Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 26 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 29, 30 dan 31

sambungan ...


Bagian ke 29: Orang Penjaga Jalan
Tampak sebuah kapal nelayan kecil dengan layar yang tidak begitu besar, melaju melawan ombak di laut.
Di dalam kapal nelayan itu hanya terdapat dua orang, yakni Se Kua Hai dan Pek Giok Liong.
Se Kua Hai memang ahli mengemudikan kapal nelayan, maka kapal itu tidak sampai terombang-ambing, sebaliknya malah begitu tenang melaju.
Sudah tiga hari kapal nelayan tersebut berlayar. Dalam tiga hari ini, sudah ada lima buah pulau kecil yang dilewatinya, namun belum juga menemukan Pulau Pelangi.
Sementara hari sudah mulai sore, Pek Giok Liong berdiri tegak sambil memandang jauh ke depan, tampak sebuah pulau di sana.
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menoleh memandang Se Kua Hai. "Tahukah engkau pulau apa itu?"
"Maaf Tuan Muda!" jawab Se Kua Hai. "Banyak pulau kecil di tengah laut ini, aku tidak tahu nama-nama pulau itu. Alangkah baiknya kalau pulau yang di depan itu Pulau Pelangi."
"Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut.
Tak seberapa lama kemudian, mendadak Se Kua Hai bersorak kegirangan sambil menunjuk ke depan.
"Tuan Muda, lihatlah! Apa itu?"
Pek Giok Liong segera memandang ke arah yang ditunjuk Se Kua Hai, seketika juga ia terbelalak dan tampak tertegun.
Ternyata ia melihat pelangi melingkar di atas pulau yang di depan itu. Pelangi itu tampak indah dan begitu mempesona.
"Itu ….. itu Cai Hong To! Itu Cai Hong To!" seru Pek Giok Liong girang. "Tidak salah, itu pasti Cai Hong To, akhirnya kita menemukan juga!"
"Kelihatannya memang tidak salah." sahut Se Kua Hai dengan wajah berseri. "Hanya pulau itu yang dilingkari pelangi, itu pasti Pulau Pelangi."
*
* *
Hari sudah mulai gelap, Se Kua Hai menurunkan layar. Ternyata kapal nelayan itu sudah hampir mencapai pantai pulau itu. Tak lama kapal nelayan itu sudah membentur pantai tersebut.
Pek Giok Liong segera melompat ke pantai. Ketika sepasang kakinya menginjak pantai itu, terdengar pula suara gemuruh. Pek Giok Liong cepat-cepat menoleh, sungguh di luar dugaan, kapal nelayan itu mulai meninggalkan pantai itu.
"Se toako, jangan pergi dulu!" teriak Pek Giok Liong.
"Tuan Muda Hek!" Se Kua Hai tertawa. "Engkau telah menemukan Cai Hong To, maka tidak membutuhkan kapal lagi, untuk apa aku berada di pantai itu?"
"Saudara Se! Tolong beritahukan pada adikku, bahwa aku sudah sampai di Pulau Pelangi! Suruh dia berlega hati dan harap Se toako baik-baik menjaganya!" Teriak Pek Giok Liong lagi.
"Harap Tuan Muda tenang!" sahut Se Kua Hai. "Aku pasti memberitahukannya, dan sekaligus menjaganya baik-baik."
"Terima kasih, Saudara!" ucap Pek Giok Liong.
"Sama-sama!" Se Kua Hai melambaikan tangannya. Sementara kapal nelayan itu terus melaju, akhirnya lenyap dari pandangan Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong menarik nafas dalam-dalam, lalu membalikkan badannya dan mulai melangkah memasuki pulau itu.
Berselang beberapa saat kemudian, mendadak terdengar suara seruan yang parau.
"Bocah, cepat berhenti!"
Pek Giok Liong terkejut, ia segera berhenti seraya bertanya dengan suara nyaring.
"Lo jin keh, siapa kau sebenarnya?"
"Aku penjaga jalan di pulau ini," terdengar suara sahutan. "Bocah, siapa engkau?"
Pek Giok Liong tidak segera menyahut, melainkan mengarah pada suara itu, ternyata berasal dari sebuah goa.
"Cahye (Aku yang rendah) bernama Hek Siau Liong. Kalau aku boleh tahu, siapa nama lo jin keh?" Pek Giok Liong menatap goa itu.
Penjaga jalan itu tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya.
"Bocah! Engkau datang dari mana?"
"San Si!"
"Mau apa datang di sini?"
"Ingin bertemu tocu (Majikan pulau)."
"Tahukah engkau nama pulau ini?"
"Cai Hong To."
"Hmm!" dengus penjaga jalan itu dingin. "Siapa yang memberitahukan padamu?"
"Tidak ada yang beritahukan, melainkan aku sendiri yang menemukan pulau ini."
"Cara bagaimana engkau menemukan pulau ini?"
"Ketika hari mulai senja, aku melihat pelangi melingkar di atas pulau ini."
"Maka engkau menganggap pulau ini Pulau Pelangi?"
"Benar."
"Engkau tidak berdusta?"
"Kenapa aku harus berdusta?"
"Kalau begitu, bukan Se Kua Hai yang memberitahu padamu?"
Tergerak hati Pek Giok Liong mendengar pertanyaan itu.
"Apakah Se Kua Hai tahu bahwa ini Pulau Pelangi?" tanyanya.
"Hmm!" dengus penjaga jalan itu. "Hek Siau Liong, ada urusan apa engkau ingin bertemu tocu?" tanyanya.
"Ingin belajar bu kang yang tiada taranya."
"Apa?!" penjaga jalan itu tertawa gelak. "Bocah! Engkau ingin menjagoi bu lim dan agar dirimu tiada tanding di kolong langit?"
"Aku sama sekali tiada maksud begitu."
"Kalau begitu untuk apa engkau ingin belajar bu kang yang tiada tara itu?"
"Aku memikul dendam berdarah, kalau tidak berhasil belajar bu kang tingkat tinggi yang tiada taranya, berarti tiada harapan untuk menuntut balas dendam berdarah tersebut."
"Apakah musuh-musuhmu itu berkepandaian tinggi?"
"Tidak salah, mereka rata-rata memiliki kepandaian yang amat tinggi masa kini."
"Bocah!" tegur penjaga jalan itu. "Kalau bicara harus berpikir dulu, jangan bicara sembarangan!"
"Aku tidak bicara sembarangan, apa yang kukatakan itu, semuanya benar."
"Kalau begitu, berapa banyak musuh-musuhmu?"
"Ada beberapa orang."
"Lebih dari dua?"
"Mungkin tiga empat orang, namun mungkin juga tujuh delapan orang."
"Kok mungkin? Itu pertanda engkau tidak tahu jelas?"
"Benar."
"Tahukah engkau siapa musuh-musuhmu itu?"
Pek Giok Liong tidak menyahut, malah balik bertanya.
"Pernahkah lo jin keh dengar tentang Pat Tay Hiong Jin?"
"Ha ha ha!" penjaga jalan tertawa gelak. "Hek Siau Liong, sungguh berani engkau membohongiku."
"Aku tidak membohongi lo jin keh. Lagi pula tiada gunanya aku berbohong."
"Oh?" Penjaga jalan tertawa dingin. "Pat Tay Hiong Jin itu telah mati di Im San Ok Hun Nia, bagaimana mungkin mereka hidup lagi?"
"Tiga bulan yang lalu, Siang Hiong Thai Nia pernah muncul di Kota Ling Ni."
"Engkau melihat dengan mata kepala sendiri?"
"Aku tidak melihat, namun ada orang lain melihat mereka berdua."
"Siapa yang melihat mereka?"
"Thai Hang Ngo Sat bersaudara."
"Ha ha ha!" Penjaga jalan tertawa. "Omongan Thai Hang Ngo Sat itu bisa dipercaya?"
"Harus dilihat mereka berbicara dengan siapa?" sahut Pek Giok Liong hambar.
"Mereka berlima bicara dengan siapa?"
"Sin Cang Kui Kian Chou, Si Tongkat Sakti."
"Oh...!" Penjaga jalan diam, kelihatannya ia mulai percaya.
Pek Giok Liong juga ikut diam, namun berselang sesaat ia bertanya.
"Apakah lo jin keh sudah percaya?"
"Kalau engkau berkata sesungguhnya, aku tentunya percaya! Tapi ….." Penjaga jalan berhenti sejenak, setelah itu dilanjutkan. "Bocah, percuma engkau ke mari."
"Mengapa?" Pek Giok Liong tertegun.
"Bu kang di pulau ini memang tiada duanya di kolong langit." Penjaga jalan memberitahukan. "Namun setelah berhasil belajar semua bu kang itu, juga tiada gunanya."
"Aku sama sekali tidak mengerti, mohon dijelaskan!" ujar Pek Giok Liong.
"Karena kau tidak bisa meninggalkan pulau ini."
"Karena tiada kapal?"
"Bukan."
"Kalau bukan karena itu, lalu dikarenakan apa?"
"Peraturan yang berlaku di pulau ini."
"Peraturan apa?"
"Harus melewati tiga rintangan. Kalau tidak, sama sekali tidak boleh meninggalkan pulau ini."
"Apakah sulit sekali melewati tiga rintangan itu?"
"Sudah tiga puluh tahun aku menjaga di sini, selama itu tidak pernah menyaksikan ada orang yang mampu melewati tiga rintangan itu. Maka ….." lanjut penjaga jalan kemudian. "Aku menasehatimu, lebih baik engkau sampai di sini saja. Segeralah pulang ke Tiong Goan dan mencari guru lain untuk belajar bu kang tingkat tinggi, lalu menuntut balas dendam berdarah itu."
"Sebetulnya aku harus menuruti nasihat lo jin keh, akan tetapi ….." Pek Giok Liong menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkan. "Tekadku tidak mengizinkan diriku meninggalkan pulau ini."
"Jadi ….. engkau berkeras ingin bertemu tocu untuk belajar bu kang tingkat tinggi yang tiada tara itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Oleh karena itu, aku menempuh bahaya menuju kemari, karena ini satu-satunya harapanku untuk membalas dendam berdarah itu."
"Hek Siau Liong, kalau pun engkau berhasil dan mampu melawan Pat Tay Hiong Jin namun engkau sama sekali tidak mampu melewati tiga rintangan itu. Maka percuma juga."
"Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan," sahut Pek Giok Liong. "Oleh karena itu, aku yakin pasti ada suatu jalan untuk melewati tiga rintangan tersebut."
Penjaga jalan berada di dalam goa, maka Pek Giok Liong tidak bisa melihatnya. Namun orang itu bisa melihat Pek Giok Liong dengan jelas, juga air mukanya. Oleh karena itu, hati penjaga jalan itu pun tergerak, ketika berbicara suaranya pun berubah lembut.
"Nak, engkau berpendirian dan memiliki tekad yang begitu teguh, aku sungguh kagum padamu."
"Terima kasih atas pujian to jin keh!"
"Begini, aku punya akal yang baik. Bersediakah engkau mendengarnya?"
"Bagaimana akal yang baik itu?"
"Terus terang, aku ingin menyempurnakanmu. Engkau tetap tinggal di sini, bagaimana?"
"Lo jin keh ingin menerimaku sebagai murid?"
Mendadak penjaga jalan itu menarik nafas ringan, tentunya sangat mengherankan Pek Giok Liong.
"Kenapa lo jin keh menarik nafas?" tanya Pek Giok Liong.
"Di pulau ini, aku sama sekali tidak punya hak untuk menerima murid," jawab penjaga jalan. "Walau aku tidak berhak menerima murid, namun akan mewariskanmu seluruh kepandaianku."
"Apakah kepandaian lo jin keh dapat memenangkan Pat Tay Hiong Jin?" tanya Pek Giok Liong.
"Ha ha ha!" penjaga jalan tertawa terbahak-bahak. "Nak, asal engkau giat belajar, dalam waktu sepuluh tahun, aku berani menjamin engkau mampu melawan Pat Tay Hiong Jin. Pokoknya tidak akan kalah."
"Haruskah sampai sepuluh tahun?"
"Kau anggap terlampau lama?"
"Kalau bisa, diperpendek saja waktunya!"
"Diperpendek pun harus delapan tahun."
Kening Pek Giok Liong tampak berkerut, berselang sesaat ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Delapan tahun kemudian, bu lim di Tiong Goan sudah berubah tidak karuan."
"Nak!" Penjaga jalan tercengang. "Kenapa engkau mengatakan begitu, apakah ada sebabnya?"
"Memang ada sebabnya." Pek Giok Liong memberitahukan. "Saat ini keadaan bu lim di Tiong Goan sudah mulai gawat, mungkin tidak lama lagi ….."
"Nak!" Penjaga jalan terkejut. "Jelaskanlah!"
"Ada orang ingin menguasai bu lim bahkan orang itu telah mulai bergerak dengan para anak buahnya."
"Siapa orang itu?"
"Cit Ciat Sin Kun Cih Hua Ni."
"Hah? Iblis pencabut nyawa?"
"Ya."
"Nak, maksudmu ingin menyelamatkan bu lim?"
"Ya. Maka aku harus berhasil dalam waktu pendek, lalu kembali ke Tiong Goan untuk membasmi para iblis itu."
"Nak, engkau memang memiliki hati pendekar. Tapi ….."
"Kenapa?"
"Nak!" jawab penjaga jalan setelah berpikir cukup lama. "Aku tidak bisa langsung mempercayaimu, harus mohon tocu mengutus seseorang ke Tiong Goan untuk menyelidiki masalah itu."
"Harus berapa lama?"
"Sekitar setengah bulan."
"Kalau begitu, aku harus membuang waktu setengah bulan." Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau tidak akan membuang waktu setengah bulan, Nak," ujar penjaga jalan lembut. "Dalam setengah bulan ini, aku akan memberi petunjuk padamu dalam hal bu kang."
"Baiklah. Aku menurut!"
"Nak, sekarang engkau boleh ke mari!"
"Terima kasih, lo jin keh!" Pek Giok Liong mengayunkan kakinya menuju ke goa tersebut, ia yakin orang penjaga jalan itu sudah berusia lanjut.
*
* *
Bagian ke 30: lstana Pelangi
Sepuluh hari kemudian ketika tengah malam, tampak sebuah kapal yang cukup besar, indah dan mewah melaju menuju Pulau Pelangi. Kapal itu belum mencapai pantai, namun di pantai telah berbaris puluhan orang, termasuk penjaga jalan.
Sementara kapal itu sudah mulai mendekati pantai, penjaga jalan segera berdiri dengan sikap hormat.
Tak seberapa lama kemudian, kapal itu telah berlabuh, seketika juga penjaga jalan berseru dengan hormat.
"Hamba, Bu Bun Yang menyambut Kiong Cu!"
"Bu Bun Yang tidak usah banyak peradaban, harap ikut aku ke istana!" Terdengar suara sahutan, yang menyambut itu ternyata Se Khi. Maka dapat diketahui siapa mereka yang mendarat di Pulau Pelangi. Tentunya Se Pit Han, Siang Wie, Pat Kiam dan Se Khi.
Sungguh di luar dugaan, ternyata Se Pit Han adalah siau kiong cu di pulau Pelangi. Namun sayang sekali, Pek Giok Liong telah ditotok jalan darah tidurnya oleh penjaga jalan, maka tidak menyaksikan semua itu. Kalau ia menyaksikan, mungkin …..
Bu Bun Yang berusia empat puluhan begitu mendengar suara seruan Se Khi, ia segera menjura.
"Hamba turut perintah!"
*
* *
Di dalam Cai Hong Kiong (Istana Pelangi), Se Pit Han bersujud pada kedua orang tuanya, lalu duduk sambil menatap ayahnya.
"Ayah! Pek piaute (adik misan Pek) berada di mana, kok tidak kelihatan?" tanya Se Pit Han.
Cai Hong kiong cu (Majikan istana Pelangi), Se Ciang Cing tampak tertegun, kemudian tanyanya dengan nada heran.
"Engkau bilang apa, Nak? Di mana adik misanmu Pek?"
"Eeeh?" Se Pit Han tersentak, ia menatap ayahnya dengan mata terbelalak. "Hek Siau Liong adalah Pek Giok Liong, apakah ayah belum tahu?"
"Oh?"
"Yang Hong tidak memberitahukan pada Ayah?"
"Dia sudah beritahukan."
"Adik misan Pek sudah datang di pulau ini, kok Ayah belum tahu?"
"Ayah sama sekali belum melihatnya."
"Apa?!" Kening Se Pit Han tampak berkerut. "Se Kua Hai memberitahukan, dia yang mengantar adik misan Pek ke mari."
"Oh?" Se Ciang Cing tercengang. "Itu kapan?"
"Sepuluh hari yang lalu di tengah malam."
"Oh?" Cai Hong kiong cu Se Ciang Cing tampak bingung. "Ini ….. sungguh aneh sekali."
Se Pit Han tertegun, kemudian berpikir keras akan kejadian itu. Berselang sesaat ia mengarah pada sepasang pengawal yang berdiri di belakangnya.
"Giong Cing, cepat perintahkan pada cong koan (Kepala pengurus), agar dia mengundang Si Bun lo jin ke mari!"
"Ya, Majikan muda!" Giok Cing menjura memberi hormat, lalu segera pergi.
Se hujin Hua Ju Cing menatap Se Pit Han dengan heran, kemudian tanyanya perlahan.
"Han, kau pikir Si Bun Kauw mungkin tahu tentang itu?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Han Ji pikir harus bertanya padanya, mungkin dia tahu jelas tentang itu."
"Itu bagaimana mungkin?" Se Ciang Cing, tuan istana Pelangi itu mengerutkan kening. "Ada orang luar memasuki pulau, dia kok berani tidak melapor?"
"Itu mungkin."
"Han, coba jelaskan!" ujar Se Ciang Cing pada Se Pit Han.
"Pikir baiknya, Adik misan Pek memiliki bakat yang luar biasa, cianpwe mana yang melihatnya, pasti berniat menerimanya sebagai murid." Se Pit Han menjelaskan. "Ketika pertama kali melihat adik misan Pek di sebuah penginapan di Kota Ling Ni, paman pengemis pun ingin menerimanya jadi murid, bahkan juga berjanji dalam sepuluh tahun, adik misan Pek akan diangkat jadi kepala pengemis."
"Oh?" Se Ciang Cing tertegun. "Pengemis tua itu termasuk salah satu tujuh orang aneh, hingga kini masih belum punya murid. Tapi begitu melihat Nak Liong, langsung ingin menerimanya sebagai murid, itu pertanda Nak Liong memiliki tulang dan bakat yang luar biasa."
"Memang begitu, Ayah."
"Han!" Se Ciang Cing menatapnya. "Kau pikir kemungkinan besar Si Bun Kauw berniat menerimanya sebagai murid?"
"Menurut Han Ji, itu memang mungkin."
"Apakah masih ada kemungkinan lain?" tanya Se Ciang Cing mendadak.
"Adik misan Pek memiliki sifat angkuh, luar dan dalam justu ….." Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya.
"Itu sifat bibimu." sela Hua Ju Cing sambil tersenyum.
"Itulah yang Han ji cemaskan," ujar Se Pit Han. "Mungkin piaute bertemu Si Bun Kauw, mereka bertengkar dan akhirnya terjadi pertarungan. Karena kepandaian piaute masih dangkal, maka ….."
Se Pit Han berhenti, namun Se Ciang Cing dan Nyonya Hua Ju Cing sudah mengerti, itu membuat mereka tersentak.
"Mungkin itu tidak akan terjadi." ujar Se Ciang Cing.
Pada waktu bersamaan, Giok Cing telah masuk dan sekaligus melapor.
"Lapor Majikan Muda! Houw cong koan sudah menunggu di luar bersama Si Bun Kauw!"
"Suruh mereka masuk!" sahut Se Pit Han.
"Ya." Giok Cing mengangguk, lalu membalikkan badannya dan berseru. "Siau kiong cu menyuruh kalian berdua masuk!"
Tak seberapa lama kemudian, cong koan Houw Kian Guan bersama Si Bun Kauw melangkah ke dalam ruang Istana Pelangi. Setelah berada di hadapan mereka, cong koan Houw Kian Guan dan Si Bun Kauw segera menjura memberi hormat.
"Hamba memberi hormat pada kiong cu, Hujin dan Siau Kiong Cu!" ucap mereka berdua serentak.
"Silakan duduk!" sahut Se Ciang Cing.
"Terimakasih," ucap cong koan Houw Kian Guan dan Si Bun Kauw serentak lagi dengan hormat, lalu duduk.
"Siau Kiong cu memanggil hamba, ada sesuatu penting?" tanya Si Bun Kauw. Siapa Si Bun Kauw itu, ternyata penjaga jalan.
"Si Bun Kauw!" Se Pit Han tersenyum ramah. "Baru-baru ini apakah Se Kua Hai pernah datang di pulau ini?"
"Pernah datang sekali, tapi tidak mendarat." jawab Si Bun Kauw.
"Oh?" Se Pit Han menatapnya. "Dia mengantar seseorang ke mari kan?"
Tergerak hati Si Bun Kauw, ia memandang Se Pit Han seraya balik bertanya.
"Apakah Se Kua Hai telah melapor pada Siau Kiong cu?"
"Ng!" Se Pit Han mengangguk. "Siapa nama orang itu?"
"Hek Siau Liong ."
Begitu mendengar jawaban Si Bun Kauw, seketika juga sepasang mata Se Pit Han berbinar-binar.
"Dia berada di mana sekarang?"
"Dia ….." mendadak Si Bun Kauw balik bertanya. "Apakah Siau kiong cu ingin tahu maksud tujuannya datang di pulau ini?"
"Betul. Dia berada di mana sekarang?"
"Berada di tempat hamba."
Wajah Se Pit Han berseri, bahkan diam-diam menarik nafas lega. Tapi wajah Se Ciang Cing malah berubah dan bertanya dengan suara dalam. "Sudah berapa lama dia berada di Pulau ini?"
"Sekitar sepuluh hari."
"Kenapa engkau sama sekali tidak melapor?" tegur Cai Hong kiong cu Se Ciang Cing. Itu membuat hati Si Bun Kauw tersentak.
"Mohon ampun kiong cu." ucap Si Bun Kauw. "Hamba melihat dia memiliki bakat yang luar biasa, maka ….."
"Ingin menerimanya sebagai murid kan?" Sela Se Pit Han.
"Hamba tidak berani melanggar sumpah, hanya ingin bersahabat dengannya sekaligus menyempurnakannya saja."
"Kenapa engkau ingin menyempurnakannya?" tanya Se Ciang Cing.
"Dia memikul dendam berdarah kedua orang tuanya, lagi pula dia bertekad membasmi para iblis yang ingin menguasai bu lim."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Jadi dia telah memberitahukan mengenai musuh-musuhnya?"
"Ya." Si Bun Kauw mengangguk. "Musuh-musuhnya adalah Pat Tay Hiong Jin."
"Tidak menjelaskan siapa-siapa dalam Pat Tay Hiong Jin itu?" tanya Se Pit Han.
"Dia bilang mungkin Siang Hiong, mungkin juga Sam Kuai atau Pat Tay Hiong Jin gabung. Dia sendiri tidak begitu jelas."
"Engkau percaya?" tanya Se Pit Han sambil menatapnya.
"Lima belas tahun yang lampau, Siang Hiong Sam Kuai telah terpukul jatuh di Ok Hun Nia oleh Pek Kouw Ya dengan tenaga sakti Thai Ceng Sin Kang. Semua orang bu lim mengetahui tentang itu, maka tidak mungkin ….."
"Mereka tidak mungkin hidup kembali kan?"
"Ya." Si Bun Kauw mengangguk dan melanjutkan, "Tapi tampaknya dia tidak berdusta, oleh karena itu, hamba pun jadi percaya dan ragu."
Se Pit Han tersenyum lembut, lalu tanyanya serius.
"Engkau tidak berpikir lebih seksama, bu lim masa kini siapa orang marga Hek mampu melawan Pat Hiong yang bergabung itu?"
"Hamba sudah berpikir tentang itu, justru tidak tahu siapa orang marga Hek itu?"
"Si Bun Kauw!" Se Pit Han tersenyum. "Apa kebalikan dari kata Hek (Hitam) itu?"
Si Bun Kauw tertegun, ia memandang Se Pit Han seraya menjawab.
"Kebalikan dari kata Hek adalah Pek (Putih)." Usai menjawab, Si Bun Kauw sendiri pun tersentak. "Apakah dia marga Pek yang adalah ….."
"Tidak salah. Dia memang marga Pek!" Se Pit Han memberitahukan. "Dia putera bibi Hui."
"Haah …..?!" Si Bun Kauw segera bangkit berdiri, kemudian menjura sambil berkata, "Hamba memang harus mati, mohon ….."
"Tidak usah berkata begitu." Se Pit Han tersenyum. "Duduklah!"
"Terimakasih atas kemurahan hati Siau kiong cu yang tidak menghukum hamba!" ucap Si Bun Kauw lalu duduk kembali.
"Dalam sepuluh hari ini, engkau menurunkan kepandaian apa padanya?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Hanya dua belas jurus tangan kosong yang biasa saja."
"Bukankah engkau ingin menyempurnakannya, kok malah menurunkan jurus-jurus biasa padanya?"
"Hamba memang berniat menyempurnakannya, namun sebelum tahu jelas sifat dan wataknya maka ….." lanjut Si Bun Kauw kemudian. "….. Hingga hari ini, hamba masih belum menurunkan bu kang lain padanya."
"Bagaimana pengamatanmu dalam sepuluh har ini?" tanya Se Pit Han.
"Mengenai apa?"
"Sifat dan wataknya."
"Sifatnya memang agak angkuh, tapi berhati bajik dan berbudi luhur, bahkan sangat cerdas." Si Bun Kauw memberitahukan. "Oleh karena itu hamba telah mengambil keputusan, akan mulai menurunkan bu kang tingkat tinggi padanya. Akar tetapi, dia justru Tuan muda Pek, tentunya urusar pun jadi lain."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut, lalu memandang Se Ciang Cing. "Bagaimana Ayah akan mengatur adik misan?"
"Han!" Se Ciang Cing tersenyum. "Bukankah dalam hatimu telah punya suatu rencana?"
"Benar! Tapi harus disetujui Ayah."
"Asal tidak melanggar amanat leluhur, ayah pasti setuju," ujar Se Ciang Cing sungguh-sungguh.
"Terimakasih, Ayah!" ucap Se Pit Han dengar wajah berseri.
"Han!" Se Ciang Cing menatapnya. "Bagaimana rencanamu itu?"
"Rencana Han Ji ….." Se Pit Han tersenyum. "Pokoknya Han ji tidak akan melanggar amanat leluhur, nanti Ayah akan mengetahuinya."
"Kok dirahasiakan?" Se Ciang Cing menggeleng-geleng kepala.
"Han ji ingin bikin kejutan." sahut Se Pit Han, lalu memandang Si Bun Kauw seraya berkata. "Aku ingin minta bantuan, boleh kan?"
"Bantuan apa? Hamba pasti melaksanakannya dengan baik," ujar Si Bun Kauw sambil menjura.
"Kalau begitu, terlebih dahulu aku mengucapkan terimakasih." Se Pit Han tersenyum ceria. "Engkau sangat menyukai Adik misan Pek dan berniat menyempurnakan dirinya, maka alangkah baiknya kalau engkau mewariskannya semacam kepandaian tingkat tinggi padanya. Bagaimana?"
"Maksud Siau kiong cu?"
"Aku sangat tertarik pada Thian Liong Pat Ciu (Delapan Jari Naga Langit) milikmu."
"Oh? Ha ha!" Si Bun Kauw tertawa gelak. "Siau kiong cu mengira hamba begitu pelit ya?"
"Kalau begitu, engkau setuju kan?"
"Setuju."
"Nah, untuk sementara ini, dia tetap bersamamu untuk belajar Thian Liong Pat Ciu. Dalam sepuluh hari, dia sudah harus dapat menguasai kepandaian tersebut. Ohya! Engkau jangan memberitahukan padanya tentang hubungannya dengan pulau Pelangi ini!"
"Ya." Si Bun Kauw mengangguk lalu bertanya. "Apakah Adik misan Tuan belum tahu tentang ini?"
"Kalau dia tahu, dia sudah beritahukan."
"Itu agak tidak masuk akal," sela Hua Ju Cing mendadak.
"Ibu, apa yang agak tidak masuk akal?" tanya Se Pit Han heran.
"Kalau benar dia adik misanmu, tidak mungkin dia tidak tahu asal usul ibunya," jawab Hua Ju Cing.
"Mengenai ini, Han ji, Se Khi dan paman pengemis telah menganalisanya," ujar Se Pit Han sambil tersenyum.
"Oh?"
"Kami anggap ayah ibunya tidak mau memberitahukan, itu karena usia adik misan Pek masih kecil. Oleh karena itu mereka khawatir adik misan Pek akan membocorkan rahasia tersebut." ujar Se Pit Han.
"Memang masuk akal!" Hua Ju Cing manggutmanggut.
"Si Bun Kauw!" Se Pit Han menatapnya. "Di hadapannya jangan singgung tentang diriku, Se Khi, Siang Wie dan Pat Kiam! Kalau dia bertanya, engkau jawab tidak tahu saja!"
"Ya, Siau kiong cu."
"Baiklah! Kini engkau boleh kembali ke tempat," ujar Se Pit Han.
"Ya." Si Bun Kauw segera bangkit berdiri. Ia memberi hormat pada Se Ciang Cing, Hua Ju Cing dan Se Pit Han, lalu mengundurkan diri dari ruangan itu.
Houw Kian Guan, kepala pengurus itu pun bangkit berdiri, lalu memberi hormat pada mereka seraya berkata.
"Kalau kiong cu tiada urusan lain lagi, hamba mau mohon diri."
"Tunggu!" Se Pit Han mencegahnya pergi.
"Siau kiong cu ada perintah apa?" tanya cong koan itu dengan hormat.
"Si Bun Kauw telah berjanji akan menurunkan Thian Liong Pat Ciu pada adik misan Pek, bagaimana dengan cong koan?"
Houw Kian Guan tertegun, kemudian tersenyum.
"Siau kiong cu menghendaki hamba mewariskannya semacam kepandaian tingkat tinggi?"
"Engkau cong koan Pulau Pelangi, kalau cuma mewariskannya satu macam kepandaian, itu berarti pelit."
"Maksud Siau kiong cu?" Cong koan Houw Kian Guan tersenyum lagi.
"Paling sedikit pun harus dua macam kepandaian. Sudikah engkau mewariskannya?"
"Tentu sudi." Cong koan Houw Kian Guan mengangguk. "Menurut Siau kiong cu dua macam kepandaian apa yang harus hamba wariskan padanya?"
"Jelas dua macam kepandaian simpananmu."
"Kalau begitu ….." Pikir cong koan. "Bagaimana hamba mewariskannya Toh Thian Sam Ciang (Tiga Pukulan Pencuri Langit) dan ginkang Hui Hun Phian Su (Awan Terbang Capung Melayang) padanya?"
"Terimakasih!" ucap Se Pit Han sambil tersenyum.
"Siau kiong cu jangan mengucapkan terima-kasih, hamba tidak berani menerimanya," ucap cong koan hormat.
"Aku memang harus mengucapkan terima-kasih." Se Pit Han masih tersenyum.
"Ohya, kapan hamba akan mulai mengajarnya?" tanya cong koan itu.
"Begini, kalau sudah waktunya, aku akan beritahukan padamu," jawab Se Pit Han. "Sekarang engkau boleh pergi mengurusi pekerjaanmu."
"Ya." Cong koan Houw Kian Guan memberi hormat pada mereka, kemudian mengundurkan diri.
Setelah cong koan itu pergi, Se Ciang Cing pun terus menerus memandang Se Pit Han.
"Ha, apakah dengan cara demikian engkau mengatur adik misanmu?" tanya Se Ciang Cing.
"Ini baru sebagian," jawab Se Pit Han sambil tertawa kecil.
"Oh?" Se Ciang Cing tertegun. "Cuma sebagian saja?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Han Ji masih ingin bermohon pada Bu Sian Seng, Sioh pelindung pulau, Liok pengontrol pulau dan Ku nai-nai, termasuk Se Khi untuk mewariskan kepandaian simpanan masing-masing pada adik misan Pek."
"Mereka semua memiliki kepandaian yang amat tinggi, engkau tahu kan?" Se Ciang Cing menatapnya.
"Han Ji tahu!"
"Engkau justru tahu, tapi mengapa menghendaki mereka masing-masing mewariskan kepandaian simpanan mereka pada misanmu itu?" tanya Se Ciang Cing dengan wajah serius. "Apakah engkau menginginkannya jadi pendekar yang tiada tanding di kolong langit?"
"Han Ji memang bermaksud begitu. Bagaimana menurut Ayah, cara Han Ji mengatur itu?"
"Memang baik sekali." Se Ciang Cing mengerutkan kening. "Tapi ….."
"Kenapa?" tanya Se Pit Han heran. "Seandainya dia bukan adik misanmu, itu bagaimana?" Se Ciang Cing menatapnya tajam.
"Jangan khawatir Ayah!" Se Pit Han tersenyum. "Mengenai persoalan ini, Han ji pun punya suatu rencana."
"Rencana apa?"
"Pokoknya tidak lewat tiga hari, Han ji sudah berani memastikan bahwa dia adik misan Pek atau bukan."
"Han." Hua Ju Cing menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu, engkau masih punya suatu cara pengaturan yang lain?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk, kemudian bertanya pada Se Ciang Cing. "Mengenai dendam berdarah kouw peh dan Hui kouw-kouw, bagaimana Ayah mengurusinya?"
"Mengenai itu, ayah telah memikirkannya. Tapi ….." Se Ciang Cing mengerutkan kening. "Setelah engkau memastikan asal-usulnya, barulah dibicarakan kembali."
"Baiklah!" Se Pit Han mengangguk.
*
* *
(Bersambung bagian 31)


PANJI SAKTI (JIT GOAT SENG SIM KI)
(Panji Hati Suci Matahari Bulan)
Karya: Khu Lung
Bagian ke 31: Majikan Muda
Malam sudah larut, di luar goa Si Bun Kauw itu tampak Pek Giok Liong sedang berlatih Thian Liong Pat Ciu yang diajarkan Si Bun Kauw. Walau cuma tiga hari, Pek Giok Liong sudah dapat menguasai ilmu itu dengan baik, itu sungguh di luar dugaan siapa pun.
Betapa gembiranya Si Bun Kauw yang duduk menyaksikannya, wajahnya berseri-seri.
"Tidak lewat tiga tahun, anak itu pasti menjadi pendekar nomor satu di rimba persilatan ….." batinnya.
Mendadak sosok bayangan melayang turun di hadapan Si Bun Kauw. Sosok bayangan itu ternyata seorang nenek berusia delapan puluh lebih, tangannya menggenggam sebatang tongkat.
Begitu melihat nenek itu, Si Bun Kauw segera bangkit berdiri, dan sekaligus menjura hormat.
"Oh, Ku nai-nai! Kok sudah larut malam masih ke mari? Ada sesuatu yang menarik perhatianmu?" tanya Si Bun Kauw sambil tertawa.
"Kenapa?" Ku nai-nai (Nenek Ku) melotot. "Lo sin (perempuan tua) tidak boleh ke mari?"
"Eh? Jangan marah-marah Nenek Ku!" Si Bun Kauw masih tertawa. "Aku tidak bermaksud melarang Ku nai-nai ke mari ….."
"Kalau begitu, apa maksudmu?"
"Tiada bermaksud apa-apa." Si Bun Kauw tertawa gelak. "Cuma merasa heran. Sebab Nenek Ku datang tengah malam ….."
"Hmm!" dengus perempuan tua itu dingin. "Kenapa heran? Hatiku sangat kesal malam ini, maka keluar untuk jalan-jalan sebentar. Engkau mengerti?"
"Oh!" Si Bun Kauw mengangguk. "Aku mengerti."
Saat ini, Pek Giok Liong sudah berhenti berlatih, ia berdiri tegak di tempat.
Nenek Ku mengarah pada Pek Giok Lion lalu mendengus dingin seraya bertanya pada Si Bun Kauw.
"Dia muridmu?"
"Nenek bercanda!" Si Bun Kauw tertawa "Aku mana berani melanggar peraturan untuk menerima murid?"
"Yang dia latih tadi bukankah Thian Liong Pat Ciu kepandaian simpananmu?"
"Betul. Aku memang mengajarnya Thian Liong Pat Ciu, namun kami tiada hubungan guru dan murid."
"Kalau begitu, apa hubungan kalian?"
"Sebagai sahabat."
"Oh?" Nenek Ku melotot. "Siapa dia?"
"Namanya Hek Siau Liong."
Perempuan tua tampak tertegun dan di luar dugaan.
"Dia bernama Hek Siau Liong?"
"Betul." Si Bun Kauw mengangguk. "Nenek kenal dia?"
Nenek Ku tidak menjawab, hanya menatap Pek Giok Liong dengan tajam.
"Nak! Ke mari sebentar!" panggilnya.
Pek Giok Liong segera menghampininya, lalu memberi hormat.
"Boan pwe memberi hormat pada Nenek!" Nenek Ku terus-menerus menatap Pek Giok Liong, lalu manggut-manggut.
"Persis seperti ayahnya. Nak, bagaimana kabarnya kedua orang tuamu?"
Ditanya demikian, wajah Pek Giok Liong langsung berubah murung.
"Kedua orang tua boan pwe sudah meninggal ….."
"Apa? Kok meninggal?"
"Terbunuh oleh penjahat."
"Oh?" Nenek Ku mengerutkan kening. "Siapa pembunuh itu?"
"Mungkin Pat Tay Hiong Jin."
"Mungkin? Jadi engkau belum begitu jelas?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Masih harus diselidiki."
"Ngmm!" Perempuan tua itu manggut-manggut.
"Nenek kenal kedua orang tua boan pwe?" tanya Pek Giok Liong sambil menantapnya.
Nenek Ku tersenyum lembut.
"Nak, ayahmu bernama Hek Cian Li. Ya, kan?"
"Nenek, kau telah salah mengenali orang, almarhum bukan bernama Hek Cian Li." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Oh?" Nenek Ku tertegun. "Nak, almarhum bernama siapa?"
"Almarhun bernama ….." Tiba-tiba Pek Giok Liong teringat sesuatu. "Hek Mang Ciok."
Sekelebatan sepasang mata perempuan tua itu tampak bersinar.
"Nak, di mana rumahmu?" tanyanya lagi.
"San Si Ciok Lau."
"Kota Ciok Lau atau Ciok Lau San?"
"Di dalam Kota Ciok Lau."
"Oooh!" Nenek Ku tersenyum. "Nak, aku ingin bertanya, disebelah timur Kota Ciok Lau terdapat Ciok Lau San Cung, engkau mengetahuinya?"
Pek Giok Liong tersentak, ia manggut-manggut.
"Boan pwe pernah mendengarnya."
"Engkau tahu cung cu itu marga apa?"
"Marga Pek."
"Nak!" Nenek Ku menatapnya tajam. "Betulkah engkau marga Hek?"
Pek Giok Liong terkejut ditanya demikian, namun kemudian balik bertanya.
"Nenek tidak percaya?"
"Kalau dugaanku tidak salah, engkau adalah siau cung cu dari Ciok Lau San Cung itu! Ya, kan?"
Air muka Pek Giok Liong langsung berubah.
"Nek ….."
"Pek Giok Liong, engkau berani tidak mengaku?!" bentak Nenek Ku dengan suara dalam.
"Nek, Kenapa boan pwe tidak berani mengaku?" Sepasang alis Pek Giok Liong terangkat tinggi.
"Kalau begitu ….." Wajah perempuan tua itu tampak berseri. "Engkau telah mengaku?"
"Ya. Boan pwe mengaku. Boan pwe memang Pek Giok Liong, siau cung cu dari Ciok Lau San Cung di San Si."
"He he he!" Nenek Ku tertawa gembina. "Nak, ini barulah anak jantan ….."
Mendadak Nenek Ku berkelebat pengi. Sungguh aneh perempuan tua itu, datang dan pergi begitu mendadak.
Tentunya membuat Pek Giok Liong tenmangu-mangu di tempat, lama sekali barulah ia mengarah pada Si Bun Kauw.
"Si Bun lo koko, apa gerangan yang terjadi?" tanyanya heran.
Si Bun Kauw menggeleng-geleng kepala.
"Aku sungguh tidak mengenti, tapi nenek peot itu memang aneh sifatnya. Sulit didekati dan sering marah-marah tidak karuan."
"Dia pergi begitu saja, tidak akan ada suatu masalah?", tanya Pek Giok Liong dengan kening berkerut.
"Tidak usah khawatir!" Si Bun Kauw tertawa. "Tentunya tidak akan ada masalah apa pun."
*
* *
Di dalam Istana Pelangi, siau kiong cu Se Pit Han duduk dekat jendela di lantai atas, tampak Giok Cing dan Giok Ling berdiri di belakangnya.
Mendadak sosok bayangan melayang turun di hadapan mereka, ternyata adalah Nenek Ku.
"Nek!" tanya Se Pit Han cepat. "Bagaimana?"
"Beres," sahut Nenek Ku sambil tersenyum.
"Beres bagaimana?" tanya Se Pit Han bernada tegang. "Katakan! Jangan sok mahal!"
"Dia sudah mengaku."
"Oh?" Se Pit Han tampak girang sekali. "Cara bagaimana dia mengaku?"
"Sesuai dengan dugaan Siau kiong cu." Nenek Ku tertawa. "Begitu dipanasi hatinya, dia pun langsung mengaku dirinya adalah siau cung cu dari Ciok Lau San Cung bernama Pek Giok Liong."
"Bagus!" Wajah Se Pit Han berseri. "Ketika Nenek sampai di sana, dia sedang berbuat apa?"
"Sedang berlatih Thian Liong Pat Ciu yang diajarkan Si Bun Kauw."
"Bagaimana latihannya?" tanya Se Pit Han penuh perhatian.
"Sungguh di luar dugaan, dia telah menguasai jurus-jurus Thian Liong Pat Ciu itu dengan baik, yang kurang hanya tenaga dalamnya."
"Oh? Sungguhkah begitu cepat kemajuannya?" Se Pit Han kurang percaya.
"Sungguh." Nenek Ku mengangguk. "Oleh karena itu, besok Siau kiong cu sudah boleh memerintah cung koan mengajarnya Toh Thian Sam Ciang dan Hui Hun Phiau Su ginkang itu!"
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Lalu bagaimana dengan ilmu tongkat Nenek itu?"
"He he he!" Nenek Ku tertawa. "Tentunya harus diwariskan juga padanya!"
"Terimakasih, Nek!" ucap Se Pit Han sambil tertawa gembira.
"Eh? Kenapa Siau kiong cu begitu gembira? Wuah! Jangan-jangan ….."
"Nek!" Se Pit Han cemberut dengan wajah kemerah-merahan.
*
* *
Dua bulan kemudian, dibawah pengaturan Se Pit Han, Pek Giok Liong telah menguasai ilmu-ilmu andalan Si Bun Kauw, Houw Kian Guan, Bu sian seng, Liok Sun To, Sioh Hu To, Ku nai-nai dan Se Khi. Namun yang kurang adalah tenaga dalamnya. Maklum, usia Pek Giok Liong masih kecil, maka tenaga dalamnya pun masih dangkal.
Ketika hari sudah malam, di saat Pek Giok Liong sedang berlatih di luar goa, tiba-tiba muncul beberapa orang dengan langkah ringan, tak lama sudah berada di hadapan Pek Giok Liong.
Salah seorang adalah pemuda yang memakai jubah kuning, sepasang matanya menyorot tajam menatap Pek Giok Liong.
Sementara Pek Giok Liong sudah berhenti berlatih, ia pun membalas menatap pemuda itu dengan tajam pula.
"Siapa engkau?" tanya pemuda itu setengah membentak.
Sepasang alis Pek Giok Liong tampak bergerak, kemudian mendengus dingin tanpa menyahut.
"Engkau bisu ya?" Pemuda itu tampak tidak senang.
"Engkau sendiri yang bisu!" sahut Pek Giok Liong ketus.
"Bocah!" Pemuda itu melotot. "Kalau bicara, sopanlah sedikit!"
Pek Giok Liong tertawa dingin, lalu sahutnya dingin pula.
"Kalau tidak sopan kenapa?"
"Hei! Tahukah engkau tempat apa ini?"
"Tentu tahu!" sahut Pek Giok Liong. "Cai Hang To."
"Kalau sudah tahu, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaan siau tocu?" Pemuda itu menatap Pek Giok Liong dengan sikap angkuh.
Hati Pek Giok Liong tergetar, ia tidak menyangka bahwa pemuda itu majikan muda Pulau Pelangi ini.
"Oh! Ternyata engkau adalah siau tocu, maaf, aku kurang hormat padamu!" ucap Pek Giok Liong.
"Jangan banyak omong kosong!" Tandas muda itu. "Cepat jawab pertanyaanku tadi!"
"Eh? Aku harus menjawab apa?"
"Engkau siapa?"
"Namaku Hek Siau Liong!"
"Mau apa engkau datang di pulau ini?"
"Menengok teman!"
"Siapa temanmu itu?"
"Si Bun Kauw!"
"Benarkah kalian teman?"
"Engkau tidak percaya?"
"Di mana Si Bun Kauw? Aku ingin bertanya padanya!"
"Maaf! Dia tidak berada di tempat!"
Pek Giok Liong memang bersifat angkuh, sudah tahu bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya itu siau tocu namun ia justru tidak menghormatinya, karena sikap tocu itu sangat jumawa.
"Dia ke mana?" tanya pemuda itu ketus.
"Engkau bertanya padaku lalu aku harus bertanya pada siapa?" sahut Pek Giok Liong dingin.
"Apa?!" Wajah pemuda itu berubah dingin. "Engkau tidak mau beritahukan?"
"Aku tidak tahu, bagaimana memberitahukan?"
"Hm!" dengus pemuda itu. "Aku tidak percaya bahwa engkau tidak tahu!"
"Itu terserah! Yang jelas aku tidak mengetahuinya," ujar Pek Giok Liong dan menambahkan, "Dia tidak meninggalkan pulau ini, engkau boleh mengutus seseorang pergi mencarinya!"
"Itu sudah tentu!" sahut pemuda itu. "Bahkan harus menghukumnya!"
Pek Giok Liong tersentak mendengar ucapan itu.
"Dia salah apa? Kenapa harus dihukum?" tanyanya dengan nada tidak senang.
"Eh?" Pemuda itu menatapnya dingin. "Ini peraturan di sini, sedangkan secara pribadi dia telah berani menampung orang luar di pulau ini. Itu kesalahannya, maka ia harus dihukum!"
"Aku ingin bertanya, apakah pulau ini milik pribadi keluargamu?" tanya Pek Giok Liong dengan kening berkerut.
"Pulau ini memang bukan milik pribadi, namun sudah beberapa turunan tinggal di pulau ini, lagi pula sudah ada peraturan berlaku dari dulu!"
"Itu peraturan yang keterlaluan!"
"Oh? Hek Siau Liong, ini adalah peraturan di sini! Tiada kaitannya dengan dirimu, tahu?"
"Urusan di kolong langit, justru harus diurusi oleh orang di kolong langit pula! Engkau mengerti?"
"Oh, ya?" Pemuda itu tertawa hambar. "Engkau percaya dirimu mampu mengurusi urusan di pulau ini?"
"Aku tidak percaya, kalau urusan di kolong langit tidak bisa diurusi." tegas Pek Giok Liong.
"Justru engkau tidak mampu mengurusinya!" Pemuda itu tertawa.
Tidak salah dan memang nyata! Pek Giok Liong pun tahu akan hal itu, maka kemudian ujarnya dingin.
"Kelak aku pasti punya kemampuan itu!"
"Kelak?" Pemuda itu tertawa lagi. "Kapan?"
"Paling juga cuma setengah tahun!"
"Engkau yakin?"
"Yakin!"
Pemuda itu tertawa ringan, lalu ujarnya dengan mata bersinar-sinar.
"Kalau begitu, lebih baik dibicarakan kelak saja!"
"Baik!" Pek Giok Liong mengangguk.
"Ohya!" Pemuda itu menatapnya tajam. "Aku ingin bertanya, engkau datang di pulau ini mempunyai maksud tujuan apa?"
"Bukankah aku tadi telah memberitahukan? Kok masih bertanya?" sahut Pek Giok Liong dingin.
"Hm!" dengus pemuda itu. "Aku tidak percaya kalau engkau tidak punya maksud tujuan lain!"
"Percaya atau tidak, terserah engkau!"
"Hek Siau Liong!" Pemuda itu menudingnya. "Engkau berani bersikap angkuh di hadapanku?"
"Kenapa tidak?"
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak berani berterus terang mengenai maksud tujuanmu?"
Mendadak Pek Giok Liong tertawa ringan, setelah itu balik bertanya.
"Engkau pikir aku punya maksud tujuan apa?"
"Aku tidak suka menerka, lebih baik engkau yang bilang!"
"Kenapa tidak mau coba menerkanya?" Pek Giok Liong tertawa hambar.
"Aku tidak tertarik akan itu!" sahut pemuda itu singkat. "Ayoh, cepat katakan!"
"Engkau tidak tertarik, aku tidak berniat mengatakan!"
"Apa?!" Pemuda itu melotot. "Engkau menghendaki aku menerka?"
"Telah kukatakan dengan jelas, apakah engkau tidak mendengarnya?" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Mau menerka atau tidak, terserah!"
"Bagaimana seandainya aku dapat menerka dengan jitu?" tanya pemuda itu mendadak.
"Kalau engkau dapat menerka dengan jitu ya sudahlah! Tentunya aku tidak akan menggelengkan kepala!"
"Oh?" Pemuda itu tertawa ringan. "Kalau begitu, engkau telah mengaku?"
Tertegun Pek Giok Liong, seketika juga ia mengerti ucapan pemuda itu dan tahu bahwa dirinya telah terpedaya. Sungguh cerdik siau tocu itu! Ujarnya dalam hati.
"Aku telah mengaku apa?"
"Mengaku punya maksud tujuan lain."
"Aku tidak mengaku apa pun!" Pek Giok Liong menggeleng kepala. "Lagi pula itu tidak perlu, maka engkau jangan sok pintar!"
"Kalau begitu ….." Pemuda itu tersenyum. "Aku yang keliru kan?"
"Keliru atau tidak, engkau tahu dalam hati! Saya tidak perlu mengatakannya!" sahut Pek Giok Liong.
"Hek Siau Liong!" Pemuda itu menatapnya tajam dan wajahnya pun berubah serius. "Engkau datang di pulau ini dengan maksud tujuan belajar bu kang yang tiada taranya di pulau ini, kan?"
Pek Giok Liong tersentak, namun kemudian mengangguk.
"Benar, itu maksud tujuan semula, tapi kini pikiran ku telah berubah."
"Tidak mau belajar lagi?" Pemuda itu tampak tercengang.
"Ya!" Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memang tidak mau belajar lagi!"
"Oh?" Pemuda itu terperangah. "Kenapa?"
"Engkau setuju aku belajar, lalu menjadi anak buahmu?" tanya Pek Giok Liong sambil menatapnya.
Pemuda itu menggelengkan kepala.
"Aku tidak bermaksud begitu!" ujarnya.
"Walau engkau tidak bermaksud begitu, lebih baik aku tidak belajar, maka engkau pun tidak perlu banyak bertanya!"
"Emmh!" Pemuda itu manggut-manggut. "Aku justru ingin tahu, kenapa pikiranmu bisa berubah mendadak? Itu karena apa?"
"Alasanku sangat sederhana sekali. Aku merasa Cai Hong To, ini tidak sesuai dengan apa yang ku bayangkan!"
"Apa maksudmu?"
"Kalau aku belajar bu kang Pulau Pelangi ini, otomatis aku terikat peraturan yang berlaku di sini. Nah, engkau mengerti?"
"Oh?" Pemuda itu tertawa, lalu mendadak mengalihkan pembicaraan. "Hek Siau Liong, aku mulai terkesan baik padamu!"
"Terimakasih!" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Tapi ….."
"Kenapa?"
"Sebaliknya aku terkesan buruk padamu!"
"Oh, ya?" Pemuda itu tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, itu sungguh mengherankan. "Kalau begitu, aku pun semakin terkesan baik padamu!"
"Eh?" Pek Giok Liong bingung. "Ada alasan tertentu?"
Pemuda itu manggut-manggut.
"Ada. Walau alasan itu sangat aneh, namun cukup masuk akal." ujar pemuda itu sambil tersenyum.
"Maukah engkau beritahukan alasan yang aneh itu?"
"Tentu mau!" Pemuda itu menatapnya. "Karena engkau lain dari yang lain."
"Lain dari yang lain?" Pek Giok Liong terbelalak. "Aku tidak mengerti maksudmu!"
"Banyak orang setelah mengetahui diriku adalah siau tocu, mereka pun sangat menghormatiku, bahkan berusaha mengangkat-angkat diriku pula. Sebaliknya engkau tidak begitu, oleh karena itu, aku katakan engkau lain dari yang lain!"
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, sekilas sepasang matanya tampak bersinar, namun tertawa hambar. "Ternyata begitu, aku harus berterimakasih atas kesan baikmu pada diriku!"
"Karena itu, akupun bersedia bersahabat denganmu," ujar pemuda itu sungguh-sungguh. "Bahkan ….. aku akan mengabulkan satu permintaanmu."
"Oh?" Pek Giok Liong merasa heran.
"Engkau punya permintan apa?" tanya siau tocu.
"Aku memang punya satu permintaan, tapi tidak akan mengajukannya berdasarkan persahabatan!"
"Lalu engkau ingin mengajukan berdasarkan apa?"
"Seharusnya engkau bertanya dulu padaku!"
"Eh?" siau tocu itu tercengang. "Apa yang harus kutanyakan?"
"Bertanya padaku apakah aku bersedia menjadi temanmu? Engkau harus bertanya demikian padaku!"
"Hah?" siau tocu itu tertegun. "Jadi engkau tidak bersedia menjadi temanku?"
"Bukan tidak bersedia, melainkan ….." Lanjut Pek Giok Liong kemudian. "Kita baru berkenalan, mau menjadi teman mungkin terlampau cepat."
"Oh?" siau tocu itu mengerutkan kening. "Engkau ingin mengetes diriku dengan waktu untuk mengetahui apakah aku berharga menjadi temanmu kan?"
"Apakah tidak harus begitu?" tanya Pek Giok Liong hambar.
"Harus! Itu memang harus!" siau tocu itu manggut-manggut sambil melanjutkan ucapannya dan tersenyum. "Saya setulus hati ingin berteman denganmu, walau engkau ingin mengetes diriku dengan waktu. Kini kita belum jadi teman, namun aku tetap mengabulkan permintaanmu."
"Kalau begitu ….." Pek Giok Liong menjura. "Sebelumnya aku mengucapkan terimakasih padamu!"
"Tidak usah sungkan-sungkan!" Siau tocu balas menjura: "Katakan apa permintaanmu."
"Permintaanku yakni janganlah engkau menghukum Si Bun Kauw. Bagaimana? Engkau mengabulkan?"
"Aku mengabulkan permintaanmu itu," Siau tocu mengangguk.
"Terimakasih!" ucap Pek Giok Liong setulus hati.
"Hek Siau Liong!" siau tocu menatapnya. "Aku merasa sayang sekali."
"Engkau merasa sayang sekali?" Pek Giok Liong tertegun. "Memangnya kenapa? Bolehkah engkau menjelaskan?"
"Engkau telah membuang suatu kesempatan emas!" Siau tocu menggeleng-gelengkan kepala.
"Kesempatan emas apa?" Heran Pek Giok Liong.
"Tidak seharusnya engkau mengajukan permintaan yang tak berarti itu," jawab siau tocu memberitahukan.
"Kalau begitu, aku mohon tanya! Aku harus mengajukan permintaan apa yang berarti?"
"Engkau harus meminta suatu kepandaian tingkat tinggi yang luar biasa, itu baru berarti."
Pek Giok Liong tertawa terbahak-bahak, tentunya membuat siau tocu itu terheran-heran.
"Kenapa engkau tertawa?" tanyanya.
"Engkau harus tahu," jawab Pek Giok Liong serius. "Itu adalah pemikiranmu, namun bagiku lebih penting bermohon pengampunan untuk Si Bun Kauw dari pada bermohon suatu kepandaian tinggi untuk diriku."
"Apakah masih ada alasan lain?"
"Ada."
"Katakan!"
"Solider."
"Bagus!" Siau tocu itu menatap Pek Giok Liong dengan mata berbinar-binar. "Engkau memang lain dari yang lain, bahkan berbudi luhur. Aku kagum padamu."
"Terimakasih atas pujianmu!"
"Hek Siau Liong, maukah engkau menetap sementara di dalam Istana Pelangi?" tanya siau tocu mendadak.
"Tidak." Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Maaf, kalau tiada urusan lain, aku mau pergi."
"Apa?" Siau tocu melongo. "Kenapa engkau terburu-buru pergi?"
"Masih banyak urusan yang harus kubereskan."
"Oh?" Siau tocu tertawa. "Seandainya aku melarangmu pergi?"
"Melarangku pergi?" Pek Giok Liong mengerutkan alisnya. "Engkau ingin menahan aku di sini?"
"Menahanmu di dalam Istana Pelangi sebagai tamu. Pertimbangkan, mau atau tidak bersahabat denganku?"
"Maaf, tiada waktu bagiku!" tolak Pek Giok Liong.
"Kalau begitu …..," siau tocu menatapnya dalam-dalam. "Engkau pasti mau pergi?"
"Lain kali kalau ada waktu, aku pasti ke mari merepotkanmu."
"Hek Siau Liong!" Siau tocu tertawa dingin. "Apakah engkau tidak punya nyali untuk menetap sementara di dalam Istana Pelangi?"
"Tidak punya nyali?" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Engkau jangan memandang rendah diriku!"
"Kalau begitu kenapa engkau tidak berani bertamu di Istana Pelangi? Itu pertanda engkau tidak punya nyali."
"Sudah kukatakan tadi, masih banyak urusan yang harus kubereskan. Maka aku tiada waktu untuk bertamu di Istana Pelangi."
"Yang jelas ….." Siau tocu tersenyum dingin. "Engkau tidak punya nyali, penakut, pengecut!"
"Apa?!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Engkau tidak perlu memanasi hatiku ….."
"Aku tidak memanasi hatimu, nyatanya memang engkau tidak punya nyali," potong Siau tocu cepat.
"Baiklah. Aku akan bertamu tiga hari di Istana Pelangi!"
"Bagus." Siau tocu tertawa. "Mari ikut aku ke Istana!"
"Maaf!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Saat ini aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Silakan siau tocu kembali ke istana dulu! Setelah Si Bun lo koko ke mari, aku pasti menyusulmu ke istana."
"Engkau tidak ingkar janji kan?"
"Jangan khawatir! Aku bukan orang yang suka ingkar janji."
"Baiklah." Siau tocu manggut-manggut. "Aku menunggumu di istana."
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar