Pendekar
Bodoh
Di sebelah barat kota Tiang-an,
di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua yang
temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi
huruf-huruf yang ditulis di dinding dan bermaksud sebagai puja-puji kepada
dewata berbunyi“Lam Bu 0 Mi To Hud” masih dapat terbaca, demikian pula
merk bio (kuil) itu yang dipasang di depan pintu luar dan berbunyi“Ban Hok
Tong” atau“Kuil Selaksa Rejeki.”
Pada siang hari yang sunyi itu terdengarlah
suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar
suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara pendeta berliamkeng bukan
merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera
yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak
yang nyaring dan bening.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!”
terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.
“Tahu, tahu...” suara anak kecil
itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua adalah
saudara!”
“Bagus! Tapi, tahukah kau
siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”
“Siapa, Sian-seng (Pak Guru)??
Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab
ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.
“Bodoh! Yang dimaksud dengan
saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah
rasa persaudaraan berdasarkan perikemanusiaan, tahu?”
Suara anak itu menandakan bahwa
ia masih sangat kecil, mana bisa ia menikmati “makanan rohani” yang berat ini.
Maka terdengar jawabannya takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti,
Sian-seng.”
“Memang kau tolol, bodoh, dungu
seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan tangan.
Nah, kaurasakan ini supaya mengerti!” Lalu terdengarlah suara tamparan, tapi
sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walaupun kalau orang menjenguk ke
dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam
tahun telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu menggigit bibirnya.
“Nah, sekarang kausebutkan
ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.” “Ujar-ujar yang mana,
Sian-seng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,” jawab murid itu.
“Ujar-ujar yang ke tiga.”
Sunyi sebentar, lalu terdengar
suara anak itu lantang, “Janganlah kau perbuat kepada lain orang sesuatu yang
kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!”
“Bodoh, itu adalah ujar-ujar
yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini
saja! Agaknya hanya ujar-ujar yang dapat memasuki batok kepalamu yang keras
itu.”
“Memang hak-seng paling suka
kepada ujar-ujar ini, Sian-seng,” jawab anak itu yang tiba-tiba menjadi berani.
“Mengapa begitu?”
“Harap Sian-seng terangkan dulu
apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan betul?”
“Tentu saja, tolol! Kalau tidak
baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”
“Kalau begitu, apakah Sian-seng
suka kalau kutampar mukamu?”
“Apa katamu? Kau... kau
bangsat....”
“Sian-seng tadi menampar pipiku,
tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang kita
pelajari?”
Untuk beberapa saat tak
terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi kemudian
terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu di luar kuil terjadilah
hal-hal yang lebih hebat lagi.
Seorang hwesio (pendeta) gundul
yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar menakutkan dan lengan
tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya, berhenti di luar kuil dan
ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar sekali yang tadi dipanggulnya. Ia
lalu duduk di atas keranjang itu sambil melihat ke arah pintu kuil dengan penuh
perhatian. Tiba-tiba dari dalam pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua
yang juga pendeta-pendeta penganut Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan
rambut itu digelung ke atas dan diikat ditengah-tengah. Tiga orang tosu itu
juga aneh karena yang seorang tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua
pendek tapi gesit sekali gerak-geriknya, sedangkan yang seorang lagi tinggi
besar dan bercambang bauk yang menyongot ke sana-sini, berbeda dengan dua orang
kawannya yang berjenggot putih panjang dan halus.
Hwesio gundul tinggi besar itu
ketika melihat tiga tosu ini keluar dari pintu kuil, tampak terkejut karena
memang ia tidak menduga sama sekali akan melihat mereka di situ. Sebaliknya,
ketiga orang tosu itu ketika melihat hwesio, juga kaget sekali dan mereka
bertiga lalu menggerakkan tubuh loncat menghampiri. Loncatan ini luar biasa
sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga telah melayang ke tempat
hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak (setombak kira-kira dua
meter)!
“Hai Kong, kau berani menemui
kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu jangkung kurus bertanya sambil
mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas tanah.
Tiba-tiba hwesio gundul yang
bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara ketawanya ini aneh sekali. Keras
dan parau memekakkan telinga dan sebentar merendah bagaikan suara orang
bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat jauh hingga guru dan murid yang
sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil itu menjadi terkejut. Anak kecil
itu tak dapat menahan keinginan tahunya, maka sambil membawa suling bambunya ia
berlari keluar dan dari kamar itu. Gurunya marah dan mengejarnya sambil
berteriak,
“Cin Hai… Cin Hai.... kau tolol
kembalilah nanti kuadukan kau kepada Pamanmu!”
Karena dikejar-kejar, Cin Hai
lari ke tempat yang rendah di pinggir kuil lalu memanjat naik. Ketika siucai
(sasterawan) tua yang kurus sekali seperti orang cacingan itu mengejar ke situ,
ia lalu memanjat ke atas genteng! Ternyata Cin Hai yang baru berusia enam tahun
itu berani sekali memanjat naik berlari di sepanjang wuwungan bangunan pinggir
dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan bulat kecil itu seperti berkilau
karena tertimpa cahaya matahari!
Gurunya berteriak-teriak
memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar pintu, tetapi tiba-tiba
sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang hwesio aneh yang kini saling
berhadapan di luar kuil itu. Ia menjadi takut dan buru-buru bersembunyi di
belakang pintu kuil! Cin Hai kini duduk di atas genteng dan memandang ke bawah.
Juga ia heran sekali melihat tiga orang itu yang kini siap hendak mengeroyok Si
Hwesio tinggi besar. Sementara itu, setelah tertawa keras yang mengejutkan Cin
Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar
dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang hebat sambil berkata, “Ha, ha,
ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu, jangan kalian sombong
karena kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun yang lalu di Heng-san!
Apakah kaukira aku takut menghadapi Kanglam Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kanglam)
yang tersohor? Ha, ha, ha! Kalian maju bertiga baru mengimbangi aku, tapi
sekarang jangankan bertiga, kautambah tiga belas lagi akan kutewaskan semua,
ha, ha!”
Kemudian hwesio gundul itu
menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat sekali. Berbeda dengan tubuhnya yang
besar dan kasar itu, gerakannya sebet dan gesit sekali. Tubuhnya bagaikan
lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja bergerak menyerang ketiga lawannya!
Tapi Kanglam Sam-lojin adalah
tiga tokoh persilatan yang telah lama disohorkan orang. Mereka ini adalah
tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan Liong-san-pai dan ketiganya
merupakan saudara seperguruan yang memiliki kepandaian silat tinggi dan keistimewaan
masing-masing. Giok Im Cu yang tertua memiliki tenaga lweekang yang tinggi
sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok Yang Cu yang tinggi besar dan
brewokan memiliki tenaga gwakang (tenaga luar, kekuatan urat) yang melebihi
tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng Cu adalah ahli mempergunakan
piauw (senjata rahasia yang disambitkan) bersayap. Di samping kepandaian khusus
ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan lihai sekali.
Maka, menghadapi serangan Hai
Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu berpencar dan menghadapi hwesio dari tiga
jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata luar biasa, karena gerak-geriknya aneh
seperti menari berlenggak-lenggok, sama sekali bukan seperti gerakan silat,
tapi kedua tangannya bagaikan dua ekor ular yang hidup dan sepuluh jari
tangannya pun hidup bergerak-gerak dan tiap jari selalu mengancam jalan darah
lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan disebut Jian-coa-kun-hoat atau
Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular dan setiap serangan yang
dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan datangnya secara tiba-tiba
tak terduga sama sekali! Baiknya ketiga tosu yang menjadi lawannya pernah
bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di puncak Heng-san hingga
ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula keganasan ilmu silat ini hingga mereka
dapat menjaga diri dan melancarkan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.
Cin Hai yang duduk di atas
genteng itu dengan senang menonton pertempuran dan gembira sekali. Memang ia
suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali di kota diadakan keramaian
dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia selalu pasti ada di antara
penonton, dan minggat dari gedung pamannya biarpun sudah dilarang. Kini ada
tontonan adu silat tanpa bayar tentu saja ia senang sekali. Apalagi adu silat
kali ini sungguh berbeda dengan adu silat biasa yang dilakukan di atas
panggung. Ia melihat, betapa empat orang yang berkelahi itu bergerak-gerak
dengan aneh sekali dan kedua matanya menjadi kabur dan silau ketika melihat
betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti oleh bayang-bayang hitam yang
bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini tak dapat membedakan lagi mana
hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya kadang-kadang
saja, warna merah dari jubah hwesio gundul itu masih tampak dan ternyata ia
terkurung di tengah-tengah. Sungguh satu tontonan yang mengasyikkan dan
menegangkan hati, apalagi karena Cin Hai tahu bahwa hwesio gundul itu dikeroyok
tiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda dengan segala
pibu (adu kepandaian silat) maka dengan tak terasa pula saking tegangnya Cin
Hai memasukkan ujung suling ke mulut seperti orang sedang meniup suling.
Sementara itu, ketiga tosu yang
mengeroyok Hai Kong Hosiang makin lama makin terdesak oleh Jian-coa-kun-hoat
yang benar-benar lihai. Mereka terkejut sekali karena betul-betul kepandaian Si
Gundul ini telah maju hebat dan jauh bedanya jika dibandingkan dengan tiga
tahun yang lalu. Karena tahu bahwa jika terus bertempur dengan tangan kosong
akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im Cu berseru keras,
“Hai Kong, kau benar-benar
hendak mengadu jiwa?”
Setelah berkata demikian, Giok
Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu mencabut ranting kayu yang tadi ketika
bertempur ia selipkan di ikat pinggangnya. Biarpun ranting itu hanya kecil
saja, namun berada di dalam tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang
ampuh karena ranting yang lemas itu dapat menerima tenaga lweekang yang ia
salurkan ke dalamnya. Kedua kawannya lalu meniru perbuatan ini, Giok Keng Cu
yang bertubuh kecil pendek dan sangat gesit itu lalu mencabut sebatang golok
besar bergagang emas yang ia putar-putar sampai menerbitkan angin dingin,
sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh
ternama dalam dongeng sejarah Samkok) lalu mencabut keluar sebatang pedang
pusaka yang berkilauan saking tajamnya!
Ketiga tosu dengan senjata
masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya bagaikan serangan badai
mengamuk.
“Ha, ha, ha! Hayo kalian
keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan kumampuskan seorang demi seorang!”
Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang
tadi tersimpan di sebelah dalam jubahnya hingga tidak kelihatan. Senjata ini
dilihat dari jauh kelihatan seperti sebatang kayu kering yang tidak lurus dan
bengkak-bengkok tapi kalau dilihat dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu
adalah seekor ular yang telah kering! Biarpun telah mati dan kering, tapi tubuh
binatang itu masih utuh dan lengkap, bahkan matanya yang melotot dan lidahnya
yang terjulur itu membuat ia seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh
juga berbahaya sekali karena ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular
berbisa yang luar biasa jahatnya. Hai Kong Hosiang memegang senjata tongkat
ular itu pada ekornya hingga kalau ia mainkan senjata istimewa ini, lidah ular
yang bercabang dua dan tajam itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah,
sedangkan mulut bergigi ular itu dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi
dengan kejahatan racun yang penuh di mulut ular itu yang membuat setiap luka
kecil pada tubuh lawan dapat menyeretnya ke lubang kuburan!
Sebentar saja keempat orang itu
telah bertanding pula, kini jauh lebih hebat karena kalau tadi tubuh mereka
masih tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari, maka kini
setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap dan sebagai gantinya tampak
gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya. Pertempuran
adu jiwa yang seru dan serem, tapi yang membuat pemandangan indah menarik
hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin gembira lagi.
Hampir saja ia bersorak dan
bertepuk tangan, tapi tiba-tiba kakinya yang menginjak genteng terpeleset
hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan pindah duduk di tempat yang
lebih rendah. Sementara itu, gurunya yang tadi bersembunyi di balik pintu,
ketika mencoba untuk menjenguk keluar dan menongolkan kepalanya, terkejut
sekali melihat keempat orang itu kini bertempur dengan senjata tajam, maka
segera kepala yang nongol itu ditariknya kembali ke belakang dengan cepat
seperti kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus kering seperti cecak
itu menggigil ketakutan!
Biarpun senjata di tangan Hai
Kong Hosiang hebat sekali dan permainan silatnya yang berdasarkan permainan
ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Ular) lihai dan berbahaya,
namun menghadapi tiga macam permainan senjata dari Kang-lam Sam-lojin itu, ia
merasa kewalahan dan keteter juga, gerakannya mulai tak tetap dan sinar ketiga
senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.
“Ha, Hai Kong, sekarang kau
hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil pendek menyindir sambil memperhebat
gerakan golok besarnya.
“Ha, ha ha! Tiga tikus tua, kamu
kira kalian akan terlepas dari tanganku, ha, ha!” Biarpun dalam keadaan
terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa. Kemudian terdengarlah bunyi
melengking yang aneh dari mulutnya. Suara ini menyerupai bunyi suling dan
melengking tinggi rendah seperti berlagu.
Dan pada saat itu, keranjang
rotan besar yang tadi dia panggul dan kini terletak di atas tanah, lalu
bergoyang-goyang dan tubuhnya terangkat naik seperti ada apa-apa di dalamnya
yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika bunyi lengking dari mulut Hai
Kong Hosiang itu meninggi, terbukalah tutup keranjang besar itu dan dari
dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali! Ular itu mendesis-desis dan
membuka mulutnya yang lebar, lidahnya yang merah dan tajam itu menusuk-nusuk
keluar dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Sepasang matanya liar memandang
ke arah suara lengking yang menggairahkannya. Kemudian ia keluar dari keranjang
itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu terangkat, naik bagaikan
sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari dalam keranjang keluar
pula ular lain berturut-turut hingga semua isi keranjang yang ternyata
mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah keluar semua.
Tiga orang tosu yang sedang
mendesak Hai Kong Hosiang, terkejut sekali melihat betapa lima ekor ular itu
cepat menghampiri mereka dan segera mengurung dalam segi lima yang teratur.
Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit, sedangkan tubuh mereka yang
berkembang dengan warna merah kehijauan itu berlenggak-lenggok seperti sedang
menari-nari. Nyata sekali bahwa gerakan-gerakan mereka terpengaruh oleh bunyi
lengking dari mulut Hai Kong Hosiang!
Giok Keng Cu cepat mengeluarkan
hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan sekali menggerakkan tangan, lima
batang menyambar ke arah dua ekor ular yang berada di depannya. Tapi pada saat
itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang menyambar dua benda hitam yang
membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga batang piauw yang masih
menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang ternyata gerakannya gesit
sekali itu!
Biarpun pada dasarnya mempunyai
hati yang besar dan ketabahan serta keberanian luar biasa, tapi ketika melihat
betapa dari keranjang itu keluar lima ekor ular yang menakutkan sekali, Cin Hai
merasa ngeri juga! Ia memandang keadaan di bawah dengan mata terbelalak dan
mulut ternganga. Bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang membuat
telinganya terasa sakit dan perasaannya tak enak sekali. Sementara gurunya yang
bersembunyi dengan tubuh menggigil, ketika mendengai bunyi lengking yang aneh
itu, tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat. Biarpun masih menggigil
ketakutan, ia memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi. Tapi pemandangan
yang dihadapinya sekarang terlampau hebat dan mengerikan untuknya. Jantungnya
terasa berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam
dadanya kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa
lemas dan roboh pingsan bagaikan sehelai kain yang dilepaskan, sedangkan di
bawah tubuhnya tiba-tiba menjadi basah!
Keadaan ketiga tosu itu makin
berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas desakan bunyi lengking dari Hai Kong
Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka. Sedikit demi sedikit kurungan mereka
makin rapat dan ketiga tosu yang bergerak di dalam kurungan itu tak dapat
keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin sempit. Mereka mempertahankan diri
dan melakukan serangan hebat dengan senjata mereka, tapi lima ular itu ternyata
gesit sekali dan dapat mengelakkan tiap serangan senjata lawan. Selain itu
masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal diam, tapi juga menyerang dengan
tak kurang hebatnya!
Keadaan tiga orang tosu itu
berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan tertolong lagi. Tapi pada saat itu,
dari atas terdengarlah bunyi yang lebih tinggi nadanya daripada bunyi lengking
dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh! Mendengar bunyi lengking yang lain ini
kelima ular itu agaknya menjadi bingung sekali. Gerakan mereka kacau-balau dan
mereka berlima mengangkat-angkat kepala tinggi-tinggi seakan-akan tak tahu
harus berbuat apa. Terang sekali bahwa mereka mencari-cari ke atas dengan
sepasang mata mereka untuk dapat mendengar “perintah” itu lebih nyata dan jelas
lagi! Melihat hal ini, Hai Kong Hosiang lalu menyelipkan tongkat ularnya di
dalam jubah dan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk memperkuat
perintahnya dan lengking yang keluar dari mulutnya makin menghebat. Tapi bunyi
lengking dari atas itu juga makin hebat seakan-akan tak mau kalah bersaing!
Ular-ular itu makin panik dan bingung hingga akhirnya seekor yang terkecil kena
sabet oleh ranting di tangan Giok Im Cu hingga berkelojotan!
Sebenarnya apakah yang terjadi?
Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang dengan enak-enak asyik nonton di atas
genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya meremang melihat lagak dan keganasan
ular-ular itu, makin lama makin tak tertahan mendenar bunyi lengking yang
keluar dari mulut Hai Kong Hosian dan suara itu seakan-akan menembus anak
telinganya dan langsung menusuk-nusuk hatinya. Maka ia menjadi marah, lalu
ditiupnyalah suling yang memang sejak tadi telah dimasukkan di mulutnya. Cin
Hai memang pandai meniup suling dan ia meniru-niru segala macam lagu yang
didengarnya. Kini mendengar nada lengking hwesio gundul yang aneh itu, ia
mencoba-coba dan bersusah payah untuk menirunya pula. Tapi, biarpun ia telah
meniup nada yang setinggi-tingginya tak juga dapat meniru dengan tepat dan baik,
bahkan suara lengking sulingnya terdengar sumbang dan lebih menyakitkan telinga
daripada suara Hai Kong Hosiang!
Akan tetapi aneh, ketika ia
telah meniup sulingnya, makin tinggi nada yang ditiupnya, makin berkuranglah
rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara yang dikeluarkan oleh hwesio
itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras bunyi sulingnya. Ketika ia
melirik ke bawah kegembiraannya bertambah karena ia melihat betapa hwesio
gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu tampaknya marah sekali,
sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan gerakannya.
Cin Hai lalu meniup dan meniup
lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal meniup nada yang tinggi-tinggi saja!
Ia sama sekali tidak mengira bahwa karena perbuatannya ini maka ular-ular itu
kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah menolong tiga orang itu.
Bukan main marahnya hati Hai
Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang nakal itu ternyata telah
menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya, padahal tadi ia telah
merasa pasti sekali bahwa tak lama lagi ketiga tosu itu tentu akan dapat ia
robohkan. Sebaliknya, tiga orang tosu itu ketika melihat betapa keadaan Hui
Kong Hosiang dan ular-ularnya telah kacau, segera menggunakan kesempatan itu
untuk meloncat keluar kurungan. Mereka bertiga mengeluarkan keringat dingin
karena keadaan mereka tadi benar-benar berbahaya.
“Hai Kong, kau makin tua makin
jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji, lalu ia mengajak kedua kawannya
pergi secepat mungkin. Ia tahu bahwa biarpun seekor ular hwesio itu telah dapat
dilukai, namun dengan empat ekor ularnya yang lihai, hwesio itu masih merupakan
lawan yang sangat tangguh dan sukar dilawan. Tanpa mempedulikan anak kecil
gundul yang tanpa disengaja telah menolong jiwa mereka, ketiga tosu itu lari
meninggalkan tempat itu.
Hai Kong Hosiang membanting
kakinya yang besar dan kuat. Ia tak mau mengejar, karena sungguhpun ia tak usah
kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi kalau dapat mengejar juga, apa gunanya?
Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya ia takkan menang menghadapi tiga orang
tosu yang lihai itu. Ia marah sekali karena gagal membunuh tiga orang musuh
lamanya bahkan seekor ularnya masih berkelojotan kena gebuk ranting Giok Im Cu
yang lihai. Tentu tulang punggung ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak
setan itu, pikirnya.
Hai Kong Hosiang melihat ke arah
Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya. Hwesio gundul itu lalu mengayun
tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam menyambar, Cin Hai sama sekali
tidak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu suling yang terpegang di
tangannya dan sedang ditiup itu telah terbang bagaikan direnggut oleh tangan
yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah, kembali tangan kiri Hai
Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang menuju arah kepala Cin
Hai! Hai Kong Hosiang dengan muka merah karena gemas telah membayangkan betapa
kepala anak kecil yang gundul seperti kepalanya sendiri itu akan pecah
ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu akan menggelinding turun dari atas
genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah heran dan kagetnya melihat pelornya itu
tiba-tiba saja mencong arahnya dan sebaliknya menghantam tembok di dekat anak
itu hingga tembus dan tembok itu berlubang!
Ketika ia sedang bengong
terdengar suara yang halus penuh kesabaran menegur.
“Tidak malukah kau, Hwesio?
Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?” Dan tiba-tiba saja di belakang Cin
Hai muncul seorang kakek tua berpakaian penuh tambalan. Kakek ini tubuhnya
sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku, bajunya tambal-tambalan, kesemuanya
membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga agaknya sangat aneh dan janggal
bila suara teguran yang halus dan sabar itu keluar dari mulutnya yang tampak
kasar kejam itu!
Ketika melihat kakek jembel itu,
Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa banyak cakap lagi ia mengambil semua ular
besarnya dan memasuk-masukkan mereka ini ke dalam keranjang kembali. Lalu ia
memanggul keranjang rotannya dan pergi secepat terbang dari situ sambil
mengomel panjang pendek.
“Setan alas benar-benar! Tak
seperti hari ini sialnya diriku. Gagal membasmi Kang-lam Sam-lojin, bertemu
dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya ia tidak menurunkan tangan jahat
kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya aku melelahkan diri?”
Tapi Hai Kong Hosiang keliru
kalau menganggap bahwa kakek jembel itu berlaku murah padanya karena pada saat
itu juga ia merasa betapa keranjang yang dipanggulnya menjadi berat dan
tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah ke atas pundaknya. Ia cepat
menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya. Apa yang dilihatnya? Kelima
ularnya telah mati semua dan di kepala kelima ular itu tampak luka kecil yang
mengalirkan darah. Ia tahu bahwa ini adalah akibat dari serangan gelap Bu Pun
Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan gin-ciam (jarum perak) untuk membunuh
ular-ular itu.
Melihat betapa binatang-binatang
peliharaan yang telah dipelihara dan dididik bertahun-tahun sampai pandai dan
dapat membela dirinya itu mati semua tiba-tiba Hai Kong Hosiang
membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio gundul yang bertubuh tinggi
besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu melampiaskan rasa mendongkol dan
marahnya.
Kemudian ia berdiri dan
meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia berkata. “Awas Bu Pun Su,
lain kali aku akan membunuhmu untuk ini!”
Cin Hai yang masih duduk di atas
genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang berdiri di belakangnya itu telah
menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek tua renta, dia tadi menyambit
dengan apakah?”
Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Si
Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali suara ketawanya sama sekali tidak
sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus. “Eh, anak tolol, dia tadi
menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si tua renta, sekarang kau
sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”
Sementara itu, guru anak itu
yang masih berdiri di belakang pintu, setelah mendengar di luar sunyi dan suara
Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari keluar dan memanggil-manggil.
“Cin Hai... Cin Hai... kau
turunlah, mari kita pulang!”
Tapi Cin Hai tak mempedulikannya
bahkan lalu bertanya kepada kakek yang menolongnya tadi, “Kakek, bagaimanakah
kau tadi menolongku?”
“Kau ingin mempelajarinya?”
tanya Bu Pun Su.
“Tentu saja, asal kau orang tua
sudi mengajarku,” jawab anak itu.
“Cin Hai... Cin Hai...”
terdengar gurunya memanggil lagi.
“Tunggulah sebentar, Sianseng,
itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.
“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !”
guru itu menjerit dan cepat ia menyelinap lagi ke belakang daun pintu. Cin Hai
menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek jembel itu,
“Dia juga Guruku dan mengajar
ilmu surat padaku.”
Bu Pun Su tertawa dan berkata,
“Kalau kau ingin aku mengajarmu,
kau harus mengangkat guru padaku.”
“Boleh, boleh, mengangkat guru
saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh menghafal ujar-ujar yang sulit, dan
membingungkan.”
“Lebih dari itu, anak bodoh. Kau
harus tunduk dan taat padaku serta menurut segala perintahku.”
Tiba-tiba Cin Hai merengut.
“Semua orang menyebutku bodoh, bahkan kau caIon guruku juga! Lama-lama aku bisa
percaya bahwa aku benar-benar bodoh.”
“Ha, ha, memang kau bodoh.
Bagaimana kau mau mentaati segala perintahku?”
“Tentu, tentu saja. Ada
ujar-ujar yang berkata bahwa apapun juga kata guru, murid harus taat dan
menurut.”
“Nah, kalau begitu, kau
loncatlah ke bawah!”
“Lo... lo... loncat ke bawah?”
Ci Hai memandang kakek jembel itu dengan matanya yang bundar terbelalak. “Tapi,
tapi... begini tinggi...”
Mata kakek jembel yang lebih
bundar dan lebih lebar itu berdiri.
“Ingat, apapun juga kata guru,
murid harus...”
“Iya, dah! Aku loncat!!” kata Ci
Hai yang lalu mengenjot kakinya dan mengayun tubuh ke bawah! Tapi ia tidak
terbanting dan kakinya tidak patah-patah sebagaimana yang ia khawatirkan,
karena pada saat ia terjun, sebuah tangan yang kuat telah memegang leher bajunya
dan membawanya turun dengan ringan.
“Bagus, kau harus turuti segala
perintahku. Kau pulanglah dengan gurumu itu dan setahun kemudian, sekembaliku
dari Nam-thian, kau akan kuambil!” Cin Hai yang kini maklum akan kelihaian
kakek jembel ini, mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul! Dan pada saat itu
pun Bu Pun Su berkelebat lenyap dari depan anak itu!
Cin Hai lalu mencari gurunya di
belakang pintu. Guru sekolahnya itu sampai menjumbul karena kaget ketika Cin
Hai tiba-tiba muncul di depannya sambil berteriak keras, “Sianseng!”
Melihat anak kecil itu, ia mulai
marah lagi. Dengan lengan terulur ia hendak menjiwir telinga Cin Hai, tapi anak
itu mengangkat kedua lengan ke atas melindungi telinganya sambil berkata,
“Sianseng, jangan kau berbuat
sesuatu kepada lain orang apa yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat
kepadamu!” dan ketika guru kurus kering itu menjadi makin marah dan hendak
menjatuhkan tamparan kepadanya, ia buru-buru berkata lagi, “Sianseng, bukankah
kau tadi mengajarkan Su-hai-ci-lwee-heng-te-ya? Mengapa Sianseng selalu memukul
hakseng tanpa ingat perikemanusiaan?”
Dihujani ujar-ujar yang sering
ia ajarkan kepada muridnya itu, Si Guru menjadi bohwat (habis daya) dan tangan
yang sudah diangkat naik itu diturunkan kembali.
“Hayo kita lekas pulang, takut
kalau siluman-siluman itu datang lagi” ia lalu memegang lengan muridnya dan
menyeretnya sambil berlari anjing menuju ke kota yang tak berapa jauh karena
tembok kotanya tampak dari kuil itu.
Anak kecil yang bernama Cin Hai
itu adalah seorang anak yatim piatu. Semenjak berusia empat tahun, ia telah
ditinggal mati kedua orang tuanya dan ia lalu dipelihara oleh ie-ienya (bibi
adik ibu) yang menjadi isteri ke dua dari Kwee In Liang, seorang pembesar
militer berpangkat touwtong yang tinggal di Tiang- an. Karena ketika ditinggal
mati kedua orang tuanya ia masih kecil sekali, maka Cin Hai tak dapat ingat
lagi bagaimana rupa kedua ayah bundanya dan tidak tahu pula bagaimana matinya.
Kwee-ciangkun (Panglima Kwee)
telah ditinggal mati oleh isterinya yang pertama hingga ia kawin lagi dengan
ie-ie dari Cin Hai itu. Dari isteri pertama ia mempunyai enam orang anak, lima
orang laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak laki-laki yang sulung berusia
sepuluh tahun dan tiap tahun tambah seorang anak hingga anak perempuan yang
bungsu itu kini telah berusia lima tahun! Mungkin karena setiap tahun
melahirkan anak inilah yang menyebabkan isteri Kwee-ciangkun menjadi lemah dan
jatuh sakit sampai matinya.
Kwee-ciangkun sangat memanjakan
anak-anaknya hingga mereka itu rata-rata bersifat manja dan nakal. Tapi hal ini
dapat dimengerti karena keenam orang anak-anak itu ditinggal mati ibunya ketika
usia mereka masih belum dewasa. Ketika itu Loan Nio, bibi Cin Hai itu, menjadi
pelayan di gedung keluarga Kwee, dan ia memang telah bekerja di situ semenjak
masih kanak-kanak hingga dewasa. Boleh dibilang semua anak-anak Kwee-ciangkun
ketika kecilnya diasuh oleh gadis ini sehingga mereka menjadi suka dan biasa
kepada Loan Nio. Maka, setelah ibu anak-anak itu meninggal, dan melihat sifat-sifat
yang baik serta wajah yang manis dari gadis itu, Kwee-ciangkun lalu
mengambilnya menjadi isteri kedua.
Memang boleh dipuji tindakan
panglima yang masih muda ini, karena pilihannya memang tepat dan bijaksana,
tidak semata-mata terdorong oleh nafsu ingin senang sendiri, tapi sebagian
besar didasarkan untuk kepentingan anak-anaknya. Demikianlah, Loan Nio menjadi
seorang isteri panglima dan sekaligus menjadi ibu enam orang anak, seorang ibu
yang baik karena di dalam hatinya memang ia mempunyai rasa kasih sayang
terhadap anak-anak yang semenjak kecil diasuhnya itu.
Cuma sayangnya, anak-anak itu
telah terlampau manja dan karena mereka pun tahu bahwa ibunya yang sekarang ini
bukanlah ibu sendiri, perasaan mereka tentu berbeda dan kadang-kadang terasa
sesuatu ganjalan yang tak menyenangkan. Apalagi ketika Loan Nio mendatangkan
anak kemenakannya yang telah yatim piatu, yakni Cin Hai, maka sering terjadi
hal-hal yang menyakiti hati Cin Hai dan Loan Nio, sungguhpun kejadian-kejadian
itu terjadi di luar tahu Kwee In Liang sendiri.
Kwee In Liang adalah seorang
pembesar militer yang memiliki kepandaian silat tinggi, karena ia adalah
seorang murid dari Kun-lun-pai. Karena ini, maka tidak heran bila ia mendidik
kelima puteranya dengan ilmu silat, di samping mendidik mereka dalam ilmu
surat. Ketika isterinya membawa Cin Hai ke dalam gedung, hal ini diterima oleh
Kwee-ciangkun dengan tangan terbuka dan senang hati, karena ia yang berhati
baik juga merasa kasihan kepada Cin Hai. Melihat bahwa Cin Hai usianya sebaya
dengan puteranya yang ke lima, maka ia lalu sekalian menyuruh Cin Hai belajar
sama-sama dengan putera-puteranya, di bawah pimpinan seorang guru sastera dan
untuk belajar silat, untuk tingkat permulaan ia serahkan mereka kepada seorang
guru silat she Tan yang terkenal di kota itu.
Tapi ternyata bahwa Cin Hai
menjadi korban dari segala ejekan dan kebencian. Anak ini kepalanya sengaja
digundul plontos karena dulu sering mendapat sakit kulit di kepalanya. Pula,
mukanya yang membayangkan kebodohan mungkin karena bingung dan banyak menangis
ketika ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, membuat ia menjadi bahan godaan
semua orang. Kalau sedang belajar bersama-sama dengan anak-anak Kwee-ciangkun,
jika ia tidak menghafal dan tak dapat menjawab pertanyaan guru, ia dimaki tolol
dan bodoh bahkan si guru tak segan-segan untuk mengetok kepalanya yang gundul
itu. Tapi kalau ia rajin menghafal hingga pengertiannya melebihi kelima
anak-anak Kwee-ciangkun, ia lalu dibenci oleh mereka itu dan dianggap sombong.
Tak jarang di luar tahunya orang-orang tua, ia dikeroyok, dipukuli, dan
dimaki-maki oleh kelima anak laki-laki Kwee-ciangkun itu.
Juga guru silat she Tan yang
mengajar mereka agaknya sengaja menghina Cin Hai. Entah mengapa, mungkin karena
mengingat bahwa anak gundul itu datang dari dusun, atau karena hendak
menyenangkan hati tuan-tuan muda yakni putera-putera Kwee-ciangkun, atau memang
ia sendiri mempunyai rasa tak suka melihat wajah Cin Hai, tapi nyatanya ia
tidak mengajar sungguh-sungguh kepada Cin Hai bahkan seringkali ia menyuruh Cin
Hai menghadapi Kwee Tiong putera tertua yang telah berusia sepuluh tahun itu
untuk berlatih. Tentu saja Cin Hai hanya mendapat gebukan-gebukan dalam latihan
itu karena selain kalah besar, juga kalah tenaga dan kalah kepandaian!
Baiknya, sikap yang tahu diri
dan agung dari Loan Nio yang telah menjadi “nai-nai” (nyonya) itu membuat semua
orang tak berani menghina Cin Hai secara berterang di muka nyonya muda itu. Dan
Loan Nio menjadi tempat Cin Hai menumpahkan segala kesedihannya. Kalau ia
sedang digoda atau dipukul, tak sebutir pun air mata dapat meloncat keluar dari
kedua matanya yang bundar, tapi kalau sudah berada dengan bibinya, dan kepala
yang gundul rebah di pangkuan nyonya muda itu, barulah air mata membanjir
keluar. Betapapun juga, tak pernah satu kalipun ia mengadu kepada bibinya
mengapa ia menangis, mengapa kepalanya benjol-benjol dan mukanya biru-biru.
Bibinya hanya menganggap bahwa lazim bagi seorang anak laki-laki untuk
kadang-kadang berkelahi sampai kepalanya benjol! Dan ia mengira bahwa kesedihan
anak itu karena teringat akan orang tuanya, maka ia tak pernah bertanya karena
tak mau menambah kesedihan anak itu.
Akan tetapi, tidak semua orang
berhati kejam dan buruk. Ada beberapa orang pelayan yang merasa kasihan melihat
nasib Cin Hai lalu diam-diam memberitahukan kepada Loan Nio tentang perlakuan
guru itu kepada Cin Hai. Biarpun hatinya sangat panas, tapi sebagai seorang
bijaksana yang panjang pikir, Loan Nio tidak menimbulkan ribut. Ia hanya
memberi tahu kepada Cin Hai supaya jangan belajar silat lagi dan sengaja ia
memanggil seorang guru sasterawan tua untuk mengajar Cin Hai. Cita-citanya
hanya agar supaya anak itu kelak menjadi seorang pandai yang dapat menempuh
ujian dan menggondol pangkat tinggi. Dan ia sengaja menyewa sebuah kamar di
kelenteng yang terletak di luar tembok kota sebelah barat itu untuk tempat Cin
Hai belajar.
Nyonya muda yang bijak mencinta
kemenakannya itu tentu saja tidak tahu bahwa Cin Hai memang tak begitu rajin
belajar dan guru kurus kering ini pun berlaku sewenang-wenang dan main ketok
kepala saja. Agaknya kepala Cin Hai yang gundul plontos itu memang mempunyai
daya penarik kepada orang untuk mengulurkan tangan dan mengetoknya!
Kelima putera Kwee-ciangkun
semua berwajah tampan dan gagah. Yang sulung bernama Kwee Tiong, ke dua Kwee
Sin, ke tiga Kwee Bun, ke empat Kwee Siang, ke lima Kwee An. Sedangkan anak ke
enam yang perempuan adalah seorang anak mungil dan manis, bermuka bundar dengan
mulut kecil dan mata lebar, namanya Kwee Lin dan biasa disebut Lin Lin. Karena hanya
mempunyai seorang saja anak perempuan, tak heran bila Kwee-ciangkun sangat
cinta kepada Lin Lin dan diam-diam, di luar tahu orang lain, setelah Lin Lin
berusia lima tahun, ia mulai menurunkan kepandaian silat yang tinggi kepada
anak perempuannya ini! Biarpun orang luar tidak tahu, namun Lin Lin tentu saja
sebagai seorang anak kecil tak dapat menyimpan rahasia dan membocorkannya
kepada saudara-saudaranya. Semua saudaranya merasa iri hati, tapi mereka tak
berani mengganggu Lin Lin, karena tahu betapa sayangnya ayah mereka kepada anak
yang bungsu lagi perempuan ini.
Guru Cin Hai yang kurus kering
itu adalah seorang she Kui. Setelah mengalami peristiwa aneh yang menyeramkan
di luar kuil tempat ia mengajar itu, ia lari ke gedung Kwee-ciangkun sambil
menarik tangan muridnya bagaikan dikejar setan. Ia tak mempedulikan celananya
yang telah menjadi basah karena tak tahan lagi saking kagetnya ketika melihat
orang-orang aneh itu bertempur, dan melihat ular-ular yang mengerikan itu.
Ketika memasuki pekarangan gedung
keluarga Kwee, mereka bertemu dengan Kwee Tiong.
“Eh, Kui-sianseng, mengapa kau
lari-lari seperti maling dikejar?” tanya anak itu.
“Twa-kongcu (Tuan Muda
Terbesar)... celaka... ada... ada... siluman...” jawab kakek kurus kering itu
gagap.
Kwee Tiong terbelalak memandang.
“Apa katamu? Siluman?”
Cin Hai memotong, “Ya, siluman
menyeramkan sekali. Beginilah macamnya...” ia lalu menggunakan kedua tangan
untuk menarik mata dan mulutnya sambil mengeluarkan suara “hii... hii... hi...”
Kwee Tiong menggerakkan hidungnya
ke atas mengejek, “Ah, betapapun buruknya, kukira siluman itu tidak lebih buruk
daripada mukamu!”
Cin Hai hanya tertawa
ha-ha-hi-hi dan ia menurut saja ketika gurunya terus menarik tangannya dibawa
ke dalam gedung menghadap bibinya.
Tentu saja nona muda itu
terkejut melihat kedatangan mereka yang tidak seperti biasanya, apalagi melihat
muka Kui-sianseng itu pucat dan tubuhnya gemetar.
“Eh, Kui-sianseng, mengapa masih
begini, siang sudah pulang? Apakah yang terjadi? Cin Hai, apakah kau berlaku
nakal tadi?” Cin Hai tersenyum kepada bibinya dan menggelengkan kepala.
“Maaf... saya... saya tidak
sanggup mengajar di kuil itu... ada... siluman...” Kui-sianseng itu masih saja
gugup, bingung dan takut.
“Sabarlah, Kui-sianseng,
sebetulnya apakah yang telah terjadi?”
Dengan suara terputus-putus,
sasterawan tua kurus kering itu lalu menceritakan segala peristiwa yang
dilihatnya tadi dengan ditambahi bumbu-bumbu yang timbul dari khayalan
pikirannya yang penuh kepercayaan tahyul hingga Cin Hai tertawa geli.
Akhirnya tanpa dapat ditahan
lagi, guru yang hafal segala ujar-ujar dan filsafat semua nabi tapi yang satu
pun tak pernah terbukti dalam segala perbuatannya itu lalu berpamit dan minta
berhenti, kemudian pergi dari situ. Kalau tidak takut kepada bibinya, tentu Cin
Hai bersorak karena girang hati bahwa akhirnya ia terlepas jua dari siksaan dan
godaan guru she Kui yang memaksa ia “makan” segala ujar-ujar di dalam buku-buku
tebal itu secara bulat-bulat!
Nyonya muda itu menghela napas.
“Cin Hai, mengapa nasibmu begini buruk? Agaknya tidak ada seorang guru yang
suka mengajarmu, habis bagaimanakah dan kau akan menjadi apakah kelak? Biarlah,
mulai sekarang, aku sendiri akan mengajarmu membaca dan menulis, tapi
pengertianku dalam hal ini juga tidak sangat banyak. Apakah terpaksa aku harus
memberi pelajaran menjahit dan menyulam padamu?”
Cin Hai menggunakan tangan kiri
untuk menutup mulutnya agar tidak tertawa geli. Ia belajar menyulam? Tapi ia
menjawab,
“Ie-ie, kalau memang kauanggap
perlu, boleh saja aku belajar menjahit dan menyulam.”
Bibinya melerok. “Anak tolol,
masak anak lelaki belajar menyulam?”
“Ie-ie, mengapa semua orang
menyebutku bodoh dan tolol, bahkan ie-ie sendiri juga menyebutku tolol? Apakah
benar-benar aku tolol? Ah... tentu saja aku bodoh dan tolol, kalau tidak masak
semua guru membenciku.” Bibinya menjadi terharu dan menariknya dekat-dekat.
“Tidak, Cin Hai, kau tidak
bodoh, asal saja kau mau rajin-rajin belajar.” Nyonya muda yang murah hati itu
mengelus-elus kepala Cin Hai yang gundul plontos.
“Itulah sukarnya, ie-ie, terus
terang saja, aku lebih suka belajar silat dan meniup suling.”
“Anak tolol...”
Cin Hai mengangkat telunjuk ke
atas.
“Nah, nah, lagi-lagi aku disebut
tolol!”
“Sudahlah, aku lupa. Kau tidak
boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus belajar ilmu surat agar kelak
menjadi seorang pandai yang memegang jabatan penting dan menjadi seorang
pembesar. Alangkah akan bangga dan senangnya hatiku kelak bila kau bisa menjadi
seorang pembesar yang dihormati orang!” Sampai di sini suara nyonya muda itu
terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia terisak.
Cin Hai memegang tangan bibinya,
“Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku akan belajar ilmu membaca dan menulis
dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku teringat bahwa sulingku telah lenyap dan
aku harus membuat lagi sebuah. Di hutan sebelah utara kota ada tumbuh
bambu-bambu kuning gading yang kecil dan dapat dibuat suling. Bolehkan aku ke
sana, ie-ie?”
“Baru saja datang mau pergi
lagi! Bagaimana kalau le-thiomu sewaktu-waktu bertanya tentang kau?”
“Kalau le-thio (Paman, suami
Bibi) bertanya beritahukan saja, ie-ie, dan lagi, untuk apa le-thio menanyakan
aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”
“Kau suka benar akan suling, Cin
Hai?” tanya ie-ienya.
“Ie-ie, suling adalah
satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak menyatakan segala perasaan hatiku,
aku nyatakan kepada seorang kawan baikku, sedangkan aku tidak... ya, kecuali
kau, aku tidak mempunyai kawan baik lagi selain suling bambu yang dapat
kutiup-tiup sesuka hatiku...”
Nyonya muda itu menghela napas
dan menggunakan saputangan untuk menahan air matanya. “Pergilah, Cin Hai.
Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.”
Cin Hai dengan girang hati lalu
berlari-lari keluar.
“Engko Hai. Kau mau ke mana?”
tiba-tiba terdengar suara halus menegur dari sebelah kiri dan seorang anak
perempuan muncul dengan rambutnya yang di kuncir bergantungan di kanan-kiri
lehernya.
“Eh, Lin Lin! Sampai kaget aku.
Kau tahu, setelah bertemu dengan para siluman dan setan itu, aku menjadi mudah
kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”
Anak perempuan itu mencibirkan
mulutnya yang kecil manis, tapi matanya yang lebar terbelalak, tanda bahwa ia
tertarik sekali.
“Apa? Kau tadi melihat siluman?
Di mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu sekali.
“Ah, nanti saja lain kali
kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”
“Engko Hai, kau mau ke manakah?”
“Mau ke hutan di sebelah utara
itu mencari bambu.”
“Aneh benar, itu di belakang kan
banyak bambu, mengapa mesti mencari jauh-jauh?”
“Ah, kau tahu apa? Bambu yang
kucari ini adalah bambu untuk suling.”
“Engko Hai, aku ikut! Nanti di
jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”
“Jangan!”
“Aku mau! Aku tidak minta
kaugendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak perempuan itu berkeras hingga
dengan muka “apa boleh buat”, Cin Hai lalu bertindak keluar, diikuti oleh Lin
Lin yang sementara itu telah mengeluarkan topi kakeknya dan memakainya hingga
dari belakang dan dari jauh ia kelihatan seperti seorang laki-laki. Memang anak
dari Kwee-ciangkun sangat dimanja dan bebas hingga boleh pergi ke mana mereka
suka tanpa ada yang berani mencegah.
Kedua anak itu berjalan dengan
tindakan yang pendek-pendek tapi cepat menuju ke jalan yang kecil. Jalan itu
mengarah ke utara, menuju ke luar kota di mana terdapat sebuah hutan besar
juga. Di sepanjang jalan Cin Hai bercerita tentang pengalamannya siang tadi,
dan ia menambahkan betapa dengan suara sulingnya ia mengusir semua ular
siluman! Ia menambah-nambahi ceritanya dan menonjolkan diri sendiri sebagai
jagoan hingga Lin Lin memandang padanya dengan matanya yang bagus itu setengah percaya
dan kagum!
Memang di antara anak-ahak
Kwee-ciangkun, yang tidak membenci kepada Cin Hai hanya Lin Lin seorang. Ini
bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena kalau mereka berdua dekat,
sering mereka berbantah dan bercekcok membawa mau sendiri, tapi tidak sampai
saling pukul atau saling membenci. Lin Lin memang sejak kecil telah memiliki
sifat peramah dan suka bergaul serta mempunyai perangai yang halus. Pula anak
ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu silat hingga pada saat itu biarpun
usianya belum lebih dari lima tahun, ia telah mempelajari dasar-dasar ilmu
silat.
“Engko Hai, itu yang kita tuju
sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke sana!”
Cin Hai memandang Lin Lin dengan
senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga, “Boleh, hayo kita mulai. Satu… dua...
ti...ga!” Dan larilah ia secepatnya untuk mendahului Lin Lin. Ia ingin
meninggalkan Lin Lin jauh-jauh agar ia dapat sampai di hutan lebih dulu dan
menanti anak perempuan itu sambil mentertawakannya!
Tidak tahunya ketika ia
menengok, ternyata Lin Lin telah lari di sebelahnya, bahkan perlahan-lahan tapi
tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat ia heran adalah kedua kaki Lin Lin
tampaknya begitu ringan dan langkahnya lebar dan tinggi! Kini Lin Lin telah
mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok sambil tersenyum manis tapi yang
menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya senyum itu mengejeknya! Ia merapatkan
gigi dan mempercepat larinya hingga benar-benar saja ia bisa menyusul lagi dan
mereka lari berendeng.
Akan tetapi, tidak seperti kelihatannya,
hutan yang di depan itu bukanlah dekat, tidak kurang dari setengah li jauhnya
hingga ketika mereka tiba di hutan dengan berbareng Cin Hai membuka mulutnya
dan dadanya turun naik karena ia terengah-engah bagaikan ikan dilempar di pasir
panas! Sebaliknya, Lin Lin hanya mengeluarkan peluh di leher dan di dahinya,
tapi napasnya biasa saja! Ini tidak mengherankan, karena anak perempuan itu
sejak kecil telah dilatih oleh Tan-kauwsu (Guru Silat Tan) dan juga telah
diberi latihan napas oleh ayahnya sendiri! Sedangkan Cin Hai hanya lari
sekuatnya dan mempergunakan tenaganya tanpa disesuaikan dengan jalan napas,
karena ia tidak pernah diberi latihan dasar pelajaran silat.
Biarpun merasa penasaran tidak
dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai terhindar dari rasa malu karena mereka
tiba di hutan berbareng.
“Tidak kusangka, Lin Lin, larimu
secepat kelinci!” katanya setelah napasnya pulih kembali.
Lin Lin tersenyum. “Dan larimu
seperti kuda.” Keduanya tertawa.
“Di mana tempat bambu yang kau
maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil memandang ke sekelilingnya takut-takut
karena di hutan itu memang besar dan agak gelap karena matahari telah mulai
turun.
“Di sebelah kiri sana, hayo!”
Cin Hai mengajak kawannya.
Betul saja, tidak jauh dari situ
terdapat rumpun bambu kuning gading yang bagus dan kecil-kecil serta lurus
batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat bahwa ia tidak membawa pisau atau
senjata tajam lainnya! Bagaimana ia harus mengambil itu? Sementara itu karena
berada di bawah pohon-pohon besar, keadaan makin gelap hingga mereka menjadi
cemas dan menyangka bahwa senja telah tiba. Cin Hai tidak berpikir panjang
lagi, maju dan memegang batang bambu yang diinginkan lalu mencabut sekuat
tenaganya.
Tapi sia-sia saja, karena bambu
itu banyak sekali akarnya dan kuat pula. Jangankan tenaga seorang kanak-kanak
seperti Cin Hai, biar seorang dewasa sekalipun belum tentu akan dapat mencabut
sebatang bambu dari rumpunnya. Betapapun juga, Cin Hai mempunyai kemauan keras
dan pantang mundur. Ia mencoba dan mencoba lagi sampai akhirnya ia berteriak
kesakitan karena tangannya penuh bulu bambu yang gatal!
“Biarkan aku mencobanya,” kata
Lin Lin. Ia ingat ketika ayahnya pernah memberi petunjuk kepadanya tentang
dasar-dasar melatih sinkang dan ayahnya pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang
dan menendang sebatang pohon hingga pohon itu jebol berikut akar-akarnya.
Karena tangannya sudah
gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin mencoba. Ia menyangka bahwa
anak perempuan itu tentu akar mencoba untuk mencabut seperti yang dilakukannya
tadi, maka ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin Lin, banyak bulu-bulu
gatal!”
Tapi alangkah herannya ketika
Lit Lin tidak mencabut, tapi memasang kuda-kuda, lalu dengan berseru, “Haih!”
anak itu menggunakan kaki kanan menyapu sebatang bambu! Batang bambu
bergoyang-goyang dan dua helai daunnya rontok, tapi batangnya tidak dapat
dijebolkan oleh tendangan Lin Lin tadi. Berkali-kali anak itu mencoba dengan
kedua kakinya, tapi sia-sia.
Tiba-tiba terdengar seruan orang
memuji, “Bagus betul!”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan
menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui, di belakang mereka telah berdiri
seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah buruk sekali. Kulit muka tokouw
itu hitam seperti pantat kuali, sedangkan pipinya telah kisut berkerut-kerut
dan mata sebelah kanan buta. Tokouw itu pakaiannya panjang dan longgar berwarna
putih dan di tangan kanannya terdapat sebuah hudtim (kebutan pertapa) yang
berbulu panjang berwarna putih pula. Di punggungnya tampak gagang sebilah
pedang.
Lin Lin dan Cin Hai terkejut
melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan Lin Lin merasa agak takut.
“Bagus, anak yang manis.
Siapakah yang mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan Menyapu Ribuan Tiang itu
tadi?”
Biarpun agak takut-takut Lin Lin
menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”
“Bagus! Sekarang kaulihat ini!”
Tokouw itu menggerakkan hudtim yang dipegangnya hingga ujung bulu hudtim yang
hanya beberapa lembar itu, yaitu bulu yang terpanjang membelit beberapa batang
bambu.
“Naik!” Tokouw itu berseru dan
heran sekali, rumpun bambu dengan kurang lebih lima belas batang bambu itu
dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut akar-akarnya. Tokouw itu
mengerakkan hudtimnya lagi dan rumpun bambu itu bagaikan dilontarkan oleh
tenaga yang kuat sekali terlempar beberapa tombak jauhnya lalu roboh ke arah
lain hingga daun-daunnya tidak menimpa mereka!
Lin Lin melongo, dan
terheran-heran, sedangkan Cin Hai tak dapat ditahan lagi bertepuk tangan dan
berseru, “Bagus! Bagus!” Ia tidak saja girang menyaksikan kehebatan tenaga ini,
tapi juga girang karena bambu yang dikehendaki telah berada di situ, tinggal
ambil saja!
“Nah, anak baik, sekarang
kauturutlah padaku dan menjadi muridku!”
“Tidak mau, aku tidak mau!” Lin
Lin berkata sambil melangkah mundur ketakutan.
Tokouw itu mengedikkan kepalanya
dan mukanya yang buruk itu makin tampak mengerikan.
“Dengarlah, anak manis. Ribuan
orang akan berlutut dan memohon-mohon di depanku untuk minta menjadi muridku.
Tapi kau menolak begitu saja!”
Lin Lin sekali lagi memandang
muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa rambut tokouw itu dikuncir panjang
dan membelit-belit di lehernya bagaikan seekor ular yang menambah keburukan
rupanya, anak itu melangkah mundur dan berkata lagi.
“Tidak, aku tidak mau...!”
Tapi tokouw itu tertawa ha-ha
hi-hi lalu berkata lagi.
“Kau berjodoh dengan aku,
betapapun juga kau harus menjadi muridku!” dan ia bertindak maju hendak
memegang lengan Lin Lin.
Tapi pada saat itu Cin Hai
membentak keras, “Jangan kau paksa dia! Cih, tidak tahu malu, orang tidak sudi
menjadi muridnya, dipaksa-paksa!”
Tokouw itu menggunakan mata
kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam, tapi mulutnya tetap tersenyum dan
berkata, “Kau boleh juga tapi tak berjodoh dengan aku.”
Lin Lin yang merasa ketakutan
hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan ketika tokouw itu mendekat dan
mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang kecil lalu memukul tangan itu.
Biarpun Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia telah terlatih baik dan
pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang baik. Tokouw buruk rupa itu
tertawa ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik... kau mau main-main?
Boleh coba kau serang terus padaku agar kuketahui sampai di mana kau telah
mempelajari ilmu pukulan!” Ia lalu bergerak-gerak menghindari pukulan-pukulan
Lin Lin.
Tiba-tiba Cin Hai membentak.
“Tokouw jahat, kau menggangu orang saja, apakah itu baik?” Ia lalu menyerang,
tapi karena Cin Hai belum pernah belajar silat dengan baik, pukulannya ngawur
dan sekenanya saja! Melihat kenekatan Cin Hai, tokouw itu lalu menangkap tangan
anak itu, tapi tiba-tiba tokouw itu meringis dan mendongkol sekali karena Cin
Hai tanpa dapat diduga lebih dulu telah menggunakan giginya menggigit tangan
itu! Dengan gerakan perlahan tokouw itu telah berhasil membanting Cin Hai
hingga anak itu merasa tulang-tulang punggungnya seperti remuk dan merayap
bangun sambil merintih-rintih. Baiknya tokouw itu hanya ingin melampiaskan
kemendongkolan hatinya saja dan tidak membanting sesungguhnya, hingga ia hanya
menderita sakit di luar saja. Tapi dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan
kenekatan luar biasa, sambil maju terpincang-pincang ia menyerang lagi!
Untuk kedua kalinya Cin Hai
terbanting ke tanah setelah kena ditowel pundaknya oleh jari telunjuk tokouw
itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang sejak tadi dan selalu memukul dan
menendang angin, telah mulai lelah dan berpeluh.
Kebetulan sekali pada saat itu
Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan) lewat di situ, hendak kembali ke
kota dari mengunjungi seorang kenalan. Ia kaget dan heran sekali melihat betapa
Lin Lin menyerang seorang tokouw yang bermuka seperti setan sedangkan Cin Hai
merangkak-rangkak kesakitan.
“Hai, tahan dulu!” Tan-kauwsu membentak
pertapa wanita itu yang segera menghadapinya. “Kau seorang pendeta mengapa
main-main dengan anak kecil?”
Tokouw itu tersenyum hingga wajahnya makin
buruk saja. “Pinni hendak membawa anak perempuan ini untuk dijadikan murid,”
katanya berterus terang.
Tan-kauwsu terkejut dan bertanya, “Siankouw
siapakah?”
“Sicu (Tuan yang gagah) berdandan sebagai guru
silat tapi belum kenal kepada pinni? Sungguh aneh! Ketahuilah Pinni she Biauw.”
Tan-kawsu makin terkejut karena ia teringat
akan seorang pertapa wanita yang disebut Biauw Suthai dan yang namanya telah
menggemparkan dunia persilatan, “ah, jadi siauwte berhadapan dengan Biauw
Suthai yang terkenal itu?”
“Ha, agaknya namaku terdengar juga sampai ke
Tiang-an,” kata tokouw itu senang.
Tan-kauwsu tak berani berkata kasar lagi dan
setelah menjura, ia berkata, “Siankouw, tentang pemungutan murid kepada anak
ini, kebetulan sekali siauwte adalah guru yang diserahi tugas oleh ayah anak
ini untuk mendidiknya. Tentu saja saya tidak merasa keberatan bila Siankouw
sudi memungut ia sebagai murid, akan tetapi hal ini harus dirundingkan dulu
dengan Ayahnya. Karena itu, saya persilakan kepadamu untuk menjumpai
Kwee-ciangkun dan merundingkan soal ini.”
“Sicu seperti tidak tahu saja kebiasaan kita
orang-orang kang-ouw. Kalau kita menghendaki sesuatu yang dirasa baik, maka
kita lakukan saja tanpa banyak rewel dan pusing. Siapa yang sudi mengadakan
rundingan dengan segala ciangkun? Aku hendak mengambil dia sebagai murid dan
habis perkara!”
“Kalau begitu, terpaksa siauwte berlaku
lancang dan melindungi anak ini.”
“Ha, kau hendak menghalangi maksudku membawa
anak ini?”
“Biarlah kali ini siauwte melupakan kebodohan
sendiri.”
TOKOUW yang buruk rupa itu tertawa panjang dan
mata kirinya memandang penuh ejekan. Melihat sikap pendeta perempuan itu
Tan-kauwsu lalu mencabut pedangnya. Suara ketawa Biauw Suthai makin aneh dan
menyeramkan ketika ia melihat gerakan Tan-kauwsu, lalu tiba-tiba saja kebutan
di tangannya menyambar ke arah guru silat itu! Tan-kauwsu maklum bahwa lawannya
adalah seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak berani berlaku sembrono.
Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat membalas serangan, ternyata ujung
kebutan tokauw itu telah menyambar kembali dan telah mengirim serangan pula
yang lebih berbahaya. Ujung kebutan itu selalu mengarah jalan darahnya,
merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali. Tan-kauwsu lalu menggunakan
pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, tapi tiba-tiba hudtim itu bagaikan
bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan sekali tokouw itu menggerakkan
tangannya, pedangnya telah terampas tanpa ia dapat bertahan pula! Dan pada saat
itu juga, kembali ujung hudtim telah menyambar pundaknya. Tan-kauwsu merasa
betapa tubuhnya menjadi kesemutan karena urat darahnya tersentuh hingga tidak
ampun lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak bertenaga.
Ketika ia merayap bangun lagi, ternyata tokouw
itu telah lenyap, begitupun Lin Lin telah hilang pula! Biarpun merasa benci
kepada tokouw berwajah buruk itu, tapi melihat betapa dalam beberapa gebrakan
saja guru silat Tan Hok itu jatuh bangun dan pedangnya terampas, Cin Hai merasa
puas sekali. Ia memang sangat benci kepada guru silat ini yang tak pernah
mengajar silat kepadanya, sebaliknya seringkali memukul dan mengadunya dengan
Kwee Tiong sehingga ia sering dipukul matang biru. Maka untuk menyatakan
kepuasan hatinya, ia tersenyum-senyum dan berkata kepada Tan-kauwsu.
“Tan-suhu, sakitkah engkau? Tokouw siluman itu
hebat dan lihai sekali, ya?”
Mendengar kata-kata ini, Tan-kauwsu merasa
makin gemas dan mendongkol sekali. Segala perasaan ini dikumpulkan menjadi satu
di dalam dada dan menjadi kemarahan besar yang kini seluruhnya ditujukan kepada
Cin Hai.
“Anak setan! Engkau sedang berbuat apa di sini
dan mengapa kauajak Nona Lin Lin? Tahukah kau bahwa kali ini engkau menimbulkan
bencana yang hebat sekali? Nona Lin Lin diculik orang, dan tahukah engkau apa
artinya ini? Batok kepalamu pasti akan diketok sampai pecah oleh
Kwee-ciangkun!”
“Bukan aku yang membawa Lin Lin, tapi dia
sendiri yang memaksa untuk ikut. Aku hendak mencari bambu ini untuk dibuat
suling dan ia ikut padaku. Salahkukah itu?”
“Anak tolol, kalau bukan salahmu, lalu siapa
lagi?”
“Tan-suhu, aku sih bukan lawan tokouw siluman
itu. Tapi engkau adalah guru silat yang katanya memiliki kepandaian tinggi,
mengapa kau biarkan saja Lin Lin diculik olehnya? Mengapa baru satu gebrakan
saja kau telah menyerah kalah?”
Baru saja bicara sampai di sini, tangan
Tan-kauwsu melayang dan kepala yang gundul itu ditempeleng hingga Cin Hai
merasa matanya gelap dan kepalanya terasa berputaran. Ia terhuyung-huyung dan
sebuah tendangan membuat ia terlempar dan tertelungkup di atas tanah sampai
mengeluarkan suara berdebuk. Malang baginya, sebuah batu menyambut mulutnya
hingga bibirnya berdarah.
Anak ini marah sekali di dalam hati dan rasa
sakit hatinya melenyapkan segala rasa sakit di tubuhnya. Ia cepat merayap
bangun dan berdiri dengan tegak sedangkan sepasang matanya memandang tajam,
sedikit pun tidak takut dan jerih.
“Nah, kau baru tahu adat sedikit sekarang
setelah kuhajar, ya?” kata Tan Hok uring-uringan.
“Tan-suhu memang beraninya hanya kepada anak
kecil yang tak berdaya. Alangkah baiknya kalau kegagahanmu ini kauperlihatkan
ketika menghadapi Biauw Suthai tadi, hingga Lin Lin tidak sampai terculik.”
“Bangsat kecil, kuhancurkan kepalamu!” Guru
silat itu melangkah maju dengan sikap mengancam. Tetapi Cin Hai tidak mundur
sedikit pun.
“Boleh, boleh! Pukullah aku sampai mati,
sayang Bibiku tak melihat kelakuanmu ini.”
Teringatlah Tan-kauwsu bahwa anak ini
setidak-tidaknya masih menjadi kemenakan dari Kwee-hujin maka ia menahan
tangannya yang telah terangkat di atas untuk menjatuhkan pukulan. Ia lalu
meludahi kepala anak yang gundul itu sambil membentak,
“Hayo pulang dan kau menjadi saksi utama
betapa aku telah membela Nona Lin Lin dengan mati-matian. Harus kau terangkan
duduknya perkara yang sebenarnya di hadapan Kwee-ciangkun!”
Cin Hai tak menjawab, tapi segera memungut
sebatang bambu kuning. Tan Hok menjadi marah dan ia menyambar tangan anak itu
dan diseretnya sambil berlari cepat!
Alangkah kaget dan marahnya Kwee In Liang
mendengar laporan Tan Hok. Mukanya sebentar merah sebentar pucat ketika
Tan-kauwsu berkata,
“Hamba sudah melawan mati-matian untuk
mencegah penculikan itu, tetapi ternyata Biauw Suthai sangat lihai hingga
akhirnya pedang hamba dapat terampas dan hamba dibikin tak berdaya. Sebelum
hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin telah dibawa pergi cepat sekali.”
Karena marah dan sedih, Kwee In Liang
menggebrak meja di depannya sambil membentak kepada Cin Hai, “Cin Hai! Mengapa
kauajak Lin Lin ke hutan tanpa memberi tahu siapa-siapa? Kau anak tolol lancang
sekali!”
Cin Hai merasa hatinya tertusuk. Biasanya
pamannya ini baik sekali terhadapnya, tak pernah memukul tak pernah memaki,
bahkan jarang sekali bertemu atau mengajaknya bicara. Sekarang ie-thionya
membentak dan memakinya, sungguh menyakitkan hati.
“Ie-thio (Paman),” katanya dengan suara
perlahan, “memang aku yang lancang. Biarlah aku pergi mencari Adik Lin Lin
sampai dapat...” Hampir saja Cin Hai mengeluarkan air mata karena kepiluan
hatinya. Ia meraba-raba kepala gundulnya yang masih merah karena ditempeleng
oleh Tan Hok tadi.
Melihat betapa kepala anak itu merah dan
bibirnya pecah-pecah, berkuranglah kemarahan Kwee In Liang, “Apakah engkau juga
dilukai oleh tokouw siluman itu?”
Sebelum Cin Hai menjawab, Tan Hok yang merasa
khawatir kalau-kalau anak itu mengadu, cepat berkata,
“Kalau tidak hamba lekas-lekas datang, tentu
kemenakan Ciangkun ini akan mendapat celaka pula.”
Cin Hai melirik kepada guru silat itu dengan
pandangan mata mengejek.
“Ya, ie-thio, sayang sekali bahwa baru maju
segebrakan saja, Tan-suhu yang lihai ini telah terampas pedangnya dan ia
dibikin jatuh bangun oleh ujung kebutan tokouw siluman itu!”
“Begitu lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang
kepada Tan Hok.
“Memang dia lihai sekali, dan hamba bukanlah
lawannya.” Tan Hok mengaku dengan muka merah karena malu dan kebenciannya
terhadap Cin Hai bertambah.
Karena kejadian itu, Kwee In Liang merasa
sedih sekali. Kwee-hujin, yang diberitahu oleh pelayan akan peristiwa itu
segera berlari keluar dan sambil menangis tersedu-sedu ia duduk di sebelah
Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta sekali kepada Lin Lin dan menganggap anak
itu sebagai anak sendiri, maka berita ini benar-benar menghancurkan hatinya.
“Cin Hai, kau... kau anak tolol! Bodoh dan
lancang! Mengapa kau mengajak Lin Lin pergi ke hutan? Bukankah engkau berpamit
padaku, engkau tidak menyatakan hendak pergi dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur
Cin Hai.
“Ie-ie, sungguh aku menyesal sekali, ie-ie...
Bukan kusengaja membawa dan mengajak Lin Lin, tapi ketika aku hendak keluar,
Adik Lin Lin melihat dan bertanya. Aku mengaku terus terang bahwa hendak
mencari bambu kuning di hutan dan ia memaksa hendak ikut.”
Sementara itu, Tan Hok melihat bahwa nyonya
muda itu keluar, segera mengundurkan diri. Kwee In Liang lalu memerintahkan
para pengawalnya untuk mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik kuda mencari
sampai jauh ke dalam hutan.
Biarpun kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak
menceritakan tentang perlakuan Tan-kauwsu yang sewenang-wenang padanya. Anak
ini memang tidak suka mengadu dan segala hal yang menyakitkan hati hanya ia
pendam di dalam dada sendiri saja. Ia selalu ingat akan ujar-ujar yang
bermaksud : Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula dan kejahatan dengan
keadilan! Maka dia menganggap kurang adil kalau ia membalas kejahatan Tan-kauwsu
dengan mengadukan halnya kepada ie-ie atau ie-thionya. Itu kurang adil dan
kurang tepat karena ia yang dijahati, maka baru adil kalau ia sendiri yang
membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu kelak akan tiba masanya ia membalas
segala perlakuan tak pantas itu. Hatinya telah merupakan buku catatan di mana
ia mencatatkan segala perlakuan baik dan buruk yang dijatuhkan orang kepadanya
dan yang ia anggap sudah menjadi kewajibannya untuk membayar lunas semua
perlakuan dan budi itu, baik yang jahat maupun yang baik.
Ketika Ie-thionya sedang sibuk mencari-cari
tokouw yang melarikan anaknya itu dibantu puluhan pengawal dan anak buahnya,
sedangkan bibinya menangisi nasib Lin Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret bambu
kuning ke belakang. Ia duduk di kebun belakang sambil asyik menggosok bambu itu
menghilangi bulu-bulu bambu dan mencabut daun dan cabang-cabangnya.
Tiba-tiba terdengar suara anak-anak memasuki
kebun itu. “Nah, itu dia Si Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata.
Yang masuk adalah lima orang anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun.
Mereka ini tampan wajah nya dan indah-indah pakaiannya. Yang sulung bernama
Kwee Tiong berusia sepuluh tahun, ke dua bernama Kwee Sin berusia sembilan
tahun, ke tiga Kwee Bun delapan tahun. Ke empat Kwee Siang berusia tujuh tahun
dan ke lima ialah Kwee An berusia enam tahun. Di antara mereka ini, hanya
dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul, karena selain Kwee An mempunyai
perangai yang baik dan halus, juga mereka ini sebaya, jadi lebih cocok. Yang empat
lainnya sudah biasa menggoda dan memukul atau memaki Cin Hai.
Kini mendengar betapa adik perempuan mereka
dibawa lari oleh karena tadinya ikut Cin Hai ke hutan, marahlah mereka. Bahkan
Kwee An yang bersedih kehilangan adiknya, juga marah. Mereka mencari Cin Hai
dan melihat Cin Hai duduk seorang diri membawa bambu kuning di dalam kebun,
mereka segera menangkapnya! Kwee Tiong lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai
ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai di situ dengan tali tadi.
Cin Hai tak dapat melawan karena ia sudah
lelah sekali bahkan tubuhnya masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai
tadi dan terutama bekas tangan Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh
kelima anak-anak itu, ia sama sekali tidak melawan, walaupun andaikata ia
melawan juga takkan berguna.
“Bangsat, mengakulah bahwa kau yang menjadi
gara-gara lenyapnya Lin Lin!” Kwee Tiong membentak.
“Bukan, bukan aku!” jawab Cin Hai sambil
membalas pandangan Kwee Tiong dengan berani.
“Kepala anjing!” Kwee Tiong memaki sambil
menempeleng kepala Cin Hai yang gundul itu.
“Bukan aku!” Cin Hai tetap berkokoh
menyangkal.
Kelima saudara yang sedang marah itu
berganti-ganti memukul dan menempeleng kepala Cin Hai yang gundut, tetapi
biarpun merasa kesakitan dan kepalanya pening, anak ini tetap berteriak-teriak,
“Bukan aku... bukan aku!”
Melihat betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan
suara teriakannya makin parau dan lemah, Kwee An menjadi kasihan dan timbul
sifat baiknya.
“Koko sekalian, aku jadi ingat akan perkataan
Ayah bahwa di dalam segala hal kita harus berlaku gagah berani. Sekarang kita
ikat Cin Hai dan memukulinya tanpa ia dapat membalas, apakah ini adil? Kurasa
ini bukan kelakuan gagah berani seperti yang dianjurkan oleh Ayah, dan kalau
Ayah melihat perbuatan kita ini tentu kita mendapat marah.”
“Eh, pengecut, apakah kau hendak membela dia?”
Kwee Tiong membentak marah kepada adiknya.
“Bukan pengecut, juga bukan membelaku,” Cin
Hai yang sudah matang biru mukanya dan lemas tubuhnya itu mewakili Kwee An
menjawab, “tapi dia ini telah banyak mempunyai kegagahan dari pada kamu
berempat yang terhadap seorang anak lebih kecil saja melakukan pengeroyokan
secara pengecut.”
“Plok!!” tangan Kwee Tiong terayun, menampar
mulut Cin Hai hingga bibir yang sudah bengkak karena jatuh terpukul oleh
Tan-kauwsu tadi, kini lukanya terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.
“Twako, kalau memang kau hendak main pukulan
dan berkelahi, lakukanlah secara ujur. Lepaskan dia lebih dulu dan berkelahi
dengan adil!” Kwee An berkata marah melihat kekejaman kakaknya, lalu ia sendiri
maju membuka belenggu tangan Cin Hai.
“Baik, baik! Kaubukalah ikatannya, biar ia
coba menahan seranganku,” kata Kwee Tiong gembira. Cin Hai merasa seluruh
tubuhnya lemas dan tak bertenaga maka biarpun ia sudah dilepaskan dari ikatan,
tetap saja ia tak berdaya. Sebaliknya, Kwee Tiong yang bertubuh tegap dan lebih
besar darinya itu, lagi pula memiliki kepandaian silat yang sudah lumayan,
segera maju menyerang dengan sepasang kepalan dan tendangan kakinya.
Berkali-kali Cin Hai dipukul jatuh dan selagi anak itu dengan mata kabur hendak
merayap bangun, sebuah tendangan Kwee Tiong tepat mengenai lambungnya hingga ia
tersungkur lagi.
“Nah, rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak
celaka, anak tolol, kau yang menjadi gara-gara sehingga Lin Lin terculik orang!
Rasakan ini!” Sambil menunggangi tubuh Cin Hai di punggungnya, Kwee Tiong
menghujani pukulan pada seluruh tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena
rasa sakitnya, Cin Hai lalu meramkan mata dan menggunakan kedua tangannya untuk
balas menyerang. Ia tak dapat memukul, tapi menangkap apa saja yang dapat
ditangkap. Karena kebingungan dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh
Kwee Tiong, Cin Hai menjadi nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan
tubuhnya yang tadinya tertelungkup itu sehingga menjadi miring.
Tangan kanannya menyerang ke depan dan
mencengkeram dan seketika itu juga terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena
tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat mencengkeram anggauta rahasia Kwee Tiong.
Mendengar jerit ini baru Cin Hai tahu bahwa
Kwee Tiong kesakitan hebat. Alangkah senang hatinya mendengar anak itu
menjerit-jerit kesakitan. Timbul niatnya untuk sekali remas membikin hancur
anggauta tubuh yang dicengkeramnya itu agar anak jahat yang telah cukup banyak
menghina dan cukup sering menyiksanya itu mampus seketika itu juga. Tetapi,
entah mengapa, di dalam pikirannya yang sudah kabur itu tiba-tiba terdengar
ujar-ujar nabi yang dipelajarinya. Betapa hebatnya Kwee Tiong menyiksanya dan
menghinanya, tetapi anak itu tidak sampai membunuhnya, kalau sekarang ia
membalas dengan membunuh, itu tidak adil namanya. Pula, ada ujar-ujar yang ia
lupa lagi bunyinya, tetapi yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh
sesamanya hanya untuk melampiaskan marah dan memuaskan perasaan. Teringat akan
semua ini, tiba-tiba cengkeraman tangannya mengendur.
Tadinya Kwee Tiong sudah sambat, bahkan tanpa
malu-malu lagi ia mengeluarkan kata-kata, “Cin Hai... lepaskan aku... ampun,
Cin Hai...” tetapi yang agaknya tidak terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa
betapa cengkeraman Cin Hai mengendur, kesempatan ini tak disia-siakan oleh Kwee
Tiong yang segera merenggut tangan Cin Hai itu dan meloncat berdiri.
“Bangsat! Anjing! Pengecut hina, kau berlaku
curang!” Kwee Tiong memaki-maki sambil gunakan kedua kakinya menendang-nendang
tubuh Cin Hai. Tapi anak gundul ini sama sekali tidak bergerak dan tidak
mengeluh.
“Tahan, Twako, ia... ia... mati!” tiba-tiba
Kwee An berseru sambil loncat berlutut.
“Hahh?? Mati...??” Kwee Tiong terkejut sekali
dan wajahnya berubah pucat seketika itu juga. Juga adik-adiknya yang tadi ikut
memaki-maki menjadi terkejut sekali dan beramai-ramai mereka berlutut untuk
melihat dan memeriksa tubuh Cin Hai.
Sebetulnya Cin Hai hanya pingsan saja tetapi
karena banyak mengeluarkan darah dan perutnya kosong, maka mukanya nampak pucat
sekali seperti mayat. Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan semua
anak-anak itu makin terkejut karena yang datang bukan lain ialah Loan Nio bibi
Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan Nio menyangka bahwa kemenakannya itu telah
mati, maka ia berteriak kaget. Dua orang pelayan lalu diperintahkan untuk
mengangkat tubuh anak itu ke dalam kamar, sedangkan Loan Nio memarahi kelima
saudara Kwee.
“An-ji, coba kauceritakan, apakah yang telah
terjadi tadi?” Loan Nio atau Kwee-hujin itu sengaja bertanya kepada Kwee An,
karena dia yang telah mengenal perangai semua anak-anak itu sejak kecil, tahu
bahwa hanya Kwee An yang boleh ia percaya.
“Cin Hai telah berkelahi dengan Eng-ko Tiong,”
kata Kwee An terus terang, lalu ia menceritakan tentang sebab-sebab
perkelahian, yakni bahwa mereka marah sekali karena menganggap bahwa Cin Hai
yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin Lin.
Loan Nio menghela napas, lalu berkata dengan
suara keren, “Anak-anak, memang perbuatan Cin Hai mengajak Lin Lin ke hutan itu
adalah sangat lancang dan tidak baik. Seharusnya ia memberi tahu dulu kepada
orang tua. Tetapi kurasa Cin Hai sudah cukup terhukum apalagi kalau diingat
bahwa dia biarpun kecil juga telah membela Lin Lin hingga terpukul oleh
penculik, maka kalian seharusnya dapat memaafkannya. Pula peristiwa telah
terjadi, Lin Lin masih belum ketemu, sekarang kalian tambahi kepusingan
orang-orang tua dengan perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak baik sekali!”
Pada saat itu Kwee In Liang kembali dari
pengejarannya kepada penculik itu. Wajahnya muram dan tampak lelah sekali.
“Bagaimana, terdapatkah?” Kwee-hujin bertanya
dengan muka cemas.
Kwee-ciangkun menggeleng-geleng kepala dan
menghela napas, nampaknya susah sekali. Kemudian melihat anak-anaknya yang
berada di situ seperti orang ketakutan.
“Anak-anak ini sedang bekerja apa di sini?
Mengapa tidak berada di kamar dan belajar?”
Terpaksa Loan Nio yang tak pernah membohong
segera menceritakan bahwa ia baru saja menegur mereka karena berkelahi dan
mengeroyok Cin Hai sehingga anak itu jatuh pingsan. Muka Kwee In Liang makin
muram mendengar ini, lalu ia membentak mereka supaya pergi ke kamar
masing-masing. Melihat kemarahan dan kesedihan suaminya, dengan manis budi Loan
Nio mencoba menghiburnya. Tetapi ayah yang kehilangan anak kesayangannya itu
hanya menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan berkali-kali menghela
napas.
“Tadi aku mendengar bahwa Biauw Suthai yang
menculik Lin Lin adalah seorang wanita gagah dan tokoh yang ternama sekali,
maka kurasa pertapa wanita itu tidak mempunyai maksud buruk. Barangkali dia
memang benar-benar suka kepada Lin Lin dan hanya bermaksud menurunkan ilmu
silatnya dan segala kepandaiannya kepada anak kita.” Kwee hujin menghibur.
Setelah menghela napas berulang-ulang Kwee In
Liang hanya menjawab perlahan, “Mudah-mudahan begitu. Karena kalau sampai
siluman wanita itu berani mengganggu selembar rambut saja dari anakku, harus ia
ganti dengan selembar jiwanya!” Dan panglima gagah ini mengertak-ngertak gigi
dan mengepal-ngepal tinju tangannya, sedangkan kedua matanya mengeluarkan sinar
mengancam.
Isterinya lalu menghiburnya lagi dan mengajak
suaminya yang bersedih itu masuk ke dalam gedung karena di luar telah mulai
gelap. Malam itu keadaan di gedung keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada
malam hari terdengar suara anak-anak menghafal sastera mereka, tetapi malam ini
sengaja dilarang mengeluarkan suara keras. Sore-sore Kwee Tiong dan keempat
adiknya telah pergi tidur sambil membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.
Cin Hai sendiri berbaring terlentang dengan
mata terbelalak memandang ke langit-langit kamar dan pikirannya melamun jauh
sekali. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi hatinya telah terhibur karena tadi
bibinya datang dan menghiburnya, serta memerintahkan pelayan untuk menyediakan
makan, bahkan dengan kedua tangannya sendiri bibi yang baik itu membaluri
seluruh tubuhnya yang bengkak-bengkak dan matang biru dengan minyak gosok.
Ketika tadi bibinya menggosok-gosok badannya
dengan minyak gosok, ia merasa terharu dan diam-diam air matanya mengalir di
kedua pipinya.
“Ie-ie, sebenarnya di manakah kedua orang
tuaku?” tanyanya perlahan.
Tangan bibinya yang menggosok-gosok puggungnya
itu tiba-tiba menggigil dan untuk sesaat berhenti menggosok, tapi lalu
terdengar jawabannya, “Anak, mengapa kau berkali-kali tanyakan hal ini?
Bukankah sudah kuberitahukan padamu bahwa kedua orang tuamu telah kembali ke
alam baka?”
“Tetapi di manakah makam mereka, ie-ie? Aku
ingin sekali mengunjungi makam orang tuaku.”
”Aku tidak tahu, Cin Hai.”
“Mengapa kau tidak tahu ie-ie, bukankah kau
adik mendiang ibuku?”
“Sudah berapa kali kukatakan, bahwa aku tidak
tahu, Cin Hai! Sudahlah, jangan kau mendesak terus. Kau harus mengaso, aku akan
kembali ke kamar, ie-thiomu masih sangat bersedih.” Nyonya muda itu lalu
mengelus-elus kepala kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi
sebelum melangkah ke luar pintu, Cin Hai menegur,
“Ie-ie yang baik!” Nyonya muda itu berhenti
lalu menengok dan Cin Hai melihat betapa Ie-ienya telah mengalirkan air mata!
“Setidak-tidaknya beritahukan padaku siapa
nama dan she Ayahku!”
“Kau she Kwee juga, bukankah sudah pernah
kuberitahukan padamu?”
“She... Kwee...? Ah, tak mungkin... ah,
mengapa kau membohongi Ie-ie yang baik? Aku bukan she Kwee...”
Tapi Ie-ienya telah melangkah keluar dari
pintu dan Cin I Hai mendengar suara sandal bibinya itu makin menjauhi kamarnya.
Demikianlah, setelah bibinya pergi, sampai
jauh malam Cin Hai tak dapat meramkan matanya. Bibinya telah membohong padanya
ketika menerangkan bahwa ia she Kwee! Juga bibinya telah membohong ketika
bilang bahwa ia tidak mengetahui makam kedua orang tuanya.
Ia dapat merasakan kebohongan itu, karena
setiap kali bibinya diajak bicara tentang hal kedua orang tuanya, selalu nyonya
muda itu tiba-tiba menjadi sedih dan gelisah, dan jawabannya selalu ragu-ragu.
Aku harus mencari kedua orang tuaku, aku harus tahu siapa sebenarnya diriku
ini.
Cin Hai turun dari pembaringan dengan maksud
hendak pergi ke kamar bibinya dan mendesak keterangan dan
penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan sepatu agar tindakan kakinya
tidak menerbitkan suara dan mengagetkan atau membangunkan orang lain dari
tidurnya. Ketika sudah tiba dekat kamar bibinya tiba-tiba ia mendengar suara
bibinya terisak menangis dan suara pamannya yang besar itu seakan-akan sedang
memarahi bibinya, Cin Hai bergerak hati-hati sekali ke arah kamar yang masih
terang karena lampu di dalam belum dipadamkan. Ia mendekati jendela dan
mengintai.
Ternyata bibinya sedang duduk di pembaringan
sambil menutup muka dengan selampai, menahan tangis. Pamannya berjalan
mondar-mandir di dalam kamar itu.
“Ayahnya yang berdosa, dan Ayah serta seluruh
keluarganya telah menebus dosa itu dan semua dihukum penggal leher. Sekarang
janganlah kauikut-ikutkan anaknya yang tak berdosa apa-apa.” Nyonya muda itu
berkata sambil menangis.
“Kaukira aku manusia berhati sekejam itu?
Kalau aku kejam, apakah aku memperbolehkan anak pemberontak itu berdiam di
rumahku sampai bertahun-tahun? Pemberontak she Sie yang menjadi iparmu itu
telah dihukum mati berikut semua keluarganya, dan aku sama sekali tiada
sangkut-paut dengan perkara itu.”
“Tiada sangkut-paut, hanya engkaulah yang
menangkap mereka semua,” kata Loan Nio.
“Apa salahnya? Bukanklah itu sudah menjadi
kewajibanku? Jangankan orang she Sie itu yang tiada hubungan apa-apa dengan
aku, biarpun andaikata adikku sendiri yang menjadi pemberontak, tentu aku akan
menangkapnya. Inilah jiwa seorang gagah. Harus kau ingat bahwa yang tiap hari
kita makan dan pakaian yang tiap hari kita pakai ini adalah hasilku mengabdi
kepada raja. Apakah aku hanya boleh menerima hasil saja tanpa memenuhi
kewajiban? Pula, bukan aku yang ingin dia dihukum, tetapi perintah atasan.
Tugas tetap tugas, perasaan pribadi jangan dibawa-bawa!” Agaknya panglima itu
marah betul karena terdorong kesedihan hatinya kehilangan Lin Lin.
Hening sejenak kecuali isak Loan Nio dan
elahan napas Kwee In Liang, kemudian terdengar nyonya muda itu berkata agak
sabar,
“Aku tahu semua itu, dan aku tidak salahkan
kau. Hanya mengenai anak ini, Cin Hai yang malang... kau berlakulah murah hati
sekali.”
“Istriku, betapapun juga kau pertimbangkanlah
baik-baik. Engkau lebih sayang Cin Hai daripada suamimu? Aku benci Cin Hai,
juga aku tidak menghubungkan dia dengan orang tuanya. Akan tetapi, semenjak Lin
Lin hilang... (sampai di sini suaranya sember dan sedih)... aku tak tahan
melihat muka Cin Hai lagi. Betapapun juga, Lin Lin diculik orang karena ikut
pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini takkan pernah hilang dari hatiku yang
menuduh dan mempersalahkannya, maka tidak baik kiranya kalau anak itu berada di
depan mataku. Tidak baik untuknya dan tidak baik untukku sendiri. Dia harus
pergi dari sini, titipkanlah kepada keluarga lain...”
Semenjak tadi, di luar Jendela Cin Hai
mendengar dengan air mata turun bagaikan hujan membasahi kedua pipinya.
Orang tuanya, semua keluarganya, mendapat
hukuman penggal kepala! Alangkah hebatnya! Ayahnya yang she Sie itu
disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah pemberontak? Perasaannya yang terasa
perih itu makin hancur mendengar betapa bibinya sampai bertengkar dengan
Ie-thionya karena dia! Pula, hatinya sakit sekali mendengar betapa ie-thionya
membencinya karena hilangnya Lin Lin dan ie-thionya telah mengambil keputusan
supaya ia pergi dari situ!
Cin Hai menggigit bibirnya yang tadinya mewek
menangis itu. Timbul perasaan angkuh di dalam kepalanya yang gundul. Orang tak
menghendaki dia di situ, untuk apa menanti lebih lama lagi? Ia tak perlu
minta-minta ampun dan mohon agar diperkenankan tinggal terus di situ. Ia harus
pergi karena ia bukan keluarga Kwee! Hanya ie-ienyalah yang menahan ia berada
di tempat itu selama ini karena ia amat mencinta ie-ienya yang berbudi baik
itu.
Dengan pikiran kacau balau, Cin Hai lalu pergi
dari situ dan dengan hati-hati sekali ia hendak keluar dan minggat dari gedung
keluarga Kwee. Ia benci sekali kepada Kwee In Liang, karena dari mulut pamannya
itu sendiri ia mendengar bahwa yang menangkap orang tuanya adalah pamannya itu
sendiri. Ia memasuki kamarnya dan mengambil semua-pakaiannya lalu dibuntal,
tetapi tiba-tiba ia teringat akan kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa
semua pakaian yang dipakai adalah hasil pengabdiannya kepada raja! Dan karena
pengabdian kepada raja itulah yang memaksa pamannya itu menangkap dan membasmi
seluruh keluarga Sie. Tiba-tiba timbullah rasa jijik dan bencinya kepada semua
pakaiannya dan dilemparkannya buntalan itu jauh-jauh dengan perasaan jijik. Ia
takkan membawa pakaian pemberian pamannya. Lalu ia teringat akan pakaiannya
sendiri, yang dipakainya ini pun pakaian pemberian bibinya yang berarti
pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu menanggalkan
semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari keluar. Tetapi dari
mana ia harus keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci.
Cin Hai yang gundul dan telanjang itu lalu berlari ke belakang dan memasuki
kebun. Angin malam yang dingin menyerang kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi
dikeraskan hatinya dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi kebun. Memang
ia telah biasa memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah
saja ia dapat memanjat dinding menggunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan
yang terdapat pada beberapa bagian dinding.
“He, bangsat kecil, kau hendak berbuat apa
lagi?”
Itu adalah suara Tan-kauwsu! Cin Hai terkejut
sekali dan ia memegang sulingnya erat-erat di tangan kanan. Memang, anak gundul
itu tidak membawa bekal apa-apa bahkan pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling
buatan sendiri itu tak ia lupakan. Ketika Tan-kauwsu sudah datang dekat dan
melihat betapa Cin Hai dengan bertelanjang bulat berada di atas dinding, ia
merasa heran sekali dan untuk beberapa lama ia berdiri bengong memandang. Sudah
gilakah anak ini? Demikian ia berpikir, kemudian timbul maksudnya hendak
menangkap dan menyerahkannya kepada Kwee-ciangkun dalam keadaan demikian, agar
anak itu dan juga bibinya merasa malu!
“Bangsat tolol, turun kau!” bentaknya.
Tapi dalam takut dan bingungnya Cin Hai tak
mempedulikan bahaya lagi. Ia meloncat di sebelah luar dan untung sekali ia
jatuh ke dalam semak-semak hingga kakinya tidak patah-patah, hanya tubuhnya
yang telanjang itu saja lecet-lecet. Ia lalu berdiri dan lari dalam malam gelap
secepat mungkin. Tan Hok, guru silat yang membenci Cin Hai itu menjadi
penagaran dan marah. Sekali loncat saja ia sudah berada di atas dinding. Tetapi
malam itu gelap sekali sehingga ia tak melihat Cin Hai. Ia memanggil-manggil
dan memaki-maki. Tiba-tiba ia mendengar suara keluhan, karena pada saat itu,
Cin Hai yang sudah lari agak jauh itu tersandung akar pohon di dalam gelap
hingga tubuhnya terguling! Karena dadanya yang telanjang tertumbuk pada akar,
maka tanpa disengaja ia mengeluh hingga terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini
meloncat turun dari tembok dan mengejar ke arah suara itu sambil memaki,
“Anak totol, apakah kau sudah gila?”
Cin Hai makin takut dan ia berdiri lagi lalu
memaksa kakinya yang terasa sakit karena jatuh itu untuk berlari lagi. Saat itu
telah lama lewat tengah malam hingga keadaan gelap sekali. Tetapi dari suara
kaki Cin Hai yang berlari-lari dapat juga Tan Hok mengejar ke mana anak itu
berlari. Hanya keadaan yang sangat gelap itu membuat Tan-kauwsu tak mungkin
dapat berlari cepat, takut kalau-kalau ia akan menabrak pohon atau terjeblos
dalam tanah berlubang.
Sebaliknya, Cin Hai yang ketakutan dan
bingung, tak mempedulikan semua ini dan ia lari sekerasnya. Maksud hatinya
hendak lari secepat-cepatnya agar dapat menghindarkan diri dari tangan guru
silat yang jahat dan yang pasti akan membawanya kembali ke tempat yang tak
disukainya itu. Oleh karena berlari dengan nekad membuta ini, tiba-tiba ia
terjeblos ke bawah! Cin Hai terkejut sekali tetapi tak berani mengeluarkan
keluhan, takut kalau-kalau pengejarnya mendengarnya.
Ketika ia meraba-raba di sekitar dirinya,
ternyata ia telah terjeblos ke dalam tanah lumpur yang lembek berair. Setelah
berpikir-pikir sejenak dapatlah ia menduga bahwa ia tentu terjatuh ke dalam
kolam lumpur yang biasa digunakan oleh para penggembala kerbau untuk membawa
kerbau-kerbau mereka mandi lumpur di situ. Anehnya, kalau tadi ia merasa
tubuhnya dingin sekali karena angin yang meniup-niup tubuhnya, kini setelah
masuk ke dalam lumpur itu, ia merasa hangat! Agaknya seperti ada hawa yang aneh
dan hangat keluar dari kolam lumpur itu.
Akan tetapi, rasa girangnya hanya sebentar
saja karena lagi-lagi terdengar suara makian guru silat yang masih tetap
mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi gemas sekali. Kalau saja ia kuasa mengalahkan
guru silat itu pasti ia akan menghajar habis-habisan padanya! Ia memutar-mutar
otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari akal.
Tan Hok si guru silat merasa mendongkol
sekali. Biarpun ia lari tidak cepat, tetapi telah dua kali ia menabrak pohon
hingga tabrakan yang ke dua kali membuat hidungnya berdarah! Ia tidak
menyesalkan hidungnya yang terlalu panjang itu, tetapi menimpakan semua
penyesalan, kemendongkolan, dan kemarahannya kepada Cin Hai.
“Anak tolol, anak binatang rendah, anak haram!
Kalau kau sampai terpegang olehku, tentu akan kubeset kulit kepalamu!” demikian
ia memaki-maki dan maju terus, tetapi kini dengan kedua tangan di depan agar
jangan sampai tertumbuk pada pohon lagi.
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki Cin Hai
berlari-lari di depan. Ia mendengar jelas betapa napas anak itu terengah-engah
dan beberapa kali mengaduh-aduh. Girang hatinya mendengar ini.
“Bangsat kecil, kau hendak lari ke mana
sekarang?” bentaknya dan ia mempercepat larinya, karena ia pun mendengar suara
kaki anak itu berlari makin cepat. Ia maju dengan langkah lebar, tetapi setelah
berlari beberapa tindak tiba-tiba ia menjerit dan terdengar betapa tubuhnya
yang besar itu jatuh terjerambab di dalam kolam lumpur! Celakanya ia jatuh
telungkup hingga mukannya penuh tertutup lumpur.
“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya!” terdengar Cin
Hai mentertawakan guru silat itu. Ternyata tadi anak itu mendapat akal untuk
menjebak pengejarnya. Ia berdiri di seberang kolam lumpur, lalu berlari di
tempat sambil sengaja mengeluarkan suara napas terengah-engah. Tan kauwsu
telungkup di dalam lumpur bagaikan seekor kerbau besar! Setelah puas
memaki-maki dan mengejek serta mentertawakan Tan Kauwsu, Cin Hai lalu berlari
lagi ke depan dengan cepat. Kini malam telah hampir terganti fajar hingga samar-samar
mata dapat menembus kegelapan yang dari warna gelap hitam menjadi abu-abu.
Sudah tentu Tan Hok meluap rasa marahnya.
Untuk beberapa lama ia tak berdaya karena selain merasa pengap lubang hidungnya
tertutup lumpur, juga ia merasa bingung bagaimana harus membersihkan lumpur
yang memasuki mata kirinya! Akhirnya ia dapat juga ke luar dari kolam lumpur
itu dan dapat menggunakan bajunya yang masih bersih, yakni yang berada di
bagian belakang tubuhnya, untuk membersihkan lumpur dari hidung, mulut dan
matanya. Biarpun mata kirinya masih terasa pedas dan lamur, tetapi dengan mata
kanan ia dapat memandang ke depan. Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di
depan dan tanpa membuang waktu ia segera lari mengejar.
Fajar telah menyingsing ketika dari jauh Tan
Hok dapat melihat berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru silat ini
mengeluarkan seruan girang, karena ia sebentar lagi pasti akan dapat memuaskan
hati membalas dendam kepada setan cilik itu! Ia memperkuat larinya dan sebentar
saja jarak antara ia dan Cin Hai yang berlari sekuatnya itu tinggal beberapa
tombak saja lagi!
“Bocah tolol! Sekarang kau hendak lari ke
mana? Bersiaplah untuk mampus di tanganku!” teriak Tan Hok dengan girang sekali
dan ia sudah siap mengulurkan tangan untuk menangkap.
Cin Hai yang sudah putus asa tidak mau
menerima nasib. Ia bahkan berlari sekerasnya dan ia sudah mengambil keputusan
tetap bahwa bilamana ia tertangkap, sebelum mati ia hendak melawan dulu
sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan dan giginya untuk melawan. Ia ingat
bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata bahwa lebih baik mati sebagai harimau
daripada mati sebagai babi!
Tetapi pada saat itu, ketika ia sudah
mendengar suara kaki dan napas Tan-kauwsu dekat sekali di belakangnya,
tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang berdiri di depannya! Dan tahu-tahu
tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk di atas lengan seorang tua yang
pendek. Cin Hai menjadi terkejut, heran dan bingung sekali. Mengapa tahu-tahu
ada seorang tua pendek di depannya dan bagaimana maka ia tahu-tahu sudah
melayang ke atas dan duduk di atas lengan kanan orang tua itu yang bertubuh
pendek, dan mulutnya selalu menyeringai, memakai jubah hitam dan kopiah hitam
pula. Maka teringatlah dia bahwa orang ini bukan lain ialah seorang di antara
tiga orang yang belum lama ini bertempur melawan hwesio gundul pemelihara ular
di depan Kelenteng Ban-hok-tong!
Sementara itu, Tan Hok ketika melihat betapa
seorang tosu pendek tahu-tahu menangkap Cin Hai dan berdiri di depannya,
menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu itu yang bukan lain ialah Giok Keng Cu,
orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin (Tiga Orang Tua dari Kanglam) tidak
kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan Hok. Ia tidak mengenal anak itu
karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian lumpur yang telah mulai
mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang juga penuh dengan
lumpur pada seluruh tubuh bagian depan. Ia hanya memandang sambil menyeringai
dan tertawa ha-ha-hi-hi.
Tan-kauwsu ketika melihat bahwa tosu pendek
itu hanya orang biasa saja yang berpakaian sebagai seorang pendeta menyangka
bahwa tosu itu kebetulan saja berada di situ, maka ia lalu membentak keras
karena hatinya masih panas penuh kemarahan,
“Totiang, kauberikan anak tolol itu kepadaku!”
Mendengar kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu
bertanya.
“Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak
ini?”
“Siapa sudi menjadi ayah anak haram ini? Dia
ini... adalah bujang dari keluarga Kwee yang melarikan diri dan aku mendapat
tugas menangkapnya! Lekas lepaskan dia!”
“Sabar dulu, Sicu, sabar dan tenanglah! Aku
ingin sekali tahu, mengapa anak ini bertelanjang bulat dan penuh lumpur dan
mengapa pula kau juga agaknya mandi lumpur? Kalian ini orang-orang Tiang-an
agaknya suka benar dengan lumpur.”
Tiba-tiba Cin Hai tertawa geli. Ia menganggap
tosu ini lucu dan ia merasa senang mendengar betapa Tan Hok dipermainkan. Ia
pun maklum bahwa tosu pendek ini lihai sekali, maka hatinya menjadi tabah dan
keberaniannya timbul.
“Totiang, kau harus menonton ketika kerbau
hitam ini kujerumuskan ke dalam lumpur! Kerbau ini adalah kerbau gila, Totiang,
ia mengejarku dari malam tadi dengan maksud membunuhku, tetapi sayang aku
terlalu cepat baginya.”
“Bangsat kecil!”, Tan Hok meloncat maju dan
hendak menerkam Cin Hai serta merampasnya dari tangan tosu itu tetapi dengan
sekali menggerakkan lengan saja tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga
terhindar dari serangan Tan Hok, lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima
lagi dengan lengannya!
“Sabar dulu, Sicu. Biar pinto dengar dulu
penuturan bocah ini. Hai, anak bodoh, coba, kau ceritakan padaku hal yang
sebenarnya telah terjadi.” Diam-diam tosu ini suka sekali melihat keberanian
Cin Hai, hanya ia masih heran mengapa bocah kecil yang membawa-bawa suling ini
bertelanjang bulat dan tubuhnya penuh lumpur.
Dengan singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa
ia melarikan diri dari gedung keluarga Kwee karena ia dibenci. Ia sama gekali
tidak mau menceritakan tentang sebab-sebab yang sebenarnya dari kepergiannya
itu. Ia menceritakan bahwa ia sengaja meninggalkan pakaiannya karena tidak mau
pergi membawa sepotong barang dari gedung itu, takut kalau-kalau disangka
mencuri, dan betapa di tengah jalan ia dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya
memang benci padanya.
“Betul demikiankah, Sicu?” tanya Giok Keng Cu
dengan tetap menyeringai.
“Sudahlah, kau orang tua jangan ikut campur
urusan ini. Ketahuilah, anak ini ikut dengan keluarga Kwee-ciangkun dan aku
adalah guru silat di gedung itu. Jangan kau mencari penyakit!” Tan Hok
membentak marah.
Giok Keng Cu berpaling kepada Cin Hai yang
masih duduk di atas lengannya lalu bertanya sambil tertawa, “Anak gundul,
apakah kau sering dipukul oleh Kauwsu ini?”
“Bukan sering lagi, kalau ia diberi kesempatan
tentu akan dibunuhnya!” jawab Cin Hai terus terang.
“Apakah kau berani melawannya kalau diberi
kesempatan?”
“Kalau aku mempunyai kepandaian seperti
Totiang, tentu kerbau hitam ini akan kuhajar kepalanya sampai benjut!”
“Anjing kecil, kau turunlah!” Tan Hok
menantang.
“Nah, kalau kau berani, kau lawanlah dia
sambil duduk di atas lenganku!” kata Giok Keng Cu sambil tertawa.
Cin Hai belum mengerti benar maksud tosu itu,
ia yakin bahwa tosu ini bermaksud membantunya, maka ia mengangguk-angguk dan
berkata, “Baik, baik, akan kupukul kepalanya sampai benjol dan benjut.”
“Pukullah!” kata Giok Keng Cu sambil
mengulurkan lengan yang diduduki Cin Hai ke dekat Tan Hok dan benar-benar Cin
Hai mengayun kepalan tangannya arah kepala guru silat itu. Mana Tan Hok mandah
saja dirinya dipukul, ia mengangkat tangan kiri menangkis dan tangan kanannya
memukul ke arah muka Cin Hai, maksudnya hendak sekali pukul menjatuhkan anak
itu dari atas lengan Si tosu. Tetapi Giok Keng Cu menggerakkan lengannya dan
tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke lengan kiri!
“Guru silat, kalau kau bisa menjatuhkan anak
ini dari lenganku, boleh kau bawa dia!” Giok Keng Cu mengejek. Tan Hok marah
sekali dan ia lalu menyerang, tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu
itu dengan cepat menghindari setiap serangannya, bahkan tangan anak itu balas
menghantam!
Tan Hok dengan geram dan marah lalu maju dan
menyerang dengan gerak tipu Cin-jip-houw-hiat (Terjang Masuk Gua Harimau),
sebuah serangan yang hebat sekali karena dilakukan dengan dua tangan. Kalau
kepala Cin Hai yang gundul terkena pukulan ini, pasti otaknya akan berceceran
keluar dari batok kepalanya yang pecah! Tetapi dengan enak dan tenang Giok Keng
Cu meloncat ke pinggir dan menggerakkan lengannya dengan cepat sekali.
Tahu-tahu Cin Hai merasa dirinya terlempar ke atas melalui kepala Tan Hok, maka
cepat anak itu menggunakan kakinya menyepak ke arah kepala itu! Tan Hok yang
kena sepak kepalanya menjadi marah sekali dan menggunakan tangan hendak
menerkam tubuh yang masih berada di atasnya itu, tetapi tangan Giok Keng Cu
lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga tubuh Cin Hai dan dibawa turun lagi.
Demikianlah, dengan gerakan-gerakan aneh dan
cepat melebihi angin, Cin Hai dapat dibawa oleh lengan Giok Keng Cu
mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali kepalan Cin Hai yang kecil dapat memukul
muka, kepala dan dada guru silat itu sekerasnya, tetapi akibatnya ia sendiri
yang mengeluh dan mengaduh karena anggauta tubuh guru silat yang terlatih itu
keras dan, kuat, sedangkan kepalan tangannya lemah tak terlatih.
“Totiang, tanganku sakit.” Cin Hai berbisik.
“Anak tolol, kaupukul daun telinganya!” Giok
Keng Cu balas berbisik.
Benar saja, semenjak saat itu, Cin Hai
menujukan pukulannya kepada dua daun telinga Tan Hok hingga guru silat itu
menjadi makin gemas, marah dan mendongkol. Ia rasakan daun telinganya pedas dan
sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit lagi. Bagian-bagian tubuh lain
memang terlatih, tetapi daun telinganya tak dapat dilatih dan terasa sekali
hingga biarpun pukulan seorang anak kecil juga mendatangkan rasa sakit dan
bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam telinganya! Cin Hai merasa
gembira sekali karena ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Kini ia
tidak hanya memukul, tetapi menjewer, mencengkeram, menusuk lubang telinga
dengan sulingnya dan lain-lain serangan yang membuat Tan Hok merasa mata gelap
dan kepala berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!
Tan Hok sudah mendapat hajaran hebat ketika
guru silat itu menyerang lagi, Giok Keng Cu sengaja menangkis dengan tangan
kirinya sambil membentak,
“Masih belum cukupkah?”
Tangkisan itu membuat Tan Hok hampir menjerit
kesakitan. Seluruh lengan kanannya, dari ujung jari sampai ke pundak, terasa
seakan-akan dibakar api dan sakit sekali, hingga sambil meringis-ringis ia
melangkah mundur, lalu berkata,
“Aku sudah menerima pengajaran dari orang
pandai. Tidak tahu siapakah Totiang dan apa hubungannya dengan anak tolol ini
hingga Totiang membantunya serta tak segan-segan memberi pukulan kepada
siauwte.”
Pada saat itu, matahati telah mulai bersinar
hingga wajah Cin Hai dengan kepalanya yang gundul pelontos tampak nyata. Ketika
mendengar ucapan guru silat itu, Giok Keng Cu lalu memandang muka anak kecil
yang ditolongnya.
“Eh, kau?” tanyanya dan Cin Hai tersenyum
mengangguk sambil berkata,
“Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang
yang lain?” tanyanya. Giok Keng Cu lalu berdongak dan tertawa keras, hingga
suara ketawanya menggetarkan daun-daun pohon.
“Dengarlah, guru silat buruk adat! Kau
berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau kalau nama ini tidak kaukenal, boleh juga
kau ketahui bahwa pinto adalah orang termuda dari Kanglam Sam-lojin. Adapun
tentang anak ini, dia ini adalah in-jin (penolong) kami!”
Bukan main kagetnya Tan Hok mendengar bahwa ia
berhadapan dengan seorang daripada Kanglam Sam-lojin yang sangat tenar namanya
dan yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelihaian dan kehebatan
mereka. Tetapi lebih heran lagi ketika mendengar pengakuan orang tua itu bahwa
Cin Hai dianggap sebagai in-jin mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur
dan menjura dalam-dalam sambil berkata,
“Maaf, siauwte yang tak mengenal Gunung
Thai-san menghalang di depan mata (Orang Gagah berdiri di depan mata) dan
berani berlancang tangan. Biarlah siauwte memberi laporan kepada Kwee-ciangkun
bahwa anak tolol... (ia menahan makiannya) anak ini telah ikut dengan
Locianpwe.”
Tetapi Giok Keng Cu yang kegirangan lagi
bertemu dengan “tuan penolong” itu, tak mempedulikan lagi guru silat dan sekali
berkelebat, ia telah lenyap dari pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai juga
dibawanya pergi bersama. Tan Hok menghela napas berulang-ulang dan hatinya
penasaran, malu dan gemas. Berturut-turut dalam dua hari ia mengalami nasib
sialan! Kemarin bertemu dengan Biauw Suthai dan mendapat hajaran yang memalukan
dan menjatuhkan namanya, malam tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil,
sedangkan sekarang tiba-tiba saja berhadapan dengan seorang dari Kang-lam
Sam-lojin yang lihai! Semua ini gara-gara Cin Hai si setan kecil. Kemudian ia
pergi ke gedung Kwee-ciangkun untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi bersama
seorang tua jahat yang mungkin mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tidak
mau menceritakan pengalamannya memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua
yang membawa Cin Hai itu agak miring otaknya, sedangkan Cin Hai sendiri ketika
ikut orang tua itu bertelanjang bulat seperti anak gila.
Kwee In Liang tidak sangat memperdulikan
peristiwa ini, tetapi Loan Nio lalu lari ke kamarnya dan setelah memeriksa
kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa anak itu pergi tanpa membawa sedikit pun
barang atau sepotong pun pakaian, ia menangis tersedu-sedu dengan hati merasa
terharu dan iba sekali.
Giok Keng Cu yang lari bagaikan terbang
cepatnya sambil memondong tubuhnya karena angin besar menderu-deru di kedua
telinganya hingga ia menutup matanya, membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang
jauhnya beberapa li dari situ.
Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah
berteriak ke dalam.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)!
Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang kubawa
ini!”
Baru saja ucapan itu habis dikatakan dari
dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan orang dan tampaklah Giok Im Cu si
tinggi kurus, dan Giok Yang Cu si tinggi besar brewokan. Untuk sesaat mereka
tak dapat mengenali anak kecil berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat
akan kepala gundul itu, maka cepat ia berkata girang.
“In-kongcu (tuan penolong muda)!”
Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng
Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu dengan muka bodoh. “Samwi-totiang
(Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku penolong? Apakah memang cara-cara
pendeta memutar balikkan kenyataan? Sebenarnya aku telah ditolong, tapi
sebaliknya malah disebut penolong, bagaimanakah ini?”
Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya
berdongak dan tertawa bergelak.
“Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami
bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di depan Kelenteng Ban-hok-tong,
kami bertiga terdesak dan dikurung oleh ular-ularnya yang berbahaya dan lihai.
Nah, ketika itu kalau tidak ada kau penolong kami yang membunyikan suling dan
mengacaukan pertahanan ular-ular itu, tentu sekarang sudah tidak ada lagi
Kanglam Sam-lojin! Kepada Hai Kong si hwesio itu kami tidak gentar, tetapi
barisan ular sungguh lihai!”
Barulah Cin Hai mengerti ia disebut tuan penolong,
tetapi ia lalu tertawa dan berkata.
“Sungguh aku girang sekali telah dapat
menolong Sam-wi Totiang, tetapi sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja
menolong, hanya karena mendengar suara melengking dari Hai Kong Hosiang, aku
merasa telingaku sakit dan kugunakan suling untuk melawan suara itu. Tidak
tahunya suara itu dapat menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak perlu berterima kasih
kepadaku seharusnya kepada suling ini!” Ia lalu mengangkat dan mengangkat dan
mengacung-acungkan suling barunya.
“Anak baik, kata-katamu betul juga,” kata Giok
Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini menyanyikan
sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,
“Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak,
Huk He Ki Jiak Tak!”
Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi
adalah syair dari kitab To-tek-keng yang merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo
Cu atau nabi para penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,
Berlakulah sopan jujur seperti balok,
Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam, Dan bersikaplah seperti air
keruh!
Cin Hai semenjak kecil telah dijejali
bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan berbagai
kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno lagi. Di kala mempelajari
segala ujar itu, ia hanya hafal seperti burung beo saja, dapat mengucap tanpa
mengerti isi dan maksudnya. Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai,
sedangkan orang-orang dewasa pun takkan mudah begitu saja menyelami arti
ujar-ujar kuno yang biarpun singkat jika dipecahkan dan direnungkan panjang
tiada habisnya dan makin dalam. Oleh karena hafalan-hafalan ini, tiap ada
kalimat yang dipetik dari buku dan kitab ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat
sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia
tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab To-tek-keng, maka cepat dan
otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan atau lanjutan daripada
ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.
“Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok
Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa bisa bersikap seperti air keruh
lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar, lambat laun memetik
buahnya)”
Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar
syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai. Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah
seorang pendeta To-kauw yang sangat tekun mempelajari ujar- ujar Lo Cu, maka
tentu saja ia sangat pandai dan hafal akan segala macam ujar-ujar suci itu.
Kini mendengar ujar-ujar itu disambung dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia menjadi
kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang dan tiada
hentinya ia menyebut,
“Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik,
anak baik!”
Setelah cukup memuji-muji Cin Hai ketiga tosu
itu lalu berkata kepadanya, “Anak baik, sebenarnya siapakah namamu dan kau she
apa? Kau pernah apakah dengan pembesar she Kwee itu?”
Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab, “Teecu
(murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang tua teecu telah terhukum mati oleh
kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh
penghuni gedung itu kecuali Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu
mengambil keputusan pergi saja!” Juga kepada ketiga tosu ini Cin Hai tidak mau
membuka rahasia dan menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan
apa yang telah terjadi baru-baru ini.
“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau
yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah selayaknya kalau kami membalas
jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai? Bagaimana kau menjadi murid kami
bertiga?”
Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang
semenjak dulu ia ingin sekali belajar silat, hanya sayang tidak ada kesempatan
baginya. Kini ketiga orang yang berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu
hendak mengangkat dia sebagai murid, tentu saja hal ini menggembirakan sekali.
Kedua matanya telah bersinar dan mukanya berseri, tetapi tiba-tiba ia teringat
akan janjinya kepada seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhunya,
yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura
dan berkata,
“Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan
teecu menerima budi kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak
berani menjadi murid Sam-wi.”
“Eh, mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar
memelototkan matanya karena heran. Tosu tinggi besar ini adatnya kaku dan
jujur. “Apa kau anggap kami bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”
“Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya
teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan seorang saja sudah cukuplah!”
“Siapa? Siapa suhunya itu?” ketiga tosu itu
serentak bertanya.
Cin Hai menundukkan kepala, karena
sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Tetapi keangkuhannya yang menentang segala
rasa rendah itu bangkit membuat ia mengangkat mukanya dan berkata gagah,
“Guruku itu adalah seorang jembel tua yang tidak berkepandaian apa-apa!”
Di luar dugaannya, biarpun ia tidak menyebut
namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek
kecil bahkan memandang ke kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.
“Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka,
Sute, kita selalu didahului oleh orang tua aneh itu!”' kata Giok Im Cu
menyesal.
“Jadi, Samwi Totiang sudah kenal kepada
suhuku. Di mana dia sekarang?” tanya Cin Hai dengan girang, tetapi ketiga tosu
itu menggeleng-geleng kepala menyatakan bahwa mereka pun tidak tahu. Kemudian,
karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin
Hai pun tidak mau bertanya lebih jauh.
”Dan sekarang, kalau kau tidak bisa menjadi
murid kami, cobalah kau ajukan sebuah permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh
ajukan semacam permintaan kepada seorang di antara kami hingga jumlahnya tiga
macam permintaan, ini adalah untuk pembalas jasamu yang telah menolong kami.”
“Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi,
ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan yang dilakukan sambil mengharapkan
balasan bukanlah pertolongan namanya, tetapi ialah utang-piutang! Dan teecu
tidak suka menjadi tukang kredit!”
Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya
tentu anak ini memang telah paham akan ilmu batin, padahal sebenarnya Cin Hai
hanyalah banyak menghafal belaka dan ia selalu menggunakan ujar-ujar hafalannya
itu untuk diucapkan pada saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela
diri!
“Biarpun kau tidak merasa menghutangkan kepada
kami bertiga, namun kami akan selalu merasa mempunyai utang jika kau belum
minta apa-apa dari kami,” jawab Giok Yang Cu. Karena didesak-desak akhirnya Cin
Hai mengajukan ketiga permintaan.
“Pertama,” katanya, “teecu sudah lapar sekali
dan belum makan sejak sore kemarin!”
Ketiga tosu tertawa bergelak, lalu Giok Yang
Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil kue kering dan sepotong daging yang
telah digarami. Tanpa seji (sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan
karena lupa bahwa ia tidak berpakaian ia menggunakan lengan tangan
menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak setelah makanan itu habis. Perutnya sudah
kenyang dan perasaannya enak.
“Permintaan teecu yang ke dua ialah minta
diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak malam kemarin bertelanjang
bulat dan merasa dingin sekali.”
Sekali lagi ketiga orang tosu itu saling
pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu karena ternyata anak ini
mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus.
Benar-benar tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta
atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian? Tetapi karena permintaan Cin Hai yang
ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka mencarikan pakaian. Kini giliran Giok
Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian, maka
Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa
seperangkat pakaian warna putih. Ketika dengan girang Cin Hai mengenakan
pakaian itu, ternyata baik celana maupun jubahnya terlalu besar! Karena pakaian
itu adalah pakaian pendeta hwesio yang besar sekali hingga tubuh Cin Hai yang
kecil itu lenyap di dalam lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu.
Sambil tertawa-tawa ketiga tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu
longgar. Akhirnya pakaian itu dapat juga dipakai, walaupun potongannya sangat
kebesaran dan lengan bajunya melompong terbuka hingga terpaksa dibelit-belitkan
pada lengannya! Betapapun juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan
jalan mencuri dari sebuah kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli
di mana?
Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya
kenyang hingga matanya menjadi mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan
permintaannya ke tiga,
“Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi
Totiang tidak keberatan teecu mohon diperbolehkan ikut dan belajar silat dari
Sam-wi!”
Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang dan
mereka merasa puas karena ternyata akhirnya bahwa anak ini bukannya gendeng dan
tolol.
“KALAU begitu, sekarang juga kau lekas
berlutut mengangkat guru kepada kami!” kata Giok Keng Cu.
Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin
Hai menggeleng-geleng kepala. Kemudian anak itu berlutut tetapi tidak menyebut
suhu, bahkan berkata,
“Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan
bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru. Teecu hanya ingin ikut dan belajar
silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!”
“He?? Mana bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok
Yang Cu.
Cin Hai mengangkat muka memandang, “Bukankah
tadi teecu sudah mengatakan bahwa teecu tidak ingin minta balasan dan tidak
ingin apa-apa? Mengapa Sam-wi Totiang mendesak? Sekarang permintaan teecu yang
ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal tak berapa berat! Totiang,
pernahkah mendengar ujar-ujar yang berkata bahwa satu kali orang gagah
mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun takkan mampu mengejar, iya?
Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang budiman berludah, takkan
ia jilat kembali?”
“Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah
menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku kalah. Semenjak sekarang, kau boleh
ikut kami ke gua kami dan belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan
diri sendiri!”
Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat
menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk ia tidak tidur dan berlari-larian hingga
ia sangat lelah dan mengantuk. Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak ia
berbantahan saja itu, membuat ia makin lelah dan makin mengantuk. Setelah
mendengar betapa permintaannya yang ke tiga lulus juga, ia menjadi begitu
girang dan lega hingga tiba-tiba saja kedua matanya dimeramkan dan tak dapat
dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!
“Kasihan, anak yang baik!” kata Giok Im Cu,
“Ji-sute, kaupondonglah dia dan mari kita berangkat.”
Sambil mengomel, “Anak yang tolol!” Giok Yang
Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh Cin Hai yang telah mendengkur itu,
kemudian ketiga tosu itu lalu meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu
Lari Hui-heng-sut mereka. Karena tingginya kepandaian mereka, maka sepasang
kaki mereka seakan-akan tidak menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang
terbang saja.
Karena tidur nyenyak dalam pondongan Giok Yang
Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari
puluhan li jauhnya. Ketika ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya
yang gundul dingin sekali dan karena kepalanya berada di dekat dada dan perut
Giok Yang Cu yang gemuk berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu
menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa
dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat ia mengeluarkan kepalanya yang gundul
dari balik jubah pendeta itu dan memandang keluar.
Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang
rumput di lereng gunung yang tinggi. Tak heran bahwa hawa demikian dinginnya.
Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan
memandang ke satu tempat dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak
olehnya dua orang sedang bertempur seru!
Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan
berkelahi, segera Cin Hai melorot turun dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak
menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.
“Jangan mendekat!” Tosu tinggi kurus itu
berbisik dengan suara menyatakan bahwa larangannya itu sungguh-sungguh.
Cin Hai merasa heran akan tetapi ia tidak
berani banyak ribut melihat sikap ketiga tosu demikian tegang, maka ia lalu
duduk di atas rumput dan menonton orang yang sedang bertempur.
Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita
dengan seorang laki-laki. Yang wanita berbaju hijau bercelana putih, mukanya
cantik tapi kelihatan galak dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu
beriap-riapan ke belakang memenuhi punggungnya. Usianya paling banyak tiga
puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru melihat pertama
kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia
belasan tahun. Ilmu silatnya hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan
lincah bagaikan seekor burung kepinis. Laki-laki yang menjadi lawannya juga
aneh, karena pakaiannya seperti seorang siucai (pelajar sastra) dan mukanya
cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun dari mukanya putih agak
kepucat-pucatan.
Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong,
tetapi agaknya tidak kurang hebat daripada kalau orang bertempur bersenjata
tajam. Buktinya serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan atau
tendangan selalu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali. Kepandaian
mereka berimbang dan tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan kedua kakinya
lalu bergerak seperti kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa
tendangan bertubi-tubi dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian
bergerak menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan
atau ditangkis!
“Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu
kena tendang!” dengan gembira tetapi cemas Cin Hai berkata sambil memegang
tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak kautolong dia?”
Tetapi Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab
perlahan, “Sst! Jangan berisik, kaulihat saja!”
Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak
terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia
tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah
merupakan jerit tangis mengharukan.
“Hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan
juga dan terpaksa mengeluarkan tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu
Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kausohorkan itu?
Hi-hi, orang she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!” Sambil
menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari
dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi tiap
gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!
Tiba-tiba wanita itu balas menyerang.
Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau tadi kedua lengannya
bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang lemas sekali sambil mengelit serangan
lawan, kini dia menggerakkan kedua tangannya ke depan dan belakang, jari-jari
tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi sebenarnya ini merupakan
serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya dapat digerakkan untuk
menotok jalan darah lawan. Akhirnya laki-laki yang dipanggil Kang Ek Sian itu
tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.
“Pengecut, rebahlah kau!” Tiba-tiba wanita itu
berseru dan benar saja, pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita
itu yang biarpun kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat
laki-laki itu roboh! Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu
menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ha-ha-hi-hi, mukanya tampak manis
tetapi suara ketawanya menyeramkan perasaan. Tiba-tiba perempuan aneh itu
menengok dan memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak bergerak. Ia
memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, lalu mengembangkan
hidung dan mengedikkan kepalanya.
“Baiknya tidak ada yang lancang tangan, kalau
tidak demikian, tentu aku terpaksa merobohkan beberapa orang lagi!” Wanita itu
berkata seakan-akan kepada diri sendiri, tetapi cukup keras sehingga terdengar
oleh Giok Im Cu dan kedua kawannya.
Giok Im Cu menjura ke arah wanita itu dan
berkata perlahan, juga seperti kepada diri sendiri, “Kami Sam-lojin (Tiga Orang
Tua) bukanlah orang-orang usilan.”
Maka tertawalah wanita itu dan kini suara
tawanya seperti mengejek. Lalu pergilah ia turun gunung dengan cepat sekali
sehingga bajunya yang hijau itu berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya
yang hitam dan juga berkibar-kibar tertiup angin di belakangnya. Dipandang dari
jauh, ia seperti seekor kupu-kupu besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat
laun lenyap dari pendengaran.
Giok Im Cu menghela napas. “Mengapa iblis
wanita itu bisa berada di sini?” katanya perlahan seakan-akan kepergian wanita
itu membuat dadanya merasa lega.
“Totiang, siapakah perempuan yang pandai
menari itu?”
Giok Yang Cu tertawa mendengar kata-kata ini.
“Dasar kau tolol! Sehari penuh tidur terus, dan kini setelah bangun bicara
tidak karuan. Kauanggap dia itu menari-nari? Ha-ha-ha!”
Giok Im Cu berkata sambil menghela napas lagi.
“Mana kau tahu? Tarian itu justru kepandaiannya yang membuat ia ditakuti orang
dan sukar sekali dilawan. Itulah ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis! Oleh
karena kepandaian ini maka dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata
Intan) dan namanya menggemparkan seluruh permukaan bumi.”
“Tetapi mengapa Sam-wi takut kepada iblis
itu?” tanya Cin Hai penasaran.
“Takut sih tidak,” jawab Giok Keng Cu yang
semenjak tadi diam saja, “hanya saja, kita tidak tahu seluk-beluk urusan
mereka, mengapa harus ikut campur dengannya?”
Tetapi pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga
tosu itu ingat akan laki-laki yang masih rebah di atas tanah, maka buru-buru
mereka lalu menghampiri. Laki- laki yang rebah terlentang dengan wajahnya yang
telah pucat itu kini makin kuning dan kedua matanya meram. Ketika Giok Im Cu
perlahan meraba pundak orang itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat
luka dalam yang cukup hebat, walaupun tidak dapat dikatakan membahayakan
jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu menggunakan kepandaiannya menotok dan mengurut
pundak yang terluka oleh tangan Giok-gan Kuibo yang halus putih tetapi ganas
lihai itu!
Laki-laki itu siuman dan membuka matanya. Ia
tersenyum pahit ketika melihat tiga orang tosu itu.
“Kanglam Sam-lojin?” tanyanya perlahan.
Giok Im Cu mengangguk. “Sicu siapakah dan
mengapa sampai bertempur dengan dia?”
Laki-laki itu kembali tersenyum lalu duduk.
“Siauwte Kang Ek Sian sungguh tak mengukur kepandaian sendiri dan telah berani
menempur Giok-gan Kouwnio (Nona Bermata Intan), sungguh tak tahu diri!” jawaban
ini merupakan tangkisan terhadap pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu
maklum bahwa orang tak suka menceritakan sebab pertempurannya.
“Untung bagimu ia masih berlaku murah hati dan
tidak menjatuhkan maut,” ia berkata singkat lalu mengajak kedua kawannya dan
Cin Hai untuk meninggalkan tempat itu.
“Totiang, sebenarnya sampai di manakah
kelihaian iblis wanita itu? Kulihat ia hanya seorang perempuan cantik yang
lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,” kata Cin Hai yang sungguh-sungguh tidak
mengerti mengapa seorang perempuan seperti itu ditakuti oleh tokoh-tokoh yang
berilmu tinggi ini.
“Ha-ha-ha, anak tolol, dengarlah!” kata Giok
Yang Cu dan Cin Hai segera berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan
mendongkol sekali disebut tolol dan bodoh oleh tosu tinggi besar ini tetapi
sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu selalu berterus terang kepadanya.
“Perempuan yang kauanggap lemah-lembut itu,
yang disebut orang-orang kang-ouw sebagai Biang Iblis Bermata Intan, dengan
kedua tangan kosong dan seorang diri saja telah naik ke Cin-liong-san dan
mengobrak-abrik sarang berandal The Kok, membinasakan lebih dari dua puluh
tauwbak dan kepala berandal dan membasmi lebih dari tiga puluh liauwlo (anak
buah perampok), dan yang seorang diri saja telah mendatangi hampir seluruh
jagoan di daerah selatan untuk dicoba kepandaiannya. Dan tahukah kau, bahwa
selama itu hanya baru beberapa kali saja ia tidak dapat merobohkan orang?
Pendeknya, jarang ada orang yang dapat mengalahkan dan karena tangannya yang
terkenal ganas, banyak orang merasa segan untuk berurusan dengan dia!”
“Dan lagi,” sambung Giok Keng Cu si Tosu
Pendek, “coba kaulihat yang seorang lagi. Lebih hebat lagi!” Dan tiba-tiba Si
Pendek itu memperlihatkan muka jerih.
“Yang satu lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai
dengan ingin sekali tahu.
Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata
sutenya. “Yang dimaksudkan oleh Sute tadi ialah seorang wanita lain yang
sifatnya sangat berlainan dengan Piok-gan Kuibo. Wanita ini adalah Sumoinya
(Adik Perempuan Seperguruan) yang berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan
yang selalu berpakaian merah. Nona ini masih muda dan kepandaiannya mungkin
masih berada di atas kepandaian Sucinya (Kakak Perempuan Seperguruannya) itu!
Ang I Niocu pernah seorang diri naik ke Bu-tong-san dan menantang adu tenaga
dengan semua tokoh Bu-tong-san dan ternyata ilmu pedangnya belum pernah
dikalahkan orang!”
Mendengar kelihaian-kelihaian demikian
hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking kagumnya. “Hebat sekali!” serunya
kagum.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai
yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya tergantung dan tak
menginjak tanah, tetapi ia maju cepat sekali, hingga angin dingin berkesiur di
kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu
saja oleh ketiga tosu itu hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata
karena ngeri memandang ke bawah. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini
ternyata banyak sekali orang pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu ini saja
kepandaiannya sudah demikian hebatnya, apalagi tadi ia mendengar betapa mereka
ini masih memuji-muji kepandaian orang lain, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya
kepandaian orang-orang yang mereka puji itu! Maka timbullah keinginan di dalam
hatinya untuk belajar keras agar ia pun bisa memiliki kepandaian itu sehingga
kelak tiada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.
Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat
Cin Hai tertawa geli karena di dalam pakaian yang besar dan longgar itu, Cin
Hai yang gundul memang nampak lucu dan aneh sekali.
“Mungkin anak gila,” terdengar orang berkata.
“Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian
demikian besarnya,” kata orang lain.
Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada
Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah, dikecilkan dan dijahit pula. Tetapi
dengan keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab.
“Tidak, biarkan sajalah! Biarkan anjing-anjing
itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit! Biarkanlah, teecu tidak merasa
sakit dengan gonggongan mereka!” Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka
kagum akan kekerasan dan ketabahan hati anak ini. Dan untuk memperlihatkan
bahwa ia benar-benar tidak peduli kepada semua orang yang mentertawakannya itu,
Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu,
ia meniup sulingnya memainkan beberapa lagu merdu!
Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah
Kanglam.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam
Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan yang sangat liar dan luas.
Di tengah-tengah hutan itu, berbeda dengan tempat yang penuh alang-alang,
rumput dan pohon-pohon tua dan liar, terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan
indah permai. Dan di tengah-tengahnya terdapat sebuah gunung kecil kecil yang
ditumbuhi pohon-pohon liu, sedangkan bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung
itu. Di sebelah kiri terdapat mulut gua yang lebar dan gelap. Inilah tempat
tinggal Kanglam Sam-lojin. Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat
guha terdapat sumber air yang memancar keluar dan mengalir merupakan beberapa
anak sungai kecil yang airnya berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan
batu-batu yang hitam dan halus. Burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada
hentinya berkicau.
Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat
itu. Biarpun mulut gua itu tampak gelap, tetapi setelah masuk ke dalam,
terdapat penerangan matahari yang masuk melalui beberapa lubang di kanan kiri
yang menembus atas gunung.
Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima
latihan silat tingkat permulaan dari ketiga tosu itu dengan bergantian. Sering
sekali ketiga pendeta itu keluar dari situ dan pergi untuk berbulan-bulan
lamanya, kadang-kadang hanya seorang yang pergi, kadang-kadang berdua, ada
kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal seorang diri.
Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam
itu adalah saudara-saudara seperguruan, maka kepandaian mereka berasal dari
satu cabang persilatan yakni cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja
ketiganya mempunyai keistimewaan khusus, yakni seperti telah diketahui pada
permulaan cerita ketika mereka bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta
pemelihara ular itu. Giok Im Cu yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga
dalam) yang telah mencap tingkat tinggi hingga pada waktu bertempur, segala
macam benda jika terjatuh di dalam tangannya berubah menjadi senjata ampuh,
hingga karena mengandalkan tenaga lweekangnya, Giok Im Cu tak pernah memegang
senjata. Dulupun di waktu menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan
sebatang ranting kayu. Sebaliknya daripada suhengnya Giok Yang Cu adalah
seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga luar (gwakang) yang luar biasa
dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi kebal dan keras. Di
samping itu, ia mahir sekali memainkan pedang yang digerakkan olehnya secara
luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja ilmu pedangnya adalah
Liong-san-kiam-hoat yang memang terkenal mempunyai gerakan-gerakan yang cukup
lihai.
Tosu ke tiga kalau dipandang begitu memang
dapat menimbulkan pandangan rendah karena tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak
bertenaga. Tetapi janganlah orang memandang rendah padanya, karena tosu kate
ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua suhengnya! Keistimewaannya ialah
melepas piauw (senjata rahasia) yang bersayap di kanan kiri sehingga disebut
hui-piauw atau piauw terbang! Selain ini, ia memiliki ginkang yang paling
sempurna di antara kedua suhengnya sehingga gerakannya lincah, cepat dan ringan
sekali.
Biarpun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa
yang mempunyai kecerdasan hebat, namun ia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan
baiknya ia memiliki ketekunan kepada sesuatu yang disukainya. Justeru ia suka
ilmu silat dan semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya. Apalagi ketika ia
sering menerima pukulan dan hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih
bernafsu lagi. Kini sekaligus ia mendapat didikan dari tiga orang lihai tentu
saja ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah ia
menerima pelajaran dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan
lupa tidur.
Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli
mendidik dan pula karena mereka memberi pelajaran kepada Cin Hai hanya
semata-mata karena merasa berhutang budi dan hendak membalasnya bukan
berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap murid, maka mereka memberi
pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai peraturan lagi! Mereka
berganti-ganti memberi pelajaran silat Liong-san-kun-hoat dengan cepat sekali,
padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus dan setiap
jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam, hingga seorang anak-anak
seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara bertubi-tubi mana dapat mengingatnya?
Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai bukanlah ilmu silat sembarangan yang dapat
digerakkan oleh sembarang orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan
sempurna saja membutuhkan latihan-latihan keras berhari-hari. Memang ketiga
tosu itu karena penolakan Cin Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai
guru, membuat mereka menjadi kurang perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu
lagi. Mereka pikir bahwa jika anak itu diberi kepandaian aseli sampai sempurna,
padahal ia bukan anak murid Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama
Liong-san-pai mereka tak berhak melarangnya, karena ia bukan anak murid
Liong-san-pai.
Oleh karena tindakan ketiga tosu ini Cin Hai
menjadi bingung sekali dan ia tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja ia
mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna, lain tosu telah
memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan demikian, maka
jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah terlupa lagi!
Biarpun masih kecil, tetapi ternyata berkat
ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya dulu, ia
menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga ditangkap dan
dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera melakukan hal yang cerdik juga.
Dengan diam-diam ia menggunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk
mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas kertas! Tiap kali
menerima pelajaran jurus baru, ia segera mengingat baik-baik dan malamnya
ketika berada seorang diri dalam kamarnya di gua itu, ia segera mencatat semua
gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang
mengajarnya tadi!
Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari
seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan
dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tetapi, sebenarnya
kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh
jurus dengan agak baik, belum sempurna betul. Ketiga tosu melihat ketololan
anak itu, diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi, tetapi
di luar mereka memperlihatkan muka tak senang dan sering memaki-maki Cin Hai
yang dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini sebetulnya bukan karena Cin Hai
terlalu tolol tetapi adalah karena waktunya banyak ia pergunakan untuk
memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya baik-baik secara rahasia.
BERSAMBUNG KE HAL 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar