Bab 13. Golok Raja Langit Pemenggal
Setan
Sekali bacok tepat membelah seekor kuda
menjadi dua, golok apakah itu? Tiada orang melihat. Yang jelas sinar
golok melesat keluar dari dalam hutan, padahal kereta sudah berlari
sejauh tiga puluhan tombak, dipandang dari sini ke arah sana, tiada
bayangan orang, juga tidak terlihat adanya golok.
Pho Ang-soat menghadang di depan Co
Giok-cin dan kedua anaknya, matanya menatap hutan lebat di sebelah
kiri, kulit wajahnya yang pucat seolah-olah menjadi bening.
Setelah menenangkan napas, segera Yan
Lam-hwi bertanya, “Kau lihat golok itu?”
Pho Ang-soat menggeleng.
“Tapi kau pasti sudah tahu golok
macam apakah itu?” Pho Ang-soat mengangguk
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya,
“Agaknya Kongcu Gi cukup cepat menyerap berita, Biau-thian-ong
ternyata sudah tiba.”
Golok milik Biau-thian-ong sudah tentu
adalah Thian-ongcam-kui-to.
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam
kencang, katanya dingin, “Yang datang mungkin tidak sedikit.”
Pada saat itulah dari utara dan selatan
jalan raya, dua kereta dilarikan sejajar mendatangi. Jalan mundur
atau maju sudah tersumbat.
Di atas kereta pertama sebelah kiri
yang datang dari utara, dua orang sedang duduk bersimpul menghadapi
meja sedang bermain catur. Kereta kedua juga diduduki dua orang,
seorang sedang membersihkan kuku, seorang lagi sedang minum arak.
Agaknya keempat orang ini sedang khusuk menghadapi pekerjaan
masing-masing, siapa pun tiada yang mengangkat kepala atau menoleh ke
depan.
Kereta pertama yang datang dari selatan
tampak beberapa perempuan di dalamnya, ada tua ada muda, ada yang
senang menyulam ada yang sedang makan kwaci, ada pula yang menyisir
rambut.
Perempuan yang paling tua itu ternyata
bukan lain adalah Kui-gwa-po.
Di atas kereta kedua menggeletak sebuah
peti mati besar dan baru, di depannya tergantung sebuah wajan raksasa
yang terbuat dari tembaga, kuping gelang sebanyak empat buah dari
wajan ini terpasang di empat kaki besi.
Konon wajah terbesar di seluruh jagat
ini adalah milik Siaulim-si, wajan untuk memasak nasi. Maklum Hwesio
Siau-lim-si banyak jumlahnya, sepanjang tahun tak pernah makan barang
berjiwa, namun setiap hari mereka harus
bekerja rajin, maka selera makannya pun amat besar. Umpama saja
setiap Hwesio setiap makan menghabiskan lima mangkuk nasi, lima ratus
Hwesio menghabiskan berapa mangkuk? Lalu untuk memberi makan sampai
kenyang lima ratus Hwesio, berapa besar wajan yang harus digunakan
untuk memasak nasi?
Yan Lam-hwi pernah bertamu ke
Siau-lim-si, sengaja dia ingin menyaksikan wajan raksasa itu, karena
dia memang seorang yang selalu tertarik akan sesuatu yang luar biasa.
Wajan tembaga di atas kereta ini
ternyata tidak lebih kecil dari wajan Siau-lim-si itu. Dan anehnya di
dalam wajan ternyata ada dua orang, kepala besar kuping lebar,
wajahnya bundar, di atas jidatnya terdapat codet merah bekas bacokan
golok yang menggelantung ke bawah, dari atas alis menggaris turun
sampai ujung mulut, sehingga wajah bundar gemuk yang kelihatan jenaka
dan lucu ini mendadak berubah menjadi seram dan kejam.
Kereta dilarikan perlahan, wajah di
atas kereta ternyata bergontai pergi datang, seperti mereka duduk di
atas ayunan.
Mega sudah tertiup pergi, sang surya
merayap makin tinggi, namun hati Yam lam-hwi justru makin tenggelam.
Tapi dia harus mengunjuk tawa meski dipaksakan, gumamnya, “Tak
nyana To-jing-cu ternyata tidak datang.”
“Sekali sergap tidak berhasil, harus
segera mundur,” demikian kata Pho Ang-soat dingin, itulah aturan
lama pihak Sing-siok-hay mereka.
Tawa Yan Lam-hwi seperti amat riang
katanya, “Kecuali dia, yang pantas datang agaknya sudah tiba, yang
tidak patut datang ternyata juga sudah tiba.” Mengawasi si gembrot
dengan codet di mukanya dalam wajan itu dia tersenyum, katanya, “Koki
Dol, kenapa kau pun datang?”
Codet di muka si gendut bergerak
seperti ular. Dia sedang tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan
menjijikkan dan misterius, katanya, “Kali ini aku datang mengerjai
mayat.”
“Mengerjai mayat siapa?” tanya Yan
Lam-hwi.
“Mayat apa saja kukerjai!” dengan
bergontai dia berdiri dan keluar dari wajan besar itu. “Kuda mati
dimasukkan ke perut, orang mati dimasukkan ke layon.”
Kereta sudah berhenti seluruhnya. Yang
bermain catur tetap saja main catur, yang minum arak masih memegang
cangkir, yang menyisir juga tetap menyisir rambut, masingmasing masih
sibuk dengan tugasnya.
Koki Dol tertawa, “Agaknya semua
orang hari ini akan dapat rezeki mujur, kalian akan bisa berpesta
sampai kenyang, daging kuda panca wangi yang diolah Koki Dol, tidak
sembarang orang dapat menikmatinya.”
Yan Lam-hwi berkata, “Masakan
keahlianmu kurasa bukan daging kuda panca wangi, betul tidak?”
“Bahan-bahan untuk membuat masakan
keahlianku sukar dicari, bolehlah hari ini kalian menikmati daging
kuda panca wangi saja,” sembari bicara badannya yang gendut itu
tahutahu sudah menyelinap keluar dari bawah wajan, terus melompat
turun, bagi yang tidak menyaksikan sendiri sungguh sukar percaya
bahwa si gendut yang beratnya ratusan kati itu, gerak-geriknya
ternyata enteng dan lincah. Dan ternyata dia juga membawa pisau,
pisau pendek tapi lebar, pisau untuk merajang sayur, pisau yang biasa
digunakan koki di setiap restoran.
Tak tahan Co Giok-cin bertanya, “Apa
benar Koki Dol seorang koki?”
“Palsu,” sahut Yan Lam-hwi. “Kenapa
orang memanggilnya koki?”
“Karena dia senang memasak dan suka
pakai golok sayur.”
“Paling ahli dia masak apa?”
“Panggang jantung orang, dicampur
saos daging panggang.”
Penebang kayu itu sudah tidak muntah
lagi, baru saja dia mengangkat kepala, menegakkan badan, seketika dia
berdiri menjublek pula.
Tak pernah terbayang dalam benaknya
bahwa tempat ini bakal ramai. Pagi tadi dia hanya makan dua bakpao
hangat dengan beberapa tangkai sayur asin, semula dia menyangka isi
perutnya sudah terkuras habis, tiada yang bisa dimuntahkan lagi. Tapi
hanya sekejap dia melihat ke sana, tak tertahan dia memeluk perut
muntah-muntah lagi, lebih keras dan banyak.
Sementara itu Koki Dol sudah
mengeluarkan pisaunya membacok daging kuda, kulit daging bercampur
tulangnya sekalian, dia membacok segumpal besar, seenaknya saja
tangannya terayun melemparkan gumpalan daging itu ke dalam wajan
besar itu.
Tangan kanan mengerjakan pisau, tangan
kiri melempar daging, kedua tangannya naik turun secara cepat,
gerakgeriknya cekatan dan amat mahir, kuda itu dalam sekejap telah
diirisnya menjadi seratus tiga puluhan kerat daging. Daging kuda
sudah berada di dalam wajan, mana bahan panca wanginya?
Darah yang berlepotan di atas pisaunya
dibersihkan dengan alas sepatu Koki Dol, lalu dia melangkah balik
menghampiri peti mati besar dan tebal itu. Di dalam peti mati
ternyata tersimpan berbagai bahan masakan, minyak, garam, kecap,
cuka, lada, jahe dan banyak lagi, tidak ketinggalan juga penyedap
rasa, bahan-bahan masakan yang terpikir olehmu pasti dibawa oleh Koki
Dol.
Koki Dol menggumam, “Kereta bobrok
ini kebetulan untuk bahan bakar, bila kereta ini terbakar habis,
yakin dagingnya juga sudah empuk, sudah matang.”
Nyo Bu-ki yang sedang main catur
tiba-tiba berseru, “Bagianku jangan terlalu empuk, gigiku masih
utuh.”
Koki Dol berkata dengan nada tinggi,
“Tosu yang beribadah juga berani makan daging?”
“Jangan kata daging kuda, daging
manusia juga pernah kumakan.”
Koki Dol bergelak tertawa, katanya,
“Jika Tosu ingin makan daging manusia, sebentar boleh kubikinkan,
bahan-bahan sudah lengkap tersedia di sini.”
“Memangnya aku sedang menunggu,
biasanya aku tidak tergesa-gesa.”
Koki Dol bergelak tawa, matanya melirik
ke arah Pho Angsoat, katanya, “Daging manusia untuk tambah darah,
siapa mau makan sedikit daging orang, mukanya tanggung tidak pucat
lagi.” Di tengah gelak tawanya, cukup dengan sebelah tangan dia
mengangkat wajan raksasa seberat tiga ratusan kati itu bersama kaki
besinya ke tengah jalan raya, lalu dengan pecahan kayu kereta dia
mulai menyulut api di bawah wajan.
Lekas sekali api telah menyala, asap
mengepul, kayu yang terjilat api meletup-letup lirih.
Orok di pelukan Co Giok-cin menangis,
terpaksa Co Giokcin menarik bajunya, memberi minum air teteknya.
Kongsun To yang masih memegangi cangkir
arak mendadak berseru, “Waduh putihnya.”
“Daging yang empuk dan gurih,” sela
Koki Dol tertawa.
Kwi-gwa-po yang sedang makan kwaci
mendadak menghela napas, katanya, “Orok yang harus dikasihani.”
Terasa oleh Pho Ang-soat, perutnya
seperti mengkeret, tak tertahan hampir saja dia pun muntah-muntah.
Otot hijau sudah merongkol di punggung tangannya yang memegang golok,
agaknya sudah siap mencabut goloknya.
Tapi Yan Lam-hwi memegang pundaknya,
katanya lirih, “Sekarang tidak boleh bergerak.”
Sudah tentu Pho Ang-soat juga tahu
situasi sekarang belum mengizinkan dia beraksi. Beberapa orang itu
kelihatan bersikap santai, padahal hati mereka juga gugup, gelisah
sepeti semut di dalam kuali yang panas, sedikit lena dan bergerak
tanpa perhitungan, akibatnya pasti susah dibayangkan.
Lalu bagaimana kalau tidak beraksi?
Apakah harus diam begini saja sampai mereka habis gegares daging
kuda, lalu makan daging manusia.
Dengan merendahkan suaranya, Yan
Lam-hwi bertanya, “Kau kenal tidak Toh Cap-jit yang punya delapan
nyali dan delapan sukma?”
Pho Ang-soat geleng kepala.
“Orang ini bukan Tayhiap, bukan
ksatria, tapi mempunyai jiwa pendekar melebihi para pendekar dan
ksatria yang pernah kukenal. Aku sudah berjanji dengan dia untuk
bertemu di kedai minum Thian-hiang-lau di kota sebelah depan, asal
dapat menemukan dia, persoalan apa pun pasti dapat dibereskan,
hubunganku dengan dia amat baik.”
“Itu kan urusanmu.”
“Tapi sekarang urusanku adalah
urusanmu pula.”
“Aku tidak mengenalnya.”
“Tapi dia mengenalmu.”
Yang main catur tetap asyik dengan
permainannya, setiap orang masih tekun melakukan tugas masing-masing,
hakikatnya tidak memperhatikan mereka, seolah-olah mereka sudah
dianggap sebagai orang mati.
“Apakah kau ini seorang yang kenal
aturan?” tanya Yan Lam-hwi. “Kadang kala saja,” sahut Pho
Ang-soat.
“Sekarang apakah sudah tiba saatnya
kita tidak usah kenal aturan?”
“Agaknya memang demikian.”
“Bolehkah Co Giok-cin dan kedua
anaknya mati di sini?”
“Tidak boleh.”
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya,
“Syukurlah kalau kau selalu ingat perkataanku tadi, marilah pergi.”
“Pergi? Pergi bagaimana?”
“Begitu kau mendengar aku mengucap
'anjing kecil', bawalah Co Giok-cin dan kedua anaknya ke atas kereta
itu, sembunyikan ke dalam peti mati, urusan selanjutnya serahkan
kepadaku.” Lalu dengan tertawa Yan Lam-hwi menambahkan, “Jangan
lupa kepandaianku melarikan diri nomor satu di seluruh jagat ini.”
Terkancing mulut Pho Ang-soat, sudah
tentu dia maklum apa maksud Yan Lam-hwi, sekarang dia tidak punya
pilihan lain. Apa pun yang akan terjadi dia harus berjuang dan
berusaha supaya Co Giok-cin dan kedua anaknya tidak terjatuh ke
tangan orang-orang itu.
Kereta dimana Kwi-gwa-po duduk
seluruhnya berisi orang perempuan, kecuali nenek peyot ini, empat
yang lain berwajah tidak jelek. Tidak jelek maksudnya ayu jelita,
yang paling jelita sedang menyisir rambut, rambutnya yang panjang
terurai mayang dan hitam mengkilap.
Mendadak Yan Lam-hwi berkata, “Konon
dari yang tua sampai yang paling muda, Biau-thian-ong seluruh
mempunyai delapan puluh bini.”
“Ya, tepat delapan puluh, dia suka
angka genap,” sahut Kwi-gwa-po.
“Kabarnya peduli kemana pun dia,
paling sedikit akan membawa empat lima bininya, karena sembarang
waktu dia memerlukan hiburan,” kata pula Yan Lam-hwi.
“Dia memang laki-laki yang selalu fit
tenaganya, maka setiap bininya pasti merasa ketiban rezeki,” ujar
Kwi-gwa-po.
“Apakah kau salah satu di antaranya?”
Kwi-gwa-po menghela napas, katanya,”Aku
memang ingin, sayang dia menganggap aku terlalu tua.”
“Siapa bilang kau sudah tua, menurut
pandanganku, kau lebih muda sepuluh tahun dibanding nenek yang sedang
menyisir rambut itu.”
Kwi-gwa-po tertawa lebar, gadis yang
sedang menyisir rambut berubah air mukanya, menatapnya dengan mata
melotot.
Yan Lam-hwi malah tertawa menyengir
padanya, katanya, “Sebetulnya kau belum terhitung tua, kecuali
Kwi-gwa-po, kau terhitung yang paling muda.”
Sekarang orang banyak sudah tahu kalau
dia sengaja mencari setori, mencari kesulitan, tapi mereka tak habis
mengerti, orang-orang sengaja tidak memperhatikan dia, sekarang
terpaksa melirik atau menoleh ke arahnya.
Maka Yan Lam-hwi langsung menemui Koki
Dol, katanya, “Kecuali membacok daging mengiris sayur, pisaumu ini
apa pula gunanya?”
“Untuk membunuh orang pula,” sahut
Koki Dol. Codet di mukanya mulai bergerak pula, “Membunuh seorang
dengan golok antik yang dihiasi mutiara dan mutu manikam, apa bedanya
dengan golok sayurku ini?”
“Kurasa ada sedikit perbedaannya.”
“Dimana perbedaannya?”
Yan Lam-hwi tidak menghiraukan dia,
setelah memutar tubuh dia membuka tutup peti mati, mulutnya
menggumam, “Eh, di sini juga ada bawang merah, ada merica, apa ada
lombok?”
“Dimana perbedaannya?” teriak Koki
Dol.
Yan Lam-hwi tetap tidak mempedulikan
dia, katanya, “Ha, di sini memang ada lombok. Agaknya peti mati ini
cukup untuk dibuat dapur.”
Semula Koki Dol mendemprok di tanah,
sekarang dia berdiri, katanya, “Kenapa tidak kau jelaskan?
Sebetulnya dimana letak perbedaannya?”
Akhirnya Yan Lam-hwi menoleh, katanya
dengan tertawa, “Sebetulnya dimana perbedaannya aku sendiri juga
tidak tahu. Aku hanya tahu supaya daging kuda panca wangi terasa
sedap, harus banyak dicampur lombok.” Lalu dia mencomot segenggam
lombok, menghampiri wajan besar itu, katanya pula, “Kukira di sini
tiada orang yang tidak doyan lombok, yang
tidak makan lombok adalah anjing
cilik.”
Saking gusar selebar muka Koki Dol yang
gembrot sudah pucat-pias, pada saat itulah terdengar ringkik kuda
disertai bentakan nyaring. Pho Ang-soat sudah mengangkat Co Giokcin,
Co Giok-cin memeluk kedua anaknya, dua orang besar dan dua orok
meluncur pesat merebut kereta. Co Giok cin langsung memasukkan kedua
anaknya ke dalam peti mati, sementara Pho Ang-soat mengayun cambuk
mengeprak kuda, pada waktu yang sama Yan Lam-hwi memegang kaki wajan,
terus diangkatnya ke atas.
“Awas!” Kongsun To berseru,
menimpukkan cangkir seraya berjingkrak berdiri.
Sebelum hilang suaranya, Co Giok-cin
sudah melompat masuk ke dalam peti mati serta menutup rapat tutupnya
dari dalam. Sementara Yan Lam-hwi mengayun wajan besar itu terus
dilempar ke arah dua kereta di depan sana.
Kuah panas muncrat, daging kuda
beterbangan, kuda berjingkrak kaget ketakutan, potongan daging kuda
laksana hamburan senjata rahasia, sipaa pun yang terkena pasti kulit
dagingnya melepuh kepanasan.
Orang-orang di atas kereta berlompatan
turun sambil menutup muka dan kepala dengan kedua lengan bajunya.
Tangan kanan Pho Ang-soat memegang
golok, tangan kiri mengayun cambuk, keretanya sudah menerobos pergi
lewat tengah-tengah kedua kereta yang ambruk di kedua sisi jalan.
Tubuh Siau Si-bu terapung di udara,
mendadak dia bersalto, seluruh kulit daging dan otot tangan kanannya
penuh dilandasi kekuatan dalamnya, pisau terbang sudah terpegang di
jari-jarinya.
Di sebelah sana Nyo Bu-ki juga
melambung ke atas, tangannya juga memegang gagang pedang.
Pisau Siau Si-bu sudah disambitkan,
kali ini sedikitpun tidak mengeluarkan suara, timpukannya itu
menggunakan setaker tenaga, yang diincar adalah punggung Pho
Ang-soat. Punggung adalah sasaran paling empuk dan nyata, paling
sukar dihindari.
Walau kedua kereta sudah ambruk ke
pinggir, namun peluangnya juga tidak lebar. Pho Ang-soat harus
mencurahkan perhatian mengendalikan kuda keretanya, supaya kereta ini
tidak menabrak atau terbalik. Punggungnya juga tidak tumbuh mata,
hakikatnya tidak tahu sambaran pisau yang melesat bagai kilat
menyambar itu, umpama dia tahu juga tidak mampu berkelit. Umpama dia
berhasil meluputkan diri dari timpukan pisau, kereta tidak terkendali
lagi dan pasti menumbuk kereta yang lain.
Di saat genting itulah, goloknya
mendadak menyelonong keluar dari bawah ketiak, “Ting”, sarung
goloknya yang hitam gelap itu memercikkan lelatu api, pisau terbang
sepanjang empat dim jatuh berkerontang di atas kereta.
Pedang Nyo Bu-ki sudah keluar dari
sarungnya, dengan jurus Giok-li-jeng-so (gadis cantik menyusup
benang) menyerang sambil menukik turun.
Sarung golok masih terkempit, Pho
Ang-soat mencabut golok secara terbalik, dimana sinar goloknya
berkelebat dia sambut kedatangan cahaya pedang, Golok dan pedang
tidak beradu, namun gerak sinar golok lebih cepat lagi, ujung pedang
Nyo Bu-ki sudah hampir menembus leher Pho Angsoat, jaraknya tinggal
satu dim, tapi satu dim ini justru merupakan jarak yang menentukan.
Terdengar jeritan mengalun di angkasa,
darah pun berhamburan, dari udara melayang jatuh sebelah lengan
orang, jari-jarinya masih memegang kencang gagang pedang, itulah
Siong-bun-thi-kiam yang kuno dan antik.
Waktu badan Nyo Bu-ki melayang turun,
kebetulan dia kecemplung ke dalam wajan besar itu, masih ada sisa
kuah dan daging kuda yang panas. Itulah kali pertama selama hidupnya
berkesempatan membunuh Pho Ang-soat, kali ini pedangnya hampir
menusuk tenggorokan Pho Ang-soat, hanya terpaut satu dim saja.
Kuda meringkik panjang, kereta itu
sudah dibawanya lari jauh meninggalkan kepulan asap. Cahaya pedang
yang menyala bagai warna darah, terbang mendatang mencegat jalan di
belakang kereta.
Pho Ang-soat tidak menoleh, dia
mendengar suara batuk Yan Lam-hwi, gerak pedang Yan Lam-hwi yang
mencegat para musuhnya itu jelas sudah mengerahkan seluruh
kekuatannya.
Pho Ang-soat tidak berani menoleh, dia
kuatir bila dirinya melihat ke belakang, pasti akan putar balik,
berjuang berdampingan dengan Yan Lam-hwi sampai titik darah
penghabisan. Sayang sekali ada sementara orang tidak boleh mati,
pasti tidak boleh.
Malam larut, hawa dingin. Di tanah
pekuburan.
Kereta itu akhirnya berhenti di tengah
pekuburan. Bintang berkelap-kelip di angkasa, di tanah pekuburan yang
belukar dengan batu-batu nisan berserakan, tiada tampak bayangan
orang.
Mendadak seorang bangun berduduk dari
dalam peti mati di atas kereta itu, rambutnya panjang menyentuh
pundak, sorot matanya bening laksana air. Umpama dia ini setan, pasti
setan yang paling ayu di jagat ini. Sorot matanya mengerling kian
kemari, agaknya dia sedang celingukan, entah apa yang dicarinya. Yang
dicari bukan setan, bukan dedemit, tapi seorang yang memegang golok.
Kemanakah Pho Ang-soat? Kenapa dia
ditinggal seorang diri di sini? Sorot matanya menampilkan rasa ngeri
dan takut, untunglah Pho Ang-soat sudah muncul di depannya.
Kabut mulai menyelimuti tanah pekuburan
itu, tabir malam kelihatan pucat, sepucat muka Pho Ang-soat.
Walau Co Giok-cin menghela napas lega
setelah melihat wajah pucat ini, namun dia kaget dan curiga, “Kenapa
kita harus berada di sini?”
Tidak menjawab malah balas bertanya,
“Sebutir beras, sembunyi dimana paling aman?”
Co Giok-cin berpikir sejenak, sahutnya,
“Sembunyi di tumpukan beras.”
“Sebuah peti mati harus disembunyikan
dimana supaya tidak menarik perhatian orang.”
Akhirnya Co Giok-cin mengerti
maksudnya, kalau sebutir beras sembunyi di dalam tumpukan beras, maka
peti mati harus disembunyikan di tanah pekuburan. Tapi dia masih
kurang jelas, tanyanya, “Kenapa kita tidak mencari Toh Capjit,
teman Yan Lam-hwi itu?”
“Tidak boleh kita ke sana.”
“Kau tidak mempercayainya?”
“Orang yang dipercaya Yan Lam-hwi aku
pun mau percaya kepadanya.”
“Lalu kenapa tidak mencarinya?”
“Thian-hiang-lau adalah sebuah
restoran besar, Toh Cap-jit adalah seorang terkenal, kalau hendak
mencarinya, dalam jangka tiga jam, Kongsun To dan kambrat-kambratnya
pasti segera tahu.”
Co Giok-cin menghela napas, katanya
lembut, “Sungguh tak nyana, langkah kerjamu lebih teliti dari aku.”
Pho Ang-soat menghindar dari kerlingan
matanya, dari dalam bajunya dia merogoh keluar sebuah buntalan kertas
minyak, katanya, “Inilah panggang ayam yang sempat kubeli di tengah
jalan, tak perlu kau bagikan kepadaku, aku sudah makan.”
Tanpa bersuara Co Giok-cin menerima
buntalan kertas itu serta membukanya, air matanya menetes di atas
panggang ayam.
Pho Ang-soat pura-pura tidak melihat,
katanya, “Aku sudah memeriksa daerah sekitar sini, dalam jarak tiga
li di sini tidak berpenduduk, di belakang juga tiada orang yang
menguntit kita, kau harus tidur, bila terang tanah aku ingin kau
melakukan sesuatu untukku.”
“Tugas apa?”
“Mencari tahu kalau malam dimana Toh
Cap-jit menginap? Bila aku mencarinya, seorang pun tidak boleh tahu.”
“Jadi aku harus mencarinya?”
“Tampangku gampang menarik perhatian
orang, orang yang kenal kau amat sedikit, aku sedikit menguasai tata
rias.”
“Jangan kau kuatir, aku bukan
perempuan lemah, aku bisa menjaga diriku sendiri.”
“Kau bisa naik kuda?”
“Ya, pernah belajar sebentar.”
“Baiklah, besok pagi kau boleh
berangkat dengan naik kuda, setiba di tempat yang banyak orang,
segera kau lepaskan kuda ini. Di tengah jalan kau mencegat kereta,
bila pulang boleh kau membeli seekor keledai.”
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat di
sebelah utara, tidak sedikit perempuan yang naik keledai.
“Aku pasti dapat bekerja hati-hati,
cuma kedua bocah ini...”
“Serahkan kepadaku, teteki dulu
sampai kenyang baru kau berangkat, karena itu malam ini kau harus
tidur.”
“Dan kau?”
“Jangan kau kuatirkan aku, bila perlu
ada kalanya aku berjalan pun bisa tidur.”
Co Giok-cin menatapnya, pandangannya
lembut mesra, terbayang pula rasa iba, seperti banyak persoalan ingin
dia bicarakan, ingin mencurahkan hati. Namun Pho Ang-soat sudah putar
tubuh, menghadapi tabir malam yang telah menyelimuti jagat raya,
sekarang dia seperti sudah tidur.
Tepat tengah hari.
Kedua orok kecil itu akhirnya tertidur
pulas, Co Giok-cin sudah pergi tiga jam lalu.
Pho Ang-soat duduk di tempat gelap di
belakang gundukan tanah kuburan, dengan terlongong dia mengawasi
tanah membukit di depan matanya, sudah lama dia tidak bergerak.
Pho Ang-soat lantas berpikir,
siapa-siapa saja yang dikebumikan di kuburan ini? Di antaranya ada
berapa banyak orang-orang gagah, pahlawan bangsa yang tidak ternama?
Berapa banyak kaum gelandangan yang hidup terluntaterlunta?
Manusia yang hidupnya kesepian, apakah
setelah mati dia tetap kesepian? Setelah dia mati adakah sesama
manusia mau mengebumikan dia? Dikubur dimana? Siapa yang mampu
menjawab semua pertanyaan ini? Tiada seorang pun.
Pho Ang-soat menarik napas panjang,
perlahan dia bergerak berdiri, dilihatnya seekor keledai sedang
menuruni tanah gundukan di kejauhan sana.
Seekor keledai yang kurus kelihatan
amat letih, langkahnya bergontai seperti sudah kelaparan beberapa
hari, penunggangnya adalah nyonya yang kurus dan pucat.
Dari kejauhan Pho Ang-soat sudah
mengawasinya, dalam hati dia merasa puas akan tata rias buah
tangannya. Akhirnya Co Giok-cin kembali dengan selamat, tiada yang
mengenalnya, juga tiada yang menguntit dia.
Begitu melihat Pho Ang-soat dan kedua
anaknya, matanya lantas memancarkan cahaya seperti lazimnya seorang
ibu yang bijaksana dan bijak terhadap putra-putrinya, dia memburu ke
arah kedua anaknya, satu per satu dia cium pipinya yang montok, lalu
mengeluarkan buntalan kertas minyak, katanya, “Inilah panggang ayam
dan daging sapi yang kubeli di dalam kota, kau tidak usah bagikan
padaku, aku sudah makan.”
Tanpa bersuara Pho Ang-soat mengulur
tangannya menerima. Waktu ujung jari Co Giok-cin menyentuh tangan Pho
Ang-soat, terasa tangannya sedemikian dingin.
Seorang yang kepanasan tiga jam di
bawah terik matahari, kalau telapak tangannya masih terasa dingin,
maka hatinya pasti dirundung persoalan, pikirannya tidak tenteram.
Co Giok-cin mengawasinya, katanya
lembut, “Aku tahu kau pasti amat kuatir menungguku, akan begitu aku
berhasil memperoleh berita, aku lantas pulang.”
“Jadi kau sudah mencari tahu Toh
Cap-jit...”
“Tiada orang yang tahu dimana Toh
Cap-jit tidur kalau malam?” tukas Co Giok-cin, “umpama ada orang
tahu, dia juga tidak mau mengatakan.”
Toh Cap-jit adalah seorang yang supel,
orang yang suka berkawan dengan banyak teman, maka temannya tersebar
dimana-mana. “Tapi aku mendapat sebuah berita,” ucap Co Giok-cin.
Pho Ang-soat dengan serius mendengarkan.
“Temannya memang banyak, tapi
musuhnya juga tidak sedikit, satu di antaranya yang paling lihai
bernama Ma Gun, setiap penduduk kota tiada yang tidak tahu, bahwa
pada tanggal tujuh belas bulan yang akan datang, Ma Gun sudah siap
membunuh Toh Cap-jit. Dan lagi agaknya dia sudah punyapersiapan,
kelihatannya yakin usahanya itu pasti berhasil.”
“Hari ini kalau tidak salah sudah
tanggal 8,” ucap Pho Angsoat.
Co Giok-cin mengangguk, katanya, “Maka
aku pikir, dalam beberapa hari ini, dimana jejak Toh Cap-jit, pasti
hanya Ma Gun saja yang tahu.”
Jika kau ingin mencari jejak seseorang,
daripada mencari temannya, lebih baik kau mencari musuhnya. “Kau
sudah menemui Ma Gun?”
“Aku tidak menemuinya,” ujar Co
Giok-cin tertawa, “tapi kau boleh pergi mencarinya, menemuinya
secara terang-terangan, tak usah takut diketahui Kongsun To dan
kambrat-kambratnya, bila mereka tahu, bukan mustahil keedaan malah
menguntungkan kita.” Senyumannya lembut dan juga manis.
Pho Ang-soat menatapnya sesaat,
mendadak dia sadar, dia tahu apa maksudnya, sorot matanya lantas
memancarkan makna memuji dan kagum.
“Restoran tersebar di kota depan itu
bukan Thian-hiang-lau, tapi adalah Teng-sian-lau.”
“Ma Gun sering ke sana?”
“Setiap hari dia pasti ke sana, malah
setiap pagi hingga malam dia pasti di sana, karena Teng-sian-lau
adalah miliknya.”
Malam telah tiba.
Pho Ang-soat meninggalkan Co Giok-cin
dan anaknya di tengah tanah pekuburan, di antara gundukan tanah yang
lembab, semak belukar yang lebat, gelap dan menyeramkan. Bagaimana
dia tega dan lega meninggalkan mereka di sini?
Karena tempat ini terlalu sepi, belukar
lebat, gelap dan jarang dijelajahi manusia, maka dia yakin tiada
orang mengira mereka bersembunyi di sini, maka dia boleh berlega
hati. Tapi apakah hatinya lega?
Tidak! Tapi banyak persoalan harus dia
bereskan dan atur untuk mereka, supaya bisa bertahan hidup dengan
tenteram dan selamat. Karena dia tahu dirinya takkan bisa selamanya
mendampingi mereka.
Tiada seorang pun di dunia ini
selamanya dapat mendampingi seorang yang lain. Betapapun lama
pergaulan antar sesama manusia, akhir dari pertemuan atau pergaulan
itu pasti berpisah. Kalau bukan berpisah untuk selamanya, maka
berpisah untuk mencari jalan hidup sendiri.
Mendadak dia terkenang kepada
Bing-gwat-sim.
Sejauh mana dia sudah berusaha menekan
emosinya untuk tidak mengenangnya lagi, tapi di lereng nan sepi, di
malam nan hening seperti ini, persoalan yang tidak ingin kau
pikirkan, justru paling gampang kau pikirkan.
Karena itu bukan saja dia terkenang
kepada Bing-gwat-sim, dia pun teringat kepada Yan Lam-hwi, terbayang
olehnya waktu mereka berpisah. Bing-gwat-sim menatap dengan kerlingan
matanya, terbayang akan suara batuk-batuk kering Yan Lam-hwi di
tengah cahaya pedangnya yang merah.
Sekarang dimana mereka berada? Di ujung
langit? Atau di dalam tungku?
Pho Ang-soat tidak tahu, malah dia
sendiri juga bingung, entah dimana sekarang dirinya berada? Di ujung
langit? Atau di dalam tungku?
Golok tergenggam kencang di tangan, dia
tahu goloknya itu pernah digembleng dari dalam tungku. Bukankah
sekarang jiwa raganya mirip goloknya yang tergembleng di dalam tungku
dulu?
ooooOOoooo
Bab 14. Bayar Dulu Bunuh Kemudian
Ma Gun berdiri di pinggir pagar berukir
di atas loteng, terhadap sesuatunya kelihatan amat puas. Tempat itu
adalah gedung megah yang mcnterang dengan panjang dan hiasan yang
cukup mewah dan antik. Perabotnya serba kuno dan bernilai tinggi,
setiap meja kursi terukir dari k.iyu pilihan, pecah-belah yang
dipakai di sini seluruhnya terbuat dari pabrik keramik yang terkenal
di kota King-tek-tin.
Tamu-tamu yang makan minum di sini
semua adalah pejabat tinggi, hartawan atau orang-orang terkenal yang
punya pengaruh. Padahal tarip di restoran ini satu kali lipat lebih
mahal dari restoran termahal manapun dalam kota ini, tapi Ma Gun tahu
tamu-tamunya itu tidak memikirkan tarip tinggi, karena kemewahan
adalah kegemaran mereka, foyafoya adalah kenikmatan hidup bagi mereka
yang kantongnya tebal, asal mereka puas oleh service memuaskan, tidak
sayang mereka merogoh kantong membayar mahal.
Seperti biasanya dia memang paling suka
berdiri di tempat itu, mengawasi orang-orang yang kelihatannya
berduit, punya pangkat dan terpandang mondar-mandir di bawah kakinya,
sehingga selalu dia merasakan dirinya jauh berada di atas mereka.
Padahal perawakannya tidak genap lima
kaki, namun perasaan bangga itu selalu membuatnya mabuk kepayang,
beranggapan bahwa dirinya satu kepala lebih tinggi dari orang lain,
karena dia suka menikmati perasaannya ini.
Ternyata Ma Gun juga senang melakukan
tindakan atau perbuatan yang dipandang luhur dan disegani, seumpama
dia amat senang memegang kekuasaan. Tapi satu hal yang membuatnya
selalu risau adalah Toh Cap-jit yang tidak mau mampus itu.
Bila Toh Cap-jit sudah minum arak,
seperti tidak menghiraukan jiwanya lagi, bila dia berjudi, dia pun
seperti tidak peduli akan raganya, apalagi bila berkelahi, jiwa raga
pun dipertaruhkan seolah-olah dia punya jiwa rangkap sembilan.
“Umpama betul dia punya jiwa rangkap
sembilan, aku tidak akan membiarkannya hidup lewat tanggal tujuh
belas,” Ma Gun sudah bertekad bulat, untuk melaksanakan tekadnya
ini dia sudah mengatur rencana secara cermat. Cuma sayang dia sendiri
tidak punya pegangan bahwa rencana ini yakin pasti berhasil. Bila
memikirkan hal ini, selalu hatinya risau, masgul. Untunglah pada saat
itu, orang yang dinantikannya sudah datang.
Orang yang ditunggunya ini bernama To
Ceng, untuk memanggil To Ceng dari kotaraja dia berani merogoh
kantong sebanyak tiga laksa tahil perak, To Ceng diundang untuk
membunuh Toh Cap-jit.
Nama To Ceng tidak begitu terkenal di
kalangan Kangouw, karena terkenal merupakan pantangan besar bagi
tugas dan profesinya. Memang yang dikejarnya bukan terkenal, bukan
nama, tapi kekayaan.
To Ceng adalah pembunuh bayaran,
imbalan untuk setiap tugas yang harus dia lakukan paling rendah
adalah tiga laksa tahil perak. Pembunuh bayaran adalah suatu usaha
misterius yang sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala, bagi setiap
pembunuh yang berprofesi dalam bidangnya ini, dia pun pantang
publikasi atau mengagulkan diri di depan umum.
Maka di dalam kalangan mereka sendiri,
To Ceng adalah orang yang ternama, seorang jagoan, maka tuntutan
imbalannya jauh lebih tinggi dari orang lain, karena belum pernah dia
gagal membunuh orang.
Perawakan To Ceng tujuh kaki, kulitnya
hitam kurus, sepasang matanya bercahaya seperti tajamnya mata elang.
Baju yang dipakainya selalu dari bahan mahal, bikinan tukang jahit
terkenal, namun warnanya tiada yang segar. Sikapnya dingin tabah,
tangannya menjinjing sebuah buntalan panjang berwarna kelabu.
Jari-jari tangannya kering bersih dan mantap, semua persyaratan ini
amat mencocoki profesinya,sehingga orang akan merasa lega dan mantap
meski megeluarkan tarip yang tinggi sebagai imbalannya.
Terhadap persoalan ini kelihatan Ma Gun
juga amat puas.
To Ceng sudah mencari tempat duduk di
sudut sana, jangan kata mengangkat kepala, melirik pun tidak.
Gerak-geriknya selalu dirahasiakan,
pantang bagi dirinya bila orang tahu bahwa antara dirinya dengan Ma
Gun sudah terikat oleh suatu kerja sama, maka besar pantangannya,
supaya tiada orang tahu untuk apa dia datang kemari.
Ma Gun menghela napas lega, namun
dengan napasnya yang berat. Baru saja dia mau putar tubuh, pikirnya
hendak kembali ke kamar kerjanya untuk minum dua cangkir, mendadak
matanya tertumbuk pada bayangan seseorang yang sedang melangkah
masuk, seorang yang berwajah pucat, gaya langkahnya amat aneh, jari
tangannya menggenggam sebilah golok.
Golok yang hitam, golok masih berada di
dalam sarungnya, namun kedatangannya sudah terasa mengancam dada
setajam golok yang kemilau. Sorot matanya pun setajam mata golok,
sekilas matanya melirik, akhirnya menatap ke arah To Ceng, To Ceng
sedang menunduk minum teh.
Orang asing ini menyeringai dingin,
lalu duduk di kursi yang berada di dekatnya. “Pletak”, mendadak
kursi yang terbuat kayu pilihan telah patah karena tidak kuat
ditindih pantatnya. Dia mengerut alis sambil berdiri, sebelah
tangannya meneken meja, mendadak terdengar suara “pletak” pula,
meja ukir dari kayu pilihan seharga dua puluh tahil perak itu
ternyata merekah tepat di tengah.
Sekarang siapa pun sudah tahu bahwa si
timpang ini sengaja membuat gara-gara.
Mata Ma Gun mulai mengkerut.
Apakah orang ini jago kosen yang
diundang Toh Cap-jit dari tempat lain untuk menghadapi dirinya?
Pengawal dan tukang pukul sudah siap bertindak, tapi Ma Gun mencegah
aksi mereka dengan ulapan tangannya.
Kalau To Ceng sudah berada di sini,
kenapa tidak mencoba berapa tinggi kungfunya?
Sebagai pedagang, apalagi pedagang yang
berhasil, pedagang yang pandai berhitung, maka dia selalu berpedoman
satu tahil uang perak yang kukeluarkan harus dapat aku mengeruk
sepuluh tahil perak.
Apalagi kedatangan orang asing yang
timpang ini agaknya bukan melulu dirinya, tapi yang dihadapinya
adalah To Ceng.
Orang asing ini sudah tentu adalah Pho
Ang-soat.
To Ceng masih menunduk menikmati
tehnya.
Mendadak Pho Ang-soat menghampirinya,
katanya dingin, “Bangun!”
To Ceng tetap tak bergeming, juga tidak
bersuara, tapi tamu-tamu yang lain diam-diam sudah kabur dari tempat
itu. Pho Ang-soat mengulangi, “Berdiri!”
Akhirnya To Ceng mengangkat kepala,
lagaknya seperti baru melihatnya, lalu sahutnya, “Duduk lebih enak
daripada berdiri, kenapa aku harus berdiri?”
“Karena aku ingin duduk di kursimu
itu.”
To Ceng menatapnya, perlahan dia
turunkan cangkirnya, pelan-pelan mengulur tangan mengambil buntalan
di atas meja. Sudah jelas di dalam buntalan itulah gamannya.
Jari-jari Ma Gun mengepal, jantungnya
berdebar lebih cepat lagi. Dia senang melihat orang membunuh, senang
melihat darah orang mengalir. Belakangan ini jarang ada kejadian apa
pun yang menarik perhatiannya, perempuan tidak membangkitkan
seleranya lagi, hanya membunuh orang yang selalu dapat membangkitkan
rasa puas, peristiwa yang mendebarkan hati.
Tapi hari ini dia kecewa, To Ceng sudah
berdiri memegangi buntalannya itu, dia menyingkir tanpa bersuara.
Biasanya dia bekerja amat teliti, tdak mau sembarangan turun tangan
di hadapan banyak orang.
Mendadak Ma Gun berkata, “Hari ini
restoran akan ditutup sebelum waktunya, kecuali yang ada perlu dengan
aku, yang lain boleh silakan pergi.”
Mereka yang ingin menonton keramaian
juga terpaksa mengundurkan diri, ruang besar itu kini tinggal dua
orang saja.
To Ceng menunduk minum teh, Pho
Ang-soat mengangkat kepalanya, menatap Ma Gun yang berdiri di pinggir
lankan berukir naga.
“Ada urusan apa kau mencariku?”
tanya Ma Gun. “Kau ini Ma Gun?”
Ma Gun mengangguk, katanya sambil
tertawa dingin, “Jika Toh Cap-jit menyuruhmu kemari untuk
membunuhku, maka orang yang kau cari betul adalah diriku.”
“Jika kau ingin mencari orang untuk
membunuh Toh Cap-jit, kau pun tepat berhadapan dengan orangnya.”
“Kau?” seru Ma Gun di luar dugaan.
“Apa aku tidak mirip pembunuh?”
tanya Pho Ang-soat.
“Kalian bermusuhan?”
“Membunuh orang bukan pasti harus
bermusuhan.”
“Biasanya kau membunuh lantaran apa?”
“Lantaran senang.”
“Cara bagaiamana baru kau bisa
senang.”
“Beberapa tahil perak biasanya cukup
membuatku senang.” Bercahaya mata Ma Gun, katanya, “Aku bisa
membuatmu senang, maukah kau pergi membunuh Toh Cap-jit?”
“Kabarnya kau seorang cukong yang
tidak kikir.”
“Kau yakin dapat membunuh dia?”
“Aku berani tanggung dia tidak akan
hidup lewat tanggal tujuh belas.”
“Dapat membuat para kawan senang, aku
sendiri pun ikut riang, sayang kau datang terlambat.”
“Kau sudah memilih pembunuh lain?”
Ma Gun melirik ke arah To Ceng, sambil
tersenyum dia mengangguk.
“Jika orang ini yang kau panggil,
maka kau salah pilih orang.”
“O, masa?”
“Orang mati mana bisa membunuh
orang.”
“Maksudmu dia orang mati?”
“Jika bukan orang mati, sekarang dia
sudah membunuhku.”
“Kenapa?”
“Karena bila kau tidak bisa membuatku
senang, maka aku pasti akan mencari Toh Cap-jit.”
“Jika kau mencari Toh Cap-jit maka
kau akan suruh dia berhati-hati terhadap orang ini?”
“Aku akan membela Toh Cap-jit
membunuhnya.”
“Membunuhnya lalu membunuh aku.”
“Selama Toh Cap-jit hidup, maka kau
harus mati.”
“Karena itu sekarang dia harus
membunuhmu?”
“Sayang sekali orang takkan bisa
membunuh lagi.” Ma Gun menghela napas, dia berputar ke arah To
Ceng, katanya, “Apa yang dikatakannya sudah kau mendengarkan
bukan?”
“Aku tidak tuli.”
“Kenapa kau tidak membunuhnya?”
“Aku sedang tidak senang.”
“Bagaimana supaya kau senang?”
“Lima laksa tahil perak.”
Ma Gun seperti terkejut, katanya,
“Membunuh Toh Cap-jit taripnya hanya tiga laksa tahil, membunuh dia
kenapa lima laksa?”
“Toh Cap-jit tidak kenal aku, dia
tahu aku.”
“Karena itu kau bisa membokong Toh
Cap-jit, namun harus berhadapan langsung dengan dia.”
“Dan lagi dia membawa golok, bahaya
yang kuhadapi lebih besar.”
“Tapi kau tetap punya keyakinan dapat
membunuhnya.” Dingin suara To Ceng, “Selamanya aku membunuh orang
belum pernah gagal.”
Ma Gun menghamburkan napasnya, katanya,
“Baik, bunuhlah dia, kubayar lima laksa!”
“Bayar kontan sebelum membunuh.”
Itulah lembaran uang kertas yang masih
baru, setiap lembar bernilai seribu tahil, seluruhnya berjumlah lima
puluh lembar.
Dua kali To Ceng menghitung lima puluh
lembar uang baru itu, seperti ini lazimnya para penagih hutang, dua
kali dia basahi jarinya dengan ludah, menghitung dua kali, lalu
membungkusnya rapi, dia simpan buntalan uang itu ke dalam dompet uang
di sabuk kulitnya.
Uang yang diperoleh dari jerih-payah
mengucurkan keringat umumnya dipandang amat berharga, lain halnya
dengan To Ceng, mencari uang biasanya dia jarang mengucurkan
keringat, namun sering mengalirkan darah. Sudah tentu darah jauh
lebih berharga daripada keringat.
Pho Ang-soat memandangnya dingin,
mukanya tidak menampilkan perasaan apa-apa, namun Ma Gun sedang
tersenyum, katanya, “Kau pasti sudah mempunyai banyak uang.”
To Ceng tidak menyangkal.
“Kau sudah menikah?” tanya Ma Gun.
To Ceng menggeleng.
Makin ramah dan bersahabat senyum Ma
Gun, katanya, “Kenapa tidak kau titipkan uangmu kepadaku, kuberi
bunga, setiap bulan tiga persen.”
To Ceng geleng-geleng kepala.
“Kau tidak mau? Memangnya kau tidak
percaya kepadaku?”
Dingin To ceng, “Yang kupercaya hanya
diriku sendiri.” Lalu dia tepuk dompet uangnya, “Seluruh harta
milikku ada di sini, hanya ada satu cara untuk mengambilnya.”
Sudah tentu ma Gun tidak berani
bertanya, namun sorot matanya seperti sedang menunggu penjelasan,
“Dengan cara apa?”
“Bunuhlah aku,” desis To Ceng, lalu
dia menatap Ma Gun,
“Siapa bisa membunuhku, dompet ini
akan menjadi miliknya, karena itu kau pun boleh mencobanya.”
Ma Gun tertawa, tawa yang dipaksakan,
ujarnya, “Kau tahu aku takkan bisa mencoba, karena
“Karena kau tidak punya keberanian,
nyalimu kecil,” jengek To Ceng. “Dan kau?” Mendadak dia
berputar menghadap Pho Ang-soat, jengeknya pula, “Jika aku
membunuhmu, apa yang kau tinggalkan untukku?”
“Hanya satu pelajaran.”
“Pelajaran apa?”
“Jangan kau bungkus alatmu untuk
membunuh dalam buntalan, seorang akan membunuh dan orang yang menjadi
korban biasanya tidak sabar lagi menunggu, orang tidak akan memberi
kesempatan kepadamu untuk membuka buntalan.”
“Pelajaran yang bagus sekali,
selanjutnya aku pasti akan selalu mengingatnya,” ucap To Ceng,
mendadak dia tertawa,
“Sebetulnya aku sendiri pun tidak
sabar membunuh orang, pasti hatiku juga gelisah setengah mati.”
Akhirnya dia bekerja, mulai membuka
bungkusan. Gaman apakah yang dia sembunyikan dalam buntalannya itu?
Ma Gun ingin sekali melihat gaman apa
yang dipakainya untuk membunuh, maka matanya menatap buntalan itu.
Siapa tahu sebelum buntalan terbuka, To Ceng sudah turun tangan. Cuma
gaman untuk membunuh orang ternyata tidak tersimpan di dalam
buntalan, setiap anggota badannya ternyata merupakan gaman untuk
membunuh orang.
Terdengar “Tak” sekali, dari sabuk
kulit dan dari lengan bajunya berbareng melesat tujuh titik sinar
dingin, dari kerah baju di belakang lehernya juga meluncur tiga
batang panah bergantol, sepasang tangannya menimpukkan dua genggam
biji teratai besi, ujung kakinya juga menendang keluar dua bilah
pisau runcing.
Begitu Am-gi ditimpukkan, orangnya pun
melompat ke atas, kedua kakinya menendang beruntun dengan gaya bebek
berenang, hanya dalam sekejap, sekaligus dia menyerang dengan empat
macam senjata rahasia berbeda yang mematikan. Sementara buntalan yang
menarik perhatian itu masih berada di atas meja.
Aksinya itu memang di luar dugaan, Ma
Gun pun terkejut dibuatnya, dalam hati dia mengakui, dengan bekal
kepandaian orang ini, dia rela membayar lima laksa perak. Dia percaya
kali ini To Ceng pasti berhasil, dia pun bilang tidak pernah gagal.
Tapi dugaannya keliru, karena dia tidak
tahu orang asing yang bermuka pucat ini adalah Pho ang-soat. Pho
Ang-soat sudah mencabut goloknya, golok yang tiada keduanya di kolong
langit, permainan golok yang luar biasa.
Betapapun banyak dan jahat serta keji
senjata rahasia musuh, muslihat dan perangkap lihai macam apa pun
bila berhadapan dengan golok yang satu ini, pasti lumer seperti salju
atau es di bawah terik matahari.
Dimana sinar golok berkelebat,
terdengarlah dering nyaring, senjata rahasia yang berhamburan di
udara satu per satu rontok berjatuhan, setiap Am-gi terkurung menjadi
dua, tepat tertabas di tengah, umpama seorang tukang pahat juga tidak
akan mampu memotong menjadi dua persis seperti itu, apalagi
sedemikian rajin dan rapi.
Setelah sinar golok lenyap, baru
kelihatan darah. Darah yang mengalir di muka, muka To Ceng. Sebuah
jalur luka berdarah dimulai dari tengah kedua alisnya, menggores
turun lewat hidung dan berakhir di atas bibirnya, bila tabasan golok
itu sedikit maju dan ditambah tiga bagian tenaganya, batok kepalanya
jelas pasti akan terbelah menjadi dua juga.
Golok sudah kembali ke dalam sarungnya,
darah segar menetes dari ujung hidungnya, mengalir ke dalam mulut,
panas, getir dan asam. Kulit daging di muka To Ceng berkerut-merut
saking menahan sakit, namun badannya tidak bergeming sedikitpun.
Dia tahu modalnya untuk membunuh orang
sudah bangkrut, kehidupannya sebagai pembunuh bayaran selanjutnya
sudah berakhir. Usaha yang serba rahasia, membunuh tanpa bersuara dan
pantang dibuat ramai-ramai, kini tanpa bersuara pula telah berakhir,
lenyap tanpa bekas.
Siapa pun bila mukanya sudah dihiasi
bekas luka yang jelas dan nyata begitu, pasti tidak sesuai lagi
melakukan usaha di bidang itu.
Mengawasi buah karyanya di muka orang,
mendadak Pho Ang-soat mengulap tangan, katanya, “Pergilah kau.”
Gemetar bibir To Ceng, tanyanya,
“Kemana?”
“Asal bukan pergi membunuh orang,
terserah kemana saja boleh.”
“Kau ... kenapa tidak kau bunuh aku
saja?”
“Kau menuntut imbalan lima laksa
tahil baru membunuhku, kalau aku harus membunuhmu, sedikitnya aku pun
menuntut lima laksa,” lalu dengan nada lebih dingin dia menyambung,
“biasanya aku tidak pernah membunuh orang secara gratis.”
“Tapi milikku yang terbawa di dalam
dompet ini nilainya lebih dari lima laksa, bila kau membunuhku, semua
milikku menjadi milikmu.”
“Itu lain soal, prinsip kerjaku juga
harus bayar dulu baru pergi membunuh.”
Prinsip adalah aturan, tata tertib
kerja. Dalam segala bidang, setiap usahawan yang berhasil pasti punya
prinsip kerja yang ketat dan disiplin.
To Ceng tidak bicara lagi, perlahan dia
keluarkan dua tumpuk uang kertas dari dalam dompetnya, satu tumpuk
lima puluh lembar.
Dengan teliti dia menghitung dua kali,
lalu menaruh di atas meja, lalu angkat kepala menoleh ke arah Ma Gun,
katanya, “Ini tetap milikmu.” Ma Gun sedang berbatuk.
To Ceng berkata, “Boleh kau membayar
kontan lima laksa, suruh dia membunuhku.”
Akhirnya Ma Gun menghentikan batuknya,
tanyanya, “Masih berapa banyak yang kau simpan?”
To Ceng tutup mulut.
Ma Gun menatapnya, lambat-laun sorot
matanya bercahaya.
To Ceng sudah menjinjing buntalan yang
ditaruh di meja, perlahan dia melangkah keluar.
Mendadak Ma Gun berteriak, “Bunuh
dia, aku bayar lima laksa.”
Dingin jawaban Pho Ang-soat, “Mau
membunuh orang ini, boleh kau turun tangan sendiri.”
“Kenapa?” teriak Ma Gun.
“Karena dia sudah terluka, sudah
tidak mampu melawan.”
Kedua tangan Ma Gun menggenggam kencang
lankan di kedua sampingnya, mendadak didengarnya “Trap”, tiga
batang pisau terbang menancap di lankan. Pisau terbang melesat keluar
dari dalam buntalan, di dalam buntalan itu juga tersimpan gaman untuk
membunuh.
Dingin suara To Ceng, “Belum pernah
aku membunuh secara gratis, demi kau, aku boleh melanggar
kebiasaanku, kau ingin mencoba?”
Wajah Ma Gun sudah pucat lesi, sungguh
susah dia membayangkan ada berapa banyak gaman tersimpan di dalam
buntalan itu, masih berapa banyak pula yang berada di badan To Ceng,
tapi dia ragu, gaman macam apa saja, satu di antaranya sudah cukup
menamatkan jiwanya.
Akhirnya To Ceng melangkah keluar, tiba
di ambang pintu mendadak dia menoleh menatap Pho Ang-soat, menatap
golok di tangan Pho Ang-soat, seolah-olah belum pernah dia melihat
orang ini, belum pernah melihat golok itu, mendadak dia bertanya,
“Kau she apa?”
“She Pho,” sahut Pho Ang-soat
tegas.
“Pho Ang-soat?” To Ceng menegas.
“Betul.”
To Ceng menghela napas, katanya,
“Seharusnya sejak mula aku sudah menduga siapa kau.”
“Tapi kau tidak menduganya?”
“Aku tidak berani menduga.”
“Tidak berani?”
“Seorang bila memikirkan banyak
persoalan, maka dia tidak akan bisa membunuh orang.”
Malam sudah pekat di luar, tiada
bintang tiada rembulan, begitu To Ceng melangkah keluar, dia lenyap
ditelan tabir malam.
Ma Gun menghela napas panjang, perlahan
mulutnya menggumam, “Kenapa tidak kau bunuh dia? Apa kau tidak
takut dia membocorkan rahasiamu.”
“Aku tidak punya rahasia.”
“Memangnya kau tidak ingin membunuh
Toh Cap-jit?”
“Membunuh orang bagiku bukan
rahasia.”
Ma Gun menghela napas, katanya, “Di
atas meja ada delapan laksa tahil, setelah kau bunuh Toh Cap-jit,
semua itu milikmu.”
“Bayar dulu baru membunuh,” tegas
suara Pho Ang-soat.
Ma Gun tertawa menyengir, katanya,
“Sekarang boleh kau mengambilnya.”
Pho Ang-soat mengambil uang kertas itu,
dia pun menghitung dua kali, lalu bertanya dengan kalem, “Kau tahu
dimana Toh Cap-jit sekarang?”
Sudah tentu Ma Gun tahu, “Untuk
mencari jejaknya, aku sudah menghabiskan lima belas ribu tahil.”
Tawar suara Pho Ang-soat, “Membunuh
orang memang termasuk kerja yang mewah.”
Ma Gun menghela napas, mengawasi Pho
Ang-soat menghitung uang, lalu menyimpannya ke dalam kantong,
tibatiba dia bertanya, “Membunuh orang bukan rahasia bagimu?”
“Bukan.”
“Kau berani membunuh orang di hadapan
orang banyak?”
“Dimana pun aku bisa dan berani
membunuh orang.” Ma Gun tertawa, sekarang tawa yang segar, “Kalau
demikian, sekarang juga boleh kau pergi mencarinya.”
“Dimana dia?”
“Dia sedang mengadu nasib.”
“Mengadu nasib?”
“Dia sedang berjudi, sedang minum
sepuas-puasnya, aku hanya mengharap belum ludes uang dan seluruh
miliknya, juga belum mampus karena mabuk.”
Bukan saja Toh Cap-jit menang, malah
dia segar bugar. Seorang di kala menang, otaknya pasti tetap jernih
dan dingin, hanya pihak yang kalah saja yang butek pikiran dan luluh
semangatnya.
Sekarang dia sedang mengocok kartu
Pay-kiu yang terbuat dari kayu hitam, seluruhnya berjumlah tiga puluh
dua keping, setiap keping seperti dapat dia kuasai sesenang hati,
sampai pun dadu yang dilemparkan juga seperti patuh kepadanya.
Dalam berjudi dia tidak menggunakan
akal, tidak nakal atau pat¬gulipat, seorang bila mujur di meja judi,
hakikatnya dia tidak perlu pura-pura atau curang.
Tadi dia memegang sepasang kartu
Tiang-sam, makan seluruhnya, sekarang sudah hampir dua laksa tahil
uang yang digaruknya, sebetulnya dia masih bisa menang lebih banyak
Sayang orang-orang yang bertaruh makin
sedikit, taruhannya juga makin kecil, kantong para penjudi lawannya
boleh dikata sudah hampir kosong.
Dia harap ada pendatang baru yang
berkantong padat ikut terjun ke arena, pada saat itulah dia melihat
seorang asing berwajah pucat melangkah masuk dengan gayanya yang
lucu.
Pho Ang-soat berdiri diam, mengawasi
dia mengocok kartu, jari-jari tangannya yang besar dan kuat.
Kembali Toh Cap-jit membagikan kartu,
kali ini dia garuk pula seluruh pasangan uang, tapi yang ditarik
hanya tiga ratus tahil saja.
Orang-orang yang pasang sudah kelihatan
lesu. Di dalam sarang judi, uang adalah darah, orang yang tidak punya
darah, siapa takkan menjadi lesu?
Entah orang asing yang pucat mukanya
ini sakunya tebal tidak? Tiba-tiba Toh Cap-jit mengangkat kepala,
tertawa kepadanya dan katanya, “Saudara ini apakah ingin main
juga?”
“Boleh, bertaruh sekali saja,” ucap
Pho Ang-soat dingin.
“Sekali taruhan? Taruhan menentukan
kalah menang?”
“Begitulah.”
“Baik,” ucap Toh Cap-jit. “Berjudi
cara demikian baru benarbenar menyenangkan.”
Tiba-tiba dia meluruskan badan hingga
bersuara keretekan, badannya yang kekar dengan daging yang merongkol
tampak bergerak turun naik di balik bajunya, itulah hasil latihan
selama delapan belas tahun.
Perawakannya tinggi tujuh kaki dua dim,
pundak lebar, pinggang kecil, kabarnya dengan sebelah tangan dia
pernah memelentir putus kepala kerbau. Siapa saja yang melihat
dirinya, pasti menampilkan rasa kagum dan hormat, seperti para
menteri mengawasi sang raja.
Delapan puluh lembar uang kertas sudah
dikeluarkan, uang kertas baru, dengan jari-jari yang pucat memutih.
“Berapa duitmu?” tanya Toh Cap-jit.
“Delapan puluh ribu tahil.”
Toh Cap-jit bersiul sekali, sorot
matanya mencorong seperti lampu senter, “Delapan puluh ribu tahil
sekali taruhan?”
“Kalah menang hanya sekali taruhan.”
“Sayang aku tidak punya uang sebanyak
itu.”
“Tidak jadi soal.”
“Tidak jadi soal artinya aku boleh
bertaruh sebanyak uang yang kumiliki sekarang?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Memangnya uangmu ini hasil cucuian?
Maka kau tidak merasa sayang.”
“Bukan hasil curian, tapi untuk
membeli nyawa.”
“Membeli nyawa siapa?”
“Nyawamu.”
Tawa Toh Cap-jit seketika kaku,
jari-jari tangan orang-orang di sekitarnya mulai mengepal, ada yang
mengacungkan tinju, ada yang menggenggam senjata.
Pho Ang-soat ternyata tidak peduli,
katanya, “Kalau aku kalah, delapan laksa tahil ini milikmu, kalau
kau kalah, kau ikut padaku.”
“Kenapa aku harus ikut kau?”
“Karena aku tidak ingin membunuhmu di
sini.”
Toh Cap-jit tertawa pula, tawanya
dipaksakan, “Kalau kau kalah, kau juga akan membunuhku?”
“Menang atau kalah aku harus
membunuhmu.”
“Maksudmu jika bukan aku membunuhmu,
pasti kau yang membunuhku, peduli siapa kalah atau menang, yang pasti
aku harus berani mempertaruhkan nyawa, di sini terlalu banyak orang,
mereka adalah orang-orangku, maka kau tidak ingin turun tangan di
sini.”
“Aku tidak ingin membunuh satu orang
lebih banyak.”
“Agaknya kau punya keyakinan
membunuhku?”
“Kalau tidak yakin, kenapa aku
kemari?”
Toh Cap-jit tertawa lebar.
“Delapan puluh ribu tahil perak cukup
untuk melakukan banyak urusan, setelah kau mati, kawan dan para
saudaramu masih bisa menggunakannya.”
Mendadak sebatang golok membacok tiba
dari belakang, membelah belakang lehernya. Ternyata Pho Ang-soat
tidak bergerak, tahu-tahu Toh Cap-jit sudah menarik tangan orang yang
memegang golok.
“Ting”, golok runcing itu jatuh,
“Cras”, ujung golok terpelintir putus.
Toh Cap-jit menarik muka, bentaknya
beringas, “Soal ini tiada sangkut-pautnya dengan kau, kalian hanya
boleh melihat tidak boleh turun tangan.”
Tiada seorang pun yang berani bergerak.
Toh Cap-jit tertawa, katanya, “Kalian
adalah saudaraku yang baik, kalian boleh saksikan, biar aku rebut
kemenangan dan memiliki delapan laksa tahil ini.” Lalu dia membuka
bajunya, hingga dadanya yang kekar bidang berotot terpampang di
hadapan orang banyak, lalu katanya, “Bagaimana kita akan bertaruh?”
“Katakan saja.”
“Main kecil-kecilan saja, sekali
terbalik mata melotot menentukan kalah menang, begitu paling
menyenangkan.”
“Boleh.”
“Menggunakan kartu ini?” Pho
Ang-soat mengangguk.
Berkedip mata Toh Cap-jit, katanya,
“Kau tahu berapa kali aku menang dengan kartu ini?”
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
“Aku sudah menang enam belas kali
beruntun, main dengan kartu ini rezekiku selalu mujur.”
“Betapapun mujur seseorang ada
kalanya akan bernasib sial.”
“Membunuh orang kau yakin akan
berhasil, berjudi apa kau juga yakin akan menang?”
“Kalau tidak yakin, mana berani
berjudi?”
“Kali ini kau salah, berjudi berbeda
dengan permainan lain, malaikat pun belum tentu yakin pasti menang,
dahulu pernah aku melihat seorang yang punya keyakinan seperti
dirimu, tapi karena kalah, akhirnya dia mati gantung diri.”
Tiga puluh dua kartu dijajar menjadi
empat baris, satu baris delapan lembar.
Toh Cap-jit mendorong satu baris,
katanya, “Kita berjudi satu lawan satu, maka kiri kanan menjadi
kosong.”
“Aku mengerti.”
“Karena itu lebih baik kita mengadu
empat lembar.”
“Boleh.” -
Dengan dua jarinya Toh Cap-jit
mendorong empat kartunya, katanya, “Hasil lemparan dadu adalah
tunggal, kau boleh ambil yang pertama.”
“Kartu kau yang mengocok, dadu ini
biar aku yang melempar.”
“Boleh,” sahut Toh Cap-jit.
Pho Ang-soat jemput dadu, lalu dibuang
seenaknya.
Angka tujuh, tunggal.
“Bagus, sekarang aku ambil yang
kedua.”
Dua lembar Pay-kiu warna hitam, “Plak”,
diketukkan lalu didorong perlahan.
Mata Toh Cap-jit memancarkan cahaya
terang, ujung mulut menyungging senyum, saudara-saudaranya juga
menghela napas lega. Hadirin tahu bahwa kartu yang dipegangnya
menunjukkan angka yang cukup baik.
Tapi Pho Ang-soat berkata dingin, “Kau
kalah.”
“Bagaimana kau tahu bila aku kalah?”
protes Toh Cap-jit, “kau tahu kartu apa yang kupegang?”
“Satu langit, satu lagi orang dan
yang ketiga timbangan.”
Toh Cap-jit menatapnya kaget dengan
terbelalak, katanya, “Kau sudah memeriksa kartu yang kau pegang
belum?”
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala,
katanya, “Tak usah kulihat, kartuku campur lima.”
Toh Cap-jit seperti tidak terima,
segera dia membalik kartu orang, ternyata memang betul campur lima.
Campur lima kebetulan lebih unggul dari timbangan.
Toh Cap-jit melongo, hadirin pun
menjublek, lalu terjadi keributan.
“Bocah ini membawa setan, bocah ini
pasti mengenal kartu.” Pho Ang-soat menyeringai dingin, jengeknya,
“Ini kartu siapa?”
“Kartuku.”
“Aku pernah menyentuh kartu ini?”
“Tidak.”
“Kenapa dikatakan aku punya setan?”
Toh Cap-jit menghela napas, katanya
tertawa getir, “Kau tidak membawa setan, aku ikut kau saja.”
Hadirin gempar, yang memegang golok
atau pedang sudah siap bertindak, yang mengepal tinju juga sudah siap
menghajar.
Toh Cap-jit membentak bengis, “Bertaruh
uang aku kalah, adu jiwa aku belum tentu kalah, kenapa kalian ribut?”
Suasana kembali hening, tiada orang
berani bersuara.
Maka Toh Cap-jit tertawa pula, tawanya
tetap riang, katanya, “Sebetulnya kalian harus tahu, adu jiwa pasti
tidak akan kalah.”
“Kau yakin?”
“Umpama aku tidak yakin, aku punya
sembilan jiwa, sebaliknya kau hanya punya satu.”
Tiada bintang, tiada bulan, tiada
lampu.
Lorong panjang sempit itu gelap gulita,
malam ini hawa memang agak dingin.
Mendadak Toh Cap-jit menghela napas,
katanya, “Sebetulnya aku tidak punya sembilan jiwa, bahwasanya satu
jiwa pun aku sudah tidak punya. Karena jiwa ragaku ini sekarang milik
Yan Lam-hwi.”
“Kau tahu aku siapa?”
Toh Cap-jit mengangguk, ujarnya, “Aku
hutang satu jiwa padanya, dia hutang jiwa pula kepadamu, maka aku
boleh menebus jiwanya kepadamu.” Setelah berhenti, wajahnya masih
dihiasi senyuman. “Kuharap kau bisa membuatku paham satu hal.”
“Satu hal apa?”
“Bagaimana kau bisa mengenal
kartu-kartu itu?”
Pho Ang-soat tidak menjawab, malah
balas bertanya, “Tahukah kau, setiap manusia pasti punya sidik
jari?”
“Aku tahu, jari setiap orang pasti
ada sidik jarinya.”
“Tahukah kau, tiada manusia di dunia
ini yang mempunyai sidik jari sama?”
Toh Cap-jit tidak tahu.
Perihal sidik jari pada zaman dulu
memang tidak dikenal orang, maka dia hanya tertawa getir, “Aku
jarang melihat tangan orang, terutama tangan laki-laki.”
“Umpama setiap hari kau melihat
tangan orang juga takkan bisa membedakan, karena perbedaan sidik jari
satu dengan yang lain kecil sekali.”
“Tapi kau dapat membedakan?”
“Umpama dua kerat roti yang keluar
bersama dari satu cetakan, selintas pandang aku tahu perbedaannya.”
“Agaknya kau berbakat.”
“Betul, ini memang bakat, cuma bakat
yang kumiliki ini harus kulatih di dalam kamar yang gelap gulita.”
“Berapa lama kau latihan?”
“Tidak lama, cuma tujuh belas tahun,
setiap hari hanya latihan tiga sampai lima jam saja.”
“Mencabut golokmu itu juga kau latih
secara demikian?”
“Di waktu kau berlatih ketajaman
mata, latihan mencabut golok harus berhenti, kalau tidak, kau akan
tidur.”
“Sekarang baru kusadari apa arti
bakat itu.”
Arti bakat adalah tekun belajar,
berlatih secara rajin, menggembleng diri.
“Kartu Pay-kiu itu terbikin dari
kayu, kayu ada seratnya, serat setiap kartu berbeda, aku sudah
saksikan kau mengocok kartu dua kali, tiada satu pun dari tiga puluh
dua kartu hitam itu tidak kukenal.”
“Bila dadu tadi menunjuk angka genap,
bukankah kau pun akan kalah?”
“Lemparan dadu itu pasti tidak
mungkin angka genap.”
“Ah, masa bisa begitu?”
Tawar suara Pho Ang-soat, “Karena
melempar dadu aku pun berbakat.”
Akhirnya mereka tiba di ujung lorong,
jalan raya di sebelah luar ternyata lebih luas, lebih gelap lagi.
Sekarang malam telah larut.
Mendadak Pho Ang-soat melompat naik ke
wuwungan, wuwungan yang paling tinggi, setiap pelosok gelap di
sekitarnya tidak lepas dari pengawasannya. Memang untuk membunuh dia
tidak ingin ditonton orang, maka kali ini siapa pun pantang
menyaksikan.
Ternyata Toh Cap-jit juga mengikutinya.
“Sebetulnya apa kehendakmu akan diriku?” tanya Toh Cap-jit.
“Kau harus mati.”
“Apa betul aku harus mati?”
“Sekarang juga kau harus mati.”
Toh Cap-jit tidak mengerti.
“Sejak sekarang, paling sedikit kau
harus mati setahun.”
Toh Cap-jit berpikir sejenak, agaknya
dia mulai mengerti, namun belum jelas seluruhnya.
“Layonmu juga sudah kusediakan,
sekarang kusimpan di tanah pekuburan di luar kota sana.”
Toh Cap-jit mengedipkan mata, katanya,
“Apakah di dalam peti mati masih terdapat barang-barang lain?”
“Masih ada tiga orang.”
“Orang hidup?”
“Tapi banyak orang tidak ingin mereka
hidup.”
“Apakah kau ingin supaya mereka tetap
hidup.”
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Oleh
karena itu harus dicarikan suatu tempat rahasia yang menjamin
keselamatan mereka, siapa pun tidak boleh menemukan mereka.”
Makin bercahaya mata Toh Cap-jit,
katanya, “Lalu aku harus menggotong peti mati itu, dan mengatur
segala keperluannya?”
“Kau harus mati, karena siapa pun
takkan berpikir mencari orang yang sudah mati, untuk mencari tahu
jejak mereka.”
“Apalagi aku mati di tanganmu, orang
pasti menduga itulah hasil pertukaran syaratmu dengan Ma Gun, kau
membunuh aku lantaran mendapat bayaran, lalu dia membantu kau
menyembunyikan tiga orang.” Akhirnya dia mengerti, sebetulnya
persoalan ini amat sederhana, namun di dalam melaksanakan rencana
kerjanya Pho Ang-soat sengaja membuatnya ruwet.
“Tidak bisa tidak aku harus
hati-hati, soalnya cara kerja mereka terlalu kejam.”
“Siapakah mereka sebenarnya?”
“Nyo Bu-ki, Siau Si-bu, Kongsun To
dan Thian-ong-camkui-to,” Pho Ang-soat tidak menyebut nama Kongcu
Gi, dia tidak ingin Toh Cap-jit kaget. Tapi nama keempat orang itu
sudah cukup membuat seorang yang punya delapan nyali kaget.
Toh Cap-jit menatapnya, katanya,
“Mereka hendak mengeroyok kau, maka kau pun tidak akan memberi
ampun kepada mereka.”
Pho Ang-soat tidak menyangkal.
Mendadak Toh Cap-jit menghela napas,
katanya, “Bukan aku takut terhadap mereka, karena aku kini sudah
mati, orang mati tidak pernah takut terhadap siapa pun, tapi kau
Pho Ang-soat tidak memberi tanggapan.
Setelah kau beres mengatur tugasmu di
sini, apakah kau hendak mencari mereka?” dia mengawasi Pho
Ang-soat, lalu mengawasi pula golok hitam itu, akhirnya tertawa
lebar, “Yang harus kuatir mungkin bukan kau, tapi mereka, setahun
yang akan datang mungkin sudah menjadi orang mati.”
Pho Ang-soat menatap ke tempat jauh,
orangnya juga sudah di ujung langit. Di ujung langit hanya ada
kegelapan melulu. Dia menggenggam goloknya. Agak lama baru dia
berkata perlahan, “Ada kalanya aku pun ingin punya sembilan jiwa,
untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, satu nyawa memang tidak
cukup.”
Lembah yang belukar, tanah nan subur.
Dusun di atas gunung itu hanya dihuni
belasan keluarga, di bawah kaki bukit sana terdapat sebuah gubuk yang
berdinding gedek beratap alang-alang, di samping rumah tumbuh
beberapa rumpun kembang kuning.
Dari kejauhan Toh Cap-jit mengawasi
kembang-kembang kuning di bawah pagar bambu sana, sorot matanya
menampilkan kelembutan hatinya. Di sini tiada bedanya dengan
orang-orang dusun lainnya, dia pun berubah menjadi orang desa yang
hidup sederhana dan bersahaja.
Agaknya hati Pho Ang-soat juga
dirundung berbagai perasaan. Dia baru saja keluar dari gubuk kecil
itu, waktu dia keluar, Co Giok-cin dan anak-anaknya sudah pulas.
“Kalian boleh menetap di sini dengan
tenteram, tiada orang mencari ke sini.”
“Dan kau? Kau mau pergi?”
“Sekarang aku tidak akan pergi, aku
akan menetap di sini beberapa hari.”
Jarang dia berbohong, tapi kali ini dia
terpaksa harus berbohong. Tidak bisa tidak dia harus berbohong,
karena tidak bisa tidak dia harus pergi, kalau mau pergi, kenapa
harus meninggalkan banyak kedukaan.
Pho Ang-soat menghela napas, katanya,
“Inilah tempat yang baik, bisa hidup aman dan tenteram selama hidup
di sini, pasti dia seorang yang bahagia.”
Toh Cap-jit tertawa menyengir, katanya,
“Di sinilah aku tumbuh dewasa, sebetulnya tenteram dan hidup
bahagia.”
“Lalu kenapa kau harus pergi?”
Lama Toh Cap-jit membungkam, akhirnya
berkata, “Apa kau tidak melihat kembang kuning di bawah bambu itu?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Kembang itu ditanam seorang gadis
cilik, gadis berkuncir panjang, bermata besar, bundar dan jeli.”
“Dimana dia sekarang?”
Toh Cap-jit tidak menjawab juga tidak
perlu menjawab, air mata yang berlinang akhirnya menetes di pipinya,
air matanya itu sudah menjelaskan segalanya.
Kembang kuning itu masih tumbuh subur,
namun penanam kembang sudah tiada. Berselang lama baru dia berkata
perlahan, “Sebetulnya sejak dulu aku sudah harus menemaninya di
sini, beberapa tahun ini dia pasti amat kesepian.” Seorang setelah
mati, apakah juga akan merasa kesepian?
Pho Ang-soat mengeluarkan lempitan uang
kertas itu, dia serahkan kepada Toh Cap-jit, katanya, “Inilah uang
untuk membeli jiwamu yang kuterima dari Ma Gun, terserah bagaimana
kau akan menggunakannya, tak perlu kau merasa rikuh atau menyesal.”
“Kenapa tidak langsung kau serahkan
kepadanya? Apakah sekarang juga kau mau pergi?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Jadi kau tidak pamitan kepadanya?”
“Kalau memang mau pergi, kenapa harus
pamitan segala.”
“Untuknya kau banyak melakukan tugas
mulia, maka sudah pasti dia adalah orang yang amat dekat dengan kau,
sedikitnya kau harus
“Kau banyak membantu kesulitanku,
tapi kau bukan sanakkadangku,” tukas Pho Ang-soat.
“Tapi kita kan sahabat,” ujar Toh
Cap-jit.
“Aku tidak punya sanak-kadang, aku
pun tidak pernah punya teman.”
Mentari sudah mendoyong ke barat, pada
saat matahari merambat ke barat, Pho Ang-soat beranjak di bawah sinar
mentari yang menguning, langkahnya tidak berhenti, tapi lebih lambat,
seolah-olah kali ini pundaknya dibebani pikulan yang berat. Apa benar
dia tidak punya sanak-kadang? Tidak punya teman?”
Toh Cap-jit menatap bayangan yang
manunggal semakin jauh, mendadak dia berseru lantang, “Hampir aku
lupa memberitahu kepadamu, Ma Gun sudah mati, ia mati digantung orang
dengan seutas tali di atas Teng-sian-lau.”
“Siapa yang membunuhnya?” tanya Pho
Ang-soat tidak menoleh.
“Tidak tahu, tiada orang tahu, aku
hanya tahu orang yang membunuhnya meninggalkan dua patah kata, dua
kalimat yang ditulis dengan darah segar, 'Inilah pertama kali aku
membunuh orang secara gratis, mungkin juga terakhir kali'.”
Magrib sudah menjelang, cuaca makin
gelap, sorot mata Pho Ang-soat ternyata mencorong terang malah. Sudah
tentu dia tahu siapa pembunuh Ma Gun, hanya dia saja yang tahu.
Karena dua kalimat itu sengaja
ditinggalkan untuk dirinya.
Akhirnya To Ceng meletakkan goloknya,
golok penjagal manusia.
Orang sejenis dirinya bila sudah
bertekad dan keputusan, maka selama hayat pasti tidak akan berubah,
tapi bagaimana dengan aku? Bukankah golok di tanganku inipun golok
jagal? Sampai kapan aku harus menunggu untuk meletakkan golok ini?
Pho Ang-soat menggenggam kencang
goloknya, sinar terang di kedua matanya mulai guram. Sekarang dia
belum bisa meletakkan goloknya, bila di dunia ini masih ada manusia
sejenis Kongsun To yang masih hidup, maka dia pantang meletakkan
golok. Apa pun yang akan terjadi, dia tidak akan meletakkan goloknya.
ooooOOoooo
Bab 15. Kuil Kuno Naga Langit
Tengah hari, sinar surya memenuhi
jagat.
Waktu Pho Ang-soat beranjak keluar dari
dalam hotel, terasa semangatnya bergelora, cukup sebagai bekal untuk
menghadapi setiap tantangan, kesulitan dan mara bahaya.
Dia tidur sehari penuh, bangun tidur
berendam satu jam di dalam air panas, rasa penat kantuknya selama
beberapa hari ini telah tercuci bersih dan lenyap bersama debu dan
dekil yang melekat di badannya.
Tahun-tahun belakangan ini dia sendiri
menyadari sudah jarang mencabut golok, sekarang dia menyadari, dengan
golok membereskan persoalan ternyata bukan cara yang baik.
Tapi cara berpikirnya sekarang sudah
banyak berubah, karena itu dia perlu membangkitkan semangat. Karena
membunuh orang bukan saja merupakan tugas yang melampui batas, untuk
melaksanakan tugas itupun memerlukan semangat, tenaga jasmani dan
kekuatan batin. Sekarang walau dia belum tahu, dimana orang-orang
itu, dia percaya akan datang suatu ketika dapat menemukan jejak
mereka.
The Kiat adalah seorang penebang kayu,
usianya baru dua puluh satu, perjaka yang hidup seorang diri, menetap
di sebuah rumah kayu kecil di tengah hutan. Setiap hari hanya turun
gunung sekali, menukar beras, garam dan keperluan makan lainnya
dengan kayu-kayu kering. Daging dan arak setiap minggu dibelinya
sekali, kadang dia pun mampir ke dalam gang sempit yang terletak di
ujung kota yang jorok itu, mencari hiburan dengan perempuan yang
banyak terdapat di sana.
Kayu-kayu bakar yang dia tebang selalu
dia jual ke restoran yang banyak terdapat di sepanjang jalan raya
kota itu, kayu yang dia jual murah harganya, ditanggung kayu kering.
Maka pemilik restoran banyak yang senang mengundangnya minum barang
secangkir dua cangkir teh wangi, yang baik hati dan murah hati ada
yang menyuguh secangkir arak kepadanya.
Takaran minumnya tidak besar, minum
tiga cangkir saja mukanya tentu sudah merah, biasanya dia jarang buka
mulut, memang The Kiat bukan lelaki cerewet.
Tapi dua tiga hari ini ternyata dia
senang bercerita, cerita yang sama sedikitnya sudah pernah dia
ceritakan dua tiga puluh kali. Setiap kali mulai ceritanya, selalu
dia menekankan, “Inilah kejadiannya nyata, kejadian yang kusaksikan
dengan mata kepalaku sendiri, kalau tidak, aku sendiri pun tidak mau
percaya.”
Peristiwa terjadi pada tiga hari yang
lalu menjelang lohor, dimulai waktu dia melihat berkelebatnya sinar
golok di dalam hutan. “Mimpi pun kalian pasti tidak menduga di
dunia ini ada golok seperti itu, hanya terlihat sinar golok
berkelebat, seekor kuda kekar besar, segar bugar tahu-tahu terbelah
menjadi dua.
“Seorang pemuda yang bermuka cakap
seperti pemain opera di atas panggung, ternyata bersenjata pedang
merah menyala laksana darah, siapa saja yang membentur pedangnya
pasti segera rebah.
“Dia punya seorang teman, wajahnya
pucat lesi, pucat mengkilat seperti tembus cahaya. Orang ini lebih
menakutkan
Cerita yang sama sudah dikisahkan tiga
puluh kali, yang bercerita menghayati dengan rasa ngeri, takjub dan
bernapsu, pendengarnya juga asyik dan tertarik.
Tapi kali ini sebelum habis ceritanya,
mendadak dia menutup mulut, karena mendadak dia melihat seorang
bermuka pucat berdiri di depannya, sepasang mata yang menatap seperti
ujung golok mengawasinya.
ooooOOoooo
Golok yang hitam, sinar golok yang
menyambar bagai kilat, hujan darah yang berhamburan seperti panah
rontok ....
Perut The Kiat seperti dipuntir,
seperti mengkeret, hampir tak tahan dia ingin muntah-muntah lagi. Dia
ingin lari, tapi kedua lututnya terasa lemas dan goyah.
Dingin Pho Ang-soat menatapnya,
mendadak bersuara, “Teruskan!”
The Kiat menyengir kuda, katanya
tergagap, “Apa ... apanya yang teruskan?”
“Setelah aku pergi hari itu, apa pula
yang kau saksikan?”
The Kiat menyeka keringat di mukanya,
katanya, “Aku melihat banyak kejadian, tapi semuanya tak kulihat
jelas.” Dia memang tidak bohong, maklum waktu itu dia sudah hampir
gila, hampir semaput karena ngeri dan ketakutan.
Hanya satu yang ingin diketahui Pho
Ang-soat, “Bagaimana nasib orang yang berpedang merah itu?”
Jawaban The Kiat ini cukup cepat, “Dia
sudah mati.”
Mengencang genggaman jari-jari Pho
Ang-soat, hatinya seperti tenggelam, sekujur badan berkeringat
dingin, lama kemudian baru dia buka suara, “Bagaimana dia bisa
mati? Siapa yang membunuhnya?”
“Sebetulnya dia tidak mati. Setelah
kau pergi membawa kereta itu, dia merintangi tiga orang yang berusaha
mengudak kereta orang lain, agaknya takut tersentuh pedangnya, maka
dia pun mencari kesempatan melarikan diri, begitu cepat dia pergi,
boleh dikata seperti angin puyuh.” Mulut bercerita, benaknya
membayangkan kejadian waktu itu, maka mimik mukanya berulang kali
menunjukkan berbagai perubahan yang berbeda.
Dia bercerita cepat dan lancar, karena
cerita ini sudah amat hapal, “Sayang sekali, baru saja dia
menerobos masuk ke dalam hutan di pinggir jalan sana, sinar golok
yang membelah kuda tadi mendadak melesat keluar pula, walau dia
berhasil meluputkan diri dari bacokan pertama, tapi bacokan kedua
orang itu sudah menyerang tiba pula, malah gerakan goloknya dari
jurus ke jurus lebih cepat dan lihai,” sampai di sini dia berhenti
tidak meneruskan ceritanya karena bagaimana akhir dari kisahnya itu
orang banyak sudah maklum.
Thian-ong-cam-kui-to membacok dari
depan, sementara Kongsun To dan Siau Si-bu merangsek dari belakang,
siapa pun akan terdesak dalam keadaan seperti ini, bagaimanaakhirnya
pasti juga sama.
Pho Ang-soat menunduk diam, lahirnya
kelihatan tenang, namun hatinya bergejolak seperti derap kuda di
medan laga. Lama dia menepekur, lalu tanyanya, “Orang itu macam
apakah di......”
The Kiat menjelaskan, “Kelihatannya
dia mirip malaikat dari langit, tapi juga mirip raja iblis,
perawakannya setengah badan lebih tinggi dari laki-laki jangkung yang
pernah kulihat, kupingnya diganduli gelang emas besar, pakaiannya
terbuat dari kulit binatang, golok yang berada di tangannya
sedikitnya panjang delapan kaki.”
“Akhirnya bagaimana?”
“Laki-laki gembrot yang berjuluk Koki
Dol itu semula hendak memotong temanmu serta dimasak ke dalam wajan,
tapi seorang yang semula bermain catur tetap menentang,
akhirnya......” dia menghela napas panjang, lalu menyambung,
“akhirnya mereka menyerahkan mayat temanmu itu kepada Hwesio-Hwesio
Thian-liong-ko-sa.”
Segera Pho Ang-soat bertanya, “Dimana
letak Thian-liongko-sa?”
“Kabarnya terletak di pintu utara,
tapi aku tak pernah ke sana, jarang orang di sini sembahyang ke
sana.”
“Mereka menyerahkan kepada Hwesio
yang mana?”
“Kalau tidak salah, Thian-liong hanya
dihuni seorang Hwesio gila, kabarnya dia...”
“Dia kenapa?”
The Kiat menyengir getir, seperti
hendak muntah, katanya, “Kabarnya bukan saja gila, dia pun suka
makan daging manusia.”
Sinar surya panasnya bagai bara, jalan
raya ini seperti wajan panasnya.
Pho Ang-soat beranjak di jalan raya
yang panas bagai di dalam tungku, dia tidak mengucurkan keringat, air
mata pun tiada setetes pun, hanya darah saja yang bisa menetes dari
tubuhnya.
Bila bisa naik kereta aku pasti tidak
akan berjalan kaki, aku benci berjalan.
Kebetulan wataknya terbalik dengan Yan
Lam-hwi, kalau masih bisa berjalan, dia takkan naik kereta, agaknya
dia seperti sengaja menyiksa kedua kakinya, karena kedua kakinya itu
membawa banyak derita, banyak sengsara, gerakgeriknya tidak leluasa.
ooooOOoooo
Ada kalanya sampai pun berjalan aku pun
bisa tidur.
Sekarang sudah pasti Pho Ang-soat tidak
akan tidur, sorot matanya membayangkan perasaan yang aneh, tapi bukan
perpaduan antara sedih dan marah, namun heran, curiga dan menepekur.
Kejap lain mendadak dia membalik badan,
putar balik ke arah datangnya. Apakah yang dia pikirkan? Apakah masih
ada persoalan yang belum jelas? Ingin dia bertanya dulu kepada si
penebang kayu muda itu.
Tapi The Kiat sudah tidak berada di
restoran itu.
“Baru saja pergi,” pemilik restoran
memberi penjelasan,
“dua hari ini selalu dia bercerita
sampai berjam-berjam lamanya di sini, bila hari sudah petang baru dia
pulang, tapi hari ini entah kenapa dia pulang lebih dini.”
Kelihatannya dia merasa jeri terhadap
orang asing yang berwajah pucat ini, maka waktu bicara amat
hati-hati, juga amat jelas dan terperinci.
“Malah dia pergi dengan terburu-buru,
seperti ada urusan penting yang hendak dia kerjakan,” pemilik
restoran menambahkan, “dia pergi ke arah sebuah lorong panjang di
seberang jalan. Wajahnya menampilkan serangai yang culas, katanya
pula, “Di dalam lorong panjang itu ada seorang teman baiknya, kalau
tidak salah bernama Siau-tho-cu, sekarang pasti dia ke sana mencari
hiburan.”
Lorong sempit gelap dan lembab, selokan
yang berlumpur hitam itu mengeluarkan bau busuk, di sini sampah
bertumpuk, jorok sekali. Tapi Pho Ang-soat seperti tidak
merasakannya, matanya menyala, otot di punggung tangannya yang
menggenggam golok tampak merongkol, sepertinya dia amat terharu,
bergelora, juga senang dan kuatir pula, sebetulnya soal apakah yang
terpikir olehnya?
Di belakang sebuah daun pintu yang
sudah bobrok, tibatiba muncul seorang perempuan yang berkalung
kembang melati. Melati nan asri, dengan minyak wangi yang rendah
harganya, berpadu dengan bau busuk selokan dan sampah di dalam lorong
sempit ini, menjadikan suatu rangsangan yang rendah penuh dosa.
Perempuan ini bersolek secara luar
biasa, tebal pupur yang melumuri mukanya cukup untuk mengapur
dinding, sambil mendekati Pho Ang-soat dengan gayanya yang
merangsang, sebelah tangannya menggosok paha Pho Ang-soat, tepat pada
pangkal 'anu' nya.
“Di dalam kusediakan sebuah ranjang,
empuk dan hangat, ditambah servisku dan seember air panas, kutanggung
kau puas, taripnya cukup murah, cuma dua tahil ketip saja.”
Matanya memicing memancarkan napsu
jalang.
“Usiaku baru tujuh belas, tapi aku
cukup ahli di atas ranjang, lebih mahir dan lihai dibanding
Siau-thoa-cu,” tawanya kelihatan gembira, dia kira sekali ini dia
berhasil memelet laki-laki yang perlu hiburan ini. Karena terasa
olehnya, 'anu' nya laki-laki ini sudah menunjukkan perubahan.
Muka Pho Ang-soat yang pucat itu
mendadak merah padam, bukan saja dia ingin muntah, dia pun amat
marah. Di hadapan perempuan rendah seperti ini, ternyata dia tidak
kuasa menahan gejolak nafsu sendiri.
Maklum sudah cukup lama dia tidak
menyentuh perempuan, tidak pernah bergaul dengan perempuan, atau
karena dia terlalu bernafsu, terlalu bergairah. Gairah macam apa pun,
pasti mudah membangkitkan nafsu birahi.
Perempuan berkalung kembang melati itu
sudah merapatkan badannya, tangannya lebih berani, beraksi lebih
cepat.
Mendadak Pho Ang-soat melayangkan
tangannya dengan keras, dia tampar muka perempuan itu, kontan dia
terjengkang roboh menubruk daun pintu, lalu terbanting telentang di
atas tanah.
Anehnya meski sebelah pipinya bengap,
tapi raut mukanya tidak menampilkan rasa sakit, kaget, heran atau
marah, tapi menampilkan rasa lelah, duka dan putus asa. Agaknya
penghinaan seperti ini sudah sering dan kenyang dia rasakan,
amarahnya sudah beku, dia berduka karena dia tidak berhasil
menarik langganan, kalau dia tidak
berhasil menggaet lakilaki, entah dimana nanti malam dia harus makan?
Serenteng kalung kembang melati takkan bisa membuat kenyang perutnya.
Pho Ang-soat melengos ke sana, tak tega
dia melihat keadaannya, seluruh uang perak yang ada di dalam
kantongnya dia rogoh keluar serta dibuang di depannya, “Beritahu
padaku Siau-tho-cu berada dimana?”
“Di rumah paling belakang sebelah
kanan itulah.”
Kembang melati itu sudah berhamburan di
tanah, dia merangkak di atas tanah, menjemput kepingan-kepingan perak
yang berserakan. Di tanah ternyata melirik pun tidak, apalagi
memandang Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat mulai beranjak ke depan,
tapi hanya beberapa langkah mendadak dia menungging terus
muntahmuntah.
ooooOOoooo
Dalam lorong jorok dan sempit ini,
hanya daun pintu ini saja yang kelihatan pantas, bersih dan
mengkilap, catnya pun masih kelihatan bagus. Agaknya bukan saja
Siau-thou-cu pandai bermain di atas ranjang, dia pun pandai mengatur
lingkungannya, maka usahanya berkembang dan maju.
Suasana di balik pintu sunyi senyap,
tiada terdengar suara apa pun.
Seorang lelaki yang muda perkasa,
dengan pelacur muda cantik yang banyak digilai laki-laki normal
berada di dalam sebuah kamar, bagaimana mungkin suasana di dalam
rumah sehening ini? Pintu meski dipalang dari dalam, tapi tidak
kokoh, perempuan yang biasa menerima tamu memang tidak perlu punya
pintu yang kokoh.
Ketika pintu terpentang, di dalam
adalah sebuah ruang tamu, menjadi kamar tidurnya pula, dinding
kelihatan baru dikapur, gambar-gambar perempuan telanjang dengan pose
yang merangsang memenuhi dinding papan yang bolongbolong.
Segenggam kembang sedap malam yang
sudah mulai layu berada di dalam vas kembang di atas meja, kecuali
cangkir dan poci teh, di pinggir meja terdapat setengah mangkuk mie
tite yang tidak sempat dihabiskan. Agaknya pelacur juga selalu
memelihara kondisi badannya karena kemontokan adalah modal utama
mereka mencari duit, terutama pinggang yang ramping adalah modal
utama untuk memelet kaum lelaki hidung belang.
Kecuali sebuah dipan yang dilembari
seprei bersulam kembang besar, barang paling antik di kamar ini
adalah sebuah patung pemujaan di dalam sebuah wadah ukiran di atas
ranjang, dengan kain korden warna kuning, kehadiran patung pemujaan
di dalam terasa amat bertentangan dan merupakan persaingan antara
kebusukan, kemesuman dengan kesucian dan keagungan.
Kenapa dia meletakkan patung pemujaan
ini di atas ranjang, apakah maksudnya supaya patung yang dipujanya
ini menyaksikan beginilah kehidupan manusia kelas rendah yang
bergulat dengan penderitaan yang hina dina? Menyaksikan bagaimana dia
harus menjual diri untuk menyambung hidup hingga akhir hayatnya.
Siau-tho-cu ternyata sudah mati, mati
bersama The Kiat di atas ranjang, darah segar membuat sulaman kembang
merah besar itu kelihatan lebih menyala.
Darah meleleh dari urat nadi besar di
belakang leher, sekali bacok menghabiskan jiwa. Pembunuh ini bukan
saja memiliki gaman yang tajam, golok kilat, agaknya dia pun amat
berpengalaman di bidang ini.
Pho Ang-soat tidak muntah lagi, juga
tidak merasa heran, mungkinkah kejadian ini memang sudah dalam
rekaannya?
Pho Ang-soat sedang menerawang.
Seorang yang biasanya jarang cerewet,
kenapa selama dua tiga hari bercerita di restoran? Tugasnya
sehari-hari menebang kayu dan dijual untuk hidup pun dilupakan.
Kalau dia gemar minum arak, suka makan
daging, hanya simpanan seorang pelacur, jelas tidak mungkin punya
tabungan.
Tapi setelah dua hari dia tidak
bekerja, darimana datangnya uang untuk membayar Siau-tho-cu?
Cerita itu sudah terlalu hapal bagi The
kiat, terlalu ramai dan menarik, malah mimik mukanya pun sedemikian
serasi dengan cerita yang dikisahkan, seolah-olah sebelumnya memang
sengaja sudah dilatih, seperti pemain sandiwara yang siap naik pentas
saja.
Dia sengaja mengisahkan pengalaman yang
dilihatnya di restoran yang paling ramai, tujuannya adalah supaya Pho
Ang-soat pergi mencarinya.
Kongsun To dan orang-orangnya sudah
menyogoknya dengan sejumlah uang, dengan syarat supaya dia membual,
supaya bualannya didengar oleh Pho Ang-soat.
Karena itu sekarang mereka membunuhnya
supaya rahasia ini tidak bocor.
Akan tetapi umpama analisanya ini tepat
dan sesuai kejadian, namun masih ada beberapa persoalan yang susah
dipecahkan!
Di antara kisah yang diceritakan itu,
sebetulnya bagian mana yang benar, bagian mana yang sengaja
ditambahkan? Tambahan itulah yang bohong.
Kenapa mereka sengaja mau berbohong?
Untuk menghilangkan jejak pembunuh Yan Lam-hwi? Atau supaya Pho
Ang-soat meluruk ke Thian-liong-si?
Pho Ang-soat sukar memastikan, tapi dia
sudah berkeputusan jika di dalam Thian-liong-si sudah diatur jebakan
untuk menangkap atau membunuh dirinya, dia pasti tetap akan meluruk
ke sana.
Pada saat itulah, perempuan telanjang
yang berlumuran darah di atas ranjang itu mendadak berjingkrak
bangun, dari bawah bantal melolos sebilah golok, dan
sekonyong-konyong menusuk dadanya. Almari di belakangnya juga
mendadak menjeblak, dari dalam lemari menerobos keluar seorang,
sebatang tombak perak laksana kepala ular memagut punggungnya.
Kejadian di luar dugaan, siapa pun
takkan siaga sebelumnya. The Kiat memang sudah mati, tiada orang
menyangka perempuan yang rebah dalam dekapannya ternyata masih hidup.
Maklum di tempat seperti ini, jarang orang menaruh perhatian terhadap
perempuan telanjang yang dipeluk mayat berlepotan darah. Lebih tidak
terpikir lagi bahwa perempuan telanjang ini ternyata mampu menyerang
dengan golok secara telengas dan penuh perhitungan, tusukan goloknya
itu laksana kilat menyambar.
Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak
mencabut golok, hakikatnya dia tidak perlu menyingkir.
Pada detik yang kritis itulah dari luar
pintu mendadak berkelebat selarik sinar pisau melesat terbang
menyerempet leher lelaki bertombak yang membokong di belakang,
menghujam sebelah kanan tenggorokan perempuan telanjang itu. Darah
menyembur bagai air dari leher lelaki itu, sementara badan perempuan
telanjang yang terapung itu seketika terbanting jatuh pula. Hanya
sekali sinar pisau berkelebat, dua jiwa melayang seketika.
Darah segar berhamburan selebat hujan
deras.
Perlahan Pho Ang-soat membalik badan,
dilihatnya Siau Sibu berdiri di sana. Tangannya masih memegang pisau,
kali ini dia tidak membersihkan kuku jarinya, tapi hanya menatap
dingin ke arah Pho Ang-soat.
“Sebatang pisau dua jiwa, pisau
bagus,” puji Pho Ang-soat.
“Betul-betul bagus?” kaku suara
Siau Si-bu. “Bagus,” Pho Ang-soat mengulang.
Siau Si-bu sudah membalik badan,
melangkah dua tindak, tiba-tiba dia menoleh, “Sudah pasti kau tahu
bahwa aku tidak bermaksud menolongmu.”
“Oya?”
“Aku hanya ingin supaya kau juga
menyaksikan pisauku.”
“Sekarang aku sudah menyaksikan.”
“Kau pernah melihat aku tiga kali
turun tangan, dua kali kutujukan kepadamu, tentang bagaimana aku
turun tangan, tiada orang lain dunia ini yang lebih jelas daripada
engkau.”
“Ya mungkin.”
“Yap Kay adalah temanmu, sudah tentu
kau pun pernah menyaksikan dia turun tangan.”
Pho Ang-soat mengakui, sudah tentu dia
pernah menyaksikan, malah bukan hanya sekali.
Siau Si-bu berkata, “Sekarang aku
hanya tanya satu hal kepadamu, jika kau tidak mau menjelaskan, aku
juga tidak akan menyalahkan kau.”
“Silakan.”
“Pisau terbangku dalam hal apa bukan
tandingan Yap Kay?”
Pho Ang-soat menepekur, cukup lama
kemudian baru dia berkata perlahan, “Dua kali kau pernah
membokongku, pertama, walau menggunakan seluruh tenaga, namun sebelum
kau menyerang mulutmu sudah memberi peringatan. Serangan kedua memang
tidak memberi peringatan, namun
waktu menyerang kau masih menyimpan dua
bagian tenagamu.”
Siau Si-bu diam saja, dia tidak
menyangkal keterangan Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat berkata pula, “Lantaran
dalam hati kau sendiri maklum tidak pantas membunuh aku, bahwasanya
kau tidak punya alasan untuk membunuhku, maka di waktu turun tangan
kau tidak dilandasi perbawa yang tidak mungkin dapat ditundukkan oleh
siapa pun di dunia ini.” Lalu dengan suara kalem dia menambahkan,
“Mereka yang terbunuh oleh Yap Kay adalah orang-orang yang patut
dibunuh, maka dia lebih kuat dari engkau.”
“Hanya satu hal itu saja?”
“Satu hal sudah lebih dari cukup,
selamanya kau tidak akan dapat mengejarnya.”
Lama juga Siau Si-bu termenung,
mendadak dia putar tubuh, tanpa menoleh dia beranjak pergi.
Pho Ang-soat juga tidak mengawasinya.
Cukup jauh kakinya melangkah, mendadak
Siau Si-bu menoleh pula, serunya keras, “Boleh kau buktikan kelak,
akan datang suatu hari aku pasti lebih kuat dari dia, bila saat itu
tiba, maka aku pasti akan membunuhmu.”
“Aku pasti akan menunggu,” sahut
Pho Ang-soat dengan suara tawar.
Kalau mau membunuh orang harus tanpa
pantangan.
Apakah kali ini Pho Ang-soat tidak
harus membunuh Siau Si-bu? Kali ini aku tidak membunuhnya, lain kali
mungkin kau yang mampus di bawah pisaunya.
Tapi kali ini Pho Ang-soat tidak turun
tangan pula, tapi dia tidak menyesal, karena dia sudah menanam
sebutir bibit di dalam sanubari Siau Si-bu. Bibit kebenaran.
Dia tahu bibit kebenaran ini akan
datang suatu saat bersemi, tumbuh berkembang dan berbuah.
Waktu Pho Ang-soat beranjak keluar dari
lorong lembah sempit dan jorok ini, gadis tujuh belas tahun itu sudah
merenceng pula kembang melati, berdiri sambil menunduk di ambang
pintu, secara diam-diam dia melirik ke arah Pho Angsoat, kelihatannya
agak takut, tapi juga tertarik.
Selama ini belum pernah ada orang tanpa
sebab menghamburkan uangnya sebanyak puluhan tahil kepadanya, lelaki
timpang yang bermuka pucat ini pasti manusia aneh.
Walau Pho Ang-soat tidak sudi
melihatnya, tapi tak urung dia meliriknya sekali.
Ketika dia tiba di ujung lorong, gadis
tujuh belas tahun itu mendadak berteriak, “Kau memukulku, berarti
kau suka kepadaku. Aku tahu selanjutnya kau pasti akan mencari aku.”
Lalu dia meninggikan suaranya, “Aku
pasti akan menunggumu.”
Thian-liong-ko-sa adalah
Toa-thian-liong-si, kuil yang sering dikunjungi penduduk untuk
memenuhi kaulnya, tiada orang tahu, kuil yang semula ramai mengapa
mendadak menjadi sepi, tapi cerita yang tersiar di luar tentang hal
ini banyak ragamnya.
Berita angin yang tersiar paling luas
adalah: Kuil yang kelihatan angker dan megah ini, sebenarnya adalah
sarang mesum, tidak sedikit nyonya cantik atau gadis-gadis rupawan
yang pernah bersembahyang di sini sering diculik dan disekap di dalam
kamar-kamar rahasia di dalam kuil itu, bagi yang membangkang dihabisi
nyawanya setelah diperkosa.
Karena itu bila tiba malam pekat, tiada
bintang tak ada rembulan, setan-setan gentayangan itu lantas
keluyuran mencari mangsa.
Padahal apakah benar di dalam kuil
terdapat banyak kamar-kamar rahasia? Berapa banyak perempuan yang
telah diperkosa di kuil ini? Siapa pun tidak bisa memberikan angka
yang pasti, karena tiada seorang pun yang pernah menyaksikan sendiri.
Tapi sejak berita angin tersiar di
kalangan penduduk, orang-orang yang bersembahyang di kuil ini makin
sedikit.
Seseorang bila hanya sekedar
mengeluarkan duit untuk membeli dupa lilin, mohon berkah supaya
sepanjang tahun selamat dan banyak rezeki, maka terhadap salah
benarnya berita angin itu, semestinya tidak terlalu teliti
menyelidiki kebenarannya.
Kuil kuno itu dikelilingi lebatnya
hutan, meski di musim semi, daun-daun yang rontok di sini juga lebih
banyak.
Jalan yang langsung menembus ke pintu
kuil itu sekarang sudah tertutup oleh rontokan daun-daun kering,
seorang yang sering kemari pun bila memasuki hutan yang rimbun ini
bukan mustahil akan kesasar karena tidak bisa memilih jalan lagi.
Padahal Pho Ang-soat belum pernah
kemari, selepas mata memandang dimana sekarang dia berdiri,
sekelilingnya adalah pohon-pohon raksasa, bentuk pohon-pohon itu
mirip satu dengan yang lain. Sesaat dia berdiri bingung, susah dia
menentukan kemana arah yang harus dituju.
Tengah dia berdiri bimbang, daun-daun
kering di depan sana terdengar berbunyi karena terinjak oleh langkah
seorang, maka tampak seorang Hwesio berwajah bersih, alis gombyok,
mata bening, bersikap agung sedang melangkah datang, jubahnya yang
berwarna kelabu kelihatan bersih dan rapi. Usianya belum banyak, tapi
jelas kelihatan bahwa padri ini pasti sudah teguh dalam ajaran
agamanya.
Pho Ang-soat bukan seorang Buddhis yang
saleh, namun terhadap Hwesio, orang terkenal dan pujangga, dia tetap
menghormatinya.
“Taysu mau pergi kemana?” sapanya.
“Datang dari arahnya, sudah tentu
pergi ke arah itu pula,” demikian sabda Hwesio itu sambil merangkap
kedua tangan, ternyata melirik pun tidak kepadanya.
Tapi Pho Ang-soat tidak mengabaikan
kesempatan untuk bertanya jalan kepadanya, sekarang tiada waktu untuk
menentukan arah jalannya.
“Apakah Taysu tahu dimana letak
Thian-liong-ko-sa?”
“Kau ikuti aku saja.”
Langkah Hwesio ini tenteram dan
perlahan, umpama jalan ini menuju ke alam baka, dia pun takkan
berjalan selangkah lebih cepat.
Terpaksa perlahan-lahan Pho Ang-soat
mengikut di belakangnya.
Cuaca sudah gelap, akhirnya mereka tiba
di depan sebuah gardu, warna pagar dari gardu itu sudah luntur, di
dalam gardu terdapat sebuah kecapi, sebuah papan catur, satu poci
arak, seperangkat alat-alat tulis dan sebuah hiolo cilik yang terbuat
dari tanah merah.
Di dalam hutan yang sunyi tenteram ini,
memetik kecapi, bermain catur, bersenandung, membuat syair sambil
menikmati arak wangi. Padri agung tiada bedanya dengan seorang
pujangga, selama kegemarannya berkembang, hidup ini tidak akan terasa
kesepian.
Walau belum pernah Pho Ang-soat
mengecap kehidupan nan tenteram damai, tapi dia selalu manaruh hormat
dan menghargai kegemaran orang lain.
Padri yang bersih dan kelihatan agung
ini sudah memasuki gardu, dia menjemput satu biji catur, menatapnya
lekat-lekat, sorot seolah-olah sedang mempertimbangkan, entah langkah
apa yang harus dilakukan oleh biji caturnya.
Akhirnya dia masukkan biji catur itu ke
dalam mulut, pelanpelan dia kunyah sekali dan “Glek” langsung
ditelannya. Kelakuannya sungguh di luar dugaan, mendadak dia
menggaplok hancur kecapi itu, terus dimasukkan ke dalam anglo dan
menyulut api, arak dalam poci dia tuang untuk mencuci kaki, tinta
hitam di atas tatakan batu itu dia tuang ke dalam poci, lalu ditaruh
di atas anglo untuk dipanasi, papan catur diangkatnya serta
dipukulnya seperti orang menabuh gembreng, wajahnya menampilkan tawa
lebar dan rasa puas, seakan-akan dia merasa suara ketukan papan catur
itu jauh lebih merdu dari petikan kecapi.
Pho Ang-soat menjublek di tempatnya,
padri agung yang kelihatan saleh ini apakah benar seorang Hwesio
gila, dia senang makan daging manusia.
Hwesio itu kini sedang mengawasi
dirinya, dari kepala sampai kaki, menimbang berapa kilo daging
seluruh badannya. Tapi Pho Ang-soat amat tabah, dia tidak percaya,
“Apa betul kau si Hwesio gila?”
“Gila adalah tidak gila, tidak gila
adalah gila,” padri itu tertawa menyengir, “mungkin yang
benar-benar gila bukan aku, tapi kau.”
“Aku gila?”
“Kalau kau tidak gila, kenapa
menyerahkan jiwa?”
Mengencang genggaman tangan Pho
Ang-soat, katanya pula, “Kau tahu siapa aku? Tahu kemana aku hendak
pergi?”
Hwesio itu manggut-manggut, lalu
geleng-geleng kepala pula, mendadak dia mendongak sambil
terloroh-loroh, gumamnya “Habislah, habislah sudah, kuil kuno
ribuan tahun ini akan segera ambruk, dimana ada manusia, di situ
banjir darah, kemana lagi Hwesio ini harus pergi?”
Mendadak dia angkat poci di atas anglo
yang panas, langsung menuang tinta hitam di dalam poci ke dalam
mulutnya, tinta yang tercecer mengotori jubahnya yang bersih.
Mendadak dia mendeprok di lantai terus menangis tergerunggerung,
sambil menuding ke barat dia berkata lantang, “Kau ingin mati,
lekas kau pergi, orang hidup ada kalanya memang lebih baik mati
saja.”
Pada saat itulah dari arah barat
bergema suara genta, hanya genta di dalam kuil kuno berusia ribuan
tahun yang dapat mengeluarkan gema suara senyaring itu.
Kalau kuil kuno itu hanya dihuni
seorang Hwesio gila, lalu siapa yang menabuh genta? Hwesio yang
sedang menangis tergerung-gerung mendadak berjingkrak bangun, sorot
matanya memancarkan rasa kaget, takut dan ngeri.
“Itulah gema duka cita,” teriaknya,
“bila genta duka cita bergema, pasti ada orang akan mati.”
Kembali dia berjingkrak, poci arak di tangannya dia lempar ke arah
Pho Ang-soat, teriaknya pula, “Jika kau tidak mampus, orang lain
yang akan jadi korban, kenapa tidak lekas kau ke sana menyerahkan
jiwamu.”
Pho Ang-soat menatapnya, katanya tawar,
“Baik aku akan segera pergi.”
ooooOOoooo
Bab 16. Genta Kematian
Suara genta sudah berhenti, namun
gemanya masih mengalun di angkasa.
Pho Ang-soat sudah berada di depan
pintu besar Thianliong-ko-sa. Bangunan kuno yang berwarna gelap
kelabu meski sudah mulai bobrok, namun masih kelihatan kemegahannya.
Di tengah pekarangan tergeletak sebuah
hiolo raksasa terbuat dari tembaga, beratnya ada ribuan kati, undakan
batu juga sudah berlumut, jelas kelihatan tempat ini tidak
terpelihara dan lama tidak diinjak kaki manusia, tapi ruangan
pemujaan yang angker dan gagah tetap kelihatan tegak dan berwibawa,
pilar-pilar bangunannya masih kokoh kuat.
Kuil kuno yang sudah ribuan tahun ini,
bagaimana mungkin mendadak ambruk? Hwesio gila sudah tentu bicara
ngelantur.
Gelegasi sudah menghiasi ruang pemujaan
ini, debu amat tebal, kain korden yang sudah luntur dan kotor itu
masih melambai tertiup angin, hening lelap, tiada suara orang, juga
tiada bayangan manusia. Lalu siapakah yang memukul genta?
Pho Ang-soat berdiri diam di depan
patung yang dipuja di dalam kuil ini, mendadak timbul suatu perasaan
aneh dalam relung hatinya, mendadak dia ingin berlutut, berlutut di
depan patung Buddha yang disepuh emas itu untuk memohon keselamatan,
minta keselamatannya, Co Giok-cin dan kedua
anaknya. Selama hidup ini baru pertama
kali dia berubah tulus saleh, tapi dia tidak jadi berlutut.
Karena pada saat itulah di luar ruang
pemujaan, terdengar suara “Pletak” yang nyaring, waktu menoleh,
maka dilihatnya sinar golok yang kemilau seperti kilat menyambar,
pelangi menari dan berkelebatan di luar. Dimana sinar golok itu
menyambar, pilar-pilar besar penyanggah kuil ini satu per satu telah
terbabat putus, suara bacokan itu terus-menerus tiada henti sehingga
kuil kuno yang megah, besar dan kokoh ini pelan-pelan bergetar dan
mulai doyong. Waktu dia mengangkat kepala, saka besar di dalam kuil
ini sudah hampir ambruk.
Golok macam apakah itu? Ternyata
memiliki kekuatan dahsyat dan mengerikan. Suara gemuruh menggetar
bumi, ujung ruangan sana sudah menggetar bumi, ujung ruang sana sudah
ambruk. Tapi Pho Ang-soat tidak roboh, gunung boleh gugur, bumi boleh
merekah, namun sementara orang tidak
pernah jatuh.
ooooOOoooo
Suara gemuruh runtuhan balok dan
genteng terus berlangsung, debu pasir beterbangan, burung walet yang
bersarang di atas belandar sudah terbang menyelamatkan diri, tapi Pho
Ang-soat masih berdiri tegak tak bergeming.
Di luar bukan saja ada
Thian-ong-cam-kui-to yang cukup menciutkan nyali, malaikat itu sedang
menunggu dirinya, entah masih berapa banyak pula perangkap yang
mematikan.
Mendadak dia tertawa dingin, “Biau
Cam-kwi, golokmu memang gaman baik, jiwamu justru sekerdil tikus,
nyalimu seperti kelinci, kenapa tidak berani kau berhadapan langsung
dengan aku, hayolah berduel secara jantan, kenapa hanya main rusak
dan gertak macam badut tak berguna.”
Sinar golok seketika sirna, maka
terdengar seorang tertawa dingin di luar Toa-thian, seorang berkata,
“Asal kau belum mampus, temuilah aku di pekarangan belakang.”
Baja langit yang pemenggal setan itu bergelak tertawa seperti iblis
menangis, lalu menyambung dengan kata-kata tegas, “Aku pasti
menunggumu.”
“Aku pasti menunggumu”, kata-kata
yang sama bila diucapkan dari mulut orang yang berbeda, maka dia
mempunyai arti yang berbeda pula.
Di saat menghadapi mara bahaya,
mendadak Pho Angsoat teringat akan gadis berkalung kembang melati
itu, terbayang olehnya sorot matanya yang penuh derita duka dan putus
asa waktu roboh telentang di atas tanah.
Gadis itu juga manusia, manusia macam
apa pun pasti tidak mau dihina dan disakiti, hidupnya selalu
terombangambing seperti gubuk reyot yang hampir roboh, ke depan tiada
harapan, ke belakang jalan buntu, tinggal ambruknya genteng dan balok
yang akan menindih dirinya, mengubur jazadnya.
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam
kencang, mendadak dia mulai beranjak keluar, langkahnya perlahan,
gaya berjalannya juga kelihatan menderita, namun bila dia sudah
beranjak ke depan, maka tidak akan berhenti.
Daun pintu sudah ambruk, debu yang
mengepul menutupi pandangannya, perlahan-lahan dia beranjak dari
tengah kepulan debu. Kembali terdengar suara gemuruh, seluruh ruangan
pemujaannya itu sudah runtuh total. Pecahan genteng dan debu pasir
memukul punggungnya, tapi dia tidak menoleh, matanya pun tidak
berkedip.
Bukan saja dia punya ketenangan dan
ketabahan yang luar biasa, dia pun memiliki keberanian besar, tidak
kaget meski menghadapi perubahan apa pun. Karena ketabahannya, dia
punya keberanian, maka dia terhindar dari ancaman elmaut yang
mengincar jiwanya.
Baru saja selangkah dia keluar dari
pintu Toa-thian, dari luar lima puluhan senjata rahasia sudah
memberondong laksana hujan lebat ke arah dirinya, jika dia kaget dan
menoleh, semangat luluh, maka dia pasti sudah roboh, roboh seperti
kuil kuno yang kokoh kuat itu.
Keberanian dan keyakinan adalah saka
guru manusia, karena ada keberanian dan keyakinan maka manusia kuat
bertahan hidup. Selama kedua saka ini tidak patah, maka umat manusia
tidak akan habis.
Baru saja hujan senjata rahasia
diruntuhkan, dua jalur sinar pelangi yang menyala sudah melesat tiba
pula, itulah sebatang pedang dan sebatang gantolan.
Golok Pho Ang-soat sudah keluar
sarungnya dimana sinar golok menabas miring, tubuhnya pun menerjang
keluar. Dia tidak tahu masih berapa banyak perangkap yang mematikan.
Hiolo besar dari tembaga di pekarangan
masih ada, tubuhnya yang kurus laksana sebatang tombak saja melesat
ke sana, jatuh di belakang hiolo tembaga itu. Bila angin menghembus
silir, seketika dia merasa goresan golok yang dingin mengiris
pundaknya waktu dia menunduk, dilihatnya luka panjang empat dim telah
merobek kulit pundaknya.
Serangan pedang dan gantolan itu memang
teramat lihai dan ganas, untung Pho Ang-soat punya pengalaman tempur
yang luas. Jika tidak mengalami sendiri, orang lain pasti takkan
percaya dan bisa membayangkan. Darah mengalir di pundaknya, darah pun
menetes di ujung goloknya, darah siapa yang menetes di ujung
goloknya?
Gantolan itu jelas adalah paruh elang
milik Kongsun To, pedang itu pasti bukan Siong-bun-ko-kiam milik Nyo
Bu-ki. Pedang ini jauh lebih cepat, lebih telak, lebih menakutkan
dari pedang Nyo Bu-ki, apalagi tangan Nyo Bu-ki yang memegang pedang
sudah ditabasnya buntung.
Luka-luka di pundak Pho Ang-soat jelas
adalah goresan pedang, lalu goloknya melukai siapa?
Kuil ini sudah hampir runtuh
seluruhnya, waktu dia putar tubuh memandang ke belakang, bayangan
seorang pun sudah tidak kelihatan. Sekali sergap tidak berhasil,
seluruhnya mundur teratur. Itulah tata tertib pihak Sing-siok-hay,
merupakan prinsip bagi setiap insan persilatan juga.
Tapi kenapa Thian-ong-cam-kui-to tidak
muncul lagi! Pertama, dia membelah kuda, kedua, meruntuhkan kuil,
kenapa tidak langsung dia menyerang Pho Ang-soat? Apa benar dia akan
menunggu Pho Ang-soat di pekarangan belakang?
Pekarangan belakang tersapu bersih,
hening dan nyaman, tiada bayangan manusia, dari dalam hutan yang
menghijau rimbun, berkumandang alunan suara nyanyian yang merdu. Di
dalam hutan terdapat tiga bilik yang terbuka lebar pintu dan
jendelanya ....
Bila memasuki hutan, maka terlihat
seorang raksasa bagai malaikat geledek sedang rebah di atas sebuah
dipan ayunan yang terletak di pinggir jendela, rambutnya panjang
semrawut diikat dengan gelang emas, tubuhnya hanya ditutupi kaos
kulit harimau yang terselempang saja, bagian bawahnya diikat gaun
pendek dari kulit harimau, sepasang sorot matanya mencorong, sekujur
badan yang berkulit coklat tembaga itu mengkilap terang.
Empat perempuan yang berdandan molek
dengan sanggul penuh perhiasan berada di kanan kirinya, seorang
memegang gelas emas duduk di pahanya, seorang sedang mulai menyisir
rambut, seorang lagi sedang mencopot sepatunya yang bertali panjang
melingkar di kaki mencapai lutut, seorang lagi duduk di jendela
sedang tarik suara mengumandangkan suaranya yang merdu.
Mereka adalah gadis-gadis yang sekereta
dengan Kwigwa-po, walau mereka sudah tidak muda lagi, namun masih
kelihatan molek, karena hanya perempuan yang sudah matang dan
pengalaman saja yang akan kuat melayani raksasa tegap dan gede ini.
Di ujung rumah mengepul asap dupa
wangi, di pinggir meja kecil sana menggeletak sebilah golok, gagang
goloknya saja panjang satu kaki tiga dim, sarung goloknya yang indah
dan bagus dari kulit ikan, penuh dihiasi mutiara, berlian dan mutu
manikam lainnya.
Itulah Thian-ong-cam-kui-to (golok raja
langit penjagal setan)? Raksasa inikah Biau-thian-ong?”
Beranjak di atas rontokan daun-daun
kering, Pho Ang-soat maju perlahan-lahan. Kini dia sudah melihat
orang itu, walau raut mukanya tidak memperlihatkan perasaan apa-apa,
tapi sekujur badannya sudah mengencang tegang.
Golok yang mampu meruntuhkan sebuah
kuil dan membelah seekor kuda, mestinya hanya bisa ditemukan di dalam
dongeng, tapi kenyataan sekarang dirinya sudah menghadapinya.
Perempuan yang sedang bernyanyi di atas
jendela hanya melirik sekejap ke arahnya, nyanyiannya tetap
berkumandang merdu, namun suaranya kedengarannya makin sendu dan
pilu.
Perempuan yang memegang gelas emas
mendadak menghela napas, katanya, “Seorang segar-bugar kenapa
justru mengantar jiwa?”
Perempuan yang menyisir rambut berkata
dingin, “Karena umpama dia hidup, pasti hidupnya sengsara.”
Perempuan yang mencopot sepatu mengikik
tawa, katanya, “Aku senang melihat pembunuhan.”
“Untuk membunuh orang ini mungkin
tidak enak dipandang,” jengek perempuan yang menyisir.
“Kenapa?” tanya perempuan yang
mencopot sepatu.
“Dilihat dari tampangnya, agaknya
orang ini sudah kehabisan darah,” ujar perempuan menyisir rambut.
Perempuan memegang gelas emas berkata,
“Umpama ada darahnya, juga pasti darah dingin.”
Perempuan yang mencopot sepatu tetap
tertawa, katanya, “Darah yang dingin kan juga mending daripada
tidak punya darah. Aku hanya mengharap dia punya sedikit darah,
sedikit saja juga sudah cukup, aku perempuan yang mudah puas.”
Pho Ang-soat sudah berada di ambang
pintu, dia berhenti, ocehan mereka seperti tidak pernah didengarnya.
Memang sepatah kata pun dia tidak mendengarnya. Karena seluruh
tenaga, semangat dan konsentrasinya dia tujukan kepada lakilaki
raksasa bagai malaikat ini. Mendadak dia bertanya, “Biauthian-ong?”
Biau-thian-ong sudah mengulur tangannya
yang gede, menggenggam gagang golok yang menggeletak di meja pendek
itu.
“Itulah Thian-ong-cam-kui-to?”
tanya Pho Ang-soat.
“Kadang-kadang membabatsetan,
sewaktu-waktu membunuh orang, bila golok keluar dari sarungnya, entah
setan atau manusia pasti akan mati oleh golok ini.”
“Bagus sekali.”
Mata Biau-thian-ong seperti mata
harimau, menunjukkan rasa kaget dan heran, serunya, “Bagus sekali?”
“Golok sudah di tanganmu, aku sudah
berada di bawah golok, apakah masih kurang bagus?”
“Bagus sekali,” Biau-thian-ong
bergelak tertawa, “memang bagus sekali.”
“Sayang aku belum mati.”
“Antara mati dan hidup hanya terpaut
sekejap saja, aku tidak terburu-buru, kenapa kau gelisah malah?”
Pho Ang-soat menutup mulut, gagangnya
goloknya dibungkus sutera ungu, kini warnanya berubah seperti darah
yang sudah mengering keras.
Jari-jari Biau-thian-ong mengelus
gagang goloknya, katanya kalem, “Apakah kau menunggu aku mencabut
golok?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Berita yang tersiar di kalangan
Kangouw mengatakan bahwa golokmu adalah golok kilat yang tiada
bandingannya di dunia.” Pho Ang-soat diam saja. “Kenapa tidak kau
lolos dulu golokmu?”
“Karena aku ingin menyaksikan golok,”
secara tidak langsung dia menyatakan bila aku mencabut golok lebih
dulu, mungkin kau takkan punya kesempatan melolos golokmu lagi.
Biau-thian-oang tertawa tergelak-gelak,
mendadak dia berjingkrak berdiri, maka perempuan yang duduk di
pahanya terguling di atas pembaringan. Waktu dia berdiri, tingginya
ternyata lebih sembilan kaki, pinggangnya lebih besar dari pelukan
satu orang dewasa, perawakannya yang gagah kereng kelihatan amat
garang. Memangnya hanya laki-laki segede dia yang setimpal
menggunakan golok seperti itu.
Pho Ang-soat berdiri di depannya,
seperti macan kumbang berhadapan dengan seekor singa. Walau singa
bertampang seram dan gagah, namun macan kumbang tidak gentar
sedikitpun.
Loroh tawa Biau-thian-ong masih
berkumandang, katanya, “Kau ingin supaya aku mencabut golok lebih
dulu?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Kau tidak menyesal?”
Pho Ang-soat tertawa dingin.
Pada saat itulah selarik sinar golok
yang menyala dari udara telah membelah turun. Tangan Biau-thian-ong
masih memegang gagang goloknya, masih belum tercabut dari sarungnya
yang dihiasi mutiara, dia tidak mencabut golok.
Sinar golok itu membacok dari belakang
Pho Ang-soat, bagaikan kilat yang menyambar dari tengah udara,
padahal seluruh perhatian Pho Ang-soat tercurahkan kepada laki-laki
raksasa di depannya, apa pun tak terpikir olehnya bahwa ada golok
membelah dari belakang.
Perempuan yang bernyanyi di jendela
meski masih terus bernyanyi, namun dia sudah memejamkan mata. Dia
pernah menyaksikan perbawa bacokan golok ini, dimana sinar golok
menyambar, darah muncrat kepala terpenggal. Sudah sering dia melihat
banyak orang menjadi korban, kali ini dia tidak tega menyaksikan
lagi.
Perempuan yang mencopot sepatu sudah
mengkeretkan tubuh mendekam di pinggir ranjang, agaknya dia bukan
perempuan yang suka melihat pembunuhan seperti yang diucapkan tadi.
Tapi bila sinar golok itu membelah
turun, ternyata tiada darah muncrat, apalagi badan orang terbelah.
Ternyata badan Pho Ang-soat mendadak melesat terbang ke pinggir,
secara tepat tubuhnya bergerak dari pinggir sambaran sinar golok.
Pada saat goloknya keluar dan menyabet ke belakang, dia sudah
memperhitungkan posisinya, tabasan goloknya ini mengincar paha di
atas lutut di bawah lambung orang yang memegang golok. Selamanya dia
tidak pernah meleset dengan perhitungannya, demikian pula goloknya
tidak pernah gagal.
Tapi tabasan goloknya ternyata tidak
mengundang suara kesakitan, darah tidak muncrat, badan orang tidak
ambruk, hanya terdengar “Cras” sekali, itu bukan suara tulang
tertabas tapi lebih mirip suara kayu yang terbacok.
Begitu bacokan Thian-ong-cam-kui-to
mengenai tempat kosong, ujung golok menutul tanah, laksana lembayung
mendadak meluncur terbang ke udara. Di tengah berkelebatnya sinar
golok yang mencorong itu, seperti terlihat berkelebatnya bayangan
kecil disertai lengking tawa yang mengerikan berkelebat ke dalam
hutan.
Suara tawa dan bayangan orang sudah
lenyap, di atas tanah menggeletak dua pentung yang tertabas kutung.
Mungkinkah kedua pentung ini menjadi kaki orang itu? Ataukah dia
berjalan memakai jangkungan?
Ketika Pho Ang-soat membalik badan,
goloknya sudah masuk ke sarungnya.
Laki-laki gede bagai raksasa itu sudah
ambruk di atas ranjang, sikap garang dan wibawanya tadi kini entah
kabur kemana, algojo yang dipandang bak malaikat ini apakah hanya
macan kertas? Boneka raksasa untuk menggertak orang belaka?
Pho Ang-soat menatapnya, tanyanya,
“Siapakah orang itu?”
“Biau-thian-ong, dialah
Biau-thian-ong asli.”
“Dan kau?”
“Aku hanya bonekanya, boneka pajangan
untuk pameran dan menggertak orang, seperti golok ini,” dia
mencabut golok panjang bersarung hiasan mutiara, ternyata yang
tercabut keluar hanyalah sebatang golok kayu.
Sungguh kejadian yang lucu, brutal dan
menggelikan, hanya orang gila saja yang bisa berbuat seperti ini,
maka Pho Ang-soat bertanya, “Siapakah dia sebetulnya? Macam apa
dia? Kenapa dia melakukan semua ini?”
Raksasa ini menundukkan kepala.
Perempuan yang memegang gelas sibuk
memegang poci, menuang arak dan minum sendiri. Perempuan di jendela
pun menghentikan nyanyiannya, katanya keras, “Mereka tidak berani
memberitahu kepadamu, biar aku yang menjelaskan.”
Nyanyiannya tadi merdu bening, tapi
perkataannya ternyata serak penuh kemarahan, “Sebetulnya dia bukan
laki-laki, namun dia berangan-angan untuk menjadi seorang laki-laki
jantan yang sekaligus mampu memuaskan empat orang perempuan.
Perawakannya hanya tiga kaki delapan dim, tapi berkhayal bahwa
dirinya adalah laki-laki raksasa yang ditakuti seperti malaikat
dewata, dia melakukan semua ini, karena sebetulnya dia orang gila.”
Perempuan yang memegang gelas emas
mendadak terkialkial, serunya sambil berkeplok, “Bagus, caci-maki
bagus, cacimakimu memang tepat.” Wajah yang sedang tertawa itu
ternyata berkerut-merut karena menahan derita, “Kenapa tidak
sekalian kau perlihatkan kepada orang she Pho ini, bagaimana suami
kerdil itu memuaskan kita?”
Perempuan yang mencopot sepatu tadi
mendadak mencabik pakaiannya sendiri, dadanya yang montok padat
memutih gempal ini ternyata penuh dihiasi jalur-jalur pecutan biru.
“Beginilah caranya memuaskan kami,”
tawanya lebih memilukan dari isak tangis. “Aku adalah perempuan
yang mudah mendapat kepuasan, terus terang aku amat puas.”
Tanpa bersuara Pho Ang-soat membalik
badan, melangkah keluar tanpa bersuara pula. Tak tega dia
menyaksikan, tak tega mendengarkan. Mendadak dia teringat gadis yang
berkalung kembang melati itu, mereka sama saja, sama-sama dirusak,
sama-sama disiksa dan diinjak-injak.
Dalam pandangan lelaki mana pun, mereka
adalah perempuan yang tidak tahu malu. Mereka tidak tahu malu, apakah
bukan lantaran mereka dirusak laki-laki hidung belang? Betapapun
besar siksa derita yang mereka alami, terpaksa mereka harus berani
menerimanya, karena hakikatnya mereka tidak mungkin melawan, juga tak
mungkin menyingkir dari kenyataan hidup ini, apakah begini arti dari
tidak tahu malu itu?
Tiga perempuan itu menjerit dan berseru
bersama, “Kenapa tidak kau tolong kami? Kenapa tidak kau bawa kami
keluar dari sini?”
Pho Ang-soat tidak menoleh, bukan dia
tidak ingin menolong mereka, tapi dia tidak mampu berbuat demikian,
persoalan yang menyangkut mereka, siapa pun tak mungkin
menyelesaikan.
Bila laki-laki tidak tahu malu masih
ada di dunia ini, maka perempuan tidak tahu malu tetap akan ada. Di
situlah letak persoalan yang sebenarnya, siapa pun takkan ada yang
bisa menyelesaikan persoalan ini.
Pho Ang-soat tidak berani menoleh,
karena dia hampir tak tahan hendak muntah-muntah. Dia tahu cara
satu-satunya untuk menolong mereka, bukan dengan mengajak mereka
pergi, asal Biau-thian-ong terbunuh, maka mereka kan benarbenar
lepas, bebas merdeka.
Ranting berdaun yang baru saja tertabas
menggeletak di tanah, tertabas oleh tajamnya golok, oleh
Thian-ong-cam-kuito.
Mengikuti jejak itu, Pho Ang-soat terus
menyelusuri ke sana, mungkin Biau-thian-ong sudah pergi jauh, namun
yang dia kejar bukan Biau-thian-ong pribadi, tapi adalah satu tujuan.
Pho Ang-soat tahu, selama dirinya masih bernapas, selama itu pula dia
tidak akan mengabaikan tujuan ini, tujuan memberantas kejahatannya.
Sekarang dia lebih mengerti, kenapa Yan
Lam-hwi ingin membunuh Kongcu Gi, yang akan mereka bunuh bukan
seseorang, tetapi lambang dosa dan kekuatan orang itu.
ooooOOoooo
Keluar dari hutan, melewati pekarangan
belakang, seorang sedang berdiri di tengah reruntuhan kuil, mengawasi
Pho Angsoat dengan tertawa cengeng.
“Kuil kuno ribuan tahun inipun sudah
runtuh, kenapa kau belum mampus? Apalagi yang sedang kau tunggu?”
jubahnya yang semula bersih kini berlepotan tinta hitam, tangannya
memegang sekuntum kembang yang baru mekar. Sekuntum kembang kecil
yang segar dan wangi, sekuntum kembang kuning.
Di pinggir rumah papan di bawah gunung
itu, tumbuh juga beberapa rumpun kembang kuning.
“Kembang itu ditanam gadis cilik,
gadis cilik berkuncir panjang dengan mata bundar besar dan jeli.”
Perasaan Pho Ang-soat mendadak
tertekan, pelupuk matanya mengkeret, jari-jari tangannya yang
menggenggam golok mengencang, “Darimana kau ambil kembang itu?”
“Darimana orang datang, sudah tentu
dari sana pula kembang ini diperoleh,” Hwesio itu masih tertawa
cengeng, mendadak dia lempar kembang yang dipegangnya itu ke arah Pho
Ang-soat. “Coba kau periksa lebih dulu kembang ini bunga apa?”
“Aku tidak tahu.”
“Inilah kembang perpisahan yang
menyedihkan.”
“Mana ada kembang jenis itu di dunia
ini?” jari-jari Pho Angsoat sudah dingin.
“Ada saja, kalau ada orang sedih, ada
perpisahan antar sesama, kenapa tidak ada kembang perpisahan yang
menyedihkan?” Hwesio gila tidak lagi tertawa, sorot matanya
diliputi rasa sedih dan duka yang tak terperikan, “Kalau di dunia
ini sudah ada kembang perpisahan yang menyedihkan, takkan terhindar
bakal sedih dan berpisah.”
Pho Ang-soat memegang dahan kembang itu
dengan kedua jarinya, tangannya tidak bergerak. Di sini tiada angin,
tapi kelopak kembangnya tiba-tiba berguguran, ranting kembang itupun
layu. Tangan inilah tangan yang digunakan untuk mencabut golok,
tangan yang memiliki kekuatan cukup
untuk merenggut nyawa.
Makin tebal rasa duka Hwesio gila,
katanya pula, “Kembang datang dari sumbernya, sudah pergi kemana
dia harus pergi, lalu manusia kenapa masih belum kembali?”
“Kembali kemana?” tanya Pho
Ang-soat.
“Darimana kau datang, ke sanalah kau
harus pulang, sekarang pulang mungkin masih keburu.”
“Keburu berbuat apa?”
“Kau mau apa, mana kau tahu?”
“Siapa kau sebetulnya?”
“Aku hanyalah Hwesio gila, secara
kebetulan menemukan sekuntum kembang kecil,” mendadak dia mengulap
tangan dan membentak lantang, “Pergi! Lakukan apa yang harus kau
kerjakan, jangan ganggu Hwesio, Hwesio perlu ketenangan.”
Hwesio gila sudah mendeprok duduk
bersemadi.
Ruang pemujaan kuil ini sudah runtuh,
namun ruang pemujaan dalam relung hatinya masih utuh. Seperti juga
keong, bila hujan turun, dia bisa segera menyembunyikan diri. Apakah
dia dapat meramal hujan badai bakal tiba?
Cahaya kuning mentari di kala senja
memenuhi angkasa, tiada angin tiada hujan. Hujan badai berada di
dalam sanubari orang, di dalam relung hati Pho Ang-soat.
Kembang kuning cilik itu apakah dia
petik di samping rumah papan itu? Kenapa dinamakan perpisahan yang
menyedihkan? Siapa yang akan berpisah?
Pho Ang-soat tidak bisa bertanya, tidak
berani bertanya, umpama bertanya juga takkan memperoleh jawaban.
Untuk mendapat jawaban hanya ada satu cara.
Dengan sekuat tenaga dia memburu
pulang, “Sekarang pulang mungkin masih keburu”, tapi waktu dia
tiba di sana, ternyata sudah terlambat.
Kembang-kembang kuning di bawah bambu
ternyata sudah hilang seluruhnya, sisa sekuntum pun tidak, demikian
pula orangnya tak keruan parannya.
Masih ada sisa tiga masakan di atas
meja, bubur sepanci, dua sumpit dan dua mangkuk, bubur masih hangat.
Bekas ompol anak-anak di atas ranjang masih basah, tapi mana
orangnya?
“Co Giok-cin, Toh Cap-jit!” teriak
Pho Ang-soat keras, tiada jawaban.
Apakah Co Giok-cin mengingkarinya?
Kemana dia harus menemukan mereka? Kemana dia harus menghindari
bencana yang akan menimpa dirinya?
Malam kelam, di tengah gelap mendadak
terdengar suara “Tok, tok, tok” beberapa kali, menyusul selarik
sinar menyala. Bukan sinar kilat, tapi sinar golok. Di tengah
berkelebatnya sinar golok samar-samar terlihat bayangan manusia yang
lebih tinggi dari pucuk pohon.
Bayangan orang meluncur tiba bersama
sinar golok, ternyata itulah seorang kate yang berbentuk aneh.
Kakinya menginjak dua batang bambu panjang satu tombak, tangannya
menarikan sebatang golok besar panjang sembilan kaki.
Itulah Thian-ong-cam-kui-to.
Sinar golok berkelebat, atap
alang-alang beterbangan, bagai kilat membacok batok kepala Pho
Ang-soat.
Pho Ang-soat sudah mundur delapan kaki,
kembali sinar golok menyambar atap rumah itu hancur, kekuatan
sambaran Thian-ong-cam-kui-to memang laksana guntur menggelegar. Kini
golok menabas miring, dalam sekejap sudah membacok tujuh kali.
Terpaksa Pho Ang-soat mundur, karena
dia tidak mampu melawan atau menangkis. Dia harus melompat tinggi
satu tombak lebih baru goloknya mampu menyentuh badan Biauthian-ong
yang berada di atas jangkungan. Padahal dirinya sekarang seperti
dibungkus sinar golok, gerak-geriknya terasa sempit karena kanan kiri
atas bawah sambaran sinar golok melulu.
Biau-thian-ong memegang golok dengan
kedua tangannya, bacokan demi bacokan, hakikatnya tidak memberi
kesempatan baginya untuk berganti napas. Padahal umpama guntur
menggelegar juga ada saatnya istirahat, umpama jendral malaikat yang
gagah perkasa, tenaganya juga pasti terbatas. Tapi Pho Ang-soat
beruntun harus berkelit empat puluh sembilan kali dari tabasan golok
lawan, baru mendadak tubuhnya melesat keluar dari pinggir sambaran
golok.
Kini goloknya pun sudah terlolos,
Thian-ong-cam-kui-to terlalu panjang, makin panjang makin kuat, namun
goloknya ini terlalu panjang, hanya bisa menjangkau jarak jauh, bila
lawan menyerang dalam jarak dekat, maka susah dia membela diri.
Agaknya Pho Ang-soat tahu titik
kelemahannya ini, maka goloknya sekarang sudah melesat ke hulu hati
Biau-thian-ong. Siapa tahu pada saat yang menentukan itulah, mendadak
bambu di bawah kakinya itu mendadak pula putus menjadi belasan ruas.
Kontan badannya anjlok dari udara, Thian-ongcam-kui-to juga sudah
dibuangnya, entah bagaimana jadinya, waktu dia membalikkan tangan,
tahu-tahu sudah mencabut sebatang golok lain. Golok pendek yang
memancarkan cahaya kemilau, seiring dengan melorotnya tubuh ke bawah,
goloknya menggores dada Pho Ang-soat.
Jurus mematikan yang pasti menang Pho
Ang-soat ini justru berbalik menjadikan pangkal kematiannya. Bila
singa atau harimau menerkam manusia, bagi pemburu yang punya
pengalaman pasti akan menyelinap ke bawah perutnya dan mengangkat
golok membelah perutnya. Demikianlah keadaan Pho Ang-soat sekarang,
dia mirip seekor macan yang menerkam dari udara, golok pemburu itu
sudah mengancam lambungnya, seolah-olah dia sudah merasakan tajam
golok yang dingin mengiris sobek bajunya.
Biau-thian-ong juga sudah
memperhitungkan Pho Ang-soat pasti takkan mampu menyelamatkan diri
dari serangan goloknya, ini bukan lagi Thian-ong-cam-kui-to, tapi
golok piranti membunuh manusia. Seluruh tenaganya sudah dia pusatkan
di atas golok ini, tapi tenaganya mendadak sirna, hilang tanpa bekas.
Seluruh kekuatannya telah lenyap,
seperti kantong kulit yang mendadak terkuras habis isinya. Padahal
sudah jelas bahwa goloknya dapat menembus dada Pho Ang-soat, namun
dia justru tidak mampu menusuknya lagi.
Apakah yang terjadi? Sungguh dia tidak
habis mengerti, mati pun tidak mengerti. Tapi dia melihat darah, tapi
bukan darah Pho Ang-soat, darimana datangnya darah? Dia pun tidak
tahu, baru sekarang dia merasakan mendadak lehernya seperti tersedak
oleh sekeping batu, dingin dan sakit seketika merangsang sekujur
badannya, seperti tenggorokannya sudah digorok pisau.
Tapi dia tidak percaya, bahwa sinar
golok yang berkelebat tadi telah menggorok lehernya, sampai mati dia
tetap tidak percaya bahwa ada golok secepat itu di dunia ini,
bahwasanya dia tidak melihat bagaimana golok itu menyambar.
Pho Ang-soat juga ambruk, jatuh di
bawah rumpun bambu, alam semesta kembali diliputi keheningan nan
damai. Mendadak dia merasakan sekujur tubuhnya teramat penat.
Kejadian barusan meski hanya berlangsung dalam sekejap mata, namun
dalam sekejap itu seluruh kekuatannya sudah terkuras habis.
Perbatasan antara hidup dan mati,
memangnya hanya terpaut segaris saja. Baru sekarang dia maklum akan
makna perkataan itu, tadi jiwanya memang sudah teramat dekat dengan
kematian. Duel kali ini boleh dikata sebagai pertempuran paling
dahsyat yang belum pernah dia alami selama hidup.
Bintang-bintang memenuhi angkasa, darah
sudah kering, darah Biau-thian-ong, bukan darahnya. Tapi dia seperti
merasakan darahnya juga sudah kering mengalir, bila Biauthian-ong
mampu menggerakkan goloknya, dia pasti tak mampu melawan.
Malah dia maklum bila seorang bocah
membawa pisau kecil pun mampu membunuh dirinya, untung orang yang
mati tak bisa menggerakkan senjata.
Malam telah larut, di pegunungan yang
terpencil dan sepi ini pasti takkan ada orang kemari.
Dia memejamkan mata, dia ingin pulas
sebentar, dengan pikiran yang jernih baru bisa mangatur rencana,
melakukan aksi selanjutnya.
Siapa tahu pada saat itulah justru
seseorang telah datang.
Di tengah kegelapan mendadak
berkumandang derap kaki orang mendatangi, perlahan tapi mantap dan
tenang, seolaholah derap langkahnya membawa irama yang aneh, irama
yang mengasyikkan. Hanya seorang yang merasa yakin akan tugas yang
dilakukannya, waktu berjalan baru bisa membawa irama tertentu.
Siapakah orang ini? Kenapa dia kemari?
Datang untuk apa?
Pho Ang-soat mendengarkan penuh
perhatian dalam hati, mendadak timbul perasaan aneh, irama langkah
kaki ini ternyata mirip dengan gema genta dari kuil kuno di tengah
hutan itu, itulah gema genta kematian. Irama langkah ini
kedengarannya juga mengandung napsu membunuh.
ooooOOoooo
Bab 17. Putus Asa
Langkah kaki itu makin dekat, dari
tengah kegelapan akhirnya muncul satu orang, seorang yang memegang
sekuntum kembang, sekuntum kembang kecil warna kuning.
Yang sedang ternyata Hwesio gila, dia
masih mengenakan jubah yang berlepotan tinta itu, maju
perlahan-lahan, menancapkan kembang kuning itu di bawah rumpun bambu.
“Orang sudah kembali ke tempat asal,
kembangnya pun kembali dimana tumbuh.”
Sorot matanya seperti membawa
duka-lara, sayang sekali bentuk kembang ini masih tetap segar, tapi
keadaan di sini sudah porak-poranda.
Dengan terlongong Pho Ang-soat juga
mengawasi kembang kuning di bawah rumpun bambu itu, “Kau tahu bahwa
aku pergi dari sini, kau pun tahu kembang ini tumbuh di sini, maka
kau pun datang kemari.”
“Kau tahu apa?” tanya Hwesio gila
“Apa pun aku tidak tahu,” sahut Pho
Ang-soat. “Jadi kau tidak tahu siapa pemetik kembang ini, juga
tidak tahu siapa diriku?”
“Siapa kau?”
Hwesio gila mendadak menuding noda
tinta di jubahnya, katanya, “Kau bisa lihat tidak, apa ini?”
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
Hwesio gila menghela napas, mendadak
dia duduk di depan Pho Ang-soat, katanya, “Coba kau lihat lagi, kau
harus mengawasi sepenuh perasaan.”
Pho Ang-soat bimbang, akhirnya dia pun
duduk. Sinar bintang yang guram menyinari jubah yang semula bersih
dan rapi itu, sekarang berlepotan noda hitam yang tak keruan.
Sepenuh perhatian Pho Ang-soat
mengawasi, seperti mengawasi api dupa yang berkelap-kelip di kamar
nan gelap. Jika kau sudah merasakan api dupa ini tidak lagi
berkelap-kelip, malah terangnya seperti obor, maka kau sudah setengah
sukses. Selanjutnya kau akan dapat melihat asap dupa yang
mengepul ke udara, sejelas melihat
gumpalan mega di puncak gunung yang tinggi, kepulan asap yang
menari-nari itu kelihatan seperti bangau yang terbang di balik mega.
Pho Ang-soat menatap sepenuh perhatian,
mendadak terasa noda-noda yang tak keruan itu tidak lagi semrawut,
seolah-olah mengandung suatu irama magis. Selanjutnya mendadak dia
menemukan noda tinta hitam yang tak keruan itu secara gaib berubah
menjadi suatu lukisan, dimana seolaholah ada gunung tinggi, ada air
mengalir, ada sinar golok yang menari tak pernah henti, ada pula air
mata di wajah si bocah.
“Sebetulnya gambar apa yang kau
lukis.”
“Apa yang sedang kau pikir dalam
hatimu, gambar itulah yang sedang kulukis.”
Bentuk suatu lukisan memang timbul dari
nurani orang, maka bukan saja gambar itu sebuah lukisan, malah
lukisan yang paling antik di antara gambar.
Mata Pho Ang-soat sudah memancarkan
cahaya, “Aku sudah tahu siapa kau, kau pasti Go Ho, salah satu
pembantu Kongcu Gi.”
Hwesio gila terbahak-bahak, katanya,
“Jelas ada gambar, kenapa kau bilang tiada lukisan? Jika tiada
lukisan, mana bisa ada orang?”
“Orang siapa?”
“Sudah tentu orang di dalam gambar.”
Dalam gambar ada air mata si bocah,
dalam hati memang merekalah yang dipikirkan. “Orangnya kemana?”
“Jelas ada orangnya, kenapa kau
justru bertanya, agaknya yang gila bukan Hwesio, tapi adalah kau,”
sambil tertawa lebar tangannya menuding sekenanya. “Coba kau lihat,
bukankah orang ada di sana?”
Yang dituding adalah beberapa gubuk
kecil itu, pintu jendela gubuk kecil itu terbuka lebar. Entah sejak
kapan cahaya api sudah menyala di dalam rumah.
Waktu Pho Ang-soat menoleh dan
memandang ke arah yang dituding, seketika dia melenggong.
Di dalam rumah ada orang, dua orang.
Toh Cap-jit dan Co Giok-cin sedang duduk makan bubur, bubur yang
sudah hampir dingin tadi kini tampak mengebul panas.
Tapi sekujur badan Pho Ang-soat justru
menjadi dingin. Apakah yang dilihatnya ini mirip noda-noda hitam di
jubah Hwesio gila, hanyalah lukisan abstrak? Lukisan yang tidak
berbentuk? Lukisan dalam khayal belaka?
Bukan, yang satu ini pasti bukan, di
dalam rumah memang kenyataan ada dua orang yang segar-bugar dan
hidup, mereka memang Toh Cap-jit dan Co Giok-cin.
Setelah mengawasi noda hitam di jubah
si Hwesio, sekarang setiap kerut-merut di muka mereka pun dapat
dilihatnya dengan amat jelas, malah dia juga melihat jelas pori-pori
mereka seperti sedang membuka, kulit daging kedutan.
Mereka tidak memperhatikan keadaan di
luar rumah, dalam keadaan seperti itu, kebanyakan orang pasti akan
berjingkat dan memburu ke sana atau berteriak memanggil.
Tapi Pho Ang-soat adalah Pho Ang-soat,
Pho Ang-soat bukan kebanyakan orang itu, walaupun dia sudah berdiri,
namun tetap berdiri di situ, bergerak pun tidak. Karena bukan saja
dia sudah melihat kedua orang ini, malah dia mengawasi dengan lebih
tajam, lekat dan jauh. Hanya dalam sekejap ini segera dia sudah
melihat seluruh gelagat, kenyataan dari kejadian ini.
“Bukankah orang yang kau cari berada
di sana?” ucap Hwesio gila.
“Ya, benar,” sahut Pho Ang-soat.
“Kenapa tidak lekas kau ke sana?”
Pelan-pelan Pho Ang-soat berputar, lalu
menatapnya, mata yang semula sudah kelihatan letih, duka hingga merah
itu mendadak berubah menjadi dingin, kaku dan bening, setajam pisau
menatapnya sampai lama, akhirnya dia berkata perlahan, “Aku hanya
mengharap kau paham satu hal.”
“Coba katakan.”
“Sekarang bila aku mau mencabut
golok, kau pasti mati, di langit di bumi yakin tiada seorang pun yang
mampu menolong jiwamu.”
Hwesio gila tertawa pula, tawa yang
dipaksakan, “Aku sudah memberi kesempatan hingga kau melihat orang
yang kau cari, kau justru mau membunuhku.”
“Hanya melihat mereka belum cukup.”
“Apa pula kehendakmu?”
“Kau harus duduk tenang di sini,
sekarang kau harus suruh orang yang bersembunyi di belakang pintu dan
pojok rumah keluar, bila mereka berani melukai seujung rambut Co
Giokcin dan Toh Cap-jit, aku akan segera menggorok lehermu.”
Hwesio gila tidak tertawa lagi,
sepasang mata yang suka memandang orang dengan nanar mendadak berubah
amat bening dan dingin, agak lama kemudian baru dia berkata perlahan,
“Pandanganmu memang tidak keliru, di pojok rumah dan di belakang
pintu memang ada orang bersembunyi di sana, tapi sudah pasti mereka
takkan mau keluar.”
“Kau tidak percaya bahwa aku mampu
membunuhmu?”
“Aku percaya.”
“Kau tidak peduli?”
“Sudah tentu aku ingin hidup, tapi
mereka boleh tidak peduli mati hidupku, membunuh dan pertumpahan
darah sudah merupakan kejadian biasa bagi mereka, umpama kau mencacah
tubuhku, aku berani tanggung mereka tidak akan mengerutkan alis.”
Pho Ang-soat bungkam, ucapan si Hwesio
memang tidak salah, karena dia sudah melihat seraut wajah yang
menongol di jendela, terlihat jelas wajah yang penuh codet serta
seringainya yang sadis. Yang bersembunyi di pojok rumah itu adalah
Kongsun To.
Hwesio gila berkata, “Tentu kau sudah
mengerti bagaimana perangai orang ini, umpama kau mencacah hancur
anaknya di depan matanya, mungkin dia pun tidak akan mengerutkan
kening. Jiwanya kejam.”
Pho Ang-soat tidak menanggapi.
“Sekarang aku hanya mengharap kau
memaklumi satu hal,” ucap Hwesio gila.
“Coba katakan.”
“Jika mereka mencacah lebur Co
Giok-cin dan Toh Cap-jit, apakah kau tetap tak peduli?”
Tangan Pho Ang-soat mengepal kencang,
perasaannya berat seperti tertindih.
Kongsun To mendadak tertawa lebar,
katanya, “Bagus, pertanyaan bagus, aku juga boleh memberi jaminan,
bila Pho Ang-soat berani melukai seujung rambutmu, aku pun akan
menggorok leher kedua orang ini.”
Saking murkanya, muka Pho Ang-soat yang
pucat kelihatan berkerut kedutan.
“Kau percaya tidak apa yang
diucapkannya?”, tanya Hwesio gila.
“Aku percaya, maka aku harus
hati-hati,” ucap Pho Angsoat, “aku ingin mereka hidup segar,
entah apa keinginan kalian?”
“Apa keinginan kami, kau pasti akan
memberikan?” Hwesio gila menegas.
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Bila
mereka tetap hidup, asal aku mampu dan punya.”
Hwesio gila tertawa pula, katanya, “Aku
hanya ingin kau mencopot pakaianmu, copot semua sampai telanjang
bulat.”
Muka Pho Ang-soat yang pucat mendadak
merah, otot sekujur badannya mengencang dan merongkol. Dia rela mati
daripada dihina, apa boleh buat, dalam keadaan seperti ini dia tidak
mungkin melawan, tidak bisa menolak.
“Sekarang juga aku ingin kau mulai
copot pakaian, copot sampai telanjang.”
Tangan Pho Ang-soat terangkat, tapi
tangan ini bukan mencopot kancing baju, tapi mencabut goloknya. Sinar
golok menyambar bagai kilat, tapi gerakan tubuhnya agaknya lebih
cepat dari sambaran sinar golok itu.
Di tengah berkelebatnya sinar golok
itu, dia sudah menerjang ke gubuk kayu itu, goloknya sudah menusuk
amblas papan pintu rumah itu. Maka melolong jeritan ngeri di belakang
pintu, seorang tersungkur roboh, siapa lagi kalau bukan “kalau
ingin membunuh, maka tanpa pantangan”, yaitu Nyo Bu-ki.
Kini dia hanya memiliki sebelah tangan,
tak terpikir olehnya bahwa golok itu akan menusuk tembus dari balik
papan menghunjam dadanya. Dengan pandangan kaget dia mengawasi Pho
Ang-soat, sorot matanya seperti bertanya, “Beginilah kau
membunuhku?”
Sekilas Pho Ang-soat menatapnya dingin,
sorot matanya seperti menjawab, “Jika ingin membunuh, tanpa
pantangan, aku belajar dari kau.”
Pertanyaan dan jawaban itu tidak mereka
ucapkan, karena sebelum Nyo Bu-ki sempat melontarkan sepatah kata
pun, napasnya sudah berhenti.
Pho Ang-soat hanya menatapnya sekilas,
di kala matanya menatap tajam, goloknya sudah berputar ke arah
Kongsun To. Kongsun To melambung ke udara bersalto ke belakang,
menerobos jendela turun di luar rumah, ternyata dia mampu
menyelamatkan jiwanya dari sambaran golok itu. Maklum karena serangan
golok Pho Ang-soat bukan bermaksud melukainya, tujuannya melindungi
Co Giok-cin.
Sinar golok hanya berkelebat sekejap,
tahu-tahu golok sudah kembali ke sarungnya.
Kongsun To berdiri jauh di pinggir
rumpun bambu, mukanya yang bercodet mengkilap oleh keringat dingin
yang mengucur deras.
Co Giok-cin menurunkan mangkuk dan
sumpit, maka air matanya pun berderai membasahi pipi. Toh Cap-jit
menatapnya, sorot matanya mengandung perasaan yang aneh, pandangan
ganjil.
Hwesio gila menghela napas, katanya,
“Bagus, orang yang lihai, golok yang bagus.”
Wajah Pho Ang-soat tetap pucat kaku,
tak berubah, padahal jantungnya berdetak keras. Sergapannya tadi,
padahal dia tidak yakin pasti berhasil, cuma kenyataan nasib baik
seperti selalu menjadi miliknya, padahal posisi lawan lebih
menguntungkan, maka terpaksa dia harus bertindak secara
untung-untungan.
Mendadak Kongsun To menyeringai dingin,
katanya, “Taruhanmu kali ini memang tepat, kau lebih mujur, namun
percaturan ini, kemenangan tetap akan berada di tanganku.”
“Hm,” Pho Ang-soat mengejek.
“Karena kartu terakhir masih
tergenggam di tanganku,” ucap Kongsun To.
“Dia masih punya kartu apa?”
Kongsun To berkata pula, “Sebetulnya
kau sendiri bisa menduga, kalau tiada orang menunjukkan jalan,
bagaimana mungkin kami menemukan tempat ini?”
Jari-jari Pho Ang-soat mengencang, lalu
siapakah yang mengkhianati dirinya?
Mendadak sebuah jeritan lengking
berkumandang, Toh Cap-jit mendadak turun tangan, dia menelikung
lengan Co Giok-cin serta memeluk di depannya.
“Kaukah?!” seru Pho Ang-soat sambil
membalikkan badan.
Toh Cap-jit mengawasi, sorot matanya
memancarkan mimik yang aneh, seperti ingin bicara, tapi ditahannya
pula.
Pho Ang-soat berkata, “Sebetulnya kau
laki-laki jantan, kenapa tega melakukan perbuatan serendah ini?”
Akhirnya tak tertahan Toh Cap-jit buka
suara, “Kau Dia hanya mengucap sepatah kata, mendadak kedua matanya
melotot, selanjutnya darah meleleh dari ujung mata, lubang hidung dan
menyembur dari mulutnya.
Kontan Co Giok-cin membalik, sikut
menyodok dadanya hingga tubuhnya terjengkang roboh, di bawah ketiak
di atas lambungnya ternyata ditembus oleh sebatang pisau runcing,
pisau satu kaki yang mengkilap itu amblas sampai gagangnya. Raut
mukanya sudah mengkeret, ujung mulutnya gemetar, seperti mau
mengatakan, “Aku salah, aku keliru.....”
Asalkan dia manusia pasti pernah
melakukan kesalahan, tak peduli orang macam apa pun tidak terkecuali.
Setelah melepas gagang pisau, Co
Giok-cin segera mundur ke belakang, mendadak dia membalik terus
memeluk Pho Ang-soat, pekiknya, “Aku membunuh orang.....aku
membunuh orang!” Bagi dirinya, ternyata membunuh jauh lebih
menakutkan daripada dibunuh. Jelas baru pertama kali ini dia membunuh
orang.
ooooOOoooo
Dulu Pho Ang-soat juga punya pengalaman
demikian, waktu dia membunuh orang pertama kali, isi perutnya yang
asam pun dimuntahkan keluar, dia maklum akan gejolak perasaan ini.
Bukan soal mudah untuk melupakan
gejolak perasaan seperti ini. Tapi manusia masih akan terus membunuh
orang, hanya manusia yang bisa membunuh manusia, karena ada sementara
orang pasti mendesak seseorang untuk membunuh orang.
Soal bunuh membunuh ini ada kalanya
seperti penyakit menular, siapa pun sukar meluputkan diri dari
ketularan, karena bila kau tidak membunuh dia, maka dia akan
membunuhmu.
Yang menjadi korban akan memperoleh
ketenteraman di alam baka, yang membunuh malah akan tersiksa oleh
derita lahir dan batin. Bukankah tragedi seperti ini mengandung suatu
sindiran?
Keadaan telah tenang kembali, terlalu
tenteram.
Darah tidak lagi mengalir, permusuhan
sudah jauh terhindar. Jagat raya gelap kelam, tak terdengar suara apa
pun. Tangis bayi pun tidak terdengar, dimana anak-anak itu?
Sekujur badan Pho Ang-soat menjadi
dingin, katanya,
“Anak-anak sudah jatuh ke tangan
mereka!”
Co Giok-cin malah menekan rasa dukanya,
membujuknya malah, “Anak-anak tidak akan mengalami bahaya, tujuan
mereka bukan anak-anak.”
Segera Pho Ang-soat bertanya, “Apa
kehendak mereka?”
“Yang mereka tuntut adalah ....”
“Apakah Khong-jiok-ling?”
Terpaksa Co Giok-cin membenarkan,
“Mereka kira Jiu Cuijing menyerahkan bulu merak itu kepadaku, bila
aku menyerahkan bulu merak itu kepada mereka, anak-anakku akan
dikembalikan kepadaku.” Air matanya mulai meleleh, “Tapi aku
tidak punya bulu merak, padahal bagaimana bentuk barang itu aku pun
belum pernah melihatnya.”
Dingin tangan Pho Ang-soat, sedingin
es.
Co Giok-cin menggenggam tangannya,
katanya rawan, “Sebetulnya tidak akan kuceritakan hal ini kepadamu,
aku tahu tiada seorang pun di dunia ini dapat merebut anakku dari
tangan mereka.”
“Tapi mereka kan juga anakku.”
“Tapi kau tak punya bulu merak, misal
kau mampu membunuh mereka, anak-anak itu tetap takkan dapat kau rebut
kembali.”
Pho Ang-soat membungkam, tidak bisa
tidak dia harus mengakui bahwa dirinya tak mampu membereskan
persoalan ini, perasaannya seperti disayat pisau.
Co Giok-cin menghiburnya lagi, “Untuk
sementara mereka pasti tidak akan mengganggu anak-anak, tapi ...”
Jari tangannya mengelus wajah Pho Ang-soat yang pucat, “Kau sudah
terlalu lelah, terluka lagi, kau harus banyak istirahat, berusahalah
kau membuang segala kerisauan hati dan melupakan mereka.”
Pho Ang-soat tidak bersuara, tidak
bergerak, seolah-olah dia sudah kaku, pati rasa. Karena dia tidak
punya bulu merak, dia tidak akan bisa menyelamatkan anak-anak. Dengan
kedua tangannya dia menyambut kelahiran mereka di dunia ini, sekarang
terpaksa dia harus menyaksikan mereka menderita dan terpisah dari
ibunya, kemungkinan pula akan mati.
Sudah tentu Co Giok-cin juga merasakan
penderitaannya, dengan air mata bercucuran dia menariknya ke ranjang
serta menekan kedua pundaknya, katanya dengan lembut dan mesra,
“Sekarang kau harus berusaha mengendorkan diri, apa pun jangan kau
pikirkan, biar aku mengobati lukalukamu.” Kembali dia meraba lembut
muka orang, lalu secara tiba-tiba dia menotok tujuh Hiat-tonya dengan
totokan berat.
Tiada orang bisa membayangkan perubahan
ini, umpama setiap orang di dunia ini sudah menduga sebelumnya, tapi
Pho Ang-soat pasti tidak pernah membayangkan. Maka dia hanya bisa
menatapnya dengan kaget, tapi kejut dan herannya jauh lebih besar
dari pukulan batinnya.
Bila sepenuh hati, dengan keluhuran
jiwamu kau melayani seseorang, tapi orang itu malah mengkhianati kau,
siapa dapat membayangkan betapa penderitaan batinnya.
Tapi Co Giok-cin malah tertawa, tertawa
lembut dan manis, “Kelihatannya kau amat menyesal atau menderita,
apakah luka-lukamu sakit? Atau perasaanmu yang tertusuk?” Tawanya
kelihatan lebih riang, “Dimanapun rasa sakitmu, sebentar tidak akan
terasa sakit lagi, karena orang mati tidak akan merasa sakit.”
Dengan tersenyum genit dia bertanya,
“Semula kukira bulu merak berada di tanganmu, tapi melihat
gelagatnya, agaknya rekaanku meleset. Maka aku akan segera
membunuhmu, bila tiba saatnya, segala penderitaan sudah tidak akan
terasa lagi olehmu.”
Bibir Pho Ang-soat sudah tergigit
sampai mengeluarkan darah, bibir yang kering itu memang sudah
merekah, sekarang sepatah kata pun tak mampu dia bicara.
Co Giok-cin berkata, “Aku tahu, kau
pasti ingin bertanya kepadaku, kenapa bersikap begini terhadapmu,
tapi aku justru tidak mau menerangkan.” Matanya mengawasi goloknya,
“Kau bilang siapa pun tak boleh menyentuh golokmu ini, sekarang aku
justru akan memegangnya.”
Dia mengulur tangan mengambil goloknya,
lalu berkata pula, “Bukan saja memegangnya, malah dengan golokmu
ini akan kubunuh dirimu.”
Jari tangannya terpaut satu dim saja
dari gagang golok, mendadak Pho Ang-soat berkata, “Lebih baik
jangan kau menyentuhnya.”
“Kenapa?” tanya Co Giok-cin.
“Karena aku belum ingin membunuhmu.”
Co Giok-cin tertawa lebar, katanya,
“Aku justru ingin menyentuhnya, ingin aku tahu dengan cara apa kau
akan membunuhku.” Akhirnya dia menyentuh golok itu.
Tapi golok itu mendadak membalik
memukul punggung tangannya, sarung golok yang hitam itu seperti besi
yang terbakar membara. Punggung tangannya seketika dihiasi jalur
merah, saking kesakitan hampir saja dia melelehkan air mata, tapi
rasa kejut dan takutnya jauh lebih besar daripada rasa sakit. Padahal
dia sudah menotok tujuh Hiat-to di badannya. Selamanya tidak pernah
meleset dia menotok Hiat-to orang.
“Sayang sekali ada satu hal selamanya
takkan terpikir olehmu,” ujar Pho Ang-soat.
“Hal apa?”, Co Giok-cin menegas.
“Setiap Hiat-to di seluruh tubuhku
sudah digeser satu dim dari tempat asalnya.”
Co Giok-cin melenggong.
Padahal segala rencana tiada satu pun
yang dilalaikannya, tiada kesalahan gerakan totokannya, selamanya
telak dan tidak pernah gagal. Yang salah sebetulnya adalah Pho
Angsoat, tapi mimpi pun dia tidak pernah menyangka bahwa letak
Hiat-tonya juga salah. Kesalahan letak satu dim ini justru amat
fatal, karena membuat seluruh rencananya gagal total.
Dia masgul, menyesal, gegetun dan
menyalahkan Yang maha Kuasa tidak adil, namun dia lupa berpikir,
bagaimana penggeseran letak satu dim ini bisa terjadi?
Latihan selama dua puluh tahun, darah
dan keringat mengalir deras tak pernah habis, tekad yang teguh
sekeras baja, kesabaran yang mengertak gigi. Begitulah terciptanya
penggeseran yang satu dim itu, tiada sesuatu yang kebetulan
untung-untungan di dunia ini.
Semua itu tidak pernah dia pikirkan,
dia hanya memikirkan satu hal. Setelah gagal sekali pasti takkan ada
kesempatan kedua kali, maka luluhlah dia.
Pho Ang-soat justru berdiri diam,
menatapnya dingin, katanya mendadak, “Aku tahu kau terluka.”
“Kau tahu?” Co Giok-cin menegas
dengan terbelalak.
“Lukamu di bawah ketiak, di antara
tulang kedua dan ketiga di igamu, luka golok sepanjang empat centi,
dalamnya tujuh mili.”
“Darimana kau bisa tahu?”
“Karena golokku yang melukaimu.”
Di luar ruang pemujaan
Thian-liong-ko-sa, darah menetes di ujung goloknya.
“Orang yang membokong aku bersama
Kongsun To di luar kuil tadi adalah kau.”
Ternyata Co Giok-cin cukup tabah,
katanya, “Betul, memang aku.”
“Ilmu pedangmu patut dibanggakan.”
“Ya, lumayan.”
“Setiba aku di Thian-liong-ko-sa, kau
pun segera menyusulku ke sana.”
“Langkahmu memang tidak lambat.”
“Kongsun To dan kawan-kawannya bisa
menemukan tempat ini, sudah tentu bukan Toh Cap-jit yang membocorkan
kepada mereka.”
“Sudah tentu bukan dia, tapi aku.”
“Karena itu kau membunuhnya.”
“Tentu takkan kubiarkan dia
membocorkan rahasiaku.”
“Mereka dapat menemukan
Bing-gwat-sim, sudah tentu juga lantaran engkau.”
“Jika bukan aku, mana mungkin mereka
bisa tahu bahwa Bing-gwat-sim sudah kembali ke kamar rahasia bawah
tanah itu?”
“Kau mengaku semua kesalahanmu?”
“Kenapa aku harus mungkir?”
“Kenapa kau lakukan semua itu?”
Mendadak Co Giok-cin mengeluarkan
sekuntum bunga mutiara, bunga yang jatuh dari balik baju Tio Ping
sebagai Jari telunjuk di dalam kamar rahasia di bawah tanah itu.
Sambil mengawasi bunga mutiara itu dia berkata, “Kau pasti ingat
darimana bunga mutiara ini.”
Sudah tentu Pho Ang-soat masih ingat.
“Hari itu apa pun aku tidak mau, aku
hanya mengambil bunga mutiara ini, kau pasti mengira aku seperti juga
perempuan umumnya melihat barang mestika lantas melupakan segalanya.”
“Jadi kau bukan perempuan jenis itu?”
“Aku merebut bunga mutiara ini lebih
dulu, karena aku kuatir kau melihat sandi rahasia merak di atas bunga
mutiara ini.”
“Merak?”
“Bunga mutiara ini adalah pemberian
Jiu Cui-jing kepada Co Giok-cin tanda ikatan perkawinan mereka,
sampai dia akan membawa bunga mutiara ini.”
“Jadi Co Giok-cin sudah mati?”
“Kalau dia belum mati, bagaimana
mungkin bunga mutiara ini bisa terjatuh ke tangan Tio Ping.”
Pho Ang-soat menutup mulut, sebab dia
berusaha mengendalikan emosinya. Lama kemudian baru dia menghela
napas pelan, katanya, “Ternyata kau memang bukan Co Giokcin, siapa
kau?”
Dia tertawa pula, tertawa licik dan
kejam, “Kau tanya siapa aku? Memangnya kau sudah lupa bahwa aku
adalah anakmu?”
Dingin kaki tangan Pho Ang-soat.
“Aku mau menikah dengan kau, meski
hanya memberi beban kepadamu, sehingga kau gampang ditekan,
dikendalikan, supaya kau mampus kelelahan, supaya kau selalu berusaha
untuk menolongku hingga kau harus mengadu jiwa dengan orang lain,
tapi siapa pun takkan menyangkal, bahwa aku sudah menikah dengan kau,
sudah menjadi binimu.”
Tiada komentar.
“Aku menjebloskan Bing-gwat-sim,
membunuh Yan Lamhwi, tadi kutusuk Toh Cap-jit, ingin membunuhmu pula,
tapi aku adalah istrimu,” tawanya lebih sadis, “aku hanya ingin
kau ingat satu hal, kalau kau ingin membunuhku, boleh sekarang kau
turun tangan.”
Mendadak Pho Ang-soat menerjang keluar.
Waktu itu adalah saatnya paling gelap
sepanjang malam ini, tanpa menoleh dia terus terjun ke tengah
kegelapan, dia sudah tidak bisa berpaling lagi.
Gelap pekat, kegelapan yang membawa
kekecewaan. Gelap yang membuat orang putus asa.
Pho Ang-soat berlari kencang seperti
kesetanan, dia tidak boleh berhenti, karena sekali dia berhenti dia
pasti roboh. Sekarang apa pun tidak dipikirnya lagi, karena dia tidak
bisa tidak harus berpikir.
Khong-jiok-san-ceng sudah runtuh, Jiu
Cui-jing tidak menyesal, hanya mohon dia melakukan satu hal, mohon
dia mempertahankan keturunan marga Jiu saja.
Tapi Co Giok-cin sekarang sudah mati.
Dia tahu bahwa di atas bunga mutiara
itu pasti ada sandi rahasia merak, maka sudah pasti bahwa “dia”
adalah salah satu dari pembunuh itu.
Tapi dia justru mengawalnya,
memperhatikan sepenuh hati dan melindunginya, malah menikahinya pula.
Jika bukan lantaran dia, bagaimana
Bing-gwat-sim bisa mati?
Jika bukan melindungi dia, bagaimana
Yan Lam-hwi bisa mati?
Dia malah menganggap apa yang dilakukan
selama ini
benar dan tepat, baru sekarang dia
menyadari apa yang pernah dilakukannya sungguh amat menakutkan.
Tapi sekarang sudah terlambat, kecuali
muncul keajaiban, orang yang sudah mati, pasti takkan bisa hidup
kembali. Padahal dia tidak percaya adanya kegaiban. Maka kecuali lari
lintang-pukang seperti anjing kelaparan di tengah kegelapan, apa pula
yang bisa dia lakukan sekarang? Umpama dia membunuhnya apa pula
faedahnya?
Semua persoalan itu dia tidak berani
memikirkan, juga tak bisa dipikirkan, karena benaknya ruwet,
pikirannya kacau balau. Keruwetan yang mendekati gila.
Dia lari dan lari terus hingga
kehabisan tenaga, maka dia roboh, begitu badannya mulai berkelejetan,
mengejang dan meronta-ronta. Cambuk yang tidak kelihatan itu mulai
melecut dan menghajar sekujur badannya pula.
Para malaikat, para dedemit atau iblis
yang ada di bumi dan langit sekarang seperti mengutuk serta
menghukumnya, sehingga dia menderita, dia sendiri pun ingin menghukum
dan menyiksa diri sendiri. Paling tidak, hanya itulah yang bisa dia
lakukan sekarang.
Dalam gubuk kecil itu tenang, hening
tiada suara apa pun.
Di luar pintu sayup-sayup seperti ada
orang bicara, tapi suaranya kedengaran amat jauh.
Segala sesuatu di sekitarnya kelihatan
remang-remang, amat jauh, sampai awak sendiri pun terasa seperti di
tempat jauh.
Tapi kenyataan dirinya jelas berada di
sini, di dalam gubuk cilik yang sempit, bau apek dan pengap ini.
Tempat apakah ini? Siapa pula pemilik
gubuk reyot ini? Dia hanya sedikit ingat sebelum dirinya ambruk, dia
seperti menjebol roboh sebuah pintu sempit. Agaknya dia pernah
kemari.
Tapi ingatannya juga masih samar-samar,
amat jauh, namun percakapan di luar pintu mendadak makin keras.
Itulah percakapan seorang laki dan perempuan.
“Jangan lupa aku inikan sudah
langganan lama, kenapa kau membiarkan aku pulang gigit jari,”
itulah suara laki-laki.
“Sudah kujelaskan, hari ini tidak
bisa. Kuharap kau datang lain kali,” suara perempuan setengah
meminta, nadanya tegas.
“Kenapa hari ini tidak boleh?”
“Karena ... karena hari ini aku
datang bulan.”
“Kentut busuk,” laki-laki itu
mendamprat gusar. “Umpama benar kau datang bulan, kau juga harus
mencopot celana biar kuperiksa.”
Nafsu laki-laki bila tidak tersalurkan
biasanya memang mudah naik pitam.
“Kau tidak takut sial?”
“Kenapa takut? Tuan besarmu ini punya
uang, takut apa? Nah, ini lima tahil boleh kau terima dulu, baru kau
copot celanamu.”
Lima tahil dapat memuaskan nafsu? Lima
tahil cukup untuk menghina perempuan? Tempat apakah sebetulnya di
sini? Dunia macam apakah yang ada di sini?
Sekujur badan Pho Ang-soat dingin
lunglai, seperti mendadak dia terjeblos ke dalam air dingin,
tenggelam ke dasar air, akhirnya dia teringat tempat apa ini.
Akhirnya dia melihat patung pemujaan di
atas ranjang itu, lalu terbayang akan gadis yang mengenakan kalung
kembang melati itu. Bagaimana aku bisa kemari? Apakah lantaran dia
pernah mengatakan, “Aku pasti menunggumu?” Apakah sekarang
dirinya seperti dia menghadapi jalan buntu, tiada arah yang bisa
ditempuhnya? Apakah lantaran nafsunya sudah terbenam sekian lama dan
di sini dia memperoleh pelampiasan?
Hanya dia sendiri yang dapat menjawab
pertanyaan ini, tapi jawabannya justru tersembunyi di relung hatinya
yang paling dalam, mungkin untuk selamanya tiada orang yang bisa
menggalinya keluar, mungkin dia sendiri pun tidak mampu.
Dia tidak bisa berpikir lagi, karena
pada saat itulah seorang laki-laki mabuk sudah menerjang masuk.
“Ha, memangnya tuanmu sudah tahu
dalam kamarmu menyembunyikan laki-laki, ternyata kau tertangkap basah
sekarang.” Jari-jari tangannya yang segede wortel itu terpentang,
seperti ingin merenggut Pho Ang-soat dari atas ranjang. Tapi yang dia
cengkeram ternyata gadis berkalung kembang melati itu, karena dia
ikut memburu ke dalam, menghadang di depan ranjang serta berteriak,
“Jangan kau menyentuhnya, dia sedang sakit.”
Laki-laki itu tertawa lebar, serunya,
“Laki-laki macam apa yang tak bisa kau cari, kenapa kau justru
memilih setan penyakitan ini?”
Gadis berkalung kembang melati
mengertak gigi, katanya, “Kalau kau memaksa, boleh aku ikut kau ke
tempat lain, lima tahil uangmu pun tak usah kuterima, kali ini kau
boleh gratis.”
Laki-laki itu menatapnya seperti heran,
desisnya, “Biasanya kau minta bayar lebih dulu, kenapa kali ini kau
rela gratis?”
“Karena hari ini aku senang,” sahut
gadis itu keras.
Laki-laki itu mendadak berjingkrak
beringas, serunya, “Berdasar apa tuanmu harus melihat kau senang.
Kau senang, tuanmu tidak senang.” Begitu dia kerahkan tenaga,
seperti elang menyambar ayam kecil, gadis itu diangkatnya
tinggi-tinggi.
Dia melawan, karena bukan saja dia
tidak mampu melawan, juga tidak bisa melawan, penghinaan dan siksaan
yang dia alami sudah terlalu biasa.
Akhirnya Pho Ang-soat berdiri,
desisnya, “Lepaskan dia.”
Laki-laki itu mengawasinya dengan
kaget, “Kau yang bicara?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Kau setan penyakitan ini suruh aku
melepas dia?”
Pho Ang-soat mengangguk pula.
“Tuan besar justru tidak mau
melepaskan dia, kau setan penyakitan ini mau apa?” mendadak dia
melihat tangan Pho Ang-soat memegang golok. “Jahanam, ternyata kau
membawa golok, memangnya kau berani membunuhku?”
Membunuh orang.
Lagi-lagi membunuh orang, kenapa orang
harus memaksa membunuh orang? Akhirnya Pho Ang-soat berduduk di
pinggir ranjang tanpa bersuara, terasa perutnya sedang mengkeret,
hampir tak tertahan dia ingin muntah.
Laki-laki itu tertawa lebar,
perawakannya tinggi kekar, daging otot kedua lengannya merongkol
mirip binaragawan, hanya sedikit bergerak dia lempar gadis berkalung
melati itu terbanting di atas ranjang. Lalu dia merenggut baju Pho
Angsoat, serunya dengan tertawa lebar, “Setan penyakitan macammu
begini juga berani menjadi pengawal pelacur busuk ini? Ingin tuanmu
membuktikan berapa besar tulangtulangmu?”
Gadis itu sudah meringkal di ranjang
sambil memekik.
Laki-laki kekar itu sudah siap
menjinjing Pho Ang-soat serta melemparkannya keluar pintu.
“Blang!”, seorang terbanting keras
di luar pintu, namun bukan Pho Ang-soat yang terbanting, ternyata
laki-laki kekar malah. Cepat dia merangkak lalu menerjang maju pula,
tinjunya terayun menggenjot muka Pho Ang-soat. Pho Angsoat tidak
bergerak, tahu-tahu laki-laki itu menjerit memegangi tangan sambil
menjengking, saking kesakitan keringat dingin membasahi selebar
mukanya, sambil menjerit-jerit dia berlari keluar.
Pho Ang-soat memejamkan mata, gadis itu
malah terbelalak, dengan kaget dia mengawasinya, seperti heran, kaget
juga kagum.
Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri
perlahan, beranjak keluar, pakaiannya basah kuyup oleh keringat
dingin.
Bersabar itu bukan sesuatu yang mudah.
Bersabar adalah derita, derita yang
jarang bisa dipahami dan diselami oleh kebanyakan orang.
Sinar surya di luar rumah menerpa mata,
wajahnya yang pucat kelihatan bening ditimpa sinar mentari. Di bawah
pancaran sinar mentari yang segar dan benderang ini, seorang seperti
dirinya, apa yang dapat dia lakukan? Kemana dia bisa pergi? Mendadak
hatinya seperti dirundung suatu kekuatan yang tak bisa dia lukiskan.
Bukan orang yang dia takuti, tapi diri
sendiri. Dia pun takut pada cahaya matahari, karena dia tidak berani
berhadapan dengan cahaya mentari yang segar dan benderang ini, dia
tidak berani menghadapi dirinya sendiri, akhirnya dia terjungkal
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar