Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 21 Oktober 2010

Hina Kelana - Chin Yung - 42 hingga 60

Sambungan ...


Bab 42. Gak Put-kun Ditawan Musuh dan Lenghou Tiong yang Menolong

Namun meski mereka bertiga mencari pula segenap pelosok pondok kecil itu dengan lebih teliti toh hasilnya tetap nihil. Akhirnya Put-kun berkata, "Kejadian ini jangan sekali-kali disiarkan keluar, kecuali aku yang akan memberitahukan kepada ibumu, kepada siapa pun jangan bercerita. Marilah mengubur Tay-yu dan lekas tinggalkan tempat ini."

Waktu mengangkat Liok Tay-yu, tanpa terasa Lenghou Tiong berduka pula. Pikirnya, "Di antara sesama saudara seperguruan, selamanya Laksute paling baik padaku. Siapa duga sekali salah tutuk aku membinasakan dia. Hal ini sungguh di luar dugaan, mungkin karena di dalam tubuhku terdapat hawa murni yang ditinggalkan Tho-kok-lak-sian yang aneh itu, maka tenagaku menutuk telah jauh berbeda? Seumpama betul demikian, lalu kitab Ci-he-pit-kip itu mengapa bisa menghilang tanpa bekas? Seluk-beluk kejadian ini benar-benar sukar untuk dimengerti. Sekarang Suhu sudah mencurigai diriku, tiada gunanya aku memberi penjelasan, paling perlu aku harus menyelidiki perkara ini sehingga jelas, sesudah itu biarlah aku membunuh diri untuk mengiringi kematian Laksute."

Ia mengusap air mata, diambil sebuah cangkul untuk menggali liang kubur Liok Tay-yu. Jika dalam keadaan biasa, sebuah liang kubur saja tidak perlu banyak membuang tenaganya, tapi sekarang dia sudah mandi keringat dengan napas tersengal-sengal, bahkan atas bantuan Leng-sian barulah jenazah Liok Tay-yu dapat dikubur secara sederhana.
Kemudian mereka lantas berangkat ke Pek-ma-tik untuk bergabung dengan Gak-hujin dan lain-lain.

Sudah tentu Gak-hujin sangat girang melihat Lenghou Tiong sudah sehat, bahkan ikut datang pula. Tapi ketika dari sang suami diketahui tentang kematian Liok Tay-yu serta hilangnya Ci-he-pit-kip, hal ini membuatnya sedih dan meneteskan air mata.
Terpaksa Gak Put-kun memerintahkan melanjutkan perjalanan ke kota di depan.

Di luar dugaan, beberapa li kemudian mendadak kereta yang ditumpangi nyonya Gak patah asnya dan tidak dapat meneruskan perjalanan.

"Sunio," kata Lenghou Tiong sesudah Gak-hujin dan Leng-sian turun dari kereta mogok itu, "lukaku sudah sembuh, silakan Sunio dan Sumoay menumpang keretaku ini, biar aku berjalan bersama orang banyak."

Dan baru saja Lenghou Tiong keluar dari keretanya, tiba-tiba Si Cay-cu menuding ke arah timur laut sana dan berseru, "Suhu, di tepi hutan sana ada sebuah kelenteng, apakah kita mau minta memondok barang semalam saja di sana?"

"Hanya anggota keluarga wanita yang kurang leluasa," ujar Gak-hujin.

Tetapi Gak Put-kun lantas menjawab, "Cay-cu, boleh coba kau pergi tanya, jika Hwesio penghuni kelenteng itu menolak, maka jangan kau memaksanya."

Cay-cu mengiakan dan segera berlari pergi. Tidak lama kemudian ia sudah lari kembali, dari jauh ia berteriak, "Suhu, kelenteng itu dalam keadaan rusak dan tiada penghuninya."

Keruan semua orang sangat girang dan merasa kebetulan. Segera To-kin, Bok Pek-lo, Su Ki dan beberapa murid termuda mendahului lari ke sana untuk membersihkan tempat bermalam itu.

Ketika rombongan Gak Put-kun sampai di luar kelenteng, sementara itu langit tiba-tiba mendung, dalam sekejap saja cuaca menjadi gelap.

"Untung ada kelenteng rusak ini, kalau tidak kita pasti akan kehujanan di tengah jalan," kata Gak-hujin.

Waktu mereka masuk ke ruangan kelenteng, kiranya arca yang dipuja di situ adalah Toapekong Yok-ong (raja obat) yang aslinya bernama Sin-long-si.

Beramai-ramai Gak Put-kun dan lain-lain lantas memberi hormat kepada Toapekong. Dan belum lagi mereka berbenah seperlunya tiba-tiba sinar kilat menyambar-nyambar dan guntur berbunyi, menyusul hujan lantas menetes dengan lebatnya.

Karena kelenteng itu sudah rusak, hampir di mana-mana air bocor menggenangi ruangan kelenteng itu. Terpaksa mereka tidak memasang tikar dan membuka selimut, masing-masing hanya mencari tempat duduk yang tidak kebocoran.
Sedangkan Ko Kin-beng, Nio Hoat dan tiga orang murid wanita sibuk menanak nasi.

"Hujan musim rendeng ini cepat amat datangnya, bisa jadi panen kali ini takkan berhasil dengan baik," demikian kaca Gak-hujin.

Dalam pada itu Lenghou Tiong yang duduk meringkuk di pojok sana sedang termenung-menung memandangi air hujan yang menyiram dari atas talang yang rusak. Pikirnya, "Jika Laksute juga berada di sini, tentu suasana akan riang gembira."

Biasanya di antara Lenghou Tiong, Gak Leng-sian, Liok Tay-yu, Ko Kin-beng dan lain-lain paling suka bergurau bila berkumpul bersama. Tapi sejak Liok Tay-yu meninggal, karena merasa berdosa dan yakin dirinya sendiri takkan hidup terlalu lama lagi di dunia ini, maka jarang sekali Lenghou Tiong mengajak bicara dengan Leng-sian. Terkadang bila ia melihat Leng-sian bergaul dengan Peng-ci, selalu ia menyingkir sejauh mungkin.

Sering ia berpikir, "Biarpun tahu akan dimaki oleh Suhu, tapi Siausumoay telah sengaja mencuri Ci-he-pit-kip untukku, ini menandakan betapa cinta kasihnya kepadaku. Jika aku mencintai Sumoay, sudah seharusnya aku menginginkan dia hidup senang dan bahagia. Aku sudah bertekad akan membunuh diri untuk membalas budi Laksute bila kelak kitab pusaka itu diketemukan, maka tidak boleh aku mendekati Siausumoay pula. Dia dan Lim-sute adalah pasangan yang setimpal, semoga Siausumoay dapat melupakan diriku sebersih-bersihnya.
Bila aku mati nanti janganlah dia menitikkan setetes air mata pun."

Walaupun begitu pikirnya, tapi setiap kali bila melihat Leng-sian jalan bersama Peng-ci sambil bicara dengan asyiknya, maka pedih juga rasa hatinya. Kini dilihatnya pula Leng-sian sedang sibuk membantu menanak nasi dan pekerjaan lain, pada waktu nona itu mondar-mandir, setiap kali beradu pandang dengan Peng-ci, kedua muda-mudi itu sama menampilkan senyuman berarti.

Tukar pandang mesra mereka itu disangka tiada orang lain yang tahu, akan tetapi setiap kali mereka bersenyum sebenarnya tidak terlepas dari pandangan Lenghou Tiong.

Sudah tentu pandangan kedua orang itu membuat perasaan Lenghou Tiong tambah pedih. Ia bermaksud berpaling ke arah lain dan tak mau memandangnya, namun setiap Leng-sian lalu di depannya, tanpa merasa ia melirik juga terhadap si nona.
Sehabis dahar malam, masing-masing lantas hendak tidur. Hujan masih terus turun, sebentar deras, sebentar gerimis, tak berhenti-henti.

Karena perasaan kusut, Lenghou Tiong tak bisa tidur. Kira-kira sejam-dua jam, terdengarlah suara mendengkur para Sutenya di sana-sini, semuanya sudah tidur nyenyak.

Sekonyong-konyong dari jurusan barat daya berkumandang suara derapan kuda yang ramai, jumlahnya ada belasan dan sedang mendatang melalui jalan raya.

Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, "Di tengah malam buta dan hujan mengapa ada orang mengebut kudanya secepat itu? Jangan-jangan rombongan kita ini yang dituju?"

Segera ia bangun duduk. Pada saat itulah terdengar Gak Put-kun telah membentak dengan suara tertahan, "Ssst, semua jangan bersuara!"

Tidak lama belasan penunggang kuda itu telah lewat di luar kelenteng. Sementara itu anak murid Hoa-san-pay sudah mendusin dan masing-masing telah menyiapkan senjata untuk menghadapi musuh. Mereka merasa lega mendengar suara kuda lari itu sudah jauh melalui kelenteng.

Baru mereka hendak tidur kembali, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai itu berputar balik. Belasan penunggang kuda telah sampai di luar kelenteng, lalu berhenti.

Segera terdengar suara seorang yang keras dan nyaring berseru, "Apakah Gak-siansing dari Hoa-san-pay berada di dalam kelenteng? Ada suatu urusan kami ingin minta keterangan."

Sebagai murid Hoa-san-pay yang tertua, biasanya Lenghou Tiong yang mewakilkan perguruannya melayani orang luar. Segera ia menuju ke pintu, ia tarik palang pintu dan menjawab, "Tengah malam begini entah kawan dari manakah yang datang kemari?"

Ketika pintu terbuka, ia lihat di luar kelenteng telah berbaris 15 penunggang kuda, beberapa orang di antaranya membawa Khong-beng-ting (lampu Khong Beng, yaitu sejenis lampu seperti lampu kapal zaman sekarang), serentak mereka menyorotkan sinar lampu mereka ke muka Lenghou Tiong.

Di tengah malam gelap mendadak disoroti cahaya lampu yang terang, sudah tentu Lenghou Tiong merasa silau. Perbuatan demikian sesungguhnya sangat kasar, tidak tahu adat.

Dari kejadian ini saja sudah dapat diketahuinya maksud pendatang-pendatang itu terang bersifat permusuhan.

Waktu Lenghou Tiong memerhatikan, ternyata orang-orang itu semuanya memakai kedok kain hitam, hanya sepasang mata saja yang kelihatan, kedok itu mungkin dipakai sebagai penahan air hujan, tapi maksud tujuannya yang jelas agar orang lain tidak dapat mengenali muka asli mereka.

Tergerak hati Lenghou Tiong, pikirnya, "Orang-orang ini kalau bukan sudah dikenal, tentunya khawatir wajah mereka terlihat dan diingat-ingat oleh kami."

Begitulah, maka seorang di antaranya lagi berkata pula, "Diharap Gak Put-kun, Gak-siansing suka keluar menjumpai kami."

"Siapa tuan?" tanya Lenghou Tiong. "Tolong beri tahukan she dan namamu yang mulia agar dapat kulaporkan kepada Suhuku."

"Tentang siapa kami rasanya kau tidak perlu tanya lagi," sahut orang itu. "Boleh kau katakan kepada gurumu bahwa kami mendengar Hoa-san-pay telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh asal milik Hok-wi-piaukiok di Hokkian itu. Maka kami ingin meminjam dan melihatnya."

Lenghou Tiong menjadi gusar, jawabnya, "Hoa-san-pay kami mempunyai ilmu silat kebanggaannya sendiri, buat apa kami menginginkan Pi-sia-kiam-boh orang lain? Jangankan kami memang tidak mendapatkan kitab itu, seumpama didapat oleh kami, bila tuan memintanya secara begini, apakah sikapmu ini dapat dikatakan menghargai Hoa-san-pay kami?"

Orang itu terbahak-bahak, dan belasan kawannya juga ikut mengakak. Suara tertawa mereka berkumandang jauh di tengah malam sunyi itu, dari suara mereka yang keras nyaring itu teranglah Lwekang setiap orang tidaklah lemah.

Diam-diam Lenghou Tiong terkejut dan sadar lagi berhadapan dengan musuh tangguh, ke-15 orang itu jelas adalah jago-jago pilihan semua, cuma tidak diketahui dari mana asal usulnya.

Di tengah suara gelak tertawa orang banyak itu lantas terdengar seorang di antaranya berseru lantang, "Selama ini kami kenal Gak-siansing yang bergelar Kun-cu-kiam itu memiliki ilmu pedang yang sakti dan jarang ada bandingannya, terhadap Pi-sia-kiam-boh segala sudah tentu tidak sudi mengincarnya. Tapi kami adalah Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama, artinya kaum keroco), maka kami benar-benar sangat ingin melihat kitab ilmu pedang itu, diharap Gak-siansing suka memperlihatkannya."

Suara orang ini dapat terdengar jelas di tengah gelak tawa orang banyak dan bahkan tetap lantang, ini menandakan Lwekang pembicara ini lebih kuat setingkat lagi daripada kawan-kawannya.

"Sebenarnya siapakah tuan? Kau ...." baru Lenghou Tiong bertanya sekian saja, suara sendiri sedikit pun tak terdengar dan tenggelam di tengah suara tertawa orang-orang itu.

Terkesiap hati Lenghou Tiong dan tidak melanjutkan ucapannya. Diam-diam ia merasa cemas terhadap Lwekang sendiri yang terlatih selama belasan tahun kini ternyata tiada gunanya lagi.

Sebenarnya sejak meninggalkan Hoa-san, sepanjang jalan beberapa kali ia pernah coba meyakinkan inti Lwekang perguruannya sendiri, tapi setiap kali mengerahkan tenaga, selalu hawa murni dalam badan bergolak dengan hebatnya dan sukar dikuasai, rasanya sesak tak tertahan, kalau tidak berhenti berlatih bisa jadi lantas pingsan.

Karena itu ia pernah minta nasihat kepada gurunya, tapi Gak Put-kun hanya memandangnya dengan sorot mata dingin tanpa menjawab.

Tatkala itu Lenghou Tiong menganggap hidupnya toh takkan lama lagi, buat apa meyakinkan Lwekang pula. Maka ia pun tidak meneruskan latihannya lebih lanjut. Akhir-akhir ini badannya telah sehat kembali, gerak-geriknya sudah biasa, tak tersangka suara bicaranya sekarang ternyata tiada membawa suara sedikit pun dan hilang di tengah suara tertawa musuh.

Tapi segera terdengar suara Gak Put-kun yang nyaring berkumandang keluar dari dalam kelenteng, "Kalian adalah tokoh persilatan ternama, mengapa merendah hati dan mengaku sebagai Bu-beng-siau-cut? Selamanya orang she Gak tidak pernah omong kosong, tantang Pi-sia-kiam-boh keluarga Lim itu tidak berada padaku."

Ia menggunakan Ci-he-sin-kang yang sakti untuk mengantarkan suaranya, maka di tengah suara tertawa belasan orang di luar kelenteng itu suara Gak Put-kun masih terdengar dengan sangat jelas, baik bagi orang-orang di luar maupun bagi orang Hoa-san-pay sendiri yang berada di dalam kelenteng.

Apalagi cara bicaranya kedengaran acuh tak acuh dan tidak menggunakan tenaga, nyata jauh benar bedanya dengan pembicara tadi yang mesti bicara dengan suara keras. Dari sini pun dapat dinilai bahwa Lwekang Gak Put-kun jauh di atas orang itu pula.

Lalu terdengar lagi suara seorang lain dengan nada serak, "Kau mengapa tidak memegang Kiam-boh itu, lalu ke mana perginya kitab itu?"

"Berdasarkan apa saudara berhak mengajukan pertanyaan demikian?" sahut Put-kun.

"Urusan di dunia ini setiap orang berhak ikut mengurusnya," teriak orang itu.

Tapi Put-kun hanya mendengus saja dan tidak menjawab.

"Orang she Gak, terus terang saja, kau mau menyerahkan kitab itu atau tidak?" teriak pula orang itu dengan suara kasar. "Janganlah diberi arak suguhan tidak mau, tapi minta dicekoki. Jika kau tidak mau menyerahkan terpaksa kami main kasar dan menggeledah ke dalam."

Melihat gelagat jelek, segera Gak-hujin membisiki anak muridnya, "Para murid wanita berkumpul menjadi satu, masing-masing punggung menempel panggung. Murid laki-laki siapkan pedang!"

Serentak terdengar suara "sret-sret" yang ramai, semua orang sudah melolos pedang masing-masing.

Waktu itu Lenghou Tiong masih berdiri di ambang pintu, tangan memegang gagang pedang dan belum lagi dicabut, tapi dua orang lawan sudah melompat turun dari kuda terus menerjang ke arahnya.

Sedikit mengegos ke samping segera Lenghou Tiong bermaksud melolos pedangnya, tapi terdengarlah seorang di antaranya telah membentak, "Minggir!"

Berbareng sebelah kakinya lantas mendepak sehingga Lenghou Tiong jatuh terguling sejauh beberapa meter.

Alangkah cemasnya Lenghou Tiong, sudah terang barusan ia menggunakan Kim-na-jiu-hoat dengan jurus "Hwe-hong-sau-liu" (angin puyuh menyambar pohon) untuk memegang lawan, jurus serangan ini bukan saja dapat menghindarkan depakan musuh, bahkan akan dapat membanting lawan ke samping.

Tapi aneh, biarpun tepat mengenai sasarannya toh serangannya tidak mempan, sebaliknya diri sendiri malah terdepak jatuh, padahal tenaga depakan orang juga tidak terlalu keras, mengapa kuda-kuda sendiri begitu kendur seakan-akan tak bertenaga sehingga mudah terjatuh.

Ia meronta bangun hendak duduk, sekonyong-konyong darah bergolak dalam rongga dadanya, tujuh atau delapan arus hawa murni berputar-putar dalam badan, saling tumbuk dan saling terjang kian kemari, akibatnya dia tersiksa setengah mati, sampai satu jari tangan saja sukar bergerak.

Keruan Lenghou Tiong terperanjat ia membuka mulut bermaksud menggembor, tapi tak bisa mengeluarkan suara. Keadaannya mirip benar orang yang bermimpi buruk, otaknya cukup jernih hanya sama sekali tak bisa bergerak.

Dalam pada itu telinganya dapat mendengar suara nyaring beradunya senjata yang ramai. Suhu, Sunio dan para Sutenya sudah menerjang keluar kelenteng dan mulai bertempur dengan beberapa orang berkedok hitam itu. Sebaliknya beberapa orang berkedok itu sudah menerjang ke dalam kelenteng, terdengar suara bentakan berkumandang dari dalam kelenteng diseling suara jeritan kaum wanita beberapa kali.

Waktu itu hujan kembali turun dengan lebatnya, beberapa buah lampu telah terlempar dengan mengeluarkan cahayanya yang remang-remang, sinar pedang tampak berkilauan dan bayangan orang berkelebat di sana-sini.

Tidak lama kemudian terdengar pula suara jeritan ngeri seorang wanita di dalam kelenteng.

Lenghou Tiong tambah gelisah. Telah diketahui semua musuh itu adalah kaum lelaki, dengan sendirinya jeritan ngeri itu disebabkan salah seorang Sumoaynya mengalami cedera.

Tertampak Suhunya memutar pedang dengan kencang, seorang diri melawan empat orang musuh. Sedangkan ibu gurunya juga menandingi dua orang. Ia tahu ilmu pedang guru dan ibu gurunya ingat lihai, biarpun dikeroyok musuh juga takkan kalah.

Lo Tek-nau juga satu melawan dua dan sedang melabrak musuh dengan sengit. Kedua lawannya memakai golok, dari suara benturan senjata dapat diketahui tenaga kedua orang itu sangat kuat, lama-kelamaan tentu Tek-nau akan payah.

Jadi di pihak berdiri hanya tiga orang melawan musuh sebanyak delapan orang, sudah tentu keadaan rada berbahaya. Apalagi keadaan di dalam kelenteng tentu lebih runyam lagi. Musuh yang masuk ke dalam kelenteng hanya tujuh orang saja, para Sute dan Sumoaynya walaupun berjumlah banyak, namun tidak ada yang tergolong jago kelas tinggi.

Sementara itu suara jeritan masih terus terdengar, mungkin beberapa Sumoaynya telah roboh pula. Jika kawanan musuh membunuh habis para Sute dan Sumoaynya, lalu keluar lagi untuk mengerubut Suhu, Sunio dan Lo Tek-nau, tatkala mana guru dan ibu gurunya paling-paling hanya dapat menyelamatkan diri saja, sebaliknya pasti tidak mampu membunuh musuh dan menuntut balas.

Makin cemas dan makin gelisah perasaan Lenghou Tiong, semakin lemas pula badannya. Tiada hentinya ia berdoa, "Semoga Tuhan memberkati sedikit tenaga padaku, cukup dalam waktu singkat saja asal dapat masuk ke dalam kelenteng, tentu Lenghou Tiong dapat atau akan melindungi keselamatan Siausumoay, sekalipun aku sendiri akan dicencang oleh musuh dan mengalami siksaan badan yang paling kejam juga aku rela."

Sekuatnya ia meronta dan mengerahkan tenaga dalam lagi, sekonyong-konyong enam arus hawa murni menerjang naik ke atas dada, menyusul ada dua arus hawa murni yang lain menyalur dari atas ke bawah sehingga keenam arus tadi dapat ditekan turun lagi. Habis itu sekujur badan terasa enteng hampa, seakan-akan seluruh isi perutnya sudah hilang entah ke mana, kulit daging juga lenyap tanpa bekas.

Diam-diam ia mengeluh, "O, kiranya demikian halnya, sungguh celaka!"

Kiranya ia menjadi paham duduknya perkara, bahwa ketika Tho-kok-lak-sian berlomba menyembuhkan lukanya, enam arus hawa murni yang disalurkan keenam tokoh aneh itu telah menyusup masuk melalui urat nadi yang berbeda, luka dalam tidak tersembuhkan, sebaliknya keenam arus hawa murni itu tertahan di dalam badan dan sukar dikeluarkan.

Jika dia meyakinkan Lwekang sakti menurut isi Ci-he-pit-kip tentu ia dapat memunahkan keenam arus hawa murni aneh itu, celakanya dia bertemu dengan Put-kay Hwesio yang memiliki Lwekang sangat tinggi, tapi wataknya kasar dan tak bisa berpikir, secara paksa ia kerahkan dua arus hawa murninya untuk menekan hawa murni Tho-kok-lak-sian itu, seketika itu kesehatan Lenghou Tiong seperti pulih kembali, tapi sebenarnya di dalam badan telah bertambah pula dengan dua arus hawa murni yang lain dan masing-masing saling terjang setiap kali ia bermaksud mengerahkan tenaga. Hal ini mengakibatkan Lwekang sendiri yang pernah dipupuk oleh Lenghou Tiong menjadi tak tertinggal sedikit pun, jadi praktis sekarang Lenghou Tiong mirip seorang lumpuh.

Setelah paham persoalannya, Lenghou Tiong menjadi pedih, tanpa terasa air matanya berlinang, pikirnya, "Nasib malang yang menimpa diriku ini sama dengan memusnahkan sama sekali ilmu silatku. Hari ini perguruanku menghadapi kesulitan, tapi sedikit pun aku tak bertenaga, sebagai murid tertua Hoa-san-pay aku hanya menggeletak di sini dan menyaksikan Suhu dan Sunio dihina orang dan para Sute serta Sumoay dibantai musuh tanpa berbuat apa-apa, sungguh sia-sia aku menjadi manusia. Ya, biarlah aku masuk ke sana dan mati di suatu tempat bersama Siausumoay saja."

Ia tahu bila sedikit mengerahkan tenaga tentu kedelapan arus hawa murni di dalam tubuhnya akan bergolak lagi dan akan membuatnya tak bisa bergerak. Maka ia coba menahan napas, sedikit pun tidak berani mengerahkan tenaga dalam, dengan demikian dapatlah ia mengangkat kakinya dan dapatlah bergerak, perlahan ia berdiri dan perlahan melolos pedang, selangkah demi selangkah ia menggeremet ke dalam kelenteng.

Begitu masuk ke dalam pintu segera hidungnya kesampuk bau anyir darah. Di atas altar arca masih diterangi oleh dua buah lampu, mungkin musuh yang menaruhnya di situ. Nio Hoat, Si Cay-cu, Ko Kin-beng dan para Sute yang lain sedang melawan musuh dengan berlumuran darah. Beberapa Sute dan Sumoay yang lain tampak menggeletak di lantai dan entah sudah mati atau masih hidup.

Leng-sian dan Peng-ci tampak sedang melawan seorang musuh berkedok. Rambut Leng-sian yang panjang terurai kusut. Peng-ci memegang pedang dengan tangan kiri, nyata tangan kanan terluka.

Musuh mereka itu bersenjatakan tombak pendek, tampaknya sangat lihai. Berulang tiga kali Peng-ci menyerang, tapi selalu luput mengenal sasarannya. Sebaliknya mendadak tombak pendek musuh terangkat, "cret", tiba-tiba bahu kanan Peng-ci terluka pula.

Lekas-lekas Leng-sian menyerang dua kali sehingga musuh terpaksa melangkah mundur. "Siau-lim-cu, lekas membalut lukamu dahulu," teriak Leng-sian.

"Tidak apa-apa," sahut Peng-ci dengan pedang menusuk pula, namun langkahnya sudah sempoyongan.

Orang berkedok itu tertawa panjang, tombak mendadak menyabet dari samping, "bluk", dengan tepat pinggang Leng-sian terpukul. Saking sakitnya sampai Leng-sian menungging dan pedang terlepas dari pegangan.

Keruan Lenghou Tiong sangat kaget, dalam keadaan demikian yang dia pikirkan hanya menolong si nona, bahaya apa yang akan dihadapinya sudah tak dihiraukan lagi.

Segera ia menerjang maju, sekuatnya pedang menusuk. Tapi baru setengah jalan pedang menyelonong ke depan, sekonyong-konyong hawa murni dalam tubuhnya bergolak, tangan kanan seketika lemas dan terjulai ke bawah.

Ketika diserang, orang berkedok itu sudah siap-siap hendak mengegos, lalu akan balas menyerang dengan tombak secara jitu dan ganas, bukan mustahil sekaligus dada pemuda itu akan ditembus oleh tombaknya, siapa tahu baru setengah jalan Lenghou Tiong menusukkan pedangnya, tiba-tiba tangan terjulur kembali ke bawah.

Sudah tentu orang berkedok itu rada heran. Seketika ia pun tidak sempat berpikir apa sebabnya, kontan kakinya menyapu sehingga Lenghou Tiong ditendang keluar kelenteng lagi. Dalam keadaan lemas dan tak berdaya, "byurr", tubuh terbanting di tengah air pecomberan di luar kelenteng itu.

Di bawah hujan yang masih lebat, seluruh muka Lenghou Tiong penuh dengan lumpur, seketika ini masih tidak dapat bergerak. Segera dilihatnya Jisute Lo Tek-nau telah roboh ditutuk orang, dua lawan yang mengeroyoknya tadi kini ikut mengerubut Gak Put-kun dan istrinya. Tidak lama kemudian dari dalam kelenteng berlari keluar tujuh orang, sedangkan Gak-hujin menandingi tiga orang musuh.

Sejenak kemudian terdengarlah teriakan dan bentakan Gak-hujin bersama seorang musuh, ternyata kaki kedua orang telah sama-sama terluka. Musuh itu lantas mengundurkan diri. Meski musuhnya berkurang seorang, tapi kakinya terbacok golok, lukanya tidaklah ringan. Maka setelah bergebrak lagi beberapa jurus, kembali pundaknya kena diketok oleh punggung golok musuh, seketika ia jatuh terkapar.

Cepat dua orang musuh berkedok itu menutuk beberapa Hiat-to penting di punggung nyonya Gak agar dia tidak dapat bangun lagi untuk melawan.

Dalam pada itu para murid Hoa-san-pay di dalam kelenteng berturut-turut juga telah banyak yang terluka, satu per satu mereka dirobohkan.

Rupanya kawanan penyerang berkedok itu mempunyai maksud tujuan tertentu, mereka hanya merobohkan dan menawan anak murid Hoa-san-pay saja, ada yang dilukai kaki atau tangannya dan yang lain ditutuk Hiat-to yang membuatnya tak bisa berkutik, tapi jiwa mereka tidak diganggu.

Begitulah kelima belas orang lalu mengurung di sekeliling Gak Put-kun, delapan jago di antaranya berdiri di delapan penjuru untuk menempur Gak Put-kun, sisa tujuh orang yang lain sama memegang lampu Khong-beng-ting untuk memberi penerangan.

Betapa pun tinggi kepandaian ketua Hoa-san-pay itu, namun kedelapan lawannya semuanya adalah jago-jago pilihan, tujuh sorot sinar lampu terlebih-lebih membuat matanya merasa silau.

Namun Gak Put-kun bukanlah tokoh utama salah satu pemimpin Ngo-gak-kiam-pay bila mudah menyerah begitu saja. Biarpun menghadapi bahaya dia tidak menjadi gugup. Ia sadar bahwa Hoa-san-pay hari ini jelas sudah kalah habis-habisan, boleh jadi segenap rombongannya akan terbunuh semua di dalam kelenteng bobrok. Tapi dia tetap putar pedang dan bertahan dengan rapat, makin lama makin tangkas, tenaganya bertahan lama, ilmu pedangnya tambah lihai. Bila sinar lampu menyorot ke arahnya ia lantas memandang ke bawah, dengan demikian kedelapan lawannya itu menjadi tak bisa mengapa-apakan dia dalam waktu singkat.

"Gak Put-kun, kau mau menyerah atau tidak?" tiba-tiba seorang di antaranya berseru.

"Biarpun mati orang she Gak pantang menyerah, kalau mampu membunuh aku silakan bunuh saja," sahut Put-kun tegas dan lantang.

"Kau tidak mau menyerah, biar kutebas dulu tangan kanan istrimu," kata orang itu sambil angkat goloknya yang tebal dengan ujung berbentuk kepala setan. Di bawah pantulan cahaya lampu goloknya mengeluarkan sinar mengilap kehijau-hijauan, mata golok sudah mengancam di atas pundak Gak-hujin.
Gak Put-kun menjadi ragu apakah mesti terima menyaksikan lengan sang istri ditebas kutung oleh musuh. Tapi kalau menyerah begitu saja toh nanti juga akan dihina oleh mereka. Kehormatan Hoa-san-pay yang sudah bersejarah ratusan tahun mana boleh runtuh di tanganku sekarang?

Karena pikiran demikian, mendadak ia menarik napas panjang-panjang, warna ungu mukanya mendadak menebal, serentak pedangnya lantas menebas ke arah laki-laki yang mengancam istrinya tadi.

Untuk mencari selamat dengan sendirinya orang itu menangkis dengan goloknya, Tak terduga serangan Gak Put-kun ini disertai dengan Ci-he-sin-kang, tenaga saktinya mahadahsyat, golok laki-laki itu ikut tertolak balik sehingga pedang dan golok sekaligus membacok lengan kanannya, tapi dia belum lagi mengutungi lengan Gak-hujin, sekarang lengan sendiri sudah terkutung lebih dulu, maka darah pun muncrat berhamburan. Orang itu menjerit dan roboh terguling.

Sekali serang berhasil, menyusul pedang Gak Put-kun menyambar pula, kembali kaki seorang musuh tertusuk. Orang itu mencaci maki sambil cepat mengundurkan diri.

Musuh telah berkurang dua orang, tapi sisa enam orang lagi adalah jago pilihan semua, baik Lwekang maupun Gwakang. Bila satu lawan satu pasti Gak Put-kun akan menang, tapi kini mereka maju berbareng, betapa pun Put-kun repot juga menghadapi mereka. "Plok", mendadak punggungnya tertimpuk sekali oleh "Lian-cu-tay" musuh, yaitu senjata gandin berantai.
Kontan Gak Put-kun juga balas menyerang tiga kali sehingga musuh terpaksa sama melompat mundur. Namun darah segar sudah lantas tersembur dari mulutnya.

Musuh-musuh berkedok itu sama bersorak gembira, "Aha, si tua sudah terluka, saking letihnya juga dia akan mampus sendiri nanti."

Karena yakin kemenangan pasti akan berada di pihak mereka, maka keenam orang itu menjadi adem ayem saja dan memperlambat serangan. Dengan demikian Gak Put-kun menjadi mati kutu malah, ia tidak punya kesempatan buat membinasakan lawannya lagi.

Dari ke-15 orang berkedok yang menyerang di tengah malam hujan lebat itu sudah ada tiga orang dilukai oleh Gak Put-kun dan istrinya, satu di antaranya lengan terkutung dan terluka agak parah, sedangkan dua orang yang lain hanya terluka ringan saja, mereka masih dapat mengangkat lampu membantu penerangan bagi kawan-kawannya sambil tiada hentinya mencaci maki.

Dari logat bicara mereka itu Gak Put-kun menduga mereka adalah orang dari daerah perbatasan antara Sucwan dan Soasay, tapi kota Wi-lim-tin yang baru saja dilalui siang tadi sudah termasuk wilayah Holam barat, logat bicaranya sama sekali berbeda dengan orang-orang berkedok itu.

Ilmu silat orang-orang itu pun bercampur, terang bukan terdiri dari suatu golongan yang sama. Tapi pada waktu bertempur mereka selalu bantu-membantu dengan baik, agaknya bukan rombongan yang baru saja bergabung. Lalu bagaimanakah asal usul kawanan penyatron ini, sungguh sukar diperkirakan.

Yang paling mengherankan adalah ke-15 orang itu tiada satu pun yang lemah, semuanya lihai. Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri yang luas tidak seharusnya sama sekali tak mengenali seorang pun di antara ke-15 orang musuh lihai ini. Tapi nyatanya memang demikian, sama sekali Gak Put-kun tidak tahu siapakah mereka.

Hanya satu hal ia merasa pasti, yaitu sebelumnya musuh tidak pernah bertempur dengan dirinya sehingga pasti juga tiada permusuhan dan dendam apa pun. Tapi apakah mungkin demi mengincar sejilid "Pi-sia-kiam-boh" saja perlu memusuhi Hoa-san-pay secara besar-besaran seperti ini?

Biarpun hatinya berpikir, tapi tangan Gak Put-kun tidak menjadi kendur. Sekali Ci-he-sin-kang dikerahkan, ujung pedang lantas memancarkan sinar kemilauan. Belasan jurus kemudian kembali pundak seorang musuh tertusuk oleh pedangnya sehingga senjata yang berwujud ruyung baja terlepas jatuh.

Seorang kawannya yang berdiri di luar kalangan segera melompat maju untuk menggantikan lowongannya. Orang baru ini bersenjatakan "Kun-gi-to", golok bergigi gergaji. Bobot senjata ini sangat berat, ujung golok melengkung pula, yang dia incar selalu hendak menggantol pedang Gak Put-kun.

Tapi Lwekang Gak Put-kun sangat kuat, makin bertempur makin bersemangat. Mendadak tangan kirinya menghantam ke belakang sehingga mengenai dada seorang lawan. "Krek", tulang rusuk orang itu patah dua buah, tongkat baja yang dipegang sampai tergetar jatuh.

Namun orang itu benar-benar sangat berani dan nekat, dengan kalap mendadak ia menubruk maju ke bawah seperti bola, ia pentang kedua tangan untuk mendekap kaki Gak Put-kun.

Keruan ketua Hoa-san-pay itu terkejut. Tanpa pikir pedangnya menikam ke punggung musuh. Tapi dari samping dua golok telah menangkisnya.

Gerakan Gak Put-kun amat cepat, pedang gagal menikam, secepat kilat kaki kanan lantas menendang dagu orang yang nekat itu.

Tak terduga orang itu ternyata juga ahli Kim-na-jiu, sekali tangannya menyambar, kaki kanan Gak Put-kun berbalik kena dipegangnya, hampir berbareng orang itu lantas menggelinding ke samping. Dalam keadaan demikian betapa pun sulit berdiri tegak lagi. Seketika ia terseret jatuh. Hanya sekejap saja berbagai macam senjata musuh sama mengancam tempat mematikan di atas tubuhnya.
Gak Put-kun menghela napas panjang, ia lepaskan pedang dan pejamkan mata menunggu ajal. Tapi segera terasa beberapa Hiat-to di bagian pinggang, dada dan tempat lain yang penting telah ditutuk musuh dengan Kim-kong-ci-lik (tenaga jari raksasa). Menyusul dua orang berkedok itu telah memayangnya bangun.

Soal hilangnya Pit-kip baginya tidak terlalu gawat karena isi kitab itu sudah dipelajari dengan masak oleh sang suami. Hanya tentang kematian Liok Tay-yu, murid yang disukai oleh segenap saudara seperguruan itulah yang membuatnya berduka.

Murid-murid yang lama tidak tahu urusannya, yang jelas diketahui adalah guru dan ibu guru mereka, begitu pula Toasuko dan Siausumoay tertampak lesu. Maka mereka pun ikut prihatin dan tidak berani bicara atau tertawa keras.

Gak Put-kun menyuruh Lo Tek-nau menyewa dua kereta untuk Gak-hujin dan Leng-sian, yang lain untuk Lenghou Tiong yang masih lemah. Rombongan lantas meneruskan perjalanan ke Ko-san di sebelah timur.

Satu hari sampailah mereka di Wi-lim-tin, hari sudah hampir gelap, mereka lantas mencari hotel untuk bermalam. Tapi kota kecil ini hanya ada sebuah hotel yang telah penuh tamu. Karena membawa keluarga wanita sehingga dalam hal penginapan menjadi kurang leluasa.


Bab 43. Si Baju Kuning Co Hui-leng Putra Sulung Co-bengcu

"Ilmu silat Kun-cu-kiam Gak-siansing memang tidak bernama omong kosong," demikian suara seorang tua lagi bicara. "Dengan kekuatan kami belasan orang mengerubutmu malahan beberapa orang kami sampai terluka, dengan demikian akhirnya baru dapat menangkapmu, sungguh kami harus mengaku tidak becus. Hehe, kami benar-benar sangat kagum padamu. Bila aku harus satu melawan satu padamu terang takkan mampu menang. Tapi kalau dipikir kembali mesti jumlah kami ada 15 orang, namun rombongan kalian bahkan berjumlah 20 orang lebih, kalau dibandingkan toh Hoa-san-pay kalian tetap lebih banyak. Jadi malam ini dengan jumlah sedikit kami telah menangkap pihak Hoa-san-pay yang berjumlah lebih banyak. Pertarungan ini telah kami menangkan dengan tidak mudah, betul tidak kawan-kawan?"

"Ya, memang kemenangan kita diperoleh tidak mudah," seru beberapa orang berkedok di belakangnya.

Maka orang itu melanjutkan lagi, "Gak-siansing, selamanya kami tiada permusuhan apa pun denganmu, kami hanya ingin pinjam lihat itu Pi-sia-kiam-boh saja. Sesungguhnya Kiam-boh itu juga bukan milik Hoa-san-pay kalian, dengan segala tipu daya kau pancing anak muda keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok itu masuk perguruanmu, maksud tujuanmu sebenarnya kurang gemilang, para kawan Bu-lim merasa penasaran juga atas perbuatan itu. Sekarang ingin kuberi nasihat secara baik-baik, lebih baik kau keluarkan Kiam-boh itu."Gak Put-kun sangat gusar, jawabnya, "Aku sudah jatuh di tanganmu, hendak bunuh boleh lekas bunuh, apa gunanya mengoceh tak keruan. Bagaimana pribadi orang she Gak ini cukup dikenal setiap orang Kangouw, adalah mudah kau membunuhku, tapi hendak merusak nama baikku, hm, jangan mimpi!"

"Hahahaha! Apa susahnya merusak namamu?" mendadak salah seorang berkedok itu bergelak tertawa. "Istrimu, putrimu dan anak muridmu yang perempuan semuanya cantik-cantik, ayu-ayu. Kami masing-masing dapat membaginya dan mengambilnya sebagai istri muda. Dengan demikian kutanggung nama Gak-siansing pasti akan semakin tersohor di Bu-lim."

Kata-kata ini membuat orang-orang berkedok yang lain sama ikut tertawa keras, bahkan suara tertawa mengandung nada kotor dan rendah.

Saking marahnya sampai seluruh badan Gak Put-kun gemetar. Langkah kotor yang dikatakan orang itu sungguh tak pernah terpikir olehnya. Ia melihat beberapa orang berkedok itu benar-benar mulai menggiring anak muridnya keluar dari kelenteng. Para muridnya sama tertutuk, ada yang berjalan sampai di luar kelenteng lantas jatuh terkapar, terang bagian kaki terluka.

"Gak-siansing," terdengar orang tua berkedok tadi bicara pula, "tentang asal usul kami boleh jadi kau sudah dapat menduga-duga. Kami bukan kaum kesatria atau pahlawan segala di dunia persilatan, tiada sesuatu yang tidak dapat kami lakukan. Lebih-lebih kawan ini, banyak yang gemar paras cantik, main perempuan adalah acara mereka sehari-hari. Bila mereka sampai mengganggu istri dan putrimu, bagaimana pun kurang baik."

"Sudah, sudahlah, jika kau tatap tidak percaya, silakan menggeledah badan kami saja, coba lihat apakah terdapat Pi-sia-kiam-boh yang kalian cari atau tidak?" sahut Gak Put-kun.

"Kukira lebih baik kau mengeluarkan sendiri saja kitab itu," kata seorang berkedok yang lain dengan tertawa, "bila kami harus menggeledah satu per satu, kalau binimu dan putrimu juga kami geledah, tentu akan kurang sedap dipandang."

Sekonyong-konyong Peng-ci berkata, "Biar kukatakan terus terang kepada kalian, keluarga Lim kami di Hokkian pada hakikatnya tidak punya Pi-sia-kiam-boh apa segala. Percaya atau tidak terserahlah kepada kalian."

Habis berkata ia terus jemput sebatang tongkat besi yang terjatuh di tanah tadi terus menghantam batok kepala sendiri. Cuma Hiat-to di bagian kedua lengannya juga tertutuk sehingga tangannya tak bertenaga. Meski tongkat itu mengenai juga kepalanya, namun hanya membuat kulitnya lecet dan berdarah dan tidak sampai menghancurkan kepalanya.

Maksud tujuan tindakan Peng-ci itu dapat dimengerti oleh semua orang. Pemuda itu sengaja hendak mengorbankan jiwa sendiri untuk menyatakan dengan tegas bahwa Pi-sia-kiam-boh segala benar-benar tidak berada di tangan orang Hoa-san-pay.

"Hehe, bocah ini ternyata cukup setia kawan, gurumu ini percuma saja berjuluk Kun-cu (laki-laki sejati), nyatanya dia tidak punya jiwa seorang laki-laki sejati," jengek orang tadi. "Bocah she Lim, lebih baik kau pindah menjadi murid kami saja, tanggung kau akan memperoleh kepandaian tinggi yang cukup untuk malang melintang di dunia Kangouw."

"Kentut makmu!" Peng-ci memaki. "Orang she Lim ini sekali sudah menjadi murid Hoa-san-pay masakan sudi mengangkat manusia rendah macammu sebagai guru?"

"Jawaban bagus!" teriak Nio Hoat. "Hoa-san-pay kita ...."

"Hoa-san-pay kalian ada apa?" mendadak salah seorang berkedok itu menyela sambil mengayun goloknya, kontan kepala Nio Hoat dipenggalnya bulat-bulat, darah segar lantas menyembur keluar.

Beberapa orang murid Hoa-san-pay sampai menjerit kaget. Sedangkan di dalam benak Gak Put-kun timbul macam-macam pikiran, tapi selalu tidak ingat bagaimana asal usul kawanan penyatron ini. Jika ditilik dari ucapan orang tua tadi besar kemungkinan mereka adalah tokoh-tokoh kalangan Hek-to (kaum penjahat) atau pemimpin berbagai perkumpulan atau gerombolan yang biasa berbuat jahat. Holam, Soasay dan Sucwan pada umumnya cukup diketahuinya dan sekali-kali tiada terdapat jago-jago lihai sebanyak ini. Orang tadi sekali tebas memenggal kepala Nio Hoat, betapa kejamnya sungguh jarang terlihat.

Bahkan sesudah membunuh Nio Hoat, orang itu tertawa seperti orang gila, ia mendekati Gak-hujin, golok yang berlumuran darah itu diayunkan kian kemari dan pura-pura menebas beberapa kali di atas kepala nyonya Gak.

"Jangan ... jangan mencelakai ibuku!" jerit Leng-sian, hampir-hampir saja ia jatuh kelengar saking khawatirnya.

Sebaliknya Gak-hujin memang seorang kesatria wanita, sedikit pun ia tidak gentar. Ia pikir kalau musuh membunuhnya dengan sekali tebas akan kebetulan malah, dengan demikian tidak perlu khawatir dan dianiaya dan dihina pula. Maka dengan bersitegang ia memaki, "Bangsat, kalau berani bunuhlah aku!"

Pada saat itulah tiba-tiba dari jurusan timur laut sana ada suara derapan kuda lari yang ramai, puluhan penunggang kuda sedang mendatang dengan cepat.

"Siapa itu? Coba pergi lihat!" seru si orang tua berkedok.

Dua orang kawannya mengiakan dan segera mencemplak ke atas kuda dan memapak ke sana.

Terdengar suara derapan kuda yang riuh itu tidak pernah berhenti dan langsung dilarikan ke kelenteng, menyusul terdengar suara "trang-tring" beberapa kali, suara beradunya senjata dan jeritan orang pula. Terang para pendatang itu telah bergebrak dengan kedua orang berkedok yang memapak ke sana itu dan ada orang terluka terguling dari atas kuda.
Sungguh girang Put-kun dan lain-lain tak terkatakan, mereka tahu telah kedatangan bala bantuan. Di bawah cahaya lampu samar-samar terlihat dari kejauhan ada 30 sampai 40 penunggang kuda sedang mendatang dengan cepat, hanya sekejap saja sudah berhenti di luar kelenteng dengan mengelilingnya.
"Kiranya sahabat dari Hoa-san-pay. He, itu kan Gak-heng?" demikian seorang penunggang kuda itu berseru.

Waktu Gak Put-kun memandang pembicara itu, seketika ia merasa kikuk dan serbasalah.

Kiranya orang itu adalah Theng Eng-gok, tokoh kelima dari Ko-san-pay yang beberapa hari lalu pernah datang ke Hoa-san dengan membawa Leng-ki (panji perintah) dari ketua Ngo-gak-kiam-pay. Bahkan orang yang berada di sebelahnya jelas adalah Hong Put-peng, itu murid Hoa-san-pay dari golongan Kiam-cong (sekte pedang), selain itu jago-jago Thai-san-pay, Heng-san-pay dan Hing-san-pay, yang ikut datang ke Hoa-san tempo hari juga terdapat di antara mereka, malahan sekarang telah bertambah tidak sedikit orang baru yang sukar dikenali di bawah cahaya lampu yang remang-remang.

"Gak-heng," demikian terdengar Theng Eng-gok bicara pula, "tempo hari kau tidak mau terima perintah Co-bengcu, hal ini membuat Co-bengcu merasa tidak senang. Maka kini beliau sengaja mengutus putranya yang tertua hendak mengunjungi engkau pula di Hoa-san dengan membawa Leng-ki. Siapa duga di tengah malam buta begini ternyata berjumpa di sini, sungguh tak terduga sama sekali."

Waktu Gak Put-kun memandang sebelah Theng Eng-gok pula, terlihat di atas seekor kuda hitam yang tinggi besar dan gagah ada seorang penunggang laki-laki tinggi besar berusia antara 30-an tahun, berbaju panjang warna kuning dan sedang mengangguk perlahan padanya, sikapnya sangat angkuh.
Gak Put-kun tahu ketua Ko-san-pay, Co Leng-tan, mempunyai dua orang putra. Putra sulung bernama Co Hui-eng dan sudah memperoleh ajaran segenap kepandaian sang ayah, betapa tinggi ilmu silatnya sudah boleh dijajarkan beserta para paman gurunya. Dan mungkin orang tinggi besar di hadapan inilah Co-toakongcu itu. Padahal dirinya sama tingkat dengan ayahnya, seharusnya dia mesti menyapa dengan sebutan "paman" dan memberi hormat, biarpun sekarang Gak Put-kun sendiri dalam kesukaran juga merasa kurang senang atas sikap pemuda itu.

Dan sebelum Gak Put-kun membuka suara, tiba-tiba si orang tua berkedok tadi telah bicara, "Kiranya Co-toakongcu dari Ko-san-pay telah datang, sungguh beruntung sekali dapat berjumpa di sini. Dan kesatria berjenggot ini tentunya Theng-loenghiong, tokoh kelima dari Ko-san-pay bukan?"

"Ah, saudara terlalu memuji saja," sahut Theng Eng-gok. "Dan siapakah nama saudara yang mulia, mengapa tidak sudi memperlihatkan wajah kalian yang asli?"

"Saudara-saudara kami ini semuanya adalah Bu-beng-siau-cut dari kalangan Hek-to, bila nanti julukan jelek kami ini diperkenalkan mungkin akan membikin kotor telinga Co-toakongcu dan Theng-loenghiong, terhadap Gak-hujin dan Gak-siocia sudah terang kami tidak berani berbuat kasar lagi, hanya ada suatu urusan kami ingin minta keadilan kepada kalian menurut hukum persilatan."
"Urusan apa? Tiada alangannya kau sebutkan agar kami pun ikut mengetahui," sahut Theng Eng-gok.

Maka orang tua itu lantas berkata, "Gak-siansing ini mempunyai gelaran sebagai Kun-cu-kiam, konon tutur katanya setiap hari selalu mengutamakan budi pekerti dan kebajikan, kabarnya paling taat kepada peraturan Bu-lim. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi suatu peristiwa, Hok-wi-piaukiok di Hokciu telah bangkrut dihancurkan orang. Congpiauthau Lim Cin-lam dan istrinya juga dibunuh orang. Tentang ini tentu tuan-tuan juga sudah mendengar."

"Ya, kabarnya yang berbuat adalah Jing-sia-pay dari Sucwan," sahut Theng Eng-gok.

Orang tua itu menggeleng kepala beberapa kali, katanya, "Walaupun demikian berita yang tersiar di kalangan Kangouw, tapi hal yang sesungguhnya belum tentu begitu. Marilah kita bicara secara blak-blakan saja. Setiap orang Bu-lim tentu tahu bahwa keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok itu memiliki satu jilid kitab pusaka Pi-sia-kiam-boh yang berisikan pelajaran ilmu pedang yang sangat hebat.
Siapa yang berhasil meyakinkannya dengan sempurna akan menjagoi dunia persilatan tanpa tandingan. Sebabnya Lim Cin-lam dan istrinya terbunuh juga karena ada orang mengincar Pi-sia-kiam-boh itu."

"Lalu bagaimana?" tanya Theng Eng-gok.

"Tentang siapa yang membunuh Lim Cin-lam dan istrinya tidak diketahui, kami hanya mendengar bahwa Kun-cu-kiam Gak-siansing ini telah menggunakan tipu muslihat, putra Lim Cin-lam ditipu sehingga dengan sukarela mau masuk menjadi murid Hoa-san-pay. Tentang Pi-sia-kiam-boh itu dengan sendirinya juga ikut dibawa ke dalam Hoa-san-pay. Setelah kami saling tukar pikiran, kami menarik kesimpulan bahwa Gak Put-kun benar-benar sangat licin, dia tidak dapat merebut secara terang-terangan dan lantas menggunakan tipu daya. Coba pikir, berapakah usia bocah she Lim itu? Berapa luas pengalamannya? Sesudah dia menjadi murid Hoa-san-pay bukankah dengan mudah dia akan dipermainkan oleh rase tua she Gak itu dan akan mempersembahkan Pi-sia-kiam-boh tanpa diminta."

"Pendapatmu mungkin kurang tepat," ujar Theng Eng-gok. "Ilmu pedang Hoa-san-pay sendiri cukup bagus, Ci-he-sin-kang yang dibanggakan Gak-siansing juga tiada bandingannya di dunia persilatan dan merupakan jenis Lwekang paling tinggi, guna apa lagi dia mau mengincar ilmu pedang dari golongan lain?"

"Hahahaha!" orang tua itu bergelak tertawa, "Agaknya Theng-loenghiong telah menggunakan jiwa kesatria untuk menilai hati manusia rendah. Ilmu pedang bagus apa yang dipunyai Gak Put-kun? Sejak kedua sekte Khi dan Kiam dari Hoa-san-pay mereka berpecah belah, selama ini sekte Khi telah mengangkangi Hoa-san, yang diutamakan mereka hanya berlatih Khi saja, tentang ilmu pedang mereka adalah terlampau rendah dan tiada nilainya. Orang Kangouw umumnya cuma segan kepada nama kosong Hoa-san-pay dan menyangka dia benar-benar mempunyai kepandaian sejati, padahal, hehe, hehe ...."

Sesudah tertawa dingin mengejek beberapa kali, lalu orang tua itu melanjutkan, "Menurut pantasnya, sebagai ketua Hoa-san-pay, ilmu pedang Gak Put-kun mestinya tidak rendah, namun para hadirin telah menyaksikan sekarang, saat ini dia tertawan oleh kami sebangsa keroco. Pertama, kami tidak memakai racun; kedua, tidak menggunakan Am-gi (senjata gelap rahasia); ketiga, kami pun tidak menang lantaran berjumlah lebih banyak, kami menang berdasarkan kepandaian sejati, kami telah labrak dan membereskan segenap orang Hoa-san-pay ini dari guru sampai muridnya tanpa kecuali. Maka dapatlah dibayangkan sampai di mana ilmu silat sekte Khi dari Hoa-san-pay, untuk ini kiranya tak perlu penjelasan pula. Sudah tentu Gak Put-kun tahu akan dirinya sendiri, pastilah dia buru-buru ingin mendapatkan ilmu pedang sekte agar namanya yang kosong tidak terbongkar. Tapi pada saat dia menghadapi kami, maka boroknya sukar lagi ditutup-tutupi."

"Ya, uraianmu cukup beralasan juga," ujar Eng-gok.

"Sebenarnya kepandaian kami kaum keroco dari Hek-to ini tiada harganya bagi kalian kaum kesatria ternama. Pi-sia-kiam-boh itu pun kami tidak berani menaruh minat apa-apa," demikian si orang tua melanjutkan. "Cuma selama belasan tahun ini kami telah banyak mendapat kebaikan dari Lim-congpiauthau dari Hok-wi-piaukiok, setiap kali kereta barangnya lalu di wilayah kekuasaan kami, tiada seorang pun di antara kami mau mengganggunya. Kami ini demi mendengar Lim-congpiauthau mengalami nasib malang, keluarga hancur dan orangnya binasa. Hal ini membikin kami merasa penasaran, maka beramai-ramai kami lantas datang buat bikin perhitungan dengan Gak Put-kun."

Sampai di sisi ia berhenti sejenak, ia pandang para penunggang kuda itu, lalu berkata pula, "Yang datang malam ini tampaknya adalah kaum kesatria ternama, bahkan terdapat tokoh-tokoh Ngo-gak-kiam-pay yang ada ikatan perjanjian dengan Hoa-san-pay, maka cara bagaimana harus memutuskan perkara ini boleh silakan kalian menentukan saja, aku dan kawan-kawan pasti akan menurut belaka."

"Saudara ternyata sangat baik hati, biarlah kami terima maksud baikmu," sahut Eng-gok. "Co-hiantit, bagaimana pendapatmu tentang persoalan ini?"

"Menurut pesan ayah, katanya, kedudukan ketua Hoa-san-pay harus dipegang oleh Hong-siansing, sekarang Gak Put-kun ternyata melakukan perbuatan yang rendah dan memalukan pula, maka biarlah Hong-siansing sendiri yang menyelesaikan urusan dalam perguruannya."

"Benar, keputusan Co-bengcu memang sangat bijaksana," demikian sokong beberapa penunggang kuda yang lain.

"Urusan Hoa-san-pay memang seharusnya diselesaikan oleh ketua Hoa-san-pay sendiri, dengan demikian kita dapat pula menghindarkan tuduhan yang tak diharapkan di kemudian hari oleh kawan-kawan Kangouw."

Segera Hong Put-peng melompat turun dari kudanya, ia memberi hormat sekeliling kepada para hadirin, lalu bicara, "Sungguh aku sangat berterima kasih atas penghargaan kalian padaku. Hoa-san-pay kami telah cukup lama dikangkangi oleh Gak Put-kun, nama baik Hoa-san-pay telah runtuh habis-habisan di dunia Kangouw lantaran perbuatannya yang menyeleweng. Bahkan sekarang telah membunuh ayah orang dan merebut kitab pusakanya, memaksa orang menjadi muridnya dan macam-macam perbuatan yang tidak pantas. Cayhe sebenarnya tidak punya kepandaian apa-apa dan mestinya tidak sesuai menjabat ketua Hoa-san-pay. Cuma mengingat berapa sukarnya para leluhur mendirikan Hoa-san-pay yang sudah bersejarah ratusan tahun ini dihancurkan oleh murid khianat macam Gak Put-kun ini, maka terpaksa sebisa mungkin aku menerima tugas ini, untuk mana masih diharapkan bantuan-bantuan dari para sahabat."

Dalam pada itu beberapa penunggang kuda itu sudah menyalakan obor. Hujan masih belum reda, cuma sekarang hanya gerimis saja. Di bawah cahaya obor itu wajah Hong Put-peng tampak berseri-seri, senangnya tak terkatakan. Terdengar dia melanjutkan pula pidatonya, "Dosa Gak Put-kun sudah teramat besar dan tak bisa diampuni, untuk mana harus dihukum mati sesuai dengan undang-undang perguruan. Pau-sute, silakan kau melaksanakan hukum perguruan kita, bunuhlah murid murtad Gak Put-kun dan istrinya."

Terdengar seorang laki-laki berusia 50-an telah mengiakan sambil melolos pedangnya, lalu mendekati Gak Put-kun, katanya dengan menyeringai, "Orang she Gak, kau telah merusak perguruan kita, hari ini kau harus menerima ganjaran yang setimpal."

Gak Put-kun menyedot napas dalam, katanya, "Bagus, bagus! Karena ingin merebut kedudukan ketua, ternyata Kiam-cong (sekte pedang) kalian tidak segan-segan menggunakan tipu keji demikian. Pau Put-ki, hari ini kau membunuh aku, tapi di alam baka apakah kau ada muka untuk menjumpai para leluhur Hoa-san-pay kita?"

"Hahahaha! Orang yang banyak kejahatan tentu akan mampus sendiri, kau sendiri telah banyak berbuat dosa, jika aku tidak membunuh kau, tentu juga kau akan mati dibunuh orang, jika demikian kan kurang baik malah?" demikian Pau Put-ki sambil tertawa.

"Pau-sute," bentak Hong Put-peng, "tiada gunanya banyak omong, laksanakan hukuman!"

Pau Put-ki mengiakan. Segera ia angkat pedangnya. Di bawah cahaya obor terpantullah sinar pedang yang gemilap.

"Nanti dulu!" tiba-tiba Gak-hujin berteriak, "Tentang Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya berada di mana? Tangkap maling harus dengan bukti, kalau cuma memfitnah orang, ini bukan sifat seorang kesatria."

"Tangkap maling harus dengan bukti, bagus sekali istilah ini," jengek Pau Put-ki sambil mendekati Gak-hujin dengan cengar-cengir. "Kukira Pi-sia-kiam-boh itu benar kemungkinan disembunyikan di dalam bajumu, biarlah aku menggeledah kau agar tidak menuduh kami memfitnah." Habis berkata sebelah lengannya hendak meraba ke dada Gak-hujin.

Sesudah kakinya terluka, Gak-hujin telah ditutuk pula dua tempat Hiat-to yang membuatnya tak bisa bergerak. Dilihatnya tangan Pau Put-ki sedang diulurkan ke arahnya, bila badannya sendiri sampai tersentuh, maka ini benar-benar suatu penghinaan yang sukar dibersihkan, tiba-tiba ia mendapat akal dan segera berseru, "Co-toakongcu!"

Sama sekali Co Hui-eng tidak menduga nyonya Gak akan berteriak memanggilnya. Maka ia lantas menjawab, "Ada apa?"

Cepat Gak-hujin berkata, "Ayahmu adalah ketua perserikatan Ngo-gak-kiam-pay, merupakan teladan bagi setiap orang Bu-lim, tapi kau ternyata membiarkan manusia tidak tahu malu begini menghina kaum wanita di depan umum. Apakah memang demikian kau dididik oleh ayahmu?"

"Hal ini ...." Co Hui-eng menjadi ragu-ragu.

Segera Gak-hujin berseru pula, "Bangsat tadi sembarangan mengoceh, katanya mereka tidak menang dengan jumlah orang banyak. Coba sekarang kedua murid khianat Hoa-san-pay ini, asal salah satu mampu menangkan suamiku dengan satu lawan satu, maka dengan sukarela kami akan menyerahkan kedudukan ketua Hoa-san-pay dengan kedua tangan, dengan demikian mati pun kami takkan menyesal, kalau tidak rasanya tindakan kalian ini sukar untuk diterima oleh beratus-ratus ribu kesatria Bu-lim yang mengutamakan keadilan dan kebenaran."

Habis berkata mendadak ia meludah ke muka Pau Put-ki, "crot", tepat sekumur riak kental hinggap di pipi Pau Put-ki. Karena berdirinya terlalu dekat, pula diludah secara tiba-tiba sehingga Pau Put-ki tidak sempat menghindar. Keruan ia sangat gusar. Ia mengusap ludah itu sambil mencaci maki, nenek moyang tujuh belas keturunan Gak-hujin diumpatnya habis-habisan.

Dengan gusar Gak-hujin memaki pula, "Kaum pengkhianat dari Kiam-cong kalian semuanya tidak becus, sebenarnya tidak perlu suamiku turun tangan sendiri, cukup aku seorang wanita saja juga tidak sukar untuk membinasakan kau bila aku tidak tertutuk oleh musuh yang pengecut tadi."

"Baik," tiba-tiba Co Hui-eng berseru, kedua kakinya mengempit, ia melarikan kudanya dan mengitar ke belakang Gak-hujin, sekali cambuk kudanya mengayun, "tar-tar-tar" tiga kali, ujung cambuk sama menyabat tiga tempat Hiat-to di punggung nyonya Gak.

Gak-hujin hanya merasa badan bergetar, kedua tempat Hiat-to yang tertutuk itu lantas terbuka. Keruan saja ia terperanjat. Dalam pada itu kuda hitam Co Hui-eng telah mengitar balik ke tempatnya semula, mata terdengarlah suara sorak puji orang banyak.

Cambuk kuda sebenarnya adalah benda lemah, tapi dengan ujung cambuknya Co Hui-eng sanggup membuka Hiat-to orang yang tertutuk, maka betapa hebat tenaga dalamnya sungguh jarang ada bandingannya, apalagi sekaligus menyabat tiga tempat Hiat-to berbareng, betapa jitu caranya mengincar tempat Hiat-to juga benar-benar jarang terdengar.

Setelah anggota badannya dapat bergerak, Gak-hujin tahu maksud Co Hui-eng ialah membiarkan dirinya bertanding dengan Pau Put-ki. Jadi pertandingan ini tidak melulu menyangkut jiwa sendiri serta suami dan putrinya, tetapi juga akan menentukan mati-hidup Hoa-san-pay selanjutnya. Jika dirinya dapat mengalahkan Pau Put-ki, meski belum tentu akan mengubah keadaan bahaya menjadi selamat, paling tidak hal ini akan berarti suatu titik balik. Sebaliknya kalau dirinya kalah, maka tamatlah segalanya.

Tanpa bicara segera ia jemput pedang sendiri yang terpukul jatuh tadi, ia lintangkan pedang di depan dada dan pasang kuda-kuda.
Tapi mendadak kaki kiri terasa lemas, hampir-hampir saja ia jatuh berlutut. Rupanya luka kakinya tidaklah ringan, sedikit menggunakan tenaga saja sukar ditahan.

"Hahaha!" Pau Put-ki bergelak tertawa. "Kau menganggap dirimu bukan kaum wanita yang lemah, sekarang kau pura-pura kaki terluka pula, lalu buat apa bertanding lagi? Seumpama aku menang juga tidak gemilang ...."

"Lihat pedang!" bentak Gak-hujin mendadak sambil menusuk tiga kali, dengan membawa tenaga dalam yang hebat pedangnya mengeluarkan suara mencicit, tiga kali serangan itu satu lebih cepat daripada yang lain, semuanya mengincar tempat fatal di tubuh musuh.

"Bagus!" teriak Pau Put-ki sambil menyurut mundur dua langkah.

Sebenarnya Gak-hujin dapat menggunakan kesempatan itu untuk menyerang lebih jauh, tapi dia tidak berani menggeser kakinya yang terluka itu, terpaksa ia tetap berdiri di tempatnya.

Sudah tentu Pau Put-ki tidak tinggal diam, segera ia balas menyerang. Tiga kali beruntun-runtun ia menyerang dengan cara keji. Tapi semuanya kena ditangkis Gak-hujin, menyusul nyonya Gak itu melancarkan tusukan ke perut musuh dan begitu seterusnya silih berganti mereka saling menyerang.

Gak Put-kun yang tak bisa berkutik itu dapat menyaksikan sang istri melawan musuh dengan menanggung luka pada kakinya, sebaliknya gerak serangan pedang Pau Put-ki sangat lincah dan banyak ragam perubahannya, terang musuh lebih pandai daripada istrinya. Setelah lebih 20 jurus, bagian kaki Gak-hujin mulai payah.

Sebenarnya Khi-cong atau sekte Khi (hawa kekuatan dalam) dari Hoa-san-pay biasanya mengutamakan tenaga dalam untuk menguasai musuh. Tapi sejak terluka Gak-hujin merasa hawa murni dalam tubuhnya kurang lancar sehingga permainan pedangnya sekarang lambat laun kena diatasi oleh Pau Put-ki.

Keruan Gak Put-kun menjadi gelisah. Lebih celaka lagi ia melihat sang istri memainkan pedangnya semakin cepat. Diam-diam ia berpikir, "Kiam-cong mereka mengutamakan permainan pedang, tapi kau malah melabrak dia dengan gerakan pedang, ini berarti menggunakan kelemahan sendiri untuk melawan keunggulan musuh, tentu saja akan kalah."

Sebenarnya Gak-hujin cukup mengetahui akan hal kelemahan pihak sendiri dan keunggulan pihak lawan. Soalnya dia punya kaki terluka, sesudah itu lantas tertutuk pula sehingga selama itu tidak sempat membalut lukanya. Malahan sampai saat ini darah juga masih mengucur keluar, dalam keadaan demikian mana dapat mengerahkan tenaga dalam untuk mengatasi gerak pedang musuh? Saat ini dia hanya bertahan dari sedikit semangatnya yang masih ada, meski gerak pedangnya tampak kencang, tapi tenaganya sudah mulai berkurang dan makin lemah.
Beberapa jurus kemudian Pau Put-ki sudah dapat melihat kelemahan lawan, ia sangat girang. Tidak perlu lagi dia menyerang untuk mencari menang secara cepat, sebaliknya ia bertahan dengan rapat.

Di sebelah sana Lenghou Tiong juga sedang mengikuti pertarungan kedua orang itu. Dilihatnya gerak pedang Pau Put-ki sejak tadi tampaknya sangat lihai, tapi sesungguhnya tidak punya tenaga, hal ini berlawanan dengan ajaran gurunya yang mengutamakan tenaga dalam daripada gerakan. Tiba-tiba hatinya tergerak, pikirnya, "Pantas perguruan sendiri terbagi menjadi Khi-cong dan Kiam-cong, kiranya haluan ilmu silat yang dianut oleh kedua sekte memang berlawanan sama sekali."

Perlahan ia coba merangkak bangun, ia pun berhasil meraba sebatang pedang yang kebetulan berada di sampingnya. Pikirnya pula, "Perguruan sendiri hari ini benar-benar telah kalah habis-habisan, tapi nama baik Sunio dan Sumoay yang suci bersih sekali-kali tak boleh dinodai oleh kawanan bangsat itu. Tampaknya Sunio sudah tak bisa mengalahkan lawannya, sebentar biar kubunuh Sunio lebih dulu dan Sumoay, kemudian aku akan membunuh diri untuk mempertahankan nama baik Hoa-san-pay."

Sementara itu permainan pedang Gak-hujin tampak mulai kacau. Sekonyong-konyong pedangnya berputar secepat kilat terus menusuk ke depan. Serangan ini adalah "jurus tunggal tiada bandingan" yang menjadi kebanggaannya itu.

Pau Put-ki terkejut juga oleh serangan lihai itu, lekas-lekas ia melompat mundur, hanya terpaut sedetik saja, untung dia dapat menghindarkan tusukan maut itu.

Jika kaki Gak-hujin dalam keadaan sehat tentu dia dapat melancarkan serangan susulan yang lebih hebat dan musuh pasti sukar menyelamatkan diri. Tapi sekarang wajahnya sudah pucat, bahkan ia harus menggunakan pedang sebagai tongkat, napasnya tampak terengah-engah.

"Bagaimana Gak-hujin? Tenagamu sudah habis bukan? Apakah sekarang boleh kugeledah badanmu?" demikian Pau Put-ki mengejek dengan tertawa. Sebelah tangannya dipentang, selangkah demi selangkah ia mendesak maju.

Gak-hujin ingin angkat pedang untuk menyerang lagi, tapi lengannya seperti diganduli oleh benda yang berat, betapa pun sukar diangkat lagi.

"Nanti dulu!" mendadak Lenghou Tiong berseru. Ia melangkah ke depan Gak-hujin dan memanggil, "Sunio!"

Habis itu ia bermaksud mengangkat pedangnya menusuk mati sang ibu guru untuk menjaga kebersihan namanya.

Gak-hujin rupanya tahu maksud Lenghou Tiong, sorot matanya memantulkan sinar rasa senang, ia mengangguk dan berkata, "Ehm, bagus, anak baik!"

Tapi tiba-tiba Pau Put-ki membentak, "Enyah kau!"

Berbareng pedang terus menusuk ke tenggorokan Lenghou Tiong.

Melihat serangan itu, Lenghou Tiong tahu tangan sendiri tiada bertenaga sedikit pun, jika menangkis dengan pedang tentu senjata sendiri akan tergetar mencelat. Tanpa pikir lagi segera ia pun angkat pedang dan menusuk tenggorokan lawan.

Serangan ini adalah cara untuk gugur bersama dengan musuh, gerak pedangnya tidak terlalu cepat, tapi tempat yang diarah sungguh sangat bagus dan tepat, tipu serangan lihai ini adalah jurus "Boh-kiam-sik", gerakan mengalahkan ilmu pedang lawan, yaitu salah satu jurus serangan hebat dari Tokko-kiu-kiam yang pernah dipelajarinya di dalam gua di puncak Hoa-san tempo hari. Keruan serangan balasan ini membuat Pau Put-ki terperanjat, sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda yang badannya kotor penuh lumpur ini mendadak bisa melancarkan serangan lihai demikian. Dalam keadaan kepepet tanpa pikir cepat ia menjatuhkan diri terus menggelinding ke samping hingga beberapa meter jauhnya, habis itu baru melompat bangun.

Melihat Pau Put-ki menghindarkan serangan lawannya dengan cara yang konyol itu, sampai-sampai muka, tangan dan seluruh badan penuh berlumuran air lumpur, saking gelinya ada beberapa orang bergelak tertawa. Tapi bila dipikirkan secara mendalam, untuk menghindarkan serangan Lenghou Tiong itu memang tiada jalan lain kecuali menjatuhkan diri seperti Pau Put-ki.

Bagaimanapun Pau Put-ki menjadi malu karena menjadi buah tertawaan orang, dengan murka segera ia menerjang ke arah Lenghou Tiong berikut pedangnya.

Lenghou Tiong sendiri cukup paham bahwa kini dirinya sekali-kali tidak boleh menggunakan tenaga dalam supaya berbagai arus bawa murni di dalam tubuh itu tidak bergolak, untuk menghadapi musuh cukup mengeluarkan "Tokko-kiu-kiam" ajaran Thaysusiokco dahulu itu.

Memangnya dia sudah cukup masak mempelajari cara memecahkan ilmu pedang lawan menurut ajaran orang tua itu, maka dapatlah dia mematahkan berbagai macam serangan musuh yang betapa pun anehnya.

Ketika dilihatnya Pau Put-ki menyeruduk tiba seperti orang gila, segera Lenghou Tiong tahu di mana letak kelemahan serangan musuh itu. Langsung ia memapak dengan ujung pedangnya yang diacungkan miring ke depan, yang dinantikan adalah perut lawan.

Dengan cara serudukan Pau Put-ki itu, kalau lawannya bukan Lenghou Tiong tentu akan berusaha berkelit ke samping atau pasti juga akan menangkis dengan senjata. Sebab itulah Pau Put-ki membiarkan perutnya terbuka tanpa mengadakan penjagaan.

Tak terduga Lenghou Tiong sama sekali tidak menghindar dan juga tidak menangkis, ujung pedang memapak datangnya perut lawan untuk ditumbukkan sendiri ke ujung pedang yang dipasang miring ke depan itu. Keruan Pau Put-ki terkejut, lekas-lekas ia meloncat ke atas sambil pedang menebas ke bawah dengan maksud menghantam jatuh pedang Lenghou Tiong.

Namun lebih dulu Lenghou Tiong sudah memperhitungkan akan gerakan Pau Put-ki itu, tiba-tiba tangannya sedikit menggeser dan pedang terangkat lebih tinggi, ujung pedang membalik ke atas, maka tebasan pentang Pau Put-ki tadi hanya mengenai tempat kosong.

Sungguh sama sekali tak terpikirkan oleh Pau Put-ki bahwa mendadak Lenghou Tiong bisa ganti serangan demikian. Sudah pedang menebas tempat kosong, tubuhnya yang terapung di atas udara dan sedang menurun ke bawah itu tepat jatuh di atas ujung pedang lawan. Keruan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, ia berkaok-kaok tak berdaya sambil jatuh ke bawah.

Segera Hong Put-peng melompat maju, sebelah tangan terus mencengkeram punggung Pau Put-ki dengan maksud menahan jatuhnya sang Sute.

Namun tindakannya tetap terlambat sedikit, terdengarlah suara "crat" disertai muncratnya darah, bahu Put-ki tertembus oleh ujung pedang.

Karena tidak berhasil menyelamatkan Sutenya, tanpa pikir Hong Put-peng melolos pedang terus menebas ke leher Lenghou Tiong.

Menurut akal sehat seharusnya Lenghou Tiong melompat mundur untuk mengelakkan serangan maut itu. Tapi karena dia tidak berani mengerahkan tenaga, untuk melompat sudah tentu tidak sanggup. Dalam keadaan terpaksa tiada jalan lain baginya kecuali mengeluarkan pula jurus serangan Tokko-kiu-kiam yang lihai itu, pedangnya berputar ke samping dan segera belas menusuk ulu hati Hong Put-peng.

Serangan ini kembali memperlihatkan cara nekatnya yang hendak gugur bersama musuh. Tapi karena arah tujuan pedangnya sangat aneh, pedangnya ternyata dapat mengenai sasarannya lebih dulu baru kemudian senjata musuh akan mengenai dia. Selisih waktu hanya sekejap, namun bila pemain pedang itu adalah tokoh lihai tentu akan dapat menggunakan kesempatan sesingkat itu dengan baik, yaitu melalui musuh dan menghindarkan dari serangan lawan.

Dalam hal ilmu pedang sesungguhnya Hong Put-peng terhitung salah satu jago paling lihai di antara jago pedang pada zaman ini yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Ia yakin serangannya tadi pasti sukar ditangkis oleh musuh. Siapa duga sekenanya Lenghou Tiong bisa balas menyerang ke arah yang tak terduga-duga. Cepat ia menyurut mundur. Ia tarik napas panjang-panjang, sekaligus ia melancarkan tujuh kali serangan pula secara berantai dan membadai.

Melihat serangan lawan yang sangat lihai dan sukar dilayani, namun kini Lenghou Tiong sudah nekat dan tidak pikirkan mati-hidup lagi, yang teringat olehnya adalah macam-macam ilmu pedang ajaran Hong Jing-yang di puncak gunung tempo hari, terkadang terkilas pula lukisan ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu, lalu sekenanya lantas dikeluarkan sesukanya, dengan demikian ia dapat bergebrak sampai 60-70 jurus dengan Hong Put-peng, pedang kedua orang selama itu tak pernah kebentur, serang-menyerang mereka semuanya menggunakan ilmu pedang yang bagus.

Para penonton sampai bingung menyaksikannya. Diam-diam mereka pun sama memuji. Dalam pada itu mereka mendengar napas suara Lenghou Tiong yang mulai memburu, terang tenaganya tidak tahan lagi. Namun dalam hal tipu serangan yang hebat masih terus-menerus dilontarkan dengan gerak perubahan yang sukar diraba.

Bab 44. Sekali Serang Lenghou Tiong Membutakan 15 Orang Musuh

Hong Put-peng bertenaga lebih besar dari lawannya, setiap kali bila sukar mengelakkan serangan Lenghou Tiong selalu ia gunakan pedangnya membabat dan menebas secara keras lawan keras, sebab ia tahu lawannya takkan mengadu senjata dengan dia. Dengan demikian ia selalu dapat terhindari dari posisi yang kepepet.

Di antara penonton itu sudah tentu tidak kurang jago-jago ternama, ketika melihat cara pertarungan Hong Put-peng lama-kelamaan menjurus kepada cara licik dan cara bajingan, diam-diam mereka tidak puas. Seorang Tosu dari Thay-san-pay lantas menyindir, "Ilmu pedang murid Khi-cong lebih tinggi, sebaliknya paman guru dari Kiam-cong bertenaga dalam lebih kuat, bagaimana bisa jadi demikian? Khi-cong dan Kiam-cong dari Hoa-san-pay ini bukankah telah berputar balik sama sekali!"

Muka Hong Put-peng menjadi merah, ia putar pedangnya semakin kencang dan melancarkan serangan lebih gencar. Pertama, dia memang tokoh nomor satu dari sekte pedang Hoa-san-pay, ilmu pedangnya sesungguhnya memang sangat lihai. Kedua, keadaan Lenghou Tiong sangat lemah, untuk berdiri saja sangat dipaksakan, maka dia banyak kehilangan kesempatan baik. Ketiga, baru untuk pertama kalinya Lenghou Tiong menggunakan Tokko-kiu-kiam untuk melawan musuh tangguh, sudah tentu perasaannya rada jeri, permainannya belum terlalu lancar pula. Karena semuanya inilah maka sudah bertempur sekian lamanya masih belum dapat ditentukan siapa yang kalah atau menang.

Setelah berlangsung 30 jurus lagi, Lenghou Tiong merasa setiap kali bila dirinya semakin sembarangan melancarkan serangan, maka lawannya juga semakin sukar menangkisnya dan memperlihatkan tingkah yang gugup dan kelabakan. Tapi kalau tanpa sengaja dirinya mengeluarkan jurus serangan dari ilmu pedang perguruannya sendiri, maka Hong Put-peng selalu dapat mematahkan serangannya dengan baik, bahkan satu kali dirinya hampir-hampir termakan pedang lawan itu. Pada saat berbahaya itulah tiba-tiba satu kalimat ucapan Hong Jing-yang dahulu mengiang dalam benaknya, "Pedangmu tiada gerak serangan, tentu musuh takkan dapat mematahkannya. Tanpa gerakan untuk mengalahkan gerakan adalah puncak kesempurnaan ilmu pedang."

Dalam pada itu sudah ratusan jurus mereka bergebrak, pengertian Lenghou Tiong terhadap intisari Tokko-kiu-kiam sudah semakin mendalam, tak peduli Hong Put-peng menyerang dengan jurus betapa pun kejinya, sekali pandang saja ia sudah dapat melihat di mana letak kelemahan serangan musuh dan sekenanya ia balas menyerang, kontan Hong Put-peng terpaksa harus menarik kembali pedangnya untuk menjaga diri.

Setelah beberapa jurus pula, lambat laun batinnya bertambah berani, ia merasa kepandaian pihak lawan tidak lebih juga cuma sekian saja, untuk mengalahkan dia sebenarnya tidak sulit. Tiba-tiba terkilas pula belasan jurus tipu serangan. Tanpa terasa ia terus menusuk miring ke depan, gerakan ini tidak termasuk sesuatu tipu serangan, tampaknya enteng tak bertenaga, ujung pedang seperti mengarah ke timur dan seperti ke barat tak menentu.

Hong Put-peng sampai tertegun, ia merasa heran, tipu serangan jenis apakah ini? Karena tidak kenal dan tidak tahu cara bagaimana mematahkannya, terpaksa Hong Put-peng putar kencang pedangnya untuk melindungi tubuh bagian atas.

Tapi karena gerakan pedang Lenghou Tiong itu tiada menentu, setiap gerakannya dapat berubah setiap saat menurut keadaan, sekarang lawan menjaga diri bagian atas, seketika ujung pedangnya menusuk ke bawah pinggang.

Keruan Hong Put-peng terkejut dan lekas melompat mundur.

Lenghou Tiong tak sanggup ikut melompat buat mendesak lebih jauh, setelah bertempur sekian lama mau tidak mau juga banyak makan tenaga, karena itu napasnya mulai memburu, tangan memegang dada sambil tersengal-sengal.

Melihat pemuda itu tidak mendesak maju sudah tentu Hong Put-peng tidak tinggal diam, berturut-turut ia menyerang beberapa kali pula ke dada, perut dan pinggang lawan.

Tapi mendadak pedang Lenghou Tiong bergerak pula secara seenaknya, yang ditusuk adalah mata kiri Hong Put-peng. Sungguh kaget Hong Put-peng tak terkatakan, ia menjerit dan kembali melompat mundur untuk menyelamatkan diri.

Terdengar seorang Nikoh setengah umur dari Hing-san-pay berkata, "Aneh, sungguh aneh. Ilmu pedang tuan ini benar-benar sangat mengagumkan."

Sudah tentu yang dia maksudkan bukan ilmu pedang Hong Put-peng melainkan Lenghou Tiong. Bagi pendengaran Hong Put-peng ucapan itu dirasakan cukup menyinggung. Sebagai pemimpin sekte pedang yang ingin menjabat ketua Hoa-san-pay, jika dalam hal ilmu pedang ternyata dikalahkan oleh seorang murid dari sekte Khi, maka ambisinya akan merebut ketua sejak kini akan buyar dan tiada muka buat tancap kaki lagi di dunia Kangouw.

Berpikir demikian, diam-diam ia mengeluh apa mau dikata lagi. Mendadak ia mendongak dan bersuit nyaring, ia melangkah miring ke depan, pedang terus menebas dari samping dengan cepat luar biasa. Sekaligus ia menyerang beberapa kali sehingga pedang mengeluarkan suara deru angin yang keras.

Kiranya ilmu pedang ini disebut "Hong-hong-gway-kiam" (pedang kilat angin puyuh), hasil karya kebanggaan Hong Put-peng selama dia menyepi 15 tahun di atas gunung. Jurus-jurus serangan yang satu lebih cepat daripada yang lain dan makin keras pula deru angin yang diterbitkan oleh sambaran pedangnya.

Ilmu pedang ini sebenarnya merupakan ilmu simpanannya yang akan digunakan sebagai bekal dalam perebutan Bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay mendatang, sebenarnya ia enggan memperlihatkan ilmu pedang simpanannya itu di hadapan tokoh-tokoh Ngo-gak-kiam-pay yang lain.

Tapi sekarang karena sudah kepepet, kalau tidak dapat mengalahkan Lenghou Tiong tentu namanya akan bangkrut habis-habisan, maka terpaksa ia keluarkan juga ilmu pedangnya.

Daya tekanan Hong-hong-gway-kiam itu memang mahadahsyat, tenaga yang terpancar dari ujung pedangnya makin lama makin luas sehingga bagi penonton yang berdekatan merasakan muka dan tangan kesakitan tersambar oleh angin pedang, mau tak mau mereka sama mundur lebih jauh, maka kalangan pertempuran kedua orang juga tambah luas.

Kini biarpun jago-jago terkemuka dari Ko-san, Heng-san, Thay-san dan Hing-san-pay juga tidak berani menilai rendah lagi atas diri Hong Put-peng. Mereka merasa ilmu pedang itu memang sangat lihai sehingga cukup memenuhi syarat untuk menjadi ketua Hoa-san-pay.

Terlihat sumbu api obor yang dipegangi beberapa orang penunggang kuda itu makin lama makin tertarik panjang oleh sambaran angin yang diterbitkan oleh pedang Hong Put-peng, bahkan deru angin itu lambat laun bertambah keras pula.

Jika Lenghou Tiong menempur Hong Put-peng dengan tenaga tentu tak mampu melawan ilmu pedang yang diyakinkan selama belasan tahun dan amat dahsyatnya itu, di dalam Hoa-san-pay hanya Gak Put-kun saja dapat menandingi Hong-hong-gway-kiam dengan menggunakan Ci-he-sin-kang yang sakti.

Untung sekarang Lenghou Tiong sama sekali tidak bertenaga, setiap kali bila serangan Hong Put-peng tiba selalu ia dapat mematahkannya dengan cara sembarangan saja. Betapa pun lihainya serangan Hong Put-peng juga tak dapat memancing keluar tenaga dalam Lenghou Tiong.

Bagi penglihatan para penonton keadaan Lenghou Tiong menjadi mirip sebuah sampan kecil yang terombang-ambing di tengah gelombang ombak raksasa, tapi sampan itu selalu naik turun mengikuti damparan gelombang ombak dan tak tertenggelamkan. Semakin cepat serangan Hong Put-peng semakin membikin Lenghou Tiong paham akan intisari petunjuk Hong Jing-yang dahulu tentang ilmu pedang.

Pada waktu mulai belajar Tokko-kiu-kiam, lawannya itu adalah Dian Pek-kong. Ilmu golok Dian Pek-kong sudah tergolong tingkat atas di dunia persilatan, tapi kalau dibandingkan Hong Put-peng sekarang selisihnya sangat jauh pula.

Sebentar-sebentar dalam benak Lenghou Tiong terkilas pengetahuan yang baru menghadapi serangan lawan. Pikirnya, "Ahli pedang seperti ini sungguh jarang terdapat di dunia ini. Jika aku melukainya mungkin selanjutnya akan sukar memperoleh lawan ahli pedang sebaik untuk menambah pengetahuanku."

Semakin jelas memahami macam-macam inti tipu serangan ilmu pedang, semakin kuat pula kepercayaannya kepada diri sendiri. Maka ia tidak buru-buru ingin menang lagi, tapi terus mencurahkan perhatiannya untuk meneliti macam-macam perubahan ilmu pedang lawan yang lihai itu.

Hong-hong-gway-kiam itu meliputi 108 gerakan dan hanya sebentar saja sudah habis dimainkan. Hong Put-peng menjadi gelisah karena tetap tak bisa mengapa-apakan lawan. Ia membentak-bentak murka dan menyerang terlebih sengit pula dengan maksud memancing tangkisan pedang Lenghou Tiong.

Namun Lenghou Tiong hanya sedikit acungkan pedangnya, berturut-turut "crit-crit-crit-crit" empat kali suara perlahan, kontan kedua lengan dan kedua paha Hong Put-peng tertusuk semua. "Trang", pedang terlepas dari cekalan dan jatuh ke lantai.

Lantaran tidak sengaja hendak melukai orang, pula tangannya tak bertenaga, maka empat kali tusukan Lenghou Tiong itu dilakukan dengan sangat enteng.

Meski Hong Put-peng tidak terluka parah, tapi dengan kedudukannya mana bisa dia melanjutkan pula pertandingan itu. Seketika wajahnya menjadi pucat, serunya, "Sudah, sudahlah!"

Lalu ia memberi salam kepada Co Hui-eng, katanya, "Co-toakongcu, harap sampaikan salamku kepada ayahmu, katakan aku merasa sangat berterima kasih atas bantuannya. Cuma ... cuma kepandaianku masih tak sanggup menandingi orang, aku ... aku ... tidak ...."

Ia tidak sanggup meneruskan ucapannya karena tenggorokannya serasa tersumbat. Segera ia melangkah pergi dengan cepat. Kira-kira belasan tindak mendadak ia berhenti dan berteriak, "He, anak muda, ilmu pedangmu sungguh sangat lihai, aku mengaku kalah. Tapi ilmu pedang demikian rasanya bukan ajaran Gak Put-kun. Numpang tanya siapakah namamu yang mulia, ilmu pedang itu ajaran dari tokoh kosen siapa?"

"Aku Lenghou Tiong adanya, murid tertua dari guruku yang berbudi Gak-siansing," sahut Lenghou Tiong. "Ilmu pedang yang sepele ini hanya secara kebetulan dapat menang sejurus-dua, buat apa mesti dipikirkan?"

Terdengar Hong Put-peng menghela napas panjang, suaranya penuh rasa masygul dan patah semangat, perlahan ia melangkah pergi dan akhirnya menghilang dalam kegelapan.

Co Hui-eng saling pandang sekejap dengan Theng Eng-gok, mereka sama pikir, "Bicara tentang ilmu pedang besar kemungkinan kita sendiri masih bukan tandingan Hong Put-peng dan sudah tentu lebih-lebih bukan tandingan Lenghou Tiong. Kalau beramai-ramai mengerubutnya tentu dengan gampang dapat membunuh pemuda itu. Tapi berbagai tokoh terkemuka sekarang sama hadir, betapa pun tidak dapat melakukan perbuatan yang begitu rendah dan pengecut."

Karena pikiran yang sama kedua orang saling manggut, lalu Co Hui-eng membuka suara, "Lenghou-heng, ilmu pedangmu sungguh hebat dan benar-benar banyak menambah pengalamanku. Sampai berjumpa pula!"

Sekali kakinya mengempit, seketika kudanya membedal cepat ke depan dan segera diikuti orang-orang lain. Hanya sebentar saja mereka pun sudah menghilang di malam kelam, yang terdengar sayup-sayup hanya derap kaki kuda yang makin menjauh.

Sekarang yang berada di luar kelenteng itu selain orang-orang Hoa-san-pay hanya tertinggal para berandal yang berkedok kain hitam tadi. Si orang tua tadi mengekek tawa, lalu berkata, "Lenghou-siauhiap, betapa hebat ilmu pedangmu, sungguh kami merasa kagum tak terhingga. Kepandaian Gak Put-kun masih selisih sangat jauh denganmu, pantasnya kau yang cocok untuk menjabat ketua Hoa-san-pay. Melihat ilmu pedangmu yang hebat itu seharusnya kami mesti tahu diri dan mundur teratur. Cuma kami sudah telanjur mengganggu Hoa-san-pay kalian, bencana di kemudian hari tentu akan timbul, terpaksa hari ini kami harus babat rumput sampai akar-akarnya. Tampaknya kau sudah terluka, tiada jalan lain kami harus mengerubutmu dengan jumlah banyak."

Habis berkata, sekali bersuit segera kawan-kawannya ikut mengurung maju.

Walau Co Hui-eng dan rombongannya pergi, obor yang mereka buang sekenanya masih belum padam, maka bagian bawah setiap orang tersorot dengan terang, sedangkan bagian pinggang ke atas hanya remang-remang. Senjata ke-15 berandal berkedok itu gemilapan terhunus dan mendesak maju selangkah demi selangkah.

Sesudah menempur Hong Put-peng tadi, walaupun tidak memakai tenaga dalamnya, tidak urung Lenghou Tiong juga mandi keringat. Sebabnya dia dapat mengalahkan tokoh nomor satu dari sekte pedang itu adalah berkat Tokko-kiu-kiam yang aneh itu. Sekarang ke-15 kawanan berandal itu menggunakan 15 macam senjata yang cara permainannya tentu berbeda-beda pula, bila sekaligus mereka menyerang, cara bagaimana dia mampu mematahkannya satu per satu?

Dalam keadaan tak bisa mengerahkan tenaga dalam, ia menjadi putus asa. Ia menghela napas dan coba memandang ke arah Gak Leng-sian. Ia tahu ini adalah pandangan terakhir pada ajalnya hampir tiba, ia berharap akan mendapat sedikit tanda-tanda mesra dari si nona sebagai pelipur lara. Benar juga, dilihatnya sepasang mata Leng-sian yang jeli itu sedang memandangnya dengan penuh rasa cemas dan khawatir.

Sungguh girang Lenghou Tiong tak terkatakan. Tapi di bawah cahaya obor sekilas dilihatnya pula sebelah tangan Leng-sian terjulur ke samping dan ternyata saling genggam dengan tangan seorang lelaki. Dilihatnya lelaki itu bukan lain adalah Lim Peng-ci.

Orang-orang Hoa-san-pay sebenarnya telah dibekuk oleh kawanan berandal berkedok itu dan tak bisa berkutik, tapi kini para berandal berkedok itu sedang siap-siap hendak mengerubut Lenghou Tiong sehingga Peng-ci dan Leng-sian dengan sendirinya mendapat kesempatan untuk saling bersandar menjadi satu dan tangan menggenggam tangan.

Seketika perasaan Lenghou Tiong seperti disayat-sayat, patahlah semangat tempurnya, segera ia bermaksud membuang senjata dan membiarkan dirinya dibantai musuh sesukanya.

Di tengah kegelapan malam itu tertampak ke-15 orang berkedok perlahan sedang mendesak maju. Rupanya orang-orang itu masih jeri terhadap kelihaian Lenghou Tiong yang telah mengalahkan Hong Put-peng tadi, maka siapa pun tidak berani menyerang lebih dulu.

Perlahan Lenghou Tiong putar tubuhnya, dilihatnya 30 biji mata ke-15 orang itu berkedip-kedip di balik lubang kain kedoknya, tersorot oleh cahaya obor yang remang-remang itu ke-I5 pasang mata mereka itu mirip mata binatang buas.

Sekonyong-konyong dalam benak Lenghou Tiong terkilas sesuatu ingatan, "Di dalam Tokko-kiu-kiam itu ada satu jurus yang khusus digunakan untuk mematahkan macam-macam serangan senjata rahasia musuh. Biarpun betapa banyak dan macam apa pun senjata musuh yang dihamburkan, asal jurus serangan itu dikeluarkan, serentak senjata rahasia musuh akan dapat disapu jatuh semua."

Saat gawat itu segera timbul, terdengar si orang tua berkedok tadi lagi membentak, "Maju semua, cincang dia!"

Sadar posisi yang berbahaya pada saat itu, tanpa pikir lagi pedang Lenghou Tiong mendadak bergerak, ujung pedang bergetar terus menutul kepada ke-15 pasang mata musuh. Dalam waktu yang sangat singkat terdengar suara jeritan di sana-sini, menyusul terdengar pula suara gemerantang nyaring jatuhnya macam-macam senjata. Dalam sekejap saja 30 biji mata ke-15 orang berkedok itu sekaligus ditusuk buta oleh serangan kilat Lenghou Tiong yang mahalihai.

Jurus serangan yang digunakan Lenghou Tiong mestinya khusus digunakan untuk menyapu bersih hamburan senjata rahasia musuh, tapi kini digunakan untuk menusuk mata musuh, hasilnya ternyata sangat menakjubkan.

Sesudah menyerang segera Lenghou Tiong menerobos lewat di antara orang banyak dengan langkah sempoyongan, ia mendekati Lo Tek-nau dan memegang pundaknya dengan muka pucat dan badan gemetar. Menyusul pedangnya lantas terlepas dari cekalan.

Ke-15 orang berkedok itu tampak kelabakan menutupi mata masing-masing, dari celah-celah jari mereka tampak merembes keluar darah segar. Ada yang berjongkok merintih, ada yang menjerit-jerit dan berlari seperti lalat tak berkepala, ada yang terguling-guling di tengah air lumpur.

Sesudah mata mereka tertusuk buta, pandangan mereka seketika menjadi gelap gulita dan terasa sakit sekali. Saking kaget dan takutnya yang teringat oleh mereka adalah menutupi mata yang buta itu sambil berteriak dan menjerit. Padahal kalau mereka bisa berlaku tenang dan tetap mengerubut maju, tentu Lenghou Tiong akan tercencang menjadi daging cacah oleh senjata ke-15 orang itu.

Tapi maklum juga, siapa pun dan betapa pun tinggi ilmu silatnya jika mendadak mata tertusuk buta, mana bisa lagi berlaku tenang dan mana sanggup meneruskan serangan kepada musuh.

Begitulah ke-15 orang itu menjadi kelabakan dan tak keruan entah apa yang harus mereka lakukan lagi.

Pada detik yang berbahaya tadi Lenghou Tiong lantas menyerang dan berhasil dengan baik, tapi demi melihat keadaan ngeri ke-15 orang itu, tanpa terasa ia menjadi tidak tega dan menaruh belas kasihan kepada mereka.
Mendadak Gak Put-kun membentak, "Tiong-ji, putuskan otot kaki mereka, nanti kita periksa dan tanya mereka."

"Ya ... ya ...." sahut Lenghou Tiong sambil berjongkok hendak menjemput pedangnya.
Tak terduga serangannya tadi telah mengerahkan tenaga dalamnya sehingga mengakibatkan badan gemetar dan tidak sanggup menjemput pedang.

Dalam pada itu si orang tua berkedok tadi lagi berseru, "Kawan-kawan, lekas jemput senjata masing-masing, sebelah tangan pegang ikat pinggang teman, semuanya pergi mengikuti aku!"

Ke-14 orang kawannya memang sedang kelabakan dan bingung, demi mendengar seruan si orang tua, serentak mereka berjongkok dan meraba-raba tanah, tak peduli senjata siapa yang mereka sentuh segera dijemputnya. Ada yang mendapatkan senjata dengan mudah, tapi ada pula tidak memperoleh sesuatu. Buru-buru mereka memegangi ikat pinggang temannya sehingga menjadi satu barisan dan ikut pergi bersama si orang tua dengan langkah tak menentu.

Para murid Hoa-san-pay kecuali Lenghou Tiong, yang lain semuanya tertutuk Hiat-to yang membikin tak bisa bergerak sedikit pun. Sedangkan Lenghou Tiong sendiri dalam keadaan tak bertenaga dan menggeletak lumpuh di atas tanah, maka mereka hanya menyaksikan kaburnya ke-15 orang berandal dan tak bisa mencegah.

"Lenghou Tiong, Lenghou-tayhiap, mengapa engkau belum mau membuka Hiat-to kami, apa perlu menunggu kami memohon pertolonganmu?" tiba-tiba Gak Put-kun berkata.

Keruan Lenghou Tiong terkejut. Katanya dengan suara gemetar, "Su ... Suhu, mengapa engkau ber ... berkelakar dengan Tecu? Segera akan ... akan kubuka Hiat-to Suhu."

Segera ia merangkak bangun dan mendekati Gak Put-kun dengan terhuyung-huyung.
Tanyanya kemudian, "Su ... Suhu, harus kubuka Hiat .. Hiat-to yang mana?"

Di dalam hati sungguh gusar Gak Put-kun tak terkatakan, ia mengira Lenghou Tiong sengaja melepaskan ke-15 berandal berkedok tadi, sekarang sengaja mengulur waktu dan tak mau cepat membuka Hiat-to yang tertutuk. Dengan gusar ia lantas menjawab, "Tak perlu lagi!"

Diam-diam ia mengerahkan Ci-he-sin-kang dengan lebih kuat untuk menggempur bagian Hiat-to yang tertutuk itu.

Sejak ditutuk dan tak bisa berkutik, terus-menerus Gak Put-kun mengarahkan Lwekang untuk menggempur Hiat-to yang tertutuk itu. Cuma orang yang menutuknya tadi adalah tokoh pilihan dan memiliki tenaga yang sangat kuat. Beberapa Hiat-to yang tertutuk itu adalah tempat penting pula, karena itu seketika Ci-he-sin-kang tidak dapat memunahkan Hiat-to yang tertutuk.

Lenghou Tiong sendiri tak bertenaga sehingga mungkin lebih lemas daripada anak kecil, ia ingin membuka Hiat-to sang guru yang tertutuk itu, tapi sedikit pun tak bisa mengeluarkan tenaga. Beberapa kali ia coba mengerahkan tenaga, tapi setiap kali matanya berkunang-kunang, telinga mendengung-dengung, hampir saja jatuh pingsan. Terpaksa ia duduk di sebelah Gak Put-kun dan menunggu sang guru membuka Hiat-to sendiri.

Sementara itu hujan sudah berganti gerimis dan masih turun tak berhenti-henti, keruan seluruh badan semua orang basah kuyup tak terkecuali.

Menjelang fajar barulah hujan berhenti. Muka semua orang pun remang-remang mulai terlihat jelas. Leng-sian dan beberapa anak muda yang Lwekangnya lebih rendah menggigil kedinginan tertiup angin pagi yang semilir.

Sebaliknya ubun-ubun kepala Gak Put-kun tampak mengepulkan asap putih, air mukanya yang bersemu ungu semakin tandas. Sekonyong-konyong ia bersuit panjang, seluruh Hiat-to yang tertutuk telah terbuka semua. Ia melompat bangun, kedua tangan bekerja dengan cepat, ada yang ditepuknya, ada yang diremasnya, hanya sekejap saja setiap orang yang tak bisa berkutik itu telah dibebaskan semua dari siksaan.

Gak-hujin dan para muridnya lantas berbangkit, Ko Kin-beng, Si Cay-cu dan lain-lain sama meneteskan air mata. Beberapa murid wanita bahkan menangis sedih. Beberapa orang di antaranya berkata, "Beruntung ilmu pedang Toasuko mahasakti dan dapat mengalahkan kawanan berandal itu, kalau tidak entah bagaimana jadinya kita ini?"

Saat itu Lenghou Tiong masih telentang di atas tanah berlumpur, lekas Ko Kin-beng membangunkan dia.

Air muka Gak Put-kun tidak memperlihatkan sesuatu, dengan dingin ia tanya, "Kau tahu asal usul ke-15 orang berkedok itu?"

"Tecu ... Tecu sendiri tidak tahu," sahut Lenghou Tiong.

"Apa kau tidak kenal mereka?" Put-kun menegas.

"Suhu, sebelum ini Tecu tidak pernah kenal salah seorang di antara mereka," sahut Lenghou Tiong dengan takut atas penegasan sang guru.

"Jika demikian, mengapa perintahku agar kau menahan mereka untuk diperiksa, tapi kau anggap tidak mendengar dan tak menggubris?" tanya Put-kun pula.

"Tecu ... Tecu sama sekali tak bertenaga lagi, seluruh tubuh terasa lemas, kini ... kini ...." sambil berkata badannya juga tergoyang-goyang, untuk berdiri saja tidak kuat rasanya.

"Hm, pandai benar kau main sandiwara!" jengek Put-kun.

Lenghou Tiong berkeringat dingin seketika, cepat ia tekuk lutut di hadapan sang guru, katanya, "Sejak kecil Tecu sudah yatim piatu, atas budi kebaikan Suhu dan Sunio sehingga Tecu dirawat sampai besar, selama itu Tecu juga tidak berani membangkang perintah Suhu atau sengaja mendebat Suhu dan Sunio."

"Kau tidak berani mendustai Suhu dan Sunio? Hm, lantas ilmu pedangmu itu diperoleh dari mana? Apakah ajaran malaikat di dalam mimpi atau mendadak jatuh dari langit?"

Berulang Lenghou Tiong menjura, katanya, "Tecu pantas dihukum mati. Soalnya Cianpwe yang mengajarkan ilmu pedang ini mengharuskan Tecu berjanji takkan memberitahukan kepada siapa pun juga tentang asal usul ilmu pedang ini, karena itu terpaksa kepada Suhu dan Sunio juga tak dapat Tecu beri tahukan."

"Ya, sudah tentu, sudah setinggi ini ilmu silatmu, masakah kau masih pandang sebelah mata kepada Suhu dan Suniomu?" jengek Put-kun. "Memangnya sedikit kepandaian Hoa-san-pay yang tak berarti ini mana tahan sekali gempur oleh ilmu pedangmu yang sakti? Kakek berkedok itu memang tepat ucapnya, jabatan ketua Hoa-san-pay kita ini seharusnya kau yang mendudukinya."

Lenghou Tiong tak berani menjawab, ia hanya menjura terus. Pikiran bergolak hebat, "Jika aku tidak menuturkan pengalaman tentang diperolehnya ajaran ilmu pedang dari Hong-thaysusiokco, tentu Suhu dan Sunio takkan memberi maaf. Namun seorang laki-laki sejati harus bisa pegang janji, sedangkan seorang maling cabul sebagai Dian Pek-kong saja tidak mau membocorkan rahasia jejak Thaysusiokco biarpun menghadapi siksaan Put-kay Hwesio, apalagi aku Lenghou Tiong telah menerima budi kebaikannya, sekali-kali aku tidak boleh ingkar janji, rasa setia dan baktiku kepada Suhu dan Sunio adalah tulus dan jujur, untuk ini dapat kupertanggungjawabkan kepada siapa pun juga. Kalau untuk sementara ini aku menanggung penasaran apakah artinya bagiku?"

Maka katanya kemudian, "Suhu dan Sunio, sekali-kali bukan Tecu sengaja membangkang kepada perintah guru, sesungguhnya ada kesukaran Tecu yang tak dapat dijelaskan. Kelak Tecu akan mohon maaf kepada Suhu dan Sunio, tatkala mana Tecu akan memberi laporan kepada Suhu dan Sunio dan bercerita terus terang selengkapnya."

"Baiklah, boleh bangun," kata Put-kun.

Lenghou Tiong menjura tiga kali lagi, segera ia bermaksud berbangkit, tapi baru saja kakinya menegak sebelah, kembali ia lemas dan jatuh berlutut pula. Kebetulan Peng-ci berdiri di sebelahnya, cepat ia bantu menariknya bangun.

"Hm, ilmu pedangmu hebat, caramu main sandiwara terlebih bagus pula," ejek Gak Put-kun.

Lenghou Tiong tidak berani menjawab, pikirnya, "Betapa pun besarnya budi Suhu yang dicurahkan padaku, hari ini beliau sudah salah paham, kelak segala persoalan pasti akan kubikin terang.
Urusan ini memang agak janggal, pantas juga kalau beliau merasa curiga."

Begitulah biarpun menahan penasaran, tapi ia pun tidak dendam sedikit pun.

Sementara itu para murid Hoa-san sedang sibuk pada tugasnya masing-masing, ada yang menanak nasi, ada yang menggali liang untuk mengubur jenazah Nio Hoat.

Sesudah sarapan pagi, semua orang sama mengeluarkan baju kering untuk ganti pakaian mereka yang basah dan kotor.
Habis itu mereka sama memandang Gak Put-kun untuk menunggu perintah. Pikir mereka, "Apakah kita masih mau meneruskan perjalanan ke Ko-san?"

"Sumoay, ke mana kita harus pergi menurut pendapatmu?" tanya Put-kun kemudian kepada sang istri.

"Ke Ko-san kukira tidak perlu lagi," sahut Gak-hujin. "Tapi kita sudah telanjur keluar dari rumah rasanya juga tidak perlu buru-buru pulang kembali ke Hoa-san."

"Ya, toh tiada pekerjaan apa-apa, boleh juga kita pesiar ke sana-sini supaya dapat menambah pengalaman para murid," kata Put-kun.
Yang paling senang adalah Leng-sian, cepat ia bersorak, "Baik sekali! Ayah ...."

Tapi lantas teringat olehnya tentang kematian Nio Hoat, adalah tidak pantas ia memperlihatkan rasa girang begitu cepat, maka hanya ucapan itu saja lantas berhenti.

"Huh, bicara tentang pesiar kau lantas kegirangan ya?" omel Put-kun dengan tersenyum.
"Baiklah, kali ini ayah akan mengikuti sifat kesukaanmu. Coba katakan sebaiknya kita pergi ke mana, anak Sian?"

Sambil berkata pandangnya ditujukan kepada Peng-ci.

"Ayah, jika mau pesiar sepuas-puasnya dan makin jauh makin baik, janganlah kepalang tanggung, janganlah belum seberapa jauh dan baru beberapa hari sudah sibuk mau pulang lagi," kata Leng-sian. "Bagaimana umpamanya kalau kita pergi ... pergi ... ke rumah Siau-lim-cu.
Dia bilang buah lengkeng Hokkian besar-besar dan manis-manis, katanya jeruk di sana juga sangat tersohor dan macam-macam barang lain."

Gak-hujin melelet lidah, katanya, "Dari sini ke Hokkian jauhnya beribu-ribu li, dari mana kita mempunyai biaya sebanyak itu untuk rombongan sebanyak ini. Jangan-jangan Hoa-san-pay kita harus menjadi Kay-pang dan meniru cara mereka berkelana sambil mengemis."

Tiba-tiba Peng-ci berkata, "Suhu dan Sunio, besok juga kita sudah bisa memasuki wilayah Holam. Nenek luar Tecu bertempat tinggal di kota Lokyang."

"Ya, benar, kakek-luarmu Kim-to-bu-tek, (golok emas tiada tandingan) Ong Goan-pa memang betul orang Lokyang," kata Gak-hujin.

"Ayah-bunda Tecu telah wafat semuanya, sungguh Tecu ingin berkunjung kepada Gwakong dan Gwapoh (kakek dan nenek luar) untuk memberi lapor segala sesuatu," kata Peng-ci pula. "Apabila Suhu, Sunio dan para Suko dan Suci sudi ikut mampir ke tempat kediaman Gwakong dan tinggal di sana barang beberapa hari, tentu Gwakong dan Gwapoh akan merasa mendapat kehormatan besar.
Habis itu barulah kita melanjutkan perjalanan ke Hokkian, tentang ongkos perjalanan ...."

Ia merandek sejenak, lalu menyambung, "Di sepanjang jalan toh ada cabang Piaukiok kami, segala sesuatu tentu akan mendapat pelayanan dari mereka, maka mengenai hal ini kukira tidak perlu khawatir."

Sejak Gak-hujin melukai Tho-sit-sian, senantiasa ia dirundung rasa khawatir kalau-kalau Tho-kok-lak-sian akan datang menuntut balas. Keberangkatannya dari Hoa-san kali ini alasannya saja hendak menuntut kebenaran dan keadilan ke Ko-san, tapi sebenarnya adalah melarikan diri untuk menghindari bencana.

Tadi sesudah sang suami mengarahkan pandangnya kepada Peng-ci, lalu pemuda itu mengundang semua orang berkunjung ke Hokkian. Kalau dipikir, untuk mengungsi memang lebih jauh lebih baik. Apalagi dirinya dan sang suami juga tak pernah berkunjung ke daerah selatan, sekarang tiada jeleknya jalan-jalan ke sekitar Hokkian.

Karena pikiran itu ia lantas berkata kepada sang suami, "Suko, Siau-lim-cu telah menyatakan akan tanggung makan dan tanggung tempat tinggal, kita mau pergi dengan biaya gratis atau tidak?"

Put-kun tersenyum, jawabnya, "Hokkian adalah tempat asal Siau-lim-si sekte selatan, selama ini banyak menghasilkan tokoh-tokoh persilatan. Jika kita dapat mengikat beberapa kawan karib barulah tidak sia-sia perjalanan kita ini."
Mendengar gurunya sudah mau pesiar ke Hokkian, keruan para murid sangat gembira. Para murid, baik laki-laki maupun wanita kecuali Lo Tek-nau, rata-rata umur mereka belum ada yang lebih dari 30 tahun. Dengan sendirinya mereka sangat tertarik dan bersemangat mengenai pesiar ke daerah selatan yang indah permai itu. Lebih-lebih Peng-ci dan Leng-sian, mereka berdua yang paling girang.

Sebaliknya hanya Lenghou Tiong seorang saja yang muram durja. Pikirnya, "Suhu dan Sunio tidak mau pergi ke mana-mana dan justru lebih dulu pergi ke Lokyang untuk bertemu dengan kakek luar Lim-sute, habis itu baru akan berangkat ke Hokkian yang jauh itu, tak usah dijelaskan lagi terang dia sudah menjodohkan Siausumoay kepada Lim-sute, boleh jadi setiba di Hokkian mereka akan lantas dinikahkan di rumah Lim-sute. Aku sendiri adalah anak piatu, tanpa sanak tiada kadang, mana aku dapat dibandingkan dengan putra juragan Hok-wi-piaukiok yang kantor cabangnya tersebar di mana-mana tempat. Melulu kakek luarnya Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa saja biasanya juga sangat mendapat penghargaan dari Suhu. Sekarang Lim-sute ingin pergi ke Lokyang untuk berkunjung kepada kakek dan neneknya, buat apa aku ikut pergi ke sana?"

Diam-diam ia pun mendongkol demi melihat para Sute dan Sumoaynya bergembira ria seakan-akan semuanya sudah melupakan kematian Nio Hoat yang mengerikan itu. Pikirnya pula, "Malam nanti kalau menginap di suatu tempat biarlah tengah malam seorang diri aku tinggal pergi saja. Masakah aku harus ikut semua orang ke sana dan ikut makan nasi Lim-sute dan tinggal di rumahnya dulu menahan perasaan sambil mengucapkan selamat kepada pernikahan Lim-sute dan Siausumoay?"

Ketika semua orang berangkat melanjutkan perjalanan, dengan semangat lesu dan badan lemas Lenghou Tiong ikut dari belakang, tapi makin lama makin lambat jalannya sehingga tertinggal agak jauh oleh rombongan.

Dekat tengah hari keadaannya tambah payah, ia tidak tahan lagi dan duduk mengaso di atas batu di tepi jalan dengan napas tersengal-sengal.

Tiba-tiba tertampak Lo Tek-nau berlari balik dan berseru padanya, "Toasuko bagaimana keadaanmu? Apakah lelah? Biar kutunggu engkau. Sunio telah menyewa sebuah kereta besar di kota depan sana dan sebentar lagi akan datang memapak dirimu."

Diam-diam Lenghou Tiong merasa terima kasih, biarpun sang guru timbul curiga padanya, tapi ibu gurunya ternyata masih tetap sangat baik.

Selang tidak lama, benar juga sebuah kereta keledai sedang mendatang dengan cepat. Segera Lenghou Tiong naik ke atas kereta dengan didampingi Lo Tek-nau.

Bab 45. Macan Kesasar Dikeroyok Anjing

Malamnya waktu menginap di hotel Lo Tek-nau juga tinggal sekamar dengan Lenghou Tiong. Dan begitu seterusnya beberapa hari berturut-turut Lo Tek-nau selalu mendampinginya dan tak terpisahkan.

Lenghou Tiong mengira Lo Tek-nau bermaksud baik merawatnya karena keadaan dirinya yang lemah itu. Siapa tahu pada malam ketiga ketika Lenghou Tiong sedang istirahat di tempat tidur, tiba-tiba didengarnya Sute yang kecil bernama Su Ki sedang bicara di luar kamar dengan suara berbisik, "Jisuko, Suhu menanyakan padamu apakah hari ini Toasuko memperlihatkan sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan?"

Lalu terdengar Lo Tek-nau berdesis, "Ssst, jangan keras-keras!
Mari keluar saja!"

Hanya kedua kalimat itu pun sudah membuat perasaan Lenghou Tiong tergetar. Baru sekarang ia tahu gurunya sesungguhnya telah curiga padanya, bahkan Lo Tek-nau sengaja disuruh mengawasinya secara diam-diam.

Dalam pada itu terdengar Su Ki sedang melangkah pergi dengan berjinjit-jinjit, sedangkan Lo Tek-nau lantas mendekati tempat tidur untuk memeriksa Lenghou Tiong apakah sudah pulas atau tidak.

Sebenarnya Lenghou Tiong sangat gusar dan segera hendak melonjak bangun untuk mendamprat Lo Tek-nau, tapi lantas terpikir olehnya Jisute itu hanya menerima perintah sang guru saja, kenapa mesti marah kepada orang yang tidak berdosa? Maka sedapat mungkin ia menahan perasaannya dan pura-pura tidur nyenyak.

Sejenak kemudian Lo Tek-nau lantas melangkah keluar juga. Lenghou Tiong tahu tentu dia hendak pergi melapor kepada sang guru tentang gerak-geriknya, diam-diam ia sangat mendongkol. "Hm, aku toh tidak berbuat sesuatu apa yang berdosa, sekalipun kalian mengawasi aku siang dan malam juga aku tidak takut asal perbuatanku cukup dapat dipertanggungjawabkan," demikian pikirnya.
Karena perasaannya bergolak sehingga mengguncangkan tenaga dalam, seketika ia merasa dada sesak dan sangat menderita, ia mendekam di atas bantal dengan napas tersengal-sengal. Sampai agak lama baru tenang kembali. Ia coba berbangkit dan mengenakan baju dan sepatu. Katanya di dalam hati, "Jika Suhu tidak pandang aku sebagai murid lagi dan mengawasi aku seperti maling buat apa lagi aku tinggal di Hoa-san, lebih baik kutinggal pergi saja. Kelak syukurlah kalau Suhu sudi memahami diriku, kalau tidak ya terserahlah."

Memangnya sejak salah membunuh Liok Tay-yu, dalam hati kecilnya selalu dirundung rasa berdosa, lebih-lebih mengenai Gak Leng-sian yang telah mengalihkan cintanya kepada orang lain, hal ini semakin melukai perasaannya, sudah lama ia merasa bosan hidup lagi. Sekarang diketahui pula sang guru menaruh curiga dan menyuruh orang mengawasi gerak-geriknya, keruan ia tambah sedih dan putus asa.

Pada saat itulah mendadak di luar jendela ada orang bicara dengan suara tertahan, "Ssst, jangan bergerak!"
Lalu ada lagi seorang lain menjawab, "Ya, Toasuko seperti sudah bangun."

Suara bicara kedua orang itu sangat perlahan, tapi di tengah malam yang bunyi itu cukup jelas didengar oleh Lenghou Tiong, terang itulah dua orang Sutenya yang kecil. Agaknya mereka sengaja sembunyi di luar sana untuk mengawasi dirinya kalau-kalau melarikan diri.

Sungguh Lenghou Tiong mendongkol tak terkatakan, ia mengepal sehingga ruas tulangnya bekertakan. Katanya di dalam hati, "Jika saat ini juga aku tinggal pergi tentu akan berbalik memperlihatkan aku berdosa dan sengaja kabur.
Baik, baik, aku justru takkan pergi, terserah cara bagaimana kalian akan berbuat terhadap diriku."

Mendadak ia berteriak-teriak, "Pelayan! Pelayan! Ambilkan arak!"

Sampai agak lama baru terdengar jawaban pelayan hotel datang membawakan arak yang diminta. Terus saja Lenghou Tiong minum arak sepuas-puasnya sampai mabuk dan tak sadarkan diri.

Esok paginya waktu akan berangkat Lenghou Tiong masih belum sadar sehingga perlu bantuan Lo Tek-nau memayangnya ke atas kereta.

Beberapa hari kemudian rombongan mereka sampai di Lokyang dan bermalam di suatu hotel yang besar. Seorang diri Lim Peng-ci lantas berkunjung ke rumah neneknya.
Gak Put-kun dan lain-lain sudah salin pakaian bersih semua. Sebaliknya Lenghou Tiong masih tetap memakai baju panjang yang berlepotan lumpur waktu bertempur di luar kelenteng tempo hari.

Dengan membawa seperangkat pakaian bersih Leng-sian mendekati Lenghou Tiong, katanya, "Toasuko, maukah ganti pakaian ini?"

"Pakaian Suhu mengapa mesti diberikan padaku?" sahut Lenghou Tiong.

"Sebentar kita diundang berkunjung ke rumah Siau-lim-cu, maka lekas kau ganti pakaian yang lebih bersih ini," ujar Leng-sian.

"Ke rumah kan apa harus pakai baju yang bagus," jawab Lenghou Tiong sambil mengamat-amati sang Sumoay.

Ternyata Leng-sian sudah berdandan rapi, memakai baju sutera bungkus kapas tipis dan berkain satin warna hijau pupus. Mukanya berbedak dan bergincu tipis sehingga makin menambah kecantikannya. Rambutnya yang hitam pun tersisir dengan mengilap, pada samping gelungnya dihias dengan tusuk kundai bermutiara.

Seingat Lenghou Tiong, pada masa lampau, hanya kalau tahun baru Leng-sian berdandan sedemikian rupa. Tapi sekarang hendak bertamu ke rumah Lim Peng-ci saja si nona juga berdandan serapi itu, sudah tentu pedih hati Lenghou Tiong.

Segera ia bermaksud mengucapkan kata-kata ejekan, tapi lantas terpikir olehnya seorang laki-laki sejati kenapa mesti berjiwa begitu sempit? Maka urung ia membuka mulut.

Sebaliknya Leng-sian menjadi rikuh sendiri karena dipandang dengan sorot mata yang tajam, segera katanya, "Jika engkau tidak mau ganti pakaian, ya sudahlah."

"Ya, terima kasih! Aku tidak biasa memakai baju baru, lebih baik tidak ganti pakaian saja," kata Lenghou Tiong.

Leng-sian tidak bicara lebih jauh, ia membawa kembali pakaian itu ke kamar ayahnya.

Tidak lama kemudian terdengarlah suara seorang yang nyaring keras sedang berseru di luar pintu, "Jauh-jauh Gak-tayciangbun berkunjung kemari, tapi Cayhe tidak melakukan penyambutan sebagaimana mestinya, sungguh terlalu tidak sopan."

Gak Put-kun saling pandang dengan sang istri dan tersenyum senang, mereka tahu Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa sendiri telah datang menyambut. Cepat mereka memapak ke luar.

Tertampak usia Ong Goan-pa sudah 70-an tahun, tapi mukanya merah bercahaya, jenggotnya putih panjang, semangatnya masih menyala-nyala Sebelah tangannya memainkan dua buah bola emas sebesar telur angsa sehingga menerbitkan suara nyaring bergeseknya dua benda logam itu.

Adalah umum orang persilatan memainkan bola besi, tapi biasanya bola logam demikian adalah buatan besi biasa atau baja murni. Sebaliknya sekarang yang dipegang Ong Goan-pa adalah dua biji bola emas sehingga bobotnya berlipat-lipat lebih berat daripada besi, bahkan memperlihatkan kemewahannya yang lain daripada yang lain.
Begitu melihat Gak Put-kun segera jago tua itu bergelak tertawa dan berseru, "Selamat bertemu! Nama Gak-tayciangbun menggema di dunia persilatan dengan gilang-gemilang, hari ini Gak-tayciangbun sudi berkunjung ke Lokyang, sungguh merupakan suatu kehormatan besar dan peristiwa yang menggembirakan bagi kawan-kawan Bu-lim di daerah Tiongciu ini."

Sembari berkata ia terus melangkah maju dan menjabat tangan Gak Put-kun serta diguncang-guncangkan dengan penuh gembira, sikapnya sangat tulus dan simpatik.

Gak Put-kun menjawab dengan tertawa, "Cayhe suami-istri bersama para murid sengaja berkelana keluar dan berkunjung pada para sahabat untuk mencari pengalaman, justru tokoh pertama yang kami kunjungi adalah Tiongciu-tayhiap Kim-to-bu-tek Ong-loyacu di sini. Kedatangan kami belasan tamu yang tak diundang ini benar-benar terlalu mendadak dan sembrono."

Dengan suara keras Ong Goan-pa berkata, "Sebutan 'Kim-to-bu-tek' siapa pun dilarang mengucapkannya lagi di hadapan Gak-tayciangbun. Barang siapa menyebutnya lagi tidak berarti menyanjung diriku, tapi suatu penghinaan padaku. Gak-siansing, engkau sudi menerima cucu luarku, budi kebaikan ini sungguh sukar dibalas, sejak kini Hoa-san-pay dan Kim-to-bun adalah satu keluarga, harap tinggal di rumahku satu atau setengah tahun, siapa pun jangan meninggalkan kota Lokyang ini. Gak-siansing, biarlah kubawakan barang-barangmu dan marilah berangkat."

"Ah, jangan, mana aku berani membikin repot Ong-loyacu," sahut Gak Put-kun cepat.

Segera Ong Goan-pa berpaling dan berkata kepada kedua putranya yang berdiri di belakangnya, "Pek-hun, Tiong-kiang, lekas kalian menjura kepada Gak-susiok dan Gak-subo!"

Ong Pek-hun dan Ong Tiong-kiang berbareng mengiakan, terus memberi sembah dan hormat.

Lekas-lekas Gak Put-kun dan istrinya berlutut membalas hormat mereka. Katanya, "Kita adalah satu tingkatan, sebutan 'Susiok' mana berani kuterima? Selanjutnya biarlah kita anggap sama tingkatan menurut hitungan Peng-ci."

Sesungguhnya nama Ong Pek-hun dan Ong Tiong-kiang (kedua putra Ong Goan-pa) sudah cukup gilang-gemilang di dunia persilatan wilayah Oupak. Meski mereka mengagumi Gak Put-kun, tapi disuruh menjura betapa pun mereka merasa enggan, cuma perintah sang ayah tak bisa dibantah terpaksa mereka berlutut memberi hormat. Kini melihat Gak Put-kun juga menjura membalas hormat mereka, dengan sendirinya mereka berdiri kembali.

Waktu Gak Put-kun mengamat-amati Pek-hun dan Tiong-kiang, ternyata perawakan kedua bersaudara itu sangat tinggi, hanya Ong Tiong-kiang agak lebih gemuk. Pelipis kedua orang itu sama-sama melembung, otot tulang tangan menonjol, terang baik Lwekang maupun Gwakang mereka pasti sangat tinggi.

Segera Gak Put-kun juga mengucapkan kata-kata pujian dan menyuruh anak muridnya memberi hormat kepada Ong Goan-pa dan jago-jago Kim-to-bun yang lain.

Seketika itu di ruangan hotel menjadi ramai orang saling memberi hormat disertai kata-kata sanjung puji dari masing-masing pihak.

Kemudian Peng-ci memperkenalkan anak murid Hoa-san-pay satu per satu kepada kakeknya.

Waktu memperkenalkan Gak Leng-sian, dengan berseri-seri Ong Goan-pa berkata kepada Gak Put-kun, "Gak-laute, putrimu ini benar-benar gadis rupawan, apakah sudah berbesanan?"

"Ah, anak perempuan masih kecil, pula keluarga Bu-lim seperti kita ini hanya dikenal suka main golok dan putar pedang melulu, bicara tentang kepandaian putri seperti menyulam atau menjahit dan memasak segala sama sekali tidak becus, tentu saja tidak ada yang mau kepada budak liar seperti dia," demikian sahut Gak Put-kun dengan tertawa.

"Ah, ucapan Gak-laute terlalu merendah diri," ujar Ong Goan-pa. "Putri tokoh termasyhur sudah tentu tidak sembarangan diberikan kepada pemuda dari keluarga biasa saja. Cuma anak perempuan memang juga tiada jeleknya belajar sedikit pekerjaan tangan kaum wanita."

Bicara sampai di sini suaranya menjadi perlahan dan rawan.

Put-kun tahu pasti jago tua itu terkenang kepada putrinya (ibu Peng-ci) yang meninggal itu, segera ia mengiakan dengan wajah prihatin.

Ong Goan-pa ternyata seorang yang periang, segera ia dapat mengatasi perasaannya dan berseru dengan tertawa pula, "Gak-laute, Lwekang dari Ngo-gak-kiam-pay sangat hebat, tentu kekuatanmu minum arak sangat hebat. Marilah kita pergi minum sepuluh mangkuk bersama."

Habis berkata ia terus gandeng tangan Gak Put-kun dan diajak berangkat.

Gak-hujin, Ong Pek-hun, Ong Tiong-kiang dan anak murid Hoa-san-pay lantas ikut dari belakang. Di luar hotel ternyata siap sedia kereta dan kuda. Kaum wanitanya disilakan menumpang kereta dan yang lelaki naik kuda. Hanya dalam waktu tiada satu jam sejak perginya Peng-ci ke rumah kakeknya ternyata segala sesuatu telah dapat disiapkan dengan cepat, dari sini saja sudah dapat dibayangkan betapa kaya raya dan pengaruh keluarga Ong di kota Lokyang.

Sampai di rumah keluarga Ong, tertampak pintu gedung yang megah itu bercat merah, dua buah gelangan tembaga pada tiap-tiap daun pintu itu tergosok bersih sehingga mengilap, delapan laki-laki tegap telah menanti di luar pintu dengan sikap sangat hormat.

Begitu masuk ke dalam pintu tertampaklah di atas belandar terpampang sebuah papan besar cat hitam bertuliskan empat huruf "Kian-gi-yong-wi" (berani membela keadilan) yang dihadiahkan oleh gubernur Holam. Ternyata Ong Goan-pa tidak cuma tokoh persilatan saja tapi juga mempunyai hubungan baik dengan pembesar negeri setempat.

Malamnya Ong Goan-pa mengadakan perjamuan besar-besaran untuk menghormati Gak Put-kun dan rombongannya serta mengundang orang-orang terkemuka di kota Lokyang.

Sebagai murid Hoa-san-pay yang tertua, di antara tamu-tamu lelaki, kecuali Gak Put-kun, adalah Lenghou Tiong terhitung paling tinggi derajatnya. Tapi demi melihat bajunya yang kotor, semangatnya lesu, diam-diam semua orang sama terheran-heran. Cuma di dunia persilatan memang banyak juga tokoh kosen yang aneh, seperti jago-jago Kay-pang hampir semuanya berpakaian compang-camping. Jika pemuda ini benar murid utama Hoa-san-pay tentu juga mempunyai kepandaian yang luar biasa. Karena pikiran ini, maka tiada orang berani memandang hina pada Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong duduk di meja kedua dan diiringi Ong Pek-hun merasa dongkol karena sikap Lenghou Tiong yang dingin, bila diajak bicara tampaknya juga sungkan menjawab seakan-akan tidak memandang sebelah mata padanya. Segera ia sengaja bicara tentang ilmu silat, ia coba memancing-mancing dan mengemukakan beberapa pertanyaan untuk minta petunjuk kepada Lenghou Tiong.

Tapi pemuda itu hanya menjawab ya atau tidak secara singkat saja, sama sekali tidak mau memberi komentar apa-apa.

Sesungguhnya bukanlah Lenghou Tiong kurang simpatik pada Ong Pek-hun, yang benar adalah karena ia merasa rendah diri, dilihatnya keluarga Ong begini mewah hidupnya, sebaliknya diri sendiri adalah anak yatim yang miskin, kalau dibandingkan boleh dikata langit dan bumi bedanya.

Setiba di rumah kakeknya Peng-ci lantas ganti pakaian yang bagus-bagus dan mewah, dasarnya tampang Peng-ci memang cakap, setelah berdandan menjadi lebih elok lagi.

Begitulah dengan sendirinya Lenghou Tiong merasa rendah diri, pikirnya, "Jangankan Siausumoay memang sudah sangat rapat bergaul dengan Lim-sute, seumpama dia tetap cinta padaku seperti sediakala, lalu apa dia akan bahagia ikut pada anak miskin seperti diriku?"

Karena pikirannya hanya dicurahkan mengenai diri Gak Leng-sian sehingga segala apa yang dibicarakan Ong Pek-hun padanya dengan sendirinya tak diperhatikan olehnya. Padahal di wilayah Tiongciu setiap orang Bu-lim sangat segan kepada Ong Pek-hun siapa pun ingin mengambil hati jago keluarga Ong yang ternama itu, tapi malam ini dia selalu menghadapi muka kecut dari Lenghou Tiong, kalau menuruti wataknya yang biasa, sungguh sejak tadi ia sudah mengumbar rasa dongkolnya itu.

Tapi mengingat mendiang kakaknya (ibu Peng-ci), pula sang ayah tampak sangat menghargai kaum Hoa-san-pay, maka sedapat mungkin ia menahan perasaannya dan berulang-ulang masih menyuguh arak kepada Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong juga tidak menolak, setiap cawan arak yang disuguhkan selalu ditenggak habis sehingga tanpa merasa 40-an cawan sudah dihabiskan olehnya.

Sebenarnya Lenghou Tiong sangat kuat minum arak, sekalipun ratusan cawan juga takkan membuatnya mabuk. Tapi sekarang Lwekangnya sudah punah sehingga kekuatan minumnya banyak berkurang, ditambah hatinya lagi murung maka lebih mudah menjadikan mabuknya, baru saja 50-an cawan ia minum sudah mulai sinting.

Diam-diam Ong Pek-hun berkata di dalam hati, "Kau bocah ini terlalu tidak tahu adat. Keponakanku adalah Sutemu, seharusnya kau menyebut aku paman, tapi sama sekali kau memanggil, tidak menjadi soal, bahkan sikapmu acuh tak acuh terhadapku. Biarlah kucekoki sehingga mabuk, supaya membikin malu nama Hoa-san-pay kalian di depan perjamuan ini."

Sementara itu mata Lenghou Tiong sudah kelihatan merah, mabuknya sudah ada tujuh-delapan bagian. Dengan tertawa Ong Pek-hun berkata, "Lenghou-laute adalah murid utama Hoa-san-pay, nyatanya memang seorang kesatria muda sejati, bukan saja ilmu silatnya tinggi, kekuatan minumnya juga sangat hebat. Ayo pelayan, bawakan mangkuk besar, tuangkan arak untuk Lenghou-toaya."

Pelayan keluarga Ong mengiakan dengan suara keras, lalu datang menuangkan arak.

Selama hidup Lenghou Tiong belum pernah menolak arak yang dituangkan baginya, maka setiap mangkuk arak yang dituangkan untuknya selalu ditenggaknya habis sehingga sekaligus lima-enam mangkuk besar telah diminumnya lagi, ketika pengaruh alkohol mulai bekerja, tanpa terasa mangkuk dan cawan di depannya tersampuk oleh lengan bajunya dan jatuh berantakan.

"Ah, Lenghou-siauhiap telah mabuk, minumlah secangkir teh panas sebagai penawar," kata seorang yang duduk semeja di sebelahnya.

"Mana bisa, orang adalah murid tertua Hoa-san-pay, masakah begitu gampang lantas mabuk?" kata Pek-hun. "Mari Lenghou-laute, kita habiskan ini!"

Dan kembali mereka bersama-sama menuang penuh semangkuk besar.

"Mas ... masakah mabuk? Mari ... minum!" kata Lenghou Tiong sambil angkat mangkuk arak terus ditenggak lagi, tapi ada sebagian besar isi mangkuk berceceran membasahi bajunya.

Sekonyong-konyong badannya bergeliat, mulur terbuka dan tumpah-tumpah, seluruh makanan dan minuman yang sudah masuk perut dimuntahkan semua sehingga mengotori meja.

Tamu-tamu yang semeja dengan dia sama kaget dan berbangkit menyingkir. Sebaliknya Ong Pek-hun hanya tertawa dingin, diam-diam ia senang karena maksud tujuannya berhasil.

Karena muntahnya Lenghou Tiong itu, serentak pandangan beratus orang tamu sama diarahkan kepadanya. Gak Put-kun dan istrinya juga berkerut kening, pikir mereka, "Bocah ini memang tidak cocok bergaul dengan tingkatan atas, membikin malu saja di depan tamu sebanyak ini."

Dalam pada itu Lo Tek-nau dan Peng-ci sudah memburu maju untuk memayang Lenghou Tiong.
"Toasuko, marilah kubawa mengaso saja ke kamar," kata Peng-ci.

"Aku ... aku tidak mabuk, aku mau minum lagi, amb ... ambilkan arak?" sahut Lenghou Tiong dengan tak lancar.

"Baik, baik, akan kuambilkan arak," ujar Peng-ci.

Dengan matanya yang merah cepat Lenghou Tiong melirik Peng-ci, katanya, "Kau ... kau ... Siau-lim-cu, kenapa tidak pergi mengawani Siausumoay, buat apa memegangi aku?"

Cepat Lo Tek-nau membujuk dengan suara perlahan. "Toasuko, marilah kembali ke kamar saja, di sini orang terlalu banyak, jangan sembarangan bicara lagi."

"Aku sembarangan bicara apa?" sahut Lenghou Tiong dengan gusar. "Hm, Suhu menugaskanmu mengawasi aku dan ... bukti apa yang kau temukan?"

Khawatir sang Suheng yang sudah mabuk itu semakin tak keruan mengocehnya, cepat Tek-nau dan Peng-ci memayangnya masuk ke kamar dengan setengah paksa.

Ketika mendengar ucapan Lenghou Tiong yang mengatakan "Suhu menugaskanmu mengawasi aku dan bukti apa yang telah kau temukan", sungguh gusar Gak Put-kun tak terkatakan sehingga mukanya sampai pucat.

"Gak-laute," kata Ong Goan-pa dengan tertawa, "ocehan anak muda pada waktu mabuk buat apa digubris? Mari, mari minum!"

"Anak desa yang tidak berpengalaman, hanya membikin malu saja," terpaksa Put-kun menanggapi dengan menyeringai.

Mabuknya Lenghou Tiong itu baru sadar kembali pada esoknya lewat tengah hari, apa yang telah dia ucapkan waktu mabuk sama sekali tak teringat olehnya. Sebaliknya sesudah mendengar ucapan Lenghou Tiong, diam-diam Gak Put-kun memberi pesan kepada Lo Tek-nau agar selanjutnya jangan mengikuti Lenghou Tiong lagi, cukup mengawasi secara diam-diam saja.
Sesudah sadar kembali, Lenghou Tiong merasa kepalanya sakit seakan-akan pecah. Terlihat dirinya menempati sebuah kamar sendirian dengan perabotan yang resik dan indah.

Ia melangkah keluar kamar, tiada seorang Sutenya kelihatan. Ia coba tanya pelayan, kiranya sama berkumpul di ruang latihan di belakang bersama anak murid keluarga Ong dan sedang saling belajar ilmu silat.

"Buat apa aku berkumpul bersama mereka? Lebih baik aku pesiar keluar saja," demikian pikir Lenghou Tiong. Segera ia berangkat seorang diri.

Lokyang adalah kota raja beberapa dinasti masa lampau, kotanya cukup megah, tapi keramaiannya kurang.

Lenghou Tiong tidak pandai membaca, pengetahuannya tentang sejarah dan kebudayaan kuno sangat terbatas. Karena itu ia tidak tertarik biarpun di dalam kota banyak terdapat tempat-tempat bersejarah yang terkenal.

Ia terus berjalan tanpa tujuan. Ketika sampai di suatu kedai arak, dilihatnya di situ ada tujuh-delapan orang gelandangan penganggur sedang main dadu. Ia lantas ikut mendesak maju, ia membawa beberapa tahil perak, segera dikeluarkannya dan ikut main dadu bersama mereka. Sampai hari sudah petang ia lantas minum arak di kedai itu sehingga mabuk, habis itu barulah pulang dengan langkah sempoyongan.

Beberapa hari berturut-turut ia terus minum arak dan main dadu bersama kawanan gelandangan itu. Hari-hari pertama masih mujur baginya, dia menang beberapa tahil perak. Tapi hari keempat ia kalah habis-habisan sehingga isi saku kosong melompong. Dengan sendirinya para gelandangan melarangnya bertaruh lebih jauh.

Dengan marah Lenghou Tiong masih terus pesan arak, semangkuk demi semangkuk ditenggaknya sehingga menghabiskan belasan mangkuk.

"He, anak muda, kau kalah judi, uangmu sudah ludes, cara bagaimana kau membayar uang arak ini nanti?" demikian tanya pelayan kedai arak.

"Utang dahulu, teken bon, besok akan kubayar," sahut Lenghou Tiong.

"Tidak bisa," kata si pelayan sambil menggeleng. "Modal kedai kami kecil, baik kenalan maupun keluarga, semuanya tidak boleh utang."

Lenghou Tiong tambah gusar, bentaknya, "Kurang ajar! Apa kau kira tuanmu tidak punya uang?"

"Aku tak peduli apakah kau tuan atau nyonya, pendek kata ada uang ada arak, dan utang harus bayar," sahut si pelayan ketus.

Pakaian Lenghou Tiong memang sudah dekil dan jelas bukan potongan hartawan, saat itu hanya pada pinggangnya masih menggelantung sebatang pedang, selain itu tidak punya barang berharga lagi. Terpaksa ia menanggalkan pedangnya dan ditaruh di atas meja, katanya, "Ini, gadaikan saja ke pegadaian sana!"

Salah seorang gelandangan di situ rupanya ingin mencari keuntungan lagi, cepat ia menukas, "Baik, biar aku menggadaikannya untukmu."

Terus saja ia bawa pedang itu dan berlari pergi.

Benar juga ada uang dan arak, segera pelayan membawakan dua poci arak lagi untuk Lenghou Tiong.

Belum lagi Lenghou Tiong menghabiskan araknya, si gelandangan tadi sudah pulang dengan membawa beberapa potong perak pecah, katanya, "Kugadaikan tiga tahil empat uang."

Berbareng ia menyerahkan uang perak dan surat gadai kepada Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong juga tidak menghitung, cuma dari bobotnya ia merasa uang perak itu paling banyak hanya tiga tahil saja, terang sisanya telah dicatut gelandangan itu. Tapi ia pun tidak banyak bicara dan kembali main dadu lagi.

Sampai hari sudah petang, untuk bayar dan kalah judi, tiga tahil perak hasil gadai pedangnya itu kembali lenyap semua.

"Beri pinjam tiga tahil, kalah menang akan kukembalikan lipat," kata Lenghou Tiong kepada seorang gelandangan di sebelah yang bernama si Tembong.

"Dan kalau kalah bagaimana?" tanya si Tembong dengan tertawa.

"Kalau kalah akan kukembalikan besok," sahut Lenghou Tiong.

"Huh, melihat macammu masakah di rumahmu ada uang," jengek si Tembong. "Apa barangkali kau akan menjual binimu atau menjual adik perempuanmu?"

Lenghou Tiong menjadi murka, "plok", kontan ia gampar muka si Tembong, beberapa tahil perak di depan orang segera dirampasnya pula.

"Aduuh! He, kau merampok?" jerit si Tembong sambil mendekap mulutnya yang mengeluarkan darah.

Para gelandangan itu memangnya satu komplotan, tanpa bicara lagi mereka terus mengerubut maju, kepalan mereka menghujani tubuh Lenghou Tiong tanpa kenal ampun.

Jika dalam keadaan biasa, jangankan cuma beberapa orang gelandangan yang tidak mahir ilmu silat, sekalipun jago silat yang lihai juga belum tentu mampu menyerangnya. Tapi kini Lenghou Tiong sudah tidak membawa pedang, pula kehilangan tenaga, percumalah dia mahir ilmu silat karena sama sekali tak dapat dikeluarkan.

Begitulah Lenghou Tiong dibekuk oleh kawan gelandangan itu dan dihujani pukulan dan tendangan tanpa mampu melawan sedikit pun. Benar-benar "harimau kesasar dikerubut anjing", hanya sekejap saja ia sudah babak belur, mata matang biru dan hidung keluar kecapnya.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kaki kuda, ada beberapa penunggang kuda kebetulan lalu di situ.

Seorang penunggang di antaranya sedang membentak, "Ayo, minggir, minggir!"

Berbareng pecutnya disabetkan, kawanan gelandangan itu dihalau lari semua.

Lenghou Tiong sendiri tergeletak tak sanggup bangun lagi. Mendadak suara seorang wanita berteriak, "He, bukankah ini Toasuko?"

Ternyata suara Leng-sian.

Lalu seorang lain berkata, "Coba, biar kuperiksanya!"

Ini suara Peng-ci yang telah melompat turun dari kudanya dan mendekati Lenghou Tiong, setelah tubuh Lenghou Tiong dibalik, Peng-ci berseru kaget. "Toasuko, ke ... kenapakah engkau?"

Lenghou Tiong menggeleng kepala, sahutnya dengan tersenyum ewa, "Mabuk dan kalah judi!"

Segera Peng-ci memondong Lenghou Tiong ke atas kuda.

Penunggang kuda itu selain Peng-ci dan Leng-sian masih ada empat orang lagi. Mereka adalah dua putri Ong Pek-hun dan dua putra Ong Tiong-kiang, mereka terhitung saudara misan Peng-ci.

Pagi-pagi mereka berenam sudah keluar pesiar ke tempat terkenal di seluruh kota Lokyang dan sekarang baru pulang, tak terduga di gang yang kecil ini dapat menemukan Lenghou Tiong lagi dihajar orang hingga babak belur.

Sudah tentu putra-putri Ong Tiong-kiang dan Ong Pek-hun itu terheran-heran. Pikir mereka, "Hoa-san-pay mereka terhitung anggota Ngo-gak-kiam-pay terkemuka, biasanya kakek juga sangat mengagumi mereka. Selama beberapa hari ini anak murid Hoa-san-pay mereka suka berlatih dan tukar pikiran dengan kami, kenyataannya mereka memang luar biasa. Padahal Lenghou Tiong ini adalah murid pertama Hoa-san-pay, mengapa dia tidak dapat melawan beberapa bicokok yang tak berarti itu? Apakah dia sengaja pura-pura. Namun melihat keadaannya yang babak belur terang bukan pura-pura. Sungguh aneh?"

Sepulangnya di rumah Ong Goan-pa, terpaksa Lenghou Tiong harus istirahat beberapa hari baru pulih kesehatannya. Lantaran mendengar bahwa Lenghou Tiong berjudi dan berkelahi dengan kaum bicokok, diam-diam Gak Put-kun dan istrinya sangat marah, maka mereka tidak datang menjenguknya.

Sampai hari kelima, Ong Kah-ki, putra Ong Tiong-kiang yang terkecil, dengan penuh semangat masuk ke kamar Lenghou Tiong dan memberi tahu, "Lenghou-toako, hari ini aku telah melampiaskan rasa dendammu. Beberapa bicokok yang menyerangmu tempo hari telah kucari dan telah kuhajar mereka sepuas-puasnya."

Terhadap peristiwa itu sebenarnya Lenghou Tiong tidak ambil pusing lagi, maka dengan hambar saja ia menjawab, "Ah, sebenarnya juga tidak perlu begitu. Peristiwa tempo hari itu adalah salahku karena aku sedang mabuk."

"Mana boleh jadi," ujar Ong Kah-ki. "Lenghou-toako adalah tamu keluarga Ong kami, orang tidak menghormatimu juga harus menghormati tamu keluarga Ong, mana boleh sembarangan dipukul orang di kota Lokyang ini tanpa dibalas? Jika kami tidak hajar kembali kaum bicokok itu, ke mana lagi muka keluarga Ong kami harus ditaruh?"

Sedikit-sedikit dia menonjolkan, "keluarga Ong", seakan-akan golok emas keluarga Ong adalah keluarga penguasa di dunia persilatan yang harus dihormati. Dasar di dalam hati Lenghou Tiong sudah kurang puas terhadap "Golok emas keluarga Ong", lebih-lebih selama beberapa hari ini perasaannya lagi murung, maka tanpa terasa tercetuslah ucapan dari mulutnya, "Terhadap beberapa bicokok begitu masakah diperlukan anggota keluarga Ong ikut turun tangan?"

Begitu kata-kata ini diucapkan barulah Lenghou Tiong merasa menyesal, namun sudah kasip.

Bab 46. Siau-go-kang-ouw-kik = Lagu Hina Kelana

Dengan wajah kurang senang segera Ong Kah-ki menjawab, "Lenghou-toako, apa maksud ucapanmu ini? Kalau tempo hari aku tidak bantu membubarkan kaum bicokok itu apakah jiwamu dapat diselamatkan sampai sekarang?"

"Ya, untuk itu aku harus mengucapkan terima kasih," sahut Lenghou Tiong dengan tersenyum hambar.

Dari nada ucapan orang, Ong Kah-ki tahu yang dimaksudkan Lenghou Tiong adalah kebalikannya dari makna kata-katanya, tentu saja Kah-ki tambah mendongkol. Segera ia berseru, "Lenghou-toako adalah murid pewaris Hoa-san-pay, sekarang ternyata tidak mampu menghadapi beberapa bicokok keroco di kota Lokyang, hehe, kalau diketahui orang luar bukankah akan dianggap bernama kosong belaka?"

Dalam keadaan iseng dan sungkan Lenghou Tiong juga tidak urus ucapan yang menyinggung itu, jawabnya tak acuh, "Ya, memangnya nama kosong saja aku tidak punya, dianggap atau tidak juga sama saja."

Pada saat itu juga di luar jendela ada orang menyela, "Adik, kau sedang bicara apa dengan Lenghou-toako?"

Ketika kerai pintu tersingkap, masuklah seseorang lagi. Kiranya Ong Kah-cun, putra Ong Tiong-kiang, yakni saudara tua Ong Kah-ki.

Melihat kedatangan saudaranya, dengan marah-marah Kah-ki berseru, "Koko, dengan maksud baik aku mewakilkan dia menghajar kaum bicokok itu, setiap bicokok itu telah kucambuki dengan babak belur, siapa tahu Lenghou ... Lenghou-tayhiap ini malah mengatakan aku suka cari perkara."

"Ah, tentu adik belum tahu," kata Ong Kah-cun. "Tadi aku mendengar dari Gak-sumoay, katanya Lenghou-toako ini sesungguhnya sangat lihai. Ketika di kelenteng Yo-ong-bio tempo hari, hanya dengan sebatang pedang saja sekaligus ia telah membutakan mata 15 musuh kelas berat dalam satu jurus, ilmu pedangnya benar-benar mahasakti dan jarang ada bandingannya di dunia ini. Haha, sungguh hebat, haha!"

Ia tertawa dengan nada mengejek, nyata dia sama sekali tidak percaya terhadap cerita Gak Leng-sian itu.

Ong Kah-ki juga ikut mengakak tawa, katanya, "Ya, boleh jadi ke-15 lawan kelas berat itu kalau dibandingkan kaum bicokok kota Lokyang kita masih selisih sekian jauhnya. Hahahaha!"

Ternyata Lenghou Tiong sama sekali tidak gusar, malahan dia ganda tertawa sambil bersimpuh dengkul dan digoyang-goyangkan, sedikit pun ia tidak pandang sebelah mata kepada kedua saudara Ong itu.

Kedatangan Ong Kah-cun ini sebenarnya atas perintah ayah dan pamannya yang menyuruhnya coba-coba menanyai Lenghou Tiong. Pek-hun dan Tiong-kiang suruh dia tanya dengan cara baik dan sekali-kali jangan membikin marah kepada tamu. Tapi sekarang demi melihat sikap Lenghou Tiong yang angkuh itu, diam-diam Kah-cun naik pitam.
Dengan suara keras ia lantas menegur, "Lenghou-heng, ada suatu urusan ingin kuminta keterangan padamu."

"Ah, jangan sungkan-sungkan," sahut Lenghou Tiong.

"Begini," kata Kah-cun, "menurut cerita Peng-ci Piauhia (kakak misan), katanya pada saat paman dan bibi kami wafat, hanya Lenghou-heng seorang saja yang menunggui kedua beliau itu."

"Memang benar," sahut Lenghou Tiong.

"Dan pesan tinggalan paman dan bibiku itu juga Lenghou-heng yang menyampaikan kepada Peng-ci bukan?"

"Tidak salah!"

"Jika begitu, di manakah Pi-sia-kiam-boh pamanku itu?" tanya Kah-cun lebih lanjut.

"Apa katamu?" teriak Lenghou Tiong sambil melonjak bangun seketika.

Khawatir kalau orang mendadak menyerang, Kah-cun melangkah mundur dua tindak, lalu berkata, "Pi-sia-kiam-boh yang diminta supaya engkau menyampaikannya kepada Peng-ci Piauhia mengapa sampai sekarang belum engkau serahkan padanya?"
Sungguh gusar Lenghou Tiong tak terkatakan karena kata-kata fitnah itu, badannya sampai gemetar. "Siapa ... siapa yang bilang ada Pi-sia-kiam-boh yang dikatakan harus kuserahkan kepada ... kepada Lim-sute?" tanyanya kemudian dengan suara terputus-putus.

"Jika tidak benar urusan ini, mengapa engkau menjadi khawatir, bicara saja gemetar?" ujar Kah-cun dengan tertawa.

Sedapatnya Lenghou Tiong menahan perasaannya, tanyanya, "Kedua saudara Ong, saat ini aku adalah tamu keluarga kalian, apa yang kau lakukan ini adalah suruhan kakekmu, ayahmu atau pendirian kalian berdua sendiri?"
"Aku cuma tanya sambil lalu saja, kenapa mesti panik?" ujar Kah-cun. "Ini tiada sangkut pautnya dengan kakek dan ayahku. Cuma Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim di Hokciu sangat termasyhur dan disegani kawan maupun lawan. Secara mendadak paman meninggal dunia dan kitab pusaka yang selalu dibawanya itu hilang pula, sebagai keluarga terdekat dengan sendirinya kami ingin tanya dan mengusutnya."

"Apa Siau-lim-cu yang menyuruhmu tanya padaku? Dia kenapa tidak datang sendiri saja?" tanya Lenghou Tiong pula.

"Hehe, Peng-ci Piauhia adalah Sutemu, masakan dia berani tanya secara blak-blakan padamu?" sahut Kah-cun sambil mengekek tawa.

Padahal Peng-ci tidak pernah bicara tentang Pi-sia-kiam-boh kepada kedua saudara Ong itu. Lantaran jawaban Kah-cun itu, tentu saja membikin Lenghou Tiong tambah sirik lagi kepada Peng-ci. Dengan tertawa dingin ia berkata pula, "Dengan dijagoi oleh golok emas keluarga Ong yang termasyhur di Lokyang ini, kini kalian serentak boleh memaksa pengakuanku. Silakan memanggil dia kemari."

"Kau adalah tetamu keluarga Ong kami, kata-kata 'memaksa pengakuanmu' sekali-kali tidak berani kami terima," sahut Kah-cun. "Kami bersaudara hanya terdorong oleh rasa ingin tahu saja, maka kami tanyakan secara iseng. Syukurlah kalau Lenghou-heng mau memberi jawaban, kalau tidak mau, ya apa boleh buat."

"Ya, aku tak mau menjawab dan kalian apa boleh buat, sekarang silakan pergi saja," kata Lenghou Tiong ketus.

Kah-cun dan Kah-ki saling pandang sendiri. Sama sekali mereka tidak menduga Lenghou Tiong akan menjawab secara ketus dan tegas sehingga pintu bicara telah ditutup.

Begitulah mereka menjadi kikuk sendiri. Sesudah batuk dua kali, Kah-cun coba mengalihkan pokok pembicaraan. Katanya, "Lenghou-heng, katanya sekali serang engkau telah membutakan, mata 15 orang musuh tangguh. Jurus serangan pedang yang begitu sakti besar kemungkinan baru saja kau dapat belajar dari Pi-sia-kiam-boh bukan?"

Sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, seketika keringat dingin membasahi sekujur badannya, kedua tangan sampai gemetar semua. Pahamlah sekarang baginya bahwa sang guru, ibu guru dan para Sute dan Sumoaynya tidak berterima kasih padanya yang telah menyelamatkan jiwa mereka, sebaliknya mereka malah menaruh curiga padanya. Kiranya mereka menganggap dirinya telah menggelapkan Pi-sia-kiam-boh tinggalan Lim Cin-lam.

Pikir Lenghou Tiong, "Selamanya mereka tidak kenal Tokko-kiu-kiam, aku tidak mau menerangkan pula rahasia Hong-thaysiokco, sudah tentu mereka heran mengapa ilmu pedangku maju sepesat ini, sampai-sampai tokoh paling lihai dari sekte pedang seperti Hong Put-peng juga bukan tandinganku, kepandaianku ini kalau bukan diperoleh dari Pi-sia-kiam-boh itu lalu didapat dari mana? Ya, maklum juga, tentang ajaran Hong-thaysiokco kepadaku itu memang terlalu mendadak dan tak tersangka-sangka, sedangkan waktu Lim Cin-lam meninggal dunia juga melulu aku sendiri yang menunggui dia, dengan sendirinya setiap orang akan berpikir bahwa Pi-sia-kiam-boh yang diincar oleh setiap jago silat itu pasti jatuh di tanganku. Bila orang lain berprasangka demikian dapat dimengerti, namun Suhu dan Sunio cukup kenal watakku bagai anak kandung, mengapa mereka pun tidak memercayai aku lagi? Hehe, mereka benar-benar terlalu memandang rendah padaku!"

Karena begitu pikirannya, dengan sendirinya wajahnya memperlihatkan rasa penasaran.
Ong Kah-ki sangat senang, segera ia berkata pula, "Nah, ucapanku tadi kena benar bukan? Di manakah Pi-sia-kiam-boh itu? Bukan maksud kami juga mengincarnya, soalnya benda itu harus kembali kepada pemilik yang sebenarnya, silakan kau serahkan Kiam-boh itu kepada Lim-piauko dan selesailah urusan ini."

"Tidak, selamanya aku tidak pernah melihat Pi-sia-kiam-boh segala," sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng. "Lim congpiauthau dan istrinya berturut-turut pernah ditawan oleh orang Jing-sia-pay dan si bungkuk Bok Ko-hong. Jika padanya tersimpan Kiam-boh apa segala tentu juga lebih dulu sudah diambil orang lain."

"Benar juga," seru Kah-cun. "Betapa bernilainya Pi-sia-kiam-boh itu, masakah pamanku mau menyimpannya di saku dan dibawa ke mana pun beliau pergi?
Sudah tentu kitab pusaka itu disimpan beliau pada suatu tempat yang dirahasiakan. Sebelum mereka wafat, karena merasa sayang bila Kiam-boh itu lenyap begitu saja, maka kau yang diberitahukan tempat penyimpanannya agar menyampaikannya pula kepada Peng-ci Piauko, siapa tahu ... siapa tahu, hehe ...."

"Siapa tahu secara diam-diam kau telah pergi mengambil kitab pusaka itu dan mengangkanginya sebagai milikmu sendiri," sambung Kah-ki.

Makin gusar Lenghou Tiong mendengar tuduhan itu, sebenarnya ia tidak mau berdebat, cuma soal ini sangat penting, dirinya tidak sudi menerima fitnahan itu dan mendapat nama kotor, segera ia berkata, "Jika betul Lim-congpiauthau memiliki Kiam-boh sehebat itu, beliau sendiri seharusnya tiada tandingan pada masa hidupnya, tapi mengapa dia tidak mampu melawan beberapa anak murid Jing-sia-pay bahkan ditawan mereka?"

"Ini ... ini ...." Ong Kah-ki gelagapan tak bisa menjawab.

Sebaliknya Ong Kah-cun adalah seorang pandai putar lidah, katanya, "Kejadian di dunia ini memang sering-sering sangat kebetulan. Lenghou-heng sendiri sudah berhasil mempelajari Pi-sia-kiam-hoat yang sakti, tapi terhadap bicokok keroco saja tidak mampu melawan sehingga kena dihajar oleh mereka sampai babak belur. Apa sebabnya bisa terjadi demikian? Haha, haha, sandiwaramu ini agak keterlaluan sedikit, Lenghou-heng masakah seorang murid pewaris Hoa-san-pay bisa dihajar oleh beberapa bicokok di kota Lokyang, setiap orang pasti tidak percaya kepada kepalsuanmu itu? Dan kalau tidak dapat dipercaya, tentu di balik kejadian itu ada apa-apanya. Nah, Lenghou-heng, kukira lebih baik kau mengaku terus terang saja."

Kalau menuruti watak Lenghou Tiong, sebenarnya ia tidak ambil pusing terhadap Kim-to (golok emas) tiada tandingan dan keluarga Ong apa segala. Soalnya ia tidak sudi dirinya dicurigai guru, ibu guru dan Sumoaynya. Maka dengan tegas ia berkata pula, "Selama hidup Lenghou Tiong tidak pernah melihat Pi-sia-kiam-boh segala. Pesan Lim-congpiauthau sebelum wafat juga telah kusampaikan kepada Lim-sute tanpa mengurangi satu kalimat pun.
Jika Lenghou Tiong ternyata bohong dan menipu, dosa ini pantas dihukum mati dan terkutuklah dia."

Habis berkata ia berdiri tegak dengan sikap kereng.

Ong Kah-cun tersenyum, katanya, "Urusan penting yang menyangkut dunia persilatan begini jika cukup diselesaikan dengan bersumpah saja, hah, rasanya Lenghou-heng terlalu kekanak-kanakan dan orang lain semuanya tolol."

"Habis bagaimana kalau menurut pendapatmu?" tanya Lenghou Tiong dengan menahan rasa gusarnya.

"Maaf, kami ingin coba menggeledah badanmu," sahut Kah-ki. Setelah merandek sejenak, lalu menyambung pula dengan cengar-cengir, "Anggap saja seperti tempo hari waktu Lenghou-heng dibekuk oleh kawanan bicokok itu dan tak bisa berkutik, mereka tentu juga akan menggerayangi badanmu."

"Hm, kalian ingin menggeledah badanku? Memangnya kau anggap Lenghou Tiong ini maling?" jengek Lenghou Tiong.

"Mana kami berani beranggapan demikian," ujar Kah-cun. "Tapi kalau Lenghou-heng menyatakan tidak pernah ambil Pi-sia-kiam-boh itu, lalu kenapa mesti takut digeledah orang? Sesudah digeledah, jika memang betul tiada Kiam-boh itu, tentu kau pun akan bersih dari segala tuduhan, cara demikian bukankah sangat baik?"

"Baik," sahut Lenghou Tiong mengangguk. "Coba panggil dulu Lim-sute dan Gak-sumoay, biar mereka berdua ikut menjadi saksi."

Tapi Ong Kah-cun khawatir kalau dirinya pergi jangan-jangan adiknya seorang diri akan disergap Lenghou Tiong atau kalau mereka pergi berduaan kesempatan itu tentu akan digunakan oleh Lenghou Tiong untuk menyembunyikan Pi-sia-kiam-boh dan takkan ditemukan lagi bila digeledah.

Maka dengan ngotot Kah-cun berkata, "Kalau mau geledah harus segera geledah, bila Lenghou-heng tidak berdosa, kenapa mesti banyak alasan lagi?"

Namun Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, "Jika cuma kalian berdua saja rasanya tidak sesuai untuk menggeledah badanku."

Semakin Lenghou Tiong tidak mau digeledah semakin yakin kedua saudara Ong itu bahwa pasti Lenghou Tiong mengangkangi Kiam-boh itu. Karena ingin mencari pahala dan mendapat pujian kakek dan ayahnya, pula mereka sudah lama mendengar Pi-sia-kiam-hoat itu sangat lihai, bila kitab itu nanti diketemukan tentu Peng-ci akan memberi pinjam kepada mereka.

Segera Kah-cun memberi isyarat kepada adiknya, lalu berkata, "Lenghou-heng, janganlah kau tidak mau diajak bicara secara halus tapi minta digunakan kekerasan, bila sampai terjadi apa-apa tentu akan kurang baik bagi hubungan kita."

Sembari bicara kedua saudara itu terus mendesak maju. Dengan membusungkan dada Ong Kah-ki lantas menerjang ke depan.

Ketika Lenghou Tiong mengangkat tangan menolaknya, Kah-ki berteriak teriak, "Aduh, kau berani memukul orang?"

Berbareng kedua tangannya terus mengunci lengan lawan.

Sebenarnya pengalaman Lenghou Tiong sudah sangat luas, kepandaiannya juga jauh lebih tinggi daripada kedua pemuda she Ong itu. Ketika Kah-ki menerjang maju segera ia tahu anak muda itu tidak bermaksud baik, maka tangannya yang menolak ke depan itu sebenarnya sudah siap dengan berbagai gerakan susulan yang tersembunyi.

Celakanya dia sudah kehilangan tenaga dalam, walaupun tangan tetap bergerak menurut rencana, tapi sama sekali tak bertenaga, maka dengan gampang saja Ong Kah-ki dapat melaksanakan maksud kejinya, "krek", tahu-tahu Lenghou Tiong merasa lengan kesakitan tangan telah dipegang oleh Kah-ki dan dipuntir, nyata ruas tulang lengannya telah terlepas, keseleo.

"Lekas geledah, Koko!" seru Kah-ki cepat.

Segera Kah-cun menjulurkan sebelah kakinya untuk menahan bawah perut Lenghou Tiong untuk berjaga jaga kalau Lenghou Tiong menendang. Menyusul tangan lantas menggerayangi baju Lenghou Tiong dan mengeluarkan seluruh isinya.

Mendadak sebuah buku kecil kena dirogoh keluar. Serentak kedua orang bersorak gembira, "Ini dia, Pi-sia-kiam-boh milik Lim-kohtio (paman Lim) sudah ditemukan!"

Buru-buru Kah-cun dan Kah-ki membuka buku kecil itu. Tertampak pada halaman pertama tertulis "Siau-go-kangouw-kik" (lagu Hina Kelana) dalam bentuk huruf kembang.

Kedua saudara Ong juga tidak tinggi sekolahnya, jika huruf-huruf itu ditulis dalam huruf biasa tentu akan dapat mereka baca, tapi sekarang huruf kembang yang aneh itu tak dikenal oleh mereka. Waktu mereka membalik halaman lain, semuanya juga tertulis dalam huruf-huruf yang aneh.

Mereka tidak tahu buku itu berisi not lagu bagi permainan kecapi dan seruling, yang mereka pikir adalah buku ini pasti Pi-sia-kiam-boh. Maka tanpa ragu lagi mereka terus berteriak-teriak, "Pi-sia-kiam-boh! Ini dia Pi-sia-kiam-boh!"

"Ayo lekas bawa dan perlihatkan kepada kakek!" seru Kah-cun. Dan buku not musik itu lantas buru-buru dibawa lari pergi.

Kah-ki masih belum puas, sebelum pergi ia tendang pula pinggang Lenghou Tiong sambil memaki, "Tidak punya malu, maling cilik!"

Bahkan ia meludahi pula muka Lenghou Tiong.

Mula-mula dada Lenghou Tiong serasa hampir meledak saking marahnya. Tapi sesudah dipikir lagi, ia percaya Ong Goan-pa pasti bukan manusia kasar dan hijau seperti kedua cucunya yang kurang ajar itu, sebentar bila buku itu diketahui adalah buku not musik tentu dia akan datang sendiri dan minta maaf padanya.

Cuma kedua tulang lengannya yang keseleo itu terasa sakit tidak kepalang. Pikirnya, "Tenagaku sudah punah, terhadap beberapa bicokok saja tak mampu melawan, keadaanku mirip seorang cacat, apa artinya pula hidup di dunia ini?"

Ia berbaring di tempat tidurnya, sampai agak lama barulah terdengar suara tindakan orang, kedua saudara Ong muda itu datang lagi.

"Ayo pergi menemui kakekku," jengek Ong Kah-cun.

"Tidak mau!" bentak Lenghou Tiong dengar gusar.
"Kakekmu tidak datang minta maaf padaku, untuk apa aku pergi menemui dia?"

Kah-cun dan Kah-ki terbahak-bahak geli. "Minta kakek mohon maaf padamu? Hahahaha, jangan kau mimpi di siang bolong! Ayo, berangkat!" seru Kah-ki.
Berbareng mereka terus menarik bangun Lenghou Tiong dan diseret keluar.

Sungguh gusar Lenghou Tiong tak terlukiskan, kontan ia mencaci maki, "Huh, golok emas keluarga Ong sok sombong mengaku sebagai kaum kesatria, tapi perbuatan sewenang-wenang begini pada hakikatnya teramat kotor dan tidak tahu malu."

"Plok", Kah-cun terus menggambar muka Lenghou Tiong sehingga mengeluarkan darah.

Namun Lenghou Tiong sangat keras kepala, ia masih terus mencaci maki sampai akhirnya kedua saudara Ong itu menyeretnya ke ruangan besar di bagian belakang.

Tertampak Ong Goan-pa dan Gak Put-kun serta istrinya sudah duduk di situ. Ong Pek-hun dan Ong Tiong-kiang duduk di sebelah Ong Goan-pa.

Lenghou Tiong masih terus memaki, "Golok emas keluarga Ong ternyata juga kotor dan rendah seperti ini di dunia persilatan."

"Tutup mulut, Tiong-ji," bentak Gak Put-kun sambil menarik muka.

Karena bentakan sang guru barulah Lenghou Tiong berhenti memaki. Walaupun demikian ia tetap bersikap angkuh dan melotot ke arah Ong Goan-pa.

Tangan Ong Goan-pa tampak memegangi buku not musik yang dirampas dari Lenghou Tiong itu.
Katanya kemudian, "Lenghou-hiante, Pi-sia-kiam-boh ini dari mana memperolehnya?"

Lenghou Tiong tidak menjawab, sebaliknya ia menengadah dan mengakak tawa, sampai lama ia masih bergelak tertawa.

"Tiong-ji, orang tua mengajukan pertanyaan padamu harus kau jawab dengan sejujurnya, mengapa kau bersikap kurang sopan begini? Macam apa ini?" omel Gak Put-kun.

"Suhu," jawab Lenghou Tiong, "dalam keadaan terluka parah, badan Tecu sedikit pun tidak bertenaga, tapi cara bagaimana kedua bocah ingusan itu memperlakukan diriku, hehe, apakah ini caranya keluarga Ong memerhatikan tetamunya?

"Jika tamu terhormat dan sahabat baik betapa pun keluarga Ong kami tidak berani berlaku kurang adat," ujar Ong Tiong-kiang, "Tapi kau mengingkari pesan orang, ini kan perbuatan sebangsa maling dan rampok, sebagai keluarga terhormat mana kami dapat menganggapmu sebagai sahabat lagi?"

"Kalian kakek dan cucu tiga turunan berkeras mengatakan buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh, tapi apakah kalian sendiri pernah melihat Kiam-boh itu? Dari mana kalian dapat mengetahui buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh?" tanya Lenghou Tiong dengan angkuh.

Saking gusarnya Lenghou Tiong berbalik tertawa, katanya, "Jika kau katakan buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh, maka kebalikan anggap betul buku itu memang Kiam-boh. Semoga keluarga Ong kalian dapat meyakinkannya menurut petunjuk kitab itu sehingga berhasil memiliki Kiam-hoat yang tiada tandingan di dunia ini, selanjutnya keluarga Ong di Lokyang akan disegani karena ilmu pedang dan goloknya yang tiada taranya di dunia persilatan ini. Haha, hahaha!"

"Lenghou-hiante," Ong Goan-pa, "jika ada kesalahan cucuku kepadamu, hendaknya kau pun jangan menyesal. Setiap manusia tentu mempunyai kesalahan, tapi kalau sadar akan kesalahannya dan mau memperbaiki, inilah yang baik. Sesudah kau menyerahkan Kiam-boh ini, mengingat Suhumu masakah kami masih sampai hati untuk mengusut lebih jauh padamu?
Persoalan ini selanjutnya siapa pun jangan mengungkatnya lagi. Sekarang biarlah kusambung dulu lenganmu."

Habis bicara ia terus berbangkit dan mendekati Lenghou Tiong hendak memegang tangannya.

Namun Lenghou Tiong lantas mundur dua-tiga tindak, teriaknya, "Tidak perlu! Lenghou Tiong tidak sudi menerima kebaikanmu!"

"Aku memberi kebaikan apa?" kata Goan-pa melengak.

"Aku Lenghou Tiong bukanlah patung yang tidak punya perasaan," teriak Lenghou Tiong. "Lenganku ini tidak dapat diperlakukan sesuka hati kalian, mau dipatahkan lantas dipatahkan, ingin disambung lantas disambung, huh!"

Ia terus melangkah ke hadapan Gak-hujin dan berkata, "Sunio, lenganku ini ...."

Sebelum habis ucapannya Gak-hujin sudah tahu maksudnya. Nyonya Gak itu menghela napas gegetun, ia lantas membetulkan kedua tulang lengan Lenghou Tiong yang terlepas ruasnya itu.

Lengan Lenghou Tiong itu hanya keseleo saja, tulangnya tidak patah, setiap orang persilatan yang pernah belajar Kim-na-jiu-hoat tentu paham cara menyambung tulang, maka dengan mudah saja Gak-hujin dapat membetulkan lengan yang keseleo itu.

Kemudian Lenghou Tiong berkata pula, "Sunio, sudah terang buku itu adalah buku not musik kecapi tujuh senar dan seruling, tapi rupanya keluarga Ong mereka buta huruf semua dan ngotot mengatakan buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh segala. Sungguh suatu lelucon mahabesar di dunia ini."

"Ong-loyacu," kata Gak-hujin kemudian, "apakah buku itu boleh coba kulihat?"

"Silakan Gak-hujin melihatnya," sahut Ong Goan-pa sambil mengangsurkan buku not musik itu.

Sesudah membalik-balik beberapa halaman, Gak-hujin sendiri juga tidak paham isinya, katanya kemudian, "Tentang not musik kecapi dan seruling aku tidak paham, tapi kalau kitab ilmu silat sih sering kubaca. Buku kecil ini agaknya tidak mirip Kiam-boh segala. Ong-loyacu, apakah di kediaman kalian ini ada orang yang mahir memetik kecapi dan meniup seruling, boleh coba mengundangnya keluar dan mencobanya, tentu segala persoalan akan mudah dipecahkan."

Goan-pa merasa sangsi sebab khawatir buku itu jangan-jangan memang betul adalah buku not musik dan jika demikian berarti dia akan malu besar.

Sebaliknya Ong Kah-ki adalah pemuda yang bodoh, tanpa disuruh ia sudah berteriak, "Yaya (kakek), Ih-suya, juru tulis kita itu biasanya mahir meniup seruling, apa perlu kita memanggilnya ke sini untuk mencobanya. Sudah terang buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh, masakah dikatakan buku musik?"

"Jenis kitab pusaka ilmu silat di kalangan Bu-lim banyak macam ragamnya, sering kali orang ingin merahasiakan kepandaian tunggalnya dan sengaja menuliskan pelajaran ilmu silat sebagai not musik dan cara lain, hal demikian sebenarnya juga tidak perlu diherankan," ujar Ong Goan-pa.

"Jika di sini ada seorang Ih-suya yang mahir meniup seruling, maka buku itu Kiam-boh atau Siau-boh (buku seruling) tentu akan segera diketahui sesudah dilihat olehnya," ujar Gak-hujin.
Tiada jalan lain, terpaksa Ong Goan-pa menurut dan menyuruh Kah-ki pergi memanggil Ih-suya.

Juru tulis she Ih itu ternyata seorang laki-laki kurus berusia 50-an, berkumis ala kumis tikus, pakaiannya cukup rajin.

"Ih-suya," kata Ong Goan-pa, "silakan periksa apakah ini buku not musik?"

Ih-suya itu membalik-balik beberapa halaman bagian not kecapi lalu katanya sambil menggeleng kepala, "Untuk ini hamba tidak terlalu paham!"

Ketika ia membalik-balik lagi bagian not seruling, tiba-tiba wajahnya berseri-seri, mulutnya mulai bernyanyi-nyanyi kecil, dua jarinya ketuk-ketuk di atas meja menurut irama.

Sesudah bernyanyi nyanyi kecil sejenak, tiba-tiba ia menggeleng kepala pula dan berkata, "Ah, tidak, tidak betul!"

Lalu mulutnya mulai mengiang-ngiang lagi, mendadak nadanya meninggi, sekonyong-konyong berubah menjadi rendah sekali sampai suaranya serak dan tak bisa diteruskan.
Ia berkerut kening dan berkata, "Tidak, tidak mungkin begini, ini sungguh sukar ... sukar dimengerti ...."

"Apakah isi buku ini ada bagian-bagian yang menyangsikan? Adakah perbedaan mencolok dengan buku musik biasa?" tanya Goan-pa.

Ih-suya membalik kembali halaman permulaan bagian not seruling dan berkata, "Silakan Loya melihat ini, di sini dimulai dengan nada sedang, lalu mendadak berubah tinggi, kemudian berubah lagi nada paling rendah, ini benar-benar sangat bertentangan nada tinggi dan rendah demikian."

"Kau sendiri tidak becus, apakah orang lain juga tiada seorang pun mampu?" jengek Lenghou Tiong.

"Ya, betul juga ucapanmu," sahut Ih-suya sambil manggut-manggut. "Cuma di dunia ini kalau betul ada orang yang mampu membawakan lagu demikian, maka aku sungguh kagum tak terhingga, kagum tak terkatakan. Ya, kecuali ... kecuali ...."

"Apa kau maksudkan ini bukan not seruling biasa, lagu di dalamnya pada hakikatnya tidak dapat dibunyikan dengan seruling?" demikian Ong Goan-pa menyela.

"Ya, memang lain daripada biasa," sahut Ih-suya, "yang pasti aku tidak mampu memainkan lagu ini kecuali ...."

"Kecuali siapa? Apakah di sini ada seorang ahli yang mampu membawakan lagu ini?" Gak-hujin menegas.

"Sesungguhnya aku pun tidak berani tanggung, cuma ... cuma ... Lik-tiok-ong (si kakek bambu hijau) di kota timur itu, beliau mahir memetik kecapi dan pandai meniup seruling pula, mungkin beliau dapat membawakan lagu ini. Kepandaiannya meniup seruling jauh lebih mahir daripadaku, bedanya benar-benar sangat jauh."

"Kalau bukan not seruling biasa, di dalamnya tentu ada sesuatu yang ganjil," kata Ong Goan-pa.

Ong Pek-hun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini mendadak membuka suara, "Ayah, pelajaran Liok-hap-to dari Pat-kwa-bun di Thociu sana bukankah juga tertulis di dalam sejilid buku not musik?"

Semula Ong Goan-pa melengak, tapi segera ia paham bahwa putranya itu sengaja membual, sebab Pat-kwa-bun di Thociu itu ada hubungan famili dengan keluarga Ong, namun selama ini tidak pernah terdengar tentang ajaran ilmu goloknya tertulis di dalam buku musik segala. Ia percaya Gak Put-kun juga tak mengetahui akan hal ini, maka dengan mengangguk ia menjawab, "Ya, benar juga. Beberapa tahun yang lalu Bok-cinken dari Pat-kwa-bun juga pernah menyinggung tentang hal ini. Sebenarnya ilmu silat ditulis dalam not musik adalah sangat jamak, sedikit pun tidak perlu diherankan."

"Huh, jika tidak perlu diherankan, maka numpang tanya, macam apakah Kim-hoat yang tertulis dalam not musik ini, silakan Ong-loyacu memberi keterangan," jengek Lenghou Tiong.

"Tentang ini ... ai menantuku itu sudah meninggal dunia, rahasia dalam not musik di dunia selain Lenghou-laute sendiri agaknya tidak orang kedua lagi yang tahu," demikian jawab Ong Goan-pa.

Nyata bukan saja ilmu golok Ong Goan-pa sangat lihai, bahkan bicaranya juga sangat tajam. Di balik ucapannya itu kembali ia menuduh Lenghou Tiong yang telah menggelapkan Pi-sia-kiam-boh dan telah mempelajari isi kitab itu.

Sebenarnya kalau Lenghou Tiong mau membela diri secara mudah dan tepat, dengan terus terang ia dapat menerangkan asal usul buku "Hina Kelana" itu. Tapi bila ia beri tahukan, akibatnya akan sangat luas, sebab terpaksa ia juga harus menceritakan terbunuhnya jago Ko-san-pay, yaitu Hui Pin, oleh Bok-taysiansing dari Heng-san-pay. Dan kalau gurunya mengetahui lagu itu ada sangkut pautnya dengan gembong Mo-kau yang bernama Kik Yang, tentu juga buku itu akan dimusnahkan. Jika hal ini terjadi, maka berarti dia telah mengingkari tugas yang diterimanya dari orang yang menyerahkan buku itu.

Segera ia berkata pula, "Tadi Ih-suya bilang di kota timur ada seorang Lik-tiok-ong yang mahir seni musik, kenapa kita tidak memperlihatkan buku musik ini padanya dan minta pertimbangan."

Goan-pa menggeleng, katanya, "Lik-tiok-ong itu sangat aneh, suka angin-anginan dan seperti orang sinting, terhadap orang lain sikapnya selalu acuh tak acuh. Orang demikian mana dapat dipercaya omongannya?"

"Tapi urusan ini betapa pun juga harus kita bikin terang," ujar Gak-hujin. "Tiong-ji adalah murid pertama kami, Peng-ci juga murid kami, kami tidak boleh pilih kasih dan membela salah satu pihak. Sebenarnya siapa yang salah, tiada jeleknya kita coba-coba minta pertimbangan Lik-tiok-ong itu."

Gak-hujin tidak enak untuk mengatakan buku itu adalah sebab pertimbangan antara Lenghou Tiong dan keluarga Ong, tapi dialihkannya pihak yang berselisih kepada Lim Peng-ci.

Segera Gak Put-kun menyokong usul sang istri, "Benar! Ih-suya, bagaimana kalau engkau mengirim orang membawa tandu pergi memapak Lik-tiok-ong ke sini?"

"Sifat orang tua itu sangat aneh," sahut Ih-suya. "Jika orang lain ingin minta pertolongannya, bila dia tidak mau, biarpun menyembah padanya juga dia takkan gubris. Sebaliknya kalau dia sudah mau ikut campur, maka hendak ditolaknya juga tidak dapat."

"Sifat demikian sama dengan kaum kita," kata Gak-hujin. "Agaknya Lik-tiok-ong ini adalah Cianpwe kalangan Bu-lim. Suko, kita benar-benar terlalu picik dan kerdil."

"Lik-tiok-ong bukan orang Bu-lim melainkan cuma seorang tukang bambu yang kerjanya hanya pandai membuat keranjang bambu dan tikar bambu," tutur Goan-pa sambil tertawa. "Cuma dia pun mahir memetik kecapi dan pandai meniup seruling, pula dapat melukis, mengukir bambu, sebab itulah penduduk setempat rada menghormat padanya."

"Tokoh demikian mana boleh kita lewatkan begini saja," ujar Gak-hujin, "Ong-loyacu sudilah engkau mengiringi kami pergi menyambangi si tukang bambu yang istimewa itu."

Karena Gak-hujin sudah mengajak, terpaksa Ong Goan-pa menurut, dengan anak cucunya dan Gak Put-kun suami istri serta anak murid Hoa-san-pay mereka lantas berangkat ke kota timur dengan Ih-suya sebagai petunjuk jalan.

Sesudah melalui beberapa jalan besar dan kecil, akhirnya sampai di suatu gang yang agak sempit. Ujung gang itu penuh semak-semak bambu yang rimbun dan luas, pemandangan cukup indah.

Baru saja mereka memasuki gang itu sudah terdengar suara kecapi yang merdu. Di tengah sunyi itu sungguh amat berbeda keramaian di jalan lain di kota Lokyang.

"Lik-tiok-ong ini benar-benar dapat menikmati kehidupannya yang tenteram," bisik Gak-hujin kepada sang suami.

Pada saat itu juga mendadak terdengar suara kecapi lantas berhenti juga. Terdengar suara seorang tua bertanya, "Tamu agung yang sudi berkunjung ke gubuk yang kotor ini, entah ada sejilid not kecapi dan seruling yang aneh ingin minta pendapatmu."

"Ada not seruling ingin minta pendapatku? Hehe, ini benar-benar terlalu menghargai si tukang bambu tua," sahut Lik-tiok-ong.

Belum Ih-suya bersuara lagi, buru-buru Ong Kah-ki sudah menimbrung, "Ong-loyacu dari keluarga golok emas datang berkunjung."

Ia sengaja menonjolkan merek sang kakek yang termasyhur dan disegani di kota Lokyang dan mengira seorang tukang bambu tua tentu akan cepat ke luar menyambut.

Tak tersangka Lik-tiok-ong itu malah mendengus, katanya, "Hm, golok emas atau golok perak segala, apa gunanya kalau tidak lebih berharga daripada golok pembelah bambuku dari besi rongsokan ini. Tukang bambu tua tidak pergi menyambangi Ong-loyacu, maka Ong-loyacu yang perlu berkunjung pada si tukang bambu tua."

Kah-ki menjadi gusar, teriaknya, "Yaya, tukang bambu tua ini adalah orang tidak tahu adat, buat apa bertemu dengan dia? Lebih baik kita pulang saja!"

Tapi Gak-hujin lantas berkata, "Toh kita sudah datang di sini, tiada alangannya kita minta pendapat Lik-tiok-ong tentang not musik ini."

Ong Goan-pa hanya mendengus saja tanpa menjawab. Sedangkan Ih-suya lantas menerima buku not dan melangkah masuk ke tengah semak bambu yang rimbun itu.

Terdengar suara Lik-tiok-ong berkata, "Baiklah, boleh kau taruh di situ!"

"Tolong tanya Tiok-ong, apakah ini benar-benar not musik atau rumus rahasia dari sesuatu ilmu silat yang sengaja ditulis dalam bentuk not musik?" tanya Ih-suya.

"Rumus rahasia ilmu silat apa? Sudah tentu ini adalah not kecapi," jawab Lik-tiok-ong. Lalu suara kecapi mulai menggema, mengalun merdu. Sejenak Lenghou Tiong mendengarkan, segera teringat olehnya lagu yang dibunyikan kecapi ini memang benar adalah lagu yang dipetik oleh Lau Cing-hong tempo hari. Sekarang lagunya masih ada, tapi orangnya sudah meninggal, tanpa terasa hatinya merasa pilu.

Bab 47. Lenghou Tiong Belajar Main Kecapi

Tidak lama kemudian mendadak suara kecapi itu meninggi, makin keras makin tinggi, suaranya teramat tajam melengking, setelah lebih tinggi pula beberapa iramanya, sekonyong-konyong "cring", senar kecapi itu putus lagi seutas.
Terdengar Lik-tiok-ong bersuara heran, katanya, "Aneh, not kecapi ini sungguh sangat aneh dan sukar dimengerti."

Seketika Ong Goan-pa saling pandang dengan anak cucunya, diam-diam mereka merasa senang.

Dalam pada itu terdengar Lik-tiok-ong sedang berkata, "Biar kucoba lagi not seruling ini."

Menyusul suara seruling lantas berkumandang pula dari tengah-tengah semak bambu.

Semula suara seruling itu sangat merdu menawan hati. Tapi waktu nadanya berubah menjadi rendah, bahkan makin lama makin rendah sampai hampir-hampir tak terdengar, lalu irama seruling itu menjadi parau dan tidak enak didengar lagi.

Lik-tiok-ong menghela napas, katanya, "Ih-laute, kau sendiri dapat meniup seruling, tapi nada yang begini rendah mana dapat ditiup keluar? Not kecapi dan seruling ini rasanya tidak palsu, tapi orang yang menggubah lagu ini rupanya sengaja mengada-ada dan bergurau dengan orang lain. Boleh kau pulang dulu, biar aku coba-coba lagi mempelajarinya lebih mendalam."

"Mana Kiam-bohnya?" tanya Ong Tiong-kiang.

"Kiam-boh?" Ih-suya melengak. "O, Lik-tiok-ong bilang, sementara ditinggalkan di sini dan akan dipelajarinya lebih mendalam."

"He, lekas mengambilnya kembali," seru Tiong-kiang. "Itu adalah Kiam-boh yang tak ternilai, entah berapa banyak orang persilatan selalu mengincar dan ingin memilikinya, mana boleh sembarangan ditinggalkan pada seorang yang tidak berkepentingan?"

Ih-suya mengiakan lagi dan baru saja ia hendak putar balik ke tengah semak-semak bambu sana, tiba-tiba terdengar seruan Lik-tiok-ong, "Eh, Kokoh (bibi), mengapa engkau keluar?"

Keruan semua merasa heran. "Berapa kira-kira umur Lik-tiok-ong itu?" tanya Ong Goan-pa kepada Ih-suya dengan suara bertanya.
"Lebih dari 70 tahun, mungkin sudah hampir 80 tahun," sahut Ih-suya.

Diam-diam semua orang berpikir, "Seorang kakek berusia hampir 80 tahun dan masih punya seorang bibi, maka nenek ini mungkin sudah ada seratus tahun umurnya?"

Dalam pada itu terdengar suara seorang perempuan sedang menjawab, ditilik dari suaranya toh belum terlalu tua.
"Bibi, silakan lihat, buku musik ini rada-rada aneh," demikian terdengar Lik-tiok-ong lagi berkata.

Kembali terdengar perempuan tua itu bersuara "ehm", lalu suara kecapi mulai berbunyi, agaknya iramanya sedang disetel dulu, lalu berhenti sejenak, mungkin senar yang putus tadi sedang disambung, habis itu disetel lagi dan akhirnya baru mulai dipetik.

Semula irama kecapi itu sama dengan permainan Lik-tiok-ong tadi, tapi kemudian mulai berbeda, nada kecapi itu makin lama makin tinggi, namun irama yang dibawanya itu berjalan lancar dan gampang saja dapat mengikuti nada yang tinggi itu.

Sungguh girang Lenghou Tiong tak terkatakan, sayup-sayup suara kecapi itu seperti keadaan pada malam itu ketika Lau Cing-hong memetik kecapi dan membawakan lagu Hina Kelana ini.

Walaupun Lenghou Tiong tidak paham seni musik, tapi merasa lagu yang dibawakan nenek itu sama dengan lagu yang dibawakan Lau Cing-hong dahulu, cuma iramanya agak berbeda. Irama kecapi yang dipetik si nenek ini ulem meresap, kedengarannya sangat menyegarkan, sedikit pun tidak menimbulkan semangat yang bergolak-golak seperti irama yang dibawakan Lau Cing-hong.

Tidak lama kemudian suara kecapi mulai lompat seakan-akan semakin menjauh, mirip si pemetik kecapi itu telah pergi belasan meter jauhnya, lalu makin menjauh seakan-akan sudah beberapa li dan akhirnya makin perlahan dan makin lirih sehingga tak terdengar pula. Lagu itu belum selesai dipetik, hanya saja suaranya terlalu rendah dan jauh sehingga sukar didengar.

Ong Goan-pa, Gak Put-kun dan lain-lain juga tidak paham seni musik, namun tanpa terasa mereka pun tenggelam dalam lamunan suara kecapi itu seakan-akan ikut terbawa ke tempat yang amat jauh oleh suara musik itu. Ketika suara kecapi itu berhenti, seketika terdengar suara seruling yang halus mulai berbunyi di samping suara kecapi.

Suara seruling itu mengalun merdu dan perlahan makin mendekat. Tiba-tiba pada seruling itu berubah melengking tinggi, lalu merendah pula, sekonyong-konyong berubah perlahan, lalu berbunyi keras lagi.

Tiba-tiba suara seruling seakan-akan sekaligus memancarkan macam-macam suara yang berbeda, tapi lambat laun macam-macam suara itu berkurang satu per satu dan akhirnya lenyap semua, suara seruling itu telah berhenti.

Lama juga suara seruling itu berhenti barulah semua orang seperti baru sadar dari bermimpi, sungguh sukar dipercaya bahwa sebuah kecapi tujuh senar dan sebatang bambu kecil itu mampu mengeluarkan macam-macam nada suara yang begitu aneh.

Gak-hujin menghela napas panjang penuh kekaguman, katanya, "Sungguh hebat. Lagu apakah itu tadi, Tiong-ji?"

"Lagu itu disebut 'Lagu Hina Kelana'," sahut Lenghou Tiong. "Kepandaian nenek itu sungguh sangat hebat, baik kecapi maupun seruling telah dimainkannya dengan bagus sekali."

"Meski lagu itu sangat bagus dan aneh, tapi memang diperlukan seorang ahli musik seperti si nenek baru dapat memperdengarkan keindahan lagu itu," kata Gak-hujin "Musik sebagus ini agaknya kau pun baru pertama kali ini mendengarnya "

"Tidak, apa yang Tecu dengar dahulu jauh lebih bagus daripada barusan ini," kata Lenghou Tiong.

"Mana mungkin!" ujar Gak-hujin. "Masakah di dunia ini masih ada orang yang lebih mahir daripada nenek ini dalam hal memetik kecapi dan meniup seruling?"

"Lebih pandai sih memang tidak," sahut Lenghou Tiong. "Cuma yang pernah Tecu dengar dahulu adalah paduan suara dari dua orang pemain, yang satu memetik kecapi dan yang lain meniup seruling, yang dibawakan juga lagu Hina Kelana ini ...."

Belum habis ucapannya, rupanya si nenek yang tak kelihatan di balik semak bambu itu pun mendengar apa yang dikatakan Lenghou Tiong, terdengar suara kecapi dibunyikan perlahan beberapa kali dan sayup-sayup terdengar suaranya berkata, "Paduan suara kecapi dan seruling, di dunia ini ke mana lagi untuk mencari seorang demikian ini?"

Kemudian terdengar Lik-tiok-ong berseru, "Ih-suya, buku ini memang betul berisi not kecapi dan seruling, ini baru saja dimainkan oleh bibiku, sekarang boleh kau ambil kembali buku ini."

Ih-suya mengiakan, lalu masuk ke tengah semak bambu, waktu keluar lagi dia sudah membawa buku musik itu.

Terdengar Lik-tiok-ong berkata pula, "Betapa bagus lagu yang tertulis itu sungguh tiada bandingannya di dunia ini. Buku ini adalah benda pusaka dan jangan sekali-kali jatuh ke tangan orang biasa. Kau tidak dapat memainkannya dan jangan sekali-kali memaksakan diri mencobanya, kalau tidak menurut tentu akan merugikan kau sendiri."

Kembali Ih-suya mengiakan, lalu buku not musik itu diserahkannya kembali kepada Ong Goan-pa.

Dengan telinga sendiri Goan-pa sudah mendengar permainan kecapi dan seruling, ia percaya isi buku itu memang betul adalah not musik, segera ia pun mengembalikan buku itu kepada Lenghou Tiong dan berkata, "Maaf!"

Lenghou Tiong mendengus dan sebenarnya hendak melontarkan beberapa patah kata ejekan, tapi Gak-hujin keburu mengedipinya sehingga dia urung membuka mulut.

Karena merasa kehilangan muka, Ong Goan-pa dan anak cucunya mendahului meninggalkan tempat itu disusul oleh Gak Put-kun. Sebaliknya Lenghou Tiong masih berdiri termangu-mangu di situ sambil memegangi buku not musik itu.

"Tiong-ji, apa kau tidak ikut pulang?" tegur Gak-hujin.

"Sebentar lagi segera Tecu akan pulang," sahut Lenghou Tiong.

"Hendaknya lekas pulang untuk mengaso," pesan Gak-hujin. "Lenganmu baru saja keseleo, tidak boleh menggunakan tenaga keras."

Lenghou Tiong mengiakan.

Sesudah orang lain sudah pergi semua, suasana di gang kecil itu menjadi sunyi senyap. Hanya suara berkereseknya daun bambu bertiup angin mengiringi Lenghou Tiong yang masih berdiri melamun di situ sambil memegangi buku musik.

Teringat olehnya dahulu di tengah malam Lau Cing-hong bertemu dengan Kik Yang, di sanalah kedua tokoh itu telah menciptakan lagu yang ajaib ini. Sekarang walaupun si nenek di tengah semak-semak bambu itu juga mahir memetik kecapi dan meniup seruling dengan sama menakjubkan, namun sayang dia hanya memainkan kedua jenis alat musik itu secara terpisah dan Lik-tiok-ong itu ternyata tidak mampu memainkannya bersama dia. Agaknya paduan suara kecapi dan seruling dalam membawakan lagu Hina Kelana ini selanjutnya akan tamat riwayatnya dan tidak dapat didengar lagi untuk kedua kalinya.

Kemudian Lenghou Tiong berpikir pula, "Lau-susiok dan Kik-tianglo sebenarnya adalah musuh, yang satu adalah tokoh golongan Cing-pay dan yang lain adalah gembong Mo-kau, tapi akhirnya mereka merasa sepaham dan mengikat persahabatan sehidup semati, bahkan menciptakan 'Lagu Hina Kelana' yang bagus ini bersama. Ketika mereka berdua meninggal dunia bersama, jelas mereka tidak merasa menyesal sedikit pun, jauh lebih senang daripada hidupku sebatang kara di dunia. Laksute yang paling menghormat dan cinta padaku itu malah terbinasa oleh tutukanku sendiri."

Teringat akan kematian Liok Tay-yu yang mengenaskan itu, tanpa terasa Lenghou Tiong berduka, air matanya menetes jatuh di atas buku musik itu, akhirnya suara tangisnya yang tersenggak-sengguk terdengar pula.

Tiba-tiba suara Lik-tiok-ong terdengar berkumandang dari balik semak-semak bambu sana, "Sebab apakah sobat itu tidak pergi dan malah menangis di sini?"

"Wanpwe berduka akan nasib sendiri yang malang dan terkenang pula kepada kematian kedua Locianpwe yang menggubah lagu ini sehingga tanpa sadar telah mengganggu ketenangan Losiansing, harap dimaafkan," habis berkata segera Lenghou Tiong hendak melangkah pergi.

"Sobat kecil, ada beberapa patah ingin kuminta keteranganmu, apakah sudi masuk kemari untuk omong-omong?" kata Lik-tiok-ong.

Tadi Lenghou Tiong mendengar sendiri cara bicara kakek tukang bambu itu sangat ketus dan angkuh terhadap Ong Goan-pa, sungguh tidak tersangka bahwa dia justru berlaku begitu ramah terhadap dirinya seorang pemuda yang tak terkenal. Maka jawabnya kemudian, "Cianpwe ingin tanya apa, tentu Wanpwe akan memberi penjelasan."
Lalu ia pun melangkah ke depan menyusuri hutan bambu itu.

Jalanan kecil itu membelok beberapa kali di tengah hutan bambu, kemudian tertampaklah di depan sana ada lima buah gubuk kecil.
Di sebelah kiri dua dan di sebelah kanan tiga. Semuanya terbuat dari bambu. Terlihat seorang kakek melangkah ke luar dari gubuk di sebelah kanan dan memapaknya dengan tertawa.
"Silakan masuk untuk minum teh, sobat kecil!" demikian sapa orang tua itu.
Lenghou Tiong melihat badan Lik-tiok-ong itu rada bungkuk, kepala botak, rambutnya jarang-jarang. Tangan lebar dan kaki besar, semangatnya sangat kuat. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Wanpwe Lenghou Tiong memberikan salam hormat!"

Kakek itu bergelak tertawa, sahutnya, "Aku cuma kebetulan lebih tua beberapa tahun, kita tidak perlu banyak adat. Marilah silakan masuk, silakan!"

Sesudah Lenghou Tiong ikut masuk ke dalam pondok kecil itu, terlihat meja kursi, balai-balai dan lemari, semuanya terbuat dari bambu. Di sana-sini terdapat pula hiasan ukiran bambu dengan tulisan yang indah, di atas meja tertaruh sebuah kecapi dan sebatang seruling, keadaan ruangan itu menjadi lebih mirip kamar tulis kaum sastrawan daripada rumah seorang tukang bambu.

"Silakan minum, sobat cilik," kata Lik-tiok-ong sesudah menuangkan secangkir teh dari sebuah kendi porselen hijau.

Dengan penuh hormat Lenghou Tiong menerima cangkir teh itu.

"Sobat kecil, buku not musik ini entah kau dapatkan dari mana? Apakah sudi memberi keterangan?" tanya Lik-tiok-ong lebih lanjut.

Lenghou Tiong melengak atas pertanyaan itu. Buku musik itu banyak mengandung rahasia, sebab itulah sang guru dan ibu gurunya saja belum pernah diberi tahu.

Dahulu maksud tujuan Lau Cing-hong dan Kik Yang menyerahkan buku itu padanya harapannya adalah semoga buku itu dapat diturunkan kepada angkatan baru dan supaya tidak lenyap begitu saja lagu ciptaan mereka. Sekarang Lik-tiok-ong dan bibinya ternyata juga ahli seni musik dan dapat memainkan lagu itu sedemikian bagusnya, biarpun usia mereka sudah tua, tapi selain mereka rasanya di dunia ini tiada orang lain lagi yang sesuai untuk diserahi lagu indah itu. Seumpama di dunia ini ada yang lebih pandai, tapi jiwa sendiri takkan bertahan lebih lama lagi dan tentu tidak sempat buat menemukan ahli musik yang lain.

Setelah berpikir sejenak, kemudian katanya, "Kedua Cianpwe yang menggubah lagu ini, yang seorang mahir memetik kecapi dan yang lain ahli meniup seruling, kedua orang telah mengikat persahabatan dan bersama-sama menciptakan lagu ini, cuma sayang mereka mengalami malapetaka dan telah meninggal dunia bersama. Menurut pesan kedua Cianpwe itu, lagu yang diserahkan kepadaku ini diharapkan akan mendapatkan ahli waris yang tepat agar supaya tidak sampai lenyap begitu saja di dunia ramai ini."

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Tadi dapat kudengar bibi Locianpwe memainkan kecapi dan seruling secara amat indah, Tecu sangat bersyukur lagunya telah menemukan tuannya, maka mohon Locianpwe sudi menerima buku musik ini dan sampaikan kepada Popo (nenek) supaya Tecu tidak sia-siakan maksud tujuan kedua Cianpwe menggubah lagu ini, dengan demikian pun terkabul juga cita-citaku ini."

Habis berkata ia terus mempersembahkan buku lagu itu dengan penuh khidmat.

Lik-tiok-ong tidak berani menerimanya begitu saja, katanya, "Aku harus tanya dulu kepada Kokoh, entah beliau sudi menerima atau tidak?"

Maka terdengarlah suara si nenek dari gubuk sebelah sana, "Maksud luhur Lenghou-siansing yang ingin memberikan lagu bagus itu, untuk menolaknya akan kurang hormat, jika menerimanya merasa malu. Entah kedua Cianpwe penggubah lagu itu bernama siapa, dapatkah Lenghou-siansing memberitahukan?"

"Jika Cianpwe ingin mengetahui sudah tentu akan kuterangkan," sahut Lenghou Tiong. "Kedua penggubah lagu itu adalah Lau Cing-hong Susiok dan Kik Yang, Kik-tianglo."

"Ah ... kiranya mereka berdua," demikian terdengar si nenek bersuara, agaknya sangat heran dan terkejut.

"Apakah Cianpwe kenal pada mereka?" tanya Lenghou Tiong.

Nenek itu tidak menjawab. Sejenak kemudian barulah ia berkata, "Lau Cing-hong adalah tokoh Heng-san-pay, sebaliknya Kik Yang adalah gembong Mo-kau, kedua pihak adalah musuh bebuyutan, mengapa mereka bisa menggubah lagu bersama? Sungguh hal ini sukar untuk dimengerti."

Walaupun Lenghou Tiong belum pernah tahu muka nenek itu, tapi sesudah mendengar permainan kecapi dan serulingnya tadi, ia merasa si nenek tentu adalah seorang tokoh angkatan tua yang baik budi dan welas asih, pasti takkan menipu dirinya apalagi orang mengetahui pula asal usul Lau Cing-hong dan Kik Yang, terang juga kaum persilatan yang sama.

Maka tanpa ragu lagi ia terus bercerita tentang Lau Cing-hong ingin "cuci tangan", tapi dirintangi Co-bengcu dari Ko-san-pay, dan pertemuan Lau Cing-hong dengan Kik Yang di pegunungan sunyi di sana kedua orang bersama memainkan kecapi serta seruling, akhirnya gugur bersama dibunuh oleh Hui Pin, jago terkemuka Ko-san-pay. Sebelum mengembuskan napas penghabisan kedua orang itu minta pertolongannya agar mencari orang yang paham seni musik dan menyerahkan lagu itu padanya. Begitulah ia menuturkan semua pengalamannya itu dengan sejujurnya.

Selama itu si nenek terus mendengarkan dengan cermat tanpa bersuara.

Selesai Lenghou Tiong bicara barulah nenek itu bertanya, "Sudah terang ini adalah buku musik mengapa si golok emas Ong Goan-pa itu mengatakannya sebagai kitab pusaka ilmu silat segala?"

Maka Lenghou Tiong bercerita pula tentang tertawannya Lim Cin-lam dan istrinya oleh orang Jing-sia-pay dan kemudian ditolong oleh Bok Ko-hong, sebelum ajalnya orang tua itu memberi pesan agar disampaikan kepada Lim Peng-ci, tapi hal ini telah menimbulkan rasa curiga keluarga Ong dan sebagainya.

"O, kiranya demikian," kata si nenek. "Seluk-beluk urusan ini jika mau kau katakan terus terang kepada guru dan ibu-gurumu, bukankah segala prasangka itu seakan lenyap dengan sendirinya? Sebaliknya aku adalah orang yang belum pernah kau kenal, kenapa kau malah bicara sejujurnya kepadaku?"

"Tecu sedikit pun tidak tahu apa sebabnya?" sahut Lenghou Tiong. "Mungkin sesudah mendengar permainan kecapi Cianpwe yang indah tadi lantas timbul rasa kagum dan hormatku atas keluhuran Cianpwe sehingga tidak merasa sangsi apa pun."

"Jika begitu, tadi kau malah sangsi kepada guru dan ibu-gurumu?" tanya si nenek.

"Sekali-kali Tecu tidak berani punya pikiran demikian," sahut Lenghou Tiong cepat. "Cuma ... cuma Suhu diam-diam sudah mencurigaiku. Tetapi, ai, ini pun tak dapat menyalahkan beliau."

"Dari suaramu dapat diketahui tenagamu sangat lemah, orang muda tidak seharusnya begitu, entah apa sebabnya? Apakah kau baru sakit payah atau pernah terluka parah?"

"Ya, pernah menderita luka dalam yang amat berat," sahut Lenghou Tiong.

"Tiok-hiantit, coba kau bawa anak muda itu ke pinggir jendelaku, biar kuperiksa nadinya," kata nenek itu.

Terdengar Lik-tiok-ong mengiakan, lalu Lenghou Tiong diajaknya ke pinggir jendela gubuk kecil di sebelah kiri sana dan menyuruh dia menjulurkan tangan kiri ke dalam gubuk melalui bawah kerai bambu. Di balik tirai bambu itu teraling-aling pula selapis tirai sutera yang halus. Samar-samar Lenghou Tiong hanya melihat ada bayangan orang, tapi bagaimana mukanya sama sekali tidak kelihatan. Segera dirasakan ada tiga buah jari yang dingin memegang nadi pergelangan tangannya, ujung ketiga jari itu terasa halus dan licin, tidak mirip anggota badan perempuan.

Setelah memegangi sebentar nadi Lenghou Tiong, terdengar nenek itu bersuara kejut dan berkata, "Aneh, sungguh sangat aneh!"

Selang sejenak, lalu katanya pula, "Coba ganti tangan kanan!"

Selesai memeriksa nadi kedua tangan Lenghou Tiong, sampai agak lama nenek itu tertegun diam.

Lenghou Tiong tersenyum, katanya, "Harap Cianpwe tidak perlu khawatir bagi keselamatanku. Tecu sadar tidak lama lagi hidup di dunia ini, sudah lama Tecu tidak pikiran soal ini lagi."

"Mengapa kau tahu jiwamu tak bisa hidup lebih sama lagi?" tanya si nenek.

"Tecu telah salah membunuh Sute sendiri dan menghilangkan Ci-he-pit-kip milik perguruan, diharap selekasnya kitab pusaka itu dapat diketemukan habis itu Tecu akan segera membunuh diri untuk menyusul Sute di alam baka."
"Ci-he-pit-kip katamu?" si nenek menegas. "Ini pun sesuatu benda yang luar biasa. Dan cara bagaimana kau bisa salah membunuh Sutemu sendiri?"

Segera Lenghou Tiong bercerita pula tentang maksud Tho-kok-lak-sian hendak menyembuhkan lukanya, tapi enam arus hawa murni mereka malah tertinggal di dalam badannya dan perang tanding di antara arus hawa murni itu sendiri. Lalu Sumoaynya mencuri kitab pusaka dengan maksud hendak membantu menyembuhkan lukanya, namun dirinya telah menolak menerima kitab pusaka itu lalu Liok-sute sengaja membacakan isi kitab itu kemudian dirinya menutuk roboh sang Sute, mungkin tutukannya terlalu keras sehingga mengakibatkan kematiannya. Semua itu diceritakan pula dengan jelas.

Habis mendengar mendadak nenek itu berkata, "Sutemu itu bukan terbunuh olehmu."

Lenghou Tiong terkesiap. "Bukan aku yang membunuhnya?" ia menegas.

"Ya, waktu itu tenagamu sendiri sangat lemah, hanya tutukan kedua Hiat-to saja pasti takkan mampu membinasakan dia," kata si nenek. "Sutemu itu dibunuh oleh orang lain dan bukan olehmu."

"Lalu ... lalu siapakah yang membunuh Liok-sute?" demikian Lenghou Tiong seperti bergumam sendiri.

"Walaupun orang yang mencuri Ci-he-pit-kip itu belum tentu adalah si pembunuh Sutemu, tapi di antara keduanya sedikit banyak mungkin ada hubungannya," kata si nenek lebih lanjut.
Lenghou Tiong menghela napas lega, rasa batinnya yang tertekan selama ini seketika menjadi enteng.

Sebenarnya dia adalah seorang yang sangat pintar dan cerdik, semula ia pun sudah berpikir bahwa tutukannya yang tak bertenaga itu mana bisa mengakibatkan kematian Liok Tay-yu? Cuma saat itu dalam hati kecilnya terasa sangat menyesal, ia merasa Liok Tay-yu biarpun bukan mati tertutuk olehnya, paling tidak Sute itu mati lantaran dia. Ia merasa seorang laki-laki sejati mana boleh mencari alasan untuk mengelakkan tanggung jawab dan membersihkan kesalahan sendiri?

Apalagi akhir-akhir ini sikap Gak Leng-sian semakin dingin padanya, saking pedih dan kecewanya ia menjadi putus asa dan bosan hidup, yang terpikir selalu olehnya hanyalah "mati" melulu, lain tidak.

Tapi kini demi si nenek mengingatkan dia, seketika terbangkit rasa penasarannya, "Balas dendam! Ya, balas dendam! Harus membalas dendam Liok-sute!"

Dalam pada itu terdengar si nenek berkata pula, "Kau mengaku di dalam tubuhmu ada enam arus hawa murni sedang saling gontok sendiri, tapi dari denyut nadimu tadi aku merasa ada delapan arus hawa murni. Mengapa bisa demikian?"

Maka tertawalah Lenghou Tiong, segera menerangkan pula tentang Put-kay Hwesio yang juga memaksa hendak menyembuhkan dia itu.

"Sifatmu sebenarnya sangat periang," kata si nenek pula. "Walaupun denyut nadimu agak kacau tapi tiada tanda-tanda sesuatu kelemahan. Bagaimana kalau aku memetik kecapi dan membawakan satu lagu pula agar kau suka memberi penilaian?"

"Perhatian Cianpwe kepada diriku tentu akan kuterima dengan penuh rasa terima kasih," sahut Lenghou Tiong.

Sejenak kemudian, suara kecapi pun mula menggema pula.

Kini lagunya sangat halus dan merdu, seperti nyanyian seorang ibu yang lagi meninabobokan anaknya, tidak lama mendengar, sayup-sayup Lenghou Tiong merasa mengantuk. Katanya di dalam hati, "Jangan tidur, jangan tidur! Kau sedang mendengarkan permainan kecapi nenek itu, jika tertidur akan terasa tidak sopan."

Namun begitu matanya terasa semakin sepat dan makin merapat sehingga akhirnya sukar terbuka lagi, tubuhnya lantas lemas terkulai, lalu tertidur.

Di tengah impiannya dia masih terus mendengar suara kecapi yang merdu itu, seperti ada sebuah tangan yang halus sedang mengelus-elus kepalanya terasa seperti belaian kasih ibunda pada waktu masih kanak-kanak.

Agak lama juga, ketika suara kecapi berhenti, seketika Lenghou Tiong juga terjaga dan cepat ia merangkak bangun. Keruan ia merasa malu dan berkata, "Tecu benar-benar tidak tahu aturan, tidak memerhatikan permainan kecapi Cianpwe, sebaliknya malah tertidur, sungguh perasaan Tecu tidak enak."

"Tak perlu kau menyesali diri sendiri," kata si nenek. "Lagu yang kubawakan barusan ini memang mempunyai pengaruh tidak sedikit dengan harapan dapat mengatur kembali hawa murni dalam tubuhmu itu dengan baik. Sekarang coba mengerahkan sedikit tenaga, apakah rasa muak dan sesak itu sudah berkurang atau tidak?"

Lenghou Tiong sangat girang dan mengucapkan terima kasih. Cepat ia duduk bersimpuh dan coba mengerahkan tenaga dalam. Ia merasa kedelapan arus hawa murni itu masih terus saling terjang di dalam badan, tapi rasa sesak karena bergolaknya darah di rongga dada telah banyak berkurang.

Akan tetapi hanya bertahan sebentar saja kembali kepalanya terasa pusing dari badan lemas dan terkapar di atas tanah.

Melihat itu lekas Lik-tiok-ong mendatangi dan memayangnya masuk ke dalam rumah, sesudah ditidurkan sekian lama baru rasa pusing kepalanya hilang.

"Lwekang Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Taysu itu teramat tinggi, hawa murni yang mereka tinggalkan itu sukar diatur oleh suara kecapi yang lemah ini sehingga membikin kau lebih menderita, sungguh aku merasa tidak enak hati," kata nenek itu.

"Janganlah Cianpwe berkata demikian," ujar Lenghou Tiong cepat. "Dapat mendengar lagu yang merdu tadi sudah tidak sedikit manfaat yang diperoleh Tecu."

Tiba-tiba ia melihat Lik-tiok-ong menyodorkan secarik kertas yang baru saja ditulis olehnya, waktu Lenghou Tiong membaca isinya, kiranya tertulis, "Mintalah agar diajarkan lagu itu sekalian."

Tergerak juga hati Lenghou Tiong, segera ia pun memohon, "Bilamana tidak menjadi keberatan Cianpwe sungguh Tecu ingin mempelajari lagu penyembuhan tadi agar lambat laun Tecu dapat mengatur hawa murni yang bergolak di dalam tubuh ini."

Nenek itu tidak lantas menjawab, selang sejenak baru membuka suara, "Sudah berapa jauh kepandaianmu memetik kecapi? Coba mainkan satu lagu."

Wajah Lenghou Tiong menjadi merah, katanya, "Selamanya Tecu belum pernah belajar maka sama sekali tidak paham. Memang Tecu terlalu sembrono ingin belajar permainan kecapi yang amat tinggi dari Cianpwe ini, harap suka dimaafkan kebodohan Tecu."

Sebenarnya sifat Lenghou Tiong biasanya sangat angkuh kecuali terhadap guru, ibu-guru dan Siausumoaynya, jarang sekali dia bersikap rendah hati kepada orang lain.

Tapi sejak dia mendengar permainan kecapi dan seruling si nenek, pula mendengar tutur katanya yang ramah tamah dan berbudi luhur, tanpa terasa ia menjadi sangat menghormatinya. Segera ia pun berkata kepada Lik-tiok-ong, "Biarlah sekarang Tecu mohon diri saja."

Lalu ia membungkuk tubuh dan hendak melangkah pergi.

"Nanti dulu," terdengar si nenek menahannya. "Aku tidak dapat membalas apa-apa atas pemberian lagu indah ini, sebaliknya lukamu sukar disembuhkan hal ini pun membuat aku tidak tenteram. Tiok-hiantit, mulai besok boleh mengajarkan pengantar dasar memetik kecapi kepada Lenghou-siansing, jika dia cukup sabar dan dapat tinggal agak lama di Lokyang sini, maka tiada alangannya juga akan kuajarkan laguku 'Jing-sim-boh-sian-ciu' ini padanya."

Begitulah mulai esok paginya Lenghou Tiong lantas datang ke rumah bambu itu untuk belajar main kecapi. Lik-tiok-ong telah mengeluarkan kecapi tua dan mulai memberi petunjuk tentang dasar-dasar seni suara.

Sebenarnya Lenghou Tiong boleh dikata buta huruf dalam hal musik, tapi dia adalah seorang cerdik, sekali diberi tahu lantas paham berikutnya, sekali dengar tak pernah lupa lagi. Tentu saja Lik-tiok-ong sangat senang, sengaja ia mengajarkan cara memetik kecapi, lalu Lenghou Tiong disuruh coba membawakan satu "Pik-siau-kim" yang paling cekak dan sederhana.

Hanya belajar main beberapa kali saja Lenghou Tiong sudah biasa menguasainya, bahkan irama permainannya sedemikian merdu seperti pemusik saja.

Selesai mengikuti lagu permulaan yang dimainkan Lenghou Tiong itu, tanpa merasa si nenek di gubuk sebelah menghela napas gegetun. Katanya, "Lenghou-siansing, sedemikian pintar kau belajar kecapi, rasanya dalam waktu singkat saja kau sudah dapat belajar laguku 'Jing-sim-boh-sian-ciu' (lagu penyebar bajik dan pemurni batin) ini."

"Banyak terima kasih atas pujian Cianpwe," sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati. "Tapi entah kapan Tecu baru sanggup memainkan lagu Hina Kelana seperti cara Cianpwe memainkannya kemarin."
"Kau ... kau juga ingin memainkan 'Lagu Hina Kelana' itu?" tanya si nenek.

Muka Lenghou Tiong menjadi merah, sahutnya, "Karena Tecu sangat kagum terhadap permainan kecapi dan seruling Cianpwe kemarin, maka timbul juga impian muluk-muluk ingin belajar lagu itu. Padahal Lik-tiok Cianpwe saja tidak sanggup memainkan lagu itu, apalagi Tecu yang masih hijau pelonco ini."

Nenek itu tidak bersuara pula. Sampai agak lama baru terdengar ia berkata dengan suara perlahan, "Jika kau dapat memainkan lagu itu, hal ini tentu saja sangat baik ...."

Tapi suaranya makin lama makin lirih sehingga tak terdengar lagi apa yang diucapkan selanjutnya.

Begitulah berturut-turut belasan hari Lenghou Tiong selalu datang ke perumahan bambu itu untuk belajar kecapi, petangnya baru pulang, makan siang juga dilakukan di tempat Lik-tiok-ong. Biarpun makanannya sangat sederhana, tapi rasanya jauh lebih lezat daripada ayam daging yang dimakannya di rumah Ong Goan-pa.

Ada beberapa hari Lik-tiok-ong sibuk membikin alat-alat bambu, maka si nenek sendiri yang memberi pelajaran. Lama-kelamaan Lenghou Tiong merasa kepandaiannya sudah banyak maju, sering kali Lik-tiok-ong tidak mampu memberi penjelasan bila diajukan pertanyaan sehingga perlu si nenek memberi petunjuk. Tapi bagaimana wajah si nenek sebegitu jauh belum dilihatnya.

Hari itu si nenek mengajarkan sebuah lagu "terkenang" padanya. Sesudah mendengarkan beberapa kali, lalu Lenghou Tiong mulai memetikkan lagu itu. Tanpa terasa ia pun terkenang kepada kejadian masa lampau waktu dia bermain bersama Gak Leng-sian, tatkala mana si nona benar-benar mencurahkan kasih mesranya kepada dirinya, tapi entah mengapa sesudah munculnya Lim Peng-ci, sikap Siausumoaynya lantas semakin dingin kepadanya. Karena pikirannya melayang-layang, maka irama kecapi yang dipetiknya itu menjadi agak kacau. Tapi segera ia sadar dan lekas berhenti.

Dengan ramah si nenek bertanya, "Sebenarnya lagu 'terkenang' ini caramu membawakannya sangat baik, tapi mendadak nadanya berubah, tentu hatimu sendiri tiba-tiba terkenang kepada pengalamanmu dahulu."

Dasar Lenghou Tiong memang seorang yang suka terus terang, tanpa ragu lagi ia lantas menuturkan isi hatinya yang sudah tercekam lamanya itu, ia ceritakan tentang cintanya pada Gak Leng-sian, sebaliknya gadis itu penujui pemuda lain.

Ia sendiri tidak tahu mengapa dia bercerita segala rahasia pribadinya kepada si nenek yang dianggapnya seakan-akan nenek dan ibu sendiri. Baru setelah selesai bercerita ia merasa malu.

Si nenek lantas menghiburnya, "Tentang jodoh memang tidak dapat dipaksakan. Kata peribahasa, setiap orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan jangan iri kepada orang lain. Meskipun hari ini Lenghou-siansing patah hati, lain hari bukan mustahil akan mendapatkan jodoh yang lebih setimpal."

"Tapi selama hidup Tecu ini sudah pasti takkan menikah," kata Lenghou Tiong.

Nenek itu tidak bicara pula, tapi lantas memetik kecapi dan memainkan lagu "Jing-sim-boh-sian-ciu". Hanya sebentar saja mendengarkan Lenghou Tiong lantas merasa mengantuk.

Si nenek lantas menghentikan suara kecapi dan berkata, "Mulai hari ini juga aku akan mengajarkan lagu ini padamu. Kira-kira dalam waktu sepuluh hari sudah cukup. Selanjutnya setiap hari lagu ini dimainkan satu kali, meski tak bisa memulihkan seluruh tenagamu masa lalu, sedikitnya akan berguna juga bagimu."

Lenghou Tiong mengiakan dan si nenek lantas memberi petunjuk tentang seluk-beluk lagu itu serta cara memetiknya. Dengan penuh perhatian Lenghou Tiong mengingatnya dengan baik.

Hari ketiga ketika Lenghou Tiong hendak berangkat belajar main kecapi pula, tiba-tiba Lo Tek-nau datang memberi tahu padanya, "Toasuko, Suhu bilang besok juga kita akan berangkat."

Keruan Lenghou Tiong melengak. "Besok juga kita akan pergi dari sini?" ia menegas.

"Ya," sahut Tek-nau. "Sunio menyuruhmu berbenah seperlunya agar besok pagi bisa lantas berangkat."

Lenghou Tiong menyatakan baik. Lalu bergegas-gegas ia datang ke pondok bambu dan memberitahukan si nenek, "Popo, besok juga Tecu akan mohon diri."

Agaknya si nenek juga melengak. Sampai agak lama baru dia berkata dengan perlahan, "Mengapa begini terburu-buru, sedangkan ... lagu ini belum selesai kau pelajari."

"Tecu pun berpikir demikian," ujar Lenghou Tiong. "Cuma perintah guru tak bisa dibantah. Sebagai tamu juga tak bisa tinggal di rumah orang selamanya."

"Ya, benar juga," kata si nenek. Lalu ia mulai memberi petunjuk pula cara memetik kecapi seperti hari-hari sebelumnya.

Lenghou Tiong adalah seorang yang berperasaan halus. Walaupun belum pernah melihat muka si nenek, tapi dari percakapan melalui suara kecapi dapatlah diketahui orang tua itu sangat memerhatikan dia seperti anggota keluarga sendiri. Hanya saja si nenek juga sungkan bicara, cuma beberapa kalimat saja lantas diseling dengan soal lain, terang ia pun tidak ingin Lenghou Tiong mengetahui perasaannya.

Orang yang paling memerhatikan Lenghou Tiong di dunia ini adalah Gak Put-kun dan istrinya, Gak Leng-sian serta Liok Tay-yu. Kini Tay-yu sudah mati, Leng-sian telah penujui Peng-ci, guru dan ibu gurunya menaruh curiga pula padanya, maka kini ia merasa orang yang paling akrab hubungannya dengan dia hanyalah Lik-tiok-ong serta si nenek yang belum kenal muka itu.

Bab 48. "Tabib Sakti Pembunuh" Namanya Peng It-ci

Pada hari terakhir ini berulang kali mestinya Lenghou Tiong hendak menyatakan kepada Lik-tiok-ong agar diperbolehkan tinggal di hutan bambu situ untuk belajar main kecapi dan seruling. Tapi bila terkenang kepada bayangan Gak Leng-sian, betapa pun ia merasa berat untuk berpisah.

"Sekalipun Siausumoay tidak menggubris padaku, asal setiap hari aku dapat melihatnya dan mendengar suaranya juga sudah puas aku. Apalagi dia toh bukannya tidak menggubris padaku?" demikian pikirnya.

Menjelang magrib waktu mau berpisah, sungguh Lenghou Tiong merasa sangat berat. Ia mendekati jendela gubuk kediaman si nenek dan menyembahnya beberapa kali.

Samar-samar dilihatnya di balik kerai bambu sebelah dalam si nenek juga berlutut membalas hormatnya. Terdengar si nenek berkata, "Meski aku mengajarkan cara bermain kecapi padamu, tapi ini adalah untuk membalas kebaikanmu yang telah menghadiahkan lagu padaku. Kenapa engkau menjalankan penghormatan setinggi ini padaku?"

"Perpisahan sekarang ini entah sampai kapan baru dapat berkunjung lagi kemari untuk mendengarkan permainan kecapi Popo, asalkan Lenghou Tiong tidak mati, kelak tentu akan datang lagi ke sini untuk menyambangi Popo dan Tiok-ong," demikian kata Lenghou Tiong.

Tapi tiba-tiba terpikir olehnya tentang usia kedua orang tua yang sudah amat lanjut itu, bilamana kelak datang lagi ke Lokyang entah masih dapat bersuara atau tidak dengan mereka. Teringat bahwa hidup manusia ini seakan-akan mimpi belaka tanpa terasa suaranya menjadi parau.

"Lenghou-siansing," kata si nenek, "sebelum berpisah aku ingin memberi pesan sepatah kata padamu."
"Baik, atas petuah Popo sampai mati pun takkan kulupakan," sahut Lenghou Tiong.

Tapi sampai lama nenek itu tidak bicara lagi. Selang sekian lama, akhirnya dia baru berkata dengan perlahan, "Banyak bahaya dan kepalsuan orang Kangouw, hendaknya kau menjaga diri dengan baik."

Lenghou Tiong mengiakan, hati menjadi pilu. Ia memberi hormat pula kepada Lik-tiok-ong untuk mohon diri. Dalam pada itu terdengar dari dalam gubuk suara kecapi menggema merdu, yang dibawakan adalah lagu kuno "terkenang" itu.

Esok paginya Gak Put-kun dan anak muridnya sama mohon diri kepada Org Goan-pa untuk berangkat dengan menumpang perahu. Goan-pa dan anak-cucunya mengantar sampai di tepi sungai Loksui, memberi bekal sangu dan macam-macam makanan untuk persediaan di tengah perjalanan.

Sejak tempo hari lengan Lenghou Tiong dipuntir keseleo oleh Ong Kah-cun dan Ong Kah-ki, maka Lenghou Tiong tidak pernah bicara pula dengan anggota keluarga Ong itu. Pada saat berpisah sekarang ia pun tidak mengucapkan apa-apa, sebaliknya cuma mendelik saja kepada mereka seakan-akan di depan matanya pada hakikatnya tiada jago golok emas dari keluarga Ong itu.

Gak Put-kun cukup kenal perangai muridnya itu. Jika anak muda itu dipaksa memberi hormat dan mohon diri kepada Ong Goan-pa, untuk sementara terpaksa Lenghou Tiong menurut, tetapi kelak besar kemungkinan akan mencari perkara kepada keluarga Ong itu untuk membalas dendam. Sebab itulah ia sendiri memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada Ong Goan-pa, sebaliknya sikap Lenghou Tiong yang kurang sopan itu ia pura-pura tidak tahu.

Lenghou Tiong melihat banyak oleh-oleh pemberian keluarga Ong itu, terutama oleh-oleh yang diberikan kepada Gak Leng-sian. Nona itu tampak sangat senang dan sibuk menerima macam-macam oleh-oleh itu.

Tengah sibuk, tiba-tiba seorang tua berbaju rombeng naik ke pinggir perahu mereka dan berseru, "Lenghou-siaukun (tuan muda)!"

Waktu Lenghou Tiong berpaling, kiranya adalah Lik-tiok-ong, keruan ia melengak.

"Bibi menyuruh aku menyerahkan bungkusan ini kepadamu, Lenghou-siaukun," kata Lik-tiok-ong sembari mempersembahkan sebuah bungkusan panjang.

Bungkusan itu dibebat dengan kain kembang biru. Dengan penuh hormat Lenghou Tiong menerimanya dan berkata, "Atas hadiah Cianpwe yang berharga ini Tecu menerimanya dengan terima kasih."
Sambil berkata berulang-ulang ia pun membungkuk tubuh memberi hormat.

Terhadap tukang bambu tua bersikap sedemikian menghormat, sebaliknya terhadap Kim-to-bu-tek Ong-loyacu yang namanya termasyhur di dunia Kangouw sedikit pun tidak menggubris, keruan sikap Lenghou Tiong ini membikin Kah-cun dan Kah-ki merasa gusar. Coba kalau tidak di depan orang banyak tentu mereka sudah menyeret turun Lenghou Tiong menghajarnya sepuas-puasnya.

Dalam pada itu sesudah menyerahkan bungkusan panjang tadi, Lik-tiok-ong lantas melangkah ke atas papan loncatan dan hendak turun kembali ke daratan.

Melihat ada kesempatan, sesudah saling memberi isyarat, segera Kah-cun dan Kah-ki sengaja memapak dari bawah papan loncatan perahu, mereka terus mendesak maju, yang satu menggunakan bahu kanan dan yang lain memakai bahu kiri, asal ditumbuk sedikit saja mereka percaya kakek itu umpama tidak sampai mati tenggelam sedikitnya juga akan membikin Lenghou Tiong kehilangan muka.
Melihat apa yang akan terjadi itu, cepat Lenghou Tiong berseru, "He, awas!"
Tapi ia sudah tidak bertenaga sehingga sama sekali tak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu tampaknya kedua saudara Ong muda itu sudah menerjang tiba pada sasarannya.

"Jangan!" segera Ong Goan-pa juga berteriak. Sebagai seorang yang punya harta benda di kota Lokyang, kalau kedua cucunya sampai menumbuk mati seorang kakek, tentu akibatnya takkan menguntungkan bila sampai pihak yang berwajib ikut turun tangan. Perkara jiwa bukanlah soal kecil.

Tapi karena dia sedang duduk dalam kamar perahu besar itu dan lagi bicara dengan Gak Put-kun sehingga tidak sempat mencegah lagi.

Maka terdengarlah suara "bluk", bahu kedua anak muda itu sudah membentur tubuh Lik-tiok-ong. Menyusul dua sosok tubuh orang sama mencelat dan "plung-plung", tahu-tahu kedua anak muda itu sama kecemplung ke dalam sungai, sebaliknya Lik-tiok-ong tampak masih tenang-tenang saja dan terus berjalan ke daratan. Tubuhnya mirip bola saja, setiap diseruduk oleh kedua saudara Ong muda itu segera mengeluarkan daya membalik sehingga kedua anak muda itu terpental sendiri.

Keruan suasana menjadi kacau, semua orang sibuk memberi pertolongan kepada Kah-cun dan Kah-ki, beberapa orang lantas terjun ke dalam sungai untuk menyeret mereka ke atas. Tatkala itu baru permulaan musim semi, air sungai sedingin es, apalagi kedua anak muda itu tidak bisa berenang, mereka sudah telanjur minum air sungai sampai beberapa ceguk, gigi mereka berkertukan menggigil dingin, keadaannya sangat runyam.

Sesudah diperiksa, sungguh kejut Ong Goan-pa tidak kepalang. Ternyata lengan kedua cucunya itu semuanya keseleo, tulang lengan terlepas dari ruasnya, sama halnya seperti tempo hari kedua anak muda itu memuntir tangan Lenghou Tiong sehingga keseleo.

Melihat kedua putranya kecundang, segera Ong Tiong-kiang melompat ke daratan dan mencegat di depan Lik-tiok-ong.

Kakek itu tampak masih terus berjalan ke depan dengan kepala merunduk, memangnya badannya juga bungkuk.

"Orang kosen dari manakah ingin coba-coba pamer kepandaian di Lokyang sini?" bentak Ong Tiong-kiang.

Tapi Lik-tiok-ong seperti tidak mendengar saja dan tetap jalan ke depan, perlahan ia sudah berhadapan dengan Tiong-kiang.
Keruan perhatian semua orang di atas perahu sama dipusatkan kepada mereka berdua.
Kedua tangan Ong Tiong-kiang tampak sedikit dipentang, ketika Lik-tiok-ong maju selangkah lagi, mendadak Tiong-kiang membentak, "Pergi!"

Kedua tangannya terus mencengkeram pundak si kakek.

Tapi baru saja jarinya hampir menyentuh tubuh sasarannya, sekonyong-konyong badannya yang tinggi besar itu mencelat ke udara sampai beberapa meter jauhnya. Di tengah jerit kaget orang banyak Ong Tiong-kiang berjumpalitan satu kali, selagi terapung di udara lalu dapat menancapkan kali kembali di atas tanah.

Jika terjadinya tabrakan itu dilakukan kedua orang yang sama-sama berlari cepat dari arah berlawanan, lalu salah seorang terpental, ini sih tidak mengherankan, yang aneh sekarang adalah Ong Tiong-kiang berdiri tegak di tempatnya, sedangkan Lik-tiok-ong hanya berjalan sangat perlahan, tapi mendadak Ong Tiong-kiang tergetar mencelat, sekali pun tokoh-tokoh terkemuka sebagai Gak Put-kun dan Ong Goan-pa juga tidak tahu dengan cara bagaimana si kakek reyot itu membikin orang terpental.

Hanya saja waktu Ong Tiong-kiang tancapkan kakinya kembali di atas tanah tampaknya juga sewajarnya saja sehingga orang yang tidak mahir ilmu silat malah mengira dia sengaja meloncat sendiri untuk pamerkan Ginkangnya yang lihai, maka ada sebagian centeng keluarga Ong salah wesel dan memberi sorak puji kepada majikan muda mereka.

Memangnya Ong Goan-pa sudah heran ketika tanpa bergerak Lik-tiok-ong dapat menggetar lengan kedua cucunya sehingga keseleo, kini ia tambah kaget demi melihat putranya juga tergetar mencelat secara aneh. Padahal ia tahu putranya itu sudah memperoleh segenap ajaran ilmu silatnya, tapi belum satu gebrak saja sudah dientak mencelat oleh lawan, ini benar-benar belum pernah terjadi selama hidup. Dilihatnya sesudah kecundang Ong Tiong-kiang masih hendak melabrak maju lagi cepat ia berseru, "Tiong-kiang, kemari!"

Tiong-kiang putar tubuh dan melompat ke haluan perahu dengan enteng. "Tua bangka itu besar kemungkinan bisa ilmu sihir!" ia mencemooh.

"Bagaimana keadaanmu, tidak terluka?" tanya Goan-pa dengan perlahan.

Tiong-kiang menggeleng. Diam-diam Goan-pa menimbang, biarpun dengan kemampuannya sendiri juga belum tentu dapat melawan kakek bungkuk itu, apalagi kalau sampai perlu minta bantu Gak Put-kun, sekalipun menang juga kurang cemerlang.

Maka ia sengaja tidak mempersoalkan itu lebih lanjut, paling tidak kakek itu pun sudah memberi muka padanya tanpa merobohkan putranya. Dilihatnya Lik-tiok-ong sudah pergi semakin jauh, sungguh tak enak perasaannya. Pikirnya, "Kakek itu terang adalah kawan Lenghou Tiong, lantaran para cucu mematahkan lengannya, maka kakek itu pun datang mematahkan lengan mereka sebagai pembalasan. Selama hidupku malang melintang di kota Lokyang ini, masakan sampai hari tua terbalik akan terjungkal habis-habisan?"

Dalam pada itu Ong Pek-hun sudah membetulkan lengan kedua keponakannya yang keseleo itu, dua buah tandu lantas membawa kedua anak muda yang basah kuyup itu pulang lebih dulu.

"Gak-tayciangbun, orang macam apakah kakek tadi? Agaknya mataku yang tua ini sudah lamur dan tidak kenal orang kosen demikian," tanya Ong Goan-pa kepada Put-kun.

"Siapakah dia, Tiong-ji?" Put-kun bertanya kepada Lenghou Tiong.

"Dia itulah Lik-tiok-ong," sahut Lenghou Tiong.

Goan-pa dan Put-kun bersama mengeluarkan suara "Ooo". Kiranya tempo hari meski mereka juga datang ke hutan bambu sana, tapi mereka tidak sampai kenal muka Lik-tiok-ong, sedangkan Ih-suya yang kenal Lik-tiok-ong tidak ikut mengantar ke dermaga ini, sebab itulah tiada seorang pun yang kenal si kakek bambu hijau.

"Barang apa yang dia berikan padamu?" tanya Put-kun pula sambil menuding bungkusan panjang tadi.

"Tecu sendiri belum tahu," sahut Lenghou Tiong sambil membuka bungkusan itu.

Maka tertampaklah isinya adalah sebuah kecapi antik, pada ujung kecapi itu terukir dua huruf kembang "Yan-gi". Selain itu ada pula satu buku kecil, pada sampulnya tertulis "Jing-sim-boh-sian-ciu". Kiranya adalah lagu yang diajarkan si nenek kepada Lenghou Tiong itu. Keruan Lenghou Tiong bersuara kejut dan terharu.

"Ada apa?" tanya Put-kun sambil memandang tajam.

"Kiranya Cianpwe itu selain memberikan sebuah kecapi padaku, bahkan menyertakan not kecapi pula," kata Lenghou Tiong.

Ia coba membalik-balik buku kecil itu, ternyata berisi lengkap ajaran cara memetik kecapi dengan petunjuk-petunjuk yang sangat jelas.
Dari tulisannya dan kertasnya yang masih baru itu terang baru saja selesai ditulis oleh si nenek. Teringat kepada kebaikan Locianpwe itu Lenghou Tiong sangat terharu sehingga matanya berkaca, air mata hampir-hampir menetes.

Melihat buku itu berisi not kecapi, walaupun Ong Goan-pa dan Gak Put-kun merasa curiga tapi juga tak bisa bicara apa-apa.

"Lik-tiok-ong itu ternyata seorang kosen di dunia persilatan yang tidak mau menonjolkan diri, apakah kau tahu dia dari aliran atau golongan mana, Tiong-ji?" tanya Gak Put-kun.

Ia sudah menduga andaikan Lenghou Tiong tahu asal usul Lik-tiok-ong juga takkan mengaku secara terus terang. Soalnya Kungfu si kakek bambu hijau itu terlalu hebat, kalau tidak ditanyakan betapa pun rasanya tidak tenteram.

Benar juga, segera Lenghou Tiong menjawab, "Tecu hanya belajar kecapi kepada Locianpwe itu, sesungguhnya tidak tahu bahwa dia juga mahir ilmu silat."

Begitulah Gak Put-kun lantas memberi hormat tanda perpisahan dengan Ong Goan-pa, perahu layarnya yang besar itu lantas mengangkat jangkar dan berlayar ke hilir.

Di dalam kapal ramailah anak murid Hoa-san-pay itu membicarakan Lik-tiok-ong, ada yang memuji kepandaian si kakek yang mahatinggi, ada yang anggap Lik-tiok-ong itu belum tentu punya kepandaian sejati, mungkin kedua saudara Ong muda kecemplung ke dalam sungai karena mereka sendiri kurang hati-hati. Sedangkan Ong Tiong-kiang dikatakan tidak sudi bertengkar dengan kakek yang sudah loyo itu, maka sengaja meloncat menyingkir.

Lenghou Tiong duduk sendirian di buritan dan tidak menghiraukan percakapan para Sute dan Sumoaynya itu. Ia asyik membaca not kecapi. Karena khawatir mengganggu gurunya, maka ia tidak berani membunyikan kecapinya.
Gak-hujin merasa tidak tenteram ketika teringat kepada potongan tubuh Lik-tiok-ong serta gerak-geriknya yang aneh. Ia coba naik ke haluan perahu itu melihat pemandangan.

Tiba-tiba terdengar sang suami bicara di sebelah, "Sumoay, bagaimana pendapatmu tentang Lik-tiok-ong itu? Begitu aneh caranya membikin terpental tiga jago keluarga Ong itu, tampaknya kepandaiannya itu bukan ilmu silat aliran yang baik."

"Tapi dia tiada maksud jahat terhadap Tiong-ji, pula tampaknya tidak sengaja hendak mencari perkara kepada keluarga Ong," ujar Gak-hujin.

"Ya, semoga urusan ini selesai sampai di sini saja, kalau tidak, jangan-jangan kehormatan Ong-loyacu selama ini akan berakhir dengan buruk," kata Put-kun. Sejenak kemudian ia menyambung pula, "Kita juga harus waspada walaupun kita mengambil jalan air ini."
"Apa kau maksudkan ada kemungkinan orang akan mencari perkara pada kita?" tanya sang istri.

"Sampai saat ini kita masih tetap belum jelas orang macam apakah ke-15 musuh berkedok tempo hari itu. Mengingat kejadian itu, perjalanan kita ini rasanya masih banyak rintangan yang akan kita hadapi."

Begitulah mereka lantas pesan para muridnya agar selalu waspada.

Di luar dugaan, setelah perahu mereka keluar dari muara Kiat-koan dan memasuki sungai Tiangkang dan meluncur ke hilir pula ke arah timur, ternyata sama sekali tidak terjadi sesuatu.

Semakin jauh meninggalkan Lokyang, semakin berkurang pula rasa waswas mereka. Hari itu mereka sudah dekat dengan kota Kayhong. Gak Put-kun dan istrinya membicarakan tokoh-tokoh Bu-lim di kota itu.
Menurut pendapat Gak Put-kun di kota Kayhong boleh dikata tiada jago silat yang berarti.

Tapi Gak-hujin berkata, "Ada seorang tokoh ternama di sini, mengapa Suko melupakan dia?"

"Tokoh ternama? Sia ... siapa yang kau maksudkan?" tanya Put-kun.

"Mengobati seorang bunuh seorang, bunuh seorang mengobati seorang, bunuh orang mengobati orang sama banyaknya, dagang rugi tak mau. Siapa dia itu?" ucap Gak-hujin dengan tertawa.

"Aha, 'Sat-jin-beng-ih' (tabib sakti pembunuh orang) Peng It-ci memang benar sangat ternama," ujar Gak Put-kun tertawa. "Tapi biarpun kita berkunjung padanya juga belum tentu dia mau menemui kita."

"Sungguh aneh, sudah disebut tabib sakti, mengapa pembunuh pula? Apa sebabnya, ibu?" tanya Leng-sian heran.

"Peng-losiansing itu adalah seorang ajaib di dunia persilatan," tutur Gak-hujin. "Ilmu pengobatannya memang mahasakti, betapa pun berat penyakit seorang asalkan dia mau mengobati ditanggung pasti akan sembuh kembali. Cuma dia mempunyai suatu sifat yang aneh. Ia bilang manusia hidup di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir, bila dia terlalu banyak menyembuhkan orang sehingga mengurangi orang mati, tentu akibatnya dunia akan terlalu banyak orang hidup dan sedikit orang mati, kelak jika dia sendiri mati tentu Giam-lo-ong (raja akhirat) akan minta pertanggungjawabannya ...."

Sampai di sini anak muridnya sama tertawa geli. Tapi Gak-hujin telah melanjutkan, "Sebab itulah dia mengadakan suatu ketentuan, setiap kali menyembuhkan seorang, maka dia juga harus membunuh satu orang sebagai imbalannya. Sebaliknya kalau dia membunuh satu orang tentu pula akan menghidupkan seorang sakit sebagai gantinya. Dengan demikian supaya Giam-lo-ong tidak dibikin rugi."

Kembali para muridnya sama tertawa. Leng-sian bertanya pula, "Tabib sakti Peng It-ci itu benar-benar sangat kocak. Tapi mengapa dia pakai nama It-ci (satu jari), memangnya apakah dia hanya punya sebuah jari tangan?"

"Tidak, Peng-tayhu (tabib Peng) punya sepuluh jari seperti orang biasa," tutur Gak Put-kun, "dia mengaku bernama It-ci, maksudnya baik membunuh orang atau mengobati orang cukup memakai sebuah jari saja."
"O, kiranya demikian. Jika begitu tentu ilmu Tiam-hiat sangat lihai?" kata Leng-sian.
"Jarang sekali ada orang bergerak dengan Peng-tayhu itu," sahut Gak Put-kun. "Yang terang setiap orang Bu-lim mengetahui ilmu pertabibannya sangat lihai, boleh jadi setiap waktu memerlukan pertolongannya, maka setiap orang rada segan padanya. Tapi kalau tidak sangat terpaksa juga tak berani minta pengobatan padanya."

"Sebab apa?" tanya Leng-sian.

"Habis kalau menurut ketentuannya menyembuhkan seorang harus membunuh pula seorang sebagai imbalannya, bilamana orang itu kebetulan adalah sanak kadang atau sobat handainya, bukankah hal ini akan membuatnya serbasulit?"

"Ya, Peng-tayhu itu benar-benar sangat aneh perangainya," kata para murid.

"Jika demikian, penyakit Toasuko tak dapat minta pertolongannya," ujar Leng-sian.

Sejak tadi Lenghou Tiong hanya mendengarkan cerita sang guru dan ibu gurunya tentang tabib sakti pembunuh yang aneh itu. Demi mendengarkan ucapan Siausumoay, ia hanya tersenyum hambar dan berkata, "Ya, jangan-jangan dia sudah menyembuhkan aku, lalu menyuruh aku membunuh Siausumoayku sendiri."

Para murid Hoa-san-pay kembali tertawa riuh. Leng-sian juga tertawa dan berkata, "Peng-tayhu itu tidak kenal aku, buat apa dia menyuruhmu membunuh aku?" Lalu ia berpaling kepada Gak Put-kun dan bertanya, "Ayah, sebenarnya Peng-tayhu itu tergolong orang baik atau jahat?"

"Menilik sifatnya yang aneh dan kelakuannya yang tak menentu, dia boleh dikata berada di antara yang baik dan yang jahat," ujar Put-kun.

"Ah, mungkin orang Kangouw sengaja membesar-besarkan persoalannya," kata Leng-sian. "Setiba di Kayhong nanti aku ingin berkunjung pada Peng-tayhu itu."

"Hus," bentak Put-kun dan istrinya berbareng. "Jangan kau cari gara-gara. Orang aneh begitu masakah dapat kau kunjungi sesukamu? Kedatangan kita ini adalah untuk pesiar dan bukan ingin mencari perkara."

Melihat ayah-bundanya marah, Leng-sian tidak berani bicara lagi walaupun penuh keheranan terhadap si tabib sakti pembunuh itu.

Besok paginya lewat tengah hari perahu mereka sudah sampai di dermaga Kayhong, cuma untuk masuk ke kota masih ada beberapa li jauhnya.

"Di sebelah barat daya Kayhong ada suatu tempat, di mana leluhur Gak kita pernah sangat terkenal, tempat itu harus kita kunjungi," demikian kata Put-kun dengan tertawa.

"Ya, betul, tempat itu pasti Cu-sian-tin adanya," seru Leng-sian sambil tertawa senang. "Di situlah kakek moyang kita Gak Peng-ki (Gak Hui) mengalahkan tentara Kim secara besar-besaran."

Dan begitu perahu mereka merapat ke dermaga, segera Leng-sian mendahului melompat ke daratan dan berseru, "Ayo, lekas berangkat ke Cu-sian-tin, lalu makan malam di kota Kayhong."

Beramai-ramai semua orang lantas ikut mendarat. Sebaliknya Lenghou Tiong masih tetap duduk di buritan perahu.

"Ayo, Toasuko, apa engkau tidak ikut?" seru Leng-sian.

Sesudah kehilangan tenaga dalam Lenghou Tiong selalu merasa lelah dan malas bergerak, maka kepergian semua orang itu kebetulan baginya untuk belajar memetik kecapi. Apalagi dilihatnya Lim Peng-ci berdiri di sisi Leng-sian dengan sangat mesra, semakin dinginlah hatinya, maka jawabnya, "Tidak, aku tidak sanggup berjalan terlalu lama."

"Baiklah, boleh mengaso saja di sini, dari kota nanti akan kubawakan beberapa kati arak enak," kata Leng-sian pula.

Begitulah dengan perasaan pedih Lenghou Tiong menyaksikan keberangkatan si nona yang didampingi Peng-ci itu, Jing-sim-boh-sian-ciu yang dilatihnya itu sudah berhasil menyembuhkan luka dalamnya, tapi apa artinya lagi hidup di dunia ini? Seketika itu ia merasa segala macam pahit getir orang hidup seakan-akan membanjir tiba, dadanya terasa sesak, napas tersengal-sengal, segera perutnya kesakitan pula ....

Sementara itu Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci yang jalan bersama itu asyik bicara dengan kasih mesra sehingga tanpa terasa mereka sudah jauh meninggalkan rombongan.

Gak-hujin mengedipi sang suami dan memandang kedua muda-mudi yang berjalan jauh di depan itu. Gak Put-kun tahu maksud sang istri, ia tertawa sambil mempercepat langkahnya. Hanya sekejap saja suami istri itu sudah menyusul sampai di belakang Leng-sian dan Peng-ci. Dengan tindakan mereka yang cepat, mereka tanya arahnya kepada orang di tepi jalan, lalu empat orang mendahului menuju ke Cu-sian-tin.

Ketika hampir sampai di kota kecil itu, terlihat di tepi jalan ada sebuah kelenteng, papan di atas pintu kelenteng itu tertulis "Nyo-ciangkun-bio" (kelenteng panglima Nyo).

"Ayah, kutahu kelenteng ini adalah tempat pemujaan panglima Nyo Cay-hin yang kejeblos di dalam sungai Siau-sian-ho yang beku itu sehingga mati dihujani panah pasukan musuh," kata Leng-sian.

"Betul," sahut Put-kun. "Nyo-ciangkun gugur di medan bakti, sungguh membikin orang kagum padanya. Marilah kita masuk ke dalam untuk melihatnya."

Karena muridnya yang lain masih ketinggalan jauh di belakang, tanpa menunggu lagi mereka berempat lantas masuk ke dalam kelenteng. Patung Nyo Cay-hin yang dipuja itu tampak sangat gagah dan tampan, Leng-sian memandang sekejap ke arah Peng-ci, diam-diam timbul maksudnya membandingkan Toapekong yang tampan itu dengan Lim Peng-ci.

Belum lagi mereka sempat bicara, pada saat itu juga di luar kelenteng tiba-tiba ada suara orang berkata, "Aku tahu Toapekong yang dipuja di dalam kelenteng panglima Nyo ini pasti Nyo Cay-hin adanya."

Mendengar suara orang itu, seketika air muka Gak Put-kun dan istrinya berubah pucat berbareng mereka sama meraba pedang yang tergantung di pinggang masing-masing.

Dalam pada itu terdengar seorang lain lagi bicara, "Di zaman dahulu panglima she Nyo teramat banyak, dari mana kau yakin Toapekong yang dipuja ini adalah Nyo Cay-hin dan bukan Nyo Leng-kong dan panglima Nyo yang lain?"

"Tidak, aku tahu pasti adalah Nyo Cay-hin," demikian orang yang pertama tetap ngotot.

Kiranya dari suara orang-orang itu dapatlah Gak Put-kun dan istrinya mengenali mereka bukan lain daripada Tho-kok-lak-sian.

Cepat ia memberi isyarat, segera bersama sang istri serta Peng-ci dan Leng-sian mereka sembunyi di belakang patung. Ia dan istrinya sembunyi di sisi kiri, Leng-sian dan Peng-ci di sebelah kanan.

Diam-diam Put-kun merasa cemas bilamana sebentar lagi rombongan Lo Tek-nau dan lain-lain datang, tentu mereka akan kepergok dan ini berarti malapetaka bagi mereka.

Dalam pada itu karena pertengkaran mengenai Toapekong yang dipuja di kelenteng itu, akhirnya salah seorang dari manusia aneh itu berkata, "Coba kita melihatnya ke dalam kelenteng."

Menyusul seorang di antaranya lantas berteriak, "Aha, coba lihat! Bukankah di atas situ jelas tertulis patung yang dipuja ini adalah patung Nyo Cay-hin?"

Ternyata yang bicara itu adalah Tho-ki-sian. Kemudian ia berseru pula, "Wahai Nyo Cay-hin, asalkan kau memberkahi Lakte kami agar jangan mati, boleh juga aku menjura beberapa kali padamu. Biarlah sekarang juga aku memberi persekot lebih dulu."

Habis berkata ia terus berlutut dan menyembah.

Mendengar itu, Put-kun saling pandang sekejap dengan sang istri, air muka mereka sama memperlihatkan rasa lega dan girang. Pikir mereka, "Dari ucapannya tadi agaknya orang yang tertusuk pedangnya itu belum mati."

Sementara itu Tho-hoa-sian lagi ikut berkata, "Tapi bagaimana kalau Lakte jadi mati?"

"Kalau Lakte sampai mati, tentu patung ini akan kuhancurkan, lalu akan kukencingi pula," sahut Tho-ki-sian.

"Tapi kalau Lakte benar-benar mati, apa gunanya kau mengencingi dan bahkan memberaki sekalipun juga percuma," ujar Tho-hoa-sian.

"Benar juga," sahut Tho-ki-sian. "Mari kita kembali ke sana untuk tanya dia apa Lakte dapat disembuhkan, bila sudah sembuh baru kita datang ke sini untuk sembahyang, kalau tidak dapat sembuh akan kita beraki."

"Wah, kalau Lakte tidak dapat disembuhkan, lalu kita tidak kencing dan tidak berak, apa perut kita takkan kembung?" kata Tho-kin-sian.

"Ya, betul, jika kita tidak berak dan tidak kencing, tentu kita akan mati kembung," seru Tho-kan-sian. Maka menangislah dia dengan sedih.

Mendadak Tho-ki-sian bergelak tertawa, "Jika Lakte tidak mati, bukankah sia-sia saja kau menangis?
Ayo pergi ke sana, kita harus tanya yang jelas kalau perlu baru menangis."

Begitulah kelima orang itu sambil ribut mulut terus keluar lagi dari kelenteng dengan langkah cepat.

"Entah bagaimana keadaan orang aneh yang kau tusuk itu? Sumoay, hendaknya kau tunggu di sini bersama Peng-ci dan Sian-ji, biar kuperiksa ke sana," kata Put-kun.

"Daripada sendirian menghadapi bahaya, biar kupergi bersamamu," kata Gak-hujin, habis itu segera ia mendahului keluar kelenteng.
Gak Put-kun juga tidak banyak bicara pula, segera mereka berdua mengikuti jejak kelima orang aneh tadi. Dari jauh tertampak Tho-kok-ngo-koay itu membelok ke suatu tanah tanjakan melalui suatu jalan kecil. Sepanjang jalan kelima orang itu masih terus ribut mulut sehingga memudahkan penguntitan Gak Put-kun berdua.

Sesudah menyusuri jalan pegunungan itu, tertampaklah di balik beberapa puluh pohon Liu yang rindang di depan sana ada sebuah sungai kecil, di tepi sungai sana ada beberapa buah rumah genting.
Terdengar suara ribut kelima orang aneh itu menggema masuk ke rumah genting itu.

"Mari kita mengitar ke belakang rumah," ajak Put-kun kepada istrinya.

Dengan Ginkang yang tinggi suami istri lantas mengitar jauh ke belakang rumah-rumah genting itu. Sesudah dekat, terlihat di belakang rumah itu pun terdapat sebaris pohon Liu yang rindang, kedua orang lantas sembunyi di balik semak pohon.

Terdengar suara Tho-kok-ngo-koay lagi berkaok-kaok di dalam rumah, "He, kau telah membunuh Lakte kami."

"Wah ken ... kenapa kau membedah dadanya?"

"Keparat, kami harus cabut nyawamu sebagai ganti nyawa Lakte! Kami harus bedah juga dadamu!"

"Ai, Lakte, sedemikian ngeri kematianmu, biar kami selamanya takkan ... takkan berak agar mati kembung bersamamu!"

Begitulah Ngo-koay itu berteriak dan berjingkrak tak keruan.

Gak Put-kun terkejut, pikirnya, "Kenapa ada orang membedah dada Lakte mereka?"

Perlahan mereka lantas merunduk maju, sampai di bawah jendela, mereka coba mengintip ke dalam rumah melalui celah-celah.

Tatkala itu hari sudah mulai gelap, di dalam rumah tampak terang benderang dengan beberapa buah pelita. Di tengah rumah tertaruh sebuah dipan dan di atasnya terbaring seorang lelaki dalam keadaan telanjang bulat. Dadanya telah terbedah, darah mengucur. Kedua mata orang itu tampak tertutup rapat, agaknya sudah mati sekian saat.

Dari wajahnya segera Gak-hujin mengenalnya sebagai Tho-sit-sian yang terkena tusukan pedangnya di puncak Hoa-san tempo hari. Tho-kok-ngo-koay tampak berkerumun di sekitar saudara mereka dan mencaci maki kepada seorang laki-laki pendek gemuk.

Laki-laki buntak itu tingginya tidak lebih dari empat kaki, tapi lebar pundaknya juga hampir empat kaki, kepalanya sangat besar, pakai kumis tikus, mukanya sangat lucu. Kedua tangannya berlumuran darah, tangan kanan memegang pisau yang juga berlepotan darah.

Dengan mata melotot ia pandang Ngo-koay yang sedang berkaok-kaok itu, selang sejenak dengan suaranya yang berat barulah ia tanya, "Sudah habis belum kentut kalian?"

"Sudah, kau sendiri mau kentut apa?" sahut Tho-kok-ngo-koay berbareng.

"Dada saudara kalian yang lebih mirip mayat hidup ini terkena pedang, dari tempat jauh kalian membawanya kemari dan minta aku menolong jiwanya," demikian kata si buntak. "Tapi perjalanan kalian terlalu lambat, lukanya telah membusuk, urat nadinya juga kacau, untuk menolong jiwanya tidaklah sukar, tapi sesudah sembuh ilmu silatnya akan punah, setengah badan bagian bawah akan lumpuh. Orang cacat begitu apa gunanya biarpun disembuhkan?"

"Biarpun cacat juga lebih baik daripada mati," kata Tho-kin-sian.

"Tidak bisa," teriak si buntak dengan gusar. "Kalau mau mengobati orang harus kusembuhkan betul-betul, kalau menyembuhkan orang menjadi cacat ke mana mukaku ini harus ditaruh? Sudahlah, aku tidak jadi mengobati dia, tidak jadi! Lekas kalian gotong pergi mayat hidup ini!"

"Jika kau tidak mampu menyembuhkan Lakte kami, kenapa kau membedah dadanya?" tanya Tho-kan-sian. "Sebenarnya kau ... kau ...."

"Hm, coba katakan, apa julukanku?" tanya si buntak dengan mendengus.

"Julukan setanmu adalah Sat-jin-beng-ih!" sahut Tho-kan-sian.

Seketika Gak Put-kun dan istrinya terkesiap dan saling pandang. Kiranya si buntak yang berwajah lucu itu tak-lain tak-bukan adalah si tabib sakti pembunuh Peng It-ci yang maha termasyhur itu

Dalam pada itu terdengar Peng It-ci sedang berkata pula, "Jika sudah tahu aku berjuluk 'Sat-jin-beng-ih', kalau cuma membunuh satu orang masakah kau parau?"

"Apa sulitnya membunuh satu orang?" kata Tho-hoa-sian. "Jika kau cuma pandai membunuh orang dan tak becus mengobati orang, kan percuma saja julukanmu memakai kata 'Beng-ih' segala?"

"Siapa bilang aku tidak becus mengobati orang?" teriak Peng It-ci dengan gusar, "Aku telah membedah dada mayat hidup ini, sesudah kusambung urat nadinya, setelah sembuh nanti dia akan sehat seperti sediakala, ilmu silatnya juga takkan punah. Dengan demikian barulah kelihatan kepandaian Sat-jin-beng-ih!"

"Aha, kiranya kau dapat menyelamatkan Lakte kami, jika begitu kami telah salah mengomelimu," seru Ngo-koay bersama. "Ayolah lekas bekerja, dada Lakte telah kau bedah, darahnya mengucur terus, kalau tidak lekas diobati tentu akan terlambat."

"Tabibnya kau atau aku?" tiba-tiba Peng It-ci bertanya.

"Sudah tentu engkau, buat apa tanya lagi?"

"Jika aku, dari mana kau mengetahui terlambat atau tidak? Sesudah membedah dadanya mestinya aku sudah siap mengobati dia, tapi kalian berlima setan alas ini keburu datang lantas ribut tak keruan, padahal aku menyuruh kalian pergi pesiar seharian penuh, mengapa kalian sedemikian cepat kembali. Lalu cara bagaimana aku sempat mengobati dia?"

"Lekas mulai saja, kau sendiri yang rewel, mengapa bilang kami yang ribut?" sahut Tho-kan-sian.

Peng It-ci mendelik pula padanya. Sekonyong-konyong ia membentak, "Ambilkan jarum dan benang!"

Tho-kok-ngo-koay dan Gak Put-kun suami-istri sampai terkejut oleh suara bentakannya yang menggeletar itu. Maka tertampaklah seorang wanita tinggi kurus melangkah masuk ke dalam ruangan dengan membawa sebuah nampan, tanpa bersuara nampan itu ditaruhnya di atas meja.

Usia wanita itu antara 40-an tahun, wajahnya pucat bagai mayat, matanya sayu, seperti orang sakit-sakitan.

"Kalian minta aku menyelamatkan kawanmu ini, apakah kalian sudah tahu peraturanku?" tiba-tiba Peng It-ci tanya Ngo-koay.

"Sudah tentu tahu," sahut Ngo-koay. "Tak peduli membunuh siapa, silakan mengatakan saja, kami berenam saudara pasti akan menurut."

"Baiklah jika begitu," ujar Peng It-ci. "Tapi sekarang aku belum tahu siapa orang yang harus dibunuh. Nanti kalau aku sudah ingat baru akan kukatakan. Sekarang kalian harus berdiri di pinggir sana, dilarang mengeluarkan suara, asal bersuara sedikit saja segera aku akan berhenti kerja, dan mati atau hidup kawanmu ini aku tidak peduli lagi."

Selama hidup Tho-kok-lak-sian tak pernah diperintah orang sesukanya, sekarang mereka diharuskan berdiri diam, dilarang mengeluarkan suara, padahal ribut mulut adalah kegemaran mereka. Keruan larangan itu lebih menderita daripada mereka dipukul.

Tapi demi untuk menyelamatkan saudara mereka, tiada jalan lain terpaksa mereka berdiri dengan mulut tertutup dan mata mendelik penuh mendongkol.

Sementara itu Peng It-ci telah ambil sebuah jarum besar dari nampan di atas meja, dipasang seutas benang putih bening lalu mulai menjahit dada Tho-sit-sian yang terbedah itu.

Jangan dikira kesepuluh jarinya itu pendek dan kasar sehingga mirip sepuluh batang wortel, gerak-geriknya ternyata sangat lincah melebihi anak gadis yang pandai menyulam.
Hanya sekejap saja sudah selesai menjahit rapat jalur luka sepanjang belasan senti itu.

Agaknya sudah lama Tho-sit-sian tak sadarkan diri, sama sekali ia tidak bersuara. Maka dengan leluasa Peng It-ci membubuhkan macam-macam obat di atas lukanya. Lalu ia mencekoki Tho-sit-sian dengan beberapa macam air obat pula, akhirnya noda darah di badannya dibersihkan dengan sepotong kain basah.

Si wanita tinggi kurus setengah umur itu sejak tadi membantunya dari samping mengembalikan jarum, memberikan obat gerak-geriknya juga sangat cepat dan lancar.

Kemudian Peng It-ci memandang Tho-kok-ngo-koay, tertampak bibir kelima orang itu bergerak-gerak, terang mereka ingin lekas-lekas diperbolehkan bicara.

"Kawanmu ini belum lagi hidup kembali, tunggu sesudah dia sadar baru kalian boleh bicara," kata Peng It-ci.

Keruan Tho-kok-ngo-koay sangat mendongkol dan serbarunyam.

Peng It-ci tidak menggubrisnya lagi, ia duduk sendiri di samping. Ngo-koay hanya saling pandang saja dengan menyengir.

Wanita tinggi kurus itu lantas menyingkirkan nampan yang berisi jarum dan peralatan lain.

Gak Put-kun bersama istrinya yang mengintip di luar jendela pun menahan napas. Dalam keadaan sunyi senyap itu, asal sedikit bergerak saja pasti akan diketahui oleh orang-orang yang berada di dalam rumah.

Dalam keadaan sunyi senyap tiba-tiba dari kamar sebelah ada orang bertanya dengan suara serak, "Sute, hidup tidak orang yang kau obati?"

"Sudah tentu hidup, masakah pasienku bisa mati?" sahut Peng It-ci.

Lalu terdengar suara pintu didorong, seorang kakek gemuk melangkah masuk. Orang ini lebih tinggi sedikit daripada Peng It-ci, rambutnya beruban semua, mukanya sudah keriput.

Sesudah mendekati Tho-sit-sian yang terbaring itu, mendadak kakek itu tabok "Pek-hwe-hiat" di atas ubun-ubun Tho-sit-sian.

Serentak enam orang menjerit bersama, yang lima orang adalah Tho-kok-ngo-sian, yang satu lagi adalah Tho-sit-sian yang tadinya tak bisa berkutik itu, tapi sekarang ia dapat bersuara terus bangkit duduk sambil memaki, "Keparat, mengapa kau pukul kepalaku?"

Si kakek beruban balas memaki, "Keparat, jika Locu tidak menyalurkan hawa murni ke Pek-hwe-hiatmu, apa kau bisa sembuh begini cepat?"

"Persetan, Locu akan sembuh dengan cepat atau lambat, peduli apa denganmu?" sahut Tho-sit-sian.

"Keparat, Locu ada urusan penting yang harus berunding dengan Suteku, jika kau terus menggeletak tak bisa sembuh bukankah Locu harus menunggu lama?" semprot si kakek pula.

"Baik, biar Locu pergi sekarang juga, memangnya Locu ingin tinggal di sini?" sahut Tho-sit-sian. Habis berkata, serentak ia berdiri terus melangkah pergi.

Melihat saudaranya sekali bilang pergi segera juga pergi, sembuhnya sedemikian cepat, keruan Tho-kok-ngo-sian terkesiap dan bergirang pula. Mereka ikut di belakang Tho-sit-sian dan pergi tanpa pamit.

Terkejut Gak Put-kun dan istrinya, bahwa ilmu pertabiban Peng It-ci benar-benar sangat menakjubkan, Lwekang Suhengnya itu juga luar biasa, hanya sekali tabok saja telah menyalurkan tangan murni melalui Pek-hwe-hiat di ubun-ubun kepala Tho-sit-sian dan membuatnya sadar seketika.

Dalam pada itu Tho-kok-lak-sian sudah pergi jauh, sedangkan si kakek beruban telah duduk berhadapan dengan Peng It-ci di dalam kamar, maka Gak Put-kun dan istrinya tidak berani sembarangan bergerak lagi, mereka tahu betapa lihainya kedua orang di dalam rumah itu, jika sekarang mereka bergerak pergi tentu akan ketahuan, terpaksa mereka harus menunggu kesempatan lain lagi.

Terdengar si kakek beruban sedang tanya Peng It-ci, "Kau hendak menyuruh Tho-kok-lak-sian membunuh siapa?"
"Sekarang aku belum ingat siapa yang harus dibunuh," sahut Peng-It-ci. "Eh, Suko, menurut pendapatmu sebaiknya suruh mereka membunuh siapa?"

"Dari mana aku bisa tahu apa kehendak yang terkandung di dalam hatimu?" sahut si kakek. Setelah merandek sejenak, lalu ia meneruskan, "Kukira akan kau peralat mereka untuk membantumu pergi ke Jian-jiu-kiong untuk mengambil pusaka, bukan?"

"Hm, mengambil pusaka ke Jian-jiu-kiong?" jengek Peng It-ci. "Sekali kau Pek-hoat-tongcu sudah menyatakan akan pergi ke sana, di dunia ini siapa lagi yang berani berebut denganmu?"

Mendengar sampai sini, Gak Put-kun mengangguk-angguk terhadap sang istri, katanya di dalam hati, "Kiranya kakek ini adalah Pek-hoat-tongcu (si bocah berambut ubanan) Yim Bu-kiang. Konon orang ini berhati kejam, membunuh mata pun tidak berkedip, namun sudah 20-an tahun lamanya jarang terdengar namanya, tak tersangka bahwa dia adalah Suheng si tabib sakti pembunuh Peng It-ci."

Sebaliknya Gak-hujin tidak tahu asal usul Pek-hoat-tongcu segala, cuma dari anggukan sang suami serta matanya yang penuh rasa waswas itu segera ia pun paham asal usul si kakek beruban itu pasti tidak sembarangan.

Dalam pada itu si kakek beruban, Pek-hoat-tongcu Yim Bu-kiang, tampak sedang berjingkrak tertawa kekanak-kanakan dan berkata, "Sute, dahulu waktu Jian-jiu-kiong dibuka, tatkala itu aku baru saja mulai meyakinkan Liong-siang-ciang (pukulan naga dan gajah), aku menyadari belum mampu memasuki istana itu. Kini sesudah dengan susah payah menunggu 30 tahun dengan sendirinya aku akan mencoba-cobanya. Padahal jika kau pergi bersama aku juga boleh, kita berdua bergabung tentu jauh lebih kuat daripada aku pergi sendiri."

"Sudah, sudah, lebih baik aku tidak pergi ke Jian-jiu-kiong dan kita masih tetap berhubungan dengan baik," sahut Peng It-ci. "Tapi sekali timbul maksudku akan pergi ke sana, mungkin sebelum meninggalkan Cu-sian-tin ini jiwaku sudah melayang di bawah Liong-siang-ciangmu. Di dunia ini terang tiada tabib sakti pembunuh yang mampu menyembuhkan aku?"

"Hah, orang yang terkena pukulan Liong-siang-ciangku, sekalipun kau si tabib sakti sendiri yang mengobati juga belum tentu mampu menolongnya," ujar Yim Bu-kiang dengan tertawa.

"Benar," sahut Peng It-ci, "membunuh orang lebih gampang daripada menolong orang, ini memang kenyataan yang tak terbantahkan."

"Ya, tapi itu pun harus dilihat siapa yang akan dibunuh dan siapa yang hendak ditolong," kata Yim Bu-kiang. "Umpama orang ingin membunuh aku Pek-hoat-tongcu, terang tidak gampang."

"Tepat, sangat tepat," seru Peng It-ci. "Selama ini entah berapa banyak orang Kangouw yang ingin mencacah dirimu, tapi Yim-suhengku ini toh bisa hidup langgeng sampai rambut pun sudah ubanan semua.
Tampaknya engkau masih dapat hidup aman sentosa untuk 60-70 tahun lagi."

"Hahahaha!" Yim Bu-kiang bergelak tertawa. "Usiaku sekarang sudah 74, jika hidup 60-70 tahun lagi bukankah akan berubah menjadi siluman?"

"Suko," tiba-tiba Peng It-ci berkata, "sekarang juga aku akan pergi mengobati seorang, apakah engkau ada minat untuk ikut pergi berjalan-jalan."

"Memangnya aku sudah merasa sebal meringkuk di gubukmu ini, ikut pergi berjalan-jalan akan lebih baik," sahut Yim Bu-kiang dengan tertawa.

Begitulah kedua orang itu sambil bicara terus berjalan menuju ke sebuah rumah yang lain.

Gak Put-kun cepat memberi tanda kepada sang istri, dengan hati-hati mereka lantas meninggalkan rumah itu, sesudah beberapa puluh meter jauhnya barulah mereka berani berjalan dengan cepat.

"Lwekang kakek beruban itu agaknya jauh lebih tinggi daripada tabib sakti pembunuh itu," ujar Gak-hujin di tengah jalan. "Suko, sebenarnya dari golongan manakah kedua orang itu?"

"Konon menurut cerita orang bahwa guru Peng It-ci itu adalah seorang Tosu tua yang menyepi di pegunungan Hok-gua-san, soal asal usul dan dari golongan mana tidak ada orang Bu-lim yang tahu," sahut Put-kun.

"Tapi dari tingkah laku mereka berdua tampaknya lebih jahat daripada baiknya," ujar Gak-hujin.

"Karena Tho-kok-lak-sian juga berada di sini, sebaiknya kita lekas meninggalkan tempat ini," ajak Gak Put-kun.

Gak-hujin tidak menanggapi lagi ucapan sang suami, ia merasa nasib mereka benar-benar sedang apes, suami adalah tokoh utama Ngo-gak-kiam-pay yang terhormat, tapi selama beberapa bulan terakhir ini terpaksa harus menyingkir kian kemari seakan-akan di dunia ini tiada tempat meneduh lagi bagi mereka.

Tidak lama kemudian mereka berada kembali di kelenteng, tertampak Leng-sian, Peng-ci, Lo Tek-nau dan murid-murid lain sedang menunggu dengan tidak sabar dan cemas.

"Marilah kita kembali ke perahu," ajak Gak Put-kun.

Para muridnya sudah mendapat tahu bahwa Tho-kok-ngo-sian berada di sekitar situ, maka tanpa bertanya mereka buru-buru ikut berangkat.

Lo Tek-nau cukup paham perasaan sang guru, setiba di perahu segera ia bicara kepada juragan perahu agar segera berangkat. Sudah tentu si tukang perahu sangat heran tanyanya, "Mengapa kita tidak bermalam dulu di sini? Arus sungai sangat deras berlayar di malam hari sangat berbahaya, akan lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi saja."

Segera Tek-nau mengeluarkan lima tahil perak dan diberikan kepada tukang perahu itu, katanya, "Berangkat saja sekarang ini untukmu!"

Karena mendapat persen cukup banyak, pula melihat rombongan Lo Tek-nau sama membawa senjata, mau tak mau si tukang perahu menurut juga walaupun dengan ogah-ogahan.

Tapi baru saja tukang perahu itu hendak angkat sauh, pada saat itulah terdengar suara teriakan Tho-kok-ngo-sian, "Lenghou Tiong! Di mana kau berada, Lenghou Tiong?!"

Seketika air muka Gak Put-kun dan murid-muridnya berubah hebat. Dalam pada itu terlihat ada tujuh orang telah memburu sampai di tepi dermaga. Selain Tho-kok-ngo-sian, yang dua orang lagi ternyata adalah Peng It-ci dan Yim Bu-kiang.

Tho-kok-ngo-sian sudah kenal Gak Put-kun suami istri, begitu melihat dari jauh mereka lantas berjingkrak kegirangan. Sesudah dekat, serentak mereka berlima meloncat ke atas perahu.

Tanpa ayal Gak-hujin lantas melolos pedang dan menusuk ke dada Tho-kin-sian.
Sebelum serangan sang istri dilancarkan, berbareng Gak Put-kun juga sudah mencabut pedang. "Trang", tahu-tahu ia tahan batang pedang sang istri ke bawah, menyusul tangan lain meraup ke depan, ia rampas pedang istrinya itu sambil membisikinya, "Jangan sembrono!"

Nyata Gak Put-kun telah memperhitungkan datangnya Tho-kok-ngo-sian sekaligus itu, andaikan satu-dua orang di antaranya dapat dirobohkan toh pihak sendiri tetap bukan tandingan sisa musuh yang lain.

Dalam pada itu terasa haluan perahu rada tenggelam ke bawah, Tho-kok-ngo-sian sudah berdiri di situ. Tho-kin-sian lantas berseru, "Lenghou Tiong, kau sembunyi di mana? Mengapa tidak lekas keluar?"

Lenghou Tiong menjadi gusar, katanya, "Memangnya aku takut kepada kalian? Buat apa aku sembunyi?"

Pada saat itulah sekonyong-konyong perahu mereka oleng ke kiri, keruan para murid wanita Hoa-san-pay sama menjerit kaget. Syukur perahu itu lantas miring pula ke sebelah lain lalu bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Tahu-tahu di haluan perahu sudah bertambah dua orang, yang seorang adalah si tabib sakti Peng It-ci dan yang lain adalah Suhengnya, Pek-hoat-tongcu Yim Bu-kiang.

Kedua orang ini punya potongan tubuh yang serupa, sudah pendek lagi gemuk, bobot setiap orang sedikitnya 200 kati. Padahal perahu itu cukup besar, daya angkutnya paling sedikit beberapa puluh ribu kati, kalau cuma ditambah dengan muatan empat lima ratus kati saja seharusnya tidak sampai bergoyang. Sebabnya perahu tadi oleh tentulah karena kedua orang itu serentak menggunakan tenaga "Jian-kin-tui" (tekanan ribuan kati) yang lihai.

Diam-diam Gak Put-kun terkejut, pikirnya, "Mengapa mereka berdua menyusul kemari? Jangan-jangan mereka telah mengetahui perbuatan kami yang mengintip tadi? Tho-kok-ngo-koay saja sudah sukar dilayani, sekarang bertambah lagi dua tokoh lihai ini, agaknya jiwa kami hari ini akan melayang di sini."
Tiba-tiba terdengar Peng It-ci berseru, "Yang manakah Lenghou-hengte?"

Nadanya kedengaran sangat sungkan dan hormat.

Perlahan Lenghou Tiong berjalan ke haluan perahu, katanya, "Aku inilah Lenghou Tiong, entah siapakah nama kalian yang mulia dan ada keperluan apa?"

Lebih dulu Peng It-ci mengamati-amatinya sejenak, lalu katanya, "Ada orang minta aku mengobati dirimu."

Habis berkata, sekali tangannya bergerak tahu-tahu pergelangan tangan Lenghou Tiong sudah kena dipegang, jari telunjuknya terus menekan di atas nadinya.
"Heh," mendadak ia bersuara heran sambil berkerut kening. Selang sejenak dahinya terkerut semakin terkejut dan kembali bersuara, "Eh!"

Sambil memeriksa nadi, Peng It-ci menengadah pula sembari garuk-garuk kepala dengan tangan yang lain, ia bergumam heran, "Aneh, sungguh aneh!"

Selang sekian lama baru ia ganti memegang nadi tangan Lenghou Tiong yang lain. Mendadak ia bersin lalu berkata, "Sangat aneh! Selama hidupku belum pernah menemukan penyakit seaneh ini."

"Apanya yang perlu diherankan?" demikian mendadak Tho-kin-sian menukas. "Dia terluka dalam, sudah lama aku menyembuhkan dia dengan hawa murni dari Lwekangku."

"Bukan kau yang menyembuhkan dia, tapi akulah yang menyalurkan tenaga padamu, kalau tidak, bocah ini masakah dapat hidup sampai sekarang?" sela Tho-hoa-sian.

Tho-ki-sian, Tho-yap-sian dan Tho-hoa-sian juga tidak mau kalah, beramai-ramai mereka pun menyatakan dirinya yang menyembuhkan Lenghou Tiong.

"Kentut! Kentut!" sekonyong-konyong Peng It-ci membentak.

"Kentut apa?" sahut Tho-kin-sian dengan gusar. "Kau yang kentut atau kami berlima yang kentut?"

"Kalian berenam yang kentut!" sahut Peng It-ci. "Jelas di dalam tubuh Lenghou-hengte ini ada dua arus hawa murni yang sangat kuat, rasanya adalah tenaga yang disalurkan oleh Put-kay Hwesio, selain itu ada enam arus tenaga pula yang lebih lemah, besar kemungkinan inilah berasal dari kalian berenam manusia tolol ini."

Gak Put-kun saling pandang sekejap dengan istrinya, katanya di dalam hati, "Peng It-ci ini benar-benar luar biasa. Bukan saja sekali pegang nadi dia dapat mengetahui adanya delapan arus tenaga murni yang berbeda di dalam tubuh Tiong-ji itu, anehnya dia dapat mengetahui asal usulnya bahwa dua arus tenaga murni di antaranya adalah berasal dari Put-kay Hwesio."

Dalam pada itu terdengar Tho-kan-sian lagi berseru dengan gusar, "Mengapa kau bilang tenaga kami berenam lebih lemah daripada si kepala gundul Put-kay? Sudah terang tenaga kami lebih kuat, dia punya lebih lemah!"

"Huh, tidak tahu malu," ujar It-ci. "Dengan tenaganya seorang dapat menahan tenaga kalian berenam, apakah ini namanya kalian lebih kuat?"

Sampai mati pun Tho-hoa-sian juga tidak mau mengaku kalah, segera ia pun menjulur sebuah jarinya pura-pura hendak memeriksa nadi Lenghou Tiong, katanya, "Menurut pemeriksaanku tempo hari, terang tenaga kami berenam yang mendesak hawa murni si gundul Put-kay sehingga tak bisa bergerak ...."

Mendadak ia menjerit, jarinya kesakitan seperti digigit orang, cepat ia tarik kembali tangannya sambil berteriak, "Aduh! Keparat!"

Peng It-ci bergelak tertawa senang.

Semua orang tahu tentu tabib sakti itu menggunakan Lwekangnya yang lihai dan melalui tubuh Lenghou Tiong telah "menyetrum" jari Tho-hoa-sian.

Sesudah tertawa, tiba-tiba Peng It-ci menarik muka dan berkata, "Kalian harus menunggu di ruangan perahu sana, siapa pun dilarang bersuara."
"Persetan kau!" semprot Tho-yap-sian. "Kenapa kami harus tunduk pada perintahmu."
"Aku tidak menyuruh kalian tunduk kepada perintahku," sahut Peng It-ci. "Tapi kalian sudah pernah bersumpah akan membunuh seorang bagiku bukan?"

"Ya, aku menyanggupi akan membutuhkan seorang bagimu, tapi toh tidak berjanji akan menurut perintahmu," sahut Tho-ki-sian.

"Menurut perintahku atau tidak memang adalah hak kalian dan terserah kepada kalian untuk menentukannya," kata si tabib sakti. "Tapi bagaimana pendapat kalian seumpamanya kusuruh kalian harus membunuh Tho-sit-sian, orang keenam dari Tho-kok-lak-sian kalian?"

"He, mana bisa jadi! Baru saja kau menyembuhkan dia, mana boleh kau suruh kami membunuhnya?" teriak Tho-kok-ngo-sian berbareng

"Coba jawab, kalian telah bersumpah apa di hadapanku?" tanya Peng It-ci.

"Kami bersumpah apabila engkau dapat menolong jiwa saudara kami Tho-sit-sian, maka permintaanmu agar kami membunuh satu orang bagimu, tak peduli siapa pun yang harus dibunuh pasti akan kami laksanakan dan takkan menolak," sahut Tho-kin-sian.

"Betul. Dan sekarang aku sudah menyelamatkan saudara kalian atau tidak?"

"Sudah!"

"Dia orang atau bukan?"

"Sudah tentu orang, memangnya kau kira dia setan?"

"Bagus, dan sekarang aku minta kalian pergi membunuh satu orang. Orang itu bukan lain adalah Tho-sit-sian!"

Keruan Tho-kok-ngo-sian saling pandang dengan melenggong karena permintaan yang sukar dibayangkan itu.

"Tampaknya kalian enggan membunuh Tho-sit-sian bukan? Baiklah, bila perlu boleh juga dirunding lagi. Pendek kata kalian mau menurut pada perkataanku atau tidak? Aku suruh kalian duduk baik-baik di ruangan perahu sana, siapa pun tidak boleh sembarangan bicara dan bergerak," kata Peng It-ci pula.

Terpaksa Tho-kin-sian berlima mengiakan. Hanya sekejap saja mereka berlima sudah duduk anteng dengan tangan bersimpuh di atas lutut dan tidak berani cerewet lagi.

"Peng-locianpwe," demikian Lenghou Tiong lantas berkata, "konon engkau menolong seseorang selalu dengan satu syarat, yaitu bila orang itu sudah disembuhkan, maka orang itu diharuskan membunuh satu orang bagimu."

"Betul, memang itulah peraturan yang kutetapkan," sahut Peng It-ci.

"Jika demikian Wanpwe tidak sudi membunuh orang bagimu, maka engkau pun tidak perlu menyembuhkan penyakitku," kata Lenghou Tiong.

"Hahahaha!" hanya ini saja reaksi Peng It-ci demi mendengar ucapan Lenghou Tiong itu.

"Hmk!" Yim Bu-kiang juga cuma mendengus.

Kembali Peng It-ci mengamat-amati Lenghou Tiong dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun kepala seakan-akan sedang memeriksa sesuatu barang antik yang aneh dan menarik. Selang sejenak barulah ia membuka suara pula, "Pertama, penyakitmu terlalu berat, aku tidak mampu menyembuhkannya. Kedua, andaikan dapat kusembuhkan juga sudah ada orang lain yang menyanggupi akan membunuh orang bagiku, kau sendiri tidak perlu turun tangan."

Walaupun Lenghou Tiong sudah putus asa dan merasa bosan hidup karena patah hati berhubung cinta Gak Leng-sian telah beralih kepada pemuda lain, tapi kini demi mendengar tabib sakti yang termasyhur ini pun menyatakan tidak mampu menyembuhkan penyakitnya, mau tak mau timbul juga rasa dukanya.

"Sute," tiba-tiba Yim Bu-kiang membuka suara, "siapakah gerangan yang minta kau mengobati pemuda ini? Orang macam apakah yang dapat mengundang 'Sat-jin-beng-ih' keluar dari tempat tinggalnya untuk mengobati orang sakit?"

Peng It-ci menggeleng, sahutnya, "Aku tidak mampu mengobati penyakitnya, aku merasa malu, buat apa membicarakan dia?"

"Biasanya orang yang sudah sekarat, sudah 99 persen juga dapat kau sembuhkan kembali, sekarang pemuda ini tampaknya sehat-sehat saja, kenapa kau malah tidak mampu mengobati dia?" ujar Yim Bu-kiang.

"Di dalam tubuhnya ada delapan arus hawa murni yang aneh, tak dapat dipunahkan dan sukar diatasi, itulah kesukarannya," kata Peng It-ci.

"Masakah begitu lihai?" ucap Yim Bu-kiang. Kedua tangannya segera pegang nadi tangan Lenghou Tiong, tapi hanya sejenak saja ia lantas lepas tangan sambil mendengus, "Hmk!"

"Lenghou-hengte," kata Peng It-ci kemudian, "aku telah diminta orang untuk mengobati penyakitmu, ini menyangkut hawa murni dan Lwekang yang sukar diobati begitu saja seperti penyakit biasa. Selama melakukan pertabiban belum pernah kutemukan penyakit seaneh ini, aku benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa, sungguh aku sangat malu."

Sembari bicara ia pun mengeluarkan sebuah botol porselen, ia menuang keluar sepuluh biji pil berwarna merah tua, katanya pula, "Sepuluh butir 'Tin-sim-li-gi-wan' ini terbuat dari bahan obat-obatan yang sangat berharga. Setiap sepuluh hari boleh kau minum satu biji dan dapat memperpanjang jiwamu selama seratus hari."

Lenghou Tiong menerima pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih.

Peng It-ci lantas putar tubuh, tapi sebelum melompat ke daratan, tiba-tiba ia berpaling dan berkata pula, "Di dalam botol ini masih ada dua butir, biarlah kuberikan sekalian padamu."

Namun Lenghou Tiong tidak mau menerima, jawabnya, "Sedemikian bagus obat ini, tentu Cianpwe masih perlu menggunakannya untuk menolong orang lain, maka lebih baik kau simpan kembali saja. Sekalipun Wanpwe dapat hidup lebih lama sepuluh hari atau dua puluh hari juga tiada faedahnya baik untuk diriku sendiri maupun untuk orang lain."

Untuk sejenak Peng It-ci mengamat-amati Lenghou Tiong pula, katanya kemudian, "Tidak memikirkan mati atau hidup, ini benar-benar jiwa seorang laki-laki sejati."

Lalu ia mengangguk kepada Yim Bu-kiang, kedua orang lantas melompat ke daratan, hanya sekejap saja bayangan mereka sudah lenyap.

Mereka datang dan pergi sesukanya, sama sekali tidak pandang sebelah mata terhadap seorang tokoh seperti Gak Put-kun, keruan Put-kun sangat mendongkol. Cuma di dalam perahu sekarang masih duduk lima orang aneh, cara bagaimana mengenyahkan mereka masih merupakan persoalan.

Tertampak Tho-kok-ngo-sian sedang duduk anteng bagai kaum padri bersemadi tanpa bergerak sedikit pun, jika tukang perahu disuruh menjalankan kendaraan air itu tentunya kelima malaikat maut itu pun terpaksa dibawa serta. Jika perahu tidak diberangkatkan, lalu sampai kapan kelima orang itu mau pergi, jangan-jangan mereka akan menyerang mendadak untuk membalas dendam dilukainya Tho-sit-sian oleh Gak-hujin.

Begitulah diam-diam Gak Put-kun serbasusah, begitu pula Lo Tek-nau, Gak Leng-sian dan murid-murid Hoa-san-pay yang lain, semuanya merasa khawatir dengan beradanya Tho-kok-ngo-sian di atas perahu mereka.

Sementara itu Lenghou Tiong telah masuk ke dalam ruangan perahu, katanya kepada Tho-kok-ngo-sian, "He, buat apa kalian tinggal di sini?"

"Kami harus duduk anteng di sini, tidak boleh sembarangan bicara dan bergerak," sahut Tho-kin-sian.

"Kami sudah akan berangkat, silakan kalian naik ke daratan saja," kata Lenghou Tiong.

"Menurut pesan tabib Peng It-ci, kami disuruh duduk baik-baik di dalam perahu ini, kalau kami sembarangan omong dan bergerak tentu kami akan disuruh membunuh saudara kami sendiri. Sebab itulah kami harus duduk saja di sini dan tak berani bergerak dan sembarangan bicara," demikian sahut Tho-kan-sian.

Tak tertahan rasa gelinya, Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Sudah sejak tadi Peng-tayhu (tabib Peng) telah mendarat, kalian sudah boleh sembarangan omong dan bergerak."

"Tidak boleh, jika tingkah laku kami sampai dilihatnya tentu urusan bisa runyam," ujar Tho-hoa-sian sambil menggeleng.

Pada saat itulah tiba-tiba di daratan sana ada suara seorang yang agak serak sedang berseru, "He, di mana beradanya kelima makhluk yang tidak mirip manusia dan tidak mirip setan itu?"
"Siapa yang dia maksudkan, apa kita?" demikian kata Tho-kin-sian.
"Kukira bukan, memangnya kita tidak mirip manusia dan tidak mirip setan?" ujar Tho-kan-sian.

Dalam pada itu orang tadi sedang berseru lagi, "Di sini pun kubawa suatu makhluk yang tidak mirip manusia dan tidak mirip setan, dia baru saja disembuhkan oleh Peng-tayhu. Kalian mau ambil kembali dia atau tidak? Kalau tidak, biar kubuang dia ke dalam sungai untuk umpan ikan."

Mendengar itu, serentak Tho-kok-ngo-sian melompat keluar perahu dan berdiri di tepi dermaga. Terlihat wanita setengah umur yang tinggi kurus pembantu Peng It-ci yang menjahit dada Tho-sit-sian ketika dibedah itu sedang berdiri di sana, tangan kiri wanita itu menjulur lurus ke samping menjinjing sebuah usungan, di atas usungan itu Tho-sit-sian tampak rebah telentang.

Sungguh tidak nyana wanita yang tampaknya kurus kering itu ternyata bertenaga sedemikian besar, ia jinjing tubuh Tho-sit-sian yang beratnya ratusan kati ditambah dengan usungan kayu itu, tampaknya sedikit pun tidak makan tenaga.

Begitulah cepat-cepat Tho-kin-sian menanggapi ucapan wanita tadi, "Sudah tentu kami mau, mengapa tidak?"

"Kenapa kau memaki orang? Mengapa kau bilang kami tidak mirip manusia dan tidak mirip setan?" semprot Tho-kan-sian.

"Padahal rupanya juga tidak lebih cakap daripada kita," demikian mendadak Tho-sit-sian yang menggeletak di atas usungan itu menimbrung.

Kiranya sesudah luka Tho-sit-sian dijahit rapat kembali oleh Peng It-ci dan diberi obat mujarab, kemudian ubun-ubunnya ditabok sekali oleh Yim Bu-kiang, saluran hawa murni itu seketika membuatnya dapat bergerak kembali.

Cuma dia sudah terlalu banyak kehilangan darah, tidak jauh ia berjalan lantas jatuh pingsan lagi, si wanita setengah umur itu lantas membawanya kembali ke sana. Dalam keadaan payah toh sifat Tho-sit-sian yang tidak mau kalah bicara itu tetap dipertahankan, segera ia balas mengolok-olok wanita itu.

Maka wanita itu berkata pula dengan dingin, "Apakah kalian tahu, selama hidup Peng-tayhu itu, apa yang paling ditakutinya?"

"Tidak tahu," sahut Tho-kok-lak-sian berbareng. "Dia takut apa?"
"Dia paling takut bini!" ucap si wanita.

Bab 50. Minum Arak Juga Ada Seninya

"Hahahaha!" Tho-kok-lak-sian bergelak tertawa. "Orang yang tidak takut langit dan tidak gentar pada bumi seperti dia ternyata takut bini. Haha, sungguh menggelikan!"

"Apa yang menggelikan? Aku inilah bininya!" jengek si wanita.

Seketika Tho-kok-lak-sian bungkam, tidak berani bersuara lagi.
Maka si wanita berkata pula, "Segala perintahku tentu akan dia turut. Jika aku ingin membunuh siapa tentu dia akan menyuruh kalian membunuhnya."

"Ya, ya, entah Peng-hujin ingin membunuh siapa?" sahut Tho-kok-lak-sian.

Wanita itu tidak menjawab, tapi sorot matanya yang tajam terus menatap ke arah Gak Put-kun, lalu Gak-hujin, Gak Leng-sian dan lain-lain.
Semua orang sama mengirik karena sinar matanya yang tajam itu.

Mereka tahu, asalkan wanita bermuka buruk ini menuding salah seorang di antara mereka, seketika juga Tho-kok-ngo-sian pasti akan melompat maju dan menyobeknya, sekalipun tokoh terkemuka seperti Gak Put-kun juga sukar terhindar dari malapetaka.
Sorot mata wanita itu perlahan dialihkan kembali ke arah Tho-kok-lak-sian. Hati keenam orang aneh itu berdebar-debar.

"Hmk!" wanita itu mendengus.

"Ya, ya," cepat Tho-kok-lak-sian menjawab bersama.

"Sekarang aku belum tahu akan membunuh siapa," kata wanita itu. "Tapi Peng-tayhu sudah mengatakan bahwa di dalam perahu ini ada seorang tuan Lenghou ... Lenghou Tiong yang sangat dihormati olehnya, karena itu kalian harus melayani dia sebaik-baiknya sampai Lenghou-siansing itu meninggal dunia. Apa yang dikatakan Lenghou-siansing harus kalian kerjakan, segala perintahnya harus kalian turut dan tidak boleh membantah."

"Melayani dia sampai dia meninggal dunia?" Tho-kok-lak-sian menegas dengan ragu.

"Ya, melayani dia sampai dia meninggal dunia," sahut Peng-hujin. "Cuma jiwanya hanya tinggal 100 hari saja, dalam 100 hari ini kalian harus menurut segala perintahnya."

Mendengar tugas mereka hanya terbatas 100 hari saja, seketika Tho-kok-lak-sian menjadi girang seru mereka, "Hanya melayani dia 100 hari saja masih boleh juga dan tidak sukar."

Tiba-tiba Lenghou Tiong menyela, "Maksud baik Peng-locianpwe sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Namun Wanpwe tidak berani membikin capek dan dilayani Tho-kok-lak-sian, biarlah silakan mereka mendarat saja, sekarang juga Wanpwe ingin mohon diri."

Wajah Peng-hujin tidak menampilkan sesuatu perasaan senang atau marah, katanya dengan dingin, "Peng-tayhu mengatakan bahwa penyakit Lenghou-hengte itu adalah karena gara-gara keenam orang tolol ini, bukan saja jiwa Lenghou-hengte akan melayang, bahkan membikin malu Peng-tayhu karena tidak sanggup menyembuhkannya sehingga tidak dapat pula bertanggung jawab kepada orang yang minta Peng-tayhu mengobatimu. Untuk ini keenam orang goblok ini harus diberi hukuman yang setimpal. Sebenarnya Peng-tayhu hendak menyuruh mereka membunuh salah seorang saudara mereka sendiri sesuai dengan sumpah mereka, tapi sekarang mereka diberi kelonggaran, mereka hanya dihukum sebagai jongos agar melayani Lenghou-hiante."

Setelah merandek sejenak, kemudian ia menyambung pula, "Dan kalau keenam orang tolol ini berani membantah sesuatu perintahmu, bila diketahui Peng-tayhu, segera juga nyawa salah seorang di antara mereka berenam akan dicabut."

"Karena penyakit Lenghou-hiante ini adalah gara-gara perbuatan kami, memang pantas jika kami merawat dia sebagaimana mestinya, ini namanya laki-laki yang dapat membalas budi," kata Tho-hoa-sian.

"Ya, seorang laki-laki biasanya rela berkorban bagi kesukaran kawan, apalagi cuma merawat penyakit saja," timbrung Tho-ki-sian.

Begitulah, biarpun mau tak mau Tho-kok-lak-sian harus menurut kepada perintah Peng It-ci itu, tapi dasar sifat mereka yang mau menang sendiri, di mulut mereka tetap tidak mau kalah omong.

Dan di tengah cerewet mereka itulah Peng-hujin hanya mendelik saja dan segera tinggal pergi.

Tho-ki-sian dan Tho-kan-sian lantas mengangkat usungan yang berisi Tho-sit-sian itu dan dibawa melompat ke atas perahu dan diikuti saudara-saudaranya yang lain-lain.

Tho-kin-sian lantas berteriak, "Angkat sauh, jalankan perahunya!"

Melihat gelagatnya sudah terang sukar menolak ikut sertanya Tho-kok-lak-sian, segera Lenghou Tiong berkata, "Eh, keenam Tho-heng, boleh juga kalau kalian mau ikut bersama kami. Tapi terhadap guru dan ibu guruku kalian harus bersikap sopan dan hormat, inilah perintahku yang pertama. Jika kalian tidak mau menurut, maka sekarang juga aku menolak pelayanan kalian."

"Tho-kok-lak-sian memangnya adalah laki-laki sopan santun yang termasyhur, jangankan guru dan ibu gurumu, sekalipun murid atau cucumu juga kami akan menghormatinya," demikian sahut Tho-yap-sian.

Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli mendengar dia mengaku sebagai laki-laki yang sopan santun. Segera ia berkata kepada Gak Put-kun, "Suhu keenam Tho-heng ini ingin menumpang perahu kita, entah bagaimana pendapat Suhu?"

Gak Put-kun pikir keenam orang itu sekarang toh tidak sampai mencari perkara kepada Hoa-san-pay, apalagi melihat gelagatnya terang tak bisa mengusir mereka. Untungnya meskipun kepandaian keenam orang itu sangat tinggi, tapi sifatnya dogol dan angin-anginan, jika dilayani dengan akal rasanya masih dapat diatasi. Maka sahutnya kemudian sambil mengangguk, "Baiklah, jika mereka mau menumpang kapal juga boleh. Cuma watakku suka ketenangan, aku tidak suka mendengar mereka ribut mulut dan suka berdebat."

"Ucapan Gak-siansing ini terang salah," kata Tho-kan-sian. "Manusia dilahirkan dengan sebuah mulut, mulut ini selain berguna untuk makan nasi juga perlu untuk bicara. Kecuali itu manusia pun punya sepasang telinga yang gunanya untuk mendengarkan pembicaraan orang lain. Jika sifatmu suka ketenangan, kan sia-sia maksud baik Thian yang menciptakan sebuah mulut dan sepasang telinga bagimu."

Gak Put-kun tahu bila terlibat dalam perdebatan dengan mereka, maka sukarlah untuk berakhir. Maka ia hanya ganda tersenyum saja dan lantas berseru, "Tukang perahu berangkatlah!"

Di tengah suara perdebatan Tho-kok-lak-sian itu si tukang perahu sudah angkat sauh dan menolak perahunya. Tanpa terasa Gak Put-kun dan istrinya memandang sekejap kepada Lenghou Tiong lalu memandang pula kepada Tho-kok-lak-sian, kemudian saling pandang sendiri.

Yang terpikir oleh suami istri itu adalah satu persoalan yang sama, yaitu, "Peng It-ci mengatakan dimintai orang agar mengobati Tiong-ji, dari ucapannya jelas orang yang minta pertolongannya pasti mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan terhormat di Bu-lim sehingga meski dia tidak pandang sebelah mata kepada seorang ketua Hoa-san-pay, sebaliknya berlaku sungkan terhadap seorang murid Hoa-san-pay malah. Sesungguhnya siapakah orang yang minta Peng It-ci mengobati Tiong-ji itu?"

Jika hari biasa tentu sejak tadi mereka suami istri sudah memanggil menghadap Lenghou Tiong untuk dimintai keterangannya. Tapi sekarang tanpa terasa guru dan murid itu sudah timbul macam-macam prasangka, maka suami-istri itu merasa belum tiba waktunya untuk menanyai Lenghou Tiong.

Karena mendapat angin buritan, pula menuju ke hilir, maka perahu itu berlayar dengan sangat lajunya. Waktu berlabuh pada malamnya sudah tidak jauh lagi dari kota Lauhong.

Sementara itu si tukang perahu telah menyiapkan daharan bagi mereka. Selagi mereka hendak bersantap, tiba-tiba ada suara orang berseru lantang di daratan, "Numpang tanya, apakah para kesatria Hoa-san-pay menumpang di perahu ini?"

Sebelum Gak Put-kun menjawab, di sebelah sana Tho-ki-sian sudah mendahului berteriak, "Ya, para kesatria gagah Hoa-san-pay dan Tho-kok-lak-sian berada perahu ini. Ada urusan apa?"

"Syukurlah jika demikian," seru orang itu dengan girang.
"Kami sudah menunggu sehari semalam di sini. Ayo, lekas, lekas dibawa kemari!"

Maka tertampak belasan orang laki-laki kekar terbagi dalam dua barisan berjalan keluar dari sebuah kotak bercat merah.

Seorang laki-laki berbaju biru dan bertangan kosong mendekati perahu, katanya dengan hormat, "Majikan kami mendapat tahu bahwa kesehatan Lenghou-siauhiap terganggu, beliau ikut sangat prihatin, mestinya beliau akan datang menjenguk, cuma sayang tidak keburu pulang, maka hamba sekalian disuruh mengantarkan sedikit oleh-oleh, mohon Lenghou-siauhiap sudi menerimanya."
Rombongan orang-orang itu lantas berjalan ke atas perahu, belasan kotak merah itu ditaruh di geladak perahu.

Lenghou Tiong menjadi heran, ia tanya, "Entah siapakah majikan kalian? Mengapa memberikan hadiah sebanyak ini, sungguh aku merasa malu dan tidak berani menerimanya."

"Bila Lenghou-siauhiap sudah membuka kotak-kotak ini tentu akan tahu sendiri," sahut laki-laki baju biru tadi. "Semoga kesehatan Lenghou-siauhiap selekasnya pulih kembali, untuk itu diharap Lenghou-siauhiap suka menjaga diri baik-baik."

Habis berkata mereka memberi hormat pula lalu mohon diri dan tinggal pergi.

Keruan Lenghou Tiong terheran-heran, katanya, "Sungguh aneh bib ajaib, entah siapakah gerangan orang yang mengantarkan oleh-oleh padaku ini."

Dasar watak Tho-kok-ngo-sian itu memang tidak sabar, beramai-ramai mereka berkata. "Coba buka saja kotak-kotak itu, bukanlah orang tadi mengatakan asalkan kotak-kotak ini dibuka dan segera akan tahu sendiri siapa pengantarnya."

Tanpa disuruh lagi, beramai ramai Tho-kok-ngo-sian lantas membuka tutup kotak-kotak merah itu, maka tertampaklah isi kotak-kotak itu ada penganan alias jajanan yang bagus sekali buatannya, ada panggang ayam, ham dan makanan lain yang cocok untuk minum arak. Bahkan ada pula Jinsom, Yan-oh (sarang burung), Ho-siu-oh dan lain-lain macam bahan obat yang tak ternilai harganya.

Dua kotak paling akhir ternyata penuh berisi emas perak, agaknya disediakan sebagai bekal sangu perjalanan Lenghou Tiong. Melulu isi kedua kotak emas perak ini saja rasanya sudah cukup biaya orang-orang Hoa-san-pay buat beberapa tahun lamanya.

Tho-kok-ngo-sian tidak tahu apa artinya sungkan-sungkan segala, tanpa disuruh lagi segera mereka comot makanan di dalam kotak itu terus dijejalkan ke mulut sambil berteriak teriak, "Enak, lezat sekali!"

Akan tetapi di dalam belasan kotak makanan itu ternyata tiada sesuatu surat atau kartu nama segala, jadi siapa sebenarnya pengirim oleh-oleh itu tetap tidak diketahui.

"Suhu," kata Lenghou Tiong kepada Gak Put-kun, "urusan ini benar-benar membikin bingung padaku. Pengirim oleh-oleh ini tampaknya tidak punya maksud jahat, tapi juga tidak seperti sengaja bergurau."

Sambil berkata ia pun mengambilkan makanan untuk disuguhkan kepada guru dan ibu-gurunya serta para Sute dan Sumoay.

"Apakah kau punya kawan Kangouw yang tinggal di daerah sini?" tanya Put-kun.

Lenghou Tiong berpikir sejenak, sahutnya kemudian sambil menggeleng, "Tidak ada."

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda lari yang ramai, ada delapan penunggang kuda sedang membalap tiba. Seorang di antaranya berseru, "Apakah Lenghou-siauhiap dari Hoa-san-pay berada di sini?"
"Ya, di sini, di sini!" beramai ramai Tho-kok-lak-sian menjawab. "Barang enak apa lagi yang kalian antar kemari?"

"Pangcu kami mendapat tahu akan kedatangan Lenghou-siauhiap, beliau mendengar bahwa Lenghou-siauhiap gemar minum barang beberapa cawan, maka hamba disuruh mencari 16 macam arak enak terpilih dan khusus diantar kemari, mohon Lenghou-siauhiap sudi memberi penilaian atas ke-16 guci arak ini," demikian seru orang tadi.
Sesudah dekat, benar juga pada kedelapan ekor kuda itu masing-masing tergantung dua guci arak. Di atas setiap guci itu ada plakat yang bertuliskan nama arak yang bersangkutan.

Melihat arak sebanyak itu keruan girang Lenghou Tiong melebihi diberi hadiah paling berharga sekalipun, cepat ia memapak ke haluan perahu katanya sambil memberi salam, "Maafkan atas kebodohanku, entah dari Pang (perkumpulan) apakah saudara-saudara ini? Siapa pula nama saudara yang terhormat."

Orang itu tertawa dan menjawab, "Pangcu kami telah memberi pesta wanti-wanti agar jangan menyebutkan nama Pang kami karena hanya akan membikin malu saja."

Ketika ia memberi tanda komando, serentak para penunggang kuda itu mengangkat guci-guci arak itu ke atas geladak perahu.

Dari dalam ruangan perahu Gak Put-kun coba mengamat-amati, dilihatnya kedelapan laki-laki itu semuanya sangat cekatan, setiap tangan mengangkat sebuah guci arak dan dapat melompat ke atas perahu dengan gesit dan enteng, hanya saja dari golongan mana kepandaian mereka itu tidak dapat diketahui, terang mereka bukan dari suatu perguruan yang sama, hanya sama-sama anggota sesuatu Pang apa.

Sesudah mengusung ke-16 guci arak itu ke atas perahu, kedelapan orang itu memberi hormat kepada Lenghou Tiong, lalu mencemplak ke atas kuda terus pergi pula dengan cepat.

"Suhu, kejadian ini benar-benar sangat aneh," kata Lenghou Tiong kepada Gak Put-kun dengan tertawa. "Entah siapakah yang sengaja berkelakar dengan Tecu dan mengirim arak sebanyak ini?"

"Jangan-jangan Dian Pek-kong," ujar Gak Put-kun sesudah termenung sejenak. "Atau mungkin juga Put-kay Hwesio?"

"Ya, kelakuan kedua orang itu memang aneh dan sukar diduga, memang bisa jadi adalah perbuatan mereka," sahut Lenghou Tiong. "Hei, Tho-kok-lak-sian, ada arak sebanyak ini, kalian mau minum atau tidak?"

"Hahaha, tentu saja minum, masakah tidak mau?" sahut Tho-kok-lak-sian berbareng.

Tanpa disuruh lagi segera Tho-ki-sian dan Tho-hoa-sian mengangkat dua guci arak di antaranya, sesudah tutup guci dibuang, isinya lantas dituang dalam mangkuk. Seketika bau harum menyampuk hidung, tanpa sungkan-sungkan lagi Lak-sian lantas menenggak sendiri arak enak itu.

Lenghou Tiong juga menuang semangkuk dan diaturkan kepada Gak Put-kun, katanya, "Suhu, silakan mencicipi, boleh juga baunya ini."

Put-kun mengerut kening. Sebelum menerima arak itu, terdengar Tek-nau berkata, "Suhu, tiada jeleknya kalau kita berhati-hati. Arak ini entah pemberian siapa, entah di dalam arak terdapat sesuatu yang mencurigakan atau tidak?"

"Ya, Tiong-ji, akan lebih baik berhati-hati sedikit," kata Put-kun mengangguk.

Begitu mengendus bau arak tadi Lenghou Tiong sudah hampir mengiler, mana dia tahan lebih lama lagi, dengan tertawa ia berkata, "Umur Tecu memang sudah tidak lama lagi, jika di dalam arak ini ada racun juga tiada alangannya bagiku."

Habis itu segera ia angkat mangkuk, hanya beberapa kali tenggak saja isi mangkuk itu sudah habis, ia menjilat-jilat bibir, lalu memuji, "Ehm, arak bagus, arak bagus!"

Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah datangnya suara itu, tertampaklah di bawah pohon Liu sana ada seorang Susing (pelajar) berbaju kotor dan penuh tambalan, tangan kanan memegang sebuah kipas rusak, kepala mendongak lagi mengendus bau arak yang teruar dari perahu, terdengar pujiannya pula, "Ya, benar-benar arak yang sedap!"

"Eh, saudara itu," sapa Lenghou Tiong dengan tertawa, "engkau kan belum mencicipi araknya, dari mana mengetahui baik atau jeleknya arak ini?"

"Arak ini adalah Hun-ciu yang sudah tersimpan 60 tahun lamanya, begitu mengendus baunya segera kutahu rasa araknya," sahut Susing miskin ini.

Lenghou Tiong sangat senang, katanya, "Jika saudara tidak menampik, boleh silakan kemari untuk minum beberapa cawan."

Susing itu menggeleng kepala dan berkata, "Ah, selamanya kita belum kenal, hanya secara kebetulan bertemu di sini, dengan mengendus bau araknya saja sudah mengganggu, mana aku berani merasai arak saudara yang enak itu. Jangan, jangan!"

"Di segenap penjuru lautan ini adalah saudara semua," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Dari ucapan saudara tadi jelas saudara adalah ahli arak angkatan tua, justru kuingin minta petunjuk lebih banyak, boleh silakan naik ke atas perahu dan jangan sungkan-sungkan lagi."

Perlahan Susing itu menyusuri papan loncatan ke atas perahu, sesudah berhadapan ia memberi hormat, katanya, "Cayhe she Coh, Coh berarti kakek moyang, nama Jian-jiu yang berarti seribu musim, sebagai kiasan panjang umur. Mohon tanya juga nama saudara yang mulia?"

"Cayhe she Lenghou dan bernama Tiong," sahut Lenghou Tiong.

"Ehm, she yang bagus, namanya juga baik," ujar Coh Jian-jiu.

Lenghou Tiong tersenyum, katanya di dalam hati, "Aku mengundangmu minum arah, sudah tentu segala apa kau puji dengan baik."

Segera ia menuangkan semangkuk arak dan diaturkan kepada Coh Jian-jiu sambil berkata, "Silakan minum!"

Usia Coh Jian-jiu itu kira-kira 50-an, kulit mukanya kuning kecokelat-cokelatan, matanya sayu, jenggotnya jarang-jarang, bajunya kotor, bagian tertentu agaknya sering dipakai untuk mengusap sehingga tampak mengilap. Kedua tangannya yang terjulur keluar dari lengan berbaju itu tertampak kesepuluh kuku jarinya hitam kotor.

Coh Jian-jiu lantas menerima suguhan arak Lenghou Tiong itu, katanya, "Lenghou-heng, meski engkau punya arak bagus, tapi tidak punya wadah yang baik, sungguh harus disayangkan."

"Di tengah perjalanan hanya ada mangkuk kasar dan cawan lama, harap Coh-siansing suka memaklumi," ujar Lenghou Tiong.

Tapi Coh Jian-jiu telah menggeleng, katanya, "Jangan, sekali-kali tak boleh begitu. Sedemikian gegabah caramu menilai peralatan arak, nyata sekali dalam hal ini minum arak kau kurang memahami. Minum arak harus mengutamakan juga wadah araknya, arak apa yang diminum harus memakai cawan arak tertentu. Kalau minum Hun-ciu harus memakai cawan kemala. Ini terbukti pada syair di zaman kuno yang menyatakan: Mangkuk kemala dapat menambah indah warnanya arak."

Karena memang tidak paham seluk-beluk uraian orang, Lenghou Tiong hanya mengiakan saja.

Lalu Coh Jian-jiu menyambung pula, "Arak putih dari Kwan-gwa mempunyai rasa yang sangat enak, cuma sayang kurang berbau harum, maka paling baik kalau dipakai cawan dari tanduk badak kemudian diminum, dengan demikian rasanya dan baunya akan terasa tiada bandingannya. Hendaklah maklum bahwa cawan kemala bisa menambah cemerlang warnanya arak, cawan dari tanduk badak dapat menambah bau harumnya arak, agaknya orang zaman kuno menang tidak membohongi kita."

Selama hidup Lenghou Tiong memangnya paling gemar minum arak, cuma sahabatnya kebanyakan adalah orang-orang Kangouw, yang bisa membedakan baik jeleknya arak saja sudah jarang diketemukan, dari mana ada yang paham tentang "seni minum arak" dengan cawan kemala, cawan tanduk badak segala? Sekarang sesudah mendengar cerita Coh Jian-jiu itu, Lenghou Tiong merasa dirinya seperti orang bodoh yang mendadak menjadi pintar.

Begitulah Coh Jian-jiu mencerocos terus tentang cawan-cawan lain lagi yang tepat untuk wadah berbagai macam arak bagus yang dibawa oleh ke-8 orang laki-laki tadi. Katanya untuk arak anggur harus dipakai Ya-kong-pwe (cawan gemerlap di waktu malam), kalau Ko-liang-ciu harus pakai cawan tembaga hijau, bila minum Bi-ciu (arak beras) harus memakai gantang yang besar agar terasakan meresapnya seni minum arak.

Sejak tadi Gak Put-kun juga memerhatikan obrolan Coh Jian-jiu itu, ia merasa ucapan orang terlalu dilebih-lebihkan, tapi rasanya ada benarnya juga dan masuk di akal. Dilihatnya pula di sebelah lain Tho-ki-sian dan kawan-kawannya sedang sibuk membuka satu guci arak, isi guci itu tercecer memenuhi meja, sama sekali mereka tidak menghiraukan betapa bernilainya arak bagus itu. Walaupun Gak Put-kun tidak gemar minum, tapi dari baunya yang harum semerbak memabukkan ia pun tahu bahwa arak itu memang benar arak bagus, sungguh sangat sayang dihambur-hamburkan secara sembrono oleh Tho-kok-lak-sian.

Dalam pada itu Coh Jian-jiu masih terus membual tentang jenis-jenis arak lain, katanya Siau-hin-ciu harus memakai cawan porselen kuno, minum Le-hoa-ciu harus memakai cawan hijau zamrud, bila minum Giok-loh-ciu lebih tepat memakai gelas karena arak Giok-loh-ciu ada buih-buih kecil seperti mutiara, di tengah gelas yang bening tembus itu dapat kelihatan letak kebagusan Giok-loh-ciu yang lain daripada yang lain.

Begitulah dalam sekejap saja ia telah menguraikan delapan macam arak dengan cawan yang harus dipakai. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berolok-olok, "Huh, membual, jual jamu!"

Ternyata pengolok-olok itu adalah Gak Leng-sian. Cepat Gak Put-kun berkata, "Anak Sian, jangan sembrono, apa yang diuraikan Coh-siansing tadi memang masuk di akal."

"Masuk di akal apa?" ujar Leng-sian. "Minum arak sekadar membangkitkan semangat memang boleh juga, tapi kalau siang dan malam selalu menenggak arak melulu, ditambah lagi macam-macam cara yang dinamakan seni apa segala, apakah itu kelakuan seorang kesatria atau pahlawan sejati?"

"Salah, salah ucapan Siocia ini," kata Coh Jian-jiu. "Dahulu Han-ko-co Lau Pang sehabis mabuk baru memulai dengan pergerakannya, akhirnya dia mendirikan kerajaan Han dan diakui sebagai pahlawan."

"Jika Coh-siansing sudah tahu arak bagus, katanya pahlawan sejati harus pula minum arak bagus, tapi mengapa engkau sejak tadi tak mau minum?" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa

"Sejak tadi juga aku sudah bilang, kalau minum tanpa memakai wadah yang baik kan hanya menyia-nyiakan arak bagus saja?" kata Coh Jian-jiu.

"Ah, kau membual tentang cawan zamrud, Ya-kong-pwe dan cawan kemala apa segala, di dunia ini mana ada cawan arak demikian?" tiba-tiba Tho-kan-sian mengejek. "Ya, seumpama ada paling-paling juga cuma satu-dua macam saja, siapa orangnya yang mampu memiliki cawan sekomplet itu?"

"Ahli minum arak yang tahu apa artinya seni tentu mempunyai peralatan secara komplet," sahut Coh Jian-jiu. "Jika minum cara kerbau menyeruput seperti kalian, dengan sendirinya dapat pakai mangkuk besar dan cawan kasar seadanya."

"Kau sendiri apakah terhitung ahli minum yang tahu seni?" tanya Tho-yap-sian.

"Tidak banyak dan tidak sedikit, kalau tiga bagian sebagai ahli yang tahu seni kukira masih ada," sahut Coh Jian-jiu.

"Hahaha, jika begitu, cawan untuk minum kedelapan macam arak bagus ini kau membawanya berapa biji?" tanya Tho-kok-lak-sian dengan gelak tertawa.

"Bilang banyak tidak banyak, katakan sedikit juga tidak sedikit, tapi setiap macamnya satu sih aku membawanya," sahut Coh Jian-jiu.

"Hahahaha! Tukang 'ngecap', jual jamu!" Tho-kok-lak-sian tertawa pula.

"Eh, mari kita bertaruh saja," demikian Tho-kok-lak-sian mendadak. "Jika kau benar-benar membawa kedelapan macam cawan itu, biarlah aku nanti akan makan satu demi satu cawan itu ke dalam perutku. Sebaliknya kalau kau tidak punya cawan yang kau katakan, lalu bagaimana?"

"Jika begitu aku akan makan cawan dan mangkuk arak yang kasar ini satu per satu ke dalam perutku," sahut Coh Jian-jiu.
"Bagus, bagus!" seru Tho-kok-lak-sian. "Coba kita lihat cara bagaimana dia ...."

Belum habis teriakan mereka, tiba-tiba Coh Jian-jiu sudah memasukkan tangannya ke dalam baju yang gondrong itu, waktu tangan ditarik kembali, tahu-tahu sebuah cawan arak sudah dirogoh keluar. Cawan itu halus gilap, nyata adalah sebuah cawan kemala putih susu yang sangat indah. Keruan Tho-kok-lak-sian terkejut sehingga tidak menyambung lagi olok-olok mereka.

Dalam pada itu Coh Jian-jiu masih terus mengeluarkan cawannya sebuah demi sebuah. Benar juga, ada cawan zamrud, ada cawan tanduk badak, ada cawan gelas dan lain-lain, semuanya berjumlah delapan cawan, komplet seperti apa yang dia uraikan tadi.

Meskipun kedelapan cawan mestika itu sudah komplet, tapi Coh Jian-jiu masih terus mengeluarkan cawan-cawan yang lain, ada cawan emas yang gemilapan, ada cawan perak yang berukir indah, ada cawan batu yang berwarna-warni, ada lagi cawan gading, cawan kulit, cawan bumbung bambu, cawan kayu, cawan gigi harimau dan lain-lain lagi, besar dan kecil tidak sama.

Keruan semua orang sama terkesima, siapa pun tidak menduga bahwa di dalam baju Susing rudin itu ternyata tersimpan cawan arak sebanyak itu, mereka heran apakah Susing miskin itu memiliki kantong wasiat?

"Bagaimana?" tanya Coh Jian-jiu kepada Tho-ki-sian.

Sahut Tho-ki-sian dengan air muka sedih, "Aku kalah. Biarlah kumakan kedelapan cawan arak itu."

Habis berkata ia terus comot cawan kemala putih tadi, "krak", ia keremus cawan itu, lalu dikunyah sehingga berbunyi kertak-kertuk, ia ganyang mentah-mentah cawan kemala itu dan dilalap habis ke dalam perut.

Semua orang sama terkesiap melihat cara Tho-ki-sian yang nekat itu, masakah cawan kemala itu benar-benar dimakan begitu saja dan diganyang sungguh-sungguh.
Segera Tho-ki-sian menjulur tangan hendak mengambil cawan zamrud pula. Tapi Coh Jian-jiu keburu ayun tangan kirinya ke bawah untuk memotong nadi orang. Cepat Tho-ki-sian menggeser tangannya, berbareng tangannya membalik hendak memegang pergelangan tangan Coh Jian-jiu.

Namun Coh Jian-jiu lantas menyelentik dengan jari tengah, yang diarah adalah Lo-kiong-hiat di tengah telapak tangan. Tho-ki-sian terkejut dan lekas-lekas menarik kembali tangannya, serunya, "He, kenapa kau tidak jadi memberi makan cawanmu padaku?"

"Sudahlah, aku kagum padamu, kedelapan awan ini anggap saja sudah kau lalap ke dalam perutmu," ujar Coh Jian-jiu. "Kau berani makan cawan secara nekat, tapi aku yang rugi."

Semua orang bergelak tertawa geli.

Semula Gak Leng-sian rada takut kepada Tho-kok-lak-sian, tapi sesudah sekian lama berdampingan, ia merasa mereka toh bukan manusia jahat, malahan tingkah laku mereka sesungguhnya sangat jenaka. Dengan tabahkan hati ia lantas tanya Tho-ki-sian, "He, enak tidak rasanya cawan kemala itu?"

"Rada pahit, tidak enak," sahut Tho-ki-sian dengan mulut masih berkecap-kecap.

Dalam pada itu Coh Jian-jiu tampak mengerut kening, katanya, "Wah, cawan kemala telah kau makan, tapi urusanku ini bisa runyam. Ai, sekarang arak Hun-ciu ini harus ditadahi dengan cawan apa yang tepat? Ah, terpaksa memakai cawan batu saja untuk sementara."

Lalu ia ambil sebuah cawan batu, ia mengeluarkan sepotong saputangan untuk mengusap cawan batu itu. Cawan batu itu mestinya cukup bersih sebaliknya saputangannya tampak sudah hitam lagi dekil, masih mendingan kalau tidak dilap, sekali dilap bukannya cawan batu itu menjadi bersih sebaliknya makin dilap makin kotor.

Sesudah mengusap sekian lama barulah ia taruh cawan batu itu di atas meja, kedelapan cawan pilihan itu berjajar satu baris sedangkan cawan-cawan lain yang tidak terpakai dimasukkan kembali ke dalam baju. Lalu ia menuang delapan jenis arak ke dalam delapan cawan yang bersangkutan sesuai dengan uraiannya tadi.

Selama menuang arak, ia menghela napas lega, lalu berkata kepada Lenghou Tiong, "Lenghou-heng, kedelapan cawan arak ini silakan minum satu per satu kemudian aku akan mengiringimu minum delapan cawan juga, habis itu barulah kita bertukar pikiran untuk menilai di mana perbedaan cita rasa arak-arak ini dengan arak-arak yang pernah kau minum dahulu."

"Baik," sahut Lenghou Tiong. Ia angkat cawan batu yang berisi Hun-ciu (arak semerbak), sekali tenggak ia habiskan isinya. Ia merasa arak itu sangat pedas, begitu masuk mulut rasa pedas itu terus menyusup ke dalam perut. Keruan ia terperanjat, pikirnya, "Aneh, mengapa rasa arak ini sedemikian aneh?"

Tiba-tiba Coh Jian-jiu berkata, "Cawan-cawan arakku ini benar-benar adalah benda mestika bagi kaum peminum arak. Cuma kalau kaum pengecut, bila merasa arak yang diminumnya ada rasa yang aneh, setelah minum cawan pertama lantas tidak berani minum kedua lagi. Dari dahulu kala sampai sekarang, orang yang sanggup minum delapan cawan sekaligus sesungguhnya belum ada."

Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Sekalipun dalam arak ada racun, memangnya jiwaku sudah tidak lama lagi akan menemui ajal, biarpun mati diracun juga aku tidak mau kalah pamor."

Maka tanpa pikir lagi ia angkat cawan dan beruntun minum dua cawan arak itu. Ia merasa arak yang satu cawan sangat pahit, sedangkan cawan yang lain rasanya pesing, daripada dibilang rasa arak enak, akan lebih tepat dikatakan rasa air kencing.

Waktu Lenghou Tiong hendak mengambil cawan arak keempat, tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, "Aduh, celaka! Perutku rasanya sangat panas seperti dibakar!"

"Kau telah ganyang mentah-mentah sebuah cawan kemalaku, tentu saja perutmu kesakitan?" kata Coh Jian-jiu dengan tertawa. "Lekas kau banyak minum obat cuci perut agar dapat dikuras keluar, kalau tidak dapat keluar terpaksa kau harus minta pertolongan kepada Sat-jin-beng-ih Peng-tayhu untuk membedah perutmu dan mengeluarkan cawan kemala itu."

Seketika Lenghou Tiong tergerak pikirannya, "Ah, kedelapan cawan araknya ini tentu ada sesuatu yang luar biasa. Tho-ki-sian telah makan cawan kemala itu, seumpama kemala adalah benda keras dan tak bisa dicernakan juga tidak sampai timbul rasa panas seperti dibakar?
Tapi, ah, seorang laki-laki sejati pandang kematian seperti pulang ke asalnya, kenapa mesti takut? Biarlah semakin jahat racunnya semakin baik bagiku."

Dan sekali tenggak kembali ia menghabiskan isi secawan arak pula.

"Toasuko," tiba-tiba Leng-sian berseru, "arak itu jangan diminum lagi, jangan-jangan dalam arak itu beracun. Engkau pernah membutakan orang-orang itu, hendaknya waspada kalau orang mencari balas padamu."

Lenghou Tiong tersenyum pedih, katanya, "Coh-siansing ini adalah seorang laki-laki yang suka blak-blakan, rasanya tidak sampai meracuni diriku. Pula, jika dia mau membunuh aku bisa segera dilakukannya, mengapa mesti banyak membuang waktu dan pikiran?"

Tanpa pikir lagi segera ia minum pula dua cawan.

Arak dari cawan keenam ini rasanya rada asam dan asin, bahkan rada berbau bacin.
Waktu mengalir masuk ke perut, mau tak mau keningnya terkerut.

Melihat Lenghou Tiong menenggak arak sendirian, Tho-kin-sian menjadi kepingin dan ingin mencicipi arak-arak itu. Katanya, "Sisa kedua cawan itu berikan saja padaku."

Berbareng tangannya lantas hendak mengambil cawan arak ketujuh.

Tapi mendadak Coh Jian-jiu mengayun kipasnya dan mengetuk punggung tangan Tho-kin-sian, katanya sambil tertawa, "Nanti dulu, bergiliran, jangan berebutan, setiap orang harus minum delapan cawan secara berurut-urutan, dengan demikian baru dapat merasakan intisari arak-arak ini yang sesungguhnya."

Melihat ketukan kipas Coh Jian-jiu itu sangat keras, bila kena tentu tulang tangannya akan remuk, cepat Tho-kin-sian putar tangan dan berbalik hendak merampas kipas orang. Bentaknya, "Aku justru hendak minum dulu secawan ini, kau bisa berbuat apa?"

Kipas Coh Jian-jiu itu sebenarnya terlempit menjadi satu potong, ketika jari tangan Tho-kin-sian hampir mencengkeram tiba, mendadak kipas menjepret lebar, pinggang kipas lantas menjentik ke jari telunjuk Tho-kin-sian.

Kejadian di luar dugaan ini membikin Tho-kin-sian kerepotan dan lekas menarik kembali tangannya, namun tidak urung jari telunjuknya sudah keserempet dan terasa kesemutan, sambil berkaok-kaok cepat ia melompat mundur.

"Lenghou-heng, lekas minum habis isi kedua cawan itu ...." belum lenyap suara Coh Jian-jiu, dari sebelah sana Tho-hoa-sian sudah menjulur tangan hendak mengambil cawan-cawan arak itu. Waktu Coh Jian-jiu mengayun tangan untuk menangkis, dari sebelah lain kembali Tho-ki-sian hendak rebut lagi cawan itu.

Meski kepandaian Coh Jian-jiu tidak lemah, tapi di bawah kerubutan Tho-kok-ngo-sian yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu, terang sukar baginya untuk menahan serobotan kelima orang yang hendak rebut kedua cawan arak itu. Tangan yang satu ditangkis pergi, tangan yang lain sudah menyambar pula dari belakang.

Dalam keadaan yang serbasusah untuk merintangi Tho-kok-ngo-sian itu, tiba-tiba Coh Jian-jiu mendapat akal teriaknya, "Hah, kiranya Tho-kok-lak-sian sama sekali tidak punya rasa persaudaraan, tahunya hanya berebut ini dan itu, sungguh menggelikan, sungguh menertawakan!"

Usia di antara Tho-kok-lak-sian satu sama lain hanya terpaut satu tahun, selamanya mereka belum pernah berpisah barang satu hari pun, meski setiap hari mereka suka bertengkar dan ribut mulut, tapi sebenarnya rasa persaudaraan mereka sangat akrab. Maka demi mendengar Coh Jian-jiu menuduh mereka tidak punya rasa persaudaraan, mereka menjadi gusar dan berhenti semua sambil membentak, "Kentut!
Kentutmu busuk!"


Bab 51. Pil Penyambung Nyawa Menolong Lenghou Tiong

Kalian yang berbau busuk,” sahut Coh Jian-jiu. “Tho-sit-sian jelas terbaring tak bisa berkutik karena terluka sehingga tidak dapat ikut berebut minum arak enak ini, tapi kalian tidak ambil pusing dan berebut sendiri, bukankah kalian sama sekali tidak memikirkan persaudaraan sendiri?”

Tho-kin-sian melengak, tapi segera ia berdebat, “Siapa bilang kami berebut arak sendiri? Kami justru hendak merampas arak ini untuk diminumkan kepada Tho-sit-sian.”

“Ya, Lakte kami terluka, segala arak enak dan daharan lezat sudah tentu kami suruh dia mencicipi lebih dulu,” timbrung Tho-ki-sian.

“Tapi apakah kalian tahu bahwa kedelapan cawan arak bagus ini harus diminum satu per satu, dengan demikian baru dapat dirasakan betapa enaknya, baru bisa tahu bahwa di dunia ini tiada arak rasa seenak ini,” kata Coh Jian-jiu. “Tapi kalau cuma minum satu cawan saja bukannya rasa enak yang dirasakan, sebaliknya rasanya akan pahit dan kecut. Sekarang kalian ingin rebut kedua cawan arak ini, mendingan bila kalian minum sendiri, karena cuma kalian sendiri yang tertipu, namun katanya kalian merebutnya untuk diminumkan kepada Tho-sit-sian, padahal dia dalam keadaan tak bisa berkutik dan kalian mencekoki arak yang rasanya pahit dan kecut ini, apakah cara kalian ini bisa dikatakan cinta pada saudara?”

Kembali Tho-kok-ngo-sian melengak. Tho-hoa-sian lantas berkata, “Siapa yang bilang kami hendak rebut arak ini? Kami hanya pura-pura hendak rebut arak untuk menguji sampai di mana tinggi kepandaianmu, tahu?”

“Benar, benar,” Tho-kan-sian menyambung. “Memangnya kau kira kami ini anak kecil dan tidak tahu kedelapan cawan arak itu harus diminum sekaligus baru bisa tahu rasanya yang sejati.”

“Ayolah Lenghou-hengte, lekas minum habis arak-arak itu agar benar-benar merasakan enaknya.”

Di tengah cerewet Tho-kok-ngo-sian itulah Lenghou Tiong telah selesai menghabiskan isi kedua cawan tadi. Arak kedua cawan ini tidak berbau lagi, tapi rasanya yang satu cawan sangat tajam, tenggorokan seperti diiris-iris pisau. Yang satu cawan lagi berbau obat, sama sekali tidak mirip arak, tapi baunya melebihi obat-obatan waktu dimasak.

Melihat air muka Lenghou Tiong rada aneh, Tho-kok-lak-sian merasa heran dan ingin tahu, mereka lantas tanya, “Bagaimana rasanya sesudah kedelapan cawan arak itu kau minum habis?”

“Sudah tentu enak sekali,” sela Coh Jian-jiu.

Di luar dugaan, entah cara bagaimana, sekonyong-konyong Tho-kan-sian berempat menubruk maju sekaligus, masing-masing memegangi sebelah tangan dan kaki Coh Jian-jiu.

Biarpun ilmu silat Coh Jian-jiu amat tinggi, tapi caranya Tho-kok-lak-sian memegang kaki dan tangan orang adalah sangat aneh dan terlalu cepat sehingga sukar baginya untuk menghindar. Maka tahu-tahu tangan dan kaki Coh Jian-jiu sudah terpegang dan badan lantas terangkat ke atas.

Para anggota Hoa-san-pay sudah pernah menyaksikan adegan mengerikan cara Tho-kok-si-sian menyobek tubuh manusia sehingga tanpa terasa mereka menjerit khawatir demi melihat Coh Jian-jiu kena dipegang tangan dan kakinya.

Pikiran Coh Jian-jiu juga bekerja secepat kilat, ia tahu menyusul keempat orang itu pasti akan membetot sekuat-kuatnya dan itu berarti tubuh akan robek menjadi empat potong. Cepat ia berteriak-teriak, “Di dalam arak itu ada racunnya, obat penawarnya tersimpan dalam bajuku!”

Tho-kok-si-sian sendiri tadi sudah cukup banyak menenggak arak, demi mendengar bahwa di dalam arak itu beracun mereka jadi melengak.

Dan yang diharapkan Coh Jian-jiu adalah sedetik keragu-raguan keempat orang itu. Mendadak ia berteriak pula, “Lepas, keparat!”

Tahu-tahu Tho-kok-si-sian merasa tangan mereka tergetar dan memegang tempat kosong, menyusul terdengarlah suara “blang” yang keras, wuwungan perahu itu telah jebol disundul menjadi sebuah lubang besar, Coh Jian-jiu telah melarikan diri menembus wuwungan perahu itu.

Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian tidak berhasil menangkap apa-apa, sebaliknya tangan Tho-hoa-sian dan Tho-yap-sian masing-masing masih memegangi sebuah kaus kaki yang berbau bacin dan sebuah sepatu yang kotor dan butut.

Gerakan Tho-kok-ngo-sian juga amat cepat serentak, mereka pun memburu ke dermaga, tapi bayangan Coh Jian-jiu sudah lenyap.

Selagi mereka hendak menguber ke depan, tiba-tiba di ujung jalan sana ada suara teriakan orang, “Hai, Coh Jian-jiu, kau kutu busuk ini lekas kembalikan obatku, jika kurang satu biji saja tentu akan kubetot ototmu dan kubeset kulitmu.”

Sambil berteriak-teriak orang itu pun berlari mendatang dengan cepat.

Mendengar orang itu pun mencaci maki pada Coh Jian-jiu, jadi sepaham dengan mereka, maka Tho-kok-ngo-sian menjadi ingin tahu tokoh macam apakah orang ini, segera mereka berhenti di situ dan memandang ke depan.

Terlihatlah sebuah bola daging sedang “menggelinding” tiba, makin menggelinding makin dekat. Kemudian barulah diketahui bahwa “bola daging” itu kiranya adalah seorang laki-laki yang sangat pendek dan sangat gemuk.

Kepala orang buntak ini begitu rupa sehingga tampaknya gepeng, pipih, tapi sangat lebar. Melihat kepalanya itu orang akan menduga mungkin pada waktu dia dilahirkan kepalanya telah dipalu sehingga buah kepalanya menjadi gepeng lebar sampai muka dan hidung serta mulut pun berubah bentuk.

Melihat muka sedemikian anehnya, semua orang sama merasa geli. Pikir mereka, “Peng It-ci dan Yim Bu-kiang itu sudah terhitung orang buntak tapi kalau dibandingkan orang ini boleh dikata si kerdil ketemu raksasa.”

Dan memang bedanya terlalu mencolok. Kalau Peng It-ci dan Yim Bu-kiang hanya pendek dengan pundak lebar, sebaliknya orang ini jauh lebih pendek, bahkan punggung dan dada seakan-akan tergencet sehingga menonjol keluar. Ditambah lagi kaki dan tangan juga sangat pendek, tangan seakan-akan cuma ada lengan bawah tanpa lengan atas, kakinya juga seperti cuma ada betis tanpa paha.

Setiba di samping perahu, dengan menolak pinggang orang itu lantas tanya, “Bangsat keparat Coh Jian-jiu itu sembunyi di mana?”

“Bangsat keparat itu sudah lari,” tukas Tho-kin-sian dengan tertawa. “Dia berkaki panjang dan berlangkah lebar, caramu menggelinding demikian tentu saja tidak dapat menyusul dia!”

Orang itu mendengus, matanya yang bulat kecil itu mendelik. Sekonyong-konyong ia berteriak pula, “Obatku! Obatku!”

Begitu kakinya bekerja, “bola daging” itu lantas membalik dan masuk ke dalam ruangan perahu.

Tiba-tiba hidungnya berkerut-kerut dan mengendus-endus, ia sambar sebuah cawan di atas meja, lalu dicium baunya. Sekonyong-konyong air mukanya berubah hebat. Memangnya dia bertampang sangat jelek, perubahan itu semakin menambah aneh dan lucu raut mukanya itu.

Tapi dari air muka orang dapatlah Lenghou Tiong melihat perasaan orang itu pasti sangat berduka. Orang buntak itu berturut-turut memeriksa dan mencium ketujuh cawan.

“O, obatku!” keluhnya. Habis itu tak tertahankan lagi rasa sedihnya, ia duduk terkulai dan menangkis tergerung-gerung.

Melihat si buntak menangis sedih, Tho-kok-ngo-sian semakin heran dan tertarik, beramai-ramai mereka mengelilingi si buntak dan bertanya, “He, mengapa menangis? Eh, apakah kau diakali keparat Coh Jian-jiu itu? Jangan menangis, nanti kalau kami menemukan bangsat itu pasti akan kami robek dia menjadi empat potong!”

Seru orang itu sambil menangis, “Obatku telah dimakan dia bersama arak, sekalipun dia dibunuh juga tiada gunanya lagi.”

Tergerak hati Lenghou Tiong, cepat ia tanya, “Obat apa maksudmu?”

“Dengan susah payah selama 12 tahun aku mencari dan mengumpulkan bahan obat berharga seperti jinsom, Hokleng, Siuho, Lengci, Siahio dan lain-lain, akhirnya dapatlah kubikin delapan biji ‘Siok-beng-wan’ (pil penyambung nyawa), tapi sekarang obatku yang tiada terkira nilainya itu dicuri keparat Coh Jian-jiu dan telah diminum bersama arak.”

Lenghou Tiong tambah terkejut, tanyanya pula, “Kedelapan biji pil itu apakah mempunyai rasa yang sama?”

“Sudah tentu tidak sama,” sahut si buntak. “Ada yang berbau bacin, ada yang rasanya sangat pahit, ada yang rasanya panas seperti dibakar, ada yang tajam seperti pisau mengiris. Asal sudah minum kedelapan biji Siok-beng-wan tersebut, biarpun luka dalam atau luka luar yang bagaimana parahnya juga pasti akan tertolong.”

“Wah, celaka!” seru Lenghou Tiong sambil tepuk paha. “Coh Jian-jiu itu telah mencuri obatmu Siok-beng-wan itu, tapi dia tidak makan sendiri, sebaliknya di ....”

“Diapakan?” tanya orang itu.

“Di ... dicampur dalam arak dan menipu aku untuk meminumnya,” sahut Lenghou Tiong. “Sesungguhnya aku tidak tahu bahwa di dalam arak teraduk obat sebaik itu, malahan aku menyangka dia hendak meracuni aku.”

“Racun? Racun kentutmu!” damprat orang itu dengan gusar. “Jadi kau yang telah minum aku punya Siok-beng-wan itu?”

Lenghou Tiong menjawab, “Coh Jian-jiu itu mengisi delapan cawan arak dan membujuk aku minum habis seluruhnya. Memang benar ada yang rasanya panas, ada yang rasanya pahit, ada yang berbau bacin dan macam-macam lagi. Tapi obat apa segala aku sendiri tidak melihatnya.”

Orang itu menatap Lenghou Tiong dengan mata mendelik, sekonyong-konyong ia berteriak, tubuhnya mencelat ke atas terus menubruk ke arah Lenghou Tiong.

Sejak tadi Tho-kok-ngo-sian sudah berjaga-jaga, maka begitu tubuh si buntak membal ke atas, berbareng Tho-kok-si-sian lantas turun tangan secepat kilat, mereka pegang kedua tangan dan kedua kaki si buntak.

“Jangan mencelakai jiwanya!” seru Lenghou Tiong.

Namun aneh juga, biarpun kaki tangan si buntak kena dipegang oleh Tho-kok-si-sian, tapi anggota badannya itu malah mengkeret lebih pendek lagi sehingga badannya lebih menyerupai bola yang bulat.

Tho-kok-si-sian terheran-heran, mereka membentak bersama terus menarik. Terlihat kaki dan tangan si buntak dapat dibetot keluar, makin ditarik makin panjang, lengan dan pahanya sampai ikut mulur keluar dari tubuhnya. Sungguh mirip benar dengan seekor kura-kura yang keempat kakinya kena dibetot keluar dari kulitnya.

“Jangan mencelakai jiwanya!” kembali Lenghou Tiong berseru.

Karena itu Tho-kok-si-sian sedikit mengendurkan daya tariknya sehingga anggota badan si buntak mengkeret lagi, tubuhnya menjadi bulat pula.

Tho-sit-sian yang terbaring di atas usungnya ikut tertarik, ia berseru, “Wah, sungguh aneh dan hebat! Ilmu apakah itu?”

Waktu Tho-kok-si-sian membetot lagi, kembali tangan dan kaki si buntak kena ditarik keluar.

Melihat adegan yang lucu itu Gak Leng-sian dan murid perempuan Hoa-san-pay yang lain sama tertawa geli.

“Hei, biar kami tarik panjang kaki dan tanganmu agar kau bertambah lebih cakap,” seru Tho-kin-sian.

“Ai, jangan!” teriak orang itu.

Tho-kok-si-sian melengak, tanya mereka, “Sebab apa?”

Di luar dugaan mereka, sedikit lena saja mendadak si buntak meronta sekerasnya dan memberosot keluar dari pegangan Tho-kok-si-sian. “Blang”, tahu-tahu dasar perahu kena diterobos olehnya sehingga berlubang, secepat belut si buntak telah melarikan diri melalui sungai.

Di tengah jerit kaget orang banyak terlihatlah air sungai terus memancur naik melalui lubang di dasar perahu itu.

Lekas-lekas Gak Put-kun memberi perintah, “Masing-masing orang membawa barangnya sendiri-sendiri dan lekas melompat ke daratan.”

Lubang yang jebol di dasar perahu itu hampir satu meter persegi, merembesnya air sungai sangat cepat, hanya sekejap saja air di ruangan perahu itu sudah setinggi dengkul. Untung mereka sempat melompat ke daratan dengan selamat.

Juragan perahunya tampak muram durja dan bingung, Lenghou Tiong menghiburnya, “Kau tidak perlu khawatir, berapa harganya perahumu akan kuganti lipat dua.”

Diam-diam Lenghou Tiong juga sangat heran, selamanya tidak kenal Coh Jian-jiu itu, tapi mengapa dia sengaja mencuri obat itu untuk diminumkan padanya dengan segala tipu dayanya? Ia coba mengerahkan tenaga, terasa di dalam perut panas seperti dibakar, tapi delapan arus hawa murni itu masih terus tumbuk sini dan terjang sana, masih tetap tak bisa bergabung.

Sementara itu Lo Tek-nau telah dapat menyewa sebuah perahu lain, semua barang bawaan mereka telah dipindah ke perahu itu.

Sebenarnya Gak Put-kun ingin lekas meninggalkan tempat yang tidak aman itu, terutama tokoh-tokoh aneh yang susul-menyusul muncul itu. Cuma hari sudah mulai gelap, sungai di daerah itu juga berliku-liku dan tidak leluasa untuk berlayar malam hari, terpaksa ia istirahat saja di dalam perahu.

Tho-kok-lak-sian juga merasa kesal, berturut-turut dua kali mereka gagal menangkap Coh Jian-jiu dan manusia bola daging itu, hal ini benar-benar belum pernah terjadi selama hidup mereka, walaupun mereka coba membual dan menutupi rasa malu kegagalan mereka, tapi sampai akhirnya mereka pun merasa kurang masuk di akal alasan yang mereka kemukakan. Maka sesudah minum arak sekian banyak akhirnya mereka pun tertidur.

Gak Put-kun berbaring di tempat tidurnya, tapi tak bisa pulas, pikirannya bergolak. Di tengah malam sunyi itu terdengar suara air sungai yang mendampar tepian gili-gili. Pikirnya, “Coh Jian-jiu dan manusia yang mirip bola daging itu benar-benar sangat aneh, ilmu silat mereka terang juga tidak lemah, entah mengapa mereka ikut-ikutan mencari Tiong-ji ke sini?”

Segera teringat pertentangan antara sekte Khi dan Kiam dalam Hoa-san-pay sendiri, lain saat terpikir pula cara Lenghou Tiong membutakan mata ke-15 tokoh lihai dengan ilmu pedang yang sakti dan aneh tempo hari itu.

Sampai lama sekali pikirannya terus bergolak. Tiba-tiba terdengar olehnya suara orang berjalan dari jauh dan semakin mendekat. Indra pendengaran Gak Put-kun sangat peka, begitu didengarkan lebih cermat, tahulah dia bahwa ada dua orang yang memiliki Ginkang tinggi sedang mendatang.

Segera ia bangkit duduk, ia coba mengintip keluar melalui celah-celah jendela, di bawah sinar bulan terlihatlah dua sosok bayangan orang sedang mendatang dengan kecepatan luar biasa. Sekonyong-konyong seorang di antaranya mengangkat tangannya memberi tanda, kedua orang lantas berhenti kira-kira beberapa meter jauhnya dari perahu.

Gak Put-kun tahu jika kedua orang itu berbicara tentu juga dilakukan dengan bisik-bisik. Segera ia menarik napas dalam-dalam, ia mengerahkan “Ci-he-sin-kang”. Begitu ilmu sakti Ci-he-sin-kang dikerahkan, bukan saja setiap detik dapat digunakan untuk membela diri bilamana mendadak diserang, bahkan pancaindranya seketika juga bertambah lebih tajam.

Maka terdengarlah seorang di antaranya sedang berkata dengan suara perlahan, “Pasti perahu ini. Di tiang layar sudah terpancang sebuah bendera kecil, rasanya takkan salah.”

“Baiklah, Suko, marilah kita lekas pulang memberi lapor kepada Supek,” kata kawannya.

“Aneh, entah mengapa ‘Tok-seng-bun’ kita sampai mengikat permusuhan dengan Hoa-san-pay sehingga Supek perlu mengerahkan segenap tenaga hendak mencegat mereka secara besar-besaran?” demikian kata orang pertama tadi.

Mendengar nama “Tok-seng-bun”, Gak Put-kun terkejut. Dan karena sedikit lengah saja kekuatan Ci-he-sin-kang lantas menyurut sehingga suara percakapan kedua orang yang sangat lirih itu tidak terdengar. Waktu ia mengerahkan ilmu sakti pula, yang terdengar adalah suara tindakan orang, nyata kedua orang tadi sudah pergi.

Sudah lama Gak Put-kun mendengar nama Tok-seng-bun sebagai suatu aliran tersendiri di daerah perairan Oulam. Ilmu silat anak murid Tok-seng-bun tidak dapat dikatakan tinggi, tapi mahir memakai racun sehingga orang sukar menjaga diri. Sering orang terbunuh oleh mereka tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.

Ciangbunjin (ketua) Tok-seng-bun diketahui she Cu bernama Put-hoan dan punya julukan yang sangat aneh, yaitu “Tok-put-su-jin” (tak bisa meracun orang sampai mati). Konon julukan itu diberikan orang lantaran kepandaian Cu Put-hoan dalam hal menggunakan racun sudah terlalu hebat dan tiada bandingannya. Kalau meracuni orang hingga mati adalah soal mudah, setiap orang juga mampu melakukannya, maka tidak mengherankan, tapi cara Cu Put-hoan justru berbeda daripada orang lain.

Sesudah dia memberikan racun, yang kena racun takkan binasa seketika, hanya pada tubuh terasa seperti disayat-sayat oleh senjata tajam atau seperti digigit-gigit oleh semut atau serangga lain, pendek kata rasanya sangat menderita, bagi si penderita akan merasa lebih baik mati daripada hidup tersiksa, tapi untuk mati justru sukar.
Jadi mau tak mau harus pasrah nasib kepada Cu Put-hoan dan tiada pilihan lain.
Sebab itulah Gak Put-kun merasa ngeri demi mendengar nama Tok-seng-bun disebut. Pikirnya, “Mengapa Tok-seng-bun bisa memusuhi Hoa-san-pay kami? Apalagi katanya Supek mereka sengaja mengerahkan segenap tenaganya untuk mencegat perahu ini, sebenarnya apakah sebabnya?”

Sesudah dipikir ia menarik kesimpulan hanya ada dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh Hong Put-peng dan kawan-kawannya untuk mencari perkara pada dirinya. Kedua, mungkin di antara ke-15 orang yang dibutakan oleh Lenghou Tiong itu terdapat anak murid Tok-seng-bun.

Sedang Gak Put-kun menimbang-nimbang tak menentu, tiba-tiba didengarnya pula di daratan sana ada suara seorang perempuan sedang berkata dengan suara tertahan, “Sesungguhnya di rumahmu apakah terdapat Pi-sia-kiam-boh?”

Segera Put-kun mengenali suara itu adalah suara putrinya sendiri. Maka tanpa mendengarkan suara orang kedua juga dia dapat menduga tentu orang itu adalah Lim Peng-ci. Entah sejak kapan kedua muda-mudi itu telah berada di tepi dermaga.

Diam-diam Put-kun dapat memahami perasaan kedua muda-mudi itu, ia tahu hubungan putrinya dengan Peng-ci makin hari makin erat, pada siang hari mereka tidak berani bergaul terlalu mencolok karena khawatir ditertawai orang lain, sebab itulah mereka sengaja mengadakan pertemuan di tengah malam sunyi.

Orang persilatan seperti mereka mestinya tidak terlalu terikat oleh adat kuno, pergaulan muda-mudi yang sedang pacaran dengan sendirinya lebih bebas daripada orang biasa. Cuma Gak Put-kun sendiri berjuluk “Kun-cu-kiam”, selamanya terkenal sopan dan tertib, jika putrinya sekarang ternyata berbuat sesuatu yang melampaui garis kesusilaan dengan Peng-ci, bukankah akan ditertawai oleh kawan Bu-lim?

Coba kalau malam ini Put-kun tidak mengerahkan ilmu sakti Ci-he-sin-kang untuk mengikuti gerak-gerik kedatangan musuh, tentu ia tidak tahu rahasia putrinya yang sedang “ada main” dengan Lim Peng-ci.

Dalam pada itu terdengar Peng-ci sedang berkata, “Keluargaku memang punya Pi-sia-kiam-hoat, aku pun sudah sering perlihatkan padamu permainan ilmu pedang itu, tapi tentang Kiam-boh apa segala sesungguhnya tidak ada.”

“Jika begitu mengapa Gwakong dan kedua pamanmu mencurigai Toasuko, katanya Toasuko telah mengangkangi Kiam-bohmu?” tanya Leng-sian.

“Mereka yang curiga, aku sendiri kan tidak mencurigai Toasuko,” kata Peng-ci.

“O, baik juga kau ini, biar orang lain yang curiga, sebaliknya kau sendiri tidak menaruh curiga sedikit pun.”

Peng-ci menghela napas, katanya, “Jika keluargaku benar-benar memiliki Kiam-boh yang hebat itu, tentu Hok-wi-piaukiok kami tidak sampai hancur dan keluargaku berantakan atas perbuatan Jing-sia-pay itu.”

“Ucapanmu pun masuk di akal,” ujar Leng-sian. “Jika demikian, mengapa kau tidak membela Toasuko atas kecurigaan Gwakongmu dan paman-pamanmu itu kepada Toasuko.”

“Sebenarnya ucapan apa yang ditinggalkan ayah dan ibu, karena aku tidak mendengar dengan telinga sendiri, hendak membelanya juga sukar,” kata Peng-ci.

“Jadi di dalam hatimu betapa pun kau merasa curiga juga bukan?” kata Leng-sian.

“Ah, jangan sekali-kali berkata demikian, kalau diketahui Toasuko bukankah akan memburukkan hubungan baik sesama saudara seperguruannya?” ujar Peng-ci.

“Hm, bisa saja kau pura-pura?” jengek Leng-sian. “Kalau curiga ya curiga, kalau tidak ya tidak. Bila aku menjadi dirimu tentu sudah lama aku menanyai Toasuko secara blakblakan.”

Setelah merandek sejenak lalu katanya pula, “Watakmu ternyata sangat mirip dengan ayah. Kedua orang sama-sama menaruh curiga terhadap Toasuko dan menduga dia telah menggelapkan Kiam-bohmu itu ....”

“Suhu juga menaruh curiga?” Peng-ci memotong.

Leng-sian tertawa, katanya, “Jika kau sendiri tidak curiga mengapa kau pakai istilah ‘juga’? Aku bilang watakmu serupa dengan ayah, ada apa-apa hanya disimpan dalam batin, tapi di mulut sama sekali tidak menyinggungnya.”

Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari dalam sebuah perahu di samping perahu yang ditumpangi rombongan Hoa-san-pay itu berkumandang suara bentakan orang, “Binatang kecil yang tidak tahu malu, berani sembarangan menuduh di belakang orang. Lenghou Tiong adalah seorang kesatria sejati, masakah kalian berani memfitnahnya?”

Suaranya berkumandang dari dalam perahu yang jaraknya beberapa puluh meter jauhnya, bukan saja membikin terkejut para penumpang perahu yang lain sehingga terjaga bangun, sampai-sampai burung yang bersarang di pepohonan sekitar situ juga sama kaget dan bergemeresik riuh ramai.

Habis itu, dari atas perahu itu mendadak melesat sesosok bayangan raksasa terus menubruk ke tempat Peng-ci dan Leng-sian dengan amat cepat. Di bawah cahaya bulan tampaknya seperti seekor burung raksasa yang mendadak menyambar ke bawah.

Keruan Peng-ci dan Leng-sian terkejut. Waktu keluar mereka tidak membawa senjata, terpaksa mereka pasang kuda-kuda dan siap melawan.

Ketika mendengar suara bentakan orang, Gak Put-kun sudah lantas tahu Lwekang orang sangat tinggi dan pasti tidak di bawahnya. Sekarang melihat loncatan dan tubrukannya itu, jelas Gwakangnya juga amat lihai, keruan ia menjadi gugup melihat putrinya terancam bahaya, cepat ia berteriak, “Tahan dulu!”

Segera ia pun meloncat ke tepi dermaga dengan menjebol jendela.

Tapi baru saja tubuhnya terapung di udara, dilihatnya tangan raksasa tadi sudah berhasil mencengkeram Peng-ci dan Leng-sian terus dibawa lari ke depan sana.

Sungguh kejut Gak Put-kun tak terkatakan, begitu kaki menginjak tanah segera ia kerahkan segenap tenaga untuk mengejar. Pedang yang sudah siap lantas menusuk punggung orang itu dengan jurus “Pek-hong-koan-jit” (pelangi putih menembus sinar matahari).

Karena perawakan orang itu sangat tinggi besar, dengan sendirinya langkahnya juga lebar, cukup ia melangkah satu tindak ke depan dan tusukan Gak Put-kun lantas mengenai tempat kosong.

Waktu Put-kun meloncat maju dan menusuk pula, tapi lagi-lagi raksasa itu melangkah lebar ke depan sehingga serangannya kembali luput.

Walaupun sangat terkejut dan cemas, tapi Put-kun dapat melihat setelah raksasa itu memegang Peng-ci dan Leng-sian, karena beban yang cukup berat itu, biarpun memiliki tenaga sakti juga tidak dapat berlari cepat dengan menggunakan Ginkang. Yang diandalkan hanya kakinya yang panjang dan langkah yang lebar, kalau diburu terus akhirnya pasti dapat menyusulnya.

Maka sekuatnya Put-kun menarik napas dalam-dalam, ia mengejar terlebih cepat. Benar juga, segera jaraknya dengan raksasa itu jadi lebih dekat. Diam-diam ia berpikir, “Jika tidak kau lepaskan Peng-ci dan Sian-ji, tusukanku ini pasti akan menembus tubuhmu!”

Mendadak ia bersuit nyaring dan berteriak, “Awas!”

Serangannya selalu dilakukan dengan terang-terangan, selama hidup dia tak sudi menyerang secara pengecut, sebab itulah orang memberikan julukan “Kun-cu-kiam” padanya. Maka sebelum dia menusuk dengan jurus “Jing-hong-san-song” (angin meniup semilir), lebih dulu ia memperingatkan lawannya agar awas dan siap.

Tak tersangka raksasa itu seakan-akan tidak mendengar dan tak menggubris padanya. Tampaknya ujung pedang hanya tinggal belasan senti saja dari sasarannya, pada saat itu juga tiba-tiba angin berkesiur, dua jari orang menyambar ke arah matanya. Keruan Put-kun terkejut.

Tempat itu adalah ujung jalan yang penuh rumah penduduk di kanan-kiri, cahaya rembulan teraling oleh rumah-rumah itu. Namun reaksi Gak Put-kun cepat luar biasa, begitu mengetahui ada musuh lain bersembunyi di situ dan menyergapnya, cepat ia mendak tubuh, sebelum melihat jelas siapa lawannya kontan ia balas menusuk dengan pedang.

Musuh itu menggeser samping terus mendesak maju lagi, jari kembali menyambar tiba hendak menutuk “Tiong-wan-hoat” di perut Gak Put-kun.

Tanpa ayal lagi Put-kun menendang, terpaksa orang itu berputar ke sebelah lain dan kembali menyerang punggungnya.

Tanpa balik tubuh segera pedang Gak Put-kun menebas ke belakang dengan cepat lagi jitu. Tapi orang itu kembali dapat menghindarkan diri, menyusul ia menubruk maju lagi hendak mengincar tenggorokan Gak Put-kun.

Diam-diam Put-kun merasa gusar. Pikirnya, “Kurang ajar benar orang ini, berani dia lawan pedangku dengan tangan kosong, bahkan terus-menerus melancarkan serangan. Jika malam ini aku kecundang lagi, lalu apakah masih ada muka bagiku untuk berkecimpung di dunia persilatan?”

Segera ia kumpulkan semangat, setiap jurus dan setiap gerakan dilakukannya dengan sangat prihatin, belasan jurus kemudian, sayup-sayup timbul suara mendengung. Nyata ia telah salurkan Lwekang ke dalam setiap jurus serangan pedangnya.

Mendadak orang itu menyerang tiga kali sehingga Put-kun terdesak mundur, cepat orang itu melompat mundur sambil berseru, “Sampai bertemu pula kelak!”

Segera ia putar tubuh terus hendak tinggal pergi.

“Tunggu, ingin kuminta penjelasan dahulu,” bentak Gak Put-kun dan pedang terus menebas musuh.

Tapi orang itu menundukkan kepala untuk menghindar. Tidak tersangka serangan Gak Put-kun ini hanya pancingan belaka, pedang hanya menebas sampai setengah jalan lantas diputar balik dan berubah menusuk dada orang dengan cepat.

Akan tetapi orang itu menggeser ke samping menyusul ia terus mendesak maju, kedua tangan mengincar perut Gak Put-kun.

Dalam keadaan demikian terpaksa Gak Put-kun harus membela diri lebih dulu, pedang berputar terus menusuk mata musuh pula. Namun orang itu pun sangat gesit, jari menyelentik pedang dan baru saja tangan lain hendak meneruskan serangannya tadi, mendadak Gak Put-kun sedikit miringkan pedangnya, dari menusuk berubah menjadi menebas.

“Cret”, kopiah orang itu kena ditebas jatuh sehingga kelihatan kepalanya yang gundul. Kiranya orang itu adalah Hwesio.

Begitu Hwesio itu menggenjot kedua kakinya, dengan cepat luar biasa tubuhnya lantas melayang ke belakang.

Karena pedang kena diselentik tadi, Put-kun merasa tangannya linu kesemutan. Ketika ia hendak mengejar, mendadak jari tangan terasa kaku, hampir saja pedang terlepas dari cekalan, cepat ia pegang dengan tangan yang lain.
Di bawah sinar bulan tertampaklah kelima jari tangan kanan itu sama bengkak, keruan kejutnya tak terkatakan.

Dan sedikit merandek itulah Gak-hujin pun sudah menyusul tiba dengan senjata terhunus. “Bagaimana anak Sian?” tanya kepada sang suami.

“Ke sana! Mari kejar!” sahut Put-kun sambil menuding ke depan dengan ujung pedang.

Suami istri lantas mengudak ke jurusan lari si raksasa tadi. Tidak lama kemudian sampailah mereka di suatu persimpangan jalan, mereka menjadi bingung entah musuh lari ke arah mana. Tentu saja yang paling gelisah adalah Gak-hujin.

“Orang yang menculik anak Sian itu adalah kawan Tiong-ji, rasanya mereka takkan membikin susah padanya,” demikian Put-kun berusaha menghibur sang istri. “Marilah kita pulang menanyai Tiong-ji dan tentu akan tahu perkaranya.”

“Benar, menurut orang itu tadi, katanya anak Sian dan Peng-ci sembarangan memfitnah Tiong-ji, entah apa alasannya?”

“Tentu saja ada sangkut pautnya dengan Pi-sia-kiam-boh itu,” kata Put-kun.

Waktu mereka pulang kembali ke perahu, terlihat Lenghou Tiong dan para murid sedang menunggu di tepi dermaga dengan rasa khawatir dan cemas.

Sesudah masuk ke dalam ruangan perahu, baru saja Gak Put-kun hendak panggil menghadap Lenghou Tiong, tiba-tiba terlihat di atas meja ada secarik kertas putih yang ditindih dengan tatakan lilin, kertas itu ada tulisan yang berbunyi, “Di Ngo-pah-kang putrimu akan dikembalikan, Ci-he-sin-kang ternyata sekian saja kesaktiannya.”

Tulisan itu tampaknya digores hanya dengan arang sumbu lilin saja. Put-kun meremas kertas itu dan dimasukkan ke dalam saku. Kemudian ia tanya tukang perahu di mana letak Ngo-pah-kang itu, terletak di perbatasan antara Holam dan Soatang, kalau perahu berangkat besok pagi-pagi, pada petang harinya bisa sampai di sana.

Diam-diam Put-kun berpikir, “Lawan menantang aku untuk bertemu di Ngo-pah-kang, pertemuan ini mau tak mau harus dilakukan, tapi rasanya sudah pasti akan mengalami kekalahan dan tipis harapan untuk menang.”

Selagi ragu-ragu, tiba-tiba terdengar pula suara teriakan orang di daratan sana, “Keparat, di mana beradanya Tho-kok-lak-kui (enam setan dari Tho-kok) itu?
Inilah aku malaikat Ciong Siu (nama dewa penangkap setan) datang hendak menangkap setan-setan itu!”

Mendengar itu, tentu saja Tho-kok-lak-sian sangat gusar. Kecuali Tho-sit-sian yang tak bisa berkutik, kelima orang berbareng lantas melompat ke gili-gili.
Cepat Put-kun dan lain-lain juga keluar ke tepi perahu untuk melihat.

Ternyata orang yang berteriak tadi memakai kopiah tinggi lancip, tangan membawa sehelai bendera putih yang berkibar-kibar, pada bendera itu jelas tertulis, “Khusus menangkap Tho-kok-lak-kui bernyali sekecil tikus, aku berani bertaruh untuk menangkap Tho-kok-lak-kui.”
Tho-kin-sian berlima berjingkrak murka, secepat terbang mereka lantas mengejar. Ginkang orang berkopiah lancip itu pun sangat hebat, hanya sekejap saja sudah di kejauhan sana.

“Sumoay,” kata Put-kun, “agaknya inilah tipu ‘memancing harimau meninggalkan gunung’, kita harus waspada, marilah masuk saja ke dalam.”

Tapi baru saja Lo Tek-nau dan lain-lain hendak naik ke atas perahu, sekonyong-konyong dari samping sana satu gulungan bayangan manusia telah menggelinding tiba. Sekali pegang dada Lenghou Tiong, orang itu lantas berteriak, “Ikut pergi padaku!”

Kiranya bukan lain daripada si buntak yang mirip bola daging itu. Sekali kena dicengkeram, sama sekali Lenghou Tiong tak mampu meronta, terpaksa ia membiarkan dirinya diseret pergi.

Tapi baru saja bola daging itu hendak lari, mendadak dari pojok rumah sana menerjang luar pula seorang terus menendang si buntak. Kiranya penyerang ini adalah Tho-ki-sian.

Ilmu silat Tho-ki-sian sangat tinggi, tetapi nyalinya sangat kecil. Ketika melihat tulisan pada bendera putih yang dibawa orang berkopiah lancip tadi, ia menjadi jeri dan tidak berani ikut mengejar bersama saudara-saudaranya, ia sembunyi di pojok rumah sana. Baru kemudian waktu melihat si buntak membawa lari Lenghou Tiong, terpaksa ia muncul untuk menolongnya.

Melihat Tho-ki-sian menubruk tiba, cepat manusia bola daging itu melepaskan Lenghou Tiong, sekali lompat ia lantas mendekati Tho-sit-sian yang terbaring itu, sebelah kaki terangkat dengan gerakan hendak menginjak dada Tho-sit-sian.

Keruan Tho-ki-sian terkejut, teriaknya, “Jangan mencelakai saudaraku!”

“Locu ingin mampuskan dia, peduli apa denganmu?” seru si buntak.

Tapi secepat terbang Tho-ki-sian telah memburu maju, tanpa ayal lagi ia terus rangkul Tho-sit-sian dan diangkat bersama usungannya.

Sesungguhnya si buntak tidak sengaja hendak menyerang Tho-sit-sian, tujuannya hanya untuk memancing Tho-ki-sian saja. Maka dengan cepat ia melompat balik, sekali cengkeram kembali ia bekuk Lenghou Tiong terus dipanggul dan segera dibawa lari pergi.

Diam-diam Tho-ki-sian berpikir, “Wah, celaka. Peng-tayhu menyuruh kami menjaga Lenghou Tiong ini, sekarang dia diculik orang, kelak cara bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan?”

Tapi ia tidak tega meninggalkan Tho-sit-sian yang belum sembuh itu, terpaksa ia pun angkat Tho-sit-sian lalu mengejar ke arah si buntak.

Gak Put-kun memberi isyarat kepada sang istri, katanya, “Kau jaga para murid, biar aku menyusul ke sana untuk melihatnya.”

Gak-hujin mengangguk. Mereka sama-sama tahu bahwa di sekeliling mereka sekarang penuh musuh tangguh, kalau mereka suami-istri pergi semua mungkin seluruh anak muridnya akan disergap musuh.

Dalam hal Ginkang boleh dikata si buntak dan Tho-ki-sian adalah sama tingginya, tapi kedua orang sama-sama membawa beban seorang sehingga kecepatan lari mereka tidak secepat dalam keadaan bertangan kosong. Maka dengan Ginkang Gak Put-kun yang cukup tinggi, lambat laun ia pun sudah dapat menyusulnya. Didengarnya sepanjang jalan Tho-ki-sian terus berkaok-kaok menyuruh si buntak melepaskan Lenghou Tiong, kalau tidak tentu dia akan mengudak terus biar sampai ujung langit sekalipun.

Bab 52. Hong-ho-lo-coh, Dua Tokoh Aneh Sungai Kuning

Meskipun tubuh Tho-sit-sian tak bisa berkutik, tapi mulutnya tetap tidak mau menganggur, terus-menerus ia berdebat dengan Tho-ki-sian, katanya, “Toako dan lain-lain tidak ada di sini, biarpun kau dapat menyusul si buntak juga tak bisa mengapa-apakan dia. Jika tak mampu mengapa-apakan dia, kau bilang akan mengudak dia sampai ke mana pun kan hanya gertak sambal belaka?”

“Walaupun cuma gertak sambal juga ada faedahnya untuk menggertak musuh daripada tidak berbuat apa-apa,” ujar Tho-ki-sian.

Ginkang Tho-ki-sian benar-benar hebat, tenaga dalamnya juga sangat kuat, biarpun membawa beban satu orang sambil mulut mencerocos, tapi kecepatan larinya tak pernah kendur.

Diam-diam Gak Put-kun terperanjat. Ia tidak tahu dari golongan manakah kepandaian keenam manusia kosen itu? Untung mereka suka angin-anginan, tingkah lakunya rada dogol, kalau tidak tentu akan merupakan musuh yang sukar dilayani.

Begitulah tiga orang itu kejar-mengejar dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama makin terjal, nyata mereka sedang mendaki jalan pegunungan.

Mendadak Gak Put-kun teringat, “Jangan-jangan si buntak itu menyembunyikan bala bantuan lihai di lembah pegunungan ini untuk memancing kedatanganku? Jika demikian sungguh teramat bahaya jika aku masuk perangkapnya.”

Selagi ia merandek untuk memikir, tertampak si buntak yang membawa lari Lenghou Tiong itu telah menuju ke suatu rumah genting di lereng gunung sana, sesudah dekat ia terus melompat masuk ke halaman rumah itu dengan melintasi pagar tembok.

Kelihatan Tho-ki-sian yang memondong Tho-sit-sian itu juga lantas melompati pagar tembok. Tapi mendadak terdengar suara jeritannya, nyata dia telah masuk perangkap yang terpasang di balik pagar tembok.

Gak Put-kun juga sudah mengejar sampai di tepi pagar tembok itu, tapi ia lantas berhenti dan pasang kuping. Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, “Sudah lama kukatakan padamu agar hati-hati, coba sekarang kau kena diringkus orang di dalam jaring sehingga mirip seekor ikan, sungguh sialan.”

“Pertama, bukan seekor, tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku berhati-hati?” demikian sahut Tho-ki-sian.

“Eh, dahulu waktu kecil, ketika kita pergi mencuri buah mangga orang yang pohonnya berada di halaman rumah, bukankah pernah kusuruh kau berhati-hati? Masakah kau sudah lupa?”

“Itu kan dahulu, kejadian 40 tahun yang lalu ada sangkut paut apa dengan kejadian sekarang ini?” sahut Tho-ki-sian.

“Sudah tentu ada sangkut pautnya,” Tho-sit-sian. “Karena dahulu kau kurang hati-hati sehingga terperosot jatuh dan ditangkap orang dan dihajar. Untung Toako, Jiko dan lain-lain keburu datang menolong dan membunuh habis keluarga orang itu. Sekarang kau kurang hati-hati lagi dan kembali tertangkap pula.”

“Kenapa mesti khawatir, paling-paling Toako dan lain-lain memburu tiba dan membunuh habis pula segenap keluarga orang ini,” kata Tho-ki-sian.

“Hm,” terdengar si buntak mendengus. “Kematian kalian sudah di depan mata, masih berani mengigau akan membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut kalian supaya telingaku tidak panas.”

Lalu terdengar Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian bersuara bertahan. Agaknya si buntak telah menyumbat sesuatu di mulut kedua orang itu sehingga tidak mampu membuka suara.

Gak Put-kun pasang kuping pula sejenak, tapi tidak mendengar sesuatu suara. Ia coba mengitar ke belakang sana, tertampak di luar pekarangan tumbuh satu pohon besar. Ia memanjat pohon itu dan memandang ke dalam. Kiranya di dalam situ adalah sebuah rumah genting yang kecil, kira-kira dua-tiga meter jaraknya dengan pagar tembok dan rumah itu tentu ada perangkapnya.

Maka ia sengaja sembunyi di atas pohon yang tertutup oleh daun lebat, ia kerahkan Ci-he-sin-kang untuk mendengarkan. Terdengarlah suara si buntak sedang bertanya, “Sesungguhnya Coh Jian-jiu si tua bangka itu ada hubungan apa dengan dirimu?”

“Baru pertama kali ini aku melihat orang seperti Coh Jian-jiu itu, maka tak dapat dikatakan ada hubungan apa,” demikian suara Lenghou Tiong sedang menjawab.

“Urusan sudah begini dan kau masih berdusta,” seru si buntak dengan gusar, “Apa kau tidak tahu bahwa sekali sudah jatuh dalam cengkeramanku, maka kau pasti akan mati dengan mengerikan.”

“Aku tahu engkau tentu sangat marah karena obatmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa sengaja,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tapi rasanya obatmu itu toh tiada tampak khasiatnya, sudah sekian lamanya kuminum obatmu itu namun sedikit pun aku tidak merasakan apa-apa.”

“Memangnya kau kira begitu cepat akan tampak khasiatnya?” kata si buntak dengan gusar. “Datangnya penyakit biasanya mendadak, sembuhnya penyakit justru sedikit demi sedikit. Khasiatnya obat itu baru dapat tampak sesudah tiga hari nanti.”

“Baiklah, jika kau mau membunuh aku boleh silakan, toh aku tak bertenaga dan tak mampu melawan,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Hm, kau ingin mati dengan enak, jangan harap. Aku harus menanyai lebih dulu,” damprat si buntak. “Keparat, Coh Jian-jiu adalah kawanku selama beberapa puluh tahun, sekarang ternyata mengkhianati kawan sendiri, tentu dalam hal ini ada sebab-sebabnya. Hoa-san-pay kalian tidak laku sepeser pun bagi penilaian ‘Hongho Lo-coh’ kami, sudah tentu bukan lantaran kau adalah murid Hoa-san-pay sehingga dia perlu mencuri aku punya Siok-beng-wan untuk diminumkan padamu. Ai, sungguh aneh bin ajaib, ajaib binti heran!”

“O, kiranya julukanmu adalah ‘Hongho Lo-coh’ maafkan kalau aku berlaku kurang hormat,” kata Lenghou Tiong.

“Ngaco-belo,” semprot si buntak dengan marah. “Seorang diri mana aku dapat menjadi Hongho Lo-coh?”

“He, mengapa tidak dapat?” tanya Lenghou Tiong heran.

“Hongho Lo-coh terdiri dari dua orang, yang satu she Lo, yang lain she Coh, masakah begini saja tidak paham, sungguh goblok,” omel si buntak. “Coh Cong, Coh Jian-jiu she Coh, aku Lo Ya, Lo Thau-cu she Lo, kami berdua bersemayam di sepanjang lembah Hongho, maka kami disebut sebagai Hongho Lo-coh.”

“Aneh, mengapa yang seorang bernama Lo Ya (tuan besar) dan yang lain bernama Coh (kakek moyang)?” tanya Lenghou Tiong.

“Kau sendiri masih hijau seperti katak dalam tempurung dan tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang she Lo dan she Coh,” kata si buntak. “Aku sendiri she Lo (tua) bernama Ya (tua) alias Thau-cu (kakek), atau Lo Thau-cu (kakek tua) ....”

Saking gelinya Lenghou Tiong mengakak tawa, katanya, “Jika demikian, Coh Jian-jiu itu she Coh bernama Cong (nenek moyang)?”

“Memang begitulah,” sahut si buntak alias Lo Thau-cu. Setelah merandek sejenak lalu ia berkata pula, “Eh, kau tidak kenal nama Coh Jian-jiu, jika begitu boleh jadi kau memang tiada hubungan keluarga apa-apa dengan dia.
Tapi, ai, salah. Apa kau bukan anaknya Coh Jian-jiu?”

Lenghou Tiong tambah geli, sahutnya, “Cara bagaimana aku bisa menjadi anaknya?
Dia she Coh, aku she Lenghou, mana dapat keduanya dihubung-hubungkan?”

“Sungguh aneh,” demikian Lo Thau-cu bergumam sendiri. “Dengan susah payah, dengan segala tipu daya akhirnya baru dapat kuracik delapan biji Siok-beng-wan yang mestinya hendak kugunakan mengobati penyakit putri mestikaku. Kau bukan anaknya Coh Jian-jiu, mengapa dia sengaja mencuri obat untukmu?”

Mendengar itu barulah Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Katanya, “Kiranya obat Lo-siansing ini akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu, tetapi keliru kumakan sekarang, sungguh aku merasa tidak enak hati. Entah penyakit apakah yang diderita putrimu? Mengapa engkau tidak minta pertolongan kepada Sat-jin-beng-ih Peng-tayhu untuk mengobatinya?”
“Cis, siapa yang tidak tahu bila sakit harus minta pertolongan kepada Peng It-ci?” semprot Lo Thau-cu. “Dia menetapkan suatu peraturan setiap orang yang disembuhkan harus membunuh pula seorang sebagai pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, lebih dulu telah kubunuh habis delapan jiwa keluarga bininya, dengan demikian barulah dia merasa sungkan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku. Menurut kesimpulannya penyakit putriku yang aneh itu sudah ada ketika meninggalkan kandungan ibunya, maka dia membuka resep obat Siok-beng-wan sebanyak delapan biji pil itu. Kalau tidak, aku sendiri bukan tabib, dari mana aku paham cara meracik obat segala?”

Cerita si buntak mengherankan Lenghou Tiong, tanyanya pula, “Cianpwe telah minta pertolongan kepada Peng-tayhu untuk mengobati putrimu, tapi mengapa malah membunuh habis seluruh keluarga mertuanya?”

“Kau ini benar-benar sangat goblok, kalau tidak dijelaskan tidak paham,” omel Lo Thau-cu. “Musuh Peng It-ci sebenarnya tidak banyak, apa lagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis dibunuh oleh pasien yang disembuhkan olehnya. Tapi selama hidup Peng It-ci paling benci kepada ibu mertuanya, soalnya dia takut bini, dia tidak berani membunuh ibu mertuanya itu, maka akulah yang mewakilkan dia turun tangan. Sesudah aku membunuh segenap keluarga ibu mertuanya, Peng It-ci sangat senang dan baru mengobati putriku dengan sesungguh hati.”

“O, kiranya demikian,” kata Lenghou Tiong. “Padahal obatmu yang katanya sangat mustajab itu tidak cocok bagi penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu? Apakah masih keburu bila mengulangi mencari obat baru?”

Lo Thau-cu menjadi gusar, katanya, “Putriku paling lama hanya tahan hidup setengah atau setahun saja dan pasti akan mati, masakah sempat untuk mencari obat yang sangat sukar ditemukan itu? Sekarang tiada jalan lain, terpaksa aku mengobati dia dengan caraku sendiri.”

Segera ia tarik sebuah kursi, ia paksa Lenghou Tiong duduk di situ, ia ambil pula seutas tambang dan mengikat kaki tangan Lenghou Tiong sekencangnya di kursi. Lalu ia robek baju bagian dada Lenghou Tiong sehingga kelihatan kulit dadanya yang putih.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Lenghou Tiong.

“Jangan terburu-buru, sebentar lagi kau akan tahu sendiri,” sahut Lo Thau-cu dengan menyeringai. Habis itu ia terus angkat Lenghou Tiong berikut kursinya dan dibawa ke belakang. Sesudah menyusuri serambi samping, akhirnya ia menyingkap tirai dan masuk ke sebuah kamar.

Begitu berada dalam kamar itu, Lenghou Tiong lantas merasa sumpek luar biasa. Tertampak celah-celah jendela kamar itu dilem rapat dengar kertas sehingga kamar itu benar-benar tak tembus angin sedikit pun.

Di dalam kamar ada dua anglo, arangnya tampak membara. Kelambu tempat tidur tampak menjulai. Seluruh kamar hanya bau obat belaka.

Sesudah menaruh kursi bersama Lenghou Tiong yang terikat kencang di atasnya, si buntak lantas membuka kelambu, katanya dengan suara lembut, “Anak Ih, bagaimana keadaanmu hari ini?”

Di atas bantal berwarna kuning telur itu tampak berbaring sebuah wajah yang pucat dengan rambut yang panjang terurai di atas selimut sutra warna kuning gading.
Usia nona itu kira-kira baru 17-18 tahun, kedua matanya terpejam rapat, bulu matanya sangat panjang. Terdengar dia menyapa, “Ayah!” dengan mata tetap tertutup.

“Anak Ih,” kata Lo Thau-cu, “Siok-beng-wan yang kubuatkan untukmu sudah selesai. Hari ini juga boleh dimakan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh, tidak lama kemudian kau pun dapat bangun dan bermain lagi.”

Nona itu hanya bersuara perlahan sekali, agaknya tidak begitu tertarik akan ucapan sang ayah.

Lenghou Tiong merasa tidak tenteram demi melihat penyakit si nona yang payah itu. Ia dapat mengerti cinta kasih si buntak terhadap putrinya itu, apa yang diucapkannya tadi agaknya sekadar untuk menghibur putrinya saja.

Tapi Lo Thau-cu lantas memondong putrinya untuk didudukkan, katanya, “Kau duduk saja agar lebih leluasa minum obatmu ini. Obat ini tidak mudah diperoleh, jangan kau meremehkannya.”

Perlahan nona itu bangun duduk, Lo Thau-cu mengambilkan dua buah bantal untuk mengganjal punggung putrinya itu. Waktu nona itu membuka mata, ia menjadi heran demi melihat Lenghou Tiong.

“Ayah, sia ... siapakah dia?” tanyanya kemudian sambil memandang Lenghou Tiong dengan sepasang mata bola yang hitam guram.

“Dia? O, dia bukan orang, dia adalah obat,” sahut Lo Thau-cu sambil tersenyum.

“Dia adalah obat?” si nona menegas dengan bingung.

“Ya, dia adalah obat,” kata pula Lo Thau-cu. “Pil Siok-beng-wan itu terlalu keras untuk dimakan begitu saja olehmu, maka lebih dulu dimakan dia, lalu kuambil darahnya untuk diminumkan kepadamu, dengan demikian barulah cocok.”

“Oo,” hanya sekian saja nona itu bersuara, lalu memejamkan mata pula.

Sudah tentu Lenghou Tiong terkejut dan gusar pula mendengar kata-kata Lo Thau-cu, segera ia bermaksud memakinya, tapi lantas terpikir olehnya, “Aku telah makan obat mujarab yang mestinya akan digunakan untuk menolong jiwa nona ini, walaupun tidak sengaja, tapi akulah yang telah membikin susah dia. Apalagi aku sendiri sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi, jika sekarang darahku digunakan untuk menolong jiwanya sebagai penebus dosaku, cara ini pun boleh juga.”
Karena itu ia hanya tersenyum pedih saja dan tidak membuka suara.

Lo Thou-cu berdiri di samping Lenghou Tiong, ia sudah siap, begitu Lenghou Tiong berteriak segera akan menutuk Hiat-to bisunya. Siapa duga sikap Lenghou Tiong tetap tenang-tenang saja dan tak ambil peduli, hal ini berbalik di luar dugaannya.

Segera Lo Thau-cu bertanya, “Aku akan menusuk ulu hatimu dan mengambil darahmu untuk mengobati putriku, kau takut atau tidak?”

“Kenapa mesti takut?” sahut Lenghou Tiong dengan hambar saja.

Lo Thau-cu coba mengamat-amati Lenghou Tiong, benar juga dilihatnya sikapnya tenang saja tanpa gentar, ia rada heran.
Tanyanya pula, “Sekali kutusuk ulu hatimu, seketika jiwamu melayang. Sudah kukatakan di muka, nanti jangan menyalahkan aku.”

Lenghou Tiong tersenyum pula, sahutnya, “Setiap orang akhirnya toh mesti mati, mati lebih cepat beberapa tahun atau mati lebih lambat beberapa tahun apa sih bedanya? Jika darahku dapat menolong jiwa nona itulah sangat bagus daripada aku mati percuma tanpa berfaedah bagi siapa pun.”

“Sungguh hebat!” puji Lo Thau-cu sambil mengacungkan jari jempolnya. “Kesatria yang tidak gentar mati seperti dirimu jarang sekali kutemukan selama hidupku ini. Sayang putriku terpaksa harus minum darahmu supaya bisa sembuh, kalau tidak sungguh aku ingin mengampunimu saja.”
Segera ia menuju ke dapur dan membawa datang sebuah baskom air panas yang masih mendidih. Tangan kanannya lantas memegang sebilah belati, tangan kiri mengambil sepotong handuk kecil, ia basahi dengan air panas itu, belati lantas ditempelkan di depan ulu hati Lenghou Tiong.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seruan Coh Jian-jiu di luar, “Lo Thau-cu! Lo Thau-cu! Lekas membuka pintu lekas! Aku membawa suatu barang baik untuk nona Siau Ih.”

Lo Thau-cu tampak mengerut kening, sekali belatinya menggores, ia potong handuk kecil tadi menjadi dua, satu potong dijejalkan ke mulut Lenghou Tiong agar tidak dapat bersuara, lalu serunya, “Barang baik apa yang kau maksudkan?”

Sembari bicara ia lantas menaruh belatinya, kemudian lari keluar untuk membuka pintu dan menyilakan Coh Jian-jiu masuk ke dalam rumah.

Terdengar Coh Jian-jiu berkata pula, “Lo Thau-cu, cara bagaimana kau akan berterima kasih padaku dalam urusan ini? Karena urusannya terlalu mendesak, seketika aku tak bisa bertemu denganmu, terpaksa aku ambil Siok-beng-wanmu tanpa permisi dan menipu dia untuk meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui persoalannya tentu kau pun akan mengantar sendiri obatmu kepadanya, tapi belum tentu dia mau meminumnya begitu saja.”

Dengan gusar Lo Thau-cu mengomel, “Ngaco ....”

Tapi Coh Jian-jiu lantas menempelkan mulutnya ke tepi telinga Lo Thau-cu dan berbisik-bisik padanya beberapa patah kata. Habis itu sekonyong-konyong Lo Thau-cu melonjak kaget, teriaknya, “Apa betul demikian? Kau ... kau tidak mendustai aku?”

“Buat apa aku dusta?” sahut Coh Jian-jiu. “Sebelumnya aku sudah mencari tahu, setelah yakin dan pasti baru kukerjakan.
Lo Thau-cu, kita adalah sahabat berpuluh tahun, kita sama-sama tahu perasaan masing-masing. Urusan yang telah kukerjakan ini cocok dengan perasaanmu atau tidak?”

“Betul, betul! Kurang ajar, kurang ajar!” sahut Lo Thau-cu.

“He, kenapa sudah betul kok kurang ajar lagi?” tanya Coh Jian-jiu terheran-heran.

“Kau yang betul dan aku yang kurang ajar!” sahut Lo Thau-cu.

Tanpa bicara Lo Thau-cu lantas menyeret Coh Jian-jiu masuk ke kamar putrinya, segera ia menjura dan menyembah kepada Lenghou Tiong, katanya, “Lenghou-kongcu, Lenghou-tayjin, Lenghou-siauya, hamba telah berbuat salah besar dan membikin susah padamu. Untung Thian Maha Pengasih, Coh Jian-jiu keburu tiba, kalau tidak, bila aku telanjur menubles hulu hatimu, biarpun aku dihukum gantung juga belum cukup untuk menebus dosaku ini.”

Mulut Lenghou Tiong masih tersumbat, maka dia tidak dapat membuka suara. Syukur Coh Jian-jiu cukup teliti, segera ia mengorek keluar kain penyumbat mulut itu dan bertanya, “Lenghou-kongcu, mengapa engkau berada di sini?”

“He, Locianpwe silakan lekas bangun, penghormatan setinggi ini aku tak berani menerimanya,” seru Lenghou Tiong.

Lo Thau-cu berkata pula, “Aku tidak tahu kalau Lenghou-kongcu mempunyai hubungan serapat ini dengan tuan penolongku yang paling berbudi sehingga telah banyak membikin susah padamu, ai, benar-benar kurang ajar aku ini dan pantas dihukum mampus. Seumpama aku mempunyai seratus orang putri dan harus mati semuanya juga aku tak berani minta pengaliran darah Lenghou-kongcu sedikit pun untuk menolong jiwa mereka.”

Coh Jian-jiu masih belum paham duduknya perkara, dengan mata terbelalak ia tanya, “Lo Thau-cu, apa maksudmu kau meringkus Lenghou-kongcu di atas kursi ini?”

“Ai, pendek kata akulah yang salah, harap saja kau jangan tanya lebih jauh,” sahut Lo Thau-cu dengan menyesal.

“Dan belati ini serta air panas di dalam baskom ini akan digunakan untuk apa?” tanya pula Jian-jiu.

Mendadak terdengar suara “plak-plok” berulang-ulang, Lo Thau-cu telah menggampar pipinya sendiri beberapa kali sehingga mukanya yang memang sudah gemuk bulat itu tambah bengkak melembung.

“Ya, aku pun tidak paham duduknya perkara dan masih bingung, diharap kedua Cianpwe sudi memberi penjelasan,” kata Lenghou Tiong.

Lekas-lekas Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu melepaskan tali pengikatnya dan berkata, “Marilah kita sambil minum arak sembari bicara.”

“Apakah penyakit putrimu takkan berubah gawat?” tanya Lenghou Tiong sambil memandang sekejap kepada si nona yang terbaring di tempat tidurnya itu.

“Tidak, takkan berubah,” sahut Lo Thau-cu. “Seumpama akan berubah gawat juga ... ai, apa mau dikata lagi ....”

Begitulah Lo Thau-cu menyilakan Lenghou Tiong dan Coh Jian-jiu ke ruangan tamu, ia menuang tiga mangkuk arak dan menyiapkan pula sedikit makanan sebangsa kacang goreng dan lain-lain sebagai teman arak. Dengan penuh hormat ia angkat mangkuknya untuk ajak minum Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong coba menghirup seceguk, ia merasa arak itu kurang keras dan hambar, bedanya seperti langit dan bumi dengan ke-16 guci arak di perahunya itu. Tapi kalau dibandingkan kedelapan cawan arak yang disuguhkan Coh Jian-jiu itu rasanya jauh lebih sedap.

“Lenghou-kongcu, aku sudah tua bangka dan telah membikin susah padamu, ai, sungguh ... sungguh ....” begitulah Lo Thau-cu masih merasa menyesal, wajahnya tampak gugup dan entah apa yang harus diucapkannya baru dapat menggambarkan rasa menyesalnya itu.

“Lenghou-kongcu yang berjiwa besar tentu takkan menyalahkan dirimu,” ujar Coh Jian-jiu. “Pula kau punya Siok-beng-wan itu jika benar-benar ada khasiatnya dan berfaedah bagi kesehatan Lenghou-kongcu, tentu kau berbalik akan berjasa malah.”

“Tentang ... tentang jasa segala aku tidak berani terima,” sahut Lo Thau-cu. “Coh-hiante, adalah jasamu yang paling besar.”

“Aku telah mengambil obatmu, mungkin akan mengganggu kesehatan nona Siau Ih,” kata Coh Jian-jiu dengan tertawa. “Ini ada sedikit jinsom, boleh minumkan padanya sekadar menguatkan badannya.”

Habis berkata ia lantas mengambil sebuah bakul bambu yang dibawanya, dari dalam bakul dikeluarkannya beberapa batang jinsom yang beratnya ada sepuluhan kati.

“Wah, dari mana kau memperoleh jinsom sebanyak ini?” tanya Lo Thau-cu.

“Sudah tentu kupinjam dari toko obat,” sahut Coh Jian-jiu dengan tertawa.

Lo Thau-cu ikut terbahak-bahak, katanya, “Ada ubi ada talas, pinjaman ini entah kapan baru bisa dibalas.”
Walaupun si buntak tertawa-tawa, tapi di antara mata alisnya tertampak rasa sedih.

Lenghou Tiong lantas berkata, “Lo-siansing dan Coh-siansing, kalian masing-masing telah menipu aku, kemudian menculik dan meringkus aku di sini, semuanya ini sesungguhnya terlalu memandang enteng padaku.”

“Ya, ya, memang kami berdua tua bangka ini pantas dihukum mati, entah cara bagaimana Lenghou kongcu akan menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tak berani mengelak,” sahut Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu berbareng.
“Baik, ada sesuatu yang aku merasa tidak mengerti, kuharap kalian suka menjawab terus terang,” kata Lenghou Tiong. “Aku ingin tanya, kalian segan kepada siapakah sehingga kalian demikian menghormat padaku?”

Kedua kakek itu saling pandang sekejap, lalu Coh Jian-jiu menjawab, “Lenghou-kongcu tentu sudah tahu di dalam batin, tentang nama tokoh itu, harap maaf, kami tak berani menyebutnya.”

“Tapi aku benar-benar tidak tahu,” kata Lenghou Tiong. Diam-diam ia pun menimbang-nimbang siapakah tokoh yang dimaksudkan itu? Apakah Hong-thaysiokco? Atau Put-kay Taysu? Atau Dian Pek-kong? Atau Lik-tiok-ong? Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya toh bukan.

“Lenghou-kongcu,” kata Coh Jian-jiu kemudian. “Pertanyaanmu ini sekali-kali kami tidak berani memberi jawaban, biarpun kau bunuh kami juga takkan kami katakan. Toh di dalam batin Kongcuya sendiri sudah tahu, buat apa mesti minta kami menyebut namanya?”

Melihat ucapan mereka sangat pasti, agaknya susah disuruh mengaku biarpun dipaksa, terpaksa Lenghou Tiong berkata, “Baiklah, kalian tidak mau mengatakan, tentu rasa mendongkolku juga sukar dilenyapkan. Lo-siansing, kau telah mengikat aku di atas kursi sehingga aku ketakutan setengah mati, sekarang aku pun ingin balas mengikat kalian di kursi, boleh jadi aku masih belum puas dan akan mengorek keluar hati kalian dengan belati.”

Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu saling pandang sekejap, kata mereka kemudian, “Jika Lenghou-kongcu ingin meringkus kami, sudah tentu kami tidak berani melawan.”

Segera Lo Thau-cu mengambilkan dua buah kursi dan beberapa utas tambang. Di dalam batin mereka tidak percaya Lenghou Tiong berniat meringkus mereka secara sungguh-sungguh, besar kemungkinan cuma bergurau saja.

Tak terduga Lenghou Tiong benar-benar lantas mengambil tali terus mengikat tangan mereka dengan menelikungnya ke belakang sandaran kursi. Lalu ia pegang belati milik Lo Thau-cu tadi, katanya, “Tenaga dalamku sudah punah, aku tak bisa menutuk kalian dengan jari tangan, terpaksa aku menggunakan gagang belati ini untuk menutuk Hiat-to kalian.”

Habis itu ia lantas membalik belati yang dipegangnya itu, dengan gagang belati ia ketuk beberapa Hiat-to tertentu di atas tubuh kedua kakek itu sehingga tak bisa bergerak.

Keruan Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu saling pandang dengan heran, tanpa merasa timbul juga rasa khawatir mereka karena tidak tahu apa maksud tujuan Lenghou Tiong yang sebenarnya.

“Hendaknya kalian tunggu sebentar di sini,” demikian Lenghou Tiong berkata, lalu putar tubuh dan melangkah keluar ruangan tamu.

Dengan membawa belati Lenghou Tiong menuju ke kamar putri Lo Thau-cu, setiba di luar kamar, ia berdehem dulu, lalu berkata, “Nona ... nona Siau Ih, bagaimana keadaanmu.”

Semula Lenghou Tiong bermaksud memanggilnya “nona Lo”, tapi ini berarti “nona tua” dan tidak pantas bagi gadis yang masih muda belia, maka dia lantas memanggil namanya seperti apa yang didengarnya dari panggilan Coh Jian-jiu tadi.

Maka terdengar nona Siau Ih hanya bersuara “Ehmmm” dan tidak menjawab.

Perlahan Lenghou Tiong menyingkap tirai pintu kamar dan melangkah masuk. Terlihat nona itu masih tetap duduk bersandar di atas bantal, kedua mata sedikit terbuka dan seperti orang baru bangun tidur.

Lenghou Tiong melangkah lebih dekat, tertampak kulit muka si nona putih halus laksana kaca sehingga otot-otot hijau di dalam daging kelihatan jelas. Keadaan nona itu agaknya sangat payah, tampaknya lebih banyak mengembuskan napas daripada menyedot hawa segar.

“Nona ini mestinya dapat diselamatkan, tapi obatnya telah telanjur kumakan sehingga membikin susah padanya. Aku sendiri toh sudah pasti akan mati, bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak toh tiada bedanya bagiku,” demikian pikir Lenghou Tiong sambil menghela napas panjang.

Segera ia ambil sebuah mangkuk porselen, ia taruh di atas meja, lalu belati digunakan untuk memotong nadi pergelangan tangan kiri, seketika darah bercucuran dan mengalir ke dalam mangkuk. Ia lihat air mendidih yang disiapkan Lo Thau-cu tadi masih mengepulkan asap panas, segera ia taruh belatinya, tangannya dicelup ke dalam air panas itu, lalu diusapkan pada luka pergelangan tangan kiri agar darah di tempat luka itu tidak lekas membeku. Maka hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah hampir diisi dengan darah segar.

Dalam keadaan sadar tak sadar nona Siau Ih mencium bau anyirnya darah, ia membuka mata, melihat darah mengucur dari pergelangan tangan Lenghou Tiong, sakit kagetnya ia sampai menjerit.

Mendengar suara jeritan Siau Ih itu, Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang terikat di ruang tamu sana saling pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lenghou Tiong atas diri gadis itu. Di dalam hati kedua orang ada dugaan tertentu, tapi keduanya sama-sama tidak berani mengemukakan perasaannya lebih dahulu.

Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah penuh mengisi mangkuk tadi dengan darahnya, segera ia membawa darah itu ke hadapan Siau Ih dan berkata, “Lekas kau minum, di dalam darah ini mengandung obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakitmu.”

“Ti ... tidak, aku ... aku takut, aku tidak mau minum,” sahut Siau Ih.

Sesudah mengalirkan darah semangkuk, rasa badan Lenghou Tiong menjadi enteng dan kaki tangannya lemas. Jika si nona tak mau minum darah itu kan sia-sia saja pengorbanannya?

Maka ia coba menggertaknya, dengan belati terhunus ia membentaknya, “Kau mau minum tidak? Jika tidak, segera kutikam mati kau?”

Menyusul ujung belatinya ia ancam di tenggorokan si nona.

Siau Ih menjadi takut, terpaksa membuka mulut dan menghirup darah di dalam mangkuk itu. Beberapa kali ia merasa mual dan hendak muntah, tapi demi melihat ujung belati yang mengilap itu, dalam takutnya hilanglah rasa mualnya.

Setelah habis darah semangkuk itu, Lenghou Tiong melihat luka pada pergelangan tangan sendiri itu sudah membeku, darah tidak menetes keluar lagi. Ia pikir kadar obat Siok-beng-wan yang tercampur dalam darah yang diminumkan kepada Siau Ih itu tentu terlalu sedikit dan tak berguna, rasanya harus mencekoki si nona beberapa mangkuk lagi, sampai diri sendiri lemas dan tak bisa berkutik barulah jadi.

Segera Lenghou Tiong memotong pula nadi pergelangan kanan dan mencurahkan darahnya untuk mencekoki Siau Ih.

“Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak ... tidak sanggup lagi,” kata Siau Ih sambil mengerut kening.

“Sanggup atau tidak sanggup harus kau minum lekas!” kata Lenghou Tiong.

“Ken ... kenapa engkau berbuat begini? Cara ... cara demikian kan merugikan badanmu sendiri?” ujar Siau Ih.

“Merugikan badanku tidak menjadi soal, aku hanya ingin kau sembuh,” sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum getir.

Di sebelah sana Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian yang kena dijaring oleh Lo Thau-cu tadi sudah kehabisan akal karena semakin mereka meronta semakin kencang pula jaring itu menyurut, sampai akhirnya kedua orang tak bisa berkutik lagi. Namun mata telinga mereka tetap tidak mau menganggur dan masih saling berdebat.

Waktu Lenghou Tiong mengikat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu di kursi, semula Tho-ki-sian mengira pemuda itu pasti akan membunuh kedua kakek itu, sedang Tho-sit-sian percaya dia pasti akan membebaskan mereka berdua yang terjebak itu. Tak terduga percuma saja mereka berdebat setengah harian, sama sekali Lenghou Tiong tidak urus mereka sebaliknya masuk ke kamar Siau Ih.

Karena kamar Siau Ih itu ditutup dengan rapat, sampai celah-celah jendela pun dilem dengan kertas sehingga percakapan Lenghou Tiong dan Siau Ih sayup-sayup hanya dapat terdengar sebagian.

Tho-ki-sian, Tho-sit-sian, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu serta Gak Put-kun yang sedang mengintip di luar itu semuanya memiliki Lwekang sangat tinggi, tapi apa yang dilakukan Lenghou Tiong di dalam kamar Siau Ih, mereka hanya dapat menduga-duga menurut jalan pikirannya masing-masing.

Ketika mendadak terdengar jeritan Siau Ih, wajah kelima orang itu sama berubah semua.

Tho-ki-sian berkata, “Seorang pemuda seperti Lenghou Tiong itu, untuk apa dia masuk ke kamar anak gadis orang?”

“Coba dengar,” sahut Tho-sit-sian. “Nona itu agak sangat takut, dia sedang meratap, ‘Aku ... takut!’ Wah, Lenghou Tiong lagi mengancam akan membunuhnya, katanya, ‘Jika kau tidak mau ....’ Tidak mau apa maksudnya?”

“Apa lagi? Sudah tentu dia sedang memaksa nona itu menjadi istrinya,” ujar Tho-ki-sian.

“Hahaha! Sungguh menggelikan!” Tho-sit-sian terbahak-bahak. “Putri si buntak yang berpotongan buah semangka itu dengan sendirinya juga pendek gemuk bulat seperti bola, mengapa Lenghou Tiong paksa memperistrikan dia?”
“Ah, masakan apa pun, setiap orang mempunyai selera dan kesukaan sendiri-sendiri. Boleh jadi Lenghou Tiong itu paling suka pada wanita gemuk buntak, maka begitu melihatnya semangatnya lantas terbang ke awang-awang,” demikian kata Tho-ki-sian.

“He, coba dengarkan!” bisik Tho-sit-sian. “Nona gemuk itu sedang minta ampun, katanya, ‘Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak sanggup lagi.’”

“Ya, agaknya Lenghou Tiong itu benar-benar pemuda mahaperkasa, katanya, ‘Sanggup atau tidak sanggup juga harus lekas, lekas!’”

“Lekas? Apa maksudnya Lenghou Tiong suruh dia lekas?” tanya Tho-sit-sian.

“Kau tidak pernah beristri, masih jejaka, sudah tentu kau tidak paham,” kata Tho-ki-sian.

“Memangnya kau sendiri pernah beristri? Huh, tidak tahu malu!” jawab Tho-sit-sian.
Habis itu ia lantas berteriak-teriak, “He, hei! Lo Thau-cu. Lenghou Tiong sedang memaksa putrimu untuk menjadi istrinya, mengapa kau diam-diam saja tanpa memberi pertolongan?”

Meskipun tubuh Tho-sit-sian tak bisa berkutik, tapi mulutnya tetap tidak mau menganggur, terus-menerus ia berdebat dengan Tho-ki-sian, katanya, “Toako dan lain-lain tidak ada di sini, biarpun kau dapat menyusul si buntak juga tak bisa mengapa-apakan dia. Jika tak mampu mengapa-apakan dia, kau bilang akan mengudak dia sampai ke mana pun kan hanya gertak sambal belaka?”

“Walaupun cuma gertak sambal juga ada faedahnya untuk menggertak musuh daripada tidak berbuat apa-apa,” ujar Tho-ki-sian.

Ginkang Tho-ki-sian benar-benar hebat, tenaga dalamnya juga sangat kuat, biarpun membawa beban satu orang sambil mulut mencerocos, tapi kecepatan larinya tak pernah kendur.

Diam-diam Gak Put-kun terperanjat. Ia tidak tahu dari golongan manakah kepandaian keenam manusia kosen itu? Untung mereka suka angin-anginan, tingkah lakunya rada dogol, kalau tidak tentu akan merupakan musuh yang sukar dilayani.

Begitulah tiga orang itu kejar-mengejar dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama makin terjal, nyata mereka sedang mendaki jalan pegunungan.

Mendadak Gak Put-kun teringat, “Jangan-jangan si buntak itu menyembunyikan bala bantuan lihai di lembah pegunungan ini untuk memancing kedatanganku? Jika demikian sungguh teramat bahaya jika aku masuk perangkapnya.”

Selagi ia merandek untuk memikir, tertampak si buntak yang membawa lari Lenghou Tiong itu telah menuju ke suatu rumah genting di lereng gunung sana, sesudah dekat ia terus melompat masuk ke halaman rumah itu dengan melintasi pagar tembok.

Kelihatan Tho-ki-sian yang memondong Tho-sit-sian itu juga lantas melompati pagar tembok. Tapi mendadak terdengar suara jeritannya, nyata dia telah masuk perangkap yang terpasang di balik pagar tembok.

Gak Put-kun juga sudah mengejar sampai di tepi pagar tembok itu, tapi ia lantas berhenti dan pasang kuping. Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, “Sudah lama kukatakan padamu agar hati-hati, coba sekarang kau kena diringkus orang di dalam jaring sehingga mirip seekor ikan, sungguh sialan.”

“Pertama, bukan seekor, tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku berhati-hati?” demikian sahut Tho-ki-sian.

“Eh, dahulu waktu kecil, ketika kita pergi mencuri buah mangga orang yang pohonnya berada di halaman rumah, bukankah pernah kusuruh kau berhati-hati? Masakah kau sudah lupa?”

“Itu kan dahulu, kejadian 40 tahun yang lalu ada sangkut paut apa dengan kejadian sekarang ini?” sahut Tho-ki-sian.

“Sudah tentu ada sangkut pautnya,” Tho-sit-sian. “Karena dahulu kau kurang hati-hati sehingga terperosot jatuh dan ditangkap orang dan dihajar. Untung Toako, Jiko dan lain-lain keburu datang menolong dan membunuh habis keluarga orang itu. Sekarang kau kurang hati-hati lagi dan kembali tertangkap pula.”

“Kenapa mesti khawatir, paling-paling Toako dan lain-lain memburu tiba dan membunuh habis pula segenap keluarga orang ini,” kata Tho-ki-sian.

“Hm,” terdengar si buntak mendengus. “Kematian kalian sudah di depan mata, masih berani mengigau akan membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut kalian supaya telingaku tidak panas.”

Lalu terdengar Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian bersuara bertahan. Agaknya si buntak telah menyumbat sesuatu di mulut kedua orang itu sehingga tidak mampu membuka suara.

Gak Put-kun pasang kuping pula sejenak, tapi tidak mendengar sesuatu suara. Ia coba mengitar ke belakang sana, tertampak di luar pekarangan tumbuh satu pohon besar. Ia memanjat pohon itu dan memandang ke dalam. Kiranya di dalam situ adalah sebuah rumah genting yang kecil, kira-kira dua-tiga meter jaraknya dengan pagar tembok dan rumah itu tentu ada perangkapnya.

Maka ia sengaja sembunyi di atas pohon yang tertutup oleh daun lebat, ia kerahkan Ci-he-sin-kang untuk mendengarkan. Terdengarlah suara si buntak sedang bertanya, “Sesungguhnya Coh Jian-jiu si tua bangka itu ada hubungan apa dengan dirimu?”

“Baru pertama kali ini aku melihat orang seperti Coh Jian-jiu itu, maka tak dapat dikatakan ada hubungan apa,” demikian suara Lenghou Tiong sedang menjawab.

“Urusan sudah begini dan kau masih berdusta,” seru si buntak dengan gusar, “Apa kau tidak tahu bahwa sekali sudah jatuh dalam cengkeramanku, maka kau pasti akan mati dengan mengerikan.”

“Aku tahu engkau tentu sangat marah karena obatmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa sengaja,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tapi rasanya obatmu itu toh tiada tampak khasiatnya, sudah sekian lamanya kuminum obatmu itu namun sedikit pun aku tidak merasakan apa-apa.”

“Memangnya kau kira begitu cepat akan tampak khasiatnya?” kata si buntak dengan gusar. “Datangnya penyakit biasanya mendadak, sembuhnya penyakit justru sedikit demi sedikit. Khasiatnya obat itu baru dapat tampak sesudah tiga hari nanti.”

“Baiklah, jika kau mau membunuh aku boleh silakan, toh aku tak bertenaga dan tak mampu melawan,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Hm, kau ingin mati dengan enak, jangan harap. Aku harus menanyai lebih dulu,” damprat si buntak. “Keparat, Coh Jian-jiu adalah kawanku selama beberapa puluh tahun, sekarang ternyata mengkhianati kawan sendiri, tentu dalam hal ini ada sebab-sebabnya. Hoa-san-pay kalian tidak laku sepeser pun bagi penilaian ‘Hongho Lo-coh’ kami, sudah tentu bukan lantaran kau adalah murid Hoa-san-pay sehingga dia perlu mencuri aku punya Siok-beng-wan untuk diminumkan padamu. Ai, sungguh aneh bin ajaib, ajaib binti heran!”

“O, kiranya julukanmu adalah ‘Hongho Lo-coh’ maafkan kalau aku berlaku kurang hormat,” kata Lenghou Tiong.

“Ngaco-belo,” semprot si buntak dengan marah. “Seorang diri mana aku dapat menjadi Hongho Lo-coh?”

“He, mengapa tidak dapat?” tanya Lenghou Tiong heran.

“Hongho Lo-coh terdiri dari dua orang, yang satu she Lo, yang lain she Coh, masakah begini saja tidak paham, sungguh goblok,” omel si buntak. “Coh Cong, Coh Jian-jiu she Coh, aku Lo Ya, Lo Thau-cu she Lo, kami berdua bersemayam di sepanjang lembah Hongho, maka kami disebut sebagai Hongho Lo-coh.”

“Aneh, mengapa yang seorang bernama Lo Ya (tuan besar) dan yang lain bernama Coh (kakek moyang)?” tanya Lenghou Tiong.

“Kau sendiri masih hijau seperti katak dalam tempurung dan tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang she Lo dan she Coh,” kata si buntak. “Aku sendiri she Lo (tua) bernama Ya (tua) alias Thau-cu (kakek), atau Lo Thau-cu (kakek tua) ....”

Saking gelinya Lenghou Tiong mengakak tawa, katanya, “Jika demikian, Coh Jian-jiu itu she Coh bernama Cong (nenek moyang)?”

“Memang begitulah,” sahut si buntak alias Lo Thau-cu. Setelah merandek sejenak lalu ia berkata pula, “Eh, kau tidak kenal nama Coh Jian-jiu, jika begitu boleh jadi kau memang tiada hubungan keluarga apa-apa dengan dia.
Tapi, ai, salah. Apa kau bukan anaknya Coh Jian-jiu?”

Lenghou Tiong tambah geli, sahutnya, “Cara bagaimana aku bisa menjadi anaknya?
Dia she Coh, aku she Lenghou, mana dapat keduanya dihubung-hubungkan?”

“Sungguh aneh,” demikian Lo Thau-cu bergumam sendiri. “Dengan susah payah, dengan segala tipu daya akhirnya baru dapat kuracik delapan biji Siok-beng-wan yang mestinya hendak kugunakan mengobati penyakit putri mestikaku. Kau bukan anaknya Coh Jian-jiu, mengapa dia sengaja mencuri obat untukmu?”

Mendengar itu barulah Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Katanya, “Kiranya obat Lo-siansing ini akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu, tetapi keliru kumakan sekarang, sungguh aku merasa tidak enak hati. Entah penyakit apakah yang diderita putrimu? Mengapa engkau tidak minta pertolongan kepada Sat-jin-beng-ih Peng-tayhu untuk mengobatinya?”
“Cis, siapa yang tidak tahu bila sakit harus minta pertolongan kepada Peng It-ci?” semprot Lo Thau-cu. “Dia menetapkan suatu peraturan setiap orang yang disembuhkan harus membunuh pula seorang sebagai pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, lebih dulu telah kubunuh habis delapan jiwa keluarga bininya, dengan demikian barulah dia merasa sungkan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku. Menurut kesimpulannya penyakit putriku yang aneh itu sudah ada ketika meninggalkan kandungan ibunya, maka dia membuka resep obat Siok-beng-wan sebanyak delapan biji pil itu. Kalau tidak, aku sendiri bukan tabib, dari mana aku paham cara meracik obat segala?”

Cerita si buntak mengherankan Lenghou Tiong, tanyanya pula, “Cianpwe telah minta pertolongan kepada Peng-tayhu untuk mengobati putrimu, tapi mengapa malah membunuh habis seluruh keluarga mertuanya?”

“Kau ini benar-benar sangat goblok, kalau tidak dijelaskan tidak paham,” omel Lo Thau-cu. “Musuh Peng It-ci sebenarnya tidak banyak, apa lagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis dibunuh oleh pasien yang disembuhkan olehnya. Tapi selama hidup Peng It-ci paling benci kepada ibu mertuanya, soalnya dia takut bini, dia tidak berani membunuh ibu mertuanya itu, maka akulah yang mewakilkan dia turun tangan. Sesudah aku membunuh segenap keluarga ibu mertuanya, Peng It-ci sangat senang dan baru mengobati putriku dengan sesungguh hati.”

“O, kiranya demikian,” kata Lenghou Tiong. “Padahal obatmu yang katanya sangat mustajab itu tidak cocok bagi penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu? Apakah masih keburu bila mengulangi mencari obat baru?”

Lo Thau-cu menjadi gusar, katanya, “Putriku paling lama hanya tahan hidup setengah atau setahun saja dan pasti akan mati, masakah sempat untuk mencari obat yang sangat sukar ditemukan itu? Sekarang tiada jalan lain, terpaksa aku mengobati dia dengan caraku sendiri.”

Segera ia tarik sebuah kursi, ia paksa Lenghou Tiong duduk di situ, ia ambil pula seutas tambang dan mengikat kaki tangan Lenghou Tiong sekencangnya di kursi. Lalu ia robek baju bagian dada Lenghou Tiong sehingga kelihatan kulit dadanya yang putih.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Lenghou Tiong.

“Jangan terburu-buru, sebentar lagi kau akan tahu sendiri,” sahut Lo Thau-cu dengan menyeringai. Habis itu ia terus angkat Lenghou Tiong berikut kursinya dan dibawa ke belakang. Sesudah menyusuri serambi samping, akhirnya ia menyingkap tirai dan masuk ke sebuah kamar.

Begitu berada dalam kamar itu, Lenghou Tiong lantas merasa sumpek luar biasa. Tertampak celah-celah jendela kamar itu dilem rapat dengar kertas sehingga kamar itu benar-benar tak tembus angin sedikit pun.

Di dalam kamar ada dua anglo, arangnya tampak membara. Kelambu tempat tidur tampak menjulai. Seluruh kamar hanya bau obat belaka.

Sesudah menaruh kursi bersama Lenghou Tiong yang terikat kencang di atasnya, si buntak lantas membuka kelambu, katanya dengan suara lembut, “Anak Ih, bagaimana keadaanmu hari ini?”

Di atas bantal berwarna kuning telur itu tampak berbaring sebuah wajah yang pucat dengan rambut yang panjang terurai di atas selimut sutra warna kuning gading.
Usia nona itu kira-kira baru 17-18 tahun, kedua matanya terpejam rapat, bulu matanya sangat panjang. Terdengar dia menyapa, “Ayah!” dengan mata tetap tertutup.

“Anak Ih,” kata Lo Thau-cu, “Siok-beng-wan yang kubuatkan untukmu sudah selesai. Hari ini juga boleh dimakan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh, tidak lama kemudian kau pun dapat bangun dan bermain lagi.”

Nona itu hanya bersuara perlahan sekali, agaknya tidak begitu tertarik akan ucapan sang ayah.

Lenghou Tiong merasa tidak tenteram demi melihat penyakit si nona yang payah itu. Ia dapat mengerti cinta kasih si buntak terhadap putrinya itu, apa yang diucapkannya tadi agaknya sekadar untuk menghibur putrinya saja.

Tapi Lo Thau-cu lantas memondong putrinya untuk didudukkan, katanya, “Kau duduk saja agar lebih leluasa minum obatmu ini. Obat ini tidak mudah diperoleh, jangan kau meremehkannya.”

Perlahan nona itu bangun duduk, Lo Thau-cu mengambilkan dua buah bantal untuk mengganjal punggung putrinya itu. Waktu nona itu membuka mata, ia menjadi heran demi melihat Lenghou Tiong.

“Ayah, sia ... siapakah dia?” tanyanya kemudian sambil memandang Lenghou Tiong dengan sepasang mata bola yang hitam guram.

“Dia? O, dia bukan orang, dia adalah obat,” sahut Lo Thau-cu sambil tersenyum.

“Dia adalah obat?” si nona menegas dengan bingung.

“Ya, dia adalah obat,” kata pula Lo Thau-cu. “Pil Siok-beng-wan itu terlalu keras untuk dimakan begitu saja olehmu, maka lebih dulu dimakan dia, lalu kuambil darahnya untuk diminumkan kepadamu, dengan demikian barulah cocok.”

“Oo,” hanya sekian saja nona itu bersuara, lalu memejamkan mata pula.

Sudah tentu Lenghou Tiong terkejut dan gusar pula mendengar kata-kata Lo Thau-cu, segera ia bermaksud memakinya, tapi lantas terpikir olehnya, “Aku telah makan obat mujarab yang mestinya akan digunakan untuk menolong jiwa nona ini, walaupun tidak sengaja, tapi akulah yang telah membikin susah dia. Apalagi aku sendiri sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi, jika sekarang darahku digunakan untuk menolong jiwanya sebagai penebus dosaku, cara ini pun boleh juga.”
Karena itu ia hanya tersenyum pedih saja dan tidak membuka suara.

Lo Thou-cu berdiri di samping Lenghou Tiong, ia sudah siap, begitu Lenghou Tiong berteriak segera akan menutuk Hiat-to bisunya. Siapa duga sikap Lenghou Tiong tetap tenang-tenang saja dan tak ambil peduli, hal ini berbalik di luar dugaannya.

Segera Lo Thau-cu bertanya, “Aku akan menusuk ulu hatimu dan mengambil darahmu untuk mengobati putriku, kau takut atau tidak?”

“Kenapa mesti takut?” sahut Lenghou Tiong dengan hambar saja.

Lo Thau-cu coba mengamat-amati Lenghou Tiong, benar juga dilihatnya sikapnya tenang saja tanpa gentar, ia rada heran.
Tanyanya pula, “Sekali kutusuk ulu hatimu, seketika jiwamu melayang. Sudah kukatakan di muka, nanti jangan menyalahkan aku.”

Lenghou Tiong tersenyum pula, sahutnya, “Setiap orang akhirnya toh mesti mati, mati lebih cepat beberapa tahun atau mati lebih lambat beberapa tahun apa sih bedanya? Jika darahku dapat menolong jiwa nona itulah sangat bagus daripada aku mati percuma tanpa berfaedah bagi siapa pun.”

“Sungguh hebat!” puji Lo Thau-cu sambil mengacungkan jari jempolnya. “Kesatria yang tidak gentar mati seperti dirimu jarang sekali kutemukan selama hidupku ini. Sayang putriku terpaksa harus minum darahmu supaya bisa sembuh, kalau tidak sungguh aku ingin mengampunimu saja.”
Segera ia menuju ke dapur dan membawa datang sebuah baskom air panas yang masih mendidih. Tangan kanannya lantas memegang sebilah belati, tangan kiri mengambil sepotong handuk kecil, ia basahi dengan air panas itu, belati lantas ditempelkan di depan ulu hati Lenghou Tiong.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seruan Coh Jian-jiu di luar, “Lo Thau-cu! Lo Thau-cu! Lekas membuka pintu lekas! Aku membawa suatu barang baik untuk nona Siau Ih.”

Lo Thau-cu tampak mengerut kening, sekali belatinya menggores, ia potong handuk kecil tadi menjadi dua, satu potong dijejalkan ke mulut Lenghou Tiong agar tidak dapat bersuara, lalu serunya, “Barang baik apa yang kau maksudkan?”

Sembari bicara ia lantas menaruh belatinya, kemudian lari keluar untuk membuka pintu dan menyilakan Coh Jian-jiu masuk ke dalam rumah.

Terdengar Coh Jian-jiu berkata pula, “Lo Thau-cu, cara bagaimana kau akan berterima kasih padaku dalam urusan ini? Karena urusannya terlalu mendesak, seketika aku tak bisa bertemu denganmu, terpaksa aku ambil Siok-beng-wanmu tanpa permisi dan menipu dia untuk meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui persoalannya tentu kau pun akan mengantar sendiri obatmu kepadanya, tapi belum tentu dia mau meminumnya begitu saja.”

Dengan gusar Lo Thau-cu mengomel, “Ngaco ....”

Tapi Coh Jian-jiu lantas menempelkan mulutnya ke tepi telinga Lo Thau-cu dan berbisik-bisik padanya beberapa patah kata. Habis itu sekonyong-konyong Lo Thau-cu melonjak kaget, teriaknya, “Apa betul demikian? Kau ... kau tidak mendustai aku?”

“Buat apa aku dusta?” sahut Coh Jian-jiu. “Sebelumnya aku sudah mencari tahu, setelah yakin dan pasti baru kukerjakan.
Lo Thau-cu, kita adalah sahabat berpuluh tahun, kita sama-sama tahu perasaan masing-masing. Urusan yang telah kukerjakan ini cocok dengan perasaanmu atau tidak?”

“Betul, betul! Kurang ajar, kurang ajar!” sahut Lo Thau-cu.

“He, kenapa sudah betul kok kurang ajar lagi?” tanya Coh Jian-jiu terheran-heran.

“Kau yang betul dan aku yang kurang ajar!” sahut Lo Thau-cu.

Tanpa bicara Lo Thau-cu lantas menyeret Coh Jian-jiu masuk ke kamar putrinya, segera ia menjura dan menyembah kepada Lenghou Tiong, katanya, “Lenghou-kongcu, Lenghou-tayjin, Lenghou-siauya, hamba telah berbuat salah besar dan membikin susah padamu. Untung Thian Maha Pengasih, Coh Jian-jiu keburu tiba, kalau tidak, bila aku telanjur menubles hulu hatimu, biarpun aku dihukum gantung juga belum cukup untuk menebus dosaku ini.”

Mulut Lenghou Tiong masih tersumbat, maka dia tidak dapat membuka suara. Syukur Coh Jian-jiu cukup teliti, segera ia mengorek keluar kain penyumbat mulut itu dan bertanya, “Lenghou-kongcu, mengapa engkau berada di sini?”

“He, Locianpwe silakan lekas bangun, penghormatan setinggi ini aku tak berani menerimanya,” seru Lenghou Tiong.

Lo Thau-cu berkata pula, “Aku tidak tahu kalau Lenghou-kongcu mempunyai hubungan serapat ini dengan tuan penolongku yang paling berbudi sehingga telah banyak membikin susah padamu, ai, benar-benar kurang ajar aku ini dan pantas dihukum mampus. Seumpama aku mempunyai seratus orang putri dan harus mati semuanya juga aku tak berani minta pengaliran darah Lenghou-kongcu sedikit pun untuk menolong jiwa mereka.”

Coh Jian-jiu masih belum paham duduknya perkara, dengan mata terbelalak ia tanya, “Lo Thau-cu, apa maksudmu kau meringkus Lenghou-kongcu di atas kursi ini?”

“Ai, pendek kata akulah yang salah, harap saja kau jangan tanya lebih jauh,” sahut Lo Thau-cu dengan menyesal.

“Dan belati ini serta air panas di dalam baskom ini akan digunakan untuk apa?” tanya pula Jian-jiu.

Mendadak terdengar suara “plak-plok” berulang-ulang, Lo Thau-cu telah menggampar pipinya sendiri beberapa kali sehingga mukanya yang memang sudah gemuk bulat itu tambah bengkak melembung.

“Ya, aku pun tidak paham duduknya perkara dan masih bingung, diharap kedua Cianpwe sudi memberi penjelasan,” kata Lenghou Tiong.

Lekas-lekas Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu melepaskan tali pengikatnya dan berkata, “Marilah kita sambil minum arak sembari bicara.”

“Apakah penyakit putrimu takkan berubah gawat?” tanya Lenghou Tiong sambil memandang sekejap kepada si nona yang terbaring di tempat tidurnya itu.

“Tidak, takkan berubah,” sahut Lo Thau-cu. “Seumpama akan berubah gawat juga ... ai, apa mau dikata lagi ....”

Begitulah Lo Thau-cu menyilakan Lenghou Tiong dan Coh Jian-jiu ke ruangan tamu, ia menuang tiga mangkuk arak dan menyiapkan pula sedikit makanan sebangsa kacang goreng dan lain-lain sebagai teman arak. Dengan penuh hormat ia angkat mangkuknya untuk ajak minum Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong coba menghirup seceguk, ia merasa arak itu kurang keras dan hambar, bedanya seperti langit dan bumi dengan ke-16 guci arak di perahunya itu. Tapi kalau dibandingkan kedelapan cawan arak yang disuguhkan Coh Jian-jiu itu rasanya jauh lebih sedap.

“Lenghou-kongcu, aku sudah tua bangka dan telah membikin susah padamu, ai, sungguh ... sungguh ....” begitulah Lo Thau-cu masih merasa menyesal, wajahnya tampak gugup dan entah apa yang harus diucapkannya baru dapat menggambarkan rasa menyesalnya itu.

“Lenghou-kongcu yang berjiwa besar tentu takkan menyalahkan dirimu,” ujar Coh Jian-jiu. “Pula kau punya Siok-beng-wan itu jika benar-benar ada khasiatnya dan berfaedah bagi kesehatan Lenghou-kongcu, tentu kau berbalik akan berjasa malah.”

“Tentang ... tentang jasa segala aku tidak berani terima,” sahut Lo Thau-cu. “Coh-hiante, adalah jasamu yang paling besar.”

“Aku telah mengambil obatmu, mungkin akan mengganggu kesehatan nona Siau Ih,” kata Coh Jian-jiu dengan tertawa. “Ini ada sedikit jinsom, boleh minumkan padanya sekadar menguatkan badannya.”

Habis berkata ia lantas mengambil sebuah bakul bambu yang dibawanya, dari dalam bakul dikeluarkannya beberapa batang jinsom yang beratnya ada sepuluhan kati.

“Wah, dari mana kau memperoleh jinsom sebanyak ini?” tanya Lo Thau-cu.

“Sudah tentu kupinjam dari toko obat,” sahut Coh Jian-jiu dengan tertawa.

Lo Thau-cu ikut terbahak-bahak, katanya, “Ada ubi ada talas, pinjaman ini entah kapan baru bisa dibalas.”
Walaupun si buntak tertawa-tawa, tapi di antara mata alisnya tertampak rasa sedih.

Lenghou Tiong lantas berkata, “Lo-siansing dan Coh-siansing, kalian masing-masing telah menipu aku, kemudian menculik dan meringkus aku di sini, semuanya ini sesungguhnya terlalu memandang enteng padaku.”

“Ya, ya, memang kami berdua tua bangka ini pantas dihukum mati, entah cara bagaimana Lenghou kongcu akan menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tak berani mengelak,” sahut Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu berbareng.
“Baik, ada sesuatu yang aku merasa tidak mengerti, kuharap kalian suka menjawab terus terang,” kata Lenghou Tiong. “Aku ingin tanya, kalian segan kepada siapakah sehingga kalian demikian menghormat padaku?”

Kedua kakek itu saling pandang sekejap, lalu Coh Jian-jiu menjawab, “Lenghou-kongcu tentu sudah tahu di dalam batin, tentang nama tokoh itu, harap maaf, kami tak berani menyebutnya.”

“Tapi aku benar-benar tidak tahu,” kata Lenghou Tiong. Diam-diam ia pun menimbang-nimbang siapakah tokoh yang dimaksudkan itu? Apakah Hong-thaysiokco? Atau Put-kay Taysu? Atau Dian Pek-kong? Atau Lik-tiok-ong? Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya toh bukan.

“Lenghou-kongcu,” kata Coh Jian-jiu kemudian. “Pertanyaanmu ini sekali-kali kami tidak berani memberi jawaban, biarpun kau bunuh kami juga takkan kami katakan. Toh di dalam batin Kongcuya sendiri sudah tahu, buat apa mesti minta kami menyebut namanya?”

Melihat ucapan mereka sangat pasti, agaknya susah disuruh mengaku biarpun dipaksa, terpaksa Lenghou Tiong berkata, “Baiklah, kalian tidak mau mengatakan, tentu rasa mendongkolku juga sukar dilenyapkan. Lo-siansing, kau telah mengikat aku di atas kursi sehingga aku ketakutan setengah mati, sekarang aku pun ingin balas mengikat kalian di kursi, boleh jadi aku masih belum puas dan akan mengorek keluar hati kalian dengan belati.”

Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu saling pandang sekejap, kata mereka kemudian, “Jika Lenghou-kongcu ingin meringkus kami, sudah tentu kami tidak berani melawan.”

Segera Lo Thau-cu mengambilkan dua buah kursi dan beberapa utas tambang. Di dalam batin mereka tidak percaya Lenghou Tiong berniat meringkus mereka secara sungguh-sungguh, besar kemungkinan cuma bergurau saja.

Tak terduga Lenghou Tiong benar-benar lantas mengambil tali terus mengikat tangan mereka dengan menelikungnya ke belakang sandaran kursi. Lalu ia pegang belati milik Lo Thau-cu tadi, katanya, “Tenaga dalamku sudah punah, aku tak bisa menutuk kalian dengan jari tangan, terpaksa aku menggunakan gagang belati ini untuk menutuk Hiat-to kalian.”

Habis itu ia lantas membalik belati yang dipegangnya itu, dengan gagang belati ia ketuk beberapa Hiat-to tertentu di atas tubuh kedua kakek itu sehingga tak bisa bergerak.

Keruan Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu saling pandang dengan heran, tanpa merasa timbul juga rasa khawatir mereka karena tidak tahu apa maksud tujuan Lenghou Tiong yang sebenarnya.

“Hendaknya kalian tunggu sebentar di sini,” demikian Lenghou Tiong berkata, lalu putar tubuh dan melangkah keluar ruangan tamu.

Dengan membawa belati Lenghou Tiong menuju ke kamar putri Lo Thau-cu, setiba di luar kamar, ia berdehem dulu, lalu berkata, “Nona ... nona Siau Ih, bagaimana keadaanmu.”

Semula Lenghou Tiong bermaksud memanggilnya “nona Lo”, tapi ini berarti “nona tua” dan tidak pantas bagi gadis yang masih muda belia, maka dia lantas memanggil namanya seperti apa yang didengarnya dari panggilan Coh Jian-jiu tadi.

Maka terdengar nona Siau Ih hanya bersuara “Ehmmm” dan tidak menjawab.

Perlahan Lenghou Tiong menyingkap tirai pintu kamar dan melangkah masuk. Terlihat nona itu masih tetap duduk bersandar di atas bantal, kedua mata sedikit terbuka dan seperti orang baru bangun tidur.

Lenghou Tiong melangkah lebih dekat, tertampak kulit muka si nona putih halus laksana kaca sehingga otot-otot hijau di dalam daging kelihatan jelas. Keadaan nona itu agaknya sangat payah, tampaknya lebih banyak mengembuskan napas daripada menyedot hawa segar.

“Nona ini mestinya dapat diselamatkan, tapi obatnya telah telanjur kumakan sehingga membikin susah padanya. Aku sendiri toh sudah pasti akan mati, bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak toh tiada bedanya bagiku,” demikian pikir Lenghou Tiong sambil menghela napas panjang.

Segera ia ambil sebuah mangkuk porselen, ia taruh di atas meja, lalu belati digunakan untuk memotong nadi pergelangan tangan kiri, seketika darah bercucuran dan mengalir ke dalam mangkuk. Ia lihat air mendidih yang disiapkan Lo Thau-cu tadi masih mengepulkan asap panas, segera ia taruh belatinya, tangannya dicelup ke dalam air panas itu, lalu diusapkan pada luka pergelangan tangan kiri agar darah di tempat luka itu tidak lekas membeku. Maka hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah hampir diisi dengan darah segar.

Dalam keadaan sadar tak sadar nona Siau Ih mencium bau anyirnya darah, ia membuka mata, melihat darah mengucur dari pergelangan tangan Lenghou Tiong, sakit kagetnya ia sampai menjerit.

Mendengar suara jeritan Siau Ih itu, Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang terikat di ruang tamu sana saling pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lenghou Tiong atas diri gadis itu. Di dalam hati kedua orang ada dugaan tertentu, tapi keduanya sama-sama tidak berani mengemukakan perasaannya lebih dahulu.

Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah penuh mengisi mangkuk tadi dengan darahnya, segera ia membawa darah itu ke hadapan Siau Ih dan berkata, “Lekas kau minum, di dalam darah ini mengandung obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakitmu.”

“Ti ... tidak, aku ... aku takut, aku tidak mau minum,” sahut Siau Ih.

Sesudah mengalirkan darah semangkuk, rasa badan Lenghou Tiong menjadi enteng dan kaki tangannya lemas. Jika si nona tak mau minum darah itu kan sia-sia saja pengorbanannya?

Maka ia coba menggertaknya, dengan belati terhunus ia membentaknya, “Kau mau minum tidak? Jika tidak, segera kutikam mati kau?”

Menyusul ujung belatinya ia ancam di tenggorokan si nona.

Siau Ih menjadi takut, terpaksa membuka mulut dan menghirup darah di dalam mangkuk itu. Beberapa kali ia merasa mual dan hendak muntah, tapi demi melihat ujung belati yang mengilap itu, dalam takutnya hilanglah rasa mualnya.

Setelah habis darah semangkuk itu, Lenghou Tiong melihat luka pada pergelangan tangan sendiri itu sudah membeku, darah tidak menetes keluar lagi. Ia pikir kadar obat Siok-beng-wan yang tercampur dalam darah yang diminumkan kepada Siau Ih itu tentu terlalu sedikit dan tak berguna, rasanya harus mencekoki si nona beberapa mangkuk lagi, sampai diri sendiri lemas dan tak bisa berkutik barulah jadi.

Segera Lenghou Tiong memotong pula nadi pergelangan kanan dan mencurahkan darahnya untuk mencekoki Siau Ih.

“Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak ... tidak sanggup lagi,” kata Siau Ih sambil mengerut kening.

“Sanggup atau tidak sanggup harus kau minum lekas!” kata Lenghou Tiong.

“Ken ... kenapa engkau berbuat begini? Cara ... cara demikian kan merugikan badanmu sendiri?” ujar Siau Ih.

“Merugikan badanku tidak menjadi soal, aku hanya ingin kau sembuh,” sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum getir.

Di sebelah sana Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian yang kena dijaring oleh Lo Thau-cu tadi sudah kehabisan akal karena semakin mereka meronta semakin kencang pula jaring itu menyurut, sampai akhirnya kedua orang tak bisa berkutik lagi. Namun mata telinga mereka tetap tidak mau menganggur dan masih saling berdebat.

Waktu Lenghou Tiong mengikat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu di kursi, semula Tho-ki-sian mengira pemuda itu pasti akan membunuh kedua kakek itu, sedang Tho-sit-sian percaya dia pasti akan membebaskan mereka berdua yang terjebak itu. Tak terduga percuma saja mereka berdebat setengah harian, sama sekali Lenghou Tiong tidak urus mereka sebaliknya masuk ke kamar Siau Ih.

Karena kamar Siau Ih itu ditutup dengan rapat, sampai celah-celah jendela pun dilem dengan kertas sehingga percakapan Lenghou Tiong dan Siau Ih sayup-sayup hanya dapat terdengar sebagian.

Tho-ki-sian, Tho-sit-sian, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu serta Gak Put-kun yang sedang mengintip di luar itu semuanya memiliki Lwekang sangat tinggi, tapi apa yang dilakukan Lenghou Tiong di dalam kamar Siau Ih, mereka hanya dapat menduga-duga menurut jalan pikirannya masing-masing.

Ketika mendadak terdengar jeritan Siau Ih, wajah kelima orang itu sama berubah semua.

Tho-ki-sian berkata, “Seorang pemuda seperti Lenghou Tiong itu, untuk apa dia masuk ke kamar anak gadis orang?”

“Coba dengar,” sahut Tho-sit-sian. “Nona itu agak sangat takut, dia sedang meratap, ‘Aku ... takut!’ Wah, Lenghou Tiong lagi mengancam akan membunuhnya, katanya, ‘Jika kau tidak mau ....’ Tidak mau apa maksudnya?”

“Apa lagi? Sudah tentu dia sedang memaksa nona itu menjadi istrinya,” ujar Tho-ki-sian.

“Hahaha! Sungguh menggelikan!” Tho-sit-sian terbahak-bahak. “Putri si buntak yang berpotongan buah semangka itu dengan sendirinya juga pendek gemuk bulat seperti bola, mengapa Lenghou Tiong paksa memperistrikan dia?”
“Ah, masakan apa pun, setiap orang mempunyai selera dan kesukaan sendiri-sendiri. Boleh jadi Lenghou Tiong itu paling suka pada wanita gemuk buntak, maka begitu melihatnya semangatnya lantas terbang ke awang-awang,” demikian kata Tho-ki-sian.

“He, coba dengarkan!” bisik Tho-sit-sian. “Nona gemuk itu sedang minta ampun, katanya, ‘Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak sanggup lagi.’”

“Ya, agaknya Lenghou Tiong itu benar-benar pemuda mahaperkasa, katanya, ‘Sanggup atau tidak sanggup juga harus lekas, lekas!’”

“Lekas? Apa maksudnya Lenghou Tiong suruh dia lekas?” tanya Tho-sit-sian.

“Kau tidak pernah beristri, masih jejaka, sudah tentu kau tidak paham,” kata Tho-ki-sian.

“Memangnya kau sendiri pernah beristri? Huh, tidak tahu malu!” jawab Tho-sit-sian.
Habis itu ia lantas berteriak-teriak, “He, hei! Lo Thau-cu. Lenghou Tiong sedang memaksa putrimu untuk menjadi istrinya, mengapa kau diam-diam saja tanpa memberi pertolongan?”

Bab 53. Ya-niau-cu Keh Bu-si si Kokokbeluk

Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang diikat di atas kursi, pula hiat-to mereka tertutuk sehingga tak bisa bergerak, mereka hanya dapat mendengar suara jeritan dan permohonan Siau Ih di dalam kamar, keruan mereka saling pandang dengan bingung.

Memangnya mereka sudah sangsi, sekarang mendengar pula percakapan Tho-kok-ji-sian itu, Coh Jian-jiu berulang-ulang geleng-geleng kepala dan Lo Thau-cu merasa malu dan gusar.

“Lo-heng, perbuatan itu harus dicegah, sungguh tidak nyana Lenghou Tiong itu ternyata pemuda bajul, jangan-jangan akan menimbulkan gara-gara,” demikian kata Coh Jian-jiu.

“Ai, kalau aku punya Siau Ih yang menjadi korban tidaklah menjadi soal, tapi ... tapi bagaimana harus bertanggung jawab kepada orang,” kata Lo Thau-cu.

“Coba dengar, agaknya Siau Ih juga telah mencintainya, dia mengatakan, ‘Perbuatanmu ini kan merugikan kesehatanmu sendiri.’ Dan apa yang dikatakan Lenghou Tiong? Kau dengar tidak?”

“Dia bilang, ‘Kesehatanku tidak menjadi soal asal untuk kebaikanmu!’. Setan alas, kedua bocah itu benar-benar ....”

“Hahahaha!” Coh Jian-jiu bergelak tertawa.
“Selamat, selamat!”

“Selamat apa? Selamat nenekmu!” damprat Lo Thau-cu.

“Kenapa kau marah? Aku memberi selamat kepadamu karena mendapat seorang menantu yang baik!” ujar Coh Jian-jiu.

“Ngaco-belo!” bentak Lo Thau-cu. “Kau jangan sembarangan omong lagi, kalau peristiwa ini sampai tersiar, apakah kau kira jiwa kita dapat diselamatkan?”
Ucapan si buntak penuh mengandung nada khawatir dan sangat takut. Cepat Coh Jian-jiu mengiakan juga dengan suara rada gemetar.

Gak Put-kun yang bersembunyi rada jauh, biarpun ia telah mengerahkan Ci-he-sin-kang juga yang dapat didengarnya hanya samar-samar saja, maka diam-diam ia pun menyangka Lenghou Tiong benar-benar melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap si nona. Semula ia bermaksud menerjang ke dalam kamar untuk mencegah perbuatan muridnya itu, tapi ketika terpikir lagi bahwa orang-orang itu termasuk juga Lenghou Tiong semuanya penuh rahasia dan mencurigakan, entah tipu muslihat apa yang teratur di balik kejadian-kejadian selama ini, maka ia merasa lebih baik jangan bertindak secara gegabah. Sedapat mungkin ia menahan perasaannya dan terus mendengarkan pula.

Tiba-tiba terdengar nona Siau Ih menjerit pula, “Ja ... jangan ... o, darah ... o, kumohon ....”

Pada saat itu pula di luar sana ada orang berseru, “Lo Thau-cu, Tho-kok-si-kui telah kupancing dan kutinggalkan!”

“Bluk”, tahu-tahu laki-laki yang membawa bendera putih yang menggoda dan dikejar Tho-kok-si-sian itu telah berdiri di tengah ruangan.

Ketika melihat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu terikat di atas kursi, orang itu terkejut dan berseru, “He, ken ... kenapakah kalian?”

Berbareng ia mengeluarkan sebilah belati yang mengilap, hanya beberapa kali gerakan saja ia sudah memotong putus tali-tali yang mengikat kaki dan tangan kedua kakek itu.

Dalam pada itu terdengar pula jeritan melengking Siau Ih di dalam kamar, “O, kumohon kau jang ... jangan begitu ....”

Mendengar suara jeritan Siau Ih yang agaknya dalam keadaan gawat, laki-laki itu kaget. “Nona Siau Ih!” teriaknya sambil berlari ke arah kamar.

Tapi gerak tangan Lo Thau-cu teramat cepat, ia telah pegang lengan laki-laki itu dan membentak, “Jangan masuk ke sana!”

Laki-laki itu tampak tercengang dan menghentikan langkahnya.

Lalu terdengar Tho-ki-sian mengoceh pula di luar, “Kupikir si buntak tentu girang setengah mati karena bisa memperoleh menantu setampan Lenghou Tiong itu.”

“Lenghou Tiong sudah hampir mati, apa yang perlu digirangkan kalau mendapatkan menantu dalam keadaan sudah setengah mati?” ujar Tho-sit-sian.

“Putri si buntak itu pun dalam keadaan sekarat, sepasang suami istri itu menjadi sama-sama setengah mati dan setengah hidup,” sahut Tho-ki-sian.

“Blung”, mendadak terdengar suara bergedebuk di dalam kamar, suara jatuhnya sesuatu benda berat. Menyusul Siau Ih menjerit pula, meski lemah suaranya, tapi penuh rasa cemas dan khawatir, “Ayah lekas kemari, ayah!”

Segera Lo Thau-cu memburu ke dalam kamar, dilihatnya Lenghou Tiong sudah menggeletak di lantai, sebuah mangkuk tengkurap di atas dadanya, badannya penuh berlumuran darah, Siau Ih sendiri duduk bersandar di atas ranjang, mulutnya juga berlepotan darah.

Coh Jian-jiu dan laki-laki tadi pun menyusul ke dalam kamar, mereka sebentar-sebentar memandang Lenghou Tiong dan lain saat memandang Siau Ih dengan rasa heran dan bingung.

“Ayah,” kata Siau Di dengan suara lemah, “orang ini telah memotong nadi sendiri dan mengambil darah, aku di ... dipaksa minum dua mangkuk darahnya dan dia masih ... masih akan ....”

Kejut Lo Thau-cu tidak kepalang, cepat ia memayang bangun Lenghou Tiong, dilihatnya nadi pergelangan tangan kanan pemuda itu masih mengucurkan darah. Segera ia berlari keluar kamar untuk mengambil obat luka. Walaupun di dalam rumah sendiri, rupanya saking gugupnya sehingga batok kepalanya benjut terbentur kosen pintu.

Melihat Lo Thau-cu dan lain-lain berlari ke dalam kamar, Tho-ki-sian mengira mereka hendak menghajar Lenghou Tiong. Segera ia berteriak, “Hei, Lo Thau-cu! Lenghou Tiong adalah sobat baik Tho-kok-lak-sian, jangan sekali-kali kau memukul dia. Jika terjadi apa-apa atas dirinya tentu kami Tho-kok-lak-sian akan merobek badanmu seperti membeset daging ayam.”
“Salah, salah besar!” kata Tho-sit-sian.

“Apakah yang salah?” tanya Tho-ki-sian heran.

“Jika dia berbadan kurus, maka dagingnya akan mudah kau robek, tapi jelas dia berbadan gemuk, cara bagaimana badan yang padat gemuk itu dapat dirobek?” ujar Tho-sit-sian.

Lo Thau-cu tidak ambil pusing terhadap ocehan mereka yang tak keruan juntrungannya itu. Tapi cepat ia membubuhkan obat di atas luka Lenghou Tiong, lalu mengurut-urut pula beberapa tempat hiat-to di dada dan di perutnya, tidak lama kemudian mulailah Lenghou Tiong siuman.
“Lenghou-kongcu,” kata Lo Thau-cu dengan perasaan lega, “sungguh kami merasa tidak ... tidak .... Ai, benar-benar susah untuk kukatakan.”

Segera Coh Jian-jiu ikut bicara, “Lenghou-kongcu, tadi Lo Thau-cu telah mengikat kau, hal ini terjadi karena salah paham, mengapa engkau anggap sungguh-sungguh sehingga membikin dia merasa berdosa.”

Lenghou Tiong tersenyum, sahutnya, “Penyakitku sesungguhnya tak bisa disembuhkan dengan obat mukjizat apa pun, maksud baik Coh-locianpwe yang telah mengambil obat Lo-cianpwe untukku, sesungguhnya sangat sayang obat mujarab itu terbuang sia-sia.”

Bicara sampai di sini, karena terlalu banyak kehilangan darah, ia merasa pusing dan kembali jatuh pingsan pula.

Cepat Lo Thau-cu memondongnya keluar dan direbahkan di atas tempat tidur di kamarnya sendiri, dengan sedih ia menggumam, “Wah, bagaimana ini?”

“Lenghou-kongcu terlalu banyak kehilangan darah, mungkin jiwanya terancam bahaya, marilah dengan sepenuh tenaga kita bertiga lekas kita curahkan tenaga dalam masing-masing ke dalam tubuhnya,” demikian ajak Coh Jian-jiu.

“Ya, harus begitu,” sahut Lo Thau-cu.

Segera ia mengangkat bangun Lenghou Tiong dengan perlahan, telapak tangan kanan ditempelkan ke punggung pemuda itu. Tapi baru saja ia mengerahkan tenaga, seketika badannya tergetar. “Krak”, kursi yang dia duduki itu sampai tergetar hancur.

Rupanya tenaga yang dia kerahkan itu telah menimbulkan daya lawan dari hawa murni Put-kay Hwesio dan Tho-kok-lak-sian yang mengeram di dalam tubuh Lenghou Tiong itu, keruan Lo Thau-cu tidak sanggup melawan gabungan tenaga murni ketujuh tokoh.

Terdengar Tho-ki-sian terbahak-bahak di luar, serunya, “Penyakitnya Lenghou Tiong justru timbul karena kami berenam saudara hendak menyembuhkan dia dengan tenaga murni kami. Sekarang si buntak itu hendak menirukan cara kita tentu saja penyakit Lenghou Tiong akan tambah parah!”

“Coba dengarkan, suara ‘krak’ tadi pasti hancurnya sesuatu benda karena benturan si buntak yang terpental oleh getaran tenaga dalam yang mengeram di tubuh Lenghou Tiong itu,” kata Tho-sit-sian. “Aha, si buntak kembali kecundang lagi oleh Tho-kok-lak-sian kita. Haha, sungguh menggelikan.”

Percakapan Tho-kok-ji-sian itu sangat keras sehingga dapat didengar dengan jelas oleh kedua kakek dari Hongho dan si lelaki tadi.

“Ah, jika Lenghou-kongcu masih tidak siuman, tiada jalan lain terpaksa aku harus membunuh diri,” kata Lo Thau-cu dengan menghela napas.

“Nanti dulu,” ujar lelaki itu. Mendadak ia berteriak, “Itu orang yang menongkrong di atas pohon di luar pagar tembok itu apakah ketua Hoa-san-pay, Gak-siansing adanya?”

Keruan Gak Put-kun terperanjat, hampir-hampir saja ia jatuh terjungkal dari tempat sembunyinya. Jadi jejaknya sebenarnya sejak tadi sudah diketahui orang.

Terdengar lelaki itu berseru pula, “Gak-siansing adalah tamu yang datang dari tempat jauh, mengapa tidak masuk kemari untuk beramah tamah?”

Gak Put-kun menjadi serbasusah, kalau masuk ke rumah itu terang tidak menguntungkan, tapi dirinya juga tidak dapat menongkrong terus di atas pohon.

“Muridmu Lenghou-kongcu dalam keadaan pingsan, silakan Gak-siansing masuk kemari untuk ikut menjaganya,” seru pula si lelaki.
Terpaksa Gak Put-kun melompat turun, sekali loncat ia tancapkan kakinya di serambi sana. Sementara itu Lo Thau-cu sudah memapak keluar. Katanya sambil memberi hormat, “Silakan masuk, Gak-siansing.”

“Cayhe mengkhawatirkan keselamatan muridku sehingga kedatanganku ini sangat sembrono,” kata Gak Put-kun.

“Ah, semuanya adalah salahku,” ujar Lo Thau-cu. “Jika ... jika ....”

“Kau tidak perlu khawatir,” tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, “tidak nanti Lenghou Tiong bisa mati!”

Lo Thau-cu menjadi girang. “Dari mana kau bisa tahu dia takkan mati?” tanyanya.
“Dia jauh lebih muda daripada kau dan juga lebih muda daripadaku, bukan?”

“Benar. Lantas kenapa?” Lo Thau-cu menegas.

“Umumnya orang tua mati lebih dulu atau orang muda mati lebih dulu?” sahut Tho-ki-sian. “Sudah tentu yang tua mati lebih dulu. Jika demikian, sebelum kau mati dan aku pun belum mati, mengapa Lenghou Tiong bisa mati?”

Tadinya Lo Thau-cu mengira Tho-ki-sian mempunyai sesuatu resep yang dapat menolong Lenghou Tiong, tak tahunya hanya ocehan yang tak keruan. Maka dengan menyengir ia tidak gubris orang pula.

Waktu masuk ke dalam kamar Gak Put-kun melihat Lenghou Tiong menggeletak di atas ranjang dan tak sadarkan diri. Ia membatin, “Jika aku tidak perlihatkan keampuhan Ci-he-sin-kang tentu Hoa-san-pay akan dipandang rendah oleh orang-orang ini.”

Maka diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti, mukanya menghadap bagian dalam tempat tidur agar warna ungu yang timbul di wajahnya tidak dilihat orang. Perlahan-lahan ia julurkan telapak tangan ke Tay-cui-hiat di punggung Lenghou Tiong. Ia sudah mengetahui keadaan hawa murni yang bergolak di dalam tubuh sang murid, maka ia tidak mengerahkan tenaga sekuatnya, tapi menyalurkan tenaga dengan sedikit demi sedikit, bila terasa timbul daya lawan dari tubuh Lenghou Tiong segera ia menarik sedikit tangannya, sejenak kemudian tangannya lantas ditempelkan pula.

Benar juga, tidak lama kemudian Lenghou Tiong tampak mulai siuman. Segera ia berseru, “Suhu, engkau juga ... juga datang kemari!”

Melihat Gak Put-kun dapat menyadarkan Lenghou Tiong dengan sangat gampang, tentu saja Lo Thau-cu sangat kagum.

Diam-diam Gak Put-kun merasa ada lebih baik cepat meninggalkan tempat yang misteri ini, apalagi ia pun mengkhawatirkan keadaan sang istri dan para murid yang tertinggal di atas perahu itu. Segera ia memberi hormat dan berkata, “Banyak terima kasih atas segala pelayanan kalian terhadap kami guru dan murid. Sekarang juga biarlah kami mohon diri saja.”

“Ya, ya, kesehatan Lenghou-kongcu terganggu dan kami tak dapat memberi perawatan yang baik, sungguh kami sangat tidak sopan, harap kalian suka memberi maaf,” kata Lo Thau-cu.

“Jangan sungkan,” sahut Gak Put-kun. Mendadak dilihatnya sepasang mata lelaki tadi bercahaya mengilap. Tergerak pikirannya. Segera ia bertanya, “Tolong tanya siapakah nama sobat ini yang terhormat.”

“Kiranya Gak-siansing tidak kenal kawan kita Ya-niau-cu Keh Bu-si, si Kucing Malam,” sela Coh Jian-jiu dengan tertawa.

Terkesiap juga Gak Put-kun. Katanya di dalam hati, “Kiranya orang inilah Ya-niau-cu Keh Bu-si. Nama orang ini sudah menggetarkan kalangan Kangouw pada 30 tahun yang lalu. Konon dia mempunyai keajaiban pembawaan, yaitu matanya dapat memandang sesuatu di malam hari sejelas keadaan di siang hari. Tindak tanduknya tidak menentu, kadang-kadang baik, sering kali juga jahat, dia terkenal sebagai seorang tokoh yang mahalihai, mengapa bisa berada bersama dengan Lo Thau-cu ini?”

Cepat ia pun memberi hormat dan menyapa, “Sudah lama kudengar nama besar Keh-suhu, sungguh beruntung hari ini bisa berjumpa di sini.”

Keh Bu-si tersenyum, sahutnya, “Hari ini kita berjumpa di sini, besok kita masih harus bertemu pula di Ngo-pah-kang.”

Kembali Gak Put-kun terkesiap. Walaupun orang baru dikenalnya dan tidak pantas mencari tahu sesuatu kepadanya, tapi diculiknya anak perempuannya yang merupakan darah dagingnya itu mendorongnya dia membuka suara, “Cayhe tidak tahu di manakah pernah berbuat salah terhadap kawan-kawan Bu-lim di sini. Boleh jadi lantaran perjalananku ini tidak berkunjung kepada para sobat di wilayah sini dan dianggap kurang adat, maka putriku dan seorang muridku she Lim telah dibawa oleh salah seorang sobat, untuk ini apakah Keh-siansing dapat memberi sesuatu petunjuk?”

“O, tentang ini aku tidak jelas,” sahut Keh Bu-si dengan tersenyum.

Sebenarnya Gak Put-kun sudah merasa merendahkan derajatnya sebagai seorang ketua suatu aliran ternama, sekarang jawaban Keh Bu-si itu ternyata acuh tak acuh, meski ia merasa mendongkol dan cemas pula, tapi rasanya tak bisa tanya lebih lanjut. Segera ia mohon diri pula, “Sudah lama mengganggu, biarlah sekarang kami minta diri.”

Ketika hendak memondong Lenghou Tiong, tiba-tiba Lo Thau-cu menyusup ke tengah, ia mendahului Lenghou Tiong dan berkata, “Akulah yang mengundang Lenghou-kongcu ke sini, sudah seharusnya aku pula yang mengantarnya pulang.”

Sembari berkata ia pun mengambil sehelai selimut dan ditutupkan di atas badan Lenghou Tiong, habis itu barulah ia bertindak keluar dengan langkah lebar.

“Hei, hei! Lalu bagaimana dengan kedua ekor ikan besar kami ini? Apakah ditinggalkan begini saja?” teriak Tho-ki-sian.

Lo Thau-cu merandek. “Tentang kalian ... kukira ....” ia tahu menangkap harimau adalah lebih gampang daripada melepaskan harimau, jika kedua saudara itu dibebaskan, tentu Tho-kok-lak-sian akan mencari balas lagi ke tempatnya ini dan tentu akan banyak menimbulkan kesukaran.

Lenghou Tiong tahu pikirannya, katanya, “Lo-cianpwe, silakan kau membebaskan mereka berdua. Dan kalian Tho-kok-lak-sian selanjutnya janganlah mencari perkara lagi kepada Lo dan Coh berdua Cianpwe, biarlah kedua pihak dari lawan berubah menjadi kawan.”

“Tidak mencari perkara kepada mereka sih boleh saja,” sahut Tho-sit-sian, “Tapi bicara tentang dari lawan berubah menjadi kawan, inilah yang tidak bisa jadi, sekali lagi tidak bisa jadi!”

Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu sama mendengus, pikir mereka, “Hm, hanya mengingat kehormatan Lenghou-kongcu maka kami tidak sudi merecoki kalian, memangnya kalian sangka kami takut kepada Tho-kok-lak-sian segala?”

Dalam pada itu Lenghou Tiong telah bertanya, “Apa sebabnya?”

“Habis Tho-kok-lak-sian memangnya tiada punya rasa dendam dan permusuhan apa-apa dengan Hongho Lo-coh mereka, hakikatnya kedua pihak bukan musuh dan bukan lawan, dan kalau bukan lawan dari mana bisa dikatakan mengubah lawan menjadi kawan?”

Mendengar jawaban seenaknya itu bergelak tertawalah semua orang. Segera Coh Jian-jiu membuka ikatan jala dan melepaskan Tho-ki-sian berdua. Jala itu terbuat dari campuran rambut manusia, sutra pilihan serta benang emas murni, uletnya luar biasa, senjata yang betapa tajam pun sukar merusaknya, jika orang terjaring, semakin meronta semakin teringkus kencang.

Sesudah bebas, tanpa bicara lagi Tho-ki-sian terus membuka celana dan mengencingi jala ikan itu.

“He, apa-apaan kau?” tanya Coh Jian-jiu terkesiap.

“Kalau tidak mengencingi jala busuk ini tak terlampias rasa dongkolku,” sahut Tho-ki-sian.

Begitulah beramai-ramai mereka lantas menuju ke tepi sungai. Dari jauh Gak Put-kun melihat Lo Tek-nau dan Ko Kin-beng berdua dengan senjata terhunus masih menjaga di haluan kapal. Legalah hatinya karena tahu tidak terjadi apa-apa di atas kapalnya.

Sesudah mengantar Lenghou Tiong sampai di dalam kapal, dengan penuh hormat Lo Thau-cu lalu mohon diri, “Budi luhur Lenghou-kongcu sudah aku merasa terima kasih tak terhingga. Sementara ini aku mohon diri, tidak lama lagi tentu dapat berjumpa pula.”

Karena guncangan dalam perjalanan, Lenghou Tiong masih dalam keadaan samar-samar dan hampir-hampir pingsan pula, maka ia hanya mengiakan dengan suara lemah.

Yang terheran-heran adalah Gak-hujin, sungguh ia tidak mengerti mengapa “si bola daging” yang semula sangat garang itu ternyata sedemikian hormat dan segan terhadap Lenghou Tiong.

Rupanya khawatir kalau Tho-kin-sian dan lain-lain selekasnya akan pulang, maka Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu tidak berani tinggal lebih lama di situ, cepat-cepat ia memberi salam kepada Gak Put-kun dan lain-lain, lalu hendak melangkah pergi.

“Tunggu dulu, Coh-heng!” tiba-tiba Tho-ki-sian berseru.
“Mau apa?” tanya Coh Jian-jiu.

“Mau ini!” sahut Tho-ki-sian. Berbareng dengan badan miring ia terus menyeruduk maju.

Cara menyeruduknya ini teramat aneh dan cepat, jarak kedua orang rada dekat pula dan dilakukan dengan tak tersangka-sangka, karena tak bisa menghindar lagi, terpaksa Coh Jian-jiu mengerahkan tenaga untuk menerima serudukan itu. Dalam sekejap saja kekuatan sudah memenuhi pusarnya, perutnya sudah sekeras baja.
Maka terdengarlah suara “brak, brek” yang ramai, suara hancurnya benda-benda pecah belah. Sedangkan Tho-ki-sian lantas melompat mundur beberapa kaki jauhnya sembari bergelak tertawa.

“Aduh, celaka!” teriak Coh Jian-jiu sambil memasukkan tangan ke dalam bajunya, berbagai potong pecahan sebangsa porselen, kemala dan sebagainya telah dirogoh keluar. Kiranya puluhan buah cawan arak yang terdiri dari macam-macam jenis itu telah hancur lebur semua. Keruan rasa sedihnya tak terlukiskan ditambah rasa murka yang tidak kepalang. Serentak ia menghamburkan pecahan-pecahan beling itu ke arah Tho-ki-sian.

Akan tetapi Tho-ki-sian sudah siap sedia dan dapat mengelakkan serangan itu. Teriaknya, “Lenghou Tiong suruh kita dari lawan berubah menjadi kawan, apa yang dia katakan harus kita turut. Maka kita harus menjadi musuh atau lawan dulu baru kemudian dapat berubah menjadi kawan.”

Berbagai jenis cawan arak mestika yang telah dikumpulkannya dengan susah payah selama hidupnya ini sekaligus telah dihancurkan oleh Tho-ki-sian, keruan gusar Coh Jian-jiu sukar dilukiskan. Sebenarnya dia akan menyerang lebih lanjut, tapi demi mendengar ucapan Tho-ki-sian itu segera ia menghentikan tindakannya. Terpaksa ia menjawab dengan menyeringai, “Ya, benar dari lawan berubah menjadi kawan!”

Habis itu bersama Lo Thau-cu dan Keh Bu-si mereka pun bertindak pergi.

Dalam keadaan sadar tak sadar Lenghou Tiong masih mengkhawatirkan keselamatannya Gak Leng-sian, ia masih sempat berkata, “Tho-ki-sian, harap kau minta mereka jangan ... jangan mengganggu Sumoayku.”
“Baik,” sahut Tho-ki-sian. Lalu ia berseru keras-keras, “Hai, hai! Sobat-sobat Lo Thau-cu, Ya-niau-cu dan Coh Jian-jiu, dengarkan pesan Lenghou Tiong ini, dia suruh kalian jangan mengganggu sumoaynya.”

Sebenarnya Lo Thau-cu bertiga sudah rada jauh jaraknya, tapi demi mendengar seruan Tho-ki-sian itu seketika mereka berhenti dan tampaknya berunding sejenak, habis itu baru bertindak pergi pula.

Baru saja Gak Put-kun mulai menceritakan pengalamannya kepada sang istri, tiba-tiba terdengar suara orang ribut di daratan sana. Kiranya Tho-kin-sian berempat sudah pulang.

Mereka berempat terus membual, katanya orang yang membawa bendera putih itu telah kena ditangkap dan sudah mereka robek menjadi empat potong.

Tho-sit-sian lantas terbahak-bahak, katanya, “Lihai, sungguh kalian sangat lihai!”

Tho-ki-sian juga bicara, “Kalian telah merobek orang itu menjadi empat potong, apakah kalian mengetahui dia bernama siapa?”

“Dia sudah mati, peduli dia bernama siapa? Memangnya kau sendiri tahu?” sahut Tho-kan-sian.

“Sudah tentu aku tahu,” sahut Tho-ki-sian. “Dia she Keh, bernama Bu-si, dia punya julukan pula, yaitu Ya-niau-cu.”

“Wah, jadi dia bernama Keh Bu-si (tak berdaya), rupanya dia sudah tahu sebelumnya bahwa kelak pasti akan ditangkap oleh Tho-kok-lak-sian dan pasti tak berdaya sama sekali, karena itulah dia memakai nama demikian itu,” seru Tho-yap-sian.

“Ilmu Ya-niau-cu Keh Bu-si itu benar-benar lain daripada yang lain dan tiada bandingannya di dunia ini,” kata Tho-sit-sian.

“Memang betul, kepandaiannya yang lihai itu kalau bukan ketemukan Tho-kok-lak-sian, cukup dengan ginkangnya saja sudah merupakan tokoh kelas satu di dunia persilatan,” timbrung Tho-kin-sian.

“Kalau cukup ginkang saja masih belum apa-apa, yang hebat adalah caranya dia hidup kembali sesudah badannya dirobek menjadi empat potong, dia dapat menggabungkan kembali potongan-potongan badannya dan berjalan seperti biasa. Bahkan barusan saja dia masih datang kemari untuk bicara dengan aku,” demikian kata Tho-sit-sian.

Baru sekarang Tho-kin-sian berempat tahu bahwa obrolan mereka telah terbongkar. Tapi mereka pun tidak ambil pusing, bahkan pura-pura memperlihatkan air muka terkejut, Tho-hoa-sian malah bertanya, “Hah, jadi Keh Bu-si itu mempunyai ilmu selihai itu, ini benar-benar luar biasa, makanya menilai orang jangan dilihat dari mukanya saja.”
Di sebelah sana Gak Put-kun dan istrinya diam-diam sedang bersedih. Putri kesayangan mereka diculik orang, sampai-sampai siapa pihak lawan pun tidak tahu. Sungguh tidak nyana bahwa nama Hoa-san-pay yang termasyhur selama beberapa ratus tahun sekarang telah terjungkal habis-habisan di lembah Hongho ini. Tapi khawatir kalau para muridnya ikut sedih dan takut, maka lahirnya mereka tidak memperlihatkan sesuatu tanda apa-apa.

Selang agak lama, ketika fajar hampir menyingsing, tiba-tiba terdengar suara ramai orang berjalan di daratan. Sejenak kemudian tertampak dua buah joli telah diusung sampai di tepi sungai. Tukang joli yang pertama lantas berseru, “Lenghou-kongcu memberi pesan agar jangan mengganggu nona Gak, tapi majikan kami telah telanjur berbuat, maka diharap Lenghou-kongcu sudi memberi maaf.”

Dan setelah memberi hormat ke arah perahu, segera empat tukang joli itu meninggalkan kedua buah joli itu dan melangkah pergi dengan cepat.

“Ayah, ibu!” demikian terdengar suara Leng-sian di dalam joli.

Kejut dan girang pula Gak Put-kun dan istrinya. Cepat ia melompat ke gili-gili dan membuka kerai joli, benar juga putri kesayangannya duduk dengan baik-baik di dalam joli, hanya hiat-to bagian kakinya tertutuk, maka tak bisa berjalan. Orang yang duduk di dalam joli lain adalah Lim Peng-ci.

Segera Gak Put-kun menepuk beberapa hiat-to tertentu di kaki putrinya. Tapi Leng-sian malah menjerit, tampaknya menahan rasa sakit dan hiat-to yang tertutuk itu tetap tak terbuka.

“Ayah, dia mengatakan Tiam-hiat-hoat yang dia gunakan adalah ilmu tunggalnya, katanya ayah tidak mampu membukanya,” kata Leng-sian kemudian dengan suara tertahan.

“Siapakah orang yang kau maksudkan?” tanya Put-kun.

“Yaitu orang yang tinggi besar tadi.
Dia ... dia ....” hanya sampai di sini saja dia lantas mewek-mewek ingin menangis.

Perlahan-lahan Gak-hujin membelai rambut putrinya. Lalu memondongnya ke dalam perahu.
Dengan suara perlahan ia bertanya, “Apakah kau diperlakukan dengan kasar?”

Karena pertanyaan ibundanya itu benar-benar Leng-sian lantas menangis.

Gak-hujin menjadi khawatir, pikirnya, “Tindak tanduk orang-orang itu tidak beres, sedangkan anak Sian telah diculik mereka selama beberapa jam, jangan-jangan telah mengalami perlakuan yang tidak senonoh?”

Maka cepat ia bertanya pula, “Apa yang telah terjadi. Tak apa-apa, katakanlah kepada ibu.”

Tapi Leng-sian hanya menangis saja. Keruan hal ini membuat Gak-hujin tambah cemas. Karena banyak orang, Gak-hujin tidak berani tanya lebih jauh. Segera ia merebahkan putrinya di atas dipan dan menutupinya dengan selimut.

Mendadak Leng-sian berkata sambil menangis, “Ibu, orang besar itu telah mencaci maki aku.”

Ucapan Leng-sian ini membuat perasaan Gak-hujin merasa lega. Katanya dengan tersenyum, “Hanya dimaki orang saja masakan mesti begini sedih?”

“Tapi ... tapi dia mengancam dan menggertak hendak memukul aku pula,” gerutu Leng-sian.

“Sudahlah, lain kali kalau ketemu dia biar kita balas memaki dan menggertak dia,” ujar Gak-hujin dengan tertawa.

“Padahal aku pun tidak mengucapkan apa-apa yang menjelekkan Toasuko, Siau-lim-cu juga tidak. Tapi si gede itu tetap mencak-mencak, katanya selama hidupnya paling tidak senang bila mendengar orang menjelek-jelekkan Lenghou Tiong. Katanya bila dia marah bisa jadi orang yang tak disukainya akan disembelih dan dimakan olehnya,” demikian tutur Leng-sian sambil terguguk-guguk.

“Orang itu memang jahat,” ujar Gak-hujin. “Tiong-ji siapakah orang tinggi besar itu?”

Pikiran Lenghou Tiong masih belum sadar benar-benar, ketika mendengar panggilan ibu gurunya ia lantas menjawab, “Yang tinggi besar itu? O, aku ... aku ....”

Saat itu Lim Peng-ci juga sudah dipondong masuk ke ruangan kapal oleh Ko Kin-beng, segera ia menyela, “Sunio, orang tinggi besar dan hwesio itu memang benar-benar makan daging manusia, hal ini bukan omong kosong atau gertakan saja.”

Gak-hujin terkesiap, “Mereka berdua benar-benar makan daging manusia? Da ... dari mana kau mendapat tahu?”

“Hwesio itu telah menanyai aku tentang Pi-sia-kiam-boh, sambil bertanya tiba-tiba ia mengeluarkan sepotong makanan terus digerogoti dengan lahapnya,” tutur Peng-ci. “Bahkan jelas terlihat yang dia gerogoti itu adalah sepotong telapak tangan. Malahan aku pun disuruh mencicipi.”

“Hah, mengapa tidak ... tidak kau ceritakan sejak tadi-tadi?” teriak Gak Leng-sian.

“Aku khawatir kau terkejut, maka tidak berani menceritakan padamu,” sahut Peng-ci.

“Ah, ingatlah aku,” tiba-tiba Gak Put-kun menyela. “Mereka ialah ‘Boh-pak-siang-him’. Yang tinggi besar itu berkulit sangat putih dan si hwesio berkulit hitam, betul tidak?”

“Betul,” sahut Leng-sian. “Kau kenal mereka, ayah?”

Put-kun menggeleng, “Tidak, aku tidak kenal mereka. Hanya kudengar cerita orang bahwa di padang pasir utara ada dua begal besar yang satu bernama Pek-him (Beruang Putih) dan yang lain bernama Oh-him (Beruang Hitam). Sering kali mereka membegal harta benda dan melepaskan pemiliknya. Tapi bila pemilik barang mendapat pengawalan, maka Siang-him (Sepasang Beruang) itu sering menangkap pengawalnya dan makan dagingnya. Katanya orang yang melatih silat otot dagingnya jauh lebih keras dan lebih gurih kalau dimakan.”

Kembali Leng-sian menjerit mendengar cerita sang ayah.

“Suko, mengapa kau bercerita hal-hal yang memuakkan itu?” ujar Gak-hujin.

Gak Put-kun tersenyum. Sejenak kemudian baru ia menyambung, “Selamanya tak pernah mendengar Boh-pak-siang-him melintasi Tiongsia (tembok besar), mengapa sekarang telah berada di lembah Hongho? Tiong-ji, dari mana kau bisa kenal Boh-pak-siang-him itu?”

“Boh-pak-siang-hiong?” Lenghou Tiong menegas. Dia mengira yang diucapkan sang guru adalah “Siang-hiong” (kedua kesatria), tak tahunya adalah Siang-him (sepasang beruang). Maka setelah termenung sejenak, akhirnya ia menjawab, “Entah, aku tidak kenal.”

Tiba-tiba Leng-sian berseru, “Siau-lim-cu, hwesio itu suruh kau mencicipi daging manusia itu, kau mencicipi atau tidak?”

Bab 54. Ih Jong-hay, Ketua Jing-sia-pay Terkepung Musuh

Sudah tentu tidak,” sahut Peng-ci.

“Tak apalah jika tidak, kalau sudah, hm, masakah selanjutnya aku mau gubris lagi padamu?” kata Leng-sian.

Mendadak terdengar Tho-kan-sian menimbrung dari luar, “Daharan yang paling lezat di dunia ini tidak lain adalah daging manusia. Siau-lim-cu diam-diam tentu sudah mencicipinya, hanya saja ia tidak mau mengaku.”

“Ya, kalau tidak mencicipi mengapa tidak bilang sejak tadi-tadi, kok baru sekarang menyangkal mati-matian,” demikian Tho-yap-sian menambahkan.

Sejak mengalami berbagai kejadian-kejadian, setiap tindak tanduk Lim Peng-ci selalu sangat hati-hati. Ia menjadi tercengang demi mendengar ucapan Tho-kan-sian dan Tho-yap-sian itu dan sukar menjawab.

“Nah, betul tidak,” Tho-hoa-sian ikut menimpali. “Dia tidak bersuara pula. Kalau diam berarti mengaku. Nona Gak, manusia yang tidak jujur begini, sudah makan daging manusia tapi tidak mengaku, orang demikian mana boleh diajak hidup bersama.”

“Ya, bila kau kawin dengan dia, kelak dia tentu main gila pula dengan perempuan lain dan bila kau tanya dia pasti dia akan menyangkal,” timbrung Tho-kin-sian.

“Malahan ada yang lebih celaka lagi,” tambah Tho-yap-sian. “Bila kau tidur bersama dia, di tengah malam mendadak ia ketagihan makan daging manusia. Jangan-jangan kau sendirilah yang akan dimakan olehnya.”

Kiranya sesudah Tho-kok-lak-sian diberi tugas oleh Peng It-ci agar menjaga Lenghou Tiong, biarpun aneh tingkah laku mereka berenam, tapi sebenarnya mereka bukan orang bodoh. Seluk-beluk antara Lenghou Tiong yang mencintai Gak Leng-sian tapi tak terbalas itu diam-diam sudah dapat dilihat oleh mereka. Kini sedikit kelemahan Lim Peng-ci itu segera digunakan oleh mereka untuk memecah belah hubungan pemuda itu dengan Gak Leng-sian.

“Kalian ngaco-belo belaka, aku tidak mau dengar!” teriak Leng-sian sambil menutupi telinganya.

Di tengah ocehan Tho-kok-lak-sian itu perahu sudah mengangkat sauh dan mulai berlayar ke hilir. Fajar baru menyingsing, kabut pagi belum buyar seluruhnya, di permukaan sungai kabut pulih masih bergumpal-gumpal menyesakkan pandangan mata.

Tidak lama perahu berlayar mendadak berjangkit gelombang ombak, perahu besar itu berguncang dengan hebat sekali. Para penumpangnya tidak biasa hidup di atas air, maka tidak sedikit yang mulai pening kepala dan tumpah-tumpah.

Melihat juru mudi perahu sendiri juga ikut tumpah-tumpah dan perahu itu masih miring ke sana dan doyong ke sini, tampaknya sangat berbahaya, segera Gak Put-kun melompat ke buritan untuk memegang kemudi dan mengarahkan perahu ke tepian selatan.

Betapa pun lwekangnya memang sangat tinggi, sesudah mengatur napas beberapa kali rasa muaknya sudah mulai lenyap.
Ketika perahu itu perlahan-lahan menepi, segera ia melompat ke haluan perahu, ia mengangkat jangkar dan dilemparkan ke tepian.

Beramai-ramai semua orang sama melompat ke daratan dan berebut berjongkok di tepi sungai untuk minum air sebanyak-banyaknya, lalu menumpahkannya keluar. Setelah tumpah-minum beberapa kali, akhirnya rasa muak mereka barulah mereda.

Lembah sungai itu ternyata suatu tempat terpencil dan sunyi, rumput alang-alang tumbuh dengan suburnya. Hanya di kejauhan sana kelihatan ada deretan rumah, tampaknya adalah sebuah kota kecil.

“Agaknya di dalam perahu masih terdapat sisa-sisa racun, terpaksa kita tak bisa menumpang perahu lagi, marilah kita menuju ke kota itu,” kata Put-kun.

Segera Tho-kan-sian menggendong Lenghou Tiong dan Tho-ki-sian menggendong Tho-sit-sian terus mendahului jalan di depan.

Para murid Hoa-san-pay juga sama menggendong Li Peng-ci dan Gak Leng-sian menuju ke arah kota tadi.

Sampai di dalam kota, tanpa disuruh lagi Tho-kan-sian dan Tho-ki-sian lantas memasuki sebuah rumah makan, mereka menaruh Lenghou Tiong dan Tho-sit-sian di atas kursi, habis itu lantas berteriak-teriak, “Hai, pelayan! Sediakan arak, buatkan daharan yang paling lezat!”

Sekilas Lenghou Tiong melihat di dalam rumah makan itu berduduk satu orang, ia tercengang sebab orang itu adalah tojin yang berperawakan pendek kecil dan dikenalnya dengan baik sebagai ketua Jing-sia-pay, Ih Jong-hay adanya.

Jika dalam keadaan biasa, kepergoknya dia dengan Ih Jong-hay pasti akan menimbulkan suatu pertarungan sengit. Tapi sekarang keadaan agaknya tidak mengizinkan sebab ketua Jing-sia-pay itu sendiri tampaknya sudah berada di tengah kepungan musuh.

Ih Jong-hay duduk menyanding sebuah meja kecil, di atas meja tersedia arak dan beberapa piring masakan, selain itu sebatang pedang yang mengilap sudah tertaruh di atas meja pula. Di sekeliling meja itu adalah tujuh buah bangku panjang, setiap bangku diduduki satu orang.

Orang-orang itu terdiri dari macam-macam jenis, ada lelaki ada perempuan, rata-rata berwajah bengis dan jahat. Di atas bangku masing-masing juga tertaruh senjata, tujuh macam senjata pun dalam bentuk yang aneh-aneh, tiada satu pun yang terdiri dari golok atau pedang biasa.

Ketujuh orang itu sama sekali tidak bersuara, semuanya menatap tajam kepada Ih Jong-hay. Sebaliknya ketua Jing-sia-pay itu tenang-tenang saja, tangan kirinya tampak memegang cawan arak terus menenggak, ternyata sedikit pun tidak keder.

“Tojin kerdil ini sebenarnya ketakutan setengah mati di dalam hati, dia hanya berlagak tidak gentar,” ujar Tho-kin-sian.

“Sudah tentu dia takut, satu orang dikeroyok tujuh orang, pasti dia akan kalah,” kata Tho-ki-sian.

“Ya, jika dia tidak takut, kenapa tangan kiri yang dipakai memegang cawan arak dan tidak menggunakan tangan kanan?
Tentunya tangan kanannya siap sedia menyambar pedangnya bila perlu,” timbrung Tho-kan-sian.

Mendadak Ih Jong-hay mendengus, cawan arak dipindahkan dari tangan kiri ke tangan kanan.

“Ha, dia sudah mendengar ucapan Jiko,” kata Tho-hoa-sian. “Tapi matanya sama sekali tak berani memandang ke arah Jiko, itu berarti dia memang takut. Bukannya takut kepada Jiko, tapi takut sedikit lengahnya itu akan diserang serentak oleh ketujuh orang musuh.”

Meski Lenghou Tiong bermusuhan dengan Ih Jong-hay, tapi demi menyaksikan ketua Jing-sia-pay itu sedang dikepung musuh-musuh tangguh, maka ia pun tidak sudi menggunakan kesempatan bagus itu untuk menuntut balas kepada Ih Jong-hay. Bahkan ia lantas berkata, “Keenam Tho-heng, Totiang ini adalah ketua Jing-sia-pay.”
“Kenapa sih kalau ketua Jing-sia-pay? Apakah dia sahabatmu?” sahut Tho-kin-sian.

“Ah mana aku berani mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti dia,” kata Lenghou Tiong.

“Jika dia bukan sahabatmu, maka kita dapat menyaksikan tontonan yang menarik,” ujar Tho-kan-sian.
“Benar,” seru Tho-yap-sian sambil bertepuk tangan. “Pelayan, mana daharannya dan araknya? Aku akan minum arak sambil menyaksikan orang-orang itu mencacah tosu kerdil itu menjadi delapan potong.”

“Aku berani bertaruh dengan kau bahwa dia akan terpotong menjadi sembilan dan bukan delapan,” seru Tho-sit-sian, walaupun masih dalam keadaan terluka dia tidak lupa ikut bicara.

“Sebab apa?” tanya Tho-yap-sian.

“Habis mereka kan tujuh orang, tapi thauto (hwesio berambut) itu membawa dua batang golok, tentu dia akan membacok dua kali.”

“Sudahlah, kalian jangan bicara lagi. Kita takkan membantu pihak mana pun, tapi juga jangan memencarkan perhatian Ih-koancu dari Jing-sia-pay yang sedang menghadapi lawan-lawannya,” demikian sela Lenghou Tiong.

Maka Tho-kok-lak-sian tidak bicara lagi, dengan cengar-cengir mereka memandangi Ih Jong-hay. Sebaliknya satu per satu Lenghou Tiong mengamat-amati ketujuh orang pengepung itu.

Dilihatnya thauto itu rambutnya menjulai sampai di pundak, kepalanya memakai ikat tembaga yang bercahaya mengilap, di sampingnya tertaruh sepasang golok melengkung berbentuk sabit. Di sebelahnya adalah seorang wanita berusia 50-an, rambut sudah beruban, air mukanya suram, senjata yang terletak di sampingnya adalah sebatang tongkat besi pendek.

Sebelahnya lagi berturut-turut adalah seorang hwesio dan seorang tosu. Si hwesio memakai kasa (jubah padri) warna merah marun, di sampingnya tertaruh sebuah kecer dan sebuah mangkuk, tampaknya semua terbuat dari baja.
Tepian kecer itu tampak sangat tajam, terang itulah sejenis senjata yang lihai. Sedangkan perawakan si tojin tampak tinggi besar, senjata yang terletak di atas bangkunya adalah sebuah gandin segi delapan, tampaknya sangat berat.

Di sebelah si tojin berduduk seorang pengemis setengah umur, bajunya kotor dan compang-camping, di atas pundaknya melingkar dua ekor ular hijau yang melilit di seputar lehernya.
Dari bentuk kepala ular-ular yang bersegitiga itu terang adalah sejenis ular-ular berbisa. Dia tidak membawa senjata tajam, agaknya kedua ekor ular itu adalah gegamannya.

Dua orang lagi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Yang lelaki mata kirinya buta, sedangkan yang perempuan buta mata kanan. Ini masih belum, yang lebih aneh adalah si lelaki kaki kirinya buntung dan yang perempuan buntung juga kaki sebelah kanan. Kedua orang sama-sama memakai tongkat penyangga, warna tongkat yang kuning gilap itu bentuknya serupa, sama-sama besar dan kasar, jika terbuat dari emas tulen tentu bobotnya tidaklah ringan. Dilihat dari usia mereka agaknya baru 40-an tahun, badan mereka begitu lemah, tapi justru membawa tongkat yang begitu berat sehingga semakin menambah keseraman mereka.

Dalam pada itu kelihatan si thauto mulai meraba gagang sepasang goloknya, si pengemis juga sudah memegang seekor ularnya dengan kepala ular menjulur ke arah Ih Jong-hay. Begitu pula yang lain-lain telah sama, memegangi senjata masing-masing, tampaknya, segera mereka akan menyerang secara serentak.

“Hahaha!” mendadak Ih Jong-hay bergelak tertawa. “Main kerubut memangnya adalah kebiasaan golongan keroco dan kaum penjahat. Kenapa aku Ih Jong-hay harus merasa gentar?”

Tiba-tiba si lelaki pecak tadi berkata, “Orang she Ih, kami tidak bermaksud membunuh kau.”

“Benar,” sambung si wanita pecak. “Asal kau menyerahkan Pi-sia-kiam-boh itu secara baik-baik, maka dengan baik-baik pula kami akan membiarkan kau pergi.”

Gak Put-kun, Lenghou Tiong, Lim Peng-ci dan lain-lain menjadi tercengang demi mendengar “Pi-sia-kiam-boh” tiba-tiba disebut. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa sebabnya ketujuh orang itu mengepung Ih Jong-hay tujuannya ialah ingin merebut Pi-sia-kiam-boh dari ketua Jing-sia-pay itu.

Begitulah Lenghou Tiong menjadi saling pandang dengan Gak Put-kun dan Lim Peng-ci. Mereka sama-sama membatin, “Apakah Pi-sia-kiam-boh itu benar-benar telah jatuh di tangan Ih Jong-hay?”

Dalam pada itu terdengar si wanita beruban sedang bicara, “Buat apa banyak omong dengan orang kerdil ini? Bunuh saja dia, lalu kita menggeledah badannya.”

“Boleh jadi dia telah menyembunyikan kitab pusaka itu di suatu tempat rahasia, kalau kita bunuh dia kan urusan bisa runyam malah?” ujar si wanita pecak.

Si wanita beruban tampak mencibir. Sahutnya, “Tidak ketemukan kitab itu pun tak apa, masakah urusan mesti runyam segala?”

Ucapannya itu kedengarannya kurang jelas seperti angin bocor keluar dari mulutnya. Kiranya giginya telah banyak yang rontok dan hampir ompong seluruhnya.

“Orang she Ih,” seru si wanita pecak, “aku kira lebih baik kau menyerahkan kitab itu secara baik-baik. Kitab itu toh bukan milikmu, kau sudah mengangkangi kitab itu sekian lamanya, isinya tentu juga sudah kau hafalkan di luar kepala. Buat apa kau mengangkanginya mati-matian pula?”

Ih Jong-hay tetap bungkam saja. Ia tahu ketujuh lawan itu semuanya sangat lihai, diam-diam ia telah menghimpun tenaga dan mencurahkan segenap perhatian untuk menghadapi segala kemungkinan, maka apa yang dibicarakan ketiga orang tadi sama sekali tak tertangkap olehnya.
Mendadak si hwesio membentak satu kali, lalu komat-kamit entah apa yang dia katakan. Tertampak dia berbangkit, tangan kiri memegang mangkuk dan tangan kanan mengangkat kecer, tampaknya setiap saat siap untuk menerjang Ih Jong-hay.

Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar sana ada suara gelak tertawa orang, menyusul masuklah seorang yang bermuka berseri-seri. Orang ini memakai jubah sutra, kepalanya setengah botak, kelihatannya sangat ramah tamah. Tangan kanan orang ini membawa sebuah pipa tembakau warna hijau zamrud. Tangan kiri membawa kipas lempit, pakaiannya perlente, dandanannya ini jelas adalah seorang saudagar kaya raya.

Begitu melangkah masuk ke dalam restoran dan melihat orang sebanyak itu, ia menjadi tercengang dan lenyap seketika air mukanya yang berseri-seri tadi.
Tapi sejenak kemudian ia lantas bergelak tertawa pula sambil memberi salam dan berseru, “Aha, selamat bertemu, selamat bertemu! Sungguh tidak nyana bahwa para kesatria yang terkenal pada zaman ini ternyata berkumpul semua di sini. Sungguh aku sangat beruntung sekali dapat ikut hadir.”

Lalu orang itu mengangkat tangannya memberi salam kepada Ih Jong-hay, sapanya, “Wah, angin apakah yang membawa Ih-koancu dari Jing-sia-pay sampai ke Holam sini? Sudah lama kudengar ‘Kiu-siau-sin-kang’ Jing-sia-pay merupakan salah satu ilmu tunggal di dunia persilatan, bukan mustahil hari ini aku akan dapat menyaksikannya untuk menambah pengalaman.”

Ih Jong-hay sendiri sedang menghimpun tenaga, maka dia tidak melihat kedatangan orang itu, lebih tidak ambil pusing terhadap apa yang diucapkannya.

Kemudian orang itu menyapa kedua laki dan wanita tadi dengan tertawa, “Eh, sudah lama tidak berjumpa dengan ‘Tong-pek-siang-ki’ (Dua Manusia Aneh Pohon Tong dan Pek), apakah selama ini banyak mendapat rezeki?”

Si lelaki pecak menjawab dengan tersenyum, “Rezeki kami mana bisa lebih besar daripada rezeki Yu-taylopan (juragan besar Yu).”

Rupanya orang yang berdandan seperti saudagar ini she Yu.

Orang itu bergelak tertawa beberapa kali dan berkata pula, “Sesungguhnya diriku cuma nama kosong belaka, tangan kiri masuk tangan kanan keluar. Cukup dari julukanku saja sudah diketahui bahwa hanya tampaknya saja diriku ini hebat, tapi dalamnya sebenarnya keropos.”

“Siapa sih julukanmu?” tiba-tiba Tho-ki-sian bertanya.

Orang itu memandang ke arah Tho-ki-sian, ia bersuara heran karena melihat wajah Tho-kok-lak-sian yang aneh itu, tapi tidak kenal asal usul mereka. Mendadak ia berseru pula, “Wah, sungguh hebat, sungguh luar biasa, sampai-sampai ketua Hoa-san-pay Gak-siansing dan nyonya juga berada di sini. Akhir-akhir ini Gak-siansing sekali tusuk membutakan 15 orang lawan tangguh, kejadian ini benar-benar mengguncangkan Kangouw, setiap orang merasa kagum. Benar-benar ilmu pedang yang hebat!”

Gak Put-kun hanya mendengus sekali saja, ia merasa tidak pernah kenal orang ini, maka ia pun tidak memberi penjelasan.

Orang itu tertawa pula dan berkata, “Julukanku sebenarnya tidak enak didengar, yaitu ‘Kut-put-liu-jiu’ (Licin Susah Dipegang). Para kawan mengatakan diriku suka bersahabat. Demi sahabat sedikit pun aku tidak sayang mengeluarkan uang. Meski aku pandai mencari uang, tapi uang itu selamanya susah dipegang dan selalu memberosot dengan licin meninggalkan tangan.”

Mendengar itu mendadak Gak Put-kun teringat kepada seorang. Katanya, “Ah, kiranya adalah ‘Kut-put-liu-jiu’ Yu Siok, Yu-heng. Sudah lama kudengar namamu, kagum, sungguh kagum!”

“Wah, sampai-sampai ketua Hoa-san-pay juga kenal namaku yang tak berarti ini, sungguh aku merasa sangat bangga,” sahut orang itu.

“Sobat she Yu ini agaknya masih mempunyai suatu nama julukan yang lain,” tiba-tiba Gak-hujin ikut bicara.

“Apa ya? Wah, aku sendiri malah tidak tahu,” kata orang yang bernama Yu Siok itu.

“Julukannya yang lain adalah ‘belut berminyak’,” terdengar suara seorang menyela, kiranya si wanita beruban dan ompong itu.

“Wah, luar biasa!” teriak Tho-hoa-sian. “Belut saja sudah licin sekali, berminyak pula, lalu siapa yang mampu memegangnya.”

“Ah, itu kan cuma poyokan yang diberikan oleh kawan-kawan Kangouw kepada sedikit ginkangku yang lumayan ini, katanya segesit belut, padahal sedikit kepandaian yang tak berarti ini sebenarnya tidak ada harganya untuk dibicarakan. Eh, Thio-hujin, apakah engkau baik-baik saja selama ini, terimalah salamku ini,” habis berkata Yu Siok terus memberi hormat.

Wanita beruban yang dipanggil Thio-hujin itu melototinya sekali dan menjawab, “Ah, mulut usil, lekas enyah sana!”

Tapi perangai Yu Siok ini ternyata sangat sabar, sedikit pun ia tidak marah. Ia lantas berkata pula terhadap si pengemis, “Siang-liong-sin-kay (Pengemis Sakti Berpasangan Naga) Giam-heng, kedua ekor naga hijau piaraanmu itu tampaknya makin lama makin gemuk dan lincah.”

Pengemis itu bernama Giam Sam-seng, sebenarnya berjuluk “Siang-coa-ok-kay” (Pengemis Jahat Berpasangan Ular), tapi Yu Siok sekenanya telah menyebut dia sebagai Siang-liong-sin-kay, bahkan kedua ekor ularnya disebut sebagai sepasang naga, istilah “ok” yang berarti jahat di ganti pula dengan kata-kata “sin” yang berarti sakti, keruan Giam Sam-seng merasa syur juga dan mengunjuk senyuman meski wataknya sebenarnya sangat bengis.

Thauto berambut panjang itu bernama Siu Siong-lian dan si hwesio bergelar Say-po, tojin itu bergelar Giok-leng, asal usul ketiga orang ini pun diketahui semua oleh Yu Siok, maka kepada masing-masing ia pun memberi pujian beberapa patah kata. Begitulah dengan cengar-cengir ke sana dan ke sini, dalam sekejap saja Yu Siok telah membikin suasana yang tegang tadi menjadi damai.

Diam-diam Gak Put-kun membatin, “Sudah lama kudengar di daerah Soatang ada seorang tokoh ajaib yang berjuluk ‘belut berminyak’, kiranya beginilah macamnya.”

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Tho-yap-sian berseru, “He, belut berminyak, kenapa kau tidak memuji kepandaian kami berenam saudara yang hebat ini.”

“O, sudah ... sudah tentu akan kupuji ....” sahut Yu Siok dengan tertawa. Tak tersangka belum habis ucapannya, kedua kaki dan kedua tangannya tahu-tahu sudah kena dipegang oleh Tho-kin-sian, Tho-kan-sian, Tho-ki-sian dan Tho-yap-sian berempat dan terus diangkat ke atas, tapi seketika mereka tidak lantas membetot tubuh Yu Siok.

Keruan Yu Siok terkejut, cepat ia memuji, “Hebat, sungguh kepandaian yang hebat! Ilmu silat setinggi ini sungguh selama ini jarang terdapat.”

Pada umumnya manusia memang suka disanjung puji, sedangkan Tho-kok-lak-sian justru paling senang kalau diumpak orang. Kini demi mendengar pujian Yu Siok itu dengan sendirinya mereka tidak ingin lekas-lekas membetot dan merobek badan pecundangnya itu. Berbareng Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian bertanya, “Apa dasarnya kau mengatakan ilmu silat kami jarang terdapat di dunia ini?”

“Seperti sudah kukatakan, julukanku adalah Kut-put-liu-jiu, licin susah dipegang, selama ini siapa pun tidak mampu memegang diriku,” sahut Yu Siok. “Tapi sekali bergerak saja kalian berempat sudah dapat menangkap aku, sedikit pun tidak merasa licin dan sama sekali tak terlepas. Nyata kepandaian kalian memang jarang ada selama ini. Selanjutnya ke mana kupergi tentu aku akan menyiarkan nama kebesaran kalian berenam agar segenap kawan Bu-lim mengenal bahwa di dunia ini ada tokoh-tokoh sedemikian lihainya.”

Sungguh girang sekali Tho-kin-sian dan kawan-kawannya, segera mereka melepaskan Yu Siok.

“Hm, benar-benar licin seperti belut, memang tidak beromong kosong.
Sekali ini kau bisa lolos pula dari pegangan orang,” jengek Thio-hujin.

“Ah, memang kepandaian keenam Cianpwe ini terlampau hebat sehingga membikin setiap orang merasa segan dan hormat,” kata Yu Siok pula. “Cuma sayang pengalamanku terlalu cetek dan belum kenal siapakah gelaran keenam Cianpwe yang mulia?”

“Kami berenam saudara bernama ‘Tho-kok-lak-sian’. Aku sendiri bernama Tho-kin-sian, yang ini Tho-kan-sian, yang itu Tho-ki-sian ....” begitulah Tho-kin-sian memperkenalkan kawan-kawannya itu satu per satu.

“Bagus, benar-benar bagus!” sorak Yu Siok. “Nama ‘Sian’ itu sungguh cocok dan sesuai dengan ilmu silat kalian berenam. Memang kepandaian kalian sudah mendekati kesaktian dewa, maka kalian sudah seharusnya bernama ‘Tho-kok-lak-sian’.”

Keruan Tho-ki-sian berenam bertambah senang, seru mereka, “Pikiranmu memang tajam, pandanganmu memang tepat, kau benar-benar seorang yang mahabaik.”

Di sebelah sana Thio-hujin sedang melotot kepada Ih Jong-hay sambil berkata, “Orang she Ih, Pi-sia-kiam-boh itu akan kau serahkan atau tidak?”

Namun Ih Jong-hay sedikit pun tidak menggubrisnya, ia asyik menghimpun tenaga.

“Ai, ai! Apa yang sedang kalian ributkan?” sela Yu Siok tiba-tiba. “Pi-sia-kiam-boh kata kalian? Setahuku kitab pusaka itu tidaklah berada di tangannya Ih-koancu.”

“Setahumu kitab itu berada di tangan siapa?” tukas Thio-hujin.

“Orang itu sangat ternama, kalau kusebutkan mungkin kau akan ketakutan,” sahut Yu Siok.

“Lekas katakan,” bentak Siu Siong-lian, si thauto. “Tapi kalau tidak tahu ada lebih baik lekas enyah dari sini!”

“Wah, watak Suhu ini ternyata sedemikian gampang terbakar,” sahut Yu Siok dengan tertawa.
“Dalam hal ilmu silat memang aku tidak seberapa, tapi tentang berita kalian boleh tanya padaku. Setiap kabar hangat dan berita rahasia di dunia Kangouw rasanya tidak mudah lolos dari intaian mata dari telingaku.”

Tong-pek-siang-ki, Thio-hujin dan lain-lain cukup kenal Yu Siok, mereka tahu apa yang dikatakannya itu memang bukan bualan belaka. Yu Siok itu paling suka ikut campur urusan tetek bengek, dia tidak punya pekerjaan, segala apa ingin tahu, maka segala kejadian di dunia persilatan memang hampir semuanya diketahui olehnya.

Berbareng Thio-hujin dan lain-lain membentak, “Tidak perlu kau jual mahal. Sebenarnya Pi-sia-kiam-boh itu berada di tangan siapa, lekas katakan!”

“Kalian kan kenal julukanku ‘licin susah dipegang’, harta benda yang datang padaku selalu memberosot keluar lagi,” sahut Yu Siok dengan tertawa. “Sungguh sial, beberapa hari terakhir ini aku benar-benar lagi miskin, pasaran sepi, dagangan macet. Kalian adalah hartawan-hartawan semua, seujung rambut kalian saja sudah lebih bernilai daripada segala milikku. Untung aku telah memperoleh berita yang berharga ini. Ya, sudah tentu, berita baik ini sudah sepantasnya kupersembahkan kepada pihak yang berkepentingan. Jadi yang kujual ini tidaklah mahal, tapi dengan harga pantas.”

“Baik, kau tidak mau bilang bolehlah kau tunggu dulu. Nanti sesudah kami bunuh keparat she Ih itu lalu membekuk si belut she Yu ini, coba nanti kau mengaku atau tidak,” demikian kata Thio-hujin. Mendadak ia memberi komando, “Maju!”

Serentak terdengarlah suara “crang-cring” yang ramai, berbagai macam senjata telah saling bentur. Thio-hujin bertujuh telah meninggalkan tempat duduk masing-masing dan saling gebrak beberapa jurus dengan Ih Jong-hay. Habis menyerang serentak mereka lantas melompat mundur pula. Tapi posisi mereka masih tetap dalam keadaan mengepung.

Maka tertampaklah kaki Say-po Hwesio dan si thauto Si Siong-lian mencucurkan darah. Sebaliknya Ih Jong-hay telah memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri, jubah di bagian pundak kanan hancur, entah kena dipukul oleh siapa.

“Coba lagi!” teriak pula Thio-hujin dan kembali mereka bertujuh mengerubut maju pula. Setelah suara “trang-tring” berbunyi riuh pula, lalu mereka melompat mundur lagi dalam keadaan masih mengepung.

Kini kelihatan muka Thio-hujin sendiri terluka, dari tengah alis miring ke kiri bawah hingga sampai di dagu telah tergores suatu luka panjang. Sebaliknya lengan kiri Ih Jong-hay telah kena terbacok oleh golok, agaknya kena serangan golok melengkung si thauto.
Karena tangan kiri tak bisa memainkan pedang pula, terpaksa senjata dipindahkan kembali ke tangan kanan. Cuma pundak kanannya juga sudah terluka, kalau ketujuh lawan menyerang pula untuk ketiga kalinya pasti dia akan binasa di bawah hujan senjata mereka.

“Ih-koancu,” seru Giok-leng Tojin sambil mengacungkan senjatanya, “kita adalah seagama, lebih baik kau menyerah saja.”
Ih Jong-hay mendengus sekali, tangan kanan hendak mengangkat pedangnya. Tapi baru terangkat sedikit saja lengannya sudah terasa lemas.

Thio-hujin itu tampaknya adalah seorang wanita tua yang sudah loyo, tapi ternyata sangat garang dan tangkas. Ia pun tidak mengusap darah yang mengalir dari luka di mukanya itu, tongkat diangkat dan mengincar ke arah Ih Jong-hay, lalu berteriak pula, “Maju ....”

Belum selesai teriakannya, tiba-tiba ada orang membentak, “Nanti dulu!”

Menyusul seorang telah melangkah ke tengah kalangan dan berdiri di samping Ih Jong-hay, lalu katanya, “Kalian bertujuh mengeroyok satu orang, cara ini terlalu tidak adil. Apalagi Yu-lopan itu sudah mengatakan bahwa Pi-sia-kiam-boh sesungguhnya tidak berada di tangan Ih-koancu, mengapa kalian masih menyerangnya terus?”

Orang yang menengahi ternyata bukan lain adalah Lenghou Tiong.

Namun Siu Siong-lian bertujuh tiada seorang pun yang kenal pemuda yang berwajah pucat ini. Dengan suara berat Thio-hujin mendamprat, “Siapakah kau? Apakah kau ingin mampus bersama dia?”

“Mampus bersama dia sih bukan keinginanku,” sahut Lenghou Tiong. “Soalnya aku merasa urusan ini terlalu tidak adil, maka aku ingin bicara sebagai orang tengah. Lebih baik kalian jangan bertempur saja.”

“Marilah kita bunuh sekalian bocah ini,” seru Siu Siong-lian.

“Siapa kau? Besar amat nyalimu sehingga kau berani menjadi tameng orang?” bentak Giok-leng Tojin.

“Aku bernama Lenghou Tiong, aku tidak bermaksud menjadi ....” belum habis Lenghou Tiong bicara, terdengarlah Tong-pek-siang-ki, Siang-coa-ok-kay dan lain-lain sama berseru kaget, “Hei, jadi ... jadi kau inilah Lenghou-kongcu?”

“Cayhe adalah pemuda desa, aku tidak berani dipanggil sebagai ‘Kongcu’ segala,” sahut Lenghou Tiong. “Apa barangkali kalian pun kenal seorang sahabatku?”

Sepanjang jalan Lenghou Tiong telah mendapat perlakuan sangat hormat dari berbagai tokoh dan orang kosen, semuanya mengatakan perbuatan mereka itu disebabkan seorang sahabat Lenghou Tiong yang paling mereka hormati. Untuk ini Lenghou Tiong sampai pusing kepala juga tidak tahu siapakah sahabatnya yang dimaksudkan itu, ia tidak tahu bilakah dia mengikat seorang sahabat yang berwibawa sedemikian besar? Kini demi melihat sikap Siu Siong-lian bertujuh, segera ia menduga pasti sahabat aneh yang belum diketahuinya itulah yang menyebabkan segannya Siu Siong-lian bertujuh.

Benar juga, tertampak Giok-leng Tojin lantas menurunkan senjatanya dan membungkuk tubuh memberi hormat, katanya, “Ketika mendapat kabar segera kami bertujuh memburu kemari siang dan malam dengan harapan akan bertemu dengan Lenghou-kongcu. Barusan kami bersikap tidak sopan, mohon dimaafkan.”

Thio-hujin juga lantas menyimpan kembali tongkatnya yang pendek itu, katanya, “Kami tidak tahu Ih-koancu adalah sahabat Lenghou-kongcu sehingga tadi telah bersikap kasar padanya, untung kedua pihak hanya terluka ringan saja.”

Ih Jong-hay mendengus, “trang”, mendadak pedangnya jatuh ke lantai. Kiranya pundaknya tadi telah kena diketok sekali oleh gandin Giok-leng Tojin sehingga tulang pundaknya retak, lukanya tidaklah ringan, setelah bertahan sekuatnya kini benar-benar tidak sanggup memegangi pedang lagi.

Ia menjadi heran pula ketika mengetahui orang yang membantunya itu adalah Lenghou Tiong. Tapi dasar wataknya memang kepala batu, segera ia berkata, “Bocah she Lenghou ini bukanlah sahabatku.”

“Lenghou-kongcu bukan sahabatmu, inilah sangat kebetulan, memangnya kami bermaksud sembelih kau,” ujar Siang-coa-ok-kay. Walaupun demikian ucapannya, tapi dia tahu Lenghou Tiong tidak ingin mereka membunuh Ih Jong-hay, maka hanya mulut saja bicara, tapi tidak turun tangan sungguh-sungguh.

Si belut berminyak Yu Siok lantas mendekati Lenghou Tiong, ia terbahak-bahak dan berkata, “Aku datang dari sebelah timur, sepanjang jalan banyak sekali kawan Kangouw menyebut nama Lenghou-kongcu yang mulia, sungguh hatiku sangat kagum. Menurut berita yang kuperoleh bahwa ada beberapa puluh orang pangcu, kaucu, tongcu, dan tocu, semuanya bermaksud menemui Lenghou-kongcu di atas Ngo-pah-kang. Maka buru-buru aku pun datang kemari ingin melihat keramaian. Sungguh tidak nyana rezekiku sangat besar dan dapat berjumpa lebih dulu dengan Lenghou-kongcu di sini. Tidak apa-apa, jangan khawatir, sekali ini obat-obat mujarab yang dibawa ke Ngo-pah-kang kalau tidak ada 100 macam sedikitnya juga ada 99 macam. Sedikit penyakit Kongcu yang tak berarti itu pasti gampang disembuhkan. Hahaha, bagus, bagus!”

Lenghou Tiong menjadi terkejut malah. “Kau bilang beberapa puluh orang pangcu, kaucu, tongcu, tocu dan seratus macam obat mujarab apa segala, sungguh Cayhe tidak paham?” demikian ia menegas.

Kembali Yu Siok mengakak beberapa kali, katanya, “Lenghou-kongcu jangan khawatir, seluk-beluk urusan ini betapa pun besar nyaliku juga tidak berani sembarangan omong. Hendaklah Kongcu jangan khawatir, hahaha, seumpama aku sembarangan omong dan Lenghou-kongcu tidak marah padaku, tapi bila diketahui orang lain, biarpun aku mempunyai 10 buah kepala juga akan dibetot semua oleh orang itu.”

“Kau bilang tidak berani sembarangan omong, tapi mengapa terus mengoceh tentang urusan ini?” omel Thio-hujin. “Soal Ngo-pah-kang sebentar lagi Lenghou-kongcu akan dapat menyaksikan sendiri, buat apa kau mesti cerewet lebih dulu? Coba jawab, Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya berada di tangan siapa?”

“Berikan 100 tahil perak padaku dan segera aku memberitahukan padamu,” kata Yu Siok dengan tertawa sambil menjulurkan sebelah tangannya.

“Buset, barangkali hidupmu di jelmaan yang dulu tidak pernah melihat duit, maka sekarang kau mata duitan, segala apa pakai uang, uang, uang melulu!” damprat Thio-hujin.

Mendadak si lelaki pecak mengeluarkan serenceng perak dan dilemparkan kepada Yu Siok, katanya, “Itu, 100 tahil perak tanggung lebih. Nah, lekas bicara, lekas!”

Yu Siok sambuti rencengan perak itu dan menimbang-nimbangnya dengan tangan, lalu menjawab, “Banyak terima kasih.
Marilah kita keluar sana, biar kukatakan padamu.”

“Buat apa keluar?
Bicara saja di sini agar didengar semua orang,” kata si lelaki pecak.

“Ya, benar, kenapa mesti dirahasiakan?” seru orang banyak.

Tapi Yu Siok telah menggeleng-geleng. Katanya, “Tidak, tidak bisa. Aku minta 100 tahil perak, maksudku setiap orang membayar 100 tahil dan bukan menjual berita sepenting ini dengan cuma 100 tahil perak saja. Memangnya kalian kira aku menjual obral?”

Mendadak lelaki pecak itu memberi tanda, serentak Siu Siong-lian, Thio-hujin, Siang-coa-ok-kay, Say-po Hwesio dan lain-lain-lain mengepung maju, seketika Yu Siok terjepit di tengah seperti Ih Jong-hay yang terkepung tadi.

“Dia berjuluk licin susah dipegang, terhadap dia kita jangan memakai tangan, tapi gunakan senjata, biar dia mampus,” kata Thio-hujin.

“Benar,” seru Giok-leng Tojin sambil putar gandinnya, “biar dia rasakan gandinku ini, ingin kulihat apakah kepalanya benar-benar licin atau tidak?”

Gandin andalan Giok-leng Tojin itu bergigi tajam dan mengilap. Kalau kepala Yu Siok yang setengah botak itu benar-benar berkenalan dengan gandin itu tentu bisa konyol.

Tak terduga mendadak Yu Siok berkata kepada Lenghou Tiong, “Lenghou-kongcu, tadi kau menolong Ih-koancu dari kerubutan mereka, mengapa kau pilih kasih dan anggap sepi diriku yang terancam bahaya ini?”

“Haha, jika kau tidak menerangkan di mana beradanya Pi-sia-kiam-boh, bahkan aku pun akan ikut membantu Thio-hujin dan kawan-kawannya,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Bagus, bagus! Harap Lenghou-kongcu turun tangan sekalian!” seru Thio-hujin bertujuh.

“Ai!” Yu Siok menghela napas.
“Baiklah, biar kukatakan saja, silakan kalian kembali ke tempat masing-masing, buat apa mengelilingi diriku?”

“Terhadap belut yang licin terpaksa kami harus lebih waspada,” ujar Thio-hujin..

“Wah, ini namanya cari penyakit, ular mencari gebuk,” gumam Yu Siok. “Sebenarnya aku bisa melihat ramai-ramai ke Ngo-pah-kang, tapi malah mengantarkan kematian ke sini.”

“Sudahlah, tak perlu cerewet lagi. Kau mau bicara atau tidak?” ancam Thio-hujin.

“Baik, baik, akan kukatakan, mengapa tidak?” sahut Yu Siok.
“Eh Tonghong-kaucu, kiranya engkau orang tua juga berkunjung kemari?”

Kedua kalimatnya yang terakhir itu diucapkan dengan cukup keras, berbareng itu matanya memandang keluar restoran itu dengan air muka penuh heran dan segan. Keruan semua orang ikut terperanjat dan beramai-ramai menoleh ke arah yang dipandang Yu Siok itu. Tapi yang tertampak di jalan raya sana adalah seorang tukang sayur dan sekali-kali bukan Tonghong Put-pay, itu ketua Mo-kau yang namanya menggetarkan dunia.

Bab 55. Pertemuan di Atas Ngo-pah-kang

Waktu semua orang berpaling kembali, ternyata Yu Siok mudah menghilang entah ke mana. Baru sekarang mereka sadar telah tertipu. Siu Siong-lian, Giok-leng Tojin, dan lain-lain lantas mencaci maki. Mereka tahu ginkang si belut itu sangat hebat, pula orangnya memang cerdik, sekali sudah lolos terang sukar menangkapnya pula.

Tiba-tiba Lenghou Tiong berseru keras, “Aha, kiranya Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya dipegang oleh Yu Siok, Yu-heng sendiri. Sungguh tidak nyana bahwa dia yang menemukannya.”

“Apa betul?” tanya orang banyak. “Kitab pusaka itu benar-benar di tangan Yu Siok?”

“Sudah tentu berada di tangannya,” sahut Lenghou Tiong. “Kalau tidak mengapa dia tidak mau mengaku sejujurnya, sebaliknya lari terbirit-birit.”

Dia sengaja bicara dengan suara keras, keruan napasnya megap-megap dan badan lemas.

Mendadak terdengar suara Yu Siok berteriak di luar pintu, “Lenghou-kongcu, mengapa kau sengaja memfitnah diriku?”

Menyusul orangnya telah melangkah masuk kembali ke dalam restoran itu.

Dengan sebat luar biasa Thio-hujin, Giok-leng Tojin dan lain-lain lantas melompat maju dan mengepungnya di tengah-tengah pula. “Haha, kau telah masuk perangkapnya Lenghou-kongcu!” seru Giok-leng dengan tertawa.

Yu Siok tampak bersungut dan sedih, katanya, “Benar, benar, aku pun tahu perangkap Lenghou-kongcu ini. Tapi kalau ucapannya tadi tersiar di Kangouw, maka selanjutnya hidupku pasti tiada satu detik pun bisa berlalu dengan tenang, setiap orang Kangouw tentu mengira aku benar-benar telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh dan semua orang pasti akan mencari perkara padaku. Ai, Lenghou-kongcu, kau sungguh lihai, hanya satu ucapanmu saja sudah dapat menangkap kembali diriku yang licin susah dipegang ini.”

Lenghou Tiong hanya tersenyum. Pikirnya, “Apaku yang lihai? Aku justru pernah juga difitnah orang dengan cara demikian.”

Tanpa merasa pandangnya mengarah Gak Leng-sian. Ternyata nona itu juga sedang memandang padanya, sinar mata kedua orang kebentrok, wajah keduanya sama-sama merah dan cepat-cepat berpaling kembali.

“Yu-loheng,” kata Thio-hujin, “tadi kau telah menyembunyikan Pi-sia-kiam-boh agar tidak kena digeledah kami, betul tidak?”

“Wah, celaka, celaka! Ucapan Thio-hujin ini benar-benar bisa membikin kapiran diriku ini,” sahut Yu Siok. “Coba kalian pikir, jika Pi-sia-kiam-boh itu berada padaku, tentu senjata yang kupakai adalah pedang, bahkan ilmu pedangku pasti mahatinggi, paling sedikit juga selihai Ih-koancu dari Jing-sia-pay ini, tapi mengapa sekarang aku tidak membawa pedang dan juga tidak mengeluarkan ilmu pedang, malahan ilmu silatku tergolong nomor buncit?”

Semua orang pikir beralasan juga ucapannya itu, bahkan kata-katanya itu seakan-akan mengalihkan persoalannya kepada Ih Jong-hay pula. Maka tanpa merasa pandangan semua orang kembali berpindah kepada si tojin kerdil yang sudah terluka parah itu.

Mendadak Tho-kin-sian menimbrung pula, “Biarpun Pi-sia-kiam-boh berada padamu juga belum tentu kau mampu mempelajarinya. Seumpama mempelajarinya juga belum tentu mahir. Kau bilang tidak membawa pedang, bisa jadi pedangmu jatuh hilang atau telah dirampas orang.”

“Ya, seperti kipas yang kau bawa itu pun mirip dengan pedang pendek, tadi sekali bergerak kipasmu itu juga mirip dengan satu diurus ilmu pedang dari Pi-sia-kiam-hoat,” demikian Tho-kan-sian menambahkan.

“Tepat,” seru Tho-ki-sian. “Coba lihat, sekarang kipasnya itu menuding miring ke depan, terang itu adalah jurus ‘Ki-tah-kan-sia’ (menuding dan menghantam penjahat), yaitu jurus ke-59 dari Pi-sia-kiam-hoat. Ke mana ujung kipasnya menuding, ke situlah sasarannya akan dibinasakan.”

Tatkala itu yang kebetulan berhadapan dengan ujung kipas Yu Siok itu adalah Siu Siong-lian. Dasar thauto ini orang yang berangasan, tanpa pikir lagi segera ia menggeram terus menerjang maju dengan sepasang goloknya.

“He, he. Jangan kau anggap sungguh-sungguh, dia hanya bergurau saja,” seru Yu Siok sambil menghindar.

Maka terdengarlah suara nyaring empat kali, sepasang golok Siu Siong-lian telah membacok empat kali, tapi semuanya kena ditangkis oleh Yu Siok. Dari suara beradunya senjata itu memang benar kipas lempitnya itu terbuat dari baja murni. Jangan menyangka badan Yu Siok itu kelihatannya gemuk putih seperti lazimnya kaum hartawan, tapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit. Bahkan ketika kipasnya menutuk perlahan segera golok Siu Siong-lian itu tergetar ke samping. Dari gebrakan ini saja sudah jelas bahwa ilmu silatnya sesungguhnya masih lebih tinggi daripada si thauto yang menyerangnya itu. Hanya saja ia terkepung oleh tujuh lawan maka tidak berani sembarangan melakukan serangan balasan.

Dalam pada itu Tho-hoa-sian telah berseru, “Nah, nah, jurus itu adalah diurus ke-32 dari Pi-sia-kiam-hoat yang bernama ‘Oh-kui-pang-bui’ (kura-kura kentut) dan jurus tangkisannya ini adalah jurus ke-25 yang bernama ‘Ka-hi-hoan-sin’ (bulus membalik tubuh)!”

Semua orang sudah tahu Tho-kok-lak-sian itu suka membual, maka tiada seorang pun yang menggubris lagi kepada ocehannya.

Segera Lenghou Tiong berkata, “Yu-siansing, jika Pi-sia-kiam-boh itu benar-benar tidak berada padamu, lalu berada di tangan siapa?”

“Ya, sesungguhnya berada di tangan siapa?” demikian Giok-leng Tojin dan Thio-hujin ikut bertanya.

“Hahaha, sebabnya aku tidak mau bilang adalah karena aku ingin menjual cerita rahasia ini dengan harga lebih bagus, tapi kalian terlalu kikir, pelit,” demikian jawab Yu Siok dengan tertawa. “Tapi baiklah, akan kukatakan. Cuma biarpun kalian kuberi tahu juga tiada gunanya, sebab Pi-sia-kiam-boh itu berada di tangan tokoh dunia persilatan yang terpuja, itu Locianpwe yang ilmu silatnya paling tinggi dan paling disegani.”

“Siapa? Siapa dia?” tanya orang banyak.

“Jika kusebut orang ini tentu akan membikin kalian melonjak kaget, boleh jadi kalian nanti akan menyesal tak terhingga,” ujar Yu Siok.

“Kenapa mesti menyesal?” ujar Thio-hujin. “Hanya tanya Pi-sia-kiam-boh itu berada di tangan siapa, apakah hal ini berarti suatu dosa besar dan harus masuk neraka?”

“Masuk neraka sih rasanya tidak sampai,” sahut Yu Siok sambil menghela napas. “Cuma sesudah kalian mengetahui kitab pusaka berada di tangan tokoh itu, kukira kalian tentu tak bisa berbuat apa-apa, tapi rasa kalian tetap akan penasaran, pertentangan batin demikian bukankah akan membikin kalian menyesal? Tentang tokoh itu, justru beliau ada hubungan rapat dengan ketua Hoa-san-pay Gak-siansing yang juga hadir di sini ini.”

Seketika pandangan semua orang lantas beralih kepada Gak Put-kun. Tapi ketua Hoa-san-pay itu tersenyum saja, katanya di dalam hati, “Biarkan kau mengoceh sesukamu.”

Dalam pada itu Yu Siok tengah mengoceh pula, “Ya, celakanya Pi-sia-kiam-boh itu justru jatuh di tangan seorang tokoh demikian, ini sungguh ... sungguh ....”

Semua orang sampai menahan napas karena ingin mendengar nama tokoh yang akan disebutkan itu. Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh ada suara derapan kaki kuda diseling suara nyaring menggelindingnya roda kereta. Agaknya kereta itu sedang mendatangi dengan cepat, hal ini seketika memutuskan ucapan Yu Siok tadi.

Giok-leng Tojin menjadi aseran. “Lekas katakan, siapa yang memperoleh kiam-boh itu?” desaknya.
“Sudah tentu akan kukatakan, kenapa buru-buru?” sahut Yu Siok.
Sementara itu suara kereta kuda tadi sudah sampai di depan restoran itu dan lantas berhenti. Terdengar suara seorang tua serak sedang bertanya, “Apakah Lenghou-kongcu berada di sini? Pang kami sengaja mengirimkan kereta untuk menyambut kedatanganmu!”

Karena ingin lekas-lekas mengetahui di mana beradanya Pi-sia-kiam-boh untuk membersihkan rasa curiga sang guru serta ibu-guru dan lain-lain atas dirinya, maka ia tidak lantas menjawab seruan orang di luar itu, tapi tetap tanya kepada Yu Siok, “Di luar ada orang datang, lekas-lekas kau menerangkan!”

“Hendaklah Kongcu maklum, dengan datangnya orang luar menjadi tidak leluasa untuk kuterangkan urusan ini,” sahut Yu Siok.

Mendadak terdengar ringkikan kuda yang ramai, kembali datang pula beberapa penunggang kuda dan segera berhenti di luar restoran. Lalu suara seorang yang nyaring keras berseru, “Ui-lopangcu, apakah engkau juga datang kemari untuk menyambut Lenghou-kongcu?”

Lalu suara seorang tua sedang menjawab, “Betul, kiranya Suma-tocu sendiri juga datang kemari!”

Orang yang bersuara nyaring keras itu menjengek sekali, menyusul terdengar suara tindakan yang kedengaran sangat berat. Seorang yang berperawakan tinggi besar telah melangkah masuk ke dalam restoran.

Perawakan si thauto Siu Siong-lian sesungguhnya sudah sangat tinggi besar, tapi kalau dibandingkan pendatang baru ini ternyata masih kalah jauh.

“Suma-tocu, kiranya engkau juga datang?” segera Giok-leng Tojin menyapa.

Orang tinggi besar yang dipanggil sebagai Suma-tocu itu hanya mendengus sekali saja, ia lantas berseru, “Yang manakah Lenghou-kongcu adanya? Silakan berkunjung ke Ngo-pah-kang untuk bertemu dengan para kesatria.”

Terpaksa Lenghou Tiong memberi salam dan berkata, “Cayhe Lenghou Tiong berada di sini, aku tidak berani membikin capek Suma-tocu.”

“Siaujin (hamba) bernama Suma Toa,” sahut Suma-tocu itu. “Soalnya hamba dilahirkan dengan badan tinggi besar, maka orang tua telah memberi nama Toa (besar) kepadaku. Selanjutnya harap Lenghou-kongcu memanggil aku Suma Toa saja, atau boleh juga saja si A Toa dan tidak perlu pakai Tocu apa segala.”

“Ah, mana boleh,” ujar Lenghou Tiong. Lalu memperkenalkan Gak Put-kun dan istrinya. “Kedua orang ini adalah guru dan ibu-guruku.”

“Sudah lama aku mengagumi,” sahut Suma Toa sambil memberi hormat. Lalu ia berpaling pula dan berkata, “Penyambutan hamba ini agak terlambat, mohon Kongcu sudi memberi maaf.”

Sebenarnya nama Gak Put-kun cukup menggetarkan Bu-lim, siapa pun yang mendengar namanya biasanya tentu bersikap hormat dan segan padanya, apalagi kalau bertemu muka, kebanyakan akan tergetar perasaannya. Akan tetapi Suma Toa beserta Thio-hujin, Siu Siong-lian dan lain-lain itu semuanya hanya menaruh hormat terhadap Lenghou Tiong saja, terhadap Gak Put-kun jelas mereka merasa acuh tak acuh, jika ada rasa hormat mereka juga timbul lantaran mereka menghormati Lenghou Tiong.

Gak Put-kun sudah menjabat ketua Hoa-san-pay selama lebih 20 tahun, selamanya ia sangat dihormati orang-orang Kangouw. Tapi orang-orang di hadapannya sekarang ini ternyata tidak memandang sebelah mata padanya, ini jauh lebih menyinggung perasaan daripada orang mencaci maki terang-terangan padanya. Untung “Kun-cu-kiam” Gak Put-kun memang seorang sangat sabar dan bisa mengekang perasaan lahirnya, sama sekali ia tidak memperlihatkan rasa gusar dan mendongkol.

Sementara itu pangcu yang she Ui tadi pun sudah melangkah masuk. Orang ini usianya sudah ada 80-an tahun, jenggotnya yang putih panjang menjulai sampai di depan dada. Tapi semangatnya tampak masih menyala. Dia membungkuk tubuh sedikit kepada Lenghou Tiong, lalu berkata, “Lenghou-kongcu, hamba Ui Pek-liu, banyak anggota pang kami mencari makan di sekitar wilayah sini, tapi tidak sempat menyambut kedatangan Kongcu, sungguh dosa kami pantas dihukum mati.”

“Ah, Pangcu terlalu sungkan,” sahut Lenghou Tiong sambil membalas hormat.

“Harap Kongcu panggil namaku Ui Pek-liu saja dan tidak perlu pakai Pangcu segala,” kata kakek she Ui itu.

“Ah, mana boleh,” kata Lenghou Tiong.

“Lenghou-kongcu,” Ui Pek-liu bicara pula, “para kesatria sudah berkumpul di Ngo-pah-kang dan sangat ingin menemui Kongcu, maka silakan sekarang juga Kongcu berkunjung ke sana.”

Habis ini ia lantas berpaling dan memberi salam kepada Gak Put-kun suami-istri, Thio-hujin, Yu Siok dan lain-lain, katanya, “Silakan para hadirin juga ikut Lenghou-kongcu ke Ngo-pah-kang sana.”

Habis berkata ia terus mendahului jalan di depan sebagai penunjuk jalan diikuti orang banyak. Ternyata di luar restoran sudah tersedia beberapa buah kereta kuda. Suma Toa dan Ui Pek-liu mengiringi Lenghou Tiong naik di suatu kereta, beramai-ramai Gak Put-kun suami-istri serta Thio-hujin dan lain-lain juga menumpang kereta yang sudah siap itu dan berangkat.

Tidak terlalu lama, iring-iringan kereta kuda itu berhenti di kaki suatu bukit, mereka turun dari kereta dan berjalan mendaki ke atas bukit itu. Sampai di atas bukit, ternyata di situ adalah suatu tanah datar yang cukup luas, di tengahnya terbangun sebuah rumah gedek bambu, keadaan sunyi senyap tiada seorang pun.

Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam rumah gedek itu terdengar suara “creng” satu kali, menyusul bergemalah suara kecapi yang nyaring.

Suma Toa, Ui Pek-liu, Thio-hujin dan lain-lain sama bersuara heran dengan air muka mengunjuk rasa kejut dan tercengang.

Pada saat lain tiba-tiba di luar bukit ada suara seruan orang, “Kaum setan iblis macam apa yang berada di atas bukit itu?”

Suara orang ini begitu keras berkumandang sehingga anak telinga para jago di atas bukit itu sampai mendengung-dengung.

Suma Toa, Ui Pek-liu, Thio-hujin dan lain-lain segera mengundurkan diri dan menghilang di balik bukit sana. Melihat begitu gugupnya jago-jago itu, Gak Put-kun menduga orang yang berada di bawah bukit itu pasti lawan yang tangguh. Agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka segera ia pun membawa anak muridnya mengundurkan diri ke belakang bukit.

Maka yang tertinggal hanya Lenghou Tiong seorang yang masih asyik mendengarkan suara kecapi yang berkumandang dari dalam rumah gedek itu. Pikirnya, “Bukankah ini adalah suara kecapi yang dipetik oleh si nenek di kota Lokyang itu?”

Sementara itu di bawah bukit ada suara seorang yang sangat keras sedang berkata, “Kaum setan iblis itu ternyata berani main gila ke Holam sini dan anggap sepi kepada kita.”

Habis berkata demikian segera ia perkeras suaranya dan membentak, “Kawanan bangsat keparat dari manakah yang berani main gila di atas Ngo-pah-kang? Hayo, semuanya laporkan nama kalian!”

Begitu kuat lwekangnya sehingga suaranya berkumandang dan menggetar lembah sekeliling bukit.

Mendengar itu diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Pantas Suma Toa dan lain-lain merasa ketakutan dan melarikan diri seketika, agaknya ada tokoh terkemuka dari kaum Cing-pay (aliran baik) yang telah datang mencari perkara.”

Diam-diam ia merasa Suma Toa dan lain-lain terlalu penakut, masakan belum ketemu lawan sudah lantas kabur. Tapi bila pendatang ini sedemikian ditakuti, tentulah kaum cianpwe yang memiliki ilmu silat luar biasa. Jika sebentar dirinya ditanyai rasanya akan serbasusah juga untuk menjawabnya. Maka ia pikir ada lebih baik dirinya juga menghindari saja.

Segera ia menggeser ke belakang rumah gedek. Ia percaya si nenek loyo yang berada di dalam rumah gedek itu pasti takkan dibikin susah oleh pendatang-pendatang itu. Dalam pada itu suara di dalam rumah gedek itu pun sudah berhenti.

Terdengarlah suara tindakan orang, muncullah tiga orang. Dua orang di antaranya berjalan dengan tindakan berat, sedangkan seorang lagi sangat enteng. Kalau tidak diperhatikan dengan cermat jalan orang ketiga ini seakan-akan tidak menimbulkan suara.

Setelah sampai di atas bukit, ketiga orang itu sama bersuara heran. Agaknya mereka merasa aneh terhadap suasana yang sunyi senyap di atas bukit itu.

Orang yang bersuara nyaring keras tadi telah berkata, “Kawanan keparat tadi itu sudah pergi ke mana?”

Lalu suara seorang yang lemah lembut menanggapi, “Tentu karena mereka mendengar kedua tokoh Siau-lim-pay hendak datang ke sini untuk menumpas kawanan setan iblis itu, maka siang-siang mereka sudah melarikan diri dengan mencawat ekor.”

“Aha, kukira tidak demikian,” ujar seorang lagi sambil tertawa. “Besar kemungkinan kaburnya mereka, adalah karena jeri kepada wibawa Tam-heng dari Kun-lun-pay.”

Begitulah ketiga orang itu lantas bergelak tertawa senang. Dari suara tertawa mereka yang nyaring memekak telinga itu Lenghou Tiong tahu tenaga dalam ketiga orang itu benar-benar jarang ada bandingannya di dunia persilatan. Katanya di dalam hati, “Kiranya dua orang di antara mereka adalah tokoh Siau-lim-pay dan yang satu jago dari Kun-lun-pay.
Selama beberapa ratus tahun Siau-lim-pay selalu menjagoi dunia persilatan. Melulu Siau-lim-pay saja namanya sudah jauh lebih tinggi daripada Ngo-gak-kiam-pay kami, kekuatan yang sesungguhnya tentunya juga lebih hebat. Suhu sering mengatakan juga bahwa Kun-lun-pay memiliki ilmu pedang yang tersendiri dan mengutamakan kelincahan serta ketangkasan. Sekarang tokoh-tokoh Siau-lim dan Kun-lun ini bergabung sudah tentu sangat lihai. Boleh jadi mereka bertiga ini adalah pembuka jalan dan di belakang mereka masih akan tiba pula bala bantuan yang lebih kuat. Akan tetapi, lalu mengapa Suhu dan Sunio ikut-ikut menyingkir pergi?”

Tapi sesudah dipikir pula ia lantas paham maksud gurunya itu, Hoa-san-pay tergolong Cing-pay juga, sebagai ketua suatu aliran baik adalah tidak pantas dan akan merasa malu kalau sampai tokoh-tokoh Siau-lim dan Kun-lun melihat gurunya itu bergaul bersama Suma Toa, Ui Pek-liu dan lain-lain yang namanya kurang terhormat.

Maka terdengar tokoh she Tam dari Kun-lun-pay itu sedang berkata pula, “Tadi kita baru saja mendengar ada suara kecapi di atas bukit ini. Sekarang pemetik kecapi itu sembunyi ke mana lagi? Sin-heng dan Ih-heng, kukira di dalam kejadian ini ada sesuatu yang tidak beres.”
Orang she Sin yang bersuara nyaring tadi menjawab, “Ya, benar, Tam-heng memang sangat cermat. Marilah kita coba menggeledah sekitar sini dan menyeretnya keluar.”

“Coba kuperiksa di dalam rumah gedek itu,” kata orang she Ih.

Tapi baru saja ia berjalan beberapa langkah ke arah rumah gedek segera terdengar suara seorang wanita yang nyaring merdu sedang berkata, “Aku hanya tinggal sendirian di sini, di tengah malam tidaklah pantas laki-laki dan perempuan mengadakan pertemuan.”

Perasaan Lenghou Tiong tergetar seketika mendengar suara itu. Pikirnya, “Ternyata, benar si nenek dari kota Lokyang itu.”

“Eh, kiranya seorang wanita,” demikian orang she Sin tadi berkata.

Si orang she Ih lantas bertanya, “Apakah tadi kau yang memetik kecapi?”

“Benar,” sahut si nenek.

“Coba kau memetiknya beberapa kali lagi?” kata orang she Ih.

“Selamanya tidak saling kenal, mana boleh sembarangan memetik kecapi bagimu,” sahut nenek itu.

“Hm, apa dikira kami kepingin? Banyak alasan saja,” jengek orang she Sin. “Di dalam rumah gedek itu pasti ada apa-apa yang ganjil, coba kita masuk memeriksanya.”

“Katanya wanita seorang diri, tapi mengapa di tengah malam buta berada di atas Ngo-pah-kang ini? Besar kemungkinan dia adalah begundal kawanan setan iblis itu. Mari kita menggeledah ke dalam,” orang she Ih berkata. Habis itu dengan langkah lebar ia terus berjalan ke pintu rumah gedek.

Mendengar kata-kata mereka itu Lenghou Tiong menjadi naik pitam, tanpa pikir lagi ia lantas menyelinap keluar dari tempat sembunyinya dan merintangi di depan pintu. Bentaknya, “Berhenti!”

Sama sekali ketiga orang itu tidak menduga bahwa mendadak bisa muncul seorang dari tempat gelap. Mereka rada terkejut, namun mereka adalah tokoh-tokoh yang berpengalaman dan terkemuka, sudah tentu mereka anggap sepele sesudah melihat orang yang dihadapi adalah seorang pemuda saja.

“Anak muda, siapa kau? Kerja apa kau main sembunyi-sembunyi di sini?” segera orang she Sin balas membentak.

“Cayhe Lenghou Tiong dari Hoa-san-pay menyampaikan salam hormat kepada para Cianpwe dari Siau-lim dan Kun-lun-pay,” sahut Lenghou Tiong dengan memberi hormat.
“Apa kau orang Hoa-san-pay?” orang she Sin itu mendengus. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Waktu Lenghou Tiong berdiri setegaknya, ia merasa perawakan orang she Sin itu juga tidak terlalu besar, hanya dadanya membusung, pantas suaranya begitu keras.

Laki-laki setengah umur yang lain juga memakai jubah kuning yang serupa dengan orang she Sin, terang inilah orang she Ih yang seperguruan dengan dia. Orang she Tam dari Kun-lun-pay itu punggungnya menyandang pedang, jubahnya longgar dan lengan bajunya lebar, sikapnya gagah ramah.

“Jadi kau adalah murid Hoa-san-pay yang tergolong Cing-pay, mengapa kau berada di Ngo-pah-kang sini?” demikian orang she Ih tadi menegas pula.

Memangnya Lenghou Tiong sudah naik pitam ketika mendengar caci maki mereka tadi, maka jawabnya ketus, “Cianpwe bertiga bukankah juga dari golongan Cing-pay dan bukankah sekarang juga berada di Ngo-pah-kang sini?”

Orang she Tam dari Kun-lun-pay tertawa, katanya, “Jawaban yang bagus. Tapi apakah kau tahu siapakah wanita yang memetik kecapi di dalam rumah gedek itu?”

“Beliau adalah seorang nenek yang berusia lanjut dan berbudi luhur, seorang tua yang tiada punya persengketaan dengan siapa pun di dunia ini,” sahut Lenghou Tiong.

“Ngaco-belo,” semprot si orang she Ih. “Jelas suara wanita itu nyaring dan lembut, terang usianya masih sangat muda. Mengapa kau bilang nenek tua apa segala?”
“Suara nenek ini memang merdu dan enak didengar, kenapa mesti diherankan?” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. “Padahal keponakannya saja juga lebih tua dua-tiga puluh tahun daripada kalian jangankan lagi si nenek sendiri.”

“Minggir, biar kami masuk untuk melihatnya sendiri,” bentak orang she Ih.

Tapi Lenghou Tiong menjulurkan kedua tangannya untuk mengadang malah, katanya, “Popo (nenek) tadi sudah mengatakan bahwa di malam hari tidaklah leluasa kaum lelaki dan wanita mengadakan pertemuan. Apalagi beliau juga tidak pernah kenal kalian, tanpa alasan apa gunanya kalian melihatnya.”

Mendadak orang she Ih mengebaskan lengan bajunya, suatu tenaga mahakuat segera menyambar tiba. Saat itu Lenghou Tiong dalam keadaan lemah, sedikit pun tidak bertenaga lagi, keruan ia tidak sanggup bertahan, kontan ia terdorong jatuh terguling.

Rupanya orang she Ih itu sama sekali tidak menyangka akan kelemahan Lenghou Tiong, ia menjadi tertegun dan berkata, “Kau benar-benar murid Hoa-san-pay? Huh, kukira kau omong kosong saja!”

Habis berkata segera ia hendak melangkah lagi ke pintu gubuk.

Cepat Lenghou Tiong merangkak bangun, ternyata pipinya sudah babak dan lecet sedikit. Segera ia berseru, “Popo tidak ingin bertemu dengan kalian, mengapa kalian tidak tahu aturan? Aku sendiri sudah pernah bicara cukup lama dengan Popo di kota Lokyang tempo hari, tapi sampai saat ini pun aku belum melihat mukanya.”

“Bocah ini bicara tak keruan,” semprot orang she Ih. “Lekas minggir! Apa kau ingin dibanting lagi?”

Namun Lenghou Tiong lantas menjawab, “Siau-lim-pay adalah suatu aliran besar dan paling dihormati di dunia persilatan, kedua Cianpwe juga tokoh terkemuka. Cianpwe yang itu tentu pula jago ternama dari Kun-lun-pay, tapi sekarang di tengah malam buta kalian bertiga hendak merecoki seorang nenek yang tak bersenjata apa pun, perbuatan kalian apakah takkan dibuat buah tertawaan orang-orang Kangouw?”

“Dasar cerewet, enyah sana!” bentak orang she Ih. Mendadak tangan kirinya menampar, “plok”, dengan telak pipi kiri Lenghou Tiong kena digampar dengan keras.

Walaupun tenaga dalam Lenghou Tiong sudah lenyap, tapi dari gerak-gerik orang ia pun tahu dirinya akan diserang. Cepat ia pun berusaha berkelit, celakanya badannya terasa lemas, kaki tidak menurut perintah lagi, pukulan orang she Ih sukar dihindarkan. Keruan tubuhnya sampai berputar dua kali, matanya berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling, akhirnya ia jatuh terduduk pula.

“Ih-sute, bocah ini tidak becus ilmu silat, tak perlu buang tempo dengan dia,” kata orang she Sin. “Rupanya kawanan setan iblis tadi sudah kabur semua, marilah kita pergi saja!”

Tetapi orang she Ih menjawab, “Kawanan setan iblis Sia-pay dari wilayah beberapa provinsi mendadak berkumpul di Ngo-pah-kang sini, dalam sekejapan saja mereka menghilang pula secara cepat. Berkumpulnya aneh, bubarnya juga mencurigakan. Urusan ini harus kita selidiki sejelasnya.
Di dalam gubuk ini boleh jadi kita akan menemukan sesuatu.”

Sembari berkata tangannya lantas bermaksud mendorong pintu rumah gedek.

Saat itu Lenghou Tiong sudah berbangkit kembali, tangannya sudah menghunus pedang, serunya, “Ih-cianpwe, nenek di dalam gubuk itu pernah menanam budi padaku, maka kau harus menghadapi aku lebih dulu sebelum mengganggu beliau, asal aku masih bernapas jangan harap kau bisa bertindak sesukamu terhadap beliau.”
Orang she Ih bergelak tertawa. Katanya, “Berdasarkan apa kau berani merintangi aku? Apakah mengandalkan pedang yang kau pegang itu?”

“Kepandaian Wanpwe terlalu rendah, mana bisa menandingi tokoh pilihan Siau-lim-pay?” sahut Lenghou Tiong. “Cuma segala urusan harus berdasarkan keadilan dan kebenaran. Untuk bisa memasuki rumah gedek ini kau harus melangkah mayatku lebih dulu.”

“Ih-sute, bocah ini ternyata gagah perwira, boleh dikata seorang laki-laki, biarkan dia, mari kita pergi saja,” kata pula si orang she Sin.

Tapi orang she Ih itu tertawa dan berkata pula terhadap Lenghou Tiong, “Kabarnya ilmu pedang Hoa-san-pay mempunyai ciri-ciri keistimewaan tersendiri. Malahan terbagi menjadi Kiam-cong dan Khi-cong segala. Kau sendiri dari Kiam-cong atau Khi-cong? Atau Cong kentut apa lagi? Hahahaha!”

Karena ucapannya itu, orang sute Sin dan tokoh Kun-lun-pay yang she Tam menjadi ikut tertawa geli.

“Huh, mentang-mentang lebih kuat, lalu main menang-menangan, apakah beginilah yang disebut kaum Cing-pay?” jawab Lenghou Tiong dengan suara lantang. “Apakah kau benar-benar murid Siau-lim-pay? Kukira, omong kosong belaka!”

Keruan orang she Ih itu sangat gusar. Tangan kanan diangkat, segera ia hendak menghantam ke dada Lenghou Tiong. Tampaknya bila serangannya dilancarkan, seketika juga Lenghou Tiong pasti akan binasa.

“Nanti dulu!” seru si orang she Sin. “Lenghou Tiong, menurut jalan pikiranmu, apakah orang dari Cing-pay lantas tidak boleh bergebrak dengan orang?”

“Setiap orang dari Cing-pay, setiap kali turun tangan harus dapat memberikan alasannya,” jawab Lenghou Tiong tegas.

“Baik,” kata orang she Ih sambil perlahan-lahan menjulurkan telapak tangannya. “Aku akan menghitung satu sampai tiga. Bila aku menghitung sampai tiga kali kau masih tetap tidak mau menyingkir, maka tiga batang tulang rusukmu akan kupatahkan.”

“Hanya tiga batang tulang rusuk saja apa artinya?” sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum.

Segera orang she Ih mulai menghitung, “Satu ... dua ....”

“Sobat kecil,” sela si orang she Sin. “Ih-suteku ini selalu melaksanakan apa yang pernah diucapkannya. Lebih baik kau lekas menyingkir saja.”

Lenghou Tiong tersenyum. Katanya, “Mulutku ini pun selalu menepati apa yang pernah diucapkan. Selama Lenghou Tiong masih hidup takkan membiarkan kalian berlaku kurang ajar terhadap Popo.”

Habis berkata ia tahu pukulan orang she Ih sewaktu-waktu dapat dilontarkan. Maka diam ia menarik napas dalam-dalam, ia himpun tenaga seadanya ke lengan kanan, tapi dada lantas terasa sakit, mata berkunang-kunang.

“Tiga!” bentak orang she Ih, berbareng ia terus melangkah maju. Dilihatnya Lenghou Tiong tersenyum-senyum dingin saja membelakangi pintu, sedikit pun tidak bermaksud menyingkir. Maka tanpa pikir lagi pukulannya, terus dilontarkan.

Seketika Lenghou Tiong merasa napasnya menjadi sesak, tenaga pukulan lawan telah menyambar tiba. Sekuatnya ia angkat pedangnya terus menusuk, yang diincar adalah titik tengah telapak tangan musuh.

Gerak pedangnya ini baik tempat yang diincar maupun waktunya boleh dikata sangat tepat, sedikit pun tidak meleset. Ternyata pukulan orang she Ih yang telanjur dilontarkan itu tidak sempat ditarik kembali lagi. Maka terdengarlah suara “cret”, menyusul suara jeritan keras, “Auuh!”

Nyata ujung pedang Lenghou Tiong telah menusuk tembus telapak tangan orang she Ih itu. Lekas-lekas orang itu menarik kembali tangannya sehingga terlepas dari sundukan ujung pedang. Lukanya ini benar-benar amat parah. Cepat ia melompat mundur, “sret” segera ia melolos keluar pedangnya dan berteriak, “Anak keparat, kiranya kau hanya berlagak bodoh, tak tahunya ilmu silatmu sangat hebat. Biar ... biar kuadu jiwa saja dengan kau.”

Hendaklah dimaklumi bahwa orang she Ih ini adalah tokoh pilihan angkatan kedua Siau-lim-pay pada masa itu. Baik ilmu pukulan (dengan kepalan maupun telapak tangan) maupun ilmu pedang sudah memperoleh pelajaran murni perguruannya. Gerak pedang Lenghou Tiong tadi toh tidak kelihatan ada sesuatu yang luar biasa, yang hebat hanya arah yang jitu serta waktunya yang tepat sehingga telapak tangannya itu seakan-akan dijulurkan sendiri untuk ditusuk dan untuk menghindar pun tidak sempat. Nyata dalam hal ilmu pedang pemuda yang mengaku murid Hoa-san-pay ini sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur.

Sesungguhnya Sin, Ih dan Tam bertiga adalah ahli pedang semua, sudah tentu mereka dapat menilai kejadian itu.

Karena tangan kanan terluka, orang she Ih memindahkan pedang ke tangan kiri. Meski hatinya amat gusar, tapi sekarang ia tidak berani pandang enteng lagi terhadap Lenghou Tiong. “Sret-sret-sret”, kembali ia melancarkan tiga kali serangan, tapi semuanya hanya serangan pancingan belaka, sampai di tengah jalan segera serangannya ditarik kembali.

Dahulu di kelenteng Yok-ong-bio pernah sekaligus Lenghou Tiong membutakan mata 15 orang jago tangguh, walaupun waktu itu tenaga dalamnya juga sudah punah, tapi kalau dibandingkan masih lebih mendingan daripada sekarang, secara beruntun telah mengalami tiga kali cedera pula sehingga untuk mengangkat pedang saja hampir-hampir tidak mampu. Tampaknya tiga kali serangan orang she Ih itu adalah ilmu pedang kelas wahid Siau-lim-pay, maka cepat ia berseru, “Sesungguhnya Cayhe tidak bermaksud memusuhi ketiga Cianpwe, asalkan kalian sudi meninggalkan tempat ini, maka Cayhe bersedia meminta maaf dengan setulus hati.”

“Hm,” orang she Ih itu mendengus. “Sekarang hendak minta ampun rasanya sudah terlambat!”

“Sret”, dengan cepat pedangnya menusuk ke arah leher Lenghou Tiong.

Beruntun-runtun Lenghou Tiong telah kena digampar, ia sadar gerak-geriknya sendiri teramat lamban. Serangan lawan ini terang sukar dihindarkan. Tanpa pikir lagi ia pun membarengi menusuk dengan pedangnya. Menyerang belakangan tapi sampai lebih dulu, “ces”, dengan tepat hiat-to penting di pergelangan tangan orang she Ih telah tertusuk.

Tanpa kuasa lagi orang she Ih membuka jarinya sehingga pedangnya jatuh ke tanah.
Tatkala itu sang surya sudah mulai mengintip di ufuk timur. Dengan jelas orang she Ih dapat melihat darah segar menetes keluar dari pergelangan tangan sendiri, rumput hijau menjadi merah tersiram oleh darahnya. Untuk sejenak ia termangu-mangu, sungguh ia tidak percaya bahwa di dunia ini bisa terjadi demikian. Selang agak lama barulah ia menghela napas panjang, tanpa bicara lagi ia terus putar tubuh dan melangkah pergi.
“Ih-sute!” seru si orang she Sin, segera ia pun menyusul pergi dengan cepat.

Orang she Tam mengamat-amati Lenghou Tiong dengan lirikan ragu-ragu. Tanyanya kemudian, “Apakah saudara benar-benar murid Hoa-san-pay?”

Tubuh Lenghou Tiong terasa sangat lemas dan terhuyung-huyung hendak roboh, sekuatnya ia menjawab, “Ya, benar.”

Keadaan Lenghou Tiong yang parah itu dapat dilihat dengan jelas oleh orang she Tam. Ia. pikir biarpun ilmu pedang pemuda ini sangat hebat, asal menunggu lagi sebentar, tanpa diserang juga pemuda itu akan ambruk sendiri. Jadi di depan matanya sekarang adalah suatu kesempatan bagus yang dapat dipergunakan.

Pikir orang she Tam, “Tadi kedua tokoh Siau-lim-pay telah dikalahkan oleh pemuda dari Hoa-san-pay ini. Jika sekarang aku dapat merobohkan dia, kutangkap dia dan membawanya ke Siau-lim-si untuk diserahkan kepada Hongtiang, jalan demikian bukan saja berarti Siau-lim-si utang budi padaku, bahkan pamor Kun-lun-pay juga dapat dijunjung lebih tinggi di daerah Tionggoan.”

Bab 56. Si Nenek Aneh dan Ketua Siau-lim-si

Sesudah ambil keputusan licik itu, segera ia melangkah maju, katanya sambil tersenyum, “Anak muda, ilmu pedangmu sungguh hebat. Marilah kita coba-coba ilmu pukulan saja.”

Melihat sikap orang she Tam itu segera Lenghou Tiong dapat meraba apa maksud tujuannya. Diam-diam ia menggerutu akan kelicikan jahanam Kun-lun-pay ini, perbuatannya ini bahkan lebih jahat daripada orang she Ih dari Siau-lim-pay tadi. Tanpa pikir lagi segera ia angkat pedang terus menusuk ke bahu lawan.

Tak tersangka, baru saja pedangnya terangkat atau lengannya sudah terasa lemas, sedikit pun tidak bertenaga. “Trang”, pedang lantas jatuh ke tanah.

Keruan orang she Tam itu sangat girang, “Brak”, kontan ia melancarkan pukulan, dengan tepat dada Lenghou Tiong kena disodok oleh telapak tangannya. “Huekk”, tanpa ampun lagi darah segar lantas menyembur keluar dari mulut Lenghou Tiong.

Jarak kedua orang itu sangat dekat, darah segar yang ditumpahkan Lenghou Tiong itu tepat menyembur ke arah muka orang she Tam. Lekas-lekas orang she Tam itu mengegos kepala untuk menghindar, tapi tidak urung ada sebagian kecil menciprat di atas mukanya, bahkan ada beberapa titik jatuh ke dalam mulutnya.

Ia pun tidak ambil pusing walaupun mulutnya merasakan anyirnya darah. Ia khawatir Lenghou Tiong menjemput pedang kembali melancarkan serangan balasan, maka cepat telapak tangannya diangkat, kembali ia hendak menghantam pula. Tapi mendadak kepalanya terasa pening dan mata berkunang-kunang, seketika ia pun roboh terguling.

Tentu saja Lenghou Tiong terheran-heran. Ia tidak habis mengerti mengapa musuh yang sudah menang itu kok mendadak roboh sendiri malah.

Ia tidak tahu bahwa ia pernah minum arak beracun “Ngo-hoa-lo-tek-ciu” antaran dari Ngo-tok-kau (agama pancabisa/racun), di dalam darahnya telah mengandung racun yang keras, untung dia telah minum Siok-beng-pat-wan (delapan biji pil penyambung nyawa) milik Lo Thau-cu, kadar racun di dalam darahnya telah diperlunak oleh obat mujarab itu sehingga jiwanya tidak berbahaya. Tapi darahnya yang berbisa itu sekarang menciprat ke dalam mulut orang she Tam, keruan ia tidak tahan. Masih untung baginya darah yang menciprat ke dalam mulutnya itu hanya beberapa titik kecil saja sehingga jiwanya tidak sampai melayang seketika.

Dalam pada itu sang surya telah mulai memancarkan sinarnya, wajah orang she Tam itu tampak jelas bersemu hitam kebiru-biruan, kulit mukanya tiada hentinya berkejang, berkerut-kerut, keadaannya sangat aneh dan menyeramkan.

“Kau bermaksud membinasakan diriku, tapi kau sendiri ketularan,” kata Lenghou Tiong.

Waktu ia memandang sekelilingnya, ternyata di atas Ngo-pah-kang itu tiada bayangan seorang pun. Yang ada hanya suara kicauan burung, di atas tanah banyak tersebar macam-macam senjata dan cawan arak serta macam-macam perabot lain, keadaannya rada ganjil.

Sesudah mengusap mulutnya yang berdarah, lalu Lenghou Tiong berkata, “Popo, apakah baik-baik saja selama berpisah?”

“Saat ini Kongcu jangan banyak buang tenaga lagi, silakan duduk mengaso saja,” kata si nenek di dalam rumah gedek.

Lenghou Tiong memang merasa seluruh badannya sudah lemas lunglai, segera ia menurut dan berduduk.

Lalu terdengar suara kecapi berkumandang pula dari dalam rumah gedek itu, suaranya ulem, bening dan merdu, badannya terasa segar seakan-akan disaluri oleh suatu hawa hangat, hawa hangat ini terus mengalir pula ke sekeliling anggota badannya.

Selang agak lama, suara kecapi itu makin lama makin rendah, sampai akhirnya hampir-hampir tak terdengar dan entah mulai berhenti sejak kapan. Ketika mendadak Lenghou Tiong merasa semangatnya terbangkit, segera ia berdiri, ia memberi hormat dalam-dalam dan berkata, “Banyak terima kasih atas tabuhan sakti Popo sehingga banyak memberi manfaat bagi Wanpwe.”

“Tanpa kenal bahaya kau telah menghalaukan musuh bagiku sehingga aku tidak sampai dihina kawanan bangsat itu, akulah yang harus berterima kasih padamu,” kata si nenek.

“Mana boleh berkata demikian, apa yang kulakukan adalah kewajiban yang layak,” ujar Lenghou Tiong.

Nenek itu tidak bicara lagi untuk sejenak, kecapinya mengeluarkan suara “cring-creng, cring-creng” yang perlahan, agaknya tangan si nenek tetap memetik kecapinya, tapi pikirannya sedang melayang-layang seakan-akan ada sesuatu persoalan yang susah diambil keputusan. Selang agak lama barulah ia bertanya, “Sekarang kau akan ... akan ke mana?”

Pertanyaannya ini membikin darah Lenghou Tiong seketika bergolak memenuhi dadanya, ia merasa dunia seluas ini seakan-akan tiada tempat berpijak baginya. Tanpa merasa ia terbatuk-batuk, sampai lama baru ia dapat menghentikan batuknya itu, lalu menjawab, “Aku ... aku tidak tahu harus ke mana?”

“Apa kau tidak pergi mencari guru dan ibu-gurumu? Tidak pergi mencari Sute dan ... dan Sumoaymu?” tanya si nenek.

“Mereka ... mereka entah sudah pergi ke mana, lukaku rada parah, aku tidak sanggup mencari mereka. Seumpama dapat menemukan mereka juga ... juga, aiii!”

Lenghou Tiong menghela napas panjang dan membatin, “Ya, seumpama sudah ketemukan mereka, lalu mau apa? Mereka toh tidak suka padaku lagi.”

“Jika lukamu tidak ringan, mengapa kau tidak mencari suatu tempat yang baik, yang cocok untuk menghibur hatimu yang lara daripada kau berduka dan menyesal percuma.”

“Hahaha! Ucapan Popo memang benar juga. Soal mati-hidupku sebenarnya tidak kupikirkan. Tapi biarlah sekarang juga Wanpwe mohon diri untuk pergi pesiar dan mencari suatu tempat yang indah,” sembari berkata ia terus memberi hormat ke arah rumah gedek, lalu putar tubuh dan melangkah pergi.

Baru dia berjalan beberapa tindak, mendadak terdengar seruan si nenek, “Apakah kau ... sekarang juga lantas pergi?”

Lenghou Tiong menghentikan langkahnya dan mengiakan.

Kata pula si nenek, “Tapi lukamu tidak ringan, kau mengadakan perjalanan seorang diri, di tengah jalan tak ada orang yang menjaga kau, hal ini tentu akan menyusahkan kau.”

Hati Lenghou Tiong menjadi terharu demi mendengar ucapan si nenek yang simpatik itu. Jawabnya, “Banyak terima kasih atas perhatian Popo. Penyakitku ini terang tak bisa disembuhkan lagi. Mati lebih cepat atau lambat dan mati di mana saja bagiku tiada banyak bedanya.”

“O, kiranya demikian,” kata si nenek. “Cuma ... cuma, kalau kau sudah pergi, lalu orang jahat dari Siau-lim-pay itu putar balik ke sini, lantas bagaimana? Tam Tik-jin, orang Kun-lun-pay ini hanya jatuh pingsan saja, sesudah siuman boleh jadi ia pun akan mencari perkara padaku.”

“Kau hendak ke mana Popo? Biar aku mengantarkan kau,” kata Lenghou Tiong.

“Baik sekali maksudmu ini. Cuma untuk ini rasanya ada suatu kesukaran dan mungkin akan membikin susah padamu.”

“Membikin susah padaku? Sedangkan jiwaku ini saja adalah Popo yang menyelamatkan, kenapa pakai membikin susah padaku atau tidak?”

Nenek itu menghela, napas, katanya, “Aku ada seorang musuh yang sangat lihai, dia telah mencari aku ke kota Lokyang sana, terpaksa aku menyingkir ke sini, tapi rasanya tidak lama lagi ia pun akan menyusul kemari, dalam keadaan payah sehingga tidak mampu bergebrak dengan dia. Aku hanya ingin mencari suatu tempat yang baik untuk menghindarinya sementara waktu. Kelak aku sudah mengumpulkan bala bantuan baru aku akan membikin perhitungan dengan dia. Namun untuk minta kau mengantar dan mengawal aku, pertama, kau sendiri terluka, kedua, kau adalah seorang pemuda yang lincah dan gagah, bila mengiringi seorang nenek apakah kau takkan merasa kesal?”

“Hahaha, kukira Popo ada apa-apa yang sukar dilakukan, tak tahunya hanya soal sepele ini,” seru Lenghou Tiong dengan tertawa. “Popo hendak ke mana biarlah aku mengantarmu, ke ujung langit sekalipun asalkan aku masih belum mati pasti akan kukawal juga ke sana.”

“Jika demikian harus membikin capek padamu,” kata si nenek, agaknya merasa sangat senang. “Apakah betul ke ujung langit sekalipun juga, kau akan mengantar aku ke sana?”

“Benar, tak peduli ke ujung langit atau ke pojok samudra pasti Lenghou Tiong akan mengantar Popo ke sana.”
“Tapi ada lagi suatu kesukaran yang lain.”

“Kesukaran apa lagi?”

“Wajahku ini sangat jelek, siapa pun yang melihat mukaku pasti akan kaget setengah mati, sebab itulah aku tidak ingin memperlihatkan muka asliku kepada orang. Untuk ini kau harus menerima suatu syaratku bahwa di mana pun dan dalam keadaan apa pun juga kau tak boleh memandang sekejap saja padaku. Tidak boleh memandang mukaku, dilarang melihat perawakan dan kaki atau tanganku, juga dilarang memandang bajuku atau sepatuku.”

“Hati Wanpwe sepenuhnya menghormati Popo, aku merasa terima kasih atas perhatian Popo terhadap diriku. Adapun mengenai keadaan wajah Popo apa sih sangkut pautnya?”

“Jika kau tidak dapat menerima syaratku ini, maka bolehlah kau pergi saja sesukamu.”

“Baik, baik, kuterima baik, tak peduli di mana dan dalam keadaan apa pun juga aku pasti takkan memandang berhadapan kepada Popo.”
“Bayangan ke belakangku pun tidak boleh dipandang,” si nenek menambahkan.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Masakah sampai bayangan belakangmu juga amat buruk untuk dipandang? Bayangan belakang yang paling jelek di dunia ini tidak lebih dari manusia bungkuk, orang kerdil. Tapi ini pun tidak menjadi soal bagiku. Namun sepanjang jalan sampai-sampai bayangan belakang pun aku dilarang memandangnya, lalu cara bagaimana aku harus mengawal kau, kan runyam?”

Melihat Lenghou Tiong merasa ragu-ragu dan tidak menjawab, segera si nenek menegas, “Apakah kau tidak sanggup?”

“Sanggup, pasti sanggup. Bila aku sampai memandang sekejap saja kepada Popo, biarlah nanti aku mengorek biji mataku sendiri.”

“Asal kau ingat baik-baik saja janjimu ini. Nah, sekarang kau jalan di depan, biar aku mengintil dari belakang.”

“Baik,” sahut Lenghou Tiong terus mulai berjalan ke bawah bukit. Terdengar suara tindakan halus di belakangnya, nyata nenek itu telah menyusulnya.

Belasan meter jauhnya, tiba-tiba si nenek mengangsurkan sebatang ranting kayu, katanya, “Kau gunakan ini sebagai tongkat, jalan perlahan-lahan saja.”

Lenghou Tiong mengiakan pula. Dengan tongkat darurat itu ia menuruni bukit itu dan ternyata tidak begitu payah langkahnya.

Sesudah sekian jauhnya, tiba-tiba ia ingat sesuatu, tanyanya, “Popo, orang she Tam dari Kun-lun-pay itu kok kau kenal namanya?”

“Ya,” sahut si nenek. “Tam Tik-jin itu adalah jago nomor tiga di antara anak murid angkatan kedua Kun-lun-pay, dalam hal ilmu pedang ia sudah memperoleh enam atau bagian dari kepandaian gurunya. Dibandingkan toasuheng dan jisuhengnya juga masih selisih jauh. Sedangkan ilmu pedang orang Siau-lim-pay yang tinggi besar yang bernama Sin Kok-liong itu pun jauh lebih tinggi daripada dia.”

“O, kiranya si gede itu bernama Sin Kok-liong. Masih kenal aturan juga dia daripada orang she Ih itu.”

“Sutenya itu bernama Ih Kok-cu, orang ini memang lebih kurang ajar. Tadi sekali tusuk kau menembus telapak tangannya, lalu pedangmu melukai pergelangannya pula. Kedua kali serangan itu sungguh sangat bagus.”

“Ah, itu hanya karena terpaksa saja,” ujar Lenghou Tiong. “Kini aku menjadi mengikat permusuhan dengan Siau-lim-pay, bahaya di kemudian hari tentu takkan habis-habis.”

“Apanya yang hebat hanya Siau-lim-pay saja?” jengek si nenek. “Kita pun belum tentu kalah dengan mereka. Tadi aku sama sekali tidak menduga bahwa Tam Tik-jin itu bisa menghantam kau, lebih-lebih tidak nyana kau akan muntah darah.”

“Eh, jadi Popo telah mengikuti semua kejadian tadi? Aku pun tidak tahu mengapa Tam Tik-jin itu mendadak bisa jatuh tak sadarkan diri?”

“Masakah kau sendiri pun tidak tahu?” si nenek menegas. “Di dalam darahmu banyak terserap racun jahat dari Ngo-tok-kau, yaitu gara-gara perbuatan wanita siluman Na Hong-hong, itu Kaucu dari Ngo-tok-kau. Rupanya darahmu menciprat ke dalam mulutnya Tam Tik-jin, keruan ia tidak tahan.”

Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara, “O, kiranya demikian. Tapi aku sendiri mengapa malah tapi aku sendiri mengapa malah tahan, sungguh aneh. Selamanya aku tiada punya permusuhan apa-apa dengan Na-kaucu dari Ngo-tok-kau itu, entah sebab apa dia sengaja meracuni aku?”

“Siapa bilang dia sengaja meracuni kau?” sahut si nenek. “Dia justru bermaksud baik terhadapmu. Hm, dia berkhayal akan menyembuhkan penyakitmu yang aneh. Dia sengaja menyalurkan racun ke dalam darahmu agar jiwamu tidak berbahaya.
Cara demikian adalah cara kesukaan Ngo-tok-kau mereka.”

“Ya, makanya. Memang aku pun tiada punya permusuhan apa-apa dengan Na-kaucu, masakan tanpa sebab dia hendak membikin celaka padaku.”

“Sudah tentu dia tidak bermaksud membikin celaka padamu. Bahkan ia justru ingin memberikan kebaikan padamu sebisanya.”

Lenghou Tiong tersenyum. Lalu tanya pula, “Entah Tam Tik-jin itu bisa mati atau tidak?”

“Ini harus tergantung kepada kekuatan lwekangnya. Entah darah berbisa yang menciprat ke dalam mulutnya itu sedikit atau banyak?”

Bila membayangkan muka Tam Tik-jin yang kejang dan berkerut-kerut sesudah terkena racun tadi, tanpa merasa Lenghou Tiong bergidik sendiri.

Kira-kira beberapa li jauhnya, sampailah mereka di tempat yang datar.

Tiba-tiba si nenek berkata, “Coba pentang telapak tanganmu!”

Lenghou Tiong mengiakan dengan heran karena tidak tahu permainan apa yang hendak dilakukan nenek itu. Tapi segera ia pun membuka tangannya, “pluk”, mendadak terdengar suara perlahan, ada sesuatu benda kecil tertimpuk ke tengah telapak tangannya dari arah belakang. Waktu diperiksa, kiranya adalah sebutir obat pil sebesar biji lengkeng.

“Telanlah obat itu dan duduk mengaso di bawah pohon besar sana,” kata si nenek.

Sesudah mengiakan pula, segera Lenghou Tiong masukkan pil itu ke dalam mulut dan ditelannya tanpa pikir.

“Aku ingin memperoleh perlindungan ilmu pedangmu yang sakti untuk menjaga keselamatanku, makanya aku mau memberikan obatku ini untuk mempertahankan jiwamu supaya kau tidak mati mendadak dan aku kehilangan pengawal yang kuandalkan,” demikian kata si nenek. “Jadi bukan maksudku hendak ... hendak berbaik hati kepadamu, lebih-lebih aku tidak bermaksud menolong jiwamu. Untuk ini hendaklah kau ingat betul-betul.”

Kembali Lenghou Tiong mengiakan saja, sampai di bawah pohon, segera ia duduk mengaso bersandar di batang pohon. Di dalam perut tiba-tiba terasa ada suatu hawa hangat perlahan-lahan menyongsong ke atas, seakan-akan timbul tenaga baru yang tak terbatas menyusup ke berbagai isi perut serta urat-urat nadinya.

Diam-diam ia, merenung, “Obat pil tadi jelas banyak memberi manfaat kepada kesehatan badanku, tapi si nenek justru tidak mau mengaku telah memberi kebaikan padaku, katanya pula aku hanya hendak diperalat sebagai pengawalnya saja. Sungguh aneh, padahal di dunia ini umumnya orang justru tidak mau mengaku bahwa dia telah memperalat orang lain, masakah kini dia justru sengaja menyatakan hendak memperalat diriku, padahal tidak?”

Lalu terpikir pula olehnya, “Tadi waktu dia melemparkan pil itu ke dalam tanganku, pil itu jatuh di telapak tangannya tanpa mencelat jatuh, caranya melemparkan tadi terang menggunakan semacam tenaga lunak yang sangat tinggi dalam ilmu lwekang. Jadi jelas ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripadaku, mengapa dia menghendaki pengawalanku? Tapi, ai, biarlah, apa yang dia inginkan biar aku menurutkan saja.”

Hanya duduk sebentar saja Lenghou Tiong lantas berbangkit, katanya, “Marilah kita melanjutkan perjalanan. Apakah Popo masih lelah?”

“Ya, aku sangat letih, biarlah kita mengaso sebentar lagi,” sahut si nenek.

“Baik,” Lenghou Tiong pikir usia si nenek tentu sudah amat lanjut, sekalipun ilmu silatnya sangat tinggi dalam hal tenaga tentu tak bisa sama dengan orang muda. Maka kembali ia duduk pula di tempatnya.

Selang sejenak pula barulah si nenek berkata, “Marilah berangkat!”
Lenghou Tiong mengiakan dan segera mendahului berjalan di depan dan si nenek tetap mengintil dari belakang. Sesudah makan obat tadi, seketika Lenghou Tiong merasa langkahnya menjadi jauh lebih enteng dan cepat daripada sebelumnya. Ia menurut petunjuk si nenek, yang dipilih selalu adalah jalan kecil yang sepi.

Kira-kira belasan li jauhnya, mereka telah memasuki jalan pegunungan yang berliku-liku dan berbatu. Setelah membelok suatu lereng, tiba-tiba terdengar suara seorang sedang berkata, “Lekas kita makan dan secepatnya meninggalkan tempat berbahaya ini.”

Lalu terdengar suara beberapa puluh orang sama mengiakan.

Lenghou Tiong menghentikan langkahnya, dilihatnya di tanah rumput di tepi tebing sana ada beberapa puluh orang laki-laki sedang duduk makan minum. Pada saat itulah orang-orang itu pun juga sudah melihat Lenghou Tiong, seorang di antaranya lantas mendesis, “Itulah Lenghou-kongcu!”

Samar-samar Lenghou Tiong juga masih dapat mengenal orang-orang itu yang beramai-ramai ikut datang ke atas Ngo-pah-kang tadi malam. Baru saja ia bermaksud menyapa, sekonyong-konyong beberapa puluh orang itu tiada satu pun yang bersuara pula, semuanya diam sebagai bisu, pandang mereka sama terbelalak ke belakang Lenghou Tiong.

Air muka orang-orang itu sangat aneh, ada yang sangat ketakutan, ada yang kaget dan gugup sekali seakan-akan mendadak ketemukan sesuatu yang sukar dilukiskan, sesuatu yang sukar dihadapi.

Melihat keadaan demikian seketika Lenghou Tiong bermaksud menoleh untuk melihat apa yang berada di belakangnya sehingga membuat beberapa puluh orang itu sesaat itu termangu seperti patung? Tapi segera ia lantas sadar bahwa sebabnya orang-orang itu bersikap demikian tentu karena mendadak melihat si nenek yang ikut di belakangnya itu. Padahal dirinya sendiri telah berjanji takkan memandang sekejap pun kepadanya. Maka cepat ia tarik kembali lehernya sendiri yang sudah setengah tergeser itu.

Sungguh tidak habis herannya, mengapa orang-orang itu lantas sedemikian kaget dan takut demi melihat si nenek? Apakah benar-benar muka si nenek sangat aneh, lain daripada manusia, yang lain?

Tiba-tiba seorang laki-laki di antaranya berbangkit, belati diangkat terus ditikamkan ke arah sepasang matanya sendiri, seketika darah segar bercucuran.

Keruan kaget Lenghou Tiong tak terperikan. “Kenapa kau berbuat demikian?” teriaknya.

“Mata hamba ini sudah buta sejak tiga hari yang lalu dan tidak dapat melihat apa-apa lagi!” teriak orang itu.

Menyusul dua orang lagi lantas mencabut goloknya masing-masing untuk membutakan matanya sendiri, semuanya berseru, “Mata hamba sudah lama buta, segala apa tidak bisa lihat lagi!”

Sungguh kejut dan heran Lenghou Tiong tak terkatakan. Dilihatnya laki-laki yang lain beramai-ramai juga melolos senjata masing-masing dan bermaksud membutakan matanya sendiri-sendiri. Cepat ia berseru, “Hei, hei! Nanti dulu! Ada urusan apa dapat dibicarakan dengan baik-baik, tapi jangan membutakan matanya sendiri. Sebenarnya apa ... apakah sebabnya?”

Seorang di antaranya menjawab dengan sedih, “Sebenarnya hamba berani bersumpah bahwa sekali-kali hamba takkan banyak mulut, cuma hamba khawatir tak dipercayai.”

“Popo,” seru Lenghou Tiong, “harap engkau menolong mereka dan suruh mereka jangan membutakan matanya sendiri.”

“Baik, aku dapat memercayai kalian,” tiba-tiba si nenek bersuara. “Di lautan timur ada sebuah Boan-liong-to (pulau naga melingkar), apakah di antara kalian ada yang tahu?”

“Ya, pernah kudengar cerita orang bahwa kira-kira 500 li di tenggara Coanciu di provinsi Hokkian ada sebuah pulau Boan-liong-to yang tak pernah dijejaki manusia, keadaan pulau itu sunyi senyap dan terpencil,” demikian sahut seorang tua.

“Nah, memang pulau itulah yang kumaksudkan,” kata si nenek. “Sekarang juga kalian segera berangkat pesiarlah ke pulau itu, selama hidup ini tak perlu lagi pulang ke Tionggoan sini.”

Serentak puluhan orang itu mengiakan dengan rasa kegirangan. Seru mereka, “Baik, segera kami akan berangkat.”

“Sepanjang jalan kami pasti takkan bicara apa pun juga dengan orang lain!”

“Kalian akan bicara atau tidak peduli apa dengan aku?” kata si nenek.

“Ya, benar! Memang hamba yang ngaco-belo tak keruan!” seru orang itu sembari angkat tangan dan menempeleng mukanya sendiri.
“Enyahlah!” kata si nenek.

Tanpa bersuara lagi puluhan laki-laki itu lantas berlari-lari pergi seperti kesetanan. Tiga orang di antaranya yang matanya buta telah diusung oleh teman-temannya, dalam sekejap saja mereka sudah menghilang di kejauhan.

Diam-diam Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, “Hanya sepatah kata si nenek saja orang-orang itu sudah digebah mengasingkan diri ke pulau terpencil di lautan timur dan dilarang pulang untuk selama hidup.
Tapi orang-orang itu tidak bersusah, sebaliknya kegirangan setengah mati seperti mendapat pengampunan saja. Seluk-beluk urusan ini benar-benar membikin aku tidak habis mengerti.”

Tanpa bersuara Lenghou Tiong meneruskan perjalanan ke depan, pikirannya bergolak dengan hebat, ia merasa nenek yang mengikut di belakangnya itu benar-benar manusia aneh yang selamanya belum pernah didengar dan dilihatnya. Pikirnya, “Semoga sepanjang jalan nanti jangan bertemu pula dengan kawan-kawan yang pernah berkumpul di Ngo-pah-kang itu. Padahal dengan penuh simpatik mereka datang dengan maksud hendak menyembuhkan penyakitku, tapi kalau mereka kepergok dengan nenek, tentu mereka akan membutakan matanya sendiri atau dihukum buang ke pulau terpencil, jika demikian bukankah mereka sangat penasaran?”
Setelah beberapa li lagi, jalanan makin berliku dan makin terjal. Tiba-tiba terdengar di belakang mereka ada orang berteriak, “Hah, yang berjalan di depan itulah Lenghou Tiong.”

Suara orang itu sangat nyaring dan keras, sekali dengar lantas dikenal adalah suaranya Sin Kok-liong dari Siau-lim-pay itu.

“Aku tidak ingin bertemu dengan dia, boleh kau melayani sekadarnya,” kata si nenek.

Lenghou Tiong mengiakan. Lalu terdengar suara gemeresik disertai berguncangnya semak-semak rumput di tepi jalan. Agaknya si nenek telah menyusup ke dalam semak-semak.

Maka terdengar suaranya Sin Kok-liong sedang berkata pula, “Susiok, Lenghou Tiong itu terluka, tentu dia tak bisa berjalan cepat.”

Jaraknya waktu itu sebenarnya masih cukup jauh, tapi suara Sin Kok-liong betul-betul teramat keras, hanya bicara biasanya saja suaranya sudah dapat didengar dengan jelas oleh Lenghou Tiong.

“Kiranya dia tidak sendirian, tapi membawa pula seorang susioknya,” demikian Lenghou Tiong membatin. Ia pikir akhirnya toh akan tersusul, buat apa capek-capek berjalan lebih jauh. Segera ia berduduk di tepi jalan untuk menunggu.

Tidak lama kemudian terdengarlah suara tindakan orang. Beberapa orang telah muncul. Sin Kok-liong dan Ih Kok-cu termasuk di antaranya.
Selain mereka ada pula dua orang hwesio dan seorang laki-laki setengah umur. Laki-laki itu dan Ih Kok-cu berjalan paling belakang, kedua hwesio itu yang seorang usianya sudah sangat lanjut, mukanya, penuh berkeriput. Hwesio yang lain baru berumur 40-an, tangannya membawa Hong-pian-jan (tongkat kaum hwesio).

Segera Lenghou Tiong berbangkit dan memberi hormat, sapanya, “Wanpwe Lenghou Tiong dari Hoa-san-pay menyampaikan salam hormat kepada para Cianpwe dari Siau-lim-pay. Numpang tanya siapakah gelaran Cianpwe yang mulia?”

“Anak ....” baru Ih Kok-cu hendak mendamprat, tiba-tiba si hwesio tua sudah membuka suara, “Gelar Lolap adalah Hong-sing.”

Karena si padri tua membuka suara, terpaksa Ih Kok-cu tutup mulut seketika. Tapi wajahnya masih mengunjuk rasa murka, agaknya dia masih keki karena kecundangnya tadi.

“Terimalah hormatku, Taysu,” Lenghou Tiong menjalankan penghormatan pula.

Hong-sing manggut-manggut, katanya dengan ramah tamah, “Siauhiap tidak perlu banyak adat. Apakah gurumu Gak-siansing baik-baik saja?”

Semula waktu dirinya dikejar sebenarnya hati Lenghou Tiong rada khawatir dan kebat-kebit.
Tapi kini sesudah melihat sikap Hong-sing yang ramah, terang seorang padri yang saleh dan beragama tinggi. Ia tahu padri Siau-lim-si yang pakai gelaran “Hong” adalah angkatan tertua pada zaman ini, Hong-sing ini pastilah saudara seperguruan dengan Hong-ting, ketua Siau-lim-si yang sekarang. Maka ia menduga padri tua ini pasti tidak kasar seperti Ih Kok-cu. Seketika legalah hati Lenghou Tiong. Dengan penuh hormat ia lantas menjawab, “Berkat doa restu Taysu, guru baik-baik saja.”

“Keempat orang ini adalah Sutitku,” Hong-sing memperkenalkan. “Padri ini bergelar Kat-gwe, yang ini adalah Ui Kok-pek Sutit dan yang itu adalah Sin Kok-liong dan Ih Kok-cu Sutit. Kedua Sutitku yang tersebut belakangan ini sudah kau kenal bukan?”

“Ya, keempat Cianpwe terimalah hormatku,” sahut Lenghou Tiong. “Wanpwe dalam keadaan terluka sehingga tak bisa menjalankan peradatan yang sempurna, diharap para Cianpwe sudi memberi maaf.”

“Hm, kau terluka?” jengek Ih Kok-cu.

“Apa kau benar-benar terluka?” Hong-sing menegas. “Kok-cu, apakah kau yang melukai dia?”

“Ah, hanya sedikit salah paham saja tidak menjadi soal,” ujar Lenghou Tiong. “Dengan angin kebasan lengan baju Ih-cianpwe telah membanting jatuh Wanpwe ditambah lagi pukulan satu kali. Untungnya tidak sampai mati maka Taysu tak perlu mengomeli Ih-cianpwe.”

Dasar Lenghou Tiong memang pintar putar lidah, datang-datang ia lantas menyatakan dirinya terluka parah dan menimpakan segala tanggung jawab kepada Ih Kok-cu, ia menduga Hong-sing pasti tidak dapat membiarkan keempat sutitnya membikin susah lagi padanya. Maka segera ia menambahkan pula, “Apa yang terjadi telah disaksikan juga oleh Sin-cianpwe. Namun dengan kesudian Taysu berkunjung kemari, betapa pun Wanpwe sudah merasa mendapat kehormatan besar dan pasti takkan memberi lapor kepada guruku. Taysu boleh tak usah khawatir, biarpun lukaku cukup parah juga pasti takkan menimbulkan persengketaan antara Ngo-gak-kiam-pay dengan Siau-lim-pay.”

Dengan kata-katanya ini menjadi seperti lukanya yang parah dan sukar sembuh itu adalah karena kesalahan Ih Kok-cu.

Keruan Ih Kok-cu sangat gemas, “Kau ... kau ngaco-belo belaka. Memangnya kau sudah terluka parah sebelumnya.”

“Eh, hal ini jangan sekali-kali Ih-cianpwe menyinggungnya,” ujar Lenghou Tiong pura-pura gegetun. “Jika ucapanmu ini sampai tersiar bukankah akan sangat merugikan nama baik Siau-lim-si?”

Diam-diam Sin Kok-liong, Ui Kok-pek dan Kat-gwe bertiga mengangguk. Mereka tahu padri Siau-lim-si dari angkatan “Hong” adalah tingkatan yang tertinggi, walaupun berbeda dari golongan-golongan yang tergabung dalam Ngo-gak-kiam-pay, tapi kalau diurutkan menurut tingkatan masing-masing, maka angkatan “Hong” dari Siau-lim-si masih lebih tua satu angkatan daripada para ketua Ngo-gak-kiam-pay. Sebab itulah Sin Kok-liong, Ih Kok-cu dan lain-lain juga jauh lebih tinggi kedudukannya daripada angkatannya Lenghou Tiong.

Pertarungan antara Ih Kok-cu dan Lenghou Tiong sudah merendahkan diri Ih Kok-cu, karena dia lebih tua dan lebih tinggi angkatannya, apalagi waktu itu dari pihak Siau-lim-pay mereka hadir dua orang, sebaliknya Lenghou Tiong cuma seorang diri, lebih-lebih sebelum bergebrak Lenghou Tiong sudah terluka.

Kalau menurut peraturan tata tertib Siau-lim-pay yang keras, jika Ih Kok-cu benar-benar memukul mati seorang anak muda dari Hoa-san-pay, sekalipun tidak sampai mengganti nyawa, paling sedikit juga akan dijatuhi hukuman memunahkan ilmu silatnya dan dipecat dari perguruan. Karena itulah wajah Ih Kok-cu seketika menjadi pucat.

“Coba kau kemari, Siauhiap, biar kuperiksa keadaan lukamu,” kata Hong-sing pula.

Lenghou Tiong mendekatinya. Segera Hong-sing menggunakan tangan kanan untuk memegang pergelangan tangan Lenghou Tiong, jarinya menekan di tempat “Tay-yan-hiat” dan “Keng-ki-hiat”. Tapi mendadak terasa dari tubuh Lenghou Tiong timbul semacam tenaga dalam yang aneh, sekali getar jarinya lantas terpental buka.

Berdetak juga perasaan Hong-sing. Dia adalah tokoh terkemuka yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari dari angkatan tua Siau-lim-pay pada zaman ini, tapi jarinya sekarang ternyata bisa terpental balik oleh tenaga dalam seorang pemuda, hal ini benar-benar tak pernah terpikirkan olehnya. Ia tidak tahu bahwa di dalam tubuh Lenghou Tiong sudah tercakup tenaga murni tujuh jago lihai, yaitu dari Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio. Betapa pun tinggi ilmu silat Hong-sing, dalam keadaan tak tersangka-sangka juga tidak dapat tahan getaran tenaga gabungan dari ketujuh jago kelas tinggi itu.

Begitulah Hong-sing telah bersuara heran. Dengan terbelalak ia menatap tajam kepada Lenghou Tiong, katanya kemudian, dengan perlahan, “Siauhiap, kau bukan orang Hoa-san-pay.”

“Wanpwe benar-benar murid Hoa-san-pay dan adalah murid pertama guruku,” sahut Lenghou Tiong.

“Tapi kenapa kau masuk ke perguruan Sia-pay pula dan belajar ilmu dari golongan sesat dan liar itu?” kata Hong-sing.

Tiba-tiba Ih Kok-cu menimbrung, “Susiok, apa yang digunakan bocah ini memang benar adalah ilmu silat dari Sia-pay, buktinya memang demikian, betapa pun dia tidak bisa menyangkal lagi. Malahan tadi kita juga melihat di belakangnya ada mengikut seorang perempuan, mengapa sekarang menghilang dan main sembunyi-sembunyi, terang bukan manusia baik-baik.”

Mendengar kata-katanya menghina si nenek, Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, “Kau adalah murid golongan Cing-pay, kenapa ucapanmu tidak kenal sopan santun? Tentang Popo itu, memang beliau tidak sudi melihat kau agar beliau tidak gusar.”

“Boleh kau suruh dia keluar, apakah dia Cing atau Sia dengan sekali pandang saja, Susiok kami dapat mengetahuinya,” kata Ih Kok-cu.

“Timbulnya pertengkaran kau dan aku justru disebabkan kekurangajaranmu terhadap Popoku, sekarang kau berani ngaco-belo tak keruan lagi?” semprot Lenghou Tiong.

Sejak tadi Kat-gwe Hwesio hanya diam saja, sekarang ia telah menyela, “Lenghou-siauhiap, dari atas bukit tadi kulihat perempuan yang ikut di belakangmu itu langkahnya sangat enteng dan gesit, tidak mirip seorang nenek seperti ucapanmu.”

“Popoku adalah orang persilatan, sudah tentu langkahnya enteng dan gesit, kenapa mesti heran?” sahut Lenghou Tiong.

“Kat-gwe,” kata Hong-sing sambil menggeleng, “kita adalah cut-keh-lang (orang yang sudah meninggalkan keluarga), mana boleh berkeras hendak melihat famili perempuan orang lain. Baiklah Lenghou-siauhiap, memang banyak hal-hal yang mencurigakan di dalam urusan ini, Lolap seketika juga tidak paham. Tampak badanmu yang kau katakan itu juga bukan disebabkan serangan Ih-sutitku. Pertemuan kita ini boleh dikata ada jodoh juga, semoga kesehatanmu lekas pulih, sampai berjumpa pula.”

Diam-diam Lenghou Tiong kagum terhadap padri agung Siau-lim-si yang memang berbeda jauh dengan para sutitnya itu. Segera ia memberi hormat dan mengucapkan kata-kata merendah hati. Tapi belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Ih Kok-cu telah melolos pedang dan membentak, “Itu dia di sini!”

Berbareng itu dia lantas menubruk ke tengah semak-semak tempat sembunyi si nenek tadi.

Lekas-lekas Hong-sing berseru, “Jangan, Ih-sutit!”

Tapi apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. “Bluk” tahu-tahu Ih Kok-cu mencelat kembali dari tengah semak-semak rumput itu terus terbanting kaku telentang di atas tanah. Tertampak kaki dan tangannya berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.

Keruan Hong-sing dan lain-lain sangat terkejut. Terlihat muka Ih Kok-cu sudah hancur, besar kemungkinan kena diketok oleh benda-benda berat sebangsa palu dan sebagainya. Tangan Ih Kok-cu bahkan masih kencang memegangi pedangnya, namun jiwanya sudah melayang.

Bab 57. Si Nenek Ternyata adalah Gadis yang Cantik

Dengan membentak gusar Sin Kok-liong, Ui Kok-pek dan Kat-gwe bertiga berbareng menubruk ke tengah semak-semak bersama senjata mereka. Akan tetapi Hong-sing keburu mengebaskan lengan bajunya sehingga ketiga orang itu kena dicegah oleh suatu kekuatan angin yang lunak. Habis itu Hong-sing lantas berseru lantang ke tengah semak-semak, “Toyu (kawan agama) dari Hek-bok-keh manakah yang berada di sini?”

Tapi keadaan semak-semak sana ternyata sunyi senyap tiada bergerak sedikit pun.

Segera Hong-sing berseru pula, “Siau-lim-pay kami selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan para Toyu dari Hek-bok-keh, mengapa Toheng menggunakan cara sedemikian kejam atas diri Ih-sutit kami?”

Namun di tengah semak-semak itu tetap tiada suara apa-apa juga tiada seorang pun yang menjawab.

Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, “Berulang-ulang Hong-sing Taysu menyebut nama ‘Hek-bok-keh’, golongan orang macam apakah itu? Nama ini belum pernah kudengar selama ini.”

Terdengar Hong-sing Taysu sedang berkata pula, “Dahulu Lolap pernah bertemu sekali dengan Tonghong-kaucu. Karena Toyu sudah turun tangan membunuh orang, maka pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah sekarang juga harus ditentukan. Kenapa Toyu tidak tampil ke sini untuk bertemu saja?”

Hati Lenghou Tiong tergetar mendengar “Tonghong-kaucu” disebut. Bukankah yang dimaksudkan adalah Tonghong Hing, itu Kaucu dari Mo-kau yang termasyhur? Orang itu dianggap sebagai tokoh nomor satu pada zaman ini, jangan-jangan si nenek ini adalah orang dari Mo-kau?”

Akan tetapi si nenek yang sembunyi di tengah semak-semak itu tetap diam-diam saja tanpa menggubris ucapan Hong-sing Taysu.

“Jika Toyu tetap tidak sudi tampil ke muka, maafkan saja jika Lolap terpaksa berlaku kasar!” seru Hong-sing pula.

Habis berkata, kedua tangannya sedikit menjulur ke belakang, kedua lengan bajunya seketika melembung, menyusul terus disodok ke depan. Maka terdengarlah suara berderak yang keras, puluhan batang pohon sama patah dan roboh.

Pada saat itulah sekonyong-konyong sesosok bayangan orang meloncat keluar dari tengah semak-semak. Lekas-lekas Lenghou Tiong putar tubuh ke arah lain. Didengarnya Sin Kok-liong dan Kat-gwe telah membentak berbareng disertai suara nyaring benturan senjata yang ramai dan cepat, jelas si nenek sudah mulai bertempur dengan Hong-sing dan kawan-kawannya.

Waktu itu sudah lewat tengah hari, cahaya matahari menyorot miring dari samping. Untuk pegang teguh janjinya sendiri, biarpun di dalam hati sesungguhnya sangat gelisah, tapi Lenghou Tiong tidak berani menoleh untuk menyaksikan keadaan pertempuran keempat orang itu. Mendadak terlihat bayangan-bayangan orang berseliweran di atas tanah, teranglah Hong-sing berempat telah mengepung rapat si nenek.

Hong-sing Taysu tidak memakai senjata, sedangkan senjata Kat-gwe adalah Hong-pian-san, tongkat padri. Ui Kok-pek menggunakan golok dan Sin Kok-liong memakai pedang. Sebaliknya senjata si nenek adalah sepasang senjata pendek, bentuknya mirip belati dan menyerupai cundrik pula, pendek sekali senjata-senjata itu dan tipis seakan-akan bening tembus, hanya dari berkelebatnya bayangan sukar untuk diketahui macam senjata apa sesungguhnya.

Si nenek dan Hong-sing sama-sama tidak bersuara, sedangkan Sin Kok-liong bertiga yang terus membentak-bentak, perbawa mereka sangat menakutkan orang.

“Segala urusan dapat dibicarakan secara baik-baik, kalian empat orang laki-laki mengerubut seorang nenek reyot, kesatria macam apakah kalian ini?” demikian teriak Lenghou Tiong.

“Nenek reyot? Hehe, rupanya bocah ini mimpi di siang bolong,” jengek Ui Kok-pek.

Belum habis suaranya, mendadak Hong-sing berseru, “Awas, Ui ....”

Namun sudah terlambat terdengar Ui Kok-pek menjerit, “Aaaah!” agaknya sudah terluka parah.

Sungguh tidak kepalang kejut Lenghou Tiong, “Betapa lihai ilmu silat si nenek. Dari kebutan lengan baju Hong-sing Taysu tadi, jelas tenaga dalamnya jarang ada bandingannya di dunia persilatan pada zaman ini. Tapi dengan satu lawan empat toh si nenek masih berada di atas angin dan dapat menjatuhkan salah seorang pengeroyoknya.”

Bahkan menyusul lantas terdengar jeritan Kat-gwe pula, “blang”, tongkat yang bobotnya puluhan kati itu terlepas dari cekalan dan melayang lewat di atas kepala Lenghou Tiong terus jatuh ke tempat belasan meter jauhnya sebelah sana, “trang”, tongkat itu menghantam sepotong batu besar sehingga memercikkan lelatu api, batu pecah berhamburan, gagang tongkat itu pun bengkok.

Bayangan orang yang berseliweran itu kini sudah berkurang dua sosok, Ui Kok-pek dan Kat-gwe Hwesio sudah menggeletak di atas tanah, tinggal Hong-sing dan Sin Kok-liong saja yang masih bertempur dengan sengit.

“Siancay, Siancay! Begini keji kau, beruntun-runtun tiga orang Sutitku telah kau bunuh, terpaksa Lolap harus melayani kau sepenuh tenaga,” terdengar Hong-sing berkata. Menyusul terdengarlah “trang-trang-trang” beberapa kali, agaknya Hong-sing Taysu juga sudah menggunakan senjata.

Lenghou Tiong merasa sambaran angin yang kuat di belakangnya makin lama makin keras sehingga selangkah demi selangkah ia terdesak ke depan.

Sesudah menggunakan senjata, nyata padri sakti dari Siau-lim-pay memang bukan main hebatnya, seketika keadaan kalangan pertempuran berubah. Lenghou Tiong mulai mendengar suara napas si nenek yang memburu, agaknya tenaganya mulai payah.

“Buang senjatamu dan aku pun takkan membikin susah padamu,” demikian seru Hong-sing. “Kau boleh ikut aku ke Siau-lim-si untuk memberi lapor kepada Suheng ketua dan terserah kepada kebijaksanaannya.”

Namun si nenek tidak menjawab, ia menyerang beberapa kali dengan gencar kepada Sin Kok-liong sehingga murid Siau-lim-pay ini rada kelabakan dan terpaksa melompat mundur agar Hong-sing yang menyambut serangan musuh.

Sesudah tenang kembali, Sin Kok-liong mencaci maki, “Perempuan keparat, hari ini kalau kau tidak dicincang hingga hancur lebur takkan terlampias rasa dendamku!”

Segera ia putar pedang dan menerjang maju pula.

Tidak lama berselang, suara benturan senjata mulai mereda, tapi deru angin pukulan semakin keras. Berkatalah Hong-sing Taysu, “Tenaga dalammu bukan tandinganku, lebih baik kau membuang senjatamu dan ikut aku ke Siau-lim-si saja, kalau tidak, sebentar lagi kau pasti akan terluka dalam dengan parah.”

Terdengar si nenek hanya mendengus sekali saja, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri, Lenghou Tiong merasa lehernya terciprat beberapa titik air, waktu ia meraba dengan tangan, terlihat telapak tangannya berwarna merah. Kiranya titik-titik air yang menciprat ke lehernya itu adalah air darah.

“Siancay, Siancay! Kau sudah terluka sekarang, kau lebih-lebih tidak mampu melawan aku lagi!” kata Hong-sing pula.

“Perempuan keparat ini adalah iblis dari agama sesat, lekas Susiok membinasakan dia untuk membalaskan sakit hati kematian tiga orang sute, terhadap kaum iblis mana boleh pakai welas asih segala?” seru Sin Kok-liong.

Dalam pada itu suara napas si nenek terdengar semakin terengah-engah, langkahnya juga mulai sempoyongan seakan-akan setiap saat bisa roboh. Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Nenek suruh aku mengawalnya, tujuannya aku diminta melindungi dia. Kini beliau menghadapi bahaya, mana boleh aku tinggal diam saja? Meski Hong-sing Taysu adalah seorang padri agung yang saleh, orang she Sin itu pun laki-laki yang jujur, namun aku tidak dapat membiarkan nenek dibunuh oleh mereka.”

Karena pikiran itu, “sret”, segera ia melolos pedang dan berseru, “Hong-sing Taysu dan Sin-cianpwe, mohon kalian suka bermurah hati dan pulang ke Siau-lim-si saja. Kalau tidak, terpaksa Wanpwe akan berlaku kurang adat kepada kalian.”

Sin Kok-liong menjadi gusar, bentaknya, “Kawanan iblis, bunuh saja sekalian!” kontan pedangnya terus menusuk ke punggung Lenghou Tiong yang berdiri mungkur itu.

Lenghou Tiong tetap pegang janjinya dan tidak berani berpaling agar tidak sampai memandang muka si nenek, maka ia hanya berusaha menghindar ke samping.

Mendadak terdengar si nenek berseru, “Awas!”

Namun Sin Kok-liong adalah jago pilihan di antara angkatan kedua di dalam Siau-lim-si, mana bisa membiarkan Lenghou Tiong menghindar dengan begitu saja. Maka ketika Lenghou Tiong menghindar ke samping, tahu-tahu pedang Sin Kok-liong juga sudah menyusul tiba.

“Siancay!” seru Hong-sing. Disangkanya tusukan murid keponakannya itu pasti akan menembus punggung Lenghou Tiong hingga ke dada.

Tak terduga, tiba-tiba terdengar Sin Kok-liong sendiri yang menjerit, tubuhnya terus mencelat ke atas dan melayang lewat di samping kiri Lenghou Tiong serta terbanting di atas tanah, sesudah berkelejatan beberapa kali, lalu binasa. Entah cara bagaimana dia juga telah kena dibunuh secara kejam oleh si nenek.

Pada saat yang hampir bersamaan itu juga lantas terdengar suara “bluk” yang keras, tubuh si nenek ternyata sudah kena pukulan Hong-sing Taysu dan roboh terjungkal.

Kejut sekali Lenghou Tiong, cepat ia miringkan tubuh dan pedangnya segera menusuk ke arah Hong-sing. Karena serangan Lenghou Tiong yang tepat pada waktunya serta jitu arahnya, Hong-sing terpaksa harus melompat mundur.

Menyusul Lenghou Tiong menusuk pula. Cepat Hong-sing menangkis dengan senjatanya. Kini Lenghou Tiong sudah berhadapan muka dengan Hong-sing Taysu, dapat dilihatnya bahwa senjata yang dipakai padri sakti Siau-lim-si itu kiranya adalah sepotong pentungan kayu yang panjangnya cuma setengahan meter saja.

Keruan Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, “Sungguh tidak nyana bahwa senjatanya adalah sepotong kayu sependek ini. Tenaga dalam hwesio Siau-lim-si ini terlalu kuat, jika aku tidak dapat mengalahkan dia dengan ilmu pedangku, tentu si nenek sukar diselamatkan.”

Tanpa ayal lagi pedangnya lantas menusuk ke atas dan menusuk ke bawah, menyusul menusuk lagi dua kali ke atas, ilmu pedang yang dilontarkan adalah ciptaan mendiang Tokko Kiu-pay yang diajarkan Hong Jing-yang itu.

Setelah Lenghou Tiong memainkan ilmu pedangnya ini, seketika air muka Hong-sing Taysu berubah hebat. Serunya, “Kau ... kau ... kau ....”

Namun sedikit pun Lenghou Tiong tidak merandek. Ia sadar tenaga dalamnya sendiri sudah punah, asal pihak lawan diberi kelonggaran sedikit tentu akan segera melancarkan serangan balasan dan tenaga dalam yang kuat, jika demikian jadinya, maka dirinya pasti akan binasa seketika dan si nenek juga pasti akan celaka. Lantaran pikiran demikian, maka beratus-ratus macam gerakan pedang “Tokko-kiu-kiam” yang ajaib itu secara berantai terus dimainkan sekaligus tanpa berhenti.

Dahulu Tokko Kiu-pay pernah malang melintang di dunia Kangouw tiada ketemukan tandingan, senantiasa ia mengharapkan ada orang yang mampu mengalahkan dia dan selama itu harapannya itu belum pernah terkabul, maka betapa tinggi ilmu pedangnya itu dapatlah dibayangkan. Coba kalau tidak secara kebetulan Lenghou Tiong sudah kehilangan tenaga dalam, pula banyak di antara inti-inti keajaiban ilmu pedang itu memang belum dipahami dengan masak, kalau tidak, biarpun kepandaian Hong-sing Taysu berlipat ganda, lebih tinggi juga tidak mampu bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus.

Begitulah Hong-sing terus terdesak mundur, sebaliknya Lenghou Tiong merasa darah terus bergolak di rongga dadanya, lengan terasa lemas linu, jurus pedang yang dilancarkan makin lama semakin lemah.

“Lepas pedang!” mendadak Hong-sing membentak, telapak tangan kiri terus menyodok ke dada Lenghou Tiong, sedang pentungan pendek di tangan kanan berbareng menghantam lengan pemuda itu.

Memangnya lengan Lenghou Tiong sudah lemas, waktu pedangnya menusuk ke depan pula, belum mencapai sasarannya, baru di tengah jalan lengannya sudah mendelung ke bawah. Bagi orang lain, serangannya ini pasti memberi lubang bagi musuh dan berarti menyerahkan nyawa kepada lawan. Tapi ilmu pedang yang dimainkannya memangnya tiada gerakan tertentu, tiada perbedaan antara benar dan keliru, yang dia lancarkan adalah serangan menurut keinginan setiap saat. Maka biarpun pedangnya sudah mendelung ke bawah toh tusukannya masih tetap diteruskan, namun demikian jalannya serangan ini menjadi rada merandek.

Sudah tentu Hong-sing tidak sia-siakan kesempatan bagus itu, telapak tangan kiri bergerak dan sekejap saja sudah menjamah di atas dada Lenghou Tiong. Namun dasarnya memang welas asih, tenaga serangannya itu tidak terus dikerahkan, sebaliknya ia bertanya lebih dulu, “Kau murid siapa ....” pada saat itu juga ujung pedang Lenghou Tiong juga sudah menusuk masuk ke dalam dadanya.

Terhadap padri sakti dari Siau-lim-si ini Lenghou Tiong benar-benar sangat kagum, ketika merasa ujung pedangnya menyentuh kulit daging pihak lawan, lekas-lekas ia berusaha menariknya kembali sekuatnya. Saking nafsunya menarik senjatanya itu, tubuhnya sendiri menjadi terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk, darah segar lantas mengalir keluar dari mulutnya.

Sambil mendekap luka di dadanya, Hong-sing berkata dengan tersenyum, “Ilmu pedang yang bagus! Kalau pedang Siauhiap tidak mengenal kasihan, tentu jiwa Lolap sudah melayang.”

Ia hanya memuji lawan, sebaliknya terhadap pukulannya sendiri yang tidak diteruskan tadi sama sekali tak disinggung. Habis berkata ia lantas terbatuk-batuk.

Kiranya pedang Lenghou Tiong yang ditarik kembali sekuatnya tadi tidak urung sudah menusuk masuk ke dada Hong-sing hingga beberapa senti dalamnya, jadi lukanya sesungguhnya tidaklah ringan.

Dengan penuh menyesal Lenghou Tiong berkata, “Ma ... maafkan Wanpwe telah berlaku kasar terhadap ... terhadap Cianpwe.”

“Sungguh tidak nyana bahwa ilmu pedang sakti Hong Jing-yang Locianpwe dari Hoa-san ternyata ada ahli warisnya sekarang,” kata Hong-sing dengan tersenyum. “Lolap dahulu pernah menerima budi dari Hong-locianpwe, urusan hari ini Lolap menjadi tidak berani mengambil keputusan sendiri.”

Perlahan-lahan ia mengeluarkan suatu bungkusan kertas, di dalamnya berisi dua butir obat pil sebesar biji buah lengkeng.
Lalu katanya pula, “Ini adalah obat luka mujarab dari Siau-lim-si. Boleh kau minum satu butir ini.”

Dan setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ditambahkannya, “Dan yang satu butir lagi boleh diminumkan kepada wanita itu.”

“Lukaku sudah terang sukar disembuhkan, buat apa minum obat lagi?” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. “Obat yang satu biji itu silakan Taysu meminumnya sendiri saja.”

Hong-sing menggeleng-geleng, katanya, “Tidak usah!”

Lalu ia meletakkan kedua biji obat itu di depan Lenghou Tiong. Dipandangnya mayat-mayat Kat-gwe, Sin Kok-liong dan lain-lain dengan wajah sedih.
Segera ia mengangkat tangannya di depan dada dan mulai membaca doa. Lambat laun air mukanya berubah tenang kembali, sampai akhirnya wajahnya seakan-akan terselubung oleh selapis sinar suci.

Selesai berdoa, kemudian Hong-sing berkata pula kepada Lenghou Tiong, “Siauhiap, ahli waris dari ilmu pedang Hong-locianpwe sekali-kali bukanlah aliran dari kaum iblis. Kau berjiwa kesatria dan berbudi luhur, layaknya kau tidak seharusnya mati begini saja. Cuma luka yang kau derita memang aneh luar biasa dan sukar disembuhkan dengan obat biasa, kau harus belajar lwekang yang paling tinggi baru dapat menyelamatkan jiwamu. Menurut pendapatku, sebaiknya kau ikut aku ke Siau-lim-si, Lolap akan lapor kepada Ciangbun Hongtiang dan mohon beliau mengajar inti lwekang paling tinggi dari Siau-lim-si kepadamu, dengan demikian luka dalam yang kau derita itu akan dapat disembuhkan.”

Sesudah terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian Hong-sing melanjutkan, “Untuk bisa belajar intisari lwekang Siau-lim-si ini perlu juga diutamakan ‘jodoh’. Seperti Lolap sendiri adalah tidak punya jodoh untuk belajar lwekang itu. Ciangbun Hongtiang biasanya sangat bijaksana, boleh jadi beliau ada jodoh dengan Siauhiap dan suka mengajarkan inti lwekang itu kepadamu.”

“Banyak terima kasih atas maksud baik Taysu,” sahut Lenghou Tiong, “biarlah nanti sesudah Wanpwe mengantar nenek ke suatu tempat yang aman, bilamana Wanpwe beruntung belum mati, tentu Wanpwe akan datang ke Siau-lim-si untuk menyampaikan sembah kepada Ciangbun Hongtiang dan Taysu.”

“Kau ... kau memanggilnya ‘nenek’?” Hong-sing menegas. “Siauhiap, kau adalah anak dari golongan Beng-bun-cing-pay, jangan kau bergaul dengan kaum Sia-pay. Lolap memberi nasihat dengan tujuan baik, harap Siauhiap suka camkan dengan baik-baik.”

“Seorang laki-laki sejati sekali sudah berjanji mana boleh kehilangan kepercayaan orang?” ujar Lenghou Tiong.

Hong-sing menghela napas, katanya pula, “Baiklah! Lolap akan menunggu kedatangan Siauhiap di Siau-lim-si.”

Lalu ia pandang keempat jenazah Kat-gwe dan lain-lain serta mengucapkan beberapa kalimat sabda Buddha, habis itu baru melangkah pergi.

Sesudah Hong-sing melangkah pergi beberapa tindak, si nenek lantas berkata, “Lenghou Tiong, boleh kau ikut pergi bersama hwesio tua itu. Dia bilang lukamu akan dapat disembuhkan, inti lwekang dari Siau-lim-si tiada bandingannya di dunia ini kenapa kau tidak ikut pergi saja?”

“Aku sudah berjanji akan mengawal nenek, sudah seharusnya akan mengawal sampai tempat tujuan,” sahut Lenghou Tiong.

“Kau sendiri menderita penyakit, masih bicara tentang mengawal segala?” ujar si nenek.

“Tapi engkau sendiri juga terluka, biarlah kita tinggal bersama saja,” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Aku adalah kaum Sia-pay dan kau adalah murid Beng-bun-cing-pay, lebih baik kau jangan bergaul dengan aku agar tidak merusak nama baik golongan Cing-paymu,” kata si nenek.

“Memangnya aku tidak punya nama baik apa-apa, peduli apa dengan orang lain?” jawab Lenghou Tiong. “Kau sangat baik kepadaku, nenek, Lenghou Tiong sekali-kali bukan manusia yang tidak kenal kebaikan. Saat ini engkau dalam keadaan terluka parah, jika aku tinggal pergi begini saja apakah aku masih dapat dianggap sebagai manusia?”

“Dan kalau saat ini aku tidak terluka parah tentu kau akan tinggal pergi bukan?” tanya si nenek.

Lenghou Tiong melengak. Katanya dengan tertawa, “Jika nenek tidak pikirkan kebodohanku dan ingin ditemani oleh diriku, maka boleh saja aku selalu berada di sampingmu untuk mengobrol. Cuma watakku memang kasar dan suka berbuat menurut keinginanku, jangan-jangan hanya beberapa hari saja nenek sudah merasa bosan dan tidak suka bicara lagi dengan aku.”

Si nenek hanya mendengus saja sekali. Segera Lenghou Tiong mengangsurkan tangannya ke belakang, ia menyodorkan obat pemberian Hong-sing Taysu tadi, katanya, “Padri agung Siau-lim-si itu memang sangat hebat, nenek sudah membunuh empat orang muridnya, tapi dia malah memberikan obat mujarab ini kepadamu dan dia sendiri sebaliknya tidak minum obat.”

“Huh, orang-orang ini selalu mengagulkan diri sebagai Beng-bun-cing-pay segala dan pura-pura menjadi orang baik hati, aku justru tidak pandang sebelah mata kepada mereka,” jengek si nenek.
“Nenek, silakan kau minum saja obat ini,” pinta Lenghou Tiong. “Sesudah kuminum satu biji obat ini, badanku memang terasa jauh lebih segar.”

Si nenek hanya menjengek sekali saja dan masih tidak mau terima obat itu.

“Nenek ....”

Belum lanjut ucapan Lenghou Tiong, mendadak si nenek menyela, “Sekarang hanya terdapat kita berdua, mengapa masih terus memanggil “nenek-nenek” tidak habis-habis, maukah kau mengurangi panggilanmu itu?”

“Baiklah, tentu saja dapat kukurangi,” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. “Silakan kau minum obat ini.”

“Jika kau bilang obat mujarab Siau-lim-pay ini sangat bagus dan anggap obat yang kuberikan kepadamu itu kurang baik, kenapa kau tidak makan sekalian obat pemberian hwesio tua itu?” ujar si nenek.

“Ai, bilakah aku anggap obatmu kurang baik? Janganlah kau mencemoohkan diriku!” sahut Lenghou Tiong. “Lagi pula obat Siau-lim-si yang baik ini justru hendak diminumkan padamu agar tenagamu lekas pulih supaya dapat melanjutkan perjalanan.”

“O, jadi kau merasa sebal menemani aku di sini, ya?” tanya si nenek. “Jika, demikian bolehlah lekas kau pergi saja, aku toh tidak paksa kau tinggal di sini.”

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Mengapa si nenek mendadak muring-muring padaku? Ah, barangkali karena lukanya tidak ringan, badanku sakit, dengan sendirinya sifatnya menjadi ketus dan suka naik pitam.”

Maka dengan tertawa ia menjawab, “Saat ini setindak pun aku tidak sanggup berjalan, sekalipun mau pergi juga tidak dapat. Apalagi ... apalagi .... Hahaha ....”

“Ada apa lagi? Kenapa hahaha segala? Apa yang kau tertawakan?” damprat si nenek dengan gusar-gusar kaget.

“Hahaha ialah tertawa, apalagi ... seumpama aku dapat berjalan juga aku tidak ingin pergi, kecuali kalau kau pergi bersama aku,” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.

Sebenarnya tutur katanya terhadap si nenek sangat sopan dan hormat, tapi lantaran si nenek muring-muring sesukanya, maka Lenghou Tiong menjadi ikut ugal-ugalan juga bicaranya.
Tak terduga si nenek malah tidak marah, mendadak menjublek diam saja entah apa yang sedang direnungkan.

Maka berkatalah Lenghou Tiong, “Nenek ....”

“Nenek lagi?” potong si nenek. “Apa barangkali selama hidupmu ini tidak pernah memanggil ‘nenek’ kepada orang, makanya tidak bosan-bosannya kau memanggil saja?”

“Ya, sudah, selanjutnya aku takkan memanggil nenek pula padamu,” ujar Lenghou Tiong tertawa. “Tapi lantas memanggil apa kepadamu?”

Si nenek diam saja. Selang sejenak baru berkata, “Di sini hanya terdapat kita berdua saja, kenapa mesti pakai panggilan segala? Asal kau membuka mulut tentunya aku yang kau ajak bicara, masakan ada orang ketiga lagi yang berada di sini?”

“Tetapi terkadang aku suka menggumam bicara sendiri dan janganlah kau salah paham lho,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Huh, bicara saja angin-anginan, pantas saja Siausumoaymu tidak suka padamu lagi,” jengek si nenek.

Ucapan ini benar-benar mengenai lubuk hati Lenghou Tiong yang terluka itu. Perasaannya menjadi pilu. Pikirnya, “Siausumoay tidak suka padaku, tapi lebih suka kepada Lim-sute, jangan-jangan memang betul disebabkan bicara dan tingkah lakuku yang suka angin-anginan. Ya, Lim-sute memang lebih sopan dan tahu aturan, dia benar-benar memper seorang laki-laki baik dan lemah lembut serupa dengan Suhu, jangankan Siausumoay, jika aku menjadi wanita juga aku akan suka padanya dan tidak sudi kepada pemuda bambungan semacam Lenghou Tiong ini. Wahai Lenghou Tiong, selamanya kau suka mabuk-mabukan dan gila-gilaan, tidak patuh kepada ajaran perguruan, benar-benar pemuda yang sukar ditolong lagi. Aku pernah bergaul dengan maling cabul Dian Pek-kong, pernah tidur pula di rumah pelacuran di kota Lokyang, semuanya ini tentu membikin Siausumoay merasa tidak senang.”

Melihat Lenghou Tiong termenung, si nenek lantas berkata, pula, “Bagaimana? Ucapanku tadi melukai perasaanmu ya? Kau menjadi marah bukan?”

“Tidak, aku tidak marah. Ucapanmu memang tepat, bicaraku memang suka angin-anginan, tingkah lakuku juga gila-gilaan, pantas saja Siausumoay tidak senang padaku, Suhu dan Sunio juga tidak suka padaku.”

“Kau tidak perlu sedih. Biarpun Suhu, Sunio dan Siausumoaymu tidak suka kepadamu, masakah di dunia ini ... di dunia ini tiada orang lain lagi yang suka padamu?”

Sungguh hati Lenghou Tiong sangat terharu dan berterima kasih, saking terharunya sampai tenggorokannya seakan-akan tersumbat, katanya dengan terputus-putus, “Nenek sungguh-sungguh sangat baik kepadaku, sekalipun di dunia ini tiada orang lain lagi yang suka kepadaku juga ... juga tidak menjadi soal.”

“Kau hanya punya sebuah mulut yang manis, bicaramu saja yang membikin senang orang, pantas saja tokoh semacam Na Hong-hong dari Ngo-tok-kau itu sampai tergila-gila kepadamu,” kata si nenek. “Sudahlah, sekarang kau tak dapat berjalan dan aku pun tidak dapat berkutik, hari ini terpaksa kita harus bermalam di bawah tebing sana, entah hari ini kita akan mati atau tidak?”

“Hari ini entah mati atau tidak dan entah besok akan mati atau tidak, atau mungkin lusa baru akan mati,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Sudahlah, jangan bicara yang tak keruan,” kata si nenek. “Boleh kau merangkak ke sana dengan perlahan-lahan, biar aku menyusul dari belakang.”

“Jika kau tidak minum obat pemberian hwesio tua itu, mungkin satu langkah saja aku tidak sanggup merangkak,” kata Lenghou Tiong.

“Kembali kau bicara tak keruan lagi. Aku tidak minum obatnya, mengapa kau yang tidak sanggup merangkak.”

“Aku tidak bicara tak keruan. Sebab kalau kau tidak mau minum obat, tentu lukamu sukar disembuhkan, tentu pula kau tidak punya semangat untuk memetik kecapi. Dan karena rasa cemasku, dari mana aku mempunyai tenaga untuk merangkak ke sana? Mungkin tenaga untuk merebah di sini saja tidak kuat lagi.”

Si nenek mengikik tawa, “Merebah di sini saja tidak punya tenaga?”

“Ya. Bukankah di sini adalah tanah yang miring, jika aku tidak bertenaga, seketika juga aku akan menggelinding ke bawah dan terjerumus ke dalam sungai pegunungan di bawah itu. Coba bayangkan, andaikan aku tidak mati terbanting bukankah akan mati kelelap juga?”

Si nenek menghela napas, katanya, “Kau terluka parah, jiwamu setiap saat bisa melayang, tapi kau masih sempat berkelakar segala. Sungguh jarang diketemukan orang malas semacam kau ini.”

Perlahan-lahan Lenghou Tiong melemparkan pil pemberian Hong-sing itu ke belakang, katanya, “Silakan lekas minum obat ini.”

“Hm, setiap orang yang menganggap dirinya dari golongan Beng-bun-cing-pay tentu bukanlah manusia baik-baik,” omel si nenek.
“Jika aku makan obat Siau-lim-si ini kan cuma membikin kotor mulutku saja.”

Sekonyong-konyong Lenghou Tiong menjerit, tubuhnya sekuatnya mendoyong ke samping dan terus menggelinding ke bawah mengikut tanah tebing yang miring itu.

Keruan si nenek terkejut, serunya khawatir, “He, hati-hati!”

Akan tetapi Lenghou Tiong masih terus menggelinding ke bawah.
Tanah miring itu tidak terlalu terjal, tapi rada panjang jaraknya. Sesudah menggelinding sekian lamanya barulah Lenghou Tiong mencapai tepi sungai kecil di bawahnya. Waktu tangan dan kakinya menahan sekuatnya segera terhenti daya gelindingnya.

“He, he, ba ... bagaimana kau?” tanya si nenek.

Muka dan tangan Lenghou Tiong terlecet kena batu kerikil yang tajam di sepanjang tanjakan itu. Dengan menahan rasa sakit ia diam saja tak memberi jawaban.

“Baiklah, aku akan minum obat busuk si hwesio tua ini, lekas kau ... kau naik kemari,” seru si nenek.

“Ucapan yang sudah dikeluarkan harus dipatuhi,” kata Lenghou Tiong.

Tapi karena jarak kedua orang sekarang sudah rada jauh, sedangkan keadaan Lenghou Tiong sudah lemas, suaranya tak bisa mencapai jauh.

Sayup-sayup si nenek hanya mendengar suara ucapannya, tapi tidak tahu apa yang dikatakan, maka ia tanya pula, “Kau bilang apa?”

“Aku ... aku ....” napas Lenghou Tiong terengah-engah dan tidak sanggup melanjutkan.

“Lekas naik kemari, aku berjanji padamu akan minum obatnya,” kata si nenek.

Lenghou Tiong berbangkit dengan terhuyung-huyung, ia bermaksud merangkak ke atas, tapi menggelinding ke bawah adalah sangat mudah, sekarang hendak merangkak ke atas boleh dikata sesukar hendak memanjat ke langit. Hanya dua langkah saja ia merangkak kakinya sudah terasa lemas dan terbanting jatuh, bahkan terus menggelinding masuk ke tepi sungai kecil itu.

Dari atas si nenek dapat melihat jatuhnya Lenghou Tiong itu dengan jelas, ia menjadi khawatir, tanpa pikir ia terus ikut menjatuhkan diri dan membiarkannya menggelinding juga ke bawah sehingga sampai di samping Lenghou Tiong. Cepat sebelah tangannya memegangi pergelangan kaki kiri Lenghou Tiong agar tidak terperosot lebih jauh ke dalam sungai kecil itu.

Sesudah bernapas terengah-engah beberapa kali, tangan si nenek yang lain dijulurkan untuk mencengkeram punggung Lenghou Tiong dan sekuatnya diangkatnya ke atas.

Keadaan Lenghou Tiong sudah basah kuyup dan telah minum beberapa ceguk air, matanya sudah berkunang-kunang. Setelah tenangkan diri, tiba-tiba dilihatnya di dalam air sungai yang jernih itu terbayang dua sosok bayangan orang, nyata seorang nona jelita sedang mencengkeram punggungnya.

Lenghou Tiong melengak. Mendadak terdengar suara si nona yang telah muntah darah. Darah segar yang masih hangat-hangat itu menyiram di atas kuduknya, berbareng itu si nona terus mendekam di atas punggungnya dalam keadaan lemas lunglai seperti lumpuh.

Sudah tentu Lenghou Tiong dapat merasakan dada si nona yang halus dan lunak yang menempel di atas tubuhnya itu, terasa pula rambut si nona yang panjang itu mengusap-usap mukanya, keruan pikirannya menjadi kabur dan melayang-layang jauh.

Bab 58. Si Nona adalah Putri Suci, Tokoh Ketiga dari Hek-bok-keh

Waktu ia pandang pula bayangan di muka air, terlihat sebagian wajah si nona dengan mata tertutup, bulu matanya sangat panjang. Walaupun tidak jelas bayangan di muka air itu, namun dapatlah dipastikan wajah si nona pasti sangat cantik molek, umurnya paling banyak baru 17-18 tahun saja. Keruan Lenghou Tiong terheran-heran, “Siapakah nona ini? Mengapa mendadak datang seorang nona secantik ini untuk menolong diriku?”

Dari bayangan yang dilihatnya di muka air serta sentuhan punggung dengan badan si nona dapat diketahui bahwa si nona dalam keadaan pingsan. Lenghou Tiong bermaksud memutar tubuh untuk memayang si nona, tapi sekujur badan sendiri terasa lemas lunglai sampai satu jari pun susah bergerak. Tapi rasanya seperti di alam mimpi pula, apalagi wajah yang cantik molek yang terbayang di muka air itu benar-benar dirinya terasa seperti berada di surgaloka.

Selang agak lama, terdengar si nona yang mendekap di atas punggung bersuara perlahan dan lambat-lambat membuka matanya. Kemudian terdengar ucapannya, “Kau sengaja menakut-nakuti aku atau benar-benar tidak ingin hidup lagi?”

Mendengar suaranya itu, kejut Lenghou Tiong tak terkatakan. Suara si nona ternyata tiada bedanya dengan suara “si nenek”. Saking kejutnya sampai tubuhnya rada menggigil, serunya terputus-putus, “Kau ... kau ....”

“Kau apa? Aku justru tidak mau makan obat busuk pemberian hwesio tua itu, boleh kau cari mati lagi, coba!” kata si nona.

“Hah, nenek, kiranya kau adalah ... adalah seorang nona cilik yang sangat cantik,” ujar Lenghou Tiong.

“Da ... dari mana kau tahu?” seru nona itu terperanjat. “Bocah yang tidak bisa pegang janji, jadi diam-diam kau telah ... telah mengintip mukaku?”

Tapi waktu ia menunduk dan melihat bayangannya sendiri tercermin sangat jelas di permukaan air sungai, ternyata dirinya sedang menggelendot di punggung Lenghou Tiong, seketika ia menjadi malu, sekuatnya ia meronta bangun, namun kakinya terasa lemas dan kembali jatuh terkulai pula. Lekas-lekas Lenghou Tiong menjulurkan kedua tangannya untuk memegangnya dan tepat si nona jatuh ke dalam pangkuannya.

Tatkala itu kedua orang sama-sama tiada punya tenaga lagi, sesudah berkutatan sekian lamanya, mereka hendak jatuh pingsan pula, terpaksa mereka berbaring di tepi kali itu dan tidak bergerak lagi.

Di dalam hati Lenghou Tiong merasa sangat heran. Tanyanya kemudian, “Mengapa kau pura-pura menjadi seorang nenek untuk menipu aku? Kau pura-pura sebagai orang tua, sehingga membikin aku ... membikin aku sampai ....”

“Membikin kau sampai bagaimana?” si nona menegas.

Kini pandangan Lenghou Tiong jaraknya hanya belasan senti jauhnya dari muka si nona. Dilihatnya kulit pipinya putih bersih bersemu kemerah-merahan, sejenak kemudian baru, ia melanjutkan, “Membikin aku berulang-ulang memanggil nenek padamu. Huh, tidak malu, padahal kau menjadi adik perempuanku saja masih lebih kecil, tapi kau justru ingin menjadi nenek orang. Kalau ingin menjadi nenek kan mesti tunggu delapan puluh tahun lagi.”

Si nona mengikik geli, jawabnya, “Bilakah aku mengatakan diriku adalah seorang nenek? Adalah kau sendiri yang memanggil demikian padaku. Kau yang terus-menerus memanggil nenek, bukankah tadi aku pun marah dan suruh kau jangan memanggil lagi. Kau yang sengaja panggil demikian padaku bukan?”

Diam-diam Lenghou Tiong merasa ucapan si nona memang juga benar. Tapi dirinya telah tertipu sampai sekian lamanya dan dianggap sebagai orang tolol, betapa pun rasanya masih penasaran. Maka katanya, pula, “Kau melarang aku memandang wajahmu, bukankah kau sengaja hendak mengakali aku? Jika aku berhadapan muka dengan kau masakah aku akan memanggil nenek padamu? Ketika di kota Lokyang kau pun sudah menipu diriku, kau telah sekongkol dengan si tua Lik-tiok-ong itu dan suruh dia memanggil kau sebagai bibi. Jika kakek seumur dia saja masih pernah keponakanmu, lantas apa panggilan kepadamu kalau bukan panggil nenek?”

“Kakek-guru Lik-tiok-ong itu adalah kakak ayahku, lalu kalau diurutkan Lik-tiok-ong mesti panggil apa kepadaku?” tanya si nona dengan tertawa.

Lenghou Tiong melengak, jawabnya kemudian dengan ragu-ragu, “Jika begitu kau memang pernah bibinya Lik-tiok-ong?”

“Bocah Lik-tiok-ong itu toh bukan sesuatu tokoh yang luar biasa, kenapa aku mesti memalsukan diri sebagai bibinya?” ujar si nona dengan tertawa.

“Ya, aku benar-benar bodoh, padahal aku sudah harus tahu sejak dulu-dulu,” sahut Lenghou Tiong sembari menghela napas.

“Apa yang harus kau ketahui sejak dulu-dulu?” si nona menegas dengan tertawa.

“Habis suaramu sedemikian enak didengar, di dunia ini masakah ada nenek-nenek reyot yang bersuara sedemikian nyaring dan merdu?”

“Aku punya suara sudah kasap lagi serak mirip suara burung gagak, pantas saja kau menyangka aku sebagai nenek-nenek reyot,” si nona tertawa.

“Suaramu seperti suara burung gagak, katamu? Ai, jika begitu rupanya zamannya sudah berubah, burung gagak pada zaman ini kiranya suaranya jauh lebih merdu daripada suara burung kenari.”

Mendengar dirinya dipuji, muka si nona menjadi merah, tapi hatinya amat senang. Katanya dengan tertawa, “Baiklah, Engkong Lenghou Tiong, Kakek Lenghou Tiong, sudah sekian lamanya kau memanggil nenek padaku, biar sekarang aku pun membayar panggilan kakek padamu. Dengan demikian kau tidak merasa dirugikan dan bolehlah tidak marah lagi?”

“Kau adalah nenek dan aku adalah kakek, kita adalah si kakek dan si nenek, bukankah ....” dasar sifat Lenghou Tiong memang suka ugal-ugalan, mulutnya bicara tanpa aling-aling, mestinya ia hendak berkata “bukankah kita adalah satu pasangan”, tapi mendadak dilihatnya alis si nona menegak dan air mukanya berubah merah, maka cepat-cepat ia telan kembali kata-katanya itu.

“Kau hendak sembarangan mengoceh apa?” omel si nona marah.

“O, aku maksudkan bila kita adalah kakek dan nenek, bukankah ... bukankah kita telah menjadi tokoh kosen angkatan tua di kalangan Bu-lim?” demikian Lenghou Tiong ganti haluan.

Sudah tentu si nona tahu Lenghou Tiong sengaja mengubah ucapannya tadi, maka ia pun tidak mengungkatnya lebih lanjut agar tidak telanjur keluar kata-kata yang membikin kikuk. Sambil menggelendot di pangkuan Lenghou Tiong dan dapat mengendus bau kelaki-lakian yang keras dari tubuhnya, seketika pikirannya menjadi kacau. Ia bermaksud meronta bangun, tapi betapa pun sukar mengumpulkan tenaga. Akhirnya dengan wajah merah ia berkata, “Eh, coba kau dorong aku!”
“Dorong kau? Buat apa?” tanya Lenghou Tiong.

“Kita ... kita begini, apa ... apa macam ini?” kata si nona malu-malu.

“Kakek dan nenek memangnya harus begini,” ujar Lenghou Tiong tertawa.

“Hm, kau sembarangan mengoceh, coba nanti kalau aku tidak membunuh kau,” semprot si nona.

Terkesiap juga hati Lenghou Tiong. Teringat olehnya peristiwa dia memerintahkan berpuluh orang laki-laki agar mencukil biji matanya sendiri hingga buta, lalu disuruh enyah ke pulau terpencil di lautan timur. Maka ia tidak berani bergurau lagi dengan si nona. Pikirnya, “Usianya masih begini muda, tapi sekali bergebrak saja sudah membunuh empat orang murid Siau-lim-pay, ilmu silatnya terang sangat tinggi, tindak tanduknya begini ganas pula, sungguh orang sukar memercayai bahwa semua itu diperbuat oleh seorang nona secantik ini.”

Melihat Lenghou Tiong diam saja, segera si nona bicara pula, “Kau marah lagi ya? Seorang laki-laki sejati mengapa begini sempit jalan pikiranmu?”

“Aku tidak marah, tapi aku merasa takut kalau-kalau akan dibunuh olehmu,” sahut Lenghou Tiong.

“Asal selanjutnya kau bicara menurut aturan, siapa yang akan membunuh kau?”
“Ya, dasar sifatku memang suka ugal-ugalan begini, ini namanya apa mau dikata? Tampaknya sudah suratan nasib bahwa aku pasti akan kau bunuh.”

“Tadinya kau panggil nenek padaku dan sangat patuh serta hormat padaku, maka selanjutnya kau pun bersikap hormat dan patuh seperti itu saja,” ujar si nona dengan tertawa.

“Tidak bisa!” sahut Lenghou Tiong. “Aku sudah tahu engkau adalah seorang nona cilik, maka aku tak bisa menganggap kau sebagai nenek lagi.”

“Kau ... kau ....” baru sekian ucapannya, mendadak wajah si nona menjadi merah. Entah tiba-tiba teringat sesuatu apa sehingga dia tidak melanjutkan pula kata-katanya.

Waktu menunduk dan melihat wajah ayu yang kemalu-maluan dan menggiurkan itu, seketika perasaan Lenghou Tiong terguncang. “Ngok”, tanpa merasa ia mencium sekali di pipi yang bersemu merah itu.

Keruan si nona terperanjat. Sekonyong-konyong timbul suatu arus tenaga, tangannya membalik, “plok”, ia gampar muka Lenghou Tiong dengan cukup keras, menyusul ia terus melompat bangun.

Akan tetapi loncatannya itu terbatas sekali tenaganya, selagi tubuhnya terapung di atas tenaganya sudah habis dan segera terbanting jatuh pula ke dalam pangkuan Lenghou Tiong dengan lemas dan tidak sanggup bergerak lagi.

Ia takut kalau-kalau Lenghou Tiong berbuat bangor lagi, maka hatinya sangat cemas, katanya terputus-putus, “Jika ... jika kau berani berbuat kurang ajar lagi, segera ... segera aku akan menyembelih kau.”

“Kau akan menyembelih aku atau tidak bukan soal bagiku, toh jiwaku sudah tidak lama lagi akan tamat. Aku justru akan berbuat kurang ajar pula.”

Keruan si nona tambah khawatir, katanya, “Aku ... aku ....” namun apa yang dapat diperbuatnya?

Lenghou Tiong mengerahkan tenaga sebisanya dan perlahan-lahan mengangkat bahu si nona, tapi segera ia miringkan tubuhnya sendiri terus menggelinding ke pinggir. Katanya dengan tertawa, “Kau ... kau akan apa?”

Habis ucapannya ini berulang-ulang ia terbatuk-batuk, bahkan darah segar pun terbatuk keluar.

Hendaklah maklum bahwa sifat Lenghou Tiong sebenarnya cuma suka ugal-ugalan dan sembrono, tapi sesungguhnya bukanlah bajul buntung, bukan pemuda yang suka merusak kaum wanita. Tadi hanya berguncang seketika perasaannya sehingga pipi si nona dikecupnya satu kali, namun segera ia merasa menyesal juga, sesudah digampar satu kali ia lebih-lebih menyesalkan perbuatannya sendiri itu. Walaupun mulutnya masih tetap keras, tapi ia tidak berani lagi berpeluk-pelukan dengan si nona.

Menyingkirnya Lenghou Tiong dengan sukarela itu sebaliknya di luar dugaan si nona. Bahkan diam-diam si nona merasa menyesal ketika melihat Lenghou Tiong menumpahkan darah. Cuma dia merasa malu untuk mengucapkan beberapa patah kata permintaan maaf, maka dengan suara halus ia hanya berkata, “Apakah ... apakah dadamu sakit sekali?”

“Dada sih tidak sakit, tapi tempat lainlah yang terasa sakit,” sahut Lenghou Tiong.

“Tempat mana yang sakit?” tanya si nona. Betapa rasa perhatiannya tampak sekali dari air mukanya.

“Tempat ini!” jawab Lenghou Tiong sambil meraba-raba pipinya yang kena digampar tadi.
Si nona tersenyum. “Kau ingin aku minta maaf padamu bukan? Bolehkah sekarang juga aku ... aku minta maaf padamu.”

“Aku sendirilah yang salah, harap nenek jangan marah!”
Mendengar dirinya dipanggil lagi sebagai nenek, tanpa merasa si nona mengikik geli.

“Bagaimana dengan obat busuk pemberian si hwesio tua? Kau masih belum meminumnya bukan?” tanya Lenghou Tiong.

“Tidak sempat dijemput lagi,” sahut si nona sambil menuding ke atas tebing sana. “Masih ketinggalan.”

Dan sesudah berhenti sejenak, lalu sambungnya pula, “Aku akan menurut padamu. Sebentar akan kunaik ke atas untuk menjemputnya kembali dan akan kuminum tanpa peduli apakah obat busuk atau bukan?”

Begitulah kedua orang duduk bersama di tanah tanjakan yang miring itu. Jika dalam keadaan biasa, cukup sekali loncat saja mereka sudah dapat melayang ke atas. Tapi sekarang tebing itu dirasakan seperti puncak terjal yang beribu-ribu meter tingginya dan sukar dicapai.

Kedua orang sama-sama memandang sekejap ke atas tebing, lalu menunduk kembali untuk kemudian saling pandang dan sama-sama menghela napas.

“Aku akan duduk tenang sebentar, jangan kau mengganggu aku,” kata si nona.

Lenghou Tiong mengiakan. Dilihatnya si nona lantas duduk bersandar di tanah yang miring itu sambil pejamkan kedua mata, tiga jarinya, yaitu jempol, jari-jari telunjuk dan tengah menahan di atas tanah dengan gaya yang aneh.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Umumnya orang bersemadi dengan duduk bersila, tapi cara duduknya ini benar-benar lain daripada yang lain.”

Mestinya Lenghou Tiong juga ingin mengaso sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Tapi perasaannya ternyata bergolak terus, betapa pun sukar dibikin tenang.

Tiba-tiba terdengar suara “kok-kok-kok”, seekor swike (kodok hijau) mendadak melompat keluar dari dalam sungai. Keruan Lenghou Tiong sangat girang. Sesudah menderita sekian lamanya, memangnya ia sudah kelaparan, makanan yang disodorkan kepadanya ini benar-benar sangat kebetulan baginya. Tanpa pikir lagi tangannya terus mencengkeram kodok kesasar itu.

Tak terduga tangannya masih sangat lemas, cengkeramannya itu ternyata menubruk tempat kosong. “Kok”, kodok itu sempat melompat pergi sambil berkokok seakan-akan sangat senang dan seperti sedang menyindir ketidakbecusan Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong menghela napas. Yang lebih membikinnya mendongkol adalah di tepi sungai kecil itu ternyata amat banyak kodok-kodok hijau yang gemuk-gemuk lagi, seekor melompat pergi segera melompat datang pula dua ekor yang lain, tapi Lenghou Tiong tetap tidak mampu menangkapnya meski tangannya sudah tubruk sini dan sambar ke sana.

Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang menjulur tiba sebuah tangan yang putih dan halus, sekali dekap dengan perlahan tahu-tahu seekor kodok hijau itu sudah tertangkap. Waktu Lenghou Tiong menoleh, kiranya adalah si nona. Hanya duduk tenang sebentar saja kini ia sudah bisa bergerak, walaupun masih kurang tenaga, tapi untuk menangkap beberapa ekor kodok adalah terlalu gampang baginya.

“Bagus!” seru Lenghou Tiong girang. “Kita akan dapat menikmati daging swike.”

Nona itu tersenyum, sekali tangannya menjulur kembali seekor kodok kena ditangkapnya pula. Hanya sekejap saja sudah lebih 20 ekor kodok hijau tertangkap.

“Sudah cukup!” seru Lenghou Tiong. “Kau pergi mencari kayu dan membuat api, aku yang menyembelih kodok-kodok ini.”

Si nona menurut dan pergi mencari kayu bakar. Lenghou Tiong sendiri lantas melolos pedang dan mulai memotong kepala dan membuang cakar kodok, lalu membelek dan membeset kulitnya.

Dengan tertawa si nona berkata, “Orang kuno menyembelih ayam pakai golok jagal kerbau, tapi sekarang Lenghou-tayhiap menyembelih kodok hijau dengan ilmu pedang Tokko-kiu-kiam.”

Lenghou Tiong terbahak-bahak, sahutnya, “Hahaha, jika Tokko-tayhiap mengetahui di alam baka bahwa ahli warisnya ternyata begini tak becus, ilmu pedangnya yang hebat telah disalahgunakan untuk menyembelih kodok, wah, saking marahnya mungkin beliau bisa ....” mestinya ia hendak mengatakan “bisa mati kaku”, tapi segera ia urungkan ucapannya itu.

Dengan tertawa si nona lantas berkata pula, “Lenghou-tayhiap ....”

Sambil memegangi kodok yang telah disembelihnya dan digoyang-goyangkan, Lenghou Tiong berkata, “Sebutan ‘tayhiap’ sama sekali aku tidak berani terima. Di dunia ini mana ada pendekar besar tukang sembelih kodok?”

“Di zaman dahulu ada kesatria penjagal anjing, di zaman ini sudah tentu ada pendekar tukang sembelih kodok,” ujar si nona dengan tertawa. “Eh, kau punya Tokko-kiam-hoat itu benar-benar amat hebat, sampai-sampai hwesio tua dari Siau-lim-pay itu pun tak mampu melawan kau. Dia bilang orang yang mengajarkan ilmu pedang padamu itu adalah tuan penolongnya, sebenarnya bagaimana duduknya perkara?”

“Orang yang mengajarkan ilmu pedang padaku ini adalah kaum angkatan tua dari Hoa-san-pay kami sendiri,” jawab Lenghou Tiong.

“Begitu sakti ilmu pedang locianpwe itu, mengapa di dunia Kangouw tidak pernah terdengar namanya?”

“Ini ... ini ... aku sudah berjanji kepada beliau untuk tidak membocorkan jejaknya, maka ... maka ....”

“Huh, memangnya aku kepingin tahu?” dengus si nona. “Biarpun kau mau memberi tahu kepadaku juga aku tidak sudi mendengarkan. Apakah kau tahu siapakah aku ini dan bagaimana asal usulku?”

“Aku tidak tahu,” jawab Lenghou Tiong sambil menggeleng. “Sampai-sampai nama nona juga aku belum mengetahui.”
“Kau sengaja merahasiakan urusanmu, maka aku pun tidak mau menerangkan padamu,” kata si nona.

“Meski aku tidak tahu, tapi aku pun dapat menerka sampai delapan atau sembilan bagian,” kata Lenghou Tiong.
Air muka si nona rada berubah, katanya, “Kau dapat menerka? Cara bagaimana kau bisa menerka?”

“Sekarang masih belum tahu, sebentar kalau sudah malam tentu aku bisa tahu jelas,” kata Lenghou Tiong.

Si nona tambah heran dan terkejut, tanyanya, “Mengapa setelah malam tiba nanti kau bisa tahu dengan jelas?”

“Aku akan menengadah ke langit untuk memeriksa bintang-bintang, bila diketahui bintang mana yang kurang di langit, maka tahulah perbintangan apa yang telah menjelma sebagai nona. Nona secantik bidadari seperti kau, di dunia fana ini mana ada wanita demikian?”

Wajah si nona menjadi merah. “Cis!” semprotnya. Tapi batinnya amat senang. Katanya, “Kembali kau mengoceh tak keruan lagi.”

Dalam pada itu ia sudah menyatakan api, segera ia menyunduk swike-swike yang telah dibersihkan itu di batangan kayu, lalu dipanggang di atas unggun api. Ketika minyak kodok menetes di atas api, terdengarlah suara mencicit yang ramai, bau sedap lantas teruar juga.

Sambil memandangi asap yang mengepul dari unggun api, perlahan-lahan si nona berkata pula, “Aku bernama Ing-ing. Biar kukatakan, entah kelak kau akan terus ingat atau tidak?”

“Ing-ing! Ehm, bagus amat nama ini,” ujar Lenghou Tiong. “Bila sejak dulu-dulu aku mengetahui kau bernama Ing-ing tentu aku takkan memanggil nenek padamu.”

“Sebab apa?”

“Sebab Ing-ing terang adalah nama seorang nona cilik, dengan sendirinya bukanlah nenek-nenek reyot.”

“Kelak jika aku benar-benar sudah nenek-nenek reyot, aku toh takkan ganti nama dan akan tetap bernama Ing-ing,” kata si nona alias Ing-ing dengan tertawa.

“Kau takkan pernah menjadi nenek-nenek. Kau begini cantik, sampai berumur 80 tahun juga masih tetap seorang nona cilik yang amat cantik.”

“Wah, kan bisa menjadi siluman nanti?” sahut Ing-ing dengan tertawa. Selang sejenak, lalu sambungnya dengan sungguh-sungguh, “Aku sudah beri tahukan namaku, selanjutnya kau tidak boleh sembarangan memanggil lagi.”

“Mengapa?”

“Tidak boleh ya tidak boleh.”

Lenghou Tiong menjulurkan lidah. “Wah, ini tidak boleh, itu dilarang, kelak orang yang menjadi sua ....” sampai di sini ia tidak berani melanjutkan lagi ketika dilihatnya muka si nona merengut marah.

“Hmm!” demikian Ing-ing mendengus.

“Kenapa kau marah? Aku maksudkan: kelak orang yang menjadi muridmu tentu akan tahu rasa,” mestinya ia akan bilang “suamimu”, tapi demi melihat gelagat jelek segera ia ganti haluan.

Sudah tentu Ing-ing tahu maksudnya. Katanya, “Kau ini memang angin-anginan, tidak jujur pula. Di dalam tiga kalimat ucapanmu lebih dari dua kalimat selalu kau putar balik. Tapi aku pun tidak akan memaksa kepada orang lain. Orang lain boleh mendengarkan kata-kataku, kalau tidak suka boleh jangan mendengarkan dan terserah kepadanya.”

“Tapi aku suka mendengarkan ucapanmu kok,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. Ucapannya ini mengandung nada menggoda. Alis Ing-ing tampak berkerut seperti hendak marah, tapi mukanya lantas merah jengah dan terus berpaling.

Untuk sejenak siapa pun tidak bersuara lagi. Tiba-tiba tercium bau hangus. “Aiiii!” Ing-ing menjerit. Kiranya sundukan satai kodoknya telah terpanggang hangus.

“Gara-garamu!” omel Ing-ing.

“Kau mesti bilang gara-garaku membikin kau marah sehingga dapat menghasilkan satai kodok hangus sebaik ini,” sahut Lenghou Tiong tertawa.

Segera ia mendahului mencomot sepotong paha swike yang hangus dan dimasukkan ke dalam mulut. “Ehmmm, alangkah lezatnya! Satai hangus beginilah barulah sedap. Di tengah rasa sangit mengandung pahit dan di tengah rasa pahit timbullah manis. Rasa selezat ini boleh dikata nomor satu di dunia ini.”

Ing-ing merasa geli oleh ucapan Lenghou Tiong, sambil mengikik tawa ia pun ikut makan satai kodok itu.

Lenghou Tiong selalu pilih bagian yang hangus untuk dimakan sendiri dan memberikan paha kodok yang tidak hangus untuk Ing-ing. Sesudah kenyang makan, cahaya sang surya menghangati badan mereka, saking lelahnya tanpa merasa mereka sama berbaring dan tertidur.

Lantaran semalam suntuk tidak tidur, pula sama-sama terluka, maka tidur mereka itu sangat nyenyak. Di tengah impiannya Lenghou Tiong merasa dirinya sedang berlatih pedang bersama Gak Leng-sian di tengah gemerojoknya air terjun. Tiba-tiba di tengah mereka bertambah satu orang dan ternyata Lim Peng-ci adanya. Menyusul dirinya lantas berkelahi dengan Peng-ci di tengah air terjun itu. Tapi kedua tangannya sendiri sama sekali tak bertenaga, dengan mati-matian ada maksud mengeluarkan Tokko-kiu-kiam ajaran Hong Jing-yang itu, tapi satu jurus pun sukar dikeluarkan, sebaliknya serangan-serangan Lim Peng-ci semakin menggencar dan berulang-ulang mengenai ulu hati, perut, kepala dan bahunya, sedangkan Gak Leng-sian tampak bergelak tertawa. Saking khawatir dan gusarnya ia berteriak-teriak, “Siausumoay, Siausumoay!”

Setelah berteriak beberapa kali, akhirnya ia terjaga bangun sendiri. Didengarnya suatu suara yang lembut berkata di sampingnya, “Kau telah mimpi siausumoaymu, apa yang dia lakukan terhadapmu?”

“Ada orang hendak membunuh aku, tapi Siausumoay tidak ambil pusing kepadaku,” sahut Lenghou Tiong dengan perasaan belum tenteram.

Ing-ing menghela napas, katanya, “Dahimu penuh air keringat.”

Segera Lenghou Tiong mengusapnya dengan lengan baju, tiba-tiba angin berkesiur sehingga terasa menggigil. Waktu menengadah, dilihatnya langit penuh dengan bintang-bintang, nyata hari sudah jauh malam, kiranya tidurnya benar-benar sangat nyenyak dan marem.

Setelah jernih kembali pikirannya, segera lapanglah perasaan Lenghou Tiong. Ia tertawa dan baru hendak bicara, mendadak Ing-ing mendekap mulutnya dan mendesis, “Ssst, ada orang datang.”

Segera Lenghou Tiong tutup mulut, tapi tidak mendengar sesuatu. Selang sebentar lagi barulah didengarnya ada suara tindakan orang dari kejauhan. Selang sejenak pula, terdengar seorang sedang berkata, “Di sini ada lagi dua sosok mayat.”

Sekali ini Lenghou Tiong dapat mengenali suara orang itu, terang Coh Jian-jiu adanya.

“Ini ada bekas-bekas darah,” terdengar seorang lagi berkata. Lalu yang seorang lain berseru, “Ah, ini kan hwesio dari Siau-lim-pay?!”

Lenghou Tiong lantas ingat pembicara yang duluan itu adalah Ya-niau-cu Keh Bu-si dan yang terakhir adalah Lo Thau-cu, mungkin dia melihat mayatnya Kat-gwe.

Perlahan-lahan Ing-ing menarik kembali tangannya yang mendekapi mulut Lenghou Tiong tadi.

Dalam pada itu terdengar Keh Bu-si telah berkata pula, “Ketiga orang yang mati ini adalah murid Siau-lim-pay dari kalangan preman, mengapa bisa terbinasa di sini? Eh, orang ini bernama Sin Kok-liong, aku kenal dia. Sungguh mengerikan matinya ini, padahal dia adalah jago gwakang dari Siau-lim-pay.”

“Ya, siapakah yang punya kemampuan sehebat ini sehingga dapat membunuh empat jago Siau-lim-pay sekaligus?” kata Coh Jian-jiu.

“Jangan-jangan ... jangan-jangan adalah perbuatan tokoh dari Hek-bok-keh?” ujar Lo Thau-cu dengan ragu-ragu. “Bahkan bisa jadi adalah ... adalah Tonghong-kaucu sendiri?”

“Ya, kalau melihat keadaan luka parah korban ini memang rada-rada mirip,” kata Keh Bu-si. “Marilah kita lekas mengubur keempat rangka jenazah ini agar jejaknya tidak diketahui oleh orang dari Siau-lim-pay.”

“Jika memang benar tokoh Hek-bok-keh yang melakukannya, tentu mereka pun tidak takut diketahui oleh pihak Siau-lim-pay,” ujar Coh Jian-jiu. “Malahan bukan mustahil mayat-mayat ini memang sengaja ditinggalkan begini saja di sini secara demonstratif agar diketahui oleh orang-orang Siau-lim-pay.”

“Kukira kalau mau unjuk wibawa begini rasanya takkan meninggalkan mayat-mayat ini di tempat pegunungan yang sunyi begini,” ujar Keh Bu-si. “Coba pikir, jika kita tidak lewat di sini secara kebetulan, tentu mayat-mayat ini akan dimakan oleh burung-burung dan binatang-binatang buas dan tentu takkan ketahuan orang lagi. Jika aku, lebih tepat kalau mayat-mayat ini digantung di tengah jalan besar dan diberi tanda pula sebagai anak murid Siau-lim-pay, dengan demikian pamor Siau-lim-pay pasti akan runtuh habis-habisan.”

“Uraian Ya-niau-cu ini memang tidak salah,” kata Coh Jian-jiu. “Besar kemungkinan setelah tokoh Hek-bok-keh membunuh keempat orang ini lalu buru-buru pergi mengejar musuh lagi dan tidak sempat mengubur mayat-mayat ini.”

Habis itu lantas terdengar suara tanah digali, ketiga orang itu mulai menggali liang untuk mengubur mayat Sin Kok-liong berempat.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Ketiga orang ini tentu mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan Tonghong-kaucu dari Hek-bok-keh, kalau tidak rasanya mereka takkan susah payah mencapekkan diri seperti ini.”

Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar suara “crat-cret” berulang-ulang, lalu terdengar Lo Thau-cu bertanya, “Ya-niau-cu, orangnya sudah mati, buat apa lagi kau membacoki badan mereka?”
“Coba saja kau menerkanya,” sahut Keh Bu-si dengan tertawa.

Sebelum Lo Thau-cu menjawab, tiba-tiba Coh Jian-jiu menyela dengan tertawa, “Pikiran Ya-niau-cu memang sangat rapi, untuk menjaga pencarian orang Siau-lim-pay yang mungkin akan menggali keluar mayat-mayat ini dan dari keadaan luka-luka di atas mayat ini tentu akan dapat diselidiki siapakah pembunuhnya.”

Bab 59. Ing-ing Memerintahkan Bunuh Lenghou Tiong

Terdengar Keh Bu-si berkata pula, “Saudara Sin Kok-liong, jelek-jelek kita pernah bertemu satu kali, Ya-niau-cu sangat mengagumi jiwa kesatriamu yang luhur, tapi hari ini terpaksa aku harus mencacah jenazahmu, harap engkau sudi memaafkan. Ai sungguh sayang, sayang!”

“Ya, betul juga,” kata Lo Thau-cu. “Kalau begitu bacok saja lebih banyak, semakin luluh semakin baik.”
Sembari omong dan menghela napas gegetun ia pun terus membacok dengan goloknya. Tiga orang mencacah empat jenazah itu hingga menjadi berpuluh potong kecil-kecil, habis itu barulah dimasukkan ke dalam liang dan diuruk dengan tanah.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Orang-orang ini benar-benar bertangan gapah dan berhati kejam. Ya-niau-cu itu katanya mengagumi Sin Kok-liong sebagai kesatria berjiwa luhur, tidak seharusnya dia merusak jenazahnya sedemikian rupa.”

Waktu ia menoleh, di tengah remang-remang kegelapan malam dilihatnya Ing-ing sedang tersenyum-senyum. Wajah yang tersenyum itu benar-benar teramat menggiurkan, padahal jelas terdengar orang membacoki mayat sehingga senyuman yang manis itu tidak sesuai dengan suasananya.
Tiba-tiba terdengar Coh Jian-jiu bersuara, “He, apakah ini? Ada sebutir obat.”

Terdengar pula Keh Bu-si sedang mengendus-endus beberapa kali, lalu berkata, “Ini adalah obat mujarab Siau-lim-pay yang mempunyai khasiat menghidupkan orang mati, tentulah obat ini tercecer dari saku anak murid Siau-lim-pay ini.”

“Dari mana kau mengetahui ini adalah obat Siau-lim-pay?” tanya Coh Jian-jiu.

“Kira-kira dua puluh tahun yang lalu aku pernah melihat obat semacam ini di tempat seorang hwesio tua Siau-lim-si,” sahut Keh Bu-si.

“Jika benar obat mujarab, inilah sangat kebetulan. Lo-heng, boleh kau ambil untuk diminumkan kepada Nona Siau Ih agar dia lekas sembuh,” ujar Coh Jian-jiu.

“Banyak-banyak terima kasih,” sahut Lo Thau-cu. “Tentang penyakit putriku sih aku tidak terlalu pikirkan, yang penting sekarang juga kita lekas pergi mencari Lenghou-kongcu dan mempersembahkan obat ini kepadanya.”

Sungguh tak terkatakan rasa terima kasih dan terharu demi mendengar ucapan Lo Thau-cu itu. Pikirnya, “Obat itu terang adalah kepunyaan Ing-ing yang jatuh itu. Bagaimana caranya aku harus memintanya kembali dari Lo Thau-cu untuk diminumkan kepada Ing-ing?”

Ia lihat Ing-ing sedang tersenyum pula dan mencibir padanya dengan sikap jenaka dan kekanak-kanakan, sungguh sukar untuk dipercaya bahwa nona cilik yang cantik dan lincah demikian adalah iblis perempuan yang sekaligus telah membunuh empat jago pilihan Siau-lim-pay.

Menyusul terdengarlah suara urukan batu dan tanah, ketiga orang telah mengubur jenazah-jenazah itu.
Lalu Lo Thau-cu berkata pula, “Sekarang kita menghadapi suatu persoalan sulit. Coba kau ikut memikirkan bagiku, Ya-niau-cu.”

“Soal apa?” tanya Keh Bu-si.

“Saat ini Lenghou-kongcu tentu berada bersama ... bersama Seng-koh (putri suci),” kata Lo Thau-cu. “Jika aku mengantarkan obat ini kepadanya tentu akan pergoki Seng-koh pula. Dan kalau Seng-koh marah sehingga aku dibunuh, hal ini tidak menjadi soal. Cuma dengan demikian berarti aku telah mengetahui keadaannya, hal inilah yang bisa bikin runyam.”

Lenghou Tiong memandang sekilas kepada Ing-ing, katanya dalam hati, “Kiranya mereka memanggil kau sebagai Seng-koh dan begitu pula takutnya padamu. Memangnya mengapa sedikit-sedikit kau suka membunuh orang?”

Dalam pada itu terdengar Keh Bu-si telah berkata, “Ketiga orang buta yang kita jumpai di tengah jalan tadi ada juga gunanya bagi kita. Lo-heng, besok kita tentu akan dapat menyusul ketiga orang buta itu dan suruh mereka mengantarkan obat ini kepada Lenghou-kongcu. Mata mereka buta, seumpama menghadapi Seng-koh yang berada bersama Lenghou-kongcu juga takkan mengakibatkan kematian bagi mereka.”

“Tapi aku justru sangsi jangan-jangan butanya ketiga orang itu justru disebabkan mereka memergoki Seng-koh sedang berada bersama Lenghou-kongcu,” timbrung Coh Jian-jiu.
Mendadak Lo Thau-cu menepuk paha dan berseru, “Benar! Jika tidak, mengapa mereka buta semua tanpa sebab? Malahan keempat murid Siau-lim-pay ini mungkin juga tanpa sengaja telah memergoki beradanya Seng-koh bersama Lenghou-kongcu sehingga mendatangkan malapetaka bagi mereka.”

Untuk sejenak ketiga orang itu terdiam. Sebaliknya rasa heran dan ragu-ragu semakin berkecamuk di dalam benak Lenghou Tiong.

Terdengar Coh Jian-jiu membuka suara lagi sambil menghela napas, “Kuharap semoga penyakit Lenghou-kongcu lekas sembuh dan Seng-koh akan bisa lekas-lekas terjalin sebagai pasangan yang bahagia dengan dia. Selama mereka berdua tidak lekas-lekas menikah selama itu pula suasana di dunia Kangouw takkan bisa tenteram.”

Lenghou Tiong terkesiap. Ia coba melirik si Ing-ing. Remang-remang wajah si nona tampak bersemu merah, tapi sorot matanya memancarkan sinar kemarahan.

Khawatir kalau-kalau mendadak Ing-ing mencelakai Lo Thau-cu bertiga, Lenghou Tiong sengaja menjulurkan tangan kanan untuk memegangi tangan kiri si nona. Terasa badan Ing-ing rada gemetar, entah disebabkan marah atau karena malu.

“Lo-heng dan Coh-heng,” terdengar Keh Bu-si berkata, “waktu Seng-koh mendengar kita akan berkumpul di atas Ngo-pah-kang, beliau menjadi begitu marah. Padahal cinta kasih antara muda-mudi adalah soal yang jamak. Pemuda ganteng dan cakap seperti Lenghou-kongcu itu hanya setimpal mendapatkan jodoh nona cantik seperti Seng-koh, mengapa tokoh hebat sebagai Seng-koh juga bisa kikuk-kikuk seperti perempuan desa saja. Sudah terang beliau menyukai Lenghou-kongcu, tapi beliau justru melarang orang lain mengungkat hal ini, lebih-lebih tidak suka dipergoki orang. Bukankah ini rada ... rada-rada janggal?”

Sampai di sini barulah Lenghou Tiong tahu duduknya perkara. Cuma tidak tahu apa yang dikatakan Keh Bu-si itu benar atau tidak. Sekonyong-konyong ia merasa tangan Ing-ing yang digenggamnya itu bergerak seakan-akan hendak melepaskannya dari pegangan. Lekas-lekas ia menggenggam lebih kuat, ia khawatir dalam gusarnya Ing-ing bisa jadi akan membunuh Keh Bu-si.

Terdengar Coh Jian-jiu berkata, “Sekalipun Seng-koh adalah satu di antara ketiga murid utama Hek-bok-keh, ilmu silatnya kuat dan agamanya tinggi, tapi apa pun juga dia adalah seorang nona muda belia. Setiap nona muda di dunia ini ketika untuk pertama kalinya menyukai seorang laki-laki, biarpun betapa hatinya jatuh cinta tetap juga tak berani diutarakannya. Kali ini kita bermaksud menyanjung Seng-koh, tapi malah kena batunya. Memang salah kita sendiri, kita adalah lelaki kasar semua dan tidak paham perasaan anak perempuan sehingga bukannya membikin senang hati Seng-koh, sebaliknya membuatnya marah malah. Kalau kejadian ini sampai tersiar tentu akan ditertawai oleh kawanan anjing dari kalangan yang menamakan dirinya beng-bun-cing-pay segala.”

Lo Thau-cu lantas berseru lantang, “Kita sama utang budi kepada Seng-koh, selama ini kita berharap dapat membalas kebaikannya dan bermaksud menyembuhkan penyakit kekasih jantung hatinya. Seorang laki-laki sejati harus dapat membedakan secara tegas antara dendam dan budi, ada budi harus dibalas, ada dendam harus dituntut, kenapa kau merasa berbuat salah? Hm, kawanan anjing mana yang berani menertawai kita biar aku membetot ususnya dan membeset kulitnya.”

Baru sekarang Lenghou Tiong merasa terang seluk-beluk pengalamannya selama ini, jadi sepanjang jalan dirinya sedemikian disanjung puji oleh orang-orang gagah itu adalah berkat seorang “putri suci” dari Hek-bok-keh yang bernama Ing-ing ini. Sebabnya para jago yang sudah berkumpul di atas Ngo-pah-kang dan mendadak bubar pula mungkin karena Seng-koh tidak ingin orang luar mengetahui isi hatinya dan menyiarkannya di dunia Kangouw.

Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Seng-koh adalah seorang nona muda jelita, namun dia sudah dapat mengerahkan sekian banyak jago-jago dan tokoh-tokoh ternama untuk menyanjung dirinya, dengan sendirinya si nona sendiri bukanlah tokoh sembarangan. Sedangkan perkenalanku sendiri dengan si nona hanya terjadi di suatu gang sunyi di kota Lokyang melalui suara kecapi dari balik kerai sehingga boleh dikatakan belum ada peresmian kasih segala, apa barangkali ada orang luar yang telah salah paham dan menyiarkan kejadian itu sehingga membikin Seng-koh sangat marah?”

Dalam pada itu terdengar Coh Jian-jiu sedang berkata, “Ucapan Lo Thau-cu memang tidak salah. Kita banyak berutang budi kepada Seng-koh, asalkan kita dapat menjalinkan perjodohan ini sehingga selama hidup ini Seng-koh dapat hidup bahagia, maka biarpun badan kita hancur lebur juga takkan menyesal. Tentang sedikit dampratan yang kita alami di atas Ngo-pah-kang tidaklah menjadi soal. Hanya saja ... hanya saja Lenghou-kongcu adalah murid utama Hoa-san-pay yang selamanya tidak dapat hidup berdampingan dengan pihak Hek-bok-keh, untuk merangkapkan perjodohan ini rasanya tidak sedikit kesulitan-kesulitan yang masih harus dihadapi.”

“Aku ada suatu akal,” kata Keh Bu-si. “Kita kan dapat menangkap ketua Hoa-san-pay, yaitu si Gak Put-kun, lalu mengancam akan membunuhnya agar dia mau menjadi wali perjodohan ini.”

“Akal Ya-niau-cu ini sungguh sangat bagus,” seru Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu berbareng. “Urusan jangan terlambat, sekarang juga kita lantas berangkat untuk menangkap Gak Put-kun.”

“Nanti dulu,” ujar Keh Bu-si. “Perlu dipikirkan bahwa Gak Put-kun adalah ketua dari suatu aliran terkemuka, lwekang dan kiam-hoatnya mempunyai peyakinan yang mendalam dan sempurna. Kalau kita main kasar padanya, pertama kita belum pasti akan dapat menang, kedua, seumpama dapat menawan dia, kalau dia nanti tetap berkepala batu dan tak mau menurut, lalu bagaimana?”

“Jika begitu terpaksa kita harus menculik pula istri dan putrinya dengan segala ancaman-ancaman lain,” ujar Lo Thau-cu.

“Betul,” sokong Coh Jian-jiu. “Cuma urusan ini harus dikerjakan serahasia mungkin, sekali-kali tak boleh diketahui orang luar sehingga membikin malu pihak Hoa-san-pay. Sebab Lenghou-kongcu adalah murid pertama Hoa-san-pay, jika kita membikin susah gurunya tentu dia akan merasa tidak senang.”

Begitulah ketiga orang itu terus berunding pula cara bagaimana akan menangkap Gak-hujin serta Gak Leng-sian.

Sekonyong-konyong Ing-ing berseru dengan suara lantang, “Hei, ketiga orang yang berani mati itu, lekas enyah yang jauh dan jangan membikin marah nonamu melulu.”

Lenghou Tiong sampai kaget karena mendadak Ing-ing membuka suara. Sekuatnya ia pegang tangan si nona. Sudah tentu Keh Bu-si bertiga lebih-lebih kaget.

Dengan suara gemetar Lo Thau-cu telah menjawab, “Ya, ya, hamba ... hamba ....” rupanya saking khawatirnya sehingga ia tidak sanggup meneruskan ucapannya.

Keh Bu-si juga lantas berkata, “Ya, kami memang telah sembarangan mengoceh, harap Seng-koh jangan anggap sungguh-sungguh. Biarlah besok juga kami lantas menyingkir ke Se-ek (benua barat) dan takkan kembali ke Tionggoan lagi.”

Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, “Wah, dengan demikian berarti ketiga orang ini telah diasingkan pula ke tempat terpencil jauh.”

Tapi Ing-ing lantas berkata pula, “Siapa yang suruh kalian menyingkir pergi ke Se-ek. Aku ada suatu urusan, hendaklah kalian melaksanakannya untukku.”

Seakan-akan mendapat pengampunan besar, dengan girang luar biasa Keh Bu-si bertiga serentak berkata, “Silakan Seng-koh memberi perintah saja, sudah pasti kami akan berbuat sepenuh tenaga.”

“Aku ingin membunuh satu orang, tapi seketika sukar menemukan orangnya,” kata Ing-ing. “Maka bolehlah kalian menyiarkan keinginanku ini, siapa saja dan setiap kawan Kangouw yang dapat membunuh orang ini pasti akan kuberi balas jasa yang baik.”

“Balas jasa sih tidak berani kami harapkan,” ujar Coh Jian-jiu. “Tentang jiwa orang itu, biarpun kami bertiga mengubernya sampai di ujung langit pun akan kami bekuk dia. Cuma saja tidak tahu siapakah keparat yang berani membikin marah kepada Seng-koh itu?”

“Melulu kalian bertiga saja rasanya kurang mampu membunuhnya, maka kalian harus lekas menyebarkan perintahku ini,” kata Ing-ing pula.

“Baik, baik,” sahut Coh Jian-jiu. “Mohon tanya bangsat keparat siapakah yang Seng-koh ingin membunuhnya itu?”

“Hm,” Ing-ing mendengus. “Orang itu she Lenghou dan bernama Tiong, dia adalah murid utama dari Hoa-san-pay.”

Ucapan ini membikin terkejut empat orang, yaitu Lo Thau-cu bertiga ditambah Lenghou Tiong sendiri. Seketika tiada seorang pun yang berani membuka suara. Sampai agak lama barulah Lo Thau-cu berkata, “Hal ini ... hal ini ....”

“Hal apa?” omel Ing-ing. “Apakah kalian takut kepada Ngo-gak-kiam-pay?”
“Sekalipun naik ke langit dan turun ke akhirat juga kami berani,” sahut Lo Thau-cu. “Kami akan segera pergi menangkap Lenghou Tiong untuk diserahkan kepada Seng-koh agar dihukum yang setimpal. Marilah Ya-niau-cu dan Coh Jian-jiu, kita berangkat sekarang juga.”

Tapi diam-diam ia membatin, “Tentu dalam bicaranya Lenghou Tiong telah menyinggung perasaan Seng-koh.
Memang jamak pergaulan di antara anak muda, semakin rapat dan baik semakin gampang cekcok pula. Ya, apa boleh buat, terpaksa kami harus pergi mencari dan mengundang Lenghou-kongcu ke sini, biarkan Seng-koh sendiri yang melayani dia.”

Di luar dugaan Ing-ing lantas berseru dengan marah, “Siapa yang suruh kalian pergi menangkap dia? Selama Lenghou Tiong itu hidup di dunia ini hanya akan merusak nama baikku yang suci bersih ini, lekas dia dibunuh lekas pula rasa dongkolku akan terlampias.”

Coh Jian-jiu hendak berkata pula, “Seng-koh ....”

Tapi Ing-ing telah menyela, “Sudahlah, tentu kalian mempunyai hubungan baik dengan Lenghou Tiong dan tidak mau melaksanakan perintahku tadi. Tidak apalah, biar aku menugaskan kepada orang lain saja.”

Mendengar ucapan Ing-ing itu sangat serius, Keh Bu-si bertiga tidak berani ragu-ragu lagi, terpaksa mereka memberi hormat dan berkata, “Baiklah, dengan taat kami akan melaksanakan perintah Seng-koh.”

Diam-diam Lo Thau-cu membatin pula, “Lenghou-kongcu adalah seorang yang luhur budinya, hari ini aku terpaksa melaksanakan perintah Seng-koh dan mau tak mau harus ikut membunuh Lenghou-kongcu, tapi sesudah kubunuh dia, nanti aku pun akan membunuh diri untuk mengiringinya.”

Begitulah ketiga orang itu lantas bertindak pergi.

Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah Ing-ing, tertampak nona itu sedang menunduk dan termenung-menung. Pikirnya, “Kiranya demi untuk menjaga nama baiknya sendiri dia harus mencabut nyawaku. Tapi apa sih sulitnya jika hal ini dikehendaki?”

Maka berkatalah Lenghou Tiong, “Kau ingin membunuh aku boleh silakan lakukan sendiri saja, buat apa mesti mengerahkan orang begitu banyak?” perlahan-lahan ia lantas melolos pedangnya sendiri dan menyodorkan gagang pedang kepada Ing-ing.

Ing-ing lantas memegangi pedang itu, kepalanya sendiri miring sambil menatapi Lenghou Tiong.

Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas membusungkan dada.

“Kematianmu sudah di depan mata, apa yang kau tertawakan?” omel Ing-ing.

“Justru karena kematianku sudah di depan mata, makanya aku ingin tertawa,” sahut Lenghou Tiong.

Ing-ing angkat pedangnya dengan gerakan seakan-akan hendak menusuk. Tapi mendadak ia putar tubuh, tangannya mengayun sekuatnya, pedang itu dibuang jauh-jauh. “Trang”, pedang itu jatuh di atas tanah. “Semuanya gara-garamu, gara-garamu!” demikian si nona berseru sambil banting-banting kaki. “Karena gara-garamu maka orang-orang Kangouw sama menertawakan diriku seolah-olah selamanya aku tidak ... tidak laku, seperti tidak ada orang yang mau padaku lagi, dianggapnya dengan segala daya upaya aku sengaja memikat kau. Padahal apamu yang ... yang hebat sehingga selanjutnya aku tidak punya muka untuk bertemu dengan orang lagi.”

Tiba-tiba Lenghou Tiong bergelak tertawa malah.

Ing-ing menjadi gusar. Dampratnya, “Kau malah menertawai aku, kau mengejek aku?”

Mendadak ia terus menangis tergerung-gerung.

Karena tangis si nona, seketika timbul juga rasa penyesalan Lenghou Tiong, mendadak ia menjadi sadar juga, “Ah, dia mempunyai kedudukan dan nama yang tinggi serta terhormat, sedemikian banyak orang-orang gagah sama sangat segan kepadanya, dengan sendirinya dia sudah biasa dipuji, dia adalah anak perempuan, tentu juga punya rasa harga diri yang tinggi. Ketika mendadak semua orang mengatakan dia suka padaku, tentu saja hal ini membuatnya merasa direndahkan. Sebabnya dia menyuruh Lo Thau-cu bertiga menyiarkan perintahnya untuk membunuh aku besar kemungkinan tidak sungguh-sungguh hendak membunuh aku, tapi tujuannya hanya sebagai sangkalan saja tentang sukanya padaku. Dengan perintahnya itu tentu siapa pun takkan curiga bahwa aku justru berada bersama dia.”

Segera Lenghou Tiong berbangkit, katanya dengan suara halus, “Ya, memang akulah yang bersalah sehingga membikin nama baik nona tercemar. Biarlah sekarang juga aku mohon diri saja.”

Ing-ing mengusap air matanya, katanya, “Kau hendak ke mana?”
“Tiada tempat tujuan, ke mana pun jadi,” sahut Lenghou. Tiong.
“Kau telah berjanji akan mengantar aku, mengapa sekarang hendak tinggal pergi sendirian?”

“Ah, sesungguhnya aku tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit sehingga sembarang omong, ucapanku itu tentu akan ditertawai nona saja,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum. “Padahal ilmu silat nona sedemikian tinggi, masakah perlu pengawalanku segala. Biarpun ada seratus orang Lenghou Tiong juga tidak mampu membandingi nona seorang.”

Habis berkata ia terus putar tubuh hendak melangkah pergi.

“Kau tidak boleh pergi,” seru Ing-ing gugup.

“Kenapa?” tanya Lenghou Tiong.

“Coh Jian-jiu bertiga sudah menyiarkan perintahku tadi, dalam waktu beberapa hari saja setiap orang Kangouw pasti akan tahu semua. Dalam keadaan begitu setiap orang tentu ingin membunuh kau. Jangankan kau dalam keadaan terluka, sekalipun sehat juga kau sukar untuk menghindarkan diri dari kematian.”

Lenghou Tiong tersenyum hambar, katanya, “Jika aku dapat mati di bawah perintah nona, rasanya masih baik juga.”

Habis berkata ia terus menjemput pedangnya dan dimasukkan ke dalam sarungnya. Ia menduga dirinya masih lemah dan tidak sanggup mendaki tanah tanjakan itu, maka langkahnya lantas diarahkan ke sepanjang tepi sungai kecil itu.

Melihat Lenghou Tiong benar-benar mau pergi dan semakin jauh, Ing-ing lantas mengejarnya dan berseru, “He, he! Kau jangan pergi.”

“Jika aku tetap tinggal di sini kan cuma membikin susah pada nona, maka lebih baik aku pergi saja,” ujar Lenghou Tiong.

“Tidak, kau ... kau ....” hanya sekian ucapannya dan segera Ing-ing menggigit bibir dengan perasaan risau dan cemas. Ketika dilihatnya Lenghou Tiong masih melangkah terus, cepat ia memburu maju pula sambil berkata, “Lenghou Tiong, apakah kau sengaja memaksa aku mengucapkannya secara terus terang baru kau merasa puas ya?”

“Ai, ada apakah? Sungguh aku tidak paham?” sahut Lenghou Tiong heran.

Kembali Ing-ing menggigit bibir, kemudian berkata, “Aku telah suruh Coh Jian-jiu bertiga menyiarkan perintahku, hal itu supaya ... supaya kau bisa senantiasa berada di sampingku dan tidak boleh meninggalkan aku barang selangkah pun.”

Habis mengucapkan demikian tubuhnya menjadi gemetar, berdiri pun sempoyongan.

Lenghou Tiong terheran-heran, tanyanya, “Kau ... kau ingin didampingi aku senantiasa?”

“Benar,” sahut Ing-ing. “Setelah Coh Jian-jiu bertiga menyiarkan perintahku, mau tak mau kau harus mendampingi aku barulah dapat menyelamatkan jiwamu.
Tak tersangka kau ternyata tidak tahu apa artinya kematian, sedikit pun kau tidak takut. Bukankah jadinya akulah ... akulah yang membikin celaka kau?”

Hati Lenghou Tiong menjadi terharu, pikirnya, “Kiranya kau benar-benar sedemikian baik kepadaku, tapi di depan orang-orang itu mati pun kau tidak mau mengaku.”
Segera ia putar tubuh dan mendekati Ing-ing, ia pegang kedua tangan si nona dan terasa amat dingin kedua telapak tangannya itu. Dengan suara lirih dibikinnya, “Buat apa engkau berbuat demikian?”

“Aku takut,” sahut Ing-ing.

“Takut apa?”

“Aku takut kau yang tolol ini tidak mau turut kepada omonganku dan benar-benar akan pergi mengembara Kangouw lagi dan mungkin tidak sampai besok kau sudah akan mati di tangan manusia-manusia busuk yang tidak laku sepeser itu.”

“Mereka itu adalah laki-laki gagah perkasa semua, mereka pun sangat baik padamu, mengapa kau begini memandang hina kepada mereka?”

“Di belakangku mereka menertawai diriku, mereka ingin membunuh kau pula, bukankah mereka itu adalah manusia-manusia busuk yang pantas mampus?”

Hampir-hampir Lenghou Tiong tertawa, katanya, “Kau sendirilah yang menyuruh mereka mencari dan membunuh aku, mengapa kau malah salahkan mereka? Lagi pula mereka pun tidak menertawai kau. Bukankah kau mendengar pembicaraan Lo Thau-cu bertiga tadi tentang dirimu, betapa segan dan hormat mereka kepadamu, masakan mereka ada maksud menertawai kau?”

“Di mulut mereka tidak menertawai aku, tapi di dalam hati mereka tertawa,” kata Ing-ing.

Diam-diam Lenghou Tiong merasa si nona ingin menang sendiri, ia pun tidak mau berdebat lagi dengan dia, terpaksa berkata, “Baiklah, kau melarang aku pergi, biar aku mendampingi kau di sini saja. Ai, jika benar-benar dibacok orang sehingga terpotong-potong rasanya tentu tidaklah enak.”

Ing-ing menjadi girang karena Lenghou Tiong berjanji takkan pergi. Katanya, “Rasanya tidak enak apa, hakikatnya memang konyol.”

Waktu bicara muka si nona rada dimiringkan ke sebelah sini sehingga di bawah cahaya bintang-bintang yang remang-remang dapat terlihat mukanya yang putih halus. Seketika tergerak perasaan Lenghou Tiong, pikirnya, “Sesungguhnya nona ini jauh lebih cantik daripada Siausumoay, akan tetapi ... akan tetapi, entah mengapa hatiku masih selalu terkenang kepada Siausumoay saja.”

Sudah tentu Ing-ing tidak tahu di dalam hati Lenghou Tiong sedang memikirkan Gak Leng-sian, ia bertanya pula, “Di mana kecapi pemberianku tempo hari? Sudah kau hilangkan ya?”

“Ya,” sahut Lenghou Tiong. “Aku kehabisan sangu di tengah jalan dan terpaksa kecapi itu kugadaikan.”

Sembari berkata ia pun menanggalkan buntelan yang menyandang di bahunya, lalu dibuka dan dikeluarkannya khim (kecapi) pemberian si nona dahulu itu.

Melihat buntelan kecapi itu sangat rapi, suatu tanda betapa cermat dan sayang terhadap benda pemberiannya itu, diam-diam Ing-ing sangat senang. Omelnya kemudian, “Setiap hari kau mesti berdusta, baru hatimu merasa, puas bukan?”

Lalu ia ambil kecapi itu dan mulai dipetiknya perlahan-lahan, dibawakannya lagu “Jing-sim-boh-sian-ciu” itu sambil bertanya, “Lagu ini sudah kau pelajari dengan baik belum?”

“Wah, masih jauh daripada baik,” sahut Lenghou Tiong sambil mendengarkan suara kecapi yang merdu dan menyegarkan itu. Ia merasa suara kecapi sekarang rada berbeda daripada apa yang dibawakannya di Lokyang dahulu, bunyi kecapi sekarang lebih lincah, seperti kicauan burung, seperti gemerciknya mata air. Baru sekarang ia tahu bahwa lagunya meski sama, tapi iramanya berbeda, kiranya lagu Jing-sim-boh-sian-ciu itu masih mempunyai perubahan sebanyak ini.

Tiba-tiba terdengar “creng” satu kali, senar kecapi yang paling pendek itu telah putus. Ing-ing tampak mengerut dahi, tapi masih terus memetik kecapinya. Selang tidak lama, “cring”, kembali senarnya putus satu utas.

Dari irama kecapinya itu sekarang Lenghou Tiong merasa mengandung kegelisahan sehingga sangat berlawanan dengan lagu Jing-sim-boh-sian-ciu yang semula. Lewat tidak lama pula, selagi heran, mendadak senar kecapi putus satu utas pula.

Ing-ing tampak tercengang dan mendorong kecapinya ke depan. Lalu omelnya, “Kau duduk di situ hanya mengganggu saja, tentu saja tak dapat membunyikan kecapi ini dengan baik.”

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Sejak tadi aku duduk tenang-tenang mendengarkan di sini, bilakah aku pernah mengganggu kau?” tapi segera ia paham, “Ya, dia sendirilah yang pikirannya tidak tenang sehingga akulah yang disalahkan.”

Tapi ia pun tidak membantah omelan si nona, ia lantas merebahkan diri di atas tanah berumput itu dan pejamkan mata untuk istirahat. Rupanya saking lelahnya sehingga akhirnya tanpa terasa ia terpulas.

Besok paginya waktu dia mendusin, dilihatnya Ing-ing sedang mencuci muka di tepi sungai. Habis cuci muka si nona mulai menyisir rambut dengan sebuah sisir, lengannya putih bersih, rambutnya panjang terurai, Lenghou Tiong sampai kesima.

Waktu Ing-ing menoleh, dilihatnya Lenghou Tiong sedang memandanginya dengan termangu-mangu, muka Ing-ing menjadi merah, omelnya dengan tertawa, “Setan tidur, baru sekarang mendusin.”

Lenghou Tiong rada rikuh juga, katanya mengada-ada, “Coba kupergi menangkap kodok, entah aku sudah kuat belum.”

Memang benar juga, waktu Lenghou Tiong bermaksud berbangkit, terasa tangan dan kakinya masih lemas linu, sedikit pakai tenaga saja darah lantas bergolak di rongga dadanya. Sungguh tidak kepalang rasa dongkolnya, kalau mau mati biar mati saja daripada mati tidak hidup tidak seperti sekarang ini, jangankan orang lain merasa jemu terhadap keadaannya itu, sedangkan dirinya sendiri juga merasa keki.

Melihat air muka Lenghou Tiong bersungut, Ing-ing lantas menghiburnya, “Luka dalam yang kau derita belum pasti sukar disembuhkan, di sini adalah tempat yang sunyi, toh tiada pekerjaan apa-apa, boleh kau merawat badanmu perlahan-lahan kenapa mesti gelisah?”

Begitulah mereka terus tinggal di lembah pegunungan itu selama belasan hari. Luka Ing-ing sudah lama sembuh, setiap hari dia yang menangkap swike sebagai bahan makanan. Sebaliknya badan Lenghou Tiong makin hari makin susut tampaknya, melihat tangannya yang kurus itu hakikatnya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Meski Ing-ing sering membunyikan kecapi untuk menenangkan pikiran Lenghou Tiong dan membuatnya bisa tidur nyenyak, tapi bagi kesehatannya itu ternyata tiada berguna sama sekali.

Lenghou Tiong tahu ajalnya sudah mendekat, untunglah dia adalah seorang pemuda yang berpikiran lapang, ia pun tidak merisaukan nasibnya itu. Setiap hari dia masih tetap bersenda gurau dengan Ing-ing. Karena tiada punya sesuatu sirikan, maka senda guraunya menjadi semakin bebas.

Di lembah pegunungan yang terpencil sunyi itu, sejak perginya Keh Bu-si bertiga pada malam itu, untuk seterusnya tidak pernah lagi didatangi orang lain sehingga suasananya benar-benar aman tenteram.

Watak Ing-ing sebenarnya sangat tinggi hati dan suka main perintah, tapi demi ingat bahwa setiap saat ada kemungkinan riwayat Lenghou Tiong bisa tamat, maka dia tambah ramah dan mesra melayani pemuda itu dengan segala cara. Terkadang ia pun suka muring-muring, tapi segera ia menjadi menyesal dan minta maaf kepada Lenghou Tiong.

Hari ini ketika dilihatnya Lenghou Tiong setiap hari hanya makan swike melulu dan tentu juga merasa bosan, maka Ing-ing telah pergi memburu seekor ayam hutan untuk dipanggang, ia mencari pula beberapa biji buah tho. Kedua orang dapat bersantap dengan kenyang.

Bab 60. “Ih-kin-keng” Penyambung Jiwa Lenghou Tiong

Habis makan, Lenghou Tiong merasa letih pula, sayup-sayup ia tertidur lagi akhirnya. Di tengah mimpinya tiba-tiba seperti didengarnya suara orang menangis. Waktu ia membuka mata perlahan-lahan, dilihatnya Ing-ing mendekam di samping kakinya, pundaknya tampak bergerak naik turun, terang nona itu sedang menangis.

Lenghou Tiong terkejut, baru bermaksud tanya si nona mengapa mendadak berduka, tapi segera ia paham duduknya perkara, tentu dia tahu ajalku sudah hampir tiba, makanya dia merasa sedih.

Perlahan-lahan ia mengulurkan sebelah tangan untuk meraba dan membelai rambut si nona.

Tahu bahwa Lenghou Tiong sudah mendusin, Ing-ing tidak angkat kepalanya lagi, sebaliknya menangis semakin sedih.

“Jangan menangis, jangan menangis!” hibur Lenghou Tiong dengan sengaja tertawa, “Umurku masih ada 80 tahun lamanya, masakah begini cepat aku mau bersanakan dengan Giam-lo-ong (raja akhirat)?”

Dengan menangis Ing-ing berkata, “Tapi makin hari kau semakin kurus, aku ... aku ....”

Mendengar ucapan si nona, yang simpatik dan penuh kecemasan itu, sungguh hati Lenghou Tiong sangat terharu. Seketika ia merasa langit dan bumi seakan-akan berputar-putar, darah seperti mau menyembur keluar dari kerongkongannya. Lalu ia tidak ingat diri lagi.

Pingsannya itu entah sudah lewat berapa lamanya, hanya terkadang ia dapat merasakan sedikit tubuhnya seperti terapung di atas langit, habis itu dia lantas kehilangan ingatan pula. Begitulah terkadang ia bisa sadar sebentar, tapi tidak lama ia lantas pingsan lagi. Terkadang merasa ada orang mencekoki minuman padanya, tempo-tempo terasa ada orang membakar badannya dengan api.

Suatu hari, pikiran Lenghou Tiong terasa rada jernih. Didengarnya suara seorang lelaki sedang berkata, “Apakah dia dapat hidup, hal ini mesti melihat rezekinya.”

“Ai, memang sukar untuk diramalkan,” terdengar suara seorang lelaki lain sambil menghela napas.

Mestinya Lenghou Tiong bermaksud membuka matanya untuk melihat siapakah gerangan orang-orang yang berbicara itu, akan tetapi kelopak matanya dirasakan amat berat, betapa pun sukar dipentang. Didengarnya orang yang pertama tadi berkata pula, “Biarlah kita berusaha sepenuh tenaga, kita jangan mengecewakan kepercayaan orang kepada kita.”

Menyusul Lenghou Tiong lantas merasa kedua pergelangan tangannya dipegang orang, masing-masing ada suatu hawa hangat yang menyalur ke dalam tubuhnya melalui urat nadi pergelangan itu, maka terjadilah pergolakan hebat dengan tenaga murni yang telah mengeram lebih dulu di dalam tubuhnya itu.

Sekujur badan dirasakannya sangat menderita, ia bermaksud berteriak, tapi sedikit pun tak dapat mengeluarkan suara. Saat itu dia benar-benar tersiksa seperti mengalami berbagai macam alat penyiksa yang paling hebat.

Begitulah ia terus dalam keadaan sadar tak-sadar dan entah sudah lewat berapa lamanya, ia hanya dapat merasakan setiap kali terasa ada hawa murni menyalur masuk ke dalam badannya, maka rasa derita yang hebat itu lantas rada berkurang. Lambat laun ia paham juga bahwa pasti ada dua orang yang mempunyai lwekang amat tinggi sedang menolong dan menyembuhkan penyakitnya. Pikirnya ragu-ragu, “Apakah barangkali Suhu atau Sunio telah mengundang tokoh sakti dari mana untuk menolong jiwaku? Dan ke mana perginya Ing-ing sekarang?”

Karena rasa sangsi dan ingin tahunya, pada hari ini sesudah menerima saluran hawa murni ia lantas mengajukan pertanyaan, “Banyak terima kasih atas pertolongan Cianpwe? Entah saat ini aku berada ... berada di mana?”

Waktu ia membuka mata, dilihatnya suatu wajah yang penuh berkeriput, tapi mengulum senyum yang sangat ramah.

Lenghou Tiong merasa sudah kenal baik wajah orang tua ini, yang pasti bukanlah suhunya, dalam keadaan samar-samar ia memandangnya sejenak, tapi mendadak ia dapat mengingatnya dari kepala orang tua yang gundul dengan sembilan titik bekas selomot api dupa itu, terang kepala ini adalah seorang hwesio, segera teringat olehnya, katanya, “Engkau adalah ... adalah Hong-sing Taysu.”

Hwesio tua itu tersenyum dan menjawab, “Kau masih kenal padaku. Ya, aku Hong-sing adanya.”

“Ya, ya, engkau memang Hong-sing Taysu,” kata Lenghou Tiong pula. Kini ia dapat merasakan dirinya ternyata berada di dalam sebuah kamar yang gelap, di tengah kamar hanya diterangi oleh sebuah pelita yang bercahaya guram, dirinya terasa terbaring di atas balai-balai dengan berselimut.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Hong-sing.

“Sudah banyak lebih baik,” sahut Lenghou Tiong. “Di ... di manakah aku berada ini?”

“Kau berada di dalam Siau-lim-si,” kata Hong-sing.
“Selama tiga bulan ini untuk pertama kalinya kau membuka suara.”

Keruan Lenghou Tiong kaget, serunya, “Haaah? Aku ... aku berada di Siau-lim-si?
Dan di ... di manakah Ing-ing? Mengapa aku bisa ... bisa sampai di Siau-lim-si sini?”

“Kau baru saja sadar, pikiranmu tentu belum jernih kembali, lebih baik kau jangan banyak berpikir supaya penyakitmu tidak kambuh kembali,” ujar Hong-sing dengan tersenyum.
“Jika ada urusan apa-apa biarlah dibicarakan kelak secara perlahan-lahan.”

Begitulah untuk selanjutnya setiap hari Hong-sing selalu datang ke kamar itu pada waktu pagi dan malam untuk menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh Lenghou Tiong untuk bantu menyembuhkan penyakitnya.

Lewat belasan hari lagi keadaan Lenghou Tiong sudah tambah baik, dia sudah mulai bisa berduduk dan dapat pula turun dari pembaringan untuk berjalan, tapi setiap kali ia tanya tentang Ing-ing dan ke mana perginya nona itu pula tentang cara bagaimana dirinya bisa berada di Siau-lim-si, pertanyaan-pertanyaan ini selalu dijawab oleh Hong-sing dengan tersenyum saja tanpa penjelasan.

Suatu hari, kembali Hong-sing datang memberi saluran hawa murni pula kepada Lenghou Tiong, katanya, “Lenghou-siauhiap, sekarang jiwamu boleh dikata sudah dapat diselamatkan, cuma kekuatan Lolap sangat terbatas, selama ini masih tidak sanggup memunahkan hawa murni yang sangat aneh di dalam badanmu itu sehingga terpaksa hanya bisa mengulur waktu saja, tapi besar kemungkinan tidak sampai setahun penyakitmu sudah akan kambuh lagi, tatkala mana biarpun ada malaikat dewata juga sukar menolong jiwamu.”

“Ya, tempo hari Peng It-ci, Peng-tayhu juga berkata demikian kepadaku,” sahut Lenghou Tiong mengangguk. “Taysu telah berusaha sekuat tenaga untuk menolong Wanpwe, sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga. Tentang usia seseorang memang sudah takdir Ilahi, betapa pun keinginan orang juga tak dapat berbuat melawan takdir.”

Hong-sing menggeleng, katanya, “Dahulu pernah kukatakan padamu bahwa ketua kami Hong-ting Taysu memiliki lwekang yang mahatinggi, jika beliau ada jodoh dengan kau dan suka mengajarkan ‘Ih-kin-keng’ yang hebat itu kepadamu, maka otot tulang saja dapat diperbarui apalagi cuma memunahkan hawa murni di dalam tubuhmu? Marilah sekarang juga akan kubawa kau pergi menemui Hongtiang Suheng, semoga kau dapat menjawab pertanyaannya dengan baik-baik.”

Memang sudah lama Lenghou Tiong mendengar nama kebesaran ketua Siau-lim-si Hong-ting Taysu, tentu saja ia sangat girang. Jawabnya cepat, “Banyak terima kasih atas kesudian Taysu mempertemukan Wanpwe kepada Hongtiang, seumpama Wanpwe tidak berjodoh dengan beliau dan tidak memenuhi syarat, tapi asalkan dapat berjumpa dengan padri agung yang terkemuka pada zaman ini juga sudah bahagia bagiku.”
Habis itu ia lantas ikut Hong-sing Taysu keluar dari kamar itu. Setiba di luar, seketika matanya menjadi silau oleh cahaya sang surya yang gemilang. Sudah sekian lamanya ia tidak melihat matahari, kini mendadak pandangannya menjadi silau, rasanya seperti memasuki suatu dunia lain, semangatnya lantas terbangkit dan segar.

Di waktu melangkah sesungguhnya kedua kaki Lenghou Tiong masih terasa sangat lemas. Dilihatnya Siau-lim-si itu terdiri dari suatu kompleks gedung-gedung atau istana-istana yang sangat megah. Sepanjang jalan yang dilalui telah banyak bertemu dengan kawanan padri, tapi waktu melihat Hong-sing semuanya lantas menyingkir ke tepi jalan sambil menundukkan kepala memberi hormat dengan sikap yang sangat segan.

Setelah menyusuri tiga jalanan serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di luar sebuah rumah batu. Hong-sing lantas berkata kepada seorang hwesio cilik yang menjaga di luar rumah itu, “Hong-sing ada urusan dan mohon bertemu dengan Hongtiang Suheng.”

Hwesio cilik itu mengiakan dan melaporkannya ke dalam. Tidak lama kemudian ia telah keluar lagi dan memberi hormat, katanya, “Hongtiang menyilakan Taysu masuk.”

Segera Lenghou Tiong ikut di belakang Hong-sing memasuki rumah batu itu. Terlihatlah seorang hwesio tua bertubuh pendek kecil duduk di atas satu kasuran di tengah-tengah ruangan.

“Hong-sing menyampaikan sembah kepada Hongtiang Suheng,” demikian Hong-sing lantas memberi hormat kepada hwesio tua itu. “Bersama ini pula Hong-sing memperkenalkan murid pertama dari Hoa-san-pay, Lenghou Tiong, Lenghou-siauhiap.”

Cepat Lenghou Tiong lantas berlutut dan memberi sembah.

Hong-ting Hongtiang, ketua Siau-lim-si, sedikit membungkuk tubuh sambil mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Siauhiap jangan banyak peradatan. Silakan duduk!”

Selesai memberi hormat, lalu Lenghou Tiong mengambil tempat duduk di atas kasuran yang terletak di samping Hong-sing. Dilihatnya paras ketua Siau-lim-si itu rada-rada muram, seakan-akan orang yang sedang bersedih, usianya sukar untuk ditaksir. Diam-diam ia heran, “Sungguh tidak nyana bahwa padri agung yang namanya mengguncangkan dunia ini ternyata cuma begini saja mukanya. Jika bertemu dengan dia di luar Siau-lim-si mungkin tiada seorang pun yang akan menduga bahwa dia adalah ketua suatu aliran terbesar di dunia persilatan pada zaman ini.”

Dalam pada itu terdengar Hong-sing Taysu telah bicara pula, “Lapor Suheng, sesudah mendapat perawatan selama lebih tiga bulan, kini kesehatan Lenghou-siauhiap sudah jauh bertambah baik.”

Lenghou Tiong terkejut lagi, “Kiranya sudah lebih tiga bulan lamanya aku dalam keadaan tak sadarkan diri, tadi aku sih mengira paling lama baru belasan hari saja.”

Terdengar Hong-ting Taysu telah berkata, “Baik sekali,” lalu ia menoleh kepada Lenghou Tiong dan meneruskan, “Siauhiap, gurumu Gak-siansing adalah ketua Hoa-san-pay, pribadi beliau terkenal sangat tegas dan jujur, namanya berkumandang di seluruh penjuru Kangouw, Lolap sendiri selamanya juga sangat kagum kepada beliau.”

“Ah, Hongtiang terlalu memuji,” sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati. “Wanpwe menderita penyakit parah dan tak sadarkan diri, syukur mendapat pertolongan dari Hong-sing Taysu sehingga jiwaku dapat diselamatkan. Selama Wanpwe tidak sadarkan diri kiranya sudah lebih tiga bulan lamanya. Selama itu Suhu dan Subo kami tentulah dalam keadaan baik-baik juga?”

Tentang guru dan ibu-gurunya sendiri apakah baik-baik atau tidak mestinya tidak layak ditanyakan kepada orang luar, cuma lantaran Lenghou Tiong sangat memikirkan kedua orang tua itu sehingga tanpa pikir ia telah mengajukan pertanyaan demikian.

Maka terdengar Hong-sing telah menjawab, “Kabarnya Gak-siansing, Gak-hujin, serta para murid Hoa-san-pay kini berada semua di Hokkian.”

Mendapat keterangan itu, legalah hati Lenghou Tiong, katanya, “Banyak terima kasih atas pemberitahuan ini.”

Lalu Hong-ting mulai berkata pula, “Menurut keterangan Hong-sing Sute, katanya ilmu pedang Lenghou-siauhiap mahahebat dan sudah memperoleh ajaran asli ‘Tokko-kiu-kiam’ dari kaum cianpwe Hoa-san-pay Hong-losiansing, hal ini sungguh sangat menggirangkan dan pantas diucapkan selamat kepada Siauhiap. Sudah lama sekali Hong-losiansing mengasingkan diri, selama ini Lolap menyangka beliau sudah wafat, siapa kira beliau masih berada di dunia fana ini, sungguh membuat orang girang tak terhingga dan Lolap juga ikut bersyukur.”

Lenghou Tiong hanya mengiakan saja. Diam-diam ia berpikir, “Menurut tingkatan angkatan, Hong-thaysusiokco memang lebih tua daripada kedua padri agung Siau-lim-si ini, mereka ini memang harus menyebut beliau sebagai locianpwe.”

Dalam pada itu kedua mata Hong-ting tampak rada tertutup, lalu berkata pula dengan perlahan, “Sesudah Lenghou-siauhiap terluka, tapi karena mendapat penyembuhan yang keliru dari orang yang tidak mahir sehingga di dalam tubuhmu terhimpun berbagai macam hawa murni yang aneh dan sukar dipunahkan, hal-hal ini Lolap sudah diberi tahu oleh Hong-sing Sute. Setelah Lolap meninjau persoalan ini dengan teliti, kukira hanya ada satu jalan, yaitu melatih ‘Ih-kin-keng’, yaitu inti lwekang yang paling tinggi dari Siau-lim-pay kami, dengan demikian barulah kelak Siauhiap mampu memunahkan macam-macam hawa murni jahat itu dengan kekuatan yang timbul dari tubuhmu sendiri. Sebaliknya kalau mau memunahkannya dengan kekuatan dari luar, walaupun jiwamu dapat diulur dan ditunda untuk sementara waktu, namun sebenarnya tiada gunanya, bahkan akan lebih merugikan dirimu malah. Selama lebih tiga bulan Hong-sing Sute telah menyelamatkan jiwamu dengan tenaga dalamnya, akan tetapi dengan tersalurkannya tenaga dalamnya ke dalam tubuhmu, maka kini di dalam tubuhmu menjadi bertambah pula semacam hawa murni yang aneh. Untuk ini boleh Siauhiap coba-coba buktikan dengan mengerahkan tenagamu, coba.”

Lenghou Tiong menurut, ia coba-coba mengerahkan tenaga sedikit saja, benar juga lantas terasa darah bergolak, sakitnya bukan kepalang, seketika butir-butir keringat berketes-ketes dari dahinya.

“Lolap tidak becus sehingga makin menambah penderitaan Siauhiap,” ujar Hong-sing sambil merangkap kedua tangannya.

Jawab Lenghou Tiong, “Ah, mengapa Taysu berkata demikian? Taysu telah menolong jiwa Wanpwe dengan sepenuh tenaga sehingga banyak mengorbankan tenaga murni, bisanya Wanpwe hidup lagi seperti sekarang adalah berkat budi pertolongan Taysu.”

“Aku tidak berani,” sahut Hong-sing. “Dahulu Hong-losiansing pernah menolong Lolap, maka sedikit perbuatanku ini tidak lebih hanya sebagian kecil saja batas budi kebaikan Hong-losiansing itu.”

Tiba-tiba Hong-ting mengangkat kepalanya dan berkata, “Bicara tentang budi kebaikan atau dendam sakit hati apa segala? Budi kebaikan adalah jodoh, dendam sakit hati tidak boleh dipegang teguh. Segala kejadian di dunia fana ini laksana asap saja yang akan buyar dalam sekejap mata, setelah mencapai kesempurnaan takkan ada soal budi kebaikan dan dendam sakit hati lagi.”

“Ya, terima kasih atas petuah Suheng ini,” sahut Hong-sing.

Perlahan-lahan Hong-ting berkata pula, “Anak murid Buddha harus mengutamakan welas asih. Jika Siauhiap sudah menderita penyakit sedalam itu, sudah seharusnya akan kutolong sepenuh tenaga. Tentang ‘Ih-kin-keng’ itu adalah ciptaan cikal bakal Siau-lim-si kami Tat-mo Cosu yang kemudian diwariskan kepada Cosu kedua, Hui-ko Taysu. Asalnya Hui-ko Taysu bergelar Sin-kong, beliau adalah orang Lokyang, waktu mudanya banyak mempelajari agama-agama lain, pengetahuannya sangat luas. Waktu Tat-mo Cosu sampai bersemayam di sini, Sin-kong Taysu telah berkunjung kemari dan mohon diterima sebagai murid, namun Tat-mo Cosu merasa apa yang dipelajari Sin-kong Taysu terlalu ruwet dan sukar memahami ajaran Buddha melulu, maka telah menolak permohonannya. Sin-kong Taysu masih terus memohon dengan sangat dan tetap tidak dapat diterima, akhirnya beliau lantas melolos pedang dan mengutungi lengan kiri sendiri.”

“Ah!” Lenghou Tiong sambil bersuara kaget. Pikirnya, “Ternyata tekad Sin-kong Taysu itu sedemikian teguhnya.”

Hong-ting melanjutkan pula ceritanya, “Melihat begitu teguh maksud Sin-kong Taysu barulah kemudian Tat-mo Cosu mau menerimanya sebagai murid dan mengganti nama sucinya sebagai Hui-ko, kelak Hui-ko Taysu yang menjadi pewaris Tat-mo Cosu dan pada Zaman Sui-tiau (Dinasti Sui) beliau diberi sebutan sebagai ‘Sian-kat Taysu’. Ih-kin-keng yang diperoleh Hui-ko Taysu masih tertulis dalam huruf Hindu kuno, arti dalam kitab itu sangat luas, Hui-ko Taysu memperoleh kitab itu di tempat semadi Tat-mo Cosu ketika wafat sehingga isi kitab itu tak dapat dipelajari.

“Menurut tafsiran Hui-ko Cosu, kitab yang ditinggalkan Tat-mo Cosu sesudah bersemadi menghadapi tembok selama sembilan tahun, walaupun isi kitab hanya sedikit saja, tapi maknanya pasti lain daripada yang lain. Maka beliau lantas membawa kitab itu dan menjelajahi berbagai pegunungan ternama untuk mencari padri saleh yang dapat memberi pemecahan tentang arti isi kitab itu.

“Namun dapatlah dibayangkan, tatkala itu Hui-ko Cosu sudah terhitung padri saleh pada zaman itu, apa yang beliau renungkan saja sukar dipecahkan, apalagi mau mencari padri saleh lain yang lebih pintar daripada Hui-ko Cosu sendiri, terang hal ini sangat sulit dicari. Sebab itulah selama lebih dari 20 tahun arti dari isi kitab Ih-kin-keng yang dalam itu tetap tak terpecahkan.

“Pada suatu hari, berkat jodoh Hui-ko Cosu yang amat terpuji, beliau telah dapat bertemu dengan seorang padri Hindu di puncak Go-bi-san, padri Hindu itu bernama Panji Miti, keduanya telah saling tukar pendapat tentang ajaran Buddha dan masing-masing merasa sangat cocok satu sama lain. Akhirnya Hui-ko Cosu telah mengeluarkan Ih-kin-keng yang dibawanya untuk dibaca dan dipelajari bersama dengan Panji Miti. Kedua padri saleh itu saling tukar pendapat di puncak Go-bi-san selama 7x7=49 hari dan akhirnya dapat mencapai maksud tujuannya, isi kitab itu telah dapat dipecahkan dengan baik.”

“Omitohud! Siancay! Siancay!” demikian Hong-sing mengucapkan sabda Buddha.

Lalu Hong-ting melanjutkan pula, “Tapi apa yang dapat dipecahkan oleh padri saleh Panji Miti itu sebagian besar adalah ajaran Buddha melulu, baru 12 tahun kemudian ketika Hui-ko Cosu bertemu dengan seorang muda yang mahir ilmu silat di Tiang-an, mereka saling tukar pikiran pula selama tiga hari tiga malam, akhirnya segala intisari ilmu silat yang terkandung di dalam Ih-kin-keng itu dapatlah dipahami seluruhnya.”

Setelah merandek sejenak, kemudian disambungnya, “Orang muda itu bukan lain adalah pahlawan berjasa pada pendirian dinasti Tong yang terkenal dengan gelaran Wei-kok-kong Li Ceng adanya. Sebabnya Li Ceng dapat mendirikan begitu besar pahala tak lain adalah berkat manfaat yang diperolehnya dari isi Ih-kin-keng itu.”

Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, “O, kiranya begitu hebat asal usulnya ‘Ih-kin-keng’ ini.”

Hong-ting lantas melanjutkan pula, “Ilmu di dalam Ih-kin-keng itu melingkupi segenap urat nadi seluruh tubuh dan mengikat semangat semua anggota badan, kekuatan akan timbul dari dalam tubuh dan darah akan mengalir lancar. Jika kitab itu sudah dapat diyakinkan isinya, maka tenaga dapat timbul menurut keinginan tanpa terputus. Lenghou-siauhiap, meyakinkan Ih-kin-keng adalah laksana sebuah perahu kecil yang terombang-ambing di tengah gelombang ombak samudra dan perahu kecil itu akan naik-turun mengikuti tinggi rendahnya gelombang sehingga sukar untuk dikekang, tapi kalau ingin mengekangnya, dari mana tempatnya yang dapat dikekang?”

Lenghou Tiong hanya manggut-manggut mengikuti uraian ketua Siau-lim-si itu, ia merasa teori perahu di tengah damparan ombak yang diuraikan itu rada cocok dengan teori ilmu pedang ajaran Hong Jing-yang itu dan ternyata memang betul Ih-kin-keng itu adalah ilmu silat yang amat luas dan susah dijajaki.

Lalu Hong-ting menyambung, “Lantaran Ih-kin-keng mengandung daya kekuatan sedemikian hebat, maka selama beberapa ratus tahun tidak diajarkan kepada siapa pun juga kecuali kepada seorang yang ada jodoh. Sekalipun anak murid pilihan dari Siau-lim-si sendiri jika memang tidak punya rezeki, tidak ada jodoh, kepadanya juga tidak diberikan ajaran Ih-kin-keng ini. Misalnya Hong-sing Sute, ilmu silatnya sudah amat tinggi, pribadinya juga sangat baik, dia adalah tokoh terkemuka dari Siau-lim-si, namun dia toh tidak mendapat pelajaran Ih-kin-keng dari guru kami.”

“Jadi kitab suci ini tidak sembarangan diajarkan kepada orang, hal ini telah jelas diterangkan oleh Taysu, Wanpwe sendiri merasa tidak punya rezeki dan tidak ada jodoh, maka Wanpwe tidak berani mengajukan permohonan sesuatu apa pun,” kata Lenghou Tiong.

“Tidak, Siauhiap justru adalah orang yang ada jodoh,” ujar Hong-ting.

Jantung Lenghou Tiong berdebar-debar seketika mendengar keterangan itu. Sungguh tidak tersangka bahwa ilmu yang dirahasiakan oleh Siau-lim-si, sampai-sampai tokoh terpilih dan padri agung sebagai Hong-sing Taysu saja tidak mendapat pelajarannya, tapi dirinya sendiri ternyata dikatakan ada jodoh.

Perlahan-lahan Hong-ting berkata lagi, “Buddha mahabesar dan hanya terbuka bagi yang ada jodoh. Siauhiap adalah ahli waris Tokko-kiu-kiam ajaran Hong-losiansing, ini adalah suatu jodoh, Siauhiap dapat datang ke Siau-lim-si sini, ini pun adalah jodoh. Siauhiap kalau tidak meyakinkan Ih-kin-keng tentu jiwamu akan tamat, sebaliknya umpama Hong-sing Sute mempelajari Ih-kin-keng memang ada manfaatnya, tapi kalau tidak meyakinkan juga tidak ada halangan baginya. Perbedaanmu dengan Hong-sing Sute ini pun suatu jodoh pula.”

“Rezeki dan jodoh Lenghou-siauhiap ternyata amat besar, sungguh aku pun merasa sangat bersyukur,” ujar Hong-sing Taysu sambil merangkap kedua tangannya.
“Sebenarnya di antara ini masih ada suatu rintangan, tapi saat ini rintangan itu pun sudah dilalui,” kata Hong-ting. “Sejak Tat-mo Cosu sampai kini, Ih-kin-keng hanya diajarkan kepada murid Siau-lim-si sendiri dan tidak diturunkan kepada orang luar, tata tertib ini tak boleh dilanggar olehku, maka Siauhiap harus masuk Siau-lim-si dan diterima sebagai murid dari keluarga partikelir.”

Setelah merandek sejenak, lalu ia melanjutkan, “Dan kalau Siauhiap tidak menampik, bolehlah kau kuterima sebagai murid dan terhitung murid dari angkatan ‘Kok’ dengan nama baru Lenghou Kok-tiong.”

Yang memperlihatkan rasa girang lebih dulu adalah Hong-sing, segera ia berkata, “Terimalah ucapan selamat dariku, Lenghou-siauhiap. Selama hidup Hongtiang Suheng hanya pernah menerima dua orang murid, hal ini pun sudah terjadi 30 tahun yang lalu. Kini Siauhiap adalah murid penutup dari Hongtiang Suheng bukan saja akan dapat menyelami ilmu silat mahatinggi dari Ih-kin-keng, bahkan ke-12 macam ilmu silat Siau-lim-pay kita juga akan diajarkan Hongtiang Suheng kepadamu, kelak Siauhiap pasti dapat lebih mengembangkan perguruan kita dan membawa nama Siau-lim-pay lebih jaya di dunia persilatan.”

Mendadak Lenghou Tiong berbangkit, sahutnya, “Banyak terima kasih atas segala maksud baik Hongtiang Taysu. Cuma Wanpwe sudah masuk sebagai murid Hoa-san-pay, maka tidak berani ganti perguruan lagi.”
Hong-ting tersenyum, katanya, “Rintangan yang kukatakan tadi justru adalah soal ini. Siauhiap, saat ini kau sudah bukan murid Hoa-san-pay lagi. Mungkin hal ini kau sendiri pun belum tahu.”

Lenghou Tiong terkesiap, tanyanya tidak habis mengerti, “Ken ... kenapa aku bukan ... bukan murid Hoa-san-pay lagi?”
“Silakan Siauhiap membaca sendiri,” kata Hong-ting sambil mengeluarkan sepucuk surat. Sedikit tangannya bergerak, surat itu lantas melayang lurus ke arah Lenghou Tiong.

Cepat Lenghou Tiong menangkap surat itu dengan kedua tangannya. Terasalah badannya tergetar. Keruan kejutnya tak terkatakan. Pikirnya, “Lwekang ketua Siau-lim-si ini benar-benar dalamnya susah diukur. Melulu sepucuk surat seenteng ini ternyata bisa juga membawa tenaga dalam sekuat ini. Untung tenagaku sudah punah, jika tidak tentu aku akan menangkap sampul surat ini dengan mengerahkan tenaga dan dari benturan kedua arus tenaga pasti aku sendiri akan terpental.”

Ketika ia mengamat-amati sampul surat itu, ternyata di atas sampul terdapat stempel tanda ketua Hoa-san-pay dan terdapat pula tulisan: “Diaturkan kepada Ciangbun Taysu Siau-lim-pay”. Dari tulisan yang indah dan goresan yang kuat itu jelas memang betul adalah tulisan tangan Gak Put-kun, gurunya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar