Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 01 Agustus 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 41, 42 dan 43

sambungan ...


PANJI SAKTI (JIT GOAT SENG SIM KI)
(Panji Hati Suci Matahari Bulan)
Karya: Khu Lung
Bagian ke 41: Membongkar Kuburan Membuka Peti Mati
Malam semakin larut, di sebuah perkuburan yang terletak di luar perkampungan Siauw, muncul enam sosok bayangan. Ternyata Pek Giok Liong, Siauw Hui Ceh dan Si Kim Kong (Empat Arhat) yang berusia lanjut.
Keempat Arhat itu membawa pacul dan perkakas lainnya. Mereka mengikuti Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh dari belakang. Tak seberapa lama kemudian, Siauw Hui Ceh berhenti di depan sebuah kuburan.
"Kakak Liong, di sini!" ujar Siauw Hui Ceh, kini gadis itu telah tahu nama asli Siau Liong dan asal-usulnya.
Pek Giok Liong memandang batu nisan kuburan. Pada batu nisan itu terdapat tulisan berbunyi:
Kuburan Siauw Seng, yang mendirikan batu nisan Siauw Thian Lin
"Apakah ayahmu yang menyuruh orang membuat nisan itu?" tanya Pek Giok Liong sambil memandang kuburan tersebut.
Siauw Hui Ceh menggelengkan kepala. "Setelah menderita sakit, ayah sama sekali tidak mencampuri urusan apa pun." Siauw Hui Ceh memberitahukan. "Tiga hari kemudian, ayah baru tahu tentang kematian orang tua pincang itu, namun jasad orang tua pincang telah di kubur."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Bahkan nisan ini pun sudah dibikin." tambah Siauw Hui Ceh. "Justru membuat ayah jadi bingung."
"Kalau begitu, mungkin Tu Ci Yen yang membikin nisan ini atas nama ayahmu." ujar Pek Giok Liong menduga.
"Mungkin." Siauw Hui Ceh mengangguk.
Pek Giok Liong tidak bicara lagi. Ia berdiri dengan sikap hormat di hadapan kuburan tersebut.
"Orang tua, aku sudah kembali. Hanya berpisah satu tahun, tapi engkau malah telah meninggal. Akan tetapi, aku mencurigai kematianmu, maka harus membuktikan sesuatu, sehingga Siau Liong terpaksa membongkar kuburanmu, aku mohon ampun sebelumnya!" ucap Pek Giok Liong, kemudian mengarah pada keempat orang tua yang berdiri di sampingnya. "Kalian berempat boleh mulai menggali kuburan itu."
"Ya," sahut keempat orang itu serentak, lalu mulai menggali.
Berselang beberapa saat kemudian, sudah tampak peti mati di dalam kuburan itu. Pek Giok Liong memberi isyarat agar keempat orang tua itu berhenti menggali.
Setelah itu, Pek Giok Liong mengangkat kedua tangannya ke arah peti mati tersebut, sekaligus mengerahkan tenaga dalamnya pada kedua telapak tangannya.
"Naik!" teriak Pek Giok Liong.
Seketika juga tutup peti mati itu terangkat, lalu jatuh ke bawah. Pada waktu bersamaan, terbelalaklah enam pasang mata yang mengarah ke dalam peti mati itu.
Peti mati itu ternyata kosong, hanya terdapat kertas sembahyang, tidak tampak mayat orang tua pincang itu.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong memandang Siauw Hui Ceh dengan wajah penuh keheranan. "Apa gerangan ini?"
Wajah Siauw Hui Ceh tampak bingung, ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakak Liong, aku pun tidak tahu!"
"Heran!" gumam Pek Giok Liong. "Ke mana mayat orang tua pincang itu? Apakah ….."
Mendadak Pek Giok Liong teringat sesuatu, ia segera menatap Siauw Hui Ceh dalam-dalam.
"Adik Hui! Bukankah engkau bilang setelah membongkar kuburan ini akan mengetahuinya?"
"Benar." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Tapi yang bilang begitu adalah orang tua pincang itu sendiri ketika masih hidup."
"Oh? Orang tua pincang itu bilang apa padamu? Bolehkah engkau memberitahukan lebih jelas?"
Siauw Hui Ceh mengangguk, kemudian mencoba mengingat ucapan orang tua pincang padanya.
"Tiga bulan yang lalu, pada suatu sore, orang tua pincang itu berkata padaku, bahwa dia sudah tua dan kapan waktu ajal pasti datang menjemputnya. Kalau dia sudah mati dan engkau kembali, dia menyuruhku agar memberitahukan padamu. Seandaianya ingin tahu kematiannya engkau harus menggali kuburannya untuk melihat peti matinya. Dengan demikian engkau akan mengetahuinya. Sepuluh hari kemudian, tibalah ajalnya.
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening, kemudian tanyanya setelah berpikir sejenak. "Dia berpesan apa lagi?"
"Dia bilang, engkau pernah berjanji kelak akan kembali, dan pasti singgah di. Siauw Keh Cung untuk menengoknya. Oleh karena itu dia menyuruhku bersabar terhadap urusan apa pun, dan baik-baik menjaga diri menunggu engkau kembali."
"Tiada pesan lain lagi?"
Siauw Hui Ceh menggelengkan kepala. "Tidak ada."
Pek Giok Liong tampak berpikir keras, sehingga keningnya berkerut-kerut. Sesaat kemudian sepasang matanya bersinar dan langsung melayang ke dalam peti mati itu. Setelah itu ia pun meraba-raba kertas sembahyang yang ada di dalam peti mati, dan seketika juga ia berseru girang.
"Dugaanku tidak meleset!" serunya girang. Ternyata tangannya telah memegang sebuah kotak besi kecil, lalu melompat ke atas.
"Kakak Liong!" Mata Siauw Hui Ceh berbinar. "Kok engkau bisa menduga di dalam tumpukan kertas sembahyang terdapat kotak besi?"
"Itu cuma sekedar dugaan!" sahut Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Kalau begitu, cepatlah engkau buka, di dalam kotak besi itu berisi apa?" Siauw Hui Ceh tampak tidak sabaran.
Pek Giok Liong mengangguk, namun kemudian mengerutkan kening.
"Kenapa, Kakak Liong? Apakah kotak besi itu tidak bisa dibuka?" tanya Siauw Hui Ceh sambil memandangnya.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Kotak besi ini dikunci secara rahasia, kalau tidak ada kuncinya, maka sulit membukanya."
"Oh?" Siauw Hui Ceh kebingungan.
"Adik Hui ….." Pek Giok Liong menyerahkan kotak besi itu padanya. "Coba kau pikir, apakah punya akal untuk membukanya?"
Siauw Hui Ceh menerima kotak besi itu. Kemudian ia terbelalak seraya berkata.
"Sungguh berat kotak besi ini!" ujar Siauw Hui Ceh.
"Kotak itu terbuat dari besi, sudah pasti amat berat." Pek Giok Liong tertawa.
Sementara Siauw Hui Ceh sudah mulai memperhatikan kotak besi itu, bahkan membolak-balikkannya.
"Kakak Liong! Coba lihat lubang kunci ini berbentuk apa?" tanya Siauw Hui Ceh sambil tertawa.
Pek Giok Liong memperhatikan lubang kunci itu, lalu menjawab.
"Mirip kepala burung cenderawasih."
Siauw Hui Ceh manggut-manggut sambil tertawa lagi seraya berkata.
"Benar, memang mirip kepala burung cendrawasih." Siauw Hui Ceh melanjutkan." Kakak Liong, orang tua pincang itu sangat teliti dan berhati-hati. Semua ini pasti sudah diaturnya, bahkan juga dalam perhitungannya."
"Adik Hui!" Hati Pek Giok Liong tergerak. "Apakah dia telah menyerahkan kunci padamu?"
Siauw Hui Ceh tersenyum.
"Sebulan setelah engkau pergi, dia menghadiahkan padaku sebuah tusuk konde burung cenderawasih. Katanya tusuk konde itu tidak berharga, tapi justru menyangkut suatu urusan yang amat penting. Maka dia menyuruhku agar baik-baik menyimpannya. Dia pun berpesan padaku, jangan memberitahukan pada orang lain, termasuk ayahku sendiri."
Seketika juga wajah Pek Giok Liong berseri. "Kalau begitu, tusuk konde itu pasti kunci kotak besi ini." ujarnya gembira.
Siauw Hui Ceh manggut-manggut, kemudian mengeluarkan tusuk konde itu dari dalam bajunya dan dimasukkannya ke dalam lubang kunci kotak besi itu.
Krak! Kotak besi itu terbuka.
Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh melongo ketika memandang ke dalam kotak besi, karena di dalam kotak besi itu cuma terdapat sebuah kunci.
Kunci apa itu dan apa gunanya? Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh tidak habis berpikir. Namun mereka tahu bahwa kunci itu pasti amat penting. Kalau tidak, bagaimana mungkin orang tua pincang itu menyimpannya di dalam kotak besi tersebut?
Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh saling memandang, kemudian Pek Giok Liong menjulurkan tangannya mengambil kunci tersebut. Sungguh di luar dugaan, ternyata di bawah kunci itu terdapat selembar kertas yang merupakan sebuah lukisan pemandangan. Di sisi lukisan itu terdapat beberapa baris tulisan.
Giok Liong, akhirnya engkau kembali juga! Apakah, engkau sudah ke Pulau Pelangi itu? Apakah engkau sudah belajar ilmu silat tingkat tinggi? Syukur kalau sudah, kalau belum, engkau jangan putus asa.
Kecurigaanmu memang tidak salah. Aku dibunuh orang, mayatku dimasukkan ke dalam peti mati. Akan tetapi, sesungguhnya aku belum mati, cuma terkena racun. Aku telah menduga akan terjadi itu, maka aku pun sudah punya rencana.
Kunci yang di dalam kotak besi, kegunaannya untuk membuka sebuah goa yang terdapat dalam lukisan ini. Di dalam goa itu tersimpan suatu barang yang diluar dugaanmu dan suatu rahasia yang amat penting.
Baiklah. Engkau tidak perlu mencariku, kelak kita pasti bertemu.
Setelah membaca surat itu, Pek Giok Liong tampak termangu. Ia tidak habis berpikir, kenapa orang tua pincang itu harus berlaku begitu misterius, meninggalkan suatu teka-teki padanya, dan masih harus diselidiki.
"Kakak Liong, bagaimana bunyi tulisan itu?" tanya Siauw Hui Ceh, sebab ia melihat Pek Giok Liong diam saja.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menyerahkan lukisan itu. "Bacalah sendiri, teka-teki bertambah banyak."
Setelah memberikan lukisan itu pada Siauw Hui Ceh, Pek Giok Liong pun menyimpan kunci tersebut ke dalam bajunya. Kemudian ia membawa kotak besi itu, dan melayang turun ke dalam peti mati. Ditaruhnya kembali kotak besi itu ke bawah tumpukan kertas sembahyang lalu melompat ke atas.
Pek Giok Liong berdiri di pinggir lubang kuburan. Ia mengerahkan tenaga dalamnya dan sepasang tangannya diarahkannya pada tutup peti mati yang ada di sisi peti mati itu.
"Naik!" teriak Pek Giok Liong.
Tutupan peti mati itu terangkat naik, lalu menutup peti mati tersebut.
"Harap kalian urug kembali seperti semula!" ujar Pek Giok Liong pada keempat orang tua.
"Ya," sahut keempat orang tua itu serentak sambil menjura.
*
* *
Di ruang belakang vihara Si Hui, duduk berhadapan Pek Giok Liong dan Se Pit Han. Sepasang pengawal Giok Cing Giok Liong dan Se Khi berdiri disamping mereka dengan sikap hormat.
"Adik Liong!" Se Pit Han menatapnya. "Bagaimana setelah membongkar kuburan dan membuka peti mati?"
"Memperoleh sebuah lukisan dan sebuah kunci." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Oh?" Se Pit Han tercengang.
"Engkau akan mengerti setelah melihat lukisan ini." Pek Giok Liong memperlihatkan lukisan itu pada Se Pit Han.
Se Pit Han memandang lukisan itu dengan penuh perhatian, kemudian ujarnya dengan suara rendah.
"Rupanya orang tua pincang itu bersembunyi di suatu tempat rahasia untuk mengobati dirinya yang terkena racun itu."
"Benar." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Aku pun berpikir begitu."
"Adik Liong." Se Pit Han menatapnya sambil tersenyum. "Bagaimana rencanamu membereskan masalah-masalah itu? Harus membereskan yang mana dulu?"
Pek Giok Liong tidak segera menjawab. Ia tampak berpikir keras, sesaat kemudian baru menjawab.
"Pertama, aku harus mencari Cit Ciat Sin Kun untuk membalas dendam guruku. Setelah itu, aku akan menyelidiki jejak Pat Hiong."
Se Pit Han manggut-manggut setuju.
"Adik Liong, urusan itu memang sangat penting, namun masih ada urusan lain yang tak kalah penting."
"Oh? Urusan apa itu?"
"Membangun kembali tempat tinggalmu."
"Tempat tinggalku yang lama itu?"
"Betul."
"Itu memang penting sekali."
"Justru karena penting sekali, maka tidak boleh membuang waktu lagi, harus segera melaksanakannya," ujar Se Pit Han. "Adik Liong, aku tidak pernah datang di tempatmu itu, ada berapa luas tanah itu?"
"Hampir lima hektar." Pek Giok Liong memberitahukan. "Rumah hampir dua puluh buah. Kenapa engkau menanyakan itu?"
Se Pit Han tersenyum.
"Adik Liong, rumah harus ditambah seratusan buah lagi."
"Apa?" Pek Giok Liong tertegun. "Kok harus ditambah begitu banyak?"
"Adik Liong!" Se Pit Han tersenyum lembut. "Tentunya engkau tahu apa kedudukanmu sekarang, kan?"
Pek Giok Liong tercengang. "Apakah ada kaitannya membangun rumah lama dengan kedudukanku?"
"Engkau sebagai ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan, maka harus memperhatikan tempat tinggal para anak buah."
"Jadi ….." Pek Giok Liong menatapnya dalam-dalam. "Kelak tidak usah kembali ke Lam Hai lagi?"
"Itu urusan kelak, sekarang ini bagaimana?" Se Pit Han tersenyum lagi. "Kapan kembali ke Lam Hai, itu tidak bisa dipastikan. Sementara ini apakah engkau akan membiarkan para anak buah terus tinggal di vihara ini? Bukankah akan mengganggu ketua vihara dan para hweshio?"
"Benar katamu, Kak Han." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Tapi ada kesulitan untuk membangun rumah lama itu."
"Kesulitan apa?"
"Biayanya sangat besar. Bukankah itu merupakan kesulitan?"
"Adik Liong, tentang itu engkau tidak perlu cemas! Pulau Pelangi masih mampu membantu dalam hal itu. Lagi pula ….." lanjut Se Pit Han serius. "Sebelum meninggalkan pulau itu, aku telah memikirkan hal tersebut dan sudah siap."
"Oh?" Pek Giok Liong girang bukan main. "Kak Han, engkau sungguh baik terhadapku."
"Adik Liong, kenapa harus berkata begitu?" Se Pit Han tersenyum manis. "Jangankan kita masih punya hubungan famili, dengan kedudukanmu sekarang, Cai Hong To pun boleh dikatakan milikmu."
Pek Giok Liong tidak menyahut, cuma tersenyum-senyum dengan mata berbinar-binar.
Menyaksikan itu, hati Se Pit Han pun berbunga-bunga dan tersenyum lembut penuh mengandung cinta kasih yang amat dalam, sehingga membuat wajahnya tampak kemerah-merahan.
Itu membuat Pek Giok Liong tertegun dan membatin. Sungguh tampan Kakak Han …..
"Adik Liong, apakah engkau tidak memikirkan lukisan dan kunci pembuka goa itu?" tanya Se Pit Han mendadak, itu agar menghilangkan rasa jengahnya.
"Urusan itu tidak begitu penting, nanti saja akan kupikirkan."
"Bukankah urusan itu sangat penting?"
"Oh?" Pek Giok Liong tertegun. "Bagaimana menurut pandangan Kak Han?"
"Orang tua pincang itu meninggalkan kedua macam barang tersebut tentunya berkaitan dengan urusan yang amat penting. Oleh karena itu, aku ingin menyuruh seseorang untuk menyelidiki tempat yang ada di dalam lukisan itu."
"Kalau begitu, urusan itu kuserahkan padamu." Pek Giok Liong segera menyerahkan lukisan berikut kunci itu pada Se Pit Han.
Akan tetapi, Se Pit Han cuma menerima lukisan itu, tidak menerima kunci tersebut.
"Engkau simpan kunci ini, setelah mengetahui tempat dalam lukisan ini, barulah kita bicarakan kembali," ujar Se Pit Han sambil tersenyum.
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
Se Pit Han memberikan lukisan itu pada Giok Cing, lalu berpesan padanya.
"Serahkan lukisan ini pada Bu Sian Seng, suruh dia melukis lima buah lagi!"
"Ya." Giok Cing menerima lukisan itu lalu melangkah pergi.
"Kak Han!" Pek Giok Liong tertawa. "Maksudmu menyuruh beberapa orang menyelidiki tempat yang ada dalam lukisan itu?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa cepat menyelesaikan urusan itu?"
"Engkau memang pintar!" Pek Giok Liong menatapnya. "Ohya, bagaimana keadaan cung cu Siauw Thian Lin? Sudahkah engkau menyuruh orang membuat obat?" tanyanya.
"Belum." Se Pit Han menggeleng kepala.
"Kok belum?" Pek Giok Liong tercengang. "Apakah resep dariku itu terdapat kekeliruan?"
"Resep obatmu memang tepat untuk mengobati penyakitnya, tapi ….."
"Kenapa?"
"Sudah lama cung cu Siauw Thian Lin terkena racun. Meskipun obatmu itu dapat memunahkan racun tersebut, namun harus memakan waktu tiga bulanan. Itu terlampau lama."
"Itu apa boleh buat." Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku justru punya jalan lain yang lebih praktis dan jitu," ujar Se Pit Han sambil tersenyum.
"Oh?" Pek Giok Liong girang sekali. "Bagaimana jalan itu?"
"Aku sudah menyuruhnya menelan sebutir Kim tan (pil emas)! Se Pit Han memberitahukan.
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut dengan wajah berseri.
"Setelah cung cu menelan pil itu, aku pun menyuruh Si Bun Kauw dan Liok Tay Coan menyalurkan tenaga dalam masing-masing pada badan cung cu. Itu agar pil tersebut cepat lumer. Mungkin besok sore cung cu akan pulih kesehatannya."
"Bagus." Pek Giok Liong tersenyum, lalu mengarah pada Se Khi. "Saudara tua, engkau sudah berhasil mencari paman pengemis?"
"Belum," jawab Se Khi hormat. "Aku sudah bertanya pada para murid Kay Pang, namun mereka semua bilang tidak tahu jejaknya."
"Itu sungguh mengherankan." Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Tetua partai pengemis itu hilang ke mana?"
"Adik Liong!" Sela Se Pit Han. "Engkau tidak usah khawatir, Paman pengemis, sangat cerdik, tentunya tidak akan terjadi sesuatu yang di luar dugaan atas dirinya."
"Aku justru mengkhawatirkannya." Pek Giok Liong menarik nafas. "Karena paman pengemis itu sering ugal-ugalan, sehingga terjebak oleh Siang Hiong (Sepasang Orang Buas) itu."
"Itu tidak mungkin," ujar Se Pit Han. "Sudah puluhan tahun orang tua itu berkecimpung dalam rimba persilatan, maka tidak gampang terjebak oleh siapa pun. Engkau berlega hati saja, orang tua itu tidak akan terjadi apa-apa."
"Mudah-mudahan begitu!" Pek Giok Liong menarik nafas dalam-dalam.
"Se Khi!" Se Pit Han mengarah pada orang tua itu. "Engkau pernah ke Ciok Lau San Cung?"
"Budak pernah ke sana sekali!"
"Kalau begitu, mengenai pembangunan Ciok Lau San Cung kuserahkan padamu."
"Budak terima perintah," sahut Se Khi dengan hormat.
*
* *
Bagian ke 42: Mulai Bertindak
Pada suatu malam, ketika Pek Giok Liong sedang bercakap-cakap dengan Se Pit Han, di bangunan kecil di halaman belakang ekspedisi Yang Wie, tampak beberapa orang sedang merundingkan sesuatu.
Siapa mereka? Ternyata Cit Ciat Sin Kun dan Kim Gin Siang Tie.
Ternyata mereka itu berunding karena kemunculan Pek Giok Liong yang telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, bahkan menolong cung cu Siauw Thian Lin, Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang. Itu merupakan kejadian yang sangat mengejutkan.
Ditambah lagi Se Pit Han memimpin belasan orang menuju utara, maka Cit Ciat Sin Kun tahu keadaan sudah mulai gawat.
Oleh karena itu, Cit Ciat Sin Kun segera berunding dengan Kim Gin Siang Tie, sekaligus memerintahkan mereka bertindak.
Dengan adanya perintah itu, mulai bertindak. Tindakan apa yang akan mereka lakukan?
Tiga hari kemudian, pada suatu malam, Tu Ci Yen, si raja perak memimpin dua pelindung pribadi, enam pengawal khusus, tiga pemimpin aula dan belasan orang yang berkepandaian tinggi menuju ke Hwa San.
Ketua partai Hwa San, Bwee Hoa Sin Kiam (Pedang Sakti Bunga Bwee) Hua Hun, sama sekali tidak tahu maksud tujuan kunjungan orang-orang yang memakai kain penutup muka itu.
Namun kunjungan Tu Ci Yen dengan cara bu lim. Maka Bwe Hoa Sin Kiam harus menyambut kedatangan mereka sebagai mana mestinya. Mereka dipersilahkan duduk di ruang tamu.
Bwe Hoa Sim Kiam dan Tu Ci Yen duduk berhadapan, sedangkan dua pengawal pribadi, enam pengawal khusus, tiga pemimpin aula dan sepuluh orang yang berkepandaian tinggi itu berdiri di belakang Tu Ci Yen.
Di belakang Bwe Hoa Sin Kiam berdiri Hwa San Ngo Kiam (Lima Pedang Hwa San), Siang Hiap (Sepasang pendekar) dan Kiu Eng (Empat pemuda gagah).
Setelah meneguk teh, Bwe Hoa Sin Kiam, lalu menjura pada Tu Ci Yen seraya bertanya. "Bolehkah aku tahu nama Anda?"
"Aku Kim Tie, bawahan Bu Lim Cih Seng Tay Tie," sahut Tu Ci Yen dingin.
Bwe Hoa Sin Kiam mengerutkan kening, is menatap Tu Ci Yen dan ujarnya dengan suara dalam.
"Alangkah baiknya Anda menyebut nama saja. Aku ketua Partai Hwa San, tentunya berhak mengetahui nama Anda."
"Untuk sementara ini, engkau belum harus mengetahui namaku," sahut Tu Ci Yen dingin.
"Kenapa?"
"Nanti engkau akan mengetahuinya."
"Kalau begitu, apa tujuan Anda berkunjung ke mari?"
"Khususnya mengunjungi ketua Hwa San."
"Aku adalah ….."
Tu Ci Yen mengibaskan tangan agar Bwe Hoa Sim Kiam tidak melanjutkan ucapannya.
"Ucapanku belum selesai," ujarnya kemudian.
"Silakan lanjutkan, aku siap mendengarnya!"
Tu Ci Yen tertawa ringan, kemudian ujarnya serius.
"Aku berkunjung ke mari melaksanakan perintah."
"Oh?" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertegun. "Anda melaksanakan perintah siapa?"
"Atas perintah ayah angkatku, Cih Seng Tay Tie untuk mengajak Ketua Hwa San pergi menemui beliau."
Wajah Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tampak berubah.
"Siapa ayah angkatmu?" tanyanya heran.
"Cih Seng Tay Tie."
"Aku tanya nama dan julukannya."
"Engkau ikut aku pergi menemuinya, tentunya akan tahu siapa ayah angkatku itu."
"Berdasarkan apa ayahmu mengharuskan aku menemuinya?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun bernada tidak senang.
"Engkau boleh bertanya langsung pada ayah angkatku," sahut Tu Ci Yen sambil tertawa ringan.
"Itu ….." Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun mengerutkan kening.
"Ketua Hwa San Pay dengan julukan Bwe Hoa Sin Kiam telah menggetarkan bu lim, bagaimana mungkin tidak berani ikut aku pergi menemui ayah angkatku? Tapi ….."
"Kenapa? Kok tidak kau lanjutkan ucapanmu?"
"Berani atau tidak, itu urusanmu. Ketua Hwa San, aku tidak melanjutkan, engkau pun pasti mengerti."
Bwe Hoa Sin Kiam tertawa dingin. "Sungguh tajam mulutmu!"
"Terimakasih atas pujianmu!" Tu Ci Yen tertawa ringan.
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun berpikir sesaat, lalu tanyanya.
"Ayah angkatmu berada di mana sekarang?"
"Berada di tempat tinggalnya."
"Di mana tempat tinggalnya?"
"Setelah berada di sana, engkau pasti tahu. Kenapa harus tanya sekarang?"
Kening Bwe Hoa Sin Kiam berkerut-kerut, namun masih tampak tenang sekali.
"Apakah masih ada maksud lain dengan kunjunganmu ini?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam sambil menatapnya tajam.
"Ada atau tidak harus bagaimana?" Tu Ci Yen balik bertanya dengan dingin.
"Kalau ada, beritahukanlah cepat! Tidak ada, engkau dan lainnya harus segera meninggalkan tempat ini!"
"Oh?" Tu Ci Yen tertawa dingin. "Engkau mau mengusir kami?"
"Ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam tertawa gelak. "Kira-kira begitulah!"
"Hmm!" dengus Tu Ci Yen dingin. "Kalau begitu, kita tidak perlu melanjutkan pembicaraan lagi?"
"Betul!"
"Baiklah!" Tu Ci Yen manggut-manggut! "Sekarang aku justru ingin mengajukan satu pertanyaan!"
"Pertanyaan apa?"
"Bersedia atau tidakkah engkau ikut aku pergi menemui ayah angkatku?"
"Aku tidak punya waktu senggang untuk menemui ayah angkatmu!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam dan berseru lima pedang yang berdiri di belakangnya, "Antar tamu!"
Meskipun Bwe Hoa Sin Kiam sudah berseru begitu, Tu Ci Yen masih duduk di tempat sambil tertawa dingin.
"Engkau tidak dengar?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam.
"Aku sudah dengar."
"Kalau sudah dengar, kenapa masih duduk di tempat?"
"Karena aku sedang mempertimbangkan satu hal."
Bwe Hoa Sin Kiam menatapnya. "Itu urusanmu. Setelah meninggalkan tempat ini, engkau masih punya waktu untuk mempertimbangkannya!"
Tu Ci Yen menggelengkan kepala, kemudian ujarnya dingin.
"Aku tidak bisa mempertimbangkannya setelah meninggalkan tempat ini."
"Kenapa?"
"Sebab hal tersebut menyangkut partai kalian, maka aku harus mempertimbangkannya di sini."
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tersentak, karena dalam ucapan itu mengandung suatu maksud tertentu.
"Hal yang menyangkut partai kami?"
"Kalau tidak, tentunya aku tidak akan mempertimbangkannya di sini."
"Hal apa itu?"
Mendadak sepasang mata Tu Ci Yen menyorot tajam, dan terus menerus menatap ketua Hwa San itu.
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun terkejut, sebab sepasang mata Tu Ci Yen sangat tajam, berarti memiliki tenaga dalam yang tinggi.
"Engkau ingin tahu hal itu?" tanya Tu Ci Yen dingin.
"Karena hal itu menyangkut partai Hwa San, maka aku ingin mengetahuinya."
Tu Ci Yen tertawa gelak, lalu ujarnya lantang.
"Untuk terakhir kalinya aku bertanya lagi. Bersediakah engkau ikut aku pergi menemui ayah angkatku?"
"Apa yang telah kukatakan tadi, tidak akan berubah."
"Engkau tidak menyesal?"
"Menyesal?" Bwe Hoa Sin Kiam tertawa gelak. "Aku tidak kenal menyesal!"
"He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh-kekeh. "Orang-orang bu lim mengatakan, bahwa ketua partai Hwa San, yakni Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun sangat keras kepala, itu memang tidak salah!"
"Orang-orang bu lim yang mengatakan begitu, tentunya tidak akan salah." Ketua Hwa San itu tertawa hambar!
"Akan tetapi, kini aku ingin menasihatimu!" ujar Tu Ci Yen dingin.
"Oh? Terimakasih!" ucap Bwe Hoa Sin Kiam dan menambahkan, "Segala omong kosong cukup sampai di sini saja! Lebih baik membicarakan hal yang sebenarnya!"
"Betul." Tu Ci Yen mengangguk. "Kini memang sudah saatnya untuk membicarakan hal yang sebenarnya!"
"Silakan bicara!"
"Sebelum aku ke mari, ayah angkatku telah berpesan, kalau ketua Hwa San tidak mau menurut, maka aku boleh bertindak!"
"Bertindak bagaimana?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam dingin.
"Akan terjadi banjir darah di Hwa San ini." sahut Tu Ci Yen sepatah demi sepatah.
Begitu ucapan ini dicetuskan, Bwe Hoa Sin Kiam, Siang Hiap, Kiu Eng dan Ngo Kiam. Mereka memandang Tu Ci Yen dengan air muka berubah dan penuh kegusaran.
"Bagaimana?" tanya Tu Ci Yen sambil tertawa. "Engkau terkejut kan?"
"Ha ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertawa gelak. "Apa yang kau katakan barusan memang mengejutkan, tapi ….. apakah kalian mampu bertindak begitu?"
"Kalau tidak mampu, aku pun tidak akan ke mari. Oleh karena itu, aku pun tidak akan mempertimbangkannya tadi di sini!"
"Jadi yang kau pertimbangkan tadi tentang ini?"
"Betul!" Tu Ci Yen manggut-manggut. "Aku mempertimbangkan, perlukah banjir darah di sini?"
"Engkau sudah selesai mempertimbangkannya?"
"Sudah!"
"Lalu apa keputusanmu?"
"Hanya ada dua jalan!"
"Beritahukan!"
"Pertama engkau harus ikut aku pergi menemui ayah angkatku itu!" ujar Tu Ci Yen melanjutkan. "Kalau tidak ….."
"Akan banjir darah di sini kan?" sambung Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Apa boleh buat!" Tu Ci Yen tertawa. "Aku tidak mau dicela oleh ayah angkatku, dan tidak mau ditertawakan ketidak mampuanku memberesi urusan ini!"
"Sudahlah! Jangan banyak omong kosong di sini!" tandas Bwe Hoa Sin Kiam. "Sebaiknya kalian cepat meninggalkan tempat ini, kalau tidak ….."
"Kalau tidak ….." sambung Tu Ci Yen sambil tertawa hambar. "Tentunya engkau akan menurunkan perintah untuk mengusir kami, kan?"
"Bagus engkau mengerti!"
"Engkau sudah menghitung ada berapa banyak orang yang berdiri di belakangku ini? Kalau belum, engkau boleh hitung sekarang."
"Aku telah hitung dari tadi, termasuk engkau berjumlah dua puluh dua orang, tidak kurang dan tidak lebih."
"Apakah kalian turun tangan mengusir kami?" Tu Ci Yen tertawa. "Kalian cuma berjumlah enam betas orang."
"Meskipun cuma enam belas orang, kami mampu mengusir kalian!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
Mata Tu Ci Yen langsung menyorot tajam. "Apakah engkau tidak percaya akan kekuatan kami?"
"Tidak salah, aku memang tidak percaya!"
"Kalau begitu, engkau ingin turun tangan mencobanya?"
"Aku memang ingin turun tangan mencobanya, tapi saat ini aku justru masih mempertimbangkannya!"
"Tidak perlu dipertimbangkan lagi! Pokoknya kami tidak akan meninggalkan tempat ini!"
"Kalau begitu, engkau menginginkan aku menurunkan perintah untuk usir kalian?"
"Itu terserah engkau!"
"Tahukah engkau bahwa aku sedang mempertimbangkan apa?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Silakan beritahukan!"
"Aku sedang mempertimbangkan, bagaimana agar ruang tamu ini tidak ternoda darah!"
Tu Ci Yen tertawa gelak. "Menurut aku, engkau tidak perlu mempertimhangkan itu lagi!"
"Mengapa?"
"Karena yang jelas, yang akan tercecer darah para murid Hwa San!"
"Engkau yakin bukan darah orang-orangmu?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam dengan wajah berubah.
"Kalau kukatakan, engkau pun tidak akan percaya! Setelah bertarung, engkau akan mengetahuinya!"
Memang benar apa yang dikatakan Tu Ci Yen, namun bagaimana mungkin Bwe Hoa Sin Kiam akan mempercayainya. Lagi pula Tu Ci Yen dan orang-orangnya, semua memakai kain penutup muka, maka Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tidak kenal siapa mereka.
Kalau ketua partai Hwa San itu tahu, pasti terkejut dan betul-betul akan mempertimbangkannya. Akan tetapi, ia justru tidak tahu.
"Engkau yakin bahwa kepandaian orang-orangmu lebih tinggi dari pada murid-murid Hwa San ini?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun dingin.
"Kalau aku tidak yakin, bagaimana mungkin kami berani ke mari?" sahut Tu Ci Yen, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. "He he he!"
"Engkau tahu siapa yang berdiri di belakangku?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Meskipun aku tidak kenal mereka aku tahu siapa mereka, yang tidak lain lima pedang, sepasang pendekar dan empat pemuda gagah. Mereka merupakan tenaga inti partai Hwa San!"
"Betul!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertawa. "Bagus engkau tahu!"
"Jadi kau kira orang-orangku tidak mampu melawan kalian?" Tu Ci Yen tertawa hambar.
"Tidak perlu bertanya padaku, engkau tahu dalam hati!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun dingin.
"Kalau begitu, engkau betul-betul ingin bertarung dengan kami?" tanya Tu Ci Yen dingin.
"Itu kalau terpaksa!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
Partai Hwa San termasuk salah satu partai besar dan terkemuka dalam bu lim.
Tentunya ketua Hwa san itu memiliki kepandaian tinggi, begitu pula Lima Pedang Sepasang Pendekar dan Empat Pemuda Gagah. Maka ketika ketua Hwa San, yaitu Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun menyahut begitu, suasana di ruang tamu itu pun mulai tegang mencekam, suatu pertarungan dahsyat pasti tak terelakan lagi.
*
* *
Bagian ke 43: Muncul Penolong
Sementara Tu Ci Yen menatap Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun dengan sorot mata tajam.
"Apakah engkau sama sekali tidak akan menyesal?"
"Sama sekali tidak!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tegas.
"Baiklah!" Tu Ci Yen manggut-manggut, kemudian bentaknya dengan suara ringan. "Pelindung pribadi kanan dengar perintah!"
Seketika juga sosok bayangan merah berkelebatan ke hadapan Tu Ci Yen. Ia adalah Thian Suan Sin Kun (Malaikat Pemutar Langit).
"Hamba siap menerima perintah," ucapnya sambil memberi hormat pada Tu Ci Yen.
"Sin Kun harus memperlihatkan sejurus dua jurus pada ketua Hwa San, itu agar dia tahu!" ujar Tu Ci Yen.
"Ya," sahut Thian Suan Sin Kun.
Setelah itu, ia membalikan badannya, lalu mendorongkan telapak tangannya ke arah dinding.
"Ketua Hwa San!" Thian Suan Sin Kun tertawa. "Aku telah memperlihatkan sejurus pukulan!"
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun segera menoleh ke arah dinding itu. Betapa terkejut hatinya, karena pada dinding itu tampak sebuah bekas telapak tangan warna hitam yang amat dalam.
"Hek Sin Ciang (Pukulan telapak hitam)!" serunya dengan air muka berubah.
"Tidak salah!" Tu Ci Yen tertawa. "Itu memang Hek Sin Ciang? Cukup tajam matamu, bisa mengenali pukulan itu!"
"Hm!" dengus Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Jangan mendengus!" ejek Tu Ci Yen dan melanjutkan. "Ketua Hwa San! Engkau boleh berdiri di sini memperlihatkan pukulanmu! Kalau engkau mampu membuat dinding itu berbekas telapak tanganmu, aku pasti segera meninggalkan tempat ini dan selanjutnya tidak akan ke mari lagi!"
Dapatkah ketua Hwa San melakukannya? Tentunya tidak, sebab ia belum memiliki tenaga dalam yang begitu tinggi.
Tu Ci Yen memang licik. Ia tahu akan hal itu, maka sengaja berkata begitu pada ketua Hwa San itu.
"Aku memang tidak mampu melakukan itu, karena tenaga dalamku belum begitu tinggi! Tapi aku tidak akan ….."
"Tidak akan menyerah?" sambung Tu Ci Yen dingin. "Seharusnya engkau tahu diri!"
"Aku harus tahu diri? Ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertawa gelak. "Selagi aku masih bernafas, aku pantang menyerah!"
"Bagus!" Tu Ci Yen manggut-manggut. "Engkau cukup gagah, namun saying ….."
"Kenapa sayang?"
"Aku sama sekali tidak berniat melukai siapa pun, tapi engkau begitu keras kepala!" Tu Ci Yen menarik nafas panjang. "Maka lebih baik aku menangkapmu dulu, baru membicarakan yang lain!"
Usai berkata begitu, Tu Ci Yen tampak agak bermalas-malasan bangkit berdiri. Kelihatannya ia ingin turun tangan terhadap ketua partai Hwa San itu.
Mendadak berkelebat sosok bayangan masuk ke dalam ruangan. Bayangan itu ternyata seorang bertopi rumput lebar yang menutupi sebagian mukanya. Dia adalah murid bungsu kesayangan ketua partai Hwa San bernama Sih Ma Bun Cing.
Setelah memasuki ruang tamu itu, dia pun segera memberi hormat pada Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San itu. Setelah itu, dia segera menghampiri Tu Ci Yen yang telah bangkit berdiri.
Tu Ci Yen tidak mengenal orang itu, namun ketika melihat dia mendekatinya, Tu Ci Yen tersentak sambil membentak.
"Berhenti!"
Sungguh mengherankan, bentakan itu tidak membuat Sih Ma Bun Cing berhenti, bahkan terus mengayunkan kakinya ke arah Tu Ci Yen, tidak memperlihatkan rasa takut.
Yang merasa takut justru Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San itu. Karena ia telah menyaksikan pukulan telapak Hitam tadi. Ia tahu jelas keadaan saat ini. Kalau kurang berhati-hati, mungkin selanjutnya nama partai Hwa San akan terhapus dari rimba persilatan. Orang yang menyebut dirinya Gin Tie merupakan pemimpin rombongan itu, tentunya memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kini murid bungsu kesayangannya mendekati Gin Tie. Bukankah murid itu akan cari mati?
"Nak Cing!" bentaknya. "Mau apa engkau? Cepat kembali!"
Akan tetapi, entah kenapa Sih Ma Bun Cing hari ini, ia sama sekali tidak menggubris bentakan gurunya dan terus melangkah mendekati Tu Ci Yen.
Ketika Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun membentak, Sih Ma Bun Cing pun telah berada dalam jarak lima meteran dari Tu Ci Yen.
Setelah mengetahui orang itu murid Hwa San, rasa kejut dalam hati Tu Ci Yen pun langsung sirna.
Pada saat Sih Ma Bun Cing berada dalam jarak itu, sepasang mata Tu Ci Yen pun menyorot dingin ke arahnya.
"Setan kecil! Engkau mau cari mati ya?" bentak Tu Ci Yen.
Di saat membentak, Tu Ci Yen pun mengerahkan tenaga dalamnya menyerang Sih Ma Bun Cing.
Ketika melihat serangan itu, Bwe Hoa Sin Kiam terkejut bukan main dan langsung berteriak. "Nak Hui! Cepat mundur!"
Usai berteriak, ketua Hwa San itu pun tampak siap melompat ke arah murid bungsunya untuk menolongnya.
Justru pada saat itu, tiba-tiba Sih Ma Bun Cing membalikkan telapak tangannya ke arah ketua Hwa San itu. Seketika juga ketua Hwa San merasa ada tenaga yang amat lunak menahan dirinya, agar tidak melompat. Itu membuatnya terheran-heran dan membatin. Apa gerangan ini …..?
Pada saat ia membatin, urusan aneh pun terjadi. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin ia tidak akan percaya bahwa itu merupakan hal yang nyata.
Ternyata ketika Tu Ci Yen menyerangnya dengan tenaga dalam, Sih Ma Bun Cing sama sekali tidak terpental, sebaliknya malah terus melangkah maju, dan sekonyong-konyong tangannya bergerak secepat kilat ke arah muka Tu Ci Yen yang ditutup dengan kain.
Gerakan tangannya tampak begitu sederhana, tapi sesungguhnya itu adalah Ceng In Ci (Jari Seribu Bayangan).
"Hah?" Tu Ci Yen terkejut bukan main, namun tidak gugup dan segera menggerakkan sepasang kakinya menghindari serangan Sih Ma Bun Cing.
Gerakan itu bukan sembarangan gerak, ternyata jurus Ti Cuan Pou (Bumi berputar) yang berhasil mengelak Jari Seribu Bayangan Sih Ma Bun Cing itu.
Memang sungguh di luar dugaan Sih Ma Bun Cing. Ia pun kagum akan kepandaian Tu Ci Yen. Sebaliknya Tu Ci Yen yang terperanjat bukan main, sebab ia tidak menyangka murid Hwa San itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
"Bocah!" bentak Tu Ci Yen. "Siapa kau?"
"Aku adalah aku, kau anggap siapapun boleh!" sahut Sih Ma Bun Cing dingin.
Suara Sih Ma Bun Cing membuat Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tercengang, karena suara itu bukan suara murid bungsunya. Namun justru memakai baju Sih Ma Bun Cing. Itu membuatnya terbengang-bengong.
"Siapa pemuda itu?" tanyanya dalam hati. "Kenapa dia memakai baju anak Cing dan menyamar dirinya?"
Walau terbengang-bengong, ketua Hwa San dapat berlega hati, karena kemunculan pemuda itu tidak berniat jahat terhadap partai Hwa San.
Sebetulnya ia ingin membuka mulut untul bertanya, namun mendadak hatinya bergerak sehingga merasa bukan waktunya untuk bertanya tentang itu, lebih baik berdiam diri menyaksikan perkembangan selanjutnya.
Oleh karena itu, ia pun mulai memandang pemuda itu dengan penuh perhatian…..
Siapa yang menyamar sebagai murid Hwa San? Tidak lain Pek Giok Liong, generasi kelima pemegang panji Jit Goat Seng Sim Ki atau dipanggil sebagai ketua panji.
"Bocah!" Tu Ci Yen tertawa dingin. "Engkau tidak punya marga dan nama?"
"Tentu ada!" sahut Pek Giok Liong dan ikut tertawa dingin. "Hanya saja aku tidak mau memberitahukan padamu!"
"Engkau tidak berani sebut namamu?"
"Omong kosong, siapa tidak berani?"
"Kalau berani, sebutkanlah marga dan namamu!"
"Engkau belum berderajat tahu namaku!"
"Kalau begitu, siapa yang berderajat tahu namamu?"
"Hanya ada dua orang!"
"Dua orang? Siapa mereka itu?"
"Yang satu adalah Cit Ciat Sian Kun, yang satu lagi Tu Ci Yen!"
Tergetar hati Tu Ci Yen, namun mendadak suaranya berubah lunak.
"Mengapa harus mereka berdua yang tahu namamu?" tanyanya.
"Engkau tidak perlu menanyakan itu!" sahut Pek Giok Liong dingin. "Sekarang engkau mau bilang apa lagi?"
Pertanyaan Pek Giok Liong itu tiada ujung pangkalnya, maka membuat Tu Ci Yen menjadi bingung.
"Memangnya harus bilang apa?"
"Engkau ingin bertarung denganku atau mau menurut padaku?"
"Harus bagaimana menurut padamu?"
"Engkau harus membawa orang-orangmu pergi dari Hwa San ini?"
"Oh?" Tu Ci Yen tertawa gelak. "Ucapanmu itu seperti anak gadis sedang bernyanyi, namun aku justru tidak mau mendengarnya!"
"Kalau begitu, engkau ingin bertarung denganku?" tanya Pek Giok Liong dingin.
"Tidak salah!" sahut Tu Ci Yen. "Aku sudah mengambil keputusan untuk mencuci Hwa San ini dengan darah!"
"Terlampau pagi engkau mengatakan demikian!" Pek Giok Liong tertawa hambar dan melanjutkan, "Ayoh, mari kita bertarung di luar!"
Pek Giok Liong melangkah ke luar. Tu Ci Yen tertawa dingin sambil mengikuti Pek Giok Liong dari belakang, menyusul sepasang pengawal pribadi dan lainnya.
Di luar terdapat sebidang tanah kosong yang sangat luas, Pek Giok Liong berdiri tegar di situ. Tu Ci Yen berdiri jarak dua meteran di hadapannya, dan sepasang pengawal pribadi berdiri di belakangnya.
Sedangkan ketua Hwa San, Ngo Kiam, Siang Hiap dan Kiu Eng yang sudah ikut ke luar itu berdiri agak jauh di belakang Pek Giok Liong.
Sementara Pek Giok Liong dan Tu Ci Yen saling memandang dengan dingin, berselang sesaat, Pek Giok Liong berkata.
"Engkau sudah boleh turun tangan!"
Tu Ci Yen tertawa. "Bocah! Engkau perlu meninggalkan pesan dulu?" ujarnya.
"Tidak perlu banyak bicara!" tandas Pek Giok Liong. "Lebih baik engkau segera turun tangan!"
"Apakah engkau ingin buru-buru mati? Baiklah, aku akan mengantarmu!" ujar Tu Ci Yen, lalu memberi perintah pada salah seorang pelindung pribadinya. "Pelindung pribadi kiri, cepat turun tangan habiskan dia."
"Baik," Pelindung pribadi kiri, Ti Kie Sin Kun (Malaikat Penggetar Bumi) langsung menghampiri Pek Giok Liong.
"Berhenti!" bentak Pek Giok Liong.
"Engkau mau bicara apa?" tanya Ti Kie Sin Kun.
Pek Giok Liong tidak menghiraukan pertanyaan Ti Kie Sin Kun, cuma memandang Tu Ci Yen.
"Kenapa engkau tidak berani bertarung denganku?" tanyanya sambil menatapnya.
"Aku belum perlu turun tangan sendiri," sahut Tu Ci Yen jumawa.
"Apakah aku tidak berderajat bertarung denganmu?"
"Kenapa sudah tahu masih bertanya?"
"Benarkah aku tidak berderajat?"
"Kau kira masih ada alasan lain?"
Pek Giok Liong tertawa nyaring, kemudian ujarnya sepatah demi sepatah, "Kau kira aku tidak tahu maksud hatimu?"
Tu Ci Yen tersentak. Ia pun bertanya cepat. "Aku punya maksud apa?"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin. "Berdasarkan lwee kangmu tadi, engkau pasti sudah mengerti dalam hati, maka engkau suruh orang lain untuk mencoba kepandaianku! Begitu kan?"
"He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh-kekeh, namun terkejut bukan main, karena Pek Giok Liong dapat membaca pikirannya. "Engkau tidak perlu sok pintar! Kalau menghendaki aku turun tangan sendiri memang tidak sulit, asal ….."
"Asal mampu mengalahkan kedua pelindung pribadi itu kan?" sambung Pek Giok Liong.
"Betul! Kalau tidak, engkau sama sekali tidak berderajat bertarung dengan diriku." Usai berkata begitu, Tu Ci Yen pun terperanjat seraya bertanya, "Eh? Kok engkau tahu dua pelindung pribadi itu?"
"Bukan cuma tahu itu, bahkan aku pun tahu enam pengawal khusus!" sahut Pek Giok Liong sambil tertawa hambar.
"Bagaimana engkau bisa tahu?" Tu Ci Yen terperanjat sekali. Ia menatap Pek Giok Liong dengan tajam.
"Tentang ini, engkau tidak perlu tanya!" tandas Pek Giok Liong dan menambahkan, "Thian Suan Sin Kun dan Ti Kie Sin Kun memang merupakan orang berkepandaian tinggi dalam bu lim masa kini. Namun mereka berdua tidak akan mampu menyambut tiga jurus seranganku, maka aku menasihatimu ….."
Apa yang dicetuskan Pek Giok Liong sangat jumawa, itu membuat kedua pelindung prihadi menjadi gusar sekali. Sepasang matanya pun langsung menyorot dingin ke arah Pek Giok Liong.
"Diam, bocah!" bentak Ti Kie Sin Kun.
"Ti Kie Sin Kun!" sahut Pek Giok Liong hambar. "Tidak percayakah kau akan apa yang kukatakan barusan?"
"He he!" Ti Kie Sin Kun tertawa terkekeh. "Bocah! Betapa tinggi kepandaianmu, sehinga berani begitu jumawa dan omong besar?"
"Ti Kie Sin Kun! Aku tidak jumawa dan tidak omong besar! Nanti engkau akan mengetahuinya, maka jangan banyak bicara!"
"Oh?" Ti Kie Sin Kun tertawa dingin. "Aku tidak begitu sabar untuk menunggu! Sekarang juga aku ingin mencoba kepandaianmu!"
Ti Kie Sin Kun mulai mengangkat sebelah tangannya, kelihatannya ia sudah siap menyerang Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong mengerutkan kening, lalu membentak dengan suara dalam.
"Tunggu!"
"Engkau mau bicara apa? Bocah!" tanya Ti Kie Sin Kun.
"Ti Kie Sin Kun!" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Lebih baik engkau jangan memaksa diri untuk mencoba kepandaianku!"
"Kenapa?" tanya Ti Kie Sin Kun berang.
"Sebab engkau akan celaka!"
"Apa?" Ti Kie Sin Kun tertawa gelak. "Aku akan celaka?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Sebab aku akan memutuskan sebelah tanganmu!"
Ti Kie Sin Kun terkejut, tapi kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menuding Pek Giok Liong.
"Bocah! Kejumawaanmu memang sungguh di luar dugaan, namun aku justru tidak percaya. Sebaliknya akulah yang akan menghancurkan sebelah tanganmu!"
"Kalau begitu, engkau jangan menyalahkan aku!" ujar Pek Giok Liong lalu menyerangnya dengan tenaga dalam.
Ti Kie Sin Kun segera menangkis dengan tenaga dalam pula, dua macam tenaga dalam saling beradu, sehingga menimbulkan suara benturan yang amat dahsyat. Ti Kie Sin Kun terpental lima meteran ke belakang, sehingga terkejut bukan main. Sedangkan Pek Giok Liong sama sekali tidak bergeming dari tempat, dan cuma tertawa dingin.
"Ti Kie Sin Kun! Itu boleh dihitung satu jurus! Aku akan membiarkanmu mencoba sampai tiga jurus, namun pada jurus ketiga engkau harus berhati-hati, sebab aku menginginkan sebelah tanganmu!"
Pek Giok Liong menghampiri Ti Kie Sin Kun selangkah demi selangkah, itu membuat Tu Ci Yen, Thian Suan Sin Kun. Tiga pemimpin aula dan enam pengawal khusus langsung menjadi tegang.
Tu Ci Yen sudah tahu pihak lawan memiliki kepandaian tinggi, tapi sama sekali tidak menyangka, Ti Kie Sin Kun akan terpental oleh serangan tenaga dalam itu. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Tu Ci Yen pasti tidak akan percaya.
Bwe Hoa Sin Kiam, Ngo Kiam, Siang Hiap dan Kiu Eng terbelalak menyaksikan kejadian itu, wajah mereka tampak berseri-seri.
Meskipun dirinya sampai terpental, Tie Kie Sin Kun belum juga percaya bahwa lawannya mampu memutuskan lengannya pada jurus ketiga. Oleh karena itu, ketika Pek Giok Liong mendekatinya, ia pun segera tertawa terkekeh.
"Bocah! Tenaga dalammu memang cukup tinggi, tapi aku tidak takut!" Setelah berkata begitu, Ti Kie Sin Kun langsung menyerang Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong tertawa dingin, dan mendadak tubuhnya melayang ke atas mengelak dari serangan lawan kemudian balas menyerang dengan dua jari tangannya mengarah pada nadi di tangan Ti Kie Sin Kun.
Betapa cepatnya serangan itu, sehingga sulit dilukiskan. Tentunya membuat lawannya terkejut dan cepat-cepat berjungkir balik menghindari serangan itu.
"Ti Kie Sin Kun!" bentak Pek Giok Liong dingin. "Hati-hati lengan kirimu!"
Sekonyong-konyong Pek Giok Liong berputar bagaikan angin puyuh, sekaligus menyerang lengan kiri Ti Kie Sin Kun.
Ti Kie Sin Kun ingin mengelak dari serangan itu, namun sudah terlambat. Pada saat yang krisis itu, tiba-tiba terdengar suara seruan.
"Mohon ketua berbelas kasihan padanya!"
Begitu mendengar suara seruan itu, Pek Giok Liong pun cepat-cepat menarik kembali serangannya, dan sekaligus melompat mundur.
Pada waktu bersamaan, tampak sosok bayangan berkelebat cepat, lalu melayang turun di hadapan Ti Kie Sin Kun. Siapa orang itu, tidak lain adalah satu dari empat Arhat, yakni Arhat pembasmi siluman Ban Kian Tong.
Ketika melihat orang tersebut, Ti Kie Sin Kun berseru girang. Ternyata ia kenal Ban Kian Tong. "Saudara Ban ….."
Arhat pembasmi siluman tidak menghiraukannya, melainkan memberi hormat pada Pek Giok Liong.
"Muna menghadap Ketua, terimakasih atas kemurahan hati Ketua!" ucap Arhat pembasmi siluman, Ban Kian Tong.
"Saudara Ban, engkau tidak usah banyak beradaban!" sahut Pek Giok Liong sambil membalas memberi hormat.
"Terimakasih, Ketua!" Ban Kian Tong memberi hormat lagi.
Tak lama kemudian, tampak lima orang tua dan seorang pemuda berjalan ke tempat itu. Mereka adalah Thian Koh Sing Ma Hun, Thian Kang Sing Wie Kauw, Arhat penakluk iblis, Arhat penangkap setan, Arhat pembunuh jin dan pemuda itu adalah Sih Ma Bun Cing, murid bungsu Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San.
"Nak Cing!" seru ketua Hwa San.
Sih Ma Bun Cing segera memberi hormat pada ketua Hwa San, Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Teecu memberi hormat pada Guru!"
"Nak Cing!" Ketua Hwa San memegang tangan Sih Ma Bun Cing seraya bertanya dengan suara rendah, "Siapa pemuda itu?"
"Guru, nanti murid akan beritahukan sejelas-jelasnya," jawab Sih Ma Bun Cing.
"Ng!" Ketua Hwa San mengangguk.
Sementara itu, Thian Koh Sing, Thian Kang Sing dan tiga Arhat memberi hormat pada Pek Giok Liong, kemudian berdiri di sampingnya.
Sedangkan Ti Kie Sin Kun terus memandang Arhat pembasmi siluman, lalu tanyanya perlahan.
"Saudara Ban, sudah dua puluh tahun kita tidak bertemu, apakah engkau baik-baik saja?"
"Saudara Phang!" Ban Kian Tong tersenyum. "Aku baik-baik saja, bahkan melewati hari-hari yang amat tenang dan damai."
"Oh! Selama itu Saudara berada di mana?" tanya Ti Kie Sin Kun yang bernama Phang Kuang Yen. "Aku setengah mati mencarimu."
"Aku ke Lam Hai."
"Saudara Ban tinggal di Lam Hai di tempat mana?"
"Aku tinggal di ….." Ban Kian Tong melirik Pek Giok Liong, seakan bertanya bolehkah berterus terang. Pek Giok Liong tahu maksudnya, maka manggut-manggut.
"Saudara Ban tinggal di mana?" tanya Phang Kuang Yen, si Malaikat Penggetar Bumi.
"Aku tinggal di Pulau Pelangi."
"Apa?!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen terbelalak. "Sungguhkah di Lam Hai terdapat pulau itu?"
"Engkau tidak percaya?"
"Saudara Ban yang bilang, tentunya aku percaya," ujar Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen sambil menatapnya. "Sudah dua puluh tahun Saudara Ban tinggal di Pulau Pelangi, maka aku yakin engkau telah berhasil menambah kepandaianmu."
"Cuma menambah sedikit-sedikit saja," sahut Ban Kian Tong sambil tersenyum-senyum.
"Saudara Ban ….." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen mengarah pada Pek Giok Liong seraya bertanya, "Apakah pemuda itu majikan Pulau Pelangi?"
"Bukan." Ban Kian Tong memberitahukan. "Tapi kedudukannya jauh lebih tinggi dari majikan Pulau Pelangi."
"Kalau begitu, mohon tanya apa kedudukannya?"
"Ketua kami."
"Ketua kalian? Ketua Pulau Pelangi?"
"Saudara Phang, apakah engkau pernah dengar partai Pulau Pelangi?"
"Tidak pernah!"
"Nah!" Ban Kian Tong tersenyum. "Kalau begitu, kenapa engkau menduga itu?"
"Aku ….. aku memang cuma menduga."
"Justru dugaanmu itu salah." ujar Ban Kian Tong sungguh-sungguh. "Partai kami tidak disebut partai Pulau Pelangi!"
"Oh? Lalu partai apa?" tanya Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen.
"Saudara Phang, kelak engkau akan mengetahuinya."
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen menatapnya dalam-dalam.
"Tentu boleh, tanyalah!"
"Apa kedudukan Saudara Ban dalam partai itu?"
"Cuma bawahan saja."
"Yang kutanyakan kedudukanmu."
"Salah satu Arhat," jawab Ban Kian Tong. "Ohya, apa kedudukanmu itu?"
"Aku bawahan Cih Seng Tay Tie," jawab Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen jujur. "Salah seorang pelindung pribadi."
"Kalau tidak salah, Cih Seng Tay Tie itu adalah Cit Ciat Sin Kun. Benarkah?"
"Benar." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen mengangguk. "Ohya, saudara Ban, bagaimana hubunganmu dengan aku?"
"Ha ha!" Ban Kian Tong tertawa. "Hubungan kita sudah seperti saudara kandung."
"Betul." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yer tertawa gembira. "Oleh karena itu, aku ingin mohon bantuanmu."
"Apa yang bisa kubantu?"
"Kalau begitu, sebelumnya aku mengucapkan terimakasih padamu." ucap Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen.
"Tidak usah sungkan-sungkan, Saudara Pheng!" ucap Ban Kian Tong dan balas menjura.
"Saudara Ban, aku mohon pihakmu jangan turut campur urusan kami dengan partai Hwa San. Sudikah saudara Ban mengabulkan permohonanku ini?"
"Saudara Phang!" Ban Kian Tong tersenyum. "Maukah engkau mendengar nasihatku?"
"Silakan Saudara Ban berikan nasihat padaku!"
"Saudara Phang, kita sama-sama sudah berusia tujuh puluhan. Maka sudah waktunya bertobat."
"Maksud Saudara Ban?"
"Letakkan golok pembunuh, lalu jadilah orang baik-baik!"
Phang Kuang Yen tertawa ringan, ia memandang Ban Kian Tong seraya bertanya dengan suara rendah.
"Saudara Ban menghendaki aku melepaskan kedudukanku ini?"
"Benar." Ban Kian Tong mengangguk.
"Ha ha!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen tertawa terbahak-bahak. "Berapa lama kita hidup di dunia, kalau kita tidak mengerjakan sesuatu yang menggemparkan, itu berarti hidup kita akan sia-sia."
"Oh?" Arhat pembasmi siluman Ban Kian Tong menatapnya tajam.
"Cih Seng Tay Tie memiliki kepandaian setinggi langit, begitu pula Kim Gin Siong Tie. Kalau Saudara Ban mau bergabung dengan kami, aku berani menjamin engkau pasti hidup senang."
Ucapan Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen, membuat kening Ban Kian Tong berkerut-kerut.
"Engkau harus tahu, bahwa aku sama sekali tidak akan tergiur oleh kesenangan hidup, mungkin aku tidak punya rejeki itu."
"Saudara Ban!" Ti Kie Sin Kun tertawa. "Berhubung kita kawan lama, maka aku berterus terang padamu, itu demi kebaikanmu."
"Aku tahu maksud baikmu, namun aku tidak bisa menerimanya."
"Saudara Ban, aku harap engkau mau mempertimbangkannya!"
"Aku telah mempertimbangkannya, aku sama sekali tidak bisa menerima maksud baikmu itu."
"Saudara Ban ….." Phang Kuang Yen, Malaikat Penggetar Bumi menarik nafas panjang. "Kelihatannya hubungan baik kita puluhan tahun akan berakhir sampai di sini."
"Itu belum tentu," ujar Ban Kian Tong. "Karena hubungan kita tidak terkait dengan urusan ini."
"Saudara Ban!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau harus mengerti, bahwa kita berada di tempat yang berlawanan, maka kita akan menjadi musuh."
"Namun menurut aku, kita masih bisa menghindari permusuhan ini."
"Apakah mungkin?"
"Tentu mungkin." Ban Kian Tong tersenyum. "Seperti halnya keadaan sekarang ini, asal kita cari lawan yang setimpal, bukankah kita tidak jadi musuh?"
"Apa yang engkau katakan itu memang masuk akal, tapi bagaimana kalau ketuamu menyuruhmu agar mencabut nyawaku?"
"Itu tidak mungkin."
"Aku bilang kalau."
"Tidak mungkin ada kalau."
"Saudara Ban kok begitu yakin?"
"Engkau harus tahu, ketua kami berhati bajik dan berbudi luhur. Bagaimana mungkin ….."
Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen maju selangkah, kemudian ujarnya merendahkan suaranya.
"Saudara Ban, tadi Raja Emas menyampaikan padaku suatu urusan yang amat menggelikan, apakah saudara Ban mau dengar?"
"Urusan apa?" tanya Arhat pembasmi siluman, Ban Kian Tong heran.
"Saudara Ban, Raja Emas bilang ….." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen maju selangkah lagi, lalu mendadak secepat kilat Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen mencengkeram urat nadi ditangan Ban Kian Tong.
Begitu cepat dan di luar dugaan, lagi pula mereka berdua berada jarak yang sangat dekat. Walau kepandaian Ban Kian Tong lebih tinggi, sudah tidak keburu berkelit. Urat nadi di tangannya telah dicengkeram Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen.
Betapa terkejutnya Thian Koh Sing Ma Hun, Thian Kang Sing Whe Kauw dan ketiga Arhat lainnya. Ketika mereka baru mau melompat ke arah Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen, justru Pek Giok Liong berseru mencegah mereka.
Sementara Ban Kian Tong gusar bukan main. Ia menatap Phang Kuang Yen dengan sorotan tajam.
"Saudara Phang! Apa maksudmu ini? Cepat lepaskan cengkeramanmu!" bentak Ban Kian Tong.
"He he!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen. "Maaf Saudara Ban, aku cuma diperintah!"
"Betulkah atasanmu perintahkan begitu?"
"Betul." Phang Kuang Yen mengangguk. "Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani bertindak demikian terhadapmu?"
"Saudara Phang, lepaskan tanganku!"
Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen menggelengkan kepala, kemudian ujarnya perlahan-lahan.
"Aku mohon saudara Ban memaafkan aku Kalau tiada perintah dari atasanku, bagaiman mungkin aku melepaskanmu?"
"Hm!" dengus Ban Kian Tong.
Pek Giok Liong maju selangkah ke hadapan Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen, ia menatapnya seraya bertanya.
"Harus bagaimana engkau baru mau melepaskannya? Beritahukanlah!"
"Aku cuma menerima perintah dari atasanku, maka tidak seharusnya engkau bertanya padaku."
"Maksudmu aku harus bertanya pada atasanmu?"
"Betul. Hanya atasanku yang dapat menjawab pertanyaanmu."
Pek Giok Liong mengarah pada Tu Ci Yen dan ujarnya.
"Katakanlah!"
"Engkau harus menjawab pertanyaanku!" sahut Tu Ci Yen sambil tertawa hambar. "Juga harus menjawab dengan jujur!"
"Hanya pertanyaan saja?"
"Tentu tidak begitu sederhana!"
"Maksudmu?"
"Setelah aku bertanya, menyusul syarat!"
"Apa syaratmu?"
"Akan kuberitahukan setelah engkau menjawab semua pertanyaanku."
"Haruskah begitu?"
"Memang harus."
"Kalau begitu, silakan tanya!"
Tu Ci Yen tertawa gelak, ia menatap Pek Giok Liong tajam dan mulai bertanya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Pertanyaan ini harus diajukan paling betakang!"
"Tidak bisa! Engkau harus menjawab pertanyaanku ini dulu!"
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Jadi engkau ingin tahu siapa diriku?"
"Betul!"
"Lebih baik aku menyinggung sedikit kesadaranmu."
"Maksudmu?"
"Kita sudah kenal."
"Apa?!" Tu Ci Yen melongo. "Kite sudah kenal?"
"Ya." Pek, Giok Liong mengangguk.
"Kita pernah bertemu di mana?"
"Di suatu tempat, bahkan aku pernah menerima satu pukulanmu yang nyaris membuat nyawaku melayang."
"Hah …..?" Tu Ci Yen tersentak. "Engkau ….. engkau Pek Giok Liong?"
"Tidak salah, aku memang Pek Giok Liong." Usai berkata, Pek Giok Liong pun melepaskan topi rumputnya, lalu menatap Tu Ci Yen dengan sorotan yang dingin sekali. "Nah, kini engkau pun tidak bisa menyangkal lagi siapa dirimu kan?"
"Ha ha ha!" Tu Ci Yen tertawa gelak. "Benar! Aku Tu Ci Yeng, lalu engkau mau apa? Ingin membalas pukulanku?"
"Mengenai pukulan itu, aku boleh balas dan tidak. Tapi ….."
"Kenapa?"
"Aku ingin bertanya padamu, harap engkau menjawab secara jelas!"
"Engkau ingin bertanya tentang keluarga Siauw."
"Tidak salah. Beranikah engkau menjawab secara jujur?"
"Bukan masalah berani atau tidak, melainkan ….." Tu Ci Yen menatapnya. "Itu urusan keluarga Siauw, kenapa engkau ingin bertanya?"
"Karena aku mewakili seseorang."
"Oh?" Tu Ci Yen tersenyum sinis. "Mewakili Hui Ceh atau mewakili Siauw Thian Lin?"
"Aku tidak mewakili mereka."
"Lalu mewakili siapa?"
"Dia orang tua pincang!"
"Oh? Orang tua pincang itu meninggalkan pesan untukmu?"
"Setahun yang lalu, orang tua pincang itu telah mengetahui engkau adalah orang yang licik dan berhati busuk. Pada waktu itu, dia telah berpesan padaku."
"Oh, ya?" Tu Ci Yen tertawa. "Kau anggap dirimu punya kemampuan untuk turut campur urusan keluarga Siauw?"
"Tidak salah, aku memang menganggap begitu."
"Pek Giok Liong!" bentak Tu Ci Yen mendadak. "Kau bawa ke mana Hui Ceh dan ayahnya?"
"Engkau telah salah bertanya!" ujar Pek Giok Liong sungguh-sungguh. Seharusnya engkau bertanya, aku menolong mereka ke tempat mana?"
"Sungguhkah engkau menolong mereka?"
"Perlukah aku berbohong?"
"Tiada tujuan lain?"
"Tujuan lain? Kau anggap aku punya suatu tujuan lain?"
"Apakah bukan karena Hui Ceh, maka engkau menolong mereka?"
"Tu Ci Yen! Aku tidak seperti engkau yang begitu kotor dan tak tahu malu!" ujar Pek Giok Liong dengan wajah berubah dingin.
"Sudahlah!" Tu Ci Yen tertawa. "Jangan pura-pura jadi ksatria, lelaki mana yang tidak suka pada gadis cantik?"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin.
"Kalau ingin bertanya tentang keluarga Siauw, sekarang juga engkau boleh mulai bertanya, jangan buang waktu!"
"Tu Ci Yen, bagaimana keluarga Siauw terhadapmu?"
"Baik dan tidak baik."
"Kenapa engkau katakan begitu?"
"Keluarga Siauw memang sangat baik terhadapku, tapi dibalik baik itu terdapat pula ketidak baikan."
"Jelaskan!"
"Ketidak baikan itu yakni Siauw Thian Lin tidak mempercayai diriku."
"Kenapa dia tidak mempercayai dirimu?"
"Dia menyimpan suatu rahasia."
"Rahasia apa?" .
"Kalau aku tahu, aku pun tidak akan mengatakannya menyimpan suatu rahasia."
"Oleh karena itu ….." Pek Giok Liong tertawa dingin. "….. Secara diam-diam engkau meracuninya dengan maksud membunuhnya?"
"Tidak salah." Tu Ci Yen mengangguk. "Dia membuatku membencinya dan tidak bisa bersabar lagi."
"Dia memeliharamu dari kecil, bahkan juga mengangkatmu sebagai anak dan mengajarmu berbagai kepandaian, namun karena dia menyimpan suatu rahasia, maka engkau tega meracuninya? Engkau begitu tak kenal budi kebaikan orang?"
"Dia telah mengangkat aku sebagai anak, justru harus mempercayaiku, tidak boleh menyimpan suatu rahasia ….." lanjut Tu Ci Yen. "Dia tetap menganggapku sebagai orang luar, maka aku pun tidak perlu ingat budi kebaikannya lagi."
"Tu Ci Yen!" Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau sungguh berhati sempit!"
"Pek Giok Liong! Ini urusanku, engkau tidak perlu turut campur! Kalau engkau masih punya pertanyaan lagi, cepatlah bertanya!"
"Baik." Pek Giok Liong tertawa. "Apa kesalahan Siauw Peng Yang, sehingga engkau pun ingin membunuhnya?"
"Dia tidak mau menurut perintahku, maka aku ingin membunuhnya."
"Lalu bagaimana dengan orang tua pincang itu? Dia tidak bermusuhan denganmu, tapi mengapa engkau membunuhnya?"
"Dia sama sekali tidak menghormati aku, sudah bagus aku tidak segera membunuhnya."
"Kalau begitu, mereka semua memang harus mati?"
"Memang begitu." Tu Ci Yen menatapnya. "Pek Giok Liong, sudah selesaikah engkau bertanya?"
"Sudah."
"Pek Giok Liong!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh. "Kini giliranku bertanya padamu!"
"Silakan engkau bertanya!"
"Sudahkah engkau pergi ke Pulau Pelangi itu?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk dan memberitahukan. "Bahkan aku pun berhasil belajar kepandaian tingkat tinggi di sana."
"Kalau begitu, engkau kenal Mei Kuei Ling Cu?"
"Bukan cuma kenal, bahkan kami pun punya hubungan erat!"
"Oh? Siapa Mei Kuei Ling Cu itu?"
"Dia marga Se, namanya Pit Han." Pek Giok Liong memberitahukan. "Juga majikan muda Pulau Pelangi itu!"
"Orang-orang itu memanggilmu ketua, sebetulnya engkau ketua dari partai apa?"
"Ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan."
Tu Ci Yen tampak terkejut. "Kedudukanmu itu lebih tinggi dari majikan Pulau Pelangi?"
"Betul, Majikan Pulau itu bawahan Jit Goat Seng Sim Ki."
"Emmh!" Tu Ci Yen manggut-manggut. Sekarang engkau harus dengar syaratku!"
"Beritahukanlah!"
"Pek Giok Liong!" Tu Ci Yen tertawa licik. "Engkau harus segera mengajak orang-orangmu meninggalkan Hwa San!"
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa dingin.
"Dan juga ….. engkau pun harus perintahkan Mei Kuei Ling Cu, kembali ke Pulau Pelangi bersamamu!"
"Tu Ci Yen!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Engkau sedang bermimpi?"
"Aku dalam keadaan sadar!"
"Jadi itu syaratmu?"
"Tidak salah!"
"Kau pikir aku akan setuju?"
"Tidak setuju pun harus setuju?"
"Kalau engkau tidak setuju ….." Tu Ci Yen tertawa licik. "Ban Kian Tong akan segera mati di Hwa San ini!"
"Kau kira dengan nyawanya dapat menekan diriku?" tanya Pek Giok Liong dengan alis terangkat.
"He he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh. "Dia salah seorang dari empat Arhat, apakah kedudukannya itu kurang tinggi?"
"Memang tinggi, lagi pula aku pun harus memikirkan keselamatannya! Akan tetapi, di Hwa San ini terdapat ratusan nyawa. Demi keadilan bu lim, nyawanya yang cuma satu itu terhitung apa?" ujar Pek Giok Liong, kemudian menatap Tu Ci Yen tajam dan dingin seraya melanjutkan, "Kalau engkau berani menyentuhnya, aku pun tidak akan segan-segan membunuh! Aku akan mengerahkan ilmu Ceng Thian Sin Ci (Telunjuk Sakti Penggetar Langit, Tui Hun Ciang (Pukulan Pengejar Roh) dan Ling Khong Tiam Hoat (Menotok Jalan Darah Jarak Jauh) untuk membunuh kalian semua! Engkau tidak percaya, boleh coba!"
Mendengar itu, Tu Ci Yen, Thian Suan Sin Kin, Ti Kie Sin Kun, tiga pemimpin aula dan lainnya menjadi terperanjat bukan main.
Sebab ketiga ilmu yang dikatakan Pek Giok Liong itu, merupakan ilmu tingkat tinggi yang tiada tanding di kolong langit.
Akan tetapi, Tu Ci Yen masih berusaha tenang, bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Pek Giok Liong, kalau aku tidak yakin, tentunya tidak akan mengajukan syarat itu!"
"Oh? Kenapa engkau begitu yakin?"
"Sebab aku masih memegang sesuatu yang amat penting!"
"Apa itu?"
"Sesuatu itu cukup membuatku harus tunduk!"
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Itu merupakan barang atau orang?"
"Orang!"
"Siapa dia?"
"Kedudukan orang itu jauh lebih tinggi dari pada kedudukan Ban Kian Tong ini!" sahut Tu Ci Yen sambil tertawa puas.
"Hm!" dengus Pek Giok Liong. "Kau kira aku akan percaya?"
"Engkau mau tahu siapa orang itu?"
"Kalau engkau mau bilang, bilanglah!"
"He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh- kekeh. "Nah, engkau dengar baik-baik! Orang itu adalah gurumu Kian Kun Ie Siu!"
Betapa terkejutnya hati Pek Giok Liong.
"Di mana guruku itu?" tanyanya.
"Di sebuah goa yang amat rahasia."
"Di mana goa itu?"
"Di Gunung Seh Lian!"
Mendadak Pek Giok Liong tampak begitu tenang, kemudian ia pun tertawa terbahak-bahak.
"Tu Ci Yen, masih ada omong kosong yang lain?"
"Engkau tidak percaya?"
"Aku bukan anak kecil!"
"Engkau harus percaya! Kalau tidak ….."
"Tu Ci Yen!" bentak Pek Giok Liong. "Aku peringatkan, cepat lepaskan Ban Kian Tong! Lalu bawa orang-orangmu meninggalkan Hwa San! Engkau harus tahu, aku sudah mulai tidak sabaran!"
"Oh?" Tu Ci Yen tertawa dingin.
"Tu Ci Yen, aku akan hitung sampai sepuluh! Kalau kalian belum juga pergi, aku pun pasti membunuh kalian semua di sini!"
"He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh.
"Satu ….. dua ….. tiga ….. empat ….." Pek Giok Liong mulai menghitung.
Tu Ci Yen menatapnya tajam, dan tanyanya dengan suara dalam.
"Pek Giok Liong! Engkau tidak akan menyesal?"
Pek Giok Liong sama sekali tidak menghiraukannya, ia terus menghitung.
"Lima ….. enam ….. tujuh ….. delapan ….. Sembilan ….." Ketika menghitung sampai sembilan, mendadak Pek Giok Liong menyentilkan telunjuknya.
Seketika juga terdengar suara jeritan, ternyata Ti Kie Sin Kun, yang menjerit. Lengan kirinya telah putus dan darahnya pun mengucur. Otomatis tenaga cengkeramnya di tangan kanannya berkurang. Kesempatan itu tidak disia-siakan Ban Kian Tong, ia bergerak-gerak mencengkeram bahu Ti Kie Sin Kun.
Kejadian yang mendadak itu membuat Tu Ci Yen, Thian Sua Sin Kun dan lainnya menjadi ciut nyalinya.
Sedangkan Pek Giok Liong sudah mengangkat sebelah tangannya, siap menyerang mereka dengan Tui Hun Ciang. Menyaksikan itu, Tu Ci Yen segera berseru.
"Pek Giok Liong, tunggu!"
"Engkau tidak perlu banyak bicara lagi, cepatlah bawa orang-orangmu meninggalkan Hwa San!"
"Pek Giok Liong!" bentak Tu Ci Yen gusar. "Engkau berbuat demikian, pasti menyesal nanti!"
"Aku tidak akan menyesal!" sahut Pek Giok Liong. "Kalau engkau dan lainnya tidak segera meninggalkan Hwa San, aku pasti segera menyerang kalian dengan ilmu (Pukulan Pengejar Roh)!"
"Pek Giok Liong, engkau cukup bengis!" teriak Tu Ci Yen, kemudian mengibaskan tangannya seraya berkata pada Thian Sua Sin Kun. "Cepat papah Ti Kie Sin Kun, mari kita pergi!"
Thian Sua Sin Kun segera memapah Ti Kie Sin Kun. Dalam sekejap mereka telah meninggalkan Hwa San.
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, sudah tahu kedudukan Pek Giok Liong, maka segera menghampirinya sambil menjura memberi hormat.
"Terimakasih atas pertolongan Ketua! Budi pertolongan ini tak terlupakan selamanya. Aku mohon Ketua sudi ke dalam untuk duduk-duduk sebentar!"
"Ketua Hua, engkau tidak perlu berlaku begitu sungkan dan hormat!" Pek Giok Liong balas menjura pada ketua Hwa San, kemudian melanjutkan, "Tu Ci Yen dan orang-orangnya pergi dengan penasaran, mungkin mereka akan kembali ke mari lagi. Harap ketua Hua bersiap-siap!"
"Ya." Ketua Hwa San, Hua Hun manggutmanggut. "Tentang ini, aku akan berunding dengan para murid."
"Menurut pendapatku, demi menghindari serangan Tu Ci Yen, lebih baik ketua Hua dan para murid pindah ke tempat yang aman untuk sementara waktu. Bagaimana menurut ketua Hua?"
"Terimakasih!" ucap ketua Hwa San. "Mengenai ini akan kami rundingkan bersama!"
Pek Giok Liong tahu, bahwa tidak mungkin ketua Hwa San akan mengajak para muridnya pindah ke tempat lain, sebab perbuatan itu akan merendahkan nama partai Hwa San, maka Pek Giok Liong pun berkata sambil tersenyum.
"Selama masih ada hutan, jangan khawatir tiada kayu bakar! Ketua Hua, pertimbangkanlah apa yang kusarankan tadi!"
"Baiklah." Ketua Hwa San mengangguk. "Aku pasti pertimbangkannya."
"Maaf Ketua Hua, aku mau mohon diri!" ucap Pek Giok Liong dan segera mengerahkan ginkangnya. Dalam sekejap ia telah hilang dari tempat itu.
"Bukan main!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San itu menarik nafas panjang. "Sungguh tinggi ilmu meringankan tubuhnya!"
*
* *
(Bersambung bagian 44) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar