Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 26 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 19 dan 20

Sambungan ...dari bagian 18 ke ...


Bagian ke 19: Menggali Mayat
Dua hari kemudian, ketika larut malam, di pinggir kota Pin Hong muncul lima sosok bayangan yang berlari cepat seperti terbang.
Namun kemudian muncul lagi sosok bayangan lain mengikuti mereka dari belakang dengan hati-hati sekali. Sosok bayangan tersebut ternyata seorang padri berusia empat puluh lebih.
Siapa kelima sosok bayangan itu, tidak lain adalah Kim Gan Siang Tie bersama tiga orang berpakaian hitam yang mengenakan kain hitam penutup muka pula.
Berselang beberapa saat kemudian, tiga orang berbaju hitam itu berhenti di bawah sebuah pohon.
Padri yang menguntit mereka pun segera bersembunyi di belakang pohon lain yang agak jauh dari situ, kemudian pasang kuping untuk mencuri pembicaraan mereka.
"Tidak salah di tempat ini?" tanya Kim Tie dingin.
"Ya, memang di rimba ini," sahut salah seorang berbaju hitam dengan hormat.
"Mayat itu dikuburkan di mana?" tanya Kim Tie lagi.
"Di belakang pohon ini," jawab orang berbaju hitam itu.
"Baiklah." Kim Tie manggut-manggut. "Cepat kalian bertiga ke sana, gali mayat itu!"
"Ya." Orang berbaju hitam itu mengangguk hormat, lalu mengajak kedua temannya ke belakang pohon itu. Ternyata kedua temannya itu membawa pacul.
Tak lama mereka bertiga sudah sampai di tempat yang dituju, dan segeralah mereka menggali tempat tersebut. Berselang beberapa saat kemudian, mereka berhenti menggali dan saling memandang.
"Eeeh? Heran…..!"
"Kenapa heran?" tanya temannya.
"Belum kelihatan mayat itu," sahut orang berbaju hitam berbadan jangkung.
"Iya." Temannya menggaruk-garuk kepala. "Padahal sudah sekian dalam kita menggali, tapi kok belum menemukan mayat itu? Sungguh mengherankan!"
Ketiga orang itu memang tidak mengubur mayat tersebut, tapi ketika itu mereka bertiga melihat dengan kepala mata sendiri, mayat tersebut dikuburkan di tempat ini.
Akan tetapi, mereka telah menggali sedalam lima meteran, masih belum menemukan mayat tersebut, itu membuat mereka bertiga terheranheran dan tidak habis berpikir.
Kemana mayat itu?
Mungkinkah mayat itu telah berubah menjadi mayat hidup, sehingga bangkit dari kubur? Itu bagaimana mungkin? Tidak masuk akal!
"Bagaimana?" tanya Kim Tie dari jauh. "Sudah kalian keluarkan mayat itu?"
Ketiga orang berbaju hitam itu tidak menyahut. Salah seorang yang berbadan jangkung memandang kedua temannya seraya bertanya dengan suara rendah.
"Bagaimana baiknya?"
"Apa boleh buat! Jawab saja yang sesungguhnya!" sahut temannya yang berbadan pendek.
"Tapi…..," sambung temannya yang agak gemuk badannya. "Belum tentu dipercaya."
"Kalau begitu, kita harus bagaimana?" tanya orang berbaju hitam jangkung.
"Hei!" Terdengar suara bentakan Kim Tie. "Bagaimana kalian bertiga, kok tidak menjawab? Sudah kalian keluarkan belum mayat itu?"
"Sebentar lagi!" sahut yang berbadan gemuk.
"Kenapa begitu lama?" tegur Gin Tie. "Menggali sosok mayat saja harus membuang begitu banyak waktu!"
"Kami......"
Ucapan orang berbaju hitam pendek terputus, sebab ia melihat sosok bayangan berkelebat ke hadapan mereka. Sosok bayangan itu ternyata Gin Tie.
Ketika melihat ketiga orang itu berhenti menggali, timbullah kecurigaan Gin Tie.
"Apa gerangan yang telah terjadi?" tanyanya dingin.
"Terjadi….. hal yang amat ganjil," jawab orang berbaju hitam gemuk.
"Oh?" Gin Tie tertawa dingin. "Mayat itu hilang kan?"
"Benar." Orang berbaju hitam gemuk mengangguk. "Mayat itu memang telah hilang entah ke mana?"
"Kok bisa hilang?" Gin Tie menatap mereka bertiga.
"Ini….. ini…..." Orang berbaju hitam gemuk tergagap. "En….. entahlah."
"Kau tidak mengerti kan?" sambung Gin Tie dingin.
"Ya. Urusan ini memang sangat mengherankan," jawab orang berbaju hitam gemuk sambil menundukkan kepala.
"Hmm!" dengus Gin Tie dingin. "Mayat yang telah dikubur bisa hilang, itu sungguh di luar dugaan!"
"Aku….. aku tidak bohong......"
"Tidak bohong?" bentak Gin Tie gusar. "Keng Tay Cun, engkau sungguh berani sekali!"
Nama yang disebutkan tadi, sungguh mengejutkan padri yang bersembunyi di belakang pohon.. Ternyata orang berbaju hitam gemuk itu orang berilmu tinggi dalam rimba persilatan. Lalu siapa pula yang lainnya? Pikir padri itu. Siapa kedua orang yang mengenakan baju kuning emas dan baju putih perak itu? Keng Tay Cun berkepandaian tinggi, namun kenapa begitu hormat dan tunduk pada kedua orang itu?
Sementara orang berbaju hitam gemuk itu sudah menggigil sekujur badannya, Gin Tie memanggil namanya, itu pertanda…...
"Ampun…..!" mohonnya dengan suara bergemetar. "Tie Kun (Raja baju perak) ampunilah hamba…..!"
"Hmm!" dengus Gin Tie dingin. "Mayat itu ke mana sekarang?"
"Hamba memang mengubur mayat itu di sini, tapi entah kenapa mayat itu…..." Mendadak orang berbaju hitam gemuk itu menjerit menyayat hati. "Aaaakh…..!"
Ia terpental beberapa meter dengan mulut memuntahkan darah segar, sepasang matanya mendelik-delik kemudian terkulai tak bergerak lagi. Orang berbaju hitam gemuk itu telah mati. Ternyata tadi sebelum ia menyelesaikan ucapannya, Gin Tie telah turun tangan terhadapnya.
Menyaksikan itu, padri yang bersembunyi di belakang pohon terkejut bukan main. Sungguh dahsyat pukulan orang berbaju putih perak itu! Tenaga dalamnya telah mencapai tingkat tinggi.
Mendadak Kim Tie berkelebat ke sisi Gin Tie. Sementara Gin Tie terus menerus menatap orang berbaju hitam jangkung.
"Cepat katakan! Apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Gin Tie dingin.
"Hamba tidak berani bohong, Hek Siau Liong memang…..."
"Hei!" bentak Gin Tie. "Sungguh berani engkau menyebut nama itu!"
"Ampun!" tersentak orang berbaju hitam jangkung itu. "Lain kali hamba…..."
Gin Tie tertawa dingin, itu membuat orang berbaju hitam jangkung semakin terkejut dan sekujur badannya mulai menggigil seperti kedinginan.
"Masih ada lain kali, Kauw Cing Lun?" bentak Gin Tie mengguntur.
Padri berusia pertengahan yang bersembunyi di belakang pohon, hatinya tergetar keras. Bukan karena nama Kauw Cing Lun, melainkan karena nama Hek Siau Liong.
Hek Siau Liong adalah orang yang sedang dicari partai besar dalam bu lim termasuk padri tersebut.
Sungguh tak terduga, karena kebetulan melihat lima sosok bayangan berlari cepat seperti terbang menuju rimba itu, maka padri itu pun menguntit mereka. Ternyata kelima orang itu ke rimba tersebut untuk menggali mayat Hek Siau Liong…...
Betapa terperanjatnya padri itu mengetahui hal tersebut. Siapa yang membunuh Hek Siau Liong? Bagaimana mereka tahu? Dan….. ternyata mayat Hek Siau Liong telah hilang.
Untuk apa mereka menggali mayat Hek Siau Liong? Bahkan mayat tersebut malah telah hilang. Kemana mayat itu? Apakah….. ada orang lain memindahkannya? Kalau tidak, mungkinkah mayat itu telah berubah menjadi mayat hidup?
Padri berusia pertengahan itu terus berpikir, tapi mendadak ia dikejutkan oleh jeritan yang menyayat hati.
"Aaaakh…..!" Orang berbaju hitam jangkung terpental ke sisi mayat Keng Tay Cun, dan mati seketika dengan mulut mengalirkan darah segar.
Kini tinggal orang berbaju hitam pendek, yang sukmanya telah hilang entah ke mana ketika menyaksikan kematian kedua temannya itu, sekujur badannya terus menggigil.
"Kenapa engkau?" tanya Gin Tie dingin. "Hamba......" Suara orang berbaju hitam pendek bergemetar. "Hamba…..."
"Ketakutan ya?" tanya Gin Tie. Namun sungguh mengherankan, karena suaranya berubah agak lembut.
"Hamba…..."
"Pin Ngo (Baju hitam kelima), mulai saat ini engkau menjadi Pin It (Baju hitam kesatu), mengerti engkau?"
"Te….. terima kasih Tie Kun!" ucap orang berbaju hitam pendek sambil memberi hormat. "Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan Tie Kun!"
"Tahukah engkau apa sebabnya, kedudukanmu bisa diangkat saat ini?" tanya Gin Tie sambil menatapnya.
"Hamba….. hamba…..."
"Engkau tidak tahu?" Gin Tie tertawa ringan.
"Hamba memang tidak tahu, mohon Tie Kun memberi penjelasan!" Orang berbaju hitam pendek menundukkan kepala.
"Apakah engkau masih ingat akan ucapanmu tadi?"
"Hamba tidak ingat."
"Bukankah tadi engkau mengucapkan, apa boleh buat! Jawab saja yang sesungguhnya! Engkau ingat sekarang?"
"Hamba sudah ingat."
"Karena engkau mengucapkan itu, maka telah menyelamatkan nyawamu sendiri, dan mengangkat kedudukan. Engkau sudah mengerti sekarang?"
"Hamba….. hamba telah mengerti."
"Nah, jawablah yang sesungguhnya!"
"Tapi sebelumnya, hamba mohon ampun. Kalau Tie Kun bersedia mengampuni hamba, barulah hamba berani memberitahukan hal yang sesungguhnya."
Gin Tie berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Baiklah. Aku bersedia mengampunimu."
"Terima kasih Tie Kun!" ucap orang berbaju hitam pendek lalu menarik nafas. "Sesungguhnya Keng Tay Cun dan Kauw Cing Lun mati secara penasaran."
"Oh?" Gin Tie tertawa dingin. "Engkau membela mereka?"
"Hamba tidak membela mereka, melainkan berkata sesungguhnya," ujar orang berbaju hitam pendek.
"Berkata sesungguhnya?" Gin Tie menatap orang berbaju hitam pendek itu. "Kalau begitu, mayat itu ke mana?"
"Bocah itu memang telah terpukul dan tertusuk pedang anak buah hamba......"
"Itu tidak perlu kau jelaskan!" potong Gin Tie. "Aku cuma bertanya di mana mayat bocah itu?"
"Mayat itu memang dikubur di sini, mengenai…..."
"Kalian yang mengubur mayat itu?" tanya Kim Tie mendadak.
"Walau bukan kami yang menguburnya, tapi kami juga berada di tempat ini menyaksikan mayat bocah itu dikuburkan di sini, setelah itu barulah kami pergi."
"Semua anak buah kalian juga ikut pergi?" tanya Kim Tie.
"Ya." Orang berbaju hitam pendek mengangguk. "Kami semua pergi bersama."
Kim Tie tampak berpikir keras, lama sekali barulah membuka mulut bertanya pada orang berbaju hitam pendek itu.
"Ketika itu, kalian melihat ada orang lain melewati rimba ini?"
"Tidak melihat siapa pun."
"Engkau berkata sesungguhnya, sama sekali tidak berdusta?" Kim Tie menatapnya.
"Hamba sama sekali tidak berdusta," jawab orang berbaju hitam pendek sambil memberi hormat.
"Ngmm!" Kim Tie manggut-manggut. "Mengenai kematian kedua orang itu, bagaimana menurut pandanganmu?"
"Itu…..." Orang baju hitam pendek ragu menjawabnya.
"Jawab saja! Aku tidak akan menghukummu," ujar Kim Tie sungguh-sungguh.
"Mohon maaf, menurut hamba, kematian mereka berdua sungguh penasaran dan tak berharga sama sekali."
Kim Tie tertawa.
"Tak berharga memang benar," ujarnya, "Namun belum tentu penasaran."
"Oh?"
"Mayat itu telah hilang, seharusnya mereka memberitahukan secara jujur," lanjut Kim Tie. "Tidak pantas berunding secara diam-diam untuk berdusta, itu pertanda mereka tidak setia terhadap kami. Orang yang tidak setia, tentunya harus dihukum mati. Mengerti, engkau?"
"Hamba….. hamba mengerti." Orang berbaju hitam pendek mengangguk dengan badan menggigil. Untung pada waktu itu ia mengucapkan begitu, kalau tidak, nyawanya pasti sudah melayang. "Mereka berdua memang tidak mati penasaran."
"Baiklah. Di sini sudah tiada urusanmu lagi. Engkau boleh mengambil tanda pengenal mereka, lalu pulang dan suruh anak buahmu ke mari untuk mengubur mayat mereka berdua itu," ujar Kim Tie sambil mengibaskan tangannya.
"Hamba turut perintah." Orang berbaju hitam memberi hormat, lalu segera mendekati dua sosok mayat itu untuk mengambil tanda pengenal mereka. Setelah itu, barulah ia pergi sambil menarik nafas lega.
(Bersambung bagian 20)

Bagian ke 20: Orang Tua Gunung Salju

Setelah orang berbaju hitam pendek itu pergi, di rimba itu masih berdiri dua orang, yakni Kim Gan Siang Tie. Ternyata mereka berdua belum meninggalkan tempat itu.
"Mengenai urusan ini, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Kim Tie.
"Shia coh hanya menduga…..."
"Menduga apa?"
"Cuma ada satu kemungkinan."
"Kemungkinan apa?"
"Dibawa pergi oleh orang lain."
"Oh?" Kim Tie tertawa. "Untuk apa orang tersebut membawa pergi mayat itu?"
"Ini merupakan persoalan yang sulit dipecahkan," jawab Gin Tie. "Akan tetapi......"
"Kenapa?"
"Mungkin bocah itu bernasib mujur. Walau sudah terpukul dan tertusuk pedang namun dia tidak mati."
"Ng!" Kim Tie manggut-manggut. "Itu memang masuk akal, kemudian diketahui orang, maka dia ditolong."
"Maksud sang coh setelah Keng Tay Cun dan teman-temannya pergi, orang itu pun keluar dari tempat persembunyian, lalu menggali sekaligus membawa pergi bocah itu?"
"Benar." Kim Tie mengangguk. "Orang itu tahu bocah tersebut belum putus nyawanya, maka menolongnya. Kalau tidak, untuk apa membawa pergi sosok mayat?"
"Kini mayat itu telah hilang, tidak bisa diselidiki asal-usulnya lagi. Bagaimana sang coh?"
"Engkau ingin bertanya padaku tentang apa yang kucurigakan itu?" Gin Tie tersenyum sambil menatapnya.
"Ya." Gin Tie mengangguk.
"Tahukah engkau, siapa yang sedang kita kejar itu?" tanya Kim Tie mendadak.
"Sang coh bercuriga bahwa dia adalah anjing kecil itu?" Gin Tie tersentak.
"Ng!" Kim Tie mengangguk. "Seharusnya engkau sudah menduga ke situ. Dalam tiga bulan ini, anjing kecil itu tiada jejak dan kabar beritanya, apakah dia bisa menyusup ke dalam bumi?"
Semakin mendengar, padri yang bersembunyi di belakang pohon itu pun semakin mengerti, bahwa mereka berdua itu Kim Gan Siang Tie namun tidak jelas mereka berdua itu raja apa?
Selain itu, padri tersebut pun tidak tahu siapa yang mereka maksud anjing kecil itu.
"Kalau begitu, kini kita harus bagaimana?" tanya Gin Tie.
"Kita cuma menduga-duga saja," jawab Kim Tie. "Betul atau tidak kita belum bisa memastikannya, maka sebaiknya kita pulang dulu untuk berunding. Ayoh, mari kita pulang!"
Tampak dua sosok bayangan berkelebat pergi, begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga sungguh mengejutkan padri yang bersembunyi di belakang pohon.
"Sungguh tinggi ginkang mereka….." gumamnya, lalu berdiri lurus. Namun mendadak ia mendengar suara yang amat kecil mendengung di dalam telinganya.
"Hweshio kecil! Kau tidak usah bersembunyi lagi! Orang-orang yang mau mengubur kedua mayat itu telah datang! Tiga li dari sini menuju selatan, di sana terdapat sebuah vihara, lo hu (aku orang tua) menunggumu di sana."
"Sicu ko jin (orang berkepandaian tinggi) dari mana?" tanya padri berusia pertengahan itu. Ia juga menggunakan ilmu menyampai suara.
"Lo hu bukan orang tinggi, melainkan orang pendek. Hweshio kecil, kalau engkau tidak berani ke vihara itu ya sudahlah!"
"Kalau begitu, sicu jalan duluan, aku pasti segera menyusul ke sana."
"Baiklah. Tapi engkau harus cepat menyusul ke sana! Kalau lo hu tunggu lama, engkau akan tahu rasa."
Tak lama tampak sosok bayangan berkelebat bagaikan segulung asap menuju selatan.
Bukan main terkejutnya padri itu. Sepasang matanya terbelalak ketika menyaksikan ginkang yang begitu tinggi.
Siapa padri itu? Ternyata murid kepala ciangbun jin Gobi pay Seng Khong Taysu, yang dipanggil Goan Siu hweshio. Dia diutus untuk mencari Hek Siau Liong.
Ketika menyaksikan ginkang yang begitu luar biasa, dia terkejut sekali. Namun dia murid kepala ciangbun jin Gobi pay, tentu tidak mau mempermalukan gurunya. Ia segera mengembangkan ginkangnya menuju vihara tersebut.
Dalam waktu sekejap perjalanan padri itu sudah mencapai tiga li. Di sisi sebuah pohon rindang, terdapat sebuah vihara yang sudah tua. Tampak seorang tua renta duduk di dekat pintu vihara itu. Orang itu berusia delapan puluhan, rambut dan jenggotnya sudah memutih semua.
Orang tua renta itu duduk bersila dengan mata terpejam, persis padri tua sedang bersemedi.
Goan Siu hweshio berdiri tak jauh, dari tempat itu, sepasang matanya menatap orang tua renta itu dengan penuh perhatian.
"Mungkinkah orang tua itu?" tanya Goan Siu hweshio dalam hati, ia tampak ragu.
Mendadak orang tua renta itu membuka matanya, mengarah pada Goan Siu hweshio dengan menyorot tajam.
"Hweshio kecil, engkau sudah sampai di sini tapi kenapa berdiri begitu jauh? Merasa takut ya?" tegur orang tua renta itu.
"Lo sicu (orang tua), kalau siau ceng (aku padri kecil) takut, tentunya tidak akan ke mari," sahut Goan Siu hweshio.
Orang tua renta itu tersenyum lembut.
"Kalau tidak takut, duduklah di sini untuk mengobrol!" ujarnya.
Goan Siu hweshio ragu sejenak, kemudian mendekati orang tua renta itu, lalu duduk bersila sekaligus merapatkan sepasang telapak tangannya di dada.
"Lo sicu, mohon tanya ada petunjuk apa?" tanya Goan Siu hweshio.
Orang tua renta itu tidak segera menjawab, melainkan tersenyum sambil balik bertanya.
"Hweshio kecil, siapa namamu?"
"Siau ceng bernama Goan Siu."
"Engkau murid Siauw Lim atau murid Gobi?"
"Siau ceng murid Gobi. Mohon tanya siapa lo sicu?"
"Wuah!" Orang tua renta tertawa. "Lo hu sudah lupa nama sendiri, engkau tidak perlu bertanya!"
"Lo sicu…..."
"Hweshio kecil, lo hu ingin bertanya, sudikah engkau menjawab?" Orang tua renta menatapnya tajam.
"Lo sicu mau bertanya apa?"
"Dengar-dengar para partai besar sedang berusaha mencari Hek Siau Liong. Benarkah itu?"
Goan Siu hweshio mengangguk.
"Benar."
"Mengapa kalian berusaha mencarinya?"
"Itu karena partai Kay Pang menyebarkan bu lim tiap pada berbagai partai besar lainnya untuk mohon bantuan mencari Hek Siau Liong. Itu disebabkan apa, siau ceng tidak mengetahuinya."
Orang tua renta itu tampak tertegun, kemudian sepasang matanya menyorot tajam dan dingin.
"Apa?! Engkau bilang pihak Kay Pang yang menyebarkan bu lim tiap?"
"Betul." Goan Siu hweshio mengangguk, dan merasa terkejut akan sorotan yang tajam dan dingin itu.
Mendadak orang tua renta itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Pengemis cilik Sang sungguh ceroboh, harus dipukul pantatnya!"
Goan Siu hweshio tersentak, sebab yang dimaksudkan pengemis cilik Sang adalah Kay Pang Pangcu (Ketua Kay Pang) masa kini. Usianya sudah lima puluhan, tapi orang tua renta ini menyebutnya pengemis cilik dan menambahkan harus dipukul pantatnya. Orang tua renta berani mengatakan begitu, sebetulnya siapa orang tua renta itu? Goan Siu hweshio tidak habis berpikir.
"Hweshio kecil, sungguhkah engkau tidak tahu sebab musababnya?" tanya orang tua renta itu lagi.
"Siau ceng sungguh tidak tahu."
"Benarkah?"
"Siau ceng adalah pengikut Budha, bagaimana mungkin siau ceng berani berdusta?"
"Oh? Ha ha ha!" Orang tua renta tertawa gelak. "Berapa banyak hweshio yang berdusta, diam-diam makan daging dan main perempuan."
"Omitohud! Semoga Sang Budha mengampuni lo sicu." ucap Goan Siu hweshio sambil merapatan sepasang tangannya di dada.
"Jangan menyebut Omitohud kalau hati tidak bersih!" ujar orang tua renta dan tertawa gelak lagi, kemudian menambahkan, "Kalau Seng Khong tahu engkau berani berkata demikian pada lo hu kepalamu yang gundul itu pasti diketok."
"Lo sicu…..." Goan Siu hweshio terbelalak.
"Sudahlah hweshio kecil, engkau tidak tahu sebab musabab itu tidak apa-apa, lo hu percaya engkau tidak bohong," ujar orang tua renta itu. "Kini Hek Siau Liong itu telah mati, kalian tidak perlu mencarinya lagi."
"Apa yang dikatakan lo sicu memang benar. Tapi menurut siau ceng, urusan itu perlu diselidiki."
"Mengapa?"
"Lo sicu, tentunya lo sicu mendengar pemicaraan orang yang berbaju kuning emas dan putih perak itu, kan?"
"Tidak salah. Engkau pun sudah dengar. Nah, bagaimana menurut pendapatmu, hweshio kecil?"
"Menurut siau ceng memang masuk akal dia telah ditolong orang."
"Benar, hweshio kecil." Orang tua renta mangut-manggut. "Kalau begitu, kenapa tadi engkau bilang masalah itu harus diselidiki?"
"Karena…..." Goan Siu hweshio menatapnya. "Lo sicu, itu adalah urusan Kay Pang."
"Lo hu paham." Orang tua renta manggut-manggut. "Maksudmu lo hu jangan turut campur kan?"
"Siau ceng tidak bermaksud begitu, itu memang urusan Kay Pang."
"Tidak salah." Orang tua renta tersenyum. "Itu memang urusan pengemis kecil Sang, tapi asal lo hu berkata padanya, dia pasti tidak berani membantah. Tapi….. lo hu masih ada urusan lain, tidak bisa pergi menemuinya…..."
"Lo sicu......" Goan Siu hweshio tercengang.
"Hweshio kecil, bersediakah engkau mewakili lo hu menyampaikan pesan pada pengemis kecil itu?"
"Maksud lo sicu?"
"Suruh dia segera memberitahukan pada partai besar lainnya, tidak usah mencari Hek Siau Liong lagi!"
"Lo sicu…..."
"Engkau tidak mau membantu lo hu?"
"Siau ceng mau membantu, tapi….. bagaimana mungkin Sang Pangcu akan menuruti pesan ini?"
"Oooh!" Orang tua renta tersenyum. "Kalau cuma pesan dengan mulut, tentunya pengemis kecil itu tidak mau menurut. Tapi lo hu akan memberimu suatu barang, serahkan padanya! Setelah dia melihat barang tersebut, dia pasti menurut."
Hati Goan Siu hweshio tergerak.
"Itu barang kepercayaan lo sicu?"
"Hweshio kecil," ujar orang tua renta sambil tertawa. "Jangan banyak bertanya! Setelah engkau bertemu pengemis kecil itu, dia akan memberitahukan padamu siapa lo hu."
"Oooh!" Goan Siu hweshio manggut-manggut.
Orang tua renta mengeluarkan sebuah kantong kecil yang terbuat dari semacam kain warna merah, lalu diberikan pada Goan Siu hweshio dengan wajah serius.
"Simpan baik-baik barang ini, jangan sampai hilang!" pesannya, "Dan juga engkau tidak boleh melihat isinya!"
"Ya." Goan Siu hweshio mengangguk sambil menerima barang tersebut. "Siau ceng tidak berani melanggar pesan lo sicu."
"Bagus." Wajah orang tua renta berseri. "Lo hu minta bantuanmu, tentunya tidak secara cuma-cuma."
"Maksud lo sicu?"
"Kini lo hu akan mengajarmu tiga jurus tangan kosong, tapi cuma mengajar satu kali saja. Engkau bisa ingat berapa bagian, itu adalah urusanmu."
"Lo sicu…..."
"Hweshio kecil, lihat baik-baik!" ujar orang tua renta sambil menggerak-gerakkan sepasang tangannya.
Goan Siu hweshio melihat dengan penuh perhatian, jurus tangan kosong itu tampak sederhana, namun justru sangat aneh.
Berselang beberapa saat kemudian, orang tua renta itu menghentikan gerakannya.
"Hweshio kecil, engkau sudah ingat?" tanyanya sambil menatapnya tajam.
Goan Siu hweshio merapatkan sepasang telapak tangannya di dada.
"Siau ceng sungguh bodoh, cuma ingat enam bagian." jawabnya dengan hormat.
"Ha ha ha!" Orang tua renta tertawa gelak. "Engkau bisa ingat enam bagian, itu sudah bagus. Bahkan engkau pun harus merasa puas, karena kalau engkau bertemu salah seorang Cit Khi (Tujuh Orang Aneh) atau Pat Hiong (Delapan Orang Buas) itu, engkau tidak akan kalah melawan salah seorang itu dengan tiga jurus tangan kosong yang baru kau pelajari itu."
Goan Siu hweshio merasa girang sekali, namun wajahnya tampak ragu.
Menyaksikan itu, orang tua renta tertawa gelak.
"Engkau tidak percaya, hweshio kecil?" tanyanya.
Seketika juga wajah Goan Siu hweshio kemerah-merahan. Ia tidak menyahut melainkan cuma merapatkan sepasang telapak tangannya di dada.
"Engkau tidak percaya tidak apa-apa. Tapi kelak engkau akan tahu bagaimana keampuhan tiga jurus tangan kosong itu."
"Lo sicu......"
"Baiklah. Lo hu masih ada urusan lain, kita berpisah di sini saja," ujar orang tua renta, lalu mendadak berkelebat pergi dalam keadaan duduk bersila.
Betapa terkejutnya Goan Siu hweshio, sebab gurunya belum mampu berbuat begitu. Maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian orang tua renta itu. Siapa sebenarnya orang tua renta tersebut? Goan Siu hweshio sama sekali tidak dapat menerkanya.
*
* *
Setengah bulan telah berlalu, namun para murid partai besar masih terus mencari jejak Hek Siau Liong. Tentunya para murid partai besar itu telah mengetahui tentang Hek Siau Liong yang ditolong oleh seseorang.
Mengapa para murid partai besar masih terus mencari Hek Siau Liong? Apakah Goan Siu hweshio tidak pergi menemui Kay Pang Pangcu menyerahkan barang orang tua renta dan menyampaikan pesannya itu?
Padahal sesungguhnya, Goan Siu hweshio telah melaksanakan itu dengan baik, sedangkan Kay Pang Pangcu pun sudah tahu siapa orang tua renta itu.
Orang tua renta itu, ternyata Swat San Lo Jin (Orang tua Gunung Swat San) yang pernah menggetarkan bu lim enam puluhan tahun yang lalu.
Kalau begitu, Kay Pang Pangcu telah mengabaikan pesan Swat San Lo Jin tidak memberi kabar pada partai besar lainnya agar berhenti mencari Hek Siau Liong? Kay Pang Pangcu Sang Hun Hun begitu berani tidak menurut pada pesan Swat San Lo Jin, sungguh besar nyalinya. Apakah dia tidak takut akan membuat gusar bu lim lo cianpwe (orang tua tingkat tinggi rimba persilatan) itu?
Tentunya Kay Pang Pangcu itu tidak berani. Akan tetapi dalam hal tersebut, terdapat suatu sebab. Kalau tidak, bagaimana mungkin Kay Pang Pangcu berani mengabaikan amanat bu lim lo cianpwe itu?
Kenapa Kay Pang Pangcu Sang Hun Hun begitu berani? Siapa pun tidak mengetahuinya. termasuk Swat San Lo Jin sendiri kecuali para Ciangbun Jin partai besar itu. Kalau begitu, asal-usul Hek Siau Liong memang luar biasa sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar