Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Minggu, 04 November 2012

Peristiwa Bulu Merak - Khu Lung 1 sampe 6

Para penggemar cersil lewat blog ini, setelah sekian lama absen, saya kembali pilihkan salah satu karya Khu Lung yang cukup menarik.

Cerita ini berkisah tentang seorang pendekar yang kakinya cacat, namun memiliki ilmu golok yang tiada bandingan di zamannya. Suatu kali dia mengalahkan seorang jago pedang, ... di sinilah kisah di mulai. Rangkaian peristiwa di atur oleh seorang tokoh bernama Kongsun Gi, yang menjadi tokoh nomor satu.
Pho Ang Soat sipendekar golok pun, di dorong untuk terjerumus kepada berbagai peristiwa yang intinya menggiring dia menuju .. ke sebuah duel. Duel dnegan ... Kongsun Gi ?

Diantara perjalanannya ... dia menemukan dan ditemukan seorang pelacur. Pertemuan yang merubah seorang pelacur menjadi insaf dan mempersembahkan segalanya demi pendekar cacat yang di cintainya. Bagaimana tanggapan si cacat? Kenapa judulnya Peristiwa Bulu Merak?

Mari kita ikuti saja ya ....

Saulus


PROLOG

“Bagaimana dengan goloknya?”
“Golok berada dalam genggamannya!”
“Golok seperti apakah itu?”
“Goloknya begitu luas, begitu sunyi bagai ujung langit, begitu suci, begitu murung bagai bulan purnama, terkadang sewaktu goloknya menyambar, seolah yang ada hanya kekosongan!”
“Kekosongan?”
“Kosong, halus, melayang seolah ada seolah tak ada, seakan tak berwujud namun seakan berada dimana pun.”
“Tapi goloknya seperti tak terlampau cepat.”
“Golok yang tak cepat mana mungkin bisa tiada tandingan di kolong langit?”
“Karena kecepatan goloknya telah melampaui batas kecepatan yang pernah ada!”
“Bagaimana dengan manusianya?”
“Manusianya seperti belum kembali, tapi perasaannya telah hancur-lebur.”
“Berada dimana jalan kembalinya?”
“Jalan kembali berada di depan mata.”
“Dia tidak melihatnya?”
“Dia memang tidak melihat.”
“Karena itu tidak menemukannya?”
“Walaupun sekarang tidak menemukan, cepat atau lambat suatu pasti akan menemukannya!”
“Pasti dapat menemukan?”
“Pasti!”

Bab 1. Di Ujung Langit

Magrib telah mendatang. Pho Ang-soat berdiri dibawah cahaya mentari kemuning yang hampir terbenam diperaduannya. Hanya dia seorang yang berada dipancaran cahaya mentari, seolah-olah tinggal dia seorang saja yang ketinggalan hidup di mayapada ini.

Tanah tegalan belukar sepanjang ribuan li, karena kesunyian yang mencekam ini sehingga terasa rona mentaripun telah berubah, berubah menjadi warna kelabu yang hampa dan telantar.

Demikian pula orangnya. Tangannya menggengam sebilah golok. Tangan yang memucat putih, golok yang hitam legam. Bukankah warna putih dan hitam itu perlambang kehidupan yang mendekati kematian? Bukankah kematian itu terasa hampa dan kesuyian yang kelewat batas?

Sorot mata nan lengang bola mata yang hampa dan kesepian, seolah-olah dia sudah melihat bayangan kematian, apakah kematian itu sendiri sudah berada didepan matanya?

Pho Ang-soat berjalan kedepan. Langkahnya perlahan, namun tidak pernah berhenti, umpama kematian sedang menanti disebelah depan dia juga tidak akan pernah berhenti. Gayanya berjalan memang aneh juga lucu, kaki kiri melangkah dulu setapak kedepan, kaki kanan lalu diseretnya maju mendekat, setiap langkahnya kelihatan amat susah dan berat. Tapi jalanan yang pernah ditempuhnya tak terukur panjangnnya, namun setiap langkah adalah hasil dari gerakkan kedua kakinya.

Berjalan dengan cara demikian, entah kapan baru dia akan berhenti. Pho Ang-soat sendiri tidak tahu, hakikatnya dia tidak mau dan tidak pernah memikirkannya. Sekarang dia sudah berjalan sampai disini. Bagaimana didepan? Apa betul didepan ada kematian?

Memang benar, tatapan matanya sudah menandakan bayangan kematian itu, apa yang digenggam ditangannya juga kematian, karena goloknya itu perlambang kematian. Golok hitam, gagangnya juga legam, demikian pula serangkanya juga hitam. Kalau golok ini perlambang kematian, golok ini justru adalah jiwanya pula.

ooooOOoooo

Cuaca makin guram, memandang jauh ke depan sudah kelihatan bentuk sebuah bayangan kota yang samar-samar. Dia tahu itulah Hong-hong-kip, kota kecil yang cukup makmur ditengah tanh belukar diluar perbatasan. Pho Ang-soat tahu letak dari Hong-hong-kip ini, karena kota itulah tempat dimana bayangan kematian sedang dicarinya. Tapi dia tidak tahu, bahwa Hong-hong-kip sekarang sudah mati, sudah runtuh sudah sepi.

Jalan raya dalam kota kecil ini tidak panjang, tidak lebar, namun ada puluhana toko dan warung berderet disepanjang jalan raya itu. Tidak sedikit kota-kota kecil seperti ini dalam dunia, keadaannya seperti itu juga, bobrok dan reyot, warung yang jorok, harga barang yang murah, keluarga sederhana dengan yang jujur dan bajik.

Sekarang keadaan sudah berbeda, karena Hong-hong-kip walau ada warung dan toko, namun sudah tiada penghuni, seorang manusiapun tidak terlihat dalam kota ini.

Pintu atau jendela rumah-rumah disepanjang jalan raya ini ada yang terbuka ada pula yang tertutup rapat, namun semuanya sudah kotor berdebu dan lapuk, luar dalam rumah bertumpuk selapis debu tebal, gelagasi malah sudah menghias berbagai pelosok rumah-rumah itu.

Seekor kucing hitam terkejut oleh derap langkah yang mendatangi, kucing ini bergerak lamban dan malas, tidak selincah dan cekatan seperti kucing umumnya yang kelaparan, dengan dengus napasnya yang berat dia beranjak menyebrang jalan, bentuknya sudah tidak mirip seekor kucing lumrah.

Kelaparan memang mampu merubah bentuk segalanya? Mungkinkah kucing kering itulah satu-satunya jiwa yang ketinggalan hidup dalam kota kecil ini?

Hati mulai dingin jari-jari tangan Pho Ang-soat juga mulai dingin, lebih dingin dari mata golok yang dipegangnya.

Kini dia sudah berdiri ditengah jalan raya, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Tapi dia masih belum bisa percaya, tidak berani percaya dan tidak tega untuk percaya. Bencana apakah yang menimpa tempat ini? Bagaimana pula terjadinya bencana itu?
Angin menghembus lalu, papan merek dari sebuah toko melambai dengan suaranya berkeriut ditiup angin, lapat-lapat masih kelihatan bekas tulisannya yang sudah luntur oleh hujan dan terik matahari. “Warung tua keluarga Tan, arak wangi simpanan lama.” Semula merek warung ini adalah reklame termegah dikota kecil ini, namun sekarang sudah luntur dan kropos kayunya, tak ubahnya gigi orang tua yang sudah ompong.

Ternyata keadaan warung arak itu sendiri jauh lebih menyedihkan dari papan reklame yang terpampang didepan pintu. Pho Ang-soat berdiri diam tak bergerak, matanya canang mengawasi papan reklame yang terombang-ambing ditiup angin, bila angin berhenti menghembus, baru dia beranjak perlahan, mendorong pintu melangkah masuk kewarung arak ini, tak ubahnya memasuki sebuah kuburan morat-marit setelah dikeduk oleh kawanan perampok.

Dulu Pho Ang-soat pernah datang ketempat ini. Arak tempat ini meski tidak terlalu enak, tapi juga tidak jelek, jelas tidak menyerupai cuka, tempat ini dahulu juga tidak mirip kuburan.

Setahun yang lalu tepat. Setahun yang lalu, warung arak ini yang ramai dalam kota kecil ini, pedagang atau pelancongan yang hilir-mudik keutara atau keselatan pulang pergi pasti melewati Hong-hong-kip, bila masuk kekota kecil ini siapapun pasti mampir dikedai arak ini minum beberapa cawan baru melanjutkan perjalanan.

Bila air kata-kata sudah masuk perut, mulutpun akan ngobrol panjang lebar, adalah pantas kalau kedai arak ini menjadi ramai dan ribut, manusia mana yang tidak suka berada ditempat yang ramai.

Karena itu kedai arak ini merupakan rumah terbesar disepanjang jalan raya ini, tidak sedikit orang yang menjamu para sahabatnya dengan hidangan paling mahal menurut ukuran tarip dikota kecil ini maka pemilik kedai selalu berseri tawa menyambut langganannya.

Tapi pemilik kedai yang biasanya murah senyum itu kini tidak kelihatan, meja-meja yang semula bersih mengkilap kini berdebu, guci dan mangkok berserakan dilantai semuanya sudah pecah dan hancur, bau wangi arak yang merangsang semangat berganti bau apek, bau busuk yang memualkan.

Percakapan dan kelakar yang ramai disertai gebrakan meja para tamu dan penjudi yang mujur diruang depan, sementara bendo yang merajang daging dan sayur-sayuran didapur, bunyi daging yang digoreng diatas wajan yang mendidih minyaknya, kini sudah tidak terdengar pula, bila angin lalu menghembus santer menimbulkan suara “ber”, kedengaran seperti getaran sayap kelelawar yang terbang dari neraka.

Hari sudah petang.

Perlahan Pho Ang-soat beranjak kesana, menuju kepojokan, membelakangi dinding menghadap kepintu, perlahan dia berduduk. Setahun lalu waktu dia datang ketempat ini, juga duduk disini. Tapi tempat ini sekarang sudah mirip kuburan, tempat yang sudah tidak meninggalkan kesan dan patut ditinggali lagi. Tapi kenapa justru dia duduk ditempat lama? Apa dia ingin mengenang masa lalu? Atau sedang menunggu?

Jikalau sedang mengenang masa lalu, lalu apa yang terjadi setahun lalu sehingga patut dia mengenangnya? Umpama menunggu, apa pula yang sedang dinantikan? Apakah kematian? Ya, memang kematian.

ooooOOoooo

Malam akhirnya menyelimuti alam semesta. Tiada lampu tidak ada lilin, tidak ada api hanya ada kegelapan. Dia membenci kegelapan, sayang kegelapan itu mirip kematian, siapapun takkan bisa menghindarinya. Kalau kegelapan sudah tiba, bagaimana dengan kematian?

Dia duduk tak bergeming, tangannya tetap menggenggam goloknya, mungkin dia masih bisa melihat tangannya yang pucat, namun takkan bisa melihat goloknya lagi. Golok yang hitam sudah terlebur didalam kegelapan. Apakah goloknya itu juga merupakan kegelapan itu? Apakah setiap kali goloknya terayun, siapapun takkan mampu menghindarinya?

Kegelapan yang membeku diam, keheningan yang mencekam, dari jauh sayup-sayup terdengar irama musik yang kalem mengalun terbawa angin. Dalam keadaan seperti ini, situasi yang mencengkam, irama musik itu kedengarannya seperti lagu-lagu dewa yang kumandang dari langit.

Begitu mendengar irama musik ini, sorot mata yang semula hampa, mendadak seperti mengunjuk suatu mimik yang ganjil, peduli mimik ganjil serupa apa, yang jelas mimik itu bukan membayangkan rasa senang atau riang.

Irama musik makin keras dan dekat, ditengah alunan musik itu, terdengar pula sebuah kereta yang mendatangi. Kecuali dirinya, apa benar masih ada orang lain yang sengaja menuju kekota kecil yang sudah hancur ini? Sorot matanya sudah pulih sedia kala, kaku dingin, tanpa ekspresi, tapi genggaman jari-jarinya digagang golok ternyata lebih kencang.

Mungkinkah dia sudah tahu siapa yang bakal datang? Apakah orang ini yang sedang dia tunggu? Apakah orang itu pula jelmaan dari kematian itu?

Apakah itu lagu dewa? Tiada manusia pernah mendengarnya. Tapi bila seorang mendengar sehingga sanubarinya terbuai, malah jiwa raganya seperti terbaur didalam irama musik itu, maka mereka akan beranggapan musik itulah lagu dewa.

Tapi Pho Ang-soat tidak terpengaruh lagu ini, dia tidak terlena atau terbaur didalamnya. Dia masih tetap duduk tenang ditempatnya, mendengar dengan tenang. Mendadak delapan lelaki baju hitam perawakan kekar melangkah cepat dan lebar masuk kedalam kedai, setiap orang membawa sebuah keranjang bambu besar, dalam keranjang berisi berbagai macam barang yang aneh-aneh, diantaranya termasuk sapu, kemoceng dan kain untuk membersihkan.

Jangan kata menyapa, melirikpun tiada yang memandang kearah Pho Ang-soat, begitu memasuki kedai, mereka lantas sibuk bekerja, tiada yang bicara, tanpa komando, tapi kedai arak ini telah mereka bersihkan dengan rapi. Bukan saja cekatan, merekapun bekerja tekun dan rajin. Seperti kejadian ajaib saja, kedai yang berdebu dan morat-marit, dalam sekejap, telah dibikin bersih, rajin seperti serba baru.

Bila kedelapan lelaki itu usai bekerja dan mundur keluar pintu serta berdiri jajar diambang pintu, muncul empat gadis jelita berpakaian kembang, mereka juga membawa keranjang bambu, cuma bentuknya berbeda, lebih kecil dan enteng. Mereka menata kembang, mengeluarkan arak, piring, mangkok dan berbagai hidangan lezat serta mengisi cangkir dengan arak.

Kecuali pojokan dimana Pho Ang-soat sedang duduk, setiap pelosok kedai arak ini telah dibersihkan, dinding dihiasi lukisan, kerai kerang menjuntai dipintu, meja juga sudah diberi taplak, sampai lantaipun digelari babut merah menjurus panjang keluar pintu.

Maka muncul pula rombongan pemain musik yang terdiri dari gadis-gadis jelita sambil menari lenggang-lenggok mereka memetik harpa, meniup seruling, menabuh kecapi, begitu gemulai mereka memasuki kedai pula. Ditengah alunan musik merdu itu mendadak terdengar suara kentong ditabuh sekali, ternyata kentongan pertama sudah tiba, dari lubang jendela memandang jauh keluar, tampak seorang berbaju putih sedang memeluk kentongan, bagai bayangan setan berdiri menyepi ditengah kegelapan. Dari mana pula datangnya tukang kentong ini? Bukankah dia sedang memberi peringatan kepada orang yang menghadapi kematian? Lalu siapa yang dia peringati?

Ketika kentongan berbunyi, maka gadis-gadis jelita itupun mulai menyanyi pula sambil menari. Sebelum nyanyian berakhir, ditengah gerak gemulai gadis-gadis jelita itu, tampak Yan Lam-hwi sedang beranjak masuk, waktu dia memasuki kedai arak ini, keadaannya seperti orang mabuk.

ooooOOoooo

Bab 2. Mawar Dari Ujung Langit

Apa benar Yan Lam-hwi sudah mabuk?

Dia sudah duduk, duduk disamping kembang semerbak, duduk dikelilingi gadis-gadis jelita, duduk menghadapi meja perjamuan dengan secangkir arak wangi. Araknya warna kuning, sekuning bunga mawar yang segar. Setangkai bunga mawar berada ditangannya, cangkir arak juga dipegangnya, harum bunga menyejuk badan, bau arak memabukkan.

Akhirnya dia mabuk dan meloso jatuh didepan lutut gadis jelita, arak kuning dalam cangkir mengalir membasahi pakaian. Gadis itu juga seperti mabuk, cekikik tawanya semerdu kicau kenari, wajahnya nan jelita tersenyum cerah dan mekar.

Yan Lam-hwi masih terlalu muda, muda gagah, tampan dan kaya-raya, hidup dikelilingi gadis-gadis cantik, kembang mekar semerbak dengan arak wangi nomor satu, betapa rianggembira kehidupan ini? Tapi kenapa dia justru menikmati kesenangan hidup ini dikota yang sudah mati ini? Memangnya kedatangannya juga lantaran Pho Ang-soat?

Sejak masuk dia juga tidak pernah melirik kearah Pho Angsoat, seolah-olah tidak merasakan bahwa ditempat ini masih ada seorang Pho Ang-soat yang juga hidup. Demikian pula sikap Pho Ang-soat seperti tidak melihat kehadiran mereka. Tiada kembang mekar, tiada perempuan cantik dan tiada arak didepan matanya, seperti ada pagar tembok tinggi yang menutupi pandangannya sehingga dia terisolir dari kehidupan riang-gembira ini. Memang kenyataan sudah lama Pho Angsoat terisolir dari kehidupan riang-gembira itu.

ooooOOoooo

Kentongan berbunyi pula, sudah kentongan kedua. Makin banyak arak tertenggak keadaan semakin payah, suasana riang inipun bertambah, seolah-olah mereka sudah melupakan duka cita kerisauan hati dan penderitaan dalam kehidupan umum ini.

Didalam cangkir masih ada arak, kembang mawar masih berada ditangannya, seorang gadis cantik bertanya sambil memeluk lengannya: “Kenapa kau menyukai bunga mawar?”

“Karena mawar ada durinya.”

“Kau suka duri?”

“Ya, aku suka duri untuk menusuk orang, menusuk hatinya.”

Gadis itu menarik tangannya yang sakit karena tertusuk duri, hatinyapun ikut tertusuk, dengan mengerut alis dia berkata menggeleng: “Alasanmu tidak baik, aku tidak suka dengar.”

“Memangnya apa yang suka kau dengar?” Yan Lam-hwi tertawa, “mau kau mendengar sebuah kisah?”

“Sudah tentu mau.”

“Konon pada jaman dahulu kala, waktu kembang mawar pertama mekar disuatu tempat yang jauh letaknya, ada seekor burung yang elok, karena menyukainya, sampai dia rela mati dari pucuk dahan kecemplung keair dan mati tenggelam.”

“Indah benar ceritanya,” merah bola mata gadis cantik itu, “tapi terlalu menyedihkan.”

“Kau keliru,” Yan Lam-hwi tertawa riang, “mati bukan suatu tragedi yang menyedihkan, asal kau bisa mati dengan gagah, mati sebagai ksatria, apa salahnya mati?”

Si gadis mendelong mengawasi mawar ditangannya, mawar itu seperti sedang tersenyum kepadanya, lama dia menjublek, mengawasi tanpa berkedip, akhirnya dia menghela napas, katanya: “Pagi hari ini, akupun ingin memberi beberapa kuntum mawar kepadamu, memakan banyak waktu baru aku berhasil mengikatnya diikat pinggangku, sayang ikat pinggangku kendor, mawarpun runtuh. Kelopak kembangnya bertaburan dihembus angin melayang jatuh kedalam air. Air mengalir kearah timur, menghanyutkan kelopak mawar untuk tidak kembali lagi. Alunan air sungai berubah merah menyala, namun lengan bajuku terasa masih berbau harum,” lalu dia angkat lengan bajunya. “Coba kau cium, kau harus menciumnya, sebagai tanda kenangan kami yang terakhir kali.”

Yan Lam-hwi mengawasi lengan bajunya, perlahan dia menggenggam tangannya. Pada saat itulah kentongan berbunyi pula. Kentongan ketiga.

Mendadak Yan Lam-hwi mengipatkan tangannya, irama musikpun berhenti mendadak. Mendadak pula Yan Lam-hwi mengulap tangan: “Pergi.”

Suaranya laksana kutukan iblis, suasana yang semula riang penuh semangat kehidupan mendadak berubah sepi lengang, tinggal dua orang saja, penabuh kentong dikegelapan itupun sudah tidak kelihatan bayangannya. Demikian gadis yang tertusuk oleh duri mawar juga telah pergi, kalau tangannya tertusuk, hatinyapun tertusuk lebih parah. Kereta semakin jauh, alam semesta kembali diliputi keheningan.

Tinggal sebuah dian yang masih menyala dalam kedai, sinarnya redup, menerangi sepasang bola mata Yan Lam-hwi yang mencorong bagai sepasang lampu senter. Mendadak dia angkat kepala, dengan kedua bola matanya yang menyala dia menatap lurus kepada Pho Ang-soat. Umpama betul orangnya sudah mabuk, ternyata tatapan matanya tidak kelihatan mabuk.

Pho Ang-soat masih tetap duduk diam, tidak mendengar, tidak melihat, tidak bergerak.

Yan Lam-hwi malah berdiri. Setelah dia berdiri baru terlihat dipinggangnya menyoren sebatang pedang, gagangnya berwarna merah, kerangkanya juga merah, merah menyala, lebih merah dari bunga mawar, lebih merah dari warna darah.

Kedai yang baru saja diliputi kegembiraan, mendadak berubah sepi diliputi hawa membunuh. Dia mulai melangkah menghampiri Pho Ang-soat. Umpama dia sudah mabuk, pedangnya yakin tidak mabuk. Tangan sudah memegang pedang, tangan yang putih, pedang yang merah.

Golok Pho Ang-soat juga terpegang kencang, goloknya itu tidak pernah terlepas dari tangannya. Golok hitam lambang kematian, pedang merah bagai darah, maka jarak antara golok dan pedang itu semakin dekat. Demikian pula jarak kedua orang itu makin dekat. Nafsu membunuh makin tebal.

Akhirnya Yan Lam-hwi berada didepan Pho Ang-soat, mendadak dia mencabut pedang, sinar pedang laksana sinar mentari yang cemerlang, semarak laksana warna mawar yang ditimpa cahaya mentari. Hawa pedang menyambar diantara kedua alis Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat tetap tidak melihat, tidak mendengar dan tidak bergerak. Dimana hawa pedang menyambar, kerai monte yang terurai diatas pintu rontok berjatuhan, bak umpama tetesan air mata si cantik-jelita.

Maka sinar pedangpun lenyap mendadak. Pedang masih berada ditangan Yan Lam-hwi, dengan kedua tangan dia memegang pedang lalu diangsurkan kedepan Pho Ang-soat. Itulah pedang tajam yang tiada bandingannya dikolong langit. Yang dilancrkan juga ilmu pedang yang tiada tandingan diseluruh jagat. Kenapa sekarang dia serahkan pedang itu kepada Pho Ang-soat? Dia datang dari jauh, berpesta-pora, minum sepuasnya, dia mencabut pedang, mengayun dan mengangsurkan pedang, lalu apa sih maksud dan tujuannya?

Tangan itu kelihatan putih, pedang yang sudah keluar dari serangkanya juga kelihatan pucat dibawah sinar dian yang redup.

Tapi rona muka Pho Ang-soat lebih pucat lagi. Akhirnya dia bergerak perlahan, dia angkat kepala menatap tajam pedang ditangan Yan Lam-hwi. Wajahnya tidak menunjukkan perubahan mimik, hanya pelupuk matanya yang mulai menyipit.

Yan Lam-hwi juga menatapnya lekat-lekat, bola matanya yang bercahaya menampilkan perasaan yang ganjil, entah itu rasa senang karena sudah mendekati kebebasan? Atau duka lara karena apa boleh buat.

Kembali kepala Pho Ang-soat terangkat, kini dia menatap bulat bola matanya, seperti baru sekarang dia melihatnya. Begitu sorot mata mereka bentrok, seolah-olah menerbitkan percikan kembang api.

“Kau sudah datang,” mendadak Pho Ang-soat bersuara.

“Ya, aku sudah datang.”

“Aku tahu kau pasti datang.”

“Sudah tentu aku datang, kau tentu tahu, kalau tidak buat apa setahun yang lalu kau bebaskan aku?”

Pandangan Pho Ang-soat melorot turun menatap pula pedang ditangannya, perlahan dia bersuara: “Sekarang sudah setahun menjelang.”

“Ya, setahun tepat.”

“Setahun yang panjang.”

“Setahun yang pendek.”

Jangka setahun, sebetulnya panjang atau pendek?

Mendadak Yan Lam-hwi tertawa-tawa, nada tawa yang membawa sindiran tajam, katanya: “Kau merasa setahun panjang karena kau selalu menanti, menanti pertemuan hari ini.”

“Dan kau?”

“Aku tidak pernah menunggu,” ucap Yan Lam-hwi tertawa tawar, “walau aku tahu hari ini aku pasti mati, tapi aku bukan manusia yang takut mati, bukan orang yang menunggu kematian.”

“Ya, karena banyak pekerjaan yang harus kau bereskan, maka kau merasa setahun ini terlalu pendek bagimu?”

“Ya, kenyataan memang terlalu pendek.”

“Sekarang apakah urusanmu sudah beres? Apakah keinginanmu sudah tercapai?”

ooooOOoooo

Cahaya pedang bertaburan diangkasa, pedang bergerak laksana kilat. Golok itu justru seperti amat lamban. Tapi sebelum cahaya pedang tiba, golok it sudah menembus kedalam tabir cahaya pedang dan menindasnya. Maka golok itu sudah berada didepan tenggorokan, golok milik Pho Angsoat, tenggorokan Yan Lam-hwi.

ooooOOoooo

Sekarang golok berada ditangan, tangan diatas meja. Lama Yan Lam-hwi menatap golok hitam legam itu, lalu berkata perlahan: “Setahun yang lalu, aku kalah oleh golokmu.”

“Mungkin kau tidak pantas kalah, sayang sekali kau masih terlalu muda, namun permainan pedangmu justru sudah terlalu tua.”

Yan Lam-hwi diam saja, seperti sedang mengunyah dua patah kata tadi, agak lama kemudian baru dia berkata pula perlahan: “Waktu itu kau pernah tanya kepadaku, apakah ada persoalan hati yang belum tercapai.”

“Ya, aku pernah tanya hal itu.”

“Waktu itu pernah kuberitahu kepadamu, umpama benar ada persoalan yang belum tercapai juga adalah urusan pribadiku, urusan pribadiku selamanya aku sendiri yang menyelesaikan.”

“Ya, aku ingat.”

“Waktu itu akupun memberitahu kepadamu, setiap saat kau boleh membunuhku, tapi jangan harap kau dapat mengeduk rahasia hatiku, supaya aku menjelaskan persoalan yang kuidam selama ini.”

“Dan sekarang …”

“Sekarangpun demikian.”

“Tetap tidak mau kau jelaskan?”

“Kau meminjamkan waktu setahun supaya aku menyelesaikan persoalan yang ingin kubereskan, sekarang setahun sudah tiba aku …”
“Kau mengantar kematian …”

“Benar, aku mengantar kematian,” pedang digenggamnya kencang, “maka sekarang kau boleh membunuhku.”

Dia mengantar kematian. Dia datang dari Kanglam, menempuh ribuan li perjalanan ternyata hanya untuk mengantar jiwa untuk dibunuh. Bahwa dia bermabukan, bermain perempuan lacur, berdendang dan bernyanyi, tidak lain hanya untuk menikmati kesenangan hidup terakhir sebelum ajal. Kematian seorang kesatria, mati secara indah.

ooooOOoooo

“Setahun yang lalu, ditempat ini, seperti sekarang, aku bisa membunuhmu.”

“Kau menunda setahun lamanya, karena kau percaya aku pasti akan datang.”

“Kalau kau tidak datang, selamanya mungkin aku tidak akan bisa menemukan kau.”

“Mungkin sekali.”

“Tapi kau datang juga.”

“Ya, aku pasti datang.”

“Bila cita-citamu belum terlaksana, aku masih bisa memberi kelonggaran setahun.”

“Tidak usah.”

“Tidak usah, katamu?”

“Bahwa hari ini aku sudah kemari, aku sudah bertekad menerima kematian.”

“Kau tidak ingin hidup setahun lagi?”

Mendadak Yan Lam-hwi tertawa besar sambil mendongak, katanya: “Seorang lelaki sejati hidup didunia ini, jikalau tidak mampu memberantas kelaliman, membalas dendam, umpama hidup sepuluh tahun lebih lama juga sia-sia, lebih baik mati saja.” Dia tertawa, namun nada tawanya lebih mirip raung tangisan yang menyedihkan, tangis penderitaan.

Pho Ang-soat mengawasi, setelah orang berhenti tertawa, baru dia berkata: “Tapi cita-citamu belum terlaksana.:

“Siapa bilang?”

“Aku yang bilang. Aku dapat melihatnya.”

Yan Lam-hwi menyeringai dingin. “Umpama benar citacitaku belum terlaksana, kan tiada sangkut-pautnya dengan kau.”

“Tapi kau …”

“Kau bukan orang yang cerewet, akupun tidak ingin banyak bicara dengan kau.”
“Jadi kau ingin lekas mati? Sampai matipun kau tidak mau membeber cita-citamu yang belum tercapai itu?”

“Ya,” tegas dan berat, laksana golok membacok paku, agaknya tiada seseorang didunia ini yang mampu merubah tekadnya.

Punggung jari Pho Ang-soat yang menggenggam golok sudah memutih, otot hijau merongkol. Bila golok ini meninggalkan sarungnya, kematianpun akan datang, tiada seorangpun didunia ini yang mampu melawannya. Apakah sekarang goloknya siap keluar dari sarungnya?”

Dengan kedua tangan Yan Lam-hwi pegang pedang, katanya: “Aku lebih senang mati dibawah pedangku sendiri.”

“Aku tahu.”

“Tapi kau tetap ingin menggunakan golokmu.”

“Kau punya persoalan yang tidak mau kau bereskan, demikian pula aku.”

Yan Lam-hwi menepekur, katanya perlahan: “Setelah aku mati, sudikah kau merawat pedangku ini?”

Dingin suara Pho Ang-soat: “Pedang ada orangnya hidup, orang mati pedangpun lenyap, bila kau mati, pedang ini akan tetap mendampingi kau.”

Yan Lam-hwi menghela napas panjang perlahan, memejam mata serta berkata: “Silahkan, silahkan turun tangan.”

Golok Pho Ang-soat sudah bergerak, sebelum meninggalkan kerangka, mendadak dari luar terdengar suara gemuruh seperti roda raksasa menggelinding dijalan berbatu, disusul “Blang” yang menggetar seisi rumah. Daun pintu yang memang sudah keropos mendadak semplak berhamburan, sebuah benda menggelinding masuk laksana roda kereta, itulah sebuah bola bundar berwarna kuning emas kemilau.

Pho Ang-soat tidak bergerak, Yan Lam-hwi juga tidak berpaling. Bila bola emas itu menggelundung dibelakangnya, sekejap lagi bakal menumbuk punggungnya.

Tiada seorangpun yang kuat menahan terjangan bola emas ini, terjangan yang tidak mungkin bisa ditahan oleh tenaga manusia yang berdarah daging.

Pada saat itulah golok Pho Ang-soat tercabut. Hanya sekali sinar golok berkelebat lalu berhenti. Segala suara, semua gerakan, berhenti seluruhnya. Bola emas yang menerjang datang dengan dahsyat, hanya sekali tutul dengan tajam goloknya, lantas berhenti bergerak. Pada saat yang sama itulah, dari dalam bola emas itu mendadak melesat keluar tiga belas batang ujung tombak runcing menusuk punggung Yan Lam-hwi.

Yan Lam-hwi tetap tidak bergerak, kembali Pho Ang-soat yang bertindak. Dimana sinar golok menyambar, ujung tombak rontok seluruhnya. Bola emas yang kelihatannya berat ribuan kati itu sekilas telah dibacoknya menjadi empat potong.

Bola emas ini ternyata kosong, laksana kelopak bunga saja empat potongan bola itu merekah keempat penjuru, lalu muncullah seseorang. Seorang kate, manusia kerdil duduk bersimpuh diatas tanah, bila kelopak bola itu jatuh perlahan menyentuh bumi, orang kerdil ini tetap duduk diam tidak bergerak sedikitpun.

Sambaran golok sekali tadi, sekaligus membabat kutung tiga belas batang tombak, sekalian membelah bola emas itu menjadi empat potong, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaga dan kecepatan samberan golok itu, seolah-olah sudah membaur dengan kekuatan gaib yang ada di dunia ini, boleh dikata itu sudah termasuk segala perobahan ilmu pedang yang paling top di dunia ini, cukup ampuh untuk menghancurkan apa saja di dunia ini.

Tapi setelah tombak putus bola terbelah, manusia kerdil ini tetap bersimpuh di tanah, bukan saja tidak bergerak, mimik mukanya juga kaku tidak menunjukkan perobahan, tak ubahnya manusia kayu, seperti pinokio.

Daun pintu jebol, genteng juga runtuh, sekeping genteng kebetulan jatuh mengenai manusia kerdil itu “Klotak” suaranya keras, ternyata dia memang betul adalah manusia kayu. Namun Pho Ang-soat tidak pernah lepas pandang. dia tidak bergerak, diapun diam.

Benarkah manusia kayu bisa bergerak? Kenyataan manusia kayu ini memang bergerak. Malah bergerak cepat bagai kilat, gerakannyapun aneh dan ganjil, mendadak dengan tubuhnya yang kecil itu nyeruduk kepunggung Yan Lam-hwi.

Tidak memakai senjata, dengan badan sendiri sebagai gaman, seluruh badan termasuk kaki tangan adalah gaman. Gaman apapun yang paling dahsyat di dunia ini pasti digunakan manusia, karena gaman itu sendiri adalah benda mati. Tapi gaman yang satu ini justru adalah gaman hidup.

Pada saat yang sama, lantai kedai yang kering keras itu mendadak merekah, sepasang tangan mendadak menyelonong keluar merogoh sepasang kaki Yan Lam-hwi. Aksi yang tak terduga dan luar biasa inipun mengejutkan. Umpama Yan Lam-hwi ingin berkelit juga sudah tidak mampu bergerak lagi.

Sepasang tangan yang keluar dari tanah manusia kayu yang mendadak bergerak, serangan atas dan bawah, kaki manusia kayu menjepit pinggang, sepasang tangan sudah siap mencekik tenggorokkan. Serangan serentak dari atas dan bawah ini bukan saja aneh bin ajaib, jelas telah direncanakan secara sempurna pula, mereka yakin sekali gebrakan pasti tidak akan gagal.

Sayang sekali mereka lupa, bahwa disamping Yan Lam-hwi masih ada sebilah golok. Golok Pho Ang-soat. Golok yang tiada tandingan di langit maupun di bumi. Kembali golok hanya berkelebat sekali, sekalipun cukup berlebihan. Empat tangan seketika tergores luka berdarah, tangan manusia kayu ternyata juga mengeluarkan darah. Darah yang merah namun raut mukanya yang kelam dan kering tampak mulai berkerut.

Pegangan terlepas, empat tangan telah melepas pegangannya, seorang menerobos keluar dari dalam tanah, sekujur badan berdebu, bentuk seperti manusia tanah diapun seorang kate. Gerakan kedua orang kate ini serasi dan mirip satu dengan yang lain. Ditengah udara mereka bersalto dan jatuh kearah pojokan yang sama lalu mengkeret seperti trenggiling.

Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke dalam kerangkanya, orangnya tetap diam. Demikian pula Yan Lam-hwi, hakikatnya dia tidak bergerak atau berpaling.

Manusia tanah mendekap tangan yang terluka, mendadak dia mengomel: “Gara-garamu hingga aku terluka, kau terlalu yakin bahwa sergapan kita pasti tidak akan gagal.”

Manusia kayu menjawab: “Ya, perhitunganku meleset.”

Manusia tanah mendesis gemas: “Perhitungan meleset, maka kau harus mati.”

“Bahwa tugas ini tidak terlaksana, pulang juga dihukum mati, lebih baik mati sekarang saja.”

“Mati dengan cara apa yang kau inginkan?”

“Aku ini manusia kayu, sudah tentu harus dibakar.”

“Bagus, lebih baik kalau terbakar sampai jadi abu.”

Manusia kayu menghela napas, entah darimana dia keluarkan ketikan api, terus menyulut badan sendiri. Api lekas menyala, manusia kayu lantas ditelan kobaran api yang semakin besar.

Manusia tanah sudah menyingkir kesamping, mendadak dia membentak keras: “Jangan sekarang kau belum boleh mati, kau masih menyimpan tiga ribu tahil uang kertas kalau terbakar, uangmu takkan berguna lagi.”

“Kemarilah kau mengambilnya.” terdengar sahutan dari tengah kobaran api.

“Aku takut kebakar.” sahut manusia tanah.

Terdengar helaan napas dari dalam kobaran api, mendadak sejalur air menyembur keluar dari gugusan api yang menyala, laksana hujan saja menciprat kemana-mana, kebanyakan jatuh ditengah kobaran api sehingga menimbulkan suara mendesis yang ramai, maka mengepullah asap tebal. Kobaran api besar itu seketika padam hanya oleh siraman sejalur air putih, kini berganti kepulan asap putih yang semakin tebal. Manusia kayu terbungkus di dalam kepulan asap tebal, siapapun tiada yang melihat bagaimana bentuknya sekarang setelah terbakar.

Bahwasanya Pho Ang-soat tidak pernah perhatikan kejadian sekelilingnya, yang diperhatikan hanya seorang. Yan Lam-hwi sendiri seolah-olah tidak ambil peduli akan apa yang terjadi disekitarnya. Lekas sekali asap tebal itu makin meluap sehingga seluruh kedai arak ini ditelannya, asap terus merembes keluar melalui celah-celah pintu, lobang jendela dan atap genteng. Angin menghembus lalu diluar, asap yang keluar seketika buyar tertiup angin.

Kucing yang kurus kering bermalas-malas di luar tadi sedang menyebrang jalan pula kearah kedai, sambil merunduk dia sembunyi dibelakang sebuah saka. Kebetulan angin menghembus lalu membawa segumpal asap lewat disekitar tubuhnya. Kucing itu seketika roboh, setelah kelejetan terus tak bergerak lagi. Setelah mengalami banyak penderitaan, kelaparan yang tidak mungkin kuat ditahan oleh manusia. Kucing ini masih bertahan hidup, tapi hanya hembusan asap lalu cukup membuatnya mati dan mayatnya pun luluh tinggal kerangka saja.

ooooOOoooo



Bab 3. Bulan Terang Di Atas Loteng

Waktu itu Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga sedang berdiri ditengah asap tebal itu.

Akhirnya asap itu buyar. Asap yang dapat mencabut nyawa, entah betapa banyak kaum ksatria yang gugur oleh asap ini?

Bila asap telah buyar, sepasang mata manusia kayu tampak bersinar, dia percaya bahwa kedua orang itu pasti sudah roboh. Terbayang dalam benaknya mereka sedang meregang jiwa. Meronta dan merintih, merayap kedepannya mohon diberi obat penawarnya. Demikian pula halnya Ciok Pa-thian dan Tang Hou juga berlutut di depannya meratap minta belas kasihan. Padahal mereka adalah orang kuat yang gagah berani di dunia persilatan, namun dikala menghadapi elmaut, seorang yang pemberani sekalipun juga berobah lemah dan penakut. Penderitaan dan keputusasaan orang lain dianggapnya sebagai hiburan yang menyenangkan.

Tapi sekali ini dia yang putus asa dan kecewa.

Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi ternyata tidak roboh, mereka tetap tegak ditempatnya, mata merekapun memancarkan cahaya.

Sinar yang terpancar dari bola mata manusia kayu sudah padam seperti kobaran api diatas badannya. Pakaiannya yang terbakar hangus juga sudah lenyap tertiup angin lewat tinggal badannya yang hangus hitam itu mirip kepingan baja yang tak meman api, tapi juga mirip seonggok kayu yang terbakar jadi arang.

Mendadak Yan Lam-hwi berkata: “Kedua orang ini adalah Ngo-heng-siang-sat.”

Pho Ang-soat hanya mendengus sekali.

“Dalam emas tersembunyi kayu, api dan air satu sumber. Menghilang meminjam bumi tangan setan menangkap kaki, merupakan sergapan yang susah dijaga sebelumnya. Nga heng siang sat adalah salah satu dari pembunuh bayaran yang memperoleh honor tinggi, konon sekarang mereka sudah menjadi kaya raya, harta miliknya sudah laksaan tahil emas. Sayang sekali banyak hartawan didunia ini, dalam pendangan kebanyakan orang ternyata tidak berharta sepeserpun.

Lekas manusia tanah unjuk tawa dipaksakan, katanya: “Dia inilah emas, kayu, api dan air, aku hanya tanah belaka, aku ini mirip keledai dungu, mirip kacang tanah, mirip ajning kurap” dia mengawasi golok ditangan Pho Ang soat, golok itu sudah berada dalam serangka, golok hitam. setelah menghela napas dia tertawa getir, “Umpama kami tidak kenal Pho Tay hiap, juga harus kenal golokmu itu “

Manusia kayu berkata: “Soalnya kami tidak menduga bahwa Pho Tayhiap akan membelanya”

Pho Ang soat berkata dingin: “Jiwanya ini sudah menjadi milikku. tahu”

“Ya.” Manusia kayu mengiakan. Kecuali aku, siapapun tak boleh mengganggu seujung rambutnya”

Manusia tanah mengiakan. Lalu katanya: “Asal Pho tayhiap sudi mengampuni jiwa kami, kami akan segera enyah dari sini”

“Enyah” Pho Ang soat segera menghardik.

Segera kedua orang itu memang menggelundung keluar, menggelundung mirip bola.

Yan Lam-hwi tertawa, katanya: “Aku tahu kau pasti takkan membunuh mereka”

“O, apa alasannya?” tanya Pho Ang soat. “Karena mereka tidak setimpal”

Pho Ang soat menatap golok ditangannya, mimik wajahnya menampilkan kesepian yang tak terperikan. Tidak banyak dia punya kawan, hingga sekarang musuhnyapun tidak banyak lagi. Memang berapa banyak pula manusia dalam kolong langit ini yang setimpal untuk dirinya mencabut golok?

Perlahan Pho Ang soat berkata: “Aku pernah dengar, mereka membunuh Ciok Pa thian, honornya tiga belas laksaan tahil”

“Memang benar.”

“Nilai jiwamu sudah tentu jauh lebih tinggi dibandingkan Ciok Pa-thian.”

“Sudah tentu lebih mahal.”

“Tidak banyak orang yang mampu membayar honor tinggi kepada mereka untuk membunuhmu.”

Terkancing mulut Yan Lam-hwi.

“Kau tidak bersuara lagi, karena kau sudah tahu siapa orang itu.”

Yan Lam-hwi tetap bungkam tidak memberi tanggapan.

“Cita-citamu yang belum tercapai, yaitu untuk menghadapi orang yang satu ini?”

Mendadak Yan Lam-hwi tertawa dingin, jengeknya, “Terlalu banyak yang kau tanyakan.”

“Tidak kau jelaskan?”

“Tidak.”

“Baiklah, silakan pergi.”

“Aku tidak boleh pergi.”

“Jangan lupa kau pinjam setahun kepadaku, dalam jangka setahun ini, kau tetap hutang terhadapku.”

“Kau ingin aku membayar? Bagaimana aku harus membayar?”

“Selesaikan dulu apa yang harus kau selesaikan.”

“Tapi aku…”

“Kalau kau seorang laki-laki sejati, umpama benar ingin mati juga harus gugur secara jantan,” demikian desis Pho Ang-soat seraya menatapnya tajam, kalau dia angkat kepalanya, Yan Lam-hwi justru tertunduk, seolah-olah dia tidak ingin memperlihatkan mimik mukanya. Mimik muka yang tidak bisa dimengerti oleh siapapun, entah itu duka dan penasaran, ataukah penderitaan? Atau ketakutan?

“Pedang masih lengkap, jiwamu juga belum layu, kenapa tidak berani kau menghadapi kenyataan ini?”

Mendadak Yan Lam-hwi angkat kepalanya, kedua tangan menggenggam kencang pedang, katanya tegas, “Baik, akan kulakukan, tapi setahun kemudian aku pasti datang.”

“Aku tahu,” ujar Pho Ang-soat.

Arak masih ada di atas meja, mendadak Yan Lam-hwi mencengkeram guci arak, katanya, “Kau tetap tidak minum?”

“Tidak minum,” jawaban Pho Ang-soat tetap lantang dan tegas.

Kini ganti Yan Lam-hwi yang menatapnya, katanya, “Apa benar orang yang tidak pernah minum arak pikirannya selalu jernih?”

“Belum tentu,” pendek jawaban Pho Ang-soat.

Yan Lam-hwi terloroh-loroh sambil menengadah, sisa setengah guci arak dia tenggak sampai habis lalu melangkah lebar keluar pintu. Guci dilempar seenaknya.

Langkahnya lebar jalannya cepat. Karena dia tahu jalan yang harus ditempuhnya terbentang panjang dan lebar di depan, bukan saja penuh aral rintang juga tak berujung jauh dan jauh sekali.

Kota mati, jalan raya yang sudah menjadi belukar. Dunia menjadi lengang oleh kesunyian yang beku seolah-olah tiada kehidupan lagi di keremangan malam ini.

Malam ini kebetulan bulan purnama, bulan bundar, jikalau hati manusia sudah cedera, memangnya kenapa kalau bulan purnama? Yan Lam-hwi melangkah lebar di bawah bulan purnama, bukan saja langkahnya lebar juga kokoh dan cepat.

Tapi Pho Ang-soat tetap mengintil dari kejauhan, betapapun dia melangkah lebar, betapa cepatnya, setiap kali dia menoleh segera dia melihat si cacad yang sebatangkara ini, dengan langkahnya yang berat dan gayanya yang lucu, tetap mengintil di belakang dalam jarak tertentu.

Bintang-bintang bertaburan di angkasa raya, bulan sudah condong ke barat, malam ini sudah akan menjelang. Fajar telah tak jauh lagi, namun dia masih berada di belakang dalam jarak yang sama, dengan langkah dan gaya yang sama pula.

Akhir kali menoleh Yan Lam-hwi tidak tahan lagi, segera dia berseru keras, “Apakah kau ini bayanganku?”

“Bukan,” sahut Pho Ang-soat.

“Kenapa kau menguntit aku?”

“Karena aku tidak menghendaki kau mati di tangan orang lain.”

Yan Lam-hwi tertawa dingin, katanya, “Tak usah kau berjerih payah, selamanya aku pandai menjaga diriku sendiri.”

“Betulkah kau mampu?” tanya Pho Ang-soat. Sebelum Yan Lam-hwi menjawab dia sudah menambahkan, “Hanya seorang yang tidak kenal cinta kasih baru dia dapat menjaga dirinya sendiri, kau ini seorang pemuda romantis.”

“Dan kau?”

“Umpama aku tahu adanya cinta, juga sudah kulupakan, sudah sejak lama sekali.”

Roman mukanya tetap pucat kaku, lalu siapa dapat meraba di belakang sikapnya yang kaku ini menyembunyikan pengalaman hidup merana? Kenangan yang membawa siksa derita? Bila seseorang benar-benar sudah tidak memiliki hatinya, cinta sudah pudar, lalu siapa pula dalam dunia ini yang mampu melukai hatinya, melukai lahir batinnya?

Yan Lam-hwi menatapnya bulat-bulat, katanya perlahan, “Bila kau berpendapat kau mampu menjaga dirimu sendiri, kukira kaupun keliru.”

“Kenapa keliru?”

“Paling sedikit masih ada seorang yang mampu melukai kau.”

“Siapa?”

“Kau sendiri.”

ooooOOoooo

Fajar menyingsing. Matahari telah terbit. Cahaya surya telah menerangi mayapada, menyinari batu pilar di pinggir jalan, di atas batu itu terukir tiga huruf besar yang berbunyi Hong-hong-kip. Hanya batu pilar itu dengan tiga ukiran huruf yang sama, tidak berbeda sejak setahun yang lalu.

Sebenarnya Pho Ang-soat bukan lelaki yang gampang menunjukkan suka dukanya, tapi waktu dia melewati batu pilar itu, tak betahan dia menoleh dan melirik beberapa kali. Memangnya tiada sesuatu ayng abadi didunia ini, demikian pula kehidupan manusia mengalami banyak perobahan hanya tempat saja ini saja yang tidak mengalami banyak perobahan.

Ternyata Yan Lam hwi dapat meraba isi hatinya, mendadak dia tanya: “Kau tidak mengira?”

Pho Ang soat manggut manggut, katanya “Aku tidak mengira, kau justru tahu bahwa tempat ini sudah menjadi kota mati, maka kau membawa rombongan musik dan pelacur serta hidangan lezat itu kemari”

Ternyata Yan Lam hwi tidak menyangkal.

“Tentunya kau juga sudah tahu kenapa tempat ini berobah menjadi kota mati?”

“Sudah tentu aku tahu”

“Apa sebabnya?”

Terpancar perasaan derita dan amarah yang bercampur baur pada sorot mata Yan Lam hwi, agak lama kemudian baru dia berkata perlahan: “Karena aku”

“Karena engkau? Bagaimana kau bisa membikin kota yang makmur menjadi kota mati?”

Yan Lam Hwi tutup mulut. Bila dia menutup mulut, bentuk bibirnya kelihatan tebal kaku dan kedutan, seolah olah mendekati kejam dan buas. Oleh kerana itu bila dia sudah bungkam, siapaun sudah harus tahu bahwa dia menolak diajak bicara karena itu Pho Ang soat pun menutup mulutnya.

Akan tetapi mata mereka tidak boleh terpejam, waktu mereka menoleh pula kearah depan bersamaan mereka melihat seekor kuda mencongklang pesat dari cabang jalan sebelah kiri yang bertanah tandus kearah sini, kusa itu memang berlari bagai terbang.

Kudanya bagus, penunggangnya juga cekatan dan cukup ahli, begitu mereka menoleh melihat kuda itu. kuda dan penunggangnyapun sudah berasa didepan mata.

Mendadak Yan Lam hwi memburu maju sambil menjejak kaki, tubuhnya melejit bersalto diudara, melesat lewat diatas kepala kuda, bila dia sudah menginjak kakinya dibumi pula tali kekang kuda itupun sudah dipegangnya dan ditariknya kencang. selama tubuhnya berdiri kokoh, sekokoh tonggak yang terpendam didalam tanah, hanya dengan sebelah tangannya dia berhasil menguasai kuda binal ini. Kuda itu meringkik sambil berjingktak berdiri dengan kaki belakang. Karuan penunggang kuda membentak gusar, pecut ditangan terayun menghajar kepala Yan lam hwi. Tapi pecutnya itu juga kena ditangkap, kontan penunggangnya tertarik jatuh jumpalitan, wajahnya kelihatan basah oleh keringat, saking murka dan menahan takut, kulit dagingnya tampak kedutan dan berkerut kerut, dengan terbeliak dia mengawasi Yan Lam hwi.

Yan Lam hwi tersenyum, katanya: “Kenapa kau buru buru menempuh perjalanan?”

Penunggang kuda itu menahan sabar, setelah melihat kepandaian Yan Lam Hwi yang mengejutkan, tak bisa tidak dia harus bersabar, tak berani dia menjawab; “Aku hendak melayat”

“Apakah familimu ada yang mati?”

“Ya, pamanku yang kedua.”

“Bila kau memburu kesana, apakah kau mampu menolong jiwanya?”

“Tidak bisa, jelas tidak mungkin.”

“Kalau kau tidak bisa menghidupkannya lagi, kenapa pula kau membedal kuda sekencang itu?”

Penuggang kuda itu bertanya: “Sebetulnya apa kehendakmu?”

“Aku ingin membeli kudamu ini.”

“Tidak kujual.”

Sekenanya Yan Lam hwi merogoh sekeping emas dilempar kedepan orang itu, ujarnya: “Mau tidak menjualnya?”

Penunggang kuda terbelalak kaget, lama dia menjublek mengawasi kepingan emas itu, akhirnya dia menarik napas panjang dan menggumam: “Orang mati tak bisa hidup lagi, buat apa aku buru buru menempuh perjalanan”
Yan Lam hwi tertawa, dia mengelus bulu suri sikuda jantan yang gagah ini, katanya kepada Pho Ang soat dengan tersenyum: “Aku tahu aku takkan mampu meninggalkan ungkau, tapi sekarang aku sudah memiliki enam kaki”

Pho Ang soat diam saja.

Yan Lam hwi tertawa besar, serunya mengulap tangan: “Selamat bertemu, setahun lagi kita bertemu” kudanya kuda pilihan, penalanya juga terbikin oleh tukang yang ahli, baru saja dia hendak melompat kepunggung kuda mendadak sinar golok berkelebat. Pho Ang saot telah memcabut goloknya namun hanya sekali berkelebat, golok itu sudah kembali kedalam selangkanya, kuda itu tidak terkejut kerananya, orangpun tiada yang terluka, semberan sinar golok tadi seperti bintang jatuh diangkasa raya, membawakan harapan dan keindahan bagi umat manusia, jadi bukan lagi rasa ketakutan, kaget atau ngeri.

Akan tetapi Yan Lam hwi justru teramat kaget, matanya menatap golok digenggaman tangannya, katanya: “Aku tahu biasianya jarang kau mencabut pedang. Golokmu itu bukan untuk dipamerkan kepada orang kali ini kenapa tanpa sebab kau justru mencabut golok?”

“Karena pahamu”

“Karena pahaku?”

“Jangan kira kau punya enam kaki, begitu kau naik kepunggung kuda ini, maka kau tidak akan punya kaki lagi, sebuah kakipun tiada “

Memicing ngeri mata Yan Lam hwi, mendadak dia menoleh, segera dia melihat darah.

Darah kental itu mengalir, bukan mengalir dari tubuh manusia, juga bukan keluar dari badan kuda. Tapi darah itu mengalir dari dalam pelana. Penunggang kuda yang sudah duduk dipinggir jalan mendadak melompat, laksana anak panah dia menerobos jauh kesana.

Ternyata Pho Ang soat tidak merintangi, demikian pula Yan Lam hwi tidak mengudak, malah menolehpun tidak. Matanya terus menatap pelana, perlahan dia ulur dua jarinya menarik pelana ternyata yang dijinjingnya hanya bagian atas. Pelana yang terbuat secara antik ini sekali bocah ternyata terbelah menjadi dua.

Kenapa pelana bisa mengalirkan darah? Jelas tidak mungkin. Darah itu dingin, karena darah itu mengalir dari tubuh ular, dan ular itu berada didalam pelana. Empat ekor ular beracun, empat ekor ular itupun terbacok putus oleh selarik sinar golok tadi.

Jikalau seseorang duduk diatas pelana. jikalau pelana itu berlobang hingga kepala ular bisa menongol keluar, jikalau seseorang telah membuka tutup lobang itu.

Jikalau empat ekor uler itu sekaligus mengigit paha penunggang kuda. Apakah penunggang kuda itu masih mampu mempertahankan pahanya? Terbayang semua hal ini, mau tidak mau berkeringat dingan telapak tangan Yan Lam hwi.

Tapi sebelum dia mencucurkan keringat dingin. kupingnya sudah mendengar jeritan yang mengerikan, seperti dana manusia yang mendadak ditusuk pedang. Penunggang kuda yang melarikan diri tadi sudah mengembangkan ginkang Yan cu sam jau cui melesat tujuh tombak jauhnya. Tapi waktu dia melompat untuk keempat kalinya, mendadak mulutnya menjerit panjang, tubuh yang sudah terapung diudara seketika terjungkal jatuh.
Samberan sinar golok tadi bukan saja membelah pelana, memotong ular, ternyata juga melukai hatinya, waktu dia terjungkal roboh, lalu meringkel dan kelejetan seperti ular yang sekarat. Tiada orang menoleh menyaksikan keadaannya.

Perlahan Yan Lam-hwi menurunkan pelana yang berada di tangannya, waktu dia angkat kepala, matanya menatap tajam wajah Pho Ang-soat.

Tangan Pho Ang-soat menggenggam golok, golok di dalam sarungnya.

Lama Yan Lam-hwi merenung, akhirnya menarik nafas panjang, katanya, “Sayang aku dilahirkan terlambat, belum pernah aku melihatnya.”

“Apa kau pernah melihat pisau Yap Kay?” tanya Pho Angsoat.

“Sayang aku tidak berjodoh, aku…”

“Kau tidak berjodoh, tapi beruntung dulu ada juga orang yang melihat pisaunya menyamber…”

“Tapi orang yang pernah melihat pisaunya itu semua sudah mati?”

“Umpama orangnya belum mati, hatinya pasti sudah mampus.”

“Hatinya mampus?”

“Siapa saja, asal pernah melihat pisaunya itu menyerang, maka selama hidup dia tidak akan berani memakai pisau lagi.”

“Tapi Yap Kay menggunakan pisau terbang.”

“Pisau terbang juga pisau.”

Yan Lam-hwi mengakui, hanya mengakui. Pisau memang banyak jenisnya, pisau jenis apapun dia tetap pisau, pisau jenis apapun dapat untuk membunuh orang.

“Kau pernah menggunakan pisau?” tanya Pho Ang-soat.

“Tidak,” sahut Yan Lam-hwi pendek.

“Pernah kau melihat orang yang benar-benar mahir menggunakan pisau?”

“Ya, hanya beberapa gelintir saja.”

“Kalau begitu kau tidak setimpal bicara soal pisau.”

Yan Lam-hwi tertawa, ujarnya, “Betul mungkin aku tidak setimpal bicara soal pisau, mungkin golokmu juga bukan tiada tandingan di kolong langit ini, hal ini aku tidak bisa pastikan, aku hanya bisa memastikan satu hal.”

“Satu hal apa?”

“Sekarang aku punya enam kaki, kau sebaliknya hanya dua saja,” di tengah gelak tawanya kembali dia mencemplak ke punggung kuda. Meski pelana sudah rusak, ular sudah mati tapi kuda itu tetap segar bugar. Lari kuda seperti berlomba dengan angin meninggalkan kepulan debu di belakangnya.

Pho Ang-soat menunduk, mengawasi kaki sendiri, sorot matanya memancarkan perasaan yang sukar dilukiskan, entah itu mencemooh atau menyindir, “Kau keliru, aku bukan hanya dua kaki, aku hanya punya satu.”

ooooOOoooo

Setiap kota tentu ada restoran, setiap restoran tentu berusaha dalam jangka panjang tentu mempunyai pelayanan yang istimewa, masakan yang khas.

TapitidakdemikiandenganBan-siu-kouini, keistimewaannya adalah mahal, mau apapun yang tersedia disini, meski hanya sepiring nasi putih dan segelas teh juga harganya jauh lebih mahal dari restoran lain di manapun.

Manusia memang banyak cirinya, menghamburkan uang, bermuka-muka, menjaga gengsi merupakan salah satu ciri terlemah dari watak manusia. Oleh karena itu, suatu tempat yang memasang tarif tinggi, usaha dagangnya justru maju.

Waktu Yan Lam-hwi keluar dari Ban-siu-lou, melihat kudanya yang terikat di luar pintu, tak tertahan dia berteriak. Dua kaki betapapun tak lebih unggul dari enam kaki. Siapapun asal dia manusia pasti punya keinginan untuk membebaskan diri dari bayangan sendiri, bukankah inipun salah satu ciri dari manusia. Tapi waktu dia menarik tali kekang kuda sebelum berbuat lebih banyak, matanya tawanya seketika kuncup.

Karena begitu dia angkat kepala, matanya sudah melihat Pho Ang-soat. Pho Ang-soat berdiri di seberang jalan, mengawasinya dingin. Wajah yang pucat, sorot mata dingin, golok yang hitam.

Yan Lam-hwi tertawa. Pantat kuda dipukulnya sekali, kuda lari pergi. Dia tetap berdiri di situ, dengan tersenyum dia mengawasi Pho Ang-soat. Lari kuda meninggalkan kepulan debu, bila debu sudah buyar tertiup angin baru dia menyeberang jalan menghampiri Pho Ang-soat, katanya tersenyum, “Akhirnya kau toh menyusulku juga. Karena siapa pun yang ingin kau kuntit, maka jangan harap orang itu dapat lolos.”

Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.

Yan Lam-hwi menghela nafas, katanya, “Untung aku ini bukan cewek, kalau dikuntit seketat ini, tidak ingin kawin dengan kau juga tidak mungkin.”

Wajah yang pucat itu mendadak menampilkan rasa jengah, warna merah yang menakutkan, ternyata pelupuk matanya pun berkerut dan kedutan seperti menahan derita yang luar biasa. Entah ada derita apa yang menjadi kenangan dalam benaknya? Hanya sepatah kata kelakar yang tidak disengaja kenapa bisa membuatnya begitu merana?

Yan Lam-hwi segera tutup mulut, selamanya dia tidak suka melukai hati orang. Bila tanpa sengaja dia melukai hati orang, sanubarinya sendiripun akan ikut merasa sedih.

Maka kedua orang ini berdiri berhadapan di emper depan sebuah toko roti.

Di dalam toko kebetulan ada seorang nenek tua kurus kering yang membawa dua bocah laki perempuan sedang memilih roti. Belum keluar pintu, kedua bocah itu sudah ribut minta makan roti, di mulut nenek itu berkata, “Di jalanan tidak boleh makan.” Tak urung dia membuka bungkusan, merogoh keluar dua potong roti dan dibagikan kepada kedua cucunya.

Tak nyata setelah menerima roti kedua bocah itu malah makin ribut. Yang laki mencak-mencak dan berteriak, “Kenapa Siau Bing diberi roti yang lebih besar? Aku minta tukar.”

Sudah tentu bocah perempuan itu tidak mau, bocah laki itu lantas memburu hendak merebut, yang perempuannya berlari kejar mengejar mengelilingi si nenek, mau mencegah juga kalah gesit, terpaksa si nenek hanya berkaok-kaok, menghela nafas serta geleng-geleng.

Anak perempuan larinya sudah tentu kalah gesit dan cepat, karena kewalahan berputar di sekitar badan sang nenek, akhirnya dia berlari ke belakang Yan Lam-hwi, menarik lengan baju Yan Lam-hwi seraya berseru, “Paman yang baik, tolonglah aku, dia ini perampok cilik.”

Anak lelaki itu berteriak, “Mana bisa paman ini membantu kau, kita kan sama-sama laki, biasanya lelaki membantu lelaki.”

Yan Lam-hwi tertawa, walau nakal tapi kedua anak ini kelihatan pintar dan lincah jenaka. Yan Lam-hwi juga pernah mengalami masa kanak-kanak, masa kanak-kanak adalah masa keemasan, masa yang tiada arti duka-lara dan masa kanak-kanak takkan pernah kembali lagi, teman bermain sejak kecil yang tak pernah terlupakan dalam benaknya, entah sekarang sudah menikah dengan siapa.

Dari kenakalan kedua bocah laki perempuan ini, seolaholah dia melihat masa lampau waktu dirinya juga masih kanakkanak dulu, mendadak hatinya diliputi rasa hangat, mesra tapi juga mendelu, tanpa sadar dia menarik kedua bocah itu serta berkata lembut, “Kalian jangan ribut, biar paman membelikan roti pula untuk kalian, setiap orang sepuluh buah.”

Berseri wajah kedua bocah itu, seri tawa jenaka yang riang, berebut kedua orang ini memeluknya, Yan Lam-hwi juga mengulur tangan, seorang satu hendak dipeluknya.

Pada saat itulah sinar golok berkelebat, Pho Ang-soat yang selamanya tidak sembarangan mengeluarkan senjatanya, mendadak mencabut goloknya. Begitu sinar golok menyambar, roti yang dipegang kedua bocah itu sudah tertabas jatuh di tanah menjadi dua potong.

Kejadian yang mendadak itu keruan membuat kedua anak itu kaget terpana, dengan menangis keras mereka berlari balik ke samping sang nenek.

Yan Lam-hwi sendiri juga tertegun, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat.

Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan apa-apa.

Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, “Sekarang baru aku mengerti, kecuali untuk membunuh orang golokmu itu masih ada pula gunanya.”

“Hm,” Pho Ang-soat hanya mendengus dalam tenggorokan.

“Golokmu inipun berguna untuk menakuti bocah.”

“Ya, tapi aku hanya menakuti satu macam bocah.”

“Bocah macam apa?”

“Bocah yang berani membunuh orang.”

Kembali Yan Lam-hwi melengak, perlahan dia menoleh, dilihatnya si nenek sedang menyurut mundur sambil memeluk kedua anak itu. Kedua bocah itu tidak menangis lagi, matanya terbeliak, dengan penuh kebencian mereka melotot kepada Yan Lam-hwi. Terpancar cahaya kebencian dan dendam kesumat dari sinar matanya.

Yan Lam-hwi menundukkan kepala, hatinya juga seperti tenggelam, dari dalam roti yang tertabas jatuh di tanah ternyata memancarkan cahaya gemerlap. Waktu dia memungut setengah potong di antaranya, segera dia mendapatkan di dalam roti ternyata berisi sebuah bumbung kecil berisi jepretan jarum, itulah Ngo-tok-hwi-ciam, jarum terbang yang mengandung panca bisa. Laksana burung terbang, mendadak dia melesat ke depan dan berdiri di depan nenek itu, katanya, “kau inikah Kwi-gwa-po?”

Nenek itu tertawa, wajahnya yang kecil dan tirus itu mendadak berubah bengis menyeringai, katanya, “Sungguh tak nyana ternyata kau tahu juga tentang diriku.”

Yan Lam-hwi menatapnya lama, katanya kemudian, “Tentu kau juga tahu aku punya semacam kebiasaan?”

“Kebiasaan apa?”

“Selamanya tidak pernah membunuh perempuan.”

“Itu kebiasaan baik.”

“Walau kau sudah tua, jelek-jelek kau juga perempuan.” Kwi-gwa-po menghela napas, katanya, “Sayang kau tidak pernah melihat tampangku waktu masih muda, kalau tidak ...”

“Kalau tidak, aku tetap akan membunuhmu,” desis Yan Lam-hwi.

“Masih segar dalam ingatanku, barusan kau bilang selamanya tidak pernah membunuh perempuan.”

“Tapi kau boleh dikecualikan.”

“Kenapa aku harus dikecualikan?”

“Anak-anak masih berjiwa polos dan bersih, tak pantas kau memperalat mereka, kau menyia-nyiakan masa depan mereka.”

Kwi-gwa-po tertawa lagi, tawa yang menakutkan, katanya, “Nenek yang baik sayang kepada cucunya, anak-anak itu juga senang mengerjakan sesuatu untuk neneknya, memangnya apa sangkut-pautnya dengan kau.”

Yan Lam-hwi bungkam, dia segan membicarakan soal ini, dia sudah menggenggam gagang pedang. Pedang yang merah, merah bagai darah segar.

Kwi-gwa-po menyeringai, katanya, “Orang lain takut terhadap Jio-hwi-kiam, aku....”

Ternyata dia tidak meneruskan ucapannya, mendadak sebungkus roti yang dipegang dibantingnya ke tanah dengan gregetan.

“Blam”, ledakan cukup keras menimbulkan kepulan asap dan debu, dibarengi sinar bintik-bintik.

Yan Lam-hwi bersalto di tengah udara, mundur dua tombak jauhnya.

Setelah asap dan debu buyar tertiup angin, bayangan Kwigwa-po dan kedua bocah itu sudah tidak kelihatan lagi, tanah dimana tadi mereka berpijak sudah berlubang besar. Orang-orang merubung maju, lekas sekali mereka pun bubar, tiada tontonan yang bisa mereka saksikan di sini.

Yan Lam-hwi masih berdiri menjublek, lama sekali baru dia berputar ke arah Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tetap bersikap dingin laksana es.

Akhirnya Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Kali ini kau tidak meleset juga.”

“Jarang sekali aku meleset.”

“Tapi anak-anak itu tidak berdosa, pasti sejak kecil mereka telah diculik dan dididik oleh Kwi-gwa-po ... dengan berbagai daya-upaya dia menggembleng kedua bocah itu, jadi sejak kecil mereka sudah diajar berbuat jahat, menanam dendam dan dosa.”

“Karena itu sepantasnya kau tidak memberi ampun kepadanya.”

“Aku tidak menyangka dalam bungkusan roti di tangannya disembunyikan granat tangan buatan Pi-lik-tong dari Kanglam.”

“Seharusnya kau sudah menduga, jika jarum bisa disembunyikan di dalam roti, maka mungkin saja juga bisa dimasuki granat tangan itu.”

“Jadi kau sudah menduga sebelumnya?”

Pho Ang-soat tidak menyangkal.

“Bahwa kau juga berpendapat tidak pantas membiarkan dia pergi, kenapa kau tidak turun tangan.”

“Karena dia bukan hendak membunuh aku, aku pun tidak mengira bahwa kau begini goblok.”

Yan Lam-hwi menatapnya, mendadak dia tertawa, tertawa getir.

“Mungkin bukan aku yang goblok, tapi karena kau terlalu cerdik sampai sekarang aku masih belum mengerti racun dalam asap, ular dalam pelana, cara bagaimana kau bisa mengetahui?”

Pho Ang-soat membungkam agak lama, akhirnya berkata dengan perlahan, “Cara membunuh orang banyak macamnya, membokong adalah salah satu cara di antaranya, malah cara ini paling menakutkan?”

“Aku tahu.”

“Tahukah kau berapa macam pula cara membunuh secara membokong.”

“Aku tidak tahu.”

“Tahukah kau selama tiga ratusan tahun ini, berapa banyak orang mati terbunuh karena dibokong.”

“Tidak tahu.”

“Sedikitnya ada lima ratus tiga puluh delapan orang.”

“Kau pernah menghitung?”

“Aku pernah menghitung, menghabiskan waktu tujuh tahun baru jelas seluruhnya.”

“Kenapa kau membuang waktu dan tenaga hanya untuk menghitung jumlah orang mati?”

“Karena kalau aku tidak pernah menghitungnya, sekarang paling sedikit aku sudah mati belasan kali dan kau juga sudah mati tiga kali.”

Perlahan Yan Lam-hwi menghembuskan napas, ingin membuka mulut namun dibatalkan pula.

“Lima ratus tiga puluh delapan orang yang kumaksud, semua adalah jago kosen kelas wahid di Bu-lim, orang yang membunuh semestinya bukan tandingan mereka.”

“Soalnya cara orang-orang itu membunuh lawannya teramat keji dan lihai, maka mereka berhasil dengan baik.”

Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Yang mati terbunuh ada lima ratus tiga puluh delapan, tapi pembunuhnya ternyata hanya empat ratus delapan puluh tiga.”

“Karena di antara korban terbunuh di tangan orang yang sama.”

“Caranya membunuh korbannya juga ada beberapa di antaranya yang sama.”

“Itu bisa kuduga.”

“Seluruhnya mereka menggunakan dua ratus tujuh puluh dua cara.”

“Dua ratus tujuh puluh dua cara membunuh orang, sudah tentu adalah cara yang paling ganas, paling lihai dan hebat.”

“Sudah tentu.”

“Kau tahu berapa di antaranya?”

“Dua ratus tujuh puluh dua macam.”

Yan Lam-hwi menghela napas, katanya dengan menggeleng kepala, “Sebetulnya satu cara pun aku tiada yang tahu.”

“Sekarang paling sedikit kau sudah tahu tiga di antaranya.”

“Kukira tidak terbatas tiga macam saja.”

“Tidak terbatas?”

“Tahukah kau selama setengah tahun ini berapa kali aku pernah dibokong orang?”

Pho Ang-soat menggeleng.

“Tidak termasuk yang pernah kau saksikan, seluruhnya tiga puluh sembilan kali.”

“Cara yang mereka gunakan berbeda?”

“Bukan saja berbeda, malah semuanya tidak pernah kuduga, tapi sampai sekarang aku masih hidup.”

Kali ini giliran Pho Ang-soat yang bungkam.

Di tengah tawa lebarnya Yan Lam-hwi berputar beranjak pergi, membelok ke sebuah jalan melintang di seberang sana, di jalan ini terdapat sebuah gedung berloteng, di atas loteng terdapat kembang wangi, aroma kembang apakah itu? Apakah kembang mawar?

Loteng itu tinggi, di atas loteng ada jendela, rembulan bergantung di luar jendela, di bawah rembulan kembang mekar. Kembang bunga mawar, bulannya bulan purnama. Di sini tiada lampu, sinar bulan menyorot masuk lewat jendela, menyinari bunga mawar di samping Yan Lam-hwi. Bukan saja di sampingnya terdapat bunga mawar, ada pula seorang yang pernah tertusuk duri mawar.

Malam telah larut. Manusia pantas mabuk, tapi Yan Lamhwi tidak mabuk, sepasang matanya tetap cemerlang laksana rembulan, namun mimik mukanya seperti orang yang tangannya tertusuk duri mawar, kalau mawar ada durinya, bagaimana dengan Bing-gwat (bulan purnama)? Bing-gwat punya hati, maka dia bernama Bing-gwat-sim.

Malam makin kelam, cahaya bulan lebih jernih, wajahnya juga lebih molek, namun rona mukanya kelihatan amat menderita. Lama dia memandangnya dari dekat, akhirnya menghela napas, tanyanya, “Apa yang sedang kau pikirkan?”

Agak lama juga Yan Lam-hwi termenung, lalu menjawab lirih, “Aku sedang memikirkan dua orang.”

Makin lembut suara Bing-gwat-sim, “Satu di antara kedua orang yang sedang kau pikirkan adakah aku di antaranya?”

“Tidak,” ujar Yan Lam-hwi, suaranya dingin. “Bukan kau.”

Si cantik tertusuk pula, namun dia tidak kenal mundur, tanyanya pula, “Bukan aku, lalu siapa?”

“Seorang jelas adalah Pho Ang-soat.”

“Pho Ang-soat? Orang yang menunggumu di Hong-hongkip? Bukankah dia musuhmu?”

“Bukan.”

“Jadi temanmu?”

“Juga bukan,” mendadak Lam-hwi tertawa sendiri.
“Selamanya kau tidak akan menduga, kenapa dia mau menungguku di Hong-hong-kip?”

“Ya, kenapa?”
“Dia menungguku di sana untuk membunuh aku.”

“Tapi kenyataan dia tidak membunuhmu.”

“Bukan saja tidak membunuhku, malah tiga kali pula dia menyelamatkan jiwaku.”

“Apa yang dilakukan lelaki seperti kalian, kaum hawa seperti aku ini selamanya takkan tahu.”

“Memang kalian tidak akan mengerti.”

Bing-gwat-sim memandang keluar, menatap bulan purnama di luar jendela.

“Siapa pula seorang lagi yang kau pikirkan?”

Sorot mata yang mengandung sindiran kini berubah menjadi tekanan derita, perlahan suaranya, “Seorang yang ingin kubunuh, sayang aku sendiri tahu, selamanya aku tidak akan bisa membunuhnya.”

Mengawasi betapa besar derita batinnya, sorot mata Binggwat-sim ikut guram, demikian pula cahaya rembulan di luar jendela juga seperti redup, segumpal mega melayang menutupi bulan purnama.

Tiba-tiba dia berbisik, “Kau sudah harus tidur, aku pun harus berlalu.”

“Pergilah kau,” ucap Yan Lam-hwi tanpa mengangkat kepala.

Bing-gwat-sim berkata pula, “Aku maklum akan perasaanmu sekarang, seharusnya aku tetap di sini
menemani kau, tapi...”

“Tapi kau harus berlalu, karena meski kau berada dalam lingkunganmu ini, di sini tak pernah kau menerima tamu, apalagi sampai menginap, bahwa aku bisa menginap semalam di sini terhitung kau sudah memberi muka kepadaku.”

Bing-gwat-sim menatapnya, lama-lama sorot matanya menampilkan penderitaan, mendadak dia berputar, katanya rawan dan sendu, “Mungkin aku tidak pantas menahanmu di sini atau mungkin kau tidak patut kemari.”

Bulan purnama sudah tidak terlihat lagi, mega mendung, hujan pun turun amat lebat.

Mawar yang mekar di jendela pun rontok tertimpa air hujan. Tapi di bawah dinding di depan sana ada seorang yang tak pernah rontok. Bukan saja tidak dapat merontokkan orangnya, juga tak akan bisa merontokkan hatinya.

Waktu Yan Lam-hwi mendorong jendela, dia melihat orang itu.

“Dia masih di situ,” demikian mulutnya menggumam, “hujan makin deras, tapi orang itu masih berdiri tegak tak bergerak, umpama titik air hujan yang berlaksa banyaknya itu berubah menjadi laksaan pisau, orang itu juga tidak akan menyurut barang setapak pun.”

Yan Lam-hwi tertawa getir, “Pho Ang-soat, Pho Ang-soat, kenapa kau adalah manusia bukan kebanyakan manusia?”

Angin berhembus santer, air hujan memukul mukanya, dinginnya menyentuh sanubari. Rasa dingin ini justru membakar darah panasnya, entah darimana timbul hasratnya, mendadak dia menerobos keluar jendela, menerobos hujan lebat yang dingin, dia melompati tembok, melayang ke depan Pho Ang-soat.

Sukma Pho Ang-soat seperti berada di tempat jauh, tidak merasakan datangnya hujan lebat ini, juga tidak melihat kedatangannya. Hanya sekejap Yan Lam-hwi sudah berdiri di tengah hujan lebat itu, sekujur badannya juga sudah basah kuyup. Tapi bila Pho Ang-soat tidak buka suara, dia pun tidak buka mulut.

Untunglah sorot mata Pho Ang-soat akhirnya berputar ke arahnya, suaranya dingin, “Di luar sedang hujan, hujan lebat.”

“Aku tahu.”

“Seharusnya kau tidak keluar.”

Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Kalau kau boleh kehujanan di luar, kenapa aku tidak?”

“Boleh saja,” kata Pho Ang-soat, lalu dia mengalihkan sorot matanya, jelas dia siap mengakhiri percakapan ini.

Tapi Yan Lam-hui tidak mau mengakhiri, katanya pula, “Sudah tentu aku boleh kehujanan, setiap orang bebas untuk berdiri di tengah hujan.”

Sorot mata Pho Ang-soat lurus lengang, seolah-olah sukmanya pergi ke tempat nan jauh.

Yan Lam-hwi menambah keras suaranya, “Tapi aku bukan sengaja keluar untuk berdiri di tengah hujan.” Suaranya mendekati jeritan, jauh lebih keras dari suara hujan deras.

Betapapun Pho Ang-soat tidak tuli, akhirnya dia bertanya tawar, “Lalu untuk apa kau keluar?”

“Aku ingin memberitahu sebuah persoalan, sebuah rahasia.”

Sorot mata Pho Ang-soat seketika memancarkan cahaya, katanya, “Jadi kau sudah siap memberitahu kepadaku sekarang?”

Yan Lam-hwi mengangguk.

“Semula bukankah mati pun kau tidak mau menjelaskan kepadaku?”

“Ya, sebetulnya aku sudah bertekad bulat, kepada siapa pun tidak akan kujelaskan.”

“Kenapa sekarang mau kau jelaskan kepadaku?”

Yan Lam-hwi menatap mukanya, menatap air hujan yang mengalir di mukanya, muka yang pucat, katanya, “Sekarang aku mau memberitahu kepadamu, karena mendadak aku menemukan satu kenyataan.”
“Kenyataan apa?”

Yan Lam-hwi menyeringai tawa, suaranya tawar, “Kau bukan manusia, hakikatnya bukan.”

ooooOOoooo

Bab 4. Ibu Jari Tangan Hitam

Bukan manusia lalu apa? Binatang? Setan? Kayu? Batu? Atau malaikat? Dewa? Mungkin semuanya bukan. Cuma sepak terjangnya, apa yang dia lakukan selalu melampaui batas kemampuan orang kebanyakan, melampui daya tahan dan kesabaran orang awam umumnya. Dalam hal ini Yan Lam-hwi mempunyai alasan, 'Umpama kau ini manusia, paling juga termasuk manusia yang bukan manusia'.

Pho Ang-soat tertawa, ternyata dia masih bisa tertawa. Umpama dia tidak tertawa benar-benar, tertawa lebar umpamanya, sorot matanya sudah menampilkan rona yang tajam. Hal ini jarang terjadi dan merupakan kejadian luar biasa, bagaikan di tengah hujan lebat di antara mega mendung mendadak terbersit selarik sinar surya.

Yan Lam-hwi mengawasinya, mendadak dia menghela napas, katanya, “Yang membuatku di luar dugaan adalah manusia yang bukan manusia macammu ini ternyata juga bisa tertawa.”

“Bukan saja bisa tertawa, juga pandai mendengar,” ujar Pho Ang-soat.

“Kalau begitu marilah ikut aku.”

“Kemana?”

“Ke tempat yang tak bakal kehujanan, ke tempat yang ada arak.”

Di atas loteng kecil itu ada arak, juga ada lentera, di malam nan dingin ini, terasa lebih hangat dari senyum tawa Pho Angsoat. Tapi Pho Ang-soat hanya menengadah sekilas, rona tawa dalam matanya seketika membulat dingin, katanya, “Itulah tempat tujuanmu, bukan tempatku.”

“Kau tidak mau?”

“Pasti tidak.”

“Kalau aku boleh ke sana, kenapa kau tidak?”

“Karena kau bukan aku, dan aku bukan kau.”

Justru karena kau bukan aku, maka kau pasti takkan tahu duka-lara dan penderitaanku. Hal ini tidak dia ucapkan, juga tidak perlu diucapkan.

Tapi Yan Lam-hwi sudah melihat penderitaannya, karena menderita hingga kulit mukanya tampak berkerut dan kedutan.

Tempat itu hanyalah sarang pelacur, tempat setiap lelaki mencari hiburan, kenapa justru memancing reaksi penderitaannya? Mungkinkah di tempat seperti ini dia mempunyai kenangan lama yang menyebabkan dia menderita?

Mendadak Yan Lam-hwi bertanya, “Adakah kau melihat orang yang menemani aku pergi ke Hong-hong-kip? Orang yang memetik harpa itu?”

Pho Ang-soat menggeleng tanpa bersuara.
“Aku tahu kau tidak melihatnya, karena kau tidak minum arak, selamanya juga tidak melihat perempuan.” Wajah Pho Ang-soat ditatapnya, lalu melanjutkan dengan perlahan,
“Apakah lantaran arak dan perempuan yang membuat hatimu terluka?”

Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak buka suara, namun setiap inci kulit daging mukanya seperti mengejang. Karena setiap patah pertanyaan Yan Lam-hwi setajam jarum menusuk sanubarinya.

Di tempat hiburan, kenapa tidak mungkin terjadi kenangan yang penuh derita? Tanpa hiburan darimana datangnya sengsara?

Yan Lam-hwi tutup mulut, dia tidak ingin bertanya lagi, tidak tega mengajukan pertanyaan lagi.

Pada saat itulah dari belakang tembok mendadak melesat terbang dua orang, “Bluk”, seorang di antaranya jatuh di tanah untuk tidak bergerak lagi, seorang lagi menggunakan Yan-cusam-jau-cui, Ginkang tingkat tinggi untuk meluncur ke loteng di seberang sana.

Waktu Yan Lam-hwi keluar, jendela sudah terbuka, lentera juga menyala. Di bawah sinar lentera yang menyorot keluar hanya terlihat sesosok bayangan langsing yang lincah cekatan berkelebat sekali, terus menerobos masuk jendela.

Yang roboh di atas tanah adalah seorang kakek tua berbaju hitam, memelihara jenggot pendek seperti jenggot kambing, wajahnya kurus kering berwarna kuning. Begitu badan menyentuh tanah, napasnya lantas putus.

Tahu napas orang sudah putus, segera Yan Lam-hwi melompat, terbang ke atas dengan kecepatan tinggi, menerobos ke dalam loteng lewat jendela. Ketika dia sudah berada di atas loteng, dilihatnya Pho Ang-soat juga sudah berdiri di dalam rumah. Tiada bayangan orang di dalam kecuali bekas tapak kaki yang masih basah.

Tapak kakinya amat enteng dan kecil, bayangan orang seringan burung walet tadi jelas adalah seorang perempuan.

Yan Lam-hwi mengerut kening, gumamnya, “Mungkinkah dia?”

“Dia siapa?” tanya Pho Ang-soat.

“Bing-gwat-sim.”

Dingin suara Pho Ang-soat, “Di langit tiada bulan, bulan tiada hati, darimana datangnya Bing-gwat-sim?”

“Kau keliru,” ujar Yan Lam-hwi dengan menghela napas, “sebetulnya aku juga keliru, sampai sekarang baru aku tahu bahwa Bing-gwat-sim itu punya hati.”

Yang tidak punya hati adalah mawar, maka mawar di ujung langit, di tempat yang amat jauh.

“Jadi Bing-gwat-sim adalah penghuni tempat ini?” tanya Pho Ang-soat.

Yan Lam-hwi mengangguk tidak bersuara, dari luar terdengar ketukan pintu.

Daun pintu hanya dirapatkan saja, nona cilik dengan mata bundar berpakaian sutra hijau, wajahnya bersemu merah, tangan kiri membawa cangkir, tangan kanan memeluk sebuah guci arak kecil yang masih disegel tutupnya, dengan malumalu dia beranjak masuk, matanya yang jeli lincah berputar mengawasi Pho Ang-soat sekian lamanya. Tiba-tiba dia berkata, “Apakah dia ini tamu agungmu yang dikatakan nona kami?”

Pho Ang-soat tidak mengerti, demikian pula Yan Lam-hwi juga tidak habis mengerti.

Nona cilik ini berkata pula, “Nona kami bilang, ada tamu agung bertandang, maka menyuruhku menyiapkan santapan, tapi kulihat kau ini tidak mirip tamu agung.” Seperti malas melihat Pho Ang-soat lagi, mulut selesai bicara segera ia membalik ke sana membersihkan meja, lalu menata hidangan.

Bayangan orang tadi ternyata memang benar Bing-gwatsim adanya.

Kakek tua berbaju hitam memang hendak membunuh Yan Lam-hwi, sayang pembunuh gelap ini telah terbunuh lebih dulu oleh Bing-gwat-sim, namun dia tidak ingin segera unjuk diri, mungkin hendak memancing Pho Ang-soat masuk ke atas loteng itu.

Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Gelagatnya dia lebih mahir dari aku dalam hal mengundang tamu.”

Pho Ang-soat menarik muka, katanya, “Sayang sekali aku ini bukan tamu agung seperti yang dibayangkan olehnya.”

“Betapapun kau sudah berada di sini, setelah datang kenapa tidak tinggal di sini?”

“Kalau aku sudah berada di sini, kenapa kau masih tidak bicara?”

Yan Lam-hwi tertawa, dia tepuk tutup guci arak serta menyobek segelnya, bau arak segera merangsang hidung.

“Arak bagus,” pujinya dengan tertawa, “sejak aku kemari, belum pernah aku mencicipi arak sebagus ini.”

Nona cilik itu sedang mengangkat guci menuang arak ke dalam poci, dari poci dia mengisi arak ke dalam cangkir.

Yan Lam-hwi berkata, “Agaknya bukan saja dia mengenalmu, orang macam apa kau ini, dia pun sudah tahu jelas.”

Arak secangkir penuh segera ditenggaknya habis, lalu dia berputar ke arah Pho Ang-soat, katanya pula perlahan, “Citacitaku belum terlaksana, lantaran ada seorang belum mati.”

“Siapakah dia?”

“Seorang yang patut dibunuh.”

“Kau ingin membunuhnya?”

“Setiap hari setiap malam aku ingin membunuhnya.”

Lama Pho Ang-soat berdiam diri, lalu berkata dingin, “Orang yang patut mati, cepat atau lambat pasti akan mati, kenapa harus kau sendiri yang turun tangan?”

“Karena kecuali aku, tiada orang yang tahu bahwa dia patut dibunuh.”

“Lalu siapa dia?”

“Dia bernama Kongcu Gi.”

Ruangan itu mendadak hening, nona cilik yang menuang arak itupun berdiri melenggong, lupa mengisi cangkir yang kosong.

ooooOOoooo

Kongcu Gi.

Nama ini seolah-olah membawa daya magis yang dapat menyedot sukma orang.

Pho Ang-soat menatap keluar jendela, lama sekali mendadak dia berkata, “Ingin aku bertanya kepadamu, selama empat puluhan tahun mendatang ini, ada berapa orang yang betul-betul dapat diagulkan menjadi pendekar besar?”

“Ada tiga orang.”

“Hanya tiga orang saja?”

“Kau tidak kuhitung, kau “

“Aku tahu aku bukan, aku hanya bisa membunuh orang, tidak bisa menolong orang.”

“Aku tahu kau memang bukan, karena hakikatnya kau tidak ingin jadi pendekar.”

“Jadi yang kau maksud adalah Sim Long, Li Sun-hoan dan Yap Kay?”

Yan Lam-hwi mengangguk, katanya, “Ya, hanya mereka bertiga yang setimpal.”

Setiap insan persilatan tiada yang berani menyangkal akan kebenaran ini. Sepuluh tahun pertama adalah zamannya Sim Long, sepuluh tahun kedua Siau-li si pisau terbang Li Sunhoan malang melintang di kolong langit, sepuluh tahun ketiga adalah kejayaan Yap Kay.

“Lalu sepuluh tahun terakhir ini?” tanya Pho Ang-soat.

Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, “Dunia Kangouw sekarang berada di bawah kekuasaan Kongcu Gi.” Cangkir penuh arak, sekali tenggak dia habiskan, “Bukan saja dia orang berbakat, kaya raya dan berkuasa, dia pula satu-satunya ahli-waris Sim Long, bukan saja seorang gagah romantis, juga seorang pendekar besar yang memiliki kungfu tinggi.”

“Tapi kau justru ingin membunuhnya.”

“Aku ingin membunuhnya, bukan lantaran ingin berebut nama, juga bukan untuk menuntut balas.”

“Memangnya apa tujuanmu?”

“Demi keadilan dan kebenaran, karena aku tahu rahasianya, hanya aku ...” waktu dia mengangkat cangkir ketiga kalinya, mendadak terdengar “Plak”, cangkir itu remuk di tangannya. Seketika rona mukanya berubah, berubah putih mulus dan mengkilap.

Hanya sekilas Pho Ang-soat melihat wajahnya, mendadak dia maju, tangan bekerja bagai angin, sepasang sumpit dia jejalkan ke dalam mulutnya, sekaligus dia menutuk pula delapan Hiat-to di sekitar urat nadinya.

Yan Lam-hwi mengertak gigi sekerasnya, tapi tak mampu menggigit putus sepasang sumpit itu, di antara dua baris gigi atas bawah terdapat celah-celah lubang. Lekas sekali Pho Ang-soat sudah mencekok sebotol puyer obat ke dalam mulutnya, begitu kedua jarinya memegang dagu dan memijat gerahamnya, mulutnya lantas terpentang lebih lebar, sumpit jatuh obat pun tertelan.

Nona cilik itu sudah berdiri kaku ketakutan, diam-diam dia menggeremet mundur hendak ngacir, tiba-tiba dilihatnya sepasang mata dingin setajam pisau sedang mendelik kepadanya.

Poci arak dan cangkir terbuat dari perak, segel dan tutup guci jelas belum pernah disentuh orang. Tapi kenyataan Yan Lam-hwi terkena racun, hanya tiga cangkir, tapi racun yang bekerja ternyata sudah segawat ini, lalu darimana datangnya racun dalam arak.

Segera Pho Ang-soat angkat guci itu lalu dibalik, arak tumpah, sinar lentera yang benderang menyinari pantat guci, tampak setitik sinar gemerdep. Begitu guci dia tepuk pecah, maka ditemukan sebatang jarum putih beracun di dalam guci.

Jarum panjang satu setengah dim, tebal guci itu hanya satu dim, bila jarum ditusukkan dari bawah, racun di ujung jarum segera akan terendam di dalam arak.

Lekas sekali Pho Ang-soat sudah memperoleh jawabannya, tapi persoalan tidak sederhana, racun memang dari ujung jarum, lalu dari mana asalnya jarum ini?

Setajam pisau tatapan mata Pho Ang-soat, tanyanya dingin, “Kau yang membawa guci arak ini?”

Nona cilik itu mengangguk, pipinya yang merah seperti buah apel kini sudah pucat-lesi.

“Darimana kau mengambilnya?”

Gemetar suara nona cilik itu, “Guci arak ini tersimpan di kamar bawah loteng ini.”

“Bagaimana kau bisa memilih guci arak yang satu ini?”

“Bukan aku yang memilih, nona kami bilang supaya meladeni tamu agung dengan arak yang paling bagus, arak dalam guci ini adalah yang paling bagus.”

“Dimana dia sekarang?”

“Dia sedang berganti pakaian, karena ...”

“Karena waktu aku kembali tadi, seluruh pakaianku juga sudah basah kuyup,” seorang tiba-tiba menyambung dari luar pintu. Suaranya merdu, senyumannya lebih elok, sikapnya begitu anggun dan ramah, dandanannya juga sederhana tapi asri.

Mungkin dia tidak terhitung perempuan paling cantik di seluruh negeri ini, tapi waktu dia melangkah masuk, seumpama suatu malam di musim semi, cahaya rembulan menyorot masuk dari jendela, sehingga setiap orang akan merasa betapa elok dan permai, betapa senang dan bahagia serta tenteramnya. Kerlingan matanya pun selembut cahaya rembulan, tapi begitu dia melihat jarum di tangan Pho Angsoat, sorot matanya seketika berubah tajam bersinar.

“Bahwa kau bisa menemukan jarum itu pasti kau tahu asalusulnya,” suaranya berubah tajam tegas, “itu kan Am-gi tunggal keluarga Tong di Sujwan, orang tua yang mati di luar itu adalah satu-satunya sampah persilatan dari keluarga Tong, bernama Tong In, dia pernah kemari, tempat ini tidak terlarang dan tidak pernah dijaga ketat, kamar bawah tanah dimana arak ini disimpan juga tidak pernah dikunci.”

Bahwasanya sikap Pho Ang-soat seperti tidak mendengar uraiannya, dia hanya memandangnya kosong, mendelong seperti orang linglung, wajah yang semula pucat mendadak berubah merah, dengus napasnya juga bertambah berat dan sesak, air hujan di mukanya baru saja kering, kini mukanya basah pula oleh keringat dingin.

Waktu Bing-gwat-sim mengangkat kepala, baru dia menemukan perubahan ganjil di wajah Pho Ang-soat, serunya gugup, “Apa kau juga keracunan?”

Kedua tangan Pho Ang-soat saling cengkeram, tapi tak bertahan masih juga tubuhnya menggigil, mendadak dia membalik tubuh terus menerobos keluar jendela.

Nona cilik terbelalak kaget mengawasi bayangan orang lenyap di luar, katanya sambil mengerut alis, “Agaknya orang ini tidak normal.”

“Ya,” ucap Bing-gwat-sim. “Penyakitnya memang sudah parah.”

“Penyakit apa?”

“Sakit di hati.”

Berkedip mata si nona cilik, “Bagaimana mungkin sakit bisa di hati?”

Bing-gwat-sim diam cukup lama, lalu menghela napas, “Karena dia pun seorang yang selalu dirundung kesedihan.”

Hujan ritik-rintik, angin bertiup kencang.

Di sini tiada lampu, diliputi kegelapan, bagai berada di tegalan belukar.

Pho Ang-soat sudah terjungkal jatuh ke selokan di pinggir jalan, tubuhnya meringkuk dan berkelejetan, mulutnya muntah-muntah. Kemungkinan tiada isi perut yang ditumpahkannya, dia hanya ingin menumpahkan rasa sedih, rasa kecut dan penderitaan batinnya.

Pho Ang-soat memang sakit. Bagi Ang-soat, bukan saja penyakit merupakan derita yang tak mungkin dihindarkan, juga merupakan ciri yang memalukan, setiap kali amarah dan deritanya memuncak tak tertahankan, penyakitnya itu lantas saja kumat, maka dia harus menyembunyikan diri, seorang diri bersembunyi di tempat yang tidak diketahui orang, dengan cara yang paling sadis menyiksa diri sendiri. Karena dia membenci dirinya sendiri, membenci kenapa dirinya bisa dihinggapi penyakit seperti ini?

Hujan masih turun, tetesan air hujan seperti cambuk yang melecut tubuhnya, hatinya sedang berdarah, tangannya pun berdarah, kedua tangannya mencengkeram bumi, dengan kencang dia mencomot tanah, tanah yang berlumur darah itu dia jejalkan ke dalam mulut. Dia kuatir dalam keadaan penyakit kumat ini, dirinya akan mengerang, merintih dan berteriak seperti binatang yang sekarat. Dia lebih suka mengucurkan darah daripada keadaannya yang memalukan ini terlihat orang lain.

Tapi gang sempit yang jorok dan gelap ini sekarang justru telah dikunjungi orang.

Bayangan semampai dengan langkah gemulai, seorang tengah menghampiri pelan-pelan dan langsung berhenti di depannya. Dia tidak melihat orangnya, hanya melihat sepasang kakinya.

Sepasang kaki yang mulus, mengenakan sepatu sulam yang lemas, serasi dengan warna pakaiannya. Warna pakaiannya ternyata kalem dan muda, semuda cahaya rembulan yang cemerlang.

Dari tenggorokan Pho Ang-soat mendadak mengeluarkan raungan rendah seperti binatang buas, bagai seekor harimau yang perutnya disembelih. Dia lebih suka orang-orang di dunia ini memergoki keadaannya yang menderita dan memalukan ini, tapi jangan orang yang satu ini.

Sekuatnya dia meronta dan melompat, sayang sekujur badannya hanya bisa mengejang, tulang seperti dicopot dari ruasnya, tenaga pun susah dikerahkan.

Terdengar si dia menghela napas, perlahan ia membungkuk badan.

Pho Ang-soat mendengar helaan napasnya, terasa jari-jari halus nan dingin mengelus mukanya, lalu mendadak dia kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan, seluruh derita yang dialami seperti bebas meninggalkan badan kasarnya.

Waktu dia siuman, dirinya sudah berada di atas loteng pula. Si dia duduk di ujung ranjang sedang mengawasi, pakaiannya selembut cahaya bulan, sementara matanya gemerlapan laksana bintang kejora. Melihat sepasang mata ini, dari relung hatinya yang paling dalam segera bergema suatu perasaan ganjil, bagai getaran senar harpa yang dipetik terus tanpa berhenti.

Si dia tampak dingin, katanya tawar, “Apa pun tak usah kau katakan, aku membawa dirimu pulang karena aku ingin menolong Yan Lam-hwi, dia keracunan, keadaannya amat parah.”

Pho Ang-soat memejamkan mata, entah untuk menghindari tatapan matanya atau karena tidak ingin melihat derita hatinya dari sorot matanya sendiri.

Bing-gwat-sim berkata, “Aku tahu di kalangan Kangouw, paling hanya tiga orang yang dapat menawarkan racun keluarga Tong dan kau adalah satu di antaranya.”

Pho Ang-soat tidak memberikan reaksi, tapi mendadak dia berdiri, berdiri ke arah jendela dan membelakangi si dia. Pakaian yang dikenakan tetap pakaiannya yang dulu, golok masih berada di tangan, kedua hal ini jelas menenteramkan hatinya, maka kali ini dia tidak lagi menerobos jendela, namun hanya bertanya dingin, “Dimana dia?”

“Masih di sini, di kamar sebelah.”

“Aku akan ke sana, kau tunggu di sini.”

Bing-gwat-sim berdiri di sana, mengawasi dia yang pelanpelan masuk ke dalam, melihat gayanya berjalan, sorot matanya seketika mengalirkan perasaan sedih, pilu serta derita yang tak bisa dijelaskan.

Lama sekali baru terdengar suaranya berkata dari balik kerai, “Obat penawar di atas meja.” Suaranya kaku dingin, sambungnya, “Keadaannya sudah tidak menguatirkan, tiga hari lagi pasti siuman, tujuh hari kemudian sudah sembuh seluruhnya.”

“Sekarang kau belum boleh pergi.”

Bing-gwat-sim bicara cepat, seperti tahu bahwa dia hendak pergi.

“Umpama kau tidak ingin melihatnya lagi, betapapun sekarang janganlah kau pergi?”

“Aku menyelami keadaanmu, aku dapat merasakan dukalara masa lalumu, orang yang membuatmu sedih pasti berwajah seperti diriku,” suara Bing-gwat-sim tegas dan mantap, “tapi kau harus maklum, dia tetap dia, bukan aku, juga bukan orang lain. Karena itu kau tidak boleh menyingkir, lari dari kenyataan ini, kepada siapa pun kau tidak perlu menyingkir.”

Angin masih menghembus, kerai juga tertiup berderai, ternyata dia belum pergi, Bing-gwat-sim mendengar helaan napasnya, segera dia berkata pula, “Jika kau ingin dia hidup setahun lagi, maka kau harus melakukan dua hal.”

“Dua hal apa?” akhirnya Pho Ang-soat bersuara.

“Dalam tujuh hari ini kau tidak boleh pergi,” Bing-gwat-sim mengedipkan mata, lalu melanjutkan, “tengah hari nanti, kau harus menemani aku berjalan-jalan, akan kutunjukkan beberapa orang kepadamu.”

“Siapakah mereka?”

“Orang-orang yang tidak akan memberi kesempatan hidup kepada Yan Lam-hwi.”

ooooOOoooo

Lohor.

Sebuah kereta berhenti di sebuah pintu kecil di belakang kebun, kerai diturunkan rendah hingga penumpang tidak kelihatan dari luar. “Kenapa harus naik kereta?”

“Karena kuingin kau dapat melihat mereka, tapi mereka tidak dapat melihat engkau,” Bing-gwat-sin mendadak tertawa.

“Aku tahu kau pun tidak ingin melihatku, karena itu aku sudah siap mengenakan kedok.”

Topeng yang dipakainya berbentuk Mi-to-hud yang sedang tertawa, pipinya gemuk, bibirnya tebal, begitu mungil laksana orok kecil, padahal perawakannya ramping semampai serta menggiurkan, jadi kelihatannya agak ganjil dan lucu.

Jangankan melihat, melirik pun Pho Ang-soat tidak, jari-jari tangannya yang pucat dengan otot hijau merongkol menghias punggung tangannya yang menggenggam kencang golok hitamnya.

Dalam pandangan Pho Ang-soat, di dunia ini seakan-akan tiada sesuatu persoalan yang patut membuatnya tertawa.
Sepasang mata Bing-gwat-sim justru tengah menatapnya dari balik kedok jenaka itu, tanyanya tiba-tiba, “Apakah kau tidak ingin tahu siapa orang pertama yang ingin kutunjukkan kepadamu?”

Pho Ang-soat tidak menjawab.

“Dia bernama Toh Lui, It-to-tang-hong-lui Toh Lui.”

Pho Ang-soat tetap tidak memberi reaksi.

Bing-gwat-sim menghela napas, katanya pula, “Agaknya sudah lama kau meninggalkan percaturan dunia persilatan, ternyata Toh Lui yang sekali menggerakkan golok mengguncang angin dan geledek juga tidak kau kenal.”

Akhirnya Pho Ang-soat buka suara, “Mengapa aku harus tahu?”

“Karena dia termasuk salah seorang dalam daftar.”

“Daftar apa?”

“Daftar nama-nama orang terkenal kaum persilatan.” Semakin pucat muka Pho Ang-soat.

Dia tahu, siapa pun bila dia sudah angkat nama di kalangan Kangouw, maka dia tidak akan mau tunduk kepada orang lain.

Dahulu waktu Pek-hiau-sing membuat daftar senjata, menilai dan menimbang jago-jago kosen seluruh jagat, meski daftar nama yang tercantum di dalamnya cukup adil dan obyektif, toh masih juga menimbulkan huru-hara yang cukup gawat bagi dunia persilatan, belakangan ada orang menuduh dia sengaja ingin menimbulkan onar sehingga kaum persilatan saling bunuh. Sekarang entah darimana asal mulanya, tahutahu ada pula daftar nama tokoh terkenal dunia persilatan? Apakah tidak mempunyai maksud tertentu?

Bing-gwat-sim memberi uraian, “Konon daftar nama itu adalah buah karya Kongcu Gi sendiri, di dalam daftar hanya tercantum tiga belas nama orang.”

Mendadak Pho Ang-soat tertawa dingin, jengeknya, “Namanya sendiri tentu juga tercantum di dalam daftar itu.”

“Dugaanmu memang benar.”

Jelalatan sinar mata Pho Ang-soat, tanyanya, “Yap Kay? Apakah juga tercantum?”

“Nama Yap kay justru tidak tercantum, mungkin karena sudah lama dia meninggalkan dunia Kangouw, sebagai orang di luar garis percaturan.”

Pho Ang-soat diam, sorot matanya seperti mendadak sudah berada di tempat jauh.

“Aku tahu Yap Kay adalah kawanmu satu-satunya, apakah kau pun tidak pernah mendapat kabar beritanya?”

Sorot mata Pho Ang-soat mendadak berubah kaku dingin dan tajam, suaranya mendesis, “Aku tidak punya kawan, satu pun tidak punya.”
Bing-gwat-sim menghela napas panjang, segera dia alihkan pembicaraan, “Kenapa kau tidak bertanya padaku, apakah namamu juga tercantum di dalam daftar itu?”

Pho Ang-soat tidak bertanya, karena dia tahu bahwasanya tidak perlu dia bertanya.

“Mungkin kau memang tidak usah bertanya, dalam daftar itu memang ada namamu. Nama Yan Lam-hwi juga tercantum di dalamnya,” seperti memikirkan sesuatu, lalu dia meneruskan, “Di dalam daftar memang sudah diberi catatan bahwa urutan nama itu tidak ditentukan tinggi rendah atau besar kecil nama seseorang, namun di atas secarik kertas terdaftar tiga belas nama orang betapapun harus diberi nomor urut.”

Akhirnya Pho Ang-soat bertanya, “Nama siapa yang tercantum paling atas?”

“Yan Lam-hwi.”

Gemetar tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok, namun lambat-laun mengendor pula.

“Kenapa selama dia berkelana di Kangouw selalu tidak pernah aman, selalu menghadapi bahaya, sekarang tentu kau sudah maklum sebabnya.”

Pho Ang-soat tidak bersuara.

Kereta sudah berhenti, berhenti di seberang sebuah gedung berloteng, Hwe-ping-lau itu tingginya ada puluhan tombak.

“Aku tahu setiap hari Toh Lui makan siang di sini, setelah makan, cukup lama dia berdiam di atas loteng, kira-kira pada saat seperti ini baru akan pulang,” Bing-gwat-sim menerangkan, “menu yang dimakan setiap hari terdiri empat macam hidangan, dua mangkuk nasi dan sepoci arak, jenis keempat hidangan itupun tidak pernah berubah.”

Wajah pucat Pho Ang-soat kelihatan tetap tidak menunjukkan perasaan, namun kedua matanya sudah mulai memicing. Dia tahu kali ini dirinya bakal berhadapan dengan seorang lawan yang amat menakutkan.

Jago dalam dunia persilatan memang tidak terhitung banyaknya, namun yang terdaftar justru hanya tiga belas orang, maka dapatlah dibayangkan bahwa tiga belas orang itu pasti adalah tokoh-tokoh yang menakutkan.

Bing-gwat-sim sedikit menyingkap kerai mengintip keluar, katanya mendadak, “Nah, itu dia keluar.”

Mentari tepat bercokol di tengah angkasa.

Waktu Toh Lui beranjak keluar dari Hwe-ping-lau, bayangan tubuhnya kebetulan terinjak di bawah telapak kaki sendiri. Kakinya memakai sepasang sepatu beludru, selop tinggi beralas karet yang lunak, harga sepatu ini delapan belas tahil, baru kemarin dibelinya.

Setiap kali dia memakai sepatu barunya menginjak bayangan sendiri, selalu timbul gejolak perasaan aneh di dalam sanubarinya, ingin dia mencopot sepatunya, mencopot seluruh pakaian yang dipakainya hingga telanjang bulat, lalu berlari di jalanan sambil berteriak-teriak, Namun jelas dia tidak akan berbuat demikian, karena sekarang dia sudah menjadi orang ternama, seorang yang terkenal, setiap persoalan yang dikerjakan pasti beres, tepat dan adil. Dimana pun dia berada, berapa lama dia akan di sana, setiap hari dia pasti menggunakan waktu yang sama untuk makan minum, dan yang dimakan adalah menu yang itu-itu juga.

Ada kalanya dia sendiri merasa hampir gila karena kebiasaannya itu, namun dia tetap bandel, tidak mau merubah kebiasaan ini, karena dia ingin dan mengharap orang lain menganggap dirinya punya disiplin keras dan hidup terpimpin, dia tahu manusia umumnya akan menaruh hormat terhadap orang sejenis ini. Dan itulah hal yang paling menggembirakan dan dianggapnya sebagai suatu kenikmatan.

Setelah mengalami gemblengan tujuh belas tahun, perjuangan lima tahun, empat puluh tiga pertarungan besar kecil, jerih-payahnya agaknya tidak mengecewakan, dan apa yang diharapkan memang adalah yang itu pula, maka dia berpedoman supaya diri sendiri percaya, sekarang dia bukan lagi anak miskin yang sepanjang tahun bertelanjang kaki.

Gagang goloknya yang dihiasi mutiara tampak kemilau ditimpa sinar mentari, banyak orang di jalanan menatap tajam ke arah goloknya itu.

Dua pasang mata tersenyum di balik kerai di dalam kereta di seberang jalan juga seperti sedang mengintip golok itu.

Beberapa tahun belakangan ini, dia sudah biasa ditatap dan diawasi orang banyak di tengah jalan, maklum setiap orang ternama harus berani menghadapi kebiasaan ini. Tapi entah mengapa hari ini dia seperti merasa risi dan kikuk, bagai seorang gadis rupawan yang bertelanjang bulat di hadapan banyak orang laki-laki.

Apakah ini lantaran dua pasang mata yang mengintipnya dari dalam kereta hitam di seberang jalan, sudah menembusi rahasia dirinya bahwa hanya kerangka luar badannya saja yang disepuh emas, terbayang pula akan seorang anak miskin yang telanjang kaki.

Sekali tabas membelah kabin kereta itu dan mengorek keluar kedua pasang mata itu. Sebetulnya emosi ini sudah menggelitik hatinya, namun tidak dia lakukan, karena kedatangannya kemari bukan untuk mencari kesulitan. Beberapa tahun belakangan ini dia sudah pandai mengendalikan diri, menahan sabar.

Dia tidak menoleh ke arah seberang, langkahnya menyusuri jalan raya panjang yang diterangi sinar matahari, beranjak ke hotel dimana dia menginap. Setiap langkah kakinya diperhitungkan dan pas satu dengan yang lain, sejengkal pun tidak berbeda. Dia pun mengharap orang lain juga maklum bahwa goloknya juga selalu tepat.

Bing-gwat-sim menurunkan kerai perlahan, lalu menghela napas pula, katanya, “Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?”

Dingin reaksi Pho Ang-soat, “Dalam tiga tahun kalau dia masih hidup, pasti menjadi gila.”

“Sayang, sekarang dia belum gila.”

Kereta itu berhenti pula di seberang It-ping-hiang, sebuah restoran yang amat besar. Umumnya restoran dikunjungi berbagai macam manusia, semakin besar restorannya semakin banyak pengunjungnya.

Bing-gwat-sim menyingkap kerai sedikit supaya Pho Angsoat bisa mengintip cukup lama, lalu dia bertanya, “Apa yang kau lihat?”

“Manusia,” sahut Pho Ang-soat pendek.

“Berapa?”

“Tujuh orang.”

Sekarang adalah saatnya restoran itu paling ramai, waktunya makan siang, ada seratus lebih tamu yang sedang gegares di dalam restoran besar ini, kenapa dia hanya bilang melihat tujuh orang?

Ternyata Bing-gwat-sim tidak menyatakan heran, sorot matanya malah memancarkan rasa kagum, tanyanya pula, “Tujuh orang yang mana yang kau lihat?”

Tujuh orang yang dilihat Pho Ang-soat adalah dua orang yang sedang main catur, seorang makan kacang kulit, seorang Hwesio, seorang burikan, seorang nona yang menjual suara nyanyian, satu lagi adalah seorang gendut yang mengantuk mendekam di meja. Ketujuh orang ini ada yang duduk di pojok, ada yang duduk di tengah kerumunan orang, tampang mereka juga tiada yang istimewa, kenapa orang lain tidak memperhatikan, justru yang dia lihat hanya ketujuh orang ini?

Bukan saja tidak merasa heran sikap, Bing-gwat-sim malah kelihatan kagum, katanya dengan menghela napas perlahan, “Aku hanya tahu golokmu cepat, tak nyana pandangan matamu lebih cepat lagi.”

“Sebetulnya asal aku hanya melihat seorang juga sudah cukup/' ujar Pho Ang-soat, memang sekarang dia sedang mengawasi satu orang.

Si gendut yang mendekam ngantuk di meja sekarang sedang menggeliat dan menegakkan badan, lalu menuang secangkir teh untuk kumur, “Crot”, mendadak dia semburkan air teh di mulut ke lantai dan menyemprot basah kaki dan celana satu orang, bergegas dia memburu maju, membungkuk badan membersihkan kaki orang serta munduk-munduk dan tertawa minta maaf.

Seseorang bila badannya terlalu tambun setiap melakukan sesuatu pasti kelihatan agak dungu dan menggelikan, tapi waktu Pho Ang-soat mengawasi si gendut ini, rona matanya justru prihatin, seperti waktu dia mengawasi Toh Lui tadi. Apakah dia berpendapat bahwa si gendut ini juga seorang lawan tangguh yang menakutkan?

“Kau kenal orang ini?” tanya Bing-gwat-sim.

Pho Ang-soat menggeleng kepala.

“Tapi kau justru memperhatikan dia.”

Pho Ang-soat mengangguk.

“Kau sudah melihat sesuatu yang istimewa pada dirinya?”

Lama Pho Ang-soat tidak bersuara, lalu sepatah demi sepatah dia berkata, “Orang ini membawa hawa membunuh.”

“Hawa membunuh?” Bing-gwat-sim menegas.

Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, katanya, “Hanya seorang kosen yang pernah membunuh orang tak terhitung banyaknya, pada tubuhnya baru akan timbul hawa membunuh.”
“Tapi kelihatannya dia tidak lebih hanya seorang gendut yang lamban, si gendut yang dungu.”

“Itu hanya sebagai tabir untuk menutupi keaslian dirinya, bagai sarung pedang atau golok itulah.”

“Agaknya matamu lebih tajam dari golokmu,” Bing-gwat-sim menghela napas. Agaknya dia kenal baik orang ini, malah tahu asal-usulnya.

“Siapakah dia?” Pho Ang-soat bertanya

“Dia itu Bok-cay (ibu jari).”

“Ibu jari?”

“Tahukah kau belakangan ini di kalangan Kangouw muncul suatu sindikat rahasia yang menakutkan?”

“Apa nama sindikat itu?”

“Hek-jiu (tangan hitam).”

Belum pernah Pho Ang-soat mendengar nama ini, namun dalam pendengarannya terasa adanya suatu tekanan yang tak bisa dilukiskan.

“Sejauh ini belum banyak orang persilatan yang tahu tentang sindikat rahasia itu, karena mereka bekerja di bawah tanah, melakukan pekerjaan yang takut dilihat matahari.”

“Apa tugas kerja sindikat rahasia itu?”

“Merampok, merampas dan pembunuhan gelap.”

Setiap orang mempunyai lima jari tangan, maka sindikat ini dipimpin lima orang. Dan si gendut ini adalah Bok-cay alias Ibu jari, ibu jari dari tangan hitam itu.

Kereta itu bergerak lagi ke depan, kerai pun diturunkan pula.

Mendadak Bing-gwat-sim bertanya, “Pada sebuah tangan, jari manakah yang memiliki tenaga paling besar?”

“Sudah tentu ibu jari.”

“Yang paling lincah jari mana?”

“Jari telunjuk.”

“Dalam sindikat gelap tangan hitam ini, tugas Ibu jari dan Jari telunjuk adalah menjadi pembunuh gelap.”

Yang paling menakutkan pada Ibu jari adalah dia meyakinkan Cap-sah-thay-po, ilmu weduk yang harus dilandasi dengan Thong-cu-kang, kekebalan badan yang tak mungkin bisa diyakinkan orang lain.”

Karena Ibu jari adalah seorang Thay-kam (sida-sida), sejak kecil dia sudah menjadi sida-sida, beberapa jago kosen dalam istana raja pernah mengajar silat kepadanya, ilmunya tinggi dan menakutkan.

Asal-usul jari telunjuk lebih aneh dan luar biasa, konon bukan saja dia pernah menjadi petugas penerima tamu di Siau-lim-si, di dalam Kay-pang dia pernah menggendong enam karung, pernah pula menjadi Sing-tong Tongcu dari Cap-ji-lian-hoan-ou yang dikuasai Hong-bwe-pang di Kanglam. Anak buah mereka merupakan kelompok tersendiri, setiap orang memiliki kepandaian khas yang luar biasa, malah sudah biasa bekerja sama. Karena itu aksi pembunuhan yang mereka lakukan, selamanya tidak pernah gagal.

“Tapi orang yang paling menakutkan di dalam sindikat itu bukan kedua orang ini,” ucap Bing-gwat-sim.

“Siapa?”

“Yaitu Bu-bing-cay (jari tak bernama, jari manis).” Bu-bingcay memang adalah jari yang tak berguna, jari yang lamban dan goblok di tangan manusia.

“Kenapa Bu-bing-cay menakutkan?”

“Karena dia tidak bernama.”

Pho Ang-soat manggut-manggut, hal ini memang betul.

Jago Bu-Iim yang memiliki kepandaian hebat pasti menyimpan kungfu khas yang menakutkan, akan tetapi ada sementara orang yang tidak punya nama ada kalanya justru lebih menakutkan. Karena biasanya kau menunggu setelah goloknya menusuk jantungmu, baru kau sadar akan kelihaiannya, tahu betapa dia menakutkan.

Bing-gwat-sim berkata, “Tiada orang dalam dunia persilatan yang tahu siapa sebenarnya Jari tak bernama itu, tiada seorang pun yang pernah melihatnya.”

“Dan kau pun tidak tahu?”

“Mungkin setelah goloknya menusuk hulu hatiku baru aku tahu siapa dia.”

Bing-gwat-sim tertawa getir.

Lama Pho Ang-soat berdiam pula, lalu bertanya, “Sekarang kau hendak membawa aku melihat siapa pula?”

Bing-gwat-sim tidak langsung menjawab pertanyaan ini, katanya, “Kota kecil ini sebetulnya bukan tempat yang ramai, tapi beberapa hari belakangan ini mendadak berdatangan orang-orang asing dari kaum persilatan, terhadap tamu-tamu yang tidak diundang ini dia tidak merasa asing lagi, karena dia
sudah mencari tahu asal-usul serta latar belakang mereka.”

Ternyata Pho Ang-soat juga tidak kaget atau heran. Sejak bertemu pertama kali Pho Ang-soat sudah merasakan perempuan yang satu ini kelihatannya tidak seperti gayanya yang lemah lembut dan sederhana. Pada kedua tangannya yang terpelihara baik itu, jelas menggenggam suatu kekuatan besar dari yang pernah dibayangkan oleh siapa pun.

Bing-gwat-sim berkata, “Boleh dikata aku sudah mencari tahu sejelasnya tentang asal-usul kedua orang itu, hanya satu orang terkecuali.”

“Siapa?”

Bing-gwat-sim belum bersuara, mendadak kuda kekar penarik kereta meringkik dan berjingkrak kaget seraya melompat berdiri dengan kaki belakang, keruan kereta tertarik miring hampir terbalik.

Sebat sekali Bing-gwat-sim sudah berada di luar kereta, dilihatnya seorang laki-laki setengah umur berpakaian hijau celana putih jatuh di bawah kaki kuda. Bila kaki depan kuda yang berjingkrak berdiri ini menginjak turun, umpama dia tidak mati juga pasti terluka parah. Kejap lain kaki kuda itu jelas sudah hampir menginjak, bukan saja Bing-gwat-sim tidak berusaha menolong, ternyata bergerak dari tempatnya pun tidak. Matanya mengawasi Pho Ang-soat, ternyata Pho Angsoat sudah berada di atas kereta, mukanya yang pucat tidak memperlihatkan perasaan hatinya, ternyata sikapnya tidak menunjukkan bahwa dia bermaksud turun tangan menolong orang yang rebah miring memeluk lutut itu.

Orang-orang di pinggir jalan menjerit ngeri, akhirnya kaki kuda itu anjlok ke bawah, lelaki yang jatuh di bawah kaki kuda jelas meringkal memeluk lutut, siapa pun melihat dengan jelas, tapi kenyataan dia tidak terinjak oleh sang kuda. Ketika sang kusir berhasil menenteramkan kuda itu, baru pelan-pelan dia merangkak bangun, napasnya nampak tersengal.

Walau wajahnya berubah karena ketakutan, namun kelihatannya tetap biasa saja. Memang dia seorang yang biasa, seorang sederhana, tiada tanda-tanda istimewa yang melekat pada tubuhnya.

Tapi waktu Pho Ang-soat mengawasinya, tatapan matanya kelihatan dingin dan sadis. Dia pernah melihat orang ini, orang yang kaki dan celananya disembur air teh si gendut alias si Ibu jari bukan lain adalah lelaki ini.

Tiba-tiba Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Agaknya nasibmu hari ini kurang baik, tadi celanamu dibuat basah, sekarang jatuh di jalan raya lagi hingga badan kotor berdebu.”

Orang itu juga tertawa tawar, katanya, “Hari ini nasibku memang jelek, tapi yang bernasib lebih jelek dari aku entah masih berapa banyak? Hari ini aku sial, besok entah berapa banyak pula orang yang akan lebih sial dari aku, begitulah kehidupan umat manusia, kenapa nona menganggap persoalan ini begitu serius?”

ooooOOoooo

Bab 5. Burung Merak

Kuda tidak melukai orang, kereta itupun tidak terbalik.

Laki-laki yang berdandan secara umum inipun lekas sekali telah lenyap di kerumunan orang banyak, bagaikan buih yang lenyap di tengah samudra, yang jelas orang lain tidak akan menaruh perhatian padanya.

Pelan-pelan Pho Ang-soat mengangkat kepala, Bing-gwatsim sedang tersenyum sambil mengawasi, senyum yang aneh tapi juga manis. Namun dia justru seperti dipecut rubuhnya, mendadak dia putar tubuh masuk kembali ke dalam kabin kereta.

Bukan saja Bing-gwat-sim sudah melihat jelas rasa kaget dan deritanya, dia pun merasakan betapa duka-lara yang tak tersembuhkan di dalam relung hatinya. Kenangan lama yang sudah lanjut terbawa masa, sudah buyar laksana segumpal asap di tengah udara, kenapa sekarang kembali muncul di hadapannya?
Tanpa sadar Bing-gwat-sim mengangkat tangan mengelus muka sendiri.

Topeng jenaka yang dipakainya itu sudah dia tanggalkan waktu melompat keluar dari kereta, sehingga untuk kedua kalinya dia melihat wajah aslinya.

Mendadak Bing-gwat-sim merasa benci terhadap diri sendiri, kenapa wajahnya mirip perempuan itu? Kenapa memberi penderitaan sedalam itu kepadanya? Sesama manusia kenapa sering terjadi harus saling menyalahkan dan saling melukai, semakin besar rasa cinta, semakin besar pula luka yang dideritanya.

Waktu ujung jarinya mengucek pelupuk matanya, baru dia sadar bahwa air matanya telah berlinang. Untuk siapa? Untuk umat manusia yang dungu? Atau untuk pria asing yang sebatangkara ini? Diam-diam dia mengusap air mata, waktu dia masuk ke dalam kabin kereta pula, topeng itu sudah dipakainya lagi, dalam hati dia mengharap dirinya selalu bisa tersenyum ramah dan jenaka seperti topeng gendut ini, bisa melupakan duka-lara dan penderitaan di dunia ini, meski itu bisa diperolehnya hanya sekejap.

Sayang manusia tetap manusia, bukan malaikat atau dewa, umpama malaikat dan dewa, mungkin juga memiliki penderitaan mereka sendiri, bahwa mereka tertawa lebar, bukan mustahil hanya sengaja ditunjukkan kepada umat manusia, demikian dia menghibur diri dalam hati.

Muka Pho Ang-soat yang pucat masih kelihatan berkerutmerut, tubuhnya juga kelihatan bergerak, sekuatnya Binggwat-sim menekan rasa sakit hatinya, mendadak dia berkata, “Orang yang satu tadi, tentu kau pun sudah melihatnya.”

“Sudah tentu kulihat.”

Bing-gwat-sim berkata, “Tapi kau tidak memperhatikan dia karena dia juga orang awam ...”

Orang biasa seperti buih di permukaan air, bagai sebutir gabah di dalam beras, siapa pun jarang memperhatikan dia. Tapi bila air sudah masuk ke tenggorokan, mendadak kau akan sadar, buih itu sudah berubah menjadi jari hitam, dari tenggorokan menusuk ke dalam jantungmu.

Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, “Karena itu aku selalu beranggapan orang semacam ini paling menakutkan, jikalau tadi dia sendiri memperlihatkan belangnya, mungkin sampai sekarang kau tetap tidak akan memperhatikan dia.”

Pho Ang-soat mengakui hal ini, tapi kenapa orang itu sengaja berbuat demikian?

Bing-gwat-sim berkata, “Karena dia hendak mencari tahu jejak kita.”

Ibu jari tentu sudah tahu adanya kereta yang berhenti di seberang jalan dan sedang mengawasi gerak-geriknya, maka dia sengaja menyembur basah kakinya, dengan tertawa serta munduk-munduk membersihkan kaki orang, saat itulah dia memberi kisikan kepadanya. Bahwa lelaki yang basah kakinya ini sengaja jatuh di bawah kaki kuda, karena dia juga tahu hanya dengan berbuat demikian baru bisa memaksa penumpang di kabin kereta keluar.

Bing-gwat-sim tertawa getir, katanya, “Sekarang kita belum tahu asal-usulnya, dia malah sudah bisa melihat kita, dalam waktu satu jam tentu dia sudah berhasil menemukan tempat Yan Lam-hwi.”
Pho Ang-soat bertanya mendadak, “Tangan hitam juga bermusuhan dengan Yan Lam-hwi?”

“Tidak,” sahut Bing-gwat-sim, “mereka tidak pernah membunuh orang lantaran permusuhan atau dendam pribadi.”

“Lalu untuk apa mereka membunuh orang?”

“Perintah,” pendek jawaban Bing-gwat-sim. Begitu perintah tiba, mereka segera membunuh, siapa pun mereka bunuh.

“Jadi mereka juga mendengar perintah orang?”

“Hanya mendengar perintah seorang.”

“Perintah siapa?”

“Perintah Kongcu Gi.”

Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat.

“Kalau hanya lima orang anggota tangan hitam, belum cukup mampu membentuk kekuatan mereka dalam satu organisasi besar.”

Mereka boleh dikata sudah menjaring seluruh pembunuh bayaran dan manusia-manusia durjana, demikian pula Ngoheng-siang-sat dan Kwi-gwa-po jelas masuk dalam anggota organisasi itu. Padahal penghasilan mereka pribadi sudah teramat tinggi, untuk menjaring atau menggaruk mereka jelas tidak mudah.

“Di kolong langit ini, hanya ada satu orang saja yang menggenggam kekuatan besar ini,” Bing-gwat-sim mendesis lirih.

“Kongcu Gi maksudmu?” Pho Ang-soat menegas.

“Ya, hanya dia seorang.”

Pho Ang-soat mengawasi jari-jari tangan sendiri yang menggenggam gagang golok, pelupuk matanya memicing dan mulai kedutan pula.

Bing-gwat-sim juga berdiam diri, agak lama kemudian baru bersuara lagi, “Membunuh untuk mencegah pembunuhan, tadi seharusnya kau sudah membunuh orang itu.”

Pho Ang-soat tertawa dingin.

“Aku tahu selamanya kau tidak sembarangan mencabut golokmu, tapi orang yang satu ini cukup setimpal untuk kau mencabut senjata.”

“Jadi kau beranggapan bahwa dia itulah Bu-bing-cay?”

Perlahan Bing-gwat-sim mengangguk, katanya, “Aku malah curiga bahwa dia itu si Merak.”

“Merak?”

“Merak adalah sejenis burung, burung yang elok dan cantik, terutama bulunya…”

“Tapi merak yang kau maksud justru bukan burung.”

“Ya, yang kumaksud memang bukan burung, tapi manusia, seorang yang menakutkan,” pelupuk matanya ternyata juga kedutan, suaranya makin perlahan, mengandung perasaan ngeri, “Malah aku berpendapat bahwa dia orang yang paling menakutkan di jagat ini.”

“Kenapa?”

“Karena dia memiliki Bulu merak.”

Bulu merak.

Waktu mengucap kedua kata ini, sorot matanya mendadak menampilkan rasa hormat, takut dan juga ngeri.

Rona muka Pho Ang-soat ternyata juga berubah.

Merak memang punya bulu, seperti kambing punya tanduk, bukan saja berharga juga kelihatan indah. Tapi Bulu merak yang dibicarakan di sini bukan bulu merak seekor burung, bukan bulu benar-benar bulu, tapi Bulu merak yang dimaksud di sini adalah sejenis Am-gi, senjata rahasia yang indah tapi juga amat misterius, senjata rahasia yang mengerikan.

Tiada orang yang bisa melukiskan keindahannya, juga tiada seorang pun di jagat ini yang dapat meluputkan diri dari serangan Am-gi ini, menangkis pun tidak.

Di kala Am-gi itu disambitkan, keindahannya yang semarak dan cemerlang begitu misterius, bukan saja dapat membuat orang terpesona, pusing dan pandangan kabur, malah bisa membuat orang lupa takut akan kematian yang mengancam jiwanya.

Konon setiap korban yang mati oleh Am-gi ini wajahnya tentu menampilkan senyuman lucu yang misterius, sehingga banyak orang berpendapat bahwa dia suka rela mati oleh Amgi itu. Umpama orang-orang kebanyakan, meski tahu kembang mawar itu ada durinya, tapi justru memetiknya. Karena keindahan yang semarak itu, jelas tak mungkin dilawan oleh kekuatan manusia lumrah.

“Tentu kau juga tahu Bulu merak itu.”

“Ya, aku tahu.”

“Tapi kau pasti tidak tahu, bahwa Bulu merak sekarang sudah tidak berada di Khong-jiok-san-ceng (perkampungan merak).”

Biasanya jarang Pho Ang-soat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya, hatinya seperti beku, kapan dia pernah goyah keteguhan imannya, namun waktu dia mendengar berita ini, jelas kelihatan dia agak kaget. Bukan saja dia tahu Bulu merak, malah dia pun pernah berkunjung ke perkampungan merak itu.

Perasaan hatinya waktu itu, seperti seorang umat saleh berada di tempat suci.

Waktu itu permulaan musim rontok, suatu malam di musim rontok.

Selama hidup belum pernah dia lihat perkampungan megah, angker dan seindah itu. Meski dironai tabir malam, namun keindahan perkampungan merak itu sungguh menyerupai istana dewa di dalam dongeng.

“Di sini ada sembilan lapis pekarangan atau taman, di antaranya sudah dibangun sejak tiga ratus tiga puluh tahun yang lalu, mengalami beberapa generasi, baru tempat ini kelihatan bentuknya seperti sekarang.”

Orang yang menerima kedatangannya adalah adik kandung Khong-jiok-san-ceng Cengcu yang paling kecil, Jiu Cui-jing. Jiu Cui-jing adalah seorang yang pandai menyimpan rahasia setiap kali berbicara. Yang benar bukan saja tempat ini teramat megah, besar dan jaya, bahwa perkampungan ini bisa berdiri juga sudah merupakan keajaiban. Memang suatu keajaiban, karena setelah mengalami beberapa kali perang, tempat ini tetap aman sentosa, tidak pernah terlanda oleh api peperangan.

Dinding kaca yang terletak di pekarangan paling belakang tampak mengkilap, di atasnya tergantung dua belas lampion warna-warni, cahaya lampion yang terang-temaram menyinari sebuah gambar lukisan raksasa di atas kaca itu. Puluhan lelaki berwajah bengis dan buas, bergaman aneka ragam senjata, sorot mata mereka tampak kaget, bingung dan ketakutan, karena seorang pemuda pelajar berwajah putih memegang sebuah bumbung kuning emas, dari bumbung emas inilah memancar cahaya cemerlang laksana pelangi yang berwarna-warni. Warna yang lebih semarak, lebih indah dari lembayung.

“Sudah lama berselang peristiwa ini terjadi, waktu itu dalam golongan hitam terdapat tiga puluh enam manusia durjana, untuk menghancurkan tempat ini, mereka berserikat dan berkomplot menyerbu dengan kekuatan gabungan mereka yang besar, konon bila tiga puluh enam orang ini bergabung, jarang ada musuh yang mampu melawan mereka. Akan tetapi, tiada satu pun dari ketiga puluh enam orang itu yang bisa pergi dari sini, semuanya tertumpas. Sejak peristiwa itulah, tiada golongan atau aliran, entah itu organisasi penjahat yang terbesar sekalipun tiada yang berani mengganggu perkampungan merak. Sejak itu adalah Bulu merak menggetarkan dan disegani di kolong langit.”

Sampai sekarang apa yang pernah diuraikan Jiu Cui-jing dahulu, seperti masih terngiang di telinganya. Mimpi pun tidak terpikir olehnya bahwa Bulu merak sekarang sudah tidak berada di perkampungan merak lagi.

“Itulah sebuah rahasia,” ujar Bing-gwat-sim. “Selamanya tiada orang tahu akan rahasia ini di kalangan Kangouw.”

Ternyata Bulu merak lenyap dari tangan majikan generasi ketiga belas keluarga Jiu di puncak Thay-san.

“Sampai sekarang baru rahasia ini mulai diketahui orang luar karena secara mendadak Bulu merak tahu-tahu telah muncul di kalangan Kangouw. Pernah muncul dua kali, dan membunuh dua tokoh yang amat terkenal, pembunuhnya justru bukan anak didik keluarga Jiu maupun warga perkampungan merak.

“Selama Bulu merak masih ada, tiada seorang pun dari kalangan Kangouw yang berani meluruk ke perkampungan merak, kalau tidak, tempat megah ini tentu sudah hancur lebur sejak lama. Perkampungan merak sudah berdiri sejak tiga ratus tahun lebih, dengan bangunannya mencapai delapan puluh li, dengan penghuni lima ratus jiwa lebih, seluruh benda yang ada, baik yang hidup maupun yang mati dalam perkampungan merak ini berdiri dan ditunjang hanya oleh Bulu merak yang kecil dan indah.”

Akan tetapi Bulu merak itu sudah terjatuh ke tangan seorang yang tidak dikenal asal-usulnya. Maka Pho Ang-soat bertanya, “Jadi orang itu adalah Merak.”

“Benar.”

Badak dibunuh karena orang ingin mengambil culanya, kuburan dibongkar karena pencuri ingin mengeduk harta peninggalan dalam layon, si lemah yang miskin dan sederhana jarang tertimpa bencana, gadis yang molek mukanya, jauh lebih mudah mempertahankan kesucian perawannya. Karena itu hanya mereka yang terlalu biasa, terlalu awam atau orang yang tidak punya nama, baru bisa mempertahankan senjata ampuh macam Bulu merak itu.

'Merak' maklum akan hal ini. Sebetulnya dia bukan manusia jenis ini, seperti juga orang kebanyakan, dia pun mendambakan harta benda, kekayaan dan nama besar.

Sejak peristiwa di malam musim panas dulu, menyaksikan gadis yang dicintainya ditindih dan ternoda kesuciannya oleh seorang yang kaya di atas tanah berumput, dalam hati dia sudah berkeputusan, dia ingin mengejar dan mendapatkan kekayaan dan kebesaran yang selalu diimpi-impikan orang lain. Dan harapannya ternyata tidak sia-sia, barang yang diperolehnya ternyata jauh lebih berharga dari apa yang dia impikan sendiri, dia menemukan Bulu merak. Maka tekadnya berubah, karena dia seorang pintar, dia tidak ingin menjadi badak yang terbunuh dan diambil culanya.

Justru sebaliknya, dia ingin membunuh orang. Setiap kali dia teringat adegan di malam musim panas itu, terbayang betapa gadis itu merintih, meronta dengan napas ngos-ngosan dan keringat yang bercucuran, maka timbul keinginannya membunuh orang.

ooooOOoooo

Hari ini dia tidak membunuh orang, bukan dia tidak punya keinginan, tapi dia tidak berani. Berhadapan dengan orang yang bermuka pucat, sorot matanya yang kaku dingin, entah mengapa hatinya mendadak menjadi jeri dan takut.

Sejak dia memiliki Bulu merak, baru pertama kali dia merasa takut terhadap seseorang. Bukan golok hitam itu yang ditakuti, tapi orang yang memegang golok itu, meski orang ini hanya berdiri diam, namun dia jauh lebih tajam dari golok kebanyakan yang terlolos dari sarungnya.

Melihat tatapan matanya, jantungnya lantas berdetak, hingga dia kembali ke rumahnya, jantung masih kebat-kebit, bukan lantaran tegang atau takut, tapi lantaran bergairah. Sungguh ingin sekali dia mencoba, apakah Bulu merak mampu membunuh orang yang satu ini, akan tetapi dia justru tidak punya keberanian untuk mencobanya.

Itulah rumah sederhana, hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Begitu masuk kamar lantas dia ambruk, ambruk di atas ranjang yang dingin dan keras, rebah di atas ranjang ternyata tidak memberikan ketenangan baginya, mendadak dia menyadari sesuatu benda telah tegak berdiri di selangkangannya.

Dia memang terlalu bergairah, terlalu bernafsu, karena dia ingin membunuh orang, terbayang pula peristiwa di malam musim panas dulu ... keinginan membunuh ternyata mendorong pula napsu birahinya, hal ini dia sendiri pun merasa luar biasa. Dan payahnya, bila napsu ini sudah berkobar, maka dia tidak kuasa membendung atau menahannya.

Dia tidak punya teman perempuan, selamanya dia tidak mau percaya lagi pada orang perempuan, perempuan mana pun pantang mendekati dirinya, dan untuk melampiaskam napsunya ini dia hanya membunuh orang.

Sayang sekali orang yang ingin dia bunuh justru adalah orang yang tidak berani dia bunuh. Sore hari di musim semi, ternyata berubah sepanas musim panas, perlahan dia mengulur tangannya yang sudah berkeringat ... sekarang terpaksa dia menyelesaikan dengan tangan, lalu dia rebah mendekam di atas ranjang, mendadak dia muntah, muntah sambil mengucurkan air mata.

Menjelang senja, namun senja belum tiba.

Seorang mendorong pintu pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara, lalu menyelinap masuk secara diam-diam, perawakannya meski gendut dan lamban, namun gerakgeriknya ternyata seenteng kucing.

Khong-jiok atau Merak masih rebah diam di atas ranjang tanpa bergerak, dingin-dingin saja dia mengawasi orang ini, selama ini dia paling tidak suka kepada si gendut yang dungu ini, apalagi dalam keadaan seperti dirinya sekarang, timbul rasa muak dan benci dalam benaknya, karena orang ini hanyalah seorang sida-sida, laki-laki yang sudah dikebiri 'anu'nya, lelaki tak berguna, lebih tepat kalau dianggap babi.

Akan tetapi babi yang satu ini tak pernah disiksa oleh kobaran nafsu birahi, maka selama hidup dia tidak akan pernah merasakan derita yang mendesak itu. Mengawasi wajah bundar yang tertawa menyengir ini, sungguh hampir tak tertahan ingin dia menggenjot pecah hidungnya.

Tapi dia dipaksa untuk menahan diri, karena babi ini adalah koleganya, karena dia ini Ibu jari.
Ibu jari masih tertawa, langsung mendekati ranjang, katanya, “Aku tahu kau cukup mampu memancing mereka keluar, terbukti kau belum pernah gagal dalam menunaikan tugas.”

Tawar suara Merak, “Kau melihat mereka?”

Ibu jari manggut-manggut, katanya, “Yang perempuan adalah Bing-gwat-sim, yang lelaki ialah Pho Ang-soat.” Pho Ang-soat.

Jari-jari tangan Merak mengepal kencang, dia pernah mendengar nama ini, tahu orangnya, lebih jelas tentang goloknya, golok kilat yang tiada bandingannya di dunia.

Ibu jari berkata, “Bahwa Yan Lam-hwi bisa bertahan hidup sampai sekarang adalah gara-gara Pho Ang-soat, maka

Mendadak Merak berjingkrak berdiri, katanya, “Maka untuk membunuh Yan Lam-hwi, harus membunuh Pho Ang-soat lebih dulu.” Mukanya merah bersemangat, kedua matanya menyala.

Ibu jari menatapnya dengan kaget, selama ini tiada orang yang pernah melihat dia begitu bergairah, begitu emosi. Merak yang tabah, Merak yang tak terkenal, Merak bukan sembarang merak, Merak yang ini mampu membunuh orang.

Ibu jari coba bertanya, “Kau ingin membunuh Pho Angsoat?”

Merak tertawa, katanya, “Selama ini aku suka membunuh orang, Pho Ang-soat kan juga manusia.”
“Tapi dia bukan manusia kebanyakan, untuk membunuhnya bukan suatu hal yang gampang.”

“Aku tahu, maka aku tidak akan turun tangan sendiri.”

“Kalau kau sendiri tidak berani, memangnya siapa yang berani mengusik dia?”

Merak tertawa, katanya, “Aku tidak akan bergerak hanya karena aku ini bukan orang ternama, aku pun tidak ingin terkenal.”

Ibu jari tertawa, tertawa dengan mata memicing, “Kau ingin menyuruh Toh Lui mengadu jiwa dulu dengan dia, lalu kau akan memungut keuntungan dari belakang?”

“Peduli siapa di antara mereka yang mati, aku tidak akan berduka.”

Bing-gwat-sim amat tersiksa. Tersiksa seperti keong yang sudah lama bersembunyi di dalam cangkangnya dan tidak bisa berjemur di bawah sinar matahari.

Topeng yang sekarang dipakainya ini dia beli tahun lalu waktu di kelenteng ada perayaan, bikinannya memang bagus dan halus, tapi jikalau dipakai terlalu lama, mukanya terasa gatal dan kepanasan. Bila kulit muka sudah terasa gatal dan tidak bisa digaruk, maka sekujur badan ikut merasa gatal dan risi. Tapi tiada niatnya menanggalkan topeng itu, sekarang agaknya dia jadi takut bila Pho Ang-soat melihat mukanya.

Waktu mereka beranjak masuk, sinar surya yang sudah mendoyong ke barat tetap menyinari mawar merah di pinggir jendela, mawar yang baru saja tersiram hujan, maka warnanya kelihatan elok dan segar.

Air muka Yan Lam-hwi justru amat pucat bagai kertas. “Yan-kongcu pernah siuman tidak?”

“Tidak,” nona cilik bermata bundar besar itu tetap berjaga di samping Yan Lam-hwi.

“Kau sudah memberi minum obat?”

“Juga tidak,” sahut nona cilik sambil mendekap mulut dan tertawa cekikikan. “Tanpa pesan nona, menyentuh pun aku tidak berani.”

“Kenapa?”

“Karena...” nona cilik cekikikan genit, “karena aku kuatir nona cemburu.”

Bing-gwat-sim melototinya gemas, lalu berpaling serta bertanya kepada Pho Ang-soat, “Apakah sekarang sudah saatnya makan obat?”

Menghadap ke arah jendela, Pho Ang-soat mengangguk perlahan.

Sinar surya yang mendoyong miring menyorot masuk memenuhi kamar, kertas hias di jendela masih baru, demikian pula kayu jendela juga baru saja dicat, hingga mengkilap bersih laksana kaca. Kedua daun jendela terbentang miring kedua arah berlawanan, kertas kaca yang tertempel di atas jendela memetakan gambar kembang mawar yang sedang mekar di sebelah kanan, sementara di kertas kaca sebelah kiri memetakan gambar terbalik yang ada di dalam kamar, bayangan si nona cilik dan Bing-gwat-sim terlihat jelas di dalamnya.

Bing-gwat-sim duduk di pinggir ranjang, tangannya memegang botol kayu yang berisi obat, dituangnya sebutir pil serta dicairkan dengan air putih. Gerak-geriknya kelihatan amat prihatin, seperti takut bila obat itu tumpah dari sendok hingga mengurangi kadar obatnya. Akan tetapi obat yang sudah cair di dalam sendok tidak dia cekokan ke mulut Yan Lam-hwi.

Pho Ang-soat masih berdiri membelakangi mereka, sekilas dia mencuri lirik kepadanya, mendadak obat di dalam sendok itu dia buang ke dalam lengan baju nona cilik, lalu dia purapura memapah Yan Lam-hwi dan mendekatkan sendok kosong itu ke dekat mulutnya.

Apa maksudnya?

Bing-gwat-sim mengundang Pho Ang-soat adalah untuk menolong jiwa Yan Lam-hwi, akan tetapi jiwa yang sekarat siapa pun takkan bisa menyelamatkan.

Pho Ang-soat masih tetap berdiri di tempatnya, diam tidak memberi reaksi. Walau dia tidak menoleh, kejadian di belakangnya juga dapat disaksikan dari bayangan kertas kaca di jendela, namun sedikitpun dia tidak memberi reaksi.

Diam-diam Bing-gwat-sim meliriknya sekali, lalu pelanpelan menurunkan Yan Lam-hwi, gumamnya, “Setelah makan obat sekali ini, bila tidur nyenyak cukup lama kukira besok pagi juga dia sudah siuman.”

Padahal dalam hati dia tahu, Yan Lam-hwi tidak mungkin bisa siuman. Di mulut bicara penuh harap dengan helaan napas rawan, sorot matanya justru seterang sinar rembulan, mimik mukanya seperti mengulum senyum nakal.

Pada saat itulah, seorang mendadak berteriak di luar pintu, “Ada surat untuk Pho-tayhiap.”

Kertas surat dan sampulnya mudah dibeli di toko buku dimana saja asal berani bayar, sebab kertas surat itu dari jenis kertas termahal.

Cekak dan sederhana sekali surat itu, gaya tulisannya juga rajin. “Besok siang, di kebun keluarga Ni, di luar gardu pemandangan, bawalah golokmu, satu orang, satu golok.”

Pho Ang-soat tidak memeriksa tanda tangan penulis surat ini, dia sudah tahu yang menulis pasti adalah seorang yang patuh akan tata tertib dan kebersihan, namun dia juga suka pamer kekayaan dan kepintarannya. Pandangan Pho Angsoat memang tidak meleset.

Bing-gwat-sim menghembuskan napas panjang, katanya, “Aku sudah menduga Toh Lui pasti akan menantangmu, tak nyana begini cepat tantangannya datang.”

Dengan sebelah tangannya yang tidak memegang golok, Pho Ang-soat melempit kertas surat itu, lalu tanyanya, “Kebun keluarga Ni terletak dimana?”

“Tuh, di seberang rumah sana.”

“Bagus sekali.”

“Apanya yang bagus?”

Dingin suara Pho Ang-soat, “Aku ini seorang timpang, sebelum berduel aku tidak ingin menempuh perjalanan jauh.”

“Jadi kau sudah siap menerima tantangannya?”

“Ya, sudah pasti.”
“Pergi sendirian?”

“Satu orang, satu golok.”

Bing-gwat-sim mendadak tertawa dingin, katanya, “Bagus sekali.”

Ucapan yang sukar dimengerti, jengek tawanya juga ganjil, Pho Ang-soat tidak habis mengerti, tapi dia tidak bertanya.

Bing-gwat-sim berkata, “Malam ini kau boleh tidur nyenyak menyegarkan badan, besok pagi setelah sarapan, cukup beberapa langkah kau akan sudah berada di kebun keluarga Ni yang sudah lama telantar itu, masih ada banyak waktu untuk memeriksa dan meneliti setiap jengkal dan keadaan di sana.”

Duel antara dua jago kosen, siapa dapat menguasai situasi dan kondisi, merupakan unsur penting untuk mencapai kemenangan.

“Orang jenis apa Toh Lui itu, kau sudah melihatnya sendiri, dia sebaliknya tidak tahu tentang seluk-beluk dirimu. Bisa tahu kekuatan lawan untuk mengukur kemampuan sendiri, jelas hal ini jauh lebih penting daripada tahu lebih dulu akan situasi dan kondisi arena.

“Maka dalam duel nanti kau sudah menempatkan diri pada posisi yang lebih unggul, tiba waktunya asal kau mencabut golokmu, hanya dua belas orang yang akan tercantum di dalam daftar orang-orang yang ternama. Umpama kau tidak punya kegemaran membunuh orang, tapi peristiwa itu patut dibuat girang.”

Mendadak dia tertawa dingin, suaranya meninggi, “Tetapi bagaimana dengan Yan Lam-hwi? Apa kau tidak memikirkan dirinya?”

Tawar suara Pho Ang-soat, “Orang yang akan berduel kan bukan dia.”

“Tapi orang yang akan mati sudah pasti adalah dia.”

“Ya, pasti.”

“Ibu jari dan Merak sekarang tentu sudah tahu dimana dia berada, bila kau memasuki kebun keluarga Ni, mereka pasti akan menerobos masuk kemari.”

Otot hijau tampak merongkol di punggung tangan Pho Angsoat yang menggenggam gagang golok.

Bing-gwat-sim menatapnya, suaranya sinis, “Mungkin sebelum ini kau pernah menolong jiwanya, akan tetapi kali ini umpama tiada kau di sini, kemungkinan dia malah bisa bertahan hidup lebih lama.”

Otot hijau di punggung tangan Pho Ang-soat tampak lebih mengencang, mendadak dia mengajukan pertanyaan yang semestinya bukan dia yang bertanya, “Apa benar kau memperhatikan dia?”

“Memangnya harus diragukan,” seru Bing-gwat-sim, jawabannya reflek, spontan, tanpa pikir dulu, jawaban yang wajar. Kejadian membuang obat dalam sendok ke dalam lengan baju nona cilik tadi, seolah-olah tidak pernah terjadi atau tiada sangkut-pautnya dengan dia.

Pho Ang-soat tidak melihat mimik mukanya, umpama dia menoleh juga tidak akan melihatnya, karena Bing-gwat-sim masih mengenakan topengnya yang tertawa lebar itu, lalu perempuan macam apakah sebenarnya yang tersembunyi di balik topeng lucu itu?

Agak lama kemudian baru Pho Ang-soat bersuara, “Jadi aku tidak usah pergi.”

“Sudah tentu kau harus pergi!”

“Tapi......”

“Tapi sebelum kau berangkat, kau harus mengantarnya ke suatu tempat yang aman.”

“Tempat mana yang aman?”

“Perkampungan merak.”

Tiada manusia di jagat ini yang mampu meluputkan diri dari serangan Am-gi itu, Am-gi yang memancarkan cahaya cemerlang dan semarak melebihi cahaya pelangi.

Perlahan Pho Ang-soat menghela napas, katanya, “Kau pernah bilang, Bulu merak sekarang sudah tidak berada di perkampungan merak, lalu ada siapa pula di perkampungan itu?”

“Di sana masih ada Jiu Cui-jing,” sahut Bing-gwat-sim. Seorang lelaki besar yang pendiam, namanya yang terkenal cukup disegani orang.

“Walau selamanya dia amat hati-hati dan pandai menyimpan rahasia, tapi yakin dia tidak akan menolak kedatanganmu dan orang yang kau antar ke sana.”

“Ah, masakah begitu?”

“Betul, karena dia banyak berhutang terhadapmu.”

“Hutang apa?”

“Hutang jiwa,” seperti tidak memberi kesempatan kepada Pho Ang-soat bicara, “walaupun jarang engkau menolong orang, tapi kau pernah menolong jiwanya, malah menolongnya dua kali, pertama di pesisir Wu-cui, kedua kali di puncak Thay-san.”

Pho Ang-soat tidak dapat menyangkal karena apa yang diketahui Bing-gwat-sim memang terlalu lengkap.

“Sekarang dia sudah menjadi Cengcu perkampungan merak itu, dia sudah punya kemampuan untuk membalas hutangnya kepadamu.”

“Tapi dia tidak punya Bulu merak.”

Bila Bulu merak tidak ada, bukan mustahil perkampungan merak itupun bakal dihancurkan.

“Banyak orang beranggapan bahwa perkampungan merak bisa berdiri, jaya dan bertahan sampai ratusan tahun adalah karena Bulu merak, hingga sekarang baru banyak orang tahu bahwa Jiu Cui-jing ternyata jauh lebih menakutkan daripada Bulu merak.”

“Alasanmu?”
“Bahwa Bulu merak terjatuh ke tangan orang luar, berita ini sudah tersiar luas di kalangan Kangouw. Tidak sedikit jumlah musuh besar perkampungan merak, selama dua tahun ini, ada enam rombongan musuh yang menyerbu perkampungan merak,” dengan suara kalem dia meneruskan, “enam rombongan seluruhnya berjumlah tujuh puluh sembilan orang, setiap orang memiliki kepandaian khas yang lihai.”

“Bagaimana akhirnya?”

“Tujuh puluh sembilan gembong-gembong silat itu begitu masuk ke perkampungan merak, seperti bata yang tenggelam di lautan, tiada terdengar berita mereka lagi.”

“Rombongan terakhir meluruk ke sana di waktu perayaan Tiong-yang tahun lalu, sejak itu tiada insan persilatan yang berani coba-coba menyerbu lagi ke perkampungan merak itu.”

Pho Ang-sat masih membungkam.

Bing-gwat-sim mengerling ke arahnya, katanya pula, “Letak perkampungan merak itu tidak jauh dari sini, bila naik kereta yang berlari kencang, besok sebelum tengah hari pasti sudah putar balik.”

Pho Ang-soat tidak memberi jawaban tapi juga tidak menentang, lama sekali baru dia berkata, “Tidak takut dicegat mereka di tengah jalan?”

“Insan persilatan yang ada di Kangouw sekarang, siapa yang berani mencegat kau?”

“Sedikitnya ada seorang.”

“Siapa?”

“Merak yang membawa Bulu merak.”

“Dia pasti tidak akan berani turun tangan.”

“Kenapa?”

“Walau Bulu merak adalah Am-gi yang tiada keduanya di kolong langit ini, tapi orang itu bukan tokoh kosen yang tiada bandingannya di dunia, dia takut golokmu lebih cepat dari dia.”

Betapapun lihainya sesuatu Am-gi, bila tidak sempat dilancarkan, apa bedanya dengan barang rongsokan, hal ini memang benar, Pho Ang-soat terkancing mulurnya.

“Kalau kau tidak ingin dia mati di tangan orang lain, maka sekarang juga kau harus membawa kami ke sana.”

Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan, “Aku boleh saja membawa kalian ke sana, tapi ada satu hal ingin aku tanya kau.”

“Silakan bertanya.”

Dingin suara Pho Ang-soat, “Jika kau benar-benar memperhatikan dia, kenapa obat itu kau lemparkan ke dalam lengan baju orang lain?” Tanpa menoleh dia lantas menduga bahwa Bing-gwat-sim tidak akan mampu menjawabnya.

Bing-gwat-sim memang terlongong, dia memang tidak menjawab, juga tidak mau menjawab. Dengan mendelong terpaksa dia mengawasi Pho Ang-soat yang beranjak keluar, meski jalannya lambat, namun tidak berhenti. Bila dia sudah mulai berjalan, pasti tidak akan berhenti.

Sinar surya sudah makin guram seterang sinar rembulan. Sinar mentari yang guram kebetulan menyinari wajah Yan Lam-hwi. Angin menghembus datang dari puncak gunung, membawa bau harumnya kayu dan daun. Dari tempat Binggwat-sim berdiri memandang keluar, pemandangan tampak menghijau permai di alam pegunungan nan jauh di sana, tapi pandangannya sekarang tertuju ke wajah Yan Lam-hwi.

Yan Lam-hwi sudah keracunan parah dan selama ini masih tetap pingsan, tak terduga mendadak membuka kedua matanya, balas menatapnya, ternyata Bing-gwat-sim sedikitpun tidak merasa heran.

Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Sudah kubilang, sejak mula sudah kukatakan, bukan soal mudah untuk menipu dia.”

“Aku tahu memang tidak mudah, tapi aku ingin mencobanya.”

“Sekarang kau sudah mencobanya.”

“Ya, aku sudah mencobanya.”

“Bagaimana pendapatmu?”

Bing-gwat-sim menghela napas, katanya dengan tertawa getir, “Aku hanya merasa untuk menipunya memang bukan soal gampang.”

“Tapi aku justru ingin mencobanya sekali lagi,” demikian ujar Yan Lam-hwi.

Bersinar mata Bing-gwat-sim, mata Yan Lam-hwi juga menyala. Kenapa mereka mau menipu Pho Ang-soat? Apa tujuan mereka?

Mentari sudah hampir tenggelam.

Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya, seolah-olah di mayapada ini hanya tinggal dia seorang yang masih hidup.

Memangnya Pho Ang-soat adalah seorang yang sebatangkara, orang yang suka menyendiri.

Bab 6. Sebelum Duel

Pho Ang-soat.

Usia: Sekitar tiga puluh tujuh tahun.

Ciri: Kaki kanan timpang, golok tak pernah lepas dari tangan.

Kungfu: Tanpa guru atau aliran mana pun, merupakan aliran tersendiri. Gamannya golok, serangannya bagai kilat, di kalangan Kangouw diakui sebagai golok kilat nomor satu.

Riwayat: Kelahiran kurang jelas, sejak dilahirkan diasuh oleh Pek-hong Kongcu dari Mo-kau, maka dia mahir cara membunuh, menggunakan racun dan senjata gelap, sejauh ini masih bujangan, empat penjuru lautan adalah rumahnya, berkelana ke seluruh dunia.

Sifat: Kaku dingin dan nyentrik, malang melintang seorang diri.

Bahan-bahan yang ditulis Toh Lui di atas secarik kertas dia sodorkan ke hadapan Ibu jari, wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan.

“Kau sudah membacanya?” tanya Ibu jari.

“Ehm, sudah,” sahut Toh Lui.

Ibu jari menghela napas, katanya, “Aku tahu, kau tidak akan puas dengan keterangan yang kudapat ini, tapi bahan itu saja yang dapat kami peroleh, maklum tiada seorang lain pun yang bisa tahu lebih banyak dari bahan-bahan yang kami dapatkan ini.”

“Bagus sekali.”

Ibu jari mengedipkan mata, tanyanya memancing, “Berguna tidak bahan-bahan itu untukmu?”

“Tidak.”

“Sedikitpun tidak berguna?”

Toh Lui mengangguk, berdiri lalu mondar-mandir sekejap, lalu duduk pula, katanya dingin, “Masih ada dua hal yang paling penting.”

“Ah, masa betul?” seru Ibu jari.

“Dulu pernah dia tertipu oleh seorang perempuan, sehingga nasibnya begitu mengenaskan.”

“Siapakah perempuan itu?”

“Seorang pelacur bernama Jui Nong,” sahut Toh Lui.

Ibu jari menghela napas, katanya, “Selalu aku merasa heran, kenapa lelaki yang pintar selalu tertipu oleh pelacur?”

Merak tiba-tiba menyela, “Karena lelaki yang pintar hanya menyukai perempuan yang cerdik, perempuan yang cerdik kebanyakan suka jadi pelacur.”

Toh Lui menjengek, “Kukira dia ini pasti pernah tertipu juga oleh pelacur.”

Berubah air muka Merak, namun dia masih bisa tertawa, tanya, “Apa pula hal kedua yang tidak lengkap dalam data itu?”

“Dia mengidap penyakit,” ujar Toh Lui.

“Penyakit apa?”

“Penyakit ayan.”

Bersinar mata Ibu jari, katanya, “Bila penyakitnya itu kumat, apakah dia juga bergelimpangan dan mengejang serta berbuih mulutnya?”

“Ya, penyakit ayan hanya satu macam,” ucap Toh Lui.

Ibu jari menghela napas gegetun, katanya, “Seorang timpang yang berpenyakit ayan ternyata mampu meyakinkan golok kilat yang tiada bandingannya di jagat ini.”

Toh Lui berkata, “Dia pernah menggembleng diri, konon sedikitnya empat jam waktu yang digunakan untuk berlatih golok, sejak berusia lima tahun setiap hari sedikitnya dia mencabut goloknya sebanyak dua belas ribu kali.”

Ibu jari menyengir kuda, katanya, “Sungguh tak nyana kau lebih jelas tentang seluk-beluknya daripada kami.”

Tawar suara Toh Lui, “Setiap tokoh yang tercantum di dalam daftar nama tokoh tersohor sudah kuketahui selukbeluk mereka dengan jelas, karena aku sudah menghabiskan lima bulan untuk mencari bahan-bahan tentang mereka, lima bulan aku menyelidiki dan menyelami seluk-beluknya.”

“Jerih payahmu untuk menyelidiki riwayat Pho Ang-soat aku yakin lebih besar daripada yang lain.” Toh Lui mengakui.

“Apa hasil jerih payahmu itu?” tanya Ibu jari.

“Golok itu tidak pernah terlepas karena golok itulah gamannya. Paling sedikit sudah dua puluh tahun dia menggunakan golok itu sehingga golok itu seolah-olah sudah menjadi salah satu anggota badannya, sedemikian lincah dan leluasa dia menggunakan golok itu, jauh lebih leluasa dari jari orang lain menggunakan jari-jari tangan sendiri,” demikian ucap Toh Lui.

“Tapi aku tahu,” ujar Ibu jari, “golok yang dia gunakan itu tidak terlalu bagus.”

“Golok yang dapat membunuh manusia pasti adalah golok baik,” Toh Lui menegaskan.

Bagi Pho Ang-soat golok itu bukan lagi sebatang golok biasa, karena antara golok dan jiwanya itu senyawa, sudah punya ikatan batin yang tidak mungkin dirasakan dan diselami orang lain. Walau Toh Lui tidak menjelaskan hal ini lebih jauh, tapi Ibu jari sudah maklum apa yang dimaksud.

Sejak tadi Merak menepekur, katanya tiba-tiba, “Jikalau kita bisa mendapatkan goloknya itu ...”

“Tiada manusia yang mampu memegang goloknya itu,” ujar Toh Lui.

“Segala sesuatu di dunia ini pasti ada kecualinya,” Merak tertawa.

“Tapi untuk yang satu ini tidak ada,” Toh Lui menjawab tegas.

Merak tidak mendebatnya lagi, tanyanya malah, “Kapan penyakitnya itu sering kumat?”

“Bila amarah dan rasa pilu hatinya tidak terbendung lagi, penyakitnya akan kumat.”
“Jika kau bisa turun tangan di saat penyakitnya itu kumat....”

Toh Lui menarik muka, katanya menjengek dingin, “Memangnya kau kira aku ini orang apa!”

Merak tertawa tergelak, katanya, “Aku tahu kau tidak sudi melakukan hal serendah itu, tapi apa salahnya kita suruh orang lain melakukannya, umpamanya kita mencari seorang untuk membuatnya marah supaya dia...”

Toh Lui berjingkrak berdiri, katanya dingin, “Aku hanya ingin supaya kalian tahu akan satu hal.”

Merak pasang kuping, Ibu jari juga siap mendengarkan.

“Inilah duel antara aku dan dia, duel antara dua lelaki jantan, lelaki sejati, siapa pun yang akan menang atau kalah dalam duel ini tiada sangkut-pautnya dengan orang lain.”

Mendadak Ibu jari bertanya, “Apa tiada sangkut-pautnya dengan Kongcu?”

Tangan Toh Lui yang memegang golok mendadak mencengkeram kencang.

Ibu jari segera mendesak, “Bila kau belum melupakan Kongcu, maka kau harus melakukan satu hal.”

“Satu hal apa?” Toh Lui menegas.

“Biarkan dia menunggu, menunggu lebih lama beberapa kejap, biar menunggu hingga hatinya risau dan pikiran ruwet baru kau muncul,” dengan tersenyum lalu menambahkan, “dalam duel ini kau akan menang atau bakal mampus memang tiada sangkut-pautnya dengan kami, kami pun tidak ambil peduli, namun kami tidak ingin mengubur jenazahmu.”

Tengah hari di taman bobrok keluarga Ni.

Cahaya mentari tepat menyinari atap gardu, di luar gardu berdiri seseorang dengan sebilah golok hitam, sarung yang legam.

Perlahan Pho Ang-soat menyusuri jalanan kecil di dalam taman yang sudah ditumbuhi rumput liar, tangannya menggenggam kencang gagang golok. Cat gardu sudah luntur dan banyak yang mengelupas, namun paya-paya kembang di pinggir sana masih utuh, di siang hari bolong yang benderang ini kelihatan masih kokoh dan semarak.

Tempat ini dahulu memang punya masa depan yang cemerlang, masa jaya dan semarak, kenapa sekarang berubah menjadi belukar dan tidak terurus?

Sepasang burung walet terbang dari tempat jauh, hinggap di atas pohon tak jauh di luar gardu, seolah-olah sedang mencari dan berusaha menemukan impian lama yang masih menjadi kenangan terukir dalam kalbu. Sayang sekali pohon ini masih tumbuh subur, namun keadaan sekelilingnya sudah banyak berubah, walet datang pergi pula, entah berapa kali dia pulang-pergi? Pohon subur itu tidak bisa bersuara, pohon itu tidak kenal cinta kasih, tidak tahu apa artinya belas kasihan.

Mendadak Pho Ang-soat merasakan jantungnya sakit. Sejak lama dia sudah mempelajari sifat pohon yang diam, kalem dan meyakinkan, namun dia selalu bertanya-tanya kapan baru dia bisa belajar pada sifat pohon yang tidak kenal belas kasihan.

Walet itu terbang jauh pula. Darimanakah walet itu kemari? Taman ini sudah telantar, lalu milik siapakah taman ini?

Pho Ang-soat berdiri menjublek, seolah-olah dia sudah lupa akan kehidupan dirinya. Dimana? Dan darimana? Hal Ini tak sempat dipikirnya pula, karena mendadak dia mendengar seseorang sedang tertawa, tawa cekikikan genit yang merdu nyaring laksana kicau burung kenari, berkumandang dari semak rumput yang tumbuh tinggi.

Seorang anak perempuan mendadak berdiri di semak rumput yang tinggit itu, mengawasi Pho Ang-soat sambil tertawa manis cekikikan. Begitu elok senyuman, wajahnya lebih cantik lagi, rambutnya yang panjang terurai mayang hitam legam dan mengkilap selembut sutra.

Rambut yang terurai mayang ternyata tidak disisir, dia biarkan begitu saja rambutnya yang panjang menjuntai lemas dan tersebar di kedua pundaknya. Gadis rupawan ini ternyata juga tidak bersolek, seenaknya saja dia mengenakan seperangkat jubah panjang, entah terbuat dari kain apa, yang terang bukan sutra juga bukan satin, justru mirip rambutnya yang panjang.

Mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya ternyata mengandung senyum lebar dan ramah, katanya mendadak, “Tidak kau tanya kenapa aku tertawa?”

Pho Ang-soat diam saja, tidak bertanya.

“Aku geli melihatmu,” senyumannya makin manis. “Melihat kau berdiri di sini, aku jadi geli, karena kau mirip seorang pikun, seorang linglung.”

Pho Ang-soat tidak bersuara.

“Kau juga tidak tanya siapakah aku?”

“Siapa kau?” ternyata Pho Ang-soat bertanya, sebetulnya dia tidak ingin bertanya. Tak nyana baru saja dia ingin bertanya, anak perempuan itu sudah melompat dan bersorak.

“Memangnya aku sedang menunggu pertanyaanmu ini,” waktu dia melompat, garangnya seperti seekor kucing yang marah, “Tahukah kau, tanah dimana kau sekarang berdiri milik siapa? Berdasarkan apa kau berani mondar-mandir seenak udelmu di tanah ini?”

Pho Ang-soat menatapnya dingin, menunggu ocehannya lebih lanjut.

“Tempat ini milik keluarga Ni,” dengan jari telunjuknya menuding hidung sendiri, “aku inilah nona kedua dari keluarga Ni, bila aku mau, sembarang waktu bisa saja mengusirmu.”

Terpaksa Pho Ang-soat hanya bungkam, seorang keluyuran di rumah orang, mendadak kepergok oleh tuan rumah, apa pula yang bisa dia katakan.

Ni-jisiocia melototinya dengan gemas, mendadak dia tertawa, tertawa manis, “Tapi aku tentu tidak akan mengusirmu, karena Matanya berkedip-kedip, “Karena aku menyukaimu.”

Pho Ang-soat hanya mendengarkan.

Boleh saja kau tidak menyukai orang lain, tapi tak dapat melarang orang lain menyukaimu.

Tapi cepat Ni-jisiocia telah berubah hatinya, “Aku bilang aku menyukaimu, sebenarnya hanya omong kosong saja.”

Setelah menghela napas, lanjutnya, “Aku tidak segera mengusirmu karena aku tahu aku bukan tandinganmu.”
Tak tertahan Pho Ang-soat bertanya, “Kau tahu diriku?”

“Sudah tentu tahu.”

“Apa saja yang kau ketahui?”

“Bukan saja aku tahu kau mahir kungfu, aku juga tahu siapa namamu? Pokoknya jelas deh,” dengan menggendong kedua tangan, dia melangkah keluar dari semak rumput dengan sikap angkuh, matanya plirak-plirik mengawasi Pho Ang-soat dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas.

“Orang lain bilang kau ini makhluk aneh, tapi pendapatku sebaliknya, bukan saja kau ini tidak aneh, malah tampangmu cukup ganteng.”

Perlahan Pho Ang-soat memutar badan berjalan ke arah gardu yang disinari matahari, tiba-tiba dia bertanya, “Hanya kau seorang di tempat ini?”

“Kalau seorang diri memangnya kenapa?” bantahnya dengan mata berputar, “apa kau berani menganiaya aku?”

“Biasanya kau tidak berada di sini?”

“Kenapa seorang diri aku harus berada di tempat seperti sarang setan ini?”

Mendadak Pho Ang-soat menoleh, katanya menatap tajam, “Sekarang kenapa tidak lekas kau menyingkir?”

Ni-jisiocia berjingkrak dan berteriak, “Ini kan rumahku, terserah aku mau di sini atau mau pergi, memangnya perlu aku runduk kepada orang lain?”

Kembali Pho Ang-soat bungkam.

Ni-jisiocia melotot gusar sambil bertolak pinggang, namun kejap lain mendadak dia tertawa sendiri, katanya, “Sebetulnya tidak pantas aku bertengkar dengan kau, kalau baru permulaan aku sudah bertengkar dengan kau, bagaimana kelak?”

Kelak? Tahukah kau ada sementara orang yang tidak punya kelak?

Perlahan langkah Pho Ang-soat waktu menaiki undakan, pandangannya tertuju ke tempat jauh walau sinar mentari menimpa wajahnya, wajahnya masih kelihatan pucat sekali.

Hanya satu harapannya, yaitu semoga Toh Lui lekas datang.

Tapi Ni-jisiocia bertanya lagi, “Aku tahu kau bernama Pho Ang-soat, kenapa tidak kau tanya siapa namaku?”

Karena Pho Ang-soat diam saja, terpaksa dia memperkenalkan diri sendiri, “Aku bernama Ni Hwi.”
Mendadak dia melompati pagar dan berdiri di depan Pho Angsoat, lalu ucapnya agak aseran, “Ayahku memberi nama Hwi berarti cerdik, karena sejak kecil aku paling pintar dan banyak akal.”

Pho Ang-soat tidak menghiraukan ocehannya.

“Kau tidak percaya?” tangannya bertolak pinggang, sanggulnya hampir menyentuh hidung Pho Ang-soat, “Bukan saja aku tahu apa maksudmu datang kemari, aku malah tahu siapa yang sedang kau tungggu di sini. Kau kemari pasti ingin mengadu jiwa dengan seorang, melihat rona mukamu, aku lantas dapat menebaknya.”

“Ah, masa?”

“Ya, karena kau membawa hawa membunuh.”

Bocah cilik centil yang cerewet ini apa benar tahu apa artinya hawa membunuh?

“Aku juga tahu yang sedang kau tunggu pasti Toh Lui,” nada Ni Hwi seperti yakin bahwa ucapannya pasti betul.

“Karena dalam lingkungan ratusan li di daerah ini, orang yang mampu dan setimpal berduel dengan Pho Ang-soat hanya Toh Lui seorang saja.”

Memang tidak sedikit yang diketahui cewek cilik ini.

Mengawasi mata orang yang lincah, Pho Ang-soat bertanya dingin, “Kalau kau tahu, seharusnya kau lekas pergi.” Nadanya tetap dingin, tapi tatapan matanya tidak sedingin biasanya, bentuk matanya seolah-olah telah berubah lembut dan hangat.

Ni Hwi tertawa, katanya lembut, “Apakah kau sudah mulai memperhatikan aku?”

Pho Ang-soat menarik muka, katanya, “Aku suruh kau pergi karena aku membunuh orang bukan untuk ditonton.”

Ni Hwi mencibir bibir, katanya, “Umpama kau mau mengusirku juga tidak perlu tergesa-gesa. Toh Lui tidak akan datang lebih dini.”

Pho Ang-soat mengangkat kepala, mentari tepat di tengah angkasa.

“Dia pasti berbuat seenaknya supaya kau menunggu, menunggu dan menunggu sehingga hatimu risau, semakin risau hatimu, kesempatannya menggorok lehermu menjadi lebih besar.” Dengan tertawa dia berkata pula, “Ini termasuk strategi perang, jagoan tukang berkelahi seperti dirimu seharusnya sudah memikirkan hal ini.”

Tapi mendadak dia menggeleng, lalu melanjutkan, “Tapi kau pasti tidak mau memikirkan hal ini, karena kau seorang Kungcu, laki-laki sejati, aku bukan, maka boleh aku memberi sebuah akal kepadamu, cara yang tepat untuk menghadapi musuh serendah dia.”

Cara apa? Pho Ang-soat tidak bertanya, namun dia juga tidak pantang mendengar.

“Kalau dia ingin kau menunggu, maka kau pun bisa membuat dia menunggu,” Ni Hwi berkata.

Gigit menggigit, dengan cara orang memperlakukan dirimu, maka kau pun bisa menggunakan cara itu untuk memperlakukan orang itu. Itulah cara yang paling kuno, cara kuno umumnya amat manjur.

Ni Hwi berkata pula, “Marilah kita bertamasya di taman ini atau boleh juga kita bermain catur, sambil minum dua poci arak supaya dia menunggumu di sini, menunggumu sampai mampus saking gelisah.”
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.

“Akan kubawa kau ke tempat kami menyimpan arak, bila nasib kita lagi mujur, bukan mustahil dapat menemukan seguci Li-ji-ang peninggalan bibi waktu dia menikah dahulu,” agaknya minatnya terlalu besar minum arak, sebelum Pho Ang-soat memberi reaksi, dia sudah mengulur tangan menarik lengannya, lengan tangan yang memegang golok.

Tiada orang bisa menyentuh tangannya itu. Jari-jarinya yang halus baru saja menyentuh tangannya, mendadak terasa ada suatu tenaga besar yang aneh menggetar pergi jari tangannya. Begitu hebat arus getaran tenaga itu sehingga tubuhnya melenting seperti digontok, ingin berdiri juga tidak kuasa lagi, akhirnya dia jatuh terduduk, pantatnya terbanting cukup keras.

Kali ini mulutnya ternyata tidak ribut karena matanya merah dan berkaca-kaca, suaranya terisak, “Aku hanya ingin bersahabat dengan kau, ingin melakukan sesuatu, kenapa kau bersikap sekasar ini terhadapku.” Punggung tangannya mengucek-ngucek hidung seperti akan pecah tangisnya.

Kelihatannya dia memang seperti anak perempuan yang harus dikasihani, aleman tapi juga jenaka.

Pho Ang-soat tidak mengawasinya, melirik pun tidak, namun suaranya dingin, “Bangun, dalam rumput ada ular.”

Ni Hwi makin memelas, katanya, “Tulang seluruh badanku seperti remuk, bagaimana aku bisa berdiri.” Dengan tangan mengucek hidung dan mata, ia melanjutkan, “Biarlah aku digigit ular di sini saja.”

Wajah Pho Ang-soat yang pucat tetap tidak berubah, tapi dia sudah beranjak menghampiri. Dia tahu tenaga yang dia salurkan tadi, bukan seluruhnya tenaga yang tersalur dari badannya, karena tangannya memegang golok, dari batang goloknya itupun bisa mengeluarkan kekuatan, golok itu berada di tangannya, golok itu seperti memiliki jiwa, ada sukmanya, ada jiwa pasti ada tenaga, tenaga terpendam untuk menunjang jimat.

Perbawa kekuatannya itu boleh dikata sudah hampir mirip dengan Kiam-khi (hawa pedang) yang amat menakutkan, hawa pedang yang tak mungkin ditahan atau dilawan apa pun. Memang pantas bila dia tidak menggunakan tenaga itu untuk menghadapi cewek jenaka ini.

Ni Hwi duduk meronta-ronta di atas rumput, kedua tangannya menutup muka, jari-jari tangan yang halus dan putih. Akhirnya Pho Ang-soat mengulur tangan menariknya, tangan yang tidak memegang golok. Ternyata Ni Hwi tidak melawan, juga tidak menyingkir, tangannya terasa empuk hangat.

Sudah lama Pho Ang-soat tidak menyentuh tangan seorang perempuan. Dia menekan hawa nafsu jauh lebih tuntas dari setiap padri saleh yang suci, menderita dalam ajaran agamanya. Akan tetapi dia adalah lelaki, laki-laki tulen, lakilaki yang belum tua.

Seperti anak domba yang penurut dia merangkak bangun sambil merintih perlahan, waktu Pho Ang-soat hendak membimbingnya, tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke dalam pelukannya malah, badannya yang montok padat lebih hangat, lebih menggairahkan, lebih empuk.

Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang, sudah tentu Ni Hwi juga merasakan detak jantungnya yang memburu. Anehnya pada sekejap itulah, mendadak timbul suatu firasat yang aneh. Terasa adanya nafsu membunuh, firasatnya memang tajam, pada saat itulah Ni Hwi telah mencabut sebilah pisau, pisau panjang tujuh dim, langsung ditusukkan ke lambung samping bawah ketiaknya.
Wajah nan molek jenaka mirip cewek kecil yang mungil, namun serangan yang dilancarkan jauh lebih jahat dari pagutan ular beracun. Sayang tusukannya gagal, pisaunya menusuk angin.

Entah bagaimana mendadak tubuh Pho Ang-soat mengkeret, jelas dan yakin bahwa pisau tajamnya itu sudah menusuk ke perut orang, namun kenyataannya hanya menyerempet pinggir kulitnya. Sedetik itu pula Ni Hwi juga menyadari bahwa tusukan pisaunya gagal, maka kakinya menjejak, tubuhnya pun sudah melejit ke atas.

Seperti ular berbisa yang sembarang waktu mampu melenting ke udara dari semak rumput, baru saja tubuhnya melejit di tengah udara sudah bersalto. Sekali bersalto disusul salto yang kedua, ujung kakinya sudah menutul atap gardu. Begitu ujung kakinya meminjam tenaga, tubuhnya sudah melambung pula ke belakang, kini sudah berada di pucuk pohon sejauh lima tombak.

Sebetulnya Ni Hwi ingin menyingkir lebih jauh, tapi karena Pho Ang-soat tidak mengejar, maka dia tidak berlari lebih jauh, dengan sebelah kakinya dia berdiri di pucuk sebatang dahan yang memantul enteng, mulutnya ternyata masih menerocos bagai burung berkicau.

Ginkangnya memang tinggi, cara dia memaki orang juga tidak rendah.

“Baru sekarang aku tahu kenapa cewekmu dulu itu meninggalkan engkau, karena hakikatnya kau bukan laki-laki, bukan saja kakimu cacad, jiwamu ternyata juga tidak normal,” caci-makinya tidak kasar, namun setiap patah katanya laksana jarum yang menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.

Wajah Pho Ang-soat yang merah mendadak bersemu merah, warna merah yang ganjil, jari-jari tangannya tergenggam kencang. Hampir saja dia mencabut golok, tapi dia tidak bergerak, karena mendadak dia menyadari derita batinnya sekarang tidak lagi separah dan seberat apa yang dipikirnya.

Setiap senyumannya, setiap tetas air matanya, setiap limpahan cinta dan setiap patah katanya yang bohong, sudah terukir dalam sanubarinya. Segala perasaan itu sudah lama terpendam dalam sanubarinya. Hingga dia berhadapan dengan Bing-gwat-sim, seluruh derita yang terbenam dalam kenangan itu kembali terpampang di depan matanya secara hidup-hidup. Maka pukulan batin yang dideritanya pada saat itu, pasti takkan bisa dibayangkan, tak bisa diresapi oleh siapa pun dan satu hal yang tidak terduga adalah setelah mengalami siksa derita ini, penderitaan batinnya malah menjadi tawar, penderitaan yang semula tidak berani dipikirkan, dibayangkan atau dihadapi sekarang sudah dapat ditantangnya dengan tabah.

Penderitaan manusia memang mirip borok yang sudah membusuk, bila kau diamkan saja borok itu makin parah, makin membusuk. Bila kau tega mengoreknya dengan pisau sehingga darah dan nanah meleleh keluar, bukan mustahil dia malah akan segera sembuh.

Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepala, keadaannya sudah pulih seperti sedia kala, tenang, mantap dan dingin.

Ni Hwi masih berpantul di pucuk pohon, pandangannya tampak kaget dan heran, Pho Ang-soat tidak mencabut goloknya, suaranya terdengar tawar, “Pergilah kau.”

Sang surya sudah doyong ke barat, bayangan gardu itu sudah terpeta di atas tanah berumput liar.

Pho Ang-soat tidak bergerak, gayanya pun tidak berubah. Dia tetap berdiri di tempat semula, bayangannya makin panjang dan panjang, Pho Ang-soat tetap tidak bergerak, orangnya tidak bergerak, hatinya pun tidak tergerak.

Bila seseorang sudah biasa hidup dalam kesunyian seorang diri, maka menunggu dan menunggu itu baginya sudah bukan suatu penderitaan, suatu hal yang tidak perlu dirisaukan. Untuk menunggu golok tercabut pertama kali, dia sudah menunggu tujuh belas tahun, padahal pertama kali dia mencabut golok dahulu, hakikatnya tiada faedahnya, tidak punya arti dan tidak membawa akibat apa pun. Selama tujuh belas tahun dia menunggu hanya untuk membunuh, ya, membunuh demi menuntut balas kematian ayah bundanya.

Akan tetapi setelah dia mencabut golok, baru dia sadar bahwa dirinya hakikatnya bukan keturunan keluarga itu, bahwasanya tiada sangkut-pautnya dengan persoalan dan pertikaian itu. Ini bukan melulu merupakan suatu sindiran pedas. Bagi siapa pun, sindiran seperti ini terlampau tajam, terlampau keji. Tapi Pho Ang-soat telah mengalami dan menerima sebab akibatnya, karena dia dipaksa harus menerima tempaan hidup ini. Maka selanjutnya dia pun belajar bertahan, berhasil menahan sabar.

Bila Toh Lui maklum akan hal ini, mungkin dia tidak akan membiarkan Pho Ang-soat menunggu terlalu lama. Bila kau ingin aku menunggu, bukanlah kau sendiri juga sedang menunggu.

Banyak persoalan di dunia ini memang mirip dua mata pedang yang sama tajamnya, bila kau ingin melukai orang lain, sering kali kau sendiri pun bisa terluka. Celakanya lukaluka yang kau derita kemungkinan justru lebih berat dari lawanmu.

Perlahan Pho Ang-soat menghembuskan napas dari mulutnya, terasa hati tenang, dada lapang, pikiran jernih.

Sekarang jam sudah menunjukkan angka tiga.

Gubuk yang lembab itu terletak di ujung gang yang gelap, pemiliknya semula adalah seorang tua kikir yang berpenyakitan, konon setelah mayatnya membusuk baru diketahui orang.

Sekarang Merak justru menyewa rumah ini, bukan karena dia pun kikir. Padahal dia cukup mampu menginap di hotel kelas satu, namun dia rela tinggal di tempat yang jorok ini. Merak, julukan ini sebetulnya juga suatu sindiran bagi dirinya, Karena pribadinya bukan seorang yang berharga untuk disanjung dan dikagumi seperti indahnya bulu merak yang sedang mekar, sebaliknya dia justru lebih mirip seekor kelelawar yang takut dan tak berani terkena sinar matahari.

Waktu Ibu jari berjalan masuk, dia sedang rebah di atas dipan yang keras dan dingin. Sebuah jendela kecil satusatunya yang ada dari bilik ini sudah dipaku kencang dan dipalang selembar papan sehingga bilik ini bukan saja lembab dan guram, juga berbau apek mirip liang kelelawar yang busuk.

Begitu duduk Ibu jari lantas menghela napas, tak pernah dia mau tahu kenapa Merak mau dan sudi tinggal di tempat seperti ini.

Jangankan menoleh, melirik pun tidak, Merak tidak menyambut kehadirannya. Setelah dengus napasnya mulai mereda baru dia bertanya, “Mana Toh Lui?”

“Dia masih menunggu,” sahut Ibu jari.

“Waktu berpisah dengan aku tadi kira-kira sudah jam tiga, berapa lama lagi dia ingin Pho Ang-soat menunggunya?” kata Merak.

“Sudah kuberitahu kepadanya, paling cepat jam 4 baru boleh dia berangkat,” ujar Ibu jari.

Ujung mulut Merak menampilkan senyuman sadis, katanya, “Berdiri beberapa jam di tempat seperti sarang setan itu rasanya pasti juga cukup menyiksa batinnya.”

Ibu jari justru mengerut kening, katanya, “Aku justru menguatirkan satu hal.”

“Hal apa?”

“Walau Pho Ang-soat sedang menunggu, Toh Lui sendiri juga sedang menunggu, aku justru kuatir dia lebih tidak bisa menahan emosi daripada Pho Ang-soat.”

“Jika dia mampus di bawah golok Pho Ang-soat. Apakah kau menderita rugi?”

“Tidak.”

“Lalu apa yang kau harus kau kuatirkan?”

Ibu jari tertawa, dengan ujung lengan bajunya dia menyeka keringat, katanya pula, “Masih ada sebuah berita baik ingin kusampaikan kepadamu.”

Merak diam saja, dia sedang mendengarkan.

“Yan Lam-hwi memang betul keracunan, malah racunnya amat jahat.”

“Darimana kau peroleh berita ini?”

“Kubeli dengan harga lima ratus tahil perak.”

Mencorong mata Merak, katanya, “Berita senilai lima ratus tahil perak umumnya memang patut dipercaya.”

“Karena itu setiap saat boleh kita pergi membunuhnya.”

“Sekarang juga kita boleh berangkat.” Saat itu tepat menunjukan jam tiga sore.

Meski lewat lohor, tapi cahaya mentari masih terasa terik, musim semi akan segera berlalu, musim panas sudah di ambang pintu.

Pho Ang-soat paling benci musim panas, musim panas umumnya milik anak-anak, sejak pagi hari mereka bertelanjang mandi di sungai atau di empang, berguling dan bergelut di tanah rumput, menangkap kupu-kupu, bermain kucing-kucingan. Bila malam tiba, duduk berkerumun di bawah barak sambil makan semangka yang sudah direndam di dalam sumur, mendengar cerita orang-orang tua tentang kaum pendekar menangkap setan, mengantongi kunang-kunang sebanyak mungkin untuk ditukar dengan beberapa biji permen.
Musim panas laksana emas, masa keemasan di waktu anak-anak, selalu diliputi kegembiraan, tidak pernah tahu apa artinya duka dan lara.

Pho Ang-soat justru tidak pernah mengalami kehidupan yang senang dan gembira di musim panas, sehari pun tak pernah menjadi miliknya untuk hidup dalam ketenteraman. Dalam kenangannya, musim panas hanya cucuran keringat atau darah, kalau tidak bersembunyi di dalam hutan dengan pepohonan pendek, tentu berlatih mencabut golok, maka dia pasti berada di tengah padang rumput di bawah terik matahari bersiap mencabut goloknya.

Mencabut golok, sekali dua kali, mencabut dan mencabut lagi, tak pernah berhenti, gerakan yang aneh, gerakan sederhana ini ternyata menjadi salah satu segi kehidupannya, segi kejiwaan yang paling penting.

Kapan pula gogok akan dicabut? Golok itu perlambang kematian. Di saat golok tercabut, saat itulah kematian tiba. Bila goloknya tercabut pula, siapa pula yang akan ajal? Pho Ang-soat menunduk, menatap jari-jari tangan sendiri yang memegang golok, jari-jari yang pucat dan dingin, golok itu lebih dingin, tangan makin putih, golok makin legam.

Jam tiga sore pun tiba.

ooooOOoooo 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar