Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 21 Oktober 2010

Hina Kelana - Chin Yung - Bagian 141-Tamat

sambungan

Bab 141. Yim Ngo-heng Mati, Pertikaian pun Berhenti

Ketika para anggota Tiau-yang-sin-kau mendengar ucapan sang kaucu mendadak berhenti setengah-setengah, suaranya juga kedengaran serak, semua orang menjadi kaget dan sama mendongak, maka terlihatlah kulit muka sang kaucu berkerut-kerut, tampaknya sangat kesakitan, menyusul tubuh sang kaucu menggeliat terus roboh terjungkal.

“Kaucu!” Hiang Bun-thian berseru kaget.

“Ayah!” Ing-ing pun berseru khawatir. Keduanya sama-sama memburu maju dan sempat menahan tubuh Yim Ngo-heng yang roboh itu.

Tapi tubuh Yim Ngo-heng hanya berkelojotan beberapa kali saja, lalu berhenti bernapas.

Itulah nasib manusia pada umumnya, apakah dia seorang pahlawan atau nabi sekalipun, baik seorang penjahat besar maupun orang alim, akhirnya toh meninggal dunia juga.

Sementara itu Lenghou Tiong yang turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk, sampai lewat tengah malam barulah dia sadar kembali. Sesudah sadar, baru diketahui dirinya sudah berada di tengah ladang luas, para murid Hing-san-pay sama berduduk di kejauhan untuk menjaganya. Teringat seterusnya mungkin tiada harapan buat berjumpa kembali dengan Ing-ing, berdukalah hati Lenghou Tiong.


Begitulah rombongan mereka akhirnya sampai Kian-seng-hong di Hing-san dengan selamat, segenap anak murid Hing-san-pay lantas mengadakan sembahyangan terhadap abu Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay berhubung terbalasnya sakit hati mereka.

Mengingat dalam waktu singkat Hing-san pasti akan diserbu oleh Tiau-yang-sin-kau, habis pertempuran itu Hing-san-pay tentu akan musnah. Karena kekalahan sudah diketahui sebelumnya, maka setiap orang menjadi tidak perlu khawatir malah.

Sementara, itu Put-kay Hwesio dan istrinya serta Gi-lim dan Dian Pek-kong juga sudah menggabungkan diri dengan rombongan besar di kaki gunung Hoa-san. Lenghou Tiong menduga Put-kay dan istrinya tentu takkan meninggalkan anak perempuannya untuk menyelamatkan diri sendiri, maka ia pun membiarkan mereka tetap tinggal di Hing-san.

Karena menganggap tiada gunanya berlatih lagi, sebab toh tiada gunanya dan takkan terhindar kematian, maka anak murid Hing-san-pay itu menjadi malas untuk berlatih ilmu pedang seperti biasanya, hanya sebagian yang tetap taat kepada agama dan setiap hari tetap menjalankan ibadat dengan baik, sedang lain-lainnya yang iseng lantas pesiar ke seluruh pegunungan indah itu.

Selang beberapa hari, Kian-seng-hong tiba-tiba kedatangan sepuluh orang hwesio, yang mengepalai adalah ketua Siau-lim-si, Hong-ting Taysu. Saat itu Lenghou Tiong sedang menenggak arak sendirian di biara induk, ketika mendapat laporan kedatangan Hong-ting Taysu itu, ia terkejut dan bergirang pula, lekas-lekas ia keluar menyambut.

Dilihatnya Hong-sing Taysu juga ikut datang, sedang kedelapan hwesio yang lain semuanya sudah berusia lanjut, setelah diperkenalkan, ternyata semuanya adalah hwesio angkatan “Hong”, hwesio angkatan tua setingkatan dengan Hong-ting Taysu.

Lenghou Tiong menyambut para hwesio itu ke dalam biara induk dan berduduk di atas kasuran semadi. Biara induk itu sebenarnya adalah tempat tirakat Ting-sian Suthay, biasanya terawat dengan baik dan bersih, tapi sejak Lenghou Tiong tinggal di situ, dalam rumah penuh guci arak, cawan arak banyak yang berserakan.

Dengan wajah merah jengah Lenghou Tiong meminta maaf atas keadaan tempatnya yang kotor itu. Tapi dengan tersenyum Hong-ting berkata, “Kedatangan kami hari ini adalah untuk urusan penting, maka Lenghou-ciangbun tak perlu sungkan-sungkan. Kabarnya Lenghou-ciangbun demi membela Hing-san-pay telah menolak kedudukan wakil kaucu Tiau-yang-sin-kau, bahkan tidak memikirkan keselamatan sendiri dan rela memisahkan diri dengan Yim-toasiocia yang diketahui adalah kekasih sehidup-semati Lenghou-ciangbun, dalam hal ini para kawan bu-lim sungguh sangat kagum terhadap sikap Lenghou-ciangbun.”

Seketika Lenghou Tiong tercengang. Padahal persoalan penolakan kedudukan wakil kaucu segala itu telah dipesan kepada para murid Hing-san-pay agar tidak disiarkan keluar, tapi Hong-ting Taysu ternyata mengetahui juga kejadian itu. Segera ia menjawab, “Ah, Taysu suka memuji, aku menjadi malu. Tentang hubungan diri Wanpwe dengan pribadi Yim-kaucu memang banyak suka-dukanya dan sukar dijelaskan, Wanpwe juga terpaksa mesti mengingkari kebaikan Yim-toasiocia, Taysu tidak mencela akan tindakan Wanpwe ini, sebaliknya memuji malah, sungguh Wanpwe tak berani menerimanya.”

“Menurut kabar, Yim-kaucu telah menyiarkan berita di luar bahwa dalam waktu singkat dia akan pimpin anak buahnya menyerbu ke Hing-san sini. Kini Ngo-gak-pay hanya tinggal Hing-san-pay saja, bala bantuan dari luar tidak ada lagi, tapi Lenghou-ciangbun ternyata tidak mau mengirim berita kepada kami, jangan-jangan menganggap Siau-lim-pay kami adalah orang-orang yang takut mati dan tidak punya rasa setia kawan terhadap sesama kawan bu-lim?”

“Sama sekali Wanpwe tidak mempunyai anggapan demikian,” cepat Lenghou Tiong minta maaf. “Soalnya Wanpwe merasa segala urusan yang timbul sekarang ini adalah gara-gara perbuatanku sendiri yang telah bergaul dengan gembong-gembong Mo-kau, Wanpwe pikir seorang yang berbuat biarlah seorang saja yang bertanggung jawab, bikin susah segenap anggota Hing-san-pay saja sudah tidak enak bagiku, mana Wanpwe berani membikin susah pula kepada Taysu dan Tiong-hi Totiang.”

“Ucapan Lenghou-ciangbun ini kurang tepat,” ujar Hong-ting dengan tersenyum. “Sudah sejak ratusan tahun yang lalu pihak Mo-kau mempunyai tujuan hendak menumpas Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay serta Ngo-gak-kiam-pay, tatkala itu Lolap sendiri belum lahir, lalu apa sangkut pautnya urusan ini dengan Lenghou-ciangbun sekarang?”

“Ya, mendiang guruku juga sering mengatakan bahwa selamanya cing dan sia tak mungkin hidup bersama. Mo-kau dan cing-pay kita sudah bermusuhan sekian lamanya, selama ini selalu terjadi pertempuran sengit. Menurut pengetahuan Wanpwe yang cetek, kukira kalau salah satu pihak mau mengalah selangkah tentu permusuhan dapat dihapus, tak tahunya biarpun hubungan Yim-kaucu dengan Wanpwe sedemikian baiknya, akhirnya tetap harus bertemu di medan perang.”

“Ucapanmu tentang saling mengalah selangkah dan permusuhan akan dapat dihapus, hal ini sebenarnya betul juga,” kata Hong-ting. “Pertarungan antara golongan cing-pay kita dengan Tiau-yang-sin-kau sebenarnya juga tiada dasar yang kuat, soalnya cuma pemimpin kedua pihak sama-sama ingin merajai bu-lim, masing-masing ingin menumpas pihak lawan. Tempo hari Lolap dan Tiong-hi Totiang serta Lenghou-ciangbun bertiga telah bicara di Sian-kong-si, waktu itu Lolap sudah menyatakan khawatir akan maksud Co-ciangbun dari Ko-san yang hendak melalap Ngo-gak-kiam-pay menjadi Ngo-gak-pay saja, yang kukhawatirkan justru adalah ambisinya yang ingin merajai dunia persilatan itu.”

Sampai di sini ia berhenti sejenak dan menghela napas panjang, lalu menyambung pula, “Konon Tiau-yang-sin-kau ada semboyan yang menyatakan, ‘Hidup seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya’, kalau Yim-kaucu sudah punya niat begitu, maka dunia persilatan takkan pernah tenteram lagi. Kalau Yim-kaucu sudah menyatakan di dalam sebulan akan menyapu bersih seluruh penghuni Hing-san, sekali dia berani berkata, tentu juga akan dia laksanakan. Maka sekarang jago-jago dari Siau-lim, Bu-tong, Kun-lun, Go-bi, Kong-tong, dan lain-lain sudah berkumpul semua di kaki gunung ini.”

“Hah, begitukah?” seru Lenghou Tiong sambil melonjak terkejut. “Para cianpwe dari berbagai aliran telah datang membantu, Wanpwe sedikit pun tidak tahu, sungguh harus dicela. Tapi entah dari mana pula Taysu mendapat kabar tentang akan diserbunya Hing-san oleh pihak Tiau-yang-sin-kau?”

“Lolap mendapat tahu dari berita surat seorang cianpwe,” jawab Hong-ting.

“Cianpwe?” Lenghou Tiong menegas. Padahal ia tahu kedudukan Hong-ting Taysu di dunia persilatan sudah sangat tinggi, mana ada orang yang tingkatannya lebih tua daripada dia?

Dengan tersenyum Hong-ting lantas berkata pula, “Cianpwe itu adalah tokoh terkenal dari Hoa-san-pay, orang yang pernah mengajarkan ilmu pedang kepada Lenghou-ciangbun.”

“Ah, kiranya Hong-thaysusiok!” seru Lenghou Tiong dengan girang.

“Benar, memang Hong-cianpwe adanya,” kata Hong-ting. “Hong-cianpwe itu telah mengirim enam orang sobat ke Siau-lim-si untuk memberitahukan tentang apa yang dilakukan oleh Lenghou-ciangbun di Tiau-yang-hong tempo hari. Cara bicara keenam sobat itu rada bertele-tele dan tidak keruan, tapi setelah mendengarkan dengan sabar, akhirnya Lolap dapat memahaminya dengan jelas.”

“O, Tho-kok-lak-sian, bukan?” tanya Lenghou Tiong.

“Benar, memang Tho-kok-lak-sian,” sahut Hong-ting.

“Ketika di Hoa-san, sebenarnya aku ingin menghadap Hong-thaysusiok, tapi karena macam-macam urusan, sampai meninggalkan gunung itu tetap tidak sempat berkunjung kepada beliau. Tak terduga bahwa segala apa telah diketahui seluruhnya oleh beliau.”

“Hong-cianpwe itu memang tidak suka menonjolkan diri, tapi segala perbuatan pihak Tiau-yang-sin-kau di Hoa-san cukup diketahui oleh beliau, sudah tentu beliau tak bisa tinggal diam. Seperti Tho-kok-lak-sian yang suka gila-gilaan itu, mereka telah ditawan oleh Hong-cianpwe dan dikerangkeng selama beberapa hari, kemudian merekalah yang disuruh mengirimkan berita ke Siau-lim-si.”

“Entah Hong-thaysusiok menghendaki apa yang harus kita lakukan?” tanya Lenghou Tiong.

“Dalam surat Hong-locianpwe itu, beliau menulis dengan sangat rendah hati, katanya beliau mendengar akan maksud Tiau-yang-sin-kau itu, maka sengaja mengirim kabar kepada Lolap, katanya Lenghou-ciangbun adalah murid kesayangannya, tindakan Lenghou-ciangbun yang tegas-tegas menolak ajakan pihak Mo-kau itu sangat menyenangkan Hong-locianpwe, maka beliau menyuruh Lolap suka menjaga dirimu. Padahal ilmu silat Lenghou-ciangbun sepuluh kali lebih hebat daripada Lolap, mana Lolap berani menerima permintaan ‘menjaga’ dirimu segala.”

“Tapi Taysu menjaga diri Wanpwe sudah bukan cuma sekali dua kali saja,” ujar Lenghou Tiong dengan sangat berterima kasih.

“Ah, mana,” sahut Hong-ting. “Setelah mengetahui urusan ini, jangankan ada perintah dari Hong-locianpwe, melulu hubungan baik kedua pay kita saja dan persahabatan Lolap dengan Lenghou-ciangbun, tak mungkin Lolap tinggal diam. Apalagi persoalan ini menyangkut mati atau hidup berbagai golongan cing-pay, bila Hing-san-pay benar-benar dimusnahkan oleh Tiau-yang-sin-kau, masakah Siau-lim dan Bu-tong-pay takkan mengalami nasib yang serupa? Sebab itulah kami lantas menyebarkan pemberitahuan pada berbagai golongan dan aliran agar berkumpul di Hing-san untuk bertempur mati-matian menghadapi Tiau-yang-sin-kau.”

Sebenarnya Lenghou Tiong sudah putus asa sejak kembali dari Hoa-san, sebab melihat kehebatan Tiau-yang-sin-kau itu, betapa pun Hing-san-pay tidak mampu melawannya, ia hanya dapat menunggu kedatangan Yim Ngo-heng saja untuk kemudian bersama segenap anak buah Hing-san-pay melawan mati-matian hingga titik darah penghabisan. Pernah juga ada anak murid Hing-san yang mengusulkan agar minta bantuan kepada Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, akan tapi Lenghou Tiong anggap tiada gunanya, sebab kekuatan Siau-lim dan Bu-tong-pay juga terbatas, biarpun datang membantu juga sukar menahan serbuan Mo-kau secara besar-besaran itu. Kalau sudah jelas demikian halnya, lalu apa gunanya ikut mengorbankan orang-orang Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay? Begitulah jalan pikiran Lenghou Tiong.

Dalam hati kecilnya sebenarnya dia tidak ingin bertempur dengan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian, tapi setelah harapan perjodohan dengan Ing-ing sudah putus, tanpa terasa timbul pikirannya yang apatis, dirasakan hidup ini tiada artinya lagi, bahkan lebih baik mati saja selekasnya. Tapi melihat kedatangan Hong-ting adalah atas permintaan Hong Jing-yang, seketika semangatnya terbangkit. Tapi untuk benar-benar bertempur mati-matian dengan pihak Tiau-yang-sin-kau baginya tetap tiada hasrat.

“Lenghou-ciangbun,” demikian Hong-ting berkata pula, “sesungguhnya Lolap juga bukan orang yang suka main kekerasan, kalau urusan ini dapat didamaikan tentu saja sangat baik, tetapi kalau kita sudah mengalah satu langkah, sebaliknya Yim-kaucu lantas maju satu langkah maka persoalan sekarang bukan lagi kita tak mau mengalah, tapi Yim-kaucu yang bertekad akan membasmi kita secara habis-habisan, kecuali kalau kita mau menyembah padanya dan meneriakkan semboyan ‘hidup Maha-kaucu dan memerintah Kang-ouw selamanya’ segala!”

Lenghou Tiong merasa geli juga mendengar cara Hong-ting menirukan cara orang-orang Mo-kau menyerukan semboyan yang berlebih-lebihan itu, jawabnya kemudian dengan tertawa, “Ya, memang betul ucapan Hongtiang Taysu. Wanpwe sendiri bila mendengar seruan semboyan itu seketika lantas berdiri bulu romaku.”

“Tempo hari agaknya Hong-locianpwe telah melihat keadaan Lenghou-ciangbun waktu menahan rasa sakit perut, maka beliau sengaja suruh Tho-kok-lak-sian menyampaikan sejenis kunci ajaran lwekang yang tinggi dan suruh Lolap mewakilkan beliau mengajarkannya kepada Lenghou-ciangbun. Untuk ini harap Lenghou-ciangbun bersama Lolap masuk ke dalam agar Lolap dapat menyampaikan kalimah kunci rahasia lwekang tersebut.”

Dengan sangat hormat Lenghou Tiong lantas membawa Hong-ting Taysu ke sebuah kamar yang sunyi. Karena Hong-ting mengajarkan kalimah kunci ilmu lwekang itu atas nama Hong Jing-yang, maka sama saya seperti menghadapi moyang guru, segera Lenghou Tiong berlutut dan menyembah kepada Hong-ting.

Hong-ting juga tidak sungkan-sungkan menerima penghormatan itu, lalu berkata, “Hong-locianpwe menaruh harapan besar terhadap Lenghou-ciangbun, maka hendaklah kau dapat meyakinkan lwekang ini dengan baik sesuai kalimah rahasia yang kusampaikan ini.”

Lenghou Tiong mengiakan dan berjanji akan patuh terhadap pesan itu.

Lalu Hong-ting mulai menguraikan kalimah-kalimah kunci lwekang yang tidak terlalu panjang itu, seluruhnya cuma terdiri dari ratusan huruf saja hingga dengan gampang dapat dihafalkan Lenghou Tiong di luar kepala sesudah Hong-ting mengulangi beberapa kali uraiannya.

Meski kalimah-kalimah ajaran lwekang itu cuma terdiri dari ratusan huruf saja, tapi isinya teramat luas dan dalam, lain daripada yang lain.

“Ilmu pedang Lenghou-ciangbun memang sangat tinggi, tapi dalam hal lwekang agaknya kurang sempurna,” kata Hong-ting pula. “Meski inti lwekang ajaran Hong-cianpwe ini agak berbeda daripada ilmu lwekang Siau-lim-pay, namun ilmu silat di dunia ini boleh dikata “Bhineka Tunggal Eka” berbeda-beda tapi berasal dari satu, dasarnya tidak banyak berlainan. Maka dari itu, bila Lenghou-ciangbun tidak menolak, bolehlah Lolap menambahkan penjelasan-penjelasan seperlunya atas inti ajaran Hong-locianpwe ini.”

Lenghou Tiong tahu Hong-ting adalah tokoh kosen terkemuka di dunia persilatan, kalau mendapat petunjuknya sama saja seperti mendapatkan ajaran langsung dari Hong Jing-yang, kalau Hong-thaysusiok minta Hong-ting mewakilkan dia, dengan sendirinya karena hwesio agung Siau-lim-si ini memang memiliki lwekang yang mahatinggi. Sebab itulah tanpa ragu-ragu Lenghou Tiong lantas mengiakan dan menerima dengan baik tawaran Hong-ting.

Begitulah Hong-ting lantas memberi penjelasan kalimat demi kalimat daripada inti lwekang yang diuraikannya tadi, lalu memberi petunjuk pula caranya mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga serta cara-cara semadi dan sebagainya.

Semula Lenghou Tiong hanya menghafalkan kalimah rahasia lwekang tadi di luar kepala secara mati tanpa memahami maknanya. Tapi setelah mendapat penjelasan dan pemecahan dari Hong-ting barulah ia mengetahui bahwa setiap kalimah kunci lwekang itu mengandung macam-macam filsafat yang mahaluas.

Sebenarnya bakat Lenghou Tiong sangat tinggi, tapi inti lwekang itu ternyata cukup membuatnya memeras otak setengah hari. Untunglah Hong-ting Taysu dengan sabar suka memberi penjelasan secara terperinci sehingga membuat Lenghou Tiong dapat menemukan suatu tingkatan ilmu silat yang belum pernah dicapainya.

Sambil menghela napas gegetun, berkatalah Lenghou Tiong, “Hongtiang Taysu, perbuatan Wanpwe di Kang-ouw selama ini sesungguhnya terlalu gegabah, sama sekali Wanpwe tidak sadar akan kepicikan sendiri, kalau dipikir sungguh Wanpwe merasa malu. Hari ini Wanpwe benar-benar seperti si buta yang baru melek, biarpun hidup Wanpwe ini takkan tahan lama karena dalam waktu singkat pasti akan musnah di tangan Yim-kaucu, tapi Wanpwe tetap merasa senang menerima ajaran lwekang dari Hong-thaysusiok ini.”

“Berbagai golongan cing-pay kita kini sudah berkumpul di dekat Hing-san sini, bila Tiau-yang-sin-kau benar-benar menyerbu kemari, beramai-ramai kita menghadapinya, rasanya belum pasti akan kalah,” demikian ujar Hong-ting. “Maka dari itu janganlah Lenghou-ciangbun patah semangat. Lwekang tinggi ini takkan terlatih dengan sempurna dalam waktu beberapa tahun, namun sehari akan bertambah baik sehari bilamana berlatih secara teratur. Dalam waktu singkat ini kita toh tiada urusan apa-apa, maka silakan Lenghou-ciangbun mulai berlatih saja. Mumpung Lolap mengganggu di tempatmu ini, marilah kita tukar pikiran bersama.”

“Kebaikan Taysu sungguh Wanpwe sangat berterima kasih,” kata Lenghou Tiong.

“Saat ini mungkin Tiong-hi Toheng juga sudah datang, marilah kita coba keluar melihatnya!” ajak Hong-ting.

“O, kiranya Tiong-hi Totiang juga akan tiba, memang kita harus menyambutnya,” kata Lenghou Tiong. Begitulah mereka lantas keluar kembali ke ruangan luar, ternyata ruangan sembahyang itu sudah dipasang api lilin. Kiranya tidak kurang dari empat jam mereka berdua berada di dalam kamar semadi itu untuk pengajaran lwekang tadi, kini hari sudah gelap.

Tertampak pula di ruangan situ berduduk tiga orang tosu tua dan sedang bicara dengan Hong-sing Taysu. Seorang di antaranya bukan lain Tiong-hi Tojin adanya.

Melihat Hong-ting dan Lenghou Tiong keluar, cepat Tiong-hi Tojin berbangkit dan memberi hormat.

Segera Lenghou Tiong menjura dan berkata, “Jauh-jauh Totiang datang membantu kesulitan yang dihadapi Hing-san-pay, sungguh Wanpwe dan segenap bawahan sangat berterima kasih dan entah cara bagaimana harus membalas budi kebaikan Totiang ini.”

Lekas-lekas Tiong-hi membangunkan Lenghou Tiong, katanya dengan tertawa, “Sudah ada sekian lamanya aku berada di sini, ketika mengetahui Hongtiang Taysu sedang mempelajari lwekang mukjizat di ruangan dalam bersama Saudara cilik, maka kami tidak berani mengganggu padamu. Lwekang hebat yang Saudara cilik pelajari itu boleh dibeli secara kontan dan dijual kontan pula, bila Yim Ngo-heng datang, coba saja lwekang itu atas dirinya, biar dia kaget setengah mati.”

“Lwekang ini terlalu luas dan dalam, dalam waktu singkat Wanpwe mana sanggup memahaminya dengan baik?” jawab Lenghou Tiong. “Kabarnya para locianpwe dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Khong-tong-pay, dan lain-lain juga sudah datang, mereka harus diundang pula ke atas sini untuk berunding cara bagaimana harus menghadapi musuh, entah bagaimana pendapat para cianpwe atas usulku ini?”

“Mereka memang sudah datang, tapi mereka sengaja sembunyi di tempat yang dirahasiakan agar tidak diketahui oleh mata-mata yang dipasang oleh iblis tua she Yim itu,” kata Tiong-hi. “Kalau mereka beramai-ramai diundang ke sini, mungkin jejak mereka akan diketahui musuh. Waktu kami datang ke sini juga dalam penyamaran semua, sebelumnya bukankah kalian pun tidak tahu akan kedatangan kami?”

Lenghou Tiong menjadi teringat kepada pertemuannya yang pertama kali dengan Tiong-hi Tojin, waktu itu ia pun menyaru sebagai seorang kakek penunggang keledai, di sampingnya mengikut dua orang laki-laki yang sebenarnya juga tokoh-tokoh pilihan Bu-tong-pay, akan tetapi waktu itu dia sama sekali tidak kenal mereka. Kini setelah dipandang secara teliti, maka dapatlah dikenali kedua tosu tua yang lain adalah juga kedua laki-laki yang mendampingi Tiong-hi Tojin dahulu itu.

Maka cepat Lenghou Tiong memberi hormat dan menyapa, “Kepandaian menyamar kedua Totiang sungguh sangat mahir, kalau Tiong-hi Totiang tidak menyinggung tentang penyamaran, tentu Wanpwe tetap pangling terhadap kedua Totiang.”

Kedua tosu tua itu dahulu yang seorang menyamar sebagai petani dan yang lain menyaru sebagai tukang kayu, tapi samar-samar wajah mereka masih dapat dikenali oleh Lenghou Tiong.

Segera Tiong-hi menunjuk si tosu yang dahulu menyamar sebagai tukang kayu dan memperkenalkan, “Ini adalah Jing-hi Sute dan yang itu adalah murid keponakanku dengan nama agama Seng-ko.”

Maka tertawalah keempat orang teringat kepada kejadian dahulu itu. “Sungguh amat lihai ilmu pedang Lenghou-ciangbun!” demikian Jing-hi dan Seng-ko memuji.

Tiong-hi lantas berkata pula, “Sute dan sutitku ini dahulu pernah merantau selama belasan tahun di benua barat, di sana mereka masing-masing berhasil mempelajari semacam kepandaian istimewa, yang satu mahir memasang pesawat rahasia dan yang lain ahli pembuatan obat peledak.”

“Wah, itulah kepandaian yang jarang terdapat di dunia ini,” ujar Lenghou Tiong.

“Lenghou-ciangbun,” kata, Tiong-hi pula, “kubawa mereka ke sini sesungguhnya ada sesuatu maksud tujuan lain, yaitu mengharap mereka berdua dapat mengerjakan sesuatu urusan penting bagi kita.”

Lenghou Tiong merasa tidak paham ia menegas, “Mengerjakan suatu urusan penting bagi kita?”

“Ya, secara gegabah aku membawa sesuatu barang ke sini, harap Saudara cilik memeriksanya,” kata Tiong-hi.

Dengan penuh tanda tanya Lenghou Tiong ingin tahu barang apakah yang akan dikeluarkan dari saku baju tosu tua itu.

Tapi ternyata tiada sesuatu yang dikeluarkan oleh Tiong-hi, sebaliknya tosu tua itu berkata pula dengan tertawa, “Barang yang kumaksudkan sungguh bukan benda kecil sehingga tak muat di dalam saku bajuku. Nah, Jing-hi Sute, boleh kau suruh mereka membawa masuk ke sini.”

Jing-hi Tojin mengiakan terus berjalan keluar. Tidak lama dia masuk kembali dengan membawa empat orang yang berdandan sebagai petani desa, semuanya berkaki telanjang dan membawa satu pikulan sayur.

Tiong-hi Tojin suruh keempat orang itu memberi hormat kepada Lenghou Tiong dan Hong-ting Taysu, Lenghou Tiong tahu keempat orang itu pasti jago-jago pilihan dari Bu-tong-pay, maka dengan rendah hati ia pun balas menghormat.

“Keluarkan dan pasanglah!” demikian Jing-hi memberi perintah.

Segera keempat orang itu membongkar sayuran dalam pikulan mereka itu, di bawah tumpukan sayuran ternyata ada beberapa bungkusan, setelah bungkusan itu dibuka, isinya ada benda-benda kecil sebangsa mur-baut, pegas, dan potongan kayu yang kecil-kecil.

Cara bekerja keempat orang itu sangat cekatan, benda-benda kecil itu lantas dipasang satu sama lain, dalam waktu singkat saja jadilah sebuah kursi malas yang besar.

Lenghou Tiong menjadi terheran-heran, ia tidak tahu apa gunanya kursi malas yang terpasang macam-macam pesawat pegas itu, memangnya untuk berduduk di waktu berlatih lwekang? Demikian tanyanya di dalam hati.

Selesai kursi malas itu dipasang, dari dua bungkusan lain keempat orang itu mengeluarkan pula bantal dan sarung kursi, lalu dipasang pada sandaran kursi itu. Seketika kamar itu menjadi gemilang oleh cahaya yang menyilaukan mata, ternyata sarung kursi itu terbuat dari sutra kuning yang indah dan disulam dengan sembilan ekor naga emas, di tengah sembilan ekor naga yang berlingkar-lingkar itu sedang menyongsong terbitnya bola matahari yang merah membara di ujung samudra sana. Di kedua tepi sarung kursi itu tersulam pula tulisan-tulisan yang sama artinya seperti semboyan-semboyan yang sering diteriakkan oleh anggota Tiau-yang-sin-kau untuk memuji kebesaran kaucu mereka.

Kesembilan ekor naga emas itu tersulam dengan bagus sekali laksana hidup, tulisan-tulisan di tepinya juga sangat indah, di sekitar huruf-huruf itu dihiasi pula macam-macam mutiara dan batu permata yang berwarna-warni. Ruangan biara itu biasanya sunyi senyap dan sangat sederhana, tapi sekarang mendadak cerlang-cemerlang oleh cahaya benda-benda berharga itu.

Lenghou Tiong bersorak memuji, teringat olehnya penuturan Tiong-hi tadi bahwa Jing-hi pernah belajar ilmu pesawat di benua barat, maka ia pun tahu apa artinya kursi malas yang berhias itu, Katanya segera, “Bila melihat kursi kebesaran ini, Yim-kaucu pasti ingin mendudukinya dan sekali pegas di dalam kursi bekerja, seketika jiwanya akan melayang.”

Dengan suara perlahan Tiong-hi lantas menjawab, “Tapi Yim Ngo-heng sangat pintar dan cerdik, tindakannya sangat cepat, meski di dalam kursi terpasang pesawat rahasia, asal dia merasakan tempat duduknya kurang enak dan segera melompat bangun, maka sukar juga untuk membinasakan dia. Yang penting di kaki kursi ini terpasang pula sumbu obat yang menghubungkan seonggok obat peledak di suatu tempat.”


Bab 142. Menantikan Musuh dengan Perangkap

Mendengar keterangan itu, serentak air muka Lenghou Tiong dan para padri Siau-lim-si berubah. Hong-ting Taysu lantas menyebut, “Omitohud!”

Lalu Tiong-hi berkata pula, “Kebaikan pesawat rahasia di dalam kursi itu adalah tidak seketika bekerja, bila diduduki begitu saja takkan terjadi apa-apa, tapi mesti diduduki kira-kira seminuman teh baru sumbu obat peledak itu akan bekerja. Yim Ngo-heng itu seorang cerdik dan suka curiga, bila mendadak tampak ada sebuah kursi bagus di sini tentu dia takkan berduduk begitu saja, dia pasti akan suruh bawahannya mencoba-coba berduduk di situ lebih dulu, habis itu barulah dia berani berduduk. Di atas kursi ini tersulam naga menyongsong matahari, tertulis pula semboyan-semboyan yang memuja sang kaucu, tentu anak buah Mo-kau tak berani duduk lama-lama, sedangkan sekali Yim Ngo-heng sudah berduduk di situ tentu enggan meninggalkan kursi kebesaran ini.”

“Cara pemikiran Totiang sungguh sangat rapi,” puji Lenghou Tiong.

“Selain itu Jing-hi Sute juga telah mengatur perangkap lain,” kata Tiong-hi. “Kalau Yim Ngo-heng ternyata tidak mau berduduk di atas kursi ini dan suruh orang membongkarnya untuk diperiksa, asalkan sesuatu onderdil kursi itu dicopot, seketika juga akan menimbulkan bekerjanya pesawat sumbu obat peledak. Sekali ini Seng-ko Sutit membawa 20 ribu kati obat peledak ke sini, bila betul-betul diledakkan, rasanya pegunungan indah kalian ini tak terhindar dari kehancuran.”

Lenghou Tiong menjadi ngeri membayangkan akibatnya. Pikirnya, “Obat peledak sebanyak 20 ribu kati, sekali meledak tentu segalanya akan hancur lebur, Yim-kaucu jelas pasti akan hancur, Ing-ing dan Hiang-toako juga sukar terhindar dari maut.”

Melihat air muka Lenghou Tiong rada berubah, Tiong-hi lantas berkata, “Mo-kau telah menyatakan dengan tegas akan membasmi Hing-san-pay kalian secara habis-habisan, habis itu mereka tentu akan menyerang Siau-lim dan Bu-tong kami, korban besar pasti akan jatuh, bencana tentu sukar terhindar. Kalau sekarang kita menggunakan akal ini untuk menghadapi Yim Ngo-heng, meski caranya rada keji, tapi tujuan kita adalah untuk membinasakan gembong Mo-kau itu demi jiwa berpuluh ribu orang bu-lim umumnya.”

“Omitohud!” Hong-ting Taysu bersabda. “Memang begitulah jalan yang welas asih, korbankan seorang untuk menolong beratus ribu orang.”

Lenghou Tiong merasa ucapan itu memang masuk di akal, sedangkan Tiau-yang-sin-kau sudah menyatakan akan membunuh habis segenap penghuni Hing-san, jika sekarang pihak cing-pay menggunakan perangkap dan meledakkan musuh, hal ini adalah pantas, tiada seorang pun yang dapat menyangkalnya. Hanya saja kalau Yim Ngo-heng harus dibunuh, dalam hati Lenghou Tiong merasa enggan, apalagi membunuh Hiang Bun-thian, baginya lebih baik dirinya sendiri mati lebih dulu. Mengenai mati-hidup Ing-ing malah tidak menjadikan pikirannya, sebab sudah jelas, kedua muda-mudi mereka toh akan sehidup dan semati, makanya tidak perlu dirisaukan.

Begitulah ketika melihat sorot mata semua orang diarahkan kepadanya, setelah memikir sejenak, kemudian Lenghou Tiong berkata, “Urusan sudah begini, Tiau-yang-sin-kau telah mendesak kita hingga menghadapi jalan buntu, kukira tipu yang diatur Tiong-hi Totiang ini adalah cara yang paling sedikit jatuhnya korban.”

“Ucapan Adik Lenghou memang tidak salah,” kata Tiong-hi. “Paling sedikit jatuh korban justru adalah hal yang kita harapan.”

“Usia Wanpwe terlalu muda dan pengalaman cetek, maka urusan hari ini biarlah kuserahkan kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang untuk memimpinnya,” kata Lenghou Tiong kemudian. “Yang pasti Wanpwe akan memimpin anak murid Hing-san-pay untuk bersama-sama menghadapi musuh.”

“Ah, mana boleh begitu,” ujar Tiong-hi tertawa. “Kau adalah tuan rumah, aku dan Hongtiang Taysu adalah tamu, mana boleh tamu menggeserkan tempat tuan rumah.”

“Dalam hal ini bukan Wanpwe sengaja rendah hati, tapi benar-benar mohon kedua Cianpwe sudi memimpinnya,” kata Lenghou Tiong dengan sungguh-sungguh.

“Jika tekad Lenghou-ciangbun sudah tegas begitu, maka Toheng juga tidak perlu sungkan dan menolaknya,” ujar Hong-ting Taysu. “Biarlah urusan besar sekarang diputuskan oleh kita bertiga bersama, tapi Toheng yang akan memberikan perintah pelaksanaannya.”

Setelah mengucapkan kata-kata rendah hati, akhirnya Tiong-hi menerima juga usul itu, katanya kemudian, “Jalan yang menuju ke Hing-san sini sudah kita beri penjagaan, maka setiap waktu pihak Mo-kau menyerbu datang, sebelumnya kita pasti akan mendapat kabar. Dahulu waktu Adik Lenghou memimpin orang banyak menyerbu Siau-lim-si, kami tunduk di bawah pimpinan Co Leng-tan dan memasang perangkap ‘Khong-sia-keh’ (Tipu Kota Kosong)....”

“Dahulu Wanpwe benar-benar sembrono, mohon maaf,” sela Lenghou Tiong.

“Sungguh tidak nyana, yang dulu menjadi musuh sekarang malah menjadi kawan,” kata Tiong-hi pula dengan tertawa. “Kalau sekarang kita memasang perangkap Khong-sia-keh lagi tentu tak bisa berhasil, sebab pasti akan menimbulkan curiga Yim Ngo-heng. Maka menurut pendapatku, biarlah segenap anggota Hing-san-pay bertahan di atas gunung sini, Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay kami masing-masing memilih beberapa orang untuk ikut membantu. Sebab kalau pihak Siau-lim dan Bu-tong tidak memberi bantuan, hal ini pasti akan menimbulkan curiga Yim Ngo-heng.”

Hong-ting dan Lenghou Tiong sama menyatakan setuju atas jalan pikiran tosu itu.

Lalu Tiong-hi melanjutkan, “Sedang kawan-kawan dari Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Khong-tong-pay, dan lain-lain boleh sembunyi saja di dalam gua, tidak perlu memperlihatkan diri. Kalau Mo-kau sudah menyerbu tiba, orang-orang Hing-san, Siau-lim, dan Bu-tong akan melawannya dengan sepenuh tenaga, cara bertempur kita harus sungguh-sungguh, jago-jago yang kita tonjolkan adalah tokoh-tokoh kelas satu, semakin banyak membunuh lawan semakin baik, sedang pihak sendiri sedapat mungkin menghindarkan jatuhnya korban.”

Tiba-tiba Hong-ting menghela napas, katanya, “Jago-jago di pihak Tiau-yang-sin-kau tidak terhitung banyaknya, kedatangan mereka sekali ini telah direncanakan, maka pertempuran ini sukar menghindarkan korban banyak di kedua pihak.”

“Begini,” tutur Tiong-hi pula, “kita boleh mencari suatu tebing jurang yang terjal, kita pasang tali panjang di situ, bila melihat gelagat pertempuran tidak menguntungkan kita, satu per satu kita lantas melorot ke bawah jurang dengan tali panjang sehingga musuh tak dapat mengejar. Setelah mendapat kemenangan besar, Yim Ngo-heng tentu akan kegirangan dan lupa daratan, bila melihat kursi kebesaran ini, tentu akan terus didudukinya dan sekali sumbu obat peledak bekerja, maka hancurlah tubuh iblis she Yim itu biarpun dia memiliki kepandaian setinggi langit. Menyusul itu delapan jalan yang menuju ke atas Hing-san sini juga akan meledak sehingga orang-orang Mo-kau betapa pun tak dapat turun lagi ke bawah.”

“Jalan-jalan yang menuju ke atas sini akan diledakkan?” Lenghou Tiong menegas.

“Ya,” jawab Tiong-hi. “Mulai besok pagi Seng-ko Sutit akan menanam dinamit di jalan-jalan itu. Sekali dinamit itu meledak, seketika jalan-jalan itu akan terputus. Betapa pun banyak anggota Mo-kau yang menyerbu ke atas sini tentu akan mati kelaparan semua di sini. Yang kita tiru adalah tipu Co Leng-tan dahulu, cuma sekali ini musuh pasti tiada kesempatan meloloskan diri melalui jalan di bawah tanah.”

“Ya, sungguh sangat kebetulan saja dahulu kami dapat lolos dari Siau-lim-si,” kata Lenghou Tiong. “Tapi....” tiba-tiba ia ingat sesuatu.

“Apakah Adik Lenghou merasa tipu yang kita atur ini ada sesuatu yang kurang sempurna?” tanya Tiong-hi.

“Wanpwe pikir nanti Yim-kaucu tentu akan merasa senang bila melihat kursi mestika ini, tapi dia tentu juga akan heran mengapa Hing-san sengaja membuatkan kursi demikian ini. Bila hal ini tidak dibikin terang, rasanya Yim-kaucu tak mau tertipu.”

“Soal ini memang juga sudah kupikirkan,” kata Tiong-hi. “Sebenarnya iblis tua itu mau duduk di atas kursi ini atau tidak bukan soal bagi kita, sebab kita sudah memasang sumbu obat lain yang juga dapat diledakkan.”

“Susiok,” tiba-tiba Seng-ko menyela, “Tecu punya suatu usul, entah dapat dijalankan atau tidak?”

“Coba katakan, biar minta pertimbangan Hongtiang Taysu dan Lenghou-ciangbun,” sahut Tiong-hi dengan tertawa.

“Kabarnya Lenghou-ciangbun ada ikatan perjodohan dengan putri Yim-kaucu,” kata Seng-ko. “Berhubung perbedaan aliran cing dan sia, maka timbul halangan. Kalau sekarang Lenghou-ciangbun mengutus dua murid Hing-san-pay untuk menemui Yim-kaucu dan menyatakan bahwa mengingat diri Yim-siocia, maka Lenghou-ciangbun telah sengaja mengundang ahli membuatkan sebuah kursi mestika untuk dipersembahkan kepada Yim-kaucu dengan harapan kedua pihak akan terhindar dari pertempuran menuju perdamaian. Dengan demikian, apakah Yim-kaucu mau menerima usul Lenghou-ciangbun atau tidak bukan soal bagi kita, yang pasti kalau dia sudah naik ke sini dan melihat kursi tentu dia takkan curiga lagi.”

“Sungguh akal yang bagus,” seru Tiong-hi. “Dengan demikian....”

“Jangan!” mendadak Lenghou Tiong menggeleng kepala.

Tiong-hi tercengang, tanyanya kemudian, “Adakah pendapat Lenghou-ciangbun yang lebih baik?”

“Bahwasanya Yim-kaucu ingin membunuh segenap anggota Hing-san-pay kami, maka aku akan melawannya sepenuh tenaga, boleh melawannya dengan akal atau melawannya dengan kekerasan. Misalnya dia benar-benar datang hendak membunuh kita, maka kita lantas meledakkan dia. Akan tetapi aku sekali-kali tak mau membohongi dia.”

Ucapan Lenghou Tiong tegas dan pasti tanpa ragu-ragu sedikit pun.

Mau tak mau Tiong-hi harus memujinya, “Bagus! Adik Lenghou benar-benar seorang laki-laki sejati yang jujur, sungguh mengagumkan. Biarlah kita tetap melaksanakan rencana semula, apakah nanti iblis Mo-kau itu akan curiga atau tidak terserah padanya, yang pasti bila dia datang ke sini hendak mencelakai kita, tentu dia akan tahu rasa sendiri.

Begitulah mereka lantas berunding lagi tentang cara-cara menghadapi musuh, cara bagaimana harus melakukan perlawanan dan cara bagaimana melindungi anak-buah supaya tidak banyak jatuh korban serta cara bagaimana mengundurkan diri ke belakang gunung, lalu cara bagaimana harus memasang sumbu dinamit agar meledak.

Tiong-hi benar-benar seorang tua yang cermat, dia khawatir di waktu menghadapi musuh mungkin orang yang ditugaskan memasang sumbu obat peledak mengalami nasib malang, maka dia sengaja menambahkan dua orang pembantu buat tugas penting itu.

Malam itu Hong-ting, Tiong-hi dan rombongannya lantas bermalam di Kian-seng-hong situ. Besok paginya Lenghou Tiong mengajak mereka berkeliling memeriksa keadaan pegunungan itu. Jing-hi dan Seng-ko berdua dapat memilih tempat-tempat strategis untuk menanam dinamit serta memasang sumbu obat peledak, begitu pula tempat-tempat penjagaan yang penting. Selain itu dipilih pula empat tempat yang curam sebagai jalan mengundurkan diri jika musuh sudah menyerbu secara besar-besaran. Keempat tempat itu akan dijaga oleh Hong-ting, Tiong-hi, Hong-sing dan Lenghou Tiong sendiri, musuh harus ditahan supaya tidak dapat mendekat, bila semua orang sudah turun ke bawah jurang melalui tali panjang yang dipasang di tempat-tempat curam itu, kemudian barulah keempat tokoh utama mereka akan turun ke bawah. Habis itu tali panjang akan diputuskan supaya musuh tidak mampu mengejar ke bawah.

Petang harinya kembali ada berpuluh orang Bu-tong-pay naik ke atas gunung dengan menyamar sebagai petani, tukang kayu dan sebagainya, di bawah pimpinan Jing-hi dan Seng-ko beramai-ramai mereka mulai mengatur penanaman dinamit. Pada tempat-tempat yang menuju ke atas gunung telah dijaga ketat oleh anak murid Hing-san-pay, orang yang tidak berkepentingan tidak boleh lewat, satu sama lain tidak boleh sembarangan bicara untuk menjaga agar pihak Tiau-yang-sin-kau tidak dapat mengirimkan mata-mata untuk mencari tahu rahasia pertahanan mereka.

Setelah sibuk tiga hari berturut-turut, segala sesuatu telah diatur dengan beres, mereka tinggal menunggu datangnya pihak Tiau-yang-sin-kau. Sementara itu waktunya sudah dekat sebulan sejak pertemuan dengan Yim Ngo-heng, biasanya apa yang dikatakan gembong Mo-kau pasti ditepati, maka pada waktunya tentu dia akan datang.

Dalam beberapa hari Tiong-hi dan kawan-kawannya itu sangat sibuk, sebaliknya Lenghou Tiong malah menganggur. Setiap hari ia selalu menghafalkan kalimah-kalimah lwekang yang diajarkan Hong-ting Taysu itu dan meyakinkannya menurut cara yang diberikan, bila ada bagian-bagian yang tidak paham ia lantas minta petunjuk kepada Hong-ting.

Sore hari itu, Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh, Cin Koan, dan lain-lain sedang berlatih ilmu pedang di ruangan latihan, Lenghou Tiong mengawasi dan memberi petunjuk-petunjuk kepada anak murid Hing-san-pay itu.

Di antara anak murid itu usia Cin Koan paling muda, tapi daya terimanya paling cepat terhadap inti ilmu pedang yang diajarkan.

“Cin-sumoay sungguh pintar,” demikian Lenghou Tiong memuji. “Latihanmu kini sudah banyak maju, selanjutnya....”

Sampai di sini, sekonyong-konyong perutnya terasa sangat kesakitan, seketika langit seperti ambruk dan bumi berputar, kontan ia roboh tak sadarkan diri.

Keruan Gi-ho dan lain-lain terkejut, beramai-ramai mereka memburu maju untuk membangunkannya dan sama bertanya apa yang terjadi.

Lenghou Tiong tahu macam-macam hawa murni di dalam tubuhnya kembali bergolak lagi, celakanya mulut sukar dibuka, susah menerangkan.

Selagi anak murid Hing-san-pay itu gelisah, tiba-tiba terdengar suara angin berkesiur, tertampak dua ekor burung merpati putih terbang masuk ruangan itu.

“Wah!” seru Gi-ho dan kawan-kawannya.

Kiranya, Hing-san-pay banyak memiara merpati pos, dahulu waktu Ting-sian Suthay terkepung musuh di Hokkian, pernah juga dia menggunakan merpati pos untuk minta bala bantuan.

Sekarang kedua ekor merpati yang terbang datang ini adalah lepasan anak murid Hing-san-pay yang berjaga di bawah gunung, di punggung merpati-merpati itu diberi berwarna merah. Maka begitu lihat lantas tahu pihak musuh telah datang.

Sejak orang-orang Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay tiba, para murid Hing-san-pay sama merasa lega karena datangnya bala bantuan yang kuat itu. Siapa tahu pada saat genting sekarang ini mendadak penyakit Lenghou Tiong kumat dan jatuh pingsan, hal ini sungguh di luar dugaan.

“Gi-bun Sumoay, lekas laporkan kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang,” seru Gi-jing. Cepat Gi-bun mengiakan dan segera berangkat.

Lalu Gi-jing berkata pula, “Gi-ho Suci, harap engkau membunyikan genta.”

Gi-ho mengangguk terus berlari keluar menuju ke menara genta. Tak lama kemudian, terdengarlah suara genta bertalu-talu menggema angkasa, menyusul itu genta-genta besar di berbagai tempat yang terpisah-pisah itu pun dibunyikan.

Sebelumnya oleh Tiong-hi Tojin memang telah ditetapkan bunyi genta sebagai tanda bahaya datangnya musuh, segala sesuatu telah diatur dengan rapi. Maka sekarang mereka pun tidak menjadi kacau, segera tokoh-tokoh Hing-san, Siau-lim dan Bu-tong-pay yang telah mendapat pembagian tugas lantas melakukan tugasnya dan menuju ke tempat masing-masing siap menghadapi musuh.

Menurut rencana, untuk mengurangi jatuhnya korban, maka jalan-jalan penting sejak pinggang gunung hingga puncak Kian-seng-hong, sama sekali tidak diberi penjagaan, bahkan sengaja memberi keleluasaan agar pihak musuh dapat menyerbu ke atas dengan lancar, sesudah di atas puncak gunung barulah musuh akan dilabrak.

Maka setelah bunyi genta berhenti, pegunungan Hing-san serentak juga berubah menjadi sunyi senyap hingga menambahkan tegangnya suasana.

Para jago-jago pilihan dari Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Khong-tong-pay dan lain-lain juga sudah siap sembunyi di tempat-tempat yang dirahasiakan, dengan berdebar-debar mereka menunggu orang-orang Tiau-yang-sin-kau menyerbu ke atas, dan begitu ada tanda perintah, serentak mereka akan menyerbu keluar untuk memotong jalan mundur pihak musuh.

Tiong-hi sengaja tidak memberitahukan kepada orang-orang Kun-lun-pay dan lain-lain itu tentang perangkap yang telah diaturnya dengan obat peledak itu. Maklumlah, ia harus menjaga segala kemungkinan. Pihak Tiau-yang-sin-kau sangat lihai, jangan-jangan di antara anak murid Kun-lun-pay ada agen rahasianya juga bukan sesuatu yang aneh.

Lenghou Tiong mendengar bunyi genta yang bertalu-talu itu, ia tahu Tiau-yang-sin-kau sudah mulai menyerbu, tapi perutnya sendiri justru kesakitan sekali seperti disayat-sayat oleh beratus-ratus pisau tajam. Saking sakitnya ia pegangi perut sendiri dan berguling-guling di atas tanah.

Melihat itu, Gi-lim dan Cin Koan menjadi khawatir hingga muka mereka pucat, mereka menjadi bingung pula dan tak berdaya.

“Marilah kita membawa Ciangbunjin ke biara induk, coba minta nasihat Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang bagaimana kita harus bertindak,” ujar Gi-jing.

Segera Ih-soh dan seorang nikoh tua menyangga kedua ketiak Lenghou Tiong, dengan setengah memayang dan setengah diseret mereka membawanya ke dalam Bu-sik-am, biara induk tersebut.

Baru sampai di pintu biara itu, terdengarlah suara dentuman meriam disusul dengan bunyi trompet dan suara tambur, nyata secara terang-terangan pihak Tiau-yang-sin-kau sudah mulai menyerbu ke atas gunung.

Hong-ting dan Tiong-hi telah menerima laporan tentang kumatnya penyakit Lenghou Tiong, mereka pun sudah berlari keluar dari biara itu.

“Lenghou-ciangbun, kau jangan khawatir,” kata Tiong-hi. “Aku sudah suruh Jing-hi Sute mewakilkan aku untuk memimpin orang-orang Bu-tong-pay kami, untuk tugas membela Hing-san-pay kalian bolehlah kuwakilkan dirimu.”

“Jang... jangan, mana... mana boleh!” sahut Lenghou Tiong dengan tergagap. “Ambilkan... ambilkan pedangku!”

Hong-ting juga menasihatkan agar Lenghou Tiong mau terima usul Tiong-hi itu, tapi Lenghou Tiong berkeras tidak mau. Betapa pun dia adalah tuan rumahnya, orang lain tidak dapat memaksanya untuk menurut.

Dalam pada itu suara trompet dan tambur tadi mendadak berhenti, lalu terdengarlah suara sorak-sorai orang-orang Tiau-yang-sin-kau yang riuh ramai, “Hidup Maha-kaucu! Hidup!”

Dari riuhnya suara itu dapat ditaksir sedikitnya ada beberapa ribu orang banyaknya.

Hong-ting, Tiong-hi dan Lenghou Tiong bertiga saling pandang dengan tertawa, mereka yakin rencana dan perangkap yang mereka atur sebentar lagi pasti akan berhasil menghancurkan musuh.

Sementara itu Gi-cit telah menyodorkan pedang yang diminta Lenghou Tiong, maksud Lenghou Tiong hendak menerima pedang itu, tapi tangannya ternyata gemetar hebat dan sukar memegang kencang pedangnya.

Ketika Gi-cit baru saja menggantung pedang itu di ikat pinggang Lenghou Tiong, tiba-tiba terdengar pula suara tetabuhan bergema, lagu yang dibunyikan kedengaran sangat menarik, sama sekali bukan lagu perang.

Lalu beberapa orang berseru bersama, “Maha-kaucu Tiau-yang-sin-kau hendak naik ke atas Kian-seng-hong untuk bertemu dengan Lenghou-ciangbun dari Hing-san-pay!”

Hong-ting berkata kepada kawan-kawannya, “Rupanya Tiau-yang-sin-kau memakai cara halus lebih dulu baru kemudian menggunakan kekerasan. Kita juga jangan sampai dipandang rendah. Lenghou-ciangbun, biarkan mereka naik saja ke sini!”

Lenghou Tiong mengangguk setuju. Pada saat itu juga kembali perutnya kesakitan seperti di-iris-iris. Dalam keadaan terpaksa, ia coba mengerahkan lwekang ajaran Hong Jing-yang.

Akan tetapi latihan permulaan bagi lwekang itu adalah mengantar hawa murni di dalam tubuh agar masuk ke perut. Padahal waktu itu di dalam perutnya sedang bergolak macam-macam hawa murni yang aneh-aneh dan berlainan, saling gontok dan saling terjang tak keruan, ditambah lagi kini dia mengerahkan lwekang sendiri untuk mengantarkan tenaganya itu, maka tiada ubahnya seperti bunuh diri saja, keruan sakitnya makin bertambah.

Dasar Lenghou Tiong memang berwatak nekat, ia pikir toh sudah kesakitan, paling-paling juga cuma mati kesakitan saja. Maka tanpa pikir akibatnya ia terus mengerahkan lwekang ajaran Hong Jing-yang itu secara teratur agar menyalur ke jalan yang tepat.

Benar juga, pergolakan dan pertarungan macam-macam hawa murni di dalam perutnya tambah hebat dari sukar ditahan, tapi setelah berputar-putar lagi, kemudian berbagai hawa murni itu dapat diantar ke jalan yang benar, samar-samar seperti memasuki relnya sendiri dan mulai berputar dengan lancar, meski tetap kesakitan, tapi sudah tidak saling terjang lagi.

Dalam pada itu terdengar Hong-ting Taysu sedang berkata dengan perlahan menjawab seruan orang-orang Mo-kau tadi, “Ketua Hing-san-pay, Lenghou Tiong, ketua Bu-tong-pay, Tiong-hi Tojin dan ketua Siau-lim-pay Hong-ting, bersama-sama menantikan kunjungan Yim-kaucu yang terhormat dari Tiau-yang-sin-kau!”

Suara Hong-ting kedengaran perlahan saja, tapi berkumandang jauh hingga mencapai di bawah gunung. Padahal suara belasan gembong Mo-kau tadi harus berteriak sekerasnya baru suara mereka dapat berkumandang ke atas gunung. Maka benar-benar sangat mencolok sekali kehebatan tenaga dalam Hong-ting Taysu.

Lenghou Tiong sendiri lantas duduk bersila dan mengerahkan lwekangnya secara lebih tekun, ia memusatkan pikiran dan mengatur pernapasan, dengan menurutkan petunjuk Hong-ting Taysu itu, berlatihlah dia secara lebih mendalam.

Padahal lwekang itu baru dia latih beberapa hari saja, meski setiap hari Hong-ting Taysu juga memberi petunjuk-petunjuk, namun memang latihannya belum sempurna, untunglah sesudah latihan lwekang itu, berbagai hawa murni yang bergolak di dalam tubuh itu lambat-laun dapat ditenangkan dan disalurkan ke jalan yang benar.

Lenghou Tiong tidak berani ayal, ia menjalankan lwekangnya dengan lebih tekun dan teratur. Semula ia mendengar suara tetabuhan, tapi akhirnya ia tidak mendengar apa-apa lagi, ia telah memusatkan segenap pancaindranya ke dalam latihannya itu.

Melihat ketekunan Lenghou Tiong itu, Hong-ting Taysu tersenyum senang.

Sementara itu suara tetabuhan tadi semakin ramai, terdengar orang-orang Tiau-yang-sin-kau sama berteriak menyorakkan semboyan sanjung puji terhadap kaucu mereka, suara teriakan itu semakin gemuruh dan nyata rombongan Yim-kaucu itu sedang naik ke atas.

Jalan pegunungan yang menuju ke Kian-seng-hong itu cukup panjang, meski suara anggota-anggota Tiau-yang-sin-kau itu berteriak-teriak sekian lamanya toh masih belum mencapai puncak gunung. Diam-diam para jagoan yang sembunyi di tempat masing-masing itu menggerutu akan lagak pihak Mo-kau yang tengik itu, sudah sorak-sorak memuji sang kaucu secara berlebih-lebihan pakai tetabuhan musik apa segala, memangnya mau main sandiwara? Demikian pikir mereka.

Tapi bagi mereka yang siap-siap menghadapi musuh itu pun merasa berdebar-debar, menurut perkiraan mereka, begitu pihak Mo-kau menyerbu ke atas gunung, serentak mereka akan melompat keluar dari tempat sembunyi untuk melabrak musuh, bila jumlah musuh makin membanjir dan sukar ditahan, maka segera mereka akan mengundurkan diri dan turun ke bawah jurang di belakang gunung melalui kerekan tali. Tak terduga kedatangan Yim Ngo-heng itu ternyata pakai lagak tuan besar, bahkan seperti maharaja saja dengan segala kebesarannya, keruan orang-orang yang menunggu bertempur itu berbalik tambah tegang malah.

Selang sekian lamanya, Lenghou Tiong merasa hawa murni di dalam tubuhnya lambat laun dapatlah diatasi, rasa sakitnya mulai berkurang. Tiba-tiba ia ingat kepada apa yang sedang terjadi, ia pikir sudah waktunya Yim-kaucu akan tiba sekarang, seketika ia pun melonjak bangun.

“Sudah baik sedikit?” tanya Hong-ting dengan tertawa.

“Apakah sudah mulai bergebrak?” tanya Lenghou Tiong.

“Belum, malah pihak sana belum datang,” sahut Hong-ting.

“Bagus!” seru Lenghou Tiong sambil melolos pedangnya. Tapi dilihatnya Hong-ting, Tiong-hi dan lain-lain ternyata tidak memegang senjata. Gi-ho, Gi-jing dan anak murid Hing-san yang lain berbaris di depan sana dalam formasi barisan pedang, tapi senjata mereka pun belum terhunus. Barulah Lenghou Tiong ingat bahwa musuh belum lagi datang, sikap diri sendirilah yang terlalu gugup, ia menjadi geli sendiri dan simpan kembali pedangnya.

Dalam pada itu terdengar suara alat tetabuhan tadi mendadak berhenti, sebagai gantinya bergemalah suara seruling dan kecapi yang halus. Dalam hati Lenghou Tiong anggap Yim-kaucu terlalu banyak tingkah polah. Setelah suara musik yang halus itu tentu sang kaucu sendiri akan muncul.

Benar juga, di tengah suara bunyi guling dan kecapi yang merdu, dua barisan anggota Tiau-yang-sin-kau tampak muncul di atas puncak Kian-seng-hong. Pandangan semua orang mendadak terbeliak, ternyata tiap-tiap anggota Tiau-yang-sin-kau itu memakai jubah hijau sulaman yang baru gres, pakai ikat pinggang putih. Empat puluh orang dari barisan itu membawa nampan dengan lapisan kain sutra, entah barang apa yang tertaruh di atas nampan mereka itu.

Ke-40 orang itu ternyata tidak membawa senjata, bahkan sesudah naik ke atas puncak mereka lantas berdiri tegak di kejauhan. Menyusul mana muncul pula di belakang ke-40 orang berjubah sulaman itu salah satu barisan yang terdiri dari 200 orang peniup seruling dan pemetik kecapi, semuanya juga berseragam jubah sulaman, sambil berjalan mereka terus membunyikan alat musik mereka.

Habis itu yang muncul adalah tukang-tukang pukul tambur, peniup trompet, penabuh gembreng dan alat-alat musik berat lainnya.

Lenghou Tiong menjadi tertarik oleh macam-macam peralatan musik itu, pikirnya, “Sebentar kalau mulai bertempur, kalau diiringi dengan suara alat musik berat itu, bukanlah mirip pertempuran di panggung sandiwara saja?”

Di tengah suara bunyi musik itu, barisan-barisan anggota Tiau-yang-sin-kau masih terus naik ke atas. Barisan-barisan itu agaknya diatur menurut kode masing-masing dengan warna pakaian yang berbeda-beda pula, ada yang berseragam hijau, kuning, biru, hitam, putih, semuanya serbabaru. Persamaan antara barisan-barisan itu hanya ikat pinggang mereka, yaitu sama-sama menggunakan ikat pinggang warna putih. Jumlah yang naik ke atas Kian-seng-hong diperkirakan ada tiga sampai empat ribu orang.

Dalam hati Tiong-hi berpikir, kalau mendadak pihaknya menyerbu maju di waktu kedudukan musuh belum teratur, tentu pihak sendiri ada harapan mengocar-ngacirkan pihak Mo-kau. Tapi sekarang pihak lawan sengaja berlagak, ingin cara halus dulu baru kemudian pakai kekerasan. Kalau pihak sendiri lantas bergerak begitu saja tentu akan dianggap kurang kesatria. Sedangkan Lenghou Tiong kelihatan tertawa-tawa saja dan anggap tingkah laku pihak Mo-kau itu seperti permainan anak kecil, Hong-ting juga tenang-tenang dan anggap perbuatan pihak musuh itu seperti sesuatu yang biasa. Terpaksa Tiong-hi menahan perasaannya dan mengikuti perubahan suasana selanjutnya.

Sesudah barisan-barisan Tiau-yang-sin-kau tadi mengambil tempat masing-masing, menyusul yang muncul adalah sepuluh tianglo, mereka lantas membagi diri dalam dua kelompok, setiap kelompok lima orang dan berdiri di kanan-kiri.

Ketika bunyi musik mendadak berhenti, kesepuluh tianglo itu lantas berteriak bersama, “Tiau-yang-sin-kau mahabijaksana, Maha-kaucu bijaksana juru penyelamat umat manusia, Tiau-yang-kaucu tiba!”

Bab 143. Diplomasi Tiau-yang-kau yang Berhasil

Maka tertampaklah sebuah tandu besar beratapkan kain beledu biru digotong ke atas Kian-seng-hong. Tandu besar itu digotong oleh 16 orang, bergeraknya tampak sangat cepat lagi anteng. Suatu tanda ke-16 pemikul tandu itu adalah jago-jago silat pilihan semua.

Waktu Lenghou Tiong mengamat-amati para pemikul tandu itu, ternyata di antaranya terdapat Coh Jian-jiu, Ui Pek-liu, Keh Bu-si dan lain-lain. Coba kalau badan Lo Thau-cu tidak terlalu pendek, tentu pula dia akan dipaksa menjadi tukang pikul tandu itu.

Diam-diam Lenghou Tiong merasa penasaran bagi tukang-tukang pikul tandu itu, ia pikir jelek-jelek Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya itu pun tokoh persilatan terkemuka, masakah sekarang Yim-kaucu memperbudak mereka menjadi tukang pikul tandu, sungguh tidak pantas.

Yang mengiringi tandu besar itu ternyata adalah dua orang, di sebelah kiri ialah Hiang Bun-thian dan yang sebelah kanan adalah seorang tua yang tampaknya seperti sudah dikenalnya. Untuk sejenak Lenghou Tiong tercengang, tiba-tiba teringat olehnya bahwa orang tua itu adalah Lik-tiok-ong, si kakek bambu hijau yang pernah mengajarkan cara memetik kecapi di kota Lokyang dahulu. Si kakek selalu memanggil Ing-ing sebagai Kokoh atau bibi, lantaran itu Lenghou Tiong menjadi salah sangka Ing-ing adalah seorang nenek yang sudah tua. Sejak berpisah di Lokyang belum pernah berjumpa pula dengan kakek itu, tak terduga hari ini dia malah ikut Yim Ngo-heng ke atas Hing-san.

Hati Lenghou Tiong menjadi berdebar-debar, pikirnya, “Mengapa tidak tampak Ing-ing?”

Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, jelas setiap anggota Tiau-yang-sin-kau itu memakai ikat pinggang putih seperti orang yang sedang berkabung, apakah barangkali Ing-ing telah membunuh diri karena sukar mencegah maksud ayahnya yang hendak menyerbu dan membasmi Hing-san-pay?

Tanpa terasa, Lenghou Tiong lantas berlari maju dan menegur Hiang Bun-thian, “Hiang-toako, mana Nona Yim?”

“O, Lenghou-hiante, baik-baikkah kau?” sahut Hiang Bun-thian sambil mengangguk tanpa menjawab pertanyaan Lenghou Tiong.

Terpaksa Lenghou Tiong mengulangi lagi, “Hiang-toako, mengapa Nona Yim tidak ikut datang?”

“Sebentar tentu kau akan tahu sendiri,” jawab Hiang Bun-thian.

Terpaksa Lenghou Tiong mundur kembali ke tempatnya semula.

Saat itu suasana di atas Kian-seng-hong ternyata sunyi senyap meski berkumpul di situ beberapa ribu orang banyaknya. Ketika tandu besar tadi ditaruh di atas tanah, pandangan semua orang seketika terpusat ke arah kerai tandu untuk menantikan keluarnya Yim Ngo-heng.

Pada saat itu gula tiba-tiba dari dalam Bu-sik-am yaitu biara induk Hing-san-pay, terdengar suara tertawa riuh ramai, seorang berseru dengan suara keras, “Lekas menyingkir, lekas! Bergantian dong! Sekarang giliranku yang coba-coba duduk di situ!”

“Sabar, sabar dulu!” demikian seorang lagi menanggapi. “Bergiliran satu per satu, jangan berebut! Setiap orang pasti akan mencicipi rasanya berduduk di atas kursi sembilan naga ini!”

Nyata itulah suaranya Tho-hoa-sian dan Tho-ki-sian di dalam biara sana. Keruan air muka Hong-ting, Tiong-hi dan Lenghou Tiong seketika berubah. Mereka tahu apa artinya yang sedang diributkan Tho-kok-lak-sian itu. Entah sejak kapan keenam orang sinting itu telah menerobos ke dalam Bu-sik-am dan kini rupanya sedang berebut duduk di atas kursi mestika bersulaman sembilan ekor naga emas itu. Kalau terlalu lama diduduki mereka, bukan mustahil sumbu obat peledak akan bekerja dan tentu akan runyam urusannya.

Maka cepat Tiong-hi Totiang berlari ke dalam biara itu dan membentak, “Hayo, lekas bangun, lekas bangun! Kursi mestika ini khusus disediakan bagi Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau, kalian tidak boleh duduk di situ!”

“Mengapa tidak boleh duduk? Aku justru ingin duduk di sini!” demikian terdengar suara Tho-kok-lak-sian yang ramai.

“Nah, kau sudah merasakan, sekarang giliranku!”

“Wah, empuk benar kursi ini dan mentul-mentul, sama halnya kalau berduduk di atas perut seorang gendut!”

“Hah, apakah kau pernah duduk di perut orang gendut?” begitulah terdengar ribut-ribut pula di antara keenam orang sinting itu.

Lenghou Tiong menjadi khawatir kursi yang diributkan Tho-kok-lak-sian itu benar-benar meledak sebelum waktunya, hal mana berarti seluruhnya akan hancur lebur bersama.

Semula Lenghou Tiong bermaksud memburu ke dalam biara itu untuk mengatasi keributan Tho-kok-lak-sian, tapi entah mengapa, dalam hati kecilnya berbalik seakan-akan mengharapkan obat peledak itu benar-benar meledak selekasnya, toh Ing-ing sudah mati, buat apa dirinya sendiri hidup lebih lama lagi, biarlah semuanya gugur bersama saja dan habis perkara.

Sekilas itu tiba-tiba dilihatnya sepasang mata jeli Gi-lim sedang menatap ke arahnya, tapi begitu kebentrok dengan sinar matanya, segera Gi-lim berpaling ke arah lain.

Tiba-tiba Lenghou Tiong berpikir, “Usia Gi-lim Sumoay masih begini muda belia, tapi dia juga harus ikut hancur oleh ledakan dahsyat itu, bukankah kasihan nasibnya? Akan tetapi setiap manusia akhirnya toh mesti mati juga, seumpama hari ini semua orang yang berada di sini tidak kurang sesuatu apa pun, setelah seratus tahun lagi setiap orang yang hadir di sini sekarang ini toh akan menjadi onggokan tulang belaka.”

Dalam pada itu terdengar suara ribut Tho-kok-lak-sian masih belum mereda, bahkan tambah ramai. Seorang berseru, “He, kau sudah duduk dua kali, sebaliknya aku belum satu kali pun!”

Lalu yang lain menanggapi, “Pertama kali tadi aku belum duduk dengan baik sudah lantas ditarik turun, maka tidak boleh dihitung dan sekarang aku harus diberi kesempatan lagi.... He, apa-apaan ini?”

Rupanya sebelum dia duduk dengan baik kembali dia sudah diseret turun lagi dari atas kursi.

“He, aku ada suatu usul. Begini saja, kita berenam saudara boleh sekaligus duduk berjejal di atas kursi ini, coba muat atau tidak?” demikian tiba-tiba seorang di antaranya mengusulkan.

“Bagus, usul yang bagus! Hayolah kita duduk bersama, hahaha!”

“Kau duduk dulu, aku duduk bagian atas saja!”

“Tidak, kau saja duduk di bawah dan aku di atas!”

Begitulah mereka tambah ribut dan tambah edan-edanan.

Hong-ting menjadi tidak sabar melihat detik bahaya bisa terjadi setiap saat oleh perbuatan Tho-kok-lak-sian yang gila itu, untuk berseru mencegahnya khawatir rahasia obat pasang itu diketahui musuh. Terpaksa ia pun berlari ke dalam biara itu dan membentaknya, “Di luar ada tamu agung kalian jangan bertengkar dan jangan ribut!”

Kata-kata “jangan ribut” itu sengaja diserukan dengan ilmu lwekang “Say-cu-ho” (auman singa) yang mahahebat, serangkum tenaga dalam disemburkan ke arah Tho-kok-lak-sian. Tiong-hi Tojin yang berada di situ juga merasakan kepala pusing dan hampir-hampir roboh, keruan saja Tho-kok-lak-sian tidak tahan, kontan mereka menggeletak tak sadarkan diri.

Dengan girang Tiong-hi segera memburu maju, cepat ia menyingkirkan keenam orang itu dari kursi wasiat yang dia pasang itu serta menutuk hiat-to keenam orang, lalu didorong masuk ke bawah kolong meja sembahyang yang besar itu. Waktu ia pasang telinga mendengarkan di tepi kursi, ternyata tiada sesuatu suara aneh apa-apa, untunglah sumbu obat peledak belum tersentuh rupanya. Tiong-hi merasa bersyukur, tapi ia pun merasa cemas, coba Hong-ting tidak lantas datang, kalau sumbu obat peledak mulai bekerja, maka hancurlah segalanya.

Begitulah bersama Hong-ting segera mereka keluar lagi dan berseru, “Silakan Yim-kaucu masuk ke dalam!”

Akan tetapi tandu hias itu diam-diam saja, orang di dalam tandu tidak memberi jawaban apa.

Tiong-hi menjadi gusar, pikirnya, “Iblis tua ini sungguh terlalu kepala besar, padahal aku dan Hong-ting Taysu serta Lenghou-ciangbun adalah tiga tokoh terkemuka di dunia persilatan sekarang, kami berdiri menyambut padamu ternyata tidak kau gubris sama sekali.”

Coba kalau tidak mengingat perangkap yang telah diaturnya pada kursi wasiatnya itu, mungkin Tiong-hi sudah lantas menerjang maju dengan pedangnya untuk melabrak Yim Ngo-heng. Maka dengan menahan perasaannya Tiong-hi mengulangi lagi undangannya tadi dan di dalam tandu tetap tiada suara orang menjawab.

Tertampak Liang Bun-thian menempelkan telinganya ke dinding tandu, rupanya sedang mendengarkan petunjuk-petunjuk orang di dalam tandu itu, hal ini terbukti Hiang Bun-thian berulang-ulang mengangguk-angguk. Habis itu ia pun berdiri tegak kembali dan berseru, “Yim-kaucu menyatakan terima kasih atas penyambutan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-si dan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-san, Yim-kaucu kelak tentu akan berkunjung sendiri ke Siau-lim dan Bu-tong untuk minta maaf.”

Hong-ting dan Tiong-hi sama mendengus, mereka tahu apa yang dimaksudkan Yim Ngo-heng tentu terbalik, dia bilang akan berkunjung ke Siau-lim dan Bu-tong untuk minta maaf, maksud yang sebenarnya adalah kelak gembong Mo-kau itu pasti akan menyapu bersih Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay.

Lalu Hiang Bun-thian bicara pula, “Yim-kaucu bilang bahwa kedatangan beliau ke sini sekarang ini adalah untuk mengadakan pertemuan dengan Lenghou-ciangbun, maka diharap Lenghou-ciangbun suka menemui beliau sendirian di dalam biara.”

Habis itu Hiang Bun-thian lantas memberi tanda bergerak, ke-16 tukang pikul lantas menggotong tandu itu ke dalam biara dan ditaruh di latar sembahyangan. Hiang Bun-thian sendiri dan Lik-tiok-ong juga ikut masuk, tapi kemudian keluar kembali bersama para tukang pikul sehingga di dalam biara hanya tertinggal tandu hias tadi saja.

Diam-diam Tiong-hi merasa sangsi entah apa isi tandu itu, jangan-jangan merupakan perangkap musuh pula. Maka ia coba pandang Hong-ting dan Lenghou Tiong.

Jiwa Hong-ting Taysu memang jujur dan polos, ia pun tidak biasa menghadapi macam-macam kelicikan manusia itu, maka dengan wajah bingung ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Segera Lenghou Tiong berkata, “Kalau Yim-kaucu hanya ingin bicara dengan Wanpwe sendirian, harap kedua Cianpwe tunggu sebentar saja di sini.”

“Kau harus waspada,” pesan Tiong-hi dengan suara tertahan.

Lenghou Tiong mengangguk, lalu masuk ke biara dengan langkah lebar.

Biara Bu-sik-am itu sebenarnya cuma sebuah rumah kecil saja, kalau di ruangan sembahyang itu ada orang bicara dengan suara keras pasti akan terdengar dengan jelas dari luar. Begitulah maka Hong-ting dan lain-lain mendengar suara Lenghou Tiong sedang berkata, “Wanpwe Lenghou Tiong menyampaikan salam hormat kepada Yim-kaucu.”

Tapi tidak terdengar suara jawaban Yim Ngo-heng, sebaliknya sejenak kemudian lantas terdengar Lenghou Tiong berseru kaget.

Keruan Tiong-hi dan Hong-ting terkejut dan mengkhawatirkan keselamatan Lenghou Tiong, segera Tiong-hi hendak menerjang ke dalam biara untuk membantunya, tapi lantas terpikir olehnya, “Betapa hebat ilmu pedang adik Lenghou boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini, rasanya tidak mungkin ditundukkan iblis tua Mo-kau itu hanya sekali gebrak saja. Andaikan betul adik Lenghou mengalami nasib malang biarpun aku lari masuk ke sana juga sudah terlambat untuk menolongnya. Paling baik kalau iblis tua she Yim itu tidak mencelakai adik Lenghou, lalu biarkan dia sendiri tinggal di dalam dan dia pasti ingin mencoba duduk di atas kursi mewah itu, maka kalau aku menerjang ke dalam jangan-jangan berbalik akan membikin runyam urusan.”

Tapi segera ia sendiri merasa tidak tenteram, terpikir olehnya kalau benar Yim Ngo-heng sudah berduduk di atas kursi itu, sebentar lagi sumbu obat peledak tentu akan mulai bekerja dan Kian-seng-hong ini pasti akan hancur lebur, termasuk semua orang yang berada di situ. Kalau aku sendiri sekarang lantas menyingkir tentu akan kelihatan pengecut, bila menimbulkan curiga Hiang Bun-thian dan begundalnya, lalu memberi peringatan kepada kawannya untuk mengundurkan diri, maka hal ini berarti rencana yang telah kuatur akan gagal total. Sebaliknya kalau peledakan terjadi dan tidak sempat menghindar, lalu bagaimana akibatnya nanti?

Sebenarnya sudah direncanakan secara matang cara bagaimana akan menghadapi pertempuran sengit dengan musuh bila Tiau-yang-sin-kau menyerbu ke atas gunung, lalu cara bagaimana harus mundur teratur diperhitungkan pula, di waktu Yim Ngo-heng berduduk di atas kursi naga sembilan, tentu orang-orang Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan Hing-san-pay sudah menyingkir seluruhnya ke dalam jurang. Tak terduga kedatangan pihak Tiau-yang-sin-kau itu ternyata tidak lantas main kekerasan, sebaliknya datang secara sopan, malahan Yim Ngo-heng minta bertemu secara muka berhadapan muka dengan Lenghou Tiong di dalam biara, semuanya ini sudah di luar perhitungan Tiong-hi semula. Dalam keadaan demikian, biarpun dia banyak tipu akalnya seketika menjadi serbasusah juga.

Hong-ting Taysu juga menyadari gentingnya keadaan, ia pun mengkhawatirkan keselamatan Lenghou Tiong, cuma dia lebih sabar, dadanya juga lebih lapang, baginya mati atau hidup, kalah atau menang, semuanya bukan sesuatu yang luar biasa. Manusia berusaha, tapi Thian yang menentukan. Bagaimana akhirnya sesuatu urusan sering kali sudah ditakdirkan oleh Thian, siapa pun tak bisa memaksakan kehendaknya.

Sebab itulah meski dalam hati Hong-ting juga merasa khawatir, tapi sikapnya tetap tenang saja, baginya bila benar-benar obat pasang meledak sehingga tubuhnya ikut hancur lebur, maka itulah jalan menuju kesempurnaan, kenapa mesti ditakuti?

Tentang di bawah di kursi naga sembilan itu terpasang obat peledak, hal itu dilakukan dengan sangat rahasia, selain Hong-ting Taysu, Tiong-hi dan Lenghou Tiong, serta Jing-hi dan Seng-ko dengan pembantu-pembantunya yang melakukan pemasangan pesawat rahasianya, orang lain boleh dikata tiada yang tahu. Kini Jing-hi, Seng-ko dan pembantu-pembantunya itu sedang menunggu di pinggang gunung, asal terjadi ledakan di atas puncak, segera mereka pun akan menarik sumbu dinamit yang sudah ditanam.

Begitu pula orang-orang Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan anak murid Hing-san-pay juga sedang menunggu hasil pembicaraan antara Lenghou Tiong dengan Yim Ngo-heng, bilamana tiada persesuaian paham dalam pembicaraan itu, serentak mereka pun akan mulai menghadapi orang-orang Tiau-yang-sin-kau dengan kekerasan.

Tapi sesudah ditunggu sekian lamanya ternyata tiada sesuatu suara apa-apa di dalam biara itu, Tiong-hi menjadi sangsi, ia coba kerahkan lwekangnya yang tinggi untuk mendengarkan dengan cermat. Sayup-sayup didengarnya suara Lenghou Tiong yang sangat lirih seperti sedang berbicara apa-apa. Maka legalah hati Tiong-hi, ternyata Lenghou Tiong tidak kurang suatu apa pun di dalam biara.

Karena sedikit pemusatan pikirannya terpencar, suara yang lirih itu sukar ditangkap lagi. Maka ia menjadi ragu-ragu terhadap suara tadi apakah benar-benar suaranya Lenghou Tiong atau bukan? Jangan-jangan salah dengar atau khayalan sendiri saja.

Syukurlah tidak lama kemudian lantas terdengar seruan Lenghou Tiong di dalam biara, “Hiang-toako, silakan kau masuk untuk mengiringi Yim-kaucu ke luar biara!”

Hiang Bun-thian mengiakan, cepat ia bersama Lik-tiok-ong dan ke-16 tukang pikul tandu tadi berlari masuk ke dalam biara, sejenak kemudian tandu besar itu telah digotong keluar lagi. Serentak segera anggota Tiau-yang-sin-kau yang berada di luar situ sama memberi hormat dan bersorak memuji akan kebesaran sang kaucu.

Setiba di tempat permulaan tadi, para tukang pikul itu lantas berhenti dan menaruh tandu besar itu ke bawah.

“Bawakan hadiah Maha-kaucu untuk Hongtiang Siau-lim-si!” tiba-tiba Hiang Bun-thian berseru.

Segera ada dua orang anggota Tiau-yang-sin-kau masing-masing mengaturkan sebuah nampan ke hadapan Hong-ting Taysu dengan sikap sangat menghormat.

Hong-ting melihat di tengah sebuah nampan itu tertaruh serenceng biji tasbih, sedang nampan yang lain berisi sebuah kitab kuno, di atas sampul kitab itu tertulis huruf Hindu kuno yang dikenalnya sebagai kitab “Hoat-hoa-keng”.

Sungguh tak terkatakan girang hati Hong-ting Taysu. Selama hidupnya banyak mempelajari kitab agama Buddha, lebih-lebih mengenai isi Hoat-hoa-keng, cuma yang biasa dia baca adalah kitab terjemahan dalam bahasa Tionghoa, ada bagian-bagian isi kitab itu yang sukar dipecahkan, maka sudah lama dia ingin mencari kitab Hoat-hoa-keng yang asli dalam bahasa Hindu kuno itu sebagai perbandingan. Kini melihat kitab asli yang menjadi idam-idamannya itu, sudah tentu ia kegirangan, cepat ia memberi hormat dan mengucapkan terima kasih.

“Banyak terima kasih atas hadiah besar Yim-kaucu ini, entah cara bagaimana Lolap harus membalasnya,” kita Hong-ting sambil mengambil kitab pusaka itu dengan sikap penuh hormat.

Hiang Bun-thian lantas menjawab, “Kaucu kami mengatakan bahwa Tiau-yang-sin-kau kami telah banyak berbuat kasar terhadap para kesatria, asalkan Hong-tiang Taysu tidak marah dan menegur, maka Tiau-yang-sin-kau kami merasa sangat bersyukur dan terima kasih.”

Habis itu ia berpaling pula kepada anak-buahnya dan berseru, “Aturkan hadiah Maha-kaucu untuk ketua Bu-tong-pay!”

Kembali dua anggota Tiau-yang-sin-kau mengiakan terus tampil ke muka dengan mengangkat nampan masing-masing dan diaturkan ke hadapan Tiong-hi Tojin.

Sebelum kedua orang itu mendekat, dari jauh Tiong-hi sudah lihat di atas salah sebuah nampan itu tertaruh sebatang pedang. Sesudah kedua orang itu mendekat, dilihatnya sarung pedang itu terbuat dari tembaga hijau loreng, jelas adalah sebatang pedang kuno, di atas sarung pedang terukir dua huruf Hindu kuno yang berbunyi “Cin-bu”.

Tanpa terasa Tiong-hi berseru kaget melihat pedang pusaka itu. Ia tahu cikal bakal Bu-tong-pay sendiri, yaitu Thio Sam-hong Cosu, pernah menggunakan sebatang pedang yang diberi nama Cin-bu-kiam, pedang itu selamanya dipandang sebagai pedang pusaka Bu-tong-pay. Kira-kira pada 80 tahun yang lalu Bu-tong-san pernah disatroni beberapa gembong Mo-kau yang berkepandaian tinggi, pedang pusaka itu bersama sejilid kitab “Thay-kek-kun-keng”, kitab ilmu pukulan Thay-kek-kun, semuanya tercuri dan digondol lari.

Dalam pertarungan sengit pada waktu itu, pihak Bu-tong-pay jatuh korban tiga tokoh terkemuka, walaupun pihak Tiau-yang-sin-kau juga meninggalkan lima orang tokohnya, tapi pedang dan kitab pusaka Bu-tong-pay sendiri tak berhasil direbut kembali. Peristiwa itu benar-benar merupakan noda yang memalukan bagi Bu-tong-pay, selama berpuluh tahun ini, setiap pejabat ketua dari tiap-tiap angkatan selalu meninggalkan pesan agar pedang dan kitab pusaka itu harus dicari dan ditemukan kembali.

Akan tetapi Hek-bok-keh, yaitu sarang Tiau-yang-sin-kau itu selalu dijaga keras dan sukar dicapai, beberapa puluh tahun terakhir ini pengaruhnya juga teramat besar, beberapa kali Bu-tong-pay telah berusaha secara terang-terangan maupun secara gelap-gelapan untuk merebut kembali benda pusaka mereka itu, tapi selalu gagal, bahkan setiap kali mesti meninggalkan korban di atas Hek-bok-keh. Sungguh tidak nyana bahwa pedang pusaka itu kini bisa muncul di Kian-seng-hong sini.

Waktu Tiong-hi melirik, dilihatnya di atas nampan yang lain jelas tertaruh pula sejilid kitab kuno yang warnanya sudah agak luntur, di atas sampul kitab tertulis “Thay-kek-kun-keng”. Kitab pusaka itu adalah tulisan tangan asli dari cikal bakal Bu-tong-pay mereka, di atas Bu-tong-san masih banyak tulisan-tulisan tinggalan Thio Sam-hong, maka begitu melihat Thay-kek-kun-keng itu segera Tiong-hi rapat mengenali kitab itu adalah Thay-kek-kun-keng yang tulen.

Dengan tangan gemetar Tiong-hi lantas pegang gagang pedang pusaka itu, perlahan-lahan dilolosnya sebagian, maka terasalah hawa dingin yang menusuk. Ia tahu Sam-hong Cosu di waktu usia sudah lanjut, ilmu pedangnya telah mencapai tingkatan yang tiada taranya, maka jarang sekali cikal bakal itu memakai senjata, seumpama terpaksa harus menggunakan pedang, maka yang digunakan tentu adalah pedang biasa atau pedang kayu saja, Cin-bu-kiam ini adalah senjata yang dipakai Sam-hong Cosu pada waktu muda, sedang pusaka ini sangat tajam dan disegani lawan.

Tiong-hi masih khawatir tertipu aneh Yim Ngo-heng maka ia coba membalik-balik kitab “Thay-kek-kun-keng” itu, dilihatnya tulisan-tulisan di dalam halaman kitab itu memang betul adalah tulisan asli Thio Sam-hong maka dengan cepat ia berlutut dan menyembah kepada pedang dan kitab pusaka itu, habis itu barulah ia berdiri kembali dan berkata, “Banyak terima kasih atas kemurahan hati Yim-kaucu sehingga benda pusaka tinggalan Cosuya kami dapat pulang kandang, biarpun hancur lebur badanku juga sukar membalas budi kebaikan ini.”

Habis berkata barulah ia terima pedang dan kitab pusaka itu, saking terharunya hingga kedua tangannya gemetar tiada hentinya.

“Kaucu kami bilang, dahulu Tiau-yang-sin-kau kami telah banyak mengganggu Bu-tong-pay, sungguh malu kalau dipikir, maka hari ini benda-benda pusaka ini biarlah kembali kandang asalnya, harap pihak Bu-tong-pay sudi memberi maaf,” demikian Hiang Bun-thian berkata.

“Ah, Yim-kaucu terlalu rendah hati,” sahut Tiong-hi.

Lalu Hiang Bun-thian berseru pula, “Sekarang aturkan hadiah Maha-kaucu untuk Lenghou-ciangbun dari Hing-san-pay!”

Dalam hati Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin sama berpikir entah benda mestika apakah yang dihadiahkan Yim Ngo-heng kepada Lenghou Tiong itu mengingat hadiah untuk mereka adalah benda-benda pusaka yang tak ternilai itu.

Tak tahunya sekali ini ternyata tiada sesuatu yang luar biasa, yang maju sekaligus ada 20 orang, semuanya membawa sebuah nampan dan serentak mendekati Lenghou Tiong.

Maka tertampak dengan jelas isi nampan itu tidak lebih hanya sebangsa baju, kopiah, sepatu, poci arak dan cawannya serta alat-alat keperluan sehari-hari lainnya. Walaupun benda-benda itu pun terbuat dengan sangat indah, tapi tiada sesuatu yang luar biasa. Hanya pada sebuah nampan tampak tertaruh sebuah seruling dan sebuah nampan lain berisi sebuah kecapi kuno, kedua benda ini tampaknya jauh lebih berharga daripada yang lain, tapi kalau dibandingkan hadiah yang diterima oleh Hong-ting dan Tiong-hi juga masih jauh berbeda.

Begitulah Lenghou Tiong lantas mengucapkan terima kasih dan suruh anak murid Hing-san-pay menerima hadiah-hadiah itu.

Kemudian Hiang Bun-thian bicara lagi, “Kaucu kami bilang, kedatangan kami ke Hing-san sekali ini telah banyak mengganggu dan tidak pantas. Sebagai hiburan, kami menghadiahkan para Suthay dari Hing-san-pay tiap-tiap orang sepasang baju baru dan pedang sebatang, sedang untuk para Suci dan Sumoay keluarga preman dihadiahi masing-masing perhiasan sebentuk dan pedang sebatang. Selain itu Tiau-yang-sin-kau kami telah memberi tiga ribu hektare sawah di kaki gunung Hing-san ini dan diberikan kepada Bu-sik-am sebagai milik biara ini. Dan sekarang juga bolehlah kami mohon diri.”

Habis berkata ia lantas memberi hormat kepada Hong-ting, Tiong-hi dan Lenghou Tiong bertiga, lalu putar tubuh dan melangkah pergi.

“Hiang-singsing!” tiba-tiba Tiong-hi Tojin memanggilnya.

Hiang Bun-thian berpaling kembali, sahutnya dengan tertawa, “Apakah Totiang ada pesan apa-apa?”

Tiong-hi menjawab, “Tanpa berjasa menerima hadiah besar dari Yim-kaucu, sungguh hati kami merasa tidak enak. Entah... entah....” sampai di sini ia tak dapat meneruskan lagi. Mestinya ia ingin tanya, “Entah apakah artinya pemberian hadiah ini”, tapi pertanyaan ini ternyata tidak sanggup diucapkan.

Hiang Bun-thian hanya tertawa saja, ia memberi hormat pula dan berkata, “Benda pusaka kembali asalnya, hal ini adalah jauh daripada pantas, kenapa Totiang mesti merasa tidak enak hati?”

Lalu ia putar tubuh kembali dan berseru, “Kaucu perintahkan berangkat?”

Serentak suara alat tetabuhan berbunyi gemuruh pula, ke-10 tianglo berjalan di depan sebagai pembuka jalan, ke-16 tukang pikul tandu lantas angkat lagi tandu besar itu dan turun ke bawah gunung dengan iringan barisan-barisan penabuh musik serta barisan-barisan yang berseragam beraneka warna itu.

Sesudah keadaan di Kian-seng-hong sunyi kembali, Hong-ting dan Tiong-hi sama menatap Lenghou Tiong tanpa berkata, dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama, “Mengapa Yim-kaucu tidak jadi menyatroni Hing-san-pay, seluk-beluk hal ini hanya kau saja yang tahu.”

Tapi dari air muka Lenghou Tiong sedikit pun tak tampak sesuatu perubahan yang dapat memberi jawaban bagi pertanyaan mereka itu. Hanya tertampak wajah Lenghou Tiong ya rada senang dan juga rada berduka.

Sementara, itu orang-orang Tiau-yang-sin-kau sudah pergi jauh, suara tetabuhan yang gemuruh tadi sudah tak terdengar, teriakan semboyan-semboyan mereka pun lenyap, datangnya gagah perkasa penuh wibawa, tapi tahu-tahu pergi begitu saja tanpa terjadi apa-apa.

Tiong-hi tidak tahan, segera ia bertanya, “Lenghou-ciangbun, tiba-tiba Yim-kaucu sedemikian murah hati, tentunya karena dia menghargai dirimu, Entah tadi... tadi....” mestinya ia ingin tanya “entah tadi apa yang dia bicarakan dengan kau”. Tapi lantas teringat olehnya bahwa hal itu kalau memang boleh diceritakan tentu sudah diceritakan oleh Lenghou Tiong, sebaliknya kalau tidak boleh diceritakan, pertanyaannya menjadi tidak pantas malah. Karena itulah dia urung meneruskan pertanyaannya itu.

Tapi Lenghou Tiong dapat memahami pikiran Tiong-hi, segera ia berkata, “Harap kedua Cianpwe sudi memaafkan, soalnya tadi Wanpwe sudah berjanji kepada Yim-kaucu, maka seluk-beluk urusan ini sementara tak dapat kukatakan. Namun dalam urusan sesungguhnya juga tiada sesuatu rahasia penting, tidak lama lagi tentu juga kedua Cianpwe akan mendapat tahu.”

Hong-ting bergelak tertawa, katanya, “Suatu bencana besar dalam sekejap telah lenyap seluruhnya, sungguh beruntung bagi dunia persilatan umumnya. Melihat gerak-gerik Yim-kaucu tadi, tampaknya tiada tanda-tanda permusuhannya dengan pihak cing-pay kita, maka kita benar-benar harus bersyukur dan bergirang karena malapetaka yang hampir menimbulkan banjir darah ini dapat dihapus dengan cara begini saja.”

Hati Tiong-hi seperti dikitik-kitik karena tetap tak tahu teka-teki apa yang tersembunyi di balik kejadian tadi, tetapi ia pun merasa apa yang dikatakan Hong-ting itu juga benar, maka kemudian ia pun berkata, “Bukan maksudku mengkhawatirkan hal-hal yang takkan terjadi, cuma biasanya Tiau-yang-sin-kau memang licik dan banyak tipu akalnya, betapa pun kita harus waspada. Sebab bukan mustahil Yim-kaucu telah mengetahui kesiapsiagaan kita, bisa jadi dia takut akan obat peledak yang telah kita pasang, sebab itulah hari ini dia sengaja membaiki kita, tapi lain hari kalau kita lengah, mungkin dia akan menyergap kita secara mendadak. Mungkinkah terjadi demikian jika menurut pendapat kalian berdua?”

“Ya, memang... memang hati manusia sukar diukur, segala apa, ada lebih baik waspada,” ujar Hong-ting.

Sedang Lenghou Tiong tampak menggeleng dan berkata dengan tegas, “Tidak, pasti takkan terjadi begitu.”

“Jika Lenghou Tiong yakin takkan terjadi begitu, maka segala sesuatu tentu akan menjadi baik,” kata Tiong-hi.

Selang tak lama, laporan dari bawah gunung menyatakan bahwa pasukan Tiau-yang-sin-kau sudah mengundurkan diri ke bawah gunung, lantaran tidak diberi perintah, maka penjaga di situ tidak mencegatnya dan melabrak musuh, juga dinamit yang terpendam itu tidak diledakkan.

Bab 144. Yang Jahat Pasti Terima Ganjarannya [TAMAT]

Segera Tiong-hi Tojin mengirim orang untuk memberitahukan kepada Jing-hi dan Seng-ko agar kursi wasiat serta sumbu-sumbu dinamit yang telah dipasang itu segera dihapus.

Lalu Lenghou Tiong mengundang Hong-ting dan Tiong-hi masuk kembali ke Bu-sik-am untuk mengaso di ruangan sembahyang itu.

Hong-ting Taysu membalik-balik halaman kitab Hoat-hoa-keng dalam bahasa Hindu Kuno asli itu. Sedang Tiong-hi Tojin sebentar-sebentar meraba pedang pusakanya Cin-bu-kiam, lain saat membaca pula kitab pelajaran ilmu pukulan Thay-kek-kun-hoat. Girang mereka sungguh sukar dilukiskan sehingga rasa khawatir mereka tadi pun terlupa.

Sedang keadaan serbasunyi, tiba-tiba di bawah kolong meja sembahyang ada orang berkata, “Ahhh, kiranya kau, Ing-ing!”

Lalu seorang menjawab, “Ya, Engkoh Tiong, engkau ... engkau....”

Itulah suaranya Tho-kok-lak-sian.

Keruan Lenghou Tiong berseru kaget dan melonjak bangun dari tempat duduknya.

Terdengar pula suara percakapan di bawah kolong meja itu masih terus berlangsung, “Engkoh Tiong, ayahku, beliau ... beliau sudah meninggal dunia.”

“Mengapa beliau meninggal dunia, bukankah waktu berpisah beliau sehat-sehat saja?”

“Ketika engkau meninggalkan Hoa-san tempo hari, tidak lama sesudah engkau pergi, mendadak ayah jatuh pingsan dari tempat duduknya, lekas-lekas aku dan Hiang-sioksiok menahan tubuh beliau, tapi hanya sebentar saja beliau lantas mengembuskan napas penghabisan.”

“Apa ... apakah ada musuh yang mencelakai beliau?”

“Tidak, menurut Hiang-sioksiok, usia ayah sudah lanjut, pernah menderita sekian tahun di dalam kerangkeng di bawah danau itu, belakangan ini ayah sengaja menggunakan lwekang yang paling dahsyat untuk menghapuskan macam-macam hawa murni di dalam tubuh sendiri secara paksa, hal ini dengan sendirinya sangat mengganggu kesehatannya. Jadi beliau meninggal karena memang sudah tua.”

“Sungguh tidak tersangka!”

“Engkoh Tiong, di atas puncak Hoa-san tempo hari Hiang-sioksiok lantas berunding dengan para tianglo dalam agama, dengan suara bulat mereka telah mengangkat diriku sebagai Kaucu baru Tiau-yang-sin-kau.”

“O, jadi sang kaucu adalah Yim-toasiocia dan bukan lagi Yim-losiansing.”

Terkejut dan bergirang pula Hong-ting dan Tiong-hi mendengar percakapan itu, mereka cukup paham apa artinya percakapan Tho-kok-lak-sian itu.

Sebagaimana diketahui, tadi waktu Tho-kok-lak-sian bikin ribut ingin berduduk di atas kursi naga sembilan yang disediakan bagi Yim Ngo-heng itu, untuk mengakhiri keributan itu agar rahasia perangkap mereka tidak bocor, maka Hong-ting Taysu telah menggunakan ilmu “Auman Singa” untuk menggetar pingsan keenam orang dogol itu, lalu Tiong-hi Tojin menutuk hiat-to mereka dan didorong ke kolong meja.

Sungguh harus diakui bahwa lwekang keenam orang dogol itu juga cukup hebat, tidak lama kemudian mereka sudah siuman kembali, hanya saja tak bisa bergerak karena hiat-to mereka tertutuk Tapi dengan demikian mereka menjadi seperti sengaja sembunyi di kolong meja sehingga semua percakapan Lenghou Tiong dengan “Yim-kaucu” yang berada di dalam tandu itu didengar mereka seluruhnya dan kini dengan nada yang sama dan satu kalimat pun tidak berkurang telah mereka ulangi kembali.

Demi mendengar Yim Ngo-heng sudah meninggal dan sekarang Ing-ing yang menjabat Kaucu Tiau-yang-sin-kau, maka macam-macam persoalan lain dengan sendirinya juga dapat mereka pahami. Sebabnya Ing-ing menghadiahkan benda mestika kepada Hong-ting dan Tiong-hi, sebaliknya hadiah yang diberikan kepada Lenghou Tiong cuma terdiri dari barang-barang keperluan sehari-hari saja, hal mana juga dapat dimengerti, sebab ia pun merupakan kado sebagai tanda bertunangan mereka berdua.

Dalam pada itu terdengar Tho-kok-lak-sian masih terus mengoceh tak berhenti-henti, seorang sedang berkata, “Engkoh Tiong, hari ini aku sengaja datang ke sini untuk menjenguk kau, bila diketahui orang luar, tentu akan ditertawai.”

Lalu seorang menjawab, “Ah, peduli apa kepada orang lain? Kau ini memang suka malu-malu.”

“Tidak, soalnya aku tidak ingin diketahui orang luar.”

“Baiklah, aku berjanji takkan bercerita kepada siapa pun.”

“Pula, tentang Tiau-yang-sin-kau dari lawan berubah menjadi kawan Hing-san-pay, Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, hal ini pun jangan sampai diketahui orang luar sebagai keputusanku. Sebab orang-orang Kang-ouw tentu akan anggap diselesaikannya persoalan ini secara damai adalah karena aku, karena hubunganku dengan kau. Kalau hal ini sampai tersiar tentu akan membikin kikuk kita.”

“Haha, aku sendiri sih tidak takut dibuat cerita.”

“Mukamu tebal, tentu saja kau tidak takut. Tentang meninggalnya ayah sengaja sangat dirahasiakan oleh Tiau-yang-sin-kau, orang luar tentu akan mengira ayahku sendiri yang berkunjung ke sini serta berbicara dengan kau, lalu persoalannya dapat didamaikan. Hal ini sebenarnya juga ada faedahnya bagi nama baik ayah. Maka sesudah aku pulang kembali ke Hek-bok-keh barulah tentang meninggalnya ayah akan kusiarkan.”

“Sebagai anak menantu, tentu aku akan datang ke sana untuk melayat.”

“Sudah tentu baik sekali bila kau dapat hadir. Ketika di Hoa-san tempo hari, ayah sendiri sudah mengizinkan pernikahan kita, cuma, cuma urusan ini harus tunggu setelah ... setelah aku berkabung....”

Mendengar ocehan Tho-kok-lak-sian itu mulai akan membeberkan rahasia cintanya dengan Ing-ing, Lenghou Tiong merasa kikuk kalau-kalau urusan pribadinya itu sampai diketahui oleh Hong-ting dan Tiong-hi, maka cepat ia membentak, “Tho-kok-lak-sian, lekas keluar! Jika tidak lekas keluar dan masih mengoceh tak keruan, awas, sebentar kubeset kulit kalian!”

Akan tetapi masih terdengar Tho-kan-sian membuka suara dengan menirukan nada Ing-ing yang halus, “Ai, yang kukhawatirkan adalah kesehatanmu. Ayah tidak jadi mengajarkan cara memunahkan macam-macam hawa murni yang mengeram di dalam badanmu. Sebenarnya, biarpun beliau mengajarkan padamu juga tak berguna. Buktinya ayah sendiri, ai!”

Tho-kan-sian menirukan suara Ing-ing yang penuh rasa sedih dan duka itu sehingga Hong-ting, Tiong-hi dan Lenghou Tiong bertiga ikut merasakan terharu juga. Memang, tokoh aneh sebagai Yim Ngo-heng yang hidupnya malang melintang, tapi akhirnya meninggal juga.

Tiong-hi pikir kalau ocehan Tho-kok-lak-sian itu diteruskan, tentu akan membikin Lenghou Tiong lebih kikuk, segera ia menyeret keluar Tho-kok-lak-sian, dengan tertawa ia pun berkata, “Keenam Tho-heng, maaf aku tadi harus menutuk hiat-to kalian. Sekarang ocehan kalian rasanya sudah cukup, sebaiknya kalian tutup mulut saja, jangan-jangan nanti kalian membikin marah Lenghou-ciangbun dan ‘hiat-to bisu abadi’ kalian ditutuk, nah, baru tahu rasa kalian!”

Tho-kok-lak-sian menjadi khawatir, cepat mereka bertanya, “Apa itu ‘hiat-to bisu abadi’?”

“Jika ‘hiat-to bisu abadi’ kalian tertutuk, maka selama hidup kalian akan menjadi bisu, makan minum sih dapat, tapi mulut kalian tak bisa mengoceh lagi,” kata Tiong-hi dengan tertawa.

“Wah, susah!” seru Tho-kok-lak-sian berbareng. “Bicara nomor satu, makan minum sih nomor dua.”

“Jika begitu, maka apa yang kalian katakan tadi jangan sekali-kali diucapkan lagi kepada siapa pun juga,” ujar Tiong-hi. “Nah, Lenghou-ciangbun, biarlah aku mintakan ampun bagi mereka, janganlah kau menutuk ‘hiat-to bisu abadi’ mereka. Aku dan Taysu menjamin bahwa selanjutnya mereka berenam pasti takkan membocorkan sepatah kata pun dari apa yang mereka dengar dari percakapanmu dengan Yim-siocia tadi.”

“Ah, salah, salah! Keliru, keliru! Bukan kami sendiri yang sembunyi di kolong meja, kau yang memasukkan kami ke situ!” seru Tho-hoa-sian.

“Memangnya juga kami bukan sengaja mencuri dengar percakapan orang, tapi suara mereka yang masuk sendiri ke dalam telinga kami, apa daya kami untuk menolaknya?” sambung Tho-sit-sian.

“Ya, kalau ada ‘hiat-to bisu abadi’ yang harus ditutuk, tentu kepunyaanmu yang mesti ditutuk!” Tho-ki-sian menambahkan.

“Sudahlah,” ujar Tiong-hi. “Kalian sudah dengar biarkanlah, yang penting kalian tidak boleh sembarangan mengoceh dari apa yang kalian dengar itu, tahu?”

“Baik, baik! Kami takkan mengoceh lagi!” seru Tho-kok-lak-sian.

“Tapi semboyan anggota Tiau-yang-sin-kau bagi kaucu mereka kini sudah berubah, boleh kami katakan atau tidak?” Tho-kin-sian bertanya.

“Tidak, tidak boleh!” cepat Lenghou Tiong membentak.

“Tidak boleh ya sudah! Kau sendiri boleh omong begitu kepada Yim-siocia, tapi kami dilarang,” demikian Tho-ki-sian menggerutu.

Tiong-hi menjadi heran, timbul pertanyaannya di dalam hati perubahan semboyan apakah yang dimaksudkan Tho-kok-lak-sian itu. Seperti diketahui, senggakan orang-orang Tiau-yang-sin-kau bagi sang kaucu antara lain meliputi “Hidup sepanjang masa, merajai Kang-ouw selamanya”. Apakah barangkali setelah Yim-siocia menjadi kaucu, lalu dia tidak mau merajai dunia Kang-ouw lagi seperti ayahnya? Lalu apa semboyannya yang baru?



*****



Tiga tahun kemudian, di perkampungan Bwe-cheng di lembah Se-ouw di kota Hangciu suasana tampak semarak, itulah hari bahagia perkawinan Lenghou Tiong dan Ing-ing.

Sementara itu Lenghou Tiong sudah menyerahkan jabatan ketua Hing-san-pay kepada Gi-jing. Sebenarnya Gi-jing tidak mau dan dengan keras ia minta Gi-lim yang menjadi ketua dengan dasar Gi-lim sendiri yang membunuh musuh sehingga sakit hati suhu mereka terbalas. Namun Gi-lim tetap menolak, begitu keras tekadnya hingga dia menangis.

Akhirnya tetap menuruti usul Lenghou Tiong agar Gi-jing yang menjabat ketua Hing-san-pay.

Ing-ing sendiri juga sudah meninggalkan jabatan Kaucu Tiau-yang-sin-kau dan menyerahkan kedudukan itu kepada Hiang Bun-thian. Meski Hiang Bun-thian juga seorang tokoh persilatan yang sukar dikendalikan, tapi dia tidak mempunyai ambisi mencaplok golongan-golongan atau aliran-aliran lain, maka selama beberapa tahun itu keadaan Kang-ouw pada umumnya cukup aman tenteram.

Pada hari itu kota Hangciu menjadi penuh sesak oleh para tamu Kang-ouw yang datang menghadiri pesta pernikahan Lenghou Tiong itu.

Selesai upacara nikah, habis pesta, dan meramaikan kamar pengantin baru, lalu para tamu minta sepasang mempelai suka memainkan ilmu pedang mereka.

Setiap orang persilatan sama mengetahui bahwa ilmu pedang Lenghou Tiong tiada bandingannya di dunia ini, tapi tidak setiap orang pernah menyaksikan ilmu pedang mahasakti tersebut.

Dengan tertawa Lenghou Tiong menanggapi permintaan para tamu, katanya, “Hari baik begini rasanya kurang layak kalau main senjata segala, biarlah Cayhe dan mempelai perempuan bersama memainkan sebuah lagu, apakah hadirin setuju?”

Para tamu bersorak menyatakan akur.

Lenghou Tiong mengeluarkan kecapi dan seruling serta memberikan seruling itu kepada Ing-ing.

Ing-ing juga tidak menolak, ia terima seruling itu dan mulai mengatur nadanya, lalu mulai meniupnya bersama petikan kecapi Lenghou Tiong.

Yang mereka bawakan adalah lagu “Hina Kelana”.

Teringat oleh Lenghou Tiong untuk pertama kalinya mendengar lagu itu adalah ketika di luar kota Heng-san dahulu, lagu itu dibawakan oleh Lau Cing-hong, itu tokoh Heng-san-pay dan Kik Yang, gembong Tiau-yang-sin-kau.

Kedua tokoh itu berasal dari aliran yang bertentangan, tapi keduanya bersahabat kental sehingga menimbulkan perselisihan di antara teman-teman sendiri dan akhirnya Lau Cing-hong dan Kik Yang tewas bersama dan meninggalkan lagu “Hina Kelana” gubahan mereka bersama itu.

Para tamu itu hampir seluruhnya tidak paham seni musik, akan tetapi setiap orang kiranya dapat merasakan musik yang baik, oleh karena itu lagu “Hina Kelana” yang menggetar sukma itu benar-benar mengharukan hati setiap hadirin.

Selesai itu, bersoraklah para tamunya mengucapkan terima kasih, lalu beramai-ramai mohon diri meninggalkan sepasang mempelai di kamar pengantin baru.

Setelah menutup pintu, perlahan-perlahan Lenghou Tiong mendekati Ing-ing dan membuka kerudung sutra tipis yang menutup wajah yang cantik itu sambil berkata dengan tertawa, “Ing-ing, tidak nyana....”

Di bawah cahaya lilin wajah Ing-ing yang cantik menggiurkan itu tampak tersenyum, tapi sebelum ucapan Lenghou Tiong tadi dilanjutkan, mendadak Ing-ing membentak, “Keluar!”

Keruan Lenghou Tiong melengak, masakah baru saja jadi pengantin sudah lantas disuruh keluar kamar? Demikian pikirnya.

“Hayo keluar! Apa minta kusiram dengan air?” Ing-ing membentak pula dengan tertawa.

Selagi Lenghou Tiong merasa bingung, tertampaklah dari kolong ranjang menerobos keluar enam orang, siapa lagi mereka kalau bukan Tho-kok-lak-sian.

Rupanya keenam orang dogol itu sengaja sembunyi di kolong ranjang dengan tujuan ingin mendengarkan percakapan antara sepasang pengantin baru, habis itu akan mereka gunakan sebagai bahan percakapan untuk dipamerkan kepada para tamu.

Tadi Lenghou Tiong sedang mabuk melihat kecantikan sang istri sehingga tidak menaruh perhatian. Berbeda dengan Ing-ing yang teliti, ia mendengar suara orang bernapas yang sangat halus di bawah tempat tidur, maka segera ia tahu ada orang sembunyi di situ.

Begitulah dengan bergelak tertawa Lenghou Tiong berkata, “Hahaha, keenam Tho-heng, hampir saja aku kena diselomoti kalian!”

Dengan tertawa pula Tho-kok-lak-sian lantas meninggalkan kamar pengantin itu, setiba di ruangan depan tempat perjamuan segera mereka berteriak-teriak, “Hidup sepanjang masa, menjadi suami-istri selamanya! Hidup sepanjang masa, menjadi suami-istri selamanya!”

Saat itu Tiong-hi Tojin sedang mengobrol dengan Hong-ting Taysu di ruangan perjamuan, ketika mendengar teriakan Tho-kok-lak-sian itu, tersenyumlah dia. Teka-teki yang terpendam selama tiga tahun baru sekarang terjawab. Kiranya ucapan itu adalah sumpah setia antara Lenghou Tiong dan Yim Ing-ing di ruangan sembahyang di Hing-san dahulu, tapi Tho-kok-lak-sian menyangka itu sebagai perubahan semboyan anggota Tiau-yang-sin-kau.

Empat bulan kemudian, di kala musim semi mendekati akhirnya, dua sejoli pengantin baru Lenghou Tiong dan Yim Ing-ing bersama berangkat ke Hoa-san. Maksud Lenghou Tiong bersama istrinya hendak menemui moyang gurunya, yaitu Hong Jing-yang, untuk mengucapkan terima kasihnya atas budi kebaikan mengajarkan ilmu pedang sakti padanya.

Akan tetapi meski mereka sudah menjelajahi seluruh pegunungan Hoa-san, tetap tiada menemukan jejak Hong Jing-yang, Lenghou Tiong menjadi kesal.

Ing-ing berusaha menghibur sang suami, katanya, “Thaysusiokco adalah orang kosen yang suka hidup menyendiri, bisa jadi saat ini beliau telah mengembara ke lain tempat.”

“Thaysusiokco tidak melulu mahasakti dalam ilmu pedangnya, bahkan lwekang beliau juga tiada bandingannya di dunia ini,” ujar Lenghou Tiong dengan gegetun. “Selama tiga tahun lebih ini aku berlatih lwekang ajaran beliau, maka hampir seluruh hawa murni yang bergolak di dalam tubuhku dapat dipunahkan semua.”

“Untuk ini kita harus berterima kasih kepada Hong-ting Taysu,” kata Ing-ing. “Karena Hong-susiokco tak dapat kita temukan, biarlah besok juga kita pergi ke Siau-lim-si saja untuk mengaturkan terima kasir kepada Hong-ting Taysu.”

“Ya, Hong-ting Taysu telah menyampaikan ajaran lwekang ini kepadaku, kita memang harus mengaturkan terima kasih padanya,” kata, Lenghou Tiong.

“Engkoh Tiong, masakah sampai saat ini kau masih belum tahu bahwa apa yang kau pelajari itu adalah lwekang Siau-lim-pay yang terkenal sebagai ‘Ih-kin-keng’ itu,” kata Ing-ing dengan tertawa.

“Hah?” Lenghou Tiong melonjak kaget. “Jadi lwekang yang kuyakinkan ini adalah ‘Ih-kin-keng’? Dari mana kau mendapat tahu?”

“Dahulu waktu kau bercerita padaku bahwa lwekang ini oleh Hong-susiokco disampaikan kepada Hong-ting Taysu melalui Tho-kok-lak-sian, aku menjadi curiga, sebab untuk meyakinkan lwekang ini, sedikit keliru saja orang yang berlatih bisa menjadi lumpuh dan kalau berat mungkin jiwa pun melayang, mana boleh lwekang hebat ini disampaikan begitu saja melalui orang lain seperti Tho-kok-lak-sian yang dogol itu? Maka pada suatu kesempatan kami sengaja menanyai keenam orang dogol itu, mula-mula mereka bilang benar sebagaimana dikatakan Hong-ting Taysu, tapi waktu aku suruh mereka coba menyebut beberapa kalimat daripada ajaran lwekang itu, mereka menjawab secara simpang-siur, ada yang mengaku sudah lupa, ada lagi yang pakai alasan tidak dikatakan kepada orang lain kecuali Hong-ting Taysu saja. Setelah kudesak lagi, akhirnya mereka terpaksa mengaku bahwa demi untuk menyelamatkan jiwamu, Hong-ting Taysu sengaja menggunakan namanya Hong-susiokco agar kau mau menerima ajarannya. Tho-kok-lak-sian dipesan agar merahasiakan hal bila ditanya olehmu.”

Lenghou Tiong sampai melongo mendengar hal itu, sungguh sama sekali tak terduga olehnya akan maksud tujuan Hong-ting Taysu itu.

“Bahwasanya Hong-susiokco menyuruh Tho-kok-lak-sian menyampaikan berita kepada Hong-ting Taysu memang betul. Cuma yang harus mereka sampaikan itu adalah berita tentang akan diserbunya Hing-san-pay oleh Tiau-yang-sin-kau, maka Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay diharap memberi bantuan seperlunya kepada Hing-san-pay.”

“Kau juga keterlaluan,” omel Lenghou Tiong. “Sudah tahu sejak dulu-dulu dan baru sekarang dikatakan padaku.”

“Dahulu di Siau-lim-si secara bandel kau pernah menolak tawaran Hong-ting Taysu agar kau masuk menjadi murid Siau-lim-pay dan kau akan diajarkan Ih-kin-keng untuk menyembuhkan dirimu. Maka Hong-ting Taysu tidak berani bicara terang-terangan lagi tentang Ih-kin-keng, sebab khawatir kebandelanmu kumat kembali, lebih suka jiwa melayang daripada belajar ilmu orang lain. Makanya beliau sengaja menggunakan namanya Hong-susiokco, biar kau mengira apa yang diajarkan itu adalah lwekang dari Hoa-san-pay sendiri dan kau pasti akan mempelajarinya dengan baik.”

“Ya, sebabnya kau merahasiakan hal ini tentu juga khawatir kalau-kalau kebandelanku tiba-tiba kumat dan mendadak tidak mau berlatih pula. Tapi sekarang setelah tahu macam-macam hawa murni dalam tubuhku sudah punah, barulah kau jelaskan duduknya perkara.”

Kembali Ing-ing tertawa, katanya, “Ya, kebandelanmu itu cukup terkenal, maka sebaiknya dihindari.”

Lenghou Tiong menghela napas terharu, tangan Ing-ing digenggamnya erat-erat, lalu berkata, “Ing-ing, dahulu kau rela mengorbankan jiwamu di Siau-lim-si demi untuk meyakinkan Hong-ting Taysu agar mau mengajarkan Ih-kin-keng padaku. Meski kau tidak jadi berkorban jiwa, namun Hong-ting Taysu anggap apa yang beliau pernah sanggupkan kepadamu itu belum terpenuhi. Beliau adalah angkatan tua dunia persilatan yang paling terhormat dan harus pegang janji, maka akhirnya beliau tetap mengajarkan juga ilmu lwekang sakti ini padaku. Ilmu ini kudapatkan melalui pengorbananmu, seumpama aku tidak pikirkan keselamatanku tentunya juga memikirkan jerih payah dan maksud baikmu, masakah aku terus berkeras tak mau melatihnya lagi?”

“Ya mestinya aku pun berpikir begitu, cuma, cuma dalam hatiku tetap khawatir,” kata Ing-ing.

“Baiklah, besok juga kita lantas berangkat ke Siau-lim-si, aku sudah meyakinkan Ih-kin-keng, terpaksa harus masuk Siau-lim-si dan menjadi hwesio,” ujar Lenghou Tiong.

Ing-ing tahu dia cuma berkelakar saja, maka ia pun menanggapi, “Hwesio liar macam kau masakah mau diterima oleh Siau-lim-si dan punya disiplin keras itu.”

Begitulah kedua orang berjalan sambil bergandengan tangan seraya mengobrol. Tertampak Ing-ing berulang-ulang memandang ke sini dan melongok ke sana seperti ada sesuatu yang hendak dicarinya.

“Apa yang kau cari?” tanya Lenghou Tiong.

“Takkan kukatakan padamu, bila sudah ketemu tentu kau akan tahu sendiri,” sahut Ing-ing. “Kita tidak berhasil menemukan Hong-susiokco, hal ini harus disesalkan, tapi kalau tak dapat menemukan orang itu rasanya juga sangat sayang.”

“Jadi kita masih mencari seorang lain lagi, siapakah dia?”

Ing-ing hanya tersenyum dan tidak menjawabnya, katanya kemudian, “Kau telah mengurung Lim Peng-ci di dalam penjara di bawah tanah Bwe-cheng sana, caramu mengatur ini memang pintar. Kau pernah menyanggupi Siausumoay untuk menjaga kehidupan Peng-ci, maka kau mengurungnya di sana, diberi makan, diberi baju, jiwanya juga terjamin, kau benar-benar telah menjaga kehidupannya sesuai janjimu. Tapi terhadap seorang bekas temanmu yang lain aku telah mengatur suatu cara lain untuk menjamin kehidupannya.”

Lenghou Tiong tambah heran, siapakah gerangan bekas temanku yang dimaksudkannya itu? Tapi ia tahu tindak tanduk sang istri memang sering-sering luar biasa, tiada gunanya bertanya kalau dia tak mau menjelaskan sekarang.

Malamnya kedua orang duduk-duduk minum di tempat tinggal Lenghou Tiong yang lama, meski menghadapi istri cantik, tapi demi terkenang kepada masa lampau, timbul juga rasa duka dalam hatinya, maka berulang-ulang ia menghabiskan belasan cawan arak.

Sekonyong-konyong Ing-ing memasang telinga mendengarkan sesuatu, lalu katanya dengan suara tertahan, “Itu dia, marilah kita pergi melihatnya.”

Lenghou Tiong juga mendengar di atas gunung ada suara monyet, tapi entah siapa “si dia” yang dimaksudkan Ing-ing itu. Tanpa tanya ia pun ikut istrinya itu keluar.

Ing-ing terus menuju ke arah datangnya suara monyet tadi, dengan cepat ia berlari ke lereng bukit di depan sana. Di bawah sinar bulan yang cukup terang tertampaklah ada belasan ekor monyet bertengger di atas batu karang. Kawanan monyet di Hoa-san cukup banyak dan tidak mengherankan Lenghou Tiong. Tapi tiba-tiba dilihatnya di tengah gerombolan monyet itu ada seorang manusia. Waktu diperhatikan, ternyata Lo Tek-nau adanya.

Dengan gusar tercampur girang segera Lenghou Tiong hendak mendekati musuh besar itu. Tapi Ing-ing keburu menariknya dan berkata, “Sabar dulu, lihatlah yang jelas dirinya!”

Setelah mereka maju lebih dekat lagi, tertampak Lo Tek-nau diapit oleh dua ekor monyet besar dan diseret ke kanan dan ke kiri tanpa kuasa. Meski ilmu silat Lo Tek-nau cukup tinggi, ternyata tidak berdaya melawan kedua ekor monyet.

“Kenapa bisa begitu?” tanya Lenghou Tiong heran.

“Lihatlah lebih jelas, sebentar tentu kau akan tahu sendiri,” kata Ing-ing.

Sifat monyet pada umumnya adalah berangasan dan suka bergerak, karena itu Lo Tek-nau tampak ditarik ke sana dan diseret ke sini oleh kedua ekor monyet besar itu, terkadang ia pun mengeluarkan suara geraman, tapi monyet-monyet itu terus mencakar mukanya.

Kini Lenghou Tiong dapat melihat jelas bahwa tangan kanan Lo Tek-nau bergandengan dengan tangan kiri monyet sebelah kanan, tangan kirinya juga bergandengan dengan tangan kanan monyet yang lain, jelas antara tangan manusia dan tangan monyet itu diikat oleh benda-benda sebangsa borgol.

Maka sekarang Lenghou Tiong mulai paham duduknya perkara, tanyanya, “Tentu perbuatanmu bukan? Apakah kau telah memunahkan ilmu silatnya?”

“Tidak, tapi dia sendiri yang menerima ganjarannya yang setimpal,” sahut Ing-ing.

Mendengar suara manusia, gerombolan monyet itu lantas berteriak-teriak melarikan diri dengan menggondol Lo Tek-nau ke balik bukit sana.

Mestinya Lenghou Tiong ingin membunuh Lo Tek-nau untuk membalas sakit hati Liok Tay-yu, tapi melihat penderitaan Lo Tek-nau sekarang lebih celaka daripada dibunuh, maka ia pun tidak menggubrisnya lagi, terasa puas karena penjahat telah mendapatkan ganjarannya. Katanya kemudian, “Selama beberapa hari ini kiranya orang yang kau maksudkan adalah Lo Tek-nau.”

“Ya,” sahut Ing-ing. “Tempo hari keparat ini juga telah datang ke Tiau-yang-hong untuk menemui ayah, katanya dia mendapatkan kitab pusaka Pi-sia-kiam-boh dan bermaksud dipersembahkan kepada ayah dengan harapan mendapat kedudukan yang pantas di bawah ayah. Namun ayah tidak sempat bicara dengan dia dan segera memerintahkan orang menahan dia. Kemudian ayah meninggal dunia, semua orang menjadi sibuk dan tidak sempat mengurusnya, akhirnya dia pun ikut terbawa pulang ke Hek-bok-keh. Lewat belasan hari barulah aku ingat soal ini, segera kuhadapkan dia untuk ditanyai. Kiranya dia sendiri telah berusaha melatih Pi-sia-kiam-hoat, tapi keliru dan tersesat sehingga ilmu silat sendiri ikut punah. Orang ini adalah pembunuh Laksutemu, sedang Laksutemu paling suka piara monyet, sebab itulah aku lantas suruh orang mencarikan dua ekor monyet besar, kuborgol dia bersama kedua ekor monyet itu, lalu kulepaskan di Hoa-san sini.”

Habis berkata, ia mengulur tangannya untuk memegangi pergelangan tangan Lenghou Tiong. “Ai, sungguh tak terduga bahwa selama hidupku ini juga mesti terikat bersama seekor monyet besar seperti ini dan takkan berpisah lagi,” katanya dengan tersenyum manis, senyuman yang lembut dan menggiurkan.

.: TAMAT :. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar