Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 26 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 37 dan 38

sambungan ...


Bagian ke 37: Di Luar Dugaan
Malam hari, di halaman belakang rumah Siauw muncul sosok bayangan hitam, begitu cepat dan ringan sosok bayangan hitam tersebut.
Para penjaga sama sekali tidak mengetahui kemunculan bayangan hitam itu. Betapa tingginya ilmu meringankan tubuh orang tersebut yang tidak lain adalah Pek Giok Liong.
Ia mengerahkan ginkangnya menuju lantai atas, karena ia tahu bahwa kamar Siauw Hui Ceh berada di lantai atas itu.
"Heran?" gumamnya. "Kenapa semua lampu sudah dimatikan? Apakah dia tidak sudi bertemu denganku, ataukah Siauw Peng Yang tidak memberitahukannya?"
Pek Giok Liong tidak habis berpikir, ia menengok ke sana ke mari, kemudian bergumam lagi.
"Mungkinkah dia sengaja mematikan semua lampu, agar aku lebih leluasa bergerak?"
Karena berpikir demikian, maka ia segera menuju kamar Siauw Hui Ceh. Kebetulan pintu kamar itu setengah terbuka, ia pun memberanikan menerobos ke dalam dan seketika juga terdengar suara yang amat lembut.
"Siapa?"
"Aku Siauw Liong."
"Siapa?!" Nada suara itu agak bergemetar. "Engkau ….. Kakak Siau Liong?"
"Betul, Nona."
"Kakak Liong, kenapa engkau beruhah begitu sungkan?" tegur Siauw Hui Cch. "Hanya berpisah setahun, apakah engkau telah lupa akan ucapan sendiri?"
"Aku tidak lupa," sahut Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Kalau begitu, kenapa engkau memanggilku nona?"
Setahun yang lalu
, ketika Pek Giok Liong menderita luka karena pukulan Tu Ci Yen, Siauw Hui Ceh begitu memperhatikannya. Apa yang terjadi ketika itu terbayang kembali di pelupuk mata Pek Giok Liong.
"Adik Hui, maafkan aku!" ucapnya dengan suara rendah.
"Kakak Liong, engkau tidak perlu minta maaf," ujar Siauw Hui Ceh lembut. "Yang penting engkau tidak melupakan apa yang kau ucapkan setahun yang lalu itu."
"Aku tidak akan lupa."
"Kakak Liong, duduklah!" ucap Siauw Hui Ceh yang duduk di pinggir tempat tidur.
Pek Giok Liong mengangguk, kemudian duduk seraya bertanya.
"Adik Hui, aku dengar engkau sakit, sekarang sudah membaik?"
"Kakak Liong, terimakasih atas perhatianmu! Padahal sesungguhnya, aku sama sekali tidak sakit, hanya karena hati sedang risau sekali, maka aku katakan sakit."
"Oooh!" Pek Giok Liong memandangnya dengan penuh perhatian. "Adik Hui, engkau kelihatan agak kurus."
"Kakak Liong, engkau dapat melihat jelas diriku?" tanya Siauw Hui Ceh.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Tapi aku tidak dapat melihat dirimu dengan jelas. Kakak Liong, mendekatlah ke mari sedikit!"
"Baiklah." Pek Giok Liong menggeser kursinya mendekat pada Siauw Hui Ceh.
"Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh memandangnya dengan mata berbinar-binar. "Aku dengar dari kakak keempat, engkau telah berhasil belajar kepandaian yang amat tinggi. Betulkah itu?"
Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Kakak Liong ….." Wajah Siauw Hui Ceh cerah ceria. "Aku gembira sekali mendengarnya."
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menatapnya seraya bertanya, "Kenapa saudara Peng Yang tidak berada di sini menunggu kedatanganku?"
"Dia ….." Siauw Hui Ceh menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa dia?" tanya Pek Giok Liong dengan air muka berubah.
"Dia telah ditahan."
"Apa?! Kenapa dia ditahan?"
"Entahlah, aku tidak begitu jelas."
"Adik Hui, siapa yang menahannya?"
"Tu Ci Yen."
"Oh!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Dia ditahan di mana?"
"Di penjara bawah tanah."
"Penjara bawah tanah?" Pek Giok Liong terkejut. "Apakah di sini terdapat penjara bawah tanah?"
"Ada, baru dibangun setahun yang lalu."
"Tu Ci Yenkah yang membangun penjara bawah tanah itu?"
Siauw Hui Ceh mengangguk.
"Selain dia siapa lagi?"
"Heran?" gumam Pek Giok Liong. "Apakah ayahmu mengijinkannya membangun penjara bawah tanah itu?"
"Meskipun melarang, juga percuma." Siauw Hui Ceh menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik Hui, kenapa engkau mengatakan begitu?" Pek Giok Liong heran.
"Sebab ayah sudah tidak dapat mengendalikannya lagi."
"Dia berani begitu? Bukankah secara tidak langsung telah merupakan murid murtad?" Siauw Hui Ceh tersenyum getir.
"Walau dia telah murtad, ayah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Karena ayah ….."
Siauw Hui Ceh tidak melanjutkan ucapannya, melainkan cuma menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah murung.
"Adik Hui, kenapa ayahmu?"
"Ayah menderita semacam penyakit aneh."
"Hah?" Pek Giok Liong terperanjat. "Bagaimana penyakit aneh itu?"
"Sesak nafas." Siauw Hui Ceh memberitahukan. "Kalau banyak bicara, pasti sesak nafas."
"Sudahkah diperiksa tabib?"
"Sudah, tapi ….."
"Kenapa?"
"Semua tabib cuma menggelengkan kepala setelah memeriksa nadi ayah. Mereka sama sekali tidak mampu mengobati."
"Sejak kapan ayahmu menderita penyakit itu?"
"Entahlah." Siauw Hui Ceh menggelengkan kepala. "Ayah sendiri pun tidak tahu, kenapa bias menderita penyakit itu."
"Sudah berapa lama ayahmu menderita penyakit itu?"
"Kalau tidak salah, sudah hampir delapan bulan."
"Ohya, Adik Hui!" Pek Giok Liong teringat sesuatu. "Apakah ayahmu masih tinggal di tempat itu?"
"Ya." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Kakak Liong mau pergi menengoknya?"
"Ng!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Aku ingin memeriksa nadi ayahmu."
"Oh?" Siauw Hui Ceh gemhira sekali. "Kakak Liong bisa memeriksa nadi ayah?"
"Adik Hui, aku pernah membaca sebuah buku pengobatan, maka aku mengerti sedikit dalam hal penyakit." Pek Giok Liong memberitahukan. "Sesak nafas bukan merupakan penyakit yang tiada obatnya, aku yakin dapat mengobati ayahmu. Tapi ….."
"Kenapa?"
"Kalau penyakit itu akibat dari perbuatan seseorang, agak sulit mengobatinya."
"Apa?!" Siauw Hui Ceh tertegun. "Perbuatan orang ….."
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Kalau ada orang meracuni ayahmu secara diam-diam, sehingga ayahmu menderita penyakit itu, tentunya akan sulit penyembuhannya."
"Haah …..?" Siauw Hui Ceh terkejut bukan main. "Itu...."
Pek Giok Liong memberi isyarat agar Siauw Hui Ceh diam.
"Ada orang ke mari." bisiknya kemudian. Usai berkata begitu, Pek Giok Liong langsung melayang ke atas untuk bersembunyi.
Siauw Hui Ceh terbelalak menyaksikannya dan membatin. Sungguh tinggi ginkang kakak Liong!
Tak seberapa lama kemudian, terdengarlah suara di luar.
"Adik Hui, ada urusan apa?"
"Tidak ada urusan apa-apa," sahut Siauw Hui Ceh yang sudah tahu bahwa yang berada di luar adalah Siauw Kiam Meng.
"Adik Hui, belum tidur?"
"Kakak Kiam Meng ada urusan?"
"Urusan sih tidak ada, cuma ingin bercakap-cakap denganmu."
"Oh?" Siauw Hui Ceh mengerutkan kening. "Kakak Kiam Meng, aku sudah mau tidur, bagaimana kalau kita bicara besok saja?"
"Tidak bisa bicara besok."
"Kenapa?"
"Aku harus menyampaikan kabar gemhira padamu."
"Kabar apa?"
"Adik Hui, bukakan pintu dulu!"
"Tapi ….."
"Adik Hui!" Pek Giok Liong yang bersembunyi itu segera berbicara pada Siauw Hui Ceh dengan ilmu menyampaikan suara. "Biar dia masuk!"
"Kakak Kiam Meng, tunggu sebentar!" Siauw Hui Ceh segera pergi membuka pintu kamarnya.
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng memandang ke dalam. "Kok tidak menyalakan lampu?"
"Sudah malam, lagi pula ….. aku merasa lebih tenang tidak menyalakan lampu." sahut Siauw Hui Ceh. "Kakak Kiam Meng ingin menyampaikan kabar gembira padaku?"
"Ya."
"Kalau begitu, silakan masuk!"
Siauw Kiam Meng melangkah ke dalam, sedangkan Siauw Hui Ceh menutup kembali pintu kamarnya.
"Silakan duduk, Kak!" ucapnya sambil duduk. Siauw Kiam Meng mengangguk, lalu duduk di hadapan gadis itu.
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng menatapnya. "Dengarkah kau bahwa tadi sore telah terjadi sesuatu?"
"Mengenai Ho cong koan yang ditangkap pemuda baju hitam?"
"Ya." Siauw Kiam Meng manggut-manggut. "Tahukah engkau siapa pemuda berbaju hitam itu?"
Siauw Hui Ceh pura-pura berpikir, kemudian menjawab perlahan.
"Kalau tidak salah, pemuda baju hitam itu bernama Seng Sin Khi. Ya, kan?"
Siauw Kiam Meng menggelengkan kepala. "Menurut aku bukan."
"Kok bukan?"
"Seng Sin Khi mungkin merupakan nama samarannya."
"Kalau begitu ….." Siauw Hui Ceh pura-pura tertegun. "Siapa dia dan siapa nama aslinya?"
"Adik Hui!" Mendadak Siauw Kiam Meng balik bertanya. "Bagaimana kesanmu terhadapku?"
Siauw Hui Ceh adalah gadis yang cerdas, maka ia telah menduga sesuatu, namun pura-pura bingung.
Kenapa Kakak menanyakan itu?"
"Adik Hui, jangan bertanya! Jawab dulu pertanyaanku tadi!" Siauw Kiam Meng menatapnya sambil tersenyum. "Bagaimana kesanmu terhadapku?"
"Itu ….."
"Adik Hui, kita kakak beradik, maka kuharap engkau menjawab secara terus terang! Tentunya engkau mengerti maksudku kan?"
"Aku mengerti."
"Bagus." Siauw Kiam Meng tersenyum. "Nah, jawablah sekarang!"
"Terus terang, Kakak suka pelesir, namun tidak jahat."
"Bagaimana diriku dibandingkan dengan kakak tertua dan kakak kedua?" tanya Siauw Kiam Meng lagi.
"Engkau ingin dibandingkan dengan mereka?" Wajah Siauw Hui Ceh berubah dingin.
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng tersenyum. "Jangan salah paham, aku cuma sekedar bertanya!"
"Hmm!" dengus Siauw Hui Ceh. "Mereka berdua tidak berharga untuk dibicarakan, juga tidak perlu dibanding-bandingkan. Kalau harus begitu, aku pun tidak mengijinkan engkau duduk di dalam kamarku."
"Oooh!" Siauw Kiam Meng manggut-manggut. "Kalau begitu, bolehkah aku dibandingkan dengan Siauw Peng Yang?"
"Dia sangat jujur dan terbuka, bisa dipercaya dan lebih berpendirian dari padamu," ujar Siauw Hui Ceh sungguh-sungguh.
"Emmh!" Siauw Kiam Meng tersenyum. "Pandanganmu memang tidak salah, namun aku ingin bertanya ….."
"Mau bertanya apa?"
"Apakah aku terhitung orang yang dapat dipercaya?"
"Masih boleh dipercaya. Tapi kenapa engkau menanyakan itu?"
"Kalau begitu ….." Siauw Kiam Meng tersenyum lagi. "Kesanmu terhadapku tidak begitu buruk?"
"Juga tidak begitu baik," sambung Siauw Hui Ceh.
"Ohya!" Siauw Kiam Meng menatapnya. "Dalam hatimu paling merindukan siapa? Bolehkah aku tahu?"
Seketika juga wajah Siauw Hui Ceh berubah dingin, kemudian tegurnya dengan nada tidak senang.
"Kenapa engkau bertanya begitu?"
"Adik Hui, jangan gusar! Aku bertanya begitu tentunya punya suatu alasan tertentu."
"Alasan apa?"
"Pemuda berbaju hitam yang menangkap Ho cong koan itu, kemungkinan besar adalah orang yang sangat kau rindukan."
Siauw Hui Ceh tersentak, namun wajahnya tetap tampak tenang, bahkan kemudian menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata hambar.
"Kakak Kiam Meng, di dalam hatiku sama sekali tidak merindukan siapa pun. Engkau jangan menduga yang bukan-bukan! Siapa pemuda baju hitam itu, lebih baik kau beritahukan saja!"
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng menatapnya tajam. "Dia Hek Siau Liong."
Meskipun Siauw Hui Ceh telah menduga juga bahwa pemuda berbaju hitam yang menangkap Ho cong koan itu Pek Giok Liong, namun ia berpura-pura terkejut.
"Siapa yang bilang?"
"Tu Ci Yen."
"Kakak Kiam Meng, menurutmu, mungkinkah dia?"
Siauw Kiam Meng menggelengkan kepala.
"Adik Hui, sesungguhnya aku pun tidak percaya. Tapi ….. Peng Yang ditahan di penjara bawah tanah, justru karena urusan itu. Maka ….."
"Maka engkau percaya bahwa pemuda berbaju hitam itu Hek Siau Liong. Ya, kan?" Siauw Hui Ceh menatapnya.
"Ya." Siauw Kiam Meng mengangguk dan menambahkan, "Alangkah baiknya jika pemuda berbaju hitam itu Hek Siau Liong."
"Kenapa?" tanya Siauw Hui Ceh dengan mata berbinar.
"Kalau dia benar Hek Siau Liong, tidak perlu takut Tu Ci Yen lagi."
"Kau kira kepandaiannya di atas Tu Ci Yen?"
"Dia mampu dengan satu jurus menangkap Ho cong koan, itu membuktikan bahwa kepandaiannya berada di atas Tu Ci Yen." Siauw Kiam Meng memberitahukan. "Sebab belum tentu Tu Ci Yen mampu menangkap Ho cong koan dalam satu jurus."
"Kakak Kiam Meng, sungguhkah engkau berharap dia adalah Hek Siau Liong?"
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng tampak sungguh-sungguh. "Engkau masih tidak mempercayaiku?"
"Bagaimana aku tidak mempercayaimu?" sahut Siauw Hui Ceh, ia mendongakkan kepala seraya berseru, "Kakak Liong, turunlah menemui Kakak Kiam Meng!"
"Adik Hui ….." Siauw Kiam Meng juga ikut mendongakkan kepala.
"Kakak Kiam Meng!" Siauw Hui Ceh menatapnya. "Engkau harus ingat bahwa dirimu adalah anak cucu keluarga Siauw!"
"Aku tentu ingat itu." Siauw Kiam Meng tertawa.
Siauw Hui Ceh berseru lagi.
"Kakak Liong, turunlah!"
Pek Giok Liong yang bersembunyi dapat mendengar jelas pembicaraan mereka. Bahkan ia telah melihat jelas pula mimik Siauw Kiam Meng yang tampaknya tak begitu beres.
Akan tetapi, karena Siauw Hui Ceh telah berseru memanggilnya, maka terpaksa ia harus menemui Siauw Kiam Meng.
Oleh karena itu, ia segera melayang turun dari tempat persembunyiannya. Begitu sepasang kakinya menginjak lantai, ia langsung menjura pada Siauw Kiam Meng.
"Aku memberi hormat padamu, Saudara Kiam Meng!" ucapnya.
"Oooh!" Betapa terkejutnya Siauw Kiam Meng, tapi wajahnya tetap tampak tenang dan berseri. "Adik Liong, ternyata memang engkau!"
"Saudara Kiam Meng merasa di luar dugaan?" tanya Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Ya." Siauw Kiam Meng tertawa gelak. "Sungguh di luar dugaan. Ohya, cara bagaimana engkau ke mari?"
"Saudara Kiam Meng!" Pek Giok Liong menatapnya curiga. "Kenapa engkau menanyakan itu?"
"Terus terang, aku merasa heran," jawab Siauw Kiam Meng serius.
"Kenapa kau merasa heran?"
"Sebab penjagaan di sini sangat ketat, bahkan seekor burung terbang pun pasti ketahuan. Tapi engkau bisa sampai di sini. Nah, bukankah sangat mengherankan?"
Pek Giok Liong tertawa-tawa.
"Engkau perlu heran! Tentunya aku berjalan ke mari."
"Tiada seorang pun melihatmu?" Siauw Kiam Meng mengerutkan kening.
"Kalau ada orang melihat diriku, apakah aku masih bisa bicara denganmu di sini?"
Ucapan yang masuk akal, beralasan dan nyata, maka membuat sepasang bola mata Siauw Kiam Meng berputar-putar.
"Adik Liong, tahukah engkau tentang urusan Peng Yang?" tanya Siauw Kiam Meng mendadak.
"Apakah dia telah ditahan?"
"Engkau sudah tahu?"
"Sebelumnya aku tidak tahu, tapi aku tadi mendengar engkau yang mengatakan."
"Oh?" Siauw Kiam Meng menatapnya dalam-dalam. "Adik Liong, kini bagaimana rencanamu?"
"Maksudmu?"
"Peng Yang ditahan karena urusanmu, apakah engkau diam saja, tidak mau menolongnya?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Eh?" Siauw Kiam Meng tertegun, ia tak menyangka bahwa Siau Liong akan balik bertanya begitu. "Menurut pendapatku, tentunya engkau akan pergi menolongnya. Ya, kan?"
"Alasannya karena diriku?"
"Ya." Siauw Kiam Meng mengangguk. "Namun masih ada alasan lain."
"Apa alasan lain itu?"
"Adik Liong!" Siauw Kiam Meng tersenyum. "Dulu engkau pernah tinggal di sini beberapa bulan. Ketika itu semua keluarga Siauw memujimu berhati bajik dan solider ….."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut sambil tersenyum. "Terimakasih, engkau mengingatkan hal itu padaku. Akan tetapi ….."
"Kenapa?"
"Ada dua orang setengah justru tidak seperti mereka, menganggap diriku seperti duri dalam matanya!"
"Dua orang setengah?" Siauw Kiam Meng tercengang. "Apa maksudmu?"
"Memang dua orang setengah."
"Kok begitu?" Siauw Kiam Meng bingung. "Adik Liong, jelaskanlah!"
"Dua orang sangat tidak puas terhadap diriku, dan seorang lagi cuma setengah tidak puas. Nah, engkau mengerti sekarang?"
"Oh!" hati Siauw Kiam Meng tersentak. "Aku mengerti."
"Bagus engkau mengerti."
"Apakah dua orang itu Tu Ci Yen dan Siauw Sauw Nam?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Memang mereka berdua."
"Lalu siapa yang setengah itu?"
"Saudara Kiam Meng." Pek Giok Liong tertawa. "Engkau tidak bisa menerkanya ya?"
Siauw Kiam Meng menggelengkan kepala.
"Ya. Aku tidak bisa menerka."
"Saat ini engkau tidak bisa menerkanya, lain kali saja terkalah perlahan-lahan! Suatu hari nanti, engkau pasti dapat menerkanya."
"Adik Liong ….."
"Saudara Kiam Meng, karena dua alasan itu, maka engkau yakin aku akan pergi menolong Peng Yang?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Ya." Siauw Kiam Meng mengangguk. "Aku tahu sifatmu. Tentunya engkau akan pergi menolongnya!"
Pek Giok Liong tertawa hambar.
"Saudara Kiam Meng, sifat seseorang terhadap orang lain, akan berubah terpengaruh oleh situasi dan keadaan. Engkau tahu itu kan?"
"Adik Liong ….." Siauw Kiam Meng tertegun. "Jadi ….. engkau tidak mau menolong Peng Yang?"
"Bukan begitu, melainkan ….." Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "….. karena ….."
Melainkan dan karena apa, Pek Giok Liong tidak melanjutkan ucapannya, cuma menatap Siauw Kiam Meng.
"Eh? Adik Liong, kok tidak dilanjutkan?" tanya Siauw Kiam Meng.
"Saudara Kiam Meng, karena sesungguhnya aku punya kesulitan." sahut Pek Giok Liong dengan suara dalam.
"Karena itu, maka engkau membiarkan Peng Yang tetap ditahan di penjara bawah tanah itu?"
"Yaah." Pek Giok Liong menarik nafas panjang. "Itu terpaksa."
"Terpaksa?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Peng Yang adalah orang yang berpengertian, maka apabila tahu kesulitanku, dia pasti mau memaafkanku."
"Adik Liong!" Siauw Kiam Meng menatapnya. "Sebetulnya apa kesulitanmu itu? Bolehkah aku tahu?"
"Saudara Kiam Meng, pertama aku tidak tahu di mana letak penjara bawah tanah itu ….."
"Itu bukan kesulitan," sambung Siauw Kiam Meng cepat.
"Saudara Kiam Meng, jangan dipotong dulu! Tunggu ucapanku selesai, barulah kemukakan pendapatmu!" ujar Pek Giok Liong dan melanjutkan, "Kedua, aku cuma seorang diri. Maka kalau pergi menolong Peng Yang, itu sungguh membahayakan diriku, lagi pula belum tentu dapat berhasil. Oleh karena itu, lebih baik aku menunggu kesempatan."
"Ooh, ternyata begitu!" Siauw Kiam Meng tampak berpikir, kemudian ujarnya, "Apa yang engkau katakan memang masuk akal, tapi ada pepatah mengatakan, Kalau tidak masuk sarang macan, bagaimana mungkin mendapatkan anaknya. Nah, engkau takut menempuh bahaya, itu bukan sifat kesatria."
"Saudara Kiam Meng." Pek Giok Liong tertawa. "Ada pepatah lain mengatakan, Tidak bisa bersabar akan merusak rencana besar. Menempuh bahaya tapi tiada hasilnya, itu konyol."
Siauw Kiam Meng mengerutkan kening, nada suaranya pun mulai dingin.
"Adik Liong, aku sungguh kecewa terhadapmu."
Pek Giok Liong malah tersenyum.
"Benar. Apa yang kukatakan tadi memang mengecewakanmu, namun ….." Mendadak Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Saudara Kiam Meng, sudikah engkau membantu aku?"
"Kalau pergi menolong Peng Yang, itu tidak akan kutolak. Namun mengenai yang lain, maaf! Aku tidak akan membantu," sahut Siauw Kiam Meng tegas.
"Saudara Kiam Meng, aku tidak akan minta bantuanmu untuk urusan lain, aku cukup tahu diri."
"Oh?" Siauw Kiam Meng tersenyum.
"Nah, aku pastikan begini saja. Mengenai penjara bawah tanah itu, akan kita bicarakan nanti. Sekarang lebih baik engkau beristirahat."
Usai berkata begitu, mendadak Pek Giok Liong menyentil jari telunjuknya ke arah Siauw Kiam Meng. Siauw Kiam Meng terbelalak dan kemudian terkulai.
Pek Giok Liong bergerak cepat, dipapahnya tubuh Siauw Kiam Meng sekaligus ditaruhnya di kursi.
"Kakak Liong ….." Siauw Hui Ceh terperangah. "Kenapa engkau berbuat begitu terhadap Kakak Kiam Meng?"
"Adik Hui!" Pek Giok Liong tersenyum. "Engkau begitu gampang mempercayainya?"
"Kakak Liong ….." Siauw Hui Ceh menatapnya heran. "Apakah tidak boleh aku mempercayainya?"
"Ketika kalian berbicara, aku memperhatikan air muka saudara Kiam Meng terus menerus berubah. Maka aku yakin ada sesuatu yang tak beres pada dirinya. Oleh karena itu, kita tidak boleh mempercayainya sepenuhnya."
"Ooh!" Siauw Hui Ceh manggut-manggut.
"Adik Hui, aku ingin bertanya padamu mengenai suatu urusan yang sangat penting, maka aku harus menotok jalan darah tidurnya, agar dia tidak mendengar."
"Oh, ternyata begitu!" Kemudian Siauw Hui Ceh mengalihkan pembicaraan. "Kakak Liong, apakah penyakit ayah benar perbuatan orang?"
"Sulit dipastikan," jawab Pek Giok Liong dengan kening berkerut. "Namun aku pikir, itu memang mungkin."
"Kakak Liong, apakah Tu Ci Yen berani ….."
"Adik Hui, sebelum ada bukti, janganlah menuduh sembarangan!" tegas Pek Giok Liong. "Tentunya engkau mengerti, kan?"
Siauw Hui Ceh mengangguk dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Aku ….. aku mengerti. Tentang ini, ayah pun pernah mengatakan padaku?"
"Oh, ya?" Pek Giok Liong menatapnya. "Ayahmu pernah mengatakan apa?"
"Tentang dirimu, Kakak Liong!"
"Tentang diriku?" Terbelalak Pek Giok Liong.
"Ayahku mengatakan, engkau keras di luar, namun lembut di dalam." Siauw Hui Ceh memberitahukan. "Cerdik dan tenang, menghadapi urusan apa pun masih dapat mengendalikan diri, sama seperti ayahmu."
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa.
"Ayah juga menghendaki agar aku selanjutnya tetap bersamamu, harus pula mendengar kata-katamu."
"Adik Hui, ayahmu terlampau memandang tinggi diriku."
"Kakak Liong, ada satu hal, yang aku masih merasa heran dan tidak mengerti."
"Mengenai hal apa?"
"Ketika berbicara denganku, nada suara ayah seakan kenal baik dengan ayahmu. Tapi aku justru merasa heran, pada waktu engkau meninggalkan tempat ini, kenapa ayahku tidak mau menahanmu?"
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menatapnya dalam-dalam. "Kapan engkau mulai merasa heran tentang itu?"
"Setelah engkau pergi."
"Engkau tidak bertanya pada ayahmu?"
"Aku pernah tanya, tapi setiap kali aku bertanya, ayahku selalu mengelak dan katanya ….."
"Apa kata ayahmu?"
"Katanya, kelak setelah aku bertemu denganmu otomatis akan mengerti itu."
"Oh! Kalau begitu, apakah sekarang engkau sudah mengerti?"
"Cuma mengerti sedikit."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian tanyanya mendadak, "Tahukah engkau bagaimana orang tua pincang itu meninggal?"
"Karena sakit. Memangnya kenapa?"
"Adik Hui!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Terus terang, aku bercuriga tentang itu."
"Engkau bercuriga apa?"
"Mengenai kematiannya."
"Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh menatapnya. "Engkau bercuriga bahwa orang tua pincang itu mati dibunuh orang?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memang bercuriga begitu."
"Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh serius. "Aku punya suatu cara untuk menyelidikinya, entah engkau setuju atau tidak?"
"Cara apa itu?" tanya Pek Giok Liong cepat.
"Menggali mayat untuk diperiksa."
"Apa?" Pek Giok Liong tergetar. "Menggali mayat untuk diperiksa?"
"Bagaimana dengan cara ini?"
Pek Giok Liong tampak tertegun.
"Kenapa engkau bisa memikirkan cara itu?" tanyanya heran.
Siauw Hui Ceh tidak menyahut, melainkan balik bertanya.
"Kakak Liong, baik atau tidak cara itu?" Pek Giok Liong menggelengkan kepala sambil menarik nafas panjang.
"Itu mana boleh?"
"Kenapa tidak?"
"Orang tua pincang itu telah mati, bagaimana boleh digali mayatnya?" ujar Pek Giok Liong sungguh-sungguh. "Itu perbuatan yang tidak baik."
"Kalau begitu, jangan mengharap bisa tahu sebab musabab kematiannya!" ujar Siauw Hui Ceh dan menambahkan, "Biar kematiannya merupakan teka-teki dan tidak bisa tenang di sana!"
"Adik Hui ….." Pek Giok Liong menarik nafas.
"Menggali mayat orang tua pincang itu memang tidak baik, namun demi menyelidiki kematiannya, itu sudah lain urusan. Maka Kakak Liong, pikirkanlah!"
Pek Giok Liong berpikir keras, kemudian hatinya mulai tergerak dan sepasang matanya pun menyorot tajam.
"Adik Hui, mengenai caramu itu sungguh membuat aku merasa heran, juga tidak begitu mengerti."
"Apakah aku terlampau emosi?"
"Ya."
"Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh tersenyum. "Setelah menggali mayat itu engkau akan mengetahuinya."
"Oh, ya? Apa alasannya?"
"Alasannya ….. setelah menggali mayat itu, engkau akan mengetahuinya."
Pek Giok Liong mengerutkan kening sambil berpikir, lama sekali barulah mengangguk seraya berkata.
"Baiklah. Kalau begitu, besok malam kita pergi menggali kuburan orang tua pincang itu."
Siauw Hui Ceh tersenyum, akan tetapi, senyumannya agak aneh.
"Kini telah lewat tengah malam, kita harus mengerjakan sesuatu yang amat penting." Ujar Pek Giok Liong serius.
"Maksudmu?"
"Menolong orang dan menemui ayahmu. Kedua urusan itu harus diselesaikan sebelum subuh."
"Oh?"
"Adik Hui, tolong ambilkan kertas dan pit (Pensil Cina kuno)!"
"Ya." Siauw Hui Ceh segera mengambil kertas dan sebatang pit, lalu diberikan pada Pek Giok Liong.
"Terimakasih!" ucap Pek Giok Liong lalu segera menulis beberapa huruf di kertas itu.
Sementara nyawamu dititipkan, selanjutnya harus memperbaiki diri. Lain kali kalau masih berani bertindak licik terhadapku, kepandaianmu pasti kumusnahkan!
"Eh?" Siauw Hui Ceh terheran-heran. "Buat siapa tulisan itu?"
"Kini tidak usah bertanya, nanti engkau akan mengetahuinya." Pek Giok Liong tersenyum.
Setelah itu, Pek Giok Liong mendekati Siauw Kiam Meng, dan sekaligus membuka jalan darahnya yang ditotoknya tadi.
"Aaakh!" Siauw Kiam Meng membuka sepasang matanya, kemudian bangkit berdiri sambil menatap Pek Giok Liong dengan wajah gusar. "Hei! Siau Liong, apa maksudmu?"
"Saudara Kiam Meng!" Pek Giok Liong tersenyum. "Jangan gusar, aku akan menjelaskan."
"Oh? Baiklah. Aku siap mendengarkan."
"Saudara Kiam Meng, di saat aku menjelaskan dan ada perkataan yang menyinggung perasaanmu, aku harap engkau mau memaafkan!"
"Asal beralasan, aku tidak akan menyalahkanmu."
"Kalau begitu, terlebih dahulu aku ucapkan terimakasih padamu!" Pek Giok Liong menjura.
"Tidak usah sungkan-sungkan!" Siauw Kiam Meng pun membalas menjura. "Cepat jelaskan!"
*
* *
(Bersambung Bagian 38)
Bagian ke 38: Pelayan Pribadi
Pek Giok Liong tidak segera menjelaskan, melainkan menatap Siauw Kiam Meng dengan penuh perhatian.
"Saudara Kiam Meng, bagaimana sikapmu terhadap orang, tentunya engkau tahu kan?" tanyanya kemudian.
"Eh?" Siauw Kiam Meng mengerutkan kening. "Kenapa engkau menanyakan itu?"
"Jangan bertanya, jawab saja!"
"Ketika engkau bersembunyi, sudah pasti telah mendengar semua pembicaraanku dengan Hui Ceh!"
"Ng!" Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memang telah mendengar dengan jelas sekali."
"Kalau begitu, kenapa engkau masih bertanya tentang itu?" Wajah Siauw Kiam Meng tampak tidak senang.
"Jadi engkau mengaku sikapmu sangat jujur dan terbuka, terhadap orang?"
"Memang begitulah sikapku." Siauw Kiam Meng mengangguk, lalu menatap Pek Giok Liong tajam seraya bertanya. "Apakah itu ada kaitannya dengan tindakanmu menotok jalan darahku?"
"Tentu ada kaitannya," sahut Pek Giok Liong sungguh-sungguh. "Karena dulu engkau tidak begitu jujur, maka tidak dapat dipercaya sepenuhnya."
"Tentang itu, bukankah telah kubicarakan dengan Hui Ceh? Walau aku tidak begitu jujur dan lurus, namun tetap anak cucu keluarga Siauw. Aku tidak akan kehilangan hati nuraniku."
"Bagus." Pek Giok Liong tertawa. "Engkau yang mengatakannya sendiri. Akan tetapi, laut dapat diduga, hati orang siapa tahu. Tentunya engkau mengerti itu."
"Oh?" Kening Siauw Kiam Meng berkerut-kerut. "Kalau begitu, engkau masih bercuriga dan tidak mempercayaiku?"
"Kejujuranmu belum terbukti, maka lebih baik aku berhati-hati."
"Adik Liong!" Siauw Kiam Meng menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau terlampau banyak bercuriga!"
"Mungkin. Namun itu ada baiknya ….."
"Ohya!" potong Siauw Kim Meng. "Engkau menghendaki bukti apa, agar bisa mempercayaiku?"
"Itu sulit dikatakan. Namun ….." Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Asal engkau bersedia memberitahukan padaku siapa sebenarnya Tu Ci Yen itu, maka aku pun mempercayaimu."
Hati Siauw Kiam Meng tergetar, namun air mukanya sama sekali tidak berubah.
"Tu Ci Yen adalah Tu Ci Yen, tidak mungkin orang lain. Aku ….. tidak mengerti maksudmu."
"Seharusnya dia punya julukan lain."
"Setahuku tidak, kalau engkau tidak percaya, silakan bertanya pada Hui Ceh!"
"Seandainya Hui Ceh bisa tahu, itu sudah tidak mengherankan lagi." Pek Giok Liong tertawa.
"Siau Liong!" Mendadak Siauw Kiam Meng tertawa dingin. "Engkau harus tahu! Kalau aku satu jalur dengan Tu Ci Yen, apakah aku akan memperbolehkan engkau berada di sini?"
"Betul." Pek Giok Liong tertawa ringan. "Tentang ini, aku pun bisa menjelaskan."
"Jelaskanlah!"
"Aku ingin bertanya, bagaimana kepandaianmu dibandingkan dengan kepala pengurus Ho?"
"Hanya kalah setingkat."
"Nah!" Pek Giok Liong tersenyum. "Aku mampu menangkapnya hanya satu jurus. Maka bagaimana mungkin engkau macam-macam di hadapanku?"
"Tapi engkau pun harus tahu, bahwa di empat penjuru lantai bawah, banyak terdapat orang yang berkepandaian tinggi. Asal aku memberi isyarat, segera akan muncul belasan orang berkepandaian tinggi ke mari."
"Aku percaya itu. Namun engkau harus berpikir baik-baik, sebab yang akan celaka duluan adalah dirimu, mungkin engkau akan segera melayang ke bawah dan tak bernyawa lagi!"
Hati Siauw Kiam Meng tersentak, tapi ia justru tertawa dingin.
"Engkau pun tidak bisa kabur dalam keadaan hidup!"
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa hambar. "Engkau harus ingat, kalau aku tidak yakin mampu pergi dari sini, tentunya aku tidak berani ke mari seorang diri!"
"Jadi ….." Siauw Kiam Meng menatapnya tajam. "….. engkau telah mengatur sesuatu?"
Pek Giok Liong tidak menyahut, melainkan cuma tersenyum dingin. Itu justru membuat hati Siauw Kiam Meng kebat-kebit tidak karuan. Hening dalam kamar itu, suasana pun tampak mulai mencekam.
"Kakak Kiam Meng!" ujar Siauw Hui Ceh mendadak memecahkan keheningan. "Walau kakak Liong berkata begitu dan sangat berhati-hati, tapi itu demi kebaikan kita! Sudahlah Kakak Kiam Meng!"
"Adik Hui! Kalau bukan demi kebaikan kita, bagaimana mungkin aku sedemikian sabar? Lagi pula ….." Mendadak Siauw Kiam Meng menggeleng-gelengkan kepala dan menarik nafas sambil tersenyum getir.
"Kalau begitu ….." Pek Giok Liong menjura pada Siauw Kiam Meng. "Aku sangat berterima-kasih atas kelapangan hatimu!"
"Sudahlah!"
"Saudara Kiam Meng!" Pek Giok Liong mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana kalau sekarang kita merundingkan bagaimana cara menolong Peng Yang? Apakah engkau punya akal?"
"Kalau aku punya akal, sudah kutolong dia," sahut Siauw Kiam Meng dan menambahkan, "Padahal sesungguhnya, kita tidak perlu berunding soal itu."
"Maksudmu?"
"Aku akan menemanimu ke penjara bawah tanah itu, adapun bagaimana cara engkau menolong Peng Yang, itu urusanmu. Sebab kepandaianmu jauh lebih tinggi dariku, maka aku cuma menurut saja."
"Kalau begitu, aku yang mengatur, dan engkau cuma menurut?"
"Ya." Siauw Kiam Meng mengangguk. "Itu agar engkau tidak mencurigaiku."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian mengarah pada Siauw Hui Ceh. "Ohya, di mana Hiang Bwee?"
Hiang Bwee adalah pelayan kesayangan Siauw Hui Ceh, hubungan mereka bagaikan kakak beradik.
Begitu Pek Giok Liong bertanya tentang Hiang Bwee, wajah Siauw Hui Ceh berubah muram. "Sudah empat bulan dia hilang."
"Oh?" Pek Giok Liong tertegun. "Bagaimana hilangnya?"
"Alangkah baiknya kalau aku tahu."
"Lalu siapa yang melayanimu sekarang?"
"Pelayan baru, namanya Hoa Giok."
"Hoa Giok? Tu Ci Yen yang mencari untukmu?"
"Ya." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Tapi aku tidak tahu dia mencari di mana."
"Hoa Giok itu dari mana, aku justru pernah membicarakannya dengan Tu Ci Yen." Sela Siauw Kiam Meng memberitahukan. "Kalau tidak salah, dia membeli dengan harga ratusan tael perak."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian mengarah pada Siauw Hui Ceh seraya bertanya, "Dia baik terhadapmu?"
"Cukup baik." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Tapi aku merasa dia agak misterius."
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Dia bisa silat?"
"Kelihatannya ….. tidak bisa."
"Dia berada di mana sekarang, kok tidak kelihatan?" Pek Giok Liong mengerutkan kening lagi.
"Dia berada di kamar sebelah." Siauw Hui Ceh memberitahukan. "Telah kutotok jalan darah tidurnya."
"Saudara Kiam Meng! Mari kita ke kamar sebelah melihat-lihat!" ajak Pek Giok Liong.
"Mau apa melihatnya?" tanya Siauw Kiam Meng.
"Melihat-lihat saja. Nanti baru dibicarakan!"
"Sudahlah!" Siauw Kiam Meng menggelengkan kepala. "Mana ada waktu untuk pergi melihatnya? Lebih baik kita mengurusi pekerjaan yang penting."
"Saudara Kiam Meng, itu termasuk urusan penting." Pek Giok Liong memberitahukan dengan sungguh-sungguh.
"Siau Liong!" Siauw Kiam Meng menatapnya heran. "Engkau sungguh sulit dimengerti."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum.
"Siau Liong, kalau engkau ingin melihatnya, pergilah sendiri! Aku dan Hui Ceh menunggu di sini."
Pek Giok Liong menggelengkan kepala.
"Aku menginginkan kalian ikut juga."
"Siau Liong!" Siauw Kiam Meng mengerutkan kening. "Kenapa engkau begitu memaksa orang?"
"Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh menyela, "Dia tidak mau pergi ya sudahlah! Aku akan ikut."
"Kalau begitu, biar aku sendiri di sini," sahut Siauw Kiam Meng.
"Saudara Kiam Meng, kalau engkau tidak mau ikut, itu sudah tiada artinya lagi." kata Pek Giok Liong.
"Oh?" Siauw Kiam Meng tercengang. "Lalu apa artinya aku ikut?"
"Engkau akan mengetahuinya setelah sampai di sana."
"Aku tidak paham akan maksudmu." Siauw Kiam Meng menggeleng-gelengkan kepala. "Sebetulnya engkau mau apa?"
"Aku ingin membuat suatu kejutan," sahut Pek Giok Liong sambil tertawa ringan. "Ayolah! Mari kita ke sana, jangan membuang waktu lagi!"
Siauw Hui Ceh merasa ada keanehan, sebab air muka Pek Giok Liong memang tampak aneh, maka ia pun mendesak Siauw Kiam Meng untuk ikut.
"Kakak Kiam Meng, ayolah ikut!"
Sesungguhnya Siauw Kiam Meng tidak mau ikut, tapi karena didesak oleh Siauw Hui Ceh, ia terpaksa mengangguk.
"Baiklah."
Mereka bertiga lalu menuju kamar sebelah.
Hoa Giok berbaring di tempat tidur, sepasang matanya terpejam dan nafasnya pun begitu tenang, pertanda dia sangat pulas.
Pek Giok Liong mendekatinya, kemudian menjulurkan tangannya untuk memegang nadi di lengan Hoa Giok.
Berselang sesaat, Pek Giok Liong memandang Siauw Hui Ceh seraya bertanya.
"Adik Hui, betulkah engkau menotok jalan darah tidurnya?"
"Betul." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Apakah ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya?"
Pek Giok Liong tertawa ringan, lalu mengarah pada Hoa Giok yang berbaring itu seraya berkata.
"Nona Hoa Giok, tidak usah berpura-pura lagi! Cepatlah bangun dan mari kita bicara baik-baik!"
Kini Siauw Kiam Meng telah mengerti, sehingga hatinya tersentak. Justru pada waktu bersamaan mendadak Hoa Giok membalikkan badannya, sekaligus mencengkeram urat nadi di lengan kiri Pek Giok Liong.
"Hek Siau Liong!" Hoa Giok tertawa dingin. "Engkau memang luar biasa, namun kini engkau telah jatuh di tanganku!"
Menyaksikan itu, Siauw Hui Ceh terkejut bukan main dan segera membentak.
"Hoa Giok! Cepat lepaskan dia!"
Hoa Giok menggelengkan kepala.
"Nona, maafkan aku tidak menurut perintahmu!" sahutnya.
"Hoa Giok ….." Siauw Hui Ceh ingin memarahinya, namun mendadak ia mendengar suara Pek Giok Liong mengiang di dalam telinganya. Ternyata Pek Giok Liong berbicara padanya dengan ilmu menyampaikan suara.
"Adik Hui, jangan khawatir! Dia tidak bisa melukaiku."
Seketika juga Siauw Hui Ceh merasa lega. Justru pada saat itu terdengar suara bentakan Siauw Kiam Meng.
"Hoa Giok, kenapa engkau berani membangkang? Nona Hui begitu baik terhadapmu, tapi engkau begitu berani tidak menurut perintahnya!"
"Tuan muda Kiam Meng!" sahut Hoa Giok dengan alis terangkat. "Engkau jangan turut campur urusan ini!"
"Engkau ….." Wajah Siauw Kiam Meng merah padam.
Hoa Giok tidak menimpalinya, sekonyong-konyong ia menotok jalan darah Pek Giok Liong. Tentunya Pek Giok Liong tidak bisa mengelak, karena urat nadinya dicengkeram.
Setelah menotok Pek Giok Liong, Hoa Giok pun tertawa puas.
"Hek Siau Liong, engkau bisa apa sekarang?" ujarnya sepatah demi sepatah.
Pek Giok Liong tampak tenang, ia tersenyum hambar sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau telah menotok jalan darahku sehingga aku tidak bisa bergerak sama sekali, lalu aku masih bisa apa?"
"Hmm!" dengus Hoa Giok dingin.
"Engkau telah menotok jalan darahku, kenapa masih tidak mau melepaskan cengkeramanmu?"
Jalan darah lumpuh Pek Giok Liong telah tertotok. Walau ia memiliki kepandaian tinggi, namun bisa berbuat apa?
Oleh karena itu, Hoa Giok pun tersenyum. Ia memandang Pek Giok Liong sejenak, lalu melepaskan cengkeramannya.
Pada waktu bersamaan, mendadak air muka Hoa Giok berubah aneh. Siapa pun tidak tahu akan hal itu, hanya Pek Giok Liong yang tahu. Ia pura-pura batuk, kemudian memandang Hoa Giok dengan penuh perhatian.
"Nona Hoa Giok, sekarang kita boleh bicara baik-baik kan?"
Hoa Giok tersenyum.
"Engkau ingin bicara apa denganku?"
"Bagaimana kalau membicarakan tentang dirimu?"
"Engkau ingin tahu asal-usulku kan?"
"Tidak salah." Pek Giok Liong tertawa. "Nona Hoa Giok sangat cerdas, aku amat kagum padamu."
"Terimakasih atas pujianmu!"
"Nona Hoa Giok, mengenai asal-usulmu, aku telah menduganya dalam hati! Namun tepat atau tidak, aku tidak berani memastikannya."
"Oh?" Hoa Giok tertawa cekikikan. "Coba beberkan dugaanmu itu, aku datang dari mana!"
"Kalau tidak salah, Nona pasti datang dari Bun Jiu Kiong (Istana Lemah Lembut)! Ya, kan?"
Air muka Hoa Giok langsung berubah, kemudian tanyanya dengan nada terkejut.
"Engkau tahu tentang Bun Jiu Kiong itu?" Pek Giok Liong tersenyum.
"Kalau begitu, dugaanku tidak meleset kan?"
Hoa Giok menggertak gigi dan jawabnya dingin.
"Benar! Aku memang datang dari Istana Lemah Lembut!"
"Nona, aku ingin menasihatimu, entah engkau sudi mendengar atau tidak?" Pek Giok Liong menatapnya.
"Engkau ingin menasihatiku agar meninggalkan istana itu?"
"Benar." Pek Giok Liong mengangguk. "Engkau memiliki kepandaian yang cukup tinggi, kenapa mau membiarkan dirimu tetap kotor di sana?"
"Hi hi hi!" Hoa Giok tertawa cekikikan. "Nasihatmu sungguh menyentuh hati, tapi tidak tepat pada waktunya."
"Maksud Nona?"
"Kalau jalan darahmu itu belum kutotok, mungkin aku akan mempertimbangkan nasihatmu itu!"
"Oooh!" Pek Giok Liong tersenyum. "Kau kira jalan darahku sudah tertotok maka aku tidak bisa apa-apa lagi?"
Hoa Giok terkejut. Ia menatap Pek Giok Liong dengan tajam.
"Apakah aku belum dapat mengendalikan jalan darahmu?"
"Tidak salah."
"Aku tidak percaya!"
"Nona tidak percaya?"
"Ya." Hoa Giok mengangguk. "Aku memang tidak percaya!"
"Kalau begitu ….." Pek Giok Liong tersenyum. "Aku akan membuktikannya."
Usai berkata begitu, Pek Giok Liong pun menyentilkan jari telunjuknya ke arah dinding.
Cess! Dinding itu langsung berlubang.
"Haah?" Wajah Hoa Giok berubah pucat pias. "Engkau ….. engkau bisa membuka jalan darah itu dengan hawa murnimu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Lagi pula aku pernah belajar semacam ilmu pemindahan jalan darah, maka ketika engkau menotok jalan darahku itu, totokanmu meleset."
Hoa Giok tertegun, ditatapnya Pek Giok Liong dengan mata terbelalak lebar, lama sekali barulah membuka mulut.
"Aku tetap tidak percaya!" Tiba-tiba Hoa Giok menotok jalan darah di dada Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong sama sekali tidak bergerak, dan malah tertawa ringan seraya berkata, "Nona Hoa Giok, percayakah engkau sekarang?"
Hoa Giok termangu. Kini ia baru tahu jelas, bahwa Pek Giok Liong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kemudian diliriknya Siauw Kiam Meng, pemuda itu berpura-pura tidak tahu.
"Nona Hoa Giok!" ujar Pek Giok Liong dengan suara rendah. "Lebih baik engkau kembali ke jalan yang benar, pikirkanlah itu!"
"Engkau ….." Hoa Giok melotot.
Pek Giok Liong tersenyum, lalu mendadak menggerakkan jari telunjuknya. Seketika juga empat jalan darah penting Hoa Giok telah tertotok. Begitu cepat membuat Hoa Giok sendiri nyaris tidak percaya. Tapi buktinya sekujur badannya telah semutan dan mulutnya pun jadi kaku. Kemudian Pek Giok Liong mengibaskan tangannya, dan tubuh Hoa Giok pun melayang dan jatuh di tempat tidur dalam posisi berbaring.
Bukan main! Itu membuat sekujur badan Siauw Kiam Meng menggigil ketika menyaksikannya.
"Adik Hui!" ujar Pek Giok Liong. "Tolong ambilkan pakaian Hoa Giok!"
"Ya." Siauw Hui Ceh segera mengambil pakaian Hoa Giok yang di dalam lemari, lalu diberikan pada Pek Giok Liong.
"Terima kasih!" Ucap Pek Giok Liong, lalu cepat-cepat memakai pakaian itu. Setelah itu ia bertanya pada Siauw Hui Ceh, "Bagaimana? Cukup mirip kan?"
"Hi hi!" Siauw Hui Ceh tertawa geli. "Lumayan!"
"Nah! Adik Hui, cepat ambilkan beberapa buah buku untukku!"
"Kakak Liong!" tanya Siauw Hui Ceh heran. "Buat apa buku-buku itu?"
"Mendapat perintah dari nona, mengantar buku untuk Tuan Muda Peng Yang." sahut Pek Giok Liong.
"Hi hi!" Siauw Hui Ceh tertawa geli lagi. "Siau Liong!" sela Siauw Kiam Meng. "Engkau membuatku salut!"
"Apa boleh buat! Harus mengelabui mata para penjaga," ujar Pek Giok Liong sambil tertawa. "Meskipun aku bersamamu, tetap tidak akan terlepas dari kecurigaan para penjaga. Maka aku harus menyamar."
"Oooh!" Siauw Kiam Meng manggut-manggut.
"Adik Hui!" pesan Pek Giok Liong. "Setelah aku pergi bersama Kiam Meng, engkau harus ke tempat ayahmu, dan tunggu kami di sana!"
"Ya, tapi ….. Kakak Liong harus berhati-hati!"
"Adik Hui boleh berlega hati!" Pek Giok Liong tersenyum. "Bersama Kiam Meng, tentunya tiada bahaya."
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar