Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 26 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 27 dan 28

sambungan ...


Bagian ke 27: Pertarungan Sengit
Setelah menutup kembali pintu rahasia itu, Kian Kun Ie Siu pun meninggalkan ruang sembahyang tersebut dengan hati berat.
Kian Kun Ie Siu duduk bersila dalam ruang goa, ia yakin sebentar lagi pintu goa itu akan terbuka, karena mendengar suara hiruk pikuk di luar.
Braaaak! Blaaam! Pintu goa itu roboh.
Berselang sesaat, tampak Cit Ciat Sin Kun beserta empat pengawal pribadinya berjalan memasuki goa, kemudian menyusul lagi Hui Eng Cap Ji Kiam.
"He he he!" Cit Ciat Sin Kun tertawa. "Hei, Kian Kun, bagaimana keputusanmu sekarang?"
"Sin Kun, silakan duduk!" ucap Kian Kun Ie Siu.
"Kian Kun, aku datang bukan untuk bertamu! Maka engkau tidak perlu berbasa-basi!" bentak Cit Ciat Sin Kun.
"Itu tidak salah." Kian Kun Ie Siu tersenyum, orang tua buta itu tampak tenang sekali. "Silakan duduk dan mari kita bercakap-cakap!"
"Oh?" Cit Ciat Sin Kun menatapnya tajam. "Engkau jangan coba macam-macam!"
"Aku macam-macam?" Kian Kun Ie Siu tertawa. "Sin Kun, engkau takut?"
"Takut?" Cit Ciat Sin Kun tertawa licik. "Takut padamu yang telah buta itu? He he he!"
"Kalau engkau tidak takut, kenapa tidak berani duduk?"
"Kita adalah musuh, tentunya aku harus berhati-hati, agar tidak terjebak."
"Sin Kun!" Kian Kun Ie Siu tersenyum. "Aku tidak pernah menjebak siapa pun, tidak seperti dirimu yang sangat licik!"
"Dalam situasi ini, memang harus bertindak licik. Maka aku tidak percaya engkau tidak menjebak diriku!"
"Kenapa engkau berpikir begitu?"
"Karena aku harus waspada!"
"Oh? Huaha ha ha!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak. "Sin Kun, engkau terlampau curiga!"
"Lebih baik aku curiga dari pada mempercayaimu!" sahut Cit Ciat Sin Kun, iblis pencabut nyawa itu pun tertawa. "Kian Kun, bagaimana dengan Jit Goat Seng Sim Ki itu?"
"Engkau harus tahu, aku pemegang panji tersebut, maka….. aku pun tidak akan bertindak licik terhadapmu. Nah, duduklah dan mari kita bercakap-cakap sejenak!"
"Baiklah!" sahut Cit Ciat Sin Kun setelah berpikir sejenak. "Tapi aku mau memperingatkanmu."
"Mau peringatkan apa?"
"Engkau harus duduk diam." Suara Cit Ciat Sin Kun bernada dingin. "Apabila engkau bergerak sembarangan, nyawamu pasti melayang!"
Kian Kun Ie Siu tertawa hambar, ancaman itu seakan tidak masuk ke telinganya.
"Aku tahu, engkau memiliki Pit Lek Yam Hua Tang (Geledek api), siapa yang terkena geledek api itu, pasti mati hangus berkeping-keping."
"He he he! Bagus engkau tahu!" Cit Ciat Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh, kemudian memberi isyarat pada empat pengawal pribadinya.
Keempat pengawal pribadinya mengangguk, sekaligus mengurung Kian Kun Ie Siu. Kemudian masing-masing pengawal itu mengeluarkan sebatang besi yang berisi semacam obat peledak.
Itu adalah Pit Lek Yam Hua Tang. Pada batang besi itu terdapat sebuah tombol kecil, yang apabila ditekan akan menyembur keluar bunga-bunga api. Begitu kena tubuh orang, bunga-bunga api itu pun meledak menghancurkan. Sementara Kian Kun Ie Siu masih tetap duduk bersila dengan tenang.
"Bagaimana? Sudah bereskah mengatur orang-orangmu?" tanya Kian Kun Ie Siu sambil tertawa.
"He he he!" Cit Ciat Sin Kun tertawa licik. "Sudah beres, empat batang Pit Lek Yam Hua Tang mengarah pada tubuhmu."
"Oooh!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Baguslah begitu!"
"Memang bagus!"
"Ohya! Di mana anak angkatmu dan Hui Eng Cap Ji Kiam?"
"Mereka menjaga di luar!" sahut Cit Ciat Sin Kun dan bertanya. "Cucumu dan anjing kecil itu pergi ke mana?"
"Ada apa Sin Kun menanyakan mereka berdua?"
"Karena aku tidak melihat mereka, maka aku jadi khawatir, apakah mereka baik-baik saja?"
"Terimakasih atas perhatian Sin Kun!" Kian Kun Ie Siu tersenyum. "Mereka baik-baik saja."
"Berada di mana mereka sekarang?"
"Mereka berada di mana, nanti akan kuberitahukan?"
"Kenapa tidak mau memberitahukan sekarang?" Cit Ciat Sin Kun menatapnya. "Itu agar aku tidak mengkhawatirkan mereka!"
"Engkau tidak usah mengkhawatirkan mereka." Kian Kun Ie Siu tertawa. "Lebih baik membicarakan masalah pokok saja."
"Kau anggap masih perlu membicarakan masalah pokok?" sahut Cit Ciat Sin Kun sambil tertawa gelak.
"Oh? Engkau telah berubah pikiran?"
"Sama sekali tidak."
"Kalau begitu, kenapa tidak perlu membicarakan masalah pokok?"
"He he!" Cit Ciat Sin Kun tertawa licik. "Engkau tidak berpikir akan situasimu sekarang?"
"Maksudmu aku sudah berada di tanganmu?"
"Apakah tidak?"
"Emmh!" Kian Kun Ie Siu tersenyum. "Memang begitu, tapi aku yakin engkau masih tidak berani bertindak apa-apa!"
"Sin Kun, tentunya engkau tidak akan lupa apa yang telah kukatakan tadi!"
"Maksudmu geledek api itu?"
"Hm!" dengus Cit Ciat Sin Kun. "Kalau aku memberi isyarat, engkau pasti mati hangus berkeping-keping!"
"Oh, ya?" Kian Kun Ie Siu tertawa hambar. "Engkau tidak usah menakuti diriku!"
"Kau anggap aku takut?"
"Untuk sementara ini, aku yakin engkau masih belum mau membunuhku!"
"Kenapa engkau beranggapan begitu?"
"Engkau tahu dalam hati!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak. "Bahkan juga tidak berani membunuhku!"
"Jelaskan!" bentak Cit Ciat Sin Kun. "Kenapa engkau mengatakan aku tidak berani membunuhmu?"
"Kalau membunuhku, engkau pun tidak akan memperoleh Panji Hati Suci Matahari Bulan!"
"Di mana panji itu sekarang?" tanya Cit Ciat Sin Kun cepat. "Cepat katakan!"
"Berada di suatu tempat yang amat rahasia!"
"Engkau tidak mau bilang?"
"Ha ha!" Kian Kun Ie Siu tertawa. "Kalau aku mau bilang, dari tadi sudah kubilang!"
"Katakan sekarang!"
Kian Kun Ie Siu diam saja.
"Asal engkau bersedia beritahukan….." lanjut Cit Ciat Sin Kun. "Setelah aku mendapat panji itu, tentunya ada manfaatnya bagimu!"
"Bagaimana manfaatnya?"
"Aku mengundangmu ke istana untuk menikmati hidup yang tenang dan nyaman selama-lamanya!"
"Seandainya aku tidak bersedia memberitahukan?"
"Itu berarti engkau cari penyakit!"
"Kau mau membunuhku?"
"Tiada gunanya membunuhmu!" Cit Ciat Sin Kun tertawa dingin. "Aku ingin menangkapmu hidup-hidup, lalu menyiksamu secara perlahan-lahan!"
Kian Kun Ie Siu tersentak mendengar ucapan itu.
''Bisakah engkau menangkapku hidup-hidup?" tanyanya.
"He he he!" Cit Ciat Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh. "Aku sudah melihat dengan jelas, engkau mengidap penyakit berat, ditambah lagi tadi bertarung di luar, itu sangat menguras hawa murnimu! Oleh karena itu, dalam sepuluh jurus aku pasti mampu menangkapmu!"
Kian Kun Ie Siu terkejut, sungguh tajam mata iblis pencabut nyawa itu, bahkan juga amat licik dan lihay.
"Tua bangka!" bentak Cit Ciat Sin Kun. "Lebih balk engkau beritahukan di mana panji itu!"
Kian Kun Ie Siu berpikir sejenak. "Baiklah, akan kuberitahukan! Tapi panji itu tidak berada di sini, aku akan mengajak kalian pergi mengambilnya." ujarnya kemudian.
"Oh?" Cit Ciat Sin Kun tampak girang sekali. "Kau simpan di mana panji itu?"
"Pek Yun San (Bukit Awan Putih)."
"Pek Yun San?"
"Ya." Kian Kun Ie Siu mengangguk. "Di bukit itu terdapat sebuah goa yang amat rahasia. Kalau aku tidak menunjukkan jalan, tiada seorang pun tahu letak goa itu!"
"Kalau begitu….." ujar Cit Ciat Sin Kun setelah berpikir sejenak. "Ajak juga cucumu dan anjing kecil itu!"
"Tidak perlu mengajak mereka!"
Cit Ciat Sin Kun menatapnya. "Engkau akan membiarkan mereka tetap di sini?"
"Tidak salah!" Kian Kun Ie Siu mengangguk.
"Kenapa?" Cit Ciat Sin Kun mulai bercuriga.
"Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan mereka, maka alangkah baiknya mereka tetap di sini saja!"
"Engkau bisa berlega hati, apabila mereka ditinggal di sini?"
"Mereka sangat aman berada di sini, tentunya aku bisa berlega hati!"
"Tidak perlu memberitahukan pada mereka, bahwa engkau mau ke mana?"
"Itu tidak perlu!"
"Oh ?" Cit Ciat Sin Kun tertawa. "Aku ingin bertemu bocah marga Pek itu. Suruh dia ke mari sebentar!"
"Ada urusan apa engkau mau bertemu dia?"
"Ingin bicara beberapa patah kata dengannya."
"Dia masih bocah, kau mau bicara apa dengan dia?"
"Dia bocah luar biasa." Cit Ciat Sin Kun tertawa. "Tentunya engkau mengerti kan?"
"Aku justru tidak mengerti!"
"Huaha ha ha!" Cit Ciat Sin Kun tertawa gelak. "Tua bangka buta, sudah ketahuan!"
Diam-diam Kian Kun Ie Siu tersentak dalam hati, namun wajahnya masih tampak tenang.
"Ketahuan apa?"
"Hmm!" dengus Cit Ciat Sin Kun dingin "Engkau masih berpura-pura, tua bangka buta?"
"Aku sungguh tidak mengerti!"
"Cucumu dan bocah marga Pek itu berada di mana sekarang?"
Kian Kun Ie Siu tidak menyahut, melainkar ujarnya mengalihkan pembicaraan yang semula.
"Bagaimana? Aku harus segera mengajak kalian pergi mengambil Jit Goat Seng Sim Ki itu?"
"Kini aku malah berubah pikiran!"
"Tidak mau mengambil panji itu lagi?"
"He he!" Cit Ciat Sin Kun tertawa. "Tua bangka buta, bocah marga Pek itu berada di mana sekarang?"
"Aku sungguh tidak tahu!" Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening. "Kenapa engkau berkeras mau mencarinya?"
"Tua bangka buta, percuma engkau berpura-pura lagi! Aku sudah tahu akalmu itu!"
"Akal apa?"
"Engkau memang pandai berpura-pura, tapi…..." Cit Ciat Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh. "Sayang sekali.....!"
"Kenapa engkau katakan sayang sekali?"
"Akalmu ingin memancing kami agar meninggalkan tempat ini, namun aku sudah tahu akalmu itu!"
"Oh?"
"Aku yakin panji itu berada pada bocah marga Pek itu. Dia pasti bersembunyi di tempat rahasia dalam goa ini! Asal ketemu dia, pasti bisa memperoleh panji itu!"
Kian Kun Ie Siu diam saja, namun ia membatin. Saat ini Liong Ji dan Cing Ji mungkin sudah berada tiga puluhan li jauhnya......
"Tua bangka buta, kenapa diam saja?" tanya Cit Ciat Sin Kun sambil tertawa dingin.
"Aku mau bicara apa lagi?"
"Kalau begitu, dugaanku tidak meleset kan?"
"Benar!" Kian Kun Ie Siu mengangguk. "Tapi juga tidak benar!"
"Maksudmu?"
"Jit Goat Seng Sim Ki memang ada padanya, bahkan dia pemegang panji generasi kelima! Yang tidak benar…..."
"Apa yang tidak benar?"
"Dia tidak berada di dalam goa ini!"
"Oh?" Cit Ciat Sin Kun menatapnya. "Dia telah meninggalkan goa ini?"
"Tidak salah!" Kian Kun Ie Siu tersenyum. "Kini dia telah berada di tempat yang jauh, ratusan li dari sini!"
"Ha ha ha!" Cit Ciat Sin Kun tertawa gelak. "Kau kira aku akan percaya omong kosongmu itu?"
"Percaya atau tidak, itu terserah engkau!" Kian Kun Ie Siu tertawa dingin. "Yang jelas, dia telah berada di tempat yang jauh!"
Cit Ciat Sin Kun termangu beberapa saat lamanya, kemudian ia mengarah pada Hui Eng Cap Ji Kiam.
"Geledah!" serunya.
"Ya!" sahut Hui Eng Cap Ji Kiam serentak, lalu mulai menggeledah seluruh goa itu.
"Ha ha ha!" Kian Kun Ie Siu tertawa terbahak-bahak.
"Tua bangka buta, kenapa engkau tertawa?" tanya Cit Ciat Sin Kun dengan suara dalam.
"Sin Kun!" Kian Kun Ie Siu masih tertawa. "Aku mentertawakan Hui Eng Cap Ji Kiam itu!"
"Kenapa?"
"Mereka akan sia-sia menggeledah goa ini!"
Hati Cit Ciat Sin Kun tergerak, ia menatap Kian Kun Ie Siu tajam.
"Di dalam goa ini apakah masih terdapat jalan rahasia?" tanyanya.
"Bagaimana anggapanmu?" Kian Kun Ie Siu balik bertanya.
"Di mana jalan rahasia itu?" tanya Cit Ciat Sin Kun cepat.
"Iblis tua!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak. "Kau pikir aku akan memberitahukan?"
'Hmm!" dengus Cit Ciat Sin Kun dingin.
Hui Eng Cap Ji Kiam sudah usai menggeledah, pemimpin Hui Eng Cap Ji Kiam itu menghampiri Cit Ciat Sin Kun.
"Yang Mulia!" Pemimpin itu menjura. "Kami telah menggeledah seluruh goa ini, namun tiada orang lain bersembunyi di sini."
"Apakah kalian menemukan tempat rahasia?" tanya Cit Ciat Sin Kun.
"Ada sebuah ruang rahasia, tapi juga kosong," jawab pemimpin itu dengan hormat.
"Tidak menemukan jalan rahasia?':
"Tidak."
Cit Ciat Sin Kun berpikir lama sekali, setelah itu ia memberi perintah.
"Kalian harus memeriksa lebih teliti, apakah terdapat jalan rahasia?"
"Ya." Pemimpin itu memberi hormat, lalu menyuruh saudara-saudaranya memeriksa goa itu lagi.
Berselang beberapa saat kemudian, pemimpin Hui Eng Cap Ji Kiam itu balik menghadap Cit Ciat Sin Kun.
"Yang Mulia, di dalam goa ini tidak terdapat jalan rahasia." lapor pemimpin itu.
Cit Ciat Sin Kun mengerutkan kening, sepasang matanya menatap tajam pada Kian Kun Ie Siu.
"Tua bangka buta! Di mana jalan rahasia itu?"
Kian Kun Ie Siu diam, cuma tertawa dingin.
"Tua bangka buta! Engkau tidak dengar pertanyaanku?" bentak Cit Ciat Sin Kun gusar.
"Aku memang buta, tapi telingaku tidak tuli! Apa yang kau tanyakan, aku mendengar dengan jelas sekali!"
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak menjawab?"
"Kenapa aku harus menjawab?"
"Hmm!" dengus Cit Ciat Sin Kun dingin. "Tua bangka buta, engkau betul-betul ingin cari penyakit!"
"Mati pun aku tidak takut, apa lagi cuma sakit!"
"Oh? He he he!" Cit Ciat Sin Kun tertawa, kemudian bentaknya. "Tua bangka buta, engkau mau jalan sendiri ataukah harus kuseret?"
"Engkau ingin menyandera diriku?"
"Tidak salah!" Cit Ciat Sin Kun manggut-manggut. "Kecuali bocah marga Pek itu tidak punya nurani, maka akan membiarkanmu di sini!"
"Justru aku yang menyuruhnya pergi!" Kian Kun Ie Siu tersenyum. "Lagi pula engkau harus tahu, penyakitku sudah parah, aku cuma bisa hidup tiga hari…..."
"Itu tidak apa-apa! Aku punya obat mujarab untuk menyembuhkan penyakitmu itu, agar engkau bisa tetap hidup!"
"Terimakasih!" Ucap Kian Kun Ie Siu. "Namun biar bagaimana pun, engkau tidak bisa membawaku pergi!"
"Oh?" Cit Ciat Sin Kun tertawa gelak, kemudian memberi isyarat pada keempat pengawal pribadinya. "Tangkap dia, tapi jangan kalian lukai!"
"Ya." Keempat pengawal pribadi itu menyahut serentak, lalu selangkah demi selangkah mereka menghampiri orang tua buta itu.
Suasana mulai tegang mencekam, sedangkan Kian Kun Ie Siu mulai menghimpun tenaga dalamnya, untuk siap bertarung sampai nafas penghabisan.
"Hiyaaat!" Si Naga mulai menyerang dengan jurus Keng Thian Tong Ti (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi), jurus itu amat dahsyat.
Si Singa juga menyerang dengan jurus San Pang Ti Lak (Gunung Runtuh Bumi Retak), disertai dengan tenaga dalam yang hebat.
Kian Kun Ie Siu tidak diam lagi, ia segera bersiul panjang sekaligus melompat ke atas menghindari serangan-serangan itu, kemudian berputar-putar dan membalas menyerang dengan jurus Hok Mo Cam Yau (Menaklukkan Iblis Membunuh Siluman).
Si Naga dan Si Singa tidak menghindar. Mereka menangkis jurus itu dengan jurus Tok Liong Tam Jiau (Naga Beracun Menjulurkan Kuku) dan jurus Ngoh Sai Khim Yo (Singa Lapar Menerkam Kambing).
Bum! Terdengar benturan dahsyat.
Si Naga dan Si Singa mundur beberapa langkah, sedangkan Kian Kun Ie Siu terpental ke belakang. Belum juga orang tua buta itu berdiri, Si Harimau dan Si Macan tutul telah menyerangnya.
Kian Kun Ie Siu menarik nafas dalam-dalam, mengerahkan tenaga dalamnya sekaligus menangkis kedua serangan itu dengan salah satu jurus dari tiga jurus sakti pelindung panji.
Daar! Tenaga dalam beradu dengan tenaga dalam.
Si Harimau dan Si Macan tutul terpental. Sedangkan Kian Kun Ie Siu mundur beberapa langkah dengan wajah pucat pias, mulutnya telah mengeluarkan darah, kemudian jatuh duduk.
"Huaha ha ha!" Cit Ciat Sin Kun tertawa gelak. "Tua bangka buta! Bagaimana? Masih belum mau menyerah?"
"Iblis tua, aku pantang menyerah!" sahut Kian Kun Ie Siu dengan nafas memburu, keadaannya memang sudah payah sekali.
"Hmm!" dengus Cit Ciat Sin Kun dingin. "Engkau tidak kuat menahan setengah jurus dariku, lebih baik engkau menyerah saja!"
"Aku masih mampu membunuhmu, iblis tua!" sahut Kian Kun Ie Siu sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Mendadak diserangnya Cit Ciat Sin Kun dengan jurus-jurus sakti pelindung panji.
"He he he!" Cit Ciat Sin Kun tertawa gelak sambil mengibaskan ujung lengan jubahnya, itu adalah jurus Hwe Sau Ceng Kun (Menyapu Ribuan Prajurit).
Daaar! Kian Kun Ie Siu terpental membentur dinding goa, sedangkan Cit Ciat Sin Kun cuma termundur tiga langkah. Seandainya Kian Kun Ie Siu tidak mengidap penyakit, Cit Ciat Sin Kun pasti tidak berani menyambut serangannya.
"He he he!" Cit Ciat Sin Kun terkekeh-kekeh. Tua bangka buta, engkau yang cari penyakit!"
Kian Kun Ie Siu diam saja, ternyata ia telah menderita luka dalam yang sangat parah.
Mendadak Cit Ciat Sin Kun menggerakkan jemari tangannya ke arah Kian Kun Ie Siu, itu adalah Ilmu Peng Khong Tiam Hiat (Totok Darah Jarak Jauh).
Begitu terkena totokan itu, Kian Kun Ie Siu langsung tidak bisa bergerak sama sekali.
"Ha ha ha!" Cit Ciat Sin Kun tertawa gelak. "Bawa dia!"
*
* *
(Bersambung bagian 28)
Bagian ke 28: Pantai Laut Selatan
Pek Giok Liong menggandeng tangan Cing Ji sambil melangkah di jalan rahasia itu. Walau amat gelap, Pek Giok Liong bisa melihat secara jelas, sebab matanya telah terlatih sejak kecil.
Setelah melewati beberapa tikungan, di depan tampak ada sedikit cahaya menerobos ke dalam. Sayup-sayup terdengar juga suara arus air. Ternyata mereka telah mendekati ujung terowongan. Maka mereka mempercepat langkah masing-masing.
Begitu sampai di ujung terowongan, Pek Giok Liong pun memandang ke luar. Di luar tampak agak terang, kebetulan malam bulan purnama.
"Cing Ji, aku keluar duluan!"
"Kakak Liong, tunggu! Aku ikut!"
Pek Giok Liong terpaksa keluar bersama Cing Ji. Ternyata di tempat itu terdapat sebuah sungai. Cing Ji menengok ke sana ke mari, kemudian manggut-manggut.
"Oooh! Tempat ini!"
"Cing Ji, berapa jauh dari sini ke goa kakekmu itu?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Kira-kira sepuluh Ii."
"Hah?" Pek Giok Liong terkejut. "Begitu jauh?"
"Ya." Cing Ji mengangguk dan memberitahukan, "Kalau tidak melalui jalan rahasia, tidak gampang kita ke mari."
"Memangnya kenapa?"
"Kalau menempuh jalan biasa, kita harus melalui sebuah bukit, maka sulit mencapai tempat ini."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian mengerutkan kening dengan wajah tampak cemas. "Entah bagaimana keadaan guru?"
"Itu memang sangat mencemaskan." Cing Ji menarik nafas panjang.
"Adik Cing, mari kita kembali ke sana untuk melihat-lihat!" ajak Pek Giok Liong yang mencemaskan gurunya itu.
"Kak Liong!" Cing Ji menggelengkan kepala. "Tidak boleh."
"Kenapa?" Pek Giok Liong tertegun.
"Kakak Liong harus tahu, bahwa demi panji itu tidak terjatuh ke tangan iblis itu, maka kakek menyerahkan padamu. Lagi pula engkau harus melindungi panji itu, dan menghindar dari iblis itu. Maka kalau engkau kembali ke sana, bukankah mengantar diri ke mulut macan? Lagi pula engkau tidak menepati amanat guru."
"Tapi…..." Kening Pek Giok Liong berkerut-kerut. "Guru cuma seorang diri, bagaimana aku bisa tenang?"
"Percayalah!" potong Cing Ji. "Kakek masih bisa melindungi dirinya."
Bibir Pek Giok Liong bergerak, kelihatannya ingin mengatakan sesuatu, namun Cing Ji telah mendahuluinya.
"Kakak Liong, kakek seorang diri melawan mereka, itu memang sangat mencemaskan, namun kita harus memikirkan seluruh bu lim," ujar Cing Ji dan melanjutkan dengan suara rendah. "Menurutku Cit Ciat Sin Kun hanya ingin memperoleh Panji Hati Suci Matahari Bulan, maka sebelum memperoleh panji itu, dia tidak akan melukai kakek."
Apa yang dikatakan Cing Ji memang beralasan dan masuk akal, maka Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Adik Cing, kita harus ke mana sekarang?" tanyanya kemudian.
"Bukankah Kakak Liong mau ke Lam Hai?"
"Oh!" Mata Pek Giok Liong berbinar. "Maksudmu berangkat sekarang menuju ke Lam Hai?"
"Ya." Cing Ji mengangguk. "Berangkat sekarang akan memperoleh dua kebaikan."
"Oh, ya?" Pek Giok Liong heran.
"Pertama Kakak Liong bisa mengurusi urusan sendiri, bahkan sekaligus menghindari Cit Ciat Sin Kun. Nah, bukankah itu merupakan dua kebaikan bagimu?"
"Betul. Tapi…..." Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Bagaimana dengan guru? Apakah kita akan membiarkannya?"
"Kakak Liong, mampukah kita mengurusi itu?"
"Itu......" Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Percayalah Kakak Liong!" Cing Ji tersenyum. "Kakek tidak akan terjadi apa-apa atas dirinya. engkau tidak usah memikirkannya."
"Tapi…..."
"Kakak Liong, kenapa kakek menyuruh kita pergi melalui jalan rahasia itu?" Cing Ji menatapnya. "Dan kenapa kakek menyerahkan Jit Goat Seng Sim Ki padamu? Pikirlah Kak, jangan mengecewakan kakek!"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Yang penting sekarang, kita harus memburu waktu menuju Lam Hai, jangan sampai terkejar oleh para anak buah Cit Ciat Sin Kun."
"Benar." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Adik Cing, mari kita berangkat!"
*
* *
Di pantai Lam Hai, muncul seorang pemuda dan seorang gadis berusia lima belasan tahun. Siapa mereka itu? Tidak lain Pek Giok Liong dan Cing Ji.
Mereka berdiri di pantai Lam Hai sambil memandang ombak yang menderu-deru, keduanya tampak termangu. Berselang beberapa saat kemudian, Cing Ji mengarah pada Pek Giok Liong seraya bertanya,
"Kak Liong, bagaimana kita sekarang?"
Pek Giok Liong mengerutkan kening, "Kita harus cari kapal," jawabnya.
"Kalau tidak ada kapal?"
"Yah!" Pek Giok Liong menarik nafas. "Kita mengadu untung."
"Mengadu untung?" Cing Ji tercengang. "Maksud Kakak Liong?"
"Mudah-mudahan ada kapal! Kita sewa kapal itu dengan harga tinggi, agar pemiliknya mau menyewakan kapalnya pada kita."
"Kakak Liong, aku punya akal yang jitu," ujar Cing Ji sambil tersenyum manis.
"Akal apa?"
"Lebih baik kita membeli sebuah kapal saja."
"Beli sebuah kapal?"
"Ya. Bagaimana?"
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Itu memang baik, tapi......"
"Kenapa?"
"Kita mana punya uang sebanyak itu untuk membeli sebuah kapal?"
"Kakak Liong!" Cing Ji tersenyum serius. "Tentang ini aku punya akal, pokoknya beres."
"Adik Cing, kau punya akal apa?"
Cing Ji tertawa, kemudian melepaskan kalungnya dan diberikan pada Pek Giok Liong.
"Juallah kalung ini!" ujarnya.
Itu seuntai kalung emas berbandul sebuah mutiara yang bergemerlapan.
Pek Giok Liong tidak menerima kalung itu, melainkan menggelengkan kepala.
"Ini mana boleh?" katanya.
"Kenapa tidak boleh?"
"Adik Cing, kalau pun kalung ini dijual, belum tentu cukup untuk membeli sebuah kapal."
"Kakak Liong, tahukah kau mutiara apa ini?"
"Entahlah!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Apakah mutiara ini sangat berharga?"
"Kakek bilang, mutiara ini berharga di atas tiga ribu tael perak." Cing Ji memberitahukan.
"Oh?" Pek Giok Liong terkejut. "Mutiara apa itu, kok begitu berharga?"
"Kakek bilang, ini adalah Pit Hwe Cu (Mutiara anti api)."
"Oh?" Pek Giok Liong menatapnya, kemudian tanyanya serius. "Guru yang berikan kalung ini padamu?"
"Bukan." Cing Ji memberitahukan. "Ketika aku ulang tahun, ibu yang berikan padaku."
"Kalau begitu, kalung ini tidak boleh dijual," tegas Pek Giok Liong. "Harus disimpan baik-baik."
"Kenapa?"
"Itu barang kenangan dari almarhumah, maka biar bagaimanapun tidak boleh dijual."
"Aku mengerti, tapi…..."
"Adik Cing, kau tidak usah berkata apa lagi, aku mengerti dan sangat berterimakasih padamu. Namun aku tidak setuju kalau kalung itu dijual."
"Kakak Liong…..."
"Lagi pula percuma kita beli kapal."
"Kenapa?"
"Apakah engkau bisa mengayuh?"
"Tidak bisa."
Pek Giok Liong tersenyum.
"Aku pun tidak bisa. Lalu apa gunanya kita beli kapal?"
"Kakak Liong, bukankah kita bisa membayar seseorang untuk mengayuh? Aku yakin tidak sulit mencari seseorang yang pandai mengayuh."
"Adik Cing…..." Ketika Pek Giok Liong ingin mengatakan sesuatu, mendadak muncul seseorang, berpakaian seperti nelayan. Orang itu memandang mereka dan kemudian bertanya,
"Kalau tidak salah, kalian berdua membutuhkan kapal kan?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Dapatkah Saudara membantu kami?"
"Tuan Muda marga dan bernama siapa?" Orang itu balik bertanya.
"Siaute marga Hek, bernama Siau Liong." Pek Giok Liong menatapnya. "Bolehkah aku tahu nama toako?"
"Namaku Se Kua Hai." Orang itu menatap Cing Ji. "Nona kecil ini?"
"Dia adikku, namanya Siau Cing!"
"Oooh!" Se Kua Hai manggut-manggut.
"Saudara Se, sudikah kau membantu kami?" tanya Cing Ji.
"Sekarang belum bisa dipastikan," jawab Se Kua Hai sambil memandang Pek Giok Liong dengan penuh perhatian. "Tuan Muda membutuhkan kapal mau ke mana?"
"Mau cari sebuah pulau kecil."
"Pulau kecil apa?"
"Aku tidak tahu nama pulau kecil itu."
"Banyak pulau kecil di tengah laut, kalau tidak tahu nama pulau kecil itu, bagaimana mencarinya?"
"Aku memang tidak tahu nama pulau kecil tu, tapi setelah melihat bentuknya......"
"Ha ha!" Se Kua Hai tertawa. "Tuan Muda berkata sesungguhnya?"
"Mungkinkah Saudara bercuriga dan tidak percaya?" Kening Pek Giok Liong berkerut sambil menatapnya.
"Bercuriga sih tidak, namun…..." Se Kua Hai tersenyum. "Kelihatannya Tuan Muda tidak berkata sesungguhnya!"
"Saudara Se…..."
"Pulau kecil yang Tuan Muda tuju itu, aku sudah dapat menduganya."
"Oh?" Mata Pek Giok Liong tampak bersinar. "Menurut Saudara, aku mau menuju ke pulau yang mana?"
"Tuan Muda mau ke pulau…..." Se Kua Hai merendahkan suaranya. "…... Cai Hong To (Pulau Pelangi) kan?"
Pek Giok Liong tersentak, kemudian tertawa seraya berkata.
"Aku pun sudah tahu, bahwa Saudara bukan seorang nelayan biasa." Pek Giok Liong menatapnya. "Saudara Se, bersediakah kau membantu kami?"
"Tuan Muda percaya adanya Pulau Pelangi itu?" tanya Se Kua Hai mendadak.
"Itu memang seperti pulau khayalan, sulit dipercaya. Tapi aku yakin pulau itu ada."
"Oh? Apa alasan Tuan Muda?"
"Tiada angin pasti tiada ombak, kang ouw yang memberitakan itu, tentunya tidak hanya merupakan dongeng."
"Oh, ya?"
"Lagi pula…..." Pek Giok Liong memandangnya sambil tersenyum. "Saudara telah membuktikan bahwa itu nyata, bukan khayalan."
"Eh?" Se Kua Hai tertegun. "Kapan aku membuktikan itu?"
Pek Giok Liong tersenyum.
"Kalau Pulau Pelangi merupakan pulau khayalan, tentunya Saudara tidak akan menduga bahwa aku akan menuju ke pulau itu."
"Oh?" Se Kua Hai tertawa. "Seandainya sekarang aku mengatakan Pulau Pelangi itu tidak ada. Tuan Muda pasti tidak percaya kan?"
"Kira-kira begitulah."
"Tuan Muda!" Se Kua Hai menatapnya dalam-dalam. "Sebetulnya ada urusan apa engkau ingin Pulau Pelangi?"
"Ingin belajar ilmu silat tingkat tinggi pada tocu (Majikan pulau)," jawab Pek Giok Liong jujur.
"Sudikah Tuan Muda mendengar nasihatku?"
"Dengan senang hati."
"Percuma Tuan Muda ke Pulau Pelangi itu."
"Itukah nasihat Saudara?"
"Ya."
"Kenapa Saudara mencetuskan nasihat itu?"
"Karena dalam seratusan tahun ini, entah berapa banyak orang-orang bu lim ke mari dengan harapan seperti Tuan Muda, bertekad mencari pulau itu, namun akhirnya…..."
"Bagaimana?"
"Banyak diantaranya terdampar ke pulau lain, bahkan ada pula yang mati digigit binatang berbisa. Tiada seorang pun yang dapat menemukan Cai Hong To itu."
"Maksud Saudara pulau itu masih merupakan suatu teka-teki?"
"Aku memberitahukan dengan sejujurnya. Tuan Muda percaya atau tidak, itu terserah Tuan Muda sendiri."
"Terima kasih atas maksud baik Saudara. Tapi….." lanjut Pek Giok Liong kemudian. "Aku telah membulatkan tekad, kalau pun harus mati di tengah laut, aku tetap harus mencari pulau itu."
"Tuan Muda begitu tampan dan punya masa depan yang gemilang, kenapa harus menempuh bahaya itu? Seandainya…..."
"Aku tahu akan maksud baik Saudara, tapi segala itu tidak akan menggoyahkan tekadku."
"Oh?" Se Kua Hai menatapnya tajam. "Tuan Muda begitu nekad, bolehkah Tuan Muda memberitahukan alasannya?"
"Aku memikul dendam berdarah kedua orang tua, maka harus belajar ilmu silat tingkat tinggi, agar dapat menuntut balas."
"Oooh!" Se Kua Hai manggut-manggut "Kalau begitu, musuh-musuh Tuan Muda pasti penjahat yang berkepandaian tinggi kan?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Kalau tidak, aku pun tidak akan menempuh bahaya ini."
"Siapa para penjahat itu?"
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menatapnya seraya balik bertanya. "Pernahkah Saudara mendengar tentang Bu Lim Pat Tay Hiong Jin (Delapan orang buas bu lim)?"
"Maksud Tuan Muda salah seorang di antara mereka itu?"
"Mungkin semuanya."
"Hah?" Se Kua Hai tampak terkejut. "Maksudmu Pat Hiong bergabung?"
"Itu memang mungkin." Pek Giok Liong mengangguk. "Nah, bagaimana menurut Saudara? Harus atau tidak aku menempuh bahaya untuk mencari pulau itu?"
"Itu harus, tapi ada atau tidaknya pulau itu......"
"Saudara Se, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan?"
"Tentu boleh." Se Kua Hai tersenyum. "Pertanyaan apa?"
"Saudara Se, tahukah engkau tentang keluarga bu lim di Lam Hai?"
"Kalau keluarga itu terkenal, para nelayan asti tahu."
"Apakah Saudara tahu tentang keluarga Se yang di Lam Hai ini?"
"KeHuarga Se…..?" Se Kua Hai tampak tercengang.
"Saudara Se, apakah engkau tidak tahu?"
"Maaf!" ucap Se Kua Hai. "Tidak pernah dengar tentang keluarga itu, maka aku tidak tahu."
"Heran!" gumam Pek Giok Liong. "Apakah saudara Se itu......"
"Tuan Muda kenal seseorang bermarga Se?" tanya Se Kua Hai cepat.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Dia yang memberitahukan padaku bahwa rumahnya berada di Lam Hai dan termasuk keluarga bu lim."
"Tuan Muda tahu namanya?" tanya Se Kua Hai sambil menatapnya tajam.
"Tahu. Dia bernama Se Pit Han."
"Haah…..?" Se Kua Hai tampak terperanjat, dipandangnya Pek Giok Liong dengan mata terbelalak.
Menyaksikan reaksi Se Kua Hai, hati Pek Giok Liong pun tergerak.
"Saudara Se, pernahkah engkau mendengar nama tersebut?" tanyanya cepat.
Se Kua Hai diam saja, lama sekali barulah ia manggut-manggut seraya berkata dengan suara dalam.
"Pernah. Keluarga Se itu memang terkenal sekali."
"Kalau begitu......"
"Di mana Tuan Muda berkenalan dengan Tuan Muda Se itu?" tanya Se Kua Hai memutuskan ucapan Pek Giok Liong.
"Di Kota Ling Ni di Lo Ham."
"Apakah Tuan Muda Se cuma seorang diri?"
"Dia tidak seorang diri, melainkan ada Sek Khi, Pat Kiam dan Siang Wie mendampingi saudara Se itu."
Se Kua Hai tampak berpikir, beberapa saat kemudian ia bertanya.
"Tuan Muda Se tahu bahwa Tuan Muda pergi ke Lam Hai?"
Pek Giok Liong mengangguk.
"Tahu. Bahkan dia pula yang menyuruhku mencoba mengadu untung untuk mencari Pulau Pelangi."
Sepasang mata Se Kua Hai bersinar sekelebatan, lalu ujarnya serius.
"Kalau begitu, Tuan Muda Se memberitahukan pada Tuan Muda bahwa memang ada Pulau Pelangi!"
"Dia tidak bilang secara terang-terangan, hanya memberi petunjuk dengan isyarat."
"Bagaimana isyarat Tuan Muda Se?"
"Asal aku tidak takut bahaya dan tidak takut usah, pasti dapat menemukan pulau itu. Dia bilang demikian."
"Oooh!"
"Kenalkah Saudara dengan saudara Se itu?"
Se Kua Hai tertawa gelak.
"Kenal memang kenal, aku kenal dia, tapi dia tidak mengenalku."
"Eh?" Pek Giok Liong tertegun. "Maksud Saudara?"
"Tuan Muda Se itu sangat tinggi derajatnya, sedangkan aku cuma seorang nelayan. Nah, Tuan Muda mengerti maksudku?"
"Saudara Se!" sela Cing Ji mendadak. "Berediakah sekarang Saudara membantu kami?"
Se Kua Hai mengangguk sambil tersenyum.
"Tuan Muda Hek kenal Tuan Muda Se, bagaimana mungkin aku tidak mau membantu?" Tapi Se Kua Hai tampak ragu.
"Kenapa?"
"Aku hanya mengijinkan Tuan Muda seorang diri naik ke kapalku, maka nona tidak boleh ikut."
"Kenapa?" Pek Giok Liong heran.
"Ini merupakan pantangan."
"Pantangan?" Pek Giok Liong terbelalak. "Kapal Saudara pantang ada penumpang wanita?"
"Kapal nelayan memang begitu, kecuali kapal dagang."
"Maukah Saudara menolong mencarikan kami kapal dagang?"
"Maaf, Tuan Muda!" Se Kua Hai menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tidak bisa membantu."
"Tapi…..." Pek Giok Liong memberitahukan. "Dia anak gadis dan seorang diri pula, bagaimana mungkin......"
"Tuan Muda tidak perlu mengkhawatirkan nona. Di daerah sini terdapat sebuah Peng An Khe Can (Rumah penginapan Peng An). Asal memberitahukan bahwa Tuan Muda teman Tuan Muda Se, maka makan dan tidur di sana pun tidak usah bayar."
Pek Giok Liong memandang Cing Ji, setelah itu tanyanya dengan suara rendah.
"Adik Cing, bagaimana menurutmu?"
"Saudara Se sudah berkata begitu, jadi lebih baik aku tinggal di rumah penginapan itu menunggumu."
"Adik Cing, aku akan segera pulang kalau tidak menemukan Pulau Pelangi. Namun kalau menemukannya, mungkin akan lama baru pulang."
"Kakak Liong!" Cing Ji tersenyum. "Aku tahu itu, pokoknya setiap sore aku akan ke mari menunggumu."
"Adik Cing!" Pek Giok Liong menatapnya. "Engkau tinggal seorang diri di sini, maka harus berhati-hati."
"Kak Liong tidak usah mencemaskan diriku." Cing Ji tersenyum lagi. "Aku bisa menjaga diri."
"Adik Cing…..." Pek Giok Liong ingin mengatakan sesuatu, namun mendadak dibatalkannya.
Sedangkan Cing Ji mengarah pada Se Kua Hai, kemudian tanyanya sambil tersenyum.
"Saudara Se, di mana Peng An Khe Can itu?"
"Di Kota Pian An. Aku sekarang akan menyuruh orang ke mari untuk menjemput Nona," ujar Se Kua Hai, lalu melangkah pergi.
Cing Ji memandang punggung orang itu, kemudian mendadak berkata pada Pek Giok Liong dengan suara rendah.
"Kakak Liong sudah melihat belum?"
Pertanyaan Cing Ji itu membuat Pek Giok Liong tertegun.
"Melihat apa?"
"Saudara Se itu pasti ada hubungan dengan keluarga Se."
"Itu tidak mungkin."
"Kakak Liong!" Cing Ji tersenyum. "Apakah engkau tidak melihat bagaimana reaksinya ketika engkau menyebut nama Tuan Muda Se? Air mukanya tampak luar biasa sekali."
"Bukankah dia sudah bilang, bahwa keluarga Se sangat terkenal di Lam Hai ini? Maka dia tahu mengenai keluarga itu."
"Menurutku tidak begitu sederhana, melainkan pasti ada sesuatu di balik itu." Cing Ji tampak serius.
"Maksudmu?"
"Aku sudah bercuriga dalam hati, hanya aku belum berani memastikannya." Usai Cing Ji berkata, tiba-tiba muncul Se Kua Hai dengan seorang nelayan yang berusia lima puluhan.
"Chu toasiok! Ini nona Cing!" ujar Se Kua Hai memperkenalkan. "Harap Chu toasiok (Paman Chu) mengantarnya ke rumah penginapan Peng An!"
Nelayan tua itu manggut-manggut, ia memandang Cing Ji sambil tersenyum ramah.
"Hek kouw nio (Nona Hek), harap ikut lo ciau (Aku yang tua) pergi!"
"Terima kasih, Saudara tua!" ucap Cing Ji.
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar