Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 26 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 21 dan 22

Sambungan ...


Bagian ke 21: Banjir Darah Di Rumah Makan Empat Lautan


Hek Siau Liong menghilang mendadak, itu sungguh mencemaskan Se Pit Han yang baru dikenal itu.
Demi Hek Siau Liong, Se Pit Han pun telah bersumpah dalam hati, harus dapat mencarinya. Kalau tidak, ia pun tidak segan-segan membunuh agar darah membanjiri kang ouw.
Kenapa Se Pit Han bersumpah begitu? Karena kemungkinan besar Hek Siau Liong adalah putra tunggal bibinya berarti mereka berdua adalah kakak beradik misan, juga termasuk teman baik pula.
Hek Siau Liong yang begitu tampan, berhati bajik dan berbudi luhur, itu semua telah terukir dalam benak Se Pit Han bahkan bayangan Hek Siau Liong sering muncul di pelupuk matanya, membuatnya tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur…...
Kalau Se Khi tidak sering menasehati sekaligus menghiburnya, ketika Hek Siau Liong kehilangan jejak, mungkin Se Pit Han sudah mulai membunuh, terutama di rumah makan Empat Lautan di kota Ling Ni. Sebab anggapan Se Pit Han, biang keladinya adalah Toan Beng Thong, pemilik rumah makan tersebut.
Sejak Hek Siau Liong menghilang, sejak itu pula wajah Se Pit Han tidak pernah senyum, selalu bermuram durja dan menunggu kabar berita Hek Siau Liong dengan tidak tenang. Oleh karena itu, badan Se Pit Han kian hari kian bertambah kurus, itu sungguh mencemaskan Se Khi.
Lewat setengah bulan kemudian, sudah ada kabar berita tentang Hek Siau Liong. Ia nyaris mati terbunuh di pinggir kota Pin Hong, untung tertolong oleh seseorang yang berkepandaian tinggi. Namun karena tidak tahu siapa orang yang berkepandaian tinggi itu, maka juga tidak bisa tahu Hek Siau Liong berada di mana.
Siapa yang menyampaikan kabar berita tersebut pada Se Pit Han? Ternyata Se Khi.
Setelah memperoleh kabar berita itu, Se Pit Han pun tampak agak tenang. Wajah pun tidak begitu murung lagi, bahkan kadang-kadang berseri pula.
Dengan adanya kabar berita tersebut, Se Pit Han pun terus menginap di rumah penginapan Ko Lung di dalam kota Siang Yang untuk menunggu kabar berita selanjutnya.
Tak terasa sudah lewat setengah bulan lagi. Dalam waktu setengah bulan itu, tiada kabar berita Hek Siau Liong sama sekali. Itu membuat Se Pit Han mulai cemas, wajahnya pun mulai murung dan tidak pernah senyum lagi. Sedangkan air muka Se Khi pun bertambah serius, keningnya sering berkerut-kerut seakan tercekam suatu perasaan.
Bagaimana dengan Pat Kiam dan Siang Wie yang selalu mengikuti Se Pit Han?
Mereka pun tampak cemas dengan wajah murung, tidak pernah senyum lagi dan kening pun sering berkerut seperti kening Se Khi.
Nah! Apa yang akan terjadi selanjutnya.....?
*
* *
Mendadak….. bu lim telah dikejutkan oleh suatu kejadian yang sangat menggemparkan. Kejadian apa yang telah mengejutkan seluruh bu lim.
Ternyata telah terjadi banjir darah di rumah makan Empat Lautan di kota Ling Ni. Para pelayan dan lainnya terbunuh semua di halaman belakang rumah makan tersebut, tiada seorang pun yang dapat meloloskan diri.
Siapa pembunuh itu, tiada seorang pun yang tahu. Akan tetapi, ditembok halaman belakang rumah makan itu terdapat sebaris tulisan dengan darah berbunyi demikian.
Ini sebagian kecil pembalasan demi nyawa Hek Siau Liong.
Di sisi tulisan itu terdapat sebuah gambar bunga mawar yang juga dilukis dengan darah.
Siapa yang melihat, pasti menduga itu tulisan si pembunuh yang memakai lambang bunga mawar.
Dalam rimba persilatan, siapa yang menggunakan bunga mawar sebagai lambang? Kebanyakan telah tidak ingat lagi. Bagi yang masih ingat, mereka pun tidak berani mengatakannya, apa lagi memperbincangkannya.
Kabar berita tentang kejadian itu, juga telah sampai di telinga Kay Pang Pangcu dan para ciang bun jin partai besar lainnya. Mereka mengerti apa yang telah terjadi, bahkan juga tahu siapa pemilik lambang tersebut. Namun mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menarik nafas panjang, sama sekali tidak mau membicarakannya, juga melarang para murid mereka membicarakan masalah lambang bunga mawar tersebut, yang membicarakan pasti dihukum berat.
Semalam sebelum kejadian banjir darah itu, Se Pit Han justru telah menghilang entah ke mana.
Betapa terkejutnya Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie. Mereka sangat gugup dan panik, berpencar berusaha mencari Se Pit Han. Akan tetapi, tiada jejak Se Pit Han sama sekali.
Setelah kejadian banjir darah di rumah makan Empat Lautan, mereka pun mengerti dan langsung berangkat ke Kota Ling Ni. Salah seorang Pat Kiam tetap tinggal di penginapan di kota Siang Yang sebagai penghubung.
Begitu sampai di kota Ling Ni, mereka pun mulai mencari Se Pit Han, namun tiada jejaknya sama sekali, mungkin sudah meninggalkan Kota Ling Ni.
Bagaimana mereka bisa tahu? Sesungguhnya Se Pit Han tidak menginap di dalam kota itu. Malam itu terjadi banjir darah di rumah makan Empat Lautan, malam itu juga Se Pit Han meninggalkan kota tersebut. Maka mereka berselisih jalan dengan Se Pit Han.
Se Khi, Cit Kiam dan Siang Wie tiba di Kota Ling Ni sudah hari keempat setelah kejadian banjir darah tersebut. Maka mereka pun menduga tidak mungkin Se Pit Han masih berada di dalam kota itu, namun tetap berharap bisa bertemu Se Pit Han. Oleh karena itu mereka masih berusaha mencarinya.
Benarkah Se Pit Han telah meninggalkan Kota Ling Ni? Se Khi menduga benar, tapi ternyata tidak.
Se Pit Han masih tetap berada di dalam Kota Ling Ni, tujuannya mengawasi rumah makan Empat Lautan itu. Siapa yang akan ke sana dan siapa pula yang menggantikan Toan Beng Thong.
Dalam hatinya telah memutuskan, siapa yang ke sana dan siapa yang menggantikan Toan Beng Thong, harus dibunuh pula, itu agar orang yang di latar belakang memunculkan diri.
Semua ini, tentunya di luar dugaan Se Khi, bagaimana mungkin ia akan menduga Se Pit Han mengambil keputusan demikian?
*
* *
Se Khi dan lainnya tidak menemukan Se Pit Han di Kota Ling Ni, maka mereka menerka Se Pit Han telah kembali ke kota Siang Yang. Oleh karena itu, Se Khi mengajak Cit Kiam dan Siang Wie kembali ke Kota Siang Yang.
Akan tetapi, Se Pit Han justru tidak kembali ke kota itu. Sebetulnya Se Pit Han pergi ke mana? Persoalan ini membuat Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie tidak habis berpikir dan cemas.
Mereka tahu jelas Se Pit Han memiliki kepandaian tinggi, namun baru pertama kali berkelana, tentunya belum berpengalaman dalam rimba persilatan. Karena itu, Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie sangat mencemaskannya.
Banyak kelicikan dalam rimba persilatan, serangan gelap sulit dijaga, itu yang dikuatirkan Se Khi.
Karena gugup dan panik, membuat Se Khi selalu salah tingkah. Bagaimana dengan Pat Kiam dan Siang Wie? Mata mereka pun telah merah lantaran sering mengucurkan air mata. Wajah mereka murung dan sering menarik nafas panjang.
Se Kiam Hong memang berotak cerdas. Walau gugup ia masih bisa berlaku tenang. Ketika mereka duduk di dalam kamar rumah penginapan Ko Lung di Kota Siang Yang, Se Kiam Hong memandang Se Khi seraya berkata.
"Se lo (se tua), urusan sudah menjadi begini, percuma kita terus menerus tercekam rasa gugup dan panik. Kini kita harus bagaimana, lo jin keh harus mengambil keputusan. Tidak bisa terus menerus begini."
Se Khi menatapnya. Kiam Hong mengatakan begitu, tentunya telah memikirkan sesuatu. Kalau tidak, ia tidak akan sembarangan membuka mulut.
"Kiam Hong, yang paling cerdik di antara Pat Kiam adalah engkau. Menurut pendapatmu kita harus bagaimana?" tanya Se Khi.
Kiam Hong tersenyum.
"Terimakasih atas pujian lo jin keh!" ujar Kiam Hong dan melanjutkan, "Menurut Kiam Hong, harus ada salah satu di antara kita pulang untuk melapor pada Kiong cu dan hujin. Mengenai jejak Siau Kiong cu kita harus berpencar untuk mencarinya. Partai Kay Pang punya murid yang tak terhitung banyaknya. Kita harus minta bantuan kepada Kay Pang. Bagaimana menurut lo jin keh?"
Se Khi manggut-manggut, kemudian mengarah pada Huai Hong.
"Engkau punya pendapat lain?" tanya Se Khi.
Huai Hong berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepala.
"Huai Hong tidak punya pendapat lain. Apa yang dikatakan Kiam Hong, itu merupakan petunjuk bagi kita semua." katanya.
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut.
Maka lo ngo (saudara kelima) yaitu Yang Hong di suruh pulang ke Lam Hai, sedangkan Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie berjumlah sepuluh orang dibagi menjadi dua regu. Mereka berpencar mencari Se Pit Han, bahkan juga minta bantuan pada partai Kay Pang.
Kiam Hong dan lo sam (saudara ketiga) yaitu Ih Hong menjadi satu regu. Ketika mau berangkat, mendadak Kiam Hong berkata pada Giok Cing, salah seorang dari Siang Wie.
"Cici (Kakak perempuan) Cing, di pinggir kota terdapat sebuah vihara tua, harap cici dan Ling moi menyusul kami di sana! Siaute akan menunggu kalian di vihara itu."
Heran? Kenapa Kiam Hong memanggil Giong Cing cici? Apakah Giong Cing adalah anak perempuan? Kalau bukan, kenapa Kiam Hong memanggilnya cici?
"Baiklah. Aku dan Ling moi pasti segera menyusul ke sana," sahut Giok Cing sambil tersenyum.
*
* *
Lima li sebelah utara Kota Siang Yang terdapat sebuah vihara tua. Tampak dua orang berdiri di depan vihara itu. Pada pinggang mereka bergantung sebilah pedang. Mereka berdua adalah Ih Hong dan Kiam Hong.
"Pat te, (Adik kedelapan), kenapa kita datang di tempat ini?" tanya Ih Hong heran.
"Menunggu orang," jawab Kiam Hong singkat.
"Oh?" Ih Hong bertambah heran. "Menunggu siapa?"
Kiam Hong tersenyum, dan memandang Ih Hong seraya berkata.
"Sam Ko (kakak ketiga) jangan bertanya. Setelah mereka datang, sam ko akan mengetahuinya."
Ih Hong manggut-manggut. Ia tidak banyak bertanya lagi, karena tahu sifat Kiam Hong. Ia tidak mau memberitahukan, percuma Ih Hong bertanya lagi, tetap tidak akan dijawab.
Berselang beberapa saat kemudian, muncullah Giok Cing dan Giong Ling, sepasang pengawal.
"Pat te," Giong Cing menatapnya. "Ada suatu penting?"
"Cici Cing dan Ling Moi sudah memikirkan tempat yang akan dituju?"
"Belum." Giong Cing menggelengkan kepala. "Menurut pat te kami harus menuju ke mana?"
"Cici Cing dan Ling Moi sudi mendengar petunjuk siau te?" tanya Kiam Hong sambil tersenyum.
"Bagaimana petunjukmu itu?" Giok Cing menatapnya.
"Menurut siaute alangkah baiknya Cici Cing dan Ling Moi berangkat bersama kami."
"Berangkat bersama kalian bisa menemukan siau kiong cu?" tanya Giok Ling.
"Siaute tidak berani mengatakan pasti, namun….." Kiam Hong tersenyum. "Mungkin bisa menemukan siau kiong cu."
"Oh?" Giok Cing tercengang. "Pat te telah menduga siau kiong cu berada di mana?"
"Ya." Kiam Hong mengangguk.
"Di mana?" tanya Giok Cing cepat.
"Di Kota Ling Ni."
"Apa?!" Giok Cing dan Giok Ling tertegun, kemudian Giok Cing bertanya dengan mata terbelalak. "Pat te menduga siau kiong cu masih berada di kota Ling Ni?"
"Ya." Kiam Hong mengangguk. "Kalau dugaan siaute tidak meleset, siau kong cu pasti bersembunyi di tempat rahasia di Kota Ling Ni, belum meninggalkan kota itu."
"Oh?" Giok Cing termangu, kemudian bertanya, "Berdasarkan alasan apa pat te menduga begitu?"
"Tentunya siaute punya alasan yang kuat." Kiam Hong serius. "Tapi alangkah baiknya cici Cing jangan bertanya."
"Eh?" Giok Cing menarik nafas. "Maksud Pat te rahasia tidak boleh dibocorkan?"
"Maaf cici Cing, memang begitu," sahut Kiam Hong. "Bagaimana cici Cing mau berangkat bersama kami?"
Giok Cing tidak segera menjawab, melainkan memandang Giok Ling seraya bertanya, "Bagaimana menurutmu, Ling Moi?"
"Kiam Hong sangat cerdik, maka siau moi menurut saja," jawab Giok Ling sambil tersenyum.
"Kalau begitu….." Giok Cing mengarah pada Kiam Hong. "Baiklah, kami ikut kalian."
"Tapi….." Kiam Hong tersenyum.
"Lho?" Giok Cing bingung. "Ada apa lagi?"
"Sebelumnya siaute harus menegaskan. Setelah kita sampai di kota Ling Ni, cici Cing dan Ling moi harus menurut apa yang siaute atur. Lagi pula kita pun harus merubah wajah dan dandanan."
"Pat te boleh berlega hati, kami pasti menurut apa yang Pat te atur itu," ujar Giok Cing dan menambahkan. "Asal bisa menemukan siau kiong cu, itu yang terpenting."
"Kalau begitu, mari kita berangkat!" ujar Kiam Hong. "Setelah mendekat Kota Ling Ni, barulah kita merubah wajah….."
Berita kejadian banjir darah di rumah makan Empat Lautan di Kota Ling Ni tersebut sungguh cepat tersiar sampai ke segala pelosok bu lim sekaligus menggemparkan pula.
Itu sudah pasti, sebab orang-orang yang terbunuh itu, delapan di antaranya merupakan bu lim ko ciu masa kini. Mereka adalah Toan Beng Thong, Thai Hang Ngo Sat, Bun Fang lima bersaudara, Cioh Bin Thai Sueh Teng Eng Cong dan Thian Ciang Khay San Yu Ceng Yong. Terbunuhnya delapan orang tersebut, memang sangat mengejutkan kang ouw.
*
* *
Bagian ke 22: Vihara Tay Siang Kok
Berita tentang banjir darah di rumah makan Empat Lautan itu, juga masuk ke telinga Swat San Lo Jin. Orang tua renta itu berada di vihara Tay Siang Kok di Kota Kay Hong.
Betapa terkejutnya Swat San Lo Jin ketika mendengar berita itu. Yang mengejutkan bukan terbunuhnya orang-orang hek to tersebut, melainkan lambang bunga mawar itu.
Lambang bunga mawar itu membuatnya teringat akan seorang aneh seratusan tahun yang lampau, yakni Mei Kuei Ling Cu (Pemilik lambang Mawar Maut) itu. Lambang mawar maut sudah seratusan tahun tidak pernah muncul dalam kang ouw, tentunya pemiliknya telah meninggal.
Akan tetapi, kini mendadak muncul lagi dalam kang ouw. Itu dapat dipastikan adalah pewarisnya.
Partai Kay Pang berani menyebarkan bu lim tiap pada berbagai partai besar lainnya untuk minta bantuan mencari Hek Siau Liong, itu tentunya berkaitan dengan pemilik lambang mawar maut tersebut.
Lalu apa hubungan Mei Kuei Ling Cu dengan Hek Siau Liong? Untuk mengetahui hal tersebut, harus bertanya pada Hek Siau Liong pula.
Mau bertanya pada Hek Siau Liong, memang tidak sulit, karena Hek Siau Liong berada di ruang belakang vihara Tay Siang Kok ini. Ia sedang bersemadi melatih lwee kang yang diajarkan Swat San Lo Jin.
Ternyata orang yang menolong Hek Siau Liong, tidak lain adalah Swat San Lo Jin. Orang tua renta itu membawa Hek Siau Liong ke vihara Tay Siang Kok yang sepi itu untuk diobati lukanya.
Setengah bulan kemudian, luka Hek Siau Liong telah sembuh, lalu mengangkat Swat San Lo Jin menjadi gurunya.
Siapa yang menyampaikan berita tentang banjir darah di rumah makan Empat Lautan kepada Swat San Lo Jin? Ternyata Hui Keh Taysu, ketua Vihara Tay Siang Kok itu.
Setelah mendengar berita tersebut, Swat San Lo Jin segera ke ruang belakang menemui Hek Siau Liong.
"Liong Ji (Nak Liong), ada hubungan apa engkau dengan Mei Kuei Ling Cu ?" tanyanya.
"Suhu!" Hek Siau Liong tampak tertegun. "Siapa Mei Kuei Ling Cu?"
"Eh?" Swat San Lo Jin bingung. "Sungguhkah engkau tidak tahu siapa Mei Kuei Ling Cu?"
"Suhu, Liong Ji tidak berani bohong, Liong Ji sungguh tidak tahu, lagi pula tidak pernah dengar."
Swat San Lo Jin menatapnya dalam-dalam. Orang tua renta itu tahu Hek Siau Liong tidak berdusta.
"Kalau begitu, itu sungguh mengherankan," gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Suhu." Hek Siau Liong terbelalak. "Apa yang mengherankan? Bolehkah Suhu memberitahukan pada Liong Ji?"
Swat San Lo Jin tampak berpikir, lama sekali barulah membuka mulut memberitahukan.
"Liong Ji, Mei Kuei Ling Cu itu menganggapmu telah terbunuh, maka dia membunuh semua orang hek to di rumah makan Empat Lautan. Bahkan juga meninggalkan sebaris tulisan di tembok halaman belakang rumah makan itu."
"Suhu, bagaimana bunyi tulisan itu?"
"Tulisan itu berbunyi demikian. Ini sebagian kecil pembalasan demi nyawa Hek Siau Liong."
"Oh?" Hek Siau Liong mengerutkan alisnya. "Suhu tahu siapa pemilik rumah makan itu?"
"Siapa pemilik sesungguhnya, Suhu tidak tahu. Namun Suhu tahu siapa penanggung jawabnya, yakni Toan Beng Thong."
"Oh?"
"Liong Ji!" Swat San Lo Jin menatapnya. "Engkau kenal Toan Beng Thong?"
"Suhu!" Hek Siau Liong menggelengkan kepala. "Liong Ji tidak kenal, lagi pula dia tidak punya dendam apa pun dengan Liong Ji."
"Kalau begitu, bagaimana dengan Thai Hang Ngo Sat, Cioh Bin Thai Sueh Teng Eng Cong dan Thiat Ciang Khay San Yu Ceng Yong, engkau kenal mereka?"
Hek Siau Liong menggelengkan kepala lagi.
"Liong Ji sama sekali tidak kenal mereka."
"Oh?" Swat San Lo Jin bertambah bingung.
"Guru, sebetulnya siapa Mei Kuei Ling Cu itu? Kenapa Suhu masih belum memberitahukan pada Liong Ji."
"Liong Ji….." Swat San Lo Jin menggelengkan kepala. "Siapa Mei Kuei Ling Cu itu, suhu pun tidak tahu."
"Dia sangat misteri, tapi bu kangnya sangat tinggi sekali kan?" tanya Hek Siau Liong dengan mata berbinar-binar.
"Benar," Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Mei Kuei Ling Cu adalah pendekar aneh seratusan tahun yang lampau, tiada seorang pun yang mampu menandinginya. Namun sudah hampir seratusan tahun tidak pernah muncul dalam rimba persilatan, yang muncul kini tentu pewarisnya."
"Oh!" Hek Siau Liong tampak tercenung.
Ia terus berpikir. Semakin berpikir ia malah semakin tidak mengerti. Siapa Mei Kuei Ling Cu itu? Kenapa membunuh orang-orang hek to di rumah makan Empat Lautan? Padahal ia tiada hubungan apa-apa dengan mereka...
"Itu sungguh mengherankan!" gumamnya.
"Liong Ji" Swat San Lo Jin tersenyum. Ternyata orang tua renta itu sudah mempunyai akal untuk mengungkap teka-teki tersebut. "Engkau tidak perlu memikirkan itu, suhu sudah punya akal untuk memecahkan teka teki itu. Tidak lewat lima hari, suhu pasti sudah tahu semuanya."
Usai berkata begitu, Swat San Lo Jin meninggalkan ruang belakang tersebut, lalu pergi melalui pintu belakang.
*
* *
Empat hari kemudian ketika hari mulai gelap, Hui Koh Taysu, ketua vihara Tay Siang Kok melangkah ke ruang belakang bersama dua orang yang berusia cukup lanjut.
Siapa kedua orang itu, ternyata Se Khi dan Sang Han Hun, ketua partai pengemis.
Setelah menjura memberi hormat pada Swat San Lo Jin, barulah Se Khi dan Kay Pang Pancu itu duduk. Begitu duduk, Se Khi pun terus menatap Hek Siau Liong yang duduk di sisi Swat San Lo Jin.
Air muka Hek Siau Liong tampak biasa, seakan tidak kenal Se Khi sama sekali. Berselang sesaat, Se Khi mulai membuka mulut.
"Kong Cu marga apa, dan bernama siapa?"
"Boan pwe marga Hek, bernama Siau Liong," jawab Hek Siau Liong hormat.
Kening Se Khi berkerut, kemudian menatap Hek Siau Liong dengan sorotan tajam dan dingin.
"Sungguhkah Kong cu bernama. Hek Siau Liong?"
Hek Siau Liong tertegun, kemudian sepasang alisnya tampak berkerut.
"Lo cian pwe," ujarnya. "Nama adalah pemberian orang tua, bagaimana mungkin boan pwe sembarangan memberitahukan?"
"Kalau begitu, Kong cu sungguh Hek Siau Liong!" Se Khi tertawa dingin. "Maka tidak seharusnya tidak mengenal lo hu."
"Lo ciang pwe!" sahut Hek Siau Liong nyaring. "Perkataan lo cian pwe tidak masuk akal."
"Kenapa tidak masuk akal?"
"Boan pwe ingin bertanya, apakah orang yang bernama Hek Siau Liong harus kenal lo clan pwe?"
Se Khi tertegun, kemudian wajahnya berubah lembut.
"Kalau begitu, engkau memang bernama Hek Siau Liong, bukan menyamar!" ujar Se Khi bernada lembut pula.
"Lo cian Pwe," Hek Siau Liong tersenyum getir. "Karena boan pwe bernama Hek Siau Liong, maka nyaris mati di pinggir kota Pin Hong. Kalau tidak ditolong Guru yang berbudi, kini tubuh pasti sudah busuk. Seandainya boan pwe bukan bernama Hek Siau Liong, kenapa harus memakai nama Hek Siau Liong untuk cari mati?"
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut.
"Siapa sebetulnya Hek Siau Liong yang kenal lo cian pwe itu?" tanya Hek Siau Liong mendadak. "Apakah wajah, usia dan tinggi badannya seperti boan pwe?"
Pertanyaan ini membuat Se Khi menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian sepasang matanya terbelalak lebar.
"Sungguh mirip sekali. Sulit membedakannya."
"Oh?" Tiba-tiba Hek Siau Liong teringat sesuatu. "Lo cian pwe, di belakang telinga kiri boan pwe terdapat sebuah tanda merah, apakah Hek Siau Liong itu juga punya tanda ini?"
"Itu….." Se Khi menggelengkan kepala. "Lo hu tidak memperhatikannya, maka tidak tahu?"
"Ha ha ha!" Swat San Lo Jin tertawa terbahak-bahak. "Kini telah jelas segalanya. Hek Siau Liong ini bukan Hek Siau Liong itu. Nama mereka sama, namun boleh dikatakan saudara."
Se Khi diam saja.
Swat San Lo Jin menatapnya, kemudian ujarnya perlahan
"Lo ciau berusia lebih tua darimu, maka lo ciau akan memanggilmu lo heng te saja. Bagaimana? Boleh kan?"
"Tentu boleh." Se Khi tertawa. "Lo koko adalah bu lim cian pwe, mau memanggil siau te sebagai lo heng te, itu sungguh membuat siaute merasa bangga sekali."
"Jangan sungkan, lo heng te!" Swat San Lo Jin tertawa gelak. "Ohya, lo koko ingin mohon petunjuk, itu boleh kan?"
"Mengenai apa?" tanya Se Khi heran.
"Lo heng te berasal dari mana?" Swat San Lo Jin menatapnya.
"Lam Hai," jawab Se Khi jujur.
"Oh?" Sepasang mata Swat San Lo Jin bersinar aneh. "Lo heng te bersama….."
"Bersama siau kiong cu datang di Tiong Goan ini," sambung Se Khi cepat.
"Kalau begitu, lo heng te adalah….." Swat San Lo Jin mengatakan sesuatu, namun keburu dipotong oleh Se Khi agar tidak dilanjutkan.
"Siaute cuma ikut siau kong cu jalan-jalan saja."
Sebetulnya Swat San Lo Jin ingin mengatakan Se Khi pewaris lambang maut itu, tapi langsung dipotong oleh Se Khi, maka ia lalu mengalihkan pembicaraan.
"Apakah siau kong cu adalah teman baik siau kiong cu?"
Se Khi mengangguk. "Siau kong cu mengenalnya di Tiong Goan, namun asal-usul Hek Siau Liong masih merupakan teka teki. Menurut dugaan siaute, Hek Siau Liong punya hubungan erat dengan kiong cu. Oleh karena itu, Hek Siau Liong bukan nama aslinya."
Swat San Lo Jin tercengang. "Kalau begitu, dia bukan marga Hek!"
"Benar." Se Khi manggut-manggut.
"Kalau dia bukan marga Hek, lalu marga apa?" tanya Swat San Lo Jin.
Se Khi menatap Swat San Lo Jin. "Tahukah Lo koko kalau di San si terdapat Ciok Lau San Cung?"
Begitu mendengar nama perkampungan tersebut, Swat San Lo Jin pun tampak tersentak dengan mata terbelalak.
"Mendadak lo heng te menyinggung Ciok Lau San Cung. Apakah Hek Siau Liong putra kesayangan Pek Lo Te suami istri yang bernama Pek Giok Ling?"
"Itu memang mungkin." Se Khi manggut-manggut. "Namun untuk sementara ini, siaute masih tidak berani memastikannya."
"Lawan kata pek adalah hek….." gumam Swat San Lo Jin. "Nama kecil Siau Liong, demi menghindari para musuh, maka memakai nama Hek Siau Liong. Mungkinkah begitu? Tidak salah! Pasti begitu!"
"Apakah Lo Koko kenal dengan Pek tay hiap suami istri?" tanya Se Khi mendadak.
"Bukan cuma kenal, bahkan kami sangat akrab." Swat San Lo Jin memberitahukan.
"Tentang kejadian Ciok Lau San Cung, sudahkah lo koko, mengetahuinya?" tanya Se Khi lagi.
"Tahu." Swat San Lo Jin mengangguk, kemudian menarik nafas panjang. "Dua puluh tahun yang lampau, lo koko berkenalan dengan Pek lo te. Sejak itu kami pun jadi teman baik bagaikan saudara. Setiap tiga tahun pada musim dingin, mereka suami istri pasti mengunjungi lo koko di Swat San. Dalam dua puluh tahun itu, mereka suami istri tidak pernah melupakan jadwal waktu tersebut. Akan tetapi hingga musim semi tahun ini, mereka suami istri tidak datang mengunjungi lo koko. Oleh karena itu, lo koko yang turun gunung….."
Berkata sampai di sini, Swat San Lo Jin menarik napas panjang, kemudian melanjutkan dengan wajah murung.
Begitu sampai di Ciok Lau San Cung, barulah lo koko tahu kalau perkampungan itu telah musnah, Pek Mang Ciu dan istrinya terbunuh. Maka lo koko mengambil keputusan terjun ke kang ouw lagi untuk menyelidiki siapa pembunuh-pembunuh itu. Lo koko ingin membalas dendam berdarah Pek lo te dan istrinya." Swat San Lo Jin menggeleng-gelengkan kepala. "Justru itu, secara tidak sengaja telah menolong Hek Siau Liong ini."
"Bagaimana hasil penyelidikan lo koko? Apakah sudah tahu jelas siapa pembunuh-pembunuh itu?"
"Sudah hampir sebulan lo koko menyelidiki….." Swat San Lo Jin tersenyum getir. "Namun belum ada hasilnya, hanya kebetulan menolong Hek Siau Liong ini?"
Se Khi juga menggeleng-gelengkan kepala.
"Sayang sekali! lo koko telah melepaskan kedua barang bukti itu!" seru Swat San Lo Jin.
"Barang bukti apa?" tanya Se Khi heran.
"Itu….." Swat San Lo Jin memberitahukan tentang kedua orang berbaju kuning emas dan putih perak, lalu menambahkan, "Kedua orang itu pasti punya hubungan erat dengan pembunuh….."
"Benar." Se Khi manggut-manggut. "Tidak lama lagi, kita pasti bisa tahu siapa kedua orang itu?"
"Tidak salah." Se Khi mengangguk. "Pangcu Sang Han Hun telah mengutus murid-murid handal untuk menyelidiki orang berbaju hitam pendek itu."
Swat San Lo Jin mengerutkan kening, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Lo heng te, itu memang cara yang baik, namun harapannya tipis sekali, akhirnya pasti sia-sia." katanya.
Se Khi tertegun, tapi kemudian tersenyum karena tahu maksud Swat San Lo Jin. "Maksud lo koko karena tidak tahu nama dan rupa orang berbaju hitam pendek itu, sehingga sulit menyelidikinya?"
"Ya." Swat San Lo Jin mengangguk. "Kalau berhadapan dengan orang baju hitam pendek itu, belum tentu akan tahu bahwa dia adalah orang yang sedang diselidiki?"
"Apa yang dikatakan lo koko memang benar, tapi siaute telah mengatur itu." Se Khi tersenyum. "Asal orang itu masih berada di Kota Pin Hong, tentu tidak sulit menyelidikinya."
"Ngmm!" Swat San Lo Jin manggut-manggut.
"Ohya!" Se Khi menatapnya. "Kelak kalau lo koko bertemu orang berbaju kuning dan orang berbaju putih perak, siaute mohon agar lo koko jangan melukai mereka, harap lo koko maklum!"
"Lho, kenapa?" Swat San Lo Jin heran.
"Sebab siau kiong cu telah memutuskan, kalau Hek Siau Liong adalah Pek Giok Ling, maka harus dia yang turun tangan membalas dendam berdarah itu." Se Khi memberitahukan.
"Oooh!" Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Ternyata begitu! Baiklah. Kalau lo koko bertemu kedua orang itu, lo koko pasti ingat pesanmu itu."
"Terimakasih, lo koko!" ucap Se Khi.
"Lo heng te!" Swat San Lo Jin menatapnya. "Ada hubungan apa Pek Tay hiap suami istri dengan kiong cu kalian, bolehkah lo hengte memberitahukan?"
"Pek hujin adalah adik kandung kiong cu."
"Oooh!" Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Ternyata begitu, pantas….."
"Lo koko, kini sudah tahu jelas mengenai Hek Siau Liong, maka siaute tidak akan mengganggu lagi." Se Khi bangkit berdiri. "Maaf, lo koko! Kami mau mohon diri!"
"Selamat jalan lo heng te!" Swat San Lo Jin tersenyum.
Se Khi dan Sang Han Hun pangcu segera meninggalkan vihara Tay Siang Kok.
Kini telah jelas mengenai Hek Siau Liong yang ditolong Swat San Lo Jin, ternyata ia Hek Siau Liong asli, marga Hek dan bukan nama kecil. Lalu berada di mana Pek Giok Liong alias Hek Siau Liong itu?
*
* *
Mendadak…..
Kang ouw telah digemparkan lagi oleh suatu kabar berita, yakni terjadi lagi banjir darah kedua di rumah makan Empat Lautan di Kota Ling Ni.
Kali ini yang terbunuh hanya belasan orang, namun semuanya orang-orang hek to yang berkepandaian tinggi.
Akan tetapi, salah seorang yang terbunuh itu justru sangat mengejutkan bu lim, karena orang tersebut adalah Thian Kang Kiam, ciang bun susiok partai Kun Lun.
Mengapa ciang bun susiok Kun Lun Pay juga terbunuh di rumah makan Empat Lautan itu? Tiada seorang pun yang mengetahuinya, cuma di duga terbunuh oleh orang hek to yang di rumah makan Empat Lautan itu, sebab Thian Kang Kiam In Yong Seng, ciangbun susiok Kun Lun Pay itu juga berusaha mencari Hek Siau Liong.
Di tembok halaman belakang rumah makan itu, terdapat pula sebaris tulisan yang ditulis dengan darah.
Ini tetap sebagian kecil pembalasan demi nyawa Hek Siau Liong
Bunyinya seperti tempo hari, hanya ditambah kata 'Tetap' dan di sisi tulisan itu terdapat gambar sekuntum bunga mawar yang dilukis dengan darah.
Berita itu tersebar sampai ke para ciangbun jin partai besar lainnya. Betapa terkejutnya para ciangbun jin itu.
Mengapa Mei Kuei Ling Cu itu mengadakan pembunuhan lagi di rumah makan Empat Lautan? Siapa Mei Kuei Ling Cu itu? Siapa pula orang yang dilatar belakang rumah makan Empat Lautan tersebut?
Satu hal yang membingungkan, sekaligus membuat para ciangbun jin partai besar lainnya tidak habis berpikir, yakni terbunuhnya tetua partai Kun Lun, Thian Kang Kiam In Yong Seng.
Kenapa tetua partai itu terbunuh juga di rumah makan Empat Lautan? Apakah dia telah bergabung dengan pihak Si Hai Ciu Lau (Rumah makan Empat Lautan)? Itu merupakan teka teki yang sulit diungkapkan.
Bagaimana mengenai partai Kun Lun? Tentunya telah menjadi gempar, Li Thian Hwa, ciang-bun jin Kun Lun Pay segera turun gunung dengan membawa Si Tay Huhoat (Empat pelindung) mengunjungi partai Kay Pang, sekaligus bermohon pada tetua partai itu agar membawanya pergi menemui Mei Kuei Ling Cu.
Sesungguhnya Se Pit Han sama sekali tidak kenal Thian Kang Kiam In Yong Seng, maka tentu juga tidak tahu salah seorang di antara belasan orang yang terbunuh itu adalah Kun Lun tianglo tersebut.
Hari berikutnya, ia baru tahu dari mulut orang-orang bu lim yang menceritakan tentang itu.
Setelah mengetahui tentang itu, Se Pit Han sangat terkejut dan gusar sekali. Seketika juga ia ingin berangkat ke Kun Lun Pay untuk menemui Li Thian Hwa ciangbun jin Kun Lun Pay itu.
Akan tetapi, Kiam Hong, Ih Hong, Giok Cing dan Giok Ling, sepasang pengawal itu segera mencegahnya. Ternyata Kiam Hong, Ih Hong dan Siang Wie itu telah bertemu Se Pit Han. Justru di malam hari ketika Se Pit Han mengadakan pembunuhan lagi di rumah makan Empat Lautan.
Karena dicegah, akhirnya Se Pit Han membatalkan niatnya untuk berangkat ke Kun Lun San.
Mereka tinggal di suatu tempat yang rahasia di kota Ling Ni, kemudian minta bantuan pada murid Kay Pang untuk menyampaikan pesan pada Se Khi serta Pat Kiam lainnya, agar segera menemui Se Pit Han di tempat rahasia di Kota Ling Ni itu.
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar