Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 01 Agustus 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 39 dan 40

sambungan ...


Bagian ke 39: Pembicaraan Rahasia
Ketika Pek Giok Liong dan Siauw Kiam Meng menuju penjara bawah tanah, pada waktu bersamaan, di bangunan kecil di halaman belakang ekspedisi Yang Wie, telah terjadi pembicaraan rahasia antara Kim Tie dan Gin Tie.
"Bukankah engkau telah pulang, kok balik ke mari lagi?" tanya Kim Tie bernada heran.
"Telah terjadi sesuatu yang di luar dugaan di rumah," jawab Gin Tie memberitahukan.
"Oh? Apa gerangan yang telah terjadi?"
"Ho cong koan ditangkap orang."
"Apa?!" Kim Tie terkejut. "Ho cong koan ditangkap orang?"
"Ya."
"Siapa orang itu?"
"Dia bernama Seng Sin Khi."
"Apa?!" Kim Tie terkejut bukan main. "Seng Sim Ki (Panji Hati Suci)?"
"Nadanya hampir sama." sahut Gin Tie. "Kata beberapa orang di rumah, Seng Sin Khi itu mirip Hek Siau Liong."
"Engkau percaya?"
"Percaya tapi juga kurang percaya!"
"Apa alasanmu kurang percaya?"
"Cuma berpisah satu tahun, maka aku kurang percaya Hek Siau Liong telah memiliki kepandaian yang begitu tinggi."
"Dia mampu menangkap Ho cong koan, itu membuktikan bahwa kepandaiannya memang tinggi."
"Kalau diceritakan, mungkin tiada seorang pun akan percaya."
"Maksudmu?"
"Dia menyuruh Ho cong koan menyerangnya sepuluh jurus, bahkan dengan syarat dia tidak akan membalas dan tidak akan bergeser dari tempat duduknya ….."
"Ho cong koan menyerangnya?"
"Ya." Gin Tie mengangguk. "Namun sampai sebelas jurus, Ho cong koan sama sekali tidak mampu mendesaknya tergeser dari tempat duduk."
"Oh?"
"Sebaliknya dia mampu menangkap Ho cong koan cuma dalam satu jurus." Gin Tie memberitahukan.
"Hah?" Kim Tie terkejut bukan main. "Siapa yang memberitahukan padamu?"
"Siauw Peng Yang."
Dugaan Pek Giok Liong memang tidak salah, Gin Tie itu tidak lain adalah Tu Ci Yen. Lalu siapa Kim Tie?
"Siauw Peng Yang menyaksikan dengan mata sendiri?" tanya Kim Tie yang kelihatan kurang percaya.
"Dia memang menyaksikan dengan mata sendiri," jawab Gin Tie dan melanjutkan, "Ketika Seng Sin Khi mau membawa Ho cong koan pergi, Siauw Peng Yang ingin mencegahnya, namun kepandaiannya jauh di bawah orang itu, maka sebaliknya malah dia yang tertotok jalan darahnya ….."
"Tunggu!" potong Kim Tie mendadak.
"Ada apa?" tanya Gin Tie.
"Ucapanmu itu kurang beres."
"Kurang beres?"
"Ya. Aku ingin bertanya, bagaimana kekuatan pukulan Siauw Peng Yang?"
"Dapat menghancurkan batu."
"Siauw Peng Yang mencegah orang itu dengan apa?"
"Pukulan."
"Nah! Kalau begitu, kok orang itu tidak apa-apa? Bagaimana mungkin tubuhnya lebih keras dari batu?"
"Maksudmu ….. pukulan itu tidak mengandung lwee kang …..?"
"Ya. Tapi kalau pukulan itu mengandung lwee kang, kecuali orang itu ….." Kim Tie tidak melanjutkan ucapannya, melainkan berpikir keras, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Hanya ada satu kemungkinan."
"Kemungkinan apa?"
"Berapa usia orang itu?" tanya Kim Tie mendadak.
"Sekitar enam belas."
"Ngmm!" Kim Tie manggut-manggut. "Tahukah engkau ilmu apa yang membuat tubuh tidak mempan segala pukulan?"
"Menurut ayah angkat, itu semacam lwee kang pelindung badan," jawab Gin Tie.
"Untuk mencapai tingkat itu, harus berlatih berapa lama?"
"Itu ….. lama sekali!"
"Nah! Dalam bu lim siapa yang berhasil mencapai tenaga dalam pelindung tubuh?"
"Menurut ayah angkat, hanya majikan Ciok Lau San Cung yang telah mati itu, namun dia cuma mencapai tingkat kelima. Dalam bu lim masa kini, tiada orang kedua yang mencapai tingkat."
"Sekarang engkau sudah mengerti, kenapa aku barusan mengatakan hanya ada satu kemungkinan?"
"Aku sudah mengerti."
"Ohya. Kenapa dia seorang diri ke sana? Engkau tahu apa maksud tujuannya?" tanya Kim Tie mendadak.
"Aku sudah menyelidiki persoalan itu. Seng Sin Khi mengatakan bahwa keluarga Siauw mempunyai hutang padanya," jawab Gin Tie.
"Mungkinkah Siauw cung cu punya hutang padanya?"
"Yang ditagihnya justru bukan harta benda."
"Oh?" Kim Tie tertegun. "Apakah hutang nyawa?"
Gin Tie mengangguk.
"Dia memang menagih hutang nyawa. Katanya, Siauw cung cu berhutang tujuh nyawa padanya."
"Apa?! Siauw cung cu berhutang tujuh nyawa padanya?" Kim Tie tampak terkejut, namun kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Itu ….. itu tidak mungkin. Sebab Siauw cung cu tidak pernah membunuh orang."
Tu Ci Yen atau Gin Tie diam saja. Ia terus mendengar dengan penuh perhatian. Sedangkan Kim Tie telah melanjutkan.
"Sejak kecil engkau ikut Siauw cung cu, bahkan kemudian diangkat anak. Pernahkah selama itu engkau mendengar, bahwa dia punya musuh?" lanjut Kim Tie.
"Tidak pernah."
"Kalau Siauw cung cu berhutang nyawa padanya, seharusnya dia cari majikan Siauw. Tapi kenapa menangkap Ho cong koan? Lagi pula sama sekali tidak melukai siapa pun?"
"Semula aku pun merasa heran tentang itu, setelah kutanya secara teliti, barulah kutahu sebab musababnya."
"Apa sebab musabab?"
"Sebab Ho cong koan menyerangnya dengan jurus Chui Sim Ciang (Pukulan penghancur hati)."
"Karena Chui Sim Ciang itu, maka dia menangkap Ho cong koan?"
"Ya." Tu Ci Yen mengangguk. "Karena orang itu pun mahir jurus tersebut, bahkan kehebatan pukulannya jauh di atas pukulan Ho cong koan."
"Kalau begitu, dia pasti seperguruan dengan Ho cong koan,"
"Tidak." Tu Ci Yen menggelengkan kepala. "Nada ucapannya kedengaran tidak mungkin seperguruan dengan Ho cong koan."
"Bagaimana nada ucapannya?"
"Ketika mau pergi, dia bilang harus membawa Ho cong koan untuk diserahkan pada temannya."
"Oh? Dia tidak bilang siapa temannya itu?"
"Tidak." Lanjut Tu Ci Yen. "Tapi aku telah menduga, siapa temannya itu."
"Siapa temannya itu?"
"Mungkin Liok Tay Coan."
"Kenapa engkau menduga Liok Tay Coan?"
"Aku dengar, ketika Ho cong koan mengerahkan jurus Chui Sim Ciang itu, dia pun bertanya pada Ho cong koan, ada hubungan apa dengan Liok Tay Coan?" Tu Ci Yen memberitahukan. "Maka kuduga, temannya itu pasti Liok Tay Coan."
"Tapi ….. bagaimana jawab Ho cong koan?"
"Tidak mengaku kenal dengan Liok Tay Coan."
Mendadak Gin Tie menarik nafas panjang, kemudian menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata, "Ho cong koan itu sungguh bodoh. Pengakuannya justru membuktikan bahwa dia kenal dengan Liok Tay Coan." Kim Tie menarik nafas lagi, "Kalau diserahkan pada Liok Tay Coan, Ho cong koan pasti mati." lanjutnya.
"Apakah Liok Tay Coan guru Ho cong koan?"
"Ya." Kim Tie mengangguk dan memberitahukan. "Ketika Liok Tay Coan berkecimpung di bu lim, dia selalu bergerak seorang diri. Tidak mau bergaul dengan siapa pun, lagi pula dia pun amat sadis. Kemudian dia menerima Ho cong koan sebagai murid."
"Kalau begitu ….."
"Dua puluh tahun lalu, mendadak Liok Tay Coan menghilang dari bu lim. Ho cong koan pun tidak tahu jejak gurunya itu. Justru sungguh di luar dugaan, ternyata Liok Tay Coan masih hidup. Nah, kalau Ho cong koan berada di tangannya, bukankah akan mati?"
"Lain pula dengan pendapatku, Ho cong koan ….." Tu Ci Yen tidak melanjutkan ucapannya melainkan menatap Kim Tie.
"Menurutmu, Ho cong koan tidak akan mati?"
"Aku memang berpendapat begitu."
"Apa alasanmu mengatakan begitu?" tanya Kim Tie sambil tertawa.
"Meskipun cong koan orang kita, namun dia tidak banyak berbuat dosa, maka Liok Tay Coan tidak akan sembarangan membunuhnya, dia pasti menyelidiki dulu, lagi pula mereka itu guru dan murid."
"Ngmm!" Kim Tie manggut-manggut sambil tersenyum. "Cukup masuk akal, tapi engkau telah melupakan satu hal."
"Hal apa?"
"Hal yang amat kecil, tapi bagi Liok Tay Coan merupakan hal yang amat besar." ujar Kim Tie dan melanjutkan, "Seharusnya dia jangan mengaku tidak kenal Liok Tay Coan. Cobalah engkau pikir! Seorang murid yang tidak mau mengaku gurunya, bukankah termasuk murid murtad? Lagi pula Liok Tay Coan berhati sadis dan tak kenal ampun. Nah, bagaimana mungkin dia akan mengampuni murid yang tidak mengakunya guru? Oleh karena itu, kalau Ho cong koan jatuh di tangannya, apakah masih ada harapan untuk hidup?"
"Sungguh teliti engkau!" Tu Ci Yen tertawa. "Aku masih tidak begitu teliti."
"Sudahlah!" Kim Tie tertawa gelak. "Jangan memuji diriku. Padahal engkau lebih pintar dariku, hanya saja engkau tidak mau berpikir."
"Yang jelas engkau jauh lebih pintar dariku!" Tu Ci Yen masih tertawa.
"Berdasarkan itu ….." ujar Kim Tie melanjutkan, "Kemungkinan besar pemuda baju hitam itu murid baru Liok Tay Coan, jadi dia bukan Hek Siau Liong."
"Hek Siau Liong atau bukan, belum bisa dipastikan. Tapi menurutku, dia bukan murid Liok Tay Coan."
"Oh?" Kim Tie tertegun. "Mengapa? Bukankah dia juga mahir jurus Pukulan Penghancur Hati? Lalu kenapa dia bukan murid Lick Tay Coan?"
"Karena dia juga memiliki ilmu-ilmu rahasia partai lain."
"Oh, ya?" Kim Tie tercengang. "Ilmu apa lagi yang dimilikinya?"
"Siau Lim Kim Kong Ci dan Bu Tong Liu Sing Hui Jiau."
"Apa?"
"Kim Kong Ci dan Liu Sing Hui Jiau merupakan ilmu tunggal Siau Lim dan Bu Tong. Kecuali ketua partai dan tetua, para murid sama sekali tidak belajar ilmu-ilmu itu."
"Siapa yang bilang dia memiliki kedua ilmu itu?"
"Siauw Peng Yang."
"Oh?" Kim Tie heran. "Kok dia tahu?"
"Ketika Ho cong koan mengeluarkan jurus Pukulan penghancur hati, pemuda berbaju hitam itu menangkis dengan jurus Jari Sakti Arhat. Ho cong koan segera bertanya padanya murid Siau Lim atau bukan, pemuda berbaju hitam tidak mengaku, bahkan kemudian memperlihatkan jurus Cakar Terbang, setelah itu mengeluarkan jurus Pukulan Penghancur Hati. Itu untuk membuktikannya bukan murid Siau Lim maupun Bu Tong Pay."
"Kalau begitu ….." gumam Kim Tie. "Murid siapakah dia sebetulnya?"
"Karena pemuda baju hitam itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi, lagi pula belum tahu asal-usul dan perguruannya, maka aku kembali ke mari untuk melaporkan itu, agar engkau bisa segera memberi kabar pada Taytie."
"Tentang ini, kita rundingkan nanti saja." ujar Kim Tie dan kemudian bertanya. "Bagaimana Siauw Peng Yang? Engkau apakan dia?"
"Bagaimana menurutmu?" Tu Ci Yen balik bertanya sambil tertawa ringan.
"Masih harus dibilang?" Kim Tie tertawa. "Dari dulu engkau memang sudah ingin melenyapkannya, hanya saja tiada alasan dan kesempatan. Kini Ho cong koan ditangkap dan cuma dia seorang diri di tempat, maka aku yakin engkau akan memanfaatkan kesempatan itu, kan?"
"Ha ha ha!" Tu Ci Yen tertawa gelak. "Engkau memang memahami diriku."
"Engkau apakan dia sekarang?" tanya Kim Tie mendadak dengan nada suara agak berubah.
Pertanyaan itu membuat Tu Ci Yen tertegun. Ia menatap Kim Tie seraya bertanya.
"Apakah engkau tidak setuju aku memanfaatkan kesempatan itu untuk melenyapkannya?"
"Engkau sudah melenyapkannya?"
"Belum."
"Kalau begitu, engkau pasti mengurungnya di penjara bawah tanah kan?"
"Ya." Tu Ci Yen mengangguk. "Aku menahannya di ruang istirahat."
Kim Tie menggelengkan-gelengkan kepala. "Urusan kau kacaukan lagi!" gumamnya.
"Apa? Maksudmu?" Tu Ci Yen terkejut. Karena Kim Tie mengatakannya begitu, tentunya membuat Tu Ci Yen terkejut dan tidak mengerti.
"Kalau dugaanku tidak meleset, pemuda berbaju hitam itu Hek Siau Liong. Kalaupun bukan, dia pasti punya hubungan erat dengan cung cu Siauw Thian Lin. Seandainya engkau tidak menahan Siauw Peng Yang, cepat atau lambat pemuda berbaju hitam itu pasti akan menemui Siauw Peng Yang. Nah, bukankah cukup menyuruh seseorang untuk mengawasinya, dan sekaligus menyelidiki pemuda berbaju hitam itu? Engkau menahan Siauw Peng Yang, bukankah urusan malah jadi kacau?"
Tu Ci Yen tersenyum.
"Apa yang kau katakan memang benar. Justru itu, aku pun sudah mengatur sesuatu."
"Engkau sudah mengatur apa?"
"Kalau pemuda berbaju hitam itu benar Hek Siau Liong, maka diam-diam dia pasti pergi menemui Siauw Hui Ceh. Oleh karena itu, aku telah mengatur suatu jebakan di sekitar lantai bawah rumah itu, bahkan juga menyuruh Siauw Kiam Meng menyelidiki keadaan di tempat itu"
"Memang bagus apa yang kau atur itu, namun ….." Pemuda berbaju kuning emas itu menatapnya. "Bagaimana seandainya dia bukan Hek Siau Liong?"
"Itu ….." Tu Ci Yen menggeleng-gelengkan kepala. "Aku belum memikirkan itu."
"Sudahlah! Tapi lain kali kalau menghadapi suatu urusan, engkau harus berpikir matang baru bertindak, jangan sembarangan lagi!"
"Ya." Tu Ci Yen mengangguk. "Terimakasih atas petunjukmu!"
Kim Tie tersenyum, kemudian ujarnya serius.
"Urusan itu mungkin masih bisa diatur kembali. Setelah engkau pulang, cepatlah melepaskan Siauw Peng Yang!"
"Ya."
"Masih ada urusan lain yang sangat penting, sebetulnya aku ingin menyuruh seseorang memberitahukan padamu sebelum hari terang, tapi engkau justru telah ke mari.
"Oh?"
"Setelah engkau pulang, harus segera memerintahkan para anak buah yang berada di dalam jarak lima ratus li, dilarang pergi ke mana-mana, harus bersembunyi. Siapa yang berani keluar, pasti dihukum berat."
Tu Ci Yen terkejut. Ia memandang Kim Tie seraya bertanya, "Itu kenapa?"
"Apakah engkau masih ingat, setahun lalu muncul pemuda baju ungu itu?"
"Ingat." Tu Ci Yen mengangguk. "Tapi dia telah menuju selatan."
"Semalam aku menerima berita, bahwa dia datang di Kota Ling Ni lagi."
"Oh?" Tu Ci Yen terperanjat.
"Sekarang dia berada di vihara Si Hui." Kim Tie memberitahukan.
Tu Ci Yen tertegun. Ia menatap Raja Emas seraya bertanya, "Dia seorang diri berada di vihara itu?"
"Kalau dia cuma seorang diri, apakah engkau ingin bertarung dengan dia? Dia diikuti banyak orang."
"Aku tidak akan begitu ceroboh, dalam hal ini aku harap engkau boleh berlega hati!"
Kim Tie tertawa. "Apa yang terkandung dalam hatimu, tak akan bisa mengelabui mataku?"
"Aku ….." Tu Ci Yen menundukkan kepala.
"Jangan bertindak ceroboh, itu akan menimbulkan musibah! Akhirnya yang celaka dirimu sendiri, bahkan para anak buahmu akan menjadi korban pula." Raja Emas memberitahukan.
Akan tetapi, Tu Ci Yen justru merasa penasaran dan tidak mempercayai apa yang dikatakan Kim Tie. Oleh karena itu, ia mengambil keputusan untuk bertarung dengan pemuda baju ungu itu.
Sementara Kim Tie terus memandangnya, lalu tersenyum seraya bertanya, "Engkau tidak percaya akan perkataanku?"
Tu Ci Yen menggelengkan kepala. Ia tidak mau berterus terang, lebih-lebih mengenai keputusannya itu.
"Mana berani aku tidak percaya?"
"Engkau tidak perlu mengaku, sebab dari sepasang matamu, aku sudah tahu niat dalam hatimu." ujar Kim Tie sambil tersenyum.
"Ohya?" Tu Ci Yen tertawa. "Apakah kepandaiannya amat tinggi?"
Kim Tie tidak segera menjawab, melainkan berpikir sesaat dan ujarnya sambil tersenyum.
"Aku belum pernah bertemu dengannya, maka bagaimana mungkin bisa tahu bagaimana kepandaiannya tinggi atau rendah? Tapi ….."
"Kenapa?"
"Kalau dugaanku tidak meleset, engkau tidak akan mampu melawannya dalam tiga puluh jurus."
Tu Ci Yen semakin penasaran dan tidak percaya, namun kali ini sepasang matanya tidak mencerminkan apa-apa.
"Apakah engkau sudah tahu asal-usulnya?"
"Aku tidak tahu. Tapi Taytie akan menyelidikinya."
"Apakah beliau telah menyelidikinya?"
"Kalau tidak salah, memang sudah. Tapi belum begitu jelas, hanya sudah dapat menduganya."
"Kalau cuma menduga ….."
"Engkau harus tahu, beliau tidak akan menduga sesuatu yang masih samar-samar."
"Oh?"
"Berdasarkan informasi, kali ini yang menyertainya lebih banyak dari setahun lalu, bahkan kebanyakan telah berusia tujuh puluhan dan rata-rata memiliki kepandaian amat tinggi."
"Tahukah engkau orang-orang tua itu?"
"Aku sudah menyuruh beberapa anak buah untuk menyelidikinya. Mungkin tidak lama lagi ada informasi masuk."
"Dengan adanya kemunculan mereka, apakah semua kegiatan kita harus dihentikan?"
"Agar tidak menimbulkan hal-hal yang mencurigakan, maka harus dihentikan," ujar Kim Tie dan menambahkan, "Kecuali urusan yang amat penting, urusan lain harus ditangguhkan untuk sementara."
"Baiklah." Tu Ci Yen mengangguk. "Aku akan melaksanakan tugasku sesuai instruksimu."
"Bagus." Kim Tie manggut-manggut.
"Apakah masih ada perintah lain?"
"Tidak ada. Tapi aku harus memberitahukan urusan yang sangat penting padamu."
"Urusan apa!"
"Pemuda berbaju hitam yang mengaku bernama Seng Sin Khi itu tidak lain Hek Siau Liong."
"Apa?" Tu Ci Yen tersentak. "Engkau memastikan itu?"
"Ya." Kim Tie mengangguk. "Seng Sin Khi memang Hek Siau Liong."
"Bolehkah aku tahu alasanmu memastikan itu?"
"Tahukah engkau kedudukan Hek Siau Liong sekarang?"
"Apa kedudukannya sekarang?"
"Apakah engkau lupa, bahwa dia adalah pemegang Jit Goat Seng Sim Ki generasi kelima?"
"Oooh!" Tu Ci Yen tersadar sekarang. "Seng Sim Ki, Seng Sim Ki! Itu tidak salah, ternyata nada suaranya sama. Kalau engkau tidak mengatakan, aku pun tidak menyadari hal itu."
"Kini engkau sudah tahu, maka harus tahu pula apa maksud tujuannya ke mari. Dia telah memiliki kepandaian yang begitu tinggi, sekarang muncul lagi pemuda baju ungu bersama beberapa orang tua, mungkin juga untuk membantunya."
"Oh?" Tu Ci Yen terbelalak.
"Oleh karena itu, engkau harus berhati-hati, jangan sampai bertindak ceroboh," pesan Kim Tie.
"Ya." Tu Ci Yen mengangguk. "Aku pasti menuruti perkataanmu."
"Emmh!" Kim Tie manggut-manggut. "Pokoknya kita semua harus berhati-hati."
*
* *
Bagian ke 40: Akal Dilawan Akal
Pek Giok Liong menyamar sebagai Hoa Giok. Tangannya membawa beberapa buah buku, dan bersama Siauw Kiam Meng menuju penjara bawah tanah.
Status Hoa Giok adalah pelayan pribadi Siauw Hui Ceh. Gadis itu berasal dari Bun Jiu Kiong (Istana Lemah Lembut), maka jelas setelah menjadi pelayan, derajatnya jadi tinggi. Maka para penjaga tiada seorang pun berani melarangnya ke penjara bawah tanah itu.
Tak lama kemudiam, mereka berdua telah sampai di penjara bawah tanah itu.
"Adik Peng Yang, Siau Liong dan aku ke mari menolongmu," bisik Siauw Kiam Meng.
Siauw Peng Yang tertegun. Ia segera menatap Hoa Giok dengan penuh perhatian.
"Saudara Hek!" tegurnya. "Kenapa engkau menempuh bahaya ini, engkau sungguh ….."
Pek Giok Liong segera memberi isyarat agar dia diam.
"Saudara Peng Yang, kini bukan saatnya berbicara demikian," ujar Pek Giok Liong lalu mengarah pada Siauw Kiam Meng seraya bertanya, "Siauw Kiam Meng, coba engkau cari akal, kita harus bagaimana ke luar dari sini."
"Siau Liong!" Siauw Kiam Meng tersenyum. "Sudah kukatakan tadi, engkau sangat cerdik dan memiliki kepandaian tinggi, bagaimana kita harus keluar, aku cuma menurut saja."
"Saudara Kiam Meng, sungguhkah engkau bersedia menurut padaku?" Pek Giok Liong menatapnya tajam.
"Tentu." Siauw Kiam Meng mengangguk. "Lebih baik sekarang engkau berunding dulu dengan adik Peng Yang, aku akan menjaga di luar."
Usai berkata begitu, Siauw Kiam Meng segera mengayunkan kakinya, namun Pek Giok Liong cepat-cepat menarik tangannya.
"Saudara Kiam Meng, jangan menjaga di luar!"
"Kenapa?" tanya Siauw Kiam Meng heran.
"Sebetulnya ….." Pek Giok Liong tersenyum. "Aku sudah punya cara untuk ke luar dari sini. Barusan aku cuma sekedar bertanya."
"Oh?" Siauw Kiam Meng menatapnya. "Bagaimana caramu?"
"Dengan cara akal dilawan akal." jawabnya sambil tersenyum.
Siauw Kiam Meng tidak mengerti, namun kemudian air mukanya tampak berubah.
"Apa artinya akal dilawan akal?" tanyanya.
Pek Giok Liong tidak menyahut, hanya sekilas wajahnya tampak aneh dan misterius.
"Engkau akan segera tahu."
Siauw Kiam Meng telah merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Baru saja ia mau menerjang ke luar, tapi Pek Giok Liong justru bergerak lebih cepat menotok jalan darahnya.
Kini Siauw Kiam Meng sudah tahu jelas apa artinya akal dilawan akal, tapi terlambat baginya, karena sekujur badannya sudah tidak bisa bergerak, dan wajahnya berubah pucat pias.
Ia amat menyesal, kenapa tadi ia tidak turun tangan duluan terhadap Pek Giok Liong. Kini dirinya malah dikendalikan, maka ia melototi Pek Giok Liong dengan penuh kebencian.
"Saudara Kiam Meng!" Pek Giok Liong tertawa ringan. "Biar bagaimana pun engkau harus memaafkanku. Sebab kalau aku tidak bertindak demikian tentunya sulit bagi Peng Yang untuk meninggalkan penjara bawah tanah ini. Setelah pagi dan Tu Cin Yen mengetahui akan hal ini, paling juga dia cuma mencacimu tak berguna, tidak akan menghukummu dengan berat dan engkau akan dikeluarkan dari sini."
Siauw Kiam Meng diam saja, memang sudah tiada yang harus dikatakannya.
"Aku mengerti, saat ini engkau pasti menyesal sekali," lanjut Pek Giok Liong sambil menatapnya tajam. "Menyesal karena engkau tidak turun tangan duluan terhadap diriku. Sesungguhnya engkau tidak perlu menyesal, sebaliknya engkau malah harus merasa beruntung. Kalau engkau turun tangan duluan, mungkin aku pun akan memusnahkan seluruh kepandaianmu."
Mendengar ucapan itu, sekujur badan Siauw Kiam Meng menggigil. Sebab bagi orang yang memiliki ilmu silat, lebih baik mati dari pada kepandaiannya dimusnahkan.
"Kini engkau tidak terluka dan belum musnah kepandaianmu, maka baik-baik engkau jadi anak cucu keluarga Siauw! Nah, selamat tinggal, dan aku akan tetap memanggilmu saudara. Kalau tidak ….."
Wajah Pek Giok Liong berubah dingin. Ia melanjutkan ucapannya dengan suara dingin pula, membuat Siauw Kiam Meng merinding.
"Tentunya engkau mengerti, aku pun tidak perlu banyak bicara lagi." Kemudian Pek Giok Liong mengarah pada Siauw Peng Yang. "Saudara Peng Yang, cepatlah engkau lucuti pakaiannya lalu pakailah! Kita harus segera meninggalkan tempat ini."
Siauw Peng Yang menurut. Ia sangat kagum akan kecerdasan Siau Liong. Setelah memakai pakaian Siauw Kiam Meng, ia memakaikan pakaiannya ke tubuh Siauw Kiam Meng itu.
"Saudara Siau Liong, apakah kita biarkan dia di sini?"
Pek Giok Liong mengangguk, lalu secepat kilat ia menotok jalan darah tidur di badan Siauw Kiam Meng. Setelah itu, barulah ia mengajak Siauw Peng Yang pergi.
Keluar dari penjara bawah tanah, mereka berdua segera menuju tempat cung cu Siauw Thian Lin.
Sebetulnya cung cu Siauw Thian Lin sudah tidur, tapi Siauw Hui Ceh membangunkannya dan menceritakan tentang Hek Siau Liong yang telah kembali.
Ketika mendengar Hek Siau Liong telah kembali, wajah cung cu Siauw Thian Lin yang pucat pias tampak berseri dengan penuh harapan. Namun juga merasa di luar dugaan, bagaimana mungkin Hek Siau Liong begitu cepat kembali?
Tak seberapa lama kemudian, muncullah Pek Giok Liong bersama Siauw Peng Yang. Begitu melihat Pek Giok Liong, Siauw Hui Ceh pun tampak tercengang.
"Kakak Liong, di mana kakak Peng Yang? Engkau tidak menolongnya?"
Pek Giok Liong tersenyum, sambil menunjuk Siauw Peng Yang yang menyamar Siauw Kiam Meng.
"Adik Hui, lihatlah baik-baik siapa dia?"
Siauw Hui Ceh menatap Siauw Peng Yang dengan penuh perhatian, kemudian serunya girang.
"Haah! Kakak Peng Yang?"
Siauw Peng Yang mengangguk sambil tersenyum getir.
"Aku memang Peng Yang. Aku justru tidak habis pikir, kenapa Tu Ci Yen begitu licik dan busuk."
"Kakak Peng Yang!" Siauw Hui Ceh menarik nafas. "Hanya Kakak Liong yang bisa menandingi kelicikannya."
"Benar." Siauw Peng Yang mengangguk.
"Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh menatapnya. "Apakah kakak Kiam Meng di tinggal di dalam penjara bawah tanah itu?"
"Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin aku dan saudara Peng Yang bisa meninggalkan penjara bawah tanah?"
"Kalau begitu ….." Siauw Hui Ceh mengerutkan kening. "Kakak Kiam Meng ….."
"Harap Adik Hui berlega hati!" sambung Pek Giok Liong cepat. "Dia tidak apa-apa, besok Tu Ci Yen pasti mengeluarkannya."
"Oooh!" Siauw Hui Ceh manggut-manggut.
"Siau Liong memberi hormat pada cung cu!" ucap Pek Giok Liong sambil menjura pada cung cu Siauw Thian Lin.
"Nak Liong, engkau tidak usah banyak peradaban!" sahut cung cu Siauw Thian Lin sambil tersenyum. "Ketika aku mendengar bahwa engkau sudah kembali, hatiku sungguh gembira sekali. Namun juga merasa heran, kenapa engkau begitu cepat kembali. Apakah engkau telah pergi ….."
Berkata sampai di sini, nafas cung cu Siauw Thian Lin mulai sesak.
Kening Pek Giok Liong berkerut. "Cung cu jangan banyak bicara, izinkanlah Siau Liong memeriksa nadi cung cu!" ujarnya.
Tentang Pek Giok Liong ingin memeriksa nadinya, Siauw Hui Ceh pun sudah memberitahukan, maka ia segera menjulurkan lengannya yang kurus itu.
Padahal cung cu Siauw Thian Lin baru berusia lima puluhan, bahkan memiliki kepandaian tinggi, maka seharusnya berbadan sehat. Akan tetapi ….., Pek Giok Liong tersentak hatinya dan membatin ketika melihat lengan cung cu Siauw Thian Lin. Nafas sesak apa itu? Tidak sampai setahun tubuh cung cu Siauw Thian Lin sudah begitu kurus. Itu tidak mungkin. Penyakit tersebut tidak akan membuat orang jadi begitu kurus, lagi pula cung cu Siauw Thian Lin memiliki tenaga dalam yang tinggi, maka tidak seharusnya …..
Meskipun sedang berpikir, tiga jari Pek Giok Liong pun memegang nadi di pergelangan lengan cung cu Siauw Thian Lin. Diperiksanya nadi cung cu itu dengan cara Ceng Khi Siu Hoat (Hawa murni menembus jalan darah).
Itu sungguh mengejutkan cung cu Siauw Thian Lin, sebab orang yang mampu memeriksa nadi dengan cara tersebut, harus memiliki tenaga dalam tingkat tinggi.
Padahal usia Pek Giok Liong masih muda. Mungkinkah ia telah memiliki tenaga dalam yang begitu tinggi? Siauw Hui Ceh telah memberitahukan pada cung cu Siauw Thian Lin, bahwa Hek Siau Liong memiliki ilmu yang amat tinggi. Tapi cung cu Siauw Thian Lin tidak begitu percaya, karena dipikirnya baru berpisah satu tahun, bagaimana mungkin Hek Siau Liong belajar ilmu silat yang begitu tinggi?
Setelah melihat dengan mata kepala sendiri cara Pek Giok Liong memeriksa nadinya, maka ia pun percaya, bahkan merasa tenaga dalam Pek Giok Liong jauh di atas tenaga dalamnya sendiri.
Betapa gembiranya cung cu Siauw Thian Lin, sehinga sepasang matanya tampak berbinar-binar.
Berselang beberapa saat kemudian, Pek Giok Liong melepaskan jari tangannya dari pergelangan lengan cung cu Siauw Thian Lin, lalu menarik nafas.
"Bagaimana, Kakak Liong?" tanya Siauw Hui Ceh.
"Ternyata dugaanku tidak meleset," jawab Pek Giok Liong serius.
Seketika juga sepasang mata Siauw Hui Ceh yang indah itu menyorotkan sinar yang penuh mengandung kebencian.
"Sungguh tak berbudi dan berhati srigala!" caci Siauw Hui Ceh sengit.
"Eh? Adik Hui!" Pek Giok Liong menatapnya. "Engkau mencaci siapa?"
"Tentu Tu Ci Yen!" sahut Siauw Hui Ceh dengan wajah bengis.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong tercengang. "Berdasarkan apa engkau mencarinya demikian?"
"Dia meracuni ayahku, apakah aku tidak harus mencarinya?"
Pek Giok Liong tersenyum.
"Engkau berani memastikan dia yang meracuni ayahmu?"
"Tentu berani. Di rumah ini selain dia, siapa yang berani berbuat begitu?"
"Adik Hui, apakah engkau punya bukti?" Siauw Hui Ceh tertegun sehingga tergagapgagap.
"Itu ….. itu ….."
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menatapnya. "Apakah engkau sudah lupa akan apa yang kukatakan tadi? Urusan apa pun, sebelum ada bukti, jangan menuduh sembarangan! Harus tenang dan berpikir lebih cermat."
"Kakak Liong ….." Siauw Hui Ceh menundukkan kepala.
"Walau itu perbuatan Tu Ci Yen, namun engkau tidak punya bukti, lalu bisa bertindak apa terhadapnya? Bertanya padanya, tentu dia tidak akan mengaku, sebaliknya dia malah akan menuntut bukti. Nah, bagaimana engkau pada waktu itu? Lagi pula engkau mencacinya di sini, dia tidak akan mendengar. Itu sama juga bohong, maka apa gunanya engkau mencacinya begitu?"
"Kakak Liong ….." Wajah Siauw Hui Ceh kemerah-merahan.
"Ha ha!" Cung cu Siauw Thian Lin tertawa. "Nak Hui, apa yang dikatakan Kakak Liongmu memang tidak salah. Oleh karena itu, engkau harus ingat selalu!"
Siauw Hui Ceh diam, dan wajahnya tampak agak cemberut.
"Adik Liong!" Siauw Peng Yang menatapnya seraya bertanya. "Sebetulnya paman terkena racun apa? Bisakah dipunahkan?"
Pek Giok Liong mengangguk.
"Bisa. Tapi ….."
"Kenapa, Adik Liong?" tanya Siauw Peng Yang agak cemas.
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini, agar bisa memunahkan racun di dalam tubuh Cung cu."
"Apa?" Siauw Hui Ceh tertegun. "Meninggalkan tempat ini?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Sebelum hari terang kita sudah harus berada di tempat lain."
"Mengapa?" Siauw Hui Ceh tidak mengerti.
"Adik Hui, itu demi keselamatan ayahmu dan saudara Peng Yang." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Nak Hui!" sambung cung cu Siauw Thian Lin. "Apa yang dikatakan Siau Liong memang benar. Demi keselamatan, kita harus meninggalkan rumah ini sebelum hari terang."
"Tapi ….." Kening Siauw Hui Ceh berkerut. "Kita akan pergi ke mana?"
"Adik Hui!" Pek Giok Liong tersenyum. "Tentang itu engkau tidak perlu cemas. Tentunya aku bisa mengatur suatu tempat yang aman untuk kalian."
"Tapi ….." Siauw Peng Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak gampang bagi kita berjalan ke luar dari sini."
"Aku sudah memikirkan hal itu. Aku akan memapah cung cu, kalian berdua ikut di belakangku," ujar Pek Giok Liong. "Kita lewat pintu halaman belakang."
Usai berkata begitu, Pek Giok Liong lalu memapah cung cu Siauw Thian Lin. Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh mengikuti dari belakang. Baru saja sampai di halaman belakang, mendadak terdengar bentakan dari tempat gelap.
"Siapa? Mau ke mana?"
Pek Giok Liong sama sekali tidak menghiraukan suara bentakan itu. Ia terus melangkah menuju pintu belakang halaman.
Tiba-tiba dari tempat gelap berkelebat ke luar tiga sosok bayangan, ternyata tiga orang berbaju hitam. Mereka berdiri menghadang di hadapan Pek Giok Liong.
"Jangan bergerak!" bentak salah seorang. Pek Giok Liong berhenti.
"Kalian mau apa?" tanyanya dingin.
Ketiga, orang berbaju hitam tertegun, lalu menjura dengan hormat.
"Oh, ternyata Nona Hoa Giok, maaf kami tidak melihat jelas dari tempat gelap!"
Pek Giok Liong mengenakan pakaian Hoa Giok, maka ketiga orang berbaju hitam itu mengiranya Hoa Giok, sehingga bersikap hormat padanya.
Kesempatan ini tidak di sia-siakan Pek Giok Liong. Ia mendengus dengan dingin.
"Hm! Kalian bertiga kenal aku, kenapa masih menghadang di depan? Cepat minggir!"
Walau ketiga orang berbaju hitam berlaku hormat, tapi mereka tetap tak bergeming dari tempat.
"Nona Hoa Giok mau ke mana?" tanya salah seorang dari mereka sambil tertawa.
"Kalian berani mencampuri urusanku?" sahut Pek Giok Liong dingin.
Orang berbaju hitam itu masih tertawa, kemudian ujarnya sambil tersenyum.
"Nona Hoa Giok, kedudukanmu memang istimewa, tentunya kami bertiga tidak berani mencampuri urusanmu, tapi ….."
"Jangan banyak omong! Kalian mau minggir atau tidak?" bentak Pek Giok Liong dengan suara dalam.
"Mohon Nona Hoa Giok memaafkan!" ucap orang berbaju hitam yang merupakan pemimpin. "Kami bertiga tidak berani melalaikan tugas."
Pek Giok Liong tertawa dingin. Ditatapnya mereka dengan sorot mata.
"Apakah kalian bertiga mampu menghalangiku?" ujarnya.
"Nona Hoa Giok engkau harus mengerti! Mungkin kami bertiga tidak dapat menghalangimu, tapi masih banyak orang lain yang mampu menghalangimu."
"Jadi kalian bertiga tidak mau minggir?"
"Maaf, kami sungguh tidak bisa menuruti kehendakmu!"
"Kalau begitu ….." Kening Pek Giok Liong berkerut. "Kalian bertiga jangan menyalahkan diriku!"
Air muka ketiga orang berbaju hitam itu langsung berubah, bahkan sekaligus mundur selangkah.
Sekonyong-konyong terdengar tawa yang dingin, tampak sosok bayangan berkelebat ke samping tiga orang berbaju hitam itu.
Sosok bayangan itu orang berjubah hijau, berusia lima puluhan, bertampang licik dan sepasang matanya bersinar tajam.
"Tidak lemah, tenaga dalam orang itu, entah siapa dia?" Pek Giok Liong membatin sambil menatap orang itu.
"Bocah! Siapakah kau?" tanya orang berbaju hijau.
Sungguh tajam mata orang berbaju hijau itu. Begitu melihat sudah tahu bahwa Pek Giok Liong menyamar wanita.
"Engkau tidak bisa melihat?" Pek Giok Liong balik bertanya dengan nada dingin pula.
"He he!" Orang berjubah hijau tertawa terkekeh. "Aku sudah melihat dengan jelas, engkau bukan Hoa Giok!"
"Kalau begitu, engkau kira aku siapa?"
"Lebih baik sebutkan namamu!"
Pek Giok Liong tertawa dingin.
"Engkau belum berderajat mendengar namaku."
"Oh?" Orang berjubah hijau tampak gusar sekali.
"Lebih baik engkau minggir!"
"He he he!" Orang berjubah hijau tertawa terkekeh-kekeh. "Kau pikir bisa ke luar dari sini?"
"Engkau mau menghalangiku?"
"Tidak salah!" sahut orang berjubah hijau jumawa. "Bahkan akan menangkapmu!"
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa gelak. "Apakah engkau yakin dapat menangkapku?"
"He he he!" Orang berjubah hijau tertawa melengking-lengking. "Sungguh besar nyalimu! Aku ingin mencoba kepandaianmu, karena engkau berani omong besar di hadapanku!"
"Oh, ya!" Pek Giok Liong tertawa gelak.
"Sambut seranganku ini!" bentak orang berjubah hijau lalu secepat kilat mendorongkan telapak tangannya ke arah dada Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong tertawa dingin, dan sekaligus mengibaskan tangannya. Kibasan yang begitu sederhana, namun justru penuh mengandung lwee kang yang amat dahsyat. Itu adalah Bu Siang Kang Khi (Tenaga Dalam Tanpa Wujud).
Orang jubah hijau itu telah dua puluh tahun lebih berkecimpung dalam kang ouw. Pengalamannya pun lebih dari cukup. Melihat usia Pek Giok Liong masih begitu muda, maka ia meremehkannya, sama sekali tidak menyangka bahwa Pek Giok Liong memiliki lwee kang yang begitu tinggi. Namun sudah terlambat baginya, sebab kedua lwee kang itu telah saling beradu.
"Baam!" terdengar suara yang memekakkan telinga.
Pek Giok Liong berdiri tak bergeming dari tempat, sedangkan orang jubah hijau itu telah terpental beberapa meter.
"Uaaakh!" Orang jubah hijau memuntahkan darah segar. Wajahnya pun berubah amat menakutkan.
Ketiga orang berbaju hitam terkejut bukan main. Mereka bertiga segera menghampiri orang berjubah hijau.
"Bagaimana lukamu, saudara Chi!" tanyanya. Orang baju jubah hijau itu bernama Chi Yong Kuang, julukannya Thiat Ciang Khay Pik (Telapak Besi Pembelah Batu). Dari julukannya dapat diketahui bahwa pukulannya sangat dahsyat dan telah menggetarkan dunia bu lim.
Namun hari ini ia terjungkal di tangan pemuda yang begitu muda, bahkan hanya dalam satu jurus dan sekaligus membuatnya memuntahkan darah segar. Sungguh menyedihkan kekalahannya itu. Karena gengsi, maka ketika ditanya ia masih berusaha tertawa.
"Tidak apa-apa, lukaku tidak begitu parah," ujarnya.
Sementara Pek Giok Liong berbisik pada Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang dengan suara serius.
"Kalian berdua cepat pergi, melompat tembok pun boleh. Aku akan segera menyusul."
Pada waktu bersamaan, salah seorang berbaju hitam menyalakan sebuah kembang api. Ternyata ia memberi isyarat pada teman-temannya.
Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh segera mengerahkan ginkangnya namun tiba-tiba melayang turun tiga sosok bayangan, sekaligus menyerang mereka berdua dengan telapak tangan yang mengadung lwee kang tinggi. Seketika juga Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh terdesak, sehingga terpaksa melompat mundur.
Menyusul muncul lagi belasan bayangan melayang turun di tempat itu dengan posisi mengurung Pek Giok Liong berempat.
Mata Pek Giok Liong menyapu mereka semua, tujuh belas orang yang rata-rata memiliki ilmu tinggi.
Pek Giok Liong terkejut juga. Keningnya pun berkerut-kerut. Sebetulnya ia tidak merasa gentar menghadapi mereka semua. Kalau ia mau pergi, tentunya gampang sekali, tiada seorang pun mampu menghalanginya.
Akan tetapi, ia harus memikirkan Cung cu Siauw Thian Lin, Peng Yang dan Hui Ceh. Ia harus melindungi mereka, itulah yang menyulitkan Pek Giok Liong. Menyadari akan situasi itu, Pek Giok Liong segera berbicara pada Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang dengan ilmu menyampaikan suara.
"Kini kita telah terkepung, tanpa melukai orang tentunya kita sulit meninggalkan tempat ini. Maka kalian berdua harus bersiap-siap mengikutiku menerjang ke luar."
Usai berbicara itu, Pek Giok Liong langsung memandang para pengepung itu dengan sorot mata dingin dan membentak.
"Siapa sebagai pemimpin harap ke luar bicara denganku!"
Salah seorang berjubah kuning maju selangkah, wajahnya tampak dingin tak berperasaan. "Aku pemimpin mereka. Engkau mau bicara apa?"
"Siapa engkau?" Pek Giok Liong menatapnya tajam.
"Aku sudah bilang barusan, aku pemimpin mereka! Engkau tuli?" sahut orang berjubah kuning itu dengan nada sinis.
"Aku bertanya namamu!"
"Engkau belum berderajat mengetahui namaku."
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Kalau aku tidak berderajat mengetahui namamu, berarti tiada orang lain dalam rimba persilatan yang berderajat mengetahui namamu!"
Benar. Sebab kedudukan Pek Giok Liong sebagai ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan. Kalau ia tidak berderajat mengetahui nama orang berjubah kuning itu, lalu siapa yang berderajat?
"Bocah!" Orang berjubah kuning tertawa terkekeh. "Kau sungguh jumawa! Siapa namamu?"
"Engkau lebih-lebih tidak berderajat mengetahui namaku, apa lagi engkau tidak berani bertemu orang dengan wajah asli!"
Orang berjubah kuning terkejut. Ia menatap Pek Giok Liong dengan tajam sekali seraya berkata.
"Kau anggap aku pakai kedok atau merias wajah?"
"Ilmu merias wajahmu itu tidak dapat mengelabui mataku!"
"Bocah!" Orang berjubah kuning tertawa. "Sungguh tajam matamu! Jangan banyak bicara! Engkau mau menyerah atau aku harus turun tangan?"
Pek Giok Liong tertawa hambar, kemudian tanyanya dengan acuh tak acuh.
"Bagaimana menurutmu?"
"Menurut aku, lebih baik engkau menyerah!"
"Seandainya aku tidak setuju?"
"He he!" Orang berjubah kuning tertawa dingin. "Engkau sudah di kepung! Kecuali engkau punya sayap, baru bisa terbang pergi dari sini! Kalau tidak, engkau pasti mampus di tempat ini!"
"Kalian berjumlah belasan orang, kalau kita bertarung, aku memang sulit meninggalkan tempat ini ….."
"Oleh karena itu, lebih baik engkau menyerah!" tandas orang berjubah kuning itu sambil tertawa dingin.
"Kalau engkau menghendaki aku menyerah, itu tidak masalah. Namun engkau harus menjawab beberapa pertanyaanku dulu! Kalau jawabanmu beralasan, aku pun bersedia menyerah! Kalau tidak, lebih baik aku bertarung mati-matian!"
"Bocah!" Orang berjubah kuning menatapnya dingin. "Saat ini engkau masih membicarakan syarat denganku?"
"Sebelum bertarung dan belum tahu siapa kalah dan menang, tentunya aku masih berhak membicarakan syarat!" sahut Pek Giok Liong.
"Oh, ya?" Orang jubah kuning, lalu tertawa gelak. "Kematianmu sudah berada di depan mata, tapi masih berani banyak omong!"
"Itu belum tentu!" sahut Pek Giok Liong dan menambahkan, "Kalau aku mati, kalian pun harus menyertaiku!"
"Engkau yakin itu? He he! Kepandaianmu lebih tinggi dariku?"
"Kalau aku katakan lebih tinggi, tentunya engkau tidak akan percaya!" Pek Giok Liong tertawa jumawa, itu memang sengaja.
"Oh?" Orang berjubah kuning melotot.
"Nah, aku akan memperlihatkan satu jurus, setelah menyaksikannya, engkau pasti mengerti!"
Usai berkata begitu, Pek Giok Liong pun mengangkat tangan kirinya, kemudian didorongkan ke depan ke arah sebuah pohon yang berjarak tujuh meteran.
Pohon itu sama sekali tidak bergoyang. Menyaksikan itu, orang jubah kuning pun segera tertaw menghina.
"Pukulan apa itu? Aku tidak mengerti, lebih baik engkau pertontonkan ….."
Kraaaak! Terdengar suara gemuruh, ternyata pohon itu telah roboh.
"Haah …..?" Orang berjubah kuning terperanjat dan matanya pun terbelalak. "Ling Khong Huan In Cam (Pukulan Tanpa Bayangan)!"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Tajam juga matamu, dapat mengenali pukulanku ini!"
Orang jubah berkuning terdiam, sedangkan Pek Giok Liong tersenyum seraya bertanya dengan suara dalam.
"Bagaimana pukulanku tadi? Engkau bisa?" Orang berbaju kuning itu sudah tenang kembali, sepasang matanya menyorot tajam.
"Setiap ilmu silat punya kelebihan dan kekurangan. Meskipun aku tidak memiliki pukulan seperti itu, belum tentu lwee kangmu lebih tinggi dari lwee kangku."
"Oh?"
"Kalau engkau ingin menakuti aku dengan pukulan itu, terus terang, engkau telah keliru!"
Pek Giok Liong tertawa hambar. "Engkau berdiri cuma satu setengah meter di hadapanku, kalau aku ingin mencabut nyawamu dengan pukulan itu, engkau pasti sudah tergeletak tak bernyawa di sini!"
Pek Giok Liong mengangkat sebelah tangannya, seketika juga orang berjubah kuning melompat mundur dengan wajah pucat. Pukulan tanpa bayangan merupakan pukulan tingkat tinggi dalam bu lim. Orang jubah kuning tahu akan kelihayan pukulan itu, maka ia segera melompat mundur.
"Pukulanku mencapai jarak tujuh meter, kini engkau berdiri cuma jarak lima meter, itu berarti engkau masih dalam jangkauan pukulanku!" ujar Pek Giok Liong sambil tertawa.
Mendengar ucapan itu, orang berjubah kuning langsung melompat mundur lagi sejauh delapan meteran sehingga membuat Pek Giok Liong tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kenapa engkau begitu ketakutan? Kalau aku ingin mencabut nyawamu, mungkinkah aku menjelaskan tentang itu? Tidak mungkin aku akan membiarkanmu melompat mundur dua kali, kan?"
Tidak salah apa yang dikatakan Pek Giok Liong. Kalau ia ingin mencabut nyawa orang berjubah kuning itu, sudah dari tadi orang berjubah kuning itu tergeletak tak bernyawa.
Kini orang berjubah kuning baru menyadari, bahwa Pek Giok Liong cuma mempermainkan dirinya. Tentunya ia sangat gusar, sehingga sepasang matanya melotot berapi-api.
"Kau kira aku takut?" bentaknya.
"Aku tidak bilang engkau takut, tapi ….." Pek Giok Liong tersenyum. "Takut atau tidak, engkau tahu sendiri dalam hati! Maka tidak perlu dicetuskan, itu pertanda engkau sudah ketakutan!"
"Bocah …..!" Betapa gusarnya orang berjubah kuning itu.
"Tenang!" Pek Giok Liong tersenyum. "Sekarang aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan!"
"Engkau ingin bertanya apa?"
"Kalau begitu, engkau pasti bersedia menjawab, kan?"
"Seandaianya aku menjawab dengan beralasan, apakah engkau akan menepati janji?"
"Tentu." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku tidak ingkar janji dan menyesal!"
"Bagus. Kalau begitu, engkau boleh bertanya sekarang."
Pek Giok Liong tersenyum, lalu mulai mengajukan pertanyaan.
"Apakah engkau orang keluarga Siauw?"
"Betul. Aku memang orang keluarga Siauw."
"Apa kedudukanmu dalam keluarga Siauw?"
"Kepala penjaga halaman."
"Bagaimana kedudukanmu dibandingkan dengan Ho cong koan?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
Orang jubah kuning tampak tertegun. "Engkau kenal dia?"
"Jangan bertanya, jawab saja pertanyaanku!"
"Jadi ….." Mendadak hati orang berjubah kuning tersentak. "Engkau Seng Sin Khi?"
"Sudah kukatakan, jawab pertanyaanku tadi!"
"Kedudukan kami memang tidak sama. Dia kepala pengurus dalam rumah, sedangkan aku kepala penjaga halaman. Tapi, aku memang mengenalnya."
"Kalau begitu, engkau kenal siapa yang kupapah ini?" tanya Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Dia cung cu Siauw Thian Lin."
"Siapa yang berdiri di belakangku itu?"
"Nona Hui Ceh dan majikan muda Kiam Meng!"
Ternyata orang jubah kuning itu tidak melihat jelas Kiam Meng, yang tidak lain adalah Peng Yang.
"Kalau begitu, kenapa kalian mengepung kami? Apakah cung cu Siauw Thian Lin tidak bebas bergerak, harus dikekang olehmu yang kedudukanmu cuma sebagai kepala penjaga halaman?"
Orang berjubah kuning tertegun.
"Tentunya aku punya alasan!" jawabnya kemudian.
"Apa alasanmu?"
Orang jubah kuning tertawa dingin.
"Aku tidak mengenalmu. Lagi pula kenapa engkau memapah cung cu Siauw Thian Lin? Aku adalah kepala penjaga halaman, tentunya berhak melarangmu membawa pergi cung cu."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum. "Cukup masuk akal alasanmu itu, tapi engkau justru telah keliru."
"Keliru mengenai apa?" Orang berjubah kuning mengerutkan kening.
"Karena bersama Nona Hui Ceh dan majikan muda kedua, maka alasanmu itu tidak bisa dipakai lagi! Engkau mengerti?"
"Aku mengerti, namun aku pun harus menjelaskan!"
"Jelaskanlah!"
"Cung cu berada di tanganmu, maka Nona Hui Ceh dan majikan muda kedua terkendalikan. Demi keselamatan cung cu, tentunya mereka berdua harus menurut padamu!"
"Kalau begitu, kau kira aku memaksa mereka berdua bersamaku?"
"Memang begitu."
"Kenapa engkau tidak bertanya pada mereka berdua?"
"Itu tidak perlu. Karena mereka berdua dibawah kendalimu, tentunya mereka tidak akan menjawab dengan jujur."
"Hei! Penjaga halaman!" bentak Siauw Hui Ceh mendadak. "Siapa yang mengangkatmu sebagai kepala penjaga halaman di sini?"
Orang berjubah kuning tertegun, namun cepat pula menjawah.
"Telah disetujui cung cu."
"Ayah!" Siauw Hui Ceh memandang cung cu Siauw Thian Lin. "Apakah ayah menyetujuinya menjadi kepala penjaga halaman?"
"Nak Hui! Percuma engkau bertanya. Aku setuju atau tidak sama saja," sahut cung cu Siauw Thian Lin.
Secara tidak langsung jawaban itu telah menjelaskan, bahwa meskipun ia tidak setuju, juga harus setuju karena terpaksa.
Siapa yang berani memaksa cung cu Siauw Thian Lin, ini tidak perlu diberitahukan sudah bisa tahu, pasti tiada orang kedua lagi.
"Nona!" ujar orang berjubah kuning. "Cung cu telah mengaku, itu pertanda aku tidak bohong."
Siauw Hui Ceh menatapnya dingin, kemudian dengusnya seraya membentak dengan suara keras.
"Hei! Kepala penjaga halaman! Kini aku perintahkan engkau harus minggir! Kami mau pergi, engkau menurut perintahku?"
"Maaf, aku tidak bisa menurut perintah Nona," sahut orang berjubah kuning.
Siauw Hui Ceh tertawa dingin. "Aku mau tanya, di dalam rumah kami ini, engkau menurut pada perintah siapa?"
"Siapa yang mengundangku ke mari, itulah yang kuturut perintahnya."
"Siapa orang itu? Kenapa engkau tidak berani menyebut namanya?" tanya Siauw Hui Ceh bernada menegurnya.
"Kenapa Nona harus bertanya tentang itu?"
"Hm!" dengus Siauw Hui Ceh dingin. "Kalau kau tidak berani bilang, biar aku yang bilang!"
"Nona ….." orang berjubah kuning mengerutkan kening.
"Dia orang yang tak kenal budi, berhati licik dan busuk!" Caci Siauw Hui Ceh. "Orang itu adalah Tu Ci Yen, kan?"
Orang jubah kuning tampak salah tingkah.
"Tidak Nona seharusnya Nona mencetuskan cacian itu. Kalau Nona bukan ….." Orang berjubah kuning tidak melanjutkan ucapannya.
"Kenapa tidak kau lanjutkan ucapanmu?" tanya Siauw Hui Ceh sambil menatapnya dengan tajam sekali.
"Sudahlah! Aku tidak mau berbuat salah terhadapmu, Nona!" sahut orang berjubah kuning sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh?" Siauw Hui Ceh tersenyum dingin. "Engkau tidak mau berbuat salah padaku, sebaliknya aku malah ingin berbuat salah padamu! Aku ingin tahu, Tu Ci Yen berani bertindak apa terhadap diriku!"
Setelah berkata begitu, Siauw Hui Ceh pun menghunus pedang, dan sekaligus menghampiri orang berjubah kuning.
"Harus bagaimana nih?" Orang jubah kuning membatin dengan cemas, namun kemudian sepasang matanya bersinar tajam seakan telah menemukan suatu jalan. Benar, ia telah menemukan suatu jalan yang sangat menguntungkan dirinya, yakni ingin menangkap Siauw Hui Ceh, lalu memaksa Pek Giok Liong melepaskan cung cu Siauw Thian Lin.
Pada waktu bersamaan, Siauw Hui Ceh telah menyerangnya dengan pedang. Orang jubah kuning terkejut, dan secepat kilat mengelak serangan itu. Dengan kesempatan ini, ia pun menjulurkan tangannya untuk menangkap Siauw Hui Ceh.
Akan tetapi, mendadak ia mendengar tawa yang dingin. Tampak sosok bayangan berkelebat, dan seketika juga ia merasa ada tenaga dalam yang amat dahsyat mengarah padanya, sehingga membuatnya termundur beberapa langkah.
Ternyata Pek Giok Liong telah berdiri di hadapannya. Tidak usah dikatakan lagi, yang menyerangnya tentu Pek Giok Liong.
Itu membuat orang berjubah kuning semakin terkejut. Berapa tinggi ilmu Pek Giok Liong, ia pun tidak jelas lagi.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menegurnya. "Engkau terlampau menempuh bahaya!"
Siauw Hui Ceh cemberut dengan kening berkerut.
"Aku sangat gusar padanya!"
Pek Giok Liong tersenyum.
"Apa gunanya engkau gusar? Mampukah engkau melukainya?"
"Walau aku tidak mampu melukainya, aku akan membacoknya beberapa kali, agar aku merasa puas!"
Pek Giok Liong tersenyum lagi, lalu mengarah pada orang berjubah kuning seraya berkata.
"Aku telah bersabar dari tadi, sebab aku sama sekali tidak punya niat melukai siapa pun. Lagi pula kita bukan musuh yang harus saling membunuh. Aku mengulur waktu hanya menunggu kemunculan Tu Ci Yen. Namun hingga saat ini dia belum muncul juga. Kini sudah hampir subuh, aku masih punya urusan lain, tidak bisa lama-lama di sini lagi."
"Oh?" Orang berjubah kuning itu mengerutkan kening.
"Sekarang aku memperingatkan kalian, pada saat aku melangkah pergi, janganlah kalian menghadang! Sebab aku sudah mulai mau turun tangan pada siapa yang berani menghadang diriku!"
Orang berjubah kuning diam saja.
Pek Giok Liong menoleh memandang Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang seraya berpesan.
"Kalian berdua ikut di belakangku dalam jarak tiga langkah!" Usai berpesan, Pek Giok Liong pun mulai mengayunkan kakinya sambil memapah cung cu Siauw Thian Lin.
Orang berjubah kuning atau kepala penjaga halaman sudah tahu betapa tingginya kepandaian Pek Giok Liong. Namun bagaimana mungkin ia membiarkan mereka pergi begitu saja? Kalau Tu Ci Yen pulang dan bertanya tentang hal ini, ia harus bagaimana menjawabnya? Oleh karena itu, ia terpaksa berseru.
"Kita maju semua!"
Seketika juga berkelebat bayangan-bayangan mengarah pada Pek Giok Liong.
Kening Pek Giok Liong berkerut-kerut. "Minggir!" bentaknya mengguntur.
Ketika membentak, Pek Giok Liong pun mengerahkan tenaga saktinya untuk menyapu sekelilingnya. Tampak beberapa orang terpental beberapa meter. Padahal ia cuma menggunakan lima bagian tenaga saktinya. Kalau ditambah dua bagian lagi, para penyerang itu pasti sudah tergeletak tak bernyawa.
Kelima orang penyerangnya berdiri dengan wajah pucat pias, karena telah menyaksikan satu hal yang amat mengejutkan. Ternyata yang lain pun berdiri seperti patung di tempat, sama sekali tidak bisa bergerak.
Kejadian itu juga membuat Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang terbeliak. Mereka berdua sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.
Memang tiada seorang pun yang tahu apa gerangan yang telah terjadi, hanya Pek Giok Liong sendiri yang tahu. Ia menatap kelima orang itu sambil tersenyum-senyum, kemudian ujarnya.
"Kalian berlima cukup mujur, hanya terkejut. Namun belasan orang itu tidak sama seperti kalian berlima. Mereka semua telah kutotok jalan darahnya, sehingga tidak bisa bergerak sama sekali. Setelah hari terang, jalan darah masing-masing itu akan terbuka sendiri. Akan tetapi, ilmu totokku itu sangat istimewa, secara tidak langsung telah merusak hawa murni mereka. Oleh karena itu, mereka harus beristirahat beberapa hari, barulah bisa pulih seperti semula."
Kelima orang itu diam, hanya saling memandang seakan tidak percaya akan kejadian itu. Akan tetapi, kenyataannya memang telah terjadi.
"Sekarang aku mau pergi, harap kalian berlima jangan menghalangiku! Kalau masih berani menghalangiku, kalian pasti kutotok seperti mereka! Nah, selamat tinggal!"
Pek Giok Liong memapah Cung cu Siauw Thian Lin sambil melangkah pergi, Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh mengikutinya dari belakang.
Kelima orang itu sama sekali tidak berani menghalanginya. Mereka tahu betapa tinggi kepandaian Pek Giok Liong. Mereka berlima cuma berdiri diam ditempat sambil memandang kepergian Pek Giok Liong yang memapah cung cu Siauw Thian Lin. Mereka pun tidak berani menghalangi Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh.
Setelah Pek Giok Liong mereka berempat meninggalkan halaman belakang itu, mendadak di halaman belakang itu berkelebat lima sosok bayangan secepat kilat menuju ke arah Pek Giok Liong.
Itu tidak terlepas dari mata kelima orang yang tadi menyerang Pek Giok Liong. Dapat dibayangkan, bagaimana terkejutnya mereka.
"Siapa kelima orang itu?" tanya salah seseorang pada temannya. "Ginkang mereka begitu tinggi ….."
"Heran!" sahut temannya yang bersuara serak. "Kenapa tadi mereka tidak muncul, setelah orang-orang itu pergi, baru mengejar? Itu sama juga pengecut!"
"Ei! Kau kira mereka berlima itu orang kita?" ujar orang yang bersuara dingin.
"Kalau bukan orang kita, apakah musuh kita?"
"Aku berani memastikan, mereka berlima bukan cuma musuh kita, bahkan teman pemuda tadi itu."
"Kenapa engkau berani memastikan begitu?"
"Karena ginkang mereka sangat tinggi. Di rumah ini tiada seorang pun memiliki ginkang yang begitu tinggi. Lagi pula pemuda itu bukan malaikat. Walau dia memiliki kepandaian yang amat tinggi, tidak mungkin dia mendorong mundur kita, dan sekaligus menotok jalan darah belasan orang itu. Menurut aku, itu pasti perbuatan kelima orang itu."
Teman-temannya mengangguk. Apa yang diuraikan orang itu memang masuk akal, maka teman-temannya jadi diam.
*
* *
(Bersabung bagian 41)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar