Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 21 Oktober 2010

Hina Kelana - Chin Yung Bagian 90 - 100

sambungan

Bab 90. Pat-kwa-kiam-tin Bu-tong-pay Dibikin Kocar-kacir oleh Lenghou Tiong

Karena orang-orang yang berkumpul ini terdiri dari berbagai golongan dan lapisan, tapi semuanya adalah manusia-manusia yang suka cari gara-gara. Mereka menjadi kegirangan dan bersorak-sorai mendengar perintah Lenghou Tiong itu.

Besok paginya, kembali ada beberapa puluh orang Kangouw yang datang menggabungkan diri. Lenghou Tiong memberi tugas kepada Coh Jian-jiu, Keh Bu-si, dan Lo Thau-cu untuk membikin panji-panji yang diperlukan serta membeli tambur dan sebagainya.

Menjelang tengah hari Coh Jian-jiu bertiga sudah menyelesaikan tugasnya, berpuluh panji putih dengan macam-macam semboyan yang tertulis di atasnya telah disiapkan. Hanya tambur yang kurang, cuma dua buah saja yang dapat dibeli.

“Marilah kita lantas berangkat, kota-kota yang kita lalui sepanjang perjalanan dapat kita singgahi untuk membeli lagi alat-alat yang kita perlukan,” kata Lenghou Tiong.

Semua orang bersorak mengiakan. Segera ada yang mulai membunyikan tambur, lalu berangkatlah mereka menuju ke utara dengan berbaris.

Lenghou Tiong sudah pernah menyaksikan anak murid Hing-san-pay disergap musuh di atas Sian-he-nia, maka sekarang ia lantas mengatur, tujuh kelompok diberi tugas tertentu. Dua kelompok di depan sebagai pelopor jalan, dua kelompok menjaga sayap kiri, dan dua kelompok menjaga sayap kanan. Satu kelompok lagi sebagai bala bantuan di belakang, selebihnya ikut dalam pasukan induk. Selain itu kelompok Sin-oh-pang dari Hansui diberi tugas sebagai kurir yang kian-kemari menyampaikan berita.

Sin-oh-pang adalah gerombolan orang-orang Kangouw setempat, wilayah pengaruhnya cukup luas, maka segala kabar berita yang penting dapat diketahui mereka dengan cepat.

Begitulah semua orang sama kagum dan tunduk melihat cara mengatur Lenghou Tiong yang rapi itu.

Selama beberapa hari dalam perjalanan, berturut-turut bergabung pula kelompok-kelompok dari berbagai tempat. Suatu hari sampailah mereka di kaki gunung Bu-tong-san.

“Lenghou-kongcu, kita harus melalui Bu-tong-san, apakah kita harus menghentikan suara tambur dan menggulung panji atau tetap lalu secara terang-terangan begini?” Coh Jian-jiu minta petunjuk kepada Lenghou Tiong.

Jawab Lenghou Tiong, “Bu-tong-pay adalah aliran persilatan nomor dua di dunia persilatan, pengaruh dan wibawanya cuma di bawah Siau-lim-pay saja. Kepergian kita buat menyambut Seng-koh ini sedapat mungkin menghindari percekcokan dengan Siau-lim-pay, dengan sendirinya lebih baik pula kalau kita pun tidak bersengketa dengan Bu-tong-pay. Maka sebaiknya kita mengitar ke jurusan lain saja sebagai tanda penghormatan dan keseganan kita terhadap Tiong-hi Totiang, itu ketua Bu-tong-pay yang hebat. Demikianlah pendapatku, entah bagaimana pikiran Saudara-saudara?”

“Apa yang dirasakan baik oleh Lenghou-kongcu, sudah tentu kami hanya menurut saja,” kata Lo Thau-cu. “Memangnya tujuan kita hanya menyambut pulang Seng-koh dan tidak ingin menimbulkan perkara lain dan menambah musuh. Apa gunanya kita terhambat oleh urusan yang berlawanan dengan maksud tujuan kita sekalipun Bu-tong-pay dapat kita tumpas umpamanya?”

“Benar, harap siarkan perintahku agar menggulung panji-panji dan menghentikan bunyi tambur, kita membelok dulu ke arah timur untuk kemudian mengitar lagi ke utara,” kata Lenghou Tiong.

Begitulah rombongan mereka lantas mengarah ke timur. Kira-kira beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba dua anggota Sin-oh-pang datang memberi lapor, “Di selat gunung belasan li sana telah menunggu beberapa ratus tosu, mereka mengaku dari Bu-tong-pay dan minta bicara dengan Bengcu.”

Seketika jago-jago di samping Lenghou Tiong menjadi gusar, mereka sama mengomel, “Kurang ajar benar kawanan tosu Bu-tong-pay itu!
Kita menghargai mereka, sebaliknya mereka mengira kita takut kepada mereka. Kurang ajar, benar-benar minta diajar!”

“Coba kita maju ke sana untuk melihat apa maksud tujuan mereka,” ujar Lenghou Tiong.
Segera ia mendahului melarikan kudanya ke depan dan mencapai selat gunung sana.

Ketika melihat datangnya Lenghou Tiong, kedua kelompok yang menjadi pelopor, yaitu Hong-bwe-pang dan Jing-liong-pang, sama bersorak-sorai.

Lenghou Tiong melompat turun dari kudanya, ia berlari maju dengan cepat, dilihatnya di ujung selat gunung situ berbaris beberapa puluh tojin berjubah hijau, semuanya bersenjata pedang, jalan lewat telah dirintangi mereka.


Lebih dulu Lenghou Tiong berpaling kepada kawan-kawannya dan berteriak nyaring, “Dengarkanlah kawan-kawan, Bu-tong-pay adalah kaum cing-pay terbesar di dunia persilatan, Tiong-hi Tojin malahan adalah orang kosen di zaman ini, maka kawan-kawan jangan sekali-kali bersikap sembrono, ada urusan apa-apa biarlah Cayhe yang menghadapinya sendiri,”

Lenghou Tiong sadar orang-orang yang dipimpinnya itu adalah kumpulan orang-orang Kangouw dari macam-macam lapisan, sudah biasa bertindak sesuka hati dan bebas, kata-kata mereka juga kasar, kalau sebelumnya tidak diperingatkan tentu akan menimbulkan penyakit nanti.

Begitulah para jago-jago itu serentak berseru gemuruh mengiakan. Barisan mereka itu memanjang sampai hitungan li jauhnya, tapi kata-kata Lenghou Tiong itu diucapkan dengan menggunakan tenaga dalam yang kuat, maka betapa pun jauhnya barisan itu dapatlah mendengar semuanya.

Suara mengiakan yang gemuruh dari beberapa ribu orang itu membikin kawanan tojin itu menjadi gentar juga, hal ini tampak dari air muka mereka yang berubah.

Lalu Lenghou Tiong berpaling kembali, katanya sembari memberi hormat kepada kawanan tojin itu, “Cayhe bersama rombongan hendak menuju ke Siau-lim-si untuk menjumpai Hong-ting Taysu dan untuk sesuatu urusan penting, kebetulan kami harus melalui Bu-tong-san sini, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang bisa mengganggu ketenteraman para Totiang, maka kami sengaja mengitari jalanan ini. Harap maaf bila kami tidak menyampaikan kabar sebelumnya.”

“Kau inikah murid murtad Hoa-san-pay yang bernama Lenghou Tiong dan sekarang telah masuk Mo-kau bukan?” tegur seorang tojin berjenggot panjang sembari memasukkan pedang ke sarungnya. Sikap bicaranya sangat angkuh, kata-katanya juga kurang ramah.

Sebenarnya Lenghou Tiong adalah pemuda yang tidak tunduk kepada adat istiadat, juga tidak kenal apa artinya takut, kalau dalam keadaan biasa tentu dia kontan menjawab ucapan tojin itu dengan kata-katanya yang sama kasarnya. Tapi sejak dia diangkat menjadi bengcu oleh gembong-gembong Kangouw itu, mulai saat mana ia telah memperingatkan dirinya sendiri agar selanjutnya harus bertindak secara hati-hati dan pakai perhitungan, terutama mengingat kewajibannya dan betapa pentingnya tugas menolong Ing-ing yang terkurung di Siau-lim-si itu. Oleh karena itu walaupun kata-kata tojin jenggot panjang itu sangat menggusarkan hatinya tapi ia tetap menghadapi dengan tersenyum tawar saja, jawabnya, “Ya, Cayhe memang betul adalah Lenghou Tiong, murid buangan Hoa-san-pay. Tapi tuduhan masuk menjadi anggota Mo-kau adalah tidak betul.”

“Jika kau tidak masuk Mo-kau kenapa kau rela menjadi antek Hek-bok-keh dan mau memimpin manusia jahat dan cabul dari Mo-kau ini pergi mencari setori kepada Siau-lim-si?” kata pula tojin berjenggot panjang itu.

Belum Lenghou Tiong menjawab, mendadak Tho-kin-sian menimbrung, “Kau bilang kami adalah manusia jahat dan cabul dari Mo-kau, memangnya kau sendiri manusia baik dan terpuji dari Mo-kau? Kulihat jenggotmu terlalu panjang, betapa pun baiknya juga begitu-begitu saja.”

Baru kata “saja” diucapkan, serentak Tho-kan-sian, Tho-ki-sian, Tho-yap-sian, dan Tho-hoa-sian berempat sudah melompat maju, tahu-tahu tojin jenggot panjang itu telah kena dipegang kedua tangan dan kedua kakinya terus diangkat ke atas.

Pada detik yang hampir sama pula, dalam sekejap itu dari rombongan tojin-tojin itu pun melayang maju delapan sosok bayangan, delapan batang pedang telah menyambar tiba, enam pedang mengancam di punggung Tho-kok-lak-sian dua ujung pedang yang lain masing-masing mengancam tenggorokan dan perut Lenghou Tiong.

Cepat luar biasa menyambar tibanya kedelapan pedang tojin-tojin itu, cara menyerang mereka juga sangat rapat dan saling menutup titik kelemahan masing-masing, delapan orang laksana satu orang saja.

Begitu melihat gerakan pedang mereka segera Lenghou Tiong tahu mereka tidak bermaksud mencelakai lawan, maka Lenghou Tiong juga tidak menangkis dan membiarkan kedua pedang itu mengarah tempat berbahaya di tubuhnya, ia pikir asalkan kedua orang jelas bermaksud mencelakainya, sedikit ujung pedang mereka disodorkan seketika juga dirinya masih sempat melolos pedang dan mematahkan serangan mereka.

Terdengar keempat tosu membentak serentak, “Lepaskan!”

Karena punggung mereka terancam oleh ujung pedang, Tho-kin-sian berempat sadar tak bisa berbuat apa-apa lagi, terpaksa Tho-hoa-sian berkata dengan tertawa, “Lepas ya lepas, memangnya kau kira aku sudi memegangi dia lebih lama. Eh, awas, berdiri yang baik!”

Berbareng Tho-kin-sian berempat terus melemparkan tojin jenggot panjang itu ke atas. Seketika tojin itu merasa tubuhnya melayang ke udara dan entah akan terlempar ke mana, bukan mustahil akan terus melambung ke udara dan kecantol di cabang pohon atau terus terjerumus ke dalam jurang. Maka baru saja tubuhnya sedikit melambung ke atas, cepat ia mengerahkan tenaga “Jian-kin-tui” untuk menekan turun tubuhnya.

Tak terduga tenaga lemparan Tho-kok-si-sian itu ternyata sangat aneh dan nakal, tenaga lemparan semula memang naik ke atas, tapi tenaga pukulannya mendadak berubah menarik turun ke bawah, jadi mirip tenaga empat orang membantingnya ke tanah dengan sekuatnya.

Padahal tenaga gabungan Tho-kok-si-sian sedikitnya sudah ada seribu kati, ditambah lagi tenaga tekanan ke bawah yang dikerahkan sendiri oleh tojin jenggot panjang itu, keruan dia mirip dibanting dengan tenaga gabungan lima orang.

Ketika menyadari gelagat tidak menguntungkan, tojin itu menjerit, hampir berbareng tubuhnya lantas terbanting keras di atas batu padas, ruas tulangnya sampai berbunyi gemerutuk, entah patah entah retak, yang jelas darah lantas tersembur keluar dari mulutnya.

Pada saat itu juga Lenghou Tiong sudah lantas melolos pedang, terdengar suara mendering berulang-ulang, sekaligus ia telah menangkis pergi delapan pedang musuh.

Rupanya begitu melihat si tojin jenggot panjang terbanting begitu hebat dan bisa jadi terus mati, Lenghou Tiong menduga kedelapan tojin yang lain mungkin sekali akan terus menyerang serentak. Dan benar juga, sekaligus ia telah dapat mematahkan serangan mereka.

Gerak perubahan Tho-kok-si-sian juga sangat cepat, begitu pedang lawan tidak mengenai mereka, seketika mereka lantas lompat menyingkir.

“Wah, untung! Hampir saja celaka!” seru Tho-sit-sian.

“Ya, untung Lenghou-kongcu pernah belajar pedang padaku, dengan ilmu pedangku yang lihai itulah dia telah menyelamatkan kita,” ujar Tho-ki-sian.

“Ngaco-belo! Bilakah dia belajar pedang padamu?” semprot Tho-kin-sian.

Dalam pada itu, sesudah Lenghou Tiong sekaligus dapat menangkis serangan kedelapan pedang mereka, serentak kedelapan tojin itu lantas berputar kian kemari dengan cepat luar biasa, begitu berada di belakang Lenghou Tiong mereka lantas menusuk, kena atau tidak tusukan mereka bukan soal, segera mereka terus menggeser lagi ke tempat lain secara bergilir.

“Hati-hati Bengcu, inilah Pat-kwa-kiam-tin dari Bu-tong-pay!” seru Jik Ko.

Ketika di Hoa-san dahulu Lenghou Tiong pernah mendengar cerita gurunya tentang berbagai ilmu pedang terkenal dari macam-macam aliran di zaman ini. Antara lain dikatakan “Pat-kwa-kiam-hoat” Bu-tong-pay dan “Chit-sing-kam-hoat” Hing-san-pay mempunyai kebagusan yang hampir serupa walaupun dasarnya tidak sama.

Begitulah Lenghou Tiong dapat menangkis setiap serangan tojin-tojin itu, dilihatnya gerak pedang kedelapan orang dapat bahu-membahu, bantu-membantu dengan sangat rapat, sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan.

Inti “Tokko-kiu-kiam” yang diyakinkan Lenghou Tiong adalah dalam hal kelihaian mengincar titik kelemahan ilmu silat musuh, jadi tanpa ikatan sesuatu jurus tertentu untuk mengalahkan jurus ilmu silat lawan yang tertentu. Maklum, betapa pun tinggi ilmu silat seorang, betapa bagus jurus serangannya, baik di kala menyerang maupun di waktu mengakhiri serangan biasanya pasti dapat diketemukan lubang kelemahan, sebab itulah tiada sesuatu gerak serangan di dunia ini yang tak dapat dipatahkan.

Cuma sekarang ilmu pedang gabungan kedelapan tojin ini ternyata sangat hebat, ada juga lubang-lubang atau ciri-ciri tertentu pada gerak serangan setiap orang, tapi selalu dapat ditutup oleh bantuan kawan yang lain sehingga sukar dipatahkan.

Untungnya kepandaian kedelapan tojin itu tidak terlalu tinggi, “Pat-kwa-kiam-hoat” itu agaknya baru dipelajari sehingga daya tekanan mereka kurang kuat. Meski seketika Lenghou Tiong tidak dapat membobolkan barisan pedang mereka, tapi serangan-serangan kedelapan tojin juga tidak mampu melukai Lenghou Tiong.

Kedelapan tojin itu berlari semakin kencang mengitari Lenghou Tiong, sampai orang-orang yang menonton di samping merasa pusing, bahkan ada yang merasa khawatir bagi sang bengcu.

“Mereka berdelapan mengerubut satu orang, hayolah kita pun maju lagi tujuh orang!” demikian seru Jik Ko.

“Nanti dulu,” sela Keh Bu-si. “Kedelapan orang itu mengutamakan kecepatan langkah mereka, padahal soal ilmu pedang jelas mereka bukan tandingan Lenghou-kongcu.”

Kata-kata ini seketika menyadarkan Lenghou Tiong, pikirnya, “Benar, ilmu pedang mereka dapat bekerja sama dengan rapat, tapi langkah kaki mereka jelas tak bisa saling membantu.”

Segera Lenghou Tiong berseru, “Setelah berkenalan dengan Pat-kwa-kiam-hoat Bu-tong-pay, ternyata memang benar sangat hebat. Kedelapan Totiang sudah selesai main pedang, sekarang silakan mundur saja.”

Akan tetapi tojin-tojin itu mana mau mengundurkan diri, mereka masih terus berlari cepat mengitari dan serangan demi serangan tetap dilancarkan.

Lenghou Tiong tersenyum, ia tanggalkan sarung pedang yang tergantung di pinggangnya, sarung pedang itu disodorkan miring ke atas tanah. Ketika seorang tojin berlari di sebelah dengan cepat dan tidak keburu mengerem, kakinya lantas kesandung sarung pedang, tubuhnya terhuyung-huyung ke depan, untung kuda-kudanya cukup kuat sehingga tidak sampai jatuh terjerembap.

Namun dengan lepasnya seorang dari barisan pedang, seketika Pat-kwa-kiam-tin itu bobol. Lenghou Tiong terus menggunakan sarung pedang untuk dipasang pada tempat-tempat yang harus dilintasi oleh kaki ketujuh tojin yang lain, maka terdengarlah suara seru kaget dan teriak kejut berulang-ulang. Lima dari ketujuh tojin itu sama kesandung oleh sarung pedang itu, ada yang menyelonong ke sana, ada yang sempoyongan ke sini, dalam sekejap saja tinggal dua orang tojin saja yang masih mampu berdiri menghadapi Lenghou Tiong, pedang mereka masih bergaya hendak menusuk, tapi ragu-ragu apakah serangan mereka diteruskan atau lebih baik disudahi. Melihat adegan demikian, bergemuruhlah tawa orang banyak.

“Para Sute silakan mundur!” teriak tojin jenggot panjang tadi. Ketika ia memberi tanda, kembali ada tiga orang tojin tampil ke muka. Bersama tojin jenggot panjang mereka ambil tempat empat sudut sehingga Lenghou Tiong terkurung di tengah.

“Namamu akhir-akhir ini mengguncangkan Kangouw, nyatanya memang punya beberapa jurus aneh dari golongan iblis dan sia-pay,” kata tojin jenggot panjang. “Cuma pertandingan tadi telah kau selingi dengan cara main jegal, cara demikian rasanya kurang wajar.”

“Numpang tanya siapakah gelaran Totiang dan pernah apa dengan Tiong-hi Totiang?” tanya Lenghou Tiong.

“Asalkan kau mampu mengalahkan kami berempat dan boleh segera lalu, buat apa banyak bicara lagi,” sahut tojin jenggot panjang. Begitu ia berseru memberi tanda, serentak empat pedang menusuk dari empat jurusan. Dari sambaran angin yang dibawa oleh pedang mereka itu terang tenaga keempat tojin itu sangat kuat, jauh lebih lihai daripada kedelapan tojin yang duluan.

Tapi baru bergebrak satu jurus saja Lenghou Tiong lantas merasa heran, “Menurut cerita suhu dahulu, katanya ilmu silat Bu-tong-pay mengutamakan kelunakan dan kesabaran. Tapi permainan pedang keempat tojin ini jelas lebih banyak memakai kekerasan dan menyerang secara bernafsu, hal ini menandakan berita di luar tentang ilmu silat Bu-tong-pay tidak seluruhnya betul.”

Aneh pula bahwa ilmu pedang keempat tojin ini jauh lebih lihai daripada kedelapan tojin yang dahuluan, tapi dalam hal kerja sama ternyata tidak serapi dan sebaik kedelapan tojin itu.

Tidak lama kemudian, dengan gampang Lenghou Tiong lantas melihat titik kelemahan ilmu pedang keempat lawan itu. “Cret”, seketika pedangnya menusuk robek lengan baju salah seorang tojin.

Tojin itu melengak kaget, menyusul serangan Lenghou Tiong telah memapas sepotong kain jubah tojin yang lain. Ketika pedangnya berputar balik, “sret”, tahu-tahu rambut tojin ketiga telah terkupas putus sehingga rambutnya morat-marit tak keruan. Tinggal lagi si tojin jenggot panjang itu, Lenghou Tiong rada mendongkol karena kata-kata tojin berjenggot ini rada kasar, maka ia sengaja hendak membuat malu padanya. “Sret-sret” dua kali, pedangnya menusuk ke perut lawan, lalu menusuk mukanya.

Lekas-lekas tojin itu hendak menangkis, siapa tahu serangan-serangan Lenghou Tiong itu hanya pura-pura saja, ketika pedang si tojin menangkis ke bawah untuk menjaga perutnya, sekonyong-konyong jenggotnya sudah terpapas sebagian oleh pedang Lenghou Tiong. Waktu tojin itu kerepotan hendak mengangkat pedangnya buat menjaga mukanya lagi, “sret”, tahu-tahu pedang Lenghou Tiong sudah menyambar ke bawah, ikat pinggang jubahnya dan bahkan ikat celananya juga ikut terpotong putus.

Berturut-turut empat kali serangan Lenghou Tiong itu telah membikin si tojin berjenggot menjadi kelabakan, sudah sadar bahwa celananya telah kedodoran dan merosot ke bawah, tapi dia tidak sempat menggunakan tangannya untuk menarik celana, walaupun sebelah tangan menganggur, namun setiap serangan Lenghou Tiong yang menyusul selalu mengancam tangan kiri yang menganggur itu sehingga dia terpaksa mesti menyelamatkan tangannya dan membiarkan celananya melorot.

Keruan semua orang yang menyaksikan itu bergelak tertawa geli.

Ketiga tojin yang lain tahu bahwa Lenghou Tiong sengaja mengampuni jiwa mereka, maka mereka tidak berani bertempur lagi dan terus mengundurkan diri.

Sementara itu tojin jenggot panjang itu hampir-hampir jatuh terjerembap karena tersangkut oleh celananya sendiri yang melorot ke betis itu, keruan kelakuannya menjadi sangat lucu. Untung jubahnya sangat panjang sehingga bagian bawah badannya masih tertutup, kalau tidak tentu dia sangat malu lantaran tak bercelana lagi.

“Maaf!” Lenghou Tiong tidak mendesak lebih jauh, ia memasukkan pedang ke sarungnya dan melangkah mundur.

Sebaliknya tojin jenggot panjang menjadi tambah gusar, pedangnya lantas menusuk lagi ke dada Lenghou Tiong. Namun Lenghou Tiong hanya tersenyum saja tanpa berkelit. Ketika ujung pedang tojin itu hanya beberapa senti di depan dada sasarannya, sekonyong-konyong ia tertegun dan tidak meneruskan tusukannya, ia pikir ilmu silat lawan selisih sangat jauh di atasnya, jika tusukannya itu diteruskan, bukan mustahil pihak lawan menjadi murka dan tidak memberi ampun lagi, sekali balas menyerang pasti jiwanya sendiri akan melayang. Maka setelah tertegun sejenak, akhirnya ia melemparkan pedang sendiri dan berjongkok untuk membetulkan celananya.

Keruan suara tertawa para jago bertambah riuh. Para tosu yang berdiri di sebelah sana ada yang merasa malu, ada yang merasa gusar pula. Tojin jenggot panjang itu lantas putar tubuh, dengan tangan kiri masih memegangi celana yang putus tali kolornya, ia memberi tanda kepada anak buahnya, lalu mundur teratur bersama kawanan tosu itu.

Di tengah bergelak tertawa para jago-jago itu, beramai-ramai mereka pun memuji kelihaian ilmu pedang Lenghou Tiong. Tapi Lenghou Tiong sendiri justru lagi menyesal akan kejadian tadi, pikirnya, “Tindak tandukku selalu terburu nafsu tanpa memikirkan kemungkinan akibatnya. Meski aku mendapat kemenangan, tapi nama baik Bu-tong-pay telah tersapu bersih, ini berarti telah menanam bibit permusuhan, sebenarnya apa gunanya?”

Terdengar Coh Jian-jiu sedang berkata, “Ilmu pedang Lenghou-kongcu sungguh sakti, baru hari ini kita dapat menyaksikannya. Sayang di sini tidak ada arak, kalau tidak kita harus minum sepuas-puasnya sebagai tanda memberi selamat.”

Seketika Lenghou Tiong merasa ketagihan mendengar disebutnya arak, katanya, “Baiklah, mari kita pergi ke kota di depan sana untuk minum sepuasnya.”

Namun jumlah mereka terlalu banyak, kota-kota yang dilalui mereka tiada cukup banyak hotel dan restoran yang sanggup menampung mereka. Terpaksa mereka harus berkemah di tanah pegunungan yang sunyi di luar kota.

Besoknya mereka melanjutkan perjalanan ke utara, kira-kira belasan li jauhnya, pengintai bagian depan datang melapor bahwa di jalan pegunungan di depan sana diketemukan beberapa puluh sosok mayat kaum tosu, agaknya rombongan tosu yang mencegat mereka kemarin itu.

Lenghou Tiong terkejut oleh laporan itu, cepat ia melarikan kudanya ke depan, benar juga, di suatu simpang jalan bergelimpangan beberapa puluh mayat, di antaranya terdapat pula tojin berjenggot panjang.

“He, lihatlah, Bengcu!” seru Keh Bu-si sambil menunjuk sebatang pohon besar.

Ternyata di batang pohon itu sebagian kulit pohon terkupas, di situ terukir beberapa huruf dengan ujung senjata, bunyinya: “Kawanan penjahat memalsukan nama, dosanya tidak boleh diampuni.”

“O, kiranya kawanan tojin ini bukan orang Bu-tong-pay,” ujar Coh Jian-jiu. “Tampaknya mereka telah dibunuh oleh pihak Bu-tong-pay.”

“Buat apa mereka menyaru sebagai orang Bu-tong-pay? Entah dari mana pula asal usul mereka ini? Sungguh aneh bin heran!” kata Lo Thau-cu.

Mendadak pikiran Lenghou Tiong tergerak, katanya, “Cobalah kawan-kawan periksa mereka, apakah kedelapan tojin yang bertempur dengan aku kemarin juga terdapat di antara mereka?”

Segera Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain memeriksa mayat-mayat kawanan tosu itu, benar juga kedelapan tojin yang main Pat-kwa-kiam-tin kemarin itu tidak diketemukan.

“Mengapa bisa demikian?” ujar Coh Jian-jiu dengan heran. “Lenghou-kongcu tentu tahu duduknya perkara.”

“Aku juga cuma menerka secara ngawur saja,” sahut Lenghou Tiong. “Meskipun ilmu pedang kedelapan tojin itu tidak terlalu tinggi, tapi permainan mereka sangat rapi dan teratur, kalau orang yang meniru dan baru belajar tentu takkan mencapai tingkatan seperti mereka itu.”

“Jika begitu, jadi kedelapan tojin itulah benar-benar orang dari Bu-tong-pay?” tanya Coh Jian-jiu.

“Pengalamanku sendiri sangat cetek dan tidak tahu persis bagaimana sesungguhnya ilmu pedang Bu-tong-pay yang tersohor itu,” sahut Lenghou Tiong. “Cuma dari ilmu pedang keempat tosu yang mati ini, jelas kepandaian mereka tidak sama, mereka masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi, tampaknya mereka bukan berasal dari suatu aliran atau perguruan. Kemarin hatiku sudah rada curiga, hanya tidak terpikir olehku bahwa mereka adalah orang Bu-tong-pay gadungan.”

“Orang Bu-tong-pay tulen bercampur dengan orang Bu-tong-pay gadungan, hal ini sungguh sukar dimengerti,” kata Coh Jian-jiu.

“Menurut pendapatku, besar kemungkinan kedelapan tosu Bu-tong-pay tulen sengaja dipaksa ke sini oleh kawanan pemalsu itu,” ujar Keh Bu-si.

“Benar, memang Si Kucing Malam lebih tajam otaknya,” seru Lo Thau-cu sambil tepuk paha. “Rupanya kawanan pemalsu ini khawatir terbongkar rahasianya, maka mereka telah mencari beberapa orang Bu-tong-pay tulen untuk dijadikan tameng, dengan demikian kita akan dikelabui.”

“Jangan-jangan kawanan pemalsu ini adalah orang-orang yang dikirim Kaucu dari Hek-bok-keh?” ujar Keh Bu-si.

Mendengar disebutnya “Kaucu dari Hek-bok-keh”, seketika air muka semua orang berubah takut.

Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas berkata, “Tak peduli mereka dari mana asalnya, yang jelas bukan kita yang membunuh mereka. Jika benar Bu-tong-pay yang membunuh mereka, itu berarti Bu-tong-pay berada di pihak kita, lalu apa lagi yang kita khawatirkan?”

Beberapa hari kemudian, sudah jauh mereka meninggalkan lereng Bu-tong-san, sepanjang jalan ternyata tiada terjadi apa-apa lagi. Petang itu, ketika barisan mereka sedang berjalan, tiba-tiba terdengar suara “keteprak-keteprak”, suatu telapak kaki binatang tunggangan. Tertampaklah dari depan mendatangi seorang penunggang keledai, di belakang keledai mengikut pula dua orang, semuanya berdandan sebagai petani, yang satu memikul sayuran, yang lain memikul kayu bakar.

Keledai itu tampak sudah tua lagi kurus, badannya penuh kudisan, rupanya sangat jelek. Penunggangnya juga seorang tua dengan pakaian rombeng penuh tambalan, badannya membungkuk-bungkuk sambil terbatuk-batuk.

Sepanjang perjalanan rombongan jago-jago Kangouw itu selalu bergembar-gembor riuh ramai, setiap orang di jalanan tentu ketakutan dan lekas-lekas menyingkir bila bertemu dengan barisan besar ini jika tidak ingin menghadapi malapetaka. Tapi ketiga orang ini ternyata lain daripada yang lain, terang mereka melihat barisan besar itu, tapi mereka anggap seperti tidak tahu dan masih terus menerjang ke depan.

“He, kau cari mampus?” bentak Tho-kan-sian sembari mendorong ke depan. Kontan keledai kurus itu meringkik terus terbanting ke tengah sawah di tepi jalan dengan tulang patah.

Si kakek yang menunggang keledai itu juga ikut terbanting jatuh ke atas tanah, ia merintih kesakitan dan sampai sekian lamanya tidak sanggup berbangkit.

Dari kecil Lenghou Tiong sering mendapat petuah dari sang guru agar membantu yang lemah dan memberantas kezaliman, menolong yang miskin dan membantu orang tua. Sekarang menyaksikan si kakek didorong jatuh oleh Tho-kan-sian, ia menjadi tidak enak perasaannya, cepat ia melompat untuk membangunkannya dan berkata, “Apakah kau terbanting sakit, Bapak Tua?”

“Ini ... ini apa-apaan, aku ... aku ....” orang tua itu tergagap-gagap sambil meringis.

Dalam pada itu kedua petani tadi sudah menaruh pikulan mereka, lalu berdiri tegak di tengah jalan. Laki-laki yang memikul sayur itu berseru, “Di sini adalah lereng Pegunungan Bu-tong, kalian ini orang-orang macam apa, berani sembarangan mengganggu dan memukul orang di sini?”

“Kalau di lereng Pegunungan Bu-tong, lalu ada apa?” sahut Tho-kan-sian tertawa.

“Di kaki Bu-tong-san sini setiap orangnya bisa main silat, kalian orang dari daerah lain berani main gila ke sini, bukankah itu berarti kalian tidak tahu gelagat dan ingin cari penyakit?” kata orang itu.

Usia kedua laki-laki petani itu rata-rata sudah 50-an, semuanya telanjang kaki dan cuma memakai sepatu sandal dari rumput kering, muka mereka pucat dan badan kurus, waktu bicara pemikul sayur ini malahan tampak terengah-engah napasnya, tapi ternyata mengaku mahir silat. Keruan tertawalah orang banyak.

“Apakah kau sendiri mahir ilmu silat?” demikian Tho-hoa-sian bertanya dengan tertawa.

“Di kaki Bu-tong-san sini anak umur tiga tahun sudah bisa main pukulan, anak umur lima tahun sudah mahir main pedang, kenapa mesti heran?” sahut pemikul sayur.

“Dan dia, apakah dia juga mahir main pukulan?” tanya Tho-hoa-sian pula sambil menuding laki-laki pemikul kayu tadi.

“Aku ... aku ... di waktu kecil aku memang pernah belajar beberapa bulan lamanya,” kata laki-laki pemikul kayu itu. “Tapi sudah berpuluh tahun aku tidak pernah berlatih, mungkin ... mungkin sekali sekarang sudah kaku.”

Si tukang pikul sayur lantas menyambung, “Ilmu silat Bu-tong-pay nomor satu di dunia ini, cukup berlatih beberapa bulan saja pasti kau tidak mampu melawannya.”

“Bagus, jika begitu cobalah kau pertunjukkan beberapa jurus kepadaku,” ujar Tho-hoa-sian dengan tertawa.

“Beberapa jurus bagaimana? Biar kumainkan juga kalian tidak paham,” ujar si tukang pikul kayu.

Kembali bergemuruhlah gelak tawa orang banyak, sebagian berseru, “Kami tidak paham, kami hanya ingin tahu!”

“Ai, jika demikian terpaksa akan kumainkan beberapa jurus saja, cuma entah terlupa tidak,” kata pemikul kayu itu. “Eh, tuan besar mana yang sudi meminjamkan pedang padaku.”

Segera seorang mengangsurkan pedang kepadanya dan diterima oleh laki-laki itu, ia melangkah ke tengah sawah yang tanahnya sudah kering itu, lalu pedangnya menusuk ke kanan dan menebas ke kiri, begitulah ia mulai main, tapi baru tiga-empat kali, mendadak ia berhenti karena lupa lanjutannya, ia garuk-garuk kepala dan cakar-cakar kuping sembari mengingat-ingat, lalu main lagi beberapa jurus.

Melihat permainannya itu sama sekali tidak keruan, gerak-geriknya juga lamban dan ketolol-tololan, semua orang sama tertawa terpingkal-pingkal.

“Apanya yang lucu, kenapa kalian tertawa?” ujar laki-laki pemikul sayur. “Coba pinjami pedang, aku pun akan main beberapa jurus.”

Setelah pegang pedang segera ia pun membacok dan menusuk serabutan, gerakannya sangat cepat dan caranya seperti orang gila, keruan orang banyak tambah geli menertawakannya.

Bab 91. Tokoh Bu-tong-pay yang Kosen

Semula Lenghou Tiong juga cuma tersenyum saja sambil berpangku tangan, tapi hanya melihat beberapa jurus saja ia menjadi terkejut. Dilihatnya gerak pedang kedua laki-laki itu berbeda, yang satu lamban dan yang lain cepat, tapi dalam permainan pedang mereka itu ternyata tiada sedikit pun diketemukan lubang kelemahan.

Memang gerak-gerik kedua orang itu sangat kaku, bahkan lucu dan menimbulkan tawa penonton, tapi yang satu menjaga dan yang lain menyerang, sukar bagi pihak lawan untuk melayaninya. Lebih-lebih laki-laki pemikul kayu itu, ilmu pedangnya sederhana saja, tapi daya tekanan pedangnya agaknya baru dilancarkan satu bagian saja, sembilan bagian selebihnya masih tersimpan dan siap untuk dikerahkan.

Di tengah gelak tertawa orang banyak itulah Lenghou Tiong lantas melangkah maju, katanya sambil memberi hormat, “Sungguh beruntung sekali hari ini dapat menyaksikan ilmu pedang mahahebat dari kedua Cianpwe.
Kepandaian sehebat ini sungguh sukar diketemukan sekalipun menjelajahi seluruh dunia.”

Kata-kata Lenghou Tiong ini diucapkan dengan nada yang sungguh-sungguh dan setulus hati, sama sekali berbeda daripada kata-kata para jago tadi yang bernada mengejek.

Kedua laki-laki tadi lantas menghentikan permainan mereka. Si tukang pikul kayu menjawab dengan mata melotot, “Kau bocah ini, kau paham ilmu pedang kami?”

“Paham sih tidak,” sahut Lenghou Tiong. “Ilmu pedang kedua Cianpwe mahahebat dan sangat luas, untuk ‘memahaminya’ masakah begitu gampang?
Yang jelas ilmu pedang Bu-tong-pay yang termasyhur ternyata memang benar sangat mengagumkan.”

“Kau bocah ini bernama siapa?” tanya si tukang sayur.

Belum Lenghou Tiong menjawab, di tengah orang banyak sudah ada yang berteriak, “Bocah apa segala, mulutmu perlu dicuci dulu. Dia adalah bengcu kami, Lenghou-kongcu adanya.”

“Lenghou-kuaci?” si tukang kain menegas seperti orang heran. “Kenapa tidak pakai nama oncom atau keripik, lha kok pakai nama kuaci atau kacang segala?”

Lenghou Tiong tidak menghiraukan olok-olok orang, ia memberi hormat pula dan berkata, “Hari ini Lenghou Tiong dapat menyaksikan ilmu pedang sakti Bu-tong-pay, sungguh sangat beruntung dan kagum. Lain hari bila sempat tentu akan berkunjung untuk memberi salam hormat kepada Tiong-hi Totiang. Tentang nama kedua Cianpwe yang mulia apakah dapat diberi tahu?”

Kedua orang itu tidak menjawab, sebaliknya si tukang kayu terus meludah ke tanah, katanya, “Hei, kalian sebanyak ini main berbaris dan membunyikan tambur segala dengan riuh ramai, apakah kalian sedang arak-arakan atau sedang mengantar jenazah?”

Lenghou Tiong tahu kedua orang itu pasti tokoh Bu-tong-pay, dengan penuh hormat dijawabnya, “Kami ada seorang teman telah ditahan oleh Siau-lim-pay, kami sekarang hendak menuju ke sana untuk mohon kemurahan hati Hong-ting Taysu agar sudi mengampuni teman kami itu dan membebaskannya.”

“O, kiranya bukan mengantar jenazah!” ujar si tukang sayur. “Tapi kalian telah memukul mati keledai paman kami, kalian mau ganti atau tidak?”

Segera Lenghou Tiong menuntun maju tiga ekor kuda, katanya, “Kuda-kuda ini sudah tentu tak bisa dibandingkan dengan keledai Cianpwe itu, terpaksa Cianpwe diharap menerima seadanya. Tentang kecerobohan teman tadi, mohon pula para Cianpwe sudi memaafkan.”

Melihat sikap Lenghou Tiong yang makin lama makin hormat dan rendah diri terhadap petani-petani itu, tampaknya bukanlah sengaja pura-pura. Keruan para jago menjadi melongo heran.

“Setelah kau mengetahui kehebatan ilmu pedang kami, apakah kau tidak ingin menjajalnya?” tanya si tukang sayur.

“Wanpwe pasti bukan tandingan kedua Cianpwe,” sahut Lenghou Tiong.

“Rupanya kau enggan menjajal kami, sebaliknya aku menjadi ingin menjajal kau,” kata si tukang kayu. Berbareng pedangnya terus menusuk ke arah Lenghou Tiong dengan rada miring dan menceng.

“Bagus!” seru Lenghou Tiong ketika melihat serangan orang mencakup sembilan tempat berbahaya di atas tubuhnya, sungguh suatu jurus serangan yang amat indah. Cepat ia pun lolos pedang dan balas menusuk.

Ketika laki-laki itu menusuk suatu kali ke tempat yang kosong, Lenghou Tiong juga putar pedangnya dan menebas ke tempat yang kosong. Berturut-turut kedua orang sama-sama menyerang beberapa kali, tapi yang diarah semuanya tempat yang kosong. Kedua pedang belum pernah beradu. Namun begitu laki-laki itu selangkah demi selangkah terus mundur.

“Kuaci kacang ternyata rada aneh juga,” ujar laki-laki tukang sayur. Segera ia pun angkat pedangnya dan menusuk dan menebas serabutan, dalam sekejap saja ia sudah main belasan jurus. Tapi tiap-tiap jurus tidak ditujukan kepada Lenghou Tiong, di mana ujung pedangnya tiba selalu berselisih satu-dua meter jauhnya dari Lenghou Tiong. Begitu pula Lenghou Tiong juga terkadang menusuk dari jauh ke arah si tukang kayu, lain saat menusuk si tukang sayur dari jarak jauh.

Anehnya tiap-tiap kali Lenghou Tiong menyerang, seketika kedua laki-laki itu tampak tegang dan cepat putar pedang buat menangkis atau melompat menghindar.

Keruan para penonton terheran-heran, padahal jarak ujung pedang Lenghou Tiong cukup jauh dari sasarannya, sekali menyerang juga tidak terasa sesuatu kekuatan yang menyambar ke depan, tapi mengapa kedua orang itu berusaha menghindar sebisanya?

Sampai di sini barulah para jago itu mengetahui kedua orang petani itu sekali-kali bukan orang desa, tapi adalah tokoh silat yang memiliki kepandaian tinggi. Di waktu menyerang mereka tetap kelihatan lambat dan yang lain seperti orang gila, tapi ketika menghindar serangan gerak-gerik mereka amat gesit dan lincah, kalau bukan terlatih berpuluh tahun pasti tidak memiliki tingkatan sedemikian tingginya.

Tiba-tiba terdengar kedua orang itu bersuit serentak, ilmu pedang mereka berubah sama sekali, si tukang kayu bergerak secara keras, tenaganya kuat, sebaliknya si tukang sayur meloncat ke sana-sini dengan cepat, ujung pedang mereka bergetar memantulkan titik-titik sinar perak.

Namun pedang di tangan Lenghou Tiong tampak mengacung miring ke atas tanpa bergerak lagi, hanya sorot matanya yang tajam terkadang melotot ke arah si tukang kayu, lain saat melirik si tukang sayur. Di mana sorot matanya sampai, seketika kedua laki-laki itu berganti gaya, terkadang mereka berteriak dan cepat melompat mundur, tiba-tiba mereka lantas melancarkan serangan, tapi mendadak mereka bertahan lagi seperti kerepotan.

Beberapa jago kelas tinggi seperti Keh Bu-si, Lo Thau-cu, dan lain-lain, setelah mereka mengikuti sekian lamanya pertarungan aneh itu, akhirnya dapatlah mereka melihat apa-apa yang terjadi sebenarnya. Dilihatnya bagian-bagian yang dihindari oleh kedua laki-laki itu selalu adalah tempat yang disorot oleh tatapan mata Lenghou Tiong, tapi juga hiat-to yang penting di tubuh mereka.

Suatu ketika dilihatnya mata Lenghou Tiong menatap ke “siang-kiok-hiat” di bagian perut si tukang kayu, padahal waktu itu si tukang kayu baru hendak membacok dengan pedangnya, mendadak ia urungkan serangannya dan lekas-lekas menarik kembali pedangnya untuk mengadang di depan perut.

Pada saat hampir sama si tukang sayur bergaya hendak menusuk ke arah Lenghou Tiong, tiba-tiba sorot mata Lenghou Tiong mengarah ke “thian-ting-hiat” di bagian lehernya, lekas-lekas tukang sayur itu mendak ke bawah sehingga tusukan pedangnya menancap tanah sawah yang sudah mengeras kering itu.

Begitulah untuk sekian lamanya kedua laki-laki itu terus berkutatan sehingga basah kuyup oleh keringat mereka sendiri laksana habis kecebur sungai.

Si kakek penunggang keledai tadi juga terus mengikuti pertandingan aneh itu di samping dan tidak membuka suara, kini mendadak ia berdehem, lalu berkata, “Hebat, sungguh sangat mengagumkan. Kalian mundur saja!”

Kedua orang itu mengiakan berbareng, tapi sorot mata Lenghou Tiong yang tajam laksana kilat itu masih terus berkisar di bagian hiat-to penting di tubuh mereka. Meski mereka memutar pedang sembari mundur masih sukar melepaskan diri dari incaran sinar mata Lenghou Tiong.

“Kiam-hoat bagus!” seru si kakek. “Lenghou-kongcu, biarlah aku yang minta petunjuk beberapa jurus padamu.”

“Terima kasih!” sahut Lenghou Tiong sambit berpaling dan memberi hormat kepada si kakek.

Baru sekarang kedua laki-laki itu dapat membebaskan diri dari incaran sinar mata Lenghou Tiong, berbareng mereka melompat mundur dengan enteng sebagai burung terbang.

Si kakek terbatuk-batuk beberapa kali, lalu berkata pula, “Lenghou-kongcu telah sengaja bermurah hati kepada kalian, jika bertempur sungguh-sungguh tentu tubuh kalian sudah penuh dengan lubang tusukan, masakan kalian mampu menyelesaikan permainan ilmu pedang. Lekas kalian maju mengucapkan terima kasih.”

Segera kedua laki-laki itu melompat maju terus membungkuk tubuh di hadapan Lenghou Tiong. Kata si tukang sayur, “Hari ini barulah aku mengetahui di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai. Kepandaian Kongcu jarang ada bandingannya di dunia ini, harap sudi memaafkan atas ucapan kami yang kurang hormat tadi.”

Lenghou Tiong membalas hormat mereka, katanya, “Bu-tong-kiam-hoat benar-benar mahasakti. Permainan pedang kalian tadi yang satu yang (positif) dan yang lain im (negatif), satu keras satu lunak, apakah itu Thay-kek-kiam-hoat adanya?”

“Hanya membikin malu saja, yang kami mainkan tadi adalah ‘Liang-gi-kiam-hoat’, memang terdiri dari im dan yang, tapi belum dapat terlebur menjadi satu,” sahut si tukang sayur.

“Karena Cayhe telah menyaksikan sebelumnya sehingga sedikit dapat mengetahui letak intisari ilmu pedang kalian,” ujar Lenghou Tiong. “Tapi kalau benar-benar bertempur sungguhan jelas tak sanggup aku melawan.”

“Lenghou-kongcu teramat rendah hati,” ujar si kakek. “Padahal di mana sorot mata Kongcu menatap, di situ pula terletak titik kelemahan dari setiap jurus Liang-gi-kiam-hoat. Ai, kiam-hoat ini ternyata ...” sampai di sini ia geleng-geleng kepala, sejenak kemudian barulah ia menyambung, “lima puluh tahun yang lalu Bu-tong-pay ada dua totiang yang sengaja mendalami Liang-gi-kiam-hoat ini secara tekun, beliau-beliau itu merasa di dalam ilmu pedang ini ada im ada yang, juga keras juga lunak. Tapi ai!” ia menghela napas seakan-akan hendak mengatakan, “Ternyata ilmu pedang yang dianggap sudah sempurna itu tidak tahan sekali gempur oleh ahli pedang yang diketemukan sekarang.”

Kiranya dalam pertandingan pedang tadi, mula-mula Lenghou Tiong menggunakan ujung pedang untuk menyerang tempat-tempat berbahaya di tubuh kedua lawannya dari jarak jauh, tempat yang diarah adalah lubang-lubang kelemahan permainan pedang mereka. Tapi kemudian ia tidak perlu menggerakkan lagi pedangnya, hanya sorot matanya saja yang mengincar ke titik kelemahan lawan-lawan itu. Setiap kali salah seorang lawannya menyerang, selalu merasakan titik kelemahan serangannya itu sudah kena diincar oleh Lenghou Tiong sehingga terpaksa ia harus menarik kembali serangan dan begitu seterusnya. Makin lama mereka semakin gelisah, meski Lenghou Tiong hanya berdiri di tempatnya tanpa bergerak, tapi kedua orang itu sudah kelabakan sendiri dengan mandi keringat dan kehabisan tenaga.

Begitulah Lenghou Tiong lantas berkata dengan penuh hormat, “Tadi kedua paman ini rasanya tidak terlalu tinggi tingkatannya di dalam Bu-tong-pay, namun ilmu pedang mereka sudah sedemikian bagusnya. Apalagi kepandaian Tiong-hi Totiang serta tokoh-tokoh kelas wahid yang lain, tentu jauh lebih mengagumkan. Wanpwe dan para kawan kebetulan harus lalu di kaki Bu-tong-san sini, soalnya ada urusan penting sehingga tidak sempat berkunjung dan memberi hormat kepada Tiong-hi Totiang, kelak bila urusan sudah selesai tentu Cayhe akan berkunjung ke Cin-bu-koan (nama kuil) untuk sembahyang di hadapan Cin-bu-tayte serta menjura kepada Tiong-hi Totiang.”

Sebenarnya watak Lenghou Tiong sangat angkuh, tapi terhadap ilmu pedang kedua lawannya yang luar biasa dan ajaib tadi, meski dia dapat mengalahkan mereka, tapi dia memang benar-benar sangat kagum. Apalagi ia buru-buru ingin pergi menolong Ing-ing dan sedapat mungkin harus menghindari permusuhan dengan Bu-tong-pay yang sukar dilawan itu, samar-samar dalam perasaannya ia menduga si kakek pasti tokoh terkemuka di dalam Bu-tong-pay, maka apa yang diucapkannya itu benar-benar sangat tulus dan sungguh-sungguh.

Si kakek tampak manggut-manggut, katanya, “Orang muda memiliki kepandaian tinggi, tapi tidak sombong, sungguh harus dipuji. Lenghou-kongcu, apakah kau pernah mendapat didikan langsung dari Hong Jing-yang Locianpwe dari Hoa-san?”

Lenghou Tiong terkesiap dan mengakui ketajaman mata si kakek yang bisa mengetahui asal usul ilmu pedangnya tadi. Cepat ia membungkuk tubuh dan menjawab, “Ah, secara beruntung Wanpwe hanya pernah mempelajari sedikit bulu kulit kepandaian Hong-thaysusiokco.”

“Bulu kulit saja katamu dan ternyata sudah begitu hebat?” kata si kakek dengan tersenyum. Ia berpaling dan mengambil pedang yang dipegang si pemikul kayu. Lalu katanya pula, “Sekarang aku ingin coba belajar kenal dengan sedikit bulu kulit ilmu pedang ajaran Hong-locianpwe itu.”

“Ah, mana Wanpwe berani bergebrak dengan Cianpwe?” ujar Lenghou Tiong dengan rendah hati.

Kembali si kakek tersenyum, dengan tetap terbungkuk-bungkuk, tubuhnya memutar ke kanan dengan perlahan-lahan, pedang yang terpegang di tangan kiri itu diangkatnya ke atas terus melintang di depan dada.

Melihat gaya orang tua itu, Lenghou Tiong tidak berani sembrono, ia pun mengikuti gerak-geriknya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba pedang si kakek menggores ke depan dengan perlahan dalam bentuk setengah lingkaran.

Seketika Lenghou Tiong merasa suatu arus hawa dingin menyambar ke arahnya, kalau tidak balas menyerang rasanya sukar ditahan. Terpaksa ia berkata, “Maaf!” Karena tidak melihat titik kelemahan dari jurus pedang si kakek, terpaksa pedangnya menutul sekenanya ke depan.

Sekonyong-konyong si kakek memindahkan pedang ke tangan kanan, sinar dingin berkelebat, mendadak ia menebas ke leher Lenghou Tiong. Karena gerakan yang teramat cepat ini, para jago yang menonton di samping sampai menjerit kaget dan khawatir.

Tapi karena serangan si kakek yang keras mendadak itu, segera Lenghou Tiong melihat titik kelemahan di bawah ketiak lawan. Segera pedangnya membarengi menusuk ke yan-ek-hiat di bawah iga si kakek.

Terpaksa si kakek menegakkan pedangnya. “Trang”, kedua pedang kebentur, kedua orang sama-sama mundur selangkah, Lenghou Tiong merasakan tenaga lawan seakan-akan melengket di atas pedangnya sehingga batang pedang tergetar mendenging. Sebaliknya si kakek juga bersuara heran, air mukanya menunjukkan rasa kejut dan tidak percaya.

Setelah satu gebrak, kembali pedang si kakek berpindah ke tangan kiri, ujung pedang menggores pula ke depan menjadi dua lingkaran.

Melihat gerakan pedang orang yang bertenaga dan rapat melindungi seluruh tubuhnya tanpa lubang sedikit pun, diam-diam Lenghou Tiong kejut dan heran, “Sejak menghadapi musuh belum pernah kulihat permainan silat lawan yang begini rapat penjagaannya. Bila dia menyerang cara demikian, lalu cara bagaimana aku harus mematahkannya?”

Lantaran timbul rasa sangsinya, tanpa terasa butiran keringat lantas merembes di dahinya.

Dalam pada itu pedang si kakek lantas bergetar, mendadak menusuk ke depan secara lempeng, ujung pedang bergemetar cepat sehingga tidak diketahui arah mana sebenarnya yang hendak diserang. Yang pasti beberapa hiat-to penting di tubuh Lenghou Tiong sudah terancam semua oleh gerakan pedangnya.

Tapi karena serangan cepat si kakek itulah Lenghou Tiong dapat melihat tiga lubang kelemahan di tubuh lawannya, asal salah satu lubang kelemahan diserang sudah cukup menamatkan jiwanya. Segera pedang Lenghou Tiong juga ditusukkan ke depan, ke ujung alis kiri si kakek.

Dalam keadaan demikian bila si kakek tetap mengayun pedangnya ke depan, maka lebih dulu pelipis kirinya pasti akan tertusuk pedang Lenghou Tiong.

Pertarungan di antara jago kelas tinggi kalah-menang memang cuma tergantung pada satu-dua detik itu saja, siapa yang lebih dulu dia yang menang.

Menurut keadaan itu, meski Lenghou Tiong tak bisa menghindarkan diri dari serangan si kakek, tapi kesempatan menyelamatkan diri sedikitnya ada separuh, sebaliknya pihak lawan pasti akan binasa oleh tusukannya.

Ternyata si kakek cukup menyadari hal itu, mendadak ia putar balik pedangnya, sekonyong-konyong pandangan Lenghou Tiong menjadi silau oleh lingkaran-lingkaran sinar perak besar-kecil tak terhitung banyaknya. Karena matanya silau, terpaksa ia pun menarik kembali pedangnya, lalu menusuk lagi ke tengah lingkaran sinar pedang lawan. “Trang”, kedua pedang kebentur lagi, lengan Lenghou Tiong terasa kesemutan.

Lingkaran sinar yang dipantulkan oleh pedang si kakek makin lama makin banyak, hanya sebentar saja seluruh badannya seakan-akan menghilang di balik lingkaran sinar yang tak terhitung banyaknya itu. Lingkaran sinar itu satu disusul yang lain, yang duluan belum buyar sudah timbul lingkaran lagi.

Lenghou Tiong tidak sanggup mengincar lubang kelemahan di tengah ilmu pedang si kakek, hanya dirasakan lawan seakan-akan dibungkus oleh beratus atau beribu batang pedang sehingga sukar ditembus.

Jantung Lenghou Tiong mulai berdebar keras. Sejak berhasil meyakinkan “Tokko-kiu-kiam” untuk pertama kalinya sekarang ia merasakan takut. Bahwasanya gerak serangan musuh ternyata tidak diketemukan titik kelemahannya barulah sekarang terjadi.

Selagi Lenghou Tiong merasa bimbang, saat itulah beribu-ribu lingkaran sinar laksana ombak samudra saja telah membanjir ke arahnya. Karena tidak sanggup bertahan, terpaksa ia melangkah mundur. Setiap kali ia mundur satu langkah, lingkaran-lingkaran sinar itu lantas mendesak maju selangkah pula. Dalam sekejap saja, ia sudah mundur hampir sepuluh langkah dan tampaknya masih akan terdesak mundur lagi.

Melihat bengcu mereka terdesak di bawah angin, para jago ikut prihatin dan sama menahan napas mengikuti pertarungan hebat itu. Mendadak Tho-kin-sian berseru, “He, ilmu pedang apakah itu, seperti permainan anak kecil saja yang menggores-gores lingkaran, aku pun bisa kalau cuma begitu!”

“Kalau aku yang menggores tanggung akan lebih bulat daripada dia,” timbrung Tho-hoa-sian.

“Jangan takut Lenghou-hengte, jika kau kalah, sebentar kami akan membeset si tua bangka itu menjadi empat potong untuk melampiaskan rasa dongkolmu,” seru Tho-ki-sian.

“Salah besar ucapanmu itu!” debat Tho-yap-sian. “Pertama dia adalah Lenghou-bengcu dan bukan Lenghou-hengte segala. Kedua, dari mana kau mengetahui dia takut?”

“Meski Lenghou Tiong sudah menjadi bengcu, tapi umurnya lebih muda daripada diriku. Memangnya sudah menjadi bengcu lantas harus dipanggil Lenghou-koko, Lenghou-pepek, atau dipanggil tuan besar segala?” sahut Tho-ki-sian.

Saat itu Lenghou Tiong tampak terdesak mundur lagi, para jago menjadi ikut cemas, keruan mereka tambah gusar mendengar Tho-kok-lak-sian mengoceh tak keruan.

Dalam pada itu Lenghou Tiong sedang mundur lagi satu langkah, “byur”, tiba-tiba sebelah kakinya menginjak air pecomberan. Kejadian ini mendadak menimbulkan pikirannya, “Dahulu Hong-thaysusiokco telah memberi pesan wanti-wanti bahwa ilmu silat di dunia ini sangat banyak aneka ragamnya, tapi pada dasarnya hanya ada satu patokan, tak peduli bagaimana bagusnya gerak serangan lawan, asalkan ada jurus serangan tentu ada lubang kelemahannya. Sebabnya ilmu pedang yang diturunkan oleh Tokko-tayhiap ini dapat merajai dunia persilatan tanpa tandingan adalah karena dapat mencapai titik kelemahan di antara jurus serangan musuh. Sekarang ilmu pedang si kakek berputar begini cepat, sedikit pun tiada lubang kelemahannya. Hanya saja mungkin aku sendiri yang tidak mampu mencari titik kelemahannya dan bukan ilmu pedangnya benar-benar tanpa titik kelemahan.”

Dalam pada itu kembali Lenghou Tiong terdesak mundur beberapa tindak lagi, ia coba memerhatikan lingkaran-lingkaran yang dijangkitkan sinar pedang lawan itu, tiba-tiba terpikir olehnya, “Jangan-jangan di tengah lingkaran-lingkaran inilah titik kelemahannya. Tapi kalau keliru dan pedangku menusuk ke tengah lingkaran itu, sekali digiling pedangnya seketika tanganku bisa kutung.”

Tiba-tiba timbul tekadnya, “Jelas aku tidak sanggup melawan locianpwe ini, jika aku menyerah kalah, sebagai orang tua mungkin dia takkan mengusik diriku, tapi kekalahanku akan berarti mengguncangkan semangat para kawan, mana mereka berani lagi pergi menyerbu Siau-lim-si dan menolong Ing-ing?”

Teringat kepada budi kebaikan Ing-ing terhadapnya, kalau cuma mengorbankan sebelah lengan saja apa halangannya? Tiba-tiba dalam lubuk hatinya merasa sangat terhibur dan puas jika dapat mengorbankan sebelah lengan bagi Ing-ing, dirasakan pula dirinya terlalu banyak utang budi kepada si nona, kalau benar-benar mengalami cacat badan secara parah demi si nona barulah sekadar dapat membalas budi kebaikannya itu.

Berpikir begitu, tanpa sangsi lagi ia lantas angkat tangannya, pedang lantas menusuk ke tengah lingkaran sinar pedang si kakek. “Trang”, terdengar suara nyaring mendering, Lenghou Tiong merasa dadanya tergetar keras, napas sesak dan darah bergolak, tapi lengannya ternyata baik-baik saja tak terluka sedikit pun.

Si kakek tampak mundur selangkah, pedang ditarik kembali dan berdiri tegak, air mukanya menampilkan rasa aneh seperti orang terheran-heran, juga ada perasaan malu-malu, malahan menampilkan rasa penuh kesayangan. Selang cukup lama barulah ia membuka suara, “Ilmu pedang Lenghou-kongcu benar-benar hebat, pengetahuan dan keberanianmu juga melebihi orang biasa, sungguh hebat, sungguh kagum!”

Baru sekarang Lenghou Tiong menyadari gempuran yang penuh risiko tadi sesungguhnya telah menemukan titik kelemahan ilmu pedang lawan, hanya saja ilmu pedang si kakek terlalu tinggi, mungkin di antara sepuluh ribu orang tiada satu orang yang berani mengambil risiko seperti dia untuk menjajal titik kelemahan si kakek yang ternyata disembunyikan di balik titik kekuatannya, yaitu di tengah lingkaran sinar pedangnya yang terus mendesak lawan itu. Keruan Lenghou Tiong merasa sangat beruntung dan bersyukur, cepat ia membungkuk tubuh dan menjawab, “Ilmu pedang Locianpwe mahasakti, sungguh Wanpwe banyak memperoleh manfaatnya setelah mendapat petunjuk-petunjuk tadi.”

Ucapan Lenghou Tiong ini bukan kata-kata yang sengaja dibuat, tapi timbul dari lubuk hatinya yang tulus, sebab pertandingan ini memang benar banyak memberi ilham kepadanya sehingga dia mengetahui bahwa titik kekuatan serangan musuh justru adalah titik paling lemah pula. Kalau titik yang paling kuat dapat digempur, maka bagian-bagian lain tidak perlu diterangkan lagi.

Pertandingan di antara jago-jago kelas tinggi cukup ditentukan dalam satu jurus saja. Melihat Lenghou Tiong berani balas menyerang melalui lingkaran sinar pedangnya, maka si kakek merasa tidak perlu melanjutkan lagi pertarungan itu. Ia menatap tajam sejenak kepada Lenghou Tiong. Kemudian menghela napas dan berkata, “Lenghou-kongcu, aku ingin bicara sebentar padamu.”

“Baik, mohon petuah-petuah Locianpwe yang berharga,” sahut Lenghou Tiong.

Si kakek mengembalikan pedang kepada si tukang sayur tadi, lalu tangan Lenghou Tiong digandengnya dan diajak menuju ke bawah pohon besar di sebelah timur sana. Lenghou Tiong lantas melemparkan pula pedangnya dan mengikuti kehendak si kakek.

Sampai di bawah pohon, jarak dengan rombongan orang banyak sudah ada berpuluh meter jauhnya, suara pembicaraan mereka sukar lagi didengar dari jarak sejauh itu. Lebih dulu si kakek duduk di bawah pohon, lalu katanya, “Silakan duduk juga untuk bicara.”

Sesudah Lenghou Tiong berduduk barulah orang tua itu mulai bicara dengan perlahan, “Lenghou-kongcu, tokoh muda seangkatan yang memiliki kepandaian seperti kau boleh dikata jarang terdapat.”

“Ah, terima kasih atas pujian Locianpwe,” sahut Lenghou Tiong. “Tingkah laku Wanpwe terkenal buruk sehingga tidak diberi tempat oleh perguruan, mana aku berani menerima pujian Locianpwe itu.”

“Kaum persilatan kita harus mengutamakan perbuatan yang terang-terangan, asalkan sesuai dengan hati nurani,” kata si kakek. “Tindak tandukmu meski terkadang terlalu berani dan tidak tunduk kepada adat kebiasaan, tapi masih harus diakui adalah perbuatan seorang laki-laki sejati. Secara diam-diam aku telah mengutus orang buat menyelidiki kelakuanmu yang sebenarnya dan ternyata tidak diketemukan sesuatu yang buruk sebagaimana disiarkan secara luas di kalangan Kangouw.”

Alangkah terharu dan terima kasih Lenghou Tiong atas pembelaan si kakek terhadap pribadinya itu, setiap katanya benar-benar kena lubuk hatinya. Ia yakin si kakek pasti tokoh yang amat penting di dalam Bu-tong-pay, kalau tidak masakah diam-diam mengutus orang buat menyelidiki perbuatan dan tingkah lakunya?

Dalam pada itu si kakek telah menyambung lagi, “Bahwasanya orang muda suka menonjolkan sesuatu adalah lazim. Gak Put-kun sendiri lahirnya tampak ramah, tapi sebenarnya jiwanya sangat sempit ....”

Mendengar kritikan terhadap gurunya, seketika Lenghou Tiong berbangkit dan berkata, “Wanpwe anggap Insu (guru berbudi) seperti orang tua sendiri, maka Wanpwe tidak berani bicara tentang kekurangannya.”

Kakek itu tersenyum, katanya, “Kau tidak melupakan sumbermu, sungguh sangat baik.”

Tiba-tiba air mukanya berubah serius dan menambahkan, “Sudah berapa lama kau meyakinkan ‘Gip-sing-tay-hoat’ itu?”

“Wanpwe mempelajarinya secara kebetulan kira-kira setengah tahun yang lalu,” sahut Lenghou Tiong. “Mula-mula Wanpwe benar-benar tidak tahu ilmu yang kulatih ini adalah Gip-sing-tay-hoat.”

“Benarlah kalau begitu,” ujar si kakek. “Tadi kita telah tiga kali mengadu senjata, tenaga dalamku telah kau sedot, tapi rasanya kau masih belum mahir memanfaatkan ilmu iblis yang celaka itu. Untuk mana aku ingin memberi nasihat, entah Lenghou-siauhiap sudi mendengarkan tidak?”

Lenghou Tiong menjadi gugup, cepat ia menjawab, “Kata-kata emas Locianpwe sudah tentu akan kuterima dengan segala kerelaan hati.”

“Gip-sing-tay-hoat ini walaupun sangat lihai di waktu pertempuran, tapi bagi orang yang melatihnya sendiri akan menimbulkan banyak kerugian, semakin mendalam keyakinannya semakin besar pula bahayanya. Lenghou-siauhiap harus menyadarinya dan sebisanya menghentikan pelajaranmu. Setahuku, akhir dari latihan ilmu iblis itu akan mengubah seluruh watak dan pikiran orang yang meyakinkannya itu, jiwanya tertekan dan akan melakukan macam-macam perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya tanpa disadari olehnya sendiri. Tatkala mana sukarlah untuk membersihkan diri.”

Ketika di Bwe-cheng tempo hari Lenghou Tiong memang pernah mendengar sendiri dari ucapan Yim Ngo-heng bahwa setelah mempelajari “Gip-sing-tay-hoat” itu, maka kelak akan banyak mendatangkan bencana, maka dirinya diminta berjanji akan masuk menjadi anggota Mo-kau, bahkan akan diangkat sebagai tangan kiri ketua Mo-kau itu, dengan demikian Yim Ngo-heng baru akan mengajarkan cara memunahkan gangguan penyakit yang ditimbulkan oleh Gip-sing-tay-hoat itu.

Sekarang apa yang dikatakan si kakek ternyata cocok dengan ucapan Yim Ngo-heng dahulu, keruan Lenghou Tiong tambah percaya sehingga keluar keringat dingin.
Katanya kemudian, “Petunjuk-petunjuk Locianpwe takkan kulupakan selama hidup ini. Wanpwe juga tahu ilmu ini tidak baik, juga pernah bertekad takkan menggunakannya untuk membikin celaka sesamanya. Cuma setelah ilmu ini meresap di dalam tubuh, sekalipun tidak ingin memakainya toh sukar rasanya.”

“Ada suatu hal yang mungkin sangat sukar untuk minta Siauhiap melakukannya,” kata si kakek.
“Tapi seorang pahlawan, seorang kesatria harus berani berbuat apa yang tak bisa diperbuat orang lain. Siau-lim-pay ada semacam ilmu khas yang disebut ‘Ih-kin-keng’, mungkin Siauhiap sudah pernah mendengarnya.”

“Ya, kabarnya itu adalah lwekang tertinggi yang tak diajarkan sembarangan orang sekalipun kepada padri-padri sakti angkatan utama Siau-lim-pay pada saat ini,” kata Lenghou Tiong.

“Sekarang Siauhiap memimpin orang banyak ini menuju ke Siau-lim-si, kukira persoalannya tidak mudah untuk diselesaikan. Tak peduli pihak mana yang menang pasti akan banyak menimbulkan korban, hal ini sesungguhnya merupakan malapetaka bagi dunia persilatan kita. Walaupun sudah tua bangka, namun aku bersedia mendamaikan kalian dan akan mohon ketua Siau-lim-pay mengutamakan welas asih dan mengajarkan ‘Ih-kin-keng’ kepada Siauhiap, sebaliknya Siauhiap hendaklah memberi penjelasan kepada orang banyak agar menyudahi urusan ini dan bubar saja, dengan demikian buyar pula bencana yang setiap saat dapat timbul. Entah bagaimana pendapat Siauhiap akan usulku ini?”

“Lalu bagaimana dengan Yim-siocia yang masih terkurung di Siau-lim-si itu?” tanya Lenghou Tiong.

“Yim-siocia telah membunuh empat tokoh Siau-lim-pay, banyak menimbulkan huru-hara pula di dunia Kangouw. Kalau Hong-ting Taysu mengurung dia kukira bukan karena ingin membalas dendam Siau-lim-pay sendiri, tapi timbul dari jiwanya yang welas asih demi keselamatan sesama orang Kangouw. Dengan pribadi Siauhiap yang baik ini masakah khawatir tidak mendapatkan jodoh yang setimpal dari keluarga yang baik? Buat apa mesti tergoda oleh perempuan siluman dari Mo-kau itu sehingga merusak nama baikmu dan menghancurkan masa depanmu.”

Serentak Lenghou Tiong berbangkit, katanya lantang, “Lenghou Tiong telah terima budi orang dan sudah pasti akan kubalas.
Adapun maksud baik Cianpwe sungguh sayang sekali tak bisa kuterima.”

Si kakek menghela napas, katanya pula, “Orang muda tenggelam oleh kecantikan, terjebak oleh nona ayu, rasanya memang sukar menghindarkan diri.”

“Wanpwe mohon diri,” kata Lenghou Tiong sambil membungkuk tubuh.

“Nanti dulu!” seru si kakek. “Meski aku jarang berhubungan dengan Hoa-san-pay, tapi sedikit banyak kuyakin Gak-siansing masih menghormati diriku. Jika kau mau terima nasihatku tadi, aku dan ketua Siau-lim-pay berani tepuk dada memberi jaminan akan mengembalikan kau ke Hoa-san-pay, untuk ini apakah kau percaya padaku?”

Tergerak juga hati Lenghou Tiong oleh tawaran menarik itu. Diterima kembali ke dalam Hoa-san-pay memang cita-citanya yang paling utama. Kakek ini begini tinggi ilmu silatnya, nada bicaranya juga meyakinkan pasti seorang tokoh terkemuka dari Bu-tong-pay, dia menjanjikan akan menjamin kembalinya Lenghou Tiong ke Hoa-san-pay, maka dapat dipercaya urusan ini pasti akan berhasil. Selamanya sang guru sangat mementingkan hubungan baik sesama orang cing-pay, apalagi Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua aliran tertinggi dari dunia persilatan, kalau kedua tokoh utama dari kedua aliran itu tampil ke muka untuk menjaminnya, tentu sang guru akan terpaksa menerimanya kembali.

Tapi sesudah kembali ke Hoa-san, setiap hari ia akan bertemu dengan sumoaynya yang jelita itu, apakah lantas membiarkan Ing-ing terkurung di gua Siau-lim-si yang dingin dan sunyi? Berpikir sampai di sini, seketika darah bergolak pula di rongga dadanya, serunya segera, “Percumalah menjadi manusia jika Wanpwe tidak dapat menolong Yim-siocia keluar dari Siau-lim-si. Tak peduli bagaimana hasil dari urusan ini, asalkan Wanpwe masih hidup kelak, Wanpwe pasti akan berkunjung ke Bu-tong-san untuk mengaturkan terima kasih kepada Cianpwe serta Tiong-hi Totiang.”

Kembali si kakek menghela napas, katanya, “Kau tidak mementingkan jiwamu, tidak mementingkan perguruanmu, tidak mementingkan nama baik dan hari depanmu, tapi lebih suka berbuat menuruti bisikan hatimu demi membela seorang perempuan dari Mo-kau, kelak kalau dia mengingkari kau dan berbalik membikin celaka kau, apakah kau takkan menyesal.”

“Jiwa Wanpwe ini diselamatkan oleh Yim-siocia, maka akan kukembalikan jiwaku ini untuknya, buat apa mesti merasa sayang dan menyesal?” sahut Lenghou Tiong.

“Baiklah, boleh kau pergi,” kata si kakek mengangguk.

Lenghou Tiong memberi hormat pula, lalu putar kembali ke tempat kawan-kawannya, katanya kepada Lo Thau-cu dan lain-lain. “Marilah berangkat!”

Bab 92. Terkurung di Siau-lim-si

Lenghou-kongcu,” kata Tho-sit-sian, “tua bangka tadi bertanding pedang dengan kau, kenapa belum jelas kalah atau menang sudah diakhiri?”
Pertandingan tadi sesungguhnya memang belum berakhir dengan kalah dan menang. Soalnya si kakek menyadari tidak mampu mengalahkan Lenghou Tiong dan segera ia menyudahi pertandingan, sudah tentu orang-orang lain tidak tahu di mana letak seluk-beluk persoalannya.

Maka Lenghou Tiong menjawab, “Ilmu pedang locianpwe tadi sangat tinggi, kalau pertandingan itu diteruskan rasanya aku pun tak bisa mendapat keuntungan apa-apa, maka lebih baik dihentikan saja.”

“Lenghou-kongcu, bodohlah kau kalau begitu,” ujar Tho-sit-sian. “Jika belum dapat ditentukan kalah dan menang, bila pertarungan diteruskan akhirnya kau pasti menang.”

“Haha, juga belum tentu,” sahut Lenghou Tiong tertawa.

“Kenapa belum tentu?” Tho-sit-sian ngotot. “Umur tua bangka itu jauh lebih tua daripadamu, tenaganya dengan sendirinya tidak mampu menandingi kau. Jika pertandingan dilanjutkan, lama-lama pasti kau akan berada di atas angin.”

Dalam hati Lenghou Tiong mengakui akan kebenaran ucapan Tho-sit-sian yang kelihatannya ngawur, tapi cukup beralasan.

Belum dia menanggapi, tiba-tiba Tho-kin-sian menyela, “Mengapa usianya lebih tua lantas tenaganya pasti kalah kuat?”

Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli. Ia tahu di antaranya Tho-kok-lak-sian itu, Tho-kin-sian adalah toako, sudah tentu tidak terima dikatakan lebih tua umurnya lebih lemah pula tenaganya.

Tho-kan-sian juga lantas menimbrung, “Tidak tepat! Jika umur lebih sedikit dan tenaga semakin besar, maka anak umur tiga kan jauh lebih kuat dari kita?”

Begitulah Tho-kok-lak-sian terus mengoceh tak keruan.

Rombongan besar mereka melanjutkan perjalanan menuju ke utara, sampai di wilayah Holam, mendadak dari timur dan barat datang bergabung pula dua rombongan besar sehingga jumlah mereka seluruhnya sudah lebih empat ribu orang.

Sudah tentu semakin besar semakin sukar pula cara pengurusan mereka, terutama dalam hal perbekalan. Soal tempat tidur sih tidak sukar, tak peduli tanah pegunungan atau hutan belukar mereka dapat merebah dan molor sesukanya, tapi mengenai hal makan minum inilah soal sulit. Selama beberapa hari mereka benar-benar telah menyapu bersih segala makanan dan minuman restoran atau rumah makan sepanjang jalan yang mereka lalui, bahkan tidak sedikit yang porak-poranda diubrak-abrik mereka.

Maklumlah, mereka adalah orang-orang gabungan dari macam-macam golongan dan lapisan, biasanya mereka suka makan minum sepuasnya, sekarang mereka makan tidak kenyang, minum kepalang tanggung, keruan ada yang naik pitam dan yang sial adalah rumah-rumah makan yang dihancurkan mereka.

Lenghou Tiong menyadari juga akan tingkah laku kawan-kawannya yang banyak menimbulkan kerugian penduduk sepanjang jalan yang mereka lalui itu. Tapi ia pun memuji akan rasa setia kawan mereka. Jika Siau-lim-si nanti tidak mau membebaskan Ing-ing, maka pertarungan sengit pasti sukar dihindarkan dan apa yang akan terjadi tentu mengerikan.

Selama beberapa hari ini selalu diharapkan berita dari Ting-sian dan Ting-yat Suthay, bila berkat permohonan kedua suthay itu ketua Siau-lim-si sudi membebaskan Ing-ing, maka bencana banjir darah sekiranya dapat dihindari.

Akan tetapi kini tinggal tiga hari lagi sudah akan tiba tanggal 15 bulan 12, jarak dari Siau-lim-si juga tinggal seratusan li saja dan berita yang diharap-harapkan dari Ting-sian dan Ting-yat itu ternyata belum kunjung datang.

Gerakan mereka ke utara untuk menyerbu Siau-lim-si ini memangnya dilakukan secara terbuka dan secara besar-besaran, maka sudah diketahui secara meluas ke berbagai pelosok, namun pihak lawan ternyata tenang-tenang saja tidak memberi reaksi apa-apa, seakan-akan mereka sudah siap siaga tanpa gentar. Membicarakan hal ini, Lenghou Tiong, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain-lain juga merasa heran dan waswas.

Malam ini rombongan besar mereka berkemah di lapangan terbuka, sekeliling dipasang pos-pos peronda untuk menjaga kalau diserang musuh secara mendadak di waktu malam.

Hawa malam cukup dingin, angin meniup kencang, awan memenuhi angkasa seperti akan turun salju. Untuk menghangatkan badan, bergunduk-gunduk api unggun telah dinyalakan di sekitar mereka.

Dasar jago-jago Kangouw ini memang tidak punya disiplin, maklum gabungan mereka itu terjadi secara kebetulan dan secara mendadak tanpa teratur, maka di mana mereka berada suasana juga menjadi gaduh, ada yang menyanyi dan bertengkar, ada yang mengasah senjata dan bertanding gulat segala, ributnya tidak kepalang.

Lenghou Tiong berpikir sendiri, “Paling baik kalau orang-orang banyak ini jangan sampai ikut pergi ke Siau-lim-si. Kenapa aku sendiri tidak mendahului pergi memohon kepada Hong-ting dan Hong-sing Taysu agar sudi membebaskan Ing-ing? Jika hal ini bisa terlaksana kan jauh lebih menggembirakan daripada mesti terjadi huru-hara?”

Tapi lantas terpikir pula, “Bila padri-padri Siau-lim-si itu meluluskan permintaanku, mungkin aku akan ditawan dan dibunuh. Kematianku tidak perlu disayangkan, namun kawan-kawan ini menjadi kehilangan pimpinan dan pasti akan terjadi kekacauan, bukan mustahil Ing-ing tidak berhasil diselamatkan, sebaliknya beribu kawan ini akan binasa semua di Siau-sit-san. Mana boleh aku bertindak menuruti hawa nafsu sendiri sehingga membikin susah orang banyak?”

Ia berbangkit, dilihatnya bara api unggun berkobar-kobar dikelilingi oleh berpuluh-puluh orang setiap gundukan. Pikirnya kemudian, “Mereka setia kepada Ing-ing, aku juga harus setia kepada mereka.”

Dua hari kemudian, sampailah barisan mereka di luar Siau-lim-si di atas Siau-sit-san, jumlah mereka sekarang sedikitnya ada enam atau tujuh ribu orang sesudah bergabung lagi beberapa rombongan, tokoh-tokoh yang pernah berkumpul di Ngo-pah-kang dahulu seperti Ui Pek-liu, Na Hong-hong, dan lain-lain semuanya juga datang, banyak pula jago-jago yang belum dikenal oleh Lenghou Tiong. Beribu-ribu tambur dibunyikan serentak, suaranya benar-benar menggetar bumi.

Meski tambur mereka dipukul sedemikian keras dan gemuruh, tapi sampai sekian lamanya masih tidak tampak seorang padri Siau-lim-si yang keluar.

“Berhenti!” Lenghou Tiong memerintahkan bunyi tambur dihentikan, secara berturut-turut perintah itu diteruskan, suara tambur menjadi makin perlahan dan akhirnya berhenti semuanya.

Segera Lenghou Tiong berseru lantang ke arah Siau-lim-si, “Wanpwe Lenghou Tiong bersama para kawan Kangouw datang kemari untuk menemui Hongtiang Taysu Siau-lim-si. Mohon sudi menerima kunjungan kami ini.”

Suara Lenghou Tiong itu dikumandangkan dengan tenaga yang mahakuat sekali, di tempat beberapa li jauhnya cukup terdengar. Bila Hong-ting Taysu berada di dalam kuilnya seharusnya dia pun mendengar.

Namun kuil agung itu tetap sunyi senyap tanpa jawaban sedikit pun. Lenghou Tiong mengulangi teriakannya lagi sekali dan tetap tiada jawaban apa-apa.

“Silakan Coh-heng menyampaikan kartu kehormatan,” perintah Lenghou Tiong.

Coh Jian-jiu mengiakan dan melangkah pergi dengan membawa kotak berisi kartu nama Lenghou Tiong beserta gembong-gembong bawahannya itu. Sampai di depan pintu gerbang, Coh Jian-jiu mengetok beberapa kali, ternyata di dalam kuil tetap sunyi sepi, ia coba tolak daun pintu, ternyata pintu tidak dipalang dari dalam dan terus terbuka.

Waktu Coh Jian-jiu memandang ke dalam, keadaan tetap sunyi seperti rumah kosong saja. Ia tidak berani sembarangan masuk, segera putar balik memberi lapor kepada Lenghou Tiong.

Mesti tinggi ilmu silatnya, namun dalam hal pengalaman orang hidup boleh dikata masih cetek bagi Lenghou Tiong, lebih-lebih dia pun tidak punya bakat memimpin orang sebanyak itu. Keruan ia menjadi bingung juga menghadapi keadaan yang sama sekali di luar dugaan itu.

“Hwesio-hwesio di dalam kuil itu agaknya sudah lari semua?” kata Tho-kin-sian. “Marilah kita lekas menyerbu ke dalam, setiap kepala gundul yang kita ketemukan lantas kita bunuh.”

“Kau bilang hwesio-hwesio itu sudah lari semua, dari mana ada lagi kepala gundul yang bisa kau bunuh?” kata Tho-kan-sian.

“Nikoh kan juga kepala gundul?” sahut Tho-kin-sian.

“Di kuil kaum hwesio mana ada nikoh?” sela Tho-hoa-sian.
“Marilah kita coba lihat-lihat ke dalam,” ajak Keh Bu-si.

“Baik,” kata Lenghou Tiong. “Harap Keh-heng, Lo-heng, Coh-heng, dan Ui-pangcu berempat mengiringi Cayhe masuk ke sana. Harap sampaikan perintah agar anak buah masing-masing diawasi, tanpa perintahku lebih lanjut siapa pun dilarang bertindak sendiri-sendiri, tidak boleh berbuat kasar terhadap padri Siau-lim-si, dilarang juga mengganggu setiap benda di atas Siau-sit-san ini.”

“Apakah kentut juga tidak boleh?” tanya Tho-ki-sian.

Lenghou Tiong tidak gubris padanya, yang dia khawatirkan justru keadaan Ing-ing yang tidak diketahui itu. Dengan langkah lebar segera ia menuju ke dalam kuil dengan diikuti oleh Keh Bu-si berempat.

Sesudah masuk pintu gerbang dan menaiki undak-undakan batu, lewat ruangan pendopo depan, sampailah di Tay-hiong-po-tian. Kelihatan patung Buddha yang angker di tengah ruangan, tapi lantai dan meja tampak penuh berdebu.
“Apakah benar-benar para padri di sini telah lari semua?” ujar Coh Jian-jiu.

“Janganlah Coh-heng mengatakan mereka ‘lari’,” ujar Lenghou Tiong.

Mereka coba berhenti dan menahan napas untuk mendengarkan dengan cermat, tapi yang terdengar hanya suara riuh ramai di luar, di dalam kuil benar-benar tiada suara sedikit pun.

“Kita harus waspada akan kemungkinan dijebak oleh perangkap yang dipasang padri-padri Siau-lim-si ini,” bisik Keh Bu-si.

Namun Lenghou Tiong tidak sependapat, ia anggap Hong-ting Taysu adalah padri yang saleh, mana dia mau memakai cara-cara licik. Cuma menghadapi serangan orang banyak dari macam-macam golongan liar itu bukan mustahil pihak Siau-lim-si sengaja menggunakan akal dan tidak mau mengadu kekuatan.

Menghadapi Siau-lim-si sebesar itu tanpa seorang penghuni, lapat-lapat Lenghou Tiong merasakan kekhawatiran yang tak terkatakan, entah bagaimana nasib Ing-ing pada saat itu.

Dengan penuh waspada mereka berlima terus memeriksa ke bagian dalam. Sesudah menyusuri pekarangan tengah, sampailah mereka di ruangan belakang. Sekonyong-konyong Lenghou Tiong dan Keh Bu-si berhenti dan memberi isyarat. Serentak Lo Thau-cu bertiga juga lantas berhenti.

Lenghou Tiong menuding sebuah kamar samping di sebelah kiri sana, lalu mendekatinya dengan perlahan-lahan.
Lo Thau-cu dan lain-lain ikut maju ke sana. Maka terdengarlah suara rintihan orang yang amat lirih.

Lebih dulu Lenghou Tiong menyiapkan pedang di tangan, lalu pintu kamar itu ditolak, berbareng ia menggeser ke samping untuk menjaga diserang dari dalam dengan senjata rahasia.
Terdengar suara kerutan daun pintu yang terpentang itu, lalu dari dalam kamar terdengar lagi suara orang merintih perlahan.

Waktu Lenghou Tiong melongok ke dalam, ia menjadi kaget. Ternyata dua orang nikoh tua menggeletak di lantai, seorang menghadap ke luar dan dikenalnya sebagai Ting-yat Suthay. Wajah nikoh tua itu tampak pucat pasi, kedua matanya terkatup rapat, agaknya sudah tak bernyawa lagi.

Tanpa pikir Lenghou Tiong terus menerobos ke dalam. “Awas, Bengcu!” seru Coh Jian-jiu. Menyusul ia pun melangkah ke dalam.

Lenghou Tiong mengitar dua sosok tubuh yang menggeletak di lantai itu, waktu ia periksa lagi nikoh yang lain, memang benar ketua Hing-san-pay Ting-sian Suthay adanya.

“Ting-sian Suthay! Ting-sian Suthay!” seru Lenghou Tiong sambil berjongkok.

Perlahan-lahan Ting-sian Suthay membuka matanya, semula sinar matanya guram, tapi lambat laun mulai terang dan terkilas rasa girang, bibirnya tampak bergerak-gerak, namun sukar mengeluarkan suara.

“Wanpwe Lenghou Tiong,” demikian Lenghou Tiong berjongkok lebih dekat.

Bibir Ting-sian tampak bergerak-gerak lagi, akhirnya tercetus beberapa kata yang amat lemah dan hampir-hampir tak terdengar, sayup-sayup Lenghou Tiong hanya dengar kata-kata, “Kau ... kau ....”

Bingung juga Lenghou Tiong, terutama melihat keadaan ketua Hing-san-pay yang sudah sangat payah itu.

Sejenak kemudian, sekuat tenaga Ting-sian Suthay mengeluarkan kata-kata, “Kau ... kau berjanjilah padaku ....”

Cepat Lenghou Tiong menjawab, “Baik, baik.
Apa pun pesan Suthay, sekalipun hancur lebur badanku ini juga akan kulakukan.”

Teringat bahwa Ting-sian dan Ting-yat berdua datang ke Siau-lim-si demi untuk kepentingannya dan sekarang keduanya ternyata tewas semua di sini, tanpa terasa air mata Lenghou Tiong ikut berlinang-linang.

“Kau ... kau pasti menyanggupi ... menyanggupi aku?” Ting-sian berdesis pula dengan lemah.

“Ya, pasti,” sahut Lenghou Tiong tanpa ragu-ragu.

Sinar mata Ting-sian terkilas rasa girang pula, lalu katanya dengan sangat lirih, “Kau ... kau menyanggupi menge ... mengetuai Hing-san-pay ....” habis bicara ini napasnya sudah hampir-hampir putus.

Keruan Lenghou Tiong kaget, cepat ia menjawab, “Tapi Wanpwe adalah orang lelaki, mana boleh menjadi ketua Hing-san-pay kalian? Cuma Suthay jangan khawatir, tak peduli ada urusan atau kesulitan apa yang menyangkut golongan kalian tentu akan kubela sekuat tenaga.”

Perlahan-lahan Ting-sian Suthay menggeleng kepala, katanya, “Ti ... tidak. Aku ... aku mengangkat kau men ... menjadi ciangbunjin ...
Ciangbunjin Hing-san-pay, jika ... jika kau menolak, mati ... mati pun aku tidak rela.”

Keruan Lenghou Tiong menjadi bingung dan serbasusah, mustahil dirinya sebagai seorang laki-laki, apalagi pemuda, disuruh menjadi ketua Hing-san-pay yang anak buahnya terdiri dari kaum nikoh dan seluruhnya wanita melulu. Namun jiwa Ting-sian Suthay jelas tinggal sekejap saja, mendadak darahnya menggelora, tanpa pikir lagi ia menjawab, “Baik, Wanpwe menerima permintaan Suthay.”

Maka tersenyumlah Ting-sian Suthay, katanya lirih, “Teri ... terima kasih! Nasib beberapa ratus murid Hing ... Hing-san-pay selanjutnya mesti mem ... membikin susah padamu.”

“Kenapa pihak Siau-lim-si tidak kenal persahabatan dan tega turun tangan keji terhadap kedua Suthay, Wanpwe ....” tapi sampai di sini saja ucapan Lenghou Tiong ketika dilihatnya Ting-sian Suthay telah pejamkan mata, kepalanya miring ke sebelah, lalu tidak bergerak lagi.

Terkejut juga Lenghou Tiong, cepat ia memeriksa napas nikoh tua itu, ternyata sudah meninggal. Sungguh tak terkatakan rasa dukanya, ia coba pegang pula tangan Ting-yat Suthay, ternyata sudah dingin, terang meninggalnya jauh lebih dulu. Dasar watak Lenghou Tiong memang keras di luar lunak di dalam, tak tertahan lagi ia menangis sedih.
“Lenghou-kongcu, kita harus membalas sakit hati kedua suthay,” kata Lo Thau-cu. “Kepala gundul Siau-lim-si ini telah lari bersih, marilah kita bakar ludes saja kuil ini.”

Terdorong oleh rasa gusar, tanpa pikir Lenghou Tiong lantas menjawab, “Benar! Bakar saja Siau-lim-si ini menjadi puing!”

“Jangan, jangan!” cepat Keh Bu-si mencegah.
“Kita belum menemukan Seng-koh, bila Seng-koh masih terkurung di dalam kuil ini kan beliau akan ikut terbakar?”

Seketika Lenghou Tiong sadar dan mengeluarkan keringat dingin, katanya, “Ya, aku memang bodoh dan kasar, jika tidak diperingatkan Keh-heng tentu urusan bisa runyam. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Kompleks Siau-lim-si ini terdiri dari beratus-ratus ruangan, kalau cuma kita berlima saja sukar menyelidikinya secara merata, maka mohon Bengcu memberi perintah untuk memanggil 200 saudara kita masuk ke sini untuk ikut menggeledah.”
“Baiklah, silakan Keh-heng menyampaikan perintahku itu,” kata Lenghou Tiong.

Keh Bu-si mengiakan terus melangkah keluar. “Jangan sekali-kali mengizinkan Tho-kok-lak-sian ikut masuk,” seru Coh Jian-jiu.

Segera Lenghou Tiong mengusung jenazah-jenazah kedua suthay dan ditaruh di atas dipan semadi. Ia menjura beberapa kali sambil berdoa di dalam hati, “Tecu pasti akan berusaha sepenuh tenaga untuk membalas sakit hati kedua Suthay dan mengembangkan Hing-san-pay, semoga arwah kedua Suthay melindungi Tecu.”

Lalu ia berbangkit untuk memeriksa bekas-bekas luka di atas jenazah kedua suthay itu, namun tidak tampak sesuatu luka apa pun, juga tiada noda darah. Hanya ia tidak leluasa membuka baju suthay-suthay itu, ia menduga pasti terkena pukulan musuh yang dahsyat dan meninggal karena luka dalam yang parah.

Dalam pada itu terdengarlah suara ramai orang mendatangi, ke-200 orang telah membanjir masuk ke Siau-lim-si terus menggeledah ke segala pelosok.

Tiba-tiba terdengar orang berseru di luar, “Lenghou Tiong melarang kita masuk, kita justru mau masuk, coba dia bisa berbuat apa?”

Itulah suaranya Tho-ki-sian. Keruan Lenghou Tiong mengerut dahi, tapi pura-pura tidak mendengar.

Terdengar lagi Tho-kan-sian berkata, “Sampai di Siau-lim-si yang termasyhur, kalau kita tidak melihat-lihatnya ke dalam kan penasaran?”

“Dan kalau sudah masuk, tanpa menemui hwesio Siau-lim-si yang terkenal kan lebih-lebih penasaran?” timbrung Tho-hoa-sian.

“Dan kalau sudah bertemu hwesio Siau-lim-si, bila tidak ukur-ukur ilmu silat dengan hwesio yang tersohor di seluruh jagat itu kan lebih-lebih amat penasaran?” sambung Tho-ki-sian.

Begitulah terdengar keenam orang dungu itu mengoceh tak keruan sembari menuju ke ruangan belakang.

Lenghou Tiong berlima lantas keluar dari kamar samping itu, pintu kamar itu mereka rapatkan sekalian. Terlihat para jago berseliweran kian-kemari menggeledahi segenap sudut Siau-lim-si itu. Tidak lama kemudian susul-menyusul orang-orang itu datang melapor bahwa tidak ditemukan seorang hwesio pun, bahkan tukang kebun, tukang kayu, dan sebagainya juga tidak ditemukan seorang pun. Lalu ada yang memberi laporan bahwa segala isi di dalam kuil, baik kitab-kitab maupun alat perabot sudah disingkirkan semua, bahkan mangkuk piring juga tiada sebuah pun.

Menyusul laporan datang lagi, katanya di dalam kuil tak tertinggal sebutir beras, garam, dan setetes minyak pun, semuanya kosong melompong, sampai-sampai sayur yang biasanya ditanam di kebun juga sudah dibabat bersih.

Setiap kali dapat laporan, perasaan Lenghou Tiong setiap kali tambah cemas. Pikirnya, “Sedemikian rapi cara mengatur padri-padri Siau-lim-si ini, sampai-sampai sayur juga tidak ditinggalkan satu tangkai pun, maka jelas sudah lama mengetahui akan kedatanganku dan tentu Ing-ing telah dipindahkan ke tempat lain. Dunia seluas ini, lalu ke mana harus mencarinya?”

Satu-dua jam kemudian, ke-200 orang tadi sudah memeriksa semua tempat kuil itu, bahkan satu lubang pun tidak luput dari pemeriksaan mereka, namun tetap tidak ditemukan suatu benda apa pun.

Ada juga yang senang dan berkata, “Siau-lim-pay adalah aliran nomor satu dunia persilatan, tapi demi mendengar akan kedatangan kita mereka lantas lari terbirit-birit dan menghilang tak keruan juntrungannya, ini benar-benar peristiwa yang belum pernah terjadi selama sejarah Siau-lim-pay.”

“Sekali bergerak saja kita telah memperlihatkan kekuatan kita yang demikian hebatnya, sampai-sampai Siau-lim-pay juga ketakutan, maka sejak kini orang bu-lim mana pun tidak berani memandang enteng lagi kepada kita,” ujar yang lain.

“Memang hebat dan gagah juga kita dapat bikin hwesio Siau-lim-si lari ketakutan, akan tetapi bagaimana dengan Seng-koh? Di mana beliau sekarang? Kedatangan kita ini kan untuk menyambut pulangnya Seng-koh dan bukan untuk mengusir hwesio,” demikian kata yang lain lagi.

Mendengar ucapan orang ini, semua orang menjadi lesu, beramai-ramai mereka memandang Lenghou Tiong untuk menantikan petunjuknya.

“Hal ini benar-benar di luar dugaan,” kata Lenghou Tiong, “siapa pun tidak tahu bahwa padri-padri Siau-lim-si di sini ternyata rela meninggalkan kuilnya.
Cara bagaimana kita harus bertindak sekarang, sesungguhnya aku pun merasa bingung. Pikiran seorang cekak, pikir dua orang panjang, maka diharapkan usul-usul dan pendapat-pendapat dari kalian semua.”

“Menurut pendapat Siokhe (hamba), menemukan Seng-koh lebih sukar daripada mencari padri-padri Siau-lim-si,” demikian Ui Pek-liu membuka suara pertama. “Padri-padri Siau-lim-si berjumlah ribuan, orang sebanyak ini tentu tidak dapat bersembunyi selamanya tanpa muncul di depan umum.
Asalkan kita dapat menemukan hwesio Siau-lim-si tentu kita dapat memaksa mereka mengakui di mana beradanya Seng-koh.”

“Benar juga ucapan Ui-heng,” kata Coh Jian-jiu. “Marilah kita tinggal saja di Siau-lim-si ini, mustahil anak murid Siau-lim-pay rela meninggalkan kuilnya yang sudah bersejarah ribuan tahun ini dan membiarkan orang lain mendudukinya? Asalkan mereka datang buat merebut kembali kuil ini tentu kita dapat mencari tahu kepada mereka di mana Seng-koh berada.”
“Mencari tahu di mana beradanya Seng-koh kepada mereka? Mana mereka mau mengatakan?” ujar seorang.

“Mencari tahu kepada mereka kan cuma kata-kata halusnya, yang tegas adalah paksa mereka mengaku,” sela Lo Thau-cu. “Sebab itu, bila kita ketemu padri Siau-lim-pay, kita harus menawannya hidup-hidup dan jangan membunuhnya. Jika kita dapat menawan sepuluh atau dua puluh hwesio mereka, memangnya mereka tidak takut mati dan berani tidak mengaku?”

“Tapi kalau hwesio-hwesio itu benar-benar kepala batu dan tidak mau mengaku, lalu bagaimana?” tanya seorang lagi.

“Apa susahnya?” sahut Lo Thau-cu. “Kita bisa minta Na-kaucu melepaskan beberapa ekor naga sakti dan makhluk sakti lainnya di atas tubuh mereka, coba saja mereka tahan tidak?”

Semua orang sama mengangguk setuju. Mereka tahu “naga sakti dan makhluk-makhluk sakti lain” yang dimaksudkan itu adalah ular berbisa dan serangga-serangga beracun lain yang dipiara Na Hong-hong, itu wanita ketua Ngo-tok-kau yang terkenal. Gigitan makhluk berbisa itu jauh lebih menderita daripada disiksa dengan alat apa pun juga.

Terlihat Na Hong-hong hanya tersenyum saja, katanya, “Hwesio-hwesio Siau-lim-pay sudah gemblengan, mungkin sekali mereka sukar ditaklukkan dengan naga sakti dan sebagainya piaraanku.”

Di dalam hati Lenghou Tiong menganggap tidaklah perlu cara menyiksa secara keji begitu. Cukup asalkan dapat menawan padri-padri Siau-lim-si sebanyak mungkin, lalu dipakai sebagai barang tukar, rasanya Ing-ing akhirnya dapat dibebaskan.

Dalam pada itu terdengar teriakan seorang yang bersuara nyaring, “Wah, sudah hampir seharian tidak makan minum, aku menjadi kelaparan setengah mati. Celakanya di dalam kuil ini tiada hwesio seekor pun, kalau ada, wah, daging hwesio panggang yang gemuk lagi putih itu tentu enak.”

Yang bicara ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, ialah si gede Pek-him (Beruang Putih), satu di antara “Boh-pak-siang-him” (Dua Beruang dari Gurun Utara).

Para jago kenal Pek-him dan pasangannya si Oh-him (Beruang Hitam) adalah manusia-manusia yang gemar makan daging manusia, meski kedengaran ngeri dan seram, tapi mereka memang juga merasa lapar dan haus setelah beberapa jam berada di Siau-lim-si tanpa makan minum.

“Rupanya Siau-lim-pay sengaja menggunakan politik ‘sapu bersih’, mereka sengaja membikin kita tidak sanggup bercokol terus di sini sehingga terpaksa pergi lagi, tapi di dunia mana ada persoalan yang begini sederhana,” ujar Ui Pek-liu.

“Betul,” kata Lenghou Tiong. “Apakah Ui-pangcu ada pendapat-pendapat atau saran-saran yang baik?”

“Kukira kita bisa mengirim saudara-saudara kita ke bawah gunung untuk mencari berita ke mana menghilangnya hwesio-hwesio Siau-lim-si ini,” kata Ui Pek-liu. “Lalu kita dapat mengirim orang pula pergi belanja bahan makanan, kawan-kawan yang lain biarlah ikut berjaga di sini untuk menunggu kawanan hwesio itu masuk perangkap sendiri.”

“Boleh juga usul Ui-pangcu,” ujar Lenghou Tiong. “Sekarang juga silakan Ui-pangcu menyampaikan perintah, kirimlah 500 saudara-saudara yang sudah terlatih dan berpengalaman, sebar luaskan di seluruh Kangouw untuk mencari jejak padri-padri Siau-lim-si itu. Tentang persediaan perbekalan dan lain-lain juga kuserahkan Ui-pangcu untuk mengaturnya.”

Ui Pek-liu mengiakan dan melangkah ke luar.

“Hendaklah Ui-pangcu bekerja cepat, kalau tidak, saking laparnya, segala apa dapat dimakan oleh kedua saudara kita Pek-him dan Oh-him,” kata Na Hong-hong dengan tertawa.

“Jangan khawatir,” sahut Ui Pek-liu sambil menoleh. “Biarpun perut Boh-pak-siang-him sudah berkeroncongan juga tidak nanti berani mengganggu seujung jari Na-kaucu.”

Melihat ke-200 orang yang menggeledah Siau-lim-si sudah kumpul kembali, Coh Jian-jiu berkata, “Kuil ini sudah tiada penghuninya lagi, sekarang diharap Saudara-saudara buang sedikit tenaga lagi, silakan periksa ke segala sudut, coba lihatlah kalau-kalau ada sesuatu tanda yang aneh, bisa jadi nanti akan menemukan sesuatu jejak yang menarik.”

Ke-200 orang itu mengiakan serentak dan beramai-ramai pergi memeriksa. Sekali ini bukan manusia yang mereka cari, tapi mencari sesuatu benda atau tempat yang ada tanda-tanda mencurigakan, maka sibuklah mereka, ada yang gali tanah, ada yang cungkil jubin, hampir saja dinding juga mereka bongkar, hanya patung-patung Buddha saja tidak mereka sentuh.

Lenghou Tiong duduk di atas sebuah kasuran semadi di tengah Tay-hiong-po-tian yang megah itu, dilihatnya patung Buddha dengan wajah yang angker dan menampilkan perasaan penuh welas asih. Ia berpikir, “Hong-ting Taysu benar-benar seorang padri saleh, ia mengetahui kedatangan kami secara besar-besaran, ia lebih suka mengorbankan nama baik Siau-lim-pay dan tidak mau menyambut pertempuran dengan kami, akhirnya bencana pembunuhan besar-besaran ini dapat terhindar. Tapi mengapa mereka membunuh Ting-sian dan Ting-yat Suthay? Tampaknya yang membunuh kedua suthay ini adalah padri murtad kuil ini dan bukan kehendak Hong-ting Taysu. Ya, aku harus maklum akan maksud baik Hong-ting Taysu dan tidak mengerahkan orang banyak untuk pergi mencari padri-padri Siau-lim-pay dan mempersulit mereka, tapi harus berdaya dengan jalan lain untuk menyelamatkan Ing-ing.”

Sekonyong-konyong angin meniup masuk dengan kencang sehingga debu dupa bertebaran, Lenghou Tiong melangkah ke depan ruangan, dilihatnya awan tebal memenuhi udara, angin utara meniup kencang, ia pikir sebentar lagi tentu akan turun salju lebat.

Baru terkilas pikiran demikian, benar juga dari langit sudah mulai mengambang turun bunga salju, pikirnya pula, “Hawa sedingin ini, entah Ing-ing memakai baju hangat atau tidak? Siau-lim-pay mempunyai orang yang banyak dan besar kekuatannya, pengaturan mereka pun begini rapi, sebaliknya rombonganku ini adalah kumpulan dari orang-orang pribadi yang gagah melulu, untuk bisa menolong keluar Ing-ing rasanya teramat sukar.”

Ia berjalan mondar-mandir di serambi depan, bunga salju yang bertebaran di atas kepalanya, mukanya, dan tangannya dengan cepat lantas cair. Ia pikir sebelum mengembuskan napas penghabisan, meski lukanya sangat parah, tapi pikiran Ting-sian Suthay masih cukup jernih, sedikit pun tidak kelihatan kurang sadar, tapi mengapa dia mengharuskan aku menjabat ketua Hing-san-paynya? Padahal Hing-san-pay terdiri dari kaum wanita seluruhnya tanpa seorang laki-laki pun, hal ini sudah turun-temurun sejak dahulu kala, setiap pejabat ketuanya juga nikoh, seorang laki-laki seperti aku mana boleh menjadi ketua Hing-san-pay mereka? Kalau hal ini tersiar bukanlah akan ditertawai oleh orang-orang Kangouw? Tapi, ai, aku sudah menyanggupi beliau, aku tidak boleh ingkar janji. Ya, asalkan aku berbuat menurut aturan yang lurus, peduli apa dengan tertawa orang lain. Selamanya kaisar juga dijabat oleh kaum lelaki, tapi ketika Bu Cek-thian ingin menjadi kaisar, bukankah juga sudah jadi, padahal dia wanita.

Berpikir sampai di sini, seketika semangat keperwiraannya bergolak.

Pada saat itu pula tiba-tiba dari pinggang gunung sana sayup-sayup terdengar suara orang menjerit-jerit, tidak lama kemudian terdengarlah suara berisik di luar Siau-lim-si.

Dengan perasaan khawatir Lenghou Tiong berlari ke luar, dilihatnya Ui Pek-liu sedang berlari kembali dengan badan berlumuran darah. Pundaknya tampak menancap sebatang panah.

“Beng ... Bengcu, musuh telah menutup jalan turun ke bawah gunung, sekali ini kita ... kita benar-benar masuk jaring sendiri,” seru Ui Pek-liu dengan suara terputus-putus.

“Apakah padri-padri Siau-lim-pay?” tanya Lenghou Tiong khawatir.

“Bukan hwesio, tapi orang preman biasa,” sahut Ui Pek-liu. “Neneknya, belum ada satu-dua li kami turun ke sana sudah lantas disambut dengan hujan anak panah, belasan saudara kita tewas, yang terluka sedikitnya ada beberapa puluh orang.”

Sementara itu beberapa ratus orang yang diutus turun gunung bersama Ui Pek-liu juga sudah berlari kembali dalam keadaan morat-marit, yang terkena panah memang benar tidak sedikit. Seketika di luar kuil itu menjadi kacau, para jago yang gusar itu bermaksud menyerbu ke bawah gunung.

“Dari golongan apakah pihak musuh, apakah Ui-pangcu dapat membedakannya?” tanya Lenghou Tiong pula.

“Kami tidak sempat mendekati musuh dan sudah dihujani panah sehingga bagaimana corak anak kura-kura itu sama sekali tidak tahu,” tutur Ui Pek-liu.

“Agaknya Siau-lim-pay sengaja memasang perangkap untuk menjebak kita, mereka menggunakan tipu ‘menangkap bulus di dalam guci’,” kata Coh Jian-jiu.

“Menangkap bulus di dalam guci apa? Kata-katamu ini kan lebih membesarkan kehebatan musuh dan menilai rendah pihak sendiri,” bantah Lo Thau-cu. “Kalau mau katakan tipu musuh itu paling-paling dapat disebut ‘memancing harimau masuk ke sarangnya’.”

“Baiklah, anggap benar tipu ‘memancing harimau masuk sarang’, dan sekarang harimau-harimau kita ini pun sudah masuk sarangnya, lalu apa mau dikata? Barangkali kawanan kepala gundul itu hendak membikin kita mati kelaparan di atas Siau-sit-san sini?” ujar Coh Jian-jiu.

“Masakah kita terima mati kelaparan di sini?” teriak Pek-him, Si Beruang Putih yang gemar daging manusia itu. “Hayolah, siapa yang berani ikut aku menerjang ke bawah?”

Serentak ada ribuan orang bersorak gemuruh menyokong dia.

Bab 93. Setia Kawan Sejati

Nanti dulu!” cepat Lenghou Tiong mencegah. “Panah musuh terlalu lihai, kita harus mencari jalan yang baik untuk menghadapi mereka agar tidak jatuh korban cuma-cuma.”

“Cayhe ada suatu usul,” sela Keh Bu-si. “Di dalam kuil ini tiada terdapat benda apa-apa, tapi poh-toan (bantal bundar untuk duduk semadi) ada beberapa ribu biji, kita kan dapat manfaatkan benda ini?”

Kata-kata ini menyadarkan orang banyak, serentak mereka berseru, “Benar dapat kita gunakan sebagai perisai, memang sangat tepat dijadikan tameng.”

Seketika ada beberapa ratus orang menerobos ke dalam Siau-lim-si dan mengusung keluar bantal-bantal itu.

“Gunakan bantal ini sebagai tameng, marilah kita menerjang ke bawah,” seru Lenghou Tiong.

“Bengcu, sesudah itu di mana lagi kita harus berkumpul dan bagaimana tindakan kita selanjutnya, terutama cara bagaimana harus berdaya menolong Seng-koh, untuk itu sekarang juga mesti diatur lebih dulu,” kata Keh Bu-si.

“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Aku memang bodoh, segala urusan tak bisa mengatur, mana aku bisa menjadi bengcu. Kupikir sesudah menerjang ke luar kepungan musuh, untuk sementara kita pencarkan diri saja ke tempat masing-masing dan berusaha sendiri-sendiri mencari tahu di mana beradanya Seng-koh, lalu saling memberi kabar, kemudian dapat kita atur tindakan selanjutnya.”

“Baiklah, terpaksa harus demikian,” kata Keh Bu-si. Segera ia meneruskan garis besar keputusan Lenghou Tiong itu.

“Dan cara bagaimana kita harus menyerbu ke bawah, silakan Keh-heng mengatur sekalian,” kata Lenghou Tiong lebih jauh.

Melihat Lenghou Tiong benar-benar tidak punya bakat pimpinan, terutama pada saat gawat menghadapi musuh demikian, maka Keh Bu-si juga tidak sungkan-sungkan lagi, segera ia berseru lantang, “Dengarkan para kawan, Bengcu memerintahkan agar kawan-kawan membagi diri dalam delapan jurusan dan menerjang ke bawah serentak. Yang kita harapkan hanya menerjang ke luar kepungan musuh dan tidak perlu banyak membunuh.”

Begitulah pembagian-pembagian kelompok ke delapan jurusan itu lantas dilakukan, sesudah ditentukan pula jurusan masing-masing yang terdiri hampir ribuan orang, lalu Lenghou Tiong berkata, “Jurusan selatan adalah jalan besar, tentu pula paling banyak dan paling kuat dijaga oleh musuh. Marilah Coh-heng, Lo-heng, Keh-heng, kita mendahului menerjang dari jalan utama ini untuk memengaruhi perhatian musuh, dengan demikian kawan-kawan yang lain akan lebih leluasa menyerbu ke jurusan lain.”

Setelah mengatur seperlunya, segera Lenghou Tiong menghunus pedang, tanpa membawa tameng apa-apa ia terus bertindak ke bawah gunung dengan langkah lebar.
Rombongannya diikuti oleh Keh Bu-si, Na Hong-hong, dan lain-lain.

Melihat sang bengcu mendahului menerjang ke bawah, semua orang menjadi berani, mereka berteriak-teriak dan beramai-ramai menerjang ke bawah dari delapan jurusan. Sudah tentu pegunungan itu tiada delapan jalur jalan, ketika menyerbu maju mula-mula mereka terbagi dalam delapan barisan, tapi setelah bergerak seluruh gunung menjadi penuh dengan orang tanpa teratur lagi.
Lenghou Tiong berlari satu-dua li ke bawah lantas disambut dengan serangan. Mula-mula terdengar suara gembreng berbunyi, menyusul dari hutan di depan berhamburan anak panah bagai hujan. Namun ia sudah siap siaga, ia mainkan “Boh-gi-sik” dari Tokko-kiu-kiam yang lihai, yaitu cara memunahkan serangan senjata rahasia, pedangnya berputar cepat, semua anak panah yang menyambar tiba kena disampuk atau ditangkis jatuh, kakinya tidak pernah berhenti, ia terus menerjang ke depan.

Sekonyong-konyong terdengar seorang menjerit di belakangnya, rupanya kaki kiri dan dada kanan Na Hong-hong berbareng terkena panah dan roboh. Lekas-lekas Lenghou Tiong putar balik dan memayangnya bangun, katanya, “Kulindungi kau ke bawah!”

“Jangan kau urus diriku, kau sen ... diri menerjang ke bawah saja!” sahut Na Hong-hong. Sementara hujan panah masih terus berlangsung, tapi semuanya dapat ditangkis oleh pedang Lenghou Tiong.

Dengan tangan kiri merangkul pinggang Na Hong-hong segera Lenghou Tiong membawanya lari ke bawah gunung pula. Mendadak terdengar bentakan orang, berbareng macam-macam senjata menyerang dari kanan dan kiri.

Tanpa pikir Lenghou Tiong putar pedangnya, terdengar suara mendering nyaring berulang-ulang, tiga macam senjata musuh jatuh ke tanah, berbareng Lenghou Tiong telah menerjang belasan meter jauhnya ke bawah. Pada saat itulah terdengar sambaran angin, tiga tombak musuh menusuk lagi dari belakang dan samping.

Karena sebelah tangan merangkul tubuh Na Hong-hong, gerak-gerik Lenghou Tiong menjadi kurang leluasa, terpaksa ia menangkis lagi dengan pedang. Tiba-tiba terdengar seruan Lo Thau-cu di belakang, agaknya seperti terluka. Waktu Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya Keh Bu-si, Coh Jian-jiu sedang membalik ke atas untuk menolong Lo Thau-cu tentunya.

Seketika Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu apakah terus menerjang ke bawah atau kembali ke atas membantu teman-temannya itu. Saat itulah mendadak suara seorang perempuan membentaknya, “Lenghou Tiong, makin lama kelakuanmu makin tidak genah!”

Lenghou Tiong terkejut mengenali suara perempuan itu, cepat ia berpaling kembali dan benarlah, yang bersuara itu memang betul siausumoaynya, Gak Leng-sian. Wajah sumoay itu tampak membesi, di sebelahnya berdiri seorang pemuda cakap, siapa lagi kalau bukan Lim Peng-ci.

Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, segera tercetus dari mulutnya, “Siausumoay, kau sehat-sehat saja bukan? Lim-sute ternyata juga sudah baik.”

“Hm, siapa sudi menjadi sute dan sumoaymu?” jengek Gak Leng-sian. “Kau memimpin pasukan siluman ini menyerbu Siau-lim-si yang suci, apakah kau ini terhitung manusia?”

Dada Lenghou Tiong serasa digodam oleh cercaan Leng-sian itu, ia pikir urusan hari ini terang sukar dijelaskan, sebenarnya juga tidak perlu penjelasan, sebab dalam pandangan orang-orang Hoa-san-pay sekarang setiap perbuatannya sudah dianggap pasti salah.

Dalam pada itu Gak Leng-sian telah membentak lagi sambil mengacungkan pedangnya, “Lenghou Tiong, hari ini kawan-kawan dari aliran-aliran cing-pay sudah mengadakan pengepungan rapat terhadap Siau-sit-san ini, kalian kaum siluman ini satu pun jangan harap bisa lolos dengan hidup. Kau sendiri kalau ingin lari, lalui dulu rintanganku ini.”

Ketika Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya pengikut-pengikut di belakangnya hanya 50-60 orang saja, seluruh gunung bergemuruh dengan suara-suara pertempuran sengit, pihak lawan berombongan atau berkelompok dalam seragam tertentu, ada warna biru atau warna kuning, ada yang pakai tanda kain merah terbalut di lengan, barisan mereka teratur. Sebaliknya anak buah pihak sendiri adalah gabungan dari macam-macam gerombolan yang tidak kompak, masing-masing bertempur sendiri-sendiri, menerjang ke sana kemari semaunya, tidak perlu dipikir juga jelas terbayang pihak mana yang bakal menang atau kalah.

Sekilas terpikir dalam benak Lenghou Tiong, “Ternyata Siau-lim-si sudah menyiapkan pertahanan yang kuat dengan menghimpun tenaga dari berbagai golongan dan aliran, tujuannya tentu hendak mengurung dan menumpas kami di atas Siau-sit-san ini. Jika memang nasib sudah ditakdirkan demikian, biarlah aku mati bersama para kawan saja.”

Tapi lantas teringat olehnya, “Matiku tidak menjadi soal, tapi Ing-ing belum lagi diselamatkan, betapa pun aku harus berusaha menyelamatkan dulu Ing-ing yang belum diketahui di mana beradanya itu.”

Dalam pada itu suara pertempuran, suara menderingnya senjata, suara teriakan dan jeritan ngeri terdengar di mana-mana. Sambil mengertak gigi akhirnya Lenghou Tiong berkata, “Nona Gak, jika kau tetap merintangi aku terpaksa aku tidak sungkan-sungkan lagi.”

“Apakah kau benar-benar mau bergebrak dengan aku?” tanya Leng-sian dengan gusar.

“Aku hanya mau turun ke bawah dan tidak ingin bergebrak dengan kau,” sahut Lenghou Tiong.

“Tokoh-tokoh terkemuka Ko-san, Thay-san, Heng-san, dan Hoa-san-pay sudah datang semua, ditambah lagi jago-jago undangan Siau-lim-pay, sukarlah bagimu untuk lolos,” kata Leng-sian.
“Lebih baik kau menyerah saja, nanti akan kumintakan ampun kepada ayah ....”

Pada saat itulah tiba-tiba di belakang Leng-sian sana muncul seorang dan membentak dengan suara bengis, “Lenghou Tiong, tidak lekas buang senjatamu dan menyerah?”

Siapa lagi dia kalau bukan ketua Hoa-san-pay, Kun-cu-kiam Gak Put-kun.
Tergetar hati Lenghou Tiong melihat sang guru yang berwibawa itu, ia tidak berani bicara lagi. Sembari tetap merangkul tubuh Na Hong-hong segera ia putar tubuh bermaksud naik ke atas gunung lagi.

Mendadak Gak Put-kun menusuk dengan pedangnya ke punggung Lenghou Tiong. Tapi pemuda itu keburu mengerahkan tenaga dalam yang kuat dan melompat ke atas. Berulang-ulang Gak Put-kun menusuk tiga kali, ujung pedangnya selalu berjarak dua-tiga senti di punggung Lenghou Tiong.

Meski sebelah tangannya membawa Na Hong-hong, tapi tenaga dalam Lenghou Tiong sangat kuat sehingga Gak Put-kun tidak mampu mencandaknya.

Keruan Gak Put-kun menjadi gusar, ia menarik napas panjang-panjang dan mengerahkan Ci-he-sin-kang, tubuhnya mengapung ke atas, pedangnya sebagai kelebatan sinar kilat terus menusuk pula ke punggung Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong tidak ingin menangkis dengan pedang, ia pun mengerahkan tenaga murni dan meloncat tinggi ke atas, dirasakannya angin dingin sudah menyambar tiba di belakangnya, terkilas pikirannya, “Entah dapat lolos dari tusukan ini atau tidak? Jika memang harus mati, biarlah mati di bawah pedang suhu daripada dibunuh oleh orang lain.”

Pada saat itulah sebelah kakinya telah menginjak tanah, berbareng terdengar suara “trang” yang nyaring di belakangnya. Tanpa menoleh Lenghou Tiong juga lantas mengetahui bahwa Na Hong-hong yang berada di kempitannya itulah yang telah menangkiskan tusukan sang guru itu. Segera Lenghou Tiong menggenjot tubuh dan meloncat belasan meter lagi ke atas depan, habis itu barulah berpaling.

Tapi Gak Put-kun benar-benar seperti bayangan yang melekat tubuh saja, tahu-tahu sudah menyusul tiba, ujung pedang tinggal sejengkal lagi di depan dada Lenghou Tiong. Tapi kembali Na Hong-hong memutar senjatanya yang berbentuk bundar seperti roda dengan bulatan tengah 20-an senti, entah senjata apa namanya. “Trang”, pedang Gak Put-kun tertangkis lagi.

Waktu Gak Put-kun bermaksud mengejar dan menggempur lagi, tahu-tahu seorang telah mengejeknya di belakang, “Taruh saja pedangmu!”

Menyusul punggung Put-kun terasa sakit sedikit, ia insaf punggungnya telah terancam di bawah senjata lawan, keruan ia terkejut dan menyesalnya tak terkatakan.

Hendaklah maklum bahwa tindak tanduk Gak Put-kun selamanya sangat hati-hati, tidak pernah ia berlaku ceroboh, maka selama hidupnya belum pernah ia dijebak musuh. Sekarang lantaran saking gemasnya menyaksikan murid didiknya yang pernah disayang itu ternyata berkomplot dengan kaum sia-pay, malahan sebelah tangannya merangkul seorang perempuan, maka dengan penuh kebencian sekali tusuk ia ingin membinasakan murid yang dianggapnya murtad itu.

Menurut teori seharusnya tusukan-tusukan pedangnya tadi tak bisa meleset, ia tidak tahu bahwa tenaga dalam Lenghou Tiong sekarang sudah sukar dibayangkan hebatnya, serangannya selalu berselisih beberapa senti saja dari sasarannya, betapa pun sukar mengenainya. Karena terburu nafsu itulah ia terus mengejar dan akibatnya terjebak di tengah kepungan musuh tanpa sadar. Waktu ia mengangkat kepalanya, tertampaklah papan kuil Siau-lim-si yang terpampang di depan pintu. Baru sekarang ia mengetahui telah berada di depan kuil agung yang termasyhur itu.

Selagi ia melenggong itulah di sekitarnya sudah mengepung tujuh-delapan orang, semuanya bersenjata, asal dirinya sedikit bergerak saja bukan mustahil akan dicincang oleh mereka. Terpaksa ia lepas tangan, pedang dibuangnya ke tanah.

Orang yang mengancamkan senjata di punggung Gak Put-kun itu bukan lain dari “Si Kucing Malam” Keh Bu-si. Segera ia berseru, “Bengcu, kita tidak mampu menerjang lagi ke bawah, korban kita sudah banyak, lebih baik suruh kawan-kawan mundur dahulu!”

Sekilas pandang Lenghou Tiong juga mengetahui gelagat pertempuran yang tidak menguntungkan itu, kalau pihak lawan sempat menyerbu ke atas gunung tentu akan lebih runyam lagi. Maka cepat ia berseru lantang, “Semuanya mundur kembali ke Siau-lim-si!”

Karena tenaga dalamnya yang mahakuat, beberapa kali teriakannya itu dapat didengar oleh beribu-ribu orang yang sedang bertempur sengit itu. Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, dan lain-lain juga berteriak-teriak, “Bengcu ada perintah, hendaklah semua kawan mundur kembali ke Siau-lim-si!”

Kemudian Lenghou Tiong mendekati Gak Put-kun, katanya, “Maaf Suhu, banyak mengganggu. Silakan kembali ke bawah saja!”

Tiba-tiba terdengar suara orang menjerit ngeri, dua-tiga orang tampak roboh terluka. Ternyata dua tojin Thay-san-pay telah menerjang naik. Cepat Lenghou Tiong memburu ke sana, sinar pedang berkelebat, hampir berbareng pergelangan kedua tojin itu kena pedang dan senjata terlepas dari cekalan.
Keruan kedua tojin itu ketakutan dan lari kembali ke bawah.

Sementara itu karena seruan mundur tadi, beramai-ramai para jago sudah berlari kembali, orang-orang pihak cing-pay ada yang berusaha mengejar ke atas, tapi mereka menjadi celaka sendiri, tidak dilabrak oleh Lenghou Tiong tentu dikerubut oleh jago-jago lain.

Tidak lama kemudian terdengar pula suara gembreng di bawah gunung, pihak cing-pay juga membunyikan tanda mundur dan mencegah anak buah mengejar ke atas gunung.

Di depan Siau-lim-si tidak menjadi sunyi, sebaliknya masih ramai dengan suara caci maki diseling suara merintih sakit, di mana-mana berceceran darah. Keh Bu-si memberi perintah 800 orang yang tidak terluka untuk menjaga delapan jurusan agar tidak disergap pihak musuh.

“Bengcu,” kata Keh Bu-si kepada Lenghou Tiong, “sekali ini walaupun kita gagal menerjang ke bawah, untung telah berhasil menawan ketua Hoa-san-pay, sedikitnya kita sudah punya sandera ....”

“Apa katamu?” seru Lenghou Tiong kaget. “Suhuku masih belum pergi?”

Ketika ia mendatangi tempat tadi, ternyata Gak Put-kun malah sedang duduk di atas tanah dengan lemas, agaknya hiat-to tertutuk orang. Cepat Lenghou Tiong berkata, “Keh-toako, harap kau membuka hiat-to guruku yang tertutuk.”

Dengan suara perlahan Keh Bu-si mengisiki Lenghou Tiong, “Bengcu, keadaan kita sangat berbahaya, padahal Bengcu sekarang bukan lagi murid Hoa-san-pay, kukira tidak perlu memikirkan urusan guru dan murid segala.”

Mendadak Lenghou Tiong berseru, “Satu hari menjadi guru, selama hidup seperti ayah. Harap Keh-toako mengingat diriku, janganlah membikin susah kepada guruku.”

“Cis, kalau mau bunuh lekas bunuh, mau gantung boleh lekas gantung, siapa lagi yang sudi menjadi guru manusia cabul semacam kau?” jengek Gak Put-kun penuh menghina.

“Coba dengarkan?” kata Keh Bu-si. “Dia tidak sudi mengaku kau sebagai murid, buat apa lagi kau mengakui dia sebagai guru?”

Namun Lenghou Tiong menggeleng, ia menjemput pedang yang terbuang di tanah tadi, dimasukkannya ke sarung pedang yang tergantung di pinggang Gak Put-kun, lalu berkata, “Dosa murid mahabesar, mohon maaf.”

Rasa gusar dan gemas Gak Put-kun sungguh tak terkatakan, sekali tusuk ia ingin menembusi ulu hati Lenghou Tiong. Tapi ia tahu kepandaian Lenghou Tiong sekarang teramat lihai, serangannya belum tentu bisa membinasakan lawan, andaikan bisa membunuhnya tentu dirinya sendiri juga sukar meloloskan diri dari kepungan musuh yang sedemikian banyak. Maka dengan mata melotot ia menatap Lenghou Tiong, wajahnya penuh rasa murka.

Melihat sikap sang suhu yang penuh kebencian, jauh lebih benci daripada ketika mereka bertemu di pinggang gunung tadi, mendadak perasaan Lenghou Tiong terguncang, katanya dengan perlahan, “Suhu, jika engkau mau membunuh aku silakan laksanakan sekarang, sama sekali aku takkan menghindar.”

Namun Gak Put-kun lantas mendengus, lalu putar tubuh dan melangkah pergi.

“Lenghou-kongcu,” kata Coh-Jian-jiu sambil geleng kepala, “engkau berbudi padanya, sebaliknya dia tidak tahu kebaikanmu.
Kulihat dia bertekad akan membunuh kau, kelak bila bertemu lagi engkau harus waspada.”

Lenghou Tiong hanya menghela napas, katanya kemudian, “Marilah kita menolong dulu saudara-saudara yang terluka.”

Dalam kesibukan memberi obat kepada teman-teman yang luka itu, terpikir oleh Lenghou Tiong, “Sayang anak murid perempuan Hing-san-pay tidak berada di sini sehingga kurang obat luka yang mujarab. Tapi kalau orang-orang Hing-san-pay itu berada di sini, apakah mereka akan membantu aku atau membela pihak cing-pay mereka? Hal ini sukar untuk dipastikan.”

Menghadapi kegaduhan orang banyak, mau tak mau bingung juga pikiran Lenghou Tiong. Kalau dia sendirian tentu sejak tadi sudah menerjang ke bawah, apakah akibatnya akan mati atau tetap hidup bukan soal lagi baginya. Beratnya sekarang dia telah diangkat menjadi pemimpin orang-orang Kangouw ini, jiwa beribu-ribu orang ini tergantung kepada setiap keputusannya, hal inilah yang membuatnya serbasusah.

Sementara itu subuh sudah tiba, mendadak di bawah bergema suara tambur yang bergemuruh disertai suara teriakan-teriakan gegap gempita. Cepat Lenghou Tiong melolos pedang dan memburu ke ujung jalan. Para jago juga siap dengan senjatanya untuk bertempur mati-matian dengan musuh. Suara tambur itu makin lama makin keras dan gencar, tapi musuh ternyata tidak menyerbu ke atas.

Selang sejenak, mendadak suara tambur berhenti serentak. Maka timbul macam-macam pendapat. Ada yang mengatakan, “Suara tambur sudah berhenti, tentu mereka mulai menyerbu!”

Yang lain menanggapi, “Kebetulan jika mereka berani menyerbu ke sini, kita akan labrak mereka hingga kocar-kacir daripada tetap bercokol di sini.”
“Kurang ajar! Rupanya kawanan kura-kura itu hendak membikin kita mati kehausan dan kelaparan di sini. Andaikan mereka tidak menyerbu ke sini juga kita akan menerjang ke bawah!” demikian seru yang lain lagi.

Dengan perlahan Keh Bu-si berkata kepada Lenghou Tiong, “Tampaknya musuh memang sengaja pakai tipu muslihat hendak mengepung kita di sini sehingga mati kutu sendiri. Kalau malam ini kita tidak bisa lolos, bila kelaparan lagi sehari semalam tentu kita tidak kuat bertempur.”

“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Marilah kita memilih dua-tiga ratus teman yang berkepandaian tinggi sebagai pembuka jalan, mumpung malam gelap gulita kita serbu ke bawah untuk membikin kacau penjagaan musuh, kemudian kawan-kawan yang lain lantas ikut menerjang ke bawah.”

“Ya, terpaksa harus demikian,” ujar Keh Bu-si.

Pada saat itu juga suara tambur di bawah gunung mendadak berbunyi lagi, menyusul ada ratusan orang menyerbu ke atas. Cepat para jago menyambut serbuan itu sambil membentak-bentak. Tapi serbuan itu ternyata tidak sungguh-sungguh, hanya beberapa kali gebrak saja mereka lantas saling memberi tanda dan mengundurkan diri ke bawah.

Baru saja para jagoan menaruh senjata, belum ada lima menit mengaso, kembali suara tambur bergema, kembali suatu rombongan musuh pakai ikat kepala menyerbu ke atas lagi, setelah bertempur sebentar kembali mereka mundur.

“Bengcu, rupanya musuh sengaja menggunakan ‘Bing-peng-ci-keh’ (tipu melelahkan lawan) untuk mengganggu kita sehingga tidak bisa istirahat,” kata Keh Bu-si.

“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Silakan Keh-toako mengatur tipu perlawanan.”

Keh Bu-si lantas memberikan perintah bilamana musuh menyerbu lagi ke atas, cukup dilayani saja oleh barisan-barisan penjaga, yang lain-lain boleh tetap mengaso tanpa gubris.

Coh Jian-jiu mengajukan usul, “Cayhe punya akal begini, dua-tiga ratus orang yang telah kita pilih nanti ikut menyerbu ke bawah apabila musuh datang lagi di tengah malam buta.”

“Bagus,” ujar Lenghou Tiong. “Silakan Coh-heng pergi memilih kawan-kawan yang dapat diandalkan.
Pesan pula kawan-kawan lain, bila nanti pertahanan musuh sudah kacau lantas ikut menyerbu serentak.”

Lenghou Tiong coba mengadakan pemeriksaan keliling gunung, dilihatnya pula keadaan luka teman-temannya.
Luka panah Lo Thau-cu dan Na Hong-hong ternyata tidak ringan, untung tidak membahayakan jiwa.

Tidak lama kemudian Coh Jian-jiu kembali lapor bahwa 300 orang pilihan sudah siap, semuanya terdiri dari jagoan kelas wahid. Dengan tenaga pilihan ini, sekalipun barisan musuh cukup kuat juga tidak sanggup menahan terjangan hebat 300 ekor harimau lapar.

Semangat Lenghou Tiong terbangkit, ia suruh pasukan penyerbu itu mengaso dulu tunggu perintah untuk bertempur.

Sementara itu salju turun dengan lebatnya, bunga salju bertebaran laksana kapas, di atas tanah sudah tertimbun suatu lapis tipis salju. Pakaian dan kepala semua orang juga sudah penuh berhias bunga salju.

Karena seharian tidak minum satu tetes air pun, semua orang menjejal salju ke mulut sekadar penawar dahaga.

Cuaca makin gelap, lambat laun tambah gelap gulita, sampai dua orang berhadapan saja tak bisa jelas lagi. Di tengah kegelapan terdengar Coh Jian-jiu berkata, “Untung hujan salju malam ini, kalau tidak, malam tanggal 15 ini tentu terang benderang oleh cahaya rembulan.”

Sekonyong-konyong suasana menjadi sunyi senyap. Di atas gunung, di luar, maupun dalam Siau-lim-si berkumpul beberapa ribu orang, di pinggang gunung pihak cing-pay sedikitnya juga ada lebih dari lima ribu orang, tapi kebetulan kedua pihak sama-sama tidak mengeluarkan suara. Hanya terkadang kadang terdengar suara keresekan perlahan yang aneh, mungkin suara daun pohon atau semak rumput yang kejatuhan bunga salju.

“Saat ini entah apa yang sedang dilakukan oleh siausumoay?” demikian Lenghou Tiong teringat kepada Gak Leng-sian.

Tiba-tiba dari pinggang gunung berkumandang suara tiupan trompet, menyusul dari segenap penjuru bergemuruh dengan suara teriakan serbu. Sekali ini rupanya musuh hendak menyerbu sungguh-sungguh di tengah malam gelap.

“Kita pun serbu ke bawah!” kata Lenghou Tiong dengan suara tertahan sambil acungkan pedangnya. Segera ia mendahului lari ke bawah melalui jalanan yang paling terjal di sebelah barat. Segera 300 jago pilihan yang telah siap itu ikut menerjang ke bawah di belakang Lenghou Tiong.

Sejauh serbuan Lenghou Tiong dan pasukannya ternyata tidak mendapat rintangan. Kira-kira satu-dua li jauhnya, Coh Jian-jiu menyulut hwe-ci-bau (mercon roket), dengan semburan cahaya api hwe-ci-bau itu melayang tinggi ke udara, lalu meletus. Inilah kode kepada jago-jago yang masih menunggu di atas gunung agar segera ikut menerjang ke bawah.

Selagi lari, tiba-tiba Lenghou Tiong merasa tapak kakinya kesakitan, seperti menginjak benda tajam sebangsa paku. Ia tahu gelagat jelek, cepat ia meloncat ke atas dan hinggap di atas pohon. Pada saat yang sama terdengar Coh Jian-jiu dan lain-lain juga berteriak kesakitan, tapak kaki mereka juga menginjak paku lancip, bahkan ada yang tapak kakinya tertembus, keruan sakitnya bukan buatan.

Beberapa puluh orang lagi berusaha menerjang ke bawah dengan gagah berani, tapi mendadak mereka pun menjerit, semuanya kejeblos ke dalam lubang jebakan, dari semak-semak pohon di samping lantas menjulur keluar belasan tombak dan menusuk ke dalam liang jebakan itu. Seketika bergemalah jerit ngeri memenuhi pegunungan itu.

“Lekas Bengcu memberi perintah agar semuanya mundur kembali ke atas!” seru Keh Bu-si.

Melihat gelagat jelek, terang pihak cing-pay telah mengatur penjagaan rapi di bawah gunung, kalau sembarangan menerjang ke bawah pasti akan kalah habis-habisan, cepat Lenghou Tiong berseru lantang, “Semua orang mundur kembali ke Siau-lim-si!”

Berbareng itu Lenghou Tiong melompat dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mendekati lubang perangkap, dari atas ia menubruk ke bawah sambil putar pedangnya, kontan ia robohkan tiga orang bertombak. Ia menancapkan kaki di tempat bekas lawan, ia yakin di situ pasti tiada dipasang paku-paku yang lancip itu. Menyusul pedangnya bekerja lagi, dalam sekejap belasan orang telah dirobohkan pula. Keruan yang lain-lain menjadi takut, sambil berteriak-teriak mereka lantas kabur.

Beberapa puluh orang yang kejeblos ke dalam liang itu satu per satu lantas melompat keluar, namun belasan orang sudah tewas.

Dalam keadaan gelap gulita tiada seorang pun yang mengetahui di mana terpasang lubang perangkap lagi, maka mereka tidak berani menerjang pula ke bawah, terpaksa mereka kembali ke atas gunung dengan kaki pincang. Untung musuh tidak mengejar.

Setiba kembali di Siau-lim-si, di bawah cahaya lampu mereka coba memeriksa luka masing-masing, ternyata sebagian besar tapak kaki berdarah dan ada yang tembus tercocok paku tajam itu. Banyak yang mencaci maki. Nyata suara-suara tambur yang dibunyikan serta serbuan-serbuan pancingan tadi hanya untuk menutupi suara galian lubang perangkap serta pemasangan paku di pinggang gunung itu. Paku-paku itu panjangnya belasan senti, dua pertiga ditanam dan satu pertiga menonjol di permukaan tanah, tajamnya bukan main, kalau seluruh gunung dipasangi paku demikian, sukarlah untuk lolos. Jelas paku-paku tajam itu sebelumnya sudah disiapkan. Hal ini membayangkan betapa cermat cara pengaturan pihak musuh.

Bab 94. Lolos dari Lubang Bumi

Keh Bu-si menarik Lenghou Tiong ke samping dan berkata lirih padanya, “Lenghou-kongcu, betapa pun kita sukar untuk menerjang keluar kepungan. Adapun cita-cita kita yang diharapkan siang dan malam, yaitu menyelamatkan Seng-koh, tugas mahabesar ini terpaksa mohon Lenghou-kongcu memikulnya sendirian kelak.”

“Ap ... apa maksud ... maksudmu ini?” Lenghou Tiong menegas.

“Kutahu Kongcu sangat berbudi dan punya jiwa setia kawan sejati, betapa pun engkau tidak sudi menyelamatkan diri sendiri dengan meninggalkan kawan-kawan di sini,” kata Keh Bu-si. “Tapi kalau semuanya gugur di sini, lalu kelak siapa yang akan menuntut balas bagi kita? Siapa pula yang bertugas menyelamatkan Seng-koh dari kurungan musuh?”

“Hehe, kiranya Keh-heng suruh aku melarikan diri sendiri,” Lenghou Tiong tertawa ewa. “Sudahlah, soal ini jangan kau sebut-sebut lagi. Kalau mau mati biarlah kita mati bersama saja. Manusia mana yang takkan mati? Sekarang kita mati semua, nanti Seng-koh juga akan mati di penjara musuh. Orang-orang cing-pay yang mendapat kemenangan sekarang, kelak entah setahun entah sepuluh tahun lagi toh satu per satu juga akan mati? Soal kalah atau menang paling-paling juga cuma soal mati sekarang atau mati kelak saja.”

Melihat sukar membujuknya, Keh Bu-si merasa tiada gunanya banyak omong lagi. Tapi kalau malam gelap ini tidak berusaha lari, besok pagi bila musuh mulai menyerang secara besar-besaran tentu tidak sempat lolos lagi. Terpikir demikian, ia menghela napas panjang.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa beberapa orang, makin lama makin gembira suara tawa mereka itu. Padahal setelah mengalami kekalahan dan terkurung di dalam Siau-lim-si, setiap orang boleh dikata sedang membayangkan bagaimana mereka akan menerima ajal. Tapi ternyata ada orang sempat tertawa sedemikian gembira.

Dari suara mereka itu segera Lenghou Tiong dan Keh Bu-si mengenali mereka adalah Tho-kok-lak-sian, pikir mereka, “Ya, hanya makhluk-makhluk dogol semacam mereka inilah masih bisa tertawa meski kematian sudah di depan mata.”

Sementara itu gelak tawa Tho-kok-lak-sian bertambah menjadi, rupanya mereka merasa geli melihat orang-orang yang terluka itu. Terdengar Tho-ki-sian berkata, “Hahaha, di dunia ini ternyata ada orang bodoh seperti kalian ini! Masakah kaki sendiri diinjakkan pada paku. Hahahaha, sungguh menggelikan!”

“Huhuuh! Mungkin kalian kaum tolol ini sengaja mau coba tapak kaki kalian lebih keras daripada paku barangkali? Hahaha! Enak ya rasanya tapak kaki ditembus paku?” demikian Tho-yap-sian menambahkan.

“Kalau mau merasakan enaknya paku, kan lebih baik kalian memukul pakunya dengan palu dari atas tapak kaki saja? Hehehe, benar-benar geli, hahaaah!” Tho-hoa-sian ikut menggoda.

Begitulah keenam bersaudara itu terus tertawa geli dengan macam-macam ocehan yang mencemoohkan, seakan-akan tiada sesuatu yang lebih jenaka daripada apa yang mereka lihat sekarang.

Padahal orang-orang yang terluka itu sedang merintih kesakitan, sebaliknya Tho-kok-lak-sian malah mencemoohkan. Keruan mereka menjadi gusar dan mencaci maki, bahkan ada beberapa orang lantas melolos senjata hendak melabrak Tho-kok-lak-sian.

Lenghou Tiong khawatir urusan bisa runyam, mendadak ia berteriak, “He, he! Apa, itu? Hahaah, sungguh lucu! Sungguh aneh!”

Mendengar teriakan itu, Tho-kok-lak-sian ketarik, beramai-ramai mereka lari mendekat dan bertanya, “Apa yang lucu?”

“Apa yang aneh?”

“Itu dia! Kulihat enam ekor tikus menyeret seekor kucing dan lari ke sana!” sahut Lenghou Tiong.

Tho-kok-lak-sian menjadi senang, seru mereka, “Aha, tikus makan kucing, inilah luar biasa! Ke mana larinya?”

“Ke sana!” kata Lenghou Tiong sambil menuding sekenanya.

“Ayo! Mari kita melihatnya ke sana!” seru Tho-kin-sian sambil menarik tangan Lenghou Tiong.

Semua orang tahu bahwa apa yang dikatakan Lenghou Tiong itu secara tidak langsung hendak mendamprat Tho-kok-lak-sian sebagai enam ekor tikus, tapi dasar orang dogol, sedikit pun mereka tidak tahu, bahkan percaya penuh. Keruan semua orang terbahak-bahak geli.

Sebaliknya Tho-kok-lak-sian tetap menyeret Lenghou Tiong berlari ke arah yang ditunjuk tadi untuk melihat “tikus makan kucing”.

Setiba di ruang belakang, Lenghou Tiong berseru pula dengan tertawa, “Nah, nah! Itu dia!”

“Di mana, di mana? Kenapa aku tidak lihat?” Tho-sit-sian berkaok penasaran.

Lenghou Tiong sengaja hendak memancing Tho-kok-lak-sian berpisah sejauh mungkin dengan orang lain agar tidak menimbulkan cekcok, maka dia sengaja menuding ke sana ke sini, maka makin jauhlah mereka ke belakang.

Mendadak Tho-kan-sian menolak sebuah pintu ruangan samping, di dalamnya ternyata gelap gulita. Segera Lenghou Tiong berseru dengan tertawa, “Itu dia! Kucing itu telah diseret tikus-tikus itu ke dalam liang!”

“Mana ada liang? Kau jangan mengapusi orang!” ujar Tho-kin-sian. Ia lantas menyalakan geretan api, ternyata di kamar itu kosong melompong, hanya sebuah patung Buddha tampak bersila menghadap dinding.

Tho-kin-sian menyulut pelita minyak yang menempel di dinding, katanya kemudian, “Mana ada liang? Hayolah kita gebah tikusnya biar keluar!”

Dengan lampu itu ia coba periksa sekeliling kamar, tapi tiada sebuah liang dinding yang diketemukan.

“Mungkin di belakang patung sana?” ujar Tho-ki-sian.

“Di belakang patung adalah kita bertujuh, memangnya kita ini tikus?” kata Tho-kan-sian.

“Patung menghadapi dinding, belakang patung adalah depannya sana,” sahut Tho-kin-sian tak mau menyerah.

“Sudah salah omong masih ngotot! Masakah belakang sama dengan depan?” bantah Tho-kan-sian.

“Peduli depan atau belakang, yang penting kita singkirkan patung ini dan periksa saja sebelah sana,” kata Tho-hoa-sian.

“Benar!” seru Tho-yap-sian dan Tho-sit-sian berbareng. Segera mereka bertiga memegang patung itu terus ditarik.

“He, jangan! Itulah patung Tat-mo Loco!” seru Lenghou Tiong.

Tat-mo Loco (Buddhatama) adalah cikal bakal Siau-lim-si, juga cikal bakal ilmu silat aliran yang termasyhur itu. Tat-mo Loco dahulu pernah bersemadi menghadap dinding selama sembilan tahun dan mencapai kesempurnaan, makanya patung yang dipuja di dalam kuil agung itu pun menghadapi dinding.

Namun sekali Tho-hoa-sian bertiga sudah bertindak sukar lagi dikendalikan, seruan Lenghou Tiong tidak digubris, mereka masih terus menarik sekuatnya. Maka terdengarlah suara keriang-keriut yang mengilukan, patung Buddha itu telah ditarik berputar. Sekonyong-konyong mereka berteriak kaget. Ternyata sepotong papan besi di depan mereka perlahan-lahan menggeser ke atas dan berwujud sebuah liang lebar.

“Haha, benar ada liang di sini!” seru Tho-ki-sian senang.

“Akan kutangkap tikus-tikus itu!” kata Tho-kin-sian, segera ia mendahului menerobos ke dalam lubang itu. Tentu saja Tho-kan-sian berlima juga tidak mau ketinggalan, berturut-turut mereka pun menyusup ke dalam.

Rupanya liang itu sangat luas di dalam, masuknya enam orang itu sekejap lantas lenyap, hanya terdengar suara langkah mereka terus ke depan. Tapi mendadak mereka berkaok-kaok dan berlari keluar lagi.

“Di dalam teramat gelap, dalamnya sukar dijajaki,” kata Tho-ki-sian.

“Katanya gelap, dari mana kau mengetahui dalamnya sukar dijajaki?” bantah Tho-yap-sian. “Bisa jadi beberapa langkah lagi akan mencapai ujungnya.”

“Jika kau tahu hampir capai ujungnya, kenapa kau tidak melangkah terus tadi?” sahut Tho-ki-sian.

“Aku kan cuma bilang ‘bisa jadi’ dan tidak mengatakan ‘pasti’, bisa jadi dan pasti banyak bedanya,” jawab Tho-yap-sian.

“Jika cuma main-main terka ‘bisa jadi’ saja buat apa banyak omong?” omel Tho-ki-sian.

“Sudahlah, tak perlu ribut. Lekas menyalakan obor dan coba periksa lagi ke dalam,” kata Tho-kin-sian.

Begitulah mereka suka usilan, tapi kerjanya juga cepat. Beramai-ramai mereka lantas mematahkan empat kaki meja dan dinyalakan sebagai obor. Seperti anak kecil saja mereka berebut obor yang cuma empat itu, lalu menyusup lagi ke dalam liang tadi.

Lenghou Tiong pikir lubang itu tentulah sebuah jalan rahasia Siau-lim-si seperti dahulu dia juga mengalami hal yang sama ketika terkurung di Bwe-cheng di tepi danau di Hangciu dahulu. Agaknya di dalam situlah Ing-ing disekap. Terpikir demikian hatinya lantas berdebar-debar dan cepat ia pun ikut menyusup ke dalam.

Ternyata jalan di bagian dalam lubang itu sangat luas dan tidak lembap, hanya bau apak di dalam gua sangat menyesak napas dan memuakkan. Dengan langkah lebar sekejap saja ia sudah dapat menyusul Tho-kok-lak-sian. Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, “Kenapa tikus-tikus itu tidak tampak? Mungkin tidak lari ke lubang ini.”
“Jika begitu marilah kita keluar saja dan mencari ke lain tempat,” tukas Tho-ki-sian.

“Kembali nanti saja bila sudah mencapai ujung sana,” ujar Tho-kan-sian.

Mereka melanjutkan pula ke depan, sekonyong-konyong sebuah siantheng (tongkat) mengemplang dari atas.

Tho-hoa-sian berjalan paling depan, untung dia sempat melompat mundur sehingga kemplangan tongkat tadi meleset. Namun begitu ia telah menumbuk Tho-sit-sian yang jalan di belakangnya. Dilihatnya seorang hwesio dengan memegang tongkat cepat menghilang ke dinding di sebelah kanan sana.

Dengan gusar ia memaki, “Bangsat gundul, kau berani sembunyi di sini dan menyergap tuanmu?”
Berbareng ia terus menubruk maju dan mencengkeram ke dinding itu.

Tapi mendadak dari dinding sebelah kiri kembali sebuah tongkat mengemplang lagi. Serangan ini telah menutup rapat jalan mundur Tho-hoa-sian. Karena tidak bisa menghindar, terpaksa ia melompat maju. Tapi baru sebelah kakinya menginjak tanah, lagi-lagi sebuah tongkat menyambar dari sisi kanan.

Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah melihat jelas bahwa hwesio yang memainkan tongkat itu bukanlah manusia tulen, tapi adalah orang-orangan yang digerakkan dengan pesawat rahasia. Rupanya cara pemasangannya sangat bagus, asal pesawat yang terpasang di lantai tersentuh orang segera sebuah tongkat memukul, bahkan maju dan mundur bisa bergiliran secara rapi, setiap serangan tongkat adalah gerakan yang sangat lihai.

Begitulah Tho-hoa-sian terpaksa mencabut golok untuk menangkis, terdengar suara “trang” yang keras, goloknya menjadi bengkok, kiranya bobot tongkat itu sangat berat, daya kemplangannya lebih-lebih hebat pula.
Keruan Tho-hoa-sian mati kutu, ia menjerit dan menjatuhkan diri ke lantai terus menggelinding minggir. Tapi sebuah tongkat lain kembali menghantam pula.

Cepat Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian melolos senjata dan melompat maju untuk menolong saudaranya, dengan tenaga tangkisan mereka berdua, pula daya kemplang tongkat waktu itu sudah rada kendur, maka dapatlah mereka menahannya sehingga Tho-hoa-sian tidak sampai remuk kepalanya.

Tapi satu kemplangan selesai kembali kemplangan tongkat yang lain tiba pula. Tho-kan-sian, Tho-yap-sian, dan Tho-sit-sian tidak bisa tinggal diam lagi, mereka pun memburu maju untuk membantu.
Dengan lima golok mereka menandingi serangan-serangan tongkat dari dinding kanan-kiri itu.

Meski hwesio-hwesio besi yang memainkan tongkat itu adalah benda mati, tapi penciptanya ternyata adalah ahli teknik yang mahapintar. Agaknya kalau bukan ahli itu sendiri mahir ilmu silat Siau-lim-si tentu juga ada hwesio agung Siau-lim-si yang memberi petunjuk-petunjuk waktu orang-orangan besi itu dipasang, makanya setiap gerakan tongkat adalah jurus-jurus serangan yang sangat lihai. Masih ada lagi sesuatu yang luar biasa, yaitu lengan dan tongkat yang digunakan patung besi itu semuanya terbuat dari baja murni, benda seberat beberapa ratus kati digerakkan dengan pesawat, keruan daya kemplangannya menjadi jauh lebih kuat daripada manusia.

Walaupun ilmu silat Tho-kok-lak-sian cukup tinggi, tapi golok mereka sama sekali tidak berdaya bila kebentur tongkat baja, bahkan terus bengkok. Keruan mereka mengeluh dan gelisah, pikirnya hendak mundur, namun di belakang mereka sudah tertutup oleh bayangan tongkat yang terus menghantam silih berganti. Sebaliknya setiap melangkah maju juga mengakibatkan tambahan serangan beberapa hwesio besi yang tadinya belum bergerak.

Melihat keadaan yang gawat itu, cepat Lenghou Tiong bertindak. Dari jurus-jurus serangan patung-patung besi itu ia sudah melihat adanya titik-titik kelemahan setiap jurus mereka. Segera pedangnya bekerja, “sret-sret” dua kali, pergelangan kedua patung ditusuknya. Terdengarlah suara nyaring dua kali, pergelangan patung-patung yang diincar itu kena dengan tepat dan meletakkan lelatu api, tapi pedangnya sendiri berbalik terpental balik.

Pada saat itulah mendadak terdengar jeritan Tho-sit-sian dan roboh terkena pukulan tongkat. Memangnya Lenghou Tiong sudah gelisah, sekarang tambah cemas. Pedangnya bergerak lagi, kembali dua patung tertusuk, tapi patung-patung besi itu tetap bergeming, sebaliknya sebuah tongkat tahu-tahu menyambar dari atas. Dengan khawatir, cepat Lenghou Tiong menghindari sambil melangkah maju, tapi kembali sebuah tongkat mengemplang pula.

Mendadak pandangan menjadi gelap, lalu tidak tampak apa-apa lagi. Kiranya obor-obor yang dibawa Tho-kok-lak-sian tadi terpaksa dibuang ke lantai karena harus bertempur melawan robot-robot bertongkat, sekarang obor-obor itu telah padam semua. Padahal keistimewaan Lenghou Tiong adalah mematahkan setiap serangan lawan melalui titik kelemahan yang dilihatnya, sekarang keadaan gelap gulita, keruan ia menjadi mati kutu dan kelabakan. Menyusul bahu kiri terasa sakit, tubuhnya jatuh terjerembap ke depan. Berbareng itu terdengar pula suara jeritan dan keluhan berulang-ulang, terang Tho-kok-lak-sian juga telah dihantam roboh satu per satu.

Sambil mendekam di lantai Lenghou Tiong mendengar suara angin menderu-deru menyambar lewat di atasnya, seketika ia merasa dirinya seperti di alam mimpi buruk, tubuh tak bisa berkutik, hatinya merasa ngeri, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Sambaran tongkat yang membawa deruan angin keras itu lambat laun mulai mereda, lalu terdengar suara keriang-keriut ramai, agaknya hwesio-hwesio robot tadi telah kembali ke tempatnya semula dan tidak bergerak lagi.

Tiba-tiba pandangan terbeliak, menyusul ada orang berseru, “Lenghou-kongcu, apakah engkau di sini?”

Lenghou Tiong sangat girang, sahutnya, “Aku ... aku di sini ....” ia merasa suaranya sendiri teramat lemah, hampir-hampir ia tidak percaya atas telinga sendiri.

Ia tetap mendekam tak berani bergerak. Terdengar suara langkah beberapa orang memasuki gua itu, lalu terdengar Keh Bu-si berseru kaget dan heran.

“Jang ... jangan maju, pe ... pesawat rahasianya sangat ... sangat lihai,” seru Lenghou Tiong.

Rupanya Keh Bu-si dan lain-lain menjadi tidak sabar terlalu lama menunggu Lenghou Tiong dan Tho-kok-lak-sian, kemudian mereka menyusul ke belakang dan di ruang Tat-mo-tong itu menemukan lubang gua di bawah tanah, cepat mereka mencari ke dalam dan menemukan Lenghou Tiong dan Tho-kok-lak-sian menggeletak di situ dalam keadaan berlumuran darah, mereka menjadi kaget dan khawatir.

“Bagaimana kau, Lenghou-kongcu?” tanya Coh Jian-jiu.

“Tak apa-apa.
Diam saja di situ, jangan maju, nanti menggerakkan pesawat rahasia lagi,” seru Lenghou Tiong.

“Baiklah,” sahut Coh Jian-jiu. “Bagaimana kalau aku menyeret keluar kau dengan cambuk panjang.”

“Ya, bagus,” kata Lenghou Tiong.

Segera Coh Jian-jiu menggunakan cambuk, lebih dulu kaki kiri Tho-hoa-sian dibelitnya dengan ujung cambuk dan diseret keluar. Maklumlah Tho-hoa-sian menggeletak paling ujung luar, maka habis itu barulah Coh Jian-jiu menyeret keluar Lenghou Tiong dengan cara yang sama. Berturut-turut Tho-kok-ngo-sian dapat pula ditarik keluar tanpa menyentuh pesawat rahasia.

Dengan cepat Lenghou Tiong lantas berbangkit, ia coba periksa keadaan Tho-kok-lak-sian. Ternyata pundak keenam orang itu sama terluka kena hantaman tongkat baja, untung mereka punya kulit tebal dan kuat tenaga dalamnya, meski lukanya tidak ringan, namun tidak membahayakan jiwanya. Tidak lama kemudian satu per satu lantas siuman kembali.

Begitu membuka mata dan tidak tampak hwesio robot lagi, segera Tho-kin-sian mengoceh, “Lihai amat hwesio besi tadi, tapi toh semuanya dihancurkan oleh Tho-kok-lak-sian.”

Rupanya Tho-hoa-sian lebih tahu diri, katanya, “Lenghou-kongcu juga berjasa, cuma jasa kami berenam saudara lebih besar.”

Dengan menahan rasa sakit bahunya Lenghou Tiong berkata dengan tertawa, “Sudah tentu, siapa mampu menandingi Tho-kok-lak-sian.”

“Sebenarnya apa yang terjadi, Lenghou-kongcu?” tanya Coh Jian-jiu.

Dengan ringkas Lenghou Tiong menuturkan pengalamannya tadi, lalu sambungnya, “Besar kemungkinan Seng-koh terkurung di dalam situ, kita harus mencari akal untuk memusnahkan kawanan hwesio robot penjaga ini.”

Coh Jian-jiu melirik sekejap ke arah Tho-kok-lak-sian, katanya, “Kiranya hwesio-hwesio robot itu belum dihancurkan.”

“Apa sulitnya untuk menghancurkan hwesio-hwesio mati itu? Hanya sementara ini kami tidak mau,” sahut Tho-kan-sian.

“Entah bagaimana cara bekerja hwesio-hwesio robot itu, harap Tho-kok-lak-sian maju lagi untuk memancing serangannya, biar kita sama menyaksikan,” kata Keh Bu-si.

Tapi Tho-kok-lak-sian rupanya sudah kapok, mana mau lagi mereka disuruh rasakan kemplangan tongkat baja. Tho-kan-sian lantas berkata, “He, kucing makan tikus adalah biasa, tapi tikus makan kucing adakah yang pernah lihat?”

“Baru saja kami bertujuh telah menyaksikan tikus makan kucing, sungguh luar biasa!” sambung Tho-yap-sian.

Ternyata Tho-kok-lak-sian masih mempunyai suatu kepandaian simpanan, yaitu bila kepepet dan tak bisa menjawab, lalu mereka menyimpangkan pokok pembicaraan ke hal-hal lain.
Lenghou Tiong lantas berkata, “Siapakah salah seorang kawan ambilkan beberapa potong batu besar?”

Segera dua-tiga orang berlari keluar dan membawakan tiga potong batu besar, masing-masing sedikitnya ada 100 kati beratnya.

Segera Lenghou Tiong angkat sepotong batu besar itu terus digelindingkan ke sana. Terdengarlah suara gemuruh, batu besar itu telah menyentuh pesawat dan terdengar suara keriang-keriut, hwesio-hwesio robot yang sembunyi di lekukan dinding lantas bergerak, tongkat baja bersambaran dengan kencang. Agak lama kemudian barulah hwesio-hwesio robot itu menyelinap kembali ke dalam dinding.

Semua orang sama melongo kesima menyaksikan peristiwa ajaib itu.

“Lenghou-kongcu,” kata Keh Bu-si, “hwesio-hwesio robot itu digerakkan oleh pesawat rahasia. Menurut pendapatku, tenaga pesawat itu adakalanya akan habis, untuk bisa bergerak lagi harus memutar kencang pegasnya. Maka bila kita pancing dengan beberapa potong batu berulang-ulang, kalau tenaga pegas sekarang sudah habis, tentu hwesio-hwesio robot itu takkan bergerak lagi.”

Tapi Lenghou Tiong ingin selekasnya menolong Ing-ing, katanya. “Kulihat gerak tongkat robot-robot ini sedikit pun tidak menjadi kendur, kalau mesti menunggu mungkin bisa sampai besok pagi. Adakah di antara Saudara-saudara yang membawa senjata pusaka, coba pinjamkan sebentar.”

Segera ada seorang tampil ke muka dan melolos golok, katanya, “Bengcu, senjata Cayhe ini rada tajam.”

Lenghou Tiong mengangguk dan menyatakan terima kasih, lalu melangkah ke depan.

“Hati-hati!” seru Tho-kok-lak-sian.

Ketika Lenghou Tiong melangkah lagi dua-tiga tindak, mendadak sebuah tongkat mengemplang dari atas. Jurus serangan ini sudah beberapa kali dilihatnya sejak tadi, maka tanpa pikir ia mengayun golok, “trang”, kontan pergelangan tangan robot itu tertebas kutung bersama tongkatnya jatuh ke tanah.

“Golok bagus!” puji Lenghou Tiong. Semula ia khawatir golok pinjaman itu kurang tajam, sekarang hasilnya ternyata luar biasa, benar-benar sebuah golok mestika, seketika semangatnya terbangkit, “sret-sret” dua kali, kembali ia mengutungi pergelangan tangan dua hwesio robot yang menyerang lagi.

Ia gunakan golok sebagai pedang, yang dimainkan adalah jurus serangan Tokko-kiu-kiam. Dari kedua sisi dinding hwesio-hwesio robot itu berturut-turut menyerang lagi, tapi lantaran pergelangan tangan putus, tongkat jatuh, dengan sendirinya kedua tangannya yang bergerak naik-turun dan tidak membahayakan.

Lenghou Tiong terus maju ke depan, dilihatnya jurus serangan hwesio-hwesio robot itu bertambah lihai, diam-diam ia sangat kagum, namun satu per satu kena dipatahkan semua.

Semua orang mengikuti Lenghou Tiong dengan membawa obor, setelah ratusan tangan besi terkutung, dinding-dinding batu itu tidak muncul lagi robot yang lain. Ada orang menghitungnya, ternyata hwesio-hwesio robot itu seluruhnya ada 108. Maka bersorak gembiralah para jago di jalanan gua itu.

Karena ingin lekas-lekas menemukan Ing-ing, Lenghou Tiong lantas minta sebuah obor dan mendahului jalan pula ke depan. Jalanan itu terus menurun ke bawah makin lama makin rendah, namun tiada terdapat perangkap-perangkap lagi walaupun ia berlaku sangat hati-hati. Panjang jalan di bawah tanah itu ada beberapa li dan menembus beberapa gua alam. Tiba-tiba di depan tampak cahaya remang-remang. Lenghou Tiong percepat langkahnya, ketika sebelah kakinya menginjak tanah yang lunak, ternyata sudah berada di atas lapisan salju, berbareng itu hawa dingin terasa merasuk, hawa dingin yang segar. Nyata dia sudah berada di tempat yang terbuka.

Ia coba memandang sekelilingnya, suasana sunyi di tengah malam gelap, bunga salju masih berhamburan, terdengar pula suara gemerciknya air, kiranya tempat itu terletak di tepi sebuah kali. Sekejapan itu Lenghou Tiong sangat kecewa karena jalan di bawah tanah itu tidak menembus ke tempat tahanan Ing-ing.

Tiba-tiba terdengar Keh Bu-si berkata di belakangnya, “Teruskan pesan ini kepada kawan-kawan agar jangan bersuara, besar kemungkinan kita sudah berada di bawah gunung.”

“Apakah mungkin kita sudah lolos dari kepungan musuh?” pikir Lenghou Tiong.

Dalam pada itu Keh Bu-si sedang berkata padanya, “Kongcu, di musim dingin di atas gunung tidak mungkin ada aliran air. Tampaknya melalui jalan di bawah tanah tadi kita sekarang sudah berada di kaki gunung.”

“Benar,” tukas Coh Jian-jiu. “Secara tidak sengaja kita telah menemukan jalan rahasia Siau-lim-si yang menembus ke sini.”
“Jika demikian lekas suruh semua kawan keluar dari jalanan rahasia ini,” kata Lenghou Tiong.

Keh Bu-si meneruskan perintah itu. Ia suruh beberapa orang menyelidiki lagi jalan di sekitar situ, beberapa puluh orang diperintahkan menjaga ujung jalan rahasia itu agar tidak diserang musuh sehingga jalan keluar tersumbat.

Tidak lama kemudian datanglah laporan bahwa tempat itu memang betul kaki gunung Siau-sit-san bagian belakang, kalau mendongak dapat tampak bangunan kuil agung di atas gunung.
Karena banyak teman-teman belum keluar, maka semua orang tidak berani bersuara keras. Sementara itu orang-orang yang keluar dari jalan rahasia itu makin banyak, menyusul yang luka dan yang mati juga sudah digotong keluar. Bisa lolos dari ancaman elmaut, meski tidak bersorak gembira, namun ramai juga mereka berbisik-bisik dengan penuh kegirangan.

“Bengcu,” kata Si Beruang Hitam, satu di antara Boh-pak-siang-him yang gemar makan daging manusia itu, “tentu kawanan kura-kura itu mengira kita masih terkurung di atas sana. Hayolah kita gempur mereka dari belakang, putuskan ekor kawanan anjing itu untuk melampiaskan rasa dongkol kita.”

Akan tetapi Lenghou Tiong tidak setuju, katanya, “Tujuan kita ke sini adalah untuk menolong Seng-koh, maka tidak perlu saling bunuh lebih banyak. Harap Saudara-saudara meneruskan perintah agar kita memencarkan diri saja, bila ketemukan orang cing-pay sebaiknya menghindari pertarungan. Bilamana ada yang mendapat kabar tentang Seng-koh harus disiarkan secara cepat dan luas. Selama aku masih bernapas, betapa pun sukar dan bahaya juga akan kuselamatkan Seng-koh. Apakah semua teman sudah keluar sekarang?”

Keh Bu-si coba mendekati ujung jalan rahasia itu dan berteriak-teriak beberapa kali ke dalam, namun tiada jawaban seorang pun. Ia memberi lapor bahwa semua kawan sudah keluar.

Tiba-tiba timbul pikiran Lenghou Tiong yang kekanak-kanakan, katanya, “Ayo kita berteriak tiga kali biar orang-orang cing-pay di atas itu kaget.”

“Bagus!” seru Coh Jian-jiu tertawa. “Marilah kita beramai-ramai ikut Bengcu berteriak.”

Segera Lenghou Tiong mulai, “Hai dengarkan, kami sudah berada di bawah gunung!”

Beberapa ribu orang serentak ikut berteriak, “Hai dengarkan, kami sudah berada di bawah gunung!”

Lalu Lenghou Tiong berteriak pula, “Silakan kalian makan angin di atas gunung!”

Beribu-ribu orang menirukan pula teriakan itu.

Akhirnya Lenghou Tiong berteriak, “Selamat tinggal, sampai berjumpa!”

“Marilah kita pergi,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

Tapi mendadak ada seorang menggembor sekeras-kerasnya, “Kalian kawanan anjing, anak kura-kura, persetan dengan nenek moyang delapan belas keturunanmu!”

Serentak beribu-ribu orang itu menirukan teriakan itu. Kata-kata makian yang kasar itu diteriakkan oleh orang sebanyak itu, keruan suaranya menggema ke angkasa dan menggetar lembah.

“Sudahlah, tak perlu berteriak lagi, marilah kita pergi saja,” seru Lenghou Tiong.

Setelah berteriak-teriak, dari atas gunung ternyata tiada reaksi apa-apa. Sementara itu subuh tiba, tapi salju masih turun dengan lebatnya. Ada beberapa kelompok sudah mulai berangkat pergi.

Lenghou Tiong pikir urusan paling penting sekarang adalah menemukan tempatnya Ing-ing, selanjutnya menyelidiki siapakah yang membunuh Ting-sian dan Ting-yat Suthay. Untuk menunaikan kedua tugas ini ke mana harus dituju?

Tiba-tiba terkilas suatu pikiran dalam benaknya, “Bila hwesio-hwesio Siau-lim-pay dan orang-orang cing-pay itu mengetahui kami sudah lolos, tentu mereka akan kembali ke Siau-lim-si. Bisa jadi Ing-ing dibawa di tengah mereka. Untuk menyelesaikan dua soal tadi rasanya aku harus kembali ke Siau-lim-si. Untuk ke sana sebaiknya kulakukan sendirian saja.”

Begitulah ia lantas mengembalikan golok mestika kepada pemiliknya. Lalu katanya kepada Keh Bu-si dan lain-lain, “Marilah kita berusaha mencari Seng-koh menurut kemampuan masing-masing, selekasnya kalau Seng-koh sudah diketemukan barulah kita berkumpul untuk merayakannya.”

“Engkau sendiri hendak ke mana, Lenghou-kongcu?” tanya Keh Bu-si.
“Maafkan sekarang tak bisa kukatakan, kelak tentu akan kuberi tahu,” sahut Lenghou Tiong.
Semua orang tidak berani banyak tanya lagi, terpaksa mereka memberi hormat dan mohon diri. Lenghou Tiong sendiri lantas menggunakan ginkangnya yang tinggi menyusup ke tengah hutan terus meloncat ke atas pohon agar tidak meninggalkan jejak di tanah bersalju. Ia sembunyi di situ sekian lamanya, didengarnya suara berisik orang banyak tadi makin berkurang dan akhirnya sunyi senyap. Ia menduga semua orang tentu sudah pergi, lalu perlahan-lahan ia kembali ke ujung jalan rahasia di bawah tanah itu. Memang sudah tiada seorang pun yang tertinggal di situ.

Ujung jalan itu teraling-aling oleh dua potong batu besar dan tertutup oleh tumbuhan rumput yang tinggi, kalau tidak tahu seluk-beluknya biarpun berada di depannya juga tidak mengetahui adanya jalan rahasia itu. Karena tak bersenjata lagi, Lenghou Tiong menjemput sepotong ranting kayu sepanjang satu meteran, lalu ia memasuki lagi jalan di bawah tanah itu.

Dengan jalan cepat ia kembali ke ruangan patung Buddhatama tadi, ia coba pasang kuping, sayup-sayup di ruang depan sudah ada suara orang. Sekuatnya Lenghou Tiong mendorong patung itu menggeser kembali ke tempatnya semula, dalam hati ia menimbang-nimbang, “Aku harus sembunyi di mana agar bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan para pemimpin cing-pay itu? Tapi tak terhitungnya ruangan dan kamar di dalam Siau-lim-si ini, dari mana bisa mengetahui tempat yang akan mereka gunakan untuk bicara?”

Tiba-tiba teringat olehnya kamar semadi Hong-ting Taysu ketika dahulu ia diajak menemuinya oleh Hong-sing Taysu, samar-samar ia masih ingat letak kamar itu. Segera ia lari ke luar terus menuju ke belakang.

Akan tetapi sudah berlari ke sana ke sini, ruangan dan kamar di Siau-lim-si itu terlalu luas dan banyak, kamar pribadi ketua Siau-lim-pay tak bisa ditemukan. Dalam pada itu terdengar suara tindakan orang banyak sedang mendatangi. Waktu itu Lenghou Tiong berada di suatu ruangan samping, di atas ruangan luas itu tergantung sebuah pigura besar. Karena tiada tempat sembunyi yang cocok, terpaksa ia melompat ke atas dan mendekam di balik pigura itu.

Suara tindakan orang banyak itu terdengar semakin mendekat, lalu masuklah tujuh atau delapan orang. Seorang di antaranya sedang berkata, “Kawanan sia-pay itu pun lihai benar, kita telah kepung pegunungan ini dengan rapat, tapi mereka toh masih bisa lolos.”

Bab 95. Cara Yim Ngo-heng Menilai Kawan dan Lawan

Seorang lagi menanggapi, “Agaknya di Siau-sit-san ini ada jalan rahasia yang menembus ke bawah gunung, kalau tidak masakan mereka mampu lari?”
“Kukira tiada sesuatu jalan rahasia apa-apa,” ujar seorang lagi. “Sudah berpuluh tahun aku tirakat di sini, tapi belum pernah kudengar tentang jalan rahasia segala yang menembus ke bawah gunung.”

“Namanya jalan rahasia, dengan sendirinya tak dapat diketahui oleh setiap orang,” kata orang yang pertama tadi.

Dari percakapan mereka itu Lenghou Tiong dapat menduga satu di antaranya tentu hwesio Siau-lim-si dan selebihnya adalah jago-jago yang diundang membantu. Terdengar hwesio Siau-lim tadi berkata pula, “Seumpama aku tidak tahu masakah hongtiang kami juga tidak tahu? Bilamana ada jalan rahasia demikian tentu sebelumnya hongtiang kami memberitahukan kepada semua kawan untuk menjaga jalan keluarnya.”

Pada saat itulah sekonyong-konyong di antaranya membentak, “Siapa itu? Keluar sini!”

Keruan Lenghou Tiong terkejut karena mengira tempat sembunyinya telah diketahui. Baru saja ia bermaksud melompat keluar, tiba-tiba di balik pigura di sebelah sana berkumandang suara gelak tertawa seorang dan berkata, “Haha, sedikit aku menghela napas dan membikin jatuh beberapa titik debu, ternyata lantas dilihat kalian, tajam juga mata kalian ya!”

Dari suaranya yang lantang itu segera Lenghou Tiong mengenalnya sebagai suaranya Hiang Bun-thian. Keruan ia terkejut dan bergirang, katanya di dalam hati, “Kiranya sejak tadi Hiang-toako sudah sembunyi di sini, caranya menahan napas sungguh hebat, sekian lamanya aku mendekam di sini toh tidak mengetahuinya. Kalau tiada debu yang jatuh tentu orang-orang di bawah itu pun takkan tahu ....”

Belum rampung pikirnya tiba-tiba terdengar suara berdetak di balik pigura-pigura sebelah kanan dan kiri, menyusul melompat turunlah dua orang.
Berbareng orang-orang di bawah itu lantas membentak-bentak. Namun belum lagi mereka sempat bersuara lebih banyak, mendadak mereka bungkam lagi.

Tanpa terasa Lenghou Tiong melongok ke bawah, terlihatlah dua sosok bayangan sedang beterbangan kian-kemari, seorang jelas adalah Hiang Bun-thian, seorang lagi bertubuh tinggi besar, ternyata Yim Ngo-heng adanya.

Gerak serangan kedua orang hampir-hampir tak bersuara, tapi setiap pukulan mereka tentu menimbulkan seorang korban yang roboh. Hanya sekejap saja di ruangan itu sudah menggeletak delapan orang. Lima orang di antaranya terkapar tengkurap, yang tiga lagi telentang dengan mata melotot menyeramkan. Nyata semuanya telah dihantam mati oleh Hiang Bun-thian dan Yim Ngo-heng.

Dengan tersenyum tampak Yim Ngo-heng berkata, “Anak Ing, turunlah sini!”

Dari pigura sebelah kiri lantas melayang turun dengan gaya yang lemah gemulai, siapa lagi kalau bukan Ing-ing yang sedang dicari Lenghou Tiong itu.

Terguncanglah hati Lenghou Tiong, dilihatnya Ing-ing memakai baju kain kasar, wajahnya rada pucat. Baru saja ia bermaksud melompat turun untuk menemui si nona, tiba-tiba Yim Ngo-heng berpaling ke arahnya dan menggoyangkan tangan.

Lenghou Tiong tidak tahu maksudnya, pikirnya, “Mereka sembunyi di sini lebih dulu, sudah tentu kedatanganku dilihat jelas oleh mereka. Apa maksudnya Yim-losiansing suruh aku jangan keluar?”

Tapi sekejap saja ia lantas paham apa maksud tujuan Yim Ngo-heng itu, ternyata dari depan sana telah berlari masuk beberapa orang. Sekilas dilihatnya sang guru dan ibu-guru, yaitu Gak Put-kun dan istrinya beserta ketua Siau-lim-pay, Hong-ting Taysu, selain itu masih ada lagi tokoh-tokoh terkemuka.

Ia tidak berani mengintip, cepat ia sembunyi kembali di tempatnya dengan hati berdebar. Pikirnya, “Ing-ing bertiga berada di dalam kepungan musuh, betapa pun aku ... akan menyelamatkan dia sekalipun aku yang harus binasa.”

Dalam pada itu terdengar Hong-ting Taysu sedang berkata, “Omitohud!
Lihai amat ilmu pukulan ketiga Sicu. Eh, Lisicu (nona budiman) sudah pergi kenapa kembali lagi?”

“Aku justru ingin minta penjelasan kepada Hongtiang Taysu sebabnya aku sudah pergi kok kembali lagi,” sahut Ing-ing.
“Sungguh Lolap tidak paham ucapan ini,” kata Hong-ting Taysu. “Kedua Sicu ini tentulah tokoh dari Hek-bok-keh. Maafkan Lolap tidak sempat berkenalan. Namun setiap orang yang datang ke Siau-lim-si adalah tamuku, silakan duduk buat bicara.”

Diam-diam Lenghou Tiong sangat mengagumi kepribadian Hong-ting Taysu, pikirnya, “Benar-benar seorang padri saleh, walaupun melihat anak muridnya menggeletak tak bernyawa lagi toh sedikit pun tidak terpengaruh dan masih tetap sopan santun terhadap pihak lawan.”

Maka terdengar Hiang Bun-thian menjawab, “Ini adalah Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau. Cayhe sendiri Hiang Bun-thian.”

Nama mereka berdua di dunia persilatan sungguh gilang-gemilang, cuma mereka sudah lama mengasingkan diri, maka tidak dikenal oleh Hong-ting Taysu, Gak Put-kun, dan lain-lain. Mereka sama tergetar juga setelah mengetahui siapa-siapa yang berhadapan dengan mereka itu, namun lahirnya mereka berlaku tenang sedapat mungkin.

“Kiranya Yim-kaucu dan Hiang-cosu sudi berkunjung kemari, sungguh Lolap merasa sangat bahagia,” kata Hong-ting Taysu. “Entah adakah sesuatu petunjuk yang hendak kalian kemukakan?”

“Sudah terlalu lama aku tidak berkecimpung di dunia ramai, maka banyak tokoh-tokoh angkatan baru tak kukenal, entah siapa-siapa para sobat-sobat cilik ini?” kata Yim Ngo-heng dengan lagak orang tua.

“Jika demikian baiklah Lolap memperkenalkan kalian,” ujar Hong-ting Taysu. “Yang ini adakah ketua Bu-tong-pay, Tiong-hi Totiang adanya.”

Maka terdengar suara seorang tua serak berkata, “Bicara tentang umur bisa jadi aku lebih tua sedikit daripada Yim-siansing, tapi waktu mengetuai Bu-tong-pay memang terjadi sesudah Yim-siansing mengasingkan diri. Angkatan baru memang betul juga bagiku, cuma istilah ‘tokoh’ tak berani kuterima. Haha!”

Lenghou Tiong merasa suara ketua Bu-tong-pay itu seperti sudah dikenalnya. Tiba-tiba tergerak pikirannya, “Ai, kiranya si kakek penunggang keledai bersama si tukang kayu dan tukang sayur yang kutemukan di kaki Gunung Bu-tong-san itulah ketua Bu-tong-pay.”

Seketika timbul rasa bangga dan besar hatinya. Maklumlah nama Bu-tong-pay sejajar dengan Siau-lim-pay. Betapa pun termasyhur Ngo-gak-kiam-pay tetap kalah setingkat kalau dibandingkan Siau-lim dan Bu-tong. Sebabnya Co Leng-tan, itu ketua Ko-san-pay dengan segala tipu dayanya ingin melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu aliran besar, tujuannya tak-lain tak-bukan ialah ingin menandingi Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Kini setelah mengetahui dirinya pernah mengalahkan Tiong-hi Totiang yang ilmu pedangnya tiada bandingannya itu, sungguh rasa senang Lenghou Tiong tak terperikan.

Sementara itu Yim Ngo-heng lagi berkata, “Co-tayciangbun ini dahulu kita kan sudah pernah bertemu. Akhir-akhir ini kau punya ilmu pukulan ‘Tay-ko-yang-jiu’ tentu banyak maju bukan, Co-ciangbun?”
Kembali Lenghou Tiong terkesiap, “Kiranya Co-supek, ketua Ko-san-pay juga hadir.”

Maka terdengar suara seorang yang halus sedang menjawab, “Kabarnya Yim-siansing terkurung oleh anak buah sendiri dan menghilang selama beberapa tahun. Kini muncul kembali sungguh harus diberi selamat. Tentang ‘Tay-ko-yang-jiu’ sudah belasan tahun tidak terpakai, mungkin sebagian besar sudah terlupa.”

“Wah, jika begitu dunia Kangouw tentu menjadi sepi,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa. “Begitu aku menghilang lantas tiada orang yang dapat mengukur tenaga dengan Co-heng, sungguh sayang, sungguh gegetun.”

“Orang yang sanggup bertanding dengan Yim-siansing sesungguhnya juga tidak sedikit, cuma orang-orang alim seperti Hong-ting Taysu atau Tiong-hi Totiang tentunya tidak sudi sembarangan mengajar Cayhe tanpa alasan,” jawab Co Leng-tan.

“Baiklah, kapan-kapan kalau sempat tentu akan kucoba lagi kau punya kepandaian baru,” kata Yim Ngo-heng.

“Setiap saat akan kulayani,” sahut Co Leng-tan.

Dari tanya-jawab mereka itu jelas dahulu mereka pernah saling gebrak, cuma siapa yang menang dan siapa yang kalah tak bisa dibedakan dari pembicaraan mereka tadi.

Lalu Hong-ting Taysu melanjutkan, “Yang ini adalah Thian-bun Totiang, ketua Thay-san-pay dan yang itu Gak-siansing, ciangbunjin dari Hoa-san-pay, di sebelahnya adalah Gak-hujin, Ling-lihiap yang termasyhur di masa lampau tentu pula pernah didengar Yim-losiansing.”

“Ya, Ling-lihiap sih aku tahu, tapi Gak-siansing apa segala tidak pernah kudengar,” sahut Yim Ngo-heng tertawa.

Lenghou Tiong menjadi kurang senang, pikirnya, “Nama suhuku menonjol lebih dulu daripada ibu-guruku, jika dia sama sekali tidak kenal keduanya sih dapat dimengerti, sekarang dia mengatakan cuma tahu Ling-lihiap, tapi tidak tahu Gak-siansing, hal ini tidaklah masuk di akal. Jelas dia sengaja hendak mengolok-olok suhuku.”

Gak Put-kun ternyata acuh tak acuh, katanya, “Namaku yang rendah memangnya tidak ada nilainya untuk dikenal Yim-siansing.”

“Eh, Gak-siansing, aku ingin mencari tahu kabar seseorang, entah kau mengetahui jejaknya tidak?” tiba-tiba Yim Ngo-heng bertanya kepada Gak Put-kun.

“Entah siapa yang ingin ditanyakan Yim-losiansing?” jawab Put-kun.
“Orang ini sangat berbudi, cerdik dan pandai lagi, orangnya juga cakap,” kata Yim Ngo-heng. “Tapi ada manusia-manusia buta yang iri padanya dan ingin memencilkan dia, maka banyak dilontarkan fitnah-fitnah keji kepadanya. Aku orang she Yim ini justru sangat cocok dengan dia, sudah kuputuskan akan kujodohkan anak perempuanku ini kepadanya ....”

Mendengar sampai di sini, seketika jantung Lenghou Tiong berdetak keras. Lapat-lapat ia merasa timbulnya sesuatu soal yang serbasulit.

Terdengar Yim Ngo-heng sedang melanjutkan, “Pemuda itu baik hati lagi berbudi, ketika dia dengar anak perempuanku ini dikurung di dalam Siau-lim-si, ia lantas membawa beribu-ribu kesatria ke sini hendak memapak bakal istrinya ini. Tapi dalam sekejap saja dia entah menghilang ke mana, calon mertua seperti aku ini menjadi gelisah dan kelabakan mencarinya, makanya aku ingin tanya jejaknya padamu.”

“Hahaha!” Gak Put-kun menengadah dan terbahak. “Kepandaian Yim-losiansing mahasakti, kenapa bakal mantu sendiri sampai lenyap? Kemarin di kaki gunung aku memang memergoki seorang muda dengan sebelah tangan memegang pedang, tangan yang lain mengempit seorang perempuan cantik, kabarnya ialah Na-kaucu dari apa yang disebut Ngo-tok-kau segala.
Nah, Yim-losiansing, kukira kau harus hati-hati, janganlah calon mantumu itu sampai dibawa lari oleh perempuan lain.”
Lenghou Tiong merasa bingung apa sebabnya sang guru bicara demikian? Padahal dia mengetahui Na Hong-hong terluka kena panah, sebabnya dia mengempit nona Na itu adalah karena ingin menyelamatkan jiwanya, mengapa aku dituduh berbuat tidak baik? Ya, tentu disebabkan suhu teramat benci kepada Mo-kau, beliau sengaja berkata demikian agar aku batal dipungut menantu oleh ketua Mo-kau ini.

Sebaliknya Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing sudah tentu tidak percaya kepada cerita Gak Put-kun tadi karena mereka melihat sendiri Lenghou Tiong datang sendiri dan sekarang sembunyi di balik pigura di atas sana.

Maka dengan gelak tertawa Yim Ngo-heng telah menjawab, “Pemuda ini memang sangat romantis dan gemar main cinta, di mana-mana dia mempunyai kekasih. Sungguh kacang tidak meninggalkan lanjarannya, benar-benar sudah memperoleh ajaran seluruhnya dari sang guru.”

Tanpa terasa Gak Put-kun melirik ke arah sang istri. Tapi Gak-hujin cukup kenal pribadi sang suami yang prihatin dan alim, terhadap anak murid perempuan sendiri saja biasanya juga tidak banyak memandang tanpa perlu, sudah tentu apa yang dikatakan Yim Ngo-heng sekarang hanya ocehan bualan belaka. Maka ia hanya ganda tersenyum saja terhadap lirikan sang suami.

Gak Put-kun lantas menjawab, “Apakah pemuda yang dimaksudkan Yim-losiansing adalah si bangsat cilik Lenghou Tiong, murid buangan dari Hoa-san-pay kami itu?”

“Haha, jelas dia adalah emas murni, tapi kau justru anggap loyang, pandanganmu sungguh teramat picik,” kata Yim Ngo-heng. “Ya, pemuda yang kukatakan memang betul Lenghou Tiong adanya. Hehe, kau memaki dia sebagai bangsat cilik, bukankah berarti kau memaki aku sebagai bangsat tua?”

Gak Put-kun menjawab, “Bangsat cilik itu tergila-gila kepada seorang perempuan, sampai-sampai mengerahkan sedemikian banyak kawanan anjing dan serigala dari dunia Kangouw untuk mengubrak-abrik Siau-lim-si yang merupakan sumbernya ilmu silat sejagat. Coba kalau Co-suheng tidak mengatur tipu daya yang jitu, tentu kuil agung bersejarah ini sudah dihanguskan menjadi puing oleh mereka dan bukankah dosanya tak terampunkan biarpun seribu kali dihukum mati.”

“Ucapan Gak-siansing ini kurang tepat,” sela Hiang Bun-thian. “Jangankan tujuan Lenghou-kongcu ke sini hanya ingin memapak nona Yim dan tiada maksud hendak merusak. Seumpama para kawan Kangouw yang dia pimpin kemari ini hendak berbuat sesuatu yang melanggar aturan, masakah jago-jago Siau-lim-pay yang beribu-ribu banyaknya tak mampu membela tempat sendiri? Sekarang boleh kau periksa, selama sehari semalam para kawan tinggal di Siau-lim-si sini adakah suatu genting atau satu piring yang dirusak, bahkan satu butir beras dan setetes air juga tidak mereka makan.”

“Ya, memang! Dengan datangnya para kawan Siau-lim-si berbalik bertambah banyak benda karun,” demikian tiba-tiba seorang menimbrung.

“Kiranya dia juga hadir!” dari suaranya yang melengking tajam segera Lenghou Tiong mengenali pembicara itu adalah Ih Jong-hay, itu ketua Jing-sia-pay.

“Coba Ih-koancu jelaskan, benda karun apa yang bertambah?” tanya Hiang Bun-thian.

“Itu, banyak emas kuning dan air raksa berserakan di sembarang tempat,” kata Ih Jong-hay. Maka tertawalah beberapa orang yang merasa geli.

Mendengar itu, hati Lenghou Tiong rada menyesal. Pikirnya, “Ya, aku memang telah melarang semua kawan merusak setiap benda di kuil ini, tapi lupa melarang mereka membuang hajat besar-kecil di sembarang tempat. Dasar mereka itu orang-orang kasar, kalau sudah kebelet, setiap tempat bisa buka celana dan buang hajat, bikin kotor saja tempat suci ini.”

“Tadinya Lolap memang khawatir menyaksikan kuil bersejarah kami ini terbakar menjadi puing oleh kawan-kawan yang dipimpin Lenghou-kongcu, tapi sekarang ternyata tiada suatu benda pun yang berkurang, hal ini benar-benar berkat jasa pimpinan Lenghou-kongcu yang bijaksana, sungguh kami merasa sangat berterima kasih. Kelak bila bertemu dengan Lenghou-kongcu, Lolap tentu akan mengaturkan terima kasih padanya. Tentang kata-kata kelakar Ih-koancu tadi harap Hiang-siansing jangan anggap sungguh-sungguh.”

“Betapa pun padri saleh memang berbeda jauh daripada jiwa kerdil manusia-manusia palsu,” kata Hiang Bun-thian.

Hong-ting lantas berkata pula, “Ada suatu hal yang Lolap merasa tidak paham, yakni mengapa kedua suthay dari Hing-san-pay bisa wafat di dalam kuil kami ini?”

“Hah? Ap ... apa katamu?” seru Ing-ing kaget. “Ting-sian dan Ting-yat Suthay telah ... telah meninggal?”

“Ya,” sahut Hong-ting Taysu. “Jenazah mereka ditemukan di dalam kuil sini, ditaksir waktu meninggalnya bersamaan dengan waktu masuknya para kawan Kangouw ke sini. Apa barangkali Lenghou-kongcu tidak keburu mencegah bawahannya sehingga kedua suthay tewas dikerubut mereka?”

“Ini ... ini sungguh aneh,” kata Ing-ing. “Tempo hari waktu aku bertemu di ruangan belakang dengan kedua suthay, atas kemurahan hati Hongtiang berkat permohonan kedua suthay itu, maka aku telah dilepaskan ....”

Terima kasih dan terharu pula Lenghou Tiong mendengar itu, katanya di dalam hati, “Kiranya atas permohonan kedua suthay itu Hongtiang Taysu benar-benar telah membebaskan Ing-ing. Sebaliknya beliau-beliau itu malah tewas di sini sebagai korban kepentinganku dan Ing-ing. Sebenarnya siapakah pembunuh mereka? Aku ... aku harus menuntut balas bagi mereka.”

Dalam pada itu terdengar Ing-ing lagi berkata, “Sesudah kedua suthay membawa aku meninggalkan pegunungan ini, hari ketiga di tengah jalan lantas mendapat berita bahwa Lenghou ... Lenghou-kongcu memimpin para kawan Kangouw hendak memapak diriku ke Siau-lim-si. Ting-sian Suthay mengajak lekas mencegat Lenghou-kongcu dengan rombongannya agar tidak menimbulkan keonaran lagi terhadap Siau-lim-pay. Tapi malamnya kami ketemu lagi seorang teman Kangouw, katanya para kawan Kangouw terbagi dalam beberapa jurusan dan menentukan tanggal 15 bulan 12 berkumpul di tempat sasaran. Kedua suthay menjadi khawatir Siau-lim-si telanjur diserang, hal ini berarti mengingkari kebaikan Hongtiang Taysu yang telah membebaskan diriku tanpa syarat. Maka Ting-sian Suthay lantas suruh aku berangkat sendiri untuk menemui ... menemui Lenghou-kongcu dan membubarkan rombongannya, kedua suthay lantas balik kembali ke Siau-lim-si untuk bantu menjaga segala kemungkinan dikacaunya tempat suci itu.”

Perasaan Lenghou Tiong terguncang lagi mendengarkan cerita Ing-ing yang mengharukan dan terkadang rada malu-malu bila menyebut dirinya.

Hong-ting Taysu lantas berkata pula, “Omitohud! Lolap sangat berterima kasih atas maksud baik kedua suthay. Memang banyak kawan-kawan dari berbagai golongan dan aliran, baik kenal maupun tidak, mereka berbondong-bondong datang kemari hendak membantu, sungguh Lolap tidak tahu cara bagaimana harus membalas budi mereka. Untung berkat lindungan Buddha, kedua pihak tidak sampai bertempur sungguh-sungguh sehingga terhindarlah malapetaka banjir darah. Ai, dengan wafatnya kedua suthay, selanjutnya Hing-san-pay menjadi kehilangan dua pemimpin yang bijaksana dan dunia persilatan juga berkurang dengan dua tokoh ternama. Sungguh sayang dan menyesalkan.”

Lalu Ing-ing berkata pula, “Setelah berpisah dengan kedua suthay, malamnya aku lantas kepergok musuh, di bawah kerubutan musuh yang banyak aku telah tertawan selama beberapa hari, ketika aku diselamatkan ayah dan Hiang-sioksiok, sementara itu para kawan Kangouw sudah masuk Siau-lim-si. Kami bertiga masuk ke sini belum ada setengah jam, maka kami tidak mengetahui cara bagaimana kawan-kawan Kangouw itu lolos dari sini, pula tidak tahu meninggalnya kedua suthay.”

“Jika demikian, jadi kedua suthay bukan tewas di tangan Yim-siansing dan Hiang-cosu?” Hong-ting menegas.

“Kedua suthay telah menyelamatkan diriku, sudah seharusnya aku membalas budi mereka, mana bisa aku tinggal diam apabila ayah dan Hiang-sioksiok bergebrak dengan kedua suthay?” ujar Ing-ing.

“Benar juga ucapanmu,” kata Hong-ting.

Tiba-tiba Ih Jong-hay menimbrung lagi, “Tapi kelakuan orang Mo-kau sering kali terbalik daripada orang biasa, jika umumnya membalas budi dengan kebaikan, sebaliknya manusia sesat itu justru membalas air susu dengan air tuba!”

“He, aneh, sungguh aneh! Sejak kapankah Ih-koancu masuk Tiau-yang-sin-kau kami?” tanya Hiang Bun-thian.

“Apa? Ngaco-belo! Siapa yang mengatakan aku masuk Mo-kau?” sahut Ih Jong-hay dengan gusar.

“Habis kau bilang orang Sin-kau kami suka membalas air susu dengan air tuba, padahal Ih-koancu sendiri termasyhur karena ahli membalas susu dengan air tuba. Bukankah Ih-koancu telah menjadi kawan anggota kami? Bagus, bagus sekali. Kusambut dengan segala senang hati.”

“Huh, ngaco-belo! Kentut busuk!” teriak Ih Jong-hay dengan gusar.

“Nah! Betul tidak kataku? Ucapanku bermaksud baik, sebaliknya Ih-koancu memaki aku, bukankah ini membalas susu dengan air tuba? Ya, dasar memang wataknya demikian, baik kelakuan maupun pada tutur katanya juga kelihatan akan wataknya yang suka membalas susu dengan tuba.”

Supaya kedua orang tidak bertengkar soal yang tidak penting, cepat Hong-ting Taysu menyela, “Sebenarnya siapa yang membunuh kedua suthay, kelak kita tentu akan mengetahui setelah tanya kepada Lenghou-kongcu. Tapi sekarang begitu kalian datang, sekaligus lantas membinasakan delapan orang cing-pay kami, coba katakan apa sebabnya?”

Yim Ngo-heng menjawab, “Sudah biasa aku pergi-datang sendiri di dunia Kangouw tanpa seorang pun yang berani kurang ajar padaku. Tapi kedelapan orang ini berani membentak-bentak padaku dan suruh aku keluar dari tempat sembunyi, bukankah dosa mereka ini pantas dihukum mati?”

“Omitohud!” kata Hong-ting. “Mereka hanya membentak beberapa kali, Yim-siansing lantas ambil tindakan sekeji ini, apakah caramu ini tidak keterlaluan?”

“Hahaha! Jika Hongtiang Taysu anggap keterlaluan ya bolehlah katakan demikian,” sahut Yim Ngo-heng. “Kau tidak bikin susah anak perempuanku, aku terima kebaikanmu. Maka sekali ini aku tidak ingin banyak berdebat dengan kau, kedua pihak anggap selesai sudah.”

“Kau ... kau ....” tiba-tiba Ih Jong-hay hendak menyela lagi, tapi demi melihat sorot mata Yim Ngo-heng yang tajam itu, teringatlah kelihaian tokoh Mo-kau di masa lampau itu, seketika timbul rasa jerinya dan urung meneruskan kata-katanya.

Hong-ting lantas menyambung, “Jika Yim-siansing anggap sudah beres ya bereslah sudah. Cuma kedelapan orang yang kalian bunuh ini cara bagaimana menyelesaikannya?”

“Penyelesaian apa lagi?” sahut Yim Ngo-heng. “Anggota Tiau-yang-sin-kau kami teramat banyak, jika kalian mampu boleh silakan bunuh delapan orang di antara mereka sebagai imbalannya sudah.”

“Omitohud! Sembarangan membunuh orang kan cuma menambah dosa saja,” kata Hong-ting. “Eh, Co-sicu, dua di antara delapan orang yang terbunuh ini adalah anak murid kalian, menurut kau cara bagaimana penyelesaiannya?”

Belum sempat Co Leng-tan menanggapi, cepat Yim Ngo-heng mendahului, “Akulah yang membunuh mereka, kenapa kau tanya cara penyelesaiannya kepada orang lain? Kenapa tidak tanya saja padaku? Dari nadamu ini rupanya kalian hendak main kerubut terhadap kami bertiga bukan?”

“Bukan begitu maksudku,” kata Hong-ting. “Cuma Yim-siansing sekarang muncul kembali, dunia Kangouw selanjutnya tentu akan banyak urusan, mungkin banyak orang yang akan dibinasakan oleh Sicu, maka Lolap ada maksud minta kalian sudi tinggal di kuil ini untuk sembahyang dan baca kitab, dengan demikian barulah dunia Kangouw akan aman sentosa. Entah bagaimana pendapat kalian?”

“Bagus, bagus! Usul ini sangat menarik,” seru Yim Ngo-heng sambil bergelak tertawa.

Hong-ting menyambung lagi, “Ketika putrimu tinggal di belakang gunung ini, setiap anak murid Siau-lim-si sama menghormat padanya, segala pelayanan tidak pernah kurang. Sebabnya Lolap menahan putrimu di sini bukanlah bermaksud menuntut balas bagi anak murid kami yang menjadi korban keganasan putrimu, ai, mungkin kematian anak murid kami itu adalah karma atas perbuatan mereka di jelmaan hidup yang lalu. Sebenarnya balas-membalas tanpa akhir juga bukan kehendak murid Buddha kami. Cuma kemudian persoalan ini telah menimbulkan huru-hara di dunia Kangouw, hal ini adalah di luar dugaanku. Lagi pula dahulu ketika putrimu datang ke sini minta pertolongan bagi Lenghou-kongcu, dengan tegas dikatakan bahwa asalkan Lolap sudi menyelamatkan jiwa Lenghou-kongcu, maka putrimu ini rela mengganti jiwa bagi anak murid kami yang dibunuh olehnya. Lolap menjawab ganti jiwa sih tidak perlu, tetapi dia harus tinggal tirakat di atas Siau-sit-san sini, tanpa izin Lolap tidak boleh sembarangan meninggalkan gunung ini. Dia terus mengiakan tanpa ragu-ragu. Betul tidak kataku ini, Yim-siocia?”

Wajah Ing-ing tampak bersemu merah, sahutnya perlahan, “Ya, benar.”

“Hehe, setia dan berbudi juga,” jengek Ih Jong-hay. “Cuma sayang kelakuan Lenghou Tiong itu tidak senonoh, dahulu pernah kupergoki olehku ketika dia bermalam di rumah pelacuran di Kota Heng-san. Kukira cinta Yim-siocia akan disia-siakan olehnya.”

“Ih-koancu sendiri memergoki dia di rumah pelacuran, kau melihatnya dengan mata kepala sendiri? Tidak keliru?” Hiang Bun-thian menegas.

“Ya, mana bisa aku salah lihat?” sahut Ih Jong-hay.

Tiba-tiba Hiang Bun-thian dengan suara setengah tertahan, “He, Ih-koancu, kiranya kau juga suka cari cewek, kau adalah kawan sepahamku. Eh, siapakah anak dara kegemaranmu di rumah ‘P’ itu? Cantik tentunya?”

Keruan muka Ih Jong-hay merah padam dan belingsatan, ia mencaci-maki habis-habisan saking gusar. Sebaliknya Hiang Bun-thian bergelak tertawa puas.

Dasar pribadi Ih Jong-hay memang tidak disukai oleh kebanyakan orang-orang cing-pay, maka banyak di antaranya ikut tertawa geli dan merasa syukur dia diolok-olok oleh pihak Mo-kau yang tidak pantang omong dalam segala hal.

Lenghou Tiong yang sembunyi di balik pigura itu menjadi sangat berterima kasih kepada Ing-ing setelah mendengar penuturan Hong-ting Taysu tentang kejadian dahulu itu.

Terdengar Hong-ting berkata pula, “Yim-siansing, silakan kalian tirakat saja di Siau-sit-san sini, selanjutnya kita mengubah lawan menjadi kawan, asalkan kalian bertiga tidak meninggalkan pegunungan ini, Lolap berani tanggung takkan ada orang yang berani mencari perkara kepada kalian bertiga. Seterusnya kita akan sama-sama hidup tenteram sejahtera, semuanya kan sama bahagia.”

Melihat Hong-ting Taysu bicara dengan sungguh-sungguh dan setulus hati, diam-diam Co Leng-tan, Gak Put-kun, dan lain-lain merasa padri agung ini terlalu naif cara berpikirnya. Masakan tiga gembong iblis Mo-kau yang biasanya membunuh orang tanpa kenal ampun mau dikurung begitu saja secara sukarela?

Maka dengan tersenyum Yim Ngo-heng telah menjawab, “Maksud baik Hong-ting Taysu benar-benar harus dipuji, sebenarnya Cayhe seharusnya menurut.”

“Jadi Sicu sudah mau tinggal di Siau-sit-san sini?” Hong-ting menegas dengan girang.

“Benar,” sahut Yim Ngo-heng. “Cuma paling lama aku hanya akan tinggal dua jam saja di sini, lebih lama lagi aku tidak sanggup.”

Hong-ting tampak sangat kecewa, katanya, “Hanya tiga jam saja? Apa gunanya waktu sesingkat ini?”

“Memangnya Cayhe ingin tinggal beberapa hari lebih lama agar bisa bercengkerama dengan para sobat di sini, cuma sayang nama Cayhe sudah telanjur kurang baik, ya, apa boleh buat?”

“Lolap menjadi tidak paham,” kata Hong-ting bingung. “Apa hubungannya dengan nama Sicu yang terhormat?”

“Ya, she Cayhe kurang baik, namaku juga kurang baik,” sahut Yim Ngo-heng. “Aku she Yim pakai nama Ngo-heng pula (yim-ngo-heng berbuat semaunya). Tahu begini tentu sejak mula aku akan mencari nama yang lebih bagus. Sekarang sudah telanjur pakai nama begini, ya apa boleh buat, terpaksa aku berbuat sesukaku, ke mana aku ingin pergi, di situlah aku tiba.”

“O, kiranya Yim-siansing sengaja permainkan Lolap,” kata Hong-ting kurang senang.

“Mana aku berani,” sahut Yim Ngo-heng. “Di antara tokoh-tokoh terkemuka pada zaman ini yang kukagumi boleh dikata sangat terbatas, paling-paling cuma tiga setengah saja. Taysu termasuk satu di antaranya. Selain itu masih ada tiga setengah orang yang tidak kusukai.”

Ucapan Yim Ngo-heng itu sangat sungguh-sungguh, sedikit pun tiada nada mengolok-olok. Maka dengan merangkap kedua tangan Hong-ting berkata, “Omitohud! Banyak terima kasih atas pujianmu.”

Semua orang, termasuk Lenghou Tiong yang sembunyi di balik pigura, merasa heran dan ingin tahu siapa-siapa tiga setengah orang tokoh zaman ini yang dikatakan dikagumi oleh gembong Mo-kau ini dan siapa-siapa lagi tiga setengah orang yang tak disukainya itu?

Tiba-tiba seorang yang bersuara nyaring berseru, “Yim-siansing, siapa-siapa lagi yang kau kagumi?”

“Maaf, Saudara tidak termasuk di antaranya,” sahut Yim Ngo-heng dengan tertawa.

“Cayhe mana berani disejajarkan dengan Hong-ting Taysu,” kata orang itu. “Sudah tentu aku adalah orang yang tak disukai Yim-siansing.”

“Kau pun tidak termasuk di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai,” kata Yim Ngo-heng. “Kau boleh berlatih 30 tahun lagi, mungkin kelak akan membikin aku menjadi tidak suka.”

Orang itu menjadi bungkam. Semua orang pun berpikir, “Kiranya juga tidak mudah untuk menjadi orang yang tidak kau sukai.”

“Apa yang dikatakan Yim-siansing benar-benar sesuatu yang serbamenarik,” kata Hong-ting.

“Hwesio besar, apakah kau ingin tahu siapa-siapa lagi yang kukagumi dan siapa-siapa pula yang tidak kusukai?” tanya Yim Ngo-heng.

“Memang ingin minta penjelasan Sicu,” sahut Hong-ting.

“Hwesio besar, seperti kukatakan tadi, padri saleh macam kau adalah tokoh utama yang kukagumi. Adapun orang kedua yang kukagumi adalah Tonghong Put-pay, orang yang telah merebut kedudukan kaucu dari tanganku itu.”

Semua orang sama bersuara heran karena hal ini sama sekali di luar dugaan. Semua orang mengetahui Yim Ngo-heng kena dijebak oleh Tonghong Put-pay dan dikerangkeng sekian lamanya, tentu dia akan sangat benci dan dendam kepada seterunya itu. Siapa tahu Tonghong Put-pay malah termasuk seorang yang dikaguminya.

“Kekagumanku kepada Tonghong Put-pay bukannya tidak beralasan,” sambung lagi Yim Ngo-heng. “Selamanya aku merasa tiada tandingannya di dunia ini baik dalam hal ketinggian ilmu silat maupun dalam hal kecerdasan. Tak terduga, aku bisa masuk perangkapnya Tonghong Put-pay dan hampir-hampir terkubur selamanya di dasar danau. Tokoh selihai Tonghong Put-pay masakah tidak pantas dikagumi?”

Bab 96. Yim Ngo-heng Menang dengan Akal Licik

Betul juga pembahasanmu,” ujar Hong-ting sambil mengangguk.

“Dan orang ketiga yang kukagumi adalah tokoh puncak dari Hoa-san-pay pada masa kini,” kata lagi Yim Ngo-heng.

Kembali semua orang merasa di luar dugaan. Padahal tadi dia sengaja mengolok-olok Gak Put-kun, siapa tahu di dalam hati dia mengagumi ketua Hoa-san-pay itu.

Mendadak Gak-hujin buka suara, “Kau tidak perlu pakai kata-kata demikian untuk menyindir orang.”

“Haha, Gak-hujin, apakah kau mengira suamimu yang kumaksudkan?” Yim Ngo-heng tertawa. “Huh, dia ... dia masih selisih terlalu jauh. Yang kukagumi adalah Hong Jing-yang Hong-losiansing, ilmu pedangnya mahasakti dan jauh lebih mahir daripadaku. Maka aku mengagumi dia setulus hati tiada tara.”

“Apakah Hong-losiansing masih hidup di dunia ini?” tanya Hong-ting sambil memandang Yim Ngo-heng, lalu berpaling pula ke arah Gak Put-kun dan istrinya.

“Hong-susiok sudah mengasingkan diri pada beberapa puluh tahun yang lalu, selama ini tiada pernah ada kabar beritanya,” kata Gak Put-kun. “Adalah beruntung sekali bagi Hoa-san-pay kami bilamana beliau masih hidup.”

“Hm, Hong-losiansing adalah orang Kiam-cong dan kau sendiri orang pihak Khi-cong, kedua sekte Hoa-san-pay kalian biasanya saling bermusuhan, keuntungan apa bagimu jika Hong-losiansing benar-benar masih hidup?” jengek Yim Ngo-heng.

Wajah Gak Put-kun sebentar pucat sebentar merah karena olok-olok itu, hatinya menjadi kebat-kebit pula, pikirnya, “Iblis ini meski terkenal jahat, tapi kabarnya sangat menilai tinggi dirinya dan tidak mau omong kosong. Jangan-jangan Hong Jing-yang memang benar masih hidup di dunia ini?”

Biasanya dia sangat sabar dan tenang menghadapi segala soal, tapi sekarang urusannya menyangkut kepentingan Hoa-san-pay sendiri, perasaannya yang bergolak menjadi sukar ditutupi.

Maka dengan tertawa Yim Ngo-heng berkata pula, “Kau jangan khawatir. Hong-losiansing adalah tokoh dunia luar, masakah kau menyangka beliau mengincar kedudukan ciangbunmu ini?”

Dengan tegas Gak Put-kun berkata, “Cayhe tidak punya kepandaian apa-apa, bila Hong-susiok sudi menggantikan diriku sungguh suatu hal yang menggirangkan. Apakah Yim-siansing dapat memberi tahu tempat kediaman Hong-susiok agar Cayhe dapat mengunjungi beliau. Untuk mana segenap orang Hoa-san-pay akan sangat berterima kasih padamu.”

“Pertama aku tidak tahu di mana beradanya Hong-losiansing,” jawab Yim Ngo-heng sambil goyang kepala. “Kedua, seumpama tahu juga takkan kukatakan padamu. Tusukan tombak dari depan mudah dielakkan, serangan senjata rahasia dari belakang sukar dijaga.
Gampang sekali menghadapi pengecut tulen, tapi laki-laki palsu benar-benar membikin kepala pusing.”

Gak Put-kun terdiam atas olok-olok itu. Sebagai seorang kesatria yang ramah tamah sudah tentu ia tidak dapat bertengkar hanya urusan kata-kata saja.

Kemudian Yim Ngo-heng berpaling kepada ketua Bu-tong-pay, yaitu Tiong-hi Totiang, katanya, “Orang keempat yang kukagumi adalah tosu tua kau ini. Thay-kek-kiam-hoat Bu-tong-pay kalian mempunyai keistimewaan tersendiri, kau imam tua ini bisa pula menjaga kepribadian sendiri dan tidak suka banyak ikut campur urusan Kangouw. Cuma kau tidak mahir mendidik murid, di antara anak murid Bu-tong-pay tiada sesuatu bibit muda yang menonjol, nanti kalau kau tua bangka ini sudah pulang ke dunia nirwana, mungkin Thay-kek-kiam-hoat kalian akan ikut lenyap. Lagi pula meski kau punya ilmu pedang cukup tinggi, namun belum tentu mampu menangkan diriku. Maka dari itu aku hanya kagum padamu setengah saja, tidak satu penuh.”

“Haha, bisa mendapat setengah kagum dari Yim-siansing sudah cukup menaikkan harga diriku, terima kasih ya,” seru Tiong-hi Tojin dengan tertawa.

“Tidak perlu sungkan,” sahut Yim Ngo-heng. Lalu ia berpaling kepada Co Leng-tan dan berkata pula, “Co-tayciangbun, kau tidak perlu tertawa di muka, tapi marah di dalam perut. Meski kau tidak termasuk di dalam orang-orang yang kukagumi, tapi di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai justru kau menduduki tempat pertama.”
“Haha, aku benar-benar kaget tercampur girang,” sahut Co Leng-tan.

“Ilmu silatmu hebat, jalan pikiranmu juga mendalam, sangat cocok dengan seleraku,” kata Yim Ngo-heng. “Kau bermaksud melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu aliran besar untuk mengimbangi Siau-lim dan Bu-tong-pay, cita-citamu setinggi langit, sungguh harus dipuji. Cuma kau suka main selundap-selundup dengan macam-macam tipu keji, hal ini bukan perbuatan seorang kesatria sejati dan tidak bisa dikagumi.”

“Hm, di antara tiga setengah tokoh di zaman ini yang tidak kusukai, kau justru cuma masuk yang setengah saja,” jengek Co Leng-tan.

“Hah, bisanya meniru saja, sama sekali tidak punya pendirian sendiri, makanya kau tak bisa dikagumi, lebih-lebih tidak kusukai,” kata Yim-Ngo-heng sambil menggeleng.

“Kau sengaja mengobrol ke timur dan ke barat, apakah kau ingin mengulur waktu atau lagi menunggu bala bantuan?” jengek Co Leng-tan lagi.

“Apakah kau bermaksud mengerubut kami bertiga dengan jumlah kalian yang jauh lebih banyak?” ejek Yim Ngo-heng.

“Kau datang ke Siau-lim-si sini dan main membunuh sesukamu, lalu mau pergi secara aman, memangnya kau anggap kami ini patung semua?” kata Co Leng-tan. “Pendeknya, apa kau akan menuduh kami main kerubut atau bilang kami tidak mengutamakan tata tertib bu-lim, yang pasti kau telah membunuh anak murid Ko-san-pay kami, sekarang aku Co Leng-tan berada di sini, betapa pun aku ingin minta petunjuk beberapa jurus padamu.”

Tiba-tiba Yim Ngo-heng berkata kepada Hong-ting Taysu, “Hongtiang Taysu, di sini ini Siau-lim-si atau cabang Ko-san-pay?”

“Ai, Sicu ini sudah tahu sengaja tanya, sudah tentu di sini adalah Siau-lim-si,” sahut Hong-ting.

“Jika demikian, urusan di sini diputuskan oleh ketua Siau-lim-pay atau ketua Ko-san-pay?” tanya Yim Ngo-heng.
“Meski Lolap yang menjadi tuan rumah, tapi kalau para kawan ada saran-saran juga akan kuterima,” kata Hong-ting.
“Hahaha, memang benar ada saran yang bagus,” seru Yim Ngo-heng sambil terbahak. “Sudah tahu kalau bertempur satu lawan satu pasti akan kalah, maka sekarang ingin main kerubut. Eh, orang she Co, hari ini kalau kau mampu merintangi kepergianku, tidak perlu turun tangan segera aku akan menggorok leher sendiri di depanmu.”

“Sekarang kami bersepuluh orang di sini, untuk merintangi kau mungkin tidak sanggup, tapi untuk membunuh anak perempuanmu kukira tidaklah sukar,” sahut Co Leng-tan.

“Omitohud! Janganlah main bunuh-membunuh!” sela Hong-ting.

Hati Lenghou Tiong juga ikut berdebar. Ia tahu apa yang dikatakan Co Leng-tan itu memang bukan gertakan belaka.
Di antara kesepuluh orang yang dikatakan itu kalau bukan ketua sesuatu aliran persilatan ternama tentulah jago kelas wahid. Betapa pun tinggi ilmu silat Yim Ngo-heng paling-paling hanya bisa menyelamatkan diri sendiri saja. Dapatkah Hiang Bun-thian menyelamatkan diri sudah sukar dikatakan, apalagi Ing-ing, terang tiada harapan.

Tapi Yim Ngo-heng ternyata tidak kurang akal, jawabnya kontan, “Pikiran Co-tayciangbun memang cerdik. Tapi Co-tayciangbun sendiri punya anak laki-laki, Gak-siansing punya seorang anak perempuan. Ih-koancu seperti punya beberapa gundik kesayangan. Thian-bun Totiang tidak punya anak, tapi banyak murid yang dicintainya. Bok-taysiansing masih punya ayah-bunda di rumah. Kian-kun-it-kiam Cin San-cu dari Kun-lun-pay punya seorang cucu tunggal. Ada pula Kay-taypangcu dari Kay-pang ini, eh, Hiang-cosu, adakah orang kesayangan Kay-pangcu di rumahnya?”

“Kudengar Jing-lian Sucia dan Pek-lian Sucia yang terkenal dari Kay-pang itu sebenarnya adalah anak haram Kay-pangcu,” sahut Hiang Bun-thian.

“Apakah kau tidak keliru, janganlah kita salah membunuh orang baik-baik,” ujar Yim Ngo-heng.

“Tidak bisa salah, hamba sudah menyelidikinya dengan jelas,” sahut Hiang Bun-thian.

“Ya, apa mau dikata, andaikan salah membunuh juga tak bisa dihindarkan,” kata Yim Ngo-heng. “Terpaksa kita bunuh saja beberapa puluh orang Kay-pang, paling tidak dua orang di antaranya adalah sasaran yang tepat.”

“Pendapat Kaucu memang benar,” ujar Hiang Bun-thian.

Setiap kali Yim Ngo-heng menyebut sanak keluarga masing-masing, baik Co Leng-tan maupun yang lain-lain sama merasa ngeri.
Mereka tahu setiap kata gembong Mo-kau itu bukan bualan belaka, selamanya dia berani berkata dan berani berbuat. Jika benar-benar anak perempuannya dibunuh, maka dia pasti akan membalas dengan cara yang lebih keji terhadap sanak keluarga mereka. Kalau dipikir sungguh mendirikan bulu roma orang. Maka seketika suasana ruangan menjadi sunyi, wajah semua orang berubah pucat.

Selang sejenak barulah Hong-ting berkata, “Balas-membalas tentu tiada akhirnya. Yim-sicu, kami takkan mengganggu Yim-siocia, cuma kalian bertiga diminta tinggal di sini selama sepuluh tahun saja.”

“Tidak bisa, nafsu membunuhku sudah tergerak, sekali mulai ingin kubunuh keempat gundik cantik kesayangan Ih-koancu itu,” kata Yim Ngo-heng. “Begitu pula anak perempuan Gak-siansing tidak boleh dibiarkan hidup di dunia ini.”

Keruan Lenghou Tiong terperanjat di tempat sembunyinya, ia tidak tahu ucapan Yim Ngo-heng itu hanya untuk menakut-nakuti saja atau benar-benar akan mengadakan penyembelihan secara besar-besaran.

“Eh, Yim-siansing, bagaimana kalau kita mengadakan taruhan?” tiba-tiba Tiong-hi Tojin berkata.

“Tidak, dalam hal taruhan aku lagi sial, tidak punya angin. Tapi membunuh orang aku yakin akan berhasil,” kata Ngo-heng. “Membunuh jago-jago kelas tinggi mungkin juga gagal, tapi membunuh anak istri atau ayah ibu tokoh bersangkutan aku cukup yakin akan terlaksana.”

“Membunuh orang-orang yang tidak tahu ilmu silat bukan perbuatan seorang gagah,” kata Tiong-hi.

“Biarpun tidak gagah, sedikitnya akan membikin lawanku yang menyesal selama hidup dan aku sendirilah yang senang,” kata Ngo-heng.

“Kau pun akan kehilangan anak perempuan, apanya yang menyenangkan?” ujar Tiong-hi Tojin. “Kehilangan anak perempuan berarti takkan punya menantu pula. Dan menantumu tentunya akan dipungut menantu oleh orang lain, untuk mana rasanya kau pun tidak mendapat pamor apa-apa.”

“Ya, apa boleh buat,” kata Yim Ngo-heng. “Terpaksa aku pun membunuh mereka seluruhnya. Habis siapa suruh bakal menantuku itu tidak setia kepada anak perempuanku?”
“Begini saja, kami takkan main kerubut dan kau pun jangan sembarangan membunuh,” kata Tiong-hi. “Kita boleh bertanding secara adil. Kalian bertiga boleh bertanding tiga babak dengan tiga orang di antara kami. Dua-satu adalah pihak yang menang.”

“Benar, usul Tiong-hi Totiang memang lain daripada yang lain,” cepat Hong-ting menyetujui. “Kita boleh bertanding secara bersahabat, tidak perlu sampai binasa.”

“Jika kami bertiga kalah, maka diharuskan tinggal sepuluh tahun lamanya di sini, bukan?” tanya Yim Ngo-heng.

“Benar,” jawab Tiong-hi Tojin. “Bila kalian bertiga menangkan dua dari tiga babak, dengan sendirinya kami mengaku kalah dan kalian bebas buat pergi.
Kematian kedelapan murid kami ini pun anggap saja sia-sia.”

“Aku memang setengah kagum padamu, maka aku pun merasa kata-katamu ada setengahnya masuk di akal,” kata Ngo-heng. “Siapa di antara kalian yang akan maju tiga orang? Bolehkah aku yang memilih?”

“Hong-ting Taysu adalah tuan rumah, sudah pasti dia akan turun kalangan,” sela Co Leng-tan.
“Kepandaianku sudah terlena belasan tahun, maka sekarang aku pun ingin coba-coba tenagaku. Mengenai babak ketiga, karena usul ini dikemukakan oleh Tiong-hi Totiang, kan aneh jika dia hanya berpeluk tangan menonton saja, mau tak mau dia harus perlihatkan, juga kelihaian Thay-kek-kiam-hoatnya.”

Di antara sepuluh orang di pihak mereka itu memang Co Leng-tan sendiri dan Hong-ting Taysu serta Tiong-hi Tojin merupakan tiga jago paling tinggi, sekaligus dia menonjolkan mereka bertiga boleh dikata pasti akan menang. Yang jelas Ing-ing yang kepandaiannya masih terbatas itu pasti akan kalah menghadapi salah satu di antara mereka. Sedangkan Hong-ting, Tiong-hi, dan Co Leng-tan adalah tiga tokoh puncak tertinggi di pihak cing-pay, kepandaian mereka masing-masing rasanya tidak di bawah Yim Ngo-heng, dibandingkan Hiang Bun-thian mungkin lebih tinggi sedikit, jadi untuk menangkan dua dari tiga babak terang 80% sudah dipegang mereka. Bahkan tiga babak dimenangkan seluruhnya juga ada harapan. Yang dikhawatirkan pihak cing-pay hanyalah kalau Yim Ngo-heng sampai lolos, maka bukan mustahil segala tipu muslihat keji akan dipakai olehnya untuk mencelakai sanak keluarga mereka.

Ternyata Yim Ngo-heng tak bisa menerima usul Tiong-hi tadi, ia menggeleng dan berkata, “Pertandingan tiga babak kurasa tidak baik, marilah kita hanya bertanding satu babak saja. Kalian boleh pilih seorang jago, pihak kami juga tampilkan satu orang, dengan demikian urusan menjadi sederhana.”

“Yim-heng, hari ini kalian bertiga sudah terpencil di tengah kami, jangankan kami bersepuluh ini sudah tiga kali lebih kuat daripada pihakmu, asalkan Hongtiang Taysu mengeluarkan perintah, melulu jago Siau-lim-si saja seketika akan muncul beberapa puluh orang, belum lagi jago-jago pilihan dari golongan lain.”

“Makanya kalian ingin menang dengan mengerubut bukan?” jengek Yim Ngo-heng.

“Memang,” sahut Co Leng-tan.

“Huh, tidak tahu malu,” Yim Ngo-heng mengolok-olok lagi.

“Membunuh orang tanpa alasan itulah perbuatan yang tidak tahu malu,” balas Co Leng-tan.

“Apakah membunuh orang harus pakai alasan? Coba jawab Co-tayciangbun, alasan apa yang kau pakai untuk membunuh orang-orang yang telah menjadi korban keganasanmu selama ini?”

“Kenapa Yim-heng melantur tak keruan, apakah kau sengaja mengulur waktu dan tidak berani bertempur?” jengek Co Leng-tan.

Mendadak Yim Ngo-heng bersuit panjang, suaranya menggetar dinding, api beberapa lilin besar yang menerangi ruangan itu sampai guram, setelah suara suitannya reda barulah cahaya lilin menyala kembali. Hati semua orang pun berdebar-debar terpengaruh oleh suaranya itu, air muka mereka sama berubah.

“Baiklah,” kata Yim Ngo-heng kemudian, “marilah kita mulai bertanding, orang she Co.”

“Seorang laki-laki sejati sekali bicara harus pegang janji,” sahut Co Leng-tan. “Jika dua di antara kalian bertiga kalah, maka kalian harus tinggal sepuluh tahun di Siau-sit-san sini.”

“Baik,” sahut Yim Ngo-heng. “Marilah kita mulai, aku lawan kau, nanti Hiang-cosu melawan si cebol she Ih, anak perempuanku mencari lawan perempuan pula, bolehlah dia melayani Gak-hujin, Ling-lihiap.”

“Tidak bisa,” sahut Co Leng-tan. “Siapa-siapa di pihak kami yang harus maju adalah kami sendiri yang pilih, mana boleh kau main tunjuk sesukanya.”

“Jago masing-masing harus dipilih pihak sendiri, pihak lain tidak boleh pilih?” tanya Yim Ngo-heng.

“Ya,” jawab Leng-tan. “Pihak kami yang akan maju adalah kedua ketua Siau-lim dan Bu-tong ditambah lagi Cayhe.”

“Dengan kedudukan dan namamu masakah dapat disejajarkan dengan ketua-ketua Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay?” kembali Yim Ngo-heng mengolok-olok.

Muka Co Leng-tan menjadi merah, kata-kata Yim Ngo-heng ini memang tepat mengenai boroknya. Terpaksa ia menjawab, “Sudah tentu Cayhe tidak berani disejajarkan dengan ketua-ketua Siau-lim dan Bu-tong, tapi untuk melayani kau rasanya masih sanggup.”

“Hahaha! Bila aku minta belajar kenal dengan ilmu pukulan Siau-lim-pay kalian boleh tidak, Hong-ting Taysu?” kata Yim Ngo-heng terhadap Hong-ting.

“Omitohud! Sudah lama Lolap tidak latihan, terang bukan tandingan Yim-sicu,” sahut Hong-ting. “Cuma Lolap berharap dapat menahan Yim-sicu di sini, terpaksa beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini kusiapkan buat menerima pukulanmu.”

Meski Co Leng-tan menantang Yim Ngo-heng, tapi sesungguhnya ia tidak yakin akan dapat menang, ia cukup kenal “Gip-sing-tay-hoat” musuh yang lihai, meski sekarang dia sudah meyakinkan ilmu yang khusus dipakai melawan ilmu musuh itu, kalau tidak terpaksa ia pun tidak berani sembarangan mencobanya. Sekarang Yim Ngo-heng mengalihkan tantangannya kepada Hong-ting Taysu, sikap ini terang sengaja memandang hina padanya, namun di dalam hati Co Leng-tan berbalik senang. Pikirnya, “Memangnya aku khawatir jika kau terima tantanganku, lalu kau ajukan Hiang Bun-thian untuk menghadapi Tiong-hi Totiang, sedangkan anak perempuanmu kau suruh menempur Hong-ting Taysu. Dalam keadaan demikian bila Tiong-hi Totiang mengalami apa-apa, lalu aku tak bisa menangkan kau pula, tentu urusan bisa menjadi runyam.”

Hendaklah maklum bahwa tokoh-tokoh puncak seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin hanya diketahui sangat hebat kepandaian masing-masing, tapi selama ini kebanyakan orang belum pernah menyaksikan sendiri sampai di mana lihainya mereka. Sebaliknya dahulu Hiang Bun-thian sudah pernah melabrak orang cing-pay serta anak buah Mo-kau, banyak jago-jago Ko-san-pay, Kun-lun-pay, dan lain-lain menjadi korban keganasannya waktu itu, yang berhasil lari kembali sama melaporkan peristiwa itu kepada perguruan masing-masing dengan gambaran yang menakutkan, maka Co Leng-tan rada kenal kelihaian Hiang Bun-thian.

Bilamana Yim Ngo-heng menggunakan tipu “prajurit diadu dengan jenderal”, dia sengaja suruh putrinya melawan Hong-ting Taysu dan menyerah kalah, kemudian kalau Tiong-hi Tojin yang sudah tua itu juga dikalahkan Hiang Bun-thian yang lebih muda dan tangkas, maka pertarungan antara Co Leng-tan sendiri melawan Yim Ngo-heng menjadi sukar dipastikan. Sebab itulah Co Leng-tan merasa kebetulan ketika Hong-ting Taysu ditantang oleh Yim Ngo-heng, tanpa bicara lagi ia lantas melangkah ke pinggir.
“Silakan Hongtiang,” kata Yim Ngo-heng kemudian sambil soja sebagai tanda pembukaan.
“Yim-sicu silakan buka serangan lebih dulu,” sahut Hong-ting sambil rangkap tangan membalas hormat.

“Yang Cayhe mainkan adalah kepandaian ajaran murni Tiau-yang-sin-kau, sebaliknya yang akan Taysu mainkan adalah ilmu silat murni Siau-lim-pay.
Babak pertandingan kita ini menjadi murni melawan murni,” kata Yim Ngo-heng.

“Huh, ajaran murni apa? Tidak tahu malu!” mendadak Ih Jong-hay mengejek.

“Hongtiang Taysu, harap kau tunggu dulu, akan kubunuh dulu si cebol itu, kita bertempur sebentar lagi,” kata Yim Ngo-heng kepada Hong-ting.
“Jangan! Terimalah pukulanku ini, Yim-sicu!” cepat Hong-ting berseru sambil melancarkan serangan pertama. Ia tahu watak Yim Ngo-heng yang berani berkata dan berani berbuat, bukan mustahil secepat kilat Ih Jong-hay akan terus dibunuh olehnya. Maka segera ia mendahului membuka serangan.

Pukulan Hong-ting tampaknya sangat enteng dan biasa, tapi sampai di tengah jalan mendadak pukulannya bergerak-gerak, satu tapak tangan berubah menjadi dua bayangan tangan, dua berubah menjadi empat dan berubah lagi menjadi delapan.

“Jian-jiu-ji-lay-ciang!” teriak Yim Ngo-heng mengenali ilmu pukulan “Buddha Seribu Tangan” itu. Ia tahu bila terlambat sekejap saja delapan tangan musuh akan terus berubah menjadi 16 tangan, lalu 32 tangan dan 64 tangan, dan begitu seterusnya. Maka cepat ia pun balas memukul ke bahu kanan Hong-ting.

Segera Hong-ting menarik kembali pukulannya, tangan lain bergantian menyerang dengan cara yang sama, bergoyang-goyang, satu berubah dua, dua berubah empat, dan seterusnya. Tapi Yim Ngo-heng lantas melompat ke atas, berturut-turut ia pun balas pukul dua kali.

Dari atas Lenghou Tiong mengikuti pertarungan itu, dilihatnya pukulan Hong-ting sukar diduga perubahannya setiap kali, belum lanjut pukulannya segera berubah beberapa kali. Sungguh ilmu pukulan mahaaneh yang belum pernah dilihatnya.

Sebaliknya ilmu pukulan Yim Ngo-heng sangat sederhana, tangannya hanya menjulur dan ditarik kembali secara biasa, tampaknya rada kaku. Tapi biarpun Hong-ting Taysu melancarkan pukulan-pukulan yang sukar dijajaki itu, namun setiap kali Yim Ngo-heng menyambut serangannya itu, tentu Hong-ting cepat ganti serangan lain. Tampaknya kedua orang sama kuat dan sama lihainya.

Dalam hal ilmu pukulan dan sebagainya Lenghou Tiong tidak begitu mahir, maka ia menjadi bingung menyaksikan ilmu pukulan kedua tokoh puncak dari dunia persilatan sekarang ini. Yang dia perhatikan hanyalah kalah menang kedua orang itu, maka ia terus mengikutinya dengan asyiknya.

Selang sebentar, tertampak Yim Ngo-heng menyodokkan kedua tangannya ke depan secara mendadak. Kontan Hong-ting Taysu terdesak mundur dua-tiga tindak berturut-turut. Lenghou Tiong terkesiap, hatinya menjerit, “Wah, celaka, tampaknya Hong-ting Taysu bisa kalah.”

Tapi segera kelihatan padri tua itu memukulkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, menyusul Yim Ngo-heng berbalik mundur selangkah dan mundur lagi.

Dalam hati Lenghou Tiong merasa bersyukur dan menghela napas lega. Tiba-tiba ia berpikir, “Aneh, kenapa aku menjadi khawatir ketika melihat Hong-ting Taysu mau kalah, sebaliknya merasa senang setelah dia bisa merebut kembali posisinya. Ya, betapa pun Hong-ting Taysu adalah padri saleh, sedangkan Yim-kaucu adalah gembong Mo-kau, hati nuraniku tetap bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.”

Tapi lantas terpikir lagi, “Namun bila Yim-kaucu kalah, Ing-ing tentu akan terkurung lagi selama sepuluh tahun di Siau-sit-san sini, hal ini pun bukan keinginanku.”

Seketika ia menjadi bingung. Hanya dalam hati kecilnya terasa serbasusah. Karena tidak paham intisari ilmu pukulan Hong-ting Taysu dan Yim Ngo-heng yang luar biasa itu, perlahan-lahan ia alihkan pandangannya ke arah lain. Dilihatnya Ing-ing berdiri bersandar di sebuah tiang, tampaknya lemah gemulai, alisnya yang lentik rada terkerut seperti sedang sedih mengenai sesuatu urusan.

Serentak rasa kasihan Lenghou Tiong berkobar, ia pikir gadis selemah itu mana boleh terkurung lagi sepuluh tahun di sini, dia mana sanggup menerima penderitaan demikian? Padahal dia pernah berusaha menolong aku tanpa menghiraukan jiwanya sendiri.

Watak Lenghou Tiong memang penuh perasaan, teringat akan pengorbanan si nona untuk dirinya itu, jangankan Ing-ing hanya putri seorang kaucu dari Mo-kau, sekalipun dia adalah perempuan jahat yang terkutuk juga dirinya tak bisa mengingkari budi kebaikannya.

Dalam pada itu pandangan belasan orang di tengah ruangan itu sama terpusatkan ke tengah kalangan pertempuran yang hebat itu. Co Leng-tan merasa bersyukur Yim Ngo-heng telah memilih lawan Hong-ting Taysu, kalau babak pertama dirinya yang dipilih rasanya sukar menghadapi ilmu pukulan aneh gembong Mo-kau itu.

Sebaliknya Hiang Bun-thian juga sedang berpikir, “Ilmu silat Siau-lim-pay yang tersohor selama beratus-ratus tahun ternyata memang bukan omong kosong belaka. Bila aku harus menghadapi jago Siau-lim-pay, terpaksa aku harus mengadu tenaga dalam dengan dia, untuk bertanding ilmu pukulan terang aku tak bisa menang.”

Di sebelah lain diam-diam Gak Put-kun, Thian-bun Tojin, dan lain-lain juga sama menilai ilmu pukulan kedua jago yang sedang bertempur itu dengan mengukur kepandaian sendiri-sendiri.

Sesudah sekian lamanya pertempuran sengit itu berlangsung, lambat laun Yim Ngo-heng merasa ilmu pukulan Hong-ting Taysu mulai kendur, diam-diam ia bergirang, pikirnya.

Segera ia pergencar serangannya, setelah beberapa kali memukul lagi, mendadak waktu menarik tangan kanan dirasakan nadi pergelangan rada kaku, tenaga dalam rada macet jalannya, sungguh kejutnya bukan buatan. Ia tahu itulah gangguan pada tenaga dalamnya sendiri yang disebabkan oleh lwekang lawan. Sungguh tak terduga olehnya bahwa Ih-kin-keng hwesio tua itu ternyata begini lihai, meski tenaga pukulan masing-masing tidak pernah beradu secara keras lawan keras, tapi tenaga dalam sendiri sudah terkekang olehnya.

Yim Ngo-heng sadar bilamana pertarungan diteruskan, bilamana tenaga dalam lawan mulai dikerahkan dengan hebat tentu dirinya akan kewalahan. Saat itu pukulan kiri Hong-ting sudah tiba, tanpa pikir Yim Ngo-heng menggertak sambil memapak dengan sebelah tangan pula, “plak”, kedua tangan beradu, kedua orang sama-sama mundur setindak.
Terasa tenaga dalam hwesio tua itu sangat lunak, tapi luar biasa kuatnya. Meski Yim Ngo-heng sudah mengeluarkan “Gip-sing-tay-hoat” toh sedikit pun tak bisa menyedot tenaga lawan, keruan ia tambah kaget.

“Siancay, Siancay!” Hong-ting menyebut Buddha, menyusul tangan kanan menghantam lagi. Kembali Yim Ngo-heng memapak pukulan lawan.

Kedua tangan beradu lagi dan tubuh masing-masing sama tergeliat.
Yim Ngo-heng merasa darah seluruh badan seakan-akan tersirap. Cepat ia melangkah mundur dua tindak, mendadak ia putar tubuh sambil mencengkeram dengan tangan kanan, tahu-tahu dada Ih Jong-hay kena terpegang, tangan kiri terus menabok ke batok kepala ketua Jing-sia-pay itu.

Serangan kilat yang amat aneh dan cepat luar biasa ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Sudah jelas Yim Ngo-heng kewalahan menghadapi pukulan-pukulan Hong-ting Taysu tadi, siapa duga mendadak ia ganti sasaran dan menyerang Ih Jong-hay.

Jelek-jelek Ih Jong-hay sebenarnya juga seorang tokoh silat, kalau terang-terangan berhadapan dengan Yim Ngo-heng, sekalipun dia pasti kalah, tapi tidak mungkin hanya satu gebrak saja lantas keok, apalagi tertangkap mentah-mentah.

Begitulah di tengah jerit kaget orang banyak, mendadak Hong-ting Taysu melompat tiba pula, sebagai burung terbang saja ia menubruk sambil memukul belakang kepala Yim Ngo-heng dengan kekuatan dua tangan. Ini adalah tipu “serang sini buat tolong sana” yang terkenal dalam ilmu silat, serangan lihai yang memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu dan melepaskan tawanannya.

Melihat serangan Hong-ting Taysu yang dilancarkan secara kilat itu, semua orang tergerak hatinya dan amat kagum pada tindakannya yang cepat itu. Mereka tidak sempat bersorak memuji, tapi mereka tahu jiwa Ih Jong-hay dapatlah diselamatkan.

Dan memang betul juga Yim Ngo-heng terpaksa harus urungkan tabokannya ke atas kepala Ih Jong-hay tadi, tapi tidak digunakan menangkis serangan Hong-ting, sebaliknya ia mencengkeram “tan-tiong-hiat” di dada Hong-ting, menyusul tangan kanan ikut bekerja pula, dengan tepat ulu hati hwesio tua itu kena tertutuk.

Tanpa ampun lagi tubuh Hong-ting Taysu menjadi lemas dan roboh terkulai. Keruan semua orang terperanjat, beramai-ramai mereka lantas menerjang maju.

Segera Co Leng-tan mendahului menghantam ke punggung Yim Ngo-heng. Tapi Yim Ngo-heng sempat menangkis. Bentaknya, “Bagus, anggaplah ini babak kedua.”

Co Leng-tan melancarkan serangan kilat, kadang-kadang menjotos, lain saat pakai telapak tangan, tiba-tiba menutuk dengan jari, mendadak mencengkeram pula, dalam sekejap saja ia sudah menggunakan belasan macam gelak tipu yang lihai.

Karena serangan kilat lawan ini, seketika Yim Ngo-heng hanya bisa bertahan saja dan tak mampu balas menyerang. Kiranya beberapa jurus serangannya yang terakhir sehingga dapat mengakali Hong-ting Taysu dan merobohkan padri itu, namun untuk mana terpaksa ia harus mengerahkan segenap tenaganya, kalau tidak masakah ketua Siau-lim-pay yang memiliki lwekang setinggi itu begitu gampang lantas kena dicengkeram “tan-tiong-hiat” di dada dan tertutuk roboh? Serangan-serangan ini boleh dikata merupakan taruhan terakhir bagi Yim Ngo-heng.

Betapa tajam pandangan Co Leng-tan, apa yang dilakukan Yim Ngo-heng itu ternyata tidak terluput dari penglihatannya, ia pikir inilah kesempatan yang susah dicari, maka tanpa pedulikan nanti akan dituduh sebagai pengecut yang menyerang orang secara bergiliran, cepat ia menerjang Yim Ngo-heng.

Hendaklah maklum bahwa kemenangan Yim Ngo-heng atas Hong-ting Taysu itu semata-mata juga karena akal licik saja. Ia sudah tahu benar bahwa lawannya berhati welas asih, maka ia memperhitungkan jika dirinya mendadak hendak membinasakan Ih Jong-hay, pertama orang-orang lain tidak keburu menolong ketua Jing-sia-pay itu karena jarak mereka agak jauh, kedua, mereka itu sama tidak menyukai pribadi Ih Jong-hay, tentu mereka tak mau ambil risiko buat menolong orang yang tidak disukai. Dalam keadaan demikian ia yakin hanya Hong-ting Taysu-lah yang akan menolong Ih Jong-hay.

Yim Ngo-heng juga sudah memperhitungkan cara ketua Siau-lim-pay itu menolong Ih Jong-hay tentulah akan menyerang dia, tapi dia justru tidak menangkis serangan Hong-ting itu, tapi berbalik mencengkeram dan menutuk hiat-to penting hwesio tua itu.

Bab 97. Pertarungan Tiga Babak

Cara Yim Ngo-heng ini sesungguhnya teramat berbahaya. Sebab kedua tangan Hong-ting yang menghantam belakang kepalanya itu tidak perlu kena dengan tepat, cukup angin pukulannya saja sudah bisa membikin otaknya menjadi kopyor. Namun di waktu Yim Ngo-heng menangkap Ih Jong-hay secara mendadak memang sudah mempertaruhkan jiwanya sendiri sebagai taruhan terakhir, yang dia pertaruhkan adalah hati welas asih padri saleh itu, jika pukulannya yang bisa bikin kepalanya pecah itu ternyata tidak ditangkis tentu dia akan menarik kembali tenaga pukulannya secara mendadak. Sebaliknya di kala itu tubuh Hong-ting tentu masih terapung di udara, pada saat menarik kembali tenaga pukulannya sebisa mungkin tentu bagian dada dan perut tak terjaga, maka sekali cengkeram dan sekali tusuk Yim Ngo-heng benar-benar berhasil merobohkan Hong-ting Taysu.

Namun demikian betapa dahsyatnya tenaga pukulan Hong-ting yang mendadak ditarik kembali itu toh masih kena menyambar batok kepala Yim Ngo-heng, seketika Yim Ngo-heng merasa kepalanya sakit seakan-akan pecah, napas terasa sesak dan mata berkunang-kunang pula....

Bahwa Yim Ngo-heng menang dengan cara licik telah dapat dilihat dengan jelas oleh orang-orang yang menyaksikan di luar gelanggang. Cepat Tiong-hi Tojin membangunkan Hong-ting Taysu dan membuka hiat-to yang tertutuk, katanya dengan gegetun, “Pikiran Hongtiang Suheng yang baik malah kena diakali oleh lawan secara licik.”

“Omitohud!” ujar Hong-ting. “Pikiran Yim-sicu memang cerdik, adu akal dan tidak adu tenaga, sungguh Lolap sangat kagum dan mengaku kalah.”

“Yim-kaucu memakai akal licik, kemenangannya tidak gemilang, caranya bukan perbuatan seorang laki-laki sejati,” seru Gak Put-kun.

“Memangnya orang Tiau-yang-sin-kau kami ada laki-laki sejati?” sahut Hiang Bun-thian dengan tertawa. “Jika Yim-kaucu adalah laki-laki sejati tentunya sedari dulu sudah berkomplot dengan kau, buat apa pakai bertanding lagi sekarang?”

Gak Put-kun menjadi bungkam oleh debatan Hiang Bun-thian.

Dalam pada itu Yim Ngo-heng sedang melancarkan pukulannya dengan perlahan sambil bersandar pada tiang kayu di belakangnya, ia dapat menangkis setiap serangan Co Leng-tan.

Sebagai kepala perserikatan Ngo-gak-kiam-pay, biasanya Co Leng-tan sangat angkuh. Di waktu biasa tentu dia tidak mau menempur Yim Ngo-heng di kala lawannya itu baru saja bertempur melawan tokoh nomor satu dari Siau-lim-pay, sebab cara demikian tentu akan dianggap licik dan pengecut serta diejek orang. Tapi tadi caranya Yim Ngo-heng merobohkan Hong-ting Taysu juga memakai cara licik dan membikin marah tokoh-tokoh yang menyaksikan. Sekarang Co Leng-tan mendadak maju melabrak Yim Ngo-heng, hal ini malahan menimbulkan pujian orang karena setia kawannya.

Begitulah ketika Hiang Bun-thian melihat gerak-gerik Yim Ngo-heng rada lamban dan sukar mengganti napas di bawah berondongan serangan Co Leng-tan, cepat ia mendekati sang kaucu, katanya, “Co-tayciangbun, kau tahu malu tidak, masakan melawan orang yang habis bertempur? Biarlah aku saja yang melayani kau!”

“Sesudah kurobohkan orang she Yim baru kutempur kau, masakan aku takut padamu bertempur secara bergiliran?” sahut Co Leng-tan. Berbareng sebelah tangannya menghantam pula ke arah Yim Ngo-heng.

Sambil menangkis, hati Yim Ngo-heng menjadi panas juga oleh kata-kata Co Leng-tan itu. Katanya dengan nada dingin, “Hm, hanya sedikit kepandaianmu ini saja bisa merobohkan Yim Ngo-heng? Kau minggir saja, Hiang-hiante!”

Hiang Bun-thian kenal watak sang kaucu yang tinggi hati dan suka menang, ia tidak berani membangkang, terpaksa berkata, “Baiklah, biarlah aku menyingkir sementara. Tapi orang she Co ini terlalu pengecut dan tidak kenal malu, akan kutendang sekali pantatnya!”

Berbareng ia angkat sebelah kakinya buat menendang bokong Co Leng-tan.

“Apa kau akan main kerubut?” teriak Co Leng-tan dengan gusar sambil mengelak ke samping.

Tak terduga gerak kaki Hiang Bun-thian itu ternyata cuma pura-pura saja. Melihat Co Leng-tan tertipu, Hiang Bun-thian terbahak-bahak geli dan menjawab, “Hm, hanya anak haram yang sudi main kerubut!”

Lalu ia melompat mundur dan berdiri di sebelah Ing-ing.

Lantaran diledek oleh Hiang Bun-thian, serangan Co Leng-tan menjadi terhalang satu jurus. Kesempatan ini segera digunakan oleh Yim Ngo-heng untuk menarik napas panjang-panjang, seketika semangatnya terbangkit kembali. Kontan ia lantas balas menghantam tiga kali berturut-turut.

Sekuatnya Co Leng-tan mematahkan serangan Yim Ngo-heng itu, diam-diam ia terkesiap atas tenaga seteru lama yang jauh lebih hebat daripada dulu ini.

Pertarungan Co Leng-tan dan Yim Ngo-heng ini adalah ulangan dari pertandingan di masa dahulu. Yang satu adalah tokoh terkemuka dari golongan cing-pay, yang lain adalah gembong Mo-kau yang tiada bandingannya. Pertarungan di hadapan tokoh-tokoh tertinggi dunia persilatan sekarang ini benar-benar pertarungan yang menentukan. Karena itu mereka sangat mementingkan soal kemenangan, sama sekali berbeda daripada pertandingan Yim Ngo-heng melawan Hong-ting Taysu tadi yang dilangsungkan dengan ramah tamah. Sekarang keduanya sama-sama melancarkan serangan maut tanpa kenal ampun.

Makin lama semakin cepat pertarungan kedua orang itu, Lenghou Tiong sampai sukar membedakan siapa di antara mereka. Ia coba melirik ke arah Ing-ing, muka si nona yang putih bersih itu tiada menunjukkan sesuatu perasaan cemas atau khawatir, seakan-akan dia sangat yakin atas kemenangan sang ayah.

Rada lega hati Lenghou Tiong melihat sikap tenang Ing-ing itu. Ia coba memandang Hiang Bun-thian, tampak air mukanya sebentar lagi kelihatan dongkol dan kesal, seakan-akan jauh lebih gawat daripada dia sendiri yang bertempur.

“Pengalaman dan pengetahuan Hiang-toako dengan sendirinya jauh lebih luas daripada Ing-ing, melihat ketegangannya ini, mungkin sekali pertarungan Yim-siansing ini sukar mendapat kemenangan,” demikian pikir Lenghou Tiong.

Waktu pandangannya beralih lagi ke sebelah sana, tertampak sang guru berdiri sejajar dengan ibu-gurunya, di sebelahnya adalah Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin.
Di belakang mereka berdiri ketua Thay-san-pay Thian-bun Tojin dan ketua Heng-san-pay Bok-taysiansing. Sejak datang tadi sama sekali Bok-taysiansing tidak membuka suara sehingga Lenghou Tiong tidak tahu bahwa tokoh utama Heng-san-pay itu pun berada di Siau-lim-si.

Di sebelah lain tampak ketua Jing-sia-pay Ih Jong-hay berdiri sendirian di pojokan dengan memegang gagang pedang dan tampak merasa gusar sekali.

Orang yang berdiri di sebelah lain lagi adalah seorang pengemis tua, tentunya ketua Kay-pang yang bernama Kay Hong. Di sebelahnya ada pula seorang dengan perawakan yang gagah, tentunya dia adalah ketua Kun-lun-pay Cin-san-cu. Ketua Kun-lun-pay ini berjuluk “Kian-kun-it-kiam” atau Si Pedang Tunggal, tapi di punggungnya memanggul dua batang pedang.

Diam-diam Lenghou Tiong juga merasa tidak sopan dengan sembunyi di situ mendengarkan pembicaraan tokoh-tokoh terhormat itu. Kalau sampai ketahuan sungguh dirinya akan malu besar. Maka dia mengharap selekasnya Yim Ngo-heng akan menang satu babak lagi, dengan demikian dapatlah mereka bertiga pergi dengan bebas.
Dan nanti kalau Hong-ting Taysu dan lain-lain sudah mengundurkan diri dari ruangan belakang itu segera dia akan lekas menyusul dan menemui Ing-ing.

Terpikir akan bicara berhadapan dengan Ing-ing, seketika dadanya terasa hangat. Pikirnya, “Apakah benar-benar seterusnya aku akan menjadi suami istri dengan Ing-ing? Bahwa dia sangat setia dan cinta padaku sudah tidak perlu disangsikan lagi. Akan tetapi aku... aku....”

Lapat-lapat ia merasa selama ini bilamana dia teringat kepada Ing-ing, maka yang terpikir adalah ingin membalas kebaikannya, akan membantunya lolos dari kurungan Siau-lim-pay, akan menyiarkan di dunia Kangouw bahwa dirinya yang jatuh hati kepada si nona dan bukan sebaliknya agar orang-orang Kangouw tidak mencemoohkan Ing-ing dan membuatnya malu. Anehnya setiap bayangan Ing-ing yang cantik itu timbul dalam benaknya, hatinya tidak merasakan kebahagiaan dan kemesraan, hal ini sama sekali berbeda bilamana dia terkenang kepada siausumoaynya, yaitu Gak Leng-sian, yang sangat dicintainya itu. Terhadap Ing-ing pada lubuk hatinya yang dalam seakan-akan ada rasa rada-rada takut.

Ketika dia bertemu dengan Ing-ing semula, senantiasa dia menyangkanya sebagai seorang nenek tua. Maka yang timbul dalam hatinya adalah rasa hormat. Kemudian dilihatnya cara si nona yang gapah tangan, membunuh orang dengan gampang, memerintah orang secara tegas, maka dari rasa hormatnya telah meresap pula tiga bagian rasa muak dan tiga bagian pula rasa takut. Rasa muak itu perlahan-lahan menjadi tawar sesudah mengetahui si nona jatuh hati padanya.

Kemudian diketahui si nona mengorbankan diri dan terkurung di Siau-lim-si, maka timbul rasa terima kasih Lenghou Tiong yang tak terhingga. Namun rasa terima kasih yang dalam itu tidak menimbulkan pikiran ingin berhubungan lebih akrab, yang diharapkan hanya membalas budi kebaikan si nona saja. Maka ketika mendengar Yim Ngo-heng mengatakan dia adalah calon menantunya, entah mengapa perasaannya menjadi serbasusah, sedikit pun tidak membuatnya merasa senang. Padahal bicara soal kecantikan sungguh Ing-ing jauh melebihi Gak Leng-sian, tapi semakin melihat kecantikan Ing-ing itu, semakin dirasakan jarak yang jauh di antara mereka berdua.

Hanya sekejap saja Lenghou Tiong memandang Ing-ing dan tidak berani memandangnya lagi, dilihatnya kedua tangan Hiang Bun-thian mengepal, kedua matanya melotot besar. Ketika Lenghou Tiong memandang ke sana lagi, ternyata Co Leng-tan sudah terpojok, sebaliknya Yim Ngo-heng masih terus melancarkan pukulan demi pukulan dengan dahsyat.

Tampaknya Co Leng-tan sudah kewalahan, tangkisannya lemah, serangannya selalu gagal, jelas lebih banyak bertahan daripada menyerang.

Sekonyong-konyong terdengar Yim Ngo-heng membentak, kedua tangannya menyodok sekaligus ke dada lawan. Lekas-lekas Co Leng-tan menyambut, empat tangan beradu, “blang”, Co Leng-tan terdesak mundur dengan punggung menumbuk tembok sehingga debu pasir jatuh bertebaran dari atap.

Lenghou Tiong merasa badannya ikut terguncang, pigura besar yang dibuat sembunyi olehnya seakan-akan rontok ke bawah. Ia terkejut dan berpikir, “Sekali ini Co-supek tentu celaka. Mereka mengadu tenaga dalam, Yim-siansing menggunakan ‘Gip-sing-tay-hoat’ untuk menyedot tenaga Co-supek, lama-kelamaan tentu beliau akan kalah.”

Tapi lantas dilihatnya Co Leng-tan menarik kembali tangan kanan, hanya dengan sebelah tangan saja ia menahan kekuatan musuh, menyusul menggunakan dua jari tangan kanan menusuk ke arah Yim Ngo-heng.

Mendadak Yim Ngo-heng menjerit aneh dan lekas-lekas menghindar dengan melompat mundur. Segera Co Leng-tan menutuk lagi dengan jari tangan lain, berturut-turut ia menutuk tiga kali dan Yim Ngo-heng pun terdesak mundur tiga langkah.

Menyaksikan tiga kali serangan Co Leng-tan itu, Lenghou Tiong merasa heran, “Beberapa jurus serangan Co-supek ini sungguh aneh, entah ilmu pukulan apa?”

Tiba-tiba terdengar Hiang Bun-thian berseru lantang, “Bagus! Kiranya Pi-sia-kiam-boh telah jatuh di tangan Ko-san-pay.”

Lenghou Tiong semakin heran, “Aneh, apakah yang digunakan Co-supek adalah Pi-sia-kiam-hoat? Padahal dia toh tidak pakai pedang?”

Setelah ditunjukkan oleh Hiang Bun-thian, segera Lenghou Tiong dapat mengikuti gerak serangan Co Leng-tan itu memang benar adalah jurus-jurus serangan ilmu pedang. Hanya saja caranya sama sekali berbeda daripada ilmu pedang umumnya, sebab tangan orang dapat bergerak sesukanya, bisa lempeng, bisa melengkung, karena itu serangannya mirip tusukan pedang, tapi mendadak bisa berubah menjadi pukulan dan sukar diraba.

Sebagai seorang ahli silat, begitu serangan lawan dilontarkan, segera Yim Ngo-heng sudah melihat letak keanehan ilmu silat lawan itu. Cuma dalam keadaan terdesak seketika sukar baginya untuk menemukan cara mematahkannya. Bilamana lawan terdiri dari dua orang yang memakai pedang dan yang seorang menyerang dengan tangan kosong akan lebih gampang dilayani, tapi sekarang tangan Co Leng-tan dimanfaatkan secara dwiguna, dipakai menusuk sebagai pedang, digunakan memukul dan menghantam sebagai tangan biasa menurut keinginannya.

Gabungan ilmu silat antara pedang dan pukulan seperti Co Leng-tan sekarang ini, sekalipun Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang yang merupakan tokoh top persilatan juga merasa terheran-heran karena selamanya tidak pernah menyaksikan hal demikian. Mereka terkesiap, padahal Yim Ngo-heng terkenal dengan Gip-sing-tay-hoat yang mampu menyedot tenaga lawan, kenapa ketika empat tangan beradu tadi tampaknya Co Leng-tan tidak berkurang suatu apa pun. Apa mungkin lwekang pihak Ko-san-pay sudah kebal dan tidak takut kepada Gip-sing-tay-hoat? Demikian mereka tidak habis heran.

Jika para penonton terkesiap heran, sesungguhnya yang paling heran dan terkejut ialah Yim Ngo-heng. Teringat olehnya ketika bertarung dengan Co Leng-tan pada belasan tahun yang lalu, sebelum dirinya sempat menggunakan Gip-sing-tay-hoat pihak lawan sudah terdesak di bawah angin. Waktu itu ia sungkan menggunakan Gip-sing-tay-hoat sebab tanpa memakai ilmu itu pun musuh sudah kewalahan, pula pemakaian ilmu itu berarti sangat merugikan tenaga dalam sendiri yang terbuang, maka sedapat mungkin ia menghindari pemakaian Gip-sing-tay-hoat. Tapi ketika ratusan jurus kemudian dan tampaknya Co Leng-tan segera bisa dirobohkan, mendadak jantung sendiri terasa sakit dan tenaga sukar dikerahkan. Ia terkejut, ia tahu hal itu adalah akibat latihan Gip-sing-tay-hoat yang belum sempurna. Jika di waktu biasa tentu dia bisa lekas duduk semadi dan perlahan-lahan memunahkan rasa sakit itu. Tapi saat mana sedang menghadapi lawan tangguh, dari mana dia ada kesempatan merawat jantung yang sakit?

Selagi merasa cemas, tiba-tiba dilihatnya di belakang Co Leng-tan muncul dua orang, yang satu adalah sute Co Leng-tan sendiri, seorang lagi ialah ketua Thay-san-pay Thian-bun Tojin. Dengan cerdik Yim Ngo-heng lantas melompat keluar kalangan dan berseru dengan tertawa, “Haha, katanya kita satu lawan satu, tapi secara licik kau menyembunyikan pembantu. Hm, seorang laki-laki tidak sudi diakali, biarlah kita bertemu lagi lain kali, sekarang kakekmu tidak mau meladeni kau.”

Sebaliknya Co Leng-tan juga sadar akan kepastian kekalahannya, sekarang pihak lawan mendadak mau menyudahi pertandingan, tentu saja hal ini sangat kebetulan. Maka ia pun tidak berani mengejek dengan kata-kata yang bisa menimbulkan marah lawan dan memancing pertarungan lebih jauh, ia hanya menjawab, “Salahmu sendiri, kenapa kau pun tidak membawa beberapa orang begundalmu?”

Yim Ngo-heng mendengus, lalu putar tubuh dan tinggal pergi. Begitulah pertarungan di masa dahulu itu telah diakhiri tanpa ada yang kalah atau menang, tapi dalam batin masing-masing sudah cukup menginsafi kelemahan ilmu silatnya sendiri-sendiri. Sejak itulah mereka sama-sama meyakinkan ilmu masing-masing dengan lebih tekun.

Lebih-lebih Yim Ngo-heng yang mengetahui penyakit Gip-sing-tay-hoat yang dilatihnya itu, dengan Gip-sing-tay-hoat dia dapat menyedot tenaga lawan, tapi tenaga lawan yang disedot itu berbeda-beda golongan dan tidak sama pula kekuatannya. Campuran macam-macam tenaga itu kalau tidak segera dipunahkan pada saat yang tepat, akibatnya tentu akan timbul pada saat-saat yang tak terduga dan akan melawan tenaga dalam yang dimilikinya sendiri. Dengan lwekang Yim Ngo-heng yang tinggi dengan gampang ia dapat mengatasi pengacauan tenaga dalam dari orang lain itu. Tapi adalah sangat berbahaya bila tenaga liar itu mendadak mengacau pada saat dia sedang menghadapi lawan tangguh sebagaimana waktu dia bertempur melawan Co Leng-tan itu.

Sebabnya dia terjebak oleh Tonghong Put-pay dahulu, pokok utamanya juga lantaran dia terlalu asyik berlatih untuk menemukan sesuatu cara mengatasi pengacauan lwekang liar yang sering bergolak di dalam tubuhnya itu, pada saat memusatkan pikiran itulah, seorang tokoh mahacerdik sebagai dia sampai lengah terhadap perangkap yang diatur oleh Tonghong Put-pay. Akibatnya dia harus mendekam selama sepuluh tahun di dasar Se-ouw. Tapi di situ pula dia berhasil menemukan cara memunahkan lwekang liar yang bergolak di dalam tubuh itu sehingga Gip-sing-tay-hoat takkan menimbulkan penyakit “senjata makan tuan” lagi.

Sekarang dia ketemu lagi dengan Co Leng-tan, pihak lawan menggunakan tangan sebagai pedang dan melancarkan ilmu silat aneh, ketika dengar teriakan Hiang Bun-thian, ternyata gerak ilmu pedang yang dimainkan Co Leng-tan adalah Pi-sia-kiam-hoat yang sudah lama lenyap dari dunia persilatan, maka sadarlah Yim Ngo-heng sukar mematahkan ilmu silat lawan itu. Segera ia mengeluarkan Gip-sing-tay-hoat dan mengadu pukulan dengan lawan, tak terduga begitu ia bekerja untuk menyedot tenaga lawan ternyata pihak lawan tidak punya kekuatan apa-apa, sedikit pun tak bertenaga. Keruan kejutnya tak terkatakan, hal ini benar-benar tak pernah dijumpainya, bahkan tak pernah terpikir olehnya.

Setelah beberapa kali menggunakan Gip-sing-tay-hoat dan tetap tak bisa menyedot tenaga lawan, ia tidak berani menggunakan ilmu itu lagi, segera ia gunakan pukulan silat untuk menghujani pukulan-pukulan dahsyat kepada lawan. Terpaksa Co Leng-tan ganti siasat dengan bertahan saja.

Setelah berlangsung beberapa puluh jurus lagi, ketika Yim Ngo-heng melancarkan suatu pukulan tapak tangan, cepat Co Leng-tan menangkis dengan tangan kiri, sedang tangan kanan bergaya sebagai pedang terus menusuk ke iga kiri lawan.

Melihat gerak tusukan lawan sangat ganas, Yim Ngo-heng menimbang-nimbang dalam hati, apa mungkin seranganmu ini tidak bertenaga pula? Maka ia hanya sedikit miringkan tubuh, seperti menghindar, tapi sebenarnya sengaja memberi peluang agar tusukan lawan itu kena sasarannya.

Dengan demikian Yim Ngo-heng sengaja berikan peluang di bagian dadanya, tapi Gip-sing-tay-hoat sudah dikerahkan pada bagian itu dengan perhitungan, “Bila tusukan jarimu ini tak bertenaga, kan percuma saja seranganmu ini, sebaliknya kalau mengerahkan tenaga, maka sekaligus tenagamu pasti akan kusedot habis.”

Pertarungan di antara dua tokoh silat hanya ditentukan dalam gerak sekilas saja, sedikit dadanya memberi peluang, “cret”, kontan tusukan tapak tangan Co Leng-tan sudah mencapai sasarannya, dua jarinya telah tepat menikam pada thian-ti-hiat di bagian dada Yim Ngo-heng itu.

Para penonton sama berseru kaget. Terlihat jari Co Leng-tan rada merandek di atas dada Yim Ngo-heng yang tertutuk itu. Tanpa ayal Yim Ngo-heng telah mengerahkan Gip-sing-tay-hoat. Benar juga tenaga dalam Co Leng-tan lantas bocor, hanya sejenak saja tenaga dalam itu sudah membanjir bagai tanggul yang bobol terus tersedot oleh Yim Ngo-heng melalui thian-ti-hiat.

Dalam keadaan demikian ternyata Co Leng-tan tidak menjadi kaget atau khawatir, sebaliknya ia girang di dalam hati, bahkan ia kerahkan tenaganya.

Begitu pula Yim Ngo-heng merasa girang, ia menyedot semakin kuat, terasa tenaga dalam lawan makin membanjir, tapi mendadak badan Yim Ngo-heng tergeliat, dari pusarnya tiba-tiba suatu arus hawa dingin menerjang ke atas, seketika kaki dan tangan tak bisa berkutik, seluruh urat nadi serasa mogok dan tak bekerja lagi.

Pada saat itulah perlahan-lahan Co Leng-tan menarik kembali tangannya dan selangkah demi selangkah menyingkir ke pinggir sambil menatap Yim Ngo-heng tanpa bicara.

Waktu semua orang memandang Yim Ngo-heng, tertampak badannya rada gemetar, tangan dan kakinya kaku tak bergerak, keadaannya mirip orang yang tertutuk hiat-to tertentu.

“Ayah!” teriak Ing-ing sambil menubruk maju dan memegang badan sang ayah, terasa lengan ayahnya dingin luar biasa, cepat ia menoleh dan memanggil, “Hiang-sioksiok!”

Segera Hiang Bun-thian memburu maju, ia urut-urut beberapa kali di bagian dada Yim Ngo-heng, habis itu barulah Yim Ngo-heng bisa bersuara dan lancar kembali pernapasannya.

“Hm, bagus, bagus!” kata Yim Ngo-heng dengan muka merah padam.
“Tak terpikir olehku akan langkahmu ini. Marilah kita ulangi lagi!”

Tapi Co Leng-tan tidak menjawab, dia hanya menggeleng perlahan saja.

“Kalah-menang sudah jelas, mau ulangi apa lagi?” ujar Gak Put-kun. “Bukankah thian-ti-hiat Yim-siansing tadi sudah tertutuk oleh Co-ciangbun?”
“Cis!” jengek Yim Ngo-heng dengan gusar. “Ya, memang benar. Aku sendiri yang tertipu, baiklah babak ini anggap aku yang kalah.”

Kiranya tipu serangan Co Leng-tan tadi benar-benar sangat berbahaya dan dilakukan dengan untung-untungan. Ia telah mengerahkan seluruh “Han-giok-cin-gi” (Hawa Murni Mahadingin) yang dilatihnya selama belasan tahun ini dan sengaja dibiarkan disedot oleh Yim Ngo-heng, bahkan sengaja lawan menguras seluruh tenaga mahadingin itu ke dalam hiat-to. Memangnya lwekang kedua ini selisih tidak terlalu jauh, ketika mendadak tenaga sebanyak itu meresap ke dalam tubuh Yim Ngo-heng, pula tenaga itu mahadingin, maka dalam sekejap sekujur badan Yim Ngo-heng menjadi kaku terbeku. Pada detik Gip-sing-tay-hoat lawan itu mogok itulah Co Leng-tan lantas kerahkan tenaga dalamnya lagi dan menutup hiat-to lawan. Namun demikian lwekang Co Leng-tan sendiri juga sudah terkuras habis, untuk memulihkan kekuatannya sedikitnya juga perlu waktu dua-tiga bulan lagi.

Segera Hiang Bun-thian dapat melihat kelemahan Co Leng-tan itu, katanya, “Tadi Co-ciangbun sudah menyatakan akan melayani aku bila mengalahkan Yim-kaucu. Sekarang silakan mulai saja.”

Keadaan Co Leng-tan yang payah itu sudah tentu diketahui pula oleh Hong-ting Taysu, Tiong-hi Tojin, dan lain-lain, mereka tahu bila kedua orang benar-benar bertarung lagi, maka pasti Co Leng-tan akan kalah, bahkan cukup beberapa gebrakan saja Hiang Bun-thian dapat membinasakan Co Leng-tan. Tapi tadi Co Leng-tan memang pernah mengatakan demikian, kan berarti dia pengecut bila tidak terima tantangan Hiang Bun-thian itu.

Selagi semua orang serbaingin-tahu, tiba-tiba Gak Put-kun menyela, “Sejak mula kita sudah sepakat mengadakan tiga babak pertandingan, siapa jago-jago yang akan diajukan tergantung kepada pilihan pihak masing-masing dan tidak boleh main tunjuk oleh pihak lawan. Hal ini Yim-kaucu sendiri sudah setuju bukan? Bila Yim-kaucu benar seorang kesatria sejati, apakah mau mengingkari persetujuan ini?”

“Gak-siansing memang pintar bicara dan pandai berdebat, sungguh aku sangat kagum,” kata Hiang Bun-thian.
“Tapi kau masih terlalu jauh untuk bisa disebut sebagai ‘laki-laki sejati’. Caramu mendebat seperti pokrol bambu lebih mirip seorang pengecut yang tidak pegang janji.”

“Laki-laki sejati atau pengecut kan tergantung kepada orangnya,” sahut Gak Put-kun. “Di mata kaum laki-laki sejati tentunya berbeda cara penilaiannya daripada pandangan kaum pengecut.”

Di sini mereka berdebat, tapi di sebelah sana Co Leng-tan bersandar pada tiang dalam keadaan lemah, untuk berdiri saja sukar, jangankan bertempur lagi.

Ketua Bu-tong-pay Tiong-hi Tojin lantas tampil ke muka, katanya, “Sudah lama Hiang-cosu terkenal dengan julukan ‘Thian-ong-lo-cu’ (Datuk Maharaja), tentunya mempunyai kemahiran yang lain daripada yang lain. Sebelum aku mengasingkan diri pada waktu tidak lama lagi bisa lebih dulu menjadi lawan ‘Thian-ong-lo-cu’, sungguh hal ini merupakan kehormatan terbesar bagiku.”

Sebagai ketua Bu-tong-pay yang termasyhur, dengan ucapannya terhadap Hiang Bun-thian ini benar-benar dia telah menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap lawannya itu.

Karena itu menjadi sukar bagi Hiang Bun-thian untuk menolak tantangan halus itu. Katanya, “Hormat lebih baik menurut. Sudah lama kukagumi ‘Thay-kek-kiam-hoat’ Bu-tong-pay, terpaksa aku harus mengiringi Tiong-hi Totiang untuk beberapa gebrak.”
Habis berkata ia terus mengangkat kepalan sebagai tanda hormat sambil melangkah mundur beberapa tindak.

Tiong-hi Totiang membalas hormat. Kedua orang berdiri berhadapan dan saling menatap dengan tajam, tapi kedua orang tidak lantas melolos senjata.

Tiba-tiba Yim Ngo-heng berseru, “Nanti dulu! Silakan mundur dulu, Hiang-hiante!”

Habis itu ia lantas mengeluarkan pedangnya sendiri.

Keruan semua orang terperanjat melihat Yim Ngo-heng menghunus pedangnya. Mereka sangsi apakah benar Yim Ngo-heng berani menempur Tiong-hi Tojin lagi, padahal dia sudah bertanding dua babak sebelumnya.

Co Leng-tan lebih-lebih terkejut, tadi thian-ti-hiat lawan telah dibanjiri hawa dingin yang dilatihnya selama belasan tahun, untuk itu sekalipun dewa sakti juga perlu waktu beberapa hari baru bisa memulihkan tenaganya. Tapi mengapa hanya sebentar saja Yim Ngo-heng sudah kuat dan siap bertempur lagi?

Padahal saat itu di dalam perut Yim Ngo-heng terasa sakit seperti ditusuk-tusuk oleh berpuluh-puluh pisau, untuk bicara saja sangat dipaksakan jangankan lagi bertempur.

Tiong-hi Tojin berkata dengan tersenyum, “Apakah Yim-kaucu bermaksud memberi petunjuk padaku? Cuma, kurasa terlalu tidak adil dan sangat menguntungkan aku jika Yim-kaucu lagi yang maju pada babak ketiga ini.”

“Cayhe telah bertempur dua babak, jika bergebrak lagi dengan Totiang kan berarti terlalu memandang rendah kepada ilmu pedang Bu-tong-pay yang termasyhur, betapa pun takabur Cayhe juga tidak sedemikian rupa,” kata Yim Ngo-heng. “Soalnya Tiong-hi Totiang adalah tenaga baru dari pihak kalian, maka di pihak kami juga perlu diajukan seorang tenaga baru. Nah, adik cilik Lenghou Tiong, silakan turun kemari!”

Kata-kata ini benar-benar membikin kaget semua orang dan serentak ikut memandang ke arah yang dituju oleh sinar mata Yim Ngo-heng.

Lenghou Tiong terkejut juga dan serbasusah seketika. Ia pikir toh tidak bisa menyembunyikan diri lagi, terpaksa ia melompat ke bawah. Lebih dulu ia menyembah kepada Hong-ting Taysu dan berkata, “Secara sembrono aku telah menyusup ke kuil agung ini, mohon Taysu memberi maaf.”

“Hahahaha, kiranya kau,” kata Hong-ting sambil tertawa. “Kudengar pernapasanmu sangat perlahan dan merata, benar-benar ilmu pernapasan yang hebat, memangnya aku sedang heran tokoh kosen manakah yang telah berkunjung ke sini, tak tahunya adalah kau. Silakan bangun, jangan memakai peradatan setinggi ini.”

“Kiranya dia sudah mengetahui aku bersembunyi di balik pigura itu,” pikir Lenghou Tiong.

“Lenghou Tiong,” tiba-tiba ketua Kay-pang, Kay Hong berseru, “coba lihat tulisan apakah ini?”

Lenghou Tiong berbangkit dan memandang kepada tiang yang ditunjuk, ternyata di atas tiang kayu itu terukir tiga baris tulisan, baris pertama tertulis: “Di balik pigura ada orang”. Lalu baris kedua tertulis: “Akan kuseret dia keluar”. Baris ketiga tertulis: “Nanti dulu. Lwekang orang ini seperti cing juga seperti sia, entah lawan atau lawan”.

Setiap huruf itu melekuk cukup dalam dan tampaknya masih baru, terang diukir dengan tenaga jari oleh Hong-ting Taysu dan Kay Hong.

Kagum dan kejut Lenghou Tiong, pikirnya, “Dari pernapasanku yang perlahan saja Hong-ting Taysu sudah mampu membedakan asal usul ilmu lwekangku, sungguh seorang tokoh sakti.”

Bab 98. Ketua Hoa-san-pay yang Tidak Tahu Malu

Segera ia pun bicara lagi, “Mohon para Cianpwe sudi memberi maaf bilamana aku tidak sejak tadi turun memberi hormat, sebab merasa berdosa.”

“Kau merasa berdosa, hendak mencuri apakah kau datang ke Siau-lim-si sini?” tanya Kay Hong.

“Lantaran kudengar Yim-siocia ditahan di sini, maka maksudku hendak memapaknya pulang,” sahut Lenghou Tiong.

“Haha, kiranya kedatanganmu ini hendak mencuri bini,” kata Kay Hong dengan tertawa.

“Aku sudah utang budi kepada Yim-siocia, biarpun hancur lebur badanku juga rela baginya,” ujar Lenghou Tiong.

“Sayang, sungguh sayang,” kata Kay Hong dengan menghela napas. “Seorang muda baik-baik dan punya hari depan gemilang ternyata menjadi korban wanita. Bila kau tidak terjerumus, kelak jabatan ketua Hoa-san-pay masakah bisa lari dari tanganmu?”

“Hm, hanya ketua Hoa-san-pay saja kenapa mesti diherankan?” tiba-tiba Yim Ngo-heng menyela. “Kelak kalau aku sudah pulang ke dunia nirwana, jabatan ketua Tiau-yang-sin-kau kami ini masakah bisa lari dari tangan menantu kesayanganku ini?”

Lenghou Tiong terkejut katanya dengan suara gemetar, “O, ti... tidak... ti....”

“Sudahlah, tidak perlu banyak bicara lagi,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa. “Nah, Anak Tiong, boleh kau coba belajar kenal ilmu pedang sakti ketua Bu-tong-pay ini. Hendaklah kau hati-hati.”

Dia menyebut Lenghou Tiong sebagai “Anak Tiong”, tampaknya dia benar-benar sudah menganggapnya sebagai menantu. Keruan Lenghou Tiong serbakikuk.

Lenghou Tiong coba menimbang suasana sekitarnya, masing-masing pihak sementara itu sudah menang satu babak, jadi babak ketiga inilah yang menentukan Ing-ing bisa diselamatkan atau tidak. Ia sudah pernah bertanding pedang dengan Tiong-hi Totiang dan dapat mengalahkannya, maka untuk menolong Ing-ing mau tak mau dirinya harus maju.

Segera ia putar ke arah Tiong-hi Tojin dan menyembah beberapa kali padanya. Tiong-hi terkejut dan cepat membangunkannya dan berkata, “Kenapa Adik cilik memakai kehormatan setinggi ini?”

“Hatiku tidak tenteram karena harus minta pengajaran kepada Totiang yang sangat kuhormati,” sahut Lenghou Tiong.

“Ah, kau ini terlalu banyak adat,” ujar Tiong-hi sambil tertawa.

Waktu Lenghou Tiong berbangkit, Yim Ngo-heng lantas menyodorkan pedang kepadanya. Lenghou Tiong menerima pedang itu, lalu siap berdiri di sudut kiri dengan ujung pedang mengarah ke bawah.

Tiong-hi Totiang memandangnya sekejap, lalu berpaling dan memandang jauh ke angkasa luar dan termenung-menung sambil menimbang-nimbang akan ilmu pedang Lenghou Tiong yang telah dikenalnya tempo hari.

Melihat Tiong-hi termenung-menung dan tidak siap bertanding, semua orang menjadi heran, tadi tiada seorang pun yang berani menegur.

Agak lama kemudian, tiba-tiba Tiong-hi menghela napas panjang, lalu berkata, “Pertandingan babak ini tidak perlu dilangsungkan, kalian berempat boleh turun gunung saja.”

Keruan semua orang terperanjat mendengar ucapannya ini. “Apa artinya ucapanmu ini, Totiang?” tanya Kay Hong.

“Aku tidak menemukan cara mematahkan ilmu pedangnya, maka babak ini aku mengaku kalah saja,” sahut Tiong-hi.

“Tapi kalian kan belum bertanding?” ujar Kay Hong terheran-heran.

“Setengah bulan yang lalu di kaki Bu-tong-san sudah pernah kucoba lebih tiga ratus jurus dengannya, waktu itu aku kalah. Maka kalau bertanding lagi sekarang tetap aku tak bisa menang.”

“Benarkah telah terjadi demikian?” tanya Hong-ting dan lain-lain.

“Ya, adik cilik Lenghou Tiong sudah mendapat ajaran ilmu pedang Hong Jing-yang, Hong-locianpwe, maka sekali-kali aku bukan tandingannya,” sahut Tiong-hi, lalu ia pun mengundurkan diri ke pinggir.

“Jiwa kesatria Tiong-hi Totiang sungguh membikin aku sangat kagum. Mestinya aku cuma kagum separuh saja kepadamu, tapi sekarang telah bertambah menjadi kagum tiga per empat,” kata Yim Ngo-heng. Lalu ia memberi hormat kepada Hong-ting dan menyambung, “Hongtiang Taysu sampai berjumpa pula lain kali.”

Lenghou Tiong mendekati Gak Put-kun dan istrinya, ia berlutut dan menyembah.

“Aku tak berani terima,” kata Gak Put-kun dengan sikap dingin. Sebaliknya Gak-hujin menjadi pilu, air matanya berlinang-linang.

“Marilah kita pergi,” kata Yim Ngo-heng sembari sebelah tangan menggandeng Ing-ing sebelah tangan lain menggandeng Lenghou Tiong.

Kay Hong, Thian-bun Tojin, dan lain-lain menyadari kepandaian mereka tidak lebih tinggi daripada Tiong-hi Tojin, kalau Tiong-hi saja mengaku bukan tandingan Lenghou Tiong, sudah tentu mereka tidak berani mencari penyakit walaupun merasa sangsi.

Saat itu Yim Ngo-heng sudah mau melangkah keluar, tiba-tiba Gak Put-kun membentak, “Nanti dulu!”

“Ada apa?” tanpa Yim Ngo-heng sambil menoleh.

“Tiong-hi Totiang tidak sudi berurusan dengan manusia rendah, maka babak ketiga toh belum pernah terjadi,” kata Gak Put-kun. “Nah, majulah Lenghou Tiong, biar aku yang melayani kau.”

Sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan sehingga badannya gemetar, sahutnya dengan tergagap-gagap, “Suhu, aku... aku....”

Namun sikap Gak Put-kun biasa saja, katanya, “Katanya kau mendapat ajaran tokoh angkatan tua perguruan sendiri, Hong-susiok, ilmu pedangmu sudah mencapai intisari Hoa-san-pay yang tiada taranya, tampaknya aku bukan lagi tandinganmu. Meski kau sudah dipecat dari perguruan, tapi petualanganmu di dunia Kangouw masih tetap menggunakan ilmu pedang perguruan kita. Memangnya aku yang salah mengajar sehingga para sahabat dari cing-pay ikut kepala pusing bagi murid murtad seperti kau ini. Maka kalau sekarang aku tidak turun tangan, masakah mesti minta orang lain yang menanggung tugas berat ini? Pendek kata, bila hari ini aku tidak membinasakan kau, biar kau saja yang membunuh diriku.”

Ucapan Gak Put-kun itu makin lama makin bengis, akhirnya ia terus lolos pedang dan membentak, “Nah, kau dan aku sudah putus hubungan sebagai murid dan guru. Lekas keluarkan pedangmu!”

“Tecu tidak berani!” sahut Lenghou Tiong sambil mundur selangkah.

“Sret”, Gak Put-kun terus mendahului menusuk lurus ke depan, itulah jurus “Jong-siong-ging-khik”, itulah salah satu jurus Hoa-san-kiam-hoat yang lihai.

Cepat Lenghou Tiong mengelak ke samping dan tetap tidak mengeluarkan pedangnya. Berturut-turut Gak Put-kun menusuk lagi dua kali dan tetap dihindarkan oleh Lenghou Tiong.

“Kau sudah mengalah tiga jurus padaku dan boleh dianggap sebagai menghormati aku sebagai bekas gurumu, sekarang lekas lolos pedangmu!” kata Put-kun.

Yim Ngo-heng juga berseru, “Tiong-ji, jika kau tidak balas menyerang, apakah jiwamu sengaja kau korbankan di sini?”

“Baik,” sahut Lenghou Tiong sambil melolos pedangnya.

Dengan senjata di tangan pikiran Lenghou Tiong menjadi lebih mantap. Ia tahu kalau melulu mengandalkan ilmu pedangnya saja sekali-kali sang suhu tidak mampu membunuhnya, sebaliknya dirinya juga tidak nanti mengganggu seujung rambut pun gurunya itu. Tapi pertandingan ini harus dimenangkan oleh sang suhu saja atau mesti mengalahkan dia? Bila dirinya mengalah, maka akibatnya Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing harus menderita terkurung sepuluh tahun di Siau-sit-san sini. Sebaliknya kalau tidak mengalah akan berarti membikin malu gurunya itu di hadapan orang banyak, padahal budi kebaikan sang guru dan ibu-gurunya yang telah mendidik dan membesarkannya selama ini belum pernah dibalasnya.

Persoalan mahasulit ini benar-benar membuatnya bingung dan sukar memilih. Dalam keadaan bimbang itulah ia sudah diserang beberapa jurus lagi oleh Gak Put-kun. Tapi Lenghou Tiong hanya menangkis dengan ilmu pedang ajaran sang guru dahulu. Maklumlah “Tokko-kiu-kiam” tidak boleh dibuat main-main, setiap jurusnya selalu mengincar tempat mematikan musuh, sebab itu ia tidak berani sembarangan menggunakan. Sejak dia meyakinkan Tokko-kiu-kiam, pengetahuannya boleh dikata mencapai puncaknya, biarpun cuma Hoa-san-kiam-hoat yang dimainkan, namun tenaga yang timbul dari pedangnya sudah tentu lain daripada dahulu. Meski berulang-ulang Gak Put-kun menyerang dengan segala kemahirannya masih tetap tak bisa menembus penjagaan Lenghou Tiong.

Para penonton itu tergolong jago kelas wahid semua, melihat cara bertempur Lenghou Tiong itu mereka lantas tahu anak muda itu sengaja mengalah dan tidak menempur Gak Put-kun dengan sesungguh hati.

Yim Ngo-heng saling pandang dengan Hiang Bun-thian dan sorot matanya memancarkan rasa khawatir. Sebab mereka sama-sama teringat kepada kejadian di Bwe-cheng di tepi danau Hangciu tempo dulu. Waktu itu Yim Ngo-heng mengajak Lenghou Tiong masuk Tiau-yang-sin-kau dan menjadikan kedudukan Kong-beng-yusu baginya, kedudukan itu berarti ahli waris kaucu di kemudian hari. Juga disanggupi akan mengajarkan ilmu caranya memunahkan tenaga balik yang timbul dari Gip-sing-tay-hoat. Namun semua janji itu ternyata tidak mengguncangkan iman anak muda itu, ini memperlihatkan betapa setianya kepada perguruannya sendiri. Sekarang dilihatnya lagi betapa sikap menghormat anak muda itu kepada bekas gurunya, hakikatnya biar tertusuk mati oleh bekas sang guru itu pun takkan membuatnya menyesal, apalagi melancarkan serangan balasan, terang tiada harapan buat menang.

Sesungguhnya Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian adalah tokoh-tokoh yang cerdik pandai, tapi melihat situasi yang berbahaya itu ternyata mati kutu juga dan tak berdaya. Soalnya sekarang bukan kepandaian Lenghou Tiong lebih rendah daripada lawannya, lagi urusan itu menyangkut kekeluargaan. Kalau berdasarkan watak Lenghou Tiong pasti dia tak mau mengalahkan sang guru, lebih-lebih tidak mau membikin malu sang guru di hadapan orang lain. Begitu Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian kembali saling pandang dengan bingung. Sorot mata mereka hanya saling bertanya, “Apa daya?”

Tiba-tiba Yim Ngo-heng berpaling dan membisiki Ing-ing, “Coba kau berdiri di sebelah depan sana.”

Ing-ing tahu maksud sang ayah yang mengkhawatirkan Lenghou Tiong lebih berat kepada budi perguruan dan sengaja mengalah kepada Gak Put-kun, dirinya disuruh berdiri di depan sana maksudnya agar Lenghou Tiong dapat melihatnya, sehingga teringat kepada kebaikannya, lalu bertempur dengan sungguh-sungguh dan mencapai kemenangan.

Maka Ing-ing hanya mengiakan perlahan, tapi tidak melangkah.

Sebentar kemudian Yim Ngo-heng melihat Lenghou Tiong terus main mundur dan tetap tidak mau balas menyerang, keruan ia tambah gelisah dan kembali membisiki Ing-ing, “Lekas ke depan sana!”

Tapi Ing-ing tetap tidak melangkah ke sana, bahkan menjawab saja tidak. Menurut jalan pikiran si nona, “Bagaimana perasaanku kepadamu (Lenghou Tiong) tentunya sudah kau (Lenghou Tiong) ketahui. Bila hatimu memberatkan diriku dan bertekad menyelamatkan aku, tentu kau akan mengalahkan lawanmu. Tapi kalau kau lebih berat pada pihak gurumu, sekalipun aku menarik-narik lengan bajumu dan memohon-mohon belas kasihanmu juga tak berguna. Maka buat apa aku mesti berdiri di depanmu sana untuk mengingatkan kau?”

Sifat Ing-ing juga angkuh, tinggi hati, ia merasa tak berharga sama sekali bila untuk menyelamatkan dirinya mesti meminta-minta dan mengingatkan kebaikannya kepada Lenghou Tiong.

Dalam pada itu Lenghou Tiong masih terus menangkis setiap serangan gurunya. Kalau ia mau balas menyerang sejak tadi Gak Put-kun sudah pasti keok. Sudah tentu Gak Put-kun juga tahu Lenghou Tiong sengaja tidak mau balas menyerang, maka ia pun tidak perlu pikir buat menjaga diri, sebaliknya terus melancarkan serangan-serangan maut.

Melihat serangan-serangan lihai Gak Put-kun itu tetap tak bisa mengenai sasarannya, sebaliknya Lenghou Tiong hanya menangkis dengan seenaknya saja, setiap serangan lawan selalu dipatahkan secara gampang, makin lama makin kagum semua orang terhadap anak muda itu.

Lama-lama Gak Put-kun menjadi kelabakan sendiri. Mendadak ia sadar bila pertempuran yang bertele-tele itu diteruskan, nanti yang mendapat nama baik justru adalah bangsat cilik ini, sebab penonton-penonton yang merupakan tokoh-tokoh kelas wahid ini tentu sudah melihat bahwa bangsat cilik ini sengaja mengalah padaku, sebaliknya aku masih terus menyerang dengan ngotot, ketua Hoa-san-pay macam apakah ini? Jelas bangsat cilik ini sengaja hendak membikin aku kewalahan sendiri dan terpaksa menyerah kalah. Berpikir sampai di sini Gak Put-kun menjadi nekat. Ia kumpulkan segenap tenaganya, Ci-he-sin-kang dikerahkan kepada pedangnya, sekuatnya ia terus menebas kepala Lenghou Tiong.

Cepat Lenghou Tiong mengegos ke samping sehingga tebasan Gak Put-kun itu meleset, tapi segera Gak Put-kun putar balik pedangnya terus menyabet ke pinggang lawan. Sekali loncat dapatlah Lenghou Tiong melangkahi pedang yang menyambar tiba itu. Mendadak Gak Put-kun putar lagi pedangnya, secepat kilat ia tusuk punggung Lenghou Tiong, perubahan serangan yang cepat luar biasa ini tampaknya sukar dielakkan oleh anak muda itu, apalagi dia masih terapung di atas.

Semua orang sampai menjerit khawatir. Memang untuk menghindar atau menangkis pun tidak keburu lagi. Tapi sekonyong-konyong Lenghou Tiong menjulurkan pedangnya ke depan sehingga menempel batang tiang di depannya sana, dengan tenaga loncatan ini dapatlah dia melayang ke belakang tiang sana.
“Cret”, tusukan Gak Put-kun menjadi mengenai tiang kayu itu sampai tembus. Ujung pedang hanya selisih beberapa senti saja dengan badan Lenghou Tiong.

Kembali semua orang berteriak riuh. Teriakan ini bernada merasa syukur dan kagum terhadap Lenghou Tiong, kagum atas kepandaiannya dan bersyukur karena dia terhindar dari serangan maut itu. Bahkan Gak-hujin, Thian-bun Tojin, dan lain-lain juga punya perasaan demikian.

Betapa dongkol dan gusarnya Gak Put-kun tak terkatakan, berturut-turut ia melancarkan “Tiga Jurus Ilmu Pedang Pencabut Nyawa” yang merupakan ilmu pedang sekte Kiam-cong Hoa-san-pay mereka, tapi Lenghou Tiong, sebaliknya para penonton malahan bersimpati pula kepada anak muda itu.

Dahulu setelah perang saudara antara Khi-cong (sekte lwekang) dan Kiam-cong (sekte pedang) dalam Hoa-san-pay mereka berakhir dengan pihak Kiam-cong ditumpas oleh pihak Khi-cong, kemudian Gak Put-kun dan tokoh-tokoh Hoa-san-pay yang lain sama menimbang kembali ilmu pedang sakti yang diyakinkan pihak Kiam-cong, di antaranya adalah “Tiga Jurus Pencabut Nyawa” itu.

Maka Gak-hujin menjadi terkejut melihat sang suami mendadak mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang maut itu. Pikirnya, “Dia adalah murid pihak Khi-cong, mengapa mendadak menggunakan ilmu pedang pihak Kiam-cong? Kalau hal ini diketahui orang luar tentu akan dihina dan diejek.
Ai, sebabnya dia menggunakan tiga jurus itu tentunya juga lantaran terpaksa. Padahal sudah jelas dia bukanlah tandingan Tiong-ji, buat apa mesti ngotot terus?”

Sebenarnya ada maksud Gak-hujin hendak maju memisah, tapi urusannya sekarang tidak sederhana, bukan melulu menyangkut kepentingan Hoa-san-pay sendiri, maka ia menjadi serbasusah dan sedih.

Ketika itu Gak Put-kun telah mencabut kembali pedangnya yang menancap tiang tadi. Tapi Lenghou Tiong tetap berdiri di balik tiang dan tidak putar keluar. Gak Put-kun berharap anak muda itu akan terus sembunyi di balik tiang dan tidak menempurnya lagi sebagai tanda takut padanya, dengan demikian kehormatannya dapat ditegakkan.

Begitulah kedua orang saling memandang berhadapan, dengan rendah hati Lenghou Tiong berkata, “Suhu, Tecu bukan tandinganmu.
Kita tak usah meneruskan pertandingan ini.”

Gak Put-kun hanya mendengus dan tidak menjawab.

Yim Ngo-heng juga lantas bicara, “Pertarungan mereka berdua sukar ditentukan siapa yang menang dan kalah. Bahwasanya Lenghou Tiong sengaja mengalah kepada gurunya, setiap orang asalkan bukan orang buta tentu dapat melihatnya. Nah, Hongtiang Taysu, maukah pertandingan tiga babak ini kita anggap seri saja.
Lohu bersedia minta maaf kepadamu, lalu kita menyudahi pertikaian ini dan kami akan angkat kaki.”
Mendengar ucapan Yim Ngo-heng ini, diam-diam Gak-hujin merasa senang dan lega. Padahal sudah jelas mereka berada di pihak pemenang, namun ucapan Yim-kaucu itu dapat dianggap mau mengalah, cara menyudahi pertarungan ini benar-benar paling baik. Demikian pikir Gak-hujin.

“Omitohud!” kata Hong-ting Taysu. “Usul Yim-kaucu yang bijaksana itu sudah tentu aku sependa....”

Belum selesai kata-kata “sependapat” diucapkan, tiba-tiba Co Leng-tan menyela, “Lalu keempat orang ini apa mesti kita biarkan mereka pergi begitu saja? Dan selanjutnya Gak-suheng masih terhitung ketua Hoa-san-pay tidak?”

“Hal ini....” belum lanjut kata-kata Hong-ting, tiba-tiba “sret”, Gak Put-kun memutar ke belakang tiang dan mulai menyerang pula.

Dengan gesit Lenghou Tiong mengegos. Maka beberapa gebrakan saja kembali mereka sudah berada di tengah kalangan lagi. Segera Gak Put-kun melancarkan serangan-serangan kilat, tapi selalu dapat dihindar atau ditangkis oleh Lenghou Tiong dengan mudah. Pertarungan bertele-tele kembali berlangsung pula.

Diam-diam Yim Ngo-heng sangat mendongkol. Pikirnya, “Jika tua bangka she Gak ini tetap bermuka tebal dan terus ngotot secara demikian, maka jelas dia takkan kalah, sebaliknya kalau Tiong-ji sedikit meleng saja tentu akan celaka. Kalau pertempuran diteruskan tentu menguntungkan orang she Gak. Maka aku harus mengolok-oloknya dengan kata-kata menusuk, supaya dia tahu malu.”

Segera ia berkata kepada Hiang Bun-thian, “Eh, Hiang-hiante, kedatangan kita ke Siau-lim-si ini benar-benar banyak bertambah pengalaman.”

“Benar,” jawab Hiang Bun-thian. “Di sini telah berkumpul tokoh-tokoh bu-lim dari tingkat puncak....”

“Satu di antaranya benar-benar tokoh mahahebat,” sambung Yim Ngo-heng.

“Siapakah beliau?” tanya Hiang Bun-thian.

“Orang ini telah berhasil meyakinkan sejenis ilmu sakti yang luar biasa,” kata Ngo-heng.

“Ilmu sakti apakah itu?” tanya Bun-thian.

“Ilmu sakti orang ini disebut Kim-bian-tok, Tiat-bin-bwe-sin-kang (kulit muka besi)!” jawab Ngo-heng.

“Wah, sungguh hebat!” ujar Bun-thian. “Selamanya hamba cuma dengar adanya ilmu kebal Kim-ciong-tok dan Tiat-poh-sam, tapi tidak pernah dengar tentang Kim-bian-tok dan Tiat-bin-bwe segala. Entah ilmu sakti demikian ini berasal dari aliran mana?”

“Kim-ciong-tok dan Tiat-poh-sam adalah ilmu kebal yang tidak mempan senjata pada seluruh badan, tapi ilmu sakti Tiat-bin-bwe orang ini khusus kebal pada kulit muka karena memang kulit mukanya setebal badak,” kata Yim Ngo-heng. “Tentang asal usul ilmu sakti ini sungguh luar biasa, dia adalah ciptaan Gak Put-kun, Gak-siansing, itu ketua Hoa-san-pay yang termasyhur di dunia Kangouw pada masa ini.”

“Wah, jika demikian, sejak kini Gak-siansing pasti akan lebih terkenal dan lebih termasyhur di seluruh jagat, namanya akan tetap terkumandang abadi sepanjang masa,” kata Bun-thian.
“Itu sudah tentu,” sambung Yim Ngo-heng. “Hidup Gak-siansing! Hidup Hoa-san-pay!”

Begitulah seperti dagelan saja mereka terus tanya-jawab untuk mengolok-olok Gak Put-kun. Keruan muka Gak-hujin merah padam. Sebaliknya Gak Put-kun seperti tidak tahu dan tidak dengar saja, ia masih terus melancarkan serangan kepada Lenghou Tiong.

Tiba-tiba Gak Put-kun menusuk, ketika Lenghou Tiong mengelak ke kiri, mendadak Gak Put-kun menoleh sambil memutar balik ujung pedangnya terus menusuk pula. Inilah suatu jurus ilmu pedang Hoa-san-pay yang terkenal dengan nama “Long-cu-hwe-tau” (Si Anak Hilang Berpaling Kembali).

Waktu Lenghou Tiong menangkis, cepat Gak Put-kun putar pedangnya lagi dan menebas dari atas ke bawah, yaitu jurus “Jong-siong-ging-khik” (Pohon Siong Tua Menyambut Tamu). Jurus ini sudah pernah dilihat Lenghou Tiong pada macam-macam jurus serangan dari berbagai aliran yang terukir di dinding gua di puncak Hoa-san dahulu.
Maka dengan gampang saja pedangnya bergerak, ia menangkis sesuai dengan gaya ukiran di dinding gua itu.

Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sama bersuara heran dari mana anak muda itu pun paham menggunakan jurus demikian?

Tiba-tiba Gak Put-kun ganti diurus serangan, “sret-sret” dua tusukan telah membikin Lenghou Tiong terkesiap dan terpaksa mundur dua tindak dengan wajah merah jengah dan berseru, “Suhu!”

Gak Put-kun mendengus dan kembali menusuk lagi. Kembali Lenghou Tiong mundur satu tindak.

Melihat kelakuan Lenghou Tiong yang kikuk dan serbasusah, semua orang menjadi heran, “Serangan-serangan gurunya itu hanya biasa saja, kenapa pemuda itu berbalik merasa jeri dan tidak mampu menangkis?”

Mereka tidak tahu bahwa ketiga jurus serangan Gak Put-kun terakhir itu adalah ilmu pedang ciptaan Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian di waktu latihan bersama dahulu, yaitu yang diberi nama “Tiong-leng-kiam-hoat”, singkatan dari nama kedua muda-mudi itu.

Terciptanya ilmu pedang gabungan itu sebenarnya cuma terdorong oleh hubungan baik mereka berdua yang masih kekanak-kanakan, mereka pikir Tiong-leng-kiam-hoat itu kelak hanya mereka berdua saja yang mampu memainkan, maka di kala menggunakan ilmu pedang itu dalam lubuk hati mereka selalu timbul rasa bahagia yang tak terkatakan. Sudah tentu mereka tidak berani menceritakan rahasia kepada para saudara seperguruan, lebih-lebih tidak berani dikatakan kepada Gak Put-kun.

Siapa duga mendadak Gak Put-kun telah memainkan tiga jurus ilmu pedang itu pada saat demikian, keruan Lenghou Tiong menjadi serbarunyam, merasa malu dan berduka pula. Padahal hubungannya dengan sumoay sudah putus, sekarang sang guru sengaja mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang itu agar dia tersinggung perasaannya dan berduka sehingga pikirannya menjadi kacau. “Ya, kalau mau bunuh aku biarlah kau bunuh saja!” demikian katanya di dalam hati.

Sesaat itu Lenghou Tiong merasa daripada hidup merana di dunia ini ada lebih baik mati saja dan habis perkara.

Menyusul Gak Put-kun menusuk lagi dengan satu jurus Hoa-san-kiam-hoat yang disebut “Long-giok-ji-siau” (Long-giok Meniup Seruling), habis itu satu jurus lagi “Siau-su-seng-liong” (Siau-su Menunggang Naga).

Kedua jurus itu mengungkap suatu dongeng kuno tentang percintaan antara si gadis Long-giok dan jejaka Siau-su. Si gadis sangat gemar meniup seruling, si jejaka sangat mahir meniup seruling, dia datang dengan menunggang naga dan mengajar seni musik itu kepada si gadis, akhirnya dia dipungut mantu oleh orang tua si gadis dan keduanya sama-sama naik surga.

Kini Gak Put-kun mengeluarkan lagi jurus serangan itu sehingga pikiran Lenghou Tiong menjadi kacau. Ia menangkis sebisanya sambil berpikir, “Kenapa suhu menggunakan jurus ini? Apakah dia sengaja hendak membikin kacau pikiranku, kemudian membunuh aku?”

Dilihatnya Gak Put-kun lantas menyerang lagi dengan tiga jurus Tiong-leng-kiam-hoat, lalu sejurus “Long-cu-hwe-tau” dan sejurus “Jong-siong-ging-khik”, kemudian tiga jurus Tiong-leng-kiam-hoat lagi, menyusul jurus-jurus “Long-giok-ji-siau” dan “Siau-su-seng-liong”, dan begitu seterusnya diselang-seling dan berulang kembali.

Semula Lenghou Tiong merasa bingung, tapi kemudian ia menjadi paham, rupanya sang guru sengaja menyadarkan dia dengan ilmu pedangnya itu, maksudnya supaya dia berpaling kembali ke jalan yang benar, maka dia masih akan disambut dengan baik ke dalam Hoa-san-pay. Bahkan dengan Tiong-leng-kiam-hoat itu jelas sang guru memberi isyarat bahwa beliau akan menjadikan siausumoay sebagai istrinya.

Masuk kembali ke Hoa-san-pay dan memperistrikan siausumoaynya adalah cita-cita yang selalu diharapkannya. Merasa paham akan maksud yang terkandung dalam jurus-jurus serangan sang guru itu, seketika hati Lenghou Tiong kegirangan dan dengan sendirinya wajahnya lantas berseri-seri.

Tapi kembali Gak Put-kun menyerang lagi dengan jurus-jurus tadi dengan lebih gencar. Mendadak Lenghou Tiong sadar, “Suhu suruh aku berpaling kembali ke jalan yang benar, sudah tentu maksudnya suruh aku membuang senjata dan mengaku kalah, dengan demikian aku baru bisa diterima kembali ke dalam Hoa-san-pay. Apa yang kuharapkan lagi bilamana aku bisa kembali ke Hoa-san-pay dan menikah dengan siausumoay? Akan tetapi, lantas bagaimana dengan Ing-ing, Yim-kaucu, dan Hiang-toako? Bila pertandingan ini aku kalah, mereka bertiga harus tinggal di Siau-sit-san sini, bukan mustahil jiwa mereka pun akan melayang. Yang kupikir hanya kesenangan dan kebahagiaanku sendiri dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbudi baik kepadaku, apakah perbuatanku ini pantas?”

Terpikir sampai di sini, tanpa terasa keringat dingin membasahi punggungnya, pandangannya terasa kabur juga, sekilas hanya kelihatan pedang Gak Put-kun berkelebat dan kembali menyerangnya pula dengan jurus “Si Gadis Long-giok Meniup Seruling”.

Hati Lenghou Tiong terkutik lagi, pikirnya, “Waktu mula-mula kenal Ing-ing maksudku hendak belajar memetik kecapi padanya. Dia sangat menyukai lagu ‘Hina Kelana’ yang dibawakan dengan seruling dan kecapi. Kemudian dia mengajarkan aku lagu ‘Jing-sim-ciu’. Bila kelak aku sudah mahir memetik kecapi, lalu bersama dia membawakan lagi ‘Hina Kelana’, bukankah dia yang akan meniup serulingnya? Padahal siausumoay tidak pernah memikirkan diriku, sebaliknya aku selalu terkenang padanya, malahan terhadap Ing-ing yang rela berkorban bagiku justru aku tidak memikirkannya, manusia tak berperasaan di dunia ini rasanya tiada yang lebih rendah daripada diriku.”

Begitulah seketika yang terpikir olehnya adalah, “Betapa pun juga aku tidak boleh mengingkari kebaikan Ing-ing.”

Dalam keadaan samar-samar itu mendadak terdengar “creng” satu kali, sebatang pedang telah jatuh ke tanah, terdengar pula teriakan orang banyak di samping.

Tubuh Lenghou Tiong terhuyung ke belakang, ketika dia pentang mata, dilihatnya Gak Put-kun juga sedang melompat mundur dengan wajah gusar, pergelangan kanannya tampak mengucurkan darah. Waktu Lenghou Tiong memeriksa pedangnya sendiri, ujung pedang itu memang berlepotan darah segar.

Keruan ia terkejut. Baru sekarang ia menyadari ketika pikirannya kacau tadi dan menangkis serangan Gak Put-kun sekenanya, tanpa terasa ia telah mengeluarkan “Tokko-kiam-hoat” sehingga pergelangan tangan Gak Put-kun tertusuk.

Cepat Lenghou Tiong membuang senjatanya, ia mendekat dan berlutut di depan Gak Put-kun, katanya, “Suhu, dosa Tecu pantas dihukum mati.”

Mendadak Gak Put-kun angkat sebelah kakinya, dengan tepat dada Lenghou Tiong kena ditendang. Betapa hebat tenaga tendangan itu, kontan tubuh Lenghou Tiong mencelat ke atas dengan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Seketika pandangan Lenghou Tiong menjadi gelap, dengan kaku ia terbanting ke bawah. Namun ia sudah tidak tahu sakit lagi, ia sudah tidak sadar.

Entah lewat berapa lamanya, ketika merasa badannya rada dingin, perlahan-lahan Lenghou Tiong membuka mata, terasa sinar api menyilaukan, kembali ia pejamkan mata lagi.

Terdengar Ing-ing berseru gembira, “Ayah, dia... dia sudah siuman.”

Tapi tidak terdengar suara jawaban Yim Ngo-heng.

Ketika Lenghou Tiong membuka mata lagi, dilihatnya sepasang mata Ing-ing yang jeli sedang menatap kesima kepadanya, wajahnya penuh rasa girang dan bersyukur. Segera Lenghou Tiong bermaksud bangun, tapi Ing-ing telah mencegahnya dan berkata, “Jangan bangun, mengasolah sebentar lagi.”

Lenghou Tiong memandang sekitarnya, ternyata dirinya berada di dalam sebuah gua, di luar gua menyala suatu gundukan api unggun. Baru sekarang ia ingat pertandingannya dengan sang guru dan tertendang satu kali. Segera ia tanya, “Di manakah suhu dan sunioku?”

“Masakah kau masih memanggil suhu padanya?” ujar Ing-ing. “Di dunia ini mungkin cuma ada seorang suhu yang tidak tahu malu seperti dia. Kau terus mengalah padanya, tapi dia tetap tidak tahu diri sehingga akhirnya sukar diselesaikan, malahan dia masih tega menendang kau. Syukur juga tulang kakinya tergetar patah.”

“Hah, tulang kaki suhuku patah?” seru Lenghou Tiong kaget.

“Masih untung dia tidak tergetar mati,” sahut Ing-ing tertawa. “Kata ayah, lantaran kau belum bisa menggunakan Gip-sing-tay-hoat, bila tidak tentu kau takkan terluka.”

“Jadi aku telah melukai pergelangan suhu, lalu menggetar patah tulang kakinya, ai, aku ini....” demikian Lenghou Tiong menggumam.

“Apakah kau menyesal?” tanya Ing-ing.

“Perbuatanku benar-benar tidak pantas,” sahut Lenghou Tiong. “Dahulu kalau suhu dan sunio tidak merawat dan membesarkan aku, bukan mustahil aku sudah mati sejak dulu. Aku telah membalas budi dengan badi, sungguh lebih rendah daripada binatang.”

“Berulang kali dia bermaksud membunuh kau, masakah kau tidak tahu? Kau telah mengalah padanya sedemikian rupa dan boleh dikata sudah membalas budi kebaikannya. Orang macam kau ke mana pun takkan mati. Seumpama keluarga Gak tidak memiara kau, biarpun kau menjadi pengemis juga takkan mati kelaparan. Dia sudah mengusir kau dari Hoa-san-pay, hubungan antara guru dan murid sudah lama putus, buat apa lagi kau memikirkan dia?”

Sampai di sini Ing-ing menahan suaranya dan menyambung lagi, “Engkoh Tiong, demi diriku kau terpaksa berlawanan dengan suhu dan suniomu, sungguh hatiku merasa....” tiba-tiba ia tidak meneruskan melainkan terus tertunduk dengan kedua pipi bersemu merah jengah.

Sejak kenal Ing-ing, yang timbul dalam hati Lenghou Tiong melulu rasa hormat dan takut pada wibawa si nona. Kini melihat Ing-ing menunjukkan sikap kikuk dan malu-malu kucing sebagaimana anak gadis umumnya, wajah si nona yang tersorot oleh sinar api unggun menjadi tambah cantik luar biasa. Seketika perasaan Lenghou Tiong terguncang, ia mengulur tangan untuk memegangi tangan kiri si nona, tapi sampai sekian lamanya ia hanya bisa menghela napas saja, ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya.

“Kenapa kau menghela napas?” tanya Ing-ing dengan suara halus. “Apakah kau menyesal karena berkenalan dengan aku?”

“Tidak, tidak!” sahut Lenghou Tiong cepat. “Mana bisa aku menyesal? Demi diriku kau rela mengorbankan jiwamu di Siau-lim-si, selanjutnya biarpun badanku han... hancur lebur juga tidak cukup untuk membalas budimu.”

“Kenapa kau bicara begini?” kata Ing-ing sambil menatap tajam. “Jadi sampai detik ini dalam hatimu masih tetap anggap aku sebagai orang luar.”

Terasa malu juga dalam hati kecil Lenghou Tiong, memang selama ini dia merasa masih terpisah oleh sesuatu dengan Ing-ing. Segera ia berkata, “Ya, akulah yang salah omong. Sejak kini aku akan berbaik kepadamu dengan sesungguh hati.”

Sorot mata Ing-ing memancarkan rasa bahagia, katanya, “Engkoh Tiong, apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh atau cuma buat bohongi aku?”

“Jika aku membohongi kau, biarlah aku mati disambar geledek,” sahut Lenghou Tiong.

Perlahan-lahan Ing-ing menggenggam tangan Lenghou Tiong dengan kencang, ia merasa sejak lahir sampai sekarang detik inilah paling berharga. Sekujur badan terasa hangat, ia berharap keadaan demikian akan kekal abadi sepanjang masa.

Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Orang persilatan seperti kita mungkin ditakdirkan akan mati dengan cara kurang baik. Kelak kalau kau ingkar janji padaku, aku pun tidak menginginkan kau mati disambar geledek, tapi aku lebih suka... lebih suka menusuk mati kau dengan pedangku sendiri.”

Bab 99. Empat Manusia Salju

Tergetar hati Lenghou Tiong, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa si nona akan bicara demikian, ia tercengang sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, “Memangnya jiwaku ini diselamatkan oleh kau dan sejak itu sudah menjadi milikmu. Maka setiap saat bila kau mau ambil boleh kau laksanakan saja.”
“Semua orang mengatakan kau adalah pemuda bangor, nyatanya kata-katamu memang nakal. Entah mengapa, aku justru menyukai pemuda bangor seperti kau.”

“Bilakah aku pernah berbuat bangor padamu? Karena kau berkata demikian, aku menjadi mau berbuat bangor padamu.”

Mendadak Ing-ing meloncat mundur, katanya dengan muka cemberut, “Aku menyukai kau, tapi kita harus pakai aturan.
Jika kau anggap aku sebagai perempuan murahan, maka salahlah pandanganmu.”

“Mana aku berani anggap kau sebagai perempuan murahan?” sahut Lenghou Tiong.
“Kau adalah seorang nenek agung yang melarang aku berpaling memandang padamu.”

Ing-ing tertawa, ia teringat pada permulaan berkenalan dengar Lenghou Tiong memang pemuda itu selalu memanggil “nenek” padanya dengan penuh hormat. Dengan tertawa geli ia lantas duduk kembali dalam jarak rada jauh.

“Kau melarang aku nakal padamu, biarlah selanjutnya aku tetap memanggil nenek saja padamu,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Baik, cucu manis,” sahut Ing-ing tertawa geli.

“Nenek, aku....”

“Sudahlah, jangan panggil nenek lagi, nanti saja kalau 60 tahun lagi baru boleh panggil demikian.”

“Jika dipanggil mulai sekarang sampai 60 tahun lagi, maka tidak sia-sia hidupku ini,” ujar Lenghou Tiong.

Terguncang juga perasaan Ing-ing. Ia pikir kalau betul bisa hidup bersanding pemuda itu selama 60 tahun, maka bahagialah hidupnya.

Dari sebelah samping Lenghou Tiong melihat hidung si nona yang mancung, alisnya panjang, mukanya sangat halus. Pikirnya, “Nona secantik ini kenapa ditakuti dan dihormati oleh tokoh-tokoh Kangouw yang kasar-kasar itu, pula rela berbuat apa pun baginya?”

Mestinya ia bermaksud tanya si nona, tapi urung.

“Kau ingin bicara apa, silakan berkata saja,” ujar Ing-ing.

“Selama ini aku tidak habis heran, mengapa Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain sedemikian takut kepadamu?”

“Ya, aku tahu bila persoalan ini tidak kujelaskan tentu hatimu tetap tidak tenteram. Mungkin dalam batinmu akan mengira aku adalah jin atau siluman.”

“Tidak, tidak, aku anggap kau sebagai malaikat dewata yang berilmu mahasakti.”

“Dasar mulutmu memang suka omong tak keruan, pantas orang mengatakan kau pemuda nakal.”

“Jika kau anggap mulutku nakal, biarlah selamanya kau menanak nasi dan masak sayur yang enak-enak untuk menyumbat mulutku saja.”

“Aku tidak pintar masak, panggang kodok saja sampai hangus.”

Lenghou Tiong menjadi teringat kepada waktu memanggang kodok di tepi kali tempo dahulu.
Ia merasa saat ini seakan-akan kembali pada suasana masa lampau itu.

Begitulah kedua muda-mudi itu saling pandang penuh arti, sampai agak lama mereka terdiam. Sejenak pula barulah Ing-ing bicara lagi, “Ayahku sebenarnya adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, hal ini sudah diketahui olehmu. Kemudian ayah telah masuk perangkap Tonghong Put-pay yang licik itu dan disekap di tempat yang dirahasiakan. Tonghong Put-pay berdusta, katanya ayah meninggal di tempat yang jauh dan meninggalkan pesan agar dia menjabat kaucu baru.

“Waktu itu usiaku masih terlalu muda, Tonghong Put-pay juga teramat cerdik dan licin, apa yang dia lakukan sama sekali tidak mencurigakan aku. Untuk mengelabui orang luar, Tonghong Put-pay sengaja memperlakukan aku dengan sangat baik, apa yang kukatakan selalu dia laksanakan. Sebab itulah kedudukanku di dalam agama kami sangat diagungkan.”

“Apakah orang-orang Kangouw itu semuanya anggota Tiau-yang-sin-kau kalian?” tanya Lenghou Tiong.

“Tidak seluruhnya menjadi anggota, hanya mereka selamanya di bawah pengaruh kami, sebagian besar pimpinan mereka pun sudah makan Sam-si-nau-sin-tan (Pil Pengganggu Saraf) kami.”

Lenghou Tiong mendengus mendengar nama obat itu.

“Sesudah makan obat itu,” sambung Ing-ing, “setiap tahun satu kali mereka harus makan obat penawarnya, kalau tidak mereka tentu akan mati konyol bila racun yang terkandung dalam obat itu mulai bekerja. Tonghong Put-pay memperlakukan orang-orang Kangouw itu secara sangat bengis, sedikit tidak menyenangkan dia lantas tidak diberinya obat penawar. Selalu aku yang mesti mintakan ampun bagi mereka dan memintakan obat penawarnya.”

“O, kiranya demikian, jadi kau adalah penyelamat jiwa mereka,” ujar Lenghou Tiong.

“Sebenarnya juga bukan penyelamat apa-apa, soalnya mereka menyembah-nyembah dan minta-minta padaku, terpaksa aku tidak tega dan tak bisa tinggal diam. Lama-lama aku menjadi bosan karena selalu meminta pengampunan kepada Tonghong Put-pay, musim semi tahun lalu aku suruh keponakan Lik-tiok-ong mengiringi aku keluar pesiar, tak terduga aku malah menemui kejadian aneh. Tak peduli ke mana aku pergi selalu jejakku diketahui orang, selalu masih ada orang yang datang minta pertolongan padaku untuk mohon obat penawar. Semula aku sangat heran, sebab ke mana aku pergi tak kukatakan kepada siapa-siapa melainkan Tonghong Put-pay saja yang tahu. Maka, pastilah Tonghong Put-pay sendiri yang telah membocorkan jejakku yang sangat dirahasiakan. Rupanya itu pun akalnya yang licin, dia sengaja membiarkan orang luar mendapat kesan seakan-akan dia sangat menghormati aku dan segan padaku. Dengan demikian tentu tiada seorang pun yang menyangsikan kedudukannya itu adalah hasil ‘kudeta’ secara keji.

“Sudah tentu beribu orang yang datang ke Siau-lim-si ini tidak semua pernah minum obat penawar yang kumintakan. Tapi bila salah seorang pimpinan mereka pernah terima bantuanku, tentu anak buahnya merasa utang budi juga padaku. Pula kedatangan mereka ke Siau-sit-san ini juga belum tentu demi diriku, besar kemungkinan mereka datang atas panggilan Lenghou-tayhiap, mereka tidak berani mangkir.”

“Wah, baru setengah hari kau bergaul dengan aku sudah mahir putar lidah,” kata Lenghou Tiong.

Ing-ing mengikik tawa riang. Selama hidupnya di dalam Tiau-yang-sin-kau hanya menghadapi puji sanjung belaka, siapa pun tidak berani membangkang perintahnya, lebih-lebih tiada seorang pun yang berani bergurau padanya. Sekarang Lenghou Tiong bisa membanyol padanya, tentu saja sangat menggembirakan hatinya.

Selang sejenak Ing-ing berkata lagi dengan tersenyum, “Kau pimpin orang sebanyak itu datang ke sini memapak aku, sudah tentu aku sangat senang. Tadinya orang-orang Kangouw itu suka merasani diriku, katanya aku jatuh hati padamu, sebaliknya kau adalah pemuda romantis yang suka main cinta di sembarang tempat, hakikatnya tidak menaruh perhatian padaku...” sampai di sini suaranya menjadi perlahan, katanya pula dengan perasaan hampa, “tapi setelah geger-geger ini, sedikitnya kau telah mengembalikan kehormatanku bagi pandangan mereka itu. Seumpama aku mati juga takkan... takkan menanggung sangkaan jelek lagi.”

“Kau yang membawa aku ke Siau-lim-si dan minta pengobatan bagiku, waktu itu aku benar-benar tidak mengetahui sama sekali. Kemudian aku terkurung di bawah Danau Se-ouw, setelah lepas dan mengetahui duduknya perkara, lalu datang memapak dikau, namun engkau sudah cukup banyak menderita.”
“Sebenarnya aku pun tidak menderita kesukaran apa-apa selama dikurung di belakang gunung Siau-lim-si. Aku disekap sendirian di suatu rumah batu, setiap sepuluh hari tentu datang seorang hwesio tua mengantarkan perbekalan bagiku. Selain itu aku tidak pernah melihat siapa-siapa lagi. Sampai akhirnya Ting-sian dan Ting-yat Suthay datang ke Siau-lim-si, aku telah dikeluarkan untuk menemui mereka, di situ aku baru mengetahui ketua Siau-lim-si itu hakikatnya tidak pernah mengajarkan Ih-kin-keng padamu, juga tidak pernah mengobati penyakitmu. Aku menjadi marah demi mengetahui aku tertipu, aku mencaci maki hwesio tua Siau-lim-si itu. Ting-sian Suthay lantas menghibur aku, katanya kau sehat walafiat, katanya pula engkau yang suruh kedua suthay itu datang ke Siau-lim-si buat memintakan pembebasanku.”

“Sesudah mendengar demikian barulah kau tidak mencaci maki dia lagi?” tanya Lenghou Tiong.

“Ketua Siau-lim-si itu hanya tersenyum saja meski aku telah mencaci maki dia. Katanya, ‘Lisicu, waktu itu Lolap berjanji akan mengajarkan Ih-kin-keng kepada Lenghou-siauhiap untuk memunahkan macam-macam hawa murni yang mengacau di dalam tubuhnya itu, apabila Lenghou-siauhiap mau masuk Siau-lim-si dan dapat kuterima sebagai muridku. Namun Lenghou-siauhiap menolak anjuranku itu, maka aku pun tidak dapat memaksa dia. Pula waktu kau memanggul dia ke sini, tatkala itu keadaannya sangat payah, tapi ketika dia meninggalkan pegunungan ini, biarpun penyakitnya belum sembuh, namun sudah bisa berjalan seperti biasa, untuk mana sedikit-banyak Siau-lim-si juga berjasa baginya.’

“Kupikir ucapannya juga benar, aku lantas berkata, ‘Habis kenapa kau menahan aku di sini? Bukankah kau sengaja menipu aku?’”

“Ya, memangnya dia tidak pantas mendustai kau,” ujar Lenghou Tiong.

“Tapi ada juga alasannya yang masuk akal. Hwesio tua itu mengatakan bahwa aku ditahan di Siau-lim-si justru dia berharap akan dapat melenyapkan rasa congkakku. Huh, benar-benar ngaco-belo belaka,” Aku lantas menjawab, ‘Kau sudah begini tua, tapi suka mengakali anak kecil seperti kami, kau tahu malu tidak?’

“Hwesio tua itu tertawa dan berkata, ‘Waktu itu kau sendiri yang rela berkorban bagi keselamatan Lenghou-siauhiap. Meski kami tidak jadi menyembuhkan Lenghou-siauhiap, tapi jiwamu juga tidak kami ganggu. Sekarang mengingat kehormatan Ting-sian dan Ting-yat Suthay, bolehlah kau pergi dari sini.’

“Begitulah aku lantas dibebaskan dan turun gunung bersama kedua tokoh Hing-san-pay itu. Di bawah gunung kami ketemu Ban-li-tok-heng Dian Pek-kong, dia memberi tahu bahwa kau sedang dalam perjalanan bersama ribuan orang akan memapak aku ke Siau-lim-si.

“Kedua suthay menjadi khawatir dan tak bisa tinggal diam, segera mereka menyusul lagi ke atas gunung dengan maksud mencari kau untuk menghindarkan pertumpahan darah kedua pihak. Tak terduga maksud luhur kedua suthay yang berkepandaian tinggi itu justru bisa tewas di dalam Siau-lim-si.”

Habis berkata Ing-ing menghela napas panjang penuh penyesalan.

“Ya, entah siapakah yang menurunkan tangan keji kepada beliau-beliau itu,” kata Lenghou Tiong gegetun. “Pada tubuh kedua suthay itu tiada tanda-tanda luka, cara bagaimana tewasnya juga tidak diketahui.”

“Tanda luka jelas ada, siapa yang bilang tidak ada?” sahut Ing-ing. “Ketika ayah, Hiang-sioksiok, dan aku melihat jenazah kedua suthay itu menggeletak di dalam Siau-lim-si, aku telah coba membuka baju mereka dan memeriksa badannya, kulihat bagian ulu hati masing-masing ada suatu titik merah bekas tusukan jarum. Jelas mereka tewas tertusuk oleh jarum berbisa.”

“Hahhh!” Lenghou Tiong melonjak kaget. “Jarum berbisa? Di dunia persilatan sekarang siapakah yang memakai jarum berbisa?”

“Ayah dan Hiang-sioksiok yang berpengalaman luas juga tidak tahu. Menurut ayah, katanya itu bukan jarum berbisa, tapi adalah sejenis senjata yang ditusukkan kepada bagian fatal sehingga korbannya mati seketika. Cuma tusukan kepada ulu hati Ting-sian Suthay itu rada menceng sedikit.”

“Benar. Waktu aku menemukan Ting-sian Suthay, beliau belum meninggal. Jika tusukan jarum itu mengarah ulu hati, maka jelas bukan serangan gelap, tapi pertarungan berhadapan. Tentunya pembunuh kedua suthay itu pasti orang kosen yang mahalihai.”

“Ya, ayahku pun berkata demikian. Dengan sedikit data-data itu rasanya takkan sulit menemukan pembunuhnya kelak.”

Mendadak Lenghou Tiong menggaplok dinding gua, katanya, “Ing-ing, selama kita masih bernapas, kita harus menuntut balas bagi kedua suthay yang baik hati itu.”

“Benar,” sahut Ing-ing mantap.

Sambil duduk bersandar dinding gua, Lenghou Tiong merasa kaki dan tangannya dapat bergerak leluasa, dada juga tidak merasa sakit, ia menjadi heran, katanya, “Aneh, aku telah ditendang begitu keras oleh suhuku, kenapa seperti tidak terluka apa-apa dadaku.”

“Kata ayah kau telah mempelajari Gip-sing-tay-hoat-nya, dalam badanmu sudah tidak sedikit menyedot tenaga dalam orang lain. Maka kekuatan lwekangmu sesungguhnya sudah beberapa kali lebih kuat daripada gurumu. Tatkala itu kau sampai muntah darah, soalnya kau tidak mau mengerahkan tenaga untuk melawan tendangan gurumu. Namun lwekangmu yang mahakuat itu telah melindungi tubuhnya sehingga lukamu teramat ringan. Setelah ayah mengurut-urut tubuhmu, sementara ini kesehatanmu sudah pulih kembali. Cuma patahnya tulang kaki gurumu itu sebaliknya adalah kejadian aneh. Sudah setengah hari ayah memikirkan hal itu dan tetap tidak tahu sebab musababnya.”

“Kekuatan lwekangku yang menggetar kembali tendangan suhu itu sehingga mematahkan tulang kakinya, kenapa hal ini mesti diherankan?” ujar Lenghou Tiong.

“Bukan begitu halnya,” sahut Ing-ing. “Kata ayah, tenaga dalam berasal dari orang lain itu harus bisa digunakan dengan lancar barulah bisa dipakai menyerang lawan. Tapi tetap kalah setingkat bila dibandingkan lwekang yang berhasil diyakinkan oleh dirimu sendiri.”

“Kiranya demikian,” kata Lenghou Tiong. Karena tidak paham persoalannya, maka ia pun tidak mau banyak pikir lagi. Ia hanya merasa tidak enak karena telah membikin patah tulang kaki sang guru.
Pikirnya, “Lantaran diriku siausumoay sampai dilukai oleh Gi-ho Sumoay. Sekarang bukan saja suhu juga terluka, bahkan aku telah membuatnya malu di depan orang banyak. Dosaku ini betapa pun sukar ditebus lagi.”

Untuk sekian lamanya mereka terdiam, suasana sunyi, hanya terkadang terdengar suara letikan kayu api yang terbakar di luar gua itu. Tertampak salju bertebaran dengan lebatnya, jauh lebih lebat daripada hujan salju di atas Siau-sit-san kemarin.
Dalam keadaan sunyi senyap itu, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar di sebelah barat gua sana ada suara orang bernapas dengan berat. Segera ia pasang telinga buat mendengarkan lebih cermat.

Lwekang Ing-ing tidak setinggi Lenghou Tiong, ia tidak dapat mendengar suara itu, tapi melihat gerak-gerik pemuda itu ia lantas tanya, “Kau mendengar suara apa?”

“Seperti orang bernapas, entah siapa yang datang,” sahut Lenghou Tiong. “Di mana ayahmu?”

“Ayah dan Hiang-sioksiok bilang mau jalan-jalan keluar,” kata Ing-ing dengan wajah merah. Ia tahu maksud ayahnya mengatakan begitu adalah sengaja memberi kesempatan padanya agar bisa bicara lebih asyik dan mesra melipur perasaan rindu selama berpisah ini.

Sementara itu Lenghou Tiong mendengar lagi suara orang bernapas, katanya segera, “Marilah kita keluar melihatnya.”

Mereka keluar gua, terlihat bekas kaki Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sudah hampir lenyap tertutup oleh salju.

“Dari situlah datangnya suara napas orang itu,” kata Lenghou Tiong sambil menunjuk ke arah bekas-bekas kaki. Segera mereka mengikuti jejak kaki itu, kira-kira satu-dua li jauhnya, setelah membelok suatu lintasan bukit, mendadak di tanah salju sana kelihatan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian berdiri sejajar tanpa bergerak.

Mereka terkejut dan cepat memburu ke sana. “Ayah!” seru Ing-ing, segera ia pegang sebelah tangan Yim Ngo-heng.

Tak terduga, begitu menempel tangan sang ayah, seketika seluruh badan Ing-ing tergetar, terasa suatu arus hawa mahadingin menyalur tiba dari tangan ayahnya sehingga dia kedinginan.

“Ayah, kau... kau kenapa....” belum habis ucapannya badan sudah gemetar, gigi berkertukan. Tapi ia lantas paham duduknya perkara, tentu keadaan ayahnya itu adalah akibat tutukan maut Co Leng-tan dan sekarang Hiang Bun-thian sedang membantu sang ayah melawan serangan hawa dingin dengan segenap lwekangnya.

Mula-mula Lenghou Tiong juga tidak paham, dilihatnya wajah Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sangat prihatin, menyusul Yim Ngo-heng bernapas lagi beberapa kali dengan berat, baru sekarang ia tahu suara napas yang didengarnya tadi kiranya berasal dari Yim Ngo-heng.

Ketika dilihatnya badan Ing-ing juga menggigil kedinginan, tanpa pikir ia lantas pegang tangan si nona. Sekejap saja hawa dingin itu pun menyusup ke dalam tubuhnya. Seketika pahamlah Lenghou Tiong bahwa Yim Ngo-heng telah terserang oleh hawa dingin musuh dan sekarang sedang mengerahkan tenaga untuk membuyarkan hawa dingin itu. Segera ia menggunakan cara yang pernah dipelajari dari ilmu yang terukir di atas papan besi di penjara bawah Se-ouw dahulu itu, perlahan-lahan ia membuyarkan hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya.

Mendapat bantuan Lenghou Tiong itu, seketika hati Yim Ngo-heng merasa lega. Maklumlah, biarpun lwekang Hiang Bun-thian dan Ing-ing cukup tinggi, tapi tidaklah sama dengan lwekang yang diyakinkan Yim Ngo-heng, mereka hanya bisa membantu lawan hawa dingin dengan lwekang, tapi tak bisa membuyarkan hawa dinginnya. Dengan bantuan Lenghou Tiong yang tepat itu, sedikit demi sedikit Lenghou Tiong menarik “Han-giok-cin-gi” yang dicurahkan Co Leng-tan ke tubuh Yim Ngo-heng itu, lalu dibuyarkan keluar sehingga racun dingin yang mengeram di tubuh Yim Ngo-heng semakin berkurang.

Begitulah mereka berempat tangan bergandengan tangan berdiri kaku di tanah salju itu seperti patung, bunga salju masih terus turun dengan lebatnya sehingga lambat laun dari kepala sampai kaki mereka tertutup semua oleh salju.

Sambil mengerahkan tenaga Lenghou Tiong merasa heran pula kenapa bunga salju yang menimpa mukanya tidak mencair? Sebaliknya malah terus menempel dan membeku dan makin tebal.

Ia tidak tahu bahwa “Han-giok-cin-gi” yang diyakinkan Co Leng-tan itu sangat lihai, hawa dingin yang dipancarkan itu jauh lebih dingin daripada salju. Kini kulit badan mereka berempat sudah sedingin es, hanya dalam badan saja yang masih hangat. Sebab itulah bunga salju yang menimpa mereka tidak mencair, sebaliknya makin tertimbun dan makin keras.

Selang agak lama, cuaca mulai terang, tapi salju masih turun dengan lebatnya. Lenghou Tiong khawatir badan Ing-ing yang lemah itu tidak tahan serangan hawa dingin dalam waktu lama, tapi ia merasa racun dingin di tubuh Yim Ngo-heng itu belum terkuras bersih, meski suara napasnya yang berat sudah tidak terdengar lagi, entah boleh berhenti tidak pertolongannya itu, kalau berhenti apakah akan terjadi akibat lain tidak?
Karena ragu-ragu, terpaksa ia meneruskan bantuan lwekangnya kepada Yim Ngo-heng. Syukurlah dari tapak tangan Ing-ing yang digenggamnya itu dapat dirasakan badan si nona sudah tidak menggigil lagi, dapat pula dirasakan denyut nadi di tapak si nona.

Dalam keadaan terbungkus oleh salju yang tebal, bagian mata juga terlapis salju beberapa senti tebalnya, lapat-lapat Lenghou Tiong cuma bisa merasakan cuaca sudah terang, tapi tak bisa melihat apa-apa.

Tanpa menghiraukan urusan lain Lenghou Tiong terus mengerahkan tenaganya, ia berharap selekasnya racun dingin di tubuh Yim Ngo-heng akan dapat dipunahkan seluruhnya.

Entah berapa lama lagi, tiba-tiba dari jurusan timur laut yang jauh sana terdengar suara derapan kaki kuda dan makin lama makin mendekat.
Kemudian terdengar jelas yang datang ada dua penunggang kuda, yang satu di depan dan yang lain di belakang. Menyusul lantas terdengar seruan seorang, “Sumoay, Sumoay, dengarkan aku dulu!”

Meski kedua telinga juga tertutup oleh salju tebal, tapi dapat didengarnya dengan jelas bahwa suara itu bukan lain adalah suara bekas gurunya, yaitu Gak Put-kun.

Terdengar suara berdetak-detak kaki kuda yang tidak berhenti, lalu suara Gak Put-kun berseru lagi, “Kau tidak paham seluk-beluknya lantas uring-uringan, hendaklah kau dengarkan ceritaku dulu.”

Lalu terdengar Gak-hujin berseru, “Aku merasa kesal sendiri, peduli apa dengan urusanmu? Apa lagi yang perlu diceritakan?”

Dari suara seruan mereka serta suara kaki kuda, terang Gak-hujin berada di depan dan disusul oleh Gak Put-kun dari belakang.

Lenghou Tiong menjadi heran, pikirnya, “Perangai sunio biasanya sangat halus dan tidak pernah ribut mulut dengan suhu, entah apa sebabnya sekali ini suhu telah membikin marah padanya?”

Terdengar kuda tunggangan Gak-hujin semakin mendekat, mendadak terdengar dia bersuara heran, menyusul kudanya meringkik panjang, mungkin karena mendadak dia menahan tali kendali sehingga kudanya berhenti mendadak dengan kedua kaki depan terangkat.

Selang sejenak Gak Put-kun telah menyusul tiba, katanya, “Di tanah pegunungan ini ternyata ada orang menimbun empat orang-orangan salju. Sumoay, bagus dan mirip sekali orang-orang salju itu, bukan?”

Gak-hujin hanya mendengus saja tanpa menjawab. Mungkin rasa marahnya belum reda, tapi jelas ia pun sangat tertarik oleh empat orang-orangan salju yang dikatakan itu.

Baru saja Lenghou Tiong merasa heran dari manakah di tanah pegunungan luas ini ada empat orang-orangan salju, tapi segera ia menjadi paham, “Ya, kami berempat tertimbun salju sedemikian tebalnya sehingga suhu dan sunio menyangka kami sebagai orang-orangan salju.”

Lalu terdengar Gak Put-kun berkata, “Di sini tiada tanda-tanda bekas kaki, kukira orang-orangan salju ini sudah dibuat beberapa hari yang lalu.
Sumoay, bukankah tiga di antaranya seperti lelaki dan satu perempuan?”

“Tampaknya hampir sama saja, masakah ada perbedaannya?” ujar Gak-hujin, lalu ia membentak kudanya hendak dilarikan.

Cepat Gak Put-kun menahan tali kendali kuda istrinya dan berkata, “Sumoay, kenapa kau terburu-buru? Di sini tiada orang lain, marilah kita berunding secara panjang.”

“Terburu-buru apa, aku hanya mau pulang ke Hoa-san, kau suka mengekor kepada Co Leng-tan boleh pergi sendiri saja ke Ko-san,” sahut Gak-hujin.

“Siapa bilang aku mau mengekor Co Leng-tan? Sebagai ketua Hoa-san-pay yang terhormat buat apa aku mesti tunduk kepada Ko-san-pay?”

“Itulah, justru aku tidak paham mengapa sebagai ketua Hoa-san-pay kau justru mau tunduk kepada Co Leng-tan dan terima perintahnya? Sekalipun dia adalah bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay, tapi juga tidak boleh mencampuri urusan dalam Hoa-san-pay kita. Bila kelima golongan dilebur menjadi satu, lalu nama Hoa-san-pay dapatkah dipertahankan lagi di dunia persilatan? Dahulu waktu suhu menyerahkan jabatan ciangbun kepadamu, pesan apa saja yang beliau tinggalkan kepadamu?!”

“Suhu menghendaki aku mengembangkan kejayaan Hoa-san-pay,” sahut Gak Put-kun.

“Nah, itu dia. Sekarang bila kau menggabungkan Hoa-san-pay ke dalam Ko-san-pay, cara bagaimana kau akan bertanggung jawab kepada mendiang guru kita? Biarpun kecil Hoa-san-pay harus berdiri sendiri daripada bersandar kepada orang lain.”

Gak Put-kun menghela napas, katanya, “Sumoay, menurut pendapatmu, bagaimana kepandaian Ting-sian dan Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay jika dibandingkan kita?”
“Tidak pernah bertanding, tapi kukira juga sembabat. Buat apa kau tanya soal ini?”

“Aku pun berpendapat demikian. Kedua suthay itu tewas di Siau-lim-si, jelas Co Leng-tan yang membunuh mereka,” kata Put-kun.

Mendengar sampai di sini, hati Lenghou Tiong tergetar. Memangnya ia pun mencurigai Co Leng-tan yang membunuh pimpinan-pimpinan Hing-san-pay itu, orang lain rasanya juga tidak memiliki kepandaian setinggi itu.

“Lantas bagaimana jika itu perbuatan Co Leng-tan? Bila kau ada bukti nyata, seharusnya kau undang seluruh kesatria sejagat dan sama-sama mendatangi Co Leng-tan untuk membalas sakit hati kedua suthay.”

Kembali Gak Put-kun menghela napas, katanya, “Pertama memang tidak ada bukti. Kedua, kekuatan kita tak bisa melawannya.”

“Mengapa tidak bisa melawannya? Kita dapat menampilkan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-si dan Tiong-hi dari Bu-tong-pay, apakah Co Leng-tan berani?”

“Tapi sebelum beliau-beliau itu dapat kita undang, kukhawatir kita suami istri sudah mengalami nasib seperti kedua suthay itu,” ujar Put-kun menghela napas.
“Kau maksudkan kita akan dibunuh juga oleh Co Leng-tan? Hm, sebagai orang persilatan masakah kita harus takut menghadapi risiko demikian? Kalau takut ini dan takut itu, cara bagaimana kau akan berkecimpung di dunia Kangouw?”

Alangkah kagumnya Lenghou Tiong terhadap sang ibu-guru itu. Pikirnya, “Biarpun kaum wanita, tapi jiwa kesatria sunio harus dipuji.”

“Kita tidak takut mati, tapi apa faedahnya pengorbanan kita?” ujar Put-kun. “Kalau Co Leng-tan membunuh kita secara menggelap, kita mati dengan tidak terang seluk-beluknya, akhirnya dia toh tetap mendirikan Ngo-gak-kiam-pay-nya, bukan mustahil dia malah akan menjatuhkan sesuatu fitnah keji atas diri kita.”

Gak-hujin terdiam.

Gak Put-kun lantas menyambung pula, “Bila kita mati, maka anak murid Hoa-san-pay tentu juga akan menjadi mangsa empuk Co Leng-tan, masakah mereka sanggup melawannya? Pendek kata, betapa pun kita harus memikirkan diri Leng-sian.”

Gak-hujin berdehem perlahan, agaknya hatinya terpengaruh juga oleh kata-kata sang suami. Selang sejenak baru berkata, “Seumpama sementara ini kita tidak perlu membongkar tipu muslihat Co Leng-tan, tapi kenapa kau malah memberikan Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Peng-ci kepada orang she Co itu? Bukankah itu berarti membantu kejahatannya sehingga mirip harimau tumbuh sayap?”

“Itu pun merupakan rencanaku dalam jangka panjang,” kata Gak Put-kun. “Jika aku tidak memberikan kitab pusaka yang menjadi impian setiap orang bu-lim, tentu sukar membikin dia percaya akan kesungguhan hatiku untuk bekerja sama dengan dia. Semakin dia tidak menaruh curiga padaku, semakin bebaslah tindak tanduk kita. Nanti kalau waktunya sudah masak barulah kita membongkar kedoknya dan bersama para kesatria seluruh jagat membinasakan dia.”

Pada saat itulah mendadak Lenghou Tiong merasa kepalanya tergetar seperti ditabok oleh tangan orang, keruan ia terkejut, “Wah, celaka, mungkin penyamaran kami ini ketahuan mereka. Selagi racun dingin Yim-kaucu belum punah sama sekali, apa yang harus kulakukan jika suhu dan sunio menyerang aku?”
Ia merasa tenaga dalam yang tersalur dari tangan Ing-ing juga tergetar beberapa kali, diduganya tentu perasaan Yim Ngo-heng juga tidak tenteram. Tapi sesudah kepalanya ditabok orang, lalu tiada sesuatu kejadian lagi.

Terdengar Gak-hujin bicara pula, “Kemarin waktu kau bertanding dengan Tiong-ji, berulang-ulang kau telah memainkan jurus-jurus Long-cu-hwe-tau, Jong-siong-ging-khik, dan sebagainya, apa artinya itu?”

“Hehe, meski kelakuan bangsat cilik itu tidak senonoh, betapa pun dia adalah anak yang kita piara sejak kecil, rasanya sayang jika melihat dia sampai tersesat, maka bila dia mau berpaling kembali ke jalan yang benar, aku pun bersedia menerima dia kembali ke dalam Hoa-san-pay.”

“Bahkan maksudmu akan menjodohkan Anak Sian kepadanya, bukan?” tanya Gak-hujin.

“Ya, memang,” sahut Gak Put-kun.

“Isyarat yang kau berikan waktu itu hanya sebagai siasat saja atau memang benar-benar berniat begitu?” tanya pula Gak-hujin.

Gak Put-kun terdiam. Segera Lenghou Tiong merasa kepalanya diketok-ketok perlahan lagi oleh orang. Maka tahulah dia pasti sembari berpikir Gak Put-kun menggunakan tangannya menabok-nabok perlahan di atas kepala orang-orangan salju, jadi penyamaran Lenghou Tiong berempat belum lagi diketahui olehnya.

Sejenak baru terdengar Gak Put-kun menjawab, “Seorang laki-laki harus pegang janji, sekali aku sudah menyanggupi dia tentu tidak boleh ingkar janji.”

“Dia sangat kesengsem kepada perempuan siluman Mo-kau itu, masakah kau tidak tahu?” ujar Gak-hujin.

“Tidak, terhadap perempuan siluman Mo-kau itu dia hanya segan dan takut, kesengsem sih belum tentu,” ujar Put-kun. “Masakah kau tidak dapat membedakan bagaimana sikap biasanya terhadap Anak Sian daripada terhadap perempuan siluman itu?”

“Sudah tentu aku dapat melihatnya. Jadi kau yakin dia masih belum melupakan Anak Sian?”

“Bukan saja tidak lupa, bahkan boleh dikata sangat rindu,” kata Gak Put-kun. “Tidakkah kau menyaksikan betapa senangnya dia waktu mengetahui arti dari jurus-jurus seranganku itu?”

“Justru karena itu, maka kau telah menggunakan Anak Sian sebagai umpan untuk memancing dia agar sengaja mengalah padamu, bukan?”

Meski kupingnya tertutup oleh salju, tapi dapat pula Lenghou Tiong mendengar kata-kata sang sunio yang bernada marah dan menyindir itu. Padahal nada demikian selamanya tak pernah diucapkan oleh sang sunio terhadap suaminya. Betapa pun ibu guru itu selalu menghormati kedudukan sang suami sebagai ketua suatu aliran persilatan yang disegani. Tapi sekarang dia sampai mengucapkan kata-kata bernada menyindir, hal ini menandakan betapa tidak senang hatinya terhadap sang suami.

Terdengar Gak Put-kun menghela napas panjang, katanya, “Sampai kau pun tidak paham maksud tujuanku, apalagi orang luar. Padahal bukan untuk kepentingan diriku pribadi, tapi adalah demi kehormatan Hoa-san-pay kita. Jika aku dapat menyadarkan Lenghou Tiong sehingga dia masuk kembali Hoa-san-pay, maka ini berarti satu usaha empat keuntungan, suatu kejadian yang sangat bagus.”

“Satu usaha empat keuntungan apa?” tanya Gak-hujin.

“Seperti kau mengetahui, entah dari mana mendadak Lenghou Tiong mendapat ajaran ilmu pedang ajaib dari Hong-susiok. Jika dia kembali ke dalam Hoa-san-pay, itu berarti wibawa Hoa-san-pay kita akan tambah cemerlang, ini adalah keuntungan pertama. Dengan demikian tipu muslihat Co Leng-tan akan mencaplok Hoa-san-pay tentu sukar terlaksana, bahkan Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay juga bisa diselamatkan, ini adalah keuntungan kedua. Jika dia masuk kembali Hoa-san-pay, itu berarti pihak cing-pay kita bertambah suatu jago kelas wahid, sebaliknya pihak sia-pay akan menjadi lemah kehilangan seorang pembantu yang diandalkan, ini adalah keuntungan ketiga. Betul tidak, Sumoay?”

Agaknya Gak-hujin merasa tertarik juga oleh uraian sang suami itu, lalu ia bertanya, “Dan keuntungan yang keempat?”

“Keuntungan keempat ini lebih meyakinkan lagi. Tiong-ji adalah kita yang membesarkan, kita sendiri tidak punya putra, selama ini kita anggap dia sebagai putra kandung kira sendiri. Bahwa dia tersesat ke jalan yang tidak baik sesungguhnya aku pun sangat sedih. Usiaku sudah lanjut, apa artinya nama kosong bagiku di dunia fana ini? Asalkan dia bisa kembali ke jalan yang baik, sekeluarga kita dapat berkumpul kembali dengan bahagia, bukankah ini suatu peristiwa yang menggembirakan?”

Mendengar sampai di sini, alangkah terharunya Lenghou Tiong sehingga air matanya berlinang-linang di kelopak matanya, hampir-hampir ia berteriak, “Suhu, Sunio!”

Syukur terasa olehnya tangan Ing-ing yang digenggamnya itu rada tergetar sehingga seruannya itu urung dikeluarkan.

“Peng-ci dan Anak Sian berdua sangat cocok satu sama lain, masakah kau tega memisahkan mereka dan membikin Anak Sian menyesal selama hidup?” tanya Gak-hujin.
“Apa yang kulakukan ini adalah demi kebaikan Anak Sian pula,” sahut Put-kun.

Bab 100. Isi Hati Ketua Hoa-san-pay

Demi kebaikan Anak Sian? Padahal Peng-ci adalah yang baik dan sopan, apanya yang kurang baik?”

“Meski Peng-ci sangat giat belajar, tapi kalau dibandingkan Lenghou Tiong adalah seperti langit dan bumi, biarpun dia naik kuda selama hidup ini juga sukar menyusulnya.”

“Apakah ilmu silatnya tinggi mesti suami yang baik? Aku sih mengharapkan Tiong-ji bisa kembali ke jalan yang baik dan masuk kembali ke perguruan kita. Tapi dia suka yang baru dan bosan yang lama, dia gemar minum (arak) dan tingkah lakunya kurang baik, betapa pun kebahagiaan Anak Sian tidak boleh dikorbankan.”
Mendengar ucapan sang ibu-guru itu, seketika Lenghou Tiong berkeringat dingin. Pikirnya, “Penilaian Sunio atas diriku memang tepat. Tapi... tapi bila aku dapat memperistrikan siausumoay, masakah aku bisa mengecewakan dia? Tidak, sekali-kali tidak.”

Terdengar Gak Put-kun menghela napas dan berkata pula, “Tapi usahaku toh percuma saja, bangsat cilik itu sudah kejeblos terlalu mendalam dan sukar menginsafkan dia, apa yang kita bicarakan ini hanya sia-sia belaka. Sumoay, apakah kau masih marah padaku?”

Gak-hujin tidak menjawab. Selang sebentar kemudian baru berkata, “Apakah kakimu kesakitan?”

“Hanya luka luar saja, sebulan dua bulan saja tentu akan sembuh,” sahut Gak Put-kun. “Aku dikalahkan bangsat cilik itu, aku tidak punya muka buat bertemu dengan orang lagi. Marilah kita berangkat pulang ke Hoa-san saja.”

Terdengar Gak-hujin menghela napas, lalu suara derapan kaki kuda yang makin lama makin menjauh.

Seketika itu pikiran Lenghou Tiong menjadi kacau, ia merenungkan kembali percakapan kedua orang tua tadi sehingga lupa mengerahkan tenaga. Sekonyong-konyong arus hawa dingin menerjang tiba dari telapak tangan sehingga membuatnya menggigil, seluruh badan terasa kedinginan sampai merasuk tulang, lekas-lekas ia mengerahkan tenaga untuk menahan serangan hawa dingin itu. Saking tergesa-gesanya, tiba-tiba saluran tenaga di bagian bahu kiri terasa macet, terhalang dan tak bisa lancar. Ia menjadi gelisah dan mengerahkan tenaga terlebih kuat.

Ia tidak tahu bahwa jalannya tenaga dalam itu harus mengutamakan kewajaran, dia meyakinkan Gip-sing-tay-hoat berdasarkan apa yang terukir di papan besi itu, jadi belajar tanpa guru, tapi titik-titik penting yang terperinci sama sekali tidak mendapat petunjuk dari seorang guru yang mahir, maka caranya menjadi ngawur, semakin dia mengerahkan tenaga, semakin kaku dan macet.
Mula-mula lengan kiri ikut kaku perlahan-lahan, menyusul rasa kaku menurun ke iga kiri, pinggang kiri, terus menurun lagi hingga paha kiri juga terasa kaku.

Keruan dia sangat cemas, segera ia bermaksud berteriak, “Tolong!”

Tapi begitu bermaksud pentang mulut, terasalah bibirnya juga sudah kaku dan sukar bergerak.

Pada saat itulah terdengar pula suara derapan kaki kuda, kembali ada dua penunggang kuda mendatangi. Terdengar suara seorang berkata, “Di sini banyak terdapat bekas-bekas tapak kuda, tentu ayah dan ibu tadi berhenti di sini.”

Itulah suaranya Gak Leng-sian. Keruan kejut dan girang pula hati Lenghou Tiong. Katanya di dalam hati, “Kenapa siausumoay datang juga ke sini?”

Lalu terdengar seorang lagi berkata, “Kaki Suhu terluka, jangan sampai beliau mengalami apa-apa lagi, lekas kita menyusul ke sana mengikuti jejak kuda.”

Jelas ini suaranya Lim Peng-ci.

Tiba-tiba Gak Leng-sian berseru, “He, Siau-lim-cu, coba lihat, bagus sekali keempat orang-orangan salju ini, satu sama lain bergandengan tangan.”

“Sekitar sini seperti tiada penduduk, kenapa ada orang main tumpuk orang-orangan salju di sini?” ujar Lim Peng-ci.

“Eh, maukah kita pun membangun dua orang-orangan salju?” ajak Leng-sian dengan tertawa.

“Bagus, kita membikin satu laki dan satu perempuan, keduanya juga tangan bergandeng tangan,” sahut Peng-ci.
Segera Leng-sian melompat turun dari kudanya, lalu mulai mengeruk salju dan ditimbun.

Tapi Peng-ci berkata pula, “Lebih baik kita menyusul Suhu dan Sunio saja. Nanti kalau sudah bertemu beliau-beliau barulah kita main orang-orangan salju.”

“Kau selalu melenyapkan kesenangan orang,” sahut Leng-sian. “Meski kaki ayah terluka, tapi dia menunggang kuda, apalagi didampingi ibu, masakah khawatir diganggu orang? Tatkala beliau berdua malang melintang di dunia Kangouw dahulu kau sendiri belum lahir.”
“Tapi sebelum kita ketemu Suhu dan Sunio, rasanya tidak tenteram untuk main-main di sini,” kata Peng-ci.

“Baiklah, aku menurut kau. Tapi sesudah bertemu ayah dan ibu nanti kau harus menemani aku membikin dua orang-orangan salju yang bagus.”

“Sudah tentu,” sahut Peng-ci.

Diam-diam Lenghou Tiong mengakui ketulusan dan kepolosan hati Lim Peng-ci dengan jawaban yang bersahaja itu. Coba kalau dirinya tentu akan menjawab, “Baiklah, akan kita bikin orang-orangan salju secantik kau.”

Terpikir pula olehnya jika dirinya yang diminta menemani sang sumoay untuk membikin orang-orangan salju, tentu tanpa menghiraukan urusan lain akan disetujuinya. Tapi siausumoay justru menuruti kemauan Lim-sute, sedikit pun tidak main manja, sama sekali berbeda seperti sikapnya padaku. Agaknya kesehatan Lim-sute sekarang sudah baik, entah siapakah yang telah melukainya tempo hari, tapi siausumoay telah menuduh diriku. Demikian pikirnya.

Lantaran memusatkan pikiran mendengarkan percakapan Leng-sian dan Peng-ci sehingga melupakan badan sendiri yang kaku tadi. Siapa tahu dengan demikian justru cocok dengan ajaran Gip-sing-tay-hoat yang mengharuskan pikiran tenang dan tidak gelisah.
Dengan demikian rasa kaku kaki dan pinggangnya lambat laun menjadi berkurang.

Tiba-tiba terdengar Gak Leng-sian berseru, “Baiklah, tidak jadi membikin orang-orangan salju, tapi aku mau menulis beberapa huruf di atas orang salju ini.”

“Sret”, ia terus lolos pedangnya.

Kembali Lenghou Tiong terkejut dan khawatir, apa jadinya jika pedangnya menusuk dan menebas serabutan di atas badan kami berempat? Tapi sebelum dia sempat berpikir lagi, mendadak terdengar suara “srat-sret” berulang-ulang, Leng-sian telah mengukir beberapa tulisan di atas tubuh Hiang Bun-thian yang berlapis salju tebal itu. Ujung pedangnya masih terus menggeser dan akhirnya sampai di atas badan Lenghou Tiong. Untung ukirannya tidak terlalu dalam sehingga tidak sampai tembus dan melukai mereka.

“Entah tulisan apa yang dia ukir di atas badan kami?” demikian Lenghou Tiong membatin.

“Cobalah kau pun menulis beberapa huruf,” kata Leng-sian dengan suara lembut.

“Baik,” jawab Peng-ci. Ia sambut pedang si nona, lalu ikut mengukir beberapa huruf di atas keempat orang-orang salju. Ia pun mengukir dari kanan ke kiri, mulai dari badan Hiang Bun-thian dan berakhir pada badan Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong tambah heran, “Entah tulisan apa lagi yang diukir Lim-sute?”

Dalam pada itu terdengar Leng-sian sedang berkata, “Betul, kita berdua harus demikian adanya.”
Lalu mereka terdiam sampai agak lama.

Tentu saja Lenghou Tiong semakin heran, “Harus demikian apa? Biarlah nanti bila mereka sudah pergi dan racun dingin di tubuh Yim-kaucu sudah bersih dipunahkan baru aku dapat meronta keluar dari timbunan salju untuk melihat tulisan apa yang mereka ukir tadi. Tapi, ah tak bisa jadi. Begitu aku bergerak tentu timbunan salju akan rontok dan tak terlihatlah tulisan apa yang mereka ukir. Lebih-lebih kalau kami berempat bergerak sekaligus, tentu satu huruf pun tak bisa tahu lagi.”

Selang sejenak pula, terdengar dari jauh ada suara derapan kaki kuda yang ramai, meski jaraknya masih jauh, tapi jelas menuju ke sebelah sini. Rupanya Peng-ci dan Leng-sian masih belum dengar. Lenghou Tiong dapat menaksir dari derapan kaki kuda itu sedikitnya adalah belasan orang. Ia pikir besar kemungkinan adalah anak murid Hoa-san-pay yang menyusul tiba.

Makin mendekatlah suara lari kuda-kuda itu. Tapi Peng-ci dan Leng-sian agaknya masih tidak menaruh perhatian.

Lenghou Tiong mendengar belasan penunggang kuda itu datang dari arah timur laut, dari jarak satu-dua li mereka lantas memencarkan diri, ada sebagian menuju ke jurusan barat, kemudian membelok dan sama-sama menuju ke sini, jelas mereka telah mengurung jalan lari Peng-ci dan Leng-sian.
Mendadak terdengar Leng-sian berseru kaget, “He, ada orang datang!”

Menyusul terdengar suara mendesingnya dua anak panah, lalu suara kuda meringkik ngeri dan roboh.

Dalam hati Lenghou Tiong menduga ilmu silat pendatang-pendatang itu tidak lemah, tujuan mereka juga keji. Dari jauh lebih dulu mereka memanah mati kuda-kuda siausumoay dan Lim-sute agar mereka tak bisa lari jauh. Sejenak kemudian belasan orang itu sudah mendekat sambil bergelak tertawa.

Terdengar Leng-sian berseru khawatir sambil mundur selangkah. Lalu terdengar seorang di antara pendatang-pendatang itu bertanya, “Hehe, seorang adik cilik dan seorang genduk, kalian ini murid siapa dan dari aliran mana?”

“Cayhe murid Hoa-san-pay bernama Lim Peng-ci, suciku ini she Gak,” sahut Peng-ci dengan suara lantang. “Selamanya kita tidak saling kenal, mengapa tanpa sebab kuda kami dipanah mati?”

“Murid Hoa-san-pay?” orang itu menegas dengan tertawa. “Jadi guru kalian adalah Gak-siansing dengan julukan ‘Kun-cu-kiam’ segala dan telah kalah bertanding dengan bekas muridnya itu?”

Peng-ci lantas menjawab, “Kelakuan Lenghou Tiong tidak baik, berulang-ulang dia melanggar peraturan, maka setahun yang lalu dia sudah dipecat.”

Dia ingin mengatakan bahwa kekalahan bertanding sang guru kepada Lenghou Tiong itu dapat dianggap kalah kepada orang luar dan bukan muridnya lagi.

“Genduk cilik ini she Gak, pernah apanya Gak-tayciangbun?” tanya orang itu pula.

“Peduli apa dengan aku?” damprat Leng-sian dengan gusar. “Kau telah memanah mati kudaku, lekas ganti.”

“Wah, melihat kegalakannya ini, besar kemungkinan dia adalah gundik Gak Put-kun,” kata orang itu sambil cengar-cengir. Serentak belasan orang kawannya ikut tertawa gemuruh.

Mendengar kata-kata orang yang kasar itu, Lenghou Tiong membatin orang-orang itu pasti bukan dari kaum cing-pay dan mungkin sekali akan membahayakan siausumoay.

Dalam pada itu Peng-ci telah berkata, “Tuan adalah locianpwe dari Kangouw, kenapa bicara sekotor itu? Hendaklah tahu bahwa suciku adalah putri kesayangan guruku.”

“O, kiranya adalah putri Gak Put-kun, haha, sama sekali tidak cocok dengan kenyataannya,” ujar orang tadi dengan tertawa.

Seorang temannya lantas tanya, “Loh-toako, kenapa tidak cocok dengan kenyataan?”

“Pernah kudengar orang bercerita, katanya putri Gak Put-kun sangat cantik, terhitung nona paling ayu di antara angkatan muda, tapi nyatanya sekarang cuma begini saja,” sahut Loh-toako tadi.

“Wajah genduk ini memang biasa saja, tapi kulitnya putih, dagingnya halus. Kalau ditelanjangi mungkin boleh juga. Hahahahaha!” begitu belasan orang serentak tertawa riuh pula penuh maksud kotor.

Baik Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci maupun Lenghou Tiong menjadi gusar mendengar ucapan-ucapan tidak sopan itu. Peng-ci lantas cabut pedangnya dan berkata, “Jika kalian mengeluarkan kata-kata tidak senonoh lagi, biarpun mati juga akan kulayani kalian.”

“He, coba kalian lihat, dua sejoli cabul yang main patgulipat ini telah menulis apa di atas orang salju ini?” tiba-tiba seorang berseru.

Dikatakan “cabul”, Peng-ci tidak tahan lagi “sret”, pedangnya lantas menusuk. Maka terdengarlah suara ramai, ada dua orang telah melompat turun dari kudanya untuk melawan Peng-ci. Menyusul Leng-sian juga ikut menerjang maju. Berbareng beberapa laki-laki itu lantas berseru, “Biar aku yang melayani genduk ini!”

“Jangan ribut, jangan berebut, semuanya akan mendapat gilirannya,” ujar seorang dengan tertawa.

Lalu terdengar suara beradunya senjata, Leng-sian juga telah bertempur dengan musuh. Mendadak seorang laki-laki menggerung gusar karena rasa sakit, agaknya terluka oleh pedang Leng-sian.

Seorang laki-laki lain lantas berkata, “Ganas juga genduk ayu ini. Su-losam, akan kubalaskan sakit hatimu.”

Di tengah suara nyaring beradunya senjata terdengar Gak Leng-sian berseru, “Awas!”

Lalu terdengar suara “trang” yang keras disusul oleh suara Peng-ci yang tertahan. “Siau-lim-cu!” Leng-sian berseru pula, mungkin Peng-ci terluka.

Kemudian pemimpin rombongan pendatang itu berseru, “Jangan membunuh dia, tangkap saja hidup-hidup. Kalau putri dan menantu Gak Put-kun sudah kita bekuk masakah jantan palsu she Gak itu takkan tunduk kepada kita?”

Lenghou Tiong coba mendengarkan lagi dengan lebih cermat, terdengar suara menderu sambaran senjata, agaknya Gak Leng-sian memutar pedangnya dengan kencang. Mendadak terdengar suara “trang”, lalu suara “plak” lagi sekali. Seorang laki-laki lantas mencaci maki, “Kurang ajar, lonte cilik!”

Mendadak Lenghou Tiong merasa badannya disandari orang, lalu terdengar napas Gak Leng-sian yang tersengal-sengal, nyata nona itulah yang bersandar pada “orang salju”-nya itu. Setelah suara senjata beradu lagi beberapa kali, seorang laki-laki di antaranya lantas berseru girang, “Masakah kau tak bisa kubekuk!”

Terdengar Leng-sian berseru khawatir, lalu tidak terdengar lagi suara beradunya senjata, sebaliknya orang-orang itu sama bergelak tertawa.

Lenghou Tiong merasa Leng-sian yang bersandar pada tubuhnya itu diseret pergi dan terdengar nona itu berteriak, “Lepaskan aku, lepaskan!”

Seorang di antaranya berkata dengan tertawa, “Bun-lotoa, tadi kau bilang dia berkulit putih dan berdaging halus, aku justru tidak percaya. Marilah kita belejeti pakaiannya, coba lihat betul tidak dugaanmu.”

Semua orang lantas bersorak gembira setuju. Peng-ci memaki dengan gusar, “Kawanan bangsat....” mendadak “plak”, ia telah ditendang sekali, lalu terdengar suara “bret” suara kain robek.

Dengan jelas Lenghou Tiong mendengar siausumoaynya hendak ditelanjangi orang, mana dia bisa tahan lagi. Tanpa hiraukan keadaan Yim Ngo-heng, segera ia melepaskan tangan Ing-ing yang dipegangnya itu terus melompat keluar dari timbunan salju. Tangan kanan dipakai mencabut pedang, tangan kiri lantas digunakan mengupas salju yang masih menutupi matanya.

Tak terduga tangan kiri itu ternyata tidak mau menurut perintah, sukar bergerak. Di tengah suara teriak kaget rombongan orang tadi, Lenghou Tiong sempat menggunakan pangkal lengan kanan untuk mengusap mukanya, pandangannya menjadi terang, pedang lantas menusuk ke depan, sekaligus tiga laki-laki itu kena dirobohkan.

Cepat Lenghou Tiong memutar tubuh, “sret-sret” dua kali, kembali dua orang dibinasakan lagi. Dilihatnya seorang laki-laki sedang menelikung kedua tangan Gak Leng-sian, seorang lagi dengan golok terhunus siap melawannya. Ia menerjang maju, pedang menusuk iga laki-laki bergolok itu hingga tembus, sekali depak ia singkirkan mayat lawan sambil mencabut pedang dari mayat itu. Dalam pada itu ada suara orang menyergapnya dari belakang. Tanpa menoleh pedangnya menyabet ke belakang, kontan dua orang jatuh terkapar. Tanpa berhenti ia terus menubruk maju, pedang berkelebat, kontan tenggorokan orang yang menelikung tangan Gak Leng-sian itu tertembus.

Pegangan orang itu atas Leng-sian menjadi kendur dan terkapar di atas pundak nona itu, darah segar membanjir keluar dari lehernya. Keruan seluruh badan Leng-sian basah kuyup oleh darah.

Sekaligus Lenghou Tiong membunuh sembilan orang dalam waktu sekejap, sisanya masih delapan orang menjadi kesima ketakutan. Mendadak pemimpin rombongan itu menjerit terus mendahului menerjang maju sambil memutar senjatanya berbentuk perisai dan mengepruk ke atas kepala Lenghou Tiong.

Tapi cepat luar biasanya Lenghou Tiong mendahului menusuk sehingga tepat mengenai muka orang itu. Kontan orang itu menjerit dan roboh terguling. Tidak berhenti sampai di situ saja, kembali Lenghou Tiong menebas dan menusuk berulang-ulang, tiga orang kena dibunuh lagi.

Sisa empat orang yang lain menjadi ketakutan setengah mati, mereka menjerit dan lari terpencar.

“Kalian berani kurang ajar terhadap siausumoayku, satu pun tidak boleh diampuni,” seru Lenghou Tiong sambil memburu maju. “Sret-sret” dua kali, kembali dua orang tertebas putus kepalanya.

Tinggal dua orang lagi lari ke dua jurusan, Lenghou Tiong mengincar satu di antaranya, sekuatnya ia menimpukkan pedangnya, satu jalur sinar perak meluncur secepat kilat dan tepat menembus punggung orang sedang lari itu sehingga terpantek di atas tanah. Habis itu Lenghou Tiong lantas mengejar ke jurusan lain, kira-kira puluhan meter jauhnya orang terakhir itu pun sudah tersusul.

Rupanya orang itu menjadi nekat, mendadak ia memutar tubuh terus membacok dengan goloknya. Baru sekarang Lenghou Tiong ingat dia sudah tidak bersenjata lagi. Cepat melompat mundur. Orang itu menubruk maju dan membabat dengan goloknya, kembali Lenghou Tiong mengelak dan melompat mundur lagi dan begitu seterusnya orang itu menyerang terlebih kalap dan berulang-ulang Lenghou Tiong terdesak mundur.

Tiba-tiba Gak Leng-sian berseru di belakangnya, “Pakailah pedangku ini, Toasuko!”

Waktu Lenghou Tiong menoleh, Leng-sian sudah melemparkan pedang ke arahnya, cepat Lenghou Tiong menangkap senjata itu terus memutar balik sambil bergelak tertawa. Saat itu lawannya sedang angkat goloknya hendak membacok, tapi ia menjadi kesima ketika sinar pedang Lenghou Tiong berkelebat, seketika ia terpaku ketakutan malah.

Perlahan-lahan Lenghou Tiong melangkah maju, laki-laki menjadi gemetar, memegang senjata saja tidak kuat lagi, goloknya jatuh ke tanah. Tanpa terasa ia pun berlutut.

“Kau harus mampus untuk menebus dosamu,” kata Lenghou Tiong sambil menyodorkan ujung pedang ke leher orang. Tiba-tiba pikirannya tergerak, tanyanya perlahan, “Tulisan apa yang terdapat di atas orang-orang salju tadi?”

“Tulisannya berbunyi, ‘Laut kering gunung runtuh, cinta kita tetap teguh’,” tutur orang itu dengan suara gemetar.

“O, begitu bunyinya?” Lenghou Tiong menggumam kesima. Akhirnya ia dorong juga ujung pedangnya menembus tenggorokan orang itu.

Waktu ia berpaling kembali, dilihatnya Gak Leng-sian sedang membangunkan Lim Peng-ci. Badan kedua muda-mudi itu sama-sama mandi darah.

Setelah berdiri Peng-ci lantas memberi soja kepada Lenghou Tiong, katanya, “Banyak terima kasih atas pertolongan Lenghou-heng.”

“Tidak jadi soal,” sahut Lenghou Tiong. “Apa lukamu parah?”

“Tidak apa-apa,” sahut Peng-ci.

“Suhu dan Sunio menuju ke sana,” kata Lenghou Tiong sambil menunjuk bekas tapak kuda.

Sementara itu Leng-sian telah mendapatkan dua ekor kuda milik orang-orang tadi, ia mendahului mencemplak ke atas kuda dan berkata, “Marilah kita menyusul ayah dan ibu.”

Dengan susah payah Peng-ci menaiki kudanya. Ketika Leng-sian melarikan kudanya lewat samping Lenghou Tiong, tiba-tiba ia menahan kudanya dan memandang ke mukanya.

Perlahan Lenghou Tiong mengangkat kepalanya, melihat si nona menatap, ia pun balas memandang.

“Aku... aku ber....” Leng-sian tidak dapat melanjutkan kata-katanya, segera ia berpaling kembali dan melarikan kudanya ke jurusan Gak Put-kun tadi.

Termangu-mangu Lenghou Tiong mengikuti kepergian Peng-ci dan Leng-sian, sampai bayangan mereka sudah menghilang di balik rimba sana barulah ia menoleh ke arah Yim Ngo-heng bertiga, dilihatnya mereka sudah membersihkan salju yang menempel di atas badan dan sedang memandang tajam arahnya.

“He, Yim-kaucu, aku... aku tidak bikin susah padamu?” seru Lenghou Tiong girang.

“Kau tidak bikin susah padaku, tapi kau sendiri yang konyol. Bagaimana lengan kirimu?” sahut Yim Ngo-heng.

“Untuk sementara terasa kaku, agaknya jalan darah kurang lancar sehingga tangan tidak mau menurut perintah,” kata Lenghou Tiong.
“Urusan ini rada sulit, biarlah kita mencari akal nanti,” ujar Yim Ngo-heng. “Barusan kau telah menyelamatkan putri Gak Put-kun, maka anggaplah kau telah membalas budi kebaikan perguruanmu, selanjutnya siapa pun tidak utang budi lagi. Eh, Hiang-hiante, mengapa Loh-losam makin lama makin tidak senonoh, sampai-sampai perbuatan kotor begini juga dilakukannya?”

“Dari nadanya dapat kuduga mereka seperti ingin membekuk kedua muda-mudi itu,” kata Hiang Bun-thian.

“Apa mungkin mereka melaksanakan perintah Tonghong Put-pay? Ada urusan apa lagi dia dan Gak Put-kun?” ujar Ngo-heng.

“Apakah orang-orang ini adalah anak buah Tonghong Put-pay?” tanya Lenghou Tiong sambil menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar situ.

“Anak buahku,” sahut Yim Ngo-heng.

Lenghou Tiong manggut-manggut dan membatin, “Ya, kedudukan Tonghong Put-pay sebagai ketua Tiau-yang-sin-kau adalah direbutnya dari Yim-kaucu, sudah tentu orang-orang ini tak bisa dianggap anak buahnya.”
Dalam pada itu Ing-ing telah bertanya, “Bagaimana dengan lengannya, Ayah?”

“Jangan khawatir anak manis,” sahut Yim Ngo-heng. “Anak mantu telah bantu mertua memunahkan racun dinginnya, sudah tentu bapak mertua akan berdaya menyembuhkan lengannya.”

Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak.

“Lenghou-hiante,” kata Hiang Bun-thian, “keadaan tadi sungguh sangat berbahaya, kalau kau tidak datang menolong tepat waktunya tentu akibatnya akan runyam.”

Yim Ngo-heng telah menatap tajam Lenghou Tiong sehingga pemuda itu merasa kikuk.

“Jangan kau bicara begitu, Ayah,” tiba-tiba Ing-ing berkata. “Engkoh Tiong dibesarkan bersama Gak-siocia dari Hoa-san-pay itu, masakah engkau tidak melihat bagaimana sikap Engkoh Tiong terhadap Gak-siocia tadi?”

“Hm, manusia apa Gak Put-kun itu? Masakah anak perempuannya dapat dibandingkan dengan putriku?” ujar Yim Ngo-heng dengan tertawa. “Lagi pula nona Gak itu pun sudah punya tunangan, perempuan yang gampang berubah hatinya seperti dia masakah bisa dipercaya, selanjutnya Tiong-ji tentu akan melupakan dia.”

“Demi diriku Engkoh Tiong telah mengacaukan Siau-lim yang termasyhur di seluruh jagat, demi diriku pula dia tidak mau kembali lagi ke dalam Hoa-san-pay, melulu kedua hal ini saja sudah membikin hatiku senang dan puas. Tentang urusan lain tidak perlu lagi diungkat.”

Yim Ngo-heng kenal watak putrinya yang angkuh dan suka menang. Jika Lenghou Tiong tidak mengajukan lamaran, maka putrinya itu pun tidak mau memaksa. Ia pikir urusan perjodohan ini hanya soal waktu saja, kelak Hiang Bun-thian dapat disuruh menjadi comblang, lalu secara resmi dirundingkan.

Maka dengan bergelak tertawa ia berkata, “Bagus, bagus. Memang urusan mahapenting yang menyangkut kebahagiaan selama hidupmu boleh dibicarakan nanti. Eh, Anak Tiong, biarlah aku mengajarkan kau dulu tentang melancarkan urat nadi di bagian lengan kiri itu.”

Lalu ia tarik Lenghou Tiong ke pinggir sana dan menguraikan cara bagaimana mengerahkan tenaga dan melancarkan jalan darah. Setelah Lenghou Tiong hafal ajarannya, lalu katanya pula, “Kau telah bantu aku memunahkan racun dingin, sekarang aku mengajarkan kau cara melancarkan jalan darahmu, kita masing-masing tidak saling utang. Untuk menyembuhkan seluruhnya lenganmu yang kaku itu diperlukan waktu tujuh hari, harus bersabar, tidak boleh terburu nafsu.”

Lenghou Tiong mengiakan. Lalu Yim Ngo-heng memanggil Hiang Bun-thian dan Ing-ing, setelah empat orang berkumpul Ngo-heng berkata pula, “Tiong-ji, ketika di Bwe-cheng tempo hari aku pernah mengajak kau masuk Tiau-yang-sin-kau kami, waktu itu dengan tegas kau menolak.
Sekarang keadaan sudah berubah, aku mengulangi lagi persoalan lama, sekali ini tentunya kau takkan menolak bukan?”

Selagi Lenghou Tiong ragu-ragu dan belum menjawab, Yim Ngo-heng telah menyambung pula, “Kau telah meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, kelak akan banyak mendatangkan kesukaran, bila macam-macam hawa murni yang berlainan di dalam tubuhmu itu bekerja, maka tak terkatakan derita yang akan kau rasakan. Apa yang telah kukatakan pasti takkan kutarik kembali, kalau kau tidak masuk agama kita, biarpun Ing-ing menjadi istrimu juga aku tak mau mengajarkan cara memunahkan tenaga-tenaga liar di dalam tubuhmu itu. Andaikan putriku akan menyesali aku juga akan kujawab demikian. Nah, urusan penting sekarang ini ialah menuntut balas kepada Tonghong Put-pay, apakah kau akan ikut pergi bersama kami?”

“Maaf Yim-kaucu, selama hidup ini Wanpwe sudah pasti takkan masuk Tiau-yang-sin-kau,” sahut Lenghou Tiong tegas tanpa bisa ditawar-tawar lagi.

Keruan Yim Ngo-heng bertiga seketika berubah air mukanya, Hiang Bun-thian bertanya, “Apa sebabnya? Jadi kau memandang hina kepada Tiau-yang-sin-kau?”

“Di dalam Tiau-yang-sin-kau penuh orang-orang macam begini, sejelek-jeleknya Wanpwe juga malu berkumpul dengan mereka,” sahut Lenghou Tiong sambil tuding belasan mayat yang menggeletak, di sekitar situ. “Lagi pula Wanpwe sudah berjanji kepada Ting-sian Suthay untuk menjabat ketua Hing-san-pay mereka.”

Tiba-tiba air muka Yim Ngo-heng bertiga berubah penuh keheranan. Bahwa Lenghou Tiong menolak masuk agama mereka tidaklah mengherankan, tapi ucapan yang terakhir itulah benar-benar luar biasa sampai-sampai mereka tidak percaya kepada telinganya sendiri-sendiri.

Sambil menuding muka Lenghou Tiong, Yim Ngo-heng mendadak terbahak-bahak geli. Sejenak kemudian baru berkata, “Jadi kau... kau ingin jadi nikoh? Akan menjadi ciangbunjin kawanan nikoh itu?”

“Bukan menjadi nikoh, hanya akan menjadi Ciangbunjin Hing-san-pay saja,” sahut Lenghou Tiong. “Sebelum mengembuskan napas penghabisan Ting-sian Suthay telah mohon dengan sangat kepadaku, jika Wanpwe tidak menyanggupi, maka mati pun losuthay itu takkan tenteram. Apalagi kematian Ting-sian Suthay adalah karena diriku, Wanpwe juga tahu peristiwa ini pasti akan menggemparkan, tapi tak bisa menolak permintaan losuthay itu.”

Tapi Yim Ngo-heng masih terus tertawa geli.

“Ting-sian Suthay mati bagi keselamatan anak,” kata Ing-ing.

Lenghou Tiong melihat sorot mata si nona penuh mengandung rasa terima kasih yang tak terhingga.

Perlahan-lahan Yim Ngo-heng berhenti tertawa, lalu berkata, “Jadi kau telah menerima pesan orang dan harus dikerjakan secara setia?”

“Benar,” sahut Lenghou Tiong. “Kematian Ting-sian Suthay juga lantaran mau memenuhi janjinya padaku.”

“Bagus juga,” kata Ngo-heng sambil manggut. “Aku adalah Lo-koay (si tua aneh) dan kau adalah Siau-koay (si kecil aneh).
Kalau tidak membikin sesuatu yang menggemparkan masakan bisa menjadi tokoh yang menggegerkan jagat ini. Baiklah, bolehlah kau pergi menjadi ciangbunjin kaum nikoh itu. Sekarang juga kau akan berangkat ke Hing-san?”

“Tidak, Wanpwe akan pergi lagi ke Siau-lim-si,” sahut Lenghou Tiong.

Yim Ngo-heng rada heran, tapi lantas paham, katanya, “Ya, tentunya kau ingin mengusung kedua jenazah nikoh tua itu kembali ke Hing-san.”

Lalu ia menoleh kepada Ing-ing dan tanya, “Apakah kau akan ikut Tiong-ji pergi ke Siau-lim-si?”

“Tidak, aku ikut Ayah,” sahut Ing-ing.

“Betul, masakah kau juga akan ikut dia ke Hing-san-pay dan menjadi nikoh di sana?” ujar Ngo-heng sambil bergelak tertawa, cuma suara tawanya penuh rasa getir.

Lenghou Tiong lantas memberi hormat dan berkata, “Yim-kaucu, Hiang-toako, Ing-ing, sampai bertemu pula.”

Lalu ia putar tubuh dan melangkah pergi. Baru belasan tindak mendadak ia berpaling kembali dan tanya, “Yim-kaucu, bilakah kalian akan pergi ke Hek-bok-keh?”

“Ini adalah urusan dalam agama kami, tidak perlu orang luar ikut campur,” sahut Yim Ngo-heng. Ia tahu Lenghou Tiong bermaksud membantu menghadapi Tonghong Put-pay bila tiba waktunya, maka dengan tegas ditolaknya.

Lenghou Tiong manggut-manggut saja, ia jemput sebuah pedang yang berserakan di atas salju, digantungkannya di pinggang, lalu melangkah pergi lagi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar