Bab 76. Taktik yang Cemerlang
Jawab Tuan Sun dengan suara
rendah, “ShangGuan JinHong pasti datang awal esok hari.”
“Mengapa begitu?” tanya Sun Xiao
Hong.
“Karena siapa yang datang lebih
awal, punya kesempatan untuk memilih lokasi yang paling menguntungkan. Tidak
mungkin ShangGuan JinHong menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Lalu mengapa Li Xun Huan tidak
datang lebih awal lagi saja?”
“Mungkin dia tidak ingin berlomba
datang lebih awal. Atau mungkin juga ia punya alasan yang lain sama sekali.”
Tuan Sun terkekeh pelan dan
menambahkan, “Li Tan Hua bukan orang biasa. Kadang-kadang aku pun dibuatnya
bingung, tidak mengerti apa maksud perbuatannya.”
Kata Sun Xiao Hong, “Dalam
pandanganku, seluruh tempat ini tampak sama saja. Aku tidak bisa menentukan
tempat mana yang paling menguntungkan.”
“Tempat di mana ia berdiri saat
ini,” kata Tuan Sun.
“Apa istimewanya tempat itu?”
“Jika ShangGuan JinHong berdiri
di situ, Li Xun Huan pasti harus berdiri tepat di depannya.”
“Mmmm.”
“Waktu berduel telah ditentukan,
yaitu pada saat matahari terbenam.”
“Aaah, sekarang aku mengerti.
Jika seseorang berdiri di situ, punggungnya akan tepat menghadap cahaya
matahari terbenam, jadi cahaya itu tidak akan mempengaruhinya sama sekali.
Namun, orang yang berada tepat di depannya, akan silau oleh cahaya itu. Dan
jika sekali saja kau berkedip, lawanmu akan mempunyai kesempatan yang sempurna
untuk menyerangmu.”
“Tepat sekali.”
“Namun mengapa ShangGuan JinHong
memilih untuk berdiri di situ?”
“Hanya dengan cara berdiri di
situ, baru ia tahu kelemahan tempat itu. Lalu ia dapat mencari tempat yang
lain,” kata Tuan Sun. “Jika kau melihat hutan di sana, sinar matahari senja pun
dipantulkan oleh embun yang membeku di atas dedaunan. Jadi berdiri di situ pun
akan silau juga.”
Kini Li Xun Huan berjalan menuju
sebatang pohon tepat di hadapan mereka.
Mata Sun Xiao Hong terus
mengikuti gerakannya. Tiba-tiba selarik sinar menyilaukan matanya…. Pohon itu
mempunyai paling banyak embun yang membeku, dan sinar matahari yang dipantulkannya
pun paling banyak.
Tanya Tuan Sun, “Kini kau
mengerti?”
Sun Xiao Hong tidak menjawab.
Tiba-tiba tubuh Li Xun Huan melesat ke atas pohon dan dengan
cepat mengitari pohon itu.
“Semua orang tahu bahwa ‘Pisau
Terbang Li Kecil tidak pernah luput’. Namun ilmu meringankan tubuhnya pun
ternyata sangat tinggi. Tidak banyak orang di dunia ini yang dapat menandinginya,”
seru Tuan Sun.
“Tapi, apa yang sedang
dilakukannya di pohon itu?” tanya Sun Xiao Hong.
“Ia sedang memeriksa tiap ranting
dan cabang pohon itu, berapa kuatnya mereka itu. Ada dua alasan mengapa ia
melakukannya.”
“Dua alasan?”
“Yang pertama, ia ingin
memastikan bahwa pohon itu belum ‘dikerjai’ oleh ShangGuan JinHong.”
“Dikerjai?”
“Ketika ia sedang berhadapan
dengan ShangGuan JinHong, apa yang akan terjadi jika tiba-tiba ranting-ranting
pohon itu patah?”
“Kalau patah yang pasti akan
jatuh ke bawah.”
“Jatuh ke mana?”
“Ke tanah.” Tiba-tiba Sun Xiao
Hong jadi mengerti maksudnya. “Atau di depannya, sehingga menghalangi
pandangannya. Atau mungkin di atas kepalanya. Yang pasti, itu akan memecahkan konsentrasinya
dan memberikan keuntungan bagi ShangGuan JinHong.”
“Lagi pula, jika ia tidak punya
pilihan lain, ia bisa naik ke atas pohon itu. Apa yang akan terjadi jika
tiba-tiba pohon itu berubah menjadi medan laga?” tanya Tuan Sun.
“Oleh sebab itulah, ia harus
memeriksa segala sesuatu dengan seksama. Pohon itu dan juga segala sesuatu di
sekitar sini,” jawab Sun Xiao Hong.
“Akhirnya kau mengerti.”
“Ya, kini aku mengerti. Siapa
sangka ada begitu banyak persiapan sebelum berduel.”
“Apapun yang kau kerjakan, jika
kau telah mencapai tingkatan yang tertinggi, selalu akan lebih rumit dan
mendetil. Bahkan dalam hal menyulam atau memasak sekalipun.”
Tuan Sun melirik pada Li Xun Huan
dan melanjutkan, “Walaupun waktu duelnya ditentukan esok hari, sebenarnya duel
itu telah dimulai sejak pertama kali mereka bertemu. Yang diuji adalah perhatian
mereka akan hal-hal yang mendetil, kesabaran mereka, dan pengetahuan mereka. Kesempatan
mereka menang telah ditentukan sejak saat itu, namun pemenang akhirnya baru ditentukan
esok hari saat berduel.”
“Namun apa yang dilihat orang
adalah apa yang terjadi di saat yang sangat singkat itu. Ada pepatah, ‘Menang
kalah dalam pertarungan antara dua jagoan ditentukan oleh satu langkah saja’.
Namun siapa yang dapat membayangkan betapa banyak persiapan di balik satu
langkah itu,” kata Sun Xiao Hong.
Wajah Tuan Sun menjadi muram. Ia
memantik api dan menyalakan pipanya. Matanya tertuju pada api dalam pipa itu.
Katanya, “Seorang ahli silat yang sejati selalu hidup kesepian. Orang hanya
melihat mereka dalam kejayaan dan kesuksesan mereka. Tidak ada yang melihat
betapa banyak pengorbanan mereka. Karena itulah, tidak ada orang yang dapat
memahami mereka.”
Sun Xiao Hong menundukkan
kepalanya dan bermain-main dengan ujung lengan bajunya. Katanya, “Tapi apakah
mereka tidak ingin dimengerti oleh orang lain?”
Sementara itu, Li Xun Huan
mengencangkan ikat pinggangnya dan dengan sedikit tekanan di kakinya ia
melompat ke atap paviliun itu.
Tuan Sun menghembuskan asap dan
berkata, “Semua orang selalu menganggap Li Xun Huan sebagai orang yang
berantakan dan sembarangan. Siapakah yang pernah melihat sisi kerapiannya?
Namun untuk hal-hal yang penting, ia tidak melewatkan satu detil yang terkecil sekalipun.”
Sun Xiao Hong mendesah dan
berkata, “Mungkin karena ia telah membiarkan begitu banyak hal berlalu…..”
Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya
dan bertanya, “Tadi Kakek bilang pertempuran ini sudah berlangsung sejak lama.
Dalam pandanganmu, siapakah yang saat ini berada di atas angin?”
Jawab Tuan Sun, “Sepertinya tidak
ada yang tahu jawabannya.”
Ia menggigit-gigit bibirnya lagi.
Jika pikirannya sedang kusut, ia
selalu menggigit-gigit bibirnya. Semakin kusut pikirannya, semakin kuat gigitannya.
Saat ini, ia hampir menggigit
bibirnya sampai lepas.
“Apa pendapatmu?” tanya kakeknya.
“Mmm…. ShangGuan JinHong terlihat
begitu percaya diri.”
“Betul. Dan ini karena pada
tahun-tahun terakhir ini ia selalu berhasil dalam usahanya. Hanya saja, mungkin
kematian anaknya bisa mempengaruhi sedikit konsentrasinya.”
Kata Sun Xiao Hong, “Juga Jin Wu
Ming. Kepergiannya bisa dianggap sebagai kehilangan yang besar bagi ShangGuan
JinHong.”
Kata Tuan Sun, “Inilah sebabnya
ia ingin segera berduel dengan Li Xun Huan, karena ia takut rasa percaya
dirinya sedikit demi sedikit mulai berkurang.”
Tuan Sun mengeluh dan
melanjutkan, “Itulah sebabnya, duel ini bukan hanya menyangkut hidup ShangGuan
JinHong dan Li Xun Huan, tapi juga menyangkut seluruh dunia persilatan.”
Sun Xiao Hong tampak kaget. “Apa
betul pengaruhnya sedemikian besar, Kek?”
“Yang pertama, jika ShangGuan
JinHong menang, rasa percaya dirinya pasti akan melambung semakin tinggi.
Perbuatannya pasti akan semakin berani dan aku kuatir, tidak akan ada yang dapat
menghalanginya.”
Mata Sun Xiao Hong
berkejap-kejap. “Sebetulnya, kurasa tidak mungkin ShangGuan JinHong bisa
menang.”
“Kenapa begitu?”
“Pisau Terbang Li Kecil tidak
pernah luput! Pisaunya tidak pernah gagal!” seru Sun Xiao Hong.
“Tapi ShangGuan JinHong pun tidak
pernah kalah,” kata Tuan Sun lirih.
Sun Xiao Hong tertawa keras dan
berkata, “Apakah Kakek sudah lupa? ShangGuan JinHong pernah kalah sekali.”
“Oh?”
“Hari itu, di paviliun di luar
kota Luoyang. Bukankah Kakek mengalahkannya?”
Tuan Sun diam saja.
“Kakek, sebelum ini, aku belum
pernah minta apapun darimu. Tapi kali ini, aku minta tolong satu saja.”
“Apa itu?” tanya Tuan Sun sambil
meniup pipanya dan menyelubungi dirinya sendiri dengan asap putih.
Kata Sun Xiao Hong, “Aku mohon
Kakek memastikan Li Xun Huan tetap hidup, bagaimanapun caranya….”
Tiba-tiba ia berlutut di hadapan
kakeknya dan berkata, “Kakek adalah satu-satunya orang di dunia ini yang dapat
mengatasi ShangGuan JinHong. Kakeklah satu-satunya yang dapat menolong Li Xun
Huan. Dan Kakek pasti tahu bahwa jika Li Xun Huan mati, aku sungguh tidak sanggup
hidup tanpa dirinya.”
Lautan asap itu telah lenyap.
Namun asap tebal seolah-olah
membayangi mata Tuan Sun.
Kabut musim gugur, muram dan
sedih…..
Namun secercah senyum menghiasi
wajahnya.
Matanya menatap ke kejauhan, dan
dengan lembut tangannya membelai rambut cucunya. Katanya, “Dari semua
cucu-cucuku, kaulah yang paling nakal. Kalau kau mati, siapa yang akan mencabuti
jenggotku dan menjambak rambutku?”
Sun Xiao Hong bangkit perlahan.
“Jadi Kakek berjanji?”
Tuan Sun menganggukkan kepalanya
dan berkata, “Selama ini kau hanya menunggu aku mengatakannya, bukan?”
Pipi Sun Xiao Hong bersemu merah
dan ia pun menyahut, “Kakek kan tahu setelah seorang gadis menjadi dewasa, ia
tidak bisa terus tinggal di rumah. Hatinya akan berpaling ke tempat lain.”
Tuan Sun tertawa dan berkata,
“Namun kulitmu masih tebal. Aku tidak tahu, apakah ada orang yang
menginginkanmu atau tidak.”
Sun Xiao Hong beringsut dan
mendekatkan bibirnya ke telinga kakeknya. Ia berbisik, “Aku tahu. Dan jika ia
tidak menginginkan aku, aku punya cara untuk membuatnya menginginkan aku.”
Tuan Sun memeluknya, seolah-olah
ia kembali menjadi seorang gadis kecil dan berkata dengan lembut, “Kau adalah
cucu kesayanganku, tapi kau terlalu nakal dan terlalu berani. Tadinya aku sungguh
kuatir kau tidak akan menemukan jodohmu, tapi kini paling tidak kau telah
menemukan orang yang betul-betul kau sukai. Aku hanya bisa berbahagia untukmu.”
Kata Sun Xiao Hong sambil
cekikikan, “Aku memang sungguh beruntung bertemu dengan dia. Tapi ia juga
beruntung bertemu dengan aku. Dalam dunia ini, tidak banyak orang yang seperti aku.”
Tuan Sun tersenyum. “Memang kau
adalah satu-satunya dalam dunia ini.”
Ia duduk di pangkuan kakeknya
dengan hati ringan dan gembira.
Karena ia bukan saja memiliki
kakek yang hebat, namun ia juga memiliki orang yang sangat mengagumkan dalam
hatinya.
Keluarga, kekasih, ia punya
keduanya. Apalagi yang diinginkan seorang gadis?
Ia merasa ialah orang yang paling
berbahagia di seluruh dunia.
Ia merasa, masa depannya sungguh
gilang gemilang.
Kini hari sudah mulai malam.
Kegelapan telah menelan habis sinar matahari yang cerah.
Tapi seakan-akan ia tidak
menyadarinya.
‘Cinta dapat membutakan mata
manusia’.
Walaupun ini adalah perkataan
kuno, kebenarannya tidak pernah berubah.
Jika Sun Xiao Hong dapat membuka
matanya sekarang, ia akan melihat betapa dalam kesedihan dan kepedihan dalam
sorot mata kakeknya. Walaupun orang lain dapat melihat kesedihan itu, tidak
akan ada yang bisa menebak apa sebabnya.
Malam semakin dekat, hembusan
angin semakin dingin.
Suasana begitu hening, hanya
suara dahan dan dedaunan yang berdansa mengikuti irama angin.
Di manakah Li Xun Huan?
Sun Xiao Hong sudah tidak sabar.
Ia berjalan keluar dan berseru, “Apa yang kau lakukan di atas sana? Mengapa kau
belum turun juga?”
Tidak ada jawaban.
Ke mana perginya Li Xun Huan?
Apakah ada jebakan licik di atas
atap paviliun itu? Apakah Li Xun Huan sudah terjebak?
Atap paviliun itu terbuat dari
genteng berwarna merah dengan hiasan keemasan di puncaknya.
Di atas puncak itu ada sebuah
kotak hitam terbuat dari besi.
Kotak besi hitam yang sederhana,
sama sekali tidak ada hiasannya. Tidak juga ada jebakan yang
akan melontarkan panah beracun
pada orang yang membukanya.
Tapi, apa maksudnya kotak besi
itu berada di atas puncak atap paviliun itu?
Dalam kotak besi itu ada sehelai
rambut.
Sehelai rambut yang hitam
panjang. Tidak ada istimewanya.
Namun entah berapa lama Li Xun
Huan terpekur memandangi sehelai rambut itu. Ketika Sun Xiao Hong berseru
memanggilnya, seolah-olah ia tidak mendengar apa-apa.
Apa istimewanya sehelai rambut
ini?
Sun Xiao Hong tidak habis pikir.
Tidak ada seorang pun yang habis
pikir.
Wajah Li Xun Huan tampak begitu
mendung, matanya mulai kelihatan merah.
Sun Xiao Hong belum pernah
melihat dia seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika mereka minum begitu banyak
anggur, mata Li Xun Huan selalu segar dan terang.
Apa yang mengakibatkan perubahan
yang begitu tiba-tiba ini?
Mereka meletakkan sehelai rambut
itu di meja batu dalam paviliun.
Sun Xiao Hong tidak tahan untuk
tidak bertanya, “Rambut siapa ini?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada yang
bisa menjawab.
Kelihatannya mirip dengan rambut
siapapun juga di dunia ini.
Kata Sun Xiao Hong, “Rambut
sepanjang ini, pastilah rambut seorang wanita.”
Ia tahu bahwa pernyataannya tidak
sepenuhnya betul karena laki-laki pun bisa berambut sepanjang itu.
Memotong rambut dapat diartikan
tidak hormat terhadap orang tua.
Dalam cerita-cerita, selalu
dikisahkan anak-anak gadis yang berdandan seperti pria akan segera ketahuan
jika rambut mereka yang asli terlihat.
Namun cerita itu hanya dapat
menipu anak-anak kecil. Anehnya, cerita-cerita semacam itu masih juga
diceritakan sampai saat ini.
Sun Xiao Hong menghentakkan
kakinya dan berkata, “Rambut siapapun juga, ini kan cuma sehelai rambut saja.
Apa sih anehnya?”
“Ada,” kata Tuan Sun singkat.
“Ada apanya?” tanya Sun Xiao
Hong.
“Ada yang aneh. Ada yang sangat
aneh tentang rambut ini.”
“Apa anehnya?”
“Segalanya aneh,” jawab Tuan Sun.
“Mengapa sehelai rambut berada dalam kotak besi?
Bagaimana kotak besi itu berada
di atas puncak atap paviliun ini? Siapa yang meletakkannya di sana? Apa
alasannya?”
Sun Xiao Hong terkesima.
Tuan Sun menghela nafas dan
berkata, “Jika tebakanku tepat, ini adalah perbuatan ShangGuan JinHong.”
Tanya Sun Xiao Hong, “ShangGuan
JinHong? Mengapa ia melakukannya?”
“Karena ia ingin Li Xun Huan
melihat sehelai rambut itu.”
“Tapi…tapi dia….”
“Ia pasti telah mengira bahwa Li
Xun Huan pasti datang sebelumnya untuk memeriksa keadaan tempat ini. Mungkin ia
telah mengira bahwa Li Xun Huan pasti akan memeriksa atap paviliun ini, sehingga
dengan sengaja ia meletakkan kotak besi ini di atas sana.”
“Tapi apa istimewanya sehelai
rambut ini? Memangnya kenapa kalau Li Xun Huan melihatnya?
Bukankah ini sungguh bodoh?”
tanya Sun Xiao Hong tidak mengerti.
Namun saat ia mengatakan kalimat
itu, ia merasa memang ada yang salah, ada yang betul-betul salah.
ShangGuan JinHong bukanlah orang
melakukan hal-hal bodoh yang tidak berguna.
Mata Tuan Sun tertuju pada Li Xun
Huan dan bertanya, “Apakah kau tahu rambut siapa ini?”
Li Xun Huan terdiam beberapa
saat. Akhirnya ia mendesah dan menjawab, “Aku tahu.”
“Tapi apakah kau sungguh-sungguh
yakin?” tanya Tuan Sun.
Nada suaranya tajam dan tegas.
Li Xun Huan hanya dapat menjawab,
“Aku…..”
“Kau tidak yakin, kan?”
Ia tidak menunggu jawaban Li Xun
Huan. Segera ia menambahkan, “ShangGuan JinHong melakukannya karena ia ingin
kau percaya bahwa sehelai rambut ini adalah milik Lin Shi Yin, dan bahwa ia
telah jatuh ke dalam tangannya. Ia ingin kau terganggu, sehingga ia
berkesempatan untuk membunuhmu. Mengapa kau jatuh dalam jebakannya?”
“Betul. Jika Nyonya Lin telah
jatuh ke dalam tangannya, mengapa ia tidak membawanya saja ke sini untuk
mengancammu?” tambah Sun Xiao Hong.
Jawab Li Xun Huan, “Karena ia
tidak bisa melakukannya….. Orang lain mungkin bisa, namun dia tidak bisa.”
“Mengapa?”
“Karena jika ada orang yang tahu
ia menggunakan cara serendah itu untuk mengalahkan Li Xun Huan, ia akan menjadi
bahan tertawaan seluruh dunia.”
“Namun ia tidak mengatakan
apa-apa. Ia hanya membiarkan engkau melihat sehelai rambut.”
“Karena itulah, taktiknya sungguh
cemerlang,” sahut Li Xun Huan.
Sun Xiao Hong masih terus
mendebatnya, “Tapi rambut ini belum tentu miliknya.”
“Mungkin juga, mungkin juga
tidak…. Tidak ada yang bisa memastikan,” kata Li Xun Huan.
“Lalu mengapa tidak kau lupakan
saja, dan anggap saja kau tidak pernah melihat rambut itu. Dengan begitu,
jebakannya gagal total.”
“Sayang sekali, aku sudah
melihatnya.”
Kata Sun Xiao Hong, “Karena ia
tidak mengatakan apa-apa, maka kau malah menjadi curiga. Karena ia tahu bahwa
kau akan menjadi curiga, maka ia membuat rencana seperti ini. Walaupun kau tahu
maksud yang sebenarnya, kau tetap memilih untuk terjebak dalam permainannya.”
Li Xun Huan menghela nafas
panjang dan berkata, “Mengapa aku selalu dihadapkan pada situasi seperti ini?”
Bab 77. Rahasia Puri Awan Riang
Lalu Li Xun Huan pun tersenyum
dan berkata, “Yah, begitulah hidup. Kadang-kadang, walaupun tahu kau sedang
berjalan menuju perangkap, kau harus terus berjalan maju.”
Kata Tuan Sun, “Benar. Jika itu adalah
orang yang sangat kusayangi, aku pun akan masuk ke dalam perangkap itu.”
Sun Xiao Hong menghentakkan
kakinya dengan kesal sambil memandang dua laki-laki itu. Katanya, “Walaupun
kalian berdua bersedia ditipu, aku tidak mau!”
“Ah, kau pun sudah masuk
perangkapnya. Kau pun telah curiga bahwa rambut itu adalah milik Nyonya Lin.
Kau pun telah terusik. Jika kau harus berduel dengan seseorang sekarang,
walaupun dia bukan tandinganmu, kau pasti akan kalah di tangannya,” kata Tuan
Sun.
“Tapi….tapi…..”
Jika ia dihadapkan pada situasi
seperti itu, ia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya.
ShangGuan JinHong memang
bermaksud mengacaukan pikiran Li Xun Huan. Apakah Li Xun Huan percaya itu
adalah rambut Lin Shi Yin atau tidak, bukan masalah. Jika Li Xun Huan mulai
berpikir, itu artinya rencana ShangGuan JinHong telah berhasil.
Bagaimana mungkin hal ini tidak
mengganggu pikiran Li Xun Huan?
Wanita itu menghiasi setiap
mimpinya. Bagaimana mungkin ia melupakannya begitu saja?
Walaupun ia tahu itu bukan rambut
Lin Shi Yin, Li Xun Huan akan tetap merasa kuatir dan pikirannya akan kalut.
Hanya karena ShangGuan JinHong telah berhasil membuat dia berpikir tentang Lin
Shi Yin.
Masalahnya bukan terletak pada
milik siapakah sehelai rambut itu, namun pada kepribadian Li Xun Huan.
Ini adalah satu-satunya cara
mengatasi Li Xun Huan. Jika cara yang sama digunakan untuk orang lain, mungkin
tidak akan berhasil sama sekali, karena orang lain mungkin tidak berpikir terlalu
panjang dan dalam.
Inilah sebabnya mengapa ShangGuan
JinHong sangat berbahaya.
Ia tahu caranya mengatasi
tiap-tiap musuh. Walaupun caranya sering kali tampak aneh, bahkan bodoh,
caranya selalu terbukti efektif.
Karena ia memahami betul strategi
tempur militer ‘Selalu menyerang pikiran lawan’.
Li Xun Huan duduk di lantai dan
menyelonjorkan kaki dan tangannya.
Walaupun ia tidak mengatakan
apa-apa, Tuan Sun dan Sun Xiao Hong tahu benar apa yang berada dalam
pikirannya: pergi ke Puri Awan Riang untuk memastikan bahwa Lin Shi Yin berada di
sana.
Sebelum memulai perjalanannya, ia
harus melepas lelah terlebih dahulu.
Setiap kali ia membuat keputusan
penting, ia selalu berusaha menenangkan tubuh dan pikirannya.
Ini adalah salah satu
kebiasaannya.
Kebiasaan yang sangat baik.
Sun Xiao Hong memandang dia
lekat-lekat.
‘Jadi ia belum melupakan wanita
itu. Bahkan, wanita itu lebih penting daripada segala sesuatu. Tidak seorangpun
dapat menggantikan tempatnya di hatinya….tidak juga aku.’
Mata Sun Xiao Hong menjadi merah.
Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Apakah kau harus pergi?”
Li Xun Huan tidak menjawab.
Kadang-kadang tidak menjawab
adalah jawaban yang terbaik.
“Ia harus pergi. Kalau tidak
pergi, pikirannya tidak mungkin bisa tenang,” kata Tuan Sun.
“Tapi….bagaimana jika ia memang tidak
ada di sana?” tanya Sun Xiao Hong ragu.
Mata Li Xun Huan menjadi kelam,
sekelam malam tanpa bulan. “Bagaimana pun juga, aku harus pergi. Apa yang akan
terjadi kemudian akan kuputuskan kemudian.”
“Tapi jika kau pergi, artinya kau
langsung masuk ke dalam perangkap ShangGuan JinHong,” kata Sun Xiao Hong.
“Hmmm?”
“Tujuan ShangGuan JinHong adalah
supaya kau pergi ke Puri Awan Riang. Waktu duel sudah ditetapkan, yaitu esok
hari. Puri Awan Riang letaknya cukup jauh. Sekalipun kau dapat pergi ke sana dan
pulang kembali sebelum waktu berduel, kau akan sangat kelelahan, sedangkan dia pasti
sudah cukup beristirahat dan menghimpun tenaganya.”
Kata Li Xun Huan datar, “Ada
hal-hal yang kau tahu seharusnya tidak kau lakukan, tapi tetap saja kau
lakukan.”
“Tapi jika kau pergi, itu sama
saja dengan menyerahkan nyawamu kepadanya dengan cumacuma. Apakah dia
betul-betul sangat berharga bagimu? Lebih berharga daripada nyawamu sendiri?”
tanya Sun Xiao Hong menusuk.
Li Xun Huan terdiam sejenak. Lalu
ia mengangkat kepalanya dan memandang lurus pada Sun Xiao Hong.
Mata Sun Xiao Hong sudah basah
oleh air mata. Ia segera memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Li Xun Huan.
Kata Li Xun Huan, “Aku hanya
berharap kau mengerti hatiku. Jika kau ada pada posisiku, kau pasti akan
berbuat sama. Dan jika kau berada dalam posisinya, aku pun pasti berbuat yang
sama bagimu.”
Sun Xiao Hong tidak bergeming,
seakan-akan ia tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Li Xun Huan.
Namun air matanya mengalir
semakin deras.
Ketika seorang wanita mencintai
seorang laki-laki, ia ingin menjadi wanita satu-satunya dalam hidup sang pria.
Ia tidak ingin siapapun juga berada dalam dunia mereka.
Tapi apapun yang terjadi, Lin Shi
Yin sudah berada dalam hati Li Xun Huan sejak lama.
Sun Xiao Hong berdiri di situ
tidak bergerak. Apakah perasaannya sekarang? Manis? Kecut? Atau pahit?
Tuan Sun menghela nafas panjang
dan berkata, “Ada yang harus dilakukannya. Biarkanlah dia pergi.”
Sun Xiao Hong mengangguk perlahan
dan tersenyum. Senyum yang pahit, tapi paling tidak ia masih bisa tersenyum.
Dengan mata basah ia tersenyum
dan berkata, “Tiba-tiba saja aku merasa sangat bodoh. Ia sudah mengenal wanita
itu jauh sebelum ia mengenalku. Bahkan mereka sudah mengukir sejarah jauh
sebelum aku ada dalam hidupnya. Jika ada orang yang boleh merasa kesal, dialah lebih
berhak merasa kesal daripada aku.”
“Jika seseorang dapat mengakui
bahwa dirinya bodoh, itu menunjukkan bahwa ia telah menjadi pandai,” kata
kakeknya sambil tertawa.
“Tapi ada sesuatu yang harus
kulakukan juga,” kata Sun Xiao Hong.
“Apa itu?”
“Aku akan pergi bersamanya. Aku
harus pergi bersamanya.”
“Itu tidak jadi soal, tapi…..”
Tuan Sun berbicara sambil menoleh pada Li Xun Huan.
Li Xun Huan tersenyum dan
berkata, “Dia bilang dia harus pergi, maka dia harus pergi.”
Kata Tuan Sun sambil tertawa,
“Aku perlu waktu 60 tahun untuk belajar bahwa berdebat dengan wanita itu
sia-sia saja. Kelihatannya kau belajar jauh lebih cepat.”
Li Xun Huan bangkit berdiri dan
berkata, “Karena kita harus pergi, lebih baik kita pergi secepatnya. Kau…..”
“Jangan berasumsi bahwa semua
wanita itu lamban dan plin plan. Banyak wanita yang tegas seperti pria. Kalau
sudah bilang pergi, ya pergi,” kata Sun Xiao Hong.
Kata Tuan Sun, “Kalau kalian sudah
tiba di sana, jangan lupa sekalian menengok Paman Kedua dan melihat
keadaannya.”
“Pasti, Kek,” kata Sun Xiao Hong.
Lalu ia melirik Li Xun Huan dan berkata, “Jika ia tidak ingin aku masuk
bersamanya ke dalam Puri Awan Riang, aku akan menunggunya di tempat Paman Kedua.”
“Pendekar Kedua Sun sudah tinggal
dekat Puri Awan Riang lebih dari dua belas tahun. Apakah kalian tahu sebabnya?”
tanya Li Xun Huan.
Ia selalu menganggap hal ini
sangatlah aneh.
Dua belas tahun yang lalu adalah
saat ia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya untuk selama-lamanya. Pada saat
yang hampir sama, Si Bungkuk Sun memutuskan untuk tinggal tepat di seberang
Puri Awan Riang. Ia sudah begitu lama memikirkannya, tapi tetap ia tidak menemukan
apa hubungannya.
Si Bungkuk Sun tidak punya
hubungan apa-apa dengan Keluarga Li. Ia pun tidak ada hubungan dengan Long Xiao
Yun. Lin Shi Yin sudah menjadi yatim piatu dari kecil dan hidup bersama keluarga
Li sejak itu.
Lin Shi Yin adalah gadis yang
sangat pendiam. Mungkin seumur hidupnya ia tidak pernah meninggalkan Puri itu,
tidak mungkin ia punya hubungan dengan orang penting dalam dunia persilatan.
Jika Si Bungkuk Sun hanya
melaksanakan perintah seseorang, siapakah yang menyuruhnya berjaga-jaga tepat
di muka Puri Awan Riang?
Apa sebenarnya yang dijaga oleh
Si Bungkuk Sun?
Mungkin hanya ada satu orang di
muka bumi ini yang tahu jawaban semua pertanyaannya.
Orang itu adalah Tuan Sun.
Ia hanya bisa berharap bahwa Tuan
Sun mau memberitahukan kepadanya rahasia ini.
Namun ia harus kecewa.
Tuan Sun meletakkan pipa di
bibirnya dan mulai mengisapnya.
Sun Xiao Hong memandang sekejap
pada kakeknya dan berkata, “Ada satu hal yang selalu kuanggap aneh.”
Li Xun Huan memandang padanya dan
menunggu ia melanjutkan perkataannya.
Lanjut Sun Xiao Hong, “Long Xiao
Yun muda menebas putus tangannya sendiri di hadapan ShangGuan JinHong. Apakah
kau mengetahuinya?”
Li Xun Huan mengangguk dan
mendesah, “Ia memang anak yang agak aneh. Perbuatannya pun selalu sulit
dimengerti.”
“Yang kuanggap aneh adalah bahwa
ia bisa memotong tangannya sendiri.”
“Hah?”
“Pada saat itu, ShangGuan JinHong
sudah hampir membunuh mereka. Maka ia bertindak lebih lebih dulu, supaya
ShangGuan JinHong tidak jadi membunuh mereka. Dengan berbuat begitu, ia bukan
saja menyelamatkan nyawanya sendiri, namun ia pun menjadi lebih terhormat
karena ia berani mengorbankan diri demi menyelamatkan ayahnya.”
Sun Xiao Hong mengeluh dan
menambahkan, “Ini menunjukkan kepandaian dan kecerdikannya. Tapi memang ia
selalu pintar dan banyak akal. Aku tidak heran akan hal itu.”
“Lalu, apa yang membuatmu merasa
heran?” tanya Li Xun Huan.
“Kau telah memusnahkan ilmu
silatnya. Seharusnya, kekuatannya pasti lebih lemah daripada orang biasa.
Setuju?”
Kata Li Xun Huan, “Aku sungguh
tidak tahu apakah perbuatanku saat itu benar atau salah.”
Sun Xiao Hong tidak
menggubrisnya. “Tulang manusia itu tebal dan keras. Hanya orang-orang dengan
kekuatan pergelangan tangan yang sangat kuatlah yang dapat memotong putus tangannya
sendiri dengan sekali tebasan. Kecuali yang digunakan adalah pedang yang sangat
sangat tajam atau pedang mustika.”
“Apakah pedangnya seperti itu?”
“Sama sekali bukan!”
“Namun ia hanya menebas sekali
dan tangannya langsung putus,” kata Li Xun Huan mulai tidak mengerti.
“Bahkan ia tidak kelihatan
mengerahkan tenaga sedikitpun,” kata Sun Xiao Hong.
“Ternyata pandanganmu jauh lebih
tajam daripada aku. Setelah mendengarkan penjelasanmu, akupun merasa ada
kejanggalan.”
“Lagi pula, jika orang biasa baru
tertebas tangannya, tidak mungkin mereka sanggup menahan sakit. Orang biasa
pasti langsung pingsan,” kata Sun Xiao Hong.
“Betul sekali. Orang yang kuat
sekalipun tidak akan mampu menahan sakitnya, kecuali mereka mempunyai dasar
tenaga dalam yang sangat kuat,” kata Li Xun Huan.
“Tapi, Long Xiao Yun muda kan
hanya seorang anak kecil yang lemah. Bagaimana mungkin ia dapat menahan rasa
sakit tangannya tertebas?”
Li Xun Huan diam saja, namun
matanya mengejap-ngejap, seakan-akan ia baru menemukan ide yang baru.
Kata Sun Xiao Hong lagi, “Bukan
saja ia bisa menahan rasa sakit yang demikian hebat, ia masih sanggup
berbicara, bahkan memungut tangannya yang putus itu. Bagaimana orang biasa sanggup
melakukan hal seperti ini?”
“Apa kau pikir ia sudah
memulihkan kembali ilmu silatnya? Penampilannya yang kelihatan lemah itu cuma
pura-pura saja?” tanya Li Xun Huan.
“Aku tidak tahu,” jawab Sun Xiao
Hong.
“Waktu aku memusnahkan ilmu
silatnya, aku mengerahkan tenaga cukup banyak. Tidak mungkin ia bisa pulih,
kecuali…..”
Ia memandang Sun Xiao Hong dan
melanjutkan, “Kecuali kabar burung itu memang benar. Bahwa ada kitab ilmu silat
yang sudah lama hilang yang tersembunyi dalam Puri Awan Riang dan Long Xiao Yun
muda berhasil menemukannya.”
“Aku tidak tahu.”
“Apakah alasan Pendekar Kedua Sun
berjaga di depan Puri Awan Riang lebih dari dua belas tahun ini ada hubungannya
dengan kitab ilmu silat itu?”
“Aku tidak tahu,” kembali Sun
Xiao Hong menjawab demikian.
Kata Tuan Sun, “Kalau kau ingin
dia tahu, mengapa tidak kau ceritakan saja selengkapnya?”
Sun Xiao Hong memandang kakeknya
dan berkata, “Aku takut diomeli.”
Tuan Sun tertawa dan berkata,
“Satu-satunya cara membuat wanita menyimpan rahasia, adalah tidak
memberitahukan rahasia itu kepada mereka.”
“Tapi aku kan tidak bilang apa-apa….”
“Caramu bahkan lebih baik lagi.
Kau tidak perlu mengatakannya, tapi kau membuat aku harus mengatakannya,” kata
Tuan Sun.
“Walaupun aku mengatakannya, aku
kan cuma memberitahukan kepadanya. Dia kan bukan orang luar,” kata Sun Xiao
Hong membela diri.
“Ya, dia bukan orang luar.”
Waktu Li Xun Huan mendengarnya,
ia tidak tahu harus merasa apa.
Ia tahu bahwa ia sudah berhutang
begitu banyak dalam hidupnya, sampai ia tidak tahu bagaimana harus membayarnya.
Ketika seorang wanita telah
menganggap seorang pria bukan lagi orang luar, artinya ia telah menentukan
pilihannya. Walaupun orang itu kemudian bertambah satu kakinya atau mukanya berubah
menjadi kuda, ia tidak akan pernah bisa lolos lagi.
Nada suara Tuan Sun kini menjadi
serius dan berkata, “Memang benar ada kitab ilmu silat yang tersembunyi dalam
Puri Awan Riang. Itu bukan hanya kabar burung.”
“Punya siapa? Mengapa aku tidak
pernah tahu?” tanya Li Xun Huan.
Tuan Sun menyalakan pipanya lagi
dan meniupnya. Asap putih bergulung-gulung ke segala arah. Ia bertanya, “Apakah
kau pernah mendengar tentang Wang LianHua?”
“Tentu saja. Semua orang di dunia
pernah mendengarnya.”
“Awalnya, Wang LianHua adalah
musuh bebuyutan dari pendekar besar Shen Lang. Baru belakangan mereka menjadi
sahabat sehidup semati. Wang LianHua selalu merupakan tokoh antara baik dan
jahat. Walaupun kadang-kadang jahat, ia tidak pernah betul-betul jahat.
Walaupun kadang-kadang licik dan
rakus, ia bisa juga menjadi adil dan setia. Ia pernah menyakiti Shen Lang
beberapa kali, namun Pendekar Shen selalu mengampuninya,” kata Tuan Sun.
[Kisah tentang Shen Lang dan Wang
LianHua diceritakan dalam karya Gu Long yang lain, “Pendekar Baja”]
Kata Li Xun Huan, “Aku pun
mendengar bahwa Wang LianHua akhirnya memutuskan untuk mundur dari dunia
persilatan bersama dengan Shen Lang dan pergi ke sebuah pulau di lautan lepas.
Kejadiannya sudah lama sekali.”
“Betul. Akhirnya Shen Lang
berhasil membujuk Wang LianHua untuk berbalik ke jalan yang lurus.”
Ia mendesah, lalu melanjutkan, “Sangat
mudah untuk membunuh seseorang, yang sulit adalah membuat orang berubah.
Pendekar Shen memang adalah orang yang luar biasa. Jika kau dilahirkan beberapa
tahun lebih awal, aku yakin kalian berdua pasti menjadi sahabat kental.”
Li Xun Huan tidak dapat menahan
rasa kagum yang terpancar dari matanya terhadap Pendekar Shen Lang. Ia tidak
menyadari bahwa di kemudian hari, keharuman namanya dan kisahnya pun, juga
kekaguman generasi yang akan datang terhadap dirinya, tidak lebih kecil
daripada Pendekar Shen Lang.
Kata Tuan Sun, “Shen Lang
memiliki bakat yang luar biasa, namun Wang LianHua pun bukan orang biasa. Kalau
ia biasa-biasa saja, bagaimana mungkin ia bisa menjadi musuh bebuyutan Pendekar
Shen?”
Jika di antara dua manusia ada
perbedaan besar dalam hal kepandaian dan bakat, mereka tetap bisa menjadi
sahabat, namun mereka tidak mungkin menjadi musuh besar. Itulah sebabnya, hanya
ShangGuan JinHonglah yang layak menjadi musuh bebuyutan Li Xun Huan.
Kata Li Xun Huan, “Katanya ia
adalah orang yang paling berbakat yang pernah hidup dalam dunia persilatan.
Bukan hanya dalam hal ilmu silat namun juga dalam ilmu pengetahuan. Pengetahuannya
dalam berbagai bidang sangat luas dan dalam, tidak ada tandingannya.”
“Betul sekali. Ia sangat mahir
dalam ilmu astrologi dan ramalan, musik, catur, sastra, juga kesenian. Ia pun
ahli dalam bidang kedokteran dan juga penyamaran. Belum tentu sepuluh orang
dapat mempelajari semua pengetahuannya, namun ia seorang diri mampu mendalami seluruhnya.”
Lanjut Tuan Sun lagi sambil
mendesah, “Tapi karena minatnya terlalu luas, ia tidak mengkhususkan diri dalam
ilmu silat. Kalau tidak, dengan kepandaian dan bakatnya, kurasa ia tidak akan
dapat dikalahkan oleh Shen Lang.”
Tiba-tiba Li Xun Huan teringat
akan Ah Fei.
Apakah bakat Ah Fei lebih besar
daripada Wang LianHua? Namun ia hanya berkonsentrasi pada satu bidang, pedang.
Oleh sebab itu, ilmu pedangnya menjadi sangat dalam dan dalam proses menuju
pada tingkatan tidak terkalahkan.
‘Sangat disayangkan, orang
berbakat selalu memilih untuk melakukan hal-hal yang bodoh’.
Li Xun Huan mendesah dan tidak
ingin memikirkannya lagi.
Kata Tuan Sun lagi, “Setelah Wang
LianHua bertobat, ia menyadari bahwa apa yang telah dipelajarinya ternyata
bukan hanya terlalu campur aduk dan acak-acakan, tapi juga sangat kontemporer.
Awalnya ia ingin membakar saja ‘Ensiklopedi LianHua’ yang telah disusunnya.”
“Ensiklopedi LianHua?” tanya Li
Xun Huan.
“Isinya adalah seluruh
pengetahuan yang dipelajarinya seumur hidupnya,” papar Tuan Sun.
“Mengapa ia ingin membakarnya?”
Bab 78. Pertempuran yang Mengerikan
Li Xun Huan merasa heran mengapa
Wang LianHua ingin memusnahkan kitab yang merupakan hasil karya, jerih payah
seumur hidupnya.
Tuan Sun menjelaskan, “Kitab itu
bukan hanya berisikan teori-teori ilmu silat. Kitab itu juga berisikan ilmu
tentang racun, cara mengubah wajah, memanggil dan menjinakkan serangga dari suku
Miao, teknik hipnotis dari Persia….”
Ia mendesah dan melanjutkan,
“Jika kitab seperti itu jatuh ke tangan yang salah, konsekuensinya sangat
fatal.”
Kata Li Xun Huan, “Ya, sangat
menyeramkan.”
Kata Tuan Sun, “Di lain pihak,
kitab ini adalah darah dan keringat seumur hidupnya. Ia tidak sanggup
memusnahkannya. Jadi sebelum ia mundur dari dunia persilatan, ia menitipkan
kitab itu pada seseorang yang betul-betul dapat dipercayainya.”
Setelah mendengarnya,
perlahan-lahan Li Xun Huan dapat merangkaikan kisah itu dalam benaknya dan
menyimpulkan bahwa kitab ilmu silat yang tersembunyi dalam Puri Awan Riang adalah
‘Ensiklopedi LianHua’.
Namun masih ada beberapa hal yang
tidak dapat ia mengerti. Contohnya, kepada siapakah Wang LianHua mempercayakan
kitab itu?
“Ia mempercayakannya kepadamu!”
kata Tuan Sun.
Li Xun Huan terperanjat. “Aku?”
Tuan Sun tertawa dan berkata,
“Selain Li Tan Hua, siapa lagi dalam dunia ini yang lebih layak menerima kitab
seperti itu?”
Lalu Tuan Sun melanjutkan, “Ia
mempercayakan ‘Ensiklopedi LianHua’ kepadamu bukan hanya untuk kau jaga, namun
ia ingin menyerahkannya kepada seorang murid yang berhati mulia, supaya ilmu
warisannya dapat terus hidup dan berkembang.”
“Tapi aku sama sekali tidak tahu
akan hal ini.”
“Karena pada saat yang sama, kau
memutuskan untuk pergi.”
“Dua belas tahun yang
lalu….betul. Saat itu aku harus pergi ke perbatasan dan pulang dengan luka
parah. Jika bukan karena Long Xiao Yun menyelamatkan nyawaku, mungkin aku
sudah…..”
Saat itu, ia merasa seperti
tenggorokannya tersumbat sesuatu dan ia tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Ini adalah salah satu peristiwa
dalam hidupnya yang tidak akan pernah dilupakannya.
Karena peristiwa itulah seluruh
hidupnya berubah total….dari kebahagiaan menjadi kenestapaan!
“Walaupun Wang LianHua tidak
berjumpa denganmu, ia bertemu dengan Nona Lin. Karena ia harus segera
berangkat, ia tidak dapat menunggu lagi dan akhirnya ia terpaksa meninggalkan ‘Ensiklopedi
LianHua’ pada Lin Shi Yin.”
Tidak ada yang lebih memahami
hubungan antara pria dan wanita lebih baik daripada Wang LianHua. Ia bisa
langsung tahu bahwa ada hubungan yang lebih jauh dari sekedar teman antara Lin
Shi Yin dan Li Xun Huan.
Namun mengapa Lin Shi Yin tidak
pernah menyampaikan hal ini kepadanya?
“Dari manakah Tetua mendengar
kisah ini? Apakah sumbernya bisa dipercaya?” tanya Li Xun Huan.
“Sangat bisa dipercaya.”
Sun Xiao Hong tidak bisa menahan
diri untuk diam saja. “Kami mendengarnya langsung dari Paman Kedua. Waktu Tuan
Wang mengunjungi Puri Awan Riang dan bertemu dengan Nona Lin, pamanku menunggu
di luar.”
Ia mengeluh lalu menambahkan,
“Sejak hari itulah, paman kedua tidak pernah pergi dari tempat itu!”
“Apakah Wang LianHua menyuruhnya
untuk mengawasi aku?” tanya Li Xun Huan.
Jawab Tuan Sun, “Karena Tuan Wang
telah memilih engkau untuk memikul tanggung jawab yang berat itu, sudah pasti
ia tidak meragukan engkau. Namun ia tidak merasa yakin dengan kemampuan ilmu
silatmu saat itu. Ia kuatir, jika cerita itu sampai tersebar, orang-orang akan berlomba-lomba
mencuri kitab itu. Oleh sebab itulah ia menyuruh Saudara Kedua untuk tinggal di
sana, membantumu jika sewaktu-waktu engkau memerlukannya.”
Kata Sun Xiao Hong, “Dalam
petualangannya di dunia persilatan, Paman Kedua pernah ditolong oleh Tuan Wang.
Pamanku adalah orang yang selalu ingin membalas budi, jadi ketika Tuan Wang
memintanya untuk melakukan hal ini, ia melakukannya dengan senang hati.”
Sambung Tuan Sun, “Namun
kemudian, ia mengetahui bahwa Nona Lin tidak pernah memberikan kitab itu
kepadamu. Dan karena engkau telah pindah ke perbatasan, ia menjadi sangat
kuatir dan tidak berani pergi dari tempat itu.”
Kata Li Xun Huan, “Pendekar Kedua
Sun memang seseorang yang sungguh memegang teguh janjinya. Ia menganggap
permintaan seseorang sebagai urusan pribadinya. Hanya saja….”
Tambahnya, “Hanya saja, bagaimana
dia tahu bahwa Nona Lin tidak pernah memberikan ‘Ensiklopedi LianHua’ kepadaku?
Bahkan aku tidak tahu adanya kitab seperti itu.”
Tuan Sun mengisap pipanya sekali,
lalu menjawab, “Kau saja tidak tahu, apalagi aku.”
Li Xun Huan tidak berbicara lagi.
Ia tidak bisa percaya bahwa Lin
Shi Yin menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Sesuatu yang begitu penting.
Kata Tuan Sun, “Wang LianHua
bukan hanya pandai membunuh orang, ia pun sering menolong orang. Metode
penyembuhannya sungguh luar biasa. Bahkan ada yang bilang bahwa ia bisa membuat
orang mati hidup kembali, menambahkan daging di atas tulang.”
Kata Sun Xiao Hong, “Dan Long
Xiao Yun muda adalah putra Lin Shi Yin satu-satunya. Seorang ibu akan melakukan
apapun juga demi anaknya. Itulah sebabnya mengapa aku kuatir ia….”
Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
Li Xun Huan mengerti apa yang
hendak dikatakannya…. Siapapun juga mengerti apa yang hendak dikatakannya.
Pasti Lin Shi Yin telah
memberikan ‘Ensiklopedi LianHua’ pada putranya. Selama itu, ia telah menyembunyikannya
dan menyimpan rapat-rapat rahasia itu.
Tapi mengapa ia tidak pernah
mengatakannya kepada Li Xun Huan?
Saat pertama kali Li Xun Huan
bertemu dengannya, ia adalah seorang gadis kecil.
Hari itu turun salju.
Bunga plum di halaman baru saja
bermekaran. Salju yang terhampar di bawah pohon-pohon plum terlihat begitu
putih dan bersih.
Saat itu Li Xun Huan sedang
berada di bawah pohon plum, membuat orang-orangan salju. Ia sedang berjalan ke
sana ke mari mencari potongan arang yang paling hitam untuk mata orang-orangan salju
itu.
Itu adalah salah satu saat
terindah dalam hidupnya.
Bukan karena ia suka membuat
orang-orangan salju. Ia hanya membuat orang-orangan salju supaya ia bisa
memberi mata pada orang-orangan salju itu. Gumpalan salju itu seolah-olah menjadi
hidup. Dan ia begitu menikmati dan puas memandangnya.
Ia suka membuat sesuatu. Ia benci
merusak.
Ia selalu cinta akan kehidupan.
Dan setelah itu, diam-diam ia
akan meruntuhkan orang-orangan salju itu, karena ia tidak ingin orang lain
mencuri kebahagiaannya. Pada saat itu, ia belum mengerti bahwa ada kebahagiaan yang
tidak mungkin dapat direnggut oleh orang lain.
Di kemudian hari, ia baru
menyadari bahwa kebahagiaan itu sama seperti sebuah kantong ajaib. Semakin
banyak engkau memberi, semakin banyak engkau mendapatkannya.
Demikian pula halnya dengan
penderitaan.
Jika kau ingin orang lain ikut
merasakan kesulitanmu, penderitaanmu sendirilah yang akan semakin bertambah.
Wajah orang-orangan salju itu itu
bundar.
Ia sedang berpikir-pikir, di mana
hendak diletakkannya matanya. Tiba-tiba, ibunya yang sedang sakit parah, yang
hampir tidak pernah bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke halaman menggandeng
seorang gadis kecil berjubah merah.
Jubahnya merah terang, lebih
cerah daripada bunga-bunga plum yang bermekaran di situ.
Namun wajah gadis kecil itu
begitu pucat, lebih pucat dari salju yang putih.
Merah dan putih adalah warna
kesukaannya. Putih melambangkan kesucian, merah melambangkan semangat.
Saat pertama ia memandang gadis
itu, ia merasakan kasih sayang yang besar terhadapnya.
Rasanya ia ingin segera
menghampirinya dan memegang tangannya erat-erat supaya ia tidak diterbangkan
angin.
Kata ibunya, “Ini adalah putri
bibimu. Bibimu harus pergi ke tempat yang sangat jauh, jadi mulai sekarang ia
akan tinggal bersama-sama dengan kita.
Kau selalu bilang, kau ingin adik
perempuan. Nah, ini aku sudah menemukannya untukmu. Kau harus selalu baik
padanya, jangan membuatnya sedih.”
Namun seakan-akan ia tidak
mendengar perkataan ibunya.
Karena gadis kecil itu telah
berlari ke arahnya dan menatap orang-orangan salju buatannya.
Tanya gadis kecil itu, “Mengapa
dia tidak punya mata?”
Tanyanya, “Kau ingin meletakkan
matanya?”
Gadis itu mengangguk.
Ia memberikan dua potong arang
itu kepadanya.
Inilah pertama kalinya ia membagi
kebahagiaannya dengan orang lain.
Sejak saat itu, ia selalu membagi
apapun yang dimilikinya dengan gadis itu. Ketika orang memberi biskuit padanya,
ia selalu menyimpannya di kantongnya. Ketika ia bertemu dengan gadis itu,
barulah ia membelahnya menjadi dua, dan makan bersama dengan dia.
Selama ia dapat melihat sorot
mata bahagia di mata gadis itu, kebahagiaan itu tidak dapat digantikan dengan
apapun juga di dunia ini.
Ia bersedia membagi hidupnya
dengan gadis itu.
Gadis itu pun merasa demikian. Ia
tahu. Ia percaya.
Saat mereka berpisah sekalipun,
ia selalu merasa di hatinya yang terdalam bahwa ialah satu-satunya
yang dapat berbagi kesusahan,
kegembiraan, rahasia, segala sesuatu dengan gadis itu.
Bahkan sampai sekarang pun ia
masih mempercayainya…..
Gang yang sempit. Salju telah
menimbun dari sehari sebelumnya.
Salju itu mulai mencair dan tanah
menjadi lembab dan berlumpur. Ada bagian tanah yang kering dekat tembok, tapi
Li Xun Huan sengaja berjalan di salju yang bercampur lumpur. Ia menikmati rasa
sejuk saat kakinya masuk ke dalam lumpur yang lembut itu.
Entah mengapa, hal itu dapat
menenangkan hatinya.
Dulu, ia benci lumpur. Lebih baik
ia mengambil jalan memutar yang jauh daripada harus berjalan lewat lumpur.
Namun kini ia menyadari bahwa
lumpur pun ada sisi baiknya. Ia menahan pijakan langkahmu, dan pada saat yang
sama melindungi dan menyelimuti kakimu dengan kelembutannya.
Bukankah ada juga orang-orang di
dunia ini yang seperti lumpur? Mereka terus menerus melapangkan dada dari rasa
benci dan hinaan orang lain, tanpa pernah menyimpan dendam dan menuntut balas….
Jika tidak ada tanah dan lumpur
dalam dunia ini, bagaimana biji-bijian bisa tumbuh? Bagaimana pohon yang tinggi
besar bisa ada?
Mereka tidak pernah mendendam dan
merasa benci karena mereka sadar sepenuhnya akan harga diri mereka.
Li Xun Huan menghela nafas
panjang dan mengangkat kepalanya.
Temboknya tampak baru saja
dibersihkan, namun papan nama di depan warung Si Bungkuk Sun sudah tua dan
kusam.
Dari tempat ia berdiri, ia tidak
bisa melihat siapa pun juga di dalam sana.
Hari belum gelap, sehingga lilin
dan lentera pun belum dipasang.
Waktu hari mulai gelap, apakah
lentera kecil di pondok kecil itu pun akan dinyalakan?
Benak Li Xun Huan berkelana,
berpikir tentang hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya. Selama dua tahun ia
selalu duduk di kursi di sudut sana menunggu dan memandangi lentera kecil itu.
Si Bungkuk Sun dengan setia
menemaninya. Ia tidak pernah bicara, tidak pernah bertanya.
Sun Xiao Hong pun mendesah dan
berkata, “Waktu makan malam belum tiba. Warungnya pasti masih sepi. Apa yang
sedang dilakukan paman kedua sekarang ya? Apakah ia sedang sibuk membersihkan
meja?”
Si Bungkuk Sun tidak sedang
membersihkan meja.
Ia tidak akan pernah membersihkan
meja-meja itu lagi!
Mereka melihat tangan di atas
meja.
Tangan itu menggenggam lap meja.
Menggenggamnya erat-erat.
Pintu tertutup rapat. Mereka
menggedornya kuat-kuat, namun tidak ada jawaban. Mereka memanggil keras-keras,
tapi tidak ada yang menyahut.
Sun Xiao Hong tampak lebih kuatir
daripada Li Xun Huan. Ia mendobrak pintu dan melihat tangan itu.
Tangan itu telah terpotong di
pergelangannya.
Sun Xiao Hong sangat terkejut dan
segera menghampiri meja.
Itu adalah meja tempat Li Xun
Huan selalu duduk dan minum arak selama dua tahun.
Wajah Li Xun Huan menjadi pucat.
Ia mengenali tangan itu. Selama dua tahun, tangan itulah yang dengan setia
menuangkan anggur ke cawannya, tidak terhitung berapa kali banyaknya.
Ketika ia mabuk, tangan itulah
yang membimbing dia masuk ke kamarnya.
Ketika ia sakit, tangan itulah
yang menyeduhkan obat untuknya.
Tapi sekarang, tangan itu telah
berubah menjadi seonggok daging kering yang mati. Darahnya sudah membeku dan
otot-ototnya kejang. Jari-jari yang memegang lap meja itu menggenggam begitu
kuat seakan-akan berpegangan pada nyawanya.
Apakah ia sedang mengelap meja
saat seseorang tiba-tiba menebas tangannya?
Meja itu terlihat bersih
mengkilap.
Ketika ia mengelap meja itu,
apakah ia teringat pada Li Xun Huan?
Tiba-tiba Li Xun Huan merasa
sakit di dadanya seperti tertusuk sembilu.
Air mata Sun Xiao Hong sudah
mengalir deras ke pipinya saat ia bertanya, “Apakah kau tahu tangan siapa ini?”
Li Xun Huan mengangguk perlahan.
“Di manakah dia….di manakah
tubuhnya?” Suara Sun Xiao Hong terdengar gemetar.
Tiba-tiba ia berlari ke luar.
Warung kecil itu kosong, kosong sama sekali.
Ketika ia masuk kembali, Li Xun
Huan masih berdiri di samping meja itu. Pandangannya masih tetap tertuju pada
tangan itu.
Empat jarinya tertekuk memegang
lap itu. Satu jari menunjuk ke arah luar. Lurus bagai anak
panah, menunjuk ke arah jendela
warung itu.
Jendela itu terbuka lebar.
Li Xun Huan menengadah dan
memandang ke luar jendela.
Sun Xiao Hong mengikuti arah
pandangannya dan memandang ke luar jendela juga. Tiba-tiba keduanya berlari ke
sana dan melompat ke luar secara bersamaan.
Di luar, angin bertiup menembus
sumsum. Air di selokan pun sudah membeku.
Di luar sana ada gang kecil yang
tidak lebih besar daripada selokan itu. Mungkin juga sebenarnya
itu bukan gang, tapi hanya
selokan kering.
Mereka menyusuri gang itu sampai
ujungnya dan melihat ada sebuah pintu kecil. Mereka tidak
tahu rumah siapakah itu. Bahkan
mungkin pintu kecil itu tidak pernah digunakan.
Itu hanyalah sebuah gang buntu.
Pintu itu tidak terkunci. Di
pegangannya terlihat sebuah cap tangan berwarna merah. Tangan yang berlumuran
darah.
Sun Xiao Hong segera berlari ke
sana dan memeriksanya. Lalu ia menoleh ke arah Li Xun Huan.
Bibirnya sudah berdarah karena
digigitnya begitu keras. Katanya, “ShangGuan JinHong sudah memperhitungkan
bahwa kau akan datang ke sini.”
Mulut Li Xun Huan tetap terkatup.
Lanjut Sun Xiao Hong, “Ia tahu
bahwa kau tidak akan langsung pergi ke Puri Awan Riang karena kau tidak ingin
bertemu dengan Long Xiao Yun. Ia menduga pasti kau akan menemui paman kedua
terlebih dahulu.”
Li Xun Huan tetap diam.
“Ini semua adalah jebakan yang
sudah dipersiapkannya bagimu.”
Mulut Li Xun Huan masih
terkancing.
“Jadi kau tidak boleh masuk ke
sana.”
“Dan kau?” tanya Li Xun Huan
tiba-tiba.
Sahut Sun Xiao Hong, “Bagiku
tidak ada masalah. Bukan aku yang ingin dibunuh oleh ShangGuan
JinHong.”
“Jadi kau boleh masuk.”
“Tidak ada yang bisa menghalangi
aku masuk,” kata Sun Xiao Hong tegas.
Li Xun Huan menghela nafas
panjang dan berkata, “Sepertinya kau tidak memahami aku sebaik ShangGuan
JinHong.”
“Oh?”
“Jika ia memang memasang
perangkap untukku, ia tahu aku pasti akan masuk melalui pintu ini. Sekalipun
ada orang yang menggergaji kedua kakiku, aku tetap akan merangkak masuk ke dalam
sana!”
Sun Xiao Hong menatapnya. Air
matanya yang hangat kembali membasahi wajahnya.
Ia menghampiri Li Xun Huan dan
memeluknya. Kini air matanya membasahi wajah Li Xun Huan.
Ia menyeka wajah Li Xun Huan,
seolah-olah ia sedang menggunakan air matanya untuk menghapus kelelahan Li Xun
Huan. Karena memang hanya ada satu hal yang dapat menghapus kelelahan seorang
laki-laki, yaitu air mata kekasihnya.
Lengan dan kaki Li Xun Huan yang
tegang mulai mengendur. Akhirnya ia pun tidak dapat menahan diri dan membalas
pelukan Sun Xiao Hong.
Keduanya saling berpelukan begitu
erat.
Karena inilah kali pertama mereka
saling berpelukan, tapi mungkin juga untuk yang terakhir kalinya!
Seakan-akan matahari pun tidak
ingin menyinari gang kecil itu. Suasana terasa sangat suram dan keruh.
Di balik pintu, kegelapan lebih
pekat lagi.
Ketika mereka mendorong pintu itu
terbuka, tercium bau busuk yang sangat menusuk yang membuat mereka merasa ingin
muntah.
Bau daging dan darah yang
membusuk!
Lalu mereka mendengar suara-suara
yang sangat aneh. Seperti seekor binatang yang sedang kesakitan menunggu
ajalnya. Seperti hantu yang sedang menjerit-jerit minta dilepaskan dari siksaan
neraka.
Tapi suara itu memang kedengaran
dari bawah tanah!
Ada lebih dari dua puluh orang di
bawah sana. Mereka mengertakkan gigi bagaikan binatang yang sedang bertempur
hidup dan mati.
Tidak ada yang buka mulut.
Diancam dengan pisau sekalipun, tidak ada yang berani buka suara.
Tadinya ada 26 orang. 9 sudah
gugur. 17 orang yang tersisa dipisahkan menjadi dua. Kelompok yang lebih kuat
jumlahnya lebih banyak daripada kelompok yang lebih lemah.
Mereka berjumlah 12 dan semuanya
berpakaian kuning. Mereka semua mempunyai senjata yang tidak lazim, salah
satunya bersenjatakan sipoa besi.
Kelompok yang lain awalnya
berjumlah 9 orang, namun kini tinggal 5. Salah satunya buta.
Ada juga seseorang yang tinggi
kekar berikat pinggang merah. Ia tidak bersenjata.
Tubuhnya adalah senjatanya!
Terlihat selarik sinar menyambar,
sebuah golok penyisik ikan menyerang bahu kirinya. Seperti sebuah kampak
memotong kayu. Golok yang tajam itu membelah dagingnya, namun tertahan oleh
tulang bahunya!
Orang berbaju kuning itu berusaha
keras menarik goloknya, namun orang tinggi kekar itu sudah menghantam dadanya
dengan telapak tangannya. Terdengar suara gemeretak tulang-tulang yang patah.
‘Peng’. Tubuh itu sudah melayang
dan jatuh berdebam.
Tapi orang tinggi kekar itu sudah
tidak bisa lagi menggerakkan tangan kirinya. Tiba-tiba ia berseru, “Kalian
semua pergi dulu, aku akan tinggal dan menahan mereka. Cepat!”
Tidak ada yang bergerak mundur.
Tidak seorang pun menjawabnya juga.
Seseorang yang sudah rebah di
tanah berusaha berdiri dan berkata dengan suara parau, “Kita tidak bisa mundur.
Walaupun mati, kita harus membawanya bersama dengan kita!”
Mereka berada di terowongan bawah
tanah. Di sana, lentera menyala sepanjang hari, sepanjang tahun.
Lentera itu dipasang di dinding.
Dalam cahayanya yang remang-remang terlihat bahwa yang baru saja bicara adalah
seorang wanita. Seorang wanita yang tinggi besar dan gemuk. Di wajahnya tampak
bekas luka yang memanjang dari mata sampai ke sudut mulutnya.
Mata kanannya buta. Dengan mata
kirinya ia sedang memandang orang tinggi kekar itu.
Tatapan itu penuh dengan dendam
kesumat. Dendam kesumat yang tidak akan padam, sekalipun dalam kematian.
Si Wanita Tukang Jagal, Nyonya
Weng!
Dan siapakah orang tinggi kekar
itu? Mungkinkah ini adalah orang yang sudah bertahun-tahun tidak didengar
kabarnya, Tie ChuanJia?
Saat ini, wanita itu sudah tidak
mungkin bangun lagi.
Matanya masih terbuka lebar,
masih menatap Tie ChuanJia.
Dia telah mati tanpa kesakitan,
tanpa ketakutan sedikit pun.
Karena yang ada di benaknya
hanyalah membalas dendam. Selain membalas dendam, ia tidak memikirkan dan tidak
merasakan yang lain.
Tie ChuanJia mengatupkan giginya
saat sebilah pedang kembali menusuk tubuhnya. Ia menghentakkan kakinya dan
berkata, “Kalian benar-benar tidak mau pergi? Jika kalian semua mati, siapa yang
akan membawaku pergi?”
Si buta tertawa dingin dan
berkata, “Sekalipun kami semua mati, kami tetap akan membawa jiwamu pergi
bersama dengan kami!”
Walaupun ilmu silatnya lebih
tinggi daripada mereka yang tidak buta, ia tetaplah seorang buta. Ia bergantung
sepenuhnya pada telinganya untuk mengetahui gerakan lawan dan menentukan posisi
mereka.
Namun jika ada orang yang
berbicara, telinganya tidak akan setajam biasanya. Sebelum dua kalimatnya
selesai, sebuah kait harimau telah menyambar dan menoreh dadanya.
Kait itu dipuntir dan ditarik ke
atas, sehingga daging dan darah menggantung di situ.
Tie ChuanJia hampir tidak tahan
dan ingin muntah melihatnya.
Walaupun sudah sering membunuh,
ia bukanlah orang yang kejam. Walaupun tubuhnya sangat keras, hatinya teramat
lembut.
Namun kini tangannya pun sudah
menjadi lembut. Ia tidak lagi mampu membunuh.
Tiba-tiba ia berteriak, “Lalu
bagaimana jika aku mati di tanganmu?”
Si buta kembali tertawa dan
berkata, “Kami tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi di sini. Kami
hanya datang untuk mencarimu.”
Seorang lagi berkata dengan suara
kasar, “Jika ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’ tidak bisa mencabut
nyawamu dengan tangan kami, kematian kami akan sia-sia belaka!”
Wajah orang itu burikan dan ia
menggunakan dua buah golok, satu pendek satu panjang. Ia adalah keturunan Sekte
Utara Si Golok Yin Yang, GongSun Yu.
Tie ChuanJia pun tertawa. Dalam
situasi seperti ini, mengapa seseorang malah tertawa?
Tapi itu adalah tawa yang membuat
bulu kuduk orang berdiri. Lalu katanya, “Jadi kalian hanya ingin membunuhku
dengan tangan kalian sendiri. Itu gampang saja…..”
Ia melayangkan tangannya ke
belakang dan mendorong seseorang berpakaian kuning ke belakang. Lalu tiba-tiba
ia berlari cepat, langsung ke arah golok GongSun Yu.
GongSun Yu terbelalak, tidak
percaya apa yang terjadi, saat golok pendeknya menembus dada Tie ChuanJia!
Darah muncrat membasahi dadanya.
Raungannya terputus saat ia jatuh
tersungkur ke tanah. Di punggungnya tertancap tombak berbunga sepanjang satu
meter.
Rumbai berwarna merah yang
menghiasi mata tombak itu masih terayun-ayun.
Tie ChuanJia pun jatuh
tersungkur. Dari mulutnya terus-menerus terdengar gumaman.
“Semua hutangku kini sudah
terbayar lunas, mengapa kalian belum pergi juga?”
Ia hanya memandang kosong saat
sebuah tombak menusuk ke arahnya. Ia tidak berusaha menangkisnya, tidak
berusaha mengelak.
Bab 79. Persahabatan yang Tulus dan Setia
GongSun Yu berteriak lagi saat ia
berusaha merangkak mengangkat tubuhnya, “Kita pasti telah salah sangka. Ia
pasti tidak…..”
Suaranya putus.
Sebatang tombak lagi menusuk
punggung GongSun Yu!
Dan tombak itu pun dicabut. Dalam
keremangan cahaya lentera di dinding sana, tampak kabut tipis menyelimuti
terowongan itu.
Kabut tipis berwarna merah muda.
Kabut darah!
Awalnya ada 26 orang. Kini 16
orang sudah gugur.
Tapi pembantaian berdarah ini
tampaknya belum selesai. Kini kelompok yang kuat dan kelompok yang lemah tampak
makin besar perbedaannya.
Seorang penjual obat dengan enam
luka di tubuhnya berkata dengan suara serak, “Tie ChuanJia sudah mati, mari
kita pergi dari tempat ini!”
Hanya tinggal 3 orang yang hidup
dari kelompok mereka. Dan mereka kini berada di pihak yang kalah. Tidak mungkin
mereka bisa terus bertahan.
Seseorang dengan kapak di
tangannya, Kapak Pembelah Gunung Hua, mengertakkan giginya dan berkata, “Kakak
Kedua, apakah kita harus mundur?”
Si buta menjawab, “Mundur?
‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’ lebih baik mati daripada mundur.
Siapa yang mengatakan kata ‘mundur’ sekali lagi akan kubunuh sekarang juga!”
Salah seorang yang berpakaian
kuning tertawa dan berkata, “Bagus! Kalian memang punya nyali! Maka hari ini,
biarlah kami yang melaksanakan impian kematian…..”
Suaranya tiba-tiba terputus.
Matanya melotot seperti mata ikan mati.
Kematiannya tiba-tiba dan hampir
tanpa suara. Hanya terdengar bunyi ‘Gaak’ ‘Gaak’ yang lemah dari
tenggorokannya.
Nafasnya belum putus, namun ia
sudah tidak bisa lagi melanjutkan perkataannya. Ia mencoba sekuat tenaga, namun
tiada sepatah katapun yang bisa keluar. Karena di lehernya terlihat ada sebilah
pisau menancap.
Pisau sepanjang 15 cm.
Pisau Terbang Li Kecil!
Tiba-tiba semua gerakan berhenti.
Mata semua orang tertuju pada pisau itu.
Tidak ada yang tahu dari mana
datangnya pisau itu, tapi semua orang tahu siapa yang sudah tiba.
Setiap orang di terowongan bawah
tanah itu ternganga mulutnya.
Li Xun Huan berdiri tepat di
hadapan mereka semua.
Tapi tidak seorang pun berani
menoleh memandangnya. Mereka kuatir, saat mereka menoleh, pisau pencabut nyawa
itu tiba-tiba bersarang di leher mereka.
Mereka semua adalah anggota papan
atas yang setia dalam Partai Uang Emas. Tidak seorang pun pengecut dan takut
mati. Namun saat ini, mereka semua sudah lemah dan kehabisan tenaga. Mereka
sudah melihat terlalu banyak kematian, terlalu banyak darah yang tertumpah.
Hal ini telah banyak melunturkan
semangat mereka. Lagi pula, ‘Pisau Terbang Li Kecil’ sudah terkenal di seluruh
dunia. Ini bukan pisau biasa, pisau ini seakan-akan punya jiwa dan roh yang haus
darah!
Empat kata itu kini terasa
semakin erat hubungannya dengan arti kematian.
Atau mungkin baru sekarang mereka
sungguh-sungguh mengerti arti kematian.
Mayat teman seperjuangan mereka
masih tergeletak dekat kaki mereka.
Sedetik yang lalu ia masih
merupakan manusia hidup yang bernafas.
Lalu pisau yang mengerikan itu
telah mengubahnya menjadi tubuh yang kaku dan mati.
Hidupnya menjadi tidak berarti,
bahkan sebelum ia menyadarinya.
Tidak ada yang lebih mengerikan
daripada perubahan mendadak. Yang menakutkan bukanlah kematian itu, namun
penantian akan kematian itu sendiri.
Tiba-tiba Si Buta bertanya, “Li
Tan Hua?”
Walaupun ia tidak bisa melihat
apapun juga dan tidak terdengar suara apapun juga, entah bagaimana ia bisa
merasakan kehadiran Li Xun Huan. Ia bisa merasakan hawa membunuh yang begitu
kental.
“Ya,” jawab Li Xun Huan.
Si Buta menghela nafas, lalu
duduk bersila.
Jin FengBai dan Si Penebang Kayu
mengikutinya dan duduk perlahan. Mereka duduk tepat di antara genangan darah
yang mengalir dari tubuh GongSun Yu dan Tie ChuanJia. Dari sorot mata mereka,
seakan-akan mereka sedang duduk di dunia yang lain.
Dalam dunia itu, tidak ada lagi
dendam, tidak ada lagi penderitaan.
Li Xun Huan berjalan perlahan ke
kelompok orang berpakaian kuning itu.
Tangannya kosong. Tidak ada pisau
di sana.
Namun seolah-olah pisau itu ada
di matanya.
Ia menatap mereka dan bertanya,
“Di mana orang yang mereka bawa?”
Orang-orang berbaju kuning itu
menunduk memandangi kaki mereka.
Li Xun Huan mengeluh dan berkata
perlahan, “Aku tidak ingin memaksa kalian, namun kuharap kalian pun tidak
memaksaku juga.”
Salah satu dari mereka yang
berdiri tepat di hadapannya, yang wajahnya sudah basah oleh keringat dingin dan
yang tubuhnya sudah gemetar hebat, tiba-tiba bertanya, “Apakah kau bertanya
mengenai Si Bungkuk Sun?”
“Ya.”
Orang itu tersenyum janggal lalu
berseru, “Baik! Akan kubawa kau padanya. Ikuti aku!”
Senjatanya adalah kait kepala
harimau. Setelah kalimatnya selesai, tangannya naik ke atas. Ujung kaitnya
menembus lehernya sendiri.
Ia tidak bisa lagi menahan
penantian yang mengerikan ini. Kematian adalah jalan keluar yang paling cepat.
Li Xun Huan menyaksikan tubuhnya
berdebam jatuh ke tanah. Tangannya terkepal erat.
Si Bungkuk Sun sudah mati!
Kematian si kait kepala harimau
itulah jawabannya.
Tapi bagaimana dengan Lin Shi
Yin?
Tiba-tiba sinar ketakutan
terpancar dari mata Li Xun Huan. Perlahan matanya terangkat dari tubuh yang
mati itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara Tie
ChuanJia. Keringat dan darah sudah membasahi wajahnya dan menutupi matanya. Ia
hampir-hampir tidak bisa melihat dan nafasnya tersengal-sengal. Katanya,
“Yi Min Tang, Saudara Kedua
Yi…..”
Wajah Si Buta yang biasanya kaku
seperti batu mulai bergerak-gerak. Ia mengatupkan giginya dan menjawab, “Aku di
sini.”
“Apa….Apakah hutangku sudah
terbayar lunas?”
“Hutangmu sudah terbayar lunas.”
“Ada satu hal lagi yang ingin
kukatakan,” kata Tie ChuanJia.
“Katakan saja.”
“Walaupun aku sudah bersalah
terhadap Saudara Weng, aku tidak pernah mengkhianatinya. Aku hanya….”
Yi Min Tang segera memotongnya
dan berkata, “Kau tidak perlu bicara lagi, aku sudah mengerti.”
Ia benar-benar mengerti.
Seseorang yang mengkhianati
sahabatnya tidak mungkin mau mengorbankan dirinya dalam situasi seperti tadi.
Bukan hanya Yi Min Tang yang
mengerti. Jin FengBai dan Si Penebang Kayu pun mengerti betul.
Sayang sekali mereka terlambat
menyadarinya.
Air mata mulai meleleh dari mata
Yi Min Tang. Mata yang sudah buta bertahun-tahun lamanya. Li Xun Huan
melihatnya. Melihatnya dengan jelas.
Itulah pertama kalinya ia
menyadari bahwa orang buta pun dapat meneteskan air mata.
Air mata yang hangat pun telah
mengalir dari matanya sendiri.
Air mata yang hangat itu jatuh ke
atas wajah Tie ChuanJia yang mulai dingin. Ia berlutut dan menyeka keringat dan
darah dari wajah Tie ChuanJia.
Akhirnya Tie ChuanJia membuka
matanya dan segera setelah dilihatnya Li Xun Huan, ia berseru gembira, “Tuan
Muda! Tuan Muda….kau benar-benar telah datang!”
Ia sungguh penuh dengan suka
cita, ia berusaha bangun, namun terus-menerus roboh kembali.
Li Xun Huan berlutut di
sampingnya dan berkata, “Aku sudah datang. Kita punya banyak waktu untuk
bercakap-cakap nanti.”
Tie ChuanJia berusaha keras
menggelengkan kepalanya dan tersenyum pedih. Katanya, “Kini aku bisa mati tanpa
menyesal. Tidak ada lagi yang perlu kukatakan.”
Li Xun Huan tersenyum dengan mata
penuh air mata, “Tapi masih banyak yang seharusnya kau katakan. Kau tidak pernah
mengkhianati Saudara Weng. Mengapa tidak kau ceritakan seluruhnya? Mengapa kau
menunda-nunda begitu lama?”
Sahut Tie ChuanJia, “Aku
menundanya bukan demi diriku sendiri.”
“Lalu demi siapa?”
Tie ChuanJia kembali
menggelengkan kepalanya.
Lengan dan kakinya mulai
mengejang karena kesakitan, namun wajahnya tetap tenang dan damai. Bahkan
seulas senyum gembira terkulum di sudut bibirnya.
Kematiannya sungguh penuh
kedamaian.
Salah satu hal yang paling sulit
dilakukan dalam hidup ini adalah mati dengan damai!
Li Xun Huan terus berlutut di
sampingnya. Seluruh tubuhnya mati rasa.
Ia tahu demi siapa Tie ChuanJia
mati.
Kemungkinan besar Tie ChuanJia
tiba di Puri Awan Riang sebelum Li Xun Huan dan mengetahui rencana ShangGuan
JinHong untuk menjebaknya, maka ia mengikuti rombongan orang berbaju kuning ini
ke dalam terowongan bawah tanah. Jika Tie ChuanJia tahu bahwa ada kemungkinan
Li Xun Huan berada dalam bahaya, tidak mungkin Tie ChuanJia hanya berpangku
tangan. Kemana pun juga, ia akan pergi menolongnya.
Namun bagaimana ia bisa tahu
rencana ShangGuan JinHong?
Dan apa sebenarnya rahasia antara
dia dengan Weng TianJie, atau Saudara Weng itu? Yang sampai matipun tidak
dibeberkannya?
“Apakah sebenarnya yang kau
sembunyikan? Walaupun kau bisa mati tanpa penyesalan, bagaimana aku bisa hidup
dengan tenang jika kau berakhir seperti ini?” kata Li Xun Huan dengan muram.
“Kurasa aku tahu apa yang
disembunyikannya,” kata Jin FengBai tiba-tiba.
“Kau…..kau tahu?” tanya Li Xun
Huan tidak percaya.
Wajah Jin FengBai selalu tampak
kelam dan sedih. Namun kini warnanya hijau seperti sedang sakit.
Ia mengertakkan gigi dan berkata,
“Persahabatan dan kesetiaan Kakak Weng sudah terkenal sangat luas. Kurasa kau
pun pasti mengetahuinya.”
“Ya, aku tahu.”
“Selama itu adalah permintaan
sahabatnya, ia tidak akan pernah menolak. Karena itu, pengeluarannya pun
menjadi tidak sedikit. Namun ia tidak seperti engkau, ia tidak mempunyai ayah
yang menjabat sebagai Menteri Kerajaan.”
Li Xun Huan tersenyum.
“Jadi ia selalu hidup dalam
kemiskinan. Seseorang yang miskin, namun mempunyai banyak sahabat, tapi juga
menginginkan penghormatan, harus memikirkan cara lain untuk membayar hutang-hutangnya,”
kata Jin FengBai.
“Maksudmu…. Saudara Weng terlibat
urusan yang tidak halal?” tanya Si Penebang Kayu terbelalak.
“Betul, aku secara tidak sengaja
mendengarnya. Tapi aku tidak sanggup mengatakannya, karena aku tahu bahwa
Saudara Weng melakukannya karena ia sangat terdesak kebutuhan,” kata Jin FengBai.
Lalu ia melanjutkan dengan
lantang, “Lagi pula semua orang yang ditipu Saudara Weng memang pantas mendapat
ganjaran! Walaupun ia memang menipu dan memanfaatkan orang, ia tidak pernah
melakukan yang bertentangan dengan moral dan hati nuraninya.”
Tanya Yi Min Tang, “Lalu apa hubungan
Tie ChuanJia dengan kasus ini?”
“Setelah ada banyak yang aneh,
orang mulai curiga dan menyelidiki transaksi-transaksinya. Salah satu sahabat
Tie ChuanJia adalah inspektur yang bertanggung jawab akan kasus ini. Mereka berdua
sudah mencurigai Kakak Weng sejak lama, namun mereka tidak punya bukti.”
“Mungkin itulah sebabnya Tie
ChuanJia pura-pura bersahabat dengan Kakak Weng, supaya ia dapat menyelidiki
lebih jauh dan menemukan bukti-bukti yang kuat,” kata Si Penebang Kayu.
“Mungkin itulah yang terjadi.”
Jin FengBai melanjutkan, “Namun
Tie ChuanJia tidak ingin mengungkapkannya karena Kakak Weng selalu baik
padanya. Ia sudah menganggap Kakak Weng sebagai sahabatnya, dan ia tidak mungkin
mengungkapkannya dan merusak reputasi Kakak Weng setelah ia meninggal. Oleh sebab
itulah ia menanggung semua kesalahan dan tuduhan kita. Ia bukan melarikan diri
demi dirinya sendiri.”
Tanya Yi Min Tang, “Lalu mengapa
kau tidak pernah memberitahukannya kepada kita semua?”
“Aku….? Bagaimana aku dapat
mengungkapkannya? Kakak Weng begitu murah hati dan baik kepadaku. Tie ChuanJia
saja tidak mau mengatakannya, bagaimana mungkin aku tega melakukannya?”
“Bagus sekali! Kau memang sahabat
sejati Kakak Weng!” kata Yi Min Tang.
Terlihat senyum dingin menghiasi
wajahnya, namun seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Kata Jin FengBai, “Aku tahu bahwa
ini memang tidak adil bagi Tie ChuanJia, tapi aku tidak punya pilihan lain, aku
sungguh-sungguh tidak punya pilihan lain…..”
Suaranya makin lirih saat ia
berbicara, dan tiba-tiba diangkatnya sebatang golok. Golok yang sama yang telah
mengambil nyawa Tie ChuanJia. Ia mengarahkannya pada tubuhnya sendiri dan menusuk
dadanya, tepat di tempat golok itu menusuk dada Tie ChuanJia.
Walaupun ia mengerang kesakitan,
di wajahnya terbayang senyuman yang sama dengan senyuman Tie ChuanJia. “Aku
sudah berhutang begitu banyak kepadanya, namun sekarang, paling tidak hutang
itu sudah kubayar lunas!”
Dan ia pun mati dengan tenang…..
Salah satu hal yang paling sulit
dilakukan dalam hidup ini adalah mati dengan tenang.
Tiba-tiba Yi Min Tang tertawa
seperti orang kesurupan. “Bagus sekali! Kau sudah berani untuk mengatakan
kebenaran, juga berani untuk membayar hutang darah ini, kau sungguh-sungguh adalah
sobat sejatiku! Paling tidak kita, ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’
tidak pernah sekalipun mempermalukan diri kita sendiri!”
Lama-kelamaan suara tawanya
menjadi seperti tangisan yang memilukan.
Lalu Si Penebang kayu pun
berlutut di hadapan tubuh Tie ChuanJia yang berlumuran darah, dan membungkuk
sekali. Kemudian ia menoleh pada Yi Min Tang dan berkata, “Kakak Kedua, aku pergi
duluan.”
Tawa Yi Min Tang pun terhenti
mendadak dan sikapnya kembali menjadi dingin dan tenang. Sahutnya, “Baiklah.”
Kapaknya terangkat ke atas, darah
tersembur ke tanah, ia pun mati. Bahkan lebih cepat, lebih tenang.
Jika Li Xun Huan tidak melihat
dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak akan pernah percaya bahwa ada
orang-orang yang sama sekali tidak takut akan kematian seperti mereka ini.
Yi Min Tang menoleh pada Li Xun
Huan. Di wajahnya tidak tergambar emosi apapun. Katanya, “Aku masih belum
pergi, karena masih ada yang harus kukatakan kepadamu.”
Li Xun Huan hanya bisa
menganggukkan kepalanya.
“Mungkin sekarang kau sudah bisa
menebak bahwa kami telah bersembunyi di sini sejak lama. Kami sudah mengira
bahwa cepat atau lambat, Tie ChuanJia akan kembali ke sini. Oleh sebab itu,
kami tahu banyak hal yang telah terjadi di sini.”
Lanjut Yi Min Tang
perlahan-lahan, “Kami tahu akan rencana ShangGuan JinHong sejak awal. Long Xiao
Yun pun mengetahuinya. Aku selalu merasa heran, mengapa kau mau berteman dengan
orang semacam dia.”
Tentu saja Li Xun Huan tidak bisa
menjawabnya.
“Tie ChuanJia mengetahui akan
perangkap ini dari Long Xiao Yun. Ia sengaja membocorkan rahasia ini, karena ia
ingin mengantarkan Tie ChuanJia ke dalam liang kuburnya. Tapi dia tidak menyangka
bahwa kami mengikutinya kemari, karena kami tidak akan membiarkan dia mati di tangan
orang lain.”
Lanjutnya lagi, “Namun tentang
Nyonya… Nyonya Lin Shi Yin, ia sama sekali tidak berada dalam bahaya. Ia tidak
berada di tangan ShangGuan JinHong. Jika kau mampir ke Puri Awan Riang, kau pasti
akan menjumpainya di sana.”
Li Xun Huan merasakan kehangatan
di dadanya. Apakah itu rasa terima kasih? Apakah itu rasa bahagia?
“Dan sekarang, segala permusuhan
di antara kami telah selesai. Aku hanya bisa berharap bahwa kau sudi
menguburkan kami bersama-sama. Dan jika ada yang bertanya tentang ‘Delapan
Orang Benar dari Dataran Tengah’, aku berharap kau bisa menjelaskan kepada
mereka bahwa walaupun kami telah berbuat kesalahan dalam hidup kami, kami telah
berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya dalam kematian kami,” kata Yi Min
Tang.
Orang-orang berjubah kuning yang
masih hidup diam-diam meloloskan diri keluar. Walaupun Li Xun Huan melihat
mereka pergi, ia tidak merasa perlu untuk menghalangi mereka.
Ia pun tidak merasa perlu untuk
menghalangi Yi Min Tang.
Karena ia tahu pasti, Yi Min Tang
tidak mungkin bisa terus hidup.
Jikalau seseorang bisa mati dengan
tenang, apa lagi yang diinginkannya?
Kematian tidak berarti apapun
juga bagi mereka.
Kini, saat Li Xun Huan memandangi
lantai yang penuh mayat, ia pun bergidik. Ia menyadari betapa brutal dan
mengerikannya pembalasan dendam itu.
Namun sedalam apapun dendam
mereka, kini semuanya telah selesai.
Perkataan Yi Min Tang sungguh
tepat. Walaupun mereka melakukan kesalahan dalam hidup mereka, mereka telah
mati dengan terhormat, dengan gagah, dengan hati nurani yang bersih.
Begitu sedikit orang dalam dunia
ini yang dapat mati seperti mereka.
Lengan dan kaki Li Xun Huan
terasa begitu dingin, sampai ia menggigil. Namun dalam dadanya, terasa api yang
membara.
Ia menjatuhkan diri, berlutut
dalam genangan darah mereka.
Darah ksatria sejati!
Ia berlutut dengan hati tenang.
Ia sungguh lebih suka berada di sini, bersama dengan orang-
orang benar yang mati, daripada
bersama dengan senyuman orang-orang licik yang hidup. ‘Pria sejati tidak lupa
diri oleh kesukaan dalam hidup dan tidak terguncang oleh ketakutan dalam kematian’.
Jika seseorang bisa mati tanpa penyesalan, apakah yang harus ditakuti dari
kematian?
Tapi sungguh-sungguh teramat
sulit untuk mati seperti itu!
Selama itu, Sun Xiao Hong sama
sekali tidak menginjakkan kaki di tempat itu. Bukan karena ia takut, namun
karena ia tidak tahan melihat adegan berdarah seperti itu. Ia baru menyadari,
laki-laki memang berbeda dari wanita.
Ia baru menyadari bahwa menjadi
wanita pun merupakan suatu anugerah.
***
Malam.
Dalam warung kecil itu ada
setitik cahaya dan dua orang manusia.
Cahayanya guram, namun hati
mereka lebih muram lagi…..
Lilin itu berada tepat di hadapan
Li Xun Huan. Anggur pun ada di hadapan Li Xun Huan. Namun seakan-akan ia tidak
bertenaga untuk mengangkat cawan itu. Yang bisa dilakukannya adalah menatap
cawan itu saja dengan pandangan kosong.
Cahaya lilin menari dan
berkelap-kelip.
Setelah sekian lama, akhirnya Li
Xun Huan menghela nafas panjang dan berkata, “Mari kita pergi.”
“Ak….Aku ikut denganmu?” tanya
Sun Xiao Hong ragu.
“Kita datang bersama. Tentu saja
kita pulang bersama.”
“Pulang? Tapi, apakah kau tidak
jadi berkunjung ke Puri Awan Riang?”
Li Xun Huan menggeleng.
“Tapi bukankah tujuan kedatangan
kita ke sini adakah untuk mengunjungi Puri Awan Riang?”
Jawab Li Xun Huan, “Sekarang
tidak perlu lagi.”
“Kenapa?”
Li Xun Huan menatap lurus pada
lilin itu dan berkata, “Yi Min Tang telah mengatakan padaku bahwa dia tidak
berada dalam bahaya. Itu sudah cukup bagiku.”
“Dan kau percaya begitu saja pada
perkataannya?”
“Ia adalah tipe orang yang bisa
dipercaya.”
Sun Xiao Hong mengejapkan matanya
dan bertanya, “Tapi….bukankah kau ingin bertemu dengannya?”
Li Xun Huan terdiam. Lalu
perlahan menjawab, “Berjumpa dengannya akan seperti tidak berjumpa. Karena ia
tidak berada dalam bahaya, tidak ada gunanya aku pergi ke sana.”
“Tapi kau kan sudah sampai di
sini. Tidak ada salahnya kau menjumpainya,” kata Sun Xiao Hong mendesak.
Kembali Li Xun Huan terdiam. Lalu
tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Tiba-tiba aku merasa bahagia. Karena
perasaanku sudah tenang, tidak ada bedanya aku berjumpa dengan dia atau tidak.”
Sun Xiao Hong mengeluh dan
tersenyum. “Kau memang orang aneh. Orang lain tidak akan pernah mengerti apa
yang kau lakukan.”
“Cepat atau lambat kau akan
mengerti.”
Gadis itu menatap Li Xun Huan
bengong. Lalu katanya, “Namun paling tidak kau harusmenguburkan mereka dengan
sepantasnya.”
“Mereka bisa menunggu, ShangGuan
JinHong tidak,” sahut Li Xun Huan
Lalu ia tersenyum pahit dan
menambahkan, “Orang mati memang jauh lebih sabar daripada orang hidup.”
Bab 80. Kesalahan Fatal
“Ternyata kau tidak begitu setia
kawan seperti yang kusangka. Paling tidak, kau lebih setia kawan pada yang
hidup daripada yang mati,” ejek Sun Xiao Hong nakal.
Tiba-tiba Li Xun Huan bertanya,
“Kemarin, kapan kita berangkat?”
“Malam hari, seperti sekarang
ini.”
“Dan kapan kita tiba hari ini?”
tanya Li Xun Huan.
“Hampir petang, hari belum lagi
gelap.”
“Dan bagaimana kita bisa sampai
ke sini?” tanya Li Xun Huan lagi.
“Kita naik kereta untuk beberapa
saat, kemudian kita berjalan kaki sampai pagi tadi. Setelah itu kita naik
kuda.”
“Jadi jika kita kembali dengan
cara yang sama, kita tidak mungkin bisa sampai sebelum matahari
terbenam.”
“Betul,” jawab Sun Xiao Hong.
“Tapi sekarang, kita sudah
terjaga begitu lama. Kekuatan kita tidak sebesar kemarin. Jadi kita tidak
mungkin berjalan secepat kemarin.”
Sahut Sun Xiao Hong, “Dan lagi
kemarin, hampir-hampir aku tidak bisa mengikutimu. Tidak heran kakek bilang
bahwa kecepatanmu berjalan hampir sama dengan kecepatan pisaumu.”
“Jadi walaupun kita pergi
sekarang, belum tentu aku bisa datang tepat waktu untuk duel dengan ShangGuan
JinHong?”
Sun Xiao Hong terdiam.
Li Xun Huan mengangkat kepalanya
dan memandang gadis itu. Katanya, “Seharusnya kau mendorong aku untuk segera
kembali. Kau kan tahu, aku tidak bisa terlambat untuk duel itu.”
Sun Xiao Hong memalingkan
wajahnya dan menggigit bibirnya. Seakan-akan ia sedang menghindari tatapan mata
Li Xun Huan.
Kemudian ia berkata dengan lembut,
“Aku ingin kau berjanji padaku.”
“Apa itu?”
“Kali ini, mari kita pulang
dengan kereta. Jangan kita berjalan ataupun naik kuda.”
Kata Li Xun Huan, “Kau ingin aku
beristirahat selama perjalanan.”
“Ya. Jika kau tidak beristirahat,
kau akan kehabisan tenaga sebelum menghadapi ShangGuan JinHong. Kau tidak akan
bisa berduel jika belum apa-apa kau sudah terpuruk ke lantai.”
Li Xun Huan tersenyum dan
berkata, “Baiklah, aku menurutimu. Kita pulang dengan kereta.”
Seketika wajah Sun Xiao Hong berbinar
karena gembira. “Kita bisa membawa anggur dalam kereta. Jika kau tidak bisa
tidur, aku akan minum bersamamu sepanjang perjalanan.”
“Kalau aku mulai minum, lama-lama
aku pasti akan tertidur,” sahut Li Xun Huan.
“Bagus. Selama kau bisa
beristirahat dalam perjalanan, ShangGuan JinHong tidak akan mampu melawanmu.”
“Kau sungguh yakin akan diriku,”
kata Li Xun Huan sambil tersenyum.
Gadis itu menatap Li Xun Huan
lekat-lekat. Katanya, “Tentu saja aku yakin padamu. Kalau tidak mengapa aku….”
Wajahnya menjadi bersemu merah.
Tiba-tiba ia berlari keluar dan berseru dengan riang, “Aku akan pergi mencari
kereta. Kau siapkan araknya ya. Dan jika masih ada waktu, pergi dan temuilah
dia. Aku berjanji, aku tidak akan cemburu.”
Kuncir rambutnya melambai-lambai
saat ia berlari dan dalam hitungan detik, ia sudah tidak kelihatan lagi.
Li Xun Huan memandanginya sampai
ia tidak terlihat lagi, baru ia bangkit berdiri dan berjalan keluar.
Ia menengadah. Di balik tembok
itu, terlihat ruangan kecil di pojok atas.
Cahaya masih tampak bersinar dari
kamar itu.
Namun bagaimana dengan orang di
dalamnya?
Apakah ia sedang sibuk menjahit
pakaian untuk putra kesayangannya?
Cinta seorang ibu akan anaknya
bagaikan seutas benang yang tiada putusnya.
Namun masih belum dapat
menandingi panjangnya kesepian. Tidak ada satupun di dunia ini yang dapat
menandingi panjangnya kesepian hidup.
Bulan demi bulan, tahun demi
tahun. Benang yang tidak habis terjahit. Kesepian yang tidak dapat disembuhkan.
Wanita itu telah mengubur hidupnya,
dan ruang kecil itu adalah kuburannya. Seseorang……seorang wanita…..tanpa masa
muda, tanpa cinta, tanpa suka cita. Untuk apa ia hidup?
‘Shi Yin, Shi Yin, kau telah
menderita begitu banyak.’
Tiba-tiba Li Xun Huan membungkuk
dan mulai terbatuk. Batuk darah!
Bagaimana mungkin ia tidak ingin
menemuinya?
Walaupun tubuhnya masih berdiri
di situ, hatinya telah melayang pergi ke ruang kecil itu.
Walaupun hatinya telah melayang
ke kamar itu, tubuhnya masih berdiri tidak bergerak di luar.
Ia tidak berani pergi ke sana. Ia
tidak sanggup. Walaupun mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa bertemu
dengannya, ia masih tetap tidak sanggup….. Berjumpa dengannya sama seperti
tidak berjumpa. Dan walaupun ia pergi menjumpainya, apakah yang bisa
diperbuatnya?
Wanita itu bukan lagi miliknya.
Ia sudah bersuami, mempunyai seorang anak, hidup dalam dunianya sendiri.
Ia sepenuhnya berada di dunianya
sendiri, dunia yang lain.
Li Xun Huan menyeka darah dari
bibirnya dan mencoba menelan kembali darah yang masih ada dalam mulutnya.
Bahkan darahnya pun terasa pahit,
amat sangat pahit.
‘Shi Yin….Shi Yin, aku akan
merasa puas selama kau hidup damai sejahtera. Apakah itu di surga atau di
neraka, suatu hari nanti kita akan bertemu kembali.”
Namun, apakah Lin Shi Yin hidup
damai sejahtera?
Di tengah hembusan angin malam
yang dingin, Li Xun Huan terlihat lebih lemah daripada setangkai bunga seruni.
Li Xun Huan berdiri sendirian di
tengah angin barat yang menderu. Apakah ia sedang berharap bahwa angin barat
itu akan menerbangkan dirinya pergi?
Akhirnya, Sun Xiao Hong pun
kembali. Ia memandang Li Xun Huan dan bertanya, “Kau….Kau tidak pergi
menemuinya?”
Li Xun Huan menggelengkan
kepalanya. “Kau berhasil menemukan kereta?”
“Kereta sudah menunggu di depan
sana. Jika kau tidak ingin menemuinya, mari kita segera pergi.”
“Ayo, kita pergi!” jawab Li Xun
Huan.
Kereta itu berguncang-guncang
sepanjang perjalanan. Anggur pun bergoyang-goyang dalam cawannya.
Anggur yang cukup umur.
Kereta itu sepertinya berusia
lebih tua daripada anggur itu. Dan kudanya lebih tua lagi.
Li Xun Huan menggeleng-gelengkan
kepalanya dan berkata sambil tersenyum, “Jika kuda yang menarik kereta ini
adalah Si Surai Merah milik Jenderal Guan, pasti kereta ini langsung menjadi barang
antik. Hebat juga kau bisa menemukan kereta seperti ini.”
Sun Xiao Hong tidak bisa
menyembunyikan tawanya. Ia mengangkat dagu sambil berkata, “Kau tidak puas atas
persiapanku?”
“Tidak, tidak, aku sangat puas.
Sangat sangat puas.”
Li Xun Huan memejamkan matanya
dan menambahkan, “Saat aku masuk ke dalam kereta ini, aku langsung teringat
pada sesuatu di masa lalu.”
“O ya? Apa itu?”
“Aku teringat akan kuda kayu
mainanku waktu aku masih kecil. Rasanya sama seperti terayunayun di atas kereta
ini.”
Sebelum ia selesai bicara, ia
merasa ada sesuatu yang dijejalkan ke dalam mulutnya.
“Habiskan kurma itu dan cepat
tidur,” kata Sun Xiao Hong sambil tersenyum.
Sahut Li Xun Huan, “Seandainya
aku bisa tertidur dan tidak bangun lagi, ah, sungguh menyenangkan. Sayangnya…..”
Sun Xiao Hong segera memotongnya
dan berkata, “Aku bersusah-payah mendapatkan kereta ini supaya kau bisa
beristirahat. Jika kau bisa tidur nyenyak, besok pagi kita bisa berganti
kereta.”
Li Xun Huan menghabiskan cawan
anggurnya dan berkata, “Kalau begitu, aku akan minum beberapa cawan lagi supaya
aku bisa tidur nyenyak.”
Anggur di cawannya
bergoyang-goyang. Kuncir Sun Xiao Hong pun terayun-ayun ke kiri ke kanan.
Matanya bercahaya dan teduh,
seperti sinar bintang yang menerangi langit malam di luar sana.
Cahaya bintang tampak seperti
mimpi.
Li Xun Huan mulai mabuk.
Di malam yang begitu indah,
ditemani wanita yang begitu cantik, bagaimana mungkin ia tidak mabuk?
Karena ia sudah mabuk, bagaimana
mungkin ia tidak jatuh terlelap?
Li Xun Huan bersandar pada salah
satu sisi kereta dan mengangkat kakinya ke atas kursi kereta itu. Ia bergumam,
“Orang bijak dan para pendekar selalu dihantui kesepian dan tidak punya sahabat
kecuali guci anggurnya….. Namun ternyata, minum semalam suntuk pun sama menderitanya.”
Lalu semuanya hening. Hanya
kesunyian yang tinggal.
Akhirnya ia jatuh terlelap.
Sun Xiao Hong memandangnya sampai
lama. Lalu ia menjulurkan tangannya dan membelai rambutnya dengan lembut.
“Tidur, tidurlah dengan tenang. Setelah kau bangun, segala kesedihan dan
persoalan akan berlalu. Dan bila saatnya tiba, aku tidak akan membiarkanmu minum
sebanyak ini lagi.”
Mata Sun Xiao Hong bersinar
semakin terang, penuh dengan harapan dan suka cita.
Ia masih sangat muda.
Orang-orang muda selalu optimis
menghadapi dunia ini. Mereka selalu beranggapan bahwa segala sesuatu akan
terjadi sesuai dengan rencana mereka.
Ia belum mengerti bahwa dunia ini
tidak berjalan seperti itu. Apa yang terjadi selalu saja jauh dari bayangan dan
rencana kita. Jika saat itu ia tahu seberapa jauhnya kenyataan yang akan terjadi
dari bayangannya, bajunya pasti sudah basah kuyup oleh air mata.
Kusir kereta pun sedang menghirup
araknya dengan santai.
Ia tidak terburu-buru.
Karena si wanita muda penyewa
keretanya telah memerintahkannya begitu!
‘Pelan-pelan saja di jalan. Kami
tidak tergesa-gesa pergi.’
Sang kusir tersenyum sendiri.
Jika ia sedang naik kereta bersama kekasih hatinya, ia pun tidak akan
tergesa-gesa pergi.
Ia sungguh iri pada Li Xun Huan.
Ia merasa, Li Xun Huan adalah orang yang sangat beruntung.
Namun jika ia tahu situasi macam
apa yang sebenarnya sedang dihadapi oleh Li Xun Huan dan Sun Xiao Hong, mungkin
ia tidak akan sanggup menelan anggur dalam cawannya.
Hari esok telah tiba.
Waktu Li Xun Huan bangun, cahaya
matahari telah menerangi seluruh kereta dari jendela.
Ia tidak tahu berapa lama ia
sudah tertidur. Apakah ia sungguh kelelahan? Apakah karena anggur?
Li Xun Huan memungut cawan anggur
dan menciumnya, lalu diletakkannya kembali.
Kereta itu masih bergoyang-goyang
ke kiri ke kanan selagi melaju di sepanjang jalan itu. Jalan kereta itu sangat
lambat, bahkan kadang-kadang berhenti sejenak, seakan-akan kusirnya pun tertidur.
Sun Xiao Hong masih tidur di
pangkuan Li Xun Huan.
Rambutnya yang panjang terurai di
atas kaki Li Xun Huan bagaikan aliran air.
Li Xun Huan melongok ke luar
jendela, namun ia tidak bisa melihat bayangan kereta itu.
Matahari tepat berada di atas.
Setelah beberapa lama, Li Xun
Huan melihat batu penunjuk di sisi jalan. Pada batu itu terukir
nama desa yang akan mereka
masuki.
Waktu perjanjian dengan ShangGuan
JinHong tinggal sebentar lagi.
Namun ternyata mereka baru
setengah perjalanan.
Dalam sekejap tangan Li Xun Huan
menjadi dingin dan mulai gemetaran.
Ada kalanya ia merasa kuatir,
sedih, gelisah. Ada kalanya pula ia merasa bahagia. Jarang sekali ia merasa
marah.
Saat ini, ia belum marah betul,
namun sudah dekat sekali.
Tiba-tiba Sun Xiao Hong terjaga
dan merasa tubuh Li Xun Huan menggigil. Ia memandang wajah Li Xun Huan dan
melihat ekspresi kemarahannya. Belum pernah ia melihat Li Xun Huan seperti itu.
Ia menundukkan kepalanya. Matanya
langsung memerah dan ia bertanya, “Apakah kau marah padaku?”
Mulut Li Xun Huan terkatup.
Terkatup erat.
“Aku tahu kau akan marah padaku,
tapi aku akan tetap melakukannya. Aku tidak peduli apakah kau akan membentakku
atau memukul aku. Tapi kau harus tahu bahwa aku melakukannya demi kebaikanmu,”
kata Sun Xiao Hong.
Li Xun Huan mengeluh panjang.
Seluruh tubuhnya yang tegang mulai mengendur. Hatinya pun mulai lumer.
Sun Xiao Hong melakukan semuanya
demi dirinya.
Apa salah Sun Xiao Hong? Selama
ia sungguh-sungguh menginginkan yang terbaik bagi Li Xun Huan, bagaimana
mungkin ia menyalahkan gadis itu?
Kata Li Xun Huan, “Aku mengerti
perasaanmu. Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, bisakah kau juga berusaha mengerti
perasaanku?”
“Kau…..kau pikir aku tidak
mengerti perasaanmu?”
“Jika kau sungguh mengerti
perasaanku, kau akan tahu bahwa sekalipun kau berhasil mencegah aku bertemu
dengan ShangGuan JinHong kali ini, bagaimana dengan nanti? Cepat atau lambat, aku
harus berhadapan dengannya. Mungkin juga besok,” kata Li Xun Huan.
“Kalau besok, semuanya akan
berbeda.”
“Apa yang akan berbeda besok?”
“Besok, ShangGuan JinHong sudah
mati. Mungkin ia tidak akan melewati malam ini,” kata Sun Xiao Hong.
Caranya berbicara sungguh aneh,
seakan-akan ia sudah tahu pasti apa yang akan terjadi.
Li Xun Huan tidak bisa menebak
mengapa Sun Xiao Hong kedengaran begitu pasti. Ia berpikirpikir sejenak.
Kata Sun Xiao Hong, “Tidak akan
ada yang menyalahkan kalau hari ini kau tidak hadir. Itu kan semua salah
ShangGuan JinHong. Jika ia tidak memaksamu pergi ke Puri Awan Riang, kau tidak mungkin
terlambat datang.”
Li Xun Huan masih berkutat dengan
pikirannya. Wajahnya sedikit demi sedikit berubah.
Perasaan Sun Xiao Hong semakin
ringan saat ia bersandar di lengan Li Xun Huan. Katanya, “Kalau ShangGuan
JinHong sudah mati, tidak ada yang akan bilang bahwa…..”
Tiba-tiba Li Xun Huan
memotongnya, “Apakah kakekmu yang menyuruhmu berbuat begini?”
Sun Xiao Hong mengedipkan matanya
dan berkata sambil berkelakar, “Mungkin ya, mungkin tidak.”
“Apakah ia yang pergi menghadapi
ShangGuan JinHong?” tanya Li Xun Huan.
“Betul sekali. Kau pasti tahu,
ShangGuan JinHong melihat kakek sama seperti seekor tikus kecil melihat kucing.
Kurasa, kakeklah satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menghadapi ShangGuan
JinHong.”
Lalu Sun Xiao Hong meraih tangan
Li Xun Huan dan hendak melanjutkan perkataannya. Namun akhirnya ia terdiam,
karena ia merasa tangan Li Xun Huan begitu dingin seperti es.
Waktu hati manusia diliputi
ketakutan, mengapa tangannya selalu dingin membeku?
Namun apakah yang ditakutinya?
Melihat ekspresi wajah Li Xun
Huan, Sun Xiao Hong pun takut bertanya.
Akhirnya Li Xun Huan bertanya,
“Apakah kakekmu sendiri yang ingin pergi, atau engkaukah yang memintanya
pergi?”
“Apakah….Apakah itu ada bedanya?”
tanya Sun Xiao Hong tergagap.
“Ya, sangat jauh perbedaannya.”
“Akulah yang meminta dia pergi.
Karena untuk menghadapi orang seperti ShangGuan JinHong, tidak jadi masalah
siapa yang membunuhnya. Tidak harus kau yang melakukannya.”
Li Xun Huan mengangguk,
sepertinya ia pun setuju dengan pendapatnya. Namun ekspresi wajahnya tampak
berbeda.
Ia bukan hanya kelihatan takut,
tapi juga kelihatan sangat berduka.
Sun Xiao Hong tidak bisa menahan
diri, tanyanya, “Apakah kau kuatir?”
Li Xun Huan tidak perlu menjawab.
Wajahnya telah menjawab dengan jelas.
“Aku tidak mengerti apa yang kau
kuatirkan…. Kau menguatirkan Kakek?” tanya Sun Xiao Hong.
Li Xun Huan mendesah dan menjawab
dengan suara rendah, “Aku menguatirkan dirimu.”
“Menguatirkan diriku? Kenapa?”
tanyanya tidak mengerti.
“Semua orang pasti pernah membuat
kesalahan dalam hidupnya. Ada kesalahan yang bisa diperbaiki, tapi ada juga
yang selamanya tidak dapat ditarik kembali.”
Kini dalam pandangan matanya,
bukan hanya tampak duka namun juga kepedihan yang begitu
mendalam.
Ia menatap lurus pada gadis itu,
lalu melanjutkan, “Jika kau membuat kesalahan yang tidak mungkin diperbaiki,
apapun juga niatmu, kau harus menanggung beban itu selamanya seumur hidupmu.
Walaupun orang lain sudah mengampunimu, kau tidak akan pernah bisa mengampuni dirimu
sendiri. Suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan.”
Li Xun Huan sangat memahami
perasaan ini.
Karena satu kesalahan yang
diperbuatnya, ia harus membayar harga yang sangat mahal.
Sun Xiao Hong balik menatapnya
dan tiba-tiba merasakan suatu firasat buruk. Tanyanya,
“Apakah kau kuatir aku akan melakukan
suatu kesalahan?”
Setelah lama terdiam, Li Xun Huan
balik bertanya, “Selama bertahun-tahun ini, apakah kau selalu bepergian dengan
kakekmu?”
“Ya.”
“Apakah kau pernah melihat beliau
bertempur?”
“Mmmm, rasanya tidak pernah….”
Jawab Sun Xiao Hong.
Bab 81. Tragedi yang Tidak Terduga
Lalu dengan cepat Sun Xiao Hong
menambahkan, “Tapi itu karena Kakek tidak punya kesempatan, tidak perlu
bertempur.”
“Tidak pernah perlu?” tanya Li
Xun Huan.
“Beliau tidak ada tandingannya.”
“Bagaimana dengan ShangGuan
JinHong?”
“Dia…..”
Sun Xiao Hong tiba-tiba terdiam,
tidak melanjutkan kalimatnya. Apakah tiba-tiba ia terpikir akan sesuatu?
Kata Li Xun Huan, “Kakekmu pasti
tidak setuju akan sepak terjang ShangGuan JinHong.”
“Ia…Ia sungguh jengkel dengan
perbuatan ShangGuan JinHong,” sahut Sun Xiao Hong.
“Tapi beliau tidak pernah pergi
menantangnya.”
Sun Xiao Hong menundukkan
kepalanya. Sahutnya, “Tidak pernah…..”
“Mengapa beliau membiarkan
ShangGuan JinHong membabi buta begitu lama? Dan mengapa ia baru mau menghadapi
ShangGuan JinHong setelah kau memintanya?”
Mulut Sun Xiao Hong terasa
kering. Ia pun kehilangan kata-kata.
Kata Li Xun Huan, “Waktu ilmu
silat seseorang telah mencapai puncaknya, ia pasti akan mulai merasa takut.
Takut orang lain bisa menandinginya, takut kalau setelah itu kemampuan mereka akan
menurun. Dan bila saat itu tiba, ia akan menghindarinya dengan segala cara.
Secara ekstrem, menghindar untuk melakukan apapun juga.”
Ia mendesah dan menambahkan,
“Semakin ia tidak ingin bertindak, semakin cepat ia menjadi tidak bisa
bertindak. Ada yang tiba-tiba memutuskan untuk mengasingkan diri, ada yang merusak
diri sendiri – ingin segera mengakhiri segalanya dengan kematian…. Inilah yang biasanya
terjadi sepanjang sejarah manusia. Kecuali jika orang itu bisa melangkah
melewati dunia materi dan masuk ke tingkat di mana tidak ada lagi emosi manusia
yang bermain. Menjadi tidak peduli lagi akan seluruh dunia dan umat manusia di
dalamnya.”
Sun Xiao Hong merasa tubuhnya
mengejang, dan keringat dingin mulai membasahi tengkuknya.
Karena ia tahu pasti bahwa
kakeknya bukanlah orang yang ‘tidak berperasaan’.
Ia masih peduli akan banyak hal,
akan banyak orang.
Kata Li Xun Huan lagi, “Mungkin
aku salah…..”
Tiba-tiba Sun Xiao Hong
menghambur ke arah Li Xun Huan dan memeluknya erat-erat.
Tubuh gadis itu menggigil luar
biasa.
Ia ketakutan, sangat sangat
ketakutan.
Li Xun Huan membelai rambutnya.
Apakah itu rasa kasihan? Simpati? Kesedihan?
Seseorang yang tidak berperasaan
tidak akan berbuat demikian.
Seseorang yang tidak berperasaan
tidak akan membuat kesalahan.
Namun mengapa alam selalu memaksa
mereka yang penuh cinta membuat kesalahan-kesalahan fatal?
Apakah salah menjadi seseorang
yang penuh perasaan?
Pecahlah tangis Sun Xiao Hong dan
ia mulai sesenggukan. “Tolong, tolong kembali segera bersamaku. Jika kita
segera kembali…..apapun harganya…..aku bersedia melakukan apapun juga.”
Terdengar suara ringkik kuda dari
jendela kereta. Kini mereka sedang berada di kandang kuda. Salah satu keahlian
Li Xun Huan adalah memilih kuda yang baik. Banyak orang tahu bahwa Li Xun Huan
bukan hanya ahli dalam hal wanita, tapi juga dalam hal kuda. Tidaklah mudah
menjadi seorang ahli dalam dua bidang ini.
Kuda dan wanita. Dua-duanya
sangat sulit dimengerti.
Ia segera memilih dua ekor kuda
yang tercepat.
Wanita yang tercantik belum tentu
yang terbaik. Kuda yang tercepat belum tentu yang terkuat.
Wanita cantik sering kali kurang
tulus, kuda yang cepat sering kali kurang ketahanannya.
Dua ekor kuda terguling.
Dua orang berlari kesetanan.
Matahari sudah mulai tenggelam.
Kedua orang itu terus berlari
sekuat tenaga. Mereka tidak peduli apa yang dipikirkan orang yang di
sekitarnya. Mereka tidak peduli akan kelelahn tubuh mereka sendiri.
Mereka tidak peduli akan apapun
juga.
Malam pun semakin dekat.
Tidak ada orang lagi di jalan.
Malam ini, bulan dan bintang
entah pergi ke mana. Tidak ada setitik cahaya pun yang tampak.
Hutan yang gelap berada di
samping jalan. Di luar hutan itu tampak siluet sebuah paviliun.
Bukankah ini tempat perjanjian
duel?
Di tengah malam yang gelap itu,
sepertinya ada secercah cahaya di kejauhan. Cahaya itu tampak semakin terang,
dan sesosok manusia terlihat dari jauh.
Sun Xiao Hong mendesah lega dan
seluruh tubuhnya yang tegang mulai rileks.
Sungguh merupakan suatu keajaiban
ia bisa berlari begitu lama. Mungkin juga karena rasa takutlah yang
menggerakkan kakinya.
Rasa takut memang bisa
membangkitkan kekuatan manusia yang terpendam.
Namun kini, ia telah melihatnya.
Ia telah melihat apa yang diharapkannya. Nafasnya yang tersengal-sengal
langsung seolah-olah berhenti dan ia pun tersungkur ke tanah.
Li Xun Huan belum berani bernafas
lega.
Ia melihat cahaya itu
terombang-ambing dan ia melihat cahaya itu berkelap-kelip aneh. Kadangkadang
sangat terang, kadang-kadang redup tiba-tiba.
Mendadak cahaya itu berkobar
seperti lentera raksasa.
Pada suatu hari dulu, di luar
sebuah kota yang lain, dalam paviliun yang lain, Li Xun Huan pernah melihat
kelap-kelip lampu persis seperti ini.
Pada saat itu, Tuan Sunlah yang
berada di paviliun itu sedang mengisap pipanya.
Selain Tuan Sun, Li Xun Huan
belum pernah melihat orang lain bisa mengisap pipa seperti itu.
Li Xun Huan merasa air mata yang
hangat membasahi bola matanya.
Sun Xiao Hong masih rebah di
tanah, perlahan menangis sambil berusaha bangkit berdiri lagi.
Ini adalah air mata bahagia. Air
mata penuh rasa terima kasih.
Tuhan belum mengijinkan ia
membuat kesalahan fatal.
Li Xun Huan membantunya bangkit
berdiri dan mereka berdua segera berjalan menuju paviliun itu.
Paviliun itu sudah penuh asap dan
seseorang duduk tepat di tengahnya.
Wangi asap itu sudah sangat
dikenal oleh Sun Xiao Hong.
Ia merasakan kehangatan dalam
dadanya. Segera dilepaskan pegangan tangan Li Xun Huan dan dengan cepat ia
berlari ke paviliun itu.
Ia hanya ingin segera memeluk
kakeknya dan mengatakan padanya betapa ia sungguh berterima kasih.
Sebelum tiba pun ia sudah
berseru-seru, “Kakek! Kami sudah sampai…..kami sudah sampai!”
Tiba-tiba cahaya di paviliun itu
padam.
Lalu terdengar seseorang berkata
dengan kaku, “Bagus. Aku memang menunggu kalian berdua!”
Suara itu dingin, tidak
bersahabat, tegas. Tanpa nada, tanpa perasaan.
Langkah Sun Xiao Hong terhenti.
Kehangatan yang baru dirasakannya langsung berubah menjadi kebekuan. Sangat
dingin sampai ia tidak bisa bergerak lagi.
Suara itu seperti sebuah
pentungan yang menghajar dia dari langit jatuh berdebam kembali ke bumi.
Lalu empat buah lentera menyala
terang.
Empat lentera kuning yang
tergantung di tongkat bambu.
Dibawah gemerlap cahaya keemasan
itu, duduklah seseorang. Dingin seperti emas, anggun seperti emas, bahkan
hatinya pun sepertinya terbuat dari bongkahan emas.
Ia sedang mengisap pipa.
Pipa yang diisapnya adalah pipa
Tuan Sun.
Tapi orang itu adalah ShangGuan
JinHong!
Orang yang sedang mengisap pipa
di paviliun itu adalah ShangGuan JinHong!
Angin dingin bertiup kencang,
hujan es mengguyur bumi.
Tidak ada yang menyadari kapan
hujan mulai turun.
Sun Xiao Hong berdiri mematung
dalam hujan. Seluruh tubuhnya mengejang, kaku sekujur tubuh.
Ia ingin berteriak, namun tidak
bertenaga. Ia ingin menyeruduk masuk, namun tubuhnya tidak bisa bergerak.
Dadanya mulai sesak, ia ingin
muntah.
Tapi bahkan setetes air mata pun
tidak bisa keluar.
Li Xun Huan berjalan lebih lambat
daripada Sun Xiao Hong. Kini ia terus berjalan menuju ke paviliun itu.
Langkahnya tetap dan pasti.
Namun nafasnya telah berhenti.
Ia berjalan perlahan masuk ke
paviliun itu dan berhadapan dengan ShangGuan JinHong.
ShangGuan JinHong tidak menoleh
ke arahnya. Matanya masih terfokus pada pipa di tangannya.
“Kau terlambat.”
Setelah terdiam lama, Li Xun Huan
menyahut, “Ya, aku terlambat.”
Mulut Li Xun Huan terasa kering.
Pahit. Seolah-olah lidahnya sedang menjilati sebatang besi berkarat. Rasanya
sangat sulit diutarakan.
Apakah ini rasa ketakutan?
Kata ShangGuan JinHong, “Lebih
baik terlambat daripada tidak hadir.”
Kata Li Xun Huan, “Seharusnya kau
tahu, cepat atau lambat aku pasti datang.”
Lalu ShangGuan JinHong berkata, “Sayangnya,
orang yang seharusnya datang, datang terlambat. Dan orang yang tidak seharusnya
datang, datang awal.”
Setelah perkataan itu, keduanya
terdiam. Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang satu dengan yang
lain. Tidak seorangpun bergerak sedikitpun.
Mereka berdua menunggu
kesempatan.
Sekali mereka bergerak, tidak
akan mungkin ditarik kembali!
***
Di tengah-tengah hujan dan angin,
di tengah-tengah hutan yang gelap, ada dua orang lagi, dua pasang mata lagi.
Kedua pasang mata itu tertuju
pada ShangGuan JinHong dan Li Xun Huan.
Sepasang mata yang tenang dan
lembut, bagaikan air yang mengalir. Terang dan bercahaya, bagaikan bintang. Di
seluruh dunia, sulit ditemukan sepasang mata seindah ini.
Sepasang mata yang satu lagi
berwarna kelabu, seolah-olah menyatu dengan kegelapan malam yang tidak berjiwa.
Di seluruh neraka pun, sulit ditemukan sepasang mata yang begitu mengerikan
seperti ini.
Jika ada setan dan dedemit yang
bersembunyi di hutan itu pun, mereka pasti sudah kabur sejak tadi.
Sepasang mata itu bisa membuat
setan dan dedemit gemetar lututnya.
Lin Xian Er dan Jin Wu Ming telah
berada di sana sebelum yang lain tiba. Mereka sudah bersembunyi di sana sejak
lama.
Lin Xian Er berdiri di samping
Jin Wu Ming dan berpegangan kuat-kuat pada lengannya.
Jin Wu Ming tidak bersuara dan
tidak bergerak sedikitpun.
Bisik Lin Xian Er, “Jika kau
ingin membunuhnya, ini adalah kesempatan yang paling baik. Tidak akan ada lagi
kesempatan sebaik ini.”
Sahut Jin Wu Ming, “Saat ini ada
orang lain yang sedang berusaha membunuhnya. Aku tidak perlu lagi menyerang.”
“Aku bukan menyuruhmu membunuh Li
Xun Huan.”
“Lalu siapa?”
“ShangGuan JinHong. Bunuh
ShangGuan JinHong!” pekik Lin Xian Er tertahan.
Tubuhnya gemetar sedikit saking
gembiranya. Kuku-kukunya tertanam di kulit tangan Jin Wu Ming.
Jin Wu Ming tidak bergerak. Ia
pun tidak merasa sakit sedikitpun.
Namun ada api yang berkobar di
matanya. Seperti kobaran api neraka.
“Saat ini, ia sedang
berkonsentrasi penuh pada Li Xun Huan. Ia tidak bisa menghadapi orang lain lagi.
Lagi pula, ia tidak tahu sama sekali mengenai tangan kananmu. Kau pasti dapat membunuhnya,”
kata Lin Xian Er.
Jin Wu Ming masih tidak
bergeming.
“Kau kan tahu peraturan Partai
Uang Emas. Kalau ShangGuan JinHong tidak ada lagi, kaulah yang akan menjadi
ketua yang baru,” desak Lin Xian Er lagi.
Ia mulai menggerutu dengan suara
pelan.
Suaranya sungguh tidak enak
didengar. Seperti suara anjing yang akan melahirkan.
“Walaupun kau tidak menginginkan
kedudukan itu, kau harus membalas perbuatannya dulu terhadapmu. Supaya waktu ia
masuk ke neraka, ia akan menyesal telah memperlakukan engkau seperti itu,” Lin
Xian Er terus membujuknya.
Mata Jin Wu Ming masih berkobar
dengan api dari neraka. Dan kobaran api itu makin lama makin besar.
“Ayo, cepat. Kalau kau melewatkan
kesempatan ini, kaulah yang akan menyesal, bukan dia.”
Akhirnya Jin Wu Ming mengangguk
dan menjawab, “Baiklah, aku pergi!”
“Cepatlah, aku akan menunggumu di
sini. Setelah kau berhasil, aku akan menjadi milikmu seorang untuk
selama-lamanya.”
Kata Jin Wu Ming, “Kau tidak
perlu menungguku.”
“Kenapa?”
“Karena kau akan ikut bersamaku!”
Tiba-tiba Lin Xian Er merasa ada
sesuatu yang salah.
Setitik rasa takut terlihat dalam
matanya yang indah. Jin Wu Ming mencekal pergelangan tangannya.
Lin Xian Er tidak suka menangis.
Ia merasa wanita yang menangis adalah wanita yang lemah, wanita yang
menjijikkan dan sangat bodoh.
Lagi pula, ia masih punya banyak
cara untuk membuat laki-laki melakukan kehendaknya.
Namun saat ini ia sungguh merasa
kesakitan dan air mata pun tidak dapat dibendungnya.
Ia serasa mendengar tulang-tulang
tangannya gemeretuk. “Apa kesalahanku? Mengapa kau memperlakukan aku seperti
ini?”
“Seumur hidupmu, kau telah
membuat satu kesalahan besar,” kata Jin Wu Ming.
“Apa itu?”
“Kau tidak boleh menganggap semua
orang mencintaimu seperti Ah Fei mencintaimu!”
***
Li Xun Huan berdiri membelakangi
hutan itu.
Ia tidak melihat Lin Xian Er dan
Jin Wu Ming, saat mereka keluar dari sana. Perhatiannya tercurah pada ShangGuan
JinHong. Namun ia dapat melihat ekspresi aneh di wajah ShangGuan JinHong.
Tiba-tiba perhatian ShangGuan
JinHong terpecah.
Tidak pernah ia memberi
kesempatan pada lawan seperti ini. Dan sudah tentu ia tidak akan pernah lagi
melakukannya.
Namun Li Xun Huan tidak
menyerang. Pisaunya masih tetap berada di tangannya.
Karena ia dapat merasakan hawa
membunuh yang mengerikan datang dari arah punggungnya.
Pisaunya tidak hanya disambitkan
oleh tangannya, tapi oleh seluruh tubuh dan seluruh
keberadaannya. Jika ia
menyambitkan pisau saat itu, ia tidak mungkin bisa melindungi diri dari serangan
dari arah belakangnya.
Kakinya berputar dan bergeser
tujuh kaki. Kini ia melihat Jin Wu Ming.
Jin Wu Ming berdiri tepat di
belakangnya.
Lalu ia pun melihat Lin Xian Er.
Ia belum pernah melihat Lin Xian Er kelihatan sangat tertekan seperti itu.
Hujan turun semakin lebat.
Mereka semua sudah basah kuyup.
Walaupun empat lentera tergantung
di sudut-sudut paviliun itu, namun cahayanya redup karena malam gelap gulita.
Jin Wu Ming masih berdiri dalam
kegelapan. Ia tampak seperti bayangan saja. Seolah-olah ia tidak betul-betul
ada di sana.
Namun Li Xun Huan telah
mengalihkan pandangannya. Dari ShangGuan JinHong pada Jin Wu Ming.
ShangGuan JinHong pun mengalihkan
pandangannya. Dari Li Xun Huan pada Jin Wu Ming.
Karena mereka kini merasa bahwa
kemenangan bukan lagi terletak di tangan mereka, namun di tangan Jin Wu Ming.
Jin Wu Ming mulai tertawa.
Tertawa sangat keras.
Seumur hidupnya, belum pernah ia
tertawa sekeras itu.
ShangGuan JinHong menghela nafas
dan berkata, “Teruslah tertawa, karena kau memang berhak tertawa.”
Tanya Jin Wu Ming, “Mengapa
engkau tidak tertawa?”
“Tawaku tidak bisa keluar.”
“Kenapa?”
“Kau tahu sebabnya,” jawab
ShangGuan JinHong.
“Memang benar. Aku tahu
sebabnya,” kata Jin Wu Ming.
Kini ia berhenti tertawa dan
perlahan-lahan meluruskan tubuhnya. Katanya, “Karena kini, akulah yang bisa
menentukan nasib kalian. Kalian berdua tidak akan berani menyerang aku.”
Ia memang benar. Tidak ada yang
berani menyerang dia.
Jika saat itu ShangGuan JinHong
menyerang Jin Wu Ming, itu berarti membiarkan dirinya terbuka bagi Li Xun Huan.
Tidak mungkin ia mengambil resiko sebesar itu dan memberi kesempatan pada Li
Xun Huan.
Hal yang sama juga berlaku bagi
Li Xun Huan.
Kata Jin Wu Ming, “Aku dapat
membantumu membunuh Li Xun Huan, atau aku dapat membantu Li Xun Huan
membunuhmu.”
Sahut ShangGuan JinHong, “Kurasa
memang demikian.”
“Benarkah? Bukankah bagimu aku
hanya seorang cacad yang sudah tidak berguna lagi?”
“Setiap orang pasti pernah
sekali-sekali salah menilai.”
“Bagaimana kau tahu kau telah
salah? Mungkin aku memang hanya seorang cacad yang tidak bisa apa-apa lagi.”
Sahut ShangGuan JinHong, “Tangan
kananmu lebih kuat daripada tangan kirimu.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Lin Xian Er bukan wanita lemah.
Sulit bagi siapa saja untuk menahannya dengan satu tangan saja.”
Perlahan Jin Wu Ming
menganggukkan kepalanya dan berkata, “Ternyata kau memang tahu. Sayang sekali
kau tahu sedikit terlambat.”
Kata ShangGuan JinHong, “Aku
tahu. Dan aku juga tahu bahwa aku telah membuat kesalahan.”
Tanya Jin Wu Ming, “Kau menyesal
akan apa yang telah kau perbuat kepadaku?”
“Aku sangat menyesal. Seharusnya
aku sudah membunuhmu saat itu!”
“Mengapa kau tidak membunuhku
saat itu?”
“Aku tidak sanggup.”
Jin Wu Ming memandang ShangGuan
JinHong dengan tatapan aneh, “Bahkan kau pun ada kalanya tidak sanggup
membunuh?”
“Aku masih manusia.”
“Jadi sekarang kau pikir aku pun
tidak akan membunuhmu?”
ShangGuan JinHong melirik Lin
Xian Er, “Dia pasti menginginkan kau membunuhku.”
“Memang begitu.”
“Tapi jika kau memang ingin
membunuhku, kau tidak akan membawanya ke sini bersamamu.”
Tiba-tiba tawa Lin Xian Er
meledak.
Kini ia terjatuh ke tanah dan
tertawa seperti orang kesurupan. Pemandangan yang sangat aneh. Kata Lin Xian
Er, “Sudah tentu ia takut membunuhmu. Kalau kau mati, ia pun tidak akan bisa hidup.
Kini aku baru mengerti bahwa ia hanya hidup demi dirimu. Ia datang ke sini
karena ia menginginkanmu untuk menghargainya. Walaupun di mata orang lain, ia
tidak berharga sepeser pun juga.”
Kata ShangGuan JinHong, “Kau
tahu, ia dapat membunuhmu dengan sangat mudah?”
“Kau pikir ia sanggup
membunuhku?.... Waktu kau ingin membunuhku, ia malah ingin menyelamatkan aku.
Kau tahu kenapa?”
Jawab ShangGuan JinHong dingin,
“Karena ia ingin membunuhmu di hadapanku.”
“Kau salah. Ia tidak ingin
membunuhku di hadapanmu. Ia ingin kau membunuhku dengan tanganmu sendiri,,,,,”
Lin Xian Er tertawa lagi dan
melanjutkan, “Waktu kau dan aku sedang bersama, ia menjadi gila karena cemburu.
Saat itu, kupikir ia cemburu padamu, tapi sekarang baru aku tahu bahwa ia cemburu
padaku. Ia membenci siapa saja yang kau sukai. Bahkan putramu sendiri, tidak terkecuali….
Kau tahu siapa membunuh anakmu, bukan?”
“Selama ia membunuh demi aku, aku
tidak peduli siapa yang dibunuhnya,” sahut ShangGuan JinHong datar.
Senyum di bibir Lin Xian Er
perlahan lenyap. Ia menghela nafas panjang dan berkata, “Aku selalu menganggap
bahwa aku mengerti jalan pikiran laki-laki, tapi aku sungguh tidak mengerti
pikiran kalian berdua. Aku sungguh tidak mengerti hubungan macam apa yang ada
di antara kalian berdua.”
Lalu ia pun tersenyum dingin dan
menambahkan, “Yang aku tahu, apapun juga itu, itu pasti sangatlah menjijikkan.
Aku tidak peduli apa yang kalian ingin katakan. Aku tidak mau mendengarnya.”
Kata ShangGuan JinHong, “Yang kau
tahu terlalu sedikit, yang kau katakan terlalu banyak.”
“Tapi apapun juga yang kukatakan,
aku tidak mungkin dapat membujukmu untuk membunuh dia, bukan?”
“Tidak mungkin!”
Lalu Lin Xian Er menoleh pada Jin
Wu Ming dan bertanya, “Dan aku pun tidak mungkin membujukmu untuk membunuh dia,
bukan?”
“Benar,” jawab Jin Wu Ming.
Lin Xian Er mengeluh dan berkata,
“Sepertinya aku sebentar lagi akan mati dalam tangan kalian. Pertanyaannya
adalah, tangan siapa? Tanganmu? Atau tanganmu?”
Jin Wu Ming tidak menjawab.
Ia menggerakkan tangannya dan
melemparkan Lin Xian Er ke dekat kaki ShangGuan JinHong.
Kali ini, Lin Xian Er tidak
berusaha bangkit. Ia tidak bergerak sedikit pun. Ia hanya meringkuk seperti
sebuah bola.
Tapi ia adalah seorang wanita.
Kau bisa menyuruhnya tidak
bergerak dan tidak melawan, namun kau tidak mungkin menutup mulutnya.
Bab 82. Penghiburan dalam Keheningan
Jika kau pernah memperhatikan
dengan seksama seorang wanita yang hampir mati, maka kau pasti tahu bahwa
bagian tubuhnya yang menjadi kaku paling terakhir adalah lidahnya. Ini karena bagian
tubuh yang paling sensitif dalam tubuh wanita adalah lidahnya.
Kata Lin Xian Er, “Seharusnya aku
tahu kaulah yang akan membunuhku. Seluruh alasan mengapa ia membawaku ke sini
adalah untuk menyaksikan engkau membunuhku dengan kedua tanganmu. Pada saat
itu, barulah ia merasa puas.”
Tanya ShangGuan JinHong, “Dan
apakah kau merasa puas bisa mati di tanganku?”
“Tergantung dari bagaimana kau
akan membunuhku. Kuharap bukan kematian yang cepat. Dengan mati perlahan-lahan,
barulah seseorang dapat menikmati rasa kematian yang sesungguhnya.”
Tiba-tiba Lin Xian Er mulai
tertawa. “Kan hanya ada satu kesempatan untuk mati. Walaupun aku harus
menanggung kesakitan yang luar biasa, itu pasti menyenangkan.”
Kata ShangGuan JinHong, “Dan jika
kau mati perlahan-lahan, kau masih bisa mengoceh satu dua kalimat lagi. Bicara
memang bisa mengurangi sedikit kesakitan dalam kematian. Juga bisa mengurangi
kengeriannya.”
“Tidak mungkin kau membunuhku
dengan cepat bukan? Aku tahu kau menikmati melihat orang mati perlahan-lahan
dan menderita. Dan selama ini, aku telah memperlakukan engkau dengan cukup
baik, bukan? Aku telah mempercayakan seluruh kekayaan yang kudapatkan dengan susah-payah
kepadamu, dan membiarkan engkau menggunakannya dengan bebas. Waktu kau menyuruh
orang membunuhku, itu sudah jelas bahwa kau sudah tidak menginginkan aku dalam hidupmu
lagi.”
“Benar. Kini kau tidak berharga
sepeser pun. Oleh sebab itu, aku tidak ingin membunuhmu dan mengotori
tanganku.”
Ia menendang wanita itu ke arah
Li Xun Huan.
Kali ini Lin Xian Er tidak bisa
berkata apa-apa. Bajunya yang basah kuyup melekat erat pada tubuhnya.
Kemolekan lekuk tubuhnya tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Memang dia adalah wanita
tercantik sejagad raya. Ia bukan saja sangat mempesona, ia pun sangat pandai.
Ia sebenarnya bisa menjadi orang
besar.
Namun kini, kematian yang layak
pun tak bisa didapatkannya.
Seharusnya ia bisa menjadi
seperti malaikat yang hidup bahagia di antara awan-awan, namun kini ia hanyalah
seperti seekor anjing yang terpuruk dalam lumpur.
Bagaimana bisa sampai seperti
ini?
Apakah ini karena ia tidak tahu
menghargai apa yang dimilikinya?
Hujan bertambah lebat lagi.
Li Xun Huan hanya memandangi Lin
Xian Er yang merangkak dalam lumpur. Ia merasa sedih dan empati.
Bukan kepadanya, tapi pada Ah
Fei.
Lin Xian Er membawa kemalangan
ini pada dirinya sendiri, tapi Ah Fei?
Ah Fei tidak melakukan apa pun
yang salah.
Walaupun ia memilih orang yang
salah untuk dicintai, ia sama sekali tidak salah untuk jatuh cinta.
ShangGuan JinHong memandang Li
Xun Huan dan berkata, “Aku tidak membunuhnya karena aku merasa kau punya lebih
banyak alasan untuk membunuhnya daripada aku. Jadi kuserahkan dia padamu.”
Li Xun Huan terdiam sampai lama.
Akhirnya ia mengeluh panjang dan berkata, “Lagi-lagi kau meremehkan aku.”
Hening sejenak, lalu ShangGuan
JinHong mengangguk perlahan. Katanya, “Benar, aku sudah meremehkan engkau. Kau
pun tidak akan membunuhnya.”
Lalu ia pun menambahkan, “Untuk
membunuh, kau memerlukan niat membunuh. Seluruh niat membunuhmu harus terfokus padaku.
Buat apa menyia-nyiakannya untuk orang seperti dia.”
Kata Li Xun Huan, “Untuk
membunuh, harus membunuh orang yang tepat. Untuk membunuh, harus membunuh di
tempat yang tepat.”
“Ada yang salah dengan tempat
ini?” tanya ShangGuan JinHong.
“Tadinya sih tidak ada. Tapi
sekarang ada.”
“Apa yang salah?”
“Terlalu banyak orang di sini.”
“Jin Wu Ming membuatmu merasa
tidak nyaman?”
“Ya.”
Li Xun Huan tidak berusaha
menutup-nutupi. Walaupun Jin Wu Ming tidak menyerangnya, ia tetap merupakan
ancaman.
Karena pedangnya dapat keluar
kapan saja. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sanggup melawan gabungan
kekuatan mereka berdua.
ShangGuan JinHong menundukkan
kepalanya dan berkata, “Aku mengerti maksudmu. Namun sekarang ia sudah datang,
tidak ada yang bisa menyuruhnya pergi, bukan?”
Bagian kalimatnya yang terakhir
ditujukan pada Jin Wu Ming.
“Benar,” jawab Jin Wu Ming.
Walaupun ia berdiri cukup jauh
dari ShangGuan JinHong, siapapun yang melihat pasti tahu bahwa mereka berdua
tampak seperti satu kesatuan, satu kekuatan adi daya yang tidak bisa dibendung.
Li Xun Huan mendesah. Tiba-tiba
ia teringat pada Ah Fei. Kalau saja Ah Fei ada di sini….
ShangGuan JinHong seolah-olah
bisa membaca pikiran Li Xun Huan dengan tepat. Katanya, “Jika Ah Fei yang dulu
ada di sini, mungkin kau masih punya kesempatan. Sungguh sayang…..ia sungguh
mengecewakan.”
Sahut Li Xun Huan, “Aku tidak
pernah kecewa padanya. Berapa kali pun manusia jatuh, ia pasti akan bisa
bangkit kembali.”
“Kau sungguh percaya ia adalah
orang semacam itu?”
“Tentu saja.”
Kata ShangGuan JinHong,
“Sekalipun kau benar, pada saat ia bisa bangkit lagi, kaulah yang telah mencium
tanah. Dan aku bisa menjamin, kali ini kau jatuh, kau tidak akan mungkin akan
bangun lagi.”
Kata Li Xun Huan, “Sekarang…..”
ShangGuan JinHong menyelanya,
“Sekarang kau tidak punya kesempatan sedikitpun.”
Tiba-tiba Li Xun Huan tertawa dan
berkata, “Kalau begitu, paling tidak kau harus memberiku kesempatan untuk
menentukan tempatnya. Orang yang hampir mati paling tidak boleh memilih tempat
di mana ia akan mati.”
Sahut ShangGuan JinHong, “Kau
salah. Orang yang akan membunuhlah yang punya kekuasaan. Orang yang akan
dibunuh tidak punya hak apapun juga. Namun…..”
Ia menatap Li Xun Huan dan
melanjutkan, “Namun kali ini aku membuat perkecualian bagimu. Kau bukan hanya
sahabat baik, kaupun adalah musuhku yang berharga.”
“Terima kasih,” kata Li Xun Huan.
“Jadi di mana kau ingin mati?”
“Seseorang yang sudah menderita
seumur hidupnya, pasti ingin mati dalam kenyamanan.”
Kata ShangGuan JinHong, “Mati itu
tidak pernah nyaman.”
“Aku hanya ingin tempat yang
tidak basah oleh air hujan, supaya aku bisa berganti pakaian. Aku tidak ingin
mati basah kuyup di tempat kotor berlumpur seperti ini.”
Ia tersenyum dan menambahkan,
“Sejujurnya, selain waktu sedang mandi, aku lebih suka tubuhku tetap kering.”
Kata ShangGuan JinHong, “Aku
sudah sering mendengar bahwa kau sama sekali tidak takut mati, tapi aku tidak
pernah percaya. Aku tidak percaya ada orang di dunia ini yang tidak takut mati.
Namun sekarang…..aku bisa melihat bahwa yang kudengar itu benar adanya.”
“O ya?”
“Kalau orang masih bisa bicara
seperti itu walaupun tahu sebentar lagi akan mati, itu sungguh menunjukkan
bahwa baginya tidak ada lagi perbedaan antara hidup dan mati. Oleh sebab itulah
aku merasa agak aneh.”
“Aneh?”
“Satu-satunya yang harus ditakuti
selama kita hidup adalah kematian. Tapi jika pada kematian pun kau tidak takut,
mengapa kau harus pilih-pilih apakah kau basah atau kering waktu mati?”
Ia memandang Li Xun Huan dan
melanjutkan, “Oleh sebab itu, aku pikir kau pasti punya maksud-maksud lain
meminta ini.”
Tanya Li Xun Huan, “Dan maksud
apakah itu?”
“Mungkin ada orang yang akan
berpikir bahwa kau hanya berusaha mengulur waktu. Karena untuk sebagian orang,
pada saat mereka menghadapi kematian di depan mata, mereka akan terus berusaha
dengan segala cara untuk menundanya, bahkan semenit saja. Mungkin mereka pikir
akan ada semacam kesempatan atau seorang penyelamat akan datang, atau paling tidak
mereka bisa hidup semenit lebih lama.”
“Dan kau pikir, itukah maksudku?”
“Tentu saja tidak. Aku tidak
pernah meremehkanmu,” kata ShangGuan JinHong. “Kau tahu pasti bahwa tidak akan
ada mujizat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menyelamatkanmu. Dan
juga, aku tahu bahwa kau tidak takut mati.”
“Kalau begitu, menurutmu apakah
maksudku?”
“Kurasa kau hanya mencari
kesempatan agar mereka berdua bisa lolos. Kau tahu pasti bahwa aku tidak akan
membunuh siapapun sebelum membunuhmu. Seseorang tidak akan makan roti banyak-banyak
kalau tahu ada hidangan yang lezat yang akan datang.”
Kata Li Xun Huan, “Perumpamaan
yang buruk.”
“Mungkin, tapi tidak meleset
jauh.”
Li Xun Huan memaksakan diri untuk
tersenyum. “Apakah kau peduli apakah kedua orang itu hidup atau mati?”
“Aku tidak peduli.”
Memang bukan urusannya.
Kalau pun mereka hidup, mereka
bukan ancaman baginya.
Jika ia ingin mereka mati, ia
bisa membunuh mereka kapan pun juga.
Li Xun Huan tidak sanggup melihat
pada Sun Xiao Hong.
Tapi apapun yang akan terjadi, ia
masih hidup saat ini. Ia masih bernafas.
Itu sudah cukup baginya.
Apalagi yang dapat diperbuatnya
bagi gadis itu?
“Tapi aku sudah bilang bahwa aku
akan membuat perkecualian bagimu, karena kau berbeda dari orang lain,” kata
ShangGuan JinHong. “Kau sudah hidup begitu bersih, paling sedikit aku harus memastikan
kau tidak mati secara kotor, seperti anjing liar mati dalam lumpur.”
Mati. Bagaimana ia akan mati? Di
mana ia akan mati?
Ini semua tidaklah penting.
Yang terpenting adalah bahwa ia
dapat mati dengan tenang.
Namun bagaimana dengan Sun Xiao
Hong?
Selama itu, ia tidak sanggup
memandangnya. Ia tidak berani.
Karena ia tidak bisa memecahkan
konsentrasinya.
Namun kini ia harus pergi. Gadis
itu pasti tahu bahwa mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa melihat Li Xun
Huan. Ia bukan hanya akan pergi ke negeri asing, ia akan pergi meninggalkan dunia
ini.
Bagaimana ia akan mengikuti Li
Xun Huan kali ini?
Li Xun Huan kuatir ia akan
memaksa pergi mengikuti dia dan mati bersama.
Kalau ia melakukannya, Li Xun
Huan mungkin harus memukulnya sampai pingsan atau menutup jalan darahnya dan
perlahan-lahan membujuknya untuk terus hidup tanpa dirinya.
Akan menjadi adegan yang sangat
sedih dan menyayat hati.
Li Xun Huan sungguh berharap ia
tidak harus melakukannya. Sun Xiao Hong sudah cukup mempunya beban yang berat
yang harus dipikul dalam hatinya. Ditambah dengan beban yang lain, mungkin
hatinya akan hancur berkeping-keping.
Walaupun ia adalah gadis yang
berkemauan keras, hatinya agak lemah.
Sun Xiao Hong tidak melakukan apa
yang dipikirkan Li Xun Huan. Ia bahkan tidak menghampirinya untuk mengucapkan
selamat tinggal.
Apa alasannya?
Akhirnya Li Xun Huan tidak dapat
menahan diri dan menoleh memandangnya.
Gadis itu tidak jatuh pingsan,
tidak bergeser sedikit pun dari tempat dia berdiri dari semula.
Ia menatap Li Xun Huan
lekat-lekat.
Walaupun wajahnya penuh dengan
kepedihan, tatapan matanya masih tetap tenang dan teduh. Walaupun ia tidak
mengatakan sepatah katapun, matanya seolah-olah berkata pada Li Xun Huan, ‘Kalau
inilah yang harus kau perbuat, perbuatlah dengan konsentrasi penuh. Jangan
biarkan diriku menghalangimu. Aku mengerti dan aku tidak akan menghalangimu.
Aku percaya sepenuhnya kepadamu.’
Walaupun Li Xun Huan hanya
memandangnya sekilas, beban yang berat dalam hati Li Xun Huan terangkat
seketika.
Karena ia menyadari, betapa
kuatnya gadis itu dan betapa ia tidak ingin Li Xun Huan menguatirkan dirinya.
Tanpa Li Xun Huan harus membujuknya, ia pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk
terus hidup.
Ia hanya ingin menjadi sumber
penghiburan dan kekuatan bagi Li Xun Huan.
Li Xun Huan tidak dapat
mengungkapkan dengan kata-kata, betapa ia berterima kasih pada Sun Xiao Hong.
Karena hanya dialah yang mengerti betapa besar arti pengertian dan dukungan Sun
Xiao Hong bagi dirinya saat itu.
Tiba-tiba ia menyadari betapa
beruntungnya dia mengenal gadis itu.
Li Xun Huan sudah melangkah
pergi. Langkahnya lebih mantap dan lebih tenang daripada waktu ia datang tadi.
Sun Xiao Hong hanya memandangi
kepergiannya tanpa bicara. Setelah sekian lama, ia menoleh ke arah Lin Xian Er.
Lin Xian Er sedang berusaha keras
untuk bangkit berdiri dari tanah yang berlumpur itu.
Ia berusaha sekuat tenaga untuk
kelihatan anggun dan gagah, namun ia tahu bahwa usahanya itu sia-sia belaka.
Karena itu, dalam hatinya ia merasa sangat kesal dan jengkel.
Sun Xiao Hong memandangnya tanpa
perasaan di wajahnya.
Tanpa perasaan adalah salah satu
cara untuk menunjukkan rasa muak.
Lin Xian Er tertawa dingin.
Katanya, “Aku tahu bahwa saat itu kau memandang rendah padaku. Tapi kurasa, kau
lebih buruk lagi daripada aku. Kau tahu sebabnya?”
Jawab Sun Xiao Hong, “Tidak
tahu.”
“Ia telah membunuh kakekmu, dan
sekarang ia akan membunuh Li Xun Huan. Tapi yang bisa kau perbuat hanya berdiri
di sini seperti sebatang kayu kering.”
“Lalu apa yang harus kuperbuat?”
“Pertanyaan itu seharusnya
ditujukan pada dirimu sendiri…. Jangan bilang bahwa kau tidak tahu apa yang kau
rasakan dalam hatimu.”
“Aku tahu.”
Kata Lin Xian Er, “Jadi
seharusnya kau merasa sedih, menyesal, berduka cita.”
“Bagaimana kau bisa tahu bahwa
aku tidak berduka? Waktu seseorang bersedih hati atau berduka cita, ia tidak
harus menunjukkannya dengan kata-kata, namun dengan perbuatan,” jawab Sun Xiao
Hong.
“Lalu dengan apakah kau tunjukkan
perasaanmu? Dengan perbuatan seperti apa?”
“Apakah yang dapat kuperbuat
sekarang?”
“Kau tahu bahwa Li Xun Huan
sedang berjalan menuju pada kematiannya. Setidaknya kau berusaha mencegahnya….”
“Kau pikir aku bisa mencegahnya?”
Sun Xiao Hong mendesah dan berkata, “Kalau aku melakukannya, pikirannya akan
menjadi lebih kalut dan ia akan mati lebih cepat lagi.”
“Tapi kau…..kau tidak meneteskan
setetes air mata pun.”
Sun Xiao Hong terdiam sejenak
sebelum menyahut, “Aku memang ingin menangis sekarang, ingin membanjiri wajahku
dengan air mata. Namun saatnya belum tiba.”
Tanya Lin Xian Er tidak mengerti,
“Apa lagi yang kau tunggu?”
“Besok…..”
“Setelah esok tiba, akan ada esok
hari lagi.”
“Karena selalu akan ada hari
esok, selalu akan ada harapan baru,” kata Sun Xiao Hong.
Lalu perlahan ia melanjutkan,
“Walaupun aku telah melakukan kesalahan, itu sudah berlalu dan aku harus hidup
menanggung akibatnya. Walaupun aku ingin menangis meraung-raung, aku harus
menunggu sampai besok. Karena ada yang harus kukerjakan hari ini!”
Hanya orang bodoh yang menangisi
masa lalu.
Orang-orang yang gagah berani,
mengakui kesalahan mereka, sehingga mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi
masa kini. Bukannya menenggelamkan diri dalam kubangan air mata.
Air mata tidak dapat menghapuskan
penghinaan, tidak dapat memperbaiki kesalahan di masa lampau. Jika seseorang
ingin memperbaiki kesalahan yang ia perbuat, satu-satunya yang dapat diperbuatnya
adalah menggali semangatnya dan memulai segala sesuatu lagi dari awal, mulai saat
ini.
Lin Xian Er berdiri mematung.
Ia mengatakan segala sesuatunya
hanya untuk membuat Sun Xiao Hong sedih. Karena ia tahu Sun Xiao Hong memandang
rendah pada dirinya, ia pun ingin membuat Sun Xiao Hong memandang rendah pada
dirinya sendiri.
Tapi ia telah gagal.
Sun Xiao Hong jauh lebih kuat dan
jauh lebih gagah daripada perkiraan Lin Xian Er.
Bab 83. Cinta yang Dalam dan Luas
Setelah beberapa saat terdiam,
Lin Xian Er mencibir dan bertanya, “Apa sih yang begitu penting yang harus kau
kerjakan hari ini?”
“Kalau seorang wanita ingin
mendukung kekasihnya, itu bukan berarti bahwa ia harus ikut serta dalam
kematiannya, atau bahwa ia harus mati demi kekasihnya. Tapi ia harus memberikan
penghiburan dan kelegaan kepada kekasihnya, supaya ia bisa melakukan apa yang
harus dilakukannya dengan tenang. Ia harus membuat kekasihnya merasa dirinyalah
yang terpenting dalam hidupnya, dan ia tidak merasa diabaikan,” kata Sun Xiao
Hong.
“Itu saja?”
“Selain itu, apa lagi yang dapat
kuperbuat baginya?”
Memang tidak ada lagi yang dapat
dilakukannya.
Itu saja sudah cukup.
Laki-laki yang beruntung memiliki
wanita seperti ini akan merasa puas sepenuhnya.
Kata Sun Xiao Hong, “Aku tahu kau
sedang berusaha membuatku merasa sedih, tapi aku tidak menyalahkanmu. Aku
merasa kasihan padamu.”
“Kasihan padaku? Mengapa aku
harus dikasihani?”
“Kau pikir kau masih muda,
cantik, dan pandai. Kau pikir semua laki-laki di dunia ini akan bertekuk lutut
di hadapanmu. Oleh sebab itu, pada saat kau bertemu dengan laki-laki yang sungguh-sungguh
mencintai dan sayang padamu, kau tidak bisa menghargainya. Malah kau menggebahnya
pergi dan menganggapnya seperti seorang tolol. Tapi suatu hari nanti kau akan menyadari
bahwa orang yang sungguh-sungguh mencintaimu tidaklah banyak. Cinta sejati
tidak dapat dibeli dengan kecantikan dan usia muda.”
Dengan lembut Sun Xiao Hong
melanjutkan, “Dan bila saatnya tiba, kau akan menyadari bahwa kau tidak
memiliki apapun juga. Bahwa hidupmu kosong dan tidak berarti. Saat seorang
wanita berada pada posisi seperti itu dalam hidupnya, ia sungguh patut
dikasihani.”
Tanya Lin Xian Er, “Kau….Kau
pikir aku seperti itu?”
Suaranya bergetar. Seluruh
tubuhnya pun bergetar. Apakah ia merasa kesal? Dingin? Atau takut?
Sun Xiao Hong tidak menjawabnya.
Ia hanya memandang dingin pada wajah Lin Xian Er yang pucat dan gelisah, pada
tubuhnya yang penuh lumpur. Jauh lebih buruk daripada jawaban apapun yang
mungkin diberikannya.
Lin Xian Er tertawa tiba-tiba
tiba-tiba. “Kau benar, aku memang meremehkan dia dan menganggapnya tidak lebih
daripada seorang tolol yang dimabuk cinta. Tapi kalau sekarang aku pergi
mencari dia, dia pasti akan merangkak kembali kepadaku.”
“Lalu mengapa tidak kau coba?”
tantang Sun Xiao Hong.
“Tidak perlu kucoba. Aku sudah
tahu hasilnya. Ia tidak mungkin dapat hidup tanpa diriku.”
Walaupun bibirnya berkata begitu,
tubuhnya sudah berputar dan melangkah pergi.
Ia mengerahkan seluruh
kekuatannya dan berlari sekuat tenaga, karena ia tahu bahwa inilah kesempatan
terakhirnya. Jika kesempatan ini berlalu, berakhir sudah baginya. Sun Xiao Hong
masih berdiri di situ sejenak sebelum memalingkan wajahnya.
Bumi telah tertutup oleh
kekelaman yang tiada berujung. Dari balik rintik air hujan muncul sesosok
bayangan manusia….
Tidak ada yang tahu kapan orang
itu datang, tidak ada yang tahu sudah berapa lama ia berada di sana.
Yang pertama terlihat oleh Sun
Xiao Hong adalah matanya. Mata seorang wanita.
Matanya tampak suram. Mungkin
mata itu sudah begitu banyak mencucurkan air mata sehingga cahayanya sudah
pudar. Namun kesedihan dan dukacita tanpa kata-kata yang terkandung di dalamnya
dapat membawa laki-laki yang paling gagah sekalipun meneteskan air mata.
Lalu tampaklah wajahnya.
Bukan wajah yang luar biasa
cantik.
Wajah itu sangat pucat,
seakan-akan sudah begitu lama tidak kena sinar matahari.
Tapi entah mengapa, saat Sun Xiao
Hong melihatnya, ia serasa sedang melihat wanita yang tercantik di seluruh
bumi.
Rambutnya berantakan dan
pakaiannya basah kuyup, seperti orang yang sedang putus asa.
Namun anehnya, jika orang yang
melihatnya, mereka tidak akan menyangka demikian. Karena ia masih terlihat
begitu muda, begitu anggun.
Apapun situasinya, ia dapat
menyentuh perasaan orang lain dengan pribadinya yang unik dan kekuatannya yang
luar biasa.
Sun Xiao Hong belum pernah
melihat wanita ini sebelumnya, namun hanya dengan sekali pandang ia langsung
tahu siapa dia.
Lin Shi Yin.
Hanya wanita seperti dialah yang
dapat membuat orang seperti Li Xun Huan jatuh ke dalam jurang cinta begitu
dalam.
Sun Xiao Hong menghela nafas
panjang.
‘Mengapa semua orang menganggap
Lin Xian Er adalah wanita tercantik di dunia? Wanita inilah yang seharusnya
mendapatkan predikat itu. Apalagi pada masa mudanya. Bahkan saat ini pun, ia jauh
lebih mempesona daripada Lin Xian Er.’
Mungkin karena malam yang hujan,
atau mungkin karena ia adalah seorang wanita, tapi itulah pikirannya yang
sejujurnya.
Selera wanita terhadap wanita
memang berbeda dari selera pria.
Lin Shi Yin pun sedang
menatapnya. Perlahan ia berjalan mendekat dan berkata, “Kau…..kau adalah Nona
Sun, bukan?”
Sun Xiao Hong mengangguk dan
berkata, “Aku tahu siapa engkau. Aku sering mendengar tentang dirimu dari dia.”
Lin Shi Yin tersenyum, senyum
yang penuh derita.
Tentu saja ia tahu siapakah ‘dia’
yang disebut oleh Sun Xiao Hong.
Kata Sun Xiao Hong, “Jadi kau
sudah berada di sini dari tadi.”
Lin Shi Yin menundukkan kepalanya
dan berkata, “Aku mendengar bahwa ia akan berduel di sini, maka aku datang
untuk berbicara sedikit kepadanya. Tapi sudah lama aku tidak pergi keluar rumah
dan aku tersesat dalam perjalanan.”
Ia tersenyum sedikit dan
menambahkan, “Tapi tidak mengapa. Apa yang tadinya akan kukatakan kepadanya
bisa kusampaikan kepadamu.”
Suaranya pelan dan lembut.
Seakan-akan ia perlu berpikir sebelum mengucapkan setiap kata.
Tiap kata yang keluar dari
mulutnya jelas dan kaku. Orang yang mendengarnya berbicara saat itu mungkin
akan menganggap bahwa ia adalah wanita yang tidak berperasaan.
Namun Sun Xiao Hong sungguh
memahami dirinya. Perkataannya terdengar dingin dan datar karena ia sudah
begitu banyak menanggung kesedihan dan penderitaan dalam hidupnya.
Sun Xiao Hong merasa simpati yang
begitu besar dalam hatinya terhadap wanita ini. Ia tidak tahan untuk tidak
bertanya, “Aku tahu bahwa ia ingin sekali bertemu denganmu. Dan kau pun sudah
jauh-jauh datang ke sini, mengapa kau tidak mengikutinya untuk bertemu
dengannya sekali lagi?”
“A….Aku tidak bisa.”
Awalnya memang ia ingin bertemu
dengan Li Xun Huan. Tapi saat dia tiba, sudah ada orang yang berada di
sampingnya. Ia tidak ingin menunjukkan diri karena ia kuatir akan perasaan yang
akan timbul dalam hatinya.
Karena ia tahu pasti, jika ia
bertemu dengan Li Xun Huan lagi, ia tidak akan dapat mengendalikan dirinya
lagi.
Walaupun ia tidak mengatakannya,
Sun Xiao Hong paham sepenuhnya.
Kata Sun Xiao Hong, “Sebelumnya
aku tidak mengerti mengapa ada orang yang mau menuruti semua perkataan orang
lain dan membiarkan orang lain menentukan nasibnya. Baru sekarang aku tahu
bahwa ia bukan menuruti perkataan orang itu karena takut padanya, tapi karena mencintainya
begitu rupa dan tahu bahwa apapun yang diperbuat orang itu adalah demi kebaikannya.”
Selama itu Lin Shi Yin berusaha
keras menahan diri, tapi saat itu pertahanannya runtuh.
Air mata membanjiri wajahnya.
Karena setiap kata yang diucapkan
Sun Xiao Hong terus menusuk ke dalam hatinya. Tiap kata bagaikan sebatang jarum
yang menghunjam jauh ke dalam sanubarinya.
Ia pernah bertanya pada dirinya
sendiri, ‘Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku merasa hampa, sama persis seperti
Lin Xian Er. Tapi salah siapakah ini? Apakah akulah yang bersalah waktu dulu
itu?’
Tadinya ia begitu geram pada Li
Xun Huan, begitu benci padanya.
Hidupnya berakhir sedih dan
tragis seperti ini, semuanya karena kesalahan Li Xun Huan!
Tapi baru sekarang ia menyadari
bahwa yang salah bukanlah Li Xun Huan, tetapi dirinya sendiri.
‘Mengapa waktu itu aku
mendengarkan perkataannya? Mengapa tak kukatakan dengan tegas kepadanya bahwa
aku sungguh mencintainya dan aku tidak akan menikah dengan siapapun juga kecuali
dia?’
Sun Xiao Hong berkata dengan
lembut, “Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi di antara kalian berdua, tapi
aku tahu bahwa…..”
Lin Shi Yin menyelanya tiba-tiba,
“Tapi sekarang aku tahu. Sekarang, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa
akulah yang salah.”
“Kenapa begitu?” seru Sun Xiao
Hong.
“Karena…..jika aku berani berbuat
seperti engkau, sekuat dan setegas engkau, aku tidak akan berakhir seperti
ini.”
“Tapi kau…..”
Kembali Lin Shi Yin memotongnya,
“Sekarang aku tahu bahwa aku tidak pantas menjadi istrinya. Hanya engkaulah
yang pantas untuknya.”
Sun Xiao Hong menundukkan
kepalanya. “Aku…..”
Lin Shi Yin tidak memberinya
kesempatan berbicara. “Karena hanya kau yang bisa menghibur dan mendukungnya.
Apapun yang dilakukannya, kepercayaanmu kepadanya tidak pernah berubah. Tapi
aku…..”
Ia mendesah, dan setetes air mata
bergulir ke pipinya.
Sun Xiao Hong terdiam beberapa saat.
Lalu tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Tapi di kemudian hari kau akan punya
banyak kesempatan untuk bertemu dengannya. Apapun yang terjadi di masa lalu itu
sudah lewat. Kini kalian berdua dapat….”
Lin Shi Yin memotongnya cepat,
“Kau pikir ia masih punya kesempatan? Masih ada harapan?”
“Tentu saja masih ada!”
Sun Xiao Hong tersenyum dan
berkata, “Mungkin semua orang beranggapan bahwa ia sudah kehilangan kepercayaan
diri. Jika seseorang sudah kehilangan rasa percaya dirinya, apa lagi harapannya?”
“Betul sekali,” sahut Lin Shi
Yin.
“Tapi aku tahu pasti bahwa ia
bersikap demikian hanya untuk memancing agar ShangGuan JinHong menjadi lengah.
Jika ShangGuan JinHong mulai meremehkan lawannya, ia pun akan menjadi kurang
hati-hati.”
Mata Sun Xiao Hong berbinar dan
menambahkan lagi, “Jika ShangGuan JinHong kurang hati-hati, Li Xun Huan pasti
bisa mengalahkannya!”
Lin Shi Yin mendesah dan berkata,
“Ia punya rasa percaya diri yang begitu besar karena kau begitu yakin pada
dirinya. Dukungan dan semangatmu sangat berharga baginya. Aku rasa kau tidak
menyadari seberapa pentingnya dirimu baginya.”
Sun Xiao Hong menundukkan
kepalanya. “Aku menyadarinya.”
Ia tidak hanya yakin pada Li Xun
Huan, ia pun yakin pada dirinya sendiri.
Lin Shi Yin memandang gadis itu
dengan perasaan yang tidak terkatakan. Apakah itu iri hati? Cemburu? Atau
kasihan pada dirinya sendiri? Atau mungkin, ia hanya merasa sangat berbahagia bagi
Li Xun Huan.
Li Xun Huan telah berkubang dalam
kesedihan lebih dari setengah masa hidupnya. Hatinya pasti merasa sangat lelah.
Hanya orang seperti Sun Xiao Honglah yang dapat memberikan penghiburan
kepadanya. Sekalipun ia bisa menang kali ini, akan tiba saatnya suatu hari
nanti ia akan kalah.
Walaupun tidak ada orang yang
dapat menjatuhkannya, ia pasti bisa menjatuhkan dirinya sendiri!
Lin Shi Yin kembali mendesah dan
berkata, “Bahwa ia bisa berjumpa denganmu, itu adalah anugerah Tuhan,
menggantikan seluruh penderitaan dalam hidupnya. Ia pantas untuk berbahagia,
tapi…..”
Tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana
dengan Jin Wu Ming? Walaupun ia dapat mengalahkan ShangGuan JinHong, tidak
mungkin ia dapat mengalahkan serangan gabungan mereka berdua.”
Sahut Sun Xiao Hong, “Mungkin Jin
Wu Ming tidak akan menyerang sama sekali. ShangGuan JinHong sudah begitu yakin
bahwa dia tidak mungkin kalah, sehingga ia tidak akan meminta bantuan Jin Wu
Ming. Saat ia menyadarinya, sekalipun Jin Wu Ming ingin membantu, itu sudah sangat
terlambat.”
Pemikirannya sungguh tepat. Ini
adalah kesempatan Li Xun Huan satu-satunya.
Jika mereka ingin mengalahkan Li
Xun Huan, ini juga satu-satunya kesempatan mereka – pisau terbangnya tidak akan
memberikan kesempatan kedua bagi siapapun juga.
Pertanyaannya adalah, siapakah
yang dapat memanfaatkan kesempatan yang satu-satunya ini?
Kata Lin Shi Yin, “Jadi maksudmu,
jika Jin Wu Ming tidak menyerang bersamaan dengan ShangGuan JinHong, Li Xun
Huan masih punya kesempatan?”
“Benar.”
“Bagaimana kau bisa yakin bahwa
Jin Wu Ming tidak akan menyerang?”
“Aku tidak bisa yakin,” jawab Sun
Xiao Hong. “Namun aku yakin setelah dua jam, tidak ada satu pun dari mereka
yang bergerak.”
“Meskipun kau benar, bagaimana
kita bisa tahu apa yang terjadi selama dua jam ini?” tanya Lin Shi Yin kuatir.
“Sesuatu akan terjadi.”
“Apa itu?”
“Ah Fei,” jawab Sun Xiao Hong
singkat.
Walaupun Lin Shi Yin tidak
mengatakan apa-apa, wajahnya menunjukkan kekecewaan.
Semua orang pasti merasa kecewa
terhadap Ah Fei.
Kata Sun Xiao Hong, “Tidak
seorang pun percaya padanya lagi, tapi itu hanya karena saat ini ia masih
mengenakan belenggu yang berat pada tubuhnya.”
“Belenggu?”
“Ya, belenggu. Dan hanya ada satu
orang yang dapat membebaskan dia dari belenggu itu.”
“Siapa?” tanya Lin Shi Yin penuh
harap.
“Hanya pemukul genta yang dapat
melepaskan ikatan genta.”
“Maksudmu…..Lin Xian Er?”
“Tepat sekali. Kalau ia bisa
menyadari bahwa Lin Xian Er tidak pantas memperoleh cintanya, maka ia akan
terbebas dari seluruh belenggu yang mengikatnya.”
Lin Shi Yin terdiam sejenak. Lalu
ia berkata, “Mungkin kau benar. Namun ia telah jatuh begitu lama dan begitu
dalam, bagaimana mungkin ia dapat bangkit kembali dalam waktu yang sangat singkat?”
Jawab Sun Xiao Hong, “Untuk
alasan lain mungkin dia tidak akan bisa, namun untuk Li Xun Huan
ia pasti bisa.”
Lalu dengan perlahan ia
menambahkan, “Untuk orang-orang yang sangat kita kasihi, kadangkadang kita bisa
membuat hal-hal yang luar biasa.”
Lin Shi Yin menghela nafas
panjang. “Jadi begitu….”
Kata Sun Xiao Hong, “Jadi
sekarang aku harus pergi mencari Ah Fei dan memberitahukan padanya apa yang
terjadi.”
“Tunggu…..ada lagi yang ingin
kusampaikan padamu,” kata Lin Shi Yin tiba-tiba.
“Apa itu?”
“Sudah lama aku tidak pergi dunia
luar, tapi aku tahu begitu banyak tentang apa yang terjadi. Apa kau tidak merasa
heran?”
“Sama sekali tidak. Karena aku
tahu kau memiliki putra yang sangat cerdas,” jawab Sun Xiao Hong sambil
tersenyum.
Lin Shi Yin menundukkan kepalanya
dan berkata, “Apapun yang terjadi, ia tetap adalah anakku. Tidak ada satupun
dalam dunia ini yang kumiliki kecuali dia seorang….. Oleh sebab itu aku berharap
kau dapat memberitahukan kepadanya, memintakan maaf kepadanya…..”
“Ia tidak pernah membenci
siapapun juga. Kau seharusnya sudah tahu.”
Lin Shi Yin terdiam. Seolah-olah
ada lagi yang ingin dikatakannya, namun ia tidak tahu bagaimana harus
memulainya.
Tanya Sun Xiao Hong, “Apakah ini
mengenai ‘Ensiklopedi LianHua’?”
Lin Shi Yin tampak terkejut. “Kau
sudah tahu?”
Sun Xiao Hong tersenyum dan
menyahut, “Aku juga sudah memberitahukan kepadanya. Paman Keduaku….”
“Benar. Waktu Tuan Wang datang,
Tuan Sun juga ada bersamanya.”
“Jadi kitab itu memang ada
padamu?”
“Ya. Tapi aku tidak pernah
memberitahukan kepadanya selama ini.”
“Mengapa?”
Jawab Lin Shi Yin, “Karena pada
saat itu aku merasa bahwa ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan baginya,
malahan akan membahayakan dirinya. Semakin tinggi ilmu silat seseorang, akan
semakin banyak persoalan yang timbul, jadi…..”
“Jadi kau tidak memberitahukan
kepadanya karena kau ingin dia menjadi orang biasa, dengan kehidupan yang
sederhana.”
“Itulah alasan utamanya. Tapi
tidak seorang pun akan mempercayai aku…..”
“Aku percaya padamu,” kata Sun
Xiao Hong.
Ia mendesah dan menambahkan,
“Jika aku ada di tempatmu, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama.”
Hanya seorang wanitalah yang
dapat memahami perasaan wanita lain.
Hanya seorang wanitalah yang
dapat memahami bahwa seorang wanita sanggup berbuat apapun juga demi laki-laki
yang dicintainya. Di mata orang lain, mungkin perbuatannya dianggap bodoh,
namun di mata mereka, tidak ada alasan lain yang lebih penting daripada ini.
Kata Lin Shi Yin, “Namun sekarang
aku menyesal. Seharusnya aku memberikan kitab itu kepadanya.”
“Kau menyimpannya demi
kebaikannya sendiri,” kata Sun Xiao Hong.
“Tapi…..kalau ia sempat
mempelajari isi ‘Ensiklopedi LianHua’, sekalipun ShangGuan JinHong dan Jin Wu
Ming bersama-sama menyerang dia, dia tidak mungkin terkalahkan.”
“Ah, jadi karena itu kau merasa
bersalah. Karena itulah kau meminta maaf.”
Lin Shi Yin mengangguk. Katanya,
“Aku tahu ia tidak akan menyalahkan aku, tapi jika aku…..jika aku tidak
mengakui hal ini kepadanya, aku tidak akan dapat hidup dengan diriku sendiri.”
“Tapi kau salah,” kata Sun Xiao
Hong.
“Salah?”
“Jika ia mempelajari isi “Ensiklopedi
LianHua’, ia tetap bukan tandingan ShangGuan JinHong.”
“Kenapa?”
“Tahukah kau mengapa ilmu pedang
Ah Fei begitu ditakuti orang?”
“Karena dia…..” Lin Shi Yin tidak
tahu jawabannya.
“Ia bisa menjadi sangat cepat dan
tepat karena ia sangat berdedikasi pada pedangnya, lebih daripada orang lain.
Sama seperti Li Xun Huan. Jika ia mempelajari ilmu silat yang lain, ia akan kehilangan
fokus. Pisaunya tidak mungkin bisa menjadi secepat dan seakurat sekarang.”
Lin Shi Yin kembali menundukkan
kepalanya. “Bagaimanapun juga, kuharap kau berkenan menyampaikan perasaanku
kepadanya.”
Kata Sun Xiao Hong, “Kalian
berdua akan punya kesempatan untuk bertemu. Mengapa tak kau katakan sendiri
kepadanya?”
Bab 84. Mata yang Terbuka
Lin Shi Yin terpekur lama, lalu
ia mengangkat wajahnya.
Kini wajahnya menjadi sangat
tenang dan damai. Katanya, “Tidak akan ada lagi kesempatan bagi kami untuk
bertemu di kemudian hari.”
Sun Xiao Hong mengerutkan
alisnya. “Mengapa?”
“Karena…..karena aku akan pergi
ke tempat yang jauh.”
“Kau……mengapa kau harus pergi?”
“Aku harus pergi!”
“Kenapa?” tanya Sun Xiao hong
tidak mengerti.
“Aku sudah mengambil keputusan
yang bulat.”
Sun Xiao Hong tidak bisa berkata
apa-apa lagi.
Lin Shi Yin tersenyum dan
berkata, “Kelemahanku yang terbesar adalah selalu ragu-ragu. Mungkin inilah
pertama kalinya aku bertekad bulat. Aku hanya berharap tidak ada orang yang membujukku
untuk berubah pikiran.”
“Tapi…..tapi inilah pertama
kalinya kita berjumpa. Paling tidak, ijinkanlah aku bertemu denganmu sekali
lagi. Masih banyak yang ingin kubicarakan denganmu,” pinta Sun Xiao Hong.
Lin Shi Yin berpikir sejenak,
lalu menjawab, “Baiklah. Kita akan bertemu lagi di sini, besok pagipagi sekali.”
Setelah mengatakan itu, Lin Shi
Yin pun pergi.
Seolah-olah Sun Xiao Hong adalah
satu-satunya orang yang tersisa di bumi ini.
Selama itu, tidak setetes air
mata pun keluar dari matanya. Namun kini, ia merasa matanya mulai basah.
Ia pun berkeputusan bulat.
Selama Li Xun Huan masih hidup,
ia akan membawanya datang ke sini.
Sejak pertama kali bertemu dengan
Li Xun Huan, ia sudah memutuskan untuk mendedikasikan seluruh hidupnya bagi
laki-laki itu.
Ia belum pernah meragukan
keputusannya.
Tapi saat ini, ia merasa begitu
egois. Jadi kini ia memutuskan bahwa ia akan mengorbankan kebahagiaannya demi
Li Xun Huan!
Karena ia merasa bahwa Lin Shi
Yin memerlukan Li Xun Huan lebih daripada dia.
‘Mereka berdua telah menderita
begitu lama. Mereka berhak merasakan kebahagiaan sekarang. Apapun yang terjadi,
aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mempersatukan mereka.’
‘Lin Shi Yin adalah miliknya.
Tidak ada seorang pun yang berhak memisahkan mereka.’
‘Long Xiao Yun pun tidak berhak.
Ia tidak pantas bagi Lin Shi Yin.’
‘Tapi aku……’
Dan ia pun berkeputusan bulat
untuk tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat dan
menyeka air matanya. Lalu berkata pada dirinya sendiri, ‘Walaupun aku ingin menangis,
aku harus menunggu sampai besok. Masih banyak yang harus dikerjakan hari
ini…..’
Ia mengangkat dagunya.
Sekelilingnya gelap gulita. Malam
telah larut.
Namun, saat malam gelap gulita
telah tiba, hari yang terang-benderang pun tidak lama lagi akan tiba.
Ada orang yang mengatakan bahwa
hanya ada dua macam manusia di dunia ini: baik dan jahat.
Lin Xian Er sudah pasti bisa
digolongkan jahat, tapi bagaimana dengan Lin Shi Yin dan Sun Xiao Hong?
Walaupun mereka adalah
orang-orang yang baik, keduanya sangat berbeda.
Ketika persoalan dan kesulitan
muncul, Lin Shi Yin hanya akan bertahan, dan bertahan….
Ia merasa bahwa kegagahan seorang
wanita adalah untuk bisa terus bertahan.
Namun Sun Xiao Hong berbeda. Ia
akan selalu melawan!
Jika ia sungguh-sungguh
menginginkan sesuatu, ia akan bertempur habis-habisan.
Ia adalah gadis yang tegas,
cerdas, berani dan penuh percaya diri. Ia tidak takut mencintai, tidak takut
membenci. Dan jika seluruh jiwanya diperiksa dengan seksama, tidak akan
ditemukan setitikpun kegelapan ataupun kesedihan.
Karena orang-orang seperti
dialah, dunia ini menjadi begitu hidup, maju tanpa kenal rintangan. ‘Wanita-wanita
dunia ini memimpin umat manusia ke masa depan’.
Perkataan ini sungguh pantas bagi
dirinya.
***
‘Kalau aku pergi dan mencarinya
sekarang, ia pasti akan datang merangkak kepadaku.’
‘Tanpa diriku, tidak mungkin ia bisa
terus hidup.’
Apakah Lin Xian Er begitu yakin
akan hal ini?
Memang ia pantas menjadi begitu
yakin, karena ia tahu betul bahwa Ah Fei sungguh-sungguh mencintainya.
Tapi di manakah Ah Fei sekarang?
‘Ia pasti masih ada di pondok
kecil itu, karena pondok itu adalah ‘rumah kami’. Barang-barangku masih ada di
sana. Keberadaanku masih ada di sana.’
‘Ia pasti sedang menantikan
kepulanganku.’
Tiba-tiba Lin Xian Er merasa
begitu rileks.
‘Mungkin selama dua hari terakhir
ini ia tidak melakukan apapun juga kecuali minum anggur. Mungkin rumah itu
sudah berantakan sekarang. Mungkin mayat-mayat itu masih bergelimpangan di
sana.’
Saat ia memikirkan itu,
mengerutkan alis pun Lin Xian Er tidak berani.
‘Tapi bagaimanapun juga, saat ia
melihat aku, ia akan berusaha mati-matian untuk melakukan apa saja yang
kuminta. Aku tidak perlu mengangkat seujung jaripun.’
Lin Xian Er menghela nafas lega.
Ketika wanita seperti dia sudah jatuh ke dasar jurang, namun masih ada tempat
pelarian, masih ada orang yang menantikan kepulangannya dengan sabar, tidak
heran ia merasa sangat bersuka cita.
‘Aku memang terlalu kejam padanya
dulu. Aku sudah menekannya kelewat batas. Mulai sekarang aku akan memperlakukan
dia dengan baik.’
‘Laki-laki itu seperti anak
kecil. Jika kau ingin mereka berkelakuan baik, kau harus memberi mereka permen
terlebih dulu.’
Tiba-tiba ia merasakan kehangatan
dalam dadanya.
‘Kalau dipikir-pikir, dia
bukanlah orang yang menyebalkan. Bahkan mungkin ia jauh lebih baik daripada
semua laki-laki yang pernah kutemui seumur hidupku.’
Lin Xian Er baru menyadari bahwa
sebenarnya ia pun sedikit banyak telah jatuh cinta pada Ah Fei.
Hanya terhadap Ah Feilah ia
memiliki perasaan yang tulus. Semakin dipikirkannya, semakin ia menyadari
betapa berbahagianya dia saat Ah Fei ada di sisinya.
‘Aku sungguh-sungguh harus
memperlakukan dia dengan lebih baik mulai sekarang. Laki-laki seperti dia
jarang ada di dunia ini. Mungkin aku tidak akan menemukan laki-laki lain yang
seperti dia.’
Dan semakin dipikirkannya, semakin
dalam ia menyadari bahwa ia tidak boleh membiarkan Ah Fei pergi dari hidupnya.
Mungkin selama ini sebenarnya Lin
Xian Er pun mencintainya. Tapi cinta Ah Fei terhadapnya sungguh jauh lebih
besar dan dalam, sehingga Lin Xian Er tidak menghargainya.
Jika ia tidak begitu dalam
mencintai Lin Xian Er, mungkin Lin Xian Er akan lebih menginginkannya.
Inilah kelemahan manusia.
Kontradiksi sifat dasar manusia.
Itulah sebabnya mengapa laki-laki
yang pintar tidak akan menunjukkan seluruh perasaan mereka kepada wanita yang
mereka cintai. Lebih baik mereka simpan di dalam hati.
‘Ah Fei, jangan kuatir. Mulai
sekarang, aku tidak akan lagi menyakitimu. Aku akan setia mendampingimu tiap
hari, tiap saat. Mari kita lupakan masa lalu, dan mulai dengan lembaran baru
hidup kita.’
‘Selama kau memperlakukan aku
sama seperti dulu, mulai sekarang akulah yang akan menuruti semua perkataanmu.’
Tapi bisakah Ah Fei memperlakukan
dia sama seperti dulu?
Lin Xian Er mulai ragu, rasa
percaya dirinya mulai memudar.
Belum pernah ia merasa seperti
ini, karena belum pernah sebelumnya ia menyadari betapa berharganya Ah Fei bagi
dirinya. Saat ini, ia bahkan tidak peduli apakah Ah Fei akan memperlakukannya
dengan baik atau tidak.
Hanya pada saat seseorang begitu
menginginkan sesuatu, ia akan sangat takut kehilangan.
Perasaan selalu ingin lebih dan
selalu tidak puas adalah salah satu kelemahan umat manusia.
Yang lebih menyedihkan adalah,
semakin banyak kita ingin, semakin besarlah rasa tidak puas itu.
Lin Xian Er mengangkat kepalanya
dan melihat pondok kecil yang berdiri sendirian di tepi jalan itu.
Ada cahaya dari dalam sana.
Ia berhenti sejenak. Dirobeknya
lengan bajunya, dan dibersihkannya wajahnya dengan air hujan.
Lalu dengan lembut dirapikannya
rambutnya dengan jari-jemarinya.
Ia tidak ingin Ah Fei melihatnya
dalam kondisi yang menyedihkan.
Karena saat ini, ia tidak sanggup
lagi kehilangan Ah Fei.
Cahaya dalam pondok itu terlihat
sangat terang.
Sebatang lilin menyala di atas
meja.
Sepanci besar bubur tampak berada
di samping lilin itu.
Rumah itu tidak tampak kotor atau
berantakan seperti yang dibayangkan Lin Xian Er. Tidak ada lagi mayat yang
kelihatan. Bekas-bekas darah pun sudah tidak tampak. Semuanya serba bersih dan
rapi.
Ah Fei sedang duduk di depan meja
sambil menghirup semangkuk bubur panas. Ia selalu makan perlahan-lahan karena
ia tahu benar bahwa makanan itu harus dihargai. Oleh sebab itulah ia makan
perlahan, untuk menikmati setiap suapan.
Tapi sepertinya ia tidak sedang
menikmati saat itu.
Di wajahnya tergambar kepahitan,
seakan-akan ia makan dengan terpaksa.
Mengapa ia memaksa diri untuk
makan? Apakah karena ia terpaksa makan demi bertahan hidup?
Malam sudah sangat larut.
Seorang laki-laki duduk
menghadapi meja sendirian sambil mengirup buburnya.
Jika kau tidak melihatnya
sendiri, sangat sulit membayangkan betapa sedih dan memilukannya pemandangan
ini.
Dengan perlahan pintu terbuka.
Saat ia melihat Ah Fei, ia
merasakan kehangatan menjalari sekujur tubuhnya.
Ia sendiri tidak pernah menyangka
bahwa ia bisa memiliki perasaan seperti ini.
Karena darahnya selalu dingin.
Ah Fei seperti tidak menyadari
ada yang masuk ke rumah itu. Kepalanya masih menunduk, sibuk mengirup buburnya.
Seolah-olah bubur itulah satu-satu hal yang nyata baginya di dunia ini.
Namun otot-otot wajahnya mulai
menegang.
Lin Xian Er tidak bisa menahan
diri lagi. Ia memanggilnya, “Fei sayang….”
Suaranya masih tetap manis dan
lembut seperti dulu.
Akhirnya Ah Fei mengangkat wajah
dan memandangnya.
Matanya masih tetap bercahaya.
Apakah karena air mata?
Mata Lin Xian Er pun mulai tampak
basah. “Fei sayang, aku sudah kembali…..”
Ah Fei tidak bergerak, tidak
menyahut.
Seolah-olah ia sudah membeku dan
tidak bisa bergerak lagi.
Perlahan Lin Xian Er berjalan ke
arahnya dan berkata, “Aku tahu, kau pasti akan menungguku. Karena akhirnya aku
menyadari bahwa kaulah satu-satunya yang baik kepadaku di dunia ini.”
Kali ini ia tidak berpura-pura.
Ia mengatakannya dari lubuk
hatinya yang terdalam. Perasaannya terhadap Ah Fei sangat tulus.
Lanjut Lin Xian Er, “Aku sadar
sekarang bahwa semua orang yang lain hanya ingin memanfaatkan diriku….dan aku
pun hanya memanfaatkan mereka. Oleh sebab itulah aku tidak peduli bahwa mereka
itu memanfaatkan aku. Tapi seberapa buruknya aku memperlakukan engkau, kau
tetap setia kepadaku.”
Ia tidak memperhatikan perubahan
di wajah Ah Fei.
Ia berjalan semakin dekat. Begitu
dekat, sampai-sampai ia tidak melihat apa yang seharusnya terlihat jelas.
“Aku telah memutuskan bahwa aku
tidak akan pernah menipumu lagi. Tidak pernah akan menyakitimu lagi. Apapun
yang kau inginkan, akan kudengarkan, akan kulakukan, dan aku berjanji…..”
Prak! Sumpit di tangan Ah Fei
patah menjadi dua.
Lin Xian Er merengkuh tangan Ah
Fei dan meletakkannya di dadanya.
Suaranya sungguh manis, semanis
madu.
“Aku telah begitu bersalah padamu
di masa lalu. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya di kemudian
hari. Aku ingin kau mengerti bahwa seluruh perbuatan baikmu terhadap aku
tidaklah sia-sia belaka.”
Dadanya terasa hangat dan lembut.
Siapapun yang meletakkan
tangannya di dada itu tidak akan mungkin ingin melepaskannya lagi.
Tapi tiba-tiba Ah Fei menarik
tangannya.
Lin Xian Er terperanjat.
“Kau….kau….kau tidak menginginkan aku lagi?”
Ah Fei hanya menatapnya terdiam.
Seolah-olah inilah pertama kalinya ia melihat Lin Xian Er.
“Semua yang kukatakan itu benar
adanya. Walaupun aku pernah bersama dengan laki-laki lain di masa lalu….aku
tidak pernah punya perasaan apa-apa terhadap mereka. Itu semua palsu…..”
Suaranya terhenti, karena saat
itulah ia melihat ekspresi wajah Ah Fei.
Ah Fei kelihatan seperti ingin
muntah.
Lin Xian Er mundur dua langkah
dan berkata, “Kau……kau tidak suka aku mengatakan yang sebenarnya? Apakah kau
lebih suka aku berdusta?”
Ah Fei memandang lurus padanya
cukup lama, dan akhirnya berkata, “Ada satu hal yang kurasa sangat ganjil.”
“Apa itu?”
Ah Fei bangkit berdiri dan
berkata perlahan tapi pasti, “Bagaimana aku bisa jatuh cinta pada wanita
seperti engkau!”
Lin Xian Er merasa kejang seluruh
tubuhnya.
Ah Fei tidak mengatakan apa-apa
lagi.
Ia tidak perlu mengatakan apa-apa
lagi. Satu kalimat itu saja sudah cukup.
Sudah cukup untuk mengirim Lin
Xian Er ke neraka yang paling gelap.
Perlahan Ah Fei melangkah keluar.
Seseorang tidak mungkin dapat
menahan rasa sakit, penghinaan dan olok-olok terus-menerus.
Mungkin ada orang dapat menerima
dibohongi terus-menerus, tapi ada batasnya orang bisa menerima penghinaan – ini
berlaku untuk wanita, juga untuk pria.
Ini berlaku untuk istri, juga
untuk suami.
Lin Xian Er merasa hatinya
terperosok semakin dalam, dan semakin dalam….
Ah Fei membuka daun pintu.
Tiba-tiba Lin Xian Er melompat
dan terpuruk dekat kakinya. Ia menarik lengan baju Ah Fei dan menangis
tersedu-sedu, “Bagaimana mungkin engkau meninggalkan aku seperti ini….. Hanya
engkaulah yang kumiliki
sekarang…..”
Tapi Ah Fei tidak menoleh.
Perlahan ditanggalkannya bajunya
yang terus diganduli oleh Lin Xian Er.
Ia melangkah keluar dengan dada
telanjang menerjang hujan.
Hujan yang sangat dingin.
Namun air hujan yang sangat
bersih.
Akhirnya ia dapat melepaskan diri
dari Lin Xian Er. Melepaskan diri dari belenggu yang mengikat hatinya. Sama
seperti baru saja membuang baju yang sudah lama dan usang.
Lin Xian Er masih berpegangan pada
baju itu. Ia tahu benar bahwa tidak ada lagi tempat baginya untuk berpegangan.
‘Pada akhirnya, kau menyadari
bahwa kau tidak memiliki apa-apa dan hidupmu begitu hampa….”
Air mata mengalir deras di
wajahnya.
Saat itulah ia menyadari betul
bahwa ia sebenarnya begitu mencintai Ah Fei.
Mungkin ia menyiksa Ah Fei karena
ia mencintainya, dan karena ia tahu bahwa Ah Fei mencintainya.
Mengapa wanita suka menyiksa
laki-laki yang paling mereka cintai?
Baru sekarang ia menyadari betapa
berharganya Ah Fei dalam hidupnya.
Karena baru sekarang, ia
kehilangan Ah Fei.
Mengapa wanita sering kali tidak
menghargai apa yang mereka miliki, dan baru menyadari betapa berharganya
sesuatu setelah semuanya hilang?
Mungkin laki-laki pun seperti
ini.
Lin Xian Er tertawa seperti orang
kesurupan sambil merobek-robek baju Ah Fei di tangannya.
‘Apa yang kutakuti? Aku masih
muda dan cantik. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan laki-laki manapun juga….
Aku bisa mendapatkan sepuluh laki-laki dalam sehari.’
Ia sedang tertawa, tapi tawanya
terasa lebih memilukan daripada air mata.
Karena ia sebenarnya tahu, bahwa
laki-laki memang mudah didapatkan, namun cinta sejati tidak dapat dibeli dengan
kecantikan dan usia muda.
Bagaimanakah nasib Lin Xian Er
sekarang?
Tidak ada yang tahu.
Seakan-akan ia hilang ditelan
bumi.
***
Dua, tiga tahun kemudian, di
kompleks pelacuran yang paling terkenal di ChangAn tersiar kabar ada seorang
pelacur yang sangat unik. Ia tidak pernah minta bayaran. Yang diinginkannya
hanya laki-laki.
Bahkan ada yang bilang bahwa ia
melayani sedikitnya sepuluh laki-laki dalam sehari.
Awalnya, begitu banyak pria yang
berminat kepadanya, namun sejalan dengan waktu, laki-laki yang menginginkannya
pun semakin berkurang.
Mungkin karena pelacur itu begitu
cepat menjadi tua, tapi lebih mungkin karena lama-kelamaan orang menyadari
bahwa ia bukan seperti manusia. Ia seperti induk serigala yang memangsa
lakilaki bulat-bulat.
Ia bukan saja suka menghancurkan
laki-laki, namun penyiksaan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri jauh lebih
mengerikan.
Ada orang bilang bahwa ia adalah
wanita yang dulunya dijuluki ‘wanita tercantik di seluruh dunia’, Lin Xian Er.
Tapi ia sendiri tidak pernah
mengakuinya.
Beberapa tahun setelah itu, di
sebuah daerah paling kumuh di ChangAn, terdengar lagi ada seorang wanita aneh
yang menjadi cukup terkenal.
Ia bukan terkenal karena
kecantikannya, tapi karena ia begitu buruk rupa. Sampai-sampai tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata.
Yang lucu adalah, ketika ia mabuk
berat, ia selalu mengatakan bahwa dulunya ia adalah si ‘wanita tercantik di
seluruh dunia’.
Tentu saja tidak ada yang
percaya.
***
Hujan semakin dingin.
Walaupun Ah Fei telah basah kuyup
dari kepala hingga ujung kaki, entah mengapa ia merasa segar. Karena hujan
telah membuatnya menyadari bahwa ia bukanlah sebatang kayu kering. Inilah
pertama kalinya dalam dua tahun ini ia merasa begitu hidup.
Lagi pula, ia merasa begitu lega.
Seakan-akan beban ribuan ton telah diangkat dari bahunya.
Sayup-sayup terdengar orang
memanggil dari kejauhan, “Ah Fei…..”
Suaranya begitu pelan. Mungkin
beberapa hari yang lalu, ia tidak akan bisa mendengar suara ini.
Tapi sekarang, matanya tidak lagi
buta. Telinganya tidak lagi tuli.
Ia menghentikan langkahnya dan
bertanya, “Siapa itu?”
Seseorang segera bergegas ke
arahnya. Dengan dua kuncir panjang, dua mata besar.
Seorang gadis muda yang cantik.
Ia kelihatan sangat kelelahan.
Akhirnya Sun Xiao Hong menemukan
Ah Fei.
Ia berlari ke arah Ah Fei dengan
nafas tersengal-sengal, “Kau tidak mengenali aku lagi….”
Ah Fei segera memotong
perkataannya, “Aku ingat siapa engkau. Kita bertemu dua tahun yang lalu. Kau
sangat pintar bicara. Aku juga melihat engkau dua hari yang lalu, tapi kau
tidak mengatakan apa-apa.”
Sun Xiao Hong tersenyum dan
berkata, “Kelihatannya ingatanmu masih bagus.”
Hatinya merasa lega, karena ia
melihat Ah Fei berdiri, bahkan berdiri tegap.
‘Ada orang yang bisa bangkit,
seberapa kali pun mereka jatuh.’
Li Xun Huan dan Ah Fei memang
benar-benar sehati sejiwa.
Ah Fei tahu apa yang akan
ditanyakan gadis itu.
Tapi Sun Xiao Hong tidak
mengatakan apa-apa. Ia tidak tahu bagaimana harus bertanya.
Kata Ah Fei, “Katakan saja apa
yang ingin kau katakan, karena kau adalah sahabat Li Xun Huan.”
Tanya Sun Xiao Hong, “Apakah kau
telah berjumpa dengannya?”
“Ya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Dia tidak ada lagi hubungan
dengan aku, mengapa kau menanyakannya?”
Di masa lalu, jika ada orang yang
berbicara tentang Lin Xian Er kepadanya, ia selalu merasa tercekat. Mendengar
namanya saja dapat membuat hatinya bergetar.
Namun kini ia terlihat sangat
tenang.
Sun Xiao Hong menatapnya
menyelidik, lalu menghela nafas lega. “Ternyata kau benar-benar sudah terbebas
dari belenggumu.”
“Belenggu?” tanya Ah Fei bingung.
“Setiap orang di dunia ini
memliki kurungan dan belenggu mereka masing-masing. Tapi hanya sedikit saja
yang dapat membebaskan diri.”
“Aku tidak mengerti.”
Kata Sun Xiao Hong, “Kau tidak
perlu mengerti. Yang penting kau sudah berhasil melakukannya.”
Ah Fei terdiam lama. Akhirnya ia
berkata, “Ah, aku mengerti sekarang.”
“Kau sungguh-sungguh
mengerti?....” Kini Sun Xiao Honglah yang bingung. “Kalau begitu, aku ingin
tahu, dengan cara bagaimana kau dapat membebaskan diri dari belenggumu?”
Ah Fei berpikir sejenak sebelum
menjawab sambil tersenyum, “Mataku tiba-tiba terbuka.”
‘Mataku tiba-tiba terbuka’.
Sungguh suatu kalimat yang sederhana. Tapi pada kenyataannya, sangat sulit
untuk mengalaminya.
Waktu Sang Budha mengalami
pencerahan di bawah pohon bodhi, ia pun mengalami mata yang tiba-tiba terbuka.
Bodhidharma bermeditasi selama
sembilan tahun sebelum matanya terbuka.
Bagaimanapun kejadiannya, jika
matamu sudah terbuka, pikiranmu pun akan terbebaskan dari segala macam
persoalan. Tapi sebelum itu dapat terjadi, seseorang mau tidak mau harus mengalami
berbagai macam pencobaan dan kesukaran hidup.
Kata Sun Xiao Hong, “Kau pasti
telah begitu menderita sebelum mencapai pencerahan itu.”
Namun kelihatannya Ah Fei tidak
berminat untuk mendiskusikannya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Apakah Li Xun Huan menyuruhmu
untuk mencari aku?”
“Tidak,” jawab Sun Xiao Hong.
“Di manakah ia saat ini?”
Sun Xiao Hong terdiam. Senyumnya
pun lenyap.
“Bagaimana keadaannya sekarang?”
tanya Ah Fei mendesak.
Wajah Sun Xiao Hong bertambah
kelam saat ia menjawab, “Sejujurnya, aku pun tidak tahu di mana tepatnya ia
berada saat ini. Aku pun tidak tahu apakah ia masih hidup atau….”
Wajah Ah Fei langsung memucat.
“Apa maksudmu?”
“Mungkin aku dapat menemukan di
mana ia berada, namun hidupnya….”
“Ada apa dengan hidupnya?” Nada
suara Ah Fei semakin tinggi.
Sun Xiao Hong menatap matanya
sambil berkata, “Hidup matinya terletak di tanganmu seorang!”
Bab 85. Salah Siapa?
Hujan masih turun dengan lebat di
luar, namun di dalam rumah begitu kering. Ada sebuah jendela kecil di ruangan
itu yang letaknya jauh di atas.
Jendela itu selalu tertutup.
Cahaya matahari jarang masuk melaluinya dan hujan tidak dapat menembusnya.
Temboknya dicat begitu tebal dan
putih, sampai-sampai tidak lagi dapat diketahui apakah tembok itu terbuat dari
tanah, bata, ataukah besi. Namun yang pasti, tembok ini sangat sangat tebal,
begitu tebal, seolah-olah ingin memisahkan orang yang di dalam dengan dunia
luar.
Tidak ada benda apapun dalam
ruangan itu kecuali dua buah tempat tidur dan sebuah meja besar. Tidak ada
kursi, tidak ada bangku, bahkan satu cawan pun tidak kelihatan.
Ruangan dan sekelilingnya tampak
lebih sederhana dan menderita daripada tempat tinggal seorang pendeta miskin.
Siapa sangka, ini adalah tempat
kediaman orang yang terkaya, yang paling berpengaruh, paling berkuasa di
seluruh dunia persilatan, Ketua Partai Uang Emas, ShangGuan JinHong?
Tapi Li Xun Huan tidak punya
gairah untuk terkejut.
ShangGuan JinHong berdiri tepat
di sampingnya dan bertanya, “Apakah tempat ini cukup memuaskan?”
Sambil tersenyum terpaksa Li Xun
Huan menjawab, “Paling tidak di sini kering.”
“Memang kering sekali. Aku bisa
menjamin bahwa kau tidak akan menemukan setetes pun air di tempat ini,” kata
ShangGuan JinHong. “Di sini tidak pernah disuguhkan, teh, arak, ataupun air. Bahkan
setetes air mata pun tidak pernah dicucurkan.”
“Bagaimana dengan darah? Adakah
yang pernah mencucurkan darah di sini?”
“Tidak pernah. Sekalipun ada
orang yang ingin mati di sini, darah mereka harus habis tercurah sebelum sampai
di pintu itu. Jika aku tidak menginginkan orang masuk ke sini, hidup ataupun mati,
mereka tidak akan bisa masuk ke sini.”
Li Xun Huan tertawa kecil.
Katanya, “Sejujurnya, hidup di tempat seperti ini pasti tidak nyaman. Tapi mati
di sini, tidak ada masalah.”
“O ya?”
“Karena tempat ini memang terasa
seperti kuburan saja,” kata Li Xun Huan ringan.
“Karena tampaknya kau suka mati
di sini, akan kukuburkan kau di sini juga,” kata ShangGuan JinHong sambil tersenyum.
Senyumnya terlihat sadis. Ia menunjuk lantai tempat ia berdiri dan menambahkan,
“Aku akan menguburkanmu tepat di bawah sini. Jadi setiap kali aku berdiri di sini,
setiap kali aku akan tahu bahwa Li Tan Hua ada di bawah kakiku, dan aku akan
merasa segar kembali.”
“Segar?”
“Kalau aku tidak selalu segar,
suatu hari nanti mungkin saja akulah yang akan berada di bawah kaki orang lain.
Tapi kalau aku terus mengingat akan kisahmu, aku akan selalu berjaga-jaga.”
“Tapi kalau seseorang selalu
segar dan berjaga-jaga setiap saat, pasti ia akan merasa menderita.”
“Aku tidak pernah merasa
menderita. Sekalipun tidak pernah selama hidupku ini,” kata ShangGuan JinHong
yakin.
“Mungkin karena kau pun tidak
pernah merasa bahagia selama hidupmu….. Aku sungguh ingin tahu, sebenarnya
untuk apakah kau hidup?” tanya Li Xun Huan.
Mata ShangGuan JinHong berkedip.
Ia terlihat seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lalu ia menjawab, “Ada
orang-orang yang tidak tahu untuk apa mereka hidup. Tapi yang lebih buruk lagi
adalah orang-orang yang tidak pernah tahu untuk apa mereka mati.”
“Hmmm?”
ShangGuan JinHong menatap Li Xun
Huan dan berkata, “Seperti kau ini. Kau tidak akan pernah tahu untuk apa kau
mati.”
“Sebenarnya, aku memang tidak
pernah ingin tahu,” kata Li Xun Huan.
“Mengapa tidak?”
“Karena aku tidak merasa bahwa
kematian adalah persoalan besar.”
Li Xun Huan tidak menunggu
ShangGuan JinHong menyahut. Ia melanjutkan lagi, “Di matamu, saat inipun aku
sudah mati, bukan?”
“Kau memang sangat memahami dirimu,”
kata ShangGuan JinHong.
“Karena kematianku sudah tidak
dapat dihindarkan, mengapa harus pusing akan ini dan itu?”
Tiba-tiba Li Xun Huan duduk di
lantai dan menyelonjorkan kakinya dengan nyaman. Lalu ia tersenyum dan berkata,
“Kalau aku sekarang ingin duduk, aku akan duduk. Kalau aku ingin memejamkan
mata, aku akan memejamkan mata. Apakah kau bisa berbuat demikian?”
ShangGuan JinHong mengepalkan
tangannya.
Kata Li Xun Huan lagi, “Ah, tentu
saja kau tidak bisa, karena kau masih kuatir akan begitu banyak hal. Kau masih
harus waspada terhadap diriku.”
Sambungnya, “Paling tidak, saat
ini aku bisa hidup lebih nyaman daripada engkau.”
ShangGuan JinHong tersenyum dan
berkata, “Karena aku sudah berjanji aku tidak akan membiarkan engkau mati basah
kuyup, tadinya aku berencana akan segera menyerang setelah pakaianmu kering.
Namun sekarang aku berubah pikiran.”
“Oh?”
“Aku bukan hanya akan memberimu
seperangkat pakaian kering, aku juga akan memberimu seguci arak. Karena
perkataanmu itu sungguh menyenangkan bagi telingaku. Bisa mendengar perkataan
seperti itu dari mulut seorang mati, benar-benar menyenangkan,” kata ShangGuan JinHong.
***
Long Xiao Yun muda meringkuk di
bawah selimutnya, tertidur lelap. Di lantai terlihat beberapa jejak kaki yang
basah dan berlumpur.
Lilin masih menyala, namun
cahayanya yang pudar membuat kamar penginapan itu tampak semakin muram dan
tidak bergairah.
Perlahan-lahan Lin Shi Yin
membuka pintu kamar dan masuk ke dalam.
Langkah-langkah kaki seorang ibu
memang selalu ringan. Ia lebih suka terjaga semalaman daripada membangunkan
anaknya yang tercinta dari tidur lelapnya.
Namun Long Xiao Yun muda bukan
anak-anak lagi. Ia lebih dewasa daripada kebanyakan orang di dunia ini.
Walaupun begitu, dalam tidurnya ia masih terlihat seperti seorang anak kecil
yang lugu.
Wajahnya masih sangat muda,
begitu pucat dan kurus. Apapun yang telah dilakukannya, ia hanyalah seorang
anak yang kesepian, yang tidak tahu apa-apa. Masih bingung dan tidak mengerti
akan dunia di sekitarnya.
Lin Shi Yin berjalan mendekati
tempat tidur dan menatapnya. Ia merasa kepahitan dalam hatinya.
Ini adalah putra tunggalnya,
darah dagingnya. Satu-satunya tambatan hatinya di dunia ini.
Dulu, ia merasa lebih baik mati
daripada harus berpisah dengan anaknya.
Namun kini…..
Lin Shi Yin mengangkat lilin
kecil itu dan masih beberapa kali menoleh melihat kepadanya sekali lagi.
‘Aku hanya ingin memandangnya
sekali lagi. Sekali lagi saja. Karena di kemudian hari…..’
Ia sungguh takut berpikir akan
hari depan. Ia tidak ingin berpikir tentang hari depan.
Air mata tidak terbendung lagi
dari matanya.
Walaupun mata Long Xiao Yun muda
tertutup rapat, air mata pun mulai mengalir dari sana.
Badannya mulai menggigil. Apakah
ia kedinginan? Ataukah ia sedang bermimpi buruk?
Lin Shi Yin membungkuk, hendak
merapikan selimutnya.
Ia terkejut ketika menyadari
bahwa selimut itu basah. Baju Long Xiao Yun muda pun basah kuyup.
Ia berusaha menenangkan dirinya.
Katanya, “Jadi kau pun pergi ke luar.”
Mata dan mulut Long Xiao Yun muda
terkatup rapat.
Tanya Lin Shi Yin, “Apakah kau
membuntuti aku?”
Akhirnya Long Xiao Yun muda
menganggukkan kepalanya.
“Jadi kau sudah mendengar semua
yang kukatakan?”
Tiba-tiba Long Xiao Yun muda
mengambil bungkusan dari bawah selimutnya dan berteriak, “Ini, ambil saja.”
Lin Shi Yin mengerutkan keningnya
dan bertanya, “Apa ini?”
“Apa Ibu benar-benar tidak tahu
apa ini? Bukankah Ibu pulang kembali hanya untuk mengambilnya?”
Kesedihan tergurat di wajah Lin
Shi Yin. Katanya, “Aku…..Aku pulang untuk menjumpaimu.”
“Kalau bukan karena ini, apakah
Ibu maih mau datang untuk menjumpaiku?” kata Long Xiao Yun
muda dengan sinis.
Tiba-tiba ia membuka matanya dan
menatap ibunya lekat-lekat.
Kesedihan pun tergambar nyata di
wajahnya. “Ibu sudah memutuskan untuk meninggalkan aku. Jika bukan karena ini,
Ibu pasti sudah pergi sejak lama.”
“Kau benar. Aku memang sudah
memutuskan untuk pergi ke tempat yang jauh. Tapi aku….”
Long Xiao Yun muda memotong
perkataannya dengan tajam, “Ibu tidak perlu mengatakannya. Aku tahu ke mana Ibu
akan pergi.”
“Kau tahu?”
“Ibu akan pergi untuk
menyelamatkan Li Xun Huan, bukan?”
Kembali Lin Shi Yin terkejut
mendengarnya.
“Ibu bermaksud untuk menggunakan
‘Ensiklopedi LianHua’ untuk menyelamatkan Li Xun Huan, bukan?” tanya Long Xiao
Yun muda menuduh.
Ia kembali menyorongkan bungkusan
itu dan berkata, “Lalu mengapa tidak segera Ibu ambil saja? Mengapa Ibu masih
saja di sini?”
Tubuh Lin Shi Yin seperti
sempoyongan. Ia merasa hampir tidak bisa berdiri tegak lagi.
Long Xiao Yun muda terus
berbicara dengan ketus, “Kalau Ibu menunjukkan ‘Ensiklopedi LianHua’ ini kepada
ShangGuan JinHong, ia pasti akan bersedia menemuimu, karena ia adalah orang
yang suka belajar ilmu silat. Ia tidak akan bisa menahan rasa ingin tahunya.”
Ia mengertakkan giginya dan
melanjutkan, “Ibu bermaksud menggunakan kesempatan ini untuk menyelamatkan Li
Xun Huan, karena Ibu tahu tidaklah mudah untuk menghadapi ShangGuan JinHong.
Jadi Ibu ingin mengulur waktu lebih lama lagi dengan menggunakan kitab ini,
supaya Li Xun Huan bisa hidup sedikit lebih lama, supaya Ah Fei punya
kesempatan untuk datang dan menolongnya.”
Lin Shi Yin tidak bisa menjawab.
Long Xiao Yun muda memang
benar-benar cerdas. Ia seakan-akan dapat menembus pikiran ibunya.
Jadi sekarang Lin Shi Yin tidak
bisa berkata apa-apa.
“Li Xun Huan selalu baik pada
Ibu. Sampai-sampai sekalipun Ibu mengorbankan anakmu sendiri, bahkan
mengorbankan nyawamu sendiri, tidak ada yang bisa bilang bahwa Ibu salah.”
Suara Long Xiao Yun muda semakin
bergetar saat ia melanjutkan perkataannya, “Tapi apakah Ibu pernah memikirkan
orang lain? Pernahkah Ibu memikirkan diriku? ANAKMU? Aku...Aku…”
Lin Shi Yin merasa hatinya
seperti ditusuk beribu-ribu jarum. Ia hanya bisa meraih tangan anaknya dan berkata,
“Tentu saja aku memikirkanmu. Aku….”
Long Xiao Yun muda mendorong
tubuh ibunya kuat-kuat dan berteriak marah, “Tentu saja Ibu memikirkanku. Ibu
pasti akan mengajakku pergi menemui mereka besok pagi, bukan? Mereka tahu Ibu
mengorbankan dirimu untuk mereka, jadi pastilah mereka akan bersedia
memeliharaku dan memperlakukanku dengan baik.”
Lanjutnya lagi, “Tapi bagaimana
Ibu bisa yakin kalau itu dapat menyelamatkan dia? Kalau Ibu mati di hadapannya,
bukankah hatinya akan menjadi semakin galau? Dan sekalipun Ah Fei sempat datang
untuk menolongnya, mungkin saja ia tidak akan sanggup bertahan.”
Lin Shi Yin pun mulai gemetar.
Kata Long Xiao Yun muda, “Dan
sekalipun ia bisa selamat, dan ia bersedia untuk memeliharaku, aku tidak akan
ikut dengan dia. Aku tidak ingin melihat dia sama sekali!”
“Mengapa?” tanya Lin Shi Yin.
“Karena aku sangat membencinya!”
“Tapi kau telah mempelajari…..”
Long Xiao Yun muda memotongnya
cepat, “Aku tidak membencinya karena ia telah memusnahkan ilmu silatku.”
“Lalu kenapa kau membencinya?”
“Aku benci karena bukan dia yang
menjadi ayahku! Mengapa dia bukan ayahKU? Mengapa aku tidak bisa menjadi
anaknya? Kalau saja ia adalah ayahku, ia tidak mungkin meninggalkan aku dan
segala sesuatu tidak mungkin jadi seperti ini!”
Lalu ia menelungkup di tanah dan
menangis menjadi-jadi.
Hati Lin Shi Yin hancur
berkeping-keping. Seluruh tubuhnya luluh lantak.
Ia tiba-tiba merasa tidak sanggup
lagi berdiri dan jatuh terduduk ke kursi di sampingnya.
‘Kalau saja anak ini adalah anaknya,
kalau saja ia adalah suamiku…..”
Belum pernah sebelumnya ia berani
berpikir seperti itu. Namun jauh dalam relung hatinya yang tergelap, bagaimana
mungkin ia tidak diam-diam mengharapkannya?
Seorang anak dari pasangan yang
tidak bahagia akan lebih lagi tidak berbahagia dan menderita lebih banyak lagi.
Kesalahannya hanya terletak pada
orang tua, bukan pada anak. Namun, mengapa ia harus ikut menderita penghukuman
dan ketidakbahagiaan dengan mereka?
Lin Shi Yin berusaha menguatkan
dirinya untuk bangkit berdiri dan berjalan mendekati anaknya. Air mata telah
berderai membasahi seluruh wajahnya. Katanya, “Anakku, aku telah begitu bersalah
padamu…. Sungguh bersalah padamu…… Dengan orang tua seperti kami, pasti sangatlah
sulit bagimu menjadi seorang anak…..”
Tiba-tiba terdengar suara
bergetar yang parau dari balik jendela.
“Kau tidak bersalah sama sekali.
Akulah yang bersalah.”
Long Xiao Yun.
Tidak akan ada yang bisa
mengenalinya. Ia kelihatan begitu lusuh dan lelah.
Ia berdiri di depan pintu, takut
untuk melangkah masuk.
Long Xiao Yun muda mengangkat
kepalanya. Bibirnya bergerak-gerak, seolah-olah hendak memanggil ‘Ayah’.
Namun suaranya tidak bisa keluar!
Long Xiao Yun mendesah dan
berkata, “Aku tahu bahwa kau tidak lagi menginginkan aku sebagai ayahmu.”
Lalu ia menoleh pada Lin Shi Yin,
katanya, “Dan aku tahu kau tidak lagi menginginkan aku sebagai suamimu. Hidupku
sungguh tidak berarti.”
“Kau….”
Ia tidak membiarkan Lin Shi Yin
melanjutkan. Segera ia berkata, “Tapi aku sungguh telah mencoba sekuat tenaga
menjadi ayah yang baik, menjadi suami yang baik. Tetapi kelihatannya aku sudah
gagal, semua yang kulakukan adalah salah besar.”
Lin Shi Yin hanya menatapnya.
Long Xiao Yun adalah lelaki yang
tenang dan tegas. Selalu penuh vitalitas dan energi.
Namun sekarang?
Rasa kasihan memenuhi hatinya.
Kata Lin Shi Yin, “Aku pun telah bersalah kepadamu. Aku bukan istri yang baik.”
Long Xiao Yun tertawa. Tawa yang
pahit. “Itu bukan kesalahanmu. Semuanya adalah kesalahanku. Jika aku tidak pernah
berjumpa denganmu, jika aku tidak pernah berjumpa dengan Li Xun Huan, semuanya
tidak akan jadi begini. Semua orang akan hidup bahagia dan sejahtera.”
Apakah nasibnya sungguh berubah
karena satu peristiwa itu?
Jika ia tidak pernah bertemu
dengan Li Xun Huan, apakah ia tidak akan pernah menjadi seperti ini?
Lin Shi Yin mulai menangis lagi.
Katanya, “Apapun yang telah kau perbuat, itu adalah untuk melindungi
keluargamu, untuk melindungi istri dan anakmu. Jadi….itu bukanlah kesalahan.
Aku sungguh-sungguh tidak menyalahkanmu.”
Kata Long Xiao Yun, “Kalau kita
berdua tidak bersalah, lalu siapa yang salah?”
Lin Shi Yin memandang keluar, ke
malam hujan yang gelap. “Siapa yang salah….? Siapa yang salah….?”
Ia tidak menemukan jawabannya.
Tidak seorang pun tahu
jawabannya.
Ada banyak hal dalam hidup ini
yang tidak akan pernah dimengerti oleh manusia. Yang tidak akan diketahui
jawabannya.
Kata Long Xiao Yun, “Sebenarnya
aku berencana untuk tidak menemui kalian berdua lagi. Karena kaulah yang pergi
kali ini, kupikir kau akan pergi untuk selama-lamanya. Itulah sebabnya aku
tidak berusaha memohon padamu untuk tetap tinggal….”
Ia mengeluh panjang dan air
matanya pun mulai menetes. “Aku tahu bahwa yang telah kuperbuat telah
menyakitimu, telah membuatmu sangat kecewa. Tapi aku sungguh tidak bisa untuk
tinggal diam. Aku harus mengikuti kalian. Walaupun hanya bisa memandang kalian
dari kejauhan, itu sudah cukup bagiku.”
Tangis Lin Shi Yin tidak tertahan
lagi. “Jangan katakan lagi…..jangan…..”
Long Xiao Yun menganggukkan
kepalanya dan berkata, “Memang aku seharusnya tidak banyak bicara lagi. Apapun
yang kukatakan, sudah terlambat.”
Kata Lin Shi Yin, “Kau tahu bahwa
aku berhutang begitu banyak kepadanya. Aku tidak bisa membiarkannya mati begitu
saja.”
Kata Long Xiao Yun, “Aku pun
berhutang banyak kepadanya. Oleh sebab itulah, aku minta kau menyerahkan
persoalan ini kepadaku.”
Sepertinya ia telah membulatkan
tekad.
“A…Apa yang akan kau perbuat?
Jangan katakan….”
Tiba-tiba Long Xiao Yun menutup
jalan darah Lin Shi Yin. “Kau tidak boleh mati, kau tidak bisa mati. Akulah
yang harus mati. Semakin lama aku hidup, semakin banyak orang yang akan menderita.
Jika aku mati, semua orang akan menjadi lebih baik.”
Ia segera merebut ‘Ensiklopedi
LianHua’ dan berlari keluar.
Dari kejauhan, terdengar suaranya
sayup-sayup, “Anakmu, jagalah ibumu baik-baik. Tentang ayahmu yang tidak
berguna ini…..terserah padamu apakah kau mau menerimanya atau tidak.”
Mata Long Xiao Yun muda menatap
nanar air hujan di luar.
Ia tidak lagi menangis.
Namun sorot matanya terlihat jauh
lebih menyedihkan daripada air mata.
Begitu lama ia terkesima. Lalu
tiba-tiba ia berteriak keras, “Ayah, aku menerimamu! Hanya kaulah seorang yang
pantas menjadi ayahku! Hanya kau seorang yang bisa kuanggap ayah! Selain
engkau, tidak ada, tidak ada…..”
Ini adalah penyesalan seorang
anak terhadap ayahnya. Suatu ikatan yang kuat antara ayah dengan anak, yang
tidak bisa digantikan oleh apapun juga di dunia ini.
Sayang sekali, ayahnya tidak akan
dapat mendengar perkataan itu.
Semua orang akan mengalami saat
pencerahan yang tiba-tiba itu.
Apakah ia baru mengerti setelah
terbentur oleh jalan buntu? Atau karena ia memang memiliki rasa hormat yang
murni?
Darah lebih kental daripada air.
Hanya darah yang dapat
menghapuskan segala kebencian dan kehinaan.
Bahkan hidup ini pun dimulai dari
darah.
Bab 86. Menebus Dosa dengan Darah
Sebuah halaman yang luas dan
lega.
Halaman itu tidak jauh berbeda
dari halaman rumah keluarga-keluarga kaya yang lain.
Namun sekali orang menjejakkan
kaki di tangga yang menuju ke pintu utama, orang itu pasti akan merasakan
kekelaman dan aura kematian yang menyelimutinya.
Liong Siau-hun menapaki anak
tangga itu.
Di halaman depan, suasana begitu
hening, tidak seorang pun nampak di sana. Namun begitu ia melangkahkan kaki di
anak tangga itu, sekelompok orang segera mengepungnya.
Delapan belas orang yang berjubah
kuning. Liong Siau-hun tidak bisa melihat wajah mereka.
Tapi itu memang tidak penting.
Memang tidak penting tahu siapakah mereka satu per satu.
Anggota Kim-ci-pang semuanya sama
saja.
Mereka tidak punya mulut, karena
mereka tidak perlu bicara. Sekalipun mereka bicara, yang keluar adalah suara
Siangkoan Kim-hong.
Mereka tidak punya mata, karena
mereka tidak perlu melihat. Apa yang mereka lihat adalah apa yang diinginkan
oleh Siangkoan Kim-hong untuk mereka lihat.
Mereka hanya memiliki sepasang
telinga kecil, karena satu-satunya suara yang perlu mereka dengar adalah suara
Siangkoan Kim-hong.
Kelihatannya mereka pun tidak
punya lagi jiwa. Itulah yang membuat mereka selalu bekerja dengan cepat. Oleh
sebab itu, dalam sekejap saja, mereka telah mengelilingi Liong Siau-hun.
Liong Siau-hun menarik nafas
dalam-dalam dan berkata, “Ah, jadi memang di sinilah Markas Besar Kim-ci-pang.”
“Siapa kau? Apa kerjamu di sini?”
“Aku mencari seseorang.”
“Siapa yang kau cari?”
“Apakah Siangkoan Kim-hong pangcu
telah kembali?” tanya Liong Siau-hun.
Nama ‘Siangkoan Kim-hong’
sepertinya dapat memcengkeram jiwa mereka. Ketika mereka mendengar nama itu
disebut, langsung berubahlah perangai mereka.
“Pangcu belum kembali. Dan kau
adalah…..”
“Aku harus menemui dia. Ada
sesuatu yang harus kuberikan kepadanya.”
“Tunggulah sebentar. Pangcu
sedang menemui tamu saat ini.”
Liong Siau-hun kembali mendesah.
“Apakah saat ini ia sedang bersama dengan Li Sun-hoan?”
“Ya.”
“Kalau begitu, aku harus
menemuinya sekarang juga.”
“Bolehkah kami mengetahui nama
Tuan yang terhormat?”
“Margaku Liong, dan aku mempunyai
sesuatu yang sangat penting yang harus kuberikan kepadanya sekarang juga. Jika
kalian berani mencampuri urusan yang maha penting ini, apakah bahu kalian cukup
kuat untuk menanggung akibatnya?”
“Jadi margamu Liong….. Apakah
kaulah yang mengangkat saudara dengan Pangcu beberapa hari yang lalu?”
“Ya.”
Ketika kata ‘Ya’ itu keluar dari
mulutnya, kilatan pedang yang dingin segera menyambar.
Sebilah pedang dan dua golok
menyerang ke arahnya secara bersamaan.
Liong Siau-hun berseru,
“Apa-apaan ini?”
Walaupun suaranya keras dan
jelas, tidak ada seorang pun yang mengindahkannya. Tidak ada seorang pun yang
menjawabnya.
Liong Siau-hun pun mengaum dan
meninju ke depan.
Ilmu silatnya tidak lemah,
tinjunya sangat cepat dan penuh tenaga. Satu tinju yang membawa keganasan
seekor macan.
Namun ia hanya memiliki sepasang
tinju.
Musuhnya memiliki dua puluh dua
macam senjata, termasuk kait, pedang kembar, cambuk ganda, sepasang potlot.
Potlot adalah senjata yang
terpendek, namun juga yang paling berbahaya. Orang yang menggunakannya adalah
murid ‘Si Pedang Hidup dan Mati’ yang legendaris, seorang ahli jalan darah.
Dalam Kitab Persenjataan orang ini tidak berada di bawah ‘Si Palu Hujan dan
Angin’, Xiang Song.
Pedangnya adalah Pedang Pinus
Menyambar. Arahnya selalu tersembunyi di balik jurus-jurusnya. Serangannya
selalu fatal, dan kekuatannya bergerak mendahului pedangnya.
Di antara para ahli pedang di
dunia, tidak lebih dari sepuluh orang yang dapat menandinginya.
Tapi yang paling ganas adalah
golok.
‘Golok Sembilan Cincin’. Gema
dari cincin-cincin yang saling bertabrakan itu dapat mengguncangkan jiwa. Liong
Siau-hun segera tersekap dalam libatan angin golok itu.
Potlot Sang Hakim pun berhasil
menutup salah satu jalan darah Liong Siau-hun.
Tidak ada suara nafas, yang
terdengar hanya jerit kesakitan.
Karena leher Liong Siau-hun telah
tertembus. Suara yang akan keluar pun jadi tertahan dan putus.
Hanya ada darah.
Darah yang muncrat dari lehernya
bagaikan anak panah mencelat ke atas.
Ia langsung tumbang ke tanah.
Darah membasahi seluruh tubuhnya.
Ia sudah mati sebelum sempat
memejamkan matanya.
Matanya masih menatap orang-orang
itu. Bola matanya melotot.
Walaupun ia memang datang untuk
mati, mengapa mereka tidak membiarkannya bertemu
dengan Siangkoan Kim-hong walau
sebentar saja?
Karena perintah yang mereka
terima adalah ‘Bunuh Liong Siau-hun di tempat’!
Dan ini adalah perintah Siangkoan
Kim-hong!
Perintah Siangkoan Kim-hong kokoh
bagaikan gunung.
Kini ‘Ensiklopedi LianHua’
tergeletak begitu saja, basah oleh darah.
Tidak seorang pun meliriknya.
Siapa yang akan tertarik oleh
benda yang dimiliki Liong Siau-hun?
Jadi inilah nasib akhir
‘Ensiklopedi LianHua’ yang begitu misterius itu. Berakhir sama seperti banyak
kitab ilmu silat hebat yang lain, hilang untuk selama-lamanya.
Apakah ini kemalangan umat
manusia? Atau malah keberuntungannya?
Kitab itu dibawa pergi bersama
dengan jenazah Liong Siau-hun.
Anggota Kim-ci-pang memang sangat
lihai dalam melenyapkan tubuh orang mati. Mereka punya cara tersendiri yang
unik untuk melenyapkan jenazah itu.
Manusia itu memang unik.
Mereka bisa mengorbankan banyak
hal untuk mencapai sesuatu, namun hal-hal yang berada di depan hidung mereka
sendiri, terkadang tidak terlihat.
Apakah ini kebodohan manusia?
Atau malah kebijakannya?
***
A Fei tidak punya pedang lagi.
Namun itu tidaklah penting,
karena tiba-tiba saja ia dipenuhi oleh rasa percaya diri dan semangat yang
membara.
Di tepi jalan ada sebuah hutan
bambu kecil. Dan dari tempat ia berdiri saat itu, ia dapat melihat halaman
Markas Besar Kim-ci-pang.
A Fei mematahkan satu cabang
bambu dan membelahnya menjadi tiga bagian memanjang. Ia
mengasah salah satu ujungnya dan
membalutkan kain di ujung yang lain.
Gerakannya sungguh cepat dan
akurat. Tidak ada tenaga yang terbuang percuma.
Tangannya pun kokoh dan kuat.
Sun Sio-ang memandanginya dari
samping. Ia merasa sangat aneh, tapi sangat tertarik juga.
Tapi mau tidak mau ia mulai
merasa ragu. Ia memungut salah satu pedang bambu itu dan merasakan ringannya,
bagaikan selembar daun willow.
Lalu ia berseru tertahan, “Apakah
pedang semacam ini cukup untuk menghadang Siangkoan Kim-hong?”
Bab 87. Lahir Kembali
A Fei terdiam sekejap, lalu
menjawab, “Tidak ada pedang yang cukup baik untuk bisa menghadang Siangkoan
Kim-hong.”
Sun Sio-ang pun merenung sejenak
dan menyahut, “Lalu…..apa yang harus kita perbuat untuk mengalahkannya?”
A Fei tidak menjawab.
A Fei tahu apa yang harus
diperbuat untuk mengalahkan Siangkoan Kim-hong, namun kata-kata tidak bisa
keluar dari mulutnya.
Ada banyak kata-kata di dunia ini
yang tidak bisa keluar dari mulut manusia.
Sun Sio-ang mengeluh, katanya,
“Dan kau pun harus menghadapi banyak orang di samping Siangkoan Kim-hong.”
Tanya A Fei, “Aku hanya ingin
tahu, apakah kau yakin bahwa Siangkoan Kim-hong memang ada ke sini?”
“Kurasa dugaanku cukup akurat.”
“Mengapa?”
“Karena di sini, ia bisa berbuat
apa saja tanpa diketahui orang luar.”
Tanya A Fei, “Bisa mengalahkan Li
Sun-hoan adalah prestasi yang sangat membanggakan. Mengapa ia ingin
menyembunyikannya dari orang lain?”
“Kalau seseorang sedang menikmati
apa yang disukainya, ia tidak ingin dilihat oleh siapapun juga.”
“Aku tidak mengerti.”
Sun Sio-ang berusaha menjelaskan,
“Apa makanan yang paling kau sukai?”
“Aku suka semua makanan sama
saja.”
“Kalau aku, aku sangat suka
kacang kenari. Setiap kali aku makan kacang kenari, rasanya seperti berada di
nirwana. Terlebih lagi di malam musim salju yang dingin. Aku suka bersembunyi
dan menikmati kacang kenariku sendirian.”
Ia terkikik geli dan melanjutkan,
“Tapi kalau ada orang di sampingku yang melihat aku makan, kacang kenari itu
jadi tidak senikmat kalau aku makan sendirian.”
“Jadi maksudmu Siangkoan Kim-hong
menganggap bahwa membunuh Li Sun-hoan adalah suatu kenikmatan?”
Sahut Sun Sio-ang, “Itulah
sebabnya, aku pun yakin bahwa Siangkoan Kim-hong tidak akan membunuh Li
Sun-hoan dengan segera.”
“Kenapa?”
“Kalau aku hanya punya sebuah
kacang kenari, tentu saja aku akan lambat-lambat memakannya. Semakin lambat aku
makan, semakin lama kenikmatan itu dapat kurasakan. Karena aku tahu, berat
rasanya setelah kacang kenari itu habis.”
Perasaan yang hampa.
Namun ia tidak sanggup menucapkan
kata ‘hampa’ itu.
Lanjut Sun Sio-ang, “Di mata
Siangkoan Kim-hong, hanya ada satu Li Sun-hoan di dunia ini. Setelah ia
membunuhnya, ia pasti akan merasa sama seperti aku setelah memakan kacang kenariku
yang terakhir. Tapi aku tahu akan lebih berat lagi Siangkoan Kim-hong.”
Perlahan A Fei menyelipkan pedang
bambu itu di ikat pinggangnya. Tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Kurasa
tidak akan berat perasaanku setelah membunuhnya.”
Sebelum kalimatnya selesai, ia
telah melangkah pergi dengan cepat.
Ia tidak berlari tergesa-gesa
karena ia ingin siap pada saat sampai di sana. Dalam menghadapi orang seperti
Siangkoan Kim-hong, persiapan adalah kunci utama.
Tibalah ia di pekarangan itu.
Lalu A Fei menegangkan ototnya dan melemaskannya kembali dengan perlahan-lahan.
Ini adalah cara yang terbaik untuk menenangkan dan mempersiapkan diri.
Akhirnya ia melangkah menapaki
anak tangga dan menuju ke pintu gerbang itu.
Tiba-tiba, entah dari mana
beberapa orang bermunculan – semuanya ada delapan belas orang, semuanya
berjubah kuning.
Mereka adalah pasukan garis depan
Kim-ci-pang. Ilmu silat mereka semua sulit ditemukan tandingannya.
A Fei menarik nafas panjang dan
berkata, “Walaupun aku tidak ingin membunuh, aku tidak bisa bertoleransi pada
orang yang menghadang jalanku.”
Seseorang menjawab dengan suara
dingin, “Aku tahu siapa kau! Dan memangnya kenapa kalau kami menghadang
jalanmu?”
“Maka kau akan mati!”
Suara itu tertawa mengejek.
“Membunuh anjing pun kau tidak akan mampu!”
Sahut A Fei tenang, “Aku tidak
suka membunuh anjing, dan kau pun bukan anjing.”
Tidak ada kelebat sinar yang tampak,
karena pedang bambu memang tidak memantulkan cahaya.
Namun pedang bambu pun bisa
membunuh. Paling tidak, di tangan A Fei pedang bambu pun bisa membunuh.
Sebelum tawa orang itu selesai,
pedang bambu itu telah menembus lehernya.
Tapi sekarang, pedang bambu itu
malah tampak berkilauan.
Berkilau karena tetes-tetes darah
segar!
Sepasang Potlot Sang Hakim, Kait
Kembar, Golok Sembilan Cincin, dan lima senjata yang lain menyerbu A Fei dengan
tenaga serangan yang hebat.
Sepasang goliong menyambar cepat
ke arah pedang bambunya.
Sun Sio-ang merasa agak kuatir.
Ia tahu bahwa pengalaman tempur A Fei kurang baik. Ia selalu menghadapi
musuhnya satu lawan satu. Sangat jarang ia dikepung dan diserang oleh beberapa orang
sekaligus.
Pedangnya memang cukup cepat
untuk menghadapi satu lawan, namun apakah cukup cepat juga untuk menghadapi
banyak lawan sekaligus?
Sun Sio-ang ingin sekali bergegas
ke sana untuk memberikan bantuan.
Namun sebelum ia sempat bergerak,
ia telah melihat tiga orang tergeletak di tanah.
Sun Sio-ang bisa bersumpah bahwa
ia melihat sepasang golok itu menebas pedang bambu A Fei, tapi entah bagaimana,
yang tergeletak di tanah itu bukanlah A Fei.
Hanya si pemegang Potlot Sang
Hakim yang mengetahui apa sebabnya.
Jurus menutup jalan darahnya
selalu sangat akurat, dan juga bertenaga besar. Ia yakin sekali, jurusnya akan
mengenai tubuh A Fei.
Tapi beberapa saat saja sebelum
potlot di tangannya mengenai tubuh A Fei, ia merasa seluruh tenaganya lenyap.
Pedang bambu A Fei telah menembus
lehernya.
A Fei hanya lebih cepat sekejap
saja daripada dia.
Tapi sekejap itulah yang
menentukan.
Akhirnya, Sun Sio-ang pun terjun
dalam pertempuran itu. Tubuhnya menelusup dengan lincah ke sana kemari,
bagaikan seekor kupu-kupu yang cantik.
Di antara jago-jago wanita dalam
dunia persilatan, banyak yang berilmu tinggi dalam hal meringankan tubuh dan
senjata rahasia, karena keduanya tidak memerlukan banyak tenaga. Sangat jarang
ditemukan jago wanita yang ahli dalam hal tenaga dalam dan pukulan telapak tangan.
Sun Sio-ang pun tidak terkecuali.
Senjata rahasianya terbang
melesat dengan cepat, namun gerakan tubuhnya lebih cepat lagi. Posisi
langkahnya tidak lazim dan sangat rumit. Tidak mungkin ada orang yang bisa menangkapnya.
Ia masih yakin bahwa ilmu pedang
A Fei hanya bisa digunakan untuk menghadapi satu lawan dan tidak cukup jika
digunakan untuk melawan banyak orang.
Cara A Fei memainkan pedangnya
memang sangat unik. Sama sekali berbeda dari ilmu-ilmu pedang dari perguruan
besar yang sering kita lihat.
Karena dalam jurusnya tidak ada
menebas atau memotong. Yang ada hanya menusuk.
Hanya menusuk untuk membunuh.
Tapi entah bagaimana, A Fei dapat
menusuk ke segala arah, dan ia dapat menusuk dari berbagai posisi.
Tusukannya bisa dimulai dari
dadanya, kakinya, bahkan telinganya!
Ia dapat menusuk ke depan, ke
belakang, ke kiri, ke kanan.
Tiba-tiba seseorang berguling ke
arahnya dari belakang, dan bagaikan badai salju, berbagai macam senjata pisau
beterbangan ke arah A Fei.
Golok Penjelajah Bumi!
Ilmu golok ini sungguh sulit
dipelajari, namun jika seseorang berhasil menguasainya dengan baik, kekuatannya
bukan main-main.
Tapi A Fei seakan-akan mempunya
mata di belakang kepalanya. Dengan lincah ia berkelit dari tombak yang menusuk
dari depan dan melontarkan tusukan kuat dari bawah pinggangnya ke belakang,
menusuk orang yang menggunakan jurus Golok Penjelajah Bumi itu. Tepat di lehernya!
Pada saat yang sama, seseorang
melompat ke depan dari belakang si pemegang tombak. Dengan senjata di kedua
belah tangannya, ia mengeluarkan jurus ‘Mendorong Gunung Maju ke Depan’ ke arah
A Fei. Jurusnya sangat unik, dan senjatanya lebih unik lagi.
Senjatanya adalah ‘Gada Emas
Sayap Burung Hong’.
Senjata ini sangat jarang
dijumpai. Gagangnya dipenuhi oleh duri-duri tajam. Walaupun gada itu biasanya
digunakan untuk memukul, tapi bisa juga digunakan untuk mengangkat dan melukai musuh
dengan ujungnya.
Orang yang tidak beruntung, yang
terkena serangan senjata ini, pastilah tubuhnya akan terkoyak habis.
Seharusnya A Fei segera melompat
ke belakang untuk menghindari serangan itu.
Tapi jika ia melakukannya, ia
akan kehilangan momentum menyerang, dan beberapa senjata yang lain bisa
melukainya!
Tapi sudah tentu ia tidak bisa
balik menyerang secara langsung. Gada Emas Sayap Burung Hong dapat
merobek-robek tubuhnya dengan mudah.
Ini terlihat jelas bagi siapapun
yang menyaksikan.
Tapi pada saat A Fei kelihatannya
sudah di ujung tanduk, tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara.
Sun Sio-ang sempat melihatnya dari
sudut matanya dan ia memekik tertahan.
Pada saat itulah, pedang A Fei
menusuk ke bawah dari kakinya. Sepasang gada itu pun teracung
ke atas.
Bsst! Ujung pedang bambunya telah
tertancap di leher lawannya.
Gada Emas Sayap Burung Hong itu
hanya terpaut beberapa inci saja dari dada A Fei. Namun orang yang memegangnya
tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh di lehernya dan ia pun
tersungkur ke tanah. Dengan
segenap kekuatannya sekalipun, ia tidak bisa mengacungkan gadanya lebih ke atas
sedikit lagi.
Bola matanya seolah-olah akan
melompat keluar. Ia tidak bisa lagi mengendalikan otot-otot di tubuhnya. Dari
pinggang ke bawah, rasanya terasa sangat dingin. Kakinya lemah lunglai dan ia pun
tersungkur ke tanah.
Hanya wajah ketakutannya yang
masih terpatri di situ.
Ia tidak bisa percaya ada pedang
secepat dan seakurat itu dalam dunia ini!
Tapi kini ia pun tidak mungkin
lagi dapat memungkirinya.
Tiba-tiba, keheningan mencekam
segala penjuru. Tidak seorang pun bergerak lagi.
Semuanya terpana memandang
kematian Si Gada Emas Sayap Burung Hong yang mengenaskan itu. Semuanya bisa
mencium bau anyir yang keluar dari tubuhnya yang mati.
Beberapa dari mereka mulai
bergolak perutnya, serasa ingin muntah.
Tapi mereka bukan ingin muntah
karena bau anyir itu. Mereka muntah karena tercekam rasa takut. Seolah-olah
baru saat itulah mereka tahu betapa mengerikan dan mengenaskannya ‘kematian’
itu.
Bukan karena mereka takut mati.
Hanya saja mati dengan cara seperti itu sungguhlah mengenaskan.
A Fei pun tidak melanjutkan
serangannya. Ia berlalu dari kerumunan orang itu.
Ada sembilan orang yang tersisa,
dan pandangan kesembilan pasang mata itu mengikuti langkah
A Fei saat ia berlalu dari situ.
Salah seorang dari mereka
membungkukkan badannya dan mulai muntah-muntah. Seorang yang lain menjerit
seram. Seorang yang lain lagi tersungkur ke tanah dan kejang-kejang.
Ada juga yang segera berlari ke
kamar kecil.
Bagaimana Sun Sio-ang dapat
menahan diri untuk tidak menangis dan tidak ikut muntahmuntah? Hatinya sungguh
dicekam oleh ketakutan yang sangat, juga oleh kesedihan. Ia tidak
bisa mengerti mengapa hidup
manusia bisa tiba-tiba menjadi begitu tidak berharga dan rendah.
A Fei terus melangkah maju dengan
pedang di tangannya.
Darah masih menetes dari
ujungnya.
Pedang ini bukan saja dapat
merenggut nyawa manusia, namun juga bisa melucuti harga dirinya.
Pedang yang sangat kejam!
Namun bagaimana dengan si ahli
pedang?
Sebuah pintu besar menyambutnya
di ujung sana.
Pintu itu tertutup rapat, dan
terkunci dari dalam.
Ini adalah kediaman pribadi
Siangkoan Kim-hong. Ia sedang menunggu di dalam. Demikian pula Li Sun-hoan.
Siangkoan Kim-hong belum keluar.
Artinya Li Sun-hoan belum mati.
Sun Sio-ang penuh dengan rasa
suka cita dan ia pun segera menghambur ke depan pintu itu.
Tapi tubuhnya mendadak mengejang!
Pintu itu terbuat dari besi, dan
paling tidak tebalnya satu kaki. Tidak ada seorang pun di seluruh dunia ini
yang dapat menjebolnya.
Dan sudah tentu, Siangkoan
Kim-hong pun tidak akan begitu saja membuka pintu dan mempersilakan mereka
masuk.
Sun Sio-ang merasa kepalanya
berkunang-kunang, seakan-akan ia baru saja melangkah dari tepi jurang ke dalam
neraka yang tidak berujung.
Ia tidak sanggup berdiri tegak
lagi, dan ia pun tersungkur di depan pintu itu. Ia pun menangis meraung-raung.
Rencananya sudah gagal. Seluruh
usahanya tidak membuahkan hasil apapun.
Mungkin lebih baik kalau ia sudah
gagal di permulaan. Tapi, ia sudah berhasil sampai sejauh ini dan tiba-tiba
saja harapannya putus begitu saja. Sungguh menyakitkan.
Kekecewaan semacam ini sangat
sulit untuk ditanggung.
A Fei yang tadinya berdiri dengan
tenang, kini meraung bagaikan binatang buas yang terluka, dan dengan kekuatan
penuh ia menyeruduk ke arah pintu besi itu.
Namun ia langsung terpental, lalu
tersungkur pula ke tanah. Dengan cepat ia kembali berdiri dan menusukkan
pedangnya dengan sekuat tenaga.
Pedang bambu itu pun patah
menjadi dua.
Tidak ada sebilah pedang pun yang
dapat menembus pintu besi itu, apalagi sebilah pedang bambu!
Bab 88. Kemenangan dan Kekalahan
Kaki A Fei tertekuk saat ia
tersungkur dan tubuhnya mulai mengejang. Baru ia sadar bahwa mereka tidak punya
jalan keluar yang lain lagi. Perasaan itu membuatnya menjadi setengah linglung.
Namun sudah percuma untuk
menangis menggerung-gerung sekalipun.
Li Sun-hoan berada di balik pintu
besi ini, disiksa perlahanlahan menantikan kematiannya.
Dan apa yang bisa dilakukan kedua
sahabatnya hanyalah menunggu dengan pasrah di luar. Tapi apakah sebenarnya yang
mereka tunggu? Apakah mereka menunggu Siangkoan Kim-hong membuka pintu itu?
Jika Siangkoan Kim-hong membuka
pintu, itu berarti hidup Li Sun-hoan telah berakhir. Jadi apa yang mereka
nantikan? Mereka sedang menantikan suatu kematian.
Tidak mungkin Siangkoan Kim-hong
akan menyayangkan nyawa mereka pula. Saat Siangkoan Kim-hong keluar dari pintu
itu adalah saat mereka menandatangani surat kematian mereka.
Sun Sio-ang berlari ke arah A Fei
dan berusaha menarik A Fei bangun.
“Ayo, cepatlah lari,” kata Sun
Sio-ang.
“Kau…..Kau menyuruh aku lari?”
“Tidak ada lagi yang dapat kau
lakukan sekarang, aku…..”
Tanya A Fei, “Bagaimana dengan
engkau?”
Sun Sio-ang menggigit bibirnya
dan berpikir lama. Lalu ia menunduk dan berkata, “Situasiku berbeda.”
“Berbeda?”
“Aku sudah memutuskan sejak lama
bahwa jika ia mati, aku pun tidak akan hidup tanpa dia. Tapi kau…..”
Kata A Fei, “Aku memang tidak
bermaksud ikut mati menemani dia.”
“Oleh sebab itulah kau harus
secepatnya lari.”
“Aku pun tidak bermaksud untuk
lari.”
“Kenapa?”
Jawab A Fei singkat, “Kau pasti
tahu kenapa.”
Kata Sun Sio-ang, “Aku mengerti,
kau pasti ingin membalaskan kematiannya. Tapi itu kan tidak harus sekarang. Kau
bisa menunggu….”
“Aku tidak bermaksud untuk
menunggu.”
“Tapi jika kau tidak menunggu,
maka…..maka…..”
Tanya A Fei, “Maka apa?”
Bibir Sun Sio-ang mulai berdarah.
Serunya lantang, “Maka kaulah
yang akan mati!”
A Fei memandangi bekas noda darah
di pedang bambunya. Darah itu sudah kering.
Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu,
apapun yang akan terjadi, kau akan tetap mencoba. Tapi usahamu akan sia-sia
belaka.”
Kata A Fei, “Dan apa gunanya juga
kau menunggu di sini untuk mati bersama dengan dia?”
Sun Sio-ang tidak punya jawaban.
Kata A Fei lagi, “Kau menunggu di
sini karena kau tahu bahwa ada hal-hal tidak akan berhasil, namun tetap saja
harus kau lakukan.”
Sun Sio-ang akhirnya mengeluh
panjang dan berkata, “Makin lama perkataanmu semakin mirip dengan
perkataannya.”
A Fei terdiam dan menganggukkan
kepalanya.
Ia mengakuinya. Tidak mungkin ia
menyangkalnya.
Setiap orang yang pernah berteman
dengan Li Sun-hoan tidak mungkin tidak terimbas oleh sikapnya yang tidak pernah
mementingkan diri sendiri.
Jika ia tidak pernah bertemu
dengan Li Sun-hoan, mungkin A Fei telah kehilangan kepercayaan terhadap sesama
manusia sejak lama.
‘Jangan percaya kepada siapapun
juga, dan jangan pernah menerima kebaikan orang lain; kalau kau tidak
menurutinya, hidupmu akan penuh dengan berbagai macam penderitaan.’
Ibu A Fei harus menanggung duka
dan derita seumur hidupnya. Tidak pernah sekalipun A Fei melihat ibunya
tersenyum. Ia telah meninggal dalam usia muda, mungkin karena ia telah putus harapan
dalam hidupnya.
‘Aku bersalah kepadamu.
Seharusnya aku menunggu sampai kau dewasa, baru aku meninggalkan dunia ini.
Tapi aku sungguh tidak tahan lagi, aku merasa sangat lelah…. Maafkan aku, aku
tidak dapat meninggalkan apa-apa untukmu, hanya sedikit pesan ini saja. Aku
harus hidup menderita seumur hidupku untuk mempelajarinya, jadi jangan pernah
lupa akan pesanku ini.’
A Fei tidak pernah lupa akan
pesan ibunya.
Waktu ia meninggalkan alam bebas
dan masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat, ia tidak sedang berusaha mencari
penghidupan yang lebih baik. Sebaliknya, ia ingin membalas dendam terhadap umat
manusia, siapa pun juga, atas penderitaan ibunya.
Tapi ironisnya, orang yang
pertama ditemuinya adalah Li Sunhoan.
Li Sun-hoan telah membuatnya
sadar bahwa hidup itu tidak melulu penderitaan dan duka nestapa. Li Sun-hoan
membuatnya sadar bahwa kematian bukanlah suatu hal yang buruk dan mengerikan,
seperti yang dulu dipikirnya. Ia telah belajar begitu banyak dari Li Sun-hoan.
Awalnya ia sungguh yakin bahwa
moralitas dan keluhuran budi itu tidak ada dalam dunia nyata.
Tapi Li Sun-hoan telah menyentuh
hidupnya begitu rupa, bahkan lebih daripada ibunya sendiri.
Karena yang didengungkan Li
Sun-hoan adalah ‘cinta’, bukan ‘benci’.
Cinta memang selalu lebih mudah
diterima daripada benci.
Namun kini, begitu sulitnya A Fei
memadamkan api kebencian yang sedang berkobar dalam hatinya.
Kobaran kebencian ini
mendorongnya untuk menghancurkan. Menghancurkan orang lain, menghancurkan diri
sendiri, menghancurkan segala sesuatu.
Ia sungguh merasa bahwa hidup itu
sama sekali tidak adil. Bahwa orang seperti Li Sun-hoan harus berakhir seperti
ini.
Sun Sio-ang menghela nafas dengan
berat. Katanya, “Jika Siangkoan Kim-hong tahu kita berdiri di sini menantikan
dia, ia pasti sangat berbahagia.”
A Fei mengertakkan giginya dan
berteriak, “Biar saja dia berbahagia! Hanya orang baik saja yang selalu
menderita. Kebahagiaan hanya dianugerahkan kepada orang-orang jahat!”
Tiba-tiba terdengar suara
berseru, “Kau salah besar!”
Walaupun pintu besi itu begitu
berat, ternyata saat pintu itu dibuka, tidak kedengaran derit
sedikit pun.
Oleh sebab itulah, mereka berdua
tidak menyadari bahwa pintu itu telah dibuka.
Seseorang melangkah perlahan
keluar dari sana…..dan ia adalah Li Sun-hoan!
Ia kelihatan lelah dan letih,
namun ia hidup.
Yang terpenting adalah ia hidup!
A Fei dan Sun Sio-ang menoleh dan
menatapnya dengan mulut ternganga. Air mata langsung mengalir membasahi wajah
mereka.
Air mata bahagia. Dalam
kegembiraan dan kesedihan, selain air mata, tidak ada lagi yang perlu dilakukan,
tidak ada lagi yang perlu diucapkan. Tidak seorang pun bergerak.
Mata Li Sun-hoan pun telah terasa
panas dan basah oleh air mata. Dengan tersenyum ia berkata, “Kau salah besar.
Orang yang baik tidak akan menderita dalam keputusasaan. Dan penderitaan yang
dialami orang yang jahat akan jauh lebih besar daripada kebahagiaannya.”
Sun Sio-ang memburu ke arahnya
dan jatuh ke dalam pelukan Li Sun-hoan. Ia menangis tersedu-sedu.
Ia tidak bisa berhenti menangis
saking bahagianya.
Setelah beberapa saat, akhirnya A
Fei mendesah dan tidak dapat membendung pertanyaannya.
“Di manakah Siangkoan Kim-hong?”
Li Sun-hoan membelai rambut Sun
Sio-ang dengan lembut sambil menjawab, “Ia pasti menderita sekarang, karena ia
telah membuat satu kesalahan.”
“Kesalahan apa yang
diperbuatnya?”
“Sesungguhnya ia punya begitu
banyak kesempatan untuk membunuhku. Ia bisa memojokkanku sampai aku tidak bisa
lagi mempertahankan diri. Tapi ia tidak menggunakan kesempatan itu.”
Bagi seseorang seperti Siangkoan
Kim-hong, mengapa ia sengaja melepaskan kesempatan sebaik itu?
Sun Sio-ang pun ikut bertanya,
“Kenapa bisa begitu?”
Li Sun-hoan tersenyum dan
berkata, “Karena ia ingin berjudi.”
Mata Sun Sio-ang berkilat dan ia
berkata, “Ia pasti tidak percaya akan perkataan ‘Pisau Terbang Li Kecil, sekali
sambit tidak pernah luput’!”
“Ia tidak percaya ….. ia tidak
percaya pada siapapun juga.
Tidak ada satu pun dalam dunia
ini yang dipercayainya,” kata Li Sun-hoan.
Tanya Sun Sio-ang, “Dan bagaimana
jadinya?”
“Jadinya, ia sudah kalah!”
Ia sudah kalah!
Tiga kata yang sederhana.
Kemenangan dan kekalahan
ditentukan dalam sekejap saja.Tapi betapa menegangkannya, betapa menakjubkannya
satu kejap itu!
Satu kilatan cahaya itu pasti
begitu mengerikan. Namun juga begitu mempesona.
Satu-satunya kekecewaan Sun
Sio-ang adalah bahwa ia tidak bisa menyaksikan apa yang terjadi dalam satu
kejap itu.
Ia tidak perlu melihatnya dengan
mata kepala sendiri. Hanya memikirkannya saja, membuat jantungnya berdegup
kencang!
Meteor pun begitu indah dan
menawan.
Meteor meluncur membelah langit malam
dengan cahayanya yang terang berkilat, membuat siapapun yang melihatnya pasti
tergugah hatinya.
Tapi meteor tidak dapat
dibandingkan dengan kilatan sinar sebilah pedang.
Cahaya meteor tidak hidup lama.
Namun kegemilangan sebilah pedang
akan bercahaya selama-lamanya!
Pintu itu telah terbuka.
Tidak ada yang bisa memisahkan
dunia ini lagi.
Jika seseorang ingin mengasingkan
diri dari dunia, ia pasti telah terlebih dulu ditolak oleh dunia ini!
A Fei melangkah masuk ke dalam.
Yang pertama terlihat olehnya adalah pisau itu, pisau yang penuh misteri.
Pisau Terbang Li Kecil!
Pisau itu tidak menembus leher
Siangkoan Kim-hong, namun cukup untuk mengambil nyawanya.
Pisau itu masuk tepat di pangkal
lehernya, menembus tulang bahunya, dan mengarah ke atas.
Pisau itu pasti dilepaskan dari
tempat yang sangat rendah.
Wajah Siangkoan Kim-hong
kelihatan ketakutan dan tidak percaya. Sama seperti ekspresi sebagian besar
orang yang dibunuh Li Sun-hoan sebelum dia.
Semua kehidupan diciptakan sama.
Terutama di hadapan kematian, kita semua sama. Tapi sayang, banyak orang
menyadarinya setelah hasil akhir ditentukan.
Wajah Siangkoan Kim-hong penuh
dengan rasa terkejut, ragu, dan tidak percaya.
Ia sama seperti yang lain, ia
tidak percaya ada pisau yang begitu cepat.
Bahkan A Fei pun sulit percaya.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Li Sun-hoan menyambitkan pisau itu.
Ia ingin sekali Li Sun-hoan
menceritakan segala sesuatu dengan detil, tapi ia tahu bahwa Li Sunhoan tidak
akan melakukannya.
Kegemilangan cahaya dalam satu
kejap itu. Kecepatan sambitan pisaunya. Keduanya tidak dapat diterangkan dengan
kata-kata.
‘Ia sudah kalah!’
Tangan Siangkoan Kim-hong masih
terkepal erat, seolah-olah sedang berpegangan pada sesuatu. Apakah ia masih
tidak mau percaya akan apa yang terjadi sampai akhirnya?
A Fei tiba-tiba merasa muram,
seakan-akan ia bersimpati pada orang ini. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia
merasa begitu.
Mungkin ia bukan bersimpati pada
Siangkoan Kim-hong, melainkan pada dirinya sendiri.
Karena ia adalah manusia, dan
Siangkoan Kim-hong pun adalah manusia. Semua manusia memiliki rasa sedih dan
penderitaan yang serupa.
Walaupun bukan ia yang kalah,
apakah yang ia pegang erat-erat? Apakah yang sesungguhnya telah didapatkannya?
A Fei terpekur sekian lama, lalu
menolehkan kepalanya.
Yang ditemukannya adalah Hing
Bu-bing.
Seolah-olah Hing Bu-bing tidak
menyadari ada orang yang masuk ke situ. Walaupun selama itu ia berdiri tepat di
belakang A Fei, seakan-akan ia sedang berdiri di dunia lain.
Walaupun matanya menatap lurus
pada Siangkoan Kim-hong, sebenarnya ia sedang menatap dirinya sendiri.
Hidup Siangkoan Kim-hong adalah
hidupnya. Ia adalah bayangan Siangkoan Kim-hong.
Ketika hidup sudah musnah,
bagaimana mungkin bayangannya bisa tetap ada?
Kapan pun dan di mana pun, setiap
kali Hing Bu-bing berdiri di dekatnya, orang akan merasakan aura membunuh
melingkupi dirinya.
Tapi sekarang, aura itu sudah
hilang lenyap.
Ketika A Fei masuk ke dalam situ,
ia bahkan tidak menyadari ada jiwa lain di sana.
Walaupun Hing Bu-bing masih
hidup, yang tinggal hanyalah tubuhnya yang hampa. Ia bagaikan sebilah pedang
yang telah kehilangan ketajamannya. Sama sekali tidak ada fungsinya lagi.
A Fei mengeluh panjang dalam
hatinya. Ia sungguh mengerti perasaan Hing Bu-bing.
Karena ia pun pernah mengalami
perasaan yang sama.
Setelah beberapa lama, Hing
Bu-bing berjalan menuju mayat Siangkoan Kim-hong dan mengangkatnya dengan kedua
tangannya.
Ia masih belum melihat ada orang
lain di situ. Dengan perlahan, ia berjalan menuju ke pintu.
Tanya A Fei, “Kau tidak ingin
membalas dendam?”
Hing Bu-bing tidak menoleh.
Kecepatan langkahnya pun tidak berubah.
A Fei tertawa dingin. “Kau takut
ya?”
Hing Bu-bing tiba-tiba berhenti.
Kata A Fei, “Masih ada pedang di
pinggangmu. Mengapa kau takut untuk menghunusnya? Kecuali pedang itu hanya
untuk pajangan saja.”
Hing Bu-bing memutar badannya.
Mayat itu jatuh ke tanah dan
pedang pun melayang keluar dari pinggangnya.
Pedang itu berkelebat maju,
menyerang langsung ke arah leher A Fei!
Ia memang sangat cepat, secepat
biasanya. Tapi entah bagaimana, ketika pedang itu sudah sampai setengah kaki
dari targetnya, pedang bambu A Fei telah tiba di lehernya!
A Fei telah membuat tiga pedang
bambu. Ini adalah yang kedua.
Ia memandang Hing Bu-bing dan
berkata perlahan, “Kau memang luar biasa cepat, namun kau tidak bisa lagi
membunuh. Tahukah kau kenapa?”
Hing Bu-bing menurunkan
pedangnya.
“Karena keinginanmu untuk mati
lebih besar daripada musuhmu. Itulah sebabnya kau tidak bisa lagi
membunuh.”Mata Hing Bu-bing yang biasanya mati, mendadak bercahaya, penuh
kesedihan.
Setelah lama memandang A Fei,
akhirnya ia menjawab singkat, “Ya.”
Kata A Fei, “Aku bisa
membunuhmu.”
“Ya.”
“Tapi aku tidak akan membunuhmu.”
“Kau tidak akan membunuhku?”
tanya Hing Bu-bing kaget.
“Aku tidak akan membunuhmu karena
engkau adalah Hing Bu-bing!”
Otot-otot wajah Hing Bu-bing
bergerak-gerak.
Ini adalah perkataan yang tepat
sama, yang diucapkannya kepada A Fei saat pertama kali mereka bertempur. Namun
hari ini, perkataannya telah berbalik menjadi perkataan A Fei.
Ia memikirkan perkataan ini
dengan murka. Seolah-olah api telah berkobar di matanya, bagaikan seonggok abu
yang tiba-tiba tersulut lagi.
A Fei memandangnya dan berkata,
“Kau boleh pergi sekarang.”
“Pergi…..?”
“Kau pernah memberikan kesempatan
kedua kepadaku. Kini aku pun memberikan kesempatan kedua kepadamu….kesempatan
yang terakhir.”
Ia memandangi punggung Hing
Bu-bing yang melangkah keluar. Perasaan yang aneh bergelora dalam hatinya.
‘Gigi balas gigi, darah balas
darah.’
Apa yang dulu diberikan Hing
Bu-bing kepadanya, kini telah dibayarnya lunas.
Ketika hati manusia sudah mati,
hanya dua hal yang bisa membuat orang itu terus hidup.
Yang satu adalah cinta, yang lain
adalah benci.
A Fei bisa terus hidup karena
cinta. Dan kini ia ingin memperpanjang hidup Hing Bu-bing oleh kebencian.
Tapi sungguh, ia hanya ingin Hing
Bu-bing terus hidup.
Jika ini adalah balas dendam, ini
adalah cara membalas dendam yang tidak mementingkan diri sendiri. Kalau semua
balas dendam dilakukan dengan cara ini, sejarah umat manusia akan jauh lebih
cerah. Dan tidak dapat diragukan bahwa kehidupan umat manusia akan berlanjut
untuk selama-lamanya.
Dalam bentuk apapun, balas dendam
itu selalu memuaskan hati.
Namun apakah saat ini A Fei
sungguh bergembira?
Ia hanya merasa lelah, sangat
sangat lelah…..dan pedang di tangannya pun terlepas, jatuh ke tanah.
Selama itu Sun Sio-ang hanya
memandangnya dari jauh. Baru saat itu, ia berani menghela nafas lega.
‘Amat mudah membunuh seseorang.
Yang teramat sulit adalah meyakinkan seseorang untuk mau terus hidup.’
Ini adalah perkataan Li Sun-hoan.
Siapapun dia, apapun situasinya,
metode yang digunakannya selalu sama, yaitu dengan cinta kasih, bukan
kebencian. Karena Li Sun-hoan tahu, kebencian hanya akan membawa kehancuran.
Namun kekuatan cinta dapat
memberikan hidup yang kekal.
Cintanya hanya akan bertambah
lebar seiring dengan waktu. Kepribadiannya akan selalu mengutamakan sesama
manusia, untuk selama-lamanya.
Sun Sio-ang baru menyadari bahwa
A Fei telah berubah menjadi sama seperti Li Sun-hoan.
Ia tidak tahan dan melirik ke
arah Li Sun-hoan.
Li Sun-hoan tampak begitu letih
dan lelah, sampai-sampai tidak bisa lagi berbicara.
Sun Sio-ang menatapnya sampai
lama, baru akhirnya tersenyum dan berkata, “Kalian berdua baru saja mengalahkan
dua pesilat yang paling tangguh di seluruh dunia. Dua kekuatan gabungan yang
terbesar baru saja kalian hancurkan. Kalian berdua seharusnya bergembira, tapi tidak
kulihat secercah pun cahaya kebahagiaan di wajah kalian. Seolah-olah kalian
berdualah yang baru saja kalah.”
Bab 89. Penutup
Li Sun-hoan terdiam beberapa
saat. Lalu ia mendesah dan berkata perlahan, “Ketika seseorang menang, ia
selalu merasa sangat kelelahan dan kesepian.”
“Kenapa?” tanya Sun Sio-ang.
“Karena ia telah berhasil, ia
telah mencapai tujuannya. Tidak akan ada lagi yang diharapkannya, yang
dinanti-nantikannya. Tapi orang yang menderita kekalahan justru akan semakin
terpacu untuk berusaha lebih giat lagi.”
Sun Sio-ang kembali menggigit
bibirnya dan berkata, “Jadi ternyata, kemenangan pun tidak terasa manis.”
Li Sun-hoan terdiam. Lalu ia
menyahut sambil tersenyum, “Walaupun rasa kemenangan pun sulit ditanggung, itu
masih lebih ringan daripada rasa kekalahan.”
Keberhasilan dan kemenangan tidak
akan memberikan kepuasan, tidak juga membawa kebahagiaan.
Kebahagiaan sejati hanya dapat
diraih saat menjalani perjuangan yang kau alami seumur hidupmu.
Jika kau sempat menikmati kebahagiaan
seperti itu, hidupmu sungguh tidak sia-sia.
Paviliun adalah tempat orang
bertemu untuk mengucapkan salam perpisahan. Perpisahan memang selalu membawa
perasaan yang mengharu-biru.
Oleh sebab itu, hanya dengan
mengucapkan kata ‘paviliun’, kesedihan pun sudah bisa terasa.
Hujan telah berhenti. Rerumputan
basah dan kelihatan kacau.
Di luar paviliun, dekat jalan
raya, sepasang muda-mudi sedang mengucapkan salam perpisahan mereka.
Seorang pemuda yang bersemangat
dan seorang gadis yang penuh gairah. Tampak jelas, bahwa mereka sedang dimabuk
cinta. Ia seharusnya tetap tinggal dan menikmati kegembiraan masa mudanya.
Mengapa ia berkeras ingin pergi?
Terlihat pedang di sisinya. Namun
pedang setajam apapun tidak dapat memisahkan cinta masa muda dan mimpi-mimpinya.
Mata pemuda itu terlihat merah, sepertinya ia habis menangis.
“Kau telah menemaniku sejauh ini.
Sudahlah, kau pulang saja.”
Si gadis menundukkan kepalanya
dan bertanya, “Kapankah engkau akan kembali?”
“Aku belum tahu. Mungkin setahun,
dua tahun,…..”
Air mata si gadis kembali
mengalir membasahi pipinya. Ia berkata, “Mengapa kau harus membuatku menunggu
begitu lama? Mengapa kau harus pergi?”
Si pemuda menegakkan tubuhnya dan
menjawab, “Aku telah mengatakannya kepadamu. Aku ingin menemukan mereka, dan
mengalahkan mereka satu per satu!”
Pandangan mata si pemuda menuju
ke kejauhan. Cahaya terang terpancar dari matanya. Lanjutnya, “Orang-orang yang
tercantum dalam Kitab Persenjataan. Siangkoan Kim-hong, Li Sunhoan, Guo Song
Yang, Lu Feng Xian….. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku lebih hebat daripada
mereka semua. Dan setelah itu…..”
Potong si gadis, “Dan setelah itu
apa? Kita sudah begitu berbahagia sekarang. Setelah kau kalahkan mereka semua,
apakah kita akan lebih berbahagia?”
Jawab si pemuda, “Mungkin juga
tidak. Tapi, ini harus kulakukan!”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak bisa
menyia-nyiakan setengah hidupku tanpa arti seperti ini. Aku ingin membuat nama
bagi diriku sendiri. Aku ingin terkenal seperti Siangkoan Kim-hong dan Li Sunhoan.
Dan aku yakin, aku pasti berhasil!”
Ia mengepalkan tangannya
kuat-kuat. Ia sungguh-sungguh sudah bertekad bulat.
Si gadis memandang kepadanya
dengan tatapan kagum. Matanya penuh dengan kelembutan dan kehangatan. Akhirnya
ia mendesah dan berkata dengan lembut, “Aku pun yakin bahwa kau akan berhasil.
Sampai kapan pun kau pergi, aku akan menunggumu di sini dengan setia.”
Hati mereka penuh dengan
kesedihan karena akan berpisah, namun juga penuh dengan harapan akan
kebahagiaan yang akan datang.
Tentu saja kedua orang itu tidak
akan menyadari kehadiran orang lain.
Dari balik hutan, ada dua pasang
mata yang sedang menatap mereka.
Ketika si pemuda mulai melangkah
menapaki jalan raya yang panjang di hadapannya, Sun Sioang menghela nafas dan
berkata, “Kalau saja dia tahu nasib seperti apa yang dialami Siangkoan Kim-hong,
mungkin ia tidak akan begitu mudah meninggalkan kekasih hatinya….”
Apa yang terjadi setelah
seseorang membuat nama untuk dirinya sendiri?
Sun Sio-ang memandang Li Sun-hoan
dengan mata penuh air mata. Lanjutnya, “Ia ingin menjadi terkenal seperti
engkau, tapi kau…..apakah kau memang lebih berbahagia daripada dia? Kurasa…..Kurasa
jika kau berada di tempatnya, kau tidak akan berbuat seperti itu.”
Mata Li Sun-hoan masih terpaku
pada sosok si pemuda yang berjalan semakin jauh, dan akhirnya hilang dari
pandangan. Jawabnya, “Jika aku ada di tempatnya, aku pun akan berbuat seperti
itu.”
“Kau……”
“Manusia harus selalu memiliki
tujuan dan ambisi. Dan terkadang, kita harus berani meninggalkan segala sesuatu
demi meraih cita-cita itu. Apapun hasilnya, apakah itu keberhasilan atau
kegagalan, itu tidaklah penting.”
Senyum kepuasan tergambar di
sudut bibir Li Sun-hoan. Matanya pun cerah dan bercahaya. Lanjutnya, “Ada orang
yang akan menganggap itu sangat bodoh, namun tanpa pikiran seperti itu, apa
jadinya dunia kita ini?”
Kini mata Sun Sio-ang pun penuh
kelembutan dan kekaguman, sama seperti mata si gadis tadi. Ia, seperti si gadis
di paviliun itu, sangat bangga akan kekasihnya.
A Fei yang sejak tadi berdiri
agak jauh, perlahan-lahan berjalan mendekati mereka.
Namun Sun Sio-ang masih
menggenggam tangan Li Sun-hoan erat-erat, tidak ingin dilepaskannya. Ia tidak
merasa malu. Ia tidak menganggap bahwa rasa cintanya terhadap Li Sun-hoan harus
disembunyikan.
Kalau bisa, ia bahkan ingin
menyerukan pada seluruh dunia betapa ia mencintai Li Sun-hoan.
Kata A Fei, “Kelihatannya ia
tidak akan datang.”
Mereka berencana untuk bertemu
dengan Lim Si-im di situ.
Mereka sama sekali tidak tahu apa
yang telah terjadi di antara Lim Si-im dan Liong Siau-hun.
Sama seperti si pemuda tadi,
tidak tahu apa yang telah terjadi pada Siangkoan Kim-hong.
Ada hal-hal yang lebih baik tidak
kita ketahui.
Ketika ia berpikir tentang Lim
Si-im, tanpa terasa genggaman tangan Sun Sio-ang pada Li Sunhoan mengendur.
Tapi dengan segera ia kembali menggenggamnya kuat-kuat, bahkan lebih dari sebelumnya.
Katanya, “Ia telah berjanji untuk bertemu denganku di sini. Aku yakin, ia pasti
akan datang.”
“Ia tidak akan datang!” kata A
Fei.
“Kenapa?” tanya Sun Sio-ang.
“Karena ia tahu bahwa tidak ada
gunanya ia datang kemari.”
Sun Sio-anglah yang bertanya,
tapi waktu A Fei menjawab, matanya terarah kepada Li Sun-hoan. Li Sun-hoan pun
tidak berusaha melepaskan genggaman tangan Sun Sio-ang. Dulu, setiap kali ia
mendengar orang menyebut nama Lim Si-im, ia akan merasa sedih dan tertekan.
Seolah-olah seluruh tubuhnya dikunci dengan belenggu.
Ia selalu menanggung beban
kesedihan ini di punggungnya.
Namun kini, kesedihan itu tidak
lagi seberat sebelumnya. Apakah yang telah membebaskannya? Perasaannya terhadap
Lim Si-im telah terpupuk begitu lama.
Tentu saja perasaan itu menjadi
teramat dalam.
Tapi, walaupun ia baru mengenal
Sun Sio-ang sebentar saja, mereka berdua telah mengalami kesukaran yang paling
berat bersama-sama. Mereka telah melalui lautan api hidup dan mati.
Oleh sebab itukah, perasaan
mereka menjadi lebih dalam?
Saat itu, Lim Si-im telah lama
pergi.
A Fei benar – ia tidak datang,
karena ia tidak perlu datang.
Liong Siau-hun muda (Liong
Siau-in) pun pernah menanyakan pada ibunya, “Mengapa kau tidak memperbolehkan
aku menemuinya sekali lagi saja?”
Lim Si-im balas bertanya, “Untuk
apa kau menemuinya?”
“Aku hanya ingin ia tahu, mengapa
ayah sampai mati,” kata Liong Siau-hun muda (Liong Siau-in) sambil mengertakkan
giginya.
Apapun yang telah diperbuat Liong
Siau-hun di masa lalu, ia telah membasuhnya bersih dengan darahnya sendiri.
Sebagai seorang anak, ia pasti
ingin seluruh dunia mengetahuinya.
Tapi Lim Si-im tidak berpikir
demikian. Katanya, “Ia melakukan apa yang dilakukannya, hanya karena ia merasa
itulah yang harus dilakukan. Bukan karena ia ingin memohon pengampunan orang
lain, juga bukan karena ingin seluruh dunia mengetahuinya.”
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan
lagi, “Bukan saja ia telah melunasi hutang-hutangnya, ia pun telah melunasi
hutanghutang kita. Selama kita hidup berbahagia, aku yakin ayahmua akan bisa
beristirahat dengan tenang.”
Lim Si-im pun tidak ingin
berjumpa dengan Li Sun-hoan, karena ia tahu bahwa perjumpaan itu hanya akan
membawa kesedihan belaka.
Mereka pun tidak berusaha mencari
mayat Liong Siau-hun, karena mereka tahu bahwa Kim Cipang (Partai Uang Emas)
selalu membuang mayat orang yang mereka bunuh dengan cepat dan efisien.
Dan jika mereka memaksa mencari,
yang akan mereka dapatkan hanyalah kesedihan. Hal ini pun dipahami oleh Sun
Sio-ang. Mayat kakeknya pun tidak akan pernah ditemukan.
Ada hal-hal dalam hidup ini yang
tidak bisa dikendalikan.
Siapapun tidak dapat mengendalikannya.
Walaupun hal-hal ini sulit
diterima, kita hanya dapat mencari jalan untuk melaluinya, dan hidup terbebas
dari belenggunya.
Mereka telah bertekad bulat untuk
terus hidup! Karena kematian bukanlah solusi permasalahan mereka – kematian
bukanlah solusi permasalahan apapun juga.
Ada sekelompok orang lain yang
sedang mengucapkan salam perpisahan di paviliun itu.
Kali ini, A Feilah yang
mengucapkan salam perpisahan. Ia berkata bahwa ia ingin bertualang pergi ke
lautan luas, mencari rempah-rempah yang dapat membuat manusia hidup
selamalamanya dan mencari dewa umur panjang.
Tentu saja ia berbohong, namun Li
Sun-hoan tidak berusaha mencegahnya pergi.
Karena asal-usul A Fei pun
merupakan suatu misteri. Ia tidak suka membicarakannya, bahkan dengan Li Sun-hoan
sekalipun. Namun setiap kali Li Sun-hoan menyebut nama Shen Lang, Xiong Mao Er,
Wang LianHua, Zhu QiQi, dan para pendekar lain dari generasi sebelumnya, wajah
A Fei selalu berseri-seri dengan suatu ekspresi yang aneh.
Apakah ada hubungan antara A Fei
dengan para pendekar di masa lalu itu?
Apakah itulah sebabnya ia
memutuskan untuk bertualang di lautan lepas?
Li Sun-hoan tidak berusaha
menanyakannya.
Karena ia tahu bahwa masa lalu
seseorang tidaklah penting.
Manusia bukanlah anjing, bukan juga
kuda. Silsilah keturunan bukanlah hal yang penting sama sekali.
Kita ingin menjadi orang seperti
apa, itu semua ada di tangan kita masing-masing.
Itulah yang terpenting dan
terutama.
Ketika sahabat berpisah, biasanya
ada ucapan-ucapan selamat, juga ada banyak kesedihan dan emosi. Tapi di antara
Li Sun-hoan dan A Fei, yang ada hanyalah ucapan selamat, tidak ada kesedihan
sama sekali.
Karena yang satu tahu pasti bahwa
yang lain akan hidup berbahagia. Bahwa akan ada banyak kesempatan untuk bertemu
kembali di kemudian hari.
Terutama ketika A Fei melihat
tangan Li Sun-hoan, hatinya menjadi tenteram.
Tangan Li Sun-hoan masih
menggenggam erat tangan Sun Sio-ang.
Tangan itu telah memegang pisau
terlalu lama. Telah memegang cawan anggur terlalu lalu lama. Pisau itu terlalu
kejam dan cawan anggur terlalu dingin. Tangan itu pantas untuk merasakan kehangatan
mulai sekarang.
Adakah dalam dunia ini yang lebih
hangat daripada tangan kekasih hatimu? A Fei tahu bahwa Sun Sio-ang akan
menghargai tangan itu, lebih daripada orang lain. Walaupun tangan itu masih
penuh dengan luka-luka pertempuran panjang di masa lalu, dengan berjalannya waktu
ia pasti dapat pulih kembali.
Tentang dirinya sendiri, tentu
saja ia pun mempunyai luka-luka lama.
Tapi ia tidak ingin
membicarakannya lagi.
‘Masa lalu sudah berlalu……’
Perkataan ini sepertinya sangat
sederhana, tapi orang yang mampu melakukannya sungguh teramat sedikit.
Namun Li Sun-hoan dan A Fei,
mereka berdua telah berhasil lepas dari masa lalu mereka masingmasing.
Tiba-tiba A Fei berkata, “Aku
akan kembali tiga tahun lagi.”
Ia memandang tangan mereka berdua
yang masih bertaut dan tersenyum. “Waktu aku kembali, sebaiknya kau segera
mentraktirku minum arak.”
Sahut Li Sun-hoan, “Itu sudah
pasti, tapi tiga tahun adalah waktu yang sangat lama.”
“Namun arak yang ingin kuminum
itu arak yang spesial. Aku tidak tahu apakah kalian berdua bersedia menjamuku
dengan arak itu.”
Tanya Sun Sio-ang, “Arak apa sih
yang kau inginkan?”
“Tentu saja arak pernikahan kalian,”
jawab A Fei sambil tersenyum lebar.
Arak pernikahan. Tentu saja arak
pernikahan.
Karena arak pernikahan memang
membutuhkan tiga tahun lamanya. Tiga tahun untuk berduka atas kematian
kakeknya.
Wajah Sun Sio-ang langsung
bersemu merah.
Kata A Fei, “Aku telah mencicipi
berbagai macam arak, kecuali yang satu ini. Kuharap kalian berdua tidak
mengecewakan aku.”
Semakin merah wajah Sun Sio-ang
dibuatnya. Ia menundukkan kepala, namun mencuri-curi pandang pada Li Sun-hoan.
Ekspresi wajah Li Sun-hoan pun
tampak aneh. Kata ‘arak pernikahan’ sama sekali tidak disangkanya. Setelah
terdiam beberapa saat, akhirnya ia berkata, “Aku telah mengundang orang minum
berbagai macam arak, namun aku belum pernah mengundang orang untuk minum arak pernikahan.
Kau tahu sebabnya?”
Tentu saja A Fei tahu jawabannya,
namun Li Sun-hoan tidak menginginkan dia menjawabnya.
Jadi Li Sun-hoanlah yang menjawab
sendiri pertanyaannya, “Arak pernikahan itu terlalu mahal.”
“Terlalu mahal?” tanya A Fei
heran.
Li Sun-hoan tersenyum dan
berkata, “Ketika seorang pria menjamu orang lain dengan arak pernikahannya, itu
berarti ia mengakui ia bersedia membayar hutang-hutangnya sedikit demi sedikit
seumur hidupnya. Sayangnya, aku bukan orang yang suka mengecewakan
sahabatsahabatnya.”
Sun Sio-ang memekik dan
menghambur ke pelukan Li Sunhoan.
A Fei pun tertawa.
Ia sudah tidak tertawa seperti
ini begitu lama.
Dengan satu tawa itu, tiba-tiba
ia merasa bertambah muda. Semangat dan rasa percaya dirinya meluap-luap.
Harapan dan cita-citanya pun bertunas kembali.
Bahkan sepotong kayu kering pun
tampak begitu hidup di matanya. Karena ia tahu bahwa dari kayu lapuk itu akan
muncul kehidupan yang baru. Tidak berapa lama lagi tunas-tunas pohon baru akan
bermunculan di sana.
Ia tidak menyangka begitu
besarnya pengaruh ‘tawa’ itu.
Ia tidak hanya mengagumi Li
Sun-hoan, ia pun sangat berterima kasih kepadanya. Karena tidak mudah bagi
seseorang untuk melepaskan tawa yang sudah terpendam begitu lama. Tapi jika seseorang
bisa membangkitkan tawa orang lain, itu lebih berharga lagi.
‘Menambahkan kaki pada gambar
ular’ adalah suatu tindakan yang tidak perlu, juga suatu tindakan yang tolol.
Namun sudah ada begitu banyak
ketidakpuasan dalam dunia ini. Mengapa kita tidak membantu menguranginya dengan
sedikit tawa?
Tawa adalah seperti minyak wangi.
Tidak hanya membuat diri sendiri menjadi lebih baik, namun juga membuat orang
lain bergembira.
Apa salahnya bersikap sedikit
tolol, kalau itu bisa membawa tawa bagi orang lain?
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar