Pisau
Terbang Li
(Xiao Li
Fei Dao)
Karya : Khu Lung
Bab 1. Pisau Terbang
Lawan Pedang Kilat
Angin dingin laksana
pisau, menggunakan bumi sebagai alasnya, dan mengiris manusia seperti
daging ikan. Badai salju memanjang beribu-ribu mil, membuat segala
sesuatu seakan-akan berkilauan bagai perak. Dalam badai musim dingin
ini, sebuah kereta datang dari arah utara. Roda-rodanya memecahkan
es di tanah, tapi tidak sanggup memecahkan kesepian di muka bumi ini.
Li Xun Huan menguap,
memanjangkan kakinya. Di dalam kereta cukuplah nyaman, tapi
perjalanan ini sungguh terlalu panjang, dan terlalu sepi. Ia tidak
hanya merasa sangat lelah, tapi juga kesal. Ia merasa kesepian adalah
hal yang paling menyebalkan dalam hidupnya, namun sayangnya
kesepianlah yang begitu sering menemaninya.
Hidup seseorang memang
penuh kontradiksi. Dan tidak seorang pun bisa berbuat apa-apa.
Li Xun Huan menghela
nafas dan mengambil botol anggurnya. Sambil minum anggur, ia mulai
batuk-batuk. Ia terus terbatuk-batuk sampai wajahnya memucat,
seolah-olah api neraka sedang membakar tubuh dan jiwanya.
Kini botol anggurnya
sudah kosong. Ia meraih pisau kecilnya dan mulai mengukir sebentuk
manusia pada sepotong kayu. Pisaunya tipis dan tajam, jari-jarinya
panjang dan kuat.
Figur yang diukirnya
adalah seorang wanita. Wanita yang sangat cantik dan hangat. Dengan
kepiawaiannya mengukir, figur wanita itu tampak sungguh-sungguh
hidup.
Ia tidak hanya memberi
wajah yang memikat, ia juga memberi figur wanita itu hidup dan jiwa,
karena hidup dan jiwanya sendiri telah tertuang seutuhnya di ujung
pisau kecil itu.
Usianya tidak lagi muda.
Kerut-kerut kecil tampak
di sekitar matanya. Tiap kerutan menyimpan semua kegembiraan dan
kesedihan dalam hidupnya. Matanya sajalah yang tetap muda belia.
Ia memiliki sepasang mata
yang menarik, bersemu hijau, seperti angin musim semi bertiup
menggoyangkan daun pinus, hangat dan lentur. Seperti air laut yang
bermandikan sinar mentari, penuh vitalitas.
Mungkin karena sepasang
matanya inilah, ia bisa hidup hingga hari ini.
Akhirnya, ukirannya pun
selesai. Ia menatap figur itu sambil termenung. Entah berapa lama.
Lalu tiba-tiba didorongnya pintu kereta dan meloncat keluar.
Sang kusir langsung
menarik tali kekang kuda.
Kusir ini memiliki
sepasang mata yang tajam bagai elang, namun sewaktu menatap pada Li
Xun
Huan, tatapannya berubah
hangat, penuh simpati dan kesetiaan. Seperti seekor anjing menatap
tuannya.
Li Xun Huan menggali
lubang di tanah untuk mengubur hasil ukirannya. Lalu ia termenung
sambil menatap gundukan salju, tempat ia menguburkan figur wanita
itu.
Jari-jarinya dingin
membeku, wajahnya merah karena dingin yang menusuk, dan
butiran-butiran salju menutupi sekujur tubuhnya. Tapi ia tidak
merasa dingin. Benda yang ia kuburkan seakanakan adalah orang yang
terpenting dalam hidupnya. Bersamaan dengan dikuburnya “wanita”
itu, hidupnya pun menjadi penuh dengan kehampaan.
Orang lain akan merasa
janggal melihat ini, namun sang kusir telah terbiasa. Ia hanya
berkata, „Sudah hampir gelap dan perjalanan masih jauh. Mari naik
ke atas kereta, Tuan Muda.“
Li Xun Huan menoleh, dan
melihat di atas salju di sebelah keretanya tampak sepasang jejak
kaki. Sendirian berjalan, datang dari arah utara.
Jejak kaki itu cukup
dalam, menandakan bahwa orang itu telah berjalan jauh, sangat lelah,
namun menolak untuk beristirahat.
Li Xun Huan menarik nafas
panjang dan berkata, „Sulit dipercaya, seseorang mau bepergian
dalam cuaca semacam ini. Kurasa ia pasti seseorang yang sangat
kesepian, yang sangat menderita.“
Sang kusir tidak
menjawabnya, hanya mengeluh dalam hati, „Bukankah kau juga sangat
kesepian dan menderita? Mengapa kau hanya bisa bersimpati akan
keadaan orang lain, tapi melupakan dirimu sendiri?“
Ada banyak batang pohon
pinus di bawah kursi keretanya, dan Li Xun Huan pun mulai mengukir
lagi. Tekniknya telah sempurna dengan begitu banyak latihan, karena
yang pernah dan yang akan pernah diukirnya hanyalah wanita itu.
Wanita ini tidak hanya
mengisi relung-relung hatinya, tapi juga seluruh tubuhnya.
Badai salju akhirnya
berhenti, tapi rasa dingin makin menusuk dan rasa sepi makin tebal.
Suara angin yang menderu membawa juga suara langkah-langkah kaki.
Walaupun suara ini lebih
halus daripada derap langkah kuda, suara inilah yang dinanti-nantikan
Li Xun Huan. Jadi walaupun sangat halus, suara ini tak akan luput
dari pendengarannya.
Disingkapnya tirai
kereta, dan terlihatlah bayangan seseorang berjalan di depan.
Orang ini berjalan
perlahan-lahan, tapi tidak pernah berhenti. Walaupun ia mendengar
derap langkah kuda, ia tidak menoleh sama sekali. Ia tidak memakai
topi ataupun payung. Salju yang mencair turun dari wajah ke lehernya.
Pakaiannya pun hanya selembar baju yang tipis.
Namun kepalanya tegak,
seakan-akan ia terbuat dari baja. Salju, hawa dingin, rasa lelah,
lapar, tidak dapat menaklukkannya.
Tidak ada satu hal pun
yang dapat menaklukkannya.
Sewaktu kereta
melewatinya, barulah Li Xun Huan melihat wajahnya.
Alisnya tebal, matanya
besar, bibirnya yang tipis terkatup rapat membentuk garis, hidungnya
lurus, membuat wajahnya
tampak lebih kurus.
Wajah ini mengingatkan
orang pada batu dalam pot bunga. Kuat, kokoh, dingin, seakan-akan
tidak ada hal yang cukup
berarti baginya, bahkan dirinya sendiri.
Namun bagi Li Xun Huan,
wajah ini adalah wajah yang paling gagah yang pernah dilihatnya
seumur hidup. Walaupun agak sedikit muda, sedikit kurang dewasa,
wajah ini memiliki kepribadian yang magnetis.
Dalam mata Li Xun Huan
terbayang sebentuk senyum. Ia membuka pintu keretanya dan berkata,
“Mari masuk. Aku bisa memberimu tumpangan.”
Kata-katanya pendek dan
singkat, penuh tenaga. Dalam hamparan salju tidak berujung ini, tak
seorang pun akan menolak ajakannya.
Siapa sangka anak muda
ini bahkan tak mau menoleh padanya! Ia bahkan tidak memperlambat
langkahnya, seakan-akan tidak mendengar orang berbicara padanya.
Tanya Li Xun Huan,
“Apakah kau tuli?”
Tangan anak muda itu
tiba-tiba menyentuh pedang di pingganggnya. Walaupun jari-jarinya
telah membeku, gerakannya tetap cepat dan tangkas.
Li Xun Huan tertawa,
katanya, “Kurasa kau tidak tuli. Masuklah, dan mari minum. Seteguk
anggur tak akan menyakiti siapa pun.”
Anak muda itu menjawab
cepat, “Aku tidak sanggup beli.”
Bisa-bisanya anak muda
ini bicara demikian! Bahkan kerut-kerut di sudut mata Li Xun Huan pun
ingin tersenyum, tapi ia sendiri malah tidak tersenyum. Sebaliknya ia
berkata, “Aku mengundangmu minum bersamaku, bukan menjual anggur
padamu.”
Anak muda itu menjawab,
“Aku tidak akan mengambil barang yang tidak kubeli dengan uangku
sendiri. Jika anggur itu tidak kubeli dengan uangku, aku tak akan
meminumnya. Apakah penjelasanku cukup jelas?”
Kata Li Xun Huan, “Cukup
jelas.”
Dan anak muda itu
berkata, “Bagus. Kau bisa pergi sekarang.”
Li Xun Huan berpikir
sejenak, tiba-tiba ia berkata sambil tersenyum, “Baiklah. Aku pergi
sekarang, tapi waktu kau sudah punya uang untuk membeli anggur,
maukah kau mengundangku minum?”
Anak muda itu menatapnya,
lalu berkata, “Baik, aku akan mengundangmu.”
Li Xun Huan tertawa dan
keretanya mulai melaju, sampai ia tidak dapat lagi melihat anak muda
itu. Li Xun Huan bertanya dengan geli, “Pernahkah kau bertemu anak
seaneh itu? Aku pikir ia adalah seorang yang bijaksana, nyatanya
kata-katanya sangat lugu, sangat jujur.”
Jawab sang kusir, “Ia
adalah anak yang berkemauan kuat, itu saja.”
Li Xun Huan bertanya
lagi, “Kau lihatkah pedang di pinggangnya?”
Senyum simpul terbayang
di bibir sang kusir. “Dapatkah itu dikatakan sebagai pedang?”
Dalam definisi baku,
tentulah benda itu tidak dapat dianggap pedang, cuma sebilah logam
yang panjangnya satu meter. Tidak ada ujung yang lancip, tidak ada
sarung, hanya ada dua potong kayu yang dipakukan pada pangkal bilah
logam itu, yang mungkin bisa dianggap sebagai pegangannya.
Sang kusir melanjutkan,
“Menurut aku, itu hanya mainan anak-anak belaka.”
Kali ini Li Xun Huan
tidak tersenyum, ia bahkan menghela nafas dan berkata, “Menurut
aku, mainan itu sangatlah berbahaya. Lebih baik tidak dimainkan.”
Penginapan di kota kecil
ini tidak besar, namun penuh sesak dengan orang-orang yang
terperangkap badai salju.
Di halaman ada banyak
kereta kosong milik jasa ekspedisi. Di sebelah timur tampak
umbulumbul milik jasa ekspedisi tersebut, yang berkibar keras sejalan
dengan deru angin. Tak bisa dibedakan lagi apakah gambar yang tertera
pada umbul-umbul itu harimau ataukah singa.
Di rumah makan penginapan
itu, seorang bertubuh besar dengan mantel bulu domba berjalan keluar
masuk. Setelah minum beberapa kali, ia buka mantelnya, menunjukkan
pada orang-orang bahwa ia tahan hawa dingin.
Waktu Li Xun Huan tiba,
tidak ada lagi meja kosong. Tapi ia tidak kuatir sama sekali, karena
ia tahu bahwa tidak banyak barang di dunia ini yang tidak dapat
dibeli dengan uang. Oleh sebab itu, sebentar saja ia sudah
mendapatkan meja di sudut rumah makan. Ia segera memesan anggur dan
mulai minum perlahan-lahan.
Ia tidak pernah minum
dengan cepat, tapi ia sanggup minum terus-menerus untuk beberapa hari
tanpa berhenti. Ia terus minum, terus terbatuk-batuk, dan hari pun
mulai senja.
Sang kusir masuk, berdiri
di belakangnya dan berkata, “Kamar di sebelah selatan sudah kosong,
dan mereka telah membersihkannya. Tuan dapat beristirahat kapan
saja.”
Li Xun Huan hanya
mengangguk. Setelah beberapa saat, sang kusir menambahkan, “Ada
beberapa orang dari jasa ekspedisi Singa Emas. Tampaknya mereka
sedang mengirim barang dari perbatasan.”
Tanya Li Xun Huan, “O
ya? Siapakah kepala rombongannya?”
Jawab sang kusir, “Zhu
Ge Lei, si Pedang Angin Kejut.”
Li Xun Huan menaikkan
alisnya, dan berkata dengan tertawa, „Orang ini bisa hidup sampai
sekarang? Hebat betul.“
Walaupun ia sedang
berbicara tentang orang di belakangnya, matanya terus menatap ke
depan, seakan-akan sedang menantikan seseorang.
Sang kusir berkata, „Anak
itu tidak berjalan cepat. Mungkin Anda harus menunggu kedatangannya
sampai tengah malam.“
Li Xun Huan tertawa,
katanya, “Aku rasa ia tidak berjalan lambat, tapi ia ingin
menghemat
tenaganya. Pernahkah kau
melihat seekor serigala berjalan dalam padang salju? Jikalau tidak
ada
mangsa di depan dan musuh
di belakang, pastilah ia tidak akan berjalan cepat. Karena
menghabiskan tenaga dalam
perjalanan adalah suatu pemborosan.”
Sang kusir tertawa juga,
dan berkata, “Tapi anak itu kan bukan serigala.”
Li Xun Huan tidak
menjawab, karena saat ini ia mulai batuk-batuk lagi.
Kemudian dilihatnya tiga
orang masuk dari pintu belakang, sambil berbicara keras-keras
mengenai kisah-kisah dalam dunia persilatan. Seakan-akan mereka takut
orang-orang tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orang penting dalam
jasa ekspedisi Singa Emas.
Li Xun Huan mengenali
orang gendut berwajah merah itu adalah Si Pedang Angin Kejut, tapi ia
tidak ingin orang itu mengenalinya, sehingga ditundukkannya kepalanya
untuk mengukir figur kayu lagi.
Untunglah Zhu Ge Lei
tidak pernah menanggap penting orang-orang di kota kecil. Mereka
segera memesan makanan dan anggur, dan langsung mulai makan.
Sialnya, makanan dan
minuman tidak menutup mulut mereka. Setelah minum beberapa kali, Zhu
Ge Lei menjadi makin sombong dan tertawa keras-keras. „Nomor Dua,
ingatkah kau saat di kaki gunung Tai Xing waktu kita bertemu ‚Empat
Harimau Tai Xing’?“
Orang yang ditanya itu
tersenyum. „Bagaimana aku bisa lupa? Waktu itu ‚Empat Harimau Tai
Xing’ berani-beraninya mengambil barang kiriman, bahkan berkata
‚Zhu Ge Lei, kalau kau merangkak, kami bebaskan kau. Kalau tidak,
kami akan ambil bukan saja barang-barang kiriman, tapi kepalamu juga
sekalian.“
Orang yang ketiga pun
tertawa keras-keras. „Siapa sangka belum habis mereka mengayunkan
golok, kakak tertua telah habis memenggal kepala mereka.“
Orang yang kedua berkata,
„Bukannya mau sombong. Kalau soal kekuatan telapak tangan, yang
paling hebat adalah ketua jasa ekspedisi kami, ‚Si Telapak Singa
Emas’. Tapi kalau soal keahlian pedang, tak ada yang mengalahkan
kakak tertua kami ini.“
Zhu Ge Lei terbahak-bahak
sambil mengangkat cawannya, namun tiba-tiba terdiam, sewaktu penutup
barang di sampingnya tiba-tiba tertiup angin.
Dua bayangan manusia
muncul.
Kedua orang ini
mengenakan jubah merah darah dan topeng aneh yang biasa dipakai
orang-orang di luar perbatasan. Kedua orang ini tampaknya memiliki
bentuk tubuh yang sama, dan tinggi badan yang sama pula.
Orang awam mungkin tidak
melihat muka mereka, tapi dari kelihaian kung fu dan pakaian mereka,
secara tidak sadar pandangan mereka terarah pada kedua orang ini.
Hanya mata Li Xun Huan
yang tetap menatap pintu, karena sewaktu angin mulai menghempas pintu
itu lagi, ia melihat anak muda itu.
Anak muda itu berdiri
tegak di luar pintu, dan sepertinya ia sudah ada di sana sejak lama.
Seperti seekor binatang buas. Walaupun ia ingin sekali merasakan
kehangatan dalam penginapan dan tidak ingin pergi, ia takut untuk
masuk ke dalam dunia manusia.
Li Xun Huan kembali
menghela nafas, dan barulah sekarang ia mengalihkan perhatiannya pada
kedua orang itu. Mereka telah menanggalkan topeng, memperlihatkan
wajah mereka yang buruk.
Telinga mereka kecil,
hidung mereka besar, mungkin menutupi sepertiga wajah, membuat mata
dan telinga mereka seolah-olah terpisah sangat jauh.
Namum mata mereka
menunjukkan kejahatan, seperti mata ular.
Lalu mereka pun
menanggalkan jubah mereka, dan terlihatlah baju mereka yang hitam.
Tubuh mereka pun mirip ular, kurus panjang, dan dapat menyerang kapan
saja. Membuat orang-orang merasa takut, dan juga jijik melihat
mereka.
Kedua orang ini sangat
mirip, hanya saja yang satu wajahnya putih, dan yang lain wajahnya
hitam. Gerakan mereka sangat lambat, membuka jubah, melipatnya, dan
berjalan perlahan ke arah meja. Kemudian mereka berjalan lewat depan
Zhu Ge Lei.
Suasana di rumah makan
sangat hening, sampai-sampai suara Li Xun Huan mengukir pun dapat
terdengar.
Zhu Ge Lei, berpura-pura
tidak melihat kedua orang ini, namun gagal.
Kedua orang ini pun
menatapnya. Mata mereka bagaikan kuas, yang menyapu Zhu Ge Lei dari
atas sampai ke bawah.
Zhu Ge Lei hanya dapat
berdiri dan bertanya, “Bolehkah saya bertanya nama dari Tuan-Tuan
yang terhormat? Maafkan kalau saya tidak mengenali.”
Orang berwajah putih itu
tiba-tiba berkata, “Jadi kaulah Si Pedang Angin Kejut Zhu Ge Lei?”
Suaranya tajam dan
berdesis, seperti suara ular. Nyawa Zhu Ge Lei seakan terbang
mendengar suara ini. “Y...ya.”
Orang berwajah hitam pun
tertawa dingin. “Pantaskah kau disebut Si Pedang Angin Kejut?”
Tangannya bergetar.
Sebilah pedang tipis panjang tiba-tiba muncul di tangannya.
Pedangnya diarahkan pada
Zhu Ge Lei, dan katanya, “Tinggalkan apa yang kau bawa, dan aku
akan mengampuni nyawamu.”
Orang kedua yang duduk di
situ berdiri tiba-tiba. Dengan tersenyum ia berkata, “Tuan-tuan
pasti salah sangka. Dalam ekspedisi ini, barang-barang kami antar ke
perbatasan, bukan sebaliknya. Kereta-kereta kami sudah kosong.”
Sebelum ia dapat
menyelesaikan kalimatnya, pedang orang berwajah hitam itu sudah
melubangi batang lehernya. Dengan sentakan ringan, kepalanya copot
dan berguling jatuh.
Semua orang terbelalak.
Kaki mereka menggigil di bawah meja.
Zhu Ge Lei bisa hidup
sampai hari itu, pastilah karena ia memiliki keahlian. Ia mengambil
barang dari kepitan tangannya, dan diletakkannya di atas meja.
“Informasi kalian betul sekali. Kami memang membawa sesuatu dari
perbatasan. Tapi sayangnya, kalian berdua tidak punya cukup keahlian
untuk mengambilnya.”
Orang berwajah hitam itu
tergelak. “Apa yang akan kau lakukan?”
Jawab Zhu Ge Lei,
„Tuan-tuan sepantasnya meninggalkan jejak keahlian silat Anda di
sini, supaya waktu saya pulang, saya dapat memberikan alasan.“
Sambil berbicara, ia mundur tujuh langkah. Pedang telah terhunus.
Semua orang tahu ia akan bertarung sampai mati.
Tak disangka-sangka ia
malah menjungkirbalikkan meja di sampingnya. Mangkok di meja itu
penuh dengan bakso udang yang langsung melayang ke udara.
Terdengar bunyi ‚si si’
dari pedangnya, dan terlihat cahaya terang pedang itu berkelebat.
Lebih dari sepuluh bakso udang telah terbelah menjadi dua.
Kata Zhu Ge Lei, „Kalau
Anda bisa membuat hal yang sama, saya akan segera memberikan barang
ini pada Anda. Jika tidak, silakan berlalu.“
Ilmu pedangnya cukup
tinggi, dan kata-katanya pun cukup indah, tapi Li Xun Huan tertawa
diam-diam. Dengan cara ini, musuh-musuhnya hanya akan menebas bakso
udang, bukan kepalanya. Menang atau kalah, ia akan tetap hidup.
Orang berwajah hitam itu
tertawa. „Ini adalah keahlian juru masak. Kau pikir ini adalah ilmu
silat?“
Sambil berbicara, ia
menarik nafas panjang dan membuat potongan bakso udang di lantai
mendal kembali ke udara. Lalu, hanya dengan selarik sinar hitam,
seluruh potongan bakso udang itu tiba-tiba lenyap. Ternyata, semuanya
tertusuk oleh pedangnya. Bahkan orang yang tidak tahu silat pun tahu
bahwa mengiris bakso udang di udara sangatlah sulit, namun lebih
sulit lagi untuk mengumpulkannya dengan satu tusukan pedang.
Wajah Zhu Ge Lei pucat
pasi melihat ilmu pedang orang itu, dan undur lagi beberapa langkah.
Katanya, „Saya rasa Tuan-Tuan adalah ‚Ular Kembar Bernoda
Darah’?“
Waktu mendengar ini,
orang ketiga yang masih duduk di meja gemetar ketakutan dan berusaha
merangkak pergi diam-diam.
Bahkan sang kusir di
samping Li Xun Huan pun mengangkat alisnya, karena ia tahu bahwa
beberapa tahun belakangan ini, sedikit sekali perampok di daerah
sungai kuning yang dapat menandingi kedua orang ini. Baik dari segi
keahlian, maupun kekejian. Kabarnya, jubah merah mereka adalah noda
darah korban-korban mereka.
Namun sebenarnya ia pun
tidak tahu banyak. Karena orang-orang yang mengetahui apa yang
sebenarnya telah dilakukan oleh ‚Ular Kembar Bernoda Darah’, 9
dari 10 telah kehilangan kepalanya.
Si Ular Hitam tertawa dan
berkata, „Ternyata bisa juga kau mengenali kami. Setidaknya matamu
tidak buta.“
Zhu Ge Lei menggeretakkan
giginya dan berkata, „Karena Anda berdua menginginkan barang ini,
saya rasa saya tidak bisa berbuat apa-apa. Ambil saja dan pergilah.“
Si Ular Putih lalu
berkata, „Kalau kau mau merangkak di lantai, akan kubiarkan kau
hidup. Kalau tidak, kau bukan hanya harus meninggalkan barangmu, tapi
juga kepalamu.“
Ini tidak lain adalah
kata-kata Zhu Ge Lei sendiri sewaktu ia sedang menyombongkan diri.
Kali ini, kata-kata itu diucapkan Si Ular Putih, dan tiap kata terasa
mengiris kulitnya seperti pisau.
Wajah Zhu Ge Lei berubah
hijau, lalu menjadi pucat. Tiba-tiba tubuhnya jatuh ke tanah, dan
merangkak mengelilingi meja sekali.
Di saat inilah Li Xun
Huan menghela nafas dalam-dalam, berkata pada dirinya sendiri, „Aku
melihat kepribadian orang ini telah berubah. Tidak heran ia bisa
hidup begini lama.“
Walaupun ia berbicara
dengan lirih, kedua Ular Kembar dapat mendengarnya dan berpaling.
Tetapi Li Xun Huan seakan-akan tidak menyadarinya, dan terus
berkonsentrasi pada ukirannya.
Si Ular Putih tertawa,
„Sepertinya di sini ada jago kungfu kelas satu. Sayang aku dan
saudaraku tidak melihatnya.“ Si Ular Hitam berkata, „Barang ini
diberikan kepada kami dengan sukarela. Kalau ada orang yang pedangnya
lebih cepat daripada kita, kita pun akan secara sukarela memberikan
barang ini kepadanya.“
Tangan Si Ular Putih
bergetar dan sebuah pedang lain muncul. Kali ini warnanya putih.
Katanya, „Jika ada orang yang pedangnya lebih cepat daripada kami,
kami akan menyerahkan barang ini dan juga kepala kami kepadanya.“
Mata mereka mengarah pada
Li Xun Huan saat berbicara. Namun Li Xun Huan tetap berkonsentrasi
pada ukirannya. Seakan-akan tidak mendengar apa-apa.
Seseorang di luar
tiba-tiba berteriak, “Berapa harga kepalamu?”
Waktu mendengar ini, Li
Xun Huan terkejut, tapi juga gembira. Diangkatnya kepalanya, dan
akhirnya terlihat olehnya anak muda itu masuk.
Bajunya belum kering
betul. Di beberapa tempat bahkan tampak membeku. Namun ia berdiri
tegak sepert tombak.
Matanya juga masih
terlihat kesepian, terlihat keras.
Matanya mengandung suatu
kebuasan yang tidak dapat dijinakkan. Dapat bertempur kapan saja.
Membuat sulit bagi orang untuk dekat padanya.
Perhatian semua orang
terarah pada pedang di pinggangnya. Waktu melihat pedang ini, Si Ular
Putih tertawa geli, “Apakah kau yang bertanya?”
Anak muda itu menjawab,
“Ya.”
Si Ular Putih bertanya,
“Kau hendak membeli kepalaku?”
Jawab si anak muda, “Aku
hanya ingin tahu harganya, karena aku ingin menjualnya kepadamu.”
Si Ular Putih berusaha
tenang dan bertanya lagi, “Menjual kepalaku kepadaku?”
Anak muda itu berkata,
“Betul sekali. Karena aku tidak berminat akan barang itu dan juga
akan kepalamu.”
Si Ular Putih pun
berkata, „Sepertinya kau hanya ingin menantangku.“
„Ya.“
Si Ular Putih menatap
anak muda itu lekat-lekat, lalu memandang ke arah pedangnya, dan tiba
tiba tertawa
terbahak-bahak. Baru kali ini ia melihat hal selucu ini dalam
hidupnya.
Anak muda itu hanya
berdiri diam-diam, ia tidak mengerti apa yang sedang ditertawakan
orang. Rasanya tidak ada satupun yang lucu yang ia katakan. Sang
kusir juga menghela nafas. Anak ini sudah gila, pikirnya. Zhu Ge Lei
pun berpikir anak muda ini sudah hilang akal.
Tiba-tiba terdengar Si
Ular Putih berkata, “1000 tail emas pun belum dapat membeli
kepalaku.” Jawab si anak muda, “1000 tail emas terlalu banyak.
Aku hanya perlu 50 tail.” Si Ular Putih berhenti tertawa, karena ia
sadar anak muda ini tidak gila, dan tidak juga bercanda.
Tapi kemudian ia melihat
pedang itu lagi, dan kembali tergelak-gelak. “Baiklah, jika kau mau
mengikuti perintahku, kuberi kau 50 tail.”
Sambil terus tertawa, ia
tiba-tiba mengebaskan pedangnya ke arah lilin di atas meja. Tak ada
sesuatu pun yang terjadi. Semua orang tercekat, tidak mengerti apa
yang sedang terjadi. Si Ular Putih pun meniup lilin itu perlahan, dan
pecahlah lilin itu menjadi tujuh bagian. Pedangnya dikebaskan lagi
dan lagi dan lagi. Ketujuh bagian itu terkumpul di pedangnya.
Ajaibnya, api di bagian yang teratas masih terus menyala!
Si Ular Putih berkata
dengan sombongnya, “Pedangku cepat tidak?”
Wajah anak muda itu tidak
bergeming, jawabnya, “Sangat cepat.”
Si Ular Putih tertawa,
“Bagaimana dengan kau?”
Jawab si anak muda,
“Pedangku bukan untuk memotong lilin.”
“Lalu untuk apakah besi
tua itu?”
Tangan anak muda itu
memegang pedangnya, dan berkata sekata demi sekata, “Pedangku
Adalah-Untuk-Membunuh-Orang.”
Si Ular Putih tersenyum.
“Membunuh orang? Siapakah yang bisa kau bunuh?”
Kata anak muda itu,
“KAU!”
Bersamaan dengan kata
‘kau’ diucapkannya, ditusukkan pula pedangnya! Pedang itu berasal
dari pinggangnya. Semua orang juga melihatnya. Namun hanya dalam
sekejap, pedang itu telah menusuk leher Si Ular Putih. Semua orang
juga melihat bahwa pedang satu meter ini telah menembus tenggorokan
Si Ular Putih!
Tidak ada darah, sebab
darah belum sempat keluar.
Anak muda itu menatap Si
Ular Putih dan berkata, „Jadi pedangmu, atau pedangkukah yang lebih
cepat?“
Si Ular Putih hanya
bersuara ‚ge ge’. Otot-otot wajahnya gemetar. Tiba-tiba mulutnya
terbuka dan lidahnya terjulur ke luar.
Darah keluar dari
mulutnya.
Si Ular Hitam mengangkat
pedangnya, tapi tidak berani bertindak. Butir-butir keringat bergulir
dari dahinya. Tangannya gemetar.
Anak muda itu lalu
menarik pedangnya dan darah pun mengalir dari tenggorokan Si Ular
Putih.
Ia berteriak keras,
“Kau...”
Lalu ia jatuh ke lantai.
Anak muda itu menoleh ke
arah Si Ular Hitam, “Ia sudah kalah. Mana 50 tailku?”
Mukanya sangat serius.
Serius seperti seorang anak yang lugu.
Namun kali ini tidak ada
seorang pun yang berani menertawakannya.
Dengan gemetaran, Si Ular
Hitam bertanya, „Jadi kau benar-benar membunuhnya untuk 50 tail
perak?“
„Betul sekali.“
Si Ular Hitam tidak tahu
apakah ia seharusnya tertawa atau menangis. Tiba-tiba direnggutnya
rambutnya dan disobek-sobeknya bajunya, sehingga uang perak
berhamburan. Dilemparkannya seluruh uang perak itu ke arah anak muda
itu. “Ini, ambillah. Ambil semuanya!”
Lalu ia berlari keluar
seperti orang kesurupan.
Anak muda itu tidak
mengejarnya. Ia bahkan tidak marah. Sebaliknya, ia berjongkok
memunguti uang perak. Dibawanya uang perak itu kepada pemilik
penginapan, dan bertanya, “Kau pikir ini ada 50 tail?”
Pemilik penginapan sudah
merangkak ke bawah meja. Tak sanggup berkata-kata. Hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Li Xun Huan menoleh pada
sang kusir, dan tertawa, “Aku benar, kan?”
Sang kusir menghela
nafas. „Kau sangat tepat. Mainan itu sangat berbahaya.“
Ia melihat anak muda itu
berjalan ke arah mereka, namun ia tidak bisa melihat Zhu Ge Lei. Zhu
Ge Lei masih ada di kolong meja.
Baru saat inilah ia
berani muncul, dan ia membokong anak muda itu!
Pedangnya tidak lambat.
Anak muda itu pun tidak menyangka Zhu Ge Lei akan membunuhnya. Ia
sudah membunuh Si Ular Putih. Seharusnya Zhu Ge Lei berterima kasih
kepadanya. Mengapa mau membunuhnya?
Ketika semua orang
berpikir pedangnya akan menembus jantung si anak muda, Zhu Ge Lei
tibatiba
berteriak keras.
Pedangnya mencelat dan tertancap di langit-langit.
Pedangnya masih
berayun-ayun di langit-langit, sementara tangan Zhu Ge Lei kini
memegang tenggorokannya. Matanya terarah pada Li Xun Huan, dan bola
matanya hampir melompat keluar.
Li Xun Huan tidak lagi
mengukir, sebab pisau yang digunakannya untuk mengukir tidak ada lagi
di tangannya.
Darah mengalir ke
punggung Zhu Ge Lei.
Ia menatap Li Xun Huan,
dan dari tenggorokannya keluar suara ‚ge ge’. Saat itulah
orang-orang sadar bahwa pisau ukir Li Xun Huan telah berada di
tenggorokan Zhu Ge Lei.
Hanya saja, tidak seorang
pun melihat bagaimana pisau ini berpindah.
Keringat membasahi wajah
Zhu Ge Lei yang kesakitan. Tiba-tiba dikatupkannya mulutnya dan
dicabutnya pisau itu dari lehernya. Ia memandang Li Xun Huan sambil
berteriak, „Seharusnya sudah kukenali engkau!“
Li Xun Huan mengeluh.
„Sayangnya, baru sekarang kau menyadarinya. Kalau kau tahu, kau
tidak akan mencoba melakukan hal yang memalukan itu.“
Zhu Ge Lei tidak
mendengar kata-kata ini. Ia tidak akan pernah mendengar apa-apa lagi.
Anak muda itu pun
menoleh, wajahnya terkejut. Ia tidak mengerti mengapa orang ini ingin
membunuhnya.
Tapi hanya sebentar ia
memandang, lalu berjalan kembali ke arah Li Xun Huan. Di balik
penampilannya yang liar dan tidak beraturan, tersembunyi secercah
kehangatan dan senyuman.
Ia berkata singkat, “Aku
ingin mengundangmu minum.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar