Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 26 Juli 2011

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 25 dan 26

sambugan ...


Bagian ke 25: Adu Mental
Pek Giok Liong mengerutkan kening. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Gin Tie.
"Tu Ci Yen, jangan membuang waktu! Cepat lepaskan Cing Ji!"
"Pek Giok Liong, aku tidak membuang waktu! Aku justru ingi mempersembahkan sebuah lagu untuk kalian dengar! Mau tidak mau engkau pun harus mendengar, sebab lagu itu amat menggetarkan hatimu!"
Usai berkata begitu, Gin Tie segera membuka jalan darah gagu Cing Ji, sekaligus menotok tiga jalan darah pada bagian dada gadis itu.
Itu adalah totokan yang amat keji. Siapa yang terkena totokan itu, dada akan terasa sakit sekali seperti tertusuk ribuan jarum.
Badan Cing Ji tidak bisa bergerak, namun tampak menggigil dengan wajah pucat pias. Ia berkertak gigi menahan sakit, sama sekali tidak mengeluarkan suara rintihan.
Kini Kian Kun Ie Siu dan Pek Giok Liong baru mengerti, apa yang dimaksudkan Gin Tie mempersembahkan sebuah lagu yang menggetarkan hati, ternyata adalah ini.
Demi Jit Goat Seng Sim Ki, Kian Kun Ie Siu memang rela mengorbankan nyawa cucunya, akan tetapi…...
Cing Ji yang terkena totokan itu, semula masih bisa bertahan, tapi lama kelamaan mulai tak kuat bertahan lagi, dan ia pun mulai merintih menyayatkan hati.
Kian Kun Ie Siu tetap bertahan seakan tidak mendengar sama sekali, tapi wajahnya telah berubah.
Bagaimana dengan Pek Giok Liong? Walau ia berotak cerdas, namun usianya baru lima belas, tentu tidak tahan mendengar suara rintihan Cing Ji yang menyayat hati itu.
Wajahnya pucat pias, namun sepasang matanya membara dengan alis terangkat tinggi.
"Tu Ci Yen!" bentaknya gusar. "Cepat buka jalan darah itu! Kalau tidak, aku bersumpah akan mencincang dirimu!"
"Oh?" Gin Tie tertawa sinis. "Engkau begitu sayang pada gadis ini, baiklah! Aku akan membuka jalan darahnya, asal…..."
"Apa?"
"Percuma!" Gin Tie tertawa sinis lagi. "Perkataanmu tidak berbobot…..."
"Maksudmu harus guruku yang berbicara?" tanya Pek Giok Liong sengit.
"Betul!" Gin Tie manggut-manggut. "Sebab gurumu adalah kakeknya, maka harus tua bangka itu yang membuka mulut bermohon padaku!"
"Tu Ci Yen!" Betapa gusarnya Pek Giok Liong, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Cing Ji masih berada di tangan Gin Tie.
"Hei!" bentak Gin Tie. "Tua bangka buta, engkau dengar tidak!"
"Hmm!" dengus Kian Kun Ie Siu, orang tua buta itu tampak tenang sekali. "Lo hu sudah dengar!"
"Kalau begitu, bagaimana menurutmu?"
"Tidak mau bagaimana! Karena lo hu tidak mau omong apa-apa!"
"Engkau tidak menghendaki aku membuka jalan darah cucu kesayanganmu ini?"
"Lo hu memang bermaksud begitu, tapi….. apakah engkau sudi membuka jalan darahnya itu?"
"Kok engkau tahu aku tidak sudi membuka jalan darahnya?"
"Tiada syarat?"
"Ha ha ha!" Gin Tie tertawa. "Tua bangka, itu pertanyaan anak kecil!"
"Kalau begitu, engkau punya syarat?"
"Tentu!" Gin Tie mengangguk. "Tanpa syarat bagaimana mungkin aku bersedia membuka jalan darah cucumu ini?"
"Lo hu sudah bilang dari tadi, kalau ada syarat, lo hu tidak setuju!" tandas Kian Kun Ie Siu.
"Oh, ya?" Gin Tie tertawa terkekeh-kekeh. "Tua bangka, setelah engkau mendengar rintihan yang menyerupai lagu itu, bagaimana perasaanmu?"
"Seperti angin lalu!"
Mulut berkata begitu, tapi hati seperti tersayat sembilu sambil membatin. Cing Ji, maafkan yaya! Pokoknya yaya pasti membalas sakit hatimu!
Sikap Kian Kun Ie Siu acuh tak acuh itu, membuat Gin Tie terperangah dan tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Kian Kun Ie Siu berhati sekeras batu.
"He he he!" Gin Tie tertawa dingin. "Sungguh tak disangka, hatimu lebih keras dari batu!"
"Betul!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak dan menambahkan, "Sebab hati lo hu terbuat dari baja!"
"Tua bangka…..." Gin Tie tampak kehabisan akal menghadapi Kian Kun Ie Siu.
"Tie Kun! Jangan bersilat lidah dengan tua bangka itu!" ujar Thian Suan Sin Kun. "Anak gadis itu lebih baik bunuh saja! Lalu kita mengeroyok tua bangka dan anjing kecil itu!"
Usai berkata begitu, Thian Suan Sin Kun pun tampak siap. Apabila Gin Tie mengangguk, ia pasti segera menyerang Kian Kun Ie Siu.
Sungguhkah Thian Suan Sin Kun berani seorang diri melawan Kian Kun Ie Siu? Yang tahu jelas adalah dirinya sendiri.
Thian Suan Sin Kun memang berkepandaian tinggi, namun masih tidak bisa dibandingkan dengan Kian Kun Ie Siu, terutama menghadapi tiga jurus saktinya.
Untung Gin Tie tidak mengangguk, kalau mengangguk, Thian Suan Sin Kun pasti menyerang Kian Kun Ie Siu dan dirinya yang akan berakibat fatal.
"Sin Kun harus sabar!" ujar Gin Tie sambil tertawa, lalu memandang Kian Kun Ie Siu seraya membentak, "Tua bangka! Aku berikan sedikit waktu, kalau engkau masih tidak mau menyerahkan Jit Goat Seng Sim Ki itu, maka engkau jangan menyalahkan aku berhati keji! Aku pasti mencabut nyawa cucumu, setelah itu baru mencabut nyawamu!"
"Percuma engkau berikan waktu pada lo hu! Sekarang pun lo hu akan menegaskan!"
"Oh? Jadi engkau bersedia menyerahkan panji itu padaku?"
"Kalau lo hu masih punya sedikit nafas, tentu tidak akan membiarkan panji itu jatuh ke tangan orang sesat!"
"Tua bangka!" bentak Gin Tie mengguntur. "Engkau tidak akan menyesal?"
"Ha ha!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak. "Lo hu adalah pemegang panji, sekaligus harus menjaganya pula! Maka lo hu rela mengorbankan nyawa cucu lo hu, itu tidak akan membuat lo hu menyesal!"
Gin Tie termangu, bahkan kewalahan menghadapi Kian Kun Ie Siu. Haruskah ia melepaskan Cing Ji, kemudian bertarung dengan Kian Kun Ie Siu? Tapi mampukah ia melawan orang tua buta itu?
Gin Tie betul-betul kehabisan akal. Pada waktu bersamaan, telinganya menangkap suara yang amat kecil, ternyata ada orang yang mengirim suara padanya.
"Bagaimana? Kebentur masalah ya?"
Begitu mendengar suara itu, Gin Tie pun bergirang dalam hati, dan segera menjawab dengan ilmu mengirim suara.
"Bagaimana menurut sang coh? Shia coh mohon petunjuk."
Gin Tie menyebut orang yang mengirim suara itu sebagai sang coh (Atasan), maka dapat diketahui orang itu pasti Kim Tie, atau orang berbaju kuning emas.
"Biasanya engkau sangat cerdik, kok urusan kecil ini malah membuatmu kehabisan akal?"
"Shia coh memang kehabisan akal, itu karena dua hal."
"Jelaskan!"
"Kesatu, shia coh tidak yakin mampu menyambut tiga jurus sakti pelindung panji."
"Oleh karena itu, engkau tidak berani melawan tua bangka itu?"
"Ya. Shia coh tidak berani bertindak ceroboh, itu agar tidak berakibat fatal."
"Bagus! Dalam situasi begitu, engkau masih bisa berpikir panjang. Engkau tidak mengecewakanku dan Taytie. Lalu hal yang kedua, jelaskanlah!"
"Seandainya Jit Goat Seng Sim Ki itu disimpan di suatu tempat rahasia, bukankah percuma kita tangkap tua bangka itu?"
"Engkau begitu teliti, itu sungguh bagus." puji Kim Tie. "Engkau tahu tua bangka itu sangat keras hati, tentu juga tidak akan memberitahukan di mana panji itu disembunyikan."
"Maka….. shia coh kehabisan akal menghadapinya."
Sementara itu, Pek Giok Liong sudah beranjak mendekati Kian Kun Ie Siu. Mereka ingin cepat-cepat menolong Cing Ji, tapi tidak berani bertindak gegabah.
Sesungguhnya Kian Kun Ie Siu sangat cemas, namun tetap berlaku tenang dan acuh tak acuh. Itu agar Gin Tie tidak turun tangan jahat terhadap cucunya.
Kian Kun Ie Siu dan Pek Giok Liong sama sekali tidak tahu bahwa Gin Tie sedang berbicara dengan Kim Tie yang bersembunyi, karena mereka berbicara dengan ilmu penyampai suara.
"Tu Ci Yen!" bentak Pek Giok Liong yang tidak sabaran. "Engkau......"
"Pek Giok Liong, sudah kukatakan, aku bukan Tu Ci Yen!" Gin Tie balas membentak. "Kalau engkau masih menyebut diriku Tu Ci Yen, aku tidak akan menyahut lagi!"
"Ha ha!" Pek Giok Liong tertawa. "Kalau engkau bukan Tu Ci Yen, bukalah kain penutup mukamu itu, agar aku bisa menyaksikan mukamu!"
"Kini belum waktunya!" sahut Gin Tie sambil tcrtawa dingin. "Kalau sudah waktunya, engkau pasti akan tahu siapa diriku!"
"Kapan waktunya?"
"Ketika nafasmu sudah mau putus!"
"Seandainya engkau lebih cepat mati dari padaku, bukankah aku tidak akan tahu siapa dirimu?"
"Jangan khawatir!" Gin Tie tertawa gelak. "Aku tidak akan begitu cepat mati!"
"Bagaimana kalau engkau cepat mati?"
"Itu tidak mungkin!" Gin Tie tertawa terkekeh-kekeh.
"Engkau yakin dirimu tidak akan cepat mati?" tanya Pek Giok Liong sambil tertawa dingin.
"Yang jelas, engkaulah yang akan mati duluan!"
"Oh, ya?" Pek Giok Liong menatapnya. "Apa sebabnya aku akan mati duluan?"
"Sebab kematianmu sudah di depan mata!"
"Jadi…..." Alis Pek Giok Liong terangkat tinggi. "….. engkau ingin membunuhku?"
"Tidak salah!" Gin Tie tertawa. "Tentunya engkau telah menduga itu!"
"Apa sebabnya engkau mau membunuhku?"
"Engkau ingin tahu sebabnya?"
"Kecuali engkau tidak berani memberitahukan!" sindir Pek Giok Liong.
"Pek Giok Liong!" Gin Tie tertawa gelak. "Percuma engkau memanasi hatiku! Kalau engkau ingin tahu sebabnya, lebih baik bertanya pada Giam Lo Ong (Raja akhirat)!"
"Jadi engkau sungguh mau membunuhku tanpa berani memberitahukan alasannya?" tanya Pek Giok Liong sambil menatapnya tajam.
"Betul!" Gin Tie tertawa dingin.
"Kalau begitu, kenapa engkau masih belum turun tangan?" sindir Pek Giok Liong. "Engkau takut tidak mampu melawanku?"
"Pek Giok Liong! Kepandaianmu itu masih tidak dalam mataku, maka tidak perlu aku turun tangan sendiri! Tunggu saja, aku pasti akan mengutus orang untuk membunuhmu!"
"Ha ha!" Pek Giok Liong tertawa. "Itu pertanda engkau tidak berani bertarung denganku! Kalau berani, tentunya engkau tidak akan menyuruh orang lain!"
"Hmm!" dengus Gin Tie.
"Engkau cuma berani terhadap anak gadis, tapi tak punya nyali untuk melawanku!"
"Pek Giok Liong!" bentak Gin Tie. "Percuma engkau memanasi hatiku, karena engkau belum berderajat bertarung denganku!"
Pek Giok Liong memang sengaja memanasi hati Gin Tie. Maksudnya apabila Gin Tie bertarung dengannya, otomatis Kian Kun Ie Siu akan menolong Cing Ji. Namun Gin Tie sangat licik dan cerdik, ia tidak termakan oleh siasat Pek Giok Liong.
Sementara itu, Cing Ji sudah tidak merintih lagi, ternyata gadis itu telah pingsan. Wajahnya pucat pias, nafasnya pun empas-empis.
*
* *
Bagian ke 26: Iblis Pencabut Nyawa
Begitu melihat Gin Tie tidak termakan oleh siasatnya, Pek Giok Liong menjadi gusar sekali.
"Aku bersumpah, pokoknya akan membeset kulitmu!" bentak Pek Giok Liong dengan suara keras.
"Sudah tiada kesempatan bagimu!" Gin Tie tertawa terkekeh-kekeh. "Sebab sebentar lagi nyawamu akan melayang ke akhirat!"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong. Ia tidak mau mengadu mulut lagi dengan Gin Tie, cuma menatapnya dengan mata berapi-api.
Pada waktu bersamaan, Kim Tie mengirim suara lagi pada Gin Tie, tentunya Pek Giok Liong tidak mengetahuinya.
"Gadis itu telah pingsan, lebih baik engkau membuka jalan darahnya dulu!"
Gin Tie menurut, lalu segera membuka jalan darah Cing Ji. Setelah itu ia bertanya pada Kim Tie dengan ilmu menyampaikan suara.
"Apakah sang coh sudah punya rencana untuk menghadapi mereka?"
"Setelah kupikir berulang kali, hanya ada satu cara."
"Cara apa?"
"Menangkap orang tua buta itu dan merebut panji."
"Shia coh juga berpikir begitu, tapi......" Berselang sesaat Gin Tie melanjutkan. "Tiga jurus saktinya sangat hebat dan lihay, shia coh belum tentu dapat menyambutnya."
"Engkau menghendaki aku memunculkan diri untuk membantumu?"
"Kalau bergabung, mungkin kita mampu menyambut tiga jurus sakti pelindung panji itu!"
"Engkau yakin itu?"
"Walau tidak yakin, namun masih bisa bertahan."
"Tahukah engkau apa yang kupikirkan sekarang?"
Tertegun Gin Tie, kemudian tanyanya.
"Sang coh pikir kita tidak bisa bertahan dari tiga jurus sakti pelindung panji itu?"
"Tidak salah! Kalaupun kita bergabung, tetap tidak mampu menyambut tiga jurus sakti itu!"
"Oh, ya?"
"Kalau kita berdua bergabung, memang mampu mengalahkan siapa pun. Kecuali dua orang."
"Salah seorang pasti tua bangka buta itu, lalu siapa yang satu lagi?"
"Nanti engkau akan mengetahuinya."
"Kalau begitu, kita harus bagaimana?"
"Terpaksa harus menunggu."
"Menunggu?"
"Ya, harus menunggu."
"Apa yang kita tunggu?"
"Menunggu seseorang," sahut Kim Tie sambil tertawa ringan.
"Siapa orang itu?" Gin Tie heran. Ia tidak menyangka Kim Tie begitu serius sekali.
"Orang itu sangat tinggi kepandaiannya, tentunya engkau tahu siapa dia."
"Dia….. dia gie peh?"
"Terus terang, aku sudah kirim kabar pada Taytie."
"Oh?" Gin Tie girang bukan main. "Apakah gie peh akan segera tiba di sini?"
"Mungkin tidak lama lagi, maka engkau harus bersabar."
"Ohya! Sang coh belum memberitahukan, siapa yang satunya lagi yang mampu melawan kita berdua?"
"Tentunya engkau masih ingat, untuk apa kita harus merebut Jit Goat Seng Sim Ki itu?"
"Itu demi menghadapi…..." Gin Tie teringat sesuatu. "Oooh, orang itu Mei Kuei Ling Cu!"
"Betul. Kepandaian Mei Kuei Ling Cu masih di atas Kian Kun Ie Siu, maka harus dengan panji itu menekannya agar mau bergabung dengan kita."
Sementara Kian Kun Ie Siu yang diam itu merasa heran, karena Gin Tie sama sekali tidak bersuara.
"Hei!" bentak Kian Kun Ie Siu. "Apakah engkau sudah mengambil keputusan?"
"Tua bangka buta, dari tadi aku sudah mengambil keputusan!"
"Bagaimana keputusanmu?"
"Keputusanku tetap seperti tadi!"
"Jadi engkau masih berkeras?"
"Apakah aku akan melepaskan kesempatan baik ini?"
"Engkau menghendaki pertumpahan darah di sini?"
"Ha ha!" Gin Tie tertawa gelak. "Tua bangka, aku bukan orang yang gampang ditakuti!"
"Oh?" Kian Kun Ie Siu tertawa dingin.
"Hm!" dengus Gin Tie. "Jangan tertawa, tua bangka! Gadis liar ini masih berada di tanganku, namun saat ini aku masih belum menginginkan nyawanya! Tapi kalau engkau berani bertindak, gadis liar ini pasti menghadap Giam Lo Ong!"
"Engkau pasti masih ingat, apa yang lo hu katakan tadi…..."
"Tua bangka buta!" potong Gin Tie sambil tertawa dingin. "Aku masih ingat demi panji itu, engkau rela mengorbankan nyawa cucu sendiri! Begitu kan?"
"Bagus engkau masih ingat!"
"Tapi…..." Gin Tie tertawa licik. "Aku tidak percaya engkau begitu tega mengorbankan nyawa cucu sendiri, maka engkau tidak akan memaksaku untuk turun tangan jahat terhadap gadis liar ini kan?"
Kian Kun Ie Siu tersentak. Ia tidak menyangka Gin Tie begitu licik dan cerdik.
"Tua bangka buta!" Gin Tie tertawa terbahak-bahak. "Orang yang akan menghadapimu itu telah datang!"
Kian Kun Ie Siu terkejut, karena pada waktu bersamaan, ia pun mendengar suara yang amat aneh.
Makin lama suara itu makin dekat dan jelas, yaitu suara siulan yang amat nyaring menusuk telinga. Begitu mendengar suara siulan itu, air muka Kian Kun Ie Siu langsung berubah dan mendengus.
"Hm, ternyata iblis tua itu!" Kemudian Kian Kun Ie Siu bertanya pada Gin Tie. "Ada hubungan apa engkau dengan iblis tua itu?"
"Eh? Tua bangka buta, siapa iblis tua itu?" Gin Tie balik bertanya dengan suara dingin.
"Cit Ciat Sin Kun (Iblis pencabut nyawa)!"
"Aku tidak tahu itu, yang datang adalah ayah angkatku!"
"Oooh!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut.
Tak seberapa lama kemudian, muncullah serombongan orang. Mereka adalah anak gadis yang mengenakan gaun panjang warna-warni, dan dandanan mereka mirip dayang-dayang istana. Empat gadis meniup suling, dan empat gadis lainnya memainkan piepeh (semacam alat musik mirip gitar). Paduan suara suling dengan piepeh, sangat menggetarkan kalbu, ditambah langkah gadis-gadis yang melayang indah itu sungguh mempesonakan.
Di belakang gadis-gadis itu terdapat dua belas pemuda berbaju kuning, pada pinggang masing-masing bergantung sebuah pedang panjang. Menyusul empat orang yang mengenakan baju merah, keempat orang itu adalah Si Naga, Si Harimau, Si Singa dan Si Macan tutul, empat pengawal pribadi Cing Seng Tay Tie, mereka semua memakai kain penutup muka.
Gin Tie segera menyerahkan Cing Ji pada enam pengawal khususnya, lalu memberi hormat pada Taytie.
"Hay ji memberi hormat pada gie peh!"
Taytie mengibaskan tangannya, dan dengan langkah lebar mendekati Kian Kun Ie Siu, lalu berdiri di hadapannya dengan jarak beberapa meter.
"Ha ha ha!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak. "Apa kabar, Sin Kun?"
"He he he!" Taytie tertawa terkekeh-kekeh. "Aku baik-baik saja! Sudah hampir dua puluh tahun kita tidak bertemu, kukira engkau sudah menghadap Giam Lo Ong, ternyata tidak, malah menikmati hidup yang tenang di tempat terpencil ini! Huaha ha ha!"
Ketika mereka berdua mulai berbicara, suara suling dan piepeh pun berhenti seketika.
"Sin Kun masih hidup, bagaimana mungkin aku mendahuluimu?" sahut Kian Kun Ie Siu dan tertawa gelak juga.
"Sama-sama."
"Sudah berpisah hampir dua puluh tahun, namun hari ini Sin Kun berkunjung ke mari, tentunya ada sesuatu penting."
"Huaha ha ha!" Taytie cuma tertawa.
"Kini Sin Kun sudah berbeda dengan dulu. Jauh lebih bergaya, bahkan diiringi para anak gadis pula."
"Itu biasa. Aku senang dengar musik."
Ternyata Cing Seng Tay Tie ini adalah Cit Ciat Sin Kun (Iblis pencabut nyawa) yang telah terkenal pada lima puluhan tahun yang lampau. Pada masa itu, dia membunuh para pendekar pek to (Golongan putih) dengan mata tak berkedip, sehingga menimbulkan banjir darah dalam bu lim masa itu.
"Maaf! Mataku telah buta, selain para gadis itu, engkau masih bawa siapa ke mari?"
"Hanya membawa empat pengawal pribadi dan Hui Eng Cap Ji Kiam (Dua belas pedang elang terbang)."
"Oooh!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Tentunya mereka semua berkepandaian tinggi. Bolehkah aku mengetahui siapa mereka itu?"
"Engkau tidak perlu tahu." Taytie tertawa. "Bukankah engkau boleh mencoba kepandaian mereka? Dengan cara itu, engkau akan tahu siapa mereka."
"Wuah! Kalau begitu, tanganku sudah mulai gatal!" sahut Kian Kun Ie Siu sambil tertawa. "Namun aku merasa sayang…..."
"Kenapa merasa sayang?" Cit Ciat Sin Kun atau Taytie tertegun.
"Kini engkau tidak seperti dulu lagi."
"Tidak seperti dulu lagi? Jelaskan apa maksudmu?"
"Bagaimana kalau aku tidak mau menjelaskan?"
"Berdasarkan kedudukanmu di bu lim, tentunya engkau tidak berani ngawur."
"Kalau begitu…..." Kian Kun Ie Siu tertawa hambar. "Mau tidak mau aku harus menjelaskannya?"
"Tidak salah."
"Lima puluh tahun lampau, Cit Ciat Sin Kun mengganas dalam bu lim cuma seorang diri, tapi kini…..."
"Membawa begitu banyak orang ke mari?" tanya Cit Ciat Sin Kun dingin.
"Memang begitu." sahut Kian Kun Ie Siu sambil tertawa dingin. "Bahkan…..."
"Apa lagi?" tanya Cit Ciat Sin Kun gusar.
"Orang berbaju putih perak itu punya hubungan apa denganmu?" Kian Kun Ie Siu balik bertanya.
"Dia anak angkatku."
"Bagus." Kian Kun Ie Siu tertawa dingin. "Anak angkatmu itu siau jin (Orang rendah), dia mengadakan serangan gelap terhadap cucuku, itu perbuatan apa?"
"Ternyata adalah urusan itu!" Cit Ciat Sin Kun tertawa.
"Memang urusan itu."
"Tapi itu tiada kaitannya dengan diriku."
"Apa? Tiada kaitannya dengan dirimu?"
"Tidak salah." Cit Ciat Sin Kun tertawa gelak.
"Perbuatan itu sudah pasti punya alasan tertentu."
"Jelaskan!"
"Alasanku, dia adalah dia, aku adalah aku. Sama sekali tiada hubungannya. Engkau mengerti kan?"
"Tapi dia adalah…..."
"Dia tahu tidak bisa melawanmu, maka dengan cara itu demi menghadapimu." Cit Ciat Sin Kun tertawa. "Ha ha! Anak angkatku itu sungguh cerdik, aku merasa bangga atas tindakannya."
"Tapi kurang pantas."
"Engkau menghendaki aku menyuruhnya melepaskan cucumu itu?"
"Apakah tidak harus?"
Cit Ciat Sin Kun berpikir sejenak, lalu mengarah pada Gin Tie seraya berkata,
"Lepaskan gadis itu!"
"Hay ji turut perintah!" Gin Tie memberi hormat, kemudian membuka jalan darah Cing Ji yang tertotok itu.
Begitu bebas, Cing Ji langsung memekik......
Ketika mendengar suara pekikan itu, Kian Kun Ie Siu sudah tahu apa yang akan dilakukan cucunya.
"Cing Ji!" seru Kian Kun Ie Siu. "Jangan bertindak sembarangan, cepat kemari!"
Cing Ji tidak berani membantah, dan segera menghampiri Kian Kun Ie Siu.
"Yaya! Orang itu jahat sekali."
"Cing Ji!" Kian Kun Ie Siu membelainya. "Yaya tahu dia sangat jahat, tapi engkau bukan lawannya. Kalau engkau bertarung dengannya, itu berarti engkau cari penyakit."
"Yaya…..." Cing Ji cemberut.
"Aku mengucapkan terima kasih padamu, Sin Kun!" Kian Kun Ie Siu menjura memberi hormat pada Cit Ciat Sin Kun.
"Tidak usah sungkan-sungkan!" Cit Ciat Sin Kun tertawa hambar. "Itu urusan kecil."
"Ng!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut.
"Nah! Kini sudah saatnya kita membicarakan masalah pokok." Cit Ciat Sin Kun mulai serius.
"Sudah lama aku mengundurkan diri dari kang ouw, engkau masih ada masalah apa ingin berbicara denganku?" tanya Kian Kun Ie Siu. Padahal orang tua buta itu sudah menduga apa yang akan dibicarakannya.
"Kian Kun!" Cit Ciat Sin Kun menatapnya tajam. "Jit Goat Seng Sim Ki berada di mana sekarang?"
"Untuk apa Sin Kun menanyakannya?"
"Kian Kun! Jangan pura-pura bodoh lagi!" bentak Cit Ciat Sin Kun. "Mau engkau serahkan sendiri, ataukah harus aku yang turun tangan?"
"Oooh!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Jadi engkau ingin merebut panji itu?"
"Kalau engkau tidak mau menyerahkan secara baik-baik, apa boleh buat! Aku terpaksa harus turun tangan merebutnya!"
"Sin Kun, apakah engkau tidak takut akan membangkitkan kemarahan bu lim."
"Ha ha!" Cit Ciat Sin Kun tertawa. "Jit Goat Seng Sim Ki berkembang bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu! Kalau panji itu berada di tanganku, siapa berani melawanku?"
"Kalau begitu, engkau benar-benar ingin merebut panji itu?"
"Tidak salah!"
"Hm!"
"Kian Kun, jangan sampai aku turun tangan! Kalau aku turun tangan…..."
"Bagaimana?"
"Tentunya tiada kebaikan bagimu!"
"Engkau yakin bisa menang?"
"Kalau tidak yakin, bagaimana mungkin aku berani ke mari? Nah, engkau mengerti kan?"
"Aku bertanggung jawab atas panji itu! Selagi aku masih bernafas, aku pasti mempertahankannya!"
"Oh? He he he!" Cit Ciat Sin Kun tertawa dingin. "Kalau begitu, sebelum melihat peti mati, engkau tidak akan mengucurkan air mata?"
"Betul!"
"Engkau tidak akan menyesal?"
"Aku tidak pernah menyesal!"
"Baiklah!" Cit Ciat Sin Kun manggut-manggut, kemudian serunya lantang. "Singa, Macan, kalian berdua dengar perintah!"
"Kami terima perintah!" sahut kedua pengawal pribadi itu serentak sambil memberi hormat.
"Kalian berdua cepat tangkap Kian Kun Ie Siu!"
"Ya." sahut kedua pengawal pribadi itu.
Mereka lalu menghampiri Kian Kun Ie Siu dan berhenti dalam jarak beberapa meter. Setelah itu, mereka berdua pun mencabut pedang masing-masing, lalu menatapnya tajam.
"Tua bangka buta, terima serangan kami!" hentak Si Macan tutul.
Crinnng! Kedua pedang itu berbunyi nyaring memekakkan telinga, memancarkan sinar putih berbentuk lingkaran mengarah pada Kian Kun Ie Si u.
"Ha ha ha!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak. "Kalian berdua ternyata Cit Khong Mi Im Kiam (Pedang penyesat pendengaran)!"
Usai berkata begitu, Kian Kun Ie Siu pun menggerakkan tangan kirinya seraya membentak. "Sambutlah jurusku ini!"
Jurus itu adalah salah satu dari tiga jurus sakti pelindung panji. Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya jurus tersebut. Angin pukulan itu bagaikan hembusan angin topan menghantam dada kedua orang itu.
Mereka berdua terpental mundur beberapa langkah. Dada mereka terasa sakit sekali dan nyaris memuntahkan darah segar.
Menyaksikan kejadian itu, Cit Ciat Sin Kun tampak terkejut, lalu berbisik pada Si Naga dan Si Harimau.
"Kelihatannya lwee kang Kian Kun Ie Siu bertambah maju. Si Singa dan Si Macan tutul bukan lawannya, kalian berdua harus bantu mereka! Jangan membiarkan tua bangka itu bernafas! Kalian kuras tenaganya, dan tangkap hidup-hidup!"
"Ya," kedua pengawal pribadi itu mengangguk, lalu mencabut pedang masing-masing dan menghampiri Kian Kun Ie Siu.
Tiga jurus sakti pelindung panji memang amat hebat dan lihay, boleh dikatakan tiada banding di kolong langit. Namun kalau keempat pengawal pribadi itu melawannya dengan taktik menguras tenaganya, itu sungguh membahayakan. Walau Kian Kun Ie Siu memiliki lwee kang tinggi, tapi kalau bertempur lama, itu akan membuat lwee kangnya berkurang, dan akhirnya pasti menjadi lemas.
"Hei! Kalian tak tahu malu!" bentak Pek Giok Liong mendadak, lalu mendadak pula ia mencabut pedangnya sekaligus menyerang Si Naga dan Si Harimau.
Sinar pedang berkelebat dan mengeluarkan hawa dingin. Dalam sebulan ini, Pek Giok Liong terus menerus berlatih sehingga memperoleh kemajuan yang sangat pesat.
Kedua pengawal pribadi itu tersentak ketika melihat serangan yang amat dahsyat itu. Namun mereka berdua memiliki kepandaian tinggi, maka serangan Pek Giok Liong tak dipandang dalam mata.
Mereka berdua membentak keras, sekaligus mengibaskan pedang masing-masing membentuk lingkaran mengarah pada Pek Giok Liong.
Trang! Trang! Terdengar suara benturan pedang yang memekakkan telinga, tampak pula bunga api berpijar.
Pek Giok Liong yang masih dangkal tenaga dalamnya, seketika juga terpental ke belakang.
Setelah Pek Giok Liong terpental, Si Naga dan Si Harimau itu pun mulai menyerang Kian Kun Ie Siu.
Pek Giok Liong ingin membantu Kian Kun Ie Siu, tapi sudah terlambat, karena dua orang dari Hui Eng Cap Ji Kiam telah menyerang orang tua itu atas perintah Cit Ciat Sin Kun. Maka Pek Giok Liong terpaksa bertarung dengan mereka.
Kian Kun Ie Siu diserang empat penjuru oleh keempat pengawal pribadi itu, namun masih tampak berada di atas angin. Walau sudah lewat belasan jurus. Kian Kun Ie Siu masih tampak gagah. Akan tetapi, karena sering mengeluarkan tiga jurus sakti itu, otomatis sangat menguras hawa murninya, lagi pula orang tua buta itu mengidap penyakit, maka….. peluh mulai merembes keluar dari keningnya.
Itu tidak terlepas dari mata Cit Ciat Sin Kun.
"Si buta itu sudah mulai payah! Kalian berempat harus menekannya dengan hawa pedang! seru Taytie itu.
Bukan main terkejutnya Kian Kun Ie Siu, ia tahu kalau dilanjutkan, hawa murninya pasti buyar.
"Liong Ji, Cing Ji! Cepat mundur!" teriaknya.
Ketika berseru, Kian Kun Ie Siu pun menyerang keempat orang itu dengan tiga jurus sakti pelindung panji secara beruntun.
Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya serangan tersebut sehingga membuat keempat orang itu terpental.
Sementara Pek Giok Liong pun sudah tampak lelah melawan kedua pemuda berbaju putih perak. Maklum, usia Pek Giok Liong masih sangat muda.
Sreet! Lengan kiri Pek Giok Liong tergores pedang. Itu membuat Pek Giok Liong terkejut bukan main. Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara seruan Cing Ji.
"Kakak Liong, cepat mundur!"
Seketika juga Pek Giok Liong melompat mundur ke tempat Cing Ji. Tidak ayal lagi, Cing Ji segera menariknya ke dalam goa.
Mendadak berkelebat sosok bayangan memasuki goa, ternyata Kian Kun Ie Siu.
Keempat pengawal pribadi juga melompat ke arah goa, tetapi mendadak terdengar suara yang amat keras.
Buuum!
Pintu goa itu telah tertutup, keempat pengawal pribadi itu segera menghimpun lwee kang masing-masing, lalu mendorong pintu goa itu. Namun, pintu goa itu tidak bergeming sedikit pun.
Cit Ciat Sin Kun mendekati pintu goa itu, lalu meraba-rabanya. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata pintu goa itu terbuat dari baja yang amat tebal.
"Pasti ada tombol untuk membuka pintu goa ini!" gumamnya, lalu memberi perintah pada Hui Eng Cap Ji Kiam. "Kalian cari, mungkin ada tombol rahasia untuk membuka pintu goa ini!"
"Ya." sahut Hui Eng Cap Ji Kiam serentak sambil memberi hormat, setelah itu mereka pun mulai memeriksa tembok batu di kanan kiri pintu itu.
Di dalam ruang rahasia, Kian Kun Ie Siu duduk bersila dengan wajah pucat pias. Orang tua buta itu duduk beristirahat untuk memulihkan tenaganya, Pek Giok Liong dan Cing Ji berdiri di samping Kian Kun Ie Siu dengan wajah cemas.
Berselang beberapa saat kemudian, wajah orang tua buta itu tampak mulai kemerah-merahan, kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam.
"Nak Liong!" Kian Kun Ie Siu memanggil Pek Giok Liong. "Kemarilah kau!"
Pek Giok Liong segera mendekatinya, setelah itu tanyanya dengan hormat.
"Suhu mau berpesan sesuatu?"
"Nak Liong, kini adalah saat yang gawat. Cit Ciat Sin Kun ingin menguasai bu lim, maka dia berusaha merebut Jit Goat Seng Sim Ki......" Kian Kun Ie Siu berhenti ucapannya sejenak, berselang sesaat baru melanjutkannya. "Panji Hati Suci Matahari Bulan merupakan benda wasiat dalam bu lim, maka tidak boleh terjatuh ke tangan iblis itu. Suhu sudah tua, engkaulah yang harus bertanggung jawab atas panji itu…..."
"Tapi kepandaian teecu masih rendah, bagaimana mungkin......"
"Giok Liong!" bentak Kian Kun Ie Siu mendadak dengan wibawa. "Berlututlah!"
Hati Pek Giok Liong tergetar. Kemudian segera berlutut di hadapan Kian Kun Ie Siu dengan kepala tertunduk.
Kian Kun Ie Siu bangkit berdiri, kemudian mengeluarkan sebuah panji berbentuk segi tiga, bergambar jantung hati. Pada kedua belah panji itu terdapat tulisan emas berbunyi demikian: Jit Goat Seng Sim (Hati Suci Matahari Bulan) dan Ko Khi Ciang Cun (Kewibawaan Selamanya).
Setelah memegang panji tersebut, wajah Kian Kun Ie Siu pun berubah serius, lalu ujarnya dengan penuh wibawa.
"Mulai saat ini, engkau sebagai pemegang Panji Hati Suci Matahari Bulan generasi kelima. Tegakkanlah keadilan dalam bu lim, jangan mencemarkan nama couwsu (Kakek guru)!"
"Teecu menerima perintah!" ucap Pek Giok Liong. "Mati hidup bersama panji!"
"Bagus! Bagus!" Kian Kun Ie Siu tertawa gembira. "Nak, engkau mengucapkan mati hidup bersama panji, aku merasa gembira dan puas." ujar Kian Kun Ie Siu, lalu menyodorkan panji itu ke hadapan Pek Giok Liong.
"Giok Liong, kuserahkan panji ini kepadamu, terimalah!"
Dengan hormat, Pek Giok Liong menerima panji tersebut, lalu menyimpannya dalam bajunya.
"Panji ada orang hidup, panji hilang orang mati!" ucap Pek Giok Liong.
"Bagus! Ha ha ha!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak. "Kini aku sudah bisa tenang. Kalau pun mati, mataku pasti merem!"
"Guru…..."
"Nak Liong, di bawah meja sembahyang terdapat sebuah jalan rahasia, engkau dan Cing Ji harus pergi melalui jalan rahasia itu!"
Usai berkata begitu, Kian Kun Ie Siu segera menekan sebuah tombol rahasia yang ada di meja sembahyang.
Kraaak!
Sebuah pintu rahasia di kolong meja sembahyang terbuka, itu sungguh di luar dugaan Pek Giok Liong.
"Nak Liong, engkau dan Cing Ji harus segera pergi melalui pintu rahasia itu, cepat!"
"Guru…..." Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Kenapa Guru tidak mau pergi bersama kami?"
"Aku harus tetap tinggal di sini menunggu kedatangan Cit Ciat Sin Kun. Biar bagaimanapun aku harus bertarung dengan mereka!"
"Tapi Guru cuma seorang diri…..."
"Nak!" Kian Kun Ie Siu tersenyum getir. "Sebetulnya aku telah terluka dalam yang amat parah, cuma bisa hidup tiga hari lagi."
"Oh?" Pek Giok Liong terkejut.
"Kakek!" Mata Cing Ji sudah bersimbah air. "Biar bagaimanapun, Kakek harus pergi bersama kami!"
"Cing Ji, aku sudah mengambil keputusan. Engkau dan Giok Liong harus cepat pergi, tidak usah memikirkan aku!"
"Tapi......" Air mata Cing Ji mulai mengucur.
"Nak Liong, kini kuserahkan Cing Ji padamu," ujar Kian Kun Ie Siu. "Engkau harus baik-baik menjaganya."
"Ya, Guru." Pek Giok Liong mengangguk. "Harap Guru berlega hati, aku pasti baik-baik menjaga Cing Ji."
"Ngm!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut sambil tersenyum. "Kalau begitu, aku pun dapat berlega hati."
"Kakek…..."
"Cing Ji, selanjutnya engkau harus mendengar kata Siau Liong, tidak boleh nakal dan bandel."
"Baik, Kek......"
Kian Kun Ie Siu mengibaskan tangannya, agar Cing Ji tidak melanjutkan ucapannya.
"Jangan bersuara!" Kian Kun Ie Siu pasang kuping mendengar dengan penuh perhatian. Kemudian air mukanya tampak berubah. "Iblis itu sedang berusaha membuka pintu goa. Nak Liong! Cepatlah kau bawa Cing Ji pergi! Kalau terlambat, kita semua pasti celaka!"
Pek Giok Liong berlutut di hadapan Kian Kun Ie Siu dengan mata basah. Cing Ji pun segera berlutut sambil menangis terisak-isak.
"Guru......"
"Kakek…..."
"Cepatlah kalian pergi!" Kian Kun Ie Siu mengibaskan tangannya. "Cepaat!"
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar