Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Rabu, 07 November 2012

Peristiwa Bulu Merak - Khu Lung 13 s/d 17

Ini dia sambungannya ... enjoy yourself


Bab 13. Golok Raja Langit Pemenggal Setan

Sekali bacok tepat membelah seekor kuda menjadi dua, golok apakah itu? Tiada orang melihat. Yang jelas sinar golok melesat keluar dari dalam hutan, padahal kereta sudah berlari sejauh tiga puluhan tombak, dipandang dari sini ke arah sana, tiada bayangan orang, juga tidak terlihat adanya golok.

Pho Ang-soat menghadang di depan Co Giok-cin dan kedua anaknya, matanya menatap hutan lebat di sebelah kiri, kulit wajahnya yang pucat seolah-olah menjadi bening.

Setelah menenangkan napas, segera Yan Lam-hwi bertanya, “Kau lihat golok itu?”

Pho Ang-soat menggeleng.

“Tapi kau pasti sudah tahu golok macam apakah itu?” Pho Ang-soat mengangguk

Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Agaknya Kongcu Gi cukup cepat menyerap berita, Biau-thian-ong ternyata sudah tiba.”

Golok milik Biau-thian-ong sudah tentu adalah Thian-ongcam-kui-to.

Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, katanya dingin, “Yang datang mungkin tidak sedikit.”

Pada saat itulah dari utara dan selatan jalan raya, dua kereta dilarikan sejajar mendatangi. Jalan mundur atau maju sudah tersumbat.

Di atas kereta pertama sebelah kiri yang datang dari utara, dua orang sedang duduk bersimpul menghadapi meja sedang bermain catur. Kereta kedua juga diduduki dua orang, seorang sedang membersihkan kuku, seorang lagi sedang minum arak. Agaknya keempat orang ini sedang khusuk menghadapi pekerjaan masing-masing, siapa pun tiada yang mengangkat kepala atau menoleh ke depan.

Kereta pertama yang datang dari selatan tampak beberapa perempuan di dalamnya, ada tua ada muda, ada yang senang menyulam ada yang sedang makan kwaci, ada pula yang menyisir rambut.

Perempuan yang paling tua itu ternyata bukan lain adalah Kui-gwa-po.

Di atas kereta kedua menggeletak sebuah peti mati besar dan baru, di depannya tergantung sebuah wajan raksasa yang terbuat dari tembaga, kuping gelang sebanyak empat buah dari wajan ini terpasang di empat kaki besi.

Konon wajah terbesar di seluruh jagat ini adalah milik Siaulim-si, wajan untuk memasak nasi. Maklum Hwesio Siau-lim-si banyak jumlahnya, sepanjang tahun tak pernah makan barang
berjiwa, namun setiap hari mereka harus bekerja rajin, maka selera makannya pun amat besar. Umpama saja setiap Hwesio setiap makan menghabiskan lima mangkuk nasi, lima ratus Hwesio menghabiskan berapa mangkuk? Lalu untuk memberi makan sampai kenyang lima ratus Hwesio, berapa besar wajan yang harus digunakan untuk memasak nasi?

Yan Lam-hwi pernah bertamu ke Siau-lim-si, sengaja dia ingin menyaksikan wajan raksasa itu, karena dia memang seorang yang selalu tertarik akan sesuatu yang luar biasa.

Wajan tembaga di atas kereta ini ternyata tidak lebih kecil dari wajan Siau-lim-si itu. Dan anehnya di dalam wajan ternyata ada dua orang, kepala besar kuping lebar, wajahnya bundar, di atas jidatnya terdapat codet merah bekas bacokan golok yang menggelantung ke bawah, dari atas alis menggaris turun sampai ujung mulut, sehingga wajah bundar gemuk yang kelihatan jenaka dan lucu ini mendadak berubah menjadi seram dan kejam.

Kereta dilarikan perlahan, wajah di atas kereta ternyata bergontai pergi datang, seperti mereka duduk di atas ayunan.

Mega sudah tertiup pergi, sang surya merayap makin tinggi, namun hati Yam lam-hwi justru makin tenggelam. Tapi dia harus mengunjuk tawa meski dipaksakan, gumamnya, “Tak nyana To-jing-cu ternyata tidak datang.”

“Sekali sergap tidak berhasil, harus segera mundur,” demikian kata Pho Ang-soat dingin, itulah aturan lama pihak Sing-siok-hay mereka.

Tawa Yan Lam-hwi seperti amat riang katanya, “Kecuali dia, yang pantas datang agaknya sudah tiba, yang tidak patut datang ternyata juga sudah tiba.” Mengawasi si gembrot dengan codet di mukanya dalam wajan itu dia tersenyum, katanya, “Koki Dol, kenapa kau pun datang?”

Codet di muka si gendut bergerak seperti ular. Dia sedang tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan menjijikkan dan misterius, katanya, “Kali ini aku datang mengerjai mayat.”

“Mengerjai mayat siapa?” tanya Yan Lam-hwi.

“Mayat apa saja kukerjai!” dengan bergontai dia berdiri dan keluar dari wajan besar itu. “Kuda mati dimasukkan ke perut, orang mati dimasukkan ke layon.”

Kereta sudah berhenti seluruhnya. Yang bermain catur tetap saja main catur, yang minum arak masih memegang cangkir, yang menyisir juga tetap menyisir rambut, masingmasing masih sibuk dengan tugasnya.

Koki Dol tertawa, “Agaknya semua orang hari ini akan dapat rezeki mujur, kalian akan bisa berpesta sampai kenyang, daging kuda panca wangi yang diolah Koki Dol, tidak sembarang orang dapat menikmatinya.”

Yan Lam-hwi berkata, “Masakan keahlianmu kurasa bukan daging kuda panca wangi, betul tidak?”

“Bahan-bahan untuk membuat masakan keahlianku sukar dicari, bolehlah hari ini kalian menikmati daging kuda panca wangi saja,” sembari bicara badannya yang gendut itu tahutahu sudah menyelinap keluar dari bawah wajan, terus melompat turun, bagi yang tidak menyaksikan sendiri sungguh sukar percaya bahwa si gendut yang beratnya ratusan kati itu, gerak-geriknya ternyata enteng dan lincah. Dan ternyata dia juga membawa pisau, pisau pendek tapi lebar, pisau untuk merajang sayur, pisau yang biasa digunakan koki di setiap restoran.

Tak tahan Co Giok-cin bertanya, “Apa benar Koki Dol seorang koki?”

“Palsu,” sahut Yan Lam-hwi. “Kenapa orang memanggilnya koki?”

“Karena dia senang memasak dan suka pakai golok sayur.”

“Paling ahli dia masak apa?”

“Panggang jantung orang, dicampur saos daging panggang.”
Penebang kayu itu sudah tidak muntah lagi, baru saja dia mengangkat kepala, menegakkan badan, seketika dia berdiri menjublek pula.

Tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa tempat ini bakal ramai. Pagi tadi dia hanya makan dua bakpao hangat dengan beberapa tangkai sayur asin, semula dia menyangka isi perutnya sudah terkuras habis, tiada yang bisa dimuntahkan lagi. Tapi hanya sekejap dia melihat ke sana, tak tertahan dia memeluk perut muntah-muntah lagi, lebih keras dan banyak.

Sementara itu Koki Dol sudah mengeluarkan pisaunya membacok daging kuda, kulit daging bercampur tulangnya sekalian, dia membacok segumpal besar, seenaknya saja tangannya terayun melemparkan gumpalan daging itu ke dalam wajan besar itu.

Tangan kanan mengerjakan pisau, tangan kiri melempar daging, kedua tangannya naik turun secara cepat, gerakgeriknya cekatan dan amat mahir, kuda itu dalam sekejap telah diirisnya menjadi seratus tiga puluhan kerat daging. Daging kuda sudah berada di dalam wajan, mana bahan panca wanginya?

Darah yang berlepotan di atas pisaunya dibersihkan dengan alas sepatu Koki Dol, lalu dia melangkah balik menghampiri peti mati besar dan tebal itu. Di dalam peti mati ternyata tersimpan berbagai bahan masakan, minyak, garam, kecap, cuka, lada, jahe dan banyak lagi, tidak ketinggalan juga penyedap rasa, bahan-bahan masakan yang terpikir olehmu pasti dibawa oleh Koki Dol.

Koki Dol menggumam, “Kereta bobrok ini kebetulan untuk bahan bakar, bila kereta ini terbakar habis, yakin dagingnya juga sudah empuk, sudah matang.”

Nyo Bu-ki yang sedang main catur tiba-tiba berseru, “Bagianku jangan terlalu empuk, gigiku masih utuh.”

Koki Dol berkata dengan nada tinggi, “Tosu yang beribadah juga berani makan daging?”

“Jangan kata daging kuda, daging manusia juga pernah kumakan.”

Koki Dol bergelak tertawa, katanya, “Jika Tosu ingin makan daging manusia, sebentar boleh kubikinkan, bahan-bahan sudah lengkap tersedia di sini.”

“Memangnya aku sedang menunggu, biasanya aku tidak tergesa-gesa.”

Koki Dol bergelak tawa, matanya melirik ke arah Pho Angsoat, katanya, “Daging manusia untuk tambah darah, siapa mau makan sedikit daging orang, mukanya tanggung tidak pucat lagi.” Di tengah gelak tawanya, cukup dengan sebelah tangan dia mengangkat wajan raksasa seberat tiga ratusan kati itu bersama kaki besinya ke tengah jalan raya, lalu dengan pecahan kayu kereta dia mulai menyulut api di bawah wajan.

Lekas sekali api telah menyala, asap mengepul, kayu yang terjilat api meletup-letup lirih.

Orok di pelukan Co Giok-cin menangis, terpaksa Co Giokcin menarik bajunya, memberi minum air teteknya.

Kongsun To yang masih memegangi cangkir arak mendadak berseru, “Waduh putihnya.”

“Daging yang empuk dan gurih,” sela Koki Dol tertawa.

Kwi-gwa-po yang sedang makan kwaci mendadak menghela napas, katanya, “Orok yang harus dikasihani.”

Terasa oleh Pho Ang-soat, perutnya seperti mengkeret, tak tertahan hampir saja dia pun muntah-muntah. Otot hijau sudah merongkol di punggung tangannya yang memegang golok, agaknya sudah siap mencabut goloknya.

Tapi Yan Lam-hwi memegang pundaknya, katanya lirih, “Sekarang tidak boleh bergerak.”

Sudah tentu Pho Ang-soat juga tahu situasi sekarang belum mengizinkan dia beraksi. Beberapa orang itu kelihatan bersikap santai, padahal hati mereka juga gugup, gelisah sepeti semut di dalam kuali yang panas, sedikit lena dan bergerak tanpa perhitungan, akibatnya pasti susah dibayangkan.

Lalu bagaimana kalau tidak beraksi? Apakah harus diam begini saja sampai mereka habis gegares daging kuda, lalu makan daging manusia.

Dengan merendahkan suaranya, Yan Lam-hwi bertanya, “Kau kenal tidak Toh Cap-jit yang punya delapan nyali dan delapan sukma?”

Pho Ang-soat geleng kepala.

“Orang ini bukan Tayhiap, bukan ksatria, tapi mempunyai jiwa pendekar melebihi para pendekar dan ksatria yang pernah kukenal. Aku sudah berjanji dengan dia untuk bertemu di kedai minum Thian-hiang-lau di kota sebelah depan, asal dapat menemukan dia, persoalan apa pun pasti dapat dibereskan, hubunganku dengan dia amat baik.”

“Itu kan urusanmu.”

“Tapi sekarang urusanku adalah urusanmu pula.”

“Aku tidak mengenalnya.”

“Tapi dia mengenalmu.”

Yang main catur tetap asyik dengan permainannya, setiap orang masih tekun melakukan tugas masing-masing, hakikatnya tidak memperhatikan mereka, seolah-olah mereka sudah dianggap sebagai orang mati.

“Apakah kau ini seorang yang kenal aturan?” tanya Yan Lam-hwi. “Kadang kala saja,” sahut Pho Ang-soat.

“Sekarang apakah sudah tiba saatnya kita tidak usah kenal aturan?”

“Agaknya memang demikian.”

“Bolehkah Co Giok-cin dan kedua anaknya mati di sini?”

“Tidak boleh.”

Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Syukurlah kalau kau selalu ingat perkataanku tadi, marilah pergi.”

“Pergi? Pergi bagaimana?”

“Begitu kau mendengar aku mengucap 'anjing kecil', bawalah Co Giok-cin dan kedua anaknya ke atas kereta itu, sembunyikan ke dalam peti mati, urusan selanjutnya serahkan kepadaku.” Lalu dengan tertawa Yan Lam-hwi menambahkan, “Jangan lupa kepandaianku melarikan diri nomor satu di seluruh jagat ini.”

Terkancing mulut Pho Ang-soat, sudah tentu dia maklum apa maksud Yan Lam-hwi, sekarang dia tidak punya pilihan lain. Apa pun yang akan terjadi dia harus berjuang dan berusaha supaya Co Giok-cin dan kedua anaknya tidak terjatuh ke tangan orang-orang itu.

Kereta dimana Kwi-gwa-po duduk seluruhnya berisi orang perempuan, kecuali nenek peyot ini, empat yang lain berwajah tidak jelek. Tidak jelek maksudnya ayu jelita, yang paling jelita sedang menyisir rambut, rambutnya yang panjang terurai mayang dan hitam mengkilap.

Mendadak Yan Lam-hwi berkata, “Konon dari yang tua sampai yang paling muda, Biau-thian-ong seluruh mempunyai delapan puluh bini.”

“Ya, tepat delapan puluh, dia suka angka genap,” sahut Kwi-gwa-po.

“Kabarnya peduli kemana pun dia, paling sedikit akan membawa empat lima bininya, karena sembarang waktu dia memerlukan hiburan,” kata pula Yan Lam-hwi.

“Dia memang laki-laki yang selalu fit tenaganya, maka setiap bininya pasti merasa ketiban rezeki,” ujar Kwi-gwa-po.

“Apakah kau salah satu di antaranya?”

Kwi-gwa-po menghela napas, katanya,”Aku memang ingin, sayang dia menganggap aku terlalu tua.”

“Siapa bilang kau sudah tua, menurut pandanganku, kau lebih muda sepuluh tahun dibanding nenek yang sedang menyisir rambut itu.”

Kwi-gwa-po tertawa lebar, gadis yang sedang menyisir rambut berubah air mukanya, menatapnya dengan mata melotot.

Yan Lam-hwi malah tertawa menyengir padanya, katanya, “Sebetulnya kau belum terhitung tua, kecuali Kwi-gwa-po, kau terhitung yang paling muda.”

Sekarang orang banyak sudah tahu kalau dia sengaja mencari setori, mencari kesulitan, tapi mereka tak habis mengerti, orang-orang sengaja tidak memperhatikan dia, sekarang terpaksa melirik atau menoleh ke arahnya.

Maka Yan Lam-hwi langsung menemui Koki Dol, katanya, “Kecuali membacok daging mengiris sayur, pisaumu ini apa pula gunanya?”

“Untuk membunuh orang pula,” sahut Koki Dol. Codet di mukanya mulai bergerak pula, “Membunuh seorang dengan golok antik yang dihiasi mutiara dan mutu manikam, apa bedanya dengan golok sayurku ini?”

“Kurasa ada sedikit perbedaannya.”
“Dimana perbedaannya?”

Yan Lam-hwi tidak menghiraukan dia, setelah memutar tubuh dia membuka tutup peti mati, mulutnya menggumam, “Eh, di sini juga ada bawang merah, ada merica, apa ada lombok?”

“Dimana perbedaannya?” teriak Koki Dol.

Yan Lam-hwi tetap tidak mempedulikan dia, katanya, “Ha, di sini memang ada lombok. Agaknya peti mati ini cukup untuk dibuat dapur.”

Semula Koki Dol mendemprok di tanah, sekarang dia berdiri, katanya, “Kenapa tidak kau jelaskan? Sebetulnya dimana letak perbedaannya?”

Akhirnya Yan Lam-hwi menoleh, katanya dengan tertawa, “Sebetulnya dimana perbedaannya aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya tahu supaya daging kuda panca wangi terasa sedap, harus banyak dicampur lombok.” Lalu dia mencomot segenggam lombok, menghampiri wajan besar itu, katanya pula, “Kukira di sini tiada orang yang tidak doyan lombok, yang
tidak makan lombok adalah anjing cilik.”

Saking gusar selebar muka Koki Dol yang gembrot sudah pucat-pias, pada saat itulah terdengar ringkik kuda disertai bentakan nyaring. Pho Ang-soat sudah mengangkat Co Giokcin, Co Giok-cin memeluk kedua anaknya, dua orang besar dan dua orok meluncur pesat merebut kereta. Co Giok cin langsung memasukkan kedua anaknya ke dalam peti mati, sementara Pho Ang-soat mengayun cambuk mengeprak kuda, pada waktu yang sama Yan Lam-hwi memegang kaki wajan, terus diangkatnya ke atas.

“Awas!” Kongsun To berseru, menimpukkan cangkir seraya berjingkrak berdiri.

Sebelum hilang suaranya, Co Giok-cin sudah melompat masuk ke dalam peti mati serta menutup rapat tutupnya dari dalam. Sementara Yan Lam-hwi mengayun wajan besar itu terus dilempar ke arah dua kereta di depan sana.

Kuah panas muncrat, daging kuda beterbangan, kuda berjingkrak kaget ketakutan, potongan daging kuda laksana hamburan senjata rahasia, sipaa pun yang terkena pasti kulit dagingnya melepuh kepanasan.

Orang-orang di atas kereta berlompatan turun sambil menutup muka dan kepala dengan kedua lengan bajunya.

Tangan kanan Pho Ang-soat memegang golok, tangan kiri mengayun cambuk, keretanya sudah menerobos pergi lewat tengah-tengah kedua kereta yang ambruk di kedua sisi jalan.

Tubuh Siau Si-bu terapung di udara, mendadak dia bersalto, seluruh kulit daging dan otot tangan kanannya penuh dilandasi kekuatan dalamnya, pisau terbang sudah terpegang di jari-jarinya.

Di sebelah sana Nyo Bu-ki juga melambung ke atas, tangannya juga memegang gagang pedang.

Pisau Siau Si-bu sudah disambitkan, kali ini sedikitpun tidak mengeluarkan suara, timpukannya itu menggunakan setaker tenaga, yang diincar adalah punggung Pho Ang-soat. Punggung adalah sasaran paling empuk dan nyata, paling sukar dihindari.

Walau kedua kereta sudah ambruk ke pinggir, namun peluangnya juga tidak lebar. Pho Ang-soat harus mencurahkan perhatian mengendalikan kuda keretanya, supaya kereta ini tidak menabrak atau terbalik. Punggungnya juga tidak tumbuh mata, hakikatnya tidak tahu sambaran pisau yang melesat bagai kilat menyambar itu, umpama dia tahu juga tidak mampu berkelit. Umpama dia berhasil meluputkan diri dari timpukan pisau, kereta tidak terkendali lagi dan pasti menumbuk kereta yang lain.

Di saat genting itulah, goloknya mendadak menyelonong keluar dari bawah ketiak, “Ting”, sarung goloknya yang hitam gelap itu memercikkan lelatu api, pisau terbang sepanjang empat dim jatuh berkerontang di atas kereta.

Pedang Nyo Bu-ki sudah keluar dari sarungnya, dengan jurus Giok-li-jeng-so (gadis cantik menyusup benang) menyerang sambil menukik turun.

Sarung golok masih terkempit, Pho Ang-soat mencabut golok secara terbalik, dimana sinar goloknya berkelebat dia sambut kedatangan cahaya pedang, Golok dan pedang tidak beradu, namun gerak sinar golok lebih cepat lagi, ujung pedang Nyo Bu-ki sudah hampir menembus leher Pho Angsoat, jaraknya tinggal satu dim, tapi satu dim ini justru merupakan jarak yang menentukan.

Terdengar jeritan mengalun di angkasa, darah pun berhamburan, dari udara melayang jatuh sebelah lengan orang, jari-jarinya masih memegang kencang gagang pedang, itulah Siong-bun-thi-kiam yang kuno dan antik.

Waktu badan Nyo Bu-ki melayang turun, kebetulan dia kecemplung ke dalam wajan besar itu, masih ada sisa kuah dan daging kuda yang panas. Itulah kali pertama selama hidupnya berkesempatan membunuh Pho Ang-soat, kali ini pedangnya hampir menusuk tenggorokan Pho Ang-soat, hanya terpaut satu dim saja.

Kuda meringkik panjang, kereta itu sudah dibawanya lari jauh meninggalkan kepulan asap. Cahaya pedang yang menyala bagai warna darah, terbang mendatang mencegat jalan di belakang kereta.

Pho Ang-soat tidak menoleh, dia mendengar suara batuk Yan Lam-hwi, gerak pedang Yan Lam-hwi yang mencegat para musuhnya itu jelas sudah mengerahkan seluruh kekuatannya.

Pho Ang-soat tidak berani menoleh, dia kuatir bila dirinya melihat ke belakang, pasti akan putar balik, berjuang berdampingan dengan Yan Lam-hwi sampai titik darah penghabisan. Sayang sekali ada sementara orang tidak boleh mati, pasti tidak boleh.

Malam larut, hawa dingin. Di tanah pekuburan.

Kereta itu akhirnya berhenti di tengah pekuburan. Bintang berkelap-kelip di angkasa, di tanah pekuburan yang belukar dengan batu-batu nisan berserakan, tiada tampak bayangan orang.

Mendadak seorang bangun berduduk dari dalam peti mati di atas kereta itu, rambutnya panjang menyentuh pundak, sorot matanya bening laksana air. Umpama dia ini setan, pasti setan yang paling ayu di jagat ini. Sorot matanya mengerling kian kemari, agaknya dia sedang celingukan, entah apa yang dicarinya. Yang dicari bukan setan, bukan dedemit, tapi seorang yang memegang golok.

Kemanakah Pho Ang-soat? Kenapa dia ditinggal seorang diri di sini? Sorot matanya menampilkan rasa ngeri dan takut, untunglah Pho Ang-soat sudah muncul di depannya.

Kabut mulai menyelimuti tanah pekuburan itu, tabir malam kelihatan pucat, sepucat muka Pho Ang-soat.
Walau Co Giok-cin menghela napas lega setelah melihat wajah pucat ini, namun dia kaget dan curiga, “Kenapa kita harus berada di sini?”

Tidak menjawab malah balas bertanya, “Sebutir beras, sembunyi dimana paling aman?”

Co Giok-cin berpikir sejenak, sahutnya, “Sembunyi di tumpukan beras.”

“Sebuah peti mati harus disembunyikan dimana supaya tidak menarik perhatian orang.”

Akhirnya Co Giok-cin mengerti maksudnya, kalau sebutir beras sembunyi di dalam tumpukan beras, maka peti mati harus disembunyikan di tanah pekuburan. Tapi dia masih kurang jelas, tanyanya, “Kenapa kita tidak mencari Toh Capjit, teman Yan Lam-hwi itu?”

“Tidak boleh kita ke sana.”

“Kau tidak mempercayainya?”

“Orang yang dipercaya Yan Lam-hwi aku pun mau percaya kepadanya.”

“Lalu kenapa tidak mencarinya?”

“Thian-hiang-lau adalah sebuah restoran besar, Toh Cap-jit adalah seorang terkenal, kalau hendak mencarinya, dalam jangka tiga jam, Kongsun To dan kambrat-kambratnya pasti segera tahu.”

Co Giok-cin menghela napas, katanya lembut, “Sungguh tak nyana, langkah kerjamu lebih teliti dari aku.”

Pho Ang-soat menghindar dari kerlingan matanya, dari dalam bajunya dia merogoh keluar sebuah buntalan kertas minyak, katanya, “Inilah panggang ayam yang sempat kubeli di tengah jalan, tak perlu kau bagikan kepadaku, aku sudah makan.”

Tanpa bersuara Co Giok-cin menerima buntalan kertas itu serta membukanya, air matanya menetes di atas panggang ayam.

Pho Ang-soat pura-pura tidak melihat, katanya, “Aku sudah memeriksa daerah sekitar sini, dalam jarak tiga li di sini tidak berpenduduk, di belakang juga tiada orang yang menguntit kita, kau harus tidur, bila terang tanah aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.”

“Tugas apa?”

“Mencari tahu kalau malam dimana Toh Cap-jit menginap? Bila aku mencarinya, seorang pun tidak boleh tahu.”

“Jadi aku harus mencarinya?”

“Tampangku gampang menarik perhatian orang, orang yang kenal kau amat sedikit, aku sedikit menguasai tata rias.”

“Jangan kau kuatir, aku bukan perempuan lemah, aku bisa menjaga diriku sendiri.”

“Kau bisa naik kuda?”

“Ya, pernah belajar sebentar.”

“Baiklah, besok pagi kau boleh berangkat dengan naik kuda, setiba di tempat yang banyak orang, segera kau lepaskan kuda ini. Di tengah jalan kau mencegat kereta, bila pulang boleh kau membeli seekor keledai.”

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sebelah utara, tidak sedikit perempuan yang naik keledai.

“Aku pasti dapat bekerja hati-hati, cuma kedua bocah ini...”

“Serahkan kepadaku, teteki dulu sampai kenyang baru kau berangkat, karena itu malam ini kau harus tidur.”

“Dan kau?”

“Jangan kau kuatirkan aku, bila perlu ada kalanya aku berjalan pun bisa tidur.”

Co Giok-cin menatapnya, pandangannya lembut mesra, terbayang pula rasa iba, seperti banyak persoalan ingin dia bicarakan, ingin mencurahkan hati. Namun Pho Ang-soat sudah putar tubuh, menghadapi tabir malam yang telah menyelimuti jagat raya, sekarang dia seperti sudah tidur.

Tepat tengah hari.

Kedua orok kecil itu akhirnya tertidur pulas, Co Giok-cin sudah pergi tiga jam lalu.

Pho Ang-soat duduk di tempat gelap di belakang gundukan tanah kuburan, dengan terlongong dia mengawasi tanah membukit di depan matanya, sudah lama dia tidak bergerak.

Pho Ang-soat lantas berpikir, siapa-siapa saja yang dikebumikan di kuburan ini? Di antaranya ada berapa banyak orang-orang gagah, pahlawan bangsa yang tidak ternama? Berapa banyak kaum gelandangan yang hidup terluntaterlunta?

Manusia yang hidupnya kesepian, apakah setelah mati dia tetap kesepian? Setelah dia mati adakah sesama manusia mau mengebumikan dia? Dikubur dimana? Siapa yang mampu menjawab semua pertanyaan ini? Tiada seorang pun.

Pho Ang-soat menarik napas panjang, perlahan dia bergerak berdiri, dilihatnya seekor keledai sedang menuruni tanah gundukan di kejauhan sana.

Seekor keledai yang kurus kelihatan amat letih, langkahnya bergontai seperti sudah kelaparan beberapa hari, penunggangnya adalah nyonya yang kurus dan pucat.

Dari kejauhan Pho Ang-soat sudah mengawasinya, dalam hati dia merasa puas akan tata rias buah tangannya. Akhirnya Co Giok-cin kembali dengan selamat, tiada yang mengenalnya, juga tiada yang menguntit dia.

Begitu melihat Pho Ang-soat dan kedua anaknya, matanya lantas memancarkan cahaya seperti lazimnya seorang ibu yang bijaksana dan bijak terhadap putra-putrinya, dia memburu ke arah kedua anaknya, satu per satu dia cium pipinya yang montok, lalu mengeluarkan buntalan kertas minyak, katanya, “Inilah panggang ayam dan daging sapi yang kubeli di dalam kota, kau tidak usah bagikan padaku, aku sudah makan.”

Tanpa bersuara Pho Ang-soat mengulur tangannya menerima. Waktu ujung jari Co Giok-cin menyentuh tangan Pho Ang-soat, terasa tangannya sedemikian dingin.

Seorang yang kepanasan tiga jam di bawah terik matahari, kalau telapak tangannya masih terasa dingin, maka hatinya pasti dirundung persoalan, pikirannya tidak tenteram.

Co Giok-cin mengawasinya, katanya lembut, “Aku tahu kau pasti amat kuatir menungguku, akan begitu aku berhasil memperoleh berita, aku lantas pulang.”

“Jadi kau sudah mencari tahu Toh Cap-jit...”

“Tiada orang yang tahu dimana Toh Cap-jit tidur kalau malam?” tukas Co Giok-cin, “umpama ada orang tahu, dia juga tidak mau mengatakan.”

Toh Cap-jit adalah seorang yang supel, orang yang suka berkawan dengan banyak teman, maka temannya tersebar dimana-mana. “Tapi aku mendapat sebuah berita,” ucap Co Giok-cin. Pho Ang-soat dengan serius mendengarkan.

“Temannya memang banyak, tapi musuhnya juga tidak sedikit, satu di antaranya yang paling lihai bernama Ma Gun, setiap penduduk kota tiada yang tidak tahu, bahwa pada tanggal tujuh belas bulan yang akan datang, Ma Gun sudah siap membunuh Toh Cap-jit. Dan lagi agaknya dia sudah punyapersiapan, kelihatannya yakin usahanya itu pasti berhasil.”

“Hari ini kalau tidak salah sudah tanggal 8,” ucap Pho Angsoat.

Co Giok-cin mengangguk, katanya, “Maka aku pikir, dalam beberapa hari ini, dimana jejak Toh Cap-jit, pasti hanya Ma Gun saja yang tahu.”

Jika kau ingin mencari jejak seseorang, daripada mencari temannya, lebih baik kau mencari musuhnya. “Kau sudah menemui Ma Gun?”

“Aku tidak menemuinya,” ujar Co Giok-cin tertawa, “tapi kau boleh pergi mencarinya, menemuinya secara terang-terangan, tak usah takut diketahui Kongsun To dan kambrat-kambratnya, bila mereka tahu, bukan mustahil keedaan malah menguntungkan kita.” Senyumannya lembut dan juga manis.

Pho Ang-soat menatapnya sesaat, mendadak dia sadar, dia tahu apa maksudnya, sorot matanya lantas memancarkan makna memuji dan kagum.

“Restoran tersebar di kota depan itu bukan Thian-hiang-lau, tapi adalah Teng-sian-lau.”

“Ma Gun sering ke sana?”

“Setiap hari dia pasti ke sana, malah setiap pagi hingga malam dia pasti di sana, karena Teng-sian-lau adalah miliknya.”

Malam telah tiba.

Pho Ang-soat meninggalkan Co Giok-cin dan anaknya di tengah tanah pekuburan, di antara gundukan tanah yang lembab, semak belukar yang lebat, gelap dan menyeramkan. Bagaimana dia tega dan lega meninggalkan mereka di sini?

Karena tempat ini terlalu sepi, belukar lebat, gelap dan jarang dijelajahi manusia, maka dia yakin tiada orang mengira mereka bersembunyi di sini, maka dia boleh berlega hati. Tapi apakah hatinya lega?

Tidak! Tapi banyak persoalan harus dia bereskan dan atur untuk mereka, supaya bisa bertahan hidup dengan tenteram dan selamat. Karena dia tahu dirinya takkan bisa selamanya mendampingi mereka.

Tiada seorang pun di dunia ini selamanya dapat mendampingi seorang yang lain. Betapapun lama pergaulan antar sesama manusia, akhir dari pertemuan atau pergaulan itu pasti berpisah. Kalau bukan berpisah untuk selamanya, maka berpisah untuk mencari jalan hidup sendiri.

Mendadak dia terkenang kepada Bing-gwat-sim.

Sejauh mana dia sudah berusaha menekan emosinya untuk tidak mengenangnya lagi, tapi di lereng nan sepi, di malam nan hening seperti ini, persoalan yang tidak ingin kau pikirkan, justru paling gampang kau pikirkan.

Karena itu bukan saja dia terkenang kepada Bing-gwat-sim, dia pun teringat kepada Yan Lam-hwi, terbayang olehnya waktu mereka berpisah. Bing-gwat-sim menatap dengan kerlingan matanya, terbayang akan suara batuk-batuk kering Yan Lam-hwi di tengah cahaya pedangnya yang merah.

Sekarang dimana mereka berada? Di ujung langit? Atau di dalam tungku?

Pho Ang-soat tidak tahu, malah dia sendiri juga bingung, entah dimana sekarang dirinya berada? Di ujung langit? Atau di dalam tungku?

Golok tergenggam kencang di tangan, dia tahu goloknya itu pernah digembleng dari dalam tungku. Bukankah sekarang jiwa raganya mirip goloknya yang tergembleng di dalam tungku dulu?

ooooOOoooo

Bab 14. Bayar Dulu Bunuh Kemudian

Ma Gun berdiri di pinggir pagar berukir di atas loteng, terhadap sesuatunya kelihatan amat puas. Tempat itu adalah gedung megah yang mcnterang dengan panjang dan hiasan yang cukup mewah dan antik. Perabotnya serba kuno dan bernilai tinggi, setiap meja kursi terukir dari k.iyu pilihan, pecah-belah yang dipakai di sini seluruhnya terbuat dari pabrik keramik yang terkenal di kota King-tek-tin.

Tamu-tamu yang makan minum di sini semua adalah pejabat tinggi, hartawan atau orang-orang terkenal yang punya pengaruh. Padahal tarip di restoran ini satu kali lipat lebih mahal dari restoran termahal manapun dalam kota ini, tapi Ma Gun tahu tamu-tamunya itu tidak memikirkan tarip tinggi, karena kemewahan adalah kegemaran mereka, foyafoya adalah kenikmatan hidup bagi mereka yang kantongnya tebal, asal mereka puas oleh service memuaskan, tidak sayang mereka merogoh kantong membayar mahal.

Seperti biasanya dia memang paling suka berdiri di tempat itu, mengawasi orang-orang yang kelihatannya berduit, punya pangkat dan terpandang mondar-mandir di bawah kakinya, sehingga selalu dia merasakan dirinya jauh berada di atas mereka.

Padahal perawakannya tidak genap lima kaki, namun perasaan bangga itu selalu membuatnya mabuk kepayang, beranggapan bahwa dirinya satu kepala lebih tinggi dari orang lain, karena dia suka menikmati perasaannya ini.

Ternyata Ma Gun juga senang melakukan tindakan atau perbuatan yang dipandang luhur dan disegani, seumpama dia amat senang memegang kekuasaan. Tapi satu hal yang membuatnya selalu risau adalah Toh Cap-jit yang tidak mau mampus itu.

Bila Toh Cap-jit sudah minum arak, seperti tidak menghiraukan jiwanya lagi, bila dia berjudi, dia pun seperti tidak peduli akan raganya, apalagi bila berkelahi, jiwa raga pun dipertaruhkan seolah-olah dia punya jiwa rangkap sembilan.

“Umpama betul dia punya jiwa rangkap sembilan, aku tidak akan membiarkannya hidup lewat tanggal tujuh belas,” Ma Gun sudah bertekad bulat, untuk melaksanakan tekadnya ini dia sudah mengatur rencana secara cermat. Cuma sayang dia sendiri tidak punya pegangan bahwa rencana ini yakin pasti berhasil. Bila memikirkan hal ini, selalu hatinya risau, masgul. Untunglah pada saat itu, orang yang dinantikannya sudah datang.

Orang yang ditunggunya ini bernama To Ceng, untuk memanggil To Ceng dari kotaraja dia berani merogoh kantong sebanyak tiga laksa tahil perak, To Ceng diundang untuk membunuh Toh Cap-jit.

Nama To Ceng tidak begitu terkenal di kalangan Kangouw, karena terkenal merupakan pantangan besar bagi tugas dan profesinya. Memang yang dikejarnya bukan terkenal, bukan nama, tapi kekayaan.

To Ceng adalah pembunuh bayaran, imbalan untuk setiap tugas yang harus dia lakukan paling rendah adalah tiga laksa tahil perak. Pembunuh bayaran adalah suatu usaha misterius yang sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala, bagi setiap pembunuh yang berprofesi dalam bidangnya ini, dia pun pantang publikasi atau mengagulkan diri di depan umum.

Maka di dalam kalangan mereka sendiri, To Ceng adalah orang yang ternama, seorang jagoan, maka tuntutan imbalannya jauh lebih tinggi dari orang lain, karena belum pernah dia gagal membunuh orang.

Perawakan To Ceng tujuh kaki, kulitnya hitam kurus, sepasang matanya bercahaya seperti tajamnya mata elang. Baju yang dipakainya selalu dari bahan mahal, bikinan tukang jahit terkenal, namun warnanya tiada yang segar. Sikapnya dingin tabah, tangannya menjinjing sebuah buntalan panjang berwarna kelabu. Jari-jari tangannya kering bersih dan mantap, semua persyaratan ini amat mencocoki profesinya,sehingga orang akan merasa lega dan mantap meski megeluarkan tarip yang tinggi sebagai imbalannya.

Terhadap persoalan ini kelihatan Ma Gun juga amat puas.

To Ceng sudah mencari tempat duduk di sudut sana, jangan kata mengangkat kepala, melirik pun tidak.

Gerak-geriknya selalu dirahasiakan, pantang bagi dirinya bila orang tahu bahwa antara dirinya dengan Ma Gun sudah terikat oleh suatu kerja sama, maka besar pantangannya, supaya tiada orang tahu untuk apa dia datang kemari.

Ma Gun menghela napas lega, namun dengan napasnya yang berat. Baru saja dia mau putar tubuh, pikirnya hendak kembali ke kamar kerjanya untuk minum dua cangkir, mendadak matanya tertumbuk pada bayangan seseorang yang sedang melangkah masuk, seorang yang berwajah pucat, gaya langkahnya amat aneh, jari tangannya menggenggam sebilah golok.
Golok yang hitam, golok masih berada di dalam sarungnya, namun kedatangannya sudah terasa mengancam dada setajam golok yang kemilau. Sorot matanya pun setajam mata golok, sekilas matanya melirik, akhirnya menatap ke arah To Ceng, To Ceng sedang menunduk minum teh.

Orang asing ini menyeringai dingin, lalu duduk di kursi yang berada di dekatnya. “Pletak”, mendadak kursi yang terbuat kayu pilihan telah patah karena tidak kuat ditindih pantatnya. Dia mengerut alis sambil berdiri, sebelah tangannya meneken meja, mendadak terdengar suara “pletak” pula, meja ukir dari kayu pilihan seharga dua puluh tahil perak itu ternyata merekah tepat di tengah.

Sekarang siapa pun sudah tahu bahwa si timpang ini sengaja membuat gara-gara.

Mata Ma Gun mulai mengkerut.

Apakah orang ini jago kosen yang diundang Toh Cap-jit dari tempat lain untuk menghadapi dirinya? Pengawal dan tukang pukul sudah siap bertindak, tapi Ma Gun mencegah aksi mereka dengan ulapan tangannya.

Kalau To Ceng sudah berada di sini, kenapa tidak mencoba berapa tinggi kungfunya?

Sebagai pedagang, apalagi pedagang yang berhasil, pedagang yang pandai berhitung, maka dia selalu berpedoman satu tahil uang perak yang kukeluarkan harus dapat aku mengeruk sepuluh tahil perak.

Apalagi kedatangan orang asing yang timpang ini agaknya bukan melulu dirinya, tapi yang dihadapinya adalah To Ceng.

Orang asing ini sudah tentu adalah Pho Ang-soat.

To Ceng masih menunduk menikmati tehnya.

Mendadak Pho Ang-soat menghampirinya, katanya dingin, “Bangun!”

To Ceng tetap tak bergeming, juga tidak bersuara, tapi tamu-tamu yang lain diam-diam sudah kabur dari tempat itu. Pho Ang-soat mengulangi, “Berdiri!”

Akhirnya To Ceng mengangkat kepala, lagaknya seperti baru melihatnya, lalu sahutnya, “Duduk lebih enak daripada berdiri, kenapa aku harus berdiri?”

“Karena aku ingin duduk di kursimu itu.”

To Ceng menatapnya, perlahan dia turunkan cangkirnya, pelan-pelan mengulur tangan mengambil buntalan di atas meja. Sudah jelas di dalam buntalan itulah gamannya.

Jari-jari Ma Gun mengepal, jantungnya berdebar lebih cepat lagi. Dia senang melihat orang membunuh, senang melihat darah orang mengalir. Belakangan ini jarang ada kejadian apa pun yang menarik perhatiannya, perempuan tidak membangkitkan seleranya lagi, hanya membunuh orang yang selalu dapat membangkitkan rasa puas, peristiwa yang mendebarkan hati.

Tapi hari ini dia kecewa, To Ceng sudah berdiri memegangi buntalannya itu, dia menyingkir tanpa bersuara. Biasanya dia bekerja amat teliti, tdak mau sembarangan turun tangan di hadapan banyak orang.

Mendadak Ma Gun berkata, “Hari ini restoran akan ditutup sebelum waktunya, kecuali yang ada perlu dengan aku, yang lain boleh silakan pergi.”

Mereka yang ingin menonton keramaian juga terpaksa mengundurkan diri, ruang besar itu kini tinggal dua orang saja.

To Ceng menunduk minum teh, Pho Ang-soat mengangkat kepalanya, menatap Ma Gun yang berdiri di pinggir lankan berukir naga.

“Ada urusan apa kau mencariku?” tanya Ma Gun. “Kau ini Ma Gun?”

Ma Gun mengangguk, katanya sambil tertawa dingin, “Jika Toh Cap-jit menyuruhmu kemari untuk membunuhku, maka orang yang kau cari betul adalah diriku.”

“Jika kau ingin mencari orang untuk membunuh Toh Cap-jit, kau pun tepat berhadapan dengan orangnya.”

“Kau?” seru Ma Gun di luar dugaan.

“Apa aku tidak mirip pembunuh?” tanya Pho Ang-soat.

“Kalian bermusuhan?”

“Membunuh orang bukan pasti harus bermusuhan.”

“Biasanya kau membunuh lantaran apa?”

“Lantaran senang.”

“Cara bagaiamana baru kau bisa senang.”

“Beberapa tahil perak biasanya cukup membuatku senang.” Bercahaya mata Ma Gun, katanya, “Aku bisa membuatmu senang, maukah kau pergi membunuh Toh Cap-jit?”

“Kabarnya kau seorang cukong yang tidak kikir.”
“Kau yakin dapat membunuh dia?”
“Aku berani tanggung dia tidak akan hidup lewat tanggal tujuh belas.”

“Dapat membuat para kawan senang, aku sendiri pun ikut riang, sayang kau datang terlambat.”

“Kau sudah memilih pembunuh lain?”

Ma Gun melirik ke arah To Ceng, sambil tersenyum dia mengangguk.

“Jika orang ini yang kau panggil, maka kau salah pilih orang.”

“O, masa?”

“Orang mati mana bisa membunuh orang.”

“Maksudmu dia orang mati?”

“Jika bukan orang mati, sekarang dia sudah membunuhku.”

“Kenapa?”

“Karena bila kau tidak bisa membuatku senang, maka aku pasti akan mencari Toh Cap-jit.”

“Jika kau mencari Toh Cap-jit maka kau akan suruh dia berhati-hati terhadap orang ini?”

“Aku akan membela Toh Cap-jit membunuhnya.”

“Membunuhnya lalu membunuh aku.”

“Selama Toh Cap-jit hidup, maka kau harus mati.”

“Karena itu sekarang dia harus membunuhmu?”

“Sayang sekali orang takkan bisa membunuh lagi.” Ma Gun menghela napas, dia berputar ke arah To Ceng, katanya, “Apa yang dikatakannya sudah kau mendengarkan bukan?”

“Aku tidak tuli.”

“Kenapa kau tidak membunuhnya?”

“Aku sedang tidak senang.”

“Bagaimana supaya kau senang?”

“Lima laksa tahil perak.”

Ma Gun seperti terkejut, katanya, “Membunuh Toh Cap-jit taripnya hanya tiga laksa tahil, membunuh dia kenapa lima laksa?”

“Toh Cap-jit tidak kenal aku, dia tahu aku.”

“Karena itu kau bisa membokong Toh Cap-jit, namun harus berhadapan langsung dengan dia.”

“Dan lagi dia membawa golok, bahaya yang kuhadapi lebih besar.”

“Tapi kau tetap punya keyakinan dapat membunuhnya.” Dingin suara To Ceng, “Selamanya aku membunuh orang belum pernah gagal.”

Ma Gun menghamburkan napasnya, katanya, “Baik, bunuhlah dia, kubayar lima laksa!”

“Bayar kontan sebelum membunuh.”

Itulah lembaran uang kertas yang masih baru, setiap lembar bernilai seribu tahil, seluruhnya berjumlah lima puluh lembar.

Dua kali To Ceng menghitung lima puluh lembar uang baru itu, seperti ini lazimnya para penagih hutang, dua kali dia basahi jarinya dengan ludah, menghitung dua kali, lalu membungkusnya rapi, dia simpan buntalan uang itu ke dalam dompet uang di sabuk kulitnya.

Uang yang diperoleh dari jerih-payah mengucurkan keringat umumnya dipandang amat berharga, lain halnya dengan To Ceng, mencari uang biasanya dia jarang mengucurkan keringat, namun sering mengalirkan darah. Sudah tentu darah jauh lebih berharga daripada keringat.

Pho Ang-soat memandangnya dingin, mukanya tidak menampilkan perasaan apa-apa, namun Ma Gun sedang tersenyum, katanya, “Kau pasti sudah mempunyai banyak uang.”

To Ceng tidak menyangkal.

“Kau sudah menikah?” tanya Ma Gun.

To Ceng menggeleng.

Makin ramah dan bersahabat senyum Ma Gun, katanya, “Kenapa tidak kau titipkan uangmu kepadaku, kuberi bunga, setiap bulan tiga persen.”

To Ceng geleng-geleng kepala.

“Kau tidak mau? Memangnya kau tidak percaya kepadaku?”

Dingin To ceng, “Yang kupercaya hanya diriku sendiri.” Lalu dia tepuk dompet uangnya, “Seluruh harta milikku ada di sini, hanya ada satu cara untuk mengambilnya.”

Sudah tentu ma Gun tidak berani bertanya, namun sorot matanya seperti sedang menunggu penjelasan, “Dengan cara apa?”

“Bunuhlah aku,” desis To Ceng, lalu dia menatap Ma Gun,
“Siapa bisa membunuhku, dompet ini akan menjadi miliknya, karena itu kau pun boleh mencobanya.”

Ma Gun tertawa, tawa yang dipaksakan, ujarnya, “Kau tahu aku takkan bisa mencoba, karena

“Karena kau tidak punya keberanian, nyalimu kecil,” jengek To Ceng. “Dan kau?” Mendadak dia berputar menghadap Pho Ang-soat, jengeknya pula, “Jika aku membunuhmu, apa yang kau tinggalkan untukku?”

“Hanya satu pelajaran.”

“Pelajaran apa?”

“Jangan kau bungkus alatmu untuk membunuh dalam buntalan, seorang akan membunuh dan orang yang menjadi korban biasanya tidak sabar lagi menunggu, orang tidak akan memberi kesempatan kepadamu untuk membuka buntalan.”

“Pelajaran yang bagus sekali, selanjutnya aku pasti akan selalu mengingatnya,” ucap To Ceng, mendadak dia tertawa,
“Sebetulnya aku sendiri pun tidak sabar membunuh orang, pasti hatiku juga gelisah setengah mati.”

Akhirnya dia bekerja, mulai membuka bungkusan. Gaman apakah yang dia sembunyikan dalam buntalannya itu?

Ma Gun ingin sekali melihat gaman apa yang dipakainya untuk membunuh, maka matanya menatap buntalan itu. Siapa tahu sebelum buntalan terbuka, To Ceng sudah turun tangan. Cuma gaman untuk membunuh orang ternyata tidak tersimpan di dalam buntalan, setiap anggota badannya ternyata merupakan gaman untuk membunuh orang.

Terdengar “Tak” sekali, dari sabuk kulit dan dari lengan bajunya berbareng melesat tujuh titik sinar dingin, dari kerah baju di belakang lehernya juga meluncur tiga batang panah bergantol, sepasang tangannya menimpukkan dua genggam biji teratai besi, ujung kakinya juga menendang keluar dua bilah pisau runcing.

Begitu Am-gi ditimpukkan, orangnya pun melompat ke atas, kedua kakinya menendang beruntun dengan gaya bebek berenang, hanya dalam sekejap, sekaligus dia menyerang dengan empat macam senjata rahasia berbeda yang mematikan. Sementara buntalan yang menarik perhatian itu masih berada di atas meja.

Aksinya itu memang di luar dugaan, Ma Gun pun terkejut dibuatnya, dalam hati dia mengakui, dengan bekal kepandaian orang ini, dia rela membayar lima laksa perak. Dia percaya kali ini To Ceng pasti berhasil, dia pun bilang tidak pernah gagal.

Tapi dugaannya keliru, karena dia tidak tahu orang asing yang bermuka pucat ini adalah Pho ang-soat. Pho Ang-soat sudah mencabut goloknya, golok yang tiada keduanya di kolong langit, permainan golok yang luar biasa.

Betapapun banyak dan jahat serta keji senjata rahasia musuh, muslihat dan perangkap lihai macam apa pun bila berhadapan dengan golok yang satu ini, pasti lumer seperti salju atau es di bawah terik matahari.

Dimana sinar golok berkelebat, terdengarlah dering nyaring, senjata rahasia yang berhamburan di udara satu per satu rontok berjatuhan, setiap Am-gi terkurung menjadi dua, tepat tertabas di tengah, umpama seorang tukang pahat juga tidak akan mampu memotong menjadi dua persis seperti itu, apalagi sedemikian rajin dan rapi.

Setelah sinar golok lenyap, baru kelihatan darah. Darah yang mengalir di muka, muka To Ceng. Sebuah jalur luka berdarah dimulai dari tengah kedua alisnya, menggores turun lewat hidung dan berakhir di atas bibirnya, bila tabasan golok itu sedikit maju dan ditambah tiga bagian tenaganya, batok kepalanya jelas pasti akan terbelah menjadi dua juga.

Golok sudah kembali ke dalam sarungnya, darah segar menetes dari ujung hidungnya, mengalir ke dalam mulut, panas, getir dan asam. Kulit daging di muka To Ceng berkerut-merut saking menahan sakit, namun badannya tidak bergeming sedikitpun.

Dia tahu modalnya untuk membunuh orang sudah bangkrut, kehidupannya sebagai pembunuh bayaran selanjutnya sudah berakhir. Usaha yang serba rahasia, membunuh tanpa bersuara dan pantang dibuat ramai-ramai, kini tanpa bersuara pula telah berakhir, lenyap tanpa bekas.

Siapa pun bila mukanya sudah dihiasi bekas luka yang jelas dan nyata begitu, pasti tidak sesuai lagi melakukan usaha di bidang itu.

Mengawasi buah karyanya di muka orang, mendadak Pho Ang-soat mengulap tangan, katanya, “Pergilah kau.”

Gemetar bibir To Ceng, tanyanya, “Kemana?”

“Asal bukan pergi membunuh orang, terserah kemana saja boleh.”

“Kau ... kenapa tidak kau bunuh aku saja?”

“Kau menuntut imbalan lima laksa tahil baru membunuhku, kalau aku harus membunuhmu, sedikitnya aku pun menuntut lima laksa,” lalu dengan nada lebih dingin dia menyambung, “biasanya aku tidak pernah membunuh orang secara gratis.”

“Tapi milikku yang terbawa di dalam dompet ini nilainya lebih dari lima laksa, bila kau membunuhku, semua milikku menjadi milikmu.”

“Itu lain soal, prinsip kerjaku juga harus bayar dulu baru pergi membunuh.”

Prinsip adalah aturan, tata tertib kerja. Dalam segala bidang, setiap usahawan yang berhasil pasti punya prinsip kerja yang ketat dan disiplin.

To Ceng tidak bicara lagi, perlahan dia keluarkan dua tumpuk uang kertas dari dalam dompetnya, satu tumpuk lima puluh lembar.

Dengan teliti dia menghitung dua kali, lalu menaruh di atas meja, lalu angkat kepala menoleh ke arah Ma Gun, katanya, “Ini tetap milikmu.” Ma Gun sedang berbatuk.

To Ceng berkata, “Boleh kau membayar kontan lima laksa, suruh dia membunuhku.”

Akhirnya Ma Gun menghentikan batuknya, tanyanya, “Masih berapa banyak yang kau simpan?”

To Ceng tutup mulut.

Ma Gun menatapnya, lambat-laun sorot matanya bercahaya.

To Ceng sudah menjinjing buntalan yang ditaruh di meja, perlahan dia melangkah keluar.

Mendadak Ma Gun berteriak, “Bunuh dia, aku bayar lima laksa.”

Dingin jawaban Pho Ang-soat, “Mau membunuh orang ini, boleh kau turun tangan sendiri.”

“Kenapa?” teriak Ma Gun.

“Karena dia sudah terluka, sudah tidak mampu melawan.”

Kedua tangan Ma Gun menggenggam kencang lankan di kedua sampingnya, mendadak didengarnya “Trap”, tiga batang pisau terbang menancap di lankan. Pisau terbang melesat keluar dari dalam buntalan, di dalam buntalan itu juga tersimpan gaman untuk membunuh.

Dingin suara To Ceng, “Belum pernah aku membunuh secara gratis, demi kau, aku boleh melanggar kebiasaanku, kau ingin mencoba?”

Wajah Ma Gun sudah pucat lesi, sungguh susah dia membayangkan ada berapa banyak gaman tersimpan di dalam buntalan itu, masih berapa banyak pula yang berada di badan To Ceng, tapi dia ragu, gaman macam apa saja, satu di antaranya sudah cukup menamatkan jiwanya.

Akhirnya To Ceng melangkah keluar, tiba di ambang pintu mendadak dia menoleh menatap Pho Ang-soat, menatap golok di tangan Pho Ang-soat, seolah-olah belum pernah dia melihat orang ini, belum pernah melihat golok itu, mendadak dia bertanya, “Kau she apa?”

“She Pho,” sahut Pho Ang-soat tegas.

“Pho Ang-soat?” To Ceng menegas.

“Betul.”

To Ceng menghela napas, katanya, “Seharusnya sejak mula aku sudah menduga siapa kau.”

“Tapi kau tidak menduganya?”

“Aku tidak berani menduga.”

“Tidak berani?”

“Seorang bila memikirkan banyak persoalan, maka dia tidak akan bisa membunuh orang.”

Malam sudah pekat di luar, tiada bintang tiada rembulan, begitu To Ceng melangkah keluar, dia lenyap ditelan tabir malam.

Ma Gun menghela napas panjang, perlahan mulutnya menggumam, “Kenapa tidak kau bunuh dia? Apa kau tidak takut dia membocorkan rahasiamu.”

“Aku tidak punya rahasia.”

“Memangnya kau tidak ingin membunuh Toh Cap-jit?”

“Membunuh orang bagiku bukan rahasia.”

Ma Gun menghela napas, katanya, “Di atas meja ada delapan laksa tahil, setelah kau bunuh Toh Cap-jit, semua itu milikmu.”

“Bayar dulu baru membunuh,” tegas suara Pho Ang-soat.

Ma Gun tertawa menyengir, katanya, “Sekarang boleh kau mengambilnya.”

Pho Ang-soat mengambil uang kertas itu, dia pun menghitung dua kali, lalu bertanya dengan kalem, “Kau tahu dimana Toh Cap-jit sekarang?”

Sudah tentu Ma Gun tahu, “Untuk mencari jejaknya, aku sudah menghabiskan lima belas ribu tahil.”

Tawar suara Pho Ang-soat, “Membunuh orang memang termasuk kerja yang mewah.”

Ma Gun menghela napas, mengawasi Pho Ang-soat menghitung uang, lalu menyimpannya ke dalam kantong, tibatiba dia bertanya, “Membunuh orang bukan rahasia bagimu?”

“Bukan.”

“Kau berani membunuh orang di hadapan orang banyak?”

“Dimana pun aku bisa dan berani membunuh orang.” Ma Gun tertawa, sekarang tawa yang segar, “Kalau demikian, sekarang juga boleh kau pergi mencarinya.”

“Dimana dia?”

“Dia sedang mengadu nasib.”

“Mengadu nasib?”

“Dia sedang berjudi, sedang minum sepuas-puasnya, aku hanya mengharap belum ludes uang dan seluruh miliknya, juga belum mampus karena mabuk.”

Bukan saja Toh Cap-jit menang, malah dia segar bugar. Seorang di kala menang, otaknya pasti tetap jernih dan dingin, hanya pihak yang kalah saja yang butek pikiran dan luluh semangatnya.

Sekarang dia sedang mengocok kartu Pay-kiu yang terbuat dari kayu hitam, seluruhnya berjumlah tiga puluh dua keping, setiap keping seperti dapat dia kuasai sesenang hati, sampai pun dadu yang dilemparkan juga seperti patuh kepadanya.

Dalam berjudi dia tidak menggunakan akal, tidak nakal atau pat¬gulipat, seorang bila mujur di meja judi, hakikatnya dia tidak perlu pura-pura atau curang.

Tadi dia memegang sepasang kartu Tiang-sam, makan seluruhnya, sekarang sudah hampir dua laksa tahil uang yang digaruknya, sebetulnya dia masih bisa menang lebih banyak

Sayang orang-orang yang bertaruh makin sedikit, taruhannya juga makin kecil, kantong para penjudi lawannya boleh dikata sudah hampir kosong.

Dia harap ada pendatang baru yang berkantong padat ikut terjun ke arena, pada saat itulah dia melihat seorang asing berwajah pucat melangkah masuk dengan gayanya yang lucu.

Pho Ang-soat berdiri diam, mengawasi dia mengocok kartu, jari-jari tangannya yang besar dan kuat.

Kembali Toh Cap-jit membagikan kartu, kali ini dia garuk pula seluruh pasangan uang, tapi yang ditarik hanya tiga ratus tahil saja.

Orang-orang yang pasang sudah kelihatan lesu. Di dalam sarang judi, uang adalah darah, orang yang tidak punya darah, siapa takkan menjadi lesu?

Entah orang asing yang pucat mukanya ini sakunya tebal tidak? Tiba-tiba Toh Cap-jit mengangkat kepala, tertawa kepadanya dan katanya, “Saudara ini apakah ingin main juga?”

“Boleh, bertaruh sekali saja,” ucap Pho Ang-soat dingin.

“Sekali taruhan? Taruhan menentukan kalah menang?”

“Begitulah.”

“Baik,” ucap Toh Cap-jit. “Berjudi cara demikian baru benarbenar menyenangkan.”

Tiba-tiba dia meluruskan badan hingga bersuara keretekan, badannya yang kekar dengan daging yang merongkol tampak bergerak turun naik di balik bajunya, itulah hasil latihan selama delapan belas tahun.

Perawakannya tinggi tujuh kaki dua dim, pundak lebar, pinggang kecil, kabarnya dengan sebelah tangan dia pernah memelentir putus kepala kerbau. Siapa saja yang melihat dirinya, pasti menampilkan rasa kagum dan hormat, seperti para menteri mengawasi sang raja.

Delapan puluh lembar uang kertas sudah dikeluarkan, uang kertas baru, dengan jari-jari yang pucat memutih.

“Berapa duitmu?” tanya Toh Cap-jit.

“Delapan puluh ribu tahil.”

Toh Cap-jit bersiul sekali, sorot matanya mencorong seperti lampu senter, “Delapan puluh ribu tahil sekali taruhan?”

“Kalah menang hanya sekali taruhan.”

“Sayang aku tidak punya uang sebanyak itu.”

“Tidak jadi soal.”

“Tidak jadi soal artinya aku boleh bertaruh sebanyak uang yang kumiliki sekarang?”

Pho Ang-soat mengangguk.

“Memangnya uangmu ini hasil cucuian? Maka kau tidak merasa sayang.”

“Bukan hasil curian, tapi untuk membeli nyawa.”

“Membeli nyawa siapa?”

“Nyawamu.”

Tawa Toh Cap-jit seketika kaku, jari-jari tangan orang-orang di sekitarnya mulai mengepal, ada yang mengacungkan tinju, ada yang menggenggam senjata.

Pho Ang-soat ternyata tidak peduli, katanya, “Kalau aku kalah, delapan laksa tahil ini milikmu, kalau kau kalah, kau ikut padaku.”

“Kenapa aku harus ikut kau?”

“Karena aku tidak ingin membunuhmu di sini.”

Toh Cap-jit tertawa pula, tawanya dipaksakan, “Kalau kau kalah, kau juga akan membunuhku?”

“Menang atau kalah aku harus membunuhmu.”

“Maksudmu jika bukan aku membunuhmu, pasti kau yang membunuhku, peduli siapa kalah atau menang, yang pasti aku harus berani mempertaruhkan nyawa, di sini terlalu banyak orang, mereka adalah orang-orangku, maka kau tidak ingin turun tangan di sini.”
“Aku tidak ingin membunuh satu orang lebih banyak.”

“Agaknya kau punya keyakinan membunuhku?”

“Kalau tidak yakin, kenapa aku kemari?”

Toh Cap-jit tertawa lebar.

“Delapan puluh ribu tahil perak cukup untuk melakukan banyak urusan, setelah kau mati, kawan dan para saudaramu masih bisa menggunakannya.”

Mendadak sebatang golok membacok tiba dari belakang, membelah belakang lehernya. Ternyata Pho Ang-soat tidak bergerak, tahu-tahu Toh Cap-jit sudah menarik tangan orang yang memegang golok.

“Ting”, golok runcing itu jatuh, “Cras”, ujung golok terpelintir putus.

Toh Cap-jit menarik muka, bentaknya beringas, “Soal ini tiada sangkut-pautnya dengan kau, kalian hanya boleh melihat tidak boleh turun tangan.”

Tiada seorang pun yang berani bergerak.

Toh Cap-jit tertawa, katanya, “Kalian adalah saudaraku yang baik, kalian boleh saksikan, biar aku rebut kemenangan dan memiliki delapan laksa tahil ini.” Lalu dia membuka bajunya, hingga dadanya yang kekar bidang berotot terpampang di hadapan orang banyak, lalu katanya, “Bagaimana kita akan bertaruh?”

“Katakan saja.”

“Main kecil-kecilan saja, sekali terbalik mata melotot menentukan kalah menang, begitu paling menyenangkan.”

“Boleh.”

“Menggunakan kartu ini?” Pho Ang-soat mengangguk.

Berkedip mata Toh Cap-jit, katanya, “Kau tahu berapa kali aku menang dengan kartu ini?”

Pho Ang-soat menggeleng kepala.

“Aku sudah menang enam belas kali beruntun, main dengan kartu ini rezekiku selalu mujur.”

“Betapapun mujur seseorang ada kalanya akan bernasib sial.”

“Membunuh orang kau yakin akan berhasil, berjudi apa kau juga yakin akan menang?”

“Kalau tidak yakin, mana berani berjudi?”

“Kali ini kau salah, berjudi berbeda dengan permainan lain, malaikat pun belum tentu yakin pasti menang, dahulu pernah aku melihat seorang yang punya keyakinan seperti dirimu, tapi karena kalah, akhirnya dia mati gantung diri.”

Tiga puluh dua kartu dijajar menjadi empat baris, satu baris delapan lembar.

Toh Cap-jit mendorong satu baris, katanya, “Kita berjudi satu lawan satu, maka kiri kanan menjadi kosong.”

“Aku mengerti.”

“Karena itu lebih baik kita mengadu empat lembar.”

“Boleh.” -

Dengan dua jarinya Toh Cap-jit mendorong empat kartunya, katanya, “Hasil lemparan dadu adalah tunggal, kau boleh ambil yang pertama.”

“Kartu kau yang mengocok, dadu ini biar aku yang melempar.”

“Boleh,” sahut Toh Cap-jit.

Pho Ang-soat jemput dadu, lalu dibuang seenaknya.

Angka tujuh, tunggal.

“Bagus, sekarang aku ambil yang kedua.”

Dua lembar Pay-kiu warna hitam, “Plak”, diketukkan lalu didorong perlahan.

Mata Toh Cap-jit memancarkan cahaya terang, ujung mulut menyungging senyum, saudara-saudaranya juga menghela napas lega. Hadirin tahu bahwa kartu yang dipegangnya menunjukkan angka yang cukup baik.

Tapi Pho Ang-soat berkata dingin, “Kau kalah.”

“Bagaimana kau tahu bila aku kalah?” protes Toh Cap-jit, “kau tahu kartu apa yang kupegang?”

“Satu langit, satu lagi orang dan yang ketiga timbangan.”

Toh Cap-jit menatapnya kaget dengan terbelalak, katanya, “Kau sudah memeriksa kartu yang kau pegang belum?”

Pho Ang-soat geleng-geleng kepala, katanya, “Tak usah kulihat, kartuku campur lima.”

Toh Cap-jit seperti tidak terima, segera dia membalik kartu orang, ternyata memang betul campur lima. Campur lima kebetulan lebih unggul dari timbangan.

Toh Cap-jit melongo, hadirin pun menjublek, lalu terjadi keributan.

“Bocah ini membawa setan, bocah ini pasti mengenal kartu.” Pho Ang-soat menyeringai dingin, jengeknya, “Ini kartu siapa?”

“Kartuku.”

“Aku pernah menyentuh kartu ini?”
“Tidak.”

“Kenapa dikatakan aku punya setan?”

Toh Cap-jit menghela napas, katanya tertawa getir, “Kau tidak membawa setan, aku ikut kau saja.”

Hadirin gempar, yang memegang golok atau pedang sudah siap bertindak, yang mengepal tinju juga sudah siap menghajar.

Toh Cap-jit membentak bengis, “Bertaruh uang aku kalah, adu jiwa aku belum tentu kalah, kenapa kalian ribut?”

Suasana kembali hening, tiada orang berani bersuara.

Maka Toh Cap-jit tertawa pula, tawanya tetap riang, katanya, “Sebetulnya kalian harus tahu, adu jiwa pasti tidak akan kalah.”

“Kau yakin?”

“Umpama aku tidak yakin, aku punya sembilan jiwa, sebaliknya kau hanya punya satu.”

Tiada bintang, tiada bulan, tiada lampu.

Lorong panjang sempit itu gelap gulita, malam ini hawa memang agak dingin.

Mendadak Toh Cap-jit menghela napas, katanya, “Sebetulnya aku tidak punya sembilan jiwa, bahwasanya satu jiwa pun aku sudah tidak punya. Karena jiwa ragaku ini sekarang milik Yan Lam-hwi.”

“Kau tahu aku siapa?”

Toh Cap-jit mengangguk, ujarnya, “Aku hutang satu jiwa padanya, dia hutang jiwa pula kepadamu, maka aku boleh menebus jiwanya kepadamu.” Setelah berhenti, wajahnya masih dihiasi senyuman. “Kuharap kau bisa membuatku paham satu hal.”

“Satu hal apa?”

“Bagaimana kau bisa mengenal kartu-kartu itu?”

Pho Ang-soat tidak menjawab, malah balas bertanya, “Tahukah kau, setiap manusia pasti punya sidik jari?”

“Aku tahu, jari setiap orang pasti ada sidik jarinya.”

“Tahukah kau, tiada manusia di dunia ini yang mempunyai sidik jari sama?”

Toh Cap-jit tidak tahu.

Perihal sidik jari pada zaman dulu memang tidak dikenal orang, maka dia hanya tertawa getir, “Aku jarang melihat tangan orang, terutama tangan laki-laki.”

“Umpama setiap hari kau melihat tangan orang juga takkan bisa membedakan, karena perbedaan sidik jari satu dengan yang lain kecil sekali.”

“Tapi kau dapat membedakan?”

“Umpama dua kerat roti yang keluar bersama dari satu cetakan, selintas pandang aku tahu perbedaannya.”

“Agaknya kau berbakat.”

“Betul, ini memang bakat, cuma bakat yang kumiliki ini harus kulatih di dalam kamar yang gelap gulita.”

“Berapa lama kau latihan?”

“Tidak lama, cuma tujuh belas tahun, setiap hari hanya latihan tiga sampai lima jam saja.”

“Mencabut golokmu itu juga kau latih secara demikian?”

“Di waktu kau berlatih ketajaman mata, latihan mencabut golok harus berhenti, kalau tidak, kau akan tidur.”

“Sekarang baru kusadari apa arti bakat itu.”

Arti bakat adalah tekun belajar, berlatih secara rajin, menggembleng diri.

“Kartu Pay-kiu itu terbikin dari kayu, kayu ada seratnya, serat setiap kartu berbeda, aku sudah saksikan kau mengocok kartu dua kali, tiada satu pun dari tiga puluh dua kartu hitam itu tidak kukenal.”

“Bila dadu tadi menunjuk angka genap, bukankah kau pun akan kalah?”

“Lemparan dadu itu pasti tidak mungkin angka genap.”

“Ah, masa bisa begitu?”

Tawar suara Pho Ang-soat, “Karena melempar dadu aku pun berbakat.”

Akhirnya mereka tiba di ujung lorong, jalan raya di sebelah luar ternyata lebih luas, lebih gelap lagi. Sekarang malam telah larut.

Mendadak Pho Ang-soat melompat naik ke wuwungan, wuwungan yang paling tinggi, setiap pelosok gelap di sekitarnya tidak lepas dari pengawasannya. Memang untuk membunuh dia tidak ingin ditonton orang, maka kali ini siapa pun pantang menyaksikan.

Ternyata Toh Cap-jit juga mengikutinya. “Sebetulnya apa kehendakmu akan diriku?” tanya Toh Cap-jit.

“Kau harus mati.”

“Apa betul aku harus mati?”

“Sekarang juga kau harus mati.”
Toh Cap-jit tidak mengerti.

“Sejak sekarang, paling sedikit kau harus mati setahun.”

Toh Cap-jit berpikir sejenak, agaknya dia mulai mengerti, namun belum jelas seluruhnya.

“Layonmu juga sudah kusediakan, sekarang kusimpan di tanah pekuburan di luar kota sana.”

Toh Cap-jit mengedipkan mata, katanya, “Apakah di dalam peti mati masih terdapat barang-barang lain?”

“Masih ada tiga orang.”

“Orang hidup?”

“Tapi banyak orang tidak ingin mereka hidup.”

“Apakah kau ingin supaya mereka tetap hidup.”

Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Oleh karena itu harus dicarikan suatu tempat rahasia yang menjamin keselamatan mereka, siapa pun tidak boleh menemukan mereka.”

Makin bercahaya mata Toh Cap-jit, katanya, “Lalu aku harus menggotong peti mati itu, dan mengatur segala keperluannya?”

“Kau harus mati, karena siapa pun takkan berpikir mencari orang yang sudah mati, untuk mencari tahu jejak mereka.”

“Apalagi aku mati di tanganmu, orang pasti menduga itulah hasil pertukaran syaratmu dengan Ma Gun, kau membunuh aku lantaran mendapat bayaran, lalu dia membantu kau menyembunyikan tiga orang.” Akhirnya dia mengerti, sebetulnya persoalan ini amat sederhana, namun di dalam melaksanakan rencana kerjanya Pho Ang-soat sengaja membuatnya ruwet.

“Tidak bisa tidak aku harus hati-hati, soalnya cara kerja mereka terlalu kejam.”

“Siapakah mereka sebenarnya?”

“Nyo Bu-ki, Siau Si-bu, Kongsun To dan Thian-ong-camkui-to,” Pho Ang-soat tidak menyebut nama Kongcu Gi, dia tidak ingin Toh Cap-jit kaget. Tapi nama keempat orang itu sudah cukup membuat seorang yang punya delapan nyali kaget.

Toh Cap-jit menatapnya, katanya, “Mereka hendak mengeroyok kau, maka kau pun tidak akan memberi ampun kepada mereka.”

Pho Ang-soat tidak menyangkal.

Mendadak Toh Cap-jit menghela napas, katanya, “Bukan aku takut terhadap mereka, karena aku kini sudah mati, orang mati tidak pernah takut terhadap siapa pun, tapi kau

Pho Ang-soat tidak memberi tanggapan.

Setelah kau beres mengatur tugasmu di sini, apakah kau hendak mencari mereka?” dia mengawasi Pho Ang-soat, lalu mengawasi pula golok hitam itu, akhirnya tertawa lebar, “Yang harus kuatir mungkin bukan kau, tapi mereka, setahun yang akan datang mungkin sudah menjadi orang mati.”

Pho Ang-soat menatap ke tempat jauh, orangnya juga sudah di ujung langit. Di ujung langit hanya ada kegelapan melulu. Dia menggenggam goloknya. Agak lama baru dia berkata perlahan, “Ada kalanya aku pun ingin punya sembilan jiwa, untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, satu nyawa memang tidak cukup.”

Lembah yang belukar, tanah nan subur.

Dusun di atas gunung itu hanya dihuni belasan keluarga, di bawah kaki bukit sana terdapat sebuah gubuk yang berdinding gedek beratap alang-alang, di samping rumah tumbuh beberapa rumpun kembang kuning.

Dari kejauhan Toh Cap-jit mengawasi kembang-kembang kuning di bawah pagar bambu sana, sorot matanya menampilkan kelembutan hatinya. Di sini tiada bedanya dengan orang-orang dusun lainnya, dia pun berubah menjadi orang desa yang hidup sederhana dan bersahaja.

Agaknya hati Pho Ang-soat juga dirundung berbagai perasaan. Dia baru saja keluar dari gubuk kecil itu, waktu dia keluar, Co Giok-cin dan anak-anaknya sudah pulas.

“Kalian boleh menetap di sini dengan tenteram, tiada orang mencari ke sini.”

“Dan kau? Kau mau pergi?”

“Sekarang aku tidak akan pergi, aku akan menetap di sini beberapa hari.”

Jarang dia berbohong, tapi kali ini dia terpaksa harus berbohong. Tidak bisa tidak dia harus berbohong, karena tidak bisa tidak dia harus pergi, kalau mau pergi, kenapa harus meninggalkan banyak kedukaan.

Pho Ang-soat menghela napas, katanya, “Inilah tempat yang baik, bisa hidup aman dan tenteram selama hidup di sini, pasti dia seorang yang bahagia.”

Toh Cap-jit tertawa menyengir, katanya, “Di sinilah aku tumbuh dewasa, sebetulnya tenteram dan hidup bahagia.”

“Lalu kenapa kau harus pergi?”

Lama Toh Cap-jit membungkam, akhirnya berkata, “Apa kau tidak melihat kembang kuning di bawah bambu itu?” Pho Ang-soat mengangguk.

“Kembang itu ditanam seorang gadis cilik, gadis berkuncir panjang, bermata besar, bundar dan jeli.”

“Dimana dia sekarang?”

Toh Cap-jit tidak menjawab juga tidak perlu menjawab, air mata yang berlinang akhirnya menetes di pipinya, air matanya itu sudah menjelaskan segalanya.

Kembang kuning itu masih tumbuh subur, namun penanam kembang sudah tiada. Berselang lama baru dia berkata perlahan, “Sebetulnya sejak dulu aku sudah harus menemaninya di sini, beberapa tahun ini dia pasti amat kesepian.” Seorang setelah mati, apakah juga akan merasa kesepian?

Pho Ang-soat mengeluarkan lempitan uang kertas itu, dia serahkan kepada Toh Cap-jit, katanya, “Inilah uang untuk membeli jiwamu yang kuterima dari Ma Gun, terserah bagaimana kau akan menggunakannya, tak perlu kau merasa rikuh atau menyesal.”

“Kenapa tidak langsung kau serahkan kepadanya? Apakah sekarang juga kau mau pergi?”

Pho Ang-soat mengangguk.

“Jadi kau tidak pamitan kepadanya?”

“Kalau memang mau pergi, kenapa harus pamitan segala.”

“Untuknya kau banyak melakukan tugas mulia, maka sudah pasti dia adalah orang yang amat dekat dengan kau, sedikitnya kau harus

“Kau banyak membantu kesulitanku, tapi kau bukan sanakkadangku,” tukas Pho Ang-soat.

“Tapi kita kan sahabat,” ujar Toh Cap-jit.

“Aku tidak punya sanak-kadang, aku pun tidak pernah punya teman.”

Mentari sudah mendoyong ke barat, pada saat matahari merambat ke barat, Pho Ang-soat beranjak di bawah sinar mentari yang menguning, langkahnya tidak berhenti, tapi lebih lambat, seolah-olah kali ini pundaknya dibebani pikulan yang berat. Apa benar dia tidak punya sanak-kadang? Tidak punya teman?”

Toh Cap-jit menatap bayangan yang manunggal semakin jauh, mendadak dia berseru lantang, “Hampir aku lupa memberitahu kepadamu, Ma Gun sudah mati, ia mati digantung orang dengan seutas tali di atas Teng-sian-lau.”

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Pho Ang-soat tidak menoleh.

“Tidak tahu, tiada orang tahu, aku hanya tahu orang yang membunuhnya meninggalkan dua patah kata, dua kalimat yang ditulis dengan darah segar, 'Inilah pertama kali aku membunuh orang secara gratis, mungkin juga terakhir kali'.”

Magrib sudah menjelang, cuaca makin gelap, sorot mata Pho Ang-soat ternyata mencorong terang malah. Sudah tentu dia tahu siapa pembunuh Ma Gun, hanya dia saja yang tahu.

Karena dua kalimat itu sengaja ditinggalkan untuk dirinya.

Akhirnya To Ceng meletakkan goloknya, golok penjagal manusia.

Orang sejenis dirinya bila sudah bertekad dan keputusan, maka selama hayat pasti tidak akan berubah, tapi bagaimana dengan aku? Bukankah golok di tanganku inipun golok jagal? Sampai kapan aku harus menunggu untuk meletakkan golok ini?

Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, sinar terang di kedua matanya mulai guram. Sekarang dia belum bisa meletakkan goloknya, bila di dunia ini masih ada manusia sejenis Kongsun To yang masih hidup, maka dia pantang meletakkan golok. Apa pun yang akan terjadi, dia tidak akan meletakkan goloknya.

ooooOOoooo

Bab 15. Kuil Kuno Naga Langit

Tengah hari, sinar surya memenuhi jagat.

Waktu Pho Ang-soat beranjak keluar dari dalam hotel, terasa semangatnya bergelora, cukup sebagai bekal untuk menghadapi setiap tantangan, kesulitan dan mara bahaya.

Dia tidur sehari penuh, bangun tidur berendam satu jam di dalam air panas, rasa penat kantuknya selama beberapa hari ini telah tercuci bersih dan lenyap bersama debu dan dekil yang melekat di badannya.

Tahun-tahun belakangan ini dia sendiri menyadari sudah jarang mencabut golok, sekarang dia menyadari, dengan golok membereskan persoalan ternyata bukan cara yang baik.

Tapi cara berpikirnya sekarang sudah banyak berubah, karena itu dia perlu membangkitkan semangat. Karena membunuh orang bukan saja merupakan tugas yang melampui batas, untuk melaksanakan tugas itupun memerlukan semangat, tenaga jasmani dan kekuatan batin. Sekarang walau dia belum tahu, dimana orang-orang itu, dia percaya akan datang suatu ketika dapat menemukan jejak mereka.

The Kiat adalah seorang penebang kayu, usianya baru dua puluh satu, perjaka yang hidup seorang diri, menetap di sebuah rumah kayu kecil di tengah hutan. Setiap hari hanya turun gunung sekali, menukar beras, garam dan keperluan makan lainnya dengan kayu-kayu kering. Daging dan arak setiap minggu dibelinya sekali, kadang dia pun mampir ke dalam gang sempit yang terletak di ujung kota yang jorok itu, mencari hiburan dengan perempuan yang banyak terdapat di sana.

Kayu-kayu bakar yang dia tebang selalu dia jual ke restoran yang banyak terdapat di sepanjang jalan raya kota itu, kayu yang dia jual murah harganya, ditanggung kayu kering. Maka pemilik restoran banyak yang senang mengundangnya minum barang secangkir dua cangkir teh wangi, yang baik hati dan murah hati ada yang menyuguh secangkir arak kepadanya.

Takaran minumnya tidak besar, minum tiga cangkir saja mukanya tentu sudah merah, biasanya dia jarang buka mulut, memang The Kiat bukan lelaki cerewet.

Tapi dua tiga hari ini ternyata dia senang bercerita, cerita yang sama sedikitnya sudah pernah dia ceritakan dua tiga puluh kali. Setiap kali mulai ceritanya, selalu dia menekankan, “Inilah kejadiannya nyata, kejadian yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, kalau tidak, aku sendiri pun tidak mau percaya.”

Peristiwa terjadi pada tiga hari yang lalu menjelang lohor, dimulai waktu dia melihat berkelebatnya sinar golok di dalam hutan. “Mimpi pun kalian pasti tidak menduga di dunia ini ada golok seperti itu, hanya terlihat sinar golok berkelebat, seekor kuda kekar besar, segar bugar tahu-tahu terbelah menjadi dua.

“Seorang pemuda yang bermuka cakap seperti pemain opera di atas panggung, ternyata bersenjata pedang merah menyala laksana darah, siapa saja yang membentur pedangnya pasti segera rebah.

“Dia punya seorang teman, wajahnya pucat lesi, pucat mengkilat seperti tembus cahaya. Orang ini lebih menakutkan

Cerita yang sama sudah dikisahkan tiga puluh kali, yang bercerita menghayati dengan rasa ngeri, takjub dan bernapsu, pendengarnya juga asyik dan tertarik.

Tapi kali ini sebelum habis ceritanya, mendadak dia menutup mulut, karena mendadak dia melihat seorang bermuka pucat berdiri di depannya, sepasang mata yang menatap seperti ujung golok mengawasinya.

ooooOOoooo

Golok yang hitam, sinar golok yang menyambar bagai kilat, hujan darah yang berhamburan seperti panah rontok ....

Perut The Kiat seperti dipuntir, seperti mengkeret, hampir tak tahan dia ingin muntah-muntah lagi. Dia ingin lari, tapi kedua lututnya terasa lemas dan goyah.

Dingin Pho Ang-soat menatapnya, mendadak bersuara, “Teruskan!”

The Kiat menyengir kuda, katanya tergagap, “Apa ... apanya yang teruskan?”

“Setelah aku pergi hari itu, apa pula yang kau saksikan?”

The Kiat menyeka keringat di mukanya, katanya, “Aku melihat banyak kejadian, tapi semuanya tak kulihat jelas.” Dia memang tidak bohong, maklum waktu itu dia sudah hampir gila, hampir semaput karena ngeri dan ketakutan.

Hanya satu yang ingin diketahui Pho Ang-soat, “Bagaimana nasib orang yang berpedang merah itu?”

Jawaban The Kiat ini cukup cepat, “Dia sudah mati.”

Mengencang genggaman jari-jari Pho Ang-soat, hatinya seperti tenggelam, sekujur badan berkeringat dingin, lama kemudian baru dia buka suara, “Bagaimana dia bisa mati? Siapa yang membunuhnya?”

“Sebetulnya dia tidak mati. Setelah kau pergi membawa kereta itu, dia merintangi tiga orang yang berusaha mengudak kereta orang lain, agaknya takut tersentuh pedangnya, maka dia pun mencari kesempatan melarikan diri, begitu cepat dia pergi, boleh dikata seperti angin puyuh.” Mulut bercerita, benaknya membayangkan kejadian waktu itu, maka mimik mukanya berulang kali menunjukkan berbagai perubahan yang berbeda.

Dia bercerita cepat dan lancar, karena cerita ini sudah amat hapal, “Sayang sekali, baru saja dia menerobos masuk ke dalam hutan di pinggir jalan sana, sinar golok yang membelah kuda tadi mendadak melesat keluar pula, walau dia berhasil meluputkan diri dari bacokan pertama, tapi bacokan kedua orang itu sudah menyerang tiba pula, malah gerakan goloknya dari jurus ke jurus lebih cepat dan lihai,” sampai di sini dia berhenti tidak meneruskan ceritanya karena bagaimana akhir dari kisahnya itu orang banyak sudah maklum.

Thian-ong-cam-kui-to membacok dari depan, sementara Kongsun To dan Siau Si-bu merangsek dari belakang, siapa pun akan terdesak dalam keadaan seperti ini, bagaimanaakhirnya pasti juga sama.
Pho Ang-soat menunduk diam, lahirnya kelihatan tenang, namun hatinya bergejolak seperti derap kuda di medan laga. Lama dia menepekur, lalu tanyanya, “Orang itu macam apakah di......”

The Kiat menjelaskan, “Kelihatannya dia mirip malaikat dari langit, tapi juga mirip raja iblis, perawakannya setengah badan lebih tinggi dari laki-laki jangkung yang pernah kulihat, kupingnya diganduli gelang emas besar, pakaiannya terbuat dari kulit binatang, golok yang berada di tangannya sedikitnya panjang delapan kaki.”

“Akhirnya bagaimana?”

“Laki-laki gembrot yang berjuluk Koki Dol itu semula hendak memotong temanmu serta dimasak ke dalam wajan, tapi seorang yang semula bermain catur tetap menentang, akhirnya......” dia menghela napas panjang, lalu menyambung, “akhirnya mereka menyerahkan mayat temanmu itu kepada Hwesio-Hwesio Thian-liong-ko-sa.”

Segera Pho Ang-soat bertanya, “Dimana letak Thian-liongko-sa?”

“Kabarnya terletak di pintu utara, tapi aku tak pernah ke sana, jarang orang di sini sembahyang ke sana.”

“Mereka menyerahkan kepada Hwesio yang mana?”

“Kalau tidak salah, Thian-liong hanya dihuni seorang Hwesio gila, kabarnya dia...”

“Dia kenapa?”

The Kiat menyengir getir, seperti hendak muntah, katanya, “Kabarnya bukan saja gila, dia pun suka makan daging manusia.”

Sinar surya panasnya bagai bara, jalan raya ini seperti wajan panasnya.

Pho Ang-soat beranjak di jalan raya yang panas bagai di dalam tungku, dia tidak mengucurkan keringat, air mata pun tiada setetes pun, hanya darah saja yang bisa menetes dari tubuhnya.

Bila bisa naik kereta aku pasti tidak akan berjalan kaki, aku benci berjalan.

Kebetulan wataknya terbalik dengan Yan Lam-hwi, kalau masih bisa berjalan, dia takkan naik kereta, agaknya dia seperti sengaja menyiksa kedua kakinya, karena kedua kakinya itu membawa banyak derita, banyak sengsara, gerakgeriknya tidak leluasa.

ooooOOoooo

Ada kalanya sampai pun berjalan aku pun bisa tidur.

Sekarang sudah pasti Pho Ang-soat tidak akan tidur, sorot matanya membayangkan perasaan yang aneh, tapi bukan perpaduan antara sedih dan marah, namun heran, curiga dan menepekur.

Kejap lain mendadak dia membalik badan, putar balik ke arah datangnya. Apakah yang dia pikirkan? Apakah masih ada persoalan yang belum jelas? Ingin dia bertanya dulu kepada si penebang kayu muda itu.

Tapi The Kiat sudah tidak berada di restoran itu.
“Baru saja pergi,” pemilik restoran memberi penjelasan,
“dua hari ini selalu dia bercerita sampai berjam-berjam lamanya di sini, bila hari sudah petang baru dia pulang, tapi hari ini entah kenapa dia pulang lebih dini.”

Kelihatannya dia merasa jeri terhadap orang asing yang berwajah pucat ini, maka waktu bicara amat hati-hati, juga amat jelas dan terperinci.

“Malah dia pergi dengan terburu-buru, seperti ada urusan penting yang hendak dia kerjakan,” pemilik restoran menambahkan, “dia pergi ke arah sebuah lorong panjang di seberang jalan. Wajahnya menampilkan serangai yang culas, katanya pula, “Di dalam lorong panjang itu ada seorang teman baiknya, kalau tidak salah bernama Siau-tho-cu, sekarang pasti dia ke sana mencari hiburan.”

Lorong sempit gelap dan lembab, selokan yang berlumpur hitam itu mengeluarkan bau busuk, di sini sampah bertumpuk, jorok sekali. Tapi Pho Ang-soat seperti tidak merasakannya, matanya menyala, otot di punggung tangannya yang menggenggam golok tampak merongkol, sepertinya dia amat terharu, bergelora, juga senang dan kuatir pula, sebetulnya soal apakah yang terpikir olehnya?

Di belakang sebuah daun pintu yang sudah bobrok, tibatiba muncul seorang perempuan yang berkalung kembang melati. Melati nan asri, dengan minyak wangi yang rendah harganya, berpadu dengan bau busuk selokan dan sampah di dalam lorong sempit ini, menjadikan suatu rangsangan yang rendah penuh dosa.

Perempuan ini bersolek secara luar biasa, tebal pupur yang melumuri mukanya cukup untuk mengapur dinding, sambil mendekati Pho Ang-soat dengan gayanya yang merangsang, sebelah tangannya menggosok paha Pho Ang-soat, tepat pada pangkal 'anu' nya.

“Di dalam kusediakan sebuah ranjang, empuk dan hangat, ditambah servisku dan seember air panas, kutanggung kau puas, taripnya cukup murah, cuma dua tahil ketip saja.”

Matanya memicing memancarkan napsu jalang.

“Usiaku baru tujuh belas, tapi aku cukup ahli di atas ranjang, lebih mahir dan lihai dibanding Siau-thoa-cu,” tawanya kelihatan gembira, dia kira sekali ini dia berhasil memelet laki-laki yang perlu hiburan ini. Karena terasa olehnya, 'anu' nya laki-laki ini sudah menunjukkan perubahan.

Muka Pho Ang-soat yang pucat itu mendadak merah padam, bukan saja dia ingin muntah, dia pun amat marah. Di hadapan perempuan rendah seperti ini, ternyata dia tidak kuasa menahan gejolak nafsu sendiri.

Maklum sudah cukup lama dia tidak menyentuh perempuan, tidak pernah bergaul dengan perempuan, atau karena dia terlalu bernafsu, terlalu bergairah. Gairah macam apa pun, pasti mudah membangkitkan nafsu birahi.

Perempuan berkalung kembang melati itu sudah merapatkan badannya, tangannya lebih berani, beraksi lebih cepat.

Mendadak Pho Ang-soat melayangkan tangannya dengan keras, dia tampar muka perempuan itu, kontan dia terjengkang roboh menubruk daun pintu, lalu terbanting telentang di atas tanah.

Anehnya meski sebelah pipinya bengap, tapi raut mukanya tidak menampilkan rasa sakit, kaget, heran atau marah, tapi menampilkan rasa lelah, duka dan putus asa. Agaknya penghinaan seperti ini sudah sering dan kenyang dia rasakan, amarahnya sudah beku, dia berduka karena dia tidak berhasil
menarik langganan, kalau dia tidak berhasil menggaet lakilaki, entah dimana nanti malam dia harus makan? Serenteng kalung kembang melati takkan bisa membuat kenyang perutnya.

Pho Ang-soat melengos ke sana, tak tega dia melihat keadaannya, seluruh uang perak yang ada di dalam kantongnya dia rogoh keluar serta dibuang di depannya, “Beritahu padaku Siau-tho-cu berada dimana?”

“Di rumah paling belakang sebelah kanan itulah.”

Kembang melati itu sudah berhamburan di tanah, dia merangkak di atas tanah, menjemput kepingan-kepingan perak yang berserakan. Di tanah ternyata melirik pun tidak, apalagi memandang Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat mulai beranjak ke depan, tapi hanya beberapa langkah mendadak dia menungging terus muntahmuntah.


ooooOOoooo

Dalam lorong jorok dan sempit ini, hanya daun pintu ini saja yang kelihatan pantas, bersih dan mengkilap, catnya pun masih kelihatan bagus. Agaknya bukan saja Siau-thou-cu pandai bermain di atas ranjang, dia pun pandai mengatur lingkungannya, maka usahanya berkembang dan maju.

Suasana di balik pintu sunyi senyap, tiada terdengar suara apa pun.

Seorang lelaki yang muda perkasa, dengan pelacur muda cantik yang banyak digilai laki-laki normal berada di dalam sebuah kamar, bagaimana mungkin suasana di dalam rumah sehening ini? Pintu meski dipalang dari dalam, tapi tidak kokoh, perempuan yang biasa menerima tamu memang tidak perlu punya pintu yang kokoh.

Ketika pintu terpentang, di dalam adalah sebuah ruang tamu, menjadi kamar tidurnya pula, dinding kelihatan baru dikapur, gambar-gambar perempuan telanjang dengan pose yang merangsang memenuhi dinding papan yang bolongbolong.

Segenggam kembang sedap malam yang sudah mulai layu berada di dalam vas kembang di atas meja, kecuali cangkir dan poci teh, di pinggir meja terdapat setengah mangkuk mie tite yang tidak sempat dihabiskan. Agaknya pelacur juga selalu memelihara kondisi badannya karena kemontokan adalah modal utama mereka mencari duit, terutama pinggang yang ramping adalah modal utama untuk memelet kaum lelaki hidung belang.

Kecuali sebuah dipan yang dilembari seprei bersulam kembang besar, barang paling antik di kamar ini adalah sebuah patung pemujaan di dalam sebuah wadah ukiran di atas ranjang, dengan kain korden warna kuning, kehadiran patung pemujaan di dalam terasa amat bertentangan dan merupakan persaingan antara kebusukan, kemesuman dengan kesucian dan keagungan.

Kenapa dia meletakkan patung pemujaan ini di atas ranjang, apakah maksudnya supaya patung yang dipujanya ini menyaksikan beginilah kehidupan manusia kelas rendah yang bergulat dengan penderitaan yang hina dina? Menyaksikan bagaimana dia harus menjual diri untuk menyambung hidup hingga akhir hayatnya.

Siau-tho-cu ternyata sudah mati, mati bersama The Kiat di atas ranjang, darah segar membuat sulaman kembang merah besar itu kelihatan lebih menyala.

Darah meleleh dari urat nadi besar di belakang leher, sekali bacok menghabiskan jiwa. Pembunuh ini bukan saja memiliki gaman yang tajam, golok kilat, agaknya dia pun amat berpengalaman di bidang ini.

Pho Ang-soat tidak muntah lagi, juga tidak merasa heran, mungkinkah kejadian ini memang sudah dalam rekaannya?

Pho Ang-soat sedang menerawang.

Seorang yang biasanya jarang cerewet, kenapa selama dua tiga hari bercerita di restoran? Tugasnya sehari-hari menebang kayu dan dijual untuk hidup pun dilupakan.

Kalau dia gemar minum arak, suka makan daging, hanya simpanan seorang pelacur, jelas tidak mungkin punya tabungan.

Tapi setelah dua hari dia tidak bekerja, darimana datangnya uang untuk membayar Siau-tho-cu?

Cerita itu sudah terlalu hapal bagi The kiat, terlalu ramai dan menarik, malah mimik mukanya pun sedemikian serasi dengan cerita yang dikisahkan, seolah-olah sebelumnya memang sengaja sudah dilatih, seperti pemain sandiwara yang siap naik pentas saja.

Dia sengaja mengisahkan pengalaman yang dilihatnya di restoran yang paling ramai, tujuannya adalah supaya Pho Ang-soat pergi mencarinya.

Kongsun To dan orang-orangnya sudah menyogoknya dengan sejumlah uang, dengan syarat supaya dia membual, supaya bualannya didengar oleh Pho Ang-soat.

Karena itu sekarang mereka membunuhnya supaya rahasia ini tidak bocor.

Akan tetapi umpama analisanya ini tepat dan sesuai kejadian, namun masih ada beberapa persoalan yang susah dipecahkan!

Di antara kisah yang diceritakan itu, sebetulnya bagian mana yang benar, bagian mana yang sengaja ditambahkan? Tambahan itulah yang bohong.

Kenapa mereka sengaja mau berbohong? Untuk menghilangkan jejak pembunuh Yan Lam-hwi? Atau supaya Pho Ang-soat meluruk ke Thian-liong-si?

Pho Ang-soat sukar memastikan, tapi dia sudah berkeputusan jika di dalam Thian-liong-si sudah diatur jebakan untuk menangkap atau membunuh dirinya, dia pasti tetap akan meluruk ke sana.

Pada saat itulah, perempuan telanjang yang berlumuran darah di atas ranjang itu mendadak berjingkrak bangun, dari bawah bantal melolos sebilah golok, dan sekonyong-konyong menusuk dadanya. Almari di belakangnya juga mendadak menjeblak, dari dalam lemari menerobos keluar seorang, sebatang tombak perak laksana kepala ular memagut punggungnya.

Kejadian di luar dugaan, siapa pun takkan siaga sebelumnya. The Kiat memang sudah mati, tiada orang menyangka perempuan yang rebah dalam dekapannya ternyata masih hidup. Maklum di tempat seperti ini, jarang orang menaruh perhatian terhadap perempuan telanjang yang dipeluk mayat berlepotan darah. Lebih tidak terpikir lagi bahwa perempuan telanjang ini ternyata mampu menyerang dengan golok secara telengas dan penuh perhitungan, tusukan goloknya itu laksana kilat menyambar.

Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak mencabut golok, hakikatnya dia tidak perlu menyingkir.

Pada detik yang kritis itulah dari luar pintu mendadak berkelebat selarik sinar pisau melesat terbang menyerempet leher lelaki bertombak yang membokong di belakang, menghujam sebelah kanan tenggorokan perempuan telanjang itu. Darah menyembur bagai air dari leher lelaki itu, sementara badan perempuan telanjang yang terapung itu seketika terbanting jatuh pula. Hanya sekali sinar pisau berkelebat, dua jiwa melayang seketika.

Darah segar berhamburan selebat hujan deras.

Perlahan Pho Ang-soat membalik badan, dilihatnya Siau Sibu berdiri di sana. Tangannya masih memegang pisau, kali ini dia tidak membersihkan kuku jarinya, tapi hanya menatap dingin ke arah Pho Ang-soat.

“Sebatang pisau dua jiwa, pisau bagus,” puji Pho Ang-soat.
“Betul-betul bagus?” kaku suara Siau Si-bu. “Bagus,” Pho Ang-soat mengulang.

Siau Si-bu sudah membalik badan, melangkah dua tindak, tiba-tiba dia menoleh, “Sudah pasti kau tahu bahwa aku tidak bermaksud menolongmu.”

“Oya?”

“Aku hanya ingin supaya kau juga menyaksikan pisauku.”

“Sekarang aku sudah menyaksikan.”

“Kau pernah melihat aku tiga kali turun tangan, dua kali kutujukan kepadamu, tentang bagaimana aku turun tangan, tiada orang lain dunia ini yang lebih jelas daripada engkau.”

“Ya mungkin.”

“Yap Kay adalah temanmu, sudah tentu kau pun pernah menyaksikan dia turun tangan.”

Pho Ang-soat mengakui, sudah tentu dia pernah menyaksikan, malah bukan hanya sekali.

Siau Si-bu berkata, “Sekarang aku hanya tanya satu hal kepadamu, jika kau tidak mau menjelaskan, aku juga tidak akan menyalahkan kau.”

“Silakan.”

“Pisau terbangku dalam hal apa bukan tandingan Yap Kay?”

Pho Ang-soat menepekur, cukup lama kemudian baru dia berkata perlahan, “Dua kali kau pernah membokongku, pertama, walau menggunakan seluruh tenaga, namun sebelum kau menyerang mulutmu sudah memberi peringatan. Serangan kedua memang tidak memberi peringatan, namun
waktu menyerang kau masih menyimpan dua bagian tenagamu.”

Siau Si-bu diam saja, dia tidak menyangkal keterangan Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat berkata pula, “Lantaran dalam hati kau sendiri maklum tidak pantas membunuh aku, bahwasanya kau tidak punya alasan untuk membunuhku, maka di waktu turun tangan kau tidak dilandasi perbawa yang tidak mungkin dapat ditundukkan oleh siapa pun di dunia ini.” Lalu dengan suara kalem dia menambahkan, “Mereka yang terbunuh oleh Yap Kay adalah orang-orang yang patut dibunuh, maka dia lebih kuat dari engkau.”

“Hanya satu hal itu saja?”

“Satu hal sudah lebih dari cukup, selamanya kau tidak akan dapat mengejarnya.”

Lama juga Siau Si-bu termenung, mendadak dia putar tubuh, tanpa menoleh dia beranjak pergi.

Pho Ang-soat juga tidak mengawasinya.

Cukup jauh kakinya melangkah, mendadak Siau Si-bu menoleh pula, serunya keras, “Boleh kau buktikan kelak, akan datang suatu hari aku pasti lebih kuat dari dia, bila saat itu tiba, maka aku pasti akan membunuhmu.”

“Aku pasti akan menunggu,” sahut Pho Ang-soat dengan suara tawar.

Kalau mau membunuh orang harus tanpa pantangan.

Apakah kali ini Pho Ang-soat tidak harus membunuh Siau Si-bu? Kali ini aku tidak membunuhnya, lain kali mungkin kau yang mampus di bawah pisaunya.

Tapi kali ini Pho Ang-soat tidak turun tangan pula, tapi dia tidak menyesal, karena dia sudah menanam sebutir bibit di dalam sanubari Siau Si-bu. Bibit kebenaran.

Dia tahu bibit kebenaran ini akan datang suatu saat bersemi, tumbuh berkembang dan berbuah.

Waktu Pho Ang-soat beranjak keluar dari lorong lembah sempit dan jorok ini, gadis tujuh belas tahun itu sudah merenceng pula kembang melati, berdiri sambil menunduk di ambang pintu, secara diam-diam dia melirik ke arah Pho Angsoat, kelihatannya agak takut, tapi juga tertarik.

Selama ini belum pernah ada orang tanpa sebab menghamburkan uangnya sebanyak puluhan tahil kepadanya, lelaki timpang yang bermuka pucat ini pasti manusia aneh.

Walau Pho Ang-soat tidak sudi melihatnya, tapi tak urung dia meliriknya sekali.

Ketika dia tiba di ujung lorong, gadis tujuh belas tahun itu mendadak berteriak, “Kau memukulku, berarti kau suka kepadaku. Aku tahu selanjutnya kau pasti akan mencari aku.”

Lalu dia meninggikan suaranya, “Aku pasti akan menunggumu.”

Thian-liong-ko-sa adalah Toa-thian-liong-si, kuil yang sering dikunjungi penduduk untuk memenuhi kaulnya, tiada orang tahu, kuil yang semula ramai mengapa mendadak menjadi sepi, tapi cerita yang tersiar di luar tentang hal ini banyak ragamnya.

Berita angin yang tersiar paling luas adalah: Kuil yang kelihatan angker dan megah ini, sebenarnya adalah sarang mesum, tidak sedikit nyonya cantik atau gadis-gadis rupawan yang pernah bersembahyang di sini sering diculik dan disekap di dalam kamar-kamar rahasia di dalam kuil itu, bagi yang membangkang dihabisi nyawanya setelah diperkosa.
Karena itu bila tiba malam pekat, tiada bintang tak ada rembulan, setan-setan gentayangan itu lantas keluyuran mencari mangsa.

Padahal apakah benar di dalam kuil terdapat banyak kamar-kamar rahasia? Berapa banyak perempuan yang telah diperkosa di kuil ini? Siapa pun tidak bisa memberikan angka yang pasti, karena tiada seorang pun yang pernah menyaksikan sendiri.

Tapi sejak berita angin tersiar di kalangan penduduk, orang-orang yang bersembahyang di kuil ini makin sedikit.

Seseorang bila hanya sekedar mengeluarkan duit untuk membeli dupa lilin, mohon berkah supaya sepanjang tahun selamat dan banyak rezeki, maka terhadap salah benarnya berita angin itu, semestinya tidak terlalu teliti menyelidiki kebenarannya.

Kuil kuno itu dikelilingi lebatnya hutan, meski di musim semi, daun-daun yang rontok di sini juga lebih banyak.

Jalan yang langsung menembus ke pintu kuil itu sekarang sudah tertutup oleh rontokan daun-daun kering, seorang yang sering kemari pun bila memasuki hutan yang rimbun ini bukan mustahil akan kesasar karena tidak bisa memilih jalan lagi.

Padahal Pho Ang-soat belum pernah kemari, selepas mata memandang dimana sekarang dia berdiri, sekelilingnya adalah pohon-pohon raksasa, bentuk pohon-pohon itu mirip satu dengan yang lain. Sesaat dia berdiri bingung, susah dia menentukan kemana arah yang harus dituju.

Tengah dia berdiri bimbang, daun-daun kering di depan sana terdengar berbunyi karena terinjak oleh langkah seorang, maka tampak seorang Hwesio berwajah bersih, alis gombyok, mata bening, bersikap agung sedang melangkah datang, jubahnya yang berwarna kelabu kelihatan bersih dan rapi. Usianya belum banyak, tapi jelas kelihatan bahwa padri ini pasti sudah teguh dalam ajaran agamanya.

Pho Ang-soat bukan seorang Buddhis yang saleh, namun terhadap Hwesio, orang terkenal dan pujangga, dia tetap menghormatinya.

“Taysu mau pergi kemana?” sapanya.

“Datang dari arahnya, sudah tentu pergi ke arah itu pula,” demikian sabda Hwesio itu sambil merangkap kedua tangan, ternyata melirik pun tidak kepadanya.

Tapi Pho Ang-soat tidak mengabaikan kesempatan untuk bertanya jalan kepadanya, sekarang tiada waktu untuk menentukan arah jalannya.

“Apakah Taysu tahu dimana letak Thian-liong-ko-sa?”

“Kau ikuti aku saja.”

Langkah Hwesio ini tenteram dan perlahan, umpama jalan ini menuju ke alam baka, dia pun takkan berjalan selangkah lebih cepat.

Terpaksa perlahan-lahan Pho Ang-soat mengikut di belakangnya.

Cuaca sudah gelap, akhirnya mereka tiba di depan sebuah gardu, warna pagar dari gardu itu sudah luntur, di dalam gardu terdapat sebuah kecapi, sebuah papan catur, satu poci arak, seperangkat alat-alat tulis dan sebuah hiolo cilik yang terbuat dari tanah merah.

Di dalam hutan yang sunyi tenteram ini, memetik kecapi, bermain catur, bersenandung, membuat syair sambil menikmati arak wangi. Padri agung tiada bedanya dengan seorang pujangga, selama kegemarannya berkembang, hidup ini tidak akan terasa kesepian.

Walau belum pernah Pho Ang-soat mengecap kehidupan nan tenteram damai, tapi dia selalu manaruh hormat dan menghargai kegemaran orang lain.

Padri yang bersih dan kelihatan agung ini sudah memasuki gardu, dia menjemput satu biji catur, menatapnya lekat-lekat, sorot seolah-olah sedang mempertimbangkan, entah langkah apa yang harus dilakukan oleh biji caturnya.

Akhirnya dia masukkan biji catur itu ke dalam mulut, pelanpelan dia kunyah sekali dan “Glek” langsung ditelannya. Kelakuannya sungguh di luar dugaan, mendadak dia menggaplok hancur kecapi itu, terus dimasukkan ke dalam anglo dan menyulut api, arak dalam poci dia tuang untuk mencuci kaki, tinta hitam di atas tatakan batu itu dia tuang ke dalam poci, lalu ditaruh di atas anglo untuk dipanasi, papan catur diangkatnya serta dipukulnya seperti orang menabuh gembreng, wajahnya menampilkan tawa lebar dan rasa puas, seakan-akan dia merasa suara ketukan papan catur itu jauh lebih merdu dari petikan kecapi.

Pho Ang-soat menjublek di tempatnya, padri agung yang kelihatan saleh ini apakah benar seorang Hwesio gila, dia senang makan daging manusia.

Hwesio itu kini sedang mengawasi dirinya, dari kepala sampai kaki, menimbang berapa kilo daging seluruh badannya. Tapi Pho Ang-soat amat tabah, dia tidak percaya, “Apa betul kau si Hwesio gila?”

“Gila adalah tidak gila, tidak gila adalah gila,” padri itu tertawa menyengir, “mungkin yang benar-benar gila bukan aku, tapi kau.”

“Aku gila?”

“Kalau kau tidak gila, kenapa menyerahkan jiwa?”

Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat, katanya pula, “Kau tahu siapa aku? Tahu kemana aku hendak pergi?”

Hwesio itu manggut-manggut, lalu geleng-geleng kepala pula, mendadak dia mendongak sambil terloroh-loroh, gumamnya “Habislah, habislah sudah, kuil kuno ribuan tahun ini akan segera ambruk, dimana ada manusia, di situ banjir darah, kemana lagi Hwesio ini harus pergi?”

Mendadak dia angkat poci di atas anglo yang panas, langsung menuang tinta hitam di dalam poci ke dalam mulutnya, tinta yang tercecer mengotori jubahnya yang bersih. Mendadak dia mendeprok di lantai terus menangis tergerunggerung, sambil menuding ke barat dia berkata lantang, “Kau ingin mati, lekas kau pergi, orang hidup ada kalanya memang lebih baik mati saja.”

Pada saat itulah dari arah barat bergema suara genta, hanya genta di dalam kuil kuno berusia ribuan tahun yang dapat mengeluarkan gema suara senyaring itu.

Kalau kuil kuno itu hanya dihuni seorang Hwesio gila, lalu siapa yang menabuh genta? Hwesio yang sedang menangis tergerung-gerung mendadak berjingkrak bangun, sorot matanya memancarkan rasa kaget, takut dan ngeri.

“Itulah gema duka cita,” teriaknya, “bila genta duka cita bergema, pasti ada orang akan mati.” Kembali dia berjingkrak, poci arak di tangannya dia lempar ke arah Pho Ang-soat, teriaknya pula, “Jika kau tidak mampus, orang lain yang akan jadi korban, kenapa tidak lekas kau ke sana menyerahkan jiwamu.”

Pho Ang-soat menatapnya, katanya tawar, “Baik aku akan segera pergi.”

ooooOOoooo

Bab 16. Genta Kematian

Suara genta sudah berhenti, namun gemanya masih mengalun di angkasa.

Pho Ang-soat sudah berada di depan pintu besar Thianliong-ko-sa. Bangunan kuno yang berwarna gelap kelabu meski sudah mulai bobrok, namun masih kelihatan kemegahannya.

Di tengah pekarangan tergeletak sebuah hiolo raksasa terbuat dari tembaga, beratnya ada ribuan kati, undakan batu juga sudah berlumut, jelas kelihatan tempat ini tidak terpelihara dan lama tidak diinjak kaki manusia, tapi ruangan pemujaan yang angker dan gagah tetap kelihatan tegak dan berwibawa, pilar-pilar bangunannya masih kokoh kuat.

Kuil kuno yang sudah ribuan tahun ini, bagaimana mungkin mendadak ambruk? Hwesio gila sudah tentu bicara ngelantur.

Gelegasi sudah menghiasi ruang pemujaan ini, debu amat tebal, kain korden yang sudah luntur dan kotor itu masih melambai tertiup angin, hening lelap, tiada suara orang, juga tiada bayangan manusia. Lalu siapakah yang memukul genta?

Pho Ang-soat berdiri diam di depan patung yang dipuja di dalam kuil ini, mendadak timbul suatu perasaan aneh dalam relung hatinya, mendadak dia ingin berlutut, berlutut di depan patung Buddha yang disepuh emas itu untuk memohon keselamatan, minta keselamatannya, Co Giok-cin dan kedua
anaknya. Selama hidup ini baru pertama kali dia berubah tulus saleh, tapi dia tidak jadi berlutut.

Karena pada saat itulah di luar ruang pemujaan, terdengar suara “Pletak” yang nyaring, waktu menoleh, maka dilihatnya sinar golok yang kemilau seperti kilat menyambar, pelangi menari dan berkelebatan di luar. Dimana sinar golok itu menyambar, pilar-pilar besar penyanggah kuil ini satu per satu telah terbabat putus, suara bacokan itu terus-menerus tiada henti sehingga kuil kuno yang megah, besar dan kokoh ini pelan-pelan bergetar dan mulai doyong. Waktu dia mengangkat kepala, saka besar di dalam kuil ini sudah hampir ambruk.

Golok macam apakah itu? Ternyata memiliki kekuatan dahsyat dan mengerikan. Suara gemuruh menggetar bumi, ujung ruangan sana sudah menggetar bumi, ujung ruang sana sudah ambruk. Tapi Pho Ang-soat tidak roboh, gunung boleh gugur, bumi boleh merekah, namun sementara orang tidak
pernah jatuh.

ooooOOoooo

Suara gemuruh runtuhan balok dan genteng terus berlangsung, debu pasir beterbangan, burung walet yang bersarang di atas belandar sudah terbang menyelamatkan diri, tapi Pho Ang-soat masih berdiri tegak tak bergeming.

Di luar bukan saja ada Thian-ong-cam-kui-to yang cukup menciutkan nyali, malaikat itu sedang menunggu dirinya, entah masih berapa banyak pula perangkap yang mematikan.

Mendadak dia tertawa dingin, “Biau Cam-kwi, golokmu memang gaman baik, jiwamu justru sekerdil tikus, nyalimu seperti kelinci, kenapa tidak berani kau berhadapan langsung dengan aku, hayolah berduel secara jantan, kenapa hanya main rusak dan gertak macam badut tak berguna.”

Sinar golok seketika sirna, maka terdengar seorang tertawa dingin di luar Toa-thian, seorang berkata, “Asal kau belum mampus, temuilah aku di pekarangan belakang.” Baja langit yang pemenggal setan itu bergelak tertawa seperti iblis menangis, lalu menyambung dengan kata-kata tegas, “Aku pasti menunggumu.”

“Aku pasti menunggumu”, kata-kata yang sama bila diucapkan dari mulut orang yang berbeda, maka dia mempunyai arti yang berbeda pula.

Di saat menghadapi mara bahaya, mendadak Pho Angsoat teringat akan gadis berkalung kembang melati itu, terbayang olehnya sorot matanya yang penuh derita duka dan putus asa waktu roboh telentang di atas tanah.

Gadis itu juga manusia, manusia macam apa pun pasti tidak mau dihina dan disakiti, hidupnya selalu terombangambing seperti gubuk reyot yang hampir roboh, ke depan tiada harapan, ke belakang jalan buntu, tinggal ambruknya genteng dan balok yang akan menindih dirinya, mengubur jazadnya.

Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, mendadak dia mulai beranjak keluar, langkahnya perlahan, gaya berjalannya juga kelihatan menderita, namun bila dia sudah beranjak ke depan, maka tidak akan berhenti.

Daun pintu sudah ambruk, debu yang mengepul menutupi pandangannya, perlahan-lahan dia beranjak dari tengah kepulan debu. Kembali terdengar suara gemuruh, seluruh ruangan pemujaannya itu sudah runtuh total. Pecahan genteng dan debu pasir memukul punggungnya, tapi dia tidak menoleh, matanya pun tidak berkedip.

Bukan saja dia punya ketenangan dan ketabahan yang luar biasa, dia pun memiliki keberanian besar, tidak kaget meski menghadapi perubahan apa pun. Karena ketabahannya, dia punya keberanian, maka dia terhindar dari ancaman elmaut yang mengincar jiwanya.

Baru saja selangkah dia keluar dari pintu Toa-thian, dari luar lima puluhan senjata rahasia sudah memberondong laksana hujan lebat ke arah dirinya, jika dia kaget dan menoleh, semangat luluh, maka dia pasti sudah roboh, roboh seperti kuil kuno yang kokoh kuat itu.

Keberanian dan keyakinan adalah saka guru manusia, karena ada keberanian dan keyakinan maka manusia kuat bertahan hidup. Selama kedua saka ini tidak patah, maka umat manusia tidak akan habis.

Baru saja hujan senjata rahasia diruntuhkan, dua jalur sinar pelangi yang menyala sudah melesat tiba pula, itulah sebatang pedang dan sebatang gantolan.

Golok Pho Ang-soat sudah keluar sarungnya dimana sinar golok menabas miring, tubuhnya pun menerjang keluar. Dia tidak tahu masih berapa banyak perangkap yang mematikan.
Hiolo besar dari tembaga di pekarangan masih ada, tubuhnya yang kurus laksana sebatang tombak saja melesat ke sana, jatuh di belakang hiolo tembaga itu. Bila angin menghembus silir, seketika dia merasa goresan golok yang dingin mengiris pundaknya waktu dia menunduk, dilihatnya luka panjang empat dim telah merobek kulit pundaknya.

Serangan pedang dan gantolan itu memang teramat lihai dan ganas, untung Pho Ang-soat punya pengalaman tempur yang luas. Jika tidak mengalami sendiri, orang lain pasti takkan percaya dan bisa membayangkan. Darah mengalir di pundaknya, darah pun menetes di ujung goloknya, darah siapa yang menetes di ujung goloknya?

Gantolan itu jelas adalah paruh elang milik Kongsun To, pedang itu pasti bukan Siong-bun-ko-kiam milik Nyo Bu-ki. Pedang ini jauh lebih cepat, lebih telak, lebih menakutkan dari pedang Nyo Bu-ki, apalagi tangan Nyo Bu-ki yang memegang pedang sudah ditabasnya buntung.

Luka-luka di pundak Pho Ang-soat jelas adalah goresan pedang, lalu goloknya melukai siapa?

Kuil ini sudah hampir runtuh seluruhnya, waktu dia putar tubuh memandang ke belakang, bayangan seorang pun sudah tidak kelihatan. Sekali sergap tidak berhasil, seluruhnya mundur teratur. Itulah tata tertib pihak Sing-siok-hay, merupakan prinsip bagi setiap insan persilatan juga.

Tapi kenapa Thian-ong-cam-kui-to tidak muncul lagi! Pertama, dia membelah kuda, kedua, meruntuhkan kuil, kenapa tidak langsung dia menyerang Pho Ang-soat? Apa benar dia akan menunggu Pho Ang-soat di pekarangan belakang?

Pekarangan belakang tersapu bersih, hening dan nyaman, tiada bayangan manusia, dari dalam hutan yang menghijau rimbun, berkumandang alunan suara nyanyian yang merdu. Di dalam hutan terdapat tiga bilik yang terbuka lebar pintu dan jendelanya ....

Bila memasuki hutan, maka terlihat seorang raksasa bagai malaikat geledek sedang rebah di atas sebuah dipan ayunan yang terletak di pinggir jendela, rambutnya panjang semrawut diikat dengan gelang emas, tubuhnya hanya ditutupi kaos kulit harimau yang terselempang saja, bagian bawahnya diikat gaun pendek dari kulit harimau, sepasang sorot matanya mencorong, sekujur badan yang berkulit coklat tembaga itu mengkilap terang.

Empat perempuan yang berdandan molek dengan sanggul penuh perhiasan berada di kanan kirinya, seorang memegang gelas emas duduk di pahanya, seorang sedang mulai menyisir rambut, seorang lagi sedang mencopot sepatunya yang bertali panjang melingkar di kaki mencapai lutut, seorang lagi duduk di jendela sedang tarik suara mengumandangkan suaranya yang merdu.

Mereka adalah gadis-gadis yang sekereta dengan Kwigwa-po, walau mereka sudah tidak muda lagi, namun masih kelihatan molek, karena hanya perempuan yang sudah matang dan pengalaman saja yang akan kuat melayani raksasa tegap dan gede ini.

Di ujung rumah mengepul asap dupa wangi, di pinggir meja kecil sana menggeletak sebilah golok, gagang goloknya saja panjang satu kaki tiga dim, sarung goloknya yang indah dan bagus dari kulit ikan, penuh dihiasi mutiara, berlian dan mutu manikam lainnya.

Itulah Thian-ong-cam-kui-to (golok raja langit penjagal setan)? Raksasa inikah Biau-thian-ong?”

Beranjak di atas rontokan daun-daun kering, Pho Ang-soat maju perlahan-lahan. Kini dia sudah melihat orang itu, walau raut mukanya tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, tapi sekujur badannya sudah mengencang tegang.
Golok yang mampu meruntuhkan sebuah kuil dan membelah seekor kuda, mestinya hanya bisa ditemukan di dalam dongeng, tapi kenyataan sekarang dirinya sudah menghadapinya.

Perempuan yang sedang bernyanyi di atas jendela hanya melirik sekejap ke arahnya, nyanyiannya tetap berkumandang merdu, namun suaranya kedengarannya makin sendu dan pilu.

Perempuan yang memegang gelas emas mendadak menghela napas, katanya, “Seorang segar-bugar kenapa justru mengantar jiwa?”

Perempuan yang menyisir rambut berkata dingin, “Karena umpama dia hidup, pasti hidupnya sengsara.”

Perempuan yang mencopot sepatu mengikik tawa, katanya, “Aku senang melihat pembunuhan.”

“Untuk membunuh orang ini mungkin tidak enak dipandang,” jengek perempuan yang menyisir.

“Kenapa?” tanya perempuan yang mencopot sepatu.

“Dilihat dari tampangnya, agaknya orang ini sudah kehabisan darah,” ujar perempuan menyisir rambut.

Perempuan memegang gelas emas berkata, “Umpama ada darahnya, juga pasti darah dingin.”

Perempuan yang mencopot sepatu tetap tertawa, katanya, “Darah yang dingin kan juga mending daripada tidak punya darah. Aku hanya mengharap dia punya sedikit darah, sedikit saja juga sudah cukup, aku perempuan yang mudah puas.”

Pho Ang-soat sudah berada di ambang pintu, dia berhenti, ocehan mereka seperti tidak pernah didengarnya. Memang sepatah kata pun dia tidak mendengarnya. Karena seluruh tenaga, semangat dan konsentrasinya dia tujukan kepada lakilaki raksasa bagai malaikat ini. Mendadak dia bertanya, “Biauthian-ong?”

Biau-thian-ong sudah mengulur tangannya yang gede, menggenggam gagang golok yang menggeletak di meja pendek itu.

“Itulah Thian-ong-cam-kui-to?” tanya Pho Ang-soat.

“Kadang-kadang membabatsetan, sewaktu-waktu membunuh orang, bila golok keluar dari sarungnya, entah setan atau manusia pasti akan mati oleh golok ini.”

“Bagus sekali.”

Mata Biau-thian-ong seperti mata harimau, menunjukkan rasa kaget dan heran, serunya, “Bagus sekali?”

“Golok sudah di tanganmu, aku sudah berada di bawah golok, apakah masih kurang bagus?”

“Bagus sekali,” Biau-thian-ong bergelak tertawa, “memang bagus sekali.”

“Sayang aku belum mati.”

“Antara mati dan hidup hanya terpaut sekejap saja, aku tidak terburu-buru, kenapa kau gelisah malah?”

Pho Ang-soat menutup mulut, gagangnya goloknya dibungkus sutera ungu, kini warnanya berubah seperti darah yang sudah mengering keras.

Jari-jari Biau-thian-ong mengelus gagang goloknya, katanya kalem, “Apakah kau menunggu aku mencabut golok?”

Pho Ang-soat mengangguk.

“Berita yang tersiar di kalangan Kangouw mengatakan bahwa golokmu adalah golok kilat yang tiada bandingannya di dunia.” Pho Ang-soat diam saja. “Kenapa tidak kau lolos dulu golokmu?”

“Karena aku ingin menyaksikan golok,” secara tidak langsung dia menyatakan bila aku mencabut golok lebih dulu, mungkin kau takkan punya kesempatan melolos golokmu lagi.

Biau-thian-oang tertawa tergelak-gelak, mendadak dia berjingkrak berdiri, maka perempuan yang duduk di pahanya terguling di atas pembaringan. Waktu dia berdiri, tingginya ternyata lebih sembilan kaki, pinggangnya lebih besar dari pelukan satu orang dewasa, perawakannya yang gagah kereng kelihatan amat garang. Memangnya hanya laki-laki segede dia yang setimpal menggunakan golok seperti itu.

Pho Ang-soat berdiri di depannya, seperti macan kumbang berhadapan dengan seekor singa. Walau singa bertampang seram dan gagah, namun macan kumbang tidak gentar sedikitpun.

Loroh tawa Biau-thian-ong masih berkumandang, katanya, “Kau ingin supaya aku mencabut golok lebih dulu?”

Pho Ang-soat mengangguk.

“Kau tidak menyesal?”

Pho Ang-soat tertawa dingin.

Pada saat itulah selarik sinar golok yang menyala dari udara telah membelah turun. Tangan Biau-thian-ong masih memegang gagang goloknya, masih belum tercabut dari sarungnya yang dihiasi mutiara, dia tidak mencabut golok.

Sinar golok itu membacok dari belakang Pho Ang-soat, bagaikan kilat yang menyambar dari tengah udara, padahal seluruh perhatian Pho Ang-soat tercurahkan kepada laki-laki raksasa di depannya, apa pun tak terpikir olehnya bahwa ada golok membelah dari belakang.

Perempuan yang bernyanyi di jendela meski masih terus bernyanyi, namun dia sudah memejamkan mata. Dia pernah menyaksikan perbawa bacokan golok ini, dimana sinar golok menyambar, darah muncrat kepala terpenggal. Sudah sering dia melihat banyak orang menjadi korban, kali ini dia tidak tega menyaksikan lagi.

Perempuan yang mencopot sepatu sudah mengkeretkan tubuh mendekam di pinggir ranjang, agaknya dia bukan perempuan yang suka melihat pembunuhan seperti yang diucapkan tadi.

Tapi bila sinar golok itu membelah turun, ternyata tiada darah muncrat, apalagi badan orang terbelah. Ternyata badan Pho Ang-soat mendadak melesat terbang ke pinggir, secara tepat tubuhnya bergerak dari pinggir sambaran sinar golok. Pada saat goloknya keluar dan menyabet ke belakang, dia sudah memperhitungkan posisinya, tabasan goloknya ini mengincar paha di atas lutut di bawah lambung orang yang memegang golok. Selamanya dia tidak pernah meleset dengan perhitungannya, demikian pula goloknya tidak pernah gagal.

Tapi tabasan goloknya ternyata tidak mengundang suara kesakitan, darah tidak muncrat, badan orang tidak ambruk, hanya terdengar “Cras” sekali, itu bukan suara tulang tertabas tapi lebih mirip suara kayu yang terbacok.

Begitu bacokan Thian-ong-cam-kui-to mengenai tempat kosong, ujung golok menutul tanah, laksana lembayung mendadak meluncur terbang ke udara. Di tengah berkelebatnya sinar golok yang mencorong itu, seperti terlihat berkelebatnya bayangan kecil disertai lengking tawa yang mengerikan berkelebat ke dalam hutan.

Suara tawa dan bayangan orang sudah lenyap, di atas tanah menggeletak dua pentung yang tertabas kutung. Mungkinkah kedua pentung ini menjadi kaki orang itu? Ataukah dia berjalan memakai jangkungan?

Ketika Pho Ang-soat membalik badan, goloknya sudah masuk ke sarungnya.

Laki-laki gede bagai raksasa itu sudah ambruk di atas ranjang, sikap garang dan wibawanya tadi kini entah kabur kemana, algojo yang dipandang bak malaikat ini apakah hanya macan kertas? Boneka raksasa untuk menggertak orang belaka?

Pho Ang-soat menatapnya, tanyanya, “Siapakah orang itu?”

“Biau-thian-ong, dialah Biau-thian-ong asli.”

“Dan kau?”

“Aku hanya bonekanya, boneka pajangan untuk pameran dan menggertak orang, seperti golok ini,” dia mencabut golok panjang bersarung hiasan mutiara, ternyata yang tercabut keluar hanyalah sebatang golok kayu.

Sungguh kejadian yang lucu, brutal dan menggelikan, hanya orang gila saja yang bisa berbuat seperti ini, maka Pho Ang-soat bertanya, “Siapakah dia sebetulnya? Macam apa dia? Kenapa dia melakukan semua ini?”

Raksasa ini menundukkan kepala.

Perempuan yang memegang gelas sibuk memegang poci, menuang arak dan minum sendiri. Perempuan di jendela pun menghentikan nyanyiannya, katanya keras, “Mereka tidak berani memberitahu kepadamu, biar aku yang menjelaskan.”

Nyanyiannya tadi merdu bening, tapi perkataannya ternyata serak penuh kemarahan, “Sebetulnya dia bukan laki-laki, namun dia berangan-angan untuk menjadi seorang laki-laki jantan yang sekaligus mampu memuaskan empat orang perempuan. Perawakannya hanya tiga kaki delapan dim, tapi berkhayal bahwa dirinya adalah laki-laki raksasa yang ditakuti seperti malaikat dewata, dia melakukan semua ini, karena sebetulnya dia orang gila.”

Perempuan yang memegang gelas emas mendadak terkialkial, serunya sambil berkeplok, “Bagus, caci-maki bagus, cacimakimu memang tepat.” Wajah yang sedang tertawa itu ternyata berkerut-merut karena menahan derita, “Kenapa tidak sekalian kau perlihatkan kepada orang she Pho ini, bagaimana suami kerdil itu memuaskan kita?”

Perempuan yang mencopot sepatu tadi mendadak mencabik pakaiannya sendiri, dadanya yang montok padat memutih gempal ini ternyata penuh dihiasi jalur-jalur pecutan biru.

“Beginilah caranya memuaskan kami,” tawanya lebih memilukan dari isak tangis. “Aku adalah perempuan yang mudah mendapat kepuasan, terus terang aku amat puas.”

Tanpa bersuara Pho Ang-soat membalik badan, melangkah keluar tanpa bersuara pula. Tak tega dia menyaksikan, tak tega mendengarkan. Mendadak dia teringat gadis yang berkalung kembang melati itu, mereka sama saja, sama-sama dirusak, sama-sama disiksa dan diinjak-injak.

Dalam pandangan lelaki mana pun, mereka adalah perempuan yang tidak tahu malu. Mereka tidak tahu malu, apakah bukan lantaran mereka dirusak laki-laki hidung belang? Betapapun besar siksa derita yang mereka alami, terpaksa mereka harus berani menerimanya, karena hakikatnya mereka tidak mungkin melawan, juga tak mungkin menyingkir dari kenyataan hidup ini, apakah begini arti dari tidak tahu malu itu?

Tiga perempuan itu menjerit dan berseru bersama, “Kenapa tidak kau tolong kami? Kenapa tidak kau bawa kami keluar dari sini?”

Pho Ang-soat tidak menoleh, bukan dia tidak ingin menolong mereka, tapi dia tidak mampu berbuat demikian, persoalan yang menyangkut mereka, siapa pun tak mungkin menyelesaikan.

Bila laki-laki tidak tahu malu masih ada di dunia ini, maka perempuan tidak tahu malu tetap akan ada. Di situlah letak persoalan yang sebenarnya, siapa pun takkan ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini.

Pho Ang-soat tidak berani menoleh, karena dia hampir tak tahan hendak muntah-muntah. Dia tahu cara satu-satunya untuk menolong mereka, bukan dengan mengajak mereka pergi, asal Biau-thian-ong terbunuh, maka mereka kan benarbenar lepas, bebas merdeka.

Ranting berdaun yang baru saja tertabas menggeletak di tanah, tertabas oleh tajamnya golok, oleh Thian-ong-cam-kuito.

Mengikuti jejak itu, Pho Ang-soat terus menyelusuri ke sana, mungkin Biau-thian-ong sudah pergi jauh, namun yang dia kejar bukan Biau-thian-ong pribadi, tapi adalah satu tujuan. Pho Ang-soat tahu, selama dirinya masih bernapas, selama itu pula dia tidak akan mengabaikan tujuan ini, tujuan memberantas kejahatannya.

Sekarang dia lebih mengerti, kenapa Yan Lam-hwi ingin membunuh Kongcu Gi, yang akan mereka bunuh bukan seseorang, tetapi lambang dosa dan kekuatan orang itu.

ooooOOoooo

Keluar dari hutan, melewati pekarangan belakang, seorang sedang berdiri di tengah reruntuhan kuil, mengawasi Pho Angsoat dengan tertawa cengeng.

“Kuil kuno ribuan tahun inipun sudah runtuh, kenapa kau belum mampus? Apalagi yang sedang kau tunggu?” jubahnya yang semula bersih kini berlepotan tinta hitam, tangannya memegang sekuntum kembang yang baru mekar. Sekuntum kembang kecil yang segar dan wangi, sekuntum kembang kuning.

Di pinggir rumah papan di bawah gunung itu, tumbuh juga beberapa rumpun kembang kuning.

“Kembang itu ditanam gadis cilik, gadis cilik berkuncir panjang dengan mata bundar besar dan jeli.”

Perasaan Pho Ang-soat mendadak tertekan, pelupuk matanya mengkeret, jari-jari tangannya yang menggenggam golok mengencang, “Darimana kau ambil kembang itu?”

“Darimana orang datang, sudah tentu dari sana pula kembang ini diperoleh,” Hwesio itu masih tertawa cengeng, mendadak dia lempar kembang yang dipegangnya itu ke arah Pho Ang-soat. “Coba kau periksa lebih dulu kembang ini bunga apa?”

“Aku tidak tahu.”

“Inilah kembang perpisahan yang menyedihkan.”

“Mana ada kembang jenis itu di dunia ini?” jari-jari Pho Angsoat sudah dingin.

“Ada saja, kalau ada orang sedih, ada perpisahan antar sesama, kenapa tidak ada kembang perpisahan yang menyedihkan?” Hwesio gila tidak lagi tertawa, sorot matanya diliputi rasa sedih dan duka yang tak terperikan, “Kalau di dunia ini sudah ada kembang perpisahan yang menyedihkan, takkan terhindar bakal sedih dan berpisah.”

Pho Ang-soat memegang dahan kembang itu dengan kedua jarinya, tangannya tidak bergerak. Di sini tiada angin, tapi kelopak kembangnya tiba-tiba berguguran, ranting kembang itupun layu. Tangan inilah tangan yang digunakan untuk mencabut golok, tangan yang memiliki kekuatan cukup
untuk merenggut nyawa.

Makin tebal rasa duka Hwesio gila, katanya pula, “Kembang datang dari sumbernya, sudah pergi kemana dia harus pergi, lalu manusia kenapa masih belum kembali?”

“Kembali kemana?” tanya Pho Ang-soat.

“Darimana kau datang, ke sanalah kau harus pulang, sekarang pulang mungkin masih keburu.”

“Keburu berbuat apa?”

“Kau mau apa, mana kau tahu?”

“Siapa kau sebetulnya?”

“Aku hanyalah Hwesio gila, secara kebetulan menemukan sekuntum kembang kecil,” mendadak dia mengulap tangan dan membentak lantang, “Pergi! Lakukan apa yang harus kau kerjakan, jangan ganggu Hwesio, Hwesio perlu ketenangan.”

Hwesio gila sudah mendeprok duduk bersemadi.

Ruang pemujaan kuil ini sudah runtuh, namun ruang pemujaan dalam relung hatinya masih utuh. Seperti juga keong, bila hujan turun, dia bisa segera menyembunyikan diri. Apakah dia dapat meramal hujan badai bakal tiba?
Cahaya kuning mentari di kala senja memenuhi angkasa, tiada angin tiada hujan. Hujan badai berada di dalam sanubari orang, di dalam relung hati Pho Ang-soat.

Kembang kuning cilik itu apakah dia petik di samping rumah papan itu? Kenapa dinamakan perpisahan yang menyedihkan? Siapa yang akan berpisah?

Pho Ang-soat tidak bisa bertanya, tidak berani bertanya, umpama bertanya juga takkan memperoleh jawaban. Untuk mendapat jawaban hanya ada satu cara.

Dengan sekuat tenaga dia memburu pulang, “Sekarang pulang mungkin masih keburu”, tapi waktu dia tiba di sana, ternyata sudah terlambat.

Kembang-kembang kuning di bawah bambu ternyata sudah hilang seluruhnya, sisa sekuntum pun tidak, demikian pula orangnya tak keruan parannya.

Masih ada sisa tiga masakan di atas meja, bubur sepanci, dua sumpit dan dua mangkuk, bubur masih hangat. Bekas ompol anak-anak di atas ranjang masih basah, tapi mana orangnya?

“Co Giok-cin, Toh Cap-jit!” teriak Pho Ang-soat keras, tiada jawaban.

Apakah Co Giok-cin mengingkarinya? Kemana dia harus menemukan mereka? Kemana dia harus menghindari bencana yang akan menimpa dirinya?

Malam kelam, di tengah gelap mendadak terdengar suara “Tok, tok, tok” beberapa kali, menyusul selarik sinar menyala. Bukan sinar kilat, tapi sinar golok. Di tengah berkelebatnya sinar golok samar-samar terlihat bayangan manusia yang lebih tinggi dari pucuk pohon.

Bayangan orang meluncur tiba bersama sinar golok, ternyata itulah seorang kate yang berbentuk aneh. Kakinya menginjak dua batang bambu panjang satu tombak, tangannya menarikan sebatang golok besar panjang sembilan kaki.

Itulah Thian-ong-cam-kui-to.

Sinar golok berkelebat, atap alang-alang beterbangan, bagai kilat membacok batok kepala Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat sudah mundur delapan kaki, kembali sinar golok menyambar atap rumah itu hancur, kekuatan sambaran Thian-ong-cam-kui-to memang laksana guntur menggelegar. Kini golok menabas miring, dalam sekejap sudah membacok tujuh kali.

Terpaksa Pho Ang-soat mundur, karena dia tidak mampu melawan atau menangkis. Dia harus melompat tinggi satu tombak lebih baru goloknya mampu menyentuh badan Biauthian-ong yang berada di atas jangkungan. Padahal dirinya sekarang seperti dibungkus sinar golok, gerak-geriknya terasa sempit karena kanan kiri atas bawah sambaran sinar golok melulu.

Biau-thian-ong memegang golok dengan kedua tangannya, bacokan demi bacokan, hakikatnya tidak memberi kesempatan baginya untuk berganti napas. Padahal umpama guntur menggelegar juga ada saatnya istirahat, umpama jendral malaikat yang gagah perkasa, tenaganya juga pasti terbatas. Tapi Pho Ang-soat beruntun harus berkelit empat puluh sembilan kali dari tabasan golok lawan, baru mendadak tubuhnya melesat keluar dari pinggir sambaran golok.

Kini goloknya pun sudah terlolos, Thian-ong-cam-kui-to terlalu panjang, makin panjang makin kuat, namun goloknya ini terlalu panjang, hanya bisa menjangkau jarak jauh, bila lawan menyerang dalam jarak dekat, maka susah dia membela diri.

Agaknya Pho Ang-soat tahu titik kelemahannya ini, maka goloknya sekarang sudah melesat ke hulu hati Biau-thian-ong. Siapa tahu pada saat yang menentukan itulah, mendadak bambu di bawah kakinya itu mendadak pula putus menjadi belasan ruas. Kontan badannya anjlok dari udara, Thian-ongcam-kui-to juga sudah dibuangnya, entah bagaimana jadinya, waktu dia membalikkan tangan, tahu-tahu sudah mencabut sebatang golok lain. Golok pendek yang memancarkan cahaya kemilau, seiring dengan melorotnya tubuh ke bawah, goloknya menggores dada Pho Ang-soat.

Jurus mematikan yang pasti menang Pho Ang-soat ini justru berbalik menjadikan pangkal kematiannya. Bila singa atau harimau menerkam manusia, bagi pemburu yang punya pengalaman pasti akan menyelinap ke bawah perutnya dan mengangkat golok membelah perutnya. Demikianlah keadaan Pho Ang-soat sekarang, dia mirip seekor macan yang menerkam dari udara, golok pemburu itu sudah mengancam lambungnya, seolah-olah dia sudah merasakan tajam golok yang dingin mengiris sobek bajunya.

Biau-thian-ong juga sudah memperhitungkan Pho Ang-soat pasti takkan mampu menyelamatkan diri dari serangan goloknya, ini bukan lagi Thian-ong-cam-kui-to, tapi golok piranti membunuh manusia. Seluruh tenaganya sudah dia pusatkan di atas golok ini, tapi tenaganya mendadak sirna, hilang tanpa bekas.

Seluruh kekuatannya telah lenyap, seperti kantong kulit yang mendadak terkuras habis isinya. Padahal sudah jelas bahwa goloknya dapat menembus dada Pho Ang-soat, namun dia justru tidak mampu menusuknya lagi.

Apakah yang terjadi? Sungguh dia tidak habis mengerti, mati pun tidak mengerti. Tapi dia melihat darah, tapi bukan darah Pho Ang-soat, darimana datangnya darah? Dia pun tidak tahu, baru sekarang dia merasakan mendadak lehernya seperti tersedak oleh sekeping batu, dingin dan sakit seketika merangsang sekujur badannya, seperti tenggorokannya sudah digorok pisau.

Tapi dia tidak percaya, bahwa sinar golok yang berkelebat tadi telah menggorok lehernya, sampai mati dia tetap tidak percaya bahwa ada golok secepat itu di dunia ini, bahwasanya dia tidak melihat bagaimana golok itu menyambar.

Pho Ang-soat juga ambruk, jatuh di bawah rumpun bambu, alam semesta kembali diliputi keheningan nan damai. Mendadak dia merasakan sekujur tubuhnya teramat penat. Kejadian barusan meski hanya berlangsung dalam sekejap mata, namun dalam sekejap itu seluruh kekuatannya sudah terkuras habis.

Perbatasan antara hidup dan mati, memangnya hanya terpaut segaris saja. Baru sekarang dia maklum akan makna perkataan itu, tadi jiwanya memang sudah teramat dekat dengan kematian. Duel kali ini boleh dikata sebagai pertempuran paling dahsyat yang belum pernah dia alami selama hidup.

Bintang-bintang memenuhi angkasa, darah sudah kering, darah Biau-thian-ong, bukan darahnya. Tapi dia seperti merasakan darahnya juga sudah kering mengalir, bila Biauthian-ong mampu menggerakkan goloknya, dia pasti tak mampu melawan.

Malah dia maklum bila seorang bocah membawa pisau kecil pun mampu membunuh dirinya, untung orang yang mati tak bisa menggerakkan senjata.

Malam telah larut, di pegunungan yang terpencil dan sepi ini pasti takkan ada orang kemari.

Dia memejamkan mata, dia ingin pulas sebentar, dengan pikiran yang jernih baru bisa mangatur rencana, melakukan aksi selanjutnya.

Siapa tahu pada saat itulah justru seseorang telah datang.

Di tengah kegelapan mendadak berkumandang derap kaki orang mendatangi, perlahan tapi mantap dan tenang, seolaholah derap langkahnya membawa irama yang aneh, irama yang mengasyikkan. Hanya seorang yang merasa yakin akan tugas yang dilakukannya, waktu berjalan baru bisa membawa irama tertentu.

Siapakah orang ini? Kenapa dia kemari? Datang untuk apa?

Pho Ang-soat mendengarkan penuh perhatian dalam hati, mendadak timbul perasaan aneh, irama langkah kaki ini ternyata mirip dengan gema genta dari kuil kuno di tengah hutan itu, itulah gema genta kematian. Irama langkah ini kedengarannya juga mengandung napsu membunuh.

ooooOOoooo

Bab 17. Putus Asa

Langkah kaki itu makin dekat, dari tengah kegelapan akhirnya muncul satu orang, seorang yang memegang sekuntum kembang, sekuntum kembang kecil warna kuning.

Yang sedang ternyata Hwesio gila, dia masih mengenakan jubah yang berlepotan tinta itu, maju perlahan-lahan, menancapkan kembang kuning itu di bawah rumpun bambu.

“Orang sudah kembali ke tempat asal, kembangnya pun kembali dimana tumbuh.”

Sorot matanya seperti membawa duka-lara, sayang sekali bentuk kembang ini masih tetap segar, tapi keadaan di sini sudah porak-poranda.

Dengan terlongong Pho Ang-soat juga mengawasi kembang kuning di bawah rumpun bambu itu, “Kau tahu bahwa aku pergi dari sini, kau pun tahu kembang ini tumbuh di sini, maka kau pun datang kemari.”

“Kau tahu apa?” tanya Hwesio gila

“Apa pun aku tidak tahu,” sahut Pho Ang-soat. “Jadi kau tidak tahu siapa pemetik kembang ini, juga tidak tahu siapa diriku?”

“Siapa kau?”

Hwesio gila mendadak menuding noda tinta di jubahnya, katanya, “Kau bisa lihat tidak, apa ini?”

Pho Ang-soat menggeleng kepala.

Hwesio gila menghela napas, mendadak dia duduk di depan Pho Ang-soat, katanya, “Coba kau lihat lagi, kau harus mengawasi sepenuh perasaan.”

Pho Ang-soat bimbang, akhirnya dia pun duduk. Sinar bintang yang guram menyinari jubah yang semula bersih dan rapi itu, sekarang berlepotan noda hitam yang tak keruan.

Sepenuh perhatian Pho Ang-soat mengawasi, seperti mengawasi api dupa yang berkelap-kelip di kamar nan gelap. Jika kau sudah merasakan api dupa ini tidak lagi berkelap-kelip, malah terangnya seperti obor, maka kau sudah setengah sukses. Selanjutnya kau akan dapat melihat asap dupa yang
mengepul ke udara, sejelas melihat gumpalan mega di puncak gunung yang tinggi, kepulan asap yang menari-nari itu kelihatan seperti bangau yang terbang di balik mega.

Pho Ang-soat menatap sepenuh perhatian, mendadak terasa noda-noda yang tak keruan itu tidak lagi semrawut, seolah-olah mengandung suatu irama magis. Selanjutnya mendadak dia menemukan noda tinta hitam yang tak keruan itu secara gaib berubah menjadi suatu lukisan, dimana seolaholah ada gunung tinggi, ada air mengalir, ada sinar golok yang menari tak pernah henti, ada pula air mata di wajah si bocah.

“Sebetulnya gambar apa yang kau lukis.”

“Apa yang sedang kau pikir dalam hatimu, gambar itulah yang sedang kulukis.”

Bentuk suatu lukisan memang timbul dari nurani orang, maka bukan saja gambar itu sebuah lukisan, malah lukisan yang paling antik di antara gambar.

Mata Pho Ang-soat sudah memancarkan cahaya, “Aku sudah tahu siapa kau, kau pasti Go Ho, salah satu pembantu Kongcu Gi.”

Hwesio gila terbahak-bahak, katanya, “Jelas ada gambar, kenapa kau bilang tiada lukisan? Jika tiada lukisan, mana bisa ada orang?”

“Orang siapa?”

“Sudah tentu orang di dalam gambar.”

Dalam gambar ada air mata si bocah, dalam hati memang merekalah yang dipikirkan. “Orangnya kemana?”

“Jelas ada orangnya, kenapa kau justru bertanya, agaknya yang gila bukan Hwesio, tapi adalah kau,” sambil tertawa lebar tangannya menuding sekenanya. “Coba kau lihat, bukankah orang ada di sana?”

Yang dituding adalah beberapa gubuk kecil itu, pintu jendela gubuk kecil itu terbuka lebar. Entah sejak kapan cahaya api sudah menyala di dalam rumah.

Waktu Pho Ang-soat menoleh dan memandang ke arah yang dituding, seketika dia melenggong.

Di dalam rumah ada orang, dua orang. Toh Cap-jit dan Co Giok-cin sedang duduk makan bubur, bubur yang sudah hampir dingin tadi kini tampak mengebul panas.

Tapi sekujur badan Pho Ang-soat justru menjadi dingin. Apakah yang dilihatnya ini mirip noda-noda hitam di jubah Hwesio gila, hanyalah lukisan abstrak? Lukisan yang tidak berbentuk? Lukisan dalam khayal belaka?

Bukan, yang satu ini pasti bukan, di dalam rumah memang kenyataan ada dua orang yang segar-bugar dan hidup, mereka memang Toh Cap-jit dan Co Giok-cin.
Setelah mengawasi noda hitam di jubah si Hwesio, sekarang setiap kerut-merut di muka mereka pun dapat dilihatnya dengan amat jelas, malah dia juga melihat jelas pori-pori mereka seperti sedang membuka, kulit daging kedutan.

Mereka tidak memperhatikan keadaan di luar rumah, dalam keadaan seperti itu, kebanyakan orang pasti akan berjingkat dan memburu ke sana atau berteriak memanggil.

Tapi Pho Ang-soat adalah Pho Ang-soat, Pho Ang-soat bukan kebanyakan orang itu, walaupun dia sudah berdiri, namun tetap berdiri di situ, bergerak pun tidak. Karena bukan saja dia sudah melihat kedua orang ini, malah dia mengawasi dengan lebih tajam, lekat dan jauh. Hanya dalam sekejap ini segera dia sudah melihat seluruh gelagat, kenyataan dari kejadian ini.

“Bukankah orang yang kau cari berada di sana?” ucap Hwesio gila.

“Ya, benar,” sahut Pho Ang-soat. “Kenapa tidak lekas kau ke sana?”

Pelan-pelan Pho Ang-soat berputar, lalu menatapnya, mata yang semula sudah kelihatan letih, duka hingga merah itu mendadak berubah menjadi dingin, kaku dan bening, setajam pisau menatapnya sampai lama, akhirnya dia berkata perlahan, “Aku hanya mengharap kau paham satu hal.”

“Coba katakan.”

“Sekarang bila aku mau mencabut golok, kau pasti mati, di langit di bumi yakin tiada seorang pun yang mampu menolong jiwamu.”

Hwesio gila tertawa pula, tawa yang dipaksakan, “Aku sudah memberi kesempatan hingga kau melihat orang yang kau cari, kau justru mau membunuhku.”

“Hanya melihat mereka belum cukup.”

“Apa pula kehendakmu?”

“Kau harus duduk tenang di sini, sekarang kau harus suruh orang yang bersembunyi di belakang pintu dan pojok rumah keluar, bila mereka berani melukai seujung rambut Co Giokcin dan Toh Cap-jit, aku akan segera menggorok lehermu.”

Hwesio gila tidak tertawa lagi, sepasang mata yang suka memandang orang dengan nanar mendadak berubah amat bening dan dingin, agak lama kemudian baru dia berkata perlahan, “Pandanganmu memang tidak keliru, di pojok rumah dan di belakang pintu memang ada orang bersembunyi di sana, tapi sudah pasti mereka takkan mau keluar.”

“Kau tidak percaya bahwa aku mampu membunuhmu?”

“Aku percaya.”

“Kau tidak peduli?”

“Sudah tentu aku ingin hidup, tapi mereka boleh tidak peduli mati hidupku, membunuh dan pertumpahan darah sudah merupakan kejadian biasa bagi mereka, umpama kau mencacah tubuhku, aku berani tanggung mereka tidak akan mengerutkan alis.”

Pho Ang-soat bungkam, ucapan si Hwesio memang tidak salah, karena dia sudah melihat seraut wajah yang menongol di jendela, terlihat jelas wajah yang penuh codet serta seringainya yang sadis. Yang bersembunyi di pojok rumah itu adalah Kongsun To.

Hwesio gila berkata, “Tentu kau sudah mengerti bagaimana perangai orang ini, umpama kau mencacah hancur anaknya di depan matanya, mungkin dia pun tidak akan mengerutkan kening. Jiwanya kejam.”

Pho Ang-soat tidak menanggapi.

“Sekarang aku hanya mengharap kau memaklumi satu hal,” ucap Hwesio gila.

“Coba katakan.”

“Jika mereka mencacah lebur Co Giok-cin dan Toh Cap-jit, apakah kau tetap tak peduli?”

Tangan Pho Ang-soat mengepal kencang, perasaannya berat seperti tertindih.

Kongsun To mendadak tertawa lebar, katanya, “Bagus, pertanyaan bagus, aku juga boleh memberi jaminan, bila Pho Ang-soat berani melukai seujung rambutmu, aku pun akan menggorok leher kedua orang ini.”

Saking murkanya, muka Pho Ang-soat yang pucat kelihatan berkerut kedutan.

“Kau percaya tidak apa yang diucapkannya?”, tanya Hwesio gila.

“Aku percaya, maka aku harus hati-hati,” ucap Pho Angsoat, “aku ingin mereka hidup segar, entah apa keinginan kalian?”

“Apa keinginan kami, kau pasti akan memberikan?” Hwesio gila menegas.

Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Bila mereka tetap hidup, asal aku mampu dan punya.”

Hwesio gila tertawa pula, katanya, “Aku hanya ingin kau mencopot pakaianmu, copot semua sampai telanjang bulat.”

Muka Pho Ang-soat yang pucat mendadak merah, otot sekujur badannya mengencang dan merongkol. Dia rela mati daripada dihina, apa boleh buat, dalam keadaan seperti ini dia tidak mungkin melawan, tidak bisa menolak.

“Sekarang juga aku ingin kau mulai copot pakaian, copot sampai telanjang.”

Tangan Pho Ang-soat terangkat, tapi tangan ini bukan mencopot kancing baju, tapi mencabut goloknya. Sinar golok menyambar bagai kilat, tapi gerakan tubuhnya agaknya lebih cepat dari sambaran sinar golok itu.

Di tengah berkelebatnya sinar golok itu, dia sudah menerjang ke gubuk kayu itu, goloknya sudah menusuk amblas papan pintu rumah itu. Maka melolong jeritan ngeri di belakang pintu, seorang tersungkur roboh, siapa lagi kalau bukan “kalau ingin membunuh, maka tanpa pantangan”, yaitu Nyo Bu-ki.

Kini dia hanya memiliki sebelah tangan, tak terpikir olehnya bahwa golok itu akan menusuk tembus dari balik papan menghunjam dadanya. Dengan pandangan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya seperti bertanya, “Beginilah kau membunuhku?”

Sekilas Pho Ang-soat menatapnya dingin, sorot matanya seperti menjawab, “Jika ingin membunuh, tanpa pantangan, aku belajar dari kau.”

Pertanyaan dan jawaban itu tidak mereka ucapkan, karena sebelum Nyo Bu-ki sempat melontarkan sepatah kata pun, napasnya sudah berhenti.

Pho Ang-soat hanya menatapnya sekilas, di kala matanya menatap tajam, goloknya sudah berputar ke arah Kongsun To. Kongsun To melambung ke udara bersalto ke belakang, menerobos jendela turun di luar rumah, ternyata dia mampu menyelamatkan jiwanya dari sambaran golok itu. Maklum karena serangan golok Pho Ang-soat bukan bermaksud melukainya, tujuannya melindungi Co Giok-cin.

Sinar golok hanya berkelebat sekejap, tahu-tahu golok sudah kembali ke sarungnya.

Kongsun To berdiri jauh di pinggir rumpun bambu, mukanya yang bercodet mengkilap oleh keringat dingin yang mengucur deras.

Co Giok-cin menurunkan mangkuk dan sumpit, maka air matanya pun berderai membasahi pipi. Toh Cap-jit menatapnya, sorot matanya mengandung perasaan yang aneh, pandangan ganjil.

Hwesio gila menghela napas, katanya, “Bagus, orang yang lihai, golok yang bagus.”

Wajah Pho Ang-soat tetap pucat kaku, tak berubah, padahal jantungnya berdetak keras. Sergapannya tadi, padahal dia tidak yakin pasti berhasil, cuma kenyataan nasib baik seperti selalu menjadi miliknya, padahal posisi lawan lebih menguntungkan, maka terpaksa dia harus bertindak secara untung-untungan.

Mendadak Kongsun To menyeringai dingin, katanya, “Taruhanmu kali ini memang tepat, kau lebih mujur, namun percaturan ini, kemenangan tetap akan berada di tanganku.”

“Hm,” Pho Ang-soat mengejek.

“Karena kartu terakhir masih tergenggam di tanganku,” ucap Kongsun To.

“Dia masih punya kartu apa?”

Kongsun To berkata pula, “Sebetulnya kau sendiri bisa menduga, kalau tiada orang menunjukkan jalan, bagaimana mungkin kami menemukan tempat ini?”

Jari-jari Pho Ang-soat mengencang, lalu siapakah yang mengkhianati dirinya?

Mendadak sebuah jeritan lengking berkumandang, Toh Cap-jit mendadak turun tangan, dia menelikung lengan Co Giok-cin serta memeluk di depannya.

“Kaukah?!” seru Pho Ang-soat sambil membalikkan badan.

Toh Cap-jit mengawasi, sorot matanya memancarkan mimik yang aneh, seperti ingin bicara, tapi ditahannya pula.

Pho Ang-soat berkata, “Sebetulnya kau laki-laki jantan, kenapa tega melakukan perbuatan serendah ini?”

Akhirnya tak tertahan Toh Cap-jit buka suara, “Kau Dia hanya mengucap sepatah kata, mendadak kedua matanya melotot, selanjutnya darah meleleh dari ujung mata, lubang hidung dan menyembur dari mulutnya.

Kontan Co Giok-cin membalik, sikut menyodok dadanya hingga tubuhnya terjengkang roboh, di bawah ketiak di atas lambungnya ternyata ditembus oleh sebatang pisau runcing, pisau satu kaki yang mengkilap itu amblas sampai gagangnya. Raut mukanya sudah mengkeret, ujung mulutnya gemetar, seperti mau mengatakan, “Aku salah, aku keliru.....”

Asalkan dia manusia pasti pernah melakukan kesalahan, tak peduli orang macam apa pun tidak terkecuali.

Setelah melepas gagang pisau, Co Giok-cin segera mundur ke belakang, mendadak dia membalik terus memeluk Pho Ang-soat, pekiknya, “Aku membunuh orang.....aku membunuh orang!” Bagi dirinya, ternyata membunuh jauh lebih menakutkan daripada dibunuh. Jelas baru pertama kali ini dia membunuh orang.

ooooOOoooo

Dulu Pho Ang-soat juga punya pengalaman demikian, waktu dia membunuh orang pertama kali, isi perutnya yang asam pun dimuntahkan keluar, dia maklum akan gejolak perasaan ini.

Bukan soal mudah untuk melupakan gejolak perasaan seperti ini. Tapi manusia masih akan terus membunuh orang, hanya manusia yang bisa membunuh manusia, karena ada sementara orang pasti mendesak seseorang untuk membunuh orang.

Soal bunuh membunuh ini ada kalanya seperti penyakit menular, siapa pun sukar meluputkan diri dari ketularan, karena bila kau tidak membunuh dia, maka dia akan membunuhmu.

Yang menjadi korban akan memperoleh ketenteraman di alam baka, yang membunuh malah akan tersiksa oleh derita lahir dan batin. Bukankah tragedi seperti ini mengandung suatu sindiran?

Keadaan telah tenang kembali, terlalu tenteram.

Darah tidak lagi mengalir, permusuhan sudah jauh terhindar. Jagat raya gelap kelam, tak terdengar suara apa pun. Tangis bayi pun tidak terdengar, dimana anak-anak itu?

Sekujur badan Pho Ang-soat menjadi dingin, katanya,
“Anak-anak sudah jatuh ke tangan mereka!”

Co Giok-cin malah menekan rasa dukanya, membujuknya malah, “Anak-anak tidak akan mengalami bahaya, tujuan mereka bukan anak-anak.”

Segera Pho Ang-soat bertanya, “Apa kehendak mereka?”

“Yang mereka tuntut adalah ....”

“Apakah Khong-jiok-ling?”

Terpaksa Co Giok-cin membenarkan, “Mereka kira Jiu Cuijing menyerahkan bulu merak itu kepadaku, bila aku menyerahkan bulu merak itu kepada mereka, anak-anakku akan dikembalikan kepadaku.” Air matanya mulai meleleh, “Tapi aku tidak punya bulu merak, padahal bagaimana bentuk barang itu aku pun belum pernah melihatnya.”

Dingin tangan Pho Ang-soat, sedingin es.

Co Giok-cin menggenggam tangannya, katanya rawan, “Sebetulnya tidak akan kuceritakan hal ini kepadamu, aku tahu tiada seorang pun di dunia ini dapat merebut anakku dari tangan mereka.”

“Tapi mereka kan juga anakku.”

“Tapi kau tak punya bulu merak, misal kau mampu membunuh mereka, anak-anak itu tetap takkan dapat kau rebut kembali.”

Pho Ang-soat membungkam, tidak bisa tidak dia harus mengakui bahwa dirinya tak mampu membereskan persoalan ini, perasaannya seperti disayat pisau.

Co Giok-cin menghiburnya lagi, “Untuk sementara mereka pasti tidak akan mengganggu anak-anak, tapi ...” Jari tangannya mengelus wajah Pho Ang-soat yang pucat, “Kau sudah terlalu lelah, terluka lagi, kau harus banyak istirahat, berusahalah kau membuang segala kerisauan hati dan melupakan mereka.”

Pho Ang-soat tidak bersuara, tidak bergerak, seolah-olah dia sudah kaku, pati rasa. Karena dia tidak punya bulu merak, dia tidak akan bisa menyelamatkan anak-anak. Dengan kedua tangannya dia menyambut kelahiran mereka di dunia ini, sekarang terpaksa dia harus menyaksikan mereka menderita dan terpisah dari ibunya, kemungkinan pula akan mati.

Sudah tentu Co Giok-cin juga merasakan penderitaannya, dengan air mata bercucuran dia menariknya ke ranjang serta menekan kedua pundaknya, katanya dengan lembut dan mesra, “Sekarang kau harus berusaha mengendorkan diri, apa pun jangan kau pikirkan, biar aku mengobati lukalukamu.” Kembali dia meraba lembut muka orang, lalu secara tiba-tiba dia menotok tujuh Hiat-tonya dengan totokan berat.

Tiada orang bisa membayangkan perubahan ini, umpama setiap orang di dunia ini sudah menduga sebelumnya, tapi Pho Ang-soat pasti tidak pernah membayangkan. Maka dia hanya bisa menatapnya dengan kaget, tapi kejut dan herannya jauh lebih besar dari pukulan batinnya.

Bila sepenuh hati, dengan keluhuran jiwamu kau melayani seseorang, tapi orang itu malah mengkhianati kau, siapa dapat membayangkan betapa penderitaan batinnya.

Tapi Co Giok-cin malah tertawa, tertawa lembut dan manis, “Kelihatannya kau amat menyesal atau menderita, apakah luka-lukamu sakit? Atau perasaanmu yang tertusuk?” Tawanya kelihatan lebih riang, “Dimanapun rasa sakitmu, sebentar tidak akan terasa sakit lagi, karena orang mati tidak akan merasa sakit.”

Dengan tersenyum genit dia bertanya, “Semula kukira bulu merak berada di tanganmu, tapi melihat gelagatnya, agaknya rekaanku meleset. Maka aku akan segera membunuhmu, bila tiba saatnya, segala penderitaan sudah tidak akan terasa lagi olehmu.”

Bibir Pho Ang-soat sudah tergigit sampai mengeluarkan darah, bibir yang kering itu memang sudah merekah, sekarang sepatah kata pun tak mampu dia bicara.

Co Giok-cin berkata, “Aku tahu, kau pasti ingin bertanya kepadaku, kenapa bersikap begini terhadapmu, tapi aku justru tidak mau menerangkan.” Matanya mengawasi goloknya, “Kau bilang siapa pun tak boleh menyentuh golokmu ini, sekarang aku justru akan memegangnya.”

Dia mengulur tangan mengambil goloknya, lalu berkata pula, “Bukan saja memegangnya, malah dengan golokmu ini akan kubunuh dirimu.”

Jari tangannya terpaut satu dim saja dari gagang golok, mendadak Pho Ang-soat berkata, “Lebih baik jangan kau menyentuhnya.”

“Kenapa?” tanya Co Giok-cin.

“Karena aku belum ingin membunuhmu.”

Co Giok-cin tertawa lebar, katanya, “Aku justru ingin menyentuhnya, ingin aku tahu dengan cara apa kau akan membunuhku.” Akhirnya dia menyentuh golok itu.

Tapi golok itu mendadak membalik memukul punggung tangannya, sarung golok yang hitam itu seperti besi yang terbakar membara. Punggung tangannya seketika dihiasi jalur merah, saking kesakitan hampir saja dia melelehkan air mata, tapi rasa kejut dan takutnya jauh lebih besar daripada rasa sakit. Padahal dia sudah menotok tujuh Hiat-to di badannya. Selamanya tidak pernah meleset dia menotok Hiat-to orang.

“Sayang sekali ada satu hal selamanya takkan terpikir olehmu,” ujar Pho Ang-soat.

“Hal apa?”, Co Giok-cin menegas.

“Setiap Hiat-to di seluruh tubuhku sudah digeser satu dim dari tempat asalnya.”

Co Giok-cin melenggong.

Padahal segala rencana tiada satu pun yang dilalaikannya, tiada kesalahan gerakan totokannya, selamanya telak dan tidak pernah gagal. Yang salah sebetulnya adalah Pho Angsoat, tapi mimpi pun dia tidak pernah menyangka bahwa letak Hiat-tonya juga salah. Kesalahan letak satu dim ini justru amat fatal, karena membuat seluruh rencananya gagal total.

Dia masgul, menyesal, gegetun dan menyalahkan Yang maha Kuasa tidak adil, namun dia lupa berpikir, bagaimana penggeseran letak satu dim ini bisa terjadi?

Latihan selama dua puluh tahun, darah dan keringat mengalir deras tak pernah habis, tekad yang teguh sekeras baja, kesabaran yang mengertak gigi. Begitulah terciptanya penggeseran yang satu dim itu, tiada sesuatu yang kebetulan untung-untungan di dunia ini.

Semua itu tidak pernah dia pikirkan, dia hanya memikirkan satu hal. Setelah gagal sekali pasti takkan ada kesempatan kedua kali, maka luluhlah dia.

Pho Ang-soat justru berdiri diam, menatapnya dingin, katanya mendadak, “Aku tahu kau terluka.”

“Kau tahu?” Co Giok-cin menegas dengan terbelalak.

“Lukamu di bawah ketiak, di antara tulang kedua dan ketiga di igamu, luka golok sepanjang empat centi, dalamnya tujuh mili.”
“Darimana kau bisa tahu?”

“Karena golokku yang melukaimu.”

Di luar ruang pemujaan Thian-liong-ko-sa, darah menetes di ujung goloknya.

“Orang yang membokong aku bersama Kongsun To di luar kuil tadi adalah kau.”

Ternyata Co Giok-cin cukup tabah, katanya, “Betul, memang aku.”

“Ilmu pedangmu patut dibanggakan.”
“Ya, lumayan.”
“Setiba aku di Thian-liong-ko-sa, kau pun segera menyusulku ke sana.”

“Langkahmu memang tidak lambat.”

“Kongsun To dan kawan-kawannya bisa menemukan tempat ini, sudah tentu bukan Toh Cap-jit yang membocorkan kepada mereka.”

“Sudah tentu bukan dia, tapi aku.”

“Karena itu kau membunuhnya.”

“Tentu takkan kubiarkan dia membocorkan rahasiaku.”

“Mereka dapat menemukan Bing-gwat-sim, sudah tentu juga lantaran engkau.”

“Jika bukan aku, mana mungkin mereka bisa tahu bahwa Bing-gwat-sim sudah kembali ke kamar rahasia bawah tanah itu?”

“Kau mengaku semua kesalahanmu?”

“Kenapa aku harus mungkir?”

“Kenapa kau lakukan semua itu?”

Mendadak Co Giok-cin mengeluarkan sekuntum bunga mutiara, bunga yang jatuh dari balik baju Tio Ping sebagai Jari telunjuk di dalam kamar rahasia di bawah tanah itu. Sambil mengawasi bunga mutiara itu dia berkata, “Kau pasti ingat darimana bunga mutiara ini.”

Sudah tentu Pho Ang-soat masih ingat.

“Hari itu apa pun aku tidak mau, aku hanya mengambil bunga mutiara ini, kau pasti mengira aku seperti juga perempuan umumnya melihat barang mestika lantas melupakan segalanya.”

“Jadi kau bukan perempuan jenis itu?”

“Aku merebut bunga mutiara ini lebih dulu, karena aku kuatir kau melihat sandi rahasia merak di atas bunga mutiara ini.”

“Merak?”

“Bunga mutiara ini adalah pemberian Jiu Cui-jing kepada Co Giok-cin tanda ikatan perkawinan mereka, sampai dia akan membawa bunga mutiara ini.”

“Jadi Co Giok-cin sudah mati?”

“Kalau dia belum mati, bagaimana mungkin bunga mutiara ini bisa terjatuh ke tangan Tio Ping.”

Pho Ang-soat menutup mulut, sebab dia berusaha mengendalikan emosinya. Lama kemudian baru dia menghela napas pelan, katanya, “Ternyata kau memang bukan Co Giokcin, siapa kau?”

Dia tertawa pula, tertawa licik dan kejam, “Kau tanya siapa aku? Memangnya kau sudah lupa bahwa aku adalah anakmu?”

Dingin kaki tangan Pho Ang-soat.

“Aku mau menikah dengan kau, meski hanya memberi beban kepadamu, sehingga kau gampang ditekan, dikendalikan, supaya kau mampus kelelahan, supaya kau selalu berusaha untuk menolongku hingga kau harus mengadu jiwa dengan orang lain, tapi siapa pun takkan menyangkal, bahwa aku sudah menikah dengan kau, sudah menjadi binimu.”

Tiada komentar.

“Aku menjebloskan Bing-gwat-sim, membunuh Yan Lamhwi, tadi kutusuk Toh Cap-jit, ingin membunuhmu pula, tapi aku adalah istrimu,” tawanya lebih sadis, “aku hanya ingin kau ingat satu hal, kalau kau ingin membunuhku, boleh sekarang kau turun tangan.”

Mendadak Pho Ang-soat menerjang keluar.

Waktu itu adalah saatnya paling gelap sepanjang malam ini, tanpa menoleh dia terus terjun ke tengah kegelapan, dia sudah tidak bisa berpaling lagi.

Gelap pekat, kegelapan yang membawa kekecewaan. Gelap yang membuat orang putus asa.

Pho Ang-soat berlari kencang seperti kesetanan, dia tidak boleh berhenti, karena sekali dia berhenti dia pasti roboh. Sekarang apa pun tidak dipikirnya lagi, karena dia tidak bisa tidak harus berpikir.

Khong-jiok-san-ceng sudah runtuh, Jiu Cui-jing tidak menyesal, hanya mohon dia melakukan satu hal, mohon dia mempertahankan keturunan marga Jiu saja.

Tapi Co Giok-cin sekarang sudah mati.

Dia tahu bahwa di atas bunga mutiara itu pasti ada sandi rahasia merak, maka sudah pasti bahwa “dia” adalah salah satu dari pembunuh itu.

Tapi dia justru mengawalnya, memperhatikan sepenuh hati dan melindunginya, malah menikahinya pula.

Jika bukan lantaran dia, bagaimana Bing-gwat-sim bisa mati?

Jika bukan melindungi dia, bagaimana Yan Lam-hwi bisa mati?

Dia malah menganggap apa yang dilakukan selama ini
benar dan tepat, baru sekarang dia menyadari apa yang pernah dilakukannya sungguh amat menakutkan.

Tapi sekarang sudah terlambat, kecuali muncul keajaiban, orang yang sudah mati, pasti takkan bisa hidup kembali. Padahal dia tidak percaya adanya kegaiban. Maka kecuali lari lintang-pukang seperti anjing kelaparan di tengah kegelapan, apa pula yang bisa dia lakukan sekarang? Umpama dia membunuhnya apa pula faedahnya?

Semua persoalan itu dia tidak berani memikirkan, juga tak bisa dipikirkan, karena benaknya ruwet, pikirannya kacau balau. Keruwetan yang mendekati gila.

Dia lari dan lari terus hingga kehabisan tenaga, maka dia roboh, begitu badannya mulai berkelejetan, mengejang dan meronta-ronta. Cambuk yang tidak kelihatan itu mulai melecut dan menghajar sekujur badannya pula.

Para malaikat, para dedemit atau iblis yang ada di bumi dan langit sekarang seperti mengutuk serta menghukumnya, sehingga dia menderita, dia sendiri pun ingin menghukum dan menyiksa diri sendiri. Paling tidak, hanya itulah yang bisa dia lakukan sekarang.

Dalam gubuk kecil itu tenang, hening tiada suara apa pun.

Di luar pintu sayup-sayup seperti ada orang bicara, tapi suaranya kedengaran amat jauh.

Segala sesuatu di sekitarnya kelihatan remang-remang, amat jauh, sampai awak sendiri pun terasa seperti di tempat jauh.

Tapi kenyataan dirinya jelas berada di sini, di dalam gubuk cilik yang sempit, bau apek dan pengap ini.

Tempat apakah ini? Siapa pula pemilik gubuk reyot ini? Dia hanya sedikit ingat sebelum dirinya ambruk, dia seperti menjebol roboh sebuah pintu sempit. Agaknya dia pernah kemari.

Tapi ingatannya juga masih samar-samar, amat jauh, namun percakapan di luar pintu mendadak makin keras. Itulah percakapan seorang laki dan perempuan.

“Jangan lupa aku inikan sudah langganan lama, kenapa kau membiarkan aku pulang gigit jari,” itulah suara laki-laki.

“Sudah kujelaskan, hari ini tidak bisa. Kuharap kau datang lain kali,” suara perempuan setengah meminta, nadanya tegas.

“Kenapa hari ini tidak boleh?”

“Karena ... karena hari ini aku datang bulan.”

“Kentut busuk,” laki-laki itu mendamprat gusar. “Umpama benar kau datang bulan, kau juga harus mencopot celana biar kuperiksa.”

Nafsu laki-laki bila tidak tersalurkan biasanya memang mudah naik pitam.

“Kau tidak takut sial?”

“Kenapa takut? Tuan besarmu ini punya uang, takut apa? Nah, ini lima tahil boleh kau terima dulu, baru kau copot celanamu.”

Lima tahil dapat memuaskan nafsu? Lima tahil cukup untuk menghina perempuan? Tempat apakah sebetulnya di sini? Dunia macam apakah yang ada di sini?

Sekujur badan Pho Ang-soat dingin lunglai, seperti mendadak dia terjeblos ke dalam air dingin, tenggelam ke dasar air, akhirnya dia teringat tempat apa ini.

Akhirnya dia melihat patung pemujaan di atas ranjang itu, lalu terbayang akan gadis yang mengenakan kalung kembang melati itu. Bagaimana aku bisa kemari? Apakah lantaran dia pernah mengatakan, “Aku pasti menunggumu?” Apakah sekarang dirinya seperti dia menghadapi jalan buntu, tiada arah yang bisa ditempuhnya? Apakah lantaran nafsunya sudah terbenam sekian lama dan di sini dia memperoleh pelampiasan?

Hanya dia sendiri yang dapat menjawab pertanyaan ini, tapi jawabannya justru tersembunyi di relung hatinya yang paling dalam, mungkin untuk selamanya tiada orang yang bisa menggalinya keluar, mungkin dia sendiri pun tidak mampu.

Dia tidak bisa berpikir lagi, karena pada saat itulah seorang laki-laki mabuk sudah menerjang masuk.

“Ha, memangnya tuanmu sudah tahu dalam kamarmu menyembunyikan laki-laki, ternyata kau tertangkap basah sekarang.” Jari-jari tangannya yang segede wortel itu terpentang, seperti ingin merenggut Pho Ang-soat dari atas ranjang. Tapi yang dia cengkeram ternyata gadis berkalung kembang melati itu, karena dia ikut memburu ke dalam, menghadang di depan ranjang serta berteriak, “Jangan kau menyentuhnya, dia sedang sakit.”

Laki-laki itu tertawa lebar, serunya, “Laki-laki macam apa yang tak bisa kau cari, kenapa kau justru memilih setan penyakitan ini?”

Gadis berkalung kembang melati mengertak gigi, katanya, “Kalau kau memaksa, boleh aku ikut kau ke tempat lain, lima tahil uangmu pun tak usah kuterima, kali ini kau boleh gratis.”

Laki-laki itu menatapnya seperti heran, desisnya, “Biasanya kau minta bayar lebih dulu, kenapa kali ini kau rela gratis?”

“Karena hari ini aku senang,” sahut gadis itu keras.

Laki-laki itu mendadak berjingkrak beringas, serunya, “Berdasar apa tuanmu harus melihat kau senang. Kau senang, tuanmu tidak senang.” Begitu dia kerahkan tenaga, seperti elang menyambar ayam kecil, gadis itu diangkatnya tinggi-tinggi.

Dia melawan, karena bukan saja dia tidak mampu melawan, juga tidak bisa melawan, penghinaan dan siksaan yang dia alami sudah terlalu biasa.

Akhirnya Pho Ang-soat berdiri, desisnya, “Lepaskan dia.”
Laki-laki itu mengawasinya dengan kaget, “Kau yang bicara?”
Pho Ang-soat mengangguk.
“Kau setan penyakitan ini suruh aku melepas dia?”
Pho Ang-soat mengangguk pula.

“Tuan besar justru tidak mau melepaskan dia, kau setan penyakitan ini mau apa?” mendadak dia melihat tangan Pho Ang-soat memegang golok. “Jahanam, ternyata kau membawa golok, memangnya kau berani membunuhku?”

Membunuh orang.

Lagi-lagi membunuh orang, kenapa orang harus memaksa membunuh orang? Akhirnya Pho Ang-soat berduduk di pinggir ranjang tanpa bersuara, terasa perutnya sedang mengkeret, hampir tak tertahan dia ingin muntah.

Laki-laki itu tertawa lebar, perawakannya tinggi kekar, daging otot kedua lengannya merongkol mirip binaragawan, hanya sedikit bergerak dia lempar gadis berkalung melati itu terbanting di atas ranjang. Lalu dia merenggut baju Pho Angsoat, serunya dengan tertawa lebar, “Setan penyakitan macammu begini juga berani menjadi pengawal pelacur busuk ini? Ingin tuanmu membuktikan berapa besar tulangtulangmu?”

Gadis itu sudah meringkal di ranjang sambil memekik.

Laki-laki kekar itu sudah siap menjinjing Pho Ang-soat serta melemparkannya keluar pintu.

“Blang!”, seorang terbanting keras di luar pintu, namun bukan Pho Ang-soat yang terbanting, ternyata laki-laki kekar malah. Cepat dia merangkak lalu menerjang maju pula, tinjunya terayun menggenjot muka Pho Ang-soat. Pho Angsoat tidak bergerak, tahu-tahu laki-laki itu menjerit memegangi tangan sambil menjengking, saking kesakitan keringat dingin membasahi selebar mukanya, sambil menjerit-jerit dia berlari keluar.

Pho Ang-soat memejamkan mata, gadis itu malah terbelalak, dengan kaget dia mengawasinya, seperti heran, kaget juga kagum.

Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri perlahan, beranjak keluar, pakaiannya basah kuyup oleh keringat dingin.

Bersabar itu bukan sesuatu yang mudah.

Bersabar adalah derita, derita yang jarang bisa dipahami dan diselami oleh kebanyakan orang.

Sinar surya di luar rumah menerpa mata, wajahnya yang pucat kelihatan bening ditimpa sinar mentari. Di bawah pancaran sinar mentari yang segar dan benderang ini, seorang seperti dirinya, apa yang dapat dia lakukan? Kemana dia bisa pergi? Mendadak hatinya seperti dirundung suatu kekuatan yang tak bisa dia lukiskan.

Bukan orang yang dia takuti, tapi diri sendiri. Dia pun takut pada cahaya matahari, karena dia tidak berani berhadapan dengan cahaya mentari yang segar dan benderang ini, dia tidak berani menghadapi dirinya sendiri, akhirnya dia terjungkal lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar