Bab 6. Penyelamat di Kampung Halaman Si Pemabuk
Sang Kusir tiba-tiba melompat,
menanggalkan kemejanya, dan menyambut salju dan angin dingin dengan dada
telanjang.
Bagai seekor kuda, ditariknya
kereta itu.
Li Xun Huan tidak mencegahnya,
karena ia tahu bahwa Sang Kusir memerlukan tempat untuk melampiaskan
keputusasaannya. Namun sewaktu pintu kereta tertutup, Li Xun Huan tidak dapat
menahan setetes air matanya jatuh ke pipinya.
Setelah berjalan satu jam,
sampailah mereka ke Kampung Cow.
Kampung ini adalah desa yang sangat
kecil. Hari belum lagi gelap, dan hujan salju telah reda. Orang-orang sedang
membersihkan salju dari halaman rumah mereka.
Waktu mereka melihat sang kusir
menarik kereta masuk ke dalam kampung, mereka sangat terkejut. Beberapa orang
sangat ketakutan dan berlari masuk ke dalam rumah.
Sudah pasti, ada warung arak di
kampung itu.
Orang-orang kampung ini belum
pernah melihat orang sekuat ini. Jadi ketika Sang Kusir berjalan ke arah warung
arak, sebagian besar pengunjungnya menjadi ketakutan dan segera berlalu.
Sang kusir menjejerkan tiga buah
kursi, lalu mengalasinya dengan serbet yang bersih. Didukungnya Li Xun Huan
masuk ke dalam warung, sehingga ia bisa duduk dengan nyaman.
Li Xun Huan tampak pucat lesi.
Seakan-akan tidak ada darah yang mengalir ke wajahnya. Semua orang tahu, ia
sakit parah. Warung ini sudah buka selama dua puluh tahun, dan belum pernah
kedatangan orang hampir mati yang masih ingin minum. Semua orang di situ
memandanginya.
Sang Kusir menggebrak meja, dan
berteriak, “Ambilkan arak. Yang terbaik! Jika kau encerkan sedikit saja,
kupenggal kepalamu.”
Li Xun Huan memandangnya dan
tersenyum. “Kau tahu, selama dua puluh tahun terakhir, baru hari ini kau
tunjukkan karakter sesungguhnya dari ‘Si Dada Besi Baja Emas’.”
Tubuh Sang Kusir bergidik. Ia
terkejut mendengar julukannya disebut. Namun ia masih bisa tertawa keras. “Aku
tak menyangka Tuan Muda masih ingat nama itu. Aku malah sudah lupa.”
Kata Li Xun Huan, “Kau…. Kau
harus melanggar sumpahmu hari ini dan minum bersamaku.”
Sahut Sang Kusir, “Baik! Hari
ini, berapa banyak Tuan Muda minum, aku akan mengikutimu.”
Li Xun Huan pun ikut tertawa
keras. “Kalau aku bisa membuatmu minum arak lagi, hidupku tidak sia-sia.”
Yang lain, melihat mereka tertawa
bahagia, jadi tercenung. Tak seorang pun bisa mengerti bagaimana seseorang yang
hampir mati bisa begini bahagia.
Araknya memang bukan yang
terlezat, tapi paling tidak arak itu murni.
Kata Sang Kusir, “Tuan Muda,
maafkan kelancanganku. Aku ingin bersulang untukmu.”
Li Xun Huan ingin menyambutnya,
namun ia tak kuasa memegangi cawannya, dan anggur pun berceceran. Ia
batuk-batuk sambil berusaha menyeka bajunya yang basah kena anggur, dan sambil
tertawa berkata, “Aku tak pernah menyia-nyiakan arak sebelumnya, tapi hari
ini….”
Ia tertawa lagi. “Baju ini telah
kumiliki bertahun-tahun, memang pantas aku menghadiahinya secawan anggur. Mari,
Saudara Baju, aku berterima kasih padamu engkau telah menghangatkan aku
bertahun-tahun ini. Aku bersulang untukmu.”
Lalu dituangnya sisa anggur dalam
cawan ke bajunya.
Pemilik warung dan para
pegawainya memandang dia, dan berbisik-bisik di antara mereka, “Orang ini bukan
hanya sakit, dia sudah gila.”
Kedua orang itu minum dan terus
minum. Li Xun Huan harus menggunakan kedua belah tangannya untuk memegang cawan
anggurnya.
Sang Kusir menggebrak meja lagi.
“Hidup ini tidak adil. Kalau saja aku bisa tidak bangun lagi dari kemabukan
ini. Sayang, sayang sekali….”
Kata Li Xun Huan, “Kau harusnya
berbahagia hari ini. Apa maksudmu tentang ‘tidak adil’, ‘tidak bangun lagi’?
Seseorang harus menikmati hari-hari kehidupannya.”
Sang Kusir tertawa lagi. “Kau
betul. Betul!” Lalu wajahnya jatuh menghantam meja.
Wajah Li Xun Huan penuh rasa
terima kasih. Katanya pada dirinya sendiri, “Dua puluh tahun ini, jika bukan
karena kau, aku…. aku mungkin sudah lama mati. Walaupun aku tahu alasanmu,
perbuatanmu ini sungguh terlalu merendahkan dirimu. Kuharap suatu hari nanti,
kau rebut kembali status dan kejayaanmu di masa lalu. Dengan begitu, walaupun
aku telah….”
Sang Kusir tiba-tiba bangun lagi
dan memotong cepat, “Tuan Muda, jangan katakan hal-hal yang tidak menyenangkan.
Merusak suasana.”
Mereka tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak, tiba-tiba menangis, menangis sambil tertawa.
Pemilik warung dan para
pegawainya kembali saling pandang. “Sepertinya, dua-duanya gila.”
Saat itulah mereka dikagetkan
oleh seseorang yang menyuruk masuk, “Arak. Arak. Bawakan arak sekarang juga.”
Dari wajahnya, kelihatannya ia
akan mati jika ia tidak minum arak secepatnya.
Pemilik warung bergumam, “Satu
lagi orang gila.”
Orang ini mengenakan baju biru
yang sudah terlalu sering dicuci sampai warnanya sudah mendekati putih. Kukunya
hitam-hitam. Walaupun mengenakan topi pelajar, rambutnya sungguh acak-acakan.
Wajahnya kuning dan tirus. Seperti seorang pelajar miskin.
Pelayan membawakan sebotol arak
untuknya.
Siapa sangka, pelajar ini bahkan
tidak menggunakan cawan. Ditenggaknya anggur itu langsung dari botolnya. Sekali
minum, setengah lebih sudah habis, tapi segera disemburkannya ke luar sambil
berteriak, “Kau sebut ini arak? Ini adalah cuka, cuka yang diencerkan lagi…”
Pelayan itu tergagap, “Bukannya
kami tidak punya arak yang baik, tapi…..”
Pelajar miskin itu berkata, “Kau
pikir aku tidak punya uang. Nih, ambil semua.”
Dilambaikannya 50 tail perak.
Semua orang dan para pelayan
terperangah. Kali ini mereka menyuguhkan arak yang terbaik.
Sekali ini pun, si pelajar miskin
tak peduli dengan cawan dan menenggak sebotol penuh sekaligus. Lalu duduk diam
tak bergerak. Semua orang menyangka ia minum terlalu cepat dan sesuatu telah
terjadi. Namun Li Xun Huan tahu, ia sedang menikmati kelezatannya.
Setelah beberapa saat,
dihembuskan nafasnya. Mata dan wajahnya berbinar-binar. “Walaupun araknya tidak
enak, di tempat seperti ini kurasa inilah yang terbaik.”
Pemilik warung ikut tertawa.
Katanya, “Sudah kusimpan botol itu selama sepuluh tahun.”
Si pelajar tiba-tiba menggebrak
meja, katanya, “Pantas saja rasanya tidak kental. Beri aku arak yang lebih
baru, yang difermentasi tiga tahap saja. Lalu bawakan makanan juga.”
“Masakan apa yang kau inginkan.”
“Aku tahu di tempat kumuh seperti
ini kau pasti tak punya makanan enak. Bawakan saja Ayam Angin dan Usus Gagak
Goreng Pedas. Pastikan ususnya pedas sekali dan ayamnya tidak berbulu sama
sekali.”
Orang ini kelihatan miskin, namun
ia benar-benar tahu tentang makanan dan anggur. Li Xun Huan sangat tertarik.
Dalam keadaan biasa, ia pasti telah mengundang orang itu paling tidak untuk
minum bersamanya. Namun saat itu, ia bisa rebah kapan saja. Ia tidak ingin
berkenalan dengan siapa pun lagi.
Orang itu terus minum sendirian.
Ia minum sangat cepat.
Sepertinya, selain arak, tak ada
hal yang cukup berarti baginya.
Saat itu, terdengar derap langkah
kuda mendekat, dan berhenti di depan warung. Wajah orang ini berubah sedikit.
Ia bangkit, hendak pergi. Tapi
matanya kembali memandang arak di atas meja dan ia pun duduk kembali.
Diminumnya tiga cawan lagi, sambil dinikmatinya usus goreng itu.
Dan terdengarlah suara yang
menggelegar, “Dasar pemabuk. Kau hendak lari ke mana?”
Seorang yang lain pun berkata,
“Sudah kubilang, kita pasti dapat menemukan orang ini di warung arak.”
Kemudian lima enam orang pun
masuk, mengelilingi si pelajar miskin. Kelihatannya ilmu silat mereka cukup
tinggi.
Seorang yang tinggi kurus
mengacungkan pecut kuda ke depan hidung si pelajar miskin dan berkata, “Kau
ambil uang kami, tapi kau menolak memeriksa pasien, malah kabur ke sini untuk
minum. Apa yang terjadi?”
Si pelajar miskin tersenyum, “Kau
tak mengerti apa yang terjadi? Aku perlu minum anggur. Itu saja. Kau seharusnya
tahu, jika Tuan Mei Er perlu minum anggur, dia tidak peduli langit runtuh,
apalagi hanya seorang pasien.”
Seorang yang bopengan berkata
berang, “Kakak tertua Zhao, kau dengarkah itu? Kita sudah tahu pemabuk ini
adalah seorang yang sangat jahat. Waktu ia sudah mendapatkan uangnya, ia tidak
peduli lagi akan orang lain.”
Orang yang pertama menyahut,
“Siapa yang tidak tahu kepribadian pemabuk ini? Namun dia harus menyembuhkan
penyakit saudara ke-4. Kita perlu tabib, apa yang dapat kita perbuat?”
Awalnya Li Xun Huan menyangka
orang-orang ini datang untuk balas dendam. Setelah mendengar percakapan mereka,
tahulah dia bahwa Mei Er adalah seorang tabib yang hanya mau uang, tapi tak mau
mengobati pasien.
Waktu orang-orang ini
berteriak-teriak, ia tetap duduk diam. Sambil terus minum.
Zhao akhirnya melempar pecutnya,
menghantam botol anggur dan cawan, sambil berteriak, “Berhenti menunda-nunda.
Karena kami telah menemukanmu, kau harus ikut kami pulang dan mengobati pasien.
Jika saudara ke-4 kami sembuh, aku jamin kau akan bisa minum berbotolbotol
anggur.”
Tuan Mei Er itu hanya menatap
cawan anggur yang sudah pecah, menarik nafas panjang, lalu berkata, “Kau sudah
tahu perangaiku. Kau pun pasti tahu, aku takkan pernah menyembuhkan tiga macam
orang.”
“Tiga macam orang seperti apa?”
“Yang pertama, aku tidak akan
menyembuhkan orang yang tidak bayar di muka. Jika kurang sepeser saja, tak akan
kusembuhkan dia.”
Salah seorang dari mereka
menjawab, “Kami telah memberimu banyak uang!”
Tuan Mei Er meneruskan, “Yang
kedua, aku takkan merawat orang yang bersikap kasar padaku. Yang ketiga, aku
tak akan pernah merawat penjahat, pencuri, dan pembunuh.”
Ia menghela nafas, lalu
menggelengkan kepalanya, “Kau telah melanggar dua aturan terakhir. Kalian masih
berharap aku mau menyembuhkannya? Silakan mimpi saja.”
Orang-orang itu menyahut, “Jika
kau tidak menyembuhkannya, kami akan membunuhmu.”
“Sekalipun kalian membunuhku, aku
tak akan menyembuhkannya!”
Orang yang bopengan itu maju dan
menamparnya, sehingga tubuh si tabib terpelanting. Darah keluar dari mulutnya.
Tadinya Li Xun Huan berpikir,
tabib ini pura-pura saja tak tahu ilmu silat. Sekarang ia baru sadar, bahwa
tabib ini hanya mulutnya keras, tapi tubuhnya tidak.
Kakak tertua Zhao menghunus
pisaunya, dan berkata, “Kalau kau berkata ‘tidak’ setengah kali saja, akan
kupotong sebelah tanganmu sebelum kau sempat menyelesaikan perkataanmu.”
Tuan Mei Er menyahut, “Kalau aku
bilang tidak ya tidak. Kenapa aku harus takut dengan penjahat kelas teri macam
kalian?”
Kakak tertua Zhao sudah akan
maju, tapi Sang Kusir tiba-tiba menggebrak meja, dan berkata lantang, “Ini
adalah tempat minum arak. Jika kalian tidak mau minum, cepat menyingkir!”
Suaranya seperti geledek, Zhao
pun merasa jeri. “Siapa kau? Berani-beraninya ikut campur?”
Li Xun Huan tersenyum, katanya,
“Hanya menyuruh mereka pergi, kurang menarik. Suruhlah mereka merangkak ke
luar.”
“Tuan Muda menyuruh kalian
merangkak ke luar. Dengar tidak?”
Kakak tertua Zhao melihat orang
ini sakit dan sangat lemah, juga sangat mabuk. Ia jadi tidak takut lagi,
katanya, “Karena kalian berdua sangat berani, mari kurobek perutmu.”
Goloknya berkilauan, menyabet ke
arah Li Xun Huan.
Sang Kusir menyorongkan tangannya
ke depan, berusaha menghalangi sabetan golok. Namun karena ia sangat mabuk,
kelihatannya ia malah berusaha menangkap golok itu dengan tangannya.
Si pemilik warung sungguh kuatir
karena pastilah lengan orang itu akan putus kena golok. Siapa sangka, lengan
itu masih tetap utuh, malahan golok itulah yang mencelat ke atas. Zhao terkejut
luar biasa, pikirnya, “Ilmu silat orang itu membuatnya kebal senjata. Apakah
dia ini hantu?”
Orang bopengan itu juga menjadi
takut sekali, tapi dipaksakannya untuk tertawa sambil berkata, “Bolehkah kutahu
namamu, sobat? Kalau tidak bertempur, mana bisa jadi kawan. Marilah kita
berkawan saja.”
Sang Kusir menjawab dingin, “Kau
tak pantas jadi temanku. Sana keluar!”
Zhao melompat ke depan, sambil
berkata, “Kau tak perlu bersikap kasar. Tidak baik bermusuhan dengan kami,
kalau….”
Sebelum ia menyelesaikan
kalimatnya, si bopengan membisikkan sesuatu kepadanya. Matanya melirik ke arah
pisau di tangan Li Xun Huan.
Wajah Zhao memucat seperti
kertas, katanya pelan, “Tidak, tidak mungkin dia.”
“Siapa lagi? Aku dengar setengah
bulan yang lalu dari Si Kura-kura Tua bahwa ia telah kembali dari perbatasan.
Si Kura-kura Tua mengenalnya sejak dulu. Tidak mungkin ia salah.”
Kata Zhao, “Tapi, pemabuk ini….”
“Orang ini sangat menyukai
makanan, anggur, wanita, juga judi. Kesehatannya juga tidak pernah baik. Namun
pisaunya….”
Waktu berbicara tentang pisau,
suaranya bergetar. “Tidak usahlah kita bermusuhan dengan orang macam dia.”
Zhao tertawa, “Jika aku tahu dia
ada di sini, walaupun orang mengancamku dengan pisau, aku takkan mau datang ke
sini.”
Ia terbatuk dua kali dan
membungkukkan tubuhnya sambil tertawa. “Aku yang kecil ini punya mata, tapi
tidak bisa melihat, sehingga tidak mengenali engkau, Tuan. Bahkan aku sudah mengganggu
ketenanganmu minum arak. Aku yang kecil ini pantas mati. Kini aku hendak pamit
saja.”
Tidak jelas apakah Li Xun Huan
mendengar kata-kata ini atau tidak. Ia terus minum dan terus terbatuk-batuk,
seperti tidak ada sesuatu pun yang terjadi.
Orang-orang ini datang bagai
harimau, kini mereka pergi bagai anjing. Baru sekarang Tuan Mei Er bangkit,
namun ia tidak berusaha berterima kasih pada Li Xun Huan. Ia malah berdiri di
atas kursinya sambil berteriak-teriak, “Arak! Beri aku arak!”
Para pelayan jadi bingung. Tak
bisa dipercaya orang ini baru saja dipukuli.
Pelanggan yang lain sudah pergi
semuanya. Yang tinggal hanya ketiga orang ini. Ketiganya terus minum, tak
berbicara sepatah katapun.
Li Xun Huan melongok ke luar
jendela, dan tiba-tiba tersenyum. “Arak memang sangat aneh. Kalau kau ingin
terus sadar, kau akan mabuk lebih cepat. Kalau kau ingin cepat mabuk, kau malah
tidak mabuk-mabuk.”
Tuan Mei Er juga terkekeh, “Mabuk
dapat menyelesaikan banyak persoalan. Yang paling baik adalah mabuk sampai
mati. Tapi sayangnya, Langit tak akan membiarkan seseorang mati semudah itu.”
Alis Sang Kusir terangkat,
melihat Tuan Mei Er berjalan terhuyung-huyung ke arah mereka. Ia menatap Li Xun
Huan dan bertanya, “Tahukah kau berapa lama lagi kau akan hidup?”
“Tidak lama.”
“Jika kau tahu hidupmu tidak lama
lagi, mengapa tak kau bereskan urusanmu sebelum mati, malahan datang ke sini
untuk minum?”
Sahut Li Xun Huan, “Mengapa
urusan-urusan sepele, macam hidup dan mati, harus mengganggu acara minumku?”
Mei Er bertepuk tangan, tertawa.
“Betul. Betul. Hidup dan mati adalah urusan sepele. Sebaliknya, minum arak
adalah peristiwa penting. Kata-katamu sungguh sesuai dengan seleraku.”
Tiba-tiba matanya terbuka lebar,
katanya, “Kurasa sekarang kau tahu siapa aku, bukan?”
Jawab Li Xun Huan, “Belum.”
“Kau sungguh tidak tahu siapa
aku?”
Sang Kusir memotong kasar. “Kalau
dia bilang tidak tahu, ya tidak tahu. Kenapa harus diulangulang?”
Tuan Mei Er menatap Li Xun Huan,
lalu berkata, “Ternyata kau tidak menyelamatkanku untuk menyembuhkanmu.”
Li Xun Huan tertawa. “Jika kau
ingin minum anggur, kita bisa minum bersama. Jika kau datang untuk
menyembuhkanku, kusarankan kau pergi saja. Jangan membuang-buang waktu
minumku.”
Mei Er terus memandang Li Xun
Huan sampai cukup lama. Katanya kemudian, “Beruntung sekali. Sangat beruntung.
Kau tahu, kau sangat beruntung bertemu dengan aku.”
Kata Li Xun Huan, “Aku tidak
punya uang. Aku juga tidak jauh berbeda dari perampok dan pencuri. Kau boleh
pergi.”
Siapa sangka, Mei Er malah
menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Tidak tidak tidak. Tidak meyembuhkan
orang lain, tidak jadi soal. Tapi jikalau kau menolak aku menyembuhkanmu, kau
harus membunuhku.”
Mata Sang Kusir berbinar-binar.
“Kau sungguh dapat menyembuhkannya?”
Jawab Tuan Mei Er, “Selain Mei
Er, tidak ada seorang pun di dunia yang dapat menyembuhkannya.”
Sang Kusir berdiri, dirapikannya
kemejanya, sambil bertanya, “Tahukah kau apa penyakitnya?”
Sahut Tuan Mei Er, “Kalau aku
tidak tahu, siapa yang bisa tahu? Kau pikir Saudara keenamku, Si Lebah Madu,
sanggup meramu ‘Bubuk Ayam Dingin’?”
“Bubuk Ayam Dingin? Racun itu
Bubuk Ayam Dingin?”
Tuan Mei Er terkekeh. “Selain
Bubuk Ayam Dingin milik keluarga Mei, racun apa yang dapat membunuh Li Xun
Huan?”
Sang Kusir terkejut sekaligus
gembira, “Jadi maksudmu kaulah yang meramu racun Si Lebah Madu?”
Mei Er tertawa terbahak-bahak.
“Selain ‘Si Orang Tengah Sakti’ Tuan Mei Er, siapa yang dapat meracik racun
sehebat ini? Sepertinya kau bukan orang berpengetahuan. Hal seperti ini saja
tidak tahu.”
Kini Sang Kusir girang bukan
kepalang. “Jadi dialah yang meramu racun itu. Tuan Muda, kau pasti akan
selamat.”
Li Xun Huan tertawa pahit. “Aku
tahu hidup itu sulit, tapi aku baru tahu untuk mati dengan tenang pun sangat
sulit.”
Kini mereka sudah ada dalam
kereta. Sang Kusir merawat Li Xun Huan, tapi ia juga mengawasi Tuan Mei Er.
Ia masih belum puas. Tanyanya,
“Jika kau bisa menyembuhkan keracunannya, mengapa kita harus pergi menemui
orang lain?”
Sahut Tuan Mei Er, “Aku tidak
mencari orang ‘lain’. Ia kakakku. Rumahnya dekat.”
“Jangan kuatir. Jika aku sudah
berkata aku akan menyembuhkan dia, ia tidak akan mati.”
“Mengapa kau perlu bertemu dengan
kakakmu?”
“Karena dia punya obat
penawarnya. Sudah puas?”
Kini ia benar-benar diam.
Tuan Mei Er menggelengkan
kepalanya sambil tertawa. “Aku sungguh tak mengira ada orang yang melatih ilmu
silat sebodoh ini. Hanya berguna untuk melawan preman jalanan.”
Sang Kusir menjawab dingin, “Ilmu
silat yang bodoh lebih baik dari pada tidak tahu silat.”
Tuan Mei Er sama sekali tidak
marah. Ia terus tersenyum. “Yang kudengar, untuk melatih ilmu silat macam ini,
kau harus tetap perjaka. Tidakkah pengorbanan semacam itu sedikit terlalu
besar?”
“Hmmh.”
Lanjut Mei Er lagi, “Yang kudengar,
dalam lima puluh tahun terakhir, hanya ada satu orang yang sungguh bodoh yang
mau memperlajari ilmu silat ini. Namanya ‘Si Dada Besi Baja Emas’, Tie Zhuan
Jia. Namun dua puluh tahun lalu, terjadi sesuatu padanya. Kini tidak ada yang
tahu apakah dia sudah mati, atau masih hidup. Mungkin dia belum mati. Mungkin
dia masih bisa minum anggur.”
Mulut Sang Kusir tertutup rapat.
Apa pun yang dikatakan Mei Er, ia diam saja.
Tuan Mei Er memejamkan mata,
berusaha memulihkan tenaganya.
Setelah beberapa saat, Sang Kusir
balas berkata, “Yang kudengar, ‘Tujuh Orang Sakti’ tidak peduli akan reputasi
mereka. Sepertinya kau tidak demikian.”
Jawan Mei Er, “Aku mengambil uang
orang, lalu menolak untuk menyembuhkannya. Kau pikir itu kurang bejad?”
“Jika kau akhirnya setuju untuk
merawat dia, maka kaulah yang akan kehilangan muka. Mengambil uang dan
menyembuhkan orang adalah dua hal yang berbeda. Tak ada alasan untuk tidak
mengambil uang dari orang-orang macam mereka.”
Mei Er menyahut, “Tampaknya kau
tak sebodoh yang kukira.”
Sang Kusir berkata lagi, “Orang
yang dianggap licik oleh banyak orang, mungkin sebenarnya tidak terlalu licik.
Akan tetapi dari sekian banyak orang yang disangka gagah, berapa banyakkah yang
benar-benar gagah?”
Li Xun Huan duduk diam sambil
tersenyum. Sepertinya ia mengikuti pembicaraan, tapi sepertinya juga pikirannya
ada di tempat lain.
Di luar, salju telah memberi
warna putih pada segala sesuatu.
Jika seseorang masih dapat
bertahan hidup, bukankah itu suatu hal yang baik?
Bayangan seseorang tergambar
dalam benak Li Xun Huan.
Wanita itu mengenakan pakaian
ungu, dan mantel berwarna ungu muda tersampir pada pundaknya. Ia berdiri dengan
latar belakang salju putih, dan tampak sangat cantik.
Ia ingat Si Dia sangat menyukai
salju. Setiap kali turun salju Si Dia akan menarik tangannya ke luar ke
halaman, melemparinya dengan bola salju dan menantangnya untuk mengejar Dia.
Ia ingat, hari dia membawa Long
Xiao Yun pulang, juga turun salju. Si Dia sedang duduk di paviliun dalam taman
plum. Sedang menikmati indahnya salju dan pohon plum.
Ia ingat bahwa tiang-tiang
paviliun itu merah cerah. Tapi sewaktu Si Dia duduk di antara tiangtiang itu,
warna kedua tiang dan warna seluruh pohon plum menjadi pudar.
Ia tidak memperhatikan reaksi
Long Xiao Yun saat itu. Namun di kemudian hari, ia bisa membayangkannya. Saat
itu, hati Long Xiao Yun pasti sudah hancur berantakan.
Kini, apakah paviliun itu masih
sama? Masih seringkah Si Dia duduk di sana, menghitung bungabunga plum?
Li Xun Huan berusaha bangun dan
tersenyum pada Tuan Mei Er. “Ada arak dalam kereta. Mari kita minum.”
Salju, kadang lebat kadang
berhenti.
Dengan petunjuk Tuan Mei Er,
kereta berbelok ke jalan kecil, dan sampai pada sebuah jembatan kecil. Kereta
itu tak dapat menyeberang.
Sang Kusir mendukung Li Xun Huan
menyeberangi jembatan. Terlihat sebuah gubug kecil di antara pohon-pohon plum.
Sewaktu mereka mendekat, terdengar suara dari dalam hutan. Seorang laki-laki
berpakaian rapi menyuruh dua orang pembantunya menyiramkan air pada pohon yang
tertutup salju.
Sang Kusir berbisik, “Inikah Tuan
Mei Da?”
Jawab Mei Er, “Selain orang tolol
ini, siapakah yang menyiramkan air untuk membersihkan es dan salju dari batang
pohon?”
Sang Kusir tak dapat menahan
tawa. “Maksudmu dia tidak tahu bahwa dengan menyiramkan air, salju akan tetap
menempel dan airnya malah akan jadi es?”
Mei Er tertawa getir, dan
mengeluh, “Ia bisa tahu keaslian suatu benda seni sekali tengok. Ia juga bisa
meramu dalam sekejap racun yang paling mematikan dan penawar yang paling hebat.
Namun ia tidak dapat mengerti hal-hal yang sederhana.”
Selagi mereka bercakap-cakap, Mei
Da memalingkan wajahnya dan melihat kedatangan mereka. Wajahnya terkesiap
seperti sedang memandang anak-anak nakal. Katanya, “Cepat! Cepat sembunyikan
seluruh lukisanku yang berharga. Kalau sampai dilihatnya, akan digadaikannya
untuk membeli sebotol arak.”
Mei Er tersenyum. “Kakak pertama.
Jangan kuatir. Aku sudah minum arak hari ini. Aku datang
dengan dua teman….”
Sebelum kalimatnya selesai, Mei
Da menutup mata dengan kedua tangannya, katanya, “Aku tak ingin melihat
teman-temanmu. Semua temanmu adalah orang jahat. Kalau aku melihat seorang
saja, aku akan sial tiga tahun.”
Mei Er jadi kesal, maka katanya,
“Baik. Kau menghina aku. Kau pikir aku tak mungkin punya teman yang baik. Mari
Li Tan Hua, kita pergi saja.”
Sang Kusir menjadi gusar, “Mana
obat penawarnya? Kita tidak bisa pergi begitu saja!”
Tak disangka, ekspresi wajah Mei
Da berubah cepat. “Maksudmu dia dari keluarga yang turuntemurun lulus ujian
kenegaraan, ayah dan kedua anaknya mendapat gelar Tan Hua, Li Tan Hua
yang ITU?’
Mei Er menjawab dingin, “Kau tahu
Li Tan Hua yang lain?”
Kata Li Xun Huan, “Ya. Itulah
aku.”
Pandangan Mei Da menyelidik dari
kepala sampai ke kakinya. Tiba-tiba ia menjabat tangan Li Xun Huan dan tertawa
senang, “Terkenal selama dua puluh tahun, tak kusangka akhirnya aku dapat
bertemu denganmu. Saudara Li.”
Ia menjadi sangat ramah setelah
tahu siapa tamunya.
Kemudian kata Mei Da, “Tuan Li,
maafkanlah kekasaranku tadi. Teman-teman adikku selalu saja menyebalkan. Dua
tahun yang lalu ia mengajak dua temannya berkunjung, katanya mereka ini
penggemar benda seni. Tapi siapa sangka, setelah kutunjukkan pada mereka dua
lukisan yang sangat berharga, mereka menukarnya dengan kertas kosong! Aku
sangat marah, sampai-sampai tiga bulan aku tak bisa tidur.”
Li Xun Huan pun tertawa. “Tuan
Mei Da, jangan terlalu menyalahkan adikmu. Ketika seorang pemabuk ingin minum
arak tapi tidak punya uang, perasaannya pun sangat kacau.”
Tuan Mei Da tersenyum sambil
berkata, “Sepertinya Saudara Li juga mempunyai kebiasaan yang sama.”
Li Xun Huan ikut tersenyum.
“Minum arak dapat membuat seseorang terbang ke awan.”
Kata Mei Da, “Bagus. Qi He, sudah
cukup kau bersihkan pohon itu. Pergi dan ambilkan arak Zhu Ge Ying berusia 20
tahun itu. Aku ingin Saudara Li mencicipinya. Aku telah menyimpan arak ini
bertahun-tahun untuk disuguhkan pada tamu yang hebat, seperti Saudara Li ini.”
Kata Mei Er, “Memang betul. Kalau
tamu biasa yang datang, cuka saja tidak disuguhkannya. Akan tetapi, Saudara Li
datang bukan untuk minum anggur.”
Mei Da memandang sekilas pada Li
Xun Huan, katanya, “Racun itu masalah kecil. Saudara Li jangan kuatir, dan mari
minum. Aku tahu bagaimana caranya mengurus hal-hal kecil itu.”
Setelah minum tiga cawan, Mei Da
tiba-tiba bertanya, “Katanya, lukisan yang sangat langka Qing Ming Da He Tu ada
dalam kediamanmu. Apakah itu benar?”
Kini Li Xun Huan tahu mengapa ia
sangat ramah menyambut mereka. “Betul.”
Mei Da girang luar biasa.
“Dapatkah kau bawa ke sini kapan-kapan supaya aku dapat melihatnya?”
Jawab Li Xun Huan, “Jika Tuan Mei
Da sungguh-sungguh ingin melihatnya, aku tak dapat menolak. Tapi sungguh
sayang, aku telah memberikan lukisan itu, dan seluruh milikku, pada orang
lain.”
Tuan Mei Da melongo memandangnya,
seperti kepalanya dipentung orang. Ia terus bergumam, “Sayang… sungguh
sayang….”
Lalu katanya, “Qi He, bereskan
anggur ini. Li Tan Hua sudah selesai minum.”
Kata Mei Er, “Jadi tanpa Qing
Ming Da He Tu, tidak ada anggur?”
Jawab Mei Da dingin, “Arakku
bukan untuk diminum sembarang orang.”
Li Xun Huan tidak merasa marah,
bahkan ia tersenyum. Ia merasa orang ini labil, sangat lugu, tapi paling tidak
ia lebih baik daripada para orang gagah yang palsu.
Namun Sang Kusir tak bisa menahan
kekuatirannya, dan ia berkata keras, “Tanpa Qing Ming Da He Tu, tidak ada obat
penawar juga?”
Sahut Mei Da, “Jika tidak ada
anggur, dari mana datangnya obat penawar?”
Sang kusir menjadi berang dan
siap menyerang.
Namun Li Xun Huan menahannya,
katanya, “Mei Da tidak mengenal kita. Ia tidak berkewajiban memberikan obat
penawar itu. Kita telah berhutang padanya beberapa cawan anggur yang lezat.
Mengapa kau ingin bertindak kasar?”
“Tapi Tuan Muda, kau… kau…”
Li Xun Huan mengibaskan tangannya
dan tersenyum. “Kurasa kita harus pamit.”
Tiba-tiba Mei Da bertanya, “Kau
sungguh tidak mau obat penawarnya?”
Jawab Li Xun Huan, “Kita
mempunyai kepentingan masing-masing. Aku tidak suka memaksa orang.”
Kata Mei Da, “Tahukah kau, bahwa
tanpa obat penawar itu kau akan segera mati?”
“Hidup dan mati ditentukan oleh
Langit. Aku sendiri tidak peduli.”
Mei Da menatapnya lekat-lekat,
katanya perlahan, “Betul. Betul. Jika seseorang bisa menghadiahkan Qing Ming Da
He Tu pada orang lain, mengapa dia harus mempedulikan nyawanya? Orang seperti
ini sangat langka, sangat sangat langka….”
Lalu ia berteriak, “Qi He,
keluarkan lagi araknya.”
Sang Kusir seketika timbul
harapannya. “Bagaimana dengan obat penawarnya?”
Mei Da memandangnya sekejap, lalu
katanya dingin, “Sekarang sudah ada arak, kau kuatir tidak ada obat penawar?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar