Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Sabtu, 25 Juni 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 16

Bagian ke 16: Meraba Tulang
"Ya." Orang tua buta itu mengangguk.
"Kenapa lo jin keh ingin merabaku?" Siau Liong bingung.
"Lo ciau ingin menyuruhmu melaksanakan sesuatu, namun tidak tahu engkau mampu atau tidak. Maka lo ciau harus merabamu dulu, agar tahu jelas mampukah engkau melaksanakannya?"
"Lo jin keh!" tanya Siau Liong heran. "Hanya dengan meraba, lo jin keh bisa tahu?"
"Tidak salah. Lo ciau ahli dalam hal meraba tulang, maka hanya dengan meraba lo ciau sudah tahu dirimu mampu atau tidak."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Ternyata begitu…..."
Orang tua buta itu tersenyum.
"Lo jin keh menghendaki boan pwe melaksanakan sesuatu, apakah sulit sekali melaksanakannya?" Siau Liong bertanya.
"Dibilang sulit ya tidak, dibilang tidak justru sulit sekali," jawab orang tua buta sambil mengerutkan kening.
"Lo jin keh, sebetulnya urusan apa itu? Bolehkah lo jin keh memberitahukan boan pwe?"
Orang tua buta menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak bisa. Sebelum lo ciau meraba tulangmu dan memastikan mampu tidaknya dirimu, lo ciau tidak bisa memberitahukan tentang urusan itu."
Usai orang tua buta berkata, pada waktu bersamaan terdengar suara langkah yang ringan.
Ternyata Cing Ji memunculkan diri, dan mendekati Siau Liong dengan mata berbinar-binar.
"Siau Liong ko," ujarnya berseri. "Cepatlah mendekati yaya biar diraba tulangmu!"
"Cing Ji…..."
Ucapan Siau Liong terputus, karena Cing Ji telah menarik Siau Liong ke hadapan orang tua buta itu.
Orang tua buta itu menjulurkan sepasang tangannya, lalu memegang badan Siau Liong dengan wajah serius. Setelah itu, mulailah orang tua buta itu meraba-raba badan Siau Liong.
Cing Ji memandang dengan penuh perhatian, bahkan tampak tegang sambil memperhatikan air muka kakeknya.
Kening orang tua buta itu berkerut, hatinya pun berdebar. Kenapa begitu? Seandainya bertanya padanya, gadis itu pun tidak tahu sebab musababnya.
Namun dalam benaknya merasakan sesuatu, juga mengandung suatu harapan. Ia berkesan baik pada Siau Liong, maka berharap orang tua buta itu jangan terus mengerutkan kening. Untung orang tua buta itu hanya dua kali mengerutkan kening, diam-diam gadis itu pun menarik nafas lega.
Berselang sesaat, orang tua buta itu menarik sepasang tangannya dengan wajah cerah.
"Tuhan mengasihimu, akhirnya lo ciau menemukan orang yang cocok, dan dapat terkabul apa yang lo ciau inginkan itu." gumam orang tua buta itu, lalu tertawa gelak.
Ketika melihat orang tua buta itu tertawa, wajah Cing Ji pun ceria dan ikut tertawa pula dengan nyaring. Kemudian gadis itu menarik Siau Liong dan berjingkrak saking girangnya.
"Siau Liong, engkau telah terpilih! Cing Ji turut gembira!"
Cing Ji begitu gembira, sebaliknya Siau Liong malah tampak bodoh terbengong-bengong.
"Ini apa gerangannya? Kenapa aku terpilih?" tanya Siau Liong. Pada waktu bersamaan, ia pun teringat sesuatu. Mungkinkah ia terpilih untuk melaksanakan sesuatu itu?
"Huaha ha ha!" Orang tua itu masih tertawa gelak.
"Lo jin keh, apakah boan pwe terpilih untuk melaksanakan sesuatu itu? Apakah lo jin keh memastikan boan pwe mampu melaksanakannya?" Siau Liong menatap orang tua buta itu.
"Betul." Orang tua buta mengangguk. "Nak, lo ciau telah memilihmu dan memutuskan untuk menyerahkan urusan itu padamu."
"Lo jin keh….." ujar Siau Liong terputus.
"Cing Ji," ujar orang tua buta pada cucunya. "Cepat buka pintu ruang rahasia, kemudian pasang hio!"
"Ya, yaya." Cing Ji mendekati tembok batu, lalu menekan sebuah tombol di tembok batu itu.
Kraaak! Pintu rahasia di tembok batu itu terbuka.
Cing Ji melangkah masuk dan tak seberapa lama kemudian, ruang rahasia itu pun tampak terang.
"Yaya!" seru Cing Ji dari dalam ruang rahasia itu. "Cing Ji sudah pasang hio, yaya bawa Siau Liong ko ke mari!"
Orang tua buta itu bangkit berdiri, lalu menaruh tangannya di atas bahu Siau Liong.
"Nak, mari kita ke dalam!" katanya.
Walau merasa heran dalam hati, Siau Liong sama sekali tidak berani bertanya apa pun. Ia mengikuti orang tua buta itu memasuki ruang rahasia sambil menengok ke sana ke mari.
Di dalam ruang rahasia itu terdapat sebuah meja batu dan sebuah tempat pasang hio di atas meja batu itu. Di tembok di belakang meja batu itu tergantung sebuah gambar dewa, tampak pula tiga batang hio menyala, dan mengepulkan asap di dalam tempatnya.
"Nak," ujar orang tua berwibawa tapi lembut. "Cepatlah engkau berlutut tiga kali dan bersujud sembilan kali!"
Siau Liong melongo saking merasa heran. Cing Ji segera berkata mendesaknya.
"Siau Liong ko, cepat lakukan!" Nada suaranya penuh mengandung harapan tapi gugup karena Siau Liong belum melakukan penghormatan itu.
Siau Liong merasa ragu, namun kemudian menurut juga. Usai melakukan penghormatan, ia pun menarik nafas dalam-dalam.
"Siau Liong ko!" Wajah Cing Ji berseri. "Setelah bersujud di hadapan causu (kakek guru) engkau pun harus bersujud pada yaya!"
Siau Liong tertegun. Ketika ia baru mau membuka mulut, justru orang tua buta telah menegur Cing Ji.
"Cing Ji, jangan banyak mulut! Pergilah melihat nasi sudah matang belum, kemudian tunggu di luar saja!"
"Ya." Cing Ji mengangguk, lalu segera meninggalkan ruang rahasia itu.
Hening seketika di dalam ruang rahasia tersebut. Siau Liong merasa heran, tapi ia tidak berani bertanya.
"Nak!" Orang tua buta tersenyum lembut. "Kenapa engkau tidak bicara?"
"Lo jin keh, boan pwe tidak tahu harus bicara apa?"
"Nak, bukankah banyak pertanyaan di dalam benakmu? Kenapa engkau tidak mencetuskannya?"
"Memang banyak pertanyaan di dalam benak boan pwe, tapi tidak tahu boleh bertanya atau tidak. Maka….. boan pwe terpaksa diam."
Orang tua buta tertawa-tawa, lalu manggutmanggut.
"Nak, inilah kelebihanmu. Walau merasa heran kamu masih dapat mengendalikan diri untuk tidak bertanya."
"Lo jin keh terlampau memuji, membuat boan pwe jadi malu hati."
"Mau merendah diri itu memang baik sekali." Orang tua buta manggut-manggut dan menambahkan, "Sesungguhnya, tidaklah begitu gampang untuk merendah diri."
"Lo jin keh…..." Wajah Siau Liong tampak kemerah-merahan.
"Nak, tahukah engkau kenapa lo ciau berbuat demikian?" tanya orang tua buta mendadak.
"Boan pwe sangat bodoh, mohon lo jin keh memberi petunjuk!"
"Nak." Wajah orang tua buta berubah serius. "Kalau dijelaskan, ini merupakan keberuntunganmu."
"Lo jin keh, boan pwe sama sekali tidak mengerti, boan pwe mohon penjelasan!"
"Baiklah." Orang tua buta manggut-manggut. "Lo ciau memang harus menjelaskannya."
"Terima kasih, lo jin keh!"
"Nak, engkau bisa memperoleh keberuntungan ini, karena memiliki bakat dan tulang yang istimewa, bahkan juga berhati bajik dan berbudi luhur. Namun masih terdapat sedikit kekurangan…..." Orang tua buta diam, berselang sesaat barulah dilanjutkan. "Nak, engkau harus ingat. Mengenai cinta, engkau harus berhati-hati. Kalau tidak berhati-hati, akan menimbulkan suatu badai dalam cinta itu…..."
Orang tua buta menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menarik nafas panjang dengan mulut membungkam.
Walau orang tua buta tidak melanjutkan, namun Siau Liong sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan orang tua buta itu selanjutnya. Justru hatinya pun tersentak dan ujarnya dengan hormat,
"Boan pwe pasti ingat akan nasihat lo jin keh yang sangat berharga itu."
"Nak, tahukah engkau siapa causu yang digambar itu?" tanya orang tua buta mendadak.
"Boan pwe tidak tahu."
"Kedua orang tuamu adalah orang bu lim maka engkau pun pasti pernah mendengar mengenai orang-orang bu lim dari kedua orang tuamu."
"Walau boan pwe pernah dengar, tetapi masih tidak begitu tahu."
"Nak!" Wajah orang tua buta tampak serius. "Pernahkah engkau dengar dalam bu lim terdapat sebuah Jit Goat Seng Sim Ki (Panji Hati Suci Matahari Bulan)?"
Ketika mendengar itu, wajah Siau Liong tampak terperanjat.
"Boan pwe pernah dengar. Apakah gambar itu adalah…..."
"Nak, dugaanmu itu tidak salah, gambar itu memang causu Jit Goat Seng Sim Ki."
"Hah? Kalau begitu, lo jin keh adalah…..."
"Lo ciau adalah generasi keempat pemegang panji itu." Orang tua buta memberitahukan.
"Oh?" Siau Liong tampak menghormat sekali. "Ternyata lo jin keh adalah Kian Kun Ie Siu yang menggetarkan bu lim masa itu! Mohon maaf, boan pwe tidak mengetahuinya, sehingga berlaku kurang hormat tadi!"
"Ha ha ha!" Orang tua buta itu tertawa terbahak-bahak. "Lo ciau memang Kian Kun Ie Siu (Orang aneh) itu."
"Lo jin keh…..."
"Nak, kini engkau sudah tahu niat lo ciau dalam hati?"
Tentunya Siau Liong tahu, Kian Kun Ie Siu memilihnya sebagai generasi kelima pemegang panji itu.
Panji Hati Suci Matahari Bulan berkembang, bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu. Bisa menjadi generasi penerusnya, memang merupakan kejadian yang amat luar biasa.
Itu merupakan keberuntungan Siau Liong, maka ia harus merasa girang sekali. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan, sebab Siau Liong tampak hambar.
"Boan pwe tahu niat to jin keh, maka boan pwe merasa bangga."
Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening, karena nada suara Siau Liong begitu hambar, tentunya membuat orang tua buta itu tidak habis berpikir.
"Nak, kenapa engkau tidak tertarik dan sama sekali tidak merasa girang?" tanya Kian Kun Ie Siu heran.
"Lo jin keh......" Siau Liong menarik nafas panjang. "Panji Hati Suci Matahari Bulan berkembang, bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu. Bisa menjadi generasi penerus pemegang panji itu, memang sangat menggembirakan. Namun…..."
"Kenapa?"
"Lo jin keh, bolehkah boan pwe mengajukan beberapa pertanyaan?" tanya Siau Liong mendadak.
Kian Kun Ie Siu manggut-manggut.
"Boleh. Engkau mau bertanya apa, tanyalah!"
"Maaf, lo jin keh! Boan pwe pun ingin mohon agar lo jin keh mengabulkan satu permintaan."
"Permintaan apa?"
"Apa yang boan pwe tanyakan, boan pwe harap agar lo jin keh jangan gusar atau tidak mau menjawab. Inilah pertanyaan boan pwe......"
Kian Kun Ie Siu berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Baiklah, lo ciau mengabulkan."
"Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Liong dan melanjutkan, "Mulai saat ini, lo jin keh berniat mengajar boan pwe bu kang tingkat tinggi?"
"Betul."
"Apakah lo jin keh ingin mewariskan boan pwe Hu Ki Sin Kang Sam Cauw (Tiga jurus sakti pelindungi panji) itu?"
"Tidak salah." Kian Kun Ie Siu mengangguk serius. "Karena lo ciau telah mengambil keputusan untuk menerimamu sebagai murid generasi penerus pemegang panji itu, maka harus pula mewariskan tiga jurus sakti pelindungi panji tersebut padamu. Kalau tidak, bagaimana mungkin engkau mampu melindungi panji itu?"
"Lo jin keh, bolehkah boan pwe mengajukan satu pertanyaan lagi?"
"Tentu boleh." Kian Kun Ie Siu tertawa. "Tanyalah!"
"Betulkah tiga jurus sakti itu tiada lawannya di kolong langit ini?" Ternyata ini yang ditanyakan Siau Liong.
Pertanyaan ini membuat air muka Kian Kun Ie Siu berubah, kening pun berkerut-kerut.
"Engkau kurang yakin akan kesaktian tiga jurus itu?"
"Apakah lo jin keh telah melupakan permintaan boan pwe tadi?"
Kian Kun Ie Siu tertegun, namun tersenyum seraya berkata dengan lembut memberi penjelasan pada Siau Liong.
"Nak, tiga jurus sakti pelindung panji memang sakti sekali. Tiada lawan di kolong langit bukan omong kosong."
"Lo jin keh, tiada lawan di kolong langit dimaksudkan satu lawan satu?" tanya Siau Liong mendadak.
"Itu tergantung pada kepandaian pihak lawan. Kalau cuma merupakan orang berkepandaian kelas satu dalam bu lim, walau berjumlah belasan orang, itu pun bukan lawan tiga jurus sakti."
"Bagaimana kalau menghadapi bu lim ko ciu tingkat tinggi?"
"Walau berjumlah dua tiga orang, tentu tidak akan kalah."
"Seandainya ditambah beberapa orang lagi?"
"Apa?" Kian Kun Ie Siu tertegun. "Ditambah, beberapa orang lagi?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Misalnya menghadapi Siang Hiong Sam Koay?"
Kian Kun Ie Siu tampak terkejut.
"Nak, apakah itu mungkin? Para siluman tua itu......"
"Itu mungkin. Lo jin keh, kini boan pwe harus berterus terang mengenai musuh-musuh boan pwe."
"Nak!" Orang tua buta itu tersentak. "Musuh-musuhmu itu adalah Thai Nia Siang Hiong Sam Koay?"
Kian Kun Ie Siu menggeleng-gelengkan kepala. Berselang sesaat ia melanjutkan dengan kening berkerut-kerut.
"Itu tidak mungkin. Bukankah mereka telah dipukul jatuh ke dalam jurang Ok Hun Nia oleh Pek tayhiap? Kalau tidak salah, mereka berlima telah mati bukan?"
"Tapi Siang Hiong justru tidak mati. Belum lama ini, mereka berdua telah muncul di bu lim. Dua puluh hari yang lalu, ada orang melihat mereka berada di Si Hai Ciu Lau, Ling Ni."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu tampak kurang percaya. "Siapa yang melihat mereka?"
"Bun Fang, saudara tertua Thai Hang Ngo Sat."
"Bun Fang yang memberitahukan padamu?"
"Boan pwe tidak kenal mereka, bagaimana mungkin mereka memberitahukan pada boan pwe?"
"Kalau begitu…..."
"Tanpa sengaja Ouw Yang Seng Tek, Kay Pang tiang lo menanyakan tentang itu pada Bun Fang."
"Ooooh!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Kay Pang tiang to itu Si Tongkat Sakti?"
"Betul."
"Engkau kenal pengemis tua itu?"
Siau Liong tidak mau menutur tentang apa yang terjadi di rumah penginapan itu, hanya menjawab sekenanya.
"Boan pwe tidak kenal. Pada waktu itu kebetulan kami berada di rumah penginapan yang sama, dan tanpa sengaja boan pwe mendengar pembicaraan mereka."
"Kalau begitu......" Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening. "Kalau Siang Hiong tidak mati, mungkin begitu juga Sam Koay."
"Itu memang mungkin."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir beberapa saat lamanya. "Kalau begitu, musuh-musuhmu itu adalah Siang Hiong Sam Koay?"
"Sementara ini, boan pwe belum begitu jelas, namun boan pwe yakin pasti ada kaitannya dengan mereka."
"Oooh!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak dan telah menduga sesuatu. "Nak, aku sudah memahami keinginan hatimu."
"Lo jin keh!" Siau Liong menundukkan kepala.
"Karena khawatir tiga jurus sakti pelindung panji itu tidak mampu melawan Siang Hiong Sam Koay, maka engkau pun jadi ragu?"
"Boan pwe memang ragu." Siau Liong mengangguk. "Boan pwe mohon agar lo jin keh memberi maaf!"
"Ha ha ha!" Orang tua buta tertawa. "Engkau ragu memang wajar, sebab musuh-musuhmu itu memang telah tersohor puluhan tahun yang lampau."
"Justru karena itu…..." Siau Liong menari nafas panjang. "Boan pwe memikul dendam berdarah, bahkan sewaktu-waktu boan pwe akan terbunuh, itu merupakan urusan kecil. Namun Panji Hati Suci Matahari Bulan adalah benda mustika dalam bu lim. Kalau boan pwe tidak mampu menjaga panji itu dan terjatuh ke tangan golonga hitam, bukankah…..."
Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. Apa yang dikatakan Siau Liong memang benar, kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, bagaimana mungkin mampu menjaga panji itu? Kian Kun Ie Si mengerutkan kening sambil berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar