Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 15 Desember 2015

PENDEKAR BODOH - K P H


Pendekar Bodoh

Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis di dinding dan bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi“Lam Bu 0 Mi To Hud” masih dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang di depan pintu luar dan berbunyi“Ban Hok Tong” atau“Kuil Selaksa Rejeki.”

Pada siang hari yang sunyi itu terdengarlah suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara pendeta berliamkeng bukan merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.

“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.
“Tahu, tahu...” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua adalah saudara!”
“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”
“Siapa, Sian-seng (Pak Guru)?? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.
“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan perikemanusiaan, tahu?”
Suara anak itu menandakan bahwa ia masih sangat kecil, mana bisa ia menikmati “makanan rohani” yang berat ini. Maka terdengar jawabannya takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sian-seng.”
“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan tangan. Nah, kaurasakan ini supaya mengerti!” Lalu terdengarlah suara tamparan, tapi sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walaupun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu menggigit bibirnya.
“Nah, sekarang kausebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.” “Ujar-ujar yang mana, Sian-seng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,” jawab murid itu.
“Ujar-ujar yang ke tiga.”
Sunyi sebentar, lalu terdengar suara anak itu lantang, “Janganlah kau perbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!”
“Bodoh, itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini saja! Agaknya hanya ujar-ujar yang dapat memasuki batok kepalamu yang keras itu.”
“Memang hak-seng paling suka kepada ujar-ujar ini, Sian-seng,” jawab anak itu yang tiba-tiba menjadi berani.
“Mengapa begitu?”
“Harap Sian-seng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan betul?”
“Tentu saja, tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”
“Kalau begitu, apakah Sian-seng suka kalau kutampar mukamu?”
“Apa katamu? Kau... kau bangsat....”
“Sian-seng tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang kita pelajari?”
Untuk beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi kemudian terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu di luar kuil terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.
Seorang hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar menakutkan dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya, berhenti di luar kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar sekali yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil melihat ke arah pintu kuil dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dari dalam pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta penganut Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas dan diikat ditengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh karena yang seorang tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek tapi gesit sekali gerak-geriknya, sedangkan yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk yang menyongot ke sana-sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih panjang dan halus.
Hwesio gundul tinggi besar itu ketika melihat tiga tosu ini keluar dari pintu kuil, tampak terkejut karena memang ia tidak menduga sama sekali akan melihat mereka di situ. Sebaliknya, ketiga orang tosu itu ketika melihat hwesio, juga kaget sekali dan mereka bertiga lalu menggerakkan tubuh loncat menghampiri. Loncatan ini luar biasa sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga telah melayang ke tempat hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak (setombak kira-kira dua meter)!
“Hai Kong, kau berani menemui kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu jangkung kurus bertanya sambil mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas tanah.
Tiba-tiba hwesio gundul yang bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara ketawanya ini aneh sekali. Keras dan parau memekakkan telinga dan sebentar merendah bagaikan suara orang bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat jauh hingga guru dan murid yang sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil itu menjadi terkejut. Anak kecil itu tak dapat menahan keinginan tahunya, maka sambil membawa suling bambunya ia berlari keluar dan dari kamar itu. Gurunya marah dan mengejarnya sambil berteriak,
“Cin Hai… Cin Hai.... kau tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada Pamanmu!”
Karena dikejar-kejar, Cin Hai lari ke tempat yang rendah di pinggir kuil lalu memanjat naik. Ketika siucai (sasterawan) tua yang kurus sekali seperti orang cacingan itu mengejar ke situ, ia lalu memanjat ke atas genteng! Ternyata Cin Hai yang baru berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di sepanjang wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan bulat kecil itu seperti berkilau karena tertimpa cahaya matahari!
Gurunya berteriak-teriak memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar pintu, tetapi tiba-tiba sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang hwesio aneh yang kini saling berhadapan di luar kuil itu. Ia menjadi takut dan buru-buru bersembunyi di belakang pintu kuil! Cin Hai kini duduk di atas genteng dan memandang ke bawah. Juga ia heran sekali melihat tiga orang itu yang kini siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar. Sementara itu, setelah tertawa keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang hebat sambil berkata, “Ha, ha, ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu, jangan kalian sombong karena kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun yang lalu di Heng-san! Apakah kaukira aku takut menghadapi Kanglam Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha, ha, ha! Kalian maju bertiga baru mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan bertiga, kautambah tiga belas lagi akan kutewaskan semua, ha, ha!”
Kemudian hwesio gundul itu menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat sekali. Berbeda dengan tubuhnya yang besar dan kasar itu, gerakannya sebet dan gesit sekali. Tubuhnya bagaikan lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja bergerak menyerang ketiga lawannya!
Tapi Kanglam Sam-lojin adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama disohorkan orang. Mereka ini adalah tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan Liong-san-pai dan ketiganya merupakan saudara seperguruan yang memiliki kepandaian silat tinggi dan keistimewaan masing-masing. Giok Im Cu yang tertua memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan memiliki tenaga gwakang (tenaga luar, kekuatan urat) yang melebihi tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng Cu adalah ahli mempergunakan piauw (senjata rahasia yang disambitkan) bersayap. Di samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan lihai sekali.
Maka, menghadapi serangan Hai Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu berpencar dan menghadapi hwesio dari tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata luar biasa, karena gerak-geriknya aneh seperti menari berlenggak-lenggok, sama sekali bukan seperti gerakan silat, tapi kedua tangannya bagaikan dua ekor ular yang hidup dan sepuluh jari tangannya pun hidup bergerak-gerak dan tiap jari selalu mengancam jalan darah lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan disebut Jian-coa-kun-hoat atau Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular dan setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan datangnya secara tiba-tiba tak terduga sama sekali! Baiknya ketiga tosu yang menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di puncak Heng-san hingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula keganasan ilmu silat ini hingga mereka dapat menjaga diri dan melancarkan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.
Cin Hai yang duduk di atas genteng itu dengan senang menonton pertempuran dan gembira sekali. Memang ia suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali di kota diadakan keramaian dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia selalu pasti ada di antara penonton, dan minggat dari gedung pamannya biarpun sudah dilarang. Kini ada tontonan adu silat tanpa bayar tentu saja ia senang sekali. Apalagi adu silat kali ini sungguh berbeda dengan adu silat biasa yang dilakukan di atas panggung. Ia melihat, betapa empat orang yang berkelahi itu bergerak-gerak dengan aneh sekali dan kedua matanya menjadi kabur dan silau ketika melihat betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti oleh bayang-bayang hitam yang bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini tak dapat membedakan lagi mana hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya kadang-kadang saja, warna merah dari jubah hwesio gundul itu masih tampak dan ternyata ia terkurung di tengah-tengah. Sungguh satu tontonan yang mengasyikkan dan menegangkan hati, apalagi karena Cin Hai tahu bahwa hwesio gundul itu dikeroyok tiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda dengan segala pibu (adu kepandaian silat) maka dengan tak terasa pula saking tegangnya Cin Hai memasukkan ujung suling ke mulut seperti orang sedang meniup suling.
Sementara itu, ketiga tosu yang mengeroyok Hai Kong Hosiang makin lama makin terdesak oleh Jian-coa-kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut sekali karena betul-betul kepandaian Si Gundul ini telah maju hebat dan jauh bedanya jika dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu. Karena tahu bahwa jika terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im Cu berseru keras,
“Hai Kong, kau benar-benar hendak mengadu jiwa?”
Setelah berkata demikian, Giok Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu mencabut ranting kayu yang tadi ketika bertempur ia selipkan di ikat pinggangnya. Biarpun ranting itu hanya kecil saja, namun berada di dalam tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang ampuh karena ranting yang lemas itu dapat menerima tenaga lweekang yang ia salurkan ke dalamnya. Kedua kawannya lalu meniru perbuatan ini, Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan sangat gesit itu lalu mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia putar-putar sampai menerbitkan angin dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam dongeng sejarah Samkok) lalu mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya!
Ketiga tosu dengan senjata masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya bagaikan serangan badai mengamuk.
“Ha, ha, ha! Hayo kalian keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan kumampuskan seorang demi seorang!” Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang tadi tersimpan di sebelah dalam jubahnya hingga tidak kelihatan. Senjata ini dilihat dari jauh kelihatan seperti sebatang kayu kering yang tidak lurus dan bengkak-bengkok tapi kalau dilihat dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu adalah seekor ular yang telah kering! Biarpun telah mati dan kering, tapi tubuh binatang itu masih utuh dan lengkap, bahkan matanya yang melotot dan lidahnya yang terjulur itu membuat ia seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh juga berbahaya sekali karena ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular berbisa yang luar biasa jahatnya. Hai Kong Hosiang memegang senjata tongkat ular itu pada ekornya hingga kalau ia mainkan senjata istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah, sedangkan mulut bergigi ular itu dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang penuh di mulut ular itu yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat menyeretnya ke lubang kuburan!
Sebentar saja keempat orang itu telah bertanding pula, kini jauh lebih hebat karena kalau tadi tubuh mereka masih tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari, maka kini setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap dan sebagai gantinya tampak gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya. Pertempuran adu jiwa yang seru dan serem, tapi yang membuat pemandangan indah menarik hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin gembira lagi.
Hampir saja ia bersorak dan bertepuk tangan, tapi tiba-tiba kakinya yang menginjak genteng terpeleset hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan pindah duduk di tempat yang lebih rendah. Sementara itu, gurunya yang tadi bersembunyi di balik pintu, ketika mencoba untuk menjenguk keluar dan menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat orang itu kini bertempur dengan senjata tajam, maka segera kepala yang nongol itu ditariknya kembali ke belakang dengan cepat seperti kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus kering seperti cecak itu menggigil ketakutan!
Biarpun senjata di tangan Hai Kong Hosiang hebat sekali dan permainan silatnya yang berdasarkan permainan ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Ular) lihai dan berbahaya, namun menghadapi tiga macam permainan senjata dari Kang-lam Sam-lojin itu, ia merasa kewalahan dan keteter juga, gerakannya mulai tak tetap dan sinar ketiga senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.
“Ha, Hai Kong, sekarang kau hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil pendek menyindir sambil memperhebat gerakan golok besarnya.
“Ha, ha ha! Tiga tikus tua, kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku, ha, ha!” Biarpun dalam keadaan terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa. Kemudian terdengarlah bunyi melengking yang aneh dari mulutnya. Suara ini menyerupai bunyi suling dan melengking tinggi rendah seperti berlagu.
Dan pada saat itu, keranjang rotan besar yang tadi dia panggul dan kini terletak di atas tanah, lalu bergoyang-goyang dan tubuhnya terangkat naik seperti ada apa-apa di dalamnya yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang itu meninggi, terbukalah tutup keranjang besar itu dan dari dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali! Ular itu mendesis-desis dan membuka mulutnya yang lebar, lidahnya yang merah dan tajam itu menusuk-nusuk keluar dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Sepasang matanya liar memandang ke arah suara lengking yang menggairahkannya. Kemudian ia keluar dari keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu terangkat, naik bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari dalam keranjang keluar pula ular lain berturut-turut hingga semua isi keranjang yang ternyata mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah keluar semua.
Tiga orang tosu yang sedang mendesak Hai Kong Hosiang, terkejut sekali melihat betapa lima ekor ular itu cepat menghampiri mereka dan segera mengurung dalam segi lima yang teratur. Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit, sedangkan tubuh mereka yang berkembang dengan warna merah kehijauan itu berlenggak-lenggok seperti sedang menari-nari. Nyata sekali bahwa gerakan-gerakan mereka terpengaruh oleh bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang!
Giok Keng Cu cepat mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan sekali menggerakkan tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang berada di depannya. Tapi pada saat itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang menyambar dua benda hitam yang membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga batang piauw yang masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang ternyata gerakannya gesit sekali itu!
Biarpun pada dasarnya mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta keberanian luar biasa, tapi ketika melihat betapa dari keranjang itu keluar lima ekor ular yang menakutkan sekali, Cin Hai merasa ngeri juga! Ia memandang keadaan di bawah dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan perasaannya tak enak sekali. Sementara gurunya yang bersembunyi dengan tubuh menggigil, ketika mendengai bunyi lengking yang aneh itu, tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat. Biarpun masih menggigil ketakutan, ia memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi. Tapi pemandangan yang dihadapinya sekarang terlampau hebat dan mengerikan untuknya. Jantungnya terasa berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam dadanya kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa lemas dan roboh pingsan bagaikan sehelai kain yang dilepaskan, sedangkan di bawah tubuhnya tiba-tiba menjadi basah!
Keadaan ketiga tosu itu makin berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas desakan bunyi lengking dari Hai Kong Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka. Sedikit demi sedikit kurungan mereka makin rapat dan ketiga tosu yang bergerak di dalam kurungan itu tak dapat keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin sempit. Mereka mempertahankan diri dan melakukan serangan hebat dengan senjata mereka, tapi lima ular itu ternyata gesit sekali dan dapat mengelakkan tiap serangan senjata lawan. Selain itu masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal diam, tapi juga menyerang dengan tak kurang hebatnya!
Keadaan tiga orang tosu itu berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan tertolong lagi. Tapi pada saat itu, dari atas terdengarlah bunyi yang lebih tinggi nadanya daripada bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh! Mendengar bunyi lengking yang lain ini kelima ular itu agaknya menjadi bingung sekali. Gerakan mereka kacau-balau dan mereka berlima mengangkat-angkat kepala tinggi-tinggi seakan-akan tak tahu harus berbuat apa. Terang sekali bahwa mereka mencari-cari ke atas dengan sepasang mata mereka untuk dapat mendengar “perintah” itu lebih nyata dan jelas lagi! Melihat hal ini, Hai Kong Hosiang lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk memperkuat perintahnya dan lengking yang keluar dari mulutnya makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari atas itu juga makin hebat seakan-akan tak mau kalah bersaing! Ular-ular itu makin panik dan bingung hingga akhirnya seekor yang terkecil kena sabet oleh ranting di tangan Giok Im Cu hingga berkelojotan!
Sebenarnya apakah yang terjadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang dengan enak-enak asyik nonton di atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya meremang melihat lagak dan keganasan ular-ular itu, makin lama makin tak tertahan mendenar bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosian dan suara itu seakan-akan menembus anak telinganya dan langsung menusuk-nusuk hatinya. Maka ia menjadi marah, lalu ditiupnyalah suling yang memang sejak tadi telah dimasukkan di mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia meniru-niru segala macam lagu yang didengarnya. Kini mendengar nada lengking hwesio gundul yang aneh itu, ia mencoba-coba dan bersusah payah untuk menirunya pula. Tapi, biarpun ia telah meniup nada yang setinggi-tingginya tak juga dapat meniru dengan tepat dan baik, bahkan suara lengking sulingnya terdengar sumbang dan lebih menyakitkan telinga daripada suara Hai Kong Hosiang!
Akan tetapi aneh, ketika ia telah meniup sulingnya, makin tinggi nada yang ditiupnya, makin berkuranglah rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara yang dikeluarkan oleh hwesio itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras bunyi sulingnya. Ketika ia melirik ke bawah kegembiraannya bertambah karena ia melihat betapa hwesio gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu tampaknya marah sekali, sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan gerakannya.
Cin Hai lalu meniup dan meniup lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal meniup nada yang tinggi-tinggi saja! Ia sama sekali tidak mengira bahwa karena perbuatannya ini maka ular-ular itu kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah menolong tiga orang itu.
Bukan main marahnya hati Hai Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang nakal itu ternyata telah menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya, padahal tadi ia telah merasa pasti sekali bahwa tak lama lagi ketiga tosu itu tentu akan dapat ia robohkan. Sebaliknya, tiga orang tosu itu ketika melihat betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan ular-ularnya telah kacau, segera menggunakan kesempatan itu untuk meloncat keluar kurungan. Mereka bertiga mengeluarkan keringat dingin karena keadaan mereka tadi benar-benar berbahaya.
“Hai Kong, kau makin tua makin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji, lalu ia mengajak kedua kawannya pergi secepat mungkin. Ia tahu bahwa biarpun seekor ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat ekor ularnya yang lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan sukar dilawan. Tanpa mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa disengaja telah menolong jiwa mereka, ketiga tosu itu lari meninggalkan tempat itu.
Hai Kong Hosiang membanting kakinya yang besar dan kuat. Ia tak mau mengejar, karena sungguhpun ia tak usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi kalau dapat mengejar juga, apa gunanya? Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya ia takkan menang menghadapi tiga orang tosu yang lihai itu. Ia marah sekali karena gagal membunuh tiga orang musuh lamanya bahkan seekor ularnya masih berkelojotan kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai. Tentu tulang punggung ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak setan itu, pikirnya.
Hai Kong Hosiang melihat ke arah Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya. Hwesio gundul itu lalu mengayun tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam menyambar, Cin Hai sama sekali tidak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu suling yang terpegang di tangannya dan sedang ditiup itu telah terbang bagaikan direnggut oleh tangan yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah, kembali tangan kiri Hai Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang menuju arah kepala Cin Hai! Hai Kong Hosiang dengan muka merah karena gemas telah membayangkan betapa kepala anak kecil yang gundul seperti kepalanya sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu akan menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah heran dan kagetnya melihat pelornya itu tiba-tiba saja mencong arahnya dan sebaliknya menghantam tembok di dekat anak itu hingga tembus dan tembok itu berlubang!
Ketika ia sedang bengong terdengar suara yang halus penuh kesabaran menegur.
“Tidak malukah kau, Hwesio? Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?” Dan tiba-tiba saja di belakang Cin Hai muncul seorang kakek tua berpakaian penuh tambalan. Kakek ini tubuhnya sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku, bajunya tambal-tambalan, kesemuanya membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga agaknya sangat aneh dan janggal bila suara teguran yang halus dan sabar itu keluar dari mulutnya yang tampak kasar kejam itu!
Ketika melihat kakek jembel itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa banyak cakap lagi ia mengambil semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka ini ke dalam keranjang kembali. Lalu ia memanggul keranjang rotannya dan pergi secepat terbang dari situ sambil mengomel panjang pendek.
“Setan alas benar-benar! Tak seperti hari ini sialnya diriku. Gagal membasmi Kang-lam Sam-lojin, bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya ia tidak menurunkan tangan jahat kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya aku melelahkan diri?”
Tapi Hai Kong Hosiang keliru kalau menganggap bahwa kakek jembel itu berlaku murah padanya karena pada saat itu juga ia merasa betapa keranjang yang dipanggulnya menjadi berat dan tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah ke atas pundaknya. Ia cepat menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya. Apa yang dilihatnya? Kelima ularnya telah mati semua dan di kepala kelima ular itu tampak luka kecil yang mengalirkan darah. Ia tahu bahwa ini adalah akibat dari serangan gelap Bu Pun Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan gin-ciam (jarum perak) untuk membunuh ular-ular itu.
Melihat betapa binatang-binatang peliharaan yang telah dipelihara dan dididik bertahun-tahun sampai pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua tiba-tiba Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio gundul yang bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu melampiaskan rasa mendongkol dan marahnya.
Kemudian ia berdiri dan meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia berkata. “Awas Bu Pun Su, lain kali aku akan membunuhmu untuk ini!”
Cin Hai yang masih duduk di atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang berdiri di belakangnya itu telah menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek tua renta, dia tadi menyambit dengan apakah?”
Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali suara ketawanya sama sekali tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus. “Eh, anak tolol, dia tadi menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si tua renta, sekarang kau sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”
Sementara itu, guru anak itu yang masih berdiri di belakang pintu, setelah mendengar di luar sunyi dan suara Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari keluar dan memanggil-manggil.
“Cin Hai... Cin Hai... kau turunlah, mari kita pulang!”
Tapi Cin Hai tak mempedulikannya bahkan lalu bertanya kepada kakek yang menolongnya tadi, “Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”
“Kau ingin mempelajarinya?” tanya Bu Pun Su.
“Tentu saja, asal kau orang tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.
“Cin Hai... Cin Hai...” terdengar gurunya memanggil lagi.
“Tunggulah sebentar, Sianseng, itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.
“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !” guru itu menjerit dan cepat ia menyelinap lagi ke belakang daun pintu. Cin Hai menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek jembel itu,
“Dia juga Guruku dan mengajar ilmu surat padaku.”
Bu Pun Su tertawa dan berkata,
“Kalau kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru padaku.”
“Boleh, boleh, mengangkat guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh menghafal ujar-ujar yang sulit, dan membingungkan.”
“Lebih dari itu, anak bodoh. Kau harus tunduk dan taat padaku serta menurut segala perintahku.”
Tiba-tiba Cin Hai merengut. “Semua orang menyebutku bodoh, bahkan kau caIon guruku juga! Lama-lama aku bisa percaya bahwa aku benar-benar bodoh.”
“Ha, ha, memang kau bodoh. Bagaimana kau mau mentaati segala perintahku?”
“Tentu, tentu saja. Ada ujar-ujar yang berkata bahwa apapun juga kata guru, murid harus taat dan menurut.”
“Nah, kalau begitu, kau loncatlah ke bawah!”
“Lo... lo... loncat ke bawah?” Ci Hai memandang kakek jembel itu dengan matanya yang bundar terbelalak. “Tapi, tapi... begini tinggi...”
Mata kakek jembel yang lebih bundar dan lebih lebar itu berdiri.
“Ingat, apapun juga kata guru, murid harus...”
“Iya, dah! Aku loncat!!” kata Ci Hai yang lalu mengenjot kakinya dan mengayun tubuh ke bawah! Tapi ia tidak terbanting dan kakinya tidak patah-patah sebagaimana yang ia khawatirkan, karena pada saat ia terjun, sebuah tangan yang kuat telah memegang leher bajunya dan membawanya turun dengan ringan.
“Bagus, kau harus turuti segala perintahku. Kau pulanglah dengan gurumu itu dan setahun kemudian, sekembaliku dari Nam-thian, kau akan kuambil!” Cin Hai yang kini maklum akan kelihaian kakek jembel ini, mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul! Dan pada saat itu pun Bu Pun Su berkelebat lenyap dari depan anak itu!
Cin Hai lalu mencari gurunya di belakang pintu. Guru sekolahnya itu sampai menjumbul karena kaget ketika Cin Hai tiba-tiba muncul di depannya sambil berteriak keras, “Sianseng!”
Melihat anak kecil itu, ia mulai marah lagi. Dengan lengan terulur ia hendak menjiwir telinga Cin Hai, tapi anak itu mengangkat kedua lengan ke atas melindungi telinganya sambil berkata,
“Sianseng, jangan kau berbuat sesuatu kepada lain orang apa yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu!” dan ketika guru kurus kering itu menjadi makin marah dan hendak menjatuhkan tamparan kepadanya, ia buru-buru berkata lagi, “Sianseng, bukankah kau tadi mengajarkan Su-hai-ci-lwee-heng-te-ya? Mengapa Sianseng selalu memukul hakseng tanpa ingat perikemanusiaan?”
Dihujani ujar-ujar yang sering ia ajarkan kepada muridnya itu, Si Guru menjadi bohwat (habis daya) dan tangan yang sudah diangkat naik itu diturunkan kembali.
“Hayo kita lekas pulang, takut kalau siluman-siluman itu datang lagi” ia lalu memegang lengan muridnya dan menyeretnya sambil berlari anjing menuju ke kota yang tak berapa jauh karena tembok kotanya tampak dari kuil itu.
Anak kecil yang bernama Cin Hai itu adalah seorang anak yatim piatu. Semenjak berusia empat tahun, ia telah ditinggal mati kedua orang tuanya dan ia lalu dipelihara oleh ie-ienya (bibi adik ibu) yang menjadi isteri ke dua dari Kwee In Liang, seorang pembesar militer berpangkat touwtong yang tinggal di Tiang- an. Karena ketika ditinggal mati kedua orang tuanya ia masih kecil sekali, maka Cin Hai tak dapat ingat lagi bagaimana rupa kedua ayah bundanya dan tidak tahu pula bagaimana matinya.
Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) telah ditinggal mati oleh isterinya yang pertama hingga ia kawin lagi dengan ie-ie dari Cin Hai itu. Dari isteri pertama ia mempunyai enam orang anak, lima orang laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak laki-laki yang sulung berusia sepuluh tahun dan tiap tahun tambah seorang anak hingga anak perempuan yang bungsu itu kini telah berusia lima tahun! Mungkin karena setiap tahun melahirkan anak inilah yang menyebabkan isteri Kwee-ciangkun menjadi lemah dan jatuh sakit sampai matinya.
Kwee-ciangkun sangat memanjakan anak-anaknya hingga mereka itu rata-rata bersifat manja dan nakal. Tapi hal ini dapat dimengerti karena keenam orang anak-anak itu ditinggal mati ibunya ketika usia mereka masih belum dewasa. Ketika itu Loan Nio, bibi Cin Hai itu, menjadi pelayan di gedung keluarga Kwee, dan ia memang telah bekerja di situ semenjak masih kanak-kanak hingga dewasa. Boleh dibilang semua anak-anak Kwee-ciangkun ketika kecilnya diasuh oleh gadis ini sehingga mereka menjadi suka dan biasa kepada Loan Nio. Maka, setelah ibu anak-anak itu meninggal, dan melihat sifat-sifat yang baik serta wajah yang manis dari gadis itu, Kwee-ciangkun lalu mengambilnya menjadi isteri kedua.
Memang boleh dipuji tindakan panglima yang masih muda ini, karena pilihannya memang tepat dan bijaksana, tidak semata-mata terdorong oleh nafsu ingin senang sendiri, tapi sebagian besar didasarkan untuk kepentingan anak-anaknya. Demikianlah, Loan Nio menjadi seorang isteri panglima dan sekaligus menjadi ibu enam orang anak, seorang ibu yang baik karena di dalam hatinya memang ia mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak-anak yang semenjak kecil diasuhnya itu.
Cuma sayangnya, anak-anak itu telah terlampau manja dan karena mereka pun tahu bahwa ibunya yang sekarang ini bukanlah ibu sendiri, perasaan mereka tentu berbeda dan kadang-kadang terasa sesuatu ganjalan yang tak menyenangkan. Apalagi ketika Loan Nio mendatangkan anak kemenakannya yang telah yatim piatu, yakni Cin Hai, maka sering terjadi hal-hal yang menyakiti hati Cin Hai dan Loan Nio, sungguhpun kejadian-kejadian itu terjadi di luar tahu Kwee In Liang sendiri.
Kwee In Liang adalah seorang pembesar militer yang memiliki kepandaian silat tinggi, karena ia adalah seorang murid dari Kun-lun-pai. Karena ini, maka tidak heran bila ia mendidik kelima puteranya dengan ilmu silat, di samping mendidik mereka dalam ilmu surat. Ketika isterinya membawa Cin Hai ke dalam gedung, hal ini diterima oleh Kwee-ciangkun dengan tangan terbuka dan senang hati, karena ia yang berhati baik juga merasa kasihan kepada Cin Hai. Melihat bahwa Cin Hai usianya sebaya dengan puteranya yang ke lima, maka ia lalu sekalian menyuruh Cin Hai belajar sama-sama dengan putera-puteranya, di bawah pimpinan seorang guru sastera dan untuk belajar silat, untuk tingkat permulaan ia serahkan mereka kepada seorang guru silat she Tan yang terkenal di kota itu.
Tapi ternyata bahwa Cin Hai menjadi korban dari segala ejekan dan kebencian. Anak ini kepalanya sengaja digundul plontos karena dulu sering mendapat sakit kulit di kepalanya. Pula, mukanya yang membayangkan kebodohan mungkin karena bingung dan banyak menangis ketika ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, membuat ia menjadi bahan godaan semua orang. Kalau sedang belajar bersama-sama dengan anak-anak Kwee-ciangkun, jika ia tidak menghafal dan tak dapat menjawab pertanyaan guru, ia dimaki tolol dan bodoh bahkan si guru tak segan-segan untuk mengetok kepalanya yang gundul itu. Tapi kalau ia rajin menghafal hingga pengertiannya melebihi kelima anak-anak Kwee-ciangkun, ia lalu dibenci oleh mereka itu dan dianggap sombong. Tak jarang di luar tahunya orang-orang tua, ia dikeroyok, dipukuli, dan dimaki-maki oleh kelima anak laki-laki Kwee-ciangkun itu.
Juga guru silat she Tan yang mengajar mereka agaknya sengaja menghina Cin Hai. Entah mengapa, mungkin karena mengingat bahwa anak gundul itu datang dari dusun, atau karena hendak menyenangkan hati tuan-tuan muda yakni putera-putera Kwee-ciangkun, atau memang ia sendiri mempunyai rasa tak suka melihat wajah Cin Hai, tapi nyatanya ia tidak mengajar sungguh-sungguh kepada Cin Hai bahkan seringkali ia menyuruh Cin Hai menghadapi Kwee Tiong putera tertua yang telah berusia sepuluh tahun itu untuk berlatih. Tentu saja Cin Hai hanya mendapat gebukan-gebukan dalam latihan itu karena selain kalah besar, juga kalah tenaga dan kalah kepandaian!
Baiknya, sikap yang tahu diri dan agung dari Loan Nio yang telah menjadi “nai-nai” (nyonya) itu membuat semua orang tak berani menghina Cin Hai secara berterang di muka nyonya muda itu. Dan Loan Nio menjadi tempat Cin Hai menumpahkan segala kesedihannya. Kalau ia sedang digoda atau dipukul, tak sebutir pun air mata dapat meloncat keluar dari kedua matanya yang bundar, tapi kalau sudah berada dengan bibinya, dan kepala yang gundul rebah di pangkuan nyonya muda itu, barulah air mata membanjir keluar. Betapapun juga, tak pernah satu kalipun ia mengadu kepada bibinya mengapa ia menangis, mengapa kepalanya benjol-benjol dan mukanya biru-biru. Bibinya hanya menganggap bahwa lazim bagi seorang anak laki-laki untuk kadang-kadang berkelahi sampai kepalanya benjol! Dan ia mengira bahwa kesedihan anak itu karena teringat akan orang tuanya, maka ia tak pernah bertanya karena tak mau menambah kesedihan anak itu.
Akan tetapi, tidak semua orang berhati kejam dan buruk. Ada beberapa orang pelayan yang merasa kasihan melihat nasib Cin Hai lalu diam-diam memberitahukan kepada Loan Nio tentang perlakuan guru itu kepada Cin Hai. Biarpun hatinya sangat panas, tapi sebagai seorang bijaksana yang panjang pikir, Loan Nio tidak menimbulkan ribut. Ia hanya memberi tahu kepada Cin Hai supaya jangan belajar silat lagi dan sengaja ia memanggil seorang guru sasterawan tua untuk mengajar Cin Hai. Cita-citanya hanya agar supaya anak itu kelak menjadi seorang pandai yang dapat menempuh ujian dan menggondol pangkat tinggi. Dan ia sengaja menyewa sebuah kamar di kelenteng yang terletak di luar tembok kota sebelah barat itu untuk tempat Cin Hai belajar.
Nyonya muda yang bijak mencinta kemenakannya itu tentu saja tidak tahu bahwa Cin Hai memang tak begitu rajin belajar dan guru kurus kering ini pun berlaku sewenang-wenang dan main ketok kepala saja. Agaknya kepala Cin Hai yang gundul plontos itu memang mempunyai daya penarik kepada orang untuk mengulurkan tangan dan mengetoknya!
Kelima putera Kwee-ciangkun semua berwajah tampan dan gagah. Yang sulung bernama Kwee Tiong, ke dua Kwee Sin, ke tiga Kwee Bun, ke empat Kwee Siang, ke lima Kwee An. Sedangkan anak ke enam yang perempuan adalah seorang anak mungil dan manis, bermuka bundar dengan mulut kecil dan mata lebar, namanya Kwee Lin dan biasa disebut Lin Lin. Karena hanya mempunyai seorang saja anak perempuan, tak heran bila Kwee-ciangkun sangat cinta kepada Lin Lin dan diam-diam, di luar tahu orang lain, setelah Lin Lin berusia lima tahun, ia mulai menurunkan kepandaian silat yang tinggi kepada anak perempuannya ini! Biarpun orang luar tidak tahu, namun Lin Lin tentu saja sebagai seorang anak kecil tak dapat menyimpan rahasia dan membocorkannya kepada saudara-saudaranya. Semua saudaranya merasa iri hati, tapi mereka tak berani mengganggu Lin Lin, karena tahu betapa sayangnya ayah mereka kepada anak yang bungsu lagi perempuan ini.
Guru Cin Hai yang kurus kering itu adalah seorang she Kui. Setelah mengalami peristiwa aneh yang menyeramkan di luar kuil tempat ia mengajar itu, ia lari ke gedung Kwee-ciangkun sambil menarik tangan muridnya bagaikan dikejar setan. Ia tak mempedulikan celananya yang telah menjadi basah karena tak tahan lagi saking kagetnya ketika melihat orang-orang aneh itu bertempur, dan melihat ular-ular yang mengerikan itu.
Ketika memasuki pekarangan gedung keluarga Kwee, mereka bertemu dengan Kwee Tiong.
“Eh, Kui-sianseng, mengapa kau lari-lari seperti maling dikejar?” tanya anak itu.
“Twa-kongcu (Tuan Muda Terbesar)... celaka... ada... ada... siluman...” jawab kakek kurus kering itu gagap.
Kwee Tiong terbelalak memandang. “Apa katamu? Siluman?”
Cin Hai memotong, “Ya, siluman menyeramkan sekali. Beginilah macamnya...” ia lalu menggunakan kedua tangan untuk menarik mata dan mulutnya sambil mengeluarkan suara “hii... hii... hi...”
Kwee Tiong menggerakkan hidungnya ke atas mengejek, “Ah, betapapun buruknya, kukira siluman itu tidak lebih buruk daripada mukamu!”
Cin Hai hanya tertawa ha-ha-hi-hi dan ia menurut saja ketika gurunya terus menarik tangannya dibawa ke dalam gedung menghadap bibinya.
Tentu saja nona muda itu terkejut melihat kedatangan mereka yang tidak seperti biasanya, apalagi melihat muka Kui-sianseng itu pucat dan tubuhnya gemetar.
“Eh, Kui-sianseng, mengapa masih begini, siang sudah pulang? Apakah yang terjadi? Cin Hai, apakah kau berlaku nakal tadi?” Cin Hai tersenyum kepada bibinya dan menggelengkan kepala.
“Maaf... saya... saya tidak sanggup mengajar di kuil itu... ada... siluman...” Kui-sianseng itu masih saja gugup, bingung dan takut.
“Sabarlah, Kui-sianseng, sebetulnya apakah yang telah terjadi?”
Dengan suara terputus-putus, sasterawan tua kurus kering itu lalu menceritakan segala peristiwa yang dilihatnya tadi dengan ditambahi bumbu-bumbu yang timbul dari khayalan pikirannya yang penuh kepercayaan tahyul hingga Cin Hai tertawa geli.
Akhirnya tanpa dapat ditahan lagi, guru yang hafal segala ujar-ujar dan filsafat semua nabi tapi yang satu pun tak pernah terbukti dalam segala perbuatannya itu lalu berpamit dan minta berhenti, kemudian pergi dari situ. Kalau tidak takut kepada bibinya, tentu Cin Hai bersorak karena girang hati bahwa akhirnya ia terlepas jua dari siksaan dan godaan guru she Kui yang memaksa ia “makan” segala ujar-ujar di dalam buku-buku tebal itu secara bulat-bulat!
Nyonya muda itu menghela napas. “Cin Hai, mengapa nasibmu begini buruk? Agaknya tidak ada seorang guru yang suka mengajarmu, habis bagaimanakah dan kau akan menjadi apakah kelak? Biarlah, mulai sekarang, aku sendiri akan mengajarmu membaca dan menulis, tapi pengertianku dalam hal ini juga tidak sangat banyak. Apakah terpaksa aku harus memberi pelajaran menjahit dan menyulam padamu?”
Cin Hai menggunakan tangan kiri untuk menutup mulutnya agar tidak tertawa geli. Ia belajar menyulam? Tapi ia menjawab,
“Ie-ie, kalau memang kauanggap perlu, boleh saja aku belajar menjahit dan menyulam.”
Bibinya melerok. “Anak tolol, masak anak lelaki belajar menyulam?”
“Ie-ie, mengapa semua orang menyebutku bodoh dan tolol, bahkan ie-ie sendiri juga menyebutku tolol? Apakah benar-benar aku tolol? Ah... tentu saja aku bodoh dan tolol, kalau tidak masak semua guru membenciku.” Bibinya menjadi terharu dan menariknya dekat-dekat.
“Tidak, Cin Hai, kau tidak bodoh, asal saja kau mau rajin-rajin belajar.” Nyonya muda yang murah hati itu mengelus-elus kepala Cin Hai yang gundul plontos.

“Itulah sukarnya, ie-ie, terus terang saja, aku lebih suka belajar silat dan meniup suling.”
“Anak tolol...”
Cin Hai mengangkat telunjuk ke atas.
“Nah, nah, lagi-lagi aku disebut tolol!”
“Sudahlah, aku lupa. Kau tidak boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus belajar ilmu surat agar kelak menjadi seorang pandai yang memegang jabatan penting dan menjadi seorang pembesar. Alangkah akan bangga dan senangnya hatiku kelak bila kau bisa menjadi seorang pembesar yang dihormati orang!” Sampai di sini suara nyonya muda itu terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia terisak.
Cin Hai memegang tangan bibinya, “Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku akan belajar ilmu membaca dan menulis dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku teringat bahwa sulingku telah lenyap dan aku harus membuat lagi sebuah. Di hutan sebelah utara kota ada tumbuh bambu-bambu kuning gading yang kecil dan dapat dibuat suling. Bolehkan aku ke sana, ie-ie?”
“Baru saja datang mau pergi lagi! Bagaimana kalau le-thiomu sewaktu-waktu bertanya tentang kau?”
“Kalau le-thio (Paman, suami Bibi) bertanya beritahukan saja, ie-ie, dan lagi, untuk apa le-thio menanyakan aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”
“Kau suka benar akan suling, Cin Hai?” tanya ie-ienya.
“Ie-ie, suling adalah satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak menyatakan segala perasaan hatiku, aku nyatakan kepada seorang kawan baikku, sedangkan aku tidak... ya, kecuali kau, aku tidak mempunyai kawan baik lagi selain suling bambu yang dapat kutiup-tiup sesuka hatiku...”
Nyonya muda itu menghela napas dan menggunakan saputangan untuk menahan air matanya. “Pergilah, Cin Hai. Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.”
Cin Hai dengan girang hati lalu berlari-lari keluar.
“Engko Hai. Kau mau ke mana?” tiba-tiba terdengar suara halus menegur dari sebelah kiri dan seorang anak perempuan muncul dengan rambutnya yang di kuncir bergantungan di kanan-kiri lehernya.
“Eh, Lin Lin! Sampai kaget aku. Kau tahu, setelah bertemu dengan para siluman dan setan itu, aku menjadi mudah kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”
Anak perempuan itu mencibirkan mulutnya yang kecil manis, tapi matanya yang lebar terbelalak, tanda bahwa ia tertarik sekali.
“Apa? Kau tadi melihat siluman? Di mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu sekali.
“Ah, nanti saja lain kali kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”
“Engko Hai, kau mau ke manakah?”
“Mau ke hutan di sebelah utara itu mencari bambu.”
“Aneh benar, itu di belakang kan banyak bambu, mengapa mesti mencari jauh-jauh?”
“Ah, kau tahu apa? Bambu yang kucari ini adalah bambu untuk suling.”
“Engko Hai, aku ikut! Nanti di jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”
“Jangan!”
“Aku mau! Aku tidak minta kaugendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak perempuan itu berkeras hingga dengan muka “apa boleh buat”, Cin Hai lalu bertindak keluar, diikuti oleh Lin Lin yang sementara itu telah mengeluarkan topi kakeknya dan memakainya hingga dari belakang dan dari jauh ia kelihatan seperti seorang laki-laki. Memang anak dari Kwee-ciangkun sangat dimanja dan bebas hingga boleh pergi ke mana mereka suka tanpa ada yang berani mencegah.
Kedua anak itu berjalan dengan tindakan yang pendek-pendek tapi cepat menuju ke jalan yang kecil. Jalan itu mengarah ke utara, menuju ke luar kota di mana terdapat sebuah hutan besar juga. Di sepanjang jalan Cin Hai bercerita tentang pengalamannya siang tadi, dan ia menambahkan betapa dengan suara sulingnya ia mengusir semua ular siluman! Ia menambah-nambahi ceritanya dan menonjolkan diri sendiri sebagai jagoan hingga Lin Lin memandang padanya dengan matanya yang bagus itu setengah percaya dan kagum!
Memang di antara anak-ahak Kwee-ciangkun, yang tidak membenci kepada Cin Hai hanya Lin Lin seorang. Ini bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena kalau mereka berdua dekat, sering mereka berbantah dan bercekcok membawa mau sendiri, tapi tidak sampai saling pukul atau saling membenci. Lin Lin memang sejak kecil telah memiliki sifat peramah dan suka bergaul serta mempunyai perangai yang halus. Pula anak ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu silat hingga pada saat itu biarpun usianya belum lebih dari lima tahun, ia telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat.
“Engko Hai, itu yang kita tuju sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke sana!”
Cin Hai memandang Lin Lin dengan senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga, “Boleh, hayo kita mulai. Satu… dua... ti...ga!” Dan larilah ia secepatnya untuk mendahului Lin Lin. Ia ingin meninggalkan Lin Lin jauh-jauh agar ia dapat sampai di hutan lebih dulu dan menanti anak perempuan itu sambil mentertawakannya!
Tidak tahunya ketika ia menengok, ternyata Lin Lin telah lari di sebelahnya, bahkan perlahan-lahan tapi tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat ia heran adalah kedua kaki Lin Lin tampaknya begitu ringan dan langkahnya lebar dan tinggi! Kini Lin Lin telah mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok sambil tersenyum manis tapi yang menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya senyum itu mengejeknya! Ia merapatkan gigi dan mempercepat larinya hingga benar-benar saja ia bisa menyusul lagi dan mereka lari berendeng.
Akan tetapi, tidak seperti kelihatannya, hutan yang di depan itu bukanlah dekat, tidak kurang dari setengah li jauhnya hingga ketika mereka tiba di hutan dengan berbareng Cin Hai membuka mulutnya dan dadanya turun naik karena ia terengah-engah bagaikan ikan dilempar di pasir panas! Sebaliknya, Lin Lin hanya mengeluarkan peluh di leher dan di dahinya, tapi napasnya biasa saja! Ini tidak mengherankan, karena anak perempuan itu sejak kecil telah dilatih oleh Tan-kauwsu (Guru Silat Tan) dan juga telah diberi latihan napas oleh ayahnya sendiri! Sedangkan Cin Hai hanya lari sekuatnya dan mempergunakan tenaganya tanpa disesuaikan dengan jalan napas, karena ia tidak pernah diberi latihan dasar pelajaran silat.
Biarpun merasa penasaran tidak dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai terhindar dari rasa malu karena mereka tiba di hutan berbareng.
“Tidak kusangka, Lin Lin, larimu secepat kelinci!” katanya setelah napasnya pulih kembali.
Lin Lin tersenyum. “Dan larimu seperti kuda.” Keduanya tertawa.
“Di mana tempat bambu yang kau maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil memandang ke sekelilingnya takut-takut karena di hutan itu memang besar dan agak gelap karena matahari telah mulai turun.
“Di sebelah kiri sana, hayo!” Cin Hai mengajak kawannya.
Betul saja, tidak jauh dari situ terdapat rumpun bambu kuning gading yang bagus dan kecil-kecil serta lurus batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat bahwa ia tidak membawa pisau atau senjata tajam lainnya! Bagaimana ia harus mengambil itu? Sementara itu karena berada di bawah pohon-pohon besar, keadaan makin gelap hingga mereka menjadi cemas dan menyangka bahwa senja telah tiba. Cin Hai tidak berpikir panjang lagi, maju dan memegang batang bambu yang diinginkan lalu mencabut sekuat tenaganya.
Tapi sia-sia saja, karena bambu itu banyak sekali akarnya dan kuat pula. Jangankan tenaga seorang kanak-kanak seperti Cin Hai, biar seorang dewasa sekalipun belum tentu akan dapat mencabut sebatang bambu dari rumpunnya. Betapapun juga, Cin Hai mempunyai kemauan keras dan pantang mundur. Ia mencoba dan mencoba lagi sampai akhirnya ia berteriak kesakitan karena tangannya penuh bulu bambu yang gatal!
“Biarkan aku mencobanya,” kata Lin Lin. Ia ingat ketika ayahnya pernah memberi petunjuk kepadanya tentang dasar-dasar melatih sinkang dan ayahnya pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang dan menendang sebatang pohon hingga pohon itu jebol berikut akar-akarnya.
Karena tangannya sudah gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin mencoba. Ia menyangka bahwa anak perempuan itu tentu akar mencoba untuk mencabut seperti yang dilakukannya tadi, maka ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin Lin, banyak bulu-bulu gatal!”
Tapi alangkah herannya ketika Lit Lin tidak mencabut, tapi memasang kuda-kuda, lalu dengan berseru, “Haih!” anak itu menggunakan kaki kanan menyapu sebatang bambu! Batang bambu bergoyang-goyang dan dua helai daunnya rontok, tapi batangnya tidak dapat dijebolkan oleh tendangan Lin Lin tadi. Berkali-kali anak itu mencoba dengan kedua kakinya, tapi sia-sia.
Tiba-tiba terdengar seruan orang memuji, “Bagus betul!”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui, di belakang mereka telah berdiri seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah buruk sekali. Kulit muka tokouw itu hitam seperti pantat kuali, sedangkan pipinya telah kisut berkerut-kerut dan mata sebelah kanan buta. Tokouw itu pakaiannya panjang dan longgar berwarna putih dan di tangan kanannya terdapat sebuah hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu panjang berwarna putih pula. Di punggungnya tampak gagang sebilah pedang.
Lin Lin dan Cin Hai terkejut melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan Lin Lin merasa agak takut.
“Bagus, anak yang manis. Siapakah yang mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan Menyapu Ribuan Tiang itu tadi?”
Biarpun agak takut-takut Lin Lin menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”
“Bagus! Sekarang kaulihat ini!” Tokouw itu menggerakkan hudtim yang dipegangnya hingga ujung bulu hudtim yang hanya beberapa lembar itu, yaitu bulu yang terpanjang membelit beberapa batang bambu.
“Naik!” Tokouw itu berseru dan heran sekali, rumpun bambu dengan kurang lebih lima belas batang bambu itu dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut akar-akarnya. Tokouw itu mengerakkan hudtimnya lagi dan rumpun bambu itu bagaikan dilontarkan oleh tenaga yang kuat sekali terlempar beberapa tombak jauhnya lalu roboh ke arah lain hingga daun-daunnya tidak menimpa mereka!
Lin Lin melongo, dan terheran-heran, sedangkan Cin Hai tak dapat ditahan lagi bertepuk tangan dan berseru, “Bagus! Bagus!” Ia tidak saja girang menyaksikan kehebatan tenaga ini, tapi juga girang karena bambu yang dikehendaki telah berada di situ, tinggal ambil saja!
“Nah, anak baik, sekarang kauturutlah padaku dan menjadi muridku!”
“Tidak mau, aku tidak mau!” Lin Lin berkata sambil melangkah mundur ketakutan.
Tokouw itu mengedikkan kepalanya dan mukanya yang buruk itu makin tampak mengerikan.
“Dengarlah, anak manis. Ribuan orang akan berlutut dan memohon-mohon di depanku untuk minta menjadi muridku. Tapi kau menolak begitu saja!”
Lin Lin sekali lagi memandang muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa rambut tokouw itu dikuncir panjang dan membelit-belit di lehernya bagaikan seekor ular yang menambah keburukan rupanya, anak itu melangkah mundur dan berkata lagi.
“Tidak, aku tidak mau...!”
Tapi tokouw itu tertawa ha-ha hi-hi lalu berkata lagi.
“Kau berjodoh dengan aku, betapapun juga kau harus menjadi muridku!” dan ia bertindak maju hendak memegang lengan Lin Lin.
Tapi pada saat itu Cin Hai membentak keras, “Jangan kau paksa dia! Cih, tidak tahu malu, orang tidak sudi menjadi muridnya, dipaksa-paksa!”
Tokouw itu menggunakan mata kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam, tapi mulutnya tetap tersenyum dan berkata, “Kau boleh juga tapi tak berjodoh dengan aku.”
Lin Lin yang merasa ketakutan hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan ketika tokouw itu mendekat dan mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang kecil lalu memukul tangan itu. Biarpun Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia telah terlatih baik dan pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang baik. Tokouw buruk rupa itu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik... kau mau main-main? Boleh coba kau serang terus padaku agar kuketahui sampai di mana kau telah mempelajari ilmu pukulan!” Ia lalu bergerak-gerak menghindari pukulan-pukulan Lin Lin.
Tiba-tiba Cin Hai membentak. “Tokouw jahat, kau menggangu orang saja, apakah itu baik?” Ia lalu menyerang, tapi karena Cin Hai belum pernah belajar silat dengan baik, pukulannya ngawur dan sekenanya saja! Melihat kenekatan Cin Hai, tokouw itu lalu menangkap tangan anak itu, tapi tiba-tiba tokouw itu meringis dan mendongkol sekali karena Cin Hai tanpa dapat diduga lebih dulu telah menggunakan giginya menggigit tangan itu! Dengan gerakan perlahan tokouw itu telah berhasil membanting Cin Hai hingga anak itu merasa tulang-tulang punggungnya seperti remuk dan merayap bangun sambil merintih-rintih. Baiknya tokouw itu hanya ingin melampiaskan kemendongkolan hatinya saja dan tidak membanting sesungguhnya, hingga ia hanya menderita sakit di luar saja. Tapi dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan kenekatan luar biasa, sambil maju terpincang-pincang ia menyerang lagi!
Untuk kedua kalinya Cin Hai terbanting ke tanah setelah kena ditowel pundaknya oleh jari telunjuk tokouw itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang sejak tadi dan selalu memukul dan menendang angin, telah mulai lelah dan berpeluh.
Kebetulan sekali pada saat itu Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan) lewat di situ, hendak kembali ke kota dari mengunjungi seorang kenalan. Ia kaget dan heran sekali melihat betapa Lin Lin menyerang seorang tokouw yang bermuka seperti setan sedangkan Cin Hai merangkak-rangkak kesakitan.

 “Hai, tahan dulu!” Tan-kauwsu membentak pertapa wanita itu yang segera menghadapinya. “Kau seorang pendeta mengapa main-main dengan anak kecil?”

 Tokouw itu tersenyum hingga wajahnya makin buruk saja. “Pinni hendak membawa anak perempuan ini untuk dijadikan murid,” katanya berterus terang.

 Tan-kauwsu terkejut dan bertanya, “Siankouw siapakah?”

 “Sicu (Tuan yang gagah) berdandan sebagai guru silat tapi belum kenal kepada pinni? Sungguh aneh! Ketahuilah Pinni she Biauw.”

 Tan-kawsu makin terkejut karena ia teringat akan seorang pertapa wanita yang disebut Biauw Suthai dan yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan, “ah, jadi siauwte berhadapan dengan Biauw Suthai yang terkenal itu?”

 “Ha, agaknya namaku terdengar juga sampai ke Tiang-an,” kata tokouw itu senang.

 Tan-kauwsu tak berani berkata kasar lagi dan setelah menjura, ia berkata, “Siankouw, tentang pemungutan murid kepada anak ini, kebetulan sekali siauwte adalah guru yang diserahi tugas oleh ayah anak ini untuk mendidiknya. Tentu saja saya tidak merasa keberatan bila Siankouw sudi memungut ia sebagai murid, akan tetapi hal ini harus dirundingkan dulu dengan Ayahnya. Karena itu, saya persilakan kepadamu untuk menjumpai Kwee-ciangkun dan merundingkan soal ini.”

 “Sicu seperti tidak tahu saja kebiasaan kita orang-orang kang-ouw. Kalau kita menghendaki sesuatu yang dirasa baik, maka kita lakukan saja tanpa banyak rewel dan pusing. Siapa yang sudi mengadakan rundingan dengan segala ciangkun? Aku hendak mengambil dia sebagai murid dan habis perkara!”

 “Kalau begitu, terpaksa siauwte berlaku lancang dan melindungi anak ini.”

 “Ha, kau hendak menghalangi maksudku membawa anak ini?”

 “Biarlah kali ini siauwte melupakan kebodohan sendiri.”

  

 TOKOUW yang buruk rupa itu tertawa panjang dan mata kirinya memandang penuh ejekan. Melihat sikap pendeta perempuan itu Tan-kauwsu lalu mencabut pedangnya. Suara ketawa Biauw Suthai makin aneh dan menyeramkan ketika ia melihat gerakan Tan-kauwsu, lalu tiba-tiba saja kebutan di tangannya menyambar ke arah guru silat itu! Tan-kauwsu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak berani berlaku sembrono. Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat membalas serangan, ternyata ujung kebutan tokauw itu telah menyambar kembali dan telah mengirim serangan pula yang lebih berbahaya. Ujung kebutan itu selalu mengarah jalan darahnya, merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali. Tan-kauwsu lalu menggunakan pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, tapi tiba-tiba hudtim itu bagaikan bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan sekali tokouw itu menggerakkan tangannya, pedangnya telah terampas tanpa ia dapat bertahan pula! Dan pada saat itu juga, kembali ujung hudtim telah menyambar pundaknya. Tan-kauwsu merasa betapa tubuhnya menjadi kesemutan karena urat darahnya tersentuh hingga tidak ampun lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak bertenaga.

 Ketika ia merayap bangun lagi, ternyata tokouw itu telah lenyap, begitupun Lin Lin telah hilang pula! Biarpun merasa benci kepada tokouw berwajah buruk itu, tapi melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja guru silat Tan Hok itu jatuh bangun dan pedangnya terampas, Cin Hai merasa puas sekali. Ia memang sangat benci kepada guru silat ini yang tak pernah mengajar silat kepadanya, sebaliknya seringkali memukul dan mengadunya dengan Kwee Tiong sehingga ia sering dipukul matang biru. Maka untuk menyatakan kepuasan hatinya, ia tersenyum-senyum dan berkata kepada Tan-kauwsu.

 “Tan-suhu, sakitkah engkau? Tokouw siluman itu hebat dan lihai sekali, ya?”

 Mendengar kata-kata ini, Tan-kauwsu merasa makin gemas dan mendongkol sekali. Segala perasaan ini dikumpulkan menjadi satu di dalam dada dan menjadi kemarahan besar yang kini seluruhnya ditujukan kepada Cin Hai.

 “Anak setan! Engkau sedang berbuat apa di sini dan mengapa kauajak Nona Lin Lin? Tahukah kau bahwa kali ini engkau menimbulkan bencana yang hebat sekali? Nona Lin Lin diculik orang, dan tahukah engkau apa artinya ini? Batok kepalamu pasti akan diketok sampai pecah oleh Kwee-ciangkun!”

 “Bukan aku yang membawa Lin Lin, tapi dia sendiri yang memaksa untuk ikut. Aku hendak mencari bambu ini untuk dibuat suling dan ia ikut padaku. Salahkukah itu?”

 “Anak tolol, kalau bukan salahmu, lalu siapa lagi?”

 “Tan-suhu, aku sih bukan lawan tokouw siluman itu. Tapi engkau adalah guru silat yang katanya memiliki kepandaian tinggi, mengapa kau biarkan saja Lin Lin diculik olehnya? Mengapa baru satu gebrakan saja kau telah menyerah kalah?”

 Baru saja bicara sampai di sini, tangan Tan-kauwsu melayang dan kepala yang gundul itu ditempeleng hingga Cin Hai merasa matanya gelap dan kepalanya terasa berputaran. Ia terhuyung-huyung dan sebuah tendangan membuat ia terlempar dan tertelungkup di atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk. Malang baginya, sebuah batu menyambut mulutnya hingga bibirnya berdarah.

 Anak ini marah sekali di dalam hati dan rasa sakit hatinya melenyapkan segala rasa sakit di tubuhnya. Ia cepat merayap bangun dan berdiri dengan tegak sedangkan sepasang matanya memandang tajam, sedikit pun tidak takut dan jerih.

 “Nah, kau baru tahu adat sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” kata Tan Hok uring-uringan.

 “Tan-suhu memang beraninya hanya kepada anak kecil yang tak berdaya. Alangkah baiknya kalau kegagahanmu ini kauperlihatkan ketika menghadapi Biauw Suthai tadi, hingga Lin Lin tidak sampai terculik.”

 “Bangsat kecil, kuhancurkan kepalamu!” Guru silat itu melangkah maju dengan sikap mengancam. Tetapi Cin Hai tidak mundur sedikit pun.

 “Boleh, boleh! Pukullah aku sampai mati, sayang Bibiku tak melihat kelakuanmu ini.”

 Teringatlah Tan-kauwsu bahwa anak ini setidak-tidaknya masih menjadi kemenakan dari Kwee-hujin maka ia menahan tangannya yang telah terangkat di atas untuk menjatuhkan pukulan. Ia lalu meludahi kepala anak yang gundul itu sambil membentak,

 “Hayo pulang dan kau menjadi saksi utama betapa aku telah membela Nona Lin Lin dengan mati-matian. Harus kau terangkan duduknya perkara yang sebenarnya di hadapan Kwee-ciangkun!”

  

 Cin Hai tak menjawab, tapi segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok menjadi marah dan ia menyambar tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari cepat!

 Alangkah kaget dan marahnya Kwee In Liang mendengar laporan Tan Hok. Mukanya sebentar merah sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata,

 “Hamba sudah melawan mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tetapi ternyata Biauw Suthai sangat lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas dan hamba dibikin tak berdaya. Sebelum hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin telah dibawa pergi cepat sekali.”

 Karena marah dan sedih, Kwee In Liang menggebrak meja di depannya sambil membentak kepada Cin Hai, “Cin Hai! Mengapa kauajak Lin Lin ke hutan tanpa memberi tahu siapa-siapa? Kau anak tolol lancang sekali!”

 Cin Hai merasa hatinya tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali terhadapnya, tak pernah memukul tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu atau mengajaknya bicara. Sekarang ie-thionya membentak dan memakinya, sungguh menyakitkan hati.

 “Ie-thio (Paman),” katanya dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang. Biarlah aku pergi mencari Adik Lin Lin sampai dapat...” Hampir saja Cin Hai mengeluarkan air mata karena kepiluan hatinya. Ia meraba-raba kepala gundulnya yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.

 Melihat betapa kepala anak itu merah dan bibirnya pecah-pecah, berkuranglah kemarahan Kwee In Liang, “Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”

 Sebelum Cin Hai menjawab, Tan Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu mengadu, cepat berkata,

 “Kalau tidak hamba lekas-lekas datang, tentu kemenakan Ciangkun ini akan mendapat celaka pula.”

 Cin Hai melirik kepada guru silat itu dengan pandangan mata mengejek.

 “Ya, ie-thio, sayang sekali bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang lihai ini telah terampas pedangnya dan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung kebutan tokouw siluman itu!”

 “Begitu lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang kepada Tan Hok.

 “Memang dia lihai sekali, dan hamba bukanlah lawannya.” Tan Hok mengaku dengan muka merah karena malu dan kebenciannya terhadap Cin Hai bertambah.

 Karena kejadian itu, Kwee In Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin, yang diberitahu oleh pelayan akan peristiwa itu segera berlari keluar dan sambil menangis tersedu-sedu ia duduk di sebelah Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta sekali kepada Lin Lin dan menganggap anak itu sebagai anak sendiri, maka berita ini benar-benar menghancurkan hatinya.

 “Cin Hai, kau... kau anak tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak Lin Lin pergi ke hutan? Bukankah engkau berpamit padaku, engkau tidak menyatakan hendak pergi dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.

 “Ie-ie, sungguh aku menyesal sekali, ie-ie... Bukan kusengaja membawa dan mengajak Lin Lin, tapi ketika aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan bertanya. Aku mengaku terus terang bahwa hendak mencari bambu kuning di hutan dan ia memaksa hendak ikut.”

 Sementara itu, Tan Hok melihat bahwa nyonya muda itu keluar, segera mengundurkan diri. Kwee In Liang lalu memerintahkan para pengawalnya untuk mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik kuda mencari sampai jauh ke dalam hutan.

 Biarpun kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak menceritakan tentang perlakuan Tan-kauwsu yang sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tidak suka mengadu dan segala hal yang menyakitkan hati hanya ia pendam di dalam dada sendiri saja. Ia selalu ingat akan ujar-ujar yang bermaksud : Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula dan kejahatan dengan keadilan! Maka dia menganggap kurang adil kalau ia membalas kejahatan Tan-kauwsu dengan mengadukan halnya kepada ie-ie atau ie-thionya. Itu kurang adil dan kurang tepat karena ia yang dijahati, maka baru adil kalau ia sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu kelak akan tiba masanya ia membalas segala perlakuan tak pantas itu. Hatinya telah merupakan buku catatan di mana ia mencatatkan segala perlakuan baik dan buruk yang dijatuhkan orang kepadanya dan yang ia anggap sudah menjadi kewajibannya untuk membayar lunas semua perlakuan dan budi itu, baik yang jahat maupun yang baik.

 Ketika Ie-thionya sedang sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya itu dibantu puluhan pengawal dan anak buahnya, sedangkan bibinya menangisi nasib Lin Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret bambu kuning ke belakang. Ia duduk di kebun belakang sambil asyik menggosok bambu itu menghilangi bulu-bulu bambu dan mencabut daun dan cabang-cabangnya.

  

 Tiba-tiba terdengar suara anak-anak memasuki kebun itu. “Nah, itu dia Si Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata. Yang masuk adalah lima orang anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini tampan wajah nya dan indah-indah pakaiannya. Yang sulung bernama Kwee Tiong berusia sepuluh tahun, ke dua bernama Kwee Sin berusia sembilan tahun, ke tiga Kwee Bun delapan tahun. Ke empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima ialah Kwee An berusia enam tahun. Di antara mereka ini, hanya dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul, karena selain Kwee An mempunyai perangai yang baik dan halus, juga mereka ini sebaya, jadi lebih cocok. Yang empat lainnya sudah biasa menggoda dan memukul atau memaki Cin Hai.

 Kini mendengar betapa adik perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya ikut Cin Hai ke hutan, marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih kehilangan adiknya, juga marah. Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin Hai duduk seorang diri membawa bambu kuning di dalam kebun, mereka segera menangkapnya! Kwee Tiong lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai di situ dengan tali tadi.

 Cin Hai tak dapat melawan karena ia sudah lelah sekali bahkan tubuhnya masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan terutama bekas tangan Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh kelima anak-anak itu, ia sama sekali tidak melawan, walaupun andaikata ia melawan juga takkan berguna.

 “Bangsat, mengakulah bahwa kau yang menjadi gara-gara lenyapnya Lin Lin!” Kwee Tiong membentak.

 “Bukan, bukan aku!” jawab Cin Hai sambil membalas pandangan Kwee Tiong dengan berani.

 “Kepala anjing!” Kwee Tiong memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang gundul itu.

 “Bukan aku!” Cin Hai tetap berkokoh menyangkal.

 Kelima saudara yang sedang marah itu berganti-ganti memukul dan menempeleng kepala Cin Hai yang gundut, tetapi biarpun merasa kesakitan dan kepalanya pening, anak ini tetap berteriak-teriak, “Bukan aku... bukan aku!”

 Melihat betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan suara teriakannya makin parau dan lemah, Kwee An menjadi kasihan dan timbul sifat baiknya.

 “Koko sekalian, aku jadi ingat akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala hal kita harus berlaku gagah berani. Sekarang kita ikat Cin Hai dan memukulinya tanpa ia dapat membalas, apakah ini adil? Kurasa ini bukan kelakuan gagah berani seperti yang dianjurkan oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat perbuatan kita ini tentu kita mendapat marah.”

 “Eh, pengecut, apakah kau hendak membela dia?” Kwee Tiong membentak marah kepada adiknya.

 “Bukan pengecut, juga bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru mukanya dan lemas tubuhnya itu mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini telah banyak mempunyai kegagahan dari pada kamu berempat yang terhadap seorang anak lebih kecil saja melakukan pengeroyokan secara pengecut.”

 “Plok!!” tangan Kwee Tiong terayun, menampar mulut Cin Hai hingga bibir yang sudah bengkak karena jatuh terpukul oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.

 “Twako, kalau memang kau hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah secara ujur. Lepaskan dia lebih dulu dan berkelahi dengan adil!” Kwee An berkata marah melihat kekejaman kakaknya, lalu ia sendiri maju membuka belenggu tangan Cin Hai.

 “Baik, baik! Kaubukalah ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata Kwee Tiong gembira. Cin Hai merasa seluruh tubuhnya lemas dan tak bertenaga maka biarpun ia sudah dilepaskan dari ikatan, tetap saja ia tak berdaya. Sebaliknya, Kwee Tiong yang bertubuh tegap dan lebih besar darinya itu, lagi pula memiliki kepandaian silat yang sudah lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang kepalan dan tendangan kakinya. Berkali-kali Cin Hai dipukul jatuh dan selagi anak itu dengan mata kabur hendak merayap bangun, sebuah tendangan Kwee Tiong tepat mengenai lambungnya hingga ia tersungkur lagi.

 “Nah, rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang menjadi gara-gara sehingga Lin Lin terculik orang! Rasakan ini!” Sambil menunggangi tubuh Cin Hai di punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada seluruh tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai lalu meramkan mata dan menggunakan kedua tangannya untuk balas menyerang. Ia tak dapat memukul, tapi menangkap apa saja yang dapat ditangkap. Karena kebingungan dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin Hai menjadi nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang tadinya tertelungkup itu sehingga menjadi miring.

 Tangan kanannya menyerang ke depan dan mencengkeram dan seketika itu juga terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat mencengkeram anggauta rahasia Kwee Tiong.

 Mendengar jerit ini baru Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat. Alangkah senang hatinya mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul niatnya untuk sekali remas membikin hancur anggauta tubuh yang dicengkeramnya itu agar anak jahat yang telah cukup banyak menghina dan cukup sering menyiksanya itu mampus seketika itu juga. Tetapi, entah mengapa, di dalam pikirannya yang sudah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar nabi yang dipelajarinya. Betapa hebatnya Kwee Tiong menyiksanya dan menghinanya, tetapi anak itu tidak sampai membunuhnya, kalau sekarang ia membalas dengan membunuh, itu tidak adil namanya. Pula, ada ujar-ujar yang ia lupa lagi bunyinya, tetapi yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh sesamanya hanya untuk melampiaskan marah dan memuaskan perasaan. Teringat akan semua ini, tiba-tiba cengkeraman tangannya mengendur.

  

 Tadinya Kwee Tiong sudah sambat, bahkan tanpa malu-malu lagi ia mengeluarkan kata-kata, “Cin Hai... lepaskan aku... ampun, Cin Hai...” tetapi yang agaknya tidak terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa betapa cengkeraman Cin Hai mengendur, kesempatan ini tak disia-siakan oleh Kwee Tiong yang segera merenggut tangan Cin Hai itu dan meloncat berdiri.

 “Bangsat! Anjing! Pengecut hina, kau berlaku curang!” Kwee Tiong memaki-maki sambil gunakan kedua kakinya menendang-nendang tubuh Cin Hai. Tapi anak gundul ini sama sekali tidak bergerak dan tidak mengeluh.

 “Tahan, Twako, ia... ia... mati!” tiba-tiba Kwee An berseru sambil loncat berlutut.

 “Hahh?? Mati...??” Kwee Tiong terkejut sekali dan wajahnya berubah pucat seketika itu juga. Juga adik-adiknya yang tadi ikut memaki-maki menjadi terkejut sekali dan beramai-ramai mereka berlutut untuk melihat dan memeriksa tubuh Cin Hai.

 Sebetulnya Cin Hai hanya pingsan saja tetapi karena banyak mengeluarkan darah dan perutnya kosong, maka mukanya nampak pucat sekali seperti mayat. Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan semua anak-anak itu makin terkejut karena yang datang bukan lain ialah Loan Nio bibi Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan Nio menyangka bahwa kemenakannya itu telah mati, maka ia berteriak kaget. Dua orang pelayan lalu diperintahkan untuk mengangkat tubuh anak itu ke dalam kamar, sedangkan Loan Nio memarahi kelima saudara Kwee.

 “An-ji, coba kauceritakan, apakah yang telah terjadi tadi?” Loan Nio atau Kwee-hujin itu sengaja bertanya kepada Kwee An, karena dia yang telah mengenal perangai semua anak-anak itu sejak kecil, tahu bahwa hanya Kwee An yang boleh ia percaya.

 “Cin Hai telah berkelahi dengan Eng-ko Tiong,” kata Kwee An terus terang, lalu ia menceritakan tentang sebab-sebab perkelahian, yakni bahwa mereka marah sekali karena menganggap bahwa Cin Hai yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin Lin.

 Loan Nio menghela napas, lalu berkata dengan suara keren, “Anak-anak, memang perbuatan Cin Hai mengajak Lin Lin ke hutan itu adalah sangat lancang dan tidak baik. Seharusnya ia memberi tahu dulu kepada orang tua. Tetapi kurasa Cin Hai sudah cukup terhukum apalagi kalau diingat bahwa dia biarpun kecil juga telah membela Lin Lin hingga terpukul oleh penculik, maka kalian seharusnya dapat memaafkannya. Pula peristiwa telah terjadi, Lin Lin masih belum ketemu, sekarang kalian tambahi kepusingan orang-orang tua dengan perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak baik sekali!”

 Pada saat itu Kwee In Liang kembali dari pengejarannya kepada penculik itu. Wajahnya muram dan tampak lelah sekali.

 “Bagaimana, terdapatkah?” Kwee-hujin bertanya dengan muka cemas.

 Kwee-ciangkun menggeleng-geleng kepala dan menghela napas, nampaknya susah sekali. Kemudian melihat anak-anaknya yang berada di situ seperti orang ketakutan.

 “Anak-anak ini sedang bekerja apa di sini? Mengapa tidak berada di kamar dan belajar?”

 Terpaksa Loan Nio yang tak pernah membohong segera menceritakan bahwa ia baru saja menegur mereka karena berkelahi dan mengeroyok Cin Hai sehingga anak itu jatuh pingsan. Muka Kwee In Liang makin muram mendengar ini, lalu ia membentak mereka supaya pergi ke kamar masing-masing. Melihat kemarahan dan kesedihan suaminya, dengan manis budi Loan Nio mencoba menghiburnya. Tetapi ayah yang kehilangan anak kesayangannya itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan berkali-kali menghela napas.

 “Tadi aku mendengar bahwa Biauw Suthai yang menculik Lin Lin adalah seorang wanita gagah dan tokoh yang ternama sekali, maka kurasa pertapa wanita itu tidak mempunyai maksud buruk. Barangkali dia memang benar-benar suka kepada Lin Lin dan hanya bermaksud menurunkan ilmu silatnya dan segala kepandaiannya kepada anak kita.” Kwee hujin menghibur.

 Setelah menghela napas berulang-ulang Kwee In Liang hanya menjawab perlahan, “Mudah-mudahan begitu. Karena kalau sampai siluman wanita itu berani mengganggu selembar rambut saja dari anakku, harus ia ganti dengan selembar jiwanya!” Dan panglima gagah ini mengertak-ngertak gigi dan mengepal-ngepal tinju tangannya, sedangkan kedua matanya mengeluarkan sinar mengancam.

 Isterinya lalu menghiburnya lagi dan mengajak suaminya yang bersedih itu masuk ke dalam gedung karena di luar telah mulai gelap. Malam itu keadaan di gedung keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada malam hari terdengar suara anak-anak menghafal sastera mereka, tetapi malam ini sengaja dilarang mengeluarkan suara keras. Sore-sore Kwee Tiong dan keempat adiknya telah pergi tidur sambil membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.

 Cin Hai sendiri berbaring terlentang dengan mata terbelalak memandang ke langit-langit kamar dan pikirannya melamun jauh sekali. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi hatinya telah terhibur karena tadi bibinya datang dan menghiburnya, serta memerintahkan pelayan untuk menyediakan makan, bahkan dengan kedua tangannya sendiri bibi yang baik itu membaluri seluruh tubuhnya yang bengkak-bengkak dan matang biru dengan minyak gosok.

  

 Ketika tadi bibinya menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, ia merasa terharu dan diam-diam air matanya mengalir di kedua pipinya.

 “Ie-ie, sebenarnya di manakah kedua orang tuaku?” tanyanya perlahan.

 Tangan bibinya yang menggosok-gosok puggungnya itu tiba-tiba menggigil dan untuk sesaat berhenti menggosok, tapi lalu terdengar jawabannya, “Anak, mengapa kau berkali-kali tanyakan hal ini? Bukankah sudah kuberitahukan padamu bahwa kedua orang tuamu telah kembali ke alam baka?”

 “Tetapi di manakah makam mereka, ie-ie? Aku ingin sekali mengunjungi makam orang tuaku.”

 ”Aku tidak tahu, Cin Hai.”

 “Mengapa kau tidak tahu ie-ie, bukankah kau adik mendiang ibuku?”

 “Sudah berapa kali kukatakan, bahwa aku tidak tahu, Cin Hai! Sudahlah, jangan kau mendesak terus. Kau harus mengaso, aku akan kembali ke kamar, ie-thiomu masih sangat bersedih.” Nyonya muda itu lalu mengelus-elus kepala kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi sebelum melangkah ke luar pintu, Cin Hai menegur,

 “Ie-ie yang baik!” Nyonya muda itu berhenti lalu menengok dan Cin Hai melihat betapa Ie-ienya telah mengalirkan air mata!

 “Setidak-tidaknya beritahukan padaku siapa nama dan she Ayahku!”

 “Kau she Kwee juga, bukankah sudah pernah kuberitahukan padamu?”

 “She... Kwee...? Ah, tak mungkin... ah, mengapa kau membohongi Ie-ie yang baik? Aku bukan she Kwee...”

 Tapi Ie-ienya telah melangkah keluar dari pintu dan Cin I Hai mendengar suara sandal bibinya itu makin menjauhi kamarnya.

 Demikianlah, setelah bibinya pergi, sampai jauh malam Cin Hai tak dapat meramkan matanya. Bibinya telah membohong padanya ketika menerangkan bahwa ia she Kwee! Juga bibinya telah membohong ketika bilang bahwa ia tidak mengetahui makam kedua orang tuanya.

 Ia dapat merasakan kebohongan itu, karena setiap kali bibinya diajak bicara tentang hal kedua orang tuanya, selalu nyonya muda itu tiba-tiba menjadi sedih dan gelisah, dan jawabannya selalu ragu-ragu. Aku harus mencari kedua orang tuaku, aku harus tahu siapa sebenarnya diriku ini.

 Cin Hai turun dari pembaringan dengan maksud hendak pergi ke kamar bibinya dan mendesak keterangan dan penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan sepatu agar tindakan kakinya tidak menerbitkan suara dan mengagetkan atau membangunkan orang lain dari tidurnya. Ketika sudah tiba dekat kamar bibinya tiba-tiba ia mendengar suara bibinya terisak menangis dan suara pamannya yang besar itu seakan-akan sedang memarahi bibinya, Cin Hai bergerak hati-hati sekali ke arah kamar yang masih terang karena lampu di dalam belum dipadamkan. Ia mendekati jendela dan mengintai.

 Ternyata bibinya sedang duduk di pembaringan sambil menutup muka dengan selampai, menahan tangis. Pamannya berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu.

 “Ayahnya yang berdosa, dan Ayah serta seluruh keluarganya telah menebus dosa itu dan semua dihukum penggal leher. Sekarang janganlah kauikut-ikutkan anaknya yang tak berdosa apa-apa.” Nyonya muda itu berkata sambil menangis.

 “Kaukira aku manusia berhati sekejam itu? Kalau aku kejam, apakah aku memperbolehkan anak pemberontak itu berdiam di rumahku sampai bertahun-tahun? Pemberontak she Sie yang menjadi iparmu itu telah dihukum mati berikut semua keluarganya, dan aku sama sekali tiada sangkut-paut dengan perkara itu.”

 “Tiada sangkut-paut, hanya engkaulah yang menangkap mereka semua,” kata Loan Nio.

 “Apa salahnya? Bukanklah itu sudah menjadi kewajibanku? Jangankan orang she Sie itu yang tiada hubungan apa-apa dengan aku, biarpun andaikata adikku sendiri yang menjadi pemberontak, tentu aku akan menangkapnya. Inilah jiwa seorang gagah. Harus kau ingat bahwa yang tiap hari kita makan dan pakaian yang tiap hari kita pakai ini adalah hasilku mengabdi kepada raja. Apakah aku hanya boleh menerima hasil saja tanpa memenuhi kewajiban? Pula, bukan aku yang ingin dia dihukum, tetapi perintah atasan. Tugas tetap tugas, perasaan pribadi jangan dibawa-bawa!” Agaknya panglima itu marah betul karena terdorong kesedihan hatinya kehilangan Lin Lin.

 Hening sejenak kecuali isak Loan Nio dan elahan napas Kwee In Liang, kemudian terdengar nyonya muda itu berkata agak sabar,

 “Aku tahu semua itu, dan aku tidak salahkan kau. Hanya mengenai anak ini, Cin Hai yang malang... kau berlakulah murah hati sekali.”

  

 “Istriku, betapapun juga kau pertimbangkanlah baik-baik. Engkau lebih sayang Cin Hai daripada suamimu? Aku benci Cin Hai, juga aku tidak menghubungkan dia dengan orang tuanya. Akan tetapi, semenjak Lin Lin hilang... (sampai di sini suaranya sember dan sedih)... aku tak tahan melihat muka Cin Hai lagi. Betapapun juga, Lin Lin diculik orang karena ikut pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini takkan pernah hilang dari hatiku yang menuduh dan mempersalahkannya, maka tidak baik kiranya kalau anak itu berada di depan mataku. Tidak baik untuknya dan tidak baik untukku sendiri. Dia harus pergi dari sini, titipkanlah kepada keluarga lain...”

 Semenjak tadi, di luar Jendela Cin Hai mendengar dengan air mata turun bagaikan hujan membasahi kedua pipinya.

 Orang tuanya, semua keluarganya, mendapat hukuman penggal kepala! Alangkah hebatnya! Ayahnya yang she Sie itu disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah pemberontak? Perasaannya yang terasa perih itu makin hancur mendengar betapa bibinya sampai bertengkar dengan Ie-thionya karena dia! Pula, hatinya sakit sekali mendengar betapa ie-thionya membencinya karena hilangnya Lin Lin dan ie-thionya telah mengambil keputusan supaya ia pergi dari situ!

 Cin Hai menggigit bibirnya yang tadinya mewek menangis itu. Timbul perasaan angkuh di dalam kepalanya yang gundul. Orang tak menghendaki dia di situ, untuk apa menanti lebih lama lagi? Ia tak perlu minta-minta ampun dan mohon agar diperkenankan tinggal terus di situ. Ia harus pergi karena ia bukan keluarga Kwee! Hanya ie-ienyalah yang menahan ia berada di tempat itu selama ini karena ia amat mencinta ie-ienya yang berbudi baik itu.

 Dengan pikiran kacau balau, Cin Hai lalu pergi dari situ dan dengan hati-hati sekali ia hendak keluar dan minggat dari gedung keluarga Kwee. Ia benci sekali kepada Kwee In Liang, karena dari mulut pamannya itu sendiri ia mendengar bahwa yang menangkap orang tuanya adalah pamannya itu sendiri. Ia memasuki kamarnya dan mengambil semua-pakaiannya lalu dibuntal, tetapi tiba-tiba ia teringat akan kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa semua pakaian yang dipakai adalah hasil pengabdiannya kepada raja! Dan karena pengabdian kepada raja itulah yang memaksa pamannya itu menangkap dan membasmi seluruh keluarga Sie. Tiba-tiba timbullah rasa jijik dan bencinya kepada semua pakaiannya dan dilemparkannya buntalan itu jauh-jauh dengan perasaan jijik. Ia takkan membawa pakaian pemberian pamannya. Lalu ia teringat akan pakaiannya sendiri, yang dipakainya ini pun pakaian pemberian bibinya yang berarti pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu menanggalkan semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari keluar. Tetapi dari mana ia harus keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci. Cin Hai yang gundul dan telanjang itu lalu berlari ke belakang dan memasuki kebun. Angin malam yang dingin menyerang kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi dikeraskan hatinya dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi kebun. Memang ia telah biasa memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah saja ia dapat memanjat dinding menggunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan yang terdapat pada beberapa bagian dinding.

 “He, bangsat kecil, kau hendak berbuat apa lagi?”

 Itu adalah suara Tan-kauwsu! Cin Hai terkejut sekali dan ia memegang sulingnya erat-erat di tangan kanan. Memang, anak gundul itu tidak membawa bekal apa-apa bahkan pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling buatan sendiri itu tak ia lupakan. Ketika Tan-kauwsu sudah datang dekat dan melihat betapa Cin Hai dengan bertelanjang bulat berada di atas dinding, ia merasa heran sekali dan untuk beberapa lama ia berdiri bengong memandang. Sudah gilakah anak ini? Demikian ia berpikir, kemudian timbul maksudnya hendak menangkap dan menyerahkannya kepada Kwee-ciangkun dalam keadaan demikian, agar anak itu dan juga bibinya merasa malu!

 “Bangsat tolol, turun kau!” bentaknya.

 Tapi dalam takut dan bingungnya Cin Hai tak mempedulikan bahaya lagi. Ia meloncat di sebelah luar dan untung sekali ia jatuh ke dalam semak-semak hingga kakinya tidak patah-patah, hanya tubuhnya yang telanjang itu saja lecet-lecet. Ia lalu berdiri dan lari dalam malam gelap secepat mungkin. Tan Hok, guru silat yang membenci Cin Hai itu menjadi penagaran dan marah. Sekali loncat saja ia sudah berada di atas dinding. Tetapi malam itu gelap sekali sehingga ia tak melihat Cin Hai. Ia memanggil-manggil dan memaki-maki. Tiba-tiba ia mendengar suara keluhan, karena pada saat itu, Cin Hai yang sudah lari agak jauh itu tersandung akar pohon di dalam gelap hingga tubuhnya terguling! Karena dadanya yang telanjang tertumbuk pada akar, maka tanpa disengaja ia mengeluh hingga terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini meloncat turun dari tembok dan mengejar ke arah suara itu sambil memaki,

 “Anak totol, apakah kau sudah gila?”

 Cin Hai makin takut dan ia berdiri lagi lalu memaksa kakinya yang terasa sakit karena jatuh itu untuk berlari lagi. Saat itu telah lama lewat tengah malam hingga keadaan gelap sekali. Tetapi dari suara kaki Cin Hai yang berlari-lari dapat juga Tan Hok mengejar ke mana anak itu berlari. Hanya keadaan yang sangat gelap itu membuat Tan-kauwsu tak mungkin dapat berlari cepat, takut kalau-kalau ia akan menabrak pohon atau terjeblos dalam tanah berlubang.

 Sebaliknya, Cin Hai yang ketakutan dan bingung, tak mempedulikan semua ini dan ia lari sekerasnya. Maksud hatinya hendak lari secepat-cepatnya agar dapat menghindarkan diri dari tangan guru silat yang jahat dan yang pasti akan membawanya kembali ke tempat yang tak disukainya itu. Oleh karena berlari dengan nekad membuta ini, tiba-tiba ia terjeblos ke bawah! Cin Hai terkejut sekali tetapi tak berani mengeluarkan keluhan, takut kalau-kalau pengejarnya mendengarnya.

  

 Ketika ia meraba-raba di sekitar dirinya, ternyata ia telah terjeblos ke dalam tanah lumpur yang lembek berair. Setelah berpikir-pikir sejenak dapatlah ia menduga bahwa ia tentu terjatuh ke dalam kolam lumpur yang biasa digunakan oleh para penggembala kerbau untuk membawa kerbau-kerbau mereka mandi lumpur di situ. Anehnya, kalau tadi ia merasa tubuhnya dingin sekali karena angin yang meniup-niup tubuhnya, kini setelah masuk ke dalam lumpur itu, ia merasa hangat! Agaknya seperti ada hawa yang aneh dan hangat keluar dari kolam lumpur itu.

 Akan tetapi, rasa girangnya hanya sebentar saja karena lagi-lagi terdengar suara makian guru silat yang masih tetap mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi gemas sekali. Kalau saja ia kuasa mengalahkan guru silat itu pasti ia akan menghajar habis-habisan padanya! Ia memutar-mutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari akal.

 Tan Hok si guru silat merasa mendongkol sekali. Biarpun ia lari tidak cepat, tetapi telah dua kali ia menabrak pohon hingga tabrakan yang ke dua kali membuat hidungnya berdarah! Ia tidak menyesalkan hidungnya yang terlalu panjang itu, tetapi menimpakan semua penyesalan, kemendongkolan, dan kemarahannya kepada Cin Hai.

 “Anak tolol, anak binatang rendah, anak haram! Kalau kau sampai terpegang olehku, tentu akan kubeset kulit kepalamu!” demikian ia memaki-maki dan maju terus, tetapi kini dengan kedua tangan di depan agar jangan sampai tertumbuk pada pohon lagi.

 Tiba-tiba ia mendengar suara kaki Cin Hai berlari-lari di depan. Ia mendengar jelas betapa napas anak itu terengah-engah dan beberapa kali mengaduh-aduh. Girang hatinya mendengar ini.

 “Bangsat kecil, kau hendak lari ke mana sekarang?” bentaknya dan ia mempercepat larinya, karena ia pun mendengar suara kaki anak itu berlari makin cepat. Ia maju dengan langkah lebar, tetapi setelah berlari beberapa tindak tiba-tiba ia menjerit dan terdengar betapa tubuhnya yang besar itu jatuh terjerambab di dalam kolam lumpur! Celakanya ia jatuh telungkup hingga mukannya penuh tertutup lumpur.

 “Ha-ha-ha! Alangkah lucunya!” terdengar Cin Hai mentertawakan guru silat itu. Ternyata tadi anak itu mendapat akal untuk menjebak pengejarnya. Ia berdiri di seberang kolam lumpur, lalu berlari di tempat sambil sengaja mengeluarkan suara napas terengah-engah. Tan kauwsu telungkup di dalam lumpur bagaikan seekor kerbau besar! Setelah puas memaki-maki dan mengejek serta mentertawakan Tan Kauwsu, Cin Hai lalu berlari lagi ke depan dengan cepat. Kini malam telah hampir terganti fajar hingga samar-samar mata dapat menembus kegelapan yang dari warna gelap hitam menjadi abu-abu.

 Sudah tentu Tan Hok meluap rasa marahnya. Untuk beberapa lama ia tak berdaya karena selain merasa pengap lubang hidungnya tertutup lumpur, juga ia merasa bingung bagaimana harus membersihkan lumpur yang memasuki mata kirinya! Akhirnya ia dapat juga ke luar dari kolam lumpur itu dan dapat menggunakan bajunya yang masih bersih, yakni yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk membersihkan lumpur dari hidung, mulut dan matanya. Biarpun mata kirinya masih terasa pedas dan lamur, tetapi dengan mata kanan ia dapat memandang ke depan. Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia segera lari mengejar.

 Fajar telah menyingsing ketika dari jauh Tan Hok dapat melihat berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru silat ini mengeluarkan seruan girang, karena ia sebentar lagi pasti akan dapat memuaskan hati membalas dendam kepada setan cilik itu! Ia memperkuat larinya dan sebentar saja jarak antara ia dan Cin Hai yang berlari sekuatnya itu tinggal beberapa tombak saja lagi!

 “Bocah tolol! Sekarang kau hendak lari ke mana? Bersiaplah untuk mampus di tanganku!” teriak Tan Hok dengan girang sekali dan ia sudah siap mengulurkan tangan untuk menangkap.

 Cin Hai yang sudah putus asa tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari sekerasnya dan ia sudah mengambil keputusan tetap bahwa bilamana ia tertangkap, sebelum mati ia hendak melawan dulu sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan dan giginya untuk melawan. Ia ingat bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata bahwa lebih baik mati sebagai harimau daripada mati sebagai babi!

 Tetapi pada saat itu, ketika ia sudah mendengar suara kaki dan napas Tan-kauwsu dekat sekali di belakangnya, tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang berdiri di depannya! Dan tahu-tahu tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk di atas lengan seorang tua yang pendek. Cin Hai menjadi terkejut, heran dan bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua pendek di depannya dan bagaimana maka ia tahu-tahu sudah melayang ke atas dan duduk di atas lengan kanan orang tua itu yang bertubuh pendek, dan mulutnya selalu menyeringai, memakai jubah hitam dan kopiah hitam pula. Maka teringatlah dia bahwa orang ini bukan lain ialah seorang di antara tiga orang yang belum lama ini bertempur melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan Kelenteng Ban-hok-tong!

 Sementara itu, Tan Hok ketika melihat betapa seorang tosu pendek tahu-tahu menangkap Cin Hai dan berdiri di depannya, menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu itu yang bukan lain ialah Giok Keng Cu, orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin (Tiga Orang Tua dari Kanglam) tidak kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan Hok. Ia tidak mengenal anak itu karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian lumpur yang telah mulai mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang juga penuh dengan lumpur pada seluruh tubuh bagian depan. Ia hanya memandang sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi.

  

 Tan-kauwsu ketika melihat bahwa tosu pendek itu hanya orang biasa saja yang berpakaian sebagai seorang pendeta menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja berada di situ, maka ia lalu membentak keras karena hatinya masih panas penuh kemarahan,

 “Totiang, kauberikan anak tolol itu kepadaku!”

 Mendengar kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu bertanya.

 “Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak ini?”

 “Siapa sudi menjadi ayah anak haram ini? Dia ini... adalah bujang dari keluarga Kwee yang melarikan diri dan aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas lepaskan dia!”

 “Sabar dulu, Sicu, sabar dan tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak ini bertelanjang bulat dan penuh lumpur dan mengapa pula kau juga agaknya mandi lumpur? Kalian ini orang-orang Tiang-an agaknya suka benar dengan lumpur.”

 Tiba-tiba Cin Hai tertawa geli. Ia menganggap tosu ini lucu dan ia merasa senang mendengar betapa Tan Hok dipermainkan. Ia pun maklum bahwa tosu pendek ini lihai sekali, maka hatinya menjadi tabah dan keberaniannya timbul.

 “Totiang, kau harus menonton ketika kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam lumpur! Kerbau ini adalah kerbau gila, Totiang, ia mengejarku dari malam tadi dengan maksud membunuhku, tetapi sayang aku terlalu cepat baginya.”

 “Bangsat kecil!”, Tan Hok meloncat maju dan hendak menerkam Cin Hai serta merampasnya dari tangan tosu itu tetapi dengan sekali menggerakkan lengan saja tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga terhindar dari serangan Tan Hok, lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima lagi dengan lengannya!

 “Sabar dulu, Sicu. Biar pinto dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak bodoh, coba, kau ceritakan padaku hal yang sebenarnya telah terjadi.” Diam-diam tosu ini suka sekali melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran mengapa bocah kecil yang membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan tubuhnya penuh lumpur.

 Dengan singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung keluarga Kwee karena ia dibenci. Ia sama gekali tidak mau menceritakan tentang sebab-sebab yang sebenarnya dari kepergiannya itu. Ia menceritakan bahwa ia sengaja meninggalkan pakaiannya karena tidak mau pergi membawa sepotong barang dari gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan ia dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.

 “Betul demikiankah, Sicu?” tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.

 “Sudahlah, kau orang tua jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak ini ikut dengan keluarga Kwee-ciangkun dan aku adalah guru silat di gedung itu. Jangan kau mencari penyakit!” Tan Hok membentak marah.

 Giok Keng Cu berpaling kepada Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya lalu bertanya sambil tertawa, “Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh Kauwsu ini?”

 “Bukan sering lagi, kalau ia diberi kesempatan tentu akan dibunuhnya!” jawab Cin Hai terus terang.

 “Apakah kau berani melawannya kalau diberi kesempatan?”

 “Kalau aku mempunyai kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini akan kuhajar kepalanya sampai benjut!”

 “Anjing kecil, kau turunlah!” Tan Hok menantang.

 “Nah, kalau kau berani, kau lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!” kata Giok Keng Cu sambil tertawa.

 Cin Hai belum mengerti benar maksud tosu itu, ia yakin bahwa tosu ini bermaksud membantunya, maka ia mengangguk-angguk dan berkata, “Baik, baik, akan kupukul kepalanya sampai benjol dan benjut.”

 “Pukullah!” kata Giok Keng Cu sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin Hai ke dekat Tan Hok dan benar-benar Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah kepala guru silat itu. Mana Tan Hok mandah saja dirinya dipukul, ia mengangkat tangan kiri menangkis dan tangan kanannya memukul ke arah muka Cin Hai, maksudnya hendak sekali pukul menjatuhkan anak itu dari atas lengan Si tosu. Tetapi Giok Keng Cu menggerakkan lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke lengan kiri!

 “Guru silat, kalau kau bisa menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau bawa dia!” Giok Keng Cu mengejek. Tan Hok marah sekali dan ia lalu menyerang, tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu itu dengan cepat menghindari setiap serangannya, bahkan tangan anak itu balas menghantam!

 Tan Hok dengan geram dan marah lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu Cin-jip-houw-hiat (Terjang Masuk Gua Harimau), sebuah serangan yang hebat sekali karena dilakukan dengan dua tangan. Kalau kepala Cin Hai yang gundul terkena pukulan ini, pasti otaknya akan berceceran keluar dari batok kepalanya yang pecah! Tetapi dengan enak dan tenang Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan menggerakkan lengannya dengan cepat sekali. Tahu-tahu Cin Hai merasa dirinya terlempar ke atas melalui kepala Tan Hok, maka cepat anak itu menggunakan kakinya menyepak ke arah kepala itu! Tan Hok yang kena sepak kepalanya menjadi marah sekali dan menggunakan tangan hendak menerkam tubuh yang masih berada di atasnya itu, tetapi tangan Giok Keng Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga tubuh Cin Hai dan dibawa turun lagi.

  

 Demikianlah, dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat melebihi angin, Cin Hai dapat dibawa oleh lengan Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali kepalan Cin Hai yang kecil dapat memukul muka, kepala dan dada guru silat itu sekerasnya, tetapi akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena anggauta tubuh guru silat yang terlatih itu keras dan, kuat, sedangkan kepalan tangannya lemah tak terlatih.

 “Totiang, tanganku sakit.” Cin Hai berbisik.

 “Anak tolol, kaupukul daun telinganya!” Giok Keng Cu balas berbisik.

 Benar saja, semenjak saat itu, Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun telinga Tan Hok hingga guru silat itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol. Ia rasakan daun telinganya pedas dan sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit lagi. Bagian-bagian tubuh lain memang terlatih, tetapi daun telinganya tak dapat dilatih dan terasa sekali hingga biarpun pukulan seorang anak kecil juga mendatangkan rasa sakit dan bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam telinganya! Cin Hai merasa gembira sekali karena ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Kini ia tidak hanya memukul, tetapi menjewer, mencengkeram, menusuk lubang telinga dengan sulingnya dan lain-lain serangan yang membuat Tan Hok merasa mata gelap dan kepala berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!

 Tan Hok sudah mendapat hajaran hebat ketika guru silat itu menyerang lagi, Giok Keng Cu sengaja menangkis dengan tangan kirinya sambil membentak,

 “Masih belum cukupkah?”

 Tangkisan itu membuat Tan Hok hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan kanannya, dari ujung jari sampai ke pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan sakit sekali, hingga sambil meringis-ringis ia melangkah mundur, lalu berkata,

 “Aku sudah menerima pengajaran dari orang pandai. Tidak tahu siapakah Totiang dan apa hubungannya dengan anak tolol ini hingga Totiang membantunya serta tak segan-segan memberi pukulan kepada siauwte.”

 Pada saat itu, matahati telah mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan kepalanya yang gundul pelontos tampak nyata. Ketika mendengar ucapan guru silat itu, Giok Keng Cu lalu memandang muka anak kecil yang ditolongnya.

 “Eh, kau?” tanyanya dan Cin Hai tersenyum mengangguk sambil berkata,

 “Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang yang lain?” tanyanya. Giok Keng Cu lalu berdongak dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan daun-daun pohon.

 “Dengarlah, guru silat buruk adat! Kau berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau kalau nama ini tidak kaukenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang termuda dari Kanglam Sam-lojin. Adapun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin (penolong) kami!”

 Bukan main kagetnya Tan Hok mendengar bahwa ia berhadapan dengan seorang daripada Kanglam Sam-lojin yang sangat tenar namanya dan yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelihaian dan kehebatan mereka. Tetapi lebih heran lagi ketika mendengar pengakuan orang tua itu bahwa Cin Hai dianggap sebagai in-jin mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura dalam-dalam sambil berkata,

 “Maaf, siauwte yang tak mengenal Gunung Thai-san menghalang di depan mata (Orang Gagah berdiri di depan mata) dan berani berlancang tangan. Biarlah siauwte memberi laporan kepada Kwee-ciangkun bahwa anak tolol... (ia menahan makiannya) anak ini telah ikut dengan Locianpwe.”

 Tetapi Giok Keng Cu yang kegirangan lagi bertemu dengan “tuan penolong” itu, tak mempedulikan lagi guru silat dan sekali berkelebat, ia telah lenyap dari pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai juga dibawanya pergi bersama. Tan Hok menghela napas berulang-ulang dan hatinya penasaran, malu dan gemas. Berturut-turut dalam dua hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan Biauw Suthai dan mendapat hajaran yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil, sedangkan sekarang tiba-tiba saja berhadapan dengan seorang dari Kang-lam Sam-lojin yang lihai! Semua ini gara-gara Cin Hai si setan kecil. Kemudian ia pergi ke gedung Kwee-ciangkun untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi bersama seorang tua jahat yang mungkin mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tidak mau menceritakan pengalamannya memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua yang membawa Cin Hai itu agak miring otaknya, sedangkan Cin Hai sendiri ketika ikut orang tua itu bertelanjang bulat seperti anak gila.

 Kwee In Liang tidak sangat memperdulikan peristiwa ini, tetapi Loan Nio lalu lari ke kamarnya dan setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa anak itu pergi tanpa membawa sedikit pun barang atau sepotong pun pakaian, ia menangis tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan iba sekali.

 Giok Keng Cu yang lari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuhnya karena angin besar menderu-deru di kedua telinganya hingga ia menutup matanya, membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.

  

 Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam.

 “Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang kubawa ini!”

 Baru saja ucapan itu habis dikatakan dari dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan orang dan tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus, dan Giok Yang Cu si tinggi besar brewokan. Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka cepat ia berkata girang.

 “In-kongcu (tuan penolong muda)!”

 Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu dengan muka bodoh. “Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku penolong? Apakah memang cara-cara pendeta memutar balikkan kenyataan? Sebenarnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut penolong, bagaimanakah ini?”

 Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa bergelak.

 “Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di depan Kelenteng Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh ular-ularnya yang berbahaya dan lihai. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu, tentu sekarang sudah tidak ada lagi Kanglam Sam-lojin! Kepada Hai Kong si hwesio itu kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”

 Barulah Cin Hai mengerti ia disebut tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa dan berkata.

 “Sungguh aku girang sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar suara melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa telingaku sakit dan kugunakan suling untuk melawan suara itu. Tidak tahunya suara itu dapat menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak perlu berterima kasih kepadaku seharusnya kepada suling ini!” Ia lalu mengangkat dan mengangkat dan mengacung-acungkan suling barunya.

 “Anak baik, kata-katamu betul juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini menyanyikan sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,

 “Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”

 Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi adalah syair dari kitab To-tek-keng yang merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabi para penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,

 Berlakulah sopan jujur seperti balok, Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam, Dan bersikaplah seperti air keruh!

 Cin Hai semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno lagi. Di kala mempelajari segala ujar itu, ia hanya hafal seperti burung beo saja, dapat mengucap tanpa mengerti isi dan maksudnya. Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa pun takkan mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biarpun singkat jika dipecahkan dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin dalam. Oleh karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan atau lanjutan daripada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.

 “Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa bisa bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar, lambat laun memetik buahnya)”

 Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai. Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sangat tekun mempelajari ujar- ujar Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu disambung dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,

 “Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!”

 Setelah cukup memuji-muji Cin Hai ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya, “Anak baik, sebenarnya siapakah namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan pembesar she Kwee itu?”

 Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab, “Teecu (murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang tua teecu telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan pergi saja!” Juga kepada ketiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi baru-baru ini.

 “Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah selayaknya kalau kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai? Bagaimana kau menjadi murid kami bertiga?”

  

 Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali belajar silat, hanya sayang tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai murid, tentu saja hal ini menggembirakan sekali. Kedua matanya telah bersinar dan mukanya berseri, tetapi tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhunya, yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,

 “Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak berani menjadi murid Sam-wi.”

 “Eh, mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena heran. Tosu tinggi besar ini adatnya kaku dan jujur. “Apa kau anggap kami bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”

 “Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan seorang saja sudah cukuplah!”

 “Siapa? Siapa suhunya itu?” ketiga tosu itu serentak bertanya.

 Cin Hai menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Tetapi keangkuhannya yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia mengangkat mukanya dan berkata gagah, “Guruku itu adalah seorang jembel tua yang tidak berkepandaian apa-apa!”

 Di luar dugaannya, biarpun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.

 “Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh orang tua aneh itu!”' kata Giok Im Cu menyesal.

 “Jadi, Samwi Totiang sudah kenal kepada suhuku. Di mana dia sekarang?” tanya Cin Hai dengan girang, tetapi ketiga tosu itu menggeleng-geleng kepala menyatakan bahwa mereka pun tidak tahu. Kemudian, karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya lebih jauh.

 ”Dan sekarang, kalau kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau ajukan sebuah permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada seorang di antara kami hingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah untuk pembalas jasamu yang telah menolong kami.”

 “Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan yang dilakukan sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan namanya, tetapi ialah utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!”

 Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang telah paham akan ilmu batin, padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal belaka dan ia selalu menggunakan ujar-ujar hafalannya itu untuk diucapkan pada saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!

 “Biarpun kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, namun kami akan selalu merasa mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,” jawab Giok Yang Cu. Karena didesak-desak akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga permintaan.

 “Pertama,” katanya, “teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore kemarin!”

 Ketiga tosu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil kue kering dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa seji (sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa ia tidak berpakaian ia menggunakan lengan tangan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak setelah makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.

 “Permintaan teecu yang ke dua ialah minta diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak malam kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”

 Sekali lagi ketiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu karena ternyata anak ini mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus. Benar-benar tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian? Tetapi karena permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka mencarikan pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian, maka Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian warna putih. Ketika dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik celana maupun jubahnya terlalu besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta hwesio yang besar sekali hingga tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu. Sambil tertawa-tawa ketiga tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian itu dapat juga dipakai, walaupun potongannya sangat kebesaran dan lengan bajunya melompong terbuka hingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya! Betapapun juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli di mana?

 Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,

 “Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tidak keberatan teecu mohon diperbolehkan ikut dan belajar silat dari Sam-wi!”

 Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang dan mereka merasa puas karena ternyata akhirnya bahwa anak ini bukannya gendeng dan tolol.

  

 “KALAU begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada kami!” kata Giok Keng Cu.

 Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala. Kemudian anak itu berlutut tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,

 “Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru. Teecu hanya ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!”

 “He?? Mana bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok Yang Cu.

 Cin Hai mengangkat muka memandang, “Bukankah tadi teecu sudah mengatakan bahwa teecu tidak ingin minta balasan dan tidak ingin apa-apa? Mengapa Sam-wi Totiang mendesak? Sekarang permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal tak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar yang berkata bahwa satu kali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun takkan mampu mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang budiman berludah, takkan ia jilat kembali?”

 “Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku kalah. Semenjak sekarang, kau boleh ikut kami ke gua kami dan belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri sendiri!”

 Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk ia tidak tidur dan berlari-larian hingga ia sangat lelah dan mengantuk. Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak ia berbantahan saja itu, membuat ia makin lelah dan makin mengantuk. Setelah mendengar betapa permintaannya yang ke tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega hingga tiba-tiba saja kedua matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!

 “Kasihan, anak yang baik!” kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kaupondonglah dia dan mari kita berangkat.”

 Sambil mengomel, “Anak yang tolol!” Giok Yang Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh Cin Hai yang telah mendengkur itu, kemudian ketiga tosu itu lalu meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka. Karena tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang saja.

 Karena tidur nyenyak dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Ketika ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan karena kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat ia mengeluarkan kepalanya yang gundul dari balik jubah pendeta itu dan memandang keluar.

 Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang tinggi. Tak heran bahwa hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang sedang bertempur seru!

 Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai melorot turun dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.

 “Jangan mendekat!” Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara menyatakan bahwa larangannya itu sungguh-sungguh.

 Cin Hai merasa heran akan tetapi ia tidak berani banyak ribut melihat sikap ketiga tosu demikian tegang, maka ia lalu duduk di atas rumput dan menonton orang yang sedang bertempur.

 Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki. Yang wanita berbaju hijau bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang memenuhi punggungnya. Usianya paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru melihat pertama kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia belasan tahun. Ilmu silatnya hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung kepinis. Laki-laki yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya seperti seorang siucai (pelajar sastra) dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun dari mukanya putih agak kepucat-pucatan.

 Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang hebat daripada kalau orang bertempur bersenjata tajam. Buktinya serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan atau tendangan selalu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali. Kepandaian mereka berimbang dan tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan kedua kakinya lalu bergerak seperti kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan bertubi-tubi dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian bergerak menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan atau ditangkis!

  

 “Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira tetapi cemas Cin Hai berkata sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak kautolong dia?”

 Tetapi Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan, “Sst! Jangan berisik, kaulihat saja!”

 Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis mengharukan.

 “Hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa mengeluarkan tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kausohorkan itu? Hi-hi, orang she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!” Sambil menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi tiap gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!

 Tiba-tiba wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau tadi kedua lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang lemas sekali sambil mengelit serangan lawan, kini dia menggerakkan kedua tangannya ke depan dan belakang, jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi sebenarnya ini merupakan serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya dapat digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya laki-laki yang dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.

 “Pengecut, rebahlah kau!” Tiba-tiba wanita itu berseru dan benar saja, pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biarpun kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh! Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ha-ha-hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya menyeramkan perasaan. Tiba-tiba perempuan aneh itu menengok dan memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak bergerak. Ia memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, lalu mengembangkan hidung dan mengedikkan kepalanya.

 “Baiknya tidak ada yang lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku terpaksa merobohkan beberapa orang lagi!” Wanita itu berkata seakan-akan kepada diri sendiri, tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua kawannya.

 Giok Im Cu menjura ke arah wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti kepada diri sendiri, “Kami Sam-lojin (Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang usilan.”

 Maka tertawalah wanita itu dan kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu pergilah ia turun gunung dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya yang hitam dan juga berkibar-kibar tertiup angin di belakangnya. Dipandang dari jauh, ia seperti seekor kupu-kupu besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari pendengaran.

 Giok Im Cu menghela napas. “Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?” katanya perlahan seakan-akan kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.

 “Totiang, siapakah perempuan yang pandai menari itu?”

 Giok Yang Cu tertawa mendengar kata-kata ini. “Dasar kau tolol! Sehari penuh tidur terus, dan kini setelah bangun bicara tidak karuan. Kauanggap dia itu menari-nari? Ha-ha-ha!”

 Giok Im Cu berkata sambil menghela napas lagi. “Mana kau tahu? Tarian itu justru kepandaiannya yang membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan. Itulah ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis! Oleh karena kepandaian ini maka dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata Intan) dan namanya menggemparkan seluruh permukaan bumi.”

 “Tetapi mengapa Sam-wi takut kepada iblis itu?” tanya Cin Hai penasaran.

 “Takut sih tidak,” jawab Giok Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, “hanya saja, kita tidak tahu seluk-beluk urusan mereka, mengapa harus ikut campur dengannya?”

 Tetapi pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga tosu itu ingat akan laki-laki yang masih rebah di atas tanah, maka buru-buru mereka lalu menghampiri. Laki- laki yang rebah terlentang dengan wajahnya yang telah pucat itu kini makin kuning dan kedua matanya meram. Ketika Giok Im Cu perlahan meraba pundak orang itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat luka dalam yang cukup hebat, walaupun tidak dapat dikatakan membahayakan jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu menggunakan kepandaiannya menotok dan mengurut pundak yang terluka oleh tangan Giok-gan Kuibo yang halus putih tetapi ganas lihai itu!

  

 Laki-laki itu siuman dan membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat tiga orang tosu itu.

 “Kanglam Sam-lojin?” tanyanya perlahan.

 Giok Im Cu mengangguk. “Sicu siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan dia?”

 Laki-laki itu kembali tersenyum lalu duduk. “Siauwte Kang Ek Sian sungguh tak mengukur kepandaian sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona Bermata Intan), sungguh tak tahu diri!” jawaban ini merupakan tangkisan terhadap pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu maklum bahwa orang tak suka menceritakan sebab pertempurannya.

 “Untung bagimu ia masih berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut,” ia berkata singkat lalu mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan tempat itu.

 “Totiang, sebenarnya sampai di manakah kelihaian iblis wanita itu? Kulihat ia hanya seorang perempuan cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,” kata Cin Hai yang sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa seorang perempuan seperti itu ditakuti oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.

 “Ha-ha-ha, anak tolol, dengarlah!” kata Giok Yang Cu dan Cin Hai segera berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut tolol dan bodoh oleh tosu tinggi besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu selalu berterus terang kepadanya.

 “Perempuan yang kauanggap lemah-lembut itu, yang disebut orang-orang kang-ouw sebagai Biang Iblis Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan seorang diri saja telah naik ke Cin-liong-san dan mengobrak-abrik sarang berandal The Kok, membinasakan lebih dari dua puluh tauwbak dan kepala berandal dan membasmi lebih dari tiga puluh liauwlo (anak buah perampok), dan yang seorang diri saja telah mendatangi hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk dicoba kepandaiannya. Dan tahukah kau, bahwa selama itu hanya baru beberapa kali saja ia tidak dapat merobohkan orang? Pendeknya, jarang ada orang yang dapat mengalahkan dan karena tangannya yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan untuk berurusan dengan dia!”

 “Dan lagi,” sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, “coba kaulihat yang seorang lagi. Lebih hebat lagi!” Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka jerih.

 “Yang satu lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.

 Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sutenya. “Yang dimaksudkan oleh Sute tadi ialah seorang wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan Piok-gan Kuibo. Wanita ini adalah Sumoinya (Adik Perempuan Seperguruan) yang berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona ini masih muda dan kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Sucinya (Kakak Perempuan Seperguruannya) itu! Ang I Niocu pernah seorang diri naik ke Bu-tong-san dan menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-san dan ternyata ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan orang!”

 Mendengar kelihaian-kelihaian demikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking kagumnya. “Hebat sekali!” serunya kagum.

 Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya tergantung dan tak menginjak tanah, tetapi ia maju cepat sekali, hingga angin dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga tosu itu hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke bawah. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian hebatnya, apalagi tadi ia mendengar betapa mereka ini masih memuji-muji kepandaian orang lain, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian orang-orang yang mereka puji itu! Maka timbullah keinginan di dalam hatinya untuk belajar keras agar ia pun bisa memiliki kepandaian itu sehingga kelak tiada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.

 Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai tertawa geli karena di dalam pakaian yang besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu dan aneh sekali.

 “Mungkin anak gila,” terdengar orang berkata.

 “Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya,” kata orang lain.

  

 Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah, dikecilkan dan dijahit pula. Tetapi dengan keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab.

 “Tidak, biarkan sajalah! Biarkan anjing-anjing itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit! Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan mereka!” Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan dan ketabahan hati anak ini. Dan untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tidak peduli kepada semua orang yang mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan beberapa lagu merdu!

 Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam.

 Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan yang sangat liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu, berbeda dengan tempat yang penuh alang-alang, rumput dan pohon-pohon tua dan liar, terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan indah permai. Dan di tengah-tengahnya terdapat sebuah gunung kecil kecil yang ditumbuhi pohon-pohon liu, sedangkan bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri terdapat mulut gua yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam Sam-lojin. Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat guha terdapat sumber air yang memancar keluar dan mengalir merupakan beberapa anak sungai kecil yang airnya berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang hitam dan halus. Burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.

 Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat itu. Biarpun mulut gua itu tampak gelap, tetapi setelah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang masuk melalui beberapa lubang di kanan kiri yang menembus atas gunung.

 Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan dari ketiga tosu itu dengan bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar dari situ dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang yang pergi, kadang-kadang berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal seorang diri.

 Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu adalah saudara-saudara seperguruan, maka kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan yakni cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan khusus, yakni seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu. Giok Im Cu yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang telah mencap tingkat tinggi hingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam tangannya berubah menjadi senjata ampuh, hingga karena mengandalkan tenaga lweekangnya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulupun di waktu menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang ranting kayu. Sebaliknya daripada suhengnya Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, ia mahir sekali memainkan pedang yang digerakkan olehnya secara luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja ilmu pedangnya adalah Liong-san-kiam-hoat yang memang terkenal mempunyai gerakan-gerakan yang cukup lihai.

 Tosu ke tiga kalau dipandang begitu memang dapat menimbulkan pandangan rendah karena tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tetapi janganlah orang memandang rendah padanya, karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua suhengnya! Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang bersayap di kanan kiri sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Selain ini, ia memiliki ginkang yang paling sempurna di antara kedua suhengnya sehingga gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.

 Biarpun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan hebat, namun ia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki ketekunan kepada sesuatu yang disukainya. Justeru ia suka ilmu silat dan semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya. Apalagi ketika ia sering menerima pukulan dan hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi. Kini sekaligus ia mendapat didikan dari tiga orang lihai tentu saja ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah ia menerima pelajaran dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.

 Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka memberi pelajaran kepada Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi dan hendak membalasnya bukan berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap murid, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai peraturan lagi! Mereka berganti-ganti memberi pelajaran silat Liong-san-kun-hoat dengan cepat sekali, padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam, hingga seorang anak-anak seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara bertubi-tubi mana dapat mengingatnya? Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai bukanlah ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan latihan-latihan keras berhari-hari. Memang ketiga tosu itu karena penolakan Cin Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat mereka menjadi kurang perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir bahwa jika anak itu diberi kepandaian aseli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tak berhak melarangnya, karena ia bukan anak murid Liong-san-pai.

  

 Oleh karena tindakan ketiga tosu ini Cin Hai menjadi bingung sekali dan ia tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja ia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna, lain tosu telah memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan demikian, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah terlupa lagi!

 Biarpun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya dulu, ia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera melakukan hal yang cerdik juga. Dengan diam-diam ia menggunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, ia segera mengingat baik-baik dan malamnya ketika berada seorang diri dalam kamarnya di gua itu, ia segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang mengajarnya tadi!

 Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tetapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna betul. Ketiga tosu melihat ketololan anak itu, diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi, tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini sebetulnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol tetapi adalah karena waktunya banyak ia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya baik-baik secara rahasia.

BERSAMBUNG KE HAL 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar