SAMBUNGAN.....
adalah
dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”
Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud
suhunya ini dan semenjak berlatih ilmu di dalam Gua Tengkorak itu makin
terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup. Kini ia tahu akan maksud suhunya
yang dulu memperingatkan bahaya yang akan ada dalam perhubungannya dengan Ang I
Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu adalah “cinta” yaitu cinta dari pihak Ang I
Niocu yang usianya jauh lebih tua dari padanya. Kalau dara itu sampai tergoda
cinta kepadanya sedangkan perjodohan di antara mereka tidak dapat
dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa dan derita bagi Ang I
Niocu?
Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada
Ang I Niocu akan tetapi perasaannya ini hanyalah perasaan kasih seorang adik
kepada kakaknya, atau kalau mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang anak
kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu? Ia
diam-diam bergidik dan menaruh hati iba terhadap Ang I Niocu.
Pernah ia bertanya kepada suhunya akan segala
peristiwa yang terjadi di Gua Tengkorak itu dan mengapa banyak tokoh persilatan
menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan menceritakan seperti berikut,
“Gua ini dulu dibuat oleh seorang menteri
Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika Raja Hian Tiong mengangkat seorang
Tartar bernama An Lu San menjadi panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri
Lu Pin karena menteri yang waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang
asing menjadi panglima yang menguasai tentara. Akan tetapi nasihatnya tidak
dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya, setelah Panglima Tartar ini menjadi panglima
di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan
sejumlah tentara lima belas laksa orang dan memukul ke selatan! Kaisar yang
tidak becus mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan
panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja, hingga dengan
mudah barisan kerajaan dapat dimusnahkan oleh An Lu San dan kaisar sendiri lalu
mengungsi ke Secuan. Ibu kota lalu diduduki oleh An Lu San semenjak itu. Di
mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.
Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan
kecewa lalu melarikan diri karena ia dicari-cari oleh An Lu San untuk dibunuh.
Seluruh keluarganya terbunuh dan hanya ia sendiri yang dapat melarikan diri ke
daerah ini.
Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki
kepandaian seni ukir yang tinggi. Setelah menemukan gua ini dan memperbaikinya
hingga menjadi sebuah tempat tinggal yang besar dan aman, ia lalu mengumpulkan
tulang-tulang binatang besar yang banyak terdapat di gua ini, peninggalan dari
jaman purba, lalu dengan kepandaiannya ia membuat tulang-tulang binatang yang
besar itu menjadi tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu!
Jangan dikira bahwa itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu
hanyalah tulang-tulang binatang yang diukir dan dibentuk sebagai kerangka
manusia! Dari sini dapat dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri
she Lu itu!
Dalam pelariannya, Lu Pin berhasil membawa
banyak barang-barang berharga dari dalam istana, karena ia khawatir kalau-kalau
barang-barang itu terjatuh ke dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka
An Lu San mencari-cari menteri yang setia itu. Akan tetapi ternyata, berkat
pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan di dalam gua,
tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki gua dan Lu Pin selamat dan
tinggal di sini sampai datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia
dikubur dibawah hiolouw itu.
Kemudian, hal ini akhirnya dapat diketahui
oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini. Akan tetapi mereka tidak
menyangka bahwa di dalam gua ini terlebih dahulu telah tinggal seorang yang
tidak mereka sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin hingga usaha mereka
gagal!”
Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan heran.
“Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib malang itu?”
Bu Pun Su tersenyum. “Masih belum dapat
mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau bukan Suhumu sendiri?”
Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di depan
suhunya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri
di jaman ahala Tang yang bershe Lu?
“Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw
itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan
digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para patriot yang
melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu San. Yang tertinggal
hanyalah sebatang pedang kuno dan inilah barang itu!”
Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu
kepada Cin Hai. Pedang itu biarpun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan
tetapi masih berkilau dan sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf,
yaitu Liong Coan. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi
pedang pusaka Kerajaan Tang itu.
“Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”
“Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi
pedang ini? Bukankah pedang ini hanya menjadi alat pembunuh dan melukai sesama
manusia belaka? Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas
berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh
seorang algojo atau pembunuh?”
Bu Pun Su tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau
ternyata masih ingat akan semua nasihatku. Akan tetapi, sebenarnya bukan
pedanglah yang harus dipersalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang
yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya
sempurna. Buruk atau baik hanyalah terjadi karena akibat daripada perbuatan
orang dan hanyalah merupakan pandangan seseorang terhadap benda itu. Kalau
pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka ia menjadi pusaka keramat, akan
tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi senjata
laknat!” Setelah Cin Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu
berkata kembali, “Sekarang sudah waktunya kau pergi meninggalkan gua ini, Cin
Hai. Ingat baik-baik semua pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir : Jangan
sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Kalau terpaksa kau
harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah
melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tak berdosa, ke dua
melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga
pengkhianat-pengkhianat yang telah mengkhianati bangsa sendiri. Terhadap mereka
ini pun kalau kiranya masih ada jalan lain, jangan kau sembarangan membunuh
karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”
Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima
kasih lalu pergi meninggalkan gua di mana telah tiga tahun ia tinggal dan
mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.
Ketika meninggalkan Gua Tengkorak, suhunya
telah memberinya sekantung emas murni hingga Cin Hai tidak kuatir tentang biaya
perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I
Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an menemui ie-ienya. Biarpun ia sama
sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thionya,
yaitu Kwee-ciangkun, namun ia tidak dapat melupakan ie-ienya dan ingin sekali
ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhunya, hanya ada Ang I
Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang
dikasihinya.
Beberapa pekan kemudian tibalah ia di daerah
utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari ketika ia sedang berjalan dalam
sebuah hutan pohon pek yang indah, tiba-tiba ia mendengar suara orang
bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan kakinya dan di suatu tempat terbuka ia
melihat empat orang sedang bertempur hebat sekali.
Cin Hai bersembunyi di balik sebatang pohon
besar sambil mengintai dan ketika ia memandang dengan penuh perhatian,
terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang diantara mereka. Orang ini
tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang! Biarpun muka
pamannya telah berubah kurus dan rambutnya telah banyak uban, namun Cin Hai
tidak pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali mengapa pamannya mengenakan
pakaian petani biasa!
Kwee In Liang bertempur melawan seorang
perwira Sayap Garuda yang berbaju putih, tanda pada pinggir pakaiannya
menyatakan bahwa ia adalah seorang tingkat tiga, hingga lagi-lagi Cin Hai
merasa terheran. Mengapa pamannya yang juga serang panglima, bertempur melawan
perwira istana kaisar? Aneh sekali!
Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi
lawan pamannya dan yang juga bertempur dengan hebat. Orang ini adalah seorang
gadis muda yang memiliki kepandaian sitat, gesit dan hebat, bahkan sekali
pandang saja tahulah Cin Hai bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi
kepandaian Kwee-ciangkun sendiri. Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya
berwarna hijau muda dan bagian bawah bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya
kecil ramping dan wajahnya manis sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu
panjang dan hitam, diikat dengan sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya
yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang emas
yang berkilauan. Dara manis ini bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda
tingkat satu yang berkepandaian hebat sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa
adanya dara jelita yang biarpun berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu?
Ia lalu memperhatikan lawan gadis itu yang mengenakan baju merah
kehitam-hitaman. Ia menjadi terkejut karena kepandaian perwira Sayap Garuda
tingkat satu ini benar-benar lihai dan barangkali tidak berada di bawah
kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya model Mongol, yaitu ilmu pukulan
yang dicampur dengan ilmu gulat. Kedua lengan tangan perwira baju merah ini
merupakan cengkeraman harimau yang menyerang dengan buasnya. Gadis manis itu
nampak terdesak hebat!
Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya
dari cabang Kun-lun, dapat mendesak lawannya yang hanya menduduki tingkat tiga
di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak lawannya hingga
pada suatu saat yang baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk
dan berhasil menangkap lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan
tubuhnya berada di belakang tubuh perwira itu. Sekali saja ia menggentakkan
lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya hingga perwira
itu terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak menyia-nyiakan kesempatan ini
dan ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!
Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap
lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun telah berhasil pula mengalahkan
dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan berhasil
menotok jalan darah dara muda itu dengan tiam-hwa (ilmu totok) model Mongol
akan tetal cukup lihai hingga berhasil membuat lawannya tak berdaya! Melihat
betapa kawannya telah tertangkap oleh Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda
kelas satu itu lalu memegang pundak gadis tadi dan hendak dilarikannya!
“Keparat she Boan, jangan kauganggu anakku!”
Kwee-ciangkun membentak dan melemparkan perwira yang telah dikalahkannya tadi,
ia segera memburu.
Cin Hai yang mengintai di balik pohon ketika
mendengar betapa Kwee- ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, menjadi
tercengang dan memandang lebih memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis
itu teringatlah bahwa gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak
perempuan yang dulu diculik oleh Biauw Suthai! Hampir saja Cin Hai berseru
memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah
Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya,
akan tetapi kini setelah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak
perempuan yang dulu sangat jenaka dan nakal itu, timbut kegembiraan luar biasa
di dalam hatinya.
Untung ia dapat menahan lidahnya dan kini ia
memandang dengan penuh perhatian. Perwira baju merah itu ketika melihat
Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, segera mendahului
dengan serangan kakinya hingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan
terlempar! Ternyata bahwa Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.
“Ha, ha, ha! Orang she Kwee, aku hendak
membawa puterimu, kau mau apa? Kautolak pinanganku yang kuajukan dengan halus,
baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?”
Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!
Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon
menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu! Orang she Boan ini memang
lihai, maka ia mengelak sambaran pertama yang mengarah lehernya itu dengan
miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua cepat telah menyambar tepat
ke arah pundak kirinya. Hampir saja benda itu mengenai sasaran akan tetapi
perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan merendahkan tubuh. Sungguh
tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya merendah tanpa dapat dikelit
pula, benda ke tiga telah menyambar pundak kanannya!
Ia tidak merasa sakit karena benda yang
menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang disambar adalah urat penting di
bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas kesemutan hingga terpaksa ia
melepaskan tubuh Lin Lin. Dan pada saat yang sama, kembali melayang dua benda
lunak itu ke arah pundak dan lambung Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas
dari totokan perwira itu oleh dua sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang
merasa telah bebas cepat melompat ke samping dan menolong ayahnya yang ternyata
mendapat luka ringan di kaki karena babatan kaki perwira she Boan itu tadi.
Perwira itu ketika melihat bahwa benda yang
menyambarnya hanyalah sebutir buah kecil bulat yang banyak bergantungan di
pohon besar yang tumbuh di depannya itu merasa kaget sekali, dan ia maklum
bahwa tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya. Ia tahu bahwa penyerang
itu tentu berada di balik pohon besar, maka sekali ini ia menggerakkan tubuh,
ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari. Tetapi aneh, di situ tidak
terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan matanya, tetapi
sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat orang lain kecuali
mereka berempat!
“Orang she Kwee!” kata perwira itu marah.
“Kali ini aku ampunkan kau, tetapi, tunggulah kedatanganku pada pesta ulang
tahunmu untuk memberi selamat!”
Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah
tertolong oleh orang lain dan mengira bahwa benar-benar orang she Boan itu
berlaku murah, maka ia lalu berkata,
“Boan-enghiong, mengapa kau masih saja merasa
penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan jodohmu dan semenjak kecil telah
kupertunangkan dengan orang lain!”
“Tak perlu merundingkan hal ini sekarang,”
jawab perwira itu, ”Nanti saja di pesta ulang tahunmu. Kita berunding kembali
dengan baik-baik.”
Setelah berkata demikian, perwira itu mengajak
kawannya pergi dari situ dengan cepat. Kwee In Liang menghela napas dan berkata
kepada Lin Lin,
“Baiknya ia berlaku murah hati dan tidak mau
mengganggu kita.”
Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab,
“Ayah, kau tidak tahu. Kalau tidak ada orang
pandai yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”. Ia lalu
menceritakan betapa ia telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir
buah angcho, sedangkan perwira she Boan itu pun telah kena diserang sambaran
buah angcho yang lihai!
“Sayang, orang pandai itu menolong dengan
sembunyi-sembunyi, agaknya ia tidak mau berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin
dengan kecewa, karena sebetulnya ia ingin sekali melihat siapa orangnya yang
demikian lihai.
Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang
terkejut dan segera ia berseru dengan suara keras,
“Enghiong yang telah membantu kami, silakan
keluar agar kami dapat menyatakan terima kasih kami!”
Akan tetapi, biarpun telah berkali-kali ia
berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.
“Sudahlah, Ayah. Agaknya ia benar-benar tidak
mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat itu agaknya masih merasa penasaran
dan ia telah menyatakan hendak datang nanti pada hari ulang tahunmu. Kurasa ia
tak mempunyai maksud baik. Kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”
Kwee In Liang menghela napas. “Kau benar,
memang Boan Sip itu kurang ajar benar sekali. Tetapi aku masih ragu-ragu apakah
ia akan bersikap begitu kurang ajar menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam
pestaku.”
”Orang macam itu mungkin melakukan segala
perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi minta pertolongan Guruku. Akan tetapi,
Ayah... apa yang kaumaksudkan dengan kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku
telah... dipertunangkan...?” Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah
karena malu.
Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa
anaknya ini selain manja juga suka berkata terus terang hingga tidah malu-malu
bertanya tentang hal pertunangan.
“Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk
mencegah ia mendesak lebih jauh.”
“Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tak
perlu kiranya kita terlalu takut!” kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku
atau suciku bisa kuajak datang membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat
rendah itu!”
Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan
perjalanan keluar dari hutan itu. Ketika mereka tiba di luar hutan, tiba-tiba
dari jauh mereka melihat seorang pemuda berjalan mendatangi. Pemuda itu
berjalan perlahan sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari
pada kain berwarna kuning. Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang petani
dengan baju luar yang lebar dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang
hitam tebal itu diikat dengan kain pita kuning. Jubahnya berwarna biru dan
celananya putih.
Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu
dengan penuh perhatian karena ia seakan-akan merasa sudah kenal kepada pemuda
ini sedangkan Lin Lin hanya mengerling sekali tanpa perhatian. Akan tetapi,
ketika pemuda itu telah berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak
terkejut dan berdiri diam, lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil
berkata,
“Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan
dengan Kwee-ciangkun?”
Kwee In Liang memandang tajam dan juga Lin Lin
kini memandang penuh perhatian kepada pemuda ini.
“Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah
Tuan yang telah mengenal padaku?”
Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan
pakaiannya dan memberi hormat sambil menjura,
“Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah
adalah Cin Hai!”
“Cin Hai... ?” Kwee In Liang berseru terkejut,
akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.
“Engko Hai...!” Lin Lin berteriak girang
sekali. “Eh, kau sekarang tidak gundul lagi!”
Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai
memandang dan ia tidak dapat menahan geli hatinya hingga ia tertawa gembira,
juga Lin Lin tertawa senang sambil memandang dengan sepasang matanya yang
bening dan indah seperti mata burung Hong itu.
“Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi ke
mana saja?” tanya Lin Lin.
“Aku... aku hanya merantau tak tentu arah
tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini Ie-thio dan seluruh keluarga
baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku yang telah lama tidak dapat
menghadap.”
“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai, kau sekarang
sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah mendapatkan banyak kemajuan,
syukurlah.” kata-kata ini sederhana sekali hingga Cin Hai maklum bahwa pamannya
ini masih saja tidak suka kepadanya, maka ia pun tidak banyak bicara, hanya
berkata singkat,
“Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an
dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia baik-baik saja?”
“Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai.
Tetapi, kami sekarang tidak tinggal di Tiang-an lagi, telah hampir tiga tahun
Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak
menjabat pangkat lagi dan kami telah menjadi orang-orang biasa dan hidup
sebagai petani!”
Berita ini benar-benar tak terduga oleh Cin
Hai. Ia memandang kepada Ie-thionya dengan mata terbelalak dan mengandung penuh
pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang menegur puterinya.
“Lin Lin, tak perlu kita bicarakan hal itu di
sini. Cin Hai, kau sekarang hendak ke manakah?”
Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan,
maka Cin Hai juga tidak hendak merendahkan diri hingga ia menjawab,
“Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi
karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku... aku akan melanjutkan
perantauanku...”
“Eh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami.
Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang anak-anak Kwee In Liang semua
menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.
Karena tidak ada ucapan dari orang tua itu yang
mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana, “Baiklah, Adik Lin. Kalau
kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”
“Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau
benar-benar telah melupakan Bibimu, melupakan kami? 0, ya! Nanti pada hari ke
lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi kami akan mengadakan sedikit
perayaan guna memperingati hari ulang tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus
datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!”
“Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya
Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang hingga terpaksa orang tua ini
berkata,
“Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah
lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah jangan kita ganggu Cin Hai lebih lama lagi!
Ia tentu mempunyai keperluan penting. Hayo kita pergi!”
Maka berpisahlah mereka, akan tetapi sekali
lagi Lin Lin berpaling sambil berkata keras-keras, “Engko Hai, jangan lupa hari
ke lima belas, dan... kau masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta
sulingmu!”
Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di
bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang
masih mempunyai perasaan tidak suka kepadanya dan sikap orang tua itu sungguh
dingin hingga ia segan sekali untuk mengunjungi rumahnya. Akan tetapi, Lin Lin
mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang
sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu.
Lincah, jenaka dan gembira. Alangkah indahnya mata gadis itu. Dan kepandaiannya
juga tidak rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai.
Diam-diam ia bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi
kepandaian yang tinggi. Haruskah ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap
Kwee In Liang demikian dingin, apalagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang
lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak dilayani dan dianggap sepi?
Akan tetapi, ia harus melihat ie-ienya yang
telah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka menghina atau menganggap rendah
kepadanya, karena ia tidak butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, dan
juga ada Lin Lin yang tentu akan menyambut kedatangannya dengah tamah. Dan yang
lebih penting pula, pada hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya!
Perwira she Boan itu akan datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu, agaknya
sukar bagi Lin Lin untuk menyelamatkan diri. Ia harus datang, dan akan
melihat-lihat saja dulu, kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan
lain-lain orang pandai, ia hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi kalau
sampai gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau ia terpaksa harus turun
tangan!
Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan
perjalanannya. Ia merasa heran sekali mengapa wajah Lin Lin yang manis itu
selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, ketika ia teringat akan
kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah dipertunangkan dengan pemuda lain,
tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang, heran sekali! Diam-diam Cin Hai
menegur perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut gembira
mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak senang? Ada
hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin dan ia berusaha
sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin dari pikirannya, akan tetapi
tidak berhasil!
Ia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I
Niocu. Telah tiga tahun ia tidak bertemu dengan Dara Baju Merah yang telah
berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali
bertemu kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh Ang I Niocu mencari sucinya, yaitu Kim
Lian atau yang dijuluki Giok gan Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.
Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan
selama sepuluh hari itu ia akan mencoba mencari Ang I Niocu. Ia masih ingat
bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak
jauh dari situ. Untuk pergi ke sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan
waktu lima hari. Masih ada waktu baginya, maka dengan hati tetap Cin Hai lalu
melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, sebuah kota di lereng
pegunungan yang banyak hutannya.
Setelah menerima perintah dari Susiok-couwnya,
Ang I Niocu pergi mencari sucinya ke Lok-bin-si. Akan tetapi, ketika ia tiba di
situ, ia mendengar bahwa Giok-gan Kui-bo telah lama pergi meninggalkan daerah
itu dan kabarnya merantau ke arah barat. Ang I Niocu sebetulnya ingin
lekas-lekas kembali ke Gua Tengkorak karena semenjak meninggalkan tempat itu,
hatinya tertinggal di sana bersama Cin Hai, pemuda yang telah merebut seluruh
isi hatinya itu.
Akan tetapi ia tidak berani kembali dan
bertemu dengan susiok-couwnya sebelum bertemu dengan sucinya. Ia maklum bahwa
susiok-couwnya itu sangat bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas
itu diselesaikan, maka ia tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini,
ia lalu menyusul ke barat, mencari sucinya.
Daerah barat sangat luas sehingga tidak mudah
mencari seorang yang tidak diketahui jelas di mana tinggalnya, walaupun orang
itu begitu terkenal seperti Giok-gan Kui-bo sekalipun! Oleh karena ini maka Ang
I Niocu merantau sampai dua tahun lebih belum juga dapat bertemu dengan
Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan sedih sekali. Ia merasa amat rindu kepada
Cin Hai, akan tetapi apa dayanya? Pemuda itu sekarang berada dengan
susiok-couwnya dan ia sekali-kali tidak berani menghadap Bu Pun Su sebelum
tugasnya selesai.
Oleh karena memang berwatak baik, di sepanjang
jalan Ang I Niocu tiada hentinya mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya
untuk menolong mereka yang menderita, membela kaum tertindas dan membasmi para
penjahat yang mengganas. Maka di daerah barat namanya pun menjadi terkenal
sekali.
Setelah ia tiba di sebuah kota yang disebut
Bok-chiu, akhirnya ia mendapat keterangan tentang nama sucinya. Ternyata
sucinya terkenal sekali di kota ini karena dengan seorang diri saja Giok-gan
Kui-bo telah menghajar habis-habisan kepada kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang
terkenal sekali di kota Bok-chiu. Pertempuran ini terjadi ketika para piauwsu
itu bermusuhan dengan seorang piauwsu baru yang belum lama membuka perusahaan
piauwkiok (kantor pengirim barang) di kota itu. Memang Oei-houw-piauwkiok
terkenal mempunyai barisan yang terdiri dari jago-jago silat berkepandaian
tinggi dan karenanya ditakuti oleh semua orang di kota itu, juga para penjahat
dan perampok yang biasa mencegat di hutan-hutan dan gunung-gunung apabila
melihat bendera warna kuning dengan gambar kepala harimau, tidak ada yang
berani mengganggu. Akan tetapi Oei-houw-piauwkiok memasang tarip terlalu tinggi
untuk biaya pengiriman dan pengawalan barang. Oleh karena itu ketika piauwsu
yang baru itu membuka perusahaannya, para saudagar yang mengirim barang mulai
mempercayakan barang-barangnya kepada piauwsu yang bernama Ong Hu Lin itu. Hal
ini membuat para piauwsu dari Oei-houw-piauwkiok menjadi marah sekali dan
terjadilah permusuhan.
Ong Hu Lin adalah seorang piauwsu yang masih
muda dan berwajah tampan. Ilmu silatnya lumayan juga dan ia memiliki ilmu golok
yang lihai. Almarhum ayahnya juga seorang piauwsu yang ternama di daerah barat
dan ia hanya menggantikan kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari
pekerjaan lain. Dengan mengandalkan kepandaiannya, ia mencari nafkah dengan
mengawal barang-barang berharga dan mendapat upah sekedarnya.
Pada suatu hari, Ong Hu Lin mendapat
kepercayaan dari hartawan Lui untuk mengawal kiriman segerobak cita yang mahal
harganya. Ketika melalui sebuah hutan, tiba-tiba ia diganggu oleh kawanan
perampok yang terdiri dari belasan orang. Ong Hu Lin menghadapi kepala rampok
itu dan berkata,
“Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku
yang sedang mencari nafkah. Kalau kalian menghargai persahabatan, maka
sepulangku dari tempat ke mana barang ini harus kukirim, aku akan singgah untuk
memberi hormat dan akan membawa sekedar barang hadiah sebagai tanda
penghormatan.”
Akan tetapi Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu
bahwa perampok-perampok itu bukan lain adalah kaki tangan para piauwsu di
Oei-houw-piauwkiok yang sengaja menyewa tenaga mereka untuk mengganggu Ong Hu
Lin. Maka tentu saja kata-katanya itu ditertawakan saja oleh kawanan perampok,
dan kepala perampok yang tinggi besar itu membentak,
“Piauwsu hijau jangan banyak cakap. Tinggalkan
barang-barang ini di sini dan kau pergilah kalau kausayangi jiwamu. Orang macam
kau tidak pantas menjadi piawsu, dan lebih baik kaututup saja perusahaanmu itu!
Ha-ha-ha!”
Ong Hu Lin marah sekali. Dicabutnya golok yang
tergantung di pinggangnya dan ia lalu dikeroyok. Akan tetapi, ternyata bahwa
kepandaian Ong-piauwsu cukup tangguh hingga tak lama kemudian beberapa orang
anggauta perampok telah roboh mandi darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia
dapat mendesak sekalian perampok itu.
Pada saat itu, tiba-tiba muncul tiga orang
yang membantu para perampok mengeroyok Ong-piauwsu dan mereka ini bukan lain
adalah para piauwsu Oei-houw-piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang
piauwsu ini lihai juga dan sebentar saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya
terancam. Pada saat itu, terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus
merdu tetapi mendirikan bulu tengkuk karena tidak terlihat orangnya dan
tahu-tahu berkelebat bayangan menyambar para pengeroyok itu. Sebentar saja
habislah para perampok berikut tiga orang piauwsu itu disapu oleh seorang
wanita yang bergerak menari-nari dengan cepat dan ganas. Di mana saja tangan
atau kakinya menyambar, tentu seorang perampok terlempar dan bergulingan sampai
jauh! Akhirnya semua perampok lari tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan
yang terluka.
Ong Hu Lin berdiri memandang dengan kedua mata
terbelalak. Ternyata yang menolongnya dengan kepandaian luar biasa itu adalah
seorang wanita yang cantik dengan sepasang mata genit dan liar mengerling
kepadanya. Mulut wanita itu tersenyum manis. Rambutnya hitam panjang dibiarkan
tergantung di punggungnya, bajunya berwarna hijau dan celananya putih.
ONG Hu Lin sadar dari keheranannya dan
buru-buru ia menjura memberi hormat, “Lihiap yang gagah perkasa, siauwte
sungguh berhutang budi dan tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”
“Ong-piauwsu, janganlah kau terlalu sungkan.
Bukankah kita adalah orang-orang sekaum di kalangan kang-ouw dan sudah
seharusnya saling menolong?” Wanita itu menjawab dengan suaranya yang merdu.
Ong Hu Lin terkejut. “Bagaimana Nona bisa
mengetahui namaku?”
“Bukankah kau Ong Hu Lin, piauwsu muda yang
membuka perusahaan di Bokchiu?” kata wanita itu yang bukan lain adalah Giok-gan
Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali aku bertemu dengan ketiga orang Piauwsu dari
Oei-houw-piauwkiok itu dan mendengar mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku
membiarkan saja mereka berlaku sewenang-wenang?”
“Terima kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah
nama Lihiap yang lihai seperti bidadari ini?”
Giok-gan Kui-bo mengerling dengan gaya yang
manis dan genit dan memandang wajah yang tampan itu dengan tajam. “Namaku Kim
Lian dan orang menyebut aku Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita Bermata Intan).”
Melihat gerak-gerik dan lagak wanita cantik
ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang genit,
maka ia lalu berlancang mulut berkata sambil tersenyum manis.
“Sungguh nama dan julukan yang indah dan
manis, sesuai benar dengan orangnya.”
Giok-gan Kui-bo berpura-pura marah dan
memandang dengan mata melotot, tetapi bibirnya tetap tersenyum!
“Lihiap, harap kaujangan kepalang menolong
orang.” kata Ong Hu Lin.
“Apa maksudmu?”
“Sudah jelas bahwa diriku yang tiada kawan ini
dimusuhi oleh kawanan Oei-houw-piauwkiok yang terdiri dari orang-orang pandai.
Kalau tidak ada engkau yang lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka sudilah
kau mengawani aku berjalan bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu
tidak berani mengganggu lagi.”
“Kalau aku mau apakah upahnya?” Kim Lian
bertanya sambil tertawa genit. “Apa yang kauminta, Lihiap, biar jiwaku
sekalipun akan kuberikan kepadamu.” jawab Ong Hu Lin yang ternyata pandai
bermain kata-kata.
Demikianlah semenjak saat itu mereka berdua
menjadi kawan baik yang tidak berpisah lagi. Ketika Ong Hu Lin bersama Kim Lan
kembali ke Bok-chiu, mereka ditunggu oleh kawanan piauwsu dari
Oe-houw-piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua piauwsu itu dengan mudah saja
dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya piauwsu-piauwsu itu menyatakan
takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi pemimpin piauwkiok itu.
Sebaliknya Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan
baik Ong Hu Lin. Akan tetapi, karena memang sudah biasa merantau dan tidak
kerasan tinggal di dalam sebuah rumah dan mengurus rumah tangga, Kim Lan lalu
meninggalkan Ong Hu Lin dan membuat tempat tinggal sendiri di dalam sebuah gua
di gunung yang dekat dengan kota Bok-chiu. Gua ini ia jadikan tempat
beristirahat dan kadang-kadang saja ia pergi menemui Ong Hu Lin di rumahnya.
Giok-gan Kui-bo sama sekali tak pernah
menyangka bahwa Ong Hu Lin sebetulnya telah mempunyai seorang isteri! Dan
isterinya ini bukanlah seorang sembarangan karena isterinya ini adalah Pek bin
Moli Si Iblis Wanita Muka Putih, yaitu puteri tunggal dari Pek Moko! Ong Hu Lin
bertemu dengan Pek Moko dan puterinya dan Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya
hingga akhirnya dipaksa kawin dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya kalau melihat orangnya,
setiap pemuda pasti akan bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami
Pek-bin Moli yang selain muda dan cantik, juga memiliki kepandaian silat
tinggi, karena dalam hal kepandaian silat, selain menerima pendidikan dari
ayahnya, Pek Moko, ia juga menerima pendidikan dari supeknya, ialah Hek Moko
yang lihai! Akan tetapi celakanya, Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak
miring! Gadis ini menjadi gila karena suatu penyakit panas hingga betapapun
cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin tidak tahan melihat keadaan isterinya dan
menjadi jijik dan takut! Oleh karena ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin
berhasil melarikan diri dan minggat dari isterinya yang gila ini hingga sampai
di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan Kui-bo yang biarpun kecantikannya tidak
melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi sikapnya menarik hati dan tidak gila!
Suami yang meninggalkan isterinya ini sama
sekali tak pernah mimpi bahwa pada saat itu, isterinya yang gila telah
menyusulnya dan berhasil mengetahui tempat tinggalnya! Bahkan isteri yang gila
akan tetapi mewarisi kecerdikan ayahnya ini telah mengetahui pula akan
perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo! Kalau saja ia tahu, tentu ia akan lari
pergi karena ia takut setengah mati kepada isterinya ini dan sudah maklum akan
kepandaian isterinya yang lihai sekali.
Pada suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan
enaknya tidur di dalam kamarnya, tahu-tahu jendela kamarnya terbuka dari luar
dan suara yang sangat dikenal dan ditakutinya memanggilnya. Ong Hu Lin membuka
matanya dan ia menggosok-gosok mata karena mengira bahwa ia sedang bermimpi.
Ternyata bahwa sambil tersenyum-senyum manis tetapi dengan sepasang mata
bersinar menakutkan, di depan pembaringannya telah berdiri Pek-bin Moli,
isterinya yang berotak miring itu! Pek-bin Moli memakai baju kotak-kotak lucu
sekali dan celananya berwarna kuning gading.
“Kau...?” Ong Hu Lin berseru.
“Hi-hi, kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang
manis?” Pek-bin Moli tertawa dan menghampiri hingga diam-diam Ong Hu Lin
menggigil ketakutan. “Hayo kauberitahukan padaku di mana adanya sundal yang
menjadi kekasihmu itu?”
“Sia... siapa... yang kau... kaumaksudkan...?”
Ong Hu Lin bertanya gagap.
“Hi-hi, siapa lagi kalau bukan Giok-gan
Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan antar aku menemuinya. Atau haruskah aku menggunakan
paksaan?” Biarpun suara isterinya terdengar merdu, akan tetapi sinar matanya
mengeluarkan ancaman hebat hingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa
menyanggupi. Ia dapat membujuk-bujuk isterinya yang gila itu untuk menanti
sampai besok pagi, karena tidak mungkin malam-malam yang gelap itu mencari gua
tempat Giok-gan Kui-bo. Karena Pek-bin Moli sangat mencinta suaminya, maka ia
menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa menuturkan cerita bohong, dan
mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau dan meluaskan pengalaman.
Setelah malam berganti pagi, maka Ong Hu Lin
terpaksa mengantarkan isterinya itu mengunjungi gua di mana Giokgan Kui-bo
tinggal! Semua piauwsu di situ terheran-heran karena tidak tahu bilamana
datangnya seorang wanita cantik yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan
tahu-tahu wanita itu telah keluar dari kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah
Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita itu adalah isterinya, semua orang
terkejut sekali tak seorang pun berani banyak bertanya.
Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I
Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang perhubungan sucinya dengan Ong Hu
Lin. Ia pergi menyelidik dan mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan
Kui-bo yang sekarang kabarnya tinggal di dalam sebuah gua di gunung yang berada
tak berapa jauh dari kota itu. Maka ia pun lalu menyusul ke sana!
Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di
dalam gua tempat tinggalnya, menanti mendidihnya air yang dimasak, ketika
tiba-tiba tirai bambu yang dipasang di depan guanya itu terbuka. Seorang wanita
muda yang cantik dan berpakaian aneh telah berada di depannya sambil tertawa
ha-ha-hi-hi. Kim Lian memperhatikan wanita ini. Ternyata bahwa rambut wanita
ini pun terurai ke belakang dan di atasnya diikat dengan pita hijau. Bajunya
kotak-kotak hitam dan nampak lucu sekali.
“Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena
menyangka yang datang hanyalah seorang gadis dusun yang ingin menemuinya.
“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah
sundal tak tahu malu yang merampas suamiku? Ha, ha!”
“Kau... kau gila!” Kim Lian memaki marah
sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba
wanita itu menuding dengan jari telunjuknya yang runcing. “Kau harus mampus!”
Setelah berkata demikian Pek-bin Moli menampar
dengan tangannya ke arah pipi Lim Lian. Giok-gan Kui-bo marah sekali dan
menggerakkan tangannya hendak menangkap tangan yang menampar itu, akan tetapi
alangkah herannya ketika tangan yang menampar itu dapat berkelit dan
melanjutkan tamparannya dari lain jurusan dan “plak!” pipinya kena tampar!
Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama
merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada orang berani menghinanya, apalagi
menamparnya!
“Anjing betina! Siapakah kau berani main gila
di depanku?” bentaknya dengan dada turun naik karena marahnya.
“Hi, hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil
tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum pernah mendengar tentang Pek-bin
Moli?”
Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama
ini. “Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau ini puteri Pek Moko? Mengapa kau
datang-datang memaki dan menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat ia
melupakan kemarahannya.
“Hi, hi, hi! Kau main gila dengan suamiku dan
kau masih bertanya mengapa aku menamparmu? Ha, ha, suami orang tidak bisa
dibagi-bagi!”
Giok-gan Kui-bo melirik keluar gua dan melihat
bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.
“Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia
tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”
“Ha, ha, ha! Ia terlalu cinta padaku, mana ia
mau mengobral namaku disebut-sebut kepada sembarang orang? Hi, hi, hi!”
“Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan
jangan kaukira aku Giok-gan Kui-bo takut kepadamu. Sekarang kau mau apa?”
“Eh, eh, kau mau melawan? Baik, kau
mampuslah!” Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli lalu menyerang dan keduanya
lalu bertempur hebat di dalam gua yang sempit itu! Kalau Giok-gan Kui-bo lihai
sekali gerakan tangannya yang seperti menari-nari dengan buasnya itu, adalah Pek-bin
Moli yang bermuka putih halus itu luar biasa lihainya mempergunakan kedua
kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam sepatu, tepat di bawah telapak kakinya,
tersembunyi besi baja yang menambah kelihaian tiap tendangan dan sepakan wanita
ini. Selain itu, Pek-bin Moli memiliki ginkang luar biasa dan tubuhnya
seakan-akan melayang-layang ke atas sambil mengirim tendangan bertubi-tubi
bagaikan kedua kakinya tak pernah menyentuh tanah. Akan tetapi Giok-gan Kui-bo
melawan dengan sungguh-sungguh. Pertempuran itu sungguh menarik dan hebat
sekali. Tendangan dan pukulan sampai menimbulkan angin mendesir dan suaranya
keluar dari gua itu membuat tirai bambu yang berada di luar bergoyang-goyang
seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu Lin berdiri dengan muka pucat dan
tubuh menggigil.
Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin
setitik bayangan merah yang naik ke tempat itu dengan cepat sekali. Ia cepat
menyelinap ke samping gua dan bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu
tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah dekat, ia melihat bahwa yang
datang itu adalah seorang wanita berbaju merah yang luar biasa cantiknya.
“Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah
bersembunyi karena aku sudah melihatmu!”
Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan
dengan muka makin pucat ia keluar dari tempat persembunyiannya. “Dimana adanya
Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu dengan suara keren. Ong Hu Lin makin heran.
Siapakah wanita ini yang agaknya memiliki kepandaian hebat dan yang
datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”
“Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Tak usah kau tahu. Lekas katakan di mana
adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I Niocu membentak marah hingga Ong Hu Lin merasa
takut. “Dia... dia sedang bertempur melawan isteriku... “
“Isterimu? Siapakah dia?”
“Pek-bin Moli...”
Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke
arah tirai bambu yang tergantung di depan gua yang kini bergoyang-goyang karena
sambaran angin pukulan dari dalam gua. Ia segera melompat dan menggunakan
tangan kiri menyingkap tirai itu.
Pada saat itu, dengan Ilmu Tendangan
Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang mendesak hebat kepada Giok-gan Kui-bo yang
berkelit ke sana ke mari mengelak tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu.
Tepat pada saat Ang I Niocu membuka tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri
telah melanggar pundak kiri Giok-gan Kuibo yang mengeluarklan seruan tertahan
dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim
tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu
tendangannya itu tertangkis oleh sebuah lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin
Moli kaget dan melompat mundur sambil memandang Dara Baju Merah yang
menghalang-halangi serangannya tadi.
“Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan
tenang sedikit. Maafkanlah Suciku kalau ia bersalah. Kesalahannya tidak sangat
besar hingga kau tak perlu menjatuhkan tangan maut!”
“Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata
berputar-putar hebat.
“Aku Sumoinya.”
Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian
itu, agaknya Pek-bin Moli teringat. “Hi, hi, kau tentu Ang I Niocu bukan? Kau
memang cantik jelita!”
“Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum
bahwa wanita di depannya itu memang berotak miring maka percuma saja diajak
bicara panjang lebar “sekarang aku putuskan. Kau pergi dari sini membawa
suamimu sebelum ia lari lagi, atau kaubiarkan suamimu lari pergi dan kau
bertempur melawan aku?”
Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak “Apa?
Suamiku lari pergi lagi? Mana dia...? He, Ong Hu Lin...! Tunggu...!” Dan wanita
gila ini berlari keluar sambil berteriak-teriak memanggil nama suaminya.
Setelah bertemu di luar, ia lalu menggandeng tangan suaminya itu dan diajak
pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja seperti seekor kerbau ditarik tali
hidungnya.
Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang
merintih-rintih. Luka di pundaknya walaupun tidak membahayakan jiwanya, tetapi
terasa sakit sekali.
“Suci, telah dua tahun aku mencari-carimu di
mana-mana. Tidak tahunya di sini kau memperebutkan seorang laki-laki dengan
wanita gila itu!”
Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo
tidak menjawab hanya menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela napas, karena
tahu bahwa jika berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan sikap
lemah dan mengalah. Ia maklum bahwa sucinya ini mempunyai kebiasaan buruk dan
genit hingga banyak orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan
tetapi sebenarnya, di dalam hati ia tak begitu jahat.
“Suci, kalau saja kau berada di pihak benar,
belum tentu kau kalah oleh wanita gila itu. Akan tetapi kau telah berlaku sesat
dan membiarkan dirimu dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit
luka itu anggaplah saja sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”
Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah
Giok-gan Kui-bo hingga wajahnya berubah pucat.
“Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum
menjatuhkan putusan pendek dan tegas. Akan tetapi beliau minta supaya aku
memberi peringatan kepadamu. Kau telah berkali-kali melanggar pantangan sebagai
orang gagah dan melakukan perbuatan-perbuatan rendah. Kau mencuri, merampok,
menculik pemuda-pemuda dan kau mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang
jawablah, bagaimana pikiranmu?”
Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab,
“Im Giok, memang aku telah bersalah... tetapi apa dayaku? Aku sebatangkara,
hidupku merana menderita. Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri, siapakah
yang dapat memberi kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidupku
dalam kesunyian dan mati dengan hati menderita?”
Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan
tetapi ia mengeraskan suaranya ketika berkata dengan tegas, “Suci, kau juga
tahu bahwa di dunia ini ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan
jahat dan ada pula kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu
hatimu yang jahat? Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang
nafsu jahatmu dan apakah kau tidak memiliki lagi kebersihan batin seorang
wanita yang sopan dan menjunjung tinggi kesusilaan?”
“Sudahlah, sudahlah...” tiba-tiba Giok-gan
Kui-bo menjatuhkan diri sambil menangis. “Kau mana tahu tentang kasih sayang,
mana tahu tentang cinta! Selama hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan
merasa bagaimana celakanya hati yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat
daripada batu!” Kim Lian memandang sumoinya dengan mata basah. Ia sama sekali
tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam
menusuk uluhati Im Giok hingga Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat.
Dara Baju Merah ini teringat akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ah, Suci,
kalau saja kau tahu betapa berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.
“Im Giok, aku memang telah bersalah.
Beritahukan saja kepada Susiok-couw bahwa semenjak hari ini aku Kim Lian akan
mencukur rambut dan menjadi nikouw (pendeta wanita) dan bertapa di gua ini. Aku
takkan mencampuri urusan dunia lagi dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”
Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan
hatinya. Ia maju menubruk dan memeluk sucinya dan mereka berdua sama-sama
menangis. Ang I Niocu merasa girang mendengar akan keinsyafan sucinya ini, akan
tetapi kata-kata Ki Lian tadi benar-benar menusuk hatinya.
“Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai
tersesat seperti aku,” kata Kim Lian sambil mengusap-usap rambut sumoinya yang
halus.
“Suci... aku pun hanya seorang manusia biasa
saja yang tidak terbebas dari kesesatan...”
Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang
terharu, lalu dengan tiba-tiba ia mencabut pedang yang tergantung di punggung
Ang I Niocu. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam
dan tergantung riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya! Ang I Niocu
hanya dapat memandang dengan hati terharu sekali. Setelah kedua kakak beradik
seperguruan itu bercakap-cakap melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu meninggalkan
Kim Lan.
Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya karena
ia ingin segera sampai di Gua Tengkorak dan memberi laporan kepada Bu Pun Su
tentang tugas yang telah diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin
segera bertemu dengan Cin Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa
itu!
Ketika dengan hati berdebar-debar Ang I Niocu
memasuki Gua Tengkorak itu, ia melihat Bu Pun Su duduk bersila menghadapi
hiolouw yang mengepulkan asap putih. Ia tidak melihat Cin Hai di situ dan
diam-diam ia merasa kecewa dan kuatir.
Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan
berkata,
“Susiok-couw, teecu datang menghadap.”
“Bagus, Im Giok, kau telah kembali. Bagaimana
dengan usahamu mencari Kim Lian?”
Dengan panjang lebar Ang I Niocu menceritakan
pengalamannya dan ketika ia menceritakan keputusan sucinya yang nekad dan
mencukur rambut untuk masuk menjadi nikouw, tak tertahan pula ia mengucurkan
air mata.
Bu Pun Su mengangguk-angguk dan menghela
napas.
“Baik juga keputusannya itu. Betapapun dosa
seseorang, asal dia dapat insyaf dan kembali ke jalan benar untuk selanjutnya
menebus kekeliruan yang sudah-sudah dengan tindakan-tindakan sempurna, maka ia
boleh disebut seorang bijaksana.” Kemudian, setelah berdiam untuk beberapa lama
sambil memandang wajah gadis yang tunduk itu dengan tajam, tiba-tiba Bu Pun Su
berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Im Giok, kalau aku tidak salah sangka, luka
di hatimu akibat gagalnya perjodohanmu dengan pemuda pilihanmu dulu agaknya
sekarang telah sembuh dan kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali. Anak, bagi
seorang wanita, mendirikan rumah tangga yang baik dan penuh damai adalah jalan
yang terutama untuk membebaskan diri dari pada godaan dunia dan untuk memenuhi
tugas kewajiban sebagai seorang manusia. Lihatlah contohnya Sucimu itu, karena
ia sebagai seorang gadis hidup seorang diri dan tidak mendirikan rumah tangga,
maka banyak penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau mempunyai
iman yang kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya menyiksa diri
dengan hidup menyendiri? Kau tidak mempunyai jodoh untuk menjadi seorang
pendeta wanita yang takkan kawin selama hidupnya!”
Ang I Niocu mendengarkan kata-kata orang tua
itu dengan hati berdebar, karena kata-kata itu memang tepat dan seakan-akan
susiok-couwnya dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi karena merasa malu, ia
tidak berani mengangkat muka dan tetap bertunduk.
“Im Giok, baiklah kita berterus terang saja.
Kau perlu mendapat seorang suami yang baik sekali, dan aku telah melihat
seorang pria yang agaknya akan cocok untuk menjadi kawan hidupmu selamanya.”
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu memerah dan
hatinya makin berdebar. Timbul harapan yang diliputi kekuatiran di dalam
hatinya. Siapakah orang laki-laki yang dimaksudkan oleh susioknya ini? Apakah
Cin Hai?? Ia tak berani bertanya dan masih tetap tunduk.
“Kalau kau setuju, aku bersedia menjadi
perantara, Im Giok. Biarlah aku akhiri masa hidupku untuk menjadi seorang
comblang yang menghubungkan dua orang manusia sehingga menjadi suami isteri
yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”
Terpaksa Ang I Niocu menjawab dengan suara
hampir tak terdengar,
“Susiok-couw, bagaimana teecu dapat menjawab
kalau teecu tidak tahu siapa... orang yang dimaksudkan itu?”
“Ha-ha, Im Giok. Bukan orang yang tidak
kaukenal, bahkan hubunganmu dengan dia akrab sekali!”
Makin berdebarlah hati Im Giok dan ia
mendengar dengan penuh perhatian.
“Orang itu bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku
telah tahu benar-benar akan perhubunganmu dengan dia dan telah kuketahui bahwa
ia benar seorang baik dan patut dipuji. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini,
Im Giok?”
Bukan main kecewa rasa hati Ang I Niocu.
“Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum
ingin mengikat diri dengan perjodohan!”
“Im Giok, jawabanmu ini sama artinya dengan
penolakan! Katakanlah! Apakah Kang Ek Sian bukan seorang laki-laki yang baik?”
“Dia memang seorang baik, Susiok-couw, akan
tetapi... bagaimana teecu dapat menjadi isteri seorang yang tidak... teecu
cinta... ?”
“Aha, anak muda sekarang!” Bu Pun Su berseru.
“Cinta membutakan mata, anak. Bukti-bukti telah menyatakan bahwa kerukunan dan
saling mengerti dapat mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih sempurna daripada
cinta muda yang hanya terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa kau telah
tertarik hatimu oleh Cin Hai. Betulkah?”
Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu
mendengar ini. Bagaimana kakek ini dapat mengetahui segalanya? Dapat mengetahui
tentang segala persoalannya dengan Kang Ek Sian dan dapat tahu pula rahasia
hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani mengangkat muka dan hanya tunduk dengan
muka sebentar pucat sebentar merah.
“Im Giok, kau telah mendekati jurang yang
curam dan berbahaya! Kau boleh menaruh hati sayang kepada Cin Hai, akan tetapi
bukan kasih sayang seorang wanita terhadap laki-laki. Seharusnya kasih sayangmu
itu kaudasarkan atas rasa kasihan dan kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu
sekarang, dan berapa usia Cin Hai? Harus kuakui bahwa kau memang masih nampak
muda sekali berkat telur burung rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan
tetapi lewat sepuluh tahun lagi saja, kau akan menjadi tua dan Cin Hai masih
tetap muda. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kepincangan sehingga akan
merupakan gangguan hebat terhadap kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan
sekarang pergilah!”
Mendengar kata-kata yang terus terang dan
menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I Niocu menangis tersedu-sedu hingga tubuhnya
berguncang-guncang. Ia tidak melihat betapa Bu Pun Su memandangnya dengan sinar
mata penuh iba hati.
“Im Giok, kelak kau akan ingat bahwa aku
memberi semua nasihat ini semata-mata untuk kebaikanmu sendiri dan kau akan
mendapat kenyataan bahwa semua kata-kataku benar belaka. Sekarang gunakanlah
imanmu dan kuasailah hatimu kembali. Kau boleh pergi dan apa pun yang menjadi
keputusanmu aku tidak melarang. Aku takkan mencampuri urusan orang muda, tetapi
sewaktu-waktu kalau kau setuju dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”
Ang I Niocu lalu menghaturkan terima kasih dan
mengundurkan diri lalu keluar dari gua itu diikuti pandangan mata Bu Pun Su
yang menggeleng-gelengkan kepala, karena kakek ini diam-diam merasa kasihan
sekali.
“Nafsu, nafsu... kau memang kejam dan suka
mempermainkan hati orang muda!” katanya perlahan kepada asap putih yang
mengepul di depannya.
Setelah keluar dari gua itu, diam-diam Ang I
Niocu mengingat-ingat segala ucapan Bu Pun Su dan setelah berada di tempat
terbuka hingga hawa sejuk mendinginkan kepalanya, ia merasa betapa tepat dan
betulnya nasihat kakek itu. Biarpun ia tidak diberi tahu, akan tetapi ia dapat
menduga bahwa Cin Hai tentu telah turun gunung. Tentu saja ia tidak berani bertanya
kepada Bu Pun Su tentang anak muda itu, setelah Bu Pun Su secara tepat dapat
membongkar rahasia hatinya terhadap Cin Hai.
Ang I Niocu sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa Cin Hai baru beberapa hari yang lalu meninggalkan Gua Tengkorak itu. Ia
hanya menyangka bahwa pemuda itu tentu kembali ke rumah bibinya, yaitu di
Tiang-an, karena pemuda itu pernah menceritakan riwayatnya kepadanya. Oleh
karena ini, secepatnya ia menuju ke Tiang-an untuk menyusul Cin Hai. Betapapun
juga ia harus bertemu dengan pemuda itu, karena ia tak dapat menahan rindu
hatinya lagi.
Setelah mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si
dengan sia-sia, Cin Hai lalu kembali ke Sam-hwa-bun untuk mengunjungi rumah
keluarga Kwee In Liang.
Dan sebuah hal yang tak terduga-duga terjadi!
Ketika ia tiba di sebuah kaki gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia
melihat titik merah mendatangi dengan sangat cepat dari depan! Hatinya berdebar
girang karena hanya seorang manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat
bergerak seperti itu! Ia segera mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak
mau memperlihatkan kepada Ang I Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu
gin-kang yang hebat.
Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Ang I
Niocu tiba di hadapannya. Ang I Niocu tiba-tiba berhenti bagaikan ditahan oleh
tenaga raksasa ketika ia melihat pemuda yang berdiri memandangnya dengan wajah
berseri-seri itu! Ia hampir pangling melihat Cin Hai dan tak pernah disangkanya
bahwa waktu yang tiga tahun lamanya itu telah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak
menjadi seorang pemuda yang cakap dan tegap!
“Kau... kau... Hai-ji...?” bisiknya.
“Niocu!” Cin Hai tertawa lebar, dan maju
memegang tangan Ang I Niocu. Kegirangan besar membuat ia lupa akan kesopanan
dan ia memegang tangan Dara Baju Merah itu dengan erat bagaikan bertemu dengan
seorang yang telah lama dirindukannya. Sebenarnya perasaan Cin Hai ketika itu
terhadap Ang I Niocu hanyalah perasaan kasih sayang terhadap orang yang
dianggapnya paling baik di dunia ini. Akan tetapi sikapnya telah dipandang
salah oleh gadis itu. Ang I Niocu mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang
sama terhadap dirinya, maka kalau tadinya ia merasa ragu-ragu dan selalu
kata-kata Bu Pun Su bergema di dalam telinganya hingga ia tidak ingin
memperlihatkan kesukaan hatinya karena pertemuan ini, maka sekarang hatinya
meluap-luap karena girangnya. Ia balas memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat
itu dan berkali-kali berbisik,
“Hai-ji... Hai-ji…”
Mereka lalu pergi duduk di pinggir jalan
sambil saling pandang dengan mesra.
“Hai-ji, kau telah tiga tahun belajar
kepandaian dari Susiok-couw, tentu sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.”
“Ah, Niocu, kepandaian apakah yang dapat
kupelajari dengan baik? Suhu hanya memberi pelajaran menari!” Sambil berkata
demikian, Cin Hai mencabut sebatang suling dari pinggangnya dan mengangkat
suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa. Ang I Niocu juga tertawa girang.
“Kalau begitu, tentu kau sekarang telah dapat
menarikan Tari Bidadari?” tanyanya sambil memandang muka yang tampan dengan
hiasan rambut yang hitam bagus.
”Barang kali saja dapat. Aku pun telah lama
ingin sekali melihat kau menari, Niocu. Bagaimana kalau kita menari
bersama-sama? Aku akan mencoba mengikuti gerakanmu.”
Dengan girang sekali Ang I Nioct berdiri,
diikuti oleh Cin Hai yang segera meniup sulingnya. Memang pemuda ini selama
belajar silat pada Bu Pun Su, tak pernah lupa untuk meniup sulingnya yang
menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya sendiri suka sekali mendengar tiupan
sulingnya yang merdu.
Maka terdengar tiupan suling yang indah dan
merdu di kaki gunung itu. Ang I Niocu lalu menari dengan gerakan yang indah dan
gemulai dan Cin Hai yang sudah mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali
lihat saja dengan mudah dapat mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari
bukanlah sembarang tarian dan pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang
lihai.
Sepasang pemuda-pemudi itu menari dengan
indahnya di tempat yang sunyi itu, gerakan kaki mereka cocok sekali bagaikan
memang diatur sebelumnya, hanya kalau sepasang lengan tangan Ang I Niocu
bergerak dengan lincah indah, maka kedua tangan Cin Hai tidak digerakkan karena
ia menggunakan untuk memegang suling yang ditiupnya untuk mengiringi tarian
itu.
Bukan main senangnya hati Ang I Niocu dan ia
juga merasa kagum sekali karena gerakan kaki Cin Hai sungguh tepat dan tidak
ada salahnya. Gadis ini merasa sangat bahagia dan gembira hatinya hingga ia
menari-nari sambil tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai dengan sinar
mata penuh rasa cinta! Sebaliknya, Cin Hai juga gembira, akan tetapi ia menari
dengan tenang dan wajahnya yang tampan itu tidak memperlihatkan perasaan
apa-apa, hanya girang dan gembira.
Setelah selesai menari, mereka kembali duduk
di atas batu di pinggir jalan.
“Hai-ji, kau hebat sekali! Dalam tiga tahun
saja kau telah dapat meniru Tarian Bidadari demikian sempurnanya! Kau tentu
telah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali dari Susiok-couw! Coba
kauperlihatkan pelajaran ilmu silatmu itu untuk kukagumi.”
“Sesungguhnya, Niocu. Aku tidak mempelajari
apa-apa, hanya tarian-tarian itu saja. Bahkan tarian itu pun baru dapat
kulakukan jika kau menari bersamaku, kalau aku disuruh menari seorang diri aku
takkan sanggup melakukannya.”
Ang I Niocu memandang heran, akan tetapi ia
percaya bahwa Cin Hai tidak berbohong. Ia hanya menyangka bahwa pemuda ini
memang agak bodoh hingga susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain ilmu silat
yang tinggi.
“Biarlah, kau jangan kecewa, Hai-ji. Mulai
sekarang, aku akan memberi pelajaran silat kepadamu!”
“Terima kasih, Niocu kau memang baik sekali.”
“Sekarang, kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah
kau telah bertemu dengan Bibimu dan keluarga Kwee?”
“Aku sudah bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi
belum bertemu dengan Ie-ie. Sebetulnya aku pun sedang menuju ke sana untuk
menghadiri pesta perayaan ulang tahun Ie-thio.” Cin Hai lalu menceritakan
pengalamannya dan pertemuannya dengan Kwee In Liang.
Ang I Niocu mengerutkan alisnya yang bagus.
”Kalau begitu, keadaan mereka berbahaya sekali. Aku mendengar bahwa
perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai sekali. Apakah kau hendak membantu
mereka? Kalau begitu biarlah aku ikut dengan kau untuk membantu mereka!”
Cin Hai merasa girang sekali mendengar ini.
Demikianlah mereka bercakap-cakap dengan gembira sekali dan Ang I Niocu telah
lupa sama sekali akan pesan susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin Hai!
Mereka mengambil keputusan untuk datang di Sam-hwa-bun pada saat pesta
dilangsungkan.
Pada bulan itu juga tanggal lima belas, di
rumah Kwee In Liang yang besar tetapi sederhana itu diadakan perayaan untuk
memperingati hari ulang tahun ke enam puluh dari Kwee In Liang. Sebenarnya
orang she Kwee ini tidak hanya khusus merayakan hari lahirnya untuk
bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung lain maksud. Puterinya Lin
Lin, semenjak kembali dari perguruan telah memiliki kepandaian tinggi sekali
dan telah berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya yang berjumlah lima orang
itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap tidak mau dicarikan jodoh.
Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang orang-orang gagah yang
telah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak mencari-cari seorang calon
mantu yang cocok untuk Lin Lin.
Mengapa Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan
menjadi orang biasa? Hal ini juga terpengaruh oleh kembalinya Lin Lin. Memang
Kwee-ciangkun tadinya terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan gagah.
Ia mematuhi perintah dan menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan
dan perasaan sendiri. Oleh karena ini jasanya besar sekali dan ia mendapat
penghargaan dari kaisar. Akan tetapi, ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh
Biauw Suthai, wanita gagah ini dan muridnya lalu mengadakan percakapan dengan
Kwee In Liang dan membujuk supaya Kwee-ciangkun tidak membantu lagi kaisar yang
sebenarnya lalim dan tidak adil itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk
ayahnya, disertai penuturan Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang
membongkar semua rahasia kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap
Garuda yang mengganggu dan memeras rakyat.
“Kalau Ayah tidak mengundurkan diri, aku
kuatir sekali kelak kita akan dimusuhi oleh orang-orang gagah sedunia!” kata
Lin Lin dengan bujukannya. Akhirnya Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang
berbahaya dan akan keadaan di dunia luar. Ia adalah seorang yang berhati tabah
dan pemberani, dan sama sekali ia tidak takut akan ancaman orang kang-ouw
karena kedudukan sebagai panglima. Yang ia takuti ialah bahwa karena membantu
dan berada di pihak tidak benar, maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang
dan akan meninggalkan nama busuk setelah meninggal kelak. Kedua kalinya, ia ini
telah tua dan sudah merasa bosan dan capai untuk memegang pangkat. Oleh karena
ini, ia lalu mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan
sudah terlalu tua dan lemah. Atasannya menerima permohonannya dan ia berhenti
dengan hormat, lalu pindah ke Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup
bertani.
Pada hari itu, rumah keluarga Kwee telah
dihias dengan kertas warna-warni dan kembang. Tampak putera-putera keluarga
Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang seorang lagi
yakni Kwee An, tidak tampak di antara mereka. Telah lebih dari empat tahun yang
lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah ketika ia bertengkar dan berkelahi
dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya meninggalkan surat dan memberitahukan
kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi merantau.
Keempat putera keluarga Kwee yang hadir di
situ nampak gagah dan bersemangat. Terutama Kwee Tiong yang nampak gagah dan
cakap dalam pakaiannya yang indah mentereng. Mereka ini oleh ayah mereka
dilatih ilmu silat, bahkan akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio
yang bernama Tong Kak Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota
Tiang-an. Hwesio ini adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di
Ban-hok-tong. Oleh karena ini, maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini
boleh dibilang tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar.
Hanya Kwee An yang telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya
tidak mendapat kemajuan dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih
mengutamakan ilmu kesusasteraan.
Para tamu datang berbondong-bondong hingga tak
lama kemudian penuhlah ruang yang disediakan untuk tempat pesta. Kwee In Liang
sendiri bersama empat orang puteranya duduk di ruang depan dan menyambut
datangnya para tamu dengan sikap ramah dan menghormat. Lin Lin sibuk membantu
ibu tirinya di belakang dan setelah semua hadir, baru mereka berdua keluar dan menyambuti
tamu-tamu wanita yang banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara tamu-tamu
wanita terdapat pula Biauw Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin untuk
mengharapkan bantuannya karena mungkin sekali akan... ada bahaya mengancam dari
pihak perwira Sayap Garuda yaitu Boan Sip. Perwira she Boan ini adalah
pengganti Kwee-ciangkun dan menjadi kepala penjaga keamanan kota Tiang-an, dan
ia adalah seorang perwira Sayap Garuda yang terkenal memiliki kepandaian
tinggi. Ketika melihat kecantikan Lin Lin, orang she Boan itu mengajukan
lamaran tetapi yang ditolak keras oleh Kwee In Liang dan Lin Lin. Oleh karena
inilah maka ia menaruh hati dendam hingga beberapa hari yang lalu ia sengaja
mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam hutan.
Oleh karena ini maka kedatangan Biauw Suthai
dalam pesta itu tidak hanya menggirangkan hati Lin Lin, tetapi juga membuat
Kwee In Liang bernapas lega.
Selain Biauw Suthai, di situ nampak juga
seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan berpakaian serba
putih. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sinar matanya
berpengaruh. Ini adalah murid pertama dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng
dan yang memiliki kepandaian tinggi hingga terkenal dengan nama Pek I Toanio
atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee Leng adalah seorang wanita yang telah
menjadi janda. Juga nyonya ini berhasil dibujuk oleh Lin Lin yang menjadi
sumoinya. Memang, baik Biauw Suthai maupun Bwee Leng sangat sayang kepada Lin
Lin.
Perjamuan berjalan dengan gembira diselingi
oleh datangnya tamu-tamu yang mengucapkan selamat kepada tuan rumah. Arak wangi
dan hidangan-hidangan dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk melayani para tamu.
Tiba-tiba seorang di antara para tamu, seorang
kakek yang berpakaian sebagai seorang petani yang telah terkenal di antara para
tamu sebagai seorang pendekar tua dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun,
berdiri dari tempat duduk nya. Sambil menjura kepada tuan rumah yang duduk tak
jauh dari situ, ia berkata,
“Kwee-enghiong, aku orang tua selain
menghaturkan selamat kepadamu dengan doa supaya kau diberkahi panjang umur,
juga menyatakan kegirangan hatiku mendengar bahwa kau telah bertemu kembali
dengan puterimu yang baru kembali dari belajar silat. Kau memang beruntung
sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah menjadi murid dari Biauw Suthai
yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di sini. Kuharap Kwee-enghiong suka
berlaku murah dan memberi kepuasan kepada sepasang mataku yang tua ini untuk
menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia. Bagaimana Cuwi sekalian, apakah usulku
ini tidak cukup baik?” tanyanya kepada semua yang hadir.
Di tempat itu hadir banyak pemuda-pemuda yang
telah mendengar tentang puteri keluarga Kwee yang tersohor cantik jelita dan
kabarnya telah mempelajari ilmu silat tinggi, maka tentu saja mereka merasa
gembira sekali dan menyambut dengan tepuk sorak gembira.
Sebetulnya di luar tahunya semua orang, Kwee
In Liang yang cerdik telah minta bantuan Bhok Ki Sun yang menjadi kawan
baiknya, untuk sengaja mengeluarkan usul ini agar terbuka jalan baginya mencari
seorang mantu yang cocok. Maka sekarang, sambil tersenyum lebar ia berdiri dari
tempat duduknya dan menjura kepada semua tamunya sambil berkata,
“Cuwi sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji,
apakah kebisaan anakku yang muda? Tetapi karena di pesta ini tidak ada hiburan
apa-apa, sudah menjadi kewajiban kami untuk mengadakan sesuatu yang kiranya
dapat menghibur dan menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin, kaupenuhilah
permintaan Bhok-enghiong setelah mendapat perkenan dari Gurumu!”
Lin Lin adalah seorang gadis yang lincah dan
tabah. Menghadapi sekian banyak mata yang memandang ke arahnya, sedikit pun ia
tidak merasa gugup. Dengan tenang ia minta ijin dari gurunya dan setelah Biauw
Suthai memberi persetujuannya, dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat
bersilat yang memang sudah disediakan di tempat itu, tepat di tengah-tengah
ruang yang luas itu.
Setelah menjura sebagai pemberian hormat
kepada semua yang hadir, Lin Lin lalu mulai bersilat dengan gayanya yang indah
dan cepat. Ia memainkan ilmu Silat Pat-kwa-kun-hwat atau Ilmu Silat Pat-kwa
yang mempunyai gerakan selain indah, juga cepat sekali hingga sebentar saja
mata orang yang tak begitu tinggi ilmu silatnya menjadi kabur dan melihat
seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi tiga empat orang.
Tepuk sorak terdengar riuh rendah menyambut
ilmu silat yang memang hebat ini. Tiba-tiba baru saja Lin Lin menghentikan ilmu
silatnya, terdengar suara orang tertawa mengejek dari luar. Suara tertawa ini
terdengar nyaring sekali hingga semua tamu menengok keluar. Juga Kwee In Liang
memandang keluar dan ia menjadi pucat karena yang datang adalah Boan Sip dan
empat orang lain yang juga memakai tanda Sayap Garuda pada topi mereka dan
kesemuanya memakai jubah merah, tanda bahwa mereka ini adalah perwira-perwira kelas
satu. Yang menarik hati ialah bahwa di antara mereka ini terdapat seorang
perwira yang usianya telah lebih dari lima puluh tahun tetapi tampaknya masih
gagah dan kuat.
“Sungguh bagus, orang-orang bergembira dan
berpesta pora sampai lupa mengundang sahabat!” Perwira tua itu berkata keras
dan dialah yang tadi mengeluarkan suara ketawa itu.
Kwee In Liang sudah kenal kepada perwira tua
ini, karena dia ini adalah Ma Ing, seorang yang terkenal sekali karena memiliki
kepandaian tinggi dan menjadi salah seorang di antara para perwira terkemuka di
istana. Diam-diam orang she Kwee ini merasa terkejut sekali karena ia maklum
bahwa pihak musuh sangat kuat dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi ia dapat
menetapkan hatinya dan cepat-cepat maju menyambut sambil menjura memberi
hormat,
“Ngo-wi yang mulia, silakan duduk di dalam.”
Boan Sip sambil tertawa menyeringai mendahului
masuk diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka berlima masuk ke ruang itu sambil
mengangkat dada dan dengan tindakan kaki lebar, sama sekali tidak memandang
mata kepada sekalian yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri Lin Lin yang
masih berdiri ditengah ruang tempat bermain silat dan sambil menyeringai ia
berkata,
“Kwee-siocia, ilmu silatmu tadi
sungguh-sungguh indah dipandang dan manis sekali!”
Lin Lin memandang dengan mata melotot dan
gadis ini marah sekali karena teringat betapa beberapa hari yang lalu ia telah
tertangkap oleh orang she Boan ini dan hampir saja diculik pergi! Hampir saja
ia tak dapat menahan kesabaran hatinya dan memaki atau menyerangnya akan tetapi
pada saat itu dari luar terdengar suara yang nyaring,
“Ie-ie!!” Lin Lin cepat menengok dan melihat
Cin Hai, diikuti oleh seorang gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai
langsung berlari menghampiri Loan Nio atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian
tamu wanita. Loan Nio yang belum diberitahu oleh suaminya tentang perjumpaannya
dengan Cin Hai, berdiri memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda tampan
yang menghampirinya, Cin Hai menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
“Ie-ie, aku Cin Hai menghadap. Apakah selama
ini Ie-ie baik-baik saja?”
“Cin Hai, kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan
mengangkat bangun anak itu, sementara tak tertahan lagi air matanya mengucur
keluar dari kedua matanya.
Cin Hai juga mengeluarkan air mata dari kedua
matanya karena terharu dan girang. Kemudian ia memperkenalkan Ang I Niocu
kepada ie-ienya.
“Ie-ie, ini adalah Nona Kang Im Giok yang
sangat berbudi dan telah banyak menolongku.”
Loan Nio memandang Ang I Niocu dengan kagum
dan mempersilakan gadis itu duduk di bagian tamu wanita. Ketika bertemu dengan
Biauw Suthai lalu berkata,
“Eh, tidak tahunya Ang I Niocu yang datang.
Silakan, silakan, aku masih ingat akan pertolonganmu di gua dulu itu!” Dengan
ramah Biauw Suthai memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan mereka
segera bercakap-cakap dengan gembira. Sementara itu, Lin Lin juga lari
menghampiri mereka dan diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan Cin Hai lalu
menghampiri ie-thionya untuk memberi hormat dan mengnaturkan selamat. Dengan
ramah Kwee In Liang lalu menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.
Sementara itu, Boan Sip dan kawan-kawannya
melihat kesibukan tuan rumah karena datangnya seorang pemuda dan seorang gadis
baju merah, menjadi tidak puas dan merasa betapa mereka dipandang ringan dan
tidak dilayani seperti tamu agung.
“Eh, eh apakah tuan rumah lebih mementingkan
kedatangan budak itu dari pada kami?” Boan Sip dengan sikap sombong berkata
sambil bertolak pinggang. Ketika Kwee In Liang memandang ke arahnya, ia
berkata,
“Kwee Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud
kedatanganku. Maka sekarang juga aku minta keputusanmu dan marilah kau memberi
sedikit pengajaran kepadaku, untuk melanjutkan main-main yang kita lakukan di
dalam hutan beberapa hari yang lalu. Aku telah berjanji akan datang, apakah kau
tidak berani menyambutku?”
Bukan main marahnya hati Kwee In Liang
mendengar kata-kata orang yang tidak sopan dan sikap yang kasar menantang ini.
Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jika dibandingkan dengan perwira muda
ini, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya.
“Orang she Boan! Agaknya kau telah melupakan
kesopanan dan sengaja datang membawa kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!”
orang tua ini lalu bertindak maju.
Akan tetapi, tiba-tiba Lin Lin telah
mendahului ayahnya dan dengan sekali lompatan ia telah menghadapi Boan Sip.
“Orang she Boan, engkau menjabat pangkat
tetapi tidak mengenal aturan! Kami tidak mengundang akan tetapi engkau telah
menebalkan muka untuk datang di pesta kami. Apakah engkau tidak malu? Kalau
hendak datang mengajak pibu, apakah engkau tidak dapat memilih lain hari?”
“Ha, ha, ha!” Boan Sip tertawa mengejek.
“Kalau mengadu kepandaian hanya mengandalkan keberanian, tak perlu memilih
waktu dan tempat. Sekarang kebetulan sekali, banyak orang menjadi saksi, kalau
pihak Tuan rumah mempunyai kegagahan, silakan maju memperlihatkan kepandaian!”
“Bangsat, apa kaukira kami takut kepadamu?”
Lin Lin berseru dan meraba punggung untuk mencabut senjatanya akan tetapi pada
saat itu berkelebat bayangan putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi
bentakan,
“Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di
sini!”
Bayangan itu ternyata adalah Pek Toanio yang
mewakili sumoinya dan langsung ia menyerang dengan tamparan keras ke arah pipi
Boan Sip. Akan tetapi Boan Sip siang-siang sudah dapat memaklumi akan kelihaian
wanita ini karena tamparannya mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya
ketika melompat tadi ringan sekali. Ia mengangkat tangan menangkis dan sepasang
lengan beradu keras. Boan Sip terkejut sekali karena ia terdorong ke samping
sampai terhuyung-huyung! Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di
dekat gurunya yang memandang dengan sikap tenang.
Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya ketika
melihat sikap Boan Sip yang sombong dan sengaja datang mengacau itu, menjadi marah
sekali dan mereka berempat sambil mencabut pedang lalu maju menghampiri dengan
sikap mengancam. Akah tetapi Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka
ini masih terlampau rendah untuk menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan
kurang ajar, kalian mundurlah dulu!” Kwee Tiong merasa penasaran sekali akan
tetapi ia tidak berani membantah ayahnya, maka bersama adiknya ia lalu berdiri
dan bersiap sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.
Boan Sip yang melihat hal ini lalu tertawa
bergelak-gelak. “Ha, ha! Kwee Lo-enghiong agaknya tahu akan kebodohan
putra-putranya, maka tak mengijinkan anak-anaknya maju, bahkan telah
mengumpulkan orang-orang gagah untuk mewakilinya! Sungguh cerdik!” Kemudian ia
berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati
mewakili tuan rumah menyambutku?”
“Orang she Boan, kalau sikapmu tidak begini
menjemukan dan kesombonganmu tidak begitu besar, siapa yang sudi melayanimu?
Akan tetapi engkau telah lupa akan sopan santun dan tidak memandang mata kepada
tuan rumah dan para tamunya. Apakah kau kira engkau seorang saja yang memiliki
kepandaian? Orang lain boleh engkau hina, tetapi aku Pek I Toanio tak sudi
menerima hinaan dari orang macam engkau!”
Memang Pek I Toanio biarpun pendiam, akan
tetapi kalau sudah mengeluarkan kata-kata, selalu tajam dan berterus terang.
Boan Sip pernah mendengar nama ini dan maklum akan kelihaiannya, akan tetapi ia
tidak takut.
“Hmm, apakah benar-benar engkau hendak mencoba
kepandaianku?” tanyanya.
“Siapa yang sedang main-main padamu?” jawab
Pek I Toanio dengan senyum mengejek hingga kemarahan Boan Sip makin meluap.
“Kalau begitu kau mencari penyakit sendiri!”
bentaknya dan ia lalu maju menyerang. Pek I Toanio cepat berkelit dan membalas
menyerang hingga sebentar saja mereka berdua bertempur dengan seru.
Sementara itu, Cin Hai semenjak datang dan
duduk di kursi terdepan, beberapa kali bertukar pandang dengan Lin Lin dan
gadis yang sedang marah itu apabila terbentur pandangan matanya dengan Cin Hai,
lalu tersenyum seakan-akan minta maaf bahwa ia tidak bisa menyambut sebagaimana
mestinya karena terganggu oleh para perwira kasar itu.
Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang
adiknya berdiri di dekat tempat ia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya
tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan
berdiri pula lalu menghampiri mereka.
“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau mendapat
kemajuan besar?” tanyanya dengan manis.
Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh
tak acuh, tetapi untuk kesopanan ia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau
sendiri telah belajar apakah?”
Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang
adiknya berdiri di dekat tempat ia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya
tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan
berdiri pula lalu menghampiri mereka.
“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau mendapat
kemajuan besar?” tanyanya dengan manis.
Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak
acuh, tetapi untuk kesopanan ia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri
telah belajar apakah?”
Juga Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun
menghampiri Cin Hai untuk melihat dan bertanya kepada anak muda ini. Sikap
mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan tetapi rata-rata mereka memandang rendah
kepada Cin Hai.
“Aah, aku tidak belajar apa-apa,” jawab Cin
Hai sederhana.
Ketika Cin Hai sedang bercakap-cakap dengan
Kwee Bun, Kwee Tiong menegur mereka, “Sudahlah, jangan banyak cakap. Sekarang
bukan waktunya mengobrol. Lihat tamu kita bertempur untuk kita, tidak pantas
kita hanya mengobrol saja!”
Memang benar ucapan Kwee Tiong ini, karena
pada saat itu pertempuran sedang berlangsung hebat. Boan Sip sungguh lihai dan
gerakan-gerakannya selain cepat, juga mantap dan keras hingga Pek I Toanio
harus mengeluarkan segenap kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.
Cin Hai hanya memandang sebentar tetapi ia
tidak tertarik melihat pertempuran itu. Sebaliknya ia celingukan ke sana ke
mari mencari Kwee An dengan matanya. Mengapa ia tidak melihat Kwee An? Ia lalu
menowel lengan Kwee Bun dan ketika pemuda ini berpaling, ia bertanya sambil
berbisik,
“Di manakah adanya Saudara Kwee An?”
“Dia pergi merantau, sudah empat tahun belum
kembali.”
Ketika Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee
Tiong menengok kepada mereka dengan pandangan tak senang, hingga Cin Hai dan
Kwee Bun tidak melanjutkan percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu,
perhatian Kwee Tiong tidak tertuju sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang
berlangsung dengan hebatnya, akan tetapi sebagian besar tertuju kepada Dara
Baju Merah yang duduk di dekat ibu tirinya. Dalam pandangan matanya, Ang I
Niocu nampak demikian cantik dan ayu hingga sepasang matanya seakan-akan
tertarik oleh besi sembrani, ingin sekali Kwee Tiong memperlihatkan
kegagahannya dan melawan musuh agar dapat menarik perhatian dan kekaguman gadis
jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin Hai, anak tolol itu dapat datang
bersama-sama dengan seorang gadis demikian cantiknya!
Ang I Niocu ketika melihat jalannya
pertempuran, di dalam hati juga merasa terkejut. Baginya, kepandaian Pek I
Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi ternyata bahwa orang she Boan itu
lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya diperhebat oleh ilmu cengkeraman dari
Mongol yang sukar diduga gerakannya, hingga beberapa kali kalau tidak berlaku
cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah kena dicengkeram! Diam-diam Ang I Niocu
menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai, karena baru seorang lawan saja sudah
begini tinggi kepandaiannya, belum lagi yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di
situ ada Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sampai di manakah
tingkat kepandaian kawan-kawan Boan Sip yang duduk dengan muka tenang dan
sombong itu? Ia mengerling ke arah Cin Hai yang duduk sambil memandang ke sana
ke mari dan yang tidak memperhatikan jalannya pertempuran, dan pada saat Ang I
Niocu memandang kepada Cin Hai, pandangan matanya terbentur dengan pandangan
mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan cepat mengalihkan pandangan matanya dan
hatinya merasa tak senang. Ia tahu bahwa pemuda tinggi tampan itu adalah putera
dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat betapa Kwee Tiong dan adik-adiknya
hendak turun tangan tetapi mereka dicegah oleh Kwee In Liang. Mengapa pemuda
itu memandangnya begitu macam? Apakah kebetulan saja? Sekali lagi Ang I Niocu
mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap saja ia melihat betapa pemuda itu
menatapnya dengan pandangan mata penuh arti! Ang I Niocu merasa sebal dan
marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak mau memandang ke arah anak
muda itu lagi.
Pertempuran itu benar-benar berjalan seru dan
hebat. Pek I Toanio adalah murid pertama dari Biauw Suthai dan memiliki
kepandaian tinggi dan sudah hampir mewarisi kepandaian gurunya, maka dapat
dibayangkan betapa lihainya. Akan tetapi Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap
Garuda kelas satu hingga tentu saja kepandaiannya sudah cukup tinggi, karena
kalau tidak berkepandaian tinggi, ia yang masih muda tidak akan dapat menduduki
pangkat yang besar itu, Karena rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu adalah
orang-orang yang telah berusia tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh
tahun.
Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan
hebat, tiba-tiba Boan Sip merubah gerakannya dan sekarang ia mulai menyerang
dengan limu Golok Keledai Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah
lawan dan sambil bergulingan tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai,
sedangkan golok menyambar-nyambar ke arah kaki lawan! Ilmu gerakan ini
benar-benar berbahaya dan cepat dan ke mana saja Pek I Toanio loncat
menghindar, selalu Boan Sip dengan cepat mengejar sambil bergulingan dan
melancarkan serangan berbahaya. Ia tidak hanya bergulingan sambil menyerang
kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan menyerang dengan golok itu
kemudian bergulingan pula!
Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi
gugup sekali dan tidak berdaya melancarkan serangan balasan. Ia menjadi gemas
dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan dan serangan nekad. Sambil berseru
nyaring Pek I Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun
Kering Tertiup Angin! Ia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan ia
membabat dengan pedangnya dari samping dan karena serangannya ini hampir
menempel lantai, maka tak mungkin tertangkis dengan perisai. Pada saat itu
terdengar teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hailah yang berteriak itu.
Seperti lakunya seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang
didudukinya dan melemparkan bangku itu dengan sambaran ke arah mereka yang
sedang bertempur sambil bergulingan!
Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang
lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran sekali melihat perbuatan pemuda ini.
Sementara itu, pada saat Cin Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah
pedangnya kena tangkis, lalu bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah
siap untuk melempar goloknya. Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat
tubuh Pek I Toanio yang bergulingan pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan
goloknya ke arah punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang
dilempar oleh Cin Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu
terlepas dari tangan Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak
jadi melontarkan goloknya. Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali,
sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak
pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,
“Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja
membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku
tadi?”
Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur
Cin Hai, “Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan
bangku tadi?”
Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. “Aku...
aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!” semua
orang yang mendengar ini tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan
Cin Hai. Mengapa ia masih begini bodoh, pikirnya!
Di antara semua orang merasa heran dan
mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio
saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya
tadi yang membuka punggungnya ketika ia bergulingan dan hal ini pun diketahui
baik oleh gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan
bangku pada saat yang demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari
ancaman? Bahkan Ang I Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal
gerakan-gerakan Pek I Toanio, dan Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran
melihat perbuatan Cin Hai.
Sekali lagi Boan Sip berseru, “Tuan rumah
berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani mengganggu,” katanya
dengan lagak sombong, sementara itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali
ke tempat duduknya setelah menjura kepada Kwee In Liang dan menyatakan
penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.
Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga
orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil membentak, “Orang she
Boan jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik keponakanku yang tolol
dan bodoh, tak perlu engkau memusuhi dan menantangnya. Kalalu engkau memang
gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”
Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan
senyum sindir. Pemuda ini mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata
sekali maju membawa tiga orang adiknya. Melihat gerakan mereka, Boan Sip
memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa,
“Ha, ha, kalian ini putera-putera Kwee In
Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai putera-putera berupa kucing
yang hanya pandai mengeong!”
Kwee In Liang hendak memanggil
putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tak dapat menahan lagi marahnya.
Ia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga orang
adiknya yang menyerang dengan berbareng. Boan Sip mengeluarkan suara di hidung
dan gerakkan goloknya menangkis. Sekali tangkis saja, dua dari empat buah
pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya
dengan serangan pembalasan. Baiknya perwira muda ini masih ingat bahwa keempat
anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang ia rindukan, maka tidak
berniat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda dan memperlihatkan
kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampak hebat mengerikan
karena goloknya menyambar nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat
hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah
pucat.
Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang
ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena tegangnya menonton
pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai lari menuju ke tempat
pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta sambil berseru
berkali-kali, “Jangan membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan
kakak-kakakku!”
Mendapat serangan kacau-balau itu, Boan Sip
terkejut dan melihat penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada
penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai
masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda
inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah
sekali.
“Orang tolol, engkau mencari mampus!”
bentaknya dan ia lalu menggunakan goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai
mengobat-abitkan bangkunya yang cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung.
Gerakan pemuda ini tidak teratur dan kacau balau, bahkan seperti gerakan orang
gila mengamuk, akan tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip. Gerakan
silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan menggila ini
sungguh membingungkan dan sebelum ia dapat menyerang, sebuah kaki daripada
bangku yang diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya hingga
terdengar suara “buk!” karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.
Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku
Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol itu, akan tetapi karena
pemuda itu dalam ketololannya berani membela keempat pemuda Kwee, biarpun mereka
mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka
bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat
memukul bokong Boan Sip yang sombong.
Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan
bangkunya berkata kepada Kwee Tiong dan adik-adiknya, “Engko Tiong, kauajaklah
adik-adikmu mundur, biar aku tahan mengamuknya babi hutan ini!”
Kembali terdengar suara orang-orang tertawa
karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu
silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar dan hendak membela
keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang lihai. Sungguh satu
pemandangan yang lucu mengherankan! Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan
hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil
memaki-maki. Ketika bangku itu menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip
membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu dapat menahan bacokan
golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat putus. Akan tetapi
sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton
pertempuran itu, ketika kaki bangku itu terbabat putus ternyata saking tajam
golok yang membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat
menampar pipi Boan Sip! Terdengar suara “plok!” dan pipi Boan Sip yang kena
dilanggar potongan kaki bangku itu menjadi merah kulitnya dan terasa pedas
sekali!
Hal ini terlihat jelas oleh semua orang dan
kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata biarpun tolol dan tidak
mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang “hok-khi” (beruntung),
maka secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki bangku yang
dipotongnya sendiri!
Pada saat itu, di bagian tamu di mana tadi Cin
Hai duduk, terjadilah lain hal yang menimbulkan tertawa geli. Ternyata dua
orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu
adiknya dan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu
mereka, ketika melihat betapa dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku,
mereka begitu gembira hingga sambil tertawa terkekeh-kekeh, mereka menjatuhkan
diri di atas bangku di belakang mereka. Akan tetapi suara mereka segera terganti
seruan kaget dan kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke
belakang yang kosong dan tidak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka
terjengkang dan jatuh tunggang langgang! Orang-orang di sekitarnya tertawa
bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan tetapi
ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip adalah
bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka!
Boan Sip marah sekali dan ia menyerang
bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya
bekas bacokan golok.
“Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang
tidak memegang senjata!” Cin Hai memaki dengan suara mengejek. Kata-kata ini
mengingatkan Boan Sip bahwa jika ia nanti membunuh anak muda tolol yang tak
bersenjata ini dengan goloknya, maka ia tentu akan dipandang rendah oleh
orang-orang gagah. Pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh
ini, lebih mudah menggunakah tangan kosong. Maka, ia lalu membanting golok dan
perisainya di atas lantai hingga mengeluarkan suara berkerontangan, lalu sambil
mendelikkan mata ia memaki,
“Baik, aku telah membuang senjataku, orang
gila! Tunggulah aku akan mencekik lehermu!”
“Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan
sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua
orang tertawa.
Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali,
dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa
berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat
betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang tabah,
bersemangat, dan berani membela kakak-kakaknya! Juga, Kwee In Liang
menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu mempunyai seorang
keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pemandangan tajam dan
pengalaman luas dapat pula dikelabuhi oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan
hingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang
tolol tapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak
mengeluarkan suara saking terperanjat, dan kuatirnya.
Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang
kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua tangannya dan ia membetot.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot
bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin
pemuda tolol ini memiliki tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai
mempertahankan sambil mengeluarkan suara “uhh... uh...” dan demikian keduanya saling
membetot mempertahankan, sedikit pun tak mau mengalah! Bangku itu sebentar
terbetot ke kanan, sebentar terbetot, ke kiri hingga seakan-akan kedua orang
itu sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya
berubah merah!
Yang merasa gembira sekali adalah para
penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya
sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua
matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda
tolol itu! Pada saat itu mereka merasa seakan-akan sedang menonton dua orang
mengadu tenaga dengan menarik-narik bangku sebagai gantinya tambang yang biasa
digunakan untuk mengadu tenaga bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara
yang memihak kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak,
“Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan
tenagamu...”
Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka
semua orang berseru gembira, “Hayo... lebih keras lagi... tarik...!” Akan
tetapi apabila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar
teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran, “Awas... pertahankan...
jangan sampai kalah...!”
Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling
tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga, Boan Sip makin marah dan
penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus
kati, akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat
mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan
dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya. Dan tiba-tiba Cin Hai
mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah
Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan
tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya hingga tubuhnya ikut terbetot
dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip kian kerasnya hingga karena tenaga bertahan
dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar
ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan
bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.
Orang-orang tertawa geli dan berrak-sorak.
Akan tetapi pada saat itu Lin Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini
yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira
itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu. Dan alangah herannya Lin Lin
ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat
sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetotnya!
Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai dan
menguatirkan keselamatan pemuda ini.
Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan
Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah
dan ia berdiri dengan terhuyung-huyung. Karena terlalu menghabiskan tenaga dan
tiba-tiba bangku dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri
hingga ia mendapat luka dalam yang hebat juga! Kawan-kawannya segera
menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk
pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan
Sip lalu duduk diam dan mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.
Lin Lin dan Ang I Niocu kembali ke tempat
duduk masing-masing dan Cin Hai dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan
tertawa geli, dipanggil oleh ie-ienya, yakni di bagian para tamu wanita. Ketika
Biauw Suthai memandang pemuda itu, teringatlah wanita gagah ini, ia lalu
berdiri dan menghadapi Cin Hai.
“Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya
mengingat-ingat.
“Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat
kali kita bertemu.”
“Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.
“Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau
menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau menolongku dari serangan
Biauw Leng Hosiang, ketiga kalinya di dalam Gua Tengkorak, dan ke empat
kalinya... sekarang ini!”
Biauw Suthai tertawa senang. “Ah, benar...
pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian
yang besar!”
Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum,
lalu berkata, “Hai-ko, kau benar-benar gagah berani!”
Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat
sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan
tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan
pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.
Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya
merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat
pujian dari orang-orang.
“Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!”
Kwee Tiong bersungut-sungut.
Pada saat itu seorang perwira lain yang
bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam arena. Dengan
tertawa dingin ia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak sepasang
tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan warna kulit
mukanya. Ia memandang ke sekeliling dan berkata kepada Kwee In Liang,
“Kwee-ciangkun...”
“Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau
menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong. Perwira kate itu tertawa,
“Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.
“Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I
Toanio, berakhir dengan seri karena kedatangnya gangguan dari pemuda tolol
tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak termasuk hitungan
karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami masih belum ada yang
kalah belum ada yang memang. Sekarang kuharap kau suka maju, atau boleh kau
mengajukan pemuda tolol setengah gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah
pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak bodoh itu tidak berani!”
“Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai
berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!”
Terdengar orang-orang tertawa keras karena geli mendengar ini. Muka perwira
yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.
“Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada
lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu! Kau
datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka
hitam?” Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut
tantangan orang itu, akan tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang
pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih jauh.
Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil
tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang
dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?” Kwee
In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tidak berdaya, hanya menganggukkan kepala
dengan bingung. Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan
kaki tubuhnya, melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka
hitam tadi. Semua orang memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu
terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan yang lihai dan
tangguh, maka ia tidak berani main-main dan segera menjura dengan hormat.
“Tuan rumah telah berhasil mengumpulkan
pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan
apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”
Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran
mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan sajak,
“Berkawan sebatang pedang Menjelajah ribuan li
tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau hendak bertanya nama? Lihat pakaian dan
pedang. Dan cari sendiri siapa namaku!”
Perwira itu memikir-mikir sebentar sambil
memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Kemudian ia berkata
dengan kaget, “Ah, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?”
Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian
orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut
sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetepi tak seorang pun pernah
menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya!
“Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak
ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi. Dan tentang
perhubungan dengan keluarga Kwee yang kautanyakan tadi, terus terang saja aku
pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tak diundang seperti juga kalian!
Akan tetapi, karena maksudku baik aku diterima dengan baik pula, tidak seperti
kalian hanya datang mengacau!”
“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah
Ang I Niocu maka berlaku hormat. Pertempuran ini tak dapat dilanjutkan!” kata
Si Muka Hitam.
“Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap,
akan tetapi karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga
Kwee, maka aku Tan Song takkan mau melayaninya!”
Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tak
berdaya dan ia tak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula
setelah berkata, “Kalau begitu, masih kuharapkan lain kali kau suka
memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini, Tan-ciangkun!”
Tan Siong merasa malu dan marah mendengar
sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran
yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.
“Hie, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau
dan kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi
keponakanmu tadi, suruh ia keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya
saja!”
Bukan main hebatnya hinaan ini dan Cin Hai
sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan kepandaian, akan tetapi pada
saat itu dari luar berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda
berpakaian seperti seorang sasterawan telah berada di situ. Pemuda ini langsung
menuding muka Tan Siong dan berkata,
“Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan
kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap menghadapimu!”
“An-ji...” Kwee In Liang dan Loan Nio berseru
hampir berbareng, akan tetapi karena pada saat itu Kwee An sedang menghadapi
musuh, maka mereka hanya memandang dengan girang dan juga kuatir. Apalagi Kwee
An hanya memiliki kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara
melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri
yang berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian
cepat! Cin Hai dengan jelas dapat melihat bahwa ketika masuk tadi, Kwee Ang
telah mempergunakan Ilmu Loncat Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu
loncat ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempelajari keng-sin-sut atau
ilmu berlari cepat dan telah memiliki ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An
telah mempelajari silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek
I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal ini hingga mereka menjadi girang.
Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang
sangat teliti dan hati-hati. Biarpun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian
tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu,
tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil berteriak,-teriak “Kwee
An... Kwee An...”
Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang
cakap itu berseri girang melihat Cin Hai. “Cin Hai, engkau juga datang??”
Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai
mempunyai perhubungan yang akrab.
Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan
sekali Cin Hai berbisik,
“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”
Akan tetapi dengan suara keras ia berkata,
“Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan
bermuka biru!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke
tempat duduknya. Semua orang tertawa mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam.
Diam-diam Kwee An heran melihat sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal
bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak
diberi tahu tentu tak akan tnenyangka, karena memang seorang yang memiliki
Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti halnya Hek-seejiu atau
Ang-see-jiu, karena orang yang memiliki ilmu ini, tangannya hitam atau merah.
Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan
melatih tangan dan lengan sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang
dicampur obat-obat kuat dan digosok-gosokkan ke seluruh lengan tangan, juga
melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan
memiliki tenaga luar biasa!
Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera
dimulai dan dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An telah
mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari
Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan itu. Pernah dulu Bu Pun Su
memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biarpun kurang
ternama, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang
Cin Hai membuktikan sendiri hingga ia merasa girang sekali karena Kwee An yang
baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tidak saja
lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian Si
Muka Hitam ini!
Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan
Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi
dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan
mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Ia mengerahkan
tenaga dan kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat membawa maut. Akan
tetapi Kwee An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai
tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi
daripada lawannya maka ia mempergunakan ginkangnya untuk bergerak ke sana ke
mari demikian cepatnya laksana seekor burung kepinis! Orang-orang bersorak
gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka seakan-akan seekor
ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya.
Kwee An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan balas menyerang
dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah lawan.
Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An
yang hampir saja mencelakakan anak muda ini karena Tan Song mempergunakan
kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee
An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu mengeluarkan seruan tertahan. Kwee
An merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini mengiris kulit dadanya, akan
tetapi berkat kegesitannya, ia segera melempar diri ke belakang sambil
menggerakan kedua kakinya menendang ke depan bergantian. Untung saja ia
mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia
tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu
lawannya akan menubruk maju dan mengirim serangan ke dua. Cepat sekali Kwee An
menggunakan kedua tangan menekan lantai hingga tubuhnya dapat mencelat ke atas
kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih hati-hati.
Setelah bertempur seratus jurus lebih, lambat
laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda dan bertenaga kuat itu
melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang
persilatan ini memang tak banyak dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung
menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.
Cin Hai merasa gembira sekali dan ia
bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru “Hayo, Kwee An, hantam terus...
hantam terus...” Semua penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa
gembira karena mereka ini hampir semua berpihak kepada tuan rumah dan membenci
perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang
sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah di
antara semua puteranya yang lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang
kepandaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi daripada Lin Lin!
Ketika mendapat kesempatan baik, pada saat
lawannya terhuyung mundur karena serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An
lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song
cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena tiba-tiba kaki kanan Kwee
An melayang dan menendang lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam
posisi yang lemah itu. Tak ampun lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung
sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak kesakitan lalu roboh sambil
memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang menolong dan mengangkatnya ke
pinggir.
Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah
dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat
duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang.
Juga saudara-saudaranya lalu datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam
suasana gembira. Mereka ini merasa bangga sekali akan kepandaian Kwee An.
“Nah, inilah baru disebut kepandaian aseli,”
kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam engkau
mengeluarkan tenaga dan dengan jujur engkau mengalahkan orang she Tan yang
tangguh itu. Engkau sungguh hebat, An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya
dengan wajah bangga sekali.
Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam
arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan gerak-geriknya lambat
tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh.
Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa orang ini adalah
seorang ahli lweekeh yang tangguh. Perwira ini sebenarnya adalah kakak Tan Song
dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi
daripada Tan Boan Sip. Tetapi adatnya pendiam dan tidak sombong.
Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu
lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata dengan suaranya yang besar,
“Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai,
kalau kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang
bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”
Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan
oleh Kwee In Liang.
“Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah
bertempur dengan musuh tangguh. Kalau sekarang kau maju lagi, maka kau akan
terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”
“Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?”
tanya Kwee An.
Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee
In Liang berdiri dan berkata, “Biariah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini
dan mencoba-coba tenaga.” Muka Kwee In Liang berseri. Ia maklum bahwa
kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi
daripada kepandaianya sendiri, maka ia cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau
sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali.”
Bhok Ki Sun lalu bertindak maju dan
menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang petani sederhana
ini lalu menjura dan berkata,
“Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah
pendirian Ciangkun sama dengan pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak
boleh membantu Tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee
In Liang, maka mengajukan diri untuk melayanimu.”
Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai
pendirian yang lebih adil, maka ia menjawab, “Aku bernama Tan Bu dan maafkan
ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Kalau Bhok Lo-enghiong hendak turun
tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”
Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari
Kun-lun-pai, maka ia pun memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah
keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai.
Keduanya bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh
bergerak. Akan tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan
bahwa pihak lawan sama kuatnya, mereka lalu mempercepat gerakan mereka dan
tidak hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka lalu mengeluarkan
kecepatan dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran segera
berubah cepat dan hebat. Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa
Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat.
Ilmu silat Tan Bu benar-benar mengagumkan karena selain sukar diduga, juga
mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang
kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat. Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir
celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum
terluka dalam pertempuran yang sebetulnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini.
Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun meloncat ke belakang dan
berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan
kedua tangannya dan berkata,
“Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa
dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!” Ia lalu menjura kepada Kwee In Liang
sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama keluarga Kwee.
Pek I Toanio tertarik sekali melihat
kepandaian Tan Bu, maka setelah mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju
menggantikan Bhok Ki Sun.
“Ingin sekali aku merasai kelihaian
Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio sambil mencabut pedang di tangan
kanan dan mengeluarkan juga sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju
putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari
gurunya.
“Baik, baik. Aku pun telah melihat permainanmu
yang lihai tadi dan ingin sekali mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera
mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi
kaitan.
Setelah saling memberi hormat, maka kedua
orang ini lalu menggerakkan senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh
lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun
dengan tangan kosong. Sinar pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya
hudtimnya yang cukup lihai, hingga permainannya mendatangkan pemandangan yang
menarik sekali. Akan tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan
berbareng mengerikan. Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang
demikian cepatnya hingga mendatangkan angin berkesiur yang dirasai oleh semua
penonton yang duduk di situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat
hingga menggerakkan pakaian dan rambut orang di sekitarnya, apalagi jika
terkena kemplang toya yang berat dan digerakkan cepat ini!
Baru bertempur dalam beberapa belas jurus
saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu
akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari
sabetan toya, sambil menggunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas
menusuk dengan pedang atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.
Ketika Tan Bu menggunakan gerak tipu
Hing-sau-chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba
memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya itu
melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat bagaikan kitiran
angin, toya Tan Bu telah mengejar tubuh yang di atas itu dan cepat menusuk ke
arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua orang menahan
napas. Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna.
Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi
untuk berkelit dan untuk menangkis ia akan kalah tenaga maka ia segera
memperlihatkan kegesitannya. Ketika ujung toya menyambar ke arahnya, ia
mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan ke ujung toya
itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa
mengebutkan hudtimnya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu!
Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya
hingga Tan Bu sama sekali tidak menduga dan pundaknya kena terpukul tertotok
oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio
terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas kepalanya hampir tebentur
kepada tiang yang melintang di atas!
Pek I Toanio tak kalah kagetnya. Totokannya
tadi telah mengenai tempat di tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan
Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tak pernah terpukul, apa lagi terluka!
Cepat nyonya ini meluncur turun dan ia merasa bahwa melawan terus takkan ada
gunanya, karena harus ia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata
sungguh-sungguh hebat dan lebih tiggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu
menjura dan berkata,
“Terima kasih atas petunjuk Ciang-kun.”
Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para
perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut,
Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu,
sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan menebus kekalahan Tan Song
tadi.
“He, Kwee In Liang, kalau kau sudah tidak
mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba Boan Sip
berseru keras dengan suara menghina. Semua penonton memandang ke arah Kwee In
Liang dengan cemas karena setelah kedua jago itu kalah, siapa lagi yang hendak
maju?
Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada
Kwee An. “Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang maju dan herternpur
mati-matian, membela nama kita!”
“Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju
menghajar mereka,” kata Biauw Suthai, akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang
merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri dan setelah
berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, “biarkan aku saja yang maju!” lalu
sekali melompat tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu! Orang tidak melihat
bagaimana ia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu
telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.
“Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau
keluarlah dan mari kaurasakan tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan
telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip!
Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua
tangan sambil berkata,
“Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah
lama aku mendengar namamu yang besar, maka alangkah beruntungnya hari ini dapat
menyaksikan kelihaianmu. Jangan kauhiraukan Boan-sute yang memang berdarah
panas, dan marilah kita mencoba-coba kepandaian!”
Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.
“Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa
orang yang memiliki kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan
mengacau pesta orang lain.”
“Ang I Niocu kita sama-sama orang luar dan
peduli apa sama segala urusan remeh? Yang terpenting bagi kita sekarang ialah
mencoba kepandaian masing-masing pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan
pengetahuan.”
“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian.
Nah, engkau majulah!” Ang I Niocu lalu membuat gerakan yang indah dan lemah
gemulai dengan pedangnya hingga semua penonton bertepuk tangan kagum. Tan Bu
maklum akan kelihaian lawan, maka ia segera mendahului, dan mengirim serangan
kilat dengan toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu
mudah saja menghindarkan diri dari serangan dan menghadapi lawan tangguh ini
dengan tenang dan dengan tarian indah sekali hingga keduanya merupakan dua
orang mahluk yang sangat berbeda.
Para penonton merasa kagum sekali dan belum
pernah seumur hidupnya mereka menyaksikan seorang gadis cantik menghadapi ilmu
silat toya yang ganas itu dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun
tidak kena terpukul! Tidak hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat,
bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee An, dan yang lain memandang dengan melongo
dan kagum. Juga Biauw Suthai nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil
menggunakan sebelah matanya memandang dengan penuh perhatian.
Akan tetapi kegembiraan mereka tercampur
kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu benar-benar hebat dan dahsyat. Perwira yang
kosen ini karena tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai,
lalu mengeluarkan ilmu toyanya yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih
hebat dari pada ketika ia menghadapi Pek I Toanio tadi. Oleh karena ini
diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa
sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Ia bertempur
dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah membalas dengan desakan,
hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan mempelajari gerakan lawan.
Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai
merasa tidak puas sekali. Dia yang telah mempunyai pengertian pokok rahasia
segala macam ilmu silat, telah memiliki pemandangan tajam dan tahu bahwa
gerakan-gerakan toya Tan Bu sebenarnya hanyalah ganas dan dahsyat karena toya
itu selain berat, juga orang she Tan itu memiliki tenaga besar dan kalau saja
Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka Nona Baju Merah itu tak akan sukar
mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, maka diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan
sulingnya.
Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai,
dan semenjak tadi seringkali mengerling ke arah pemuda yang sangat menarik
hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tak dapat ditahan lagi mengajukan
pertanyaan, “Eh, Engko Hai, mengapa kaukeluarkan sulingmu pada saat seperti
ini?” Ia bertanya sambil tersenyum geli.
Cin Hai juga tersenyum dan jawabannya
menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat terheran itu ketika mendengar
Cin Hai berkata,
“Aku meniup suling untuk mengiringi tarian
Niocu.”
Sebelum Lin Lin dapat bertanya lanjut, Cin Hai
telah meniup suling maka tiba-tiba terdengarlah tiupan suling yang merdu di
ruangan itu. Semua orang menjadi heran sekali dan Kwee Tiong memandang kepada
Cin Hai dengan marah. Ia anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas
menyuling! Ia melangkah maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling, akan tetapi
Lin Lin memandang kepada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata,
“Engko Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu
dia!” Kwee Tiong merasa mendongkol sekali, akan tetapi semenjak adik
perempuannya ini kembali membawa kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak
berani melawan. Ia hanya memandang dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih
menyuling dengan asyiknya.
Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin
Hai makin keras, nyaring dan meninggi, terdengar seruan-seruan orang menyatakan
terkejut dan kagum. Ketika Kwee Tiong memandang kepada mereka yang bertempur,
ia pun menjadi silau karena ternyata tubuh Ang I Niocu telah lenyap dan kini
gadis itu berubah bayang-bayang merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan
luar biasa sekali! Lin Lin memandang kagum dan diam-diam ia memuji ilmu pedang
yang tiada taranya dalam hal keindahan itu. Juga, Biauw Suthai merasa kagum dan
diam-diam nenek tua yang lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Ia tahu bahwa
suara suling itu tepat sekali mengiringi semua gerakan Ang I Niocu dan
seakan-akan suara suling itulah yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju
Merah itu menjadi demikian luar biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua
ini memperhatikan Cin Hai dan timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini
hanya berpura-pura tolol, tetapi sebetulnya berkepandaian tinggi!
Memang sebetulnya Ang I Niocu masih melayani
lawannya dengan gerakan hati-hati sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling
yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya.
Suara suling itu baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak
baik dan rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya
bernyala-nyala. Ia lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya
berubah. Alangkah terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena
gerakan yang tadinya halus dan lemah gemulai dan hanya mengandalkan kelincahan
tubuh dan kelemahan gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi
ganas dan cepat laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar
pedangnya melakukan serangan yang hebat, dan ia merasa betapa sinar pedang
lawan ini mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan
tetapi Tan Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa
hingga toya ini merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh
tubuhnya!
Suara suling yang ditiup Cin Hai makin
meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah gerakan pedang Ang I Niocu
hingga pada suatu saat terdengar suara kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu
melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah terobek ujung pedang dari dada sampai
ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka kulit saja di bagian lengannya yang
mengeluarkan darah dan terasa perih.
“Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah
dan nama besarmu bukan omong kosong belaka!” Tan Bu memuji dan mengundurkan
diri ke tempat kawan-kawannya di mana ia membalut lukanya setelah memberi obat.
Ang I Niocu setelah menyinipan kembali
pedangnya, lalu dengan senyum lebar kembali ke tempat duduknya, di mana ia
disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan ucapan terima kasih.
“Niocu tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai
tertawa-tawa.
“Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan
suling tadi,” jawab Ang I Niocu sambil memandang wajah Cin Hai dengan senyum
mesra.
Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua
ia heran sekali mengapa dada kirinya merasa tidak enak melihat betapa mesra
pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin Hai dan betapa akrab hubungan mereka
berdua. Akan tetapi ia heran sekali mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I
Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji atau anak Hai! Sebetulnya, sampai
di manakah hubungan kedua orang ini? Ia belum mendapat kesempatan untuk bicara
banyak dengan Cin Hai.
Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda,
perwira ke empat maju sambil mengangkat dada dan berkata,
“Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu
telah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang
aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan
kalau di antara keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa
melayani orang-orang luar yang membela Kwee-enghiong!”
Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan
kepandaiannya sangat tinggi karena sebenarnya ia adalah saudara termuda dari
Santung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari Santung yang kesemuanya kini menjadi
perwira-perwira, kelas tertinggi di kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi
besar dan selain memiliki tenaga ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga
memiliki tenaga gwakang yang mengagumkan. Di kota raja Un Kong Sian dan
kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira lain, hingga beleh
dibilang bahwa ia menjadi seorang di antara guru-guru para perwira di kota
raja. Oleh karena ini, maka dapat dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh
lebih tinggi daripada yang lain-lain. Adapun Ma Ing, perwira ke lima yang
menjadi suhengnya, adalah orang ke empat dari Santung Ngo-hiap, dan tentu saja
kepandaian Ma Ing ini lebih tinggi daripada kepandaian Un Kong Sian. Hanya ada
sedikit perbedaan di antara kedua perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih
memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan, sebaliknya Ma Ing terkenal memiliki
ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang yang hebat, dan kepandaian
mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.
Mendengar betapa Un Kong Sian menantang
keluarga Kwee, Kwee An tak dapat menahan sabarnya dan ia lalu melompat maju
sebelum dapat didahului orang lain,
“Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri
melayanimu,” kata Kwee An dengan tenang.
Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An
dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya
ini maka ia berkata sambil tertawa,
“Anak muda, biarpun harus diakui bahwa engkau
adalah murid seorang pandai, akan tetapi kepandaianmu belum matang dan jangan
engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku.”
Un Kong Sian adalah orang yang mempunyai
kebiasaan bicara terus terang dan kasar maka kata-katanya seringkali menyakiti
hati orang. Kali ini ucapannya tentu saja membuat Kwee An menjadi merah
telinganya. Ia dipandang ringan sekali, maka sambil tersenyum ia pun menjawab,
“Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku,
akan tetapi jiwaku yang tak berharga ini memang telah kusediakan untuk membela
nama Ayahku. Sudahlah, kalau engkau memang memiliki kepandaian tinggi,
keluarkan kepandaianmu itu hendak kulihat bagaimana hebatnya!”
“Ha, ha! Engkau pemberani, juga, anak muda.
Akan tetapi kalau nanti engkau terluka, jangan salahkan aku!”
Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lalu
melempar jubah luarnya dan tampaklah kedua lengan tangan yang besar berurat dan
yang berkekuatan luar biasa besarnya.
“Nah, majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian.
“Biarlah engkau berkenalan dengan kepandaian Un Kong Sian!”
Mendengar nama ini, diam-diam Biauw Suthai
terkejut dan memperhatikan karena ia kenal nama ini sebagai saudara termuda
dari Santung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi.
Diam-diam ia menguatirkan keadaan Kwee An dan tak terasa lagi ia berkata kepada
Cin Hai yang duduknya tidak jauh dari tempatnya,
“Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang
tinggi ilmu silatnya! Engkau carilah akal supaya Kwee-kongcu suka mengundurkan
diri sebelum mendapat celaka!” Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang
memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin Hai dan menganggap bahwa pemuda
itu betul-betul tolol, adalah Biauw Suthai yang hanya memiliki sebuah mata saja
segera dapat mengetahui bahwa Cin Hai adalah seorang pemuda yang banyak
akalnya, maka sekarang ia minta kepada pemuda itu untuk mencegah Kwee An
menghadapi Un Kong Sian!
Tiba-tiba setelah mendengar ucapan Biauw
Suthai, Cin Hai berlari-lari sambil memegang sulingnya ke arah arena
pertempuran dan pada saat itu Un Kong Sian dan Kwee An telah saling berhadapan
dan hampir bergebrak.
“Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru
melayani bertempur bukanlah tindakan gagah berani, tetapi hanya kelakuan
seorang yang licin dan curang!” kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian
dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja yang mempunyai kelicinan dan kecurangan
seperti itu!!” Co Cho yang dimaksud oleh Cin Hai itu adalah seorang tokoh
cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin hingga banyak orang membenci dan
menghinanya, walaupun Co Cho adalah seorang yang terlalu cerdik.
Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang
Kwee An. Memang ia merasa benci dan mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan
tadi, maka ia lalu memandang dengan dipelototkan.
“Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak
engkau lakukan terhadapku?” bentaknya. “Lekas engkau menyingkir sebelum
kepalamu kuhancurkan!”
“Memang kau licin, lebih licin daripada Co
Cho!” Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An memandang kepada Cin Hai dengan
tidak mengerti dan heran.
“Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin
dan curang?” bentak Un Kong Sian.
“Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat
kepandaian Kwee An akan tetapi kami semua belum melihat tingkat kepandaianmu.
Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di mana
kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan
dulu kegagahan dan tenagamu. Kalau kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada
harga untuk melayani Kwee An yang gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh
pulang saja jangan mencoba mencari penyakit!” Semua orang yang hadir kali ini
dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti
maksud Cin Hai.
”Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah?
Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru dengan baik lagi!”
Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, lalu
berkata, “Nah, kau bisa tidak meniru kepandaianku tadi?”
Semua orang tertawa geli melihat kebodohan
yang tolol ini, sedangkan Un Kong Sian marah sekali sampai membanting-banting
kaki.
“Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah
artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau kau memperlihatkan demonstrasi atau
ilmu silat, baru aku mau menirunya.”
“Ha, ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau
jantan! Baik, baik, coba keluarkan senjatamu!”
Biarpun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian
lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu sebuah toya yang beratnya lebih dari
seratus kati. Inilah senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.
“Nah, ini senjataku, kau mau apa?” bentaknya.
“Aku akan mainkan senjata ini dan kau boleh
mencoba untuk menirunya,” kata Cin Hai dengan gagah, lalu dengan sikap
dibikin-bikin ia menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua
tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya
itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia
sangka bahwa Cin Hai setolol ini.
“Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar
membikin malu kita!” kata Kwee Tiong dengan mendongkol sekali. Tetapi Cin Hai
lalu memutar toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu,
terdengarlah suara mengaung yang hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran
toya dan mengembalikannya kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka
berhentilah suara mengaung itu.
“Nah, coba kautiru perbuatanku tadi. Hendak
kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!” Kembali semua orang tertawa, akan
tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai
mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat saja sudah hampir tidak
kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai menyembunyikan sulingnya di belakang
toya dan ketika ia memutar toyanya, dengan khikang yang tinggi ia meniup ke
arah lubang suling itu hingga menerbitkan suara mengaung.
Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya
begitu cepat hingga mendatangkan angin keras, akan tetapi mana bisa toya itu
mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara
mengiuk saja.
“Aha, engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak
bisa memutar toyamu sampai mengeluarkan angin mengaung!”
“Bangsat tolol!” Un Kong Sian marah sekali,
lalu ia gunakan tenaganya menancapkan toyanya yang berat itu ke lantai, dan
toya itu menancap sampai setengahnya di lantai yang keras itu! “Lihatlah
tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya ini, barulah berharga melayani
aku!” Kwee An terkejut sekali melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan inilah
yang dimaksudkan oleh Cin Hai.
“Aha, benar-benar engkau hebat, Un-ciangkun.
Engkau seperti Thio Hwie!” Thio Whie adalah seorang tokoh yang gagah dan kuat
sekali dalam cerita Sam Kok. “Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang
dapat menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia
ini!”
“Cin Hai, engkau mundurlah. Biarpun
Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih akan mencoba minta
pelajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena anak muda ini tentu saja tidak
sudi memperlihatkan rasa jerih terhadap lawannya.
“Nah, mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini
jauh lebih berani dan gagah daripada engkau yang hanya pandai bicara dan
mengacau!” kata Un Kong Sian.
“Eh, eh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa
yang bisa mencabut toya inilah yang hendak engkau layani.”
“Akan kucoba untuk mencabutnya!” Kata Kwee An
sambil melangkah maju. Cin Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak
disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu hatinya dan ia percaya Kwee An pasti akan
dapat mencabut toya itu. Maklum akan peringatan Biauw Suthai dan tahu pula
betapa bahayanya bagi Kwee An menghadapi orang she Un ini, karena orang she Un
ini mempunyai muka yang membayangkan kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas
sekali, maka jika mereka bertempur, banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau
terbunuh! Ia lalu melangkah maju dan berkata,
“Nanti dulu! Aku tadi telah berkali-kali
dihinanya, biarkan aku mencoba dulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya
mencabut kayu gapuk ini?”
Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri
toya itu, sedangkan Un Kong Sian lalu melangkah mundur dan memandang dengan
mata menghina dan kedua lengan tangan bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan
tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan kata tercabut, tergoyang pun tidak toya
itu. Semua orang yang menonton tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin
Hai yang mukanya menjadi pucat. Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah
mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang disalurkan di kedua
tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia telah dapat mematahkan
ujung toya yang terpendam di lantai.
Ia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong
Sian. “Tenagamu betul-betul hebat. Aku tidak kuat mencabut!” katanya sambil
terengah-engah.
Kwee An merasa malu sekali melihat sikap Cin
Hai. Dengan penasaran ia hendak mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh
Cin Hai. Ia melangkah maju dan membetot toya itu. Alangkah hebatnya ketika ia
dapat membetot keluar toya itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.
Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan
semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap luar biasa dan besar sekali,
sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tak mungkin pemuda itu memiliki
tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa
dan sama sekali tidak menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan
ditujukan kepadanya dengan penuh kecurigaan.
Tiba-tiba Un Kong Sian mengangkat kedua
tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu mengangkat tinggi-tinggi. “Cuwi
sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak mencabut keluar toyaku, akan tetapi ia
telah mematahkannya! Tentu saja hal ini tidak aneh.”
Kwee An tercengang lagi. Ia sama sekali tidak
mematahkan toya itu, tetapi benar saja, ketika ia memandang, ternyata bahwa
ujung toya itu telah patah. Kini ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai
mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini. Akan tetapi, benarkah Cin Hai
demikian lihai, dan apa maksudnya bertempur melawan Un Kong Sian?
“Betul, betul!” kata Cin Hai dengan suara
keras. “Ujung toya itu telah patah. Terang bahwa Kwee An tidak dapat mencabut
toya itu, maka tidak pantas melayanimu. Ada orang lain yang lebih tepat
menghajarmu.”
Bukan main marahnya Un Kong Sian karena
toyanya telah patah. “Siapa dia? Suruh maju lekas!” bentaknya. “Sabarlah orang
she Un. Kalau kau mencari lawan, pinni bersedia melayanimu!” Dan tahu-tahu
Biauw Suthai telah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee An dan
dibawa pergi dari situ.
“Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai.”
bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An yang penasaran dan curiga
kepadanya.
Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw
yang berwajah buruk dan mengerikan berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu
merangkapkan kedua tangan dan bertanya,
“Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi
pelajaran kepadaku?”
“Orang-orang memanggilku Biauw Suthai.” Diam-diam
hati Un Kong Sian berdebar karena ia telah mendengar nama besar Biauw Suthai,
akan tetapi ia sama sekali tidak merasa jerih.
“Kebetulan sekali. Telah lama aku mendengar
nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin sekali merasai kelihaiannya. Tidak
tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?”
“Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau
pinni mengajak kau bermain senjata.”
“Bagus, kalau begitu marilah kita menguji
kepandaian tangan!” Tanpa banyak cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang
dan kedua tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur
dengan seru.
Dalam hal ilmu silat, Biauw Suthai memiliki
kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman pertempuran yang luas, akan tetapi
terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan
tandingannya. Gerakan pukulan kedua orang ini mendatangkan angin dan membuat
para penonton menahan napas. Juga Cin Hai tidak berani berjenaka lagi karena ia
maklum betapa kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat dan masing-masing
menghadapi lawan yang berat sekali. Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw
Suthai yang lihai itu telah dapat memukul dua kali kepada pundak dan dada
lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian demikian hebat hingga perwira
itu hanya terhuyung saja dan terus nekad menyerang lagi. Cin Hai merasa
terkejut karena ia maklum bahwa biarpun di luar tidak kelihatan terluka parah
dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi pukulan Biauw Suthai yang disertai
tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan luka di sebelah dalam.
Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia
gemas sekali melihat kenekatan orang yang sudah terang mendapat luka, maka ia
lalu menyerang makin hebat. Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat
kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga
kiri Un Kong Sian, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama
sekali tidak menangkis atau berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga
membalas menyerang dengan pukulan Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan
kanan Un Kong Sian dengan hebatnya mengarah leher Biauw Suthai.
Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga
tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai memiringkan tubuh hingga totokannya
tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong Sian meleset dan mengenai pundaknya.
Akan tetapi pukulan kedua orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya
terpental mundur. Biauw Suthai dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu
dan wajah pucat, sedangkan Un Kong Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil
tertawa seram, kemudian ia roboh sambil memuntahkan darah.
Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan
menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin cepat meloncat menghampiri dan
menuntun gurunya kembali ke tempat duduknya. Tokouw ini lalu mengeluarkan
sebungkus obat putih dari saku bajunya dan minum obat itu dengan segelas air.
Kemudian tokouw yang baik budi ini mengeluarkan tiga butir pil merah dan
menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada Un Kong Sian.
Akan tetapi pemberian obat itu ditolak oleh Ma
Ing yang sudah menyediakan obatnya sendiri guna sutenya, kemudian Ma Ing dengan
muka merah karena marah maju ke kalangan.
“Di pihak kami hanya aku seorang. Hayo kau
keluarkan jago-jagomu, Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!”
Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Ia
maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini tinggi sekali dan setelah Biauw Suthai terluka,
siapa lagi yang diharapkan bantuannya untuk menghadapi Ma Ing? Ma Ing agaknya
tahu pula pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago maka dengan sombongnya ia
berkata,
“Kalau di pihak tuan rumah tidak ada jago yang
berani menghadapi aku seorang diri, boleh kamu semua maju berbareng. Boleh
kalian lihat aku Ma Ing seorang diri cukup untuk melayani kamu sekeluarga!”
Biarpun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya
belum tinggi, akan tetapi mendengar ucapan sombong ini, sambil berseru keras
mereka meloncat maju berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang
sambil memegang pedang maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi! Ma
Ing mengeluarkan suara menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan
dan kakinya menendang dan dalam beberapa gebrakan saja empat batang pedang di
tangan Kwee Tiong dan adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget
sekali Kwee Tiong dan adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan
mereka yang kena pukulan dan tendangan!
“Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani
mengganggu kumis macan?” Ma Ing menyindir.
Sikap dan kata-katanya yang sombong ini
memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang ini tanpa berjanji lebih
dulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan pedang di tangan mereka berdua
menyerang Ma Ing! Ma Ing lalu mencabut pedangnya dan bertempurlah tiga orang
ini. Menghadapi keroyokan Kwee An dan Ang I Niocu yang memiliki kiam-hoat bagus
itu, Ma Ing tidak berani main-main dan melayani dengan sengit dan sebentar saja
ia dapat mendesak kedua anak muda!
Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat
semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal melihat betapa Cin Hai memandannya
dengan tersenyum dan betapa pemuda itu dengan enaknya duduk memegang-megang
sulingnya! Orang lain sibuk melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya
tersenyum mentertawakannya.
“Kenapa kau tertawa?” tegurnya.
“Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu
yang dengan sekali bergerak saja dapat merampas pedang kalian berempat!” jawab
Cin Hai.
Kwee Tiong marah sekali dan kalau ia tidak
ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia sudah mengirim kepalannya ke arah
Cin Hai. “Kau sendiri orang tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya
menimbulkan malu, coba lihat Kwee An. Ia pantas sekali bertempur bersama Nona
itu melayani musuh. Tidak seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari
Ang I Niocu, bukan?”
“Tiong-ko, jangan kau menghina orang!” Lin Lin
menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai. “Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An
terdesak, apa daya kita?”
Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum
manis. “Adikku yang baik, apakah kau ingin melayani orang she Ma itu?”
Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia
sungguh tidak segera mengerti maksud kata-kata Cin Hai ini. “Ah, sedangkan Ang
I Niocu dan Engko An yang memiliki kepandaian tinggi masih terdesak olehnya,
apalagi aku! Kulihat kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah
guruku!”
Cin Hai bangun dari duduknya. “Lin-moi,
kausiapkan pedangmu dan mari kau kuantar melawan orang she Ma itu. Kalau kau
tidak dapat merobohkannya jangan kaupanggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya
disertai senyum mesra kepada gadis yang masih memandangnya dengan mata
terbelalak. “Lin Lin benarkah kau tidak percaya kepadaku?” tanya Cin Hai
sungguh-sungguh.
“Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita
maju!”
Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan
pertempuran.
“Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah biar
aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!”
Mendengar kata ini, Ma Ing menunda serangannya
karena heran sekali mendengar bahwa pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan
ini digunakan oleh Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.
“Hai-ji, ia lihai sekali, jangan kau
main-main!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.
“Lin Lin dia bukan lawanmu!” kata Kwee An
memperingatkan Lin Lin.
Akan tetapi, baik Cin Hai maupun Lin Lin tidak
mempedulikan peringatan ini. Lin Lin mencabut pedangnya dan maju bersama-sama
Cin Hai yang memegang sulingnya.
“Eh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi
aku dan Kwee-siocia ini?”
“Ha, ha, ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah
bosan hidup! Ingat, kali ini aku tidak mau mengampuni kau pengacau ini.
Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku
Ma Ing takkan gentar.”
“Nah, kau bersiaplah!” kata Cin Hai dan ia
menggerakkan sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing
segera melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.
“Kau bersenjata suling? Ha, ha! Ah, kau
benar-benar sudah gila, anak muda. Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain
senjata tajam.”
“Tak usah, orang sombong. Aku tak akan
melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku hanya
menghalangi serbuanmu saja untuk apa menggunakan senjata tajam?”
Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang
yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala karena menyangka bahwa
benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada
Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai, “Kwee-kongcu,
kau tenanglah karena sekarang Ma Ing benar-benar akan kehilangan muka!” Kwee
Tiong heran sekali mendengar kata-kata ini akan tetapi terhadap guru Lin Lin
ini tidak berani banyak cakap.
“Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi
saksi bahwa pemuda gila ini mencari matinya sendiri. Aku takkan mengganggu
Kwee-siocia akan tetapi kalau hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini,
janganlah orang memanggil namaku Ma Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing
lalu menyerang dengan pedangnya dan benar saja, ia menujukan serangannya yang
hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada pemuda itu!
Semua orang menjerit ngeri karena telah terbayang di depan mata betapa dada Cin
Hai akan tertembus pedang, akan tetapi Cin Hai juga menjerit, “Aya...“ sambil
menggunakan gerakan Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung ke belakang
dengan gerakan canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada tusukan
pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai berkata,
“Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau
serang dia!”
Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena
melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, ia sudah merasa khawatir sekali dan
cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing hendak menangkis akan tetapi
tiba-tiba Cin Hai meniru gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan
suling itu. Terpaksa Ma Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar
tubuh menghadapi Cin Hai lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang,
akan tetapi tiba-tiba suling yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai
juga membacok ke arah lengan tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda
ini sama betul dengan gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh
suling yang dibacokkan itu. Ma Ing terkejut sekali karena biarpun suling itu
hanya terbuat dari pada bambu, akan tetapi tangannya merasa sakit sekali. Ia cepat
memutar pedangnya dan menyerang Cin Hai dengan serangan kilat, akan tetapi,
tiba-tiba ia memandang dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat
persis ilmu silatnya sendiri.
Orang-orang yang menonton menjadi
terheran-heran dan menganggap bahwa Cin Hai hanya meniru-niru gerakan Ma Ing,
akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat mempercayai matanya karena gerakan
Cin Hai malah lebih sempurna daripada gerakannya sendiri. Maka ia cepat
meloncat mundur dan berseru.
“Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau
ini murid siapakah dan darimana kau dapat mainkan Pek-coa-kiam-hoat?”
Pek-coa-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang dimainkan oleh Ma Ing tadi.
Cin Hai pura-pura memandang heran. “Orang she
Ma, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu pedang ini darimu
sendiri!”
“Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran
kepadamu?” Ma Ing berseru marah,
“Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan
ilmu pedangmu?” jawaban Cin Hai ini memang sebenarnya saja, karena ilmu silat
apapun juga jika dipergunakan untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat
menirunya karena ia telah kenal akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan
silat.
“Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura
tolol saja. Kalau kau memang laki-laki, jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau
sampai salah tangan dan melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.
Cin Hai memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah
kau, Adik Lin, monyet tua ini takut kepada pedangmu, biariah aku yang
melayaninya sendiri!”
“Tapi, Hai-ko...” kata Lin Lin ragu-ragu
karena ia merasa kuatir sekali.
Tiba-tiba Cin Hai mengejapkan matanya kepada
gadis itu dan mulutnya tersenyum. “Tidak percaya kau kepadaku?” Gadis itu tak
menjawab, lalu mengangsurkan pedangnya.
“Kaupakailah pedangku, Hai-ko!”
“Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja.
Kalau perlu, aku sendiri pun sudah mempunyai sebatang pedang.”
Lin Lin mengundurkan diri tetapi berdiri di
pinggir kalangan untuk menjaga kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing
lalu mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran
cepatnya sehingga pedang itu berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan
yang menyerbu ke arah Cin Hai.
“Bagus!” Cin Hai berseru dan ia lalu mengikuti
gerakan lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan suling diputar hingga
ketika ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang
aneh dan lucu.
Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda
ketololan ini sesungguhnya lihai sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan
kagum dan keadaan menjadi ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang,
Pek I Toanio, Biauw Suthai dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk
mereka agar dapat menonton lebih jelas! Sebaliknya, Kwee Tiong dan adik-adiknya
lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan kepala
sambil berkata, “Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi daripada
kebisaanku.”
Ma Ing merasa pusing sekali karena ia tak
berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangankan mendesak, menyerang pun sukar
baginya, karena pemuda itu dengan aneh sekali telah mengetahui semua rahasia
penyerangannya sebelum serangan itu sempat dilakukan. Tiap kali apabila
pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahuluinya dengan
sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga serangan-serangannya itu
gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh. Dan yang lebih gila, tiap serangan
dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.
Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap
bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam ilmu Pedang Pek-coa-kiam-hoat, maka
tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya dan memainkan limu Pedang
Pat-sian-kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi ia kecele, karena pemuda itu pun
telah kenal baik ilmu pedang ini dan dapat melakukan ilmu pedang ini dengan
sama sempurna! Ia mengubah-ubah terus ilmu silatnya, dari ilmu silat yang
terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing memang memiliki banyak sekali ilmu
silat yang lihai, akan tetapi kini ia benarbenar tidak mengerti, karena baru
saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya
yang sama dan sedikit pun tidak berbeda. Masih seperti tadi, tiap-tiap
serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam pula. Ma Ing merasa
seakan-akan ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam cermin.
Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena telah
beberapa kali suling itu berhasil memukulnya dengan perlahan di kepala,
punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Biarpun pukulan ini perlahan
sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih adalah
perasaan di dalam hatinya.
“Orang she Ma, sudah beberapa kali engkau
kukemplang dengan suling, masih belum mau kalahkah engkau?” Cin Hai bertanya
dengan ejekannya, sedangkan sorak-sorai penonton makin riuh karena
sungguh-sungguh mereka sama sekali tak pernah menyangka bahwa pemuda tolol itu
benar-benar berkepandaian sedemikian tingginya hingga berhasil mempermainkan Ma
Ing! Juga Biauw Suthai kini benar-benar kagum sekali dan menyatakan
kekagumannya itu dengan kata-kata hingga terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis
itu berkata kepadanya.
“Tidak heran bahwa ia demikian lihai, karena
ia adalah murid tunggal dari Bu Pun Su Susiok-couw!” Mendengar ini, terkejutlah
Biauw Suthai dan tokouw ini mengangguk-angguk maklum.
Mendengar ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah
dan menyerang dengan nekad. Tiba-tiba Cin Hai lalu berkata, “Ah, aku sudah
bosan, Ma-ciangkun! Biarlah engkau lelah sendiri, aku hendak mengaso!” Setelah
berkata demikian Cin Hai lalu duduk bersila di tengah kalangan itu sambil
meramkan mata seperti orang bersamadhi! Semua orang merasa heran sekali hingga
memandang dengan mata terbelalak tak pernah berkejap karena mereka tidak
percaya bahwa Cin Hai hendak menghadapi lawannya dengan duduk bersila sambil
meramkan mata!
Juga Ma Ing merasa ragu-ragu, akan tetapi
karena ia telah merasa lelah sekali dan hatinya terasa sakit dan mendongkol
karena telah dipermainkan, ia menjadi mata gelap. Dengan mengertak gigi, ia
lalu membacok ke arah kepala Cin Hai yang sedang duduk bersila sambil meramkan
mata itu. Kwee An bergerak hendak melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia
ditahan oleh Biauw Suthai, dan Ang I Niocu yang telah mengetahui kelihaian Cin
Hai. Juga Lin Lin telah siap dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di
tangan Cin Hai digerakkan dan suling itu tidak menangkis pedang yang menyambar
kepalanya, bahkan mendahului gerakan Ma Ing! Terpaksa Ma Ing menahan gerakannya
dan membacok dengan hebat ke arah pundak Cin Hai. Akan tetapi, dengan mata
masih meram, sekali gerakkan pundak saja pemuda itu telah berhasil mengelit
bacokan itu sambil berkata perlahan, “Ah, Ma-ciangkun, engkau telah mendapat
luka dalam, masih belum insafkah engkau?”
Ma Ing kaget sekali dan menahan pedangnya. Ia
memang merasa betapa di dalam dadanya terasa panas dan yang membuatnya tak enak
sekali, seperti orang yang mual dan hendak muntah.
“Rabalah iga kirimu dan engkau akan tahu!”
kata Cin Hai lagi.
Ma Ing seperti dalam mimpi lalu menggunakan
tangan kiri meraba iganya dan terkejutlah ia karena iganya terasa sakit sekali
dan ketika ia merobek bajunya, ternyata di iga itu terdapat sebintik tanda
merah sebesar jempol kaki! Ia maklum bahwa ia telah kena dilukai oleh Cin Hai,
maka ia cepat menjura sambil berkata, “Sungguh mataku seperti buta dan tidak
melihat besarnya Gunung Thai-san yang menjulang di depan mata. Sicu lihai
sekali jadi aku merasa takluk. Tidak tahu siapakah sebenarnya Sicu ini, dan
murid siapakah?”
Cin Hai lalu menggunakan kepandaiannya hingga
dalam keadaan bersila, tahu-tahu tubuhnya dapat mumbul ke atas. Inilah
demonstrasi tenaga khikang yang jarang dipunyai oleh sembarang tokoh
persilatan. Setelah berada di udara Cin Hai melepaskan kaki dan berdiri. Ia
membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata sambil tersenyum,
“Ma-ciangkun, siauwte bukanlah orang yang
ternama besar. Siauwte bername Cin Hai, she Sie dan orang memberi julukan
kepada siauwte Pendekar Bodoh!”
Orang-orang tertawa dan memuji menyatakan
heran dan kagum karena biarpun telah memiliki kepandaian sehebat, itu, namun
ternyata Cin Hai tidak menjadi sombong bahkan merendahkan diri serta bersikap
ketolol-tololan.
“Kau sungguh pandai menyembunyikan kepandaian,
Sicu. Siapakah nama Suhumu yang mulia?” tanya Ma Ing lagi yang kini benar-benar
telah mati kutu dan tidak berani bersikap sombong.
“Suhuku lebih bodoh lagi daripadaku, ia tak
memiliki kepandaian apa-apa.” Ma Ing menjadi pucat mendengar ini, karena guru
pemuda ini tentu kakek jembel Bt Pun Su yang berarti tidak punya kepandaian! Ia
lalu menjura lagi dan berkata “Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain
kali kalau ada jodoh kita bertemu kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya
pergi dari situ.
Setelah lima orang perwira itu pergi, semua
orang lalu merubung dan memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih Lin Lin, gadis ini
tanpa malu-malu lagi lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya ke arah
ayahnya.
“Ayah, coba lihat Engko Hai ini! Sejak pertama
bertemu aku telah menduga bahwa ia memiliki kepandaian hebat!” kata gadis itu
dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Kwee In Liang hanya
mengangguk-angguk dan dengan suara terharu berkata,
“Terima kasih, Hai-ji. Kau telah menyelamatkan
kami sekeluarga.”
Loan Nio memeluk keponakannya dengan girang
dan terharu. Akan tetapi pada saat itu, dari luar terdengar seruan-seruan kaget
dan tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. Suara ini menyeramkan sekali dan
Cin Hai juga merasa kaget sekali karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan
diri dari pelukan bibinya dan melompat keluar. Ternyata di situ telah berdiri
Hek Moko dan Pek Moko yang tertawa bagaikan dua orang gila!
“Ha, ha! Anak muda, kebetulan sekali kita
dapat bertemu di sini. Engkau ternyata telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su Si
Kakek Gila. Marilah, kita main-main sebentar!”
“Ji-wi Locianpwe,” kata Cin Hai dengan sabar
dan suara sungguh-sungguh. “Kita tak pernah bermusuhan, untuk apa kita harus
bermain-main yang hanya akan menimbulkan buah tertawaan orang belaka?” Suara
Cin Hai kini terdengar berpengaruh tidak seperti tadi ketika ia mempermainkan
para perwira itu. Lin Lin dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di
kanan-kirinya.
“Anak muda, tak perlu banyak cerewet!” Pek
Moko membentak. “Gurumu telah berhutang kepada kami dan sekarang kaulah yang
harus membayar!” Setelah berkata demikian, mereka berdua mencabut keluar pedang
mereka yang mengerikan itu dan juga mereka mengeluarkan senjata tasbeh lalu
menyerang dengan hebat ke arah Cin Hai! Terpaksa Cin Hai mencabut pedang
pemberian suhunya dulu, yaitu Liong-coan-kiam, dan ia lalu menggerakkan
pedangnya meniru gerakan-gerakan lawannya itu! Tiga orang ini bertempur dengan
hebat dan sebentar saja mereka bertiga lenyap dari pandangan mata dan hanya nampak
debu mengepul dan tiga bayangan pedang bercampur menjadi satu! Melihat
pertempuran yang luar biasa hebatnya ini, baik Lin Lin maupun Ang I Niocu tak
berdaya untuk membantu karena kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu,
tidak hanya sangat berbahaya bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai,
malah mungkin akan mengacaukan pertahanannya.
Ang I Niocu mengerling ke arah Lin Lin dan ia
melihat betapa gadis muda ini meremas-remas kedua tangannya dan dengan wajah
pucat serta kedua mata basah dengan air mata memandang ke arah
bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu! Ang I Niocu merasa betapa hatinya
tiba-tiba menjadi perih seperti tertusuk pedang. Ia maklum bahwa gadis muda
yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai! Keperihan hati ini membuat ia
menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu dan kini gulungan sinar
pedang itu bertambah dengan sinar merah.
“Niocu, kau mundur!” Terdengar seruan Cin Hai
yang berpengaruh sekali. Tiba-tiba bayangan merah itu terlempar ketika
pedangnya beradu dengan tasbeh Pek Moko, hampir saja ia mendapat celaka.
Setelah bertempur agak lama lagi, tiba-tiba
terdengar teriakan ngeri dan tahu-tahu gulungan sinar pedang Hek Moko dan Pek
Moko telah mengendur dan tiba-tiba kedua iblis itu sambil berteriak-teriak
kesakitan lari dari situ! Cin Hai berdiri dengan wajah pucat dan pedang di
tangan kanannya bergetar karena tangan yang memegang itu menggigil!
Ang I Niocu memburu, akan tetapi ia kalah dulu
dengan Lin Lin. Gadis ini memeluk tubuh Cin Hai yang berdiri bagaikan patung
itu sambil berseru berkali-kali,
“Engko Hai... Engko... Hai... kau kenapakah?”
Cin Hai memandang Lin Lin dengan tersenyum
lalu mengerling ke arah Ang I Niocu yang juga telah mendekatinya, tapi
tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan dan jatuh pingsan! Untunglah Lin Lin
cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memondong tubuh Cin
Hai dibawa masuk ke dalam rumah.
Para tamu dan tuan rumah menjadi panik dan
bingung. Cin Hai telah mendapat luka di dalam tubuh karena pukulan tasbeh Hek
Moko, akan tetapi ujung pedang Liong-coan-kiam juga terdapat tanda darah yang
menyatakan bahwa pemuda ini pun telah berhasil melukai kedua lawannya yang
tangguh!
Kwee In Liang lalu minta maaf kepada semua
tamunya dan para tamu lalu bubaran dan tiada habis-habisnya mereka membicarakan
tentang Pendekar Bodoh yang luar biasa dan lihai itu! Dalam perjamuan itu,
mereka benar-benar telah disuguhi pertunjukan silat yang luar biasa hebatnya!
Cin Hai dibaringkan dalam sebuah kamar Lin
Lin, dan Loan Nio duduk menangis di dekatnya, sedangkan Ang I Niocu juga
berdiri di situ dengan wajah pucat. Biauw Suthai yang pandai akan ilmu
pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai
telah kena pukul tasbeh di pundak kanannya hingga menderita luka dalam yang
hebat juga.
“Tak perlu kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau
orang lain yang terkena luka ini, tentu akan melayang jiwanya. Akan tetapi anak
muda ini benar-benar telah mendapat latihan khikang yang tinggi hingga luka ini
takkan membahayakan jiwanya.” Ia lalu mengeluarkan tiga belas butir pel putih
dan memberikan pel itu kepada Lin Lin. “Berikan pil ini sehari tiga butir dan
jika semua pil telah ditelan habis tentu ia akan sembuh kembali!”
Lin Lin cepat menerima pel itu dan dengan
cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur mengambil air panas, lalu dengan
kedua tangannya sendiri memasukkan pel itu ke dalam mulut Cin Hai dan
memberinya minum air. Dengan sangat mesra gadis ini lalu menggunakan
saputangannya untuk menyusut peluh yang berkumpul di jidat Cin Hai hingga
melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan
hatinya lagi. Ia lalu menangis tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin.
Gadis ini merasa heran dan memandang muka bibinya dengan tidak mengerti, akan
tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia lalu menjadi
insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah
kemerah-merahan karena jengah dan malu!
Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu
karena ia hendak bertanya kepada Dara Baju Merah ini tentang riwayat Cin Hai
dan segala pengalamannya, akan tetapi ketika ia memandang, ternyata Dara Baju
Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi! Ia cepat mengejar ke luar, akan
tetapi tidak terlihat bayangan Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong
di ruang depan dan ia bertanya kepada kakaknya ini barangkali melihat Ang I
Niocu.
“Ia telah pergi dan minta supaya aku
menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang. Agaknya ia sebal melihat
engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barangkali ia cemburu, karena tidak
melihatkah kau betapa mesra dan akrab hubungan antara dia dengan Cin Hai?” Kwee
Tiong yang mempunyai hati iri melihat kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun
di hati Lin Lin akan tetapi gadis ini dengan muka merah dan pandangan mata
bersinar menjawab,
“Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur
segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita sendiri dan ia dengan gagah
berani telah berhasil membela nama baik kita, tidak pantaskah kalau aku berlaku
baik kepadanya?” Dengan muka cemberut gadis ini meninggalkan kakaknya dan
kembali ke kamar Cin Hai.
Biauw Suthai dan Pek I Toanio serta lain-lain
tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten
sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh ia
mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala
dan menghela napas saja, lalu ia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.
Benar seperti ucapan Biauw Suthai, setelah
diberi makan obat pel itu, pada keesokan harinya Cin Hai siuman dari
pingsannya. Pemuda ini merasa terharu melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara
dan menjaganya selama itu. Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih
yang bersemi di dalam hatinya terhadap Lin Lin makin mendalam dan berakar.
Bibinya juga seringkali datang menengok, sedangkan pamannya biarpun tiap hari
sedikitnya satu kali datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan
Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang tak pernah datang menengok. Hanya
Kwee An yang sering datang dan tiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu
memuji-mujinya dan minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu
silat kepadanya.
Pada hari ke tiga, Cin Hai keluar dari
kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang rumah yang mempunyai sebuah taman
yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I Niocu dan memikir dengan heran
mengapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika diberitahu oleh Lin Lin akan
kepergian Ang I Niocu ia hanya merasa menyesal mengapa Gadis Baju Merah itu
tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia masih pingsan. Akan tetapi ia
tidak kecewa. Ia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan ie-ienya
dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap. Ia tidak tahu
bahwa dulu ia hidup sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi
sekarang ia telah berada di rumah Loan Nio, bibinya yang sangat cinta kepadanya
itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut hatinya dengan
diam-diam.
Ketika ia sedang duduk melamun, tiba-tiba
terdengar suara merdu memanggilnya, “Engko Hai... Engko Hai...”
Cin Hai tersenyum. Ia mengenal baik suara Lin
Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan ia lalu duduk di bawah sebatang pohon
dalam taman itu. Akhirnya suara panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran,
maka hati Cin Hai menjadi tidak tega. Ia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”
Lin Lin berlari-lari menghampiri dan wajah
gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan tetapi mulutnya cemberut.
“Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa
engkau diam saja dan bersembunyi di sini? Kukira engkau...”
“Kaukira apa?”
“Kukira engkau pergi tanpa pamit, seperti Ang
I Niocu...“ Lin Lin lalu menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.
“Kalau aku pergi, kenapakah?” “Kalau engkau
pergi, aku... ahh... ah, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa
belum menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya
dan memberikan itu kepada Cin Hai.
Cin Hai menerima pil itu dan memandang wajah
Lin Lin yang berada di dekatnya. “Lin Lin... kenapakah engkau... sebaik ini
kepadaku...?” suara Cin Hai terdengar menggetar penuh perasaan.
Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang
mata bertemu dengan pandang mata Cin Hai, ia lalu menundukkan mukanya dengan
wajah merah.
“Engkau jangan memandang aku seperti itu,
Engko Hai...” katanya berbisik.
Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa
betapa tangan dara itu menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kaupandanglah aku dan
jawablah pertanyaanku tadi!”
Tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan
menyembunyikan mukanya di dada. “Aku... tidak berani, Hai-ko.”
“Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak
berani? Katakanlah...”
Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk
merenggutkan tangannya yang terpegang akan tetapi tidak dapat. “Sudah, Engko
Hai, jangan membikin aku merasa malu sekali. Telanlah piI itu!”
Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya
menggigil. “Sudahlah, Engko Hai lepaskan tanganku dan telanlah pil itu!”
katanya memohon.
“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku.
Cintakah kau padaku?”
“Engkau nakal sekali, Engko Hai!”
“Jawablah dulu!”
Dengan tersenyum kemalu-maluan dan matanya
yang indah mengerling tajam Lin Lin mengangguk!
Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan
gadis ini. “Lin Lin, kini hidup ini berarti bagiku. Alangkah indahnya dunia
ini. Lihatlah pohon-pohon itu menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”
“Ah, pohon itu bergerak karena tertiup angin!”
bantah Lin Lin.
“Dan daun-daun itu, melambai-lambai kepada
kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena hendak ikut menyatakan kebahagiaan
mereka! Lin Lin, kau sungguh membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku... aku
cinta kepadamu...”
“Sudahlah, kautelan pil itu!” kata Lin Lin
cemberut, tapi hatinya berdebar-debar karena gembira dan bahagia.
“Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan
cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut wajahmu menjadi makin manis dan
aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”
“Kau... kau memang nakal!” Lin Lin berkata
sambil mencubit lengan pemuda itu. Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa
betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan sulingnya.
“Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian
indah untukmu.”
Cin Hai lalu meniup sulingnya dan karena ia
mencurahkan seluruh perasaannya yang mencinta di dalam tiupan suling itu maka
terdengarlah suara suling yang indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin
meramkan matanya, karena di dalam suara suling itu, ia seakan-akan mendengar
pernyataan cinta kasih Cin Hai kepadanya!
Setelah Cin Hai selesai meniup sulingnya,
dengan mata basah Lin Lin berkata, “Terima kasih, Hai-ko, aku telah mendengar
suara hatimu. Memang engkau semenjak dulu baik sekali kepadaku. Ingatkah kau
betapa dulu kau mati-matian melawan Guruku untuk membelaku? Ah, aku tidak dapat
melupakan semua kejadian itu!”
Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.
“Ha, kau mengingatkan akan hal-hal dahulu.
Dulu kau seorang anak perempuan yang berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan
bandel!” Cin Hai tertawa dan matanya memandang penuh menggoda.
Lin Lin cemberut. “Dan kau... kau... ah, lucu
sekali...”
“Aku kenapa...?” Cin Hai menuntut.
“Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh
kudis, dan engkau bodoh... dan nakal...” Lin Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu
berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih cepat, karena gadis ini telah
berdiri dan lari. Cin Hai mengejarnya sambil berkata,
“Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu
yang nakal itu!” Lin Lin berlari memutari pohon dan kembang, Cin Hai mengejar
dan mereka berkejar-kejaran bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira,
begitu mesra dan penuh bahagia. Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang
dan dengan wajah tak senang ia berkata, “Lin Lin Ayah memanggilmu!” Tanpa
menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin
memperlihatkan wajah kecewa, akan tetapi Cin Hai berkata,
“Pergilah, Lin-moi! Ie-thio tentu ada hal
penting maka ia memanggilmu.”
Lin Lin lalu masuk ke dalam rumah dan
meninggalkan Cin Hai yang duduk melamun dengan penuh kebahagiaan.
Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin
melihatnya ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram. Begitu melihat anak
gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur,
“Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan
memalukan!”
Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya
dengan heran, “Ada apakah, Ayah?”
“Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai,
hal ini tidak patut sekali.”
Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah
mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.
“Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul
dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita sendiri dan bukankah ia seorang
pemuda yang baik dan gagah serta telah menolong kita?” jawabnya dengan berani.
“Betul, akan tetapi engkau harus ingat bahwa
engkau telah dewasa dan ia seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut kalau engkau
berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”
“Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin
Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai adalah seorang pemuda baik dan sopan.
Aku... aku suka bergaul dengan dia!” Memang semenjak dulu Lin Lin sangat
dimanja oleh ayahnya hingga ia berani bersikap bandel terhadap ayah ini.
“Lin Lin.” Kwee In Liang menghela napas.
“Engkau harus taat kepadaku dalam hal ini. Engkau sudah cukup dewasa dan setiap
saat akan ada orang yang datang melamarmu. Engkau harus memutuskan hubunganmu
dengan Cin Hai dan jangan engkau bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan
penting.”
“Ayah!” Gadis itu berseru.
“Diam!! Engkau harus menurut, atau... apakah
engkau ingin menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)??”
Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan
kepala dan menangis!
“Ayah, kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu
melarikan diri menuju ke kamarnya, di mana ia membantingkan dirinya di atas
pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu
dengan tindakan perlahan. Ia memeluk tubuh gadis itu dan berbisik mesra,
“Lin Lin, aku telah tahu akan kemarahan
Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka kepada Cin Hai? Jawabnya terus terang,
anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin
Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”
Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air
mata. Ia memandang kepada Loan Nio dengan mata terbelalak. Tak pernah terpikir
olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai, maka pertanyaan yang tiba-tiba
datangnya ini membuatnya bingung dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk
ibu tirinya dan menangis lagi.
“Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap
rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau
tidak setuju, katakanlah! Kalau kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau
setuju, dan sekarang juga aku akan bicara dengan Ayahmu.” Lin Lin diam saja,
hanya tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!
“Sudahlah, tenangkan hatimu dan serahkan
persoalan ini kepadaku.” Setelah menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik
hati ini lalu meninggalkan kamar Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.
Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati
keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan sabar menanti hasil daripada
pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya, maka setelah menanti sebentar, lalu ia
menggunakan kepandaiannya meloncat keluar dari jendela kamarnya, lalu dengan
hati-hati sekali ia mengintai di atas genteng dan mengintai ke bawah, di mana
ayahnya sedang bercakap-cakap dengan Loan Nio!
Ketika Cin Hai dengan hati girang sekali masuk
ke dalam rumah untuk memasuki kamarnya, tiba-tiba telinganya yang tajam dapat
menangkap lapat-lapat suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia
lalu mengambil jalan memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan
kepandaiannya melompat ke atas genteng. Alangkah herannya ketika ia mendapatkan
Lin Lin sedang mengintai pula, maka diam-diam ia menyelinap ke tempat lain dan
mengintai dari bagian lain. Ia tidak perlu mengintai, hanya mempergunakan
ketajaman telinganya untuk mendengarkan.
“Tidak, tidak, sekali-kali tidak!” kata kata
Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara marah. “Memang ia seorang yang cukup
baik dan cukup gagah, akan tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa
memilih mantu harus melihat keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak
itu? Pemberontak! Apa kau pikir aku harus berbesan dengan pemberontak?”
“Tapi ayahnya telah meninggal dunia dan tidak
perlu kiranya kita membawa-bawa namanya!” terdengar Loan Nio membantah.
“Hem, macan mati meninggalkan kulitnya, manusia
mati meninggalkan namanya! Dan nama apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie
itu! Nama busuk pula!”
“Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda
dengan ayahnya, ia seorang anak yang baik. Juga mereka berdua telah saling
mencintai!”
“Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah.
“Saling cinta? Bagaimanakau bisa tahu?”
“Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”
“Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus
meniadi mantu keluarga Gan di See-tok, dan habis perkara!”
Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini
tidak tahu betapa di atas genteng terdapat dua orang yang pada saat itu
berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan
hatinya terasa bagaikan diremas-remas. Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air
matanya mengalir pula, tetapi bukan karena sedih, hanya sakit hati mendengar
betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya
yang dulu, yang telah dapat dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan
ie-ienya dan terutama dengan Lin Lin, kini timbul kembali. Ayahnya sekeluarga
telah ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya
yang telah menjadi tanah itu masih direndahkan!
Timbul keangkuhan dan kemarahan di dalam hati
Cin Hai. Kalau saja ia tidak ingat kepada Lin Lin, tentu ia telah meloncat
turun dan menyerbu Kwe In Liang yang berani merendahkan ayahnya!
Dengan hati terluka, Cin Hai meloncat turun
dan langsung menuju ke kamarnya, mengambil semua pakaiannya dan segera keluar
dari situ. Akan tetapi, ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di
atas genteng sambil menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun
pula dan mengejar sambil berseru,
“Hai-ko... kau hendak ke mana...?” Mendengar
suara panggilan Lin Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi ia
mempercepat larinya!
Akan tetapi, karena serangan batin yang hebat
itu dan karena nafsu marahnya menggelora, maka luka di dadanya yang belum
sembuh betul itu lalu pecah kembali dan tiba-tiba ia merasa betapa dadanya
sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan rasa sakit ini dan lari terus sedangkan
Lin Lin tetap mengejar sambil menangis dan berteriak-teriak.
“Engko Hai... tunggu... Engko Hai...”
Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai
merasa tak kuat lagi. Hari mulai gelap dan kebetulan sekali ia melihat sebuah
kuil di pinggir jalan. Ia lalu membelok ke situ dan seorang hwesio tua
menyambutnya.
“Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar kepadaku.
Aku sedang terluka dan tolong kaucegah siapa saja yang memasuki kamarku.”
Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke
sebuah kamar di mana terdapat sebuah pembaringan bambu sederhana. Cin Hai lalu
menutup kamar itu dan duduk di atas pembaringan lalu bersamadhi untuk melawan
rasa sakit di dadanya.
Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena
selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat, juga karena sakit di dada Cin
Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini
girang sekali ketika melihat bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke
dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua tadi.
“Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku
ingin bertemu dengan dia!”
Hwesio itu dengan muka sabar berkata,
“Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi telah berpesan bahwa siapa pun tidak boleh
bertemu dengan dia.”
Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar. “Orang
lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku harus bicara dengan dia!”
kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras sekali.
“Tak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu
muka, Nona,” kata hwesio tadi dengan masih sabar. Dan kata-kata ini
membangkitkan keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata.
“Kalau tidak mau bertemu, biarlah aku bicara
dari luar kamarnya saja!”
Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya
hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar Cin Hai.
“Engko Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak
ketika ia memanggil dari luar kamar.
Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah
mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora hatinya yang ingin sekali
keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi hatinya berbisik, “Ayahnya
telah menghina Ayahku!”
Maka ia lalu menjawab dari dalam,
“Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah
kau sudah mendengar sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”
Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia
maklum bahwa gadis ini benar-benar mempunyai hubungan dengan orang di dalam
kamar.
“Hai-ko, jangan kausamakan Ayah dengan aku!”
kata Lin Lin dengan suara memohon.
“Sudahlah Lin-moi, kaupulanglah karena Ayahmu
tentu akan marah sekali kalau tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan
aku orang rendah ini merana seorang diri. Lupakan aku, aku tidak berharga di
hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingat, aku seorang keturunan pemberontak
hina!”
“Engko Hai...!” Lin Lin menangis sedih dan
dengan nekat ia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Ia melihat betapa
pemuda itu dengan muka pucat rebah di pembaringan bambu dan keadaannya
menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!
“Engko Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini
menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.
Melihat keadaan gadis kekasihnya yang
benar-benar menyatakan cinta hati yang tulus kepadanya ini, hati Cin Hai
melunak.
“Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih,
Adikku yang manis...” katanya dengan penuh kasih sayang.
Lin Lin menyusut kering air matanya dan di
antara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan bagus ia tersenyum.
Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.
“Kalau kau tidak ingin aku menangis, janganlah
kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai.”
Cin Hai merasa terharu sekali. “Adikku,
percayalah, selama hayat dikandung badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku
akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa.”
Lin Lin memandang dengan sayu. “Hai-ko...
kaumaafkanlah kata-kata Ayahku. Dia memang kejam... ah, akan kukatakan terus
terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku
mati atau... atau... aku akan minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”
Cin Hai tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin
Lin. Tak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri.”
“Habis, bagaimanakah baiknya, Haiko? Ayah
begitu keras hati dan kukuh.”
“Puterinya begini keras hati dan kukuh,
mengapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa
ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menunggu sampai ia berubah
pendirian dan tidak begitu membenciku.”
“Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya
membenci Ayahmu.”
Cin Hai menghela napas. “Itulah! Aku ingin
sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar kemarahan Ayahmu
mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik,
pasti aku akan datang kembali”
Lin Lin mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke
mana, Hai-ko?”
“Aku hendak pergi ke kampung kelahiranku dan
hendak mencari keterangan tentang orang tuaku.”
“Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku,
bukan?”
“Tentu saja, Lin-moi, kaukira aku akan merasa
senang berjauhan dengan engkau?”
Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang
masih rebah di pembaringan. “Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan
betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!”
Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu
setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu betul-betul
akan kembali. Akan tetapi belum lama gadis itu pergi, tiba-tiba ia kembali lagi
dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong
pintu kamar Cin Hai. “Celaka, Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat
melanjutkan kata-katanya akan tetapi lalu menangis dengan sedih.
Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan
cepat memegang kedua pundak Lin Lin. “Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang
terjadi?”
Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia
bisa berkata,
“Celaka, Hai-ko! Rumah telah kedatangan musuh,
perwira-perwira jahanam itu datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua
terluka dan... dan Ayah...”
Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai lalu menarik
tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu. Ia menggunakan kepandaiannya
berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan
terbang. Mereka menuju ke rumah keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah
mendengar suara tangis sedih.
Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, Kwee
Tiong dengan pedang di tangan lalu menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi,
sekali layangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan
Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.
“Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!”
teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau main gila di luar, tak tahu di
rumah ditimpa malapetaka! Aku akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!”
Pemuda yang sudah kalap ini lalu menubruk maju, akan tetapi Cin Hai lalu
mengulurkan jari tangan menotoknya hingga ia roboh dengan lemas, tak dapat
berkutik maupun berteriak lagi.
“Lebih baik begini, agar dia jangan membuat
gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin ia lalu lari memasuki rumah.
Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu
membuat kedua kaki Cin Hai terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang
rebah di lantai mandi darah! Di sudut masih nampak banyak orang lain rebah
mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee
An!
Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan, Kwee In
Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar
ditolong lagi. Loan Nio ternyata telah tewas karena bacokan yang tepat mengenai
lehernya. Juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An
yang masih bisa diharapkan karena biarpun ia menderita luka parah di pundak,
akan tetapi tubuh pemuda ini jauh lebih kuat daripada saudara-saudaranya.
Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali. Cin Hai tak tahan dan ikut
mengucurkan air mata. Ia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan
memanggil para pelayan untuk membantu. Kemudian ia lalu menolong Kwee An dan
Kwee In Liang. Setelah menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda
ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan
liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia lalu rebah lagi dengan lemas dan
meramkan mata.
Kwee An lalu dirawat oleh seorang pelayan yang
memberi obat dan membalut luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai
menolong Kwee In Liang. Setelah diurut pundaknya oleh Cin Hai, orang tua ini
membuka kedua matanya. Untuk beberapa lama kedua matanya memandang sayu
seakan-akan tidak dapat mengenal keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat
laun pemandangan matanya makin terang hingga ia dapat mengenal Cin Hai dan Lin
Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu
mendekat, lalu ia menggerak-gerakkan bibirnya.
Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka
untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.
“Lin Lin kaujaga baik-baik dirimu... aku tidak
kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan sakit hati ini... jangan kaukawini
Lin Lin sebelum kaubalaskan sakit hati ini”
Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin
Lin menangis terisak-isak. “Cin Hai... kau berjanjilah…” suara orang tua itu
makin lemah.
“Aku berjanji Ie-thio!” kata Cin Hai dengan
sungguh-sungguh, karena ia merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk
membalas sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.
“Aku aku puas... balaskanlah sakit hati ini,
basmi anjing-anjing itu... kalau sudah berhasil kau betul-betul mantuku yang
baik…” setelah berkata demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir.
Lin Lin menubruk jenazah ayahnya dan jatuh pingsan! Setelah sadar, ia menangis
dengan sedih sekali dan menjambak-jambak rambutnya sendiri karena merasa
menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!
“Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus
bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah. Karena kalau berada di rumah,
tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun dapat
dirobohkan. Kalau engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan dapat
membalas dendam?”
Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat
menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu dibebaskan totokannya dan dengan
kata-kata tajam Cin Hai berhasil mengusir kemurkaan yang menggelora di dada
pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang hebat itu.
Ketika Cin Hai dan Lin Lin sedang
berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda menuju ke rumah
keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dulu mengganggu pesta
keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua, yakni dua orang
perwira Sayap Garuda lain yang menjadi anggauta daripada Santung Ngo-hiap,
yakni orang pertama dan ke dua, sedangkan yang ke tiga adalah seorang hwesio
gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!
KEDATANGAN mereka ini sebenarnya hendak
mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka yang lalu, akan tetapi karena
Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh
semua keluarga Kwee! Tentu saja Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan
dengan nekad, terutama Kwee An dengan gagah berani menahan serbuan mereka.
Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat melukai beberapa orang perwira,
akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan terlampau tangguh terutama Hai Kong
Hosiang, hingga akhirnya semua kena dirobohkan! Hanya pelayan-pelayan saja yang
tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga
dirobohkan dengan bacokan pedang, Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin,
melihat kehebatan rombongan itu, cepat melarikan diri dan bersembunyi hingga ia
terhindar daripada kebinasaan!
Mendengat penuturan Kwee Tiong yang tiada
hentinya mencela dan mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali
menangis tersedu-sedu,
“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau
mempersalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah sebenarnya aku pergi memang dengan
sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin
menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka
yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini
dan nanti kalau Kwee An sudah sadar, kita bisa mendengar penjelasan-penjelasan
dari padanya.
Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai
untuk membalas dendam akhirnya Kwee Tiong tidak mengomel lagi dan membantu
merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.
Setelah sadar dari pingsan dan agak kuat
bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi dikertak karena
sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku bersumpah untuk membalas dendam ini!
Mereka itu adalah kelima perwira yang dulu mengacau di sini ditambah tiga orang
lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari Santung Ngo-hiap, dan yang ke tiga
adalah Hai Kong Hosiangl!”
“Hm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!”
kata Cin Hai. “Kautenangkanlah hatimu, Saudaraku. Besok aku berangkat dan demi
kehormatanku, aku akan berusaha untuk membasmi delapan orang bangsat kejam
itu!”
“Jangan Cin Hai! Kau jangan berangkat besok,
tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.
“Kenapa?”
“Kaukira aku akan enak saja tinggal diam
sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas dendam ini? Tidak,
dendam ini harus kubalas sendiri!”
Cin Hai tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan
menanti sampai sembuh dan kita akan pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban
ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh pulas.
Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan
melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati
kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas serta berjanji akan
membantu usaha pembalasan sakit hati itu.
Dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw
Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari Lin Lin dan Cin Hai, Kwee An
sembuh kembali dari pada lukanya yang dideritanya. Setelah melihat bahwa Kwee
An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk
mencari musuh-musuh mereka.
Ketika mereka hendak berangkat, Lin Lin minta
supaya ia dibawa dan ikut membalas dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat
sekali untuk berpisah dengan Cin Hai yang amat dicintainya dan ia tidak rela
melepas pemuda itu pergi untuk menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi
ketika mereka berdua bicara di dalam ruang belakang Cin Hai berkata,
“Lin Lin, kau sendiri tahu betapa pentingnya
perjalanan yang akan kulakukan bersama Kwee An ini. Bukan saja penting akan
tetapi sangat berbahaya maka biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan
jangan kau ikut menghadapinya.”
Lin Lin menyemberutkan mulutnya, “Justru
karena penting dan berbahaya inilah maka aku harus ikut Engko Hai. Urusan sakit
hati ini langsung menjadi tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya
karenanya? Dan kalau memang ada bahaya, apa kaukira aku dapat enak-enak saja berpeluk
tangan tinggal di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya?
Ah, Hai-ko engkau tahu bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas
memikirkan nasibmu berdua. Biarkan aku ikut, Engko Hai!”
Cin Hai menjadi serba salah. Ia memang harus
membenarkan pendapat gadis ini akan tetapi kepandaian gadis ini masih belum
cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam
itu. Kalau gadis ini dibiarkan ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan
sakit hati, sebaliknya akan menambah beban saja, karena ia harus melindungi Lin
Lin yang ia cinta.
“Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak
percayakah engkau kepadaku? Engkau mendengar sendiri pesan terakhir Ayahmu, dan
biarkan tugas pembalasan dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat
menjadi... suamimu!”
Akan tetapi dengan sikap bandel Lin Lin bahkan
lalu menangis sambil membanting-banting kaki dan berkata, “Tidak... tidak...
aku mau ikut...!”
Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti
seorang anak kecil hendak ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan
menyentuh pundaknya,
“Sudahlah jangan engkau marah. Biar kita
merundingkan dulu dengan kakakmu dan Gurumu, karena aku bermaksud berangkat
besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merudingkan persoalan ini.”
Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan
Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio yang sering berkunjung ke situ ikut
pula merundingkan hal ini.
“Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang
betul. Engkau tak usah ikut pergi, karena kepandaianmu belum cukup untuk
melakukan pembalasan dendam ini. Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu amat
tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”
“Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!”
jawab Lin Lin sambil berdiri dengan kedua tangan dikepalkan dan kedua mata
bernyala penuh semangat.
Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum
melihat sikap gadis ini. “Aku percaya penuh akan ketabahanmu,” kata Biauw
Suthai, “akan tetapi, ketahuilah, bukan soal takut dan berani yang terpenting
dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja engkau takkan membantu,
bahkan akan menambah beban kepada Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu.”
“Menambah beban?” kata Lin Lin penasaran
“Teecu tidak minta digendong, teecu sanggup berjalan sendiri, dan mereka berdua
ini tak usah pedulikan teecu asal teecu boleh ikut.”
“Lin Lin, engkau sungguh bodoh,” kata gurunya.
“Bukan demikian maksudku, akan tetapi apabila terjadi pertempuran, maka tentu
engkau akan terancam dan hal ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat bagi
kedua anak muda ini yang harus melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah engkau
akan senang apabila pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena ikutmu?” .
Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam
saja dan tak dapat menjawab, hanya mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut
menandakan kekecewaan hatinya. Akhirnya ia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan
gurunya membatalkan keinginannya.
Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek
I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong yang mendengarkan perdebatan itu diam
saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee An. Mereka berdua tahu ke mana harus
mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota raja! Mereka berdua berangkat berjalan
kaki saja dan mempergunakan kepandaian mereka berlari cepat.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin
berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw Suthai menggeleng-gelengkan kepala
melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I Toanio,
“Anak itu kecewa karena ditinggal pergi oleh
Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara telah tertancap di hatinya, dan
selain itu, ia pun merasa bersedih karena merasa sunyi ditinggal seorang diri
oleh mereka berdua. Kaupergilah, hiburlah hatinya dan katakan bahwa kami akan
tinggal di sini untuk sementara waktu dan menemaninya.”
Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu
mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu sedang
berbaring telungkup di atas tempat tidur dan tubuhnya bergoyang-goyang karena
menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan yang sangat mencintai sumoinya ini
lalu memeluk pundaknya dan berkata menghibur,
“Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau
tidak patut bersikap begini lemah.”
Lin Lin bangun dan duduk di dekat sucinya, “Suci
aku tidak sedih karena tidak boleh ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang
menyebabkan aku tidak dapat ikut adalah kedangkalan ilmu silatku.”
“Sumoi, kalau begitu, mengapa sementara
menanti mereka kembali kau tidak memperdalam ilmu silatmu? Ketahuilah, aku dan
Suthai akan tinggal di sini menemanimu untuk sementara waktu.”
Tiba-tiba wajah gadis yang muram itu berubah
terang dan ia tersenyum! Pek I Toanio menjadi geli melihat gadis yang aneh
mudah berubah ini. Baru saja menangis sekarang sudah tersenyum.
Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan ia
sendiri mengatur dua buah kamar di dalam rumah yang besar itu untuk suci dan
gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk
memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih giat sekali karena ia pikir bahwa untuk
mengimbangi Cin Hai yang berilmu tinggi, ia harus mempertinggi kepandaiannya
pula!
Pada suatu sore ia berlatih silat di dalam
pekarangan belakang sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang
berdiri memandang gerakan-gerakannya. Setelah selesai bersilat Lin Lin lalu
duduk bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.
“Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu
silat Engko Hai?”
“Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat
yang tidak dapat diukur tingginya, muridku. Ia telah mewarisi kepandaian
tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar biasa. Biarpun anak muda itu
tidak memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya ia telah memiliki segala inti
sari ilmu silat dan mendapat gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su
orang tua sakti itu.”
“Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan
sampai setinggi tingkatnya?”
Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang
menyeramkan itu kini nampak gembira. “Muridku, kepandaian manusia tidak ada
batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu ia akan mencapai tujuannya. Akan
tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat seperti Sie-taihiap orang harus
memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang luar biasa seperti Bu Pun Su.”
“Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I
Niocu?” tiba-tiba Lin Lin bertanya.
“Dia? Ah, kepandaiannya pun hebat, karena
sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian Sie-taihiap adalah
secabang. Ketahuilah, kalau aku tidak salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari
Bu Pun Su karena Kakek itu adalah susiok-couwnya. Dalam hal ilmu silat, biarpun
Ang I Niocu memiliki gerakan yang indah dan lebih matang, akan tetapi ia masih
kalah setingkat oleh Sietaihiap.”
“Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian
Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah melawan dia,” entah mengapa tiba-tiba
suara Lin Lin terdengar marah dan sengit karena perasaan cemburu telah
menyerang hatinya. Gurunya heran mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang
berkepandaian tinggi dapat mendengar suara tindakan kaki yang ringan sekali di
belakang mereka ketika nenek ini mengerling, ternyata Ang I Niocu telah berada
di belakang mereka, bersembunyi di balik sebatang pohon.
“Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga
akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat kembali betapa ia berlagak ketika
memperlihatkan kepandaiannya dulu itu.”
“Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka
menyangka yang tidak-tidak terhadap orang lain. Pula, bukankah ia telah
membantu pihakmu dalam pertempuran dulu itu?” kata Biauw Suthai yang merasa
tidak enak sekali karena tentu saja Ang I Niocu dapat mendengar percakapan
mereka.
“Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak,
karena teecu juga tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena
ia... kawan baik Engko Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan
tetapi, kalau ia tidak sombong, mengapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia
menjadi kawan baik Engko Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia
tidak peduli bahkan meninggalkannya pergi?”
“Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang
yang berdiri tidak jauh dari kita!” kata Biauw Suthai, lalu nenek ini berpaling
dan berkata, “Niocu, silakan duduk!”
Ang I Niocu keluar dari belakang pohon itu dan
Lin Lin cepat berdiri dan memandang kepada Dara Baju Merah itu dengan mata
terbelalak. Ia merasa heran sekali ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu
pucat sekali dan dari kedua mata yang bagus itu keluar dua titik air mata yang
masih menetes di atas pipinya.
Akan tetapi, ketika pandangan matanya bertemu
dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu mengeluarkan senyum sedih. “Adikku yang baik,
kata-katamu semua benar belaka. Memang aku seorang yang sombong dan bodoh.
Adikku, aku maklum akan isi hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku
hanya... hanya kawan baik dan kawan senasib belaka...” Dara Baju Merah itu
memejamkan mata seakan-akan menahan rasa sakit yang menyerang dadanya, kemudian
ia berkata lagi, kini suaranya terdengar tegas, “Akan tetapi, dalam hal
kepandaian, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk dapat mengimbangi
kepandaianku, apalagi kalau hendak menyamai ilmu kepandaian Hai-ji. Kau tadi
menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku, bukan? Nah, marilah kita
main-main sebentar!”
Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun ia
tidak menjadi jerih ia lalu menarik keluar belati pendek yang menjadi senjata
ampuh baginya. Biauw Suthai hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi
nenek ini sambil berkata dan menjura,
“Suthai, aku bukan anak kecil lagi, jangan
Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud menambah pengertiannya dan kepandaian
Adik ini.”
Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I
Niocu, Biauw Suthai menarik napas lagi, ia hanya menggerakkan tangannya kepada
Lin Lin dan berkata. “Lin Lin, jangan kau berlaku kurang ajar kepada tamu dan
belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!”
Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan
berkata kepada Lin Lin,
“Nah, kaumaju dan seranglah, Adikku yang baik,
dan jangan kau berlaku sungkan-sungkan lagi.”
Lin Lin adalah seorang gadis yang masih muda
sekali dan belum mempunyai banyak pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah,
maka ketika mendengar ucapan Ang I Niocu, ia merasa bahwa ia disindir dan
dipandang ringan. Maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu menyerang
dengan belatinya. Ang I Niocu mengelak cepat dan keduanya lalu bertempur seru.
Senjata Lin Lin yang berupa belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat
sekali jauh lebih cepat daripada gerakan pedang. Lagipula, gadis ini telah
mendapat didikan ilmu silat semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu
tinggi, maka dapat dimengerti bahwa gadis ini telah memiliki kepandaian yang
lumayan dan tak mudah dikalahkan oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu
silat tinggi, juga tubuhnya ringan sekali dan gerakannya gesit bagaikan seekor
burung walet.
Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu
yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga telah memiliki pengalaman luas
daripada Lin Lin. Juga, kalau Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali, adalah
Ang I Niocu menghadapinya dengan tenang. Nona Baju Merah ini memainkan
pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari Bidadari yang indah dan lihai.
Tubuhnya bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat
dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin yang makin bernafsu melancarkan
serangan-serangan hebat. Ang I Niocu sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak
mempertahankan diri daripada menyerang. Ia membiarkan Lin Lin melakukan
serangan bertubi-tubi dan hanya menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis
atau mengelak, hingga ia hanya sedikit mengeluarkan tenaga, sedangkan Lin Lin
bagaikan seekor naga yang muda dan ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!
Lama juga mereka saling mengeluarkan
kepandaian. Lin Lin terus mengejar dan Ang I Niocu mengelak dan mempertahankan
diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin yang menjadi kemerah-merahan dan
kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar galak, sedangkan Ang I Niocu tetap
saja bermain dengan tenang. Rambut Ang I Niocu yang diikat dengan saputangan
merah dan terurai ke belakang itu berkibar dalam gerakannya, sedangkan rambut
Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir dua menyabet ke sana ke mari
bagaikan dua ekor ular hitam.
Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu
dengan kagum. Karena asyiknya ia menonton, Biauw Suthai tak terasa lagi
kadang-kadang menggerak-gerakkan tangan seakan-akan ia sendiri yang sedang
bertempur menghadapi Ang I Niocu. Kalau Lin Lin membuat kesalahan dalam
gerakannya, ia menjadi kecewa dan membanting-banting kakinya, sedangkan kalau
Lin Lin melepaskan kesempatan baik dalam sebuah penyerangan, ia menjadi marah
dan mengeluarkan suara dengan lidahnya. Orang tua ini benar lupa diri karena
asyik dan kagumnya melihat pertempuran itu.
Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur
saja sampai dimana kepandaian gadis itu. Maka setelah puas melayani Lin Lin,
tiba-tiba ia merubah gerakannya dan kini melancarkan serangan-serangan hebat
hingga pedangnya berkelebat cepat dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung karena
cepatnya gerakannya. Lin Lin terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi
Ang I Niocu tidak mau menyerang terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,
“Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga.”
Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu
bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri
dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu tidak bermaksud buruk. Maka buru-buru
ia simpan belatinya dan menghampiri Ang I Niocu.
“Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon
engkau sudi memberi petunjuk.”
Ang I Niocu ketika mendengar kata-kata ini dan
melihat sikap yang polos dari Lin Lin, timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin
Lin, dan berkata, “Adik Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin
mengimbangi kepandaian Hai-ji”
Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup
oleh kedukaan, ia bertanya, “Adik Lin Lin, mengapa wajahmu nampak murung?
Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik saja bukan?”
Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu
akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Kwee, oleh karena ketika rasa
cemburu dan iri hati merusak hatinya hingga membuat ia angkat kaki dan pergi
tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan
perantauannya. Telah dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai,
akan tetapi ternyata ia gagal. Makin dilupa, makin ia teringat kepada pemuda
itu dan akhirnya ia tak dapat menahan hatinya lagi. Ia teringat betapa Cin Hai
mendapat luka dan ia menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat ia kembali ke
kampung itu dan dengan diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar
percakapan antara Lin Lin dan Biauw Suthai.
Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu
tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin Lin lalu memeluk Nona Baju Merah itu
sambil menangis keras dan sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi
ketika ia memandang ke arah Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat
kepadanya hingga ia hanya mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di
dadanya.
“Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan
mari kita bicara dengan baik.” Ia lalu menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut
isyarat yang diberikan oleh Biauw Suthai.
Kwee Tong dan Pek I Toanio menyambut Ang I
Niocu yang dalam pandangan matanya tidak beda seperti seorang bidadari! Maka
Kwee Tiong lalu menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan dan ia melayani tamunya
dengan hormat dan bermuka-muka. Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan
sifat pemuda macam Kwee Tiong ini, tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap
seolah-olah pemuda ini tidak ada.
Ketika mendengar penuturan Lin Lin tentang
bencana yang menimpa keluarga Kwee, wajah Ang I Niocu menjadi merah karena ia
merasa marah sekali.
“Jahanam benar perwira-perwira itu! Dan Hai
Kong Hosiang selalu ikut campur dalam urusan-urusan busuk. Pendeta palsu itu
sudah seharusnya dibasmi dari muka bumi!” Sambil mengepal-ngepal tangannya Ang
I Niocu menyatakan perasaannya. “Dan bagaimana dengan luka kakakmu? Di mana
adanya dia dan di mana Hai-ji?” tanyanya kepada Lin Lin.
“Mereka telah pergi lima hari yang lalu, untuk
mencari musuh-musuh kami itu dan membalas dendam!”
Ang I Niocu mengangguk. “Dan kau sendiri, Adik
Lin, mengapa kau tidak ikut pergi?” Pertanyaan ini mengandung dua maksud,
pertama-tama karena ia memang merasa heran mengapa Lin Lin tidak mau ikut
membalaskan sakit hati orang tuanya. Kedua kalinya karena ia hendak memancing
dan menyelidiki sampai di mana hubungan antara gadis ini dengan Cin Hai.
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Lin Lin
menjadi marah dan cemberut. “Inilah yang menyesalkan hatiku! Mereka itu tidak
mau membawaku serta! Sungguh menggemaskan!”
Pek I Toanio ikut bicara dan membela Cin Hai,
“Sie-taihiap tidak mau membawa Sumoi oleh karena memang kalau Sumoi ikut, maka
usaha membalas dendam itu akan lebih sukar lagi.”
“Kepandaian Lin Lin belum cukup tinggi
menempuh bahaya besar itu,” Kata Biauw Suthai dengan sabar. “Dan lagi, kalau Lin
Lin pergi, aku akan ditinggal seorang diri di rumah, bagaimana kalau
penjahat-penjahat itu datang kembali?” kata Kwee Tiong yang tak sadar bahwa
ucapan ini menunjukkan sifatnya yang pengecut.
Ang I Niocu tersenyum memandang Lin Lin. “Kau
benar, Adikku. Tidak ada bahaya bagi seorang anak yang hendak membalaskan sakit
hati orang tuanya.” Lin Lin memandangnya dengan berterima kasih karena ternyata
Nona Baju Merah ini membela dan membenarkannya. Pada saat ia hendak menyatakan
kemenangannya kepada guru dan sucinya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah
dengan Biauw Suthai telah berkata pula,
“Akan tetapi betapapun juga, kau harus tunduk
kepada nasihat Gurumu.” Ucapan ini membuat Lin Lin menunduk dan tidak jadi
membuka mulut. Akan tetapi di dalam hati ia merasa tertarik dan suka sekali
kepada Ang I Niocu. Dengan sangat ia membujuk-bujuk agar wanita itu suka
bermalam di rumahnya. Yang lain ikut membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu
menyatakan setuju. Lin Lin gembira sekali dan ia menarik tangan Ang I Niocu ke
kamarnya, karena ia tidak mau berpisah dengan nona ini dan minta Ang I Niocu
bermalam di dalam kamarnya saja.
Dan pada keesokan harinya, ternyata Lin Lin
telah pergi dari rumah itu bersama Ang I Niocu. Gadis ini dengan sangat
mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk membawanya pergi menyusul Cin Hai. Biauw
Suthai hanya menggeleng-geleng kepalanya dan berkata kepada Pek I Toanio,
“Muridku, biarpun keselamatan Lin Lin tak
perlu dikhawatirkan karena ia pergi bersama Ang I Niocu, akan tetapi hatiku
merasa tidak tenteram. Lebih baik kita pergi mencari mereka itu untuk membantu
apabila mereka berada dalam bahaya.”
Keduanya lalu berpamit kepada Kwee Tiong yang
menjadi kecewa dan khawatir sekali. “Kalau Lin Lin pergi dan jiwi pergi pula,
habis kalau sampai terjadi apa-apa di rumah ini, aku harus berbuat apa?”
Pek I Toanio mendongkol sekali melihat sikap
pemuda yang penakut ini, maka katanya dengan ketus, “Kongcu, mengapa memiliki
hati sedemikian kecilnya? Adik-adikmu pergi dengan nekad mencari musuh, akan
tetapi engkau yang ditinggal di rumah seorang diri saja merasa takut.”
Akan tetapi Biauw Suthai yang tak mau banyak
bicara dengan pemuda ini berkata, “Kwee-kongcu, kalau engkau merasa takut,
kaupergi saja kepada Suhumu dan tinggal di rumah kuil.” Kemudian guru dan murid
ini meninggalkan Kwee Tiong tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk
banyak membantah. Kwee Tiong lalu menutup pintu rumahnya, menghentikan semua
pelayan yang membantu rumah keluarga Kwee dan ia pergi ke Tiang-an lalu menemui
gurunya, yaitu Tong Gak Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong, di mana ia berlutut
sambil menangis dan menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.
Tong Gak Hosiang hanya bisa menghela napas,
dia lalu menasihati muridnya untuk berdiam saja untuk sementara waktu di
kelenteng itu.
Setelah melakukan perjalanan cepat tanpa
berhenti, Cin Hai dan Kwee An tiba di kota raja. Di sepanjang perjalanan, kedua
anak muda ini menuturkan pengalaman masing-masing dan Kwee An merasa kagum
sekali akan hasil yang diperoleh Cin Hai, anak yang ketika kecilnya gundul yang
selalu dihina orang itu. Ia makin suka kepada Cin Hai dan sepanjang perjalanan tiada
hentinya ia minta petujuk-petunjuk dan nasihat-nasihat tentang persilatan.
Dengan melihat permainan silat Kwee An saja, Cin Hai dapat melihat
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya hingga ia dapat memberi
petunjuk yang benar-benar sangat berguna bagi Kwee An dan berdasarkan petunjuk
ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.
Di kota raja mereka berdua mencari keterangan
dan mendengar bahwa asrama kaum perwira Sayap Garuda adalah sebuah bangunan
besar merupakan benteng yang disebut Eng-hiong-koan atau Penginapan Para
Pendekar. Dengan tabah dan berani sekali Cin Hai dan Kwee An pada keesokan
harinya, pagi-pagi telah mengunjungi Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada
penjaga bahwa mereka ingin menemui para perwira Sayap Garuda.
“Kami adalah kenalan-kenalan baik dari
Ma-ciangkun dan lain-lain perwira, terutama kelima Santung Ngo-hiap.”
“Sayang sekali bahwa sekarang para perwira
sedang mengadakan pertemuan besar hingga kurasa tak sempat menjumpai kalian
berdua,” jawab penjaga itu.
“Pertemuan apakah?” tanya Cin Hai.
“Di dalam gedung sedang diadakan pemilihan
tiga orang perwira yang hendak diangkat menjadi kepala perwira istana dan
menjadi pengawal pribadi Kaisar,” jawab penjaga itu. Akan tetapi penjaga kedua
yang tidak suka melihat kawannya mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu
berkata,
“Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi
saja. Pendeknya pada saat itu tak seorang pun boleh memasuki En-hiong-koan.”
Kwee An dan Cin Hai merasa mendongkol sekali.
Mereka saling pandang dan saling memberi tanda dengan kejapan mata. Keduanya
bergerak cepat dan hampir berbareng mereka mengulur tangan menotok kedua
penjaga itu yang segera roboh dengan tubuh lemas karena tertotok jalan darah
mereka oleh Cin Hai dan Kwee An! Dengan tenang kedua pemuda gagah ini lalu
bertindak masuk. Mereka langsung ke ruang belakang di mana terdengar suara
orang bersorak dan tanpa jerih sedikit pun mereka lalu melangkah masuk dari
sebuah pintu yang besar dan tinggi.
Ternyata ruang belakang itu amat luas dan di
tengah ruang itu telah terdapat sebuah panggung karena memang ruang ini
merupakan ruang berlatih silat atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga puluh orang
perwira duduk mengitari panggung itu, dan di kepala panggung duduk seorang
hwesio gundul yang bertubuh tinggi kurus, dan di sebelahnya duduk beberapa
orang perwira tua yang kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat tinggi.
Juga Ma Ing nampak duduk di sebelah hwesio itu.
Pada saat itu, memang sedang diadakan
pertandingan adu silat di antara para perwira yang dicalonkan untuk menjadi
pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan ini dilakukan atas perintah kaisar
sendiri yang minta supaya tiga orang panglima yang berkepandaian tinggi dan
lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam istana. Siapa orangnya yang tidak
mau mencoba peruntungannya dengan kesempatan ini? Menjadi pengawal pribadi
kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan mulia.
Pemilihan ini dilakukan dan diawasi oleh
hwesio tinggi kurus itu yang sebenarnya adalah hwesio kepala dalam Kuil
See-thian-tong yang menjadi kuil di lingkungan istana dan yang biasanya
dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala hwesio di kuil raja itu, juga hwesio
yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat pula menjadi penasihat para
perwira, ini kedudukan yang tinggi, karena sebenarnya hwesio ini bukan lain
ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai Kong Hosiang yang sudah terkenal
kelihaiannya.
Di bawah pengawasan Beng Kong Hosiang, maka
telah diadakan pemilihan dan para perwira itu mengadu kepandaian untuk merebut
kedudukan itu. Pada saat Cin Hai dan Kwee An memasuki ruangan itu, dua orang
perwira Sayap Garuda sedang bergumul di atas panggung dan semua perwira yang
menonton bersorak-sorak gembira, juga Beng Kong Hosiang, Ma Ing dan perwira
lain yang dianggap tertua dan terpandai, menikmati pertandingan itu hingga
mereka tidak melihat masuknya pemuda ini.
Cin Hai berbisik kepada Kwee An dan keduanya
lalu menggenjot tubuh mereka melalui kepala para perwira lalu melompat ke atas
panggung di mana dua orang perwira itu sedang mengadu kepandaian.
Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan
Kwee An masing-masing memegang seorang perwira pada lehernya dan melemparkan
mereka ke bawah panggung seakan-akan orang melempar ayam saja!
Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong
Hosiang. Ketika Ma Ing melihat siapa yang datang mengacau, ia menjadi pucat
karena ia telah mengenal Cin Hai yang telah dirasai kelihaiannya itu.
Cin Hai lalu memandang ke sekeliling dan
keadaan di situ sunyi senyap karena semua orang masih tercengang melihat
peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Siapakah orangnya yang berani mati
mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada saat perwira-perwira mengadakan
pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang berada di situ? Mungkin setan pun
berani mengacau maka tindakan kedua orang pemuda itu sungguh-sungguh membuat
mereka tercengang dan terheran!
“Cuwi-ciangkun (para panglima yang terhormat),
kedatangan kami berdua bukan sengaja hendak mengacau dan kami sebenarnya tidak
mempunyai urusan sesuatu dengan Eng-hiong-koan ini. Akan tetapi karena
musuh-musuh kami berada di sini, terpaksa kami datang juga. Kini kami minta
supaya para musuh besar kami itu suka tampil ke muka dan mempertanggungjawabkan
perbuatan mereka yang biadab!”
Semua orang merasa heran mendengar ini dan
mereka tercengang melihat ketenangan anak muda itu. Yang tidak tahu akan
persoalannya saling pandang dan angkat pundak. Melihat keberanian ini, Beng
Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh karena ia memandang rendah sekali kepada
kedua orang itu, maka katanya dengan suaranya yang tinggi nyaring,
“Eh, anak-anak muda yang berani mati! Siapakah
musuh-musuhmu itu?”
Sekarang Kwee An yang menjawab dengan suaranya
yang halus nyaring,
“Musuh-musuh kami adalah si pengecut Boan Sip,
kedua saudara Tan Song dan Tan Bu, kelima kawanan yang disebut Santung Ngohiap
Ma Ing, Un Kong Sian dan tiga saudaranya yang lain, dan yang terakhir seorang
hwesio keparat bernama Hai Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya
kusebutkan itu kalau berada di tempat ini harap maju untuk menerima kematian!”
Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong
Hosiang. Alangkah beraninya kedua pemuda itu. Orang-orang yang namanya mereka
sebut adalah perwira-perwira kelas tinggi, bahkan Ma Ing dan Un Kong Sian
mendapat tempat duduk di deretan Beng Kong Hosiang karena mereka itu telah
dianggap perwira-perwira yang tinggi kedudukan dan kepandaiannya, demikian pula
tiga orang saudara seperguruannya dan yang kesemuanya berjumlah lima orang dan
disebut Santung Ngohiap. Lebih-lebih lagi nama terakhir, yakni Hai Kong
Hosiang, karena hwesio ini adalah sute (adik sepergurunan) dari Beng Kong
Hosiang sendiri!
Musuh-musuh besar yang namanya disebutkan tadi
semua berada di situ, kecuali Boan Sip dan Hai Kong Hosiang. Biarpun wajah
mereka menjadi berubah ketika nama-nama mereka disebut, tetapi karena berada di
rumah sendiri dan mempuyai banyak kawan-kawan, terutama adanya Beng Kong
Hosiang di situ membuat mereka tabah dan berani. Secara otomatis Tan Song dan
Tan Bu lalu berdiri dan menghampiri kelima saudara Santung Ngohiap yang duduk
di dekat Beng Kong Hosiang. Juga lima jago dari Santung itu yakni Ma Ing, Un
Kong Sian, dan tiga orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai, berdiri dari
kursinya hingga ketujuh orang ini berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.
Sebetulnya nama Santung Ngohiap memang telah
terkenal sekali. Urutan mereka adalah seperti berikut: yang pertama Lauw Tek,
ke dua adalah adiknya Lauw Houw. Kedua saudara inilah yana dulu ikut membasmi
keluarga Kwee. Orang ke tiga adalah seorang tua yang berwajah sabar dan bernama
Ma Keng In, dan dia ini adalah satu-satunya orang dari kelima jago dari Santung
yang tidak pernah memusuhi keluarga Kwee dulu, akan tetapi karena ia juga menjadi
anggauta Santung Ngohiap, maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan
saudara-saudara seperguruannya. Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un
Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima saja yang demikian
hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan
kepandaian di rumah keluarga Kwee dulu, maka dapat dibayangkan betapa tingginya
kepandaian Ma Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!
Demikianlah, kelima Santung Ngohiap itu dan
kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah berdiri merupakan satu kelompok, lalu
Ma Ing membuka suara,
“Eh, dua anjing pemberontak muda! Kami
bertujuh ada di sini, kalian mau apa?”
Sambil berkata demikian, ia bergerak maju
menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam orang lainnya. Sambil maju, mereka
meloloskan senjata masing-masing. Juga para perwira yang merasa marah sekali
melihat kedatangan dua orang muda yang mengacau ini, pada bergerak mendekati
panggung hingga Cin Hai dan Kwee Ang seakan-akan hendak dikeroyok oleh puluhan orang
perwira Sayap Garuda itu!
Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum
sindir. “Hem, hm, tidak kusangka bahwa selain menjadi manusia-manusia biadab
yang kejam, juga para perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas ternyata
hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha, kalian
majulah!” Sambil berkata demikian, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang
pusaka Liong-coan-kiam telah berada di tangannya! Juga Kwee An telah bersiap
sedia dan ia mencabut pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan. Mereka
telah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.
Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong
Hosiang, “Tahan!” Dan tahu-tahu hwesio yang tinggi kurus ini telah berada di
atas panggung, mendahului semua perwira dan ia menghadapi kedua pemuda itu
dengan sikap yang angkuh.
“Tidak malukah kalian?” tegurnya kepada semua
perwira yang bergerak maju. “Untuk menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak
menggunakan tongkat besar? Cuwi-ciangkun, jangan kau bikin malu kepada
pinceng!”
Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan
sekali. Ia terkenal sebagai penasihat para perwira dan terkenal sebagai seorang
yang amat disegani dan ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi. Sekarang
tempat itu dikacau oleh dua orang pemuda, masakan para perwira hendak
mengeroyoknya, seakan-akan kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali! Ia
telah melihat gerakan kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan ia
maklum bahwa di antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai,
sedangkan pemuda yang ke dua itu tidak berbahaya.
Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua
perwira menahan gerakan mereka dan hanya berdiri memandang kepada pemuda itu
dengan mata mengancam.
Beng Kong Hosiang tertawa. “Anak-anak muda,
kalian ini siapakah dan murid siapa hingga berani sekali mengganggu tempat
kediaman kami?”
“Aku bernama sie Cin Hai dan ini adalah Kwee
An,” jawab Cin Hai dengan suara tenang karena ia belum kenal siapa sebetulnya
hwesio tua ini. “Kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain,
kecuali orang-orang yang namanya telah disebut tadi. Mereka itu secara kejam
sekali telah membunuh keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut
balas!”
“Hem, mereka itu dibunuh karena mereka telah
memberontak dan berani menghina perwira-perwira kerajaan. Kalian memiliki
kepandaian apakah berani mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak muda,
perbuatanmu ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menghukum kalian!”
“Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang
menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami bersedia menghadapi siapa saja!”
berkata Kwee An dengan marah karena ia dapat menduga bahwa hwesio ini tentulah
orang yang berpengaruh di kalangan perwira Sayap Garuda.
“Ha, ha, ha! Kau seperti anak-anak burung yang
baru belajar terbang, tidak tahu sampai di mana tingginya langit dan luasnya
lautan! Lauw Tek-ciangkun, marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor
cacing-cacing tanah ini!” Beng Kong Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau kalau
pihaknya disebut curang dan main keroyokan, akan tetapi ia pun tidak
menghendaki pihaknya mendapat kekalahan, maka ia sengaja memanggil Lauw Tek
yaitu saudara tertua dari Santung Ngohiap atau perwira yang pada saat itu hadir
di situ. Ia maklum bahwa kepandaian Lauw Tek cukup tinggi untuk menghadapi Kwee
An, sedangkan untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan
kepandaiannya!
Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh
dan melompat ke atas panggung menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata
kepada pemuda itu,
“Dulu kau masih kuberi ampun hingga jiwamu
tidak sampai melayang, apakah karena itu kau merasa menyesal dan sekarang
sengaja datang untuk mengantar jiwa?”
Kwee An mengenal orang ini sebagai seorang di
antara mereka yang menyerbu rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu
menggerakkan pedangnya dan menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan sambil
tersenyum menyindir Lauw Tek menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka berdua
lalu bertempur hebat.
“Ha, ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang
pertama!” kata Beng Kong Hosiang dan ia mengebut dengan ujung lengan baju yang
lebar dan panjang ke arah jalan darah kin-hun-hiat di dada Cin Hai. Sambaran
ini hebat dan kuat, akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya
mengelak dan tahu-tahu pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong
Hosiang ini! Hampir saja lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh
Liong-coan-kiam. Hwesio ini terkejut sekali karena ia tidak menyangka sama
sekali akan kehebatan Cin Hai, maka tadi ia berlaku lambat. Harus diketahui
bahwa serangannya dalam kebutan ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang
sembarangan saja dan baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan
seorang lawan yang kuat, akan tetapi ternyata penuda ini dengan miringkan
tubuhnya ke kiri sudah dapat mengelak serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu
bahwa arah kebutan lengan bajunya memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat
berkelit ke kiri?
Ia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok
Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan ujung lengan baju kanan dan
mula-mula langsung meluncur ke depan ke arah muka lawan, akan tetapi gerakan
ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya
ialah secepat kilat ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang
yang memegang pedang untuk merampas pedang lawan itu! Akan tetapi, lagi-lagi ia
terkejut bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan saja ujung
lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang
tidak diteruskan dan kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai
menggerakkan lengan tangannya dan pedangnya menyabet ke bawah hingga tak ampun
lagi ujung lengan baju itu terbabat putus!
Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong
Hosiang. Tadinya ia mengira bahwa dalam satu dua gebrakan saja ia akan dapat
merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya, serangannya dalam dua jurus itu
tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri menderita rugi karena ujung lengan
baju yang merupakan senjata baginya itu telah terbabat putus! Dengan muka
terheran-heran ia mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang
bergagang bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi
anehnya gagang pacul itu dapal dilipat dua dan oleh karena itu setelah dilipat
menjadi pendek dan dapat diselipkan di pinggangnya.
Sambil membentak hebat, Beng Kong Hosiang
mengayunkan pukulannya dan menyerang dengan cepat. Gerakannya aneh sekali
seperti seorang petani mencangkul tanah, akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas
dan cepat melompat ke pinggir dan balas menyerang dengan pedangnya.
Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh
ketangkasan dan kepandaiannya untuk mempertahankan diri terhadap serangan Lauw
Tek yang betul-betul lihai itu. Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek
sambil menyerang berkata,
“Eh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid
Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”
Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat
mengenal ilmu pedangnya. Ia menahan senjatanya dan membentak, “Kalau aku benar
murid Kim-san-pai kau mau apakah?”
Lauw Tek tertawa menghina. “Kebetulan sekali,
kau boleh mewakili Eng Yang Cu dan mampus di ujung senjataku!” Setelah berkata
demikian ia mendesak makin hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi
kepandaiannya menjadi terdesak hebat.
Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok
dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh dari Kim-san-pai. Hal ini terjadi belasan
tahun yang lalu, sebelum Kwee An menjadi murid Eng Yang Cu. Ketika itu, Santung
Ngohiap masih tinggal di Santung dan menjadi jago yang ditakuti karena selain
lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang
merantau tiba di Santung dan mendengar tentang keadaan Santung Ngohiap, lalu
sengaja menantang pibu kepada mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih
berdarah panas hingga ia tidak tahan mendengar betapa di Santung ada Santung
Ngohiap yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang. Di dalam pertandingan pibu
ini, seorang demi seorang dari Santung Ngohiap kena dikalahkan oleh Eng Yang
Cu, akan tetapi secara licik kelima jago Santung itu lalu mengeroyok hingga Eng
Yang Cu menjadi terdesak dan melarikan diri. Semenjak itu, Santung Ngohiap
menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.
Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu,
maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat Kim-san-pai yang dimainkan oleh Kwee An
dan karena melihat kelihaian Kwee An, ia dapat menduga bahwa anak muda ini
tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia menjadi girang sekali karena sekarang
mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu
ini.
Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat
dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan tetapi, biarpun
masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga gerakan
pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat
mempertahankan dirinya.
Pada saat itu, dari luar berkelebat bayangan
putih dan terdengar suara orang berseru, “Lauw Tek, jangan kau menghina anak
kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau mundurlah!”
Kwee An merasa girang sekali karena ia
mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Ia lalu mundur dan membiarkan gurunya
menghadapi Lauw Tek. Eng Yang Cu adalah seorang tua berusia lima puluh tahun
lebih, jenggot dan rambutnya sudah putih dan pakaiannya seperti seorang tosu,
juga berwarna putih. Senjatanya adalah pedang panjang yang mengeluarkan cahaya
berkeredepan.
“Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali
kau datang mengantar jiwa!” Lauw Tek berseru dan menyerang dengan ganas. Para
saudaranya seketika melihat kedatangan musuh lama ini, lalu datang menyerbu hingga
kini pertempuran lebih hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Kwee
An yang melihat betapa pihak lawan mengeroyok, tidak mau tinggal diam dan ia
menggerakkan pedangnya lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia
mendapat hati dengan kedatangan suhunya itu.
Sementara itu, dengan ilmu pedang campuran
dari Liong-san Kiam-hoat, Ngo-lian Kiam-hoat, dan Sianli-utau yang pernah
dipelajarinya, juga kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal
dasar-dasar semua gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang
tidak berdaya. Setiap gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh
Cin Hai, sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang campur aduk telah membingungkan
hwesio itu. Hanya tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih
menolongnya hingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.
Ketika melihat kedatangan suhu dari Kwee An
dan melihat pula naiknya semua lawan hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai
berseru nyaring dan gerakan pedangnya kini disertai tenaga khikang yang luar
biasa. Inilah tenaga khikang yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang
mempunyai daya tempur luar biasa sekali karena seluruh tenaga lweekang, gwakang
dan ginkang dipersatukan merupakan pergerakan hebat hingga menimbulkan angin
besar. Khikang semacam ini jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini
membutuhkan pemusatan yang bulat hingga sangat melelahkan tubuh, ia sendiri
akan mendapat celaka oleh karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka
jarang sekali ia keluarkan kepandaian ini. Untuk menggunakan tenaga khikang
ini, paling lama ia hanya kuat bersilat sampai tiga puluh jurus saja.
Akan tetapi, akibatnya hebat sekali. Baru saja
ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya berhasil menendang dada Beng Kong
Hosiang hingga hwesio ini jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam keadaan
pingsan.
Melihat kehebatan ini, para perwira menjadi
terkejut sekali dan permainan Santung Ngohiap menjadi kacau balau hingga Eng
Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek dengan pedangnya. Keadaan menjadi
kalut dan semua perwira mencabut senjata hendak mengeroyok. Akan tetapi karena
jumlah mereka besar, sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu
bahkan mengacaukan kawan sendiri. Cin Hai dan Kwee An yang mengambil keputusan
hendak membalas dendam, lalu sengaja menujukan senjata mereka kepada keempat
sisa anggauta Santung Ngohiap dan ketua saudara Tan Song dan Tan Bu. Eng Yang
Cu yang tidak tahu mana musuh-busuh besar muridnya, hanya menggerakkan senjata
untuk melindungi kedua pemuda itu. Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song
dan Tan Bu dan serangan pemuda ini disertai kegemasan yang meluap hingga kedua
saudara Tan itu roboh tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan
seekor Naga Sakti memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian,
Lauw Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In
tidak ikut dalam penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni orang
tua ini dan hanya menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di
ujung pedang Liong-koan-kiam!
Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu telah
dapat dirobohkan, tiba-tiba Cin Hai melintangkan pedangnya yang masih
berlumpuran darah dan ia berteriak.
“Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga
tidak mau membunuh orang tidak berdosa. Orang-orang yang telah mengganas dan
membunuh keluarga Kwee hanyalah enam orang yang telah tewas ini! Sedangkan Ma
Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya diberi hajaran saja demikianpun
Beng Kong Hwesio yang sombong hanya diberi hajaran agar ia tidak memandang
ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi beritahukan di mana adanya Boan
Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang jahat itu pun hendak kami basmi
dari permukaan bumi!”
Akan tetapi, di antara sekalian perwira itu,
mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia kawan sendiri? Mereka hanya
berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di tangan, walaupun hati
mereka telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang itu!
Karena tidak ada orang yang berani memberi
keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya pergi dari situ. Tiga bayangan
berkelebat dan para perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi
setelah tak melihat mereka di atas panggung lagi. Mereka lalu menolong
kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan ke
istana. Keadaan menjadi kalut sekali, karena semenjak Kanglam Chit-koai
mengamuk pada beberapa puluh tahun yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak
pernah ada orang yang berani mengganggu mereka. Tak dinyana bahwa hari ini dua
orang pemuda yang dibantu oleh seorang tosu tua telah membuat mereka
kocar-kacir, bahkan enam orang perwira telah binasa! Yang lebih hebat lagi,
Beng Kong Hosiang yang belum pernah dikalahkan orang itu, kini roboh dalam
tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat sekali.
Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar
huru-hara ini. Ia lalu memerintahkan barisan pengawal untuk mengejar dan
mengepung, akan tetapi pada saat itu, Cin Hai dan kawan-kawannya telah lari
jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah berhenti di dalam sebuah hutan.
Cin Hai diperkenalkan oleh Kwee An kepada
gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum kepada Cin Hai.
“Sie-taihiap, kau masih begini muda akan
tetapi kepandaianmu sungguh-sungguh membuat aku menjadi kagum sekali. Siapakah
Suhumu yang mulia?”
Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk
memberitahukan nama suhunya karena maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tidak
suka bahkan membenci segala nama besar yang dianggapnya kosong belaka. Maka
melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu mewakilinya menjawab,
“Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su.”
“Ah!” Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar
ini. “Tak heran apabila kepandaiannya lihai sekali. Pinto pernah mendengar nama
besar Suhumu walaupun mataku belum mendapat kemuliaan dan kehormatan untuk
bertemu dengan Locianpwe itu, akan tetapi setelah melihat kepandaian muridnya,
hatiku telah cukup puas.”
Kemudian Eng Yang Cu menceritakan bahwa dari
seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang
menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada muridnya itu,
menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari
Santung Ngohiap yang telah membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia
datang di saat yang tepat hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An
dan Cin Hai.
“Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau
tidak, aku tak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena hwesio itu pun cukup
lihai hingga aku tidak mempunyai kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus
terang.
“Kwee An, musuh-musuhmu telah terbalas dan
semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang
besar itu.” “Musuh belum terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. Masih ada dua
orang musuh besar yang memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu,
yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak
memaksa adikku menjadi isterinya.”
Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang
ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa
setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur!
Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada
suhengnya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi
curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti
Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”
Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang
ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa
setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur!
Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada
suhengnya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi
curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti
Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”
Kemudian, setelah memberi nasihat dan pesanan
kepada muridnya agar berlaku hati-hati dan agar supaya suka minta
petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara ini lalu melanjutkan
perjalanannya.
“Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong
atau Boan Sip, tentu pinto takkan tinggal diam dan mencoba untuk melawan
mereka,” katanya. Kwee An merasa terharu atas pembelaan suhunya itu dan
menghaturkan terima kasih dan selamat berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum
sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.
“Suhumu itu berhati mulia sekali, Saudara An,”
katanya dan ia teringat kepada suhunya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar
beritanya itu. Apakah suhunya itu masih berada di Gua Tengkorak?
“Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke
kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata ia telah
meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan
tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita
harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”
Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab,
“Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita
menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus
berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar takkan tinggal diam karena perbuatan
kita yang membunuh para perwira.”
Mereka lalu menanti sampai sore, karena
bermaksud hendak memasuki kota raja di waktu malam agar jangan terlalu banyak
mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada setelah terjadi
kerusuhan demikian hebatnya.
“Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang
yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma
Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Santung Ngohiap, dan dibanding
dengan saudara-saudaranya, ia agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau
memberi tahu kepada kita tentang tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat
bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak membunuhnya.”
Dengan mempergunakan kepandaian ginkang mereka
yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan mudah dapat melompati tembok kota di
bagian yang tidak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat
menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari
keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana
rumah kediaman perwira she Ma itu, yaitu di dalam sebuah gedung besar yang
kuno.
Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju
ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira
Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda berpakaian biru yang telah
berdiri di situ dengan tangan memegang sebatang pedang terhunus dan tajam
berkilat!
“Hm, kalian masih belum puas dan hendak
mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya sambil menggerakkan pedang. “Nah, majulah,
memang sejak tadi aku telah menanti kedatanganmu berdua!”
Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan
pedangnya dan Kwee An cepat menangkis. Kedua pedang bertemu menerbitkan suara
nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa kedua orang muda ini
seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup
lihai.
“Sobat, tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah
dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?”
“Kalian diam-diam memasuki kotaraja dan
mencari rumah kediaman Ma-ciankun. Masih hendak bertanya mengapa aku menanti
dengan pedang di tangan di sini? Aku adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi
kau telah melukai Ayahku dan mengganas di kota raja, sekarang sebelum kau
hendak mencari Ayah, kauhadapi dulu anaknya!”
Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda
itu dengan ganasnya telah menyerang lagi kepada Kwee An. Melihat pemuda yang
tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan pedangnya yang
lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia diamkan saja dan menonton
pertempuran itu dengan penuh perhatian. Yang mengherankan hatinya ialah bahwa
ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu pedang Ma Keng In, bahkan
tidak lebih rendah daripada kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu
aneh sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan tubuh hingga gerakannya
seperti seekor naga yang menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal
tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!
JUGA Kwee An tidak kurang terkejutnya karena
putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan
ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu dan tak dapat mendesak!
“Sobat, kita datang bukan bermaksud buruk!”
Kwee An berkata sambil menahan serangan orang akan tetapi pemuda itu tidak
ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya.
Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang
berat dari bawah genteng, “Hoa-ji,jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi,
kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!”
Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya
mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan
ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan
menyambut mereka dengan wajah keren.
“Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang
ke pondokku ada keperluan apakah?”
Kwee An membalas hormatnya dan berkata, “Harap
Lo-enghiong suka memaafkan kami. Sebenarnya kami berdua tidak mempunyai
permusuhan dengan kau orang tua, karena tidak ikut membasmi keluargaku.
Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-enghiong dan bertanya
di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, kedua musuh besarku yang masih
belum terbalas itu.”
Walah Ma Keng In memerah. “Hm, kalian
otang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang sebelah mata
kepadaku! Kaukira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan
mengkhianati kawan-kawan sendiri? Biarpun kalian akan membunuh dan memotong
lidahku, aku orang she Ma tidak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan
sendiri.”
Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab.
Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke
arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak muda yang telah ia saksikan
kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,
“Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku
hingga mentertawakan sikapku yang bodoh?”
“Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun!
Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang
kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria,
akan tetapi mengapa kau sudi menjadi anggauta Sayap Garuda yang terkenal ganas
menindas rakyat? Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan
mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno
menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi
kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip adalah
orang-orang yang telah melakukan keganasan dan kekejaman yang termasuk
kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka kepada kami, itu berarti
bahwa kau telah melakukan sesuatu yang adil. Ingatlah bahwa permusuhan ini
tiada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan mereka sebagai anggauta
Sayap Garuda, akan tetapi adalah urusan pribadi. Lagi pula mereka adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa perlunya mereka bersembunyi
daripada kami? Kalau kau menolak untuk memberitahukan tempat tinggal mereka,
itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan mereka dan berarti kau takut
kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh kami!”
Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar
ini dengan mata terbelalak dan ia makin heran melihat pemuda yang tidak saja
berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga mempunyai pemandangan yang demikian
dalam dan halus. Ia menghela napas dan berkata,
“Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda.
Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan kalau ia tahu bahwa
aku menolak untuk memberi keterangan kepadamu tentang kepergiannya, tentu ia
akan merasa kurang senang dan menganggap aku merendahkannya. Baiklah kalau kau
dan kawanmu memaksa, akan tetapi kalau kalian tewas dan celaka di dalam
tangannya janganlah kalian merasa penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu dan
Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar untuk
menghubungi pasukan-pasukan Mongol di perbatasan utara. Lima hari yang lalu
mereka dan beberapa orang perwira lain telah berangkat ke utara meninggalkan
kota raja.”
Cin Hai menjura dan berkata, “Terima kasih
banyak, Ma-ciangkun. Kau memang benar-benar seorang tua gagah dan berhati
lurus. Mudah-mudahan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”
Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan
keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk meninggalkan kota raja yang
sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.
Akan tetapi, belum jauh mereka pergi,
tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakang. Mereka berhenti dan
ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi, telah mengejar
mereka!
“Eh, eh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak
melanjutkan pertandingan yang tadi?” Kwee An menegur tidak senang.
“Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak
perlu aku banyak cakap!” jawab pemuda itu ketus. “Ayah terlalu lemah, maka
kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti
kalian di lereng Pai-san di sebelah utara!”
Kwee An merasa mendongkol dan penasaran.
“Mengapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami akan
mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus!
Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?”
Pemuda itu membanting-banting kaki dan
berkata, “Aku akan menunggu di sana!” Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan
lari meninggalkan mereka.
“Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh
baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika
dibandingkan dengan Ayahnya.” Cin Hai menegur dengan suara menyesal.
“Siapa takut dia?” jawab Kwee An yang merasa
mendongkol dan penasaran sekali karena tadi ia benar-benar tidak dapat
mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menentangnya apakah ia harus mundur?
“Dan lagi kita hendak melewati Pai-san. Kalau kita tidak menyambut
tantangannya, bukankah kita akan diterwakan oleh seorang kanak-kanak?”
Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An
merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang
sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!
Setelah melakukan perjalanan sambil
bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun tentang rombongan Hai Kong
Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit Pai-san.
Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah
dan tanah di situ subur. Hal ini adalah karena di lereng itu mengalir sebuah
sungai yang menjadi sumber atau mata air Sungai Liong-kiang dan yang menjadi
anak sungai atau cabang Sungai Huangho, karena sungai Liong-kiang ini akhirnya
memuntahkan airnya di Sungai Kuning yang besar itu.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri
termangu-mangu sambil memandang ke arah air sungai yang mengalir sambil
memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh
terlihat sebuah perahu kecil yang bergerak maju melawan arus air. Setelah
dekat, ternyata yang duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera
Ma Keng In dan seorang tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus bagaikan
tengkorak hidup dan berwajah gembira. Biarpun melawan arus air, akan tetapi
dengan dayungnya pemuda itu dapat menggerakkan perahu dengan lajunya, hingga
dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya.
Tiba-tiba terdengar nelayan tua itu
berdendang, suaranya yang parau itu diiringi bunyi riak air. “Di belakang pintu
gerbang merah indah cemerlang anggur dan daging berlebih-lebihan hingga masam
membusuk!
Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang
berserakan tulang rangka sisa korban dingin dan lapar!!”
Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang
diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair yang ditulis oleh pujangga Tu Fu.
Pada jaman dulu keadaan rakyat di bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat
menderita dan pada suatu hari ketika lewat di Pegunungan Lisan, Pujangga itu
melihat betapa Raja Hsuan Tsung bersenang-senang dan berpelesir dengan para
selir di istananya yang disebut istana Hua Cin. Oleh karena merasa betapa
janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan raja yang tahunya hanya
bersenang-senang belaka tidak mempedulikan keadaan rakyatnya yang sengsara dan
banyak yang mati kelaparan dan kedinginan, maka jiwa patriot yang menggelora di
hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya untuk membuat syair itu.
Syair ini semenjak dulu dilarang oleh semua
kaisar yang memerintah karena dianggap sangat menghina kaisar, dan bersifat
memberontak, maka jarang ada orang mengenalnya lagi, apalagi menyanyikannya,
karena apabila terdengar oleh kaki tangan kaisar, tak ampun lagi orang itu
dapat ditangkap sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman keras. Akan tetapi
nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu bahkan berani menyanyikannya dengan
lagu suara yang bersemangat sekali. Orang yang berani bernyanyi seperti itu di
tempat terbuka, tahulah seorang yang luar biasa dan berilmu tinggi.
“Bagus sekali syair itu, seakan-akan kulihat
Tu Fu menjelma kembali.” Dengan suara keras Cin Hai memuji.
Ketika itu perahu kecil tadi telah tiba di
depan mereka dan nelayan itu lalu memandang ke arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya
bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri
di depan Cin Hai.
“Hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?” tanyanya.
“Kenal? Dia sahabat baikku di alam mimpi!”
jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara
nyaring.
“Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan
laksaan kamar untuk memberi tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia yang
akan merasa bahagia biarpun dalam hujan karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit
raksasa?
Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba
muncul di depan mataku, biarlah gubukku ini hancur lebur, biarlah aku mati
kedinginan, aku akan mati dengan mata meram dan jiwa tenteram!
Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang
kepada Cin Hai dengan wajah gembira sekali. Tiba-tiba dari kedua matanya yang
lebar itu mengalir air mata dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis
tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya di pundak pemuda itu.
Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis
seperti bau ikan, dan ketika ia memeluk Cin Hai kedua tangannya merangkul. Cin
Hai merasa seakan-akan ia ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan
kati. Ia merasa terkejut sekali dan tahu bahwa diam-diam kakek nelayan ini
telah mencoba tenaganya.
Maka ia lalu menahan napas dan mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melawan tekanan yang hebat ini. Ia hampir tidak kuat,
akan tetapi berkat keteguhan hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan
kelemahannya.
Akhirnya kakek nelayan itu melepaskan
pelukannya dan Cin Hai merasa lega sekali. Keringat dingin telah keluar dari
kulit mukanya dan ia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.
Kakek nelayan itu setelah memandang tubuh Cin
Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri dan wajah gembira, lalu
berpaling kepada pemuda baju biru yang sementara itu telah keluar dari perahu
dan menghampiri mereka. “Eh, anak nakal, pemuda inikah yang kaumaksudkan? Ah,
Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu kalah!”
Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng
kepalanya dan menuding ke arah Kwee An, “Bukan dia, Suhu, yang inilah!”
Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda
itu. Mereka tercengang, karena setelah melihat pemuda itu di siang hari,
ternyata bahwa pemuda ini benar-benar berwajah tampan sekali dan sikapnya
pendiam dan agung! Ma Hoa lalu melangkah rnenghadapi Kwee An dan berkata,
“Hem, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau
tunggu apa lagi? Cabutlah senjatamu dan coba kau perlihatkan kepandaianmu!”
Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu melolos pedangnya dari pinggang dan
bersiap sedia. Kwee An berdiri bingung karena ia merasa jerih juga menghadapi
pemuda yang bersikap agung dan tenang ini. Ia berpaling kepada Cin Hai, akan
tetapi Cin Hai sedang saling pandang dengan nelayan tua itu sambil
tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan itu lalu memegang tangan Cin Hai,
ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang pohon dan dengan tertawa
haha-hihi ia berkata,
“Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan
menonton kedua anak nakal itu!”
Cin Hai maklum bahwa kakek nelayan luar biasa
ini tak bermaksud jahat, maka ia tidak menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia
lalu ikut duduk di sebelah kakek itu.
Ma Hoa ketika melihat Kwee An berdiri bengong,
lalu membentak,
“Tidak lekas mengeluarkan senjatamu? Apakah
kau takut?”
Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda
itu, maka dengan muka merah ia mencabut senjatanya dan berkata, “Tenang, kawan.
Siapa yang takut kepada engkau?”
Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa
sungkan-sungkan lagi Kwee An dengan cepat menangkis dan membalas menyerang.
Sebentar saja keduanya bertempur seru sekali, saling mengerahkan tenaga dan
kepandaian, saling melepas umpan, membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala
jurus yang saling berbahaya.
Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Ia
tak hanya mengagumi kepandaian kedua anak muda ini, akan tetapi ia mengagumi
kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi dan sama
pandai. Dan yang lebih mengherankannya lagi, Ma Hoa biarpun sikapnya congkak
sokali, akan tetapi di dalam pertempuran itu agaknya tidak mengandung hati
ingin mencelakakan Kwee An. Ini dapat dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu
terlambat sedikit dari pada seharusnya dalam mengirim serangan maut! Kwee An
tak pantas disebut murid Kim-san-pai yang lihai kalau ia tidak mengetahui hal
ini. Mula-mula ia merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum
matang betul kepandaiannya, akan tetapi karena berkali-kali Ma Hoa memperlambat
gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini
mencoba kepandaiannya saja. Oleh karena itu, ia lalu mengeluarkan kepandaiannya
yang paling hebat dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sinar pedangnya
bergulung-gulung, akan tetapi ia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda
lawannya itu. Sungguh suatu pertempuran yang hebat dan indah dipandang.
Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan
itu, karena ia maklum bahwa keduanya tidak mempunyai keinginan mencelakakan
lawan. Tadinya ia telah merasa khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan
nelayan tua yang hebat ini, karena kalau ia dan Kwee An sampai menjadi musuh
nelayan ini, itu berarti bahwa mereka telah menanam bibit permusuhan yang
berbahaya. Laginya, ia merasa suka sekali kepada kakek nelayan yang bersemangat
ini. Kegirangan hatinya dan keadaan tamasya alam yang indah di situ telah
membuat hatinya bahagia sekali dan tak terasa pula ia mengeluarkan suling
bambunya. Kakek nelayan itu memandangnya dengan senang sekali hingga Cin Hai
lalu mulai menyuling, sambil matanya memandang kepada dua orang muda yang masih
bermain pedang.
Cin Hai memang pandai sekali menyuling. Ketika
suara lengking sulingnya melagukan sebuah lagu peperangan kuno yang
bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak terasa pula terpengaruh oleh nyanyian
ini dan mereka bermain pedang makin hebat dan indah, seakan-akan dua orang
penari yang mendengar suara gamelan merdu yang membuat tarian mereka lebih
indah.
Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan
aneh sekali. Kembali dari kedua matanya yang lebar mengalir keluar air mata.
Ternyata hati kakek nelayan ini perasa sekali hingga membuat ia terkenal
sebagai seorang yang cengeng atau mudah menangis. Oleh karena inilah, maka ia
mendapat sebutan Nelayan Cengeng!
Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak
muda itu terpengaruh oleh suara sulingnya. Ia melihat betapa mereka berdua
telah berpeluh karena pertempuran itu telah berjalan dua ratus jurus lebih! Ia
menjadi kasihan dan tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya. Keadaan menjadi
sunyi setelah suara suling itu terhenti dan yang terdengar kini hanya riak air.
Keadaan yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu
hingga dengan sendirinya mereka lalu melompat mundur. Wajah kedua pemuda itu
berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi aneh sekali. Sekarang Kwee An tidak
mempunyai perasaan penasaran karena tidak dapat mengalahkan pemuda itu bahkan
ia memandang ke arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan ingin
bersahabat karena timbul rasa suka di dalam hatinya kepada pemuda itu.
“Bagus, bagus!” tiba-tiba nelayan tua itu
melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang diberi
kembang gula. “Mereka itu cocok dan sesuai sekali, bukan?” katanya kepada Cin
Hai dan Cin Hai lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan
sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok! He, anak muda she Kwee, engkau
adalah jodoh muridku, tak ada pemuda lain yang lebih cocok untuk menjadi calon
suami muridku, Ha, ha!” Kakek nelayan yang luar biasa ini tertawa
terkekeh-kekeh karena girangnya.
Kwee An merasa bingung dan tidak mengerti. Ia
memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai berkejap dan menunjuk dengan
sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang
kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka
kemerah-merahan dan kadang-kadang sudut matanya mengerling dengan malu-malu!
Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia menjadi mengerti! Hampir saja
ia menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang
pemuda, akan tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian
tinggi pula!
Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee
An menjadi merah bagaikan kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin
Hai dan tak berani berkata-kata lagi.
“Bukankah cocok sekali mereka?” lagi-lagi
kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai. “Aku yang akan menjadi comblangnya
dan aku tanggung Ma-ciangkun takkan mampu menolak seorang calon mantu yang
begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa kau diam saja?”
Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil
menjura, “Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang pengalaman dan
pemalu sekali, dan tentang perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu
kepada Suhunya karena kedua orang tuanya telah tidak ada lagi.”
“Ah, jangan banyak upacara lagi!” kata kakek
nelayan. “Orang she Kwee, bukankah kau juga suka kepada Hoa-ji seperti ia suka
kepadamu?”
Kwee An memandang wajah kakek itu dengan
heran. Mulutnya tidak berani bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung
penuh pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini dapat menduga demikian?
Agaknya kakek nelayan ini dapat membaca pikiran
orang karena setelah tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,
“Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas
terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang
bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”
Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat
suhunya yang selalu bersikap terus terang dan jujur, akan tetapi sebagai
seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saia ia merasa malu sekali
orang membicarakan tentang perjodohan dan tentang hati suka secara begitu
blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka ia lalu menundukkan muka dan
melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu itu meninggalkan mereka!
“Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah
menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah
marah dan mengamuk. Kalau dia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah,
anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!”
Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia
pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di antara tokoh-tokoh luar biasa terdapat
seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di
darat maupun di dalam air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhunya,
maka mereka berdua lalu memperlihatkan sikap menghormat sekali.
“Locianpwe, harap kau orang tua sudi maafkan
teecu yang bodoh. Sebagaimana dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam soal
perjodohan, bukan teecu menampik, akan tetapi harus teecu minta nasihat Suhu
terlebih dahulu.”
“Eh, siapa Suhumu yang beradat kukuh dan kuno
itu?” tanya Nelayan Cengeng.
“Suhu adalah Eng Yang Cu.”
“Oh, tosu dari Kim-san itu? Ha, ha, aku suaah
menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-san-pai, akan tetapi tak kuduga bahwa
imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus!
Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami
muridku, tentu dia setuju sepuluh bagian!”
“Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas
budi kebaikan Lo-cianpwe, akan tetapi sungguh, teecu pada waktu ini belum
berani mengikat diri dengan perjodohan!”
Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama
Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan yang mudah sekali tersinggung,
maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya
dan tanah di mana kakinya terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!
“Apa katamu? Kau menolak? Baik, akan tetapi
kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan
harap kau dapat meninggalkan tempat ini!”
Kini Cin Hai buru-buru berdiri dan mewakili
Kwee An menjawab, karena ia cukup mengenal adat Kwee An yang biarpun pendiam
akan tetapi keras hati dan tak kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An
akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.
“Locianpwe, sesungguhnya Saudara Kwee An sama
sekali tidak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat
kehormatan besar dan dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi
ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan sekarang
sedang melakukan perjalanan dengan teecu untuk mencari musuh besarnya dan
membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar
itu.”
Cin Hai lalu dengan singkat menuturkan
pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya.
Mendengar tentang peristiwa yang menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat
Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa sangat terharu dan tak dapat
menahan lagi keluarnya air mata yang membasahi pipinya.
“Jadi musuh-musuh yang belum terbalas itu
adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira? Ah, Hai Kong, engkau memang jahat
sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam
air sampai perutmu menjadi kembung!” katanya dengan marah. Kemudian ia teringat
akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,
“Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya telah
maju pesat karena ia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan
Hoa-ji ini tentu tak dapat melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu,
akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin
dan cerdik sekali. Apakah engkau mengerti ilmu dalam air?”
Cin Hai menggeleng kepalanya, juga Kwee An
menyatakan bahwa ia hanya dapat berenang sedikit saja.
“Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu
hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu, baik di darat maupun di air!”
Cin Hai dan Kwee An merasa girang sekali dan
semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima latihan-latihan dari
Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu pedang yang disebut
Hai-liong-kiam-hwat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas untuk dapat
bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan renang, sedangkan untuk Cin Hai,
nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan
karena kepandaian pemuda itu katanya sudah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka
Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air. Karena Cin Hai memang telah
memiliki lweekang yang tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka
sebentar saja ia dapat menguasai ilmu itu dan dapat bermain di air bagaikan
seekor ikan saja.
Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang
sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin
Hai dan Kwee An hendak meninggalkan Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan
ke utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik
perahu dari jauh. Cin Hai lalu menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan
gadis itu, sedangkan Kwee An tidak berani mengangkat muka dan menunduk
kemalu-maluan!
Ketika gadis itu meloncat ketuar dari perahu
dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak
kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali
ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang
dara yang luar biasa cantiknya. Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera
biru dan ikat pinggangnya serta pengikat rambutnya berwarna merah darah,
berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang
menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali
karena gadis ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.
Nelayan Cengeng melebarkan kedua matanya
ketika melihat pakaian muridnya itu. “Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak
melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali.
Kebetulan kau datang karena tunanganmu hendak pergi melanjutkan perjalanan.”
Memang orang tua ini terlalu sekali.
kejujurannya yang luar biasa hingga ia menyebut Kwee An sebagai tunangan
muridnya itu telah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu sekali.
“Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan
bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap malu-malu kucing?
Kesinikan pedangmu!” Biarpun ia keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut
kepada suhunya yang menganggapnya sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan
kepala ia bertindak maju. Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali.
Dengan perlahan dan tangan gemetar ia melolos pedangnya dan diberikan kepada
suhunya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia
mengeluarkan suara, maka suaranya akan terdengar menggigil. Nelayan Cengeng
gembira, lalu ia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah,
“Kwee An, terimalah pedang ini dan sebagai
gantinya kau harus memberikan pedangmu kepada tunanganmu!”
Dengah sikap menghormat, Kwee An menerima
pedang itu, kemudian ia mencabut pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada
kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,
“Saudaraku, engkau tidak boleh memberikan
kepada Locianpwe. Harus kauberikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu,
Locianpwe?”
Nelayan Cengeng itu memandang dengan heran
kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja karena ia tertawa bergelak dan
berkata, “Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan
sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”
Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak
muda itu karena godaan kedua orang ini. Dengan hati berdebar-debar Kwee An
menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan pedang itu. Akan tetapi, karena dara itu
sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka dan tidak melihat
ia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima pedang yang diberikan
kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa ia menggerakkan
bibirnya memanggil,
“Moi… eh… Siocia, kauterimalah pedang ini!”
Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang
mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa menyambar pedang itu lalu
dimasukkan ke dalam sarung pedang dan ia lalu tertunduk kembali!
“Ah, salah... salah...!” Cin Hai menggoda
terus. “Saudara An, kau harus memanggil moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil
koko, ini baru benar!”
Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Ia
bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan. “Benar,
benar...! Bagus...”
Ma Hoa tak dapat menahan lagi jengah dan
malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum
yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu lari ke perahunya mendayung pergi
secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak.
“Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi
dan lekas kembali!” kata Kong Hwat Lojin sambil bertindak pergi.
Kwee An dengan mulut cemberut lalu berkata
kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir
mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan
kubalas sepuas hatiku!”
Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai
termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali.
Akan tetapi, cepat ia dapat menekan perasaannya dan berkata, “Aah, bukankah
godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?”
Kwee An tak dapat menjawab, hanya tersenyum
dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke utara, akan
tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee An tersangkut pada duri
bunga Botan yang tumbuh di pinggir Sungai Liong-kiang itu!
Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An
telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di mana bertemu dengan suku-suku Mongol
dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah
sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di
tengah itu.
Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir
mudik naik turun perahu itu mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di
antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok
hingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biarpun kaku akan tetapi
cukup dimengerti oleh Cin Hai dan Kwee An. Dari mereka ini kedua pemuda itu
mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol bernama
Vayami. Pangeran ini telah bertukar nama karena ia telah memeluk Agama Buddha
Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini.
Barang-barang yang diangkut ke dalam perahu itu adalah sumbangan-sumbangan dari
pada para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada Pangeran Vayami.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang melihat di
pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat Hai Kong Hosiang di atas perahu itu.
Hwesio ini dapat dikenal dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak
merah putih dan kepalanya yang gundul licin.
Pada saat itu, perahu telah bergerak ke tengah
dan hendak meninggalkan tempat itu, sedangkan para pemeluk agama yang berdiri
di tepi sungai berlutut memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.
Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh
mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka yang melihat perbuatan kedua
pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan
tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu dengan bentakan,
“Dua ekor anjing rendah dari manakah berani
memperlihatkan kekurangajaran di sini?”
“Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu
sudah berada di depan mata, kau masih banyak bertingkah lagi?” Kwee An balas
membentak dan memaki.
Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan
ia lalu teringat dan mengenal wajah Kwee An, “Eh, kau masih belum mampus
bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan kanannya mencabut keluar tongkat ularnya yang
lihai sambil berkata. “Baik, kalau begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan
dulu yang agaknya kurang sempurna agar kau tidak menjadi penasaran!”
Sambil berkata demikian, ia maju ke arah Kwee
An, akan tetapi pada saat itu, pintu kamar yang terdapat di perahu itu terbuka
dan muncul seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah
merah. Pendeta ini membentak dengan suaranya yang halus,
“Hai Kong bengyu, tahan dulu!” Kemudian ia
keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan anehnya, Hai Kong Hosiang nampak
hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan
menjura. Pemuda ini bukan lain ialah seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami
sendiri.
Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai,
lalu merangkap kedua tangannya dan berkata dalam bahasa Han yang fasih,
“Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa)
telah memberi kehormatan kepadaku dan mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak
memberi pelajaran apakah?”
Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat
Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya ini,
juga mereka merasa heran melihat bahwa kopala agama ini ternyata masih muda
sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya! Cin Hai lalu
merangkapkan kedua tangan pula dan membalas hormat, diikuti oleh Kwee An.
“Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat.
Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada di atas perahu, kami menjadi lupa
diri dan dengan lancang melompat ke atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua
sama sekali tak hendak mengganggu kepada Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan
hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini, karena dia adalah pembunuh keluarga
kami dan kami sengaja datang hendak mengadu jiwa dengannya.”
Pangeran Vayami tersenyum halus, akan tetapi
sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam yang membuat Cin Hai terkejut sekali
karena ia dapat menduga bahwa selain memiliki tenaga lweekang yang tinggi juga
pangeran ini berpengaruh dan cerdik.
“Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya
Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu
adalah menjadi tamu kami dan oleh karenanya, selama dia berada di atas
perahuku, aku harus melindunginya dengan segala tenaga, bahkan dengan jiwaku
sekalipun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang mukaku dan tidak mengganggunya
selama dia masih berada di sini!” Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan
kedua tangannya dan bertepuk tangan tiga kali. Tiba-tiba dari segala sudut
keluarlah lima orang pendeta Sakya yang berjubah merah dan nampak kuat serta
pandai ilmu silat.
Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan
pangeran itu, maka ia lalu menuding kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong! Kau
tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan dan perbuatanmu dan tentu tidak
begitu pengecut untuk lari dari tuntutan balas kami. Kalau kau memang laki-laki
maka harap kau mau turun ke darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa,
menentukan siapa yang lebih pandai!”
Hai Kong Hosiang tadi telah melihat gerakan
Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu, maka ia maklum bahwa anak muda ini
jauh lebih lihai daripada Kwee An, maka ia berkata,
“Jangan kau mengacau dan membuka mulut
sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tak pernah lari dari musuh-musuhku. Akan
tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan kau tidak mempunyai sangkut
paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?”
“Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga
telah mempunyai hutang padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau bertemu melawan
Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak kecil yang
meniup suling dan yang hendak kaubunuh dulu itu siapa? Lihat mukaku baik-baik,
dan kau tentu akan ingat bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang
kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!”
Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak
ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu di dalam gua Tengkorak itu, maka
diam-diam ia merasa agak jerih. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang
gagah yang telah lama malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu
tanding, maka tentu saja ia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak
muda yang masih hijau itu.
“Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau
pun rupanya sudah bosan hidup?”
“Hwesio keparat kau turunlah ke darat!” Kwee
An membentak marah.
“Ha, ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor
anjing cilik! Aku akan turun kalau aku suka dan sekarang aku belum ada ingatan
untuk turun dan melayani kalian.” Cin Hai menjura kepada Pangeran Vayami.
“Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar dan
bertindak di sini!”
Pangeran Vayami sambil tersenyum berkata.
“Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak mungkin tinggal diam melihat tamuku
diganggu.” Ia lalu memberi tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju
dengan sikap mengancam dan mengurung Cin Hai serta Kwee An!
“Saudara An, kaulawanlah lima boneka merah itu
dan aku akan membinasakan kera tua ini!”
Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar
dirinya dimaki “kera tua”! Ia lalu berseru nyaring dan senjatanya yang luar
biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan
Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada, ia lalu mengelak mundur sambil
mencabut Liong-coan-kiam.
Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat
dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang memutar pedangnya dengan hebat.
Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu hanya memiliki tenaga hebat dan kuat
bagaikan kerbau jantan, akan tetapi kepandaian silat mereka tak seberapa
tinggi, hingga Kwee An tak sampai terdesak oleh mereka. Akan tetapi, bagi
pemuda itu pun tidak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku hati-hati
sekali. Biarpun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan berbahaya, namun
karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali saja terkena pukul tongkat
mereka, ia pasti akan celaka! Maka ia berlaku tenang dan hati-hati dan menjaga
diri dengan kuatnya, sedikit pun tak memberi waktu kepada mereka untuk dapat
memukulnya.
Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai
dan Hai Kong Hosiang. Pendeta ini benar-benar telah mendapat banyak kemajuan
dalam ilmu silatnya seperti yang pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng. Karena
berkali-kali bertemu dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw
Suthai, dan yang lain-lain, dan semenjak kena dikalahkan oleh Biauw Leng
Hosiang, pendeta ini lalu melatih diri dan mempelajari ilmu silat lain yang
tinggi untuk menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke utara, ia
sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat dan
mempelajari kepandaian mereka itu. Maka dalam pertempuran Cin Hai kali ini,
pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat pendeta ini jauh lebih hebat
daripada ketika ia bertempur di dalam Gua Tengkorak. Terutama tongkatnya yang
hebat itu, yang di dalam tangannya seakan-akan berubah menjadi seeor ular
berbisa yang masih hidup, sangat berbahaya sekali. Biarpun Cin Hai sudah dapat
menduga gerakan dalam tiap serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi karena
senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa
berlaku hati-hati sekali. Ia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw
pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat ini ia dapat bergerak gesit
sekali dan tubuhnya berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan dan
melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama
pertempuran antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum
sekali. Pangeran muda ini berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton dengan
mata berseri. Ia kagum sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum
bahwa terhadap Hai Kong Hosiang, pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah
senjata saja. Namun, betapa herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin
lama makin hebat permainan silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu
berubah-ubah. Memang untuk mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai
sengaja mencampur permainan silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang ia
mengeluarkan jurus Liong-san-kiam-hoat, Ngolian-kiam-hoat, bahkan seringkali ia
mengimbangi permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan
jian-coa-kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular. Hai Kong Hosiang tercengang dan
heran sekali hingga ia menunda serangannya dan membentak, “Bangsat dan maling
rendah! Dari mana kaucuri ilmu pedangku?”
“Ha, ba, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi
mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna? Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang
yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu itu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai
lalu menyerang dengan pedangnya dan Hai Kong Hosiang hampir berseru karena
heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar menyerangnya dengan Ilmu Pedang
Jian-coa-kiam-sut, akan tetapi jauh lebih sempurna.
Padahal sebetulnya Cin Hai hanya meniru-niru
serangan Hai Kong tadi, hanya saja karena ia telah dapat memecahkan rahasia
dasar ilmu silat yang telah dimainkan itu, ia dapat mencari pula ciri-cirinya
dan dapat memperbaikinya. Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak
pernah dilatih, akan tetapi cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jerih.
Tak disangkanya bahwa pemuda ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru
ilmu silat-ilmu silat ini mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia
dipermainkan oleh jembel tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan
jerih. Namun, karena melihat bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru
dewasa, ia memperkuat hatinya dan sambil membentak keras ia menyerang lagi.
Kini tangan kirinya mencabut keluar sebatang sabuk ular yang penuh bisa.
Jangankan sampai terpukul oleh sabuk ini bahkan baru keserempet sedikit saja,
racun ular yang mengenai kulit dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat dan
cepat sekali racun itu dapat meresap ke dalam daging dan meracuni darah hingga
membahayakan jiwa lawannya. Baru saja sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai
telah mencium bau yang amat amis, maka tahulah dia akan bahaya dan lihainya
senjata istimewa ini. Ia lalu menggunakan tangan kirinya mencabut keluar
sulingnya dan untuk mengimbangi lawan, ia mempergunakan dua macam senjata pula
di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di tangan kiri suling bambunya!
Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi
marah karena ia teringat akan peristiwa dulu ketika Cin Hai masih kecil dan
dengan suling bambunya telah menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam
Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan matinya kelima ularnya karena Bu Pun Su
menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu menyerang sambil berteriak,
“Anak setan, kali ini kalau belum
menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”
Cin Hai diam-diam merasa girang melihat
kemarahan Hai Kong Hosiang ini, dan ia melayani serbuan hwesio itu dengan
tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan
gerakan-gerakan sulingnya tidak dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini
bertempur mati-matian hingga bayangan kedua orang ini tak tampak lagi, tertutup
oleh sinar senjata masing-masing.
Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan
Kim-san-kiam-hoatnya telah berhasil merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga
Pangeran Vayami menjadi terkejut sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa
kedua anak muda yang mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan
jika dilawan terus akan membahayakan keselamatannya, maka ia lalu memberi
aba-aba dalam bahasa Mongol. Beberapa orang pelayan yang berkepandaian rendah
dan karenanya tak berani membantu lalu menurunkan dua buah perahu kecil ke atas
air. Vayami lalu menyalakan api dan membakar layar yang tergantung ke bawah
hingga sebentar saja api menyala hebat di atas perahu itu. Ia lalu melompat dan
hendak turun ke dalam perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air. Akan
tetapi, melihat kecurangan pangeran ini, Kwee An meninggalkan ketiga
pengeroyoknya dan ia mengejar pangeran itu sambil berteriak,
“Jangan kau berlaku curang!” Akan tetapi,
ketika ia telah tiba di depan pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya
dengan obor yang masih menyala. Kwee An terkejut karena serangan ini hebat juga
dan diserangkan ke arah pakaiannya. Cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di
tangan Vayami yang lihai itu telah diserangkan pula ke arah mukanya! Kwee An
miringkan kepala dan selagi ia hendak membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami
telah berhasil menendang lututnya. Biarpun ia dapat miringkan kakinya hingga
yang tertendang hanya di atas lututnya dan karena ia mengerahkan tenaga
dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka, akan tetapi karena tendangan itu
keras, dan juga karena mereka berdiri di pinggir perahu, maka tak ampun lagi
tubuh Kwee An terpelanting keluar perahu dan jatuh tercebur ke dalam air!
Cin Hai terkejut sekali akan tetapi ia tidak
berdaya menolong karena Hai Kong Hosiang mendesaknya dengan hebat.
Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan
pangeran itu sendiri melompat ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami
berseru,
“Hai Kong Bengyu, lekas kau melompat ke sini!”
Akan tetapi, Hai Kong Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak
muda ini maklum bahwa jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka
selain musuh besar ini tak dapat dirobohkan, juga keadaannya berada dalam
bahaya. Api di atas perahu telah mulai membesar dan bahkan kini telah memakan
tiang besar di tengah perahu! Oleh karena ini, maka Cin Hai mengambil keputusan
nekad dan menyerang mati-matian hingga hwesio itu sama sekali tidak mempunyai
kesempatan untuk lari. Terpaksa Hai Kong Hosiang kertak gigi dan melayani
dengan sama sengitnya.
Masih terdengar beberapa kali suara Vayami
memanggil Hai Kong Hosiang akan tetapi karena hwesio itu tak dapat ikut pergi,
terpaksa Vayami dan orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan arus yang
besar dan kuat karena perahu besar dimana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang
bertempur mati-matian itu telah hanyut ke tengah dan telah tiba di tempat yang
airnya mengalir kencang. Kwee An yang tercebur ke dalam air pun tak kuasa
menahan bantingan air yang hebat dan terpaksa ia membiarkan dirinya terbawa
hanyut sampai jauh. Baiknya ia pernah berlatih berenang pada Nelayan Cengeng,
kalau tidak, mungkin ia akan mati di dalam permainan arus amat kuat itu! Ia tak
kuasa berenang ke pinggir karena arus amat deras dan sungai itu sangat lebar,
maka ia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan
batu-batu karang dan membiarkan dirinya hanyut di permukaan air. Sebentar saja
ia terbawa hanyut jauh sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar
di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur telah lenyap dari pandangan
matanya. Ia masih melihat betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee
An sangat mengkhawatirkan keselamatan Cin Hai.
Ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang memang hebat.
Ini terasa sekali oleh Cin Hai, karena sungguhpun pemuda ini telah mengerahkan
semua kepandaian dan tenaganya, namun ia tetap tak dapat merobohkan Hai Kong
Hosiang. Padahal mereka telah bertempur lebih dari dua ratus jurus. Sungguh
harus ia akui bahwa inilah lawan yang paling tangguh yang pernah ia jumpai,
kecuali Hek Pek Moko. Kalau dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng
atau kakak seperguruan Hai Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apalagi
sabuk ular di tangan kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya
sekali.
Sebetulnya, ilmu kepandaian yang diwarisi oleh
Cin Hai dari Bu Pun Su, boleh dibilang menjadi raja ilmu silat, karena ilmu ini
membuat ia dapat mengetahui semua rahasia segala macam ilmu silat yang ada.
Akan tetapi, oleh karena sebelum mempelajari ilmu kepandaian hebat ini Cin Hai
belum mempunyai dasar-dasar ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai
daya tahan yang sangat kuat saja, dan kurang kuat dalam hal menyerang atau
boleh juga disebut kurang agresip. Memang, daya tahannya luar biasa kuatnya dan
tak sembarang tipu gerakan yang dapat merobohkannya, akan tetapi sebaliknya
daya serangnya lemah sekali oleh karena untuk dapat menyerang ia hanya dapat
memetik dari jurus-jurus Ilmu Silat Liong-san yang dipelajarinya dari Kanglam
Sam-lojin atau Ilmu Silat Lima Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya
dari Ang I Niocu.
Paling banyak ia hanya dapat meniru gerakan
lawan untuk membalas menyerang, akan tetapi sudah tentu saja gerakannya kurang
mahir, dan pula, apa artinya ilmu silat lawan digunakan untuk menyerang? Sudah
tentu lawan itu sudah mengenal serangan ini dan amat mudah mengelak atau
menangkisnya.
Maka biarpun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong
Hosiang dengan baik akan tetapi juga amat sukar baginya untuk menjatuhkan lawan
yang luar biasa tangguhnya ini. Memang dengan Tarian Bidadari, beberapa kali ia
telah berhasil menghantam pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya,
akan tetapi hwesio ini mempunyai tubuh kebal karena ia telah mempelajari dan
memiliki ilmu kebal yang disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Emas. Juga ilmu
lweekang hwesio ini sudah cukup tinggi hingga sering kali kalau suling Cin Hai
menotok jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan tetapi menggunakan tenaganya
untuk menutup jalan darahnya itu dan mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak
pukulan itu! Diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan ia tidak menyangka bahwa
juga Hai Kong Hosiang merasa kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di
dalam hati bahwa apabila pemuda ini telah matang latihannya, tentu ia takkan
sanggup menghadapinya lebih lama daripada seratus jurus!
Sementara itu, kini seluruh permukaan perahu
telah mulai berkobar dan bahkan api telah menjalar mendekati mereka yang sedang
bertempur! Tiang besar di dekat mereka juga telah terbakar dan hawanya menjadi
panas bukan main! Pada saat itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak
sebuah papan yang terbakar hingga sepatunya menginjak api panas, sedangkan
pedang di tangan Cin Hai telah disabetkan dengan hebat ke arah pinggangnya!
Hwesio itu berteriak kaget akan tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke
belakang hingga papan yang terbakar itu kena tertindih tubuhnya dan padam.
Dalam kemurkaannya, hwesio itu menggunakan kakinya menyapu tiang besar yang
terbakar dan terdengar suara keras ketika tiang yang telah terbakar itu tidak
tahan tertendang kaki Hai Kong Hosiang dan menjadi roboh! Dengan mengeluarkan
suara hiruk-pikuk, tiang yang terbakar dan layar yang masih menggantung di
atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!
Cin Hai cepat melompat pergi ke kepala perahu
dan terhindar dari pada bahaya tertimpa tiang yang besar dan berat. Hai Kong
Hosiang juga hendak melompat akan tetapi celaka baginya. Kakinya yang tadi
digunakan untuk menyapu tiang secara kebetulan sekali terlibat oleh tali
tambang yang besar, yaitu tali penarik layar yang bergantungan di tiang itu.
Oleh karena ini, gerakannya melompat membawa tiang itu dan layar di atas roboh
ke arah dirinya! Ia mencoba mengelak akan tetapi tali itu seperti tangan yang
kuat memegangi kakinya hingga kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar
dan tebal menyelimuti tubuhnya!
Dengan kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya,
Hai Kong Hosiang dapat menyelamatkan kakinya dan kaki itu tidak menjadi patah
walaupun tertimpa tiang sebesar itu, akan tetapi ia menjadi sibuk karena sukar
untuk keluar dari selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai
berkobar dan termakan api! Hai Kong Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar
dan tiang itu sukar sekali dilepaskan dan ia menjadi gugup dan panik. Asap api
telah masuk ke dalam selubungan layar dan membuat napasnya menjadi sesak. Dan
pada saat itu, Hai Kong Hosiang tiba-tiba merasa takut! Ia merasa ngeri dan
takut sekali menghadapi bahaya maut berupa api yang hendak membakar dirinya.
Oleh karena ini, tak terasa pula ia memekik-mekik. “Tolong... tolonglah
jiwaku...”
Pada saat itu, Cin Hai telah berdiri di kepala
perahu dan telah siap untuk terjun ke air, meninggalkan perahu yang telah
terbakar itu. Ia memandang ke arah Hai Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan
tertutup layar dan ia merasa girang karena musuh besar ini pasti akan mampus
terpanggang. Tadinya ia bersiap sedia, karena kalau hwesio itu dapat melepaskan
diri dari tindihan layar, ia hendak mengirim serangan tiba-tiba untuk
menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu. Akan tetapi ia menjadi lega ketika
melihat bahwa hwesio itu tidak mampu melepaskan diri daripada kurungan layar
dan tiang! Cin Hai tersenyum, memasukkan pedang ke dalam sarung pedang,
menyelipkan suling ke ikat pinggangnya dan hendak mengayunkan tubuhnya terjun
ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya mendengar jeritan Hai Kong
Hosiang yang minta tolong!
Cin Hai berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu.
Mendengar pekik minta tolong itu, lenyaplah perasaannya bermusuh terhadap Hai
Kong Hosiang. Yang terlintas dalam pikirannya pada saat itu hanyalah adanya
orang yang terancam bahaya maut dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia
dapat berlaku kejam dan tinggal berpeluk tangan melihat orang dimakan api? Ah,
hatinya tak sekejam itu dan ia menjadi tidak tega sungguhpun di waktu
bertempur, dengan senang hati ia akan menancapkan pedangnya di uluhati hwesio
itu!
Tanpa banyak pikir lagi, Cin Hai lalu melompat
ke dekat layar dan tiang yang masih mengurung Hai Kong Hosiang dan dengan
menggunakan sepatunya ia menginjak-injak api yang mulai membakar layar itu dari
tubuh Hai Kong Hosiang. Ternyata keadaan hwesio itu telah mulai payah karena
selain api telah ada yang menjilat tubuhnya, juga ia telah dibuat tak berdaya
oleh asap. Pertolongan yang datang tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi
dan ia duduk terengah-engah sambil terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih
tertindih tiang! Melihat muka hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan
api, Cin Hai lalu menendang pergi tiang yang menindihnya dan tanpa banyak cakap
lagi ia lalu mengangkat tubuh Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Ia melompat ke
pinggir perahu dan selagi ia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba ia
merasa pundak kirinya sakit sekali dan mendengar suara Hai Kong Hosiang
tertawa!
Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang telah
menggunakan kesempatan ketika ia digendong oleh Cin Hai itu menotok pundak Cin
Hai di bagian jalan darah swan-hong-hiat! Totokan ini sebenarnya hebat sekali
dan dapat mendatangkan kematian bagi Cin Hai, akan tetapi karena tenaga Hai
Kong Hosiang telah berkurang sedangkan Cin Hai masih sempat menutup jalan
darahnya walaupun agak terlambat, maka pemuda itu hanya menderita luka dalam
yang cukup hebat hingga ia merasa betapa setengah badannya sebelah kiri telah
menjadi lumpuh. Cepat Cin Hai menggunakan tenaga terakhir untuk melempar
dirinya dan Hai Kong Hosiang ke dalam air. Terdengar suara keras dan air
memercik tinggi ketika dua tubuh itu terbanting di air yang mengalir cepat itu.
Hai Kong Hosiang jatuh dengan terlentang hingga untuk beberapa saat ia
gelagapan. Akan tetapi, hwesio ini telah mempelajari ilmu di dalam air, maka
cepat ia dapat membalikkan diri dan dengan matanya yang telah menjadi pedas dan
kabur akibat serangan api tadi, ia mencari-cari mangsanya. Akan tetapi Cin Hai
tidak nampak di situ dan selagi Hai Kong Hosiang mencari-cari dengan heran,
tiba-tiba dari bawah permukaan air, sebuah lengan tangan menyerangnya dengan
kekuatan yang luar biasa. Inilah Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan
oleh Cin Hai dengan hati gemas. Walaupun sebelah tubuhnya telah menjadi lumpuh,
namun Cin Hai dengan mengeraskan hati dan mengumpulkan tenaga di tangan
kanannya dapat melancarkan pukulan hebat itu yang tepat menghantam punggung Hai
Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka
dan hebatnya luar biasa, hingga tenaga Cin Hai tinggal setengah bagian saja dan
walaupun dilakukan dari dalam air namun tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu
sampai terpental ke atas air. Cin Hai tidak kelihatan kepala dan tubuhnya dan
hanya tangan kanannya saja nampak memukul dari dalam air, sedangkan tangan
kirinya telah tak berdaya sama sekali.
Hai Kong Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri
dan merasa seakan-akan nyawanya telah melayang meninggalkan tubuhnya, kepalanya
pusing dan matanya menjadi gelap. Ia terbanting lagi ke dalam air dan tubuhnya
hanyut terbawa air karena ia telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan
itu. Adapun Cin Hai yang lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah
melakukan serangan balasan yang hebat ini pun lalu menjadi pingsan dan tubuhnya
hanyut di belakang tubuh Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tidak
merasa bahwa ia telah ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami. Juga Hai Kong
Hosiang ditolong oleh pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa
masuk ke dalam sebuah tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali
gedung di daerah utara yang dibangun model gedung bangsa Han.
Berkat tubuhnya yang luar biasa kuatnya,
setelah mendapat perawatan dari seorang tabib Mongol, luka yang diderita oleh
Hai Kong Hosiang akibat pukulan Cin Hai telah dapat disembuhkan lagi dalam
beberapa hari. Juga Cin Hai telah sadar dari pingsannya, akan tetapi ia merasa
tubuhnya masih lemah sekali. Ia merasa heran mengapa ia mendapat perawatan
sedemikian baiknya dari Pangeran Vayami dan diam-diam ia merasa bersyukur dan
berterima kasih.
Ketika Hai Kong Hosiang sadar dan melihat
bahwa Cin Hai masih hidup dan berada di tempat itu pula, ia serentak bangun dan
hendak membunuh pemuda itu, akan tetapi Vayami mencegahnya. Hai Kong Hosiang
adalah utusan kaisar yang ditugaskan menghubungi Pangeran Vayami yang
berpengaruh, bahkan ia diberi tugas membawa surat undangan kepada pangeran itu,
maka hwesio ini maklum bahwa Pangeran Vayami adalah seorang yang terhormat dan
yang harus ditaati perintahnya karena pangeran ini adalah calon tamu agung yang
diundang ke istana kaisar.
“Hai Kong Beng-yu, jangan salah paham,” kata
pangeran ini dengan wajah berseri dan senyumnya yang manis. “Bukan aku sengaja
membela dia karena aku membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi aku
membutuhkan tenaga dan kepandaiannya. Ketahuilah bahwa ia telah terkena
pengaruh madu merah dari tabibku dan sebentar lagi ia akan menjadi alat kita
yang boleh dipercaya.”
Hai Kong Hosiang mengangguk-angguk dan ia
batalkan niatnya hendak membunuh pemuda tangguh yang hampir saja menewaskannya
itu. Ia merasa gembira akan muslihat Pangeran Vayami yang cerdik dan licin.
Ternyata di daerah utara terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur
dan ramuan obat yang luar biasa jahatnya dan yang sama sekali tak pernah
dikenal oleh penduduk Tiongkok pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua
yang ahli dalam hal obat-obatan bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang
mengandung racun luar biasa terdapai semacam obat yang disebut madu merah. Madu
merah ini memang madu dari bangsa tawon yang langka terdapat di lain bagian di
dunia, dan hanya terdapat di daerah salju di utara. Madu merah ini bukanlah
racun yang berbahaya bagi tubuh, akan tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan
yang dapat membuat orang menjadi lupa akan keadaan dirinya dan yang diberi
minum madu merah ini akan menjadi manusia penurut yang tak dapat menguasai
pikiran sendiri dan tahunya hanya menjalankan perintah orang lain yang
mempengaruhinya. Kalau sekarang mungkin orang macam ini akan disebut
manusia-manusia robot! Pangeran yang cerdik ini merasa kagum akan kepandaian
Cin Hai, maka diam-diam ia menggunakan obat mujijat ini untuk mencengkeram Cin
Hai, dan memperalatnya!
Cin Hai mendapat perawatan yang luar biasa
telaten dari tabib tua kepercayaan Vayami hingga dengan mudah saja pemuda itu
dapat diberi minum madu merah yang manis rasanya dengan alasan bahwa itu adalah
obat untuk menguatkan tubuhnya. Memang benar, tubuh Cin Hai menjadi kuat
kembali dan luka akibat totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh, akan tetapi ia
merasa makin hari makin malas dan semua hal yang telah terjadi berangsur-angsur
terlupa olehnya. Bahkan ketika telah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai
Kong Hosiang, ia tidak mengenal lagi hwesio ini! Cin Hai hanya merasa senang
luar biasa tinggal di situ dan tidak mempunyai kehendak lain. Biarpun
pikirannya telah dipengaruhi obat mujijat itu, namun tenaga dan kepandaiannya
masih ada padanya. Hanya kepandaiannya dan julukannya saja yang ia masih ingat,
yaitu “Pendekar Bodoh”!
Demikianlah, dengan secara keji sekali,
Pangeran Vayami telah dapat menaklukkan Cin Hai yang semenjak itu telah menjadi
seorang hambanya yang setia dan yang menurut akan segala perintahnya. Ini tidak
mengherankan karena pangeran itu selalu bersikap manis dan baik kepadanya, dan
dengan pengaruh sihirnya yang cukup kuat ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan
dapat mempengaruhi pemuda itu. Selain Pangeran Vayami, tak ada orang lain yang
mampu mempengaruhi pemuda ini, karena betapapun juga pemuda ini mempunyai batin
dan dasar pelajaran yang kuat!
Setelah tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang
sembuh kembali, Vayami lalu membawa rombongannya itu menuju ke selatan, karena
ia hendak memenuhi undangan kaisar yang hendak bersekutu dengannya.
Rombongan ini setelah menyeberang sungai lalu
melanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Pangeran Vayami memiliki seekor kuda
putih yang tinggi besar dan yang mempunyai tenaga luar biasa dan nampaknya
liar. Kuda ini bukanlah binatang sembarangan dan dinamakan “Pek-gin-ma” atau
Kuda Perak Putih yang dapat lari seribu li dalam sehari tanpa berhenti!
Pangeran yang cakap ini nampak gagah sekali naik kuda yang berbulu putih itu,
hingga jubahnya yang berwarna merah darah nampak mencolok sekali. Di sepanjang
jalan pangeran yang tampan ini bersikap gembira dan menyambut penghormatan para
rombongan orang-orang Mongol dengan sikap ramah dan agung. Memang hatinya
sangat gembira dan girang karena kini ia telah mempunyai seorang penjaga
pribadi yang juga menunggang kuda bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya,
yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang memang sudah kelihatan bodoh itu kini
benar-benar nampak bodoh sekali karena tidak menunjukkan perasaan apa-apa
bagaikan seorang sedang duduk di atas kuda sambil mimpi!
Pada suatu hari, rombongan Pangeran Vayami
tiba di sebuah kampung padang rumput dan mereka lalu memasang tenda di padang
rumput, agak di luar kampung. Pada malam harinya, penduduk kampung yang
berpenduduk campuran antara bangsa Han, Mongol dan Mancu, keluar menyambut
Pangeran Vayami untuk menghiburnya. Pangeran ini namanya telah terkenal sekali
dan banyak orang mendewa-dewakannya seperti seorang Buddha hidup dan banyak
orang percaya bahwa siapa yang dapat menyenangkan hatinya atau memancing keluar
senyum bibirnya yang manis, orang itu akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga
ke tujuh! Oleh karena itu, maka semua penduduk, tua muda, laki-laki dan
perempuan, bahkan gadis kampung tidak ketinggalan menyerbu ke tempat
pemberhentian rombongan itu. Mereka menghidangkan hidangan yang lezat-lezat
dari daging domba, bahkan serombongan pemain musik memainkan perkakas mereka
dan memainkan lagu rakyat. Gadis-gadis bergembira ria dan menari di depan
Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan wajah menyatakan bosan. Memang
ia tidak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena gadis-gadis di kampung
utara memang rata-rata berwajah kasar bagaikan laki-laki dan kulit
kehitam-hitaman.
Tiba-tiba, ketika gadis-gadis itu masih
menari-nari, berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di tengah-tengah kalangan
gadis yang sedang menari itu nampak seorang wanita berbaju merah yang
menari-nari pula. Akan tetapi tariannya berbeda dengan tarian para gadis
kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian cantik jelita hingga Pangeran
Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak. Gadis ini tidak saja kulitnya
begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi juga mempunyai potongan
tubuh yang menggiurkan dan gerak-geriknya lemah gemulai menarik hati! Tidak
hanya para pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya mereka lalu mainkan
tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan tetapi juga para gadis yang tengah
menari-nari itu menjadi demikian kagum hingga mereka menghentikan tarian mereka
dan kini berdiri merupakan sederet barisan yang bertepuk-tepuk tangan sambil
tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati tarian Gadis Baju Merah itu.
Tiba-tiba Hai Kong Hosiang berseru di antara
sinar obor yang membuat wajahnya nampak menyeramkan, “Ang I Niocu...!” Dan ia
segera mencabut keluar senjatanya yang mengerikan itu, akan tetapi Vayami yang
duduk di dekatnya segera mengangkat tangan dan berkata,
“Hai Kong Bengyu, jangan sembarangan bergerak.
Biarkan bidadari itu menari!” Ucapan ini merupakan perintah karena pangeran itu
benar-benar tidak suka melihat gangguan Hai Kong Hosiang. Oleh karena ini,
sambil menggigit bibirnya, Hai Kong Hosiang berdiri saja sambil menatap Ang I
Niocu dengan mata merah.
Memang benar, yang datang itu adalah Ang I
Niocu sendiri! Dara Baju Merah ini telah dapat melihat Cin Hai berada dalam
rombongan Pangeran Vayami, akan tetapi karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia
lalu sengaja memancing dengan tariannya. Sambil menari ia mengerling ke arah
Cin Hai akan tetapi alangkah heran, terkejut dan mendongkolnya ketika ia
melihat wajah Cin Hai yang tersorot sinar obor itu menunjukkan seakan-akan
pemuda itu tidak kenal kepadanya dan seakan-akan tariannya yang indah itu dalam
pandangan Cin Hai hanyalah tarian seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada
harganya dipandang.
Dalam kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak
marah, akan tetapi perasaan wanitanya yang halus itu dapat menduga adanya
bahaya yang mengancam. Apalagi ketika ia melihat wajah Hai Kong Hosiang yang
berada di situ pula! Aneh pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri
Hai-ji! Oleh karena ini, ketika ia melihat betapa sepasang mata pangeran muda
itu tertuju kepadanya penuh kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar
pengaruh pangeran itu hingga berani membentak Hai Kong Hosiang, ia lalu menari
lebih indah pula untuk membuat pangeran itu benar-benar mabok!
Pangeran Vayami memang mempunyai kelemahan
terhadap wanita cantik. Setiap hari dia melihat wanita-wanita yang buruk rupa,
maka sekali ini Ang I Niocu yang demikian cantik jelita dan demikian indah
tariannya, tak heran apabila ia menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu
menghentikan tariannya, pangeran itu bertepuk-tepuk tangan dan memuji,
“Bagus, bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang
cantik seperti bidadari, silakan kau datang ke mari!”
Dengan tindakan kaki yang menarik-narik kalbu
Pangeran Vayami, Ang I Niocu menghampiri pangeran itu, sedangkan Hai Kong
Hosiang berdiri di belakang pangeran itu bersiap sedia dengan hati curiga.
Ang I Niocu menjura dan memberi hormat dengan
senyum manis bermain di bibirnya yang merah,
“Nona, kau yang luar biasa ini siapakah
namamu? Dan di mana tempat tinggalmu?”
“Sudah kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I
Niocu yang tersohor namanya!” kata Hai Kong Hosiang. “Gadis ini berbahaya
sekali!”
Akan tetapi baik Pangeran Vayami maupun Ang I
Niocu tidak mempedulikan ucapan pendeta itu, dan Ang I Niocu menjawab dengan
suaranya yang merdu, “Hamba bernama Kiang Im Giok dan tempat tinggal hamba
tidak tentu karena sebenarnya hamba adalah seorang perantau.”
“Ah, kau membawa-bawa pedang, tentu kau
seorang kang-ouw juga bukan? Kebetulan sekali, aku pun suka kepada orang-orang
gagah dan maukah kau ikut dengan rombonganku?”
“Pangeran sungguh berbudi mulia dan hamba
hanya mohon berkah dari Pangeran yang suci ini.”
Mendengar ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi
ragu-ragu. Benarkah gadis yang gagah ini pun percaya dan tunduk kepada pangeran
ini? Sementara itu, Ang I Niocu mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah
kagetnya ketika melihat wajah Cin Hai yang seperti mayat itu. Maka dengan hati
berdebar-debar ia lalu berkata pula,
“Hamba telah kenal dengan Hai Kong Hosiang
yang berdiri di belakang Paduka itu, bahkan hamba pernah kenal dengan pemuda
ini. Mengapa mereka berdua berada dalam rombongan Paduka?” tanyanya dengan
hati-hati sambil menunjuk kepada Cin Hai yang sama sekali tidak memperhatikan
percakapan itu.
“Ha, ha, ha! Tak heran kau kenal mereka,
karena mereka adalah tokoh besar di kalangan kang-ouw. Hai Kong Hosiang tuan
rumahku yang mengantar aku berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah
penjagaku yang setia. Ha, ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak perlu
kita membicarakan orang-orang ini.”
“Hamba hanya menurut kehendak Paduka,” kata
Ang I Niocu sambil tersenyum.
Dengan suara lantang Pangeran Vayami lalu
membubarkan semua orang dan memberi berkah dengan kedua tangan
dilambai-lambaikan kemudian dengan berani sekali ia memegang tangan Ang I Niocu
yang halus lemas dan menggandeng gadis itu menuju ke kemahnya, pangeran ini
lalu memerintahkan kepada para pelayannya untuk menyediakan meja perjamuan dan
ia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan gembira.
Dengan menggunakan senyum dan kerlingnya yang
menawan hati, Ang I Niocu berhasil memancing Pangeran Vayami untuk menceritakan
pengalaman Cin Hai. Pengaruh arak telah membuat lidah pangeran itu menjadi
fasih dan ia menceritakan sambil diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang
I Niocu.
Bukan main marahnya Gadis Baju Merah ini
mendengar bahwa Cin Hai telah berada dalam pangaruh madu merah yang berbahaya.
Tiba-tiba ia menendang meja yang berada di depannya dan sekali ia bergerak, ia
telah menangkap tangan Pangeran Vayami dan menempelkan pedangnya di leher
pangeran itu. Pangeran Vayami menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar, kedua
kakinya menjadi lemas.
“Ang I Niocu penjahat perempuan! Sudah kuduga
engkau mempunyai niat buruk!” tiba-tiba terdengar bentakan di luar tenda.
“Mundur, atau leher pangeran cabul ini akan
kupenggal lebih dulu!” Ang I Niocu membentak. Terpaksa sambil memaki-maki Hai
Kong Hosiang mundur lagi dan keluar dari kemah.
“Lekas kau perintahkan supaya kuda Pek-gin-ma
dibawa ke sini!” Ang I Niocu memerintah sambil memutar lengan Pangeran Vayami.
Pangeran ini merasa kesakitan dan dengan suara megap-megap ia perintahkan
orangnya untuk membawa kuda Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah
itu didatangkan, Ang I Niocu memerintah pula,
“Sekarang kaupanggil Cin Hai ke sini!”
Cin Hai takkan mau datang kalau lain orang
yang memanggil, maka setelah Pangeran Vayami memberitahukan hal ini kepada Ang
I Niocu, gadis itu lalu memaksa dan mendorongnya keluar untuk mencari Cin Hai.
Kebetulan sekali, Cin Hai tidak berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di
dekat api unggun sambil termenung,
“Cin Hai, kau ke sini!” Pangeran Vayami
memerintah dan bagaikan sebuah robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri
Pangeran Vayami. Hati Ang I Niocu perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian
rupa.
Sementara itu dengan bantuan sinar obor dan
api unggun, Pangeran Vayami memandang dan menatap mata Cin Hai dengan tajam dan
diam-diam ia mengerahkan tenaga sihirnya hingga pada saat itu Cin Hai menjadi
tunduk betul-betul dan berada di bawah pengaruhnya sama sekali.
Melihat Hai Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu
membentak, “Kau berdiri jauh di sana, kalau tidak aku takkan ampunkan
Pangeranmu ini!” Terpaksa dengan mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur
dan berdiri agak jauh sambil memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa
kepandaian Ang I Niocu tak boleh dibuat gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah
untuk menolong jiwa pangeran yang telah berada di bawah ancaman pedang.
Dengan tangan kanan masih memegang pedang dan
ditodongkan kepada Pangeran Vayami, Ang I Niocu melepaskan pegangan tangan
kirinya dan kini ia menggunakan tangannya untuk memegang lengan Cin Hai. Akan
tetapi, Cin Hai sama sekati tidak mempedulikannya dan tetap memandang kepada
Pangeran Vayami bagaikan seekor anjing memandang kepada tuannya, siap menanti
perintah. Tiba-tiba Pangeran Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya,
“Tangkap wanita ini!” Memang ia telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya
dalam bahasa Mongol. Ang I Niocu sama sekali tidak mengerti bahasa itu.
Mendengar perintah ini, tiba-tiba Cin Hai
bergerak dan tahu-tahu ia telah memeluk Ang I Niocu dan sebelah tangannya
memegang pergelangan tangan gadis itu yang memegang pedang. Ang I Niocu tak
dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang keras ini, maka gadis ini hanya dapat
mengeluh,
“Hai-ji... aduh, Hai-ji...”
Aneh sekali, panggilan yang dikeluarkan oleh
suara Ang I Niocu ini menusuk telinga dan menembus hati Cin Hai. Pada saat itu
ia merasa seperti mendengar suara dari surga yang amat dikenalnya, suara yang
membangunkannya dari alam mimpi membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang
harus ditaatinya. Ini tidak aneh, karena dulu ketika ia masih kecil, memang
suara panggilan yang keluar dari mulut Ang I Niocu dan yang biasa menyebut
“Hai-ji” atau anak Hai inilah yang selalu berkumandang di dalam telinganya dan
yang selalu dikenangnya sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan
hati di dunia ini. Maka kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di
hatinya ini tak mudah terhapus oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.
Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya dan
memandang kepada Ang I Niocu dengan bingung, tak tahu harus berbuat apa.
“Cin Hai tangkaplah wanita ini!” Sekali lagi
Pangeran Vayami berseru, akan tetapi Ang I Niocu segera berkata,
“Hai-ji, mari kau ikut aku!”
Ternyata suara Ang I Niocu lebih kuat
mempengaruhi jiwa Cin Hai hingga sekarang ia betul-betul berada di bawah
pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah membayangkan kegembiraan, pemuda itu
mengikuti Ang I Niocu. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara angin menyambar,
dan Ang I Niocu berteriak,
“Hai-ji, mari kita binasakan hwesio binatang
ini!”
Oleh karena tadinya pemuda ini taat sekali
kepada Pangeran Vayami, maka Pangeran Vayami tidak merampas pedang
Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka kini mendengar perintah Ang I Niocu,
Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis serbuan Hai Kong Hosiang! Ang I Niocu
membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang berkelahi sambil mundur karena
menghadapi keroyokan dua orang ini, ia merasa jerih! Ia maklum sepenuhnya bahwa
jika dilanjutkan, ia takkan menang menghadapi Cin Hai dan Ang I Niocu.
Kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu
untuk membetot tangan Cin Hai ke arah kuda Pek-gin-ma yang masih berdiri di
situ dan kendalinya dipegang oleh seorang pelayan pangeran. Pangeran Vayami tak
berani menghalangi karena ia maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak berani
menghadapi dua orang ini, apa lagi dia!
“Hai-ji, kau naik di belakang dan kau
mempertahankan setiap serangan!” kata lagi Ang I Niocu yang lalu melompat ke
atas kuda itu. Cin Hai pun hanya menurut dan naik di belakang Ang I Niocu!
Gadis itu menggunakan kakinya untuk menendang roboh pelayan yang memegang
kendali dan ia lalu menarik kendali kuda Pek-gin-ma itu yang segera meringkik
keras, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke atas, lalu berlari secepat
angin! Hai Kong Hosiang sambil menyumpah-nyumpah mengayunkan tiga batang piauw
beracun ke arah mereka, akan tetapi dengan kebutan lengan bajunya, Cin Hai
berhasil menyampok ketiga batang piauw itu ke tanah.
Malam itu terang bulan dan kuda Pek-gin-ma
yang berbulu putih itu berlari cepat. Bulunya mengkilap tertimpa sinar bulan
hingga ia benar-benar merupakan kuda yang mempunyai bulu bagaikan perak tulen!
Ang I Niocu mencabut saputangannya yang digulung merupakan cambuk dan ia
membujuk kuda Pek-gin-ma dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat
berlari lebih cepat lagi. Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari
keras sekali seakan-akan keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah!
Sementara itu, Cin Hai duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan
sebuah boneka besar yang duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!
“Hai-ji... Hai-ji... kau kenapakah...?”
berkali-kali Ang I Niocu bertanya sambil menoleh dan khawatir melihat sikap Cin
Hai yang sudah berubah menjadi manusia robot itu!
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab apa-apa,
hanya termenung memandang bulan. Tiba-tiba ia menjawab juga,
“Aku Pendekar Bodoh dan kau... kau...
sahabatku yang harus kubela!” Hanya demikian ia menjawab dan selanjutnya ia tak
dapat memikir apa-apa lagi.
Sebetulnya bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau
Dara Baju Merah yang gagah perkasa itu dapat tiba-tiba muncul di daerah utara
ini dan kebetulan sekali dapat menolong Cin Hai? Untuk dapat mengetahui hal
ini, baiklah kita menengok sebentar pengalamannya semenjak ia melarikan diri
dengan Lin Lin dari keluarga Kwee.
Semenjak Ang I Niocu datang ke rumahnya, Lin
Lin merasa tertarik dan suka sekali kepada Nona Baju Merah ini hingga ia
mengajak Ang I Niocu tidur di kamarnya. Dan di dalam kamarnya, dengan terus
terang ia mengeluarkan isi hatinya, dan menuturkan betapa ia dan Cin Hai telah
saling mencinta. Ia menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu
lagi, tidak tahu sama sekali betapa kata-katanya semua itu merupakan sebuah
senjata yang lebih tajam daripada sebuah pedang pusaka yang menusuk-nusuk hati
dan perasaan Ang I Niocu.
Akhirnya Lin Lin berkata sambil merangkul Ang
I Niocu dan menangis,
“Cici yang baik, bayangkan betapa sedih hatiku
ketika Engko Hai pergi meninggalkanku untuk membalas dendam ini. Selain merasa
kecewa, aku pun merasa khawatir sekali akan keselamatannya. Bagaimana kalau ia
sampai menemui bahaya? Kalau aku boleh ikut, biar kami berdua menghadapi bahaya
maut dan sampai terbinasa sekalipun, aku merasa puas dan dapat mati dengan mata
meram!”
Ketika Lin Lin tidak mendengar Ang I Niocu
menjawab, ia memandang dan melihat bahwa Nona Baju Merah itu pun menangis
dengan sedihnya sehingga ia terisak-isak, Lin Lin menyangka bahwa Nona Baju
Merah ini ikut merasa sedih dan terharu, maka ia lalu berbalik menghibur.
“Cici, kalau engkau sudi membawaku mengejar
Hai-ko dan An-ko! Setidaknya kita akan dapat membantu mereka bukan? Apalagi
dengan adanya kau yang lihai, aku takkan takut menghadapi siapapun juga.”
Karena bujukan-bujukan ini, akhirnya Ang I
Niocu tak kuasa menahan lagi dan demikianlah, dengan diam-diam mereka pada
malam hari itu juga melarikan diri untuk menyusul Cin Hai dan Kwee An! Ang I
Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis ini terhadap Cin Hai besar sekali, dan
kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin Lin, sudah menjadi tugasnya untuk
menemukan mereka kembali. Bukankah ia mencinta kepada Cin Hai dengan sepenuh
jiwanya? Cintanya bukan terdorong nafsu, akan tetapi ia betul-betul ingin
melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita yang dicintainya, dan
menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis pilihan Cin Hai.
Ang I Niocu yang telah berpengalaman itu
dengan mudah dapat menduga bahwa Cin Hai dan Kwee An tentu menuju ke kota raja
untuk mencari musuh-musuh besar itu, maka ia pun langsung mengajak Lin Lin
menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan tiada bosannya ia memberi petunjuk ilmu
silat kepada Lin Lin, bahkan memberi tahu tentang rahasia latihan lweekang yang
lebih tinggi.
Ketika mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu
mendengar tentang penyerbuan Cin Hai dan Kwee An, dan tentang terbunuhnya empat
orang dari Santung Ngohiap dan dua orang perwira lain. Lin Lin mengucurkan air
mata karena merasa girang dan terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh
besarnya, yaitu Hai Kong Hosiang dan Boan Sip masih belum terbalas dan kedua
pemuda itu mengejar mereka ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu
untuk mengejar ke utara. Ang I Niocu menyetujui pula dan begitulah mereka pada
keesokan harinya melakukan pengejaran ke utara. Mereka tertinggal tujuh hari
oleh Kwee An dan Cin Hai.
Pada suatu hari mereka tiba di pinggir Sungai
Liong-kiang dan melihat dua orang sedang dikeroyok oleh sekumpulan perwira
kerajaan. Dua orang ini bukan lain ialah Nelayan Cengeng dan muridnya, yaitu Ma
Hoa atau gadis puteri Ma Keng In yang berpakaian laki-laki. Yang mengeroyok
adalah tujuh orang perwira dan seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio
ini bukan lain ialah Beng Kong Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang
pernah roboh di tangan Cin Hai.
Beng Kong Hosiang dan tujuh orang perwira itu
mendapat tahu bahwa kedua orang pemuda yang mengacau di Enghiong-koan telah
mengejar ke utara, maka mereka merasa kuatir akan keselamatan Hai Kong Hosiang
lalu melakukan pengejaran pula. Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat
sebuah perahu kecil di mana duduk seorang tua yang berpakaian nelayan dan
seorang pemuda tampan. Biarpun para perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai
seorang perwira, akan tetapi mereka tidak mengenal Ma Hoa yang berpakaian
laki-laki, dan mereka menyangka bahwa pemuda ini tentulah seorang nelayan pula.
Beng Kong Hosiang melihat sikap nelayan yang
memandang acuh tak acuh itu, dapat menduga bahwa orang tua itu tentulah seorang
kang-ouw yang berkepandaian, maka setelah menjura ia berkata,
“He, kawan nelayan tua, tolonglah kami
menyeberang sungai ini dengan perahumu, berapa saja upahnya yang kauminta,
tentu pinceng bayar lunas!”
Nelayan Cengeng tertawa haha-hihi mendengar
ucapan ini, kemudian menatap mereka baik-baik, ia lalu menjawab,
“Hwesio yang bercampur gaul dengan segala
perwira kerajaan, permintaanmu ini pantas sekali. Akan tetapi jawablah dulu.
Kalian delapan orang dari istana ini hendak menuju ke manakah?”
Melihat sikap pelayan yang sama sekali tidak
menghormati mereka, Ben Kong Hosiang yang menyangka bahwa nelayan itu tentu
tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka ia lalu menjawab, “Nelayan tua,
ketahuilah, bahwa pinceng adalah Beng Kong Hosiang yang menjadi kepala penjaga
dari kelenteng di istana dan menjadi penasehat dari kaisar sendiri. Maka
janganlah kau banyak bertanya dan seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun
ini.”
Mendengar nama ini, terkesiaplah hati Nelayan
Cengeng dan Ma Hoa. Mereka telah mendengar dari Kwee An bahwa hwesio ini adalah
suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah bertempur dengan kedua pemuda itu,
maka mereka dapat menduga bahwa rombongan ini tentulah mengejar Cin Hai dan
Kwee An yang telah melanjutkan perjalanan pada beberapa hari yang lalu.
“Beng Kong Hosiang, kalau kau tidak memberi
tahu maksud kepergianmu ke utara ini, terpaksa aku menolak untuk menyeberangkan
kalian.”
Seorang perwira yang berangasan menjadi marah
dan membentak,
“He, tua bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau
sedang berhadapan dengan perwira-perwira kaisar? Apa kau ingin mampus? Hayo,
seberangkan kami dan jangan banyak tingkah lagi!”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar
kekasaran ini, lalu menjawab,
“Perahu ini adalah perahuku, dan hanya aku
yang berhak menentukan, apakah kalian boleh atau tidak memakai perahu ini.
Sekarang aku katakan tidak boleh dan kalau kalian hendak menyeberang, gunakan
saja lain perahu!”
Melihat sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat
menduga bahwa nelayan tua itu tentu bukan orang sembarangan. Kalau saja di situ
terdapat lain perahu tentu ia tidak akan melayani lagi, akan tetapi di situ
tidak ada lain perahu dan perahu kecil nelayan itu hanyalah satu-satunya yang
ada. Maka ia lalu berkata dengan suara halus,
“Sahabat, mungkin karena kita belum
berkenalan, maka kau tidak sudi menolong. Bolehkah pinceng mengetahui namamu
yang mulia?”
Melihat sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan
Cengeng tertawa geli sekali hingga kedua matanya keluar air mata.
“Ha, ha, ha! Ternyata Beng Kong Hosiang dapat
juga merendahkan diri. Sungguh lucu! Ketahuilah aku adalah seorang nelayan tua
yang malang-melintang disungai ini untuk mencari ikan. Aku lebih suka
berdekatan dengan ikan-ikan dari pada dengan segala perwira tukang pukul dan
aku lebih tidak suka pula melihat hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang
pukul itu, karena hwesio demikian ini tentu bukan hwesio baik-baik!”
Bukan main marahnya ketujuh perwira itu
mendengar makian ini, akan tetapi Beng Kong Hosiang dapat mengendalikan
perasaannya dan ia segera bertanya dengan heran, “Apakah kau ini Si Nelayan
Cengeng?”
“Ha, ha, aku tertawa atau menangis menurut
keadaan dan waktuku, apa sangkutannya dengan kau?” jawab Nelayan Cengeng itu.
Jawaban yang tidak karuan ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia
pernah mendengar bahwa Nelayan Cengeng adalah seorang aneh yang kadang-kadang
membawa tingkah seperti orang gila.
Sementara itu, ketujuh perwira yang telah
mencabut senjata, lalu mendekat ke pinggir perahu dan membentak, “Orang tua kau
lekas keluar dari perahu dan berikan perahurnu kepada kami untuk dipakai menyeberang
dan jangan banyak cakap lagi!”
Ma Hoa semenjak tadi menahan marahnya, kini ia
pun melompat keluar dari perahu ke darat dan menghunus pedangnya. Ketujuh
perwira itu menyerbu kepada Ma Hoa dan segera pemuda itu terkurung rapat.
Nelayan Cengeng tertawa bergelak dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah
menghadapi Beng Kong Hosiang. Pendeta ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya
dan ia segera menerjang dengan senjatanya yang aneh yaitu sebatang pacul.
Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah hebatnya, yaitu
sebatang dayung yang terbuat daripada kayu hitam dan keras.
Kepandaian Nelayan Cengeng memang sangat
tinggi dan tenaganya besar, maka sebentar saja Beng Kong Hosiang sangat
terdesak oleh gerakan dayung yang mengamuk bagaikan seekor naga sakti
menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka dua orang perwira lalu membantunya
dan yang lima orang lain masih saja mengeroyok Ma Hoa segera terdesak hebat dan
keadaannya berbahaya sekali. Nelayan Cengeng biarpun tidak terdesak akan tetapi
ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang cukup hebat itu disertai bantuan dua orang
perwira yang terpandai membuat ia tidak dapat membantu muridnya yang terdesak.
Dan pada saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin
tiba di tempat itu. Ketika Ang I Niocu melihat bahwa yang mengeroyok nelayan
tua dan pemuda cakap itu adalah rombongan perwira istana dan seorang hwesio
yang tangguh, tanpa bertanya ia telah dapat memilih pihaknya. Ia lalu berbisik
kepada Lin Lin, “Kaubantulah pemuda itu!” Kemudian sambil mencabut pedangnya, Ang
I Niocu melompat dan menjadi sebuah sinar merah yang cepat sekali menggempur
Beng Kong Hosiang dari samping sambil dibarengi teriakannya, “Hwesio penjilat
kaisar, jangan kau menjual kesombongan di sini!” Pedang Ang I Niocu
berkelebat-kelebat membuat Beng Kong Hosiang terkejut sekali.
Baik Beng Kong Hosiang, maupun Nelayan Cengeng
pernah mendengar nama Ang I Niocu, maka kini melihat seorang wanita cantik
jelita yang berpakaian merah datang menyerbu dengan kepandaian yang demikian
tinggi dan indah gerakannya segera mereka dapat menduga siapa adanya gadis ini.
Beng Kong Hosiang mengertak gigi dan memperkuat gerakannya karena maklum bahwa
ia menghadapi bantuan seorang yang tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu
tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha, ha, Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau
berangkat dari kelentengmu, engkau belum mencuci tubuh hingga tertimpa
kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!” Sambil berkata demikian ia mendesak
hebat dengan dayungnya!
Ilmu pedang Ang I Niocu memang sudah hebat sekali.
Apalagi kalau yang menghadapinya belum pernah melihat atau mengenal ilmu
pedangnya, maka kehebatan itu akan menjadi makin mengerikan. Baru beberapa
puluh jurus saja, ia dapat mendesak dua orang perwira yang mengeroyok Nelayan
Cengeng dan akhirnya dengan tipu gerakan Bidadari Menyebar Bunga ia berhasil
melukai tangan mereka hingga senjata mereka berdua terlepas dari pegangan!
Kedua perwira ini berteriak kesakitan dan melompat mundur. Dan pada saat itu
juga, Nelayan Cengeng juga telah berhasil menghantamkan dayungnya yang mengenai
paha Beng Kong Hosiang. Hwesio itu terhuyung-huyung dan Nelayan Cengeng sambil
tertawa-tawa mendupak pantatnya hingga hwesio itu menggelundung dan masuk ke
dalam sungai!
“Ha, ha, mandilah! Mandilah biar bersih!”
Nelayan Cengeng berkata sambil tertawa geli!
Lin Lin juga tidak mau tinggal diam. Dara muda
ini ketika melihat betapa pemuda yang tampan dan memiliki ilmu pedang lumayan
juga sedang dikeroyok oleh lima orang perwira yang berkepandaian tinggi hingga
keadaannya terdesak dan berbahaya sekali, lalu menyerbu dengan pedang pendeknya
yang lihai berputar-putar di tangannya! Tadinya memang Lin Lin telah memiliki
ilmu pedang yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I Niocu yang
diberikan kepadanya, kini kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan pedang
pendeknya lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan seorang
pengeroyok. Sebaliknya Ma Hoa ketika melihat seorang gadis manis menyerbu dan
membantunya, menjadi girang sekali dan sekarang timbullah semangatnya. Gadis
yang berpakaian sebagai laki-laki ini lalu membentak nyaring dan pedangnya
membuat gerakan kilat hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!
“Adikku yang manis! Terima kasih atas
bantuanmu!” Ma Hoa berseru dar mengerling ke arah Lin Lin sambil memutar
pedangnya menyerang terus. Lin Lin kaget dan marah mendengar ini, karena ia
menganggap bahwa “pemuda” ini sungguh kurang ajar hingga mukanya berubah merah
karena malu dan marah.
Sementara itu, para perwira ketika melihat
datangnya dua orang gadis kosen ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang telah
dikalahkan, dan dilempar ke dalam sungai, menjadi takut dan jerih. Mereka lalu
membalikkan tubuh dan melarikan diri secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang
yang melarikan diri terlebih dulu!
Nelayan Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan
membiarkan semua perwira itu lari, bahkan yang terluka lalu merangkak-rangkak
dan pergi tanpa diganggu sedikit pun.
“Ha, ha, Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau
tahu lihainya dayung butut Nelayan Cengeng!!” berseru nelayan tua itu dengan
tertawa geli sampai kedua matanya mengeluarkan air mata.
Mendengar nama ini, Ang I Niocu terkejut
sekali dan ia buru-buru memberi hormat. “Ah, tidak tahunya Cianpwe adalah Kong
Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng! Terimalah hormat dari aku yang muda!”
Kembali Nelayan Cengeng tertawa senang.
“Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu bukan kosong belaka. Ilmu pedangmu sungguh
membuat aku orang tua merasa kagum sekali!”
Sementara itu melihat betapa Lin Lin
memandangnya dengan mata tajam dan mulut cemberut, Ma Hoa tertawa dan berkata
kepadanya, “Adik yang manis, ilmu pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?”
Kini Lin Lin tak dapat menahan marahnya lagi
karena ia menganggap pemuda ini terlalu kurang ajar! Ia belum pernah mendengar
nama Nelayan Cengeng maka ia tidak berapa menaruh perhatian pada kakek itu, dan
sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia berkata,
“Kau janganlah membuka mulut sembarangan dan
berlaku kurang ajar! Kau kira aku ini siapakah maka kau berani bertanya
sembarangan saja?”
Lin Lin menjadi makin terheran dan marah
ketika melihat “pemuda” itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak dan nyaring.
Akan tetapi anehnya, ketika tertawa “pemuda” ini menggunakan ujung lengan
bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan suaranya juga nyaring dan merdu
seperti suara ketawa seorang wanita! Selagi ia berdiri memandang dengan mata
heran tercampur marah, tiba-tiba Nelayan Cengeng juga tertawa dan berkata,
“Nona, dia ini adalah muridku dan bernama Ma
Hoa! Memang seorang pemuda ceriwis yang layak dipukul! Ha, ha, ha!”
“Suhu, jangan membikin Nona ini menjadi makin
marah! Lihat, mukanya sudah menjadi merah dan mulutnya cemberut menambah
manisnya!” kata Ma Hoa. Lin Lin menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia
menggerakkan tangan yang hendak menampar mulut “pemuda” itu, tiba-tiba Ang I
Niocu yang bermata tajam sambil tersenyum berkata kepadanya,
“Adik Lin Lin, mengapa kau begitu bodoh?
Pemuda ini adalah seorang wanita! Apakah kau tak dapat menduganya?”
Lin Lin terkejut dan memandang dengan tajam
sedangkan Ma Hoa lalu melepaskan kupiahnya hingga rambutnya yang hitam dan
panjang itu terurai ke bawah menutupi pundaknya. Kini “pemuda” itu berubah
menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan yang sedang tertawa manis
kepadanya. Lin Lin juga tertawa dan mukanya menjadi makin merah karena malu
akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.
“Adikku yang manis, maafkanlah aku yang
menggodamu. Entah mengapa, melihat kau semanis ini, aku menjadi suka sekali!
Siapakah namamu, Adik yang manis?” tanyanya.
“Enci, kau benar-benar nakal sekali! Siapa
yang menyangka engkau bukan seorang pemuda aseli? Namaku adalah Kwee Lin.”
Sepasang mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar
mendengar ini. “Apa? Engkau she Kwee? Eh, Adik, kenalkah engkau kepada seorang
pemuda bernama... Kwee An?”
Lin Lin menangkap tangan Ma Hoa dan memegang
tangan itu erat-erat. “Enci Hoa, apakah engkau bertemu dia? Dia adalah kakakku
dan sekarang aku sedang mencari dia!”
“Ha, ha, ha!” Si Nelayan Cengeng tertawa
bergelak. “Ini namanya kebetulan sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi tidak membantu
orang lain oleh karena yang kaubantu itu adalah calon Soso (Kakak iparmu)
sendiri!”
Lin Lin tercengang dan memandang kepada wajah
Ma Hoa yang menunduk kemalu-maluan. “Betulkah ini, Enci Hoa?”
Ma Hoa tak dapat menjawab, hanya tertunduk
sambil memegang-megang pedang yang tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin
mengenali pedang Kwee An dan ia segera memeluk Ma Hoa dengan girang sekali.
“Ah, benar engkau telah menerima pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Eh,
calon ensoku yaqg baik, sekarang beritahukanlah kepadaku di mana adanya calon
suamimu itu?”
Ma Hoa mengerling dan cemberut. “Kau nakal
sekali, Adik Lin! Kalau kau tidak mau berhenti menggodaku aku takkan mau
memberitahukan di mana dia sekarang berada!”
Sementara itu, Ang I Niocu juga merasa girang
sekali mendengar bahwa benar-benar Cin Hai dan Kwee An telah di sini dan bahkan
Kwee An telah mengikat perjodohan dengan gadis murid Nelayan Cengeng yang
cantik dan gagah itu.
Nelayan Cengeng lalu menuturkan kepada Ang I
Niocu dan Lin Lin akan pengalaman mereka dan pertemuan mereka dengan Cin Hai
dan Kwee An beberapa waktu yang lalu. Mereka memberitahukan bahwa kedua anak
muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke utara dalam usaha mereka
mencari dan mengejar Hai Kong Hosiang.
Dalam kegembiraan mereka karena pertemuan ini,
baik Nelayan Cengeng dan muridnya, maupun Ang I Niocu dan Lin Lin telah kurang
hati-hati dan mereka tidak tahu bahwa di pinggir sungai masih ada seorang
perwira yang tadi terpelanting ke dalam sungai dan kini bersembunyi di dalam
air sambil mengeluarkan kepala dari permukaan air yang disembunyikan di bawah
rumput alang-alang. Perwira ini mendengar semua percakapan mereka dan alangkah
kaget, heran dan marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa “pemuda” itu adalah
Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng In yang ia kenal baik!
Ang I Niocu dan Lin Lin tidak menunda
perjalanan mereka dan segera berpamit untuk melanjutkan penyusulan mereka
kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di dalam hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan
tetapi ia malu untuk menyatakan hal ini dan pula ia khawatir kalau-kalau ia
dikenal oleh para perwira hingga kedudukan ayahnya sebagai seorang perwira akan
terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan kedua orang gadis pendekar itu pergi
dengan hati berat.
Setelah semua orang pergi, perwira yang
bersembunyi itu lalu merangkak keluar dan segera lari menuju kembali ke kota
raja untuk membuat laporan. Beng Kong Hosiang yang merasa malu dan marah sekali
karena kekalahannya, lalu mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera
mengejar terus ke utara!
Pertemuan dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa
itu membuat Ang I Niocu dan Lin Lin merasa girang sekali, oleh karena tidak
saja mereka girang mendengar bahwa Kwee An telah mendapat jodoh seorang gadis
yang cantik dan gagah, juga mereka kini telah dapat mengikuti jejak kedua
pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk ikut membalas dendam kepada Hai Kong
Hosiang!
Dua hari kemudian, ketika dua orang gadis
pendekar ini sedang berjalan di tempat yang sunyi dari depan mereka melihat dua
orang berjalan cepat mendatangi. Gerakan kedua orang dari depan itu demikian
cepat hingga Ang I Niocu dan Lin Lin maklum bahwa mereka tentulah orang-orang
berkepandaian tinggi. Dan setelah dekat ternyata bahwa dua orang itu adalah Boan
Sip, perwira musuh besar keluarga Kwee dan seorang tua yang kelihatan pucat dan
berjubah hitam, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kejam.
Ternyata bahwa Boan Sip adalah seorang perwira
yang selain cerdik, juga berwatak pengecut sekali. Ketika ia mendengar bahwa
kawan-kawannya telah tewas di dalam tangan anak-anak muda yang membalas dendam
keluarga Kwee, ia lalu cepat-cepat pergi mengunjungi suhunya, yaitu Bo Lang
Hwesio. Dengan pandai Boan Sip dapat membujuk suhunya untuk membela dirinya dari
ancaman musuh-musuhnya. Dan kebetulan sekali, ketika mereka sedang berjalan
menuju ke kota raja, di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu dan Lin
Lin.
Melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip menjadi
girang sekali dan sebaliknya Lin Lin juga girang oleh karena tak
disangka-sangkanya ia dapat bertemu dengan musuh besarnya di tempat itu.
“Bangsat rendah, akhirnya dapat juga aku
membalas dendamku!” teriak Lin Lin sambil mencabut keluar pedangnya dan
melompat lalu menyerang Boan Sip dengan sengitnya. Boan Sip tertawa besar dan
menggunakan pedangnya menangkis sehingga sebentar saja mereka bertempur dengan
seru dan hebat.
Sementara itu, karena menyangka bahwa hwesio
ini bukan lain tentulah kawan Boan Sip, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya
dan menyerang Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, Dara Baju Merah ini terkejut sekali
ketika pedangnya dengan mudah ditangkis oleh ujung lengan baju hwesio itu! Ia
berlaku hati-hati sekali oleh karena maklum bahwa hwesio ini berkepandaian
tinggi. Sebaliknya melihat gerakan pedang Ang I Niocu yang lain daripada pedang
biasa, Bo Lang Hwesio juga merasa kagum dan membentak,
“Nona yang gagah siapakah namamu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar