Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Jumat, 29 Juni 2012

Si Pisau Terbang Lie - Bab 11 - Khu Lung


Lanjutannya sbb : ....

Bab 11. Penyelamat dari Langit

Ketika si wanita mata satu mendengar seseorang berteriak dari luar, ia segera keluar dan bertanya, “Apa yang begitu penting sampai kau berteriak-teriak seperti oang kesurupan?”

Kata orang itu, “Aku baru saja bertemu dengan Zhao Zheng Yi. Katanya orang marga Tie itu ada….”

Sambil berbicara, dibukanya pintu dan masuk ke dalam. Begitu sampai di dalam ia tercekat dan mematung. Orang yang hendak diceritakannya telah berada di situ.

Si wanita mata satu terkekeh, “Kau tak menyangka, bukan?”

Orang itu menghembuskan nafas panjang dan berkata, “Kata Zhao Zheng Yi, ia berada di rumah Long Xiao Yun. Tak kusangka….”


Dicekalnya tangan wanita itu, tanyanya, “Bagaimana kau bisa menemukan dia?”

Sahutnya, “Aku mendengar dari Si Kura-kura Tua bahwa ia dan Li Xun Huan akan datang. Jadi kami membuntuti mereka. Awalnya aku takut pada Li Xun Huan, jadi aku tidak melakukan apaapa. Siapa sangka, ia pergi meninggalkan Li Xun Huan?”

Orang yang terakhir datang ini mengenakan baju yang sobek-sobek. Dari kedelapan orang di rumah itu, hanya dia yang berpakaian seperti orang dunia persilatan. Sebatang tombak menyembul di punggungnya.

Kemudian ia pun menatap Sang Kusir dan berseru, “Tie Zhuan Jia, masih ingatkah kau padaku?”

Tie Zhuan Jia mengangguk. “Apa kabar…”

Orang itu memotong cepat, “Aku baik-baik saja. Karena aku tak pernah berbuat bejad, aku tak pernah harus bersembunyi. Jadi kehidupanku lebih baik daripada kehidupanmu, bukan?”

Si wajah burik berkata, “Saudara Ketiga, mengapa kau masih berbicara dengan dia? Bunuh saja dia sekarang. Bunuh dia sebagai persembahan bagi Kakak pertama.”

Bian Hao menjawab, “Saudara Ketujuh, perkataanmu itu salah. Memang betul kita ada di sini untuk membunuh seseorang. Namun kita harus melakukannya dengan tata cara yang benar, sehingga tak ada seorang pun yang dapat menggugat kita.”

Si buta menambahkan, “Kita sudah menunggu selama tujuh belas tahun, menunggu sebentar saja tak akan membunuh kita.”

Setelah ia mengucapkan kalimat ini dua kali, tidak ada yang membantah lagi.

Si wanita mata satu bertanya, “Lalu bagaimana kita melakukannya?”

Jawab Bian Hao, “Kita harus mengetahui keseluruhan kisahnya, dan kita pun harus mencari seorang hakim. Jika semua orang berpendapat bahwa orang marga Tie ini pantas mati, maka kita akan membunuhnya.”

Si wajah burik melompat, katanya, “Kenapa banyak cingcong? Tak mungkin ada orang yang berpendapat bahwa ia tidak pantas mati.”

Sahut si buta dengan dingin, “Kalau begitu, apa salahnya kita bertanya?”

Si wajah burik mengertakkan giginya, lalu berkata, “Siapa yang akan kau tanyai?”

Sahut Bian Hao, “Orang yang kuundang terkenal akan keadilannya. Ia juga tak ada sangkut pautnya dengan kita ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’ ataupun dengan Tie Zhuan Jia.”

“Katakan, siapa orang itu.”

Bian Hao menjawab, “Orang yang pertama adalah Si Wajah Besi Maha Adil, Zhao Zheng Yi. Orang ini adalah….”

Tie Zhuan Jia mendadak tertawa. “Kalian tidak perlu bersusah-payah. Bunuh saja aku dan selesai sudah urusannya. Aku mengakui aku telah mengkhianati Weng Tian Jie. Aku tidak menyesal mati hari ini.”

Si wanita mata satu berkata, “Sepertinya dia tidak suka pada Zhao Zheng Yi ini.”


Kata si buta, “Zhao Zheng Yi memberitahukan keberadaan orang ini pada saudara ketiga. Mungkin ada persoalan di antara mereka. Bagaimana dia bisa menilai permasalahan kita dengan adil?”

Sahut Bian Hao, “Tidak apa-apa, karena aku membawa dua orang lagi selain dia. Yang satu adalah Tetua Pena Cepat. Ia dianggap penulis terbaik saat ini. Dan lagi dia tidak punya hubungan apa-apa dengan dunia persilatan. Yang terakhir adalah seorang anak muda…”

Si wanita mata satu bertanya sangsi, “Mungkinkah seorang anak muda bisa mengerti?”

Bian Hao menyahut, “Walaupun pemuda ini baru dalam dunia persilatan, kepribadiannya sangat kuat dan tergolong pria sejati. Walaupun aku baru mengenalnya dua hari, aku yakin bahwa ia benar-benar bisa dipercaya.”

Si wanita mata satu itu tertawa dingin, dan berkata, “Kau bisa tahu orang macam apa dia dalam waktu dua hari? Sepertinya kebiasaanmu dalam berteman belum berubah juga.”

Lalu tambahnya, “Kaulah juga yang dulu membawa orang marga Tie ini ke sini. Katamu dia orang baik-baik. Jika dulu kita tidak menjadi sahabatnya, bagaimana mungkin Weng Tian Jie bisa mati begitu muda?”

Bian Huo menundukkan kepala dan terdiam.

Namun si buta berkata, “Apapun yang terjadi, lebih baik kalau ada beberapa saksi. Kita tidak boleh membunuh tanpa alasan.”

Ia tertawa dan melanjutkan, “Karena Saudara Ketiga telah membawa mereka datang, biarkanlah mereka masuk ke dalam.”

Tie Zhuan Jia bersumpah takkan membuka matanya lagi. Ia sungguh tidak ingin melihat tampang Zhao Zheng Yi lagi.

Ia juga bersumpah tak akan mengatakan satu perkataan pun.

Lalu didengarnya langkah kaki. Dua orang masuk ke dalam rumah itu.

Langkah orang yang pertama terdengar berat, menunjukkan tenaga dalamnya yang tinggi. ‘Kepalan Selatan Kaki Utara’. Zhao Zheng Yi berasal dari utara, maka sebagian besar ilmu silatnya berada pada kakinya. Orang yang kedua bernafas dengan berat, menunjukkan bahwa jika ia tahu ilmu silat pun, ilmunya tidak tinggi. Ia tidak mendengar adanya langkah orang yang ketiga.

Mungkinkah langkah orang yang ketiga tidak terdengar sama sekali?

Si buta bangkit dan berkata, “Akibat kemalangan yang menimpa beberapa saudara kami di masa lalu, hari ini kami harus mengundang kalian bertiga datang ke sini, dan menunggu lewatnya badai salju. Aku sungguh minta maaf.”

Suaranya datar. Perkataannya tidak cepat, tidak pula lambat. Tidak ada seorang pun yang tahu apakah ia sedang bersungguh-sungguh atau berpura-pura.

Terdengar Zhao Zheng Yi berkata dengan suaranya yang menggelegar, “Untuk membawa keadilan dalam dunia persilatan, mati sekalipun aku rela. Tuan Yi tak perlu sungkan.”

Pembicaraan orang ini seharusnya terdengar berbobot dan tulus. Namun Tie Zhuan Jia malah ingin muntah setelah mendengarnya.

Terdengar suara lain berbicara dengan tenang dan tajam. “Aku hanya seorang penulis. Tapi aku sering mendengar kisah-kisah kepahlawanan dalam dunia persilatan. Aku bangga kalian di sini menganggap aku cukup berharga untuk menjadi seorang hakim.”

Kata si buta, “Aku berharap kau dapat menuliskan cerita ini selengkapnya, supaya jika di kemudian hari ada orang yang mengungkitnya, mereka akan tahu bahwa keputusan kita hari ini adalah benar.”

Penulis tua itu berkata, “Pasti. Setelah aku kembali, akan kutuliskan seluruh kebenarannya. Waktu Tuan Bian mengajak aku datang, itupun sudah terpikir olehku.”

Tie Zhuan Jia akhirnya mengerti mengapa Bian Hao mengajak orang ini datang. Timbul rasa hormatnya karena ketelitian Bian Hao yang begitu rupa.

Si wanita mata satu berkata, “Tapi siapakah Tuan ini? Sudikah engkau memperkenalkan namamu pada kami?”

Pertanyaan ini tertuju pada orang yang ketiga.

Orang ini tidak menjawab. Bian Hao menjawab, “Temanku ini tidak suka diketahui namanya.”

Si buta berkata dingin, “Namanya tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah ini. Kalau dia tidak mau mengatakan, kita pun tak perlu bertanya. Namun dia harus tahu nama kita.”

Bian Hao segera berkata, “Kami adalah delapan bersaudara yang dijuluki ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’ oleh orang-orang kalangan persilatan. Namun mereka terlalu berlebihan.”

Si buta memotong cepat. “Mereka tidak berlebihan. Walaupun ilmu silat dan wajah kami tidak menonjol, kami melakukan segala sesuatu dengan mengutamakan kebenaran.”

Kata Zhao Zheng Yi, “Siapa yang tidak kenal ‘Delapan Orang Benar dari Dataran Tengah’?”

Si buta tidak menggubris, lanjutnya, “Aku adalah Saudara Kedua Yi Ming Hu. Dulu aku dijuluki ‘Si Mata Cepat Halilintar’. Sekarang….” Disambungnya sambil tersenyum, “julukanku adalah ‘Si Mata tanpa Bola Mata’.”

Lalu si tabib berkata, “Kurasa kalian sudah mengenal Saudara Ketiga ‘Si Kuda Cepat Tombak Hebat’ Bian Hao. Dan aku adalah Saudara Keempat. Namaku Jin Feng Bai.”

Si penulis berkata, “Dari logatmu, sepertinya kau dari Nan Yang.”

“Benar.”

Si penulis berkata lagi, “Ada sebuah toko obat yang terkenal milik keluarga Jin di Nan Yang. Aku pun pernah membeli obat dari sana satu kali. Apakah kau….”

Jin Feng Bai tertawa dan menyahut, “Apa istimewanya? Bahkan Tuan Muda Keluarga Wan pun sekarang berjualan ceker ayam.”

Penulis tua itu bertanya, “Yang manakah dia?”

Penjual arak itu menjawab, “Sudah jelas aku.”

[Ceker ayam adalah masakan yang biasanya disantap sambil minum arak, sehingga beberapa penjual arak pun menjual ceker ayam]

Si wajah burik melanjutkan, “Aku adalah Saudara Ketujuh. Namaku Gong Sun Yu, karena bintikbintik di wajahku lebih rapat daripada butiran air hujan.” [Yu artinya hujan]

Si penjual sayur kemudian berkata, “Aku adalah Saudara Kedelapan.”

Penulis itu bertanya, “Di manakah Kakak pertama kalian?”

Jawab Gong Sun Yu, “Kakak pertama kami, Weng Tian Jie, telah terbunuh. Ini adalah jandanya, Nyonya Weng. Tapi kau pasti tahu namanya.”

Penulis itu tersenyum. “Walaupun aku sudah tua, ingatanku masih cukup baik.”

Nyonya Weng berkata, “Kami ingin kau mengingat nama kami bukan supaya kami terkenal, namun agar kisah sedih kami didengar oleh banyak orang. Dengan cara ini, orang-orang dunia persilatan akan tahu kebenarannya.”

Gong Sun Yu menambahkan, “Orang ini bernama Tie Zhuan Jia. Ia adalah pembunuh Kakak
pertama kami!”

Jin Feng Bai berkata, “Kami saudara berdelapan, sangat dekat hubungannya. Walaupun kami punya pekerjaan masing-masing, kami berdelapan selalu berkumpul untuk merayakan tahun baru di rumah Kakak pertama.”

Zhang Cheng Xun menambahkan, “Kami berdelapan sangat berbahagia, sehingga kami tidak pernah berusaha mencari teman yang lain. Namun pada tahun itu, Saudara Ketiga datang membawa seseorang ke pertemuan tahunan kami. Katanya, orang itu adalah sahabatnya.”

Gong Sun Yu memotong dengan nada getir, “Orang itu adalah keparat yang tak tahu terima kasih, yang menjual sahabatnya demi uang, Tie Zhuan Jia.”

Jin Bai Feng lalu berkata, “Kakak pertama adalah seseorang yang tidak takut mati. Waktu ia melihat bahwa Tie Zhuan Jia bersikap seperti seorang pria sejati, ia dengan tidak ragu-ragu memperlakukan Tie Zhuan Jia sebagai sahabat juga. Siapa sangka, ia bukan manusia, tapi seekor anjing!”

Zhang Cheng Xun menyambung ceritanya, “Setelah perayaan tahun baru, kami pun pergi, namun Kakak pertama menahannya untuk tinggal satu dua bulan lagi. Saat itulah ia diam-diam menghubungi musuh-musuh Kakak pertama. Mereka menyerang di malam hari dan membunuh Kakak pertama. Walaupun istrinya tidak mati, ia terkena luka yang serius.”

Nyonya Weng berteriak, “Lihat bekas luka di wajahku ini! Luka ini hampir saja membelah wajahku menjadi dua. Jika mereka tahu aku belum mati, aku tak akan bisa lolos.”

Gong Sun Yu berkata, “Hari itu, semua orang di rumah itu mati, sehingga tidak seorang pun tahu siapa pelakunya.”

Jin Feng Bai berkata, “Waktu kami tahu, kami meninggalkan segala sesuatu dan bersumpah untuk membalas dendam. Untunglah, Langit masih punya mata….”

Nyonya Weng mengakhiri, “Kami sudah menceritakan kisah kami. Katakanlah sekarang, apakah orang ini pantas mati atau tidak.”

Zhao Zheng Yi langsung menjawab, “Jika ceritamu benar, maka disayat menjadi seribu bagian pun belum cukup untuk membayar kesalahannya.”

Gong Sun Yu melompat bangkit dan berkata dengan marah, “Tiap kata adalah kebenaran. Jika kalian tidak percaya pada kami, tanyakanlah sendiri padanya!”

Tie Zhuan Jia berkata sambil mengatupkan giginya, “Aku sudah bilang dari dulu. Aku malu akan perbuatanku. Aku bersedia mati.”

Gong Sun Yu berseru, “Dengar! Dia sendiri mengakuinya!”

Penulis itu berkata, “Ia sangat licik dan kejam.”

Nyonya Weng berkata, “Kalau begitu, kalian bertiga yakin bahwa dia pantas mati, bukan?”

Penulis itu menjawab dengan yakin, “Ya!”

Zhao Zheng Yi berkata, “Jangan hanya bunuh dia, potong-potong dia jadi seribu bagian, supaya keadilan dalam dunia persilatan sungguh-sungguh ditegakkan.”

Lalu terdengar suara lain, “Kau terus-menerus mengatakan ‘dunia persilatan’. Apakah kau mewakili dunia persilatan?”

Suara itu tajam dan menusuk. Seperti pedang, dingin dan cepat.

Ini pertama kalinya ia berbicara dalam ruangan itu. Ini pasti si orang ketiga dapat berjalan tanpa suara itu.

Hati Tie Zhuan Jia berdegup kencang. Ia merasa kenal dengan suara ini.

Ia terpaksa membuka matanya, dan terlihat olehnya bahwa orang yang duduk di sebelah Zhao Zheng Yi adalah si anak muda kesepian, Ah Fei!

Tuan Fei? Mengapa kau ada di sini?

Pertanyaan itu hampir saja terucap dari bibir Tie Zhuan Jia, namun diurungkannya.

Perangai Zhao Zheng Yi langsung berubah. “Maksudmu, dia tidak pantas mati?”

Ah Fei menjawab dingin, “Kalau aku merasa dia tidak pantas mati, apakah akan kaubunuh aku juga?”

Kata Yi Ming Hu, “Kami membawa kalian ke sini untuk keadilan. Jika kau mempunyai alasan yang kuat untuk melepaskannya, akan kami lakukan dengan segera.”

Zhao Zheng Yi berkata, “Kurasa ia hanya mau membuat masalah. Mengapa harus berdebat dengan dia?”

Ah Fei memandangnya. Lalu ia berkata dengan tenang, “Kau bilang ia mengkhianati sahabatnya demi harta, tapi bukankah kau juga sama saja? Hari itu di rumah Tuan Weng, bukankah kau pun salah satu yang menyerang dia? Hanya saja Nyonya Weng tidak melihatmu!”

Delapan bersaudara itu nampak sangat terkejut, tanya mereka, “Apakah benar begitu?” Kata Ah Fei, “Ia ingin membunuh orang itu untuk membungkam mulutnya.” Zhao Zheng Yi awalnya tetap tenang, namun kini ia mulai gemetar.

“Kau….”

Dengan sangat marah ia mulai menyerukan segala macam sumpah serapah. Baru belakangan dia menyadari kata-kata kotor itu tidak bermanfaat sama sekali.


Lalu ia tersenyum dingin dan berkata, “Tak disangka anak muda macam kau bisa berbohong tanpa berkedip. Tapi itu kan hanya perkataanmu saja. Tidak ada yang mau percaya!”

Kata Ah Fei, “O ya? Lalu mengapa kita percaya kata-kata mereka?”

Zhao Zheng Yi berkata, “Tuan Tie sudah mengakui perbuatannya. Tidakkah kau dengar?”

Sahut Ah Fei, “Aku dengar.”

Sebelum perkataannya, ujung pedangnya telah berada di depan leher Zhao Zheng Yi.

Zhao Zheng Yi telah bertempur ratusan kali. Tidak mudah untuk menyerangnya tanpa ketahuan.


Namun entah bagaimana, ia bahkan tidak melihat kapan anak muda itu menarik keluar pedangnya! Ia hanya melihat suatu bayangan samar, dan detik selanjutnya, pedang itu telah mengancam lehernya. Ia langsung mematung, lalu katanya, “A…Apa maumu?”

Sahut Ah Fei, “Aku hanya ingin tanya. Hari itu di rumah Tuan Weng, apakah kau ada di sana?”

Zhao Zheng Yi berteriak marah, “Apakah kau sudah gila?”

Ah Fei menyahut dengan tenang, “Jika kau tak mengaku, aku harus membunuhmu.”

Ia mengatakan kalimat itu dengan nada datar, seolah-olah sedang bercanda.

Keringat mulai membasahi muka Zhao Zheng Yi. “A…Aku….”

Kata Ah Fei, “Lebih baik kau menjawab dengan benar. Berdoalah agar jawabanmu tidak salah.”

Semua orang di situ telah melihat pedang Ah Fei yang terselip di pinggang. Mereka semua berpikir pedang itu lucu sekali. Namun sekarang, tidak seorang pun berpikir demikian.


Ah Fei terus berbicara, “Ini adalah terakhir kalinya aku akan bertanya. Aku tak akan mengulangi lagi. Apakah kau membunuh Weng Tian Jie?”

Zhao Zheng Yi tak tahu harus menjawab apa dan akhirnya berkata, “Ya….”

Waktu ia menjawab demikian, kedelapan bersaudara itu terperangah, tak percaya pendengaran mereka.

Ah Fei lalu tersenyum dan berkata, “Jangan kuatir. Dia tak ada sangkut-pautnya dengan kematian Weng Tian Jie.”

Kini delapan bersaudara itu bengong memandang Ah Fei.

Ah Fei melanjutkan, “Aku hanya ingin menyampaikan satu hal. Jika seseorang mengakui kesalahannya dibawah tekanan, itu tidak dapat dijadikan bukti!”

Namun delapan bersaudara itu bertanya, “Kapan kami menekan dia?”

“Kau pikir kami memukulinya sampai dia mengaku?”

“Jikalau demikian, mengapa ia tidak berkata apa-apa?”

Tiba-tiba Yi Ming Hu berkata, “Tie Zhuan Jia, jika kau merasa diperlakukan tidak baik, katakanlah sekarang.”

Tie Zhuan Jia hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Wajahnya penuh dengan kepedihan.

Kata Nyonya Weng, “Karena kau tak bilang apa-apa, berarti kau telah mengakuinya. Kami tidak pernah mengancammu dengan pedang di lehermu.”

Tie Zhuan Jia berkata, “Tuan Fei, aku tidak bisa bilang apa-apa. Maafkan aku. Kebaikan hatimu tersia-sia begitu saja.”

Sahut Ah Fei,”Apapun yang dia katakan, aku tidak percaya kalau dia orang semacam itu.”

Kata Gong Sun Yu, “Lihatlah fakta-faktanya. Kau tidak bisa mendebatnya.”

Nyonya Weng tertawa dingin, “Siapa yang peduli apakah dia percaya atau tidak. Mengapa kita harus mempedulikan dia?”

Jin Feng Bai pun angkat suara, “Betul. Masalah ini tak ada sangkut-pautnya dengan dia.”

Nyonya Weng berseru dengan kasar, “Kau pikir kau ini siapa? Mencampuri urusan kami.”

Si tabib juga berkata, “Bagaimana kalau kulukai dia? Apa yang akan kau perbuat?”

Si tabib paling jarang berbicara. Namun paling cepat bergerak. Sebelum selesai bertanya, kapaknya telah memotong dengan gerakannya yang paling terkenal, ‘Membelah Gunung Hua’. Tie Zhuan Jia duduk diam, menunggu kapak itu membelahnya menjadi dua.

Penulis itu tercekat, disangkanya darah akan muncrat keluar.

Tak disangka, pada saat yang tepat, sebilah pedang berkilat dan memotong kapak itu menjadi dua! Sepotong jatuh di depan Tie Zhuan Jia. Delapan bersaudara itu menyaksikan rentetan kejadian itu dan tak seorang pun mempercayai penglihatan mereka. Sebelum ada yang sempat bicara, pedang Ah Fei telah sampai ke depan leher si tabib.

Waktu Ah Fei menyerang Zhao Zheng Yi, mereka tidak menganggapnya sungguh-sungguh. Namun saat ini, semuanya terlihat sangat terkejut dan ketakutan.

Mereka tidak bisa percaya ada pedang dengan kecepatan seperti itu! Namun Ah Fei sendiri bersikap biasa saja. Dibantunya Tie Zhuan Jia bangkit, lalu katanya, “Mari kita minum arak.”


Gong Sun Yu, Jin Feng Bai dan Bian Hao segera menghalangi jalan mereka. Kata Jin Feng Bai, “Kau hendak pergi sekarang? Tidak semudah itu.”

Ah Fei menyahut dengan tenang, “Apa yang kau ingin aku lakukan? Membunuhmu?”

Tiba-tiba Yi Ming Hu mendesah, “Biarkanlah mereka pergi.”

Kata Nyonya Weng berang, “Bagaimana kita membiarkan dia pergi? Semua usaha kita sia-sia…”

Yi Ming Hu melanjutkan, “Kau boleh pergi. Ini adalah cara dunia persilatan. Siapa yang memiliki pedang tercepat, dialah yang benar.”

Sahut Ah Fei, “Terima kasih untuk pengarahanmu. Aku tak akan pernah lupa.”

Nyonya Weng kini tersedu-sedu, “Bagaimana bisa kau lepaskan dia… Bagaimana bisa kau lepaskan dia!”

Wajah Yi Ming Hu membatu. “Apa yang kau inginkan? Kau ingin dia membunuh kita semua?”

Kata Bian Hao, “Saudara Kedua memang benar. Selama kita masih hidup, kita dapat membalas dendam di kemudian hari.”

Tiba-tiba Nyonya Weng melompat dan merenggut bajunya. “Kau masih punya nyali untuk berbicara? Ini satu lagi ‘kawanmu’. Ini sudah kali kedua….”

Kata Bian Hao, “Kau benar. Akulah yang membawanya. Aku akan bertanggung jawab.” Sambil mengatakan ini, ia keluar dari ruangan. Nyonya tercekat, lalu berteriak, “Saudara Ketiga, kembalilah!”

Segera ia mengejar keluar, namun Bian Hao sudah tidak terlihat lagi.
Yi Ming Hu mendesah dan berkata, “Biarkanlah dia pergi. Kuharap ia dapat bertemu dengan temannya.”

Mata Jin Feng Bai berbinar, “Maksudmu…”

Sahut Yi Ming Hu, “Jika kau sudah tahu siapa yang kumaksud, mengapa bertanya lagi?”

Kata Jin Feng Bai, “Jika Saudara Ketiga benar-benar dapat menemukan dia, bagaimana pun cepatnya pedang anak muda ini, ia tidak akan mungkin lolos.”

Zhao Zheng Yi tiba-tiba tertawa. “Sebenarnya Tuan Bian tidak perlu mencari orang itu.”

“O ya?”

Sahut Zhao Zheng Yi, “Dalam dua hari ini, tiga orang akan datang ke sini. Walaupun anak muda itu punya tiga kepala dan enam tangan, aku jamin ketiga kepalanya akan copot seketika!”

Tanya Jin Feng Bai, “Siapa ketiga orang itu?”

Kata Zhao Zheng Yi, “Jika kusebutkan nama mereka, mungkin kau pun akan mati berdiri.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar