Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 01 Agustus 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 49 dan 50

Sambungan dari no 48 ...


Bagian ke 49. Lereng Gunung Lima Harimau
Sore ini, tampak tujuh orang menunggang kuda ke luar dari ekspedisi Yang Wie. Salah seorang dari mereka berbadan tinggi besar berusia lima puluhan, yakni Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong. Sedangkan enam orang lainnya adalah pengawal pilihan ekspedisi. Tampak pula sebuah bungkusan kecil terikat pada punggung kuda Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong.
Bungkusan yang diikat pada punggung Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong itu adalah sebuah kotak besi, barang kiriman untuk ke ibu kota dari pemuda berwajah pucat yang menyebut dirinya pangeran.
Malam harinya setelah pangeran itu pergi, Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong dan beberapa orang pengawal itu berhasrat sekali membuka kotak besi untuk melihat barang yang ada di dalamnya. Namun karena barang itu kiriman pangeran, akhirnya mereka pun tidak berani membukanya.
Sementara ketujuh ekor kuda itu terus berlari kencang, melewati kaki gunung Song menuju ke Ho Pak dan langsung menuju ibu kota.
Song San merupakan tempat yang amat terkenal, karena di gunung itu berdiri sebuah vihara, yakni vihara Siau Lim, tentunya di daerah itu sangat aman.
Perlu diketahui, partai Siau Lim merupakan kepala dari cit pay (Tujuh partai besar) it pang (Satu perkumpulan), yakni Kay Pang.
Oleh karena itu, siapa yang berani membuat kasus di daerah tersebut? Bukankah akan menjadi musuh cit pay it pang?
Justru sungguh di luar dugaan, di tempat yang amat aman ini telah terjadi sesuatu. Ketika Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong dan enam anak buahnya melewati lereng gunung Lima Harimau, mendadak muncul lima orang tua berjubah abu-abu menghadang mereka.
Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong segera mengeluarkan lambang ekspedisi Yang Wie, bahkan menyebut nama dan julukannya. Namun kelima orang tua berjubah abu-abu sama sekali tidak bergeming.
Apa boleh buat! Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong dan enam anak buahnya terpaksa turun tangan. Akan tetapi, sungguh mengejutkan, hanya dalam tiga jurus, mereka bertujuh sudah tertotok jalan darah masing-masing, sehingga tidak bisa bergerak.
Setelah itu, kelima orang tua berjubah abu-abu tersebut membawa mereka ke Gunung Lima Harimau.
Seorang pemuda tampan berdiri di situ, sepasang matanya bersinar-sinar. Siapa dia? Tidak lain Pek Giok Liong. Di sampingnya berdiri Thian Kang Sing Wie Kauw dan Pat Kiam.
Lalu siapa kelima orang tua berjubah abu-abu itu? Tentunya adalah Thian Koh Siang Ma Hun dan Si Kim Kong. Mereka melempar tujuh orang itu ke bawah, lalu menjura pada Pek Giok Liong.
"Teecu berlima telah melaksanakan tugas dengan baik." ucap Thian Koh Sing Ma Hun.
"Terimakasih!" sahut Pek Giok Liong. "Jadi mereka cuma bertujuh?"
"Ya." Thian Koh Sing Ma Hun mengangguk. "Mereka cuma bertujuh."
"Ma Hun, buka jalan darah Song Yauw Tong!" Ujar Pek Giok Liong.
Thian Koh Siang Ma Hun segera membuka jalan darah Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong. Laki-laki setengah baya itu langsung bangkit berdiri lalu memandang Pek Giok Liong dan Thian Koh Siang Ma Hun seraya bertanya.
"Kenapa aku di bawa ke mari?"
"Aku cuma melaksanakan perintah," sahut Thian Koh Siang Ma Hun.
"Perintah dari siapa?" tanya Song Yauw Tong.
"Perintah dariku." sela Pek Giok Liong. "Aku ingin bicara denganmu!"
"Maaf!" Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong menatapnya. "Siapa Anda?"
Pek Giok Liong tersenyum. "Kemarin kita bertemu, kok engkau sudah lupa sekarang?" jawabnya kemudian.
"Apa?" Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong tertegun. "Kemarin kita bertemu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Bahkan kita pun mengobrol cukup lama. Tentunya engkau belum lupa kan?"
Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong tercengang. Ia menatap Pek Giok Liong dengan penuh perhatian dan mendadak hatinya tergerak. Namun ketika ia baru mau membuka mulut, Pek Giok Liong telah mendahuluinya.
"Kemarin aku mengunjungi ekspedisi Yang Wie ……" Pek Giok Liong tersenyum dan melanjutkan, "Ingatkah kau sekarang?"
"Ooh! Jadi Anda Pangeran itu?"
"Tidak salah, dia memang aku!"
"Kalau begitu, Anda bukan seorang Pangeran?"
"Seandainya aku seorang Pangeran, bagaimana mungkin berada di sini, dan mengutus beberapa orang untuk meringkus kalian?"
"Aku mau bertanya ……"
"Tanyalah!"
"Dari mana anak buahmu memperoleh tanda pengenal khusus istana?"
"Kini aku pula yang bertanya, pernahkah engkau melihat tanda pengenal itu?" Pek Giok Liong balik bertanya sambil tertawa.
"Tidak pernah."
"Kalau engkau tidak pernah melihat tanda pengenal itu, maka engkau pun harus mengerti!"
"Apakah tanda pengenal itu palsu?"
"Engkau sudah banyak bertanya." Pek Giok Liong tersenyum hambar.
"Anda sungguh bernyali, berani memalsukan tanda pengenal istana! Hukumannya ……"
"Kemarin engkau cuma merupakan seorang hamba, lagi pula engkau sendiri yang mengaku sebagai hamba, kan?"
Wajah Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong langsung memerah.
"Kenapa Anda menyamar sebagai pangeran? Kenapa Anda berbuat begitu?" tanyanya.
"Kalau aku tidak menyamar sebagai pangeran dan tidak berbuat begitu, apakah engkau mau menemuiku dan mengantar kotak besi itu?"
"Sungguhkah Anda menghendaki aku mengantar kotak besi ini ke ibu kota?" tanya Song Yauw Tong sambil menatapnya.
"Tentu tidak."
"Kalau begitu, apa maksud tujuan Anda?"
"Agar engkau ke luar dari ekspedisi Yang Wie."
Kening Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong berkerut, lalu menatap Pek Giok Liong tajam.
"Ini karena apa?"
"Ingin bicara denganmu."
"Bukankah kemarin bisa bicara di dalam ekspedisi Yang Wie?"
"Itu tidak leluasa."
"Ohya! Siapakah Anda sebenarnya?"
"Kupikir engkau sudah dapat menduga."
"Aku …… sangat bodoh, tidak bisa menduga siapa Anda."
"Cobalah engkau terka!"
"Otakku tumpul, tidak bisa menerka, lebih baik Anda yang memberitahukan!"
"Baiklah." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Aku marga Pek, namaku Pek Giok Liong."
"Apa?" Wajah Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong langsung memucat. "Engkau Pek Giok Liong?"
"Tidak salah." Pek Giok Liong tersenyum. "Kini engkau sudah tahu siapa aku. Apakah engkau masih bersedia mengobrol sejenak denganku?"
"Engkau ingin membicarakan orang?"
"Mengenai orang yang melindungi ekspedisi Yang Wie."
"Oh? Apakah engkau ingin tahu siapa dia?"
"Aku sudah tahu. Kalau tidak, untuk apa membicarakannya." Pek Giok Liong tersenyum.
"Haruskah membicarakannya?"
"Memang harus."
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Mau tidak mau harus mau."
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Song Yauw Tong!" Pek Giok Liong tertawa. "Sudah lama engkau berkecimpung di kang ouw, maka engkau pun pasti tahu keadaan di depan matamu ini!"
"Memangnya kenapa?"
"Hanya ada satu jalan bagimu!"
"Apa?" Song Yauw Tong tersentak. "Jalan kematian?"
"Dugaanmu itu meleset!" Pek Giok Liong tersenyum.
"Oh?" Song Yauw Tong tertegun. "Apakah dugaanku meleset?"
"Memang meleset." Pek Giok Liong tersenyum.
"Lalu ……" Song Yauw Tong menatapnya bingung. "…… mau kau apakan diriku?"
"Tidak akan kuapa-apakan. Engkau tidak perlu cemas, hanya saja aku menghendakimu memberitahukan semuanya."
"Anda kira aku akan memberitahukan?"
"Aku punya akal untuk membuatmu membuka mulut memberitahukan!"
"Akal apa?"
"Song Yauw Tong!" Pek Giok Liong tersenyum serius sambil menatapnya tajam. "Pernahkah engkau dengar ilmu Ban Ih Cang Sim (Ribuan semut menggerogoti hati)?"
"Apa?" Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong tersentak. "Engkau ingin menghadapi dengan ilmu itu?"
"Maaf! Demi keselamatan bu lim di kolong langit, aku terpaksa menggunakan ilmu tersebut menghadapimu, agar engkau mau menceritakan semuanya!"
"Hmm!" dengus Song Yauw Tong dingin. "Kau kira aku akan takluk terhadap ilmu itu?"
Pek Giok Liong tersenyum hambar, ia menatap Song Yauw Tong dalam-dalam seraya berkata.
"Aku tahu engkau seorang pendekar dari kwan gwa, mungkin cara itu tidak akan membuatmu takluk. Tapi ……"
"Kenapa?" tanya Song Yauw Tong dingin.
"Walau engkau bukan pendekar dari golongan putih, namun aku yakin engkau masih memiliki hati yang bijak. Oleh karena itu, aku harap engkau jangan mendesakku sampai bertindak di luar batas terhadapmu ……"
"Hm!" dengus Song Yauw Tong dingin, dan menatap Pek Giok Liong tajam. "Pokoknya hatiku tidak akan tergerak oleh omongan manismu."
"Aku bicara sungguh-sungguh berdasarkan suara hati!"
"Aku tidak percaya!"
"Song Yauw Tong!" Pek Giok Liong mengernyitkan kening. "Aku masih menghargai dirimu sebagai seorang pendekar, maka aku ……"
"Engkau mengatakan demi keselamatan bu lim. Aku bertanya, bagaimana penjelasan mengenai perkataanmu itu?"
"Aku punya bukti dan itu memang merupakan kenyataan."
"Aku bertanya tentang ucapanmu tadi!"
"Song Yauw Tong! Lebih baik engkau menjawab beberapa pertanyaanku!"
"Sebetulnya engkau mau bertanya tentang apa?"
"Apakah pelindung ekspedisi Yang Wie adalah Cit Ciat Sin Kun?" Pek Giok Liong mulai bertanya.
"Tidak salah!" Song Yauw Tong mengangguk, kemudian tanyanya, "Engkau sudah tahu kok masih bertanya?"
"Apakah sekarang dia masih berada di ekspedisi Yang Wie?"
"Seharusnya masih berada di ekspedisi itu!"
"Kemarin ketika aku berkunjung ke sana, benarkah dia tidak ada?"
"Aku tidak pernah bohong."
Pek Giok Liong mengernyitkan kening sambil berpikir, setelah itu ia menatap Song Yauw Tong seraya bertanya.
"Benarkah di gedung ekspedisi Yang Wie terdapat jalan rahasia?"
"Entahlah!" Song Yauw Tong menggelengkan kepala. "Kelihatannya tidak ada, kalau ada, aku pasti tahu."
"Ini justru sangat mengherankan."
"Apa yang mengherankan?"
"Sejak Cit Ciat Sin Kun memasuki ekspedisi Yang Wie, para murid partai kami terus menerus mengawasi ekspedisi Yang Wie. Hingga kemarin aku berkunjung ke sana, para murid partai kami sama sekali tidak melihat dia ke luar. Padahal sesungguhnya dia sudah ke luar, entah dia melalui mana?"
"Maka engkau anggap ada jalan rahasia di sana?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Kalau dia tidak ke luar melalui jalan rahasia, tentunya para murid partai kami mengetahuinya."
"Jangan-jangan para murid partaimu itu tak berguna!" ujar Song Yauw Tong sambil tertawa.
"Mungkin mereka tak berguna, namun aku percaya mereka tidak akan melalaikan tugas."
"Apakah engkau begitu percaya terhadap para murid partaimu itu?"
"Ya."
"Kalau begitu, aku ingin bertanya."
"Silakan!"
"Kalian dari partai mana?"
"Seng Sim Bun (Partai Hati Suci)."
"Partai Hati Suci?" Air muka Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong tampak berubah. "Heran, aku tidak pernah dengar partaimu itu."
"Sekarang baru tahu juga tidak terlambat kan?" Pek Giok Liong tersenyum, kemudian bertanya, "Pernahkah engkau mendengar Jit Goat Seng Sim Ki?"
"Pernah." Song Yauw Tong mengangguk. "Jadi partai Hati Suci berasal dari Panji Hati Suci Matahari Bulan?"
"Benar."
"Apakah ketua partai tersebut adalah orang yang memegang Panji Hati Suci Matahari Bulan itu?"
"Tidak salah."
Sungguh mengherankan, mendadak sepasang mata Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong berbinar-binar.
"Mohon tanya di mana ketua itu?"
"Dia berada di hadapanmu."
"Oh?" Song Yauw Tong memandang Pek Giok Liong, lalu menjura dengan hormat. "Maaf, aku tadi telah berlaku tidak sopan!"
"Tidak apa-apa." Pek Giok Liong tersenyum. "Engkau tidak usah sungkan-sungkan dan banyak peradaban! Karena aku tadi berlaku kasar padamu, aku pun minta maaf!"
"Ketua jangan membuat aku jadi malu!"
"Ohya! Aku harap engkau bersedia memberitahukan semua itu, agar tidak ……"
"Aku pasti memberitahukan, tapi ……" Song Yauw Tong memandang Pek Giok Liong. "Aku. punya satu permohonan, harap Ketua mengabulkannya!"
"Apa permohonanmu, beritahukanlah!"
"Mohon Ketua memperlihatkan panji itu!" ujar Song Yauw Tong. "Aku ingin menyaksikannya."
"Ingin menyaksikan panji itu ataukah ……" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "…… ada suatu maksud lain?"
Wajah Song Yauw Tong kemerah-merahan, kemudian menundukkan kepala seraya berkata.
"Aku memang punya maksud tertentu."
Hati Pek Giok Liong tergerak, lalu tersenyum sambil merogoh ke dalam bajunya. Ia mengeluarkan panji tersebut dan berkata sungguh-sungguh.
"Ini Panji Hati Suci Matahari Bulan, silakan menyaksikannya!"
Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong memperhatikan panji itu, setelah itu mendadak ia berlutut.
"Teecu Song Yauw Tong menghadap panji dan memberi hormat pada ketua!" ucapnya.
Pek Giok Liong menyimpan kembali panji itu ke dalam bajunya, lalu ia menatap Song Yauw Tong.
"Silakan bangun!" katanya.
"Terimakasih, Ketua!" Song Yauw Tong segera bangkit berdiri.
"Song Yauw Tong, apakah ada hubungan engkau dengan Jit Goat Seng Sim Ki?" tanya Pek Giok Liong.
"Guru teecu meninggalkan amanat, asal Jit Goat Seng Sim Ki muncul, teecu harus bergabung dan sekaligus mengabdi pada panji itu."
"Oh? Siapa gurumu?"
"Teecu tidak tahu, sebab guru teecu tidak pernah memberitahukan."
"Oh?"
"Tapi sebelum guru menghembuskan nafas penghabisan, teecu diberikan semacam tanda pengenal, agar kelak diserahkan pada ketua panji."
Song Yauw Tong mengeluarkan sebuah tanda pengenal yang terbuat dari batu giok, lalu diserahkannya pada Pek Giok Liong dengan hormat.
Pek Giok Liong menerima tanda pengenal itu lalu diperiksanya. Sepasang matanyapun tampak berbinar-binar.
"Ternyata gurumu salah satu Siang Ciang (Sepasang jenderal) yang di sisi kiri kanan generasi keempat pemegang panji ini, dan engkau murid Yu Ciang Kun (Jenderal kiri) Yam Ban Seng."
"Oh?" Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong tampak gembira sekali.
"Song Yauw Tong!" panggil Pek Giok Liong.
"Teecu siap terima perintah!" Song Yauw Tong menjura.
"Bersediakah engkau meneruskan kedudukan mendiang gurumu itu?" tanya Pek Giok Liong serius.
"Teecu bersedia."
"Kalau begitu ……" Pek Giok Liong mengembalikan tanda pengenal itu pada Song Yauw Tong seraya berkata, "Mulai saat ini, engkau adalah jenderal kiri dalam partai Hati Suci."
"Terimakasih, Ketua!" Song Yauw Tong menjura dengan hormat.
"Nah, sekarang engkau harus bicara sejujurnya!" tegas Pek Giok Liong sambil memandangnya.
"Ya." Song Yauw Tong mengangguk. "Dugaan Ketua memang tidak meleset. Di gedung ekspedisi Yang Wie terdapat jalan rahasia."
"Masuk dari mana?"
"Di dalam bangunan yang ada di halaman belakang bangunan besar ekspedisi itu." Song Yauw Tong memberitahukan. "Tapi pintu ke luarnya malah ada lima."
"Semua jalan rahasia itu tembus di mana?"
"Yang paling dekat ada dua tempat, yakni sebelah selatan tembus ke toko kain Yong Heng Kie, dan yang sebelah utara tembus ke penjualan kuda."
"Ngmm!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Siapa pun tidak akan menaruh perhatian pada kedua tempat itu. Tiga jalan rahasia lainnya pasti menembus ke pinggir kota. Ya, kan?"
"Salah satu jalan rahasia itu tembus ke pelabuhan."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut lagi.
"Dua jalan rahasia lagi justru sungguh di luar dugaan tembusnya, karena yang satu menembus ke pekuburan di pinggir kota, satu lagi menembus ke vihara Lian Hoa."
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa. "Kelinci yang pintar pun cuma punya tiga liang, sedangkan Cit Ciat Sin Kun malah punya lima jalan rahasia! Itu sungguh di luar dugaan! Dia memang cerdik dan licik!"
"Benar." Song Yauw Tong mengangguk. "Benarkah vihara Lian Hoa di huni oleh para biarawati?" tanya Pek Giok Liong.
"Ya." Song Yauw Tong mengangguk lagi. "Para biarawati itu datang dari Istana Lemah Lembut."
"Kalau begitu, para biarawati itu bukan asli biarawati vihara Lian Hoa?"
"Memang bukan."
"Ke mana para biarawati vihara Lian Hoa?"
"Sebetulnya di vihara itu terdapat tiga biarawati, tapi sudah mati semua."
"Sudah mati semua," Pek Giok Liong mengerti itu, tentunya telah dibunuh oleh anak buah Cit Ciat Sin Kun.
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin. "Sungguh kejam Cit Ciat Sin Kun itu, para biarawati yang tak berdosa pun dibunuhnya!"
Song Yauw Tong diam saja.
"Tahukah engkau siapa Kim Tie itu?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Teecu tidak pernah melihat wajah aslinya."
"Engkau tahu dia berada di mana sekarang?"
"Mungkin dalam perjalanan menuju ke Ciang Pek San (Gunung Ciang Pek)."
"Pergi cari gara-gara dengan partai Ciang Pek?"
"Entahlah!" Song Yauw Tong menggelengkan kepala. "Teecu tidak begitu jelas tentang itu."
"Kapan dia berangkat?"
"Semalam."
"Berapa orang yang menyertainya?"
"Empat pengawal khusus dan dua pemimpin aula, bahkan ikut pula belasan orang yang berkepandaian tinggi. Jadi semuanya berjumlah dua puluh orang."
Pek Giok Liong berpikir lama sekali, lalu memandang Thian Koh Sing Ma Hun seraya berkata.
"Engkau segera kembali ke dalam kota, dan sampaikan perintahku pada tiga pelindung pulau dan dua belas pengawal, agar segera berangkat mengejar Kim Tie!"
"Hamba terima perintah!" Thian Koh Sing Ma Hun menjura, lalu mengerahkan ginkangnya meninggalkan tempat itu.
Setelah Thian Koh Sing Ma Hun pergi, Pek Giok Liong kembali mengarah pada Song Yauw Tong.
"Tahukah engkau, Siang Hiong Sam Kuai berada di mana sekarang?"
"Siang Hiong berada di dalam ekspedisi Yang Wie, sedangkan Sam Kuai pergi bersama Gin Tie." Song Yauw Tong memberitahukan.
"Tu Ci Yen berada di mana sekarang?"
"Tu Ci Yen?" Song Yauw Tong tertegun. "Siapa Tu Ci Yen?"
"Tu Ci Yen adalah Gin Tie. Apakah engkau tidak tahu?" Pek Giok Liong heran.
"Teecu tidak tahu namanya. Sekarang dia berada di Siau Keh Cung."
"Ada berapa orang yang bersamanya?"
"Kira-kira dua puluh orang."
"Masih ada berapa orang di ekspedisi Yang Wie?"
"Kurang lebih empat puluh orang."
"Thiat Sat, Ti Ling dan Ngo Hok, mereka bertiga berada di mana sekarang?"
"Ketiga pemimpin aula itu bertugas melindungi Tay Tie Kiong (Istana Maha Raja)."
"Engkau pernah pergi ke Istana Maha Raja itu?"
"Teecu justru pindahan dari Istana Maha Raja itu."
"Kalau begitu, tentunya engkau tahu jelas mengenai Istana Maha Raja itu?"
"Sebagian besar teecu tahu."
"Berarti masih ada sebagian kecil yang engkau tidak tahu?"
"Ya." Song Yauw Tong mengangguk. "Yakni mengenai tempat yang amat penting dan rahasia."
"Tempat apa itu?"
"Itu adalah kamar tidur Cit Ciat Sin Kun."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. Ia teringat sesuatu dan segera bertanya, "Engkau tahu Kian Kun Ie Siu di kurung di mana?"
"Apakah dia orang tua buta itu?"
"Ya!" Pek Giok Liong memberitahukan. "Orang tua itu adalah generasi keempat pemegang panji Jit Goat Seng Sim Ki."
"Haah ……?" Song Yauw Tong terperanjat. "Orang tua itu sudah meninggal."
"Apa?" Wajah Pek Giok Liong langsung berubah. "Engkau bilang apa?"
"Orang tua itu sudah meninggal."
"Aaakh!" Pek Giok Liong menarik nafas panjang. "Kapan orang tua itu meninggal?"
"Empat hari yang lalu, orang tua itu mendadak membunuh diri."
"Haah? Aaakh ……" Wajah Pek Giok Liong memucat.
"Orang tua itu terkena racun yang amat ganas, namun Cit Ciat Sin Kun memberikannya Ban Ling Tan (Pil mujarab) sebutir setiap hari, itu agar nafas orang tua tersebut tidak putus. Orang tua itu tahu maksud tujuan Cit Ciat Sin Kun, maka lalu membunuh diri dengan cara menggigit lidah sendiri. Sampai putus."
"Hah ……" Pek Giok Liong menarik nafas panjang, sesaat kemudian bertanya. "Jenazahnya di makamkan di mana?"
"Di gunung Kah Lan, di belakang Istana Tay Tie."
"Ngmm!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Ohya, sudah berapa lama engkau mengabdi pada Cit Ciat Sin Kun?"
"Tiga tahun."
"Waktu itu cukup lama, tentunya engkau tahu bagaimana ambisinya, kan?"
"Ya!" Song Yauw Tong mengangguk. "Sudah lama teecu tahu ambisinya."
"Kalau begitu, kenapa engkau masih mau mengabdi padanya?"
Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong menggeleng-gelengkan kepala, lalu menarik nafas panjang sambil tersenyum getir.
"Walau teecu tahu tentang itu, namun tertekan oleh keadaan, maka tidak bisa apa-apa ……"
"Tertekan oleh keadaan?" Pek Giok Liong menatapnya. "Apakah dengan suatu cara dia mengendalikan dirimu?"
"Ya!" Song Yauw Tong mengangguk. "Teecu punya seorang saudara angkat, sudah lama meninggal, anak istrinya jatuh di tangan Cit Ciat Sin Kun, mereka dijadikan sandera."
"Kalau engkau tidak mengabdi padanya, maka dia akan membunuh mereka?" tanya Pek Giok Liong.
"Ya." Song Yauw Tong menarik nafas panjang. "Sebelum saudara angkat teecu itu mati, dia berpesan pada teecu agar menjaga anak istrinya baik-baik. Demi keselamatan mereka ibu dan anak, teecu terpaksa mengabdi pada Cit Ciat Sin Kun! Yaah! Apa boleh buat!"
"Engkau tahu mereka di kurung di mana?"
"Di ruang belakang Istana Tay Tie."
"Engkau pernah melihat mereka?"
"Tiga bulan sekali, teecu diizinkan menengok mereka."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut sambil berpikir, tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benaknya. "Sementara ini siapa lagi yang berada di dalam istana selain tiga pemimpin aula?"
"Belasan orang yang berkepandaian tinggi." Song Yauw Tong memberitahukan. "Pemimpin mereka adalah Im Sih Siu Cai (Pelajar akhirat) Ouw Mung Ceng."
"Bagaimana kepandaiannya dibandingkan dengan Thian Sat Sin Kun?"
"Masih setingkat di atas kepandaian Thian Sat."
"Memanfaatkan kesempatan di saat Cit Ciat Sin Kun tidak berada di istana, aku perintahkan beberapa orang untuk menolong mereka, bagaimana menurutmu?"
"Mungkin tidak bisa."
"Penjagaan di sana sangat ketat, sehingga orang luar sulit menyelinap ke dalam?"
"Ya." Song Yauw Tong mengangguk dan memberitahukan, "Ke luar masuk istana itu, harus memiliki tanda pengenal, kalau tidak, sama sekali tidak bisa masuk."
"Engkau punya tanda pengenal itu?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Teecu memang dari sana, maka punya sebuah tanda pengenal itu." Song Yauw Tong mengeluarkan tanda pengenal tersebut yang terbuat dari perak, lalu diserahkan pada Pek Giok Liong dengan hormat.
Pek Giok Liong menerima tanda pengenal itu, lalu mengarah pada enam orang ekspedisi Yang Wie seraya bertanya.
"Mereka berenam juga memiliki tanda pengenal untuk masuk istana?"
Song Yauw Tong mengangguk, lalu segera merogoh ke dalam baju mereka. Setelah mengambil enam buah tanda pengenal itu, ia pun langsung menyerahkannya pada Pek Giok Liong.
"Thian Kang Sing dan Pat Kiam dengar perintah!" ujar Pek Giok Liong sesudah menerima enam buah tanda pengenal itu.
"Teecu siap menerima perintah!" sahut Thian Kang Sing Wie Kauw dan Pat Kiam serentak.
"Thian Koh Sing dan Pat Kiam harus segera berangkat ke gunung Kah Lan dengan membawa tujuh buah tanda pengenal ini, memasuki istana Tay Tie untuk menolong anak istri teman Song Yauw Tong!"
"Ya!" sahut mereka serentak.
Pek Giok Liong memberikan tujuh buah tanda pengenal itu pada Thian Kang Sing Wie Kauw.
"Lima orang masuk ke istana, empat orang menjaga di luar!" pesan Pek Giok Liong. "Kalian semua harus berhati-hati!"
"Ya!" sahut Thian Kang Sing Wie Kauw sambil menerima tujuh buah tanda pengenal itu.
"Song Yauw Tong!" Pek Giok Liong menatapnya.
"Teecu siap menerima perintah!" Song Yauw Tong segera memberi hormat.
"Engkau harus memberitahukan pada Thian Kang dan Pat Kiam, bagaimana seluk beluk dan keadaan gunung Kah Lan. Baju apa yang harus di pakai dan bagaimana bahasa kode serta isyarat yang digunakan di sana?"
"Menurut teecu, itu …… amat membahayakan. Harap Ketua pertimbangkan lagi!" ujar Song Yauw Tong.
"Maksudmu kekuatan mereka tidak cukup untuk menolong anak istri temanmu itu?"
"Ya." Song Yauw Tong mengangguk. "Lebih baik jangan menempuh bahaya!"
"Engkau boleh berlega hati!" Pek Giok Liong tersenyum. "Asal Thian Sat Sin Kun bersedia membantu, tentunya tidak ada masalah. Lagi pula kekuatan Thian Kang Sing dan Pat Kiam cukup kuat, maka aku yakin mereka pasti bisa menolong anak istri temanmu itu."
"Kalau mereka terjadi sesuatu di luar dugaan, bukankah teecu ……"
"Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kini engkau sudah bergabung dengan kami, maka kami pun harus menolong anak istri temanmu."
"Tapi ……"
"Nah! Sekarang engkau harus menjelaskan pada mereka mengenai baju, bahasa kode dan isyarat di sana!" tegas Pek Giok Liong.
"Ketua ……" Saking terharu, Song Yauw Tong langsung berlutut. "Terimakasih Ketua, teecu harap bisa berangkat bersama mereka!"
"Itu …… Baik juga, engkau bangunlah!"
"Terimakasih, Ketua!" Song Yauw Tong bangkit berdiri.
"Ohya!" Pek Giok Liong teringat sesuatu, maka langsung bertanya, "Apakah Engkau tahu tentang kejadian Ciok Lau San Cung?"
"Tahu." Song Yauw Tong mengangguk dan memberitahukan, "Itu adalah perbuatan Tu Ci Yen dan Siang Hiong Sam Kuai atas perintah Cit Ciat Sin Kun."
"Hanya mereka berenam?"
"Masih ada tiga puluh orang yang berkepandaian tinggi menyertai mereka berenam menyerbu Ciok Lau San Cung di malam itu."
"Ngmm!" Pek Giok Liong manggut-manggut, lalu mengarah pada enam orang yang masih tergeletak itu. "Keenam orang itu sering membunuh?"
"Dua di antara mereka adalah teman baik teecu, yang lain adalah penjahat dari golongan hitam. Mereka berhati kejam dan sering membunuh?"
"Harus bagaimana membereskan kedua teman baikmu itu?"
"Teecu akan bertanya pada mereka. Kalau mereka mau bergabung dengan kita, maka teecu akan mohon pada Ketua untuk mengampuni mereka berdua. Apabila mereka tidak mau bergabung, teecu akan menyuruh mereka pulang ke kwan gwa. Bagaimana menurut Ketua?"
"Baiklah." Pek Giok Liong mengangguk. "Lalu bagaimana dengan yang empat itu?"
"Mohon pada Ketua, mereka jangan diberi ampun!" jawab Song Yauw Tong. "Sebab sudah banyak orang mati di tangan mereka."
"Aku tidak akan mengampuni mereka, bahkan akan suruh mereka berempat menyampaikan masalah ini pada Cit Ciat Sin Kun," ujar Pek Giok Liong dan mengarah pada Thian Kang Sing Wie Kauw. "Buka jalan darah kedua teman Song Yauw Tong!"
"Ya." Thian Kang Sing Wie Kauw memberi hormat pada Pek Giok Liong, kemudian bertanya pada Song Yauw Tong. "Saudara Song, yang mana teman-temanmu?"
"Tuh!" Song Yauw Tong menunjuk dua orang yang tergeletak itu. "Mereka berdua temanku."
Thian Kang Sing Wie Kauw segera membuka jalan darah kedua orang itu. Song Yauw Tong pun mendekati mereka, lalu menceritakan tentang dirinya yang telah bergabung dengan Pek Giok Liong.
"Kalian berdua mau bergabung atau pulang ke kwan gwa?" tanyanya.
"Sudah sekian tahun kami bersamamu, hidup mau pun mati harus tetap bersama. Maka kami tetap ikut bergabung," jawab salah seorang itu.
"Kalau begitu, cepatlah kalian berdua memberi hormat pada ketua partai Hati Suci!" ujar Song Yauw Tong.
"Ya." Mereka berdua lalu berlutut di hadapan Pek Giok Liong. "Teecu Ciu Cun menghadap Ketua!"
"Teecu Ong Leh Cin menghadap Ketua!"
"Bagus." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Nah, kalian bangunlah!"
Pek Giok Liong mengangkat kedua tangannya, seketika juga kedua orang itu terangkat bangun. Bukan main terkejutnya kedua orang itu, mereka tidak menyangka Pek Giok Liong memiliki tenaga dalam yang begitu hebat.
"Song Yauw Tong!" panggil Pek Giok Liong.
"Teecu siap menerima perintah!" sahut Song Yauw Tong sambil menjura.
"Sekarang engkau harus menjelaskan yang kukatakan tadi pada Thian Kang Sing dan Pat Kiam!"
"Teecu menerima perintah!" Song Yauw Tong lalu berbisik-bisik pada Thian Kang Sing dan Pat Kiam, sesudah itu ia berkata dengan hormat pada Pek Giok Liong. "Teecu sudah menjelaskan pada mereka!"
"Ng!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Nah, sekarang kalian boleh berangkat ke istana Tay Tie!"
"Teecu menerima perintah!" sahut mereka serentak.
*
* *
Bagian ke 50. Mulai Bergerak
Hari sudah senja, Pek Giok Liong dan Se Pit Han duduk berhadapan di dalam sebuah kuil tua, yang terletak di sebelah selatan Kota Teng Hong.
Sementara itu, Bu Siang Seng. Giok Cing Giok Ling, Si Hong (Empat phoenix), Thian Koh Sing Ma Hun, Cian Tok Suseng, Ouw Beng Hui, lima pelindung aula dan belasan anak buah Pulau Pelangi, terus menerus mengawasi rumah Siauw, itu agar Tu Ci Yen dan Sam Kuai (Tiga siluman) jangan sampai lobos.
Kedua daun pintu rumah Siauw tertutup rapat, namun tampak empat orang berbaju hitam berdiri di depan pintu dengan golok di tangan.
Ketika hari sudah malam, Pek Giok Liong dan Se Pit Han melangkah perlahan menuju rumah terebut, Si Kim Kong mengikuti dari belakang.
"Berhenti!" terdengar suara bentakan keras.
Pek Giok Liong berhenti. Salah seorang berbaju hitam mendekatinya, dan sekaligus memandang Pek Giok Liong serta Se Pit Han dengan penuh perhatian.
"Siapa kalian?"
"Datang dari tempat jauh," sahut Pek Giok Liong.
"Mau apa kalian kemari?"
"Mau mencari orang."
"Siapa yang kau cari?"
"Siau cung cu (Majikan muda)."
Orang berbaju hitam itu tertegun, ia menatap Pek Giok Liong dengan mata tak berkedip.
"Anda kenal majikan muda kami?"
"Kenal baik."
"Anda teman majikan muda kami?"
"Laporlah padanya, bahwa ada teman lama datang berkunjung, dia harus segera ke luar menemui kami!"
Ketika mendengar nada ucapan Pek Giok Liong, orang berbaju hitam itu sudah merasa ada sesuatu yang tak beres.
"Anda siapa?" tanya orang berbaju hitam dingin.
"Engkau tidak perlu bertanya. Setelah majikan muda kalian bertemu denganku, dia pasti kenal."
"Kalau begitu, maaf, aku tidak bisa melapor!"
"Jadi engkau tidak mau melapor?"
"Anda tidak menyebut nama, bagaimana mungkin aku melapor?"
"Kalau begitu, aku akan mencari orang lain untuk melapor." Pek Giok Liong melangkah maju.
Orang berbaju hitam itu terbelalak, dan pada waktu bersamaan, terdengar suara bentakan mengguntur.
"Berhenti!" Muncul seorang berbaju hitam lainnya.
"Engkau pun tidak mau melapor ke dalam?" tanya Pek Giok Liong dingin.
"He he!" Orang baju hitam yang baru muncul itu tertawa terkekeh. "Engkau ingin cari gara-gara di sini?"
"Kalau ya kenapa?" tanya Pek Giok Liong menantang.
"Kau kira gampang masuk ke dalam?" Orang berbaju hitam itu tertawa dingin. "Tempat ini bukan milik kakek moyangmu! Tahu?"
"Aku tidak percaya kalau tidak bisa masuk!" Sahut Pek Giok Liong dengan wajah dingin.
"Engkau tidak melihat bahwa pintu itu tertutup?"
"Walau pintu tertutup, aku pun bisa masuk!"
"Oh?" Orang berbaju hitam itu tertawa. "Engkau tidak melihat kami berempat di sini?"
"Kalian berempat ingin menghalangiku?"
"Tentu, karena memang tugas kami di sini!"
"Meskipun ditambah belasan orang lagi, kalian tetap tidak mampu menghalangiku! Engkau percaya?"
"Jangan omong besar di sini!" Orang berbaju hitam itu tampak gusar, sehingga sepasang matanya melotot.
"Itu benar!"
"Kami justru tidak percaya!"
"Kalau begitu, silakan coba!"
"Tentu!" Orang berbaju hitam itu tertawa dingin. "Kami memang harus mencoba!"
"Saudara tua!" sela teman orang berbaju hitam itu. "Tidak perlu banyak omong dengannya, mari kita habiskan saja dia!"
"Jangan terburu nafsu, biar aku mencobanya dulu!" Usai berkata begitu, orang berbaju hitam itu pun langsung menyerang ke arah dada Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong tertawa ringan, dan menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata, "Pukulanmu tidak bertenaga, engkau harus belajar dua puluh tahun lagi!" Pek Giok Liong segera bergerak, dan seketika juga urat nadi di lengan orang berbaju hitam itu sudah dicengkeram Pek Giok Liong.
Betapa terkejutnya orang berbaju hitam itu, wajahnya pun memucat karena dirinya sudah tertangkap.
Tiga temannya juga terkejut. Mereka segera maju siap menyerang Pek Giok Liong.
"Kalian bertiga jangan bergerak!" bentak Pek Giok Liong dingin. "Kalau kalian bertiga berani bergerak, orang ini pasti mati duluan!"
Ketiga orang berbaju hitam langsung diam, salah seorang menatap Pek Giok Liong dengan kening berkerut-kerut.
"Sebetulnya Anda mau apa?" tanyanya.
"Asal kalian menurut, aku tidak akan turun tangan!" sahut Pek Giok Liong. "Cepat ketuk pintu itu!"
Pek Giok Liong melepaskan cengkeramannya. Orang berbaju hitam itu pun segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya, dan menyerang Pek Giok Liong. Pek Giok Liong mengernyitkan kening.
Ketiga orang berbaju hitam juga tidak diam. Mereka pun langsung menyerang Pek Giok Liong dengan golok.
Pek Giok Liong tertawa panjang. Tiba-tiba ia mengibaskan tangannya, dan seketika juga keempat orang berbaju hitam itu terpental, golok pun terlepas dari tangan masing-masing.
Pada saat bersamaan, pintu itu terbuka. Tiga orang tua berjubah hijau berdiri di situ, enam pasang mata menatap Pek Giok Liong.
"Sobat!" tanya salah seorang tua berjubah hijau itu. "Siapa kau?"
"Tu Ci Yen kenal aku!" sahut Pek Giok Liong.
Wajah ketiga orang tua berjubah hijau berubah, dan salah seorang di antaranya segera bertanya.
"Benarkah engkau kenal majikan muda kami?"
"Kenal!"
"Apakah engkau ke mari mencari dia?"
"Tidak salah! Cepatlah panggil dia ke luar!"
"Ada urusan apa engkau mencari siau cung cu?"
"Dia akan tahu setelah bertemu denganku!"
"Tidak boleh memberitahukan padaku?"
"Percuma, engkau tidak bisa mewakilinya."
"Kalau begitu, sebutlah namamu, aku akan menyuruh orang untuk melapor, pada siau cung cu!"
"Maaf, sebelum bertemu Tu Ci Yen, aku tidak akan memberitahukan siapa diriku!"
"Sama-sama!" Orang tua berjubah hijau tertawa dingin. "Engkau pun jangan harap aku akan menyuruh orang untuk melapor pada siau cung cu!"
"Kalau begitu, lebih baik aku yang masuk!"
"He he!" Orang tua berjubah hijau tertawa dingin. "Engkau sulit memasuki pintu ini."
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa hambar. "Apakah kalian bertiga akan menghalangiku?"
"Betul!" Orang tua berjubah hijau mengangguk. "Ada kami bertiga di sini, siapa pun jangan harap bisa masuk."
"Kalau begitu ……" Pek Giok Liong tertawa ringan. "Aku harus melewati rintangan ini, barulah bisa bertemu Tu Ci Yen?"
"Bagus engkau tahu!" Orang tua berjubah hijau tertawa dingin.
Pek Giok Liong memandang empat orang berbaju hitam yang terpental tadi, lalu ujarnya sambil tersenyum.
"Tahukah engkau apa yang dikatakan keempat orang itu?"
"Mereka mengatakan apa?"
"Seperti kalian bertiga, tidak mau ke dalam melapor, bahkan juga menghalangiku, akhirnya ……"
"Akhirnya mereka berempat tidak mampu melawanmu kan?"
"Betul! Aku cuma mengibaskan tanganku, mereka berempat sudah terpental lima meter jauh."
"Ha ha!" Orang tua berjubah hijau tertawa gelak. "Jadi kau anggap kami bertiga seperti mereka?"
"Kira-kira begitulah!"
"Kawan!" Orang tua berjubah hijau melotot. "Engkau jangan omong besar di hadapan kami!"
"Tadi mereka berempat juga berkata demikian!" Pek Giok Liong tersenyum. "Akhirnya mereka yang terpental!"
"Kalau begitu ……" Orang tua berbaju hijau tertawa terkekeh. "He he! Aku ingin mencoba kepandaianmu."
Ketika orang tua berjubah hijau baru mau menyerang, tiba-tiba dari dalam mengalun ke luar suara seruan.
"Kie Cong! Siapa di luar?"
Kie Cong dan kedua orang tua berjubah hijau itu tiga bersaudara. Dua orang berjubah hijau itu bernama Kie Yong dan Kie Hun. Tong Cu Sam Siung (Tiga Pendekar Tong Cu) adalah mereka. Ketika mendengar suara itu, Kie Cong pun segera menghadap ke dalam sambil menjura.
"Lapor pada cong koan! Ada orang ingin bertemu siau cung cu!"
"Siapa orang itu?"
"Dia tidak mau memberitahukan namanya."
"Ada urusan apa dia ingin bertemu majikan muda?"
"Dia bilang, setelah majikan bertemu dengannya, majikan muda pasti tahu."
"Oh?" Terdengar suara langkah, kemudian muncul seseorang berusia enam puluhan berjubah merah.
Orang tua berjubah merah menatap Pek Giok Liong dan Se Pit Han dengan mata tak berkedip, lama sekali barulah membuka mulut.
"Kalian ingin bertemu siau cung cu?" tanyanya.
"Betul. Engkau siapa?" Pek Giok Liong memandangnya dengan penuh perhatian.
"Aku Ku Ing Chiu, kepala pengurus di sini." Orang tua berjubah merah memberitahukan.
"Oh, ternyata Ku cong koan! Maaf, aku berlaku kurang hormat!" ucap Pek Giok Liong.
"Jangan sungkan-sungkan! Aku ingin bertanya ……"
"Ku cong koan pernah dengar Pulau Pelangi yang tersiar dalam bu lim?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
Begitu mendengar nama pulau tersebut, wajah Ku Ing Chiu langsung berubah dan tampak tersentak.
"Engkau datang dari pulau itu?"
Pek Giok Liong mengangguk, lalu menunjuk Se Pit Han seraya berkata, "Dia adalah siau tocu dari Pulau Pelangi."
Ku Ing Chiu terbelalak, ia menatap Se Pit Han dengan mata menyorotkan sinar aneh.
"Siau tocu mau bertemu siau cung cu ……?"
"Ku cong koan tidak perlu banyak bertanya, lebih baik ke dalam melapor saja!" Ujar Se Pit Han.
"Ini ……" Ku Ing Chiu tampak ragu.
"Ini menyangkut urusan besar, maka lebih baik Ku cong koan ke dalam melapor saja! Kalau tidak ……" Se Pit Han tidak melanjutkan, melainkan mengarah pada Pek Giok Liong seraya berkata, "Sudahlah! Kita tidak perlu banyak urusan, mari kita pergi!"
Se Pit Han mengayunkan kakinya. Pek Giok Liong tertegun, namun sesaat ia sudah dapat menduga maksudnya, maka ia pun mengayunkan kakinya mengikuti Se Pit Han. Beberapa langkah kemudian, mereka mendengar suara seruan di belakang.
"Siau tocu harap tunggu!"
Se Pit Han berhenti, lalu menoleh memandang Ku Ing Chiu seraya bertanya, "Ada apa, Ku cong koan?"
"Aku akan ke dalam melapor," jawab Ku Ing Chiu, lalu segera berjalan ke dalam.
Pek Giok Liong dan Se Pit Han saling memandang, lalu tersenyum. Berselang beberapa saat, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. Dua pemuda berbaju hijau membawa lentera di depan, di tengah adalah Tu Ci Yen, yang di belakang adalah Ku Ing Chiu. Tampak pula dua pemimpin aula dan enam pengawal khusus.
Begitu melihat mereka, Tong Ciu Sam Siung dan empat orang berbaju hitam langsung memberi hormat pada Tu Ci Yen.
Tu Ci Yen berdiri tegak, ia mengibaskan tangannya ketika Tong Ciu Sam Siung dan empat orang berbaju hitam memberi hormat.
Wajah Tu Ci Yen tampak berubah begitu melihat Pek Giok Liong dan Si Kim Kong. Ku Ing Chiu melapor bahwa Cai Hong To siau tocu berkunjung, maka Tu Ci Yen segera ke luar. Ia yakin kedatangan siau tocu itu pasti berkaitan dengan urusan Pek Giok Liong.
Namun ia sama sekali tidak menyangka kalau Pek Giok Liong berada di situ. Setelah kejadian di Hwa San, Tu Ci Yen sudah tahu Pek Giok Liong memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan yakin dirinya bukan tandingan Pek Giok Liong, maka ia mulai takut kepadanya.
Wajah Thian Suan Sin Kun, Ti Kie Sin Kun dan enam pengawal khusus itu pun telah berubah, bahkan hatinya pun berdebar-debar tegang.
Meskipun Tu Ci Yen takut pada Pek Giok Liong, sikapnya masih jumawa, dan sekilas dalam hatinya timbul suatu ide.
Apa idenya? Tidak lain ingin meloloskan diri. Bagaimana caranya? Kalau terjadi pertarungan, di saat itulah ia akan meloloskan diri.
Akan tetapi, Tu Ci Yen mana tahu Pek Giok Liong sudah mengatur agar Tu Ci Yen dan Sam Kuai tidak dapat meloloskan diri. Oleh karena itu, ide Tu Ci Yen jelas tidak dapat terlaksana.
"He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh. "Pek Giok Liong, engkau sungguh bernyali berani ke mari!"
"Sungguh di luar dugaanmu kan?" sahut Pek Giok Liong hambar.
"Sama sekali tidak di luar dugaan. Sebelumnya aku sudah menduga ini! Tapi ……"
"Tidak sangka aku ke mari kan?"
"Betul! Engkau sungguh cepat ke mari, ini memang di luar dugaanku."
"Tu Ci Yen." Pek Giok Liong tertawa. "Engkau masih ada pembicaraan?"
"Tentu ada," sahut Tu Ci Yen sambil menatapnya. "Aku bertanya, di mana Siauw Thian Lin dan putrinya?"
"Apakah engkau ingin bertemu mereka?"
"Engkau harus menyerahkan mereka padaku."
"Engkau pikir aku akan mengabulkannya?"
"Engkau memang harus mengabulkan."
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Apa alasanmu?"
"Kalau tiada alasan, apakah aku tidak boleh mengatakan begitu?"
"Itu sudah pasti."
"Pek Giok Liong! Kenapa engkau begitu usil mencampuri urusan keluarga Siauw ini?" tanya Tu Ci Yen mendadak.
"Engkau pikir aku ke mari karena usil mencampuri urusan keluarga Siauw?" Pek Giok Liong balik bertanya.
"Selain urusan ini, apakah masih ada urusan lain?"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin. "Tentunya engkau mengerti dalam hati!"
"Demi gurumu?" tanya Tu Ci Yen setelah berpikir sejenak.
"Bukan!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala.
"Bukan?" Tu Ci Yen mengernyitkan kening. "Kalau begitu ……"
"Tu Ci Yen!" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Engkau tidak ingat lagi? Begitu cepat engkau melupakan sesuatu."
"Aku ……" Tu Ci Yen menggelengkan kepala. "Aku sungguh tidak ingat lagi."
"Cobalah kau ingat! Mungkin engkau akan ingat kembali!" Pek Giok Liong menatapnya tajam.
"Aku ……" Mendadak air muka Tu Ci Yen berubah. "Apakah engkau sudah tahu urusan itu ……"
"Urusan apa?"
"Ti …… tidak ada urusan apa-apa!" sahut Tu Ci Yen licik. "Ohya, Pek Giok Liong! Bagaimana kalau kita membicarakan syarat?"
"Engkau pikir masih ada syarat yang harus kita bicarakan?"
"Tentu masih ada!" Tu Ci Yen mengangguk. "Bahkan merupakan syarat yang amat engkau butuhkan!"
"Oh? Syarat apa itu? Beritahukanlah!"
"Kalau engkau mau menyerahkan Siauw Thian Lin dan putrinya serta Siauw Peng Yang padaku, aku pun akan menyerahkan seseorang yang amat engkau perlukan. Bagaimana?"
"Tiga tukar satu?"
"Ya !"
"Itu sangat menguntungkan dirimu."
"Padahal sesungguhnya tidak begitu menguntungkan diriku."
"Apa alasanmu mengatakan begitu?"
"Karena Siauw Thian Lin dan putrinya serta Siauw Peng Yang tiada hubungan erat dengan dirimu! Nah, engkau paham?"
"Kalau begitu, orang yang akan kau tukarkan dengan aku, pasti punya hubungan erat dengan diriku!"
"Tidak salah." Tu Ci Yen manggut-manggut. "Dia memang punya hubungan erat denganmu."
"Siapa orang itu?"
"Kian Kun Ie Siu!" sahut Tu Ci Yen sambil tersenyum licik. "Gurumu itu."
Mendengar itu, mendadak Pek Giok Liong tertawa gelak.
"Ha ha! Berada di mana sekarang guruku?"
"Di dalam istana Tay Tie."
"Bagaimana keadaan guruku?"
"Dia baik-baik saja. Ayah angkatku memperlakukannya dengan baik sekali."
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa hambar. "Tu Ci Yen, apakah engkau berkata sesungguhnya?"
Pertanyaan itu membuat hati Tu Ci Yen tersentak, namun wajahnya masih tampak tenang dan serius.
"Aku berkata sesungguhnya," ujarnya dan menambahkan, "Bagaimana syarat yang kusebutkan barusan? Apakah engkau setuju?"
Pek Giok Liong sudah tahu bahwa Kian Kun Ie Siu, gurunya itu telah membunuh diri. Sedangkan Tu Ci Yen mengajukan syarat itu, tentunya Pek Giok Liong tahu apa maksud dan tujuan Tu Ci Yen.
"Aku tidak setuju," sahut Pek Giok Liong tegas.
"Apa?!" Tu Ci Yen melongo. "Engkau tidak setuju?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku tidak setuju."
Tu Ci Yen menatapnya tajam. Ia sama sekali tidak mengerti, kenapa Pek Liong tidak setuju akan syarat itu.
"Apakah engkau tidak memikirkan gurumu dan tidak mau menolongnya?"
"Tu Ci Yen!" Pek Giok Liong tertawa. "Aku bukan anak kecil, engkau tidak bisa menekan diriku dengan itu."
"Hm!" dengus Tu Ci Yen dingin. "Aku tidak menekanmu, melainkan …… mengancammu! Tahu?"
"Itu terserah!" Pek Giok Liong tersenyum hambar. "Namun aku yakin engkau mengerti dalam hati."
"Kau pikir aku tidak berani mencabut nyawa gurumu?"
"Aku justru yakin engkau tidak berani."
"Pek Giok Liong!" Tu Ci Yen tertawa dingin. "Jangan kau kira aku tidak berani, aku akan tidak mempedulikan segala apa pun untuk mencabut nyawanya!"
"Itu urusanmu." sahut Pek Giok Liong acuh tak acuh. "Nyawa guruku cuma ada satu, lagi pula cuma bisa mati satu kali!"
Ucapan Pek Giok Liong itu mengandung suatu arti, tapi Tu Ci Yen tidak mengetahuinya.
"Pek Giok Liong!" Tu Ci Yen tertawa. "Ini adalah kesempatan emas bagi gurumu."
"Aku tahu itu kesempatan bagi guruku, tapi ……"
"Tapi kenapa?"
"Aku tetap tidak setuju dengan syaratmu itu."
"Engkau tidak akan menyesal."
"Apa yang harus disesalkan?" Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Pokoknya aku tidak akan menyesal."
"Oh?" Tu Ci Yen mengernyitkan kening.
"Terus terang!" Pek Giok Liong menatapnya sambil melanjutkan. "Tidak sulit engkau menghendaki aku menyerahkan Siauw Thian Lin dan putrinya serta Siauw Peng Yang padamu, namun aku justru punya syarat lain."
"Syarat lain?" Tu Ci Yen tercengang.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Apa syaratmu?" tanya Tu Ci Yen cepat.
Pek Giok Liong tidak menyahut, melainkan mengarah pada tiga orang tua berjubah merah yang berdiri di belakang Tu Ci Yen. Ketiga orang tua berjubah merah itu bertampang seram.
"Ketiga orang itu juga anak buahmu?" tanya Pek Giok Liong.
"Kalau mereka bertiga bukan anak buahku, bagaimana mungkin berdiri di belakangku?" sahut Tu Ci Yen sambil tersenyum jumawa. "Mereka bertiga pemimpin aula keenam, ketujuh dan kedelapan."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Pek Giok Liong! Cepatlah ajukan syaratmu!" Tu Ci Yen tampak tidak sabar.
Pek Giok Liong diam, ia menatap ketiga orang tua berjubah merah itu. Kini ia sudah tahu jelas, bahwa ketiga orang tua berjubah merah itu Lang San Sam Kuai (Tiga siluman gunung Lang San).
"Syaratku ……" Pek Giok Liong tertawa. "…… adalah tiga tukar empat!"
"Apa?" Tu Ci Yen tertegun. "Tiga tukar empat?"
"Tidak salah!"
"Siapa empat orang yang ingin engkau tukar itu?"
"Engkau dan Lang San Sam Kuai!"
"Pek Giok Liong ……" Wajah Tu Ci Yen berubah. "Apa maksudmu?"
"Engkau belum mengerti?" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Cobalah berpikir sejenak, pasti mengerti!"
"Aku justru tidak mengerti!"
"Kalau begitu, biar kujelaskan!" Mendadak sepasang mata Pek Giok Liong berapi-api. "Engkau dan Lang San Sam Kuai adalah pembunuh-pembunuh di Ciok Lau San Cung!"
Tu Ci Yen tersentak, namun ia masih dapat mengendalikan diri, sehingga kelihatan tenang.
"Engkau dengar dari siapa?"
"Engkau tidak berani mengaku?"
"Aku lelaki sejati, berani berbuat berani bertanggung jawab! Kenapa aku tidak berani mengakuinya?"
"Kalau begitu, engkau telah mengaku?"
"Pek Giok Liong!" Tu Ci Yen tertawa. "Menyatakan sesuatu harus punya bukti, tiada bukti berarti memfitnah!"
"Oh? Jadi engkau menginginkan bukti?"
"Tentu!"
"Aku punya bukti!"
"Apa buktimu itu?"
"Orang! Dia merupakan saksi!"
"Orang itu merupakan saksi?" Tu Ci Yen mengerutkan kening. "Siapa orang itu?"
"Dia kepala pemimpin ekspedisi Yang Wie, Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong! Dengan adanya saksi itu, engkau pun tidak bisa bicara apa-apa lagi, maupun menyangkalnya!"
Tu Ci Yen terkejut bukan main dalam hati, tapi kemudian ia malah tertawa gelak. "Pek Giok Liong, engkau telah tertipu oleh orang itu!"
"Bagaimana aku tertipu olehnya?"
Tu Ci Yen tertawa lagi, lalu balik bertanya. "Dia berada di mana sekarang?"
"Engkau tidak perlu tahu!"
"Dia sudah jatuh ke tanganmu?"
"Kalau ya kenapa?"
"Sungguh licik Song Yauw Tong itu!" ujar Tu Ci Yen sambil tertawa. "Dia menghendaki engkau ke mari, itu agar engkau terjebak!"
"Maksud Song Yauw Tong ……" Pek Giok Liong tersenyum.
"Adik Liong!" Sela Se Pit Han tidak sabaran. "Jangan membuang waktu, cepatlah turun tangan!"
"Benar kak misan!" Pek Giok Liong mengangguk, lalu menatap Tu Ci Yen dengan dingin dan tajam. "Tu Ci Yen! Aku masih memberi kesempatan padamu dan Sam Kuai!"
"Kesempatan apa?" tanya Tu Ci Yen dengan air muka berubah.
"Engkau dan Sam Kuai boleh bergabung melawanku! Asal kalian berempat bisa bertahan sampai tiga puluh jurus, maka aku akan melepaskan kalian!"
"Sungguh?" tanya Tu Ci Yen girang.
"Sungguh!" Pek Giok Liong mengangguk. "Aku sudah berbicara begitu, pasti aku tepati!"
"Baik!" Tu Ci Yen manggut-manggut, lalu mengarah pada Lang San Sam Kuai seraya berkata, "Tiga pemimpin aula, Pek Giok Liong menghendaki begitu, kita setuju saja!"
"Kami menerima perintah!" sahut Lang San Sam Kuai.
Sedangkan Pek Giok Liong pun mengarah pada Se Pit Han, ia memandang Se Pit Han seraya berkata.
"Kak misan, engkau dan Si Kim Kong mundur saja!"
"Ya." Se Pit Han mengangguk dan berpesan. "Hati-hati Adik Liong!"
Pek Giok Liong mengangguk sambil tersenyum.
"Kak misan, tenang saja! Aku pasti berhati-hati!"
Se Pit Han dan Si Kim Kong mundur. Tu Ci Yen dan Lang San Sam Kuai segera mengepung Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong menatap mereka berempat dengan tajam, kemudian ujarnya dengan dingin.
"Tu Ci Yen, kalian boleh mulai!"
Tu Ci Yen tertawa terkekeh-kekeh.
"He he! Pek Giok Liong, engkau berhati-hatilah!"
Tu Ci Yen maju selangkah, mendadak ia menyerang dada Pek Giok Liong dengan sepasang telapak tangannya.
Pada waktu bersamaan, Lang San Sam Kuai juga menyerang Pek Giok Liong dari tiga jurusan, begitu cepat bagaikan kilat serangan mereka.
Pek Giok Liong tertawa panjang, badannya berkelebat dan ia sudah lolos dari serangan-serangan mereka.
Padahal sesungguhnya, jurus pertama itu cuma jurus tipuan belaka. Tu Ci Yen dan Lang San Sam Kuai sudah memperhitungkan, Pek Giok Liong pasti berkelit, maka mereka berempat baru menyerangnya dengan pukulan dahsyat.
Oleh karena itu, ketika badan Pek Giok Liong bergerak, mereka berempat pun segera menyerangnya.
Betapa terkejutnya Pek Giok Liong, ia tidak menduga akan serangan susulan itu. Ia cepat-cepat mengerahkan ilmu peringan tubuhnya dengan jurus Hui In Phiau Su (Awan terbang capung melayang). Tubuh Pek Giok Liong meluncur ke atas dan melayang-layang, kemudian sekonyong-konyong ia pun balas menyerang.
Mulailah pertarungan yang amat seru dan dahsyat. Pek Giok Liong seorang melawan empat orang yang berkepandaian tingkat tinggi.
Tu Ci Yen dan Lang San Sam Kuai menyerang Pek Giok Liong dengan jurus-jurus maut yang penuh mengandung lwee kang. Sedangkan Pek Giok Liong pun mengerahkan Thai Ceng Sin Kang (Tenaga sakti pelindung badan). Di samping itu ia juga mengerahkan ginkangnya, sehingga tampak badannya berkelebat ke sana ke mari dengan ringan menghindari serangan-serangan lawan.
Dalam waktu singkat, mereka bertarung sudah belasan jurus. Justru Tu Ci Yen dan Lang San Sam Kuai semakin terperanjat, karena mereka berempat tidak berada di atas angin, sebaliknya malah di bawah angin.
Karena sudah lewat belasan jurus, maka Pek Giok Liong pun mulai menyerang mereka dengan gencar, sekaligus mengerahkan jurus Thian Hong Khuang Chien (Hembusan angin topan). Jurus tersebut membuat Lang San Sam Kuai terdorong mundur beberapa langkah.
"Tu Ci Yen!" ujar Pek Giok Liong. "Engkau berhati-hatilah!"
Tubuh Pek Giok Liong berkelebat, ia sudah berada di sisi Tu Ci Yen, sekaligus mencengkeram bahunya.
Betapa kagetnya Tu Ci Yen. Ia berkelit secepat kilat dan menyerang dada Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong tertawa ringan. Ia menyambut serangan itu dengan pukulan, sehingga terdengar suara benturan.
Bum!
Sungguh di luar dugaan, mendadak badan Tu Ci Yen melambung ke atas. Itu membuat Pek Giok Liong tertegun. Ketika ia baru mau menyerang Tu Ci Yen, tiba-tiba ia mendengar suara angin pukulan yang amat dahsyat di belakangnya. Ternyata Lang San Sam Kuai telah menyerangnya.
"Waktu kalian bertiga telah sampai!" bentak Pek Giok Liong.
Ia menggerakkan sepasang tangannya, itu adalah jurus Ling Khong Huan In Cam (Pukulan tanpa bayangan) yang tiada tandingannya.
Seketika juga terdengar suara jeritan yang menyayat hati, Lang San Sam Kuai terpental belasan meter, darah segar pun mengucur deras dari mulut mereka.
Kejadian itu sungguh mengejutkan Thian Suan Sin Kun, Ti Kie Sin Kun dan enam pengawal khusus. Mata mereka terbelalak dan mulut pun ternganga lebar.
Mendadak melayang turun sosok bayangan dengan tangan menjinjing seseorang. Ternyata Bu Siang Seng menjinjing Tu Ci Yen.
"Terimakasih, Bu Siang Seng!" ucap Pek Giok Liong.
"Sama-sama!" sahut Bu Siang Seng sambil tertawa.
"Dia sudah mati?"
"Belum." Bu Siang Seng melempar Tu Ci Yen ke bawah, lalu memberi hormat pada Pek Giok Liong seraya berkata, "Teecu mohon ampun!"
"Lho?" Pek Giok Liong heran. "Kenapa Siang Seng ……?"
"Teecu sedikit lengah, sehingga membuat Giok Ling terluka." Bu Siang Seng memberitahukan.
"Parahkah lukanya?" tanya Pek Giok Liong cemas.
"Mungkin harus beristirahat sepuluh hari baru bisa sembuh," jawab Bu Siang Seng dengan kepala tertunduk.
"Bertarung dengan lawan, terluka memang tidak bisa dihindarkan, maka Siang Seng tidak bersalah dalam hal ini."
"Terimakasih atas pengampunan Ketua!" ucap Bu Siang Seng lalu mundur.
Pek Giok Liong memandang Thian Suan Sin Kun, Ti Kie Sin Kun, enam pengawal khusus dan lainnya dengan tajam.
"Lebih baik kalian semua jangan mencoba kabur!" ujar Pek Giok Liong. "Tetap berdiri di tempat masing-masing!"
Thian Suan Sin Kun dan Ti Kie Sin Kun saling memandang. Setelah itu Thian Suan Sin Kun bertanya.
"Mau kau apakan diri kami?"
Pek Giok Liong tersenyum dan sahutnya.
"Kalian boleh berlega hati, aku tidak akan menyusahkan kalian semua, hanya harus menotok jalan darah kalian masing-masing. Kalau hari sudah terang, totokan itu akan terbuka sendiri!"
"Bagaimana setelah kami bebas dari totokan?" tanya Thian Suan Sin Kun.
"Kalian mau ke mana, terserah!" jawab Pek Giok Liong.
"Kenapa harus menunggu sampai hari terang?" tanya Thian Suan Sin Kun.
"Karena sebelum hari terang, aku akan pergi mencari Cit Ciat Sin Kun." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Engkau khawatir kami akan memberitahukan padanya tentang kejadian di sini?" tanya Ti Kie Sin Kun.
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Itu agar dia tidak bisa meloloskan diri lagi, maka kalian harus ditotok jalan darah masing-masing, dan akan bebas dengan sendirinya setelah hari terang!"
"Engkau sudah tahu jejak Cit Ciat Sin Kun?" tanya Thian Suan Sin Kun mendadak.
"Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong sudah bergabung dengan kami, engkau pikir dia tidak akan berkata sejujurnya?"
"Tahukah engkau ada berapa banyak orang berkepandaian tinggi yang mendampingi Cit Ciat Sin Kun?"
"Naga, Harimau, Singa dan Macan tutul empat pengawal pribadinya, delapan pelayan, Hui Eng Cap Ji Kiam, Thai Nai Siang Hiong dan puluhan orang yang berkepandaian tinggi, jadi semuanya berjumlah lima puluh lebih kan?"
"Betul." Thian Suan Sin Kun mengangguk. "Oleh karena itu, engkau harus tahu kekuatan kalian yang hanya belasan orang, bukankah ke sana cari mati?"
"Apa yang engkau katakan memang benar. Tapi kalau aku tidak yakin, bagaimana mungkin berani pergi mencarinya?"
"Tapi ……" Thian Suan Sin Kun menggeleng-gelengkan kepala.
"Ohya! Aku ingin minta bantuanmu, apakah engkau sudi membantuku?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Apa yang dapat kubantu?"
"Engkau perintahkan seseorang untuk mengumpulkan semua orang, setelah hari terang, barulah kalian boleh pergi."
Thian Suan Sin Kun berpikir sejenak, lalu mengarah pada enam pengawal khusus seraya berkata, "Saudara, laksanakanlah tugas ini!"
Pemimpin enam pengawal khusus itu memandang Pek Giok Liong, kemudian mengangguk.
"Baiklah. Aku segera ke dalam." Ia melangkah ke dalam untuk mengumpulkan semua orang.
Tak seberapa lama kemudian, pemimpin enam pengawal khusus itu sudah kembali bersama puluhan orang.
"Sudah kumpul semua?" tanya Pek Giok Liong.
"Sudah!" Pemimpin enam pengawal khusus itu mengangguk. "Kalau engkau tidak percaya, boleh perintahkan seseorang untuk memeriksa ke dalam!"
"Itu tidak perlu." Pek Giok Liong tersenyum. "Aku percaya padamu!"
"Terimakasih!" ucap pemimpin enam pengawal khusus itu.
"Bu Siang Seng, Si Kim Kong! Kalian sudah boleh menotok jalan darah tidur mereka!" ujar Pek Giok Liong.
"Ya," sahut mereka serentak, lalu badan mereka berkelebat ke sana ke mari. Tak lama kemudian, puluhan orang itu telah terkulai dalam keadaan tidur, Bu Siang Seng, Si Kim Kong mendekati Pek Giok Liong, lalu mereka memberi hormat.
"Bu Siang Seng!" ujar Pek Giok Liong. "Atur belasan orang di sini untuk menjaga mereka!"
"Ya." Bu Siang Seng mengangguk.
"Sepuluh orang menjaga di sekitar sini, apabila melihat Cit Ciat Sin Kun kabur ke mari, harus segera memberi isyarat dengan kembang api!" Pesan Pek Giok Liong.
"Ya." Bu Siang Seng mengangguk lagi.
"Dia ……" Pek Giok Liong menunjuk Tu Ci Yen yang tergeletak di tanah. "Musnahkan ilmu silatnya, lalu serahkan pada salah seorang kita untuk membawanya pergi!"
"Ya." Bu Siang Seng memberi hormat.
Sedangkan Pek Giok Liong sudah mengerahkan ginkangnya menuju Kota Teng Hong ……
*
* *
(Bersambung bagian 51) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar