musuh, dengan cepat mereka pun telah membereskan tujuh-delapan orang.

Kedatangan Kah Po dan Siangkoan In kali ini seluruhnya membawa 40 buah peti, setiap petinya digotong dua orang sehingga semuanya ada 80 pengikut. Kedelapan puluh orang itu semuanya adalah jago pilihan Tiau-yang-sin-kau, walaupun bukan jago kelas satu, namun cukup tangguh ilmu silat masing-masing. Empat puluh orang di antaranya tersebar di sekeliling Sian-kong-si, 40 orang lagi bertugas memasang panah air yang terbagi di dua loteng Leng-kui-kok dan Sin-coa-kok.

Begitulah dalam sekejap saja Lenghou Tiong bertiga sudah membereskan ke-20 anak buah Kah Po, pesawat panah air berbisa itu berantakan tersebar memenuhi lantai. Dengan bersenjatakan sepasang boan-koan-pit tampak Kah Po sedang menempur Ing-ing dengan sengitnya. Senjata yang dipakai Ing-ing adalah sepasang pedang, pedang yang satu panjang dan yang lain pendek.

Selama Lenghou Tiong berkenalan dengan Ing-ing baru sekarang ia menyaksikan dengan jelas kepandaian si nona, cara menyerangnya sangat cepat, tempat yang diarah selalu yang berbahaya. Sebaliknya boan-koan-pit yang digunakan Kah Po tampak tidak kurang lihainya, agaknya bobotnya tidak ringan, terbukti dari sambaran angin yang terjangkit ketika senjatanya bergerak.

Ing-ing selalu menghindari senjatanya beradu dengan senjata lawan dan menyerang pada saat yang tepat dan tempat yang mematikan.

“Binatang, tidak lekas menyerah saja!” bentak Hong-ting kepada Kah Po.

Tapi Kah Po sudah kalap, mendadak kedua boan-koan-pit-nya menikam ke leher Ing-ing, Keruan Lenghou Tiong kaget, khawatir Ing-ing tidak sanggup menghindarkan serangan maut itu, tanpa pikir tatakan lilin yang berujung tajam itu pun ditusukkan ke depan. “Cret”, dengan cepat luar biasa pergelangan tangan Kah Po tertusuk sekaligus.

Karena itu boan-koan-pit Kah Po terlepas dari cekalan, namun dia memang sangat tangkas, segera ia menubruk ke arah Lenghou Tiong sambil menghantam dengan kedua telapak tangan. Tapi Hong-ting keburu menyela dari samping, sekali pegang kedua tangan Kah Po itu kena dicengkeram olehnya.

Sekuatnya Kah Po meronta, tapi aneh, betapa pun sukar melepaskan diri dari pegangan Hong-ting itu, segera ia angkat sebelah kakinya, terus menendang ke selangkangan Hong-ting.

Serangan ini benar-benar sangat keji, Hong-ting menghela napas dan terpaksa mendorongkan kedua tangannya ke depan. Kah Po tidak mampu berdiri tegak lagi, ia terlempar ke luar dan menerobos pintu terus terjerumus ke bawah. Terdengarlah suara jeritan ngeri yang terus berkumandang, makin lama makin jauh sampai akhirnya lenyap di dalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.

“Untung kau datang menolong tepat pada waktunya!” kata Lenghou Tiong kepada Ing-ing.

“Ya, memang untung kedatanganku tidak terlambat,” jawab Ing-ing dengan tersenyum. Lalu ia berseru pula, “Padamkan api!”

Terdengar ada orang mengiakan di bawah loteng. Kiranya api yang berkobar di bawah itu sengaja dinyalakan untuk mengacaukan perhatian Kah Po, api itu cuma pembakaran rumput kering ditabur dengan bahan bakar lain saja, jadi bukan kebakaran sungguh-sungguh.

Ing-ing mendekati jendela dan berseru ke Sin-coa-kok di depan sana, “Siangkoan-sioksiok, Kah Po membangkang perintah sehingga mendapatkan ganjarannya yang setimpal, kau sendiri bolehlah kemari bersama anak buahmu, aku takkan membikin susah padamu.”

“Toasiocia, ucapanmu harus dapat dipercaya,” jawab Siangkoan In.

“Aku bersumpah asalkan Siangkoan-sioksiok mau tunduk kepada perintahku, aku berjanji takkan membikin susah padanya, kalau melanggar sumpah ini biarlah aku mati membusuk dimakan ulat,” dengan sumpah Ing-ing yang paling berat menurut kebiasaan di dalam Tiau-yang-sin-kau maka legalah hati Siangkoan In, segera ia pimpin 20 anak buahnya keluar dari tempat sembunyinya.

Ketika Lenghou Tiong berempat turun ke bawah Leng-kui-kok, tertampak Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain-lain sudah menanti di situ.

“Dari mana kau mendapat tahu Kah Po akan menyergap kami?” tanya Lenghou Tiong kepada Ing-ing.

“Kupikir masakah Tonghong Put-pay begitu baik hati mau mengirim kado untukmu?” tutur Ing-ing. “Semula kusangka di dalam peti-peti antarannya mungkin tersembunyi sesuatu akal keji, kemudian kulihat tingkah laku Kah Po rada mencurigakan, malahan membawa pengikutnya menuju ke sini. Aku tambah curiga dan coba menjenguk ke sini bersama Lo-siansing dan lain-lain. 
Ternyata beberapa penjaga di bawah sana melarang kami naik ke sini, keruan rahasia mereka lantas ketahuan.”

Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain sama bergelak tertawa. Sebaliknya Siangkoan In menunduk malu.

“Siangkoan-sioksiok, selanjutnya kau ikut padaku atau tetap ikut Tonghong Put-pay?” tanya Ing-ing.

Air muka Siangkoan In berubah hebat, sesaat itu ia merasa sulit kalau dia disuruh mengkhianati Tonghong Put-pay.

Dengan lantang Ing-ing berkata pula, “Di antara kesepuluh tianglo dari Tiau-yang-sin-kau kita sudah ada enam tianglo yang makan pil Sam-si-nau-sin-tan dari ayahku. Sebiji pil ini akan kau makan atau tidak?”

Habis berkata ia terus menjulurkan tangannya, satu biji pil merah tampak berputar-putar di tengah telapak tangannya.

“Apakah betul enam di antara ke... kesepuluh tianglo kita sudah... sudah....”

“Betul,” sela Ing-ing. “Selamanya kau belum pernah bekerja bagi ayahku, akhir-akhir ini kau ikut Tonghong Put-pay, tapi tidak berarti mengkhianati ayahku. Asalkan kau mau meninggalkan yang gelap dan kembali ke jalan yang terang, sudah tentu aku akan menghargai kau, ayah juga pasti akan memberi penilaian lain padamu.”

Siangkoan In pikir kalau tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang, keadaan memaksa, mau tak mau ia ambil pil merah di tangan Ing-ing itu terus ditelan. Katanya, “Selanjutnya Siangkoan In terima di bawah perintah Toasiocia.”

Berbareng ia pun memberi hormat.
Selanjutnya kita adalah orang sendiri, tidak perlu kau banyak adat,” kata Ing-ing. “Para anak buahmu ini dengan sendirinya mengikuti jejakmu, bukan?”

Siangkoan In memandang kepada ke-20 pengikutnya. Melihat pemimpinnya sudah menyerah, tanpa diperintah lagi serentak orang-orang itu lantas menyembah kepada Ing-ing dan berseru, “Kami tunduk semua di bawah perintah Seng-koh!”

Sementara itu para kesatria sudah memadamkan api, mereka pun ikut bersyukur dan gembira bahwa Ing-ing telah berhasil menundukkan Siangkoan In. Maklumlah ilmu silat Siangkoan In cukup tinggi, kedudukannya juga penting di dalam Tiau-yang-sin-kau, kalau dia juga takluk kepada Ing-ing, maka bagi usaha Yim Ngo-heng untuk merebut kembali kedudukan kaucu tentu akan besar bantuannya.

Melihat urusan sudah beres, Hong-ting dan Tiong-hi lantas mohon diri. Lenghou Tiong mengantar keberangkatan kedua tokoh itu hingga jauh barulah ambil perpisahan.

Ketika menuju kembali ke Kian-seng-hong, Ing-ing berkata kepada Lenghou Tiong, “Toako, kau sendiri sudah menyaksikan betapa keji dan licinnya Tonghong Put-pay dengan segala akal busuknya. Saat ini ayah dan Hiang-sioksiok sedang menjumpai dan membujuk kenalan-kenalan lama yang punya kedudukan penting di dalam agama agar mereka mau mendukung pimpinan lama. Bila mereka mau menerima dengan baik ajakan ayah itu tentunya tidak menjadi soal, tapi kalau ada yang menentang, satu per satu lantas dibereskan sekalian untuk mengurangi kekuatan Tonghong Put-pay. Sementara ini Tonghong Put-pay juga telah mengadakan serangan balasan, seperti kejadian ini, dia mengirim Kah Po dan Siangkoan In untuk menjebak kau, ini benar-benar suatu langkah yang sangat lihai. Soalnya ayah dan Hiang-sioksiok sukar dicari jejaknya sehingga Tonghong Put-pay tidak mampu menemukan mereka, sebaliknya kalau kau sampai kena dicelakai, sungguh aku... aku....” sampai di sini air mukanya menjadi merah, cepat ia berpaling.

Angin malam meniup sepoi-sepoi, rambut Ing-ing yang halus itu tersiah ke atas sehingga tampak lehernya yang jenjang dan putih bersih, hati Lenghou Tiong terguncang, pikirnya, “Bahwasanya dia mencintai aku, hal ini telah diketahui umum, sampai-sampai Tonghong Put-pay juga ingin menangkap aku sebagai sandera untuk memaksakan kehendaknya padanya dan selanjutnya untuk memaksa ayahnya. Ketika di jembatan gantung di Sian-kong-si tadi, sudah jelas mengetahui betapa lihainya air berbisa, tapi dia rela mengadang di depanku. Punya istri sesetia ini, apa lagi yang kuharapkan lagi?”

Tanpa terasa lengannya menjulur dan bermaksud memeluk pinggang si nona.

Ing-ing mengikik tawa, sedikit mengegos, tempat kosonglah yang dipeluk oleh Lenghou Tiong. Kata Ing-ing dengan tertawa, “Masakah begini kelakuan seorang ciangbunjin yang terhormat?”

“Memangnya di seluruh dunia ini hanya ciangbunjin dari Hing-san-pay yang paling istimewa,” jawab Lenghou Tiong dengan menyengir.

“Mengapa kau berkata demikian, Toako?” ujar Ing-ing dengan sungguh-sungguh. “Bahkan ketua-ketua Siau-lim dan Bu-tong juga menghargai dirimu, siapa lagi yang berani memandang rendah padamu? Biarpun gurumu mengusir kau dari Hoa-san-pay, tapi jangan kau senantiasa memikirkan soal ini sehingga selalu merasa rendah diri.”

Kata-kata Ing-ing ini benar-benar kena di lubuk hati Lenghou Tiong, memang soal dipecatnya dari perguruan selama ini tetap mengganjal di dalam hatinya. Maka ia tidak menjawab, ia hanya menghela napas dan menunduk.

“Toako,” kata Ing-ing pula sambil pegang tangan Lenghou Tiong, “sebagai ketua Hing-san-pay, kau telah menonjol di depan para kesatria sejagat. Hing-san dan Hoa-san selalu pada tingkatan yang sama, memangnya sebagai ketua Hing-san-pay kau rasakan tidak lebih terhormat daripada seorang anak murid Hoa-san-pay?”

“Banyak terima kasih atas bujukanmu,” jawab Lenghou Tiong. “Aku hanya merasa kedudukanku sebagai pemimpin kawanan nikoh rada-rada lucu dan serbarunyam.”

“Tapi hari ini sudah ada ribuan kesatria yang minta menjadi anggota Hing-san-pay, bicara tentang pengaruh dan kekuatan boleh dikata hanya Ko-san-pay saja yang masih mampu menandingi kau, selain itu masakah Hoa-san-pay dan lain-lain dapat memadai kau?”

“Dalam urusan ini aku masih harus berterima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong.

“Terima kasih apa?” katanya Ing-ing tertawa.

“Kau khawatir aku merasa kurang gemilang menjadi pemimpin kaum nikoh, maka sengaja mengirim anak buahmu sebanyak ini untuk memasuki Hing-san-pay. Kalau bukan perintah Seng-koh masakah kawanan berandalan sebanyak itu mau datang padaku untuk menerima perintah begitu saja?”

“Juga belum tentu benar seluruhnya,” ujar Ing-ing. “Tatkala kau menyerbu Siau-lim-si bukankah mereka pun tunduk semua di bawah perintahmu?”

Sambil bicara, tanpa terasa sudah dekat dengan biara induk, sayup-sayup sudah terdengar suara berisik orang banyak. Ing-ing lantas berhenti dan berkata, “Toako, sementara ini kita berpisah dulu, bila urusan penting ayah sudah beres tentu aku akan datang menjenguk kau.”

Terdorong oleh perasaan hangat hatinya, Lenghou Tiong berkata, “Apakah kau akan berangkat ke Hek-bok-keh?”

Ing-ing mengiakan.

“Aku ikut!” kata Lenghou Tiong.

Seketika biji mata Ing-ing memancarkan sinar yang penuh gembira, tapi perlahan-lahan ia menggeleng malah.

“Kau tidak ingin aku ikut ke sana?” Lenghou Tiong menegas.

“Baru saja kau menjadi ketua Hing-san-pay, rasanya kurang pantas bila sekarang kau ikut campur urusan Tiau-yang-sin-kau kami,” kata Ing-ing.

“Tapi menghadapi Tonghong Put-pay adalah pekerjaan yang amat berbahaya, masakah aku harus tinggal diam membiarkan kau menghadapi bahaya?” ujar Lenghou Tiong.

“Tapi di sini tinggal kawanan berandalan sebanyak itu, siapa berani mengatasi mereka jika ada yang mengganggu nona-nona jelita Hing-san-pay kalian?” kata Ing-ing.

“Asalkan kau memberikan perintah tegas, betapa pun kukira mereka tak berani main gila.”

“Baiklah, atas kesediaanmu ikut ke Hek-bok-keh, atas nama ayah kusampaikan terima kasih.”
Buat apa kita saling terima kasih kian-kemari seperti orang luar saja.”

“Baik, kalau lain kali aku tidak tahu terima kasih janganlah kau salahkan aku,” sahut Ing-ing dengan tertawa.

Setelah kedua orang kembali di Kian-seng-hong, mereka lalu memberi pesan kepada anak buah masing-masing. 
Lenghou Tiong menyuruh para murid Hing-san-pay giat belajar. Ing-ing memberi perintah kepada para kesatria agar hidup prihatin, selanjutnya mereka dilarang naik ke Kian-seng-hong tanpa dipanggil, siapa yang melanggar akan dihukum potong kaki.
Besok paginya berangkatlah Lenghou Tiong, Ing-ing, Siangkoan In, dan ke-20 anak buahnya yang tersisa.

Hek-bok-keh itu terletak di wilayah Hopak, dari Hing-san mereka menuju ke timur. Suatu hari sampailah mereka di Pengting. Sepanjang jalan Lenghou Tiong dan Ing-ing menumpang di dalam kereta dengan tirai tertutup untuk menghindari mata-mata Tonghong Put-pay. Malam itu mereka cari penginapan di Pengting.

Kota itu sudah tidak jauh lagi dengan markas besar Tiau-yang-sin-kau, di dalam kota banyak berseliweran anggota-anggota Mo-kau itu. Siangkoan In menugaskan empat anak buahnya menjaga di sekitar hotel, orang yang tak berkepentingan dilarang keras mendekat.

Waktu makan malam, Ing-ing mengiringi Lenghou Tiong minum arak. Cahaya api lilin yang berkedip-kedip makin menambah kemolekan Ing-ing.

Setelah menenggak tiga mangkuk arak, berkatalah Lenghou Tiong, “Ing-ing, ketika di Siau-lim-si tempo hari ayahmu mengatakan beliau hanya mengagumi tiga setengah tokoh besar pada zaman ini, di antaranya Tonghong Put-pay adalah orang utama yang dikaguminya. Kalau orang ini mampu merampas kedudukan kaucu dari tangan ayahmu, sudah tentu ia adalah seorang mahapintar menurut cerita orang Kangouw, katanya ilmu silatnya Tonghong Put-pay nomor satu di dunia ini, entah betul tidak berita demikian ini?”

“Bahwa Tonghong Put-pay ini seorang yang mahacerdik dan banyak tipu akalnya memang tidak perlu disangsikan lagi,” jawab Ing-ing. “Tentang sampai di mana tinggi ilmu silatnya, tidaklah begitu jelas bagiku, soalnya beberapa tahun terakhir ini aku sangat jarang menjumpai dia.”

“Ya, tentunya kau lebih sering tinggal di Kota Lokyang sehingga jarang menjumpai dia,” ujar Lenghou Tiong.

“Bukan begitu. Meski aku tinggal di Lokyang, tapi setiap tahun aku tentu pulang ke Hek-bok-keh satu atau dua kali, tapi meski pulang ke sana toh jarang pula bertemu dengan Tonghong Put-pay. Menurut cerita para tianglo di sana akhir-akhir ini makin sukar untuk bertemu dengan sang kaucu.”

“Mungkin orang yang berkedudukan tinggi sering kali sengaja tahan harga agar lebih diagungkan orang,” kata Lenghou Tiong.

“Itu memang salah satu alasan tepat. Tapi kuduga tentunya dia sedang giat meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian sehingga tak ingin pemusatan pikirannya terganggu.”

“Ayahmu pernah bercerita padaku, katanya dahulu dia terlalu asyik meyakinkan cara-cara memunahkan bergolaknya hawa murni yang disedot oleh Gip-sing-tay-hoat sehingga urusan pekerjaan sehari-hari tak dihiraukan, kesempatan ini telah digunakan Tonghong Put-pay untuk merebut kekuasaan, apakah mungkin sekarang Tonghong Put-pay mengulangi lagi jejak ayahmu itu?”

“Sejak Tonghong Put-pay tidak banyak memegang pekerjaan agama, akhir-akhir ini semua kekuasaan boleh dikata hampir jatuh ke tangan bocah she Nyo itu. Bocah itu takkan merampas kedudukan Tonghong Put-pay, maka tentang terulangnya peristiwa dahulu boleh tidak perlu dikhawatirkan.”

“Bocah she Nyo katamu? Siapakah dia? Mengapa selama ini belum pernah kudengar?”

Tiba-tiba wajah Ing-ing tampak perasaan rikuh, katanya dengan tersenyum, “Kalau bicara tentang dia hanya bikin kotor mulut saja. Orang di dalam agama yang tahu seluk-beluknya tidak ada yang sudi membicarakannya, orang luar agama tiada yang tahu, dengan sendirinya kau pun tidak pernah dengar tentang dia.”

Tambah tertarik rasa ingin tahu Lenghou Tiong, pintanya, “Adik yang manis, coba ceritakanlah padaku.”

“Bocah she Nyo itu lengkapnya bernama Nyo Lian-ting usianya belum ada 30, ilmu silatnya rendah, tidak mampu bekerja pula. Tapi akhir-akhir ini Tonghong Put-pay justru sangat sayang dan percaya padanya, sungguh sukar dimengerti.”

Sampai di sini wajah Ing-ing kembali bersemu merah, mulutnya mencibir dengan sikap yang menghina.

“Ah, barangkali kau maksudkan bocah she Nyo itu adalah ‘gendak’ Tonghong Put-pay? Sungguh tidak nyana, seorang kesatria seperti dia ternyata juga suka... suka main begituan.”

“Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi, aku pun tidak tahu apa yang dikehendaki Tonghong Put-pay. Yang jelas segala urusan hampir dia serahkan kepada Nyo Lian-ting sehingga banyak kawan-kawan dalam agama yang menjadi korban keculasan orang she Nyo itu, sungguh dia pantas dibinasakan.”

Sampai di sini, sekonyong-konyong di luar jendela ada orang tertawa dan berseru, “Ucapanmu salah, sebaliknya kita harus berterima kasih kepada bocah she Nyo itu.”

“Ayah!” seru Ing-ing dengan girang, cepat ia membukakan pintu.

Tertampaklah Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian melangkah masuk, keduanya sama-sama berdandan sebagai orang kampung dengan baju kasar, memakai kopiah buntut. Kalau tidak mendengar suaranya tentu sukar mengenalnya. Segera Lenghou Tiong memberi hormat dan suruh pelayan menambah makanan.

“Akhir-akhir ini aku dan Hiang-hiante mengadakan hubungan kenalan-kenalan lama di dalam agama, hasilnya ternyata sangat memuaskan,” tutur Yim Ngo-heng. “Sebagian besar di antara mereka menyambut kembaliku dengan girang, katanya akhir-akhir ini Tonghong Put-pay sudah mendekati kebangkrutan karena dijauhi oleh pengikut-pengikutnya. Terutama bocah she Nyo itu, asalnya cuma seorang keroco, lantaran bisa memelet Tonghong Put-pay sehingga memegang kekuasaan, lalu banyak lagak, tidak sedikit tokoh-tokoh ternama dan berjasa di dalam agama yang telah menjadi korbannya. Cara perbuatan bocah she Nyo itu bukankah berbalik membantu usaha kita, bukankah kita harus berterima kasih padanya malah?”

Ing-ing mengiakan, lalu ia tanya, “Dari mana kalian mengetahui kedatangan kami, Ayah?”

“Hiang-hiante sudah berkelahi dulu dengan Siangkoan In, kemudian baru diketahui dia telah tunduk padamu,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa.

“Hiang-sioksiok tidak melukai dia, bukan?” tanya Ing-ing.

“Tidaklah gampang untuk melukai Siangkoan In,” ujar Hiang Bun-thian dengan tersenyum.

Bicara sampai di sini, terdengar di luar riuh ramai dengan suara suitan yang tajam melengking mendirikan bulu roma di malam sunyi.

“Apakah Tonghong Put-pay mengetahui kedatangan kita?” kata Ing-ing. Lalu ia berpaling dan menjelaskan kepada Lenghou Tiong, “Suara suitan ramai itu adalah tanda penggerebekan musuh atau menangkap kaum pengkhianat. Bila mendengar tanda-tanda itu serentak para anggota dalam agama harus siap siaga.”

Selang tidak lama, terdengar empat ekor kuda dilarikan dengan cepat sekali lewat di depan hotel, ada penunggang kuda itu berseru, “Atas titah Kaucu, tianglo penguasa Hong-lui-tong, Tong Pek-him, bersekongkol dengan musuh dan bermaksud memberontak, diperintahkan segenap anggota bantu menangkapnya segera, bila melawan boleh dibunuh tanpa perkara.”

“Tong-pepek yang dimaksudkan? Mana bisa?” ujar Ing-ing tidak percaya.

“Tajam juga sumber berita Tonghong Put-pay, kemarin dulu kami baru saja bicara dengan Kakek Tong dan kini hal ini sudah diketahui olehnya,” kata Yim Ngo-heng.

Ing-ing merasa lega, tanyanya, “Jadi Tong-pepek juga menyanggupi membantu kita?”
Mana dia mau mengkhianati Tonghong Put-pay,” jawab Yim Ngo-heng. “Lama sekali aku dan Hiang-hiante bicara dengan dia, namun tetap sukar mengubah pendiriannya, akhirnya dia berkata, ‘Hubunganku dengan Tonghong-kaucu boleh dikata sehidup-semati, hal ini cukup diketahui kalian, tapi sekarang kalian sengaja membujuk aku, jelas kalian memandang hina padaku dan anggap aku sebagai pengecut yang suka menjual kawan. Memang akhir-akhir ini Tonghong-kaucu tidak sedikit berbuat kesalahan-kesalahan lantaran dipengaruhi oleh orang busuk, tapi biarpun nanti Tonghong-kaucu akan hancur lebur juga aku orang she Tong takkan berbuat sesuatu apa pun yang tidak baik padanya. Aku mengaku bukan tandingan kalian berdua, jika mau bunuh bolehlah kalian bunuh saja diriku.’
Kakek Tong itu memang tua-tua keladi, makin tua makin berapi.”

“Sungguh seorang kesatria sejati, seorang kawan baik,” ujar Lenghou Tiong.
Jika dia sudah menolak bujukan ayah, mengapa sekarang Tonghong Put-pay hendak menangkap dia malah?” tanya Ing-ing.

“Ini namanya dunianya sudah berbalik,” ujar Hiang Bun-thian. “Umur Tonghong Put-pay belum terlalu tua, tapi tindak tanduknya sudah tidak keruan. Kawan karib yang setia seperti Tong Pek-him itu hendak dia cari lagi di mana?”

“Tapi dengan bentrokan Tonghong Put-pay dengan Tong Pek-him, itu berarti menguntungkan malah usaha kita,” kata Yim Ngo-heng tertawa. “Marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan.”

Mereka berempat lantas mengangkat cawan sebagai tanda selamat dan bersyukur.

Lalu Ing-ing menjelaskan kepada Lenghou Tiong, katanya, “Tong-pepek itu adalah seorang tokoh angkatan tua agama kami, dahulu dia telah banyak berbuat jasa sehingga dia sangat dihormati. Biasanya dia tidak begitu cocok dengan ayah, tapi sangat karib dengan Tonghong Put-pay. Sepantasnya betapa pun dia berbuat kesalahan seharusnya Tonghong Put-pay akan dapat mengampuni dia.”

“Tonghong Put-pay hendak menangkap Tong Pek-him, sudah tentu Hek-bok-keh sekarang sedang kacau, ini adalah kesempatan yang paling bagus bagi kita untuk naik ke sana,” kata Yim Ngo-heng.

“Bagaimana kalau kita undang Siangkoan In untuk diajak berunding?” tanya Bun-thian.

“Bagus,” jawab Yim Ngo-heng.

Setelah Hiang Bun-thian keluar, tidak lama dia masuk lagi bersama Siangkoan In. Begitu melihat Yim Ngo-heng, segera Siangkoan In memberi sembah hormat, “Hamba Siangkoan In menyampaikan hormat kepada Kaucu, semoga Kaucu panjang umur dan merajai Kangouw.”

Dengan tertawa Yim Ngo-heng menjawab, “Siangkoan-hengte, kudengar kau adalah seorang laki-laki yang keras, mengapa pertemuan pertama ini kau sudah mengucapkan kata-kata demikian?”

Siangkoan In melengak bingung, jawabnya kemudian, “Hamba tidak paham, mohon Kaucu memberi penjelasan.”

Ing-ing lantas menyela, “Ayah, apa barangkali engkau merasa heran terhadap istilah-istilah yang diucapkan Siangkoan-sioksiok?”

“Ya, aku merasa seperti menjadi raja dengan istilah-istilah sanjung puji yang luar biasa itu,” kata Yim Ngo-heng.

“Istilah-istilah itu sengaja ditetapkan oleh Tonghong Put-pay agar anak buahnya selalu mengucapkan sanjung puji demikian bila berhadapan padanya,” tutur Ing-ing. “Rupanya Siangkoan-sioksiok sudah biasa pakai istilah-istilah itu sehingga kepada ayah juga digunakan kata-kata yang sama.”

“O, kiranya demikian,” kata Yim Ngo-heng. “Siangkoan-hengte, kabarnya Tonghong Put-pay ada perintah menangkap Tong Pek-him, kukira saat demikian suasana di Hek-bok-keh tentu kacau-balau, bagaimana kalau malam ini juga kita lantas naik ke atas sana?”

Siangkoan In mengiakan dengan macam-macam istilah sanjung puji pula yang lebih “seram”. Keruan Yim Ngo-heng mengerut kening. Padahal Siangkoan In terkenal ilmu silatnya tinggi, wataknya juga terkenal keras dan tulus, mengapa sekarang juga pandai menjilat dengan macam-macam perkataan yang menjijikkan.

“Ayah,” Ing-ing lantas menyela, “untuk menyusup ke Hek-bok-keh sebaiknya kita menyamar saja supaya tidak dikenal musuh. Yang lebih penting lagi adalah kita harus hafal kode-kode yang sedang populer di Hek-bok-keh, yaitu istilah-istilah sanjung puji sebagaimana diucapkan Siangkoan-sioksiok tadi. Istilah-istilah demikian sebenarnya adalah bikinan Nyo Lian-ting yang sengaja digunakan untuk menjilat Tonghong Put-pay. Rupanya Tonghong Put-pay juga sangat senang menerima pujian-pujian semacam itu, kalau bawahannya tidak mengucapkan kata-kata pujian seperti itu lantas dianggap berdosa dan dijatuhi hukuman, bahkan dibinasakan.”

“Kalau ketemu Tonghong Put-pay, kau sendiri juga gunakan istilah-istilah begitu?” tanya Yim Ngo-heng.

“Tinggalnya di Hek-bok-keh, apa mau dikata terpaksa harus mengikuti peraturan mereka,” jawab Ing-ing. “Sebabnya Anak lebih sering tinggal di Lokyang justru untuk menghindari rasa muak terhadap tingkah laku mereka.”

“Siangkoan-hengte, selanjutnya kita tidak perlu pakai cara-cara demikian,” kata Yim Ngo-heng kemudian.

“Baik,” jawab Siangkoan In, akan tetapi toh masih ditambahkannya pula, “kebijaksanaan Kaucu yang mahaadil tentu akan hamba patuhi, semoga Kaucu panjang umur hidup abadi.”

Bab 106. Lenghou Tiong Ikut Menyerang ke Markas Mo-kau

Ing-ing menjadi geli sendiri dan menutup mulutnya supaya tidak mengeluarkan suara tertawa.

“Bagaimana pendapatmu agar kita dapat naik ke Hek-bok-keh dengan lancar?” tanya Yim Ngo-heng.

“Tentu Kaucu sudah punya rencana dan perhitungan yang bagus, di hadapan Kaucu mana hamba berani ikut bicara?” jawab Siangkoan In.

“Apakah di waktu Tonghong Put-pay mengadakan perundingan urusan penting juga tiada seorang pun yang berani angkat bicara?” tanya Yim Ngo-heng.

“Ayah,” Ing-ing menyela pula, “Tonghong Put-pay memang seorang mahacerdik, orang lain sukar menandingi kepandaiannya. Maka biasanya memang tiada seorang pun yang berani sembarangan mengemukakan pendapat untuk menghindari bencana yang tak terduga.”

“O, kiranya demikian,” kata Yim Ngo-heng. “Siangkoan-hengte, ketika Tonghong Put-pay menyuruh kau pergi menangkap Lenghou Tiong, petunjuk apa yang dia berikan padamu.”

“Dia mengatakan disediakan hadiah besar bila Lenghou-tayhiap dapat ditangkap, bila tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, bawa kembali kepalanya juga boleh,” tutur Siangkoan In.

“Baik, sekarang juga boleh kau ringkus Lenghou Tiong untuk menerima hadiahnya nanti,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa.

Siangkoan In tergetar mundur, katanya, “Lenghou-tayhiap adalah menantu kesayangan Kaucu, beliau berjasa besar pula bagi agama kita, mana hamba berani sembrono kepada beliau.”

“Bukankah tempat kediaman Tonghong Put-pay sangat sukar didatangi, dengan meringkus Lenghou Tiong, tentunya dia akan menerima kedatanganmu,” ujar Yim Ngo-heng.

“Akal ini sangat bagus,” seru Ing-ing tertawa girang. “Nanti kita menyamar sebagai anak buah Siangkoan-sioksiok untuk menemui Tonghong Put-pay. Asalkan berhadapan dengan dia serentak kita mengerubutnya, peduli apakah dia sudah berhasil meyakinkan Kui-hoa-po-tian atau belum, yang pasti dia tentu sulit menandingi keroyokan empat orang.”

“Paling baik kalau Lenghou-hiante pura-pura terluka parah dengan tangan kaki dibalut, dinodai pula dengan darah, lalu kita menggotongnya dengan usungan, dengan demikian Tonghong Put-pay pasti tidak berjaga-jaga, di dalam usungan dapat pula kita sembunyikan senjata,” kata Hiang Bun-thian.

“Bagus, bagus!” seru Yim Ngo-heng setuju.

Dalam pada itu dari ujung jalan raya sana terdengar suara ramai orang berseru, “Hong-lui-tongcu sudah tertangkap! Hong-lui-tongcu sudah tertangkap!”

Ing-ing mengajak Lenghou Tiong keluar hotel, terlihatlah beberapa puluh penunggang kuda dengan obor menggiring seorang tua sedang lewat dengan cepat. Orang tua itu sudah ubanan seluruhnya rambut dan jenggotnya, mukanya berlepotan darah, agaknya sebelum tertangkap telah terjadi pertarungan sengit lebih dulu.

Kedua tangan si kakek tampak terikat di belakang badan tapi sorot matanya berapi, agaknya tidak kepalang rasa murkanya.

Dengan suara perlahan Ing-ing membisiki Lenghou Tiong, “Beberapa tahun yang lalu bila ketemu si kakek, biasanya Tonghong Put-pay suka memanggilnya dengan sangat mesra, siapa duga sekarang dia sudah melupakan hubungan baik di masa lalu.”

Tidak lama Siangkoan In telah menyediakan kerangka usungan dan sebagainya. Ing-ing membalut lengan Lenghou Tiong dengan kain putih dan digantungkan di depan dadanya, disembelihkan pula seekor kambing, darah kambing dipakai melumuri badan Lenghou Tiong.

Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian lantas ganti pakaian sebagai anggota biasa, Ing-ing juga menyamar sebagai lelaki, mukanya dicoreng hitam-hitam, setelah makan kenyang, lalu bersama anak buah Siangkoan In berangkat ke Hek-bok-keh.

Kira-kira 40 li di barat laut Kota Pengting terdapat sebuah teluk yang panjang dan dangkal, batu tebing kedua tepi teluk berwarna merah darah, air mengalir sangat deras, itulah teluk yang terkenal dengan nama Sing-sing-tan. Lebih ke utara lagi dari teluk panjang itu hampir kedua tepinya adalah tebing-tebing yang licin melulu, di situ hanya ada sebuah jalanan batu selebar satu meteran. Sepanjang jalan dijaga dengan keras oleh anggota Tiau-yang-sin-kau. Tapi setiap kali melihat Siangkoan In para penjaga itu sangat segan padanya dan sama memberi hormat.

Setelah menyusuri tiga tempat jalan pegunungan, akhirnya mereka sampai pula di tepi teluk. Siangkoan In melepaskan panah bersuara, lalu dari seberang muncul tiga buah sampan untuk menyambut mereka ke seberang sana.

Diam-diam Lenghou Tiong mengagumi betapa hebat fondasi yang telah dipupuk oleh Tiau-yang-sin-kau selama beberapa ratus tahun ini. Coba kalau bukan Siangkoan In telah bergabung kepada mereka, jangan harap orang luar mampu masuk ke wilayah kekuasaan Sin-kau yang penting itu.

Sampai di seberang, jalanan di situ tambah curam lagi. Ing-ing selalu berjaga di samping usungan, senjata siap di tangan.

Ketika rombongan mereka sampai di tempat pusat pimpinan Tiau-yang-sin-kau hari masih sangat dini, belum lagi terang tanah. Siangkoan In mengirim orang melaporkan secara kilat bahwa perintah sang kaucu telah dilaksanakan dengan baik. Tidak lama kemudian terdengarlah suara kelenengan yang nyaring di udara, serentak Siangkoan In berdiri tegak penuh hormat.

Ing-ing menjawil ayahnya dan membisikinya, “Lekas berdiri tegak, ada perintah sang kaucu.”

Yim Ngo-heng merasa heran, tapi ia pun menurut dan berdiri. Dilihatnya segenap anggota juga mendadak berdiri tegak. Suara kelenengan tadi terus bergema dari atas menuju ke bawah dengan sangat cepat. Ketika suara kelenengan berhenti sejenak barulah semua orang berani bergerak. Seorang anggota yang berbaju kuning tampak masuk ke ruangan tunggu itu dan membentangkan sepotong kain kuning, lalu membaca, “Tonghong-kaucu Tiau-yang-sin-kau yang mahabijaksana dan mahaagung memberikan titah sebagai berikut: Kah Po dan Siangkoan In telah melaksanakan perintah dan pulang dengan hasil yang baik, jasa mereka harus dipuji, diperintahkan sekarang juga boleh menghadap ke atas tebing dengan membawa serta tawanan.”

Siangkoan In membungkuk dengan penuh hormat, lalu mengiakan disertai dengan istilah-istilah sanjung puja yang tetap itu.

Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli karena kelakuan mereka itu seperti permainan sandiwara di atas panggung.

Sementara itu Siangkoan In lantas membentak, “Kesudian Kaucu menerima hamba, budi kebaikan mahabesar ini takkan hamba lupakan selama hidup.”

Serentak anak buahnya juga berseru menirukan ucapan Siangkoan In itu. Sudah tentu Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian tidak sudi menirukan kata-kata itu, mereka hanya komat-kamit saja bibirnya, tapi menggerutu di dalam batin.

Begitulah rombongan mereka lantas naik ke atas tebing melalui undak-undakan batu, setelah melintasi tiga buah pintu terali besi yang setiap kali mereka selalu ditegur oleh penjaga dengan kode-kode rahasia, akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu batu yang besar, kedua samping pintu tampak terpahat tulisan-tulisan besar yang artinya mengagungkan penghuninya di situ.

Sesudah melewati pintu batu itu, terlihat di atas tanah ada sebuah keranjang bambu yang besar, begitu besar keranjang bambu itu sehingga cukup untuk memuat belasan orang sekaligus.

“Angkat tawanan ke dalam situ,” bentak Siangkoan In.

Lenghou Tiong segera digotong oleh Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing bertiga ke dalam keranjang raksasa itu. Ketika terdengar bunyi kelenengan, keranjang itu mulai mengapung ke atas. Rupanya di atas ada kerekan bertali sehingga keranjang itu dapat dikerek ke atas.

Keranjang besar itu mumbul terus ke atas, waktu Lenghou Tiong memandang ke atas, terlihat di atas sana ada beberapa titik-titik sinar, nyata Hek-bok-keh (karang kayu hitam) luar biasa tingginya.

Ing-ing genggam tangan Lenghou Tiong. Dalam kegelapan tertampak juga gumpalan-gumpalan mega yang melayang lewat di atas kepala mereka. Selang sejenak pula seluruhnya mereka sudah ditelan oleh lautan mega, dasar keranjang hitam gelap, sedikit pun tidak kelihatan lagi titik-titik sinar tadi.

Agak lama pula barulah keranjang raksasa itu berhenti. Lenghou Tiong diusung ke luar dan dipindahkan lagi ke sebuah keranjang lain yang terletak belasan meter di sebelah sana.

Rupanya puncak karang Hek-bok-keh itu terlalu tinggi sehingga kerekan-kerekan yang dipasang itu terbagi dalam tiga tingkat, empat kali mereka harus dikerek barulah mencapai puncak karang itu.

“Begini tinggi tempat tinggal Tonghong Put-pay, pantas sukar sekali bawahannya hendak menemui dia,” pikir Lenghou Tiong.

Akhirnya sampai juga di puncak karang, sementara itu sang surya sudah menongol di ujung timur dan memancarkan sinarnya yang gemilang. Sebuah gapura batu marmer yang megah gemilapan tertingkah oleh cahaya matahari.

Terdengar Siangkoan In berteriak, “Hamba Kong-beng-yusu Siangkoan In mohon bertemu sesuai perintah Kaucu.”

Dari sebuah rumah batu kecil di sebelah kiri sana muncul empat orang, semuanya berjubah ungu, seorang di antaranya berkata, “Selamat atas jasa besar yang telah dicapai Siangkoan-yusu. Mengapa Kah-cosu tidak ikut datang?”

“Kah-cosu telah gugur ketika melabrak musuh sebagai pengabdiannya atas budi kebaikan Kaucu,” jawab Siangkoan In.

“O, kiranya demikian,” kata orang itu. “Jika begitu segera Siangkoan-yusu tentu akan naik tingkat.”

“Bila mendapat anugerah Kaucu tentu takkan kulupakan kebaikan Saudara,” ujar Siangkoan In.

Mendengar ucapan Siangkoan In yang menjanjikan akan memberi sogokan padanya, orang itu tampak sangat senang, katanya pula, “Terima kasih sebelumnya.”

Lalu ia melirik sekejap kepada Lenghou Tiong yang telentang di atas usungan, katanya dengan tertawa, “Apakah bocah ini yang dipenujui Yim-siocia? Kukira pemuda yang ditaksir Yim-siocia tentunya secakap Phoa An dan sebagus Song Giok (kedua nama ini adalah jejaka-jejaka cakap menurut dongeng), tak tahunya juga cuma begini saja. Siangkoan-cosu, silakan ikut padaku.”

“Kaucu belum lagi mengangkat derajatku, janganlah Saudara buru-buru memanggil cosu padaku, kalau didengar oleh Kaucu mungkin bisa celaka,” ujar Siangkoan In.

Orang itu melelet-lelet lidahnya dan tidak bicara lagi. Segera ia mendahului jalan di depan sebagai pengantar.

Dari gapura itu menuju ke pintu gerbang harus melalui sebuah jalan balok batu yang lurus. Setelah memasuki pintu gerbang, dua orang berjubah ungu yang lain mengantar mereka ke ruangan belakang. 
Katanya kepada Siangkoan In, “Nyo-koankeh hendak menemui kau, silakan tunggu di sini.”
Siangkoan In mengiakan dan berdiri tegak dengan tangan lurus ke bawah.

Cukup lama mereka menunggu, tapi apa yang dikatakan “Nyo-koankeh” (kepala rumah tangga she Nyo) masih belum tampak muncul. Selama itu Siangkoan In tetap berdiri tegak dan tidak berani mengambil tempat duduk.

Dalam hati Lenghou Tiong membatin, “Kedudukan Siangkoan-yusu ini di dalam Mo-kau boleh dikata hanya satu-dua tingkat di bawah sang kaucu, tapi di atas Hek-bok-keh ini ternyata hampir setiap orang tidak menghargainya, seakan-akan seorang pelayan juga lebih kereng dari dia. Lalu siapa lagi Nyo-koankeh yang dikatakan itu? Besar kemungkinan adalah Nyo Lian-ting. Kiranya, dia hanya seorang ‘koankeh’ saja, akan tetapi Kong-beng-yusu yang termasyhur ternyata harus berdiri menunggunya dengan penuh hormat, peraturan demikian sungguh keterlaluan?”

Lewat agak lama pula barulah terdengar suara langkah orang mendatangi, dari suara kakinya yang cepat tapi enteng ini jelas orangnya tidak memiliki lwekang yang kuat. Terdengar suara orang berdehem satu kali, lalu dari pintu angin muncul seorang.

Ketika Lenghou Tiong melirik ke sana, dilihatnya umur orang itu antara 30-an, berjubah satin merah gelap, perawakannya kekar, mukanya penuh berewok, sikapnya sangat gagah.

Kembali Lenghou Tiong membatin, “Menurut cerita Ing-ing, katanya orang ini sangat disayang oleh Tonghong Put-pay, katanya di antara kedua orang mempunyai hubungan yang istimewa. 
Maka tadinya kukira dia pasti seorang laki-laki secantik nona jelita, siapa tahu dia adalah seorang laki-laki kekar. Sungguh sama sekali di luar dugaan.”

Maka terdengar orang itu sedang berkata, “Siangkoan-yusu, engkau telah berjasa besar dengan berhasil menangkap Lenghou Tiong, untuk ini Kaucu merasa sangat senang.”
Suara seorang laki-laki gagah ternyata sangat merdu dan enak didengar.

Siangkoan In membungkuk tubuh dan menjawab, “Semua itu adalah berkat Kaucu yang mahaagung dan berkat bimbingan Nyo-koankeh yang bijaksana, hamba hanya sebagai pelaksana saja menurut perintah Kaucu.”

Nyo Lian-ting itu mendekati usungan dan memandangi Lenghou Tiong. Dengan sengaja Lenghou Tiong membikin mulutnya setengah melongo dan sorot mata yang guram sehingga mirip benar orang yang terluka parah.

“Orang ini tampaknya sudah setengah sekarat, apakah benar dia ini Lenghou Tiong? Kau tidak keliru?” tanya Nyo Lian-ting.

“Tidak mungkin keliru, hamba menyaksikan sendiri dia diangkat sebagai ketua Hing-san-pay,” jawab Siangkoan In. “Cuma dia telah kena ditutuk tiga kali oleh Kah-cosu, kena dua kali pukulanku pula, lukanya memang parah, dalam waktu setahun kiranya belum bisa pulih.”

“Bagus, bagus!” puji Nyo Lian-ting. “Jasamu ini tentu akan kulaporkan kepada Kaucu dan kau akan mendapatkan ganjaran semestinya. Hong-lui-tongcu telah mengkhianati Kaucu apakah kau sudah mengetahui urusan ini?”

“Hamba tidak jelas duduk persoalannya mohon diberi penjelasan,” jawab Siangkoan In.

Nyo Lian-ting terus duduk sendiri di atas kursi sambil menghela napas, lalu berkata, “Si tua Tong Pek-him ini makin tua makin tidak genah, dia suka jual lagak sebagai orang kepercayaan Kaucu dan memandang sebelah mata kepada orang lain. Akhir-akhir ini dia bahkan bersekongkol dan berkomplotan dengan maksud memberontak. Memang sudah lama kulihat tingkahnya yang mencurigakan itu, siapa tahu dia malahan tambah berani lagi, akhir-akhir bahkan bersekongkol dengan pengkhianat besar Yim Ngo-heng.”

“Dia... dia berkomplot dengan... dengan orang she Yim itu?” Siangkoan In menegas dengan suara rada gemetar.

“Siangkoan-yusu, kenapa kau menjadi ketakutan begini?” tanya Nyo Lian-ting. “Yim Ngo-heng itu toh bukan manusia yang bertangan enam dan berkepala tiga, dahulu Kaucu sudah pernah membikin dia mati kutu, kalau sekarang dia berani datang lagi ke Hek-bok-keh sini, hm, masakah dia takkan disembelih sebagaimana Kaucu menyembelih ayam.”

“Ya, ya. Entah cara bagaimana Tong Pek-him itu bersekongkol dengan dia?” tanya Siangkoan In dengan tergagap-gagap.

“Tong Pek-him telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Yim Ngo-heng, selain mereka dihadiri pula seorang pengkhianat lain, yaitu Hiang Bun-thian. Ketika dia kembali ke sini dan kutanyakan perbuatannya itu, ternyata Tong Pek-him terus mengaku dengan terus terang.”

“Dia mengaku terus terang, jelas tuduhan padanya bukanlah fitnah,” ujar Siangkoan In.

“Kutegur dia mengapa tidak memberi laporan kepada Kaucu tentang pertemuannya dengan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian, dia menjawab katanya mereka hanya mengadakan pertemuan persahabatan saja. Kukatakan munculnya Yim Ngo-heng jelas hendak memusuhi Kaucu, hal ini tentu cukup diketahuinya, mengapa kau anggap musuh sebagai sahabat. Dia menjawab, ‘Mungkin Kaucu yang salah dan bukan orang lain yang salah terhadap Kaucu!’.”

“Kurang ajar!” gerutu Siangkoan In. “Budi luhur Kaucu setinggi langit, beliau paling baik terhadap sesama kawan, mana bisa berbuat salah kepada orang lain?”

Bagi pendengaran Nyo Lian-ting, ucapan Siangkoan In ini sudah tentu ditujukan kepada Tonghong Put-pay, tapi bagi Lenghou Tiong dan lain-lain, mereka tahu Siangkoan In sengaja hendak mengambil hati Yim Ngo-heng.

Terdengar Siangkoan In melanjutkan pula, “Hamba sudah bertekad akan mengabdi sepenuh jiwa raga kepada Kaucu, bila ada orang yang berani kurang ajar kepada Kaucu baik dalam kata maupun dalam tindakan, maka aku Siangkoan In yang pertama-tama akan menghadapinya.”

Kata-kata Siangkoan In itu jelas ditujukan kepada Nyo Lian-ting, sudah tentu dia tidak tahu sama sekali, sebaliknya dia malah menanggapi dengan tertawa, “Bagus, bila semua saudara dalam agama bisa mengikuti tekad Siangkoan-yusu ini tentu tiada hal yang tak bisa diatasi. Tentunya Siangkoan-yusu sudah lelah, silakan pergi istirahat saja.”

“Tapi, tapi hamba ingin menghadap Kaucu,” kata Siangkoan In dengan bingung.

“Kaucu sangat sibuk, mungkin tiada tempo buat menerima kau,” ujar Nyo Lian-ting.

Dari sakunya Siangkoan In lantas merogoh keluar belasan butir mutiara, Nyo Lian-ting didekati dan dibisiki, “Nyo-congkoan, belasan biji mutiara ini adalah hasil sambilanku dalam dinas luar kali ini, keseluruhannya sekarang kupersembahkan kepada Nyo-congkoan dengan harapan sudilah Nyo-congkoan menghadapkan hamba kepada Kaucu. Bila Kaucu senang hati, bisa jadi beliau akan menaikkan pangkat hamba, bila demikian tentu takkan kulupakan pula bantuan Nyo-congkoan.”

“Ah, orang sendiri, mengapa sungkan-sungkan begini,” ujar Nyo Lian-ting dengan menyengir. “Baiklah kuterima. Terima kasih ya.”

Tiba-tiba ia pun membisiki Siangkoan In, “Di hadapan Kaucu nanti tentu akan kubujuk agar kau diangkat menjadi Kong-beng-cosu.”

Berulang-ulang Siangkoan In lantas memberi hormat, katanya, “Bila jadi, selama hidupku takkan lupa atas budi kebaikan Kaucu dan Nyo-congkoan.”

“Silakan kau tunggu sebentar di sini, bila Kaucu sudah longgar temponya segera kau akan dipanggil,” kata Nyo Lian-ting kemudian sambil memasukkan mutiara-mutiara tadi ke sakunya.

Siangkoan In mengiakan beberapa kali, lalu munduk-munduk beberapa langkah ke belakang. Nyo Lian-ting sendiri lantas berbangkit dan masuk ke dalam dengan lagak tuan besar.

Selang agak lama pula, seorang dayang baju ungu tampak keluar, lalu berseru lantang, “Kaucu mahaagung, mahabijaksana, memerintahkan Siangkoan In menghadap dengan membawa tawanannya.”

Siangkoan In mengucapkan terima kasih dengan istilah-istilah sanjung puji pula. Lalu mengikuti dayang itu ke ruangan dalam dengan disusul oleh Yim Ngo-heng bertiga yang mengusung Lenghou Tiong.

Sepanjang jalan di serambi samping penuh berbaris busu-busu berseragam dan bersenjata tombak, seluruhnya mereka melintasi tiga buah pintu besi, kemudian menyusuri lagi sebuah serambi panjang yang dijaga oleh beberapa ratus busu-busu yang berbaris di kanan-kiri dengan senjata golok mengilat dan disilangkan ke atas. Rombongan Siangkoan In menerobos lewat di bawah barisan golok itu dengan perasaan kebat-kebit.

Tokoh-tokoh yang sudah kenyang asam garam Kangouw seperti Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan lain-lain itu sudah tentu memandang sebelah mata terhadap barisan busu begitu. Hanya saja mereka sangat mendongkol karena merendahkan diri hanya untuk bisa berhadapan dengan Tonghong Put-pay.

Habis menerobos barisan golok itu, sampailah di depan sebuah pintu yang bertirai tebal. Siangkoan In menyingkap tirai tebal itu terus melangkah ke dalam. Sekonyong-konyong sinar putih gemerdep, delapan buah tombak dari kanan-kiri menusuk ke arahnya.

Lenghou Tiong terkejut, segera ia meraba pedang yang tersembunyi di bawahnya. Tapi dilihatnya Siangkoan In berdiri diam saja tanpa melawan. Sebaliknya lantas berseru lantang, “Hamba Kong-beng-yusu Siangkoan In mohon bertemu Kaucu yang mahaagung dan mahabijaksana!”

Terdengar di dalam istana itu ada orang berseru, “Masuk!”

Serentak kedelapan busu bertombak itu lantas menyingkir.

Baru sekarang Lenghou Tiong paham, rupanya tusukan tombak-tombak tadi hanya untuk menakut-nakuti saja, bila yang datang memang orang bermaksud jahat tentunya akan terus menangkis tusukan-tusukan itu dan terbukalah kedoknya.

Setelah masuk balairung itu, Lenghou Tiong terkesiap oleh panjangnya balairung yang luar biasa itu. Lebar balairung itu paling-paling cuma sepuluh meter, tapi panjangnya adalah ratusan meter. Di ujung balairung sana terbangun sebuah podium dan di atasnya berduduk seorang tua berjenggot. Tentunya dia Tonghong Put-pay adanya.

Balairung itu tidak berjendela, hanya pada pojok depan dipasang lilin besar, tapi di samping mimbar yang diduduki Tonghong Put-pay itu ternyata dua onggok api unggun yang sebentar terang sebentar gelap, karena jaraknya cukup jauh, cahaya yang gelap-gelap terang itu membikin orang sukar melihat jelas wajah sang kaucu.

Tidak jauh di bawah podium itu Siangkoan In lantas berlutut dan menyembah dengan kata-kata sanjung puji yang seram-seram.

Mendadak dayang di samping Tonghong Put-pay membentak, “Di hadapan Kaucu mengapa anak buahmu yang keroco itu tidak berlutut?”

Yim Ngo-heng adalah seorang yang tahan uji, ia pikir belum tiba saat yang menguntungkan, kalau untuk sementara ini aku berlutut padamu apa halangannya? Sebentar lagi aku yang akan membeset kulitmu dan membetot tulangmu. Karena itu segera ia berlutut dan menunduk. Melihat kepalanya sudah berlutut, dengan sendirinya Hiang Bun-thian dan Ing-ing lantas ikut saja.

“Mungkin anak buah hamba ini menjadi lupa daratan karena diberi kesempatan melihat wajah emas Kaucu sehingga tidak segera berlutut, harap Kaucu memberi ampun,” kata Siangkoan In.

Saat itu Nyo Lian-ting berdiri di samping Tonghong Put-pay, terdengar ia berkata, “Cara bagaimana Kah-cosu bertempur dengan musuh dan akhirnya gugur, coba ceritakan.”

“Kah-cosu dan hamba merasa utang budi kepada Kaucu, kini kami diberi tugas penting, betapa pun kami telah bertekad akan melaksanakannya dengan baik....”

Mendengar ocehan Siangkoan In yang memuakkan itu, diam-diam Lenghou Tiong menggerutu.

Pada saat itulah tiba-tiba di belakangnya ada orang berteriak keras, “Tonghong-hengte, apakah benar kau memerintahkan orang-orang ini untuk merangkap diriku?”

Suara orang ini serak-serak tua, tapi penuh kekuatan lwekang sehingga suaranya berkumandang dan memekak telinga. Lenghou Tiong menduga orang ini tentulah Hong-lui-tongcu Tong Pek-him adanya.

Benar juga, segera terdengar Nyo Lian-ting menanggapi, “Tong Pek-him, di balairung Seng-tek-tong ini mana boleh kau gembar-gembor sesukamu? Di hadapan Kaucu mengapa pula kau berdiri tanpa berlutut? Berani pula kau tidak menyebutkan keagungan Kaucu?”

Tong Pek-him mendongak dan bergelak tertawa, katanya, “Waktu aku bersahabat dengan Tonghong-hengte mana ada seorang macam kau? Ketika aku dan Tonghong-hengte sama-sama merasakan pahit getir dalam perjuangan mungkin orang macam kau belum lagi dilahirkan, masakan kau ada hak untuk bicara dengan aku?”

Lenghou Tiong coba melirik ke sana, dilihatnya orang tua itu mendelik dengan beringas, sikapnya menakutkan. Kaki dan tangannya diborgol semua dengan rantai yang sangat panjang. Rupanya saking gusarnya dia bicara sehingga kedua tangannya ikut bergerak, maka menerbitkan suara gemerencing dari rantai yang diseretnya itu.

Tadinya Yim Ngo-heng hanya berlutut di tempatnya tanpa bergerak, kini demi mendengar suara gemerencingnya rantai, seketika terbayang kembali pengalaman sendiri ketika disiksa di kamar tahanan di bawah danau di Hangciu dahulu. Darahnya bergolak hebat, badannya sampai gemetar, segera ia bermaksud mengambil tindakan.

Namun lantas terdengar Nyo Lian-ting lagi bicara pula, “Di hadapan Kaucu juga berani berkata demikian, kau benar-benar terlalu kurang ajar. Secara diam-diam kau bersekongkol dengan pengkhianat besar Yim Ngo-heng, apakah kau masih tidak menyadari dosamu ini?”

“Yim-kaucu adalah ketua agama kita yang lampau, beliau mendapat penyakit berat sehingga terpaksa harus mengundurkan diri dan segala tugas pimpinannya telah diserahkan kepada Tonghong-hengte, mana boleh kau mengatakan Yim-kaucu adalah pengkhianat besar?” bantah Tong Pek-him. “Tonghong-hengte, coba kau katakan sendiri yang tegas, benarkah Yim-kaucu mengkhianati agama kita? Apa dasarnya?”

“Setelah penyakit Yim Ngo-heng sembuh, seharusnya dia cepat kembali ke dalam agama, tapi dia malah mendatangi tokoh-tokoh Siau-lim, Bu-tong, Ko-san, dan lain-lain untuk berkomplotan dengan mereka, apalagi perbuatannya ini kalau bukan pengkhianatan?” jawab Nyo Lian-ting. “Lebih jauh kenapa dia tidak lantas menghadap Kaucu serta menerima petunjuk-petunjuknya?”

“Hahahaha!” Tong Pek-him terbahak-bahak. “Yim-kaucu adalah bekas atasan Tonghong-hengte, baik ilmu silatnya maupun pengetahuannya belum tentu di bawah Tonghong-hengte, betul tidak Tonghong-hengte?”

Tapi Nyo Lian-ting lantas membentak, “Jangan kau berlagak lebih tua di sini, jika kau mau mengakui dosamu, besok di hadapan sidang terbuka pimpinan mungkin Kaucu masih mau mengampuni dosamu. Kalau tidak, hm, bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri.”

“Haha, orang she Tong sudah mendekati 80 tahun, memangnya aku sudah bosan hidup, mengapa aku mesti takut akibat apa segala?” jawab Tong Pek-him dengan tertawa.

“Bawa maju orang-orangnya!” mendadak Nyo Lian-ting berteriak.

Dayang baju ungu mengiakan, lalu terdengarlah suara gemerencing yang ramai, belasan orang digiring ke dalam balairung, ada laki-laki ada perempuan, ada orang tua, ada anak-anak pula.

Begitu melihat orang-orang itu, seketika air muka Tong Pek-him berubah hebat, bentaknya dengan murka, “Nyo Lian-ting, kenapa kau menangkap anak-cucuku?”

Suaranya yang keras menggelegar anak telinga semua orang sehingga mendengung-dengung.

“Coba sebut Tong Pek-him, bagaimana bunyi pasal ketiga petuah Kaucu?” kata Nyo Lian-ting.

“Fui!” Tong Pek-him meludah, tapi tidak menjawab.

“Coba siapa di antara anggota keluarga Tong yang mengetahui pasal ketiga petuah Kaucu, coba uraikan!” seru Nyo Lian-ting.

Seorang anak laki-laki lantas berkata, “Pasal ketiga petuah Kaucu mahaagung berbunyi: Terhadap musuh harus kejam, babat rumput harus bersama akar-akarnya, laki-perempuan tua-muda, tidak seorang pun ditinggalkan hidup.”

“Bagus, bagus! Anak manis, apakah kesepuluh pasal petuah Kaucu dapat kau hafalkan di luar kepala?” tanya Nyo Lian-ting.

“Dapat!” jawab anak kecil itu. “Satu hari tidak menghafalkan petuah Kaucu rasanya tidak dapat tidur dan tidak dapat makan. Setelah baca petuah Kaucu seketika bersemangat dan giat belajar.”

“Bagus. Siapa yang mengajarkan hal-hal demikian padamu?”

“Ayah!” jawab si anak.

“Siapa dia?” tanya Lian-ting pula sambil menunjuk Tong Pek-him.

“Kakek!”

“Kakekmu tidak mau membaca petuah Kaucu, tidak mau menurut perintah Kaucu, malahan membangkang pada Kaucu, bagaimana menurut kau?”

“Kakek bersalah,” jawab bocah itu. “Setiap orang harus memahami ajaran Kaucu dan menurut segala perintah Kaucu.”

“Nah, kau dengar sendiri,” kata Nyo Lian-ting terhadap Tong Pek-him, “cucumu sekecil itu saja bilang begitu, sebaliknya kau sudah tua bangka, mengapa kau malah berbuat tidak senonoh?”

“Aku hanya bicara sebentar dengan orang she Yim dan she Hiang, mereka minta aku melawan Kaucu, tapi aku menolak ajakan mereka,” kata Tong Pek-him. “Selamanya Tong Pek-him bicara apa adanya dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.”

Rupanya dia menyaksikan belasan anggota keluarganya akan ikut menjadi korban, maka nada bicaranya menjadi agak lunak.

“Jika sejak tadi-tadi kau bicara demikian tentu urusan menjadi lebih mudah diselesaikan,” ujar Nyo Lian-ting. “Dan sekarang kau sudah mengakui kesalahanmu?”

“Aku tidak bersalah, aku tidak antiagama kita, lebih-lebih tidak anti-Kaucu,” jawab Tong Pek-him.

“Kalau kau tetap tidak mau mengaku salah, terpaksa aku tak bisa menolong kau,” ujar Nyo Lian-ting dengan menghela napas. “Penjaga, bawalah anggota keluarganya ke tempat tahanan, mulai sekarang dilarang memberikan makanan dan minuman sedikit pun juga.”

“Nanti dulu!” teriak Tong Pek-him keras-keras. Lalu katanya kepada Nyo Lian-ting, “Baik, aku mengaku salah. Untuk itu aku mohon Kaucu memberi ampun.”

“Hm, tadi kau bilang apa? Kau bilang pernah sehidup-semati dengan Kaucu, saat mana aku saja belum dilahirkan. Betul tidak?” tanya Nyo Lian-ting.

Dengan menahan perasaannya Tong Pek-him menjawab, “Ya, aku salah omong.”

“Kau salah omong? Hanya begini saja persoalannya?” kata Nyo Lian-ting dengan menjengek. “Di hadapan Kaucu mengapa kau tidak berlutut?”

“Kaucu dan aku adalah saudara angkat, selama puluhan tahun kami berdiri dan berduduk sama tingginya,” jawab Tong Pek-him. Mendadak ia berseru pula, “Tonghong-hengte, kau menyaksikan sendiri Laukoko (saudara tua) disiksa orang habis-habisan, mengapa kau tidak buka mulut, tidak bicara sepatah kata pun? Jika kau ingin Laukoko berlutut padamu, soalnya sangat gampang asalkan bicara sepatah kata saja, biarpun mati bagimu sedikit pun Laukoko takkan mengernyitkan kening.”

Tapi Tonghong Put-pay masih terus duduk tak bergerak, seketika suasana di balairung menjadi sunyi senyap, pandangan semua orang dialihkan kepada Tonghong Put-pay untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Akan tetapi sampai sekian lamanya dia tetap diam saja.

“Tonghong-hengte,” Tong Pek-him berteriak pula, “selama beberapa tahun ini betapa sukarnya aku ingin menemui kau. Kau telah mengasingkan diri untuk meyakinkan ‘Kui-hoa-po-tian’, tapi apakah kau tahu para kawan lama di dalam agama telah banyak meninggalkan kita, bencana besar sedang mengancam agama kita?”

Tetap Tonghong Put-pay diam saja. Maka Tong Pek-him berseru lagi, “Asal kau sendiri yang omong, segera aku akan berlutut padamu. Tidak menjadi soal kau menyiksa aku, bahkan membunuh aku sekalipun, tapi Tiau-yang-sin-kau yang namanya mengguncangkan Kangouw selama beratus-ratus tahun segera akan hancur, untuk ini kau harus bertanggung jawab dan akan berdosa besar. Mengapa kau diam saja? Apakah kau kena penyakit dalam meyakinkan ilmu sehingga tak bisa bicara?”

Bab 107. Rahasia Pribadi Tonghong Put-pay

Ngaco-belo!” bentak Nyo Lian-ting. “Berlututlah kau!”

Dua dayang segera menendang belakang dengkul Tong Pek-him untuk memaksanya tekuk lutut. Tapi mendadak terdengar suara jeritan dua kali, kedua dayang itu terpental sendiri ke belakang dengan tulang kaki patah dan muntah darah. Sungguh hebat lwekang Tong Pek-him itu.

“Tonghong-hengte, aku ingin mendengar satu patah katamu saja, habis itu mati pun aku rela,” seru Tong Pek-him pula. “Sudah lebih tiga tahunan kau tidak pernah bersua, para saudara dalam agama sudah sama curiga.”

Nyo Lian-ting menjadi gusar, dampratnya, “Curiga apa?”

“Mencurigai kemungkinan Kaucu telah dikerjai orang, dibikin bisu,” jawab Tong Pek-him dengan suara keras. 
Sebab apa dia tidak bicara? Ya, sebab apa dia tidak bicara?”

“Mulut emas Kaucu masakah sembarangan digunakan bagi kaum pengkhianat macam kau?” jengek Nyo Lian-ting. “Bawa pergi dia, penjaga!”

Delapan dayang baju ungu serentak mengiakan dan berlari maju.

Mendadak Tong Pek-him berteriak-teriak, “Tonghong-hengte, ingin kulihat siapakah yang membikin kau tak bisa bicara?”

Berbareng ia terus memburu ke arah Tonghong Put-pay sambil menyeret rantai borgol di kaki dan tangannya.

Melihat sikap Tong Pek-him yang gagah berwibawa itu, para penjaga menjadi takut untuk mendekati dia.

“Bekuk dia! Bekuk dia!” teriak Nyo Lian-ting.

Tapi para busu hanya berteriak-teriak saja di ambang pintu dan tidak berani masuk ke balairung. Maklum, menurut peraturan tiada seorang pun anggota Tiau-yang-sin-kau diperbolehkan masuk ke balairung itu dengan membawa senjata, yang melanggar dihukum mati.

Melihat gelagat kurang baik itu, tertampak Tonghong Put-pay berdiri dan bermaksud masuk ke ruang belakang.

“Jangan pergi dulu, Tonghong-hengte, jangan pergi!” seru Tong Pek-him sambil memburu maju lebih cepat. Namun kedua kakinya terborgol, gerak-geriknya tidak leluasa, saking nafsunya dia memburu maju, mendadak ia kesandung dan jatuh terguling. Tapi sekaligus ia berjumpalitan terus menubruk pula ke depan sehingga jaraknya dengan Tonghong Put-pay sekarang tinggal belasan meter saja.

Nyo Lian-ting menjadi khawatir, teriaknya, “Pengkhianat! Kurang ajar! Berani kau mencelakai Kaucu?”

Melihat gerak-gerik Tonghong Put-pay yang rada aneh dan serbamencurigakan itu, Yim Ngo-heng tidak tinggal diam, ketika melihat Tong Pek-him tidak mampu memburu ke depan lagi, segera ia merogoh keluar tiga buah mata uang terus disambitkan ke arah Tonghong Put-pay.

Segera Lenghou Tiong lantas melompat bangun, dari dalam kain pembalutnya pedang lantas dilolos keluar. Hiang Bun-thian juga lantas mengeluarkan senjata yang disembunyikan di atas usungan dan dibagikan kepada Ing-ing serta Yim Ngo-heng. Menyusul ia menarik sekuatnya, rupanya tali yang dipakai mengikat rangka usungan adalah sebuah cambuk. Dengan ginkang yang tinggi mereka berempat lantas menyerbu maju.

Dalam pada itu terdengar Tonghong Put-pay menjerit, rupanya dahinya terkena sebuah mata uang yang disambitkan Yim Ngo-heng tadi sehingga mengucurkan darah. Untung baginya karena jaraknya cukup jauh sehingga sambitan Yim Ngo-heng itu tidak keras, hanya membikin kulit kepalanya terkupas sedikit. Namun Tonghong Put-pay terkenal ilmu silatnya tak terkalahkan, masakah sebuah mata uang saja tidak mampu menghindarkan diri, hal ini sungguh tidak masuk di akal.

“Hahaha! Tonghong Put-pay ini adalah palsu!” teriak Yim Ngo-heng.

Pada saat yang sama cambuk Hiang Bun-thian lantas menyabet, “tarrr”, kedua kaki Nyo Lian-ting terlibat oleh cambuknya, sekali ditarik tanpa ampun lagi orang she Nyo itu lantas terguling.

Tampak Tonghong Put-pay masih terus lari ke depan sambil mendekap dahinya yang luka, dengan cepat Lenghou Tiong melompat ke depannya sambil menodongkan ujung pedang dan membentak, “Berhenti!”

Siapa duga Tonghong Put-pay yang sedang lari cepat itu tak sempat menahan tubuhnya, bahkan terus menerjang ke ujung pedang malah. Namun Lenghou Tiong keburu menarik kembali pedangnya. Sedangkan Yim Ngo-heng sudah menubruk tiba, sekali cengkeram kuduk Tonghong Put-pay terus diseretnya ke tengah balairung.

“Dengarkan semua orang!” teriak Yim Ngo-heng. “Keparat ini memalsukan Tonghong Put-pay dan merusak Tiau-yang-sin-kau kita, hendaknya kalian semua memeriksa jelas cecongor keparat ini.”

Ternyata tampang orang itu memang sangat mirip dengan Tonghong Put-pay asli. Keruan para busu saling pandang dengan melongo.

“Siapa kau? Kalau tidak mengaku terus terang biar kugecek kepalamu hingga hancur,” bentak Yim Ngo-heng.

Orang itu gemetar seluruh badannya, giginya berkeriutan saking takutnya, jawabnya dengan terputus-putus, “Ham... ham... ba... ber... na... ma....” tapi sampai sekian lamanya tetap tidak mampu menyambung ucapannya.

Sementara itu Hiang Bun-thian telah menutuk beberapa tempat hiat-to di tubuh Nyo Lian-ting dan menyeretnya pula ke tengah balairung, lalu membentaknya, “Sebenarnya siapa nama orang ini?”

Tapi dengan angkuh Nyo Lian-ting menjawab, “Hm, kau ini kutu apa, kau ada hak buat tanya padaku? Aku kenal kau sebagai pengkhianat besar Hiang Bun-thian. Sudah lama kau dipecat, berdasarkan hak apa kau berani pulang lagi ke Hek-bok-keh sini?”

“Tujuanku ke Hek-bok-keh ini justru hendak membereskan kau keparat ini!” jengek Hiang Bun-thian, berbareng sebelah tangannya terus menebas, “krak”, kontan tulang betis kiri Nyo Lian-ting dipatahkan.

Tak terduga, biarpun ilmu silat Nyo Lian-ting tidak tinggi, ternyata orangnya sangat kepala batu, ia tidak menjerit kesakitan, sebaliknya malah membentak, “Jika berani, hayolah kau bunuh aku saja, main siksa begini terhitung orang gagah macam apa?”

“Membunuh kau? Hm, masakah begitu enak?” jengek Hiang Bun-thian pula, “krek”, kembali ia pukul patah tulang betis kaki Nyo Lian-ting yang lain. Menyusul Hiang Bun-thian menurunkan tubuh Nyo Lian-ting sehingga berdiri tegak.

Dengan tulang betis yang sudah patah, dengan sendirinya waktu berdiri tulang kaki yang patah itu lantas menusuk ke atas sehingga berbunyi keriang-keriut, sakitnya tentu bukan buatan. 
Namun Nyo Lian-ting sama sekali tidak bersuara meski mukanya pucat pasi.

“Laki-laki hebat! Aku takkan menyiksa kau lagi,” kata Hiang Bun-thian sambil acungkan jempolnya ke muka Nyo Lian-ting. Sebagai gantinya ia terus menonjok perut Tonghong Put-pay palsu sambil bertanya, “Siapa namamu?”

Orang itu menjerit kesakitan, jawabnya dengan gemetar, “Hamba... hamba ber... bernama Pau... Pau... Pau....” tapi Pau siapa tak dapat dilanjutkannya.

“Jadi kau she Pau?” 
Hiang Bun-thian menegas.

“Iy... ya! Hamba she... she... Pau... Pau....” 
namun tetap dia tidak sanggup mengatakan namanya sampai sekian lamanya.

Dalam pada itu Lenghou Tiong dan lain-lain lantas mengendus bau busuk, ternyata dari bawah celana orang itu mengalirkan air kekuning-kuningan, rupanya saking ketakutan orang itu menjadi terkencing-kencing dan tercirit-cirit.

“Urusan jangan terlambat, paling penting kita mencari saja Tonghong Put-pay yang tulen,” kata Yim Ngo-heng. Segera ia angkat orang she Pau itu dan berseru pula, “Kalian sudah menyaksikan sendiri, orang ini adalah Tonghong Put-pay palsu, dia telah merusak agama kita, sekarang juga kita harus menyelidiki duduknya perkara hingga jelas. Aku adalah kaucu kalian yang dulu, apakah kalian masih kenal padaku?”

Para busu yang berada di situ adalah pemuda-pemuda berumur 20-an, selamanya mereka belum melihat Yim Ngo-heng, sudah tentu tidak kenal. Sejak Tonghong Put-pay menjabat kaucu, orang-orang kepercayaannya dapat meraba isi hati kaucu baru ini, maka masing-masing saling memperingatkan agar jangan mengungkat-ungkat urusan Yim-kaucu, sebab itulah nama Yim Ngo-heng saja tidak pernah didengar oleh para busu. Kini mereka menjadi melongo dan saling pandang mendengar ucapan Yim Ngo-heng, tiada seorang pun yang berani menjawab.
Siangkoan In lantas berseru, “Besar kemungkinan Tonghong Put-pay sudah dibinasakan mereka. Yim-kaucu ini adalah kaucu kita. Sejak kini kita harus setia mengabdi kepada Yim-kaucu.”

Habis berkata segera ia mendahului menyembah kepada Yim Ngo-heng, serunya, “Terimalah sembah bakti hamba, semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat!”

Para busu kenal Siangkoan In sebagai Kong-beng-yusu yang terhormat di dalam agama, melihat tokoh setinggi itu saja menyembah kepada Yim Ngo-heng, pula menyaksikan ada orang memalsukan Tonghong Put-pay, malahan Nyo Lian-ting yang biasanya berkuasa itu sekarang juga menggeletak tak bisa berkutik dengan kedua kaki patah, maka tanpa ragu-ragu lagi para busu itu serentak berlutut kepada Yim Ngo-heng dan menyorakkan istilah-istilah puja-puji, “Semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat!”

Yim Ngo-heng terbahak-bahak senang dan puas, katanya kemudian, “Kalian harus menjaga rapat setiap jalan di sekeliling Hek-bok-keh ini, siapa pun dilarang naik-turun.”

Busu-busu itu mengiakan dengan gemuruh. Dalam pada itu Hiang Bun-thian sudah memerintahkan kawanan dayang baju ungu untuk membuka borgol Tong Pek-him.

Tong Pek-him sangat mengkhawatirkan keselamatan Tonghong Put-pay, begitu sudah bebas segera ia cengkeram kuduk Nyo Lian-ting dan membentak, “Tentu kau telah membinasakan Tong... Tonghong-hengte, kau... kau....” saking nafsunya sampai tenggorokannya seperti tersumbat, air mata pun berlinang-linang.

Nyo Lian-ting benar-benar kepala batu, ia malahan pejamkan mata tak pedulikan pertanyaan orang. Keruan Tong Pek-him menjadi murka, kontan ia beri tempelengan keras ke pelipis orang she Nyo itu sambil membentak, “Di manakah Tonghong-hengte?”

“Perlahan sedikit!” cepat Hiang Bun-thian mengingatkan Tong Pek-him.

Namun sudah terlambat, padahal tempelengan itu pun tidak terlalu keras, namun Nyo Lian-ting tidak tahan, kontan ia kelengar. Tong Pek-him entak-entakkan badan Nyo Lian-ting, namun kedua matanya tampak mendelik seperti orang mampus.

“Coba siapa di antara kalian yang tahu di mana beradanya Tonghong Put-pay? Siapa yang memberi laporan lebih dulu akan diberi hadiah besar!” tanya Yim Ngo-heng kepada para dayang baju ungu. 
Tapi meski ia ulangi pertanyaan itu tetap tiada seorang pun yang dapat memberi keterangan. Seketika dingin juga perasaannya.

Maklumlah, dia dikurung selama belasan tahun di bawah danau Barat (Se-ouw) di Hangciu, di situ siang dan malam ia tekun meyakinkan ilmu dengan tujuan bila kelak dapat meloloskan diri dari tahanan itu ia pun akan balas menyiksa Tonghong Put-pay sejadi-jadinya. Siapa duga sesudah berada di Hek-bok-keh sekarang ternyata Tonghong Put-pay yang telah dibekuknya ini adalah palsu, agaknya Tonghong Put-pay yang tulen sudah tidak hidup lagi di dunia fana ini, kalau tidak, dengan kecerdasan Tonghong Put-pay yang lain daripada yang lain itu masakah sudi membiarkan Nyo Lian-ting berbuat sesukanya dan bahkan menggunakan seorang lain sebagai duplikatnya?

Ia coba memandang kawanan dayang baju ungu yang berdiri di seputar balairung itu, kelihatan sebagian di antaranya mengunjuk sikap ketakutan, ada pula yang gelisah, tapi ada juga yang kelihatan culas. Dalam keadaan kecewa, perasaan Yim Ngo-heng menjadi sangat berangasan, mendadak ia membentak, “Kalian ini sudah tahu Tonghong Put-pay ini palsu, tapi kalian toh sengaja sekongkol dengan Nyo Lian-ting untuk menipu saudara-saudara lain dalam agama, dosa kalian tidak bisa diampuni!”
Tiba-tiba ia melompat maju, “plak-plok” empat kali, di mana tangannya tiba, kontan empat dayang seragam ungu itu lantas binasa. Keruan dayang-dayang yang lain menjadi ketakutan, sambil menjerit mereka menyingkir ke belakang.

“Kalian hendak lari? Mau lari ke mana?” bentak Yim Ngo-heng dengan menyeringai seram, dijemputnya rantai borgol yang baru dilepaskan dari tubuh Tong Pek-him tadi, sekuatnya ia lemparkan rantai itu ke sana. Kontan saja darah mencurat, kembali ada beberapa orang dibinasakan pula.

Yim Ngo-heng terbahak-bahak, teriaknya, “Pengikut-pengikut Tonghong Put-pay satu pun takkan dibiarkan hidup!”

Melihat kelakuan ayahnya rada kurang waras, cepat-cepat Ing-ing memburu maju untuk memegang tangannya sambil memanggil, “Sabar, Ayah!”

Tiba-tiba di antara kawanan dayang seragam ungu itu tampil seorang dan berlutut memberi laporan, “Lapor Kaucu, sebenarnya Tonghong... Tonghong Put-pay itu tidak mati!”

Tidak kepalang senangnya Yim Ngo-heng mendengar itu, ia memburu maju dan memegang bahu dayang itu sambil menegas, “Betul Tonghong Put-pay belum mati?”

“Iya... Ahuuh!” orang itu berteriak terus roboh tak sadarkan diri.

Rupanya saking terguncang oleh perasaannya, Yim Ngo-heng terlalu keras mencengkeram bahu dayang itu, namun sukar membuatnya siuman kembali.

Terpaksa Yim Ngo-heng berpaling kepada dayang-dayang lain dan bertanya, “Berada di mana Tonghong Put-pay? 
Lekas tunjukkan jalannya, sedikit terlambat saja kalian semua akan kubunuh!”

Seorang dayang lain lantas menyembah dan berkata, “Lapor Kaucu, tempat tinggal Tonghong Put-pay sangat dirahasiakan, yang tahu hanya Nyo Lian-ting seorang. Sebaiknya kita sadarkan keparat she Nyo itu, tentu dia dapat membawa Kaucu ke sana.”

“Lekas ambilkan air dingin,” bentak Yim Ngo-heng.

Kawanan dayang itu memang sudah terlatih dan sangat cekatan, dalam sekejap saja air dingin yang diminta sudah datang terus disiram ke muka Nyo Lian-ting. Perlahan-lahan orang she Nyo itu membuka matanya, dia telah siuman.

“Orang she Nyo, aku menghargai kau sebagai seorang laki-laki berhati keras, maka takkan kusiksa lagi dirimu,” kata Hiang Bun-thian. “Saat ini semua jalan masuk-keluar Hek-bok-keh sudah ditutup, betapa pun Put-pay takkan bisa lolos dari sini kecuali dia punya sayap. Maka ada lebih baik kau membawa kami pergi mencarinya. Seorang laki-laki sejati buat apa mesti main sembunyi? 
Kan lebih baik kalau kita bikin pemberesan secara blakblakan saja.”

“Hm, Tonghong-kaucu kini sudah punya badan yang kebal, masakah beliau gentar terhadap keroco-keroco macam kalian?” jawab Nyo Lian-ting dengan menjengek “Tapi kata-katamu barusan rada cocok juga dengan seleraku. Baik, akan kubawa kalian untuk menemuinya.”

Segera Hiang Bun-thian berkata kepada Siangkoan In, “Siangkoan-heng, biarlah sementara ini kita menjadi kuli sambilan, mari kita gotong keparat ini untuk menemui Tonghong Put-pay.”

Berbareng ia terus angkat Nyo Lian-ting dan ditaruh di atas usungan.

Siangkoan In mengiakan. Bersama Hiang Bun-thian mereka lantas mengangkat usungan itu.

“Jalan ke dalam!” kata Nyo Lian-ting.

Hiang Bun-thian dan Siangkoan In lantas mendahului jalan di depan dengan menggotong Nyo Lian-ting. Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong, Ing-ing, dan Tong Pek-him berempat mengikuti mereka dari belakang.

Setelah rombongan masuk ke belakang balairung dan melalui sebuah serambi yang panjang, kemudian sampai di sebuah taman bunga dan memasuki sebuah rumah batu kecil di ujung kiri.

“Dorong dinding sebelah kanan!” seru Nyo Lian-ting.

Ketika Tong Pek-him menolak dengan tangannya, ternyata dinding itu bisa bergerak sehingga berwujud sebuah daun pintu. Di dalamnya terdapat pula sebuah pintu besi. Dari bajunya Nyo Lian-ting mengeluarkan segandeng anak kunci dan diserahkan kepada Tong Pek-him, pintu besi itu dibuka, di dalamnya ternyata ada sebuah lorong di bawah tanah.

Lorong itu terus menurun ke bawah. Dalam hati Yim Ngo-heng membatin, “Tonghong Put-pay telah mengurung aku di dasar danau, siapa duga dia pun kualat sehingga kena dikurung pula di bawah tanah. Tampaknya lorong ini pun tidak lebih baik daripada tempat kurunganku dahulu.”

Tidak nyana, setelah membelok beberapa tikungan, tiba-tiba bagian depan terbeliak terang. Sekonyong-konyong semua orang mengendus bau harum bunga semerbak, seketika napas mereka terasa segar.

Keluar dari lorong di bawah tanah itu ternyata mereka sudah berada di dalam sebuah taman bunga yang kecil dan sangat indah. Bunga mekar beraneka warna, pepohonan tumbuh menghijau segar, di tengah taman ada sebuah kolam dengan beberapa pasang belibis sedang berenang kian-kemari dan beberapa ekor bangau putih bersaba di tepi kolam.

Tiada seorang pun yang menyangka bahwa di balik lorong yang gelap tadi ternyata ada kediaman seindah ini, sungguh mereka tak habis heran. Setelah mengitari sebuah gunung-gunungan, tertampak di depan terbentang sebidang kebun bunga, seluruhnya adalah bunga mawar berwarna merah tua dan jambon yang sedang mekar dan seakan-akan berlomba memamerkan kecantikan masing-masing.

Ing-ing melirik ke arah Lenghou Tiong, dilihatnya pemuda itu tersenyum simpul, tampaknya sangat senang. “Bagus tidak tempat ini?” tanya Ing-ing dengan suara tertahan.

“Setelah kita usir Tonghong Put-pay, lalu kita tinggal beberapa bulan di sini, nanti kau mengajarkan aku memetik kecapi, alangkah bahagianya kehidupan demikian!” ujar Lenghou Tiong.

“Apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh?” tanya Ing-ing.

“Tentu saja sungguh-sungguh,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma kukhawatir tidak dapat menerima ajaran kecapimu sehingga membikin nenek marah-marah nanti.”

Maka mengikik tawalah Ing-ing teringat kepada masa lampau ketika Lenghou Tiong mengira dia adalah seorang tua renta dan selalu memanggilnya sebagai nenek.

Sementara itu tertampak Hiang Bun-thian dan Siangkoan In sedang mengusung Nyo Lian-ting ke dalam sebuah pondok kecil yang indah, cepat Lenghou Tiong dan Ing-ing ikut masuk ke situ. Begitu melangkah masuk, seketika mereka mengendus bau harum bunga yang menusuk hidung, dilihatnya dinding kamar tergantung sebuah lukisan yang menggambarkan kaum wanita sedang menyulam. 
Lenghou Tiong menjadi heran apakah Tonghong Put-pay tinggal di kamar ini? Apakah tempat tinggal gendak kesayangannya sehingga dia senantiasa tenggelam di tempat demikian dan lupa mengurusi pekerjaan.
Tiba-tiba terdengar seorang di dalam kamar bertanya, “Adik Lian, siapakah yang kau bawa kemari?”

Suaranya nyaring tajam, seperti suara kaum lelaki, tapi mirip juga suara wanita, mendirikan bulu roma rasanya bagi orang yang mendengarnya.

Maka Nyo Lian-ting telah menjawab, “Kubawa serta sobat lamamu, dia ingin bertemu dengan kau.”

“Mengapa kau membawanya kemari?” ujar suara di dalam itu. “Tempat ini hanya boleh didatangi seorang saja, selain kau, siapa pun takkan kutemui.”

Beberapa kata-kata terakhir ini diucapkan dengan manja seperti nada kaum wanita, namun jelas suaranya adalah suara orang laki-laki.

Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, Ing-ing, Tong Pek-him, dan Siangkoan In sudah sangat kenal Tonghong Put-pay, dari suara tadi jelas adalah suara sang kaucu itu, hanya saja nadanya sangat aneh, seakan-akan pemain sandiwara wanita yang diperankan oleh kaum lelaki dengan suara yang dibikin-bikin. Keruan mereka saling pandang dengan melongo.

Maka terdengar Nyo Lian-ting menjawab dengan menghela napas, “Ya, apa daya, kalau aku tidak membawanya kemari, aku akan dibunuh olehnya. Sebelum mati bila aku tidak melihat kau lebih dulu, hal ini akan merupakan penyesalan besar selama hidupku.”

“Hah, siapakah yang begitu berani mati membikin susah padamu? Coba suruh dia masuk kemari,” seru orang di dalam itu dengan suara melengking.

Yim Ngo-heng memberi tanda agar semua orang ikut masuk ke dalam. Lebih dulu Siangkoan In menyingkap tirai pintu yang bersulam bunga yang indah, Nyo Lian-ting lantas digotong ke dalam, lalu semua orang ikut masuk ke situ. Ternyata di dalam kamar sebelah dalam itu terpajang sangat rajin dan indah dengan hiasan yang warna-warni, pada ujung kanan sana ada sebuah meja rias, di sampingnya duduk seorang dengan baju warna jambon, tangan kiri memegang sebuah bingkai sulaman, tangan kanan memegang sebuah jarum sulam, melihat masuknya orang-orang sebanyak itu, ia angkat kepalanya dengan rada heran.

Namun betapa herannya orang itu toh masih kalah besar herannya Yim Ngo-heng dan lain-lain terhadap orang di dalam kamar itu. Semua orang jelas mengenali orang berbaju jambon itu tak-lain tak-bukan Tonghong Put-pay yang selama belasan tahun ini menduduki jabatan kaucu Tiau-yang-sin-kau dengan gelar “jago silat nomor satu di dunia”. Hanya saja sekarang kumis jenggotnya telah dicukur bersih, yang luar biasa adalah mukanya pakai pupur dan bibir digincu segala, baju yang dipakainya itu bentuknya tidak laki tidak perempuan, warnanya juga terlalu mencolok sekalipun dipakai oleh gadis jelita sebagai Ing-ing.

Sungguh sukar untuk dipercaya oleh siapa pun juga bahwa kesatria yang namanya mengguncangkan Kangouw, seorang tokoh mahaagung, ternyata hidupnya sembunyi di dalam kamar wanita dan kerjanya menyulam. Benar-benar luar biasa kalau tidak menyaksikannya sendiri.

Tadinya Yim Ngo-heng penuh dendam dengan hati seperti terbakar, tapi demi melihat keadaan Tonghong Put-pay itu, merasa geli juga. Bentaknya segera, “Tonghong Put-pay, apa kau pura-pura gila?”

“O, Yim-kaucu kiranya!” jawab Tonghong Put-pay dengan suara melengking. “Memang sudah kuduga yang datang tentulah dirimu. Eh, Adik Lian, ken... kenapakah kau? Apa dia yang melukai kau?”

Cepat ia menubruk ke samping Nyo Lian-ting terus memondongnya dan perlahan-lahan dibaringkan di atas tempat tidurnya.

Seprai tempat tidurnya yang bersulam itu berbau sangat wangi. Dengan wajah yang penuh kasih sayang tak terhingga Tonghong Put-pay bertanya, “Ah, kau sangat kesakitan tentunya? O, cuma tulang kaki yang patah, tidak apa-apa, jangan khawatir, segera akan kusambungkan bagimu.”

Dengan hati-hati ia terus membukakan sepatu Nyo Lian-ting, lalu mencopot kaus kakinya, kemudian menyelimutinya pula, mirip sekali seorang istri setia melayani sang suami.

Pemandangan aneh itu membuat semua orang melongo heran dan geli, semuanya ingin tertawa, tapi pemandangan yang teramat lucu dan seram itu membuat mereka urung tertawa.

Dalam pada itu tertampak Tonghong Put-pay telah mengeluarkan sepotong saputangan sutra hijau, perlahan-lahan ia mengusap keringat dan kotoran di dahi dan muka Nyo Lian-ting.

Dilayani semanis itu, bukannya Nyo Lian-ting berterima kasih, sebaliknya ia menjadi marah dan mendamprat, “Musuh besar di hadapan mata, buat apa kau mengurusi aku segala? 
Kalau kau sudah membereskan musuh barulah nanti kita bermesra-mesraan.”

Tonghong Put-pay hanya tersenyum dan menjawab, “Baik, baik! Kau jangan marah, tentu kakimu terlalu sakit bukan? Ai, hatiku pun ikut pedih!”

Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan lain-lain terhitung tokoh-tokoh kelas wahid yang sudah kenyang asam garam kehidupan, namun pemandangan aneh yang mereka hadapi sekarang sungguh sukar dimengerti. Di dunia ini memang banyak terjadi hubungan-hubungan kelamin yang tidak sehat karena perubahan kejiwaan, misalnya laki-laki yang suka meniduri anak laki-laki tanggung, hubungan seks antara sejenis, dan macam-macam kelainan, namun seorang kaucu mahaagung sebagai Tonghong Put-pay ternyata rela berdandan sebagai wanita, jelas dia tentu sudah gila. Bahkan Nyo Lian-ting menghardik dan mengolok-oloknya secara menyakitkan hati, namun dia tetap sangat halus budi dan kasih sayang sebagaimana layaknya seorang istri setia. Keruan hal ini membuat semua orang terheran-heran dan merasa mual pula.

Tong Pek-him tidak tahan, ia melangkah maju dan berseru, “Tonghong-hengte, kau... sesungguhnya kau lagi apa-apaan ini?”

Tiba-tiba Tonghong Put-pay mengangkat kepalanya dan bertanya dengan wajah cemberut, “Apakah orang yang mencelakai Adik Lian juga termasuk kau ya?”

“Tonghong-hengte, mengapa kau terima dipermainkan orang she Nyo ini? Dia telah menyuruh seorang untuk memalsukan dirimu dan memberi perintah serta main kuasa sesukanya, apakah kau sudah mengetahui hal-hal itu?”

“Sudah tentu aku mengetahui,” jawab Tonghong Put-pay. “Demi kebaikankulah maka Adik Lian sedemikian rajin padaku. Dia tahu aku sungkan mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang membosankan itu, maka dia yang mengerjakannya bagiku, apa sih jeleknya?”

“Orang ini hendak membunuh aku, apakah kau pun tahu?” tanya Tong Pek-him sambil menuding Nyo Lian-ting.

“Aku tidak tahu,” sahut Tonghong Put-pay sambil menggeleng perlahan. “Tapi kalau Adik Lian mau membunuh kau tentu kaulah yang bersalah. Lalu mengapa kau tidak membiarkan dibunuh olehnya?”

Tong Pek-him melengak bingung. 
Tapi ia lantas mendongak dan bergelak tertawa, suara tertawa yang penuh rasa penasaran dan sedih. Katanya kemudian, “Jadi dia ingin bunuh aku dan kau lantas membiarkan dia membunuh sesukanya, begitu?”

“Ya, apa yang suka dilakukan oleh Adik Lian tentu akan kuusahakan agar keinginannya tercapai. Di dunia ini hanya dia seorang yang benar-benar baik padaku, maka aku pun akan berbuat baik baginya,” kata Tonghong Put-pay. “Tong-toako, kita pernah hidup bersama senasib dan setanggungan, selamanya kita bersahabat dengan akrab. Cuma tidak seharusnya kau membikin susah kepada Adik Lian.”

Dengan wajah merah padam Tong Pek-him berteriak, “Tadinya kukira kau kurang waras, rupanya kau pun cukup sadar dan masih ingat kita adalah sahabat karib dan punya hubungan akrab di masa lampau.”

“Ya. Jika kau bersalah padaku takkan menjadi soal, tapi kau bersalah pada Adik Lian, inilah tidak boleh,” kata Tonghong Put-pay.

“Dan sekarang aku sudah menyalahi dia, kau mau apa?” teriak Tong Pek-him pula. “Keparat ini hendak membunuh aku, hm, kukira tidaklah mudah memenuhi keinginannya itu.”

Perlahan-lahan Tonghong Put-pay membelai rambut Nyo Lian-ting dan bertanya dengan suara halus, “Adik Lian, apakah kau ingin membunuh dia?”

Nyo Lian-ting menjadi marah, omelnya, “Lekas kerjakan, kelemak-kelemek, bikin sebal saja?”

“Baik,” sahut Tonghong Put-pay dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Tong Pek-him, katanya, “Tong-heng, mulai hari ini kita putus hubungan dan rantas persaudaraan, jangan kau salahkan tindakanku ini.”

Ketika berangkat dari balairung tadi Tong Pek-him telah rampas sebuah golok dari seorang busu. Kini mendengar ucapan Tonghong Put-pay itu, tanpa terasa ia mundur dua tindak dan siap siaga. Ia cukup kenal betapa lihainya sang kaucu, meski sekarang tampaknya aneh, tapi tidak boleh dipandang ringan.

Tonghong Put-pay menyeringai, katanya dengan gegetun, “Hal ini sungguh serbasusah bagiku. Tong-heng, aku menjadi teringat kepada kejadian dahulu ketika kau menyelamatkan diriku dari kerubutan musuh-musuhku di Soatang, waktu itu aku sudah terluka parah, bila kau tidak membantu tentu aku takkan hidup lagi sampai saat ini.”

“Hm, rupanya kau belum lupa akan peristiwa lama itu,” jengek Tong Pek-him.

“Mana bisa lupa? Bahkan hal-hal lain pun aku ingat dengan baik,” ujar Tonghong Put-pay. “Umpamanya ketika dahulu aku merobohkan Yim-kaucu dengan obat tidur, perbuatanku kepergok Hwe-tong-tongcu Lo Ko-tek, syukur engkau telah membinasakan orang she Lo itu sehingga usahaku dapat terlaksana dengan lancar. Kau benar-benar saudaraku yang paling baik.”

Dengan air muka yang berubah Tong Pek-him melirik sekejap ke arah Yim Ngo-heng, jawabnya, “Memang salahku, pada waktu itu mungkin aku sudah pikun.”

“Kau tidak salah, kau pun tidak pikun, tapi kau memang sangat baik padaku,” kata Tonghong Put-pay. “Ketika berumur 11 aku sudah kenal kau. Waktu itu keluargaku sangat miskin, engkaulah yang selalu membantu kehidupan kami. Bahkan engkau pula yang mengongkosi penguburan-penguburan ayah-bundaku ketika mereka kemudian meninggal berturut-turut.”

“Urusan-urusan yang sudah lalu buat apa dibicarakan lagi?” ujar Tong Pek-him.

“Ai, Tong-toako, bukannya aku tidak punya liangsim (hati nurani) dan melupakan kebaikanmu di masa lampau, soalnya kau telah bersalah pada Adik Lian. 
Dia ingin membinasakan kau, ya, terpaksa aku tak punya jalan lain.”

“Sudahlah, sudahlah!” seru Tong Pek-him.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan merah berkelebat, tubuh Tonghong Put-pay seperti bergerak sedikit. Menyusul terdengar “trang” satu kali, golok yang dipegang Tong Pek-him jatuh ke lantai, lalu tubuh orang tua itu pun terhuyung-huyung, mulutnya tampak terbuka lebar, tapi tak mampu bersuara. 
Sekonyong-konyong tubuhnya jatuh ke depan untuk seterusnya tidak bergerak lagi.

Meski jatuhnya Tong Pek-him terjadi dengan cepat, namun Yim Ngo-heng dan jago-jago kelas tinggi lain sudah dapat melihat jelas pada hiat-to bagian-bagian tengah kedua alis, kedua pelipis, dan jin-tiong-hiat di bawah hidung (di atas bibir) ada suatu titik merah kecil dan merembes sedikit darah. Nyata tempat-tempat itu telah kena ditusuk oleh jarum sulam yang dipegang Tonghong Put-pay.

Menyaksikan kejadian luar biasa itu, mau tak mau tokoh-tokoh sebagai Yim Ngo-heng dan lain-lain tanpa terasa mundur dua-tiga tindak. Lenghou Tiong pegang tangan Ing-ing dan disembunyikan di belakangnya. Seketika suasana menjadi sunyi dan bernapas pun tidak berani keras-keras. Semua orang tahu ilmu silat Tonghong Put-pay teramat tinggi, tapi sama sekali orang tidak mengira sedemikian hebatnya, hanya dengan sebatang jarum kecil saja dengan kecepatan luar biasa dapat menusuk empat hiat-to mematikan di atas kepala Tong Pek-him. Padahal baru saja dia menguraikan macam-macam kebaikan orang tua itu, tapi dalam sekejap sahabat dan penolongnya di masa lampau itu sudah dibinasakan olehnya, betapa culas dan kejamnya sungguh membuat orang mengirik.

Perlahan-lahan Yim Ngo-heng melolos pedangnya dan berkata, “Tonghong Put-pay, aku mengucapkan selamat karena kau telah berhasil meyakinkan ilmu silat dalam Kui-hoa-po-tian.”

“Terima kasih Yim-kaucu. Kui-hoa-po-tian itu adalah pemberianmu, senantiasa aku ingat pada kebaikanmu,” jawab Tonghong Put-pay.

“Apa betul? Makanya kau mengurung aku di bawah Danau Se-ouw supaya aku tidak pernah melihat cahaya matahari lagi.”

“Aku kan tidak membinasakan kau toh? Coba kalau aku suruh Bwe-cheng-si-yu tidak mengantar air dan makanan padamu, dapatkah kau hidup sepuluh hari atau setengah bulan, apalagi hidup sampai sekarang?”

“O, jadi caramu memperlakukan diriku masih lumayan ya?”

“Memang,” sahut Tonghong Put-pay. “Aku sengaja mengatur pensiunmu di Hangciu dengan danaunya yang indah sebagai surga menurut kata orang.”

“O, kiranya kau memberi pensiun padaku di dalam penjara dasar danau yang gelap gulita itu. Wah, malahan aku harus berterima kasih padamu. Haha!!”

Bab 108. Yim Ngo-heng Menjadi Kaucu Lagi

Yim-kaucu,” kata Tonghong Put-pay pula, “segala macam kebaikanmu padaku selamanya takkan kulupakan. Tadinya aku cuma seorang hiangcu, termasuk bawahan Tong-toako, tapi engkau menaruh perhatian padaku dan berulang-ulang memberi kenaikan pangkat padaku, sampai-sampai pusaka kita seperti Kui-hoa-po-tian juga kau wariskan padaku dan menunjuk diriku sebagai penggantimu kelak. Semua budi kebaikan ini takkan kulupakan selama hidup.”

Lenghou Tiong melirik sekejap ke arah mayat Tong Pek-him, pikirnya, “Tadi kau terus-menerus memuji kebaikan orang tua ini padamu, tapi mendadak kau membinasakannya. Sekarang kau hendak mengulangi kelicikanmu pada Yim-kaucu, masakah beliau dapat kau tipu?”
Namun cara turun tangan Tonghong Put-pay memang benar-benar terlalu cepat, sebelumnya juga tiada tanda-tanda sehingga sukar untuk menjaga diri. Terpaksa Lenghou Tiong siapkan pedangnya dengan ujung mengarah ke dada musuh, asal musuh sedikit bergerak saja segera ia akan mendahului menusuk, kalau sampai musuh mendahului lagi tentu di dalam kamar ini akan jatuh korban lagi.

Merasakan suasana yang gawat itu, Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, Siangkoan In, dan Ing-ing juga mencurahkan seluruh perhatian terhadap Tonghong Put-pay untuk menghadapi serangan yang mendadak.

Terdengar Tonghong Put-pay berkata lagi, “Semula hasratku hanya ingin menjadi kaucu, ingin panjang umur dan merajai jagat, sehingga selalu aku memeras otak untuk memikirkan cara merebut kedudukanmu dan menumpas begundalmu. Hiang-hengte, rencanaku ini rasanya sukar mengelabui kau, di dalam Tiau-yang-sin-kau, selain aku dan Yim-kaucu, kau adalah tokoh pilihan pula.”

Dengan memegang cambuknya Hiang Bun-thian menahan napas dengan tegang sehingga tidak berani menanggapi ucapan Tonghong Put-pay itu.

Tonghong Put-pay menghela napas, lalu berkata pula, “Ketika mulai menjadi kaucu, tadinya aku pun merasa syur dan ingin berbuat sesuatu yang berguna, kemudian aku meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian, lambat laun dapatlah kurasakan artinya orang hidup, aku meramu dan minum obat, akhirnya aku memahami kenikmatan orang hidup dan jalan penting menuju kehidupan abadi.”

Mendengarkan uraian Tonghong Put-pay dengan suaranya yang melengking itu, apa yang dikatakan juga masuk di akal, jelas otaknya cukup jernih, namun potongannya yang aneh, tidak laki tidak perempuan, keanehan inilah yang membikin orang mengirik.

Perlahan-lahan sinar mata Tonghong Put-pay beralih ke arah Ing-ing, tiba-tiba ia bertanya, “Yim-toasiocia, selama ini cara bagaimana aku terhadap dirimu?”

“Kau sangat baik padaku,” jawab Ing-ing.

“Sangat baik kukira juga tidak, hanya saja aku senantiasa sangat mengagumi dirimu,” ujar Tonghong Put-pay dengan menghela napas gegetun. “Seorang dilahirkan sebagai wanita sudah beratus kali lebih beruntung daripada kaum lelaki busuk, apalagi kau begini cantik, begini molek, muda dan lincah. Bila aku dapat bertukar tempat dengan kau, hah, jangankan sebagai Kaucu Tiau-yang-sin-kau, sekalipun menjadi raja juga aku tidak mau.”

“Bila kau bertukar tempat dengan Yim-toasiocia dan suruh aku menyukai siluman tua macam kau, wah, aku mesti pikir-pikir dua belas kali lebih dulu,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Yim Ngo-heng dan lain-lain terkejut oleh ucapan Lenghou Tiong itu. Tertampak Tonghong Put-pay memandanginya dengan mata melotot, alisnya semakin menegak dengan wajah geram, katanya, “Siapa kau? Berani kau bicara begitu padaku, besar amat nyalimu ya?”

Dasar Lenghou Tiong memang pemberani, terhadap segala urusan apa pun biasanya juga suka acuh tak acuh, meski sudah tahu keadaan sangat berbahaya juga tak terpikir olehnya, dengan tertawa ia malah mengolok-olok lagi, “Apakah dia seorang laki-laki gagah atau dia seorang perempuan cantik, tapi yang paling menjemukan aku adalah teledek (ronggeng) laki-laki yang menyamar sebagai perempuan.”

“Aku tanya kau, siapa kau?” jerit Tonghong Put-pay dengan melengking.

“Aku bernama Lenghou Tiong!”

“Ah, kiranya kau inilah Lenghou Tiong. Sudah lama aku ingin melihat kau. Kabarnya Yim-toasiocia sangat kesengsem padamu, bagimu dia rela mengorbankan jiwanya, kukira entah betapa cakap dan ganteng kekasih idam-idamannya itu. Tapi, hm, nyatanya juga cuma begini saja, dibandingkan aku punya Adik Lian, wah, selisihnya terlalu jauh.”
Cayhe memang orang biasa saja, yang penting dapat mencintai dengan hati yang bulat dan murni. Tentang anak bagus she Nyo ini, meski gagah dan ganteng, cuma sayang, dia terlalu bangor, suka petik bunga sini dan bedol rumput sana, di mana-mana suka main cinta....”

“Apa katamu, keparat! Ngaco-belo kau!” mendadak Tonghong Put-pay menggeram dengan wajah merah padam terus menubruk maju pula, dengan jarum sulam yang dipegangnya tadi dia menusuk ke muka Lenghou Tiong.

Rupanya Lenghou Tiong sudah dapat menerka ada hubungan istimewa antara Tonghong Put-pay dan Nyo Lian-ting, maka dia sengaja hendak membuatnya marah. Setiap jago silat bila timbul marah akan berarti berkurangnya pemusatan perhatian dan kepandaiannya akan terpengaruh. Benar juga, saking murkanya tusukan jarum Tonghong Put-pay itu menjadi rada kaku.

Kontan pedang Lenghou Tiong juga bergerak, “sret”, ia pun menusuk tenggorokan lawan. Tusukan ini sangat cepat, arahnya tepat pula, kalau Tonghong Put-pay tidak menarik diri berarti lehernya akan tembus. Tapi pada saat itulah tahu-tahu Lenghou Tiong merasa pipi kiri terasa sakit “cekit”, seperti digigit nyamuk, berbareng pedangnya terguncang ke samping.

Ternyata gerak Tonghong Put-pay benar-benar sukar dibayangkan cepatnya, pada detik secepat kilat itu jarumnya telah kena menusuk satu kali di pipi Lenghou Tiong, menyusul tangannya ditarik kembali, dengan jarum sulam itu ditangkisnya pedang Lenghou Tiong itu. Untung tusukan Lenghou Tiong itu pun teramat cepat dengan arah yang tepat sehingga terpaksa lawan harus menyelamatkan diri pula, karena itu tusukan jarum Tonghong Put-pay tadi rada menceng, mestinya yang diarah adalah jin-tiong-hiat di bawah hidung sasarannya.

Namun begitu hanya dengan menggunakan sebatang jarum kecil saja Tonghong Put-pay mampu menangkis pedang Lenghou Tiong sehingga tergetar ke samping, hal ini benar-benar hebat sekali, semua orang sama menjerit kaget dan kagum. Betapa tinggi ilmu silat Tonghong Put-pay sungguh sukar diukur.

Lenghou Tiong juga terkesiap, sadarlah dia hari ini telah ketemukan lawan tangguh yang belum pernah ditemui selama hidup. Bila lawan diberi kesempatan menyerang lagi akan berarti jiwa sendiri terancam. Maka tanpa ayal ia mendahului menyerang, “sret-sret” empat kali, semuanya menusuk ke tempat mematikan di tubuh musuh.

“Eh, hebat juga ilmu pedangmu!” Tonghong Put-pay merasa heran sambil memuji pula. Berbareng jarumnya juga bekerja empat kali, semua serangan Lenghou Tiong itu telah dapat ditangkis olehnya.

Mendadak Lenghou Tiong menggertak, pedangnya lantas membacok dari atas. Namun Tonghong Put-pay tetap menggunakan jarumnya yang diacungkan ke atas, bacokan pedang tertahan, tak sanggup menyambar ke bawah.

Tangan Lenghou Tiong merasakan linu pegal oleh getaran tenaga lawan, sekonyong-konyong bayangan merah berkelebat seperti ada sesuatu benda mencolok ke mata kirinya. Dalam keadaan demikian Lenghou Tiong tidak sempat menghindar maupun menangkis, sebisanya ia puntir pedangnya terus menusuk juga ke mata kiri Tonghong Put-pay dengan tidak kalah cepatnya, yang dia gunakan adalah serangan gugur bersama musuh.

Cara serangan Lenghou Tiong ini sebenarnya tidak “masuk buku” dalam ilmu silat mana pun juga, namun Tokko-kiu-kiam yang diyakinkan Lenghou Tiong itu memang tiada punya jurus serangan yang tetap, semuanya tergantung keadaan dan menurut kemauan pemakainya.

Lantaran sudah kepepet, maka tanpa pikir Lenghou Tiong juga melancarkan serangan yang sama dengan musuhnya. Begitulah segera ia merasa alis kiri sendiri terasa sakit cekit-cekit lagi, berbareng Tonghong Put-pay juga melompat ke samping untuk menghindarkan tusukan pedang.

Tahulah Lenghou Tiong bahwa alis kiri sendiri telah kena tusukan jarum lawan, untung Tonghong Put-pay terpaksa harus menghindarkan ancaman pedangnya sehingga jarumnya mengenai tempat yang kurang tepat, kalau tidak mata kirinya tentu sudah tertusuk buta. Saking kaget dan khawatirnya, segera Lenghou Tiong melancarkan serangan-serangan gencar, lawan tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.

Melihat gelagat jelek, tanpa bicara lagi Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian ikut menerjang maju. Tiga tokoh terkemuka bertempur bersama, sekalipun beribu-ribu prajurit juga tak mampu menandingi mereka, namun Tonghong Put-pay dengan hanya sebatang jarum sulam saja ternyata dapat menyelinap kian-kemari di antara mereka bertiga secepat kilat, sedikit pun tiada tanda-tanda akan terkalahkan.

Segera Siangkoan In mencabut goloknya dan maju membantu, keadaan menjadi empat lawan satu sekarang. Pada saat paling sengit, mendadak Siangkoan In menjerit, goloknya terpental jatuh, orangnya terjungkal sambil kedua tangan menutup mata kanannya, rupanya sebelah matanya telah tertusuk buta oleh jarum Tonghong Put-pay.

Melihat serangan kedua temannya bertambah hebat, Tonghong Put-pay tiada kesempatan melakukan serangan padanya, segera Lenghou Tiong hidupkan pedangnya, selalu menusuk tempat-tempat mematikan di tubuh musuh.

Kalau menilai ilmu pedang Lenghou Tiong, meski tokoh-tokoh seperti Tiong-hi Totiang yang terhitung jago pedang nomor wahid juga tidak mampu menahan serangan Tokko-kiu-kiam yang lihai itu, namun Tonghong Put-pay benar-benar luar biasa, dia bergerak ke sana dan melayang ke sini dengan enteng dan gesit laksana setan saja. Setiap kali tusukan Lenghou Tiong selalu mengarah tempat yang tak terjaga, tapi gerak tubuh Tonghong Put-pay terlalu cepat, pada detik-detik terakhir selalu dapat menghindarkan diri.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Hiang Bun-thian menjerit perlahan, menyusul Lenghou Tiong juga berteriak tertahan, badan kedua orang sama-sama terkena tusukan jarum Tonghong Put-pay.

Walaupun ilmu “Gip-sing-tay-hoat” yang diyakinkan Yim Ngo-heng sangat tinggi, namun gerak tubuh Tonghong Put-pay terlalu cepat, sukar untuk beradu tangan dengan dia, pula senjata lawan itu cuma sebatang jarum sulam, untuk menyedot tenaga dalamnya melalui jarum sekecil itu terang tidak mungkin.

Tidak lama kemudian, Yim Ngo-heng juga berteriak perlahan, dada dan tenggorokannya juga terkena tusukan jarum, untung saat itu Lenghou Tiong sedang menyerang dengan gencar sehingga Tonghong Put-pay terpaksa harus membela diri, maka tusukan jarumnya kurang tepat atau kurang dalam menusuknya.

Empat orang mengerubuti Tonghong Put-pay sendirian, tapi keempat orang tidak mampu menyentuh bajunya sekali pun, sebaliknya keempat orang malah kena ditusuk oleh jarumnya.

Menyaksikan itu, Ing-ing menjadi khawatir, bila jarum itu berbisa, maka akibatnya sukar dibayangkan nanti. Pikirnya, “Tampaknya dengan satu lawan tiga tokoh Tonghong Put-pay tetap lebih unggul, kalau aku ikut maju mungkin malah akan mengganggu belaka dan mempercepat kemenangan lawan.”

Sekilas Ing-ing melihat Nyo Lian-ting telah duduk di tepi ranjang dan sedang mengikuti pertarungan sengit itu. Tiba-tiba tergerak hati Ing-ing, perlahan-lahan ia menggeser ke sana, secara mendadak ia angkat pedang pendek di tangan kiri terus menikam, tepat bahu kanan Nyo Lian-ting tertusuk.

Karena tidak tersangka-sangka, Nyo Lian-ting menjerit kaget dan kesakitan. 
Tapi menyusul Ing-ing menambahi satu tusukan lagi, sekali ini pada pahanya.

Rupanya Nyo Lian-ting dapat mengetahui maksud tujuan Ing-ing yang inginkan suara jeritannya untuk memencarkan perhatian Tonghong Put-pay, maka dia tidak menjerit lagi, sebaliknya ia menahan sakit sebisanya.

“Kau mau menjerit tidak? Akan kupotong jari tanganmu satu per satu!” ancam Ing-ing sambil ayun pedangnya, benar juga sepotong jari musuh segera ditebasnya.

Di luar dugaan Nyo Lian-ting itu memang bandel, biarpun terluka di sana-sini dan jarinya putus pula, namun sedikit pun ia tidak bersuara.

Namun begitu jeritan pertamanya tadi toh sudah didengar oleh Tonghong Put-pay. Ia sempat melirik dan melihat Ing-ing mendekati dan sedang mengancam Nyo Lian-ting, keruan ia menjadi khawatir dan gelisah, tanpa pikir ia terus menubruk ke arah Ing-ing memaki, “Budak keparat!”
Cepat Ing-ing mengegos, ia tidak tahu apakah gerakan demikian dapat menghindarkan tusukan jarum Tonghong Put-pay. Dalam pada itu dengan cepat sekali pedang Lenghou Tiong dan Yim Ngo-heng juga telah menusuk ke punggung Tonghong Put-pay. Sedangkan cambuk Hiang Bun-thian menyabet ke atas kepala Nyo Lian-ting.

Ternyata Tonghong Put-pay sama sekali tidak memikirkan keselamatan sendiri, ia tidak berusaha menangkis tusukan-tusukan pedang dari belakang itu, sebaliknya jarum terus membalik, “crit”, tepat dada Hiang Bun-thian tertusuk.

Kontan sekujur badan Hiang Bun-thian terasa kesemutan, cambuk jatuh ke lantai. Pada saat itu pula kedua pedang Lenghou Tiong dan Yim Ngo-heng juga telah menubles ke dalam punggung Tonghong Put-pay. Dengan tubuh tergetar Tonghong Put-pay menubruk ke atas badan Nyo Lian-ting.

Yim Ngo-heng sangat girang, ia tarik pedangnya, lalu ujung pedang mengancam di belakang leher Tonghong Put-pay sambil membentak, “Tonghong Put-pay, akhirnya sekarang kau jatuh di tanganku!”

Sementara itu Ing-ing belum lagi pulih dari cemasnya, kedua kakinya terasa lemas, tubuh sempoyongan hendak roboh. Cepat Lenghou Tiong memayangnya, dilihatnya satu jalur kecil berdarah menetes di pipi kiri si nona.

“Kau telah banyak terluka oleh jarumnya,” kata Ing-ing malah. Ia terus mengusap muka Lenghou Tiong dengan lengan bajunya, maka tertampaklah berbintik-bintik darah memenuhi lengan baju itu.

Biarpun tidak mengaca juga Lenghou Tiong tahu mukanya sendiri telah banyak dicocok oleh jarum lawan. Dilihatnya kedua luka di punggung Tonghong Put-pay mengucurkan darah dengan deras, nyata lukanya sangat parah, tapi mulutnya toh masih berseru, “Adik Lian, O, Adik Lian, kawanan manusia jahat ini telah menganiaya kau, kejam sekali mereka ini!”

Nyo Lian-ting menjadi marah malah, omelnya, “Biasanya kau suka sombong, katanya ilmu silatmu tiada tandingannya di seluruh jagat, mengapa sekarang kau tidak mampu membunuh keparat-keparat ini?”

“Aku... aku sudah berbuat sekuat tenaga, namun ilmu silat me... mereka rata-rata sangat... sangat tinggi,” jawab Tonghong Put-pay dengan suara lemah. Mendadak ia sempoyongan terus terguling di tanah.

Khawatir lawan akan melompat bangun dan menyerang lagi, segera Yim Ngo-heng mengayun pedangnya sehingga paha kiri Tonghong Put-pay terbacok.

“Yim-kaucu,” kata Tonghong Put-pay dengan menyengir, “akhirnya kau yang menang, aku sudah kalah.”

“Dan namamu yang hebat itu tentunya harus diganti, bukan?” sahut Yim Ngo-heng dengan terbahak-bahak.

“Tidak, buat apa diganti?” ujar Tonghong Put-pay sambil menggeleng. “Meski aku sudah kalah, tapi juga takkan hidup lagi di dunia ini. 
Coba... coba kalau bertempur satu lawan satu, kau pasti tak bisa mengalahkan aku.”

Yim Ngo-heng tertegun, jawabnya kemudian, “Benar, ilmu silatmu memang lebih tinggi daripadaku, aku kagum padamu.”

“Lenghou Tiong, ilmu pedangmu memang sangat tinggi, tapi kalau satu lawan satu kau pun bukan tandinganku,” kata Tonghong Put-pay pula.

“Betul,” jawab Lenghou Tiong. “Padahal biarpun kami berempat mengeroyok kau sekaligus juga tak dapat mengalahkan kau. Soalnya kau mengkhawatirkan orang she Nyo itu sehingga perhatianmu terpencar dan akhirnya dirobohkan. Ilmu silatmu sungguh luar biasa dan pantas disebut ‘nomor satu di dunia ini’. Cayhe benar-benar sangat kagum.”

“Kalian berdua berani bicara demikian, hal ini memperlihatkan sifat kesatria sejati kalian,” kata Tonghong Put-pay dengan tersenyum. “Ai, sungguh sebal. Aku telah meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian itu, aku meramu dan minum obatnya, aku menurutkan resep rahasia di dalam kitab itu pula sehingga kebiri diri sendiri dan berlatih lwekangnya, lambat laun kumis jenggotku menjadi kelimis, suaraku berubah, watakku juga berubah. Aku tidak suka pada perempuan lagi, tapi... tapi mencurahkan perhatian kepada laki-laki gagah seperti Nyo Lian-ting ini. Semua ini bukankah sangat aneh? Meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian itu entah mendatangkan bahagia atau kemalangan, tapi kalau aku dilahirkan sebagai wanita tentu akan sangat baik. Yim-kaucu, segera aku... aku akan mati, ingin kumohon se... sesuatu padamu, harap engkau sudi... sudi meluluskan.”

“Urusan apa?” tanya Yim Ngo-heng.

“Harap kau suka mengampuni jiwa Nyo Lian-ting, usir saja dia pergi dari Hek-bok-keh ini,” pinta Tonghong Put-pay.

“Mana boleh,” jawab Ngo-heng. “Aku justru akan mengiris-iris dagingnya, akan kumampuskan dia dalam waktu seratus hari, ini hari kupotong jari tangannya, esok pagi kutebas jari kakinya dan....”

“Ke... kejam amat kau!” mendadak Tonghong Put-pay berteriak sambil melompat bangun terus menubruk ke arah Yim Ngo-heng.

Walaupun dalam keadaan terluka parah, namun tubrukan itu tetap sangat dahsyat. Yim Ngo-heng sempat memapaknya dengan tusukan pedang sehingga dari dada menembus ke punggung. Tapi pada saat yang sama Tonghong Put-pay menjentik jarinya, jarum yang dipegangnya itu terus menyambar ke depan dan menancap di tengah mata kanan Yim Ngo-heng. Untung waktu itu kekuatan Tonghong Put-pay sudah lemah, kalau tidak bukan mustahil jarum itu akan terus menembus ke dalam otak dan jiwa akan melayang. Namun begitu biji mata kanan Yim Ngo-heng itu jelas sudah rusak, pasti akan buta sebelah.

Cepat Ing-ing mendekati sang ayah, dilihatnya ekor jarum yang tertampak dari luar hanya sebagian kecil saja, ternyata jarum itu hampir seluruhnya menancap ke dalam rongga mata. Segera ia mencari bingkai sulam yang dibuang Tonghong Put-pay tadi, dari situ dilolosnya seutas benang, dengan hati-hati ia menyusup mata jarum dengan benang itu, kemudian ia pegang kedua ujung benang, lalu dicabut.

Yim Ngo-heng menjerit, jarum itu telah tercabut keluar dan tergantung di bawah benang dengan membawa beberapa tetes darah.

Dengan murka Yim Ngo-heng ayun sebelah kakinya, mayat Tonghong Put-pay itu ditendang sekerasnya. 
Kontan mayat itu mencelat, “blang”, dengan tepat menabrak kepala Nyo Lian-ting. Tendangan Yim Ngo-heng di waktu kalap itu sungguh luar biasa, kepala Tonghong Put-pay dan kepala Nyo Lian-ting saling bentur, keruan kepala pecah dan otak hancur.

Yim Ngo-heng telah dapat membalas dendam dan rebut kembali kedudukan Kaucu Tiau-yang-sin-kau, akan tetapi lantaran itu pula telah kehilangan sebelah matanya, seketika rasa girang dan murka berkecamuk, ia menengadah dan bergelak tertawa keras-keras, suaranya menggetar sukma.

“Selamatlah Kaucu telah dapat membalas dendam, sejak kini agama kita di bawah pimpinan Kaucu tentu akan makin berkembang. Semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat,” kata Siangkoan In.

Kalau tadinya Yim Ngo-heng merasa risi oleh istilah-istilah sanjung puji itu, tapi sekarang tiba-tiba merasa syur, kalau benar bisa panjang umur dan merajai jagat ini sungguh suatu kebahagiaan orang hidup. Karena itu kembali ia bergelak tertawa pula, tertawa yang puas dan senang.

Sementara itu Hiang Bun-thian yang dadanya tertutuk oleh jarum Tonghong Put-pay, setelah mengalami kesemutan sebentar, sekarang keadaannya sudah pulih kembali, segera ia pun mengucapkan selamat kepada sang kaucu.

“Pertarungan yang menentukan ini kau pun berjasa besar,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa, lalu ia berpaling kepada Lenghou Tiong, “Anak Tiong juga tak terhingga jasanya.”

“Tapi kalau Ing-ing tidak mengerjai Nyo Lian-ting, mungkin tidaklah mudah untuk mengalahkan Tonghong Put-pay,” ujar Lenghou Tiong. “Untunglah jarumnya itu tidak berbisa.”

Dengan perasaan yang belum tenang akan pertarungan sengit tadi, Ing-ing berkata, “Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Dia ini bukan manusia, tapi siluman. Waktu kecil sering aku dipondongnya dan diajak pergi jalan-jalan ke gunung dan memetik buah segala, siapa tahu akhirnya dia berubah menjadi begini.”

Dari baju Tonghong Put-pay dapatlah Yim Ngo-heng merogoh keluar sejilid buku yang tipis dan tampaknya sudah kuno. Diacungkannya buku itu dan berkata, “Inilah buku yang disebut ‘Kui-hoa-po-tian’. Di atas jelas tercatat: Ingin meyakinkan ilmu sejati, ambil pisau kebiri diri sendiri. Haha, masakah aku begitu bodoh mau melakukan perbuatan tolol demikian...” sampai di sini mendadak ia menggumam, “akan tetapi ilmu silat yang tertulis di atas kitab ini memang amat lihai, setiap orang persilatan tentu akan tertarik bila membacanya. Tatkala mana untung aku sudah berhasil meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, kalau tidak bukan mustahil aku pun akan meyakinkan ilmu yang tertera di dalam kitab ini.”

Dia mendepak satu kali pula pada mayat Tonghong Put-pay, katanya dengan tertawa, “Hah, biarpun kau licin seperti setan juga tidak tahu maksud tujuanku memberikan kitab ini padamu. Ambisimu besar, semangatmu menyala-nyala, dan bermaksud naik ke atas, memangnya kau kira aku tidak tahu watakmu itu. Hahahahaha!”

Hati Lenghou Tiong terkesiap, baru sekarang ia tahu kiranya tujuan Yim-kaucu memberikan Kui-hoa-po-tian kepada Tonghong Put-pay bukanlah timbul dari maksud baik, tapi keduanya sama-sama punya rencana dan tujuan tertentu. Dilihatnya mata kanan Yim Ngo-heng yang terluka itu masih meneteskan darah, ditambah lagi dia mengakak dengan mulut lebar, tampangnya menjadi lebih beringas dan menyeramkan.

Tiba-tiba Yim Ngo-heng meraba selangkangan Tonghong Put-pay, benar juga terasa kedua “bola wasiat” di bagian situ sudah lenyap, memang betul sudah dikebiri. Dengan tertawa ia berkata pula, “Bila kaum thaykam (orang kasim) yang meyakinkan ilmu dalam kitab ini tentulah sangat tepat.”

Habis berkata ia remas-remas kitab pusaka itu dan digosok-gosok dengan kedua tangan, ketika kemudian ia membuka kedua tangannya, bertaburanlah kertas kecil-kecil, hancurlah kitab yang sudah amat kuno dan lapuk itu.

Ing-ing mendesis lega, katanya perlahan, “Benda celaka begitu memang paling baik dihancurkan saja.”

“Apa kau khawatir aku juga meyakinkan ilmunya?” kata Lenghou Tiong dengan perlahan.

“Cis, bicara tak keruan!” omel Ing-ing dengan muka merah. 
Lalu ia mengeluarkan obat luka untuk membubuhi luka-luka ayahnya, Siangkoan In dan lain-lain.

Begitulah Yim Ngo-heng berlima lantas keluar dari kamar Tonghong Put-pay itu dan kembali ke balairung. 
Yim Ngo-heng memberikan perintah agar para tongcu, hiangcu, dan pimpinan lain datang menghadap. Dengan berduduk di atas singgasana kaucu, Yim Ngo-heng merasa Tonghong Put-pay memang pintar dan bisa menikmati hidupnya sebagai seorang kaucu yang dipuja. Dengan duduk tinggi di atas podium, jaraknya cukup jauh dari bawahan yang datang menghadap, dengan sendirinya lantas timbul rasa jeri dan hormat anak buahnya.

“Coba kemarilah, Anak Tiong,” ia memanggil Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong lantas mendekatinya.

“Anak Tiong,” kata Yim Ngo-heng pula, “ketika di Hangciu dahulu aku pernah mengajak kau supaya masuk agama kita. Waktu itu aku sendirian dan baru lepas dari kesukaran, apa-apa yang kukatakan tentunya tak bisa kau percayai, tapi sekarang aku benar-benar telah duduk kembali di atas singgasana kaucu, maka urusan pertama tiada lain tetap persoalan dahulu...” sampai di sini ia tepuk-tepuk tempat duduknya dan menyambung pula, “tempat ini lambat atau cepat tentu juga akan kau duduki. Hahahahaha!”

“Kaucu,” jawab Lenghou Tiong, “betapa baik budi Ing-ing padaku, apa yang engkau kehendaki atas diriku sepantasnya tidak dapat kutolak. Cuma aku sudah berjanji kepada orang akan menyelesaikan sesuatu urusan penting, maka tentang masuk agama terpaksa tidak dapat kupenuhi.”

Perlahan-lahan kedua alis Yim Ngo-heng menegak, katanya dengan suara dingin, “Apa akibatnya bagi orang yang tidak tunduk kepada keinginanku, tentu kau cukup tahu!”

Cepat Ing-ing mendekati Lenghou Tiong dan memegang tangannya, katanya, “Ayah, hari ini adalah hari bahagiamu karena menduduki kembali singgasanamu, kenapa mesti ribut urusan soal kecil ini? Tentang masuknya dia ke dalam agama kita biarlah dibicarakan kelak saja.”

Dengan mata kirinya Yim Ngo-heng melerok kepada kedua muda-mudi itu, dengusnya kemudian, “Ing-ing, sekarang yang kau inginkan cuma suami dan tidak mau ayah lagi ya?”

Cepat Hiang Bun-thian menengahi dengan tertawa, “Kaucu, Lenghou-hiante adalah kesatria muda yang berwatak kukuh, biarlah nanti kuberi pengertian padanya....”

Bicara sampai di sini, terdengarlah di luar balairung suara belasan orang berseru berbareng, “Para tongcu dan hiangcu dengan ini menyampaikan sembah bakti kepada Kaucu mahaagung dan mahabijaksana, semoga Kaucu panjang umur dan....” begitulah disertai istilah-istilah sanjung puji yang muluk-muluk.

“Masuk!” bentak Yim Ngo-heng.

Maka muncullah belasan laki-laki kekar ke dalam balairung, serentak berlutut dan menyembah secara berjajar-jajar.

Dahulu ketika Yim Ngo-heng menjabat kaucu selamanya ia saling sebut saudara dengan para anggota Tiau-yang-sin-kau, di waktu bertemu dan memberi hormat paling-paling juga cuma soja (dengan mengepal kedua tangan di depan dada) melulu. Kini melihat orang-orang itu sama menyembah padanya, cepat Yim Ngo-heng berbangkit dan bermaksud mencegah. Tapi tiba-tiba terpikir olehnya bahwa seorang pimpinan harus berwibawa dan mengadakan peraturan-peraturan yang mengikat, kalau Tonghong Put-pay sudah mengadakan tata cara menyembah segala, apa salahnya peraturan ini diteruskan. Karena pikiran ini ia urung mencegah dan duduk kembali di tempatnya.

Tidak lama, kembali suatu rombongan lain masuk memberi hormat, sekali ini Yim Ngo-heng tidak berdiri lagi, penghormatan itu diterimanya dengan senang hati sambil manggut-manggut.

Sementara itu Lenghou Tiong sudah mengundurkan diri ke ambang pintu balairung, jaraknya sudah jauh dengan singgasana sang kaucu, cahaya lilin juga remang-remang, dipandang dari jauh wajah Yim Ngo-heng tampak samar-samar, tiba-tiba timbul pikirannya, “Yang duduk di atas singgasana itu Yim Ngo-heng atau Tonghong Put-pay? Apa sih bedanya di antara mereka?”

Didengarnya para tongcu dan hiangcu di balairung itu ramai memberikan pujian-pujian kepada sang kaucu. Rupanya di antaranya banyak yang ketakutan karena selama belasan tahun ini mereka mengabdi kepada Tonghong Put-pay, kalau sekarang Yim-kaucu mengusut perbuatan mereka itu tentu bisa celaka. Sebagian lagi mungkin adalah orang baru, hakikatnya mereka tidak kenal siapa Yim Ngo-heng, tapi mereka sudah biasa menyanjung dan mengumpak Tonghong Put-pay serta Nyo Lian-ting agar terhindar dari bahaya dan mungkin malah bisa naik pangkat, maka seperti biasa mereka pun berteriak-teriak memuja untuk menarik perhatian kaucu baru.

Saat itu sang surya sudah menongol di ufuk timur, sinarnya yang lembut menembus ke dalam balairung sehingga tertampak bayangan punggung ratusan orang yang berlutut di situ sedang menyerukan puja-puji yang memualkan, pikir Lenghou Tiong, “Sebenarnya kalau aku sudah menyelesaikan urusan Ngo-gak-kiam-pay, bila Ing-ing berkeras minta aku masuk Tiau-yang-sin-kau, rasanya sukar bagiku untuk menolaknya. Tapi kalau aku diharuskan berbuat seperti ratusan orang ini, betapa pun aku tidak sanggup. Semula kukira tingkah laku demikian ini adalah permainan Tonghong Put-pay dan Nyo Lian-ting yang bertujuan menyiksa anak buahnya, tapi melihat gelagatnya sekarang Yim-kaucu juga sangat senang dipuji, sedikit pun tidak merasa risi.”

Dalam pada itu terdengar suara gelak tertawa Yim Ngo-heng berkumandang dari ujung balairung sana, katanya, “Tentang segala perbuatan kalian di bawah pimpinan Tonghong Put-pay telah diketahui dengan jelas dan telah kucatat satu per satu. Namun sang kaucu takkan mengusut kejadian yang sudah-sudah, asalkan selanjutnya kalian setia dan berbakti kepada sang kaucu. Tapi bila ada seorang yang berani membangkang dan berkhianat, maka dosa yang sudah-sudah akan sekaligus dituntut. Seorang bersalah, segenap keluarganya ikut bertanggung jawab dan dihukum mati semua.”
Serentak orang-orang itu menyatakan terima kasih mereka atas kemurahan hati sang kaucu serta menyatakan kesetiaan mereka selanjutnya. Dari suara mereka yang gemetar itu jelas dalam hati mereka itu sangat takut.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Cara Yim-kaucu tiada ubahnya seperti Tonghong Put-pay, menegakkan wibawa dengan kekerasan, meski lahirnya orang-orang itu tunduk, tapi dalam hati tentu memberontak, lalu dari mana ‘kesetiaan’ mereka bisa dipercayakan?”

Menyusul lantas ada orang membongkar dosa Tonghong Put-pay, katanya bekas kaucu itu terlalu memercayai Nyo Lian-ting dan main bunuh secara sewenang-wenang. Ada pula yang mengadu, katanya Tonghong Put-pay suka korupsi, menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi. Ada lagi yang mengoceh, katanya ilmu silat Tonghong Put-pay sebenarnya sangat rendah, tapi suka berlagak dan main gertak melulu. Yang paling menggelikan ialah pengaduan seorang yang katanya Tonghong Put-pay sangat cabul, suka main perempuan dan memerkosa anak istri anak buahnya.

Padahal sudah jelas Tonghong Put-pay demi untuk meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian, maka dia telah kebiri alat kelamin sendiri sehingga sudah jadi banci, dengan cara bagaimana dia bisa main perempuan dan perkosa anak istri orang? Sungguh terlalu lucu. Saking gelinya Lenghou Tiong sampai terbahak-bahak sehingga suaranya berkumandang memenuhi balairung itu. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arahnya dengan mata melotot gusar.

Ing-ing tahu kekasihnya telah menimbulkan onar, lekas ia tarik tangan Lenghou Tiong, katanya, “Mereka sedang membicarakan urusan Tonghong Put-pay, tiada sesuatu yang menarik, marilah kita turun ke bawah saja.”

“Ya, jangan-jangan ayahmu menjadi marah dan kepalaku dipenggal,” ujar Lenghou Tiong dengan menjulurkan lidah. Segera mereka keluar dari balairung dan turun ke bawah dengan keranjang kerekan.

Mereka berdua duduk bersanding di dalam keranjang, awan putih mengambang di sekeliling mereka, Lenghou Tiong merasa apa yang baru terjadi itu sebagai mimpi saja. Ia pikir selanjutnya betapa pun aku takkan naik ke atas Hek-bok-keh lagi.

“Apa yang sedang kau renungkan, Engkoh Tiong?” tanya Ing-ing tiba-tiba.

“Apakah kau mau pergi bersama aku?” kata Lenghou Tiong.

Muka Ing-ing menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, “Tapi kita belum... belum lagi menikah, mana boleh aku ikut pergi dengan kau?”

“Bukankah dahulu kau pun ikut aku berkelana di dunia Kang-ouw?” ujar Lenghou Tiong.

Bab 109. Antara Guru Dogol dan Murid Istimewa

Dahulu itu kan terpaksa, apalagi lantaran itu telah timbul banyak omongan-omongan iseng,” kata Ing-ing. “Tadi Ayah mengatakan aku... aku hanya memikirkan kau dan tidak mau ayah lagi, kalau sekarang aku benar ikut pergi bersama kau tentu Ayah tambah marah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan selama belasan tahun agaknya watak Ayah rada-rada berubah aneh, kupikir harus menjaganya dengan baik-baik dan tidak tega berpisah dengan beliau. Asalkan hatimu tidak berubah, selanjutnya waktu berkumpul kita kan masih panjang?”

Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan lirih sehingga hampir-hampir tak terdengar. Kebetulan waktu itu segumpal mega putih melayang tiba sehingga mereka seperti terbungkus di dalam awan. Meski mereka duduk bersanding, namun tampaknya hanya remang-remang, jarak keduanya seperti sangat jauh.

Setiba di bawah tebing dan keluar dari keranjang bambu, dengan suara berat Ing-ing bertanya, “Apakah kau akan terus berangkat?”

“Ya,” jawab Lenghou Tiong. “Co Leng-tan, itu ketua Ko-san-pay telah mengundang segenap anggota Ngo-gak-kiam-pay untuk berkumpul pada tanggal 15 bulan tiga untuk memilih ketua Ngo-gak-pay. Dia punya ambisi sangat besar dan bermaksud buruk terhadap kesatria-kesatria seluruh jagat. Maka pertemuan di Ko-san itu harus kuhadiri.”

Ing-ing mengangguk, katanya, “Engkoh Tiong, ilmu pedang Co Leng-tan bukan tandinganmu, tapi kau harus hati-hati terhadap tipu muslihatnya.”

Lenghou Tiong mengiakan. Lalu Ing-ing menyambung pula, “Mestinya aku ingin ikut pergi, cuma aku adalah perempuan Mo-kau, kalau pergi ke Ko-san bersama kau tentu akan merintangi urusanmu.”

Ia merandek sejenak, kemudian meneruskan dengan rasa cemas, “Bila nanti kau berhasil menjadi ketua Ngo-gak-pay, namamu akan termasyhur di seluruh dunia, sedangkan kita dari golongan cing dan sia yang tidak sama, kukira urusan kita akan... akan lebih sulit.”

“Dalam keadaan begitu masakah kau masih tidak memercayai diriku?” ujar Lenghou Tiong dengan suara halus dan memegang tangan nona erat-erat.

“Tentu saja aku percaya,” sahut Ing-ing dengan tersenyum. Selang sejenak ia berkata pula dengan khawatir, “Cuma kurasa semakin tinggi ilmu silat yang dicapai seseorang, semakin besar pula namanya di dunia persilatan, sering kali hal ini akan mengubah wataknya. Dia sendiri mungkin tidak sadar, tapi macam-macam urusan selalu berlainan dengan masa-masa sebelumnya. Tonghong-sioksiok begitu, kukhawatir Ayah mungkin juga akan begitu.”

“Kau jangan khawatir, Ing-ing,” kata Lenghou Tiong. “Orang lain mungkin begitu, tapi aku pasti tidak. Pembawaanku adalah suka terus terang, tidak bisa berlagak. Andaikan aku menjadi sombong dan kepala besar, tapi di hadapanmu aku akan tetap seperti sekarang.”

“Jika begitu tentu sangat baik,” ujar Ing-ing.

Lenghou Tiong menarik tubuh si nona lebih dekat, perlahan-lahan merangkul pinggangnya, katanya pula, “Sekarang aku mohon diri padamu. Setelah urusan penting di Ko-san itu beres segera aku akan datang mencari kau. Sejak itu kita berdua takkan berpisah pula.”

Sorot mata Ing-ing menjadi terang, memancarkan cahaya yang aneh, katanya dengan berat, “Semoga usahamu berhasil dengan baik dan secepatnya kembali. Siang dan malam aku... aku menantikan kau di sini.”

“Baiklah,” kata Lenghou Tiong sambil perlahan-lahan mencium pipi si nona.

Keruan wajah Ing-ing menjadi merah, dengan malu ia mendorong perlahan. Lenghou Tiong terbahak-bahak dan mendekati kudanya, dicemplaknya ke atas kuda dan dilarikan meninggalkan pusat Tiau-yang-sin-kau itu.

Suatu hari sampailah Lenghou Tiong di Hing-san. Beramai-ramai anak murid Hing-san-pay menyambut kembalinya sang ketua dengan gembira. Tidak antara lama para kesatria yang tinggal di puncak seberang juga membanjir tiba untuk menemui Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong menanyakan keadaan mereka selama ditinggal pergi, menurut Coh Jian-jiu para kesatria itu hidup prihatin, semuanya giat berlatih dengan tertib, tiada seorang pun yang berani datang ke puncak induk. Lenghou Tiong bersyukur bahwa mereka bisa menjaga peraturan dengan baik.

Sementara itu pertemuan di Ko-san pada tanggal 15 bulan tiga sudah mendekat, Lenghou Tiong lantas berkata kepada mereka, “Tempo hari waktu aku diangkat menjadi ketua, pihak Ko-san-pay telah mengutus seorang bernama Lim Ho dengan membawa apa yang disebut Ngo-gak-leng-ki dan mengharuskan aku berkumpul di Ko-san pada tanggal 15 bulan tiga yang akan datang, hal mana tentu kalian ikut menyaksikan bukan?”

“Benar, tapi buat apa ambil pusing?” ujar Tho-kin-sian. “Silakan Ciangbunjin memberikan sebuah Ngo-gak-leng-ki padaku, biar aku pergi ke Ko-san dan suruh ketua mereka yang datang ke Hing-san sini.”

“Kalau dia tidak mau datang, lantas bagaimana?” sela Tho-ki-sian.

“Jika kau apa yang akan kau lakukan?” Tho-kin-sian balas bertanya.

“Begini, bret, habis perkara,” timbrung Tho-yap-sian sambil kedua tangannya bergerak seperti merobek sesuatu. Maksudnya kalau perlu Co Leng-tan dirobek saja menjadi empat potong. Maka bergelak tertawalah semua orang.

“Tapi katanya para ciangbunjin dari Ngo-gak-kiam-pay akan berkumpul semua pada hari yang ditentukan itu, kalau kita memanggil ketua Ko-san-pay itu ke sini, untuk itu kita harus memberi makan-minum padanya, kita kan rugi kalau begini? Pula kurang ramai. Maka aku berpendapat ada lebih baik kalau kita beramai-ramai mendatangi Ko-san, kita makan dan minum suguhannya, ribuan orang kita makan-minum sepuas-puasnya biar dia jatuh bangkrut, cara begini kan lebih baik?” kata Lenghou Tiong.

Memangnya para kesatria itu sudah bosan hidup menyepi, keruan serentak mereka bersorak gembira mendengar usul Lenghou Tiong.

“Dan setiba di Ko-san nanti cara kalian makan-minum juga tidak perlu sungkan-sungkan agar orang tahu bahwa kita selamanya tidak pernah berhemat dalam hal makan-minum,” demikian Lenghou Tiong menambahkan.

Begitulah besok paginya rombongan besar mereka lantas berangkat menuju ke Ko-san. Beberapa hari kemudian sampailah mereka di tepi Hongho dan berkemah di situ malamnya. Esok paginya ketika Lenghou Tiong bangun, ia merasa suasana sekitarnya sunyi senyap, sama sekali berbeda daripada biasanya. Semalam ia adu minum arak dengan para kesatria sehingga tidurnya terlalu lelap. Kini ia merasakan sesuatu yang kurang baik, jangan-jangan karena mabuknya semalam sehingga para anak murid perempuan masuk perangkap musuh.

Cepat Lenghou Tiong mengenakan baju dan keluar kemah sambil memanggil Gi-lim dan lain-lain. Dengar panggilan sang pemimpin, Gi-lim dan teman-temannya lantas muncul dan menanyakan ada urusan apa.

Melihat Gi-lim dan lain-lain baik-baik saja, Lenghou Tiong merasa lega. Tiba-tiba datang Gi-jing dan melapor dengan tertawa, “Toasuko, kawan-kawan priamu itu semalam entah betapa banyak menenggak arak, masakah sampai saat ini tiada seorang pun yang bangun.”

Waktu Lenghou Tiong mendongak, dilihatnya sang surya sudah cukup tinggi di ujung timur. “Masakah tiada seorang pun yang bangun?” ia menegas.

“Ya, tiada seorang pun, memang rada aneh,” ujar Gi-lim dengan tersenyum.

Seketika Lenghou Tiong merasa ada sesuatu yang tidak beres, mustahil di antara ribuan orang itu tiada seorang pun yang bangun pagi karena mabuk-mabukan semalam, apalagi di antara mereka sedikitnya ada berpuluh orang yang tidak gemar minum arak.

Dengan perasaan tidak enak, cepat Lenghou Tiong mendatangi kemah para kesatria, ternyata di situ dalam keadaan kosong melompong tiada seorang pun. Hanya ditemukan secarik surat yang ditandatangani oleh Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain, bunyi surat itu mengatakan bahwa semalam mereka menerima Hek-bok-leng dari Sin-yang-kaucu yang memberi perintah agar segenap kesatria itu segera pulang ke Hek-bok-keh, karena terburu-buru sehingga tidak sempat mohon diri, maka Lenghou Tiong diminta sudi memberi maaf.

Melihat surat itu, legalah hati Lenghou Tiong walaupun rada bingung juga karena tidak tahu apa sebabnya mendadak Yim-kaucu memerintahkan semua orang itu meninggalkannya? Ia pikir tentu Yim-kaucu tidak senang karena penolakannya masuk menjadi anggota Sin-kau, pula dirinya telah tertawa ketika mereka mencaci maki Tonghong Put-pay di balairung panjang tempo hari, tentu hal ini telah membuat Yim-kaucu marah pula.

Dalam pada itu Gi-lim, Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain juga sudah menyusul tiba, mereka pun terheran-heran setelah mengetahui kepergian para kesatria tanpa pamit.

“Kebetulan juga kalau mereka sudah pergi semua,” ujar Gi-ho. 
Di sini mereka hanya bikin rusuh saja dan kita harus khawatir setiap hari.”

Pada saat itu sekonyong-konyong di kemah sebelah sana ada suara gedubrakan. “Apa itu?” seru Gi-ho sambil berlari ke sana. Ternyata ada beberapa orang bertumpang-tindih menjadi satu, kiranya Tho-kok-lak-sian adanya. Cepat ia berseru, “Lekas kemari, Toasuko!”

Lenghou Tiong memang sudah menyusul tiba dan menyaksikan keadaan Tho-kok-lak-sian yang lucu itu. 
Cepat ia mendekati dan menurunkan Tho-kin-sian yang berada paling atas.

Ternyata di mulut Tho-kin-sian tersumbat satu buah tho, segera Lenghou Tiong mengoreknya keluar. Tapi begitu mulutnya bebas, kontan Tho-kin-sian memaki, “Keparat, bedebah, jahanam! Nenek moyangmu disambar geledek....”

“Eh, Tho-kin Toako, aku kan tidak salah padamu, kenapa kau mencaci maki aku?” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Aku tidak memaki kau,” kata Tho-kin-sian. “Bangsat, pura-pura ajak minum, tapi mendadak menutuk hiat-toku. Dasar keparat, Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu memang bangsat....”

Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Soalnya Tho-kok-lak-sian bukan anggota Mo-kau, dengan sendirinya mereka tidak terikat oleh perintah Yim Ngo-heng. Sebaliknya Lo Thau-cu dan lain-lain khawatir keenam orang dogol itu melaporkan kepergian mereka, maka secara tak terduga-duga mereka menutuk hiat-to Tho-kok-lak-sian serta menyumbat pula mulut mereka.

Begitulah Lenghou Tiong lantas membuka hiat-to Tho-kin-sian yang tertutuk itu, lalu tinggal keluar. 
Tapi sampai lama sekali tidak tampak Tho-kok-lak-sian keluar. Ia heran, ia coba masuk lagi, dilihatnya Tho-kin-sian sedang mondar-mandir di situ dengan tersenyum-senyum, ternyata sejak tadi dia tidak memberi pertolongan kepada kelima saudaranya yang lain.

Dengan tertawa geli Lenghou Tiong lantas membuka hiat-to kelima orang yang masih tumpang-tindih itu, lalu cepat keluar lagi. 
Maka terdengarlah segera suara gedebukan di dalam, terang keenam saudara itu sedang saling tonjok.

Lenghou Tiong berjalan menyusuri jalan tepi sawah sambil membayangkan kedogolan Tho-kok-lak-sian. Tiba-tiba terpikir olehnya, “Mendadak Yim-kaucu memerintahkan segenap anak buahnya kembali ke Hek-bok-keh di luar tahuku, ini menandakan dia sangat marah padaku. Yang paling tidak enak dalam hal ini tentulah Ing-ing karena serbasusah, di suatu pihak dia harus tunduk kepada ayahnya, di lain pihak dia ingin membela aku.”

Teringat kepada Ing-ing, tanpa terasa Lenghou Tiong menghela napas.

Tiba-tiba di belakangnya suara seorang perempuan menegur, “Lenghou-toako, hatimu murung sekali, bukan?”

Waktu Lenghou Tiong menoleh, kiranya Gi-lim adanya. “O, tidak,” jawabnya. “Aku hanya merasa kesepian karena mendadak ditinggalkan para sahabat.”

“Orang-orang itu tunduk sekali kepada perintah Yim-siocia, sedangkan Yim-siocia teramat baik padamu, apakah perbuatan mereka itu tidak takut dimarahi Yim-siocia?”

“Ayah Yim-siocia sekarang adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, mereka harus tunduk kepada perintah sang kaucu, kalau tidak tubuh mereka bisa membusuk karena banyak di antara mereka telah makan obat pembusuk tubuh dari Yim-kaucu.”

“Aku ingin tanya sesuatu padamu, boleh tidak Lenghou-toako?” kata Gi-lim.

“Tentu saja boleh,” jawab Lenghou Tiong. “Urusan apakah?”

“Sesungguhnya kau lebih suka kepada Yim-siocia atau lebih suka kepada kau punya Gak-sumoay?”

Lenghou Tiong melengak, dengan rada kikuk ia menjawab, “Mengapa mendadak kau bertanya persoalan ini?”

“Gi-ho dan Gi-jing Suci yang suruh aku tanya padamu,” kata Gi-lim.

Lenghou Tiong tambah heran, jawabnya dengan tersenyum, “Mereka adalah orang agama, mengapa tanya hal-hal demikian?”

Gi-lim menunduk, katanya, “Lenghou-toako, urusan siausumoaymu itu selamanya tak pernah kukatakan kepada orang lain. Cuma Gi-ho Suci pernah melukai Gak-siocia sehingga kedua pihak timbul perselisihan. Maka ketika kedua suci kami datang ke Hoa-san untuk menyampaikan berita diangkatnya engkau menjadi ketua Hing-san-pay, mereka telah ditahan oleh Hoa-san-pay.”

“Ya, ingatlah aku, memangnya aku juga merasa khawatir mengapa mereka berdua tidak kembali sampai sekarang, kiranya mereka telah ditahan oleh Hoa-san-pay. Dari mana kau mendapat kabar ini?”

“Si... si Dian Pek-kong itu yang bilang,” jawab Gi-lim dengan malu-malu.

“O, muridmu itu?

“Ya, ketika engkau ke Hek-bok-keh, para suci telah menyuruh dia ke Hoa-san untuk mencari berita.”

“Dengan ginkang yang tinggi, Dian Pek-kong memang tepat disuruh menyelidiki sesuatu. Dan kedua sucimu itu apakah dijumpai olehnya?”

“Ya, cuma penjagaan Hoa-san-pay terlalu keras, dia tidak sanggup menolong mereka, syukur kedua suci tidak terlalu menderita. Pula aku telah memberi pesan padanya supaya jangan main kekerasan dan memusuhi Hoa-san-pay agar tidak membikin marah padamu.”

“Kau memberi pesan padanya segala, wah, lagaknya seorang guru benar-benar,” kata Lenghou Tiong. “Lalu apa lagi yang dilihat Dian Pek-kong di Hoa-san?”
Katanya dia kebetulan melihat suatu perayaan pesta kawin di sana, kiranya gurumu sedang mengunduh mantu....”

Sekonyong-konyong wajah Lenghou Tiong berubah hebat, keruan Gi-lim terkejut dan cepat tutup mulut.

“Bi... bicaralah terus, tak... tak apa-apa,” kata Lenghou Tiong dengan napas memburu, tenggorokannya seperti tersumbat.

“Hendaklah kau jangan sedih, Lenghou-toako,” kata Gi-lim. “Gi-ho dan Gi-jing berdua suci juga mengatakan bahwa biarpun Yim-siocia adalah orang Mo-kau, tapi dia cantik molek, ilmu silatnya juga tinggi, setiap hal juga sepuluh kali lebih baik daripada Gak-siocia.”

“Apa yang kusedihkan?” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum getir. “Bila siausumoay mendapatkan jodoh yang baik, aku justru ikut merasa senang baginya. Apakah Dian... Dian Pek-kong juga melihat siausumoayku?”

“Dian Pek-kong hanya melihat suasana sangat ramai di sana, banyak tamu-tamu dari berbagai golongan datang memberi selamat. Dan Gak-siansing ternyata tidak memberitahukan kepada Hing-san-pay kita, rupanya kita telah dipandang sebagai musuh.”

Lenghou Tiong mengangguk-angguk. Lalu Gi-lim menyambung pula, “Ih Soh dan Gi-bun Suci dengan maksud baik menyampaikan undangan kepada Hoa-san-pay. Mereka tidak mengirim utusan untuk mengucapkan selamat padamu sebagai ciangbunjin baru, sebaliknya utusan kita malah ditahan oleh mereka. Maka menurut pendapat Gi-ho dan Gi-jing Suci, kita juga tidak perlu sungkan-sungkan lagi terhadap Hoa-san-pay yang tidak tahu aturan itu, kelak kalau kita bertemu mereka di Ko-san, secara tegas kita akan tanya mereka dan suruh mereka membebaskan Gi-bun Suci berdua.”

Kembali Lenghou Tiong hanya manggut-manggut saja.

Melihat sikap Lenghou Tiong yang linglung itu, Gi-lim menghela napas dan menambahkan, “Lenghou-toako, hendaklah engkau hati-hati!”

Habis itu ia lantas meninggalkannya.

Melihat Gi-lim makin menjauh melangkah pergi, tiba-tiba Lenghou Tiong ingat sesuatu, cepat ia berseru, “Sumoay!”

Gi-lim berhenti dan menoleh ke belakang. Terdengar Lenghou Tiong bertanya, “Yang menikah dengan siausumoay....”

“Yaitu pemuda she Lim,” kata Gi-lim. Dengan langkah cepat ia mendekati Lenghou Tiong pula, ia pegang lengan bajunya dan berkata pula, “Toako, orang she Lim itu secuil pun tak bisa membandingi kau. Gak-siocia memang ceroboh sehingga sudi menikah padanya. Para suci khawatir engkau masygul, maka hal ini tetap dirahasiakan sampai sekarang. Akan tetapi dalam beberapa hari lagi di Ko-san nanti besar kemungkinan kita akan bertemu dengan Gak-siocia serta suaminya, bila mendadak engkau melihat dandanan Gak-siocia telah berubah menjadi seorang pengantin baru, bisa jadi engkau akan... akan bingung dan bikin runyam urusan. 
Menurut pendapat para kawan, akan sangat baik sekali jika Yim-siocia berada di sampingmu. Para suci menyuruh aku agar menasihatkan kau supaya jangan memikirkan Gak-siocia yang tidak punya pendirian itu.”

Lenghou Tiong tersenyum getir. Ia merasa terima kasih terhadap perhatian Gi-ho dan lain-lain terhadapnya, pantas mereka memberi pelayanan yang lebih mesra selama dalam perjalanan, rupanya mereka khawatir hatiku berduka. Demikian pikirnya. Tiba-tiba terasa telapak tangannya tertetes beberapa titik air, ia terkejut dan berpaling, kiranya air mata Gi-lim yang berlinang-linang. “He, ken... kenapakah kau?” tanyanya heran.

“Aku... aku tidak tega melihat engkau berduka,” jawab Gi-lim. 
Toako, jika engkau ingin menangis, maka silakan menangis saja sepuasnya.”
Hahaha, mengapa aku menangis?” ujar Lenghou Tiong sambil bergelak tertawa. “Aku adalah pemuda yang bandel sehingga sudah lama diusir oleh guru dan ibu guru. Masakah mungkin siausumoay mau... mau... Hahahaha!”

Sambil tertawa ia terus berlari cepat ke depan. Sekali lari ternyata tidak berhenti sehingga tanpa terasa lebih 50 li jauhnya. Sampai di suatu tempat yang sepi, terasalah sedih yang tak tertahankan, ia menjatuhkan diri di tanah rumput dan menangislah keras

Setelah menangis sekian lamanya barulah hatinya terasa lega. Pikirnya, “Bila aku pulang saat ini tentu kedua mataku tertampak merah bengul, hal ini mungkin akan dibuat tertawaan Gi-ho dan lain-lain. Biarlah aku kembali kalau hari sudah gelap saja.”

Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Tentu mereka sedang mencari aku dan merasa khawatir bila tak menemukan diriku. Menangis atau tertawa adalah jamak bagi setiap orang. Bahwasanya aku menyukai siausumoay telah diketahui semua orang, sekarang dia menikah pada orang lain, bila aku tidak berduka kan orang akan mengatakan hatiku palsu malah.”

Begitulah segera ia melangkah pula kembali ke tempat perkemahan. Dilihatnya Gi-ho dan lain-lain sedang mencari-carinya. Melihat dia pulang, semuanya menjadi lega dan bergirang. Malamnya Lenghou Tiong minum arak sendirian hingga mabuk, lalu tertidur.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di kaki gunung Ko-san, waktu rapat yang ditentukan masih ada dua hari pula. Ketika tiba tanggal 15 tepat, Lenghou Tiong bersama rombongannya pagi-pagi sudah berangkat ke atas gunung. Sampai di tengah gunung, di suatu gardu istirahat telah disambut oleh empat murid Ko-san-pay yang berseragam baju kuning. Dengan sangat hormat mereka berkata, “Atas kunjungan Lenghou-ciangbun dari Hing-san-pay, atas nama Ko-san-pay lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dan terima kasih. 
Para supek dan susiok dari Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hoa-san-pay sudah sejak kemarin tiba lebih dulu. Maka sekarang pun lengkaplah dengan datangnya Lenghou-ciangbun bersama para suci dan sumoay dari Hing-san-pay.”

Lenghou Tiong terus mendaki ke atas gunung. Dilihatnya sepanjang jalan pegunungan itu disapu bersih, setiap beberapa li lantas memapak beberapa anak murid Ko-san-pay yang menyuguhkan minuman dan nyamikan, cara menyambut tamu sangat teratur, hal ini menandakan persiapan Co Leng-tan yang sangat rapi dan agaknya kedudukan ketua Ngo-gak-kiam-pay harus diperolehnya dengan segala jalan.

Kira-kira dua-tiga li lagi ke atas, tiba-tiba dari belakang ada orang berseru, “A Lim! 
A Lim!”

“He, itulah ayah!” seru Gi-lim girang. Cepat ia membalik dan berteriak, “Ayah!”

Tertampak dari sana mendatangi seorang hwesio yang tinggi besar, memang benar dia adalah ayah Gi-lim, Put-kay Hwesio. 
Di belakangnya masih ada lagi seorang hwesio. Mereka berjalan dengan sangat cepat, hanya sebentar saja mereka sudah mendekat.

“Lenghou-kongcu,” seru Put-kay, “engkau terluka parah dan ternyata tidak mati, bahkan telah menjadi ketua anak perempuanku, sungguh hebat sekali kau.”

“Ah, semuanya itu berkat doa restu Taysu...” mendadak Lenghou Tiong melihat hwesio di belakang Put-kay itu seperti sudah dikenalnya, hanya tidak ingat seketika siapa gerangannya. Setelah melenggong sejenak barulah ia mengenali hwesio itu kiranya ialah Dian Pek-kong. 
Keruan itu melongo heran dan tercetus dari mulutnya, “He, engkau....”

Hwesio itu memang betul Dian Pek-kong adanya, dia menyengir dan memberi hormat kepada Gi-lim sambil berkata, “Hormatku, Suhu!”

Gi-lim juga terheran-heran, tanyanya, “Kenapa... kenapa kau menjadi hwesio? 
Apa kau dalam penyamaran saja?”

“Tidak, tidak menyamar. Barang tulen harga pas, dia benar-benar seorang hwesio tulen!” kata Put-kay dengan berseri-seri. 
He, Put-ko-put-kay, siapa nama agamamu, lekas beri tahukan kepada gurumu.”

Dengan menyengir Dian Pek-kong berkata pula, “Suhu, Thaysuhu telah memberikan suatu nama agama padaku, yakni ‘Put-ko-put-kay’.”

“Put-ko-put-kay? Mengapa begitu panjang?” ujar Gi-lim.

“Kau tahu apa?” kata Put-kay. 
Nama dalam agama Buddha biasanya memang panjang-panjang, kenapa kau mesti heran?”

Ketika Lenghou Tiong tanya sebab musababnya Dian Pek-kong sampai menjadi hwesio dan ikut Put-kay Taysu, dengan menyengir malu Dian Pek-kong bercerita.

Kiranya pada suatu hari Dian Pek-kong yang terkenal sebagai “pencuri perempuan” itu telah mengincar anak perawan seorang hartawan. Malamnya, dengan ginkangnya yang tinggi ia telah menggeremeti anak perawan orang. Tapi sial baginya, perbuatannya itu telah dipergoki Put-kay. Ilmu silat Dian Pek-kong memang jauh di bawah Put-kay, maka hanya beberapa kali gebrak saja Dian Pek-kong sudah terbekuk.

“Sungguh runyam, memang kepandaianku jauh di bawah Thaysuhu sehingga aku tertutuk tak berkutik,” demikian Pek-kong meneruskan ceritanya. “Namun waktu itu aku merasa penasaran. Ketika Thaysuhu bertanya padaku, ‘Nah, apa katamu sekarang? 
Kau tertawan olehku, kau minta hidup atau ingin mampus?’

“Dengan penasaran aku menjawab, ‘Aku tertawan karena aku kurang hati-hati, kalau mau bunuh lekas bunuh saja, buat apa banyak bicara?’

“Dengan tertawa Thaysuhu berkata, ‘O, kau bilang kurang hati-hati sehingga tertawan, kalau hati-hati apa kau takkan tertawan olehku? Nah, boleh coba!’

“Habis berkata Thaysuhu lantas membuka hiat-to tubuhku yang tertutuk. Dengan ragu-ragu aku bertanya, ‘Apa maksudmu?’

“Thaysuhu menjawab, ‘Kau membawa senjata, kau juga punya dua kaki, sekarang boleh kau menyerang atau mau melarikan diri, boleh kau pilih sesukamu!’

“Dengan mendongkol aku menjawab, ‘Orang she Dian adalah laki-laki sejati, kenapa mesti main lari segala, aku bukan pengecut yang tidak tahu malu.’

“Thaysuhu mengakak tawa, katanya, ‘Jika kau bukan pengecut, mengapa sudah berjanji akan mengangkat guru pada anak perempuanku, tapi sekarang kau ingkar janji?’
Aku menjadi heran dan bertanya, ‘Anak perempuanmu yang mana?’

“Thaysuhu menjawab, ‘Ketika kau bertaruh dengan anak muda dari Hoa-san-pay di atas loteng restoran di Kota Heng-san, kau berjanji kalau kalah bertaruh akan mengangkat anak perempuanku sebagai guru, memangnya janjimu itu seperti kentut saja? Waktu itu aku pun berada di sana dan sedang minum arak, apa yang kalian katakan telah kudengar seluruhnya.’

“‘O, kiranya demikian. Jadi nikoh cilik itu adalah anak perempuan hwesio seperti kau? Wah, sungguh aneh.’

“Thaysuhu berkata, ‘Apanya yang aneh?’”

“Ya, hal ini memang rada aneh,” sela Lenghou Tiong dengan tertawa. “Umumnya yang pernah terjadi adalah sesudah berumah tangga dan punya istri dan anak baru kemudian meninggalkan rumah dan menjadi hwesio. Tapi Put-kay Taysu adalah terbalik, lebih dulu dia menjadi hwesio baru kemudian beristri dan punya anak perempuan. Nama agamanya Put-kay (tidak pantang) juga punya arti tidak tunduk kepada segala peraturan dan pantangan agama.”

Lalu Dian Pek-kong menyambung ceritanya, “Maka aku telah menjawab, ‘Hal bertaruh waktu itu hanya berkelakar saja, mana boleh dianggap sungguh-sungguh. Kalau aku dianggap kalah pada pertaruhan itu, ya, memang betul. Biarlah seterusnya aku takkan mengganggu lagi nikoh cilik itu.’

“Tapi Thaysuhu tidak terima, katanya, ‘Tidak boleh. Kau sudah menyatakan akan mengangkat guru padanya, maka janjimu harus dilaksanakan. Kau harus menyembah kepada anak perempuanku dan memanggil suhu padanya.’

“Melihat dia mengoceh tak keruan, kupikir mau tunggu kapan lagi kalau tidak lekas melarikan diri saja. Maka pada saat yang tak terduga mendadak aku melompat keluar rumah. Dengan ginkangku yang tinggi kuyakin Thaysuhu pasti tidak sanggup menyusul aku. Tak terduga di belakangku lantas terdengar suara langkah orang yang cepat, ternyata Thaysuhu sudah memburu tiba. Cepat aku berteriak, ‘Hwesio gede, tadi kau tidak membunuh aku, maka sekarang aku pun takkan membunuh kau. Tapi kalau kau mengejar lagi, terpaksa aku tidak sungkan lagi padamu.’

“Tapi Thaysuhu terbahak-bahak malah, katanya, ‘Cara bagaimana kau akan tidak sungkan-sungkan lagi padaku?’

“Aku menjawab, ‘Akan kuserang kau dengan senjata rahasia,’ berbareng aku lantas menyambitkan sebuah panah kecil ke belakang. Meski di tengah malam gelap ternyata Thaysuhu cukup tangkas untuk menangkap senjata rahasiaku itu. Sekali sambar panahku itu sudah terpegang olehnya. Lalu aku masih terus dikejar. Aku menjadi kelabakan karena dibayangi terus, mendadak aku membacok ke belakang dengan golokku. Namun kepandaian Thaysuhu benar-benar tinggi, walaupun aku bersenjata tetap tidak mampu melawan kedua tangannya. Hanya balasan jurus saja, tahu-tahu kudukku sudah dibekuk pula olehnya, menyusul golokku lantas dirampas.

“Dengan tertawa Thaysuhu lalu tanya padaku, ‘Sekarang kau takluk tidak?’

“Aku menjawab, ‘Ya, takluk sudah. Bunuhlah aku!’

“Tapi dia berkata, ‘Tidak, kau takkan kubunuh. Akan kutusuk buta kedua matamu agar selanjutnya kau tak bisa mengincar perempuan cantik lagi. Tapi, ah, kurang tepat. Dasar kau ini memang bajul buntung, biarpun mata buta juga tetap bisa main perempuan, umpama perempuan cantik tak bisa kau jamah, tentu nenek-nenek yang akan menjadi korban. Wah, paling betul kalau kupotong kedua kakimu agar kau benar-benar buntung dan kapok.’

“Aku menjawab, ‘Sebaiknya kau bunuh aku saja, buat apa banyak omong tak keruan.’

“Dia memuji aku malah, ‘Kau ini ternyata suka blakblakan. Kau adalah murid anak perempuanku, bila aku memotong kakimu, itu berarti murid anak perempuanku akan lumpuh dan tidak sanggup bertempur, hal ini akan membikin malu padanya. Rasanya aku harus mencari jalan yang baik agar kau tidak bisa menjadi maling cabul lagi... Aha, aku mendapat akal yang baik!’ mendadak ia menutuk roboh diriku, tahu-tahu dengan anak panahku yang kecil itu ditusukkan kepada... kepada anuku itu, bahkan anak panah itu terus diikat dengan talipati. Lalu dia terbahak-bahak, katanya, ‘Nah, sekarang maling cabul seperti kau ini tentu akan mati kutu dan tidak mampu main gila lagi.

========
Upload dilanjutkan oleh Tungning

Bab 110. Di Tengah Perebutan Bengcu yang Kacau

Mendengar cerita yang tidak masuk di akal itu, Lenghou Tiong menjadi geli dan terheran-heran, katanya, “Masakah bisa terjadi begitu? Wah, Thayhwesio ini benar-benar lucu dan aneh.”

“Tapi lelucon yang tidak lucu bagiku,” ujar Dian Pek-kong dengan menyengir. “Keruan waktu itu aku kesakitan setengah mati, hampir-hampir aku jatuh kelengar. Aku mencaci maki dia, ‘Keledai gundul bangsat, kalau mau bunuh lekas bunuh saja diriku, kenapa kau menyiksa aku secara begini keji?’

“Dengan tertawa dia menjawab, ‘Keji apa? Perempuan tak berdosa yang menjadi korbanmu entah betapa banyak, kenapa selama itu kau tidak kenal keji atau tidak? Hendak kukatakan padamu, selanjutnya bila aku ketemu kau, setiap kali pasti akan kuperiksa anumu itu, kalau ketahuan panahnya kau cabut, segera kutancapi lagi dua batang, lain kali kalau kulihat panah-panah itu kau tanggalkan lagi, lantas kutancapkan pula tiga batang. Pendek kata, setiap kali kau berani mencabut anak panah itu, setiap kali kutambahi satu batang lebih banyak.’”

Saking gelinya sampai Lenghou Tiong terpingkal-pingkal oleh cerita Dian Pek-kong itu. 
Keruan Dian Pek-kong tersipu-sipu malu.

“Maaf, Dian-heng,” kata Lenghou Tiong kemudian. “Bukan maksudku hendak menertawai kau, soalnya peristiwa ini sungguh sukar untuk dibayangkan.”

“Memangnya, siapa bilang tidak,” kata Dian Pek-kong. “Dia kemudian memberi obat luka padaku dan suruh aku tetirah di hotel. Kemudian beliau mendapat tahu guruku lagi rindu padamu, lalu aku disuruh pergi ke Hoa-san untuk mengundang engkau menemui guruku.”

Baru sekarang Lenghou Tiong tahu kedatangan Dian Pek-kong di Hoa-san tempo dulu untuk mengundang dirinya itu adalah karena perintah Put-kay Taysu, pantas Dian Pek-kong tidak berani bercerita apa-apa, kiranya di balik itu banyak terjadi hal-hal yang lucu dan luar biasa itu. Lalu terpikir pula olehnya, “Untuk apakah Gi-lim Sumoay ingin bertemu dengan aku? Dahulu ketika bersama di Heng-san memang dia dan aku pernah senasib setanggungan, kemudian dia jarang bertemu dengan aku, kalau bertemu tentu terdapat juga orang lain.”

Lenghou Tiong bukan orang dungu. Bahwasanya Gi-lim juga cinta padanya mustahil dia tidak tahu. Soalnya, Gi-lim adalah nikoh, kedua, umur Gi-lim masih muda belia, setelah lewat sekian lamanya tentu pikirannya sudah berubah. Sebab itu pertemuan-pertemuan selanjutnya Lenghou Tiong tidak pernah ajak bicara sendirian pada Gi-lim. Sesudah menjadi ketua Hing-san-pay lebih-lebih tidak leluasa lagi. Lenghou Tiong menyadari namanya sendiri tidak terlalu harum di luaran, baginya soal nama adalah tidak soal, tapi dirinya telah diberi tugas suci oleh Ting-sian Suthay untuk mengetuai Hing-san-pay, mana boleh nama baik Hing-san-pay ternoda di bawah pimpinannya. Sebab itulah dia jarang berkumpul dengan anak murid Hing-san-pay kecuali di waktu memberi ajaran ilmu pedang. Sekarang Dian Pek-kong bercerita tentang kejadian dahulu, mau tak mau kasih mesra Gi-lim padanya kembali terbayang dalam benaknya.
Didengarnya Dian Pek-kong bercerita pula, “Entah mengapa, Thaysuhu agaknya sangat cocok dengan aku. Meski dia menyiksa aku secara kejam, tapi sehari-hari aku diperlakukan cukup baik. Dia mengatakan biarpun aku sudah mengangkat guru, tapi sang guru tidak pernah mengajarkan ilmu silat padaku, maka ia ingin mewakilkan anak perempuannya dan banyak mengajarkan kepandaiannya padaku.”

“Syukurlah kalau begitu,” ujar Lenghou Tiong.

“Kemudian kami dengar kau diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, Thaysuhu suruh aku datang ke Hing-san untuk membantu kau. Tapi beberapa hari yang lalu di tengah jalan aku dipergoki beberapa orang yang mengenali diriku, aku telah diteriaki sebagai ‘maling cabul’ dan dikerubut. Untung Thaysuhu keburu menghalau orang-orang itu, habis itu aku lantas disuruh cukur rambut dan menjadi hwesio serta diberi nama ‘Put-ko-put-kay’. Beliau suruh aku menjelaskan persoalan ini padamu agar engkau tidak marah pada suhuku.”

“Kenapa aku mesti marah para suhumu? Tidak pernah terjadi,” ujar Lenghou Tiong.

“Menurut kata Thaysuhu, setiap kali ketemu suhu tentu melihat suhu tambah kurus, air mukanya juga semakin pucat. Bila ditanya suhu selalu tidak menjawab dan hanya mencucurkan air mata. 
Menurut pikiran Thaysuhu tentulah engkau memarahi dia.”

“He, mana bisa,” kata Lenghou Tiong. “Selamanya aku sangat baik pada gurumu, belum pernah aku mengomeli dia satu patah kata pun. Pula dia selalu berbuat baik, kenapa aku mesti marah padanya?”
Justru engkau tidak pernah marah dan mengomeli dia, makanya guruku menangis,” kata Dian Pek-kong.

“Sungguh aneh, aku menjadi bingung,” ujar Lenghou Tiong.

“Malahan aku pernah dihajar habis-habisan oleh Thaysuhu lantaran urusan ini,” kata Dian Pek-kong pula.

Lenghou Tiong garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia pikir kelakuan Put-kay Taysu yang dogol tak keruan itu boleh dikata setali tiga uang dengan Tho-kok-lak-sian.

Maka Dian Pek-kong berkata pula, “Thaysuhu mengatakan bahwa dahulu sesudah beliau menjadi suami istri dengan Thaysubo, mereka sering kali bertengkar mulut, semakin banyak bertengkar semakin cinta pula. Karena itu, dia berpendapat kalau engkau tidak marah pada guruku berarti engkau tidak ingin memperistrikan dia.”

“Soal ini... gurumu adalah cut-keh-lang (orang yang telah meninggalkan keluarga) dan menjadi nikoh, maka sama sekali aku tak pernah memikirkan soal demikian,” jawab Lenghou Tiong.

“Aku pun pernah berkata demikian pada Thaysuhu, tapi Thaysuhu menjadi marah malah dan aku dihajar lagi hingga babak belur,” kata Dian Pek-kong. “Beliau mengatakan dahulu Thaysubo juga seorang nikoh, demi untuk memperistrikan Thaysubo, maka Thaysuhu lantas menjadi hwesio. Kalau cut-keh-lang tak boleh menjadi suami istri, lalu di dunia ini masakah terdapat orang seperti Thaysuhu? 
Kalau di dunia ini tiada Thaysuhu, dari mana ada aku?”

Lenghou Tiong menjadi geli karena Dian Pek-kong sendiri dicampuradukkan dalam urusan Gi-lim yang jauh lebih muda itu.

Lalu Dian Pek-kong melanjutkan, “Thaysuhu mengatakan pula, jika engkau tidak ingin menjadi suami istri dengan suhuku, lalu buat apa engkau menjadi ketua Hing-san-pay? Katanya, ‘Di antara nikoh-nikoh Hing-san-pay sebanyak itu toh tiada satu pun yang lebih cantik daripada guruku. Dan kalau bukan demi guruku, lalu apa tujuanmu menjadi ketua Hing-san-pay?’”

Diam-diam Lenghou Tiong merasa khawatir dan mengeluh. Pikirnya, “Demi untuk memperistrikan seorang nikoh, dahulu Put-kay Taysu sengaja menjadi hwesio. Menurut jalan pikirannya setiap orang di dunia ini tentu sama dengan dia. Kalau hal ini sampai tersiar, bukanlah aku akan menjadi buah tertawaan orang?”

Dengan menyengir Dian Pek-kong menyambung lagi, “Thaysuhu tanya pula padaku, ‘Bukankah anak perempuanku yang menjadi gurumu itu adalah wanita tercantik di dunia?’

“Aku menjawab, ‘Seumpama bukan yang paling cantik, paling sedikit tergolong sangat cantik.’

“Sekali tonjok, kontan Thaysuhu membikin rontok dua biji gigiku yang depan. Dia marah-marah, katanya, ‘Mengapa bukan yang paling cantik? Kalau anak perempuanku tidak cantik, mengapa dahulu kau bermaksud berbuat tidak senonoh padanya? Dan mengapa si bocah Lenghou Tiong itu mati-matian menyelamatkan jiwanya?’

“Dengan menahan sakit cepat aku menjawab, ‘Ya, paling cantik, paling cantik. Nona keturunan Thaysuhu mana bisa bukan wanita paling cantik di dunia ini.’

“Jawabanku ini rupanya cocok dengan selera Thaysuhu, beliau sangat gembira dan memuji penilaianku yang tepat.”

“Gi-lim Sumoay memang dasarnya sangat cantik, pantas kalau Put-kay Taysu suka pamer kecantikan anak perempuannya,” kata Lenghou Tiong dengan tersenyum.

“Sungguh bagus sekali, ternyata Lenghou-kongcu juga menyatakan guruku sangat cantik,” seru Dian Pek-kong dengan girang.

“Mengapa kau kegirangan?” tanya Lenghou Tiong heran.

“Sebab, Thaysuhu memberi suatu tugas padaku, aku diharuskan berusaha agar engkau... agar engkau....”

“Agar aku apa?” Lenghou Tiong menegas.

“Agar engkau menjadi sukongku (suami guruku),” jawab Dian Pek-kong dengan tertawa.

Lenghou Tiong melenggong sejenak. Ia menghela napas, lalu berkata, “Dian-heng, Put-kay Taysu benar-benar teramat sayang kepada anak perempuannya. Tapi urusan ini kau sendiri pun tahu sukar terlaksana.”

“Memangnya, aku pun bilang sangat sukar terlaksana. Kukatakan bahwa engkau pernah memimpin para kawan Kangouw menyerbu Siau-lim-si untuk menolong Yim-siocia dari Sin-kau. Aku berkata bahwa kecantikan Yim-siocia meski tiada setengahnya suhuku, namun rupanya Lenghou-kongcu ada jodoh dengan dia sehingga terpelet olehnya, orang lain benar-benar sukar menghalang-halanginya. Maklumlah Lenghou-kongcu, terpaksa aku harus bilang begitu untuk menyelamatkan beberapa gigiku yang lain agar dapat menikmati daharan, hendaklah engkau jangan marah.”

“Ya, aku paham,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum.

“Thaysuhu mengatakan bahwa beliau juga paham, dia bilang gampang saja menyelesaikan persoalan ini, cari suatu akal dan bunuh saja Yim-siocia di luar tahumu, maka urusan akan menjadi beres dengan sendirinya. Cepat aku menyatakan jangan, kubilang kalau sampai Yim-siocia dibinasakan, Lenghou-kongcu pasti juga akan membunuh diri. Lalu Thaysuhu berkata, ‘Betul juga. Kalau bocah Lenghou Tiong itu mati, itu berarti anak perempuanku akan menjadi janda, kan konyol malah? Begini saja, boleh kau katakan pada Lenghou Tiong bahwa kalau perlu biarlah anak perempuanku dijadikan saja gundiknya.’

“Aku menjawab, ‘Thaysuhu, masakah anak perempuanmu yang terhormat demikian perlu direndahkan derajatnya sampai begitu rupa?’

“Thaysuhu menghela napas, katanya, ‘Kau tidak tahu, kalau nonaku ini gagal menjadi istri Lenghou Tiong, maka siang dan malam dia pasti akan merana dan takkan hidup lama lagi.’

“Habis itu mendadak Thaysuhu mencucurkan air mata. Air mata betul-betul Lenghou-kongcu, air mata kasih sayang seorang ayah kepada anak perempuannya, sungguh, aku tidak omong kosong.”

Lenghou Tiong jadi teringat kepada Gi-lim yang kian hari memang kian kurus, disangkanya mungkin perjalanan jauh telah melelahkan nikoh cilik itu, tak tahunya lantaran merana karena rindu dendam, urusan ini benar-benar sukar diselesaikan.

Dian Pek-kong menutur pula, “Setelah menangis, mendadak Thaysuhu mencengkeram kudukku dan memaki diriku, ‘Keparat, semuanya gara-gara perbuatanmu. Kalau tempo hari kau tidak bermaksud busuk terhadap anak perempuanku, tentu pula Lenghou Tiong takkan turun tangan menolong dan dengan sendirinya anak perempuanku sekarang takkan kurus dan merana seperti sekarang ini.’

“Aku menjawab, ‘Tidak tentu. suhuku secantik bidadari, seumpama tempo hari aku tidak berbuat jelek padanya, tentu Lenghou Tiong akan memancing dan menggodanya, mustahil bocah Lenghou Tiong itu tidak kesengsem kepada perempuan molek.’”
Dian-heng, kata-katamu ini rasanya keterlaluan sedikit,” ujar Lenghou Tiong dengan mengerut kening.

“Maaf, Lenghou-kongcu. Soalnya aku kenal tabiat Thaysuhu, kalau aku tidak berkata demikian tentu aku takkan dilepaskannya. Benar juga, sesudah aku berkata begitu, dari marah beliau menjadi senang, aku lantas dilepaskan, katanya, ‘Anak keparat, hari itu kusaksikan kau berkelahi dengan Lenghou Tiong di atas loteng restoran itu, dia tidak mampu melawan kau sehingga badannya penuh luka terbacok oleh golokmu. Coba kalau bukan lantaran kau bermaksud memerkosa anak perempuanku, hm, waktu itu juga tentu kepalamu sudah aku gecek hingga gepeng.’”

“Aneh, kau bermaksud perkosa anak perempuannya, dia malah merasa syukur?” tanya Lenghou Tiong heran.

“Bukan merasa syukur, tapi beliau anggap aku pandai memilih perempuan yang cantik,” kata Dian Pek-kong.

Kembali Lenghou Tiong melongo oleh logika yang gila itu.

“Lenghou-kongcu,” kata Dian Pek-kong pula, “pesan Thaysuhu sudah kukatakan seluruhnya padamu. Kutahu urusan ini rada sulit, lebih-lebih menjadi pantangan bagimu selaku ketua Hing-san-pay. Cuma kunasihatkan agar engkau sudi lebih sering bicara yang baik-baik dengan suhuku agar beliau merasa gembira. Urusan selanjutnya boleh terserah kepada keadaan.”

Lenghou Tiong mengangguk dan mengiakan.

Tengah bicara dari depan sana datang pula menyambut beberapa anak murid Ko-san-pay, mereka memberi hormat dan berkata, “Para tokoh dan ketua semua golongan dan aliran akan berkumpul di Ko-san sini untuk ikut menyaksikan upacara pemilihan ketua Ngo-gak-pay, para kawan dari Kun-lun-pay dan Jing-sia-pay sudah sejak kemarin tiba. Kedatangan Lenghou-ciangbun sekarang sangat kebetulan, semua hadirin sudah menunggu di atas sana. Silakan!”

Sikap anak murid Ko-san-pay itu sangat angkuh, kata-kata mereka pun sombong seakan-akan jabatan ketua Ngo-gak-pay pasti akan dipegang oleh Ko-san-pay mereka.

Setelah naik lagi sekian lama ke atas gunung, terdengar suara gemercak air yang gemuruh, sebuah air terjun tampak menuangkan airnya yang deras ke bawah jurang. Beramai-ramai mereka mendaki ke atas menyusur tepi air terjun itu. Sepanjang jalan anak murid Ko-san-pay yang menjadi petunjuk jalan suka pamer keindahan panorama pegunungan Ko-san sambil menunjukkan nama-nama tempat ini dan itu.

“Ko-san terletak tepat di tengah dunia ini dan selalu merupakan kepala dari semua gunung di dunia,” demikian kata murid Ko-san-pay itu. 
Coba lihat, Lenghou-ciangbun, suasana sehebat ini, pantas kalau raja-raja dari berbagai dinasti selalu mendirikan kota raja di kaki Ko-san kita ini.”

Di balik maksud ucapan murid Ko-san-pay itu hendak dikatakan bahwa Ko-san adalah kepala dari semua gunung, maka Ko-san-pay juga selalu menjadi pimpinan berbagai golongan persilatan.

Dengan tersenyum Lenghou Tiong menjawab, “Orang Kangouw macam kita ini entah ada sangkut paut apa dengan raja-raja dan kaum pembesar negeri? 
Apakah Co-ciangbun kalian sering berhubungan dengan pembesar-pembesar pemerintahan?”

Seketika muka murid Ko-san-pay itu menjadi merah dan tidak bicara lagi.

Jalanan ke atas seterusnya menjadi makin curam, murid Ko-san sebagai penunjuk jalan itu masih memperkenalkan pula nama-nama tempat yang mereka lalui. Tidak lama kemudian, setelah melewati suatu pengkolan, mendadak kabut bertaburan, di tengah jalan pegunungan itu sedang mengadang belasan laki-laki dengan pedang terhunus. Terdengar seorang di antaranya berseru dengan suara seram, “Bilakah Lenghou Tiong akan sampai di sini? Kalau melihatnya, harap para sobat sudi memberitahukan pada aku si buta.”

Lenghou Tiong melihat orang yang bicara itu bercambang pendek dan kaku lebat, rupanya sangat seram, tapi kedua matanya ternyata buta. Ketika melihat orang-orang yang lain, semuanya juga orang buta. Terkesiap hati Lenghou Tiong, segera ia berseru, “Lenghou Tiong sudah berada di sini, Saudara ada urusan apa?”

Begitu mendengar “Lenghou Tiong sudah berada di sini”, serentak belasan orang buta itu lantas berteriak-teriak dan mencaci maki, dengan pedang terhunus mereka terus menerjang maju sambil memaki, “Bangsat keparat Lenghou Tiong, betapa kau telah membikin susah kami, hari ini biarlah kami mengadu jiwa padamu.”

Setelah berpikir sejenak, pahamlah Lenghou Tiong, “Dahulu malam-malam Hoa-san-pay kami diserang musuh secara mendadak di kelenteng bobrok, dengan Tokko-kiu-kiam yang baru saja kupelajari itu aku telah membutakan mata musuh yang tidak sedikit. Jika begitu penyerang-penyerang itu adalah suruhan Ko-san-pay, sungguh tidak nyana hari ini akan bertemu lagi di sini.”

Dilihatnya keadaan tempat cukup berbahaya, bila belasan orang itu benar-benar mengadu jiwa padanya, asalkan salah seorang berhasil merangkulnya, maka bukan mustahil akan tergelincir ke dalam jurang dan gugur bersama. Sekilas dilihatnya pula anak murid Ko-san-pay petunjuk jalan tadi bersikap acuh tak acuh seakan-akan mensyukurkan apa yang bakal terjadi.

“Apakah kawan-kawan buta ini anak murid Ko-san-pay?” tanya Lenghou Tiong.

“Bukan, mereka bukan orang kami,” jawab murid Ko-san-pay itu. “Entah mereka ada permusuhan apa dengan Lenghou-ciangbun? Hari ini adalah hari penting pemilihan ketua Ngo-gak-pay, bila Lenghou-ciangbun sampai terjerumus ke dalam jurang karena dikerubut sobat-sobat buta ini, biarpun kedua pihak gugur bersama, tapi sungguh harus disesalkan.”

“Benar juga,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum. “Maka dari itu sukalah Saudara memberi perintah agar mereka suka memberi jalan.”

“Silakan Lenghou-ciangbun sendiri membereskan saja,” jawab orang Ko-san-pay itu.

Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang membentak dengan suara menggelegar, “Biar kubereskan kau dulu dan urusan belakang!”

Siapa lagi dia kalau bukan Put-kay Taysu. Dengan langkah lebar ia menerjang maju, sekali cengkeram, dua murid Ko-san-pay telah kena dipegang olehnya terus dilemparkan ke arah kawanan orang buta tadi sambil berseru, “Ini dia Lenghou Tiong telah tiba!”

Serentak kawanan orang buta itu ayun senjata, mereka membacok dan menebas serabutan, untung kedua murid Ko-san-pay itu cukup tangkas, selagi tubuh mereka terapung di udara, mereka mampu mencabut pedang sendiri buat menangkis seraya berteriak, “Kami orang Ko-san-pay, kita kawan sendiri, lekas menyingkir!”

Mendengar itu kawanan orang buta menjadi kelabakan dan kacau-balau, mereka berusaha menghindar sedapat mungkin. Namun Put-kay sudah lantas menyusul ke depan, kembali kedua murid Ko-san-pay itu kena dicengkeram olehnya, bentaknya pula, “Jika kalian tidak suruh kawanan buta itu enyah dari sini, biar kulemparkan kalian ke jurang!”

Berbareng ia kerahkan tenaga sekuatnya, kedua orang itu dilemparkan ke atas. Bobot kedua murid Ko-san-pay itu masing-masing ada lebih seratus kati, tapi tenaga pembawaan Put-kay memang sangat kuat, sekali lempar, kedua orang itu lantas melayang ke atas beberapa meter tingginya.

Keruan kedua murid Ko-san-pay itu ketakutan setengah mati, hampir-hampir sukma mereka terbang meninggalkan raganya. Berbareng mereka menjerit ngeri, mereka percaya sekali ini pasti akan terjatuh ke dalam jurang yang tak terhingga dalamnya dan hancur lebur menjadi bakso.

Namun sebelum kedua orang itu jatuh ke bawah, dengan cepat sekali Put-kay sudah kena cengkeram pula kuduk mereka lalu mengancam, “Bagaimana? Apakah mau sekali coba lagi?”

“Ti... tidak! Jang... jangan!” cepat seorang di antaranya berseru. Seorang lagi agaknya lebih licin, tiba-tiba ia berseru, “Hei, Lenghou Tiong, hendak lari ke mana kau? Hayo para sobat buta, lekas kejar ke sana, lekas!”

Mendengar itu kawanan orang buta itu percaya sungguh-sungguh, serentak mereka mengejar.

Dengan marah Dian Pek-kong lantas mendamprat murid Ko-san-pay tadi, “Nama Lenghou Tiong masakah boleh sembarangan kau sebut? Ini hadiahmu!”

“Plak”, kontan memberi persen tempelengan kepada orang Ko-san-pay itu. Lalu ia berteriak, “Lenghou-tayhiap berada di sini, Lenghou-ciangbun berada di sini! Orang buta mana yang berani, hayolah coba kemari kalau minta diberi hajaran!”

Sebenarnya kawanan orang buta itu kena dihasut oleh orang Ko-san-pay agar menuntut balas kepada Lenghou Tiong. Maka dengan penuh dendam mereka menanti di jalan pegunungan itu. Tapi ketika mendengar jeritan ngeri kedua murid Ko-san-pay tadi, mau tak mau mereka menjadi jeri, apalagi mereka telah lari kian-kemari di jalan pegunungan itu dengan mata buta sehingga tidak tahu mana sasarannya. Keruan mereka menjadi bingung sendiri dan akhirnya berdiri termenung di tempat masing-masing.

Lenghou Tiong tidak ambil pusing lagi pada mereka, bersama Put-kay, Dian Pek-kong, dan murid-murid Hing-san-pay, mereka meneruskan perjalanan ke atas gunung. Tidak lama di depan kelihatan dua puncak gunung mengapit sebuah selat alam sehingga berwujud sebuah pintu gerbang, angin kencang meniup keluar dari selat sana disertai kabut awan.

Kalau tadi anak murid Ko-san-pay suka pamer dan mengoceh tentang tempat-tempat strategis di pegunungan Ko-san, tapi sekarang mereka hanya bungkam saja. Maka Dian Pek-kong sengaja mengolok-olok, bentaknya mendadak, “Apa nama tempat ini? Kenapa kalian berubah menjadi bisu?”

Dengan menyengir murid Ko-san-pay tadi terpaksa menjawab, “Ini namanya Tiau-thian-mui (Pintu Gerbang Langit).”

Setelah memutar lagi ke sebelah kiri dan menanjak lagi tidak jauh, tiba-tiba terdengar suara alat tetabuhan dibunyikan. Pada tanah lapang di atas puncak gunung situ sudah berjubel beribu-ribu orang. Beberapa murid Ko-san-pay tadi lantas mendahului naik ke atas puncak situ untuk melapor, Lenghou Tiong dan rombongannya menyusul kemudian.

Maka terlihatlah Co Leng-tan memakai jubah kuning datang menyambut bersama belasan orang muridnya.

Kini kedudukan Lenghou Tiong adalah ketua Hing-san-pay, tapi dia sudah biasa memanggil “Co-supek” pada Co Leng-tan, sebagai angkatan muda, maka tetap ia memberi hormat dan menyapa, “Terimalah hormat Lenghou Tiong, Ko-san-ciangbun.”

“Meski berpisah sekian lamanya, namun Lenghou-siheng tampaknya tambah segar,” ujar Co Leng-tan. “Kesatria ganteng muda sebagai Lenghou-siheng mengetuai Hing-san-pay, sungguh suatu peristiwa yang memecahkan sejarah dunia persilatan, terimalah ucapan selamat dariku.”

Lenghou Tiong tahu ucapan Co Leng-tan itu sebenarnya cuma olok-olok belaka, kata-kata “peristiwa yang memecahkan sejarah dunia persilatan” sebenarnya untuk menyindir Lenghou Tiong seorang laki-laki telah mengetuai kawanan nikoh.

Maka Lenghou Tiong menjawab sewajarnya saja, “Wanpwe menerima tugas terakhir dari Ting-sian Suthay, tujuannya adalah untuk menuntut balas bagi kedua suthay. Bila tugas membalas dendam sudah tercapai, dengan sendirinya Cayhe akan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan ketua kepada yang lebih bijaksana.”

Waktu berkata pandangan Lenghou Tiong selalu menatap tajam ke arah Co Leng-tan dengan maksud menyelami perasaan orang apakah memperlihatkan air muka malu atau marah atau benci. Tapi air muka Co Leng-tan ternyata tidak berubah sedikit pun.

Malahan Co Leng-tan berkata, “Ngo-gak-kiam-pay selamanya senasib setanggungan, selanjutnya kelima golongan bahkan akan dilebur menjadi satu, maka soal sakit hati Ting-sian dan Ting-yat Suthay tidak cuma urusan Hing-san-pay sendiri, bahkan juga urusan Ngo-gak-pay kita. Syukur Lenghou-hengte sudah menetapkan tekad, sungguh harus dipuji.”

Ia merandek sejenak lalu menyambung lagi, “Sementara itu Thian-bun Toheng dari Thay-san, Bok-taysiansing dari Heng-san, Gak-siansing dari Hoa-san, serta para undangan peninjau sudah datang semua, silakan Lenghou-hengte bertemu dengan mereka.”

“Baik,” kata Lenghou Tiong. “Entah Hong-ting Taysu dari Siau-lim dan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong sudah datang atau belum?”

Dengan acuh tak acuh Co Leng-tan menjawab, “Tempat tinggal mereka berdua meski dekat, tapi mengingat kedudukan mereka, tentunya mereka akan menjaga gengsi, rasanya mereka takkan hadir.”

Lenghou Tiong mengangguk. Tapi pada saat itulah tertampak dua murid Ko-san-pay berlari tiba dari bawah gunung, melihat cara lari mereka yang terburu-buru, jelas ada sesuatu urusan penting yang perlu dilaporkan. Karena itu para hadirin menjadi tertarik.

Dalam sekejap saja kedua orang itu sudah berada di depan Co Leng-tan, mereka memberi hormat dan berkata, “Suhu, ketua Siau-lim-si Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay bersama anak muridnya sedang menuju kemari untuk menyampaikan selamat kepada Ngo-gak-pay kita.”

“O, mereka juga hadir? Wah, sungguh suatu kehormatan besar. Harus kita sambut selayaknya,” kata Co Leng-tan.

Para kesatria yang sudah hadir juga gempar ketika mendengar bahwa ketua-ketua Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay juga hadir. Serentak mereka ikut di belakang Co Leng-tan ke bawah gunung untuk menyambut.

Lenghou Tiong bersama anak murid Hing-san-pay menyingkir di tepi jalan untuk memberi jalan kepada orang banyak. Tertampak Thian-bun Tojin dari Thay-san-pay, Bok-taysiansing dari Heng-san-pay, Pangcu dari Kay-pang, Ih Jong-hay ketua Jing-sia-pay, dan gembong-gembong persilatan lain memang benar sudah hadir semua. Kepada tiap-tiap kenalan itu Lenghou Tiong mengangkat tangan memberi hormat.

Tiba-tiba dari belakang sana muncul satu rombongan, kiranya adalah orang-orang Hoa-san-pay, Gak Put-kun dan istrinya tampak berada paling depan. Dengan perasaan pilu Lenghou Tiong memburu maju, ia berlutut dan menjura, katanya, “Harap kedua Lojinkeh (orang tua) terima hormatnya Lenghou Tiong.”

Ia tidak berani memanggil “suhu” dan “sunio”, juga tidak berani menyebut dirinya sebagai “murid”, tapi cara menjura tiada ubahnya seperti dahulu kalau dia memberi hormat kepada Gak Put-kun dan istrinya.

Gak Put-kun mengegoskan tubuhnya ke samping, jawabnya dengan nada dingin, “Buat apa Lenghou-ciangbun menjalankan penghormatan sebesar ini? Bukankah aneh dan menertawakan?”

Selesai memberi hormat, Lenghou Tiong lantas berbangkit dan mundur ke tepi jalan.

Mata Gak-hujin tampak merah basah, katanya, “Kabarnya kau telah menjabat ketua Hing-san-pay. Selanjutnya asalkan kau tidak sembrono dan tidak bikin gara-gara, kukira masih banyak kesempatan bagimu untuk membersihkan diri.”

“Hm, tidak bikin gara-gara? Nanti kalau matahari terbit dari barat,” jengek Gak Put-kun. 
Kalau dia bisa menjabat ketua Hing-san-pay sampai hari ini tentu dia sudah boleh merasa puas.”

Lenghou Tiong lantas berkata, “Pertemuan di Ko-san ini tampaknya Co-supek ada maksud melebur Ngo-gak-kiam-pay. Entah bagaimana pendapat kedua Lojinkeh terhadap urusan ini?”
Pendapatmu sendiri bagaimana?” Gak Put-kun balas bertanya.

“Tecu kira....”

“Istilah ‘tecu’ tak perlu kau pakai lagi,” sela Gak Put-kun dengan tersenyum. “Jika kau masih mengingat hubungan baik di Hoa-san dahulu, maka hendaklah kau....”

Sejak diusir dari Hoa-san-pay, belum pernah Lenghou Tiong menghadapi sikap ramah Gak Put-kun seperti saat ini, keruan ia menjadi senang dan cepat menjawab, “Ada pesan apa dari Lojinkeh, Tecu... 
O, Wanpwe pasti akan menurut saja.”

“Aku pun tiada pesan apa-apa,” Gak Put-kun manggut-manggut. “Hanya saja kaum persilatan kita paling mengutamakan budi dan kewajiban. Bahwa kau dikeluarkan dari Hoa-san-pay sesungguhnya bukan kami yang berhati kejam dan tidak dapat memaafkan kesalahanmu. 
Soalnya karena kau yang melanggar pantangan besar dunia persilatan kita. Meski sejak kecil kubesarkan kau sehingga hubungan kita seperti ayah dan anak, namun aku harus bertindak secara adil tanpa pilih kasih.”

Mendengar sampai di sini, air mata Lenghou Tiong bercucuran, katanya dengan terguguk-guguk, “Budi kebaikan Suhu, biarpun badan Tecu hancur lebur juga sukar membalas.”

Gak Put-kun tepuk-tepuk bahu Lenghou Tiong dengan perlahan sebagai tanda menghiburnya, katanya pula, “Kejadian di Siau-lim-si tempo hari, kita guru dan murid sampai main senjata, tapi sebenarnya beberapa jurus yang kugunakan itu mengandung arti yang dalam dengan harapan agar kau bisa mengubah pikiranmu dan kembali ke dalam Hoa-san-pay, namun kau tidak sadar, sungguh membikin aku sangat kecewa.”

“Ya, Tecu pantas mampus,” jawab Lenghou Tiong dengan tunduk kepala. “Perbuatan Tecu di Siau-lim-si tempo hari sesungguhnya sukar dijelaskan. Bila Tecu dapat kembali mengabdi di bawah pimpinan Suhu, sungguh inilah cita-cita Tecu selama hidup ini.”
Kukhawatir kata-katamu ini hanya manis di mulut tetapi lain di hati,” kata Gak Put-kun dengan tersenyum. “Sekarang kau kan sudah menjadi ketua Hing-san-pay, mana kau sudi kembali menjadi muridku.”

Dari nada Gak Put-kun itu agaknya dia tidak keberatan untuk menerimanya kembali menjadi murid Hoa-san-pay, kesempatan baik ini mana boleh disia-siakan, segera Lenghou Tiong berlutut dan berkata, “Suhu, Sunio, Tecu telah banyak berbuat dosa, untuk selanjutnya Tecu berjanji akan memperbaiki kesalahan-kesalahan dahulu dan taat kepada ajaran Suhu dan Sunio. Harapan Tecu hanya sudilah Suhu dan Sunio menaruh belas kasihan dan terima Tecu kembali.”

Pada saat itu terdengar suara orang banyak sedang mendatangi, para kesatria tampak mengiringi Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin sedang naik ke atas. Cepat Gak Put-kun berkata dengan suara tertahan, “Lekas kau bangun saja, urusan ini dapat kita rundingkan nanti.”

Lenghou Tiong sangat girang, ia menjura beberapa kali pula dan mengucapkan terima kasih, habis itu barulah berdiri.

Dengan perasaan pilu dan girang pula Gak-hujin berkata, “Siausumoaymu dan Lim-sute pada bulan yang lalu sudah... sudah menikah,” nadanya rada khawatir kalau-kalau apa yang dikatakannya itu akan mengecewakan Lenghou Tiong, sebab ia menduga maksud Lenghou Tiong ingin kembali ke Hoa-san-pay adalah demi Gak Leng-sian.

Pedih juga perasaan Lenghou Tiong, ia coba melirik ke arah Gak Leng-sian, tertampak sang sumoay telah ganti dandanan sebagai seorang nyonya muda, pakaiannya rada mewah, namun wajahnya masih sama seperti dahulu, tiada tanda-tanda riang gembira sebagaimana layaknya seorang pengantin baru. 
Ketika beradu pandang dengan Lenghou Tiong, mendadak air mukanya berubah merah dan lantas menunduk.

Seketika dada Lenghou Tiong seperti kena digodam dengan keras, mata terasa berkunang-kunang, berdiri pun hampir tidak sanggup. Sayup-sayup telinga mendengar seorang menyapa padanya, “Lenghou-ciangbun, engkau adalah tamu jauh, tapi malah sudah datang lebih dulu. Siau-lim-si adalah tetangga dekat, tapi Lolap malah datang terlambat.”

Lalu Lenghou Tiong merasa bahunya dipayang seorang, cepat ia tenangkan diri dan memerhatikan, kiranya dengan tersenyum simpul Hong-ting Taysu sudah berdiri di depannya. Cepat ia menjawab, “O, kiranya Hong-ting Taysu. Terimalah hormat Wanpwe!”

“Sudahlah, kita tidak perlu banyak adat lagi, kalau setiap orang saling memberi hormat, sampai kapan beribu-ribu orang yang hadir ini bisa rampung saling memberi hormat? Silakan para hadirin masuk sian-ih (pendopo) dan duduk di dalam.”
Para kesatria sama mengiakan, beramai-ramai mereka lantas masuk ke kuil Cun-kek-sian-ih.

Puncak tertinggi dari Ko-san bernama “Cun-kek”, di puncak tertinggi itu dibangun sebuah kuil dan disebut Cun-kek-sian-ih, selama beratus tahun kuil itu menjadi tempat kediaman ketua Ko-san-pay.

Pekarangan kuil itu penuh dengan pepohonan, pendoponya juga sangat luas, cuma kalau dibanding Tay-hiong-po-tian dari Siau-lim-si memang lebih kecil. Baru ribuan orang masuk ke kuil itu sudah memenuhi pendopo dan halaman luar, selebihnya hampir-hampir tiada tempat berpijak lagi di dalam kuil.

Bab 111. Pertumpahan Darah di Puncak Ko-san

Dengan suara lantang Co Leng-tan lantas membuka suara, “Hari ini adalah pertemuan Ngo-gak-kiam-pay kami, atas kunjungan para kawan bu-lim yang meluap ini, sungguh di luar dugaan dan terimalah rasa terima kasih kami. Hanya saja kalau ada kekurangan penyambutan dan pelayanan, harap para hadirin sudi memberi maaf.”

“Sudahlah, tak perlu pakai sungkan-sungkan segala, soalnya sekarang orang terlalu banyak, tapi tempatnya sempit,” seru orang banyak.

“Tidak jauh di atas sini adalah Hong-sian-tay yang dahulu sering digunakan maharaja dari berbagai dinasti bila mengadakan tirakatan ke Ko-san sini, tempatnya sangat luas dan lapang, hanya saja kaum persilatan kita sebenarnya tidak layak menggunakan tempat suci yang diagungkan itu,” demikian seru Co Leng-tan.

“Kita toh tidak di bawah perintah raja mana pun juga, peduli apakah agung atau tidak, tempat sebaik itu tidak digunakan sekarang mau tunggu kapan lagi?” teriak pula orang banyak. 
Berbareng sebagian di antaranya sudah lantas mendahului berlari ke arah yang ditunjuk.
Jika demikian, marilah kita menuju ke sana,” kata Co Leng-tan.
Dalam hati Lenghou Tiong membatin, “Entah tempat macam apakah Hong-sian-tay itu? Dia menyatakan tempat itu biasanya digunakan oleh kaum maharaja, sekarang dia mengundang para hadirin pergi ke sana, jangan-jangan Co Leng-tan sudah anggap dirinya sebagai maharaja? Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang mengatakan dia punya ambisi sangat besar, setelah melebur Ngo-gak-kiam-pay, langkah selanjutnya adalah berusaha mencaplok Tiau-yang-sin-kau, kemudian akan menghabiskan pula Siau-lim dan Bu-tong-pay. Hah, dia dan Tonghong Put-pay agaknya mempunyai cita-cita yang sama.”
Tanpa banyak omong ia pun ikut orang banyak menuju ke Hong-sian-tay. Yang disebut Hong-sian-tay itu adalah sebuah panggung batu yang dipahat secara rata. Di sekitar panggung batu itu adalah lapangan yang luas. Sampai di puncak tertinggi Ko-san itu, semua orang merasa nyaman segar melihat puncak-puncak gunungan tak terhitung banyaknya menegak di bawah puncak Ko-san itu. Tatkala mana udara terang benderang, pemandangan jelas.

Lenghou Tiong mendengar tiga orang tua di depannya sedang tunjuk sana dan tuding sini ke berbagai puncak sambil manggut-manggut. Kata seorang di antaranya, “Yang itu adalah Tay-him-hong (Puncak Beruang Besar) dan yang sana adalah Siau-him-hong (Puncak Beruang Kecil). Dan gunung di seberang sana itu adalah Siau-sit-san, di mana terletak Siau-lim-si yang termasyhur. Tempo hari aku pernah mengunjungi Siau-lim-si dan merasakan Siau-sit-san yang luar biasa tingginya, tapi dipandang dari sini, nyata Siau-lim-si masih jauh di bawah Ko-san.”

Lalu tertawalah ketiga orang tua.

Dari dandanan ketiga orang tua itu Lenghou Tiong tahu mereka bukan orang Ko-san-pay, tapi dari ucapan mereka itu jelas mengolok-olok Siau-lim-pay dan meninggikan derajat Ko-san-pay itu, tentulah mereka adalah undangan Co Leng-tan yang sengaja didatangkan untuk membantu bila terjadi apa-apa.

Dalam pada itu terlihat Co Leng-tan sedang meminta Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang ke atas panggung. Tapi dengan tertawa Hong-ting berkata, “Kami berdua orang tua yang sudah lapuk ini hanya datang sebagai peninjau saja, buat apa kami naik panggung dan membikin malu didengar orang banyak?”

“Kenapa Taysu bicara demikian, seperti baru kenal saja,” ujar Co Leng-tan dengan tertawa.

“Para tamu sudah hadir semua, silakan Co-ciangbun mengurusi acara pokok dan tidak perlu selalu melayani kami berdua tua bangka,” kata Tiong-hi.

“Baiklah jika demikian,” jawab Co Leng-tan. Lalu ia menaiki panggung batu itu.

Setelah menaiki berpuluh undak-undakan batu itu, kira-kira masih dua-tiga meter di bawah panggung, ia berdiri di atas undak-undakan itu, lalu berseru dengan lantang, “Para hadirin yang terhormat!”

Meski lapangan di puncak gunung itu cukup luas, para tamu juga tersebar di sana-sini, namun ucapan Co Leng-tan itu dapat didengar dengan jelas oleh setiap orang.

Maka Co Leng-tan lantas melanjutkan sambil memberi salam, “Atas kunjungan para kawan, sungguh aku sangat berterima kasih. Sebelum tiba di sini tentunya para kawan sudah mendengar bahwa hari ini adalah hari bahagia, hari persatuan bagi Ngo-gak-kiam-pay kami yang akan berlebur menjadi satu.”

“Benar, benar! Selamat! Selamat!” demikian serentak beratus-ratus orang telah bersorak.

“Terima kasih!” kata Co Leng-tan. “Bahwasanya Ngo-gak-kiam-pay kami sudah ratusan tahun lamanya berserikat, selamanya satu napas dan satu haluan laksana satu keluarga, sudah sekian tahun pula Cayhe sebagai bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay. Cuma akhir-akhir ini di tengah bu-lim telah banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting, Cayhe dan para suheng tertua Ngo-gak-kiam-pay telah berunding, kami sama-sama merasa Ngo-gak-kiam-pay kalau tidak dilebur menjadi satu, maka kelak tentu sukar menghadapi kesulitan-kesulitan yang bakal menimpa.”

Tiba-tiba terdengar seorang menimbrung dengan nada dingin, “Entah Co-bengcu pernah berunding dengan suheng tertua dari aliran mana? Mengapa aku orang she Bok tidak pernah mengetahui persoalan ini.”

“Baru saja aku mengatakan di dunia persilatan (bu-lim) telah banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting sehingga terpaksa Ngo-gak-kiam-pay harus dilebur, salah satu peristiwa penting di antaranya yang kumaksudkan adalah terjadinya saling bunuh dan saling mencelakai di antara saudara-saudara sesama Ngo-gak-kiam-pay kita, rupanya banyak di antara kita sudah lupa pada setia kawan antara sesama anggota kelima aliran kita. Bok-taysiansing, murid Ko-san-pay kami, yaitu Ko-yang-jiu Hui-sute telah tewas di luar Kota Heng-san, ada orang menyaksikan sendiri, katanya engkau Bok-taysiansing yang melakukan pembunuhan itu, entah betul tidak?”

Terkesiap hati Bok-taysiansing. Pikirnya, “Waktu aku membunuh orang she Hui, saat itu yang ada cuma Lenghou Tiong serta seorang nikoh cilik dari Hing-san-pay, selain itu ialah Kik Yang beserta cucu perempuannya yang masih kecil. Apakah mungkin mereka telah membocorkan rahasia kejadian itu?”

Sementara itu beribu-ribu pasang mata sama memerhatikan air muka Bok-taysiansing. Namun ketua Heng-san-pay itu ternyata tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ia menggeleng dan menjawab, “Tiada pernah terjadi hal demikian. Rasanya cuma sedikit kepandaian orang she Bok saja masakah mampu membunuh tokoh macam Ko-yang-jiu?”

“Hm, kalau pertarungan satu-lawan-satu secara terang-terangan, memangnya Bok-taysiansing masakah mampu membunuh Hui-sute-ku?” jengek Co Leng-tan. “Namun tatkala itu yang mengerubut Hui-sute selain Bok-taysiansing dan sutemu Lau Cing-hong, ada pula murid Hing-san-pay dan murid Hoa-san-pay, bahkan ada gembong Mo-kau Kik Yang dan cucu perempuannya.”

Kata-kata Co Leng-tan ini benar-benar membikin Bok-taysiansing mengirik. Ia tidak habis paham siapakah yang membocorkan kejadian dahulu itu. Padahal waktu itu yang hadir selain sutenya, Kik Yang, dan cucu perempuannya, selebihnya adalah Lenghou Tiong dan Gi-lim. Apakah mungkin kedua anak muda ini yang membocorkan rahasianya? Setelah Co Leng-tan membongkar rahasia perbuatannya, jelas permusuhan Heng-san-pay dan Ko-san-pay sudah terikat, untuk lolos dari Ko-san dengan selamat rasanya sukar diramalkan.

Lenghou Tiong juga merasa terperanjat demi mendengar Co Leng-tan mengorek apa yang terjadi di masa dahulu itu.

Terdengar Co Leng-tan melanjutkan pula, “Peleburan Ngo-gak-kiam-pay kita hari ini adalah peristiwa mahapenting dalam sejarah selama beratus-ratus tahun ini. Bok-taysiansing, kau adalah ketua dari salah satu aliran, tentunya engkau harus mengutamakan urusan mahapenting ini dan kesampingkan persengketaan pribadi. 
Asalkan persoalannya menguntungkan kelima aliran kita, sepantasnya percekcokan perseorangan harus dijauhkan. Maka dari itu Bok-heng, urusan yang sudah-sudah itu pun tak perlu kau pikirkan, Hui-sute adalah suteku, nanti kalau Ngo-gak-pay sudah terlebur menjadi satu, dengan sendirinya Bok-heng adalah saudara seperguruan pula dengan aku. Yang sudah meninggal biarlah, yang masih hidup buat apa mesti saling bunuh pula?”

Kata-kata Co Leng-tan ini kedengaran sangat enak didengar, tapi sebenarnya bernada mengancam, maksudnya kalau Bok-taysiansing bisa menyetujui soal peleburan Ngo-gak-kiam-pay, maka soal terbunuhnya Hui Pin takkan diusut dan akan diadakan perhitungan.
Begitulah, dengan mata melotot Co Leng-tan menatap Bok-taysiansing dan menegas pula, “Bagaimana Bok-heng? Betul tidak?”

Tapi Bok-taysiansing hanya mendengus saja tanpa menjawab.

Dengan tersenyum-senyum yang dibuat-buat Co Leng-tan berkata pula, “Soal peleburan Ngo-gak-kiam-pay kita agaknya Heng-san-pay sudah tiada berbeda pendirian. 
Lalu bagaimana dengan Thay-san-pay? Thian-bun Toheng, bagaimana pendirianmu?”

Thian-bun Tojin lantas berdiri, dengan suara keras ia berkata, “Thay-san-pay didirikan oleh cikal bakal Tong-leng Totiang sudah hampir dua ratus tahun lamanya. Sungguh menyesal, aku terlalu bodoh dan kurang bijaksana sehingga tidak mampu mengembangkan Thay-san-pay lebih gemilang. Namun begitu, Thay-san-pay yang sudah bersejarah dua ratus tahunan ini betapa pun tidak boleh putus di tanganku. Soal melebur Thay-san-pay dengan golongan-golongan lain ini sekali-kali kami tidak dapat terima.”

Mendadak di tengah orang-orang Thay-san-pay berdiri seorang tojin berjenggot putih dan berjubah hijau, serunya, “Ucapan Thian-bun Sutit ini kurang tepat. Thay-san-pay kita meliputi lebih 400 anggota, janganlah karena kepentingan dirimu seorang mesti mengorbankan kepentingan orang banyak.”

Air muka tojin berjenggot itu tampak kurus kering, tapi suaranya ternyata keras dan kuat. Ada di antara hadirin yang mengenalnya lantas berbisik-bisik pada teman di sekitarnya, “Dia bernama Giok-ki-cu, terhitung paman gurunya Thian-bun Tojin.”

Memangnya Thian-bun Tojin berwajah merah bercahaya, mendengar kata-kata Giok-ki-cu itu, mukanya menjadi tambah merah. Serunya segera, “Susiok, apa artinya ucapanmu ini? Sejak Sutit menjabat ketua Thay-san-pay kita, dalam hal apa pernah kuabaikan kepentingan golongan kita? Sebabnya aku menolak peleburan ngo-pay justru demi mempertahankan Thay-san-pay kita, di mana ada menyangkut kepentingan pribadiku?”

Giok-ki-cu tertawa mengejek, katanya, “Kelima golongan dilebur menjadi satu, seketika Ngo-gak-pay akan sangat besar pengaruhnya, itu berarti setiap anak murid Ngo-gak-pay akan ikut merasakan manfaatnya. Namun sebaliknya, Sutit, jabatanmu sebagai ciangbunjin lantas hanyut, bukan?”

Thian-bun Tojin menjadi gusar, teriaknya murka, “Jadi kau menuduh aku hanya memikirkan kepentingan pribadi?”

Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah pedang pendek kehitam-hitaman dari bajunya lalu berteriak pula, “Ini, mulai saat ini aku tidak sudi menjadi ciangbunjin lagi. Kalau kau kepingin, boleh kau yang menjabatnya.”

Pedang pendek itu tiada menarik sedikit pun, tapi adalah benda yang diwariskan oleh Tong-leng Tojin, itu cikal bakal Thay-san-pay, selama dua ratusan tahun benda itu selalu menjadi tanda pengenal pejabat ketuanya.

Melihat kedua tokoh Thay-san-pay itu bertengkar sendiri dan saling ngotot membela pendirian masing-masing, para hadirin menjadi sunyi, semuanya mengikuti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tertampak Giok-ki-cu maju selangkah, jengeknya, “Hm, kau benar-benar rela meninggalkan kedudukanmu?”
Kenapa tidak?” jawab Thian-bun dengan gusar.

“Baik, boleh serahkan padaku!” kata Giok-ki-cu. Mendadak sebelah tangannya menjulur ke depan, tahu-tahu pedang pendek di tangan Thian-bun Tojin itu telah dirampas olehnya.

Sama sekali Thian-bun tidak mengira Giok-ki-cu benar-benar akan merampas pedangnya, ia menjadi tertegun oleh perbuatan Giok-ki-cu dan tahu-tahu pedangnya sudah berpindah ke tangan lawan. Tanpa berpikir lagi ia terus lolos pedang panjang di pinggangnya.

Namun dengan cepat Giok-ki-cu sudah lantas melompat mundur. Pada saat itu dua sosok bayangan lantas berkelebat, dua tosu tua lain telah mengadang di depan Thian-bun dengan pedang terhunus, bentak mereka berbareng, “Thian-bun, sebagai angkatan muda kau berani melawan angkatan tua, apakah kau sudah lupa pada undang-undang perguruan kita?”

Kedua tosu tua itu dikenal oleh Thian-bun sebagai paman-paman guru yang seangkatan dengan Giok-ki-cu, namanya Giok-seng-cu dan Giok-im-cu.

Tidak kepalang gusar Thian-bun Tojin sehingga badan bergemetar, teriaknya, “Kedua Susiok menyaksikan sendiri, apa... apakah yang diperbuat oleh Giok-ki... Giok-ki Susiok barusan ini?”

“Kami memang menyaksikan kau menyerahkan jabatan ciangbunjin kepada Giok-ki Suheng, kau sendiri rela mengundurkan diri dan memberikan tempatmu kepada orang yang lebih bijaksana, sungguh tindakanmu ini patut dipuji,” kata Giok-im-cu.

Giok-seng-cu ikut bicara juga, “Giok-ki Suheng adalah susiokmu, sekarang dia adalah pejabat ciangbunjin pula, tapi kau berani gunakan senjata dan bersikap keras padanya, ini namanya perbuatan durhaka terhadap orang tua.”

“Aku bicara di waktu marah, padahal kedudukan ketua Thay-san-pay kita masakah boleh diserahkan begini saja kepada setiap orang? Seumpama akan kuberikan pada orang lain juga sekali-kali tidak... tidak kepada Giok-ki,” seru Thian-bun dengan penasaran.

“Sebagai seorang kesatria, mengapa kau menjilat kembali ludahmu sendiri?” kata Giok-im-cu.

Tiba-tiba seorang tojin setengah umur di tengah rombongan orang Thay-san-pay berteriak, “Ketua golongan kita selama ini adalah suhuku, kalian beberapa susiokco ini sebenarnya hendak main gila apa?”

Tojin setengah umur ini bernama Kian-tu, dia adalah murid Thian-bun yang kedua.

Menyusul seorang tojin lain juga berdiri dan berseru, “Thian-bun Suheng telah menyerahkan jabatannya kepada guruku, peristiwa ini telah disaksikan beribu pasang mata dan telinga yang hadir di Ko-san sekarang ini, masakah persoalan ini bisa dipalsukan? Dengan jelas Thian-bun Suheng tadi menyatakan, ‘Sejak kini aku tidak menjabat ciangbunjin lagi, kalau kau kepingin boleh kau ambil saja!’. Coba katakan, betul tidak?”

Yang bicara ini adalah murid Giok-ki-cu, terhitung satu angkatan dengan Thian-bun Tojin. Dalam Thay-san-pay, Thian-bun Tojin adalah murid dari kelompok tertua, pengaruh kelompoknya adalah paling kuat, namun beberapa susioknya serentak bergabung untuk memencilkan dia, dengan demikian di antara dua ratusan anggota Thay-san-pay yang hadir di Ko-san ini adalah tiga per empat yang berdiri di pihak lawan.

Seketika itu orang-orang Thay-san-pay menjadi ribut, berpuluh orang sama berteriak-teriak, “Ketua lama undurkan diri, ketua baru pegang pimpinan! Ketua lama lekas mundur, biar ketua baru menggantikannya!”

Giok-ki-cu lantas mengangkat tinggi-tinggi pedang pandak yang dirampasnya dari Thian-bun tadi dan berteriak, “Ini adalah tanda kebesaran Tong-leng Cosuya kita, ‘melihat pedang ini sama dengan melihat Tong-leng’, pantas tidak kalau kita taat kepada perintah tinggalan cikal bakal kita?”

“Benar, tepat sekali ucapan Ciangbunjin!” serentak ratusan anak buahnya berteriak.

“Murid murtad Thian-bun berani melawan atasan dan tidak tunduk kepada peraturan, dia harus dibekuk dan dihukum,” demikian ada yang berseru.

Melihat suasana begitu, Lenghou Tiong menduga tentu Co Leng-tan yang telah mengatur semuanya itu. Watak Thian-bun Tojin sangat berangasan, karena tidak sabar, hanya beberapa kata-kata saja telah membuatnya masuk perangkap lawan. Kini pihak lawan lagi mendapat angin, Thian-bun bukanlah seorang yang pintar menghadapi kejadian-kejadian luar biasa, maka ia hanya bisa berjingkrak murka, tapi mati kutu, tak bisa berbuat apa-apa.

Ketika Lenghou Tiong memandang ke tengah orang-orang Hoa-san-pay, dilihatnya sang suhu berdiri di sana dengan berpangku tangan, air mukanya tidak memperlihatkan sesuatu pendapat. Pikirnya, “Tentu beliau tidak dapat menyetujui tindakan Giok-ki-cu dan kawan-kawannya itu. Namun suhu tampaknya tidak ingin ikut campur persoalan orang, agaknya beliau hendak melihat gelagat selanjutnya. Biarlah aku pun tunggu saja mengikuti haluan suhu.”

Dalam pada itu tampak Giok-ki-cu telah memberi isyarat, serentak 150-an orang Thay-san-pay yang termasuk begundalnya lantas memencarkan diri dengan pedang terhunus, seketika sisa orang Thay-san-pay yang lain–kurang-lebih 50 orang–lantas terkepung di tengah-tengah.

Yang terkepung itu dengan sendirinya adalah anak murid Thian-bun Tojin.

Dengan murka Thian-bun lantas membentak, “Apakah kalian benar-benar ingin berkelahi? Baiklah, coba maju!”

Dengan suara lantang Giok-ki-cu berteriak, “Dengarkan, Thian-bun! Selaku ketua Thay-san-pay, kuperintahkan agar kau membuang senjata dan menyerahkan diri, apakah kau berani membangkang terhadap pedang pusaka tinggalan Cosuya ini?”

“Huh, siapa yang mengakui kau sebagai ketua Thay-san-pay kita?” jawab Thian-bun dengan gusar.

Tapi Giok-ki-cu lantas berseru pula, “Dengarkan anak murid Thian-bun, urusan ini tiada sangkut pautnya dengan kalian, asalkan kalian meletakkan senjata dan menggabungkan diri, maka kesalahan kalian takkan diusut, kalau tidak, tentu kalian akan terima ganjaran setimpal.”

Dengan suara, keras Kian-tu Tojin berkata, “Asalkan kau mau bersumpah di bawah pedang pusaka Cosuya bahwa kau takkan menghancurkan Thay-san-pay yang dibangun Cosuya secara susah payah, maka tidaklah menjadi soal bila kau yang menjabat ketua kita. Namun baru sekejap saja kau mengaku menjabat ketua, serentak kau menjual Thay-san-pay kita kepada Ko-san-pay. Kau benar-benar orang berdosa terhadap Cosuya di alam baka, kau pasti akan dikutuk oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai anggota Thay-san-pay.”

“Kurang ajar!” damprat Giok-im-cu. “Kau cuma anak murid tingkat tiga, dengan hak apa kau berani mengoceh terhadap orang tua angkatan ‘Giok’. Apa jeleknya Ngo-gak-kiam-pay dilebur menjadi satu? Bukankah Ko-san-pay sendiri nanti juga terlebur di dalamnya?”

“Hm, secara diam-diam kalian telah main gila dan menjual diri kepada Co Leng-tan dalam usahanya mencaplok anggota-anggota Ngo-gak-kiam-pay yang lain,” teriak Thian-bun dengan gusar. “Hm, pendek kata, bila perlu kalian boleh bunuh aku, tapi suruh aku takluk kepada Ko-san-pay, hm, jangan harap.”

“Kalian tidak mau tunduk kepada perintah pedang pusaka Cosuya, janganlah menyesal bila sebentar nanti kalian semua akan mampus tak terkubur,” teriak Giok-ki.

Thian-bun ternyata pantang menyerah, serunya, “Setiap anak murid Thay-san-pay yang setia, hari ini biarlah kita bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan di puncak Ko-san ini.”

“Benar, bertempur sampai titik darah penghabisan!” teriak anak murid Thian-bun yang berdiri di sekitarnya. Meski jumlah mereka cuma sedikit, tapi tekad mereka bulat, sedikit pun tidak gentar.

Kalau Giok-ki-cu memberi komando agar anak buahnya menyerang, seketika rasanya sukar juga membunuh habis anak buah Thian-bun Tojin, sebaliknya beribu-ribu kesatria yang hadir di situ, terutama tokoh-tokoh seperti Hong-ting Taysu, Tiong-hi Tojin, dan lain-lain tentu juga tak bisa tinggal diam menyaksikan pembunuhan besar-besaran di antara sesama golongan itu.

Maka Giok-ki-cu, Giok-im-cu, dan Giok-seng-cu serta kawan-kawannya hanya saling pandang saja dengan ragu-ragu, seketika mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak.

Tiba-tiba jauh di sebelah kiri sana seorang berseru dengan kemalas-malasan, “Selama hidup Locu sudah menjelajahi dunia ini, kesatria dan pahlawan yang kukenal juga tak terhitung banyaknya, tapi babi yang suka menjilat kembali ludah sendiri artinya menyangkal apa yang diucapkan sendiri hanya dalam waktu singkat saja sungguh jarang kulihat.”

Pandangan semua orang beralih ke arah datangnya suara, terlihat seorang laki-laki berbaju dari kain kasar berdiri bersandar pada sepotong batu cadas, tangan kiri memegang sebuah caping, caping itu dikebas-kebaskan sebagai kipas, sepasang matanya kecil, tubuhnya jangkung, sikapnya acuh tak acuh.

Semua orang tidak kenal asal usulnya, juga tidak tahu ucapannya itu ditujukan kepada siapa. Terdengar si jangkung berkata pula, “Huh, sudah jelas kau telah menyerahkan jabatan ciangbunjin kepada orang lain, memangnya apa yang sudah kau katakan itu hanya kentut belaka? 
Kalau begini, sebaiknya salah satu namamu ‘Thian’ itu diganti menjadi ‘kentut’ saja.”

Mendengar ini, Giok-ki-cu dan lain-lain baru tahu si jangkung berdiri di pihaknya, maka tertawalah mereka.
Dengan gusar Thian-bun menjawab, “Urusan Thay-san-pay kami, tidak perlu orang lain ikut campur.”

Tapi si jangkung masih bicara dengan kemalas-malasan, “Setiap urusan yang kulihat tidak adil pasti akan aku urus. Hari ini adalah hari bahagia penggabungan Ngo-gak-kiam-pay, tapi kau sengaja bikin ribut di sini dan mengacaukan suasana baik ini, sungguh keterlaluan kau.”

Sekonyong-konyong pandangan semua orang serasa kabur, si jangkung mendadak melompat maju, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan dia terus menerjang ke tengah orang Thay-san-pay, capingnya terangkat ke atas, serentak ia menghantam ke atas kepala Thian-bun.
Thian-bun Tojin tidak menangkis serangan orang, tapi pedangnya membarengi menusuk ke dada musuh. Di luar dugaan orang itu terus menjatuhkan diri ke bawah, menyusul dengan cepat sekali ia terus menerobos lewat melalui selangkangan Thian-bun. Ketika ia membalik tubuh, sebelah kakinya lantas mendepak, “plak”, dengan tepat hiat-to di punggung Thian-bun Tojin kena ditendang olehnya.

Beberapa gerakan itu sungguh teramat cepat dan caranya juga lain daripada yang lain. Keruan semua orang melongo, dalam keadaan tak terduga-duga Thian-bun Tojin menjadi kecundang.

Melihat sang guru mengalami kekalahan, serentak beberapa murid Thian-bun mengangkat pedang dan menusuk si jangkung. Tapi orang itu bergelak tertawa malah, punggung Thian-bun dipegangnya terus disodorkan ke depan. Keruan anak murid Thian-bun kelabakan dan lekas-lekas tarik kembali pedang masing-masing.

“Lekas buang senjata kalian, kalau tidak, segera kupuntir putus kepala gurumu ini!” bentak si jangkung sambil menjambak rambut Thian-bun dan bergerak akan memuntir kepalanya.

Dalam keadaan begitu, percuma saja Thian-bun memiliki kepandaian tinggi, sama sekali ia tak bisa berkutik. Saking gusarnya sampai wajahnya merah padam.

“Caramu menyerang secara menggelap itu bukanlah perbuatan seorang kesatria sejati, siapakah namamu yang terhormat?” kata Kian-tu Tojin.

“Plak”, mendadak si jangkung menempeleng muka Thian-bun satu kali, katanya dengan kemalas-malasan, “Siapa berani bersikap kurang ajar padaku, segera kuhajar gurunya!”

Melihat sang guru dianiaya orang, anak murid Thian-bun sama khawatir dan murka, kalau serentak mereka menusuk dengan pedang masing-masing, bukan mustahil si jangkung seketika akan penuh tertancap pedang hingga mirip binatang landak. Namun terpaksa mereka tak berani sembarangan bertindak mengingat sang guru berada dalam genggaman musuh. Seorang anak muda berteriak, “Kau binatang....”

“Plok”, kembali Thian-bun ditempeleng oleh si jangkung. 
Katanya, “Itulah dia muridmu yang pintar mengucapkan kata-kata kotor!”

Pada saat itulah mendadak Thian-bun berteriak satu kali, darah segar terus menyembur keluar dari mulutnya. 
Si jangkung terkejut dan bermaksud melepaskan pegangannya, tapi sudah terlambat. Thian-bun sempat putar kepalanya sehingga keduanya sekarang muka berhadapan muka, sedangkan darah masih menyembur keluar dari mulut Thian-bun, keruan muka si jangkung tersembur sehingga basah kuyup. Pada saat yang sama Thian-bun terus mencekik leher lawan dengan kedua tangan, terdengar suara “krak” satu kali, tulang leher si jangkung telah dipatahkan mentah-mentah oleh Thian-bun. Ketika Thian-bun ayun tangannya, orang itu terlempar dan jatuh menggelepar, tampak berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi. Dasar tubuh Thian-bun memang tinggi besar, kini tambah gagah tampaknya, hanya mukanya penuh darah dan menyeramkan.

Selang sejenak, mendadak Thian-bun membentak keras, badan sempoyongan terus roboh, ternyata ia pun mengembuskan napas penghabisan.

Rupanya tadi ia kena dibekuk oleh si jangkung, ditambah lagi dianiaya dan dihina di depan orang banyak, saking gemasnya dia rela mengorbankan jiwa sendiri, sekuatnya ia mengerahkan tenaga dalam untuk membobolkan hiat-to sendiri yang tertutuk musuh sehingga dapat bergerak bebas, lalu sekuat sisa tenaga ia membinasakan musuh, sedangkan ia sendiri pun gugur bersama musuh karena urat nadi terputus lantaran getaran tenaga yang dipaksakan itu.

Serentak anak murid Thian-bun berteriak memanggil sang guru dan memburu maju, namun Thian-bun sudah tidak bernapas lagi, maka menangislah mereka dengan sedih.

Di tengah ribut-ribut itu, tiba-tiba ada orang berseru, “Co-ciangbun, kau sengaja menampilkan orang macam ‘Tong-hay-siang-ok’ untuk melayani Thian-bun Totiang, caramu ini tidakkah rada keterlaluan?”

Semua orang melihat yang bicara itu adalah seorang kakek berwajah buruk yang dikenal bernama sebagai Ho Sam-jit, sering kali kakek itu kelihatan menjual bakmi pangsit di berbagai kota besar, terutama di Kota Heng-san.

Tentang asal usul si jangkung yang dibinasakan Thian-bun Tojin itu tiada seorang pun yang tahu, tapi Ho Sam-jit mengatakan si jangkung adalah satu di antara “Tong-hay-siang-ok”, dua durjana dari lautan timur. Padahal macam apa tokoh-tokoh Tong-hay-siang-ok yang dimaksudkan juga tidak banyak yang tahu.

Maka Co Leng-tan telah menjawab, “Kata-katamu sungguh aneh dan menertawakan. Sedangkan Ki-heng yang gugur itu juga baru pertama kukenal hari ini, mengapa kau mengatakan aku sengaja menampilkan dia?”

Ho Sam-jit berkata pula, “Co-ciangbun mungkin belum lama kenal Tong-hay-siang-ok, tapi hubunganmu dengan guru Siang-ok, yaitu ‘Pek-pan-sat-sing’ tentunya lain daripada yang lain bukan?”

“Pek-pan-sat-sing” atau Bintang Maut Halus Polos yang disebut itu benar-benar menggemparkan para hadirin yang tahu apa artinya nama itu. Dalam permainan maciok atau mahyong ada kartu yang disebut pek-pan, yaitu yang mukanya putih halus tanpa sesuatu tanda. Menurut cerita orang tua, Pek-pan-sat-sing adalah seorang iblis mahajahat, suka makan anak kecil yang suka menangis, konon Pek-pan-sat-sing itu tidak punya hidung, hanya kelihatan lubang hidung saja, mukanya jadi rata polos sebagai kartu pek-pan dalam permainan maciok.

Lenghou Tiong masih ingat di waktu Gak Leng-sian masih kecil, di kala anak dara itu suka menangis, maka ibu gurunya sering menakut-nakutinya dengan menggunakan nama Pek-pan-sat-sing. Terkenang kepada kejadian di masa lampau itu, tanpa terasa Lenghou Tiong memandang ke arah Gak Leng-sian, dilihatnya sumoaynya itu sedang memandang jauh ke sana seperti lagi melamun, air mukanya tampak murung, agaknya ucapan Ho Sam-jit tentang Pek-pan-sat-sing tadi tidak diperhatikan olehnya, bisa jadi apa yang terjadi di masa lampau itu pun sudah terlupa semua.

Melihat sikap Leng-sian itu, Lenghou Tiong menjadi heran, pikirnya, “Siausumoay baru saja menikah dengan Lim-sute yang dicintainya itu, seharusnya dia merasa gembira dan bahagia, ada urusan apakah yang membikin hatinya murung? Jangan-jangan kedua suami istri baru itu telah bertengkar sendiri?”

Ia coba memandang Lim Peng-ci, pemuda itu tampak berdiri di sisi Leng-sian, air mukanya sangat aneh, seperti tertawa, tapi toh bukan tertawa, seperti lagi marah, tapi juga bukan marah. Kembali Lenghou Tiong terkejut, “Aneh, sikap macam apakah ini? Aku seperti sudah pernah melihat air muka seorang yang demikian ini?”

Tapi di mana pernah dilihatnya tak teringat olehnya.

Dalam pada itu terdengar Co Leng-tan lagi berkata, “Giok-ki Toheng, lebih dulu aku mengucapkan selamat kepadamu sebagai ketua Thay-san-pay baru. Lalu mengenai penggabungan Ngo-gak-kiam-pay seperti kuuraikan tadi, bagaimana dengan pendapat Toheng?”

Melihat Co Leng-tan menyimpangkan persoalan dan tidak menjawab pertanyaan Ho Sam-jit tadi, maka soal dia berhubungan baik dengan Pek-pan-sat-sing berarti telah diakuinya secara diam-diam.

Dengan mengacungkan pedang pandak, dengan berseri-seri Giok-ki-cu menjawab, “Soal peleburan Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, kuanggap cara ini hanya ada baiknya bagi kelima golongan kita dan tiada jeleknya sama sekali. Hanya manusia tamak yang mementingkan diri sendiri seperti Thian-bun saja yang tidak setuju, tapi setiap orang yang berpandangan jauh pasti akur. Co-bengcu, sebagai pejabat ketua Thay-san-pay, aku menyatakan bahwa Thay-san-pay kami dengan suara bulat menyetujui soal peleburan Ngo-gak-kiam-pay kita. Segenap anggota Thay-san-pay kami menyatakan taat di bawah pimpinanmu demi untuk perkembangan dan kejayaan Ngo-gak-pay, bila ada orang hendak merintangi peleburan ini dengan maksud jahat, maka Thay-san-pay kami yang pertama-tama akan menghadapinya.”

Menyusul beratus orang Thay-san-pay lantas bersorak menyatakan setuju, karena mereka berteriak serentak, suara mereka menjadi menggelegar berkumandang jauh. Anehnya teriakan mereka satu sama lain serupa dan berbarengan, tampaknya sebelumnya mereka sudah dilatih. Apalagi kalau melihat cara bicara Giok-ki-cu yang begitu hormat kepada Co Leng-tan, jelas sebelumnya mereka sudah bersekongkol dan pasti Giok-ki-cu telah banyak mendapat kebaikan dari Co Leng-tan.

Melihat gurunya mati secara mengenaskan, tapi keadaan gelagat tidak menguntungkan, anak murid Thian-bun Tojin terpaksa bungkam saja, hanya dalam hati mereka mencaci maki dan mengutuk, ada yang mengepal dengan geram dan bersumpah di dalam batin kelak pasti akan menuntut balas kepada Giok-ki-cu beserta begundal-begundalnya.

Maka terdengar Co Leng-tan berseru lagi, “Di antara Ngo-gak-kiam-pay kita kini sudah jelas Heng-san-pay dan Thay-san-pay telah menyatakan setuju penggabungan, tampaknya soal ini memang menjadi cita-cita orang banyak demi kebahagiaan bersama, maka Ko-san-pay kami dengan sendirinya juga mengikuti suara orang banyak dan siap meleburkan diri.”

Dalam hati Lenghou Tiong menjengek, “Hm, urusan ini hakikatnya adalah kau yang merencanakan sebagai biang keladi, tapi kau malah pura-pura mengikuti suara orang banyak dan berlagak tidak tahu.”

Terdengar Co Leng-tan berkata pula, “Di antara ngo-pay (kelima aliran) kini sudah ada tiga yang setuju bergabung, sekarang tinggal Hoa-san-pay dan Hing-san-pay saja, entah bagaimana pendapat kalian? Ketua Hing-san-pay yang dahulu, mendiang Ting-sian Suthay pernah beberapa kali berunding dengan Cayhe tentang penggabungan ini, beliau waktu itu juga sangat setuju, begitu pula Ting-cing dan Ting-yat Suthay juga akur.”

Sekonyong-konyong di tengah orang banyak suara seorang wanita yang nyaring berseru, “Co-ciangbun, ucapanmu ini tidak betul. Sebelum ciangbunjin dan kedua susiok kami wafat, beliau-beliau justru menentang keras soal penggabungan Ngo-gak-kiam-pay ini. Sebabnya beliau-beliau bertiga wafat berturut-turut justru karena mereka antipeleburan ini. Mengapa kau malah sengaja memaksakan pendirianmu atas beliau bertiga?”

Semua orang sama memandang ke arah orang yang bicara itu, ternyata adalah seorang anak dara cantik, yaitu murid Hing-san-pay yang bernama The Oh.

Bab 112. Siapa yang Berdiri di Belakang Tho-kok-lak-sian

Dengan lantang Co Leng-tan menjawab, “Guru kalian mempunyai pandangan jauh dan perhitungan mendalam, beliau adalah tokoh paling hebat dari Ngo-gak-kiam-pay kita, selamanya aku pun sangat kagum padanya. Cuma sayang beliau telah meninggal di Siau-lim-si tempo hari, kalau beliau masih hidup, maka ketua Ngo-gak-pay hari ini rasanya takkan diperebutkan lagi, cukup serahkan saja kepada Ting-sian Suthay.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Dahulu di waktu Cayhe berunding tentang penggabungan Ngo-gak-kiam-pay dengan Ting-sian Suthay bertiga, secara tegas Cayhe juga pernah menyatakan bilamana peleburan Ngo-gak-kiam-pay jadi dilaksanakan, maka jabatan ketua Ngo-gak-pay sudah pasti akan kuminta Ting-sian Suthay yang menjabatnya. Tatkala mana Ting-sian Suthay secara rendah hati telah menolak usulku, tapi setelah Cayhe menyarankan dengan sungguh-sungguh, akhirnya Ting-sian Suthay tidak menolak lagi. Tapi, ai, sungguh harus disesalkan, seorang kesatria wanita yang belum merampungkan darmabakti itu sudah mendahului meninggal di Siau-lim-si, sungguh membikin hati sedih dan gegetun.”

Berturut-turut ia dua kali menyebut Siau-lim-si, secara samar-samar ucapannya itu hendak mengingatkan orang bahwa kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay itu adalah perbuatan pihak Siau-lim-si, seumpama pembunuhnya bukan orang Siau-lim-pay, tapi tempat kejadian itu adalah tempat suci yang diagungkan dunia persilatan, namun pembunuh itu tetap berani melakukan kejahatannya, maka betapa pun pihak Siau-lim-pay harus ikut bertanggung jawab.

Tiba-tiba suara seorang serak kasar berteriak, “Ucapan Co-ciangbun kurang tepat. Dahulu Ting-sian Suthay pernah berkata padaku, katanya beliau justru mendukung engkau menjadi ketua Ngo-gak-pay.”

Co Leng-tan menjadi senang, ia coba memandang ke arah pembicara, dilihatnya orang itu berwajah buruk dan aneh, kepala kecil lancip, mata kecil seperti tikus, ternyata tidak dikenalnya. Tapi dari bajunya yang berwarna hitam dapat diketahui adalah orang Hing-san-pay. Di sebelahnya berdiri pula lima orang yang berwajah serupa, dandanan juga sama. Ia tidak tahu bahwa keenam orang itu adalah Tho-kok-lak-sian.

Meski senang dalam hati, tapi lahirnya Co Leng-tan pura-pura dingin saja, katanya, “Siapakah nama Saudara yang mulia ini? Meski dahulu Ting-sian Suthay memang pernah menyarankan demikian, tapi kalau Cayhe dibandingkan beliau boleh dikata jauh untuk bisa memadai.”

Yang baru bicara itu adalah Tho-kin-sian, dia berdehem satu kali, lalu menjawab, “Aku bernama Tho-kin-sian, kelima orang ini adalah saudara-saudaraku.”

“O, sudah lama kagum, sudah lama kagum!” ujar Co Leng-tan.

“Apa yang menjadikan kau kagum kepada kami?” tanya Tho-ki-sian. “Kagum terhadap ilmu silat kami atau kagum terhadap kecerdikan kami?”
Buset, kiranya orang dogol,” demikian Co Leng-tan membatin dalam hati. Tapi mengingat kata-kata Tho-kin-sian yang memujinya tadi, ia lantas menjawab, “Baik ilmu silat maupun kecerdikan kalian sudah lama kukagumi.”

“Ilmu silat kami sih tidak seberapa,” sela Tho-kan-sian. “Bila kami berenam maju sekaligus memang lebih tinggi sedikit daripada kau Co-bengcu, tapi kalau satu lawan satu harus diakui selisih rada jauh.”

“Namun kalau bicara tentang kecerdikan memang kami jauh lebih tinggi daripadamu,” sambung Tho-hoa-sian.

“Betulkah begitu?” jengek Co Leng-tan sambil mengerut kening.

“Sedikit pun tidak salah,” sahut Tho-hoa-sian. “Begitulah dikatakan oleh Ting-sian Suthay dahulu.”

“Ya, dahulu di waktu Ting-sian Suthay mengobrol dengan Ting-cing dan Ting-yat Suthay bila bicara tentang penggabungan Ngo-gak-kiam-pay, sering kali Ting-sian Suthay mengatakan bahwa orang yang paling tepat menjabat ketua Ngo-gak-pay adalah Co-bengcu dari Ko-san. Kau percaya tidak apa yang dikatakan Ting-sian Suthay?”

“Itu karena Ting-sian Suthay menghargai diriku, tapi aku sendiri tidak berani menerimanya,” ujar Co Leng-tan.

“Kau jangan senang dahulu,” kata Tho-kin-sian. “Sebab Ting-cing Suthay berpendapat lain, beliau mengatakan engkau Co-bengcu memang seorang kesatria, kalau dibandingkan para tokoh persilatan umumnya, memang termasuk pilihan yang baik bila engkau diangkat menjadi ketua Ngo-gak-pay, namun beliau anggap kau terlalu nafsu, terlalu mementingkan diri pribadi, berpikiran sempit, dada kurang lapang, bila kau jadi diangkat menjadi ketua, maka yang paling celaka tentulah anak murid Hing-san-pay yang terdiri dari kaum wanita semua ini.”

“Ya, maka Ting-sian Suthay lantas berkata bahwa untuk calon ketua yang bijaksana sudah tersedia enam kesatria sejati di sini,” sambung Tho-kan-sian. “Keenam kesatria ini tidak cuma tinggi dalam ilmu silat, bahkan pengetahuannya luas dan cerdik, mereka sangat cocok untuk diangkat menjadi ketua Ngo-gak-pay.”
Enam kesatria?” jengek Co Leng-tan. “Hm, mana keenam orang itu?”

“Aha, tak-lain tak-bukan ialah kami berenam saudara ini,” jawab Tho-hoa-sian.

Maka bergemuruhlah suara tertawa orang banyak oleh kata-kata Tho-hoa-sian itu. Sebagian besar para hadirin itu tidak kenal Tho-kok-lak-sian, tapi melihat wajah mereka yang aneh dan tingkah laku yang lucu, kata-katanya jenaka, malah sekarang mengaku punya kepandaian tinggi dan pengetahuan yang luas, tentu saja mereka merasa geli.

Begitulah Tho-ki-sian lantas ikut menyambung, “Dahulu ketika Ting-sian Suthay menyebut ‘keenam kesatria’, seketika Ting-cing dan Ting-yat Suthay teringat kepada kami berenam saudara, maka serentak mereka bersorak setuju. Eh, apa yang dikatakan Ting-yat Suthay ketika itu, apakah kau masih ingat, Saudaraku?”

“Sudah tentu aku masih ingat,” sahut Tho-sit-sian. “Di tengah sorak gembira ketiga tokoh itu, Ting-yat Suthay lantas berkata, ‘Tho-kok-lak-sian memang selisih sedikit kalau dibandingkan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-si, masih lebih rendah juga kalau dibandingkan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay. Tapi dibandingkan tokoh-tokoh Ngo-gak-kiam-pay pada umumnya boleh dikata tiada seorang pun yang mampu menandingi mereka. Betul tidak, kedua Suci?’

“Maka Ting-cing Suthay telah menjawab, ‘Sebenarnya bicara tentang ilmu silat dan pengetahuan sesungguhnya Ting-sian Suci masih di atas Tho-kok-lak-sian, cuma sayang kita adalah kaum wanita, untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay dan memimpin beribu-ribu pahlawan dan kesatria rasanya rada-rada repot. Maka dari itu, memang paling baik kita menyarankan Tho-kok-lak-sian saja yang menjadi ketua Ngo-gak-pay.’”

Semakin mendengar semakin geli Lenghou Tiong, ia tahu Tho-kok-lak-sian sengaja meledek Co Leng-tan dan mengacaukan pertemuan ini. Kalau Co Leng-tan berani mengarang ucapan orang-orang yang sudah mati, apa salahnya kalau Tho-kok-lak-sian juga membual sehingga Co Leng-tan mati kutu.

Soal penggabungan Ngo-gak-kiam-pay, di antara para hadirin itu kecuali anak buah Ko-san-pay beserta sebagian kecil orang-orang yang sudah berkomplot dengan Co Leng-tan, selebihnya boleh dikata tidak setuju. Ada tokoh-tokoh yang berpandangan jauh seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, mereka khawatir kalau kekuatan Co Leng-tan bertambah besar dan kelak tentu akan menimbulkan bencana bagi dunia Kangouw. Ada yang menyaksikan kematian Thian-bun Tojin tadi secara mengenaskan serta sikap Co Leng-tan yang garang, hal ini telah menimbulkan rasa benci dan memuakkan mereka. Sedangkan orang-orang seperti Lenghou Tiong dan anak murid Hing-san-pay, mereka menduga pasti Co Leng-tan yang membunuh Ting-sian Suthay bertiga, maka yang mereka cita-citakan adalah menuntut balas, dan dengan sendirinya mereka paling tegas memusuhi pihak Ko-san-pay. Maka dari itu mereka menjadi senang, bahkan banyak yang tertawa riuh melihat Co Leng-tan mati kutu menghadapi Tho-kok-lak-sian yang bicara secara lucu itu.

Maka terdengarlah suara seorang berseru, “Tho-kok-lak-sian, apa yang diucapkan Ting-sian Suthay bertiga itu, siapa lagi yang mendengarkan?” Agaknya pembicara ini adalah begundalnya Co Leng-tan.

Dengan tertawa Tho-kin-sian menjawab, “Berpuluh anak murid Hing-san-pay juga ikut mendengarkan. Betul tidak, Nona The?”

The Oh menahan rasa gelinya dan menjawab, “Betul! Co-ciangbun, kau sendiri bilang guruku menyetujui penggabungan Ngo-gak-kiam-pay, siapa lagi yang mendengar ucapan beliau ini? Wahai para suci dan sumoay dari Hing-san-pay, adakah di antara kalian pernah mendengar ucapan demikian dari suhuku?”
Tidak, tidak pernah dengar,” jawab berpuluh murid Hing-san-pay secara serentak. Bahkan ada yang berteriak, “Tentu Co-ciangbun sendiri yang mengarang cerita demikian.”

Seorang lagi menyambung, “Dibandingkan Co-ciangbun, suhu kami jelas lebih mendukung Tho-kok-lak-sian. Sebagai murid beliau masakah kami tidak tahu pikiran guru sendiri?”

Di tengah suara tertawa orang banyak, dengan suara keras Tho-ki-sian lantas berseru, “Nah, betul tidak kata-kata kami? Kami tidak berdusta bukan? Malahan kemudian Ting-sian Suthay berkata pula, ‘Setelah bergabung, yang menjabat ketua Ngo-gak-pay hanya satu orang saja, padahal Tho-kok-lak-sian terdiri dari enam orang, lalu siapa di antaranya yang harus diangkat?’

“Eh, Saudaraku, apa yang dijawab oleh Ting-cing Suthay waktu itu?”

“Beliau mengatakan... mengatakan, o ya, katanya, ‘Biar ngo-pay dilebur menjadi satu, tapi kelima gunung yang menjadi empat kedudukan kelima aliran itu toh tak bisa dikumpulkan menjadi satu, sedangkan Co Leng-tan juga bukan malaikat dewata, apa dia mampu memindahkan kelima gunung itu untuk dipersatukan? Maka dari itu Tho-kok-lak-sian diminta membagi lima orang untuk menduduki kelima pegunungan itu, sisanya seorang lagi adalah pemimpin pusat.’

“Lalu Ting-yat Suthay menanggapi, ‘Pendapat Suci memang benar. Rupanya ayah-bunda Tho-kok-lak-sian sudah tahu sebelumnya bahwa kelak Co Leng-tan akan melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, maka sengaja melahirkan mereka enam bersaudara. Kenapa tidak melahirkan lima orang atau tujuh orang, tapi bikin pas enam orang. Sungguh harus dikagumi kepandaian ayah-bunda Tho-kok-lak-sian itu.’”

Mendengar kata-kata jenaka ini, seketika bergemuruhlah suara tawa orang banyak.

Sebenarnya rencana Co Leng-tan dalam pertemuan ini akan dilaksanakan secara khidmat dan tertib agar disegani oleh para kesatria yang hadir, siapa duga mendadak muncul enam manusia dogol dan mengacaukan upacara yang diagungkan ini. Keruan gusar Co Leng-tan tak terlukiskan. Cuma sayang dia sendiri adalah tuan rumah sehingga terpaksa harus bersabar sedapat mungkin. Tapi di dalam batin ia mengutuk Tho-kok-lak-sian dan mengambil keputusan bila urusan penting sudah selesai, maka keenam keparat ini pasti akan dibinasakan olehnya.

Dalam pada itu Tho-sit-sian mendadak menangis keras-keras, teriaknya, “Wah, tidak bisa, tidak bisa jadi. Kami berenam saudara sejak keluar dari perut ibu selamanya tak pernah berpisah satu sama lain, bilamana sekarang kami masing-masing harus menjabat ketua dari kelima aliran sehingga terpaksa terpencar di lima tempat, ini takkan kulakukan, takkan kulakoni.”

Cara menangisnya begitu sungguh-sungguh, seakan-akan kedudukan mereka di lima gunung untuk menjabat ketua kelima aliran itu sudah ditetapkan dengan pasti, maka merasa tidak tega untuk berpisah dengan saudaranya.

Terdengar Tho-kan-sian lantas menanggapi, “Tak perlu Adik bersedih, kita berenam pasti takkan berpisah, kau tidak tega berpisah dengan para kakak-kakak, maka kakakmu ini pun tidak tega berpisah dengan adikku. Maka jalan paling baik supaya kita tidak diangkat menjadi pemimpin kelima gunung yang terpisah jauh satu sama lain itu, terpaksa kita harus menyatakan antipenggabungan Ngo-gak-kiam-pay ini.”

“Ya, seumpama benar harus dilebur juga perlu tunggu sampai nanti di tengah Ngo-gak-kiam-pay sudah muncul seorang pahlawan sejati, seorang kesatria tulen yang lebih berwibawa daripada kita berenam, yang cocok untuk memimpin Ngo-gak-pay, dengan begitulah baru kita dapat menyetujui penggabungan ini.”

Melihat keenam orang itu masih terus mengoceh tak keruan, Co Leng-tan pikir harus ambil tindakan tegas dan tepat untuk mengatasi keadaan, maka segera ia berteriak, “Sesungguhnya ketua Hing-san-pay dijabat kalian berenam kesatria ini ataukah masih ada orang lain lagi? Apakah urusan Hing-san-pay telah dikuasakan kepada kalian?”

“Kalau kami berenam kesatria besar ini mau menjabat ketua Hing-san-pay sebenarnya bukan soal,” jawab Tho-ki-sian. “Tapi mengingat ketua Ko-san-pay adalah engkau ini, bila kami menjadi ketua Hing-san-pay, itu akan berarti kami harus berdiri sama tinggi dan berduduk sama rendah dengan orang she Co seperti kau, untuk ini, hehe, hehe....”

“Berdiri sama tinggi dengan dia sudah tentu akan sangat merosotkan derajat kami berenam, sebab itulah ketua Hing-san-pay terpaksa kami serahkan kepada Lenghou-kongcu untuk menjabatnya,” sambung Tho-hoa-sian.

Sungguh tidak kepalang rasa murka Co Leng-tan, dengan dingin ia berkata kepada Lenghou Tiong, “Lenghou-kongcu, engkau adalah ketua Hing-san-pay, kenapa kau tidak dapat mengajar mereka dan membiarkan dia mengoceh tak keruan di depan para kesatria, kan membikin malu saja?”

“Keenam saudara ini bicara secara kekanak-kanakan tanpa tedeng aling-aling, tapi sesungguhnya mereka bukan manusia yang suka mengarang kata-kata ngawur dan omongan dusta,” jawab Lenghou Tiong. “Mereka hanya menguraikan kembali apa yang pernah diucapkan mendiang ketua kami Ting-sian Suthay, sudah tentu jauh lebih dapat dipercaya daripada orang luar yang suka ngaco-belo tanpa dasar.”

“Hm, jadi penggabungan Ngo-gak-kiam-pay sekarang hanya Hing-san-pay kalian yang mempunyai pendirian berbeda?” jengek Co Leng-tan.

“Hing-san-pay sih tiada pendirian yang tersendiri. Gak-siansing, ketua Hoa-san-pay adalah guruku yang berbudi yang pertama mengajarkan kepandaian padaku, meski Cayhe sekarang telah masuk di aliran lain, tapi tak berani melupakan ajaran-ajaran guruku di masa lampau.”

“Jika demikian, jadi kau masih tetap tunduk kepada apa yang dikatakan Gak-siansing dari Hoa-san?” Co Leng-tan menegas.
Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Hing-san-pay kami dan Hoa-san-pay tetap bahu-membahu dan gotong royong satu hati.”

Co Leng-tan lantas berpaling ke arah Hoa-san-pay dan berseru, “Gak-siansing, Lenghou-ciangbun ternyata tidak melupakan budi kebaikanmu terhadapnya di masa lampau, sungguh aku ikut gembira dan bahagia bagimu. Dalam hal penggabungan Ngo-gak-kiam-pay ini apakah engkau pro atau anti, yang jelas Lenghou-ciangbun telah menyatakan akan mengikuti haluanmu. Lantas bagaimana dengan pendirianmu?”

“Terima kasih atas pertanyaan Co-bengcu ini,” jawab Gak Put-kun dengan tenang-tenang. “Mengenai urusan penggabungan ini Cayhe memang pernah mempertimbangkannya secara masak-masak, tapi untuk mengambil suatu keputusan yang sempurna, sungguh tidaklah gampang.”

Seketika perhatian semua orang beralih atas diri Gak Put-kun. Sebagian besar di antara hadirin itu berpikir, “Heng-san-pay sudah lemah kekuatannya, Thay-san-pay terpecah belah sehingga tidak mampu menandingi Ko-san-pay, kalau sekarang Hoa-san-pay berdiri satu pihak dengan Hing-san-pay tentu akan sanggup menandingi Ko-san-pay.”

Terdengar Gak Put-kun berkata pula, “Selama sejarah Hoa-san-pay kami pernah terjadi pertentangan antara Kiam-cong dan Khi-cong. Banyak di antara locianpwe yang hadir tentu masih ingat. Maka kalau teringat kepada pertentangan di antara orang sendiri secara kejam di masa lalu itu, sungguh sampai sekarang Cayhe masih merasa ngeri....”

Lenghou Tiong menjadi heran mengapa Gak Put-kun hari ini mencerocos tentang urusan dalam Hoa-san-pay yang biasanya tidak suka diceritakannya kepada orang luar, sebab pertentangan Khi-cong dan Kiam-cong sesama Hoa-san-pay itu betapa pun memalukan bila diketahui orang.

Dalam pada itu terdengar Gak Put-kun melanjutkan kata-katanya dengan suara yang melengking nyaring berkumandang jauh, diam-diam Lenghou Tiong pikir sang guru ternyata sudah mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari ilmu “Ci-he-sin-kang” yang dilatihnya itu.

Terdengar Gak Put-kun lagi berkata, “Sebab itulah Cayhe merasa di antara berbagai golongan dan aliran persilatan kita ini daripada terpecah belah adalah lebih baik tergabung menjadi satu. Selama beratus-ratus, bahkan beribu-ribu tahun entah sudah betapa banyak para kawan bu-lim yang telah menjadi korban bunuh-membunuh, semuanya itu adalah karena gara-gara perbedaan paham, perselisihan golongan. Cayhe sering kali berpikir, bilamana dunia persilatan kita tiada perbedaan golongan dan perguruan, semua orang adalah anggota satu keluarga besar saja, satu sama lain laksana saudara sekandung, maka dapat dipastikan setiap percekcokan dan pertumpahan darah tentu akan dapat dikurangi.”
Pada umumnya orang persilatan memang sering mengalami nasib mati pada usia muda dan meninggalkan anak istri yang merana. Maka kata-kata Gak Put-kun sebenarnya tepat mengenai lubuk hati sebagian besar di antara hadirin. Tidak heran kalau banyak di antaranya sama manggut-manggut dan ada yang memuji keluhuran budi Gak Put-kun sesuai dengan julukannya, yaitu “Kun-cu-kiam”, Si Pedang Kesatria Sejati.

Begitulah Gak Put-kun melanjutkan pula, “Namun karena perbedaan di antara sumber ilmu silat yang diyakinkan masing-masing aliran, cara berlatihnya juga berlainan, maka untuk mempersatukan orang-orang persilatan sehingga tanpa membedakan golongan dan aliran, sungguh bukan persoalan yang mudah.”

“Siancay! Siancay!” Hong-ting Taysu bersabda. “Kata-kata Gak-siansing ini benar-benar mahabijaksana. Bilamana setiap orang persilatan mempunyai jalan pikiran seperti Gak-siansing, maka kekacauan dunia ini tentu akan hilang sirna tanpa bekas.”

“Ah, Taysu terlalu memuji,” kata Gak Put-kun. “Sedikit pendapat Cayhe yang dangkal ini tentunya sebelumnya sudah menjadi buah pikiran para padri sakti turun-temurun dari Siau-lim-pay. Sebenarnya dengan nama dan pengaruh Siau-lim-si, asalkan mau tampil ke muka dan menyerukan persatuan, maka setiap orang yang berpandangan jauh tentu akan setuju dan pasti akan banyak manfaatnya selama ratusan tahun terakhir ini. Namun sampai sekarang di antara berbagai golongan dan aliran masih terus bertentangan satu sama lain baik secara terang-terangan maupun secara gelap-gelapan sehingga banyak mengorbankan jiwa dan harta. Bahwasanya selama ini banyak di antara tokoh bijaksana telah menyelami betapa besar bencana yang ditimbulkan karena perbedaan golongan dan aliran, lalu mengapa kita tidak bertekad untuk melenyapkannya? Cayhe benar-benar bingung, sudah sekian lamanya Cayhe merenungkan persoalan ini, baru beberapa hari yang lalu Cayhe sadar dan memahami di mana letaknya kunci untuk memecahkan persoalan ini. Karena urusan ini menyangkut nasib setiap kawan persilatan, Cayhe tidak berani merahasiakan hasil pemikiranku ini, maka ingin kukemukakan di sini dan minta pertimbangan para hadirin.”

“Silakan bicara, silakan bicara,” seru orang banyak. “Pendapat Gak-siansing pasti sangat bagus!”

Setelah suasana rada tenang kembali barulah Gak Put-kun bicara pula, “Setelah Cayhe merenungkan secara mendalam, akhirnya kuketemukan titik persoalannya. Rupanya penyakit kegagalan daripada usaha penghapusan perbedaan golongan dan aliran ini sering kali disebabkan usaha yang terburu nafsu. Maklumlah, golongan dan aliran persilatan kita berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus banyaknya, setiap golongan juga sudah bersejarah sekian lamanya, kalau sekaligus hendak melenyapkan sejarah golongan masing-masing boleh dikatakan mahasulit.”

“Jika demikian, jadi menurut pendapat Gak-siansing adalah tidak mungkin untuk menghapuskan perbedaan golongan dan aliran? Jika betul demikian bukankah pendapat Gak-siansing ini sangat mengecewakan harapan orang?” ujar Co Leng-tan.
Walaupun mahasukar, tapi bukannya sama sekali tidak dapat,” jawab Gak Put-kun. “Barusan Cayhe menyatakan bahwa titik penyakitnya terletak pada usaha yang terburu nafsu ingin cepat, malah macet. Jadi caranya yang harus diubah, asalkan haluannya berubah, lalu dihadapi bersama dengan segenap tenaga oleh para kawan, apakah usaha ini akan berjalan sampai 50 tahun ataupun 100 tahun, tapi akhirnya pasti jadi.”

“Wah, perlu 50 tahun atau 100 tahun, kan para pahlawan dan kesatria yang hadir sekarang ini hampir semuanya sudah masuk kubur?” ujar Co Leng-tan.

“Kaum kita hanya perlu berusaha sepenuh tenaga, soal akan berhasil atau tidak dari usaha kita bukan soal,” kata Gak Put-kun. “Ini namanya leluhur tanam pohonnya dan keturunan memetik buahnya. Kita hanya tanam pohon saja, biarlah anak cucu kita yang menerima buahnya, hal demikian kan perbuatan luhur? Pula, usaha jangka panjang 50 atau 100 tahun adalah secara keseluruhannya, kalau cuma sedikit hasil saja mungkin dalam waktu delapan atau 10 tahun juga sudah tampak nyata.”

“Dalam sepuluh atau delapan tahun sudah akan tampak hasil nyata walaupun hanya bagian kecil, ini sungguh sangat bagus. 
Tapi entah cara bagaimana kita harus berusaha bersama?” tanya Co Leng-tan.

Gak Put-kun tersenyum, jawabnya, “Seperti apa yang dilakukan Co-bengcu sekarang adalah perbuatan baik yang bermanfaat bagi kaum persilatan umumnya. Bahwasanya sekaligus kita hendak menghapus perbedaan pandangan di antara berbagai golongan dan aliran boleh dikata sukar terlaksana, tapi kalau diusahakan agar golongan-golongan yang tempatnya berdekatan, yang ilmu silatnya mendekati sejenis atau yang mempunyai hubungan lebih rapat, lalu di antara mereka diadakan peleburan sebisanya, maka dalam waktu tidak terlalu lama perbedaan golongan dan aliran di dunia persilatan kita, tentu akan berkurang sebagian besar. Seperti halnya peleburan di antara Ngo-gak-kiam-pay kita adalah suatu bukti nyata bagi golongan-golongan lain.”

Ucapan terakhir Gak Put-kun ini seketika membikin para hadirin menjadi gempar, banyak yang berteriak, “O, kiranya Hoa-san-pay juga setuju penggabungan Ngo-gak-kiam-pay.”

Lenghou Tiong juga sangat terkejut, pikirnya, “Tak terduga suhu duga menyetujui penggabungan, padahal aku sudah menyatakan akan ikut haluan suhu, apakah aku mesti menarik kembali ucapanku?”

Dengan cemas ia coba memandang ke arah Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, dilihatnya kedua tokoh itu sama menggeleng padanya dengan wajah yang rada lesu.

Maka terdengar Co Leng-tan berkata, “Sebenarnya maksud Ko-san-pay menghendaki penggabungan hanya demi kepentingan kita bersama, sebab kalau bergabung jelas kekuatan menjadi besar, sebaliknya kalau bercerai tenaga menjadi lemah. Tapi dari uraian Gak-siansing tadi ternyata penggabungan Ngo-gak-kiam-pay kita masih dapat mendatangkan manfaat-manfaat begitu besar, sungguh aku menjadi seperti pintar mendadak.”

Lalu Gak Put-kun berkata pula, “Sesudah kita bergabung, bila kita ingin memperbesar pengaruh, lalu mengadu kekuatan dengan golongan lain, maka akibatnya hanya menimbulkan bencana di dunia persilatan. 
Sebab itu asas tujuan peleburan kita ini harus mengutamakan ‘hindarkan pertentangan dan akhiri permusuhan’. Menurut dugaanku banyak di antara kawan persilatan tentu khawatir penggabungan kita ini pasti akan merugikan pihak lain, dalam hal ini aku dapat menyatakan supaya kawan-kawan ini janganlah khawatir.”

Banyak di antara hadirin menjadi lega mendengar jaminan Gak Put-kun itu, tapi ada juga yang masih ragu-ragu dan kurang percaya.

“Jika demikian, jadi Hoa-san-pay jelas juga setuju penggabungan?” tanya Co Leng-tan.

“Benar,” jawab Gak Put-kun. Ia merandek sejenak, lalu katanya sambil memandang ke arah Lenghou Tiong, “Lenghou-ciangbun dari Hing-san-pay dahulu pernah berada di Hoa-san, Cayhe pernah mempunyai hubungan guru murid selama 20-an tahun dengan dia. Sejak dia meninggalkan Hoa-san-pay, syukur selama ini dia masih ingat akan hubungan baik di masa silam dan tetap mengharapkan agar Cayhe dapat kumpul bersama lagi dengan dia dalam suatu aliran yang sama. Dalam hal ini tadi Cayhe sudah menyanggupi dia bahwa untuk kumpul kembali di dalam suatu aliran bukanlah soal sulit.”

Bicara sampai di sini, wajahnya menampilkan senyuman manis.

Lenghou Tiong tergetar dan sadar seketika, kiranya kesanggupan sang guru akan menerimanya kembali sebagai murid bukanlah kembali ke dalam Hoa-san-pay, tapi masuk ke dalam Ngo-gak-pay sesudah kelima golongan dilebur menjadi satu, rasanya hal ini toh tidak jelek. Apalagi tadi suhu telah menyatakan sesudah dilebur menjadi satu, maka asas tujuannya adalah menghindari pertentangan dan mengakhiri permusuhan. Kalau nanti Hoa-san-pay, Hing-san-pay ditambah dengan Heng-san-pay berdiri di satu pihak, ini berarti akan lebih besar pengaruhnya daripada Ko-san-pay dan Thay-san-pay sehingga asas yang dikemukakan suhu ini dapatlah dijalankan.

Selagi Lenghou Tiong dibuai oleh pikirannya sendiri, terdengar Co Leng-tan lagi berkata, “Syukurlah bahwa Gak-siansing dan Lenghou-ciangbun sejak kini telah dapat berkumpul kembali dalam suatu keluarga besar. Terimalah ucapan selamat dariku!”

Menyusul banyak di antara hadirin juga bersorak menyatakan syukur.
Tapi mendadak Tho-ki-sian berteriak, “Tidak, urusan ini tidak baik, sangat tidak baik.”

“Kenapa tidak baik?” tanya Tho-kan-sian.

“Jabatan ketua Hing-san-pay bukankah tadinya adalah hak kita berenam saudara?” tanya Tho-ki-sian.

“Betul!” serentak Tho-kan-sian berlima menjawab.

“Tapi lantaran kita sungkan menjadi ketua segala, makanya kita serahkan jabatan itu kepada Lenghou Tiong dengan suatu syarat bahwa dia harus membalaskan sakit hati kematian Ting-sian Suthay bertiga, betul tidak? Dan kalau tidak melaksanakan tugasnya itu berarti jabatannya sebagai ketua menjadi batal, betul tidak?”

Begitulah setiap kali Tho-ki-sian bertanya, serentak Tho-kan-sian berlima mengiakan pula setiap kali.

“Namun pembunuh Ting-sian Suthay bertiga jelas berada di tengah Ngo-gak-pay juga,” kata Tho-ki-sian pula. “Maka menurut pendapatku, besar kemungkinan pembunuh itu she Co kalau tidak she Ci, atau bisa jadi she Cuci. Bilamana Lenghou Tiong jadi masuk Ngo-gak-pay, itu berarti dia akan menjadi saudara seperguruan dengan manusia jahanam she Co atau she Ci atau Cuci dan itu berarti pula dia tak mampu membalaskan sakit hati Ting-sian Suthay bertiga.”

“Benar, sedikit pun tidak salah,” seru Tho-kok-ngo-sian.

Alangkah gusarnya Co Leng-tan, pikirnya, “Keparat, kalian berenam berani menghina aku di depan umum, bila kalian dibiarkan hidup lebih lama tentu banyak ocehan-ocehan tidak senonoh yang akan kalian lontarkan terhadapku.”

Dalam pada itu Tho-kin-sian sedang berkata, “Kalau Lenghou Tiong tidak membalaskan sakit hati Ting-sian Suthay berarti dia batal menjadi ketua Hing-san-pay, bukan? Dan kalau dia batal menjadi ketua Hing-san-pay berarti dia tidak kuasa lagi mengurusi kepentingan Hing-san-pay, bukan? Dan kalau dia tidak kuasa lagi berarti tidak boleh bicara atas nama Hing-san-pay dalam soal penggabungan ini, bukan?”
Setiap kali ia tanya, setiap kali pula Tho-kok-ngo-sian yang lain mengiakan.

Kini Tho-sit-sian yang bicara, “Tapi lowongan ketua tidak boleh selalu kosong, bila Lenghou Tiong tidak menjadi ketua Hing-san-pay, sepantasnya diangkat orang lain yang lebih sesuai, bukan? Adapun calon ketua yang punya ilmu silat tinggi dan pengetahuan luas sudah sejak dulu dinilai oleh Ting-sian Suthay, bukan?”

“Benar!” jawab Tho-kok-ngo-sian. Semakin keras yang bertanya, semakin nyaring pula suara kelima orang yang menjawab.

Lantaran merasa lucu, pula maksud Tho-kok-lak-sian itu jelas sengaja main gila terhadap Ko-san-pay, maka sebagian di antara hadirin itu ikut senang, malahan ada di antaranya lantas ikut-ikutan bersuara, setiap kali Tho-kok-lak-sian bertanya jawab, berpuluh orang hadirin juga ikut-ikut mengiakan.

Ketika Gak Put-kun setuju penggabungan Ngo-gak-kiam-pay tadi, diam-diam Lenghou Tiong merasa cemas dan bingung, sekarang demi mendengar ocehan Tho-kok-lak-sian yang tak keruan itu, dalam hati kecilnya timbul rasa senang seakan-akan keenam orang dogol itu telah menyelesaikan soal sulit baginya. Tapi setelah mengikuti terus ocehan Tho-kok-lak-sian itu, kemudian ia menjadi terheran-heran, sebab sekarang apa yang diucapkan seakan-akan sangat teratur, satu sama lain seperti telah disiapkan, sama sekali berbeda daripada kebiasaan mereka, sungguh perubahan yang aneh. 
Apa barangkali di belakang mereka ada orang pandai yang memberi petunjuk? Demikian pikir Lenghou Tiong.

Sementara itu Tho-hoa-sian lagi berkata, “Bahwasanya di dalam Hing-san-pay ada enam kesatria yang berilmu silat tinggi dan berpengetahuan luas, siapakah mereka berenam, kalian kan bukan orang bodoh, tentu sudah tahu, bukan?”

Beratus hadirin serentak mengiakan dengan tertawa.

“Siapa keenam kesatria besar itu? Coba katakan!” seru Tho-hoa-sian.

“Siapa lagi kalau bukan kalian Tho-kok-lak-sian!” teriak beratus orang dengan suara riuh.

“Itu dia! Dengan demikian, jadi jabatan ketua Hing-san-pay terpaksa kami berenam menerimanya untuk melaksanakan tugas yang suci sesuai dengan harapan orang banyak, cocok dengan pilihan umum, sesuai dengan kehendak bapak mertua, dan... dan....”

Karena kata-katanya yang melantur, para hadirin sampai terpingkal-pingkal saking geli. Sebaliknya orang-orang Ko-san-pay sangat mendongkol, banyak di antaranya lantas membentak, “Persetan! Kalian berenam keparat ini sengaja mengacau apa di sini? Lekas enyah semua dari sini!”

“Aneh bin heran!” jawab Tho-ki-sian. “Kalian Ko-san-pay dengan segala daya upaya berusaha hendak melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, sekarang kami para kesatria Hing-san-pay telah sudi berkunjung ke Ko-san sini, tapi kalian malah mengusir kami pergi dari sini. Bila kami berenam kesatria besar ini angkat kaki dari sini, segera para kesatria kecil, para pahlawan betina Hing-san-pay yang lain juga akan ikut pergi dari sini, lalu soal penggabungan Ngo-gak-pay kalian itu akan macet setengah jalan, akan mati dalam kandungan dan... dan... gugur. Nah, baiklah, para kawan Hing-san-pay, karena kita sudah tidak diperlukan lagi, marilah kita pergi dari sini, biarkan mereka mengadakan peleburan si-pay (empat aliran) saja. Kalau Co Leng-tan kepingin menjadi ketua Si-gak-pay biarkan saja, kita Hing-san-pay tidak sudi ikut campur.”

Dasar Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, dan lain-lain sudah teramat benci kepada Co Leng-tan, demi mendengar ajakan Tho-ki-sian itu, serentak mereka mengiakan, seru mereka, “Benar, hayolah kita pergi dari sini!”

Keruan Co Leng-tan berbalik kelabakan, ia pikir kalau Hing-san-pay pergi, itu berarti Ngo-gak-pay akan tinggal Si-gak-pay. Padahal sejak dahulu kala di dunia ini telah kenal ngo-gak, tidak pernah kenal si-gak segala. Jika si-gak bergabung dan aku menjadi ketua Si-gak-pay, rasanya juga tidak gemilang, sebaliknya malah akan ditertawai oleh orang-orang persilatan.

Bab 113. Perdebatan yang Bertele-tele

Lantaran berpikir demikian, cepat Co Leng-tan berseru, “Nanti dulu, para kawan Hing-san-pay, ada persoalan apa biarlah kita berunding secara baik-baik, kenapa mesti terburu nafsu?”

“Adalah begundalmu yang mengusir kami dan bukan kami sendiri yang mau pergi dari sini,” jawab Tho-kin-sian dengan mencibir.

Co Leng-tan mendengus satu kali tanpa menanggapi, sebaliknya ia berkata terhadap Lenghou Tiong, “Lenghou-ciangbun, orang persilatan kita paling mengutamakan pegang janji. Tadi kau sudah menyatakan akan mengikuti haluan Gak-siansing, tentunya kau akan pegang teguh ucapanmu ini.”

Lenghou Tiong coba memandang Gak Put-kun, dilihatnya sang guru sedang manggut-manggut padanya dengan sikap simpatik dan sangat mengharapkan. Sebaliknya ketika ia memandang ke arah Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, kedua tokoh itu tampak menggeleng-geleng kepala.

Di tengah kebimbangan itu, terdengar Gak Put-kun berkata, “Anak Tiong, hubungan kita seperti ayah dan anak, ibu-gurumu juga cukup baik padamu, apakah kau tidak ingin berhubungan baik lagi dengan kami seperti dahulu?”

Seketika Lenghou Tiong mencucurkan air mata terharu, tanpa pikir lagi ia lantas berseru, “Suhu dan Sunio, memang itulah yang kuharap-harapkan. 
Bila kalian setuju penggabungan, maka Anak hanya menurut saja, lain tidak.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Namun, bagaimana pula dengan sakit hati ketiga Suthay....”

“Kau jangan khawatir,” kata Gak Put-kun dengan lantang. “Hal tewasnya Ting-sian Suthay bertiga memang harus disesalkan oleh setiap kawan persilatan kita. Selanjutnya sesudah kelima golongan kita tergabung, maka urusan Hing-san-pay tentu termasuk juga urusanku. Tugas utama kita sekarang tiada lain mencari tahu siapakah pembunuhnya, lalu dengan tenaga gabungan ngo-pay kita serta minta bantuan para kawan bu-lim yang hadir sekarang, biarpun si pembunuh punya kepandaian setinggi langit juga akan kita cincang sampai hancur lebur. Anak Tiong, maka kukatakan lagi janganlah kau khawatir, sekalipun pembunuhnya adalah tokoh tertinggi dari Ngo-gak-pay kita juga takkan kita ampuni.”

Kata-kata Gak Put-kun itu diucapkan dengan gagah dan tegas, serentak anak murid Hing-san-pay sama bersorak memuji. Gi-ho lantas berseru, “Ucapan Gak-siansing memang betul. Bila engkau dapat tampil ke muka untuk membalaskan sakit hati ketiga Suthay kami, maka segenap keluarga Hing-san-pay sungguh merasa sangat berterima kasih.”

“Soal ini kujamin, dalam tiga tahun bilamana tidak mampu membalaskan sakit hati ketiga Suthay, biarlah nanti kawan bu-lim boleh anggap aku sebagai manusia rendah, orang yang tidak tahu malu,” seru Gak Put-kun.

Ucapan ini semakin menimbulkan rasa senang anak murid Hing-san-pay, mereka bersorak gembira, banyak dari kawan-kawan golongan lain juga ikut bertepuk tangan dan memuji.

Menyaksikan itu, Lenghou Tiong berpikir, “Meski aku bertekad menuntut balas bagi ketiga Suthay, tapi susah rasanya memakai batas waktu. Biarpun orang banyak mencurigai Co Leng-tan sebagai pembunuhnya, tapi cara bagaimana membuktikannya? Seumpama dia dapat dibekuk dan ditanyai, apakah dia mau mengaku terus terang? Tapi mengapa Suhu berbicara secara begitu tegas dan pasti? Ya, tentu beliau sudah tahu pasti siapa pembunuhnya dengan bukti-bukti nyata, makanya di dalam tiga tahun Suhu yakin akan dapat membereskannya.”

Kalau semula dia mengkhawatirkan anak murid Hing-san-pay menentang pendiriannya yang mengikuti haluan Gak Put-kun, sekarang demi melihat mereka bersorak gembira, maka legalah hatinya, segera ia berseru, “Baik sekali jika demikian. Guruku Gak-siansing sudah menyatakan, asal sudah diselidiki dan jelas siapa pembunuh ketiga Suthay, sekalipun pembunuh itu adalah tokoh tertinggi Ngo-gak-pay juga takkan diampuni. Nah, Co-ciangbun, engkau setujui atas ucapan ini tidak?”

Dengan nada dingin Co Leng-tan menjawab, “Ucapan ini kan sangat tepat, mengapa aku tidak setuju?”

“Bagus,” seru Lenghou Tiong. “Nah, para kesatria yang hadir di sini telah mendengar semua, bilamana biang keladi pembunuh ketiga Suthay nanti telah diketahui, tak peduli siapakah dia dan apa kedudukannya, maka setiap orang berhak untuk membinasakan dia.”

Serentak sebagian besar di antara hadirin bersorak menyatakan akur.

Setelah suara ramai itu rada mereda, lalu Co Leng-tan berseru, “Nah, jadi sudah jelas Ngo-gak-kiam-pay kita seluruhnya sudah setuju bergabung menjadi satu, maka sejak kini di dunia persilatan takkan muncul pula nama Ngo-gak-kiam-pay, yang ada ialah Ngo-gak-pay. Dengan demikian segenap anggota kelima golongan kita dengan sendirinya juga menjadi anak murid atau anggota Ngo-gak-pay.” (Ngo-gak = lima gunung. Yakni gunung sebelah timur Thay-san, sebelah barat Hoa-san, sebelah utara Hing-san, sebelah selatan Heng-san dan gunung bagian tengah Ko-san.)

Habis berkata, ketika ia angkat sebelah tangannya, serentak terdengarlah suara riuh gemuruh petasan bergema di angkasa pegunungan Ko-san sebagai tanda merayakan berdirinya “Ngo-gak-pay” secara resmi.

Menghadapi suasana ramai itu, para kesatria saling pandang dengan tersenyum, mereka sama bersyukur bahwa penggabungan Ngo-gak-kiam-pay dapat berjalan dengan lancar, kalau tidak tentu akan terjadi banjir darah di puncak Ko-san ini.

Begitulah di puncak gunung sunyi itu seketika bertebaran dengan remukan kertas, asap mengepul memenuhi udara, suara petasan makin lama makin riuh sehingga bicara berhadapan tak terdengar. Selang agak lama barulah suara petasan mulai mereda.

Lalu di antara hadirin ada yang menghampiri Co Leng-tan untuk mengucapkan selamat, tampaknya orang-orang ini adalah undangan Ko-san-pay sendiri, karena melihat penggabungan Ngo-gak-kiam-pay terang akan jadi, pengaruh Co Leng-tan juga tambah besar, maka mereka mendahului memberi puji sanjung kepada tuan rumah.

Tiada henti-hentinya Co Leng-tan mengucapkan kata-kata rendah hati, namun tidak urung air mukanya yang biasanya dingin kaku itu menampilkan senyuman kepuasan.

Tiba-tiba terdengar Tho-kin-sian berseru, “Karena penggabungan Ngo-gak-kiam-pay menjadi Ngo-gak-pay sudah jadi, maka kami Tho-kok-lak-sian terpaksa ikut mendukungnya, ini namanya menurut arah angin.”

Co Leng-tan membatin, “Sejak keenam keparat ini datang ke sini, hanya kata-kata inilah pantas didengar.”

Dalam pada itu Tho-kan-sian juga berseru, “Pada umumnya setiap aliran tentu ada seorang ketua. Lalu ketua Ngo-gak-pay ini harus dipegang siapa? Bila para hadirin mengangkat kami Tho-kok-lak-sian, mau tak mau kami pun akan menerimanya.”

“Menurut kata-kata Gak-siansing tadi bahwa penggabungan ini adalah demi kepentingan dunia persilatan umumnya dan tidak untuk keuntungan pribadi,” seru Tho-ki-sian pula. “Jika demikian halnya, maka tugas seorang ketua sungguh sangat berat, namun apa mau dikata, terpaksa kami berenam saudara akan bekerja sekuat tenaga.”

“Memang, kalau para hadirin begini simpatik kepada kami, mana boleh kami tidak bekerja mati-matian demi kawan-kawan Kangouw umumnya?” sambung Tho-yap-sian.

Begitulah mereka bertanya-jawab seperti dagelan, seakan-akan mereka benar-benar telah diangkat menjadi ketua oleh pilihan orang banyak.

Dengan gemas seorang tua berbaju kuning dari Ko-san-pay berteriak, “Hei, siapakah yang mengangkat kalian menjadi ketua Ngo-gak-pay? Huh, seperti orang gila, tidak tahu malu?”

Serentak orang-orang Ko-san-pay yang lain juga sama mencemoohkan, “Persetan! Omong kosong melulu!”

“Huh, kalau bukan hari gembira, jangan harap kalian dapat turun dari sini dengan selamat!”

Lalu seorang lain berseru kepada Lenghou Tiong, “Lenghou-ciangbun, keenam orang gila itu mengacau terus dari tadi, kenapa kau diam saja?”

“Hah, kau panggil Lenghou Tiong sebagai ‘Lenghou-ciangbun’, jadi kau mengakui dia sebagai Ciangbunjin (ketua) Ngo-gak-pay?” teriak Tho-hoa-sian. “Tadi Co Leng-tan sendiri sudah menyatakan bahwa Thay-san-pay, Ko-san-pay, dan lain-lain sudah dihapus dari dunia persilatan, dengan sendirinya ‘ciangbun’ yang kau sebut tentunya dimaksudkan sebagai ciangbun dari Ngo-gak-pay.”

“Meski Lenghou Tiong masih selisih setingkat daripada kami jika dia yang menjabat ketua Ngo-gak-pay, tapi kalau yang lebih baik seperti kami tidak mau, ya, terpaksa boleh juga terima saja tokoh yang lebih rendah sedikit,” ujar Tho-sit-sian.

Lalu Tho-kin-sian berteriak keras-keras, “Nah, Ko-san-pay mengusulkan Lenghou Tiong sebagai ketua Ngo-gak-pay, bagaimana pendapat para hadirin?”

“Setuju!” terdengar beratus-ratus orang berteriak, suaranya nyaring merdu, terang mereka adalah anak murid Hing-san-pay.

Hanya karena salah omong, salah seorang tua Ko-san-pay salah ucap “Lenghou-ciangbun” dan kelemahan ini lantas dipegang oleh Tho-kok-lak-sian, keruan orang Ko-san-pay itu menjadi serbasusah dan bingung, serunya dengan gelagapan, “Tidak, ti... tidak! Bu... bukan... bukan begitu maksudku.”

“Bukan begitu maksudmu? Jika demikian tentu kau anggap kami Tho-kok-lak-sian lebih cocok menjadi ketua Ngo-gak-pay,” seru Tho-kan-sian. “Wah, atas dukungan Saudara dan rasa cintamu kepada kami, terpaksa kami tak bisa menolak dan mau tak mau harus menerimanya.”

“Begini saja,” sambung Tho-ki-sian. “Kami akan pegang pimpinan setahun atau enam bulan, kalau segala urusan sudah berjalan lancar barulah kami serahkan kedudukan penting ini kepada tokoh lain.”

“Betul, betul! Ini namanya tahu kewajiban dan pemimpin bijaksana!” teriak Tho-kok-ngo-sian yang lain.

Sungguh tidak kepalang mendongkolnya Co Leng-tan, dengan nada dingin ia berseru, “Kalian berenam sudah terlalu banyak mengoceh, seakan-akan para kesatria yang hadir di Ko-san ini tak berharga sama sekali, boleh tidak kalau orang lain juga diberi kesempatan bicara sedikit?”

“Boleh, sudah tentu boleh, kenapa tidak boleh?” jawab Tho-hoa-sian. “Ada kata-kata lekas diucapkan, ada kentut lekas dilepaskan!”

Seketika suasana menjadi sunyi malah demi mendengar kata-kata Tho-hoa-sian itu. Maklum, siapa pun tidak mau membuka suara supaya tidak dianggap kentut.

Selang agak lama barulah Co Leng-tan berbicara, “Para hadirin silakan kemukakan pandangan masing-masing, tentang ocehan keenam orang gila ini tak perlu digubris lagi!”

Berbareng Tho-kok-lak-sian menghirup napas panjang-panjang, lalu hidung mereka sama-sama mendengus-dengus dan berkata, “Nyaring benar kentutnya, tapi untung, tidak terlalu bau!”

Seorang tua Ko-san-pay tampil ke muka pula dan berseru, “Ngo-gak-kiam-pay berserikat secara senasib setanggungan, paling akhir ini pimpinan selalu dijabat oleh Co-ciangbun, nama beliau cukup terkenal, wibawanya cukup disegani. Kalau sekarang ngo-pay kita dilebur, dengan sendirinya Co-bengcu pula yang pantas menjadi ciangbunjin kita. Kalau dijabat orang lain, kukira sukar diterima oleh orang banyak.”

“Tidak betul, kurang tepat!” seru Tho-hoa-sian. “Penggabungan kelima aliran adalah peristiwa hebat dan merupakan sejarah baru, oleh karena itu ciangbunjin juga harus diganti yang baru, harus diangkat orang baru.”

“Benar,” sambung Tho-sit-sian. “Jika Co Leng-tan tetap menjadi ketua, itu berarti ganti botol tanpa ganti isi, lalu apa gunanya Ngo-gak-kiam-pay dilebur menjadi satu?”

“Kukira ketua Ngo-gak-pay dapat dijabat oleh siapa pun juga,” kata Tho-ki-sian. “Hanya Co Leng-tan saja yang tidak boleh menjabatnya.”

“Menurut pendapatku, paling baik kalau jabatan ketua ini kita jabat secara bergiliran, seorang menjadi ketua satu hari, hari ini kau yang menjadi ketua, besok ganti aku, lusa dia, semuanya mendapat bagian, tiada satu pun yang dirugikan. Ini namanya adil, tidak pilih kasih, tanpa pandang bulu, barang baik, harga pas!” seru Tho-yap-sian.

“Usulmu ini sungguh teramat bagus!” sambut Tho-kin-sian. “Dan yang pantas menjabat ketua yang pertama adalah nona cilik yang berusia paling muda. Maka aku mengusulkan adik cilik Cin Koan dari Hing-san-pay menjadi ketua Ngo-gak-pay pertama pada hari ini!”

Para anak murid Hing-san-pay serentak bersorak setuju sebab mereka tahu apa yang diucapkan Tho-kok-lak-sian memang sengaja untuk menentang rencana busuk Co Leng-tan. Selain itu ribuan hadirin yang juga senang pada kekacauan juga ikut-ikutan berteriak setuju, sehingga di puncak Ko-san itu seketika menjadi riuh ramai lagi.

Seorang tosu tua dari Ko-san-pay tampil pula dan berseru, “Ketua Ngo-gak-pay harus dijabat oleh seorang yang pandai dan bijaksana, seorang tokoh terkemuka yang punya nama dan berpengaruh, mana bisa jabatan sepenting itu diduduki secara bergiliran, sungguh pikiran anak kecil kalian ini!”

Begitu keras dan lantang suara tosu tua ini sehingga di tengah ribut-ribut itu toh didengar dengan jelas oleh setiap hadirin.

Tho-ki-sian lantas menanggapi, “Orang pandai dan bijaksana dengan nama baik dan berpengaruh? Kukira tokoh dunia persilatan yang memenuhi syarat ini kecuali Tho-kok-lak-sian hanya ketua Siau-lim-si saja yang dapat diterima, yaitu Hong-ting Taysu.”

Setiap kali Tho-kok-lak-sian bicara tadi selalu menimbulkan gelak tertawa orang banyak, semuanya anggap mereka seperti badut saja. Tapi sekarang demi Tho-ki-sian menyebut nama Hong-ting Taysu, seketika suasana menjadi sunyi, semua orang menjadi bungkam.

Maklumlah Hong-ting Taysu adalah tokoh yang dihormati dan disegani oleh setiap orang bu-lim, nama Siau-lim-si juga sangat berpengaruh di dunia persilatan. Maka Hong-ting Taysu memang tak bisa dibantah sebagai seorang yang pandai dan bijaksana, punya nama baik dan berpengaruh.

Begitulah Tho-kin-sian lantas berteriak, “Ketua Siau-lim-si Hong-ting Taysu terhitung tokoh yang pandai dan bijaksana, orang yang punya nama baik dan berpengaruh tidak?”

“Ya, betul, beliau terhitung tokoh nomor satu untuk memenuhi syarat itu!” teriak beribu-ribu hadirin berbareng.

“Bagus!” sambut Tho-kin-sian. “Itu tandanya Hong-ting Taysu telah disetujui dengan suara bulat oleh para hadirin, jika demikian maka ketua Ngo-gak-pay ini kita serahkan untuk dijabat oleh Hong-ting Taysu.”
Ngaco-belo!” teriak sebagian orang-orang Thay-san-pay dan Ko-san-pay. “Hong-ting Taysu sendiri adalah ketua Siau-lim-pay, apa sangkut pautnya dengan Ngo-gak-pay kita?”

“Tadi tosu tua itu mengatakan jabatan ketua ini harus dipegang oleh seorang tokoh pandai dan bijaksana yang punya nama baik dan berpengaruh. Sekarang kita telah mendapatkan pilihan yang tepat dan sesuai dengan syarat tersebut, yaitu Hong-ting Taysu, memangnya kau berani menyangkal beliau tidak memenuhi syarat-syarat itu? 
Huh, coba katakan kalau kau minta kami ganyang lebih dulu.”

“Hong-ting Taysu memang seorang tokoh yang harus dihormati oleh siapa pun juga,” kata Giok-ki-cu dari Thay-san-pay. “Tetapi yang kita pilih sekarang adalah ketua Ngo-gak-pay, sedangkan Hong-ting Taysu adalah tamu, mana boleh beliau diikutsertakan dalam urusan ini.”

“O, jadi maksudmu Hong-ting Taysu tak dapat dipilih menjadi ketua Ngo-gak-pay lantaran Siau-lim-si kau anggap tiada sangkut pautnya dengan Ngo-gak-pay?” tanya Tho-kan-sian.

“Benar,” jawab Giok-ki-cu.

“Mengapa Siau-lim-pay tiada sangkut pautnya dengan Ngo-gak-pay? Aku justru mengatakan sangat besar sangkut pautnya! Coba katakan, Ngo-gak-pay terdiri dari kelima pay apa?” tanya Tho-kan-sian.

“Ah, Saudara ini sudah tahu sengaja tanya,” ujar Giok-ki-cu. 
Ngo-gak-pay jelas terdiri dari Ko-san, Heng-san, Thay-san, Hing-san, dan Hoa-san-pay.”

“Salah, salah besar!” seri Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian berbareng. “Tadi Co Leng-tan menyatakan bahwa setelah Ngo-gak-kiam-pay bergabung, maka nama Thay-san-pay, Ko-san-pay segala takkan dipertahankan lagi, mengapa sekarang kau menyebut lagi kelima pay itu?”

“Ini tandanya dia tidak pernah melupakan golongannya sendiri, begitu ada kesempatan tentu dia akan menegakkan kembali kebesaran Thay-san-pay,” sambung Tho-yap-sian.

Banyak hadirin yang tertawa geli, mereka pikir Tho-kok-lak-sian tampaknya suka gila-gilaan, tapi asal lawan sedikit salah bicara segera didebat oleh mereka sehingga mati kutu.

Maklumlah, sejak mulai dapat bicara Tho-kok-lak-sian lantas suka bantah-membantah dan debat-mendebat di antara saudara-saudaranya sendiri, selama berpuluh tahun pekerjaan mereka hanya berdebat melulu, ditambah lagi enam kepala digunakan sekaligus, enam mulut mengap berbareng, tentu saja orang lain kewalahan menghadapi mereka berenam.

Begitulah Giok-ki-cu menjadi tersipu-sipu oleh debatan Tho-kok-lak-sian tadi, terpaksa ia berkata, “Huh, Ngo-gak-pay punya keenam anggota istimewa macam kalian, sungguh sial.”

“Kau bilang Ngo-gak-pay sial? Itu berarti kau menghina Ngo-gak-pay dan tidak sudi masuk Ngo-gak-pay,” kata Tho-hoa-sian.

“Ngo-gak-pay kita didirikan pada hari pertama ini sudah kau sumpahi dengan ucapan sial, padahal kita semua mengharapkan Ngo-gak-pay akan berkembang dan berjaya di dunia persilatan, Giok-ki Totiang, mengapa hatimu begitu jahat dan sengaja mengutuki?” sambung Tho-sit-sian.

“Ya, itu menandakan Giok-ki Tojin menghendaki kegagalan pendirian Ngo-gak-pay kita, maksud jahat seperti ini mana boleh kita mengampuni dia?” kata Tho-yap-sian.

Pada umumnya orang Kangouw paling sirik pada kata-kata yang bersifat menyumpahi, karena itu banyak di antara hadirin sepaham dengan Tho-kok-lak-sian dan anggap Giok-ki-cu memang tidak pantas mengatakan Ngo-gak-pay sial pada hari pertama ini.

Rupanya Giok-ki-cu merasa telah telanjur salah omong, ia menjadi bungkam dengan penuh mendongkol.

Segera Tho-kan-sian berseru, “Kami mengatakan Siau-lim-pay besar sangkut pautnya dengan Ko-san, tapi Giok-ki Tojin justru bilang tiada sangkut pautnya. Sebenarnya bagaimana? Kau yang salah atau kami yang betul?”

Dengan gemas Giok-ki-cu menjawab, “Kau suka mengatakan ada sangkut pautnya, maka anggap saja kau yang benar.”
Haha, segala urusan di dunia ini memangnya tak bisa mengingkari suatu hal, yakni kebenaran,” kata Tho-kan-sian. “Coba katakan, Siau-lim-si terletak di gunung mana? Dan Ko-san-pay terletak di gunung mana pula?”

“Siau-lim-si terletak di Siau-sit-san dan Ko-san-pay di Thay-sit-san, baik Siau-sit-san maupun Thay-sit-san termasuk pegunungan di lingkungan Ko-san, betul tidak? Nah, kenapa Giok-ki Tojin mengatakan Siau-lim-pay tiada sangkut pautnya dengan Ko-san-pay?”

Kata-kata ini nyatanya betul dan bukan pokrol-pokrolan, mau tak mau para hadirin manggut-manggut setuju.

Lalu Tho-ki-sian menyambung lagi, “Tadi Gak-siansing mengatakan bahwa setelah penggabungan nanti akan banyak mengurangi pertentangan di antara sesama orang Kangouw, makanya beliau menyetujui peleburan Ngo-gak-kiam-pay. Beliau mengatakan pula yang ilmu silatnya mendekati satu sama lain atau yang tempatnya berdekatan sebaiknya saling gabung. Bicara tentang tempat yang berdekatan kukira hanya Siau-lim-pay dan Ko-san-pay yang sama-sama terletak di suatu pegunungan yang sama. Kalau Siau-lim-pay dan Ko-san-pay tidak bergabung, maka apa yang dikatakan Gak-siansing bukankah seperti ken... kentut belaka.”

Semua orang tertawa mendengar Tho-ki-sian hendak menahan “kentut”, namun mereka pun merasa apa yang dikatakan Tho-ki-sian memang bukannya tidak beralasan.

Tho-kin-sian lantas berkata, “Hong-ting Taysu adalah tokoh pilihan umum, maka kalau terjadi penggabungan Siau-lim-pay dan Ko-san-pay, lalu dilebur pula ke dalam Ngo-gak-pay, maka kami Tho-kok-lak-sian yang pertama-tama tunduk kepada beliau dan taat kepada beliau sebagai ciangbunjin. Memangnya ada di antara hadirin yang tidak tunduk?”

“Jika ada yang tidak tunduk, hayolah silakan tampil ke muka dan coba-coba ukur tenaga lebih dulu dengan kami Tho-kok-lak-sian,” sambung Tho-hoa-sian. “Bila dapat mengalahkan Tho-kok-lak-sian kami, nanti baru coba-coba dengan Hong-ting Taysu. Kalau Hong-ting Taysu juga dikalahkan, masih ada lagi jago-jago Siau-lim-si yang lain seperti padri-padri sakti dari Tat-mo-ih, Lo-han-tong, dan lain-lain. Bila tokoh-tokoh simpanan Siau-lim-si itu juga kalah, kemudian silakan bertanding pula dengan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay....”

“Lho, kenapa Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay kau bawa-bawa, Saudaraku?” tanya Tho-sit-sian.

“Habis, Bu-tong-pay dan Siau-lim-pay kan dua aliran yang mempunyai hubungan paling erat,” jawab Tho-hoa-sian. “Kalau Siau-lim-pay dikalahkan orang, mustahil Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay tinggal diam saja?”

“Ya, benar juga,” kata Tho-sit-sian. “Dan kalau Tiong-hi Totiang juga kalah, akhirnya silakan bertanding pula dengan Tho-kok-lak-sian.”

“He, pertandingan dengan kita Tho-kok-lak-sian kan sudah dilakukan tadi, kenapa diulangi?” ujar Tho-kin-sian.

“Tadi memang sudah, tapi kita hanya kalah satu kali saja masakah lantas rela menyerah?” jawab Tho-sit-sian. “Tentu saja kita masih harus labrak si keparat itu secara mati-matian sampai akhir zaman.”
Riuh rendah seketika suara tertawa orang banyak, bahkan ada yang bersuit.

Keruan tidak kepalang gusar Giok-ki-cu, ia tidak sabar lagi dan lantas melompat maju, teriaknya, “Tho-kok-lak-koay, aku Giok-ki-cu yang pertama-tama tidak tunduk dan hendak mencoba-coba kemampuan kalian!”

“Ah, kita kan sama-sama orang Ngo-gak-pay, bila bergebrak bukankah berarti saling bunuh-membunuh?” ujar Tho-kin-sian.

“Kalian terlalu cerewet dan membikin muak,” kata Giok-ki-cu. “Jika kalian dilenyapkan dari Ngo-gak-pay tentu suasana akan menjadi tenang dan aman.”

“E-eh, jadi timbul nafsu membunuh pada dirimu, kau ingin membinasakan kami berenam?” kata Tho-kan-sian.

Giok-ki-cu mendengus saja tanpa menjawab, diam-diam berarti membenarkan pertanyaan orang.

Tho-ki-sian berkata, “Hari ini ngo-pay kita baru bergabung dan kau sudah berniat membunuh kami berenam dari Hing-san-pay, lalu cara bagaimana kita bisa bekerja sama pada waktu-waktu yang akan datang?”

“Jika kalian sudah tahu perlu adanya kerja sama yang baik, maka ocehan-ocehan kalian yang mengganggu urusan penting hendaknya jangan diucapkan lagi,” jawab Giok-ki-cu dengan menahan gusar.

“Tapi kalau ucapan-ucapan yang bermanfaat bagi Ngo-gak-pay dan kata-kata baik demi kepentingan kawan dunia persilatan, apakah juga tidak boleh diucapkan?” tanya Tho-yap-sian.
Hm, rasanya kalian takkan mengemukakan ucapan-ucapan baik sebagaimana kalian maksudkan!” jengek Giok-ki-cu.

“Soal siapa yang pantas menjadi ketua Ngo-gak-pay bukankah soal yang penting bagi Ngo-gak-pay kita sendiri dan juga bersangkut paut dengan kepentingan dunia persilatan umumnya?” ujar Tho-hoa-sian. “Sedari tadi kami telah menyarankan seorang tokoh terkemuka dan disegani dunia persilatan umumnya untuk menjadi ketua kita tapi kau tidak setuju, rupanya kau mempunyai kepentingan pribadi dan ingin mendukung calonmu sendiri yang telah memberi sogok tiga ribu tahil emas dan empat perempuan cantik padamu itu.”

Giok-ki-cu menjadi gusar karena dituduh terima sogokan, teriaknya, “Kau mengaco-belo belaka! Siapakah yang pernah memberi tiga ribu tahil emas dan empat perempuan cantik padaku?”

“Ah, jangan kau mungkir?” jawab Tho-hoa-sian. “Bisa jadi aku salah sebut angkanya, kalau bukan tiga ribu tahil tentulah empat ribu tahil. Kalau tidak empat perempuan cantik tentulah tiga atau lima. Siapa yang memberikannya padamu masakah kau sendiri tidak tahu dan pura-pura tanya? Siapa calon ketuamu, dia itulah yang menyogok kau.”

“Sret”, segera Giok-ki-cu melolos pedang, bentaknya, “Jika kau mengoceh tak keruan lagi, segera kubikin kau mandi darah di sini!”

Tapi Tho-hoa-sian terbahak-bahak malah sambil melangkah maju dengan membusungkan dada. Katanya, “Dengan keji dan licik kau telah membunuh ketua Thay-san-pay kalian sendiri, sekarang kau hendak mencelakai orang lain lagi? Hayolah maju, jika berani cobalah bikin aku mandi darah di sini. Thian-bun Tojin sudah kau sembelih, membunuh anggota perguruan sendiri memang adalah kemahiranmu yang khas, sekarang boleh kau coba-coba cara yang sama atas diriku.”

Sembari bicara ia terus mendekati Giok-ki-cu.

“Berhenti!” bentak Giok-ki-cu sambil mengacungkan pedangnya ke depan. “Satu langkah lagi kau maju segera kuserang kau!”

“Haha, untuk menyerang saja memangnya kau perlu permisi dulu?” ejek Tho-hoa-sian. “Puncak Ko-san ini bukan hak milikmu, ke mana aku suka, ke sana pula aku bebas melangkah pergi, memangnya kau ada hak buat merintangi aku?”

Habis berkata kembali ia melangkah maju sehingga jaraknya dengan Giok-ki-cu tinggal beberapa kaki jauhnya.

Melihat wajah Tho-hoa-sian yang buruk dengan gigi-gigi yang kuning menyeringai, rasa muak Giok-ki-cu bertambah hebat, tanpa pikir pedangnya terus menusuk ke dada Tho-hoa-sian.
Cepat Tho-hoa-sian mengegos sambil memaki, “Bangsat busuk, kau ben... benar-benar ingin berkelahi?”

Ternyata Giok-ki-cu telah menguasai ilmu pedang Thay-san-pay dengan sempurna, serangan pertama segera disusul serangan kedua yang lebih lihai dan cepat. Dalam sekejap saja Tho-hoa-sian terpaksa harus menghindari empat kali serangan. Makin menyerang makin cepat gerak pedang Giok-ki-cu, Tho-hoa-sian sampai tidak sempat melolos pedang sendiri untuk menangkis. Di tengah berkelebatnya sinar pedang, “cret”, bahu kiri Tho-hoa-sian tertusuk. Tapi pada saat yang hampir sama segera pedang Giok-ki-cu lantas terpental ke udara, menyusul tubuhnya terangkat ke atas, kedua tangan dan kedua kakinya masing-masing telah dipegang oleh Tho-kin-sian, Tho-kan-sian, Tho-ki-sian, dan Tho-yap-sian berempat.

Apa yang terjadi itu sungguh teramat cepat, bahkan suatu bayangan kuning lantas berkelebat datang pula disertai mengilatnya sinar pedang, seorang telah membacok kepala Tho-ki-sian dengan pedangnya.

Namun Tho-sit-sian sudah berjaga di samping, segera ia menangkis dengan pedangnya. Menyusul orang itu lantas mengalihkan serangannya ke dada Tho-kin-sian. Tapi Tho-hoa-sian juga sudah siap dan menangkisnya dengan pedangnya. Ketika diperhatikan, kiranya penyerang itu adalah ketua Ko-san-pay, Co Leng-tan adanya.

Sejak tadi Co Leng-tan sudah tahu Tho-kok-lak-sian memiliki kepandaian yang hebat meski ucapan mereka angin-anginan dan ugal-ugalan. Sekarang dilihatnya Giok-ki-cu kena ditangkap pula oleh keenam orang aneh itu, bila terlambat menolongnya tentu Giok-ki-cu akan mengalami nasib tubuh terkoyak-koyak. Sebagai tuan rumah mestinya Co Leng-tan tidak pantas turun tangan, tapi menghadapi detik bahaya itu terpaksa ia menyelamatkan dulu jiwa Giok-ki-cu. Dua kali ia menyerang Tho-ki-sian dan Tho-kin-sian dengan tujuan memaksa kedua orang itu lepaskan Giok-ki-cu. Tak terduga Tho-kok-lak-sian dapat bekerja sama dengan sangat rapat, empat saudaranya memegangi sasaran, dua orang lagi lantas siap menjaga di samping sehingga dua kali serangan Co Leng-tan dapat ditangkis oleh Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian.

Bab 114. Pertandingan yang Luar Biasa

Sementara itu keselamatan Giok-ki-cu laksana terletak di ujung tanduk, kalau Co Leng-tan harus mendesak mundur Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian, untuk itu sedikitnya harus lebih dari lima-enam jurus dan selama itu tentu tubuh Giok-ki-cu sudah dirobek-robek keempat orang.
Karena itu Co Leng-tan tidak panjang pikir lagi, pedangnya berputar secepat kilat. Terdengar Giok-ki-cu menjerit keras-keras dan terbanting ke tanah dengan kepala di bawah. Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian masing-masing memegangi sebuah tangan kutung, sedangkan Tho-kan-sian memegangi sebuah kaki putus, hanya Tho-yap-sian saja yang memegangi sebelah kaki yang masih bergandengan dengan tubuh Giok-ki-cu.

Rupanya Co Leng-tan merasa tidak mampu memaksa Tho-kok-lak-sian melepas tangan dalam waktu sesingkat itu, terpaksa ia harus ambil tindakan tegas dengan mengutungi kedua tangan dan sebelah kaki Giok-ki-cu sehingga Tho-kok-lak-sian tak dapat merobeknya menjadi empat potong. Meski terpaksa harus korbankan anggota badan, namun sedikitnya jiwa Giok-ki-cu bisa diselamatkan, sebab Tho-kok-lak-sian pasti takkan mengganggu seorang yang sudah cacat.
Selesai melaksanakan tindakan kilat itu, sambil mendengus lalu Co Leng-tan undurkan diri ke pinggir.

“He, Co Leng-tan,” seru Tho-ki-sian, “kau telah memberi sogok emas dan perempuan kepada Giok-ki-cu dan mengharuskan dia menyokong kau menjadi ketua Ngo-gak-pay, kenapa sekarang kau berbalik mengutungi kaki dan tangannya, apakah kau bermaksud memusnahkan saksi hidup ya?”

“Haha, ia khawatir kita merobek Giok-ki-cu menjadi empat potong, makanya dia hendak menolongnya, nyata dia telah salah duga,” ujar Tho-yap-sian.

“Berlagak pintar sendiri, haha, sungguh lucu dan menggelikan,” kata Tho-sit-sian. “Kami pegang Giok-ki-cu dengan maksud berkelakar dengan dia, padahal hari bahagia berdirinya Ngo-gak-pay seperti sekarang ini masakah ada yang berani main membunuh orang segala?”

“Walaupun Giok-ki-cu berniat membunuh aku, tapi mengingat sesama anggota Ngo-gak-pay masakah kami tega membunuh ia?” sambung Tho-hoa-sian. “Kami hanya menakut-nakuti dia saja dengan melemparkan dia ke udara, lalu kami tangkap dia kembali. Sebaliknya Co Leng-tan ternyata bertindak secara begitu kejam dan sembrono, sungguh terlalu bebal.”

Dengan menyeret Giok-ki-cu yang sudah buntung itu Tho-yap-sian mendekati Co Leng-tan, Giok-ki-cu dilemparkannya ke depan Co Leng-tan, lalu Tho-yap-sian geleng-geleng kepala dan berkata, “Co Leng-tan, kau benar-benar terlalu kejam, orang baik-baik seperti Giok-ki-cu ini mengapa kau tega membuntungi kaki dan tangannya? Sekarang dia hanya punya satu kaki saja, lalu cara bagaimana dia akan hidup?”

Tentu saja Co Leng-tan sangat gemas, padahal kalau dia tadi tidak ambil tindakan tegas, tentu tubuh Giok-ki-cu sudah tersobek menjadi empat potong dan jiwanya sudah melayang, sekarang malahan dirinya yang dianggap kejam. 
Tapi untuk membela diri juga tiada dasarnya, terpaksa Co Leng-tan hanya mendengus dan tidak menjawab.

Melihat Co Leng-tan diam saja, segera Tho-kin-sian menyambung, “Kalau Co Leng-tan mau bunuh Giok-ki-cu mestinya sekali tebas kutungi saja kepalanya, tapi dia justru ingin menyiksanya dengan membuntungi tangan dan kakinya sehingga Giok-ki-cu tidak mati dan setengah hidup, caranya sungguh keji dan tak berbudi.”

“Memang, kita sama-sama anggota Ngo-gak-pay, ada persoalan apa pun dapat dirunding secara baik-baik, mengapa mesti pakai cara sekejam ini? Sedikit pun tidak punya rasa setia kawan,” ujar Tho-kan-sian.

“Kalian berenam terkenal suka menyobek badan orang, tindakan Co-ciangbun tadi justru bermaksud menyelamatkan jiwa Giok-ki Totiang, mengapa kalian memutarbalikkan persoalan?” seru seorang tua Ko-san-pay.

“Jelas sekali kami cuma berkelakar saja dengan Giok-ki-cu, kenapa Co Leng-tan salah sangka? Kenapa dia tidak dapat membedakan orang sedang berkelakar atau sungguh-sungguh hendak merobeknya? Sungguh bodoh Co Leng-tan!” seru Tho-ki-sian.

“Ya, seorang laki-laki sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab,” sambung Tho-yap-sian. “Co Leng-tan sudah membuntungi Giok-ki-cu harus berani mengakui perbuatannya, tapi dia sengaja pakai macam-macam alasan untuk menutupi maksud kejinya, sedikit pun tidak punya keberanian untuk bertanggung jawab, sungguh pengecut. Padahal setiap orang yang hadir di sini telah menyaksikan apa yang kau lakukan, masakah kau dapat menyangkal?”

“Manusia yang tak berbudi, tidak setia kawan, goblok lagi pengecut, apakah mungkin jabatan ketua Ngo-gak-pay kita boleh diduduki orang macam begini? Huh, Co Leng-tan, kau jangan mimpi muluk-muluk,” seru Tho-hoa-sian.

Padahal banyak di antara kesatria yang hadir cukup maklum akan maksud baik Co Leng-tan, kalau tadi dia tidak bertindak tentu jiwa Giok-ki-cu sudah melayang. Tapi karena apa yang dikatakan Tho-kok-lak-sian cukup berdasar, sukar juga bagi orang lain untuk mendebatnya.

Yang paling kenal watak Tho-kok-lak-sian adalah Lenghou Tiong, ia menjadi heran dari mana mendadak Tho-kok-lak-sian bisa bertambah pintar sehingga setiap katanya selalu tepat mengenai titik kelemahan Co Leng-tan? Padahal biasanya mereka berenam suka edan-edanan dan dungu, besar kemungkinan di belakang mereka berenam itu ada orang pintar yang memberi petunjuk-petunjuk.

Perlahan-lahan Lenghou Tiong lantas mendekati Tho-kok-lak-sian untuk memeriksa apakah di sekitar mereka ada orang pintar tersembunyi itu. Tapi dilihatnya Tho-kok-lak-sian berkumpul menjadi satu dan di sekeliling mereka tiada orang lain, malahan orang-orang dungu itu sedang sibuk membalut luka Tho-hoa-sian tadi.

Ketika berpaling lagi, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar bisikan suara yang sangat lirih, “Engkoh Tiong, apakah kau sedang mencari diriku?”

Mendengar suara itu, sungguh kejut dan girang Lenghou Tiong tak terperikan. Meski suara itu sangat lirih, tapi cukup jelas, siapa lagi kalau bukan suaranya Ing-ing.

Ia coba memandang ke arah datangnya suara, tertampak seorang laki-laki berewok dengan badan rada gemuk berdiri bersandar pada sepotong batu besar sambil garuk-garuk kepala secara kemalas-malasan.

Laki-laki berewok semacam itu sedikitnya ada beratus-ratus di antara hadirin yang ribuan banyaknya itu sehingga tidaklah menarik perhatian. Tapi mendadak dari sorot mata laki-laki ini Lenghou Tiong melihat kilasan senyuman yang licin dan juga menggiurkan. Saking girangnya ia lantas mendekati orang itu.

Terdengar suara Ing-ing berkumandang lagi, “Jangan kemari, nanti rahasia tersingkap!”

Begitu lembut suara itu, tapi cukup jelas terdengar oleh telinganya.

Maka tahulah Lenghou Tiong, “Kiranya kata-kata Tho-kok-lak-sian tadi adalah ajaranmu, pantas keenam orang dungu itu mampu bicara tentang budi dan setia segala.”

Diam-diam ia pun bersyukur atas kedatangan Ing-ing secara menyamar itu, jelas si nona sengaja datang buat bantu usahanya berebut menjadi ketua Ngo-gak-pay.

Dalam pada itu terdengar Tho-kin-sian berkata pula, “Tokoh besar seperti Hong-ting Taysu tak bisa kalian terima sebagai ketua, Giok-ki-cu sekarang sudah buntung kaki dan kutung tangan, sedangkan Co Leng-tan jelas tidak berbudi dan pengecut, dengan sendirinya juga tak bisa menduduki tempat terhormat itu. Maka biarlah kita memilih seorang kesatria muda yang hebat untuk menjadi ketua kita. Kalau ada yang tidak setuju boleh silakan maju untuk belajar kenal dengan ilmu pedangnya.”

Bicara sampai di sini setelah tangannya terus menunjuk ke arah Lenghou Tiong.

“Inilah Lenghou-siauhiap,” sambung Tho-hoa-sian, “beliau mengetuai Hing-san-pay dan ada hubungan yang rapat dengan Gak-siansing dari Hoa-san-pay, dengan Bok-taysiansing dari Heng-san-pay juga bersahabat kental. Di antara Ngo-gak-kiam-pay jelas ada tiga aliran yang pasti akan mendukung beliau.”

“Para Tosu dari Thay-san-pay juga tidak bodoh semua, dengan sendirinya sebagian besar di antara mereka juga akan mendukung Lenghou-siauhiap,” ujar Tho-ki-sian.

“Nah, Co Leng-tan, jika kau tidak terima, silakan maju untuk coba-coba mengukur ilmu pedang Lenghou-siauhiap, yang menang, dialah yang menjadi ketua Ngo-gak-pay. Ini namanya bertanding untuk rebut juara!” seru Tho-yap-sian.

Di antara para pengunjung sebenarnya lebih banyak orang-orang yang ingin menonton keributan, untuk itu mereka tentunya tidak suka pada perdebatan yang bertele-tele seperti Tho-kok-lak-sian tadi, soalnya ucapan-ucapan Tho-kok-lak-sian tadi memang jenaka dan menggelikan, makanya mereka masih dapat mengikutinya dengan tertawa. Tapi sekarang demi mendengar Tho-yap-sian mengemukakan “bertanding untuk kedudukan ketua” serentak bergemuruhlah suara sorak-sorai setuju, karena mereka tahu akan sampailah saatnya pertandingan sengit di antara tokoh-tokoh tertinggi yang dijagoi oleh masing-masing pihak.

Namun Lenghou Tiong berpikir, “Aku telah berjanji kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang untuk merintangi keinginan Co Leng-tan menjadi ketua Ngo-gak-pay. Maka bila Suhu saja yang menjadi ketua, beliau yang terkenal baik budi dan bijaksana tentu akan dapat disetujui oleh semua pihak. Padahal selain beliau rasanya juga tiada tokoh lain di antara Ngo-gak-kiam-pay yang sesuai untuk menjabat kedudukan penting ini.”

Karena pikiran demikian, segera Lenghou Tiong berseru, “Di hadapan kita sudah tersedia seorang tokoh yang paling cocok untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay, mengapa kalian lupa semua? Siapa lagi calon di antara kita yang bisa menandingi Kun-cu-kiam Gak-siansing dari Hoa-san-pay? Ilmu silat Gak-siansing tinggi, pengetahuannya luas, orangnya berbudi dan bijaksana, kesemuanya ini telah cukup kita ketahui. Maka segenap anggota Hing-san-pay kami dengan tulus ikhlas menyarankan pengangkatan Gak-siansing sebagai ketua Ngo-gak-pay.”

Serentak anak murid Hoa-san-pay bersorak gembira dan menyatakan akur.

Seorang tokoh Ko-san-pay lantas bicara, “Ilmu silat Gak-siansing memang tinggi, tapi kalau dibandingkan Co-ciangbun masih selisih setingkat. Maka menurut pendapatku adalah Co-ciangbun yang lebih tepat untuk menjadi ketua, di samping itu boleh diadakan empat kursi wakil ketua dan masing-masing dijabat oleh Gak-siansing, Bok-taysiansing, Lenghou-siauhiap dan ... dan Giok-seng-cu atau Giok-im-cu Totiang, terserah kepada pilihan orang Thay-san-pay sendiri.”

“Giok-ki-cu kan belum lagi mampus dia baru buntung tangannya dan kutung sebelah kakinya, mengapa kalian lantas menyingkirkan dia?” seru Tho-ki-sian.

“Ya, bertanding saja untuk berebut menjadi juara, siapa yang menang, dia yang menjadi ketua!” teriak Tho-yap-sian.

Maka beribu-ribu orang Kangouw lantas ikut-ikut berteriak, “Benar, benar! Bertanding saja untuk menentukan juara!”

Lenghou Tiong pikir kalau Co Leng-tan tidak dijatuhkan lebih dulu sehingga pihak Ko-san-pay putus harapan sukarlah bagi orang lain untuk mencalonkan diri sebagai ketua Ngo-gak-pay. Maka dengan pedang terhunus ia lantas maju ke tengah, serunya, “Co-siansing, sesuai kehendak orang banyak, marilah kita berdua mulai coba-coba dahulu.”

Menurut perhitungan Lenghou Tiong, ilmu pedang sendirinya masih sanggup mengatasi lawan, tapi kalau bertanding pukulan, maka dirinya sukar melawan Im-han-ciang-lik (pukulan dengan hawa dingin) Co Leng-tan yang lihai, hal ini terbukti Yim Ngo-heng saja kecundang di Siau-lim-si tempo hari. Seumpama ilmu pedang sendiri juga tak bisa mengalahkan lawan, paling sedikit tenaga lawan akan banyak diperas, habis itu Gak Put-kun baru turun kalangan dan tentu besar harapan untuk merobohkan Co Leng-tan.

Begitulah segera Lenghou Tiong ayun pedangnya dan berseru pula, “Co-siansing, setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay kita mahir memainkan pedang, biarlah kita menentukan kalah menang pada senjata ini!”

Dengan ucapan ini ia sudah mendahului menutup jalan mundur Co Leng-tan agar ketua Ko-san-pay itu tidak mengajaknya bertanding ilmu pukulan dan lain-lain.

Maka ramailah orang bersorak menyatakan setuju dan berteriak-teriak minta pertandingan lekas dimulai.

Karena suara sendiri disokong orang banyak, dengan senang Lenghou Tiong berseru pula, “Co-siansing, hayolah maju! Jika kau enggan bertanding pedang dengan Cayhe, ya boleh juga, silakan mengumumkan di depan umum bahwa kau mengundurkan diri dari pencalonan ketua Ngo-gak-pay ini!”

“Hayo maju! Hayo bertanding!!” demikian orang banyak berteriak-teriak pula. “Yang tidak berani bertanding bukanlah kesatria! Tapi, babi! Anjing!” demikian sambung yang lain.

Di tengah suara ribut-ribut itu tiba-tiba suara seorang yang nyaring lantang berkumandang, “Jika para hadirin sudah menghendaki pemilihan ketua Ngo-gak-pay ditentukan secara bertanding, maka kita pun tidak dapat mengabaikan harapan orang banyak.”

Pembicara ini kiranya Gak Put-kun adanya.

“Ucapan Gak-siansing, memang tidak salah!” sambut orang banyak. “Hayo bertanding! Lekas dimulai!”

“Bertanding untuk berebut juara memang juga suatu cara yang lazim,” kata Gak Put-kun, “cuma asas penggabungan Ngo-gak-kiam-pay kita sebenarnya untuk mengurangi pertengkaran serta mencari kedamaian di antara sesama kawan Bu-lim. Sebab itu kalau pertandingan dilangsungkan, sebaiknya dibatasi hanya pada persentuhan saja sudah cukup, begitu sudah terang antara yang menang dan kalah harus segera berhenti, sekali-kali tidak boleh melukai apalagi mencelakai jiwa lawan. Seperti meninggalnya Thian-bun Totiang dan terlukanya Giok-ki Totiang tadi sungguh sangat kusesalkan.”

Karena apa yang dikatakan Gak Put-kun cukup beralasan, seketika suasana menjadi sunyi. Sejenak kemudian seorang hadirin barulah berteriak, “Pertandingan dibatasi memang baik, namun senjata tidak bermata, bila terjadi melukai atau membinasakan, ya anggap saja dirinya sendiri yang sial dan jangan salahkan pihak lain!”

“Benar!” sambung seorang lagi. “Kalau takut mati dan khawatir luka, lebih baik tinggal di rumah dan mengeloni bininya saja, buat apa susah-susah ikut hadir ke sini?”

Maka bergemuruhlah suara tertawa orang banyak.

“Namun demikian, kukira pertandingan tetap berlangsung secara persahabatan saja,” kata Gak Put-kun. “Cayhe mempunyai beberapa pendapat dan akan kuminta pertimbangan para hadirin.”

“Ah, lekas mulai berhantam saja, omong apa lagi?” teriak seorang.

“Jangan ngaco! Dengarkan dulu apa yang hendak diuraikan Gak-siansing!” seru seorang lain.

“Siapa yang ngaco? Pulang saja tanya pada emakmu!” jawab orang pertama tadi.

Kontan pihak lain balas memaki, maka terjadilah perang mulut dengan kata-kata dan istilah-istilah yang kotor.

“Bahwasanya siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk ikut bertanding perlu diadakan suatu ketentuan ....” demikian Gak Put-kun membuka suara pula sehingga perang mulut di sebelah sana terhenti seketika. Lalu Gak Put-kun melanjutnya, “Bertanding untuk menentukan juara, jelas juara ini bukanlah gelar ‘jago nomor satu’ di dunia ini, tapi juara untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay nanti. Oleh sebab itu yang ada hak ikut bertanding hanya terbatas anggota-anggota Ngo-gak-kiam-pay saja, orang luar biarpun punya kepandaian setinggi langit juga dilarang ikut.”

“Betul, betul! Kalau bukan anggota Ngo-gak-pay dilarang ikut bertanding!” seru orang banyak.

“Adapun mengenai cara bagaimana pertandingan harus dilakukan dalam suasana persahabatan, untuk ini silakan Co-siansing memberi komentar,” kata Gak Put-kun pula.

“Kukira Gak-siansing tentu sudah punya cara-cara yang baik, silakan bicara saja,” sahut Co Leng-tan dengan nada kaku.

“Cayhe berpendapat ada lebih baik kita minta tokoh-tokoh terhormat seperti Hong-ting Taysu, Tiong-hi Totiang, Pangcu dari Kay-pang, Ih-koancu dari Jing-sia-pay dan lain-lain agar sudi menjadi wasit. Siapa yang menang dan siapa yang kalah kita percayakan kepada para juri. Kita hanya menentukan kalah menang saja dan tidak menentukan hidup dan mati.”

“Siancay! Siancay!” Hong-ting Taysu bersabda. “Hanya menentukan kalah menang dan tidak menentukan mati dan hidup. Kalimat ini saja sudah menghapuskan banyak kemungkinan-kemungkinan banjir darah yang akan menimpa. Entah bagaimana dengan pendapat Co-siansing?”

“Kukira dari setiap aliran Ngo-gak-kiam-pay masing-masing hanya boleh menampilkan seorang jago saja,” kata Co Leng-tan. “Kalau tidak, nanti beratus-ratus orang ingin bertanding semua, lalu akan bertanding sampai kapan baru dapat selesai?”

Di antara hadirin-hadirin itu tentu saja banyak yang ingin melihat keributan, kalau pertandingan hanya dilakukan di antara lima jago saja dari kelima aliran itu tentu kurang seru. Tapi anak murid Ko-san-pay sudah lantas bersorak menyokong pendirian ketuanya, terpaksa para hadirin juga berteriak akur.

Tapi tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, “Nanti dulu! Ketua Thay-san-pay adalah Giok-ki-cu, apakah kita membiarkan seorang yang sudah buntung demikian ikut dalam pertandingan?”

“Biarpun buntung dan tinggal satu kaki, dia kan masih bisa meloncat untuk menyepak dengan kaki tunggalnya?” kata Tho-yap-sian.

Maka kembali bergemuruhlah suara tertawa orang banyak.

Giok-im-cu dari Thay-san-pay menjadi gusar, teriaknya, “Kalian berenam setan alas inilah yang membikin cacat Suhengku, sekarang kalian mengolok-olok beliau pula. Kukira kalian sepantasnya juga dibikin buntung semua. Hayolah, kalau berani coba maju untuk bertanding dengan tuanmu!”

Habis berkata ia terus tampil ke muka dengan pedang terhunus.

“Apakah kau mewakili Thay-san-pay dalam perebutan juara ini?” tanya Tho-ki-sian.

“Kau dipilih oleh kawan-kawanmu atau kau sendiri yang tampil ke muka?” Tho-yap-sian menambahkan.

“Peduli apa dengan kau?” sahut Giok-im-cu dengan gusar.

“Tentu saja peduli,” jawab Tho-yap-sian. “Tidak saja peduli, bahkan sangat peduli. Sebab kalau kau yang mewakilkan Thay-san-pay dalam pertandingan ini, bila nanti kau kalah, maka Thay-san-pay tidak boleh mengajukan jago lain?” tanya Giok-im-cu.

Tiba-tiba seorang tokoh Thay-san-pay yang lain berseru, “Kami belum lagi menerima syarat bertanding dengan jago tunggal. Kalau Giok-im Sute kalah, dengan sendirinya Thay-san-pay masih boleh mengajukan jago pilihan lain.”

Pembicara ini ialah Giok-seng-cu, suheng Giok-im-cu.

“Haha, jago Thay-san-pay yang lain mungkin adalah saudara sendiri?” kata Tho-hoa-sian setengah mengejek.

“Benar, memangnya adalah kakekmu ini,” jawab Giok-seng-cu ketus.

“Nah-nah, coba lihatlah, para hadirin! Kembali orang-orang Thay-san-pay ribut urusan dalam lagi!” seru Tho-sit-sian. “Baru saja Thian-bun Tojin tewas, kemudian Giok-ki-cu terluka parah, sekarang Giok-seng-cu dan Giok-im-cu ini sudah saling bertengkar dan berebut menjadi pemimpin Thay-san-pay.”

Ucapan Tho-sit-sian sebenarnya tepat mengenai isi hati Giok-seng-cu dan Giok-im-cu. Tapi Giok-im-cu pura-pura mengomel, “Hm, ngaco-belo!”

Sebaliknya Giok-seng-cu hanya tertawa dingin saja tanpa bicara.

“Sebenarnya pihak Thay-san-pay akan diwakili oleh siapa dalam pertandingan ini?” tanya Tho-hoa-sian pula.

“Aku!” seru Giok-im-cu dan Giok-seng-cu berbareng.

“Aneh, kenapa kalian tidak mau saling mengalah?” ujar Tho-kin-sian. “Baiklah, boleh kalian saling gebrak lebih dulu, coba siapa yang lebih tangguh. Percuma bertengkar dengan mulut, tentukan saja dengan berkelahi!”

Dengan aseran Giok-seng-cu melangkah maju dan berseru kepada Giok-im-cu, “Sute, kau mundur saja, jangan menimbulkan tertawaan orang lain!”

“Kenapa akan ditertawakan orang?” jawab Giok-im-cu.

“Giok-ki Suheng terluka parah, adalah pantas jikalau aku ingin menuntut balas baginya.”

“Tujuanmu hendak menuntut balas atau ingin berebut menjadi juara?” Giok-seng-cu menegas.

“Hah, hanya dengan sedikit kepandaian kita saja masakah sesuai untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay?” jengek Giok-im-cu. “Kukira kau jangan mimpi di siang bolong. Segenap anggota Thay-san-pay kita sudah jelas mendukung Co-ciangbun dari Ko-san-pay sebagai calon ketua, buat apa kita berdua ikut-ikut membikin malu di depan umum?”

“Jika demikian silakan kau mundur saja. Sebagai tertua, pimpinan Thay-san-pay sekarang kupegang,” kata Giok-seng-cu.

“Meski kau terhitung tertua di antara orang Thay-san-pay sekarang, tapi segala perbuatanmu dan tingkah lakumu selama ini sukarlah diterima orang. Apakah kau kira anggota-anggota Thay-san-pay kita mau tunduk kepada pimpinanmu?” tanya Giok-im-cu.

“Apa artinya dengan ucapanmu ini?” bentak Giok-seng-cu dengan bengis. “Kau berani kepada orang yang lebih tua, apakah kau lupa pada pasal pertama dari undang-undang perguruan kita?”

“Haha, janganlah kau lupa bahwa saat ini kita adalah sama-sama anggota Ngo-gak-pay,” jawab Giok-im-cu. “Kita masuk Ngo-gak-pay pada hari, bulan, tahun dan saat yang sama, berdasar apa kau anggap kau lebih tua dariku? Undang-undang perguruan Ngo-gak-pay belum lagi disusun, berdasar apa kau tunjuk pasal satu dan pasal berapa segala? Sedikit-sedikit kau suka tonjolkan undang-undang perguruan Thay-san-pay untuk menindas kawan sendiri, cuma sayang sekarang Thay-san-pay sudah hapus, yang ada hanya Ngo-gak-pay.”

Giok-seng-cu tak bisa mendebat lagi, saking gusarnya dia hanya berjingkrak sambil tuding Giok-im-cu dan berkata, “Kau ... kau ... kau ....”

“Hayolah maju, labrak saja! Kenapa omong doang? Habis berhantam baru jelas siapa yang tertua!” teriak para penonton yang ingin lihat perkelahian.

“Hayo, bae Giok-im, seratus perak!” seru seorang penonton.

“Apit, pegang bawah!” seorang lagi menanggapi dengan lagak seorang botoh jago.

“Lima belasan, pegang atas!” yang duluan menanggapi lagi.

Menurut istilah adu jago (ayam jantan), bae artinya memihak, memegang pihak yang dipilih. Apit artinya jumlah taruhan dua lawan satu, seratus perak lawan dua ratus perak. Lima belasan artinya 15 lawan 10.

Begitulah jiwa manusia pada umumnya kalau melihat ada pertengkaran bukannya memisah, melerai, tapi malah menyirami minyak dan membakar.

Tapi meski badan sampai gemetar saling gusar Giok-seng-cu tetap tidak berani maju. Kiranya Giok-seng-cu ini biarpun terhitung sang suheng, tapi biasanya dia suka tenggelam di tengah minuman keras dan main perempuan, sebab itulah ilmu pedangnya banyak mundur dan kalah kuat daripada Giok-im-cu.

Dengan dileburnya Ngo-gak-kiam-pay menjadi Ngo-gak-pay memangnya Giok-seng-cu dan Giok-im-cu juga tidak berani mengimpikan buat ikut berebut menjadi ketua, sebab mereka sadar kepandaian mereka masih jauh dibandingkan Co Leng-tan. Mereka sudah puas bila sekembalinya ke Thay-san nanti dapat diangkat menjadi pemimpin Thay-san-pay untuk menggantikan Thian-bun dan Giok-ki yang sudah tewas dan cacat itu Tapi sekarang di bawah hasutan orang banyak mereka berdua sampai-sampai bertengkar sendiri, Giok-seng-cu tidak berani sembarangan bergebrak, cuma ia pun tidak rela menyerah kepada sang sute di depan umum. Karena itu seketika keadaan menjadi lucu tampaknya.

Sekonyong-konyong suara seorang melengking tajam berkata, “Huh, kulihat inti ilmu silat Thay-san-pay sedikit pun belum kalian kuasai, tapi kulit muka kalian toh begitu tebal buat bertengkar di sini sehingga waktu penting terbuang percuma.”

Waktu semua orang berpaling ke arah pembicara, kiranya seorang pemuda yang jangkung dan tampan, hanya saja air mukanya rada pucat, ialah Lim Peng-ci dari Hoa-san-pay.

Segera orang yang kenal dia lantas berseru, “Itulah menantu baru Gak-siansing dari Hoa-san-pay!”

Lenghou Tiong juga terkesiap, ia tahu sifat Lim Peng-ci biasanya sangat pendiam, tidak suka banyak bicara, tak terduga sifatnya itu sekarang sudah berubah sehingga berani mengolok-olok orang di depan umum. Namun Lenghou Tiong juga tidak suka kepada Giok-im-cu dan Giok-seng-cu yang bersama Giok-ki-cu tadi telah mengakibatkan kematian Thian-bun Tojin, maka ia pun merasa senang atas sindiran Lim Peng-ci terhadap kedua jago Thay-san-pay itu.

Terdengar Giok-im-cu menjawab, “Aku belum menguasai sama sekali inti ilmu silat Thay-san-pay kami, memangnya saudara sendiri yang menguasai? Kalau begitu silakan saudara coba-coba mainkan beberapa jurus ilmu silat Thay-san-pay agar dimaklumi oleh para kesatria yang hadir di sini.”

Berulang-ulang ia sengaja mengucapkan kata-kata “Thay-san-pay” dengan suara keras, maksudnya hendak mengolok-olok Lim Peng-ci yang dikenal sebagai murid Hoa-san-pay masakah berani ikut bicara tentang ilmu silat dari perguruan lain.

Tak terduga Peng-ci lantas menjengek, jawabnya, “Ilmu silat Thay-san-pay sangat luas dan dalam, mana bisa dipahami oleh murid murtad macam kau yang mencelakai saudara seperguruan sendiri dengan bersekongkol dengan orang luar ....”

“Peng-ci!” bentak Gak Put-kun tiba-tiba. “Giok-im Totiang adalah kaum cianpwe, jangan kau kurang ajar!”

Terpaksa Peng-ci mengiakan dan berhenti bicara.

Dengan gusar Giok-im-cu lantas berkata terhadap Gak Put-kun, “Gak-siansing, bagus sekali murid didikanmu dan mantu kesayanganmu ini! Sampai-sampai ilmu silat Thay-san-pay berani dia sembarangan mengoceh dan menilainya.”

“Dari mana kau tahu dia sembarangan mengoceh?” tiba suara seorang perempuan menyela. Maka muncul ke depan seorang nyonya muda dengan gaun yang panjang, pada sanggulnya tersunting setangkai bunga merah dan kecil. Siapa lagi dia kalau bukan Gak Leng-sian.

“Ini, dengan ilmu pedang Thay-san-pay juga akan kucoba bagaimana kepandaianmu,” kata Leng-sian pula sambil memegang gagang pedangnya yang melintang ke belakang punggungnya.

Giok-im-cu mengenalnya sebagai anak perempuan Gak Put-kun, diketahui pula bahwa Gak Put-kun telah menyetujui peleburan Ngo-gak-kiam-pay dan cukup dihargai oleh Co Leng-tan, maka terhadap Leng-sian ia tidak berani sembarangan bertindak kasar. Dengan tersenyum ia menjawab, “Ah, pada hari bahagia nona Gak, sungguh menyesal aku tidak sempat hadir untuk menyampaikan selamat, apakah karena itu nona telah marah padaku? Tentang ilmu pedang Hoa-san-pay kalian memang sangat kukagumi. Tapi bahwasanya murid Hoa-san-pay juga mahir ilmu pedang Thay-san-pay, wah, sungguh baru kudengar sekarang ini.”

Dengan menarik alisnya yang lentik, dengan air muka menghina Leng-sian berkata, “Ayahku ingin menjadi ketua Ngo-gak-pay, dengan sendirinya setiap ilmu pedang dari kelima aliran harus dipelajarinya, kalau tidak cara bagaimana beliau sanggup memimpin Ngo-gak-pay nanti?”
Ucapan Leng-sian ini seketika membikin para kesatria menjadi gempar. Segera ada yang berteriak, “Apakah mungkin Gak-siansing juga mahir ilmu pedang dari keempat aliran lain?”

Gak Put-kun lantas berseru, “Ah, anak perempuanku suka membual saja, omongan anak kecil janganlah kalian anggap sungguh-sungguh.”

Tapi Leng-sian segera berkata pula, “Co-supek, jika kau mampu mengalahkan kami dengan ilmu pedang keempat aliran kami, dengan sendirinya kami akan tunduk dan angkat kau sebagai ketua Ngo-gak-pay. Sebaliknya kalau kau hanya mengandalkan ilmu pedang Ko-san-pay melulu, sekalipun kau dapat mengalahkan seluruh seterumu, paling-paling hanya ilmu pedang Ko-san-pay saja yang terkenal.”
Para hadirin pikir apa yang dikatakan Leng-sian memang tidak salah. Kalau orang mahir ilmu pedang dari kelima aliran, sudah tentu orang ini pula paling cocok untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay. Akan tetapi ilmu pedang setiap aliran itu adalah hasil ciptaan tokoh-tokoh aliran masing-masing dari angkatan tua turun-temurun selama beratus-ratus tahun, jangankan mahir kesemua ilmu pedang aliran-aliran itu, melulu ilmu pedang suatu aliran saja sukar dipelajari hingga masak dan mendalam betul.

Namun Co Leng-tan mempunyai cara berpikir sendiri. Ia curiga mengapa anak perempuan Gak Put-kun berani omong besar demikian? Di balik ini tentu ada tujuan tertentu. Ia pun sangsi jangan-jangan Gak Put-kun yang juga kemaruk kedudukan itu berniat berebut jabatan ketua Ngo-gak-pay dengan dia.

Didengarnya Giok-im-cu sedang berkata, “Wah, kiranya Gak-siansing telah mahir menyelami inti ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay, ini benar-benar suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia. Maka biarlah aku saja yang mulai minta nona Gak memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu pedang Thay-san-pay.”

“Baik sekali!” jawab Leng-sian. “Sret”, segera ia lolos pedangnya.

Keruan Giok-im-cu sangat mendongkol. Pikirnya, “Dengan ayahmu saja aku lebih tua satu angkatan, masakah anak perempuan macam kau juga berani lolos senjata terhadapku?”

Semula ia menyangka Gak Put-kun tentu akan mencegah perbuatan anak perempuannya, sebab di antara tokoh-tokoh Hoa-san-pay hanya Gak Put-kun dan istrinya saja yang pantas menjadi lawannya.

Tak terduga Gak Put-kun hanya geleng-geleng kepala saja, katanya dengan menyesal, “Sungguh anak perempuan yang tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit, Giok-im dan Giok-seng berdua Locianpwe adalah tokoh-tokoh kelas utama Thay-san-pay, kau sendiri yang mencari penyakit jika bermaksud melawannya dengan ilmu pedang Thay-san-pay mereka.”

Ketika Giok-im-cu melirik, dilihatnya pedang di tangan kanan Gak Leng-sian menuding miring ke bawah, jari-jari tangan kiri sedang bertekuk-tekuk seperti orang lagi menghitung-hitung.

Giok-im-cu terkejut dan heran dari mana anak perempuan ini paham jurus “Thay-cong-ji-ho”, suatu jurus ilmu pedang Thay-san-pay yang paling tinggi. Intisari jurus ini tidak terletak kepada serangan pedang, tapi dalam hal perhitungan letak tempat musuh, perawakan musuh dan panjang atau pendek senjata yang digunakan musuh dan macam-macam faktor lain. Perhitungannya sangat ruwet, tapi bila perhitungan sudah tepat, sekali serang tentu kena.

Pernah Giok-im-cu mendapat ajaran jurus ini dari gurunya, tapi ia sadar bahwa dirinya tidak sanggup menyelami jurus yang pakai perhitungan tinggi itu, maka waktu itu ia tidak pernah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, sebaliknya sang guru juga tidak paksa dia berlatih lebih lanjut, rupanya gurunya sendiri juga tidak mahir terhadap jurus itu.

Karena dirinya tidak diharuskan berlatih jurus yang sukar itu, tentu saja Giok-im-cu merasa kebetulan. Sejak itu ia pun tidak pernah melihat orang Thay-san-pay sendiri memainkan jurus itu. Tak terduga peristiwa yang sudah berselang puluhan tahun itu, kini mendadak jurus itu dilihatnya dimainkan oleh seorang nyonya muda sebagai Gak Leng-sian, bahkan orang yang bukan anggota Thay-san-pay. Keruan ia menjadi gelisah dan keluar keringat.

Biasanya orang yang kepepet tentu akan timbul akal, ia membatin, “Bila aku cepat berganti tempat, lalu lompat ke sini dan loncat ke sana, dengan sendirinya perhitungannya akan selalu meleset.”

Begitulah segera ia menggeser ke sana, lalu putar balik dan menyerang dengan jurus “Long-gwat-bu-in” (terang bulan tanpa mega), tapi tusukannya belum mencapai sasaran segera ia menggeser dan menyerang pula dengan cepat. Sambil bergerak, yang diperhatikan Giok-im-cu hanya jari-jari Leng-sian yang bergerak-gerak menghitung itu. Ia masih ingat ucapan gurunya dahulu bahwa jurus “Thay-cong-ji-ho (cara menghitung dengan pasti) merupakan inti ilmu pedang Thay-san-pay, sekali serang pasti kena, membunuh orang tanpa terasa. Kalau sudah mencapai taraf demikian, maka boleh dikata sudah mencapai tingkat yang sempurna.

Bab 115. Gak Leng-sian Menjagoi Gelanggang Pertandingan

Karena itu Giok-im-cu tidak berani sembarangan melakukan serangan maut, sebab takut kalau pihak lawan juga melakukan serangan mematikan. Lama-lama ia tambah khawatir dan berkeringat dingin.

Sementara itu ia sudah hampir selesai memainkan ilmu pedangnya, mendadak Leng-sian putar pedangnya dengan cepat, beruntun-runtun ia melancarkan lima kali serangan.

“Ngo-tay-hu-kiam!” seru Giok-seng-cu yang masih berdiri di samping.

Mendengar orang dapat menyebut nama jurus serangannya, sekonyong-konyong Leng-sian miringkan tubuhnya ke samping, pedang terus menusuk Giok-seng-cu sambil berseru, “Apakah ini pun ilmu pedang Thay-san-pay kalian?”

Cepat Giok-seng-cu menangkis dengan pedangnya sambil menjawab, “Mengapa bukan? Ini adalah jurus Lay-hong-jing-coan!”

“Bagus jika kau pun mengetahuinya!” seru Leng-sian.

“Sret”, pedangnya membalik dan menebas Giok-im-cu.

“Ini Sik-koan-hwe-ma!!” Giok-seng-cu menyebut pula nama jurus serangan Leng-sian.

“Hafal juga kau akan nama-nama ilmu pedang ini,” ujar Leng-sian. Berbareng pedangnya berkelebat, “sret-sret-sret”, tiga kali, kontan terdengar Giok-im-cu menjerit, dadanya telah tertusuk.

Giok-seng-cu juga tampak sempoyongan, akhirnya sebelah kaki tertekuk dan berlutut ke bawah, lekas-lekas ia menahan tubuhnya dengan batang pedang. Tapi terlalu keras ia menggunakan tenaga, ujung pedang menahan di atas sepotong batu pula, maka terdengar suara “pletak”, pedang patah menjadi dua. Terdengar mulut Giok-seng-cu sempat menggumam, “Gway-hoat-sam!”

Leng-sian tertawa dingin dan tidak menyerang lebih lanjut, ia simpan kembali pedangnya. Sementara itu para penonton sudah bersorak gemuruh. Sungguh luar biasa, seorang nyonya muda mengalahkan dua tokoh Thay-san-pay hanya dalam beberapa jurus, bahkan menggunakan ilmu pedang Thay-san-pay sendiri.

Co Leng-tan saling pandang dengan beberapa kawannya, mereka pun sama bersangsi dan heran. Yang dimainkan anak perempuan ini memang benar ilmu pedang Thay-san-pay yang hebat dan jarang terlihat. Walaupun permainannya tampak kurang murni, namun jurus-jurus serangan yang ganas dan terlatih itu pasti bukan hasil pemikiran anak perempuan ini, besar kemungkinan adalah hasil peyakinan Gak Put-kun. Padahal untuk meyakinkan ilmu pedang setinggi ini entah memerlukan waktu berapa lama. Dari sini dapat dibayangkan betapa jauh rencana dan maksud tujuan Gak Put-kun menghadapi persoalan ini.

Lenghou Tiong juga terkesiap dan bingung melihat cara Gak Leng-sian merobohkan lawan-lawannya itu. Tiba-tiba ada orang membisikinya dari belakang, “Lenghou-kongcu, apakah kau yang mengajarkan jurus-jurus itu kepada Nona Gak?”

Ketika berpaling, Lenghou Tiong melihat yang bicara itu adalah Dian Pek-kong. Maka ia menjawabnya dengan menggeleng.

“Dahulu ketika kau bergebrak dengan aku di puncak Hoa-san, aku masih ingat kau pun pernah menggunakan jurus Lay-ho... apa tadi, cuma waktu itu kau belum menguasai dengan baik,” kata Dian Pek-kong dengan tersenyum.

Lenghou Tiong tidak menjawabnya, ia sedang termenung-menung bingung. Begitu Gak Leng-sian mulai menyerang tadi segera ia dapat melihatnya bahwa apa yang dimainkan Leng-sian itu adalah ilmu pedang Thay-san-pay yang pernah dilihatnya di dalam gua di puncak Hoa-san dahulu. Padahal apa yang pernah dilihatnya itu tidak pernah diberitahukannya kepada orang lain, ketika meninggalkan gua itu ia pun ingat betul-betul telah menutup lubang gua dengan batu, lalu cara bagaimana Gak Leng-sian dapat menemukannya? Tapi lantas terpikir pula olehnya, kalau dirinya dapat menemukan gua itu, mengapa Leng-sian tidak dapat? Apalagi lubang gua itu tentu akan lebih memudahkan diketemukan oleh siausumoaynya.

Dalam pada itu tertampak seorang tua kurus maju ke tengah dan berkata, “Kiranya Gak-siansing telah mahir setiap ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay, sungguh suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi di dunia persilatan. Selama aku meyakinkan ilmu pedang aliran sendiri, ada beberapa tempat sulit yang belum kupecahkan, maka kebetulan hari ini dapat kuminta petunjuk-petunjuk kepada Gak-siansing.”

Habis berkata, dari rebab yang dipegang di tangan kiri itu diloloskan sebatang pedang pandak yang mengilap. Orang tua ini adalah Bok-taysiansing dari Heng-san-pay.

Dengan memberi hormat Gak Leng-sian lantas menanggapi, “Harap Bok-supek maklum, Titli (anak keponakan) hanya belajar beberapa jurus ilmu pedang Heng-san-pay yang tak berarti, mohon Bok-supek sudi memberi petunjuk-petunjuk seperlunya.”

Padahal Bok-taysiansing tadi mengatakan “hari ini kebetulan dapat minta petunjuk-petunjuk kepada Gak-siansing”, jadi yang ditantang adalah Gak Put-kun, siapa duga Gak Leng-sian yang lantas terima tantangannya itu, bahkan menyatakan akan menggunakan ilmu pedang Heng-san-pay malah.

Bok-taysiansing melengak, tapi lantas menjawab dengan tersenyum, “Wah, bagus, bagus! Hebat, hebat!”

Habis itu pedangnya yang pendek itu perlahan-lahan menjulur ke depan, sekonyong-konyong ia menyendal sedikit pedangnya dan seketika menerbitkan suara mendengung. Menyusul mana pedangnya lantas bergerak dan berbunyi “ngung-ngung” dua kali.

Cepat Leng-sian menangkis. Namun pedang Bok-taysiansing itu berkelebat secepat kilat, tahu-tahu ia pun sudah mengitar ke belakang Leng-sian. Lekas-lekas Leng-sian memutar tubuh, terdengar suara mendengung lagi dua kali, maka tertampaklah secomot rambut melayang jatuh ke tanah. Ternyata rambut sendiri telah kena dikupas sepotong oleh Bok-taysiansing.

Keruan Leng-sian terkejut. Tapi cepat ia dapat berpikir bahwa Bok-taysiansing tidak bermaksud mencelakainya, kalau mau tentu serangan tadi sudah membinasakannya. Kalau lawan tak mau mencelakainya, tentu saja kebetulan baginya. Segera Leng-sian melancarkan serangan dua kali ke atas dan ke bawah tanpa menghiraukan lagi serangan lawan.

Bok-taysiansing terkesiap juga oleh serangan Leng-sian itu. Dua jurus serangan itu memang betul gaya ilmu pedang Heng-san-pay yang lihai. Ia heran dari mana anak perempuan ini dapat mempelajarinya?

Namun sedikit pun ia tidak ayal, pedangnya bergerak dengan cepat untuk bertahan, tapi lama-lama ia pun kewalahan. Maklum, Leng-sian sudah ambil keputusan hanya menyerang tanpa menghiraukan diserang. Ia mengetahui Bok-taysiansing takkan mencelakainya, maka yang diutamakan hanya melancarkan serangan dengan jurus-jurus yang lihai. Sebaliknya Bok-taysiansing mau tak mau harus meladeni serangan Leng-sian, dan karena harus meladeni, sukarlah baginya untuk melepaskan diri.

Pedang kedua orang berkelebat sama cepatnya, terdengar suara “crang-creng” berulang-ulang, para penonton sampai tidak tahu siapa yang menyerang dan siapa yang bertahan, tak tahu pula berapa jurus pertarungan kedua orang itu sudah berlangsung.

Sampai pada puncaknya, dengan susah payah Bok-taysiansing dapat menangkis suatu jurus serangan Leng-sian, tapi terpaksa harus melompat mundur oleh serangan lain yang disebut “Thian-cu-in-gi” (Awan Mengelilingi Pilar), Bok-taysiansing menyadari tidak mampu menangkis serangan lihai ini, terpaksa ia melompat ke samping sambil putar pedangnya secepat kilat, padahal pedangnya sama sekali tidak sanggup buat balas menyerang, tujuannya hanya untuk mengaburkan pandangan penonton dan untuk menutupi keadaan sendiri yang konyol itu.

Dalam keadaan demikian terdengar Leng-sian tertawa dan berkata, “Ah, terima kasih atas kesudian Bok-supek mengalah kepada Titli!”

Maka jelaslah hasil pertarungan yang telah berlangsung itu, betapa pun Bok-taysiansing harus mengakui keunggulan lawan.

Tapi dasarnya Leng-sian memang kurang pengalaman, ia menjadi ragu-ragu dan merandek, tidak bicara juga tidak melancarkan serangan susulan. Sebagai seorang yang kenyang asam garam dunia Kang-ouw, tentu saja Bok-taysiansing tidak sia-siakan kesempatan baik itu, segera pedangnya bergerak pula dan menerbitkan suara mendengung, kembali menubruk maju.

Beberapa serangan kilat ini menggunakan segenap kekuatan Bok-taysiansing yang diyakinkan selama ini, dalam sekejap saja Leng-sian sudah terbungkus di dalam sinar pedangnya.

Leng-sian berseru khawatir sambil mundur beberapa langkah. Tapi Bok-taysiansing tidak mau mengulangi kesalahannya tadi, ia tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk balas menyerang. Makin lama makin cepat pedangnya menyambar, sekalipun jago kelas wahid juga sukar melihat jelas arah serangannya. Karena itu para penonton menjadi berkhawatir bagi Leng-sian, ada pula yang gegetun akan kehebatan ilmu pedang Bok-taysiansing.

Dalam pada itu Lenghou Tiong masih termenung-menung terhadap jurus-jurus serangan Leng-sian tadi. Ia tidak habis paham, mengapa siausumoaynya itu mahir menggunakan ilmu silat yang terukir di dinding gua itu, apakah memang benar gua itu telah ditemukan olehnya?

Sedang melamun, seorang laki-laki berewok mendekatinya serta menegurnya perlahan, “Apa yang lagi kau pikirkan?”

“O, aku... aku....” Lenghou Tiong tersentak kaget dari lamunannya.

Pada saat itulah terdengar jeritan Leng-sian, pedangnya mencelat ke udara, sebelah kakinya terpeleset dan jatuh terduduk.

Ujung pedang Bok-taysiansing tampak mengarah ke bahu kanan Leng-sian sambil berkata, “Jangan khawatir Titli yang baik, silakan bangun!”

Tapi mendadak terdengar suara “pletak” satu kali, pedang Bok-taysiansing itu patah bagian tengah. Kiranya Leng-sian telah jemput dua potong batu, pedang Bok-taysiansing ditimpuk dengan batu yang satu sehingga patah, menyusul batu yang lain terus disambitkan ke samping.

Dalam keadaan senjata patah, Bok-taysiansing melengak kaget dan bingung pula melihat Leng-sian menyambitkan batunya ke arah lain. Tak terduga mendadak iganya lantas kesakitan, rupanya batu yang disambitkan ke samping itu mendadak memutar balik dan tepat mengenai tulang iga sehingga patah tulang. Kontan darah tersembur dari mulutnya.

Beberapa kali serang-menyerang ini sungguh berubah dengan sangat cepat, Leng-sian terjatuh, batu melayang, pedang patah, menyusul Bok-taysiansing muntah darah, para penonton sampai melongo karena kejadian-kejadian itu teramat cepat untuk diikuti. Menyusul tertampak sinar pedang berkelebat, pedang Leng-sian yang mencelat ke atas tadi telah jatuh dan menancap di samping Bok-taysiansing dan hampir-hampir menancap tubuhnya

Para penonton telah menyaksikan dengan jelas bahwa setelah Bok-taysiansing menjatuhkan Leng-sian, ia tidak melancarkan serangan habis-habisan melainkan menyuruh Leng-sian jangan takut dan disilakan bangun. Hal ini menang lazim sebagai orang tua yang telah mengalahkan lawan yang lebih muda. Akan tetapi serangan Leng-sian dengan dua potong batu dan kontan membuat lawan tak berkutik dan terluka parah itulah yang benar-benar sukar diduga dan susah dielak.

Hanya Lenghou Tiong saja yang tahu bahwa kedua jurus serangan Leng-sian yang terakhir itu pun diperoleh dari ilmu silat yang terukir di dinding gua Hoa-san itu. Menurut ukiran itu, ketika tokoh Mo-kau mematahkan ilmu pedang Heng-san-pay dahulu, yang digunakan adalah sepasang bandul tembaga dan bukan batu. Cuma sekarang Leng-sian telah menggunakan batu sebagai pengganti bandul.

Tiba-tiba Gak Put-kun mendekati Leng-sian dan menampar mukanya sekali sambil membentak, “Kurang ajar! Jelas Bok-supek sengaja mengalah padamu, mengapa kau berani berbuat kasar kepada beliau?”

Lalu ia memapah Bok-taysiansing ke pinggir dan berkata, “Bok-heng, harap maafkan anak perempuan yang tidak kenal adat itu, sungguh aku sangat menyesal.”

“Benar-benar harimau tidak melahirkan anak anjing, sungguh luar biasa,” ujar Bok-taysiansing dengan meringis. Habis berkata kembali darah tersembur dari mulutnya. Cepat dua anak murid Heng-san-pay berlari mendekatinya dan memayangnya ke tengah rombongannya.

Dengan mata melotot Gak Put-kun mendelik anak perempuannya, lalu mengundurkan diri.

Melihat pipi Leng-sian yang merah terkena tamparan sang ayah, air mata pun meleleh, tapi sikapnya rada bandel, Lenghou Tiong menjadi teringat kepada masa dahulu, bila terkadang Leng-sian nakal dan diomeli ayah-ibunya, sering kali Leng-sian memperlihatkan sikap yang sama seperti sekarang ini. Lalu untuk menyenangkan hati sang sumoay, sering kali Lenghou Tiong ajak bertanding pedang sang sumoay. Hal yang paling menyenangkan hati siausumoaynya itu tak lebih daripada menang bertanding. Maka Lenghou Tiong sengaja pura-pura kalah.

Berpikir sampai di sini, kembali teringat olehnya cara bagaimana Leng-sian bisa mendatangi gua rahasia itu? Besar kemungkinan sesudah menikah, karena kangen kepada hubungan baiknya dengan aku di waktu yang lampau, lalu dia sengaja naik ke puncak itu untuk mengenangkan pengalaman-pengalaman di waktu lalu, dan karena itu dia dapat menemukan gua itu.

Ia menoleh dan memandang sekejap ke arah Lim Peng-ci, lalu pikirnya pula, “Lim-sute baru menikah dengan Siausumoay, sepantasnya dia gembira ria. Tapi mengapa tampaknya dia muram durja? Sebagai suami ia pun tidak menunjukkan perhatiannya terhadap sang istri ketika Leng-sian dihajar oleh ayahnya tadi. Sungguh keterlaluan sikap dinginnya itu.”

Berpikir bahwa mungkin terkenang padanya sehingga Leng-sian naik ke puncak Su-ko-keh untuk mengenangkan masa lampau, walaupun hal ini hanya dugaan sendiri, tapi dalam benak Lenghou Tiong sudah timbul bayangan Leng-sian yang sedang menangis sedih dengan penuh penyesalan telah salah menikahi Lim Peng-ci.

Ketika berpaling lagi, dilihatnya Leng-sian sedang menjemput kembali pedangnya dengan air mata bercucuran.

Mendadak darah bergolak di rongga dada Lenghou Tiong, pikirnya, “Aku akan meledek dia sehingga dari menangis menjadi tertawa.”

Dalam pandangan Lenghou Tiong sekarang panggung Hong-sian-tay di puncak Ko-san ini telah berubah menjadi Giok-li-hong di Hoa-san, beribu-ribu hadirin itu dianggapnya seperti pepohonan belaka, yang dia pikirkan melulu sang jantung hati yang sedang menangis sedih lantaran dihajar ayahnya. Selama hidupnya entah sudah berapa kali ia membujuk dan melucu sehingga sang jantung hati terhibur, lalu tertawa. Mana boleh sekarang dia tinggal diam?

Karena itu tanpa pikir ia terus melangkah maju dan berseru, “Siau... Siau....” tiba-tiba teringat olehnya bahwa agar bisa menyenangkan hati sang jantung hati harus bertanding sungguh-sungguh untuk kemudian barulah mengalah, maka dengan nada menantang ia berganti suara, “Kau telah mengalahkan ketua-ketua dari Thay-san-pay dan Heng-san-pay, sudah tentu ilmu pedangmu tidaklah sembarangan. Tapi Hing-san-pay kami tidak dapat terima, apakah kau pun sanggup menandingi aku dengan ilmu pedang Hing-san-pay?”

Perlahan-lahan Leng-sian angkat kepalanya dengan pedang terhunus, sahutnya, “Kau sendiri pun bukan asli Hing-san-pay, sekarang kau telah menjadi ketua Hing-san-pay, apakah kau pun sudah mahir ilmu pedang aliranmu?”

Sejak Lenghou Tiong diusir dari Hoa-san, sudah beberapa kali ia bertemu dengan Gak Leng-sian, tapi hanya sekali ini saja Leng-sian tidak menggunakan kata-kata pedas dan galak. Sekonyong-konyong timbul rasa gembira Lenghou Tiong, katanya dalam hati, “Aku harus berkelahi dengan teliti, supaya dia tidak tahu bahwa aku sengaja mengalah padanya.”

Maka jawabnya kemudian, “Bilang mahir, betapa pun aku tidak berani. Tapi sudah sekian lamanya aku berada di Hing-san, dengan sendirinya aku pun sudah cukup masak meyakinkan pedang Hing-san-pay. Sekarang kita harus sama-sama menggunakan ilmu pedang Hing-san-pay, kalau bukan ilmu pedang Hing-san-pay dianggap kalah. Bagaimana? Jadi?”

Bahwasanya ilmu pedang yang dikuasai Lenghou Tiong jauh lebih tinggi daripada Leng-sian cukup diketahui orang lain. Namun di dalam hati ia sudah ambil keputusan, bilamana nanti pertandingan sudah berjalan, pada akhirnya dia akan menggunakan Tokko-kiu-kiam untuk mengalahkan Leng-sian, dengan demikian kemenangannya akan dianggap batal dan berbalik dianggap kalah malah. Cara demikian tentu takkan menimbulkan sangsi orang lain bahwa cara kalahnya itu sengaja dibuat.

Ternyata Leng-sian lantas menjawab, “Baik, boleh kita mulai!”

Pedangnya berputar setengah lingkaran dan segera menusuk miring ke arah Lenghou Tiong.

Serentak terdengarlah jerit heran anak murid Hing-san-pay. Nyata mereka sangat kagum terhadap serangan Leng-sian itu. Ini pun membuktikan bahwa apa yang digunakan Leng-sian memang betul adalah ilmu pedang Hing-san-pay.

Kiranya memang tidak salah bahwa jurus serangan Leng-sian itu adalah jurus ilmu pedang yang pernah dipelajari Lenghou Tiong dari dinding gua Hoa-san itu, jurus serangan ini pun sudah diajarkan Lenghou Tiong kepada anak murid Hing-san-pay. Dari itu mereka lantas mengenali jurus serangan Gak Leng-sian itu.

Lantaran sudah cukup lama tinggal bersama anak murid Hing-san-pay, ilmu pedang yang pernah dimainkan tokoh-tokoh tertinggi Hing-san-pay seperti Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay juga sudah sering dilihatnya dahulu, maka sekarang permainan ilmu pedang Lenghou Tiong dapat berjalan dengan lancar dan tidak malu sebagai ketua Hing-san-pay.

Padahal Lenghou Tiong telah mempelajari Tokko-kiu-kiam yang meliputi inti ilmu silat dari berbagai aliran. Ilmu pedang yang dia mainkan hanya gayanya saja memperlihatkan kemiripan dengan Hing-san-kiam-hoat, tapi sebenarnya setiap jurusnya rada berbeda daripada apa yang dimiliki Ting-sian Suthay dan lain-lain. Hal ini sukar diketahui orang luar, hanya Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain dapat melihat perbedaan itu.

Jadi ilmu pedang Hing-san-pay yang dimainkan Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian sekarang sama-sama diperoleh dari ukiran di dalam gua rahasia di puncak Hoa-san itu. Cuma dasar ilmu pedang Lenghou Tiong jauh lebih kuat daripada Leng-sian, pula dia sudah sekian lamanya berdiam di Hing-san sehingga pengetahuannya tentang ilmu silat Hing-san-pay menjadi lebih luas pula. Maka begitu kedua orang mulai bergebrak, jika Lenghou Tiong tidak sengaja mengalah tentu dalam beberapa jurus saja Leng-sian sudah dikalahkan.

Begitulah kedua orang bergebrak dengan sangat cepat dan kencang, setelah lebih 30 jurus, Leng-sian harus mengulangi kembali jurus serangan yang dipelajarinya dari ukiran di dinding gua itu. Lenghou Tiong juga melayani dengan sama cepatnya, karena ilmu pedang kedua orang serupa, maka pertandingan berlangsung dengan sangat menarik.

Seorang penonton berkata dengan kagum, “Bahwasanya Lenghou Tiong dapat memainkan ilmu pedangnya sedemikian bagus adalah jamak karena dia memang ketua Hing-san-pay, tapi Nona Gak adalah orang Hoa-san-pay, mengapa ia pun mahir Hing-san-kiam-hoat?”

“Kau jangan lupa bahwa tadinya Lenghou Tiong adalah murid tertua Gak-siansing, maka jelas Gak-siansing sendiri yang telah mengajarkan ilmu pedang ini, kalau tidak masakan kedua muda-mudi ini dapat bertanding sedemikian seru?”
Ya, kalau Gak-siansing sudah mahir ilmu pedang Hoa-san-pay, Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay, maka ilmu pedang Ko-san-pay tentu juga mahir. Kuyakin jabatan ketua Ngo-gak-pay tak ada pilihan lain kecuali beliau yang menjabatnya,” kata seorang penonton lain pula.

“Ah, juga belum pasti,” sahut lagi seorang. “Ilmu pedang Co-ciangbun dari Ko-san pasti jauh lebih tinggi daripada Gak-siansing. Ilmu silat mengutamakan kualitas dan tidak mementingkan kuantitas. Sekalipun kau mampu memainkan segala macam ilmu silat di dunia ini, tapi kalau pengetahuanmu hanya beberapa jurus cakar kucing saja apa gunanya? Maka aku yakin Co-ciangbun melulu menggunakan Ko-san-kiam-hoat saja pasti sanggup mengalahkan ilmu pedang empat aliran yang dikuasai Gak-siansing.”
Huh, dari mana kau mendapat tahu begitu jelas sehingga kau berani omong besar tanpa malu?” omel orang tadi dengan mendongkol.

“Omong besar tanpa malu apa? Jika kau berani, hayolah kita bertaruh 100 perak, aku bae Co-ciangbun dan kau pegang Gak-siansing,” jawab yang lain dengan aseran.

“Kenapa tidak berani?” teriak orang pertama. “Ini, seratus perak, kontan!”

“Jadi!” yang lain tak mau kalah. “Tidak perlu kontan, bayar belakang juga boleh.”

“Huh, nanti buka cek kosong!” ejek yang pertama.

“Cuh!” kawannya meludah sambil mencibir.

Dalam pada itu pertarungan kedua orang masih berlangsung dengan cepat. Melihat gerak tubuh Leng-sian yang indah, Lenghou Tiong menjadi teringat kepada keadaan masa dahulu di waktu mereka berdua latihan bersama. Tanpa terasa pikirannya melayang-layang, ketika Leng-sian menusuknya, segera ia balas menyerang. Tak tahunya jurus ini ternyata bukan Hing-san-kiam-hoat.

Leng-sian melengak, katanya dengan suara perlahan, “Jing-bwe-ji-tau!”

Menyusul ia pun balas suatu jurus, menebas ke dahi Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong juga melengak dan menggumam, “Liu-yap-su-bi!”

Jing-bwe-ji-tau (Mundu Hijau Laksana Kacang) dan Liu-yap-su-bi (Daun Liu Lentik Seperti Alis) adalah jurus-jurus dalam Tiong-leng-kiam-hoat, yakni ilmu pedang ciptaan Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian. Nama ilmu pedang itu diambil dari singkatan nama masing-masing, yaitu tiong dan leng. Ilmu pedang ini sebenarnya tiada sesuatu yang istimewa, cuma dahulu telah mereka latih dengan sangat masak. Maka sekarang tanpa terasa telah dikeluarkannya bersama di hadapan orang banyak.

Hanya sekejap saja belasan jurus sudah berlangsung, bukan saja Lenghou Tiong merasa berada kembali di waktu latihan bersama di masa dahulu, bahkan Leng-sian juga melayang pikirannya dan lupa daratan bahwa dirinya sekarang sudah menjadi istri orang, yang terbayang olehnya hanya sang suheng yang cakap itu sedang berlatih bersama dengan dia.

Tiong-leng-kiam-hoat itu diciptakan mereka ketika kedua muda-mudi itu sedang tenggelam di tengah lautan asmara dahulu. Maka serang-menyerang dilakukan dengan asyik, satu dan lain sama isi-mengisi.

Tujuan Lenghou Tiong bertanding dengan Leng-sian adalah sengaja hendak mengalah untuk menghibur hati duka Leng-sian karena dihajar oleh ayahnya tadi. Sekarang melihat air muka Leng-sian semakin cerah, sorot matanya memperlihatkan perasaan gembira melayani serangan-serangannya, sungguh tidak terkatakan rasa senang Lenghou Tiong bahwa maksudnya telah tercapai. Dalam keadaan demikian sungguh ia berharap Tiong-leng-kiam-hoat mereka itu mencakup beribu-ribu jurus serangan yang tak habis-habis dimainkan sehingga dia akan dapat menghadapi sang sumoay yang sebenarnya sangat dicintainya itu untuk selama-lamanya.

Kembali dua-tiga puluh jurus telah lalu. Suatu ketika pedang Leng-sian menebas ke kaki kiri Lenghou Tiong. Cepat Lenghou Tiong angkat kakinya terus mendepak batang pedang lawan. Tapi Leng-sian segera tekan pedangnya ke bawah berbareng menebas telapak kaki.

Namun pedang Lenghou Tiong telah menusuk juga ke pinggang Leng-sian sehingga terpaksa ia putar pedangnya ke atas untuk menangkis. “Trang”, kedua pedang beradu sehingga sama-sama tergetar ke atas, berbareng kedua orang sama-sama menyorong pedang masing-masing ke depan untuk menusuk tenggorokan lawan dengan cepat luar biasa.

Menurut arah pedang masing-masing itu, jelas siapa pun sukar menghindarkan diri dan pasti akan gugur bersama. Tanpa terasa para penonton ikut menjerit khawatir. Tapi mendadak terdengar suara “cring” yang perlahan, ujung pedang masing-masing ternyata saling ketemu dan terbentur sehingga lelatu api meletik, batang pedang masing-masing sampai melengkung, menyusul kedua orang sama-sama tergetar dan melompat mundur dengan mengulum senyum mesra.

Sungguh di luar dugaan siapa pun juga bahwa akhirnya serangan maut masing-masing itu bisa saling bentur di tengah jalan. Hal ini biarpun beribu-ribu kali juga jarang terjadi satu kali. Tapi di saat menentukan antara hidup dan mati mereka berdua itu ternyata ujung pedang mereka bisa kebentur secara sedemikian tepat.

Orang lain tidak tahu bahwa benturan ujung pedang di tengah jalan itu mungkin teramat sulit terjadi, namun bagi mereka justru telah sengaja berlatih benturan demikian itu secara tak kenal capek dan entah sudah berlangsung berapa ribu kali latihan mereka dan akhirnya telah berhasil.

Tadinya Lenghou Tiong mengusulkan jurus itu, diberi nama “Ni-su-ngo-hoat” (Kau Mati Aku Hidup), tapi Leng-sian keberatan, mengapa kau mati dan aku hidup, katanya. Kan lebih baik “Tong-seng-kiong-si” (Sehidup dan Semati).

Begitulah selagi Leng-sian terbayang kepada peristiwa-peristiwa di masa dahulu, tiba-tiba di tengah penonton ada suara orang menjengek. Keruan ia terkejut sebab dapat dikenalnya suara jengekan itu dikeluarkan oleh Lim Peng-ci, suaminya. Seketika ia merasa cara bertempurnya dengan Lenghou Tiong itu memang tidak wajar. Segera ia angkat pedangnya dan menyerang pula dengan gaya yang indah. Ternyata yang digunakan sekarang adalah salah satu jurus “Giok-li-kiam” dari Hoa-san-pay.

Suara jengekan Peng-ci itu didengar juga oleh Lenghou Tiong. Akibat dari suara jengekan itu segera Leng-sian melancarkan jurus serangan tanpa kenal ampun, tidak lagi memperlihatkan sikap mesra sebagaimana menggunakan Tiong-leng-kiam-hoat tadi. Seketika hati Lenghou Tiong menjadi pilu, segala macam kejadian masa lampau terbayang semua di dalam benaknya.

Dalam keadaan pikiran kusut itu, tiba-tiba Leng-sian menyerang pula, tanpa pikir Lenghou Tiong cepat menyelentik, “creng”, dengan tepat batang pedang Leng-sian terjentik dan terlepas dari cekalan.

Setelah menyelentik barulah Lenghou Tiong sadar apa yang terjadi, diam-diam ia mengeluh atas tindakannya yang telanjur itu. Dilihatnya sikap Leng-sian yang cemas-cemas murung. Ia menjadi teringat pada waktu dirinya dihukum menyepi di puncak Su-ko-keh dahulu, ketika Leng-sian mengantar daharan padanya, si nona telah mengajak latihan ilmu pedang Giok-li-kiam-hoat yang baru saja dipelajarinya, ketika itu pun dia telah menyelentik pedang Leng-sian sehingga terpental dan jatuh ke jurang, lantaran kejadian itu Leng-sian menjadi marah dan tinggal pergi. Sejak itu timbullah ketegangan di antara mereka berdua. Tak terduga kejadian yang sama itu kini terulang kembali.

Kalau dahulu saja dia sudah dapat menyelentik sehingga pedang Leng-sian terpental, apalagi sekarang lwekangnya sudah jauh lebih tinggi, maka pedang Leng-sian yang mencelat ke udara tadi sampai sekian lamanya baru jatuh ke bawah.

Padahal tujuan Lenghou Tiong hanya ingin membikin senang hati siausumoaynya, sebaliknya sekarang dia malah menyelentik pedangnya hingga mencelat dan membuatnya malu di depan umum, sungguh perbuatan tidak patut.

Sekilas tertampak pedang Leng-sian itu sedang melayang ke bawah, tanpa pikir Lenghou Tiong terus mendoyongkan tubuhnya sambil berseru, “Hing-san-kiam-hoat yang bagus!”

Dengan gaya seperti berusaha mengelak, tapi sebenarnya tubuhnya sengaja disodorkan ke ujung pedang yang menyambar turun itu. Maka terdengarlah suara “cret” satu kali, pedang itu langsung menancap di belakang bahu kanannya. Kontan tubuh Lenghou Tiong tersungkur ke depan sehingga badannya seakan-akan terpaku di tanah oleh pedang Leng-sian.

Kejadian ini benar-benar terlalu mendadak sehingga para penonton menjerit kaget dan melongo.

Leng-sian juga terkejut dan berseru, “Toa... Toasuko, ken....” segera dilihatnya seorang laki-laki berewok berlari mendekati dan membangunkan Lenghou Tiong, pedang yang menancap di tubuhnya itu dicabut, lalu Lenghou Tiong dipondong ke sana.

Darah segar tampak mengucur deras dari luka di bahu Lenghou Tiong, belasan anak murid Hing-san-pay lantas memapak maju pula untuk memberi pertolongan dengan obat luka.

Karena tidak tahu bagaimana luka Lenghou Tiong itu, Leng-sian bermaksud mendekatinya untuk melihat. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat, dua orang nikoh telah merintanginya sambil membentak, “Perempuan yang berhati keji!”

Leng-sian melengak dan mundur beberapa langkah, seketika ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Terdengarlah Gak Put-kun tertawa nyaring dan berseru, “Anak Sian, sungguh tidak sia-sia kau telah mengalahkan ketua dari tiga aliran dengan menggunakan ilmu pedang dari aliran masing-masing.”

Bahwasanya jurus terakhir yang digunakan Leng-sian itu apakah benar jurus ilmu pedang Hing-san-pay atau bukan, sebenarnya para penonton juga tidak tahu jelas. Yang pasti dan terbukti adalah Lenghou Tiong terluka oleh Leng-sian, hal ini tak bisa disangkal oleh siapa pun juga. Sebab itulah tiada seorang pun yang berani menanggapi ucapan Gak Put-kun itu.

Dengan perasaan bingung Leng-sian menjemput kembali pedangnya yang terbuang di tanah itu, melihat batang pedang penuh berlepotan darah, ia menjadi khawatirkan keselamatan jiwa Lenghou Tiong.

Dalam pada itu terdengar suara seorang yang keras lantang berseru, “Gak-siansing tidak cuma menguasai ilmu pedang Hoa-san-pay sendiri, bahkan ilmu pedang Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay juga dikuasainya dengan sempurna, sungguh sangat mengagumkan dan harus dipuji. Maka jabatan ketua Ngo-gak-pay rasanya tiada pilihan lain daripada Gak-siansing sendiri yang harus mendudukinya.”

Pembicara ini adalah seorang tua berjenggot, ialah pangcu dari Kay-pang.

Sebagai suatu organisasi terbesar di dunia Kang-ouw, apa yang diucapkan Pangcu Kay-pang sudah tentu mempunyai nilai tertentu, maka tidak sembarangan orang berani menanggapinya.

Tiba-tiba seorang menjawab dengan suara dingin, “Nona Gak ternyata mahir ilmu pedang dari berbagai aliran, sungguh pantas dipuji. Kalau dapat mengalahkan pula diriku dengan Ko-san-kiam-hoat, maka tanpa syarat aku pun akan mendukung Gak-siansing sebagai ketua Ngo-gak-pay.”

Pembicara ini adalah Co Leng-tan. Sambil bicara ia terus maju ke tengah kalangan. Sekali tangan kiri menepuk sarung pedang, kontan pedangnya meloncat keluar dari sarungnya. Tertampak sinar pedang berkelebat, dengan tangan kanan Co Leng-tan telah pegang gagang pedangnya.

Sekali tepuk sarung pedang saja dapat membuat pedang meloncat keluar sendiri dari sarungnya, sungguh suatu gaya yang indah dan luar biasa pula tenaga dalamnya. Seketika anak murid Ko-san-pay sama bersorak, tidak kecuali pula sebagian hadirin juga berteriak memuji.

Maka terdengarlah Gak Leng-sian menjawab tantangan Co Leng-tan tadi, “Aku hanya main tiga belas jurus saja, dalam 13 jurus kalau tak bisa mengalahkan Co-supek....”

“Bagus, kalau dalam 13 jurus tak bisa memenggal kepalaku, lalu bagaimana?” Co Leng-tan menegas dengan gusar karena merasa terhina.

“Mana bisa aku menandingi Co-supek,” ujar Leng-sian. “Hanya 13 jurus ilmu pedang Ko-san-pay yang kupelajari dari ayah, maka aku ingin mencoba-cobanya dengan Co-supek.”

Co Leng-tan mendengus tanpa menjawab.

Lalu Leng-sian berkata pula, “Kata Ayah, meski ke-13 jurus Ko-san-kiam-hoat ini adalah jurus-jurus serangan paling hebat dari Ko-san-pay, tapi dalam permainanku mungkin cuma satu jurus saja pedangku sudah tergetar mencelat dari cekalan, apalagi mau mainkan pula jurus kedua.”

Kembali Co Leng-tan mendengus tanpa menanggapi.

“Sudah tentu aku tidak percaya,” demikian Leng-sian melanjutkan. “Kukatakan kepada Ayah, sekalipun Co-supek terhitung jago nomor satu Ko-san-pay, tapi dia belum terhitung jago nomor satu dari Ngo-gak-kiam-pay kita, betapa pun dia tidak mahir ilmu pedang dari kelima aliran kita seperti Ayah. Namun Ayah dengan rendah hati menyatakan kepandaian beliau juga belum dapat dikatakan mahir, kalau tidak percaya boleh coba kau menandingi ilmu pedang Co-supek-mu yang lihai itu, bila kau sanggup bergebrak tiga jurus saja dengan dia, maka kau terhitung anak perempuanku yang tersayang.”




Bab 116. Co Leng-tan Melawan Gak Put-kun

Hm, jika dalam tiga jurus bahkan kau dapat mengalahkan orang she Co, tentu kau lebih-lebih disayang ayahmu bukan?” jengek pula Co Leng-tan.

“Ilmu pedang Co-supek mahasakti, masakah aku berani mimpi mengalahkan Co-supek apa segala,” kata Leng-sian. “Hanya saja aku ingin coba-coba bertahan sampai 13 jurus, entah bisa terkabul tidak harapanku ini.”

Mendongkol sekali hati Co Leng-tan, pikirnya, “Jangankan 13 jurus, asal kau mampu menahan tiga jurus saja sudah terhitung hebat.”

Tanpa berkata lagi segera ia gunakan tiga jari tangan kiri untuk memegang ujung pedangnya, tangan kanan lantas lepas sehingga pedang menegak, gagang pedang di depan, lalu katanya, “Mulailah!

Cara Co Leng-tan memegang senjatanya ini benar-benar menggemparkan para penonton, Bahwa menggunakan pedang dengan tangan kiri saja luar biasa, apalagi dia hanya memegangi ujung pedang dengan tiga jari, gagang pedang yang digunakan menghadapi musuh.

Leng-sian juga terkesiap, ia tidak tahu kepandaian apa yang akan dikeluarkan Co Leng-tan, betapa pun wibawa Co Leng-tan memang angker, mau tak mau timbul juga rasa jeri pada hati Leng-sian, tapi urusan sudah sejauh ini, buat apa takut lagi?

Sekilas Leng-sian melirik ke arah murid-murid Hing-san-pay, kelihatan mereka masih sibuk dan merubung di sana, namun tiada suara tangisan, dapat diduga luka Lenghou Tiong meski parah agaknya tidak membahayakan jiwanya. Maka rada legalah hatinya. Segera ia angkat pedang dan membungkuk tubuh dengan gaya “Ban-gak-tiau-cong” (Berlaksa Gunung Menghadap Pusat), yakni suatu jurus Ko-san-kiam-hoat yang murni.

Jurus pembukaan ini mengandung arti menghormat, maka gemparlah anak murid Ko-san-pay, tapi merasa puas juga atas sikap Leng-sian itu.

Co Leng-tan manggut perlahan, katanya di dalam hati, “Ternyata kau pun bisa memainkan jurus ini, mengingat sikap hormatmu ini biarlah aku takkan membikin malu kau di depan orang banyak.”

Setelah jurus pembukaan tadi, segera Leng-sian melancarkan serangan, pedangnya berkelebat terus menusuk.

Co Leng-tan terkejut oleh kecepatan dan cara menyerang Leng-sian itu. Ia heran dari mana putri Gak Put-kun ini mempelajari ilmu pedang Ko-san-pay yang indah ini. Sebagai seorang guru besar Ko-san-pay, dengan sendirinya ingin tahu lebih mendalam setiap jurus ilmu silat aliran sendiri yang hebat. Ia lihat tusukan Leng-sian itu tidak membawa tenaga dalam yang terlalu kuat, asal sudah dekat dan menyelentiknya dengan jari tentu pedang lawan itu akan terpental. Maka ia sengaja membiarkan tusukan Leng-sian itu lebih mendekat untuk melihat bagaimana perubahan berikutnya.

Ternyata sebelum mencapai sasarannya, mendadak Leng-sian menarik kembali pedangnya, orangnya menggeser ke samping, pedangnya membalik terus menebas ke bahu kiri Co Leng-tan. Kembali suatu gerak serangan yang indah yang membuat Co Leng-tan terkejut heran dan kegirangan pula karena dapat menyaksikan ilmu pedang aliran sendiri yang belum pernah dilihatnya.

Sejak umur belasan Co Leng-tan sudah mempelajari ilmu pedang Ko-san-pay dengan tekun sekali, setelah mewarisi jabatan ketua Ko-san, banyak pula dia mengembangkan ilmu pedang Ko-san-pay yang belum pernah dikerjakan oleh leluhur Ko-san-pay, maka dia boleh dikatakan tokoh Ko-san-pay yang paling berjasa dalam mengembangkan ilmu silat golongannya. Akan tetapi kini ilmu pedang Ko-san-pay yang dimainkan Leng-sian itu adalah hasil tiruannya dari ukiran di dinding gua Hoa-san, betapa pun tinggi ilmu pedang yang diyakinkan Co Leng-tan toh masih kalah hebat daripada apa yang dimainkan Leng-sian sekarang. Karena itu Co Leng-tan menjadi kegirangan dan sangat tertarik untuk mengikutinya lebih lanjut.

Bila lawan Co Leng-tan adalah Hong-ting Taysu atau Tiong-hi Tojin yang lihai, tentu dia tidak punya kesempatan untuk menilai dan mengikuti gerak serangan lawan. Tapi sekarang tenaga dalam Leng-sian masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan Co Leng-tan, pada detik berbahaya bila perlu dia masih sanggup menggetar jatuh pedang lawan itu, maka ia tidak mengkhawatirkan akibatnya dan dapat memusatkan perhatian untuk mengikuti setiap gerak serangan pedang Gak Leng-sian.
Para penonton menjadi heran juga menyaksikan cara bertanding mereka itu. Setiap kali Leng-sian selalu menarik kembali serangannya sebelum mencapai sasarannya, seperti sengaja mengalah dan seperti juga merasa jeri. Sebaliknya Co Leng-tan tidak ambil pusing terhadap serangan yang tiba, air mukanya sebentar heran sebentar girang seperti orang linglung. Pertandingan demikian benar-benar jarang terjadi.

Tapi lantaran ilmu pedang Gak Leng-sian ini hanya tiruan dari gambar yang dilihatnya di dinding gua itu, biarpun mengandung intisari yang mendalam, namun Leng-sian tidak mampu mengembangkannya dengan baik sehingga gayanya tetap begitu-begitu saja. Ko-san-kiam-hoat yang terukir di dinding gua itu hanya meliputi tiga belas jurus, setelah 13 jurus selesai dimainkan, bila perlu terpaksa ia harus mengulangi dari semula.

Sampai di sini pikiran Co Leng-tan tergerak, apakah mesti melihat lebih jauh ilmu pedang lawannya atau bikin pedang lawan tergetar lepas dari cekalan? Kedua hal ini terlalu gampang baginya. Kalau mau melihat lebih lanjut, betapa pun tinggi kepandaian Gak Leng-sian toh tidak mampu mencelakainya. Sebaliknya kalau mau menggetar lepas pedang lawan juga tidak sukar baginya. Namun untuk memilih satu di antara dua inilah yang sulit.

Dalam sekejap macam-macam pikiran sudah terlintas dalam benaknya, “Ko-san-kiam-hoat yang dia mainkan ini sangat aneh dan bagus, sesudah ini mungkin tiada kesempatan buat melihatnya lagi. Untuk membunuh anak perempuan ini adalah terlalu gampang, tapi mencari ilmu pedangnya inilah yang sukar. 
Rasanya juga tidak mungkin aku minta-minta kepada Gak Put-kun untuk memperlihatkan Ko-san-kiam-hoat ini padaku. Sebaliknya kalau kubiarkan dia ulangi kembali permainannya akan menunjukkan pula ketidakmampuanku melawan seorang anak perempuan, lalu ke mana mukaku ini harus kutaruh? Ah, mungkin sudah lebih 13 jurus yang dijanjikan.”

Teringat pada 13 jurus, seketika hasratnya menjadi pemimpin Ngo-gak-pay mengalahkan pikiran-pikiran lain, segera ia putar pedangnya ke atas, terdengarlah benturan nyaring, pedang Leng-sian tergetar patah menjadi beberapa bagian dan jatuh ke tanah.

Leng-sian cepat melompat mundur, serunya nyaring, “Co-supek, sudah berapa jurus Ko-san-kiam-hoat yang kumainkan tadi?”

Co Leng-tan coba mengingat-ingat kembali jurus-jurus serangan Leng-sian tadi, lalu menjawab, “Ya, sudah kau mainkan 13 jurus. Sungguh hebat.”

Leng-sian memberi hormat, lalu berkata pula, “Terima kasih atas kemurahan Co-supek sehingga Titli mampu memainkan 13 jurus Ko-san-kiam-hoat dengan lancar.”

Bahwa Co Leng-tan dapat membikin pedang lawannya tergetar patah menjadi beberapa bagian memang luar biasa. Namun Leng-sian sudah bicara di muka bahwa dia akan memainkan 13 jurus Ko-san-kiam-hoat, bagi pandangan kebanyakan orang kalau dia sanggup bergebrak tiga jurus saja dengan Co Leng-tan, sudah terhitung hebat, jangankan 13 jurus. 
Tak terduga Co Leng-tan menjadi linglung sehingga tanpa terasa Leng-sian benar-benar dapat menyelesaikan 13 jurus serangannya.

Segera seorang tua dari Ko-san-pay tampil ke muka dan berseru, “Ilmu sakti Co-ciangbun telah kita saksikan bersama, bahkan beliau cukup bijaksana dan murah hati. Sebaliknya putri keluarga Gak ini baru memahami sedikit Ko-san-kiam-hoat kami lantas berani omong besar dan pamer di hadapan Co-ciangbun, namun apa jadinya? Akhirnya dia keok juga. Ini pun membuktikan bahwa ilmu silat mengutamakan kemahiran khusus, asalkan terlatih sempurna, ilmu silat dari aliran mana pun dapat menjagoi dunia persilatan....”

Sudah tentu para penonton sama cocok dengan ucapan orang tua ini, soalnya memang jarang yang mahir macam-macam ilmu silat kecuali ilmu silat dari perguruannya sendiri.

Maka terdengar orang tua tadi melanjutkan, “Rupanya Gak-toasiocia ini entah berhasil mengintip di mana dan memperoleh sedikit ilmu pedang dari golongan lain, lalu dia berani sesumbar di sini, katanya telah menguasai ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay. Padahal ilmu pedang dari aliran masing-masing mempunyai intisarinya sendiri-sendiri, kalau cuma paham sedikit kulitnya atau bulunya saja mana dapat dikatakan sudah mahir?”

Kembali para penonton mengangguk setuju dan sama berpikir Gak Put-kun harus bertanggung jawab karena telah melanggar pantangan besar orang persilatan, yaitu mengintip dan mencuri belajar ilmu silat golongan lain.

Melihat sebagian besar hadirin mendukung ucapannya, segera orang tua itu bicara lagi, “Maka dari itu, tentang jabatan ketua Ngo-gak-pay ini kukira tiada pilihan lain kecuali Co-ciangbun yang pantas mendudukinya. Dari sini juga terbukti bahwa meyakinkan ilmu silat dari suatu aliran yang khusus dengan sempurna jelas lebih baik dan lebih tinggi juga daripada manusia yang suka menganglap dan menyerobot macam-macam ilmu silat orang lain secara tidak sah.”

Kata-kata terakhir itu jelas ditujukan kepada Gak Put-kun, maka serentak beratus murid Ko-san-pay sama bersorak membenarkan.

“Nah, coba siapa lagi di antara anggota-anggota Ngo-gak-pay yang merasa kepandaiannya dapat melebihi Co-ciangbun boleh silakan maju untuk mengukur kekuatan masing-masing,” kata si orang tua pula. Tapi meski dia ulangi lagi tantangannya, tetap tiada jawaban.

Mestinya Tho-kok-lak-sian dapat mengoceh lagi, tapi saat itu Ing-ing lagi sibuk menolong Lenghou Tiong yang terluka parah, dia tidak sempat lagi memberi petunjuk-petunjuk kepada Tho-kok-lak-sian untuk mengadu mulut dengan pihak Ko-san-pay.

Lantaran tidak tahu apa yang harus dikatakan, Tho-kok-lak-sian juga saling pandang dengan bingung.

Maka orang tua itu lantas buka suara pula, “Kalau tiada seorang pun yang berani menantang Co-ciangbun, maka dengan sendirinya Co-ciangbun disilakan menjabat ketua Ngo-gak-pay kita sesuai dengan keinginan kita.”

Tapi Co Leng-tan pura-pura menolak, katanya, “Ah, masih banyak tokoh-tokoh Ngo-gak-pay yang lebih baik, Cayhe sendiri tidak sanggup menerima jabatan seberat ini.”

“Tugas sebagai ketua Ngo-gak-pay memang berat,” kata orang tua tadi, “tapi apa pun juga Co-ciangbun adalah pantas memimpin kita menuju hari depan yang bahagia. Maka sekarang juga silakan Co-ciangbun naik ke atas panggung untuk peresmian upacara.”

Maka bergemuruhlah suara genderang dan tambur disertai petasan yang riuh, rupanya semua ini telah disiapkan sebelumnya oleh anak murid Ko-san-pay. 
Menyusul orang-orang Ko-san-pay lantas bersorak-sorai, “Silakan Co-ciangbun naik panggung.”
Tanpa bicara lagi Co Leng-tan lantas melompat ke atas, dengan enteng ia tancapkan kakinya di atas Hong-sian-tay. Lalu ia memberi hormat kepada para hadirin di bawah panggung, katanya, “Atas penghargaan para kawan, akan kelihatan terlalu mementingkan diri sendiri jika Cayhe menolak lagi untuk memikul tanggung jawab yang berat ini.”

Beratus-ratus orang Ko-san-pay serentak bertepuk tangan pula memberi pujian.

Tapi mendadak suara seorang wanita berseru, “Co-supek, kau menggetar patah pedangku, apakah dengan demikian kau sudah terhitung ketua Ngo-gak-pay?”

Yang bicara ini bukan lain adalah Gak Leng-sian.

Co Leng-tan menjawab, “Bukankah semua orang tadi mendengar juga bahwa kita bertanding untuk berebut juara. Bila Gak-siocia yang menggetar patah pedangku, dengan sendirinya kita pun akan mengangkat Gak-siocia sebagai ketua Ngo-gak-pay.”

“Untuk mengalahkan Co-supek sudah tentu aku tidak mampu,” ujar Leng-sian. “Tapi di antara jago-jago Ngo-gak-pay kukira tidak mustahil masih cukup banyak orang yang dapat mengalahkan Co-supek.”

Padahal di antara tokoh-tokoh Ngo-gak-pay, yang paling ditakuti Co Leng-tan hanya Lenghou Tiong saja, sekarang Lenghou Tiong sudah terluka parah, hati Co Leng-tan sudah merasa lega. Maka segera ia menjawab, “Kalau menurut penilaian Gak-siocia, jago-jago yang mampu mengalahkan aku barangkali adalah suamimu, ibumu, atau ayahmu?”

Seketika orang-orang Ko-san-pay tertawa gemuruh pula, tertawa yang mengejek.

Gak Leng-sian menjawab dengan tenang, “Suamiku adalah angkatan muda, kepandaiannya mungkin masih selisih setingkat dengan Co-supek. Tapi ilmu pedang ibuku tentu dapat menandingi Co-supek dengan sama kuat. Mengenai ayahku, dengan sendirinya beliau lebih tinggi daripada Co-supek.”

Kembali suara riuh ramai timbul dari rombongan orang-orang Ko-san-pay, ada yang bersuit mengejek, ada yang berteriak marah.

Co Leng-tan lantas berpaling kepada Gak Put-kun dan berkata, “Gak-siansing, terhadap ilmu silatmu, agaknya putrimu sendiri amat sangat menghargaimu.”

“Ah, anak perempuan memang banyak omong,” sahut Gak Put-kun. “Harap Co-heng jangan anggap sungguh-sungguh. Tentang ilmu silat Cayhe memang ketinggalan jauh kalau dibandingkan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-pay, Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay, serta tokoh-tokoh terkemuka yang lain.”

Air muka Co Leng-tan berubah seketika. Gak Put-kun hanya menyebut Hong-ting Taysu, Tiong-hi Totiang, dan lain-lain, tapi sama sekali tidak menyebut namanya Co Leng-tan, hal ini berarti ia menganggap kepandaian sendiri memang lebih tinggi daripada orang she Co.

Tapi orang tua Ko-san-pay tadi toh masih menegas, “Dan kalau dibandingkan Co-ciangbun kami kira-kira bagaimana?”
Cayhe sudah cukup lama bersahabat dengan Co-heng dan saling menghargai,” jawab Gak Put-kun. “Selama ratusan tahun ilmu pedang Ko-san-pay dan Hoa-san-pay juga mempunyai ciri khas masing-masing dan belum pernah menentukan pihak mana yang lebih unggul. Maka pertanyaan Han-heng ini sungguh membikin Cayhe sukar menjawabnya.”

Kiranya orang tua itu she Han, dari nada bicaranya rupanya kedudukannya tidaklah rendah di dalam Ko-san-pay, hanya saja orang Kang-ouw tidak banyak yang mengenalnya.

Segera orang she Han itu berkata pula, “Dari nada ucapan Gak-siansing agaknya kau merasa kepandaianmu memang lebih kuat daripada Co-ciangbun kami?”

“Sebenarnya soal bertanding untuk menentukan siapa lebih unggul sejak dahulu kala sukar dihindarkan,” kata Gak Put-kun. “Sudah lama Cayhe memang punya maksud minta petunjuk kepada Co-heng. Cuma sekarang kita baru saja membangun Ngo-gak-pay, siapa ketuanya juga belum ditentukan, kalau Cayhe lantas bertanding dengan Co-heng tampaknya menjadi rada-rada tidak enak, sebab orang tentu akan mengatakan Cayhe sengaja hendak berebut menjadi ketua dengan Co-heng.”

“Tapi kalau Gak-heng memang benar dapat mengalahkan pedang di tanganku ini, maka jabatan ketua Ngo-gak-pay dengan sendirinya akan kuserahkan kepada Gak-heng,” kata Co Leng-tan.

“Ah, jangan bicara demikian, sebab orang yang berilmu silat tinggi belum tentu martabatnya juga tinggi,” ujar Gak Put-kun. “Biarpun Cayhe dapat mengalahkan Co-heng juga belum tentu sanggup mengalahkan tokoh-tokoh Ngo-gak-pay yang lain.”

Biar ucapannya sangat rendah hati, tapi setiap katanya ternyata tidak mau kalah, tetap anggap dirinya sendiri lebih tinggi setingkat daripada Co Leng-tan.

Keruan gusar Leng-tan tak terperikan, jawabnya dengan dingin, “Gak-heng punya gelar ‘Kun-cu-kiam’ (Pedang Kesatria) sudah termasyhur di seluruh jagat. Sampai di mana ‘kesatria’ Gak-heng kukira tidak perlu dijelaskan, tapi betapa pun pula nilai ‘pedang’ gelaranmu itu kukira tiada jeleknya diuji sekarang juga agar para hadirin dapat ikut menyaksikan.”
Benar, benar! Tarung saja ke atas panggung!”

“Hayolah berhantam saja, buat apa melulu omong doang!”

“Bergebrak dulu dan urusan belakang!” demikian seru orang banyak.

Tapi Gak Put-kun tenang-tenang saja tanpa menjawab.

Di waktu merencanakan penggabungan Ngo-gak-kiam-pay sudah dalam perhitungan Co Leng-tan sampai di mana kepandaian tokoh-tokoh lawannya, ia yakin kepandaian dirinya cukup kuat untuk mengatasi ketua keempat aliran yang lain. Sebab itulah dengan giat dia mengusahakan terlaksananya penggabungan itu.

Tentang ilmu Gak Put-kun yang diandalkan, yaitu “Ci-he-sin-kang” memang juga diketahui oleh Co Leng-tan ketika terjadi pertarungan di Siau-lim-si dahulu, maka ia pun dapat mengukurnya bahwa dirinya masih sanggup mengatasi Gak Put-kun. Apalagi waktu di Siau-lim-si dahulu, ketika Gak Put-kun menendang Lenghou Tiong, tapi kaki sendiri berbalik tergetar patah, dari sini pun dapat diketahui lwekang ketua Hoa-san-pay itu pun cuma sekian saja. Sebab kalau orang yang memiliki lwekang dengan sempurna, sekalipun tidak dapat mencelakai lawan, tentu tidak pula mencelakai dirinya sendiri.

Karena perasaan yang mantap itu, pula melihat gelagatnya Gak Put-kun seperti tidak bermaksud naik panggung untuk bertanding dengan dia, keruan Co Leng-tan menjadi lebih takabur, pikirnya, “Gak Put-kun sangat licik, kalau sekarang aku tidak menaklukkan dia, kelak orang seperti dia tentu akan membahayakan Ngo-gak-pay yang kupimpin.”

Maka dengan nada menghina Co Leng-tan lantas berkata pula, “Gak-heng, para hadirin sama ingin melihat kepandaianmu, mengapa kau tidak memberi muka kepada orang banyak?”

“Jika demikian kata Co-heng, ya, apa boleh buat, terpaksa Cayhe menurut saja,” jawab Gak Put-kun. Maka selangkah demi selangkah ia naik ke atas Hong-sian-tay melalui undak-undakan batu. Padahal kalau mau sekali lompat saja dengan gampang ia dapat naik ke sana seperti apa yang dilakukan Co Leng-tan tadi.

Melihat bakal ada pertunjukan ramai, para hadirin sama bersorak gembira.

Setiba di atas panggung batu itu, Gak Put-kun memberi hormat, katanya, “Co-heng, kita sekarang sudah terhitung sesama perguruan, cuma para hadirin minta Siaute lemaskan otot, terpaksa kulakukan sebisanya. Kita hanya saling belajar, tidak perlu saling melukai, cukup asal sudah kena, lalu berhenti. Bagaimana pendapatmu?”

“Sudah tentu aku akan hati-hati dan berusaha sebisanya agar tidak melukai Gak-heng,” kata Co Leng-tan.

Serentak orang-orang Ko-san-pay sama berteriak mengejek, “Huh, belum dihajar sudah minta ampun, ada lebih baik mengaku kalah saja dan tak perlu bertanding.”

“Ya, kalau takut mampus, silakan lekas turun kembali saja.”

“Memangnya senjata tak bermata, begitu mulai bergebrak siapa berani tanggung takkan terluka atau binasa?”

Namun Gak Put-kun tersenyum-senyum saja, katanya lantang, “Senjata memang tidak bermata, memang sukar terjamin takkan terluka atau mati.”

Sampai di sini ia lantas berpaling kepada orang-orang Hoa-san-pay dan berseru, “Dengarkan para murid Hoa-san, aku hanya saling belajar saja dengan Co-suheng dan sekali-kali tiada punya permusuhan apa-apa, bila nanti secara kebetulan aku terbunuh oleh Co-suheng atau terluka parah, hal ini adalah salahku sendiri dan kalian tidak boleh dendam dan menuntut balas kepada Co-supek. Yang penting rasa persatuan Ngo-gak-pay kita harus tetap dipegang teguh.”

Gak Leng-sian dan lain-lain serentak mengiakan.

Hal ini rada di luar dugaan Co Leng-tan malah, katanya kemudian, “Gak-heng ternyata sangat bijaksana dan mengutamakan kepentingan Ngo-gak-pay kita, sungguh sangat baik.”
Peleburan kelima aliran kita adalah urusan penting yang mahasulit,” kata Put-kun dengan tersenyum. “Kalau sekarang disebabkan persoalan kita berdua sehingga terjadi pertengkaran sendiri di antara sesama anggota Ngo-gak-pay, maka jelas telah mengingkari asas tujuan penggabungan kelima aliran kita.”

“Ya, memang tidak salah,” kata Co Leng-tan. Di dalam hati ia terpikir bahwa Gak Put-kun sudah jeri padanya, maka sebentar harus ditaklukkannya untuk menegakkan wibawa.

Dengan penuh keyakinan, segera Co Leng-tan melolos pedangnya, “creeng”, suaranya nyaring melengking panjang. Kiranya dia sengaja menggunakan tenaga dalam untuk mencabut keluar pedangnya, batang pedang bergesek dengan sarungnya dan mengeluarkan suara nyaring. Penonton yang tidak tahu sebab musababnya sama melongo kaget. Sebaliknya orang-orang Ko-san-pay kembali bersorak memberi pujian.
Dalam pada itu Gak Put-kun juga lantas mengeluarkan pedangnya, namun caranya berbeda. Dengan perlahan-lahan ia menanggalkan pedang dan sarungnya yang menggantung di pinggangnya, lalu ditaruh pada pojok panggung, dari situ baru perlahan-lahan ia lolos keluar pedangnya.

Melulu dari cara mencabut pedang masing-masing sudah kentara pihak mana lebih kuat dan pertandingan ini sebenarnya sudah jelas pihak mana yang lebih unggul.

Sementara itu Lenghou Tiong yang terluka parah karena bahu kanan tertembus oleh pedang Gak Leng-sian tadi sedang dirubung-rubung anak murid Hing-san-pay untuk diberi pertolongan. Ing-ing tidak menghiraukan kedudukan sendiri lagi tadi, yang maju mencabut pedang Lenghou Tiong itu adalah dia serta memondongnya ke pinggir. Bersama-sama Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain mereka sibuk memberi obat luka yang paling mujarab dari Hing-san-pay.

Walaupun terluka parah, tapi pikiran Lenghou Tiong tetap jernih, ketika melihat kesibukan Ing-ing dan murid Hing-san-pay yang prihatin menghadapi keadaannya yang parah itu, diam-diam ia merasa menyesal, hanya karena ingin menyenangkan hati siausumoay, sebaliknya Ing-ing dan para murid Hing-san-pay harus dibikin cemas sedemikian. Sekuatnya ia coba tersenyum dan berkata, “Ah, sedikit kurang hati-hati, entah bagaimana telah di... dilukai oleh pedang ini. Kukira tidak... tidak apa-apa, tidak apa-apa, tak perlu....”

“Sssst, jangan bersuara,” kata Ing-ing.

Meski dia sengaja membuat suaranya sekasar-kasarnya supaya cocok dengan penyamarannya sebagai seorang laki-laki berewok, tapi sukar duga menutupi suara perempuan yang lembut. Keruan para murid Hing-san-pay sama terheran-heran mendengar suara seorang laki-laki berewok itu sedemikian aneh.

“Coba kulihat... kulihat....” kata Lenghou Tiong sambil memandang ke arah panggung.

Gi-jing mengiakan dan segera menarik minggir dua orang sumoaynya yang menghalangi penglihatan Lenghou Tiong. Saat itu Gak Leng-sian lagi bertanding melawan Co Leng-tan, apa yang terjadi kemudian dapat diikutinya dengan samar-samar karena keadaannya yang payah.

Ketika Gak Put-kun melolos pedang menghadapi Co Leng-tan, saat itu para penonton sama menahan napas menantikan terjadinya pertarungan dahsyat. 
Maka suasana di puncak Ko-san seketika menjadi sunyi senyap.

Sayup-sayup Lenghou Tiong mendengar suara orang membaca kitab Buddha dengan suara yang sangat lirih. Dari suaranya yang lembut dan doa yang penuh kesungguhan dan kekhidmatan Lenghou Tiong yakin yang sedang berdoa baginya itu pastilah Gi-lim.

Dahulu Gi-lim juga pernah membaca kitab dan berdoa baginya ketika di luar Kota Heng-san, waktu itu ia tidak berpaling untuk memandangnya, namun sorot mata Gi-lim yang mesra serta wajahnya yang cantik itu dengan jelas terbayang di depan matanya. Kini Lenghou Tiong duduk bersandar di atas badan Ing-ing yang lunak, telinganya mendengar suara berdoa Gi-lim, seketika timbul perasaan cintanya yang sukar dilukiskan. 
Pikirnya, “Tidak hanya Ing-ing, bahkan Gi-lim Sumoay juga sangat memerhatikan diriku. Bahkan mereka lebih mementingkan keselamatanku daripada jiwa mereka sendiri. Sekalipun badanku hancur lebur sukar juga rasanya untuk membalas budi kebaikan mereka.”

Dalam pada itu pertandingan di atas panggung sudah mulai bersiap-siap. Gak Put-kun melintangkan pedang di depan dada, tangan kirinya bergaya seperti pegang pensil hendak menulis. Co Leng-tan tahu ini adalah jurus Hoa-san-kiam-hoat yang disebut “Si-kiam-hwe-yu” (Menemui Sahabat dengan Syair dan Pedang), jurus ini adalah jurus pembukaan bilamana pihak Hoa-san-pay bertarung dengan teman sesama persilatan, jurus ini mengandung arti pertandingan ini hanya dilakukan secara persahabatan saja dan tidak perlu mengadu jiwa.

Co Leng-tan menampilkan senyuman puas, katanya, “Ah, tidak perlu sungkan-sungkan.”

Tapi dalam hati ia pun waswas, biarpun Gak Put-kun bergelar “Pedang Kesatria”, namun lebih banyak munafik daripada kesatria tulen, belum tentu dia benar-benar hendak bertanding secara bersahabat dengan aku, bisa jadi dia sudah jeri, tapi dia sengaja bersikap demikian agar aku tidak menaruh curiga apa-apa, kemudian dia lantas menggunakan serangan maut untuk merobohkan diriku. Demikian pikir Co Leng-tan.

Segera tangan kirinya terpentang ke samping, pedang di tangan kanan lantas menjurus ke depan, yang dia gunakan adalah jurus “Khay-bun-kian-san” (Buka Pintu Tampak Gunung) dari Ko-san-kiam-hoat. Jurus ini mengandung arti, kalau mau berkelahi silakan mulai saja dan tidak perlu pura-pura segala. Dengan jurus ini pun dia hendak menyindir secara halus kemunafikan pihak lawan.

Sudah tentu Gak Put-kun paham arti yang terkandung dalam jurus pembukaan Co Leng-tan itu. Segera pedangnya menjulur ke tengah, ujung pedang bergetar, tapi sampai di tengah jalan mendadak ujung pedang menyungkit ke atas, inilah jurus “Jing-san-in-in” (Gunung Menghijau Samar-samar), suatu jurus yang penuh perubahan-perubahan lihai.

Segera pedang Co Leng-tan membacok dari atas ke bawah dengan tenaga yang dahsyat. Banyak di antara para penonton sama bersuara kaget. Kiranya gerakan Co Leng-tan ini tidak terdapat dalam Ko-san-kiam-hoat, yang dia gunakan sesungguhnya adalah gaya ilmu pukulan yang digunakan atas pedang. Jurus ini disebut “Tok-pik-hoa-san” (Satu Kali Membelah Hoa-san), jurus pukulan ini sangat umum bagi setiap orang yang belajar ilmu silat pukulan. Selama ini pun semua orang tahu tiada terdapat jurus demikian dalam Ko-san-kiam-hoat, seumpama ada, mengingat nama Hoa-san-pay selayaknya mesti dihindarkan pemakaiannya. Tapi sekarang Co Leng-tan sengaja menggunakan pedang dan memainkan jurus serangan itu, terang dia bermaksud memancing kemarahan Gak Put-kun. Kalau marah tentu pula akan kurang cermat dalam pertarungan nanti.

Di luar dugaan Gak Put-kun tetap tenang-tenang saja, ia mengegos ke samping atas bacokan Co Leng-tan tadi, menyusul dari samping ia lantas batas menusuk dengan jurus “Ko-pek-sim-sim” (Cemara Tua Rindang Rimbun).

Melihat sikap Gak Put-kun yang tenang dan teratur itu, jelas orang telah merancangkan pertarungan jangka lama dengan dia, maka Co Leng-tan tidak berani gegabah lagi. Segera ia melancarkan serangan pula dengan lebih hati-hati.

Begitulah kedua tokoh itu telah bertarung dengan segenap kemahiran masing-masing dengan ilmu pedang dari aliran sendiri-sendiri. Begitu seru sehingga dalam sekejap saja kedua orang seakan-akan terbungkus rapat oleh sinar pedang. Meski Gak Put-kun belum ada tanda-tanda akan kalah, tapi di bawah serangan Co Leng-tan yang gencar, tampaknya Ko-san-kiam-hoat lebih banyak digunakan menyerang daripada untuk bertahan.

Sejak timbul cita-cita Co Leng-tan hendak melebur Ngo-gak-kiam-pay, lebih dulu ia telah merangkul tenaga-tenaga Hoa-san-pay dari sekte pedang seperti Seng Put-yu dan kawan-kawannya, mereka dihasut untuk memusuhi Gak Put-kun untuk mengurangi kekuatan Hoa-san-pay, di samping itu diam-diam ia menugaskan murid kepercayaannya untuk meneliti dengan cermat setiap jurus ilmu pedang Hoa-san-pay yang dimainkan Gak Put-kun dan kemudian dilaporkan kepadanya. Hasilnya Co Leng-tan memang banyak mengetahui titik kekuatan dan titik kelemahan Hoa-san-kiam-hoat. Maka pertandingan sekarang cukup membuatnya mantap, yakin pasti akan menang.
Kira-kira sudah dekat ratusan jurus kedua pihak masih sama kuatnya. Suatu ketika Co Leng-tan mendadak angkat pedangnya ke atas, menyusul tangan kiri terus menghantam ke depan, pukulan telapak tangan ini mengancam 36 tempat hiat-to di tubuh musuh bagian atas, kalau Gak Put-kun menghindar tentu juga akan terluka oleh pedang Co Leng-tan.

Di sini mulailah Gak Put-kun memperlihatkan kemampuannya. Air mukanya mendadak berubah gelap, merah keungu-unguan, ia pun menggunakan telapak tangan kiri untuk menyambut hantaman lawan. “Blang”, kedua tangan beradu. Gak Put-kun melompat pergi, sebaliknya Co Leng-tan berdiri tegak.

Melihat adu pukulan itu, Lenghou Tiong menjadi khawatir dan prihatin atas keselamatan Gak Put-kun. Ia tahu betapa lihai ilmu pukulan Co Leng-tan yang mahadingin itu, tempo hari Yim Ngo-heng saja termakan dan pernah membikin empat orang berubah menjadi manusia salju ketika penyakit dinginnya kumat akibat pukulan Co Leng-tan itu.

Namun Gak Put-kun ternyata sanggup bertahan, dengan tenang ia berseru, “Apakah ilmu pukulanmu ini ilmu silat murni dari Ko-san-pay?”

“Ini adalah ilmu pukulan ciptaanku sendiri, kelak akan kuajarkan kepada murid pilihan dalam Ngo-gak-pay kita,” jawab Co Leng-tan.

“Kiranya demikian, biarlah kuminta petunjuk beberapa jurus lebih banyak,” kata Gak Put-kun.

“Bagus,” sahut Co Leng-tan. Diam-diam ia mengakui juga kelihaian “Ci-he-sin-kang” yang dikuasai Gak Put-kun, buktinya sedikitnya ketua Hoa-san-pay itu tidak menggigil dingin, bahkan sanggup buka suara. Tapi ia yakin kalau Gak Put-kun berani menyambut beberapa jurus ilmu pukulannya yang mahadingin “Han-peng-sin-ciang” (Pukulan Sakti Sedingin Es) akhirnya pasti tak tahan dan akan menggigil.
Segera Co Leng-tan putar pedangnya terus menusuk, cepat Gak Put-kun menangkisnya. Beberapa jurus lagi, “blang”, kembali pukulan kedua orang beradu. Sekali ini Gak Put-kun tidak menghindar pergi, sebaliknya pedang terus menebas ke pinggang lawan malah.

Giliran Co Leng-tan yang menangkis dengan pedangnya, berbareng telapak tangan kiri terus menggaplok sekeras-kerasnya ke batok kepala lawan. Gaplokan dari atas ke bawah ini sungguh luar biasa dahsyatnya.
Tapi Gak Put-kun kembali angkat tangan kiri untuk memapaknya. Plok”, untuk ketiga kalinya mereka beradu tangan. Sambil mendakkan tubuh Gak Put-kun terus melompat ke samping. Sedangkan Co Leng-tan lantas mencaci maki, “Bangsat! Tidak tahu malu!”

Nadanya sangat gusar dan penuh penasaran.

Sudah jelas para penonton menyaksikan Gak Put-kun kecundang, waktu melompat pergi tampaknya juga sempoyongan. Tapi mengapa Co Leng-tan mencaci makinya dengan gemas, hal ini sungguh membuat mereka bingung.

Kiranya pada adu tangan yang ketiga, mendadak tengah telapak tangan Co Leng-tan terasa sakit, sesudah Gak Put-kun melompat pergi, sekilas Co Leng-tan melihat telapak tangannya ada suatu lubang kecil dan mengeluarkan darah kehitam-hitaman.

Keruan Co Leng-tan terkejut dan murka, ia pikir tentu Gak Put-kun memasang jarum berbisa di tengah tangannya sehingga secara licik melukainya. Dari darah kehitam-hitaman yang keluar itu terang jarumnya berbisa. Sungguh tidak nyana tokoh yang bergelar “Pedang Kesatria” ternyata begitu rendah perbuatannya. Cepat ia menghirup hawa segar panjang-panjang, lalu menutuk tiga kali pada bahu kiri sendiri untuk menahan menjalarnya racun.

Sekarang ia tidak mau memberi angin lagi kepada Gak Put-kun, ia putar pedangnya yang melancarkan gerangan dengan lebih gencar.

Bab 117. Gak Put-kun Keluar Sebagai Pemenang

Gak Put-kun juga tidak ayal, ia pun menangkis dan balas menyerang dengan sama ganasnya. Cuaca sekarang sudah remang-remang mendekati magrib, pertandingan kedua tokoh di atas Hong-sian-tay itu kini bukan pertandingan persahabatan lagi, tapi pertarungan mati-matian, hal ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton.

Setelah beberapa jurus lagi, melihat lawannya bertahan dengan sangat rapat, Co Leng-tan mulai tidak sabar, makin kuat tenaga yang dikerahkan untuk memainkan pedangnya.

Tampaknya Gak Put-kun mulai kewalahan, tapi mendadak ilmu pedangnya berubah, pedangnya sebentar menjulur sebentar mengerut, gerak serangannya sangat aneh.

Keruan para penonton terheran-heran. “Ilmu pedang apakah ini?” demikian ada orang bertanya dengan suara perlahan. Tapi yang tanya boleh tanya, yang jawab ternyata tidak ada, paling-paling hanya menggeleng kepala saja.

Co Leng-tan mendengus, katanya di dalam hati, “Memangnya aku sudah menduga pada saat terakhir kau tentu akan keluarkan simpananmu ini, kau tidak tahu bahwa sebelumnya aku sudah bersiap. 
Kau punya ‘Pi-sia-kiam-hoat’ mungkin lihai kalau digunakan terhadap orang lain, tapi bisa berbuat apa terhadapku?”
Lenghou Tiong mengikuti pertarungan Gak Put-kun melawan Co Leng-tan sambil bersandar pada badan Ing-ing. Ketika mendadak melihat ilmu pedang sang guru berubah aneh dan cepat luar biasa, sama sekali berbeda daripada Hoa-san-kiam-hoat, ia menjadi terheran-heran. Dalam sekejap saja dilihatnya ilmu pedang yang dimainkan Co Leng-tan juga sudah berubah, gerak pedangnya yang dimainkan sekarang ternyata hampir mirip dengan Gak Put-kun.

Beberapa jurus lagi Lenghou Tiong lantas ingat ketika di Siau-lim-si dahulu, waktu Co Leng-tan bertanding dengan Yim Ngo-heng dengan jurus-jurus serangannya yang aneh, tatkala mana Hiang Bun-thian pernah berseru, “Pi-sia-kiam-hoat!”

Kini yang digunakan sang suhu dan Co Leng-tan adalah ilmu silat yang pernah dimainkan Co Leng-tan dahulu, apakah yang mereka gunakan sekarang ini memang betul Pi-sia-kiam-hoat adanya?

Seketika pikiran Lenghou Tiong menjadi bergolak, terpikir olehnya, sebab dirinya diusir dari Hoa-san-pay kecuali alasan pergaulannya dengan Ing-ing dan orang-orang Mo-kau, tapi ada pula alasan lain, yaitu karena sang suhu mencurigai dirinya menggelapkan Pi-sia-kiam-boh milik Lim Peng-ci itu.

Bahwasanya sang guru juga mahir Pi-sia-kiam-hoat dapatlah dimengerti, sebab bukan mustahil Gak Put-kun telah mempelajarinya bersama Lim-sute. Tapi mengapa Co Leng-tan juga mahir memainkan ilmu pedang keluarga Lim ini. Apa barangkali Pi-sia-kiam-boh dahulu pernah direbut Co Leng-tan dan kemudian direbut kembali oleh Suhu? Jika demikian halnya rasanya takkan menguntungkan Suhu, sebab Co Leng-tan lebih lama berlatih, tentu hasil yang dicapainya lebih hebat daripada Suhu. Demikian Lenghou Tiong membatin.

Benar juga, keadaan pertarungan di atas Hong-sian-tay ternyata mendekati dugaannya, tertampak Co Leng-tan terus melancarkan serangan dan Gak Put-kun terdesak mundur. Melihat banyak kelemahan-kelemahan ilmu pedang yang dimainkan sang guru yang semakin banyak, keadaannya tambah berbahaya, Lenghou Tiong merasa gelisah juga.

Di lain pihak demi melihat Co Leng-tan sudah di pihak menang, serentak anak murid Ko-san-pay sama memberi sorak pujian.

Co Leng-tan semakin bersemangat menyerang dengan gencar, ia merasa girang karena melihat pihak lawan sudah mulai kacau, segera ia menyerang terlebih kuat. Tidak lama kemudian, ketika kedua pedang beradu, sekali puntir dan menyungkit, Co Leng-tan berhasil membikin pedang Gak Put-kun mencelat ke udara. Serentak anak murid Ko-san-pay bersorak-sorai gembira.

Tak terduga Gak Put-kun lantas menubruk maju pula dengan bertangan kosong, dengan cara menutuk, mencengkeram, dan gaya-gaya lain, ternyata serangannya tidak kalah lihainya daripada Co Leng-tan. Terutama gerak tubuhnya yang lincah dan enteng, sebentar di sini, tahu-tahu sudah berada di sana, betapa cepat dan aneh gerakannya sungguh sukar dibayangkan.
Keruan Co Leng-tan terperanjat, teriaknya takut, “Kau... kau ini....” namun untuk bicara saja tidak sempat, terpaksa ia harus bertahan sebisanya.

Begitu tegang perubahan pertarungan di atas panggung itu sehingga pedang Gak Put-kun yang mencelat ke udara dan jatuh kembali menancap di atas panggung tak diperhatikan orang lagi.
Tonghong Put-pay! Tonghong Put-pay!” seru Ing-ing tertahan.

Kini Lenghou Tiong juga sudah dapat melihat jelas bahwa ilmu silat yang digunakan suhunya sekarang tiada ubahnya seperti ilmu silat Tonghong Put-pay ketika gembong Mo-kau itu menempur mereka berempat di Hek-bok-keh dahulu.
Saking kejut dan heran, Lenghou Tiong sampai lupa sakit dan berdiri. Syukur dari samping sebuah tangan yang mungil lantas menjulur tiba dan memapahnya, namun dia masih tidak merasakannya. Malahan sepasang mata jelita yang sedang memandangnya dengan kesima juga tidak dirasakannya.

Pada saat itu, beribu-ribu pasang mata di puncak Ko-san itu hanya ada sepasang mata yang sejak mula tidak pernah memerhatikan apa yang terjadi di situ, sedetik pun sorot mata Gi-lim belum pernah meninggalkan diri Lenghou Tiong, sekalipun dunia akan kiamat saat itu mungkin juga tak dihiraukan olehnya.

Sekonyong-konyong terdengar Co Leng-tan menjerit, sedangkan Gak Put-kun terus melompat mundur dan berdiri di ujung panggung sana, tepat di pinggir panggung, badannya rada tergeliat-geliat seperti mau tergelincir ke bawah.

Di sebelah lain Co Leng-tan masih terus putar pedangnya dengan kencang, yang dimainkan adalah Ko-san-kiam-hoat yang hebat, begitu rapat pedangnya berputar sehingga seluruh badannya seakan terbungkus oleh sinar pedangnya. Anehnya ilmu pedangnya yang hebat itu seakan-akan cuma dimainkan sebagai demonstrasi saja tanpa menyerang kepada Gak Put-kun, keadaannya tampak rada-rada tidak beres.

Sejenak kemudian, mendadak pedang Co Leng-tan menusuk ke depan, lalu berhenti di tengah jalan, kepalanya rada miring seperti sedang mendengarkan apa-apa.

Pada saat itulah orang-orang yang bermata tajam dapat melihat dengan jelas ada dua tetes darah mengucur keluar dari kedua mata Co Leng-tan. Serentak di antara para penonton ada yang berkata, “He, matanya buta!”

Ucapan orang itu tidak terlalu keras, namun cukup jelas didengar Co Leng-tan. Ia menjadi gusar dan berteriak, “Aku tidak buta! Aku tidak buta! Bangsat mana yang bilang aku buta? Hayo Gak Put-kun, pengecut kau, bangsat! Kalau berani majulah dan bergebrak 300 jurus lagi dengan tuanmu!”

Makin berteriak makin keras dengan nada penuh kemurkaan, kesakitan, dan putus asa laksana seekor binatang liar yang terluka parah dan sedang meronta sebelum ajal.

Sebaliknya Gak Put-kun tetap berdiri di ujung panggung dengan tersenyum-senyum. Kini semua orang dapat melihat dengan jelas, kedua mata Co Leng-tan memang benar telah tertusuk buta oleh Gak Put-kun. Semuanya melongo heran, hanya Lenghou Tiong dan Ing-ing saja tidak merasa aneh atas kejadian ini. Sebab ilmu silat yang dimainkan Gak Put-kun itu sudah mereka kenal waktu mereka berempat mengerubut Tonghong Put-pay di Hek-bok-keh tempo hari, untung perhatian Tonghong Put-pay dipencarkan oleh akal Ing-ing yang pura-pura menyerang Nyo Lian-ting sehingga akhirnya Tonghong Put-pay dapat mereka bunuh, walaupun begitu sebelah mata Yim Ngo-heng toh tertusuk buta oleh jarum Tonghong Put-pay.

Gerak tubuh Gak Put-kun memang tidak segesit Tonghong Put-pay, tapi satu lawan satu tentu saja Co Leng-tan bukan tandingan Gak Put-kun, dan memang benar, dalam sekejap saja kedua matanya sudah tertusuk buta.

Melihat sang suhu menang, hati Lenghou Tiong ternyata tidak merasa senang, sebaliknya mendadak timbul semacam perasaan takut yang sukar dikatakan, bahkan juga perasaan muak. Ia tertegun sejenak, tiba-tiba lukanya terasa sakit, segera ia duduk kembali dengan lesu.

“Kenapa?” cepat Ing-ing dan Gi-lim memegangi bahunya dan bertanya dengan khawatir.

“Tidak... tidak apa-apa,” jawab Lenghou Tiong dengan senyuman yang dipaksakan.

Dalam pada itu terdengar Co Leng-tan lagi berteriak-teriak, “Gak Put-kun, bangsat kau! Kalau berani hayolah maju lagi, kenapa main sembunyi-sembunyi, pengecut kau... hayo maju!”

Melihat jago pihaknya sudah tak berdaya, si kakek she Han dari Ko-san-pay tadi berkata kepada anak-anak buahnya, “Kalian pergi memapah turun Suhu!”

Dua murid Co Leng-tan mengiakan terus meloncat ke atas panggung dan berseru, “Suhu, marilah kita turun saja!”
Namun Co Leng-tan masih terus menantang, “Hayolah maju Gak Put-kun!”

Ketika seorang muridnya menjulurkan tangan buat memapahnya, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, tahu-tahu tubuhnya telah tertebas menjadi dua mulai dari bahu kanan ke pinggang sebelah kiri. Menyusul sinar pedang berkelebat pula, muridnya yang lain juga mengalami nasib yang sama, tubuhnya tertebas menjadi dua sebatas dada.

Keruan semua orang menjerit kaget. Betapa lihai ilmu pedang Co Leng-tan jelas tertampak dari tebasannya barusan ini. Namun Gak Put-kun toh mampu menandinginya tadi, hal ini pun luar biasa.

Perlahan-lahan Gak Put-kun melangkah ke tengah panggung dan mengambil kembali pedangnya, lalu berkata, “Co-heng, karena kau sudah cacat, maka aku takkan mengusik kau lagi. Dalam keadaan demikian apakah kau masih ingin berebut menjadi ketua Ngo-gak-pay dengan aku?”
Co Leng-tan angkat pedangnya perlahan-lahan, ujung pedang terarah tepat ke dada lawan. Darah bertetes-tetes menitik jatuh dari batang pedangnya, semua orang sampai menahan napas karena ingin tahu apakah Co Leng-tan akan menusukkan pedangnya itu dan dapatkah Gak Put-kun menangkisnya?

Tampaknya Co Leng-tan telah mengerahkan segenap tenaganya pada pedangnya itu, sebaliknya Gak Put-kun juga menghimpun kekuatan Ci-he-sin-kang dan siap untuk menghadapi serangan menentukan dari Co Leng-tan itu.

Namun pada detik berbuat dan tidak itu, dalam benak Co Leng-tan tiba-tiba timbul macam-macam pikiran, ia pikir kalau serangan terakhir ini tidak mampu membinasakan Gak Put-kun atau kena ditangkis, maka diri sendiri yang sudah buta tentu tiada pilihan lain kecuali mati konyol di tangan Gak Put-kun, dan itu berarti pula buyarlah semua jerih payah sendiri dalam usaha menjagoi Ngo-gak-pay yang telah berjalan sekian lamanya. Karena pikiran yang bergolak ini, mendadak dada terasa panas, darah segar menyembur keluar dari mulutnya.

Gak Put-kun yang berdiri berhadapan itu tidak berani bergerak sedikit pun karena khawatir tidak sanggup menahan serangan lawan yang tiba-tiba datangnya, maka mukanya dan sekujur badan menjadi basah kuyup tersembur oleh darah yang ditumpahkan Co Leng-tan itu.

Mendadak Co Leng-tan menyendal pedangnya sehingga patah menjadi beberapa potong, lalu ia menengadah dan bergelak tertawa, begitu keras suara tertawanya hingga berkumandang jauh dan menggema angkasa pegunungan.

Habis tertawa ia terus melangkah ke bawah punggung. Ketika sampai di tepi dan sebelah kakinya menginjak tempat kosong, namun dia sudah siap sebelumnya, sebelah kakinya lantas melayang ke depan sehingga tubuhnya menurun ke bawah dengan tegak.

Setiba di bawah panggung, anak murid Ko-san-pay lantas merubunginya dan berseru, “Suhu, marilah kita terjang mereka dan cincang segenap orang Hoa-san-pay itu.”

Namun Co Leng-tan lantas berseru lantang, “Tidak! Seorang laki-laki harus pegang janji. Sebelumnya sudah ditentukan bertanding untuk berebut juara, kalau Gak-siansing jelas lebih unggul daripadaku, kita semua harus mengangkatnya menjadi ketua, mana boleh ingkar janji?”

Ketika kedua matanya mendadak dibutakan tadi, saking kaget dan murkanya ia telah mencaci maki lawannya, tapi sesudah tenang kembali segera pulih pula sikap dan gayanya sebagai seorang pemimpin persilatan yang besar.

Para penonton sama kagum juga melihat Co Leng-tan yang berani menghadapi kenyataan itu, coba kalau sampai terjadi pertarungan besar, tentu pihak Hoa-san-pay akan sukar menghadapi pihak Ko-san-pay yang berjumlah lebih banyak dan keuntungan tempat pula.

Di antara hadirin sudah tentu banyak di antaranya terdiri dari manusia-manusia “plinplan” yang cuma mengikuti arah angin, demi mendengar ucapan Co Leng-tan itu, serentak mereka bersorak-sorai, “Hidup Gak-siansing! Silakan Gak-siansing menjadi ketua Ngo-gak-pay!”

Tentu saja anak murid Hoa-san-pay lebih-lebih gembira dan teriakan mereka paling lantang. Kemenangan Gak Put-kun yang luar biasa itu sesungguhnya terjadi terlalu cepat dan sama sekali di luar dugaan mereka sendiri.

Setelah mengusap darah yang mengotori mukanya, Gak Put-kun lantas maju ke tepi panggung, serunya sambil memberi hormat kepada para hadirin, “Pertandingan Cayhe dengan Co-suheng sebenarnya diharapkan berakhir dalam batas-batas tertentu. Namun kepandaian Co-suheng ternyata terlalu hebat sehingga pedangku tergetar lepas, pada saat berbahaya itu Cayhe terpaksa harus menyelamatkan diri sehingga tidak dapat menguasai diri dan akhirnya kedua mata Co-suheng menjadi korban, sungguh Cayhe merasa tidak enak hati.”

“Senjata tidak bermata, siapa bisa menjamin takkan cedera dalam pertarungan sengit itu,” seru seorang penonton.

Tiba-tiba seorang lagi berseru, “Sekarang kalau ada lagi yang ingin menjadi ketua Ngo-gak-pay, hayolah silakan naik ke atas untuk bertanding pula dengan Gak-siansing!”

Suasana ternyata sepi-sepi saja. Maka beratus-ratus orang lantas berteriak pula, “Gak-siansing yang pantas menjadi ketua Ngo-gak-pay!”

Menunggu setelah suara ramai itu rada tenang barulah Gak Put-kun berkata dengan suara lantang, “Atas dukungan Saudara-saudara, terpaksa Cayhe tak bisa menolak. Ngo-gak-pay mulai hari ini didirikan, segala apa masih harus diatur, Cayhe hanya dapat memimpin secara garis besar saja. Maka urusan-urusan di Heng-san diharap Bok-taysiansing tetap memegangnya, urusan di Hing-san hendaklah Lenghou Tiong, Lenghou-hiante, yang melanjutkan. Sedangkan urusan di Thay-san harap Giok-seng dan Giok-im berdua Totiang yang memimpin bersama. Adapun urusan Ko-san-pay, karena pandangan Co-suheng kurang leluasa, kukira harus diperbantukan... baiklah, silakan Han Thian-peng, Han-suheng sudi bantu Co-suheng mengurus pekerjaan sehari-hari.”

Usul Gak Put-kun ini sama sekali di luar dugaan tokoh tua she Han dari Ko-san-pay tadi, ia sampai tergagap-gagap tak bisa bicara.
Orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain sama heran juga. Padahal Han Thian-peng itu tadi paling tegas memusuhi Gak Put-kun dengan olok-oloknya secara kasar, siapa duga Gak Put-kun malah menunjuknya sebagai pembantu Co Leng-tan untuk memimpin pekerjaan di Ko-san. Karena itu rasa gusar orang-orang Ko-san-pay karena kedua mata pemimpin mereka dibutakan Gak Put-kun segera rada berkurang demi melihat tokoh Ko-san-pay mereka masih cukup dihargai oleh Gak Put-kun.

Kemudian Gak Put-kun membuka suara pula, “Untuk selanjutnya segenap anggota Ngo-gak-kiam-pay kita harus bersatu padu, kalau tidak, maka tiada artinya lagi peleburan ini. Cayhe sendiri sebenarnya tidak punya kepandaian apa-apa, untuk sementara dipilih memegang pimpinan, maka banyak pekerjaan-pekerjaan yang masih harus dirundingkan dengan Saudara-saudara sekalian. 
Sekarang hari sudah mulai gelap, silakan Saudara-saudara mengaso saja dan dahar dulu!”

Maka bersoraklah semua orang dan beramai-ramai turun menuju ke halaman markas Ko-san-pay. Ketika Gak Put-kun turun dari panggung, beramai-ramai Hong-ting Taysu, Tiong-hi, dan lain-lain lantas maju memberi selamat padanya. Tokoh-tokoh itu sama merasa lega setelah Ngo-gak-pay dapat diduduki oleh Gak Put-kun yang dipandang sebagai kesatria yang baik daripada Co Leng-tan yang kejam dan culas itu.

“Gak-siansing,” dengan suara perlahan Hong-ting berkata kepada Gak Put-kun, “menurut pendapatku bukan mustahil pihak Ko-san masih akan mencari perkara padamu. Sebaiknya Gak-siansing berjaga-jaga dan berhati-hati.”

“Terima kasih atas petunjuk Taysu,” kata Put-kun.

“Siau-sit-san tidak terlalu jauh dari sini, bila perlu apa-apa silakan memberi kabar,” kata Hong-ting pula.

“Maksud baik Taysu sungguh kuterima dengan terima kasih tak terhingga,” kata Put-kun sambil memberi hormat. Dan setelah beramah tamah sejenak dengan Tiong-hi, Pangcu dari Kay-pang, dan lain-lain, lalu ia mendekati Lenghou Tiong dan menyapa, “Tiong-ji, apakah lukamu tidak menjadi halangan?”

Sejak Lenghou Tiong dipecat dari Hoa-san-pay baru pertama kali ini Gak Put-kun memanggil “Tiong-ji” sedemikian ramahnya kepada Lenghou Tiong.

Tapi Lenghou Tiong kini sudah bukan Lenghou Tiong dulu lagi, ia tidak menjadi senang, sebaliknya merasa seram malah, jawabnya dengan suara tak lancar, “O, ti... dak apa-apa.”

“Maukah kau ikut aku pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu sekalian berkumpul beberapa hari dengan ibu-gurumu?” kata Put-kun pula.

Kalau beberapa jam sebelumnya Gak Put-kun mengajak demikian tentu Lenghou Tiong akan kegirangan serta menerimanya tanpa pikir. 
Tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu dan takut-takut untuk ikut ke Hoa-san.

“Bagaimana, mau?” tanya pula Put-kun.

“Obat luka Hing-san-pay cukup baik, biarlah sesudah luka Tecu sem... sembuh baru mengunjungi Suhu dan Sunio,” jawab Lenghou Tiong.

Untuk sejenak Gak Put-kun memandang tajam wajah Lenghou Tiong seakan-akan ingin mengetahui apa sesungguhnya yang dipikir oleh pemuda itu. Selang sejenak barulah ia berkata pula, “Begitu pun boleh. Hendaklah kau merawat dirimu dengan baik dan selekasnya berkunjung ke Hoa-san.”
Lenghou Tiong mengiakan dan meronta bangun dengan maksud hendak memberi hormat.

“Sudahlah, tak perlu,” kata Put-kun ramah sambil mengulur tangan untuk memegang lengan kanan orang.

Tapi Lenghou Tiong lantas mengelakkan tubuhnya, air mukanya tanpa terasa memperlihatkan rasa takut.

Gak Put-kun mendengus perlahan, sekilas mukanya bersungut, tapi segera pula ia tersenyum, katanya dengan gegetun, “Siausumoaymu sungguh keterlaluan, untung tidak mengenai tempat yang berbahaya.”

Habis itu perlahan-lahan ia memutar tubuh dan melangkah ke sana dengan diiringi beberapa ratus pendukungnya.

Pandangan Lenghou Tiong mengikuti bayangan sang guru perlahan-lahan menghilang di balik lereng gunung sana, begitu pula para hadirin berturut-turut juga sudah pergi. Tiba-tiba didengarnya suara seorang perempuan mendengus, “Hm, munafik!”

Kata-kata itu entah diucapkan oleh murid perempuan Hing-san-pay yang mana, yang pasti kata “munafik” benar-benar menyentuh lubuk hati Lenghou Tiong. Dalam saat demikian tiada istilah lain yang lebih cocok untuk mencerminkan apa yang dirasakannya sekarang ini. Seorang guru berbudi yang paling dihormati dan dikasihinya sekonyong-konyong telah terbuka kedoknya sehingga tertampak mukanya yang bengis menyeramkan, muka yang culas dan keji.

Sementara itu hari sudah gelap, di samping Hong-sian-tay itu tinggal orang-orang Hing-san-pay saja, yang lain-lain sudah pergi semua.

“Lenghou-toako, apakah kita juga akan turun ke bawah?” tanya Gi-ho.

“Bagaimana kalau kita bermalam saja di sini?” ujar Lenghou Tiong. Ia merasa akan lebih baik juga bisa menjauhi Gak Put-kun, maka tidak ingin bertemu muka dengan gurunya di markas Ko-san-pay.

Ternyata ucapan Lenghou Tiong sangat cocok dengan pikiran para murid Hing-san-pay, mereka sama bersorak menyatakan persetujuan. Soalnya mereka pun muak terhadap Gak Put-kun. Seperti diketahui, ketika di Kota Hokciu dahulu mereka pernah minta bantuan kepada Gak Put-kun ketika menerima berita Ting-sian Suthay sedang dikerubut musuh, namun Gak Put-kun telah menolak permintaan mereka tanpa mengingat hubungan baik sesama Ngo-gak-kiam-pay. Sekarang Lenghou Tiong dilukai pula oleh Gak Leng-sian, malah kedudukan ketua Ngo-gak-pay kena direbut oleh Gak Put-kun, sudah tentu mereka sangat mendongkol dan lebih suka bermalam di tempat terbuka, seperti di samping Hong-sian-tay itu, daripada mesti berkumpul dengan Gak Put-kun dan begundalnya.

Maka Gi-jing lantas berkata juga, “Lenghou-suheng terluka, memang paling baik kalau tinggal di sini saja daripada banyak bergerak. Hanya saja Toako ini....” sampai di sini matanya melirik ke arah Ing-ing.

“Dia bukan toako, tapi Yim-toasiocia,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

Sedari tadi Ing-ing masih terus memapah Lenghou Tiong. Ia menjadi malu karena mendadak Lenghou Tiong membongkar rahasia penyamarannya itu, cepat ia lepaskan tangan dan berbangkit.

Lantaran tidak berjaga-jaga, keruan tubuh Lenghou Tiong menjadi terhuyung ke belakang. Untung Gi-lim yang berdiri di sebelahnya lantas memegangi bahu kirinya sambil berseru, “Eh, hati-hati!”

Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain memang sudah mengetahui kisah cinta antara Ing-ing dan Lenghou Tiong yang mendalam dan lain daripada yang lain, yang satu pernah mendatangi Siau-lim-si, rela mengorbankan jiwa sendiri demi menyelamatkan jiwa kekasih, yang lain kemudian memimpin beribu-ribu orang Kang-ouw menyerbu Siau-lim-si untuk menolongnya, peristiwa itu pernah mengguncangkan seluruh dunia Kang-ouw dan diketahui oleh setiap orang bu-lim. Kini demi diketahui bahwa lelaki berewok di depan mereka ini ternyata Yim-toasiocia dari Tiau-yang-sin-kau yang termasyhur itu, banyak di antara mereka sampai berseru kaget tercampur girang.

Pada umumnya anak murid Hing-san-pay jarang berkelana di dunia Kang-ouw, maka mereka pun tidak banyak bermusuhan dengan Tiau-yang-sin-kau atau yang biasa disebut Mo-kau, apalagi dalam pandangan mereka Yim-toasiocia ini sudah mereka anggap sebagai calon istri sang ketua, tentu saja pertemuan mereka sekarang menjadi sangat menyenangkan.

Segera Gi-ho dan lain-lain mengeluarkan perbekalan sebangsa ransum kering dan air untuk dibagi-bagikan, habis makan mereka lantas merebahkan diri di samping Hong-sian-tay itu. Lenghou Tiong sendiri terluka, dengan sendirinya sangat lelah dan lemah badannya, maka tidak lama ia lantas terpulas.
Sampai tengah malam, tiba-tiba di kejauhan ada suara bentakan kaum wanita, “Siapa itu?”
Meski terluka parah, namun dengan lwekang yang tinggi segera Lenghou Tiong terjaga bangun. Dari suara tadi ia tahu anak murid Hing-san-pay yang dinas jaga sedang menegur kaum pendatang.

Maka terdengar seorang menjawab, “Sesama kawan Ngo-gak-pay, murid Gak-siansing dari Hoa-san.”

Ternyata suara Lim Peng-ci adanya.

“Ada urusan apa malam-malam datang ke sini?” tanya pula murid Hing-san-pay tadi

“Cayhe ada janji dengan orang untuk bertemu di bawah Hong-sian-tay, sebelumnya tidak tahu kalau para Suci beristirahat di sini, harap maaf kalau mengganggu,” jawab Peng-ci dengan sopan.

Pada saat itulah dari arah barat sana berkumandang suara seorang tua, “Bocah she Lim, kau telah menyiapkan teman Ngo-gak-pay kalian di sini, apakah kau ingin main kerubut dan mencari perkara padaku?”

Dengan jelas Lenghou Tiong dapat mengenali pembicara itu adalah Ih Jong-hay, itu ketua Jing-sia-pay yang berbadan pendek kecil itu. Ia rada terkejut dan membatin, “Lim-sute dan Ih Jong-hay telah mengikat permusuhan berhubung terbunuhnya kedua orang tuanya, sekarang mereka berjanji bertemu di sini tentu untuk membereskan persoalan utang darah ini.”

Maka terdengar Lim Peng-ci sedang menjawab teguran Ih Jong-hay tadi, “Sebelumnya aku tidak tahu kalau para Suci dari Hing-san-pay bermalam di sini. Biarlah kita mencari tempat lain saja agar tidak mengganggu ketenangan orang lain.”

“Hahahaha! Ketenangan orang lain sudah kau ganggu, tapi kau masih bicara muluk-muluk dan pura-pura baik hati. Dasar, ada bapak mertua begitu tentu juga ada menantu begini. Nah, apa yang akan kau katakan lekas dikeluarkan agar sama-sama bisa tidur nyenyak.”

“Hm, ingin tidur nyenyak? Jangan kau harapkan lagi selama hidupmu ini,” jengek Lim Peng-ci. “Orang-orang Jing-sia-pay kalian yang datang seluruhnya ada 24 orang termasuk kau, aku mengundang kalian datang semua ke sini, mengapa yang datang sekarang cuma tiga orang?”

“Hm, kau ini barang macam apa? Masakah kau berani suruh aku begini dan begitu?” jawab Ih Jong-hay dengan tertawa. “Aku cuma mengindahkan bapak mertuamu karena dia baru saja menjabat ketua Ngo-gak-pay, makanya aku mau penuhi undanganmu. Nah, kalau mau kentut lekas keluarkan, kalau mau berkelahi lekas lolos senjata, biar kulihat apakah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kalian sudah lebih maju atau tidak.”

Perlahan-lahan Lenghou Tiong bangkit berduduk, di bawah sinar bulan yang remang-remang dilihatnya Peng-ci berdiri berhadapan dengan Ih Jong-hay dalam jarak beberapa meter jauhnya. Ia masih ingat Lim Peng-ci pernah menolongnya ketika ketua Jing-sia-pay itu hendak menghantamnya di Kota Heng-san selagi dia terluka parah, kalau pukulan Ih Jong-hay dahulu itu kena, tidak mungkin dirinya sanggup hidup sampai sekarang. Sekarang Lim-sute itu menantang Ih Jong-hay ke sini, mungkin sekali Suhu dan Sunio akan segera datang untuk membantunya. Kalau Suhu dan Sunio tidak datang dengan sendirinya aku tak bisa tinggal diam. Demikian pikir Lenghou Tiong.

Dalam pada itu terdengar Ih Jong-hay sedang mengolok-olok, “Hm, kalau kau berani seharusnya kau datang seorang diri untuk menuntut balas padaku di Jing-sia-san, cara beginilah baru terhitung perbuatan seorang laki-laki sejati, tapi sekarang kau menantang aku ke sini, sebaliknya secara licik menyiapkan serombongan kaum nikoh di sini untuk mengeroyok aku. Huh, sungguh tidak tahu malu. Benar-benar menggelikan.”

Gi-ho tidak tahan karena pihaknya disinggung-singgung, segera ia berseru, “Persetan dengan urusan kalian, kalau kalian mau berkelahi hingga mampus semua juga Hing-san-pay kami takkan ambil pusing. Hm, kau tojin pendek ini sebaiknya jangan ngaco-belo, kalau memang takut boleh lekas lari saja, tapi Hing-san-pay kami jangan diikutcampurkan.”

Ia tidak tahu dahulu Lim Peng-ci pernah menyelamatkan nyawa Lenghou Tiong, soalnya ia tidak suka kepada Gak Leng-sian dan dengan sendirinya juga jemu terhadap suami Leng-sian.

Ih Jong-hay sendiri mempunyai hubungan yang cukup rapat dengan Co Leng-tan, kehadirannya ke Ko-san sekarang juga atas undangan Co Leng-tan untuk memperkuat barisannya. Ketika sampai di Ko-san dalam dugaan Ih Jong-hay tentulah Co Leng-tan yang akan menduduki jabatan ketua Ngo-gak-pay, sebab itulah ia tidak menaruh perhatian terhadap orang Hoa-san-pay yang memusuhinya. Siapa duga akhirnya jabatan ketua Ngo-gak-pay kena direbut Gak Put-kun, ia menjadi kecewa dan malam-malam bermaksud meninggalkan Ko-san.

Tapi waktu turun dari puncak Ko-san itu, tiba-tiba Lim Peng-ci menghampirinya, dengan suara perlahan pemuda itu mengajaknya mengadakan pertemuan di pelataran Hong-sian-tay. Meski Peng-ci bicara dengan suara perlahan, namun sikapnya angkuh dan kasar sehingga Ih Jong-hay sangat mendongkol dan terima baik tantangannya.

Bab 118. Cara Balas Dendam yang Luar Biasa

Yang dikhawatirkan Ih Jong-hay hanya kalau pihak lawan main kerubut. Maka kedatangan ke Hong-sian-tay sengaja diperlambat sedikit sehingga berada di ke belakang Lim Peng-ci, tujuannya ingin tahu apakah pemuda itu membawa bala bantuan. Tak terduga Peng-ci ternyata datang sendirian ke tempat yang dijanjikan ini. Diam-diam Ih Jong-hay bergirang, anak murid Jing-sia-pay yang dibawanya lantas ditinggalkan, hanya dua orang muridnya saja yang diajak naik ke Hong-sian-tay agar tidak dipandang hina oleh pihak lawan. Anak muridnya yang lain tersebar di sekeliling puncak gunung itu untuk memberi bantuan bila perlu.

Ketika sampai di puncak atas, dilihatnya di samping Hong-sian-tay banyak orang berbaring di situ, tidak Lim Peng-ci saja yang kaget, bahkan Ih Jong-hay juga terkejut dan mengira dirinya tertipu. Tapi kemudian demi mendengar ucapan Gi-ho, walaupun secara kasar Gi-ho menyebutnya sebagai “tojin pendek”, namun nadanya menyatakan takkan bantu pihak mana pun, maka legalah hati Ih Jong-hay.
Baik sekali jika kalian takkan membantu pihak mana pun,” kata Jong-hay kemudian. “Silakan kalian menyaksikan saja, bagaimana hasilnya nanti pertandingan antara ilmu pedang Jing-sia-pay melawan ilmu pedang Hoa-san-pay.”

Setelah merandek sejenak, kemudian ia menyambung pula, “Jangan kalian mengira Gak Put-kun dapat mengalahkan Co-suheng secara kebetulan lantas ilmu pedangnya sudah jempolan. Seumpama ilmu pedangnya memang nomor satu di antara Ngo-gak-pay, namun tiap-tiap golongan dan aliran persilatan di bu-lim masing-masing mempunyai ilmu silat tunggal sendiri-sendiri, betapa pun Hoa-san-kiam-hoat juga belum pasti terhitung nomor satu di dunia ini. Menurut pandanganku, melulu ilmu pedang Hing-san-pay saja sudah jelas lebih bagus daripada Hoa-san-kiam-hoat.”

Dengan ucapannya itu, pertama ia bermaksud mengadu domba, kedua bertujuan membikin senang hati anak murid Hing-san-pay agar mereka benar-benar tidak ikut campur dan tidak membantu Lim Peng-ci. Dan asalkan pertarungan satu lawan satu, maka hampir dapat dipastikan dirinya akan mengalahkan bocah she Lim itu dengan mudah.

Sudah tentu nada ucapan Ih Jong-hay yang punya arti tertentu itu pun dapat ditangkap oleh orang-orang Hing-san-pay. Segera Gi-ho berkata pula, “Jika kalian mau berkelahi boleh silakan sesukamu, kenapa mesti mengganggu ketenteraman orang yang hendak tidur? Hm, kau tahu aturan tidak?”

Diam-diam Ih Jong-hay sangat gusar, pikirnya, “Kurang ajar kaum nikoh busuk ini, saat ini aku tidak sempat membikin perhitungan dengan kalian, kelak kalau orang Hing-san-pay kalian kepergok aku di kalangan Kang-ouw barulah kalian tahu rasa.”

Dasar Ih Jong-hay memang berjiwa sempit, sudah biasa anggap dirinya paling hebat, paling jempol, angkatan muda persilatan kalau tidak menghormatinya tentu akan mendapat kesukaran. Seperti kata-kata kasar Gi-ho tadi, di waktu biasa tentu Ih Jong-hay sudah marah-marah dan mendampratnya.

Dalam pada itu Peng-ci telah melangkah maju dua-tiga tindak, lalu berkata, “Ih Jong-hay, kau pernah mengincar kiam-boh pusaka keluarga kami, kau membunuh pula ayah-bundaku, belasan anggota Hok-wi-piaukiok kami juga tewas di tangan Jing-sia-pay kalian, utang darah itu sekarang harus kau bayar dengan darahmu pula.”

Ih Jong-hay menjadi gusar, teriaknya, “Putraku sendiri mati di tangan kau binatang cilik ini, andaikan kau tidak mencari aku juga aku yang akan cari kau dan mencincang anjing kecil kau ini sampai hancur luluh. Apa kau kira berlindung di bawah Hoa-san-pay lantas bisa menyelamatkan jiwamu?”

“Sret”, segera ia melolos pedangnya. Di bawah sinar bulan pedangnya tampak gemerdep.

Namun Peng-ci masih tidak mengeluarkan senjatanya, ia maju dua langkah pula sehingga jaraknya dengan Ih Jong-hay sekarang tinggal dua-tiga meter jauhnya, dengan kepala rada miring ia melototi Ih Jong-hay.

Mendongkol juga Ih Jong-hay melihat lawannya belum mau melolos senjata, pikirnya, “Berani kau pandang enteng padaku? Hm, sebentar asal pedangku bergerak sedikitnya akan kurobek perutmu hingga ke tenggorokan. Soalnya kau terhitung angkatan muda, tidak enak bagiku untuk menyerang lebih dulu.”

Maka segera ia membentak, “Hayo lolos pedangmu!”

Dia sudah bersiap-siap, begitu Peng-ci memegang gagang pedangnya dan menariknya, sebelum pedang lawan terlolos keluar dari sarungnya segera akan mendahului membedah perut lawan.

Melihat gaya pedang Ih Jong-hay itu, cepat Lenghou Tiong memperingatkan Peng-ci, “Awas, Lim-sute, dia akan menusuk perutmu!”

Tapi Peng-ci hanya mendengus, sekonyong-konyong ia menerjang ke depan, hanya dalam sekejap saja jaraknya dengan Ih Jong-hay tinggal satu kaki jauhnya, begitu dekat sehingga hidung kedua orang hampir-hampir saling cium.

Gerak terjangan Lim Peng-ci ini sungguh sukar dibayangkan orang, betapa cepat gerak tubuhnya juga sukar dilukiskan. Karena terjangan Peng-ci yang merapat itu kedua tangan dan pedang yang dipegang Ih Jong-hay sekarang menjadi berada di belakang lawan malah kalau dijulurkan.

Tentu saja Ih Jong-hay tidak dapat menekuk pedangnya membalik untuk menusuk punggung Peng-ci, pada saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Peng-ci sudah mencengkeram pundak kanannya dan tangan kanan menahan di ulu hatinya. Seketika Ih Jong-hay merasa koh-cing-hiat di pundak lemas linu, lengan kanan menjadi lumpuh tak bertenaga, pedang hampir terlepas dari cekalan.

Hanya sekali gebrak saja Lim Peng-ci sudah menguasai lawannya, geraknya yang aneh tampaknya malah lebih hebat daripada cara Gak Put-kun mengalahkan Co Leng-tan, namun gaya permainan Peng-ci ternyata serupa dengan Gak Put-kun.
Tonghong Put-pay!” tanpa terasa Lenghou Tiong dan Ing-ing menyebut bersama dan saling pandang. Keduanya sama-sama melihat sorot mata masing-masing mengandung rasa kaget dan bingung.

Nyata jurus yang dipakai Lim Peng-ci tadi persis adalah ilmu silat yang digunakan Tonghong Put-pay di Hek-bok-keh tempo hari.

Agaknya Peng-ci tidak mengerahkan tenaga pada telapak tangan yang menahan di depan dada lawan tadi. Di bawah sinar bulan dilihatnya sorot mata Ih Jong-hay memperlihatkan rasa kaget dan takut yang luar biasa, alangkah senang rasa hati Peng-ci, ia merasa kalau musuh dibunuh secara begitu saja akan terlalu murah baginya.

Pada saat itulah dari jauh bergema suara Gak Leng-sian yang sedang memanggil-manggil, “Adik Peng, Adik Peng! Ayah suruh kau mengampuni dia sekali ini!”

Sambil berseru ia pun berlari-lari ke atas puncak.

Ketika tiba-tiba melihat Peng-ci berdiri berhadapan dengan Ih Jong-hay dalam jarak begitu dekat, Leng-sian menjadi tertegun. Dengan khawatir ia memburu maju pula, tapi ia menjadi lega ketika melihat sebelah tangan Peng-ci memegangi hiat-to penting di tubuh Ih Jong-hay dan tangan lain menahan di depan dada musuh itu.

“Ayah bilang, betapa pun hari ini Ih-koancu adalah tamu kita, maka janganlah kita membikin susah padanya,” kata Leng-sian pula.

Peng-ci hanya mendengus saja, tangan kiri yang memegang koh-cing-hiat di pundak Ih Jong-hay itu mencengkeram terlebih kuat dengan segenap tenaga dalamnya.

Ih Jong-hay tambah kesakitan dan linu hiat-to bagian pundak itu, tapi lantas dirasakan tenaga dalam lawan sebenarnya cuma sebegitu saja, celakanya hiat-to sendiri terpegang sehingga tak bisa berkutik, kalau tidak, melulu lwekang masing-masing saja dirinya jelas jauh lebih kuat. Seketika ia menjadi gemas dan sedih pula. Sudah terang ilmu silat lawan sangat rendah, meski berlatih sepuluh tahun lagi juga bukan tandingan dirinya, tapi sedikit lengah tadi dirinya juga kena dibekuk lebih dulu, maka hancurlah nama baiknya selama ini, bahkan besar kemungkinan lawan takkan tunduk kepada perintah Gak Put-kun lantaran ingin menuntut balas kematian ayah-ibunya, jiwa sendiri bisa jadi akan melayang segera.

Syukur didengarnya Gak Leng-sian berkata pula, “Ayah suruh kau mengampuni jiwanya hari ini. Untuk menuntut balas masakah khawatir dia bisa terbang ke langit?”

Mendadak Peng-ci angkat tangan kiri, “plak-plak”, Ih Jong-hay ditempelengnya dua kali.

Gusar Ih Jong-hay tidak kepalang, tapi apa daya, sebelah tangan Peng-ci masih menempel di ulu hatinya, biarpun lwekang pemuda itu tidak seberapa, tapi sedikit mengerahkan tenaga sudah cukup membuat ulu hatinya tergetar pecah, bila sekaligus terbinasa masih mendingan, yang dikhawatirkan adalah tenaga Peng-ci yang kepalang tanggung itu hanya membuatnya setengah mati setengah hidup, itulah yang celaka. Lantaran begitu, maka sedikit pun Ih Jong-hay tidak berani meronta.

Setelah menempeleng dua kali, sambil tertawa panjang Peng-ci lantas melompat mundur beberapa meter jauhnya, matanya tetap melototi Ih Jong-hay, cuma tidak bicara lagi.

Mestinya Ih Jong-hay bermaksud melabrak pemuda itu, tapi mengingat sekali gebrak saja dirinya sudah keok, hal ini disaksikan orang banyak dengan jelas. Kalau sekarang dirinya melabrak lagi, ini berarti tidak mengakui kekalahannya tadi, cara memalukan ini betapa pun tak bisa dilakukannya, maka urunglah dia melangkah maju.

Di lain pihak tertampak Peng-ci hanya mendengus saja, lalu putar tubuh dan tinggal pergi tanpa pedulikan sang istri.

Leng-sian membanting kaki tanda mendongkol, sekilas dilihatnya Lenghou Tiong duduk di pinggir Hong-sian-tay, segera didekatinya dan menyapa, “Toasuko, apakah lukamu tidak... tidak berhalangan?”

“Aku... aku....” begitu melihat siausumoay ini, seketika jantung Lenghou Tiong berdebar-debar sehingga bicara pun sukar.

“Jangan khawatir kau, dia takkan mati!” Gi-ho menimbrung.

Dengan menunduk kepala perlahan-lahan Leng-sian melangkah pergi, ketika akan turun ke bawah puncak, tiba-tiba ia menoleh dan berkata, “Toasuko, kedua Suci utusan Hing-san-pay yang tertahan di Hoa-san kami itu segera akan kami antar pulang. Ayah mengatakan perbuatan kami itu memang kurang sopan, harap dimaafkan.”

“Ya, baik, baik!” sahut Lenghou Tiong dengan tergagap, rasanya seperti kehilangan sesuatu menyaksikan kepergian Gak Leng-sian itu.

Tiba-tiba terdengar Gi-ho menjengek, katanya, “Hm, di mana kebaikan perempuan seperti ini? Dibandingkan Yim-toasiocia kita, biarpun dijadikan tukang gosok sepatu juga belum memenuhi syarat.”

Lenghou Tiong terkejut, baru sekarang ia ingat bahwa Ing-ing saat itu pun berada di sebelahnya, tentu saja si nona dapat menyaksikan betapa dirinya menjadi linglung menghadapi siausumoaynya itu, seketika wajah Lenghou Tiong menjadi merah. Dilihatnya Ing-ing bersandar pada dinding Hong-sian-tay seperti lagi mengantuk, diam-diam ia berharap semoga Ing-ing benar-benar tertidur sehingga tidak menyaksikan kejadian-kejadian tadi.

Namun Ing-ing adalah nona yang cerdik dan cermat, dalam saat demikian mana bisa dia tertidur? Dengan pikirannya itu Lenghou Tiong juga tahu dirinya sedang menipu dirinya sendiri. Ia bermaksud mengada-ada untuk mengajak omong Ing-ing, tapi bingung juga sebab tidak tahu apa yang harus dibicarakan.

Kalau menghadapi siausumoaynya ia menjadi gugup, tapi menghadapi Ing-ing segera Lenghou Tiong menjadi pintar. Jika tiada sesuatu yang dapat dibicarakan, cara yang paling baik adalah tidak bicara apa-apa, bahkan cara yang lebih baik adalah membelokkan perhatian Ing-ing ke urusan lain. Maka perlahan-lahan Lenghou Tiong lantas merebahkan dirinya, sesudah berbaring mendadak ia merintih perlahan seakan-akan lukanya menimbulkan rasa sakit.

Benar juga Ing-ing menjadi khawatir, ia menggeserkan tubuhnya mendekat dan bertanya dengan perlahan, “Apakah lukamu tersentuh sakit?”

“O, tidak apa-apa,” sahut Lenghou Tiong sambil memegangi tangan si nona. Ing-ing bermaksud melepaskan tangannya, tapi terasa genggaman Lenghou Tiong sangat kencang, khawatir kalau gerak tangannya membikin sakit luka Lenghou Tiong, terpaksa Ing-ing membiarkan tangannya digenggam.

Rupanya Lenghou Tiong menjadi sangat lelah karena terlalu banyak keluar darah, tidak lama kemudian ia pun terpulas. Esok paginya ketika terjaga bangun, ternyata sinar sang surya sudah memenuhi puncak pegunungan itu. Lenghou Tiong bangkit berduduk, ternyata tangan Ing-ing masih tergenggam olehnya, ia tersenyum kepada si nona. Dengan wajah merah cepat Ing-ing menarik tangannya.

“Marilah kita pulang ke Hing-san saja!” seru Lenghou Tiong.

Sementara itu Dian Pek-kong sudah menyiapkan sebuah usungan kayu, bersama Put-kay Hwesio segera mereka berdua menggotong Lenghou Tiong turun dari puncak Ko-san.

Ketika lewat di kuil induk kediaman orang Ko-san-pay, tertampak Gak Put-kun dan anak muridnya berdiri di depan pintu, dengan muka berseri-seri ia mengantarkan keberangkatan Lenghou Tiong dan pengiringnya. Hanya Gak-hujin dan Gak Leng-sian tidak tampak berada di antara orang-orang Hoa-san-pay itu.

“Maaf Suhu, Tecu tidak dapat memberi hormat padamu untuk mohon diri,” kata Lenghou Tiong.

“Ah, tidak usah,” jawab Gak Put-kun. “Nanti kalau lukamu sudah sembuh barulah kita berunding lebih jauh. Dengan menjabat ketua Ngo-gak-pay ini aku masih perlu pembantu-pembantu yang dapat dipercaya, kelak masih banyak diharapkan bantuanmu.”

Lenghou Tiong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Langkah Dian Pek-kong dan Put-kay Hwesio ternyata sangat cepat, dalam sekejap saja mereka sudah jauh meninggalkan puncak Ko-san itu. Setiba di bawah gunung barulah mereka menyewa beberapa kereta keledai untuk menampung Lenghou Tiong yang terluka dan Ing-ing.

Menjelang magrib sampailah mereka di suatu kota kecil. Terlihat di depan sebuah warung makan yang beratap bambu penuh berduduk tamu yang sedang minum, ternyata orang-orang Jing-sia-pay semua, Ih Jong-hay juga berada di antaranya.

Melihat kedatangan rombongan Hing-san-pay, air muka Ih Jong-hay berubah seketika, ia sengaja berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.

Karena kota kecil itu tiada warung makan lain, terpaksa orang-orang Hing-san-pay mencari tempat duduk di emper rumah seberang. The Oh dan Cin Koan lantas mendatangi warung itu untuk pesan wedang panas bagi Lenghou Tiong.

Selagi tukang warung memasak air untuk menyiapkan pesanan tamunya, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai, debu mengepul tinggi dari arah sana, dua penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Setiba di depan warung itu, sekonyong-konyong kedua penunggang kuda itu menarik tali kendali. Ternyata kedua penunggang kuda itu adalah Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian.

“Ih Jong-hay, jelas kau mengetahui aku pasti mencari kau lagi, kenapa kau tidak lekas-lekas melarikan diri?” teriak Peng-ci.

Lenghou Tiong yang berada di dalam kereta itu dapat mengenali suara pembicara itu, ia berkata, “Apakah Lim-sute yang menyusul tiba?”

Ing-ing mengiakan, segera ia menggulung tirai kereta agar Lenghou Tiong dapat melihat keadaan di luar.

Ih Jong-hay duduk di atas bangku dan sedang menghirup secangkir teh panas, mula-mula ia tidak gubris, setelah habis minum barulah menjawab, “Hm, memangnya aku sedang menunggu kau mengantarkan jiwamu!”

“Baik!” kata Peng-ci. Begitu tercetus ucapannya itu, tahu-tahu pedang sudah terlolos dan melompat turun dari kudanya, sekali pedang menusuk ke samping, menyusul ia mencemplak kembali ke atas kudanya, sekali membentak, bersama Gak Leng-sian mereka melarikan kudanya dengan cepat. Ternyata seorang murid Jing-sia-pay yang berdiri di tepi jalan perlahan-lahan roboh terkulai, darah segar mengucur keluar dari dadanya.

Sungguh sukar diperkirakan orang cara Peng-ci menyerang tadi. Dia melolos pedang dan melompat turun dari kuda, tujuannya jelas hendak melabrak Ih Jong-hay. Hal ini sebenarnya sangat kebetulan bagi ketua Jing-sia-pay itu, sebab ia tahu baik ilmu pedang maupun lwekang pemuda lawan itu sangat cetek, diam-diam Ih Jong-hay bergirang, ia yakin sekali bergebrak dengan mudah jiwa Lim Peng-ci pasti akan dibikin melayang, maka akan terbalaslah rasa malunya di Hong-sian-tay semalam. Bahwasanya kelak Gak Put-kun mungkin akan menuntut balas padanya adalah urusan belakang, demikian pikirnya.

Tapi siapa dapat menduga bahwa serangan Lim Peng-ci itu ternyata tidak ditujukan padanya, tapi di tengah jalan mendadak ganti sasaran, seorang muridnya ditusuk mati, lalu mencemplak kembali ke atas kuda dan tinggal pergi begitu saja.

Kaget dan gusar pula Ih Jong-hay, dengan cepat ia melompat bangun terus mengudak, namun lari kuda Peng-ci dan Leng-sian terlalu cepat baginya, betapa pun sukar untuk menyusulnya.

Cara Peng-ci menyerang yang luar biasa tadi membikin Lenghou Tiong melongo juga, ia pikir kalau serangan demikian itu ditujukan padanya mungkin sukar juga menangkisnya jika kebetulan tidak bersenjata, maka tiada pilihan lain kecuali tertusuk mati. Sebenarnya kalau bicara tentang ilmu pedang, Lenghou Tiong yakin masih jauh di atas Lim Peng-ci, cuma terhadap tipu serangan Peng-ci tadi Lenghou Tiong benar-benar bingung dan tiada cara baik untuk mematahkannya.

Saat itu Ih Jong-hay sedang mencaci maki sambil tuding Lim Peng-ci yang sudah kabur jauh, sudah tentu caci makinya itu tak terdengar. Dengan penuh rasa murka yang tak terlampiaskan, tiba-tiba Ih Jong-hay memutar balik terus memaki orang-orang Hing-san-pay, “Hm, kawanan nikoh busuk, kalian sudah tahu anak jadah she Lim itu mau datang ke sini, maka kalian datang lebih dulu menunggu di sini. Baik, binatang kecil itu sudah lari, kalau berani marilah kita saja yang bertempur.”

Di antara anak murid Hing-san-pay, watak Gi-ho paling berangasan, segera ia lolos pedang dan menjawab, “Hm, mau berkelahi hayolah maju, siapa yang takut padamu?”

Padahal orang Hing-san-pay jauh lebih banyak daripada pihak Jing-sia-pay, ditambah lagi Put-kay Hwesio, Dian Pek-kong, Ing-ing, dan Tho-kok-lak-sian, kalau benar-benar bertempur terang pihak Jing-sia-pay tak bisa melawannya. Sudah tentu kekuatan yang tak seimbang ini cukup diketahui Ih Jong-hay, soalnya dia sedang murka sehingga hatinya tak tahan meski biasanya dia dapat berpikir panjang dan banyak tipu akalnya.

Syukur Lenghou Tiong lantas mencegah, serunya, “Gi-ho Suci, jangan gubris padanya!”

Ing-ing lantas membisiki Tho-kok-lak-sian. Sekonyong-konyong Tho-kin-sian, Tho-yap-sian, Tho-kan-sian, dan Tho-hoa-sian berempat terus melompat ke sana menubruk kepada seekor kuda yang tertambat di tepi warung sana.

Kuda itu adalah kuda tunggangan Ih Jong-hay. Hanya terdengar suara meringkik ngeri, tahu-tahu kuda itu telah dibetot dan robek menjadi empat bagian sehingga isi perut berceceran dan darah berhamburan.

Badan kuda itu tinggi besar, tapi dengan bertangan kosong Tho-kok-si-sian telah merobeknya menjadi empat dengan membetot keempat kakinya, betapa hebat tenaga mereka sungguh luar biasa. Keruan anak murid Jing-sia-pay sama ketakutan, anak murid Hing-san-pay juga berdebar hatinya menyaksikan adegan ngeri itu.

“Ih-loto, orang she Lim bermusuhan dengan kau, tapi kami tidak memihak siapa-siapa dan hanya menonton saja di pinggir, janganlah kau menyangkutpautkan kami. Kalau benar-benar mau berkelahi jelas kalian tak bisa menang, sebaiknya kau tahu diri sedikit,” kata Ing-ing.

Setelah menyaksikan kelihaian Tho-kok-si-sian tadi, seketika lagak garang Ih Jong-hay tadi lenyap, ia simpan kembali pedangnya dan berkata, “Jika kita tidak saling mengganggu, maka bolehlah kita ambil jalan sendiri-sendiri, silakan kalian jalan dahulu!”

“Itu tidak bisa, kami harus mengikuti kalian,” kata Ing-ing.

“Apa sebab?” tanya Ih Jong-hay dengan mengerut kening.

“Terus terang, karena ilmu pedang orang she Lim itu teramat aneh, kami ingin melihat secara jelas,” kata Ing-ing.

Terkesiap hati Lenghou Tiong, apa yang dikatakan Ing-ing ternyata sama dengan isi hatinya. Begitu aneh ilmu pedang Lim Peng-ci sampai Tokko-kiu-kiam juga sukar mematahkannya, maka ia memang ingin mengetahui gerak ilmu pedang Peng-ci itu secara jelas.

Terdengar Ih Jong-hay menjawab, “Kau ingin tahu ilmu pedang bocah she Lim itu, tapi apa sangkut pautnya dengan aku?”

Namun segera ia merasa ucapannya itu keliru. Ia sendiri cukup sadar bahwa permusuhan dirinya dengan keluarga Lim terlalu mendalam, tidak mungkin Lim Peng-ci akan puas hanya membunuh seorang dua muridnya saja, tentu pemuda itu masih akan mencari perkara padanya. Dan maksud orang-orang Hing-san-pay justru ingin tahu cara bagaimana Peng-ci memainkan ilmu pedangnya dan cara bagaimana orang Jing-sia-pay dibunuh.

Bahwasanya setiap jago silat tentu tahu ilmu silat orang lain yang lihai memang bukan sesuatu yang aneh. Cuma cara orang Hing-san-pay mengikuti rombongan Jing-sia-pay, seakan-akan orang-orang Jing-sia-pay itu sudah menjadi hewan yang sedang digiring ke pejagalan untuk disembelih, dan cara penjagal menyembelih itulah yang akan dilihat, sungguh suatu perbuatan yang terlalu menghina.

Saking gusarnya segera Ih Jong-hay bermaksud memaki Ing-ing, tapi syukur ia masih sanggup menguasai perasaannya, ia hanya mendengus saja sekali, pikirnya, “Bocah she Lim itu menyerang aku secara licik, memangnya dia punya kepandaian yang luar biasa? Baik, boleh kalian mengikuti aku agar kalian bisa melihat jelas cara bagaimana aku mencincang anjing kecil itu hingga luluh.”

Dia kembali ke warung itu untuk minum lagi. Tapi mendadak poci teh yang dipegangnya berbunyi gemertak, kiranya tutup poci tergetar oleh tangannya yang gemetar. Anak muridnya menyangka tangan sang guru itu gemetar karena terlalu gusar, padahal dalam hati Ih Jong-hay sebenarnya ketakutan luar biasa. Ia sadar bahwa serangan Lim Peng-ci yang aneh itu kalau ditujukan padanya hakikatnya dia tidak mampu menangkisnya.

Sementara itu Ing-ing sudah kembali pada dandanan aslinya sebagai wanita, berada di tengah-tengah anak murid perempuan Hing-san-pay itu tiada seorang pun yang merasakan Ing-ing mempunyai sesuatu yang istimewa. Dia sendiri tinggal di suatu kereta keledai, ia selalu memisahkan keretanya agak jauh dari kereta Lenghou Tiong. Biarpun jalinan cintanya dengan Lenghou Tiong sekarang telah diketahui hampir setiap orang Kang-ouw, namun rasa kikuknya toh masih belum lenyap. Bila anak murid Hing-san-pay mengobati luka Lenghou Tiong, maka ia sengaja tidak mau melihatnya.

The Oh, Cin Koan, dan lain-lain kenal watak putri gembong Mo-kau itu, senantiasa mereka memberitahukan keadaan luka Lenghou Tiong padanya, Ing-ing hanya mengangguk saja tanpa memberi komentar. Kini melihat Ih Jong-hay sudah kembali ke tempatnya sendiri, maka Ing-ing juga lantas kembali ke dalam keretanya.

Sehabis minum, perasaan Ih Jong-hay ternyata masih belum tenang, ia perintahkan anak muridnya menggotong mayat murid yang mati itu untuk dikubur di luar kota, rombongan mereka lantas bermalam di depan warung makan itu.

Penduduk setempat sementara itu menjadi ketakutan melihat pertarungan dan pembunuhan yang terjadi itu, sejak tadi penduduk sudah sama tutup pintu tak berani keluar lagi.

Duduk di dalam keretanya Lenghou Tiong coba merenungkan jurus ilmu pedang Lim Peng-ci tadi, ia merasa jurus serangan itu sendiri tiada sesuatu yang luar biasa, hanya datangnya teramat cepat, sebelumnya juga tiada tanda-tanda ke mana serangannya akan dituju. Kalau serangan demikian itu dilontarkan, sekalipun tokoh paling lihai juga sukar menahannya.

Waktu Tonghong Put-pay menempur mereka berempat tempo hari, senjata yang dipakai hanya sebuah jarum sulam saja, tapi mereka berempat toh tak bisa melawan. Kalau dipikirkan secara cermat sekarang hal itu bukan lantaran lwekang atau jurus serangan Tonghong Put-pay sangat hebat, soalnya gerak-geriknya secepat kilat, serangannya dilakukan tanpa ada tanda-tanda sebelumnya sehingga setiap serangannya selalu di luar perhitungan lawan.

Cara Lim Peng-ci membekuk Ih Jong-hay dengan mudah dan caranya membunuh anak murid Jing-sia-pay tadi, gaya ilmu silatnya serupa benar dengan Tonghong Put-pay. Sedangkan cara Gak Put-kun membutakan kedua mata Co Leng-tan jelas juga menggunakan ilmu silat yang sama gayanya, apakah barangkali ilmu silat mereka ini pun “Pi-sia-kiam-hoat” adanya? Terpikir olehnya, “Orang yang mampu melayani ilmu pedang aneh ini pada zaman sekarang mungkin hanya Hong-thaysuco saja. Nanti kalau lukaku sudah sembuh rasanya aku perlu berkunjung pula ke Hoa-san untuk minta pengajaran kepada Hong-thaysuco cara-cara mematahkan ilmu pedang aneh ini.”

Tapi lantas terpikir lagi, “Tonghong Put-pay sudah mati, Gak Put-kun adalah guruku, Lim Peng-ci adalah suteku, mereka berdua tentu takkan menggunakan ilmu pedang hebat itu terhadap diriku, lalu buat apa aku mempelajari cara mematahkan ilmu pedang mereka itu dengan susah payah?”

Tiba-tiba teringat olehnya bahwa ilmu silat Tonghong Put-pay itu bersumber pada “Kui-hoa-po-tian”, sedangkan ilmu silat Suhu dan Sute berasal dari Pi-sia-kiam-hoat, kalau menurut cerita Hong-ting Taysu tempo hari memang asal-usul ilmu silat mereka itu semuanya memang berasal dari sumber yang sama, hanya saja... sekonyong-konyong teringat pula sesuatu olehnya, cepat ia bangkit berduduk, karena gerakan mendadak, lukanya lantas terasa sakit lagi, tanpa terasa ia merintih perlahan.

“Apakah kau haus?” cepat Gi-lim yang berdiri di samping keretanya bertanya.

“Tidak,” jawab Lenghou Tiong. “Siausumoay, harap undang Nona Yim ke sini.”

Gi-lim mengiakan. Tidak lama Ing-ing lantas muncul bersama Gi-lim. “Ada urusan apakah?” tanya Ing-ing.

“Tiba-tiba aku ingat sesuatu,” tutur Lenghou Tiong. “Tempo hari ayahmu pernah mengatakan bahwa kitab Kui-hoa-po-tian agama kalian itu telah beliau berikan kepada Tonghong Put-pay. Waktu itu aku mengira ilmu silat yang terdapat di dalam Kui-hoa-po-tian itu tidak lebih bagus daripada ilmu sakti yang diyakinkan oleh ayahmu sendiri, makanya ayahmu mau menurunkan kitab pusaka itu kepada Tonghong Put-pay, akan tetapi....”

“Kemudian ternyata ilmu silat ayahku tidak lebih tinggi daripada Tonghong Put-pay, begitu kau ingin katakan, bukan?” sela Ing-ing.

“Benar,” jawab Lenghou Tiong. “Sebab musabab urusan ini benar-benar membikin bingung diriku.”

Rasa bingung Lenghou Tiong ini memang bukan tidak beralasan. Maklumlah, pada umumnya setiap jago silat bila melihat sesuatu kitab ilmu silat yang hebat mustahil tak ingin dimilikinya sendiri, bahwa Yim Ngo-heng justru sengaja memberikan kitab pusaka kepada Tonghong Put-pay, hal ini benar-benar luar biasa.

“Aku pun pernah tanya Ayah tentang ini,” kata Ing-ing. “Ayah bilang, pertama, ilmu silat yang tertera di dalam kitab itu tak boleh dipelajari, kalau paksakan diri belajar tentu akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Kedua, beliau pun tidak tahu bahwa setelah berhasil meyakinkan ilmu silat dalam kitab itu ternyata bisa sedemikian lihai.”

“Jadi menurut beliau ilmu silat itu tidak boleh dipelajari? Tidak boleh? Apa sebabnya?” Lenghou Tiong menegas.

Tiba-tiba air muka Ing-ing berubah merah, jawabnya kemudian, “Apa sebabnya tidak boleh dipelajari, aku sendiri pun tidak tahu.”

Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Seperti nasib yang dialami Tonghong Put-pay itu, apakah baik kalau begitu?”

“O,” Lenghou Tiong sadar akan persoalannya, dalam hati kecilnya lapat-lapat merasa bahwa jalan yang ditempuh oleh suhunya seperti sedang menuju ke arah yang dialami Tonghong Put-pay itu.

“Kau harus merawat lukamu dengan tenang, jangan banyak berpikir,” kata Ing-ing. “Aku akan pergi tidur saja.”

Lenghou Tiong mengiakan. Ia menyingkap tirai kereta, sinar bulan yang lembut menyoroti wajah Ing-ing yang cantik itu, mendadak Lenghou Tiong merasa sangat menyesal karena apa yang dilakukannya tidak memadai cinta si nona kepadanya.

“Baju yang dipakai Lim-sute-mu itu kain kembang belaka,” tiba-tiba Ing-ing menambahkan lagi, habis itu barulah ia melangkah kembali ke keretanya.

Keruan Lenghou Tiong merasa heran, pikirnya, “Apakah maksudnya dia mengatakan baju Lim-sute terdiri dari kain kembang belaka? Lim-sute baru menjadi pengantin, tidak heran kalau dia memakai baju-baju baru yang mewah. Dasar anak perempuan, tidak perhatikan ilmu pedang orang, tapi yang diperhatikan adalah baju yang dipakai orang lain, sungguh lucu.”

Sambil pejamkan mata ia coba membayangkan keadaan Lim Peng-ci waktu melabrak Ih Jong-hay, tapi baju kembang apa yang dipakai Peng-ci waktu itu sudah lupa olehnya.

Tidur sampai tengah malam, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan kaki kuda, dua penunggang kuda sedang mendatangi. Lenghou Tiong lantas bangkit berduduk dan menyingkap tirai kereta, dilihatnya anak murid Hing-san dan Jing-sia-pay juga sudah bangun semua. Anak murid Hing-san-pay segera mengambil tempat masing-masing dalam bentuk barisan pedang untuk menjaga segala kemungkinan. Sedangkan anak murid Jing-sia-pay sudah mengeluarkan senjata masing-masing, ada yang menjaga di tepi jalan, ada yang siap siaga di sekeliling sang ketua. Semuanya tegang dan gelisah.

Tidak lama tertampaklah dua penunggang kuda sedang mendatang dengan cepat, di bawah sinar bulan dapat terlihat dengan jelas, siapa lagi mereka kalau bukan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian.

Begitu mendekat segera Lim Peng-ci berteriak, “Ih Jong-hay, karena kau ingin mencuri Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami, maka ayah ibuku telah kau bunuh. Sekarang biarlah aku memperlihatkan ilmu pedang yang kau cari itu sejurus demi sejurus, hendaklah kau mengikuti dengan jelas.”

Ia menahan kudanya, lalu melompat turun, pedang tersandang di belakang punggungnya, dengan langkah cepat ia lantas mendekati orang-orang Jing-sia-pay.

Ketika Lenghou Tiong memerhatikan, dilihatnya Peng-ci memakai baju warna kuning muda, ujung baju dan lengan baju bersulam bunga-bunga kuning tua, pinggir baju dilapis dengan renda kuning pula, pinggang juga memakai ikat pinggang kuning emas sehingga memantulkan gemerdep kuning bila berjalan, tampaknya memang sangat perlente. Pikirnya, “Biasanya Lim-sute sangat sederhana, sesudah menjadi pengantin sifatnya lantas berbeda seketika. Tapi juga tak bisa menyalahkan dia, pemuda mendapatkan jodoh yang setimpal sudah tentu sangat girang, pantas kalau dia berdandan secakap mungkin.”

Semalam ketika Lim Peng-ci membekuk Ih Jong-hay dengan bertangan kosong di samping Hong-sian-tay, lagaknya sama seperti sekarang ini. Sudah tentu pihak Jing-sia-pay tak memberi kesempatan lagi padanya untuk mengulangi serangannya yang licik itu. Sekali Ih Jong-hay menggertak, serentak empat muridnya menerjang maju dengan pedang terhunus, dua pedang menusuk dadanya dari kanan dan kiri, dua pedang lain menebas pula kedua kakinya.

“Awas, Cah!” seru Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian berbareng, betapa pun mereka ikut khawatir juga bagi Lim Peng-ci.

Tak terduga Peng-ci tetap tenang-tenang saja, dengan cepat luar biasa mendadak kedua tangannya menjulur ke depan, menyusul tangannya lantas menyampuk ke samping sehingga tangan kedua orang yang menusuk dadanya itu terdorong, maka terdengarlah jeritan ngeri empat orang, dua orang kontan roboh terkulai. Dua orang yang mestinya menusuk dadanya itu karena tersampuk tangan masing-masing sehingga pedang memutar balik dan menusuk ke dalam perut kedua teman sendiri.

“Inilah jurus kedua dan ketiga Pi-sia-kiam-hoat, sudah lihat jelas tidak?” seru Peng-ci. Lalu ia putar tubuh dan mencemplak ke atas kudanya, terus dilarikan pergi.

Bab 119. Suami Istri yang Tidak Bahagia

Orang-orang Jing-sia-pay sampai terkesima sehingga tiada seorang pun yang mengejar musuh, ketika mereka mengawasi kedua kawannya yang lain, kiranya kedua orang itu pun terkena oleh senjata kawan sendiri yang menebas dari kanan kiri tadi, cuma mereka masih berdiri tegak, tapi sebenarnya sudah mati.

Cara Peng-ci menjulur tangan dan menyampuk sambil mendorong tadi telah dilihat dengan jelas oleh Lenghou Tiong, ia terkejut dan kagum pula, diam-diam ia mengakui kehebatan ilmu silat Lim Peng-ci, jelas itu adalah ilmu pedang dan bukan ilmu silat biasa.

Di bawah sinar bulan tertampak bayangan Ih Jong-hay yang pendek itu berdiri kesima di samping keempat mayat muridnya. Anak murid Jing-sia-pay mengelilingi sekitar sang guru, tapi dari jarak rada jauh, tiada seorang pun yang berani buka suara.

Selang agak lama, Lenghou Tiong coba memandang keluar kereta, dilihatnya Ih Jong-hay masih tetap berdiri tegak tak bergerak, sedangkan bayangannya sudah tambah panjang, suatu tanda sudah sekian lamanya dia termangu aneh tak terkatakan. Sebagian anak murid Jing-sia-pay juga terpaku di tempatnya, sebagian sudah menyingkir pergi, sebagian pula sudah berduduk, tapi Ih Jong-hay tetap berdiri kaku di situ.

Dalam hati Lenghou Tiong sekonyong-konyong timbul rasa kasihan kepada Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay yang terkenal itu ternyata sama sekali tak berdaya menghadapi seorang lawan muda.

Karena sudah mengantuk, Lenghou Tiong lantas pejamkan mata untuk tidur. Dalam mimpinya tiba-tiba terasa keretanya berguncang, menyusul terdengar suara bentakan kusir kereta. Kiranya hari sudah terang, rombongan sudah berangkat.

Ia coba melongok keluar, dilihatnya jalan besar yang lurus itu banyak orang berlalu lalang, rombongan Jing-sia-pay berjalan di depan, ada yang menunggang kuda, ada yang berjalan kaki, memandangi bayangan belakang mereka terasa semacam keharuan yang sukar dikatakan, sama halnya serombongan hewan yang sedang digiring ke tempat pejagalan saja.

Pikir Lenghou Tiong, “Mereka cukup menyadari bahwa Peng-ci pasti akan datang lagi, mereka pun tahu semua bahwa sekali-kali tidak sanggup melawannya, kalau melarikan diri secara terpencar, maka itu berarti tamatlah riwayat Jing-sia-pay. Tapi kalau Lim Peng-ci sampai meluruk ke Jing-sia-san, apakah di Siong-hong-koan (kuil ketua Jing-sia-pay) tiada bala bantuan lagi yang sanggup melawan musuh?”

Menjelang tengah hari sampailah di suatu kota rada besar, rombongan Jing-sia-pay lantas memasuki sebuah restoran besar dan makan minum sepuasnya. Sedangkan orang-orang Hing-san-pay hanya beristirahat di warung makan di depan restoran besar itu.

Menyaksikan orang-orang Jing-sia-pay sama makan minum besar di restoran depan itu, para nikoh Hing-san-pay sama terdiam. Mereka tahu orang-orang Jing-sia-pay sedang menghadapi maut, mumpung masih hidup, maka sedapat mungkin mereka ingin menikmati segala kesenangan di dunia ini.

Sorenya sampailah di tepi sebuah sungai. Tiba-tiba terdengar derapan kuda, kembali Lim Peng-ci suami-istri memburu tiba.

Gi-ho bersuit menghentikan rombongannya. Saat itu sinar matahari masih mencorong terang, tertampak dua penunggang kuda mendatangi menyusur tepi sungai. Sesudah dekat, Leng-sian menahan kudanya, sedangkan Peng-ci masih terus maju ke depan.

Mendadak Ih Jong-hay memberi tanda, bersama anak muridnya mereka terus putar tubuh dan lari ke arah sana menyusur tepi sungai.

“Hai, Ih Pendek, hendak lari ke mana kau?” seru Peng-ci sambil bergelak tertawa, segera, ia pun membedal kudanya mengejar.

Sekonyong-konyong Ih Jong-hay membalik, secepat kilat pedangnya lantas menusuk muka Lim Peng-ci. Sama sekali Peng-ci tidak menduga akan serangan lawan yang lihai itu, cepat ia lolos pedang dan menangkis.

Susul-menyusul Ih Jong-hay melancarkan serangan kilat, mendadak melompat ke atas, lain saat mendak ke bawah. Tidak nyana orang tua seperti dia masih lincah seperti anak muda, gerak pedangnya selalu mengambil jalan menyerang secara cepat. Bahkan tujuh-delapan orang murid Jing-sia-pay segera mengelilingi kuda Lim Peng-ci dan mengerubutnya pula, tapi yang diserang bukan orangnya melainkan kudanya.

Hanya mengikuti beberapa saat saja Lenghou Tiong lantas tahu maksud tujuan Ih Jong-hay. Bahwasanya kelihaian Peng-ci terletak pada ilmu pedangnya yang bergerak dan berubah dengan cepat dan sukar diduga. Sekarang pemuda itu berada di atas kuda, dengan sendirinya keunggulannya itu menjadi berkurang, sebab kalau mau menyerang terpaksa ia harus mendoyongkan tubuhnya, kuda tunggangnya tentu tidak selincah kalau dia menggunakan kaki sendiri.

Sekarang anak murid Jing-sia-pay itu sengaja mengepungnya di tengah agar dia tidak sempat turun dari kudanya, asalkan Peng-ci tetap berada di atas kuda belum tentu dia mampu melawan Ih Jong-hay.

Diam-diam Lenghou Tiong mengakui kecerdikan ketua Jing-sia-pay itu, caranya benar-benar lihai. Ia coba memerhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan Peng-ci, gerak perubahannya memang aneh dan bagus, namun Ih Jong-hay masih dapat menandinginya. Setelah mengikuti beberapa jurus lagi, tanpa terasa pandangannya beralih ke arah Gak Leng-sian yang berada di tempat rada jauh sana. Seketika tubuh Lenghou Tiong tergetar kaget sebab dilihatnya ada beberapa anak murid Jing-sia-pay yang lain telah mengepung Leng-sian dan sedang mendesaknya ke tepi sungai.

Pada saat itu pula mendadak terdengar kuda tunggangan Leng-sian meringkik dan berjingkrak sehingga Leng-sian terbanting ke bawah. Rupanya kuda itu telah terkena tusukan pedang. Cepat Leng-sian melompat bangun sambil mengegos untuk menghindari serangan seorang lawan. Namun anak murid Jing-sia-pay itu segera menyerang pula dengan mati-matian.

Enam murid Jing-sia-pay itu terhitung jago-jago pilihan, biarpun Leng-sian berhasil mempelajari ilmu pedang yang terukir di gua Hoa-san itu dan telah mengalahkan jago-jago dari Thay-san-pay, Hing-san-pay, dan lain-lain, namun ilmu pedang lihai itu ternyata tidak mempan digunakan terhadap jago Jing-sia-pay.

Lenghou Tiong dapat melihat sang sumoay tidak mampu melawan serangan murid-murid Jing-sia-pay yang nekat itu. Sedang khawatir dan cemas, tiba-tiba terdengar jeritan seorang Jing-sia-pay, rupanya sebelah lengannya telah kena ditebas kutung oleh Gak Leng-sian.

Giranglah hati Lenghou Tiong, ia berharap orang Jing-sia-pay yang lain tentu akan jeri dan mundur teratur. Tak terduga kelima orang lain tidak mundur setapak pun, bahkan menyerang lebih kalap termasuk orang yang sudah buntung sebelah lengannya itu.

Melihat lawan yang mandi darah dengan serangan kalap laksana kerbau gila itu, Leng-sian menjadi jeri sendiri malah, ia terdesak mundur, mendadak sebelah kakinya terpeleset menginjak batu karang yang berlumut licin, kontan ia jatuh ke dalam air.

“Celaka!” seru Lenghou Tiong khawatir.

“Beginilah cara kita melayani Tonghong Put-pay tempo hari,” tiba-tiba terdengar Ing-ing berkata.

Betul juga pikir Lenghou Tiong. Pertempuran di Hek-bok-keh tempo hari sudah jelas mereka berempat tidak sanggup melawan Tonghong Put-pay, untung Ing-ing ganti haluan dan menyerang Nyo Lian-ting sehingga perhatian Tonghong Put-pay terpencar dan akhirnya dapatlah membinasakan gembong Mo-kau itu. Sekarang cara yang dipakai Ih Jong-hay juga sama dengan tipu Ing-ing dahulu itu. Cara bagaimana Yim Ngo-heng dan Lenghou Tiong berempat membinasakan Tonghong Put-pay sudah tentu tidak diketahui Ih Jong-hay, tapi akal yang terpikir ternyata sama tanpa berembuk.

Lenghou Tiong menduga Lim Peng-ci tentu akan meninggalkan lawan-lawannya untuk menolong sang istri. Tak terduga pemuda itu masih terus menempur Ih Jong-hay dengan sengit, sama sekali tidak ambil pusing terhadap keadaan istrinya yang terancam bahaya itu.

Rupanya anak murid Jing-sia-pay sama menyadari mati-hidup Jing-sia-pay dan keselamatan sendiri hanya tergantung pada pertempuran yang menentukan sekarang ini, oleh karena itu mereka bertempur dengan nekat. Mendadak orang yang buntung tangannya itu membuang pedangnya terus menjatuhkan diri dan menggelundung ke arah Leng-sian, segera ia rangkul kaki Leng-sian dengan kencang.

“Adik Peng, lekas bantu aku, lekas!” seru Leng-sian khawatir.

“Ih Pendek ingin tahu Pi-sia-kiam-hoat, maka biar dia lihat secara jelas agar mati pun dia tidak menyesal,” kata Peng-ci sambil menyerang lebih cepat sehingga Ih Jong-hay hampir-hampir tidak sempat bernapas. Sungguh hebat Pi-sia-kiam-hoat yang dimainkan Peng-ci, meski di atas kuda, namun ilmu pedangnya yang lihai itu pun mendesak Ih Jong-hay sehingga kelabakan dan mati kutu.

“He, kau... kau....” bentak Lenghou Tiong dengan gusar. Tadinya ia mengira Peng-ci tidak mampu melepaskan diri dari kerubutan Ih Jong-hay dan murid-muridnya, tapi dari ucapannya tadi jelas Peng-ci sama sekali tidak menghiraukan keadaan bahaya Leng-sian, yang diutamakan hanya cara bagaimana meledek dan mempermainkan Ih Jong-hay yang sudah tak berdaya itu.

Dari jauh dapat terlihat dengan jelas air muka Lim Peng-ci yang memperlihatkan rasa gemas, dendam, dan bersemangat pula. Mungkin saat itu hati pemuda itu sedang diliputi rasa tekad yang ingin membalas sakit hati.

“Adik Peng, lekas tolong, lekas!” terdengar Leng-sian berseru pula dengan suara serak, keadaannya sudah sangat gawat.

“Segera aku datang, kau bertahan sebentar lagi, aku harus menyelesaikan Pi-sia-kiam-hoat agar dia dapat melihat dengan jelas,” sahut Peng-ci. “Ih Pendek ini sebenarnya tiada permusuhan apa-apa dengan kita, dia sengaja mengirim begundalnya ke Hokkian hanya bertujuan mencari Pi-sia-kiam-boh, maka pantaslah kalau dia melihat sejelasnya ilmu pedangku ini dari awal sampai akhir. Betul tidak?”

Dia bicara dengan teratur, terang bukan diperdengarkan kepada sang istri, tapi lebih tepat kalau dikatakan sedang bicara pada Ih Jong-hay, bahkan dia khawatir pihak lawan kurang jelas, akhirnya ditambahkannya lagi pertanyaan, “Ih Pendek, betul tidak?”

Habis itu serangannya tambah gencar, gayanya indah sehingga lebih mirip dengan Giok-li-kiam yang dipelajari murid perempuan Hoa-san-pay.

Memangnya Lenghou Tiong bermaksud melihat bagaimana gerak serangan Pi-sia-kiam-hoat Peng-ci untuk kemudian dipikirkan cara mematahkannya. Kini melihat Peng-ci memperlihatkan segenap jurus ilmu pedangnya kepada Ih Jong-hay, keruan hal ini kebetulan bagi Lenghou Tiong.

Namun saat itu perhatian Lenghou Tiong sedang terganggu oleh keadaan Gak Leng-sian yang berbahaya itu, dengan sendirinya dia tidak punya peluang untuk memerhatikan jurus pedang Lim Peng-ci. Ia mendengar Gak Leng-sian lagi berteriak-teriak minta tolong, sungguh ia tidak tahan lagi, segera berkata, “Gi-ho Suci dan Gi-jing Suci, harap kalian menolongi Nona Gak. Dia... dia dalam bahaya!”

“Kita sudah menyatakan tidak membantu pihak mana pun juga, rasanya tidak enak ikut turun tangan,” jawab Gi-jing.

Hendaklah maklum bahwa orang bu-lim paling mengutamakan “setia kawan” dan “pegang janji”. Kalau dibandingkan memang kesetiaan lebih penting sedikit daripada janji, tapi sebagai kesatria dari golongan beng-bun-cing-pay (murid perguruan ternama dari golongan baik) betapa pun harus memegang teguh kepada apa yang telah diucapkan.

Mendengar jawaban Gi-jing itu, Lenghou Tiong merasa apa yang dikatakan itu memang benar, semalam mereka sudah menyatakan dengan tegas kepada Ih Jong-hay bahwa sekali-kali Hing-san-pay takkan membantu pihak mana pun juga. Kalau sekarang mereka membantu Gak Leng-sian, itu berarti merusak nama baik Hing-san-pay. Keruan Lenghou Tiong menjadi gelisah dan tak berdaya.

Syukur pada saat itu juga mendadak Ing-ing melompat ke sana, ketika tangannya menggagap pinggang, segera tangannya sudah memegang sebilah golok melengkung. Teriaknya, “Hai, hendaklah kalian melihat jelas. Aku adalah Ing-ing, putri kesayangan Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau. Kalian berenam lelaki mengeroyok seorang perempuan, betapa pun membikin penonton merasa muak. Karena melihat ketidakadilan, terpaksa Nona Yim harus ikut campur.”

Girang sekali Lenghou Tiong melihat Ing-ing maju ke sana, ia menghela napas lega, tiba-tiba lukanya terasa sakit, ia jatuh terduduk lagi di dalam kereta.

Ternyata anak murid Jing-sia-pay sama sekali tidak menghiraukan campur tangan Ing-ing, mereka masih terus menyerang Gak Leng-sian secara kalap. Saat itu Leng-sian terdesak mundur-mundur lagi beberapa tindak, “plung”, tiba-tiba kakinya menginjak air sungai sebatas paha dalamnya. Karena tidak bisa berenang, Leng-sian menjadi gugup, permainan pedangnya menjadi kacau. 
Pada saat itulah pundak kiri terasa sakit, rupanya kena ditusuk oleh pedang musuh. Kesempatan itu segera digunakan oleh si tangan buntung untuk menubruk maju untuk merangkul kaki Leng-sian seperti diceritakan tadi. Segera Leng-sian ayun pedangnya untuk membacok dan tepat mengenai punggung si buntung, tapi orang itu masih terus merangkul dengan kencang, sedikit pun tidak mau lepas tangan.
Saking cemasnya pandangan Leng-sian menjadi gelap, ia mengeluh bisa celaka. Dari jauh dilihatnya Lim Peng-ci sedang memperlihatkan ilmu pedangnya yang hebat secara teratur dan perlahan-lahan sejurus demi sejurus seakan-akan sengaja memamerkan ilmu pedang belaka.

Terangsang oleh rasa mendongkol, hampir-hampir Leng-sian jatuh kelengar. Syukur mendadak serangan musuh menjadi kendur, dua pedang mencelat ke atas, menyusul terdengar mendeburnya air, dua murid Jing-sia-pay telah terjungkal ke dalam sungai.

Karena pikiran sudah kacau, Leng-sian juga terbanting jatuh. Untung Ing-ing telah putar goloknya, dalam beberapa jurus saja sisa tiga murid Jing-sia-pay juga telah dilukai, senjata pun terlepas dari cekalan, terpaksa mereka mengacir mundur.

Sekali tendang Ing-ing membikin murid Jing-sia-pay yang buntung itu terpental sehingga rangkulannya pada kaki Leng-sian terlepas. Segera ia menyeret bangun Gak Leng-sian yang sudah basah kuyup itu, pakaiannya juga berlepotan darah, perlahan-lahan dipapahnya ke tepi sungai.

Dalam pada itu terdengar Peng-ci sedang berseru, “Nah, Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami sudah kau lihat dengan jelas, bukan?”

Menyusul di mana sinar pedangnya berkelebat, kontan dua murid Jing-sia-pay yang ikut mengerubutnya lantas terguling.

Sekali Peng-ci menarik tali kendali kudanya, dengan cekatan kudanya lantas melompat melintasi kedua tubuh yang barusan roboh itu. Keadaan Ih Jong-hay sudah payah, tentu saja ia tidak berani mengejar.

Peng-ci melarikan kudanya ke arah Leng-sian dan Ing-ing. “Naik kemari!” serunya kepada sang istri.

Sekonyong-konyong Leng-sian merasa benci dan muak terhadap sang suami, ia merasa lebih baik mati seketika daripada ikut bersama Peng-ci. Dengan mata melotot ia memandangi Peng-ci sejenak, kemudian berkata dengan mengertak gigi, “Kau pergi sendiri saja.”

“Dan kau?” tanya Peng-ci.

“Buat apa kau mengurusi diriku,” jawab Leng-sian.

Peng-ci memandang sekejap kepada anak murid Hing-san-pay, lalu mendengus sekali, kuda dikempitnya kencang terus dilarikan pergi dengan cepat.

Sama sekali Ing-ing tidak menduga bahwa Peng-ci akan memperlakukan sedemikian dingin terhadap istrinya yang baru dinikahnya ini. Katanya kemudian, “Nyonya Lim, silakan kau mengaso ke dalam keretaku saja.”

Kelopak mata Leng-sian sudah penuh digenangi air mata, sedapat mungkin ia menahan agar air matanya tidak sampai menetes, katanya dengan terguguk-guguk, “Aku... aku tidak mau, ken... kenapa kau menolong diriku?”

“Bukan aku yang menolong kau, toasukomu Lenghou Tiong yang ingin menolong kau,” kata Ing-ing sejujurnya.

Hati Leng-sian menjadi pilu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Katanya kemudian, “Dapatkah kau... me... meminjamkan seekor kuda padaku?”

Ing-ing mengiakan, lalu pergi membawakan seekor kuda.

“Banyak terima kasih, kau sungguh be... beruntung!” kata Leng-sian, cepat ia mencemplak ke atas kuda dan melarikan kudanya ke jurusan sana. Arah yang ditempuh ternyata berlawanan dengan Peng-ci, agaknya kembali ke jurusan Ko-san.

Ih Jong-hay juga heran melihat Leng-sian lewat di sebelahnya, tapi ia pun tidak merintangi, pikirnya, “Malam nanti atau besok tentu bocah she Lim itu akan datang membunuhi beberapa orangku lagi, dia hendak membunuh habis muridku satu per satu agar tertinggal aku sebatang kara, habis itu barulah giliranku dikerjai olehnya.”

Lenghou Tiong tidak tega menyaksikan keadaan Ih Jong-hay yang mengenaskan itu, katanya kepada Gi-ho dan lain-lain, “Marilah kita berangkat!”

Ketika kusir-kusir kereta membentak dan membunyikan cambuknya, segera keledai menarik keretanya ke depan.

Lenghou Tiong bersuara heran ketika melihat arah yang ditempuh Gak Leng-sian ternyata berlainan, mestinya ia ingin mengikuti jurusan sang sumoay itu, tak terduga keretanya ternyata dijalankan ke jurusan lain. Mendelong perasaannya, ia tidak enak untuk memerintahkan keretanya memutar haluan, hanya tirai kereta bagian belakang disingkapnya untuk memandang ke belakang, namun bayangan Leng-sian sudah tidak tampak lagi. 
Seketika perasaannya tertekan, pikirnya, “Sumoay terluka, dia menuju ke sana sendirian, apa takkan terjadi sesuatu atas dirinya?”

Tiba-tiba terdengar Gi-lim berkata di sampingnya, “Dia tentu pulang ke Ko-san, dia tentu akan aman berada di samping ayah-ibunya, kau tidak perlu khawatir.”

Rada lega hati Lenghou Tiong, ia mengiakan. Dalam hati ia membatin, “Sumoay cilik ini benar-benar sangat cermat, dia selalu dapat menerka apa yang menjadi pikiranku.”

Esok paginya waktu tengah hari mereka berhenti di suatu rumah makan kecil. Sesungguhnya tak bisa dikatakan rumah makan, sebab hanya terdiri dari beberapa gubuk yang dibangun di tepi jalan, gubuk tanpa dinding, terdiri dari beberapa buah meja kasar dan bangku-bangku panjang sekadar tempat makan-minum orang yang berlalu-lalang.

Dibanjiri oleh rombongan Hing-san-pay, seketika warung makan itu kewalahan, kurang beras dan kurang lauk. Syukur rombongan Gi-ho sendiri membawa perbekalan yang cukup, sampai alat-alat masak juga terbawa. 
Segera mereka membuat api dan menanak nasi di samping gubuk-gubuk itu.

Terlalu lama duduk di dalam kereta, Lenghou Tiong merasa sebal juga, syukur lukanya sudah rada baikan sesudah dibubuhi obat luka Hing-san-pay yang mustajab. Gi-lim dan Gi-ho lantas memayangnya turun dan duduk mengaso di bawah gubuk. Ia memandang ke timur, hatinya berpikir, “Entah Siausumoay akan datang kemari tidak?”

Dilihatnya debu mengepul tinggi dari sana, serombongan orang sedang mendatangi, kiranya rombongan Jing-sia-pay. Setiba di warung gubuk itu, orang-orang Jing-sia-pay juga lantas berhenti untuk menanak nasi. Ih Jong-hay tampak duduk sendirian menyanding meja, termangu-mangu tanpa bersuara.

Agaknya Ih Jong-hay menyadari ajalnya sudah dekat, maka ia tidak perlu sirik dan menghindari rombongan Hing-san-pay lagi, ia pikir paling-paling hanya mati saja, apa halangannya kalau orang-orang Hing-san-pay menyaksikan cara bagaimana dia akan mati nanti?

Tidak lama kemudian, benar juga dari jurusan barat terdengar derapan kaki kuda, seorang penunggang kuda makin mendekat dengan perlahan, penunggang kuda itu memakai baju sulam, siapa lagi kalau bukan Lim Peng-ci.

Setiba di depan gubuk, Peng-ci menghentikan kudanya. Orang-orang Jing-sia-pay ternyata tidak ambil pusing padanya, melirik saja tidak, semuanya sibuk dengan tugas masing-masing, yang menanak nasi tetap menanak nasi, yang minum tetap enak-enak minum.

Hal ini benar-benar di luar dugaan Peng-ci malah. Segera ia bergelak tertawa, katanya, “Kalian tidak mau menyerang lebih dulu, aku pun tetap mau bunuh orang.”

Ia melompat turun dari kudanya, sekali pantat kuda itu ditepuk, menyingkirlah binatang itu pergi makan rumput. Dilihatnya di samping meja sana masih ada bangku yang kosong, segera ia mendekati dan duduk di situ.

Begitu Peng-ci memasuki gubuk itu segera Lenghou Tiong mencium bau wangi semerbak. Kiranya pakaian Peng-ci sangat rajin, sekujur badannya menguarkan bau harum.

Tertampak kopiah Peng-ci tersemat sebuah batu zamrud, jarinya memakai cincin bermata mirah delima, sepatunya juga berhiaskan mutiara, dandanan demikian bukan lagi dandanan jago silat, tapi lebih mirip tuan muda dari keluarga hartawan yang kaya raya.

Setelah ambil tempat duduk, dengan acuh tak acuh Peng-ci menyapa, “Lenghou-heng, baik-baik kau!”

“Baik,” sahut Lenghou Tiong sambil mengangguk.

Peng-ci berpaling ke sana, dilihatnya seorang murid Jing-sia-pay sedang menuangkan minuman panas kepada Ih Jong-hay. Mendadak Peng-ci naik darah dengan suara keras ia menegur, “Hai, kau bernama Ih Jin-ho bukan? Dahulu waktu membunuh orang di rumahku di antaranya juga termasuk kau. Biar kau menjadi abu juga aku kenal kau.”

Mendadak Ih Jin-ho gabrukkan pocinya di atas meja, dengan cepat ia membalik sambil pegang gagang pedang dan berkata, “Memang betul aku Ih Jin-ho adanya, kau mau apa?”

Walaupun nada jawaban kasar, namun suaranya rada gemetar dan mukanya pucat.

Peng-ci tersenyum, katanya kemudian, “Eng Hiong Ho Kiat, empat kesatria muda Jing-sia-pay. Menurut urut-urutan kau terhitung nomor tiga, tapi sedikit pun tidak bersemangat kesatria. Sungguh menggelikan.”

Eng, Hiong, Ho, Kiat, empat kesatria muda Jing-sia-pay, yang dimaksudkan adalah Kau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Ih Jin-ho, dan Lo Jin-kiat. Di antaranya Lo Jin-kiat sudah tewas dibunuh Lenghou Tiong di Kota Heng-san dahulu. Kau Jin-eng dan Ang Jin-hiong sekarang juga berada bersama di samping Ih Jong-hay.

Maka Peng-ci menjengek lagi, “Hah, kalau menurut penilaian Lenghou-heng itu, kalian lebih tepat disebut empat binatang dari Jing-sia. Padahal kalau menurut penilaianku, haha, kalian bahkan lebih rendah daripada binatang.”

Tidak kepalang gusar Ih Jin-ho, tangannya sudah memegang gagang pedang, tapi pedang tetap tak dilolosnya keluar.

Pada saat itulah tiba-tiba dari arah timur sana ada suara berdetaknya kaki kuda, dua penunggang kuda tampak mendatang dengan cepat. Setiba di depan gubuk, seorang yang berada di bagian depan lantas menghentikan kudanya. Waktu semua orang berpaling, segera ada orang bersuara kaget.

Kiranya penunggang kuda itu adalah seorang bungkuk yang bertubuh gemuk pendek, yaitu Bok Ko-hong yang terkenal dengan julukan “Say-pak-beng-tho” (Si Bungkuk dari Utara). Yang aneh adalah penunggang kuda di belakangnya itu ternyata Gak Leng-sian adanya.

Melihat Leng-sian, hati Lenghou Tiong menjadi senang. Tapi dilihatnya kedua tangan Leng-sian terikat menelikung di belakang, tali kendali kudanya juga dipegang oleh Bok Ko-hong. Jelas dia tertawan oleh musuh dan dipaksa ikut datang. Segera Lenghou Tiong bermaksud bertindak, tapi lantas terpikir, “Suaminya kan berada di sini, buat apa orang luar seperti aku mesti bertindak baginya? Jika suaminya tidak ambil pusing barulah nanti aku mencari akal untuk menolongnya.”

Dalam pada itu Lim Peng-ci juga girang tidak kepalang melihat datangnya Bok Ko-hong. Ia membatin, “Orang yang mencelakai ayah-ibuku juga termasuk si bungkuk ini, sungguh tidak nyana hari ini dia mengantar kematian sendiri ke sini, Thian memang mahaadil.”

Sebaliknya Bok Ko-hong tidak kenal Lim Peng-ci. Dahulu mereka memang pernah bertemu di Heng-san, tapi waktu itu Peng-ci menyamar sebagai bungkuk, mukanya benjal-benjol, sama sekali berbeda daripada pemuda cakap seperti sekarang ini.

Bok Ko-hong menoleh kepada Gak Leng-sian dan berkata, “Mengingat sekian banyak teman berkumpul di sini, seharusnya kita berhenti mengaso juga buat minum teh. Tapi kakekmu ini ada urusan penting, marilah kita berangkat saja.”

Rupanya dia rada gentar melihat orang-orang Hing-san-pay dan Jing-sia-pay, daripada nanti kebentrok ada lebih baik menyingkir saja lebih dulu. Sekali membentak segera ia hendak melarikan kudanya. Di luar dugaan, mendadak Leng-sian menjerit terus terperosot jatuh dari atas kuda.

Kiranya kemarin waktu Leng-sian terluka dan ingin kembali ke Ko-san untuk bergabung dengan ayah-bundanya, tapi di tengah jalan ia lantas kepergok Bok Ko-hong.

Rupanya si bungkuk ini menaruh dendam kepada Gak Put-kun lantaran perebutan Pi-sia-kiam-boh dahulu, kemudian didengarnya putra keluarga Lim diambilnya sebagai murid, bahkan dijadikan menantu malah, maka ia menduga kitab pusaka keluarga Lim tentu juga sudah ikut dikangkangi oleh Gak Put-kun.

Tentang upacara penggabungan Ngo-gak-kiam-pay ia pun mendapat kabar, cuma orang-orang Ngo-gak-kiam-pay biasanya memandang hina padanya, Co Leng-tan juga tidak mengirim kartu undangan padanya. Dasar jiwanya memang sempit, diam-diam Bok Ko-hong sembunyi di sekitar Ko-san, kalau ada orang Ngo-gak-pay yang kebetulan jalan sendirian segera akan disergapnya untuk melampiaskan rasa dendamnya. Dan kebetulan dilihatnya Gak Leng-sian jalan sendirian, segera ia mencegatnya.

Dengan kepandaian Leng-sian sekarang mestinya tidaklah gampang bagi Bok Ko-hong untuk mengalahkannya. Soalnya Leng-sian baru terluka, Bok Ko-hong merunduk pula secara mendadak sehingga akhirnya Leng-sian tertawan olehnya.

Ketika Leng-sian menggertaknya dengan mengatakan siapa dia, Bok Ko-hong tambah senang malah. Ia telah ambil keputusan akan menyembunyikan Gak Leng-sian dan suruh Gak Put-kun menebus diri anak perempuannya itu dengan Pi-sia-kiam-boh. Tak terduga di tengah jalan ia kepergok oleh orang-orang Hing-san dan Jing-sia-pay.

Leng-sian sendiri berpikir kalau sampai dirinya dibawa lari pula, maka tipislah harapan akan tertolong. 
Maka tanpa hiraukan lukanya, ia sengaja menjatuhkan diri ke bawah kuda.

Bok Ko-hong memaki sambil melompat turun dari kudanya untuk mencengkeram kembali Gak Leng-sian.

Menurut perkiraan Lenghou Tiong, tentu Peng-ci takkan tinggal diam menyaksikan istrinya diganggu orang. Siapa tahu Peng-ci tenang-tenang saja, bahkan ia mengeluarkan kipas lempit terus mengipas perlahan-lahan. Padahal saat itu adalah musim semi, salju di daerah utara saja masih membeku, buat apa menggunakan kipas segala? Jelas lagak Peng-ci itu hanya sengaja memperlihatkan keisengan dan ketidakacuhan terhadap segala apa yang terjadi di sekitarnya.

Sementara itu Leng-sian sudah dicengkeram bangun oleh Bok Ko-hong dan dinaikkan lagi ke atas kuda. 
Ia sendiri pun lantas mencemplak ke atas kuda dan segera hendak dilarikan.

“Orang she Bok,” tiba-tiba Peng-ci berkata, “di sini ada orang mengatakan ilmu silatmu sangat rendah tak bernilai, apakah memang begitu halnya?”

Bok Ko-hong tercengang, ia melihat Peng-ci duduk sendirian, tampaknya bukan orang Jing-sia-pay dan juga bukan Hing-san-pay, seketika ia menjadi ragu-ragu, tanyanya kemudian, “Siapa kau?”

Peng-ci tersenyum, jawabnya, “Buat apa kau tanya diriku? Yang bilang ilmu silatmu rendah toh bukan aku.”

“Siapa yang bilang?” tanya Bok Ko-hong.

“Cret”, Peng-ci lipat kembali kipasnya terus menuding ke arah Ih Jong-hay, katanya, “Yakni Ih-koancu dari Jing-sia-pay ini. Baru-baru ini dia telah menyaksikan sejurus ilmu pedang yang mahahebat di dunia ini, kalau tidak salah seperti Pi-sia-kiam-hoat namanya.”

Mendengar nama “Pi-sia-kiam-hoat”, seketika semangat Bok Ko-hong terbangkit. Ia coba melirik Ih Jong-hay, terlihat ketua Jing-sia-pay itu memegangi sebuah cangkir teh dan sedang termenung-menung, terhadap apa yang diucapkan Peng-ci seperti tidak mendengar. Seketika Bok Ko-hong menjadi ragu-ragu apakah ucapan Peng-ci tadi sungguh-sungguh atau kelakar belaka.

Akhirnya ia tanya Ih Jong-hay, “Hai, Ih Pendek, selamat padamu yang beruntung dapat menyaksikan permainan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini tentu betul toh?”

“Memang betul,” jawab Ih Jong-hay. “Cayhe memang telah menyaksikannya sejurus demi sejurus dari awal sampai akhir.”

Kejut dan girang pula Bok Ko-hong, cepat ia melompat turun dari kudanya dan duduk di samping meja Ih Jong-hay, lalu bertanya, “Kabarnya kiam-boh itu telah jatuh di tangan Gak Put-kun dari Hoa-san-pay, cara bagaimana kau bisa melihat ilmu pedang itu?”

“Aku tidak melihat kiam-boh segala, yang kulihat adalah orang yang mahir memainkan ilmu pedang itu,” sahut Ih Jong-hay.

“O, kiranya demikian. Tapi Pi-sia-kiam-hoat ada yang tulen dan ada yang palsu. Seperti keturunan Hok-wi-piaukiok di Hokciu juga pernah mempelajari apa yang disebut Pi-sia-kiam-hoat segala, tapi ilmu pedang yang diperlihatkan ternyata sangat menggelikan. Sekarang ilmu pedang yang kau lihat tentulah yang tulen.”

“Aku tidak tahu apakah tulen atau palsu, yang jelas orang yang mahir ilmu pedang itu adalah keturunan Hok-wi-piaukiok dari Hokciu,” jawab Jong-hay.

“Hahahaha!” Bok Ko-hong bergelak tertawa. “Percuma kau menjadi guru besar suatu aliran persilatan, sampai-sampai tulen atau palsu sesuatu ilmu pedang juga tidak bisa membedakan. Bukankah Lim Cin-lam dari Hok-wi-piaukiok itu tewas di tanganmu?”

“Tulen atau palsunya Pi-sia-kiam-hoat memang aku tak bisa membedakan,” jawab Ih Jong-hay. “Bok-tayhiap lebih berpengalaman, tentu dapat membedakannya.”

Padahal Bok Ko-hong tahu tojin pendek di depannya ini terhitung tokoh kelas satu, baik ilmu silatnya maupun pengetahuannya yang luas, tapi mengapa sekarang bicara demikian, tentu mengandung arti yang dalam. Maka Bok Ko-hong hanya menyengir saja sambil memandang sekelilingnya, dilihatnya semua orang sedang memandang padanya dengan sikap yang aneh seakan-akan dirinya telah salah omong sesuatu. Maka dengan ragu-ragu terpaksa ia berkata, “Kalau aku dapat melihatnya sendiri, betapa pun akan kubedakan yang tulen dan yang palsu.”

“Kalau Bok-tayhiap ingin lihat, kukira tidaklah susah. Sekarang juga seorang yang berada di sini justru mahir main Pi-sia-kiam-hoat,” kata Ih Jong-hay.

Keruan Bok Ko-hong terkesiap, sorot matanya kembali menatap orang-orang sekelilingnya. Dilihatnya Lim Peng-ci paling tak acuh, segera ia tanya, “Apakah pemuda ini yang kau maksudkan?”

“Hebat, sungguh aku sangat kagum terhadap pandangan Bok-tayhiap yang tajam, sekali pandang saja lantas tahu,” kata Jong-hay.

Baru sekarang Bok Ko-hong mengamat-amati Lim Peng-ci mulai dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun kepala. Dilihatnya dandanan Peng-ci sangat perlente, jelas seorang putra keluarga hartawan. Pikirnya, “Ucapan Ih Pendek itu tentu mengandung sesuatu tipu muslihat bagiku. Buat apa aku terlibat dalam sengketa mereka, paling selamat lekas berangkat saja. Asalkan Nona Gak ini tetap berada di bawah cengkeramanku, mustahil Gak Put-kun takkan menebusnya dengan kiam-boh yang kuinginkan itu.”

Maka dia sengaja tertawa, katanya, “Haha, Ih Pendek, rupanya kau memang suka berkelakar padaku. 
Hari ini Si Bungkuk ada urusan lain, terpaksa aku mohon diri dahulu. Tentang Pi-sia-kiam-hoat itu apakah benar tulen atau palsu tidak penting bagi Si Bungkuk. Nah, sampai berjumpa pula.”

Habis berkata, sekali loncat, tahu-tahu ia sudah berada kembali di atas kudanya.

Meski bungkuk dan gemuk pula, tapi loncatan ke atas kuda itu ternyata sangat gesit dan cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar