Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 01 Februari 2016

PENDEKAR BODOH KPH3 101 -200


SAMBUNGAN.....


adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”

 Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud suhunya ini dan semenjak berlatih ilmu di dalam Gua Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup. Kini ia tahu akan maksud suhunya yang dulu memperingatkan bahaya yang akan ada dalam perhubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu adalah “cinta” yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua dari padanya. Kalau dara itu sampai tergoda cinta kepadanya sedangkan perjodohan di antara mereka tidak dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa dan derita bagi Ang I Niocu?

  

 Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu akan tetapi perasaannya ini hanyalah perasaan kasih seorang adik kepada kakaknya, atau kalau mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati iba terhadap Ang I Niocu.

 Pernah ia bertanya kepada suhunya akan segala peristiwa yang terjadi di Gua Tengkorak itu dan mengapa banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan menceritakan seperti berikut,

 “Gua ini dulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika Raja Hian Tiong mengangkat seorang Tartar bernama An Lu San menjadi panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang menguasai tentara. Akan tetapi nasihatnya tidak dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya, setelah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan sejumlah tentara lima belas laksa orang dan memukul ke selatan! Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja, hingga dengan mudah barisan kerajaan dapat dimusnahkan oleh An Lu San dan kaisar sendiri lalu mengungsi ke Secuan. Ibu kota lalu diduduki oleh An Lu San semenjak itu. Di mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.

 Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri karena ia dicari-cari oleh An Lu San untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh dan hanya ia sendiri yang dapat melarikan diri ke daerah ini.

 Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang tinggi. Setelah menemukan gua ini dan memperbaikinya hingga menjadi sebuah tempat tinggal yang besar dan aman, ia lalu mengumpulkan tulang-tulang binatang besar yang banyak terdapat di gua ini, peninggalan dari jaman purba, lalu dengan kepandaiannya ia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu! Jangan dikira bahwa itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang binatang yang diukir dan dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini dapat dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!


 Dalam pelariannya, Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga dari dalam istana, karena ia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka An Lu San mencari-cari menteri yang setia itu. Akan tetapi ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan di dalam gua, tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki gua dan Lu Pin selamat dan tinggal di sini sampai datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia dikubur dibawah hiolouw itu.

 Kemudian, hal ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini. Akan tetapi mereka tidak menyangka bahwa di dalam gua ini terlebih dahulu telah tinggal seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin hingga usaha mereka gagal!”

 Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan heran. “Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib malang itu?”

 Bu Pun Su tersenyum. “Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau bukan Suhumu sendiri?”

 Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu?

 “Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu San. Yang tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan inilah barang itu!”

 Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biarpun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilau dan sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu Liong Coan. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka Kerajaan Tang itu.

 “Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”

 “Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang ini hanya menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”

 Bu Pun Su tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasihatku. Akan tetapi, sebenarnya bukan pedanglah yang harus dipersalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau baik hanyalah terjadi karena akibat daripada perbuatan orang dan hanyalah merupakan pandangan seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka ia menjadi pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!” Setelah Cin Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, “Sekarang sudah waktunya kau pergi meninggalkan gua ini, Cin Hai. Ingat baik-baik semua pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir : Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Kalau terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang telah mengkhianati bangsa sendiri. Terhadap mereka ini pun kalau kiranya masih ada jalan lain, jangan kau sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”

 Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan gua di mana telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.

  

 Ketika meninggalkan Gua Tengkorak, suhunya telah memberinya sekantung emas murni hingga Cin Hai tidak kuatir tentang biaya perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an menemui ie-ienya. Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thionya, yaitu Kwee-ciangkun, namun ia tidak dapat melupakan ie-ienya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhunya, hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang dikasihinya.

 Beberapa pekan kemudian tibalah ia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari ketika ia sedang berjalan dalam sebuah hutan pohon pek yang indah, tiba-tiba ia mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan kakinya dan di suatu tempat terbuka ia melihat empat orang sedang bertempur hebat sekali.

 Cin Hai bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika ia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang diantara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang! Biarpun muka pamannya telah berubah kurus dan rambutnya telah banyak uban, namun Cin Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali mengapa pamannya mengenakan pakaian petani biasa!

 Kwee In Liang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju putih, tanda pada pinggir pakaiannya menyatakan bahwa ia adalah seorang tingkat tiga, hingga lagi-lagi Cin Hai merasa terheran. Mengapa pamannya yang juga serang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!

 Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi lawan pamannya dan yang juga bertempur dengan hebat. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki kepandaian sitat, gesit dan hebat, bahkan sekali pandang saja tahulah Cin Hai bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri. Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda dan bagian bawah bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya kecil ramping dan wajahnya manis sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan. Dara manis ini bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian hebat sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang biarpun berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Ia lalu memperhatikan lawan gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman. Ia menjadi terkejut karena kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan barangkali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya model Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Kedua lengan tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang menyerang dengan buasnya. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!

 Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, dapat mendesak lawannya yang hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak lawannya hingga pada suatu saat yang baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk dan berhasil menangkap lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di belakang tubuh perwira itu. Sekali saja ia menggentakkan lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya hingga perwira itu terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!

 Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun telah berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu dengan tiam-hwa (ilmu totok) model Mongol akan tetal cukup lihai hingga berhasil membuat lawannya tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak gadis tadi dan hendak dilarikannya!

 “Keparat she Boan, jangan kauganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan melemparkan perwira yang telah dikalahkannya tadi, ia segera memburu.

 Cin Hai yang mengintai di balik pohon ketika mendengar betapa Kwee- ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, menjadi tercengang dan memandang lebih memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik oleh Biauw Suthai! Hampir saja Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya, akan tetapi kini setelah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak perempuan yang dulu sangat jenaka dan nakal itu, timbut kegembiraan luar biasa di dalam hatinya.

 Untung ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh perhatian. Perwira baju merah itu ketika melihat Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, segera mendahului dengan serangan kakinya hingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan terlempar! Ternyata bahwa Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.

 “Ha, ha, ha! Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa? Kautolak pinanganku yang kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?” Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!

  

 Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu! Orang she Boan ini memang lihai, maka ia mengelak sambaran pertama yang mengarah lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua cepat telah menyambar tepat ke arah pundak kirinya. Hampir saja benda itu mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan merendahkan tubuh. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya merendah tanpa dapat dikelit pula, benda ke tiga telah menyambar pundak kanannya!

 Ia tidak merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang disambar adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas kesemutan hingga terpaksa ia melepaskan tubuh Lin Lin. Dan pada saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa telah bebas cepat melompat ke samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kaki karena babatan kaki perwira she Boan itu tadi.

 Perwira itu ketika melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir buah kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang tumbuh di depannya itu merasa kaget sekali, dan ia maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya. Ia tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik pohon besar, maka sekali ini ia menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari. Tetapi aneh, di situ tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan matanya, tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat orang lain kecuali mereka berempat!

 “Orang she Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau, tetapi, tunggulah kedatanganku pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”

 Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan mengira bahwa benar-benar orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu berkata,

 “Boan-enghiong, mengapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan jodohmu dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang lain!”

 “Tak perlu merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja di pesta ulang tahunmu. Kita berunding kembali dengan baik-baik.”

 Setelah berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ dengan cepat. Kwee In Liang menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,

 “Baiknya ia berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”

 Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab,

 “Ayah, kau tidak tahu. Kalau tidak ada orang pandai yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”. Ia lalu menceritakan betapa ia telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho, sedangkan perwira she Boan itu pun telah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!

 “Sayang, orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya ia tidak mau berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebetulnya ia ingin sekali melihat siapa orangnya yang demikian lihai.

 Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut dan segera ia berseru dengan suara keras,

 “Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat menyatakan terima kasih kami!”

 Akan tetapi, biarpun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.

 “Sudahlah, Ayah. Agaknya ia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat itu agaknya masih merasa penasaran dan ia telah menyatakan hendak datang nanti pada hari ulang tahunmu. Kurasa ia tak mempunyai maksud baik. Kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”

 Kwee In Liang menghela napas. “Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar benar sekali. Tetapi aku masih ragu-ragu apakah ia akan bersikap begitu kurang ajar menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam pestaku.”

 ”Orang macam itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi minta pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kaumaksudkan dengan kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku telah... dipertunangkan...?” Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.

 Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka berkata terus terang hingga tidah malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.

 “Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah ia mendesak lebih jauh.”

 “Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tak perlu kiranya kita terlalu takut!” kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku atau suciku bisa kuajak datang membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat rendah itu!”

  

 Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu. Ketika mereka tiba di luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang pemuda berjalan mendatangi. Pemuda itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain berwarna kuning. Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang petani dengan baju luar yang lebar dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan kain pita kuning. Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.

 Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian karena ia seakan-akan merasa sudah kenal kepada pemuda ini sedangkan Lin Lin hanya mengerling sekali tanpa perhatian. Akan tetapi, ketika pemuda itu telah berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam, lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,

 “Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”

 Kwee In Liang memandang tajam dan juga Lin Lin kini memandang penuh perhatian kepada pemuda ini.

 “Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal padaku?”

 Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memberi hormat sambil menjura,

 “Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”

 “Cin Hai... ?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.

 “Engko Hai...!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Eh, kau sekarang tidak gundul lagi!”

 Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat menahan geli hatinya hingga ia tertawa gembira, juga Lin Lin tertawa senang sambil memandang dengan sepasang matanya yang bening dan indah seperti mata burung Hong itu.

 “Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.

 “Aku... aku hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini Ie-thio dan seluruh keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku yang telah lama tidak dapat menghadap.”

 “Tidak apa, tidak apa, Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini sederhana sekali hingga Cin Hai maklum bahwa pamannya ini masih saja tidak suka kepadanya, maka ia pun tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,

 “Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia baik-baik saja?”

 “Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak tinggal di Tiang-an lagi, telah hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat pangkat lagi dan kami telah menjadi orang-orang biasa dan hidup sebagai petani!”

 Berita ini benar-benar tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada Ie-thionya dengan mata terbelalak dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang menegur puterinya.

 “Lin Lin, tak perlu kita bicarakan hal itu di sini. Cin Hai, kau sekarang hendak ke manakah?”

 Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan, maka Cin Hai juga tidak hendak merendahkan diri hingga ia menjawab,

 “Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku... aku akan melanjutkan perantauanku...”

 “Eh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang anak-anak Kwee In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.

 Karena tidak ada ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana, “Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”

 “Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau benar-benar telah melupakan Bibimu, melupakan kami? 0, ya! Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi kami akan mengadakan sedikit perayaan guna memperingati hari ulang tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!”

 “Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang hingga terpaksa orang tua ini berkata,

 “Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah jangan kita ganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai keperluan penting. Hayo kita pergi!”

  

 Maka berpisahlah mereka, akan tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil berkata keras-keras, “Engko Hai, jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta sulingmu!”

 Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka kepadanya dan sikap orang tua itu sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk mengunjungi rumahnya. Akan tetapi, Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira. Alangkah indahnya mata gadis itu. Dan kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai. Diam-diam ia bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian yang tinggi. Haruskah ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin, apalagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak dilayani dan dianggap sepi?

 Akan tetapi, ia harus melihat ie-ienya yang telah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka menghina atau menganggap rendah kepadanya, karena ia tidak butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, dan juga ada Lin Lin yang tentu akan menyambut kedatangannya dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya! Perwira she Boan itu akan datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu, agaknya sukar bagi Lin Lin untuk menyelamatkan diri. Ia harus datang, dan akan melihat-lihat saja dulu, kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain orang pandai, ia hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi kalau sampai gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau ia terpaksa harus turun tangan!

 Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali mengapa wajah Lin Lin yang manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, ketika ia teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah dipertunangkan dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang, heran sekali! Diam-diam Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut gembira mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak senang? Ada hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin dan ia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin dari pikirannya, akan tetapi tidak berhasil!

 Ia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun ia tidak bertemu dengan Dara Baju Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh Ang I Niocu mencari sucinya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki Giok gan Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.

 Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu ia akan mencoba mencari Ang I Niocu. Ia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari. Masih ada waktu baginya, maka dengan hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, sebuah kota di lereng pegunungan yang banyak hutannya.

 Setelah menerima perintah dari Susiok-couwnya, Ang I Niocu pergi mencari sucinya ke Lok-bin-si. Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa Giok-gan Kui-bo telah lama pergi meninggalkan daerah itu dan kabarnya merantau ke arah barat. Ang I Niocu sebetulnya ingin lekas-lekas kembali ke Gua Tengkorak karena semenjak meninggalkan tempat itu, hatinya tertinggal di sana bersama Cin Hai, pemuda yang telah merebut seluruh isi hatinya itu.

 Akan tetapi ia tidak berani kembali dan bertemu dengan susiok-couwnya sebelum bertemu dengan sucinya. Ia maklum bahwa susiok-couwnya itu sangat bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas itu diselesaikan, maka ia tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini, ia lalu menyusul ke barat, mencari sucinya.

 Daerah barat sangat luas sehingga tidak mudah mencari seorang yang tidak diketahui jelas di mana tinggalnya, walaupun orang itu begitu terkenal seperti Giok-gan Kui-bo sekalipun! Oleh karena ini maka Ang I Niocu merantau sampai dua tahun lebih belum juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan sedih sekali. Ia merasa amat rindu kepada Cin Hai, akan tetapi apa dayanya? Pemuda itu sekarang berada dengan susiok-couwnya dan ia sekali-kali tidak berani menghadap Bu Pun Su sebelum tugasnya selesai.

 Oleh karena memang berwatak baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada hentinya mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang menderita, membela kaum tertindas dan membasmi para penjahat yang mengganas. Maka di daerah barat namanya pun menjadi terkenal sekali.

  

 Setelah ia tiba di sebuah kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya ia mendapat keterangan tentang nama sucinya. Ternyata sucinya terkenal sekali di kota ini karena dengan seorang diri saja Giok-gan Kui-bo telah menghajar habis-habisan kepada kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu. Pertempuran ini terjadi ketika para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang piauwsu baru yang belum lama membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim barang) di kota itu. Memang Oei-houw-piauwkiok terkenal mempunyai barisan yang terdiri dari jago-jago silat berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti oleh semua orang di kota itu, juga para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di hutan-hutan dan gunung-gunung apabila melihat bendera warna kuning dengan gambar kepala harimau, tidak ada yang berani mengganggu. Akan tetapi Oei-houw-piauwkiok memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan pengawalan barang. Oleh karena itu ketika piauwsu yang baru itu membuka perusahaannya, para saudagar yang mengirim barang mulai mempercayakan barang-barangnya kepada piauwsu yang bernama Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat para piauwsu dari Oei-houw-piauwkiok menjadi marah sekali dan terjadilah permusuhan.

 Ong Hu Lin adalah seorang piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu silatnya lumayan juga dan ia memiliki ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya juga seorang piauwsu yang ternama di daerah barat dan ia hanya menggantikan kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari pekerjaan lain. Dengan mengandalkan kepandaiannya, ia mencari nafkah dengan mengawal barang-barang berharga dan mendapat upah sekedarnya.

 Pada suatu hari, Ong Hu Lin mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk mengawal kiriman segerobak cita yang mahal harganya. Ketika melalui sebuah hutan, tiba-tiba ia diganggu oleh kawanan perampok yang terdiri dari belasan orang. Ong Hu Lin menghadapi kepala rampok itu dan berkata,

 “Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku yang sedang mencari nafkah. Kalau kalian menghargai persahabatan, maka sepulangku dari tempat ke mana barang ini harus kukirim, aku akan singgah untuk memberi hormat dan akan membawa sekedar barang hadiah sebagai tanda penghormatan.”

 Akan tetapi Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu bukan lain adalah kaki tangan para piauwsu di Oei-houw-piauwkiok yang sengaja menyewa tenaga mereka untuk mengganggu Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya itu ditertawakan saja oleh kawanan perampok, dan kepala perampok yang tinggi besar itu membentak,

 “Piauwsu hijau jangan banyak cakap. Tinggalkan barang-barang ini di sini dan kau pergilah kalau kausayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi piawsu, dan lebih baik kaututup saja perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”

 Ong Hu Lin marah sekali. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan ia lalu dikeroyok. Akan tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup tangguh hingga tak lama kemudian beberapa orang anggauta perampok telah roboh mandi darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian perampok itu.

 Pada saat itu, tiba-tiba muncul tiga orang yang membantu para perampok mengeroyok Ong-piauwsu dan mereka ini bukan lain adalah para piauwsu Oei-houw-piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang piauwsu ini lihai juga dan sebentar saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya terancam. Pada saat itu, terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus merdu tetapi mendirikan bulu tengkuk karena tidak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan menyambar para pengeroyok itu. Sebentar saja habislah para perampok berikut tiga orang piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak menari-nari dengan cepat dan ganas. Di mana saja tangan atau kakinya menyambar, tentu seorang perampok terlempar dan bergulingan sampai jauh! Akhirnya semua perampok lari tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan yang terluka.

 Ong Hu Lin berdiri memandang dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang menolongnya dengan kepandaian luar biasa itu adalah seorang wanita yang cantik dengan sepasang mata genit dan liar mengerling kepadanya. Mulut wanita itu tersenyum manis. Rambutnya hitam panjang dibiarkan tergantung di punggungnya, bajunya berwarna hijau dan celananya putih.

  

 ONG Hu Lin sadar dari keheranannya dan buru-buru ia menjura memberi hormat, “Lihiap yang gagah perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”

 “Ong-piauwsu, janganlah kau terlalu sungkan. Bukankah kita adalah orang-orang sekaum di kalangan kang-ouw dan sudah seharusnya saling menolong?” Wanita itu menjawab dengan suaranya yang merdu.

 Ong Hu Lin terkejut. “Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”

 “Bukankah kau Ong Hu Lin, piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bokchiu?” kata wanita itu yang bukan lain adalah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali aku bertemu dengan ketiga orang Piauwsu dari Oei-houw-piauwkiok itu dan mendengar mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku membiarkan saja mereka berlaku sewenang-wenang?”

 “Terima kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai seperti bidadari ini?”

 Giok-gan Kui-bo mengerling dengan gaya yang manis dan genit dan memandang wajah yang tampan itu dengan tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita Bermata Intan).”

 Melihat gerak-gerik dan lagak wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang genit, maka ia lalu berlancang mulut berkata sambil tersenyum manis.

 “Sungguh nama dan julukan yang indah dan manis, sesuai benar dengan orangnya.”

 Giok-gan Kui-bo berpura-pura marah dan memandang dengan mata melotot, tetapi bibirnya tetap tersenyum!

 “Lihiap, harap kaujangan kepalang menolong orang.” kata Ong Hu Lin.

 “Apa maksudmu?”

 “Sudah jelas bahwa diriku yang tiada kawan ini dimusuhi oleh kawanan Oei-houw-piauwkiok yang terdiri dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau yang lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka sudilah kau mengawani aku berjalan bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu tidak berani mengganggu lagi.”

 “Kalau aku mau apakah upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit. “Apa yang kauminta, Lihiap, biar jiwaku sekalipun akan kuberikan kepadamu.” jawab Ong Hu Lin yang ternyata pandai bermain kata-kata.

 Demikianlah semenjak saat itu mereka berdua menjadi kawan baik yang tidak berpisah lagi. Ketika Ong Hu Lin bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka ditunggu oleh kawanan piauwsu dari Oe-houw-piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua piauwsu itu dengan mudah saja dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya piauwsu-piauwsu itu menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi pemimpin piauwkiok itu.

 Sebaliknya Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan tetapi, karena memang sudah biasa merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam sebuah rumah dan mengurus rumah tangga, Kim Lan lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan membuat tempat tinggal sendiri di dalam sebuah gua di gunung yang dekat dengan kota Bok-chiu. Gua ini ia jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja ia pergi menemui Ong Hu Lin di rumahnya.

 Giok-gan Kui-bo sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin sebetulnya telah mempunyai seorang isteri! Dan isterinya ini bukanlah seorang sembarangan karena isterinya ini adalah Pek bin Moli Si Iblis Wanita Muka Putih, yaitu puteri tunggal dari Pek Moko! Ong Hu Lin bertemu dengan Pek Moko dan puterinya dan Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya hingga akhirnya dipaksa kawin dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya kalau melihat orangnya, setiap pemuda pasti akan bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami Pek-bin Moli yang selain muda dan cantik, juga memiliki kepandaian silat tinggi, karena dalam hal kepandaian silat, selain menerima pendidikan dari ayahnya, Pek Moko, ia juga menerima pendidikan dari supeknya, ialah Hek Moko yang lihai! Akan tetapi celakanya, Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini menjadi gila karena suatu penyakit panas hingga betapapun cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin tidak tahan melihat keadaan isterinya dan menjadi jijik dan takut! Oleh karena ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari isterinya yang gila ini hingga sampai di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan Kui-bo yang biarpun kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi sikapnya menarik hati dan tidak gila!

 Suami yang meninggalkan isterinya ini sama sekali tak pernah mimpi bahwa pada saat itu, isterinya yang gila telah menyusulnya dan berhasil mengetahui tempat tinggalnya! Bahkan isteri yang gila akan tetapi mewarisi kecerdikan ayahnya ini telah mengetahui pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo! Kalau saja ia tahu, tentu ia akan lari pergi karena ia takut setengah mati kepada isterinya ini dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai sekali.

  

 Pada suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya, tahu-tahu jendela kamarnya terbuka dari luar dan suara yang sangat dikenal dan ditakutinya memanggilnya. Ong Hu Lin membuka matanya dan ia menggosok-gosok mata karena mengira bahwa ia sedang bermimpi. Ternyata bahwa sambil tersenyum-senyum manis tetapi dengan sepasang mata bersinar menakutkan, di depan pembaringannya telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang berotak miring itu! Pek-bin Moli memakai baju kotak-kotak lucu sekali dan celananya berwarna kuning gading.

 “Kau...?” Ong Hu Lin berseru.

 “Hi-hi, kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa dan menghampiri hingga diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo kauberitahukan padaku di mana adanya sundal yang menjadi kekasihmu itu?”

 “Sia... siapa... yang kau... kaumaksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.

 “Hi-hi, siapa lagi kalau bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan antar aku menemuinya. Atau haruskah aku menggunakan paksaan?” Biarpun suara isterinya terdengar merdu, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan ancaman hebat hingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Ia dapat membujuk-bujuk isterinya yang gila itu untuk menanti sampai besok pagi, karena tidak mungkin malam-malam yang gelap itu mencari gua tempat Giok-gan Kui-bo. Karena Pek-bin Moli sangat mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa menuturkan cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau dan meluaskan pengalaman.

 Setelah malam berganti pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan isterinya itu mengunjungi gua di mana Giokgan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di situ terheran-heran karena tidak tahu bilamana datangnya seorang wanita cantik yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu telah keluar dari kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita itu adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun berani banyak bertanya.

 Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang perhubungan sucinya dengan Ong Hu Lin. Ia pergi menyelidik dan mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya tinggal di dalam sebuah gua di gunung yang berada tak berapa jauh dari kota itu. Maka ia pun lalu menyusul ke sana!

 Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam gua tempat tinggalnya, menanti mendidihnya air yang dimasak, ketika tiba-tiba tirai bambu yang dipasang di depan guanya itu terbuka. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha-hi-hi. Kim Lian memperhatikan wanita ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di atasnya diikat dengan pita hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak lucu sekali.

 “Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah seorang gadis dusun yang ingin menemuinya.

 “Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang merampas suamiku? Ha, ha!”

 “Kau... kau gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat duduknya.

 “Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari telunjuknya yang runcing. “Kau harus mampus!”

 Setelah berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah pipi Lim Lian. Giok-gan Kui-bo marah sekali dan menggerakkan tangannya hendak menangkap tangan yang menampar itu, akan tetapi alangkah herannya ketika tangan yang menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan dan “plak!” pipinya kena tampar!

 Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada orang berani menghinanya, apalagi menamparnya!

 “Anjing betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan dada turun naik karena marahnya.

 “Hi, hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum pernah mendengar tentang Pek-bin Moli?”

 Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau ini puteri Pek Moko? Mengapa kau datang-datang memaki dan menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat ia melupakan kemarahannya.

 “Hi, hi, hi! Kau main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa aku menamparmu? Ha, ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”

 Giok-gan Kui-bo melirik keluar gua dan melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.

  

 “Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”

 “Ha, ha, ha! Ia terlalu cinta padaku, mana ia mau mengobral namaku disebut-sebut kepada sembarang orang? Hi, hi, hi!”

 “Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kaukira aku Giok-gan Kui-bo takut kepadamu. Sekarang kau mau apa?”

 “Eh, eh, kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli lalu menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam gua yang sempit itu! Kalau Giok-gan Kui-bo lihai sekali gerakan tangannya yang seperti menari-nari dengan buasnya itu, adalah Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu luar biasa lihainya mempergunakan kedua kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam sepatu, tepat di bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja yang menambah kelihaian tiap tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli memiliki ginkang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas sambil mengirim tendangan bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah menyentuh tanah. Akan tetapi Giok-gan Kui-bo melawan dengan sungguh-sungguh. Pertempuran itu sungguh menarik dan hebat sekali. Tendangan dan pukulan sampai menimbulkan angin mendesir dan suaranya keluar dari gua itu membuat tirai bambu yang berada di luar bergoyang-goyang seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu Lin berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.

 Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik ke tempat itu dengan cepat sekali. Ia cepat menyelinap ke samping gua dan bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah dekat, ia melihat bahwa yang datang itu adalah seorang wanita berbaju merah yang luar biasa cantiknya.

 “Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah bersembunyi karena aku sudah melihatmu!”

 Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia keluar dari tempat persembunyiannya. “Dimana adanya Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu dengan suara keren. Ong Hu Lin makin heran. Siapakah wanita ini yang agaknya memiliki kepandaian hebat dan yang datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”

 “Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.

 “Tak usah kau tahu. Lekas katakan di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I Niocu membentak marah hingga Ong Hu Lin merasa takut. “Dia... dia sedang bertempur melawan isteriku... “

 “Isterimu? Siapakah dia?”

 “Pek-bin Moli...”

 Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke arah tirai bambu yang tergantung di depan gua yang kini bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan dari dalam gua. Ia segera melompat dan menggunakan tangan kiri menyingkap tirai itu.

 Pada saat itu, dengan Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang mendesak hebat kepada Giok-gan Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu. Tepat pada saat Ang I Niocu membuka tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri telah melanggar pundak kiri Giok-gan Kuibo yang mengeluarklan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin Moli kaget dan melompat mundur sambil memandang Dara Baju Merah yang menghalang-halangi serangannya tadi.

 “Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah Suciku kalau ia bersalah. Kesalahannya tidak sangat besar hingga kau tak perlu menjatuhkan tangan maut!”

 “Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata berputar-putar hebat.

 “Aku Sumoinya.”

 Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli teringat. “Hi, hi, kau tentu Ang I Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”

 “Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu memang berotak miring maka percuma saja diajak bicara panjang lebar “sekarang aku putuskan. Kau pergi dari sini membawa suamimu sebelum ia lari lagi, atau kaubiarkan suamimu lari pergi dan kau bertempur melawan aku?”

 Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak “Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana dia...? He, Ong Hu Lin...! Tunggu...!” Dan wanita gila ini berlari keluar sambil berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Setelah bertemu di luar, ia lalu menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja seperti seekor kerbau ditarik tali hidungnya.

  

 Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di pundaknya walaupun tidak membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.

 “Suci, telah dua tahun aku mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di sini kau memperebutkan seorang laki-laki dengan wanita gila itu!”

 Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo tidak menjawab hanya menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela napas, karena tahu bahwa jika berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan sikap lemah dan mengalah. Ia maklum bahwa sucinya ini mempunyai kebiasaan buruk dan genit hingga banyak orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di dalam hati ia tak begitu jahat.

 “Suci, kalau saja kau berada di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh wanita gila itu. Akan tetapi kau telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit luka itu anggaplah saja sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”

 Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga wajahnya berubah pucat.

 “Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum menjatuhkan putusan pendek dan tegas. Akan tetapi beliau minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Kau telah berkali-kali melanggar pantangan sebagai orang gagah dan melakukan perbuatan-perbuatan rendah. Kau mencuri, merampok, menculik pemuda-pemuda dan kau mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”

 Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab, “Im Giok, memang aku telah bersalah... tetapi apa dayaku? Aku sebatangkara, hidupku merana menderita. Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri, siapakah yang dapat memberi kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidupku dalam kesunyian dan mati dengan hati menderita?”

 Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan suaranya ketika berkata dengan tegas, “Suci, kau juga tahu bahwa di dunia ini ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan jahat dan ada pula kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu hatimu yang jahat? Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah kau tidak memiliki lagi kebersihan batin seorang wanita yang sopan dan menjunjung tinggi kesusilaan?”

 “Sudahlah, sudahlah...” tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil menangis. “Kau mana tahu tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan merasa bagaimana celakanya hati yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat daripada batu!” Kim Lian memandang sumoinya dengan mata basah. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk uluhati Im Giok hingga Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah ini teringat akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ah, Suci, kalau saja kau tahu betapa berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.

 “Im Giok, aku memang telah bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw bahwa semenjak hari ini aku Kim Lian akan mencukur rambut dan menjadi nikouw (pendeta wanita) dan bertapa di gua ini. Aku takkan mencampuri urusan dunia lagi dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”

 Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan memeluk sucinya dan mereka berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa girang mendengar akan keinsyafan sucinya ini, akan tetapi kata-kata Ki Lian tadi benar-benar menusuk hatinya.

 “Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim Lian sambil mengusap-usap rambut sumoinya yang halus.

 “Suci... aku pun hanya seorang manusia biasa saja yang tidak terbebas dari kesesatan...”

 Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang terharu, lalu dengan tiba-tiba ia mencabut pedang yang tergantung di punggung Ang I Niocu. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan tergantung riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya! Ang I Niocu hanya dapat memandang dengan hati terharu sekali. Setelah kedua kakak beradik seperguruan itu bercakap-cakap melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu meninggalkan Kim Lan.

 Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya karena ia ingin segera sampai di Gua Tengkorak dan memberi laporan kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin segera bertemu dengan Cin Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa itu!

 Ketika dengan hati berdebar-debar Ang I Niocu memasuki Gua Tengkorak itu, ia melihat Bu Pun Su duduk bersila menghadapi hiolouw yang mengepulkan asap putih. Ia tidak melihat Cin Hai di situ dan diam-diam ia merasa kecewa dan kuatir.

 Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

 “Susiok-couw, teecu datang menghadap.”

  

 “Bagus, Im Giok, kau telah kembali. Bagaimana dengan usahamu mencari Kim Lian?”

 Dengan panjang lebar Ang I Niocu menceritakan pengalamannya dan ketika ia menceritakan keputusan sucinya yang nekad dan mencukur rambut untuk masuk menjadi nikouw, tak tertahan pula ia mengucurkan air mata.

 Bu Pun Su mengangguk-angguk dan menghela napas.

 “Baik juga keputusannya itu. Betapapun dosa seseorang, asal dia dapat insyaf dan kembali ke jalan benar untuk selanjutnya menebus kekeliruan yang sudah-sudah dengan tindakan-tindakan sempurna, maka ia boleh disebut seorang bijaksana.” Kemudian, setelah berdiam untuk beberapa lama sambil memandang wajah gadis yang tunduk itu dengan tajam, tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh,

 “Im Giok, kalau aku tidak salah sangka, luka di hatimu akibat gagalnya perjodohanmu dengan pemuda pilihanmu dulu agaknya sekarang telah sembuh dan kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali. Anak, bagi seorang wanita, mendirikan rumah tangga yang baik dan penuh damai adalah jalan yang terutama untuk membebaskan diri dari pada godaan dunia dan untuk memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia. Lihatlah contohnya Sucimu itu, karena ia sebagai seorang gadis hidup seorang diri dan tidak mendirikan rumah tangga, maka banyak penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau mempunyai iman yang kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya menyiksa diri dengan hidup menyendiri? Kau tidak mempunyai jodoh untuk menjadi seorang pendeta wanita yang takkan kawin selama hidupnya!”

 Ang I Niocu mendengarkan kata-kata orang tua itu dengan hati berdebar, karena kata-kata itu memang tepat dan seakan-akan susiok-couwnya dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi karena merasa malu, ia tidak berani mengangkat muka dan tetap bertunduk.

 “Im Giok, baiklah kita berterus terang saja. Kau perlu mendapat seorang suami yang baik sekali, dan aku telah melihat seorang pria yang agaknya akan cocok untuk menjadi kawan hidupmu selamanya.”

 Tiba-tiba wajah Ang I Niocu memerah dan hatinya makin berdebar. Timbul harapan yang diliputi kekuatiran di dalam hatinya. Siapakah orang laki-laki yang dimaksudkan oleh susioknya ini? Apakah Cin Hai?? Ia tak berani bertanya dan masih tetap tunduk.

 “Kalau kau setuju, aku bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku akhiri masa hidupku untuk menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang manusia sehingga menjadi suami isteri yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”

 Terpaksa Ang I Niocu menjawab dengan suara hampir tak terdengar,

 “Susiok-couw, bagaimana teecu dapat menjawab kalau teecu tidak tahu siapa... orang yang dimaksudkan itu?”

 “Ha-ha, Im Giok. Bukan orang yang tidak kaukenal, bahkan hubunganmu dengan dia akrab sekali!”

 Makin berdebarlah hati Im Giok dan ia mendengar dengan penuh perhatian.

 “Orang itu bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku telah tahu benar-benar akan perhubunganmu dengan dia dan telah kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan patut dipuji. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, Im Giok?”

 Bukan main kecewa rasa hati Ang I Niocu.

 “Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum ingin mengikat diri dengan perjodohan!”

 “Im Giok, jawabanmu ini sama artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah Kang Ek Sian bukan seorang laki-laki yang baik?”

 “Dia memang seorang baik, Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat menjadi isteri seorang yang tidak... teecu cinta... ?”

 “Aha, anak muda sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak. Bukti-bukti telah menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih sempurna daripada cinta muda yang hanya terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa kau telah tertarik hatimu oleh Cin Hai. Betulkah?”

 Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek ini dapat mengetahui segalanya? Dapat mengetahui tentang segala persoalannya dengan Kang Ek Sian dan dapat tahu pula rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani mengangkat muka dan hanya tunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

 “Im Giok, kau telah mendekati jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh menaruh hati sayang kepada Cin Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang wanita terhadap laki-laki. Seharusnya kasih sayangmu itu kaudasarkan atas rasa kasihan dan kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang, dan berapa usia Cin Hai? Harus kuakui bahwa kau memang masih nampak muda sekali berkat telur burung rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun lagi saja, kau akan menjadi tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kepincangan sehingga akan merupakan gangguan hebat terhadap kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”

  

 Mendengar kata-kata yang terus terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I Niocu menangis tersedu-sedu hingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat betapa Bu Pun Su memandangnya dengan sinar mata penuh iba hati.

 “Im Giok, kelak kau akan ingat bahwa aku memberi semua nasihat ini semata-mata untuk kebaikanmu sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua kata-kataku benar belaka. Sekarang gunakanlah imanmu dan kuasailah hatimu kembali. Kau boleh pergi dan apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak melarang. Aku takkan mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau kau setuju dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”

 Ang I Niocu lalu menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri lalu keluar dari gua itu diikuti pandangan mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan kepala, karena kakek ini diam-diam merasa kasihan sekali.

 “Nafsu, nafsu... kau memang kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!” katanya perlahan kepada asap putih yang mengepul di depannya.

 Setelah keluar dari gua itu, diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala ucapan Bu Pun Su dan setelah berada di tempat terbuka hingga hawa sejuk mendinginkan kepalanya, ia merasa betapa tepat dan betulnya nasihat kakek itu. Biarpun ia tidak diberi tahu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa Cin Hai tentu telah turun gunung. Tentu saja ia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su tentang anak muda itu, setelah Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya terhadap Cin Hai.

 Ang I Niocu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa hari yang lalu meninggalkan Gua Tengkorak itu. Ia hanya menyangka bahwa pemuda itu tentu kembali ke rumah bibinya, yaitu di Tiang-an, karena pemuda itu pernah menceritakan riwayatnya kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke Tiang-an untuk menyusul Cin Hai. Betapapun juga ia harus bertemu dengan pemuda itu, karena ia tak dapat menahan rindu hatinya lagi.

 Setelah mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai lalu kembali ke Sam-hwa-bun untuk mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang.

 Dan sebuah hal yang tak terduga-duga terjadi! Ketika ia tiba di sebuah kaki gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat titik merah mendatangi dengan sangat cepat dari depan! Hatinya berdebar girang karena hanya seorang manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat bergerak seperti itu! Ia segera mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak mau memperlihatkan kepada Ang I Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu gin-kang yang hebat.

 Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang I Niocu tiba-tiba berhenti bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika ia melihat pemuda yang berdiri memandangnya dengan wajah berseri-seri itu! Ia hampir pangling melihat Cin Hai dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang tiga tahun lamanya itu telah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi seorang pemuda yang cakap dan tegap!

 “Kau... kau... Hai-ji...?” bisiknya.

 “Niocu!” Cin Hai tertawa lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu. Kegirangan besar membuat ia lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju Merah itu dengan erat bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama dirindukannya. Sebenarnya perasaan Cin Hai ketika itu terhadap Ang I Niocu hanyalah perasaan kasih sayang terhadap orang yang dianggapnya paling baik di dunia ini. Akan tetapi sikapnya telah dipandang salah oleh gadis itu. Ang I Niocu mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka kalau tadinya ia merasa ragu-ragu dan selalu kata-kata Bu Pun Su bergema di dalam telinganya hingga ia tidak ingin memperlihatkan kesukaan hatinya karena pertemuan ini, maka sekarang hatinya meluap-luap karena girangnya. Ia balas memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,

 “Hai-ji... Hai-ji…”

 Mereka lalu pergi duduk di pinggir jalan sambil saling pandang dengan mesra.

 “Hai-ji, kau telah tiga tahun belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.”

 “Ah, Niocu, kepandaian apakah yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya memberi pelajaran menari!” Sambil berkata demikian, Cin Hai mencabut sebatang suling dari pinggangnya dan mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa. Ang I Niocu juga tertawa girang.

 “Kalau begitu, tentu kau sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?” tanyanya sambil memandang muka yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam bagus.

 ”Barang kali saja dapat. Aku pun telah lama ingin sekali melihat kau menari, Niocu. Bagaimana kalau kita menari bersama-sama? Aku akan mencoba mengikuti gerakanmu.”

 Dengan girang sekali Ang I Nioct berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera meniup sulingnya. Memang pemuda ini selama belajar silat pada Bu Pun Su, tak pernah lupa untuk meniup sulingnya yang menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya sendiri suka sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.

  

 Maka terdengar tiupan suling yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I Niocu lalu menari dengan gerakan yang indah dan gemulai dan Cin Hai yang sudah mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali lihat saja dengan mudah dapat mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari bukanlah sembarang tarian dan pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang lihai.

 Sepasang pemuda-pemudi itu menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu, gerakan kaki mereka cocok sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau sepasang lengan tangan Ang I Niocu bergerak dengan lincah indah, maka kedua tangan Cin Hai tidak digerakkan karena ia menggunakan untuk memegang suling yang ditiupnya untuk mengiringi tarian itu.

 Bukan main senangnya hati Ang I Niocu dan ia juga merasa kagum sekali karena gerakan kaki Cin Hai sungguh tepat dan tidak ada salahnya. Gadis ini merasa sangat bahagia dan gembira hatinya hingga ia menari-nari sambil tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai dengan sinar mata penuh rasa cinta! Sebaliknya, Cin Hai juga gembira, akan tetapi ia menari dengan tenang dan wajahnya yang tampan itu tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan gembira.

 Setelah selesai menari, mereka kembali duduk di atas batu di pinggir jalan.

 “Hai-ji, kau hebat sekali! Dalam tiga tahun saja kau telah dapat meniru Tarian Bidadari demikian sempurnanya! Kau tentu telah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali dari Susiok-couw! Coba kauperlihatkan pelajaran ilmu silatmu itu untuk kukagumi.”

 “Sesungguhnya, Niocu. Aku tidak mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian itu saja. Bahkan tarian itu pun baru dapat kulakukan jika kau menari bersamaku, kalau aku disuruh menari seorang diri aku takkan sanggup melakukannya.”

 Ang I Niocu memandang heran, akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak berbohong. Ia hanya menyangka bahwa pemuda ini memang agak bodoh hingga susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain ilmu silat yang tinggi.

 “Biarlah, kau jangan kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi pelajaran silat kepadamu!”

 “Terima kasih, Niocu kau memang baik sekali.”

 “Sekarang, kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah kau telah bertemu dengan Bibimu dan keluarga Kwee?”

 “Aku sudah bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie. Sebetulnya aku pun sedang menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Ie-thio.” Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan pertemuannya dengan Kwee In Liang.

 Ang I Niocu mengerutkan alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka berbahaya sekali. Aku mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai sekali. Apakah kau hendak membantu mereka? Kalau begitu biarlah aku ikut dengan kau untuk membantu mereka!”

 Cin Hai merasa girang sekali mendengar ini. Demikianlah mereka bercakap-cakap dengan gembira sekali dan Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan pesan susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin Hai! Mereka mengambil keputusan untuk datang di Sam-hwa-bun pada saat pesta dilangsungkan.

 Pada bulan itu juga tanggal lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar tetapi sederhana itu diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun ke enam puluh dari Kwee In Liang. Sebenarnya orang she Kwee ini tidak hanya khusus merayakan hari lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung lain maksud. Puterinya Lin Lin, semenjak kembali dari perguruan telah memiliki kepandaian tinggi sekali dan telah berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya yang berjumlah lima orang itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap tidak mau dicarikan jodoh. Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang orang-orang gagah yang telah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak mencari-cari seorang calon mantu yang cocok untuk Lin Lin.

 Mengapa Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini juga terpengaruh oleh kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan gagah. Ia mematuhi perintah dan menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan perasaan sendiri. Oleh karena ini jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar. Akan tetapi, ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini dan muridnya lalu mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya Kwee-ciangkun tidak membantu lagi kaisar yang sebenarnya lalim dan tidak adil itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk ayahnya, disertai penuturan Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua rahasia kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan memeras rakyat.

 “Kalau Ayah tidak mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan dimusuhi oleh orang-orang gagah sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya. Akhirnya Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan di dunia luar. Ia adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama sekali ia tidak takut akan ancaman orang kang-ouw karena kedudukan sebagai panglima. Yang ia takuti ialah bahwa karena membantu dan berada di pihak tidak benar, maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama busuk setelah meninggal kelak. Kedua kalinya, ia ini telah tua dan sudah merasa bosan dan capai untuk memegang pangkat. Oleh karena ini, ia lalu mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan sudah terlalu tua dan lemah. Atasannya menerima permohonannya dan ia berhenti dengan hormat, lalu pindah ke Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup bertani.

  

 Pada hari itu, rumah keluarga Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni dan kembang. Tampak putera-putera keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang seorang lagi yakni Kwee An, tidak tampak di antara mereka. Telah lebih dari empat tahun yang lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah ketika ia bertengkar dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya meninggalkan surat dan memberitahukan kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi merantau.

 Keempat putera keluarga Kwee yang hadir di situ nampak gagah dan bersemangat. Terutama Kwee Tiong yang nampak gagah dan cakap dalam pakaiannya yang indah mentereng. Mereka ini oleh ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio yang bernama Tong Kak Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota Tiang-an. Hwesio ini adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh karena ini, maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tidak mendapat kemajuan dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu kesusasteraan.

 Para tamu datang berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang yang disediakan untuk tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang puteranya duduk di ruang depan dan menyambut datangnya para tamu dengan sikap ramah dan menghormat. Lin Lin sibuk membantu ibu tirinya di belakang dan setelah semua hadir, baru mereka berdua keluar dan menyambuti tamu-tamu wanita yang banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara tamu-tamu wanita terdapat pula Biauw Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin untuk mengharapkan bantuannya karena mungkin sekali akan... ada bahaya mengancam dari pihak perwira Sayap Garuda yaitu Boan Sip. Perwira she Boan ini adalah pengganti Kwee-ciangkun dan menjadi kepala penjaga keamanan kota Tiang-an, dan ia adalah seorang perwira Sayap Garuda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Ketika melihat kecantikan Lin Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran tetapi yang ditolak keras oleh Kwee In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka ia menaruh hati dendam hingga beberapa hari yang lalu ia sengaja mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam hutan.

 Oleh karena ini maka kedatangan Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya menggirangkan hati Lin Lin, tetapi juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.

 Selain Biauw Suthai, di situ nampak juga seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan berpakaian serba putih. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sinar matanya berpengaruh. Ini adalah murid pertama dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki kepandaian tinggi hingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee Leng adalah seorang wanita yang telah menjadi janda. Juga nyonya ini berhasil dibujuk oleh Lin Lin yang menjadi sumoinya. Memang, baik Biauw Suthai maupun Bwee Leng sangat sayang kepada Lin Lin.

 Perjamuan berjalan dengan gembira diselingi oleh datangnya tamu-tamu yang mengucapkan selamat kepada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk melayani para tamu.

 Tiba-tiba seorang di antara para tamu, seorang kakek yang berpakaian sebagai seorang petani yang telah terkenal di antara para tamu sebagai seorang pendekar tua dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun, berdiri dari tempat duduk nya. Sambil menjura kepada tuan rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,

 “Kwee-enghiong, aku orang tua selain menghaturkan selamat kepadamu dengan doa supaya kau diberkahi panjang umur, juga menyatakan kegirangan hatiku mendengar bahwa kau telah bertemu kembali dengan puterimu yang baru kembali dari belajar silat. Kau memang beruntung sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah menjadi murid dari Biauw Suthai yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di sini. Kuharap Kwee-enghiong suka berlaku murah dan memberi kepuasan kepada sepasang mataku yang tua ini untuk menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia. Bagaimana Cuwi sekalian, apakah usulku ini tidak cukup baik?” tanyanya kepada semua yang hadir.

 Di tempat itu hadir banyak pemuda-pemuda yang telah mendengar tentang puteri keluarga Kwee yang tersohor cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari ilmu silat tinggi, maka tentu saja mereka merasa gembira sekali dan menyambut dengan tepuk sorak gembira.

 Sebetulnya di luar tahunya semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah minta bantuan Bhok Ki Sun yang menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan usul ini agar terbuka jalan baginya mencari seorang mantu yang cocok. Maka sekarang, sambil tersenyum lebar ia berdiri dari tempat duduknya dan menjura kepada semua tamunya sambil berkata,

 “Cuwi sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang muda? Tetapi karena di pesta ini tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi kewajiban kami untuk mengadakan sesuatu yang kiranya dapat menghibur dan menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin, kaupenuhilah permintaan Bhok-enghiong setelah mendapat perkenan dari Gurumu!”

  

 Lin Lin adalah seorang gadis yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian banyak mata yang memandang ke arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan tenang ia minta ijin dari gurunya dan setelah Biauw Suthai memberi persetujuannya, dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat bersilat yang memang sudah disediakan di tempat itu, tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.

 Setelah menjura sebagai pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin lalu mulai bersilat dengan gayanya yang indah dan cepat. Ia memainkan ilmu Silat Pat-kwa-kun-hwat atau Ilmu Silat Pat-kwa yang mempunyai gerakan selain indah, juga cepat sekali hingga sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi ilmu silatnya menjadi kabur dan melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi tiga empat orang.

 Tepuk sorak terdengar riuh rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat ini. Tiba-tiba baru saja Lin Lin menghentikan ilmu silatnya, terdengar suara orang tertawa mengejek dari luar. Suara tertawa ini terdengar nyaring sekali hingga semua tamu menengok keluar. Juga Kwee In Liang memandang keluar dan ia menjadi pucat karena yang datang adalah Boan Sip dan empat orang lain yang juga memakai tanda Sayap Garuda pada topi mereka dan kesemuanya memakai jubah merah, tanda bahwa mereka ini adalah perwira-perwira kelas satu. Yang menarik hati ialah bahwa di antara mereka ini terdapat seorang perwira yang usianya telah lebih dari lima puluh tahun tetapi tampaknya masih gagah dan kuat.

 “Sungguh bagus, orang-orang bergembira dan berpesta pora sampai lupa mengundang sahabat!” Perwira tua itu berkata keras dan dialah yang tadi mengeluarkan suara ketawa itu.

 Kwee In Liang sudah kenal kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma Ing, seorang yang terkenal sekali karena memiliki kepandaian tinggi dan menjadi salah seorang di antara para perwira terkemuka di istana. Diam-diam orang she Kwee ini merasa terkejut sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh sangat kuat dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan cepat-cepat maju menyambut sambil menjura memberi hormat,

 “Ngo-wi yang mulia, silakan duduk di dalam.”

 Boan Sip sambil tertawa menyeringai mendahului masuk diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka berlima masuk ke ruang itu sambil mengangkat dada dan dengan tindakan kaki lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada sekalian yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri Lin Lin yang masih berdiri ditengah ruang tempat bermain silat dan sambil menyeringai ia berkata,

 “Kwee-siocia, ilmu silatmu tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis sekali!”

 Lin Lin memandang dengan mata melotot dan gadis ini marah sekali karena teringat betapa beberapa hari yang lalu ia telah tertangkap oleh orang she Boan ini dan hampir saja diculik pergi! Hampir saja ia tak dapat menahan kesabaran hatinya dan memaki atau menyerangnya akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara yang nyaring,

 “Ie-ie!!” Lin Lin cepat menengok dan melihat Cin Hai, diikuti oleh seorang gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai langsung berlari menghampiri Loan Nio atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian tamu wanita. Loan Nio yang belum diberitahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai, berdiri memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda tampan yang menghampirinya, Cin Hai menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

 “Ie-ie, aku Cin Hai menghadap. Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”

 “Cin Hai, kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu, sementara tak tertahan lagi air matanya mengucur keluar dari kedua matanya.

 Cin Hai juga mengeluarkan air mata dari kedua matanya karena terharu dan girang. Kemudian ia memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ienya.

 “Ie-ie, ini adalah Nona Kang Im Giok yang sangat berbudi dan telah banyak menolongku.”

 Loan Nio memandang Ang I Niocu dengan kagum dan mempersilakan gadis itu duduk di bagian tamu wanita. Ketika bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,

 “Eh, tidak tahunya Ang I Niocu yang datang. Silakan, silakan, aku masih ingat akan pertolonganmu di gua dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan mereka segera bercakap-cakap dengan gembira. Sementara itu, Lin Lin juga lari menghampiri mereka dan diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan Cin Hai lalu menghampiri ie-thionya untuk memberi hormat dan mengnaturkan selamat. Dengan ramah Kwee In Liang lalu menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.

 Sementara itu, Boan Sip dan kawan-kawannya melihat kesibukan tuan rumah karena datangnya seorang pemuda dan seorang gadis baju merah, menjadi tidak puas dan merasa betapa mereka dipandang ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.

  

 “Eh, eh apakah tuan rumah lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada kami?” Boan Sip dengan sikap sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika Kwee In Liang memandang ke arahnya, ia berkata,

 “Kwee Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang juga aku minta keputusanmu dan marilah kau memberi sedikit pengajaran kepadaku, untuk melanjutkan main-main yang kita lakukan di dalam hutan beberapa hari yang lalu. Aku telah berjanji akan datang, apakah kau tidak berani menyambutku?”

 Bukan main marahnya hati Kwee In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak sopan dan sikap yang kasar menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jika dibandingkan dengan perwira muda ini, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya.

 “Orang she Boan! Agaknya kau telah melupakan kesopanan dan sengaja datang membawa kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak maju.

 Akan tetapi, tiba-tiba Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali lompatan ia telah menghadapi Boan Sip.

 “Orang she Boan, engkau menjabat pangkat tetapi tidak mengenal aturan! Kami tidak mengundang akan tetapi engkau telah menebalkan muka untuk datang di pesta kami. Apakah engkau tidak malu? Kalau hendak datang mengajak pibu, apakah engkau tidak dapat memilih lain hari?”

 “Ha, ha, ha!” Boan Sip tertawa mengejek. “Kalau mengadu kepandaian hanya mengandalkan keberanian, tak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan sekali, banyak orang menjadi saksi, kalau pihak Tuan rumah mempunyai kegagahan, silakan maju memperlihatkan kepandaian!”

 “Bangsat, apa kaukira kami takut kepadamu?” Lin Lin berseru dan meraba punggung untuk mencabut senjatanya akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi bentakan,

 “Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”

 Bayangan itu ternyata adalah Pek Toanio yang mewakili sumoinya dan langsung ia menyerang dengan tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi Boan Sip siang-siang sudah dapat memaklumi akan kelihaian wanita ini karena tamparannya mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya ketika melompat tadi ringan sekali. Ia mengangkat tangan menangkis dan sepasang lengan beradu keras. Boan Sip terkejut sekali karena ia terdorong ke samping sampai terhuyung-huyung! Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di dekat gurunya yang memandang dengan sikap tenang.

 Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya ketika melihat sikap Boan Sip yang sombong dan sengaja datang mengacau itu, menjadi marah sekali dan mereka berempat sambil mencabut pedang lalu maju menghampiri dengan sikap mengancam. Akah tetapi Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka ini masih terlampau rendah untuk menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang ajar, kalian mundurlah dulu!” Kwee Tiong merasa penasaran sekali akan tetapi ia tidak berani membantah ayahnya, maka bersama adiknya ia lalu berdiri dan bersiap sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.

 Boan Sip yang melihat hal ini lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha! Kwee Lo-enghiong agaknya tahu akan kebodohan putra-putranya, maka tak mengijinkan anak-anaknya maju, bahkan telah mengumpulkan orang-orang gagah untuk mewakilinya! Sungguh cerdik!” Kemudian ia berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”

 “Orang she Boan, kalau sikapmu tidak begini menjemukan dan kesombonganmu tidak begitu besar, siapa yang sudi melayanimu? Akan tetapi engkau telah lupa akan sopan santun dan tidak memandang mata kepada tuan rumah dan para tamunya. Apakah kau kira engkau seorang saja yang memiliki kepandaian? Orang lain boleh engkau hina, tetapi aku Pek I Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam engkau!”

 Memang Pek I Toanio biarpun pendiam, akan tetapi kalau sudah mengeluarkan kata-kata, selalu tajam dan berterus terang. Boan Sip pernah mendengar nama ini dan maklum akan kelihaiannya, akan tetapi ia tidak takut.

 “Hmm, apakah benar-benar engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.

 “Siapa yang sedang main-main padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum mengejek hingga kemarahan Boan Sip makin meluap.

 “Kalau begitu kau mencari penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju menyerang. Pek I Toanio cepat berkelit dan membalas menyerang hingga sebentar saja mereka berdua bertempur dengan seru.

 Sementara itu, Cin Hai semenjak datang dan duduk di kursi terdepan, beberapa kali bertukar pandang dengan Lin Lin dan gadis yang sedang marah itu apabila terbentur pandangan matanya dengan Cin Hai, lalu tersenyum seakan-akan minta maaf bahwa ia tidak bisa menyambut sebagaimana mestinya karena terganggu oleh para perwira kasar itu.

 Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat tempat ia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri mereka.

 “Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau mendapat kemajuan besar?” tanyanya dengan manis.

 Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk kesopanan ia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar apakah?”

 Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat tempat ia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri mereka.

 “Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau mendapat kemajuan besar?” tanyanya dengan manis.

 Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk kesopanan ia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar apakah?”

 Juga Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat dan bertanya kepada anak muda ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan tetapi rata-rata mereka memandang rendah kepada Cin Hai.

 “Aah, aku tidak belajar apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.

 Ketika Cin Hai sedang bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur mereka, “Sudahlah, jangan banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat tamu kita bertempur untuk kita, tidak pantas kita hanya mengobrol saja!”

 Memang benar ucapan Kwee Tiong ini, karena pada saat itu pertempuran sedang berlangsung hebat. Boan Sip sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat, juga mantap dan keras hingga Pek I Toanio harus mengeluarkan segenap kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.

 Cin Hai hanya memandang sebentar tetapi ia tidak tertarik melihat pertempuran itu. Sebaliknya ia celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan matanya. Mengapa ia tidak melihat Kwee An? Ia lalu menowel lengan Kwee Bun dan ketika pemuda ini berpaling, ia bertanya sambil berbisik,

 “Di manakah adanya Saudara Kwee An?”

 “Dia pergi merantau, sudah empat tahun belum kembali.”

 Ketika Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka dengan pandangan tak senang, hingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu, perhatian Kwee Tiong tidak tertuju sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya, akan tetapi sebagian besar tertuju kepada Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu tirinya. Dalam pandangan matanya, Ang I Niocu nampak demikian cantik dan ayu hingga sepasang matanya seakan-akan tertarik oleh besi sembrani, ingin sekali Kwee Tiong memperlihatkan kegagahannya dan melawan musuh agar dapat menarik perhatian dan kekaguman gadis jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin Hai, anak tolol itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis demikian cantiknya!

 Ang I Niocu ketika melihat jalannya pertempuran, di dalam hati juga merasa terkejut. Baginya, kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi ternyata bahwa orang she Boan itu lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya diperhebat oleh ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga gerakannya, hingga beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah kena dicengkeram! Diam-diam Ang I Niocu menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai, karena baru seorang lawan saja sudah begini tinggi kepandaiannya, belum lagi yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di situ ada Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sampai di manakah tingkat kepandaian kawan-kawan Boan Sip yang duduk dengan muka tenang dan sombong itu? Ia mengerling ke arah Cin Hai yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang tidak memperhatikan jalannya pertempuran, dan pada saat Ang I Niocu memandang kepada Cin Hai, pandangan matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan cepat mengalihkan pandangan matanya dan hatinya merasa tak senang. Ia tahu bahwa pemuda tinggi tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat betapa Kwee Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka dicegah oleh Kwee In Liang. Mengapa pemuda itu memandangnya begitu macam? Apakah kebetulan saja? Sekali lagi Ang I Niocu mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap saja ia melihat betapa pemuda itu menatapnya dengan pandangan mata penuh arti! Ang I Niocu merasa sebal dan marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak mau memandang ke arah anak muda itu lagi.

 Pertempuran itu benar-benar berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah murid pertama dari Biauw Suthai dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir mewarisi kepandaian gurunya, maka dapat dibayangkan betapa lihainya. Akan tetapi Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja kepandaiannya sudah cukup tinggi, karena kalau tidak berkepandaian tinggi, ia yang masih muda tidak akan dapat menduduki pangkat yang besar itu, Karena rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu adalah orang-orang yang telah berusia tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.

  

 Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba Boan Sip merubah gerakannya dan sekarang ia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan golok menyambar-nyambar ke arah kaki lawan! Ilmu gerakan ini benar-benar berbahaya dan cepat dan ke mana saja Pek I Toanio loncat menghindar, selalu Boan Sip dengan cepat mengejar sambil bergulingan dan melancarkan serangan berbahaya. Ia tidak hanya bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan pula!

 Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tidak berdaya melancarkan serangan balasan. Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan dan serangan nekad. Sambil berseru nyaring Pek I Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering Tertiup Angin! Ia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan ia membabat dengan pedangnya dari samping dan karena serangannya ini hampir menempel lantai, maka tak mungkin tertangkis dengan perisai. Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti lakunya seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang didudukinya dan melemparkan bangku itu dengan sambaran ke arah mereka yang sedang bertempur sambil bergulingan!

 Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran sekali melihat perbuatan pemuda ini. Sementara itu, pada saat Cin Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah pedangnya kena tangkis, lalu bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya. Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang bergulingan pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari tangan Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan goloknya. Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,

 “Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku tadi?”

 Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”

 Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!” semua orang yang mendengar ini tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih begini bodoh, pikirnya!

 Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang membuka punggungnya ketika ia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman? Bahkan Ang I Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek I Toanio, dan Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin Hai.

 Sekali lagi Boan Sip berseru, “Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani mengganggu,” katanya dengan lagak sombong, sementara itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.

 Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil membentak, “Orang she Boan jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, tak perlu engkau memusuhi dan menantangnya. Kalalu engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”

 Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa tiga orang adiknya. Melihat gerakan mereka, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa,

 “Ha, ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”

 Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tak dapat menahan lagi marahnya. Ia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng. Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan gerakkan goloknya menangkis. Sekali tangkis saja, dua dari empat buah pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan. Baiknya perwira muda ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang ia rindukan, maka tidak berniat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda dan memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampak hebat mengerikan karena goloknya menyambar nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.

  

 Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai lari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta sambil berseru berkali-kali, “Jangan membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakak-kakakku!”

 Mendapat serangan kacau-balau itu, Boan Sip terkejut dan melihat penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.

 “Orang tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya dan ia lalu menggunakan goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip. Gerakan silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan menggila ini sungguh membingungkan dan sebelum ia dapat menyerang, sebuah kaki daripada bangku yang diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya hingga terdengar suara “buk!” karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.

 Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol itu, akan tetapi karena pemuda itu dalam ketololannya berani membela keempat pemuda Kwee, biarpun mereka mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.

 Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada Kwee Tiong dan adik-adiknya, “Engko Tiong, kauajaklah adik-adikmu mundur, biar aku tahan mengamuknya babi hutan ini!”

 Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar dan hendak membela keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang lihai. Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan! Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Ketika bangku itu menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu dapat menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat putus. Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu, ketika kaki bangku itu terbabat putus ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip! Terdengar suara “plok!” dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu menjadi merah kulitnya dan terasa pedas sekali!

 Hal ini terlihat jelas oleh semua orang dan kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata biarpun tolol dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang “hok-khi” (beruntung), maka secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!

 Pada saat itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah lain hal yang menimbulkan tertawa geli. Ternyata dua orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka begitu gembira hingga sambil tertawa terkekeh-kekeh, mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang mereka. Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tidak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang langgang! Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka!

 Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya bekas bacokan golok.

 “Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin Hai memaki dengan suara mengejek. Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa jika ia nanti membunuh anak muda tolol yang tak bersenjata ini dengan goloknya, maka ia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh ini, lebih mudah menggunakah tangan kosong. Maka, ia lalu membanting golok dan perisainya di atas lantai hingga mengeluarkan suara berkerontangan, lalu sambil mendelikkan mata ia memaki,

 “Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik lehermu!”

 “Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.

 Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali, dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela kakak-kakaknya! Juga, Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu mempunyai seorang keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pemandangan tajam dan pengalaman luas dapat pula dikelabuhi oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan hingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang tolol tapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak mengeluarkan suara saking terperanjat, dan kuatirnya.

  

 Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua tangannya dan ia membetot. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai mempertahankan sambil mengeluarkan suara “uhh... uh...” dan demikian keduanya saling membetot mempertahankan, sedikit pun tak mau mengalah! Bangku itu sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot, ke kiri hingga seakan-akan kedua orang itu sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah!

 Yang merasa gembira sekali adalah para penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu! Pada saat itu mereka merasa seakan-akan sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik bangku sebagai gantinya tambang yang biasa digunakan untuk mengadu tenaga bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak,

 “Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu...”

 Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira, “Hayo... lebih keras lagi... tarik...!” Akan tetapi apabila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran, “Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”

 Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga, Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya. Dan tiba-tiba Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya hingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip kian kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.

 Orang-orang tertawa geli dan berrak-sorak. Akan tetapi pada saat itu Lin Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu. Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetotnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai dan menguatirkan keselamatan pemuda ini.

 Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah dan ia berdiri dengan terhuyung-huyung. Karena terlalu menghabiskan tenaga dan tiba-tiba bangku dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat luka dalam yang hebat juga! Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.

 Lin Lin dan Ang I Niocu kembali ke tempat duduk masing-masing dan Cin Hai dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ienya, yakni di bagian para tamu wanita. Ketika Biauw Suthai memandang pemuda itu, teringatlah wanita gagah ini, ia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.

 “Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.

 “Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”

 “Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.

 “Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, ketiga kalinya di dalam Gua Tengkorak, dan ke empat kalinya... sekarang ini!”

 Biauw Suthai tertawa senang. “Ah, benar... pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian yang besar!”

 Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, kau benar-benar gagah berani!”

 Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.

 Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.

 “Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.

  

 Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam arena. Dengan tertawa dingin ia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Ia memandang ke sekeliling dan berkata kepada Kwee In Liang,

 “Kwee-ciangkun...”

 “Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong. Perwira kate itu tertawa,

 “Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.

 “Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio, berakhir dengan seri karena kedatangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang kuharap kau suka maju, atau boleh kau mengajukan pemuda tolol setengah gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak bodoh itu tidak berani!”

 “Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!” Terdengar orang-orang tertawa keras karena geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.

 “Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka hitam?” Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu, akan tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih jauh.

 Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?” Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tidak berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung. Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya, melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi. Semua orang memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main dan segera menjura dengan hormat.

 “Tuan rumah telah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”

 Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan sajak,

 “Berkawan sebatang pedang Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati.

 Kau hendak bertanya nama? Lihat pakaian dan pedang. Dan cari sendiri siapa namaku!”

 Perwira itu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Kemudian ia berkata dengan kaget, “Ah, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?”

 Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetepi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya!

 “Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi. Dan tentang perhubungan dengan keluarga Kwee yang kautanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik aku diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”

 “Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku hormat. Pertempuran ini tak dapat dilanjutkan!” kata Si Muka Hitam.

 “Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song takkan mau melayaninya!”

 Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tak berdaya dan ia tak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula setelah berkata, “Kalau begitu, masih kuharapkan lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini, Tan-ciangkun!”

  

 Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.

 “Hie, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau dan kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh ia keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!”

 Bukan main hebatnya hinaan ini dan Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan kepandaian, akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian seperti seorang sasterawan telah berada di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan berkata,

 “Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap menghadapimu!”

 “An-ji...” Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng, akan tetapi karena pada saat itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya memandang dengan girang dan juga kuatir. Apalagi Kwee An hanya memiliki kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat! Cin Hai dengan jelas dapat melihat bahwa ketika masuk tadi, Kwee Ang telah mempergunakan Ilmu Loncat Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan telah memiliki ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal ini hingga mereka menjadi girang.

 Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Biarpun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil berteriak,-teriak “Kwee An... Kwee An...”

 Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri girang melihat Cin Hai. “Cin Hai, engkau juga datang??” Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.

 Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,

 “Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”

 Akan tetapi dengan suara keras ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya. Semua orang tertawa mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tak akan tnenyangka, karena memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti halnya Hek-seejiu atau Ang-see-jiu, karena orang yang memiliki ilmu ini, tangannya hitam atau merah. Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang dicampur obat-obat kuat dan digosok-gosokkan ke seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan memiliki tenaga luar biasa!

 Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai dan dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An telah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan itu. Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biarpun kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga ia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka Hitam ini!

 Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Ia mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat membawa maut. Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi daripada lawannya maka ia mempergunakan ginkangnya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor burung kepinis! Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah lawan.

 Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda ini karena Tan Song mempergunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu mengeluarkan seruan tertahan. Kwee An merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini mengiris kulit dadanya, akan tetapi berkat kegesitannya, ia segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua kakinya menendang ke depan bergantian. Untung saja ia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk maju dan mengirim serangan ke dua. Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai hingga tubuhnya dapat mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih hati-hati.

  

 Setelah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda dan bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tak banyak dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.

 Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru “Hayo, Kwee An, hantam terus... hantam terus...” Semua penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua berpihak kepada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi daripada Lin Lin!

 Ketika mendapat kesempatan baik, pada saat lawannya terhuyung mundur karena serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena tiba-tiba kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu. Tak ampun lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.

 Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa bangga sekali akan kepandaian Kwee An.

 “Nah, inilah baru disebut kepandaian aseli,” kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur engkau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau sungguh hebat, An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.

 Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh. Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh. Perwira ini sebenarnya adalah kakak Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi daripada Tan Boan Sip. Tetapi adatnya pendiam dan tidak sombong.

 Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata dengan suaranya yang besar,

 “Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, kalau kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”

 Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.

 “Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau sekarang kau maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”

 “Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.

 Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata, “Biariah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.” Muka Kwee In Liang berseri. Ia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi daripada kepandaianya sendiri, maka ia cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali.”

 Bhok Ki Sun lalu bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata,

 “Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama dengan pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak boleh membantu Tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka mengajukan diri untuk melayanimu.”

 Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka ia menjawab, “Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Kalau Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”

 Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka ia pun memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai. Keduanya bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak. Akan tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan sama kuatnya, mereka lalu mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka lalu mengeluarkan kecepatan dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran segera berubah cepat dan hebat. Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu benar-benar mengagumkan karena selain sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat. Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum terluka dalam pertempuran yang sebetulnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata,

 “Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!” Ia lalu menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama keluarga Kwee.

 Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, maka setelah mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.

 “Ingin sekali aku merasai kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan juga sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.

 “Baik, baik. Aku pun telah melihat permainanmu yang lihai tadi dan ingin sekali mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.

 Setelah saling memberi hormat, maka kedua orang ini lalu menggerakkan senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong. Sinar pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtimnya yang cukup lihai, hingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali. Akan tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan. Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya hingga mendatangkan angin berkesiur yang dirasai oleh semua penonton yang duduk di situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga menggerakkan pakaian dan rambut orang di sekitarnya, apalagi jika terkena kemplang toya yang berat dan digerakkan cepat ini!

 Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil menggunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.

 Ketika Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau-chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat bagaikan kitiran angin, toya Tan Bu telah mengejar tubuh yang di atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua orang menahan napas. Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit dan untuk menangkis ia akan kalah tenaga maka ia segera memperlihatkan kegesitannya. Ketika ujung toya menyambar ke arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan ke ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan hudtimnya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu!

 Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya hingga Tan Bu sama sekali tidak menduga dan pundaknya kena terpukul tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas!

 Pek I Toanio tak kalah kagetnya. Totokannya tadi telah mengenai tempat di tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tak pernah terpukul, apa lagi terluka! Cepat nyonya ini meluncur turun dan ia merasa bahwa melawan terus takkan ada gunanya, karena harus ia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan lebih tiggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu menjura dan berkata,

 “Terima kasih atas petunjuk Ciang-kun.”

 Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut, Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan menebus kekalahan Tan Song tadi.

 “He, Kwee In Liang, kalau kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina. Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena setelah kedua jago itu kalah, siapa lagi yang hendak maju?

 Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang maju dan herternpur mati-matian, membela nama kita!”

 “Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata Biauw Suthai, akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri dan setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, “biarkan aku saja yang maju!” lalu sekali melompat tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu! Orang tidak melihat bagaimana ia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.

 “Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan mari kaurasakan tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip!

 Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata,

 “Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang besar, maka alangkah beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan kauhiraukan Boan-sute yang memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba kepandaian!”

  

 Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.

 “Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa orang yang memiliki kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan mengacau pesta orang lain.”

 “Ang I Niocu kita sama-sama orang luar dan peduli apa sama segala urusan remeh? Yang terpenting bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan pengetahuan.”

 “Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I Niocu lalu membuat gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya hingga semua penonton bertepuk tangan kagum. Tan Bu maklum akan kelihaian lawan, maka ia segera mendahului, dan mengirim serangan kilat dengan toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja menghindarkan diri dari serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang dan dengan tarian indah sekali hingga keduanya merupakan dua orang mahluk yang sangat berbeda.

 Para penonton merasa kagum sekali dan belum pernah seumur hidupnya mereka menyaksikan seorang gadis cantik menghadapi ilmu silat toya yang ganas itu dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul! Tidak hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee An, dan yang lain memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang dengan penuh perhatian.

 Akan tetapi kegembiraan mereka tercampur kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu benar-benar hebat dan dahsyat. Perwira yang kosen ini karena tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai, lalu mengeluarkan ilmu toyanya yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia menghadapi Pek I Toanio tadi. Oleh karena ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Ia bertempur dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah membalas dengan desakan, hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan mempelajari gerakan lawan.

 Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali. Dia yang telah mempunyai pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah memiliki pemandangan tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu sebenarnya hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu memiliki tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka Nona Baju Merah itu tak akan sukar mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, maka diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.

 Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi seringkali mengerling ke arah pemuda yang sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tak dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan, “Eh, Engko Hai, mengapa kaukeluarkan sulingmu pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil tersenyum geli.

 Cin Hai juga tersenyum dan jawabannya menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat terheran itu ketika mendengar Cin Hai berkata,

 “Aku meniup suling untuk mengiringi tarian Niocu.”

 Sebelum Lin Lin dapat bertanya lanjut, Cin Hai telah meniup suling maka tiba-tiba terdengarlah tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang menjadi heran sekali dan Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Ia anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Ia melangkah maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling, akan tetapi Lin Lin memandang kepada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata,

 “Engko Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu dia!” Kwee Tiong merasa mendongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali membawa kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih menyuling dengan asyiknya.

 Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai makin keras, nyaring dan meninggi, terdengar seruan-seruan orang menyatakan terkejut dan kagum. Ketika Kwee Tiong memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena ternyata tubuh Ang I Niocu telah lenyap dan kini gadis itu berubah bayang-bayang merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali! Lin Lin memandang kagum dan diam-diam ia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal keindahan itu. Juga, Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Ia tahu bahwa suara suling itu tepat sekali mengiringi semua gerakan Ang I Niocu dan seakan-akan suara suling itulah yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian luar biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi sebetulnya berkepandaian tinggi!

  

 Memang sebetulnya Ang I Niocu masih melayani lawannya dengan gerakan hati-hati sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya. Suara suling itu baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik dan rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya bernyala-nyala. Ia lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah. Alangkah terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya halus dan lemah gemulai dan hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya melakukan serangan yang hebat, dan ia merasa betapa sinar pedang lawan ini mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa hingga toya ini merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya!

 Suara suling yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah gerakan pedang Ang I Niocu hingga pada suatu saat terdengar suara kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah terobek ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka kulit saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.

 “Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong kosong belaka!” Tan Bu memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di mana ia membalut lukanya setelah memberi obat.

 Ang I Niocu setelah menyinipan kembali pedangnya, lalu dengan senyum lebar kembali ke tempat duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan ucapan terima kasih.

 “Niocu tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai tertawa-tawa.

 “Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi,” jawab Ang I Niocu sambil memandang wajah Cin Hai dengan senyum mesra.

 Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua ia heran sekali mengapa dada kirinya merasa tidak enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin Hai dan betapa akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi ia heran sekali mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji atau anak Hai! Sebetulnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Ia belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.

 Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda, perwira ke empat maju sambil mengangkat dada dan berkata,

 “Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu telah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan kalau di antara keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani orang-orang luar yang membela Kwee-enghiong!”

 Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi karena sebenarnya ia adalah saudara termuda dari Santung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari Santung yang kesemuanya kini menjadi perwira-perwira, kelas tertinggi di kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain memiliki tenaga ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang mengagumkan. Di kota raja Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira lain, hingga beleh dibilang bahwa ia menjadi seorang di antara guru-guru para perwira di kota raja. Oleh karena ini, maka dapat dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi daripada yang lain-lain. Adapun Ma Ing, perwira ke lima yang menjadi suhengnya, adalah orang ke empat dari Santung Ngo-hiap, dan tentu saja kepandaian Ma Ing ini lebih tinggi daripada kepandaian Un Kong Sian. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan, sebaliknya Ma Ing terkenal memiliki ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang yang hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.

 Mendengar betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak dapat menahan sabarnya dan ia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,

 “Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan tenang.

 Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil tertawa,

 “Anak muda, biarpun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai, akan tetapi kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku.”

  

 Un Kong Sian adalah orang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan kasar maka kata-katanya seringkali menyakiti hati orang. Kali ini ucapannya tentu saja membuat Kwee An menjadi merah telinganya. Ia dipandang ringan sekali, maka sambil tersenyum ia pun menjawab,

 “Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tak berharga ini memang telah kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, kalau engkau memang memiliki kepandaian tinggi, keluarkan kepandaianmu itu hendak kulihat bagaimana hebatnya!”

 “Ha, ha! Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau terluka, jangan salahkan aku!”

 Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lalu melempar jubah luarnya dan tampaklah kedua lengan tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa besarnya.

 “Nah, majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian. “Biarlah engkau berkenalan dengan kepandaian Un Kong Sian!”

 Mendengar nama ini, diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan karena ia kenal nama ini sebagai saudara termuda dari Santung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi. Diam-diam ia menguatirkan keadaan Kwee An dan tak terasa lagi ia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh dari tempatnya,

 “Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau carilah akal supaya Kwee-kongcu suka mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!” Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin Hai dan menganggap bahwa pemuda itu betul-betul tolol, adalah Biauw Suthai yang hanya memiliki sebuah mata saja segera dapat mengetahui bahwa Cin Hai adalah seorang pemuda yang banyak akalnya, maka sekarang ia minta kepada pemuda itu untuk mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian!

 Tiba-tiba setelah mendengar ucapan Biauw Suthai, Cin Hai berlari-lari sambil memegang sulingnya ke arah arena pertempuran dan pada saat itu Un Kong Sian dan Kwee An telah saling berhadapan dan hampir bergebrak.

 “Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah tindakan gagah berani, tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!” kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja yang mempunyai kelicinan dan kecurangan seperti itu!!” Co Cho yang dimaksud oleh Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin hingga banyak orang membenci dan menghinanya, walaupun Co Cho adalah seorang yang terlalu cerdik.

 Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang ia merasa benci dan mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang dengan dipelototkan.

 “Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?” bentaknya. “Lekas engkau menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”

 “Memang kau licin, lebih licin daripada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An memandang kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.

 “Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong Sian.

 “Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An akan tetapi kami semua belum melihat tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu. Kalau kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An yang gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba mencari penyakit!” Semua orang yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti maksud Cin Hai.

 ”Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru dengan baik lagi!”

 Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, lalu berkata, “Nah, kau bisa tidak meniru kepandaianku tadi?”

 Semua orang tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, sedangkan Un Kong Sian marah sekali sampai membanting-banting kaki.

 “Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau kau memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau menirunya.”

  

 “Ha, ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba keluarkan senjatamu!”

 Biarpun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu sebuah toya yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.

 “Nah, ini senjataku, kau mau apa?” bentaknya.

 “Aku akan mainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata Cin Hai dengan gagah, lalu dengan sikap dibikin-bikin ia menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka bahwa Cin Hai setolol ini.

 “Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!” kata Kwee Tiong dengan mendongkol sekali. Tetapi Cin Hai lalu memutar toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara mengaung yang hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan mengembalikannya kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung itu.

 “Nah, coba kautiru perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!” Kembali semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat saja sudah hampir tidak kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia memutar toyanya, dengan khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga menerbitkan suara mengaung.

 Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat hingga mendatangkan angin keras, akan tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara mengiuk saja.

 “Aha, engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak bisa memutar toyamu sampai mengeluarkan angin mengaung!”

 “Bangsat tolol!” Un Kong Sian marah sekali, lalu ia gunakan tenaganya menancapkan toyanya yang berat itu ke lantai, dan toya itu menancap sampai setengahnya di lantai yang keras itu! “Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya ini, barulah berharga melayani aku!” Kwee An terkejut sekali melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan inilah yang dimaksudkan oleh Cin Hai.

 “Aha, benar-benar engkau hebat, Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!” Thio Whie adalah seorang tokoh yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok. “Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang dapat menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia ini!”

 “Cin Hai, engkau mundurlah. Biarpun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih akan mencoba minta pelajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena anak muda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan rasa jerih terhadap lawannya.

 “Nah, mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah daripada engkau yang hanya pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.

 “Eh, eh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya inilah yang hendak engkau layani.”

 “Akan kucoba untuk mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju. Cin Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu hatinya dan ia percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan peringatan Biauw Suthai dan tahu pula betapa bahayanya bagi Kwee An menghadapi orang she Un ini, karena orang she Un ini mempunyai muka yang membayangkan kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka jika mereka bertempur, banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh! Ia lalu melangkah maju dan berkata,

 “Nanti dulu! Aku tadi telah berkali-kali dihinanya, biarkan aku mencoba dulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk ini?”

  

 Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong Sian lalu melangkah mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan tangan bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan kata tercabut, tergoyang pun tidak toya itu. Semua orang yang menonton tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat. Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.

 Ia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong Sian. “Tenagamu betul-betul hebat. Aku tidak kuat mencabut!” katanya sambil terengah-engah.

 Kwee An merasa malu sekali melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia hendak mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia melangkah maju dan membetot toya itu. Alangkah hebatnya ketika ia dapat membetot keluar toya itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.

 Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap luar biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tak mungkin pemuda itu memiliki tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa dan sama sekali tidak menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya dengan penuh kecurigaan.

 Tiba-tiba Un Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu mengangkat tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak mencabut keluar toyaku, akan tetapi ia telah mematahkannya! Tentu saja hal ini tidak aneh.”

 Kwee An tercengang lagi. Ia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi benar saja, ketika ia memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini. Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya bertempur melawan Un Kong Sian?

 “Betul, betul!” kata Cin Hai dengan suara keras. “Ujung toya itu telah patah. Terang bahwa Kwee An tidak dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas melayanimu. Ada orang lain yang lebih tepat menghajarmu.”

 Bukan main marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia? Suruh maju lekas!” bentaknya. “Sabarlah orang she Un. Kalau kau mencari lawan, pinni bersedia melayanimu!” Dan tahu-tahu Biauw Suthai telah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi dari situ.

 “Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An yang penasaran dan curiga kepadanya.

 Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan mengerikan berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan bertanya,

 “Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?”

 “Orang-orang memanggilku Biauw Suthai.” Diam-diam hati Un Kong Sian berdebar karena ia telah mendengar nama besar Biauw Suthai, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa jerih.

 “Kebetulan sekali. Telah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin sekali merasai kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?”

 “Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain senjata.”

 “Bagus, kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!” Tanpa banyak cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.

 Dalam hal ilmu silat, Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman pertempuran yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan tandingannya. Gerakan pukulan kedua orang ini mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga Cin Hai tidak berani berjenaka lagi karena ia maklum betapa kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat sekali. Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu telah dapat memukul dua kali kepada pundak dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian demikian hebat hingga perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena ia maklum bahwa biarpun di luar tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi pukulan Biauw Suthai yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan luka di sebelah dalam.

 Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat kenekatan orang yang sudah terang mendapat luka, maka ia lalu menyerang makin hebat. Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian dengan hebatnya mengarah leher Biauw Suthai.

  

 Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai memiringkan tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong Sian meleset dan mengenai pundaknya. Akan tetapi pukulan kedua orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur. Biauw Suthai dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat, sedangkan Un Kong Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian ia roboh sambil memuntahkan darah.

 Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin cepat meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat duduknya. Tokouw ini lalu mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada Un Kong Sian.

 Akan tetapi pemberian obat itu ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan obatnya sendiri guna sutenya, kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah maju ke kalangan.

 “Di pihak kami hanya aku seorang. Hayo kau keluarkan jago-jagomu, Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!”

 Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini tinggi sekali dan setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang diharapkan bantuannya untuk menghadapi Ma Ing? Ma Ing agaknya tahu pula pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago maka dengan sombongnya ia berkata,

 “Kalau di pihak tuan rumah tidak ada jago yang berani menghadapi aku seorang diri, boleh kamu semua maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing seorang diri cukup untuk melayani kamu sekeluarga!”

 Biarpun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi mendengar ucapan sombong ini, sambil berseru keras mereka meloncat maju berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi! Ma Ing mengeluarkan suara menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan dan kakinya menendang dan dalam beberapa gebrakan saja empat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan dan tendangan!

 “Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing menyindir.

 Sikap dan kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang ini tanpa berjanji lebih dulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan pedang di tangan mereka berdua menyerang Ma Ing! Ma Ing lalu mencabut pedangnya dan bertempurlah tiga orang ini. Menghadapi keroyokan Kwee An dan Ang I Niocu yang memiliki kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani main-main dan melayani dengan sengit dan sebentar saja ia dapat mendesak kedua anak muda!

 Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal melihat betapa Cin Hai memandannya dengan tersenyum dan betapa pemuda itu dengan enaknya duduk memegang-megang sulingnya! Orang lain sibuk melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.

 “Kenapa kau tertawa?” tegurnya.

 “Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak saja dapat merampas pedang kalian berempat!” jawab Cin Hai.

 Kwee Tiong marah sekali dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia sudah mengirim kepalannya ke arah Cin Hai. “Kau sendiri orang tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu, coba lihat Kwee An. Ia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”

 “Tiong-ko, jangan kau menghina orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai. “Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?”

 Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik, apakah kau ingin melayani orang she Ma itu?”

 Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tidak segera mengerti maksud kata-kata Cin Hai ini. “Ah, sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang memiliki kepandaian tinggi masih terdesak olehnya, apalagi aku! Kulihat kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah guruku!”

 Cin Hai bangun dari duduknya. “Lin-moi, kausiapkan pedangmu dan mari kau kuantar melawan orang she Ma itu. Kalau kau tidak dapat merobohkannya jangan kaupanggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya disertai senyum mesra kepada gadis yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin benarkah kau tidak percaya kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.

 “Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!”

 Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.

  

 “Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah biar aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!”

 Mendengar kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali mendengar bahwa pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.

 “Hai-ji, ia lihai sekali, jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.

 “Lin Lin dia bukan lawanmu!” kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.

 Akan tetapi, baik Cin Hai maupun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini. Lin Lin mencabut pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang sulingnya.

 “Eh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”

 “Ha, ha, ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, kali ini aku tidak mau mengampuni kau pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing takkan gentar.”

 “Nah, kau bersiaplah!” kata Cin Hai dan ia menggerakkan sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.

 “Kau bersenjata suling? Ha, ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda. Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain senjata tajam.”

 “Tak usah, orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja untuk apa menggunakan senjata tajam?”

 Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala karena menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai, “Kwee-kongcu, kau tenanglah karena sekarang Ma Ing benar-benar akan kehilangan muka!” Kwee Tiong heran sekali mendengar kata-kata ini akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini tidak berani banyak cakap.

 “Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini mencari matinya sendiri. Aku takkan mengganggu Kwee-siocia akan tetapi kalau hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku Ma Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya dan benar saja, ia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena telah terbayang di depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang, akan tetapi Cin Hai juga menjerit, “Aya...“ sambil menggunakan gerakan Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung ke belakang dengan gerakan canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai berkata,

 “Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!”

 Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, ia sudah merasa khawatir sekali dan cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing hendak menangkis akan tetapi tiba-tiba Cin Hai meniru gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu. Terpaksa Ma Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang, akan tetapi tiba-tiba suling yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama betul dengan gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu. Ma Ing terkejut sekali karena biarpun suling itu hanya terbuat dari pada bambu, akan tetapi tangannya merasa sakit sekali. Ia cepat memutar pedangnya dan menyerang Cin Hai dengan serangan kilat, akan tetapi, tiba-tiba ia memandang dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya sendiri.

 Orang-orang yang menonton menjadi terheran-heran dan menganggap bahwa Cin Hai hanya meniru-niru gerakan Ma Ing, akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat mempercayai matanya karena gerakan Cin Hai malah lebih sempurna daripada gerakannya sendiri. Maka ia cepat meloncat mundur dan berseru.

 “Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan darimana kau dapat mainkan Pek-coa-kiam-hoat?” Pek-coa-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang dimainkan oleh Ma Ing tadi.

 Cin Hai pura-pura memandang heran. “Orang she Ma, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu pedang ini darimu sendiri!”

 “Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru marah,

 “Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?” jawaban Cin Hai ini memang sebenarnya saja, karena ilmu silat apapun juga jika dipergunakan untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.

  

 “Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Kalau kau memang laki-laki, jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.

 Cin Hai memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini takut kepada pedangmu, biariah aku yang melayaninya sendiri!”

 “Tapi, Hai-ko...” kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.

 Tiba-tiba Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya tersenyum. “Tidak percaya kau kepadaku?” Gadis itu tak menjawab, lalu mengangsurkan pedangnya.

 “Kaupakailah pedangku, Hai-ko!”

 “Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja. Kalau perlu, aku sendiri pun sudah mempunyai sebatang pedang.”

 Lin Lin mengundurkan diri tetapi berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing lalu mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang itu berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah Cin Hai.

 “Bagus!” Cin Hai berseru dan ia lalu mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan suling diputar hingga ketika ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang aneh dan lucu.

 Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya lihai sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton lebih jelas! Sebaliknya, Kwee Tiong dan adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi daripada kebisaanku.”

 Ma Ing merasa pusing sekali karena ia tak berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangankan mendesak, menyerang pun sukar baginya, karena pemuda itu dengan aneh sekali telah mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat dilakukan. Tiap kali apabila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahuluinya dengan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga serangan-serangannya itu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh. Dan yang lebih gila, tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.

 Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam ilmu Pedang Pek-coa-kiam-hoat, maka tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya dan memainkan limu Pedang Pat-sian-kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi ia kecele, karena pemuda itu pun telah kenal baik ilmu pedang ini dan dapat melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna! Ia mengubah-ubah terus ilmu silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini ia benarbenar tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan sedikit pun tidak berbeda. Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam pula. Ma Ing merasa seakan-akan ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam cermin. Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena telah beberapa kali suling itu berhasil memukulnya dengan perlahan di kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Biarpun pukulan ini perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih adalah perasaan di dalam hatinya.

 “Orang she Ma, sudah beberapa kali engkau kukemplang dengan suling, masih belum mau kalahkah engkau?” Cin Hai bertanya dengan ejekannya, sedangkan sorak-sorai penonton makin riuh karena sungguh-sungguh mereka sama sekali tak pernah menyangka bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian sedemikian tingginya hingga berhasil mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai kini benar-benar kagum sekali dan menyatakan kekagumannya itu dengan kata-kata hingga terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.

 “Tidak heran bahwa ia demikian lihai, karena ia adalah murid tunggal dari Bu Pun Su Susiok-couw!” Mendengar ini, terkejutlah Biauw Suthai dan tokouw ini mengangguk-angguk maklum.

 Mendengar ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah dan menyerang dengan nekad. Tiba-tiba Cin Hai lalu berkata, “Ah, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah engkau lelah sendiri, aku hendak mengaso!” Setelah berkata demikian Cin Hai lalu duduk bersila di tengah kalangan itu sambil meramkan mata seperti orang bersamadhi! Semua orang merasa heran sekali hingga memandang dengan mata terbelalak tak pernah berkejap karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak menghadapi lawannya dengan duduk bersila sambil meramkan mata!

 Juga Ma Ing merasa ragu-ragu, akan tetapi karena ia telah merasa lelah sekali dan hatinya terasa sakit dan mendongkol karena telah dipermainkan, ia menjadi mata gelap. Dengan mengertak gigi, ia lalu membacok ke arah kepala Cin Hai yang sedang duduk bersila sambil meramkan mata itu. Kwee An bergerak hendak melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh Biauw Suthai, dan Ang I Niocu yang telah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin Lin telah siap dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai digerakkan dan suling itu tidak menangkis pedang yang menyambar kepalanya, bahkan mendahului gerakan Ma Ing! Terpaksa Ma Ing menahan gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah pundak Cin Hai. Akan tetapi, dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak saja pemuda itu telah berhasil mengelit bacokan itu sambil berkata perlahan, “Ah, Ma-ciangkun, engkau telah mendapat luka dalam, masih belum insafkah engkau?”

  

 Ma Ing kaget sekali dan menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam dadanya terasa panas dan yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang mual dan hendak muntah.

 “Rabalah iga kirimu dan engkau akan tahu!” kata Cin Hai lagi.

 Ma Ing seperti dalam mimpi lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan terkejutlah ia karena iganya terasa sakit sekali dan ketika ia merobek bajunya, ternyata di iga itu terdapat sebintik tanda merah sebesar jempol kaki! Ia maklum bahwa ia telah kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil berkata, “Sungguh mataku seperti buta dan tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang menjulang di depan mata. Sicu lihai sekali jadi aku merasa takluk. Tidak tahu siapakah sebenarnya Sicu ini, dan murid siapakah?”

 Cin Hai lalu menggunakan kepandaiannya hingga dalam keadaan bersila, tahu-tahu tubuhnya dapat mumbul ke atas. Inilah demonstrasi tenaga khikang yang jarang dipunyai oleh sembarang tokoh persilatan. Setelah berada di udara Cin Hai melepaskan kaki dan berdiri. Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata sambil tersenyum,

 “Ma-ciangkun, siauwte bukanlah orang yang ternama besar. Siauwte bername Cin Hai, she Sie dan orang memberi julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”

 Orang-orang tertawa dan memuji menyatakan heran dan kagum karena biarpun telah memiliki kepandaian sehebat, itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi sombong bahkan merendahkan diri serta bersikap ketolol-tololan.

 “Kau sungguh pandai menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhumu yang mulia?” tanya Ma Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak berani bersikap sombong.

 “Suhuku lebih bodoh lagi daripadaku, ia tak memiliki kepandaian apa-apa.” Ma Ing menjadi pucat mendengar ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bt Pun Su yang berarti tidak punya kepandaian! Ia lalu menjura lagi dan berkata “Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain kali kalau ada jodoh kita bertemu kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.

 Setelah lima orang perwira itu pergi, semua orang lalu merubung dan memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih Lin Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya ke arah ayahnya.

 “Ayah, coba lihat Engko Hai ini! Sejak pertama bertemu aku telah menduga bahwa ia memiliki kepandaian hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Kwee In Liang hanya mengangguk-angguk dan dengan suara terharu berkata,

 “Terima kasih, Hai-ji. Kau telah menyelamatkan kami sekeluarga.”

 Loan Nio memeluk keponakannya dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada saat itu, dari luar terdengar seruan-seruan kaget dan tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. Suara ini menyeramkan sekali dan Cin Hai juga merasa kaget sekali karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari pelukan bibinya dan melompat keluar. Ternyata di situ telah berdiri Hek Moko dan Pek Moko yang tertawa bagaikan dua orang gila!

 “Ha, ha! Anak muda, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau ternyata telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita main-main sebentar!”

 “Ji-wi Locianpwe,” kata Cin Hai dengan sabar dan suara sungguh-sungguh. “Kita tak pernah bermusuhan, untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan menimbulkan buah tertawaan orang belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar berpengaruh tidak seperti tadi ketika ia mempermainkan para perwira itu. Lin Lin dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di kanan-kirinya.

 “Anak muda, tak perlu banyak cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah berhutang kepada kami dan sekarang kaulah yang harus membayar!” Setelah berkata demikian, mereka berdua mencabut keluar pedang mereka yang mengerikan itu dan juga mereka mengeluarkan senjata tasbeh lalu menyerang dengan hebat ke arah Cin Hai! Terpaksa Cin Hai mencabut pedang pemberian suhunya dulu, yaitu Liong-coan-kiam, dan ia lalu menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan lawannya itu! Tiga orang ini bertempur dengan hebat dan sebentar saja mereka bertiga lenyap dari pandangan mata dan hanya nampak debu mengepul dan tiga bayangan pedang bercampur menjadi satu! Melihat pertempuran yang luar biasa hebatnya ini, baik Lin Lin maupun Ang I Niocu tak berdaya untuk membantu karena kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu, tidak hanya sangat berbahaya bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai, malah mungkin akan mengacaukan pertahanannya.

 Ang I Niocu mengerling ke arah Lin Lin dan ia melihat betapa gadis muda ini meremas-remas kedua tangannya dan dengan wajah pucat serta kedua mata basah dengan air mata memandang ke arah bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu! Ang I Niocu merasa betapa hatinya tiba-tiba menjadi perih seperti tertusuk pedang. Ia maklum bahwa gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai! Keperihan hati ini membuat ia menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu dan kini gulungan sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.

  

 “Niocu, kau mundur!” Terdengar seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali. Tiba-tiba bayangan merah itu terlempar ketika pedangnya beradu dengan tasbeh Pek Moko, hampir saja ia mendapat celaka.

 Setelah bertempur agak lama lagi, tiba-tiba terdengar teriakan ngeri dan tahu-tahu gulungan sinar pedang Hek Moko dan Pek Moko telah mengendur dan tiba-tiba kedua iblis itu sambil berteriak-teriak kesakitan lari dari situ! Cin Hai berdiri dengan wajah pucat dan pedang di tangan kanannya bergetar karena tangan yang memegang itu menggigil!

 Ang I Niocu memburu, akan tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini memeluk tubuh Cin Hai yang berdiri bagaikan patung itu sambil berseru berkali-kali,

 “Engko Hai... Engko... Hai... kau kenapakah?”

 Cin Hai memandang Lin Lin dengan tersenyum lalu mengerling ke arah Ang I Niocu yang juga telah mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan dan jatuh pingsan! Untunglah Lin Lin cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke dalam rumah.

 Para tamu dan tuan rumah menjadi panik dan bingung. Cin Hai telah mendapat luka di dalam tubuh karena pukulan tasbeh Hek Moko, akan tetapi ujung pedang Liong-coan-kiam juga terdapat tanda darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun telah berhasil melukai kedua lawannya yang tangguh!

 Kwee In Liang lalu minta maaf kepada semua tamunya dan para tamu lalu bubaran dan tiada habis-habisnya mereka membicarakan tentang Pendekar Bodoh yang luar biasa dan lihai itu! Dalam perjamuan itu, mereka benar-benar telah disuguhi pertunjukan silat yang luar biasa hebatnya!

 Cin Hai dibaringkan dalam sebuah kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis di dekatnya, sedangkan Ang I Niocu juga berdiri di situ dengan wajah pucat. Biauw Suthai yang pandai akan ilmu pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai telah kena pukul tasbeh di pundak kanannya hingga menderita luka dalam yang hebat juga.

 “Tak perlu kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka ini, tentu akan melayang jiwanya. Akan tetapi anak muda ini benar-benar telah mendapat latihan khikang yang tinggi hingga luka ini takkan membahayakan jiwanya.” Ia lalu mengeluarkan tiga belas butir pel putih dan memberikan pel itu kepada Lin Lin. “Berikan pil ini sehari tiga butir dan jika semua pil telah ditelan habis tentu ia akan sembuh kembali!”

 Lin Lin cepat menerima pel itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur mengambil air panas, lalu dengan kedua tangannya sendiri memasukkan pel itu ke dalam mulut Cin Hai dan memberinya minum air. Dengan sangat mesra gadis ini lalu menggunakan saputangannya untuk menyusut peluh yang berkumpul di jidat Cin Hai hingga melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Ia lalu menangis tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini merasa heran dan memandang muka bibinya dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia lalu menjadi insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan karena jengah dan malu!

 Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena ia hendak bertanya kepada Dara Baju Merah ini tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya, akan tetapi ketika ia memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi! Ia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya kepada kakaknya ini barangkali melihat Ang I Niocu.

 “Ia telah pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang. Agaknya ia sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barangkali ia cemburu, karena tidak melihatkah kau betapa mesra dan akrab hubungan antara dia dengan Cin Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin akan tetapi gadis ini dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,

 “Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita sendiri dan ia dengan gagah berani telah berhasil membela nama baik kita, tidak pantaskah kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka cemberut gadis ini meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.

 Biauw Suthai dan Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh ia mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu ia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.

  

 Benar seperti ucapan Biauw Suthai, setelah diberi makan obat pel itu, pada keesokan harinya Cin Hai siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan menjaganya selama itu. Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam hatinya terhadap Lin Lin makin mendalam dan berakar. Bibinya juga seringkali datang menengok, sedangkan pamannya biarpun tiap hari sedikitnya satu kali datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang tak pernah datang menengok. Hanya Kwee An yang sering datang dan tiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya dan minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.

 Pada hari ke tiga, Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang rumah yang mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I Niocu dan memikir dengan heran mengapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu ia hanya merasa menyesal mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia masih pingsan. Akan tetapi ia tidak kecewa. Ia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan ie-ienya dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap. Ia tidak tahu bahwa dulu ia hidup sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang ia telah berada di rumah Loan Nio, bibinya yang sangat cinta kepadanya itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut hatinya dengan diam-diam.

 Ketika ia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya, “Engko Hai... Engko Hai...”

 Cin Hai tersenyum. Ia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan ia lalu duduk di bawah sebatang pohon dalam taman itu. Akhirnya suara panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi tidak tega. Ia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”

 Lin Lin berlari-lari menghampiri dan wajah gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan tetapi mulutnya cemberut.

 “Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan bersembunyi di sini? Kukira engkau...”

 “Kaukira apa?”

 “Kukira engkau pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.

 “Kalau aku pergi, kenapakah?” “Kalau engkau pergi, aku... ahh... ah, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan memberikan itu kepada Cin Hai.

 Cin Hai menerima pil itu dan memandang wajah Lin Lin yang berada di dekatnya. “Lin Lin... kenapakah engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai terdengar menggetar penuh perasaan.

 Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang mata bertemu dengan pandang mata Cin Hai, ia lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.

 “Engkau jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai...” katanya berbisik.

 Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kaupandanglah aku dan jawablah pertanyaanku tadi!”

 Tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di dada. “Aku... tidak berani, Hai-ko.”

 “Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah...”

 Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang terpegang akan tetapi tidak dapat. “Sudah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa malu sekali. Telanlah piI itu!”

 Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai lepaskan tanganku dan telanlah pil itu!” katanya memohon.

 “Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”

 “Engkau nakal sekali, Engko Hai!”

 “Jawablah dulu!”

 Dengan tersenyum kemalu-maluan dan matanya yang indah mengerling tajam Lin Lin mengangguk!

 Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini hidup ini berarti bagiku. Alangkah indahnya dunia ini. Lihatlah pohon-pohon itu menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”

 “Ah, pohon itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.

 “Dan daun-daun itu, melambai-lambai kepada kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena hendak ikut menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku... aku cinta kepadamu...”

  

 “Sudahlah, kautelan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tapi hatinya berdebar-debar karena gembira dan bahagia.

 “Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut wajahmu menjadi makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”

 “Kau... kau memang nakal!” Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda itu. Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan sulingnya.

 “Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”

 Cin Hai lalu meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya yang mencinta di dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam suara suling itu, ia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai kepadanya!

 Setelah Cin Hai selesai meniup sulingnya, dengan mata basah Lin Lin berkata, “Terima kasih, Hai-ko, aku telah mendengar suara hatimu. Memang engkau semenjak dulu baik sekali kepadaku. Ingatkah kau betapa dulu kau mati-matian melawan Guruku untuk membelaku? Ah, aku tidak dapat melupakan semua kejadian itu!”

 Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.

 “Ha, kau mengingatkan akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan yang berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan bandel!” Cin Hai tertawa dan matanya memandang penuh menggoda.

 Lin Lin cemberut. “Dan kau... kau... ah, lucu sekali...”

 “Aku kenapa...?” Cin Hai menuntut.

 “Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan nakal...” Lin Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari. Cin Hai mengejarnya sambil berkata,

 “Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!” Lin Lin berlari memutari pohon dan kembang, Cin Hai mengejar dan mereka berkejar-kejaran bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia. Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang dan dengan wajah tak senang ia berkata, “Lin Lin Ayah memanggilmu!” Tanpa menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin memperlihatkan wajah kecewa, akan tetapi Cin Hai berkata,

 “Pergilah, Lin-moi! Ie-thio tentu ada hal penting maka ia memanggilmu.”

 Lin Lin lalu masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang duduk melamun dengan penuh kebahagiaan.

 Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin melihatnya ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram. Begitu melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur,

 “Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”

 Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah, Ayah?”

 “Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”

 Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.

 “Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita sendiri dan bukankah ia seorang pemuda yang baik dan gagah serta telah menolong kita?” jawabnya dengan berani.

 “Betul, akan tetapi engkau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan ia seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”

 “Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai adalah seorang pemuda baik dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan dia!” Memang semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya hingga ia berani bersikap bandel terhadap ayah ini.

 “Lin Lin.” Kwee In Liang menghela napas. “Engkau harus taat kepadaku dalam hal ini. Engkau sudah cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang melamarmu. Engkau harus memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan engkau bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”

 “Ayah!” Gadis itu berseru.

 “Diam!! Engkau harus menurut, atau... apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)??”

  

 Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!

 “Ayah, kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke kamarnya, di mana ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.

 Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia memeluk tubuh gadis itu dan berbisik mesra,

 “Lin Lin, aku telah tahu akan kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka kepada Cin Hai? Jawabnya terus terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”

 Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air mata. Ia memandang kepada Loan Nio dengan mata terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai, maka pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini membuatnya bingung dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.

 “Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah! Kalau kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku akan bicara dengan Ayahmu.” Lin Lin diam saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!

 “Sudahlah, tenangkan hatimu dan serahkan persoalan ini kepadaku.” Setelah menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.

 Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan sabar menanti hasil daripada pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya, maka setelah menanti sebentar, lalu ia menggunakan kepandaiannya meloncat keluar dari jendela kamarnya, lalu dengan hati-hati sekali ia mengintai di atas genteng dan mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan Loan Nio!

 Ketika Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk memasuki kamarnya, tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas genteng. Alangkah herannya ketika ia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai pula, maka diam-diam ia menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian lain. Ia tidak perlu mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk mendengarkan.

 “Tidak, tidak, sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara marah. “Memang ia seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih mantu harus melihat keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apa kau pikir aku harus berbesan dengan pemberontak?”

 “Tapi ayahnya telah meninggal dunia dan tidak perlu kiranya kita membawa-bawa namanya!” terdengar Loan Nio membantah.

 “Hem, macan mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya! Dan nama apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu! Nama busuk pula!”

 “Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia seorang anak yang baik. Juga mereka berdua telah saling mencintai!”

 “Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau bisa tahu?”

 “Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”

 “Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus meniadi mantu keluarga Gan di See-tok, dan habis perkara!”

 Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas genteng terdapat dua orang yang pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas. Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, tetapi bukan karena sedih, hanya sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya yang dulu, yang telah dapat dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan ie-ienya dan terutama dengan Lin Lin, kini timbul kembali. Ayahnya sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang telah menjadi tanah itu masih direndahkan!

 Timbul keangkuhan dan kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja ia tidak ingat kepada Lin Lin, tentu ia telah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang yang berani merendahkan ayahnya!

 Dengan hati terluka, Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke kamarnya, mengambil semua pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi, ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di atas genteng sambil menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar sambil berseru,

 “Hai-ko... kau hendak ke mana...?” Mendengar suara panggilan Lin Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi ia mempercepat larinya!

  

 Akan tetapi, karena serangan batin yang hebat itu dan karena nafsu marahnya menggelora, maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali dan tiba-tiba ia merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan rasa sakit ini dan lari terus sedangkan Lin Lin tetap mengejar sambil menangis dan berteriak-teriak.

 “Engko Hai... tunggu... Engko Hai...”

 Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tak kuat lagi. Hari mulai gelap dan kebetulan sekali ia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Ia lalu membelok ke situ dan seorang hwesio tua menyambutnya.

 “Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar kepadaku. Aku sedang terluka dan tolong kaucegah siapa saja yang memasuki kamarku.”

 Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat sebuah pembaringan bambu sederhana. Cin Hai lalu menutup kamar itu dan duduk di atas pembaringan lalu bersamadhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.

 Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat, juga karena sakit di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini girang sekali ketika melihat bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua tadi.

 “Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”

 Hwesio itu dengan muka sabar berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi telah berpesan bahwa siapa pun tidak boleh bertemu dengan dia.”

 Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku harus bicara dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras sekali.

 “Tak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” kata hwesio tadi dengan masih sabar. Dan kata-kata ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata.

 “Kalau tidak mau bertemu, biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”

 Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar Cin Hai.

 “Engko Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar kamar.

 Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora hatinya yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi hatinya berbisik, “Ayahnya telah menghina Ayahku!”

 Maka ia lalu menjawab dari dalam,

 “Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”

 Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar mempunyai hubungan dengan orang di dalam kamar.

 “Hai-ko, jangan kausamakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara memohon.

 “Sudahlah Lin-moi, kaupulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali kalau tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang diri. Lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingat, aku seorang keturunan pemberontak hina!”

 “Engko Hai...!” Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat ia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Ia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat rebah di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!

 “Engko Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.

 Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.

 “Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis...” katanya dengan penuh kasih sayang.

 Lin Lin menyusut kering air matanya dan di antara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan bagus ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.

 “Kalau kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai.”

  

 Cin Hai merasa terharu sekali. “Adikku, percayalah, selama hayat dikandung badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa.”

 Lin Lin memandang dengan sayu. “Hai-ko... kaumaafkanlah kata-kata Ayahku. Dia memang kejam... ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau... atau... aku akan minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”

 Cin Hai tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin Lin. Tak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri.”

 “Habis, bagaimanakah baiknya, Haiko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”

 “Puterinya begini keras hati dan kukuh, mengapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menunggu sampai ia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”

 “Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”

 Cin Hai menghela napas. “Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang kembali”

 Lin Lin mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”

 “Aku hendak pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan tentang orang tuaku.”

 “Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”

 “Tentu saja, Lin-moi, kaukira aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?”

 Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan. “Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!”

 Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu betul-betul akan kembali. Akan tetapi belum lama gadis itu pergi, tiba-tiba ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai. “Celaka, Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya akan tetapi lalu menangis dengan sedih.

 Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin. “Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”

 Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,

 “Celaka, Hai-ko! Rumah telah kedatangan musuh, perwira-perwira jahanam itu datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”

 Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai lalu menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu. Ia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka menuju ke rumah keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.

 Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, Kwee Tiong dengan pedang di tangan lalu menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali layangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.

 “Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau main gila di luar, tak tahu di rumah ditimpa malapetaka! Aku akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!” Pemuda yang sudah kalap ini lalu menubruk maju, akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya hingga ia roboh dengan lemas, tak dapat berkutik maupun berteriak lagi.

 “Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin ia lalu lari memasuki rumah.

 Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat kedua kaki Cin Hai terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Di sudut masih nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!

  

 Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan, Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata telah tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena biarpun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh lebih kuat daripada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali. Cin Hai tak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Ia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantu. Kemudian ia lalu menolong Kwee An dan Kwee In Liang. Setelah menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.

 Kwee An lalu dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah diurut pundaknya oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya. Untuk beberapa lama kedua matanya memandang sayu seakan-akan tidak dapat mengenal keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya makin terang hingga ia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu ia menggerak-gerakkan bibirnya.

 Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.

 “Lin Lin kaujaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan sakit hati ini... jangan kaukawini Lin Lin sebelum kaubalaskan sakit hati ini”

 Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak. “Cin Hai... kau berjanjilah…” suara orang tua itu makin lemah.

 “Aku berjanji Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena ia merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalas sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.

 “Aku aku puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu... kalau sudah berhasil kau betul-betul mantuku yang baik…” setelah berkata demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir. Lin Lin menubruk jenazah ayahnya dan jatuh pingsan! Setelah sadar, ia menangis dengan sedih sekali dan menjambak-jambak rambutnya sendiri karena merasa menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!

 “Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah. Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Kalau engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?”

 Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu dibebaskan totokannya dan dengan kata-kata tajam Cin Hai berhasil mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang hebat itu.

 Ketika Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lain yang menjadi anggauta daripada Santung Ngo-hiap, yakni orang pertama dan ke dua, sedangkan yang ke tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!

  

 KEDATANGAN mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka yang lalu, akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee! Tentu saja Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An dengan gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat melukai beberapa orang perwira, akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, hingga akhirnya semua kena dirobohkan! Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang, Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu, cepat melarikan diri dan bersembunyi hingga ia terhindar daripada kebinasaan!

 Mendengat penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela dan mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu,

 “Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau mempersalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti kalau Kwee An sudah sadar, kita bisa mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.

 Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam akhirnya Kwee Tiong tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.

 Setelah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dulu mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari Santung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”

 “Hm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kautenangkanlah hatimu, Saudaraku. Besok aku berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha untuk membasmi delapan orang bangsat kejam itu!”

 “Jangan Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.

 “Kenapa?”

 “Kaukira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!”

 Cin Hai tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan menanti sampai sembuh dan kita akan pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh pulas.

 Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas serta berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit hati itu.

 Dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari Lin Lin dan Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada lukanya yang dideritanya. Setelah melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.

 Ketika mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut membalas dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan Cin Hai yang amat dicintainya dan ia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di dalam ruang belakang Cin Hai berkata,

 “Lin Lin, kau sendiri tahu betapa pentingnya perjalanan yang akan kulakukan bersama Kwee An ini. Bukan saja penting akan tetapi sangat berbahaya maka biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya.”

 Lin Lin menyemberutkan mulutnya, “Justru karena penting dan berbahaya inilah maka aku harus ikut Engko Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya karenanya? Dan kalau memang ada bahaya, apa kaukira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau tahu bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu berdua. Biarkan aku ikut, Engko Hai!”

 Cin Hai menjadi serba salah. Ia memang harus membenarkan pendapat gadis ini akan tetapi kepandaian gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam itu. Kalau gadis ini dibiarkan ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah beban saja, karena ia harus melindungi Lin Lin yang ia cinta.

  

 “Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku? Engkau mendengar sendiri pesan terakhir Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat menjadi... suamimu!”

 Akan tetapi dengan sikap bandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil membanting-banting kaki dan berkata, “Tidak... tidak... aku mau ikut...!”

 Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan menyentuh pundaknya,

 “Sudahlah jangan engkau marah. Biar kita merundingkan dulu dengan kakakmu dan Gurumu, karena aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merudingkan persoalan ini.”

 Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio yang sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.

 “Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut pergi, karena kepandaianmu belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini. Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”

 “Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!” jawab Lin Lin sambil berdiri dengan kedua tangan dikepalkan dan kedua mata bernyala penuh semangat.

 Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. “Aku percaya penuh akan ketabahanmu,” kata Biauw Suthai, “akan tetapi, ketahuilah, bukan soal takut dan berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja engkau takkan membantu, bahkan akan menambah beban kepada Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu.”

 “Menambah beban?” kata Lin Lin penasaran “Teecu tidak minta digendong, teecu sanggup berjalan sendiri, dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu asal teecu boleh ikut.”

 “Lin Lin, engkau sungguh bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku, akan tetapi apabila terjadi pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang harus melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah engkau akan senang apabila pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena ikutmu?” .

 Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab, hanya mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya. Akhirnya ia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan keinginannya.

 Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong yang mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee An. Mereka berdua tahu ke mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota raja! Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja dan mempergunakan kepandaian mereka berlari cepat.

 Ketika Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw Suthai menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I Toanio,

 “Anak itu kecewa karena ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara telah tertancap di hatinya, dan selain itu, ia pun merasa bersedih karena merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Kaupergilah, hiburlah hatinya dan katakan bahwa kami akan tinggal di sini untuk sementara waktu dan menemaninya.”

 Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat tidur dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan yang sangat mencintai sumoinya ini lalu memeluk pundaknya dan berkata menghibur,

 “Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini lemah.”

 Lin Lin bangun dan duduk di dekat sucinya, “Suci aku tidak sedih karena tidak boleh ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tidak dapat ikut adalah kedangkalan ilmu silatku.”

 “Sumoi, kalau begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak memperdalam ilmu silatmu? Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini menemanimu untuk sementara waktu.”

 Tiba-tiba wajah gadis yang muram itu berubah terang dan ia tersenyum! Pek I Toanio menjadi geli melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja menangis sekarang sudah tersenyum.

 Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan ia sendiri mengatur dua buah kamar di dalam rumah yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih giat sekali karena ia pikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang berilmu tinggi, ia harus mempertinggi kepandaiannya pula!

  

 Pada suatu sore ia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang berdiri memandang gerakan-gerakannya. Setelah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.

 “Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?”

 “Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur tingginya, muridku. Ia telah mewarisi kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar biasa. Biarpun anak muda itu tidak memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya ia telah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu.”

 “Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”

 Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira. “Muridku, kepandaian manusia tidak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu ia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang luar biasa seperti Bu Pun Su.”

 “Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin bertanya.

 “Dia? Ah, kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian Sie-taihiap adalah secabang. Ketahuilah, kalau aku tidak salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah susiok-couwnya. Dalam hal ilmu silat, biarpun Ang I Niocu memiliki gerakan yang indah dan lebih matang, akan tetapi ia masih kalah setingkat oleh Sietaihiap.”

 “Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah melawan dia,” entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah dan sengit karena perasaan cemburu telah menyerang hatinya. Gurunya heran mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi dapat mendengar suara tindakan kaki yang ringan sekali di belakang mereka ketika nenek ini mengerling, ternyata Ang I Niocu telah berada di belakang mereka, bersembunyi di balik sebatang pohon.

 “Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat kembali betapa ia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu itu.”

 “Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak terhadap orang lain. Pula, bukankah ia telah membantu pihakmu dalam pertempuran dulu itu?” kata Biauw Suthai yang merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.

 “Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena teecu juga tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena ia... kawan baik Engko Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, kalau ia tidak sombong, mengapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia menjadi kawan baik Engko Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan meninggalkannya pergi?”

 “Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tidak jauh dari kita!” kata Biauw Suthai, lalu nenek ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan duduk!”

 Ang I Niocu keluar dari belakang pohon itu dan Lin Lin cepat berdiri dan memandang kepada Dara Baju Merah itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran sekali ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu pucat sekali dan dari kedua mata yang bagus itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.

 Akan tetapi, ketika pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu mengeluarkan senyum sedih. “Adikku yang baik, kata-katamu semua benar belaka. Memang aku seorang yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan baik dan kawan senasib belaka...” Dara Baju Merah itu memejamkan mata seakan-akan menahan rasa sakit yang menyerang dadanya, kemudian ia berkata lagi, kini suaranya terdengar tegas, “Akan tetapi, dalam hal kepandaian, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk dapat mengimbangi kepandaianku, apalagi kalau hendak menyamai ilmu kepandaian Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku, bukan? Nah, marilah kita main-main sebentar!”

 Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun ia tidak menjadi jerih ia lalu menarik keluar belati pendek yang menjadi senjata ampuh baginya. Biauw Suthai hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan menjura,

 “Suthai, aku bukan anak kecil lagi, jangan Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud menambah pengertiannya dan kepandaian Adik ini.”

 Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas lagi, ia hanya menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata. “Lin Lin, jangan kau berlaku kurang ajar kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!”

 Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin,

 “Nah, kaumaju dan seranglah, Adikku yang baik, dan jangan kau berlaku sungkan-sungkan lagi.”

  

 Lin Lin adalah seorang gadis yang masih muda sekali dan belum mempunyai banyak pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah, maka ketika mendengar ucapan Ang I Niocu, ia merasa bahwa ia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu menyerang dengan belatinya. Ang I Niocu mengelak cepat dan keduanya lalu bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali jauh lebih cepat daripada gerakan pedang. Lagipula, gadis ini telah mendapat didikan ilmu silat semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti bahwa gadis ini telah memiliki kepandaian yang lumayan dan tak mudah dikalahkan oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan sekali dan gerakannya gesit bagaikan seekor burung walet.

 Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga telah memiliki pengalaman luas daripada Lin Lin. Juga, kalau Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya dengan tenang. Nona Baju Merah ini memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari Bidadari yang indah dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin yang makin bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat. Ang I Niocu sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri daripada menyerang. Ia membiarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis atau mengelak, hingga ia hanya sedikit mengeluarkan tenaga, sedangkan Lin Lin bagaikan seekor naga yang muda dan ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!

 Lama juga mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar dan Ang I Niocu mengelak dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin yang menjadi kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar galak, sedangkan Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang. Rambut Ang I Niocu yang diikat dengan saputangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar dalam gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir dua menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.

 Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu dengan kagum. Karena asyiknya ia menonton, Biauw Suthai tak terasa lagi kadang-kadang menggerak-gerakkan tangan seakan-akan ia sendiri yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu. Kalau Lin Lin membuat kesalahan dalam gerakannya, ia menjadi kecewa dan membanting-banting kakinya, sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik dalam sebuah penyerangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan lidahnya. Orang tua ini benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat pertempuran itu.

 Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai dimana kepandaian gadis itu. Maka setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba ia merubah gerakannya dan kini melancarkan serangan-serangan hebat hingga pedangnya berkelebat cepat dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung karena cepatnya gerakannya. Lin Lin terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau menyerang terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,

 “Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga.”

 Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu tidak bermaksud buruk. Maka buru-buru ia simpan belatinya dan menghampiri Ang I Niocu.

 “Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi petunjuk.”

 Ang I Niocu ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos dari Lin Lin, timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, “Adik Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian Hai-ji”

 Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, ia bertanya, “Adik Lin Lin, mengapa wajahmu nampak murung? Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik saja bukan?”

 Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Kwee, oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak hatinya hingga membuat ia angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya. Telah dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia gagal. Makin dilupa, makin ia teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak dapat menahan hatinya lagi. Ia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan ia menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat ia kembali ke kampung itu dan dengan diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara Lin Lin dan Biauw Suthai.

 Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin Lin lalu memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi ketika ia memandang ke arah Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat kepadanya hingga ia hanya mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di dadanya.

 “Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik.” Ia lalu menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh Biauw Suthai.

  

 Kwee Tong dan Pek I Toanio menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan matanya tidak beda seperti seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan dan ia melayani tamunya dengan hormat dan bermuka-muka. Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan sifat pemuda macam Kwee Tiong ini, tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini tidak ada.

 Ketika mendengar penuturan Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga Kwee, wajah Ang I Niocu menjadi merah karena ia merasa marah sekali.

 “Jahanam benar perwira-perwira itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu ikut campur dalam urusan-urusan busuk. Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka bumi!” Sambil mengepal-ngepal tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya. “Dan bagaimana dengan luka kakakmu? Di mana adanya dia dan di mana Hai-ji?” tanyanya kepada Lin Lin.

 “Mereka telah pergi lima hari yang lalu, untuk mencari musuh-musuh kami itu dan membalas dendam!”

 Ang I Niocu mengangguk. “Dan kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut pergi?” Pertanyaan ini mengandung dua maksud, pertama-tama karena ia memang merasa heran mengapa Lin Lin tidak mau ikut membalaskan sakit hati orang tuanya. Kedua kalinya karena ia hendak memancing dan menyelidiki sampai di mana hubungan antara gadis ini dengan Cin Hai.

 Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Lin Lin menjadi marah dan cemberut. “Inilah yang menyesalkan hatiku! Mereka itu tidak mau membawaku serta! Sungguh menggemaskan!”

 Pek I Toanio ikut bicara dan membela Cin Hai, “Sie-taihiap tidak mau membawa Sumoi oleh karena memang kalau Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam itu akan lebih sukar lagi.”

 “Kepandaian Lin Lin belum cukup tinggi menempuh bahaya besar itu,” Kata Biauw Suthai dengan sabar. “Dan lagi, kalau Lin Lin pergi, aku akan ditinggal seorang diri di rumah, bagaimana kalau penjahat-penjahat itu datang kembali?” kata Kwee Tiong yang tak sadar bahwa ucapan ini menunjukkan sifatnya yang pengecut.

 Ang I Niocu tersenyum memandang Lin Lin. “Kau benar, Adikku. Tidak ada bahaya bagi seorang anak yang hendak membalaskan sakit hati orang tuanya.” Lin Lin memandangnya dengan berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini membela dan membenarkannya. Pada saat ia hendak menyatakan kemenangannya kepada guru dan sucinya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw Suthai telah berkata pula,

 “Akan tetapi betapapun juga, kau harus tunduk kepada nasihat Gurumu.” Ucapan ini membuat Lin Lin menunduk dan tidak jadi membuka mulut. Akan tetapi di dalam hati ia merasa tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat ia membujuk-bujuk agar wanita itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain ikut membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan setuju. Lin Lin gembira sekali dan ia menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena ia tidak mau berpisah dengan nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya saja.

 Dan pada keesokan harinya, ternyata Lin Lin telah pergi dari rumah itu bersama Ang I Niocu. Gadis ini dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk membawanya pergi menyusul Cin Hai. Biauw Suthai hanya menggeleng-geleng kepalanya dan berkata kepada Pek I Toanio,

 “Muridku, biarpun keselamatan Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena ia pergi bersama Ang I Niocu, akan tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik kita pergi mencari mereka itu untuk membantu apabila mereka berada dalam bahaya.”

 Keduanya lalu berpamit kepada Kwee Tiong yang menjadi kecewa dan khawatir sekali. “Kalau Lin Lin pergi dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi apa-apa di rumah ini, aku harus berbuat apa?”

 Pek I Toanio mendongkol sekali melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka katanya dengan ketus, “Kongcu, mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya? Adik-adikmu pergi dengan nekad mencari musuh, akan tetapi engkau yang ditinggal di rumah seorang diri saja merasa takut.”

 Akan tetapi Biauw Suthai yang tak mau banyak bicara dengan pemuda ini berkata, “Kwee-kongcu, kalau engkau merasa takut, kaupergi saja kepada Suhumu dan tinggal di rumah kuil.” Kemudian guru dan murid ini meninggalkan Kwee Tiong tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk banyak membantah. Kwee Tiong lalu menutup pintu rumahnya, menghentikan semua pelayan yang membantu rumah keluarga Kwee dan ia pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong, di mana ia berlutut sambil menangis dan menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.

 Tong Gak Hosiang hanya bisa menghela napas, dia lalu menasihati muridnya untuk berdiam saja untuk sementara waktu di kelenteng itu.

  

 Setelah melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti, Cin Hai dan Kwee An tiba di kota raja. Di sepanjang perjalanan, kedua anak muda ini menuturkan pengalaman masing-masing dan Kwee An merasa kagum sekali akan hasil yang diperoleh Cin Hai, anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu dihina orang itu. Ia makin suka kepada Cin Hai dan sepanjang perjalanan tiada hentinya ia minta petujuk-petunjuk dan nasihat-nasihat tentang persilatan. Dengan melihat permainan silat Kwee An saja, Cin Hai dapat melihat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya hingga ia dapat memberi petunjuk yang benar-benar sangat berguna bagi Kwee An dan berdasarkan petunjuk ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.

 Di kota raja mereka berdua mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama kaum perwira Sayap Garuda adalah sebuah bangunan besar merupakan benteng yang disebut Eng-hiong-koan atau Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani sekali Cin Hai dan Kwee An pada keesokan harinya, pagi-pagi telah mengunjungi Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin menemui para perwira Sayap Garuda.

 “Kami adalah kenalan-kenalan baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira, terutama kelima Santung Ngo-hiap.”

 “Sayang sekali bahwa sekarang para perwira sedang mengadakan pertemuan besar hingga kurasa tak sempat menjumpai kalian berdua,” jawab penjaga itu.

 “Pertemuan apakah?” tanya Cin Hai.

 “Di dalam gedung sedang diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak diangkat menjadi kepala perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar,” jawab penjaga itu. Akan tetapi penjaga kedua yang tidak suka melihat kawannya mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu berkata,

 “Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja. Pendeknya pada saat itu tak seorang pun boleh memasuki En-hiong-koan.”

 Kwee An dan Cin Hai merasa mendongkol sekali. Mereka saling pandang dan saling memberi tanda dengan kejapan mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir berbareng mereka mengulur tangan menotok kedua penjaga itu yang segera roboh dengan tubuh lemas karena tertotok jalan darah mereka oleh Cin Hai dan Kwee An! Dengan tenang kedua pemuda gagah ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke ruang belakang di mana terdengar suara orang bersorak dan tanpa jerih sedikit pun mereka lalu melangkah masuk dari sebuah pintu yang besar dan tinggi.

 Ternyata ruang belakang itu amat luas dan di tengah ruang itu telah terdapat sebuah panggung karena memang ruang ini merupakan ruang berlatih silat atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga puluh orang perwira duduk mengitari panggung itu, dan di kepala panggung duduk seorang hwesio gundul yang bertubuh tinggi kurus, dan di sebelahnya duduk beberapa orang perwira tua yang kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk di sebelah hwesio itu.

 Pada saat itu, memang sedang diadakan pertandingan adu silat di antara para perwira yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan ini dilakukan atas perintah kaisar sendiri yang minta supaya tiga orang panglima yang berkepandaian tinggi dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam istana. Siapa orangnya yang tidak mau mencoba peruntungannya dengan kesempatan ini? Menjadi pengawal pribadi kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan mulia.

 Pemilihan ini dilakukan dan diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang sebenarnya adalah hwesio kepala dalam Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di lingkungan istana dan yang biasanya dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala hwesio di kuil raja itu, juga hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat pula menjadi penasihat para perwira, ini kedudukan yang tinggi, karena sebenarnya hwesio ini bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai Kong Hosiang yang sudah terkenal kelihaiannya.

 Di bawah pengawasan Beng Kong Hosiang, maka telah diadakan pemilihan dan para perwira itu mengadu kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada saat Cin Hai dan Kwee An memasuki ruangan itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang bergumul di atas panggung dan semua perwira yang menonton bersorak-sorak gembira, juga Beng Kong Hosiang, Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua dan terpandai, menikmati pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya pemuda ini.

 Cin Hai berbisik kepada Kwee An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka melalui kepala para perwira lalu melompat ke atas panggung di mana dua orang perwira itu sedang mengadu kepandaian.

 Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan Kwee An masing-masing memegang seorang perwira pada lehernya dan melemparkan mereka ke bawah panggung seakan-akan orang melempar ayam saja!

 Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing melihat siapa yang datang mengacau, ia menjadi pucat karena ia telah mengenal Cin Hai yang telah dirasai kelihaiannya itu.

  

 Cin Hai lalu memandang ke sekeliling dan keadaan di situ sunyi senyap karena semua orang masih tercengang melihat peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Siapakah orangnya yang berani mati mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada saat perwira-perwira mengadakan pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang berada di situ? Mungkin setan pun berani mengacau maka tindakan kedua orang pemuda itu sungguh-sungguh membuat mereka tercengang dan terheran!

 “Cuwi-ciangkun (para panglima yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan sengaja hendak mengacau dan kami sebenarnya tidak mempunyai urusan sesuatu dengan Eng-hiong-koan ini. Akan tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini, terpaksa kami datang juga. Kini kami minta supaya para musuh besar kami itu suka tampil ke muka dan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang biadab!”

 Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka tercengang melihat ketenangan anak muda itu. Yang tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan angkat pundak. Melihat keberanian ini, Beng Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh karena ia memandang rendah sekali kepada kedua orang itu, maka katanya dengan suaranya yang tinggi nyaring,

 “Eh, anak-anak muda yang berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?”

 Sekarang Kwee An yang menjawab dengan suaranya yang halus nyaring,

 “Musuh-musuh kami adalah si pengecut Boan Sip, kedua saudara Tan Song dan Tan Bu, kelima kawanan yang disebut Santung Ngohiap Ma Ing, Un Kong Sian dan tiga saudaranya yang lain, dan yang terakhir seorang hwesio keparat bernama Hai Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau berada di tempat ini harap maju untuk menerima kematian!”

 Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Alangkah beraninya kedua pemuda itu. Orang-orang yang namanya mereka sebut adalah perwira-perwira kelas tinggi, bahkan Ma Ing dan Un Kong Sian mendapat tempat duduk di deretan Beng Kong Hosiang karena mereka itu telah dianggap perwira-perwira yang tinggi kedudukan dan kepandaiannya, demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan yang kesemuanya berjumlah lima orang dan disebut Santung Ngohiap. Lebih-lebih lagi nama terakhir, yakni Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini adalah sute (adik sepergurunan) dari Beng Kong Hosiang sendiri!

 Musuh-musuh besar yang namanya disebutkan tadi semua berada di situ, kecuali Boan Sip dan Hai Kong Hosiang. Biarpun wajah mereka menjadi berubah ketika nama-nama mereka disebut, tetapi karena berada di rumah sendiri dan mempuyai banyak kawan-kawan, terutama adanya Beng Kong Hosiang di situ membuat mereka tabah dan berani. Secara otomatis Tan Song dan Tan Bu lalu berdiri dan menghampiri kelima saudara Santung Ngohiap yang duduk di dekat Beng Kong Hosiang. Juga lima jago dari Santung itu yakni Ma Ing, Un Kong Sian, dan tiga orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai, berdiri dari kursinya hingga ketujuh orang ini berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.

 Sebetulnya nama Santung Ngohiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka adalah seperti berikut: yang pertama Lauw Tek, ke dua adalah adiknya Lauw Houw. Kedua saudara inilah yana dulu ikut membasmi keluarga Kwee. Orang ke tiga adalah seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah satu-satunya orang dari kelima jago dari Santung yang tidak pernah memusuhi keluarga Kwee dulu, akan tetapi karena ia juga menjadi anggauta Santung Ngohiap, maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan saudara-saudara seperguruannya. Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima saja yang demikian hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan kepandaian di rumah keluarga Kwee dulu, maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!

 Demikianlah, kelima Santung Ngohiap itu dan kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah berdiri merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,

 “Eh, dua anjing pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau apa?”

 Sambil berkata demikian, ia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam orang lainnya. Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing. Juga para perwira yang merasa marah sekali melihat kedatangan dua orang muda yang mengacau ini, pada bergerak mendekati panggung hingga Cin Hai dan Kwee Ang seakan-akan hendak dikeroyok oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!

 Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum sindir. “Hem, hm, tidak kusangka bahwa selain menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha, kalian majulah!” Sambil berkata demikian, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah berada di tangannya! Juga Kwee An telah bersiap sedia dan ia mencabut pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan. Mereka telah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.

 Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong Hosiang, “Tahan!” Dan tahu-tahu hwesio yang tinggi kurus ini telah berada di atas panggung, mendahului semua perwira dan ia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.

  

 “Tidak malukah kalian?” tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju. “Untuk menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar? Cuwi-ciangkun, jangan kau bikin malu kepada pinceng!”

 Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai penasihat para perwira dan terkenal sebagai seorang yang amat disegani dan ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi. Sekarang tempat itu dikacau oleh dua orang pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali! Ia telah melihat gerakan kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan ia maklum bahwa di antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, sedangkan pemuda yang ke dua itu tidak berbahaya.

 Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka dan hanya berdiri memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam.

 Beng Kong Hosiang tertawa. “Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid siapa hingga berani sekali mengganggu tempat kediaman kami?”

 “Aku bernama sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An,” jawab Cin Hai dengan suara tenang karena ia belum kenal siapa sebetulnya hwesio tua ini. “Kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain, kecuali orang-orang yang namanya telah disebut tadi. Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut balas!”

 “Hem, mereka itu dibunuh karena mereka telah memberontak dan berani menghina perwira-perwira kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah berani mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak muda, perbuatanmu ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menghukum kalian!”

 “Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami bersedia menghadapi siapa saja!” berkata Kwee An dengan marah karena ia dapat menduga bahwa hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di kalangan perwira Sayap Garuda.

 “Ha, ha, ha! Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak tahu sampai di mana tingginya langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun, marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!” Beng Kong Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau kalau pihaknya disebut curang dan main keroyokan, akan tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan, maka ia sengaja memanggil Lauw Tek yaitu saudara tertua dari Santung Ngohiap atau perwira yang pada saat itu hadir di situ. Ia maklum bahwa kepandaian Lauw Tek cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An, sedangkan untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya!

 Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh dan melompat ke atas panggung menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,

 “Dulu kau masih kuberi ampun hingga jiwamu tidak sampai melayang, apakah karena itu kau merasa menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?”

 Kwee An mengenal orang ini sebagai seorang di antara mereka yang menyerbu rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan sambil tersenyum menyindir Lauw Tek menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka berdua lalu bertempur hebat.

 “Ha, ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!” kata Beng Kong Hosiang dan ia mengebut dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah jalan darah kin-hun-hiat di dada Cin Hai. Sambaran ini hebat dan kuat, akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan tahu-tahu pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini! Hampir saja lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh Liong-coan-kiam. Hwesio ini terkejut sekali karena ia tidak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai, maka tadi ia berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, akan tetapi ternyata penuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat mengelak serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan bajunya memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri?

 Ia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan ujung lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke depan ke arah muka lawan, akan tetapi gerakan ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya ialah secepat kilat ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang yang memegang pedang untuk merampas pedang lawan itu! Akan tetapi, lagi-lagi ia terkejut bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan saja ujung lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang tidak diteruskan dan kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai menggerakkan lengan tangannya dan pedangnya menyabet ke bawah hingga tak ampun lagi ujung lengan baju itu terbabat putus!

 Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia mengira bahwa dalam satu dua gebrakan saja ia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya, serangannya dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri menderita rugi karena ujung lengan baju yang merupakan senjata baginya itu telah terbabat putus! Dengan muka terheran-heran ia mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang bergagang bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang pacul itu dapal dilipat dua dan oleh karena itu setelah dilipat menjadi pendek dan dapat diselipkan di pinggangnya.

  

 Sambil membentak hebat, Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan menyerang dengan cepat. Gerakannya aneh sekali seperti seorang petani mencangkul tanah, akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas dan cepat melompat ke pinggir dan balas menyerang dengan pedangnya.

 Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan dan kepandaiannya untuk mempertahankan diri terhadap serangan Lauw Tek yang betul-betul lihai itu. Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,

 “Eh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”

 Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia menahan senjatanya dan membentak, “Kalau aku benar murid Kim-san-pai kau mau apakah?”

 Lauw Tek tertawa menghina. “Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang Cu dan mampus di ujung senjataku!” Setelah berkata demikian ia mendesak makin hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak hebat.

 Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh dari Kim-san-pai. Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An menjadi murid Eng Yang Cu. Ketika itu, Santung Ngohiap masih tinggal di Santung dan menjadi jago yang ditakuti karena selain lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang merantau tiba di Santung dan mendengar tentang keadaan Santung Ngohiap, lalu sengaja menantang pibu kepada mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah panas hingga ia tidak tahan mendengar betapa di Santung ada Santung Ngohiap yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang. Di dalam pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari Santung Ngohiap kena dikalahkan oleh Eng Yang Cu, akan tetapi secara licik kelima jago Santung itu lalu mengeroyok hingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan melarikan diri. Semenjak itu, Santung Ngohiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.

 Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat Kim-san-pai yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian Kwee An, ia dapat menduga bahwa anak muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia menjadi girang sekali karena sekarang mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini.

 Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan tetapi, biarpun masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga gerakan pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya.

 Pada saat itu, dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara orang berseru, “Lauw Tek, jangan kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau mundurlah!”

 Kwee An merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Ia lalu mundur dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek. Eng Yang Cu adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah putih dan pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya adalah pedang panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.

 “Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!” Lauw Tek berseru dan menyerang dengan ganas. Para saudaranya seketika melihat kedatangan musuh lama ini, lalu datang menyerbu hingga kini pertempuran lebih hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Kwee An yang melihat betapa pihak lawan mengeroyok, tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan pedangnya lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan kedatangan suhunya itu.

 Sementara itu, dengan ilmu pedang campuran dari Liong-san Kiam-hoat, Ngo-lian Kiam-hoat, dan Sianli-utau yang pernah dipelajarinya, juga kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tidak berdaya. Setiap gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai, sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang campur aduk telah membingungkan hwesio itu. Hanya tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya hingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.

 Ketika melihat kedatangan suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua lawan hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan pedangnya kini disertai tenaga khikang yang luar biasa. Inilah tenaga khikang yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya tempur luar biasa sekali karena seluruh tenaga lweekang, gwakang dan ginkang dipersatukan merupakan pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar. Khikang semacam ini jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang bulat hingga sangat melelahkan tubuh, ia sendiri akan mendapat celaka oleh karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka jarang sekali ia keluarkan kepandaian ini. Untuk menggunakan tenaga khikang ini, paling lama ia hanya kuat bersilat sampai tiga puluh jurus saja.

 Akan tetapi, akibatnya hebat sekali. Baru saja ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya berhasil menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam keadaan pingsan.

  

 Melihat kehebatan ini, para perwira menjadi terkejut sekali dan permainan Santung Ngohiap menjadi kacau balau hingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek dengan pedangnya. Keadaan menjadi kalut dan semua perwira mencabut senjata hendak mengeroyok. Akan tetapi karena jumlah mereka besar, sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan sendiri. Cin Hai dan Kwee An yang mengambil keputusan hendak membalas dendam, lalu sengaja menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggauta Santung Ngohiap dan ketua saudara Tan Song dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu mana musuh-busuh besar muridnya, hanya menggerakkan senjata untuk melindungi kedua pemuda itu. Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu dan serangan pemuda ini disertai kegemasan yang meluap hingga kedua saudara Tan itu roboh tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni orang tua ini dan hanya menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung pedang Liong-koan-kiam!

 Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu telah dapat dirobohkan, tiba-tiba Cin Hai melintangkan pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.

 “Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak berdosa. Orang-orang yang telah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanyalah enam orang yang telah tewas ini! Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya diberi hajaran saja demikianpun Beng Kong Hwesio yang sombong hanya diberi hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang jahat itu pun hendak kami basmi dari permukaan bumi!”

 Akan tetapi, di antara sekalian perwira itu, mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia kawan sendiri? Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di tangan, walaupun hati mereka telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang itu!

 Karena tidak ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya pergi dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi setelah tak melihat mereka di atas panggung lagi. Mereka lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan ke istana. Keadaan menjadi kalut sekali, karena semenjak Kanglam Chit-koai mengamuk pada beberapa puluh tahun yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak pernah ada orang yang berani mengganggu mereka. Tak dinyana bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh seorang tosu tua telah membuat mereka kocar-kacir, bahkan enam orang perwira telah binasa! Yang lebih hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang belum pernah dikalahkan orang itu, kini roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat sekali.

 Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia lalu memerintahkan barisan pengawal untuk mengejar dan mengepung, akan tetapi pada saat itu, Cin Hai dan kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah berhenti di dalam sebuah hutan.

 Cin Hai diperkenalkan oleh Kwee An kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum kepada Cin Hai.

 “Sie-taihiap, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu sungguh-sungguh membuat aku menjadi kagum sekali. Siapakah Suhumu yang mulia?”

 Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama suhunya karena maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tidak suka bahkan membenci segala nama besar yang dianggapnya kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu mewakilinya menjawab,

 “Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su.”

 “Ah!” Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar ini. “Tak heran apabila kepandaiannya lihai sekali. Pinto pernah mendengar nama besar Suhumu walaupun mataku belum mendapat kemuliaan dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe itu, akan tetapi setelah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas.”

 Kemudian Eng Yang Cu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari Santung Ngohiap yang telah membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.

 “Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena hwesio itu pun cukup lihai hingga aku tidak mempunyai kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus terang.

 “Kwee An, musuh-musuhmu telah terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang besar itu.” “Musuh belum terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. Masih ada dua orang musuh besar yang memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya.”

 Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”

  

 Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”

 Kemudian, setelah memberi nasihat dan pesanan kepada muridnya agar berlaku hati-hati dan agar supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.

 “Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto takkan tinggal diam dan mencoba untuk melawan mereka,” katanya. Kwee An merasa terharu atas pembelaan suhunya itu dan menghaturkan terima kasih dan selamat berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.

 “Suhumu itu berhati mulia sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat kepada suhunya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhunya itu masih berada di Gua Tengkorak?

 “Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata ia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”

 Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab, “Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar takkan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para perwira.”

 Mereka lalu menanti sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja di waktu malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.

 “Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Santung Ngohiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, ia agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita tentang tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak membunuhnya.”

 Dengan mempergunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan mudah dapat melompati tembok kota di bagian yang tidak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu, yaitu di dalam sebuah gedung besar yang kuno.

 Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda berpakaian biru yang telah berdiri di situ dengan tangan memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!

 “Hm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya sambil menggerakkan pedang. “Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti kedatanganmu berdua!”

 Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya dan Kwee An cepat menangkis. Kedua pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.

 “Sobat, tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?”

 “Kalian diam-diam memasuki kotaraja dan mencari rumah kediaman Ma-ciankun. Masih hendak bertanya mengapa aku menanti dengan pedang di tangan di sini? Aku adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kauhadapi dulu anaknya!”

 Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya telah menyerang lagi kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian. Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah daripada kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan tubuh hingga gerakannya seperti seekor naga yang menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!

  

 JUGA Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu dan tak dapat mendesak!

 “Sobat, kita datang bukan bermaksud buruk!” Kwee An berkata sambil menahan serangan orang akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya.

 Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng, “Hoa-ji,jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!”

 Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah keren.

 “Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku ada keperluan apakah?”

 Kwee An membalas hormatnya dan berkata, “Harap Lo-enghiong suka memaafkan kami. Sebenarnya kami berdua tidak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua, karena tidak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, kedua musuh besarku yang masih belum terbalas itu.”

 Walah Ma Keng In memerah. “Hm, kalian otang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang sebelah mata kepadaku! Kaukira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri? Biarpun kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tidak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri.”

 Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,

 “Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku hingga mentertawakan sikapku yang bodoh?”

 “Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi mengapa kau sudi menjadi anggauta Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip adalah orang-orang yang telah melakukan keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau telah melakukan sesuatu yang adil. Ingatlah bahwa permusuhan ini tiada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan mereka sebagai anggauta Sayap Garuda, akan tetapi adalah urusan pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa perlunya mereka bersembunyi daripada kami? Kalau kau menolak untuk memberitahukan tempat tinggal mereka, itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh kami!”

 Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak dan ia makin heran melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga mempunyai pemandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela napas dan berkata,

 “Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan kalau ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan kepadamu tentang kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan menganggap aku merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan tetapi kalau kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu dan Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”

 Cin Hai menjura dan berkata, “Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang benar-benar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”

 Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.

  

 Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakang. Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!

 “Eh, eh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?” Kwee An menegur tidak senang.

 “Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab pemuda itu ketus. “Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah utara!”

 Kwee An merasa mendongkol dan penasaran. “Mengapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?”

 Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata, “Aku akan menunggu di sana!” Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.

 “Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan Ayahnya.” Cin Hai menegur dengan suara menyesal.

 “Siapa takut dia?” jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali karena tadi ia benar-benar tidak dapat mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menentangnya apakah ia harus mundur? “Dan lagi kita hendak melewati Pai-san. Kalau kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan diterwakan oleh seorang kanak-kanak?”

 Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!

 Setelah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun tentang rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit Pai-san.

 Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di situ subur. Hal ini adalah karena di lereng itu mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau mata air Sungai Liong-kiang dan yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai Huangho, karena sungai Liong-kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai Kuning yang besar itu.

 Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah air sungai yang mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang bergerak maju melawan arus air. Setelah dekat, ternyata yang duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan seorang tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus bagaikan tengkorak hidup dan berwajah gembira. Biarpun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu dapat menggerakkan perahu dengan lajunya, hingga dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya.

 Tiba-tiba terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu diiringi bunyi riak air. “Di belakang pintu gerbang merah indah cemerlang anggur dan daging berlebih-lebihan hingga masam membusuk!

 Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang berserakan tulang rangka sisa korban dingin dan lapar!!”

 Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair yang ditulis oleh pujangga Tu Fu. Pada jaman dulu keadaan rakyat di bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika lewat di Pegunungan Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut istana Hua Cin. Oleh karena merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan raja yang tahunya hanya bersenang-senang belaka tidak mempedulikan keadaan rakyatnya yang sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan kedinginan, maka jiwa patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya untuk membuat syair itu.

 Syair ini semenjak dulu dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena dianggap sangat menghina kaisar, dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang mengenalnya lagi, apalagi menyanyikannya, karena apabila terdengar oleh kaki tangan kaisar, tak ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman keras. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu bahkan berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang yang berani bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tahulah seorang yang luar biasa dan berilmu tinggi.

  

 “Bagus sekali syair itu, seakan-akan kulihat Tu Fu menjelma kembali.” Dengan suara keras Cin Hai memuji.

 Ketika itu perahu kecil tadi telah tiba di depan mereka dan nelayan itu lalu memandang ke arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri di depan Cin Hai.

 “Hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?” tanyanya.

 “Kenal? Dia sahabat baikku di alam mimpi!” jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara nyaring.

 “Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar untuk memberi tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia yang akan merasa bahagia biarpun dalam hujan karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa?

 Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku, biarlah gubukku ini hancur lebur, biarlah aku mati kedinginan, aku akan mati dengan mata meram dan jiwa tenteram!

 Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah gembira sekali. Tiba-tiba dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya di pundak pemuda itu.

 Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan, dan ketika ia memeluk Cin Hai kedua tangannya merangkul. Cin Hai merasa seakan-akan ia ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati. Ia merasa terkejut sekali dan tahu bahwa diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya.

 Maka ia lalu menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tekanan yang hebat ini. Ia hampir tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan kelemahannya.

 Akhirnya kakek nelayan itu melepaskan pelukannya dan Cin Hai merasa lega sekali. Keringat dingin telah keluar dari kulit mukanya dan ia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.

 Kakek nelayan itu setelah memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri dan wajah gembira, lalu berpaling kepada pemuda baju biru yang sementara itu telah keluar dari perahu dan menghampiri mereka. “Eh, anak nakal, pemuda inikah yang kaumaksudkan? Ah, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu kalah!”

 Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah Kwee An, “Bukan dia, Suhu, yang inilah!”

 Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka tercengang, karena setelah melihat pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa pemuda ini benar-benar berwajah tampan sekali dan sikapnya pendiam dan agung! Ma Hoa lalu melangkah rnenghadapi Kwee An dan berkata,

 “Hem, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah senjatamu dan coba kau perlihatkan kepandaianmu!” Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu melolos pedangnya dari pinggang dan bersiap sedia. Kwee An berdiri bingung karena ia merasa jerih juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan tenang ini. Ia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling pandang dengan nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,

 “Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal itu!”

 Cin Hai maklum bahwa kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka ia tidak menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah kakek itu.

 Ma Hoa ketika melihat Kwee An berdiri bengong, lalu membentak,

 “Tidak lekas mengeluarkan senjatamu? Apakah kau takut?”

 Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia mencabut senjatanya dan berkata, “Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?”

 Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi Kwee An dengan cepat menangkis dan membalas menyerang. Sebentar saja keduanya bertempur seru sekali, saling mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan, membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya.

  

 Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Ia tak hanya mengagumi kepandaian kedua anak muda ini, akan tetapi ia mengagumi kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi dan sama pandai. Dan yang lebih mengherankannya lagi, Ma Hoa biarpun sikapnya congkak sokali, akan tetapi di dalam pertempuran itu agaknya tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee An. Ini dapat dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit dari pada seharusnya dalam mengirim serangan maut! Kwee An tak pantas disebut murid Kim-san-pai yang lihai kalau ia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul kepandaiannya, akan tetapi karena berkali-kali Ma Hoa memperlambat gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini mencoba kepandaiannya saja. Oleh karena itu, ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang paling hebat dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sinar pedangnya bergulung-gulung, akan tetapi ia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda lawannya itu. Sungguh suatu pertempuran yang hebat dan indah dipandang.

 Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa keduanya tidak mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya ia telah merasa khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena kalau ia dan Kwee An sampai menjadi musuh nelayan ini, itu berarti bahwa mereka telah menanam bibit permusuhan yang berbahaya. Laginya, ia merasa suka sekali kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan keadaan tamasya alam yang indah di situ telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak terasa pula ia mengeluarkan suling bambunya. Kakek nelayan itu memandangnya dengan senang sekali hingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil matanya memandang kepada dua orang muda yang masih bermain pedang.

 Cin Hai memang pandai sekali menyuling. Ketika suara lengking sulingnya melagukan sebuah lagu peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak terasa pula terpengaruh oleh nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin hebat dan indah, seakan-akan dua orang penari yang mendengar suara gamelan merdu yang membuat tarian mereka lebih indah.

 Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua matanya yang lebar mengalir keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini perasa sekali hingga membuat ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah menangis. Oleh karena inilah, maka ia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!

 Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak muda itu terpengaruh oleh suara sulingnya. Ia melihat betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu telah berjalan dua ratus jurus lebih! Ia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya. Keadaan menjadi sunyi setelah suara suling itu terhenti dan yang terdengar kini hanya riak air. Keadaan yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu hingga dengan sendirinya mereka lalu melompat mundur. Wajah kedua pemuda itu berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi aneh sekali. Sekarang Kwee An tidak mempunyai perasaan penasaran karena tidak dapat mengalahkan pemuda itu bahkan ia memandang ke arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan ingin bersahabat karena timbul rasa suka di dalam hatinya kepada pemuda itu.

 “Bagus, bagus!” tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang diberi kembang gula. “Mereka itu cocok dan sesuai sekali, bukan?” katanya kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu mengangguk sambil tersenyum.

 “Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok! He, anak muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tak ada pemuda lain yang lebih cocok untuk menjadi calon suami muridku, Ha, ha!” Kakek nelayan yang luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.

 Kwee An merasa bingung dan tidak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai berkejap dan menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang-kadang sudut matanya mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia menjadi mengerti! Hampir saja ia menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang pemuda, akan tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula!

 Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah bagaikan kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani berkata-kata lagi.

 “Bukankah cocok sekali mereka?” lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai. “Aku yang akan menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun takkan mampu menolak seorang calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa kau diam saja?”

  

 Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura, “Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan tentang perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu kepada Suhunya karena kedua orang tuanya telah tidak ada lagi.”

 “Ah, jangan banyak upacara lagi!” kata kakek nelayan. “Orang she Kwee, bukankah kau juga suka kepada Hoa-ji seperti ia suka kepadamu?”

 Kwee An memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tidak berani bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung penuh pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini dapat menduga demikian?

 Agaknya kakek nelayan ini dapat membaca pikiran orang karena setelah tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,

 “Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”

 Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat suhunya yang selalu bersikap terus terang dan jujur, akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saia ia merasa malu sekali orang membicarakan tentang perjodohan dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu itu meninggalkan mereka!

 “Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Kalau dia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!”

 Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di antara tokoh-tokoh luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat maupun di dalam air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhunya, maka mereka berdua lalu memperlihatkan sikap menghormat sekali.

 “Locianpwe, harap kau orang tua sudi maafkan teecu yang bodoh. Sebagaimana dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam soal perjodohan, bukan teecu menampik, akan tetapi harus teecu minta nasihat Suhu terlebih dahulu.”

 “Eh, siapa Suhumu yang beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.

 “Suhu adalah Eng Yang Cu.”

 “Oh, tosu dari Kim-san itu? Ha, ha, aku suaah menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-san-pai, akan tetapi tak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju sepuluh bagian!”

 “Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe, akan tetapi sungguh, teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!”

 Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya dan tanah di mana kakinya terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!

 “Apa katamu? Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini!”

 Kini Cin Hai buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena ia cukup mengenal adat Kwee An yang biarpun pendiam akan tetapi keras hati dan tak kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.

 “Locianpwe, sesungguhnya Saudara Kwee An sama sekali tidak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat kehormatan besar dan dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan sekarang sedang melakukan perjalanan dengan teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar itu.”

 Cin Hai lalu dengan singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa yang menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa sangat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air mata yang membasahi pipinya.

 “Jadi musuh-musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira? Ah, Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi kembung!” katanya dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,

 “Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya telah maju pesat karena ia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tak dapat melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau mengerti ilmu dalam air?”

 Cin Hai menggeleng kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa ia hanya dapat berenang sedikit saja.

 “Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu, baik di darat maupun di air!”

 Cin Hai dan Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong-kiam-hwat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan renang, sedangkan untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan karena kepandaian pemuda itu katanya sudah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air. Karena Cin Hai memang telah memiliki lweekang yang tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja ia dapat menguasai ilmu itu dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.

 Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak meninggalkan Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!

 Ketika gadis itu meloncat ketuar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa cantiknya. Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat pinggangnya serta pengikat rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.

  

 Nelayan Cengeng melebarkan kedua matanya ketika melihat pakaian muridnya itu. “Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu hendak pergi melanjutkan perjalanan.”

 Memang orang tua ini terlalu sekali. kejujurannya yang luar biasa hingga ia menyebut Kwee An sebagai tunangan muridnya itu telah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu sekali.

 “Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap malu-malu kucing? Kesinikan pedangmu!” Biarpun ia keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhunya yang menganggapnya sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala ia bertindak maju. Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan gemetar ia melolos pedangnya dan diberikan kepada suhunya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara, maka suaranya akan terdengar menggigil. Nelayan Cengeng gembira, lalu ia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah,

 “Kwee An, terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan pedangmu kepada tunanganmu!”

 Dengah sikap menghormat, Kwee An menerima pedang itu, kemudian ia mencabut pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,

 “Saudaraku, engkau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus kauberikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?”

 Nelayan Cengeng itu memandang dengan heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja karena ia tertawa bergelak dan berkata, “Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”

 Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan kedua orang ini. Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan pedang itu. Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka dan tidak melihat ia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa ia menggerakkan bibirnya memanggil,

 “Moi… eh… Siocia, kauterimalah pedang ini!”

 Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang dan ia lalu tertunduk kembali!

 “Ah, salah... salah...!” Cin Hai menggoda terus. “Saudara An, kau harus memanggil moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!”

 Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Ia bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan. “Benar, benar...! Bagus...”

 Ma Hoa tak dapat menahan lagi jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu lari ke perahunya mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak.

 “Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekas kembali!” kata Kong Hwat Lojin sambil bertindak pergi.

 Kwee An dengan mulut cemberut lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!”

 Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat ia dapat menekan perasaannya dan berkata, “Aah, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?”

 Kwee An tak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee An tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di pinggir Sungai Liong-kiang itu!

 Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di mana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.

 Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok hingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biarpun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai dan Kwee An. Dari mereka ini kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini telah bertukar nama karena ia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang diangkut ke dalam perahu itu adalah sumbangan-sumbangan dari pada para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada Pangeran Vayami.

  

 Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat Hai Kong Hosiang di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenal dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya yang gundul licin.

 Pada saat itu, perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan tempat itu, sedangkan para pemeluk agama yang berdiri di tepi sungai berlutut memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.

 Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka yang melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu dengan bentakan,

 “Dua ekor anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurangajaran di sini?”

 “Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata, kau masih banyak bertingkah lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.

 Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat dan mengenal wajah Kwee An, “Eh, kau masih belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan kanannya mencabut keluar tongkat ularnya yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna agar kau tidak menjadi penasaran!”

 Sambil berkata demikian, ia maju ke arah Kwee An, akan tetapi pada saat itu, pintu kamar yang terdapat di perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak dengan suaranya yang halus,

 “Hai Kong bengyu, tahan dulu!” Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan anehnya, Hai Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan menjura. Pemuda ini bukan lain ialah seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri.

 Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya dan berkata dalam bahasa Han yang fasih,

 “Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan kepadaku dan mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?”

 Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat bahwa kopala agama ini ternyata masih muda sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya! Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan membalas hormat, diikuti oleh Kwee An.

 “Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada di atas perahu, kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini, karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu jiwa dengannya.”

 Pangeran Vayami tersenyum halus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam yang membuat Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa selain memiliki tenaga lweekang yang tinggi juga pangeran ini berpengaruh dan cerdik.

 “Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu adalah menjadi tamu kami dan oleh karenanya, selama dia berada di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan segala tenaga, bahkan dengan jiwaku sekalipun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang mukaku dan tidak mengganggunya selama dia masih berada di sini!” Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kedua tangannya dan bertepuk tangan tiga kali. Tiba-tiba dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang berjubah merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.

 Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka ia lalu menuding kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan dan perbuatanmu dan tentu tidak begitu pengecut untuk lari dari tuntutan balas kami. Kalau kau memang laki-laki maka harap kau mau turun ke darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih pandai!”

 Hai Kong Hosiang tadi telah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu, maka ia maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai daripada Kwee An, maka ia berkata,

 “Jangan kau mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tak pernah lari dari musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan kau tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?”

  

 “Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah mempunyai hutang padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak kecil yang meniup suling dan yang hendak kaubunuh dulu itu siapa? Lihat mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!”

 Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu di dalam gua Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jerih. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah yang telah lama malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu tanding, maka tentu saja ia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.

 “Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan hidup?”

 “Hwesio keparat kau turunlah ke darat!” Kwee An membentak marah.

 “Ha, ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun kalau aku suka dan sekarang aku belum ada ingatan untuk turun dan melayani kalian.” Cin Hai menjura kepada Pangeran Vayami. “Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar dan bertindak di sini!”

 Pangeran Vayami sambil tersenyum berkata. “Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak mungkin tinggal diam melihat tamuku diganggu.” Ia lalu memberi tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan mengurung Cin Hai serta Kwee An!

 “Saudara An, kaulawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan kera tua ini!”

 Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki “kera tua”! Ia lalu berseru nyaring dan senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada, ia lalu mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.

 Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang memutar pedangnya dengan hebat. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu hanya memiliki tenaga hebat dan kuat bagaikan kerbau jantan, akan tetapi kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi, hingga Kwee An tak sampai terdesak oleh mereka. Akan tetapi, bagi pemuda itu pun tidak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku hati-hati sekali. Biarpun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan berbahaya, namun karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali saja terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka! Maka ia berlaku tenang dan hati-hati dan menjaga diri dengan kuatnya, sedikit pun tak memberi waktu kepada mereka untuk dapat memukulnya.

 Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Pendeta ini benar-benar telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng. Karena berkali-kali bertemu dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang lain-lain, dan semenjak kena dikalahkan oleh Biauw Leng Hosiang, pendeta ini lalu melatih diri dan mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke utara, ia sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari kepandaian mereka itu. Maka dalam pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat pendeta ini jauh lebih hebat daripada ketika ia bertempur di dalam Gua Tengkorak. Terutama tongkatnya yang hebat itu, yang di dalam tangannya seakan-akan berubah menjadi seeor ular berbisa yang masih hidup, sangat berbahaya sekali. Biarpun Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam tiap serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi karena senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hati-hati sekali. Ia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat ini ia dapat bergerak gesit sekali dan tubuhnya berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan dan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

 Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri. Ia kagum sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong Hosiang, pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Namun, betapa herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah. Memang untuk mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sengaja mencampur permainan silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang ia mengeluarkan jurus Liong-san-kiam-hoat, Ngolian-kiam-hoat, bahkan seringkali ia mengimbangi permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan jian-coa-kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular. Hai Kong Hosiang tercengang dan heran sekali hingga ia menunda serangannya dan membentak, “Bangsat dan maling rendah! Dari mana kaucuri ilmu pedangku?”

 “Ha, ba, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna? Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu itu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya dan Hai Kong Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar menyerangnya dengan Ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut, akan tetapi jauh lebih sempurna.

  

 Padahal sebetulnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya saja karena ia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat yang telah dimainkan itu, ia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat memperbaikinya. Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jerih. Tak disangkanya bahwa pemuda ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru ilmu silat-ilmu silat ini mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jerih. Namun, karena melihat bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, ia memperkuat hatinya dan sambil membentak keras ia menyerang lagi. Kini tangan kirinya mencabut keluar sebatang sabuk ular yang penuh bisa. Jangankan sampai terpukul oleh sabuk ini bahkan baru keserempet sedikit saja, racun ular yang mengenai kulit dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat meresap ke dalam daging dan meracuni darah hingga membahayakan jiwa lawannya. Baru saja sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai telah mencium bau yang amat amis, maka tahulah dia akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Ia lalu menggunakan tangan kirinya mencabut keluar sulingnya dan untuk mengimbangi lawan, ia mempergunakan dua macam senjata pula di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di tangan kiri suling bambunya!

 Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan peristiwa dulu ketika Cin Hai masih kecil dan dengan suling bambunya telah menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan matinya kelima ularnya karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu menyerang sambil berteriak,

 “Anak setan, kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”

 Cin Hai diam-diam merasa girang melihat kemarahan Hai Kong Hosiang ini, dan ia melayani serbuan hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan gerakan-gerakan sulingnya tidak dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan kedua orang ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.

 Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san-kiam-hoatnya telah berhasil merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi terkejut sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa kedua anak muda yang mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan jika dilawan terus akan membahayakan keselamatannya, maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa Mongol. Beberapa orang pelayan yang berkepandaian rendah dan karenanya tak berani membantu lalu menurunkan dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu menyalakan api dan membakar layar yang tergantung ke bawah hingga sebentar saja api menyala hebat di atas perahu itu. Ia lalu melompat dan hendak turun ke dalam perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air. Akan tetapi, melihat kecurangan pangeran ini, Kwee An meninggalkan ketiga pengeroyoknya dan ia mengejar pangeran itu sambil berteriak,

 “Jangan kau berlaku curang!” Akan tetapi, ketika ia telah tiba di depan pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya dengan obor yang masih menyala. Kwee An terkejut karena serangan ini hebat juga dan diserangkan ke arah pakaiannya. Cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di tangan Vayami yang lihai itu telah diserangkan pula ke arah mukanya! Kwee An miringkan kepala dan selagi ia hendak membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami telah berhasil menendang lututnya. Biarpun ia dapat miringkan kakinya hingga yang tertendang hanya di atas lututnya dan karena ia mengerahkan tenaga dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka, akan tetapi karena tendangan itu keras, dan juga karena mereka berdiri di pinggir perahu, maka tak ampun lagi tubuh Kwee An terpelanting keluar perahu dan jatuh tercebur ke dalam air!

 Cin Hai terkejut sekali akan tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai Kong Hosiang mendesaknya dengan hebat.

 Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran itu sendiri melompat ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,

 “Hai Kong Bengyu, lekas kau melompat ke sini!” Akan tetapi, Hai Kong Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini maklum bahwa jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh besar ini tak dapat dirobohkan, juga keadaannya berada dalam bahaya. Api di atas perahu telah mulai membesar dan bahkan kini telah memakan tiang besar di tengah perahu! Oleh karena ini, maka Cin Hai mengambil keputusan nekad dan menyerang mati-matian hingga hwesio itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa Hai Kong Hosiang kertak gigi dan melayani dengan sama sengitnya.

 Masih terdengar beberapa kali suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang akan tetapi karena hwesio itu tak dapat ikut pergi, terpaksa Vayami dan orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan arus yang besar dan kuat karena perahu besar dimana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur mati-matian itu telah hanyut ke tengah dan telah tiba di tempat yang airnya mengalir kencang. Kwee An yang tercebur ke dalam air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan terpaksa ia membiarkan dirinya terbawa hanyut sampai jauh. Baiknya ia pernah berlatih berenang pada Nelayan Cengeng, kalau tidak, mungkin ia akan mati di dalam permainan arus amat kuat itu! Ia tak kuasa berenang ke pinggir karena arus amat deras dan sungai itu sangat lebar, maka ia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang dan membiarkan dirinya hanyut di permukaan air. Sebentar saja ia terbawa hanyut jauh sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur telah lenyap dari pandangan matanya. Ia masih melihat betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee An sangat mengkhawatirkan keselamatan Cin Hai.

  

 Ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang memang hebat. Ini terasa sekali oleh Cin Hai, karena sungguhpun pemuda ini telah mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya, namun ia tetap tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang. Padahal mereka telah bertempur lebih dari dua ratus jurus. Sungguh harus ia akui bahwa inilah lawan yang paling tangguh yang pernah ia jumpai, kecuali Hek Pek Moko. Kalau dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng atau kakak seperguruan Hai Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apalagi sabuk ular di tangan kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya sekali.

 Sebetulnya, ilmu kepandaian yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su, boleh dibilang menjadi raja ilmu silat, karena ilmu ini membuat ia dapat mengetahui semua rahasia segala macam ilmu silat yang ada. Akan tetapi, oleh karena sebelum mempelajari ilmu kepandaian hebat ini Cin Hai belum mempunyai dasar-dasar ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang sangat kuat saja, dan kurang kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut kurang agresip. Memang, daya tahannya luar biasa kuatnya dan tak sembarang tipu gerakan yang dapat merobohkannya, akan tetapi sebaliknya daya serangnya lemah sekali oleh karena untuk dapat menyerang ia hanya dapat memetik dari jurus-jurus Ilmu Silat Liong-san yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin atau Ilmu Silat Lima Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.

 Paling banyak ia hanya dapat meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang, akan tetapi sudah tentu saja gerakannya kurang mahir, dan pula, apa artinya ilmu silat lawan digunakan untuk menyerang? Sudah tentu lawan itu sudah mengenal serangan ini dan amat mudah mengelak atau menangkisnya.

 Maka biarpun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik akan tetapi juga amat sukar baginya untuk menjatuhkan lawan yang luar biasa tangguhnya ini. Memang dengan Tarian Bidadari, beberapa kali ia telah berhasil menghantam pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya, akan tetapi hwesio ini mempunyai tubuh kebal karena ia telah mempelajari dan memiliki ilmu kebal yang disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Emas. Juga ilmu lweekang hwesio ini sudah cukup tinggi hingga sering kali kalau suling Cin Hai menotok jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan tetapi menggunakan tenaganya untuk menutup jalan darahnya itu dan mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan itu! Diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan ia tidak menyangka bahwa juga Hai Kong Hosiang merasa kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di dalam hati bahwa apabila pemuda ini telah matang latihannya, tentu ia takkan sanggup menghadapinya lebih lama daripada seratus jurus!

 Sementara itu, kini seluruh permukaan perahu telah mulai berkobar dan bahkan api telah menjalar mendekati mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di dekat mereka juga telah terbakar dan hawanya menjadi panas bukan main! Pada saat itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar hingga sepatunya menginjak api panas, sedangkan pedang di tangan Cin Hai telah disabetkan dengan hebat ke arah pinggangnya! Hwesio itu berteriak kaget akan tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga papan yang terbakar itu kena tertindih tubuhnya dan padam. Dalam kemurkaannya, hwesio itu menggunakan kakinya menyapu tiang besar yang terbakar dan terdengar suara keras ketika tiang yang telah terbakar itu tidak tahan tertendang kaki Hai Kong Hosiang dan menjadi roboh! Dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk, tiang yang terbakar dan layar yang masih menggantung di atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!

 Cin Hai cepat melompat pergi ke kepala perahu dan terhindar dari pada bahaya tertimpa tiang yang besar dan berat. Hai Kong Hosiang juga hendak melompat akan tetapi celaka baginya. Kakinya yang tadi digunakan untuk menyapu tiang secara kebetulan sekali terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali penarik layar yang bergantungan di tiang itu. Oleh karena ini, gerakannya melompat membawa tiang itu dan layar di atas roboh ke arah dirinya! Ia mencoba mengelak akan tetapi tali itu seperti tangan yang kuat memegangi kakinya hingga kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar dan tebal menyelimuti tubuhnya!

 Dengan kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang dapat menyelamatkan kakinya dan kaki itu tidak menjadi patah walaupun tertimpa tiang sebesar itu, akan tetapi ia menjadi sibuk karena sukar untuk keluar dari selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar dan termakan api! Hai Kong Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu sukar sekali dilepaskan dan ia menjadi gugup dan panik. Asap api telah masuk ke dalam selubungan layar dan membuat napasnya menjadi sesak. Dan pada saat itu, Hai Kong Hosiang tiba-tiba merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali menghadapi bahaya maut berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini, tak terasa pula ia memekik-mekik. “Tolong... tolonglah jiwaku...”

 Pada saat itu, Cin Hai telah berdiri di kepala perahu dan telah siap untuk terjun ke air, meninggalkan perahu yang telah terbakar itu. Ia memandang ke arah Hai Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan tertutup layar dan ia merasa girang karena musuh besar ini pasti akan mampus terpanggang. Tadinya ia bersiap sedia, karena kalau hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan layar, ia hendak mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu. Akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat bahwa hwesio itu tidak mampu melepaskan diri daripada kurungan layar dan tiang! Cin Hai tersenyum, memasukkan pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat pinggangnya dan hendak mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!

  

 Cin Hai berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong itu, lenyaplah perasaannya bermusuh terhadap Hai Kong Hosiang. Yang terlintas dalam pikirannya pada saat itu hanyalah adanya orang yang terancam bahaya maut dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia dapat berlaku kejam dan tinggal berpeluk tangan melihat orang dimakan api? Ah, hatinya tak sekejam itu dan ia menjadi tidak tega sungguhpun di waktu bertempur, dengan senang hati ia akan menancapkan pedangnya di uluhati hwesio itu!

 Tanpa banyak pikir lagi, Cin Hai lalu melompat ke dekat layar dan tiang yang masih mengurung Hai Kong Hosiang dan dengan menggunakan sepatunya ia menginjak-injak api yang mulai membakar layar itu dari tubuh Hai Kong Hosiang. Ternyata keadaan hwesio itu telah mulai payah karena selain api telah ada yang menjilat tubuhnya, juga ia telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang datang tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi dan ia duduk terengah-engah sambil terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang! Melihat muka hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan api, Cin Hai lalu menendang pergi tiang yang menindihnya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengangkat tubuh Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Ia melompat ke pinggir perahu dan selagi ia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba ia merasa pundak kirinya sakit sekali dan mendengar suara Hai Kong Hosiang tertawa!

 Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia digendong oleh Cin Hai itu menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah swan-hong-hiat! Totokan ini sebenarnya hebat sekali dan dapat mendatangkan kematian bagi Cin Hai, akan tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah berkurang sedangkan Cin Hai masih sempat menutup jalan darahnya walaupun agak terlambat, maka pemuda itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat hingga ia merasa betapa setengah badannya sebelah kiri telah menjadi lumpuh. Cepat Cin Hai menggunakan tenaga terakhir untuk melempar dirinya dan Hai Kong Hosiang ke dalam air. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh itu terbanting di air yang mengalir cepat itu. Hai Kong Hosiang jatuh dengan terlentang hingga untuk beberapa saat ia gelagapan. Akan tetapi, hwesio ini telah mempelajari ilmu di dalam air, maka cepat ia dapat membalikkan diri dan dengan matanya yang telah menjadi pedas dan kabur akibat serangan api tadi, ia mencari-cari mangsanya. Akan tetapi Cin Hai tidak nampak di situ dan selagi Hai Kong Hosiang mencari-cari dengan heran, tiba-tiba dari bawah permukaan air, sebuah lengan tangan menyerangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Inilah Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan oleh Cin Hai dengan hati gemas. Walaupun sebelah tubuhnya telah menjadi lumpuh, namun Cin Hai dengan mengeraskan hati dan mengumpulkan tenaga di tangan kanannya dapat melancarkan pukulan hebat itu yang tepat menghantam punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka dan hebatnya luar biasa, hingga tenaga Cin Hai tinggal setengah bagian saja dan walaupun dilakukan dari dalam air namun tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai terpental ke atas air. Cin Hai tidak kelihatan kepala dan tubuhnya dan hanya tangan kanannya saja nampak memukul dari dalam air, sedangkan tangan kirinya telah tak berdaya sama sekali.

 Hai Kong Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya telah melayang meninggalkan tubuhnya, kepalanya pusing dan matanya menjadi gelap. Ia terbanting lagi ke dalam air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena ia telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan itu. Adapun Cin Hai yang lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah melakukan serangan balasan yang hebat ini pun lalu menjadi pingsan dan tubuhnya hanyut di belakang tubuh Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tidak merasa bahwa ia telah ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami. Juga Hai Kong Hosiang ditolong oleh pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa masuk ke dalam sebuah tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali gedung di daerah utara yang dibangun model gedung bangsa Han.

 Berkat tubuhnya yang luar biasa kuatnya, setelah mendapat perawatan dari seorang tabib Mongol, luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang akibat pukulan Cin Hai telah dapat disembuhkan lagi dalam beberapa hari. Juga Cin Hai telah sadar dari pingsannya, akan tetapi ia merasa tubuhnya masih lemah sekali. Ia merasa heran mengapa ia mendapat perawatan sedemikian baiknya dari Pangeran Vayami dan diam-diam ia merasa bersyukur dan berterima kasih.

 Ketika Hai Kong Hosiang sadar dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup dan berada di tempat itu pula, ia serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu, akan tetapi Vayami mencegahnya. Hai Kong Hosiang adalah utusan kaisar yang ditugaskan menghubungi Pangeran Vayami yang berpengaruh, bahkan ia diberi tugas membawa surat undangan kepada pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa Pangeran Vayami adalah seorang yang terhormat dan yang harus ditaati perintahnya karena pangeran ini adalah calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.

  

 “Hai Kong Beng-yu, jangan salah paham,” kata pangeran ini dengan wajah berseri dan senyumnya yang manis. “Bukan aku sengaja membela dia karena aku membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi aku membutuhkan tenaga dan kepandaiannya. Ketahuilah bahwa ia telah terkena pengaruh madu merah dari tabibku dan sebentar lagi ia akan menjadi alat kita yang boleh dipercaya.”

 Hai Kong Hosiang mengangguk-angguk dan ia batalkan niatnya hendak membunuh pemuda tangguh yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa gembira akan muslihat Pangeran Vayami yang cerdik dan licin. Ternyata di daerah utara terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan obat yang luar biasa jahatnya dan yang sama sekali tak pernah dikenal oleh penduduk Tiongkok pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli dalam hal obat-obatan bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang mengandung racun luar biasa terdapai semacam obat yang disebut madu merah. Madu merah ini memang madu dari bangsa tawon yang langka terdapat di lain bagian di dunia, dan hanya terdapat di daerah salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang berbahaya bagi tubuh, akan tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan yang dapat membuat orang menjadi lupa akan keadaan dirinya dan yang diberi minum madu merah ini akan menjadi manusia penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri dan tahunya hanya menjalankan perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau sekarang mungkin orang macam ini akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran yang cerdik ini merasa kagum akan kepandaian Cin Hai, maka diam-diam ia menggunakan obat mujijat ini untuk mencengkeram Cin Hai, dan memperalatnya!

 Cin Hai mendapat perawatan yang luar biasa telaten dari tabib tua kepercayaan Vayami hingga dengan mudah saja pemuda itu dapat diberi minum madu merah yang manis rasanya dengan alasan bahwa itu adalah obat untuk menguatkan tubuhnya. Memang benar, tubuh Cin Hai menjadi kuat kembali dan luka akibat totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh, akan tetapi ia merasa makin hari makin malas dan semua hal yang telah terjadi berangsur-angsur terlupa olehnya. Bahkan ketika telah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai Kong Hosiang, ia tidak mengenal lagi hwesio ini! Cin Hai hanya merasa senang luar biasa tinggal di situ dan tidak mempunyai kehendak lain. Biarpun pikirannya telah dipengaruhi obat mujijat itu, namun tenaga dan kepandaiannya masih ada padanya. Hanya kepandaiannya dan julukannya saja yang ia masih ingat, yaitu “Pendekar Bodoh”!

 Demikianlah, dengan secara keji sekali, Pangeran Vayami telah dapat menaklukkan Cin Hai yang semenjak itu telah menjadi seorang hambanya yang setia dan yang menurut akan segala perintahnya. Ini tidak mengherankan karena pangeran itu selalu bersikap manis dan baik kepadanya, dan dengan pengaruh sihirnya yang cukup kuat ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu. Selain Pangeran Vayami, tak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini, karena betapapun juga pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang kuat!

 Setelah tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu membawa rombongannya itu menuju ke selatan, karena ia hendak memenuhi undangan kaisar yang hendak bersekutu dengannya.

 Rombongan ini setelah menyeberang sungai lalu melanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Pangeran Vayami memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang mempunyai tenaga luar biasa dan nampaknya liar. Kuda ini bukanlah binatang sembarangan dan dinamakan “Pek-gin-ma” atau Kuda Perak Putih yang dapat lari seribu li dalam sehari tanpa berhenti! Pangeran yang cakap ini nampak gagah sekali naik kuda yang berbulu putih itu, hingga jubahnya yang berwarna merah darah nampak mencolok sekali. Di sepanjang jalan pangeran yang tampan ini bersikap gembira dan menyambut penghormatan para rombongan orang-orang Mongol dengan sikap ramah dan agung. Memang hatinya sangat gembira dan girang karena kini ia telah mempunyai seorang penjaga pribadi yang juga menunggang kuda bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya, yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang memang sudah kelihatan bodoh itu kini benar-benar nampak bodoh sekali karena tidak menunjukkan perasaan apa-apa bagaikan seorang sedang duduk di atas kuda sambil mimpi!

 Pada suatu hari, rombongan Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang rumput dan mereka lalu memasang tenda di padang rumput, agak di luar kampung. Pada malam harinya, penduduk kampung yang berpenduduk campuran antara bangsa Han, Mongol dan Mancu, keluar menyambut Pangeran Vayami untuk menghiburnya. Pangeran ini namanya telah terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya seperti seorang Buddha hidup dan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat menyenangkan hatinya atau memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang itu akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga ke tujuh! Oleh karena itu, maka semua penduduk, tua muda, laki-laki dan perempuan, bahkan gadis kampung tidak ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka menghidangkan hidangan yang lezat-lezat dari daging domba, bahkan serombongan pemain musik memainkan perkakas mereka dan memainkan lagu rakyat. Gadis-gadis bergembira ria dan menari di depan Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan wajah menyatakan bosan. Memang ia tidak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena gadis-gadis di kampung utara memang rata-rata berwajah kasar bagaikan laki-laki dan kulit kehitam-hitaman.

  

 Tiba-tiba, ketika gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu nampak seorang wanita berbaju merah yang menari-nari pula. Akan tetapi tariannya berbeda dengan tarian para gadis kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian cantik jelita hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak. Gadis ini tidak saja kulitnya begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi juga mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan dan gerak-geriknya lemah gemulai menarik hati! Tidak hanya para pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya mereka lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan tetapi juga para gadis yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum hingga mereka menghentikan tarian mereka dan kini berdiri merupakan sederet barisan yang bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati tarian Gadis Baju Merah itu.

 Tiba-tiba Hai Kong Hosiang berseru di antara sinar obor yang membuat wajahnya nampak menyeramkan, “Ang I Niocu...!” Dan ia segera mencabut keluar senjatanya yang mengerikan itu, akan tetapi Vayami yang duduk di dekatnya segera mengangkat tangan dan berkata,

 “Hai Kong Bengyu, jangan sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!” Ucapan ini merupakan perintah karena pangeran itu benar-benar tidak suka melihat gangguan Hai Kong Hosiang. Oleh karena ini, sambil menggigit bibirnya, Hai Kong Hosiang berdiri saja sambil menatap Ang I Niocu dengan mata merah.

 Memang benar, yang datang itu adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah ini telah dapat melihat Cin Hai berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan tetapi karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia lalu sengaja memancing dengan tariannya. Sambil menari ia mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah heran, terkejut dan mendongkolnya ketika ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot sinar obor itu menunjukkan seakan-akan pemuda itu tidak kenal kepadanya dan seakan-akan tariannya yang indah itu dalam pandangan Cin Hai hanyalah tarian seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada harganya dipandang.

 Dalam kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan wanitanya yang halus itu dapat menduga adanya bahaya yang mengancam. Apalagi ketika ia melihat wajah Hai Kong Hosiang yang berada di situ pula! Aneh pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika ia melihat betapa sepasang mata pangeran muda itu tertuju kepadanya penuh kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar pengaruh pangeran itu hingga berani membentak Hai Kong Hosiang, ia lalu menari lebih indah pula untuk membuat pangeran itu benar-benar mabok!

 Pangeran Vayami memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap hari dia melihat wanita-wanita yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang demikian cantik jelita dan demikian indah tariannya, tak heran apabila ia menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran itu bertepuk-tepuk tangan dan memuji,

 “Bagus, bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan kau datang ke mari!”

 Dengan tindakan kaki yang menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu menghampiri pangeran itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang pangeran itu bersiap sedia dengan hati curiga.

 Ang I Niocu menjura dan memberi hormat dengan senyum manis bermain di bibirnya yang merah,

 “Nona, kau yang luar biasa ini siapakah namamu? Dan di mana tempat tinggalmu?”

 “Sudah kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!” kata Hai Kong Hosiang. “Gadis ini berbahaya sekali!”

 Akan tetapi baik Pangeran Vayami maupun Ang I Niocu tidak mempedulikan ucapan pendeta itu, dan Ang I Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, “Hamba bernama Kiang Im Giok dan tempat tinggal hamba tidak tentu karena sebenarnya hamba adalah seorang perantau.”

 “Ah, kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang kang-ouw juga bukan? Kebetulan sekali, aku pun suka kepada orang-orang gagah dan maukah kau ikut dengan rombonganku?”

 “Pangeran sungguh berbudi mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran yang suci ini.”

 Mendengar ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis yang gagah ini pun percaya dan tunduk kepada pangeran ini? Sementara itu, Ang I Niocu mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat wajah Cin Hai yang seperti mayat itu. Maka dengan hati berdebar-debar ia lalu berkata pula,

 “Hamba telah kenal dengan Hai Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka itu, bahkan hamba pernah kenal dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua berada dalam rombongan Paduka?” tanyanya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin Hai yang sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.

  

 “Ha, ha, ha! Tak heran kau kenal mereka, karena mereka adalah tokoh besar di kalangan kang-ouw. Hai Kong Hosiang tuan rumahku yang mengantar aku berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah penjagaku yang setia. Ha, ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak perlu kita membicarakan orang-orang ini.”

 “Hamba hanya menurut kehendak Paduka,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum.

 Dengan suara lantang Pangeran Vayami lalu membubarkan semua orang dan memberi berkah dengan kedua tangan dilambai-lambaikan kemudian dengan berani sekali ia memegang tangan Ang I Niocu yang halus lemas dan menggandeng gadis itu menuju ke kemahnya, pangeran ini lalu memerintahkan kepada para pelayannya untuk menyediakan meja perjamuan dan ia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan gembira.

 Dengan menggunakan senyum dan kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu berhasil memancing Pangeran Vayami untuk menceritakan pengalaman Cin Hai. Pengaruh arak telah membuat lidah pangeran itu menjadi fasih dan ia menceritakan sambil diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.

 Bukan main marahnya Gadis Baju Merah ini mendengar bahwa Cin Hai telah berada dalam pangaruh madu merah yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja yang berada di depannya dan sekali ia bergerak, ia telah menangkap tangan Pangeran Vayami dan menempelkan pedangnya di leher pangeran itu. Pangeran Vayami menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.

 “Ang I Niocu penjahat perempuan! Sudah kuduga engkau mempunyai niat buruk!” tiba-tiba terdengar bentakan di luar tenda.

 “Mundur, atau leher pangeran cabul ini akan kupenggal lebih dulu!” Ang I Niocu membentak. Terpaksa sambil memaki-maki Hai Kong Hosiang mundur lagi dan keluar dari kemah.

 “Lekas kau perintahkan supaya kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!” Ang I Niocu memerintah sambil memutar lengan Pangeran Vayami. Pangeran ini merasa kesakitan dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk membawa kuda Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan, Ang I Niocu memerintah pula,

 “Sekarang kaupanggil Cin Hai ke sini!”

 Cin Hai takkan mau datang kalau lain orang yang memanggil, maka setelah Pangeran Vayami memberitahukan hal ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu memaksa dan mendorongnya keluar untuk mencari Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai tidak berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di dekat api unggun sambil termenung,

 “Cin Hai, kau ke sini!” Pangeran Vayami memerintah dan bagaikan sebuah robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati Ang I Niocu perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.

 Sementara itu dengan bantuan sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami memandang dan menatap mata Cin Hai dengan tajam dan diam-diam ia mengerahkan tenaga sihirnya hingga pada saat itu Cin Hai menjadi tunduk betul-betul dan berada di bawah pengaruhnya sama sekali.

 Melihat Hai Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu membentak, “Kau berdiri jauh di sana, kalau tidak aku takkan ampunkan Pangeranmu ini!” Terpaksa dengan mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh sambil memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak boleh dibuat gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa pangeran yang telah berada di bawah ancaman pedang.

 Dengan tangan kanan masih memegang pedang dan ditodongkan kepada Pangeran Vayami, Ang I Niocu melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan tangannya untuk memegang lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekati tidak mempedulikannya dan tetap memandang kepada Pangeran Vayami bagaikan seekor anjing memandang kepada tuannya, siap menanti perintah. Tiba-tiba Pangeran Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, “Tangkap wanita ini!” Memang ia telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ang I Niocu sama sekali tidak mengerti bahasa itu.

 Mendengar perintah ini, tiba-tiba Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah memeluk Ang I Niocu dan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu yang memegang pedang. Ang I Niocu tak dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang keras ini, maka gadis ini hanya dapat mengeluh,

 “Hai-ji... aduh, Hai-ji...”

  

 Aneh sekali, panggilan yang dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk telinga dan menembus hati Cin Hai. Pada saat itu ia merasa seperti mendengar suara dari surga yang amat dikenalnya, suara yang membangunkannya dari alam mimpi membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang harus ditaatinya. Ini tidak aneh, karena dulu ketika ia masih kecil, memang suara panggilan yang keluar dari mulut Ang I Niocu dan yang biasa menyebut “Hai-ji” atau anak Hai inilah yang selalu berkumandang di dalam telinganya dan yang selalu dikenangnya sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan hati di dunia ini. Maka kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di hatinya ini tak mudah terhapus oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.

 Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan bingung, tak tahu harus berbuat apa.

 “Cin Hai tangkaplah wanita ini!” Sekali lagi Pangeran Vayami berseru, akan tetapi Ang I Niocu segera berkata,

 “Hai-ji, mari kau ikut aku!”

 Ternyata suara Ang I Niocu lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai hingga sekarang ia betul-betul berada di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah membayangkan kegembiraan, pemuda itu mengikuti Ang I Niocu. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara angin menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,

 “Hai-ji, mari kita binasakan hwesio binatang ini!”

 Oleh karena tadinya pemuda ini taat sekali kepada Pangeran Vayami, maka Pangeran Vayami tidak merampas pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka kini mendengar perintah Ang I Niocu, Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis serbuan Hai Kong Hosiang! Ang I Niocu membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang berkelahi sambil mundur karena menghadapi keroyokan dua orang ini, ia merasa jerih! Ia maklum sepenuhnya bahwa jika dilanjutkan, ia takkan menang menghadapi Cin Hai dan Ang I Niocu.

 Kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke arah kuda Pek-gin-ma yang masih berdiri di situ dan kendalinya dipegang oleh seorang pelayan pangeran. Pangeran Vayami tak berani menghalangi karena ia maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak berani menghadapi dua orang ini, apa lagi dia!

 “Hai-ji, kau naik di belakang dan kau mempertahankan setiap serangan!” kata lagi Ang I Niocu yang lalu melompat ke atas kuda itu. Cin Hai pun hanya menurut dan naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya untuk menendang roboh pelayan yang memegang kendali dan ia lalu menarik kendali kuda Pek-gin-ma itu yang segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke atas, lalu berlari secepat angin! Hai Kong Hosiang sambil menyumpah-nyumpah mengayunkan tiga batang piauw beracun ke arah mereka, akan tetapi dengan kebutan lengan bajunya, Cin Hai berhasil menyampok ketiga batang piauw itu ke tanah.

 Malam itu terang bulan dan kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari cepat. Bulunya mengkilap tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan kuda yang mempunyai bulu bagaikan perak tulen! Ang I Niocu mencabut saputangannya yang digulung merupakan cambuk dan ia membujuk kuda Pek-gin-ma dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari lebih cepat lagi. Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras sekali seakan-akan keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah! Sementara itu, Cin Hai duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan sebuah boneka besar yang duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!

 “Hai-ji... Hai-ji... kau kenapakah...?” berkali-kali Ang I Niocu bertanya sambil menoleh dan khawatir melihat sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi manusia robot itu!

 Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab apa-apa, hanya termenung memandang bulan. Tiba-tiba ia menjawab juga,

 “Aku Pendekar Bodoh dan kau... kau... sahabatku yang harus kubela!” Hanya demikian ia menjawab dan selanjutnya ia tak dapat memikir apa-apa lagi.

 Sebetulnya bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah perkasa itu dapat tiba-tiba muncul di daerah utara ini dan kebetulan sekali dapat menolong Cin Hai? Untuk dapat mengetahui hal ini, baiklah kita menengok sebentar pengalamannya semenjak ia melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga Kwee.

 Semenjak Ang I Niocu datang ke rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka sekali kepada Nona Baju Merah ini hingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di kamarnya. Dan di dalam kamarnya, dengan terus terang ia mengeluarkan isi hatinya, dan menuturkan betapa ia dan Cin Hai telah saling mencinta. Ia menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama sekali betapa kata-katanya semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam daripada sebuah pedang pusaka yang menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I Niocu.

  

 Akhirnya Lin Lin berkata sambil merangkul Ang I Niocu dan menangis,

 “Cici yang baik, bayangkan betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi meninggalkanku untuk membalas dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa khawatir sekali akan keselamatannya. Bagaimana kalau ia sampai menemui bahaya? Kalau aku boleh ikut, biar kami berdua menghadapi bahaya maut dan sampai terbinasa sekalipun, aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!”

 Ketika Lin Lin tidak mendengar Ang I Niocu menjawab, ia memandang dan melihat bahwa Nona Baju Merah itu pun menangis dengan sedihnya sehingga ia terisak-isak, Lin Lin menyangka bahwa Nona Baju Merah ini ikut merasa sedih dan terharu, maka ia lalu berbalik menghibur.

 “Cici, kalau engkau sudi membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya kita akan dapat membantu mereka bukan? Apalagi dengan adanya kau yang lihai, aku takkan takut menghadapi siapapun juga.”

 Karena bujukan-bujukan ini, akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan demikianlah, dengan diam-diam mereka pada malam hari itu juga melarikan diri untuk menyusul Cin Hai dan Kwee An! Ang I Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis ini terhadap Cin Hai besar sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin Lin, sudah menjadi tugasnya untuk menemukan mereka kembali. Bukankah ia mencinta kepada Cin Hai dengan sepenuh jiwanya? Cintanya bukan terdorong nafsu, akan tetapi ia betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita yang dicintainya, dan menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis pilihan Cin Hai.

 Ang I Niocu yang telah berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa Cin Hai dan Kwee An tentu menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar itu, maka ia pun langsung mengajak Lin Lin menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan tiada bosannya ia memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin, bahkan memberi tahu tentang rahasia latihan lweekang yang lebih tinggi.

 Ketika mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan Cin Hai dan Kwee An, dan tentang terbunuhnya empat orang dari Santung Ngohiap dan dua orang perwira lain. Lin Lin mengucurkan air mata karena merasa girang dan terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yaitu Hai Kong Hosiang dan Boan Sip masih belum terbalas dan kedua pemuda itu mengejar mereka ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara. Ang I Niocu menyetujui pula dan begitulah mereka pada keesokan harinya melakukan pengejaran ke utara. Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.

 Pada suatu hari mereka tiba di pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua orang sedang dikeroyok oleh sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan lain ialah Nelayan Cengeng dan muridnya, yaitu Ma Hoa atau gadis puteri Ma Keng In yang berpakaian laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang perwira dan seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.

 Beng Kong Hosiang dan tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua orang pemuda yang mengacau di Enghiong-koan telah mengejar ke utara, maka mereka merasa kuatir akan keselamatan Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula. Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat sebuah perahu kecil di mana duduk seorang tua yang berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan. Biarpun para perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi mereka tidak mengenal Ma Hoa yang berpakaian laki-laki, dan mereka menyangka bahwa pemuda ini tentulah seorang nelayan pula.

 Beng Kong Hosiang melihat sikap nelayan yang memandang acuh tak acuh itu, dapat menduga bahwa orang tua itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian, maka setelah menjura ia berkata,

 “He, kawan nelayan tua, tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan perahumu, berapa saja upahnya yang kauminta, tentu pinceng bayar lunas!”

 Nelayan Cengeng tertawa haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap mereka baik-baik, ia lalu menjawab,

 “Hwesio yang bercampur gaul dengan segala perwira kerajaan, permintaanmu ini pantas sekali. Akan tetapi jawablah dulu. Kalian delapan orang dari istana ini hendak menuju ke manakah?”

 Melihat sikap pelayan yang sama sekali tidak menghormati mereka, Ben Kong Hosiang yang menyangka bahwa nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka ia lalu menjawab, “Nelayan tua, ketahuilah, bahwa pinceng adalah Beng Kong Hosiang yang menjadi kepala penjaga dari kelenteng di istana dan menjadi penasehat dari kaisar sendiri. Maka janganlah kau banyak bertanya dan seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun ini.”

  

 Mendengar nama ini, terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka telah mendengar dari Kwee An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah bertempur dengan kedua pemuda itu, maka mereka dapat menduga bahwa rombongan ini tentulah mengejar Cin Hai dan Kwee An yang telah melanjutkan perjalanan pada beberapa hari yang lalu.

 “Beng Kong Hosiang, kalau kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke utara ini, terpaksa aku menolak untuk menyeberangkan kalian.”

 Seorang perwira yang berangasan menjadi marah dan membentak,

 “He, tua bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan perwira-perwira kaisar? Apa kau ingin mampus? Hayo, seberangkan kami dan jangan banyak tingkah lagi!”

 Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,

 “Perahu ini adalah perahuku, dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah kalian boleh atau tidak memakai perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan kalau kalian hendak menyeberang, gunakan saja lain perahu!”

 Melihat sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu tentu bukan orang sembarangan. Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia tidak akan melayani lagi, akan tetapi di situ tidak ada lain perahu dan perahu kecil nelayan itu hanyalah satu-satunya yang ada. Maka ia lalu berkata dengan suara halus,

 “Sahabat, mungkin karena kita belum berkenalan, maka kau tidak sudi menolong. Bolehkah pinceng mengetahui namamu yang mulia?”

 Melihat sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali hingga kedua matanya keluar air mata.

 “Ha, ha, ha! Ternyata Beng Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri. Sungguh lucu! Ketahuilah aku adalah seorang nelayan tua yang malang-melintang disungai ini untuk mencari ikan. Aku lebih suka berdekatan dengan ikan-ikan dari pada dengan segala perwira tukang pukul dan aku lebih tidak suka pula melihat hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio demikian ini tentu bukan hwesio baik-baik!”

 Bukan main marahnya ketujuh perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi Beng Kong Hosiang dapat mengendalikan perasaannya dan ia segera bertanya dengan heran, “Apakah kau ini Si Nelayan Cengeng?”

 “Ha, ha, aku tertawa atau menangis menurut keadaan dan waktuku, apa sangkutannya dengan kau?” jawab Nelayan Cengeng itu. Jawaban yang tidak karuan ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar bahwa Nelayan Cengeng adalah seorang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah seperti orang gila.

 Sementara itu, ketujuh perwira yang telah mencabut senjata, lalu mendekat ke pinggir perahu dan membentak, “Orang tua kau lekas keluar dari perahu dan berikan perahurnu kepada kami untuk dipakai menyeberang dan jangan banyak cakap lagi!”

 Ma Hoa semenjak tadi menahan marahnya, kini ia pun melompat keluar dari perahu ke darat dan menghunus pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma Hoa dan segera pemuda itu terkurung rapat. Nelayan Cengeng tertawa bergelak dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi Beng Kong Hosiang. Pendeta ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia segera menerjang dengan senjatanya yang aneh yaitu sebatang pacul. Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah hebatnya, yaitu sebatang dayung yang terbuat daripada kayu hitam dan keras.

 Kepandaian Nelayan Cengeng memang sangat tinggi dan tenaganya besar, maka sebentar saja Beng Kong Hosiang sangat terdesak oleh gerakan dayung yang mengamuk bagaikan seekor naga sakti menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka dua orang perwira lalu membantunya dan yang lima orang lain masih saja mengeroyok Ma Hoa segera terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali. Nelayan Cengeng biarpun tidak terdesak akan tetapi ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang cukup hebat itu disertai bantuan dua orang perwira yang terpandai membuat ia tidak dapat membantu muridnya yang terdesak.

 Dan pada saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang I Niocu melihat bahwa yang mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah rombongan perwira istana dan seorang hwesio yang tangguh, tanpa bertanya ia telah dapat memilih pihaknya. Ia lalu berbisik kepada Lin Lin, “Kaubantulah pemuda itu!” Kemudian sambil mencabut pedangnya, Ang I Niocu melompat dan menjadi sebuah sinar merah yang cepat sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari samping sambil dibarengi teriakannya, “Hwesio penjilat kaisar, jangan kau menjual kesombongan di sini!” Pedang Ang I Niocu berkelebat-kelebat membuat Beng Kong Hosiang terkejut sekali.

 Baik Beng Kong Hosiang, maupun Nelayan Cengeng pernah mendengar nama Ang I Niocu, maka kini melihat seorang wanita cantik jelita yang berpakaian merah datang menyerbu dengan kepandaian yang demikian tinggi dan indah gerakannya segera mereka dapat menduga siapa adanya gadis ini. Beng Kong Hosiang mengertak gigi dan memperkuat gerakannya karena maklum bahwa ia menghadapi bantuan seorang yang tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha, ha, Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau belum mencuci tubuh hingga tertimpa kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!” Sambil berkata demikian ia mendesak hebat dengan dayungnya!

  

 Ilmu pedang Ang I Niocu memang sudah hebat sekali. Apalagi kalau yang menghadapinya belum pernah melihat atau mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan itu akan menjadi makin mengerikan. Baru beberapa puluh jurus saja, ia dapat mendesak dua orang perwira yang mengeroyok Nelayan Cengeng dan akhirnya dengan tipu gerakan Bidadari Menyebar Bunga ia berhasil melukai tangan mereka hingga senjata mereka berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini berteriak kesakitan dan melompat mundur. Dan pada saat itu juga, Nelayan Cengeng juga telah berhasil menghantamkan dayungnya yang mengenai paha Beng Kong Hosiang. Hwesio itu terhuyung-huyung dan Nelayan Cengeng sambil tertawa-tawa mendupak pantatnya hingga hwesio itu menggelundung dan masuk ke dalam sungai!

 “Ha, ha, mandilah! Mandilah biar bersih!” Nelayan Cengeng berkata sambil tertawa geli!

 Lin Lin juga tidak mau tinggal diam. Dara muda ini ketika melihat betapa pemuda yang tampan dan memiliki ilmu pedang lumayan juga sedang dikeroyok oleh lima orang perwira yang berkepandaian tinggi hingga keadaannya terdesak dan berbahaya sekali, lalu menyerbu dengan pedang pendeknya yang lihai berputar-putar di tangannya! Tadinya memang Lin Lin telah memiliki ilmu pedang yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I Niocu yang diberikan kepadanya, kini kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan pedang pendeknya lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan seorang pengeroyok. Sebaliknya Ma Hoa ketika melihat seorang gadis manis menyerbu dan membantunya, menjadi girang sekali dan sekarang timbullah semangatnya. Gadis yang berpakaian sebagai laki-laki ini lalu membentak nyaring dan pedangnya membuat gerakan kilat hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!

 “Adikku yang manis! Terima kasih atas bantuanmu!” Ma Hoa berseru dar mengerling ke arah Lin Lin sambil memutar pedangnya menyerang terus. Lin Lin kaget dan marah mendengar ini, karena ia menganggap bahwa “pemuda” ini sungguh kurang ajar hingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.

 Sementara itu, para perwira ketika melihat datangnya dua orang gadis kosen ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang telah dikalahkan, dan dilempar ke dalam sungai, menjadi takut dan jerih. Mereka lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang yang melarikan diri terlebih dulu!

 Nelayan Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu lari, bahkan yang terluka lalu merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu sedikit pun.

 “Ha, ha, Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut Nelayan Cengeng!!” berseru nelayan tua itu dengan tertawa geli sampai kedua matanya mengeluarkan air mata.

 Mendengar nama ini, Ang I Niocu terkejut sekali dan ia buru-buru memberi hormat. “Ah, tidak tahunya Cianpwe adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng! Terimalah hormat dari aku yang muda!”

 Kembali Nelayan Cengeng tertawa senang. “Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu bukan kosong belaka. Ilmu pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali!”

 Sementara itu melihat betapa Lin Lin memandangnya dengan mata tajam dan mulut cemberut, Ma Hoa tertawa dan berkata kepadanya, “Adik yang manis, ilmu pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?”

 Kini Lin Lin tak dapat menahan marahnya lagi karena ia menganggap pemuda ini terlalu kurang ajar! Ia belum pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia tidak berapa menaruh perhatian pada kakek itu, dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia berkata,

 “Kau janganlah membuka mulut sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira aku ini siapakah maka kau berani bertanya sembarangan saja?”

 Lin Lin menjadi makin terheran dan marah ketika melihat “pemuda” itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa “pemuda” ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan suaranya juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang wanita! Selagi ia berdiri memandang dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba Nelayan Cengeng juga tertawa dan berkata,

 “Nona, dia ini adalah muridku dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda ceriwis yang layak dipukul! Ha, ha, ha!”

 “Suhu, jangan membikin Nona ini menjadi makin marah! Lihat, mukanya sudah menjadi merah dan mulutnya cemberut menambah manisnya!” kata Ma Hoa. Lin Lin menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak menampar mulut “pemuda” itu, tiba-tiba Ang I Niocu yang bermata tajam sambil tersenyum berkata kepadanya,

 “Adik Lin Lin, mengapa kau begitu bodoh? Pemuda ini adalah seorang wanita! Apakah kau tak dapat menduganya?”

  

 Lin Lin terkejut dan memandang dengan tajam sedangkan Ma Hoa lalu melepaskan kupiahnya hingga rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai ke bawah menutupi pundaknya. Kini “pemuda” itu berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan yang sedang tertawa manis kepadanya. Lin Lin juga tertawa dan mukanya menjadi makin merah karena malu akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.

 “Adikku yang manis, maafkanlah aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat kau semanis ini, aku menjadi suka sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?” tanyanya.

 “Enci, kau benar-benar nakal sekali! Siapa yang menyangka engkau bukan seorang pemuda aseli? Namaku adalah Kwee Lin.”

 Sepasang mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar mendengar ini. “Apa? Engkau she Kwee? Eh, Adik, kenalkah engkau kepada seorang pemuda bernama... Kwee An?”

 Lin Lin menangkap tangan Ma Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. “Enci Hoa, apakah engkau bertemu dia? Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang mencari dia!”

 “Ha, ha, ha!” Si Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Ini namanya kebetulan sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi tidak membantu orang lain oleh karena yang kaubantu itu adalah calon Soso (Kakak iparmu) sendiri!”

 Lin Lin tercengang dan memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk kemalu-maluan. “Betulkah ini, Enci Hoa?”

 Ma Hoa tak dapat menjawab, hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang yang tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan ia segera memeluk Ma Hoa dengan girang sekali. “Ah, benar engkau telah menerima pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Eh, calon ensoku yaqg baik, sekarang beritahukanlah kepadaku di mana adanya calon suamimu itu?”

 Ma Hoa mengerling dan cemberut. “Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau tidak mau berhenti menggodaku aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang berada!”

 Sementara itu, Ang I Niocu juga merasa girang sekali mendengar bahwa benar-benar Cin Hai dan Kwee An telah di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat perjodohan dengan gadis murid Nelayan Cengeng yang cantik dan gagah itu.

 Nelayan Cengeng lalu menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan pengalaman mereka dan pertemuan mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu yang lalu. Mereka memberitahukan bahwa kedua anak muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke utara dalam usaha mereka mencari dan mengejar Hai Kong Hosiang.

 Dalam kegembiraan mereka karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan muridnya, maupun Ang I Niocu dan Lin Lin telah kurang hati-hati dan mereka tidak tahu bahwa di pinggir sungai masih ada seorang perwira yang tadi terpelanting ke dalam sungai dan kini bersembunyi di dalam air sambil mengeluarkan kepala dari permukaan air yang disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini mendengar semua percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa “pemuda” itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng In yang ia kenal baik!

 Ang I Niocu dan Lin Lin tidak menunda perjalanan mereka dan segera berpamit untuk melanjutkan penyusulan mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di dalam hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan tetapi ia malu untuk menyatakan hal ini dan pula ia khawatir kalau-kalau ia dikenal oleh para perwira hingga kedudukan ayahnya sebagai seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan kedua orang gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.

 Setelah semua orang pergi, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak keluar dan segera lari menuju kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng Kong Hosiang yang merasa malu dan marah sekali karena kekalahannya, lalu mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera mengejar terus ke utara!

 Pertemuan dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin Lin merasa girang sekali, oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa Kwee An telah mendapat jodoh seorang gadis yang cantik dan gagah, juga mereka kini telah dapat mengikuti jejak kedua pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk ikut membalas dendam kepada Hai Kong Hosiang!

 Dua hari kemudian, ketika dua orang gadis pendekar ini sedang berjalan di tempat yang sunyi dari depan mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi. Gerakan kedua orang dari depan itu demikian cepat hingga Ang I Niocu dan Lin Lin maklum bahwa mereka tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Dan setelah dekat ternyata bahwa dua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar keluarga Kwee dan seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kejam.

  

 Ternyata bahwa Boan Sip adalah seorang perwira yang selain cerdik, juga berwatak pengecut sekali. Ketika ia mendengar bahwa kawan-kawannya telah tewas di dalam tangan anak-anak muda yang membalas dendam keluarga Kwee, ia lalu cepat-cepat pergi mengunjungi suhunya, yaitu Bo Lang Hwesio. Dengan pandai Boan Sip dapat membujuk suhunya untuk membela dirinya dari ancaman musuh-musuhnya. Dan kebetulan sekali, ketika mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

 Melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip menjadi girang sekali dan sebaliknya Lin Lin juga girang oleh karena tak disangka-sangkanya ia dapat bertemu dengan musuh besarnya di tempat itu.

 “Bangsat rendah, akhirnya dapat juga aku membalas dendamku!” teriak Lin Lin sambil mencabut keluar pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan sengitnya. Boan Sip tertawa besar dan menggunakan pedangnya menangkis sehingga sebentar saja mereka bertempur dengan seru dan hebat.

 Sementara itu, karena menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan Boan Sip, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, Dara Baju Merah ini terkejut sekali ketika pedangnya dengan mudah ditangkis oleh ujung lengan baju hwesio itu! Ia berlaku hati-hati sekali oleh karena maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi. Sebaliknya melihat gerakan pedang Ang I Niocu yang lain daripada pedang biasa, Bo Lang Hwesio juga merasa kagum dan membentak,

 “Nona yang gagah siapakah namamu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar