Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 04 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 17

Lanjutan ....

Bagian ke 17: Asal Usul
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu kemudian. "Engka mau ke Lam Hai, mungkinkah ingin mencari Ca Hong To (Pulau Pelangi) yang merupakan dongeng dalam bu lim itu?"
Kini Siau Liong telah mengetahui tentang diri orang tua buta itu, maka ia pun tidak berani berdusta lagi.
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Kalau tidak mempelajari bu kang tingkat tinggi Pulau Pelangi itu, bagaimana mungkin mampu melawan Siang Hiong Sam Koay dan Pat Tay Hiong Jin? Itu berarti boan pwe tidak bisa membalas dendam berdarah itu."
"Ngmm!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Engkau tahu Pulau Pelangi itu berada di Lam Hai bagian mana?"
"Boan pwe tidak tahu."
"Engkau percaya di Lam-Hai terdapat Pulau Pelangi?"
"Boan pwe percaya."
"Nak…..," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir sejenak. "Lo ciau punya usul, engkau bersedia mendengarnya?"
"Lo jin keh!" Siau Liong tersenyum. "Beritahukanlah tentang usul lo jin keh itu!"
"Lo ciau usul agar engkau tidak usah ke Pulau Pelangi itu."
"Lho?" Siau Liong tertegun. "Kenapa?"
Kian Kun Ie Siu tersenyum lembut, namun wajahnya tampak serius sekali.
"Lo ciau akan menunjukkan sebuah jalan untukmu, inilah usul lo ciau."
"Oh?" Siau Liong heran. "Jalan apa?"
"Pergi menemui seseorang."
"Menemui seseorang?" Sepasang mata Siau Liong berbinar. "Boan pwe mohon petunjuk!"
"Nak, orang itu Pendekar Aneh Rimba Persilatan yang memiliki bu kang tingkat tinggi."
"Benarkah orang itu memiliki bu kang tinggi?" tanya Siau Liong agak ragu.
"Tayhiap itu memang memiliki bu kang yang luar biasa tinggi." Kian Kun Ie Siu memberitahukan. "Dia boleh dikatakan bu lim te it (Nomor satu rimba persilatan)."
"Kalau begitu, berarti tiada tanding di kolong langit?"
"Tidak salah." Kian Kun Ie Siu mengangguk. "Bu lim ko ciu (Orang berkepandaian tinggi rimba persilatan), tiada seorang pun yang melawannya dalam tiga jurus."
"Oh! Kalau begitu, dia pasti tersohor dalam bu lim?"
"Benar. Namun tayhiap itu tidak mau cari nama di rimba persilatan. Dia hidup tenang bersama isterinya tercinta." Kian Kun Ie Siu memberitahukan. "Asal engkau pergi menemui tayhiap itu dan belajar bu kangnya, maka engkau pun akan mampu melawan Siang Hiong Sam Koay seorang diri."
"O, ya?" Siau Liong tampak gembira sekali. "Lo jin keh, boan pwe harus ke mana menemui tayhiap itu?"
"Lo ciau pasti beritahukan, tapi…..."
"Kenapa?"
"Terlebih dahulu engkau harus tinggal di sini tiga bulan."
"Itu….. kenapa, lo jin keh?"
"Lo ciau akan mewariskan kepadamu tiga jurus sakti pelindung panji, sekaligus mengangkatmu sebagai generasi kelima pemegang panji itu."
"Lo jin keh…..."
"Engkau mengabulkan?"
"Apakah ini merupakan syarat, lo jin keh?"
"Boleh dibilang ya, boleh juga dibilang tidak."
"Maksud lo jin keh?"
Kian Kun Ie Siu menarik nafas ringan, setelah itu ia berkata,
"Usia lo ciau sudah tujuh puluhan. Karena mengidap semacam penyakit aneh, maka sepasang mata lo ciau jadi buta. Oleh karena itu, tiga jurus sakti pelindung panji harus ada pewarisnya. Engkau berbakat dan berhati bajik, maka engkaulah pewarisnya."
"Lo jin keh…..."
"Nak, engkau harus memiliki dasar lwee kang perguruan lo ciau, setelah itu barulah engkau pergi menemui tayhiap itu." Kian Kun Ie Siu menjelaskan. "Tentunya tidak sulit lagi bagimu untuk mempelajari bu kangnya. Seandainya tayhiap itu menolak, tapi begitu melihat Jit Goat Seng Sim Ki ini, dia pasti menerimamu. Engkau mengerti, Nak?"
"Boan pwe mengerti." Siau Liong mengangguk hormat. "Terima kasih atas kebaikan lo jin keh, boan pwe turut perintah."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu. "Kalau begitu, kenapa engkau masih belum bersujud mengangkat lo ciau sebagai guru?"
"Itu pasti, tapi…..."
"Apa yang engkau ragukan lagi, Nak?"
"Mohon maaf, lo jin keh! Boan pwe ingin tahu siapa tayhiap itu?"
Wajah Kian Kun Ie Siu berubah.
"Engkau tidak mempercayai omongan lo ciau?" tanyanya.
"Boan pwe percaya, namun ingin tahu siapa tayhiap itu."
"Oh?" Kening Kian Kun Ie Siu berkerut. "Seandainya lo ciau tidak memberitahukan dulu, engkau pun tidak mau mengangkat lo ciau sebagai guru?"
"Walau boan pwe harus ke Lam Hai mencari Pulau Pelangi itu, tetap akan mengangkat lo jin keh sebagai guru dan bersedia menjaga panji itu."
"Ngmm!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut, wajahnya pun berubah lembut lagi. "Baiklah lo ciau beritahukan."
"Terima kasih, lo jin keh!"
"Nak, pendekar rimba persilatan itu pernah bertarung dengan Siang Hiong Sam Koay seorang diri belasan tahun yang lalu, dia adalah Pek tayhiap."
Mendengar itu, Siau Liong merasa dirinya seperti tersambar geledek di siang hari bolong. Sekujur badannya bergemetar dan air mata pun mengucur.
Sudah lama Kian Kun Ie Siu menetap di dalam goa, maka tidak tahu apa yang telah terjadi dalam rimba persilatan.
"Lo jin keh!" Siau Liong menghapus air matanya. "Lo jin keh kenal Pek tayhiap?"
"Kenal." Kian Kun Ie Siu mengangguk. "Lo ciau dan Pek tayhiap pernah bertemu beberapa kali, hubungan kami pun sangat baik."
Mendengar itu, Siau Liong berduka sekali sehingga air matanya mengucur lagi, namun berusaha menahan isak tangisnya.
Cing Ji yang berdiri di luar, mendengar juga isak tangis Siau Liong. Gadis itu mengira Siau Liong dimarahi kakeknya.
Segeralah ia menerjang ke dalam ruang rahasia itu, dan melihat wajah Siau Liong yang pucat pias seperti kertas.
Kian Kun Ie Siu tidak melihat bagaimana wajah Siau Liong, namun mendengar isak tangisnya yang memilukan.
Ketika menyaksikan wajah Siau Liong yang pucat pias itu, Cing Ji terkejut bukan main.
"Siau Liong ko, kenapa engkau…..?" tanyanya cemas dan penuh perhatian.
Siau Liong tidak menyahut. Tak lama ke mudian, hatinya sudah tenang kembali, dan memandang Cing Ji seraya berkata,
"Cing Ji, terima kasih atas perhatianmu! Aku…... aku tidak apa-apa."
Begitu mendengar jawaban Siau Liong, Cin Ji pun menarik nafas lega, namun wajahnya penu diliputi keheranan.
"Kenapa Siau Liong ko?"
"Adik Cing, aku tidak bisa menahan rasa duka di dalam hati…..," ujar Siau Liong dan kemudia mengarah pada Kian Kun Ie Siu. "Lo jin keh maafkan sikap boan pwe barusan!"
"Nak, lo ciau tidak menyalahkanmu." Kian Kun Ie Siu tersenyum lembut.
"Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Lion dan melanjutkan, "Kini tidak perlu ke Ciok La San Cung lagi."
"Kenapa?" Kian Kun Ie Siu tertegun. "Maksudmu?"
"Percuma boan pwe ke sana."
"Nak." Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening "Apakah engkau telah ke sana?"
"Boan pwe justru datang dari sana."
"Pek tayhiap menolakmu, Nak?"
"Tidak."
"Kalau begitu, engkau tidak bertemu Pek tayhiap?"
"Lo jin keh, Ciok Lau San Cung itu sudah tiada penghuninya."
"Apa?!" Kening Kian Kun Ie Siu berkerut-kerut. "Kok Ciok Lau San Cung tiada penghuninya?"
"Pek tayhiap dan isterinya telah meninggal, seluruh penghuni perkampungan itu pun telah mati."
"Haah…..?" Kian Kun Ie Siu terkejut bukan main. "Apakah Pek tayhiap dan isterinya dibunuh oleh para iblis itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Itu bagaimana mungkin? Iblis mana yang memiliki bu kang yang lebih tinggi dari Pek tayhiap?"
Siau Liong mulai menangis sedih lagi.
"Lo jin keh, meskipun Pek tayhiap memiliki bu kang yang luar biasa tinggi, bagaimana mampu melawan Mo, Tok, Koay, Hiong (Iblis, Racun, Siluman, Buas) yang bergabung itu?"
"Hah? Apa?" Sekujur badan orang tua itu tergetar saking terkejutnya. "Apakah Pat Tay Hiong Jin yang turun tangan jahat terhadap Pek tayhiap dan isterinya?"
"Mereka berdelapan atau bukan, boan pwe tidak berani memastikan. Tapi boan pwe menduga mereka berdelapan itu."
"Apakah tiada seorang pun yang dapat lobos dari perkampungan itu?" tanya Kian Kun Ie Siu mendadak.
"Ada seseorang yang lolos."
"Siapa orang itu?" tanya Kian Kun Ie Siu cepat.
"Lo jin keh….." jawab Siau Liong sedih. "Orang itu boan pwe."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu tertegun, tapi kemudian wajahnya tampak berseri. "Nak, kalau begitu engkau adalah…..."
"Lo jin keh, sesungguhnya boan pwe marga Pek, bernama Giok Liong." Siau Liong memberitahukan secara jujur.
"Hah…..?" Kian Kun Ie Siu memeluknya erat-erat. "Nak…..."
"Lo jin keh…..." Air mata Siau Liong berderai.
"Nak, sungguhkah engkau tidak tahu siapa-siapa pembunuh itu?" tanya Kian Kun Ie Siu.
"Lo jin keh," jawab Siau Liong sedih. "Ketika itu tengah malam, seseorang menotok jalan tidur boan pwe, lalu membawa boan pwe pergi ke suatu tempat yang rahasia, maka boan pwe tidak tahu jelas siapa pembunuh-pembunuh itu."
"Oh!" Kian Kun Ie Siu berpikir sejenak. "Tahukah engkau siapa yang membawamu pergi?"
"Boan pwe tidak tahu. Ketika boan pwe mendusin, saat itu sudah hari kedua. Lagi pula boan pwe baru sadar diri bahwa boan pwe berada di dalam sebuah goa." Siau Liong menjelaskan. "Di sini boan pwe terdapat secarik kertas yang berisi beberapa baris tulisan berupa suatu pesan, bahwa setelah boan pwe mendusin dan tiada orang ke mari menjemput, maka tidak boleh pulang ke Ciok Lau San Cung, harus segera berangkat ke Lam Hai mencari Cai Hiong To untuk mempelajari bu cang tingkat tinggi di pulau itu demi membalas dendam berdarah itu."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening. "Siapa orang itu?"
"Boan tidak tahu." Siau Liong melanjutkan, "Setelah boan pwe mendusin, boan pwe pun terus menunggu, namun tiada seorang pun yang datang menjemput boan pwe. Malam harinya, boan pwe memberanikan diri pulang ke Ciok Lau San Cung, namun perkampungan itu sepi sekali. Di mana-mana terdapat noda darah, bahkan tampak pula beberapa makam baru, yakni makam kedua orang tua boan pwe. Betapa sedihnya boan pwe, tapi masih menyadari bahaya yang mengancam boan pwe, maka boan pwe segera kabur. Kemudian boan pwe menempuh jalan siang dan malam berangkat ke Lam Hai."
"Nak, kalau engkau tidak menemukan Pulau Pelangi, sulitlah bagimu untuk menuntut balas."
"Benar, lo jin keh."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir. "Mulai malam ini, lo ciau akan mengajarmu lwee kang sekaligus mewariskan tiga jurus sakti pelindung panji. Tiga bulan kemudian, engkau boleh berangkat ke Lam Hai. Bagaimana, Nak?"
"Boan pwe turut perintah," ucap Siau Liong. Ia lalu bersujud di hadapan Kian Kun Ie Siu. "Teecu (murid) memberi hormat pada Suhu!"
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar