Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 29 Oktober 2012

Si Pisau Terbang Lie - Jilid 14 sampai 30

Karena kesibukan, ... kita coba percepat saja ya


Bab 14. Beberapa Hal Tak Bisa Dijelaskan

Sahut Lin Xian Er, “Jadi Tuan Tian belum bisa melihat bahwa ia mengenakan Rompi Benang Emas?”

Mata Tian Qi melebar. “Jadi itulah sebabnya saat Saudara Muo Yun memukulnya, malah tangannya sendiri yang terluka.”

Kata Lin Xian Er, “Aku tidak berniat kembali ke bilikku malam ini. Namun kemudian aku teringat ada sesuatu yang penting tertinggal di sana. Pada saat aku akan kembali, Si Bandit Bunga Plum muncul.”

Di wajahnya yang ayu terbayang ketakutan yang sangat dan ia melanjutkan, “Saat itu aku belum melihatnya. Aku hanya merasa ada seseorang di belakangku. Waktu aku menoleh, ia telah menutup jalan darahku.”

Kata Tian Qi, “Jika demikian, ilmu meringankan tubuh orang ini pasti cukup tinggi.”

Lin Xian Er mendesah. “Gerakannya seperti hantu saja. Aku bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi saat ia menarik tubuhku. Lalu aku menyadari, ini pastilah Si Bandit Bunga Plum. Maka aku pun bertanya padanya, ‘Apa maumu? Mengapa tak kau bunuh saja aku?’”

“Apa jawabnya?”

Lin Xian Er mengatupkan giginya kesal, lalu katanya, “Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tertawa sinis.”

Mata Tian Qi langsung bersinar. “Jadi ia tidak bilang bahwa dialah Si Bandit Bunga Plum?”

Sahut Lin Xian Er, “Dia tidak perlu mengatakannya. Saat itu, aku berharap segera mati, namun sayangnya aku tak bertenaga lagi. Kemudian tiba-tiba, sesosok bayangan muncul di hadapan kami.”

Kata Tian Qi, “Pasti orang itu adalah teman kecil kita di sini.”

Sahut Lin Xian Er, “Betul, memang dia.”

Ia memandang Ah Fei dengan pandangan yang sangat berterima kasih. “Ia datang begitu tibatiba, sampai Si Bandit Bunga Plum pun terkejut. Segera dilepaskannya tubuhku jatuh ke tanah. Lalu aku mendengar dia bertanya, ‘Apakah engkau Si Bandit Bunga Plum?’. Si Bandit Bunga Plum segera menjawab, ‘Kalau ya, kenapa? Kalau tidak, kenapa? Siapa pun aku, kau akan mati sekarang juga.”

Sebelum ia selesai bicara, senjatanya sudah melesat dari mulutnya. Aku terkejut dan sangat ketakutan. Waktu aku melihat senjata itu terarah pada dada lelaki ini, aku yakin dia pasti akan mati. Namun anehnya, ia terluka pun tidak.”

“Setelah itu, aku hanya melihat kilatan pedang, dan Si Bandit Bunga Plum rebah ke tanah. Kecepatannya begitu rupa, tak terbayangkan.”

Saat itu, semua mata tertuju ke arah pedang di pinggang Ah Fei. Tidak ada yang menyangka pedang itu dapat membunuh orang, apalagi membunuh Si Bandit Bunga Plum!

Tian Qi pun menatap pedang itu lekat-lekat.

Lalu ia tersenyum. “Sepertinya kau memang sudah menunggu di sana.”

Sahut Ah Fei, “Benar.”

Kata Tian Qi, “Maka waktu kau melihat mereka, kau segera mendekat dan bertanya apakah dia itu Si Bandit Bunga Plum?”

“Benar.”

Tian Qi tersenyum lagi. “Jadi kau suka ya bersembunyi dalam gelap, dan bertanya pada orang yang lewat apakah dia itu Si Bandit Bunga Plum?”

Ah Fei menjawab, “Aku tidak punya waktu senggang begitu banyak.”

Tian Qi bertanya lagi, “Tapi kalau kau sedang punya waktu senggang, apa yang kau tanya pada orang-orang yang lewat di jalan?”

Kata Ah Fei, “Mengapa aku harus menanyai mereka? Apa hubungannya mereka dengan aku?”

Tian Qi tersenyum lagi sambil berkata, “Maka dari itu. Kalau kau ingin tahu siapa orang itu, kau akan bertanya, ‘Siapakah engkau?’. Seperti tadi kau bertanya pada Tuan Gong Sun. Kau tidak bertanya apakah dia itu Si Bandit Bunga Plum.”

Sahut Ah Fei, “Aku tahu dia bukan Si Bandit Bunga Plum. Mengapa aku harus bertanya lagi?”

Wajah Tian Qi menjadi serius. Ia menunjuk pada mayat itu dan berkata, “Kalau begitu, mengapa kau bertanya pada orang itu? Mungkinkah kau sudah tahu bahwa ia adalah Si Bandit Bunga Plum? Kalau kau sudah tahu, mengapa harus bertanya lagi?”

“Karena seseorang memberi tahu aku bahwa Si Bandit Bunga Plum akan muncul dalam hari-hari ini.”

Tian Qi kini menatap Li Xun Huan lekat-lekat. “Siapa yang memberi tahu engkau? Apakah Si Bandit Bunga Plum sendiri? Atau sahabatnya?”

Dia tahu Ah Fei tak akan menjawab pertanyaan ini. Namun, hanya dengan bertanya, tujuannya sudah tercapai. Ia memang tidak memerlukan jawaban.
Ketika semua orang mendengar itu, mata mereka pun langsung terarah ke Li Xun Huan. Kini mereka menyadari bahwa semua ini adalah permainan yang telah direncanakan oleh Li Xun Huan dan Ah Fei.

Tian Qi segera maju ke hadapan seorang pemuda dan bertanya keras, “Apakah kau adalah Si Bandit Bunga Plum?”

Pemuda itu menjadi sangat ketakutan dan gelagapan. “A…Aku…”

Sebelum perkataannya selesai, Tian Qi menutup jalan darahnya. Ia memutar badannya dan berseru dengan sinis, “Hei, lihat! Aku telah menangkap seorang lagi bandit bunga plum.”

Ia melanjutkan dengan serius, “Semua orang di sini setuju bahwa tidaklah mudah menangkap Si Bandit Bunga Plum, bukan?”

Meledaklah tawa kerumunan orang itu. Mereka mulai bertanya-tanya di antara mereka sambil bercanda, “Apakah kau Si Bandit Bunga Plum?”

“Sebenarnya, kau lebih mirip untuk jadi Si Bandit Bunga Plum.”

“Mengapa kini jadi ada makin banyak bandit bunga plum?”

Li Xun Huan mengeluh. Katanya pelan, “Saudaraku, pergi sajalah.”

Ah Fei kelihatan sangat gusar, “Pergi?”

Li Xun Huan tersenyum. “Dengan adanya Tuan Zhao yang Terhormat dan Tuan Ketujuh Tian yang terkenal seantero dunia, mana mungkin seorang pemuda yang tidak dikenal bisa membunuh Si Bandit Bunga Plum? Apapun yang kau katakan akan sia-sia belaka.”

Ah Fei menggenggam pedangnya kuat-kuat. Katanya dingin, “Aku pun tak ingin bicara dengan orang-orang ini. Tapi pedangku….”

Kata Li Xun Huan, “Walaupun kau bunuh mereka semua, tetap tidak ada yang akan percaya bahwa kau telah membunuh Si Bandit Bunga Plum. Tidakkah kau mengerti?”

Mata Ah Fei menjadi suram, “Kau benar. Kini aku mengerti. Aku mengerti….”

Li Xun Huan terkekeh. “Jika kau ingin jadi terkenal, kau harus ingat hal ini. Kalau tidak, cepat atau lambat kau akan berakhir seperti aku, menjadi seorang bandit bunga plum.”

Kata Ah Fei, “Jadi maksudmu, jika aku ingin jadi terkenal, aku harus mengikuti kehendak orang lain, bukan?”

Sahut Li Xun Huan, “Tebakanmu sangat tepat. Jika kau biarkan para ‘pahlawan’ inilah yang mendapatkan semua pujian, mereka akan mengangkat engkau sebagai pemuda bermasa depan cerah. Lalu setelah 10 atau 20 tahun, setelah mereka semua mati, kau akan jadi terkenal.”

Ah Fei berdiri mematung untuk sekian lama, lalu ia tersenyum.

Katanya, “Sepertinya aku tak akan mungkin jadi terkenal.”

Sahut Li Xun Huan, “Mungkin itu lebih baik.”

Ketika ia melihat senyuman Ah Fei, senyum Li Xun Huan pun terasa lebih alami. Senyuman mereka seolah-olah sedang membicarakan masalah yang paling menarik di seluruh dunia.

Semua orang memandang kedua orang ini, tak menyadari apa permasalahan pada diri mereka. Tiba-tiba Ah Fei melayang ke samping Li Xun Huan. Ditariknya lengan Li Xun Huan dan berkata, “Ketenaran adalah masalah kecil. Namun hari ini kita bisa bertemu, itu harus dirayakan dengan anggur.”

Sahut Li Xun Huan, “Biasanya aku tak mungkin menolak minum anggur. Tapi hari ini….”

Tian Qi menyambungnya, “Sayangnya hari ini dia tidak bisa.”

Ah Fei berkata dengan dingin, “Kata siapa?”

Tian Qi melambaikan tangannya. Dua orang bertubuh kekar maju. Salah seorang berkata, “Tuan Ketujuh Tian yang mengatakannya. Semua orang tunduk pada kata-katanya.”

Yang seorang lagi menyambung, “Yang membangkang, harus mati!”

Walaupun mereka kelihatannya seperti pelayan, kecepatan mereka maju ke muka menandakan bahwa ilmu silat mereka cukup tinggi.

Selagi mereka masih berbicara, dua batang golok baja berputar sangat cepat, menjadi seperti dua pelangi terbang. Menggulung angin yang dahsyat, kedua golok ini menyambar ke arah Ah Fei. Satu dari kiri, satu dari kanan. Satu ke atas, satu ke bawah. Menebas secepat kilat ke pundak Ah Fei.

Ah Fei hanya menghadapi serangan mereka dengan tatapan dingin. Ia tidak bergerak sama sekali. Tiba-tiba terlihat sekilat cahaya. Dan sekilat lagi. Lalu terdengar dua jerit kesakitan. Dua golok terlontar ke udara. Kedua lengan kiri kedua orang itu memegangi lengan kanan mereka. Wajah mereka sungguh kesakitan. Darah mengalir deras dari antara jari-jari mereka.

Namun pedang Ah Fei masih terselip di pinggangnya. Tidak ada yang melihat dia menghunus pedangnya. Namun kini dari ujung pedangnya menetes darah segar.

Pedang yang luar biasa cepat!

Senyum Tian Qi pun lenyap.

Ah Fei berkata dengan tenang. “Kata-kata Tuan Ketujuh adalah perintah. Sayangnya, pedangku tidak patuh pada perintah. Dia hanya tahu membunuh orang.”

Wajah kedua orang itu sungguh terpana. Mereka mundur beberapa langkah sebelum lari keluar. Pedang memang tak bisa memberi perintah, namun kadang-kadang mereka lebih efektif daripada perintah siapapun juga.

Ah Fei menarik lengan Li Xun Huan. “Mari kita pergi minum arak. Aku tak percaya masih ada orang yang berani menghalangi kita.”

Sebelum Li Xun Huan menjawab, Long Xiao Yun bertanya, “Jika kau ingin dia pergi, mengapa tak kau buka saja jalan darahnya?”

Mulut Ah Fei terkunci. Hati Li Xun Huan tercekat. Ia teringat kejadian hari itu….

Hari itu Ah Fei menangkap Hong Han Min dan meninggalkan dia untuk Li Xun Huan.

Hari itu Li Xun Huan pun merasa heran. Mengapa Ah Fei tidak menutup saja jalan darahnya? Kini
ia mengerti sebabnya!

Pedang pemuda ini mungkin tiada tandingannya, tapi ia tidak tahu apa-apa tentang ilmu totok!

Hati Li Xun Huan langsung merosot, namun wajahnya tetap tenang. Katanya sambil tersenyum, “Hari ini aku tak punya uang untuk mentraktirmu.”

Ah Fei berpikir sejenak, lalu berkata, “Hari ini aku yang traktir.”

Sahut Li Xun Huan, “Aku tidak akan pernah minum anggur yang tidak kubeli dengan uangku sendiri.”

Ah Fei menatapnya. Di wajahnya yang kaku tersirat kesedihan.

Ia mengerti, Li Xun Huan tidak ingin membahayakan dirinya.

Jika ia tidak dapat membuka jalan darah Li Xun Huan, ia harus menggendong Li Xun Huan keluar. Jika ia menggendong Li Xun Huan, maka kemungkinan mereka berdua tak akan bisa keluar lagi selamanya.

Mata Tian Qi berbinar lagi. Ia memandang wajah mereka satu per satu, lalu tersenyum dan berkata, “Li Xun Huan memang adalah pria sejati. Ia tidak mau menyeret orang lain jatuh bersamanya. Sobat muda, sudah saatnya kau pergi.”

Li Xun Huan tahu bahwa rase tua ini melihat di mana kelemahan Ah Fei. Oleh sebab itu ia berkata cepat, “Kau tak perlu memancing dia. Ia tak akan terpengaruh. Lagi pula, walaupun sambil menggendong aku, belum tentu kalian semua dapat mengalahkan dia.”

Ia melanjutkan lagi. “Kau pun tahu aku tak akan pergi dengannya. Jika aku pergi dengan dia sekarang, aku tak akan punya kesempatan untuk membersihkan namaku.”

Kata-kata ini ditujukan pada Ah Fei.

Ah Fei berdiri menatapnya, lalu berkata, “Kalau mereka berkata bahwa engkau adalah Si Bandit Bunga Plum, maka engkau pasti adalah Si Bandit Bunga Plum, bukan?”

Li Xun Huan tertawa. “Kata-kata sebagian orang memang tidak bisa dibedakan dari kentut yang besar.”

Ah Fei bertanya, “Lalu mengapa kau harus peduli jika mereka hanya kentut?”

Tiba-tiba diputarnya tubuhnya dan diangkatnya Li Xun Huan, digendong di punggungnya. Saat itulah Tian Qi bergerak. Bayangan tongkatnya terlihat menusuk ke sebelas titik jalan darah yang terpenting di dada Ah Fei. Jika ujung tongkatnya menyentuh tubuh Ah Fei sedikit saja, maka Ah Fei tidak akan mungkin bergerak lagi.

Ah Fei tidak berusaha menghunus pedangnya!

Ia memang seperti Li Xun Huan. Jika pedangnya terhunus, dia pasti meminta darah.

Namun saat ini, ia tidak tahu bagaimana caranya mengalahkan Tian Qi.

Semua orang memandang bayangan tongkat Tian Qi dengan tegang. Ilmu totok Tian Qi adalah salah satu yang terbaik dalam dunia persilatan, namun sepertinya ia sulit sekali menundukkan anak muda ini.

Zhao Zheng Yi berkata, “Membunuh Si Bandit Bunga Plum adalah penghargaan yang tertinggi. Mengapa ada orang yang menyia-nyiakan kesempatan baik ini?”

Sebelum kalimatnya selesai, tujuh orang telah menghunus senjata mereka. Semuanya tertuju pada Li Xun Huan. Lin Xian Er segera menghampiri Long Xiao Yun dan berkata, “Saudara Keempat, mengapa kau tak menghentikan mereka?”

Long Xiao Yun menyahut, “Kau tidak bisa lihat bahwa jalan darahku telah ditutup?”

Saat itu terdengarlah bunyi yang keras. Tiga orang telah jatuh ke tanah.

Akhirnya Ah Fei menghunus pedangnya!

Ia mungkin tak bisa melukai Tian Qi, namun jika ada yang mencari kematian, pedangnya hanya dapat memberikan bantuan. Darah terlihat di sela-sela kilatan pedang. Jubah Li Xun Huan pun telah bersimbah darah.

Kini semua senjata telah disimpan kembali. Semua senjata, kecuali tongkat pendek Tian Qi, yang serupa ular meliuk-liuk menyerang titik-titik jalan darah Ah Fei.

Lin Xian Er mendesah dan berkata, “Tuan Zhao yang Terhormat adalah pria sejati. Tidak mungkin ia akan main keroyok.”

Mata Zhao Zheng Yi langsung berbinar, katanya, “Tapi menghadapi orang macam Si Bandit Bunga Plum tak perlulah kita memperhatikan aturan dunia persilatan!”

Diraihnya tombak panjang yang berada di sampingnya. Langsung diserangnya punggung Li Xun Huan.

Ternyata reputasinya memang hanya kosong melompong. Gerakan Zhao Zheng Yi cukup mengagumkan.

Tongkat dan tombak itu lebih panjang daripada pedang pendek Ah Fei, sehingga posisinya kurang menguntungkan. Dan lagi, ada seseorang di atas punggungnya.

Pada awalnya, Tian Qi ingin mengambil keuntungan dari senjatanya yang lebih panjang untuk mengalahkan Ah Fei. Namun ia selalu luput pada saat yang terakhir, entah bagaimana.

Setelah begitu banyak jurus, ia baru menyadari bahwa anak muda ini tidak pernah menyerang sekali pun. Namun gerakan Ah Fei sungguh luar biasa. Pada saat ia akan menutup jalan darah Ah Fei, anak muda ini bisa berkelit dengan misterius.

Tian Qi cukup berpengetahuan dalam ilmu silat, namun ia tidak bisa menduga ilmu aliran mana yang digunakan anak muda ini.

Tiba-tiba terpikir olehnya suatu ide. Ia tersenyum. “Sobat muda, mengapa tak kau turunkan saja dia. Kalau tidak, sebelum dia menyeretmu jatuh bersamanya, kaulah yang akan menyeret dia jatuh bersamamu.”

Ah Fei mengertakkan giginya. “Jika kau ingin aku menurunkannya, mengapa kau terus menyerang aku?”

Tian Qi segera menarik tongkatnya dan mundur beberapa langkah. Tombak Zhao Zheng Yi pun terhenti di tengah jalan dan ditarik kembali.

Ah Fei tidak memandang mereka sama sekali. Didudukkannya Li Xun Huan pada sebuah kursi. Wajah Li Xun Huan merah padam. Namun dia berusaha keras menahan diri untuk tidak terbatuk. Ia kuatir kalau batuknya akan mengganggu konsentrasi Ah Fei.

Ah Fei memandang Li Xun Huan, lalu memutar badannya memandang Zhao Zheng Yi dan berkata, “Aku menyesal akan satu hal. Waktu itu, mengapa tak kubunuh kau?”

Selagi berbicara, pedangnya pun terhunus.

Kecepatan pedang ini memang tak terkatakan. Bagaimana mungkin Zhao Zheng Yi dapat menghindarinya. Tepat saat darah akan tertumpah, terdengar suara dari luar, “Amitabha.” Selagi berbicara, sesosok bayangan dari luar masuk ke dalam. Waktu suku kata kedua terdengar, bayangan itu telah berada di belakang Ah Fei. Awalnya Ah Fei akan menyerang Zhao Zheng Yi, namun tiba-tiba dibaliknya pedangnya ke arah sebaliknya, menyerang bayangan itu.

Setelah itu terdengar suara keras, pedangnya menghantam bayangan itu, yang ternyata adalah tasbih pendeta.

Pedangnya masih bergetar, namun Ah Fei tetap berdiri tidak bergeming.

Kini fajar telah tiba.

Berbarengan dengan sinar matahari pagi, enam pendeta berpakaian kelabu masuk ke dalam bangsal. Yang paling depan beralis putih, namun wajahnya masih terang dan pandangan matanya berbinar-binar.

Dibukanya telapak tangannya. Tasbih itu pun kembali ke tangannya.

Setelah pulih dari rasa terkejutnya, Zhao Zheng Yi menenangkan dirinya. Ia membungkuk di depan pendeta beralis putih itu. “Aku tidak tahu bahwa pendeta akan datang. Maaf aku tidak menyambutmu di luar.”

Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. Matanya terarah pada Ah Fei. Lalu katanya, “Pedangmu cepat sekali.”

Kata Ah Fei, “Jika pedangku tidak cepat, aku rasa kau datang tepat waktu untuk menunjukkan kepadaku arah ke neraka.”

Pendeta beralis putih itu berkata, “Aku hanya tak ingin melihat kematian lagi. Oleh sebab itu aku bergerak. Walaupun pedangmu cepat, namun tidak akan lebih cepat daripada mata Sang Buddha.”

Sahut Ah Fei, “Apakah tasbihmu lebih cepat daripada mata Sang Buddha? Jika aku mati oleh tasbihmu, bukankah itu berarti kematian juga?”

Zhao Zheng Yi memotong cepat, “Berani-beraninya kau bicara seperti itu pada seorang Tetua Shaolin!”

Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Mulut anak muda ini setajam pedang juga.”

Tiba-tiba Lin Xian Er tersenyum dan berkata, “Pendeta Xin Mei telah melepaskanmu. Cepatlah pergi sekarang.”

Zhao Zheng Yi berkata dingin, “Kurasa dia tidak bisa lagi pergi sekarang!”

Sahut Ah Fei, “O ya? Kau kira kau bisa menghalangi aku sekarang?”

Sambil berbicara, ia telah melangkah ke luar.

Wajah Zhao Zheng Yi berubah. Katanya, “Pendeta….”

Tian Qi cepat-cepat menyela, “Tetua Xin Mei sungguh pemaaf. Ia hanya seorang pemuda. Biarkanlah ia pergi.”

Xin Mei berbicara dengan serius, “Aku datang setelah menerima surat dari Kepala Shaolin, bahwa seorang murid Shaolin, Qin Zhong, telah terluka parah. Maka aku segera datang.”

Zhao Zheng Yi mendesah. Lalu melirik pada Li Xun Huan. “Sayang pendeta datang terlambat.”

Kini di luar sudah terang. Orang-orang mulai berlalu-lalang di jalan. Ah Fei berjalan di atas salju.

Walaupun langkahnya ringan, hatinya sangat berat.

Lalu didengarnya suara orang berseru, “Tunggu! Tunggu!”

Suara itu jernih dan merdu. Ah Fei tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang mengerjar di belakang.

Ini karena semua orang di jalan kini berhenti bicara dan berhenti berjalan. Mereka semua bengong seperti orang tolol memandang orang di belakang Ah Fei. Ah Fei tidak menoleh. Ia terus berjalan. Lalu tercium bau harum di belakangnya. Keharumannya sungguh memabukkan. Mau tidak mau, dipalingkannya wajahnya.

Lin Xian Er masih tetap cantik dan menggairahkan.

Mata Ah Fei masih sedingin salju.

Lin Xian Er menundukkan kepalanya. Mukanya bersemu merah. “Aku ingin minta maaf. Aku….”

Kata Ah Fei, “Kau tak perlu minta maaf.”

Lin Xian Er menggigit bibirnya. “Tapi orang-orang itu sungguh salah. Dan begitu kasar.”

Sahut Ah Fei, “Itu tidak ada hubungannya dengan engkau.”

Kata Lin Xian Er, “Tapi kau telah menyelamatkan aku. Bagaimana aku….”

Sahut Ah Fei, “Aku menyelamatkanmu. Aku tidak menyelamatkan mereka. Aku tidak menyelamatkanmu untuk memohon maaf atas kesalahan mereka.”

Lalu ia bertanya lagi, “Ada lagi yang ingin kau katakan?”

Lin Xian Er terdiam. Ia tidak pernah bertemu dengan orang seperti ini. Ia selalu yakin bahwa gunung es sedingin apapun akan mencair di hadapannya.

Lalu Ah Fei berkata, “Selamat tinggal.”

Ia membalikkan badan dan berjalan lagi. Baru beberapa langkah, Lin Xian Er berseru lagi, “Tunggu sebentar. Ada lagi yang hendak kusampaikan.”

Sahut Ah Fei, “Tidak perlu.”

Namun kata Lin Xian Er, “Tapi…. jika sesuatu terjadi pada Li Xun Huan, siapakah yang harus kuberi tahu?”

Ah Fei menoleh cepat dan berkata, “Kau tahu penginapan kecil Shen di sebelah barat?”

Sahut Lin Xian Er, “Jangan lupa, aku sudah tinggal di sini enam tahun.”

“Aku akan berada di situ. Sebelum gelap aku tak akan pergi.”

Lalu Lin Xian Er bertanya, “Dan setelah malam?”

Ah Fei menengadah memandang langit. Katanya, “Jangan lupa, Li Xun Huan adalah sahabatku. Aku tidak punya banyak teman. Dan sahabat seperti Li Xun Huan, tidak mungkin dicari gantinya. Jadi kalau dia mati, dunia ini akan menjadi sangat membosankan.”

Lin Xian Er mengeluh. “Aku tahu kau pasti masih berencana untuk menyelamatkannya. Tapi tahukah engkau, sahabat sebaik apa pun tidak berharga sebesar nyawamu.”

Ah Fei memandang Lin Xian Er dalam-dalam, langsung ke bola matanya. Katanya perlahan tapi tegas, “Aku sungguh-sungguh berharap kau tidak akan pernah mengatakannya lagi. Kali ini, aku akan berpura-pura tidak mendengar.”

Bab 15. Cinta Sejati

Setelah hujan salju terus menerus untuk beberapa hari, matahari muncul kembali hari ini.

Namun cahayanya tidak sampai ke ruangan yang satu ini. Sungguh pun demikian, Li Xun Huan tidak putus asa. Ia tahu beberapa tempat di dunia ini tidak pernah merasakan cahaya matahari.

Lagi pula, ia kenal baik dengan keputusasaan.

Ia tidak tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh Tian, Zhao dan yang lain terhadapnya. Ia malas memikirkan hal-hal seperti itu. Saat itu, Tian Qi sedang mengantarkan para pendeta Shaolin menemui Qin Xiao Yi dan putranya. Mereka melemparkan Li Xun Huan ke sebuah gudang kosong. Akan tetapi, Long Xiao Yun diam saja.

Li Xun Huan tidak menyalahkan Long Xiao Yun.

Long Xiao Yun punya alasannya sendiri. Lagi pula, ia pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Li Xun Huan hanya berharap Ah Fei tidak kembali untuk menyelamatkannya. Ia tahu bahwa walaupun pedang Ah Fei sangat cepat, ilmu silatnya mempunyai banyak lubang kelemahan. Jika ia bertemu dengan orang seperti Tian Qi atau Pendeta Xin Mei, dan pedangnya tidak melihat darah pada gebrakan pertama, mungkin pedang itu takkan dapat melihat darah untuk selama-lamanya.


Hanya dalam waktu tiga tahun, Ah Fei akan dapat memperbaiki kekurangannya. Pada saat itulah
ia tidak akan terkalahkan.

Jadi paling tidak dia harus hidup tiga tahun lagi.

Lantai di situ amat basah. Li Xun Huan terbatuk-batuk lagi. Ia berharap bisa minum arak.

Namun sekarang, harapan sesederhana itu pun tak bisa terwujud. Jika orang lain ada dalam posisinya, mungkin orang itu sudah menangis meraung-raung.

Namun Li Xun Huan malah tertawa. Ia berpikir bahwa beberapa hal di dunia ini sungguh menggelikan.

Rumah ini dulu adalah miliknya. Semua yang berada di sini adalah kepunyaannya. Tapi kini semua orang menganggap dia adalah seorang pencuri, bahkan mengurungnya di kamar sempit seperti ini seperti seekor anjing. Siapa yang menyangka?

Tiba-tiba pintu terkuak.

Mungkin Zhao Zheng Yi sudah tidak sabar lagi menunggu dan ingin membunuhnya sekarang juga?

Namun ternyata bukan Zhao Zheng Yi yang datang. Ia mencium wangi anggur. Dan dilihatnya tangan yang memegang botol anggur.

Tangan itu kecil dan pergelangan tangannya tertutup oleh baju berwarna merah.

Tanya Li Xun Huan, “Xiao Yun muda, kaukah itu?”

Si Anak Merah masuk sambil cekikikan. Ia memegang botol anggur itu dengan kedua tangannya dan mencium wangi anggur itu. Katanya sambil tersenyum lebar, “Aku tahu, kau pasti ingin minum anggur, bukan?”

Li Xun Huan tersenyum. “Karena kau tahu aku ingin minum anggur, kau membawakannya untukku, bukan?”

Si Anak Merah mengangguk. Dituangnya anggur itu ke dalam cawan, dan disodorkannya ke hadapan Li Xun Huan. Baru Li Xun Huan membuka mulutnya, Si Anak Merah menarik kembali tangannya. Lalu sambil tersenyum berkata, “Sebelum minum, kau harus menebak anggur apakah
ini.”

Li Xun Huan memejamkan matanya. Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Ini adalah anggur tua Zhu Ye Qing. Anggur kesukaanku. Jika aku tak mengenali anggur ini, aku memang pantas mati.”

Si Anak Merah tersenyum. “Tak heran semua orang bilang bahwa Li Tan Hua Kecil adalah ahli
dalam hal wanita dan anggur. Jika kau ingin minum anggur ini, maka jawablah pertanyaanku.”

“Apa pertanyaanmu?”

Senyumnya yang lebar kini lenyap.

Ia menatap wajah Li Xun Huan dan bertanya, “Apa hubunganmu dengan ibuku? Apakah ia sangat menyukaimu?”

Wajah Li Xun Huan langsung berubah. Katanya, “Apakah kau sungguh-sungguh ingin tahu?”

Jawab Si Anak Merah, “Mengapa seorang anak tidak boleh bertanya tentang ibunya?”

Li Xun Huan berkata dengan marah. “Tidakkah kau menyadari betapa ibumu mengasihi ayahmu dengan segenap hatinya? Mengapa kau malah berpikir sebaliknya?”

Si Anak Merah tertawa dingin. “Kau pikir kau bisa menyembunyikan ini dari diriku? Jangan mimpi.”

Dikertakkan giginya. “Waktu ibu mendengar apa yang terjadi padamu, ia menutup pintu kamarnya dan menangis tersedu-sedu. Waktu aku hampir mati pun, ia tidak menangis seperti itu. Maka aku bertanya sekarang. Kenapa?”

Hati Li Xun Huan merosot jatuh. Ia merasa seperti segumpal lumpur, diinjak-injak oleh orang yang lewat. Setelah sekian lama, diteguhkannya hatinya. “Akan kuberitahukan padamu sekarang. Kau boleh meragukan siapapun juga. Tapi jangan ragukan ibumu. Karena tidak ada sesuatupun yang disembunyikannya. Sekarang, ambil arak itu dan pergi.”

Si Anak Merah menatapnya. “Arak ini untukmu. Mana mungkin kubawa kembali?”

Ditumpahkannya secawan arak itu ke muka Li Xun Huan.

Li Xun Huan tidak bergerak. Ia tidak memandang wajah Si Anak Merah sama sekali. Ia hanya berkata, “Kau masih kecil. Aku tidak menyalahkanmu.”

Si Anak Merah tertawa dingin. “Kalaupun aku bukan anak kecil, apa yang dapat kau perbuat?”

Tiba-tiba dikeluarkannya sebilah pisau, dilambai-lambaikannya di depan wajah Li Xun Huan.
“Lihat pisau ini baik-baik. Ini kan pisaumu. Ibu bilang bahwa jika aku mempunyai pisau ini, maka kau akan melindungi aku. Tapi bisakah kau melindungi aku sekarang? Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri!”

Li Xun Huan mengeluh. “Kau benar. Lagi pula, pisau itu untuk membunuh, bukan untuk perlindungan.”

Wajah Si Anak Merah memucat. Dengan berdesis ia berkata, “Kau telah membuatku cacad. Kini akan kubuat kau merasakan kesakitan yang sama. Kau….”

Tiba-tiba terdengar suara dari luar. “Xiao Yun Kecil? Apakah kau ada di dalam?”

Suara ini hangat dan tenang. Namun ketika Li Xun Huan dan Si Anak Merah mendengarnya, wajah mereka langsung berubah. Si Anak Merah segera menyimpan pisaunya dan segera seulas senyum lugu menghiasi wajahnya. “Ibu, aku di sini. Aku membawa anggur untuk Paman Li. Tapi waktu ibu memanggil, aku terkejut, Aku jadi tidak sengaja menumpahkan anggur itu ke wajah Paman Li.”

Lin Shi Yin muncul di pintu. Matanya yang cantik tampak sembap, penuh kesedihan.

Namun waktu ia melihat Si Anak Merah, wajahnya menjadi hangat. “Paman Li tidak mau minum anggur sekarang. Dan kau pun harus tidur sekarang. Ayo.”

Si Anak Merah berkata, “Paman Li tidak bersalah, bukan? Mengapa kita tidak menolongnya?”

Lin Shi Yin menjawab dengan lembut, “Anak kecil jangan berbicara seperti itu. Sana pergi tidur.”

Si Anak Merah menoleh dan menatap Li Xun Huan, “Paman Li, aku harus pergi sekarang. Besok aku bawakan anggur lagi untukmu.”

Li Xun Huan memandang senyum lugu anak itu dan keringat dingin pun membasahi sekujur tubuhnya.

Didengarnya Lin Shi Yin mendesah. “Awalnya aku kuatir ia akan mencoba melukaimu. Tapi sekarang….sekarang aku tidak kuatir lagi. Walaupun dia telah melakukan banyak kesalahan, ia adalah anak yang baik.”

Li Xun Huan hanya dapat tersenyum.

Lin Shi Yin tidak memandangnya. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Dulu kau selalu menepati janjimu. Mengapa kau berubah?”

Li Xun Huan merasa tenggorokannya tersumbat, ia tidak bisa bicara.

“Kau berjanji tidak akan menemui Lin Xian Er. Tapi mereka malah menemukanmu di bilik Lin Xian Er.”

Li Xun Huan tertawa. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa. Sambil memandangi kakinya ia berkata, “Aku ingat gudang ini dibangun baru lima belasan tahun yang lalu.”

“Ya.”

“Akan tetapi kini tempat ini terasa sangat tua. Jendelanya sudah pecah. Atapnya berlubang. Ini artinya bahwa sepuluh tahun memang waktu yang lama. Jika suatu bangunan bisa berubah, mengapa manusia tidak?”

Lin Shi Yin meremas-remas tangannya sendiri, lalu bertanya, “Sejak….Sejak kapan kau jadi seorang penipu?”

Sahut Li Xun Huan, “Aku selamanya adalah seorang penipu. Hanya saja sekarang aku lebih berpengalaman.”

Li Xun Huan tetap tersenyum. Tujuannya telah tercapai.

Ia ingin menyakiti wanita ini. Menyakitinya supaya ia pergi. Ia tidak akan menyeret siapapun jatuh bersama dengan dia. Jadi dia pasti tak berperasaan, menyakiti orang-orang yang dicintainya.

Karena inilah orang-orang yang disayanginya.

Menyakiti mereka sama dengan menyakiti diri sendiri. Walaupun senyum masih menghiasi bibirnya, hatinya telah hancur berantakan.

Ia memejamkan matanya rapat-rapat supaya air mata tidak keluar. Waktu ia membuka matanya, Lin Shi Yin masih ada di situ, sedang menatap langsung ke matanya.

“Me…Mengapa kau masih ada di sini?”

Sahut Lin Shi Yin, “Aku hanya ingin memastikan. Apakah kau….apakah kau memang Si Bandit Bunga Plum?”

Tawa Li Xun Huan langsung meledak. “Apakah aku Si Bandit Bunga Plum? Kau bertanya apakah aku Si Bandit Bunga Plum….”

Kata Lin Shi Yin, “Walaupun aku tidak percaya, aku ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri.”

Li Xun Huan masih tertawa. “Jika kau tidak percaya, mengapa masih bertanya? Jika kau tahu aku adalah penipu, mengapa bertanya juga? Jika aku berbohong satu kali, aku bisa berbohong seratus kali! Bahkan seribu kali!”

Wajah Lin Shi Yin makin pucat. Seluruh tubuhnya gemetar.

Setelah sekian lama ia berkata, “Aku akan membebaskan engkau. Aku tidak peduli apakah kau itu Si Bandit Bunga Plum atau bukan. Aku tetap akan membebaskan engkau. Aku hanya berharap kali ini kau tak akan kembali lagi!”

Li Xun Huan berseru, “Berhenti! Kau pikir aku akan pergi melarikan diri seperti seekor anjing? Kau pikir orang macam apakah aku?”

Lin Shi Yin tidak menghiraukan dia. Ia mendekat untuk membuka jalan darah Li Xun Huan.

Saat itu terdengar suara berkata, “Shi Yin. Apa yang sedang kau lakukan?”

Itu suara Long Xiao Yun.

Lin Shi Yin menoleh dan menatap Long Xiao Yun. Ia berbicara sekata demi sekata, “Kau tidak tahu apa yang sedang kulakukan?”

Wajah Long Xiao Yun memucat, “Tapi….”

Kata Lin Shi Yin, “Tapi apa? Kaulah yang seharusnya melakukan ini! Sudah lupakah kau akan segala budi baiknya pada kita? Sudah lupakah kau akan masa lalu? Apakah kau akan berpangku tangan melihat dia mati seperti ini?”

Long Xiao Yun meremas-remas tangannya. Lalu ia memukul-mukul dadanya. “Aku memang tidak punya nyali. Aku penakut. Aku pengecut. Tapi pikirlah sebentar saja. Bagaimana kita dapat melakukan ini? Jika kita melepaskan dia, apakah mereka akan melepaskan kita?”

Lin Shi Yin memandang suaminya seakan-akan memandang seorang yang tidak dikenalnya. Ia mundur beberapa langkah. “Kau telah berubah. Kau juga telah berubah… Dulu kau tidak seperti ini!”

Long Xiao Yun mendesah. “Kau memang benar. Aku telah berubah. Karena kini aku telah mempunyai anak dan istri. Apapun yang kuperbuat, merekalah prioritasku.”

Sebelum ia selesai bicara, istrinya sudah menangis. Di dunia ini tidak ada yang dapat menggerakkan hati seorang ibu lebih kuat daripada anaknya sendiri.

Long Xiao Yun berlutut di hadapan Li Xun Huan, wajahnya penuh dengan air mata. “Saudaraku, aku telah mengecewakan engkau. Aku hanya dapat memohon pengampunanmu.”

Sahut Li Xun Huan, “Mengampunimu? Aku tak mengerti apa maskudmu. Aku telah mengatakannya padamu. Ini bukanlah kesalahanmu. Jika aku ingin pergi, aku sudah pergi. Aku tidak memerlukan engkau untuk menyelamatkanku.”

Ia masih memandangi kakinya, karena ia tidak tahan memandang wajah mereka berdua. Ia kuatir ia tak akan dapat membendung air matanya.

Long Xiao Yun berkata, “Saudaraku, aku tahu penderitaanmu, namun aku jamin, mereka tidak akan membunuhmu. Kau hanya perlu bertemu dengan Xin Hu Dai Tze dan engkau akan baikbaik saja.”

Li Xun Huan mengernyitkan keningnya. “Xin Hu Dai Tze? Apakah mereka berencana membawaku ke Shaolin?”

Sahut Long Xiao Yun, “Benar. Qin Zhong adalah murid kesayangan Xin Hu Dai Tze. Tapi Xin Hu Dai Tze tak akan menuduh orang sembarangan. Lagi pula Tetua Bai Xiao Sheng pun sedang berada di Shaolin. Ia pun akan membantumu mendapatkan keadilan.”

Li Xun Huan diam saja. Ia melihat Tian Qi datang.

Tian Qi memandangnya dengan senyum mengejek.

Pada saat Tian Qi datang, sekejap Lin Shi Yin telah menenangkan dirinya, mengangguk sedikit lalu berjalan keluar.

Angin malam terasa menusuk tulang. Ia melangkah dua tindak, lalu berseru, “Yun Er, keluarlah engkau.”

Si Anak Merah muncul malu-malu dari balik gudang itu dan tersenyum takut-takut, “Bu, aku tidak bisa tidur, jadi….aku….”

Potong Lin Shi Yin gemas, “Jadi kau antarkan mereka ke sini. Betul kan?”

Si Anak Merah tertawa dan menubruk ke pelukan ibunya. Tapi segera terlihat wajah ibunya yang murung, sehingga diurungkan niatnya. Ia berhenti dan menundukkan kepalanya.

Lin Shi Yin hanya memandangnya dengan terdiam. Ini adalah anak kesayangannya, darah dagingnya. Setetes air mata jatuh ke pipinya.

Setelah sekian lama, ia menghela nafas panjang. Ditengadahkannya wajahnya memandang ke langit dan berkata, “Mengapa kebencian jauh lebih sulit dilupakan daripada budi baik….”

***

Tie Zhuan Jia mengepalkan tangannya dan berjalan mondar-mandir di halaman sebuah kuil. Setelah sekian lama, api telah padam namun tidak seorang pun berniat menyalakannya lagi.

Ah Fei duduk di situ diam saja, tidak bergerak.

Tie Zhuan Jia berkata dengan gusat, “Aku sudah mengira, walaupun kau telah membunuh Si Bandit Bunga Plum, para ‘pahlawan besar’ itu takkan mau mengakuinya. Jika sekawanan serigala melihat sebongkah daging, bagaimana mungkin mereka mau melepaskannya?”

Kata Ah Fei, “Kau sudah memperingatkanku, namun aku tetap pergi. Aku harus pergi!”

Tie Zhuan Jia mengeluh. “Untungnya kau pergi. Kalau tidak kau tidak akan tahu bagaimana muka para ‘pahlawan besar’ itu yang sebenarnya.”

Ia menoleh dan menatap Ah Fei lekat-lekat. “Kau benar-benar tidak melihat Tuanku?”

Sahut Ah Fei, “Tidak.”

Tie Zhuan Jia memandang onggokan kayu yang sudah tidak berapi itu dan mulai mondar-mandir lagi, sambil menggumam sendiri, “Aku ingin tahu apa yang sedang dilakukannya….”

Kata Ah Fei, “Dia tidak pernah mau orang menguatirkan dirinya.”

Tie Zhuan Jia tertawa lepas. “Benar sekali. Walaupun para ‘pahlawan’ itu menganggap dia seperti duri dalam daging, seperti paku yang mencucuk mata, tapi tidak seorang pun dari mereka berani menyentuhnya.”

Ah Fei hanya menggumam tidak jelas.

Tie Zhuan Jia melihat ke luar pagar. “Langit sudah cerah, aku harus pergi.”

Sahut Ah Fei, “Baiklah.”

Tie Zhuan Jia berkata, “Jika kau kebetulan bertemu dengan Tuanku, tolong sampaikan ‘Setelah Tie Zhuan Jia berhasil mengatasi permasalahannya, pasti ia akan kembali mencari Tuannya’.”

Sahut Ah Fei, “Baiklah.”

Tie Zhuan Jia menatap wajahnya yang tirus, menggenggam tangannya, dan berkata, “Selamat tiggal.”

Walaupun di matanya terbayang kekuatiran, ia memutar badannya dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

Ah Fei masih berdiri mematung di sini, namun di matanya yang bersinar tajam, kelihatan ada setitik kecil air mengambang.

Ah Fei segera memejamkan matanya, namun setetes air mata lolos dari sudut matanya, seperti tetesan embun dingin di padang rumput.

Ia tidak menceritakan pertemuannya dengan Li Xun Huan kepada Tie Zhuan Jia, karena ia tidak ingin Tie Zhuan Jia menggadaikan nyawanya untuk Li Xun Huan. Dialah yang akan pergi menggadaikan nyawanya untuk menyelamatkan Li Xun Huan!

Apakah harga sepotong nyawa dalam persahabatan?

Setelah sekian lama, cahaya matahari membentuk bayangan seseorang di halaman kuil itu. Bayangan yang hitam panjang itu datang menghampiri Ah Fei.

Ah Fei tidak membuka matanya, ia hanya bertanya, “Apakah engkau yang datang? Ada kabar apa?”

Naluri Ah Fei memang bagaikan binatang buas. Yang datang memang adalah Lin Xian Er.

Sahutnya, “Kabar baik.”

Kabar baik?

Ah Fei hampir tidak bisa mempercayai bahwa masih ada kabar baik di dunia ini.

Sambung Lin Xian Er, “Walaupun ia belum dibebaskan, setidaknya ia tidak ada dalam bahaya.”

“Oh?”

Lin Xian Er menerangkan, “Tian Qi dan yang lainnya hanya dapat menuruti usul Pendeta Xin Mei untuk membawa dia ke Shaolin. Kepala Shaolin, Xin Hu, selalu bersikap adil. Dan kudengar Bai Xiao Sheng sedang berada di sana pula. Jika kedua orang ini tidak bisa membersihkan namanya, tak ada seorang pun di dunia yang bisa.”

Tanya Ah Fei, “Siapakah Bai Xiao Sheng?”

Lin Xian Er mengikik geli, “Orang ini adalah orang yang paling terpelajar di seluruh dunia. Tidak ada sesuatu pun yang dia tidak tahu. Katanya dia bisa tahu apakah Si Bandit Bunga Plum itu asli atau palsu.”

Ah Fei terdiam beberapa saat. Tiba-tiba dibukanya matanya dan ditatapnya Lin Xian Er lekatlekat. “Tahukah kau orang yang paling menjijikkan di dunia itu orang macam apa?”

Lin Xian Er tersenyum. “Apakah seperti Zhang Zheng Yi, pahlawan yang palsu?”

Sahut Ah Fei, “Pahlawan yang palsu memang pantas dibenci, namun yang paling menjijikkan adalah orang yang sok pintar.”

Tanya Lin Xian Er, “Sok pintar? Apakah maksudmu seperti Bai Xiao Sheng?”

Sahut Ah Fei, “Betul. Orang semacam ini selalu menganggap dirinya lebih daripada orang lain. Ia menganggap dirinya sangat pandai, tidak ada sesuatu pun yang ia tidak tahu. Hanya dengan kata-katanya ia bisa menentukan nasib orang lain. Namun sebenarnya seberapa banyak yang dia tahu?”

Lin Xian Er berkata, “Tapi kata orang….”

Ah Fei tertawa dingin. “Hanya karena semua orang berkata bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia tidak tahu, akhirnya ia menipu dirinya sendiri. Dia jadi benar-benar percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia tidak tahu.”

Lanjut Ah Fei lagi, “Aku malah lebih mempercayai orang yang merasa tidak tahu apa-apa.”

Jika seseorang ingin memberikan kesan yang baik tentang dirinya, cara yang terbaik adalah membiarkan orang lain tahu bahwa ia menyukai dirinya sendiri. Lin Xian Er telah menggunakan cara ini berulang kali.

Namun kali ini ia tidak berhasil. Ah Fei memandang salju yang telah turun lagi. Lalu ia bertanya, “Kapan mereka akan membawanya pergi?”

Jawab Lin Xian Er, “Besok pagi.”

Tanya Ah Fei, “Mengapa mereka menunggu sampai besok pagi?”

Sahut Lin Xian Er, “Malam ini mereka mengadakan jamuan makan malam untuk Pendeta Xin Mei.”

Ah Fei menoleh cepat dan menatap Lin Xian Er dengan tajam, “Tidak ada alasan lain?”

Tanya Lin Xian Er, “Mengapa harus ada alasan lain?”

Sahut Ah Fei, “Pendeta Xin Mei tidak mungkin mau menyia-nyiakan satu hari hanya untuk makan malam.”

Lin Xian Er memutar matanya. “Ia tidak ingin tinggal hanya karena makan malam. Ia harus menunggu karena malam ini akan datang tamu penting yang lain.”

“Siapa?”

Sahut Lin Xian Er, “Tie Di Xian Sheng, Tuan Suling Besi.”

Ah Fei bertanya, “Tie Di Xian Sheng? Siapakah dia?”

Mata Lin Xian Er melebar, ia sangat terkejut. “Kau tidak tahu siapa Tie Di Xian Sheng?”

Kata Ah Fei, “Mengapa aku harus tahu siapa dia?”

Lin Xian Er mengeluh. “Karena walaupun Tie Di Xian Sheng bukanlah yang TERhebat di dunia persilatan saat ini, ia tidak jauh dari posisi itu.”

“Oh.”

Lanjut Lin Xian Er, “Katanya ilmu silat orang ini sungguh tinggi, bahkan tidak lebih rendah dari ketua Tujuh partai besar dunia persilatan.”

Pada saat berbicara, ia memperhatikan reaksi Ah Fei.

Sekali lagi, Ah Fei mengecewakan dia.

Di wajahnya tidak terbayang rasa takut sedikit pun. Bahkan kini dia tertawa. “Jadi mereka membawa Tie Di Xian Sheng untuk mengatasi aku.”

Lin Xian Er memandang ke bawah. “Pendeta Xin Mei selalu merencanakan segala sesuatu dengan
teliti. Ia kuatir….”

Ah Fei memotong ucapannya, “Ia kuatir aku akan pergi menyelamatkan Li Xun Huan, jadi dipanggilnya Tie Di Xian Sheng untuk menjadi pengawal.”

Kata Lin Xian Er, “Walaupun mereka tidak memanggilnya, Tie Di Xian Sheng tetap akan datang.”

“Kenapa?”

Jawab Lin Xian Er, “Karena selir yang dikasihinya juga mati di tangan Si Bandit Bunga Plum.”

Lalu kata Ah Fei, “Jadi mereka akan makan malam sebelum pergi.”

Lin Xian Er berpikir sejenak. “Atau mungkin…”

Ah Fei menyelesaikan kalimatnya, “Atau mungkin mereka takkan pernah pergi.”

Tanya Lin Xian Er, “Mengapa?”

Sahut Ah Fei, “Jika istriku mati di tangan seseorang, aku tak akan membiarkannya hidup dan
pergi ke Shaolin.”

Wajah Lin Xian Er berubah. “Kau kuatir bahwa begitu Tie Di Xiang Sheng tiba ia akan segera
turun tangan terhadap Li Xun Huan?”

“Mmmmm.”

Lin Xian Er terdiam. Lalu ia mendesah, katanya, “Benar juga. Ada kemungkinan begitu. Tie Di Xian Sheng bukan orang yang bisa dibujuk. Jika ia sudah berniat turun tangan, bahkan Pendeta Xin Mei tak akan dapat mencegahnya.”

Lalu Ah Fei berkata, “Kau sudah cukup berbicara. Sekarang kau boleh pergi.”

Lin Xian Er masih terus bertanya, “Apakah kau berencana menyelamatkan Li Xun Huan sebelum Tie Di Xian Sheng tiba?”

Sahut Ah Fei, “Apa pun yang kurencanakan, tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Selamat tinggal.”

Lin Xian Er terus mendesak, “Tapi kalau hanya dengan kekuatanmu seorang, tak mungkin kau dapat menyelamatkan dia!”

Dilanjutkannya lagi, “Aku tahu ilmu silatmu cukup tinggi, namun Tian Qi dan Zhao Zheng Yi pun bukan orang lemah. Dan lagi, masih ada Pendeta Xin Mei yang merupakan orang nomor dua di Shaolin. Tenaga dalamnya sangat murni….”

Ah Fei hanya memandangnya dingin, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Lin Xian Er terus bicara, “Puri Awan Riang saat ini bisa dikatakan penuh dengan ahli-ahli silat. Jika kau ingin melakukan penyelamatan, itu… itu…”

Ah Fei melanjutkannya, “Itu tindakan gila, bukan?”

Lin Xian Er menundukkan kepalanya, tidak berani menatap matanya.

Ah Fei tertawa keras-keras. “Setiap orang ada saatnya melakukan tindakan yang sedikit gila. Sekali-sekali saja, itu bukanlah hal yang buruk.”

Lin Xian Er menunduk lagi. “Aku tahu maksudmu.”

“Oh.”

Kata Lin Xian Er, “Tidak ada seorang pun yang menyangka kau akan berani bertindak di siang hari bolong. Pengawasan mereka pasti tidak terlalu ketat. Dan lagi, semalam mereka sangat sibuk. Mungkin mereka akan tertidur sampai siang….”

Kata Ah Fei, “Kau sudah bicara terlalu banyak….”

Sahut Lin Xian Er, “Baik, aku akan pergi sekarang. Tapi kau…. kau harus berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, jangan lupa ada seseorang di Puri Awan Riang yang berhutang nyawa padamu.”

***

Ah Fei menunggu satu jam di luar Puri Awan Riang.

Ia merunduk di sana, seperti menunggu di luar sarang tikus. Ujung rambut sampai kakinya tidak bergerak sama sekali. Yang bergerak hanya sepasang bola matanya yang setajam burung elang.

Angin dingin menyayat kulitnya, seperti pisau.

Namun ia tidak peduli sedikit pun. Waktu dia berumur sepuluh tahun, untuk menangkap seekor rubah ia menunggu di atas salju tanpa bergerak selama dua jam penuh.

Saat itu dia bisa bertahan karena ia lapar. Jika ia tidak mendapatkan rubah itu, ia akan mati kelaparan. Untuk bertahan hidup, tidaklah sulit bagi manusia untuk menanggung penderitaan.

Namun menanggung penderitaan demi orang lain, supaya mereka bisa tetap hidup, tidaklah semudah itu. Hanya sedikit sekali orang yang dapat melakukannya.

Saat itu terlihat seseorang terhuyung-huyung keluar dari Puri Awan Riang. Walaupun jaraknya cukup jauh, Ah Fei bisa melihat bahwa wajah orang ini burikan.

Ia tidak tahu bahwa orang burikan ini adalah ayah Lin Xian Er, namun dia tahu bahwa orang ini adalah pelayan yang berkedudukan tinggi di Puri Awan Riang.

Seorang pelayan biasa tak mungkin bersikap angkuh seperti itu. Dan jika ia bukan seorang pelayan, sikapnya pun tak mungkin angkuh seperti itu.

Perut orang ini sepertinya penuh dengan arak.

Kini ia sedang berjalan sempoyongan ke arah warung the untuk membual besar-besaran. Tidak disangkanya, saat ia tiba di ujung gang, sebilah pedang telah terarah ke tenggorokannya.

Ah Fei sebenarnya tidak suka menggunakan pedangnya terhadap orang semacam ini. Tapi menggunakan pedang untuk berbicara kadang-kadang lebih efektif daripada menggunakan lidah. Ia berkata dingin, “Aku tanya satu kali, kau jawab satu kali. Jika kau tidak menjawab, akan kubunuh kau. Jika jawabanmu salah, akan kubunuh kau. Mengerti?”

Si burik ingin mengangguk, tetapi ia takut pedang itu malah akan menusuknya. Ia ingin berbicara, namun suaranya tidak keluar. Arak dalam perutnya telah berubah menjadi keringat dingin.

Tanya Ah Fei, “Aku bertanya, apakah Li Xun Huan masih berada di dalam Puri?”

Sahut si burik, “Ya….”

Bibirnya bergetar beberapa kali sebelum kata itu bisa terucapkan.

Tanya Ah Fei, “Di mana?”

Jawab si burik, “Di gudang kayu bakar.”

Kata Ah Fei, “Antarkan aku ke sana!”

Si burik menjadi sangat ketakutan, “Bagaimana aku bisa mengantarkan kau ke sana…. Aku…Aku tidak tahu bagaimana….”

Kata Ah Fei, “Kau bisa memikirkan caranya.”

Tiba-tiba digerakkannya pedangnya. Terdengar bunyi ‘chi’, dan pedang itu menancap ke dinding.

Tatapan Ah Fei menembus mata si burik dan ia berkata dingin, “Kau bisa memikirkan suatu cara,
bukan?”

Gigi si burik gemeletuk. “Y…ya…”

Kata Ah Fei, “Bagus. Berbaliklah dan berjalanlah ke dalam. Jangan lupa, aku ada di belakangmu.”

Ini bukan kali pertama si burik mengajak temannya datang berkunjung. Jadi waktu Ah Fei mengikutinya dari belakang, si penjaga pintu tidak begitu memperhatikan.

Gudang kayu bakar itu tidak jauh dari dapur, namun dapur terletak jauh dari ruang utama. Karena tempat seorang pria bukanlah di dapur dan pemilik Puri Awan Riang yang terdahulu adalah seorang pria sejati.

Si burik mengambil jalan pintas ke arah gudang kayu bakar. Mereka tidak bertemu dengan siapapun. Walaupun ada yang memergoki, mereka akan berpikir kedua orang ini pasti sedang menuju ke dapur untuk mengambil makanan dan anggur.

Dalam halaman yang sepi itu, tampak sebuah bangunan yang menyendiri. Di luar sebuah pintu yang sudah bobrok terlihat sebuah gembok yang besar.

Si burik berkata terbata-bata, “Tuan…Tuan Li terkunci di dalam sana. Tuan, Anda…”

Ah Fei menatapnya lekat-lekat, “Kurasa kau tak akan berani membohongi aku.”

Si burik tertawa gelisah, “Mana mungkin seorang pelayan berani berbohong. Aku tak berani menggadaikan kepalaku untuk berkelakar seperti itu.”

Sahut Ah Fei, “Bagus.”

Setelah mengucapkan kata ini, ia mengulurkan tangan dan memukul jatuh si burik sampai pingsan. Ia berlari dan menendang pintu bobrok itu hingga terbuka.

Bab 16. Kebaikan Hati yang Palsu

Tidak ada orang yang menjaga di depan pintu. Mungkin tidak ada yang menyangka Ah Fei akan datang di siang hari bolong. Atau mungkin mereka ingin tidur siang hari itu.

Di gudang itu ada satu jendela kecil. Di dalam sangat gelap, seperti sebuah penjara. Di dekat gundukan kayu bakar seseorang tergolek.

Sewaktu Ah Fei melihat mantel bulu itu, darah di dadanya langsung bergolak. Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ia merasakan persahabatan yang begitu dalam dengan orang ini.
Ia melangkah mendekat dan berkata, “Kau…”
Pada saat itulah, sebilah pedang berkilat dari bawah jubah itu! Sambaran pedang yang secepat kilat ini sungguh mengagetkan Ah Fei.


Sangat tidak terduga. Dan sangat sangat cepat. Untungnya pedang Ah Fei masih tergenggam di tangannya. Pedangnya lebih cepat lagi, kecepatannya tak terbayangkan. Walaupun orang itu menyerang lebih dulu, Ah Fei masih lebih cepat.


Pedang Ah Fei mengenai pegangan pedang orang itu.
Pergelangan tangan orang itu langsung kesemutan dan pedangnya terlepas dari tangannya. Orang ini pun ahli pedang tingkat tinggi. Dalam keadaan seperti inipun ia tidak lengah. Ia berguling dan menjauh beberapa meter. Saat itulah Ah Fei melihat wajahnya. Ia adalah You Long Sheng.

Namun Ah Fei tidak tahu siapa dia, sehingga konsentrasinya tidak terganggu. Ia menyerang lagi sambil keluar dari tempat itu. Walaupun gerakannya sangat cepat, tapi sudah terlambat.


Sebuah golok emas dan tongkat telah menghadang langkahnya. Juga beberapa orang muncul dari balik gundukan kayu bakar itu. Tiap-tiap orang dengan busur dan anak panah yang terbidik padanya. Pada jarak sedekat ini, anak panah sangatlah mematikan.

Betapa pun kuat dan hebatnya seseorang, jika ia berharap bisa keluar hidup-hidup dari tempat itu, ia sedang bermimpi.
Tian Qi tertawa, “Adakah yang ingin kau sampaikan, Sobat?”

Ah Fei mendesah. “Silakan saja.”

Tian Qi berkata, “Kau tidak mau membuang-buang waktu. Baik, akan kukabulkan keinginanmu.”


Ia melambaikan tangannya dan anak-anak panah itu datang menghujaninya. Saat itulah Ah Fei berguling di tanah. Tangannya meraih pedang yang jatuh dari tangan You Long Sheng. Dalam tangannya, pedang itu seakan-akan menari-nari menahan anak-anak panah
yang berhamburan datang. Sekejap saja, ia telah sampai di pintu.


Zhao Zheng Yi mengaum keras dan golok emasnya menusuk ke arah Ah Fei. Sebelum jurusnya selesai, ia melihat kilatan cahaya di depannya. Jurus pedangnya bukan main cepatnya. Waktu Zhao Zheng Yi berusaha mengelak, sudah terlambat baginya. Pedang Ah Fei telah menembus tenggorokannya. Darah pun muncrat keluar.

Tian Qi tercekat.

Namun Ah Fei sudah meninggalkan tempat itu.

Tian Qi hendak mengejar Ah Fei, namun diurungkannya. Zhao Zheng Yi masih memegangi lehernya. Sungguh ajaib, dia masih belum mati.

Ah Fei melayang meninggalkan taman itu. Sebelum pergi, dilemparkannya pedang You Long Sheng ke arah Tian Qi.

Tian Qi ingin mengejar, namun tidak jadi.

You Long Sheng mengeluh panjang. “Anak muda itu sungguh luar biasa cepat!”

Tian Qi pun terkekeh, “Peruntungannya pun tidak jelek.”

You Long Sheng bertanya, “Peruntungan?”

Kata Tian Qi, “Tak kau lihatkah dua anak panah yang menembus tubuhnya?”

Sahut You Long Sheng, “Kau benar. Jurus pedangnya belum sempurna benar, sehingga ia masih belum dapat menahan seluruh anak panah itu. Namun ia bisa melindungi dirinya begitu rupa sampai tidak terluka.”

Kata Tian Qi, “Itu karena ia mengenakan Rompi Benang Emas. Aku memperhitungkan segala sesuatu, namun aku lupa akan hal ini. Kalau tidak, tidak mungkin ia bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.”

You Long Sheng memandang pedang itu dan mengeluh lagi. “Tidak seharusnya ia datang kembali hari ini.”

Tian Qi tertawa. “Jangan terlalu memikirkan kekalahanmu. Lagi pula, walaupun ia berhasil lolos dari perangkap kita, belum tentu ia bisa meninggalkan Puri ini.”

Saat Ah Fei keluar dari pintu, ia mendengar lantunan lagu Buddha. Lagu itu terdengar sangat keras dan sepertinya bersumber dari segala arah.

Lalu lima orang pendeta mengelilinginya.

Yang pertama adalah Pendeta Xin Mei.

Ah Fei segera melihat ke sekelilingnya dan berusaha tetap tenang. Ia hanya berkata, “Jadi sekarang pendeta pun menjebak orang.”

Pendeta Xin Mei menjawab dengan tenang. “Aku tidak bermaksud melukai siapapun. Katakatamu sangat tajam. Namun kata-kata tidak dapat melukai siapapun juga, kecuali dirimu sendiri.”

Ia berbicara dengan nada datar. Namun ketika kata-kata ini sampai ke telinga Ah Fei, suara itu bergetar dengan kuat.

Kata Ah Fei, “Kelihatannya ada juga yang dapat menggunakan kata-kata sebaik aku.”

Ia tahu, jika ia ingin melarikan diri ke atas, tasbih pendeta itu akan dapat melukai kakinya. Jadi kesempatannya hanyalah dengan meloloskan diri dari antara dua pendeta.

Namun ketika ia bergerak sedikit, pendeta-pendeta itu telah berputar mengelilingi dia. Kelimanya bergerak sangat cepat, Ah Fei tak mungkin meloloskan diri.

Begitu Ah Fei berhenti, pendeta-pendeta itu pun berhenti.

Pendeta Xin Mei berkata, “Sebagai pendeta, kami tidak ingin membunuh. Kau mempunyai pedang di tanganmu dan sepatu di kakimu. Jika kau dapat memecahkan formasi Luo Han kami, kau boleh pergi.”

Ah Fei mulai bernafas dalam-dalam. Tubuhnya diam tidak bergerak.

Ia bisa melihat bahwa ilmu silat pendeta-pendeta ini sangat tinggi, dan kerja sama mereka sangat baik. Formasi mereka tidak punya kelemahan sama sekali.

Ketika Ah Fei berusia sembilan tahun, ia melihat seekor burung bangau dikelilingi oleh seekor ular besar. Walaupun burung bangau itu berparuh tajam, ia diam saja tidak bergerak.

Awalnya ia tidak mengerti apa sebabnya. Belakangan ia tahu bahwa ternyata si bangau mengerti perangai si ular. Setelah mengelilingi si bangau, si ular dapat menyerang dengan kepala atau dengan ekornya. Jika si bangau menyerang kepalanya, ekor si ular akan menjerat. Jika si bangau menyerang ekornya, kepala si ular akan memagut.

Oleh sebab itu, si bangau hanya berdiri di situ. Si ular menjadi tidak sabar, dan menyerang lebih dulu. Hanya dengan cara itulah si bangau dapat menghadapi serangan dengan sigap dan mengalahkan ular itu.

Mengalahkan kecepatan dengan ketenangan.

Oleh sebab itu, selama para pendeta itu tidak bergerak, ia pun tetap diam.

Setelah beberapa saat, tampak para pendeta itu menjadi tidak sabar. “Apakah engkau sudah menyerah.”

“Belum.”

Pendeta Xin Mei bertanya, “Lalu mengapa engkau tidak berusaha pergi?”

Sahut Ah Fei, “Kalian tidak ingin membunuh aku dan aku tidak bisa membunuh kalian. Jadi aku tidak bisa pergi.”

Xin Mei terkekeh. “Jika kau bisa membunuhku, aku tidak akan menyesal.”

Sahut Ah Fei, “Bagus.”

Dengan kilatan pedang yang sangat tiba-tiba, Ah Fei menyerang Xin Mei.

Pendeta Shaolin ini segera menyerang balik.

Namun tiba-tiba Ah Fei mengubah gerakannya. Tidak seorang pun tahu bagaimana ia melakukannya. Mereka hanya tahu, tiba-tiba ia berbalik ke arah lain.


Awalnya jurus itu diarahkan ke Xin Mei, namun kini terarah pada tangan salah seorang pendeta yang lain.

Kata Xin Mei, “Bagus sekali.”

Sambil berbicara, ia menggulung lengan bajunya. Lengan baju pendeta Shaolin sangat tajam,setajam pisau. Ia bersiap-siap menyerang Ah Fei.

Walaupun keempat pendeta yang lain sedang diserang, ia tidak perlu membantu mereka mempertahankan diri. Inilah kelebihan formasi Luo Han.

Tidak ada yang menyangka bahwa saat itu Ah Fei kembali mengubah gerakannya lagi.

Ketika ahli pedang yang lain berganti jurus, mereka hanya mengubah asal arah serangan atau tujuan arah serangan. Namun Ah Fei dapat mengubah arah seluruh tubuhnya.

Jurus yang tadinya mengarah ke timur, bisa berubah tiba-tiba ke barat.

Tidak ada yang berubah, hanya gerakan kakinya saja yang secepat kilat.

Di detik berikutnya, pedangnya telah merobek lengan baju Xin Mei. Pedang dan tubuh telah menyatu. Jika pedang lolos, tubuh pun lolos.

Xin Mei lalu berkata, “Hati-hati di jalan. Kuantarkan kau keluar.”

Ah Fei lalu merasa serangkum tenaga di belakangnya, seolah olah batang besi yang besar memukul punggungnya. Walaupun ia memakai Rompi Benang Emas, ia masih merasa sangat kesakitan.

Salah seorang pendeta itu berseru, “Kejar dia!”

Namun Xin Mei berkata, “Tidak perlu.”

Kata pendeta itu, “Ia tak mungkin pergi terlalu jauh. Mengapa membiarkan dia lolos?”

“Jika ia tidak mungkin pergi jauh, buat apa susah-susah mengejarnya?”

Pendeta itu berpikir sejenak, lalu berkata, “Paman guru memang benar.”

Xin Mei memandang ke arah Ah Fei pergi, lalu berkata, “Seorang pendeta tidak boleh melukai orang, sebisa mungkin.”

Tian Qi pun mengawasi kejadian itu dari kejauhan. Ia terkekeh. “Pendeta-pendeta ini memang pandai. Jika orang lainlah yang membunuh orang itu untuk mereka, mereka tidak akan peduli.”

Tenaga yang disalurkan melalui tapak tangan pendeta Shaolin itu memang benar-benar kuat. Ah Fei perlu cukup lama untuk mengembalikan keseimbangannya.

Ia tahu ia telah terluka dalam cukup parah. Namun paling tidak ia bisa sembuh dari luka seperti ini.

Setelah bertahun-tahun menjalani latihan dan penderitaan, ia menjadi sangat tahan bantingan. Tubuhnya seperti terbuat dari baja.

Jika Ah Fei bisa lolos, ia memang sungguh seorang yang beruntung. Sangat sedikit orang yang dapat lolos dari serangan bersama lima pesilat tangguh Shaolin.

Hanya saja, Ah Fei tidak ingin lolos.

Di manakah mereka menyembunyikan Li Xun Huan?

Bagaikan elang, mata Ah Fei memantau sekelilingnya. Ia segera berlari menuju ke halaman belakang. Di sana lebih bayak tempat untuk bersembunyi.

Tiba-tiba terdengar suara tawa.

Di depan sana terlihat sebuah paviliun. Orang yang tertawa itu sedang duduk di sana, membaca buku. Sepertinya ia sangat asyik dengan bacaannya.

Ia mengenakan baju yang biasa, bahkan agak lusuh. Wajahnya kurus, berwarna kuning, dengan jenggot panjang. Ia tampak seperti seorang pelajar tua yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri.

Namun hanya pesilat tangguhlah yang dapat membuat suara tertawanya terdengar begitu jelas dari jarak yang begitu jauh.

Ah Fei berhenti. Dipandangnya orang itu menyelidik.

Orang tua itu seperti tidak melihat Ah Fei. Ia membalik halaman bukunya terus membaca dengan serius.

Ah Fei melangkah mundur. Setelah sepuluh langkah, ia memutar badan dan melayang pergi. Dalam dua langkah ia sudah ada dalam hutan plum.

Ah Fei menarik nafas panjang, menelan darah di kerongkongannya.

Lukanya ternyata lebih parah daripada sangkaannya. Ia tidak dapat bertempur lagi dengan keadaannya sekarang.

Pada saat itulah terdengar suara seruling.

Suara seruling itu sangat jernih dan keras. Kelopak-kelopak bunga plum berjatuhan di sekeliling  Ah Fei.

Lalu dilihatnya seseorang sedang meniup seruling di bawah pohon plum di belakangnya. Orang itu adalah si pelajar tua yang dilihatnya semenit yang lalu.

Kali ini, Ah Fei tidak menghindar. Sambil memandang orang tua itu dan menyapa, “Tuan Suling Besi?”

Suara seruling itu perlahan-lahan lenyap.

Ia memandang Ah Fei cukup lama, lalu tiba-tiba bertanya, “Kau terluka?”

Ah Fei sangat terkejut. Penglihatan orang ini sangat tajam.

Tuan Suling Besi bertanya lagi, “Terluka di punggungmu?”

Sahut Ah Fei, “Kalau sudah tahu, mengapa bertanya lagi?”

“Xin Mei melukaimu?”

Ah Fei hanya menggeram, “Hmmmmh.”

Tuan Suling Besi menggelengkan kepalanya. “Sepertinya pendeta Shaolin itu tidak sungguh sungguh hebat.”

Ah Fei bertanya, “Mengapa?”

Tuan Suling Besi menerangkan. “Untuk orang setingkat dia, tidak seharusnya dia menyerangmu dari belakang. Dan jika dia melakukannya, seharusnya dia tidak membiarkanmu hidup cukup lama dan bertemu dengan aku.”

Ia tiba-tiba tersenyum. “Mungkinkah pendeta tua itu ingin menggunakan tangan orang lain untuk membunuhmu?”

Kata Ah Fei, “Aku akan memberi tahu engkau tiga hal. Pertama, jika ia tidak menyerangku dari belakang, ia tidak mungkin bisa melukaiku. Kedua, walaupun dia memukulku, dia tetap tidak bisa membunuhku. Ketiga, kau pun tak mungkin dapat membunuhku!”

Tuan Suling Besi tertawa terbahak-bahak. “Kau sombong sekali, anak muda.”

Tiba-tiba ia berhenti tertawa. “Karena kau terluka, aku tidak seharusnya menantangmu. Namun karena engkau begitu sombong, aku harus memberimu pelajaran.”

Ah Fei merasa ia sudah terlalu banyak bicara. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Tuan Suling Besi berkata lagi, “Karena kau sudah terluka, kau boleh mulai tiga jurus lebih dulu.”
Ah Fei memandangnya, lalu terkekeh.

Sambil terkekeh ia menyelipkan pedangnya kembali ke pinggangnya. Ia berbalik dan berjalan pergi.

Tuan Suling Besi berkata, “Kau sudah bertemu denganku. Kau pikir kau bisa pergi hidup-hidup?”

Ah Fei tidak menoleh. Ia menyahut dingin, “Jika aku tidak pergi, maka kau pasti mati.”

Tuan Suling Besi tak bisa menahan tawanya. “Siapa yang mati? Kau atau aku?”

Kata Ah Fei, “Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan aku keuntungan tiga jurus awal.”

“Jadi kalau aku memberi, aku akan mati?”

“Ya.”

Kata Tuan Suling Besi, “Mengapa tidak kita coba saja?”

Ah Fei diam saja. Dibalikkannya tubuhnya dan ditatapnya orang itu dalam-dalam.

Tuan Suling Besi belum pernah melihat mata seperti itu.

Sepasang mata ini tidak berperasaan. Seperti terbuat dari batu. Jika mata itu menatapmu, mata itu seperti seorang dewa yang menatap mahluk ciptaanya.

Tanpa disadarinya, Tuan Suling Besi mundur beberapa tindak.

Saat itulah Ah Fei memulai serangannya.

Sekali pedangnya menyerang, tidak akan luput.

Ini adalah filosofi Ah Fei. Jika ia tidak yakin akan menang, ia tidak akan menghunus pedangnya!

Butiran salju dan bunga-bunga plum beterbangan di udara, sungguh pemandangan yang sangat cantik. Tubuh Tuan Suling Besi pun melayang-layang menari di tengah-tengahnya.

Ah Fei tidak melihat ke atas. Ia hanya menarik kembali pedangnya.

Tuan Suling Besi melayang turun. Mengapung perlahan-lahan seperti kertas yang tertiup angin. Terlihat genangan darah di atas salju.

Ah Fei memandangi darah di tanah, katanya, “Tidak ada seorangpun yang dapat memberikan aku keuntungan tiga jurus awal. Satu jurus pun tidak!”

Tuan Suling Besi bersandar pada sebatang pohon. Wajahnya sangat pucat. Dadanya penuh dengan noda darah.

Ia tidak sempat menggunakan suling besinya yang terkenal sedunia itu!

Ah Fei berkata lagi, “Namun kau tidak mati, karena kau memegang kata-katamu.”

Ia terkekeh. “Paling tidak kau lebih baik dari Xin Mei.”

Xin Mei berkata bahwa ia tidak akan melukai Ah Fei. Jikalau Ah Fei bisa lolos dari formasi mereka, ia boleh pergi. Namun ia malah membokong Ah Fei. Ini adalah pelajaran yang sangat berharga, yang tak akan pernah dilupakan Ah Fei.

Tuan Suling Besi kemudian berkata, “Kau masih punya dua jurus lagi.”

“Dua lagi?”

Ah Fei memandangnya sesaat, lalu menjawab, “Baik.”

Ia menyerang perlahan dan ringan. Dua tinju yang hampir tidak menyentuh tubuh Si Suling Besi. “Nah, aku sudah memberimu tiga….”

Saat itulah terdengar suara mendesing pelan, Sepuluh ‘Jarum Bintang Beku Badai Hujan’ melesat keluar dari suling besi!

Wajah Tuan Suling Besi yang mucat, kini berbinar-binar. Katanya, “Hari ini aku mendapat sebuah pelajaran berharga. Jangan pernah memberi keuntungan tiga jurus awal pada siapapun. Kau pun harus belajar satu hal. Jika kau sudah menyerang, lebih baik kau bunuh musuhmu. Kalau tidak, lebih baik tidak menyerang sama sekali!”

Ah Fei mengertakkan giginya sambil memandang jarum-jarum di kakinya. Ia menjawab sekatademi
sekata, “Aku tak akan pernah melupakannya!”

Tuan Suling Besi berkata, “Bagus. Sekarang, pergilah.”

Sebelum Ah Fei sempat menjawab, terdengar seruan dari jauh.

“Tetua…. Tetua Suling Besi…. Apakah kau telah menangkapnya?”

Tuan Suling Besi segera mendesak Ah Fei, “Cepatlah. Aku tak dapat membunuhmu, tapi aku pun tak ingin kau mati di tangan orang lain!”

Ah Fei segera berguling pergi.

Kakinya tak dapat bergerak, namun tangannya masih lincah.

Ia merasa darah naik ke kerongkongannya. Walaupun dia mati-matian menahannya, ia tidak berhasil.

Walaupun tidak ada yang mengejar, dia tidak yakin bisa hidup lebih lama. Ia hanya ingin bertemu dengan Li Xun Huan, dan mengatakan padanya bahwa ia telah berusaha sekuat tenaga.

Sebelum ia jatuh pingsan, ia melihat sesosok bayangan menghampirinya.

***

Hanya ada satu lilin dalam ruangan.

Long Xiao Yun sedang memandangi Li Xun Huan. Dibiarkannya Li Xun Huan selesai batuk-batuk, lalu diberinya minum secawan anggur.

Setelah ia menghabiskan cawan itu, Li Xun Huan tersenyum. “Saudaraku, lihatkah engkau bahwa tak ada setetes pun yang tumpah.? Walaupun aku digantung terbalik seperti ini, aku masih bisa minum anggur dengan baik.”

Long Xiao Yun pun ingin tersenyum, namun tidak bisa. “Mengapa tak kau biarkan aku membuka jalan darahmu?”

Sahut Li Xun Huan, “Aku tak bisa menahan godaan. Jika kau membuka jalan darahku, aku pasti akan kabur.”

Long Xiao Yun berkata, “Nam….namun sekarang tidak ada siapa-siapa. Tidakkah kau mengerti apa yang sedang kulakukan?”

Li Xun Huan menjawab cepat, “Saudaraku, tidakkah kau mengerti apa yang sedang kulakukan?”

Sahut Long Xiao Yun, “Aku tahu, tapi…..”

Li Xun Huan tersenyum. “Aku tahu apa yang hendak kau katakan. Tapi kau tidak berbuat kesalahan apapun. Dan hanya untuk secawan anggur itu, aku tak akan pernah menyesali persahabatan kita.”

Bab 17. Sifat Aslinya Ketahuan

Sewaktu Long Xiao Yun mendengarnya, ia menundukkan kepalanya cukup lama.

“Besok…besok kau akan pergi. Aku….”

Kata Li Xun Huan, “Tak perlu repot-repot mengantar. Aku tidak suka mengantar kepergian orang dan akupun tidak suka orang berbuat begitu padaku. Waktu aku melihat air wajah orang saat mengantar, aku malah jadi ingin muntah.”

Ia terkekeh lalu melanjutkan, “Lagi pula, aku kan tidak pergi jauh. Mungkin dalam beberapa hari aku akan kembali.”

Long Xiao Yun pun kelihatan bersemangat lagi. “Kau benar. Waktu kau datang nanti, aku pasti akan menyambutmu. Lalu kita bisa mabuk bersama.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, “Kau tahu pasti dia tidak akan kembali. Mengapa kau masih membohongi dirimu sendiri?”

Lin Shi Yin masuk. Wajahnya yang cantik kelihatan sangat rapuh.

Hati Li Xun Huan serasa ditusuk sembilu. Namun ia masih tersenyum. “Mengapa aku tidak akan kembali? Ini adalah tempat tinggal sahabat-sahabat karibku. Aku….”

Lin Shi Yin segera memotong dengan dingin, “Siapa sahabatmu? Kau sama sekali tidak punya teman di sini.”

Ia menuding ke arah Long Xiao Yun. “Kau pikir dia ini sahabatmu? Jika dia memang sahabatmu, seharusnya dia membebaskanmu sekarang juga.”

Long Xiao Yun berusaha membela diri, “Tapi dia….”

Lin Shi Yin memotong lagi, “Dia tidak mau pergi karena dia tidak mau kau mendapat kesulitan. Namun mengapa kau tidak melepaskan dia? Dia bisa memutuskan apakah dia mau lari atau tidak. Namun, kaulah yang harus memutuskan apakah kau akan melepaskan dia atau tidak.”

Ia tidak menunggu Long Xiao Yun untuk menjawab. Ia memutar badannya dan berlalu dari situ.

Long Xiao Yun berdiri dan berkata, “Apapun yang akan kau lakukan, aku harus melepaskan engkau.”

Li Xun Huan tertawa keras-keras.

Long Xiao Yun kelihatan bingung. “Meng…mengapa kau tertawa?”

Sahut Li Xun Huan, “Sejak kapan kau mau diperintah oleh seorang wanita? Long Xiao Yun yang kuingat adalah seorang pria tulen. Bukan seorang pria lemah yang takut pada istrinya.”

Long Xiao Yun mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bahkan air mata mulai tampak di sudut matanya. “Saudaraku, kau… kau sangat baik padaku. Bukannya aku tidak tahu apa maksudmu. Hanya…hanya saja, bagaimana harus kubalas budimu?”

Kata Li Xun Huan, “Kebetulan aku perlu bantuanmu.”

“Apa yang kau perlukan? Katakan saja, aku lakukan apapun keinginanmu.”

Kata Li Xun Huan, “Ingatkah kau pada pemuda Ah Fei yang datang semalam?”

“Tentu saja.”

Li Xun Huan berkata, “Jika ia terlibat kesulitan, tolong bantu dia.”

Long Xiau Yun mendesah. “Bahkan dalam situasi seperti ini, kau masih begitu memperhatikan orang lain. Apakah kau pernah memperhatikan dirimu sendiri?”

Kata Li Xun Huan kering, “Katakan padaku, apakah kau akan melakukannya atau tidak.”

“Tentu saja akan kupenuhi permintaanmu. Tapi mungkin aku takkan pernah berjumpa dengan dia.”

Li Xun Huan sangat terkejut. “Kenapa? Mungkinkah dia….”

Long Xiao Yun berusaha keras untuk tersenyum. “Kau melihat dai pergi kemarin. Apakah mungkin dia kembali lagi?”

Li Xun Huan mengeluh. “Aku sangat berharap ia tidak kembali lagi. Namun aku tahu ia pasti datang.”

Long Xiao Yun bertanya, “Jika ia datang untuk menyelamatkanmu, mengapa dia belum tiba?”

Ia menarik nafas panjang dan melanjutkan. “Saudaraku, aku tahu kau memperhatikan sahabatmu lebih dari apapun juga di dunia ini. Namun tidak semua orang seperti engkau.”

Li Xun Huan berusaha tersenyum. “Apa yang akan dilakukannya adalah keputusannya sendiri. Aku hanya berharap engkau mengingat bahwa ia adalah sahabatku, sewaktu engkau berjumpa
dengan dia.”

Sahut Long Xiao Yun, “Sahabatmu adalah sahabatku juga.”

Tiba-tiba seseorang berteriak dari luar, “Tuan Keempat Long…. Tuan Keempat Long.”

Long Xiao Yun segera bangkit, namun segera duduk kembali. “Saudaraku, kau….”

Li Xun Huan tersenyum lalu berkata, “Aku tidak ingin minum lagi. Kau pergilah. Dan jangan lupa, besok kau tidak perlu mengantar.”

Long Xiao Yun berjalan keluar dan dilihatnya Tian Qi berdiri di bawah pohon. Ia segera berjalan ke sana dan bertanya dengan berbisik, “Apakah kau berhasil menangkapnya?”

Sahut Tian Qi, “Tidak.”

“Apa? Begitu banyak orang yang telah kau kerahkan, ditambah dengan Pendeta Xin Mei dan Tuan Suling Besi…. tidak dapat menyelesaikan satu anak muda saja?”

Kata Tian Qi, “Tapi anak muda ini sangat luar biasa. Bahkan sedikit menakutkan. Ia tidak hanya telah melukai Kakak Zhao, kini ia pun melukai Tuan Suling Besi!”

Long Xiao Yun menghentakkan kakinya. “Aku tahu anak muda ini tidak mudah ditundukkan. Tapi katamu Tuan Suling Besi pasti dapat mengatasinya.”

Kata Tian Qi, “Walaupun ia berhasil lolos, ia kena dilukai oleh telapak tangan Xin Mei.”

Sahut Long Xiao Yun, “Kalau begitu, ia tidak mungkin lari terlalu jauh. Mengapa tidak kau kejar dia?”

Tian Qi berkata, “Pendeta-pendeta Shaolin itu sedang mengejarnya. Begitu ada kabar baik, aku akan segera mengabarimu.”

Kata Long Xiao Yun, “Aku akan pergi menyelidiki. Kau tempatkan seseorang untuk berjaga di sini.”

Di belakang pohon plum itu ada gunung-gunungan.

Setelah kedua orang itu pergi, seseorang muncul dari balik gunung-gunungan itu. Matanya yang cantik penuh dengan keheranan dan tidak percaya. Juga sakit hati dan kebencian. Seluruh badannya menggigil, dan air mata membasahi wajahnya.

Hati Lin Shi Yin hancur berkeping-keping. Lalu dengan langkah mantap ia berjalan ke arah kamar Li Xun Huan.

Namun segera didengarnya ada langkah-langkah orang, sehingga Lin Shi Yin kembali bersembunyi di balik gunung-gunungan itu.

Tian Qi membawa delapan orang ke situ dan berkata, “Jaga dia. Jangan biarkan seorang pun masuk ke sini. Siapapun yang masuk, bunuh.”

Ia sedang tergesa-gesa hendak menangkap Ah Fei, sehingga belum habis kalimatnya, dia sudah berlari pergi.

Lin Shi Yin menggigit bibirnya. Begitu kerasnya sampai darah keluar.

Ia menyesali dirinya sendiri, mengapa malas berlatih ilmu silat.

Kini ia baru menyadari bahwa ada hal-hal yang hanya dapat diselesaikan dengan bertempur. Ia tidak punya ide bagaimana ia bisa masuk ke kamar itu. Tapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Langkah-langkah orang. Langkah itu tidak terlalu berirama, namun sangat cepat.

Lin Shi Yin menyadari, ini adalah Tuan Suling Besi.

Ia mendengar Tuan Suling Besi berseru nyaring, “Apakah orang marga Li itu ada di kamar ini?”

Seorang penjaga menjawab, “Kami tidak tahu pasti.”

Tuan Suling Besi berkata, “Kalau begitu, biarkan aku masuk dan memeriksa.”

Penjaga itu menjawab, “Tuan Tian berpesan bahwa tidak seorang pun boleh masuk.”

Kata Tuan Suling Besi, “Tian Qi? Siapa yang peduli? Tidakkah kalian tahu siapa aku?”

Penjaga itu memandang dengan curiga ke arah pakaian Tuan Suling Besi yang belepotan darah.

“Siapapun tidak boleh masuk.”

Tuan Suling Besi menjawab, “Baiklah.”

Ia mengangkat tangannya sedikit. Segenggam jarum pun segera melesat.

Mata Li Xun Huan terpejam, seakan-akan tertidur.

Tiba-tiba didengarnya jeritan orang kesakitan. Suara itu tidak terlalu keras, dan pendek saja.

Ia mengangkat alisnya. “Apakah ada yang sedang berusaha menolongku?”

Lalu ia melihat seseorang yang membawa seruling besi masuk ke kamarnya. Wajahnya penuh dengan hawa membunuh.

Pandangan Li Xun Huan berhenti pada seruling besi itu. “Tuan Suling Besi.”

Tuan Suling Besi memandangi wajahnya. “Jalan darahmu tertutup?”

Li Xun Huan tersenyum. “Kau tahu, jika ada anggur di hadapanku dan aku tidak minum, pasti artinya aku tidak bisa bergerak.”

Kata Tuan Suling Besi, “Kalaui kau tidak bisa bergerak, seharusnya aku tidak membunuhmu. Tapi aku harus membunuhmu.”

“Hah?”

Tuan Suling Besi menatapnya lekat-lekat, “Engkau tidak ingin tahu sebabnya?”

Li Xun Huan terkekeh. “Jika aku bertanya, pasti engkau akan menerangkan dan menjadi marah. Jika kemudian aku berusaha membela diri, kau pasti tidak akan percaya, dan masih tetap akan membunuhku. Jadi buat apa susah-susah bicara?”

Wajah Tuan Suling Besi tiba-tiba menjadi sangat sedih. “Ru Yi, kau sungguh mati mengenaskan. Tapi paling tidak sekarang aku akan membalaskan dendammu.”

Ia mengangkat seruling besinya.

Li Xun Huan menghela nafas. “Ru Yi, waktu kau melihat aku, pasti kau akan sangat terkejut. Karena walaupun kau tidak mengenal aku, aku mengenalmu….”

Tiba-tiba Lin Shi Yin masuk ke dalam kamar itu. “Tunggu sebentar. Ada yang ingin kukatakan.”

Tuan Suling Besi menoleh terkejut. “Nyonya? Aku sarankan agar kau tidak terlibat urusan ini. Tidak ada seorang pun yang boleh ikut campur.”

Wajah Lin Shi Yin menjadi hijau. “Aku tidak bermaksud mencegahmu melakukan apa yang kau inginkan. Tapi ini adalah rumahku. Jika seseorang harus dibunuh, biarkan aku yang melakukannya.”

”Tapi mengapa kau ingin membunuhnya?”

Sahut Lin Shi Yin, “Aku punya lebih banyak alasan untuk membunuhnya daripada engkau. Kau ingin membunuhnya untuk membalaskan dendam istrimu. Namun aku ingin melakukannya demi anakku. Aku hanya punya satu orang anak.”

Maksudnya sudah jelas. Tuan Suling Besi punya lebih dari satu istri.

Tuan Suling Besi berpikir cukup lama, lalu berkata, “Baiklah, kau boleh maju lebih dulu.”

Ia sangat percaya diri bahwa jarum suling besinya sangat cepat bagai kilat. Jadi walaupun Lin Shi Yin maju lebih dulu, ia masih dapat mendahuluinya membunuh Li Xun Huan. Namun ketika Lin Shi Yin berjalan melewatinya, ia tiba-tiba berputar dan menyerangnya.

Walaupun ilmu silat Lin Shi Yin cetek, ia pun bukan wanita yang lemah. Ia menggunakan seluruh kekuatannya mendorong dengan telapak tangannya. Lagi pula, Tuan Suling sama sekali tidak menyangka, jadi serangannya cukup ampuh.

Dan karena luka sebelumnya terbuka lagi, tubuh Tuan Suling Besi gemetar hebat, darah mulai mengucur keluar dan akhirnya dia pingsan.

Lin Shi Yin sendiri sangat terkejut melihatnya, dan hampir ikut pingsan.

Li Xun Huan tahu bahwa dia tidak pernah menginjak seekor semut sekalipun! Kini, melihat Lin Shi Yin melukai seseorang, ia tidak tahu apakah ia harus merasa sedih atau gembira. Tapi ia menekan seluruh emosinya dan hanya berkata, “Mengapa kau datang lagi?”

Lin Shi Yin mengambil nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri. “Aku datang kembali untuk membebaskanmu.”

Li Xun Huan mengeluh. “Apakah kau belum jelas juga? Aku tidak akan pergi.”

Kata Lin Shi Yin, “Aku tahu, kau tidak ingin pergi karena Long Xiao Yun. Tapi kau tidak tahu bahwa dia….dia….”

Tubuhnya mulai menggigil lagi, bahkan lebih dari sebelumnya. Ia mengepalkan tangannya kuatkuat, sampai kuku-kukunya melukai kulitnya. Dengan segenap tenaganya ia berkata, “Ia telah mengkhianatimu. Ia bersekongkol dengan mereka semua.”

Setelah ia mengatakan itu, tenaganya habis terkuras. Jikalau tidak ada kursi di dekatnya, mungkin ia sudah jatuh rebah di tanah. Ia pikir Li Xun Huan pun pasti sangat terkejut.

Namun ternyata wajah Li Xun Huan tidak berubah sedikitpun. Malahan ia terkekeh. “Pasti ada kesalahpahaman. Bagaimana mungkin ia mengkhianati aku?”

Lin Shi Yin kembali mengumpulkan tenaganya dan berpegangan pada meja. Seluruh meja itu pun ikut bergetar.

Katanya, “Aku melihatnya dengan mataku sendiri, dan mendengarnya dengan telingaku sendiri.”

Sahut Li Xun Huan, “Mata dan telingamu pasti salah.”

Kata Lin Shi Yin gusar, “Kau tidak mempercayaiku?”

Li Xun Huan berkata dengan lembut, “Kau terlalu lelah dua hari belakangan ini. Jadi tidak heran kalau pikiranmu kacau. Pergilah beristirahat. Besok pasti kau akan kembali menyadari bahwa suamimu adalah laki-laki yang baik.”

Lin Shi Yin memandang dia. Pikirannya sungguh galau. Setelah sekian lama, akhirnya ia menelungkup di atas meja dan mulai menangis.

Li Xun Huan memejamkan matanya. Ia tidak mampu memandangnya. Suaranya bergetar, katanya, “Mengapa kau….”

Sebelum ia selesai bicara, ia mulai batuk-batuk. Kali ini darah ikut tersembur.

Akhirnya Lin Shi Yin tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Sepuluh tahun perasaan yang tertahan, meledak keluar saat itu.

Ia segera menubruk ke arah Li Xun Huan. “Jika kau tidak pergi, aku akan mati di hadapanmu.”

Li Xun Huan mengatupkan giginya. Ia berkata perlahan-lahan, “Apa hubungannya kematianmu dengan diriku?”

Lin Shi Yin menengadah memandangnya. Suaranya sangat lemah. “Kau….kau….kau….”

Setiap kali dia bicara satu kata, ia mundur selangkah. Tiba-tiba ia menabrak seseorang di belakangnya.

Wajah Long Xiao Yun terlihat kaku seperti baja.

Ia melingkarkan tangannya kuat-kuat di pinggang istrinya. Seakan-akan kuatir jika ia melepaskannya, istrinya akan pergi dan tak kembali lagi.

Lin Shi Yin memandang tangan suaminya. Setelah kembali tenang, ia berkata dengan dingin, “Lepaskan tanganmu. Dan ingatlah, jangan sekali-kali menyentuhku lagi.”

Akhirnya dilepaskannya pelukannya dan memandang istrinya, “Kau sudah tahu semuanya?”

Lin Shi Yin menjawab dingin, “Tidak ada rahasia yang abadi di dunia ini.”

“Kau…kau telah memberitahukan padanya?”

Li Xun Huan tersenyum. “Sebenarnya dia tidak perlu memberitahukan padaku. Aku sudah tahu dari semula.”

Awalnya Long Xiao Yun tidak punya muka memandangnya. Baru sekarang ia mengangkat kepalanya. “Kau sudah tahu?”

“Ya.”

“Sejak kapan?”

Li Xun Huan menghela nafas. “Waktu kau menarik tanganku dan membiarkan Tian Qi menutup jalan darahku. Tapi…. walaupun aku tahu kau terlibat, aku tidak menyalahkanmu.”

Kata Long Xiao Yun, “Jika kau sudah tahu, mengapa kau tak mengatakan apa-apa?”

“Buat apa?”

Lin Shi Yin memandang Li Xun Huan. “Kau tidak mengatakannya karena aku, bukan?”

Li Xun Huan mengangkat alisnya. “Karena kau?”

Kata Lin Shi Yin lagi, “Kau tidak ingin menyakiti diriku, atau merusak keluarga kami. Karena keluarga ini adalah….”

Ia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Air mata kembali membasahi wajahnya.

Tawa Li Xun Huan meledak tiba-tiba. “Mengapa wanita selalu berpikir bahwa segala sesuatu berputar mengelilingi mereka? Aku tidak mengatakannya karena aku tahu itu tidak ada manfaatnya. Aku juga tidak pergi karena aku tahu mereka tidak akan membiarkan aku pergi.”

Kata Lin Shi Yin, “Tidak peduli apa yang kau katakan sekarang. Karena aku sudah tahu….”

Potong Li Xun Huan, “Apa yang kau tahu? Tahukah kau mengapa ia melakukannya? Ia kuatir kalau aku akan merusak keluarga kalian. Itu sebabnya ia melakukan semua ini! Karena dalam pandangannya, keluarga lebih penting dari apa pun juga di dunia ini. Ia merasa bahwa engkaulah orang yang paling berharga dalam hidupnya.”

Lin Shi Yin menatap dia lekat-lekat, lalu tiba-tiba juga tertawa terbahak-bahak. “Ia telah menghancurkanmu, tapi kau masih juga membelanya? Bagus. Kau memang sahabat sejati. Tapi, sadarkah engkau bahwa aku juga manusia? Tega-teganya kau berbuat seperti ini padaku!”

Li Xun Huan mulai terbatuk-batuk lagi. Darah mengotori sekelilingnya.

Kini Long Xiao Yun pun kehilangan kendali dan mulai berteriak. “Tadinya aku adalah kepala keluarga di sini. Tapi begitu kau muncul, aku merasa seperti seorang tamu. Aku mempunyai anak yang hebat. Tapi begitu kau datang, ia menjadi anak yang cacad.”

Li Xun Huan mendesah. “Kau benar. Seharusnya aku tidak datang kembali.”

Lin Shi Yin memejamkan matanya. Air mata terus mengalir membasahi seluruh wajahnya. “Jika kau pernah memikirkan aku sekejap saja, seharusnya kau tidak berbuat seperti ini.”

Sahut Long Xiao Yun, “Aku tahu. Tapi aku terlalu kuatir.”

Lin Shi Yin bertanya, “Kuatir apa?”

Jawab Long Xiao Yun, “Kuatir kau akan meninggalkan diriku. Walaupun kau tidak mengatakannya, aku tahu bahwa kau…. kau tidak bisa melupakan dia. Aku kuatir kau akan kembali ke dalam pelukannya.”

Lin Shi Yin melompat dari kursinya dan berteriak dengan marah, “Singkirkan tanganmu! Kau bukan hanya seorang yang licik, tapi kau pikir aku ini orang macam apa? Kau pikir dia itu orang macam apa?”

Lin Shi Yin bersimpuh di lantai dan menangis meraung-raung tidak terkendali. “Apakah kau sudah lupa bahwa aku… aku adalah istrimu?”

Long Xiao Yun berdiri mematung di tempatnya. Hanya air matanya yang bergulir di pipinya.

Li Xun Huan memandang mereka berdua dan berpikir dalam hatinya, “Salah siapakah ini semua? Siapa yang salah….”

***

Dan terdengar seseorang berkata, “Apakah kau sudah bangun?”

Suara ini sungguh merdu, sungguh lembut.

Waktu Ah Fei membuka matanya, ia melihat wajah seorang dewi. Wajah ini memiliki senyum yang termanis, yang terlembut di seluruh dunia. Matanya penuh dengan cinta kasih yang murni.

Wajah ini hampir mirip dengan ibunya.

Ia teringat waktu ia masih kecil dan jatuh sakit, ibunya selalu duduk di sampingnya seperti ini, dan mengawasi dia dengan sabar.

Namun itu sudah lama sekali. Sangat lama, sampai ia hampir melupakannya….

Ah Fei berusaha bangkit dari tempat tidur itu. “Di manakah aku?”

Waktu ia berusaha duduk, ia terjatuh rebah kembali.

Lin Xian Er membantu ia duduk dengan telaten dan berkata dengan lembut, “Jangan kuatir di mana engkau berada. Anggap saja ini rumahmu.”

“Rumahku?”

Ia tidak pernah punya rumah.

Kata Lin Xian Er, “Aku rasa rumahmu pasti sangat hangat, karena kau memiliki ibu yang sangat baik. Ia pasti sangat lembut, sangat cantik dan kau sangat mencintainya.”

Ah Fei hanya duduk terdiam. Setelah beberapa saat ia berkata, “Aku tidak punya rumah, juga tidak punya ibu.”

Lin Xian Er kelihatan bingung. “Tapi…tapi waktu engkau pingsan, kau terus-menerus memanggil ibumu.”

Ah Fei diam saja, tidak bergerak dan wajahnya pun tidak berubah. “Beliau sudah meninggal waktu aku berusia tujuh tahun.”

Walaupun wajahnya menatap kosong, matanya mulai basah.

Lin Xian Er menunduk. “Maafkan aku. Aku…seharusnya aku tidak mengungkit kenangan sedih itu.”

Kemudian Ah Fei bertanya, “Apakah engkau yang menolongku?”

Sahut Lin Xian Er, “Waktu aku tiba, kau sudah pingsan. Lalu aku membawamu ke sini. Selama kau berada di sini, aku berjanji tidak ada orang lain yang akan masuk.”

Kata Ah Fei, “Sebelum ibuku meninggal, beliau berpesan supaya aku tidak menerima kebaikan orang lain. Aku tidak pernah melupakannya. Namun sekarang….”

Wajahnya yang kaku kini menjadi hidup dan ia berteriak, “Kini aku berhutang nyawa padamu!”

Lin Xian Er menjawab dengan lembut, “Kau tidak berhutang apa-apa. Jangan lupa, kau pun pernah menyelamatkan nyawaku.”

Ah Fei terus mengeluh. “Mengapa kau tolong aku? Mengapa kau tolong aku?”

Lin Xian Er memandangnya dengan sabar. Ia meletakkan tangannya di wajah Ah Fei. “Jangan pikir apa-apa sekarang. Nanti… nanti kau akan tahu mengapa aku…. aku menolongmu. Mengapa aku berbuat ini padamu.”

Tangannya benar-benar cantik.

Ah Fei memejamkan matanya.

Ia tidak tahu bahwa ia dapat mempunyai perasaan seperti ini.

Ia bertanya, “Jam berapa sekarang?”

“Belum tengah malam.”

Ah Fei berusaha bangkit lagi.

Lin Xian Er bertanya, “Ke mana kau mau pergi?”

Ah Fei mengertakkan giginya. “Aku tak bisa membiarkan mereka membawa Li Xun Huan.”

Kata Lin Xian Er, “Tapi mereka sudah pergi.”

Ah Fei jatuh terduduk ke atas tempat tidur. Wajahnya berkeringat. “Tapi katamu ini belum tengah malam?”

Sahut Lin Xian Er, “Memang betul. Tapi Li Xun Huan sudah dibawa pergi kemarin pagi.”

Ah Fei terpana. “Aku tidur begitu lama?”

Kata Lin Xian Er, “Luka-lukamu sangat berat. Jika orang itu bukan engkau, aku rasa orang itu tidak akan dapat bertahan hidup. Jadi sekarang engkau harus patuh padaku dan menunggu sampai kesehatanmu pulih.”

“Tapi Li….”

Potong Lin Xian Er cepat, “Jangan bicara tentang dia lagi. Keadaannya saat ini tidak segawat keadaanmu. Jika kau ingin pergi menolongnya, tunggu sampai luka-lukamu sembuh.”

Ia menggeser tubuh Ah Fei, sehingga kepala Ah Fei ada di atas bantal. “Jangan kuatir. Pendeta Xin Mei sendiri yang membawa dia. Dia tidak akan menemui kesulitan di jalan.”

***

Li Xun Huan duduk di atas kereta, memandang Tian Qi dan Xin Mei. Ia berpikir ini sungguh menarik, sehingga ia tidak dapat menahan senyumnya.

Tian Qi menatapnya dan bertanya, “Apa yang lucu?”

Sahut Li Xun Huan, “Aku hanya berpikir bahwa ini sangat menarik.”

“Apa yang menarik?”

Li Xun Huan menguap, memejamkan matanya, seolah-olah akan tidur.

Tian Qi mengguncang-guncangkan tubuhnya. “Apa yang menarik pada diriku?”

Sahut Li Xun Huan, “Maaf, aku bukan berbicara tentang engkau. Ada banyak orang yang menarik di dunia ini, tapi kau tidak termasuk. Kau sangat membosankan.”

Tian Qi sungguh geram, tapi akhirnya dilepaskannya cekalannya.

Xin Mei tidak tahan untuk tidak bertanya, “Apakah menurutmu aku menarik?”

Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang menanggap dia menarik.

Li Xun Huan menguap lagi. Katanya sambil tersenyum, “Aku berpikir kau cukup menarik karena sebelum ini aku belum pernah berada di kereta kuda bersama dengan seorang pendeta. Aku selalu berpikir bahwa pendeta tidak pernah naik kuda atau kereta kuda.”

Xin Mei juga tersenyum. “Pendeta kan juga manusia. Kami tidak hanya naik kereta kuda, kami juga perlu makan.”

Kata Li Xun Huan, “Tapi jika mau duduk di atas kereta, mengapa tidak duduk dengan nyaman? Caramu duduk membuat orang berpikir bahwa kau mempunyai semacam penyakit kulit.”

Wajah Xin Mei langsung berubah. “Kau ingin aku menutup mulutmu?”

Xin Mei memandang Tian Qi. Tangan Tian Qi telah bergerak ke arah salah satu jalan darah Li

Xun Huan. Ia tersenyum. “Jika aku menekan di sini, kau tahu apa yang akan terjadi, bukan?”

Li Xun Huan terkekeh. “Jika kau menekan di situ, maka kau tidak akan mendengar banyak kisah yang menarik.”

Kata Tian Qi, “Kalau begitu, aku rasa aku akan….”

Di tengah-tengah perkataannya itu, tiba-tiba kuda-kuda meringkik keras, dan berhenti.

Tian Qi berteriak pada orang-orang yang di luar, “Apa yang terjadi? Apa…..”

Waktu ia menyingkapkan tirai dan melihat ke luar, wajahnya seketika pucat pasi.

Seseorang berdiri di atas salju. Tangan kanannya memegangi kereta kuda, sehingga kuda-kuda itu tidak dapat maju. Ia hanya berdiri di situ, tidak bergerak sedikitpun.


Bab 18. Satu Hari Banyak Kejutan

Orang itu mengenakan baju hijau. Baju itu terlalu panjang untuk ukuran orang biasa, namun untuk orang ini baju itu malah tampak terlalu pendek. Ia dapat membuat orang merasa takut karena tubuhnya yang sangat tinggi. Ia juga mengenakan topi panjang yang tampak aneh. Dari jauh ia kelihatan seperti sebatang pohon.

Kemampuannya untuk menghentikan kuda yang sedang berlari, sangat mengerikan. Namun matanya lebih mengerikan lagi. Mata itu seperti bukan mata manusia.

Matanya hijau, dan berkilauan.

Waktu Tian Qi melihat ke luar, ia segera masuk kembali. Ia kelihatan seperti orang sakit.

Xin Mei bertanya, “Ada seseorang di luar?”

Kata Tian Qi lemah, “Yi Ku.”

Li Xun Huan tersenyum. “Sayangnya ia sama seperti teman-temanku yang lain. Ia hanya menginginkan kepalaku.”

Wajah Xin Mei terlihat muram. Ia membuka pintu kereta dan menyapa, “Tuan Yi.”
Si Setan Hijau memandangnya, lalu berkata dingin, “Apakah engkau Xin Hu? Atau Xin Mei?”

Pendeta Xin Mei menjawab, “Pendeta tidak boleh berdusta. Di sini ada juga Tuan Tian Qi dan Tuan Li.”

Kata Yi Ku, “Bagus. Serahkan saja Li Xun Huan dan kalian boleh pergi.”

Sahut Xin Mei, “Bagaimana jika aku tidak setuju?”

Kata Yi Ku lagi, “Maka aku harus membunuhmu dulu, baru membunuh Li Xun Huan!”

Tiba-tiba ia menyorongkan tangannya. Terlihat kilatan warna hijau, dan Tangan Setan Hijau telah maju terarah pada Xin Mei.

Xin Mei membaca mantra dan empat pendeta muda berjubah abu-abu segera datang. Setelah Xin Mei mengelak dari serangan pertama ini, pendeta-pendeta muda itu mengelilingi Yi Ku.

Lalu Yi Ku tertawa.

Selagi tertawa, disambitkannya sebatang panah yang mengeluarkan asap hijau. Xin Mei langsung berteriak, “Tahan nafas!”

Ia memperingatkan murid-muridnya, namun ia sendiri lupa. Ketika diucapkannya kata ‘tahan’, bau yang aneh masuk ke dalam mulutnya.

Ketika para pendeta yang lain melihat perubahan wajahnya, mereka langsung panik.

Xin Mei segera melayang beberapa meter ke belakang, duduk bersila dan mulai bermeditasi. Ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong racun itu keluar.

Para pendeta Shaolin itu langsung membentuk barisan seperti tembok di depannya. Mereka hanya menguatirkan keselamatan Xin Mei. Mereka lupa pada Li Xun Huan.

Namun Yi Ku tidak mempedulikan mereka. Ia berjalan menuju ke kereta.

Li Xun Huan masih di sana, namun Tian Qi sudah pergi.

Yi Ku menatap Li Xun Huan dan bertanya, “Apakah engkau membunuh Qiu Du?”

“Ya.”

Kata Yi Ku, “Bagus. Menukar nyawamu dengan nyawa Qiu Du bukanlah satu kerugian bagimu.”

Ia mengangkat Tangan Setan Hijaunya….

***

Ah Fei menatap langit-langit. Ia tidak berbicara sudah sangat lama.

Kata Lin Xian Er, “Apa yang kau pikirkan?”


Jawab Ah Fei, “Apakah kau pikir ia akan menemui bahaya di tengah jalan?”

Lin Xian Er tersenyum. “Tentu saja tidak. Ada Pendeta Xin Mei dan Tian Qi yang mengawalnya. Siapa yang berani menyerangnya?”

Ia membelai rambut Ah Fei. “Jika kau memperhatikan aku, beristirahatlah. Aku akan tetap di sini. Aku berjanji tidak akan pergi.”

Ah Fei menatapnya. Matanya sungguh penuh kehangatan.

Akhirnya Ah Fei pergi tidur.


***


Yi Ku menatap Li Xun Huan. “Ada lagi yang ingin kau katakan?”

Li Xun Huan memandang Tangan Setan Hijaunya. “Satu kalimat saja.”

“Apa?”

Li Xun Huan mendesah. “Mengapa datang jauh-jauh hanya untuk mati?”

Tiba-tiba ia memutar tangannya.

Pisau berkilat dan Yi Ku terjengkang ke belakang.

Begitu banyak darah menggenang di atas salju.

Kini Yi Ku sudah pergi jauh. Ia berteriak, “Li Xun Huan, jangan lupa. Aku….”

Sampai di situ, ia berhenti.

Angin musim dingin mengiris kulit bagai pisau. Padang salju tiba-tiba hening mencekam.

Tiba-tiba terdengar seseorang bertepuk tangan. Tian Qi keluar dari balik kereta, tersenyum dan bertepuk tangan. “Bagus. Bagus. Bagus. Pisau Terbang Li Kecil memang tidak pernah luput. Sehebat yang dikatakan orang-orang.”

Li Xun Huan terdiam sejenak lalu berkata, “Jika kau bebaskan seluruh jalan darahku, ia tidak akan bisa lolos.”

Tian Qi tertawa. “Jika kubebaskan semua jalan darahmu, maka engkaulah yang lolos. Hanya dengan satu tangan yang bisa bergerak dan satu pisau sajau, kau telah berhasil melukai Yi Ku cukup berat. Aku harus ekstra hati-hati menghadapi orang seperti engkau.”

Saat itu para pendeta itu telah menggotong Xin Mei kembali. Setelah duduk dalam kereta, Xin Mei langsung berkata, “Ayo pergi.”

Setelah beberapa saat ia berkata lagi, “Tangan Setan Hijau sangat berbahaya.”

Tian Qi tersenyum. “Tapi tidak lebih berbahaya daripada Pisau Terbang Li Kecil.”

Xin Mei memandang Li Xun Huan, “Aku tidak menyangka kau akan menyelamatkan kami.”

Li Xun Huan terkekeh. “Aku hanya menyelamatkan diriku sendiri. Jangan pikirkan itu. Jangan repot-repot berterima kasih.”

Kata Tian Qi, “Aku hanya bertanya apakah dia mau pergi dengan kita ke Shaolin atau tinggal dengan Yi Ku. Lalu kubuka jalan darah tangan kanannya dan kuberinya sebilah pisau.”

Lalu ia menyeringai, “Itu saja sudah cukup.”

Kata Xin Mei, “Pisau Li Kecil yang legendaris…..sangat sangat cepat!”

Walaupun gerak refleksnya kurang baik, namun ia memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Menjelang malam Xin Mei telah berhasil mendorong keluar semua racun dari dalam tubuhnya. Keesokan paginya, ia hampir pulih sepenuhnya.”

Lalu mereka melihat ada sebuah kedai di tepi jalan. Makanan tanpa arak, sama seperti masakan tanpa garam. Kering dan hambar.

Kata Tian Qi, “Sudah bagus ada makanan. Jangan berharap terlalu muluk.”

Peraturan Shaolin sangat ketat. Para pendeta ini tidak mengeluarkan suara sedikit pun selagi makan. Walaupun hanya sayuran rebus, mereka sudah terbiasa. Lagi pula, setelah perjalanan yang cukup jauh, mereka sangat lapar. Jadi mereka pun makan cukup lahap.

Hanya Xin Mei, yang baru pulih dari racun itu, tidak makan apa-apa.

Li Xun Huan akhirnya menyumpit sepotong tahu. Baru akan dimakannya, diletakkannya kembali. Wajahnya berubah. “Kita tidak bisa makan ini.”

Kata Tian Qi, “Jika Tuan Tan Hua tidak mau makan makanan biasa seperti ini, silakan saja pergi dengan perut kosong.”

Li Xun Huan hanya menyahut datar, “Makanan ini beracun.”

Tian Qi tertawa. “Hanya karena kami tidak mengijinkanmu minum arak, bukan berarti…”

Tiba-tiba ia berhenti tertawa. Seakan-akan tenggorokannya tersumbat.

Ini karena ia melihat wajah keempat pendeta Shaolin itu menjadi abu-abu. Mereka sendiri tidak menyadarinya dan terus saja makan.

Xin Mei segera berkata, “Semua berhenti makan! Segera bermeditasi dan lindungi organ-organ penting.”

Para pendeta itu tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka hanya tersenyum. “Apakah paman guru menyuruh kami?”

Xin Mei berkata cepat, “Tentu saja. Tak tahukah kalian bahwa kalian sudah keracunan?”

“Siapa yang keracunan?”

Lalu keempat orang ini saling pandang. Semua bersama-sama berkata, “Wajahmu….”

Sebelum kalimat mereka selesai, keempatnya jatuh tergeletak. Dalam sekejap saja tubuh mereka sudah mulai membusuk.

Racun itu bukan hanya tidak berasa dan tidak berbau, juga bisa membuat orang yang keracunan tidak merasa apa-apa. Waktu mereka sadar mereka telah keracunan, mereka sudah tidak tertolong lagi.

Tian Qi bergidik, “Racun apakah ini? Bagaimana racun ini bisa begitu hebat? Siapakah pelakunya?”

Li Xun Huan memandang pada kalajengking di dinding. “Aku tahu ia akan datang, cepat atau lambat.”

Tian Qi bertanya dengan tak sabar, “Siapa? Kau tahu siapa dia?”

Kata Li Xun Huan, “Ada dua jenis racun di dunia ini. Yang satu berasal dari rumput dan tanaman. Yang satu lagi dari ular dan serangga. Banyak orang yang bisa membuat racun dari tanaman, tapi sangat sedikit yang bisa membuat racun dari ular dan serangga. Dan hanya satu orang yang dapat membuat racun yang bisa membunuh orang tanpa disadari korbannya.”

Tian Qi terbelalak, “Maksudmu Si Anak Lima Racun?”

Kata Li Xun Huan, “Aku berharap bukan dia.”

“Mengapa ia datang ke sini? Untuk apa ia datang ke sini?”

Sahut Li Xun Huan, “Ia datang mencari aku.”

Ia tahu Li Xun Huan pasti tidak mempunyai teman seperti ini. Ia hendak mengatakan sesuatu, namun diurungkannya. “Tampaknya kau tidak punya banyak teman, tapi punya segudang musuh.”

Kata Li Xun Huan, “Aku tidak keberatan punya banyak musuh. Namun seseorang hanya perlu sedikit saja sahabat, karena kadang-kadang sahabat itu lebih mengerikan daripada musuh.”

Xin Mei tiba-tiba memotong dan bertanya, “Bagaimana kau tahu ada racun dalam makanan itu?”

Kata Li Xun Huan, “Sama seperti waktu berjudi. Aku hanya bergantung pada perasaanku. Jika seseorang menanyakan sebabnya, aku tidak bisa menjawabnya.”

Xin Mei memandang dia penuh curiga, lalu katanya, “Mulai sekarang, kita hanya makan apa yang dia makan.”

Mereka meninggalkan keempat jenazah pendeta itu di biara setempat dan melanjutkan perjalanan.

Walaupun mereka bisa terus berjalan tanpa makan, kusir kereta tidak mau ikut lapar bersama dengan mereka. Jadi waktu mereka lewat sebuah kedai, ia berhenti dan makan di situ. Ia membeli beberapa buah roti dan makan dalam perjalanan.

Tian Qi terus memandangnya. Setelah beberapa saat ia bertanya, “Berapa harga roti ini?”
Kusir kereta itu tersenyum. “Murah sekali, dan cukup lezat. Cobalah sedikit.” Tian Qi tersenyum.

“Roti ini tidak mungkin beracun. Mengapa tak kau coba sedikit, Pendeta?”

Xin Mei berkata, “Makanlah sedikit, Tuan Li.”

Li Xun Huan terkekeh. “Tak kusangka kalian berdua sungguh penuh kesopanan.”

Ia mengambil satu dengan tangan kirinya, karena hanya tangan kirinya yang bisa bergerak. Lalu dia berkata, “Kita tidak bisa makan ini.”

Kata Tian Qi, “Namun kusir kereta itu makan, dan tidak terjadi apa-apa.”

Sahut Li Xun Huan, “Dia bisa makan, namun kita tidak.”

“Mengapa?”

“Karena ia bukanlah orang yang hendak dibunuh oleh Si Anak Lima Racun!”

Tian Qi tertawa dingin, “Apakah kau ingin menipu kami dan membuat kami mati kelaparan?”

Sahut Li Xun Huan, “Jika kau tidak percaya, makan saja.”

Tian Qi menatapnya, lalu menyuruh kusir kereta untuk berhenti. Ia belah roti itu menjadi dua,


dan memberikan setengah bagian pada kusir kereta itu. Kusir itu makan dan tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan sama sekali. Tian Qi berkata dingin, “Kau masih berpikir bahwa kita tidak bisa makan roti itu?”

Sahut Li Xun Huan, “Tidak.”

Ia menguap. Lalu seolah-oleh tertidur.

Tian Qi sungguh kesal, lalu katanya, “Aku akan makan untuk membuktikan bahwa kau salah.”

Walaupun ia berkata begitu, ia tidak makan roti itu. Lalu dilihatnya seekor anjing liar lewat dekat kereta mereka. Kelihatannya anjing itu pun sedang kelaparan.

Tian Qi memberikan setengah bagian roti yang sisa pada anjing itu. Anjing itu mengendus-endus, makan sedikit lalu pergi. Sepertinya ia tidak suka roti itu.

Namun setelah beberapa langkah, tiba-tiba anjing itu melolong nyaring, melompat dan terkapar mati.

Tian Qi dan Xin Mei sungguh terkejut.

Li Xun Huan menghela nafas. “Sudah kubilang. Masih untung, hanya seekor anjing yang mati, bukan kalian.”

Sebelumnya, Tian Qi kelihatan begitu percaya diri. Namun kini wajahnya berubah total. Ia memandang pada kusir itu dan bertanya menyelidik, “Ada apa ini?”
Kusir itu sangat ketakutan. “Aku sungguh tidak tahu. Aku membeli roti itu dari warung tadi.”

Tian Qi mengguncang-guncangkan tubuh kusir itu. “Lalu mengapa anjing itu mati dan kau masih hidup? Siapa yang menaruh racun pada roti itu kalau bukan engkau?”

Kusir itu hanya gemetar, tak tahu harus menjawab apa.

Kata Li Xun Huan, “Tidak ada gunanya mengancam dia. Dia sendiri pun tidak tahu apa yang terjadi.”

“Jika dia tidak tahu, siapa yang tahu?”

“Aku tahu.”

Tian Qi berusaha menenangkan dirinya. “Kau tahu? Cepat jelaskan!”

Sahut Li Xun Huan, “Roti itu beracun, namun sup yang dimakannya di warung itu mengandung obat penawarnya.”

Tian Qi berkata dingin, “Kita kan mungkin saja turun juga untuk makan sup itu.”

Kata Li Xun Huan, “Jika kita makan sup itu, racunnya tidak akan dimasukkan ke dalam roti.

Tipuan Si Anak Lima Racun memang tidak dapat ditebak. Dalam menghadapi orang seperti itu, kau hanya bisa menutup mulutmu rapat-rapat.”

Xin Mei berkata, “Ya sudah, kalau begitu kita tidak usah makan saja untuk beberapa hari ini. Ayo lekas jalan lagi.”

Tian Qi berkata, “Walaupun kita tidak makan, aku kuatir bahaya itu akan tetap ada.”

“Mengapa?”

“Karena kemungkinan ia akan menunggu sampai kita sangat lemah, baru menyerang.” Xin Mei tidak tahu harus menjawab apa.

Lalu mata Tian Qi berbinar. “Aku ada ide.”

“Apa?”

Tian Qi berbisik, “Tujuannya kan bukan kita. Maka kalau kita….”

Ia melirik pada Li Xun Huan dan berhenti bicara.

Wajah Xin Mei menjadi murung. Aku sudah berjanji akan membawanya ke Shaolin. Aku tidak dapat membiarkannya mati di tengah jalan.”

Tian Qi tidak berkata apa-apa lagi. Namun setiap kali ia memandang Li Xun Huan, matanya menyiratkan niat membunuh.

Pendeta bukan hanya harus makan dan tidur, mereka pun harus buang hajat.

Xin Mei menyadari juga akan hal ini. Namun apapun yang sedang dilakukannya, dia tidak mau Li Xun Huan berada di luar pengamatannya.

Tian Qi menjadi sungguh kesal dan tidak sabar, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Keesokan harinya, mereka melihat sebuah warung menjual roti. Warung itu cukup ramai. Orang mengantri untuk membeli. Waktu mereka mendapatkan roti itu, mereka segera memakannya. Tak seorang pun mati keracunan.

Tian Qi tidak bisa menahan diri lagi. “Bisakah kita makan ini?”

Kata Li Xun Huan, “Mereka boleh memakannya. Namun kita tidak bisa. Walaupun sepuluh ribu orang memakannya dan tidak terjadi apa-apa, jika kita makan, kita pasti keracunan sampai mati!”

Jika Li Xun Huan mengatakan ini dua hari yang lalu, Tian Qi tidak mungkin percaya. Namun sekarang, Tian Qi harus mempercayainya.

Lalu terdengar seorang anak berteriak, “Ibu! Ibu! Aku mau makan roti.”

Mereka melihat dua orang anak berusia sekitar tujuh tahun sedang berada dekat warung itu. Mereka berteriak-teriak dan melompat-lompat. Seorang wanita keluar dari warung itu dan menampar mereka.

Anak itu menangis. “Kalau aku sudah jadi orang kaya nanti, aku tidak mau lagi makan roti. Aku hanya mau makan mi telur saja.”

Li Xun Huan mengeluh. Begitu besar jurang antara yang kaya dengan yang miskin. Dalam bayangan anak-anak ini, bahkan mi telur pun adalah suatu kemewahan.

Jalan itu sempit dan begitu banyak orang di sana. Cukup lama kereta mereka tidak bisa lewat.

Kini terlihat kedua anak itu masing-masing membawa semangkuk bubur. Mata mereka tetap tertuju pada orang-orang yang sedang makan roti.

Tiba-tiba, Tian Qi turun dari kereta. Ia menaruh beberapa keping uang di meja si penjual roti, dan mengambil beberapa buah roti. Lalu ia menghampiri kedua anak ini dan berkata, “Aku beri kalian roti ini. Kalian beri padaku bubur itu. Bagaimana?”

Mata kedua anak itu langsung bersinar-sinar. Mereka belum pernah bertemu dengan orang sebaik ini.

“Aku beri kalian uang untuk membeli permen juga. Bagaimana?”

Melihat ini, Xin Mei terkekeh. Akhirnya Tian Qi membawa dua mangkuk bubur itu ke dalam kereta. Xin Mei tersenyum. “Kau cerdik juga rupanya.”

Tian Qi tertawa. “Yah, kita kan perlu tenaga untuk bisa meneruskan perjalanan.”

Ia memberikan semangkuk kepada Xin Mei.

Walaupun bubur ini terasa hambar, mereka memakannya seperti makanan yang sedap luar biasa, karena mereka yakin bubur itu tidak beracun.
Tian Qi memandang Li Xun Huan dan terkekeh. “Apakah kau pikir ini bisa dimakan?”

Sebelum menjawab, Li Xun Huan mulai terbatuk-batuk.

Tian Qi tersenyum sambil berkata, “Jika Si Anak Lima Racun sudah tahu sebelumnya bahwa anak-anak itu ingin makan roti, dan sudah tahu bahwa kita akan menggunakan roti itu untuk barter dengan bubur ini, sehingga ia telah menaruh racun dalam bubur ini, maka aku rela mati.”

Setelah mengatakannya, dihabiskannya semangkuk bubur itu dengan sekali telan. Xin Mei pun merasa bahwa bubur itu tidak mungkin beracun. Karena betapa pun hebatnya dia, Si Anak Lima Racun tidak mungkin dapat menebak apa yang akan terjadi!


Bab 19. Aneh tapi Nyata

Xin Mei yakin bubur itu tidak beracun, namun bagaimana pun juga, ia adalah seorang pendeta. Jadi sewaktu Tian Qi sudah menghabiskan mangkuknya, ia masih pada suapan kedua. Tian Qi tersenyum. “Dengan kecepatan seperti ini, kita akan tiba di Gunung Song besok pagi.”

Xin Mei juga terlihat lega. Katanya, “Akan ada murid-murid yang menyambut kita satu dua hari ini. Selama….”

Tiba-tiba ia berhenti bicara. Tubuhnya gemetar hebat, dan mangkuknya terjatuh dari tangannya. Buburnya tumpah membasahi bajunya.

Wajah Tian Qi memucat. “Pendeta…. Kau…”

“Ada racun dalam bubur ini?”

Xin Mei menghela nafas. Tidak sanggup bicara.

Tian Qi mencekal baju Li Xun Huan. “Lihat wajahku. Apakah wajahku….”

Lalu ia terdiam, karena ia tahu tidak ada gunanya bertanya.

Li Xun Huan mendesah. “Walaupun aku selalu menganggapmu memuakkan, aku tetap tidak ingin melihatmu mati.”

Wajah Tian Qi putih seperti kertas. Tubuhnya gemetar, dan ia menatap Li Xun Huan. Lalu ia tertawa terbahak-bahak, “Walaupun kau tidak ingin melihatku mati, aku ingin melihatmu mati! Seharusnya aku sudah membunuhmu sejak lama!”

Kata Li Xun Huan, “Kau pikir sekarang sudah terlambat untuk membunuhku?”

Tian Qi mengertakkan giginya. “Benar. Terlambat untuk membunuhmu sekarang. Untungnya, belum terlalu terlambat.”

Tiba-tiba tangannya mencengkeram leher Li Xun Huan.

***

Ah Fei bangkit berdiri.
Wajahnya masih pucat, namun tubuhnya berdiri tegap.

Ah Fei berjalan mengelilingi kamar itu dua kali, lalu bertanya, “Apakah kau pikir ia akan sampai di Shaolin dengan selamat?”

Kata Lin Xian Er, “Kau tidak bisa bercakap-cakap lebih dari tiga kalimat tanpa menyinggung tentang Li Xun Huan, ya? Dapatkah kita tidak membicarakan dia? Mengapa kau tidak berbicara tentang aku? Atau tentang dirimu?”

Ah Fei memandangnya dengan tenang dan bertanya, “Apakah dia bisa sampai dengan selamat di Shaolin?”

Apapun yang dikatakan Lin Xian Er, ia hanya punya satu pertanyaan ini.

Lin Xian Er tertawa. “Ah, kau. Aku benar-benar tidak bisa mengubahmu.” Ia menarik tangan Ah Fei untuk duduk di sampingnya, lalu katanya dengan manis, “Jangan kuatir. Mungkin saat ini ia sedang minum teh dengan Pendeta Xin Hu. Kau tahu, teh dari Shaolin sangatlah terkenal.”

Akhirnya Ah Fei merasa tenang, bahkan tersenyum santai. “Dari yang aku tahu, walaupun ia sudah ditawan, ia tidak akan pernah minum teh.”

***

Li Xun Huan tidak dapat bernafas.

Wajah Tian Qi juga tampak semakin aneh. Ia pun kini sulit bernafas. Namun sepertinya ia tidak bisa melepaskan cengkeramannya, sekalipun dalam kematian.

Li Xun Huan hanya merasa bahwa sekelilingnya menjadi gelap. Wajah Tian Qi terlihat makin samar. Ia tahu, sebentar lagi ia akan mati.

Dalam keadaan ini, ia pikir ia akan teringat akan banyak hal dalam hidupnya. Seseorang pernah memberitahu hal ini padanya.

Namun kenyataannya, saat ini ia tidak teringat apapun juga. Tidak ada kenangan pahit. Hanya ada sesuatu yang lucu. Ia jadi ingin tertawa.

Ia tidak pernah menyangka ia akan mati bersama-sama dengan Tian Qi. Sepertinya Tian Qilah yang akan menemaninya berjalan ke alam baka.

Tiba-tiba ia mendengar suara Tian Qi. “Li Xun Huan, nafasmu panjang sekali. Mengapa kau tidak mati-mati?”

Sebenarnya Li Xun Huan ingin menjawab, “Aku menunggumu mati lebih dulu.”

Tapi ia tidak bisa mengatakannya. Bernafas pun ia tidak bisa.

Lalu terdengar suara keras. Sepertinya dari jauh, namun sepertinya juga berasal dari Tian Qi.

Kini sekelilingnya menjadi terang kembali.

Ia melihat Tian Qi.

Tian Qi telah tergeletak jatuh dari kursi kereta. Matanya yang mati masih menatap Li Xun Huan.

Terlihat Xin Mei bernafas tidak teratur, sepertinya ia baru saja menggunakan tenaga yang cukup besar.

Li Xun Huan memandangnya beberapa saat, lalu bertanya, “Mengapa kau menyelamatkan aku?”

Xin Mei tidak menjawab. Ia malah terus membuka jalan darah Li Xun Huan. “Sebelum Si Anak Lima Racun datang, kau pergilah cepat.”

Li Xun Huan tidak bergerak sama sekali. “Mengapa kau menyelamatkan aku? Apakah sekarang kau sudah yakin bahwa aku bukan Si Bandit Bunga Plum?”

Sahut Xin Mei, “Pendeta selalu tidak ingin tangannya berlumuran darah sebelum mati. Siapapun engkau, cepatlah pergi.”

Li Xun Huan memandangi wajah Xin Mei yang menghitam, lalu mendesah. “Terima kasih.Sayangnya, walaupun aku bisa melakukan begitu banyak hal, melarikan diri bukanlah salah satunya.”

Xin Mei berkata tergesa-gesa. “Ini bukan waktunya menjadi pahlawan. Tenaga dalammu belum pulih. Kau tidak akan dapat mengalahkan dia.”

Tiba-tiba kuda-kuda itu meringkik keras. Kusir kereta menjerit dan kereta mereka menabrak sebatang pohon.

Xin Mei tergeletak di samping kereta dan bertanya, “Mengapa kau belum pergi juga? Apakah kau ingin menyelamatkanku?”

Li Xun Huan berkata dengan tenang, “Jika kau bisa meyelamatkan aku, mengapa aku tidak bisa menyelamatkan engkau?”

Kata Xin Mei, “Namun kematianku tidak jauh lagi. Mengapa harus dipermasalahkan kapan aku mati?”

Kata Li Xun Huan, “Tapi kau belum mati, bukan?”

Ia berhenti bicara dan mengeluarkan sebilah pisau.

Sebilah pisau yang kecil, tipis.

Pisau Terbang Li Kecil!

Senyum terbayang di bibir Li Xun Huan.

Kereta itu sudah terguling ke samping. Rodanya masih berputar, berderak-derak nyaring. Di tempat yang sunyi seperti itu, suara itu sungguh menyakitkan telinga.

Kata Li Xun Huan, “Roda ini perlu diminyaki.”

Dalam keadaan seperti ini ia masih berpikir bahwa roda itu perlu diminyaki! Xin Mei merasa orang ini sungguh aneh luar biasa.

Ia sudah hidup selama 60 tahun, tapi baru kali ini bertemu dengan orang seperti ini.

Li Xun Huan mendukung dia keluar dari kereta. Angin dingin menerpa muka mereka.

Kata Xin Mei, “Kau tak perlu melakukan ini. Sudah…pergi saja.”

Malam ini tidak ada bulan. Xin Mei berusaha keras, namun tetap tidak bisa melihat apa-apa.

Terdengar Li Xun Huan berseru, “Apakah engkau Si Anak Lima Racun?”

Tidak ada jawaban.

Kata Li Xun Huan, “Jika kau tidak ada di sini, maka kami akan pergi.”

Xin Mei bertanya, “Ke mana kita akan pergi?”

“Kuil Shaolin, tentunya.”

Xin Mei sungguh terkejut, “Shaolin?”

Kata Li Xun Huan, “Kita sudah begitu bersusah-payah untuk pergi ke Shaolin, bukan?”

Kata Xin Mei, “Ta…tapi sekarang kau tak perlu lagi pergi ke sana.”

Sahut Li Xun Huan, “Sebenarnya, aku harus pergi ke sana.”

“Mengapa?”

“Karena di Shaolin ada obat penawar untuk racun ini.”

Xin Mei sungguh tidak habis pikir. “Kenapa kau menyelamatkan aku? Aku ini musuhmu.”

Kata Li Xun Huan, “Aku menyelamatkanmu karena engkau adalah seorang manusia.”

Xin Mei mengeluh. “Jika kita benar-benar bisa sampai di Shaolin, akan kuberitahukan pada semua orang bahwa kau sungguh tidak bersalah. Aku yakin sekarang, kau tidak mungkin adalah Si Bandit Bunga Plum.”

Li Xun Huan hanya tersenyum. Ia tidak mengatakan apa-apa.

Kata Xin Mei, “Sayangnya, jika kau terus menggendongku, kau tidak akan pernah sampai di Shaolin. Walaupun Si Anak Lima Racun tidak mau memperlihatkan dirinya, ia tidak akan membiarkan engkau lolos.”

Li Xun Huan terbatuk sedikit.

Kata Xin Mei lagi, “Dengan ilmu meringankan tubuhmu, kau mungkin bisa lolos. Mengapa kau harus membawa aku? Aku sudah sangat berterima kasih karena engkau berpikir untuk menyelamatkanku.”

Tiba-tiba terdengar suara tawa. “Wah. Seorang pendeta Shaolin berteman akrab dengan Tan Hua, pemabuk yang gemar wanita. Siapa yang bisa percaya?”

Suara tawa kadang terdengar dekat, kadang terdengar sangat jauh. Tidak dapat di duga dari mana datangnya.

Xin Mei bertanya, “Si Anak Lima Racun?”

Suara itu menjawab, “Bagaimana rasanya bubur itu? Sedap, bukan?”

Kata Li Xun Huan, “Jika kau ingin membunuhku, mengapa tidak keluar saja dan melakukannya?”

Si Anak Lima Racun menjawab, “Aku tidak perlu keluar untuk membunuhmu.”

“O ya?”

“Sampai hari ini, aku sudah membunuh 392 orang. Tidak seorangpun dari mereka yang pernah
melihat aku. Bahkan bayanganku pun tidak mereka lihat.”

Li Xun Huan tersenyum. “Kata orang kau adalah seorang cebol dan rupamu sangat buruk. Oleh sebab itu kau tidak ingin dilihat orang. Kelihatannya memang betul.”

Setelah hening beberapa saat, Si Anak Lima Racun menjawab, “Aku akan membiarkanmu hidup sampai besok pagi.”

Li Xun Huan tertawa. “Tentu saja aku akan hidup sampai besok pagi. Tapi aku kuatir, tidak demikian dengan engkau.”

Sebelum ia selesai tertawa, terdengar bunyi seruling.

Tiba-tiba tampak bayangan benda-benda besar dan kecil di atas salju. Ia tidak tahu benda apakah itu. Apapun benda itu, ia harus menahan nafasnya.

Kata Xin Mei, “Ketika Si Anak Lima Racun muncul, tubuh orang-orang mulai membusuk. Jika kau tidak pergi sekarang, kapan lagi?”

Li Xun Huan seolah-olah tidak mendengarnya. Lalu katanya, “Katanya dia punya ribuan hewan beracun. Mengapa aku hanya lihat beberapa saja? Apa yang lainnya sudah mati?”

Suara seruling terdengar makin cepat. Beberapa hewan melata itu sudah merayapi kaki mereka. Xin Mei sudah hampir muntah.

Si Anak Lima Racun lalu tertawa. “Ini adalah hewan-hewan kesayanganku, mereka mengandung tujuh macam racun. Mereka tidak hanya makan daging, tapi sesudah itu mereka akan menghabiskan tulang-tulangmu juga.”

Sebelum ia selesai bicara, sebilah pisau telah melesat!

Xin Mei hampir terpekik.

Ia tahu, pisau Li Xun Huan adalah satu-satunya harapan mereka. Tapi Li Xun Huan tidak dapat melihat apa-apa.
Jika pisaunya meleset, matilah mereka berdua.

Ia sedang bertaruh dengan nyawanya.

Dan kesempatan mereka tipis sekali.

Xin Mei tidak menyangka Li Xun Huan akan mengambil resiko sebesar itu.

Saat itu kilau pisau telah tertelan kegelapan. Namun tiba-tiba kegelapan itu mengeluarkan jeritan yang melengking!

Seseorang keluar dari kegelapan itu.

Orang itu kelihatan seperti seorang anak kecil. Ia mengenakan baju pendek. Kakinya yang kecil bisa terlihat. Dalam malam musim dingin ini, ia tidak tampak kedinginan.

Kepalanya kecil, namun matanya bersinar tajam.

Matanya penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan. Mata itu menatap Li Xun Huan lekatlekat. Ia ingin bicara, namun kata-kata tak dapat keluar.

Xin Mei lalu melihat pisau kecil Li Xun Huan telah tertancap di lehernya. Ia tidak tahan untuk mencabut pisau itu. Waktu ia mencabutnya, darah menyembur ke luar.

Si Anak Lima Racun akhirnya berkata, “Pisau yang sangat berbahaya.”

Saat itu, hewan-hewan itu telah merayapi tubuh Li Xun Huan dan Xin Mei. Namun kini mereka tidak bergerak lagi.

Pisau Si Li Kecil memang tidak ada duanya, namun mereka berdua tetap saja bisa dimakan hidup-hidup oleh hewan-hewan beracun itu.

Siapa sangka, ketika darah Si Anak Lima Racun menyembur, hewan-hewan itu langsung melompat ke arah tenggorokannya.

Dalam waktu singkat, seluruh tubuhnya habis. Namun setelah hewan-hewan itu memakannya habis, mereka pun berhenti bergerak.

Sangat ironis bahwa Si Anak Lima Racun mati oleh racunnya sendiri.

Xin Mei akhirnya menghela nafas lega. “Bukan saja pisaumu yang tidak ada duanya di dunia ini, namun ketenanganmu juga.”

Li Xun Huan tersenyum. “Bukan masalah besar. Aku hanya berpikir bahwa hewan-hewan itu pasti akan tertarik pada darah. Sebenarnya, aku pun takut juga.”

“Kau pun merasa takut?”

Li Xun Huan tersenyum lagi. “Selain orang mati, adakah orang yang tidak pernah merasa takut?”

Xin Mei mendesah. “Kau memang sungguh luar biasa.”

Suaranya lemah, dan akhirnya tubuhnya pun rebah.

Hari sudah pagi.

Li Xun Huan duduk di samping Xin Mei, ia tertidur.

Ketika ia terbangun, ia menemukan sebuah kereta kuda yang bisa membawa mereka sampai ke kaki Gunung Song. Lalu Li Xun Huan menggendong Xin Mei ke atas.

Dalam perjalanan ke atas, ia bertemu dengan sekelompok pendeta yang sedang mengumpulkan kayu bakar. Ketika mereka melihat seseorang naik ke atas gunung dengan ilmu meringankan tubuh, mereka langsung bersiaga.

Salah seorang bertanya, “Dari manakah engkau? Apakah engkau….”

Salah seorang yang lain melihat bahwa ia sedang menggendong seorang pendeta. Ia bertanya, “Apakah yang di punggungmu itu murid Shaolin?”

Sebelumnya Li Xun Huan hanya berjalan biasa, namun ketika ia melihat pendeta-pendeta ini, ia melompat tinggi melampaui kepala mereka, dan terus berjalan ke atas.

Ketika kedua pendeta itu berusaha mengejar, Li Xun Huan telah menghilang.

Butuh kurang lebih dua jam untuk tiba di Shaolin. Terlihat banyak pagoda, besar dan kecil. Ia tahu ini adalah hutan pagoda yang suci. Di sinilah semua ketua Shaolin yang terdahulu dikuburkan.

Ini bukanlah tempat yang cocok untuk orang seperti dia.

Tiba-tiba ia mulai terbatuk-batuk.

Lalu terdengar suara yang berkata, “Siapa yang berani memasuki wilayah suci Shaolin? Kau benar-benar sombong.”

Kata Li Xun Huan, “Pendeta Xin Mei terluka berat. Aku membawanya ke sini, supaya ia bisa diobati. Bawalah aku pada pendeta ketua.”

Tiba-tiba muncul begitu banyak pendeta. Salah seorang bertanya, “Bolehkah kutahu namamu?”

Li Xun Huan mendesah. “Namaku Li Xun Huan.”

Dalam hutan bambu, dua orang sedang bermain Go [semacam permainan catur].

Di sebelah kanan adalah seorang pendeta yang wajahnya agak aneh.

Di sebelah kiri adalah seorang tua yang kurus dan pendek. Matanya sangat terang dan tajam, membuat orang tidak memperhatikan lagi tubuhnya yang pendek. Ia sangat berwibawa. Siapakah selain Bai Xiao Sheng yang layak bermain Go dengan Pendeta Xin Hu?

Ketika dua orang ini sedang bermain Go, tidak ada seorang pun yang dapat mengganggu.

Namun ketika mereka mendengar kata ‘Li Xun Huan’, mereka berhenti.

Xin Hu bertanya, “Di manakah dia?”

Pendeta yang membawa pesan itu menjawab bahwa ia berada di luar kamar Paman Kedua.

Tanya Xin Hu, “Apa yang terjadi dengan Paman Kedua?”

Pendeta itu menjawab, “Lukanya tidak terlalu berat. Saat ini, Paman Kelima dan Keenam sedang merawatnya.”

Li Xun Huan berdiri di aula, ia melihat-lihat sekitarnya.

Ia merasa bahwa ada seseorang yang datang medekat, namun ia tidak berusaha menoleh.

Ketika mereka berada kurang lebih sepuluh langkah dari Li Xun Huan, Xin Hu dan Bai Xiao Sheng berhenti. Walaupun Xin Hu telah mendengar tentang Li Xun Huan, inilah untuk yang pertama kalinya mereka berjumpa.

Ia tidak bisa percaya bahwa orang di depannya ini adalah pahlawan pengelana yang terkenal itu.

Ia mengamati Li Xun Huan dari kepala sampai ujung kaki. Tidak ada yang terlewatkan.

Khususnya tangannya yang kurus panjang.

Apa istimewanya tangan itu?

Bagaimana sebilah pisau biasa dapat berubah menjadi pisau yang legendaris jika dipegang oleh tangan itu?

Bai Xiao Sheng pernah berjumpa dengannya sepuluh tahun yang lalu. Ia merasa Li Xun Huan tidak berubah sama sekali dalam sepuluh tahun ini, tapi ia merasa dirinya sudah berubah begitu banyak.

Bai Xiao Sheng akhirnya tertawa, “Apa kabarmu, Tuan Tan Hua?”

Li Xun Huan pun tertawa. “Tak kusangka, kau masih mengingatku.”

Xin Hu berkata, “Aku tidak tahu apakah engkau mengenalku.”

Kata Li Xun Huan, “Siapakah yang tidak tahu nama besar pendeta? Ketenaranmu telah tersiar ke seluruh dunia. Aku merasa terhormat bisa bertemu denganmu hari ini.”

Kata Xin Hu, “Tidak usah merendah. Terima kasih kau telah membawa saudara seperguruanku kembali.”

Sahut Li Xun Huan, “Itu bukan apa-apa.”

Kata Xin Hu lagi, “Sekarang aku adakan memeriksa keadaan saudaraku. Setelah itu kita bisa melanjutkan pembicaraan kita.”

Setelah ia pergi, Bai Xiao Sheng tersenyum. “Para pendeta ini sungguh bisa mengendalikan perasaan mereka. Aku tidak mungkin bisa berbuat seperti itu.”

“Apa maksudmu?”

“Jika seseorang telah melukai muridmu dan juga saudara seperguruanmu, bisakah engkau tetap bersikap sopan kepadanya?”

Kata Li Xun Huan, “Apakah maksudmu akulah yang melukai Xin Mei dan muridnya?”

Bai Xiao Sheng meletakkan tangannya di belakang punggungnya. “Selain Li Tan Hua, siapakah yang dapat melukainya?”

Kata Li Xun Huan, “Jika aku melukainya, mengapa aku membawanya ke sini?”

Sahut Bai Xiao Sheng, “Itulah. Kau memang sangat pandai.”

“O ya?”

“Siapapun juga yang melukai pendeta Shaolin, akan dihantui persoalan seumur hidupnya. Ribuan murid Shaolin akan mencarinya untuk membalas dendam.”

Li Xun Huan tersenyum. “Bai Xiao Sheng memang tahu segala sesuatu. Tidak heran, semua orang dalam dunia persilatan ingin bersahabat denganmu. Memang sangat menguntungkan untuk menjadi sahabatmu.”

Wajah Bai Xiao Sheng tidak berubah. “Aku hanya menyatakan fakta.”

Kata Li Xun Huan, “Namun kau lupa satu hal. Xin Mei masih hidup. Ia tahu siapa yang melukainya. Pada saat itu, kurasa kau harus menelan kembali kata-katamu.”

Bai Xiao Sheng mendesah. “Jika perhitunganku benar, Xin Mei tidak akan punya kesempatan untuk bicara sepatah kata pun.”

Tiba-tiba terdengar suara bertanya, “Jika bukan kau yang melukai Xin Mei, siapa yang melukainya?”

Tidak jelas kapan ia kembali, namun wajahnya terlihat sangat dingin.

Kata Li Xun Huan, “Kau tidak tahu bahwa ia keracunan?”

Xin Hu tidak menjawab. Ia menoleh dan berkata, “Saudara Ketujuh?”

Seorang pendeta berwajah kuning dan tampak seperti orang sakit menjawab, “Ia keracunan ‘Air Lima Racun’ dari Si Anak Lima Racun. Racun ini tidak berbau dan tidak berasa. Tidak berwarna, seperti air. Jika tidak segera diberi penawar, ia akan segera membusuk.”

Li Xun Huan tertawa, “Kau sungguh hebat.”

Xin Jian berkata dengan dingin, “Aku hanya tahu ia keracunan Air Lima Racun. Aku tidak tahu siapa yang meracuninya.”

Kata Bai Xiao Sheng, “Benar sekali. Walaupun orang yang keracunan sudah mati, pelakunya masih hidup.”

Kata Xin Jian, “Si Anak Lima Racun tidak punya dendam dengan Shaolin, mengapa ia meracuni Saudara Kedua?”

Li Xun Huan mengeluh. “Karena sebenarnya ia ingin meracuni aku.”

Kata Bai Xiao Sheng, “Aneh sekali. Jika ia bermaksud meracunimu, mengapa engkau masih di sini? Mengapa yang mati adalah Saudara Xin Mei?”

Ia menatap Li Xun Huan. “Jika kau dapat menjelaskannya, aku akan menyembah engkau.”

Li Xun Huan berpikir lama, kemudian ia tersenyum. “Aku tidak dapat. Karena apapun yang kukatakan, kau tidak akan percaya.”

Kata Bai Xiao Sheng, “Kau sendirilah yang membuat kami susah untuk percaya.”

Sahut Li Xun Huan, “Aku tidak bisa. Namun ada yang bisa.”

Xin Hu segera bertanya, “Siapa?”

Kata Li Xun Huan, “Pendeta Xin Mei. Mengapa tidak kau tanyakan padanya setelah ia bangun.”

Xin Jian berkata dengan dingin, “Saudara Kedua tidak akan pernah bangun lagi!”


Bab 20. Hati Manusia Tidak Terselami

Genta di kuil itu terus berkumandang. Tanda bahwa seorang pendeta telah wafat.

Dalam angin musim dingin yang menusuk, Li Xun Huan terus terbatuk-batuk. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa marah, menyesal, atau sedih.

Ketika ia berhenti batuk, dilihatnya para pendeta itu memasuki halaman kecil dekat situ. Wajah mereka sedingin es.

Mereka menatapnya dengan mulut terkunci. Suara genta pun telah lenyap. Suasana sungguh hening, kecuali suara langkah kaki di atas salju.

Ketika suara langkah itu akhirnya berhenti, Li Xun Huan merasa tubuhnya diselimuti oleh lapisan es yang tebal.

Kata Xin Hu, “Adakah yang ingin kau sampaikan?”

Li Xun Huan berpikir lama. “Tidak.”

Kata Bai Xiao Sheng, “Seharusnya kau tidak datang ke sini.”

Li Xun Huan berpikir lagi, lalu tiba-tiba tertawa. “Mungkin memang seharusnya aku tidak datang. Namun jika aku dapat mengulangnya, aku akan tetap datang.”

Ia melanjutkan dengan tenang. “Walaupun aku telah membunuh banyak orang dalam hidupku, aku tidak pernah hanya berpangku tangan melihat orang yang akan mati.”

Xin Hu berteriak dengan marah, “Jadi kau masih tidak mengaku?”
Kata Li Xun Huan, “Pendeta seharusnya dapat mengendalikan perasaannya. Mengapa kau begitu cepat marah?”

Lanjutnya, “Kalau begitu, silakan terus berteriak. Hanya saja, jangan sampai sakit tenggorokan.”

Xin Hu membentak, “Bahkan sekarang, kau tidak menunjukkan rasa penyesalan sedikit pun. Sepertinya aku harus melanggar aturan untuk tidak membunuh hari ini.”

Sahut Li Xun Huan, “Silakan saja. Engkau bukan satu-satunya pendeta yang pernah membunuh.”

Kata Xin Jian, “Kami tidak membunuhmu untuk membalas dendam, tapi kami membunuh seorang setan yang keji.”

Lalu terlihat kilatan sebilah pisau. Ia tidak tahu bagaimana pisau itu berada di tangan Li Xun Huan. Pisau Terbang Li Kecil!

Li Xun Huan lalu berkata, “Kusarankan agar kalian tidak membunuh setan keji itu, karena kalian tidak akan bisa mengalahkan dia!”

Kata Xin Hu, “Maksudmu, sekarang ini pun kau tetap akan melawan mati-matian?”

Li Xun Huan mengeluh. “Walaupun hidupku tidak mudah, namun aku belum mau mati sekarang.”

Kata Bai Xiao Sheng, “Walaupun pisaumu tak pernah luput, berapa banyak pisau yang kaumiliki? Berapa banyak orang yang bisa kau bunuh?”

Li Xun Huan tersenyum, ia tidak menjawab.

Xin Hu menatap tangan Li Xun Huan, lalu tiba-tiba berkata, “Baiklah. Hari ini akan kucoba pisaumu yang legendaris itu!”

Segera ia bersiap.

Namun Bai Xiao Sheng menghalanginya. “Pendeta, jangan!”

“Mengapa?”

Bai Xiao Sheng mendesah. “Karena tidak seorang pun di dunia ini yang dapat luput dari pisaunya!”

“Tidak seorangpun bisa luput?”

Kata Bai Xiao Sheng tegas, “Tidak seorang pun!”

Xin Hu menghirup nafas panjang. “Jika aku tidak pergi ke alam baka, siapakah yang akan pergi?”

Xin Jian pun maju mendekatinya. “Kakak, kau harus memikirkan kuil kita. Kau tidak boleh menempatkan dirimu sendiri dalam bahaya.”

Kata Li Xun Huan, “Betul sekali. Kalian tidak perlu mengambil resiko ini. Kalian memiliki begitu banyak murid. Satu kata saja, dan mereka pun akan rela mati bagi kalian.”

Wajah Xin Hu berubah, lalu berteriak lantang, “Tanpa perintahku, tidak ada yang bergerak. Yang melanggar akan dihukum. Kalian mengerti?”

Semua pendeta di situ menundukkan kepala mereka.

Li Xun Huan tersenyum. “Shaolin memang berbeda dari perguruan lain yang memandang rendah akan hidup manusia. Kalau tidak, bagaimana mungkin tipu muslihat kecilku ini dapat berhasil?”

Bai Xiao Sheng berkata dengan dingin, “Pendeta Shaolin mungkin tidak ingin menukar nyawa murid-muridnya dengan nyawamu. Tapi apa kau pikir kau bisa lolos dari sini?”

Kata Li Xun Huan, “Siapa bilang aku hendak pergi?”

Bai Xiao Sheng tergagap, “Kau….kau mau tinggal?”

Sahut Li Xun Huan, “Kebenaran belum terungkap. Bagaimana mungkin aku pergi?”

Kata Bai Xiao Sheng, “Apa kau bermaksud mengundang Si Anak Lima Racun datang ke Shaolin dan mengakui perbuatannya?”

Jawab Li Xun Huan, “Tidak, karena dia sudah mati.”

Tanya Bai Xiao Sheng, “Kau yang membunuhnya?”

Li Xun Huan menjawab kalem, “Dia kan juga manusia. Oleh karena itu, ia pun tak bisa luput dari pisauku!”

Xin Hu menyela, “Jika kau bisa menunjukkan mayatnya pada kami, paling tidak kami tahu kau tidak berbohong.”

Sahut Li Xun Huan, “Sayangnya, walaupun kita bisa menemukan mayatnya, tidak ada seorangpun yang akan dapat mengenalinya.”

Bai Xiao Sheng pun tertawa dingin. “Jadi kau tidak dapat mengajukan siapapun yang dapat membuktikan bahwa kau tidak bersalah?”

Jawab Li Xun Huan, “Sekarang? Tidak bisa.”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan?”

Jawab Li Xun Huan, “Saat ini aku ingin minum anggur.”

***

Ah Fei terlihat tidak nyaman duduk di atas kursi. Ia tidak pernah dapat duduk dengan santai seperti Li Xun Huan dia atas kursi. Sepertinya ia belum pernah duduk di atas kursi seumur hidupnya.

Lin Xian Er tidur di sebelah perapian untuk menghangatkan badannya.

Beberapa hari ini, ia tidak dapat beristirahat dengan tenang. Hanya setelah ia pasti bahwa Ah Fei telah sembuh betul, barulah ia dapat tidur nyenyak.

Ah Fei memandangnya tanpa suara. Menatapnya seperti seorang tolol.
Hanya terdengar suara nafasnya yang halus di kamar itu. Salju di luar telah mencair. Langit dan bumi penuh damai sejahtera.

Tiba-tiba di mata Ah Fei terbayang kepedihan.

Ia bangkit berdiri dan mulai mengenakan sepatunya.

Ia menarik nafas panjang dan mengambil pedangnya.

Diselipkannya pedangnya di pinggang.

Tiba-tiba Lin Xian Er berbalik dan berkata, “Apa yang kau….kau perbuat?”

Ah Fei tidak berani menoleh untuk memandangnya. Ia mengatupkan giginya lalu berkata, “Aku hendak pergi.”

Lin Xian Er terperangah, “Pergi?”

Ia segera bangun berdiri. “Kau bahkan tidak mau berpamitan? Kau hendak pergi diam-diam?”

Kata Ah Fei, “Karena aku tidak akan kembali, buat apa berpamitan.”

Tubuh Lin Xian Er serasa meleleh dan ia pun jatuh terduduk ke atas kursi. Air matanya bercucuran.

Hati Ah Fei terasa pedih. Ia tidak pernah mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya. Ini tidak menyerupai apapun yang pernah dihadapinya dalam hidupnya.

Apakah ini cinta?

Kata Ah Fei, “Kau telah menolongku. Aku akan membalas budimu, cepat atau lambat.”

Lin Xian Er tiba-tiba tersenyum getir. “Baiklah. Balas budiku sekarang juga. Aku hanya menolongmu supaya kau dapat membalas budiku.”

Ia tertawa, namun air matanya keluar lebih banyak lagi.

Kata Ah Fei, “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Namun aku harus menemukan Li Xun Huan.”

Sahut Lin Xian Er, “Mengapa kau pikir aku tidak mau mencarinya juga? Mengapa kau tidak mengajak aku pergi bersama?”

Jawab Ah Fei, “Aku tidak ingin menyeretmu ke dalam persoalan ini.”

Sambil menangis Lin Xian Er berkata, “Tapi apakah kau pikir aku akan berbahagia jika engkau pergi?”

Ah Fei ingin mengatakan sesuatu, namun hanya bibirnya yang bergerak-gerak.

Lin Xian Er memeluk pinggangnya erat-erat, seperti berpegangan pada hidupnya. Ia berteriak keras, “Bawalah aku. Bawalah aku bersamamu. Jika kau tidak membawa aku, aku akan mati di hadapanmu.”

Malam sunyi senyap.

Ah Fei berjalan keluar pintu. Selama ini ia tinggal di bilik Lin Xian Er. Sungguh lucu. Mereka mencari Ah Fei ke segala penjuru beberapa hari terakhir ini. Tapi tidak seorangpun berpikir untuk mencarinya di bilik Lin Xian Er.

Mengapa mereka begitu percaya pada Lin Xian Er?

Lin Xian Er menggenggam tangan Ah Fei. “Aku harus memberi tahu kakakku bahwa aku akan pergi.”

Sahut Ah Fei, “Baiklah.”

Lin Xian Er tersenyum. “Namun aku tidak ingin meninggalkan engkau sendirian di sini. Mari kita pergi bersama.”

Kata Ah Fei, “Tapi kakakmu….”

Kata Lin Xian Er, “Jangan kuatir. Kakakku adalah sahabat Li Xun Huan.”

Di rumah itu hanya ada satu lilin yang menyala di kamar atas.

Lin Shi Yin duduk termenung, menatap kosong ke kejauhan.

Lin Xian Er menarik tangan Ah Fei, menaiki tangga tanpa suara. Lalu ia berbisik, “Kakak, apakah engkau masih terjaga?”

Lin Shi Yin tetap duduk diam, menolehpun tidak.

Kata Lin Xian Er lagi, “Kakak, aku datang untuk berpamitan. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu padaku. Aku pasti akan datang mengunjungimu lagi nanti.”

Lin Shi Yin seakan-akan tidak mendengar apa-apa. Setelah cukup lama, ia perlahan-lahan mengangguk. “Pergilah. Memang lebih baik kau pergi. Tidak ada apa-apa lagi bagimu di sini.”

Lin Xian Er bertanya, “Di mana kakak ipar?”

Sahut Lin Shi Yin, “Kakak ipar? Kakak ipar siapa?”

Kata Lin Xian Er, “Tentunya kakak iparku.”

Kata Lin Shi Yin, “Aku tidak tahu apa-apa lagi tentang kakak iparmu. Aku tidak tahu….tidak tahu.”

Lin Xian Er tidak tahu harus bicara apa. Setelah pulih dari rasa terkejutnya, ia berkata, “Kami akan pergi melalui jalan pintas ke kuil Shaolin.”

Lin Shi Yin melompat dari kursinya dan berseru, “Pergi sekarang juga. Cepatlah….jangan katakan apa-apa lagi. Pergi!”

Ia mendorong Lin Xian Er dan Ah Fei ke arah tangga. Lalu berjalan lunglai kembali ke cahaya lilin itu. Air mata membasahi pipinya.

Dari dalam muncul seseorang. Long Xiao Yun.

Ia menatap Lin Shi Yin. Seulas senyum jahat terbentuk di bibirnya. Katanya dingin, “Percuma saja mereka pergi ke Shaolin. Tidak ada seorang pun di dunia yang dapat menyelamatkan Li Xun Huan.”

***

Walaupun Ah Fei makan banyak, ia tidak makan cepat-cepat. Ia juga tidak makan seperti Li Xun Huan, yang suka menikmati kelezatan makanannya. Ah Fei hanya peduli terhadap gizi dan jumlah makanannya.


Setiap kali selesai makan, ia tidak tahu kapan ia bisa makan lagi. Jadi ia tidak pernah menyianyiakan makanan sedikitpun.

Lin Xian Er menatapnya penuh perhatian.

Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang begitu menghargai makanannya. Hanya orang yang pernah merasa kelaparan yang tahu betapa berharganya makanan.

Lin Xian Er tersenyum, “Sudah kenyang?”

Kata Ah Fei, “Kenyang sekali.”

Lin Xian Er tertawa lalu berkata, “Sangat menarik melihat engkau makan. Sekali kau makan, lebih banyak daripada seluruh makananku dalam tiga hari.”

Ah Fei tertawa. “Tapi aku juga bisa hidup tiga hari tanpa makan. Kau bisa?”

Lin Xian Er hanya memandang senyumannya, tak tahu harus menjawab apa.

Setelah beberapa saat, ia tiba-tiba berkata, “Kau lupa sesuatu.”

“Apa?”

“Rompi Benang Emasmu ada padaku.”

Ia membuka tasnya dan mengeluarkan rompi itu.

Kata Lin Xian Er, “Untuk merawat luka-lukamu, aku harus mencopotnya. Aku lupa terus mengembalikannya padamu.”

Ah Fei tidak melirik sedikitpun pada rompi itu. “Simpan saja.”

Wajah Lin Xian Er tampak sangat senang, tapi kemudian digelengkannya kepalanya. “Ini adalah milikmu. Kapan-kapan kau akan memerlukannya. Mengapa semudah itu kau berikan pada orang lain?”

Ah Fei memandangnya. Suaranya berubah hangat. “Tapi aku tidak memberikannya pada orang lain. Aku takkan pernah memberikannya kepada orang lain. Aku memberikannya kepadamu.”

Lin Xian Er menatapnya bengong. Matanya penuh rasa terima kasih dan suka cita. Lalu ia menjatuhkan diri dalam pelukan Ah Fei.

Hati Ah Fei berdegup kencang tak terkendali.

Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Lin Xian Er diam-diam tersenyum.

Karena ia tahu, sekarang ia telah memiliki hati pemuda yang kuat dan gagah ini, yang akan selamanya mengikuti semua keinginannya.

Ah Fei mengangkat tubuhnya dan menggendongnya ke arah tempat tidur. Lalu dengan lembut dibentangkannya selimut tipis menutupi tubuhnya. Dalam hati Ah Fei, wanita ini adalah wanita yang sempurna.

Lin Xian Er berbaring tenang di atas tempat tidur, masih tersenyum diam-diam.

Tiba-tiba jendela terbuka dan angin dingin pun masuk ke dalam. Lin Xian Er terkesiap, “Siapa?”

Ketika ia bertanya, ia melihat wajah orang itu. Wajah itu hijau berkilauan, tampak seperti hantu dalam kegelapan.

Lin Xian Er segera berbaring lagi. Ia tidak terkejut atau pingsan, hanya memandangnya tanpa suara, juga tanpa rasa takut.

Orang ini pun menatapnya. Matanya berkobar-kobar.

Lin Xian Er tertawa. “Kalau sudah datang, mengapa tidak masuk saja?”

Tubuh orang ini sangat jangkung. Muka dan lehernya juga panjang. Namun sekeliling lehernya diperban, membuat dia terlihat kaku.

Kata Lin Xian Er, “Apakah kau dilukai Li Xun Huan?”

Wajah orang ini berubah, “Bagaimana kau bisa tahu?”

Lin Xian Er mengeluh. “Tadinya kupikir kau akan dapat membunuh dia. Siapa sangka malah dia
yang berhasil melukaimu.”

Wajah orang itu bertambah hijau. “Bagaimana kau bisa tahu aku berusaha membunuhnya?”

Sahut Lin Xian Er, “Karena ia telah membunuh Qiu Du. Dan Qiu Du adalah anak harammu.”

Yi Ku menatapnya dalam-dalam. “Aku juga mengenalimu.”

Lin Xian Er menjawab dengan tenang, “O ya? Aku sungguh merasa bangga.”

Kata Yi Ku, “Waktu Qiu Du mati, Tangan Setan Hijaunya pun menghilang.”

Sahut Lin Xian Er, “Betul, memang hilang.”

Tanya Yi Ku, “Ia memberikannya padamu?”

Sahut Lin Xian Er, “Kelihatannya begitu.”

Yi Ku sungguh amat marah. “Jika ia tidak memberikan Tangan Setan Hijaunya padamu, ia tidak mungkin mati di tangan Li Xun Huan!”

Kata Lin Xian Er, “Kau tidak memberikan Tangan Setan Hijaumu padaku, namun tetap saja Li Xun Huan dapat melukaimu.”

Yi Ku mengertakkan giginya, dan tiba-tiba menjambak rambutnya kasar.

Lin Xian Er sama sekali tidak merasa takut. Ia bahkan tersenyum lebih menawan. Ia berkata setengah berbisik, “Ia bangga bisa mati untukku. Ia pikir itu sangat layak.”

Cahaya lilin menyapu wajahnya yang putih mulus. Yi Ku tersenyum kaku. “Aku ingin tahu apakah
kau memang layak.”

Tiba-tiba direnggutnya selimut yang menutupi tubuhnya.

Lin Xian Er terus tersenyum. “Mengapa tidak kau buktikan sendiri apakah aku layak atau tidak?”

Yi Ku menampar mukanya, lalu memeluknya erat-erat.

Lalu Yi Ku meninju perutnya dan berseru, “Jadi kau suka dipukuli!”

Lin Xian Er tidak menampakkan sedikitpun rupa kesakitan.

Tanya Yi Ku, “Kau tidak takut padaku?”

Sahut Lin Xian Er, “Mengapa aku harus takut padamu? Walaupun wajahmu jelek luar biasa, kau tetap seorang laki-laki.”

Bab 21. Sahabat yang Dapat Dibanggakan

Yi Ku berdiri di samping tempat tidur, mengenakan kembali pakaiannya.

Setelah beberapa saat, Lin Xian Er tersenyum padanya. “Kini kau tahu bahwa aku memang layak, bukan?”

Kata Yi Ku, “Seharusnya aku membunuhmu. Kalau tidak, aku tidak tahu berapa banyak orang yang akan mati di tanganmu.”

Kata Lin Xian Er, “Pada awalnya kau memang berniat membunuhku, bukan?”

“Hmmmh.”

Ia masih tersenyum manis. “Namun kini kau tidak tega membunuhku, bukan?”

Yi Ku hanya memandangnya, lalu bertanya, “Siapa anak yang datang bersamamu itu?”

Lin Xian Er tertawa. “Kenapa? Kau cemburu? Atau takut?”
Matanya berputar. Lanjutnya, “Ia adalah anak yang baik, tidak nakal seperti engkau. Ia sudah tidur di kamarnya sendiri. Jika ia mendengar suara dari kamar ini, kau tidak mungkin punya kesempatan untuk menggangguku.”

Yi Ku tertawa dingin. “Ia beruntung tidak mendengar apa-apa.”

Kata Lin Xian Er, “Benarkah? Benarkah kau akan membunuhnya?”

“Ya.”

Lin Xian Er tersenyum. “Tapi kau takkan bisa membunuhnya. Ilmu silatnya amat hebat, dan dia adalah sahabat Li Xun Huan. Aku pun sangat suka padanya.”

Wajah Yi Ku langsung berubah.

Kata Lin Xian Er lagi, “Kamarnya ada di ujung lorong ini. Apakah kau punya nyali untuk menemuinya?”

Sebelum kalimatnya selesai, Yi Ku telah pergi.

Ia tertawa senang, lalu ditariknya kembali selimutnya menutupi tubuhnya. Ia merasa seperti seorang gadis kecil yang makan permen diam-diam, dan tidak ketahuan oleh ayah ibunya.

Ketika ia membayangkan Tangan Setan Hijau Yi Ku mengoyakkan kepala Ah Fei dari badannya, matanya berbinar-binar. Lalu ia membayangkan pedang Ah Fei menembus tenggorokan Yi Ku, dan ia pun jadi bersemangat.

Sambil memikirkan hal itu, ia pun jatuh tertidur. Dalam tidur pun ia tersenyum, karena siapapun yang mati, ia tetap bergembira. Ia sangat puas atas apa terjadi malam ini. Tempat tidurnya sangat empuk. Seprainya pun bersih. Namun Ah Fei tidak bisa tidur.

Sebelumnya ia tidak pernah kesulitan tidur. Baru saja diselipkannya pedang di pinggangnya, daun jendela terbuka. Ia melihat sepasang mata yang lebih menyeramkan daripada hantu.

Kata Yi Ku, “Apakah kau datang bersama Lin Xian Er?”

Sahut Ah Fei, “Ya.”

“Bagus. Keluarlah.”

Ah Fei tidak menjawab. Ia tidak suka berbicara, tidak suka memulai suatu percakapan. Kata Yi Ku, “Aku akan membunuhmu.”

Tapi Ah Fei malah menjawab, “Aku tidak ingin membunuh siapapun hari ini. Pergilah.”

Kata Yi Ku lagi, “Aku juga tidak ingin membunuh siapapun hari ini. Cuma kau saja.”

“O ya?”

“Seharusnya kau tidak datang bersama dengan Lin Xian Er hari ini.”

Mata Ah Fei berkilat tajam seperti pisau. “Jika kau menyebut namanya lagi, aku akan membunuhmu.”

Yi Ku terkekeh. “Kenapa?”

“Karena kau tidak pantas.”

Yi Ku tidak bisa menahan tawanya. “Bukan saja aku akan menyebut namanya, aku akan tidur dengan dia. Apa yang akan kau perbuat?”

Wajah Ah Fei terasa seperti terbakar.

Ia biasanya adalah seorang yang sabar dan tidak mudah terpancing. Ia belum pernah merasa marah seperti saat ini.

Tangannya sampai bergetar.

Dalam kemarahannya, pedangnya terhunus.

Namun Tangan Setan Hijau pun berkelebat!

Terdengar bunyi nyaring. Pedang itu patah.

Yi Ku tertawa. “Kau berani menghadapiku dengan kungfu kacangan seperti ini? Kata Lin Xian Er ilmu silatmu cukup tinggi.”

Sambil mengatakannya, Yi Ku telah maju sepuluh jurus.

Ah Fei hampir tak dapat menahan serangannya. Ia hanya punya sebilah pedang patah, dan harus bergantung penuh pada kecepatannya menghindari serangan Yi Ku.

Tawa Yi Ku makin keras. “Jika kau bisa menjawab dua pertanyaan dengan jujur, akan kuampuni
nyawamu.”

Ah Fei mengertakkan giginya. Keringatnya mengucur deras.

Tanya Yi Ku, “Apakah Lin Xian Er sering tidur dengan laki-laki? Apakah kau pernah tidur dengannya?”

Ah Fei hanya dapat berguling di tanah untuk menghindari serangan Yi Ku. Ia merasa sangat lelah.

Yi Ku mendesak, “Ayolah. Beri tahu aku dan aku akan mengampunimu.”

Sahut Ah Fei, “Aku…aku akan jawab.”

Lalu Yi Ku tertawa lagi dan serangannya mengendur. Tiba-tiba pedang berkelebat.

Yi Ku tidak pernah melihat pedang yang bergerak secepat itu. Waktu ia menyadarinya, pedang itu sudah tertancap di tenggorokannya. Wajahnya penuh dengan rasa tidak percaya.

Sampai mati pun ia tidak tahu dari mana datangnya pedang itu.

Dalam mati pun ia tidak dapat mempercayai pemuda itu memiliki pedang yang luar biasa cepatnya.
Wajah Ah Fei sedingin es. Ia berkata, sekata demi sekata, “Siapa yang menghina dia, akan mati.” Tenggorokan Yi Ku masih mengeluarkan suara-suara aneh. Ia mengangkat alisnya, karena ia ingin tertawa. Ia ingin memberi tahu Ah Fei, “Cepat atau lambat, kau pun akan mati di tangannya.”

Sayangnya, tak sepatah kata pun bisa keluar.

Waktu Lin Xian Er terjaga, ia melihat sesosok bayangan di luar jendela. Bayangan itu mondar-mandir  saja di luar. Ia tahu orang itu pasti Ah Fei. Ia pasti ingin masuk, namun tidak ingin membangunkannya.

Jika itu adalah Yi Ku, ia tidak mungkin masih ada di luar.

Ia terus berbaring dengan santai di atas tempat tidurnya sampai agak lama. Lalu ia berkata, “Apakah engkau yang di luar, Fei Kecil?”

Bayangan Ah Fei berhenti. “Ya, ini aku.”

Kata Lin Xian Er, “Mengapa kau tidak masuk?”

Ah Fei mendorong pintu itu perlahan, dan pintu segera terbuka. Ia bertanya, “Kau tidak mengunci pintu?”

Ah Fei tergesa-gesa menghampirinya, dan menatap wajahnya lama. Wajahnya terlihat sedikit pucat, bersemu hijau. Wajah Ah Fei berubah. “Ada….Ada sesuatu yang terjadi padamu?”

Sahut Lin Xian Er, “Wajahku pasti terlihat pucat, karena semalam aku tidak bisa tidur. Aku berbalik ke sana dan ke sini saja, tidak bisa tidur.”

Hati Ah Fei mencair.

Lin Xian Er bertanya, “Bagaimana dengan engkau? Tidurmu nyenyak?”

Jawab Ah Fei, “Tidak. Ada anjing gila yang semalaman menggonggong di luar.”

Lin Xian Er mengerjapkan matanya, “Anjing gila?”

Sahut Ah Fei, “Ya. Tapi aku sudah membunuhnya, dan kulemparkan dia ke danau.”

Tiba-tiba terdengar suara tambur di luar. Ah Fei membuka jendela dan terlihat seorang pegawai penginapan sedang memukul tambur. “Para tamu yang terhormat, apakah Anda ingin mendengar berita yang paling hangat saat ini? Berita yang menggegerkan dunia persilatan? Aku jamin berita ini hangat dan menarik. Lagi pula, Anda bisa makan dan minum sambil mendengarkannya.”

Ah Fei menutup jendela sambil menggelengkan kepala.

Tanya Lin Xian Er, “Kau tidak ingin mendengarkan?”

“Tidak.”

Kata Lin Xian Er, “Tapi aku mau. Lagi pula, kita kan harus makan.”

Ah Fei tersenyum. “Sepertinya orang-orang ini tahu bagaimana caranya berdagang.”

Lin Xian Er menyingkapkan selimutnya hendak bangkit. Namun segeranya ditariknya selimutnya kembali menutupi tubuhnya. Wajahnya bersemu merah. “Apakah kau tak akan memberikan pakaianku?”

Wajah Ah Fei pun menjadi merah. Hatinya berdebar kencang.

***

Rumah makan itu hampir penuh. Kisah-kisah dunia persilatan memang sungguh menarik, sehingga semua orang ingin mendengarnya.

Sewaktu mendengar kisah ini, orang-orang merasa bahwa mereka seperti bagian dari cerita itu.

Di kursi dekat jendela, duduk seorang tua berpakaian kain katun biru, menghisap pipanya dengan mata terpejam.

Di sebelahnya duduk seorang gadis muda. Rambutnya dikuncir dua, matanya besar dan tajam. Waktu mata itu berputar, seakan-akan bisa merenggut jiwa laki-laki.

Saat Ah Fei dan Lin Xian Er memasuki ruangan, mata mereka berbinar. Mata gadis berkuncir dua itu terus menatap mereka.

Lin Xian Er juga menatap gadis itu, lalu tersenyum. Bisiknya, “Kau lihatkah mata gadis itu? Aku harus berhati-hati supaya dia tidak membawamu lari.”

Mereka memesan makanan. Orang tua itu berdehem lalu berkata, “Hong Er, sudah tibakah waktunya?”

Si gadis berkuncir menjawab, “Ya, sudah waktunya.”

Orang tua itu membuka matanya. Walaupun ia terlihat sangat tua, ia masih penuh semangat, terlebih lagi matanya.

Orang tua itu meniup cawannya dan menghirup tehnya sedikit. Tiba-tiba ia berkata, “Si Bandit Bunga Plum hanya melakukan kejahatan, Pelajar Tan Hua berbudi luhur dan berbakat besar.”

Ia memandang para pemirsa. “Tahukah kalian siapa yang kubicarakan?”

Kata si gadis berkuncir, “Siapakah kedua orang itu? Aku tidak pernah mendengar tentang mereka.”

Si Tua Sun terkekeh. “Kau pasti tidak begitu terpelajar. Kedua orang ini sangat terkenal. Si Bandit Bunga Plum hanya muncul dua kali dalam tiga puluh tahun ini. Namun ribuan bandit digabung pun belum dapat menyaingi kejahatan yang telah diperbuatnya.”

Si gadis berkuncir tersenyum. “Bagaimana dengan Si Tan Hua itu?”

Si Tua Sun berkata, “Ia adalah putra seorang pejabat besar. Keluarga itu sungguh luar biasa. Dalam tiga generasi, tujuh orang anggota keluarga itu lulus ujian kekaisaran. Hanya saja, tidak seorang pun berhasil meraih gelar Zhuan Yan [Zhuan Yan adalah gelar untuk ranking pertama dalam ujian kekaisaran. Tan Hua adalah gelar untuk ranking ketiga]. Kedua kakak beradik generasi terakhir ini lebih berbakat lagi daripada para pendahulunya. Maka ayah mereka sangat berharap bahwa salah satu dari mereka bisa memperoleh gelar Zhuan Yan.”

Si gadis berkuncir tersenyum dan berkata, “Gelar Tan Hua saja sudah sangat bagus. Mengapa terlalu berharap mendapat gelar Zhuan Yan?”

Si Tua Sun terus melanjutkan kisahnya, “Siapa sangka, waktu Tuan Muda yang pertama mengikuti ujian, dia pun hanya berjasil memperoleh gelar Tan Hua. Seluruh keluarga merasa kecewa. Harapan mereka tertumpu pada Tuan Muda yang kecil. Namun sayangnya, nasib begitu kejam terhadap keluarga Li. Putra kedua inipun hanya mendapat gelar Tan Hua. Ayah mereka sangat sedih dan kecewa, akhirnya meninggal dua tahun kemudian. Putra pertamanya pun terkena penyakit parah dan akhirnya meninggal tak lama kemudian. Hati Li Tan Hua Kecil pun mati bersama mereka berdua. Ia mundur dari jabatannya dan mengasingkan diri.”

Sampai di sini, ia menghirup tehnya sedikit lagi.

Ah Fei pun hanyut dalam kisah itu. Ia merasa berbahagia waktu orang-orang memuji Li Xun Huan, lebih daripada waktu mereka memuji dirinya.

Lalu si orang tua melanjutkan lagi, “Orang ini bukan saja pelajar yang sangat berbakat, ia juga seorang ahli silat. Sejak kecil ia telah berlatih ilmu silat yang tinggi.”

Si gadis berkuncir pun bertanya, “Jadi ceritamu hari ini adalah mengenai kedua orang ini?”

Jawab si orang tua, “Betul.”

Kata si gadis berkuncir lagi, “Pasti cerita itu amat menarik. Tapi….tapi bagaimana mungkin seorang Tan Hua dapat berhubungan dengan kriminal seperti Si Bandit Bunga Plum itu?”

Sahut si orang tua, “Pasti ada alasannya.”

“Apa alasannya?”

Kata Si Tua Sun sekata demi sekata, “Karena Li Xun Huan adalah Si Bandit Bunga Plum. Si Bandit Bunga Plum adalah Li Xun Huan.”

Ah Fei menjadi sangat gusar, ingin sekali ia menyanggahnya. Namun ia keduluan oleh si gadis berkuncir. “Tuan Tan Hua ini pasti seorang yang sangat kaya. Mana mungkin ia mau menjadi bandit dan pemerkosa? Tidak masuk akal. Aku tidak percaya.”

Si Tua Sun menjawab, “Bukan hanya kau. Aku pun tidak percaya. Jadi kuselidiki persoalan ini.”

Si gadis berkuncir bertanya, “Pasti kau sudah menemukan sesuatu, bukan?”

Jawab Si Tua Sun, “Tentu saja. Kisah ini sungguh berbelit-belit, menarik, dan juga amat aneh…”

Sampai di sini, tiba-tiba ia berhenti bicara dan memejamkan matanya seperti hendak tidur.

Si gadis berkuncir berlaku seolah-olah ia tidak sabar dan mulai merecoki kakeknya. “Mengapa kau berhenti?”

Si Tua Sun meniup pipanya.

Si gadis berkuncir lalu berkata, “Kau memang pandai menarik perhatian pemirsa. Berhenti pada bagian yang lagi tegang-tegangnya.”

Wajah gadis itu pun berseri-seri. “Oh….aku mengerti. Kau ingin minum anggur.”

Bukan hanya gadis itu yang mengerti, semua pendengar pun mengerti. Mereka semua merogoh saku dan mengeluarkan uang. Pelayan pun berkeliling mengumpulkan uang sumbangan.

Kini si orang tua mulai bicara lagi. “Semuanya berawal dari Puri Awan Riang.”

Si gadis berkuncir segera memotong, “Puri Awan Riang? Itu kan tempat kediaman Tuan Keempat Long? Tempat itu sangat indah.”

Si Tua Sun berkata, “Sudah tentu. Namun tempat yang indah itu adalah pemberian Li Xun Huan baginya. Karena mereka adalah saudara angkat dan istrinya adalah sepupu Li Xun Huan.”

Kakek-cucu ini seakan-akan sedang berbincang-bincang berdua, namun dengan cara itu mereka berhasil menceritakan keseluruhan cerita. Ketika ia sampai di bagian Li Xun Huan tidak sengaja melukai Long Xiao Yun muda, lalu tertangkap, semua pendengar menghela nafas prihatin. Ketika ia sampai di bagian Lin Xian Er terperangkap dan bagaimana cepatnya pedang si pemuda Ah Fei, matanya seolah-olah melayang pada Lin Xian Er dan Ah Fei. Mata si gadis berkuncir pun sebentar-sebentar hinggap di meja mereka.

Walaupun ia tidak menunjukkannya, Ah Fei sungguh merasa bahwa kedua orang ini mengenali mereka berdua. Mungkinkah kakek-cucu ini menceritakan cerita ini khusus bagi mereka?

Kemudian si gadis berkuncir berkata, “Kalau begitu, Si Bandit Bunga Plum sudah mati di tangan Ah Fei, bukan?”

Kata Si Tua Sun, “Tuan Zhao dan Tuan Tian tidak percaya bahwa yang dibunuhnya adalah Si Bandit Bunga Plum. Mereka berkeras bahwa Li Xun Huanlah Si Bandit Bunga Plum.”

Si gadis berkuncir lalu bertanya, “Jadi siapa sebenarnya Si Bandit Bunga Plum?”

Jawab Si Tua Sun, “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat wajah asli Si Bandit Bunga Plum. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Namun Tuan Zhao dan Tuan Qiao adalah orang-orang terhormat. Kata-kata mereka dianggap sebagai kebenaran. Jikalau mereka telah menyatakan bahwa Li Xun Huan adalah Si Bandit Bunga Plum, siapakah yang berani membantah? Oleh sebab itu, Pendeta Xin Mei memutuskan untuk mengadili dia di Kuil Shaolin.”

Ia menyedot pipanya lalu melanjutkan, “Namun ketika mereka tiba di Kuil Shaolin, malah Li Xun Huanlah yang membawa Pendeta Xin Mei ke sana.”

Waktu ia mengatakan itu, bahkan Lin Xian Er pun terkejut. Ah Fei hampir jatuh pingsan. Mereka berdua mulai menduga-duga apa yang terjadi dalam perjalanan.

Untungnya, si gadis berkuncir membantu mereka bertanya pada si orang tua.

Jawab Si Tua Sun, “Ternyata dalam perjalanan mereka dijebak oleh Si Anak Lima Racun. Tuan Ketujuh Tian dan empat pendeta Shaolin pun terbunuh. Pendeta Xin Mei akhirnya memutuskan untuk membebaskan Li Xun Huan setelah ia kena racun. Li Xun Huan mengetahui bahwa hanya di Shaolinlah ada obat penawar untuk racun yang melukai Xin Mei, sehingga dibawanyalah pendeta itu kembali ke Shaolin.”

Si gadis berkuncir mengacungkan jempolnya. “Li Tan Hua ini memang seorang pahlawan. Jika orang lain yang berada di tempatnya, orang itu pasti sudah kabur.”

Sahut Si Tua Sun, “Kau memang benar. Sayangnya, para pendeta di Shaolin tidak berterima kasih padanya, mereka bahkan ingin membunuhnya.”

Mata si gadis berkuncir terbelalak kaget, “Kenapa?”

Jawab Si Tua Sun, “Karena kisah ini diceritakan oleh Li Tan Hua sendiri. Para pendeta Shaolin tidak mempercayainya sedikitpun.”

Si gadis berkuncir berkata terbata-bata, “Tapi…tapi kan Pendeta Xin Mei bisa membelanya?”

Si Tua Sun tertawa getir. “Sayangnya Pendeta Xin Mei meninggal sesaat setelah sampai di Shaolin. Selain Xin Mei, tidak ada seorang pun di dunia yang dapat membuktikan kata-katanya!”

Terdengar desahan dari segala penjuru rumah makan itu.

Ah Fei sudah hampir meledak, dia tidak tahan lagi dan bertanya, “Apakah Tuan Li sudah mereka bunuh?”

Mata Si Tua Sun berbinar. “Walaupun Shaolin cukup terkenal dan memiliki banyak pesilat tangguh, tetap sulit bagi mereka untuk membunuh seorang Li Xun Huan.”

Si gadis berkuncir pun melirik Ah Fei . “Namun jika sampai terjadi pertempuran, bahkan orang yang terhebat sekalipun tidak akan mampu menandingi banyak musuh sekaligus. Pisau terbang Li Tan Hua memang tidak ada duanya di dunia persilatan, namun tetap saja ia tidak mungkin membunuh seluruh murid Shaolin.”

Si Tua Sun pun berkata, “Walaupun Shaolin mempunyai banyak murid dan tiap orang adalah ahli silat, siapa yang akan menyerang paling dulu? Siapakah yang berani menantang pisau Li Xun Huan yang pertama?”

Si gadis berkuncir pun menjadi gembira lagi dan bertepuk tangan. “Kakek benar. Pisau legendaris Si Li Kecil tidak pernah luput. Tidak seorang pun akan berani mendekatinya. Jadi pastilah saat ini dia sudah pergi jauh.”

Kata Si Tua Sun, “Tapi dia tidak pergi.”

“Mengapa?”

Sahut Si Tua Sun, “Walaupun tidak seorang pun di Shaolin berani menghadapinya, Li Xun Huan pun tidak punya jalan keluar. Lagi pula, dengan keadaan yang menggantung seperti ini, ia tidak mungkin pergi begitu saja.”

Si gadis berkuncir menjadi bingung. “Jika ia tidak bisa pergi, dan juga tidak bisa bertempur, apa yang bisa dilakukannya?”

Si Tua Sun menjawab, “Ia dikelilingi oleh ratusan pendeta Shaolin. Ia sadar bahwa sekali ia menyambitkan pisaunya, ia akan mati. Bagaimana pun, sebilah pisau tak akan mampu membunuh ratusan orang sekaligus.”

Si gadis berkuncir pun berkata, “Ini adalah kerugiannya. Seseorang tak mungkin bertahan untuk selama-lamanya.”

Ini sama dengan kekuatiran Ah Fei. Dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Kata Si Tua Sun lagi, “Mereka berbicara di depan ruangan tempat mereka menyemayamkan jenazah Pendeta Xin Mei. Setelah itu, Li Xun Huan berhasil menyelinap ke dalam ruangan itu.”

Si gadis berkuncir tercekat. “Jadi dia terkurung di situ?”

Sahut Si Tua Sun, “Pendeta-pendeta Shaolin pun beranggapan bahwa dia akan berusaha kabur. Kini mereka menyesal.”

“Kenapa? Bukankah mereka seharusnya senang bahwa ia sudah terperangkap?”

Jawab Si Tua Sun, “Dalam ruangan itu bukan hanya ada jenazah Pendeta Xin Mei. Di situ juga tersimpan naskah-naskah kuno yang sangat berharga untuk Shaolin.”

Si gadis berkuncir itu pun menyanggah, “Tapi kan mereka hanya perlu menunggu di luar beberapa hari. Setelah itu Li Xun Huan akan mati kelaparan dan kehausan di dalam.”

Kata Si Tua Sun, “Awalnya mereka pun berpendapat demikian. Tapi Li Xun Huan berhasil menawan Pendeta Xin Shu bersamanya di dalam kamar. Mereka tidak mungkin membiarkan Xin Shu mati bersama dengan Li Xun Huan.”

“Tentu saja tidak.”

“Jadi mereka harus mengantarkan makanan dan minuman setiap hari, supaya Xin Shu dan Li Xun Huan tidak mati.”

Si gadis berkuncir pun bertepuk tangan. “Sudah lama Shaolin dianggap tempat suci dunia persilatan. Selama beratus-ratus tahun tidak ada orang yang berani bertindak ugal-ugalan di sana. Namun seorang Li Xun Huan saja sudah bisa memporak-porandakan tempat itu. Pendeta-pendeta itu bukan hanya tidak bisa berbuat apa-apa, mereka bahkan harus menyediakan makanan baginya setiap hari. Sungguh menggelikan.”

Ia menjadi sangat ceria sekarang. “Li Tan Hua ini benar-benar karakter yang hebat ya, Kek. Ceritamu sungguh luar biasa.”

Saat ini, Ah Fei tenggelam dalam kegembiraan juga. Ia harus menahan dirinya kuat-kuat untuk tidak berteriak keras-keras bahwa Li Xun Huan adalah sahabatnya.

Namun Si Tua Sun kini menghela nafas. “Kau benar. Akan tetapi, cepat atau lambat Li Xun Huan akan terkubur di Shaolin.”

Si gadis berkuncir menjadi heran, “Mengapa?”

Si Tua Sun seperti melirik pada Ah Fei. “Selama tidak ada orang yang bisa membuktikan bahwa Li Xun Huan bukan Si Bandit Bunga Plum, dan bahwa Pendeta Xin Mei memang dibunuh oleh Si Anak Lima Racun, Shaolin tidak akan pernah melepaskannya!”

Si gadis berkuncir pun bertanya, “Siapakah yang dapat membuktikannya?”

Si Tua Sun terdiam. Akhirnya ia berkata, “Sayangnya, tidak ada seorangpun!”

Bab 22. Si Bandit Bunga Plum Muncul Kembali

Makan siang sudah selesai, cerita pun sudah selesai. Orang-orang mulai bubar, dan sambil berjalan keluar, mereka membicarakan keadaan Li Xun Huan.

Lin Xian Er terus memandangi Ah Fei. Ah Fei sendiri tenggelam dalam pikirannya. Makanan di meja mereka tidak tersentuh sedikit pun.

Di meja yang lain, si gadis berkuncir meletakkan sumpitnya dan bertanya, “Kakek, menurutmu apakah Li Tan Hua tidak bersalah?”

Jawab Si Tua Sun, “Sekalipun aku tahu bahwa ia tidak bersalah, apa yang dapat kulakukan?”

Kata si gadis berkuncir, “Bagaimana dengan sahabatnya? Tidak ada seorang pun yang mau menolong dia?”

Jawab Si Tua Sun, “Jika ia terperangkap di tempat lain, mungkin ada orang yang berusaha menolongnya. Tapi ia terperangkap di kuil Shaolin. Aku rasa tidak akan ada seorang pun yang dapat menolong dia.”

Si gadis berkuncir tampak sedih. “Jadi akhirnya dia akan mati di Shaolin?”

Si Tua Sun berpikir cukup lama, lalu berkata, “Sebetulnya ada jalan. Namun kemungkinan berhasilnya sangat tipis.”

Waktu Ah Fei mendengarnya, matanya langsung cerah.

Si gadis berkuncir langsung bertanya, “Bagaimana?”

Kata Si Tua Sun, “Jika Si Bandit Bunga Plum yang sesungguhnya masih hidup dan muncul lagi, maka Li Xun Huan akan terbebas. Jika dia bukan Si Bandit Bunga Plum, ia tidak punya alasan untuk membunuh Pendeta Xin Mei.”

Si gadis berkuncir pun mendesah. “Kemungkinannya memang kecil sekali. Sekalipun Si Bandit Bunga Plum masih hidup, ia pasti sedang bersembunyi sekarang. Menunggu mereka membunuh Li Xun Huan.”

Si Tua Sun meletakkan pipanya di atas meja, “Kau sudah selesai makan mi?”

Sahut si gadis berkuncir, “Tadinya aku lapar sekali. Tapi setelah mendengar cerita itu, nafsu makanku jadi hilang.”

Kata Si Tua Sun, “Kalau begitu, ayo kita pergi. Kita tak bisa menyelamatkan Li Tan Hua hanya dengan duduk-duduk di sini.”

Ketika si gadis berkuncir itu keluar dari pintu, ia menoleh pada Ah Fei dan memandangnya, seolah-olah berkata, “Jika kau hanya duduk-duduk di situ, bagaimana kau dapat menolongnya?”

Sambil memandang kepergian mereka, Lin Xian Er tertawa dingin. “Tahukah kau, orang macam
apakah mereka itu?”

“Apa?”

Sahut Lin Xian Er, “Dari penampilan mereka, tenaga dalam orang tua itu sangat tinggi. Langkah gadis kecil itu ringan dan cepat. Ilmu meringankan tubuhnya paling tidak setaraf denganku.”

“O ya?”

“Dalam pandanganku, mereka bukan tukang cerita biasa. Mereka pasti punya alasan lain datang ke sini.”

Lanjut Lin Xian Er, “Mereka sengaja menceritakan kisah itu padamu, supaya kau pergi bunuh diri.”

“Bunuh diri?”

Lin Xian Er mendesah. “Jika kau tahu bahwa Li Xun Huan terperangkap di Shaolin, pasti kau akan berusaha keras untuk membebaskannya. Namun bagaimana kau bisa melawan seluruh kuil Shaolin?”

Ah Fei berpikir dalam-dalam, ia tidak menjawab.

Kata Lin Xian Er, “Lagi pula mungkin saja mereka berdusta. Supaya kau juga terjebak.”

Ia menggenggam tangan Ah Fei dan berkata dengan manis, “Walaupun mereka tidak berbohong bahwa Li Xun Huan ada dalam bahaya, jika kau pergi, kau hanya akan mengacaukan konsentrasinya. Dan jika para pendeta itu berhasil menangkapmu, maka ialah yang harus menyelamatkanmu. Kau malah akan mempersulit dia, bukan menolongnya.”

Setelah Ah Fei berpikir lama, akhirnya dia berkata, “Kau betul.”

Kata Lin Xian Er, “Jadi kau berjanji tidak akan pergi ke Shaolin?”

“Ya.”

Ia menjawab sangat cepat, sehingga Lin Xian Er tidak yakin bahwa Ah Fei berkata jujur.

Ketika mereka kembali ke penginapan, Ah Fei berkata, “Karena kita tidak jadi pergi ke Shaolin, kau lebih baik pulang saja.”

“Lalu engkau?”

Jawab Ah Fei, “A…aku mau berjalan-jalan sebentar.”

Lin Xian Er langsung menyambar tangannya, suara bergetar waktu dia berbicara. “Apakah kau akan berpura-pura menjadi Si Bandit Bunga Plum?”

Ah Fei hanya memandangi lantai. Lalu ia menghela nafas panjang dan akhirnya menjawab, “Ya.” Kata ‘ya’ itu diucapkannya dengan sangat tegas, seakan-akan menyatakan bahwa tak akan ada yang bisa mengubah pikirannya.
Kata Lin Xian Er, “Lalu…lalu mengapa kau suruh aku pulang?”

Sahut Ah Fei, “Karena ini adalah persoalanku.”

Kata Lin Xian Er lagi, “Persoalanmu adalah persoalanku.”

Kata Ah Fei, “Tapi Li Xun Huan bukanlah sahabatmu.”

Wajah Ah Fei penuh rasa terima kasih, namun ia tidak mengatakannya.

Sahut Lin Xian Er, “Kau dapat menghargai suatu persahabatan begitu tinggi. Mengapa aku tidak? Walaupun aku tidak berguna, paling tidak aku bisa memberimu dukungan moral.”

Ah Fei menggenggam tangan Lin Xian Er erat-erat. Walaupun ia tidak bicara, matanya, air mukanya, sudah mewakilinya berbicara.

Dengan diamnya, ia telah berbicara lebih banyak.

Lin Xian Er tersenyum manis. “Jika kau ingin berpura-pura menjadi Si Bandit Bunga Plum, kau perlu seseorang untuk dirampok.”

“Betul.”

Kata Lin Xian Er, “Tidak bisa sembarang orang, bukan?”

Sahut Ah Fei, “Yang pasti, kita harus menemukan orang kaya yang kekayaannya tidak halal.”

Mata Lin Xian Er berputar, “Aku tahu orang yang tepat.”

“Siapa?”

Sahut Lin Xian Er, “Orang ini dulunya seorang bandit. Lalu dia berhenti waktu usianya 50 tahun. Namun sampai sekarang dia masih berbisnis gelap.”

Tanya Ah Fei, “Siapa namanya?”

Lin Xian Er berpikir keras, lalu jawabnya, “Ah, aku ingat. Namanya Zhang Sheng Qi. Namun sekarang ia dipanggil Zhang Yuan Wai, Dermawan Besar Zhang.”

Ah Fei mengangkat alisnya. “Dermawan besar?”

Kata Lin Xian Er, “Ia merampok sepuluh ribu tail perak, lalu menyumbangkan seratus tail untuk memperbaiki jalan. Di malam hari ia membunuh seratus orang, namun di siang hari ia menolong orang sakit. Mudah sekali bagi seorang bandit untuk menjadi dermawan.”


***

Zhang Sheng Qi sedang berbaring di kursi panjangnya sambil memandang ke kuali di atas api yang sedang memanaskan sup sarang burung.


Di luar salju sudah turun lagi, namun di dalam rumahnya, hangat bagaikan musim semi.


Ia memejamkan matanya, bermaksud untuk tidur sejenak. Tapi ia dikagetkan oleh suara kuali yang terguling dan pecah berantakan.

Ia segera membuka matanya dan dilihatnya seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Tidak ada yang tahu dari mana ia datang.

Walaupun Zhang Sheng Qi telah mengundurkan diri, ilmu silatnya masih terlatih dengan baik. Ia berteriak, “Pencuri kecil, berani-beraninya kau masuk ke rumahku!”

Segera ia memasang kuda-kuda, siap menyerang si lelaki baju hitam itu.

Saat itulah, terlihat suatu kilatan di depannya.

Zhang Sheng Yi tidak tahu dari mana datangnya atau macam apakah senjata yang menyerangnya. Tiba-tiba saja lima tanda luka telah menghiasi dadanya.

Si Bandit Bunga Plum telah muncul kembali!

Di rumah-rumah minum teh, warung-warung arak, semua orang membicarakannya. Apakah pembunuh Zhang Sheng Yi adalah Si Bandit Bunga Plum yang sebenarnya? Siapa korban berikutnya? Orang-orang kaya itu mulai sulit tidur lagi.

***

Di waktu senja, suara genta menggema di lingkungan kuil, dan para pendeta dengan wajah tegang dan dingin masuk satu per satu ke dalam ruangan.

Langkah mereka terasa lebih ringan daripada biasanya, karena beberapa hari terakhir ini pikiran mereka sungguh galau.

Di atas Gunung Song, hawa dingin terasa lebih kejam dan salju meliputi seluruh pegunungan. Seseorang menaiki gunung dengan tergesa-gesa. Ia adalah salah satu murid Shaolin yang bukan pendeta, ‘Pahlawan dari Nan Yang’, Xiao Jing.

Langkah Xiao Jing sangat ringan, tidak bersuara saat menyentuh tanah. Namun saat memasuki halaman, Pendeta Xin Hu yang sedang berada di ruang kerjanya berseru, “Siapa itu?”

Langkah Xiao Jing terhenti. Ia membungkuk dan berkata, “Murid Xiao Jing datang untuk memberi laporan.”

Ada tiga orang dalam ruangan itu. Xin Hu, Xin Jian, dan Bai Xiao Sheng.

Xiao Jin tidak berani banyak bicara. Ia masuk ke dalam, membungkuk lagi dan berkata, “Si Bandit Bunga Plum telah muncul kembali!”

Lanjutnya lagi, “Tiga hari yang lalu, mantan bandit Zhang Sheng Qi mendadak terbunuh dan barang-barang berharganya dicuri. Satu-satunya tanda adalah luka berbentuk bunga plum di dadanya.”

Xin Jian dan Bai Xiao Sheng saling pandang. Wajah mereka memucat.

Setelah cukup lama terdiam, akhirnya Xin Hu mendesah. “Kini Si Bandit Bunga Plum telah muncul kembali. Mungkin Li Xun Huan memang tidak bohong.”

Bai Xiao Sheng memandang Xin Jian, tapi tidak berkata apa-apa.

Xin Jian berjalan perlahan-lahan ke jendela, memandangi salju di luar. “Namun ini pun bisa membuktikan bahwa memang Li Xun Huanlah Si Bandit Bunga Plum!”

Kata Xin Hu, “Apa maksudmu?”

Sahut Xin Jian, “Jika aku adalah Si Bandit Bunga Plum dan aku tahu bahwa kesalahanku telah dituduhkan pada orang lain, aku akan bersembunyi untuk sementara sampai orang itu dihukum. Kalau aku beraksi, bukankah itu berarti menyelamatkan nyawa Li Xun Huan?”

Bai Xiao Sheng mengangguk. “Kau benar. Satu-satunya alasan mengapa Si Bandit Bunga Plum muncul sekarang adalah untuk membersihkan nama Li Xun Huan. Jika aku adalah Si Bandit Bunga Plum, aku pun tidak akan pernah melakukannya.”

Tanya Xin Hu, “Kalau begitu, apa saranmu?”

Sahut Xin Jian, “Jika Li Xun Huan bukan Si Bandit Bunga Plum yang sebenarnya, maka teman-temannya tidak mungkin melakukan ini.”

Xin Hu bangkit berdiri dan berjalan ke jendela. “Siapa yang menjaga Li Xun Huan sekarang?”

Sahut Xin Jian, “Murid-murid Saudara Kedua, Yi Rui dan Yi Chen.”

Kata Xin Hu, “Suruh mereka kemari.”

Ketika Yi Rui dan Yi Chen masuk, ia tidak menoleh, hanya bertanya, “Apakah kalian sudah mengantar makanan untuk Paman Kelima?”

Sahut Yi Rui, “Sudah. Tapi….”

Xin Hu memotong, “Tapi apa?”

Kata Yi Rui, “Aku mengikuti perintahnya untuk menaruh makanan di depan pintu. Banyaknya sama dengan kemarin, dua kali ukuran normal tambah satu gelas air.”

Sambung Yi Chen, “Aku membawa keranjang makanan itu karena aku ingin melihat apa yang terjadi di dalam. Aku mundur sedikit dan aku melihat Li Xun Huan mengambil keranjang itu, melihat makanan itu dan melemparkannya ke luar.”

“Kenapa?”

Sahut Yi Rui, “Katanya makanannya tidak enak dan tidak ada arak, jadi dia tidak mau makan.”

Xin Hu menjadi sangat geram, “Dipikirnya dia itu ada di mana? Di rumah makan?”

Yi Rui dan Yi Chen sudah berada di kuil selama sepuluh tahun dan baru kali ini mereka melihat ketua Shaolin ini marah. Mereka tidak berani memandangnya.

Setelah beberapa saat, ia pun menjadi tenang, lalu bertanya, “Lalu ia ingin makan apa?”

Sahut Yi Rui, “Ia menulis daftar dan melemparkannya ke luar. Ia bahkan menyertakan cara memasaknya. Jika ada kesalahan, dia bilang makanan itu akan dilemparkannya ke luar lagi.”

Daftar makanan itu adalah:

Rebung Merah Rebus
Sup Sayur Campur
Sayur asin dengan jamur
Sayur masak
Tahu dengan jamur dan rebung
[Terjemahannya mungkin kurang tepat]
Selain empat jenis masakan dan satu sup itu, ia pun ingin 1.5 kg arak Zhu Ye Qing kualitas super. Seakan-akan Shaolin adalah rumah makan vegetarian kelas atas di Ibu Kota.

Siapapun yang melihat daftar itu takkan tahu apakah mereka harus tertawa atau menangis. Namun Xin Hu menjawab pendek, “Berikan saja keinginannya.”
Xin Jian cepat berkata, “Kakak, kau….”
Xin Hu memotongnya. “Jika Li Xun Huan tidak makan, Saudara Kelima pun kelaparan. Kesehatannya telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir ini. Ia takkan mampu bertahan lama tanpa makan.”

Xin Jian menunduk. “Tapi jika kita melakukannya, bukannkah itu berarti membiarkan Li Xun Huan memegang kendali?”

Mata Xin Hu berbinar. “Aku sudah punya rencana. Tidak jadi soal kalau dia yang memegang kendali satu dua hari ini.”

***

Ah Fei berbaring di ranjang.

Sudah empat jam. Ia berbaring saja, tidak bergerak, seakan-akan tubuhnya menjadi batu.

Ia hanya menunggu.

Dengan tidak bergerak, ia dapat menghemat tenaganya. Ia memerlukan tenaga untuk mencari makanan, dan memerlukan makanan untuk bertahan hidup, untuk menghadapi alam.

Beberapa kali, bahkan kelinci liar pun menyangka bahwa ia hanyalah sebuah batu. Pernah suatu ketika, ia sangat lemah dan kelaparan, tidak ada tenaga sedikit pun. Jika kelinci liar itu tidak melompat dan hinggap di tangannya, mungkin ia sudah mati kelaparan waktu itu.

Kali lain, ia berpura-pura mati selama dua hari, sampai seekor anjing liar menghampirinya.

Kesabaran dan daya tahan semacam ini tidak dapat dimiliki secara alamiah. Hanya dapat diperoleh dengan latihan yang tak kenal lelah.

Mulanya, ia pun tidak bisa melakukannya dengan baik. Ia tidak tahan untuk tidak meringkuk dalam hawa dingin. Tapi kini, ia tidak merasa apa-apa lagi. Selama ia tidak perlu bergerak, ia tidak akan bergerak seinci pun.

Ketika Lin Xian Er kembali, ia menyangka Ah Fei telah tidur.

Hari ini pakaiannya sungguh aneh. Ia berpakaian kain abu-abu polos yang menutupi seluruh tubuhnya.

Ia telah pergi selama empat jam untuk mencari informasi.

Ah Fei tiba-tiba bangkit, mengagetkan Lin Xian Er. Tapi Lin Xian Er lalu tersenyum. “Jadi kau cuma pura-pura tidur saja. Mau menakut-nakuti aku ya?”

Ah Fei diam saja.

Lin Xian Er menyisir rambutnya yang hitam legam, lalu menggigit bibirnya. “Kau tidak menyukai aku?”

Ah Fei menggelengkan kepalanya.

Lin Xian Er menatapnya dengan matanya yang bening, lalu menghampirinya dan mencium pipinya. “Kau sangat baik.”

Ah Fei berdiri dan bertanya, “Ada berita apa?”

Lin Xian Er menggelengkan kepalanya. “Shaolin selalu berhati-hati. Mereka harus mengawasi lebih dulu sampai cukup lama, baru bertindak. Bagi mereka, lebih baik tidak berbuat apa-apa daripada berbuat yang salah.”

Kata Ah Fei, “Tapi ini sudah enam hari.”

Kata Lin Xian Er, “Mungkin mereka tidak percaya bahwa Si Bandit Bunga Plumlah yang membunuh Zhang Sheng Qi. Karena setiap kali Si Bandit Bunga Plum berbuat ulah, kejadiannya selalu berturut-turut, bukan hanya satu saja.”


Ah Fei berpikir lama, lalu katanya, “Cepat atau lambat mereka harus percaya. Aku akan membuat
mereka percaya.”

Kata Lin Xian Er, “Mari kita pergi. Aku akan tunjukkan suatu tempat kepadamu.”

“Di mana?”

“Korbanmu yang kedua.”

***

Malam pun tiba. Salju telah mencair. Mereka mengganti pakaian supaya tidak dapat dikenali.

Tiba-tiba Lin Xian Er menunjuk pada papan nama sebuah rumah gadai. Rumai gadai itu cukup besar, dengan papan nama yang besar pula, bertuliskan, ‘Rumah Gadai Shen Ji’

Tanya Ah Fei, “Apa istimewanya papan nama itu?”

Lin Xian Er tidak menjawab, malah kini ia menunjuk pada papan nama yang lain, papan nama sebuah rumah makan. “Coba lihat yang itu.”

Rumah makan itu sangat laris. Bangunan yang bertingkat itu penuh dengan pembeli. Papan namanya berbunyi ‘Rumah Makan Shen Ji’.

Sebenarnya, tiap lima atau enam usaha di jalan itu mempunyai papan nama dengan tulisan ‘Shen Ji’. Dan semuanya adalah usaha yang laris.

Kata Lin Xian Er, “Semua usaha ini adalah milik Saudara Ketiga Shen.”

Kata Ah Fei, “Ke mana kita pergi?”

Sahut Lin Xian Er, “Mari ikut aku.”

Ah Fei memang tidak suka banyak bertanya, sehingga ia pun mengikuti Lin Xian Er tanpa banyak bertanya.

Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba Lin Xian Er menunjuk ke langit. “Lihat, ada meteor.”

Ah Fei terdiam sesaat, lalu bertanya, “Apakah engkau memohon sesuatu?”

Jawab Lin Xian Er, “Meteor selalu lewat terlalu cepat. Tidak ada yang sempat memohon apapun juga, kecuali orang itu sudah tahu sebelumnya bahwa meteor itu akan muncul. Tapi siapa yang bisa menebak kapan meteor akan muncul? Aku rasa itu hanya dongeng saja.”

Kata Ah Fei, “Walaupun begitu, meteor membuat orang mempunyai harapan dan mimpi. Itu kan sangat bagus.”

Sahut Lin Xian Er, “Aku tidak pernah menyangka kau tahu segala omong kosong macam itu.”

Ah Fei hanya memandangi kejauhan, ke arah meteor itu menghilang. Di matanya terbayang kesedihan yang mendalam, lalu berkata, “Aku sudah tahu sejak kecil.”

Lin Xian Er menatap mata itu lekat-lekat, lalu berkata dengan halus, “Kau ingat akan ibumu, kan? Apakah beliau yang mengatakannya padamu?”

Ah Fei tidak menjawab. Ia mempercepat langkahnya.

Awalnya Ah Fei mengira ia melihat sebuah puri yang megah di depan sana. Namun setelah mendekat, puri itu sepertinya menghilang.

Lin Xian Er memandangi tembok besar yang mengelilingi tempat itu. “Tembok ini tinggi sekali. Mungkin tingginya 12 meter?”

“Kira-kira.”

Tanya Lin Xian Er, “Kau bisa melompatinya?”

Sahut Ah Fei, “Tidak ada seorang pun yang dapat melompat setinggi itu. Jika kau ingin masuk kedalam, aku akan memikirkan cara lain.”

Kata Lin Xian Er, “Ini adalah rumah Saudara Ketiga Shen.”

Tanya Ah Fei, “Apakah dia itu korbanku yang kedua?”

Jawab Lin Xian Er, “Aku tahu kau tidak ingin menyakiti pedagang. Tapi ada bermacam-macam
jenis pedagang.”

“Macam apakah dia?”

“Yang paling buruk, yang paling kotor.”

Lin Xian Er tersenyum sambil melanjutkan, “Coba bayangkan. Bagaimana caranya dia membuka begitu banyak usaha di kota ini? Dan mengapa ia membangun tembok setinggi ini di sekeliling rumahnya?”

Sahut Ah Fei, “Tidak ada salahnya membangun tembok yang tinggi. Dan tidak ada hukum yang melarangmu mempunyai begitu banyak usaha.”

Lin Xian Er berusaha menjelaskan, “Tembok yang begini tinggi berarti dia takut karena usahanya yang tidak bersih. Dalam generasi ini ada 16 bersaudara. Dan 16 bersaudara ini membuka lebih dari 40 usaha.”

Kata Eh Fei, “Jadi tiap orang punya sekitar tiga usaha. Itu kan biasa.”

Sahut Lin Xian Er, “Namun keempat puluh usaha itu dimiliki oleh Saudara Ketiga Shen.”

“Kenapa?”


Bab 23. Masuk Jebakan

Di malam yang dingin dan berangin kencang ini, Lin Xian Er dan Ah Fei sampai di depan sebuah puri yang megah. Sambil menunjuk pada temboknya yang sangat tinggi itu, Lin Xian Er berkata, “Ini adalah rumah Saudara Ketiga Shen. Ia dan saudara-saudaranya membuka lebih dari empat puluh usaha. Tapi sekarang, seluruh usaha itu menjadi miliknya karena kelima belas saudaranya yang lain telah masuk ke dalam peti mati!”

Tanya Ah Fei, “Bagaimana mereka mati?”

Jawab Lin Xian Er, “Secara resmi, mereka mati karena sakit. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aneh bukan kalau lima belas orang yang segar bugar bisa sakit dan mati semua dalam tiga tahun, sedangkan Saudara Ketiga Shen tidak kurang suatu apapun?”

Ah Fei tidak menjawab. Ia hanya berkata singkat, “Aku akan menemuinya besok malam.”

***

Dengan koordinasi tangan dan kaki yang baik, Ah Fei memanjat tembok itu.

Setelah dilewatinya, ia melihat sebuah taman yang luas dan beberapa rumah. Pada saat itu, hanya sedikit cahaya yang tampak, sebagian besar orang sudah tidur.

Lin Xian Er menemukan seorang pelayan yang mau menggambarkan peta tempat itu untuknya. Jadi Ah Fei tahu pasti ke mana ia harus pergi.

Saudara Ketiga Shen masih terjaga. Rambut pengusaha yang licik itu sudah memutih, namun ia masih duduk di dalam cahaya lilin dengan sipoanya, menghitung pendapatannya.

Ia menghitung tidak terlalu cepat, karena jari-jarinya pendek dan gemuk. Bagaimana seorang dari keluarga kaya mempunyai tangan seperti seorang pekerja?

Karena pada waktu ia masih kecil, ayahnya mengusir dia dari rumah, sehingga selama 5 tahun ia terlunta-lunta. Tidak seorang pun tahu apa yang ia lakukan saat itu. Ada yang bilang ia jadi pengemis, ada yang bilang ia pergi ke Shaolin, mengerjakan pekerjaan kasar dan belajar ilmu silat yang hebat di sana. Oleh sebab itu, waktu saudara-saudaranya meninggal, tidak ada seorangpun yang berani berbicara walaupun sebenarnya mereka curiga.

Tentu saja ia menyangkal semua tuduhan itu. Namun ia tidak bisa menyangkal kedua belah tangannya. Kedua belah tangan itu adalah bukti bahwa ia pernah belajar ilmu silat Tangan Besi dan telah mencapai taraf yang cukup tinggi. Kalau tidak, tidak mungkin kakaknya yang tertua mati selagi muntah darah.

Ah Fei mendorong jendela di kamar itu dan masuk ke dalam.

Reaksi Saudara Ketiga Shen boleh dibilang cepat, namun ketika ia sadar jendela kamarnya terbuka, Ah Fei telah berdiri di hadapannya. Ia tidak dapat percaya ada orang yang dapat bergerak secepat itu. Ia menjadi sangat ketakutan dan hanya bisa berdiri mematung.

Ah Fei memandangnya dingin dan bertanya, “Apakah kau Saudara Ketiga Shen?”

Saudara Ketiga Shen hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tanya Ah Fei, “Apakah kau tahu apa yang kuinginkan?”

Ia terus mengangguk.

Tanya Ah Fei lagi, “Adakah yang ingin kau katakan?”

Kini Saudara Ketiga Shen berhenti mengangguk dan mulai menggeleng.

Pedang Ah Fei terhunus, namun di saat yang sama Ah Fei merasa ada kejanggalan. Hanya intuisi, seperti yang dimiliki hewan liar, seperti seekor kelinci dapat merasakan kehadiran seekor serigala liar. Tanpa mendengar apa pun juga, atau pun melihat bayangan si serigala.

Kini tanpa ragu-ragu Ah Fei mengacungkan pedangnya!
Secepat meteor, ditebaskannya pedang itu ke arah dada Saudara Ketiga Shen. Tapi yang terdengar adalah suara berdentang, seperti logam bertemu logam. Pedang itu mengenai lempengan logam, sehingga tidak dapat menembusnya.

Setelah serangan itu, Saudara Ketiga Shen segera berguling ke bawah meja. Ah Fei segera melompat untuk melarikan diri. Sayang, ia terlambat selangkah.Sebuah jaring raksasa telah jatuh dari langit-langit. Jaring itu sebesar ruangan itu, sehingga siapapun yang berada di situ pasti akan terperangkap.

Ah Fei pun terperangkap.

Anehnya ia tidak merasa panik atau ketakutan. Ia hanya merasa sedih, karena ia baru tahu bagaimana perasaan seekor binatang yang tertangkap oleh pemburu.

Seekor binatang tidak mungkin lolos dari perangkap pemburu.

Oleh sebab itu, Ah Fei tidak berusaha melepaskan diri.

Ia tahu usaha itu sia-sia belaka.

Saat itu, dua bayangan turun ke atas jala itu, masing-masing membawa sebuah tongkat panjang.

Kedelapan jalan darah Ah Fei segera ditutup. Dua orang ini adalah Xin Jian dan Bai Xiao Sheng dari Shaolin. Saudara Ketiga Shen sudah tidak ada di bawah meja lagi, karena di situ ternyata ada jalan rahasia.

Sudah jelas sekarang, ini semua adalah jebakan.

Wajah Bai Xiao Sheng penuh kemenangan. “Aku tahu kau pasti datang ke sini. Kau menyerah sekarang?”

Ah Fei diam saja.

Walaupun ia masih bisa bicara, ia tidak merasa perlu untuk menjawab atau bertanya,

“Bagaimana kau bisa tahu aku akan datang ke sini?”

Matanya menatap kosong, seolah-olah pikirannya pun kosong. Ia tidak bisa berpikir? Atau tidak mau berpikir? Atau tidak berani berpikir apa-apa? Kata Bai Xia Sheng, “Aku tahu, kau berusaha menolong temanmu, Li Xun Huan, jadi kau berpurapura menjadi Si Bandit Bunga Plum.”


Ah Fei berteriak, “AKULAH Si Bandit Bunga Plum. Aku tidak perlu berpura-pura. Aku tidak kenal
siapa itu Li Xun Huan.”

Sahut Bai Xiao Sheng, “Benarkah…. Saudara Xin Jian, ia bilang ialah Si Bandit Bunga Plum. Apakah kau percaya?”

“Tidak.”

Kata Bai Xiao Sheng lagi, “Tapi ini cukup sulit dibuktikan. Saudara Xin Jian, tahukah kau siapa yang membunuh Hong Tian Lei?”

“Si Bandit Bunga Plum.”

“Bagaimana dia mati?”

“Walaupun di tubuhnya ada tanda bunga plum, serangan yang mematikan adalah totokan pada jalan darah Xuan Ji.”
Kata Bai Xiao Sheng, “Kalau begitu, Si Bandit Bunga Plum bukan hanya pesilat tangguh, namun ilmu totoknya pun sangat tinggi.”

“Betul.”

Bai Xiao Sheng tersenyum, menoleh pada Ah Fei. “Jika kau bisa menyebutkan nama kedelapan jalan darahmu yang baru saja aku tutup, kami semua akan percaya bahwa kaulah Si Bandit Bunga Plum dan kami akan segera membebaskan Li Xun Huan. Bagaimana?”

Ah Fei mengertakkan giginya kuat-kuat. Bai Xiao Sheng mendesah. “Kau memang sahabatnya yang setia. Untuk dia, kau rela mengorbankan nyawamu. Tapi seberapakah pentingnya engkau dalam pandangannya? Jika kau dapat membujuknya keluar dari kamar itu saja sudah cukup bagus.”

***

Ada anggur dalam cawan.

Li Xun Huan memegang cawan itu di tangannya.

Di sudut kamar tampak seorang pendeta kurus yang tampak sangat lemah. Walaupun ia sudah lewat setengah umur, wajahnya belum tampak tua. Ia kelihatan seperti seorang kutu buku. Orang ini adalah Pendeta Xin Shu.

Walaupun ia adalah tawanan Li Xun Huan, ia tetap kalem, duduk tenang di sudut ruangan.

Tiba-tiba Li Xun Huan tersenyum dan berkata padanya, “Tak kusangka Shaolin mempunyai arak selezat ini. Mau secawan?”

Xin Shu menggelengkan kepalanya.

Li Xun Huan berkata, “Aku minum arak di depan jenazah Saudaramu. Apakah itu termasuk kurang ajar?”

Sahut Xin Shu, “Secara umum, orang menggunakan arak untuk bersulang, di mana pun tempatnya. Kau sama sekali tidak kurang ajar.”

Kata Li Xun Huan, “Bagus. Tidak heran kalau orang bilang, setelah masuk ke dalam biara, hatimu akan lebih lega.”

Wajah Xin Shu yang tenang berubah sedikit, seperti berusaha menyembunyikan rasa pedih.

Ia menghela nafas, wajahnya penuh kesedihan. Apakah ia sedih untuk saudaranya yang telah meninggal, atau untuk keadaan dirinya saat itu, tidak ada yang tahu.

Li Xun Huan memandangi cawan anggurnya, lalu menghela nafas juga. “Sejujurnya, aku tidak menyangka bahwa kaulah yang menyelamatkan aku kali ini.”

Sahut Xin Shu, “Aku tidak menyelamatkanmu.”

Kata Li Xun Huan, “Empat belas tahun yang lalu, aku mengundurkan diri dari jabatanku di pemerintahan. Walaupun alasan resminya adalah bahwa aku sudah bosan berkecimpung dalam dunia politik, sesungguhnya, jika bukan karena tulisanmu yang mengatakan bahwa aku punya bersekongkol dengan para bandit, aku mungkin tidak akan berbulat hati untuk mengundurkan diri.”

Xin Shu memejamkan matanya, lalu berkata, “Hu Yun Ji yang gila kekuasaan itu sudah lama mati. Mengapa kau mengungkit tentang dia kembali?”

Sahut Li Xun Huan, “Kau memang benar. Setelah seseorang masuk ke biara, ia menjadi seorang yang baru. Tetap saja, aku masih tidak bisa percaya bahwa kaulah yang menyelamatkan aku hari ini.”

Xin Shu membuka matanya dan berseru, “Sudah kubilang, aku tidak menyelamatkan engkau. Karena tenaga dalamku lemah, maka aku tidak bisa lepas dari cengkeramanmu. Jangan berbicara seolah-olah kau berhutang padaku.”

“Tapi jika bukan kau yang memberiku tanda untuk masuk ke sini, aku tidak akan memilih untuk masuk ke ruangan ini. Dan jika kau berusaha lepas, tak mungkin aku benar-benar bisa menahanmu di sini.”

Mulut Xin Shu komat-kamit, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar.

Li Xun Huan tersenyum. “Pendeta kan tidak boleh berdusta. Lagi pula, hanya ada kita berdua di sini.”

Xin Shu pun tersenyum. “Walaupun memang aku berniat untuk menyelamatkanmu, itu bukan karena kejadian di masa lalu itu.”

Li Xun Huan tidak kelihatan terkejut. Ia hanya bertanya, “Lalu kenapa?”

Dari wajahnya, kelihatannya Xin Shu tidak tahu harus menjawab apa.

Li Xun Huan tidak memaksanya. Ia lalu menghabiskan anggurnya.

Saat itu, seseorang dari luar berseru, “Li Xun Huan, lihat ke luar jendela!”

Ini adalah suara Xin Jian.

Ketika Li Xun Huan melihat ke luar jendela, wajahnya langsung berubah.

Tak pernah disangkanya bahwa Ah Fei akan jatuh ke tangan mereka.

Bai Xiao Sheng hanya berdiri saja di situ dengan wajah sok tahu. Katanya, “Li Tan Hua, kurasa kau mengenalnya, bukan? Demi engkau, ia ingin dianggap sebagai Si Bandit Bunga Plum. Bagaimana kau akan berterima kasih padanya?”

Xin Jian berseru, “Jika kau ingin menyelamatkan dia, lebih baik kau keluar dan menyerah!”

Tangan Li Xun Huan gemetar. Ia tidak melihat wajah Ah Fei, karena wajahnya menelungkup di tanah. Kelihatannya ia terluka parah.

Xin Jian tiba-tiba mengangkat tubuh Ah Fei. “Li Xun Huan kuberi kau waktu empat jam. Jika kau tidak keluar dengan Saudara Kelimaku, kau tak akan pernah melihat temanmu ini lagi.”

Bai Xiao Sheng berkata, “Li Tan Hua, orang ini sangat memperhatikan engkau. Sepantasnya kau pun membalas kebaikannya.”

Li Xun Huan sungguh tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Ia melihat bagaimana mereka menyeret Ah Fei seperti seekor anjing, dan melihat luka-lukanya akibat penganiayaan mereka.

Anak muda itu tidak mengucapkan sepatah katapun.

Ia hanya memandang sekilas ke arah jendela, wajahnya sungguh tenang. Seakan-akan berkata pada Li Xun Huan bahwa ia tidak takut mati.

Li Xun Huan mengeluh. “Sahabatku…. Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau tidak ingin aku menolongmu.”

Xin Shu terus memandangnya, lalu tiba-tiba bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?”

Li Xun Huan minum tiga cawan lagi, baru menjawab, “Tentu saja aku akan menyerah. Kapan kau mau, silakan ikat aku dan bawa aku keluar.”

Kata Xin Shu, “Kau pasti mati kalau keluar!”

“Aku tahu.”

“Tapi kau masih mau keluar juga?”

“Tentu saja.”

Jawabannya begitu pasti, tidak bisa didebat lagi.

Kata Xin Hu, “Bukankah itu sangat bodoh?”

Li Xun Huan tersenyum. “Kita semua pernah berbuat kebodohan dalam hidup kita. Jika setiap orang mengambil keputusan yang benar, bukankah hidup ini akan menjadi terlalu membosankan?”

Xin Shu merenungkan kata-kata ini, lalu berkata, “Kau memang benar. Kadang-kadang tidak ada jalan lain. Kau tahu dengan melakukan hal ini, kau pasti mati. Tapi, tetap saja kau harus melakukannya!”

Li Xun Huan terkekeh. “Setidaknya kau tahu cara berpikirku.”

Lanjut Xin Shu, “Persahabatan adalah yang terutama, lebih penting daripada hidup dan mati. Li Xun Huan memang benar-benar Li Xun Huan.”

Li Xun Huan tidak memandangnya lagi, dan berkata, “Aku jalan duluan.”

Xin Shu tiba-tiba berseru, “Tunggu dulu.”

Seolah-olah ia baru saja mengambil keputusan penting. Matanya menatap Li Xun Huan lekatlekat.

“Aku belum selesai bicara.”

“O ya?”

Kata Xin Shu, “Tadi sudah kukatakan bahwa aku punya alasan lain menyelamatkanmu.”

“Benar.”

Kata Xin Shu, “Ini adalah rahasia besar Shaolin, dan menyangkut banyak orang, sehingga tadinya
aku tidak ingin memberi tahu padamu.”

Li Xun Huan berdiri saja, mendengarkan.

Lanjut Xin Shu, “Di Shaolin ada begitu banyak buku langka. Sebagian kitab suci agama Budha, sebagian lagi buku-buku ilmu silat.”

“Tentu saja aku tahu.”

Kata Xin Shu lagi, “Selama beberapa ratus tahun terakhir ini, segelintir orang berusaha untuk mencuri buku-buku ini dari Shaolin, namun tidak ada yang berhasil.

Walaupun pendeta tidak seharusnya membunuh, tetap saja, buku-buku ini adalah dasar kuil Shaolin. Jadi setiap orang yang berusaha mencurinya akan menjadi sasaran kemarahan seluruh murid Shaolin.”

Kata Li Xun Huan, “Aku hampir tidak pernah mendengar ada orang yang berani mencuri dari sini.”

Sahut Xin Shu, “Kau orang luar, tentu saja kau tidak tahu secara detil. Sebenarnya Shaolin pernah kecurian buku sebanyak tujuh kali. Satu buku adalah petunjuk untuk ketenangan hati dan yang lain adalah kitab ilmu silat tingkat tinggi.”

Li Xun Huan sungguh terkejut mendengarnya. “Siapa yang berbuat?”

Jawab Xin Shu, “Anehnya, tidak ada tanda-tanda pencurian ataupun jejak apa pun yang dapat diselidiki.

Setelah dua pencurian yang pertama, kami telah meningkatkan penjagaan. Namun pencurian itu tetap berlanjut. Pada awalnya, Saudara Ketigalah yang menjaga perpustakaan, namun sejak peristiwa itu ia mengundurkan diri.”

Kata Li Xun Huan, “Ini kan persoalan besar. Mengapa tidak tersiar ke mana-mana?”

Sahut Xin Shu, “Justru karena ini adalah masalah yang sangat besar, pendeta kepala sudah wanti-wanti pada semua orang yang tahu untuk tutup mulut. Jadi sekarang, termasuk engkau, hanya sembilan orang yang tahu akan hal ini.”

Tanya Li Xun Huan, “Selain ketujuh pendeta tetua, siapakah orang yang kedelapan?”

“Bai Xiao Sheng.”

Li Xun Huan mengeluh. “Orang ini benar-benar suka ikut campur urusan orang lain.”

Kata Xin Shu lagi, “Setelah Saudara Ketiga mengundurkan diri, Saudara Kedua dan akulah yang menjaga perpustakaan, sejak setengah bulan yang lalu.”

Li Xun Huan bertanya, “Jika Xin Mei bertugas menjaga perpustakaan, mengapa dia pergi?”

Jawab Xin Shu, “Sebab Saudara Kedua curiga bahwa Si Bandit Bunga Plum terlibat dalam pencurian itu, jadi ia pergi untuk menyelidiki. Siapa sangka ia tidak pernah kembali lagi.”

Setelah diam beberapa saat, Xin Shu melanjutkan, “Aku dan Saudara Kedua adalah teman lama. Sebelum ia pergi, ia mengambil tiga kitab yang paling berharga dari perpustakaan dan menyembunnyikannya di tiga tempat. Hanya pendeta kepala dan aku yang tahu tempat persembunyiannya.”

“Satu ada dalam ruangan ini bukan?”

“Betul.”

Kata Li Xun Huan, “Pantas saja mereka begitu enggan menyerbu ke sini.”

Kata Xin Shu lagi, “Karena pencurian itu begitu aneh, aku dan Saudara Kedua berpendapat bahwa mungkin ada orang dalam yang terlibat. Namun, walaupun kami berdua sudah curiga, kami tidak berani mengatakannya. Karena selain dari kami bertujuh pendeta tetua, tidak ada seorang pun yang dapat mencuri kitab-kitab itu.”

Mata Li Xun Huan berbinar. “Jadi pencurinya pasti salah satu dari kalian bertujuh?”

Sahut Xin Shu, “Kami tujuh bersaudara telah hidup bersama di sini selama lebih dari sepuluh tahun. Kami pun saling mempercayai satu dengan yang lain. Hanya saja…”

“Apa?”

“Sebelum Saudara Kedua pergi, ia sempat mengatakan padaku bahwa ia sangat curiga pada salah seorang dari kami bertujuh.”

Li Xun Huan bertanya cepat, “Siapa?”

Xin Shu menggelengkan kepalanya. “Ia tidak menyebutkan namanya, karena ia tidak mau asal tuduh. Ia masih berharap bahwa pencurinya adalah Si Bandit Bunga Plum.”

Sampai di sini, tenggorokan Xin Mei mengering, tak bisa bicara lebih lanjut.

Kata Li Xun Huan, “Aku mengerti perasaan Xin Mei. Namun bagaimana mungkin ia hanya berpangku tangan sementara si pencuri masih bebas berkeliaran, bahkan menyebutkan namanya pun tidak mau.”

Xin Shu pun berkata, “Saudara Kedua pun telah berpikir demikian. Jadi sebelum ia pergi, ia sudah berpesan, jika sampai terjadi apa-apa pada dirinya, aku harus membaca buku hariannya. Nama orang yang dicurigainya tertulis di halaman terakhir.”

Li Xun Huan bertanya tidak sabar, “Lalu di mana buku harian itu?”

“Tadinya ada bersama dengan kitab-kitab berharga itu. Sekarang ada padaku.”

Ia mengeluarkan sebuah buku, yang kemudian segera direbut oleh Li Xun Huan. Seluruh buku itu berisi tentang ajaran-ajaran agama Budha, tidak ada tulisan tentang orang yang dicurigai.

Tanya Li Xun Huan, “Halaman terakhirnya sudah dirobek oleh si pencuri?”

Jawab Xin Shu, “Bukan hanya itu. Kitab-kitab itu pun telah berubah menjadi kitab-kitab kosong!”

Kata Li Xun Huan, “Ini berarti si pencuri sudah tahu bahwa Saudara Kedua mencurigainya.”

“Betul.”

“Tapi hanya engkau dan pendeta kepala yang tahu tempat persembunyiannya. Jadi kau curiga….”

Kata Xin Shu, “Tidak sepenuhnya. Jika si pencuri tahu bahwa Saudara Kedua mencurigainya, ia pasti akan membayangi Saudara Kedua kemana saja. Dengan cara itu, kemungkinan ia bisa mengetahui tempat persembunyiannya. Tapi….”

“Tapi apa?”

“Sebenarnya, sewaktu kau membawa Saudara Kedua kembali ke sini, ia masih hidup. Dan ia tidak seharusnya mati!”

Li Xun Huan kaget setengah mati.

Ia melihat Xin Shu mengepalkan tangannya. “Walaupun aku bukan ahli tentang racun, aku telah belajar cukup banyak beberapa tahun terakhir ini dari buku-buku kami. Jadi, sewaktu aku melihat keadaan Saudara Kedua waktu ia sampai, aku tahu ia pasti akan tertolong. Paling tidak ia tidak mungkin mati secepat itu!”

Kata Li Xun Huan, “Jadi maksudmu…..”

Kata Xin Shu, “Siapapun yang mencuri kitab-kitab itu, dialah yang membunuh Saudara Kedua.”

Tiba-tiba Li Xun Huan merasa ruangan itu menjadi sangat sempit, ia menjadi sulit bernafas.

Ia mengelilingi ruangan itu untuk menenangkan diri, lalu bertanya, “Berapa orang yang datang menjenguknya?”

Jawab Xin Shu, “Kakak pertama, Saudara Keempat, dan Saudara Ketujuh.”

“Jadi salah satu dari merekalah pembunuhnya?”

Xin Shu mengangguk. “Ini adalah petaka besar bagi biara ini. Seharusnya aku tidak mengatakannya padamu, namun aku tahu sekarang bahwa kau bukanlah orang yang mengkhianati sahabatmu. Jadi aku ingin kau….”

“Kau ingin aku membantumu menangkap si pembunuh?”

“Betul.”

Li Xun Huan berpikir sejenak, lalu ia bertanya perlahan, “Bagaimana jika ternyata pembunuhnya adalah Xin Hu?”

Tubuh Xin Shu menegang, keringat membasahi keningnya.

Kata Li Xun Huan, “Walaupun seluruh murid Shaolin akhirnya mengetahui bahwa pembunuhnya adalah Xin Hu, tidak ada seorang pun yang mau mengakuinya, bukan?”

Xin Shu tidak menjawab, karena memang pertanyaan ini tidak butuh jawaban. Semua orang menganggap Shaolin sebagai perguruan silat yang terhormat. Apa jadinya jika Ketua Shaolin ternyata adalah seorang pembunuh?”

Li Xun Huan berkata lagi, “Walaupun aku bisa membuktikan bahwa pembunuhnya adalah Xin Hu, aku yakin kau tak akan mendukungku, demi mempertahankan reputasimu.”

Xin Shu mendesah. “Kau benar. Demi reputasi Shaolin, aku akan mengorbankan apapun juga.”

Tanya Li Xun Huan, “Lalu mengapa kau minta aku melakukannya?”

Jawab Xin Shu, “Walaupun aku tidak mau merusak reputasi Shaolin, jika kau bisa membuktikan siapa pembunuh Saudara Xin Mei, aku jamin ia akan mati bersama denganku.”

Kata Li Xun Huan, “Bagaimana bisa seorang pendeta berbicara mengenai pembunuhan? Kelihatannya kau masih terikat dengan dunia luar.”

Sahut Xin Shu, “Sang Budha sendiri pun pernah marah, apalah artinya seorang pendeta kecil.”

Kata Li Xun Huan, “Mendengar jawabanmu, aku sudah puas.”

Tanya Xin Shu, “Kau sudah tahu siapa pembunuhnya?”

Sahut Li Xun Huan, “Belum. Tapi aku tahu seseorang yang tahu.”

Kata Xin Shu, “Si pembunuhnya pasti tahu.”

Kata Li Xun Huan, “Selain si pembunuh, ada seorang lagi yang tahu. Orang itu berada di ruangan ini.”

“Siapa?”

Li Xun Huan menunjuk pada jenazah Xin Mei, “Dia!”

Kata Xin Shu, “Sayang sekali, dia sudah tidak bisa berbicara.”

Li Xun Huan terkekeh. “Kadang-kadang orang mati pun bisa bicara.”

Ia menyingkapkan kain yang menutupi tubuh Xin Mei. Sinar matahari menyinari wajahnya yang sudah berwarna abu-abu gelap.

Li Xun Huan bertanya, “Pernahkah kau melihat korban Si Anak Lima Racun?”

“Tidak.”

Bab 24. Menangkap Pengkhianat

Li Xun Huan mengeluh. “Kau benar-benar beruntung. Mereka sama sekali bukan pemandangan yang menyenangkan.”

Setiap orang yang mati karena racun Si Anak Lima Racun tubuh dan wajahnya rusak parah.

Li Xun Huan memejamkan matanya, lalu perlahan-lahan berkata, “Beberapa tahun yang lalu, aku melihat seseorang yang mati karena racunnya. Dalam beberapa detik saja wajahnya menghitam dan tidak lama kemudian seluruh tubuhnya membusuk.”

Xin Shu menatap tubuh Xin Mei lalu berseru, “Tapi Saudara Kedua sudah meninggal beberapa hari….”


Li Xun Huan membuka matanya kembali. “Betul sekali. Dia sudah keracunan beberapa hari, namun tubuhnya belum membusuk. Kau tahu kenapa?”

Xin Shu menggelengkan kepalanya.

Kata Li Xun Huan, “Karena ia kena racun yang lain lagi!”

Kata Xin Shu terbata-bata, “Mak…Maksudmu…”

Kata Li Xun Huan melanjutkan, “Walaupun ia kena racun Si Anak Lima Racun, keadaannya tidak terlalu membahayakan. Racun itupun telah ditahannya dengan tenaga dalamnya, sehingga racun itu tidak bekerja lagi sewaktu dia sampai di Shaolin.”

“Betul.”

Sambung Li Xun Huan, “Si pembunuh pasti takut ia akan menyebarkan rahasianya. Maka untuk mempercepat kematiannya, ia meracuni Pendeta Xin Mei dengan racun yang lain.”

Tanya Xin Shu, “Ada banyak cara untuk membunuh, mengapa menggunakan racun?”

“Karena cara apapun yang ditempuhnya akan meninggalkan jejak. Namun karena Pendeta Xin Mei sudah keracunan, jejaknya akan tersamarkan.”

Sahut Xin Shu, “Benar juga. Dengan cara ini, semua orang akan berpikir bahwa dia mati karena racun Si Anak Lima Racun.”

Kata Li Xun Huan, “Orang ini betul-betul penuh perhitungan, tapi ada satu hal yang dilupakannya.”

“Apa itu?”

“Ia lupa bahwa racun dapat saling menetralisir. Karena ia memberikan racun yang mematikan dalam jumlah besar, racun itu menghalangi bekerjanya racun Si Anak Lima Racun. Oleh sebab itu, tubuh Xin Mei tetap dalam keadaan baik setelah sekian lama.”

Mata Li Xun Huan berbinar. Tanyanya, “Setelah Pendeta Xin Mei datang, apakah ia makan sesuatu?”

Jawab Xin Shu, “Hanya semangkuk obat.”

“Siapa yang memberikan obat itu padanya?”

“Obat itu dibuat oleh Saudara Ketujuh Xin Jian. Tapi yang menyuapkan obat itu padanya adalah Saudara Keempat Xin Zhu dan Saudara Keenam Xin Deng.”

Ia mengeluh. “Jadi mereka bertigalah tersangkanya.”

Kata Li Xun Huan, “Ada dua jenis racun yang terkenal di dunia. Yang pertama sifatnya tidak berbau dan tidak berasa. Namun racun ini bisa membuat orang mati mengenaskan. Jadi tidak hanya membunuh si korban, namun juga menakutkan bagi yang menyaksikan.”

Kata Xin Shu, “Racun Si Anak Lima Racun sudah tentu masuk kategori ini.”

Li Xun Huan menyambung lagi, “Jenis yang kedua, lebih mudah dideteksi. Namun dapat menyebabkan kematian tanpa tanda-tanda khusus. Kadang-kadang orang tidak menyangka bahwa si korban mati keracunan.”

“Maksudmu, si pembunuh menggunakan racun jenis ini?”

Li Xun Huan mengangguk. “Karena sifatnya yang berbeda itulah, kedua racun ini malah saling menetralisir. Walaupun jenis yang pertama itu lebih mengerikan, jenis yang kedua lebih mematikan. Sedikit sekali orang yang dapat menyatukan dua macam racun ini.”

Ia menatap Xin Shu lekat-lekat, lalu bertanya, “Berapa orang di Shaolin yang tahu betul tentang racun?”

Xin Shu menghela nafas panjang. “Ini…..”

Kata Li Xun Huan, “Shaolin adalah pelopor dalam dunia persilatan. Murid-muridnya tidak mungkin
belajar sesuatu yang sesat seperti ini, bukan?”

Xin Shu menjawab dengan tegas, “Hal semacam ini sama sekali tidak diajarkan di Shaolin!”

Kata Li Xun Huan, “Pendeta Xin Zhu dan Xin Deng….”

Xin Shu segera memotong perkataannya. “Xin Zhu menjadi pendeta waktu berumur sembilan tahun. Xin Deng telah menjadi pendeta saat masih bayi. Aku berani bertaruh bahwa mereka berdua belum pernah melihat racun jenis apapun seumur hidup mereka.”

Li Xun Huan terkekeh. “Jadi, siapa pembunuhnya?”

“Maksudmu, sudah pasti Saudara Ketujuh Xin Jian?”

Li Xun Huan diam saja.

Xin Jian menjadi pendeta setelah ia dewasa. Sebelum ia masuk ke Shaolin, ia sudah terkenal dalam dunia persilatan, seorang ahli racun!


***


Permainan Go sedang berlangsung di paviliun itu.

Bai Xiao Sheng memainkan buah catur itu ditangannya. Bunga-bunga salju berjatuhan ke tanah dari buah catur itu.

Pemandangan di situ sungguh indah, namun di mana-mana dapat terasa hawa membunuh yang tebal dan semua orang sangat tegang.

Pendeta Xin Hu, Xin Zhu, Xin Deng dan Xin Jian ada di situ.

Ah Fei berlutut di sudut paviliun itu. Wajahnya tertunduk.

Xin Hu memandangnya dan bertanya, “Apakah menurutmu Li Xun Huan akan datang?”

Bai Xiao Sheng tersenyum. “Pasti.”

Xin Hu bertanya lagi, “Apakah dia itu orang yang mau berkorban untuk sahabatnya?”

“Bahkan kaum pencuri pun punya kode etik.”

Xin Hu mengeluh. “Kuharap kau benar….”

Suaranya terhenti.

Ia melihat Xin Shu.

Xin Shu masuk ke paviliun itu, tapi sendirian saja.

Xin Hu berdiri menyambutnya, “Bagaimana keadaanmu?”

Ia tidak bertanya yang lain, hanya menyapa Xin Shu seperti biasa. Hanya seorang Kepala Shaolin yang mampu berbuat demikian.

Sahut Xin Shu, “Terima kasih, Saudaraku. Untungnya aku masih selamat.”

Xin Shu melanjutkan, “Ia pergi mengambil kitab-kitab itu?”

Xin Jian bertanya, “Kitab? Kitab apa?”

Jawab Xin Shu, “Kitab-kitab yang hilang dari perpustakaan.”

Mulut Xin Jian komat-kamit, lalu ia tertawa dingin. “Ternyata dia biang keladinya! Lalu kenapa kau biarkan dia pergi begitu saja?”

Sahut Xin Shu, “Karena bukan dia pencurinya.”

Tanya Xin Jian, “Lalu siapa?”

Jawab Xin Shu tegas, “Engkau!”

Mulut Xin Jian komat-kamit lagi, tapi kemudian ia menenangkan diri. “Saudara Kelima, bagaimana mungkin kau menuduhku? Aku tidak mengerti.”
Kata Xin Shu, “Jika kau tidak mengerti, siapa yang mengerti?”

Xin Jian menoleh pada Xin Hu, lalu berkata dengan memelas, “Kakak pertama, katakanlah sesuatu. Aku tidak bisa membela diri.”

Wajah Xin Hu pun berubah. “Saudara Kedua telah dibunuh oleh Li Xun Huan. Mengapa kau malah membantunya?”

Bai Xiao Sheng pun menjadi kesal. “Jika benar ingatanku, Saudara Xin Shu dan Li Xun Huan lulus ujian kekaisaran pada tahun yang sama.”

Xin Jian berkata dingin, “Kalau begitu, Saudara Kelima pun pasti telah kena racun Li Xun Huan.”

Xin Shu tidak menggubris ocehan mereka. Katanya, “Racun yang membunuh Saudara Kedua bukanlah racun Si Anak Lima Racun.”

Xin Jian memotong cepat, “Kau tahu dari mana?”

Xin Shu tertawa dingin. “Kau pikir tidak seorang pun tahu perbuatanmu? Atau kau lupa bahwa Saudara Kedua meninggalkan sesuatu sebelum meninggal?”

Ia mengeluarkan buku harian Xin Mei.

Tanya Xin Hu, “Apa itu?”

Jawab Xin Shu, “Sebelum Saudara Kedua berangkat, ia sudah tahu siapa pencuri pengkhianat itu. Tapi ia tidak mau bertindak tanpa bukti nyata, sehingga Xin Mei hanya menuliskan namanya pada buku ini, supaya kalau dia mati, bukti itu tidak akan hilang.”

Xin Hu terperanjat mendengarnya, “Betulkah?”

Xin Jian memotong lagi. “Jika memang betul ada namaku di buku itu, aku akan….”

Kata Xin Shu, “Kau akan apa? Walaupun sudah kau sobek halaman terakhirnya, bagaimana kau bisa yakin ia tidak menuliskan namamu di halaman yang lain juga?”

Tubuh Xin Jian gemetar, lalu berseru, “Saudara Kelima telah bersekongkol dengan orang luar untuk memfitnah aku. Kakak pertama, tolong selidiki hal ini baik-baik.”

Xin Hu hanya berdiri mematung sambil memandang Bai Xiao Sheng.

Kata Bai Xiao Sheng, “Siapapun dapat menuliskan nama itu.”

Xin Jian pun segera mengiakan, “Betul… Sekalipun namaku tertulis di situ, tidak dapat dibuktikan bahwa Saudara Kedualah yang menulisnya.”

Tambah Bai Xiao Sheng, “Setahuku, Li Tan Hua Kecil adalah seseorang yang sangat terpelajar. Ia pun pandai dalam ilmu tulis-menulis.”

Xin Jian pun berkata, “Betul sekali. Mudah sekali baginya untuk meniru tulisan tangan seseorang.”

Xin Hu memandang pada Xin Shu. “Saudaraku, biasanya kau adalah seorang yang berhati-hati. Apakah kau tidak terlalu gegabah saat ini?”

Wajah Xin Shu tidak berubah, terus menatap Xin Jian. “Jika kau pikir ini belum cukup, aku masih punya bukti yang lain.”

Kata Xin Hu, “O ya? Cepat katakan.”

Sahut Xin Shu, “Kitab ‘Da Muo Yi Jin Jing’ yang tersembunyi dalam kamar Saudara Kedua telah lenyap.”

“O ya?”

Lanjut Xin Shu, “Menurut perhitungan Li Tan Hua, si pencuri pasti belum sempat membawanya keluar. Jadi kitab itu pasti masih ada di kamar Xin Jian. Ia telah pergi bersama dengan murid-muridku ke sana untuk mencarinya.”

Xin Jian melompat bangun dan berteriak, “Kakak pertama, jangan dengarkan dia. Ia sedang memfitnahku!”

Sambil mengatakan itu, tubuhnya pun sudah berada di luar.

Xin Hu mengangkat alisnya, segera berdiri dan mengejarnya.

Dalam sekejap saja, mereka telah tiba di kamar Xin Jian.

Pintunya telah terbuka lebar.

Xin Jian bergegas masuk. Ia segera menoreh sebuah lemari dan terlihatlah laci rahasia di baliknya. Kitab ‘Yi Jin Jing’ ada di dalamnya.

Xin Jian berteriak, “Buku ini tadinya ada di kamar Kakak Kedua. Karena mereka mau memfitnahku, maka ditaruhnyalah buku ini di situ. Tapi tipuan ini kan sudah ratusan kali dilakukan. Bagaimana mungkin seorang sepandai Kakak Pertama dapat tertipu oleh tipuan murahan kalian?”

Setelah ia selesai, Xin Shu berkata dengan tenang, “Jika kami ingin memfitnahmu, bagaimana kau bisa tahu kalau buku ini ada di balik lemari itu? Mengapa kau tidak perlu mencari-cari di tempat lain terlebih dulu?”

Xin Jian mengejang, wajahnya berkeringat.

Xin Shu bernafas lega. “Li Tan Hua sudah memperhitungkan bahwa hanya dengan cara inilah kau akhirnya mengakui perbuatanmu.”

Terdengar suara tawa seseorang. “Tapi cara ini kan sangat riskan. Jika ia tidak terjebak, sampai kapan pun ia tidak akan tertangkap!”

Di tengah suara tawa itu, muncullah Li Xun Huan.

Xin Hu menghela nafas panjang, lalu membungkuk untuk menyapanya.

Li Xun Huan membalas sapaannya.

Xin Jian diam-diam melangkah mundur, namun Xin Zhu dan Xin Deng telah menghalangi jalannya.

Wajah mereka penuh kemarahan yang mematikan.

Kata Xin Hu, “Dan E, Shaolin sudah begitu baik padamu, mengapa kau berbuat seperti ini?”

Dan E adalah nama Xin Jian sebelum menjadi pendeta.

Keringat Dan E bercucuran. Katanya, “A…Aku mengakui kesalahanku.”

Tiba-tiba ia berlutut dan berkata, “Tapi akupun telah dimanfaatkan oleh orang lain.”

Xin Hu membentak, “Oleh siapa?”

Bai Xiao Sheng memotong cepat, “Kukira aku tahu siapa orangnya.”

Kata Xin Hu, “Tolong beri tahu kami.”

Sahut Bai Xiao Sheng, “Dia!”

Semua orang menoleh ke arah yang ditunjuk Ba Xiao Sheng, namun mereka tidak melihat siapa pun juga.

Waktu mereka menoleh kembali, wajah Xin Hu telah berubah.

Tangan Bai Xiao Sheng sudah berada di punggungnya. Jari-jarinya telah terarah pada empat jalan darah utama Xin Hu.

Wajah Xin Shu pun jadi berubah. “Ternyata kau!”

Kata Bai Xiao Sheng, “Aku hanya ingin meminjam beberapa buku. Siapa sangka kalian ini pelit sekali.”

Kata Xin Hu, “Kita berteman sudah sepuluh tahun lebih. Aku tidak pernah menyangka kau akan berbuat seperti ini padaku.”

Bai Xiao Sheng menghela nafas. “Aku pun tidak ingin melakukannya. Tapi karena Dan E bermaksud menyeretku jatuh bersamanya, terpaksa aku melakukan ini.”

Dan E segera melompat, menyambar kitab ‘Yi Jin Jing’ itu, lalu tertawa mengejek. “Betul sekali. Kau harus menemani kami turun gunung. Jika kalian semua masih ingin bertemu Ketua Shaolin hidup-hidup, kalian sebaiknya tidak melakukan gerak yang mencurigakan.”

Walaupun geram luar biasa, Xin Shu hanya bisa menonton saja.

Kata Xin Hu, “Jika kalian semua menghargai Shaolin, jangan pedulikan aku. Tangkap pengkhianat ini sekarang juga!”

Kata Bai Xiao Sheng, “Kata-katamu tidak berarti. Mereka tidak mungkin bermain-main dengan hidupmu. Hidup seorang Ketua Shaolin terlalu berharga.”

Waktu kata yang terakhir diucapkannya, senyumnya pun tiba-tiba hilang.

Sebilah pisau berkilau.

Pisau Terbang Li Kecil telah keluar!

Dan kini pisau itu telah melayang menuju lehernya!

Tidak seorang pun melihat kapan pisau itu keluar.

Bai Xiao Sheng pun telah menggunakan Xin Hu sebagai tamengnya. Lehernya selalu berada di belakang leher Xin Hu. Hanya sebagian kecil lehernya yang tampak.

Kapan pun juga ia bisa segera berlindung di balik Xin Hu.

Dalam situasi ini, tidak seorang pun berani bergerak.

Namun begitu cepat pisau itu berkilat, dan lebih cepat dari halilintar, Pisau Terbang Li Kecil telah menembus lehernya!

Xin Shu, Xin Zhu dan Xin Deng segera berhamburan melindungi Xin Hu.

Mata Bai Xiao Sheng dengan penuh kebencian menatap Li Xun Huan. Tubuhnya masih tidak percaya dan kaget luar biasa.

Dalam kematian pun, ia tidak bisa percaya bahwa pisau Li Xun Huan telah menembus lehernya.

Mulutnya masih berusaha bicara, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Namun semua orang bisa menebak bahwa ia hendak mengatakan, “Aku salah….. Aku salah….”

Betul sekali. Bai Xiao Sheng tahu segala sesuatu, dapat melihat segala sesuatu, tapi ia salah terhadap satu hal.

Pisau Terbang Li Kecil sungguh lebih cepat daripada yang ia bayangkan!

Bai Xiao Sheng pun ambruk.

Li Xun Huan mendesah. “Bai Xiao Sheng menulis buku ‘Kitab Persenjataan’, dan mengurutkan senjata-senjata ampuh di dunia. Sungguh sial, ia mati karena salah satu dari senjata yang diurutkannya.”

Xin Hu membungkuk beberapa kali, lalu berkata, “Aku pun salah.”

Lalu wajahnya tiba-tiba berubah, “Di mana si pengkhianat itu?”


Dan E telah mengambil kesempatan dalam kekacauan itu dan kabur.

Seorang seperti dia tidak akan melewatkan kesempatan semacam ini. Dalam sekejap saja ia sudah meninggalkan halaman biara.

Murid-murid yang lain tidak tahu akan kejadian ini. Jadi kalaupun mereka melihat dia, mereka tak akan menghalanginya.

Ketika ia sampai di paviliun itu, Ah Fei sedang berusaha bangun.

Walaupun Bai Xiao Sheng telah menutup jalan darahnya kuat-kuat, akhirnya lepas juga setelah sekian lama.

Ketika Dan E melihatnya, matanya penuh kebencian. Ia ingin melampiaskan rasa frustrasinya pada Ah Fei.

Setelah disiksa begitu lama, bagaimana mungkin Ah Fei dapat melawannya?

Jadi, membunuh Ah Fei tidak akan memakan waktu lama. Tanpa berkata apa-apa, Dan E menyerang. Pukulan Shaolin terkenal di seluruh dunia dan Dan E telah berlatih di Shaolin selama sepuluh tahun, sehingga ia pun cukup lihai menggunakannya.

Pukulan ini mengandung seluruh tenaganya, cepat dan mematikan, dan tentunya dapat membunuh dengan mudah. Dan E tahu, setelah membunuh Ah Fei pun dia masih punya cukup banyak waktu untuk melarikan diri.

Tapi siapa sangka, di saat yang genting itu tangan Ah Fei tiba-tiba teracung. Ia bergerak belakangan, tapi menyerang lebih dulu!

Dan E hanya merasa kerongkongannya sedingin es. Lalu ada rasa sakit menyertai hawa dingin itu. Nafasnya berhenti, seakan-akan tercekik.

Mukanya menunjukkan rasa tidak percaya…. Ia tahu gerakan pemuda ini memang sangat cepat, tapi apakah yang digunakan pemuda ini untuk menusuk lehernya?

Ia tidak akan pernah tahu.

Dan E pun rubuh.

Ah Fei bangun berdiri, mengatur nafasnya.

Saat itu, Xin Hu dan yang lain telah tiba. Mereka terkejut luar biasa, karena tidak ada yang menyangka bahwa pemuda ini, dalam kondisi seperti itu, dapat membunuh Dan E.

Batangan es menembus tenggorokan Dan E.

Es itu mulai mencair.

Pemuda ini hanya membutuhkan sebatang es untuk membunuh salah satu dari tujuh pendeta tetua Shaolin.

Xin Hu hanya bisa menatap wajahnya yang putih pucat itu. Tidak tahu harus bicara apa.

Ah Fei pun tidak memandang mereka sekilas pun. Ia langsung berjalan menuju Li Xun Huan, langsung tersenyum.

Li Xun Huan pun tersenyum.

Suara Xin Hua masih lemah. “Maukah kalian berdua tidak mampir dulu ke….”
Ah Fei memotongnya cepat, “Apakah Li Xun Huan adalah Si Bandit Bunga Plum?”

Sahut Xin Hu, “Bukan.”

“Apakah aku adalah Si Bandit Bunga Plum?”

“Bukan.”

Kata Ah Fei, “Kalau begitu, kami boleh pergi sekarang?”

Xin Hu memaksakan tersenyum. “Tentu saja. Tapi kupikir kalian sebaiknya beristirahat di sini….”

Ah Fei memotongnya lagi, “Jangan repot-repot. Sekalipun aku harus merangkak, aku akan merangkak turun gunung sekarang juga.”

Xin Zhu dan Xin Deng, keduanya menunduk dalam-dalam. Tidak ada seorang pun yang berani bersikap kurang ajar terhadap Ketua Shaolin selama beratus-ratus tahun. Namun saat ini mereka hanya dapat menelannya bulat-bulat.

Ah Fei meraih lengan Li Xun Huan dan berjalan keluar Shaolin.

Li Xun Huan memutar badannya dan berkata, “Hari ini kita berpisah. Jika kita bertemu kembali, lupakanlah kekasaran kami hari ini.”

Kata Xin Shu, “Mari kuantar kalian.”

Sahut Li Xun Huan, “Mengantar, seperti tidak mengantar. Tidak mengantar, seperti mengantar. Mengapa Pendeta harus membuat perbedaan?”

Waktu mereka lenyap dari pandangan, Xin Hu menghela nafas panjang. Ia tidak berkata apa-apa, namun diam terkadang lebih menyakitkan dari banyak kata-kata.

Xin Zhu tiba-tiba berkata, “Saudaraku, sesungguhnya kau jangan membiarkannya pergi.”

Tanya Xin Hu, “Mengapa?”

“Walaupun Li Xun Huan tidak mencuri kitab-kitab itu, ataupun membunuh Saudara Kedua, kita masih belum bisa membuktikan bahwa dia bukanlah Si Bandit Bunga Plum.”

Tanya Xin Hu lagi, “Lalu bagaimana kita membuktikannya?”

Jawab Xin Zhu, “Ia dapat membuktikannya dengan menangkap Si Bandit Bunga Plum yang sebenarnya.”

Xin Hu kembali mendesah. “Aku tahu, ia pasti akan menangkapnya dan membawanya ke sini. Itu tidaklah penting. Namun enam kitab itu….”

Walaupun pencurinya telah tertangkap, kitab-kitab itu belum ditemukan. Kepada siapa diberikannya kitab-kitab itu?

Siapa sebenarnya yang berdiri di balik semua ini?

Li Xun Huan tidak suka berjalan, lebih-lebih berjalan di atas salju. Namun kali ini ia tidak punya pilihan. Walaupun angin dingin mengiris kulitnya, tidak ada kereta yang dapat ditumpangi.

Tapi Ah Fei telah terbiasa berjalan. Dalam benak orang lain, berjalan itu sangat melelahkan, namun bagi Ah Fei, berjalan itu menenangkan. Dengan lebih banyak berjalan, lebih banyak juga tenaganya dipulihkan.

Mereka berbagi cerita dan Li Xun Huan pun mulai berpikir. Katanya, “Kau bukan Si Bandit Bunga Plum. Aku juga bukan. Lalu siapa?”

Ah Fei memandang ke kejauhan. “Ia sudah mati.”

Li Xun Huan berkata, “Apa betul ia sudah mati? Apa betul yang kaubunuh itu Si Bandit Bunga Plum?”

Ah Fei diam saja.

Li Xun Huan tiba-tiba terkekeh. “Pernahkah kau terpikir bahwa Si Bandit Bunga Plum bukan seorang laki-laki?”

“Jika ia bukan laki-laki, lalu apa?”

Li Xun Huan tersenyum. “Jika ia bukan laki-laki, maka ia pasti seorang wanita!”

Bab 25. Pedang yang Kejam, Ahli Pedang yang Lembut Hati

Ah Fei tidak bisa menahan tawanya mendengar pendapat Li Xun Huan bahwa Si Bandit Bunga Plum adalah seorang wanita. “Bagaimana dia bisa memperkosa wanita?”

Kata Li Xun Huan, “Di sinilah kelicikannya. Dengan begitu, tidak seorang pun mengira bahwa Si Bandit Bunga Plum adalah seorang wanita.”

“Tapi mana caranya wanita bisa memperkosa wanita?”

Li Xun Huan terkekeh. “Ada satu cara.”

Ia terbatuk sedikit, lalu melanjutkan, “Jika memang benar Si Bandit Bunga Plum adalah seorang wanita, ia bisa saja menggunakan laki-laki untuk mengerjakan perkerjaan hina itu. Sesudah itu, pada waktu yang tepat laki-laki itu pun dibunuhnya.”

Kata Ah Fei, “Kau berpikir terlalu jauh.”

Kata Li Xun Huan, “Mungkin kau benar, tapi lebih baik berpikir terlalu jauh daripada tidak berpikir sama sekali.”

Kata Ah Fei lagi, “Si Bandit Bunga Plum mula-mula muncul tiga puluh tahun yang lalu. Paling tidak sekarang usianya sudah lebih dari 50 tahun.”

Sahut Li Xun Huan, “Si Bandit Bunga Plum tiga puluh tahun yang lalu dan yang sekarang, mungkin bukan orang yang sama. Mereka bisa jadi guru dan murid, atau ayah dan anak.”

Ah Fei terdiam.

Li Xun Huan pun diam untuk beberapa lama. Lalu ia berkata, “Bai Xiao Sheng tidak mungkin adalah otak pencurian kitab-kitab itu, karena tidak mungkin ia bisa membujuk Xin Jian untuk mengambil resiko sebesar itu baginya.”

“O ya?”

Li Xun Huan melanjutkan, “Sebelum Xin Jian masuk ke Shaolin, ia sudah terkenal. Jika ia menginginkan harta, ia bisa mendapatkannya. Jadi motifnya pasti bukan uang.”

“O ya?”

“Walaupun ilmu silat Bai Xiao Sheng cukup tinggi, pasti tidak dapat menakut-nakuti Pendeta Shaolin.”

Kata Ah Fei, “Mungkin ia tahu sesuatu yang dapat dipakai untuk memeras Xin Jian.”

Tanya Li Xun Huan, “Sesuatu apa? Sebelum ia masuk ke Shaolin, apapun yang dilakukan Dan E tidak ada sangku-pautnya dengan Xin Jian, karena engkau harus melepaskan diri dari kehidupanmu di masa lalu sebelum menjadi seorang pendeta. Bai Xiao Sheng tidak dapat menggunakan apa yang diperbuatnya di masa lalu untuk mengancamnya. Dan setelah Dan E masuk ke Shaolin, kejahatan apa yang mungkin diperbuatnya?”

“Kenapa tidak mungkin?”

“Jika ia ingin berbuat jahat, tidak ada gunanya masuk ke Shaolin. Semua orang tahu bagaimana ketatnya peraturan Shaolin. Jadi ia tidak mungkin mengambil resiko, kecuali…..”

Tanya Ah Fei, “Kecuali apa?”

Sahut Li Xun Huan, “Kecuali ada sesuatu yang dapat menggerakkan hatinya. Dan ini pasti bukan ketenaran, bukan juga uang.”

Tanya Ah Fei lagi, “Lalu apa yang dapat mendorong seseorang berbuat seperti ini?”

Sahut Li Xun Huan, “Hanya kecantikan yang tiada taranya.”

“Si Bandit Bunga Plum?”

Jawab Li Xun Huan, “Betul sekali. Hanya kecantikan yang memukaulah yang dapat membuat dia mengkhianati Shaolin dan mencuri kitab-kitab itu.”

Kata Ah Fei, “Bagaimana kau bisa menebak bahwa Si Bandit Bunga Plum pasti adalah seorang wanita cantik?”

Li Xun Huan terdiam sejenak sebelum menjawab, “Mungkin aku salah…. Kuharap aku salah….”

Ah Fei tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan menatap Li Xun Huan. “Apakah kau akan kembali ke Puri Awan Riang?”

Li Xun Huan tersenyum sedikit, jawabnya, “Aku tidak tahu ke mana lagi harus pergi.”

***

Malam gelap gulita.

Hanya ada sebatang lilin yang menyala di rumah itu.

Li Xun Huan menatap kosong ke arah cahaya lilin itu sampai cukup lama. Ia mengambil sapu tangan, menutup mulutnya dan mulai batuk-batuk.

Terlihat darah mengotori sapu tangan itu, yang kini dimasukkan kembali ke dalam sakunya. Lalu katanya sambil tersenyum, “Aku tidak ingin lagi masuk.”

Tanya Ah Fei, “Mengapa?”

Sahut Li Xun Huan, “Tidak tahu. Aku sering tidak tahu mengapa aku melakukan sesuatu.”

Kata Ah Fei, “Long Xiao Yun memperlakukanmu seperti itu, dan kau tidak ingin mencarinya?”

Li Xun Huan hanya tersenyum dan berkata, “Tapi ia tidak bersalah…. Karena seseorang tidak pernah dapat disalahkan untuk apapun yang diperbuat demi istri dan anaknya.”

Ah Fei memandangnya sangat sangat lama. Lalu ia menundukkan kepalanya, katanya, “Kau memang benar-benar orang aneh. Tapi kau juga adalah seorang sahabat yang tak mungkin terlupakan.”

Kata Li Xun Huan, “Tentu saja kau tidak akan melupakan aku, karena kita akan berjumpa lagi di lain hari.”

Ah Fei terkejut. “Tapi…Tapi sekarang….”

Li Xun Huan meneruskan kata-katanya, “Tapi sekarang, ada yang harus kau lakukan. Jadi, pergi dan lakukanlah.”

Mereka berdua berdiri mematung di situ tanpa kata-kata.

Angin berhembus kencang membelah dataran itu.

Dari jauh kedengaran suara kentongan. Jauh sekali, hingga suaranya bagaikan air mata yang jatuh ke atas rumput.

Tidak ada bintang, tidak ada bulan, hanya kabut yang tebal….

Li Xun Huan tiba-tiba tertawa dan berkata, “Hari ini berkabut. Besok hari pasti cerah.”

Sahut Ah Fei, “Ya.”

Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya dan ia tidak dapat melanjutkan bicaranya.

Ia melompati dinding yang tinggi itu, dan terlihat olehnya lilin di kamar Lin Xian Er masih menyala. Sesosok bayangan wanita terbayang di jendela kertas itu.

Hati Ah Fei tercekat.

Orang yang berada di dalam seakan-akan sedang membaca buku, dan sebentar-sebentar merenung.

Ah Fei membuka pintu.

Setelah pintu terbuka, terlihatlah wajah yang menawan itu. Setelah pintu terbuka, kakinya tidak mampu melangkah lebih jauh.

Lin Xian Er menoleh. Ia terperanjat melihat siapa yang datang, namun kemudian tersenyum.

“Oh, kau yang datang,” katanya.

Kata Ah Fei, “Aku yang datang.”

Ia mendengar suaranya sendiri terasa sangat jauh. Sampai-sampai ia sulit mendengarnya.

Lin Xian Er mendekapkan tangannya ke dadanya, lalu berkata, “Lihat, kau sudah mengagetkan aku.”

Kata Ah Fei, “Kau pikir aku sudah mati, jadi kau begitu terkejut melihat aku, bukan?”

Lin Xian Er mengerjapkan matanya yang indah, “Kau ini bicara apa? Ayo cepat masuk, nanti kau masuk angin.”

Ia segera menarik tangan Ah Fei masuk ke dalam kamarnya.

Ah Fei menarik tangannya dari genggaman Lin Xian Er.

Lin Xian Er berkata dengan manis, “Kau sedang marah ya? Dengan siapa? Mari kubantu engkau.”

Ia berusaha memeluk Ah Fei, namun Ah Fei mendorongnya pergi.

Lin Xian Er kehilangan keseimbangannya dan jatuh terduduk.

Air mata mengambang di matanya yang bening. “Apakah aku yang membuat kau marah? Mengapa kau memperlakukan aku seperti ini? Apa kesalahanku? Katakan saja padaku dan aku pun tak akan mati dengan menyesal.”

Ah Fei mengepalkan tangannya.

Ia baru saja melihat buku apa yang sedang dibaca oleh Lin Xian Er. Kitab suci agama Budha.

Kitab suci dari Kuil Shaolin.

Ah Fei menatapnya, seolah-olah ia tidak mengenal orang ini.

Lalu Ah Fei berkata dengan dingin, “Apa yang kau lakukan? Kau tahu bahwa waktu aku melangkah masuk ke dalam rumah Saudara Ketiga Shen jiwaku akan melayang.”

Kata Lin Xian Er, “Ap…Apa maksudmu?”

Kata Ah Fei, “Waktu Bai Xiao Sheng dan Xin Jian memberikan kitab Shaolin itu padamu, kau menyuruh mereka memasang perangkap di rumah Saudara Ketiga Shen.”

Lin Xian Er menggigit bibirnya kuat-kuat. Katanya, “Kau berpikir bahwa aku ingin mencelakaimu?”

Sahut Ah Fei, “Sudah pasti. Hanya kau seorang yang tahu bahwa aku akan datang ke rumahnya malam itu.”

Lin Xian Er menutupi wajahnya dengan tangannya dan menangis lagi. “Tapi, kenapa aku ingin mencelakaimu? Kenapa?”

“Karena kaulah Si Bandit Bunga Plum!”

Wajah Lin Xian Er bengong seperti baru saja dipecut seseorang tiba-tiba. Ia langsung melompat dan berseru, “Aku adalah Si Bandit Bunga Plum? Berani-beraninya kau bilang bahwa aku adalah Si Bandit Bunga Plum?”

Sahut Ah Fei tegas, “Ya, kaulah Si Bandit Bunga Plum.”

Kata Lin Xian Er, “Si Bandit Bunga Plum kan sudah mati. Kau….”

Ah Fei segera memotongnya, “Aku hanya membunuh salah seorang bonekamu, supaya kau dapat mengalihkan kecurigaan orang dari dirimu.”

Ia melanjutkan lagi, “Kau tahu bahwa Rompi Benang Emas ada pada Li Xun Huan, dan kau tahu bahwa ia tidak akan tertipu olehmu. Maka kau ada dalam bahaya besar. Oleh sebab itulah, kau undang dia datang ke bilikmu malam itu.”

Sahut Lin Xian Er, “Aku memang punya janji bertemu dengan dia malam itu, karena saat itu aku belum mengenal engkau.”

Ah Fei tidak menggubrisnya. “Kau suruh bonekamu itu pura-pura menculikmu, supaya Li Xun Huan datang menyelamatkanmu dan membunuhnya. Jika seluruh dunia tahu bahwa Si Bandit Bunga Plum sudah mati, tidak akan ada yang bisa mencurigaimu.”

Lin Xian Er pun menjadi tenang. Ia hanya berkata, “Teruskan.”

Kata Ah Fei, “Tapi kau tidak menyangka bahwa Li Xun Huan dijebak orang lain, dan lebih tidak menyangka lagi bahwa aku akan muncul.”

Kata Lin Xian Er, “Jangan lupa, aku pun menyelamatkan engkau.”

“Betul sekali.”

“Jika aku adalah Si Bandit Bunga Plum, mengapa aku menolongmu?”

Sahut Ah Fei, “Karena rencanamu gagal, dan pada saat itu, bagimu aku lebih berguna dalam keadaan hidup. Waktu tidak ada seorang pun yang datang memeriksa bilikmu saat itu, aku mulai curiga.”

Tanya Lin Xian Er, “Kau pikir aku bersekongkol dengan Long Xiao Yun dan yang lain untuk menjatuhkan Li Xun Huan?”

Jawab Ah Fei, “Tentu saja mereka tidak tahu rencanamu. Kau hanya memanfaatkan mereka. Lagi pula, Long Xiao Yun sudah lama membenci Li Xun Huan. Jadi ia pasti tidak keberatan ikut dalam rencanamu.”

Kata Lin Xian Er, “Apakah ini semua ide Li Xun Huan?”

Sahut Ah Fei, “Kau pikir semua laki-laki di dunia ini adalah orang tolol, boneka yang bisa kau permainkan. Waktu Li Xun Huan tidak kena kau kibuli, kau segera memasang merangkap untuk melenyapkan dia.”

Ah Fei merasa suaranya mulai bergetar. Ia mengertakkan giginya dan melanjutkan, “Kau bukan hanya licik dan berdarah dingin. Kaupun sangat rakus, sampai tega merampok kitab suci Shaolin. Kau….. Kau…..”

Lin Xian Er mendesah. “Sepertinya aku salah menilai engkau.”

Sahut Ah Fei, “Tapi aku tidak salah menilai engkau!”

Kata Lin Xian Er, “Jika kukatakan bahwa bukan Dan E dan Bai Xiao Sheng yang memberikan kitab-kitab ini padaku, kau tak akan percaya bukan?”

Kata Ah Fei, “Apapun yang kau katakan, selamanya aku tidak akan pernah percaya padamu lagi.”

Lin Xian Er tertawa. “Sekarang aku mengerti engkau, mengerti hatimu….”

Sambil berbicara, ia melangkah mendekati Ah Fei. Langkahnya pasti.

Angin menderu dan cahaya lilin pun bergoyang-goyang.

Cahaya lilin menerangi wajahnya yang ayu, yang bersimbah air mata. Ia menatap Ah Fei lekatlekat dan berkata, “Aku tahu kau datang untuk membunuhku, bukan?”

Ah Fei hanya mengepalkan tangannya dan mengatupkan bibirnya.

Ia menunjuk ke dadanya. “Kau ada pedang, mengapa belum juga kau bunuh aku? Aku harap kau tusuk aku di sini, tepat di hatiku.”

Pedang Ah Fei telah tergenggam di tangannya.

Lin Xian Er memandangnya sayu, katanya, “Bunuhlah aku. Aku berbahagia bisa mati di tanganmu.”

Ah Fei tidak sanggup memandangnya. Ia memandang ke arah pedangnya. Matanya penuh perasaan. Penuh kelembutan, penuh kasih, namun juga penuh kebencian….

Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang dapat menggetarkan hati laki-laki lebih kuat daripada sepasang mata ini.

Secercah sinar terpancar di sudut matanya. “Kau adalah orang yang paling kusayangi di dunia ini. Jika kau pun tak mempercayai aku, tidak ada alasan lagi bagiku untuk hidup lebih lama.”
Ah Fei menggenggam pedangnya erat-erat, sampai jari-jarinya merasa sakit.

Lanjut Lin Xian Er, “Jika kau pikir aku adalah Si Bandit Bunga Plum, aku adalah wanita yang menjijikkan, bunuh sajalah aku. Aku….Aku tidak akan menyalahkan engkau.”

Tangan Ah Fei mulai bergetar.

Pedang yang kejam. Pedang memang kejam. Namun hati manusia?
Bagaimana mungkin manusia tidak berperasaan?
Cahaya lilin pun padam.
Namun kecantikan Lin Xian Er kian berkilau dalam kegelapan.
Ia tidak mengatakan apa-apa. Namun dalam kegelapan, suara nafasnya pun terdengar sungguh menghanyutkan, menghangatkan hati yang mendengar.

Adakah kekuatan yang lebih besar daipada kekuatan cinta?

Melihat wanita seperti ini, mengingat perasaan terdalam yang pernah dialaminya seumur hidupnya, memandang kegelapan tak berujung itu…..
Bagaimana mungkin Ah Fei membunuhnya?
Pedang memang kejam! Namun si ahli pedang memang lembut hati!


Bab 26. Orang Aneh di Warung Kecil

Musim gugur, daun-daun berguguran.
Di ujung jalan itu terlihat sebuah puri besar. Namun seperti daun-daun di musim gugur, telah tiba waktunya untuk runtuh.

Di depannya tampak pintu besar yang kelihatannya tidak pernah dibuka lebih dari satu tahun.

Pegangan tembaganya sudah penuh dengan karat.

Sudah begitu lama tidak terdengar suara apapun dari dalam. Hanya suara jangkrik dan burung gereja.

Namun demikian, tidak selamanya puri itu seperti sekarang ini. Tujuh Jin Shi dan tiga Tan Hua pernah hidup di sini, termasuk satu di antaranya yang merupakan pahlawan gagah dunia persilatan.

Namun dua tahun yang lalu, puri ini berganti pemilik, dan begitu banyak kejadian menegangkan terjadi di sini. Begitu banyak pesilat tangguh mati di sini.

Setelah itu, puri ini menjadi sunyi senyap.

Orang-orang tidak tahu apa yang terjadi. Ada yang bilang sepertinya ada hawa kejahatan yang menyelimutinya.

Kini, tidak lagi terdengar suara tawa dari dalam. Tidak ada lagi lentera yang menerangi di malam hari. Hanya sebatang lilin yang menyala di ruangan kecil di bagian belakang.

Seolah-olah orang di dalam itu sedang menantikan kedatangan seseorang. Tapi siapa yang dinanti-nantikannya?

***

Sekotor apapun, segelap apapun suatu tempat, ada saja orang yang mau tinggal di situ.

Mungkin karena orang itu tidak punya tempat tinggal lain, atau mungkin orang itu sudah bosan dengan kehidupan, lebih suka bersembunyi dalam kegelapan, menunggu orang-orang melupakannya.

Di jalan kecil ini ada sebuah warung kecil. Warung ini menjual makanan dan arak di depan, dan di belakang adalah beberapa kamar untuk penginapan. Pemiliknya, Si Bungkuk Sun, adalah seorang cacad.

Walaupun ia tahu bahwa tempat itu bukan tempat yang baik untuk bisnis, ia tidak mau memindahkan warungnya.

Ia memilih hidup sebatang kara di situ, tidak mendengar suara tawa gembira orang lain, karena ia tahu uang tidak bisa membeli ketenangan hidup.

Tentu saja ia kesepian.

Kira-kira setahun yang lalu, seorang pelanggan yang aneh datang ke warungnya. Sebenarnya, ia tidak mengenakan pakaian yang aneh, ataupun bertampang aneh.

Walaupun ia cukup jangkung dan berwajah cukup lumayan, ia kelihatan sangat lemah, selalu sakit-sakitan dan tidak henti-hentinya batuk.

Ia benar-benar tampak seperti orang biasa.

Namun Si Bungkuk Sun langsung tahu bahwa ia lain dari yang lain.

Ia tidak menertawai Sun karena punggungnya yang bungkuk, tapi ia juga tidak peduli dan tidak menunjukkan sedikitpun rasa simpati.

Ia tidak pilih-pilih tentang arak, juga tidak menilai. Ia tidak banyak bicara.

Yang aneh, setelah ia masuk ke warung itu, ia tidak pernah keluar lagi.

Pertama kali ia datang, ia memilih meja di sudut. Ia memesan tahu kering, daging sapi, dua kerat roti dan tujuh guci arak.

Setelah ia menghabiskan araknya, ia meminta Si Bungkuk Sun untuk membawakan lagi tujuh guci. Lalu ia tidur di kamar paling pojok di penginapan itu, dan bangun esok senja.

Waktu ia keluar, ketujuh guci araknya sudah pasti habis ludes.

Itu sudah berlangsung satu tahun, kini. Tiap malam, sudut yang sama, makanan yang sama, tahu kering, daging sapi, dua kerat roti dan tujuh guci arak.

Ia minum sambil terbatuk-batuk. Setelah habis, ia akan membawa tujuh guci lagi masuk ke dalam kamarnya, dan tidak muncul lagi sampai malam berikutnya.

Si Bungkuk Sun juga seorang peminum, tapi ia kagum pada orang ini. Baru kali ini ia melihat orang minum 14 guci dan tidak mabuk.

Kadang-kadang ia ingin bertanya pada orang itu, tapi diurungkannya. Ia tahu bahwa ia tidak akan mendapat jawaban.

Si Bungkuk Sun pun bukan orang yang senang ngobrol.

Ini sudah terjadi berbulan-bulan, ketika hawa menjadi sangat dingin dan hujan terus menerus beberapa hari. Si Bungkuk Sun pergi ke belakang untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Ia melihat jendela kamar pojok itu terbuka. Ia melongok ke dalam dan terlihat si orang aneh itu telentang di lantai dengan wajah sangat merah, seolah-olah berlumuran darah.

Si Bungkuk Sun segera membaringkannya di tempat tidur dan pergi mencari obat, memasaknya dan merawatnya selama tiga hari. Sampai ia bisa bangkit dari tempat tidur dan meminta arak lagi.

Saat itu tahulah Si Bungkuk Sun bahwa orang itu memang ingin mati. Jadi ia berusaha menasihatinya, “Tidak ada orang yang bisa hidup kalau minum arak terus seperti ini.”

Tapi orang itu hanya tersenyum. Ia bertanya, “Bagaimana kau tahu kalau minum arak akan memperpendek umurku?”

Si Bungkuk Sun tidak bisa menjawab.

Sejak hari itu, mereka menjadi sahabat.

Jika tidak ada tamu lain, mereka akan minum bersama, mengobrol ngalor ngidul. Si Bungkuk Sun jadi tahu, orang ini cukup terpelajar.

Ia hanya tidak mau bicara tentang dua hal, masa lalunya dan namanya.

Suatu ketika Si Bungkuk Sun bertanya, “Kita kan sekarang berteman, bagaimana aku memanggilmu?”

Ia berpikir sebentar lalu menjawab, “Aku kan seorang pemabuk, panggil saja aku seperti itu.”

Si Bungkuk Sun pun jadi paham bahwa orang ini pasti mempunyai masa lalu yang tragis, sampaisampai ia tidak mampu menyebutkan namanya sendiri, dan lebih memilih untuk tenggelam dalam anggurnya.

Selain anggur, orang ini punya satu kesukaan lain.

Mengukir.

Ia selalu menggunakan pisau kecilnya untuk mengukir potongan-potongan kayu. Namun Si Bungkuk Sun tidak pernah tahu apa yang diukirnya, karena ia tidak pernah menyelesaikan ukirannya itu.”

Tamu ini memang benar-benar aneh, bahkan bisa dibilang, menakutkan.

Namun Si Bungkuk Sun berharap dia tidak akan pernah pergi.

Pagi ini cuaca sungguh dingin. Si Bungkuk Sun harus mengenakan mantel tebalnya untuk keluar membuka warungnya.

Lalu dilihatnya dua orang menunggang kuda datang ke arah warungnya.

Tidak banyak orang yang menunggang kuda di daerah ini, jadi Si Bungkuk Sun memperhatikan dengan seksama.

Kedua orang ini mengenakan jubah panjang berwarna kuning. Orang yang di depan bermata besar, dan yang di belakang berhidung runcing. Keduanya berambut pendek dan berusia sekitar 30-an.

Kedua orang ini tidak tampak luar biasa, hanya jubah mereka yang kuning sangat menyolok. Mereka tidak memperhatikan Si Bungkuk Sun. Mereka hanya mengawasi keadaan sekitar.

Ia tahu bahwa kedua orang ini tidak menyadari kehadirannya.

Kedua orang ini terus melewati warungnya dan lenyap dari pandangan. Namun sebentar kemudian, mereka kembali lagi.

Anehnya, kali ini mereka turun dari kuda tepat di depan warung itu.

Walaupun tabiat Si Bungkuk Sun sering juga aneh, ia masih ingin berdagang. Oleh sebab itu segera ia bertanya, “Apa yang Tuan-Tuan perlukan?”

Si mata besar berkata, “Kami tidak perlu apa-apa, kami hanya ingin bertanya.”

Si Bungkuk Sun meneruskan pekerjaannya. Ia memang tidak gemar bercakap-cakap.

Si hidung runcing pun tertawa dan berkata, “Bagaimana jika kami membeli jawaban darimu? Satu tail perak untuk tiap jawaban.”

Mata Si Bungkuk Sun pun menjadi cerah. Ia mengangguk dan menjawab, “Boleh.”

Seraya menjawab, ia mengacungkan satu jari.

Si mata besar tertawa. “Tadi sudah termasuk satu jawaban?”

Si Bungkuk Sun menjawab, “Ya.”

Kini dua jari teracung.

Si hidung runcing bertanya, “Sudah berapa lama kau tinggal di sini?”

Si Bungkuk Sun menjawab, “Dua puluh tahun lebih.”

Si hidung runcing bertanya lagi, “Siapa yang tinggal di puri di seberang warungmu itu?”

“Keluarga Li.”

Si hidung runcing kembali bertanya, “Siapa pemiliknya setelah itu?”

“Marganya Long, namanya Long Xiao Yun.”

Lagi ia bertanya, “Pernahkah kau melihat dia?”

“Tidak.”

“Di mana dia sekarang?”

“Ia sudah pergi.”

“Kapan?”

“Kira-kira setahun yang lalu.”

“Ia tidak pernah kembali lagi sejak itu?”

“Tidak.”

“Jika kau tidak pernah melihat dia, bagaimana kau tahu begitu banyak?”

“Tukang masaknya sering datang membeli arak ke sini.”

Si hidung runcing berpikir beberapa saat lalu bertanya, “Belakangan ini, adakah orang asing yang datang ke sini dan bertanya-tanya?”

“Tidak. Jika ada….aku pasti sudah kaya raya.”

Si mata besar tersenyum. “Ini upahmu.”

Ia melemparkan beberapa koin perak, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, mereka menaiki kuda mereka dan pergi.

Si Bungkuk Sun memandangi uang perak itu dan menggumam, “Kadang-kadang aku tidak bisa percaya begitu mudahnya mendapatkan uang.”

Ia membalikkan badannya, dan kaget karena si pemabuk itu sudah berada tetap di belakangnya.

Ia memandang ke arah kedua penunggang kuda itu pergi.

Si Bungkuk Sun tersenyum. “Kau bangun pagi sekali hari ini.”

Si pemabuk pun tersenyum. “Semalam aku minum cepat sekali. Jadi aku sudah sadar lagi pagi-pagi.”

Ia menunduk dan terbatuk, lalu bertanya, “Hari ini tanggal berapa?”

Kata Si Bungkuk Sun, “Tanggal 14 bulan 9.”

Wajah si pemabuk yang pucat menjadi bersemu merah. Ia memandang ke kejauhan dan terdiam cukup lama. Lalu ia bertanya, “Jadi besok adalah tanggal 15 bulan 9, bukan?”

Si pemabuk sepertinya masih ingin bicara, namun ia mulai terbatuk-batuk. Dan ia terus terbatuk-batuk.

Si Bungkuk Sun mengeluh sambil menggelengkan kepalanya. “Jika seuma orang minum arak sebanyak engkau, semua penjual arak akan jadi orang kaya.”

Senja pun tiba dan di kejauhan cahaya lilin tampak di ruangan kecil di bagian belakang.

Si pemabuk pun tetap minum di tempatnya yang biasa.

Bab 27. Makin Banyak Orang Aneh yang Datang

Hari ini si pemabuk tampak berbeda. Ia minum sangat sangat lambat. Matanya sangat terang.

Tidak ada potongan kayu di tangannya dan secara khusus dipindahkannya lilin di mejanya ke tempat lain.

Matanya terus memandang ke pintu, seolah-olah menantikan kedatangan seseorang.

Namun waktu terus berlalu tanpa ada tamu lain yang datang.

Si Bungkuk Sun menguap. “Sepertinya sudah tidak akan ada tamu lagi. Aku rasa sudah waktunya tutup warung.”

Si pemabuk tertawa. Katanya, “Jangan buru-buru. Kujamin, hari ini bisnismu akan luar biasa.”

Si Bungkuk Sun bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu?”

Jawab si pemabuk, “Karena aku bisa meramal.”

Ia memang benar-benar bisa meramal, karena sebentar saja, beberapa kelompok orang telah datang ke warung itu.

Kelompok yang pertama terdiri dari dua orang.

Yang satu adalah orang tua berambut putih, berbaju biru dan membawa sebuah pipa. Yang satu lagi adalah seorang gadis kecil, kelihatannya adalah cucu orang tua itu. Rambutnya yang hitam berkilauan itu dikuncir dua. Kedua matanya besar, lebih hitam dan lebih berkilauan daripada rambutnya.

Kelompok yang kedua juga terdiri dari dua orang.

Keduanya terlihat kotor dan berantakan, namun mereka berdua berbadan kekar dan mengenakan pakaian yang sama persis, dan membawa senjata yang sama pula. Seperti pinang dibelah dua.

Kelompok yang ketiga terdiri dari empat orang.

Yang seorang bertubuh jangkung, yang seorang bertubuh pendek, yang seorang adalah seorang pemuda berbaju ungu dan membawa tombak di punggungnya, dan yang seorang lagi seorang wanita berbaju hijau yang mengenakan begitu banyak perhiasan. Wanita ini berjalan sambil menggoyangkan pantatnya seperti seorang gadis kecil. Padahal ia sudah cukup tua untuk menjadi ibu seorang gadis kecil.

Kelompok yang terakhir hanya terdiri dari satu orang.

Orang ini sangat sangat kurus. Ia membawa pedang lemas yang tersemat di pinggangnya.

Di ruangan itu ada lima meja, sehingga keempat kelompok ini sudah memenuhi seluruh warung. Si Bungkuk Sun menjadi sangat sibuk. Ia hanya bisa berharap besok warungnya tidak selaris ini lagi.

Keempat kelompok orang ini hanya duduk-duduk sambil minum arak. Mereka berbicara sedikit saja. Kalaupun berbicara, mereka berbisik-bisik, seolah-olah takut yang lain akan mendengar.

Setelah beberapa saat, si pemuda bertombak mulai memandang si gadis berkuncir. Anehnya si gadis itu tampak tidak peduli.

Si pemuda itu tiba-tiba tertawa. “Apakah gadis ini seorang penyanyi?”

Si gadis berkuncir menggelengkan kepala, sehingga kuncirnya berkibar-kibar ke kiri ke kanan. Ia tampak makin cantik.

Kata si pemuda, “Walaupun kau bukan penyanyi, pastilah kau bisa menyanyi. Jika kau menyanyi dengan baik, aku akan memberimu hadiah.”

Si gadis berkuncir menyahut, “Aku tidak bisa menyanyi, aku hanya bisa bicara.”

“Bicara tentang apa?”

“Tentang buku, atau cerita.”

Kata si pemuda, “Oh, itu lebih bagus. Tapi cerita macam apakah yang akan kau ceritakan? Pelajar dan gadis yang bertemu di taman? Anak perempuan menteri mencari jodoh?”

Si gadis berkuncir menggelengkan kepalanya. Katanya, “Salah semua. Aku bercerita tentang kabar terbaru dan terhangat dari dunia persilatan.”

Si pemuda bertepuk tangan senang. “Hebat. Hebat. Aku jamin, cerita itulah yang paling diminati semua orang di sini. Ayo cepat mulai.”

Sahut si gadis berkuncir, “Tapi bukan akulah yang bisa, hanya kakekkulah yang akan bercerita.”

Si pemuda memandang si orang tua, lalu bertanya pada si gadis, “Lalu apa yang kau bisa?”

“Aku hanya dapat membantu kakekku.”

Si orang tua minum beberapa cawan arak, lalu mulai mengisap pipanya. Ia bekata perlahan-lahan, “Pernahkah kau dengar nama Li Xun Huan?”

Selain si pemuda, orang-orang lain di warung itu tidak memperhatikan kakek dan cucu ini.

Namun ketika mereka mendengar nama Li Xun Huan disebut, telinga mereka langsung berdiri.

Si gadis berkuncir menjawab sambil tersenyum, “Tentu saja pernah. Ia adalah seorang pahlawan yang gagah, Li Tan Hua Kecil yang terkenal itu, bukan?”

Jawab si orang tua, “Tepat sekali.”

Si gadis berkuncir berkata, “Kudengar Pisau Terbang Li Kecil tidak pernah luput. Sampai hari ini, tidak ada seorang pun yang dapat lolos darinya. Apakah memang begitu?”

Sahut si orang tua, “Jika kau tidak percaya, kau boleh tanya pada si serba tahu Bai Xiao Sheng, atau Si Anak Lima Racun, dan kau pun akan mengerti apakah perkataan itu benar atau tidak.”

Tanya si gadis berkuncir, “Maksudmu Bai Xiao Sheng dan Si Anak Lima Racun sudah mati?”

“Ya. Mereka mati karena mereka tidak percaya akan perkataan itu.”

Orang kurus jangkung itu terbatuk perlahan, namun semua orang telah hanyut dalam cerita itu, sehingga mereka tidak memperhatikan.

Hanya si pemabuk yang tertelungkup di atas mejanya, sepertinya ia sudah mabuk berat.

Si orang tua menyeruput tehnya, lalu berkata, “Sayangnya, Li Xun Huan pun sudah mati.”

Si gadis berkuncir terperanjat, “Mati? Siapa yang begitu hebat bisa membunuh dia?”

Sahut si orang tua, “Dirinya sendiri!”

Si gadis berkuncir memandang kakeknya beberapa saat, lalu ia tersenyum. “Mana mungkin ia bunuh diri? Ia pasti masih hidup.”

Si orang tua mendesah. Katanya, “Walaupun ia masih hidup, ia pun hidup seperti orang mati…. Sungguh sayang…..”

Si gadis berkuncir pun mendesah. Lalu bertanya, “Selain dia, siapakah lagi yang bisa disebut sebagai pahlawan?”

Kata si orang tua, “Pernahkah kau dengar tentang Ah Fei?”

Si gadis berkuncir menjawab, “Sepertinya pernah dengar.”

Matanya berputar, lalu ia melanjutkan, “Kudengar kecepatan pedangnya tiada duanya di dunia persilatan. Benarkah itu?”

Si orang tua balas bertanya, “Menurutmu bagaimanakah ilmu silat Yi Ku?”

Jawab si gadis berkuncir, “Dalam Kitab Persenjataan, Tangan Setan Hijau menduduki tempat kesembilan. Jadi pastilah dia sangat hebat.”

Tanya si orang tua lagi, “Bagaimana dengan Tuan Suling Besi, Pendeta Xin Jian, Zhao Zheng Yi dan Tian Qi?”

Jawab si gadis berkuncir, “Mereka semua orang-orang terkenal dalam dunia persilatan. Semua orang tahu tentang mereka.”

Kata si orang tua, “Jika pedang Ah Fei tidak terlalu cepat, bagaimana mungkin semua orang ini dikalahkannya?”

Tanya si gadis berkuncir, “Apa yang terjadi pada Ah Fei sekarang?”

Si orang tua menghela nafas. “Seperti Li Tan Hua Kecil, ia pun menghilang. Tidak ada yang tahu di mana ia berada. Hanya saja, ia menghilang hampir bersamaan waktunya dengan menghilangnya Lin Xian Er.”

“Lin Xian Er? Maksudmu wanita yang katanya tercantik di seluruh dunia?”

Jawab si orang tua, “Betul sekali.”

Si gadis berkuncir pun berkata, “Oh, apakah cinta itu? Mengapa banyak orang terperangkap oleh cinta dan tidak dapat lepas…..”

Si pemuda menjadi tidak sabar dan berkata, “Jangan menyimpang dari cerita. Ayo cepat teruskan.”

Si orang tua menggelengkan kepalanya dan berkata, “Orang seperti Ah Fei dan Li Xun Huan sudah tidak ada lagi. Apa lagi yang dapat diceritakan tentang dunia persilatan? Sampai di sini saja.”

Si kurus tertawa dingin, “Mungkin kau salah.”

Kata si orang tua, “Maksudmu, kau punya cerita yang lebih baik?”

Orang itu memandang ke sekelilingnya. “Aku tahu, sesuatu yang luar biasa akan terjadi sebentar lagi.”

Tanya si orang tua, “Kapan? Di mana?”

Si kurus menggebrak meja lalu berseru, “Sekarang, di sini!”

Waktu mendengar ini, kedua orang kembar dan kelompok empat orang itu menjadi pucat. Hanya si wanita berbaju hijau itu saja yang masih tersenyum. Katanya, “Aku tidak melihat ada sesuatu pun yang luar biasa yang sedang terjadi.”

Kata si kurus, “Menurut perhitunganku, setidaknya akan ada enam orang yang mati di sini SEKARANG!”

Si wanita baju hijau bertanya, “Enam orang yang mana?”

Si kurus minum araknya, lalu menjawab, “Hu Fei, Duan Kai Shan, Yang Cheng Zu, Hu Mei, dan dua bersaudara Yang!”

Setelah disebutnya enam nama itu, dua bersaudara dan keempat orang dari kelompok yang ketiga itu pun segera bangkit. Mereka berteriak, “Kau pikir kau ini siapa? Berani-beraninya kau omong kosong di sini!”

Suara yang terkeras sudah pasti adalah suara si orang berotot besar itu, Duan Kai Shan. [Duan Kai Shan artinya Membelah Gunung]

Waktu ia berdiri, ia lebih jangkung daripada semua orang yang lain. Bahkan dua bersaudara Yang yang tinggi besar pun lebih pendek setengah kepala.

Kelihatannya ia masih belum puas mengejek. “Aku rasa kaulah yang sedang sial hari ini. Kau tidak akan hidup lewat tengah malam….”
Belum selesai ia bicara, si kurus mengangkat kakinya menendang dan menampar pipinya tujuh belas kali.

Walaupun Duan Kai Shan punya dua tangan, ia tidak dapat menangkis tamparan itu. Walaupun ia punya dua kaki, ia tidak dapat mengelak dari tamparan itu. Seakan-akan kepalanya dipukul sampai dia linglung, tidak bisa bergerak.

Yang lain hanya bisa memandang dengan heran.

Namun orang itu berkata, “Kau pikir aku ini datang untuk membunuh kalian? Kalian ini tidak berharga untuk kubunuh! Aku hanya ingin memberi kalian pelajaran, supaya kalian belajar sopan santun dalam berbicara.”

Seraya berbicara, ia kembali ke tempat duduknya.

Kata Yang Cheng Zu, “Tunggu dulu. Katakan, siapa yang akan datang untuk membunuh kami?”

Sambil bertanya, ia menghunus tombaknya tiba-tiba.

Ditusukkannya ke arah si kurus.

Orang itu tidak melirik sedikitpun. Katanya, “Orang yang akan membunuh kalian sudah hampir tiba.”

Pinggang si kurus meliuk sedikit dan kini tombak itu telah terjepit di bawah ketiak si kurus. Yang Cheng Zu berusaha keras menariknya kembali, namun tidak berhasil. Wajahnya langsung memucat.

Si kurus kemudian berkata, “Karena kau tidak mungkin lolos, sebaiknya kau tunggu saja di sini dengan tenang.”

Tombak itu pun patah.

Terdengar suara berdesing dan kepala tombak itu sudah menancap di meja. Si kurus menuang arak lagi ke cawannya, seolah-olah tidak ada sesuatu pun yang baru saja terjadi.

Tetapi keenam orang tidak bisa setenang si kurus. Wajah mereka sudah tidak ada warnanya.

Mereka semua sedang berpikir, “Siapakah yang akan datang untuk membunuh kami? Siapa….”

Angin di luar bertiup makin kencang, sampai lentera di dalam pun bergoyang-goyang. Si kurus tetap duduk di situ tanpa bicara.

Siapakah orang ini?

Dilihat dari ilmu silatnya, ia pasti adalah salah satu tokoh dunia persilatan yang hebat. Namun mengapa mereka semua tidak mengenalnya?

Kenapa ia datang ke sini?

Tidak ada seorang pun yang tahu jawabannya. Bagaimana mungkin mereka bernafsu untuk minum arak lagi?

Beberapa dari mereka sudah ingin kabur, tapi mereka tahu itu tindakan pengecut. Lagi pula, bagaimana mereka bisa kabur?

Selagi mereka berpikir-pikir, terdengar suara tawa dingin dari luar.

Wajah keenam orang ini langsung berubah. Dalam tenggorokan mereka seolah-olah tumbuh tumor, sehingga mereka tidak dapat bicara. Bahkan tidak dapat bernafas.

Si Bungkuk Sun amat ketakutan. Namun keenam orang ini lebih lagi ketakutannya.

Empat orang muncul di pintu.

Keempat orang ini semuanya mengenakan jubah panjang berwarna kuning. Satu bermata besar, satu berhidung runcing. Merekalah orang yang datang tadi pagi.

Walaupun mereka sudah di depan pintu, tidak ada seorang pun yang masuk. Mereka berempat hanya berdiri di situ. Wajah mereka pun tidak menakutkan.

Si Bungkuk Sun tidak habis pikir mengapa keenam orang ini sungguh ketakutan melihat mereka. Dari wajah keenam orang itu, seakan-akan empat orang yang baru datang itu bukan manusia, tapi setan dari neraka.

Mereka kini menjadi iri hati terhadap si pemabuk, karena ia tidak melihat apapun, mendengar apapun, sehingga sedikitpun ia tidak merasa takut.

Yang aneh adalah perilaku kelompok yang pertama. Si orang tua itu hampir tidak punya gigi lagi, dan si gadis kecil itu masih sangat muda. Seolah-olah angin sepoi-sepoi pun dapat menerbangkannya.

Namun kedua orang ini tidak menunjukkan sedikitpun rasa takut. Si orang tua masih terus minum arak.

Mereka hanya memandang sekilas ke arah empat orang itu, lalu minggir sedikit.

Seorang pemuda yang masih sangat muda masuk, tangannya ada di balik punggungnya. Ia berjalan pelan-pelan.

Anak muda ini juga mengenakan jubah kuning panjang. Ia kelihatan sangat berwibawa, dan perilakunya penuh tata krama. Perbedaannya dengan keempat orang yang lain hanyalah bahwa jubahnya memiliki garis keemasan di bagian samping.

Akan tetapi, wajahnya sedingin es, tanpa perasaan sedikitpun. Matanya tertuju pada si jangkung kurus.

Si kurus tidak mempedulikan anak muda itu. Ia terus saja minum.

Si anak muda berrjubah kuning itu hanya tersenyum, lalu menoleh ke arah enam orang yang lain.

Perlahan-lahan ia berjalan ke arah mereka, sambil mengeluarkan beberapa koin emas. Lalu diletakkannya koin itu ke atas kepala kepala keenam orang itu, masing-masing satu.

Keenam orang itu seakan-akan berubah menjadi sebatang kayu. Mereka hanya menatap nanar waktu si anak muda meletakkan koin itu ke atas kepala mereka. Kentut saja tidak berani.

Si anak muda berbaju kuning itu masih punya beberapa koin lagi di tangannya. Ia lalu berjalan ke arah si orang tua dan si gadis muda.

Si orang tua tersenyum. “Jika kau ingin minum arak, silakan saja. Aku yang bayar.”

Si orang tua kelihatan sudah agak mabuk. Pipinya menggembung seperti ada telur di dalamnya. Bibirnya membengkak, sehingga kata-katanya sulit dimengerti.

Si anak muda berjubah kuning itu menatap dia lekat-lekat dengan wajah kaku. Tiba-tiba ia menggebrak meja dan kacang goreng dalam piring pun berhamburan ke udara, lalu berjatuhan ke atas kepala si orang tua.

Si orang tua pasti ketakutan setengah mati, sampai-sampai ia tidak berusaha menghindar dari kacang-kacang itu. Namun sebelum kacang itu mengenai kepalanya, si anak muda mengebaskan lengan bajunya dan kacang-kacang itu pun kembali jatuh ke atas piring.

Si gadis berkuncir tertawa gembira. “Wah. Hebat sekali. Aku tidak tahu kalau kau bisa ilmu sulap. Bisakah kau mengulanginya sekali lagi? Jika kau mau, pasti kakekku tak akan keberatan mentraktirmu arak.”

Si anak muda berjubah kuning itu baru saja mendemonstrasikan ilmu silat tingkat tinggi, namun sayangnya kali ini ia bertemu dengan dua orang yang tidak tahu apa-apa. Bahkan menyangka dia sedang main sulap.

Tapi si anak muda ini tidak marah. Ia memandang sekejap pada si gadis berkuncir, dan tersenyum. Lalu ia pergi meninggalkan mereka.

Tapi si gadis berkuncir berkata dengan tidak sabar, “Kenapa kau tidak mau mengulanginya sekali lagi? Aku ingin melihatnya lagi.”

Si kurus tiba-tiba tertawa. “Lebih baik kau tidak melihatnya terlalu sering.”

“Kenapa?”

Jawab si kurus, “Kalau kau tahu ilmu silat, sulapan itu akan membuatmu menjadi orang mati.”

Si gadis berkuncir melirik si anak muda berjubah kuning itu dengan sudut matanya, seakan-akan tidak percaya. Namun ia tidak berani bertanya apa-apa lagi.

Sementara itu si anak muda berjubah kuning itu sendiri tidak mendengar percakapan itu. Ia sudah berjalan menghampiri si pemabuk. Koin bergemerincing di tangannya.

Si pemabuk sudah mabuk berat dari tadi. Ia tidur saja seperti orang mati.

Si anak muda tertawa sambil mencekal rambutnya. Ia memandang wajah si pemabuk dan melepaskan pegangan pada rambutnya.

Kepala si pemabuk berdebam ke meja, namun ia terus tidur.

Si kurus berkata, “Mabuk dapat menyembuhkan banyak kekuatiran. Perkataan ini benar sekali. Lihat saja, keadaan si pemabuk ini lebih baik daripada keadaan keenam orang yang sadar ini.”

Si anak muda berjubah kuning itu tidak menghiraukan perkataannya. Ia berjalan ke arah pintu.

Lucunya keenam orang dengan koin emas di atas kepala mereka berbaris mengikuti dia. Seakan-akan mereka ditariknya dengan tali.

Wajah mereka semua murung. Mereka memandang kosong. Kaki mereka melangkah ke depan dan tubuh mereka tegak seperti tongkat, seolah-olah takut koin itu akan jatuh.

Si Bungkuk Sun sudah hidup berpuluh-puluh tahun, tapi baru kali ini ia melihat pemandangan seaneh ini.

Kalau mengingat ilmu silat mereka, seharusnya mereka bisa memberikan perlawanan. Mengapa mereka melihat si anak muda seperti tikus melihat kucing?

Si Bungkuk Sun sungguh tidak mengerti.

Tapi ia pun tidak kepingin tahu. Untuk orang setua dia, ada beberapa hal lebih baik ia tetap tidak tahu.

Sudah cukup lama tidak turun hujan, sehingga debu beterbangan saat angin bertiup.

Keempat orang berjubah kuning itu menggambar beberapa lingkaran di tanah, ukurannya kirakira sebesar mangkuk sup.

Ketika keenam orang itu sudah di luar, mereka tidak menunggu perintah, masing-masing langsung berdiri di dalam satu lingkaran.

Mereka berdiri tegak seperti sebatang pohon.

Si anak muda berjubah kuning itu berjalan kembali ke arah warung, dan duduk di kursi yang tadinya diduduki Duan Kai Shan.

Wajahnya masih tetap dingin. Ia pun tidak berbicara sepatah katapun.

Beberapa menit kemudian, ada seorang berjubah kuning lagi yang masuk ke dalam warung.

Orang ini tampak lebih tua, satu telinganya sudah putus, satu matanya buta, dan wajahnya penuh amarah.

Dijubahnya pun ada garis emas di bagian sampingnya. Bersama dia datang sekelompok orang, ada yang jangkung, ada yang pendek, ada yang tua, ada yang muda.

Dari penampilan mereka, kelihatannya mereka adalah orang-orang yang cukup penting. Hanya saja wajah mereka terlihat sama dengan wajah Duan Kai Shan dan teman-temannya. Mereka pun lalu mengikuti orang berjubah kuning itu keluar dan masing-masing juga berdiri dalam sebuah lingkaran.

Salah satu dari mereka berkulit gelap dan kurus kering. Wajahnya tampak sangat kacau.

Ketika yang lain melihat dia, mereka semua memandangnya dengan aneh. Seakan-akan heran, mengapa ia ada di situ.

Si mata satu memandang sekilas pada Duan Kai Shan dan yang lain-lain, ia terkekeh. Lalu ia masuk ke dalam warung dan duduk di depan si anak muda.

Mereka saling pandang. Keduanya mengangguk, tapi tidak bicara apa-apa.

Tidak berapa lama kemudian, seorang berjubah kuning lagi datang.

Ia lebih tua lagi. Rambutnya sudah putih semua. Jubahnya pun bergaris emas dan di belakangnya tampak lebih banyak lagi orang.

Dari jauh ia tidak kelihatan istimewa, tapi setelah dekat, terlihat wajahnya yang hijau. Ditambah dengan rambutnya yang seluruhnya putih, ia tampak sangat menyeramkan.

Bukan hanya wajahnya yang hijau, tangannya pun hijau.

Orang-orang yang berdiri di luar memandangnya seperti melihat hantu. Nafas mereka tertahan, beberapa bahkan gemetaran.

Dalam satu jam saja, seluruh lingkaran telah terisi dengan orang yang berdiri kaku, tidak berani bergerak atau bicara.

Orang keempat berjubah kuning bergaris emas pun tiba. Yang terakhir ini adalah seorang tua yang tampak lemah. Ia lebih tua lagi dari orang yang tadi. Sampai-sampai berjalan pun susah.

Tapi jumlah orang yang dibawanya adalah yang terbanyak.

Keempat orang ini duduk semeja, di tiap-tiap sisinya. Mereka duduk di situ tanpa berbicara.

Orang-orang di luar pun tida ada yang berbicara. Yang terdengar hanya suara nafas mereka.

Warung kecil ini sepertinya telah berubah menjadi kuburan. Bahkan Si Bungkuk Sun pun tidak tahan lagi! Namun si orang tua dan si gadis muda itu belum pergi juga.

Apakah mereka sedang menunggu pertunjukan sulap berikutnya?

Ini memang benar-benar pertunjukan yang sangat hebat!

Bab 28. Koin Pencabut Nyawa

Setelah beberapa lama, terdengar suara du, du, du, du…. dari arah jalan. Suara itu monoton dan membosankan.

Namun di tengah malam seperti itu, suara itu sungguh mencekam. Seakan-akan memukul-mukul hati manusia dengan tongkat.

Du, du, du…. bisa membuat orang yang mendengarnya jadi gila.

Keempat orang berjubah kuning itu saling pandang, lalu keempatnya bangkit berdiri.

Dari kegelapan malam, muncul sesosok bayangan.
Kaki kiri orang ini buntung, ia berjalan dengan tongkat.

Ketika cahaya suram dari warung itu menyinari wajah orang itu, terlihatlah rambutnya yang acak-acakan, wajahnya yang hitam seperti pantat panci dan penuh dengan bekas luka.

Matanya segitiga, alisnya tebal, hidungnya besar, mulutnya pun besat. Wajahnya sangat jelek, walaupun tanpa bekas-bekas luka itu.

Semua orang pasti jijik melihatnya.

Namun keempat orang berjubah kuning itu menghampirinya dan membungkuk dengan hormat.

Si kaki satu hanya mengibaskan tangannya.

Du, du, du…. orang itu berjalan masuk ke dalam warung.

Si Bungkuk Sun melihat bahwa orang inipun mengenakan jubah kuning dengan garis keemasan di bagian sampingnya.

Si kurus pun melihat dia masuk. Wajahnya langsung berubah.

Si kaki satu memandang ke seluruh ruangan. Matanya berbinar waktu melihat si kurus. Katanya pada keempat orang itu, “Kalian telah bekerja keras.”

Walaupun wajahnya mengerikan, suaranya amat menyenangkan.

Keempat orang berjubah kuning itu hanya menjawab, “Ah, biasa saja.”

Si kaki satu bertanya, “Apakah mereka semua di sini?”

Salah seorang yang berjubah kuning itu menjawab, “Semuanya ada 49 orang. Mereka semua di sini.”

Si kaki satu bertanya lagi, “Apakah kalian yakin mereka semua datang untuk itu?”

Si tua berjubah kuning menjawab, “Aku telah memastikannya. Mereka semua datang dalam tiga hari terakhir ini. Jadi pasti mereka datang untuk itu. Kalau tidak, buat apa mereka datang ke sini?”

Si kaki satu mengangguk dan berkata, “Bagus kalau kau sudah memastikannya, jadi kita tidak akan menyakiti orang yang tidak berdosa.”

Si tua berjubah kuning pun menyahut, “Tentu saja.”

Si kaki satu pun bertanya, “Jadi orang-orang itu sudah paham?”

Sahut si tua berjubah kuning, “Belum.”

Si kaki satu pun berkata, “Kalau begitu mereka harus diberi tahu.”

“Ya.”

Ia berjalan keluar, lalu berkata, “Aku yakin kalian semua tahu siapa kami. Kami pun tahu pasti apa maksud kalian datang ke sini.”

Sambungnya, “Aku tahu kalian semua mendapatkan surat yang sama. Itulah alasannya kalian datang kemari.”

Orang-orang itu tidak bisa mengangguk, dan mereka pun takut salah bicara. Jadi tidak ada seorang pun yang menjawab.

Si tua berjubah kuning pun berkata lagi, “Tapi dengan kemampuan kalian, kalian tidak pantas datang. Oleh sebab itu, kalian semua harus berdiri di sini. Sampai kami menyelesaikan urusan kami, dan demi keselamatan kalian semua, berdirilah di sini dengan tenang. Kalian akan baik-baik saja.”

Ia terkekeh. “Aku yakin kalian tahu bahwa kecuali terpaksa, kami tidak akan melukai siapapun.”

Ketika ia mengatakan ini, seseorang terbatuk.

Orang itu adalah Hu Mei, si wanita genit berbaju hijau.

Supaya pinggangnya tetap tampak ramping, ia lebih baik kedinginan daripada mengenakan pakaian yang tebal. Ini adalah salah satu kebiasaan buruk yang dimiliki hampir setiap wanita. Ia berpakaian sangat minim dan kebetulan hari ini angin bertiup cukup kencang. Ditambah lagi, ia berdiri paling depan, sehingga angin langsung menerpanya. Tidak heran, ia langsung masuk angin.

Sewaktu ia bersin, koin di atas kepalanya jatuh.

Terdengar bunyi ‘cring’ sewaktu koin itu jatuh ke tanah dan bergulir menjauh. Wajahnya langsung memucat, demikian pula wajah semua orang di situ.

Si tua berjubah kuning bertanya, “Kau tahu peraturan kami?”

Hu Mei menjawab terbata-bata, “Y….ya.”

Si tua berjubah kuning menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau seharusnya lebih berhati-hati.”

Seluruh tubuh Hu Mei gemetaran. “Itu adalah kecelakaan. Tolong sayangkan nyawaku.”

Si tua berjubah kuning pun menyahut, “Aku pun tahu itu kecelakaan, tapi aku tidak bisa melanggar peraturan. Siapa yang akan menaati peraturan jika orang bisa seenaknya melanggar? Kau sudah lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Seharusnya kau sudah tahu.”

Hu Mei menoleh pada Hu Fei, kakaknya. “Saudaraku, kau… tidak mau menolong aku?”

Hu Fei memejamkan matanya. Otot wajahnya mengejang. “Aku bisa berbuat apa?”

Hu Mei tersenyum. “Aku mengerti…. Aku tidak akan menyalahkan engkau.”

Mata Hu Mei kini memandang Yang Cheng Zu. “Bagaimana dengan engkau, Yang sayang? Aku sudah akan pergi, adakah yang ingin kau katakan padaku?”

Mata Yang Cheng Zu terus memandang kosong ke tanah, tanpa perasaan.

Kata Hu Mei, “Kau bahkan tidak ingin melihatku?”

Yang Cheng Zu memejamkan matanya.

Hu Mei tiba-tiba tertawa histeris sambil menuding Yang Cheng Zu. “Kalian semua, lihat ini. Orang ini adalah kekasihku. Semalam ia berkata bahwa selama aku mencintainya, ia rela mati bagiku. Tapi sekarang? Sekarang, melihat padaku pun tidak mau, seakan-akan aku akan menularkan penyakit….”

Tawanya sedikit demi sedikit berhenti, berganti dengan air mata yang turun membasahi pipinya. “Apa itu kasih sayang? Apa itu cinta? Untuk apa aku hidup sekarang? Lebih baik mati sekarang daripada terus hidup.”

Sambil berbicara, tubuhnya berguling di tanah sejauh beberapa meter dengan cepat dan disambitkannya sejumlah Bintang Es ke arah si tua berjubah kuning itu.

Lalu tubuhnya segera melayang, berusaha melewati tembok.

Keahlian Hu Mei adalah meringankan tubuh dan senjata rahasia. Kepandaiannya di bidang ini sebetulnya cukup tinggi. Menyambitkan begitu banyak Bintang Es dengan cepat, akurat, dan sangat mematikan!

Si tua berjubah kuning itu hanya mengangkat alisnya sedikit lalu berkata, “Buat apa kau berbuat ini….”

Ia mungkin berjalan dan berbicara dengan lambat, namun gerakannya sungguh sangat cepat. Ketika kalimatnya selesai, ia pun sudah menangkap seluruh Bunga Es itu dengan lengan bajunya.

Pada saat Hu Mei akan melompat melewati tembok itu, ia merasa ada serangkum tenaga yang besar datang ke arahnya, sehingga ia malah menubruk tembok itu dan jatuh ke tanah. Seluruh tubuhnya mengeluarkan darah.

Kata si tua berjubah kuning, “Sebenarnya kau bisa mati dengan tenang, sayang….”

Tangan Hu Mei memegangi dadanya. Ia terbatuk dan terus terbatuk, mengeluarkan darah.

Si tua berbaju kuning pun berkata lagi, “Sebelum kau mati, akan kukabulkan satu permintaanmu.”

Tanya Hu Mei, “Ini juga salah satu peraturanmu?”

“Ya.”

“Apapun yang kuminta, akan kau kerjakan?”

Si tua menjawab, “Jika kau punya urusan yang belum selesai, kami akan menyelesaikannya. Jika kau ingin membalas dendam, kami dapat melakukannya untukmu.”

Ia terkekeh, lalu menyambung, “Jadi siapapun yang mati di tangan kami bisa dibilang cukup beruntung.”

Mata Hu Mei menjadi cerah. Katanya, “Karena aku memang harus mati, bolehkah aku memilih siapa yang akan membunuhku?”

Si tua berjubah kuning menjawab, “Tidak ada masalah. Siapa yang kau inginkan?”

Hu Mei menggigit bibirnya, dan berkata, “Dia, Yang Cheng Zu!”

Wajah Yang Cheng Zu langsung memucat, katanya, “Apa maksudmu? Kau ingin membunuhku juga?”

Sahut Hu Mei, “Kau cuma berpura-pura sayang padaku, padahal aku betul-betul cinta padamu. Jika aku bisa mati di tanganmu, aku mati berbahagia.”

Si tua berjubah kuning pun berkata, “Mudah sekali membunuh orang. Jangan bilang bahwa kau tidak pernah membunuh.”

Tangannya bergerak sedikit dan sebilah pisau pun keluar. Lalu ia berjalan dan memberikannya kepada Yang Cheng Zu. “Pisau ini sangat tajam. Tidak perlu menusuk dua kali untuk membunuh.”

Yang Cheng Zu menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku tidak…..”

Sewaktu berbicara, koin di atas kepalanya pun jatuh ke tanah.

Tubuh Yang Cheng Zu langsung mengejang.

Hu Mei langsung tertawa terbahak-bahak. “Katamu kemarin, jika aku mati, kau pun tidak ingin hidup lagi. Kini, kau benar-benar akan mati bersamaku. Setidaknya sebagian kata-katamu benar juga.”

Tubuh Yang Cheng Zu bergetar hebat, lalu ia berteriak, “Kau…..!!! Kau wanita tidak berperasaan…”

Ia segera menyambar pisau itu, berjalan cepat ke arah Hu Mei dan menyayat leher Hu Mei. Darah muncrat membasahi tubuhnya.

Akhirnya dia menjadi tenang dan mengangkat kepalanya.

Semua orang memandangnya dingin.

Yang Cheng Zu menghentakkan kakinya, lalu menyayat lehernya sendiri dengan pisau yang sama. Tubuhnya menelungkup di atas tubuh Hu Mei.

Kini Si Bungkuk Sun mengerti mengapa orang-orang itu berjalan dan berdiri dengan aneh. Peraturan orang-orang berjubah kuning ini sungguh mengerikan dan sulit dimengerti.

Namun si kurus tidak peduli sedikitpun. Seolah-olah hal seperti ini terjadi setiap hari. Saat ini, si kaki satu bangkit berdiri, lalu berjalan ke arah meja si kurus dan duduk di hadapannya.

Si kurus pun mengangkat kepalanya dan memandang si kaki satu lekat-lekat.

Mereka tidak bicara sepatah kata pun, namun Si Bungkuk Sun merasa suatu peristiwa besar akan segera terjadi.

Mata kedua orang ini bagaikan pisau, saling menusuk hati satu sama lain.
Cukup lama mereka saling pandang, akhirnya si kaki satu tersenyum. Senyumnya sangat unik, sangat aneh. Bisa membuat orang lupa betapa jelek wajahnya, karena senyumnya begitu hangat dan lembut.

Ia tersenyum sambil berkata, “Sekarang aku tahu siapa engkau.”

“O ya?”

“Aku rasa kau pun tahu siapa kami.”

“Dalam dua tahun terakhir ini, rasanya tidak ada seorang pun yang tidak tahu siapa kalian.”

Si kaki satu terkekeh. Lalu dikeluarkannya selembar surat.

Surat itu tampak biasa saja, namun Si Bungkuk Sun ingin sekali tahu apa isi surat itu.

Si kaki satu berkata, “Aku rasa kau datang jauh-jauh karena surat ini juga, bukan?”

Si kurus menyahut, “Mungkin.”

Kata si kaki satu, “Katanya, lebih dari seratus orang menerima surat ini, namun tidak seorang pun yang tahu siapa pengirimnya. Walaupun sudah berusaha kuselidiki, aku tidak menemukan jejak apapun.”

Si kurus pun berkata, “Jika kau tidak berhasil menemukan jejaknya, tidak ada seorang pun yang bisa!”

Kata si kaki satu, “Walaupun kami tidak tahu siapa penulisnya, kami tahu alasan dia menulis.”

“O ya?”

Si kaki satu menerangkan, “Ia berusaha mengumpulkan jago-jago silat ke tempat ini, supaya kita semua saling bertempur, dan pada akhirnya dialah yang memetik hasilnya.”

Tanya si kurus, “Kalau begitu, mengapa kau masih ada di sini?”

“Karena rencana yang sangat berbahaya itulah, kami harus datang.”

“O ya?”

Si kaki satu tersenyum. “Kami datang untuk memberi tahu semua orang alasan surat itu dikirimkan, supaya tidak seorang pun masuk ke dalam perangkapnya.”

Si kurus pun menyahut, “Betapa setia kawannya engkau.”

Si kaki satu seperti tidak menangkap nada sindiran dalam suara si kurus. Ia berkata, “Kami hanya ingin membuat persoalan besar menjadi kecil, dan persoalan kecil menjadi tidak ada, agar semua orang bisa hidup tenteram.”

Si kurus pun berkata, “Sebenarnya, tidak ada yang tahu pasti apakah di sini betul-betul ada harta karun atau tidak.”

Sahut si kaki satu, “Oleh sebab itu, bukankah sangat disayangkan kalau seseorang kehilangan nyawanya hanya karena omong kosong ini.”

Si kurus pun menjawab, “Namun karena aku sudah berada di sini, sekalian saja aku lihat apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin hanya dengan beberapa kata seseorang berusaha membujukku untuk pergi?”

Wajah si kaki satu pun berubah tegang, katanya, “Jadi kau tidak mau pergi?”

Si kurus tertawa dingin. “Walaupun aku pergi, harta karun itu tidak akan jatuh ke tanganmu!”

Sahut si kaki satu, “Selain engkau, kurasa tidak ada lagi yang dapat menandingi kami.”

Ia menekan tongkat besinya dan terdengar suara berderak. Tongkatnya yang dua meter itu kini satu setengah meternya tertanam dalam tanah.

Si kurus berkata dengan dingin, “Ilmu silat kelas tinggi. Tidak heran dalam Kitab Persenjataan Bai Xiao Sheng, tongkat besimu ada di urutan ke delapan.”

Si kaki satu pun berseru, “Pecut Ularmu yang terkenal itu ada di urutan ketujuh. Aku sudah lama ingin menjajalnya!”

Si kurus pun menjawab, “Aku pun sudah menanti-nantikan pertempuran ini!”

Bab 29. Pecut yang Punya Mata

Tangan si kurus menggebrak meja dan tubuhnya melayang ke udara. Angin dingin berkelebat dan sebuah pecut berwarna hitam mengkilat telah tergenggam di tangannya.

Ia menyentak pergelangan tangannya dan pecut panjang itu bergelora, menghasilkan angin yang menerpa orang-orang yang berada di luar. Terdengar suara ting ting tang tang. Empat puluh koin jatuh ke tanah.

Keempat puluh orang itu adalah jago-jago dalam dunia persilatan, namun tidak satupun pernah melihat permainan pecut yang begitu mengagumkan.

Ketika pecut itu ada di tangannya, pecut itu seolah-olah menjadi hidup, seperti punya mata.

Keempat puluh orang itu saling pandang, lalu segera menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka untuk kabur. Sebagian lari ke jalan, sebagian memanjat tembok. Langit penuh dengan bayangan orang-orang yang berhamburan. Dalam sekejap saja, semua sudah pergi.

Wajah si tua berjubah kuning itu memucat. Ia membentak dengan marah, “Kau telah mengambil Koin Pencabut Nyawa mereka. Apakah kau ingin mati menggantikan mereka?”

Si kaki satu tertawa dingin, “Nyawa Dewa Pecut Xi Men Rou memang cukup berharga untuk menggantikan nyawa mereka semua!”

Ditariknya tongkatnya dan ia pun berdiri dengan satu kaki. Seakan-akan kakinya itu tertancap di tanah, seperti sebatang pohon yang kuat.

Si tua berjubah kuning mengacungkan tangannya. Dalam tangannya tergenggam sebuah pena besar.

Siapapun yang mempunyai senjata seperti itu, pastilah mempunyai kungfu tingkat tinggi.

Empat orang mengelilingi XiMen Rou.

Si mata satu mundur beberapa langkah dan membuka jubahnya. Tampak 49 mata tombak, ada yang panjang, ada yang pendek.

Kelima pasang mata orang itu memandang ke arah pecut panjang XiMen Rou.

Si kaki satu lalu tertawa. “Aku rasa kau pasti sudah tahu siapa keempat temanku ini.”

Sahut XiMen Rou, “Aku sudah tahu dari tadi.”

Si kaki satu berkata, “Kalau dipandang dari segi keadilan, kami berlima seharusnya tidak main keroyok. Tapi hari ini lain.”

Xi Men Rou tertawa. “Aku sudah melihat begitu banyak orang dalam dunia persilatan menang dengan cara main keroyok. Kau pikir aku peduli?”

Si kaki satu pun menyahut, “Awalnya, aku tidak ingin membunuhmu, tapi kau telah melanggar peraturan kami. Bagaimana mungkin kami melepaskanmu? Jika kami membiarkan peraturan kami dilanggar, kami akan jadi sekelompok pendusta. Aku harap kau bisa mengerti.”

Kata XiMen Rou, “Bagaimana jika aku mau pergi?”

Si kaki satu menjawab, “Kau tidak bisa lagi pergi!”

XiMen Rou hanya tertawa. “Kalau aku benar-benar ingin pergi, kalian berlima tidak mungkin menghalangiku!”

Si kaki satu menggeram, tongkatnya sudah bergerak!

Walaupun gerakannya sederhana, tenaganya sungguh tidak terkira!

XiMen Rou masih tersenyum, pecutnya meliuk-liuk dengan cepat seraya melompat ke atas.

Si mata satu mengacungkan tangannya dan 13 mata tombak mencelat, membawa segulung angin ke arah XiMen Rou.

Yang panjang disambitkan lebih dulu, namun yang pendek lebih cepat. Terdengar suara klak klak klik klik secara beruntun, waktu pecut itu menghalau ketiga belas mata tombak itu.

Seperti angin puyuh, XiMen Rou melayang makin tinggi, lalu tiba-tiba mencelat, menghilang dari pandangan.

Si kaki satu segera berseru, “Kejar!”

Si kaki satu pun menutul tanah dengan tongkat besinya dan melayang ke udara. Ilmu meringankan tubuhnya lebih baik dari orang berkaki dua. Ia pun segera menghilang dari pandangan.

Keempat orang berjubah kuning yang lain segera menyusul, dan seketika warung itu pun sunyi senyap. Hanya dua mayat tertinggal di situ.
Kalau bukan karena kedua mayat itu, Si Bungkuk Sun mengira bahwa itu semua hanya mimpi buruk belaka.

Si kakek tua terbangun. Pada wajahnya tidak kelihatan tanda-tanda ia mabuk. Ia memandang ke arah orang-orang berjubah kuning itu pergi dan menghela nafas. “Tidak heran bahwa Pecut Ular XiMen Rou berada di urutan yang lebih tinggi daripada Tangan Setan Hijau Yi Ku. Dari gerakannya, ia memang pantas disebut Si Dewa Pecut. Bai Xiao Sheng memang benar-benar tahu apa tentang persenjataan.”

Si gadis berkuncir bertanya, “Apakah betul ia adalah ahli pecut yang paling hebat saat ini?”

Sahut si orang tua, “Keahlian yang baru saja ditunjukkannya itu belum pernah ada di antara ahli senjata lemas dalam tiga puluh tahun terakhir ini.”

Tanya si gadis berkuncir lagi, “Bagaimana dengan si kaki satu?”

“Ia bernama ZhuGe Gang. Julukannya di dunia persilatan adalah ‘Si Penyapu Seribu Tentara’. Tongkatnya yang disebut Tongkat Baja Emas, mempunyai berat 35 kg. Senjata yang terberat yang pernah ada.”

Si gadis berkuncir pun tersenyum. “Yang satu bernama XiMen Rou. Yang satu lagi bernama ZhuGe Gang. Mereka memang ditakdirkan menjadi musuh.”

[Rou artinya lunak. Gang artinya keras.]

Si orang tua mengeluarkan beberapa uang perak dan meletakkannya di atas meja. Ia dan cucunya lalu keluar dari warung itu masuk ke dalam kegelapan malam.

Si Bungkuk Sun mengawasi kepergian mereka. Sewaktu ia menoleh kembali, ia melihat bahwa si pemabuk pun kini sudah bangun. Ia berjalan ke arah tempat duduk yang tadi diduduki oleh XiMen Rou. Ia memungut surat yang ditinggalkan oleh ZhuGe Gang.

Si Bungkuk Sun tersenyum. “Sayang sekali kau sudah mabuk tadi. Kau melewatkan pertunjukan yang sangat seru.”

Si pemabuk tertawa, lalu menghela nafas. “Pertunjukan yang sebenarnya belum lagi dimulai. Walaupun aku tidak ingin menonton, aku kuatir aku harus menontonnya.”

Si Bungkuk Sun hanya menaikkan alisnya. Ia merasa semua orang sangat aneh hari ini. Seolaholah mereka salah minum obat.

Si pemabuk membaca surat itu dalam sekejap, dan wajahnya pun berubah merah. Ia membungkuk dalam-dalam dan mulai terbatuk-batuk.

Si Bungkuk Sun bertanya, “Apa kata surat itu?”

Sahut si pemabuk, “Ti…tidak apa-apa.”

Kata Si Bungkuk Sun, “Kudengar mereka semua datang ke sini karena surat itu.”

“O ya?”

Si Bungkuk Sun pun tersenyum. “Mereka menyebut-nyebut tentang semacam harta karun. Apa pun itu, mereka pasti hanya main-main.”

Lalu ia pun bertanya, “Kau mau anggur lagi? Kali ini gratis.”

Ia tidak mendengar jawaban. Ketika ia menoleh, dilihatnya si pemabuk hanya berdiri di situ sambil menatap ke kejauhan.

Matanya tidak tampak mabuk, bahkan tersirat suatu kegagahan yang tidak biasa.

Si Bungkuk Sun mengikuti arah pandangannya. Ia hanya dapat melihat secercah cahaya lilin di kejauhan. Cahaya itu tampak semakin jauh karena kabut yang menyelimuti tempat itu.

***

Waktu Si Bungkuk Sun kembali ke halaman belakang, hari sudah tengah malam.

Di halaman, suasana selalu tenang. Terlihat lilin di kamar si pemabuk masih bercahaya, namun pintunya terbuka lebar. Melambai-lambai karena tiupan angin.

Si Bungkuk Sun pergi ke sana untuk melihat. Ia mengetuk pintu dan bertanya, “Apakah kau sudah tidur?”

Tidak ada suara.

Apa yang dilakukannya di luar selarut ini?

Si Bungkuk Sun masuk. Dilihatnya ruangan itu kacau balau. Potongan-potongan kayu tersebar di seluruh ruangan, tapi pisau kecilnya tidak nampak di mana pun juga. Setengah guci arak terlihat masih di atas meja.

Segumpal kertas yang telah diremas-remas ada di sampingnya.

Si Bungkuk Sun segera mengenali bahwa itu adalah surat yang ditinggalkan oleh ZhuGe Gang.

Ia tidak tahan untuk tidak membacanya.

“15 September. Puri Awan Riang akan menunjukkan harta karunnya. Anda diharapkan datang untuk turut menyaksikan.”

Hanya tiga kalimat saja. Lebih sedikit yang tertulis, surat itu menjadi lebih misterius dan menarik perhatian orang.

Penulisnya sungguh memahami hati manusia.

Si Bungkuk Sun mengangkat alisnya. Wajahnya pun berubah.

Ia tahu Puri Awan Riang adalah puri di depan warungnya. Namun ia tidak habis pikir, apakah hubungan si pemabuk dengan puri itu?



Bab 30. Malam yang Sangat Sangat Panjang

Kabut menyelimuti keheningan malam. Di dahan hanya terlihat satu dua lembar daun. Kolam teratai pun penuh dengan daun-daun kering yang gugur. Rumput di jalan setapak sudah menjadi coklat. Dulu, bunga-bunga berwarna merah, pohon-pohon penuh dengan daunnya yang hijau lebat, harum bunga plum semerbak ke seluruh paviliun. Tapi kini semua telah tiada. Di ujung jembatan itu ada sebuah bangunan kecil, Bilik Keharuman Sejuk.

Di sini pernah tinggal pahlawan gagah dunia persilatan. Pernah juga tinggal wanita tercantik di seluruh dunia. Saat itu, bunga-bunga plum masih bermekaran dan keharumannya sungguh menawan hati.

Namun kini, sarang laba-laba terlihat di tiap sudut ruangan. Debu tebal melapisi jendela. Tidak ada keindahan yang tersisa. Bahkan pohon plum pun sudah menjadi kering.

Dalam kegelapan malam, sesosok bayangan muncul.

Rambutnya acak-acakan, pakaiannya kusut. Ia kelihatan seperti gembel jalanan, namun wajahnya tampak gagah, matanya bersinar terang bagai bintang.

Ia berjalan melewati jembatan sambil memandangi pohon-pohon plum. Ia menghela nafas. Pohon-pohon plum itu adalah sobat lamanya. Namun kini, mereka sudah layu, sama seperti dirinya sendiri.

Tapi tiba-tiba ia melayang terbang ke sana bagai seekor burung!

Jendela di tingkat atas tertutup rapat.

Namun ada banyak guratan di jendela itu. Dari sela-sela guratan itu, terlihatlah wajah seorang wanita yang kesepian. Ia menghadap ke arah cahaya lilin, menjahit.

Wajahnya pucat. Matanya yang dulu menarik bagai magnet kini tampak sayu.

Wajahnya tampak dingin, tidak berperasaan. Seakan-akan ia sudah lupa arti kebahagiaan ataupun kesedihan.

Ia duduk di sana menjahit, dan layu sedikit demi sedikit.
Lubang di baju dapat ditambal, namun lubang di hati tidak dapat ditutup….
Di sisi lain ruangan itu, tampak seorang anak lelaki berusia 13 atau 14 tahun.
Wajahnya kelihatan sangat pandai. Matanya yang bersinar membuat dia tampak semakin pandai.

Namun wajahnya pucat, sangat pucat sampai orang akan lupa bahwa ia masih kanak-kanak.
Ia sedang berlatih menulis.
Walaupun ia sangat muda, ia sudah belajar hidup dalam kesepian.
Lelaki tua itu mengawasi mereka dari luar.
Air mata meleleh, membasahi pipinya.
Setelah sekian lama, anak itu berhenti menulis. Ia mengangkat kepalanya dan menatap api lilin.

Si wanita pun berhenti menjahit dan memandangi putranya. Wajahnya penuh lelembutan seorang ibu dan bertanya dengan halus, “Xiao Yun kecil, apa yang sedang kau pikirkan?”

Anak itu menggigit bibirnya dan berkata, “Aku hanya sedang berpikir kapan ayah akan kembali?”

Tangan si wanita gemetar hebat, jarumnya menusuk salah satu jarinya. Namun sepertinya ia tidak merasa kesakitan, karena semua rasa sakitnya sudah terkumpul dalam hatinya. Kata anak itu lagi, “Ibu, kenapa ayah tiba-tiba pergi? Sudah dua tahun dan sama sekali tidak ada kabar.”

Si wanita hanya terdiam lama. Ia mendesah dan menjawab, “Aku pun tidak tahu mengapa ia pergi.”

Tiba-tiba wajah anak itu menyiratkan kebencian yang mendalam. Katanya, “Aku tahu kenapa ia pergi.”

Ibunya berkata dengan lembut, “Kau kan masih anak-anak. Kau tahu apa?”

Sahut anak itu, “Tentu saja aku tahu. Ayah pergi karena ia takut Li Xun Huan akan datang untuk membalas dendam. Setiap kali ia mendengar nama Li Xun Huan diucapkan, wajahnya langsung berubah.”

Si wanita tadinya ingin menjawab, tapi diurungkannya. Ia hanya menghela nafas. Ia menyadari bahwa anaknya memang tahu banyak hal, mungkin terlalu banyak. Anak itu melanjutkan, “Namun Li Xun Huan tidak pernah datang. Mengapa ia tidak pernah menjengukmu, Bu?”

Tubuh si wanita bergetar. Ia berseru, “Mengapa ia harus datang untuk menjengukku?”

Anak itu tersenyum. “Aku tahu ia dan Ibu adalah sahabat karib, bukan?”

Wajah ibunya putih seperti kertas. Keningnya berkerut. “Sudah hampir fajar, mengapa kau belum pergi tidur?”

Si anak mengejapkan matanya, katanya, “Aku tidak mau tidur. Aku ingin menemani Ibu, sebab dalam dua tahun ini Ibu tidak pernah tidur nyenyak.”

Ibunya memejamkan matanya, dan air matanya meleleh turun.

Anak itu bangkit dan tersenyum. “Tapi aku memang harus tidur sekarang. Besok adalah hari ulang tahun Ibu. Aku mau bangun pagi-pagi…..”

Ia menghampiri ibunya dan mengecup keningnya. Katanya lagi, “Ibu juga harus tidur. Sampai jumpa besok.”

Ia tersenyum sambil melangkah keluar. Di luar ruangan, senyumnya langsung lenyap dan berganti dengan wajah yang penuh kelicikan, “Li Xun Huan, semua orang takut padamu, namun aku tidak. Cepat atau lambat, kau pasti mati di tanganku.”

Mata si wanita mengiringi kepergian anaknya. Mata itu penuh dengan kesedihan dan kelembutan. Putranya memang adalah anak yang pandai.

Ia hanya memiliki seorang putra.

Putranya adalah seluruh hidupnya. Walaupun ia melakukan perbuatan yang membuatnya sedih atau marah, ia tetap akan mencintainya sepenuh hati.

Kasih seorang ibu terhadap anaknya selalu tidak terbatas, selalu tidak bersyarat.

Ia kembali duduk dan menyalakan lilin yang lain.

Setiap malam menjelang fajar, perasaan hatinya selalu teramat muram.

Suara batuk terdengar dari luar jendela.

Wajah si wanita langsung berubah.

Seluruh tubuhnya menjadi kaku seperti sebatang kayu. Ia tidak dapat bergerak, hanya matanya yang memandang cepat ke arah jendela. Dalam matanya terbersit kegembiraan, namun juga kesedihan….

Setelah sekian lama, akhirnya ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ke jendela. Dengan tangan gemetar dibukanya daun jendela itu perlahan-lahan. Ia berseru, “Siapa di situ?”

Tidak ada setitik bayangan pun di luar sana.

Si wanita memandang ke sekelilingnya, lalu berkata, “Aku tahu kau ada di sini. Kalau sudah datang, mengapa tidak menemuiku?”

Tidak ada suara, tidak ada jawaban.

Si wanita mengambil nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Aku tidak menyalahkanmu jika kau tidak ingin bertemu. Aku sudah bersalah padamu….”

Suaranya semakin lemah, dan akhirnya ia hanya berdiri di situ, tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ditutupnya kembali daun jendela itu.

Bumi diselimuti kegelapan.
Sesaat sebelum fajar adalah saat yang paling gelap.
Namun kegelapan pasti akan berlalu, seiring dengan munculnya secercah sinar dari arah timur.

Sesosok bayangan muncul dari balik pepohonan.

Ia telah berdiri tidak bergerak di sana cukup lama. Rambutnya, pakaiannya, semua basah kuyup oleh air mata.

Matanya tidak pernah lepas dari jendela itu. Ia kelihatan sangat tua, sangat kuyu, sangat lemah….

Ia adalah orang yang sama yang datang ke situ tadi malam. Orang yang sama dengan si pemabuk dari warung Si Bungkuk Sun!

Ia tidak berbicara, namun hatinya menggapai-gapai.
Shi Yin, Shi Yin, kau tidak melakukan kesalahan apa-apa. Akulah yang bersalah padamu…. Walaupun aku tidak melihat wajahmu selama dua tahun ini, aku selalu berada di sisimu sepanjang waktu, menjagamu. Tahukah engkau?

Langit semakin terang.
Tangan orang ini membekap mulutnya, berusaha keras untuk tidak terbatuk.
Lalu ia berjalan menuju ke pintu. Pintu itu tidak dikunci. Didorongnya pintu itu.
Sewaktu pintu itu terbuak bau arak langsung menyengat hidungnya. Kamar itu kator dan bernatakan. Seorang laki-laki tidur di atas meja. Tangannya menggenggam sebotol arak.

Seorang pemabuk lagi.
Ia tersenyum dan mengetuk pintu.

Si pemabuk terbangun. Diangkatnya kepalanya dan tampaklah wajahnya burik.
Tidak akan ada yang menyangka bahwa ia adalah ayah Lin Xian Er.
Masih setengah mabuk, ia memandang sekelilingnya. Katanya, “Mengapa ada yang datang pagi-pagi buta begini? Habis bertemu setan atau hantu?”

Setelah ia menyelesaikan kalimatnya, barulah dilihatnya laki-laki setengah baya berdiri dekat pintu. “Siapa kamu? Apa kerjamu di sini?”

Si lelaki setangah baya tersenyum. “Kita bertemu dua tahun yang lalu. Kau sudah lupa?”

Si burik menatap orang itu lekat-lekat, lalu dengan tercekat ia berkata, “Kau Li….”

Ia bermaksud akan berlutut, namun sebelum lututnya menyentuh lantai, si lelaki setengah baya mengangkat tubuhnya. “Bagus juga kau masih mengenaliku. Ayo, mari kita duduk-duduk dan berbincang-bincang sejenak.”

Si burik tersenyum. “Bagaimana mungkin aku tidak mengenalimu, Tuan. Aku berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi. Namun, Tuan, kau kelihatan bertambah tua dalam dua tahun ini.”

Si lelaki setengah baya merasa hangat di dadanya. “Kau pun bertambah tua. Semua orang juga bertambah tua. Apa kabarmu dua tahun ini?”

Sahut si burik, “Di depan orang lain aku bisa menyombong, tapi di hadapanmu, Tuan, aku….”

Ia menghela nafas, lalu melanjutkan, “Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati dua tahun ini. Hari ini aku menjual lukisan, besok aku menjual perabot,…..”

Si lelaki setangah baya mengangkat alisnya. “Apakah seburuk itu keadaannya, sampai tidak ada uang sama sekali di sini?”

Si burik hanya menunduk.

Si lelaki setengah baya bertanya lagi, “Maksudmu, waktu Tuan Keempat Long pergi, ia tidak meninggalkan sepeser pun untuk menunjang rumah tangga ini?”

Si burik menggelengkan kepalanya. Matanya merah.

Wajah si lelaki setengah baya pun menjadi pucat lesi, dan ia mulai batuk-batuk tidak berhenti.

Si burik pun berkata, “Pada awalnya, Nyonya memiliki banyak perhiasan. Namun hatinya sungguh mulia. Ia memberikan uang pesangon pada para pelayan, supaya mereka bisa membuka usaha sendiri di luar…. Nyonya lebih baik menderita daripada melihat para pelayan menderita.”

Ia mengatakannya dengan suara serak.

Si lelaki setengah baya hanya terdiam sampai beberapa lama. Lalu ia berkata, “Namun kau tidak pergi. Kau adalah orang yang setia.”

Si burik tersenyum kecut. “Aku hanya tidak punya tempat tujuan lain.”

Sahut si lelaki setengah baya, “Kau tidak perlu menjelaskan. Ada orang yang perangainya kasar, namun hati mereka baik. Hanya sedikit orang saja yang dapat mengerti mereka.”

Wajah si burik menjadi merah. Ia memaksakan seulas senyum. “Arak ini tidak lezat, namun jika Tuan tidak keberatan, mari kita munm bersama.”

Ia hendak menuangkan isi botol itu ke dalam cawan, dan baru disadarinya bahwa botol itu sudah kosong.

Si lelaki setengah baya pun tersenyum. “Aku tidak ingin minum arak saat ini, teh saja. Tidakkah kau heran bahwa aku ingin minum teh? Sudah lama aku tidak melakukannya.”

Si burik pun ikut tersenyum. “Aku akan menjerang air untuk membuat teh.”

Kata si lelaki setengah baya, “Siapa pun yang kautemui, jangan katakan bahwa aku ada di sini.”

Si burik pun menjawab, “Jangan kuatir, Tuan. Rahasiamu aman padaku.”

Ia keluar dengan hati riang, sampai lupa mengunci pintu.

Si lelaki setengah baya mengerutkan keningnya sambil menggumam, “Shi Yin, Shi Yin, kau telah mengalami begitu banyak penderitaan karena aku. Aku harus menjagamu. Takkan kubiarkan siapapun menyakitimu.”

Sinar matahari telah menembus melewati jendela. Hari sudah siang.

Tehnya sama sekali tidak sedap.

Namun selama teh itu kental, orang dapat meminumnya. Sama seperti seorang wanita. Selama ia masih muda, tidak akan ada yang menolaknya.

Si lelaki setengah baya minum tehnya perlahan-lahan, lalu tiba-tiba tertawa. “Dulu aku punya teman yang pandai, kata-katanya selalu tepat mengenai sasaran.”

Si burik tertawa juga. “Tuan, Anda pun pandai juga.”

Kata si lelaki setengah baya, “Dia pernah bilang, ‘Tidak ada arak yang tidak memabukkan, dan tidak ada gadis muda yang jelek’. Kemudian dia berkata, ‘Karena dua hal inilah aku bertahan hidup’.”

Matanya penuh dengan tawa. Sambungnya, “Namun sebenarnya, arak yang baik adalah arak yang sudah disimpan lama, demikian juga wanita yang lebih tua sesungguhnya lebih baik karena mereka lebih berpengalaman.”

Si burik tidak mengerti secara keseluruhan, jadi dia tidak menyahut. Ia hanya menuangkan teh ke dalam cawan lagi. “Mengapa Tuan kembali lagi?”

Si lelaki setengah baya terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Katanya di sini ada harta karun….”

Si burik tertawa. “Harta karun? Ya, aku juga berharap ada harta karun di sini.”

Tiba-tiba tawanya berhenti. Matanya menatap si lelaki setengah baya lekat-lekat. “Jika di sini ada harta karun, Tuan pasti tahu, bukan?”

Si lelaki setengah baya hanya mendesah. “Walaupun kau dan aku tidak percaya kabar burung ini, kelihatannya banyak orang yang percaya.”

Si burik bertanya, “Siapa yang menyebarkan kabar burung itu? Kenapa?”

Jawab si lelaki setengah baya, “Ada dua alasan. Yang pertama, untuk mengundang orang-orang yang rakus datang dan saling membunuh, supaya pada akhirnya ialah yang mengeruk keuntungan.”

Tanya si burik, “Alasan yang lain?”

Sahut si lelaki setengah baya, “Sudah lama aku tidak muncul. Banyak orang ingin tahu di mana keberadaanku. Siapa pun yang menyebarkan kabar burung itu, pasti ingin aku segera muncul.”

Kata si burik, “Apa salahnya? Mereka akan tahu betapa hebatnya Anda.”

Kata si lelaki setengah baya, “Namun kali ini ada beberapa orang yang tidak mampu kuhadapi.”

Si burik sungguh terkejut. “Maksudmu, ada orang di dunia ini yang kautakuti?”

Sebelum pertanyaannya sempat dijawab, terdengar bunyi orang mengetuk pintu dengan keras. Lalu terdengar suara lantang berseru, “Apakah betul ini tempat tinggal Tuan Keempat Long? Kami datang untuk bertamu.”

Kata si burik, “Sungguh aneh. Kami tidak pernah kedatangan tamu dua tahun terakhir ini. Siapakah mereka itu?”

Setelah hampir satu jam, si burik kembali sambil terkekeh-kekeh. “Hari ini adalah hari ulang tahun nyonya. Aku saja lupa, tapi orang-orang itu ingat. Mereka bahkan membawa hadiah.”

Si lelaki setengah baya berpikir sesaat, lalu bertanya, “Siapakah mereka?”

Jawab si burik, “Ada lima orang yang datang. Seorang tua yang sangat modis, seorang pemuda gagah, seorang bermata satu, seorang yang sangat jelek dengan wajah hijau,….”

Si lelaki setengah baya memotong, “Dan yang kelima adalah seorang berkaki satu, bukan?”

Si burik mengangguk. “Betul…. Bagaimana kau bisa tahu? Tahukah kau siapa mereka itu?”

Si lelaki setengah baya terbatuk. Matanya bersinar tajam, setajam pisau.

Namun si burik tidak memperhatikan, dan ia terus tersenyum. “Walaupun orang-orang ini kelihatan aneh, hadiah mereka sungguh luar biasa. Kami tidak pernah mendapat hadiah seperti itu, bahkan waktu Tuan Keempat Long masih ada di sini.”

“O ya?”

“Salah satu dari hadiah itu adalah sebatang emas murni yang beratnya paling tidak 3 kg. Aku belum pernah melihat orang begini royal sebelumnya.”

Si lelaki setengah baya mengangkat alisnya dan bertanya, “Nyonya berkenan menerima hadiah ini?”

Sahut si burik, “Awalnya beliau tidak mau, tapi orang-orang itu terus duduk di ruang tamu dan tidak mau pergi. Mereka berkeras hendak bertemu dengan nyonya, karena mereka adalah sahabat Tuan Keempat Long. Nyonya tidak tahu harus bagaimana, jadi disuruhnya Tuan Muda untuk melayani mereka.”

Ia tersenyum. Lanjutnya, “Tuan, walaupun Tuan Muda masih sangat muda, ia sungguh tahu bagaimana melayani tamu, kadang-kadang lebih mahir daripada kita yang sudah dewasa. Para tamu semuanya memuji-muji kepandaiannya.”

Si lelaki setengah baya hanya memandangi cawan tehnya. “Apakah masih ada orang yang akan datang lagi, apakah masih ada orang yang berani datang?”

ZhuGe Gang, Gao Xing Kong, Yan Shuang Fei, Tang Du, dan ShangGuan Fei, mereka semua duduk di ruang tamu yang luas. Mereka sedang berbicara dengan seorang anak berjubah merah.

Walaupun mereka ini adalah jago-jago silat kenamaan, mereka tidak memandang rendah pada anak ini sama sekali.

Hanya ShangGuan Fei yang duduk diam di situ, tidak berbicara sepatah katapun. Seolah-olah tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat membuat dia bicara.

ZhuGe Gang tersenyum sambil berkata, “Tuan Muda sungguh hebat sekali. Potensimu tidak terbatas. Di kemudian hari, sewaktu engkau menjadi pahlawan yang terkenal, aku harap engkau tidak akan melupakan kami yang tua-tua.”

Anak itupun tersenyum dan berkata, “Kalau nanti aku bisa mencapai setengah kesuksesanmu saja, aku sudah sangat puas. Yang pasti, aku membutuhkan pengarahan para tetua di kemudian hari.”

ZhuGe Gang bertepuk tangan. “Tuan Muda sungguh pandai bicara. Tidak heran Tuan Keempat Long….”

Tiba-tiba ia berhenti bicara dan memandang ke luar, ke halaman di depan.

Si burik masuk lagi mengantar seseorang yang berpakaian serba hitam. Jubah hitam, celana hitam, sepatu hitam, dan menyandang sebilah pedang panjang berwarna hitam di punggungnya.

Orang ini besar dan berotot, hampir dua kali lipat besar si burik. Wajahnya menyiratkan hawa membunuh. Matanya tajam, dan jenggotnya menari-nari ditiup angin.

Ia tampak angkuh, namun gagah dan tegas, juga terlihat agak liar.

Setiap orang yang meihatnya pasti sadar bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.

Kelima orang ini saling pandang, seakan-akan berusaha menebak identitas tamu yang baru datang ini.

Si anak merah bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah orang itu, lalu membungkuk. “Senang sekali Tuan mau berkunjung. Namaku Long Xiao Yun muda….”

Si jubah hitam menatapnya. “Jadi kau ini anak Long Xiao Yun?”

Jawab Ling Xiao Yun muda, “Ya. Tetua pasti sahabat lama ayah. Bolehkah aku mengenal namamu?”

Si jubah hitam menjawab, “Walaupun kuberi tahu, kau juga tidak akan kenal.”

Ia melangkah masuk ke dalam ruangan.

ZhuGe Gang bangkit berdiri dan membungkuk. “Aku adalah….”

Baru dua kata diucapkannya, si jubah hitam sudah memotongnya. “Aku tahu siapa engkau. Kalian tidak perlu repot-repot berusaha mengetahui siapa diriku.”

Kata ZhuGe Gang, “Tapi….”

Si jubah hitam memotongnya lagi. Katanya dengan nada sedingin es, “Aku datang untuk alasan yang berbeda dengan kalian. Aku hanya ingin menonton.”

ZhuGe Gang tersenyum. “Aku sangat senang mendengarnya. Setelah kami selesai dengan urusan kami di sini, kami pasti sangat berterima kasih kepadamu.”

Sahut si jubah hitam, “Aku tidak mencampuri urusan kalian. Kalian jangan ikut campur urusanku. Kita urus saja urusan kita masing-masing. Tidak perlu berterima kasih.”

Ia menarik sebuah kursi, duduk, dan memejamkan matanya, beristirahat.

Kelima orang itu hanya bisa saling pandang.

Gao Xing Kong tersenyum. “Katanya halaman belakang rumah ini sangat terkenal. Apakah Tuan Muda sudi mengajak kami berjalan-jalan.”

Long Xiao Yun muda hanya mendesah. “Sayangnya, halaman belakang kini sudah tidak terpelihara…”

Kata Gao Xing Kong, “Ah, tidak apa-apa. Kami hanya ingin melihat-lihat.”

Sahut Long Xiao Yun muda, “Kalau begitu, mari kutunjukkan.”

Orang-orang itu berbaris keluar ke arah halaman belakang.

Yang paling depan adalah Long Xiao Yun muda, yang paling belakang adalah si jubah hitam. Matanya setengah terbuka, setengah terpejam, seakan-akan ia sedang menghemat tenaganya.

Long Xiao Yun muda menunjuk ke arah hutan yang dipenuhi oleh pohon plum yang sudah mengering. Katanya, “Di sana itu adalah Bilik Keharuman Sejuk.”

Mata Yan Shuang Fei berbinar-binar. “Katanya dulu Li Tan Hua tinggal di sana?”

Long Xiao Yun muda menundukkan kepalanya. “Ya, betul.”

Yan Shuang Fei menggenggam mata tombaknya dan tertawa dingin. “Ia punya pisau terbang, aku punya tombak terbang. Jika kita berdua bisa berduel suatu hari nanti, pasti sangat menyenangkan.”

Si jubah hitam menyahut dari kejauhan, “Jika kau bisa berduel dengan dia, itu baru namanya mujizat.”

Yan Shuang Fei menoleh cepat ke arahnya dan menatapnya dengan sangat marah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar