Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 26 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 32 dan 33

sambungan ...


Bagian ke 32: Terkurung
Lewat tengah malam, Pek Giok Liong berjalan perlahan menuju Istana Pelangi. Tak seberapa lama kemudian, ia sudah sampai di depan istana tersebut.
Cong koan Houw Kian Guan bersama empat orang berdiri di situ. Begitu melihat cong koan itu, Pek Giok Liong segera menyapanya sambil tersenyum.
"Saudara Houw, sudah larut malam kok belum tidur?" tanya Pek Giok Liong heran.
"Saudara Hek!" Cong koan Houw Kian Guan tersenyum. "Aku diperintahkan untuk menyambutmu di sini!"
"Terimakasih, saudara Houw." ucap Pek Giok Liong sambil menjura memberi hormat.
"Saudara Hek, kau jangan sungkan-sungkan! Mari ikut aku ke dalam istana!"
Cong koan Houw Kian Guan menjura, lalu membalikkan badannya melangkah ke dalam istana, ke empat orang itu segera mengikutinya dari belakang.
Namun kemudian cong koan Houw Kian Guan berhenti membiarkan keempat orang itu jalan duluan, ternyata ia mendampingi Pek Giok Liong.
Akan tetapi, tiba-tiba cong koan Houw Kian Guan menjulurkan tangannya menotok Pek Giok Liong dijalan darah lumpuh. Totokan itu membuat Pek Giok Liong kehilangan tenaga dan lumpuh seketika, tapi mulutnya masih bisa bicara.
"Houw lo koko!" seru Pek Giok Liong terkejut. "Apa artinya ini?"
"Saudara Hek!" Cong coan Houw Kian Guan tersenyum. "Maaf, aku cuma menjalankan perintah!"
"Perintah dari siau tocu?"
"Betul."
"Apa tujuannya berbuat begitu?" Pek Giok Liong tampak gusar. "Dia ….."
Mendadak terdengar suara yang amat nyaring.
"Hek Siau Liong, seharusnya engkau bertanya padaku!"
Menyusul melayang turun sosok bayangan, tidak lain adalah siau tocu. Ia tampak tersenyum-senyum.
Begitu melihat siau tocu, Pek Giok Liong langsung naik darah sehingga matanya melotot.
"Apa artinya semua ini? Ayoh bilang!"
"Karena engkau sangat angkuh, maka harus diberi sedikit pelajaran," sahut siau tocu sambil tertawa.
"Oh? Tiada alasan lain?"
Siau tocu menggelengkan kepala.
"Tidak ada." jawabnya.
"Siau tocu! Engkau manusia bukan?"
"Eh?" Siau tocu tertawa. "Lihatlah sendiri, aku ini manusia bukan?"
"Engkau bukan manusia, bahkan juga telah menghina kedudukanmu sendiri sebagai siau tocu!"
"Oh, ya?" siau tocu tersenyum. "Harus bagaimana baru terhitung manusia dan tidak menghina kedudukanku sebagai siau tocu?"
"Buka totokan ini!" bentak Pek Giok Liong. "Lalu bertarung denganku. Kalau mau menangkapku, harus berdasarkan kepandaian!"
"Engkau ingin bertarung denganku?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Apakah engkau tidak malu, menyuruh bawahanmu menotok diriku?"
Sungguh mengherankan, siau tocu yang jumawa itu justru tidak tersinggung maupun gusar, sebaliknya malah tertawa-tawa.
"Yakinkah engkau dapat mengalahkan aku?"
"Walau harus kalah, saya pun merasa puas!" sahut Pek Giok Liong.
"Emmh!" siau tocu manggut-manggut. "Namun ….."
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin bertarung denganmu."
"Engkau takut tidak bisa mengalahkan aku?"
"Berdasarkan tenaga dalammu sekarang ….." Majikan muda pulau tertawa. "Dalam sepuluh jurus engkau pasti roboh!"
"Kalau begitu, mari kita bertarung!" tantang Pek Giok Liong.
Akan tetapi, siau tocu itu malah menggelengkan kepala.
"Hek Siau Liong, engkau jangan bermimpi! Aku tidak akan bertarung denganmu!"
"Kalau begitu, mau kau apakan diriku?" tanya Pek Giok Liong gusar.
"Engkau akan kukurung di dalam ruang batu, agar tidak angkuh lagi."
"Engkau ….." Pek Giok Liong betul-betul gusar, sehingga matanya membara. "Engkau sungguh tak tahu malu!"
"Lebih baik engkau diam!" Wajah siau tocu berubah dingin. "Kalau tidak, engkau akan tahu rasa!"
"Siau tocu!" Pek Giok Liong berkertak gigi. "Kelak kau pasti kubunuh!"
"Itu urusan kelak." siau tocu tertawa dingin. "Yang jelas sekarang engkau harus dikurung."
"Engkau tidak tahu malu!" bentak Pek Giok Liong.
"Totok jalan darah bisunya!" siau tocu memberi perintah pada cong koan Houw Kian Guan. "Lalu kurung dia di dalam ruang batu!"
"Ya." Cong koan Houw Kian Guan mengangguk. Ia segera menotok jalan darah bisu Pek Giok Liong, kemudian mengangkatnya menuju ruang batu.
*
* *
Tak terasa, waktu sudah lewat setengah tahun. Mendadak pintu ruang batu itu terbuka dan seseorang melangkah masuk.
Dia seorang pemuda baju ungu. Begitu melihat pemuda itu, Pek Giok Liong sangat terkejut tapi juga gembira.
"Saudara Se, ternyata engkau!"
Siapa pemuda baju ungu itu, tidak lain adalah Se Pit Han. Ketika melihat Pek Giok Liong, Se Pit Han tampak girang sekali.
"Hah! Saudara Hek, engkau juga berada di sin i?"
"Ya." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Saudara Se, kok engkau juga dikurung di sini?"
"Aku naik kapal pesiar bersama Giok Cing dan Giok Ling, tanpa sengaja mendarat di pulau ini. Kami bertengkar dengan penghuni pulau ini, akhirnya aku tertangkap dan dibawa ke mari."
"Oh! Di mana Giok Cing dan Giok Ling?"
"Mereka mungkin dikurung di tempat lain."
"Tahukah Saudara Se pulau apa ini?"
Se Pit Han manggut-manggut.
"Semula aku tidak tahu, namun sekarang sudah tahu," ujar Se Pit Han. "Ini Pulau Pelangi!"
"Betul."
"Saudara Hek, sudah berapa lama engkau dikurung di sini?"
"Aku tidak begitu jelas, mungkin ….. sudah ada setengah tahun."
"Kenapa engkau dikurung di sini?"
"Siau tocu memerintahkan cong koan Houw Kian Guan menotok jalan darahku kemudian aku dibawa ke mari."
"Oh? Kenapa dia berbuat begitu?"
"Dia bilang aku sangat angkuh, maka harus dikurung agar hilang keangkuhanku."
"Hanya karena itu, dia mengurungmu di sini? Itu sungguh keterlaluan!" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia memang keterlaluan."
"Ohya! Dia tidak bilang kapan akan melepaskanmu?"
"Tidak."
"Kalau begitu, dia benar-benar ingin menghabiskan keangkuhanmu, setelah itu barulah melepaskan dirimu."
"Saudara Se, tahukah engkau ada pepatah mengatakan ….."
"Mengatakan apa?"
"Gunung dapat diratakan, tapi sifat manusia sulit diubah. Sifatku memang angkuh, maka itu tidak mungkin diubah."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Ohya! Sudah sekian lama dia mengurungmu di sini, apakah engkau membencinya?"
Pek Giok Liong tertawa.
"Semula aku memang sangat membencinya, bahkan bersumpah ingin membunuhnya. Tapi ….."
"Kenapa?"
"Kini pikiranku telah berubah."
"Oh? Jadi engkau tidak membencinya lagi?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku telah memaafkannya."
"Lho?" Se Pit Han heran. "Itu ….. kenapa?"
"Karena ….." Pek Giok Liong tidak melanjutkan, melainkan mengalihkan pembicaraan. "Saudara Se, engkau lihat diriku sekarang berbeda tidak dibandingkan dengan dulu?"
Se Pit Han segera memandangnya dengan penuh perhatian, kemudian manggut-manggut seraya berkata, "Benar, engkau memang sudah berbeda dibandingkan dengan dulu. Kalau engkau tidak bilang, aku sama sekali tidak tahu."
Pek Giok Liong tersenyum.
"Bagaimana perbedaanya?"
"Sepasang matamu bersinar terang, wajahmu pun segar dan cerah. Itu pertanda tenaga dalammu sudah mengalami kemajuan pesat."
"Oleh karena itu, aku pun tidak membencinya lagi." Pek Giok Liong tersenyum-senyum. "Bahkan juga telah memaafkannya."
"Saudara Hek, ucapanmu membuatku semakin bingung. Kemajuan tenaga dalammu ada kaitan apa dengan dirinya?"
"Justru punya kaitan yang erat sekali."
"Maukah engkau menjelaskan?"
Pek Giok Liong mengangguk, lalu mendadak menggerakkan jari telunjuknya ke arah sebuah batu yang menonjol di sisi kiri goa itu.
Kraaak!
Sekonyong-konyong di dekat tempat Pek Giok Liong berdiri muncul sebuah lubang yang cukup besar.
"Hah?" Se Pit Han terkejut. "Lubang apa itu?"
"Saudara Se, turunlah melihat-lihat, engkau akan mengetahuinya!"
"Saudara Hek, lebih baik engkau yang beritahukan!"
"Saudara Se ….." Wajah Pek Giok Liong berubah serius. "Seratusan tahun yang lampau, dalam bu lim muncul Mei Kuei Ling Cu, engkau pernah mendengarnya?"
"Pernah." Se Pit Han mengangguk. "Mei Kuei Ling Cu itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, boleh dikatakan tiada tanding di kolong langit."
"Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Pernahkah Saudara Se mendengar tentang marganya?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Tidak."
Betulkah Se Pit Han tidak tahu marga Mei Kuei Ling Cu? Padahal …..
"Saudara Se!" Pek Giok Liong tertawa. "Dia satu marga denganmu."
"Oh? Ternyata Mei Kuei Ling Cu marga Se. Itu membuatku merasa bangga sekali." Wajah Se Pit Han berseri-seri.
"Saudara Se, beliau adalah murid padri sakti masa itu." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Kok saudara tahu tentang itu?" Se Pit Han heran. "Apakah di dalam lubang itu terdapat bu kang pit kip (Kitab silat) peninggalan Mei Kuei Ling Cu?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Lubang itu merupakan sebuah jalan ke bawah. Ternyata di bawah sana terdapat sebuah ruang rahasia. Bukan cuma terdapat kitab ilmu silat peninggalan lo cianpwe itu, bahkan juga terdapat salinan kitab silat bu lim kiu pay it pang (Sembilan partai dan satu perkumpulan)."
"Oh! Ternyata begitu ….." Se Pit Han manggut- manggut.
Se Pit Han memang pandai bersandiwara. Padahal ia yang mengatur semua itu, tapi berpurapura tidak mengetahuinya.
"Kalau begitu, aku harus mengucapkan selamat padamu." Se Pit Han tampak gembira sekali, sepasang matanya pun berbinar-binar.
"Terimakasih!" ucap Pek Giok Liong. "Secara tidak sengaja aku memperoleh keberuntungan itu, memang sungguh di luar dugaan."
"Benar." Se Pit Han tersenyum. "Ohya! Cara bagaimana Saudara Hek menemukan lubang itu?"
"Ketika dikurung di ruang batu ini, aku berusaha meloloskan diri." ujar Pek Giok Liong menutur. "Ketika aku melihat ke sana ke mari, tanpa sengaja melihat batu yang menonjol itu. Karena merasa heran aku mencoba menggeserkan batu itu. Siapa sangka, justru mendadak muncul sebuah lubang di lantai. Oleh karena itu aku pun masuk ke dalam, lalu belajar semua yang ada di dalam ruang rahasia itu."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menepuk bahunya. "Itu memang jodohmu."
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Namun ….. aku justru tidak habis berpikir tentang satu persoalan." Se Pit Han menatapnya heran.
"Persoalan apa?"
"Dalam waktu setengah tahun, kok tenaga dalammu bisa mencapai tingkat yang begitu tinggi?"
Sesungguhnya Se Pit Han tahu jelas tentang itu, namun ia tetap masih bersandiwara, seakan tidak mengetahui tentang itu semua.
"Saudara Se!" Pek Giok Liong tersenyum. "Kalau aku tidak menjelaskan, engkau pasti merasa heran. Tapi setelah kujelaskan, itu tidak mengherankan lagi."
"Kalau begitu, jelaskanlah!" desak Se Pit Han.
"Saudara Se, di dalam ruang rahasia itu terdapat sebotol kim tan (Pil emas) berjumlah tujuh butir." Pek Giok Liong menjelaskan. "Bagi orang yang belajar silat, makan sebutir pil itu dapat menambah lima belas tahun latihan tenaga dalamnya.
"Oh?" Se Pit Han terbelalak. "Saudara Hek, kau telah memakan tujuh butir Kim tan itu?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala.
"Aku cuma makan lima butir, masih tersisa dua butir." Pek Giok Liong mengeluarkan sebuah botol porselin kecil, lalu diberikan pada Se Pit Han. "Saudara Se, ini untukmu."
Se Pit Han tidak segera terima, melainkan bertanya. "Botol itu berisi kim tan."
"Ya. Masih ada dua butir." Pek Giok Liong memberitahukan. "Saudara Se, makanlah kim tan ini!"
Se Pit Han tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak mau."
Pek Giok Liong tertegun, penolakan Se Pit Han membuat Pek Giok Liong tidak habis berpikir.
"Kenapa?"
"Kim tan itu berjodoh dengan dirimu, maka aku tidak bisa menerimanya."
"Eh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Saudara Se, kau sudah ke mari, itu berarti berjodoh juga. Nah, terimalah kim tan ini!"
"Maaf, aku tetap tidak mau!"
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Apakah karena terlalu sedikit maka kau tidak mau menerima?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum. "Kim tan itu merupakan obat langka, bisa memperoleh sebutir pun sudah beruntung, apa lagi dua butir."
"Kalau begitu, kenapa Saudara Se menolak?"
"Saudara Hek ….."
"Saudara Se, terimalah!" desak Pek Giok Liong.
Karena di desak, Se. Pit Han terpaksa menerimanya.
"Terimakasih!" ucapnya, lalu menyimpan botol itu ke dalam bajunya.
"Eh?" Pek Giok Liong menatapnya dengan heran. "Kenapa saudara tidak langsung memakannya?"
Se Pit Han tersenyum.
"Lebih baik di simpan saja. Kelak kalau perlu, barulah dimakan."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Saudara Se, maukah engkau ke ruang rahasia itu untuk melihat-lihat?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Saudara Hek, aku tidak tertarik pada kepandaian tersebut, maka tidak perlu ke ruang rahasia itu."
"Saudara Se, menurut pandanganku, engkau telah memiliki kepandaian yang amat tinggi."
"Sejak kecil, aku belajar pada kedua orang tuaku."
"Oooh!"
"Saudara Hek, kini engkau telah memiliki kepandaian yang begitu tinggi, seharusnya engkau cari jalan untuk meloloskan diri dari sini."
"Aku telah memikirkan itu, namun tiada jalan untuk meloloskan diri dari sini."
"Saudara Hek!" Se Pit Han tampak serius. "Aku punya akal, entah engkau setuju tidak?"
"Akal apa?" tanya Pek Giok Liong bernada girang.
"Begini, engkau pura-pura sakit. Tentunya ada orang ke mari membuka pintu ruang batu ini. Kita segera menangkap orang itu, kemudian menerjang ke luar. Bagaimana akal ini?"
"Akal ini memang baik, tapi ….." Pek Giok Liong menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Aku tidak mau berbuat curang, karena akan menjatuhkan harga diri kita."
"Oh?" Se Pit Han tertegun. "Jadi engkau menjaga harga diri?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk, kemudian wajahnya berubah serius. "Terus terang, setelah kita berpisah di Kota Ling Ni, kebetulan aku menemukan sesuatu, maka kini aku sebagai generasi kelima pemegang Jit Goat Seng Sim Ki."
"Apa?!" Se Pit Han terbelalak. "Engkau telah bertemu Kian Kun Ie Siu?"
Pek Giok Liong mengangguk, ia memandang Se Pit Han seraya bertanya, "Saudara Se, engkau kenal orang tua itu?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Tidak kenal, namun pernah dengar," ujarnya dan melanjutkan, "Jadi engkau telah memperoleh Panji Hati Suci Matahari Bulan itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Ketika itu keadaan sedang gawat, maka aku menerima perintah sekaligus diangkat sebagai generasi kelima pemegang panji tersebut."
"Ketika itu keadaan sedang gawat?" Se Pit Han mengerutkan alis. "Apa gerangan yang telah terjadi? Apakah Kian Kun Ie Siu telah meninggal?"
"Tidak, hanya jejaknya diketahui oleh Cit Ciat Sin Kun, maka dipaksanya untuk menyerahkan panji itu. Guru tahu bahwa dirinya tidak mampu melawan mereka, maka segera menyuruhku masuk ke goa. Di saat itulah guru menyerahkan Jit Goat Seng Sim Ki padaku, bahkan juga menyuruhku kabur bersama cucunya melalui jalan rahasia yang terdapat di dalam goa itu."
Se Pit Han manggut-manggut. "Kalau begitu, tiga jurus sakti itu tidak keburu diwariskan padamu?" tanyanya.
"Sebelumnya, guru telah mewariskan tiga jurus sakti itu padaku."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut lagi. "Selanjutnya bagaimana keadaan orang tua itu, engkau sama sekali tidak mengetahuinya?"
"Setelah keluar dari jalan rahasia itu, aku bermaksud kembali ke goa untuk menengok guru, tapi ….."
"Kenapa?"
"Cing ji mencegahku kembali ke sana."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya. "Kini panji itu bersamamu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Bolehkah aku melihat panji itu?"
"Tentu boleh." Pek Giok Liong segera mengeluarkan Jit Goat Seng Sim Ki dari dalam bajunya, kemudian dikembangkannya panji tersebut seraya berkata. "Saudara Se, silakan lihat!"
Begitu melihat Jit Goat Sing Sim Ki itu tiba-tiba Se Pit Han menjatuhkan diri berlutut.
"Melihat panji seperti melihat kakek guru. Teecu Se Pit Han memberi hormat pada kakek guru!"
Pek Giok Liong tertegun dan melongo. Cepat-cepat digulungnya panji itu, lalu memandang Se Pit Han dengan penuh keheranan.
"Saudara Se, apa gerangan ini? Apakah panji ini milik kakek gurumu?"
"Adik misan!" ujar Se Pit Han sambil bangkit berdiri. "Apakah Kian Kun Ie Siu tidak memberitahukan tentang pemilik panji ini?"
"Guru pernah beritahukan, bahwa panji ini milik Seng Sim Tayhiap (Pendekar Hati Suci)!"
"Betul." Se Pit Han mengangguk. "Seng Sim Tayhiap adalah leluhur kami!"
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, mendadak ia teringat sesuatu. "Eh? Tadi saudara Se memanggilku apa?"
Se Pit Han tertawa ringan.
"Sesungguhnya engkau marga Pek, namamu Giok Liong. Siau cung cu dari Ciok Lau San Cung. Betulkan?"
"Saudara Se ….." Pek Giok Liong terkejut. "Ibumu adalah bibiku. Maka engkau adalah adik misanku mengerti?"
Pek Giok Liong termangu-mangu, ia memandang Se Pit Han dengan mata terbelalak lebar.
"Kalau begitu, sudah lama engkau tahu asal-usulku?"
"Setelah kita berpisah di Kota Ling Ni, barulah aku tahu. Tapi itu cuma menduga saja, belum berani memastikan. Sesudah setengah bulan engkau berada di pulau ini, barulah aku tahu jelas tentang asal-usulmu."
"Sesudah setengah bulan aku berada di pulau ini?" Pek Giok Liong bingung, ia menatap Se Pit Han dengan penuh keheranan.
"Ya." Se Pit Han mengangguk dan kemudian tersenyum. "Adik misan, kini aku punya jalan yang terang-terangan untuk melepaskan diri dari ruang rahasia ini."
"Jalan yang terang-terangan? Maksudmu?"
"Adik misan, tahukah engkau, Jit Goat Seng Sim Ki berkembang, bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu. Pernahkah engkau mendengar ucapan ini?"
"Pernah." Pek Giok Liong mengangguk. "Jadi dengan panji ini kita bisa melepaskan diri dari ruang rahasia ini?"
"Betul." Se Pit Han manggut-manggut, mendadak ia membentak. "Siapa di luar?"
"Ada urusan apa?" terdengar suara sahutan.
"Cepat panggil cong koan ke mari!" ujar Se Pit Han.
"Ada urusan apa, beritahukan aku saja!" terdengar suara sahutan lagi.
"Cepat pergi panggil cong koan ke mari! Ini adalah perintah!" seru Se Pit Han.
"Ya. Harap tunggu sebentar!" kali ini suara sahutan itu bernada gemetar.
"Eh?" Pek Giok Liong menatapnya heran. "Kakak misan Se, kenalkah kau dengan cong koan Houw Kian Guan?"
Se Pit Han tersenyum. "Nanti engkau akan mengerti semua."
Berselang beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah tergesa-gesa di luar ruang rahasia itu.
"Aku sudah datang, ada urusan apa?" Itu suara congkoan Houw Kian Guan.
"Cong koan, segera kau buka pintu!" sahut Se Pit Han. "Kau harus segera melapor pada kedua orang tua, agar siap menyambut panji!"
Kraaak! Pintu ruang rahasia itu terbuka, tampak Houw Kian Guan, kepala pengurus itu berdiri hormat di situ.
"Di mana panji itu?" tanya cong koan Houw Kian Guan.
Se Pit Han menunjuk Pek Giok Liong seraya berkata.
"Pek Piau siaunya telah bertemu Kian Kun Ie Siu, memperoleh Jit Goat Seng Sim Ki, dan sekaligus diangkat sebagai generasi ke lima pemegang panji itu."
"Haah …..?" cong koan Houw Kian Guan terbelalak, lalu memberi hormat pada Pek Giok Liong. "Houw Kian Guan menghadap Ciang Ki (Pemegang panji)!"
Pek Giok Liong segera balas memberi hormat. "Cong koan, kau tidak perlu banyak peradaban!"
"Terimakasih!" ucap cong koan Houw Kian Guan.
"Cong koan! Cepatlah pergi melapor pada kedua orang tua!" Se Pit Han memberi perintah pada kepala pengurus itu.
"Ya." Cong koan Houw Kian Guan segera melangkah pergi.
"Kakak misan Se, siapa kedua orang tua itu?" tanya Pek Giok Liong heran, karena Se Pit Han menyebut dua kali 'Kedua orang tua', pertama kali Pek Giok Liong tidak mendengar jelas, tapi kedua kalinya ia mendengar dengan jelas, maka ia bertanya sambil menatap Se Pit Han.
"Kedua orang tua yang kumaksud itu adalah Cai Hong Tocu dan Tocu Hujin." jawab Se Pit Han memberitahukan. "Juga adalah ku peh dan ku bo mu. Piaute sudah mengerti?"
Pek Giok Liong tertegun dengan mulut ternganga lebar.
.
"Kalau begitu, engkau ….."
"Aku adalah siau tocu, juga adalah ….." Se Pit Han membuka kain pengikat rambutnya, seketika juga rambut yang hitam panjang terurai ke bawah. "Adik misan, sudah mengertikah engkau sekarang?"
"Haah …..?" Pek Giok Liong terbelalak. Itu memang sungguh di luar dugaannya. Ia menatap Se Pit Han dengan mata tak berkedip.
"Adik misan!" Se Pit Han tertawa geli. "Di luar dugaanmu kan?"
Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Ini sungguh di luar dugaan!" ujarnya. "Piauci (Kakak misan), ternyata siau tocu yang mengurungku di sini, adalah ….."
"Adik misan, aku tidak punya saudara lain, di sini cuma ada satu siau tocu." Se Pit Han memberitahukan.
"Kalau begitu, dia adalah ….."
"Dia adalah aku," sambung Se Pit Han sambil tertawa.
"Oooh!" Pek Giok Liong menepuk keningnya sendiri. "Ternyata engkau!"
"Tidak salah."
"Kalau begitu, semua ini engkau yang mengaturnya?"
"Kalau tidak, bagaimana mungkin kepandaianmu bisa mencapai tingkat yang begitu tinggi?"
"Sungguh baik engkau terhadap aku, entah bagaimana aku ….."
"Adik misan, aku paham bagaimana perasaanmu, tidak usah kau utarakan." potong Se Pit Han. "Ayolah! Mari ikut saya menemui kedua orang tua!"
*
* *
(Bersambung bagian 33)
Bagian ke 33: Hubungan Famili
Di depan pintu Cai Hong Kiong, tampak puluhan orang berdiri dengan wajah serius, termasuk Pat Kiam.
Di dalam pintu Cai Hong Kiong berdiri Cai Hong Tocu Se Ciang Cing, Tocu Hujin Hua Ju Cing, dan cong koan Kian Guan. Mereka berdiri dengan sikap hormat, tercium pula harum dupa.
Se Ciang Cing dan istrinya telah melihat Pek Giok Liong dari jauh, Tocu itu manggut-manggut.
"Hujin, kini aku tahu kenapa Han Ji! begitu memperhatikan Giok Liong." ujarnya sambil tersenyum.
"Sebelumnya ….." Hua Ju Cing tersenyum lembut. "….. aku sudah menduga."
"Anak itu memang luar biasa, aku gembira sekali." ujar Se Ciang Cing lagi dengan wajah berseri.
Hua Ju Cing manggut-manggut.
"Tampaknya dia lebih gagah dibandingkan dengan ayahnya."
"Betul." Se Ciang Cing tersenyum.
Sementara Se Pit Han dan Pek Giok Liong sudah berdiri di hadapan mereka, dan Pek Giok Liong segera memberi hormat.
"Giok Liong memberi hormat pada Paman dan Bibi!"
Se Ciang Cing dan istrinya manggut-manggut, kemudian mempersilahkan Pek Giok Liong masuk.
"Terimakasih, Paman, Bibi!" ucap Pek Giok Liong lalu melangkah ke dalam.
"Nak Liong, silakan duduk!" ucap Se Ciang Cing.
Pek Giok Liong mengangguk lalu duduk. Se Ciang Cing dan istrinya juga duduk, menyusul Se Pit Han, ia duduk di sisi ibunya.
"Nak Liong!" Se Ciang Cing memandangnya. "Di mana engkau bertemu Kian Kun Ia Siu?"
"Di Siu Gu San!"
"Bagaimana kabarnya? Apakah baik-baik saja?"
Pek Giok Liong menarik nafas panjang.
"Sepasang matanya telah buta, karena terserang pukulan beracun dari musuh ….."
"Oh?" Se Ciang Cing mengerutkan kening. "Bagaimana kepandaiannya, apakah ikut musnah?"
"Tidak, hanya tenaga dalamnya berkurang," jawab Pek Giok Liong dan menutur mengenai kejadian di Siu Gu San, kemudian menambahkan, "Liong ji dan Cing ji meloloskan diri melalui jalan rahasia itu, selanjutnya bagaimana keadaan guru, Liong ji sama sekali tidak mengetahuinya."
"Sungguh berani Cit Ciat Sin Kun itu ingin merebut Jit Goat Seng Sim Ki, apakah dia berniat menundukkan seluruh bu lim."
"Betul. Dia memang berniat menundukkan seluruh bu lim dengan panji ini."
"Kalau begitu, entah bagaimana keadaan gurumu itu?" Se Ciang Cing menarik nafas panjang.
"Pada waktu itu, Liong ji juga mengajak guru meninggalkan goa itu! Tapi ….."
"Kenapa?"
"Guru tidak mau, katanya tidak bisa hidup lebih dari tiga hari ….."
"Oh?" Wajah Se Ciang Cing berubah murung.
"Tocu!" ujar cong koan Houw Kian Guan dengan hormat. "Lebih baik suruh piau siau ya memperlihatkan panji itu!"
Se Ciang Cing manggut-manggut, lalu memandang Pek Giok Liong.
"Nak Liong, perlihatkan Jit Goat Seng Sim Ki itu!"
"Ya!" Pek Giok Liong mengangguk, ia merogoh ke dalam bajunya mengambil panji tersebut, lalu menaruhnya di atas meja.
Begitu melihat panji itu, mereka semua segera memberi hormat pada Pek Giok Liong.
"Teecu menghadap Cang Ki (Pemegang panji)!" ujar mereka serentak.
"Paman, Bibi dan lainnya silakan duduk!" sahut Pek Giok Liong.
Se Ciang Cing, Hua Ju Cing dan lainnya segera duduk. Berselang beberapa saat kemudian, Se Ciang Cing berkata.
"Nak Liong, tahukah kau bahwa panji itu punya hubungan erat dengan Pulau Pelangi?"
"Kakak misan sudah memberitahukan."
"Oleh karena itu, kami semua harus mentaati peraturan panji itu." ujar Se Ciang Cing.
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Nak Liong!" Se Ciang Cing menatapnya dalam-dalam. "Kini kepandaianmu telah mencapai tingkat yang begitu tinggi, lalu apa rencanamu selanjutnya?"
"Menegakkan keadilan dalam bu lim." jawab Pek Giok Liong. "Dan membasmi para setan iblis."
"Bagus." Se Ciang Cing tertawa gelak. "Kalau begitu, tentunya engkau tidak akan mengecewakan gurumu. Ohya, bagaimana dengan dendam berdarah kedua orang tuamu?"
"Harus dibalas! Namun Liong ji belum tahu jelas siapa pembunuh kedua orang tua Liong ji, maka Liong ji harus menyelidiki dulu."
"Menyelidiki dulu?" tanya Se Ciang Cin.
"Liong ji bermaksud menemui Pat Hiong itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Seandainya mereka tidak mau mengaku?"
"Kalau benar itu perbuatan mereka, Liong ji yakin mereka pasti mengaku."
"Kalau mereka bukan pembunuh kedua oran tuamu, apakah engkau akan melepaskan mereka?" tanya Se Ciang Cing mendadak.
"Itu tergantung pada perbuatan mereka baru-baru ini."
"Ngmm!" Se Ciang Cing manggut-manggut "Mengenai Cit Ciat Sin Kun, cara bagaiman engkau menghadapinya."
"Liong Ji akan bicara langsung menemuinya setelah itu barulah memutuskan harus bagaiman menghadapinya."
"Adik misan ingin menasehatinya dulu?" tany Se Pit Han.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Lebil baik menasehati orang dari pada membunuh."
"Adik misan, kau, kau kira dia akan dengar nasehatmu?" tanya Se Pit Han lagi.
"Biar bagaimana pun, aku harus mencoba. Itu agar tidak terjadi pertumpahan darah."
"Bagus." Se Ciang Cing tersenyum. "Nak Liong hatimu sungguh mulia dan bu lim pun akan aman selanjutnya."
"Nak Liong!" Hua Ju Cing menatapnya sambil tersenyum. "Kedua orang tuamu tidak memberitahukan tentang semua ini, apakah engkau sudah paham sekarang?"
"Menurut Liong ji, kedua orang tua Liong ji tidak mau melanggar amanat leluhur."
"Betul." Se Ciang Cing manggut-manggut. "Ketika itu, demi membasmi Pat Tay Hiong Jin, kedua orang tuamu meninggalkan Pulau Pelangi ini. Walau berhasil membasmi Pat Hiong itu, tapi kedua orang tuamu justru tidak boleh pulang, karena telah melanggar amanat leluhur!"
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Menurut Liong ji, amanat leluhur itu ….."
Pek Giok Liong diam, tidak berani melanjutkan ucapannya, Se Ciang Cing tersenyum sambil menatapnya.
"Nak Liong, lanjutkanlah!"
"Liong ji tidak berani ."
"Tidak apa-apa." Se Ciang Cing tersenyum lagi. "Lanjutkan saja!"
"Menurut Liong ji ….." lanjut Pek Giok Liong dengan suara rendah. "Amanat leluhur itu agak keterlaluan."
"Oh?" Se Ciang Cing menatapnya tajam. "Nak Liong ji mengatakan begitu?"
"Semua penghuni dilarang memasuki bu lim harus tetap tinggal di pulau. Bukankah itu merupakan semacam belenggu? Seumur hidup tidak tahu dunia luar."
"Kelihatan memang begitu, namun sesungguhnya tidak," ujar Se Ciang Cing sambil tersenyum.
"Maksud Paman?"
"Karena kini sudah ada jalan keluarnya."
"Bagaimana jalan keluarnya?"
"Itu berada padamu, Nak Liong."
"Apa?" Pek Giok Liong tertegun. "Paman, Liong ji sama sekali tidak mengerti, mohon dijelaskan!"
"Setelah Jit Goat Seng Sim Ki muncul di pulau ini, maka seluruh penghuni pulau ini harus bergabung dan di bawah perintah panji itu."
"Oooh!" Pek Giok Liong sudah mengerti. "Kalau begitu, apakah Paman bermaksud ….."
"Nak Liong!" Se Ciang Cing tertawa. "Lebih baik engkau bertanya pada kakak misanmu!"
"Ayah!" Wajah Se Pit Han kemerah-merahan. "Itu urusan Ayah dengan adik misan, kok dikaitkan dengan diri Han ji?"
"Tapi ….." Se Ciang Cing tertawa lagi. "Bukankah lebih baik engkau yang mengambil keputusan?"
"Kalau begitu ….." Se Pit Han serius. "Bagaimana kalau Han ji minta pada adik misan agar mencabut peraturan itu atas nama Jit Goat Seng Sim Ki? Ayah tidak melarang?"
"Tentu tidak melarang. Justru menurut ayah, engkau yang harus mengambil keputusan," ujar Se Ciang Cing dan melanjutkan. "Tapi usia ayah dan ibu sudah hampir enam puluh, maka tidak akan menginjak kang ouw lagi!"
"Jadi Ayah dan Ibu tidak mau meninggalkan pulau ini?"
"Setelah engkau dan Nak Liong meninggalkan pulau ini, ayah dan ibu pun akan pergi."
"Oh?" Se Pit Han tercengang. "Ayah dan Ibu mau pergi ke mana?"
"Ingin pergi menikmati keindahan alam."
"Kalau begitu, bagaimana dengan pulau ini?"
"Akan diurusi cong koan Houw Kian Guan!"
"Ayah dan Ibu tidak mau pulang?"
"Tentu harus pulang, hanya saja ….. tidak bisa dipastikan waktunya, sebab ayah dan ibu ingin pesiar sepuas-puasnya."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut, kemudian mengarah pada Pek Giok Liong. "Adik misan, sekarang engkau harus mempergunakan panji itu untuk mencabut semua peraturan di pulau ini. Sekaligus perintahkan beberapa orang menyertaimu ke Tiong Goan!"
"Kakak misan, ini ….." Pek Giok Liong tertegun.
"Nak Liong! Jangan ragu!" ujar Se Ciang Cing sambil tersenyum. "Begitu perintahkan pencabutan peraturan itu, engkau pasti akan mendengar suara sorak sorai yang gemuruh."
Pek Giok Liong berpikir lama sekali, setelah itu barulah ia mengambil Jit Goat Seng Sim Ki yang di atas meja. Ia lalu memerintahkan pencabutan peraturan-peraturan di Pulau Pelangi.
Seketika juga terdengar suara sorak sorai yang riuh gemuruh, bahkan diantaranya ada pula yang berjingkrak-jingkrak saking girang.
"Han!" Se Ciang Cing juga tertawa gembira. "Sudah lama mereka ingin pergi ke Tiong Goan, namun terikat oleh peraturan. Oleh karena itu, mereka tidak berani meninggalkan Pulau Pelangi ini!"
"Oooh!" Pek Giok Liong tersenyum.
"Nak Liong!" Mendadak wajah Se Ciang Cing tampak serius. "Sekarang aku akan bercerita sedikit tentang Seng Sim Tayhiap itu."
Pek Giok Liong merasa girang sekali, karena memang ingin tahu riwayat pendekar itu.
"Kalau tidak salah, kira-kira dua ratus tahun yang lampau, bu lim masa itu telah digemparkan oleh kemunculan seseorang yang amat jahat. Dia sering melakukan pembunuhan terhadap orang-orang golongan putih, tiada seorang pun mampu melawannya. Karena itu, sembilan partai besar langsung bergabung demi membasmi penjahat itu. Akan tetapi, sembilan patai yang bergabung itu masih tidak mampu melawannya. Banyak anggota partai terbunuh dan para ciangbun jin pun terluka parah ….."
"Paman, siapa penjahat itu?" tanya Pek Giok Liong.
"Dia Kiu Thian Mo Cun (Maha Iblis Langit Sembilan)," jawab Se Ciang Cing memberitahukan.
"Kemudian bagaimana?"
"Justru pada waktu itu, muncul seorang pendekar," lanjut Se Ciang Cing. "Pendekar itu melawan Kiu Thian Mo Cun sampai tiga hari tiga malam, akhirnya Kiu Thian Mo Cun itu terpukul jatuh ke dalam jurang."
"Pendekar itu ….."
"Tidak lain adalah Seng Sim Tayhiap." sambung Se Ciang Cing sambil tersenyum. "Setelah berhasil memukul jatuh Kiu Thian Mo Cun, maka sembilan partai besar bersepakat untuk membuat panji Jit Goat Seng Sim Ki bersama Seng Sim Tayhiap."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Jadi Seng Sim Tayhiap itu adalah kakek guru kita?"
"Betul." Se Ciang Cing mengangguk. "Setelah panji itu usai dibuat, tidak lama Seng Sim Tayhiap itu pun menghilang entah ke mana? Jit Goat Seng Sim Ki pun tidak pernah muncul di bu lim. Namun orang-orang bu lim tahu tentang panji tersebut."
"Paman, Liong ji ingin bertanya, sebetulnya siapa Mei Kuei Ling Cu itu?"
"Beliau ayah Paman." Se Ciang Cing memberitahukan.
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, semua itu sungguh di luar dugaannya, sehingga ia merasa dirinya seakan berada dalam mimpi.
*
* *
Hari mulai senja, setiap saat ini, di pantai Lam Hai pasti tampak seorang gadis berdiri di situ sambil memandang laut nan biru. Dia adalah Cing Ji.
Tidak seberapa lama kemudian, terdengar suara langkah mendekatinya. Cing Ji menoleh, ia melihat Se Kua Hai sedang mendekatinya.
"Saudara Se! Hari sudah senja, kenapa tidak tampak pelangi?" tanya Cing Ji heran. "Apa gerangan yang telah terjadi?"
Se Kua Hai menggelengkan kepala. "Entahlah, aku pun merasa heran."
"Saudara Se, apakah telah terjadi sesuatu?"
"Itu tidak mungkin."
"Bagaimana kalau kita berangkat ke Pulau Pelangi?"
"Nona Cing, itu tidak boleh. Engkau bersabarlah! Tidak lama lagi Tuan Muda Pek pasti kembali."
"Tapi ….."
"Nona Cing!" Mendadak Se Kua Hai menunjuk ke depan. "Lihatlah! Ada sebuah kapal menuju ke mari."
Cing Ji segera memandang ke arah laut yang ditunjuk Se Kua Hai, memang tampak sebuah kapal sedang melaju menuju pantai tempat mereka berdiri.
Tampak sosok bayangan berdiri di atas kapal itu, namun Cing ji tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu.
Sementara kapal itu semakin mendekat. Begitu melihat jelas orang berdiri di atas kapal itu, seketika Cing ji berseru dengan penuh kegirangan.
"Saudara Se! Itu kak Liong! Kakak Liong sudah kembali!"
Se Kua Hai manggut-manggut seraya tersenyum.
"Tidak salah, dia memang kakakmu Liong."
Kapal itu telah berlabuh, Cing ji pun berteriak sekeras-kerasnya.
"Kakak Liong. Aku berada di sini!"
Pek Giok Liong yang sudah mendarat itu segera menoleh, seketika wajahnya berseri.
"Adik Cing! Aku sudah melihat dirimu!" serunya.
Usai berseru, Pek Giok Liong pun mengembangkan ginkangnya, dalam sekejap ia sudah berada di hadapan Cing ji.
"Haah …..?" Cing ji terbelalak. "Kakak Liong ….."
"Adik Cing!" Pek Giok Liong memeluknya.
"Kakak Liong, aku ….. aku terkejut sekali."
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa.
"Kakak Liong, kau sudah berhasil belajar kepandaian tinggi di Pulau Pelangi?" tanya Cing ji.
"Bagaimana menurut Adik Cing?" Pek Giok Liong balik bertanya sambil tersenyum.
"Kakak Liong pasti sudah berhasil. Kalau tidak, bagaimana mungkin tubuhmu bisa melayang ringan sampai di sini? Itu adalah ginkang tingkat tinggi!"
"Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut sambil memandangnya dengan penuh perhatian. "Adik Cing, engkau agak kurus, sakit ya?"
Cing ji menggelengkan kepala.
"Kakak Liong, aku tidak sakit, aku baik-baik saja."
"Adik Liong, setiap harikah engkau ke mari?"
"Ya." Cing ji mengangguk. "Se toako juga setiap hari ke mari menemaniku."
"Oh!" Pek Giok Liong segera menghampiri Se Kua Hai, dan sekaligus menjura. "Terimakasih, saudara Se, aku cukup merepotkanmu selama ini!"
"Jangan sungkan-sungkan!" Se Kua Hai membalas menjura dengan hormat. "Itu memang harus."
"Saudara Se, terimakasih untuk semua itu! Kelak aku pasti membalas budi kebaikanmu, kini aku mau mohon pamit!" Pek Giok Liong menjura lagi.
"Ha ha ha!" Se Kua Hai tertawa gelak. "Aku tidak berani menerima dua kali ucapan terimakasihmu. Ohya, kebetulan aku sempat, bagaimana ku antar saudara ke penginapan?"
"Terimakasih, itu akan merepotkan saudara Se!" tolak Pek Giok Liong.
"Tidak apa-apa." Se Kua Hai tertawa lagi.
"Tapi saudara Se, lihatlah!" Pek Giok Liong menunjuk ke arah kapal itu.
Se Kua Hai segera berpaling ke sana, seketika juga ia tersentak, karena melihat barisan orang sedang turun dari kapal itu.
"Hah? Apakah siau kiong cu juga datang?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
Pada waktu bersamaan, melayang turun dua sosok bayangan di hadapan mereka, ternyata sepasang pengawal Se Pit Han, Giok Cing dan Giok Ling.
Begitu melihat mereka berdua, Se Kua Hai langsung menjura memberi hormat.
"Se Kua Hai memberi hormat pada Nona!" ucapnya.
"Se Kua Hai, engkau tidak usah banyak peradaban!" sahut Giok Cing, lalu memberi hormat pada Pek Giok Liong. "Hamba mengundang ketua panji ke penginapan untuk beristirahat."
Sikap Giok Cing dan Giok Ling yang begitu hormat serta menyebut dirinya sebagai hamba itu membuat Se Kua Hai tertegun dan tidak habis berpikir. Kenapa bisa jadi begitu? Lagi pula ….. kenapa Pek Giok Liong dipanggil ketua panji? Se Kua Hai bertanya-tanya dalam hati.
"Di mana penginapan itu?" tanya Pek Giok Liong pada Giok Cing. "Apakah berada dalam kota?"
"Ya." Giok Cing mengangguk. "Itu adalah penginapan istimewa, khusus untuk menyambut kedatangan ketua panji."
Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian mengarah pada Cing ji.
"Adik Cing, semua barangmu masih berada di penginapan itu?" tanyanya.
"Ya, Kakak Liong." Cing ji mengangguk. "Ohya, siapa kedua kakak itu?"
"Mereka berdua adalah sepasang pengawal siau kiong cu." Pek Giok Liong memberitahukan.
Giok Cing dan Giok Ling sudah tahu asal usul Cing ji, maka mereka berdua segera menjura.
"Hamba, Giok Cing dan Giok Ling memberi hormat pada Nona!"
"Eh?" Cing ji terbelalak. "Jangan begitu menghormati diriku, namaku Cing Ji, panggil saja Cing ji!"
"Ya." Giok Cing dan Giok Ling mengangguk serentak.
"Kakak Liong, kita ke penginapan itu mengambil buntalan bajuku dulu. Setelah itu, barulah kita ke penginapan istimewa itu," ujar Cing ji dengan wajah cerah ceria. Tentu, sebab gadis itu telah bersama Pek Giok Liong lagi.
"Nona Cing!" ujar Giok Ling. "Engkau dan ketua panji langsung ke penginapan istimewa itu saja! Mengenai barang-barangmu yang di penginapan, nanti ada orang mengantar ke sana."
"Baiklah." Cing ji mengangguk. "Terimakasih, Kak Ling!"
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar