Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 01 Agustus 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 46, 47 dan 48

Sambungan ... dari jilid 45

Bagian ke 46: Kemunculan Tetua Partai Pengemis
Ouw Beng Hui, si Pelajar Seribu Racun menatap Pek Giok Liong, lama sekali barulah membuka mulut sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ketua terlampau baik hati."
"Menurutmu, aku tidak boleh melepaskan mereka bertiga?" tanya Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Pat Hiong sering membunuh. Sekarang Ketua melepaskan mereka, tentunya di belakang hari mereka akan membunuh lagi."
"Benar." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Namun aku harap, setelah aku melepaskan mereka kali ini, mereka pun mau bertobat!"
"Hati Ketua sangat bajik, mudah-mudahan mereka bertiga mau bertobat, agar tidak mengecewakan Ketua!"
Pek Giok Liong tersenyum, dan memandang Cian Tok Suseng seraya berkata.
"Walau mereka bertiga sering melakukan pembunuhan, mereka tetap punya perasaan. Mungkin……" Mendadak sepasang mata Pek Giok Liong menyorot tajam. "Ada orang datang!"
Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui segera mendongakan kepala. Tampak sosok bayangan berkelebat cepat menuju kearah mereka.
Tak lama sosok bayangan itu sudah melayang ke hadapan mereka, ternyata adalah Ouw Yang Seng Tek atau si Tongkat Sakti, Tetua Partai Pengemis.
Itu sungguh di luar dugaan, juga amat menggembirakan. Pek Giok Liong langsung menjura.
"Aku memberi hormat pada Ouw Yang lo cianpwe!" ucap Pek Giok Liong.
"Ketua Panji!" Pengemis tua itu tertawa gelak. "Aku pengemis busuk mana pantas menerima hormatmu!"
Panji Hati Suci Matahari Bulan berkembang, rimba persilatan di kolong langit bergabung menjadi satu. Pek Giok Liong adalah generasi kelima pemegang panji tersebut, otomatis kedudukannya sangat tinggi.
Meskipun pengemis tua itu tetua partai namun ia masih harus memberi hormat pada Pek Giok Liong. Akan tetapi, pengemis tua itu justru tidak melakukannya.
Pek Giok Liong tahu jelas sifat aneh pengemis tua itu, maka ia pun tidak memasalahkan hal itu pula.
"Ouw Yang lo cianpwe?"
"Eh?" Pengemis tua itu mengerutkan kening. "Ketua tidak boleh panggil aku lo cianpwe, lebih baik diubah saja!"
"Panggil saja aku pengemis tua!" sahut Ouw Yang Seng Tek sambil tertawa gelak.
"Ini……" Pek Giok Liong tampak ragu.
"Kalau Ketua merasa ragu, bagaimana panggil aku saudara tua saja?" usul pengemis tua itu sungguh-sungguh. "Lalu aku pun memanggilmu saudara kecil."
"Baiklah." Pek Giok Liong mengangguk.
"Saudara kecil, engkau memang keterlaluan!" tegur Ouw Yang Seng Tek mendadak.
"Eh? Saudara tua, kenapa aku keterlaluan?"
"Gara-gara engkau, sepasang kakiku nyaris patah, tahu?"
"Lho? Kenapa?"
"Aku dari Hong Yang berlari ke vihara Si Hui, dari vihara Si Hui berlari-lari ke Hwa San. Dari Hwa San berlari dan terus berlari ke mari. Coba bayangkan! Apakah kedua kakiku tidak akan patah berlari begitu jauh?"
"Buktinya sepasang kaki saudara tua belum patah kan?" Pek Giok Liong tertawa.
"Masih tertawa?" Ouw Yang Seng Tek melotot. "Dasar setan kecil…… maaf, dasar saudara kecil!"
"Saudara tua, engkau cari aku ada urusan apa?"
"Itu……" Ouw Yang Seng Tek tertawa. "Aku bertemu seseorang, dia minta tolong padaku untuk mencarimu."
"Siapa orang itu?" tanya Pek Giok Liong. "Dia Tui Hun It Kiam (Pedang Pengejar Roh) Kang Ceng Sam!"
"Apa?" Pek Giok Liong tertegun. "Kang Ceng Sam, si Pedang Pengejar Roh?"
"Eh? Saudara kecil! Apakah engkau tidak kenal mengenalnya?" Ouw Yang Seng Tek tercengang.
"Tidak kenal." Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Apakah dia titip pesan untukku?"
"Ya." Ouw Yang Seng Tek mengangguk. "Katanya dia pernah titip sebuah kunci padamu, entah engkau sudah terima belum? Kalau sudah terima harus dibawa ke Kiu Hwa San!"
Sepasang mata Pek Giok Liong berbinar-binar.
"Saudara tua, apakah dia orang tua pincang?" tanyanya.
Ouw Yang Seng Tek mengangguk.
"Benar. Tapi kini kepalanya sudah botak!" Ouw Yang Seng Tek tertawa gelak.
"Lho?" Pek Giok Liong bingung. "Kok kepalanya bisa botak?"
"Dicukur. Karena dia sudah mengabdi pada Sang Buddha, kini dia adalah hweshio kaki pincang!"
"Oh?" Wajah Pek Giok Liong tampak gembira sekali. "Saudara tua bertemu dia di mana?"
"Di dalam Kota An Hui Hong Yang!"
"Apakah orang tua itu masih berada di sana?"
"Wah! Aku bukan peramal, bagaimana mungkin tahu itu?"
"Saudara tua……"
"Ohya!" Ouw Yang Seng Tek menatap Pek Giok Liong. "Engkau sudah terima kuncinya itu?"
"Sudah!" Pek Giok Liong mengangguk. "Apakah Saudara tua sudah menemukan jejak Siang Hiong?"
"Aaakh!" keluh Ouw Yang Seng Tek. "Jangan kau singgung lagi, aku sungguh kehilangan muka."
"Kenapa? Tiada hasilnya?"
"Aku terus mengejar, tapi akhirnya orang kukejar itu malah menghilang begitu saja. Nah, bukankah aku telah kehilangan muka?"
"Jadi Saudara tua tidak tahu ke mana orang itu?"
"Kalau tahu, tentunya aku tidak akan bilang aku telah kehilangan muka."
"Ketika Saudara tua ke mari, apakah melihat segerombolan orang?"
"Lihat." Ouw Yang Seng Tek mengangguk. "Kalau tidak ingin cepat-cepat menemuimu, aku pasti cari gara-gara dengan mereka. karena mereka semua memakai kain penutup muka, aku ingin tahu siapa mereka itu."
"Mereka para anak buah Cit Ciat Sin Kun." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Tiga orang itu kelihatan berilmu tinggi. Siapa mereka itu?" tanya Ouw Yang Seng Tek.
"Mereka bertiga adalah Mo, Cun dan Tok. Tiga dari Pat Hiong." jawab Pek Giok Liong.
"Saudara kecil melepaskan mereka bertiga?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku tidak mau sembarangan membunuh, maka mereka kulepaskan."
"Aduuuh!" Ouw Yang Seng Tek menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa kau lepaskan mereka? Padahal mereka sering membunuh orang."
"Aku melepaskan mereka, agar mereka mau bertobat."
"Bertobat?" Ouw Yang Seng Tek tertawa sampai badannya bergoyang-goyang. "Bagaimana mungkin mereka akan bertobat? Lagi pula…… kemungkinan besar mereka yang membunuh kedua orang tuamu."
"Aku sudah bertanya pada Jin Pin Mo Kun tentang itu. Dia bilang pada malam itu mereka sama sekali tidak ikut menyerang Ciok Lau San Cung.
"Apakah engkau percaya?"
"Percaya, karena Jin Pin Mo Kun tidak berdusta."
"Eh?" Ouw Yang Seng Tek menatapnya tajam.
"Kenapa engkau yakin pada Ting Yuan?"
"Dia pun mengatakan, bahwa pada malam itu, mereka bertiga berada di vihara Siau Lim. Ketua, pemimpin Lo Han Tong dan tetua yang di loteng penyimpan kitab suci akan menjadi saksi."
"Kalau begitu, mereka bertiga sungguh tidak ikut menyerang Ciok Lau San Cung?"
"Betul."
"Tapi menurut aku, lebih baik engkau harus mengutus seseorang ke vihara Siau Lim untuk menanyakan tentang itu!"
"Itu memang harus." Pek Giok Liong mengangguk. "Ohya, bolehkah aku minta tolong pada saudara tua?"
"Bilang saja!"
"Aku harap saudara tua bersedia memberi perintah pada pemimpin cabang untuk menyelidiki jejak Siang Hiong Sam Kuai. Asal tahu jejak mereka, harus segera memberitahukan padaku!"
"Itu tidak jadi masalah. Aku pasti segera memberi perintah pada mereka."
"Terimakasih, saudara tua!" ucap Pek Giok Liong sambil menjura.
"Aku tidak berani menerima penghormatanmu," sahut Ouw Yang Seng Tek. "Saudara kecil, lain kali jangan bersikap begitu lagi!"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Saudara kecil!" Ouw Yang Seng Tek menatapnya. "Aku dengar engkau ke mari untuk menemui gurumu. Apakah gurumu berada di dalam goa?"
Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik nafas panjang.
"Aku terlambat datang, sehingga guruku sudah dibawa pergi oleh utusan Cit Ciat Sin Kun."
"Kalau begitu, goa ini merupakan suatu jebakan."
"Betul." Cit Ciat Sin Kun telah mengundang Ouw Beng Hui dan para anak buahnya untuk menunggu di sini. Tujuan mereka hendak meracuni diriku, lalu mengambil Jit goat Seng Sim Ki."
"Oh?" Ouw Yang Seng Tek segera memandang Ouw Beng Hui, si Pelajar Seribu Racun. "Engkau sudah tua bangka, kok masih mau menjual nyawamu pada Cit Ciat Sin Kun itu? Engkau sudah pikun ya? Padahal tampangmu baru berusia empat puluhan!"
"Pengemis busuk! Aku belum pikun!" Ouw Beng Hui tertawa getir. "Kalau aku sudah pikun, justru tidak akan menuruti perintah Cit Ciat Sin Kun!"
"Lalu kenapa engkau menuruti perintahnya?"
"Aku ditipu."
"Ditipu dengan suatu syarat, kan?"
"Betul."
"Ha ha!" Ouw Yang Seng Tek tertawa gelak. "Syarat itu pasti sangat menggiurkan hatimu! Kalau tidak……"
"Memang begitu."
"Syarat apa itu?"
"Kalau aku berhasil, dia akan memberiku Toan Hun Coh (Rumput pemutus nyawa)."
"Apakah karena itu, maka engkau menerima syarat itu?"
Ouw Beng Hui diam saja, sedangkan Ouw Yang Seng Tek malah melotot.
"Dasar tua bangka! Sudah sekian tahun engkau hidup tenang dan damai di tempatmu, tapi demi rumput pemutus nyawa, engkau masih merangkak ke luar untuk diperdaya setan itu! Dasar pikun!"
"Saudara tua, urusan itu telah berlalu, tidak perlu diungkit lagi!" sela Pek Giok Liong agar Ouw Beng Hui tidak terus dipermalukan pengemis tua itu.
"Ohya!" Ouw Yang Seng Tek menatap Pek Giok Liong. "Tahukah engkau gurumu dibawa ke mana?"
"Tidak tahu!"
"Tua bangka!" Ouw Yang Seng Tek mengarah pada Ouw Beng Hui. "Engkau tahu?"
"Kalau aku tahu, sudah kubilang dari tadi," sahut Ouw Beng Hui.
"Sungguhkah engkau tidak tahu?"
"Pengemis busuk! Engkau tidak percaya aku?"
"Hm!" dengus Ouw Yang Seng Tek. "Bagaimana mungkin aku percaya?"
"Saudara tua!" ujar Pek Giok Liong. "Dia sungguh tidak tahu."
"Eeeh?" Ouw Yang Seng Tek terbelalak. "Kenapa engkau membelanya? Apakah pikiranmu telah diracuninya?"
"Saudara tua!" Pek Giok Liong tertawa. "Kini dia sudah menjadi orang kita, maka dia tidak berani berdusta padaku."
"Dia…… tua bangka yang tak mau tua itu sudah menjadi orang kita?" Ouw Yang Seng Tek melongo.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk, Ouw Beng Hui pun menyelak mendadak.
"Pengemis busuk! Tahukah engkau perguruanku?"
"Tentu tahu. Engkau berasal dari perguruan Tok Seng (Maha racun), benar kan?"
"Benar." Ouw Beng Hui mengangguk dan melanjutkan, "Pernahkah engkau dengar Tok Seng Kim Leng (Tanda perintah Maha racun)?"
"Pernah." sahut Ouw Yang Seng Tek. "Kakek guru partai Tok Seng yang membunuh Tok Seng Kim Leng. "Para murid partai itu kalau melihat tanda perintah tersebut, harus menurut…… Eh? Kenapa engkau bertanya padaku tentang itu?"
"Pengemis busuk, engkau harus tahu! Pek Siau hiap bukan cuma mendapat Panji Hati Suci Matahari Bulan, melainkan dia pun Tek Seng Kim Leng Cu (Pemilik tanda perintah Maha Racun) itu."
"Oooh!" Ouw Yang Seng Tek memandang Pek Giok Liong. "Saudara kecil, engkau juga memperoleh tanda perintah itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memperoleh tanda perintah itu di dalam ruang rahasia Istana Pelangi."
"Oooh!" Ouw Yang Seng Tek manggut-manggut lagi, lalu menjura pada Ouw Beng Hui.
"Tua bangka, aku minta maaf!"
"Sudahlah! Kita sama-sama sudah tidak kenal tata krama, kenapa engkau masih menjura padaku? Lagi pula sebelumnya kita cuma salah paham, kini sudah saling mengerti."
"Betul, betul." Ouw Yang Seng Tek tertawa terbahak-bahak, kemudian memandang Pek Giok Liong seraya bertanya. "Saudara kecil, kini engkau siap ke mana?"
"Aku ingin ke Kiu Hwa San. Saudara tua mau ke mana?"
"Aku ingin jalan-jalan ke vihara Siau Lim."
"Ohya, bagaimana kalau Saudara tua menanyakan tentang Jin Pin Mo Kun Ting Yuan itu, aku ingin tahu dia berbohong atau tidak?"
"Baiklah. Aku pun ingin memberitahukan pada Tay Kak Hosiang mengenai perkembangan rimba persilatan kini."
"Kalau begitu, aku mengucapkan terimakasih pada Saudara tua!" ucap Pek Giok Liong.
"Eh? Mulai lagi! Aku tidak terima itu." sahut Ouw Yang Seng Tek sambil melotot.
Pek Giok Liong cuma tersenyum, lalu memandang Ouw Beng Hui.
"Engkau mau ke mana?" tanyanya.
"Teecu ingin ikut Ketua."
"Tidak usah!" tolak Pek Giok Liong. "Lebih baik engkau kembali ke tempat tinggalmu."
"Apakah Ketua menganggap teecu berkepandaian rendah?"
"Bukan begitu, aku tidak ingin merepotkanmu."
"Kalau begitu, ijinkanlah hamba ikut Ketua, mungkin ada gunanya." ujar Ouw Beng Hui sungguh-sungguh.
"Itu……" Pek Giok Liong ragu.
"Saudara kecil!" sela Ouw Yang Seng Tek. "Dia sudah merengek-rengek, ajaklah dia! Kalau tidak, dia pasti ngambek. Sebab dia tua bangka yang tidak mau tua."
"Baiklah!" Pek Giok Liong mengangguk.
"Terimakasih Ketua!" ucap Ouw Beng Hui.
"Eh? Tua bangka, kenapa engkau tidak berterimakasih padaku?" tanya Ouw Yang Seng Tek mendadak.
"Bukankah engkau selalu menolak ucapan terimakasih dari siapa pun? Nah, bagaimana mungkin aku mengucapkan terimakasih padamu?" sahut Ouw Beng Hui sambil tertawa gelak.
"Hah? Senjata makan tuan!" keluh Ouw Yang Seng Tek sambil menggaruk-garuk kepala. "Dasar tua bangka licik……!"
*
* *
Bagian ke 47: Kitab Ajaib
Kiu Hwa San terletak di sebelah selatan Kota An Hui. Pemandangan Kiu Hwa San itu sangat indah menakjubkan. Tentunya sangat menarik perhatian para pelancong.
Hari ini di Kiu Hwa San tersebut kedatangan seorang pemuda tampan, tampak pula enam orang tua dan seorang berusia empat puluhan berjalan di belakang pemuda itu.
Mereka adalah Pek Giok Liong, Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui, Siang Sing dan Si Kim Kong.
Berselang beberapa saat kemudian, mendadak Pek Giok Liong berhenti dan memandang Ouw Beng Hui seraya bertanya.
"Engkau pernah datang di gunung ini?"
"Beberapa tahun lalu pernah ke mari satu kali," jawab Ouw Beng Hui memberitahukan.
"Masih ingatkah situasi gunung ini?"
"Cuma ingat sedikit."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, lalu mengeluarkan selembar peta lokasi dari tetua Kay Pang Ouw Yang Seng Tek, Tui Hun It Kiam menitip peta lokasi itu untuk Pek Giok Liong.
"Coba lihatlah peta lokasi ini!" ujar Pek Giok Liong sambil menyerahkan peta lokasi tersebut pada Ouw Beng Hui. "Mungkin engkau masih ingat tempat-tempat tertentu."
Ouw Beng Hui menerima peta lokasi itu, kemudian memperhatikannya dengan seksama. Berselang sesaat, ia memberitahukan.
"Tempat yang akan kita tuju itu, kelihatannya terletak di sebelah timur." Ouw Beng Hui mengembalikan peta lokasi itu pada Pek Giok Liong. "Mari ikut teecu saja!"
Pek Giok Liong mengangguk. Ouw Beng Hui melangkah duluan, Pek Giok Liong dan lainnya mengikutinya dari belakang.
Satu jam kemudian, mereka sudah sampai di lereng gunung itu. Pek Giok Liong berhenti sambil menengok ke sana ke mari. Tempat itu memang mirip seperti yang ada di dalam peta lokasi, namun Pek Giok Liong malah menggeleng kepala.
"Adakah yang tak beres?" tanya Ouw Beng Hui.
"Kelihatannya memang tempat ini, hanya saja……" Pek Giok Liong tampak berpikir, lalu melanjutkan, "Kunci itu untuk membuka pintu ruang batu yang ada di dalam goa, tapi di tempat ini tidak ada goa sama sekali."
Sementara Siang Sing dan Si Kim Kong sudah mulai memeriksa kesana kemari dengan cermat sekali. Mendadak Chua Kui Kim Kong (Arhat penangkap setan) Ih Cong Khie menunjuk pada sebuah batu berbentuk aneh di belakang pohon siong.
"Ketua, lihatlah batu itu!" serunya.
Pek Giok Liong segera menengok ke sana, sedangkan Ouw Beng Hui sudah melompat ke sana, lalu membuang akar-akar tua yang membelit batu itu.
Sungguh di luar dugaan, tak lama tampak sebuah goa di balik batu itu. Betapa girangnya Pek Giok Liong melihat goa tersebut. Ketika ia baru mau melompat ke goa itu, tiba-tiba Thian Koh Sing Ma Hun mencegahnya.
"Tunggu sebentar, Ketua!" ujarnya. "Biar teecu dan Ouw Beng Hui memeriksa dulu goa itu!"
"Baiklah." Pek Giok Liong mengangguk.
Thian Koh Sing Ma Hun langsung melompat ke samping Ouw Beng Hui, mereka berdua lalu memasuki goa itu.
"Kalian harus hati-hati!" seru Pek Giok Liong berpesan.
"Ya," sahut Thian Koh Sing Ma Hun dan Ouw Beng Hui serentak. Berselang beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah melangkah ke luar.
"Bagaimana? Apakah kalian menemukan sesuatu di dalam goa?" tanya Pek Giok Liong.
"Harap Ketua ke dalam untuk periksa sendiri!" jawab Thian Koh Sing Ma Hun dengan hormat.
"Baik." Pek Giok Liong mengangguk, lalu memandang Si Kim Kong seraya berkata, "Kalian berempat menjaga di sini, aku bersama Siang Sing dan Ouw Beng Hui ke dalam."
"Ya," sahut Si Kim Kong sambil menjura.
Pek Giok Liong segera memasuki goa itu, diikuti oleh Siang Sing dan Ouw Beng Hui.
Goa itu tidak gelap, karena setiap lima meter terdapat sebutir mutiara di dinding goa sebagai pengganti lampu.
Ouw Beng Hui dan Thian Koh Sing Ma Hun sudah memeriksa goa itu, maka baru berani mempersilahkan Pek Giok Liong masuk untuk periksa sekali lagi.
Setelah sampai di ujung goa, Pek Giok Liong berhenti dengan kening berkerut, karena di dalam goa tidak terdapat pintu, melainkan hanya terdapat sebuah meja dan empat buah tempat duduk yang terbuat dari batu.
"Heran?" gumam Pek Giok Liong. "Kok tidak ada pintu?"
"Menurut teecu……" ujar Ouw Beng Hui setelah berpikir sejenak. "Di sini pasti terdapat ruang rahasia."
Pek Giok Liong mengangguk, dan sepasang matanya lalu menyapu ke sekeliling dinding goa, kemudian mengerutkan kening lagi.
"Tidak tampak ada pintu……" Pek Giok Liong menggeleng-geleng kepala.
"Kalau gampang dilihat, itu tidak akan disebut pintu rahasia," sahut Ouw Beng Hui sambil tersenyum.
Setelah itu, ia mendekati dinding goa, dan sekaligus mengeluarkan sebuah pisau belati, lalu mulai mengetuk dinding goa dengan pisau itu.
Melihat itu, Siang Sing sudah tahu maksud Ouw Beng Hui, maka mereka berdua pun mulai mengetuk dinding goa dengan batu kecil.
Tak! Tak! Tok! Tok!
Menyusul terdengar suara ketukan yang agak lain. Seketika juga Thian Kang Sing Wie Kauw tampak girang sekali, dan terus mengetuk dinding goa itu.
Tung! Tung! Tung!
"Ketua!" serunya. "Dengarlah suara ini!"
"Tung! Tung! Tung!" Thian Kang Sing Wie Kauw mengetuk lagi. "Tung! Tung……"
Suara itu membuktikan, bahwa di balik dinding itu kosong. Wajah Pek Giok Liong pun tampak berseri.
"Kelihatannya di balik dinding ini terdapat ruang rahasia," ujarnya girang.
"Benar." Thian Kang Sing Wie Kauw mengangguk.
Thian Koh Sing Ma Hun dan Ouw Beng Hui segera memeriksa dinding itu, tapi beberapa saat kemudian, wajah mereka tampak kecewa.
Sementara Pek Giok Liong terus memandang dinding itu. Ia mengerutkan kening sambil berpikir keras. Dibalik dinding itu kosong, berarti ruang rahasia berada di situ. Tapi kenapa tiada pintunya? Pek Giok Liong tidak habis berpikir. Tiada pintu, tentunya harus ada lubang kunci……
Mendadak sepasang mata Pek Giok Liong berbinar-binar, ternyata ia melihat sebuah lubang kecil pada dinding batu yang agak menonjol. Ia cepat-cepat mendekati dinding batu itu dengan wajah berseri, kemudian mengeluarkan kunci yang dibawanya.
"Mudah-mudahan lubang ini……" Pek Giok Liong membatin, lalu memasukkan kunci itu ke dalam lubang tersebut.
Krek! Krek! Pek Giok Liong memutar kunci itu.
Kraaak! Mendadak dinding batu itu bergerak, ternyata dinding batu itu merupakan pintu rahasia.
Pek Giok Liong segera melangkah ke dalam dan diikuti oleh Siang Sing dan Ouw Beng Hui.
Ruangan itu cukup besar. Di dalamnya terdapat tempat tidur, meja dan tempat duduk yang dibuat dari batu. Di tempat tidur itu terdapat sebuah bantal yang sudah kumal.
Di atas meja batu itu terdapat sebuah kotak besi. Pek Giok Liong mendekati meja batu itu, kemudian mencoba membuka kotak besi tersebut.
Kraaak! Kotak besi itu terbuka. Di dalamnya terdapat sebuah kitab tipis bertulisan. 'Kitab Ajaib'.
Pek Giok Liong mengambil kitab itu, lalu dibukanya. Ia terbelalak, karena melihat selembar surat, dan segera membacanya.
Siau Liong, apakah engkau sudah berhasil belajar ilmu silat tingkat tinggi? Kalau belum, engkau boleh mempelajari, ilmu silat yang ada di dalam kitab ajaib ini. Akan tetapi, aku harus memberitahukan, kalau sudah berhasil belajar ilmu silat tingkat tinggi, janganlah engkau mempelajari ilmu silat yang ada di dalam kotak ajaib ini lagi. Sebab kalau engkau mempelajarinya, engkau tidak boleh kawin, selamanya tidak punya anak Apabila engkau kawin, akibatnya engkau pasti mati secara mengenaskan.
Hal lain mengenai peristiwa Ciok Lau San Cung. Siapa pembunuh kedua orang tuamu, mungkin Tu Ci Yen tahu jelas. Engkau harus menyelidiki melalui dia. Namun engkau harus berhati-hati, karena Tu Ci Yen memiliki kepandaian tinggi yang bukan bersumber pada ilmu Siauw cung cu. Sebelum engkau berhasil belajar ilmu silat tingkat tinggi, engkau jangan melawannya!
Setelah engkau memasuki ruang rahasia ini, mungkin aku sudah di bunuh, tapi mungkin juga masih hidup dan kita akan bertemu kelak, baik-baiklah engkau menjaga diri.
Orang tua pincang.
Sesudah membaca surat itu hati Pek Giok Liong pun bergelora. Kini ia telah berhasil belajar ilmu silat tingkat tinggi, tentunya tidak perlu belajar ilmu silat yang ada di dalam kitab ajaib itu. Namun ia tetap berterimakasih pada orang tua pincang itu.
Pek Giok Liong menyimpan kitab ajaib itu ke dalam bajunya, lalu melangkah ke luar. Siang Sing dan Ouw Beng Hui mengikutinya.
Setelah berada di luar, Pek Giok Liong pun menutup pintu rahasia itu dan menguncinya.
Mereka meninggalkan goa itu. Pek Giok Liong ingin langsung menuju gunung Kah Lan untuk menyelidiki istana Cit Ciat Sin Kun, namun Siang Sing dan Si Kim Kong mencegahnya, dan sekaligus menyarankan agar Pek Giok Liong ke vihara Si Hui dulu. Setelah itu, barulah ke Kah Lan San menyelidiki istana tersebut.
Pek Giok Liong menerima baik saran itu, lalu berangkat ke vihara Si Hui untuk menemui Se Pit Han.
*
* *
Di ruang belakang vihara Si Hui, tampak beberapa orang sedang duduk dengan wajah serius. Mereka adalah Pek Giok Liong, Se Pit Han, Siauw Hui Ceh dan Cing Ji.
"Adik Liong!" Se Pit Han menatapnya seraya bertanya, "Bagaimana keadaan Hwa San? Apakah engkau telah membongkar kedok Tu Ci Yen?"
"Tepat pada waktunya aku sampai di Hwa San. Gin Tie itu memang benar Tu Ci Yen……," jawab Pek Giok Liong. Kemudian ia pun menutur tentang apa yang dialaminya di Seh Lian San dan Kiu Hwa San.
Ketika mendengar Kian Kun Ie Siu dipindahkan ke tempat lain, hati Cing Ji pun girang-girang cemas.
Girang karena kakeknya masih hidup, cemas lantaran tidak tahu kakeknya di pindahkan ke mana.
Walau ia yakin para bawahan Pek Giok Liong mampu menolong kakeknya, tapi ia masih tetap merasa khawatir, sebab tidak tahu kapan kakeknya dapat ditolong.
"Kak misan!" tanya Pek Giok Liong seusai menutur. "Setelah engkau sampai di Bu Tong, bagaimana keadaan di sana?"
Se Pit Han menarik nafas panjang.
"Aku terlambat, murid-murid Bu Tong mati dua puluh orang, tapi memperoleh sesuatu yang sungguh di luar dugaan." jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh?" Pek Giok Liong menatapnya. "Sesuatu yang bagaimana?"
"Berkaitan dengan Kim Tie itu," jawab Se Pit Han sambil tersenyum.
"Oh?" Sepasang mata Pek Giok Liong langsung berbinar. "Kak misan tahu siapa orang itu?"
"Hanya menilai dari ilmu silatnya, namun belum berani memastikan."
"Jadi Kak misan cuma menduga saja?"
"Ya."
"Kira-kira siapa dia?"
"Berdasarkan ilmu silatnya ……" Se Pit Han memberitahukan. "…… dia mungkin salah seorang Bu Lim Cit Khi (Tujuh orang aneh rimba persilatan)."
"Apa?!" Pek Giok Liong tertegun. "Itu …… bagaimana mungkin?"
"Bukankah aku sudah bilang, belum berani memastikan, cuma menduga saja. Belum ada buktinya."
"Engkau sudah menduga kira-kira siapa dia?"
"Aku curiga …… dia adaah Huan In Sin Jiau (Cakar bayangan) Jen Siau Hien!"
"Apa?!" Pek Giok Liong melongo. "Itu sungguh sulit dipercaya. Huan In Sin Jiau Jen Siau Hien memang bertabiat aneh, tapi kenapa dia merelakan dirinya di bawah perintah Cit Ciat Sin Kun? Padahal kedudukannya amat tinggi dalam bu lim!"
"Adik Liong!" Se Pit Han tersenyum. "Memang benar apa yang engkau katakan, tapi ……"
"Kenapa?"
"Segala urusan di kolong langit, sangat sulit diduga, begitu pula tentang ini."
"Emmh!" Pek Liong manggut-manggut dan mengalihkan pembicaraan. "Kak misan, aku akan segera pergi menyelidiki istana Cit Ciat Sin Kun. Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Aku tidak setuju." Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Lho?" Pek Giok Liong tertegun. "Memangnya kenapa?"
"Tidak kenapa-napa, cuma tidak setuju saja," sahut Se Pit Han sambil menatapnya.
"Kak misan!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Apa alasanmu, haruslah dijelaskan!"
"Alasanku sangat sederhana. Kita tidak tahu jelas tempat itu dan situasinya, maka kita gampang mendapat serangan gelap. Itu amat membahayakan."
"Tapi …… kalau kita akan masuk sarang macan, bagaimana mungkin mendapat anaknya? Walau harus menempuh bahaya ……"
"Pokoknya aku melarangmu pergi menempuh bahaya." tegas Se Pit Han.
"Kak misan ……" Pek Giok Liong memandangnya bodoh.
"Engkau tidak mau dengar kata-kataku?" Se Pit Han melotot.
"Aku ……" Pek Giok Liong tersenyum. "Aku mana berani tidak dengar kata-katamu?"
"Kalau begitu, engkau tidak perlu banyak bicara lagi!" tandas Se Pit Han.
"Kak Han!" sela Siauw Hui Ceh merasa tidak tega. "Sudahlah! Engkau jangan menekannya lagi!"
"Adik Hui!" Se Pit Han tertawa kecil. "Engkau merasa tidak tega dalam hatinya?"
Wajah Siauw Hui Ceh langsung memerah, dan cepat-cepat menundukkan kepalanya.
Ketika mendengar pembicaraan mereka, hati Pek Giok Liong pun tergerak dan ujarnya sambil tersenyum.
"Kak misan, kalau aku punya salah, engkau jangan gusar dan ……"
"Omong kosong!" potong Se Pit Han. "Aku tidak gusar, lagi pula bagaimana mungkin aku berani gusar?"
"Kalau begitu ……" Pek Giok Liong tersenyum lebar. "Maafkanlah aku!"
"Eh?" Se Pit Han tertawa geli. "Engkau tidak bersalah terhadapku, kenapa engkau harus minta maaf padaku?"
"Itu ……" Pek Giok Liong tertegun. "Kalau aku membuat engkau gusar, aku …… minta maaf!"
"Kakak Han!" sela Cing Ji mendadak. "Kakak Liong sudah mengaku salah, maka maafkanlah dia!"
"Eh?" Se Pit Han menatap Cing Ji sambil tertawa. "Engkau juga merasa tidak tega?"
"Aku ……" Cing Ji menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Kalian berdua berhati lembut," ujar Se Pit Han sambil tersenyum. "Kelak kalian bagaimana ……"
"Kak misan!" Pek Giok Liong terbelalak. Ia tidak tahu kenapa Se Pit Han mengatakan begitu.
"Baiklah!" Se Pit Han tersenyum lagi. "Karena kedua adik itu merasa tidak tega, maka aku pun tidak akan banyak bicara, namun engkau harus mengabulkan satu permintaan kami!"
"Baik." Pek Giok Liong mengangguk. "Asal kak misan tidak marah lagi, aku pasti mengabulkan."
"Permintaanku ini walau sederhana, namun agak sulit dilaksanakan."
"Oh?" Pek Giok Liong menatapnya. "Permintaan apa itu?"
"Selanjutnya urusan apa pun, sebelum engkau bertindak, terlebih dahulu harus kau berunding dengan kami bertiga seperti sekarang ini. Jangan mengambil keputusan sendiri atau menempuh bahaya."
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Kalau engkau berani melanggar syarat permintaan kami ini, jangan menyalahkan kami kalau kami tidak menghiraukanmu lagi selanjutnya!"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk lagi.
"Adik Liong, tahukah engkau ketika orang lain mengetahui engkau langsung berangkat ke Seh Lian San dari Hwa San, itu sungguh mencemaskan."
Setelah mendengar ini, barulah Pek Giok Liong sadar kenapa tadi Se Pit Han tampak gusar, justru membuat hatinya terharu.
"Kak misan, aku mengaku salah," ucap Pek Giok Liong. "Selanjutnya aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Ng!" Se Pit Han manggut-manggut. "Engkau tidak perlu mengaku salah padaku, sebaliknya ……" Se Pit Han melirik Siauw Hui Ceh dan Cing Ji seraya melanjutnya. "Kedua adik itu sampai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur. Mereka berdua kelihatannya ingin terbang ke Seh Lian San! Coba bayangkan perasaan mereka waktu itu!"
"Eeeh?" sela Cing Ji. "Kakak Han, kenapa kami berdua yang menjadi sasaran omonganmu?"
"Tapi aku tidak omong kosong kan?" Se Pit Han tertawa kecil.
"Kakak Han!" Siauw Hui Ceh tersenyum. "Kenapa tidak mau membicarakan diri sendiri?"
"Aku justru tidak menghiraukannya," sahut Se Pit Han.
"Hi hi!" Siauw Hui Ceh tertawa geli. "Sungguhkah kakak Han tidak menghiraukannya?"
Se Pit Han mengerutkan sepasang alisnya, sebaliknya Pek Giok Liong malah tertawa ringan seraya berkata, "Kak misan, itu memang kesalahanku sehingga membuat kakak Han dan kedua adik itu jadi cemas. Di sini aku mengucapkan terimakasih atas perhatian kalian bertiga!" Pek Giok Liong segera menjura pada mereka.
"Eh?" Se Pit Han melolot. "Siapa suruh engkau menjura hormat pada kami?"
"Jadi …… kak misan masih marah?"
"Siapa yang marah?"
"Kalau begitu ……" Pek Giok Liong menatapnya.
"Kenapa tidak dilanjutkan?" tanya Se Pit Han.
"Kalau kak misan sudah tidak marah, kupikir ……" Pek Giok Liong tidak melanjutkan ueapannya lagi.
"Engkau pikir apa?" tanya Se Pit Han sambil menatapnya dalam-dalam.
"Sudahlah!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Lebih baik aku tidak bilang, agar engkau tidak marah lagi."
"Eh?" Se Pit Han menatapnya dengan mata agak terbelalak. "Engkau begitu takut aku marah?"
"Tentu." Pek Giok Liong mengangguk. "Kalau tidak, aku sudah bilang."
"Bagaimana kalau aku menghendaki engkau bilang?"
"Ini ……"
"Engkau tidak mau bilang juga?"
"Lebih baik aku tidak bilang."
"Tapi ……" Se Pit Han menatapnya. "Sekarang aku menghendaki engkau bilang, harus bilang!"
"Kak misan!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Kenapa harus begitu?"
"Baik!" Wajah Se Pit Han berubah. "Kalau engkau tidak mau bilang, selanjutnya aku tidak akan memperdulikanmu lagi."
"Kakak Liong!" sela Cing Ji. "Cepatlah engkau bilang!"
Pek Giok Liong tersenyum ke arah Cing Ji, kemudian memperhatikan Se Pit Han seraya bertanya, "Kak misan, betulkah engkau menghendaki aku bilang?"
"Kalau engkau menghendaki aku tidak memperdulikanmu lagi, engkau boleh tidak bilang?"
"Kak misan tidak akan marah?"
"Hm!" dengus Se Pit Han: "Hatiku tidak begitu sempit, lagi pula aku bukan pemarah."
"Kalau begitu, baiklah!" Pek Giok Liong tersenyum. "Kini kak misan sudah tidak marah, maka ku piker …… alangkah baiknya kak misan tertawa dikit!"
Se Pit Han tertegun. Ternyata Pek Giok Liong menggodanya, dan itu membuat air mukanya berubah.
"Siapa akan tertawa padamu ……" Walau mulut berkata demikian, namun ia justru tertawa.
Begitu Se Pit Han tertawa, Pek Giok Liong memandangnya seperti kehilangan sukma, sehingga membuat wajah Se Pit Han memerah.
"Kenapa engkau memandangku seperti orang linglung?"
"Wuaah!" Pek Giok Liong tertawa. "Sungguh indah mempesonakan tawa kak misan itu?"
"Eh? Mulai merayu ya?" tegur Se Pit Han dengan wajah bertambah merah, namun hatinya berbunga-bunga.
"Aku tidak merayu, melainkan tawamu itu memang sangat indah dan memukau." sahut Pek Giok Liong dan tertawa lagi.
"Idih! Mukamu sungguh tebal! Dasar tak tahu ……" Se Pit Han ingin mengatakan 'Dasar tak tahu malu', tapi tidak dicetuskan.
"Dasar tak tahu malu kan?" sambung Pek Giok Liong sambil menatapnya. "Dari dulu hingga kini, berapa banyak ksatria yang bertekuk lutut di hadapan wanita cantik?"
"Kok bicaranya makin ngawur?" Se Pit Han cemberut. "Kalau engkau masih melanjutkan, aku tidak memperdulikanmu lagi."
"Kakak Han!" Cing Ji tersenyum. "Apa yang dikatakan Kakak Liong memang benar, tadi tawamu itu sungguh indah mempesona. Kalau aku adalah lelaki, betul-betul akan bertekuk lutut di hadapanmu!"
"Eh? Adik Cing!" Se Pit Han melotot. "Kenapa engkau jadi membelanya?"
"Aku tidak membelanya, apa yang kukatakan memang sungguh. Kalau Kakak Han tidak percaya, boleh bertanya pada Kakak Hui!"
"Tidak salah." sambung Siauw Hui Ceh cepat. "Tadi ketika Kakak Han tertawa, memang sungguh menawan hati."
"Apakah kalian berdua terpikat oleh tawaku itu?" tanya Se Pit Han sambil tersenyum.
"Terpikat," sahut Cing Ji. "Tapi aku dan Kakak Hui bukan Kakak Liong, maka percuma terpikat."
"Eh?" Wajah Se Pit Han memerah. Ia tidak menyangka bahwa Cing Ji begitu pandai menggoda orang. "Dasar budak kecil, sama sekali tidak merasa jengah mengatakan begitu!"
"Kenapa harus jengah? Di sini tiada orang luar, lagi pula ……" Cing Ji tersenyum dan melanjutkan, "…… cuma kita bertiga ……"
"Berempat lho!" sahut Pek Giok Liong. "Apakah aku tidak masuk hitungan?"
"Sudahlah!" tandas Siauw Hui Ceh. "Rasanya sudah cukup kita bercanda, sekarang lebih baik kita membicarakan hal penting!"
"Hal penting apa?" tanya Cing Ji.
"Mengenai Cit Ciat Sin Kun itu, harus bagaimana cara menghadapinya," jawab Siauw Hui Ceh.
"Benar." Se Pit Han manggut-manggut, lalu memandang Pek Giok Liong seraya bertanya. "Adik Liong, bagaimana pendapatmu?"
"Aku siap mendengar petunjuk kak misan," jawab Pek Giok Liong.
"Adik Liong!" Se Pit Han tertawa kecil. "Engkau marah padaku ya?"
"Bagaimana mungkin aku akan marah pada kak misan?" Pek Giok Liong.
"Tapi kenapa barusan engkau bicara begitu?"
"Lho?" Pek Giok Liong tertawa. "Bukankah tadi kak misan bilang, urusan apa pun harus kita rundingkan bersama!"
"Ini namanya senjata makan tuan!" Se Pit Han menarik nafas.
"Kak misan, aku sama sekali tidak bermaksud begitu," ujar Pek Giok Liong sungguh-sungguh. "Kak misan lebih berpengalaman, maka aku mohon petunjuk."
"Terimakasih atas pujianmu, adik Liong!" Se Pit Han tersenyum. "Ohya, tahukah engkau kenapa aku melarangmu pergi menyelidiki istana Cit Ciat Sin Kun?"
"Tentunya kak misan tidak menghendaki aku menempuh bahaya, kan?" Pek Giok Liong menatapnya.
"Itu merupakan salah satu sebab, masih ada sebab lain."
"Oh? Kak misan, tolong beritahukan sebab lain itu!"
"Sebab lain itu adalah ……" Se Pit Han memberitahukan. "Tidak perlu menempuh jarak, cukup mengambil jalan pintas saja."
"Maksud kak misan?"
"Pepatah mengatakan ……" Se Pit Han tersenyum. "Mau memanah orang harus memanah kudanya dulu."
Pek Giok Liong mengerutkan kening, tampaknya is kurang mengerti akan maksud ucapan Se Pit Han. Sementara Se Pit Han cuma tersenyum-senyum.
*
* *
Bagian ke 48: Menyusun Rencana
Setelah termenung beberapa saat, Pek Giok Liong lalu menatap Se Pit Han seraya bertanya.
"Kak misan, aku tidak mengerti maksudmu, bolehkah engkau menjelaskannya?"
"Adik. Liong, asal dapat mencari Cit Ciat Sin Kun, bukankah tidak perlu pergi menyelidiki istananya lagi?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk, tiba-tiba hatinya tergerak. "Kak misan, apakah Cit Ciat Sin Kun telah meninggalkan istananya?"
"Kalau tidak, Kenapa aku harus bilang begitu?" Se Pit Han memberitahukan. "Aku dengar, dia sudah berada di sekitar daerah sini."
"Dia berada di mana?"
"Tahukah engkau tentang ekspedisi Yang Wie di dalam kota Teng Hong?"
"Aku pernah dengar itu," jawab Pek Giok Liong, lalu memandang Se Pit Han. "Kalau tidak salah, pemilik ekspedisi itu Sia Houw Kian Nguan. Dia sangat antusias terhadap siapa pun, dan tergolong pendekar sejati dalam bu lim."
"Engkau dengar dari siapa?" tanya Se Pit Han sambil tersenyum.
"Apakah tidak benar?"
"Aku cuma sekedar bertanya."
"Kakak Liong!" sela Siauw Hui Ceh. "Aku tahu engkau dengar dari orang tua pincang itu, kan?"
"Benar." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memang dengar dari orang tua pincang itu."
"Aku dengar ……" sambung Se Pit Han. "Orang tua pincang itu adalah Tui Hun It Kiam yang pernah menggetarkan bu lim masa lalu. Benar ya?"
"Kok kak misan tahu?" tanya Pek Giok Liong heran.
"Se Khi yang beritahukan."
"Dia memang banyak mulut."
"Jangan menyalahkan Se Khi!" Se Pit Han tersenyum. "Aku yang bertanya, bagaimana mungkin dia berani tidak menjawab? Lagi pula …… engkau pun tidak akan mengelabuiku kan?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Ohya!" tanya Se Pit Han mendadak. "Bagaimana dengan 'Kitab ajaib' itu?"
"Bagaimana menurut kak misan?" Pek Giok Liong balik bertanya.
"Aku bertanya padamu justru ingin tahu bagaimana pendapatmu, kok engkau malah balik bertanya?"
"Menurut aku ……" Pek Giok Liong berpikir sejenak. "Lebih baik di musnahkan saja, 'Kitab ajaib' itu."
"Apa?" Se Pit Han terbelalak. "Engkau ingin memusnahkan 'Kitab ajaib' itu?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Sebab ilmu silat yang dimuat di dalamnya agak menyesatkan."
"Agak menyesatkan?" Cing Ji bingung. "Kenapa menyesatkan?"
"Sudahlah!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Tidak perlu kujelaskan."
Cing Ji cemberut, lalu memandang Se Pit Han seraya ujarnya merengek.
"Kakak Han, beritahukanlah!"
"Aku pun tidak tahu." Se Pit Han tersenyum. "Lebih baik dia yang beritahukan."
Cing Ji mengarah pada Pek Giok Liong, kemudian melotot.
"Huh! Siapa menghendaki dia yang beritahukan, dia tidak beritahukan juga tidak apa-apa."
"Kalau begitu ……" Se Pit Han tertawa kecil. "Bukankah engkau sama sekali tidak tahu?"
"Aku justru ingin tahu," sahut Cing Ji.
"Apakah engkau ingin bertanya pada orang lain?" Se Pit Han menatapnya.
"Ya." Cing Ji mengangguk.
"Engkau ingin bertanya pada siapa?" tanya Se Pit Han.
"Paman Siauw pasti tahu!" Cing Ji tersenyum.
"Paman Siauw mungkin tahu, namun aku mengingatkan, lebih baik engkau jangan bertanya padanya!"
"Kenapa?"
"Aku yakin Paman Siauw juga tidak akan memberitahukan padamu."
"Lho?" Cing Ji tercengang. "Kenapa begitu? Aku jadi bingung."
"Kakak Han, seandainya aku yang bertanya, apakah ayah akan memberitahukan?" tanya Siauw Hui Ceh mendadak.
"Engkau memang putri satu-satunya paman Siauw, tapi belum tentu ayahmu akan memberitahukan."
"Apakah ayah tidak leluasa memberitahukan?" tanya Siauw Hui Ceh heran.
"Ya." Se Pit Han mengangguk.
"Kalau begitu, Kakak Han sudah tahu, tapi juga merasa kurang leluasa memberitahukan?"
"Betul." Se Pit Han tersenyum.
"Oooh!" Siauw Hui Ceh manggut-manggut sambil tersenyum. "Kini aku sudah mulai mengerti."
"Oh, ya?" Se Pit Han tersenyum.
"Tentunya 'Kitab ajaib' itu berkaitan dengan kaum wanita. Benar kan?" ujar Siauw Hui Ceh.
"Engkau memang pintar. Engkau kok bisa menduga ke situ?"
"Aku cuma sembarangan menduga."
Sedangkan Cing Ji terus berpikir, akhirnya ia pun menyadari sesuatu, sehingga ia bergumam. "Oooh, ternyata itu ……"
"Adik Cing!" Se Pit Han tersenyum. "Engkau sudah mengerti?"
"Kakak Han jahat!" Cing Ji tertawa. "Berbisik padaku saja! Jadi aku tidak usah berpikir begitu lama!"
"Engkau harus banyak berpikir, itu yang disebut mengasah otak." ujar Se Pit Han sambil tersenyum.
"Akan tajam kan?" Cing Ji tersenyum dan mengarah pada Pek Giok Liong. "Kakak Liong juga jahat ……"
"Adik Cing, kenapa engkau menyalahkan diriku?" Pek Giok Liong menggeleng-geleng kepala. "Padahal aku ……"
"Engkau egois!" Cing Ji menudingnya. "Aku ……"
"Sudahlah Adik Cing!" sela Se Pit Han. "Jangan bergurau lagi!"
"Ya." Cing Ji mengangguk.
"Adik Liong!" Se Pit Han memandangnya. "Apakah engkau tidak tahu keistimewaan ilmu silat yang ada di dalam 'Kitab ajaib' itu?"
"Aku tidak tahu."
"Engkau sudah membaca buku yang mencatat ilmu silat dari berbagai partai di dalam ruang rahasia?"
"Sudah, tapi tidak selesai," jawab Pek Giok Liong dan bertanya, "Kak misan, apa keistimewaan ilmu silat dalam 'Kitab ajaib' itu?"
"Cara melatih lwee kang, agak berlawanan dengan cara yang biasa." Se Pit Han memberitahukan. "Tapi kalau bertarung dengan mengerahkan lwee kang itu, tujuh hari tujuh malam bertarung pun tidak akan merasa lelah."
"Oooh!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Oleh karena itu, kak misan tidak mengijinkanku memusnahkan 'Kitab ajaib' itu?"
"Sungguh sayang kalau 'Kitab ajaib' itu dimusnahkan."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kukembalikan ke tempat semula, agar ditemukan orang yang berjodoh dengan kitab ajaib itu?"
"Itu tidak perlu, aku justru khawatir kitab ajaib itu akan jatuh ke tangan pendekar berhati licik. Bukankah bu lim akan kacau?"
"Betul."
"Menurut pendapatku, lebih baik kau simpan saja kitab ajaib itu. Bukankah lebih aman?"
Pek Giok Liong berpikir sesaat, kemudian mengangguk.
"Baiklah," ujarnya dan mengalihkan pembicaraan. "Kak misan, tadi engkau menyinggung Ekspedisi Yang Wie. Apakah Cit Ciat Sin Kun berada di ekspedisi itu?"
"Benar." Se Pit Han mengangguk. "Aku telah memperoleh informasi yang dapat dipercaya, bahwa Cit Ciat Sin Kun memasuki ekspedisi Yang Wie, hingga saat ini dia belum keluar."
Seketika juga Pek Giok Liong tampak bersemangat.
"Sudahkah kak misan mengutus orang untuk mengawasinya?"
"Ng!" Se Pit Han mengangguk.
Mendadak Pek Giok Liong bangkit berdiri.
"Kak misan, mari kita pergi!" ujarnya.
"Mau ke mana?" tanya Se Pit Han tidak beranjak sama sekali.
"Ke Kota Teng Hong!"
"Mau apa ke sana?"
"Eh?" Pek Giok Liong mengernyitkan kening. "Kak misan sudah tahu, kok masih bertanya?"
"Adik Liong!" Se Pit Han tersenyum. "Duduklah! Jangan terburu nafsu!"
Pek Giok Liong duduk kembali, mulutnya membungkam dengan mata terus menatap Se Pit Han tanpa berkedip.
"Lho?" Wajah Se Pit Han kemerah-merahan. "Kenapa engkau terus menerus menatapku begitu? Kepalaku tumbuh tanduk ya?"
"Aku ingin tahu, kenapa engkau sudah tahu tapi masih bertanya?" ujar Pek Giok Liong. "Bolehkah aku tahu sebab musababnya?"
"Jadi engkau tidak tahu?"
"Aku sangat bodoh, lebih baik Kak misan jelaskan!"
"Adik Liong, engkau ingin ke sana dengan maksud menyelidiki ekspedisi Yang Wie kan?"
"Bukan menyelidiki, melainkan secara terang-terangan."
"Kalau begitu, apakah engkau sudah siap menemui mereka secara terang-terangan?"
"Bukan menemui, melainkan mengunjungi."
"Apakah kunjunganmu dengan cara bu lim?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Apakah itu tidak baik?"
"Itu memang baik, tapi ……" Se Pit Han menatapnya. "Apakah engkau ingin langsung mengunjungi Cit Ciat Sin Kun?"
"Aku akan mengunjungi pemilik ekspedisi itu, kemudian ……"
"Kunjungan itu memang baik," potong Se Pit Han sambil tersenyum. "Tapi kini pemilik ekspedisi itu sudah bukan Sia Houw Kian Nguan lagi."
"Apa?" Pek Giok Liong terkejut. "Sia Houw Kian Nguan sudah di bunuh Cit Ciat Sin Kun?"
"Adik Liong!" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan terlampau emosi!"
"Maksud Kak misan?"
"Sia Houw Kian Nguan masih hidup, Cit Ciat Sin Kun sama sekali tidak membunuhnya."
"Kalau begitu, dia berada di mana sekarang? Apakah masih berada di ekspedisi Yang Wie?"
"Setengah tahun yang lalu, dia pergi ke Kota Kim Ling."
"Mau apa dia ke sana?"
"Untuk memimpin ekspedisi yang di Kota itu."
"Ekspedisi yang mana?"
"Ekspedisi Kim Ling."
"Oh?" Pek Giok Liong mengernyitkan kening. "Apakah informasi itu dapat dipercaya?"
"Dapat dipercaya sepenuhnya."
"Diakah yang membuka ekspedisi itu?"
"Tentang itu, aku kurang jelas."
Pek Giok Liong berpikir lama sekali, setelah itu ia bertanya.
"Apakah Kak misan tahu siapa yang menjadi kepala pemimpin ekspedisi Yang Wie sekarang?"
"Aku dengar yang menggantikan Sia Houw Kian Nguan adalah Thiat Jiau Kou Hun (Cakar besi pembetot sukma) Song Yauw Tong, penjahat besar dari kwan gwa (Luar perbatasan).
"Kalau begitu, secara tidak langsung dia pemilik ekspedisi itu!"
"Sebenarnya, pemilik ekspedisi Yang Wie tetap Sia Houw Kian Nguan."
"Heran? Kenapa dia malah pindah ke Kota Kim Ling untuk memimpin ekspedisi di sana?" Pek Giok Liong tidak habis berpikir.
"Hanya ada satu kemungkinan."
"Kemungkinan apa?"
"Dia berada dalam pandangan Cit Ciat Sin Kun, sehingga terpilih." Se Pit Han menjelaskan. "Maka Cit Ciat Sin Kun memerintahkan agar dia ke ekspedisi Kim Ling. Walau dia tahu maksud tujuan Cit Ciat Sin Kun, namun terpaksa harus menuruti perintah itu."
"Kalau begitu, dia pasti tertekan oleh Cit Ciat Sin Kun!"
"Mungkin dan masuk akal."
"Kalau begitu masalahnya, Sia Houw Kian Nguan termasuk orang yang takut mati!" Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak juga. Mungkin dia punya kesulitan."
"Kesulitan apa?"
"Sia Houw Kian Nguan punya anak istri. Ketika dia berangkat ke Kota Kim Ling, anak istrinya tidak ikut, juga tidak berada di ekspedisi Yang Wie."
"Oh? Kalau begitu, apakah anak istrinya telah disandera oleh Cit Ciat Sin Kun?"
"Sia Houw Kian Nguan adalah pendekar sejati, dia lebih mau mati dari pada harus menuruti perintah itu. Namun demi keselamatan anak istrinya, maka dia terpaksa menunduk."
"Nah! Bolehkah aku pergi mengunjungi Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Percuma."
"Kenapa percuma?"
"Engkau tidak akan dapat menemuinya."
"Tentunya aku punya akal untuk menemuinya."
"Apa akalnya?"
"Itu rahasia, tidak boleh dibocorkan."
"Adik Liong!" Se Pit Han menatapnya. "Engkau punya akal apa, lebih baik beberkan! Setelah itu, barulah engkau melaksanakannya."
"Baiklah." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku akan menyamar sebagai pedagang, lalu menemuinya untuk membicarakan soal pengiriman barang. Bagaimana menurut pendapat kak misan mengenai akalku ini?"
"Cukup baik, tapi dia tetap tidak akan menemuimu."
"Itu urusan bisnis, bagaimana mungkin dia tidak akan menerima kehadiranku?"
"Itu tidak salah. Tapi ekspedisi Yang Wie yang sekarang ini tidak seperti yang dulu lagi. Meskipun engkau pergi membicarakan soal pengiriman barang, namun belum tentu Thian Jiau Kou Hun Song Yauw Tong akan menemuimu."
"Lho? Kenapa?"
"Mungkin dia akan menyuruh wakilnya untuk menemuimu."
"Tapi tidak akan mengatakan ingin bertemu langsung dengan Song Yauw Tong."
"Itu tidak mungkin."
"Kalau begitu, bagaimana menurut pendapat kak misan?"
"Engkau sudi kalau kuatur?"
"Kak misan akan mengatur bagaimana?"
"Adik Liong ……" Se Pit Han tersenyum. "Akan kuberitahukan nanti, yang penting sekarang engkau setuju apa tidak kuatur?"
"Baiklah, aku setuju."
"Tapi engkau masih harus mengabulkan satu syaratku!"
"Katakanlah!"
"Setelah memasuki ekspedisi Yang Wie dan bertemu Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong, engkau tidak boleh bertindak berdasarkan emosi. Bagaimana?"
"Baiklah!" Pek Giok Liong mengangguk. "Aku menurut."
*
* *
Hari ini, tampak lima orang menunggang kuda berhenti di depan ekspedisi Yang Wie.
Orang yang pertama merupakan seorang pemuda berwajah agak pucat, namun sikapnya angkuh sekali. Kuda yang ditunggangnya berbulu putih seperti salju, kuda jempolan dari kwan gwa.
Di belakang pemuda berwajah pucat, tampak pula empat orang berusia tiga puluhan. Keempat orang itu menunggang kuda berbulu hitam mengkilap.
Pemuda wajah pucat dan keempat orang itu melompat turun. Setelah menambatkan kuda masing-masing, mereka berlima lalu menuju ke ekspedisi Yang Wie.
Di depan pintu ekspedisi Yang Wie, berdiri empat lelaki berbaju hitam. Ketika melihat kedatangan mereka, salah seorang lelaki berbaju hitam itu pun membentak.
"Harap berhenti!"
Mereka berhenti. Pemuda berwajah pucat lalu memandang laki-laki yang membentak itu seraya berkata.
"Ada urusan apa?"
"Engkau usaha apa?" tanya lelaki itu.
Pemuda wajah pucat tertawa, ia memandang dirinya sendiri, lalu balik bertanya dengan nada dingin.
"Engkau lihat aku seperti orang usaha apa?"
Lelaki itu menatap pemuda wajah pucat dengan penuh perhatian, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau tidak bilang, bagaimana mungkin aku tahu?" sahutnya.
"Kalau begitu, akan kuberitahukan, aku ke mari mau mencari orang!"
"Siapa yang kau cari?"
"Siapa pemimpin kalian disini?"
Lelaki itu tersentak, lalu memandang pemuda wajah pucat dengan mata terbelalak.
"Engkau ke mari mencari pemimpin kami?"
"Tidak salah. Aku ke mari khususnya untuk mencari pemimpin kalian itu!"
"Apakah engkau kenal pemimpin kami?"
"Belum pernah bertemu."
"Oh?" Lelaki itu mengernyitkan kening. "Kalau begitu, bolehkah aku tahu margamu?"
"Aku marga Lie!"
"Ada urusan apa engkau mencari pemimpin kami?"
"Percuma aku beritahukan padamu, lebih baik engkau ke dalam dan melapor!"
"Maaf!" ucap lelaki itu. "Kalau engkau tidak memberitahukan maksud tujuanmu, aku tidak bisa melapor."
Pemuda wajah pucat menoleh ke belakang pada orang berbaju hijau, lalu ujarnya dengan suara dalam.
"Beritahukanlah padanya!"
"Ya," sahut orang berbaju hijau sambil menjura, setelah itu ia mendekati lelaki penjaga pintu tersebut, lalu memperlihatkan suatu benda sambil tertawa dingin. "Sobat, engkau pernah melihat benda ini?"
Lelaki itu tertegun, lalu memperhatikan benda yang ada di tangan orang berbaju hijau.
"Apa itu?" tanyanya.
"Engkau tidak kenal benda ini?" Orang. baju hijau tertawa dingin lagi.
"Tidak kenal. Lelaki itu menggelengkan kepala.
"Ini tanda pengenal pengawal khusus kerajaan. Sungguhkah engkau tidak kenal?" Orang berbaju hijau menatapnya tajam.
"Hah?" lelaki itu terperanjat. "Kalau begitu, Anda adalah ……"
"Pengawal khusus istana," sahut orang berbaju hijau dingin.
"Oh?" Lelaki itu lalu memandang pemuda berwajah pucat. "Tuan muda ini ……?"
"Dia pangeran." Orang berbaju hijau memberitahukan. "Kini engkau sudah tahu kan?"
"Haah ……" Lelaki itu terkejut bukan main. Ternyata ia berhadapan dengan pangeran, cepat-cepat ia memberi hormat. "Hamba menghadap Pangeran, karena hamba tidak tahu kehadiran Pangeran, maka tadi telah berlaku kasar, mohon Pangeran mengampuni hamba!"
Pemuda berwajah pucat mengibaskan tangannya, dan memandang lelaki itu seraya berkata. "Engkau tidak tahu maka tidak bersalah. Aku mengampunimu."
"Terimakasih, Pangeran!" ucap lelaki itu sambil menarik nafas lega.
"The Yong Sun! Kini engkau boleh ke dalam melapor!" bentak orang berbaju hijau itu dengan dingin.
"Ya! Ya! Hamba segera ke dalam melapor!" The Yong Sung langsung berlari ke dalam untuk melapor.
Tak seberapa lama kemudian, tampak beberapa orang ekspedisi Yang Wie berhambur ke luar.
Salah seorang berusia lima puluhan, berbadan tinggi besar dan sepasang matanya bersinar tajam, namun kelihatan licik.
Siapa orang itu? Tidak lain Thian Jiau Kou Hun Song Yauw Tong, penjahat besar dari kwan gwa.
"Hamba Song Yauw Tong memberi hormat pada Pangeran!" ucap Thiat Jiau Kou Hun sambil menjura pada pemuda wajah pucat. "Karena tidak tahu kedatangan Pangeran, maka tidak menyambut dengan meriah."
"Tidak perlu sungkan-sungkan, Song Yauw Tong!" sahut pemuda wajah pucat. "Aku ke mari karena ada sedikit urusan."
"Urusan apa, harap Pangeran memberitahukan pada hamba!" ucap Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong dan menambahkan. "Silakan masuk, Pangeran!"
"Jalan duluan!" Ujar pemuda wajah pucat.
"Hamba terima perintah!" Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong menjura, lalu melangkah ke dalam.
Pemuda wajah pucat dan keempat pengawalnya mengikuti dari belakang. Ketika sampai di pintu ruang, dua orang berbaju hijau berhenti lalu berdiri di luar pintu itu. Sedangkan dua orang berbaju hijau lainnya mengikuti pemuda berwajah pucat memasuki ruang tersebut.
"Kalian semua harus berdiri di sini!" ujar dua orang berbaju hijau yang berdiri dekat pintu pada orang-orang ekspedisi Yang Wie. "Kalian semua di larang masuk!"
Orang-orang ekspedisi Yang Wie tercengang, namun mereka menurut berdiri dekat kedua orang berbaju hijau itu.
"Silakan duduk, Pangeran!" ucap Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong hormat.
Pemuda berwajah pucat duduk, kedua pengawalnya berdiri di belakangnya. Pemuda berwajah pucat memandang Song Yauw Tong sambil tersenyum.
"Engkau boleh duduk!" katanya.
"Hamba tidak berani," sahut Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong, si Cakar Besi Pembetot Sukma.
"Duduklah!" desak pemuda berwajah pucat. "Aku ingin bicara denganmu!"
"Ya." Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong menjura, lalu duduk di hadapan pemuda berwajah pucat itu. "Maaf, Pangeran menghendaki hamba mengerjakan apa?"
"Ada suatu barang yang harus segera diantar ke ibu kota, maka merepotkanmu untuk melindungi barang itu ke sana."
"Ya, ya." Hamba merasa bangga sekali."
"Berapa biayanya, aku pasti bayar, tapi ……" Pemuda berwajah pucat memberi isyarat pada salah seorang pengawalnya.
Pengawal itu segera menaruh sebuah kotak besi ke atas meja.
"Barang yang ada di dalam kotak. besi itu merupakan barang yang amat berharga, maka harus engkau yang turun tangan melindungi kotak besi itu. Jangan sampai di rampok di tengah jalan, kalau kotak besi itu dirampok ……" ujar pemuda berwajah pucat dengan serius sambil memandang kotak besi tersebut.
Tersentak hati Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong, kemudian ujarnya dengan hati-hati sekali.
"Pangeran berkata begitu, apakah sudah menerima berita bahwa ada orang bu lim ingin merebut kotak besi itu?"
"Apakah engkau takut?"
Thiat Jiau Kou Hun Song Yauw Tong mengernyitkan kening, tampaknya tersinggung oleh ucapan pemuda wajah pucat itu.
"Pangeran, hamba sudah tiga puluh tahun lebih malang melintang di kwan gwa. Selama itu dan kini belum pernah merasa takut terhadap siapa pun."
"Bagus." Pemuda berwajah pucat tertawa. "Aku kagum padamu."
"Terimakasih atas pujian Pangeran!" ucap Song Yauw Tong sambil tertawa gelak saking gembira. Kemudian ia pun melanjutkan ucapannya, "Hamba tidak omong besar, tiada seorang bu lim pun berani mengusik ekspedisi Yang Wie."
"Sungguh?" tanya pemuda berwajah pucat kurang percaya.
"Kalau tidak sungguh, bagaimana mungkin hamba berani mengatakannya?" jawab Song Yauw Tong.
"Kalau begitu, apakah kepandaianmu sudah tiada tanding di kolong langit?" tanya pemuda berawajah pucat mendadak.
"Pangeran, di atas gunung masih ada gunung. Walau hamba berkepandaian tinggi, masih ada yang berkepandaian lebih tinggi lagi."
"Kalau begitu, kenapa engkau yakin tiada seorang bu lim pun berani mengusik ekspedisi Yang Wie ini?"
"Tentunya masih ada sebab lain."
"Masih ada sebab lain? Jelaskanlah!"
"Sesungguhnya hamba masih punya atasan."
"Oh?" Pemuda berwajah pucat menatapnya. "Engkau masih punya atasan? Siapa atasanmu itu?"
"Pelindung ekspedisi Yang Wie ini!"
"Kalau begitu, dia adalah ……" Pemuda berwajah pucat tersenyum. "…… dia adalah Sia Houw Kian Nguan?"
"Sia Houw Kian Nguan juga seperti hamba." Song Yauw Tong memberitahukan sambil tertawa.
"Oh?" Pemuda berwajah pucat memandang Song Yauw Tong. "Kalau begitu, pelindung ekspedisi Yang Wie ini berkepandaian tinggi sekali?"
"Ya." Song Yauw Tong mengangguk.
"Siapa dia?"
"Maaf, Pangeran ……"
"Tidak leluasa engkau memberitahukan?"
"Ya."
"Kini Sia Houw Kian Nguan itu berada di mana?"
"Di utus ke Kota Kim Ling."
"Sebagai pemimpin di sana?"
"Betul."
"Emmh!" Pemuda berwajah pucat manggut-manggut: "Engkau cukup baik dan mau berterus terang, lain kali kalau ada kesempatan, engkau boleh ke ibu kota menemuiku!"
"Terimakasih, Pangeran! Kalau punya kesempatan, hamba pasti ke ibu kota mengunjungi Pangeran."
"Aku pasti menyambutmu sebagai teman." Pemuda berwajah pucat tertawa, tentunya sangat menggembirakan Song Yauw Tong.
"Terimakasih, Pangeran!" ucapnya.
"Ohya!" Pemuda berwajah pucat menatapnya seraya bertanya. "Kapan engkau akan berangkat?"
"Paling lambat besok sore."
"Besok sore?" Pemuda berwajah pucat mengernyitkan kening. "Kenapa harus menunggu sampai besok sore. Apakah tidak bisa lebih cepat?"
"Karena hamba yang mengantar, maka harus melapor pada pelindung ekspedisi Yang Wie ini!"
"Harus melapor?"
"Ya."
"Pelindung itu tidak berada di sini?"
"Dia tidak tinggal di sini, tapi kebetulan ada sedikit urusan, maka dia ke mari."
"Dia tinggal di mana?"
"Di belakang ekspedisi Yang Wie ini."
"Kalau begitu, bukankah sekarang engkau boleh pergi melapor, tidak usah tunggu sampai besok sore kan?"
"Dia tidak ada sekarang."
"Dia sudah pergi?"
"Pagi ini dia pergi."
"Engkau tahu kapan dia pulang?"
"Tidak dapat dipastikan," jawab Song Yauw Tong jujur. "Mungkin malam, mungkin juga subuh."
"Kalau besok dia tidak pulang, berarti besok sore engkau tidak bisa berangkat kan?"
"Dia tidak akan pulang esok."
"Aku bilang seandainya."
"Harap Pangeran tenang, kalau pun dia tidak pulang malam ini, besok sore hamba pasti berangkat."
"Kalau begitu ……" Pemuda berwajah pucat manggut-manggut sambil tersenyum. "Aku pun bisa berlega hati!"
"Pangeran memang tidak perlu cemas." Song Yauw Tong tertawa.
"Baiklah." Pemuda berwajah pucat berdiri. "Aku mau pergi, engkau harus berhati-hati dalam perjalananmu besok sore!"
"Ya." Song Yauw Tong mengangguk sambil memberi hormat.
*
* *
(Bersambung bagian 49) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar