Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 01 Agustus 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 53 dan 54

Sambungan ...


Bagian ke 53. Saudara Kembar
Pemandangan di Heng San sangat indah menakjubkan. Sayup-sayup terdengar suara air terjun dan suara arus sungai. Keadaan di Heng San begitu tenang dan damai, tampak pula beberapa ekor kelinci bercanda ria dan berlompat-lompatan.
Di tempat yang indah, tenang dan damai itu terdapat sebuah gubuk berpagar garis bambu. Gubuk milik siapa itu? Di tempat yang begitu sunyi kok ada gubuk?
Saat ini sang surya mulai merangkak ke atas. Terdengar suara kicau burung yang amat merdu. Di halaman gubuk itu tampak seseorang pemuda sedang berlatih ilmu pedang. Sungguh mengherankan, wajah pemuda itu mirip wajah Pek Giok Liong, ternyata pemuda itu Hek Siau Liong yang ditolong Swat San Lo Jin (Orang tua gunung salju). Kini ia sudah menjadi murid orang tua tersebut.
Di teras gubuk itu, duduk seorang wanita berusia empat puluhan. Walau sudah berusia sekian, namun wanita itu masih tampak cantik, hanya saja di keningnya banyak terdapat garis kerutan.
Siapa wanita itu? Dia adalah ibu Hek Siau Liong bernama Hek Ai Lan dan julukannya adalah Hek Bi Jin (Wanita cantik Hek).
Sementara Hek Siau Liong sudah selesai berlatih ilmu pedang. Ia menghampiri Hek Ai Lan dengan wajah berseri-seri.
"Ibu, bagaimana latihan Siau Liong? Sudah ada kemajuan?" tanya Hek Siau Liong sambil tersenyum.
"Nak!" Hek Ai Lan menarik nafas panjang.
"Kenapa Ibu menarik nafas? Apakah Ibu tidak senang melihat Siau Liong berlatih ilmu pedang?"
"Nak ……" Hek Ai Lan menggeleng-gelengkan kepala. "Sebetulnya ibu tidak setuju engkau belajar ilmu silat, maka ……"
"Ibu tidak setuju?" Hek Siau Liong tertawa. "Padahal ibu sendiri berilmu tinggi, tapi sama sekali tidak mengajar Siau Liong. Setelah Siau Liong di tolong guru, barulah ibu mau mengajar Siau Liong ilmu silat."
"Mungkin itu sudah merupakan takdir!" Hek Ai Lan menarik nafas panjang lagi. "Hari itu engkau pergi secara diam-diam, akhirnya dilukai orang. Kalau tidak ditolong oleh Swat San Lo Jin, engkau pasti sudah mati."
"Betul, Bu." Hek Siau Liong mengangguk. "Ohya, Siau Liong masih merasa heran, kenapa wajah Siau Liong mirip sekali dengan wajah Siau Liong itu?"
"Entahlah." Hek Ai Lan menggelengkan kepala, namun sekilas air mukanya tampak berubah.
"Itu …… itu mungkin kebetulan."
"Sungguh mengherankan!" Hek Siau Liong tertawa. "Semua orang mengira Siau Liong adalah Siau Liong itu, karena nama kami pun sama."
"Ibu sudah mengatakan, itu mungkin kebetulan."
"Ibu!" Hek Siau Liong menatapnya. "Kalau ada kesempatan, Siau Liong ingin bertemu Siau Liong itu."
"Lho? Memangnya kenapa?"
"Siau Liong ingin bertanya padanya ……"
"Mau bertanya apa padanya?"
"Apakah di belakang telinganya juga terdapat tanda merah?" sahut Hek Siau Liong sambil tersenyum. "Ibu kan tahu, di belakang telinga Siau Liong terdapat tanda merah, kalau dia juga punya tanda merah itu …… Wah! Betul-betul aneh!"
"Nak!" Hek Ai Lan tersenyum lembut. "Bukan waktunya engkau meninggalkan Heng San ini."
"Kapan Siau Liong boleh meninggalkan tempat ini?"
"Nak!" Hek Ai Lan menatapnya dalam-dalam. "Apakah engkau ingin berkelana di bu lim?"
"Ya." Hek Siau Liong mengangguk.
"Nak!" Hek Ai Lan menggeleng-gelengkan kepala. "Justru itu, sebelum engkau di tolong oleh Swat San Lo Jin, ibu sama sekali tidak mau mengajarmu ilmu silat, karena khawatir engkau akan pergi berkelanan di bu lim."
"Ibu! Siau Liong ingin jadi pendekar!" ujar Hek Siau Liong penuh semangat.
"Nak, ilmu silatmu masih rendah, belum waktunya pergi berkelana." tandas Hek Ai Lan.
"Maka …… Siau Liong terus menerus berlatih, kalau ilmu silat Siau Liong sudah tinggi, Siau Liong ingin jadi pendekar."
"Bagus! Bagus! Engkau memang calon pendekar!" Terdengar sahutan di sertai tawa gelak, tak lama melayang sosok bayangan.
"Guru! Guru!" Seru Hek Siau Liong girang. Ternyata yang melayang turun itu Swat San Lo Jin, orang tua itu masih tertawa.
"Anak Liong, benarkah engkau ingin jadi pendekar?"
"Ya, Guru."
"Anak Liong!" Swat San Lo Jin tertawa-tawa lagi. "Engkau harus terus belajar, sebab kepandaianmu masih rendah."
"Ya, Guru." Hek Siau Liong mengangguk. "Siau Liong memang belajar siang dan malam, sebab ingin sekali jadi pendekar."
"Ngmm!" Swat San Lo Jin manggut-manggut, kemudian wajahnya berubah serius. "Anak Liong, engkau terus berlatih di sini, guru ingin bicara dengan ibumu."
"Ya." Hek Siau Liong mulai berlatih lagi. Sedangkan Swat San Lo Jin mengajak Hek Ai Lan ke dalam gubuk. Setelah berada di dalam gubuk, Hek Ai Lan segera menyuguhkan secangkir teh untuk Swat San Lo Jin, lalu duduk di hadapannya.
"Ai Lan!" Swat San Lo Jin menatapnya seraya berkata. "Mungkin tidak lama lagi, bu lim akan dilanda malapetaka."
"Bu Lim akan dilanda malapetaka?" Hek Ai Lan terkejut. "Bukankah kini bu lim sudah aman? Kok lo cianpwee malah bilang bu lim akan dilanda malapetaka?"
"Aaakh ……!" Swat San Lo Jin menarik nafas panjang. "Pek Giok Liong, ketua partai Hati Suci atau generasi kelima pemegang Jit Goat Seng Sim Ki itu telah dipukul jatuh ke dalam jurang."
"Apa?" Wajah Hek Ai Lan berubah pucat pias. "Pek …… Pek Giok Liong ……"
"Ai Lan!" Swat San Lo Jin menatapnya tajam. "Kenapa wajahmu berubah begitu pucat? Apakah Pek Giok Liong punya hubungan dengan dirimu?"
"Tidak ada." Hek Ai Lan menggelengkan kepala. "Ohya, siapa yang memukul jatuh Pek Giok Liong ke dalam jurang?"
"Kiu Thian Mo Cun!"
"Kiu Thian Mo Cun?" Hek Ai Lan tercengang. "Siapa Kiu Thian Mo Cun itu?"
"Dia adalah ……" tutur Swat San Lo Jin dan menambahkan, "Nah, bukankah bu lim akan dilanda malapetaka dengan munculnya Kiu Thian Mo Cun?"
"Dia... dia begitu tinggi kepandaiannya, sehingga mampu memukul jatuh Pek Giok Liong?"
"Kepandaian maha iblis itu memang tinggi sekali." Swat San Lo Jin menarik nafas panjang. "Kalau aku dan bu lim cit khi jin bergabung melawannya, belum tentu kami mampu bertahan sampai tiga puluh jurus!"
"Haah?" Hek Ai Lan terbelalak. "Kalau begitu, dia pasti bisa menguasai bu lim!"
"Tidak salah." Swat San Lo Jin mengangguk. "Aku yakin tidak lama lagi , dia pasti menguasai bu lim."
"Seandainya Kiu Pat It Pang bergabung, apakah mampu melawannya?" tanya Hek Ai Lan.
"Aku dan Cit Khi Jin masih tidak mampu melawannya, apa lagi para ketua sembilan partai?"
"Kalau begitu, dia betul-betul tiada tanding di kolong langit?"
"Pek Giok Liong bisa dipukul jatuh olehnya, lalu siapa lagi yang mampu menandinginya?"
"Bagaimana dengan Cai Hong Tocu?"
"Kepandaian Cai Hong Tocu setingkat dengan Pek Giok Liong, jadi engkau pun mengerti."
"Seandainya Cai Hong Tocu dan para bawahannya mengeroyok Kiu Thian Mo Cun itu, apakah pihak Cai Hong To akan menang?"
"Tetap kalah," jawab Swat San Lo Jin. "Terus terang, tiada seorang pun yang mampu mengalahkannya, kecuali ……"
"Kecuali siapa?"
"Pendekar Hati Suci itu hidup lagi."
"Siapa pendekar Hati Suci itu?"
"Dia adalah ……" Swat San Lo Jin memberitahukan, kemudian menarik nafas. "Tapi dia tidak mungkin hidup kembali. Kini bu lim betul-betul berada di ambang kehancuran!"
"Kalau begitu, kemunculan Kiu Thian Mo Cun pasti amat menggembirakan semua orang dari golongan hitam!"
"Itu sudah pasti, maka nyawa para pendekar dari golongan putih sudah berada di ujung tanduk." ujar Swat San Lo Jin. Mendadak keningnya berkerut seraya memberitahukan, "Ada orang datang!"
"Siapa orang itu?" tanya Hek Ai Lan heran.
"Entahlah!" Swat San Lo Jin menggelengkan kepala. "Orang itu memiliki kepandaian tingkat tinggi ……"
"Saudara tua, aku pengemis bau yang ke mari!" Terdengar suara sahutan, menyusul berkelebat sosok bayangan memasuki gubuk. Siapa orang itu? Ternyata Ouw Yang Seng Tek, tetua Kay Pang. Biasanya ia suka tertawa, tapi kali ini wajahnya tampak murung sekali.
"Hei! Pengemis bau! Mau apa engkau ke mari?" tanya Swat San Lo Jin.
"Aaakh ……!" Ouw Yang Seng Tek menghempaskan dirinya ke tempat duduk. "Terus terang, tadi aku menguntitmu sampai di sini. Tapi aku tidak segera masuk, melainkan bersembunyi di balik pohon melihat Hek Siau Liong itu berlatih ilmu pedang."
"Oooh!" Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Tadi aku sudah tahu ada orang menguntitku, ternyata engkau pengemis bau!"
"Heran?" ujar Ouw Yang Seng Tek bergumam. "Hek Siau Liong itu mirip sekali dengan Pek Giok Liong seperti pinang dibelah dua!"
"Tidak salah. Kalau mereka berjalan bersama, orang lain pasti mengira mereka adalah saudara kembar."
"Ohya! Saudara tua, sudahkah engkau tahu apa yang menimpa diri Pek Giok Liong?"
"Kejadian itu sangat menggemparkan bu lim, bagaimana mungkin aku tidak tahu?"
"Aaakh! Aku telah kehilangan seorang saudara kecil ……" ujar Ouw Yang Seng Tek dengan mata bersimbah air. "Rasanya aku ingin menangis ……"
"Kalau begitu, lehih baik engkau menangis!" usul Swat San Lo Jin jang tahu akan kedukaan pengemis tua itu.
"Aku memang harus menangis," sahut Ouw Yang Seng Tek, usai berkata begitu, ia betul-betul menangis gerung-gerungan.
"Pengemis bau!" ujar Swat San Lo Jin setelah lewat beberapa saat kemudian.
"Kukira engkau sudah boleh berhenti menangis."
"Ya." Ouw Yang Seng Tek segera berhenti menangis. "Saudara tua, bu lim akan dilanda banjir darah."
"Betul." Swat San Lo Jin mengangguk. "Itulah yang amat mencemaskanku."
"Saudara tua, benarkah orang yang memukul Pek Giok Liong jatuh ke jurang itu Kiu Thian Mo Cun?" tanya Ouw Yang Seng Tek mendadak.
"Itu tidak mungkin." Swat San Lo Jin menggelengkan kepala. "Tapi aku yakin bahwa dia pewaris Kiu Thian Mo Cun!"
"Ngmm!" Ouw Yang Seng Tek manggut-manggut. "Setelah Pek Giok Liong jatuh ke jurang, siapa lagi yang mampu mengalahkan Kiu Thian Mo Cun?"
"Sama sekali tidak ada." Swat San Lo Jin menarik nafas panjang. "Oleh karena itu, tidak lama lagi bu lim pasti dikuasai Kiu Thian Mo Cun."
"Apakah kita harus membiarkannya menguasai bu lim?"
"Tentu tidak. Biar bagaimana pun kita harus mencari jalan untuk membasmi Kiu Thian Mo Cun itu," ujar Swat San Lo Jin. "Terus terang, yang kukhawatirkan lagi yakni Kiu Thian Mo Cun akan mengundang beberapa tokoh tua golongan hitam untuk membantunya."
"Kalau begitu, bagaimana mungkin kita mampu membasmi mereka?" Ouw Yang Seng Tek menggeleng-gelengkan kepala.
"Maka kita harus bergabung dengan Cai Hong To."
"Bagaimana cara kita bergabung dengan Cai Hong To?"
"Kita harus berangkat ke Lam Hai."
"Ngmm!" Ouw Yang Seng Tek manggut-manggut, dan ia pun teringat sesuatu. "Ohya, aku masih merasa heran. Hek Siau Liong yang di luar itu kok begitu mirip Pek Giok Liong?"
"Mungkin cuma kebetulan."
"Kalau pun kebetulan, tidak mungkin mereka begitu mirip seperti saudara kembar."
"Aku sendiri pun tidak habis berpikir, mungkin ……" Swat San Lo Jin memandang Hek Ai Lan. "Engkau bersedia menjelaskan?"
"Lo cianpwee, aku memang menyimpan suatu rahasia mengenai Hek Siau Liong." ujar Hek Ai Lan.
"Oh?" Swat San Lo Jin menatapnya. "Kalau begitu, beritahukanlah!"
"Karena Pek Giok Liong mungkin sudah mati, maka aku pun harus membeberkan rahasia itu." Hek Ai Lan memandang jauh ke depan seakan sedang mengenang sesuatu. "Kira-kira depalan belas tahun yang lalu, aku mulai berkelana dalam rimba persilatan, dan memperoleh julukan Hek Bi Jin. Setahun kemudian aku bertemu Pek Mang Ciu dan istrinya ……"
"Kedua orang tua Pek Giok Liong?" Ouw Yang Seng Tek terbelalak.
"Ya." Hek Ai Lan mengangguk. "Entah apa sebabnya, begitu melihat Pek Mang Ciu, aku pun jatuh cinta padanya. Akan tetapi, dia lelaki sejati, sama sekali tidak tertarik padaku, dan itu membuatku amat penasaran dan mulailah aku memikatnya dengan berbagai cara ……"
"Kemudian bagaimana?" tanya Swat San Lo Jin.
"Dia tetap tidak terpikat, sehingga membuatku amat membencinya. Setelah itu ……" Lanjut Hek Ai Lan. "Pek Mang Ciu dan istrinya bertarung melawan Pat Hiong. Suami istri itu mampu mengalahkan mereka, bahkan Thai Nia Siang Hiong dan Lang San Sam Kuai terpukul jatuh ke dalam jurang ……"
"Tidak salah." sambung Ouw Yang Seng Tek. "Setelah itu, Pek tayhiap dan istrinya membangun Ciok Lau San Cung, kan?"
"Betul." Hek Ai Lan mengangguk. "Aku ke sana menemui mereka untuk bermohon pada mereka agar aku diterima sebagai pelayan. Namun …… Pek Mang Ciu tetap menolak. Coba bayangkan, betapa sakitnya hatiku!"
"Kenapa engkau ingin jadi pelayan di sana?" tanya Ouw Yang Seng Tek.
"Karena aku …… ingin berdekatan dengan Pek Mang Ciu, aku amat mencintainya ……" jawab Hek Ai Lan dengan wajah murung. "Lantaran aku diusir, maka aku pun mendendam pada mereka suami istri."
"Engkau mencoba membunuh mereka?" tanya Swat San Lo Jin mendadak.
"Aku sama sekali tidak berniat begitu." Hek Ai Lan menarik nafas panjang. "Setahun kemudian, istri Pek Mang Ciu melahirkan ……"
"Melahirkan Pek Giok Liong kan?" Ouw Yang Seng Tek menatapnya.
"Istri Pek Mang Ciu melahirkan anak lelaki kembar, kemudian diberi nama Pek Giok Liong dan Pek Giok Houw." Hek Ai Lan memberitahukan. "Pek Giok Liong lahir lebih dulu, menyusul adalah Pek Giok Houw ……"
"Jadi ……" Ouw Yang Seng Tek terbelalak. "Hek Siau Liong yang di luar itu Pek Giok Houw?"
"Betul." Hek Ai Lan mengangguk. "Dua bulan kemudian setelah anak kembar itu lahir, aku menyelinap ke dalam Ciok Lau San Cung untuk mencuri salah satu bayi tersebut. Bahkan aku pun meninggalkan sepucuk surat untuk Pek Mang Ciu dan istrinya, menyatakan bahwa aku akan mengurus bayi yang kucuri itu."
"Heran?" ujar Ouw Yang Seng Tek sambil menggaruk-garuk kepala. "Kenapa Pek Mang Ciu tidak menyiarkan kabar tentang itu?"
"Mungkin mereka menjaga namaku, sekaligus menjaga nama mereka pula," ujar Hek Ai Lan.
"Kenapa engkau mencuri bayi itu?" tanya Swat San Lo Jin sambil menatap Hek Ai Lan.
"Lo cianpwee, aku amat mencintai Pek Mang Ciu, maka rasanya akan puas mengurusi anak Pek Mang Ciu."
"Kok begitu?" Ouw Yang Seng Tek menggaruk-garuk kepala.
"Itu yang disebut cinta." Swat San Lo Jin menarik nafas. "Pengemis bau, pernahkah engkau jatuh cintai?"
"Tidak pernah." Ouw Yang Seng Tek menatapnya. "Bagaimana dengan engkau? Pernahkah engkau jatuh cinta ketika masih muda?"
"Pernah, tapi ……" Swat San Lo Jin menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah! Semua itu telah berlalu."
"Hek Bi Jin!" Ouw Yang Seng Tek memandangnya. "Jadi engkau mengurusi Pek Giok Houw sampai belasan tahun?"
"Ya." Hek Ai Lan mengangguk. "Dia ikut marga Hek dan kuberi nama Siau Liong, namun sungguh di luar dugaan ….."
"Maksudmu tentang kematian Pek tayhiap dan istrinya?" tanya Ouw Yang Seng Tek.
"Ng!" Hek Ai Lan mengangguk. "Setelah mencuri bayi itu, setiap tahun aku selalu ke Ciok Lau San Cung secara diam-diam ……"
"Lho? Kenapa engkau masih ke sana?" tanya Ouw Yang Seng Tek heran.
"Ingin melihat Pek Mang Ciu dari jauh ……" Hek Ai Lan menundukkan kepala. "Kira-kira dua tahun yang lalu, aku ke sana lagi, justru melihat belasan orang yang memakai kain penutup muka menuju sana. Aku pun mendengar pembicaraan mereka, bahwa ingin membunuh Pek Mang Ciu dan istrinya, bahkan juga akan membantai semua penghuni Ciok Lau San Cung. Betapa terkejutnya hatiku! Oleh karena itu, aku pun menutup mukaku dengan kain, lalu menyelinap masuk ke kamar Pek Giok Liong untuk menolongnya."
"Jadi engkau yang menolong Pek Giok Liong?" Ouw Yang Seng Tek terbelalak.
"Ya." Hek Ai Lan mengangguk. "Aku menotok jalan darah tidurnya, lalu membawanya ke suatu tempat yang aman. Aku pun meninggalkan sepucuk surat menyuruhnya ke Lam Hai cari Pulau Pelangi."
"Engkau sudah tahu Pek Mang Ciu dan istrinya berasal dari pulau itu?" tanya Swat San Lo Jin.
"Guruku yang memberitahukan."
"Oooh!" Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Ohya, kenapa engkau tidak mau memberitahukan padaku siapa gurumu itu?"
"Lo cianpwee, aku tidak tahu siapa guruku itu," jawab Hek Ai Lan. "Namun dia seorang nenek yang sudah tua. Walau aku sebagai muridnya, selama itu dia tidak pernah memberitahukan padaku nama maupun julukannya."
"Aneh!" Swat San Lo Jin menggeleng-gelengkan kepala. "Ohya, senjata apa yang dipakainya?"
"Sepasang pedang pendek."
"Apa?" Swat San Lo Jin tampak tersentak. "Sepasang pedang pendek?"
"Ya." Hek Ai Lan mengangguk.
"Gurumu tinggal di Thian San?" tanya Swat San Lo Jin dengan suara agak bergemetar.
"Kami memang tinggal di Thian San ……"
"Aaakh....!" Keluh Swat San Lo Jin. "Ternyata dia ……"
"Mantan kekasihmu kan, saudara tua?" Ouw Yang Seng Tek tertawa gelak.
"Eh? Pengemis bau!" Swat San Lo Jin melotot. "Jangan menggodaku! Engkau ingin merasakan pukulanku ya?"
"Itu kalau terpaksa." Ouw Yang Seng Tek masih tertawa gelak.
Swat San Lo Jin diam, sepasang matanya memandang jauh ke depan, kelihatannya sedang mengenang masa lalunya.
"Aaakh ……" gumamnya mengeluh. "Sudah lima puluh tahun tidak bertemu, apakah dia baik-baik saja dan …… apakah masih cerewet seperti dulu?"
"Lo cianpwee, aku tidak tahu, karena sudah belasan tahun aku tidak bertemu guruku itu."
"Apakah dia berjuluk Thian San Lolo?" tanya Swat San Lo Jin.
"Ya." Hek Ai Lan mengangguk.
"Haah ……?" Ouw Yang Seng Tek terperanjat. Ia menatap Hek Ai Lan seraya bertanya, "Nenek galak itukah gurumu?"
"Tidak salah."
"Aaakh!" Ouw Yang Seng Tek menarik nafas panjang. "Enam puluh tahun yang lalu, gurumu amat terkenal, tapi kemudian dia menghilang dari kang ouw. Tidak disangka dia menetap di Thian San!"
"Itu ……" Swat San Lo Jin menggeleng-gelengkan kepala. "…… itu gara-gara aku, maka dia mengasingkan diri di Thian San."
"Kok gara-gara lo cianpwee?" tanya Hek Ai Lan.
"Yaah!" Swat San Lo Jin menarik nafas. "Enam puluh tahun yang lampau, kami masih muda dan berdarah panas. Walau kami sudah saling mencinta, tapi justru tidak mau saling mengalah dalam hal kepandaian. Oleh karena itu kami pun bertanding ratusan jurus, dan akhirnya dia kalah. Sejak itulah dia menghilang entah ke mana. Aku terus mencarinya, tapi tidak pernah ketemu, ternyata dia mengasingkan diri di Thian San ……"
"Saudara tua!" Ouw Yang Seng Tek tertawa. "Kalau begitu, engkau harus ke Thian San menemuinya, dan mohon padanya untuk bergabung dengan kita demi melawan Kiu Thian Mo Cun!"
"Aku memang punya niat begitu, namun belum tentu dia akan memaafkanku," ujar Swat San Lo Jin sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah sama-sama tua, tentunya tidak berdarah panas lagi. Aku yakin dia pun merindukanmu, dan masih tetap mencintaimu. Kalau tidak, kenapa dia tidak menikah?"
"Aaakh! Semua itu telah berlalu." Swat San Lo Jin menarik nafas. "Ohya, mari kita kembali pada masalah pokok!"
"Saudara tua, kini kita sudah tahu asal-usul Hek Siau Liong, maka aku punya suatu ide."
"Ide apa?" Swat San Lo Jin menatapnya.
"Panggil Hek Siau Liong ke mari, kita beritahukan tentang asal usulnya!" jawab Ouw Yang Seng Tek. "Setelah itu kita bawa dia ke Cai Hong To."
"Untuk apa membawanya ke Cai Hong To?" tanya Hek Ai Lan heran.
"Dia famili majikan pulau itu, wajar kalau kita membawanya ke sana," jawab Ouw Yang Seng Tek dan menambahkan, "Sekaligus belajar ilmu tingkat tinggi di sana."
"Percuma." Swat San Lo Jin menggelengkan kepala. "Pek Giok Liong yang berilmu begitu tinggi, tapi masih tidak bisa melawan Kiu Thian Mo Cun, apa lagi Hek Siau Liong?"
"Saudara tua!" Ouw Yang Seng Tek serius. "Siapa tahu di pulau itu masih tersimpan kitab silat yang belum di pelajari oleh Pek Giok Liong, maka kita usulkan ……"
"Aku tahu maksudmu." Swat San Lo Jin manggut-manggut, lalu memandang Hek Ai Lan. "Engkau ke depan panggil Siau Liong ke mari!"
"Ya." Hek Ai Lan segera memanggil Hek Siau Liong, dan tak lama ia sudah kembali bersama pemuda itu.
"Apakah Guru memanggil Siau Liong?" tanya Hek Siau Liong.
"Ya." Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Anak Liong, cepat beri hormat pada paman pengemis!"
Hek Siau Liong menurut, lalu segera memberi hormat pada Ouw Yang Seng Tek. Pengemis tua itu tertawa gelak. Ia menatap Hek Siau Liong dengan penuh perhatian.
"Bagus! Bagus! Dia memiliki tulang dan bakat yang amat bagus! Mungkin tidak akan mengecewakan harapan kita."
"Aku pun berpikir begitu." Swat San Lo Jin tersenyum, lalu memandang Hek Siau Liong. "Anak Liong, tahukah engkau asal-usulmu?"
"Siau Liong ……" Pemuda itu melongo, kemudian memandang Hek Ai Lan. "Ibu kenapa guru bertanya begitu pada Siau Liong?"
"Nak!" Hek Ai Lan menatapnya dalam-dalam, lalu ujarnya perlahan. "Sebetulnya engkau bukan anakku ……"
"Apa?!" Hek Siau Liong terbelalak.
"Sesungguhnya engkau bernama Pek Giok Houw." Hek Ai Lan memberitahukan. "Engkau adik kembar Pek Giok Liong."
"Oh? Pantas Siau Liong mirip dia!" Hek Siau Liong tertawa kecil dan bertanya. "Kapan Siau Liong boleh bertemu dia?"
"Engkau tidak akan bertemu dia lagi ……" Hek Ai Lan menarik nafas.
"Kenapa?"
"Dia telah dipukul jatuh ke jurang oleh musuhnya."
"Oh?" Wajah Hek Siau Liong tampak berduka. "Siapa yang memukul jatuh Kakak Siau Liong ke dalam jurang?"
"Kiu Thian Mo Cun." Hek Ai Lan memberitahukan.
"Siapa Kiu Thian Mo Cun itu?" tanya Hek Siau Liong.
"Anak Liong!" Swat San Lo Jin menatapnya, lalu menutur mengenai pendekar Hati Suci dan Kiu Thian Mo Cun itu.
"Haah?" Hek Siau Liong terkejut. "Betapa tinggi kepandaian Kiu Thian Mo Cun itu? Tapi …… bagaimana mungkin dia hidup sampai hampir dua ratus tahun?"
"Orang itu mungkin pewarisnya," sahut Ouw Yang Seng Tek.
"Oooh!" Hek Siau Liong mengangguk.
"Nak!" Hek Ai Lan menatapnya lembut. "Mulai sekarang engkau bernama Pek Giok Houw, sebab ……" Hek Ai Lan mulai menutur tentang asal-usul pemuda itu, dan kemudian menambahkan, "Oleh karena itu, kami ingin membawamu ke Pulau Pelangi untuk belajar ilmu silat tingkat tinggi di sana."
"Ibu ……" Pek Giok Houw terbelalak. "…… jadi Siau Houw famili majikan Cai Hong to itu?"
"Betul." Hek Ai Lan mengangguk. "Setelah engkau berhasil, engkau harus membasmi Kiu Thian Mo Cun itu!"
"Siau Houw pasti membalas dendam Kakak Liong!" ujar Pek Giok Houw dengan mata berapi-api.
"Lo cianpwee, kapan kita berangkat ke Pulau Pelangi?" tanya Hek Ai Lan pada Swat San Lo Jin.
"Besok pagi," sahut Swat San Lo Jin sambil mengarah pada Ouw Yang Seng Tek. "Pengemis bau, engkau mau ikut kan?"
"Tentu." Ouw Yang Seng Tek mengangguk.
"Baiklah." Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Kalau begitu, kita pastikan berangkat besok."
*
* *
Bagian ke 54. Pertemuan di Pulau Pelangi
Se Ciang Cing dan istrinya telah kembali ke Pulau Pelangi. Mereka berdua duduk di ruang depan istana dengan wajah serius dan berduka. Se Pit Han duduk di sisi ibunya dengan mata bersimbah air, bahkan wajahnya pun amat pucat.
Kepala pengurus istana, Se Khi, Giok Cing, Giok Ling, Thian Koh Sing, Thian Kang Sing, Si Kim Kong, Si Hong dan Pat Kiam pun duduk di ruang tersebut.
Tiada seorang pun membuka mulut, suasana pun menjadi hening. Berselang beberapa saat kemudian, Se Ciang Cing, majikan Pulau Pelangi mulai membuka mulut sambil memandang putrinya.
"Jadi benarkah Siauw Hui Ceh dan Cing Ji telah mati?" tanya Se Ciang Cing dengan suara dalam.
"Ya." Se Pit Han mengangguk.
"Apakah ketika Pek Giok Liong terpukul jatuh ke dalam jurang, dia pun telah terkena racun?" tanya Se Ciang Cing lagi.
"Ya." Se Pit Han mulai menangis terisak-isak.
"Benarkah orang itu Kiu Thian Mo Cun?" Wajah Se Ciang Cing tampak serius sekali.
"Entahlah." Se Pit Han menggelengkan kepala. "Orang itu mengenakan jubah bersulam iblis, mukanya pun memakai kedok iblis."
"Si Kim Kong!" Se Ciang Cing menatap mereka. "Apakah kalian berempat sudah ke Yan San?"
"Sudah," jawab Hok Mo Kim Kong dan memberitahukan, "Kami pun sudah turun ke dasar jurang, tapi tidak menemukan mayat Pek Giok Liong. Mungkin mayatnya telah dimangsa binatang buas."
"Aaakh ……!" Se Ciang Cing menarik nafas panjang." Kenapa nasib Pek Giok Liong begitu malang? Kematiannya pun begitu mengenaskan ……"
Mendengar itu, Se Pit Han mulai menangis sedih lagi dengan air mata berderai-derai.
"Adik Liong..." gumamnya.
"Nak!" hibur Nyonya Se Ciang Cing. "Jangan berduka, karena tidak menemukan mayat Pek Giok Liong, siapa tahu dia belum mati."
"Dia …… dia bagaimana mungkin belum mati? Aku menyaksikannya terpukul oleh Kiu Thian Mo Cun, mukanya pun kehitam-hitaman ……"
"Hek Sim Tok Ciang." Se Ciang Cing menggeleng-gelengkan kepala. "Tiada satu ilmu pun yang dapat melawan Hek Sim Tok Ciang itu."
"Bukankah kita masih menyimpan kitab Bu Kek Cin Keng? Kitab itu berisi pelajaran lwee kang yang amat tinggi." Nyonya Se Ciang Cing mengingatkan.
"Benar." Se Ciang Cing manggut-manggut.
"Aku tidak pernah mempelajarinya, tapi menurutku, ilmu itu masih tidak bisa menandingi Hek Sim Tok Ciang."
"Tapi masih bisa membendung ilmu itu kan?"
"Benar. Tapi …… siapa yang akan mempelajari ilmu itu?"
"Aku," sahut Se Pit Han mendadak. "Ayah, Ibu! Aku harus mempelajari ilmu itu demi membalas dendam adik Liong."
"Nak!" Se Ciang Cing menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau anak perempuan, tidak bisa mempelajari ilmu itu."
"Kenapa?"
"Hanya anak lelaki yang masih perjaka, yang bisa mempelajari ilmu tersebut."
"Kalau begitu, kenapa dulu ayah tidak menyuruh Pek Giok Liong belajar ilmu itu? Kalau dia belajar ilmu itu, mungkin tidak akan mati ……"
"Kenapa?" tanya Se Pit Han heran.
"Nak!" Nyonya Se Ciang Cing berbisik di telinga putrinya. "Anak perjaka yang belajar ilmu itu, akan jadi impoten seumur hidup. Oleh karena itu, ibu dan ayah tidak mau menyuruhnya belajar ilmu tersebut."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut.
"Kalian dengar semua!" seru Se Ciang Cing mendadak. "Mulai saat ini, kalian semua dilarang memasuki Tiong Goan, itu karena kemunculan Kiu Thian Mo Cun!"
"Ya," sahut mereka semua.
"Lima pelindung pulau, kalian dengar baik-baik!" ujar Se Ciang Cing dengan suara lantang. "Mulai besok, di seluruh pulau ini harus dipasang jebakan!"
"Ya." Sahut lima pelindung pulau serentak.
"Dan ……" tambah Se Ciang Cing. "Mulai saat ini, kalian semua harus giat berlatih ilmu masing-masing, demi menjaga kemunculan pihak Kiu Thian Mo Cun!"
"Kami menerima perintah!"
Tiba-tiba seseorang berlari memasuki rang itu, lalu menjura pada Se Ciang Cing seraya melapor.
"Ada tamu ingin bertemu tocu!"
"Apa?!" Se Ciang Cing tercengang. "Siapa tamu itu?"
"Swat San Lo Jin, Ouw Yang Seng Tek, Hek Ai Lan dan Hek Siau Liong." Orang itu memberitahukan.
"Hek Siau Liong?" Se Ciang Cing mengernyitkan kening.
"Tocu! Hek Siau Liong itu mirip Pek Giok Liong ……" Se Khi memberitahukan tentang Hek Siau Liong itu.
"Oh?" Se Ciang Cing mengernyitkan kening lagi. "Kalau begitu, cepat undang mereka masuk!"
Orang yang melapor itu segera menjura, lalu pergi mengundang mereka masuk. Tak lama kemudian tampak Swat San Lo Jin, Ouw Yang Seng Tek, Hek Ai Lan dan Pek Giok Houw memasuki ruang istana.
"Ha ha ha!" Ouw Yang Seng Tek tertawa gelak. "Sungguh indah dan mewah istana Pelangi ini!"
"Selamat datang Swat San Lo Jin, Ouw Yang Seng Tek, Hek Bi Jin dan …… Hek Siau Liong!" ucap Se Ciang Cing sambil menatap Pek Giok Houw dan membatin. Memang mirip Pek Giok Liong, kok bisa mirip begitu?
"Apa kabar, Tocu?" tanya Swat San Lo Jin.
"Baik-baik saja," sahut Se Ciang Cing. "Silakan duduk, lo cianpwee!"
Mereka duduk, sementara Se Pit Han terus-menerus menatap Pek Giok Houw. Pemuda itu memang serupa dengan Pek Giok Liong, hanya saja Pek Giok Liong agak tinggi.
"Maaf!" ucap Ouw Yang Seng Tek. "Kedatangan kami telah mengganggu kalian!"
"Tidak apa-apa." Se Ciang Cing tersenyum. "Kedatangan kalian tentunya mempunyai sesuatu yang penting, kan?"
"Betul." Ouw Yang Seng Tek mengangguk. "Yakni menyangkut Kiu Thian Mo Cun."
"Jadi kalian sudah tahu peristiwa Pek Giok Liong?" tanya Se Ciang Cing.
"Justru karena itu, kami berkunjung ke mari," sahut Swat San Lo Jin.
"Di samping itu, kami juga ingin menyampaikan sesuatu yang amat penting." sambung Ouw Yang Seng Tek.
"Oh?" Se Ciang Cing menatapnya. "Tetua Kay Pang ingin menyampaikan apa?"
"Mengenai Hek Siau Liong ini," jawab Ouw Yang Seng Tek, lalu memandang Hek Ai Lan. "Hek Bi Jin, beritahukanlah!"
"Se tocu!" ujar Hek Ai Lan. "Nama asli Hek Siau Liong adalah Pek Giok Houw ……"
"Apa?" Se Ciang Cing terbelalak. "Nama aslinya Pek Giok Houw? Jadi …… dia adalah ……"
"Adik kembar Pek Giok Liong." Hek Ai Lan memberitahukan.
"Oh?" Nyonya Se Ciang Cing menatapnya. "Tapi …… kenapa Pek Mang Ciu dan istrinya tidak pernah memberitahukan pada kami, lagi pula …… Pek Giok Liong pun tidak tahu tentang ini."
"Benar." Hek Ai Lan manggut-manggut. "Setelah istri Pek Mang Ciu melahirkan anak kembar ……"
Hek Ai Lan menutur tentang dirinya mencuri salah satu bayi kembar itu. Se Ciang Cing dan istrinya mendengar dengan mata terbelalak, begitu pula Se Pit Han dan lainnya.
"Kalau begitu, dia …… dia anak Pek Mang Ciu!" Se Ciang Cing menatap Pek Giok Houw dengan penuh perhatian.
"Itu memang benar." ujar Hek Ai Lan.
"Ohya!" Se Ciang Cing menatapnya. "Kenapa engkau menculik salah satu anak kembar Pek Mang Ciu?"
"Karena …… karena ……" Hek Ai Lan menundukkan kepala.
"Hek Bi Jin sangat mencintai Pek Mang Ciu." sambung Ouw Yang Seng Tek sambil tertawa, sekaligus menceritakan tentang itu.
"Oooh!" Se Ciang Cing manggut-manggut. "Ternyata begitu!"
"Nak!" ujar Hek Ai Lan pada Pek Giok Houw. "Cepatlah engkau memberi hormat pada paman dan bibimu!"
"Giok Houw memberi hormat pada Paman dan Bibi!" Pek Giok Houw segera memberi hormat.
"Anak baik!" Se Ciang Cing tertawa.
"Nak! Beri hormat pada kakak misanmu!" ujar Hek Ai Lan.
"Kak misan, terimalah hormatku!" ucap Pek Giok Houw sambil menjura pada Se Pit Han.
"Adik Houw ……" Mata Se Pit Han bersimbah air. "Kakakmu telah mati ……"
"Aku sudah tahu, maka aku sudah mengambil keputusan untuk membalas dendamnya," sahut Pek Giok Houw.
"Tapi …… kepandaiamu masih rendah." Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala.
"Se tocu!" ujar Swat San Lo Jin. "Kami antar Giok Houw ke mari untuk bertemu kalian, sekaligus agar dia bisa belajar ilmu tingkat tinggi di sini."
"Ngmmm!" Se Ciang Cing manggut-manggut. "Itu memang bagus, kami pasti menerimanya dengan senang hati."
"Terimakasih, Paman!" ucap Pek Giok Houw cepat sambil memberi hormat.
"Ha ha!" Se Ciang Cing tertawa gembira. "Giok Houw, engkau juga memiliki sifat seperti Giok Liong."
"Mereka saudara kembar, tentunya sama sifat mereka," sahut Ouw Yang Seng Tek sambil tertawa gelak, kemudian mendadak wajahnya berubah serius. "Pek Giok Liong tidak dapat melawan Kiu Thian Mo Cun, lalu bagaimana dengan Pek Giok Houw?"
"Sebelum kemunculan kalian, kami telah memikirkan hal ini." Se Ciang Cing memberitahukan. "Kami masih menyimpan sebuah kitab."
"Oh?" Wajah Ouw Yang Seng Tek berseri. "Kitab apa itu?"
"Bu Kek Cin Keng."
"Bu Kek Cin Keng?" Ouw Yang Seng Tek mengernyitkan kening. "Apakah itu kitab doa?"
"Bukan." Se Ciang Cing menjelaskan. "kitab Bu Kek Cin Keng ini memuat pelajaran ilmu lwee kang yang amat tinggi, hanya anak perjaka yang boleh belajar tapi ……"
"Kenapa?" tanya Swat San Lo Jin.
"Perjaka mana pun yang belajar ilmu itu seumur hidup tidak boleh kawin." Se Ciang Cing memberitahukan.
"Lho, Kenapa?" tanya Swat San Lo Jin heran.
"Karena …… akan impoten seumur hidup."
"Haah ……?" Swat San Lo Jin dan Ouw Yang Seng Tek saling memandang, kemudian mereka mengarah pada Hek Ai Lan.
"Aku tidak bisa mengambil keputusan, itu tergantung pada Pek Giok Houw." ujar Hek Ai Lan.
"Demi membalas dendam Kakak Liong, aku bersedia belajar ilmu itu," sahut Pek Giok Houw sungguh-sungguh.
"Nak!" Hek Ai Lan menatapnya. "Tapi seumur hidup engkau tidak bisa kawin. Maka alangkah baiknya pikirkanlah masak-masak dulu!"
"Ibu, aku cuma memikirkan dendam Kakak Liong, sama sekali tidak memikirkan soal kawin." tegas Pek Giok Houw.
"Bagus! Bagus!" Ouw Yang Seng Tek tertawa gelak.
"Apa yang bagus?" tegur Swat San Lo Jin sambil melotot. "Apakah Giok Houw harus menempuh jalanmu tidak kawin seumur hidup?"
"Menempuh jalan kita," sahut Ouw Yang Seng Tek. "Bukankah saudara tua juga tidak kawin seumur hidup?"
"Paman, Bibi!" ujar Pek Giok Houw yang telah mengambil keputusan. "Aku bersedia belajar Bu Kek Sin Kang."
"Ngmm!" Se Ciang Cing manggut-manggut.
"Ohya!" Se Pit Han teringat sesuatu, lalu mengeluarkan sebuah kitab dan diserahkan pada Se Ciang Cing. "Ayah, sebelum Kiu Thian Mo Cun muncul, adik Liong memberikan kitab ini padaku, mungkin berguna untuk Adik Houw!"
"Oh?" Se Ciang Cing terbelalak setelah melihat kitab itu, yang ternyata 'Kitab Ajaib'. Siapa yang belajar ilmu di dalam kitab itu, maka seumur hidup tidak boleh kawin.
"Kitab apa itu?" tanya Nyonya Se Ciang Cing.
"Ini 'Kitab Ajaib'," Se Ciang Cing memberitahukan. "Giok Houw boleh belajar ilmu yang ada di dalam kitab ini."
"Se tocu! Kitab apa itu?" tanya Ouw Yang Seng Tek.
"Kitab Ajaib." Se Ciang Cing memperlihatkan kitab itu.
"Wuah!" seru Ouw Yang Seng Tek. "Kitab yang luar biasa! Giok Houw memang berjodoh dengan kitab ajaib ini!"
"Se tocu!" Swat San Lo Jin menatapnya seraya bertanya, "Kalau Giok Houw sudah berhasil belajar Bu Kek Sin Kang dan Kitab Ajaib ini, apakah dia bisa mengalahkan Kiu Thian Mo Cun?"
"Entahlah." Se Clang Cing menggelengkan kepala. "Sebab kita harus tahu, lwee kang Pek Giok Liong sudah begitu tinggi, namun masih di bawah lwee kang Kiu Thian Mo Cun. Lagi pula Kiu Thian Mo Cun memiliki Hek Sim Sin Kang dan Hek Sim Tok Ciang yang amat dahsyat, bahkan juga amat beracun. Maka sulit bagi Giok Houw mengalahkannya dengan ilmu Bu Kek Sin Kang dan ilmu yang ada di dalam Kitab Ajaib ini."
"Kalau begitu ……" Ouw Yang Seng Tek tampak lemas. "Percuma juga dia belajar ……"
"Tidak percuma," sahut Se Ciang Cing. "Sebab dia masih bisa menjaga diri dengan ilmu-ilmu itu."
"Selain ilmu-ilmu itu, dia juga boleh belajar ilmu Cai Hong To," tambah Nyonya Se Ciang Cing.
"Terimakasih Paman, terimakasih Bibi!" ucap Pek Giok Houw haru dan berjanji, "Setelah aku berhasil belajar semua ilmu itu, aku pasti pergi mencari Kiu Thian Mo Cun untuk menuntut balas kematian Kakak Liong!"
"Bagus." Ouw Yang Seng Tek tertawa gelak. "Pokoknya pihak Kay Pang pasti membantu dalam hal ini."
"Terimakasih, Paman pengemis!" ucap Pek Giok Houw.
"Giok Houw ……" Ouw Yang Seng Tek menatapnya dalam-dalam. "Engkau boleh dikatakan jelmaan Giok Liong."
"Paman pengemis, kami saudara kembar, tentunya akan saling menjelma jadi satu." ujar Pek Giok Houw.
"Ohya! Kalau begitu, kami mau mohon diri!" ujar Swat San Lo Jin, lalu memandang Hek Ai Lan. "Bagaimana engkau? Mau tinggal di sini atau kembali ke Thian San?"
"Aku ……" Hek Ai Lan bimbang.
"Hek Bi Jin!" Nyonya Se Ciang Cing tersenyum. "Lebih baik engkau tinggal di sini bersama Pek Giok Houw!"
"Terimakasih, tocu hujin!" ucap Hek Ai Lan.
"Jangan sungkan-sungkan!" Nyonya Se Ciang Cing tersenyum lagi. "Nanti akan kusuruh kepala pengurus istana menyediakan sebuah kamar untukmu."
"Terimakasih!"
"Se tocu! Aku dan pengemis bau mau pergi. Kalau ada berita apa pun di bu lim, kami pasti ke mari memberitahukan," ujar Swat San Lo Jin.
"Lo cianpwee! Mulai besok di seluruh pulau ini akan di pasang jebakan, maka aku akan berikan tanda pengenal pada kallian," Kata Se Ciang Cing, lalu memberikan mereka tanda pengenal.
"Eh?" Ouw Yang Seng Tek tercengang. "Semua orang di sini sudah mengenal kami, kok masih harus punya tanda pengenal?"
"Demi menjaga hal-hal yang tak diinginkan." Se Ciang Cing memberitahukan. "Siapa tahu ada orang tertentu akan menyamar sebagai diri kalian untuk menyusup ke mari, maka kami perlu berhati-hati."
"Betul." Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Se tocu memang harus waspada, siapa tahu Kiu Thian Mo Cun akan mengutus orangnya menyusup ke mari."
"Selain tanda pengenal, harus pula ada kata-kata sandi." tambah Se Ciang Cing.
"Apa kata-kata sandi itu?" tanya Ouw Yang Seng Tek.
"Jit Seng Tong Hong (Matahari terbit diufuk timur)!" Se Ciang Cing memberitahukan.
"Akan kuingat kata-kata sandi itu." Ouw Yang Seng Tek manggut-manggut.
"Memang lebih baik berhati-hati," ujar Swat San Lo Jin. "Agar pihak Kiu Thian Mo Cun tidak bisa mengutus orangnya menyusup ke mari. Baiklah, kami mau mohon diri!"
"Guru ……" Pek Giok Houw merasa berat berpisah dengan Swat San Lo Jin.
"Giok Houw!" Swat San Lo Jin tersenyum. "Kita pasti berjumpa lagi, baik-baiklah engkau belajar kepandaian tingkat tinggi di sini, jangan mengecewakan kami!"
"Ya, Guru." Pek Giok Liong mengangguk.
"Se tocu, sampai jumpa!" ucap Swat San Lo Jin.
"Selamat jalan, lo cianpwee!" sahut Se Ciang Cing.
"Se tocu, aku mohon diri!" ucap Ouw Yang Seng Tek, "Sampai berjumpa lagi kelak!"
"Selamat jalan, Ouw Yang Pang Cu!" Se Ciang Cing mengantar mereka sampai di depan istana. Setelah mereka berdua pergi jauh, barulah ia kembali ke dalam istana dan duduk. "Giok Houw ……"
"Ya, Paman!"
"Sungguhkah engkau ingin belajar Bu Kek Sin Kang dan Kitab Ajaib itu?" tanya Se Ciang Cing sambil menatapnya tajam.
"Sungguh, Paman." Pek Giok Houw mengangguk.
"Tentunya engkau tahu apa resikonya kan?"
"Tahu, Paman."
"Engkau tidak akan menyesal?"
"Demi membalas dendam Kakak Liong, aku sama sekali tidak akan menyesal."
"Baiklah!" Se Ciang Cing manggut-manggut. "Engkau boleh mulai belajar esok di ruang rahasia. Kalau sudah masuk ke ruang rahasia itu, engkau tidak boleh ke luar, kecuali berhasil belajar ilmu-ilmu itu."
"Ya, Paman."
"Ohya, Hek Bi Jin!" Se Ciang Cing tersenyum. "Kepala pengurus istana akan menyiapkan sebuah kamar untukmu, temanilah Giok Houw malam ini!"
"Terimakasih, Se tocu!" ucap Hek Ai Lan.
"Nah, sekarang kalian boleh beristirahat dulu." Kemudian Se Ciang Cing berkata pada kepala pengurus istana. "Ajak mereka ke dalam dan tunjukan kamar itu!"
"Ya." Kepala pengurus istana menjura, lalu mengajak Hek Ai Lan dan Pek Giok Houw ke dalam.
"Pit Han!" panggil Se Ciang Cing.
"Ada apa, Ayah?" tanya Se Pit Han.
"Mulai besok, engkau pun harus memperdalam kepandaianmu!" pesan Se Ciang Cing sungguh-sungguh.
"Ayah, kini adik Liong sudah tiada, untuk apa aku memperdalam ilmu silat lagi?" Se Pit Han tampak tiada gairah terhadap apa pun.
"Nak!" ujar Nyonya Se Ciang Cing sambil tersenyum lembut, ia tahu maksud tujuan suaminya kenapa menyuruh Se Pit Han memperdalam ilmu silatnya. Tidak lain agar Se Pit Han tidak terlampau memikirkan Pek Giok Liong yang sudah tiada itu. "Kalau ilmumu bertambah tinggi, kelak engkau kan boleh menuntut balas pada Kiu Thian Mo Cun?"
"Baiklah!" Se Pit Han mengangguk.
Keesokan harinya, Pek Giok Houw diantar kepala pengurus istana ke ruang rahasia, untuk belajar Bu Kek Sin Kang dan ilmu-ilmu yang terdapat di dalam Kitab Ajaib. Sedangkan Se Pit Han pun mulai memperdalam ilmu silatnya.
Sementara itu, Kiu Thian Mo Cun pun menutup diri di sebuah ruang rahasia dalam istananya. Ia pun mulai berlatih lagi ilmu Hek Sim Sin Kang dan Hek Sim Tok Ciang yang maha dahsyat itu.
Lalu bagaimana nasib Pek Giok Liong yang terpukul jatuh ke dalam jurang itu? Si Kim Kong bersusah payah turun ke dasar jurang dengan tali, namun mereka tidak menemukan mayat Pek Giok Liong. Betulkah mayat Pek Giok Liong telah dimangsa binatang buas?
Ternyata tidak, ketika tubuh Pek Giok Liong melayang turun ke jurang, ia sudah pingsan terpukul Kiu Thian Mo Cun, bahkan mukanya pun terhantam pukulan itu pula, mengakibatkan muka Pek Giok Liong jadi rusak terkena racun.
Masih untung ia memiliki Thai Ceng Sin Kang melindungi jantungnya, kalau tidak, ia pasti sudah mati.
Pek Giok Liong memang belum ditakdirkan mati. Tubuhnya menyangkut di sebuah pohon yang tumbuh di tebing gunung. Dua hari dua malam ia menyangkut di dahan pohon itu dalam keadaan pingsan.
Pada hari ketiga, mendadak turun hujan deras membuat sekujur badannya basah kuyup, namun ia masih dalam keadaan pingsan dan nafasnya pun mulai lemah.
Berselang beberapa saat kemudian, hujan mulai reda. Di saat itu tampak seekor ular merayap di dahan tempat Pek Giok Liong tersangkut.
Panjang ular itu cuma setengah meter, tapi ular tersebut sungguh aneh dan amat indah. Di kepala ular itu terdapat sebuah tanduk kecil yang memancarkan sinar putih bergemerlapan, dan tujuh macam warna menghiasi sisik-sisiknya.
Ular apa itu? Ternyata Cian Nian Cit Sek Tok Kak Coa (Ular tujuh warna bertanduk satu yang telah berusia seribu tahun). Ular tersebut sangat beracun, namun juga sangat berkhasiat bagi orang yang punya lwee kang.
Akan tetapi, siapa tergigit ular itu, beberapa detik saja pasti mati terkena racunnya.
Sementara ular itu terus merayap mendekati Pek Giok Liong. Setelah dekat, ular tersebut pun berhenti. Sepasang matanya menatap Pek Giok Liong dengan tajam, kelihatanya ular itu tertarik pada sesuatu yang ada di dalam tubuh Pek Giok Liong.
Sekoyong-konyong ular itu menggigit lengan Pek Giok Liong. Sungguh mengherankan, ular itu tidak mau melepaskan gigitan. Beberapa saat kemudian, sekujur tubuh Pek Giok Liong bergetar seperti kena strom.
Berselang sesaat, terjadi lagi hal yang aneh. Tanduk ular yang memancarkan sinar putih gemerlapan itu tampak mulai suram, kemudian berubah hitam. Setelah itu, barulah ular tersebut melepaskan gigitannya, lalu merayap pergi.
Tak seberapa lama kemudian, badan Pek Giok Liong pun mulai bergerak. Ternyata racun ular itu telah memusnahkan racun yang ada di dalam tubuh Pek Giok Liong. Bahkan ular itu pun menyedot racun tersebut, sehingga membuat tanduk ular itu berubah hitam.
Itu memang merupakan kejadian mujizat, sebab kini Pek Giok Liong sudah kebal terhadap racun apa pun. Bahkan tenaga dalamnya pun bertambah berlipat ganda.
Perlahan-lahan Pek Giok Liong membuka matanya. Ia tampak tercengang ketika melihat tempat itu. Kemudian ia pun teringat kembali apa yang telah terjadi atas dirinya, dan seketika juga ia menarik nafas lega.
"Aaakh ……! Aku belum mati, tapi ……" Tiba-tiba ia teringat pada Siauw Hui Ceh dan Cing Ji yang terkena pukulan Kiu Thian Mo Cun lantaran ingin melindungi dirinya. "Bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka sudah mati atau masih hidup ……?"
Pek Giok Liong mulai turun. Ketika sampai di bawah, ia pun terbelalak karena pohon itu tumbuh di tebing gunung. Ia melihat ke bawah, betapa terperanjat hatinya, sebab jurang itu masih belum terlihat dasarnya.
Bagaimana mungkin ia turun ke bawah atau memanjat ke atas, karena tebing itu sangat licin. Meskipun ia mengerahkan ginkangnya, juga tidak bisa sampai ke atas.
Ia menengok ke sana ke mari, tiba-tiba matanya tertuju pada sisi pohon. Ternyata terdapat sebuah goa kecil di situ. Segeralah ia mendekati goa itu dan memandang ke dalam. Walau sangat gelap namun ia dapat melihat dengan jelas sekali.
Goa itu amat dalam, hanya terdapat batu karang. Kalau mau masuk ke dalam, harus merangkak.
Pek Giok Liong berpikir sejenak, lalu merangkak ke dalam goa itu. Sungguh tak terduga sama sekali, goa itu mirip sebuah terowongan yang amat panjang. Pek Giok Liong terus merangkak, entah berapa lama kemudian, ia melihat ada sinar di ujung goa.
Bukan main girangnya Pek Giok Liong, karena ia sudah mendekati mulut goa. Tak lama kemudian, ia sudah ke luar dari mulut goa tersebut dan sepasang matanya terbelalak lebar.
Ternyata ia melihat pemandangan alam yang amat indah, bunga-bunga liar yang berwarnawarni tumbuh teratur di situ, sehingga tempat tersebut tampak semarak. Terdengar pula suara air terjun, cepat-cepat Pek Giok Liong menuju ke tempat air terjun itu karena ingin mencuci muka.
Ia menjongkokkan badannya sepasang tangannya dijulurkan untuk mengambil air. Namun mendadak ia menjerit kaget dengan mata terbelalak, mulutnya pun ternganga lebar.
"Mukaku …… mukaku ……" Pek Giok Liong mengusap mukanya. "Kenapa mukaku berubah begitu buruk? Aaaakh ……!"
Pek Giok Liong jatuh duduk di situ. Berselang sesaat barulah ia menyadari kenapa mukanya berubah begitu buruk, penuh benjolan yang kehitam-hitaman.
Itu akibat terhantam pukulan Kiu Thian Mo Cun, tapi kenapa ia tidak mati? Tentang ini membuatnya tidak habis berpikir. Ketika ular beracun menggigitnya, ia masih dalam keadaan pingsan.
"Aaakh ……" Pek Giok Liong menarik nafas panjang. "Sudahlah! Wajahku rusak begini tidak apa-apa, yang penting aku harus membunuh Kiu Thian Mo Cun, lalu mengasingkan diri di sini. Karena wajahku telah rusak begini, aku pun tidak akan bertemu Kak Han lagi ……"
Pek Giok Liong bangkit berdiri, ia mengayunkan kakinya tanpa tujuan. Namun hatinya masih terhibur, karena pemandangan di tempat itu amat indah menakjubkan.
Ia terus melangkah, tiba-tiba matanya terbelalak karena melihat di tempat itu terdapat meja dan tempat duduk yang terbuat dari batu. Itu pertanda tempat tersebut pernah dihuni orang.
Di tempat itu juga terdapat sebuah goa yang amat besar. Ia memandang ke dalam goa itu. Karena hatinya merasa tertarik ia pun mamasuki goa tersebut.
Ruangan goa itu terang benderang. Yang menerangi goa itu bukan sinar matahari, melainkan sinar yang amat terang, yang dipancarkan oleh butir-butir mutiara yang menempel di dinding goa.
Pek Giok Liong menengok ke sana ke mari. Mendadak ia tampak terkejut karena melihat sosok bersandar pada dinding goa. Bayangan itu ternyata tengkorak manusia yang masih utuh dengan pakaiannya.
Perlahan-lahan Pek Giok Liong mendekati rangka itu, lalu berlutut memberi hormat.
"Maafkan teecu, lo cianpwee!" ucapnya. "Teecu tidak sengaja mendatangi tempat ini, sehingga mengganggu ketenangan lo cianpwee!"
Ketika menundukkan kepalanya dalam-dalam, Pek Giok Liong melihat tulisan pada batu di hadapan tengkorak itu, lalu segera membacanya.
Siapa yang memasuki tempat ini, berarti berjodoh denganku. Walau aku berhasil memukul Kiu Thian Mo Cun jatuh ke jurang, namun aku pun terluka oleh pukulannya yang beracun. Itu adalah pukulan Hek Sim Tok Ciang yang amat ganas dan beracun.
Beberapa partai besar sangat berterimakasih padaku karena telah membasmi Maha Iblis Langit Sembilan itu, maka para ketua partai besar itu bersepakat membuat sebuah panji untukku, panji itu disebut Jit Goat Seng Sim Ki. Siapa yang berkaitan melihat panji itu, harus bergabung dan tunduk pada pemegang panji.
Panji tersebut kuwariskan pada muridku, setelah itu aku pun mengundurkan diri dari rimba persilatan. Tanpa sengaja aku menemukan tempat yang amat rahasia dan indah ini. Tempat ini berada di dalam perut Gunung Yan San, dan secara kebetulan aku memperoleh semacam buah aneh. Khasiat buah tersebut dapat menambah lwee kang orang, maka buah aneh itu kubikin jadi semacam obat. Sungguh di luar dugaan, buah itu pun dapat memunahkan berbagai macam racun ganas, kusimpan di dalam botol porselin di sisiku. Ingat! Untuk menambah lwee kang, hanya boleh makan satu butir. Lebih banyak dari satu butir, akan mati muntah darah. Kalau terkena racun ganas, boleh makan dua butir. Kalau lebih dari dua butir, akan mati muntah darah.
Setelah racun di dalam tubuhku punah, ilmu silaiku pun ikut punah, itu karena racun pukulan Kiu Thian Mo Cun telah lama mengidap di dalam tubuhku. Oleh karena itu, aku tetap tinggal di sini.
Setelah lama mengasingkan diri di sini, aku pun berfirasat bahwa Kiu Thian Mo Cun akan muncul di bu lim lagi, tapi aku tidak tahu kapan dia akan muncul untuk menguasai bu lim. Dikarenakan itu, aku meninggalkan sebuah buku untuk yang berjodoh.
Itu adalah buku Jit Goat Seng Sim Pit Kip, yang memuat ilmu Jit Goat Seng Sim Sin Kang (Tenaga sakti Hati Suci Matahari Bulan) dan Jit Goat Seng Sim Ciang Hoat (Ilmu pukulan tangan kosong Hati Suci Matahari Bulan). Ilmu pukulan tersebut terdiri dari tujuh jurus, dan setiap jurus mempunyai tujuh perubahan. Ilmu ini amat dahsyat, maka jangan sembarangan mempergunakannya.
Aku cuma sampai tingkat ketujuh, belum mencapai tingkat kesepuluh, yakni tingkat kesempurnaan. Kalau sudah mencapai tingkat kesepuluh, sekujur badan akan memancarkan cahaya putih.
Karena Kiu Thian Mo Cun sudah mengganas di bu lim, maka aku terpaksa memunculkan diri untuk membasminya. Namun ilmuku cuma mencapai tingkat ketujuh, sehingga diriku pun terluka oleh Hek Sim Tok Ciang yang dimiliki Kiu Thian Mo Cun itu.
Oleh karena itu, siapa yang berjodoh dengan buku ini, haruslah belajar sampai tingkat kesepuluh, barulah bisa membasmi Kiu Thian Mo Cun.
Setelah aku berhasil memukul jatuh Kiu Thian Mo Cun kejurang, bu lim pun menjadi aman. Para ketua partai besar amat berterimakasih padaku, dan mereka menghadiahkan kitab silat tingkai tinggi padaku. Aku terpaksa menerimanya karena terus mendesakku. Karena ilmu-ilmu tersebut amat tinggi dan sulit dimengerti, maka para ketua partai cuma menyimpan saja, dan dijadikan kitab pusaka partai masing-masing.
Aku khawatir, kitab-kitab itu akan rusak, maka kusalin dihalaman belakang Jit Goat Seng Sim Pit Kip dengan semacam getah pohon yang tidak akan luntur terkena air.
Aku tidak tahu siapa engkau yang berjodoh, namun engkau pun boleh belajar ilmu-ilmu dari partai besar itu. Akan tetapi, engkau pun harus mengembalikan dengan cara mengajar pada para ketua partai.
Pergunakan ilmu-ilmu ini untuk kebaikan, jangan melakukan kejahatan, sebab engkau akan mati oleh ilmu sendiri.
Setelah engkau berhasil mencapai tingkat kesepuluh, barulah engkau boleh meninggalkan tempat ini melalui jalan yang engkau lalui ketika masuk itu. Dan engkau pun harus mencari panji Hati Suci Matahari Bulan.
Jit Goat Seng Sim Pit Kip berada di bawah batu yang di hadapanku. Setelah engkau membenturkan kepalamu tiga kali di tanah, barulah engkau boleh mengambil buku itu? Selamat belajar!
Seng Sim Tayhiap
Seusai membaca tulisan itu, Pek Giok Liong merasa dirinya dalam mimpi. Sama sekali tidak menyangka akan menemui tengkorak kakak gurunya di goa itu. Itu membuatnya girang bukan main.
"Kakek guru, aku Pek Giok Liong cucu muridmu." ucap Pek Giok Liong sambil memberi hormat dalam keadaan berlutut. "Panji Hati Suci Matahari Bulan berada di tanganku. Karena aku adalah generasi kelima pemegang panji itu. Aku bersumpah pasti membasmi Kiu Thian Mo Cun itu. Kakek guru, terimalah sembah sujud dari cucu muridmu!"
Pek Giok Liong membenturkan kepalanya tiga kali ke tanah, mendadak ia mendengar 'Krak', batu yang di hadapan tengkorak itu bergerak dan tampak sebuah lubang kecil. Di dalam lubang itu terdapat sebuah kotak besi.
"Kakek guru, cucu murid akan mengambil kotak besi itu," ucap Pek Giok Liong sambil menjulurkan tangannya mengambil kotak besi tersebut.
Setelah itu, ia pun membuka mulut besi tersebut. Di dalamnya berisi sebuah buku yang bertuliskan 'Jit Goat Seng Sim Pit Kip'.
"Terimakasih, Kakek guru!" ucap Pek Giok Liong dan menyembah lagi, barulah mengambil buku itu. Tampak secarik kertas di situ, lalu dibacanya.
Engkau memang pemuda yang baik. Aku yakin engkau pasti berhasil mencapai sampai tingkat kesepuluh. Mengenai tulang belulangku, engkau tidak perlu menguburnya. Selamat belajar, Nak!
Seng Sim Tayhiap
"Aku pasti belajar sampai mencapai tingkat kesepuluh, dan tidak akan mengecewakan Kakek guru!" ucap Pek Giok Liong, lalu mulai membuka buku tersebut. Pada waktu bersamaan, mendadak ia teringat sesuatu sehingga langsung berseru.
"Obat yang ada di dalam botol porselin, bukankah dapat memunahkan berbagai macam racun? Kalau begitu ……" Pek Giok Liong segera mengambil botol porselin yang berisi obat tersebut. "Aku harus makan dua butir, mudah-mudahan mukaku bisa sembuh!"
Pek Giok Liong membuka tutup botol dan menuang dua butir obat itu, kemudian di masukkan ke dalam mulutnya. Setelah itu, ditutupnya kembali botor porselin itu, dan dikembalikan pada tempatnya.
"Apakah mukaku akan pulih seperti semula?" gumamnya. "Kalau tidak bisa pulih …… ya sudahlah! Aku akan menutup mukaku dengan kain putih."
Pek Giok Liong mulai belajar Jit Goat Seng Sim Sin Kang, dan membaca ilmu-ilmu yang tercantum di halaman belakang Jit Goat Seng Sim Pit Kip. Setelah membaca, ia pun terkejut karena semua ilmu itu merupakan ilmu simpanan beberapa partai besar. Yakni Siau Lim Tat Mo Sin Kang, Tat Mo Kiam Hoat dan Tat Mo Ciang Hoat. Butong Hian Thian Sin Kang, Hian Thian Kiam Hoat dan Hian Thian Ciang Hoat. Hwa San Thay Yang Sin Kang, Thay Yang Kiam Hoat dan Thay Yang Ciang Hoat. Gobi Bu Siang Sin Kang, Bu Siang Kiam Hoat dan Bu Siang Ciang Hoat. Khong Tong Bie Lek Sin Kang, Bie Lek Kiam Hoat dan Bie Lek Ciang Hoat. Semua ilmu itu adalah ilmu simpanan partai-partai tersebut, namun tiada seorang pun dalam partai-partai tersebut berhasil belajar ilmu simpanan itu.
Akan tetapi, Pek Giok Liong justru mampu dan ia pun harus mengembalikan ilmu-ilmu itu pada para ketua partai tersebut.
*
* *
(Bersambung bagian 55) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar