Cerita ini berkisah tentang seorang pendekar yang kakinya cacat, namun memiliki ilmu golok yang tiada bandingan di zamannya. Suatu kali dia mengalahkan seorang jago pedang, ... di sinilah kisah di mulai. Rangkaian peristiwa di atur oleh seorang tokoh bernama Kongsun Gi, yang menjadi tokoh nomor satu.
Pho Ang Soat sipendekar golok pun, di dorong untuk terjerumus kepada berbagai peristiwa yang intinya menggiring dia menuju .. ke sebuah duel. Duel dnegan ... Kongsun Gi ?
Diantara perjalanannya ... dia menemukan dan ditemukan seorang pelacur. Pertemuan yang merubah seorang pelacur menjadi insaf dan mempersembahkan segalanya demi pendekar cacat yang di cintainya. Bagaimana tanggapan si cacat? Kenapa judulnya Peristiwa Bulu Merak?
Mari kita ikuti saja ya ....
Saulus
PROLOG
“Bagaimana dengan goloknya?”
“Golok berada dalam genggamannya!”
“Golok seperti apakah itu?”
“Goloknya begitu luas, begitu sunyi bagai ujung langit, begitu suci, begitu
murung bagai bulan purnama, terkadang sewaktu goloknya menyambar, seolah yang
ada hanya kekosongan!”
“Kekosongan?”
“Kosong, halus, melayang seolah ada seolah tak ada, seakan tak berwujud
namun seakan berada dimana pun.”
“Tapi goloknya seperti tak terlampau cepat.”
“Golok yang tak cepat mana mungkin bisa tiada tandingan di kolong langit?”
“Karena kecepatan goloknya telah melampaui batas kecepatan yang pernah
ada!”
“Bagaimana dengan manusianya?”
“Manusianya seperti belum kembali, tapi perasaannya telah hancur-lebur.”
“Berada dimana jalan kembalinya?”
“Jalan kembali berada di depan mata.”
“Dia tidak melihatnya?”
“Dia memang tidak melihat.”
“Karena itu tidak menemukannya?”
“Walaupun sekarang tidak menemukan, cepat atau lambat suatu pasti akan
menemukannya!”
“Pasti dapat menemukan?”
“Pasti!”
Bab 1. Di Ujung Langit
Magrib telah mendatang. Pho Ang-soat berdiri dibawah cahaya mentari
kemuning yang hampir terbenam diperaduannya. Hanya dia seorang yang berada
dipancaran cahaya mentari, seolah-olah tinggal dia seorang saja yang
ketinggalan hidup di mayapada ini.
Tanah tegalan belukar sepanjang ribuan li, karena kesunyian yang mencekam
ini sehingga terasa rona mentaripun telah berubah, berubah menjadi warna kelabu
yang hampa dan telantar.
Demikian pula orangnya. Tangannya menggengam sebilah golok. Tangan yang memucat
putih, golok yang hitam legam. Bukankah warna putih dan hitam itu perlambang
kehidupan yang mendekati kematian? Bukankah kematian itu terasa hampa dan
kesuyian yang kelewat batas?
Sorot mata nan lengang bola mata yang hampa dan kesepian, seolah-olah dia
sudah melihat bayangan kematian, apakah kematian itu sendiri sudah berada
didepan matanya?
Pho Ang-soat berjalan kedepan. Langkahnya perlahan, namun tidak pernah
berhenti, umpama kematian sedang menanti disebelah depan dia juga tidak akan
pernah berhenti. Gayanya berjalan memang aneh juga lucu, kaki kiri melangkah
dulu setapak kedepan, kaki kanan lalu diseretnya maju mendekat, setiap
langkahnya kelihatan amat susah dan berat. Tapi jalanan yang pernah ditempuhnya
tak terukur panjangnnya, namun setiap langkah adalah hasil dari gerakkan kedua
kakinya.
Berjalan dengan cara demikian, entah kapan baru dia akan berhenti. Pho
Ang-soat sendiri tidak tahu, hakikatnya dia tidak mau dan tidak pernah
memikirkannya. Sekarang dia sudah berjalan sampai disini. Bagaimana didepan?
Apa betul didepan ada kematian?
Memang benar, tatapan matanya sudah menandakan bayangan kematian itu, apa
yang digenggam ditangannya juga kematian, karena goloknya itu perlambang
kematian. Golok hitam, gagangnya juga legam, demikian pula serangkanya juga
hitam. Kalau golok ini perlambang kematian, golok ini justru adalah jiwanya
pula.
ooooOOoooo
Cuaca makin guram, memandang jauh ke depan sudah kelihatan bentuk sebuah bayangan
kota yang samar-samar. Dia tahu itulah Hong-hong-kip, kota kecil yang cukup
makmur ditengah tanh belukar diluar perbatasan. Pho Ang-soat tahu letak dari
Hong-hong-kip ini, karena kota itulah tempat dimana bayangan kematian sedang
dicarinya. Tapi dia tidak tahu, bahwa Hong-hong-kip sekarang sudah mati, sudah
runtuh sudah sepi.
Jalan raya dalam kota kecil ini tidak panjang, tidak lebar, namun ada
puluhana toko dan warung berderet disepanjang jalan raya itu. Tidak sedikit
kota-kota kecil seperti ini dalam dunia, keadaannya seperti itu juga, bobrok
dan reyot, warung yang jorok, harga barang yang murah, keluarga sederhana
dengan yang jujur dan bajik.
Sekarang keadaan sudah berbeda, karena Hong-hong-kip walau ada warung dan
toko, namun sudah tiada penghuni, seorang manusiapun tidak terlihat dalam kota
ini.
Pintu atau jendela rumah-rumah disepanjang jalan raya ini ada yang terbuka
ada pula yang tertutup rapat, namun semuanya sudah kotor berdebu dan lapuk,
luar dalam rumah bertumpuk selapis debu tebal, gelagasi malah sudah menghias
berbagai pelosok rumah-rumah itu.
Seekor kucing hitam terkejut oleh derap langkah yang mendatangi, kucing ini
bergerak lamban dan malas, tidak selincah dan cekatan seperti kucing umumnya
yang kelaparan, dengan dengus napasnya yang berat dia beranjak menyebrang
jalan, bentuknya sudah tidak mirip seekor kucing lumrah.
Kelaparan memang mampu merubah bentuk segalanya? Mungkinkah kucing kering
itulah satu-satunya jiwa yang ketinggalan hidup dalam kota kecil ini?
Hati mulai dingin jari-jari tangan Pho Ang-soat juga mulai dingin, lebih
dingin dari mata golok yang dipegangnya.
Kini dia sudah berdiri ditengah jalan raya, menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri. Tapi dia masih belum bisa percaya, tidak berani percaya dan
tidak tega untuk percaya. Bencana apakah yang menimpa tempat ini? Bagaimana
pula terjadinya bencana itu?
Angin menghembus lalu, papan merek dari sebuah toko melambai dengan
suaranya berkeriut ditiup angin, lapat-lapat masih kelihatan bekas tulisannya
yang sudah luntur oleh hujan dan terik matahari. “Warung tua keluarga Tan, arak
wangi simpanan lama.” Semula merek warung ini adalah reklame termegah dikota
kecil ini, namun sekarang sudah luntur dan kropos kayunya, tak ubahnya gigi
orang tua yang sudah ompong.
Ternyata keadaan warung arak itu sendiri jauh lebih menyedihkan dari papan
reklame yang terpampang didepan pintu. Pho Ang-soat berdiri diam tak bergerak,
matanya canang mengawasi papan reklame yang terombang-ambing ditiup angin, bila
angin berhenti menghembus, baru dia beranjak perlahan, mendorong pintu
melangkah masuk kewarung arak ini, tak ubahnya memasuki sebuah kuburan
morat-marit setelah dikeduk oleh kawanan perampok.
Dulu Pho Ang-soat pernah datang ketempat ini. Arak tempat ini meski tidak terlalu
enak, tapi juga tidak jelek, jelas tidak menyerupai cuka, tempat ini dahulu
juga tidak mirip kuburan.
Setahun yang lalu tepat. Setahun yang lalu, warung arak ini yang ramai
dalam kota kecil ini, pedagang atau pelancongan yang hilir-mudik keutara atau
keselatan pulang pergi pasti melewati Hong-hong-kip, bila masuk kekota kecil
ini siapapun pasti mampir dikedai arak ini minum beberapa cawan baru
melanjutkan perjalanan.
Bila air kata-kata sudah masuk perut, mulutpun akan ngobrol panjang lebar,
adalah pantas kalau kedai arak ini menjadi ramai dan ribut, manusia mana yang
tidak suka berada ditempat yang ramai.
Karena itu kedai arak ini merupakan rumah terbesar disepanjang jalan raya
ini, tidak sedikit orang yang menjamu para sahabatnya dengan hidangan paling
mahal menurut ukuran tarip dikota kecil ini maka pemilik kedai selalu berseri
tawa menyambut langganannya.
Tapi pemilik kedai yang biasanya murah senyum itu kini tidak kelihatan,
meja-meja yang semula bersih mengkilap kini berdebu, guci dan mangkok
berserakan dilantai semuanya sudah pecah dan hancur, bau wangi arak yang
merangsang semangat berganti bau apek, bau busuk yang memualkan.
Percakapan dan kelakar yang ramai disertai gebrakan meja para tamu dan
penjudi yang mujur diruang depan, sementara bendo yang merajang daging dan
sayur-sayuran didapur, bunyi daging yang digoreng diatas wajan yang mendidih
minyaknya, kini sudah tidak terdengar pula, bila angin lalu menghembus santer
menimbulkan suara “ber”, kedengaran seperti getaran sayap kelelawar yang
terbang dari neraka.
Hari sudah petang.
Perlahan Pho Ang-soat beranjak kesana, menuju kepojokan, membelakangi
dinding menghadap kepintu, perlahan dia berduduk. Setahun lalu waktu dia datang
ketempat ini, juga duduk disini. Tapi tempat ini sekarang sudah mirip kuburan,
tempat yang sudah tidak meninggalkan kesan dan patut ditinggali lagi. Tapi
kenapa justru dia duduk ditempat lama? Apa dia ingin mengenang masa lalu? Atau
sedang menunggu?
Jikalau sedang mengenang masa lalu, lalu apa yang terjadi setahun lalu
sehingga patut dia mengenangnya? Umpama menunggu, apa pula yang sedang
dinantikan? Apakah kematian? Ya, memang kematian.
ooooOOoooo
Malam akhirnya menyelimuti alam semesta. Tiada lampu tidak ada lilin, tidak
ada api hanya ada kegelapan. Dia membenci kegelapan, sayang kegelapan itu mirip
kematian, siapapun takkan bisa menghindarinya. Kalau kegelapan sudah tiba,
bagaimana dengan kematian?
Dia duduk tak bergeming, tangannya tetap menggenggam goloknya, mungkin dia
masih bisa melihat tangannya yang pucat, namun takkan bisa melihat goloknya
lagi. Golok yang hitam sudah terlebur didalam kegelapan. Apakah goloknya itu
juga merupakan kegelapan itu? Apakah setiap kali goloknya terayun, siapapun
takkan mampu menghindarinya?
Kegelapan yang membeku diam, keheningan yang mencekam, dari jauh
sayup-sayup terdengar irama musik yang kalem mengalun terbawa angin. Dalam
keadaan seperti ini, situasi yang mencengkam, irama musik itu kedengarannya
seperti lagu-lagu dewa yang kumandang dari langit.
Begitu mendengar irama musik ini, sorot mata yang semula hampa, mendadak
seperti mengunjuk suatu mimik yang ganjil, peduli mimik ganjil serupa apa, yang
jelas mimik itu bukan membayangkan rasa senang atau riang.
Irama musik makin keras dan dekat, ditengah alunan musik itu, terdengar
pula sebuah kereta yang mendatangi. Kecuali dirinya, apa benar masih ada orang
lain yang sengaja menuju kekota kecil yang sudah hancur ini? Sorot matanya
sudah pulih sedia kala, kaku dingin, tanpa ekspresi, tapi genggaman
jari-jarinya digagang golok ternyata lebih kencang.
Mungkinkah dia sudah tahu siapa yang bakal datang? Apakah orang ini yang
sedang dia tunggu? Apakah orang itu pula jelmaan dari kematian itu?
Apakah itu lagu dewa? Tiada manusia pernah mendengarnya. Tapi bila seorang
mendengar sehingga sanubarinya terbuai, malah jiwa raganya seperti terbaur
didalam irama musik itu, maka mereka akan beranggapan musik itulah lagu dewa.
Tapi Pho Ang-soat tidak terpengaruh lagu ini, dia tidak terlena atau
terbaur didalamnya. Dia masih tetap duduk tenang ditempatnya, mendengar dengan
tenang. Mendadak delapan lelaki baju hitam perawakan kekar melangkah cepat dan
lebar masuk kedalam kedai, setiap orang membawa sebuah keranjang bambu besar, dalam
keranjang berisi berbagai macam barang yang aneh-aneh, diantaranya termasuk
sapu, kemoceng dan kain untuk membersihkan.
Jangan kata menyapa, melirikpun tiada yang memandang kearah Pho Ang-soat,
begitu memasuki kedai, mereka lantas sibuk bekerja, tiada yang bicara, tanpa
komando, tapi kedai arak ini telah mereka bersihkan dengan rapi. Bukan saja
cekatan, merekapun bekerja tekun dan rajin. Seperti kejadian ajaib saja, kedai
yang berdebu dan morat-marit, dalam sekejap, telah dibikin bersih, rajin seperti
serba baru.
Bila kedelapan lelaki itu usai bekerja dan mundur keluar pintu serta
berdiri jajar diambang pintu, muncul empat gadis jelita berpakaian kembang,
mereka juga membawa keranjang bambu, cuma bentuknya berbeda, lebih kecil dan
enteng. Mereka menata kembang, mengeluarkan arak, piring, mangkok dan berbagai
hidangan lezat serta mengisi cangkir dengan arak.
Kecuali pojokan dimana Pho Ang-soat sedang duduk, setiap pelosok kedai arak
ini telah dibersihkan, dinding dihiasi lukisan, kerai kerang menjuntai dipintu,
meja juga sudah diberi taplak, sampai lantaipun digelari babut merah menjurus
panjang keluar pintu.
Maka muncul pula rombongan pemain musik yang terdiri dari gadis-gadis
jelita sambil menari lenggang-lenggok mereka memetik harpa, meniup seruling,
menabuh kecapi, begitu gemulai mereka memasuki kedai pula. Ditengah alunan
musik merdu itu mendadak terdengar suara kentong ditabuh sekali, ternyata
kentongan pertama sudah tiba, dari lubang jendela memandang jauh keluar, tampak
seorang berbaju putih sedang memeluk kentongan, bagai bayangan setan berdiri
menyepi ditengah kegelapan. Dari mana pula datangnya tukang kentong ini?
Bukankah dia sedang memberi peringatan kepada orang yang menghadapi kematian?
Lalu siapa yang dia peringati?
Ketika kentongan berbunyi, maka gadis-gadis jelita itupun mulai menyanyi
pula sambil menari. Sebelum nyanyian berakhir, ditengah gerak gemulai
gadis-gadis jelita itu, tampak Yan Lam-hwi sedang beranjak masuk, waktu dia
memasuki kedai arak ini, keadaannya seperti orang mabuk.
ooooOOoooo
Bab 2. Mawar Dari Ujung Langit
Apa benar Yan Lam-hwi sudah mabuk?
Dia sudah duduk, duduk disamping kembang semerbak, duduk dikelilingi
gadis-gadis jelita, duduk menghadapi meja perjamuan dengan secangkir arak
wangi. Araknya warna kuning, sekuning bunga mawar yang segar. Setangkai bunga
mawar berada ditangannya, cangkir arak juga dipegangnya, harum bunga menyejuk
badan, bau arak memabukkan.
Akhirnya dia mabuk dan meloso jatuh didepan lutut gadis jelita, arak kuning
dalam cangkir mengalir membasahi pakaian. Gadis itu juga seperti mabuk, cekikik
tawanya semerdu kicau kenari, wajahnya nan jelita tersenyum cerah dan mekar.
Yan Lam-hwi masih terlalu muda, muda gagah, tampan dan kaya-raya, hidup dikelilingi
gadis-gadis cantik, kembang mekar semerbak dengan arak wangi nomor satu, betapa
rianggembira kehidupan ini? Tapi kenapa dia justru menikmati kesenangan hidup
ini dikota yang sudah mati ini? Memangnya kedatangannya juga lantaran Pho
Ang-soat?
Sejak masuk dia juga tidak pernah melirik kearah Pho Angsoat, seolah-olah
tidak merasakan bahwa ditempat ini masih ada seorang Pho Ang-soat yang juga
hidup. Demikian pula sikap Pho Ang-soat seperti tidak melihat kehadiran mereka.
Tiada kembang mekar, tiada perempuan cantik dan tiada arak didepan matanya,
seperti ada pagar tembok tinggi yang menutupi pandangannya sehingga dia
terisolir dari kehidupan riang-gembira ini. Memang kenyataan sudah lama Pho
Angsoat terisolir dari kehidupan riang-gembira itu.
ooooOOoooo
Kentongan berbunyi pula, sudah kentongan kedua. Makin banyak arak
tertenggak keadaan semakin payah, suasana riang inipun bertambah, seolah-olah
mereka sudah melupakan duka cita kerisauan hati dan penderitaan dalam kehidupan
umum ini.
Didalam cangkir masih ada arak, kembang mawar masih berada ditangannya,
seorang gadis cantik bertanya sambil memeluk lengannya: “Kenapa kau menyukai
bunga mawar?”
“Karena mawar ada durinya.”
“Kau suka duri?”
“Ya, aku suka duri untuk menusuk orang, menusuk hatinya.”
Gadis itu menarik tangannya yang sakit karena tertusuk duri, hatinyapun
ikut tertusuk, dengan mengerut alis dia berkata menggeleng: “Alasanmu tidak
baik, aku tidak suka dengar.”
“Memangnya apa yang suka kau dengar?” Yan Lam-hwi tertawa, “mau kau
mendengar sebuah kisah?”
“Sudah tentu mau.”
“Konon pada jaman dahulu kala, waktu kembang mawar pertama mekar disuatu
tempat yang jauh letaknya, ada seekor burung yang elok, karena menyukainya,
sampai dia rela mati dari pucuk dahan kecemplung keair dan mati tenggelam.”
“Indah benar ceritanya,” merah bola mata gadis cantik itu, “tapi terlalu
menyedihkan.”
“Kau keliru,” Yan Lam-hwi tertawa riang, “mati bukan suatu tragedi yang
menyedihkan, asal kau bisa mati dengan gagah, mati sebagai ksatria, apa
salahnya mati?”
Si gadis mendelong mengawasi mawar ditangannya, mawar itu seperti sedang
tersenyum kepadanya, lama dia menjublek, mengawasi tanpa berkedip, akhirnya dia
menghela napas, katanya: “Pagi hari ini, akupun ingin memberi beberapa kuntum
mawar kepadamu, memakan banyak waktu baru aku berhasil mengikatnya diikat
pinggangku, sayang ikat pinggangku kendor, mawarpun runtuh. Kelopak kembangnya
bertaburan dihembus angin melayang jatuh kedalam air. Air mengalir kearah timur,
menghanyutkan kelopak mawar untuk tidak kembali lagi. Alunan air sungai berubah
merah menyala, namun lengan bajuku terasa masih berbau harum,” lalu dia angkat
lengan bajunya. “Coba kau cium, kau harus menciumnya, sebagai tanda kenangan
kami yang terakhir kali.”
Yan Lam-hwi mengawasi lengan bajunya, perlahan dia menggenggam tangannya.
Pada saat itulah kentongan berbunyi pula. Kentongan ketiga.
Mendadak Yan Lam-hwi mengipatkan tangannya, irama musikpun berhenti
mendadak. Mendadak pula Yan Lam-hwi mengulap tangan: “Pergi.”
Suaranya laksana kutukan iblis, suasana yang semula riang penuh semangat
kehidupan mendadak berubah sepi lengang, tinggal dua orang saja, penabuh
kentong dikegelapan itupun sudah tidak kelihatan bayangannya. Demikian gadis
yang tertusuk oleh duri mawar juga telah pergi, kalau tangannya tertusuk,
hatinyapun tertusuk lebih parah. Kereta semakin jauh, alam semesta kembali
diliputi keheningan.
Tinggal sebuah dian yang masih menyala dalam kedai, sinarnya redup,
menerangi sepasang bola mata Yan Lam-hwi yang mencorong bagai sepasang lampu
senter. Mendadak dia angkat kepala, dengan kedua bola matanya yang menyala dia
menatap lurus kepada Pho Ang-soat. Umpama betul orangnya sudah mabuk, ternyata
tatapan matanya tidak kelihatan mabuk.
Pho Ang-soat masih tetap duduk diam, tidak mendengar, tidak melihat, tidak
bergerak.
Yan Lam-hwi malah berdiri. Setelah dia berdiri baru terlihat dipinggangnya
menyoren sebatang pedang, gagangnya berwarna merah, kerangkanya juga merah,
merah menyala, lebih merah dari bunga mawar, lebih merah dari warna darah.
Kedai yang baru saja diliputi kegembiraan, mendadak berubah sepi diliputi
hawa membunuh. Dia mulai melangkah menghampiri Pho Ang-soat. Umpama dia sudah
mabuk, pedangnya yakin tidak mabuk. Tangan sudah memegang pedang, tangan yang
putih, pedang yang merah.
Golok Pho Ang-soat juga terpegang kencang, goloknya itu tidak pernah
terlepas dari tangannya. Golok hitam lambang kematian, pedang merah bagai
darah, maka jarak antara golok dan pedang itu semakin dekat. Demikian pula
jarak kedua orang itu makin dekat. Nafsu membunuh makin tebal.
Akhirnya Yan Lam-hwi berada didepan Pho Ang-soat, mendadak dia mencabut
pedang, sinar pedang laksana sinar mentari yang cemerlang, semarak laksana
warna mawar yang ditimpa cahaya mentari. Hawa pedang menyambar diantara kedua
alis Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat tetap tidak melihat, tidak mendengar dan tidak bergerak.
Dimana hawa pedang menyambar, kerai monte yang terurai diatas pintu rontok
berjatuhan, bak umpama tetesan air mata si cantik-jelita.
Maka sinar pedangpun lenyap mendadak. Pedang masih berada ditangan Yan
Lam-hwi, dengan kedua tangan dia memegang pedang lalu diangsurkan kedepan Pho
Ang-soat. Itulah pedang tajam yang tiada bandingannya dikolong langit. Yang dilancrkan
juga ilmu pedang yang tiada tandingan diseluruh jagat. Kenapa sekarang dia
serahkan pedang itu kepada Pho Ang-soat? Dia datang dari jauh, berpesta-pora,
minum sepuasnya, dia mencabut pedang, mengayun dan mengangsurkan pedang, lalu
apa sih maksud dan tujuannya?
Tangan itu kelihatan putih, pedang yang sudah keluar dari serangkanya juga
kelihatan pucat dibawah sinar dian yang redup.
Tapi rona muka Pho Ang-soat lebih pucat lagi. Akhirnya dia bergerak
perlahan, dia angkat kepala menatap tajam pedang ditangan Yan Lam-hwi. Wajahnya
tidak menunjukkan perubahan mimik, hanya pelupuk matanya yang mulai menyipit.
Yan Lam-hwi juga menatapnya lekat-lekat, bola matanya yang bercahaya
menampilkan perasaan yang ganjil, entah itu rasa senang karena sudah mendekati
kebebasan? Atau duka lara karena apa boleh buat.
Kembali kepala Pho Ang-soat terangkat, kini dia menatap bulat bola matanya,
seperti baru sekarang dia melihatnya. Begitu sorot mata mereka bentrok,
seolah-olah menerbitkan percikan kembang api.
“Kau sudah datang,” mendadak Pho Ang-soat bersuara.
“Ya, aku sudah datang.”
“Aku tahu kau pasti datang.”
“Sudah tentu aku datang, kau tentu tahu, kalau tidak buat apa setahun yang
lalu kau bebaskan aku?”
Pandangan Pho Ang-soat melorot turun menatap pula pedang ditangannya,
perlahan dia bersuara: “Sekarang sudah setahun menjelang.”
“Ya, setahun tepat.”
“Setahun yang panjang.”
“Setahun yang pendek.”
Jangka setahun, sebetulnya panjang atau pendek?
Mendadak Yan Lam-hwi tertawa-tawa, nada tawa yang membawa sindiran tajam,
katanya: “Kau merasa setahun panjang karena kau selalu menanti, menanti
pertemuan hari ini.”
“Dan kau?”
“Aku tidak pernah menunggu,” ucap Yan Lam-hwi tertawa tawar, “walau aku
tahu hari ini aku pasti mati, tapi aku bukan manusia yang takut mati, bukan
orang yang menunggu kematian.”
“Ya, karena banyak pekerjaan yang harus kau bereskan, maka kau merasa
setahun ini terlalu pendek bagimu?”
“Ya, kenyataan memang terlalu pendek.”
“Sekarang apakah urusanmu sudah beres? Apakah keinginanmu sudah tercapai?”
ooooOOoooo
Cahaya pedang bertaburan diangkasa, pedang bergerak laksana kilat. Golok
itu justru seperti amat lamban. Tapi sebelum cahaya pedang tiba, golok it sudah
menembus kedalam tabir cahaya pedang dan menindasnya. Maka golok itu sudah
berada didepan tenggorokan, golok milik Pho Angsoat, tenggorokan Yan Lam-hwi.
ooooOOoooo
Sekarang golok berada ditangan, tangan diatas meja. Lama Yan Lam-hwi
menatap golok hitam legam itu, lalu berkata perlahan: “Setahun yang lalu, aku
kalah oleh golokmu.”
“Mungkin kau tidak pantas kalah, sayang sekali kau masih terlalu muda,
namun permainan pedangmu justru sudah terlalu tua.”
Yan Lam-hwi diam saja, seperti sedang mengunyah dua patah kata tadi, agak
lama kemudian baru dia berkata pula perlahan: “Waktu itu kau pernah tanya
kepadaku, apakah ada persoalan hati yang belum tercapai.”
“Ya, aku pernah tanya hal itu.”
“Waktu itu pernah kuberitahu kepadamu, umpama benar ada persoalan yang
belum tercapai juga adalah urusan pribadiku, urusan pribadiku selamanya aku
sendiri yang menyelesaikan.”
“Ya, aku ingat.”
“Waktu itu akupun memberitahu kepadamu, setiap saat kau boleh membunuhku,
tapi jangan harap kau dapat mengeduk rahasia hatiku, supaya aku menjelaskan
persoalan yang kuidam selama ini.”
“Dan sekarang …”
“Sekarangpun demikian.”
“Tetap tidak mau kau jelaskan?”
“Kau meminjamkan waktu setahun supaya aku menyelesaikan persoalan yang ingin
kubereskan, sekarang setahun sudah tiba aku …”
“Kau mengantar kematian …”
“Benar, aku mengantar kematian,” pedang digenggamnya kencang, “maka
sekarang kau boleh membunuhku.”
Dia mengantar kematian. Dia datang dari Kanglam, menempuh ribuan li perjalanan
ternyata hanya untuk mengantar jiwa untuk dibunuh. Bahwa dia bermabukan,
bermain perempuan lacur, berdendang dan bernyanyi, tidak lain hanya untuk
menikmati kesenangan hidup terakhir sebelum ajal. Kematian seorang kesatria,
mati secara indah.
ooooOOoooo
“Setahun yang lalu, ditempat ini, seperti sekarang, aku bisa membunuhmu.”
“Kau menunda setahun lamanya, karena kau percaya aku pasti akan datang.”
“Kalau kau tidak datang, selamanya mungkin aku tidak akan bisa menemukan
kau.”
“Mungkin sekali.”
“Tapi kau datang juga.”
“Ya, aku pasti datang.”
“Bila cita-citamu belum terlaksana, aku masih bisa memberi kelonggaran
setahun.”
“Tidak usah.”
“Tidak usah, katamu?”
“Bahwa hari ini aku sudah kemari, aku sudah bertekad menerima kematian.”
“Kau tidak ingin hidup setahun lagi?”
Mendadak Yan Lam-hwi tertawa besar sambil mendongak, katanya: “Seorang
lelaki sejati hidup didunia ini, jikalau tidak mampu memberantas kelaliman,
membalas dendam, umpama hidup sepuluh tahun lebih lama juga sia-sia, lebih baik
mati saja.” Dia tertawa, namun nada tawanya lebih mirip raung tangisan yang
menyedihkan, tangis penderitaan.
Pho Ang-soat mengawasi, setelah orang berhenti tertawa, baru dia berkata:
“Tapi cita-citamu belum terlaksana.:
“Siapa bilang?”
“Aku yang bilang. Aku dapat melihatnya.”
Yan Lam-hwi menyeringai dingin. “Umpama benar citacitaku belum terlaksana,
kan tiada sangkut-pautnya dengan kau.”
“Tapi kau …”
“Kau bukan orang yang cerewet, akupun tidak ingin banyak bicara dengan
kau.”
“Jadi kau ingin lekas mati? Sampai matipun kau tidak mau membeber
cita-citamu yang belum tercapai itu?”
“Ya,” tegas dan berat, laksana golok membacok paku, agaknya tiada seseorang
didunia ini yang mampu merubah tekadnya.
Punggung jari Pho Ang-soat yang menggenggam golok sudah memutih, otot hijau
merongkol. Bila golok ini meninggalkan sarungnya, kematianpun akan datang,
tiada seorangpun didunia ini yang mampu melawannya. Apakah sekarang goloknya
siap keluar dari sarungnya?”
Dengan kedua tangan Yan Lam-hwi pegang pedang, katanya: “Aku lebih senang
mati dibawah pedangku sendiri.”
“Aku tahu.”
“Tapi kau tetap ingin menggunakan golokmu.”
“Kau punya persoalan yang tidak mau kau bereskan, demikian pula aku.”
Yan Lam-hwi menepekur, katanya perlahan: “Setelah aku mati, sudikah kau
merawat pedangku ini?”
Dingin suara Pho Ang-soat: “Pedang ada orangnya hidup, orang mati pedangpun
lenyap, bila kau mati, pedang ini akan tetap mendampingi kau.”
Yan Lam-hwi menghela napas panjang perlahan, memejam mata serta berkata:
“Silahkan, silahkan turun tangan.”
Golok Pho Ang-soat sudah bergerak, sebelum meninggalkan kerangka, mendadak
dari luar terdengar suara gemuruh seperti roda raksasa menggelinding dijalan
berbatu, disusul “Blang” yang menggetar seisi rumah. Daun pintu yang memang
sudah keropos mendadak semplak berhamburan, sebuah benda menggelinding masuk
laksana roda kereta, itulah sebuah bola bundar berwarna kuning emas kemilau.
Pho Ang-soat tidak bergerak, Yan Lam-hwi juga tidak berpaling. Bila bola
emas itu menggelundung dibelakangnya, sekejap lagi bakal menumbuk punggungnya.
Tiada seorangpun yang kuat menahan terjangan bola emas ini, terjangan yang
tidak mungkin bisa ditahan oleh tenaga manusia yang berdarah daging.
Pada saat itulah golok Pho Ang-soat tercabut. Hanya sekali sinar golok
berkelebat lalu berhenti. Segala suara, semua gerakan, berhenti seluruhnya.
Bola emas yang menerjang datang dengan dahsyat, hanya sekali tutul dengan tajam
goloknya, lantas berhenti bergerak. Pada saat yang sama itulah, dari dalam bola
emas itu mendadak melesat keluar tiga belas batang ujung tombak runcing menusuk
punggung Yan Lam-hwi.
Yan Lam-hwi tetap tidak bergerak, kembali Pho Ang-soat yang bertindak.
Dimana sinar golok menyambar, ujung tombak rontok seluruhnya. Bola emas yang
kelihatannya berat ribuan kati itu sekilas telah dibacoknya menjadi empat
potong.
Bola emas ini ternyata kosong, laksana kelopak bunga saja empat potongan
bola itu merekah keempat penjuru, lalu muncullah seseorang. Seorang kate,
manusia kerdil duduk bersimpuh diatas tanah, bila kelopak bola itu jatuh
perlahan menyentuh bumi, orang kerdil ini tetap duduk diam tidak bergerak sedikitpun.
Sambaran golok sekali tadi, sekaligus membabat kutung tiga belas batang
tombak, sekalian membelah bola emas itu menjadi empat potong, maka dapat
dibayangkan betapa besar tenaga dan kecepatan samberan golok itu, seolah-olah
sudah membaur dengan kekuatan gaib yang ada di dunia ini, boleh dikata itu
sudah termasuk segala perobahan ilmu pedang yang paling top di dunia ini, cukup
ampuh untuk menghancurkan apa saja di dunia ini.
Tapi setelah tombak putus bola terbelah, manusia kerdil ini tetap bersimpuh
di tanah, bukan saja tidak bergerak, mimik mukanya juga kaku tidak menunjukkan
perobahan, tak ubahnya manusia kayu, seperti pinokio.
Daun pintu jebol, genteng juga runtuh, sekeping genteng kebetulan jatuh mengenai
manusia kerdil itu “Klotak” suaranya keras, ternyata dia memang betul adalah
manusia kayu. Namun Pho Ang-soat tidak pernah lepas pandang. dia tidak
bergerak, diapun diam.
Benarkah manusia kayu bisa bergerak? Kenyataan manusia kayu ini memang bergerak.
Malah bergerak cepat bagai kilat, gerakannyapun aneh dan ganjil, mendadak
dengan tubuhnya yang kecil itu nyeruduk kepunggung Yan Lam-hwi.
Tidak memakai senjata, dengan badan sendiri sebagai gaman, seluruh badan
termasuk kaki tangan adalah gaman. Gaman apapun yang paling dahsyat di dunia
ini pasti digunakan manusia, karena gaman itu sendiri adalah benda mati. Tapi
gaman yang satu ini justru adalah gaman hidup.
Pada saat yang sama, lantai kedai yang kering keras itu mendadak merekah,
sepasang tangan mendadak menyelonong keluar merogoh sepasang kaki Yan Lam-hwi.
Aksi yang tak terduga dan luar biasa inipun mengejutkan. Umpama Yan Lam-hwi
ingin berkelit juga sudah tidak mampu bergerak lagi.
Sepasang tangan yang keluar dari tanah manusia kayu yang mendadak bergerak,
serangan atas dan bawah, kaki manusia kayu menjepit pinggang, sepasang tangan
sudah siap mencekik tenggorokkan. Serangan serentak dari atas dan bawah ini
bukan saja aneh bin ajaib, jelas telah direncanakan secara sempurna pula,
mereka yakin sekali gebrakan pasti tidak akan gagal.
Sayang sekali mereka lupa, bahwa disamping Yan Lam-hwi masih ada sebilah
golok. Golok Pho Ang-soat. Golok yang tiada tandingan di langit maupun di bumi.
Kembali golok hanya berkelebat sekali, sekalipun cukup berlebihan. Empat tangan
seketika tergores luka berdarah, tangan manusia kayu ternyata juga mengeluarkan
darah. Darah yang merah namun raut mukanya yang kelam dan kering tampak mulai
berkerut.
Pegangan terlepas, empat tangan telah melepas pegangannya, seorang
menerobos keluar dari dalam tanah, sekujur badan berdebu, bentuk seperti
manusia tanah diapun seorang kate. Gerakan kedua orang kate ini serasi dan
mirip satu dengan yang lain. Ditengah udara mereka bersalto dan jatuh kearah
pojokan yang sama lalu mengkeret seperti trenggiling.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke dalam kerangkanya, orangnya tetap diam.
Demikian pula Yan Lam-hwi, hakikatnya dia tidak bergerak atau berpaling.
Manusia tanah mendekap tangan yang terluka, mendadak dia mengomel: “Gara-garamu
hingga aku terluka, kau terlalu yakin bahwa sergapan kita pasti tidak akan
gagal.”
Manusia kayu menjawab: “Ya, perhitunganku meleset.”
Manusia tanah mendesis gemas: “Perhitungan meleset, maka kau harus mati.”
“Bahwa tugas ini tidak terlaksana, pulang juga dihukum mati, lebih baik
mati sekarang saja.”
“Mati dengan cara apa yang kau inginkan?”
“Aku ini manusia kayu, sudah tentu harus dibakar.”
“Bagus, lebih baik kalau terbakar sampai jadi abu.”
Manusia kayu menghela napas, entah darimana dia keluarkan ketikan api,
terus menyulut badan sendiri. Api lekas menyala, manusia kayu lantas ditelan
kobaran api yang semakin besar.
Manusia tanah sudah menyingkir kesamping, mendadak dia membentak keras:
“Jangan sekarang kau belum boleh mati, kau masih menyimpan tiga ribu tahil uang
kertas kalau terbakar, uangmu takkan berguna lagi.”
“Kemarilah kau mengambilnya.” terdengar sahutan dari tengah kobaran api.
“Aku takut kebakar.” sahut manusia tanah.
Terdengar helaan napas dari dalam kobaran api, mendadak sejalur air
menyembur keluar dari gugusan api yang menyala, laksana hujan saja menciprat
kemana-mana, kebanyakan jatuh ditengah kobaran api sehingga menimbulkan suara
mendesis yang ramai, maka mengepullah asap tebal. Kobaran api besar itu
seketika padam hanya oleh siraman sejalur air putih, kini berganti kepulan asap
putih yang semakin tebal. Manusia kayu terbungkus di dalam kepulan asap tebal,
siapapun tiada yang melihat bagaimana bentuknya sekarang setelah terbakar.
Bahwasanya Pho Ang-soat tidak pernah perhatikan kejadian sekelilingnya,
yang diperhatikan hanya seorang. Yan Lam-hwi sendiri seolah-olah tidak ambil
peduli akan apa yang terjadi disekitarnya. Lekas sekali asap tebal itu makin
meluap sehingga seluruh kedai arak ini ditelannya, asap terus merembes keluar
melalui celah-celah pintu, lobang jendela dan atap genteng. Angin menghembus
lalu diluar, asap yang keluar seketika buyar tertiup angin.
Kucing yang kurus kering bermalas-malas di luar tadi sedang menyebrang
jalan pula kearah kedai, sambil merunduk dia sembunyi dibelakang sebuah saka.
Kebetulan angin menghembus lalu membawa segumpal asap lewat disekitar tubuhnya.
Kucing itu seketika roboh, setelah kelejetan terus tak bergerak lagi. Setelah
mengalami banyak penderitaan, kelaparan yang tidak mungkin kuat ditahan oleh
manusia. Kucing ini masih bertahan hidup, tapi hanya hembusan asap lalu cukup
membuatnya mati dan mayatnya pun luluh tinggal kerangka saja.
ooooOOoooo
Bab 3. Bulan Terang Di Atas Loteng
Waktu itu Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga sedang berdiri ditengah asap
tebal itu.
Akhirnya asap itu buyar. Asap yang dapat mencabut nyawa, entah betapa
banyak kaum ksatria yang gugur oleh asap ini?
Bila asap telah buyar, sepasang mata manusia kayu tampak bersinar, dia
percaya bahwa kedua orang itu pasti sudah roboh. Terbayang dalam benaknya
mereka sedang meregang jiwa. Meronta dan merintih, merayap kedepannya mohon
diberi obat penawarnya. Demikian pula halnya Ciok Pa-thian dan Tang Hou juga
berlutut di depannya meratap minta belas kasihan. Padahal mereka adalah orang
kuat yang gagah berani di dunia persilatan, namun dikala menghadapi elmaut,
seorang yang pemberani sekalipun juga berobah lemah dan penakut. Penderitaan
dan keputusasaan orang lain dianggapnya sebagai hiburan yang menyenangkan.
Tapi sekali ini dia yang putus asa dan kecewa.
Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi ternyata tidak roboh, mereka tetap tegak
ditempatnya, mata merekapun memancarkan cahaya.
Sinar yang terpancar dari bola mata manusia kayu sudah padam seperti
kobaran api diatas badannya. Pakaiannya yang terbakar hangus juga sudah lenyap
tertiup angin lewat tinggal badannya yang hangus hitam itu mirip kepingan baja
yang tak meman api, tapi juga mirip seonggok kayu yang terbakar jadi arang.
Mendadak Yan Lam-hwi berkata: “Kedua orang ini adalah Ngo-heng-siang-sat.”
Pho Ang-soat hanya mendengus sekali.
“Dalam emas tersembunyi kayu, api dan air satu sumber. Menghilang meminjam
bumi tangan setan menangkap kaki, merupakan sergapan yang susah dijaga
sebelumnya. Nga heng siang sat adalah salah satu dari pembunuh bayaran yang
memperoleh honor tinggi, konon sekarang mereka sudah menjadi kaya raya, harta
miliknya sudah laksaan tahil emas. Sayang sekali banyak hartawan didunia ini,
dalam pendangan kebanyakan orang ternyata tidak berharta sepeserpun.
Lekas manusia tanah unjuk tawa dipaksakan, katanya: “Dia inilah emas, kayu,
api dan air, aku hanya tanah belaka, aku ini mirip keledai dungu, mirip kacang
tanah, mirip ajning kurap” dia mengawasi golok ditangan Pho Ang soat, golok itu
sudah berada dalam serangka, golok hitam. setelah menghela napas dia tertawa
getir, “Umpama kami tidak kenal Pho Tay hiap, juga harus kenal golokmu itu “
Manusia kayu berkata: “Soalnya kami tidak menduga bahwa Pho Tayhiap akan
membelanya”
Pho Ang soat berkata dingin: “Jiwanya ini sudah menjadi milikku. tahu”
“Ya.” Manusia kayu mengiakan. Kecuali aku, siapapun tak boleh mengganggu
seujung rambutnya”
Manusia tanah mengiakan. Lalu katanya: “Asal Pho tayhiap sudi mengampuni
jiwa kami, kami akan segera enyah dari sini”
“Enyah” Pho Ang soat segera menghardik.
Segera kedua orang itu memang menggelundung keluar, menggelundung mirip
bola.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya: “Aku tahu kau pasti takkan membunuh mereka”
“O, apa alasannya?” tanya Pho Ang soat. “Karena mereka tidak setimpal”
Pho Ang soat menatap golok ditangannya, mimik wajahnya menampilkan kesepian
yang tak terperikan. Tidak banyak dia punya kawan, hingga sekarang musuhnyapun
tidak banyak lagi. Memang berapa banyak pula manusia dalam kolong langit ini
yang setimpal untuk dirinya mencabut golok?
Perlahan Pho Ang soat berkata: “Aku pernah dengar, mereka membunuh Ciok Pa
thian, honornya tiga belas laksaan tahil”
“Memang benar.”
“Nilai jiwamu sudah tentu jauh lebih tinggi dibandingkan Ciok Pa-thian.”
“Sudah tentu lebih mahal.”
“Tidak banyak orang yang mampu membayar honor tinggi kepada mereka untuk
membunuhmu.”
Terkancing mulut Yan Lam-hwi.
“Kau tidak bersuara lagi, karena kau sudah tahu siapa orang itu.”
Yan Lam-hwi tetap bungkam tidak memberi tanggapan.
“Cita-citamu yang belum tercapai, yaitu untuk menghadapi orang yang satu
ini?”
Mendadak Yan Lam-hwi tertawa dingin, jengeknya, “Terlalu banyak yang kau
tanyakan.”
“Tidak kau jelaskan?”
“Tidak.”
“Baiklah, silakan pergi.”
“Aku tidak boleh pergi.”
“Jangan lupa kau pinjam setahun kepadaku, dalam jangka setahun ini, kau
tetap hutang terhadapku.”
“Kau ingin aku membayar? Bagaimana aku harus membayar?”
“Selesaikan dulu apa yang harus kau selesaikan.”
“Tapi aku…”
“Kalau kau seorang laki-laki sejati, umpama benar ingin mati juga harus
gugur secara jantan,” demikian desis Pho Ang-soat seraya menatapnya tajam,
kalau dia angkat kepalanya, Yan Lam-hwi justru tertunduk, seolah-olah dia tidak
ingin memperlihatkan mimik mukanya. Mimik muka yang tidak bisa dimengerti oleh
siapapun, entah itu duka dan penasaran, ataukah penderitaan? Atau ketakutan?
“Pedang masih lengkap, jiwamu juga belum layu, kenapa tidak berani kau
menghadapi kenyataan ini?”
Mendadak Yan Lam-hwi angkat kepalanya, kedua tangan menggenggam kencang
pedang, katanya tegas, “Baik, akan kulakukan, tapi setahun kemudian aku pasti
datang.”
“Aku tahu,” ujar Pho Ang-soat.
Arak masih ada di atas meja, mendadak Yan Lam-hwi mencengkeram guci arak,
katanya, “Kau tetap tidak minum?”
“Tidak minum,” jawaban Pho Ang-soat tetap lantang dan tegas.
Kini ganti Yan Lam-hwi yang menatapnya, katanya, “Apa benar orang yang
tidak pernah minum arak pikirannya selalu jernih?”
“Belum tentu,” pendek jawaban Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi terloroh-loroh sambil menengadah, sisa setengah guci arak dia tenggak
sampai habis lalu melangkah lebar keluar pintu. Guci dilempar seenaknya.
Langkahnya lebar jalannya cepat. Karena dia tahu jalan yang harus
ditempuhnya terbentang panjang dan lebar di depan, bukan saja penuh aral
rintang juga tak berujung jauh dan jauh sekali.
Kota mati, jalan raya yang sudah menjadi belukar. Dunia menjadi lengang
oleh kesunyian yang beku seolah-olah tiada kehidupan lagi di keremangan malam
ini.
Malam ini kebetulan bulan purnama, bulan bundar, jikalau hati manusia sudah
cedera, memangnya kenapa kalau bulan purnama? Yan Lam-hwi melangkah lebar di
bawah bulan purnama, bukan saja langkahnya lebar juga kokoh dan cepat.
Tapi Pho Ang-soat tetap mengintil dari kejauhan, betapapun dia melangkah
lebar, betapa cepatnya, setiap kali dia menoleh segera dia melihat si cacad
yang sebatangkara ini, dengan langkahnya yang berat dan gayanya yang lucu,
tetap mengintil di belakang dalam jarak tertentu.
Bintang-bintang bertaburan di angkasa raya, bulan sudah condong ke barat,
malam ini sudah akan menjelang. Fajar telah tak jauh lagi, namun dia masih
berada di belakang dalam jarak yang sama, dengan langkah dan gaya yang sama
pula.
Akhir kali menoleh Yan Lam-hwi tidak tahan lagi, segera dia berseru keras,
“Apakah kau ini bayanganku?”
“Bukan,” sahut Pho Ang-soat.
“Kenapa kau menguntit aku?”
“Karena aku tidak menghendaki kau mati di tangan orang lain.”
Yan Lam-hwi tertawa dingin, katanya, “Tak usah kau berjerih payah,
selamanya aku pandai menjaga diriku sendiri.”
“Betulkah kau mampu?” tanya Pho Ang-soat. Sebelum Yan Lam-hwi menjawab dia
sudah menambahkan, “Hanya seorang yang tidak kenal cinta kasih baru dia dapat
menjaga dirinya sendiri, kau ini seorang pemuda romantis.”
“Dan kau?”
“Umpama aku tahu adanya cinta, juga sudah kulupakan, sudah sejak lama
sekali.”
Roman mukanya tetap pucat kaku, lalu siapa dapat meraba di belakang
sikapnya yang kaku ini menyembunyikan pengalaman hidup merana? Kenangan yang
membawa siksa derita? Bila seseorang benar-benar sudah tidak memiliki hatinya,
cinta sudah pudar, lalu siapa pula dalam dunia ini yang mampu melukai hatinya,
melukai lahir batinnya?
Yan Lam-hwi menatapnya bulat-bulat, katanya perlahan, “Bila kau berpendapat
kau mampu menjaga dirimu sendiri, kukira kaupun keliru.”
“Kenapa keliru?”
“Paling sedikit masih ada seorang yang mampu melukai kau.”
“Siapa?”
“Kau sendiri.”
ooooOOoooo
Fajar menyingsing. Matahari telah terbit. Cahaya surya telah menerangi
mayapada, menyinari batu pilar di pinggir jalan, di atas batu itu terukir tiga
huruf besar yang berbunyi Hong-hong-kip. Hanya batu pilar itu dengan tiga
ukiran huruf yang sama, tidak berbeda sejak setahun yang lalu.
Sebenarnya Pho Ang-soat bukan lelaki yang gampang menunjukkan suka dukanya,
tapi waktu dia melewati batu pilar itu, tak betahan dia menoleh dan melirik
beberapa kali. Memangnya tiada sesuatu ayng abadi didunia ini, demikian pula
kehidupan manusia mengalami banyak perobahan hanya tempat saja ini saja yang
tidak mengalami banyak perobahan.
Ternyata Yan Lam hwi dapat meraba isi hatinya, mendadak dia tanya: “Kau
tidak mengira?”
Pho Ang soat manggut manggut, katanya “Aku tidak mengira, kau justru tahu
bahwa tempat ini sudah menjadi kota mati, maka kau membawa rombongan musik dan
pelacur serta hidangan lezat itu kemari”
Ternyata Yan Lam hwi tidak menyangkal.
“Tentunya kau juga sudah tahu kenapa tempat ini berobah menjadi kota mati?”
“Sudah tentu aku tahu”
“Apa sebabnya?”
Terpancar perasaan derita dan amarah yang bercampur baur pada sorot mata
Yan Lam hwi, agak lama kemudian baru dia berkata perlahan: “Karena aku”
“Karena engkau? Bagaimana kau bisa membikin kota yang makmur menjadi kota
mati?”
Yan Lam Hwi tutup mulut. Bila dia menutup mulut, bentuk bibirnya kelihatan
tebal kaku dan kedutan, seolah olah mendekati kejam dan buas. Oleh kerana itu
bila dia sudah bungkam, siapaun sudah harus tahu bahwa dia menolak diajak
bicara karena itu Pho Ang soat pun menutup mulutnya.
Akan tetapi mata mereka tidak boleh terpejam, waktu mereka menoleh pula
kearah depan bersamaan mereka melihat seekor kuda mencongklang pesat dari
cabang jalan sebelah kiri yang bertanah tandus kearah sini, kusa itu memang
berlari bagai terbang.
Kudanya bagus, penunggangnya juga cekatan dan cukup ahli, begitu mereka
menoleh melihat kuda itu. kuda dan penunggangnyapun sudah berasa didepan mata.
Mendadak Yan Lam hwi memburu maju sambil menjejak kaki, tubuhnya melejit
bersalto diudara, melesat lewat diatas kepala kuda, bila dia sudah menginjak
kakinya dibumi pula tali kekang kuda itupun sudah dipegangnya dan ditariknya
kencang. selama tubuhnya berdiri kokoh, sekokoh tonggak yang terpendam didalam
tanah, hanya dengan sebelah tangannya dia berhasil menguasai kuda binal ini.
Kuda itu meringkik sambil berjingktak berdiri dengan kaki belakang. Karuan
penunggang kuda membentak gusar, pecut ditangan terayun menghajar kepala Yan
lam hwi. Tapi pecutnya itu juga kena ditangkap, kontan penunggangnya tertarik
jatuh jumpalitan, wajahnya kelihatan basah oleh keringat, saking murka dan
menahan takut, kulit dagingnya tampak kedutan dan berkerut kerut, dengan
terbeliak dia mengawasi Yan Lam hwi.
Yan Lam hwi tersenyum, katanya: “Kenapa kau buru buru menempuh perjalanan?”
Penunggang kuda itu menahan sabar, setelah melihat kepandaian Yan Lam Hwi
yang mengejutkan, tak bisa tidak dia harus bersabar, tak berani dia menjawab;
“Aku hendak melayat”
“Apakah familimu ada yang mati?”
“Ya, pamanku yang kedua.”
“Bila kau memburu kesana, apakah kau mampu menolong jiwanya?”
“Tidak bisa, jelas tidak mungkin.”
“Kalau kau tidak bisa menghidupkannya lagi, kenapa pula kau membedal kuda
sekencang itu?”
Penuggang kuda itu bertanya: “Sebetulnya apa kehendakmu?”
“Aku ingin membeli kudamu ini.”
“Tidak kujual.”
Sekenanya Yan Lam hwi merogoh sekeping emas dilempar kedepan orang itu,
ujarnya: “Mau tidak menjualnya?”
Penunggang kuda terbelalak kaget, lama dia menjublek mengawasi kepingan
emas itu, akhirnya dia menarik napas panjang dan menggumam: “Orang mati tak
bisa hidup lagi, buat apa aku buru buru menempuh perjalanan”
Yan Lam hwi tertawa, dia mengelus bulu suri sikuda jantan yang gagah ini,
katanya kepada Pho Ang soat dengan tersenyum: “Aku tahu aku takkan mampu
meninggalkan ungkau, tapi sekarang aku sudah memiliki enam kaki”
Pho Ang soat diam saja.
Yan Lam hwi tertawa besar, serunya mengulap tangan: “Selamat bertemu,
setahun lagi kita bertemu” kudanya kuda pilihan, penalanya juga terbikin oleh
tukang yang ahli, baru saja dia hendak melompat kepunggung kuda mendadak sinar
golok berkelebat. Pho Ang saot telah memcabut goloknya namun hanya sekali
berkelebat, golok itu sudah kembali kedalam selangkanya, kuda itu tidak
terkejut kerananya, orangpun tiada yang terluka, semberan sinar golok tadi
seperti bintang jatuh diangkasa raya, membawakan harapan dan keindahan bagi
umat manusia, jadi bukan lagi rasa ketakutan, kaget atau ngeri.
Akan tetapi Yan Lam hwi justru teramat kaget, matanya menatap golok
digenggaman tangannya, katanya: “Aku tahu biasianya jarang kau mencabut pedang.
Golokmu itu bukan untuk dipamerkan kepada orang kali ini kenapa tanpa sebab kau
justru mencabut golok?”
“Karena pahamu”
“Karena pahaku?”
“Jangan kira kau punya enam kaki, begitu kau naik kepunggung kuda ini, maka
kau tidak akan punya kaki lagi, sebuah kakipun tiada “
Memicing ngeri mata Yan Lam hwi, mendadak dia menoleh, segera dia melihat
darah.
Darah kental itu mengalir, bukan mengalir dari tubuh manusia, juga bukan
keluar dari badan kuda. Tapi darah itu mengalir dari dalam pelana. Penunggang
kuda yang sudah duduk dipinggir jalan mendadak melompat, laksana anak panah dia
menerobos jauh kesana.
Ternyata Pho Ang soat tidak merintangi, demikian pula Yan Lam hwi tidak mengudak,
malah menolehpun tidak. Matanya terus menatap pelana, perlahan dia ulur dua
jarinya menarik pelana ternyata yang dijinjingnya hanya bagian atas. Pelana
yang terbuat secara antik ini sekali bocah ternyata terbelah menjadi dua.
Kenapa pelana bisa mengalirkan darah? Jelas tidak mungkin. Darah itu
dingin, karena darah itu mengalir dari tubuh ular, dan ular itu berada didalam
pelana. Empat ekor ular beracun, empat ekor ular itupun terbacok putus oleh
selarik sinar golok tadi.
Jikalau seseorang duduk diatas pelana. jikalau pelana itu berlobang hingga
kepala ular bisa menongol keluar, jikalau seseorang telah membuka tutup lobang
itu.
Jikalau empat ekor uler itu sekaligus mengigit paha penunggang kuda. Apakah
penunggang kuda itu masih mampu mempertahankan pahanya? Terbayang semua hal
ini, mau tidak mau berkeringat dingan telapak tangan Yan Lam hwi.
Tapi sebelum dia mencucurkan keringat dingin. kupingnya sudah mendengar
jeritan yang mengerikan, seperti dana manusia yang mendadak ditusuk pedang. Penunggang
kuda yang melarikan diri tadi sudah mengembangkan ginkang Yan cu sam jau cui
melesat tujuh tombak jauhnya. Tapi waktu dia melompat untuk keempat kalinya,
mendadak mulutnya menjerit panjang, tubuh yang sudah terapung diudara seketika
terjungkal jatuh.
Samberan sinar golok tadi bukan saja membelah pelana, memotong ular,
ternyata juga melukai hatinya, waktu dia terjungkal roboh, lalu meringkel dan
kelejetan seperti ular yang sekarat. Tiada orang menoleh menyaksikan
keadaannya.
Perlahan Yan Lam-hwi menurunkan pelana yang berada di tangannya, waktu dia
angkat kepala, matanya menatap tajam wajah Pho Ang-soat.
Tangan Pho Ang-soat menggenggam golok, golok di dalam sarungnya.
Lama Yan Lam-hwi merenung, akhirnya menarik nafas panjang, katanya, “Sayang
aku dilahirkan terlambat, belum pernah aku melihatnya.”
“Apa kau pernah melihat pisau Yap Kay?” tanya Pho Angsoat.
“Sayang aku tidak berjodoh, aku…”
“Kau tidak berjodoh, tapi beruntung dulu ada juga orang yang melihat
pisaunya menyamber…”
“Tapi orang yang pernah melihat pisaunya itu semua sudah mati?”
“Umpama orangnya belum mati, hatinya pasti sudah mampus.”
“Hatinya mampus?”
“Siapa saja, asal pernah melihat pisaunya itu menyerang, maka selama hidup dia
tidak akan berani memakai pisau lagi.”
“Tapi Yap Kay menggunakan pisau terbang.”
“Pisau terbang juga pisau.”
Yan Lam-hwi mengakui, hanya mengakui. Pisau memang banyak jenisnya, pisau
jenis apapun dia tetap pisau, pisau jenis apapun dapat untuk membunuh orang.
“Kau pernah menggunakan pisau?” tanya Pho Ang-soat.
“Tidak,” sahut Yan Lam-hwi pendek.
“Pernah kau melihat orang yang benar-benar mahir menggunakan pisau?”
“Ya, hanya beberapa gelintir saja.”
“Kalau begitu kau tidak setimpal bicara soal pisau.”
Yan Lam-hwi tertawa, ujarnya, “Betul mungkin aku tidak setimpal bicara soal
pisau, mungkin golokmu juga bukan tiada tandingan di kolong langit ini, hal ini
aku tidak bisa pastikan, aku hanya bisa memastikan satu hal.”
“Satu hal apa?”
“Sekarang aku punya enam kaki, kau sebaliknya hanya dua saja,” di tengah
gelak tawanya kembali dia mencemplak ke punggung kuda. Meski pelana sudah
rusak, ular sudah mati tapi kuda itu tetap segar bugar. Lari kuda seperti
berlomba dengan angin meninggalkan kepulan debu di belakangnya.
Pho Ang-soat menunduk, mengawasi kaki sendiri, sorot matanya memancarkan
perasaan yang sukar dilukiskan, entah itu mencemooh atau menyindir, “Kau
keliru, aku bukan hanya dua kaki, aku hanya punya satu.”
ooooOOoooo
Setiap kota tentu ada restoran, setiap restoran tentu berusaha dalam jangka
panjang tentu mempunyai pelayanan yang istimewa, masakan yang khas.
TapitidakdemikiandenganBan-siu-kouini, keistimewaannya adalah mahal, mau
apapun yang tersedia disini, meski hanya sepiring nasi putih dan segelas teh
juga harganya jauh lebih mahal dari restoran lain di manapun.
Manusia memang banyak cirinya, menghamburkan uang, bermuka-muka, menjaga
gengsi merupakan salah satu ciri terlemah dari watak manusia. Oleh karena itu,
suatu tempat yang memasang tarif tinggi, usaha dagangnya justru maju.
Waktu Yan Lam-hwi keluar dari Ban-siu-lou, melihat kudanya yang terikat di
luar pintu, tak tertahan dia berteriak. Dua kaki betapapun tak lebih unggul
dari enam kaki. Siapapun asal dia manusia pasti punya keinginan untuk
membebaskan diri dari bayangan sendiri, bukankah inipun salah satu ciri dari
manusia. Tapi waktu dia menarik tali kekang kuda sebelum berbuat lebih banyak,
matanya tawanya seketika kuncup.
Karena begitu dia angkat kepala, matanya sudah melihat Pho Ang-soat. Pho
Ang-soat berdiri di seberang jalan, mengawasinya dingin. Wajah yang pucat,
sorot mata dingin, golok yang hitam.
Yan Lam-hwi tertawa. Pantat kuda dipukulnya sekali, kuda lari pergi. Dia
tetap berdiri di situ, dengan tersenyum dia mengawasi Pho Ang-soat. Lari kuda
meninggalkan kepulan debu, bila debu sudah buyar tertiup angin baru dia
menyeberang jalan menghampiri Pho Ang-soat, katanya tersenyum, “Akhirnya kau
toh menyusulku juga. Karena siapa pun yang ingin kau kuntit, maka jangan harap
orang itu dapat lolos.”
Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.
Yan Lam-hwi menghela nafas, katanya, “Untung aku ini bukan cewek, kalau
dikuntit seketat ini, tidak ingin kawin dengan kau juga tidak mungkin.”
Wajah yang pucat itu mendadak menampilkan rasa jengah, warna merah yang
menakutkan, ternyata pelupuk matanya pun berkerut dan kedutan seperti menahan
derita yang luar biasa. Entah ada derita apa yang menjadi kenangan dalam
benaknya? Hanya sepatah kata kelakar yang tidak disengaja kenapa bisa
membuatnya begitu merana?
Yan Lam-hwi segera tutup mulut, selamanya dia tidak suka melukai hati
orang. Bila tanpa sengaja dia melukai hati orang, sanubarinya sendiripun akan
ikut merasa sedih.
Maka kedua orang ini berdiri berhadapan di emper depan sebuah toko roti.
Di dalam toko kebetulan ada seorang nenek tua kurus kering yang membawa dua
bocah laki perempuan sedang memilih roti. Belum keluar pintu, kedua bocah itu
sudah ribut minta makan roti, di mulut nenek itu berkata, “Di jalanan tidak
boleh makan.” Tak urung dia membuka bungkusan, merogoh keluar dua potong roti
dan dibagikan kepada kedua cucunya.
Tak nyata setelah menerima roti kedua bocah itu malah makin ribut. Yang
laki mencak-mencak dan berteriak, “Kenapa Siau Bing diberi roti yang lebih
besar? Aku minta tukar.”
Sudah tentu bocah perempuan itu tidak mau, bocah laki itu lantas memburu
hendak merebut, yang perempuannya berlari kejar mengejar mengelilingi si nenek,
mau mencegah juga kalah gesit, terpaksa si nenek hanya berkaok-kaok, menghela
nafas serta geleng-geleng.
Anak perempuan larinya sudah tentu kalah gesit dan cepat, karena kewalahan berputar
di sekitar badan sang nenek, akhirnya dia berlari ke belakang Yan Lam-hwi,
menarik lengan baju Yan Lam-hwi seraya berseru, “Paman yang baik, tolonglah
aku, dia ini perampok cilik.”
Anak lelaki itu berteriak, “Mana bisa paman ini membantu kau, kita kan
sama-sama laki, biasanya lelaki membantu lelaki.”
Yan Lam-hwi tertawa, walau nakal tapi kedua anak ini kelihatan pintar dan
lincah jenaka. Yan Lam-hwi juga pernah mengalami masa kanak-kanak, masa
kanak-kanak adalah masa keemasan, masa yang tiada arti duka-lara dan masa
kanak-kanak takkan pernah kembali lagi, teman bermain sejak kecil yang tak
pernah terlupakan dalam benaknya, entah sekarang sudah menikah dengan siapa.
Dari kenakalan kedua bocah laki perempuan ini, seolaholah dia melihat masa
lampau waktu dirinya juga masih kanakkanak dulu, mendadak hatinya diliputi rasa
hangat, mesra tapi juga mendelu, tanpa sadar dia menarik kedua bocah itu serta
berkata lembut, “Kalian jangan ribut, biar paman membelikan roti pula untuk
kalian, setiap orang sepuluh buah.”
Berseri wajah kedua bocah itu, seri tawa jenaka yang riang, berebut kedua
orang ini memeluknya, Yan Lam-hwi juga mengulur tangan, seorang satu hendak
dipeluknya.
Pada saat itulah sinar golok berkelebat, Pho Ang-soat yang selamanya tidak
sembarangan mengeluarkan senjatanya, mendadak mencabut goloknya. Begitu sinar
golok menyambar, roti yang dipegang kedua bocah itu sudah tertabas jatuh di
tanah menjadi dua potong.
Kejadian yang mendadak itu keruan membuat kedua anak itu kaget terpana, dengan
menangis keras mereka berlari balik ke samping sang nenek.
Yan Lam-hwi sendiri juga tertegun, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, wajahnya tidak
memperlihatkan perubahan perasaan apa-apa.
Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, “Sekarang baru aku mengerti,
kecuali untuk membunuh orang golokmu itu masih ada pula gunanya.”
“Hm,” Pho Ang-soat hanya mendengus dalam tenggorokan.
“Golokmu inipun berguna untuk menakuti bocah.”
“Ya, tapi aku hanya menakuti satu macam bocah.”
“Bocah macam apa?”
“Bocah yang berani membunuh orang.”
Kembali Yan Lam-hwi melengak, perlahan dia menoleh, dilihatnya si nenek
sedang menyurut mundur sambil memeluk kedua anak itu. Kedua bocah itu tidak
menangis lagi, matanya terbeliak, dengan penuh kebencian mereka melotot kepada
Yan Lam-hwi. Terpancar cahaya kebencian dan dendam kesumat dari sinar matanya.
Yan Lam-hwi menundukkan kepala, hatinya juga seperti tenggelam, dari dalam
roti yang tertabas jatuh di tanah ternyata memancarkan cahaya gemerlap. Waktu
dia memungut setengah potong di antaranya, segera dia mendapatkan di dalam roti
ternyata berisi sebuah bumbung kecil berisi jepretan jarum, itulah
Ngo-tok-hwi-ciam, jarum terbang yang mengandung panca bisa. Laksana burung
terbang, mendadak dia melesat ke depan dan berdiri di depan nenek itu, katanya,
“kau inikah Kwi-gwa-po?”
Nenek itu tertawa, wajahnya yang kecil dan tirus itu mendadak berubah
bengis menyeringai, katanya, “Sungguh tak nyana ternyata kau tahu juga tentang
diriku.”
Yan Lam-hwi menatapnya lama, katanya kemudian, “Tentu kau juga tahu aku
punya semacam kebiasaan?”
“Kebiasaan apa?”
“Selamanya tidak pernah membunuh perempuan.”
“Itu kebiasaan baik.”
“Walau kau sudah tua, jelek-jelek kau juga perempuan.” Kwi-gwa-po menghela
napas, katanya, “Sayang kau tidak pernah melihat tampangku waktu masih muda,
kalau tidak ...”
“Kalau tidak, aku tetap akan membunuhmu,” desis Yan Lam-hwi.
“Masih segar dalam ingatanku, barusan kau bilang selamanya tidak pernah
membunuh perempuan.”
“Tapi kau boleh dikecualikan.”
“Kenapa aku harus dikecualikan?”
“Anak-anak masih berjiwa polos dan bersih, tak pantas kau memperalat
mereka, kau menyia-nyiakan masa depan mereka.”
Kwi-gwa-po tertawa lagi, tawa yang menakutkan, katanya, “Nenek yang baik
sayang kepada cucunya, anak-anak itu juga senang mengerjakan sesuatu untuk
neneknya, memangnya apa sangkut-pautnya dengan kau.”
Yan Lam-hwi bungkam, dia segan membicarakan soal ini, dia sudah menggenggam
gagang pedang. Pedang yang merah, merah bagai darah segar.
Kwi-gwa-po menyeringai, katanya, “Orang lain takut terhadap Jio-hwi-kiam,
aku....”
Ternyata dia tidak meneruskan ucapannya, mendadak sebungkus roti yang
dipegang dibantingnya ke tanah dengan gregetan.
“Blam”, ledakan cukup keras menimbulkan kepulan asap dan debu, dibarengi
sinar bintik-bintik.
Yan Lam-hwi bersalto di tengah udara, mundur dua tombak jauhnya.
Setelah asap dan debu buyar tertiup angin, bayangan Kwigwa-po dan kedua
bocah itu sudah tidak kelihatan lagi, tanah dimana tadi mereka berpijak sudah
berlubang besar. Orang-orang merubung maju, lekas sekali mereka pun bubar,
tiada tontonan yang bisa mereka saksikan di sini.
Yan Lam-hwi masih berdiri menjublek, lama sekali baru dia berputar ke arah
Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tetap bersikap dingin laksana es.
Akhirnya Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Kali ini kau tidak meleset
juga.”
“Jarang sekali aku meleset.”
“Tapi anak-anak itu tidak berdosa, pasti sejak kecil mereka telah diculik
dan dididik oleh Kwi-gwa-po ... dengan berbagai daya-upaya dia menggembleng
kedua bocah itu, jadi sejak kecil mereka sudah diajar berbuat jahat, menanam
dendam dan dosa.”
“Karena itu sepantasnya kau tidak memberi ampun kepadanya.”
“Aku tidak menyangka dalam bungkusan roti di tangannya disembunyikan granat
tangan buatan Pi-lik-tong dari Kanglam.”
“Seharusnya kau sudah menduga, jika jarum bisa disembunyikan di dalam roti,
maka mungkin saja juga bisa dimasuki granat tangan itu.”
“Jadi kau sudah menduga sebelumnya?”
Pho Ang-soat tidak menyangkal.
“Bahwa kau juga berpendapat tidak pantas membiarkan dia pergi, kenapa kau
tidak turun tangan.”
“Karena dia bukan hendak membunuh aku, aku pun tidak mengira bahwa kau
begini goblok.”
Yan Lam-hwi menatapnya, mendadak dia tertawa, tertawa getir.
“Mungkin bukan aku yang goblok, tapi karena kau terlalu cerdik sampai
sekarang aku masih belum mengerti racun dalam asap, ular dalam pelana, cara
bagaimana kau bisa mengetahui?”
Pho Ang-soat membungkam agak lama, akhirnya berkata dengan perlahan, “Cara
membunuh orang banyak macamnya, membokong adalah salah satu cara di antaranya,
malah cara ini paling menakutkan?”
“Aku tahu.”
“Tahukah kau berapa macam pula cara membunuh secara membokong.”
“Aku tidak tahu.”
“Tahukah kau selama tiga ratusan tahun ini, berapa banyak orang mati
terbunuh karena dibokong.”
“Tidak tahu.”
“Sedikitnya ada lima ratus tiga puluh delapan orang.”
“Kau pernah menghitung?”
“Aku pernah menghitung, menghabiskan waktu tujuh tahun baru jelas
seluruhnya.”
“Kenapa kau membuang waktu dan tenaga hanya untuk menghitung jumlah orang
mati?”
“Karena kalau aku tidak pernah menghitungnya, sekarang paling sedikit aku
sudah mati belasan kali dan kau juga sudah mati tiga kali.”
Perlahan Yan Lam-hwi menghembuskan napas, ingin membuka mulut namun
dibatalkan pula.
“Lima ratus tiga puluh delapan orang yang kumaksud, semua adalah jago kosen
kelas wahid di Bu-lim, orang yang membunuh semestinya bukan tandingan mereka.”
“Soalnya cara orang-orang itu membunuh lawannya teramat keji dan lihai,
maka mereka berhasil dengan baik.”
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Yang mati terbunuh ada lima ratus tiga
puluh delapan, tapi pembunuhnya ternyata hanya empat ratus delapan puluh tiga.”
“Karena di antara korban terbunuh di tangan orang yang sama.”
“Caranya membunuh korbannya juga ada beberapa di antaranya yang sama.”
“Itu bisa kuduga.”
“Seluruhnya mereka menggunakan dua ratus tujuh puluh dua cara.”
“Dua ratus tujuh puluh dua cara membunuh orang, sudah tentu adalah cara
yang paling ganas, paling lihai dan hebat.”
“Sudah tentu.”
“Kau tahu berapa di antaranya?”
“Dua ratus tujuh puluh dua macam.”
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya dengan menggeleng kepala, “Sebetulnya
satu cara pun aku tiada yang tahu.”
“Sekarang paling sedikit kau sudah tahu tiga di antaranya.”
“Kukira tidak terbatas tiga macam saja.”
“Tidak terbatas?”
“Tahukah kau selama setengah tahun ini berapa kali aku pernah dibokong
orang?”
Pho Ang-soat menggeleng.
“Tidak termasuk yang pernah kau saksikan, seluruhnya tiga puluh sembilan
kali.”
“Cara yang mereka gunakan berbeda?”
“Bukan saja berbeda, malah semuanya tidak pernah kuduga, tapi sampai
sekarang aku masih hidup.”
Kali ini giliran Pho Ang-soat yang bungkam.
Di tengah tawa lebarnya Yan Lam-hwi berputar beranjak pergi, membelok ke
sebuah jalan melintang di seberang sana, di jalan ini terdapat sebuah gedung
berloteng, di atas loteng terdapat kembang wangi, aroma kembang apakah itu?
Apakah kembang mawar?
Loteng itu tinggi, di atas loteng ada jendela, rembulan bergantung di luar
jendela, di bawah rembulan kembang mekar. Kembang bunga mawar, bulannya bulan
purnama. Di sini tiada lampu, sinar bulan menyorot masuk lewat jendela,
menyinari bunga mawar di samping Yan Lam-hwi. Bukan saja di sampingnya terdapat
bunga mawar, ada pula seorang yang pernah tertusuk duri mawar.
Malam telah larut. Manusia pantas mabuk, tapi Yan Lamhwi tidak mabuk,
sepasang matanya tetap cemerlang laksana rembulan, namun mimik mukanya seperti
orang yang tangannya tertusuk duri mawar, kalau mawar ada durinya, bagaimana
dengan Bing-gwat (bulan purnama)? Bing-gwat punya hati, maka dia bernama
Bing-gwat-sim.
Malam makin kelam, cahaya bulan lebih jernih, wajahnya juga lebih molek,
namun rona mukanya kelihatan amat menderita. Lama dia memandangnya dari dekat,
akhirnya menghela napas, tanyanya, “Apa yang sedang kau pikirkan?”
Agak lama juga Yan Lam-hwi termenung, lalu menjawab lirih, “Aku sedang
memikirkan dua orang.”
Makin lembut suara Bing-gwat-sim, “Satu di antara kedua orang yang sedang
kau pikirkan adakah aku di antaranya?”
“Tidak,” ujar Yan Lam-hwi, suaranya dingin. “Bukan kau.”
Si cantik tertusuk pula, namun dia tidak kenal mundur, tanyanya pula,
“Bukan aku, lalu siapa?”
“Seorang jelas adalah Pho Ang-soat.”
“Pho Ang-soat? Orang yang menunggumu di Hong-hongkip? Bukankah dia
musuhmu?”
“Bukan.”
“Jadi temanmu?”
“Juga bukan,” mendadak Lam-hwi tertawa sendiri.
“Selamanya kau tidak akan menduga, kenapa dia mau menungguku di
Hong-hong-kip?”
“Ya, kenapa?”
“Dia menungguku di sana untuk membunuh aku.”
“Tapi kenyataan dia tidak membunuhmu.”
“Bukan saja tidak membunuhku, malah tiga kali pula dia menyelamatkan
jiwaku.”
“Apa yang dilakukan lelaki seperti kalian, kaum hawa seperti aku ini
selamanya takkan tahu.”
“Memang kalian tidak akan mengerti.”
Bing-gwat-sim memandang keluar, menatap bulan purnama di luar jendela.
“Siapa pula seorang lagi yang kau pikirkan?”
Sorot mata yang mengandung sindiran kini berubah menjadi tekanan derita,
perlahan suaranya, “Seorang yang ingin kubunuh, sayang aku sendiri tahu,
selamanya aku tidak akan bisa membunuhnya.”
Mengawasi betapa besar derita batinnya, sorot mata Binggwat-sim ikut guram,
demikian pula cahaya rembulan di luar jendela juga seperti redup, segumpal mega
melayang menutupi bulan purnama.
Tiba-tiba dia berbisik, “Kau sudah harus tidur, aku pun harus berlalu.”
“Pergilah kau,” ucap Yan Lam-hwi tanpa mengangkat kepala.
Bing-gwat-sim berkata pula, “Aku maklum akan perasaanmu sekarang,
seharusnya aku tetap di sini
menemani kau, tapi...”
“Tapi kau harus berlalu, karena meski kau berada dalam lingkunganmu ini, di
sini tak pernah kau menerima tamu, apalagi sampai menginap, bahwa aku bisa
menginap semalam di sini terhitung kau sudah memberi muka kepadaku.”
Bing-gwat-sim menatapnya, lama-lama sorot matanya menampilkan penderitaan,
mendadak dia berputar, katanya rawan dan sendu, “Mungkin aku tidak pantas
menahanmu di sini atau mungkin kau tidak patut kemari.”
Bulan purnama sudah tidak terlihat lagi, mega mendung, hujan pun turun amat
lebat.
Mawar yang mekar di jendela pun rontok tertimpa air hujan. Tapi di bawah
dinding di depan sana ada seorang yang tak pernah rontok. Bukan saja tidak
dapat merontokkan orangnya, juga tak akan bisa merontokkan hatinya.
Waktu Yan Lam-hwi mendorong jendela, dia melihat orang itu.
“Dia masih di situ,” demikian mulutnya menggumam, “hujan makin deras, tapi
orang itu masih berdiri tegak tak bergerak, umpama titik air hujan yang
berlaksa banyaknya itu berubah menjadi laksaan pisau, orang itu juga tidak akan
menyurut barang setapak pun.”
Yan Lam-hwi tertawa getir, “Pho Ang-soat, Pho Ang-soat, kenapa kau adalah
manusia bukan kebanyakan manusia?”
Angin berhembus santer, air hujan memukul mukanya, dinginnya menyentuh
sanubari. Rasa dingin ini justru membakar darah panasnya, entah darimana timbul
hasratnya, mendadak dia menerobos keluar jendela, menerobos hujan lebat yang
dingin, dia melompati tembok, melayang ke depan Pho Ang-soat.
Sukma Pho Ang-soat seperti berada di tempat jauh, tidak merasakan datangnya
hujan lebat ini, juga tidak melihat kedatangannya. Hanya sekejap Yan Lam-hwi
sudah berdiri di tengah hujan lebat itu, sekujur badannya juga sudah basah
kuyup. Tapi bila Pho Ang-soat tidak buka suara, dia pun tidak buka mulut.
Untunglah sorot mata Pho Ang-soat akhirnya berputar ke arahnya, suaranya
dingin, “Di luar sedang hujan, hujan lebat.”
“Aku tahu.”
“Seharusnya kau tidak keluar.”
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Kalau kau boleh kehujanan di luar, kenapa
aku tidak?”
“Boleh saja,” kata Pho Ang-soat, lalu dia mengalihkan sorot matanya, jelas
dia siap mengakhiri percakapan ini.
Tapi Yan Lam-hui tidak mau mengakhiri, katanya pula, “Sudah tentu aku boleh
kehujanan, setiap orang bebas untuk berdiri di tengah hujan.”
Sorot mata Pho Ang-soat lurus lengang, seolah-olah sukmanya pergi ke tempat
nan jauh.
Yan Lam-hwi menambah keras suaranya, “Tapi aku bukan sengaja keluar untuk
berdiri di tengah hujan.” Suaranya mendekati jeritan, jauh lebih keras dari
suara hujan deras.
Betapapun Pho Ang-soat tidak tuli, akhirnya dia bertanya tawar, “Lalu untuk
apa kau keluar?”
“Aku ingin memberitahu sebuah persoalan, sebuah rahasia.”
Sorot mata Pho Ang-soat seketika memancarkan cahaya, katanya, “Jadi kau
sudah siap memberitahu kepadaku sekarang?”
Yan Lam-hwi mengangguk.
“Semula bukankah mati pun kau tidak mau menjelaskan kepadaku?”
“Ya, sebetulnya aku sudah bertekad bulat, kepada siapa pun tidak akan
kujelaskan.”
“Kenapa sekarang mau kau jelaskan kepadaku?”
Yan Lam-hwi menatap mukanya, menatap air hujan yang mengalir di mukanya,
muka yang pucat, katanya, “Sekarang aku mau memberitahu kepadamu, karena
mendadak aku menemukan satu kenyataan.”
“Kenyataan apa?”
Yan Lam-hwi menyeringai tawa, suaranya tawar, “Kau bukan manusia,
hakikatnya bukan.”
ooooOOoooo
Bab 4. Ibu Jari Tangan Hitam
Bukan manusia lalu apa? Binatang? Setan? Kayu? Batu? Atau malaikat? Dewa?
Mungkin semuanya bukan. Cuma sepak terjangnya, apa yang dia lakukan selalu
melampaui batas kemampuan orang kebanyakan, melampui daya tahan dan kesabaran
orang awam umumnya. Dalam hal ini Yan Lam-hwi mempunyai alasan, 'Umpama kau ini
manusia, paling juga termasuk manusia yang bukan manusia'.
Pho Ang-soat tertawa, ternyata dia masih bisa tertawa. Umpama dia tidak
tertawa benar-benar, tertawa lebar umpamanya, sorot matanya sudah menampilkan
rona yang tajam. Hal ini jarang terjadi dan merupakan kejadian luar biasa,
bagaikan di tengah hujan lebat di antara mega mendung mendadak terbersit
selarik sinar surya.
Yan Lam-hwi mengawasinya, mendadak dia menghela napas, katanya, “Yang
membuatku di luar dugaan adalah manusia yang bukan manusia macammu ini ternyata
juga bisa tertawa.”
“Bukan saja bisa tertawa, juga pandai mendengar,” ujar Pho Ang-soat.
“Kalau begitu marilah ikut aku.”
“Kemana?”
“Ke tempat yang tak bakal kehujanan, ke tempat yang ada arak.”
Di atas loteng kecil itu ada arak, juga ada lentera, di malam nan dingin
ini, terasa lebih hangat dari senyum tawa Pho Angsoat. Tapi Pho Ang-soat hanya
menengadah sekilas, rona tawa dalam matanya seketika membulat dingin, katanya,
“Itulah tempat tujuanmu, bukan tempatku.”
“Kau tidak mau?”
“Pasti tidak.”
“Kalau aku boleh ke sana, kenapa kau tidak?”
“Karena kau bukan aku, dan aku bukan kau.”
Justru karena kau bukan aku, maka kau pasti takkan tahu duka-lara dan
penderitaanku. Hal ini tidak dia ucapkan, juga tidak perlu diucapkan.
Tapi Yan Lam-hwi sudah melihat penderitaannya, karena menderita hingga
kulit mukanya tampak berkerut dan kedutan.
Tempat itu hanyalah sarang pelacur, tempat setiap lelaki mencari hiburan,
kenapa justru memancing reaksi penderitaannya? Mungkinkah di tempat seperti ini
dia mempunyai kenangan lama yang menyebabkan dia menderita?
Mendadak Yan Lam-hwi bertanya, “Adakah kau melihat orang yang menemani aku
pergi ke Hong-hong-kip? Orang yang memetik harpa itu?”
Pho Ang-soat menggeleng tanpa bersuara.
“Aku tahu kau tidak melihatnya, karena kau tidak minum arak, selamanya juga
tidak melihat perempuan.” Wajah Pho Ang-soat ditatapnya, lalu melanjutkan
dengan perlahan,
“Apakah lantaran arak dan perempuan yang membuat hatimu terluka?”
Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak buka suara, namun setiap inci kulit
daging mukanya seperti mengejang. Karena setiap patah pertanyaan Yan Lam-hwi
setajam jarum menusuk sanubarinya.
Di tempat hiburan, kenapa tidak mungkin terjadi kenangan yang penuh derita?
Tanpa hiburan darimana datangnya sengsara?
Yan Lam-hwi tutup mulut, dia tidak ingin bertanya lagi, tidak tega
mengajukan pertanyaan lagi.
Pada saat itulah dari belakang tembok mendadak melesat terbang dua orang,
“Bluk”, seorang di antaranya jatuh di tanah untuk tidak bergerak lagi, seorang
lagi menggunakan Yan-cusam-jau-cui, Ginkang tingkat tinggi untuk meluncur ke
loteng di seberang sana.
Waktu Yan Lam-hwi keluar, jendela sudah terbuka, lentera juga menyala. Di
bawah sinar lentera yang menyorot keluar hanya terlihat sesosok bayangan
langsing yang lincah cekatan berkelebat sekali, terus menerobos masuk jendela.
Yang roboh di atas tanah adalah seorang kakek tua berbaju hitam, memelihara
jenggot pendek seperti jenggot kambing, wajahnya kurus kering berwarna kuning.
Begitu badan menyentuh tanah, napasnya lantas putus.
Tahu napas orang sudah putus, segera Yan Lam-hwi melompat, terbang ke atas
dengan kecepatan tinggi, menerobos ke dalam loteng lewat jendela. Ketika dia
sudah berada di atas loteng, dilihatnya Pho Ang-soat juga sudah berdiri di
dalam rumah. Tiada bayangan orang di dalam kecuali bekas tapak kaki yang masih
basah.
Tapak kakinya amat enteng dan kecil, bayangan orang seringan burung walet
tadi jelas adalah seorang perempuan.
Yan Lam-hwi mengerut kening, gumamnya, “Mungkinkah dia?”
“Dia siapa?” tanya Pho Ang-soat.
“Bing-gwat-sim.”
Dingin suara Pho Ang-soat, “Di langit tiada bulan, bulan tiada hati, darimana
datangnya Bing-gwat-sim?”
“Kau keliru,” ujar Yan Lam-hwi dengan menghela napas, “sebetulnya aku juga
keliru, sampai sekarang baru aku tahu bahwa Bing-gwat-sim itu punya hati.”
Yang tidak punya hati adalah mawar, maka mawar di ujung langit, di tempat
yang amat jauh.
“Jadi Bing-gwat-sim adalah penghuni tempat ini?” tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi mengangguk tidak bersuara, dari luar terdengar ketukan pintu.
Daun pintu hanya dirapatkan saja, nona cilik dengan mata bundar berpakaian sutra
hijau, wajahnya bersemu merah, tangan kiri membawa cangkir, tangan kanan
memeluk sebuah guci arak kecil yang masih disegel tutupnya, dengan malumalu dia
beranjak masuk, matanya yang jeli lincah berputar mengawasi Pho Ang-soat sekian
lamanya. Tiba-tiba dia berkata, “Apakah dia ini tamu agungmu yang dikatakan
nona kami?”
Pho Ang-soat tidak mengerti, demikian pula Yan Lam-hwi juga tidak habis
mengerti.
Nona cilik ini berkata pula, “Nona kami bilang, ada tamu agung bertandang,
maka menyuruhku menyiapkan santapan, tapi kulihat kau ini tidak mirip tamu
agung.” Seperti malas melihat Pho Ang-soat lagi, mulut selesai bicara segera ia
membalik ke sana membersihkan meja, lalu menata hidangan.
Bayangan orang tadi ternyata memang benar Bing-gwatsim adanya.
Kakek tua berbaju hitam memang hendak membunuh Yan Lam-hwi, sayang pembunuh
gelap ini telah terbunuh lebih dulu oleh Bing-gwat-sim, namun dia tidak ingin
segera unjuk diri, mungkin hendak memancing Pho Ang-soat masuk ke atas loteng
itu.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Gelagatnya dia lebih mahir dari aku dalam
hal mengundang tamu.”
Pho Ang-soat menarik muka, katanya, “Sayang sekali aku ini bukan tamu agung
seperti yang dibayangkan olehnya.”
“Betapapun kau sudah berada di sini, setelah datang kenapa tidak tinggal di
sini?”
“Kalau aku sudah berada di sini, kenapa kau masih tidak bicara?”
Yan Lam-hwi tertawa, dia tepuk tutup guci arak serta menyobek segelnya, bau
arak segera merangsang hidung.
“Arak bagus,” pujinya dengan tertawa, “sejak aku kemari, belum pernah aku
mencicipi arak sebagus ini.”
Nona cilik itu sedang mengangkat guci menuang arak ke dalam poci, dari poci
dia mengisi arak ke dalam cangkir.
Yan Lam-hwi berkata, “Agaknya bukan saja dia mengenalmu, orang macam apa
kau ini, dia pun sudah tahu jelas.”
Arak secangkir penuh segera ditenggaknya habis, lalu dia berputar ke arah
Pho Ang-soat, katanya pula perlahan, “Citacitaku belum terlaksana, lantaran ada
seorang belum mati.”
“Siapakah dia?”
“Seorang yang patut dibunuh.”
“Kau ingin membunuhnya?”
“Setiap hari setiap malam aku ingin membunuhnya.”
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, lalu berkata dingin, “Orang yang patut
mati, cepat atau lambat pasti akan mati, kenapa harus kau sendiri yang turun
tangan?”
“Karena kecuali aku, tiada orang yang tahu bahwa dia patut dibunuh.”
“Lalu siapa dia?”
“Dia bernama Kongcu Gi.”
Ruangan itu mendadak hening, nona cilik yang menuang arak itupun berdiri
melenggong, lupa mengisi cangkir yang kosong.
ooooOOoooo
Kongcu Gi.
Nama ini seolah-olah membawa daya magis yang dapat menyedot sukma orang.
Pho Ang-soat menatap keluar jendela, lama sekali mendadak dia berkata,
“Ingin aku bertanya kepadamu, selama empat puluhan tahun mendatang ini, ada
berapa orang yang betul-betul dapat diagulkan menjadi pendekar besar?”
“Ada tiga orang.”
“Hanya tiga orang saja?”
“Kau tidak kuhitung, kau “
“Aku tahu aku bukan, aku hanya bisa membunuh orang, tidak bisa menolong
orang.”
“Aku tahu kau memang bukan, karena hakikatnya kau tidak ingin jadi
pendekar.”
“Jadi yang kau maksud adalah Sim Long, Li Sun-hoan dan Yap Kay?”
Yan Lam-hwi mengangguk, katanya, “Ya, hanya mereka bertiga yang setimpal.”
Setiap insan persilatan tiada yang berani menyangkal akan kebenaran ini.
Sepuluh tahun pertama adalah zamannya Sim Long, sepuluh tahun kedua Siau-li si
pisau terbang Li Sunhoan malang melintang di kolong langit, sepuluh tahun
ketiga adalah kejayaan Yap Kay.
“Lalu sepuluh tahun terakhir ini?” tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, “Dunia Kangouw sekarang berada di
bawah kekuasaan Kongcu Gi.” Cangkir penuh arak, sekali tenggak dia habiskan,
“Bukan saja dia orang berbakat, kaya raya dan berkuasa, dia pula satu-satunya
ahli-waris Sim Long, bukan saja seorang gagah romantis, juga seorang pendekar
besar yang memiliki kungfu tinggi.”
“Tapi kau justru ingin membunuhnya.”
“Aku ingin membunuhnya, bukan lantaran ingin berebut nama, juga bukan untuk
menuntut balas.”
“Memangnya apa tujuanmu?”
“Demi keadilan dan kebenaran, karena aku tahu rahasianya, hanya aku ...”
waktu dia mengangkat cangkir ketiga kalinya, mendadak terdengar “Plak”, cangkir
itu remuk di tangannya. Seketika rona mukanya berubah, berubah putih mulus dan
mengkilap.
Hanya sekilas Pho Ang-soat melihat wajahnya, mendadak dia maju, tangan
bekerja bagai angin, sepasang sumpit dia jejalkan ke dalam mulutnya, sekaligus
dia menutuk pula delapan Hiat-to di sekitar urat nadinya.
Yan Lam-hwi mengertak gigi sekerasnya, tapi tak mampu menggigit putus
sepasang sumpit itu, di antara dua baris gigi atas bawah terdapat celah-celah
lubang. Lekas sekali Pho Ang-soat sudah mencekok sebotol puyer obat ke dalam
mulutnya, begitu kedua jarinya memegang dagu dan memijat gerahamnya, mulutnya
lantas terpentang lebih lebar, sumpit jatuh obat pun tertelan.
Nona cilik itu sudah berdiri kaku ketakutan, diam-diam dia menggeremet
mundur hendak ngacir, tiba-tiba dilihatnya sepasang mata dingin setajam pisau
sedang mendelik kepadanya.
Poci arak dan cangkir terbuat dari perak, segel dan tutup guci jelas belum
pernah disentuh orang. Tapi kenyataan Yan Lam-hwi terkena racun, hanya tiga
cangkir, tapi racun yang bekerja ternyata sudah segawat ini, lalu darimana
datangnya racun dalam arak.
Segera Pho Ang-soat angkat guci itu lalu dibalik, arak tumpah, sinar
lentera yang benderang menyinari pantat guci, tampak setitik sinar gemerdep.
Begitu guci dia tepuk pecah, maka ditemukan sebatang jarum putih beracun di
dalam guci.
Jarum panjang satu setengah dim, tebal guci itu hanya satu dim, bila jarum
ditusukkan dari bawah, racun di ujung jarum segera akan terendam di dalam arak.
Lekas sekali Pho Ang-soat sudah memperoleh jawabannya, tapi persoalan tidak
sederhana, racun memang dari ujung jarum, lalu dari mana asalnya jarum ini?
Setajam pisau tatapan mata Pho Ang-soat, tanyanya dingin, “Kau yang membawa
guci arak ini?”
Nona cilik itu mengangguk, pipinya yang merah seperti buah apel kini sudah
pucat-lesi.
“Darimana kau mengambilnya?”
Gemetar suara nona cilik itu, “Guci arak ini tersimpan di kamar bawah
loteng ini.”
“Bagaimana kau bisa memilih guci arak yang satu ini?”
“Bukan aku yang memilih, nona kami bilang supaya meladeni tamu agung dengan
arak yang paling bagus, arak dalam guci ini adalah yang paling bagus.”
“Dimana dia sekarang?”
“Dia sedang berganti pakaian, karena ...”
“Karena waktu aku kembali tadi, seluruh pakaianku juga sudah basah kuyup,” seorang
tiba-tiba menyambung dari luar pintu. Suaranya merdu, senyumannya lebih elok,
sikapnya begitu anggun dan ramah, dandanannya juga sederhana tapi asri.
Mungkin dia tidak terhitung perempuan paling cantik di seluruh negeri ini,
tapi waktu dia melangkah masuk, seumpama suatu malam di musim semi, cahaya
rembulan menyorot masuk dari jendela, sehingga setiap orang akan merasa betapa
elok dan permai, betapa senang dan bahagia serta tenteramnya. Kerlingan matanya
pun selembut cahaya rembulan, tapi begitu dia melihat jarum di tangan Pho
Angsoat, sorot matanya seketika berubah tajam bersinar.
“Bahwa kau bisa menemukan jarum itu pasti kau tahu asalusulnya,” suaranya
berubah tajam tegas, “itu kan Am-gi tunggal keluarga Tong di Sujwan, orang tua
yang mati di luar itu adalah satu-satunya sampah persilatan dari keluarga Tong,
bernama Tong In, dia pernah kemari, tempat ini tidak terlarang dan tidak pernah
dijaga ketat, kamar bawah tanah dimana arak ini disimpan juga tidak pernah
dikunci.”
Bahwasanya sikap Pho Ang-soat seperti tidak mendengar uraiannya, dia hanya
memandangnya kosong, mendelong seperti orang linglung, wajah yang semula pucat
mendadak berubah merah, dengus napasnya juga bertambah berat dan sesak, air
hujan di mukanya baru saja kering, kini mukanya basah pula oleh keringat
dingin.
Waktu Bing-gwat-sim mengangkat kepala, baru dia menemukan perubahan ganjil
di wajah Pho Ang-soat, serunya gugup, “Apa kau juga keracunan?”
Kedua tangan Pho Ang-soat saling cengkeram, tapi tak bertahan masih juga
tubuhnya menggigil, mendadak dia membalik tubuh terus menerobos keluar jendela.
Nona cilik terbelalak kaget mengawasi bayangan orang lenyap di luar,
katanya sambil mengerut alis, “Agaknya orang ini tidak normal.”
“Ya,” ucap Bing-gwat-sim. “Penyakitnya memang sudah parah.”
“Penyakit apa?”
“Sakit di hati.”
Berkedip mata si nona cilik, “Bagaimana mungkin sakit bisa di hati?”
Bing-gwat-sim diam cukup lama, lalu menghela napas, “Karena dia pun seorang
yang selalu dirundung kesedihan.”
Hujan ritik-rintik, angin bertiup kencang.
Di sini tiada lampu, diliputi kegelapan, bagai berada di tegalan belukar.
Pho Ang-soat sudah terjungkal jatuh ke selokan di pinggir jalan, tubuhnya
meringkuk dan berkelejetan, mulutnya muntah-muntah. Kemungkinan tiada isi perut
yang ditumpahkannya, dia hanya ingin menumpahkan rasa sedih, rasa kecut dan
penderitaan batinnya.
Pho Ang-soat memang sakit. Bagi Ang-soat, bukan saja penyakit merupakan
derita yang tak mungkin dihindarkan, juga merupakan ciri yang memalukan, setiap
kali amarah dan deritanya memuncak tak tertahankan, penyakitnya itu lantas saja
kumat, maka dia harus menyembunyikan diri, seorang diri bersembunyi di tempat
yang tidak diketahui orang, dengan cara yang paling sadis menyiksa diri
sendiri. Karena dia membenci dirinya sendiri, membenci kenapa dirinya bisa
dihinggapi penyakit seperti ini?
Hujan masih turun, tetesan air hujan seperti cambuk yang melecut tubuhnya,
hatinya sedang berdarah, tangannya pun berdarah, kedua tangannya mencengkeram
bumi, dengan kencang dia mencomot tanah, tanah yang berlumur darah itu dia
jejalkan ke dalam mulut. Dia kuatir dalam keadaan penyakit kumat ini, dirinya
akan mengerang, merintih dan berteriak seperti binatang yang sekarat. Dia lebih
suka mengucurkan darah daripada keadaannya yang memalukan ini terlihat orang
lain.
Tapi gang sempit yang jorok dan gelap ini sekarang justru telah dikunjungi
orang.
Bayangan semampai dengan langkah gemulai, seorang tengah menghampiri
pelan-pelan dan langsung berhenti di depannya. Dia tidak melihat orangnya,
hanya melihat sepasang kakinya.
Sepasang kaki yang mulus, mengenakan sepatu sulam yang lemas, serasi dengan
warna pakaiannya. Warna pakaiannya ternyata kalem dan muda, semuda cahaya
rembulan yang cemerlang.
Dari tenggorokan Pho Ang-soat mendadak mengeluarkan raungan rendah seperti
binatang buas, bagai seekor harimau yang perutnya disembelih. Dia lebih suka
orang-orang di dunia ini memergoki keadaannya yang menderita dan memalukan ini,
tapi jangan orang yang satu ini.
Sekuatnya dia meronta dan melompat, sayang sekujur badannya hanya bisa
mengejang, tulang seperti dicopot dari ruasnya, tenaga pun susah dikerahkan.
Terdengar si dia menghela napas, perlahan ia membungkuk badan.
Pho Ang-soat mendengar helaan napasnya, terasa jari-jari halus nan dingin
mengelus mukanya, lalu mendadak dia kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan,
seluruh derita yang dialami seperti bebas meninggalkan badan kasarnya.
Waktu dia siuman, dirinya sudah berada di atas loteng pula. Si dia duduk di
ujung ranjang sedang mengawasi, pakaiannya selembut cahaya bulan, sementara
matanya gemerlapan laksana bintang kejora. Melihat sepasang mata ini, dari
relung hatinya yang paling dalam segera bergema suatu perasaan ganjil, bagai
getaran senar harpa yang dipetik terus tanpa berhenti.
Si dia tampak dingin, katanya tawar, “Apa pun tak usah kau katakan, aku
membawa dirimu pulang karena aku ingin menolong Yan Lam-hwi, dia keracunan,
keadaannya amat parah.”
Pho Ang-soat memejamkan mata, entah untuk menghindari tatapan matanya atau
karena tidak ingin melihat derita hatinya dari sorot matanya sendiri.
Bing-gwat-sim berkata, “Aku tahu di kalangan Kangouw, paling hanya tiga
orang yang dapat menawarkan racun keluarga Tong dan kau adalah satu di
antaranya.”
Pho Ang-soat tidak memberikan reaksi, tapi mendadak dia berdiri, berdiri ke
arah jendela dan membelakangi si dia. Pakaian yang dikenakan tetap pakaiannya
yang dulu, golok masih berada di tangan, kedua hal ini jelas menenteramkan
hatinya, maka kali ini dia tidak lagi menerobos jendela, namun hanya bertanya
dingin, “Dimana dia?”
“Masih di sini, di kamar sebelah.”
“Aku akan ke sana, kau tunggu di sini.”
Bing-gwat-sim berdiri di sana, mengawasi dia yang pelanpelan masuk ke
dalam, melihat gayanya berjalan, sorot matanya seketika mengalirkan perasaan
sedih, pilu serta derita yang tak bisa dijelaskan.
Lama sekali baru terdengar suaranya berkata dari balik kerai, “Obat penawar
di atas meja.” Suaranya kaku dingin, sambungnya, “Keadaannya sudah tidak
menguatirkan, tiga hari lagi pasti siuman, tujuh hari kemudian sudah sembuh
seluruhnya.”
“Sekarang kau belum boleh pergi.”
Bing-gwat-sim bicara cepat, seperti tahu bahwa dia hendak pergi.
“Umpama kau tidak ingin melihatnya lagi, betapapun sekarang janganlah kau
pergi?”
“Aku menyelami keadaanmu, aku dapat merasakan dukalara masa lalumu, orang
yang membuatmu sedih pasti berwajah seperti diriku,” suara Bing-gwat-sim tegas
dan mantap, “tapi kau harus maklum, dia tetap dia, bukan aku, juga bukan orang
lain. Karena itu kau tidak boleh menyingkir, lari dari kenyataan ini, kepada
siapa pun kau tidak perlu menyingkir.”
Angin masih menghembus, kerai juga tertiup berderai, ternyata dia belum
pergi, Bing-gwat-sim mendengar helaan napasnya, segera dia berkata pula, “Jika
kau ingin dia hidup setahun lagi, maka kau harus melakukan dua hal.”
“Dua hal apa?” akhirnya Pho Ang-soat bersuara.
“Dalam tujuh hari ini kau tidak boleh pergi,” Bing-gwat-sim mengedipkan
mata, lalu melanjutkan, “tengah hari nanti, kau harus menemani aku
berjalan-jalan, akan kutunjukkan beberapa orang kepadamu.”
“Siapakah mereka?”
“Orang-orang yang tidak akan memberi kesempatan hidup kepada Yan Lam-hwi.”
ooooOOoooo
Lohor.
Sebuah kereta berhenti di sebuah pintu kecil di belakang kebun, kerai
diturunkan rendah hingga penumpang tidak kelihatan dari luar. “Kenapa harus
naik kereta?”
“Karena kuingin kau dapat melihat mereka, tapi mereka tidak dapat melihat
engkau,” Bing-gwat-sin mendadak tertawa.
“Aku tahu kau pun tidak ingin melihatku, karena itu aku sudah siap
mengenakan kedok.”
Topeng yang dipakainya berbentuk Mi-to-hud yang sedang tertawa, pipinya
gemuk, bibirnya tebal, begitu mungil laksana orok kecil, padahal perawakannya
ramping semampai serta menggiurkan, jadi kelihatannya agak ganjil dan lucu.
Jangankan melihat, melirik pun Pho Ang-soat tidak, jari-jari tangannya yang
pucat dengan otot hijau merongkol menghias punggung tangannya yang menggenggam
kencang golok hitamnya.
Dalam pandangan Pho Ang-soat, di dunia ini seakan-akan tiada sesuatu
persoalan yang patut membuatnya tertawa.
Sepasang mata Bing-gwat-sim justru tengah menatapnya dari balik kedok
jenaka itu, tanyanya tiba-tiba, “Apakah kau tidak ingin tahu siapa orang
pertama yang ingin kutunjukkan kepadamu?”
Pho Ang-soat tidak menjawab.
“Dia bernama Toh Lui, It-to-tang-hong-lui Toh Lui.”
Pho Ang-soat tetap tidak memberi reaksi.
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya pula, “Agaknya sudah lama kau
meninggalkan percaturan dunia persilatan, ternyata Toh Lui yang sekali
menggerakkan golok mengguncang angin dan geledek juga tidak kau kenal.”
Akhirnya Pho Ang-soat buka suara, “Mengapa aku harus tahu?”
“Karena dia termasuk salah seorang dalam daftar.”
“Daftar apa?”
“Daftar nama-nama orang terkenal kaum persilatan.” Semakin pucat muka Pho
Ang-soat.
Dia tahu, siapa pun bila dia sudah angkat nama di kalangan Kangouw, maka
dia tidak akan mau tunduk kepada orang lain.
Dahulu waktu Pek-hiau-sing membuat daftar senjata, menilai dan menimbang
jago-jago kosen seluruh jagat, meski daftar nama yang tercantum di dalamnya
cukup adil dan obyektif, toh masih juga menimbulkan huru-hara yang cukup gawat
bagi dunia persilatan, belakangan ada orang menuduh dia sengaja ingin
menimbulkan onar sehingga kaum persilatan saling bunuh. Sekarang entah darimana
asal mulanya, tahutahu ada pula daftar nama tokoh terkenal dunia persilatan?
Apakah tidak mempunyai maksud tertentu?
Bing-gwat-sim memberi uraian, “Konon daftar nama itu adalah buah karya
Kongcu Gi sendiri, di dalam daftar hanya tercantum tiga belas nama orang.”
Mendadak Pho Ang-soat tertawa dingin, jengeknya, “Namanya sendiri tentu
juga tercantum di dalam daftar itu.”
“Dugaanmu memang benar.”
Jelalatan sinar mata Pho Ang-soat, tanyanya, “Yap Kay? Apakah juga
tercantum?”
“Nama Yap kay justru tidak tercantum, mungkin karena sudah lama dia
meninggalkan dunia Kangouw, sebagai orang di luar garis percaturan.”
Pho Ang-soat diam, sorot matanya seperti mendadak sudah berada di tempat
jauh.
“Aku tahu Yap Kay adalah kawanmu satu-satunya, apakah kau pun tidak pernah
mendapat kabar beritanya?”
Sorot mata Pho Ang-soat mendadak berubah kaku dingin dan tajam, suaranya
mendesis, “Aku tidak punya kawan, satu pun tidak punya.”
Bing-gwat-sim menghela napas panjang, segera dia alihkan pembicaraan,
“Kenapa kau tidak bertanya padaku, apakah namamu juga tercantum di dalam daftar
itu?”
Pho Ang-soat tidak bertanya, karena dia tahu bahwasanya tidak perlu dia
bertanya.
“Mungkin kau memang tidak usah bertanya, dalam daftar itu memang ada
namamu. Nama Yan Lam-hwi juga tercantum di dalamnya,” seperti memikirkan sesuatu,
lalu dia meneruskan, “Di dalam daftar memang sudah diberi catatan bahwa urutan
nama itu tidak ditentukan tinggi rendah atau besar kecil nama seseorang, namun
di atas secarik kertas terdaftar tiga belas nama orang betapapun harus diberi
nomor urut.”
Akhirnya Pho Ang-soat bertanya, “Nama siapa yang tercantum paling atas?”
“Yan Lam-hwi.”
Gemetar tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok, namun lambat-laun
mengendor pula.
“Kenapa selama dia berkelana di Kangouw selalu tidak pernah aman, selalu
menghadapi bahaya, sekarang tentu kau sudah maklum sebabnya.”
Pho Ang-soat tidak bersuara.
Kereta sudah berhenti, berhenti di seberang sebuah gedung berloteng,
Hwe-ping-lau itu tingginya ada puluhan tombak.
“Aku tahu setiap hari Toh Lui makan siang di sini, setelah makan, cukup
lama dia berdiam di atas loteng, kira-kira pada saat seperti ini baru akan
pulang,” Bing-gwat-sim menerangkan, “menu yang dimakan setiap hari terdiri
empat macam hidangan, dua mangkuk nasi dan sepoci arak, jenis keempat hidangan
itupun tidak pernah berubah.”
Wajah pucat Pho Ang-soat kelihatan tetap tidak menunjukkan perasaan, namun
kedua matanya sudah mulai memicing. Dia tahu kali ini dirinya bakal berhadapan
dengan seorang lawan yang amat menakutkan.
Jago dalam dunia persilatan memang tidak terhitung banyaknya, namun yang
terdaftar justru hanya tiga belas orang, maka dapatlah dibayangkan bahwa tiga
belas orang itu pasti adalah tokoh-tokoh yang menakutkan.
Bing-gwat-sim sedikit menyingkap kerai mengintip keluar, katanya mendadak,
“Nah, itu dia keluar.”
Mentari tepat bercokol di tengah angkasa.
Waktu Toh Lui beranjak keluar dari Hwe-ping-lau, bayangan tubuhnya
kebetulan terinjak di bawah telapak kaki sendiri. Kakinya memakai sepasang
sepatu beludru, selop tinggi beralas karet yang lunak, harga sepatu ini delapan
belas tahil, baru kemarin dibelinya.
Setiap kali dia memakai sepatu barunya menginjak bayangan sendiri, selalu
timbul gejolak perasaan aneh di dalam sanubarinya, ingin dia mencopot
sepatunya, mencopot seluruh pakaian yang dipakainya hingga telanjang bulat,
lalu berlari di jalanan sambil berteriak-teriak, Namun jelas dia tidak akan
berbuat demikian, karena sekarang dia sudah menjadi orang ternama, seorang yang
terkenal, setiap persoalan yang dikerjakan pasti beres, tepat dan adil. Dimana
pun dia berada, berapa lama dia akan di sana, setiap hari dia pasti menggunakan
waktu yang sama untuk makan minum, dan yang dimakan adalah menu yang itu-itu
juga.
Ada kalanya dia sendiri merasa hampir gila karena kebiasaannya itu, namun
dia tetap bandel, tidak mau merubah kebiasaan ini, karena dia ingin dan
mengharap orang lain menganggap dirinya punya disiplin keras dan hidup
terpimpin, dia tahu manusia umumnya akan menaruh hormat terhadap orang sejenis
ini. Dan itulah hal yang paling menggembirakan dan dianggapnya sebagai suatu
kenikmatan.
Setelah mengalami gemblengan tujuh belas tahun, perjuangan lima tahun,
empat puluh tiga pertarungan besar kecil, jerih-payahnya agaknya tidak mengecewakan,
dan apa yang diharapkan memang adalah yang itu pula, maka dia berpedoman supaya
diri sendiri percaya, sekarang dia bukan lagi anak miskin yang sepanjang tahun
bertelanjang kaki.
Gagang goloknya yang dihiasi mutiara tampak kemilau ditimpa sinar mentari,
banyak orang di jalanan menatap tajam ke arah goloknya itu.
Dua pasang mata tersenyum di balik kerai di dalam kereta di seberang jalan
juga seperti sedang mengintip golok itu.
Beberapa tahun belakangan ini, dia sudah biasa ditatap dan diawasi orang
banyak di tengah jalan, maklum setiap orang ternama harus berani menghadapi
kebiasaan ini. Tapi entah mengapa hari ini dia seperti merasa risi dan kikuk,
bagai seorang gadis rupawan yang bertelanjang bulat di hadapan banyak orang
laki-laki.
Apakah ini lantaran dua pasang mata yang mengintipnya dari dalam kereta
hitam di seberang jalan, sudah menembusi rahasia dirinya bahwa hanya kerangka
luar badannya saja yang disepuh emas, terbayang pula akan seorang anak miskin
yang telanjang kaki.
Sekali tabas membelah kabin kereta itu dan mengorek keluar kedua pasang
mata itu. Sebetulnya emosi ini sudah menggelitik hatinya, namun tidak dia
lakukan, karena kedatangannya kemari bukan untuk mencari kesulitan. Beberapa
tahun belakangan ini dia sudah pandai mengendalikan diri, menahan sabar.
Dia tidak menoleh ke arah seberang, langkahnya menyusuri jalan raya panjang
yang diterangi sinar matahari, beranjak ke hotel dimana dia menginap. Setiap
langkah kakinya diperhitungkan dan pas satu dengan yang lain, sejengkal pun
tidak berbeda. Dia pun mengharap orang lain juga maklum bahwa goloknya juga
selalu tepat.
Bing-gwat-sim menurunkan kerai perlahan, lalu menghela napas pula, katanya,
“Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?”
Dingin reaksi Pho Ang-soat, “Dalam tiga tahun kalau dia masih hidup, pasti
menjadi gila.”
“Sayang, sekarang dia belum gila.”
Kereta itu berhenti pula di seberang It-ping-hiang, sebuah restoran yang
amat besar. Umumnya restoran dikunjungi berbagai macam manusia, semakin besar
restorannya semakin banyak pengunjungnya.
Bing-gwat-sim menyingkap kerai sedikit supaya Pho Angsoat bisa mengintip
cukup lama, lalu dia bertanya, “Apa yang kau lihat?”
“Manusia,” sahut Pho Ang-soat pendek.
“Berapa?”
“Tujuh orang.”
Sekarang adalah saatnya restoran itu paling ramai, waktunya makan siang,
ada seratus lebih tamu yang sedang gegares di dalam restoran besar ini, kenapa
dia hanya bilang melihat tujuh orang?
Ternyata Bing-gwat-sim tidak menyatakan heran, sorot matanya malah memancarkan
rasa kagum, tanyanya pula, “Tujuh orang yang mana yang kau lihat?”
Tujuh orang yang dilihat Pho Ang-soat adalah dua orang yang sedang main
catur, seorang makan kacang kulit, seorang Hwesio, seorang burikan, seorang
nona yang menjual suara nyanyian, satu lagi adalah seorang gendut yang
mengantuk mendekam di meja. Ketujuh orang ini ada yang duduk di pojok, ada yang
duduk di tengah kerumunan orang, tampang mereka juga tiada yang istimewa,
kenapa orang lain tidak memperhatikan, justru yang dia lihat hanya ketujuh
orang ini?
Bukan saja tidak merasa heran sikap, Bing-gwat-sim malah kelihatan kagum,
katanya dengan menghela napas perlahan, “Aku hanya tahu golokmu cepat, tak
nyana pandangan matamu lebih cepat lagi.”
“Sebetulnya asal aku hanya melihat seorang juga sudah cukup/' ujar Pho
Ang-soat, memang sekarang dia sedang mengawasi satu orang.
Si gendut yang mendekam ngantuk di meja sekarang sedang menggeliat dan
menegakkan badan, lalu menuang secangkir teh untuk kumur, “Crot”, mendadak dia
semburkan air teh di mulut ke lantai dan menyemprot basah kaki dan celana satu
orang, bergegas dia memburu maju, membungkuk badan membersihkan kaki orang
serta munduk-munduk dan tertawa minta maaf.
Seseorang bila badannya terlalu tambun setiap melakukan sesuatu pasti
kelihatan agak dungu dan menggelikan, tapi waktu Pho Ang-soat mengawasi si
gendut ini, rona matanya justru prihatin, seperti waktu dia mengawasi Toh Lui
tadi. Apakah dia berpendapat bahwa si gendut ini juga seorang lawan tangguh
yang menakutkan?
“Kau kenal orang ini?” tanya Bing-gwat-sim.
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
“Tapi kau justru memperhatikan dia.”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Kau sudah melihat sesuatu yang istimewa pada dirinya?”
Lama Pho Ang-soat tidak bersuara, lalu sepatah demi sepatah dia berkata,
“Orang ini membawa hawa membunuh.”
“Hawa membunuh?” Bing-gwat-sim menegas.
Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, katanya, “Hanya seorang kosen
yang pernah membunuh orang tak terhitung banyaknya, pada tubuhnya baru akan
timbul hawa membunuh.”
“Tapi kelihatannya dia tidak lebih hanya seorang gendut yang lamban, si
gendut yang dungu.”
“Itu hanya sebagai tabir untuk menutupi keaslian dirinya, bagai sarung
pedang atau golok itulah.”
“Agaknya matamu lebih tajam dari golokmu,” Bing-gwat-sim menghela napas.
Agaknya dia kenal baik orang ini, malah tahu asal-usulnya.
“Siapakah dia?” Pho Ang-soat bertanya
“Dia itu Bok-cay (ibu jari).”
“Ibu jari?”
“Tahukah kau belakangan ini di kalangan Kangouw muncul suatu sindikat
rahasia yang menakutkan?”
“Apa nama sindikat itu?”
“Hek-jiu (tangan hitam).”
Belum pernah Pho Ang-soat mendengar nama ini, namun dalam pendengarannya
terasa adanya suatu tekanan yang tak bisa dilukiskan.
“Sejauh ini belum banyak orang persilatan yang tahu tentang sindikat
rahasia itu, karena mereka bekerja di bawah tanah, melakukan pekerjaan yang
takut dilihat matahari.”
“Apa tugas kerja sindikat rahasia itu?”
“Merampok, merampas dan pembunuhan gelap.”
Setiap orang mempunyai lima jari tangan, maka sindikat ini dipimpin lima
orang. Dan si gendut ini adalah Bok-cay alias Ibu jari, ibu jari dari tangan
hitam itu.
Kereta itu bergerak lagi ke depan, kerai pun diturunkan pula.
Mendadak Bing-gwat-sim bertanya, “Pada sebuah tangan, jari manakah yang
memiliki tenaga paling besar?”
“Sudah tentu ibu jari.”
“Yang paling lincah jari mana?”
“Jari telunjuk.”
“Dalam sindikat gelap tangan hitam ini, tugas Ibu jari dan Jari telunjuk
adalah menjadi pembunuh gelap.”
Yang paling menakutkan pada Ibu jari adalah dia meyakinkan Cap-sah-thay-po,
ilmu weduk yang harus dilandasi dengan Thong-cu-kang, kekebalan badan yang tak
mungkin bisa diyakinkan orang lain.”
Karena Ibu jari adalah seorang Thay-kam (sida-sida), sejak kecil dia sudah
menjadi sida-sida, beberapa jago kosen dalam istana raja pernah mengajar silat
kepadanya, ilmunya tinggi dan menakutkan.
Asal-usul jari telunjuk lebih aneh dan luar biasa, konon bukan saja dia
pernah menjadi petugas penerima tamu di Siau-lim-si, di dalam Kay-pang dia
pernah menggendong enam karung, pernah pula menjadi Sing-tong Tongcu dari
Cap-ji-lian-hoan-ou yang dikuasai Hong-bwe-pang di Kanglam. Anak buah mereka
merupakan kelompok tersendiri, setiap orang memiliki kepandaian khas yang luar
biasa, malah sudah biasa bekerja sama. Karena itu aksi pembunuhan yang mereka
lakukan, selamanya tidak pernah gagal.
“Tapi orang yang paling menakutkan di dalam sindikat itu bukan kedua orang
ini,” ucap Bing-gwat-sim.
“Siapa?”
“Yaitu Bu-bing-cay (jari tak bernama, jari manis).” Bu-bingcay memang
adalah jari yang tak berguna, jari yang lamban dan goblok di tangan manusia.
“Kenapa Bu-bing-cay menakutkan?”
“Karena dia tidak bernama.”
Pho Ang-soat manggut-manggut, hal ini memang betul.
Jago Bu-Iim yang memiliki kepandaian hebat pasti menyimpan kungfu khas yang
menakutkan, akan tetapi ada sementara orang yang tidak punya nama ada kalanya
justru lebih menakutkan. Karena biasanya kau menunggu setelah goloknya menusuk
jantungmu, baru kau sadar akan kelihaiannya, tahu betapa dia menakutkan.
Bing-gwat-sim berkata, “Tiada orang dalam dunia persilatan yang tahu siapa
sebenarnya Jari tak bernama itu, tiada seorang pun yang pernah melihatnya.”
“Dan kau pun tidak tahu?”
“Mungkin setelah goloknya menusuk hulu hatiku baru aku tahu siapa dia.”
Bing-gwat-sim tertawa getir.
Lama Pho Ang-soat berdiam pula, lalu bertanya, “Sekarang kau hendak membawa
aku melihat siapa pula?”
Bing-gwat-sim tidak langsung menjawab pertanyaan ini, katanya, “Kota kecil
ini sebetulnya bukan tempat yang ramai, tapi beberapa hari belakangan ini
mendadak berdatangan orang-orang asing dari kaum persilatan, terhadap tamu-tamu
yang tidak diundang ini dia tidak merasa asing lagi, karena dia
sudah mencari tahu asal-usul serta latar belakang mereka.”
Ternyata Pho Ang-soat juga tidak kaget atau heran. Sejak bertemu pertama
kali Pho Ang-soat sudah merasakan perempuan yang satu ini kelihatannya tidak
seperti gayanya yang lemah lembut dan sederhana. Pada kedua tangannya yang
terpelihara baik itu, jelas menggenggam suatu kekuatan besar dari yang pernah
dibayangkan oleh siapa pun.
Bing-gwat-sim berkata, “Boleh dikata aku sudah mencari tahu sejelasnya
tentang asal-usul kedua orang itu, hanya satu orang terkecuali.”
“Siapa?”
Bing-gwat-sim belum bersuara, mendadak kuda kekar penarik kereta meringkik
dan berjingkrak kaget seraya melompat berdiri dengan kaki belakang, keruan
kereta tertarik miring hampir terbalik.
Sebat sekali Bing-gwat-sim sudah berada di luar kereta, dilihatnya seorang
laki-laki setengah umur berpakaian hijau celana putih jatuh di bawah kaki kuda.
Bila kaki depan kuda yang berjingkrak berdiri ini menginjak turun, umpama dia
tidak mati juga pasti terluka parah. Kejap lain kaki kuda itu jelas sudah
hampir menginjak, bukan saja Bing-gwat-sim tidak berusaha menolong, ternyata
bergerak dari tempatnya pun tidak. Matanya mengawasi Pho Ang-soat, ternyata Pho
Angsoat sudah berada di atas kereta, mukanya yang pucat tidak memperlihatkan
perasaan hatinya, ternyata sikapnya tidak menunjukkan bahwa dia bermaksud turun
tangan menolong orang yang rebah miring memeluk lutut itu.
Orang-orang di pinggir jalan menjerit ngeri, akhirnya kaki kuda itu anjlok
ke bawah, lelaki yang jatuh di bawah kaki kuda jelas meringkal memeluk lutut,
siapa pun melihat dengan jelas, tapi kenyataan dia tidak terinjak oleh sang
kuda. Ketika sang kusir berhasil menenteramkan kuda itu, baru pelan-pelan dia
merangkak bangun, napasnya nampak tersengal.
Walau wajahnya berubah karena ketakutan, namun kelihatannya tetap biasa
saja. Memang dia seorang yang biasa, seorang sederhana, tiada tanda-tanda
istimewa yang melekat pada tubuhnya.
Tapi waktu Pho Ang-soat mengawasinya, tatapan matanya kelihatan dingin dan
sadis. Dia pernah melihat orang ini, orang yang kaki dan celananya disembur air
teh si gendut alias si Ibu jari bukan lain adalah lelaki ini.
Tiba-tiba Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Agaknya nasibmu hari ini kurang
baik, tadi celanamu dibuat basah, sekarang jatuh di jalan raya lagi hingga
badan kotor berdebu.”
Orang itu juga tertawa tawar, katanya, “Hari ini nasibku memang jelek, tapi
yang bernasib lebih jelek dari aku entah masih berapa banyak? Hari ini aku
sial, besok entah berapa banyak pula orang yang akan lebih sial dari aku,
begitulah kehidupan umat manusia, kenapa nona menganggap persoalan ini begitu
serius?”
ooooOOoooo
Bab 5. Burung Merak
Kuda tidak melukai orang, kereta itupun tidak terbalik.
Laki-laki yang berdandan secara umum inipun lekas sekali telah lenyap di
kerumunan orang banyak, bagaikan buih yang lenyap di tengah samudra, yang jelas
orang lain tidak akan menaruh perhatian padanya.
Pelan-pelan Pho Ang-soat mengangkat kepala, Bing-gwatsim sedang tersenyum
sambil mengawasi, senyum yang aneh tapi juga manis. Namun dia justru seperti
dipecut rubuhnya, mendadak dia putar tubuh masuk kembali ke dalam kabin kereta.
Bukan saja Bing-gwat-sim sudah melihat jelas rasa kaget dan deritanya, dia pun
merasakan betapa duka-lara yang tak tersembuhkan di dalam relung hatinya.
Kenangan lama yang sudah lanjut terbawa masa, sudah buyar laksana segumpal asap
di tengah udara, kenapa sekarang kembali muncul di hadapannya?
Tanpa sadar Bing-gwat-sim mengangkat tangan mengelus muka sendiri.
Topeng jenaka yang dipakainya itu sudah dia tanggalkan waktu melompat
keluar dari kereta, sehingga untuk kedua kalinya dia melihat wajah aslinya.
Mendadak Bing-gwat-sim merasa benci terhadap diri sendiri, kenapa wajahnya
mirip perempuan itu? Kenapa memberi penderitaan sedalam itu kepadanya? Sesama
manusia kenapa sering terjadi harus saling menyalahkan dan saling melukai,
semakin besar rasa cinta, semakin besar pula luka yang dideritanya.
Waktu ujung jarinya mengucek pelupuk matanya, baru dia sadar bahwa air
matanya telah berlinang. Untuk siapa? Untuk umat manusia yang dungu? Atau untuk
pria asing yang sebatangkara ini? Diam-diam dia mengusap air mata, waktu dia
masuk ke dalam kabin kereta pula, topeng itu sudah dipakainya lagi, dalam hati
dia mengharap dirinya selalu bisa tersenyum ramah dan jenaka seperti topeng
gendut ini, bisa melupakan duka-lara dan penderitaan di dunia ini, meski itu
bisa diperolehnya hanya sekejap.
Sayang manusia tetap manusia, bukan malaikat atau dewa, umpama malaikat dan
dewa, mungkin juga memiliki penderitaan mereka sendiri, bahwa mereka tertawa
lebar, bukan mustahil hanya sengaja ditunjukkan kepada umat manusia, demikian
dia menghibur diri dalam hati.
Muka Pho Ang-soat yang pucat masih kelihatan berkerutmerut, tubuhnya juga
kelihatan bergerak, sekuatnya Binggwat-sim menekan rasa sakit hatinya, mendadak
dia berkata, “Orang yang satu tadi, tentu kau pun sudah melihatnya.”
“Sudah tentu kulihat.”
Bing-gwat-sim berkata, “Tapi kau tidak memperhatikan dia karena dia juga
orang awam ...”
Orang biasa seperti buih di permukaan air, bagai sebutir gabah di dalam
beras, siapa pun jarang memperhatikan dia. Tapi bila air sudah masuk ke
tenggorokan, mendadak kau akan sadar, buih itu sudah berubah menjadi jari
hitam, dari tenggorokan menusuk ke dalam jantungmu.
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, “Karena itu aku selalu beranggapan
orang semacam ini paling menakutkan, jikalau tadi dia sendiri memperlihatkan
belangnya, mungkin sampai sekarang kau tetap tidak akan memperhatikan dia.”
Pho Ang-soat mengakui hal ini, tapi kenapa orang itu sengaja berbuat
demikian?
Bing-gwat-sim berkata, “Karena dia hendak mencari tahu jejak kita.”
Ibu jari tentu sudah tahu adanya kereta yang berhenti di seberang jalan dan
sedang mengawasi gerak-geriknya, maka dia sengaja menyembur basah kakinya,
dengan tertawa serta munduk-munduk membersihkan kaki orang, saat itulah dia
memberi kisikan kepadanya. Bahwa lelaki yang basah kakinya ini sengaja jatuh di
bawah kaki kuda, karena dia juga tahu hanya dengan berbuat demikian baru bisa
memaksa penumpang di kabin kereta keluar.
Bing-gwat-sim tertawa getir, katanya, “Sekarang kita belum tahu
asal-usulnya, dia malah sudah bisa melihat kita, dalam waktu satu jam tentu dia
sudah berhasil menemukan tempat Yan Lam-hwi.”
Pho Ang-soat bertanya mendadak, “Tangan hitam juga bermusuhan dengan Yan
Lam-hwi?”
“Tidak,” sahut Bing-gwat-sim, “mereka tidak pernah membunuh orang lantaran
permusuhan atau dendam pribadi.”
“Lalu untuk apa mereka membunuh orang?”
“Perintah,” pendek jawaban Bing-gwat-sim. Begitu perintah tiba, mereka
segera membunuh, siapa pun mereka bunuh.
“Jadi mereka juga mendengar perintah orang?”
“Hanya mendengar perintah seorang.”
“Perintah siapa?”
“Perintah Kongcu Gi.”
Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat.
“Kalau hanya lima orang anggota tangan hitam, belum cukup mampu membentuk
kekuatan mereka dalam satu organisasi besar.”
Mereka boleh dikata sudah menjaring seluruh pembunuh bayaran dan
manusia-manusia durjana, demikian pula Ngoheng-siang-sat dan Kwi-gwa-po jelas
masuk dalam anggota organisasi itu. Padahal penghasilan mereka pribadi sudah
teramat tinggi, untuk menjaring atau menggaruk mereka jelas tidak mudah.
“Di kolong langit ini, hanya ada satu orang saja yang menggenggam kekuatan
besar ini,” Bing-gwat-sim mendesis lirih.
“Kongcu Gi maksudmu?” Pho Ang-soat menegas.
“Ya, hanya dia seorang.”
Pho Ang-soat mengawasi jari-jari tangan sendiri yang menggenggam gagang
golok, pelupuk matanya memicing dan mulai kedutan pula.
Bing-gwat-sim juga berdiam diri, agak lama kemudian baru bersuara lagi,
“Membunuh untuk mencegah pembunuhan, tadi seharusnya kau sudah membunuh orang
itu.”
Pho Ang-soat tertawa dingin.
“Aku tahu selamanya kau tidak sembarangan mencabut golokmu, tapi orang yang
satu ini cukup setimpal untuk kau mencabut senjata.”
“Jadi kau beranggapan bahwa dia itulah Bu-bing-cay?”
Perlahan Bing-gwat-sim mengangguk, katanya, “Aku malah curiga bahwa dia itu
si Merak.”
“Merak?”
“Merak adalah sejenis burung, burung yang elok dan cantik, terutama
bulunya…”
“Tapi merak yang kau maksud justru bukan burung.”
“Ya, yang kumaksud memang bukan burung, tapi manusia, seorang yang
menakutkan,” pelupuk matanya ternyata juga kedutan, suaranya makin perlahan,
mengandung perasaan ngeri, “Malah aku berpendapat bahwa dia orang yang paling
menakutkan di jagat ini.”
“Kenapa?”
“Karena dia memiliki Bulu merak.”
Bulu merak.
Waktu mengucap kedua kata ini, sorot matanya mendadak menampilkan rasa
hormat, takut dan juga ngeri.
Rona muka Pho Ang-soat ternyata juga berubah.
Merak memang punya bulu, seperti kambing punya tanduk, bukan saja berharga
juga kelihatan indah. Tapi Bulu merak yang dibicarakan di sini bukan bulu merak
seekor burung, bukan bulu benar-benar bulu, tapi Bulu merak yang dimaksud di
sini adalah sejenis Am-gi, senjata rahasia yang indah tapi juga amat misterius,
senjata rahasia yang mengerikan.
Tiada orang yang bisa melukiskan keindahannya, juga tiada seorang pun di
jagat ini yang dapat meluputkan diri dari serangan Am-gi ini, menangkis pun
tidak.
Di kala Am-gi itu disambitkan, keindahannya yang semarak dan cemerlang
begitu misterius, bukan saja dapat membuat orang terpesona, pusing dan
pandangan kabur, malah bisa membuat orang lupa takut akan kematian yang
mengancam jiwanya.
Konon setiap korban yang mati oleh Am-gi ini wajahnya tentu menampilkan
senyuman lucu yang misterius, sehingga banyak orang berpendapat bahwa dia suka
rela mati oleh Amgi itu. Umpama orang-orang kebanyakan, meski tahu kembang
mawar itu ada durinya, tapi justru memetiknya. Karena keindahan yang semarak
itu, jelas tak mungkin dilawan oleh kekuatan manusia lumrah.
“Tentu kau juga tahu Bulu merak itu.”
“Ya, aku tahu.”
“Tapi kau pasti tidak tahu, bahwa Bulu merak sekarang sudah tidak berada di
Khong-jiok-san-ceng (perkampungan merak).”
Biasanya jarang Pho Ang-soat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya,
hatinya seperti beku, kapan dia pernah goyah keteguhan imannya, namun waktu dia
mendengar berita ini, jelas kelihatan dia agak kaget. Bukan saja dia tahu Bulu
merak, malah dia pun pernah berkunjung ke perkampungan merak itu.
Perasaan hatinya waktu itu, seperti seorang umat saleh berada di tempat
suci.
Waktu itu permulaan musim rontok, suatu malam di musim rontok.
Selama hidup belum pernah dia lihat perkampungan megah, angker dan seindah
itu. Meski dironai tabir malam, namun keindahan perkampungan merak itu sungguh
menyerupai istana dewa di dalam dongeng.
“Di sini ada sembilan lapis pekarangan atau taman, di antaranya sudah
dibangun sejak tiga ratus tiga puluh tahun yang lalu, mengalami beberapa
generasi, baru tempat ini kelihatan bentuknya seperti sekarang.”
Orang yang menerima kedatangannya adalah adik kandung Khong-jiok-san-ceng
Cengcu yang paling kecil, Jiu Cui-jing. Jiu Cui-jing adalah seorang yang pandai
menyimpan rahasia setiap kali berbicara. Yang benar bukan saja tempat ini
teramat megah, besar dan jaya, bahwa perkampungan ini bisa berdiri juga sudah
merupakan keajaiban. Memang suatu keajaiban, karena setelah mengalami beberapa
kali perang, tempat ini tetap aman sentosa, tidak pernah terlanda oleh api
peperangan.
Dinding kaca yang terletak di pekarangan paling belakang tampak mengkilap,
di atasnya tergantung dua belas lampion warna-warni, cahaya lampion yang terang-temaram
menyinari sebuah gambar lukisan raksasa di atas kaca itu. Puluhan lelaki
berwajah bengis dan buas, bergaman aneka ragam senjata, sorot mata mereka
tampak kaget, bingung dan ketakutan, karena seorang pemuda pelajar berwajah
putih memegang sebuah bumbung kuning emas, dari bumbung emas inilah memancar
cahaya cemerlang laksana pelangi yang berwarna-warni. Warna yang lebih semarak,
lebih indah dari lembayung.
“Sudah lama berselang peristiwa ini terjadi, waktu itu dalam golongan hitam
terdapat tiga puluh enam manusia durjana, untuk menghancurkan tempat ini,
mereka berserikat dan berkomplot menyerbu dengan kekuatan gabungan mereka yang
besar, konon bila tiga puluh enam orang ini bergabung, jarang ada musuh yang
mampu melawan mereka. Akan tetapi, tiada satu pun dari ketiga puluh enam orang
itu yang bisa pergi dari sini, semuanya tertumpas. Sejak peristiwa itulah,
tiada golongan atau aliran, entah itu organisasi penjahat yang terbesar
sekalipun tiada yang berani mengganggu perkampungan merak. Sejak itu adalah
Bulu merak menggetarkan dan disegani di kolong langit.”
Sampai sekarang apa yang pernah diuraikan Jiu Cui-jing dahulu, seperti
masih terngiang di telinganya. Mimpi pun tidak terpikir olehnya bahwa Bulu
merak sekarang sudah tidak berada di perkampungan merak lagi.
“Itulah sebuah rahasia,” ujar Bing-gwat-sim. “Selamanya tiada orang tahu
akan rahasia ini di kalangan Kangouw.”
Ternyata Bulu merak lenyap dari tangan majikan generasi ketiga belas
keluarga Jiu di puncak Thay-san.
“Sampai sekarang baru rahasia ini mulai diketahui orang luar karena secara
mendadak Bulu merak tahu-tahu telah muncul di kalangan Kangouw. Pernah muncul
dua kali, dan membunuh dua tokoh yang amat terkenal, pembunuhnya justru bukan
anak didik keluarga Jiu maupun warga perkampungan merak.
“Selama Bulu merak masih ada, tiada seorang pun dari kalangan Kangouw yang
berani meluruk ke perkampungan merak, kalau tidak, tempat megah ini tentu sudah
hancur lebur sejak lama. Perkampungan merak sudah berdiri sejak tiga ratus tahun
lebih, dengan bangunannya mencapai delapan puluh li, dengan penghuni lima ratus
jiwa lebih, seluruh benda yang ada, baik yang hidup maupun yang mati dalam
perkampungan merak ini berdiri dan ditunjang hanya oleh Bulu merak yang kecil
dan indah.”
Akan tetapi Bulu merak itu sudah terjatuh ke tangan seorang yang tidak
dikenal asal-usulnya. Maka Pho Ang-soat bertanya, “Jadi orang itu adalah
Merak.”
“Benar.”
Badak dibunuh karena orang ingin mengambil culanya, kuburan dibongkar
karena pencuri ingin mengeduk harta peninggalan dalam layon, si lemah yang
miskin dan sederhana jarang tertimpa bencana, gadis yang molek mukanya, jauh
lebih mudah mempertahankan kesucian perawannya. Karena itu hanya mereka yang
terlalu biasa, terlalu awam atau orang yang tidak punya nama, baru bisa
mempertahankan senjata ampuh macam Bulu merak itu.
'Merak' maklum akan hal ini. Sebetulnya dia bukan manusia jenis ini,
seperti juga orang kebanyakan, dia pun mendambakan harta benda, kekayaan dan
nama besar.
Sejak peristiwa di malam musim panas dulu, menyaksikan gadis yang
dicintainya ditindih dan ternoda kesuciannya oleh seorang yang kaya di atas
tanah berumput, dalam hati dia sudah berkeputusan, dia ingin mengejar dan
mendapatkan kekayaan dan kebesaran yang selalu diimpi-impikan orang lain. Dan
harapannya ternyata tidak sia-sia, barang yang diperolehnya ternyata jauh lebih
berharga dari apa yang dia impikan sendiri, dia menemukan Bulu merak. Maka
tekadnya berubah, karena dia seorang pintar, dia tidak ingin menjadi badak yang
terbunuh dan diambil culanya.
Justru sebaliknya, dia ingin membunuh orang. Setiap kali dia teringat
adegan di malam musim panas itu, terbayang betapa gadis itu merintih, meronta
dengan napas ngos-ngosan dan keringat yang bercucuran, maka timbul keinginannya
membunuh orang.
ooooOOoooo
Hari ini dia tidak membunuh orang, bukan dia tidak punya keinginan, tapi
dia tidak berani. Berhadapan dengan orang yang bermuka pucat, sorot matanya
yang kaku dingin, entah mengapa hatinya mendadak menjadi jeri dan takut.
Sejak dia memiliki Bulu merak, baru pertama kali dia merasa takut terhadap
seseorang. Bukan golok hitam itu yang ditakuti, tapi orang yang memegang golok
itu, meski orang ini hanya berdiri diam, namun dia jauh lebih tajam dari golok
kebanyakan yang terlolos dari sarungnya.
Melihat tatapan matanya, jantungnya lantas berdetak, hingga dia kembali ke
rumahnya, jantung masih kebat-kebit, bukan lantaran tegang atau takut, tapi
lantaran bergairah. Sungguh ingin sekali dia mencoba, apakah Bulu merak mampu
membunuh orang yang satu ini, akan tetapi dia justru tidak punya keberanian
untuk mencobanya.
Itulah rumah sederhana, hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi.
Begitu masuk kamar lantas dia ambruk, ambruk di atas ranjang yang dingin dan
keras, rebah di atas ranjang ternyata tidak memberikan ketenangan baginya,
mendadak dia menyadari sesuatu benda telah tegak berdiri di selangkangannya.
Dia memang terlalu bergairah, terlalu bernafsu, karena dia ingin membunuh
orang, terbayang pula peristiwa di malam musim panas dulu ... keinginan
membunuh ternyata mendorong pula napsu birahinya, hal ini dia sendiri pun
merasa luar biasa. Dan payahnya, bila napsu ini sudah berkobar, maka dia tidak
kuasa membendung atau menahannya.
Dia tidak punya teman perempuan, selamanya dia tidak mau percaya lagi pada
orang perempuan, perempuan mana pun pantang mendekati dirinya, dan untuk
melampiaskam napsunya ini dia hanya membunuh orang.
Sayang sekali orang yang ingin dia bunuh justru adalah orang yang tidak
berani dia bunuh. Sore hari di musim semi, ternyata berubah sepanas musim
panas, perlahan dia mengulur tangannya yang sudah berkeringat ... sekarang
terpaksa dia menyelesaikan dengan tangan, lalu dia rebah mendekam di atas
ranjang, mendadak dia muntah, muntah sambil mengucurkan air mata.
Menjelang senja, namun senja belum tiba.
Seorang mendorong pintu pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara, lalu
menyelinap masuk secara diam-diam, perawakannya meski gendut dan lamban, namun
gerakgeriknya ternyata seenteng kucing.
Khong-jiok atau Merak masih rebah diam di atas ranjang tanpa bergerak,
dingin-dingin saja dia mengawasi orang ini, selama ini dia paling tidak suka
kepada si gendut yang dungu ini, apalagi dalam keadaan seperti dirinya
sekarang, timbul rasa muak dan benci dalam benaknya, karena orang ini hanyalah
seorang sida-sida, laki-laki yang sudah dikebiri 'anu'nya, lelaki tak berguna,
lebih tepat kalau dianggap babi.
Akan tetapi babi yang satu ini tak pernah disiksa oleh kobaran nafsu
birahi, maka selama hidup dia tidak akan pernah merasakan derita yang mendesak
itu. Mengawasi wajah bundar yang tertawa menyengir ini, sungguh hampir tak
tertahan ingin dia menggenjot pecah hidungnya.
Tapi dia dipaksa untuk menahan diri, karena babi ini adalah koleganya,
karena dia ini Ibu jari.
Ibu jari masih tertawa, langsung mendekati ranjang, katanya, “Aku tahu kau
cukup mampu memancing mereka keluar, terbukti kau belum pernah gagal dalam
menunaikan tugas.”
Tawar suara Merak, “Kau melihat mereka?”
Ibu jari manggut-manggut, katanya, “Yang perempuan adalah Bing-gwat-sim,
yang lelaki ialah Pho Ang-soat.” Pho Ang-soat.
Jari-jari tangan Merak mengepal kencang, dia pernah mendengar nama ini,
tahu orangnya, lebih jelas tentang goloknya, golok kilat yang tiada
bandingannya di dunia.
Ibu jari berkata, “Bahwa Yan Lam-hwi bisa bertahan hidup sampai sekarang
adalah gara-gara Pho Ang-soat, maka
Mendadak Merak berjingkrak berdiri, katanya, “Maka untuk membunuh Yan
Lam-hwi, harus membunuh Pho Ang-soat lebih dulu.” Mukanya merah bersemangat,
kedua matanya menyala.
Ibu jari menatapnya dengan kaget, selama ini tiada orang yang pernah
melihat dia begitu bergairah, begitu emosi. Merak yang tabah, Merak yang tak
terkenal, Merak bukan sembarang merak, Merak yang ini mampu membunuh orang.
Ibu jari coba bertanya, “Kau ingin membunuh Pho Angsoat?”
Merak tertawa, katanya, “Selama ini aku suka membunuh orang, Pho Ang-soat
kan juga manusia.”
“Tapi dia bukan manusia kebanyakan, untuk membunuhnya bukan suatu hal yang
gampang.”
“Aku tahu, maka aku tidak akan turun tangan sendiri.”
“Kalau kau sendiri tidak berani, memangnya siapa yang berani mengusik dia?”
Merak tertawa, katanya, “Aku tidak akan bergerak hanya karena aku ini bukan
orang ternama, aku pun tidak ingin terkenal.”
Ibu jari tertawa, tertawa dengan mata memicing, “Kau ingin menyuruh Toh Lui
mengadu jiwa dulu dengan dia, lalu kau akan memungut keuntungan dari belakang?”
“Peduli siapa di antara mereka yang mati, aku tidak akan berduka.”
Bing-gwat-sim amat tersiksa. Tersiksa seperti keong yang sudah lama
bersembunyi di dalam cangkangnya dan tidak bisa berjemur di bawah sinar
matahari.
Topeng yang sekarang dipakainya ini dia beli tahun lalu waktu di kelenteng
ada perayaan, bikinannya memang bagus dan halus, tapi jikalau dipakai terlalu
lama, mukanya terasa gatal dan kepanasan. Bila kulit muka sudah terasa gatal
dan tidak bisa digaruk, maka sekujur badan ikut merasa gatal dan risi. Tapi
tiada niatnya menanggalkan topeng itu, sekarang agaknya dia jadi takut bila Pho
Ang-soat melihat mukanya.
Waktu mereka beranjak masuk, sinar surya yang sudah mendoyong ke barat
tetap menyinari mawar merah di pinggir jendela, mawar yang baru saja tersiram
hujan, maka warnanya kelihatan elok dan segar.
Air muka Yan Lam-hwi justru amat pucat bagai kertas. “Yan-kongcu pernah
siuman tidak?”
“Tidak,” nona cilik bermata bundar besar itu tetap berjaga di samping Yan
Lam-hwi.
“Kau sudah memberi minum obat?”
“Juga tidak,” sahut nona cilik sambil mendekap mulut dan tertawa cekikikan.
“Tanpa pesan nona, menyentuh pun aku tidak berani.”
“Kenapa?”
“Karena...” nona cilik cekikikan genit, “karena aku kuatir nona cemburu.”
Bing-gwat-sim melototinya gemas, lalu berpaling serta bertanya kepada Pho
Ang-soat, “Apakah sekarang sudah saatnya makan obat?”
Menghadap ke arah jendela, Pho Ang-soat mengangguk perlahan.
Sinar surya yang mendoyong miring menyorot masuk memenuhi kamar, kertas
hias di jendela masih baru, demikian pula kayu jendela juga baru saja dicat,
hingga mengkilap bersih laksana kaca. Kedua daun jendela terbentang miring
kedua arah berlawanan, kertas kaca yang tertempel di atas jendela memetakan
gambar kembang mawar yang sedang mekar di sebelah kanan, sementara di kertas
kaca sebelah kiri memetakan gambar terbalik yang ada di dalam kamar, bayangan
si nona cilik dan Bing-gwat-sim terlihat jelas di dalamnya.
Bing-gwat-sim duduk di pinggir ranjang, tangannya memegang botol kayu yang
berisi obat, dituangnya sebutir pil serta dicairkan dengan air putih.
Gerak-geriknya kelihatan amat prihatin, seperti takut bila obat itu tumpah dari
sendok hingga mengurangi kadar obatnya. Akan tetapi obat yang sudah cair di
dalam sendok tidak dia cekokan ke mulut Yan Lam-hwi.
Pho Ang-soat masih berdiri membelakangi mereka, sekilas dia mencuri lirik
kepadanya, mendadak obat di dalam sendok itu dia buang ke dalam lengan baju
nona cilik, lalu dia purapura memapah Yan Lam-hwi dan mendekatkan sendok kosong
itu ke dekat mulutnya.
Apa maksudnya?
Bing-gwat-sim mengundang Pho Ang-soat adalah untuk menolong jiwa Yan
Lam-hwi, akan tetapi jiwa yang sekarat siapa pun takkan bisa menyelamatkan.
Pho Ang-soat masih tetap berdiri di tempatnya, diam tidak memberi reaksi. Walau
dia tidak menoleh, kejadian di belakangnya juga dapat disaksikan dari bayangan
kertas kaca di jendela, namun sedikitpun dia tidak memberi reaksi.
Diam-diam Bing-gwat-sim meliriknya sekali, lalu pelanpelan menurunkan Yan
Lam-hwi, gumamnya, “Setelah makan obat sekali ini, bila tidur nyenyak cukup
lama kukira besok pagi juga dia sudah siuman.”
Padahal dalam hati dia tahu, Yan Lam-hwi tidak mungkin bisa siuman. Di
mulut bicara penuh harap dengan helaan napas rawan, sorot matanya justru
seterang sinar rembulan, mimik mukanya seperti mengulum senyum nakal.
Pada saat itulah, seorang mendadak berteriak di luar pintu, “Ada surat
untuk Pho-tayhiap.”
Kertas surat dan sampulnya mudah dibeli di toko buku dimana saja asal
berani bayar, sebab kertas surat itu dari jenis kertas termahal.
Cekak dan sederhana sekali surat itu, gaya tulisannya juga rajin. “Besok
siang, di kebun keluarga Ni, di luar gardu pemandangan, bawalah golokmu, satu
orang, satu golok.”
Pho Ang-soat tidak memeriksa tanda tangan penulis surat ini, dia sudah tahu
yang menulis pasti adalah seorang yang patuh akan tata tertib dan kebersihan,
namun dia juga suka pamer kekayaan dan kepintarannya. Pandangan Pho Angsoat
memang tidak meleset.
Bing-gwat-sim menghembuskan napas panjang, katanya, “Aku sudah menduga Toh
Lui pasti akan menantangmu, tak nyana begini cepat tantangannya datang.”
Dengan sebelah tangannya yang tidak memegang golok, Pho Ang-soat melempit
kertas surat itu, lalu tanyanya, “Kebun keluarga Ni terletak dimana?”
“Tuh, di seberang rumah sana.”
“Bagus sekali.”
“Apanya yang bagus?”
Dingin suara Pho Ang-soat, “Aku ini seorang timpang, sebelum berduel aku
tidak ingin menempuh perjalanan jauh.”
“Jadi kau sudah siap menerima tantangannya?”
“Ya, sudah pasti.”
“Pergi sendirian?”
“Satu orang, satu golok.”
Bing-gwat-sim mendadak tertawa dingin, katanya, “Bagus sekali.”
Ucapan yang sukar dimengerti, jengek tawanya juga ganjil, Pho Ang-soat
tidak habis mengerti, tapi dia tidak bertanya.
Bing-gwat-sim berkata, “Malam ini kau boleh tidur nyenyak menyegarkan
badan, besok pagi setelah sarapan, cukup beberapa langkah kau akan sudah berada
di kebun keluarga Ni yang sudah lama telantar itu, masih ada banyak waktu untuk
memeriksa dan meneliti setiap jengkal dan keadaan di sana.”
Duel antara dua jago kosen, siapa dapat menguasai situasi dan kondisi,
merupakan unsur penting untuk mencapai kemenangan.
“Orang jenis apa Toh Lui itu, kau sudah melihatnya sendiri, dia sebaliknya
tidak tahu tentang seluk-beluk dirimu. Bisa tahu kekuatan lawan untuk mengukur
kemampuan sendiri, jelas hal ini jauh lebih penting daripada tahu lebih dulu
akan situasi dan kondisi arena.
“Maka dalam duel nanti kau sudah menempatkan diri pada posisi yang lebih
unggul, tiba waktunya asal kau mencabut golokmu, hanya dua belas orang yang
akan tercantum di dalam daftar orang-orang yang ternama. Umpama kau tidak punya
kegemaran membunuh orang, tapi peristiwa itu patut dibuat girang.”
Mendadak dia tertawa dingin, suaranya meninggi, “Tetapi bagaimana dengan
Yan Lam-hwi? Apa kau tidak memikirkan dirinya?”
Tawar suara Pho Ang-soat, “Orang yang akan berduel kan bukan dia.”
“Tapi orang yang akan mati sudah pasti adalah dia.”
“Ya, pasti.”
“Ibu jari dan Merak sekarang tentu sudah tahu dimana dia berada, bila kau
memasuki kebun keluarga Ni, mereka pasti akan menerobos masuk kemari.”
Otot hijau tampak merongkol di punggung tangan Pho Angsoat yang menggenggam
gagang golok.
Bing-gwat-sim menatapnya, suaranya sinis, “Mungkin sebelum ini kau pernah
menolong jiwanya, akan tetapi kali ini umpama tiada kau di sini, kemungkinan
dia malah bisa bertahan hidup lebih lama.”
Otot hijau di punggung tangan Pho Ang-soat tampak lebih mengencang, mendadak
dia mengajukan pertanyaan yang semestinya bukan dia yang bertanya, “Apa benar
kau memperhatikan dia?”
“Memangnya harus diragukan,” seru Bing-gwat-sim, jawabannya reflek,
spontan, tanpa pikir dulu, jawaban yang wajar. Kejadian membuang obat dalam sendok
ke dalam lengan baju nona cilik tadi, seolah-olah tidak pernah terjadi atau
tiada sangkut-pautnya dengan dia.
Pho Ang-soat tidak melihat mimik mukanya, umpama dia menoleh juga tidak
akan melihatnya, karena Bing-gwat-sim masih mengenakan topengnya yang tertawa
lebar itu, lalu perempuan macam apakah sebenarnya yang tersembunyi di balik
topeng lucu itu?
Agak lama kemudian baru Pho Ang-soat bersuara, “Jadi aku tidak usah pergi.”
“Sudah tentu kau harus pergi!”
“Tapi......”
“Tapi sebelum kau berangkat, kau harus mengantarnya ke suatu tempat yang
aman.”
“Tempat mana yang aman?”
“Perkampungan merak.”
Tiada manusia di jagat ini yang mampu meluputkan diri dari serangan Am-gi
itu, Am-gi yang memancarkan cahaya cemerlang dan semarak melebihi cahaya
pelangi.
Perlahan Pho Ang-soat menghela napas, katanya, “Kau pernah bilang, Bulu
merak sekarang sudah tidak berada di perkampungan merak, lalu ada siapa pula di
perkampungan itu?”
“Di sana masih ada Jiu Cui-jing,” sahut Bing-gwat-sim. Seorang lelaki besar
yang pendiam, namanya yang terkenal cukup disegani orang.
“Walau selamanya dia amat hati-hati dan pandai menyimpan rahasia, tapi
yakin dia tidak akan menolak kedatanganmu dan orang yang kau antar ke sana.”
“Ah, masakah begitu?”
“Betul, karena dia banyak berhutang terhadapmu.”
“Hutang apa?”
“Hutang jiwa,” seperti tidak memberi kesempatan kepada Pho Ang-soat bicara,
“walaupun jarang engkau menolong orang, tapi kau pernah menolong jiwanya, malah
menolongnya dua kali, pertama di pesisir Wu-cui, kedua kali di puncak
Thay-san.”
Pho Ang-soat tidak dapat menyangkal karena apa yang diketahui Bing-gwat-sim
memang terlalu lengkap.
“Sekarang dia sudah menjadi Cengcu perkampungan merak itu, dia sudah punya
kemampuan untuk membalas hutangnya kepadamu.”
“Tapi dia tidak punya Bulu merak.”
Bila Bulu merak tidak ada, bukan mustahil perkampungan merak itupun bakal
dihancurkan.
“Banyak orang beranggapan bahwa perkampungan merak bisa berdiri, jaya dan
bertahan sampai ratusan tahun adalah karena Bulu merak, hingga sekarang baru
banyak orang tahu bahwa Jiu Cui-jing ternyata jauh lebih menakutkan daripada
Bulu merak.”
“Alasanmu?”
“Bahwa Bulu merak terjatuh ke tangan orang luar, berita ini sudah tersiar
luas di kalangan Kangouw. Tidak sedikit jumlah musuh besar perkampungan merak,
selama dua tahun ini, ada enam rombongan musuh yang menyerbu perkampungan
merak,” dengan suara kalem dia meneruskan, “enam rombongan seluruhnya berjumlah
tujuh puluh sembilan orang, setiap orang memiliki kepandaian khas yang lihai.”
“Bagaimana akhirnya?”
“Tujuh puluh sembilan gembong-gembong silat itu begitu masuk ke
perkampungan merak, seperti bata yang tenggelam di lautan, tiada terdengar
berita mereka lagi.”
“Rombongan terakhir meluruk ke sana di waktu perayaan Tiong-yang tahun
lalu, sejak itu tiada insan persilatan yang berani coba-coba menyerbu lagi ke
perkampungan merak itu.”
Pho Ang-sat masih membungkam.
Bing-gwat-sim mengerling ke arahnya, katanya pula, “Letak perkampungan
merak itu tidak jauh dari sini, bila naik kereta yang berlari kencang, besok
sebelum tengah hari pasti sudah putar balik.”
Pho Ang-soat tidak memberi jawaban tapi juga tidak menentang, lama sekali
baru dia berkata, “Tidak takut dicegat mereka di tengah jalan?”
“Insan persilatan yang ada di Kangouw sekarang, siapa yang berani mencegat
kau?”
“Sedikitnya ada seorang.”
“Siapa?”
“Merak yang membawa Bulu merak.”
“Dia pasti tidak akan berani turun tangan.”
“Kenapa?”
“Walau Bulu merak adalah Am-gi yang tiada keduanya di kolong langit ini,
tapi orang itu bukan tokoh kosen yang tiada bandingannya di dunia, dia takut
golokmu lebih cepat dari dia.”
Betapapun lihainya sesuatu Am-gi, bila tidak sempat dilancarkan, apa
bedanya dengan barang rongsokan, hal ini memang benar, Pho Ang-soat terkancing
mulurnya.
“Kalau kau tidak ingin dia mati di tangan orang lain, maka sekarang juga
kau harus membawa kami ke sana.”
Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan, “Aku boleh saja membawa kalian
ke sana, tapi ada satu hal ingin aku tanya kau.”
“Silakan bertanya.”
Dingin suara Pho Ang-soat, “Jika kau benar-benar memperhatikan dia, kenapa
obat itu kau lemparkan ke dalam lengan baju orang lain?” Tanpa menoleh dia
lantas menduga bahwa Bing-gwat-sim tidak akan mampu menjawabnya.
Bing-gwat-sim memang terlongong, dia memang tidak menjawab, juga tidak mau
menjawab. Dengan mendelong terpaksa dia mengawasi Pho Ang-soat yang beranjak
keluar, meski jalannya lambat, namun tidak berhenti. Bila dia sudah mulai
berjalan, pasti tidak akan berhenti.
Sinar surya sudah makin guram seterang sinar rembulan. Sinar mentari yang
guram kebetulan menyinari wajah Yan Lam-hwi. Angin menghembus datang dari
puncak gunung, membawa bau harumnya kayu dan daun. Dari tempat Binggwat-sim
berdiri memandang keluar, pemandangan tampak menghijau permai di alam
pegunungan nan jauh di sana, tapi pandangannya sekarang tertuju ke wajah Yan
Lam-hwi.
Yan Lam-hwi sudah keracunan parah dan selama ini masih tetap pingsan, tak
terduga mendadak membuka kedua matanya, balas menatapnya, ternyata
Bing-gwat-sim sedikitpun tidak merasa heran.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Sudah kubilang, sejak mula sudah kukatakan,
bukan soal mudah untuk menipu dia.”
“Aku tahu memang tidak mudah, tapi aku ingin mencobanya.”
“Sekarang kau sudah mencobanya.”
“Ya, aku sudah mencobanya.”
“Bagaimana pendapatmu?”
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya dengan tertawa getir, “Aku hanya
merasa untuk menipunya memang bukan soal gampang.”
“Tapi aku justru ingin mencobanya sekali lagi,” demikian ujar Yan Lam-hwi.
Bersinar mata Bing-gwat-sim, mata Yan Lam-hwi juga menyala. Kenapa mereka
mau menipu Pho Ang-soat? Apa tujuan mereka?
Mentari sudah hampir tenggelam.
Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya, seolah-olah di mayapada
ini hanya tinggal dia seorang yang masih hidup.
Memangnya Pho Ang-soat adalah seorang yang sebatangkara, orang yang suka
menyendiri.
Bab 6. Sebelum Duel
Pho Ang-soat.
Usia: Sekitar tiga puluh tujuh tahun.
Ciri: Kaki kanan timpang, golok tak pernah lepas dari tangan.
Kungfu: Tanpa guru atau aliran mana pun, merupakan aliran tersendiri.
Gamannya golok, serangannya bagai kilat, di kalangan Kangouw diakui sebagai
golok kilat nomor satu.
Riwayat: Kelahiran kurang jelas, sejak dilahirkan diasuh oleh Pek-hong
Kongcu dari Mo-kau, maka dia mahir cara membunuh, menggunakan racun dan senjata
gelap, sejauh ini masih bujangan, empat penjuru lautan adalah rumahnya,
berkelana ke seluruh dunia.
Sifat: Kaku dingin dan nyentrik, malang melintang seorang diri.
Bahan-bahan yang ditulis Toh Lui di atas secarik kertas dia sodorkan ke
hadapan Ibu jari, wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan.
“Kau sudah membacanya?” tanya Ibu jari.
“Ehm, sudah,” sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, “Aku tahu, kau tidak akan puas dengan
keterangan yang kudapat ini, tapi bahan itu saja yang dapat kami peroleh,
maklum tiada seorang lain pun yang bisa tahu lebih banyak dari bahan-bahan yang
kami dapatkan ini.”
“Bagus sekali.”
Ibu jari mengedipkan mata, tanyanya memancing, “Berguna tidak bahan-bahan
itu untukmu?”
“Tidak.”
“Sedikitpun tidak berguna?”
Toh Lui mengangguk, berdiri lalu mondar-mandir sekejap, lalu duduk pula,
katanya dingin, “Masih ada dua hal yang paling penting.”
“Ah, masa betul?” seru Ibu jari.
“Dulu pernah dia tertipu oleh seorang perempuan, sehingga nasibnya begitu
mengenaskan.”
“Siapakah perempuan itu?”
“Seorang pelacur bernama Jui Nong,” sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, “Selalu aku merasa heran, kenapa lelaki
yang pintar selalu tertipu oleh pelacur?”
Merak tiba-tiba menyela, “Karena lelaki yang pintar hanya menyukai
perempuan yang cerdik, perempuan yang cerdik kebanyakan suka jadi pelacur.”
Toh Lui menjengek, “Kukira dia ini pasti pernah tertipu juga oleh pelacur.”
Berubah air muka Merak, namun dia masih bisa tertawa, tanya, “Apa pula hal
kedua yang tidak lengkap dalam data itu?”
“Dia mengidap penyakit,” ujar Toh Lui.
“Penyakit apa?”
“Penyakit ayan.”
Bersinar mata Ibu jari, katanya, “Bila penyakitnya itu kumat, apakah dia
juga bergelimpangan dan mengejang serta berbuih mulutnya?”
“Ya, penyakit ayan hanya satu macam,” ucap Toh Lui.
Ibu jari menghela napas gegetun, katanya, “Seorang timpang yang berpenyakit
ayan ternyata mampu meyakinkan golok kilat yang tiada bandingannya di jagat
ini.”
Toh Lui berkata, “Dia pernah menggembleng diri, konon sedikitnya empat jam
waktu yang digunakan untuk berlatih golok, sejak berusia lima tahun setiap hari
sedikitnya dia mencabut goloknya sebanyak dua belas ribu kali.”
Ibu jari menyengir kuda, katanya, “Sungguh tak nyana kau lebih jelas
tentang seluk-beluknya daripada kami.”
Tawar suara Toh Lui, “Setiap tokoh yang tercantum di dalam daftar nama
tokoh tersohor sudah kuketahui selukbeluk mereka dengan jelas, karena aku sudah
menghabiskan lima bulan untuk mencari bahan-bahan tentang mereka, lima bulan
aku menyelidiki dan menyelami seluk-beluknya.”
“Jerih payahmu untuk menyelidiki riwayat Pho Ang-soat aku yakin lebih besar
daripada yang lain.” Toh Lui mengakui.
“Apa hasil jerih payahmu itu?” tanya Ibu jari.
“Golok itu tidak pernah terlepas karena golok itulah gamannya. Paling
sedikit sudah dua puluh tahun dia menggunakan golok itu sehingga golok itu
seolah-olah sudah menjadi salah satu anggota badannya, sedemikian lincah dan
leluasa dia menggunakan golok itu, jauh lebih leluasa dari jari orang lain
menggunakan jari-jari tangan sendiri,” demikian ucap Toh Lui.
“Tapi aku tahu,” ujar Ibu jari, “golok yang dia gunakan itu tidak terlalu
bagus.”
“Golok yang dapat membunuh manusia pasti adalah golok baik,” Toh Lui
menegaskan.
Bagi Pho Ang-soat golok itu bukan lagi sebatang golok biasa, karena antara
golok dan jiwanya itu senyawa, sudah punya ikatan batin yang tidak mungkin
dirasakan dan diselami orang lain. Walau Toh Lui tidak menjelaskan hal ini
lebih jauh, tapi Ibu jari sudah maklum apa yang dimaksud.
Sejak tadi Merak menepekur, katanya tiba-tiba, “Jikalau kita bisa
mendapatkan goloknya itu ...”
“Tiada manusia yang mampu memegang goloknya itu,” ujar Toh Lui.
“Segala sesuatu di dunia ini pasti ada kecualinya,” Merak tertawa.
“Tapi untuk yang satu ini tidak ada,” Toh Lui menjawab tegas.
Merak tidak mendebatnya lagi, tanyanya malah, “Kapan penyakitnya itu sering
kumat?”
“Bila amarah dan rasa pilu hatinya tidak terbendung lagi, penyakitnya akan
kumat.”
“Jika kau bisa turun tangan di saat penyakitnya itu kumat....”
Toh Lui menarik muka, katanya menjengek dingin, “Memangnya kau kira aku ini
orang apa!”
Merak tertawa tergelak, katanya, “Aku tahu kau tidak sudi melakukan hal
serendah itu, tapi apa salahnya kita suruh orang lain melakukannya, umpamanya
kita mencari seorang untuk membuatnya marah supaya dia...”
Toh Lui berjingkrak berdiri, katanya dingin, “Aku hanya ingin supaya kalian
tahu akan satu hal.”
Merak pasang kuping, Ibu jari juga siap mendengarkan.
“Inilah duel antara aku dan dia, duel antara dua lelaki jantan, lelaki
sejati, siapa pun yang akan menang atau kalah dalam duel ini tiada
sangkut-pautnya dengan orang lain.”
Mendadak Ibu jari bertanya, “Apa tiada sangkut-pautnya dengan Kongcu?”
Tangan Toh Lui yang memegang golok mendadak mencengkeram kencang.
Ibu jari segera mendesak, “Bila kau belum melupakan Kongcu, maka kau harus
melakukan satu hal.”
“Satu hal apa?” Toh Lui menegas.
“Biarkan dia menunggu, menunggu lebih lama beberapa kejap, biar menunggu
hingga hatinya risau dan pikiran ruwet baru kau muncul,” dengan tersenyum lalu
menambahkan, “dalam duel ini kau akan menang atau bakal mampus memang tiada
sangkut-pautnya dengan kami, kami pun tidak ambil peduli, namun kami tidak
ingin mengubur jenazahmu.”
Tengah hari di taman bobrok keluarga Ni.
Cahaya mentari tepat menyinari atap gardu, di luar gardu berdiri seseorang
dengan sebilah golok hitam, sarung yang legam.
Perlahan Pho Ang-soat menyusuri jalanan kecil di dalam taman yang sudah
ditumbuhi rumput liar, tangannya menggenggam kencang gagang golok. Cat gardu
sudah luntur dan banyak yang mengelupas, namun paya-paya kembang di pinggir
sana masih utuh, di siang hari bolong yang benderang ini kelihatan masih kokoh
dan semarak.
Tempat ini dahulu memang punya masa depan yang cemerlang, masa jaya dan
semarak, kenapa sekarang berubah menjadi belukar dan tidak terurus?
Sepasang burung walet terbang dari tempat jauh, hinggap di atas pohon tak
jauh di luar gardu, seolah-olah sedang mencari dan berusaha menemukan impian
lama yang masih menjadi kenangan terukir dalam kalbu. Sayang sekali pohon ini
masih tumbuh subur, namun keadaan sekelilingnya sudah banyak berubah, walet
datang pergi pula, entah berapa kali dia pulang-pergi? Pohon subur itu tidak
bisa bersuara, pohon itu tidak kenal cinta kasih, tidak tahu apa artinya belas
kasihan.
Mendadak Pho Ang-soat merasakan jantungnya sakit. Sejak lama dia sudah
mempelajari sifat pohon yang diam, kalem dan meyakinkan, namun dia selalu
bertanya-tanya kapan baru dia bisa belajar pada sifat pohon yang tidak kenal
belas kasihan.
Walet itu terbang jauh pula. Darimanakah walet itu kemari? Taman ini sudah
telantar, lalu milik siapakah taman ini?
Pho Ang-soat berdiri menjublek, seolah-olah dia sudah lupa akan kehidupan
dirinya. Dimana? Dan darimana? Hal Ini tak sempat dipikirnya pula, karena
mendadak dia mendengar seseorang sedang tertawa, tawa cekikikan genit yang
merdu nyaring laksana kicau burung kenari, berkumandang dari semak rumput yang
tumbuh tinggi.
Seorang anak perempuan mendadak berdiri di semak rumput yang tinggit itu,
mengawasi Pho Ang-soat sambil tertawa manis cekikikan. Begitu elok senyuman,
wajahnya lebih cantik lagi, rambutnya yang panjang terurai mayang hitam legam
dan mengkilap selembut sutra.
Rambut yang terurai mayang ternyata tidak disisir, dia biarkan begitu saja
rambutnya yang panjang menjuntai lemas dan tersebar di kedua pundaknya. Gadis
rupawan ini ternyata juga tidak bersolek, seenaknya saja dia mengenakan
seperangkat jubah panjang, entah terbuat dari kain apa, yang terang bukan sutra
juga bukan satin, justru mirip rambutnya yang panjang.
Mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya ternyata mengandung senyum lebar dan
ramah, katanya mendadak, “Tidak kau tanya kenapa aku tertawa?”
Pho Ang-soat diam saja, tidak bertanya.
“Aku geli melihatmu,” senyumannya makin manis. “Melihat kau berdiri di
sini, aku jadi geli, karena kau mirip seorang pikun, seorang linglung.”
Pho Ang-soat tidak bersuara.
“Kau juga tidak tanya siapakah aku?”
“Siapa kau?” ternyata Pho Ang-soat bertanya, sebetulnya dia tidak ingin
bertanya. Tak nyana baru saja dia ingin bertanya, anak perempuan itu sudah
melompat dan bersorak.
“Memangnya aku sedang menunggu pertanyaanmu ini,” waktu dia melompat,
garangnya seperti seekor kucing yang marah, “Tahukah kau, tanah dimana kau
sekarang berdiri milik siapa? Berdasarkan apa kau berani mondar-mandir seenak
udelmu di tanah ini?”
Pho Ang-soat menatapnya dingin, menunggu ocehannya lebih lanjut.
“Tempat ini milik keluarga Ni,” dengan jari telunjuknya menuding hidung
sendiri, “aku inilah nona kedua dari keluarga Ni, bila aku mau, sembarang waktu
bisa saja mengusirmu.”
Terpaksa Pho Ang-soat hanya bungkam, seorang keluyuran di rumah orang,
mendadak kepergok oleh tuan rumah, apa pula yang bisa dia katakan.
Ni-jisiocia melototinya dengan gemas, mendadak dia tertawa, tertawa manis,
“Tapi aku tentu tidak akan mengusirmu, karena Matanya berkedip-kedip, “Karena
aku menyukaimu.”
Pho Ang-soat hanya mendengarkan.
Boleh saja kau tidak menyukai orang lain, tapi tak dapat melarang orang
lain menyukaimu.
Tapi cepat Ni-jisiocia telah berubah hatinya, “Aku bilang aku menyukaimu,
sebenarnya hanya omong kosong saja.”
Setelah menghela napas, lanjutnya, “Aku tidak segera mengusirmu karena aku
tahu aku bukan tandinganmu.”
Tak tertahan Pho Ang-soat bertanya, “Kau tahu diriku?”
“Sudah tentu tahu.”
“Apa saja yang kau ketahui?”
“Bukan saja aku tahu kau mahir kungfu, aku juga tahu siapa namamu? Pokoknya
jelas deh,” dengan menggendong kedua tangan, dia melangkah keluar dari semak
rumput dengan sikap angkuh, matanya plirak-plirik mengawasi Pho Ang-soat dari
atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas.
“Orang lain bilang kau ini makhluk aneh, tapi pendapatku sebaliknya, bukan
saja kau ini tidak aneh, malah tampangmu cukup ganteng.”
Perlahan Pho Ang-soat memutar badan berjalan ke arah gardu yang disinari
matahari, tiba-tiba dia bertanya, “Hanya kau seorang di tempat ini?”
“Kalau seorang diri memangnya kenapa?” bantahnya dengan mata berputar, “apa
kau berani menganiaya aku?”
“Biasanya kau tidak berada di sini?”
“Kenapa seorang diri aku harus berada di tempat seperti sarang setan ini?”
Mendadak Pho Ang-soat menoleh, katanya menatap tajam, “Sekarang kenapa
tidak lekas kau menyingkir?”
Ni-jisiocia berjingkrak dan berteriak, “Ini kan rumahku, terserah aku mau
di sini atau mau pergi, memangnya perlu aku runduk kepada orang lain?”
Kembali Pho Ang-soat bungkam.
Ni-jisiocia melotot gusar sambil bertolak pinggang, namun kejap lain
mendadak dia tertawa sendiri, katanya, “Sebetulnya tidak pantas aku bertengkar
dengan kau, kalau baru permulaan aku sudah bertengkar dengan kau, bagaimana kelak?”
Kelak? Tahukah kau ada sementara orang yang tidak punya kelak?
Perlahan langkah Pho Ang-soat waktu menaiki undakan, pandangannya tertuju
ke tempat jauh walau sinar mentari menimpa wajahnya, wajahnya masih kelihatan
pucat sekali.
Hanya satu harapannya, yaitu semoga Toh Lui lekas datang.
Tapi Ni-jisiocia bertanya lagi, “Aku tahu kau bernama Pho Ang-soat, kenapa
tidak kau tanya siapa namaku?”
Karena Pho Ang-soat diam saja, terpaksa dia memperkenalkan diri sendiri,
“Aku bernama Ni Hwi.”
Mendadak dia melompati pagar dan berdiri di depan Pho Angsoat, lalu ucapnya
agak aseran, “Ayahku memberi nama Hwi berarti cerdik, karena sejak kecil aku
paling pintar dan banyak akal.”
Pho Ang-soat tidak menghiraukan ocehannya.
“Kau tidak percaya?” tangannya bertolak pinggang, sanggulnya hampir
menyentuh hidung Pho Ang-soat, “Bukan saja aku tahu apa maksudmu datang kemari,
aku malah tahu siapa yang sedang kau tungggu di sini. Kau kemari pasti ingin
mengadu jiwa dengan seorang, melihat rona mukamu, aku lantas dapat menebaknya.”
“Ah, masa?”
“Ya, karena kau membawa hawa membunuh.”
Bocah cilik centil yang cerewet ini apa benar tahu apa artinya hawa
membunuh?
“Aku juga tahu yang sedang kau tunggu pasti Toh Lui,” nada Ni Hwi seperti
yakin bahwa ucapannya pasti betul.
“Karena dalam lingkungan ratusan li di daerah ini, orang yang mampu dan
setimpal berduel dengan Pho Ang-soat hanya Toh Lui seorang saja.”
Memang tidak sedikit yang diketahui cewek cilik ini.
Mengawasi mata orang yang lincah, Pho Ang-soat bertanya dingin, “Kalau kau
tahu, seharusnya kau lekas pergi.” Nadanya tetap dingin, tapi tatapan matanya
tidak sedingin biasanya, bentuk matanya seolah-olah telah berubah lembut dan
hangat.
Ni Hwi tertawa, katanya lembut, “Apakah kau sudah mulai memperhatikan aku?”
Pho Ang-soat menarik muka, katanya, “Aku suruh kau pergi karena aku
membunuh orang bukan untuk ditonton.”
Ni Hwi mencibir bibir, katanya, “Umpama kau mau mengusirku juga tidak perlu
tergesa-gesa. Toh Lui tidak akan datang lebih dini.”
Pho Ang-soat mengangkat kepala, mentari tepat di tengah angkasa.
“Dia pasti berbuat seenaknya supaya kau menunggu, menunggu dan menunggu
sehingga hatimu risau, semakin risau hatimu, kesempatannya menggorok lehermu
menjadi lebih besar.” Dengan tertawa dia berkata pula, “Ini termasuk strategi
perang, jagoan tukang berkelahi seperti dirimu seharusnya sudah memikirkan hal
ini.”
Tapi mendadak dia menggeleng, lalu melanjutkan, “Tapi kau pasti tidak mau
memikirkan hal ini, karena kau seorang Kungcu, laki-laki sejati, aku bukan,
maka boleh aku memberi sebuah akal kepadamu, cara yang tepat untuk menghadapi
musuh serendah dia.”
Cara apa? Pho Ang-soat tidak bertanya, namun dia juga tidak pantang
mendengar.
“Kalau dia ingin kau menunggu, maka kau pun bisa membuat dia menunggu,” Ni
Hwi berkata.
Gigit menggigit, dengan cara orang memperlakukan dirimu, maka kau pun bisa
menggunakan cara itu untuk memperlakukan orang itu. Itulah cara yang paling
kuno, cara kuno umumnya amat manjur.
Ni Hwi berkata pula, “Marilah kita bertamasya di taman ini atau boleh juga
kita bermain catur, sambil minum dua poci arak supaya dia menunggumu di sini,
menunggumu sampai mampus saking gelisah.”
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.
“Akan kubawa kau ke tempat kami menyimpan arak, bila nasib kita lagi mujur,
bukan mustahil dapat menemukan seguci Li-ji-ang peninggalan bibi waktu dia
menikah dahulu,” agaknya minatnya terlalu besar minum arak, sebelum Pho
Ang-soat memberi reaksi, dia sudah mengulur tangan menarik lengannya, lengan
tangan yang memegang golok.
Tiada orang bisa menyentuh tangannya itu. Jari-jarinya yang halus baru saja
menyentuh tangannya, mendadak terasa ada suatu tenaga besar yang aneh menggetar
pergi jari tangannya. Begitu hebat arus getaran tenaga itu sehingga tubuhnya
melenting seperti digontok, ingin berdiri juga tidak kuasa lagi, akhirnya dia
jatuh terduduk, pantatnya terbanting cukup keras.
Kali ini mulutnya ternyata tidak ribut karena matanya merah dan berkaca-kaca,
suaranya terisak, “Aku hanya ingin bersahabat dengan kau, ingin melakukan
sesuatu, kenapa kau bersikap sekasar ini terhadapku.” Punggung tangannya
mengucek-ngucek hidung seperti akan pecah tangisnya.
Kelihatannya dia memang seperti anak perempuan yang harus dikasihani,
aleman tapi juga jenaka.
Pho Ang-soat tidak mengawasinya, melirik pun tidak, namun suaranya dingin,
“Bangun, dalam rumput ada ular.”
Ni Hwi makin memelas, katanya, “Tulang seluruh badanku seperti remuk,
bagaimana aku bisa berdiri.” Dengan tangan mengucek hidung dan mata, ia
melanjutkan, “Biarlah aku digigit ular di sini saja.”
Wajah Pho Ang-soat yang pucat tetap tidak berubah, tapi dia sudah beranjak
menghampiri. Dia tahu tenaga yang dia salurkan tadi, bukan seluruhnya tenaga yang
tersalur dari badannya, karena tangannya memegang golok, dari batang goloknya
itupun bisa mengeluarkan kekuatan, golok itu berada di tangannya, golok itu
seperti memiliki jiwa, ada sukmanya, ada jiwa pasti ada tenaga, tenaga
terpendam untuk menunjang jimat.
Perbawa kekuatannya itu boleh dikata sudah hampir mirip dengan Kiam-khi
(hawa pedang) yang amat menakutkan, hawa pedang yang tak mungkin ditahan atau
dilawan apa pun. Memang pantas bila dia tidak menggunakan tenaga itu untuk
menghadapi cewek jenaka ini.
Ni Hwi duduk meronta-ronta di atas rumput, kedua tangannya menutup muka,
jari-jari tangan yang halus dan putih. Akhirnya Pho Ang-soat mengulur tangan
menariknya, tangan yang tidak memegang golok. Ternyata Ni Hwi tidak melawan,
juga tidak menyingkir, tangannya terasa empuk hangat.
Sudah lama Pho Ang-soat tidak menyentuh tangan seorang perempuan. Dia
menekan hawa nafsu jauh lebih tuntas dari setiap padri saleh yang suci,
menderita dalam ajaran agamanya. Akan tetapi dia adalah lelaki, laki-laki
tulen, lakilaki yang belum tua.
Seperti anak domba yang penurut dia merangkak bangun sambil merintih
perlahan, waktu Pho Ang-soat hendak membimbingnya, tiba-tiba dia menjatuhkan
diri ke dalam pelukannya malah, badannya yang montok padat lebih hangat, lebih
menggairahkan, lebih empuk.
Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang, sudah tentu Ni Hwi juga
merasakan detak jantungnya yang memburu. Anehnya pada sekejap itulah, mendadak
timbul suatu firasat yang aneh. Terasa adanya nafsu membunuh, firasatnya memang
tajam, pada saat itulah Ni Hwi telah mencabut sebilah pisau, pisau panjang
tujuh dim, langsung ditusukkan ke lambung samping bawah ketiaknya.
Wajah nan molek jenaka mirip cewek kecil yang mungil, namun serangan yang
dilancarkan jauh lebih jahat dari pagutan ular beracun. Sayang tusukannya
gagal, pisaunya menusuk angin.
Entah bagaimana mendadak tubuh Pho Ang-soat mengkeret, jelas dan yakin
bahwa pisau tajamnya itu sudah menusuk ke perut orang, namun kenyataannya hanya
menyerempet pinggir kulitnya. Sedetik itu pula Ni Hwi juga menyadari bahwa
tusukan pisaunya gagal, maka kakinya menjejak, tubuhnya pun sudah melejit ke
atas.
Seperti ular berbisa yang sembarang waktu mampu melenting ke udara dari
semak rumput, baru saja tubuhnya melejit di tengah udara sudah bersalto. Sekali
bersalto disusul salto yang kedua, ujung kakinya sudah menutul atap gardu.
Begitu ujung kakinya meminjam tenaga, tubuhnya sudah melambung pula ke
belakang, kini sudah berada di pucuk pohon sejauh lima tombak.
Sebetulnya Ni Hwi ingin menyingkir lebih jauh, tapi karena Pho Ang-soat
tidak mengejar, maka dia tidak berlari lebih jauh, dengan sebelah kakinya dia
berdiri di pucuk sebatang dahan yang memantul enteng, mulutnya ternyata masih
menerocos bagai burung berkicau.
Ginkangnya memang tinggi, cara dia memaki orang juga tidak rendah.
“Baru sekarang aku tahu kenapa cewekmu dulu itu meninggalkan engkau, karena
hakikatnya kau bukan laki-laki, bukan saja kakimu cacad, jiwamu ternyata juga
tidak normal,” caci-makinya tidak kasar, namun setiap patah katanya laksana
jarum yang menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Wajah Pho Ang-soat yang merah mendadak bersemu merah, warna merah yang
ganjil, jari-jari tangannya tergenggam kencang. Hampir saja dia mencabut golok,
tapi dia tidak bergerak, karena mendadak dia menyadari derita batinnya sekarang
tidak lagi separah dan seberat apa yang dipikirnya.
Setiap senyumannya, setiap tetas air matanya, setiap limpahan cinta dan
setiap patah katanya yang bohong, sudah terukir dalam sanubarinya. Segala
perasaan itu sudah lama terpendam dalam sanubarinya. Hingga dia berhadapan
dengan Bing-gwat-sim, seluruh derita yang terbenam dalam kenangan itu kembali
terpampang di depan matanya secara hidup-hidup. Maka pukulan batin yang
dideritanya pada saat itu, pasti takkan bisa dibayangkan, tak bisa diresapi
oleh siapa pun dan satu hal yang tidak terduga adalah setelah mengalami siksa
derita ini, penderitaan batinnya malah menjadi tawar, penderitaan yang semula
tidak berani dipikirkan, dibayangkan atau dihadapi sekarang sudah dapat
ditantangnya dengan tabah.
Penderitaan manusia memang mirip borok yang sudah membusuk, bila kau
diamkan saja borok itu makin parah, makin membusuk. Bila kau tega mengoreknya
dengan pisau sehingga darah dan nanah meleleh keluar, bukan mustahil dia malah
akan segera sembuh.
Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepala, keadaannya sudah pulih seperti sedia
kala, tenang, mantap dan dingin.
Ni Hwi masih berpantul di pucuk pohon, pandangannya tampak kaget dan heran,
Pho Ang-soat tidak mencabut goloknya, suaranya terdengar tawar, “Pergilah kau.”
Sang surya sudah doyong ke barat, bayangan gardu itu sudah terpeta di atas
tanah berumput liar.
Pho Ang-soat tidak bergerak, gayanya pun tidak berubah. Dia tetap berdiri
di tempat semula, bayangannya makin panjang dan panjang, Pho Ang-soat tetap
tidak bergerak, orangnya tidak bergerak, hatinya pun tidak tergerak.
Bila seseorang sudah biasa hidup dalam kesunyian seorang diri, maka
menunggu dan menunggu itu baginya sudah bukan suatu penderitaan, suatu hal yang
tidak perlu dirisaukan. Untuk menunggu golok tercabut pertama kali, dia sudah
menunggu tujuh belas tahun, padahal pertama kali dia mencabut golok dahulu,
hakikatnya tiada faedahnya, tidak punya arti dan tidak membawa akibat apa pun.
Selama tujuh belas tahun dia menunggu hanya untuk membunuh, ya, membunuh demi
menuntut balas kematian ayah bundanya.
Akan tetapi setelah dia mencabut golok, baru dia sadar bahwa dirinya
hakikatnya bukan keturunan keluarga itu, bahwasanya tiada sangkut-pautnya
dengan persoalan dan pertikaian itu. Ini bukan melulu merupakan suatu sindiran
pedas. Bagi siapa pun, sindiran seperti ini terlampau tajam, terlampau keji. Tapi
Pho Ang-soat telah mengalami dan menerima sebab akibatnya, karena dia dipaksa
harus menerima tempaan hidup ini. Maka selanjutnya dia pun belajar bertahan,
berhasil menahan sabar.
Bila Toh Lui maklum akan hal ini, mungkin dia tidak akan membiarkan Pho Ang-soat
menunggu terlalu lama. Bila kau ingin aku menunggu, bukanlah kau sendiri juga
sedang menunggu.
Banyak persoalan di dunia ini memang mirip dua mata pedang yang sama
tajamnya, bila kau ingin melukai orang lain, sering kali kau sendiri pun bisa
terluka. Celakanya lukaluka yang kau derita kemungkinan justru lebih berat dari
lawanmu.
Perlahan Pho Ang-soat menghembuskan napas dari mulutnya, terasa hati
tenang, dada lapang, pikiran jernih.
Sekarang jam sudah menunjukkan angka tiga.
Gubuk yang lembab itu terletak di ujung gang yang gelap, pemiliknya semula
adalah seorang tua kikir yang berpenyakitan, konon setelah mayatnya membusuk
baru diketahui orang.
Sekarang Merak justru menyewa rumah ini, bukan karena dia pun kikir.
Padahal dia cukup mampu menginap di hotel kelas satu, namun dia rela tinggal di
tempat yang jorok ini. Merak, julukan ini sebetulnya juga suatu sindiran bagi
dirinya, Karena pribadinya bukan seorang yang berharga untuk disanjung dan
dikagumi seperti indahnya bulu merak yang sedang mekar, sebaliknya dia justru
lebih mirip seekor kelelawar yang takut dan tak berani terkena sinar matahari.
Waktu Ibu jari berjalan masuk, dia sedang rebah di atas dipan yang keras
dan dingin. Sebuah jendela kecil satusatunya yang ada dari bilik ini sudah
dipaku kencang dan dipalang selembar papan sehingga bilik ini bukan saja lembab
dan guram, juga berbau apek mirip liang kelelawar yang busuk.
Begitu duduk Ibu jari lantas menghela napas, tak pernah dia mau tahu kenapa
Merak mau dan sudi tinggal di tempat seperti ini.
Jangankan menoleh, melirik pun tidak, Merak tidak menyambut kehadirannya.
Setelah dengus napasnya mulai mereda baru dia bertanya, “Mana Toh Lui?”
“Dia masih menunggu,” sahut Ibu jari.
“Waktu berpisah dengan aku tadi kira-kira sudah jam tiga, berapa lama lagi
dia ingin Pho Ang-soat menunggunya?” kata Merak.
“Sudah kuberitahu kepadanya, paling cepat jam 4 baru boleh dia berangkat,”
ujar Ibu jari.
Ujung mulut Merak menampilkan senyuman sadis, katanya, “Berdiri beberapa
jam di tempat seperti sarang setan itu rasanya pasti juga cukup menyiksa
batinnya.”
Ibu jari justru mengerut kening, katanya, “Aku justru menguatirkan satu
hal.”
“Hal apa?”
“Walau Pho Ang-soat sedang menunggu, Toh Lui sendiri juga sedang menunggu,
aku justru kuatir dia lebih tidak bisa menahan emosi daripada Pho Ang-soat.”
“Jika dia mampus di bawah golok Pho Ang-soat. Apakah kau menderita rugi?”
“Tidak.”
“Lalu apa yang kau harus kau kuatirkan?”
Ibu jari tertawa, dengan ujung lengan bajunya dia menyeka keringat, katanya
pula, “Masih ada sebuah berita baik ingin kusampaikan kepadamu.”
Merak diam saja, dia sedang mendengarkan.
“Yan Lam-hwi memang betul keracunan, malah racunnya amat jahat.”
“Darimana kau peroleh berita ini?”
“Kubeli dengan harga lima ratus tahil perak.”
Mencorong mata Merak, katanya, “Berita senilai lima ratus tahil perak
umumnya memang patut dipercaya.”
“Karena itu setiap saat boleh kita pergi membunuhnya.”
“Sekarang juga kita boleh berangkat.” Saat itu tepat menunjukan jam tiga
sore.
Meski lewat lohor, tapi cahaya mentari masih terasa terik, musim semi akan
segera berlalu, musim panas sudah di ambang pintu.
Pho Ang-soat paling benci musim panas, musim panas umumnya milik anak-anak,
sejak pagi hari mereka bertelanjang mandi di sungai atau di empang, berguling
dan bergelut di tanah rumput, menangkap kupu-kupu, bermain kucing-kucingan.
Bila malam tiba, duduk berkerumun di bawah barak sambil makan semangka yang
sudah direndam di dalam sumur, mendengar cerita orang-orang tua tentang kaum
pendekar menangkap setan, mengantongi kunang-kunang sebanyak mungkin untuk
ditukar dengan beberapa biji permen.
Musim panas laksana emas, masa keemasan di waktu anak-anak, selalu diliputi
kegembiraan, tidak pernah tahu apa artinya duka dan lara.
Pho Ang-soat justru tidak pernah mengalami kehidupan yang senang dan
gembira di musim panas, sehari pun tak pernah menjadi miliknya untuk hidup
dalam ketenteraman. Dalam kenangannya, musim panas hanya cucuran keringat atau
darah, kalau tidak bersembunyi di dalam hutan dengan pepohonan pendek, tentu
berlatih mencabut golok, maka dia pasti berada di tengah padang rumput di bawah
terik matahari bersiap mencabut goloknya.
Mencabut golok, sekali dua kali, mencabut dan mencabut lagi, tak pernah
berhenti, gerakan yang aneh, gerakan sederhana ini ternyata menjadi salah satu
segi kehidupannya, segi kejiwaan yang paling penting.
Kapan pula gogok akan dicabut? Golok itu perlambang kematian. Di saat golok
tercabut, saat itulah kematian tiba. Bila goloknya tercabut pula, siapa pula
yang akan ajal? Pho Ang-soat menunduk, menatap jari-jari tangan sendiri yang
memegang golok, jari-jari yang pucat dan dingin, golok itu lebih dingin, tangan
makin putih, golok makin legam.
Jam tiga sore pun tiba.
ooooOOoooo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar